Fertilisasi Dan Perkembangan Embrional Ikan Nilem

October 3, 2017 | Author: liopolt09 | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

tentang perkembangan embrional...

Description

FERTILISASI DAN PERKEMBANGAN EMBRIONAL IKAN NILEM

Oleh : Nama : Reza Pratama Nugraha NIM : B1J013096 Rombongan : VIII Kelompok : 5 Asisten : Mithun Sinaga

LAPORAN PRAKTIKUM PERKEMBANGAN HEWAN

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS BIOLOGI PURWOKERTO 2014

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Fertilisasi adalah fusi dari dua gamet yang membentuk sel tunggal (zigot). Zigot memiliki bentuk fundamental dan pembentukannya dari meleburnya dua sel haploid. Bila kedua sel kelamin tersebut motil, maka disebut sebagai isogami, berbeda dalam ukuran disebut anisogami, dan bila ada yg tidak motil disebut oogami (Harvey, 1979) Ikan nilem (Osteochillus hasselti) mempunyai tipe telur telolchital berat yaitu yolk yang mengisi seluruh bulatan tubuh. Telur ikan nilem berbentuk bulat dengan yolk berwarna kuning. Diameternya 0,98-1,08 mm, dan setelah terbuahi diameternya mencapai 1,36-1,40 mm. Telur yang perkembangannya sehat akan berwarna transparan dan bersih (Djuhanda, 1981) Praktikum kali ini menggunakan ikan nilem (Osteochillus hasselti) karena ikan ini mempunyai siklus reproduksi yang pendek, dapat dengan mudah diinduksi untuk memperoleh ikan betina yang masak telur dan mudah dioviposisikan. Telur dna sperma yang dihasilkan setiap siklus reproduksi cukup banyak. Telur dari ikan nilem bersifat transparan sehingga mudah dilakukan pengamatan (Gratiana et al., 1998)

B. Tujuan Tujuan dari praktikum kali ini adalah dapat melakukan fertilisasi, mengenali sel telur ikan yang telah difertilisasi dan mengidentifikasi faktor-faktor yang

mempengaruhi

fertilisasi

perkembangan embrio ikan.

serta

dapat

mengidentifikasi

tahapan

II. MATERI DAN METODE

A. Materi Alat yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah saringan teh dari plasik, spuit injeksi tanpa jarum 1 ml dan 10 ml, baskom inkubasi 2 buah, piring plastik kecil, aerator dan selang pembagi udara, stopwatch, mikroskop cahaya, pipet tetes, tabel isian hasil pengamatan, object glass dan cover glass, sendok kecil, baki, haemocytometer, cawan plastik, beaker glass 100 ml, label dan tissue. Bahan yang digunakan adalah larutan Ringer, air sumur, ikan nilem jantan dan ikan nilem betina yang matang gonad, ovaprim, sediaan hormon untuk induksi dan spermiasi. B. Metode Cara kerja untuk melaukan praktikum fertilisasi dan perkembangan embrio ikan adalah sebagai berikut : A. Induksi untuk mendapatkan gamet segar 1. Ikan nilem yang matang gonad dipilih. 2. Ikan jantan dan ikan betina ditimbang untuk menentukan dosis hormon yang diperlukan induk dalam ovulasi dan spermiasi. 3. Hormon disiapkan dengan takaran yang tepat. 4. Hormon disuntikkan. 5. Induk jantan dan betina dimasukkan ke dalam akuarium yang telah berisi air bersih dan jernih serta dilengkapi dengan aerasi. 6. Kurang lebih 5-6 jam setelah diinduksi tingkah laku ikan diamati. 7. Ikan diangkat dari akuarium, kemudian denganhati-hati dinding abdomen diurut dari dekat sirip pektorak menuju lubang genital. Apabila milt dan sel telur dapat keluar dengan mudah menunjukkan bahwa ikan siap dipijah. 8. Sel telur dan milt dikeluarkan dan ditampung pada tempat terpisah.

B. Fertilisasi dengan berbagai rasio spermatozoa dengan sel telur 1. Gamet segar pada ikan nilem jantan dan ikan nilem betina diambil dengan cara diatas. 2. Volume milt diukur dengan spuit injeksi tanpa jarum yang digunakan. 3. Pengenceran milt dilakukan dalam well plate. Pada well plate pertama dimasukkan 1 bagian milt ditambah 9 bagian larutan NaCl fisiologis dan dihomogenkan dengan memipetnya beberapa kali sehingga didapatkan pengenceran 10x. bagian milt dari pengenceran pertama diambil 1 bagian, lalu dimasukkan ke dalam well plate ke dua dan ditambahkan 9 bagian larutan NaCl fisiologis dan dihomogenkan kembali sehingga didapat pengenceran 100x. pengenceran dilakukan hingga 1000x. 4. Sel telur yang sudah ditampung diambil sebanyak 1 sendok dan ditambahkan 1 ml milt yang telah diencerkan 100x, kemudian diagitasi secara perlahan agar sel telur dan milt bercampur rata. Sedikit demi sedikit air diteteskan. 5. Setelah 8 menit sejak pencampuran sel telur dan milt, secara perlahan ditambahkan media pembuahan yang sesuai ke dalam masing-masing cawan hingga volumenya mencapai 100 ml. Diamkan sel telur yang telah bercampur dengan milt dalam medium selama 30 menit. 6. Sel telur dimasukkan dalam baskom berisi air. 7. Pada baskom diambil 10 sel telur mengunakan pipet transfer dan diletakkan di atas cavity slide dan diamati di bawah mikroskop. 8. Proporsi sel telur yang terbuahi dihitung.

C. Fertilisasi dengan berbagai waktu kontak spermatozoa dengan sel telur 1. Milt dan sel telur disiapkan. 2.

Sel telur yang sudah ditampung diambil sebanyak 1 sendok dan ditambahkan 1 ml milt yang telah diencerkan 100x, kemudian diagitasi secara perlahan agar sel telur dan milt bercampur rata. Sedikit demi sedikit air diteteskan.

3. Satu menit setelah pencampuran sel telur dan milt secara perlahan dituangkan dalam media pertumbuhan yang berisi sel telur dan spermatozoa ke dalam saringan halus untuk menghilangkan spermatozoanya. Caranya dengan saringan dicelupkan ke dalam air bersih.

4. Sel telur yang sudah dicuci dimasukkan ke dalam baskom berisi air. 5. Pada baskom diambil 10 sel telur mengunakan pipet transfer dan diletakkan di atas cavity slide dan diamati di bawah mikroskop. 6. Proporsi sel telur yang terbuahi dihitung. 7. Lakukan tahap di atas dengan waktu kontak 3 dan 5 menit.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Tabel 1. Jumlah sel telur yang terbuahi pada jeda waktu yang berbeda Presentase telur terbuahi (%) Jeda waktu Ulangan I

Total (%)

Rerata (%)

76,7 %

37,35 %

Ulagan II

Kontrol

76,7 %

1 Menit

56,6 %

76,7 %

133,37 %

66,68 %

3 Menit

40 %

80 %

120 %

60 %

5 Menit

90 %

63,6 %

153,3 %

76,65 %

Tabel 2. Persentase telur terbuahi pada tingkat pengenceran milt Tingkat

Presentase telur terbuahi (%)

pengenceran

Total (%)

Rerata (%)

80%

136,7%

68,3%

66,7%

56,7%

123,4%

61,7%

73,3%

63,3%

140,6%

70,3%

Ulangan I

Ulagan II

10x

56,7%

100x 1000x

milt

Tabel 3. Persentase telur pada setiap tahap perkembangan selama waktu pengamatan pada perlakuan jeda waktu Perlakua n

Waktu pengamata n ke -

Tahap Perkembanga n

20’

Hylock Belum terfertil

35’

% Telur Tiap Perkembangan Ulanga Ulanga nI n II 50% 50%

Jumla h (%)

Rerat a (%)

50% 50%

50% 50%

Hylock 2 Sel

40 % 60%

40 % 60%

40 % 60%

Hylock 2 Sel 4 Sel 8 Sel Rusak Hylock Tidak Terbuahi

20% 10% 20% 30% 20% 40% 60%

20% 10% 20% 30% 20% 70% 130%

20% 10% 20% 30% 20% 35% 65%

Hylock 2 Sel Belum terfertil

60% 40%

90% 90%

10% 150% 40%

10% 75% 20%

Hylock 2 Sel 4 Sel 8 Sel

10% 30% 20% 10%

30% 20% 30% 20%

40% 20% 50% 30%

20% 50% 25% 15%

Hylock 2 sel Belum terfertil 2 Sel Belum terfertil Hylock 4 sel

40%

50% 20% 30% 70% 30%

90% 20% 90% 100% 50% 30% 40%

45% 10% 45% 50% 25% 15% 20%

4 Sel 8 Sel Hylock Belum terfertil

10% 40% 20% 20%

30% 60% 10% 10%

40% 100% 30% 30%

20% 50% 15% 15%

Kontrol

50’

20’

35’ Jeda 1 menit 50’

20’

Jeda 3menit

35’

50’

60% 30% 20% 10% 40%

30% 70%

Perlakua n

Waktu pengamata n ke 20’

Jeda waktu 5 menit

35’

50’

Tahap Perkembanga n Hylock Belum terfertil 2 Sel Hylock 2 Sel 4 Sel Belum terfertil Hylock 4 Sel 8 Sel Belum terfertil 16 sel

% Telur Tiap Perkembangan Ulanga Ulanga nI n II 30% 20% 30% 80% 40% 20% 40% 20% 20% 60% 20% 20% 20% 10% 20% 50% 50% 10% 40%

Jumla h (%)

Rerat a (%)

50% 110% 40% 60% 40% 80% 20% 20% 30% 100% 10% 40%

25% 55% 20% 30% 20% 40% 10% 10% 15% 50% 5% 20%

Tabel 4. Persentase telur pada stiap tahap perkembangan selama waktu pengamatan pada perlakuan tingkat pengenceran

Perlakuan

Waktu pengamata n ke 20’

Tingkat pengencera n 10x

35’

50’

Tahap Perkembanga n Rusak Hylock 2 Sel Belum terfertil Hylock 2 Sel Belum terfertil 4 Sel 4 Sel 8 sel Hylock Belum terfertil

% Telur Tiap Perkembangan Ulanga Ulanga nI n II 10% 20% 40% 90% 40% 30% 20% 20% 60% 20% 20% 30% 20% 50% 60% 50% 10% 10%

Jumla h (%)

Rerat a (%)

10% 20% 40% 130% 50% 80% 40% 30% 70% 110% 10% 10%

5% 10% 20% 65% 25% 40% 20% 15% 35% 55% 5% 5%

Perlakuan

Tingkat pengencera n 100xl

Waktu pengamata n ke -

Tahap Perkembanga n

20’

Hylock Belum terfertil Hylock 2 Sel Rusak Belum terfertil Hylock 8 sel Rusak Belum terfertil

35’

50’

Perlakuan

Waktu pengamata n ke 20’

Tingkat pengencera n 1000x

35’

50’

Tahap Perkembanga n 4 sel Hylock Belum terfertil 2 sel 4 sel Belum terfertili 2 sel 8 sel 4 sel Hylock 8 sel 16 sel Abnormal Belum terfertil

% Telur Tiap Perkembangan Ulanga Ulanga nI n II 50% 30% 50% 70% 40 % 30% 30% 30% 10% 30% 30% 10% 50% 40% 30% 30% 10% 30% 10%

% Telur Tiap Perkembangan Ulanga Ulanga nI n II 30% 10% 30% 30% 70% 30% 30% 30% 40% 30% 60% 10% 100% 10% 50% 20% 10% 10%

Jumla h (%)

Rerat a (%)

80% 120% 70% 60% 10% 60% 60% 70% 40% 40%

40% 60% 35% 30% 5% 30% 30% 35% 20% 20%

Jumla h (%)

Rerat a (%)

30% 40% 100% 30% 30% 70% 90% 10% 100% 10% 50% 20% 10% 10%

15% 20% 50% 15% 15% 35% 45% 5% 50% 5% 25% 10% 5% 5%

3. Embrio dengan perlakuan kontrol

Gambar 1. Pengamatan ke 20 menit, munculnya Hylock

Gambar 2. Pengamatan ke 35 menit, masuk ke tahap 2 sel

Gambar 3. Pengamatan ke 50 menit, masuk ke tahap 4 sel.

Gambar 4. Larva ikan nilem ketika menetas 4. Embrio pada perilaku jeda 3 menit.

Gambar 1. 20 menit dimana banyak hylock dan sedikit 2 sel

Gambar 2. 35 menit dimana banyak embrio yang memasuki tahap 2 sel

Gambar 3. 50 menit dimana terdapat banyak embrio yang masuk ke tahap 4 dan 8 sel

B. Pembahasan Hasil dari praktikum memperlihatkan bahwa jeda persentase telur yang terbuahi memiliki rata-rata yang berbeda, dimana pada kontrol memiliki rata-rata 37,35%, 1 menit 66,68%, 3 menit 60%, dan 5 menit 76,65%.Perbedaan ini sesuai dengan pendapat Setu & Ajithkumar (2010) dimana jeda waktu yang diperlukan sperma untuk tiap waktunya berbeda, dan pada praktikum ini memperlihatkan bahwa semakin lama jeda waktunya, akan semakin tinggi rata-rata terbuahinya. Tingkat pengenceran milt rata-rata pada 10x mencapai 68,35%, pada 100x mencapai 61,7%, dan pada 1000x mencapai 70,3%. Hal ini menunjukan bahwa pengenceran yang dilakukan memiliki nilai yag tidak konsisten ketika direlevansikan oleh tingkat fertelisasi, walau mampu dilihat pada 10x dan 1000x, tingkat persentase telur yang terbuahi meningkat. Hal ini dimungkinkan oleh keadaan fisik semen yang baru diejakulasi adalah kental, dan mengalami pengenceran (likuifikasi) oleh seminin yang dihasilkan prostate sehingga motilitas pada sperma berkerja secara efektif (Yatim, 1984). Percobaan juga meniliti persentase telur pada setiap tahap pekembangan dengan jeda waktu. Pada kontrol menit ke 20 antara hylock dan tidak terfertilisasi normal, menit 35 mengalami perkembangan 2 sel yang signifikan, dan pada menit ke 50, terjadi variasi tahap perkembangan yang reratanya tidak terlalu berbeda yaitu di antara 10-30%. Sedangkan pada jeda waktu yang rangenya berkisar 1 menit sampai dengan 5 menit, menit ke-20 sudah menunjukan hylock dan 2 sel, kemudian 35 menit kemudian mulai terjadi peningkatan 4 sel yang signifikan, dan pada menit ke 50, tahap 8 sel dan bahkan 16 sel (di menit ke 5) terjadi pada embrio. Hal ini menurut merupakan bukti indikator kebutuhan waktu sperma dalam menembus sistem mekanisme fertilisasi, dan bagaimana embrio mampu melakukan mitosis secara signifikan pada perbedaan waktu yang sedikit (Black & Pickering, 1998). Pada tahap pengenceran, ketika diamati tahap perkembangannya, pengenceran 10x memiliki perkembangan yang baik dimana pada waktu ke 50, tahap embrio ke 8 sel sudah mencapai 55%. Pengenceran 100x terjadi penurunan yang signifikan dibandingkan pada 10x, dimana terdapat embrio yang rusak, dan yang mencapai 8 sel hanya berkisar pada 35%. Pada pengenceran 1000x, terdapat

variasi tahap yang berjalan dengan berbeda, dimana pada menit 50 didominansi oleh 4 sel, sedangkan 8 sel hanya mencapai 25% dan 16 sel mencapai 10%, dan terdapat abnormalitas sebesar 5%. Hal ini dikaitkan dengan referensi bahwa motilitas terjadi ketika sperma diencerkan, namun NaCl mungkin mengubah salinitas sperma sehingga muncul beberapa abnormalitas dan kerusakan pada sel. (Tabugo et al., 2012). Fertilisasi pada ikan nilem terjadi ketika spermatozoa masuk kedalam sitoplasma sel telur dengan reaksi akromosom, dan cairan sitoplasma sel telur berkurang karena terdapat cairan yang memasuki ruang perivitelin yaitu reaksi kortikal dimana zat granula menyerap cairan dan membengkak sehingga membran vitelin terangkat dari permukaan telur. Pada waktu itu kepala spermatozoa menggembung, kemudian ekornya lepas. Inti sel berubah menyerupai inti sel somatik yang disebut pronukleus jantan. Ketika terjadi fusi, kromosom maternal mulai tampak bersatu menjadi satu kelompok membentuk zigot. Zigot inilah yang mempunyai kemampuan untuk melakukan pembelahan segmentasi melalui proses mitosis yang cepat. Zigot yang tersegmen-segmen menjadi bagian yang kecil (cleavage), bermula dari satu sel kemudian membelah menjadi 2 sel, 4 sel, 8 sel, 16 sel, hingga 32 sel yang disebut fase morula (Brykczynska et al., 2010). Gen akan menjadi kunci bagi pertumbuhan embrio dan regulasi morfogenesis oleh nucleosome dengan modifikasi histone yg berhubungan dengan aktivasi dan inhibitor (Shan Fu et al., 2011). Ciri-ciri telur yang terbuahi sendiri yaitu berwarna bening atau transparan dengan morfologi bentuknya yang bulat, tepi yang transparan, dan berbentuk bulat kecoklatan ditengahnya, sedangkan pada yang tidak berwarna putih susu (Black & Pickering, 1998). Persentase penetasan ikan normal mencapai 50-80%, dan faktor-faktor penetasan ini meliputi kualitas telur, air, salinitas, media inkubasi, dan perlakuan kejutan panas. Kualitas telur sendiri didukung oleh kualitas air dimaa kedua hal tersebut sangat krusial dalam membantu pembelahan sel dan perkembangan telur yang normal hingga membentuk embrio ikan yang baru.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR REFERENSI

Black, K.D. & Pickering, A.D., 1998. Biology of Farmed Fish. England: Sheffield Academic Press. Brykczynska, M, H. & Ramos, 2010. Chromatin signature of embryonic pluripotency. Nature, 464, pp.922–926. Djuhanda, T., 1981. Embriologi Perbandingan. Bandung: Amrico. Gratiana, E.W., P, S. & Sugiharto, 1998. Perkembangan Awal Ikan Nilem Sampai Larva. Purwokerto: Fakultas Biologi Unsoed. Harvey, B.J., 1979. The Theory and Passion Ichtiology. New York: John Willy and Sons. Setu, K. & Ajithkumar, T.T., 2010. Spawning Behaviour and Embryonic Development of Regal Damsel Fish. World Journal of Fish and Marine Science, 2(5), pp.410-15. Shan Fu, W., Z, H. & Cairns, B.R., 2011. Genes for embryo development are packaged in blocks. Genome Research, 21, pp.578–89. Tabugo et al., 2012. Embryonic Developmental Stages in Cultured Rabbitfish. International Research Journal of Biological Sciences, 1(8), pp.65-70. Yatim, W., 1984. Embriologi untuk Mahasiswa Biologi dan Kedokteran. Bandung: Tarsito Press.

Black, K.D. & Pickering, A.D., 1998. Biology of Farmed Fish. England: Sheffield Academic Press. Brykczynska, M, H. & Ramos, 2010. Chromatin signature of embryonic pluripotency. Nature, 464, pp.922–926. Djuhanda, T., 1981. Embriologi Perbandingan. Bandung: Amrico. Gratiana, E.W., P, S. & Sugiharto, 1998. Perkembangan Awal Ikan Nilem Sampai Larva. Purwokerto: Fakultas Biologi Unsoed.

Harvey, B.J., 1979. The Theory and Passion Ichtiology. New York: John Willy and Sons. Setu, K. & Ajithkumar, T.T., 2010. Spawning Behaviour and Embryonic Development of Regal Damsel Fish. World Journal of Fish and Marine Science, 2(5), pp.410-15. Shan Fu, W., Z, H. & Cairns, B.R., 2011. Genes for embryo development are packaged in blocks. Genome Research, 21, pp.578–89. Tabugo et al., 2012. Embryonic Developmental Stages in Cultured Rabbitfish. International Research Journal of Biological Sciences, 1(8), pp.65-70. Yatim, W., 1984. Embriologi untuk Mahasiswa Biologi dan Kedokteran. Bandung: Tarsito Press.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF