FENOMENOLOGI
April 12, 2017 | Author: Meandus Agundong | Category: N/A
Short Description
Download FENOMENOLOGI...
Description
FENOMENOLOGI Karya: Suwardi Endraswara Metodologi Riset Budaya-UGM Press 1. Perspektif Fenomenologi Jika positivisme amat gila terhadap penyusunan teori, fenomenologi boleh dikatakan menolak teori. Fenomenologi sedikit alergi teori. Pendekatan ini lebih menekankan rasionalisme dan realitas budaya yang ada. Hal ini sejalan dengan penelitian etnografi yang menitikberatkan pandangan warga setempat. Realitas dipandang lebih penting dan dominan dibanding teori-teori melulu. Fenomenologi berusaha memahami budaya lewat pandangan pemilik budaya atau pelakunya. Menurut paham fenomenologi, ilmu bukanlah values free, bebas nilai dari apa pun, melainkan values bound, memiliki hubungan dengan nilai. Aksioma dasar fenomenologi adalah: (a) kenyataan ada dalam diri manusia baik sebagai indiividu maupun kelompok selalu bersifat majemuk atau ganda yang tersusun secara kompleks, dengan demikian hanya bisa diteliti secara holistik dan tidak terlepas-lepas; (b) hubungan antara peneliti dan subyek inkuiri saling mempengaruhi, keduanya sulit dipisahkan; (c) lebih ke arah pada kasus-kasus, bukan untuk menggeneralisasi hasil penelitian; (d) sulit membedakan sebab dan akibat, karena situasi berlangsung secara simultan; (e) inkuiri terikat nilai, bukan values free. Dalam pandangan Natanton (Mulyana, 2002:59) fenomenologi merupakan istilah generik yang merujuk kepada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap bahwa kesadaran manusia dan makna subjektif sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial. Tentu saja, dalam kaitannya dengan penelitian budaya pun pandangan subjektif informan sangat diperlukan. Subjektif akan menjadi sahih apabila ada proses intersubjektif antara peneliti budaya dengan informan. Wawasan utama fenomenologi adalah “pengertian dan penjelasan dari suatu realitas harus dibuahkan
dari
gejala
realitas
itu
sendiri”
(Aminuddin,
1990:108).
Dalam
perkembangannya, fenomenologi memang ada beberapa macam, antara lain: (a)
fenomenologi Edidetik dalam linguistik, (b) fenomenologi Ingarden dalam sastra, artinya pengertian murni ditentukan melalui penentuan gejala utama, penandaan dan pemilahan, penyaringan untuk menentukan keberadaan, penggambaran gejala (refleksi), (c) fenomenologi transendental, dan (d) fenomenologi eksistnsial. Bagi fenomenologi transendental, keberadaan realitas sebagai “objek” secara tegas ditekankan. Kesadaran aktif dalam menangkap dan merekonstruksi kesadaran terhadap suatu gejala amat penting. Bagi fenomenologi eksitensial, penentuan pengertian dari gejala budaya semata-mata tergantung individu. Refleksi individual menjadi “guru” bagi individu itu sendiri dalam rangka menemukan kebenaran. Dalam penelitian budaya, perkembangan pendekatan fenomenologi tidak dipengaruhi secara langsung oleh filsafat fenomenologi, tetapi oleh perkembangan dalam pendefinisian konsep kebudayaan. Dalam hal ini, fenomenolog Edmun Husserl (Muhadjir, 1998:12-13) menyatakan bahwa obyek ilmu itu tidak terbatas pada yang empirik (sensual), melainkan mencakup fenomena yang tidak lain terdiri dari persepsi, pemikiran, kemauan, dan keyakinan subyek yang menuntut pendekatan holistik, mendudukkan obyek penelitian dalam suatu kontsruksi ganda, melihat obyeknya dalam suatu konteks natural, dan bukan parsial. Karena itu dalam fenomenologi lebih menggunakan tata pikir logik daripada sekedar linier kausal. Tujuan penelitian fenomenologi budaya adalah ke arah membangun ilmu ideografik budaya itu sendiri. Metode kualitatif fenomenologi berlandaskan pada empat kebenaran, yaitu kebenaran empirik sensual, kebenaran empirik logik, kebenaran empirik etik, dan kebenaran empirik transenden. Atas dasar cara mencapai kebenaran ini, fenomenologi menghendaki kesatuan antara subyek peneliti dengan pendukung obyek penelitian. Keterlibatan subyek peneliti di lapangan dan penghayatan fenomena yang dialami menjadi salah satu ciri utama. Hal tersebut juga seperti dikatakan Moleong (1988:7-8) bahwa pendekatan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu. Peneliti fenomenologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orangorang yang sedang diteliti. Maka dari itu, inkuiri dimulai dengan diam. Diam merupakan
tindakan untuk menangkap pengertian sesuatu yang diteliti. Yang ditekankan adalah aspek subyek dari perilaku orang. Mereka berusaha untuk masuk ke dunia konseptual para subyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang mereka kembangkan di sekitar peristiwa dalam kehidupannya seharihari. Makhluk hidup tersedia pelbagai cara untuk menginterpretasikam pengalaman melalui interaksi dengan orang lain, dan bahwa pengertian pengalaman kitalah yang membentuk kenyataan. Yang ditekankan oleh kaum fenomenologis ialah aspek subyektif dari perilaku budaya. Mereka berusaha masuk ke dalam dunia subyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga peneliti mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian dikembangkan dalam hidup seharihari. Subyek penelitian dipercaya memiliki kemampuan untuk menafsirkan pengalamannya melalui interaksi. Peneliti fenomenologis tidak menggarap data secara mentah. Peneliti cukup arif dengan cara memberikan “tekanan” pada subyek untuk memaknai tindak budayanya, tanpa mengabaikan realitas. Hal tersebut dapat dipahami, karena menurut Phillipson (Walsh,1972:121) istilah fenomena itu berkaitan dengan suatu persepsi yaitu kesadaran. Fenomenologi akan berupaya menggambarkan fenomena kesadaran dan bagaimana fenomena itu tersusun. Dengan adanya kesadaran ini, tidak mengherankan jika pemerhati kebudayaan dan pelaku budaya juga memiliki kesadaran tertentu terhadap yang mereka alami. Pengalaman yang dipengaruhi oleh kesadaran itu, pada saatnya akan memunculkan permasalahan baru dan di antaranya akan terkait dengan ihwal seluk beluk kebudayaan itu sendiri. Akibat dari tumbuh kembangnya kesadaran tersebut, bukan tidak mungkin jika para ahli peneliti budaya fenomenologi mulai dihadapkan pada sejumlah permasalahan kebudayaan. Pada dasarnya, ada tiga permasalahan pokok ketika orang akan melukiskan kebudayaan yaitu: (1) mengenai ketidaksamaan data etnografi yang disebabkan oleh perbedaan minat di kalangan ahli peneliti budaya, (2) masalah sifat data itu sendiri, artinya seberapa jauh data tersebut dapat diperbandingkan atau seberapa jauh data tersebut benar-benar dapat melukiskan gejala yang sama dari masyarakat yang berbeda, dan (3) menyangkut masalah klasifikasi data yang di antara para ahli masih sering berbeda kriterianya.
Berdasarkan ketiga hal itu, dalam studi fenomenologi terutama sebagai upaya memahami sugesti Malinovski tentang “to grasp the native’s point of view, his relation to life to realize his vision of his world”, Ahimsa-Putra (1985:106-109) menawarkan pendekatan etnosains sebagai salah satu alternatif. Pendekatan ini dipandang lebih fenomenologis karena dengan menerapkan model linguistik yang dikenal dengan pelukisan kebudayaan secara etik dan emik, pemaknaan kebudayaan menjadi lebih lengkap. Dengan cara ini ini pendefinisian kebudayaan merupakan akumulasi dari sistem pengetahuan atau sistem ide, dalam istilah “makna” yang diberikan oleh pendukung kebudayaan pun turut diperhitungkan. Implikasi dari pendekatan tersebut, penelitian budaya secara fenomenologi dapat digolongkan menjadi tiga yakni: Pertama budaya dipelajari oleh mereka yang berpendapat bahwa kebudayaan merupakan “forms of things that people have mind”, yang dalam hal ini ditafsirkan sebagai model-model untuk mengklasifikasikan lingkungan atau situasi sosial yang dihadapi. Kedua, mereka yang mengarahkan perhatiannya pada bidang rule atau aturan-aturan. Mereka berpijak pada definisi pertama yaitu kebudayaan sebagai hal yang harus diketahui seseorang agar dapat mewujudkan tingkah laku (bertindak) menurut cara yang dapat diterima oleh warga masyarakat itu berada. Persoalan ketegorisasi masih diperhatikan, khususnya kategorisasi sosial yaitu untuk mengkategorisasikan interaksi sosial. Tujuan utamanya adalah mencari prinsip klasifikasi, seperti halnya klasifikasi dalam undha usuk bahasa Jawa, yaitu kowe, sapeyan, panjenengan. Ketiga, ahli peneliti budaya masih menggunakan definisi yang kedua, yaitu kebudayaan sebagai alat atau sarana yang dipakai untuk “perceiving” dan “dealing with circumstances”, yang berarti alat untuk menafsirkan berbagai macam gejala yang ditemui. Dalam hal ini, para ahli peneliti budaya beranggapan bahwa tindakan manusia mempunyai berbagai macam makna bagi pelakunya serta bagi orang lain. Untuk menjelaskan tingkah laku manusia makna tersebut harus diungkapkan. Tanpa memperhitungkankan makna ini maka peneliti tidak akan mampu mengungkap hakikat manusia yang sebenarnya. Penekanan si peneliti kemudian mencari tema budaya.
Dari kaca pandang fenomenologis yang dipengaruhi oleh pendefinisian kebudayaan itu, pada gilirannya kebudayaan menjadi lebih kompleks. Kebudayaan menjadi sangat `tergantung’ siapa yang memandang. Jika warga setempat paham terhadap yang mereka lakukan, tentu pendefinisian akan berlainan dengan warga yang samar-samar terhadap budayanya. Kedua pandangan yang berbeda ini pun dalam perspektif fenomenologi harus tetap dihargai. Oleh karena perbedaan pendapat adalah khasanah fenomena budaya itu sendiri. 2. Sebagai Tonggak Arah Baru Kehadiran Jackson (1996) dalam fenomenologi telah menghasilkan arahan-arahan baru dalam penelitian budaya secara etnografi. Arahan-arahan tersebut oleh Jackson ditunjukkan secara samar, berupa kritik dari sisi peneliti budaya terhadap pendekatan fenomenologi. la dengan tajam mengritik pandangan empirisme radikal William James, naturalis John Dewey, dan fenomenolog MarleauPcenty. Dari ulasannya, akan ditemukan beberapa arahan baru bidang kajian peneliti budaya fenomenologi dan penulisan etnografinya. Dalam pengkajian dapat dikemukakan arahan baru fenomenologi bagi penelitian budaya sebagai berikut: Pertama, adanya kajian terhadap penyakit. Kajian ini lebih menekankan fenomena yang ditunjukkan oleh pasien daripada yang dikonsepsikan oleh ilmu kesehatan. Hal ini berarti bahwa kajian yang dilakukan telah ke arah fenomenologi karena telah mempertimbangkan perilaku dan makna yang ditunjukkan pasien sebagai subjek penelitian. Dalam kaitan ini, Arthur Kleinman menggunakan istilah “dunia moral lokal” untuk menunjukkan latar belakang ekonomi, sosial, dan politik dalam kaitannya dengan penyakit pasien. Latar belakang ini selanjutnya dihubungkan dengan pengalaman pasien sehingga akan terpahami realita moral khusus yang ada di dalamnya. Pengkajian lebih jauh lagi juga dikaitkan dengan latar belakang budaya pasien. Pandangan semacam inilah yang `mungkin’ dikenal dengan peneliti budaya kesehatan. Kedua, adanya kajian peneliti budaya fenomenologi yang tetap memperhatikan “dunia moral lokal” terhadap masalah “ekologi”. Seperti halnya ditunjukkan oleh Sartre, seorang eksistensialis yang mulai menekankan pengkajian terhadap masalah situasi dan lingkungan.
Situasi dan lingkungan adalah bagian dari hidup manusia yang akan membentuk dan dibentuk oleh budaya setempat dan atau oleh budaya lain. Pandangan terhadap manusia yang mulai sadar terhadap situasi dan lingkungan ini, pada gilirannya menjadi perhatian ekologi budaya yang pernah dicetuskan oleh Julian Steward (Bennett, 1971:24). Hal serupa sebagaimana pernah dilakukan penelitian oleh Rene Davisch terhadap pelaku pemujaan suku Yaka di Zaire. la berhasil mengungkap bagaimana kiasan merupakan jaringan hubungan dunia kehidupan. Bagi orang Yaka, lingkaran kehidupan menurut kiasannya dipadukan dengan irama musim dan matahari. Pengkajian semacam ini, dapat mengaitkan hubungan ekologis dengan faktor kultural setempat. Peneliti tentunya akan mengaitkan pandangan masyarakat lokal sebagai akumulasi interaksi di antara mereka. Permasalahan semacam ini, diakui atau tidak lalu menarik perhatian para ahli peneliti budaya yang menekankan pada budaya ekologi. Misalkan, manusia (peneliti) mulai sadar mengapa masyarakat tertentu ada yang memanfaatkan limbah menjadi hal yang istimewa. Ketiga, arahan baru terhadap pengkajian peneliti budaya fisik. Sebagaimana ditunjukkan oleh Merleau-Ponty bahwa subyektivitas adalah merupakan kehidupan fisik di dunia, bahkan sikap simpati dan empati merupakan sifat dasar kehidupan fisik pula: Karena itu pemahaman fenomenologi perlu mendasarkan kehidupan fisik ini karena fisik merupakan aspek primordial dari subyektivitas manusia sebagai makhluk sosial. Keempat, arahan baru terhadap penelitian historiografi, yaitu memandang fenomena dalam kaitannya kehidupan dan sejarah. Hal ini seperti dicontohkan Jackson, yaitu penelitian terhadap sejarah petani di India. Dalam bidang penulisan etnografi, dapat diketengahkan arahan baru fenomenologis sebagai berikut: Pertama, arahan-arahan baru dalam penulisan etnografi. Seperti halnya yang diungkapkan Abu Lughod, etnografer dapat menyusun kesadaran `subyektivitas’ yang selanjutnya diarahkan pada penulisan biografi individu. Etnografi individu ini digambarkan melalui ceritera seorang individu tentang keunikan kehidupannya. Kedua, arahan baru dalam penulisan etnografi secara `naratif. Sebagaimana ditunjukkan Jurgen Hubermas bahwa dunia kehidupan sehari-hari adalah dunia wacana, permainan bahasa, dan aktivitas komunikasi. Kenyataan ini sarat dengan penulisan ceritera naratif
yang disertai dialog-dialog hidup. Kemungkinan besar etnografi semacam ini akan lahir seperti halnya novel. Dari arah-arahan baru fenomenologi tersebut, penelitian budaya semakin menunjukkan kecerahan. Penelitian budaya dapat memanfaatkan- pendekatan fenomenologis, terutama untuk model penelitian etnografi. Dari pendekatan tersebut peneliti budaya akan mampu menampilkan realitas dan keaslian budaya yang diteliti. Campur tangan peneliti terhadap konsep-konsep budaya akan relatif kecil, sehingga ilmu budaya pada gilirannya akan semakin berkembang. Dalam penjelasan Phillipson (Walsh, 1972:135-137) tampak bahwa ada dua paham metodologi fenomenologi, pertama fenomenologi yang berusaha untuk menjelaskan bagaimana fenomena itu tersusun. Kedua, fenomenologi yang berusaha memahami fenomena sebagai obyek kesadaran. Ketika fenomenologi mulai menjelaskan bagaimana fenomena itu tersusun, ini berarti masih fenomenologi murni. Secara alamiah peneliti budaya akan menanyakan persepsi subyek budaya terhadap apa yang dialaminya. Dari interaksi subyek budaya itu, baik kesadaran subyek sebagai kesadaran makna dan fungsi dari suatu fenomena itu merupakan tonggak terjadinya penafsiran. Dari paham kedua tersebut tampak bahwa dalam fenomenologi pun telah terjadi penafsiran terhadap fenomena: Fenomena budaya tidak lagi dijelaskan sebagaimana adanya, melainkan telah melalui penafsiran. Baik penafsiran yang dilakukan oleh partisipan maupun peneliti ketika memberikan umpan balik, tetap telah terjadi sebuah pemahaman. Dalam kaitan ini, kesadaran partisipan maupun peneliti telah bermain di dalamnya, sehingga memungkinkan terjadinya pemahaman yang lebih baik. Terlebih lagi Goodenough (Geertz (1980:13) menyatakan bahwa kebudayaan (ditempatkan) dalam pikiran-pikiran dan hati manusia. Pemikiran dan hati ini hanya akan dapat nampak dalam suatu tindakan. Tindakan inilah yang dapat dilihat sebagai fenomena yang jelas. Pada saat peneliti dan partisipan berhadapan dengan tindakan mau tidak. mau harus memahaminya. Inilah yang kelak akan berkembang ke arah tumbuhnya tafsir kebudayaan.
FENOMENOLOGI Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti
memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak. Lorens Bagus memberikan dua pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita. Sebagai sebuah arah baru dalam filsafat, fenomenologi dimulai oleh Edmund Husserl (1859 – 1938), untuk mematok suatu dasar yang tak dapat dibantah, ia memakai apa yang disebutnya metode fenomenologis. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi. Namun istilah fenomenologi itu sendiri sudah ada sebelum Husserl. Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai oleh J.H. Lambert (1764). Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala (fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen). Immanuel Kant memakai istilah fenomenologi dalam karyanya PrinsipPrinsip Pertama Metafisika (1786). Maksud Kant adalah untuk menjelaskan kaitan antara konsep fisik gerakan dan kategori modalitas, dengan mempelajari ciri-ciri dalam relasi umum dan representasi, yakni fenomena indera-indera lahiriah. Hegel (1807) memperluas pengertian fenomenologi dengan merumuskannya sebagai ilmu mengenai pengalaman kesadaran, yakni suatu pemaparan dialektis perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya. Fenomenologi menunjukkan proses menjadi ilmu pengetahuan pada umumnya dan kemampuan mengetahui sebagai perjalanan jiwa lewat bentuk-bentuk atau gambaran kesadaran yang bertahap untuk sampai kepada pengetahuan mutlak. Bagi Hegel, fenomena tidak lain merupakan penampakkan atau kegejalaan dari pengetahuan inderawi: fenomenafenomena merupakan manifestasi konkret dan historis dari perkembangan pikiran manusia. Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung; religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Perhatian filsafat, menurutnya, hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris. Fenomenologi mencoba menepis semua asumsi yang mengkontaminasi pengalaman konkret manusia. Fenomenologi menekankan upaya menggapai “hal itu sendiri” lepas dari segala presuposisi. Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam pengalaman itu sendiri.
Fenomologi sebagai Metode dan Filsafat Fenomenologi merupakan metode
dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkahlangkah yang harus diambil sehingga kita sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen itu sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran. Kita harus bertolak dari subjek (manusia) serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk mencapai bidang kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada. Dengan demikian fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali ke benda itu sendiri (Zu den Sachen Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri merupkan objek kesadaran langsung dalam bentuk yang murni. Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”. Fenomologi sebagai Metode Ilmu Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk mendekati fenomena-fenomena dalam kemurniannya. Fenomena disini dipahami sebagai segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun kenyataan. Yang penting ialah pengembangan suatu metode yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya tanpa prasangka sama sekali. Seorang fenomenolog hendak menanggalkan segenap teori, praanggapan serta prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya: “Zu den Sachen Selbst” (kembali kepada bendanya sendiri). Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”. Untuk itu, Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision. Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl menekankan satu hal penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis atau eksistensial objek kesadaran. Selanjutnya, menurut Husserl, epoche memiliki empat macam, yaitu : 1. Method of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adapt, agama maupun ilmu pengetahuan. 2. Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap
semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda. 3. Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni. 4. Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu. Fenomologi dalam Kajian Budaya Pendekatan ini lebih menekankan rasionalisme dan realitas budaya yang ada. Fenomenologi sedikit alergi teori, hal ini sejalan dengan penelitian. etnografi yang menitikberatkan pandangan warga setempat. Realitas dipandang lebih penting dan dominan dibanding teori-teori melulu. Dalam penelitian budaya, perkembangan pendekatan fenomeno¬logi tidak dipengaruhi secara langsung oleh filsafat fenomenologi, tetapi oleh perkembangan dalam pendefinisian konsep kebudayaan. Fenomenologi berusaha memahami budaya lewat pandangan pemilik budaya atau pelakunya. Menurut paham fenomenologi, ilmu bukanlah values free, bebas nilai dari apa pun, melainkan values bound, memiliki hubungan dengan nilai. Aksioma dasar fenomenologi adalah: 1. kenyataan ada dalam diri manusia baik sebagai indiividu maupun kelompok selalu bersifat majemuk atau ganda yang tersusun secara kompleks, dengan demikian hanya bisa diteliti secara holistik dan tidak terlepas-lepas 2. hubungan antara peneliti dan subyek inkuiri saling mempengaruhi, keduanya sulit dipisahkan; 3. lebih ke arah pada kasus-kasus, bukan untuk menggeneralisasi hasil penelitian; 4. sulit membedakan sebab dan akibat, karena situasi berlangsung secara simultan; 5. inkuiri terikat nilai, bukan values free. Kritik kepada Fenomologi Dibalik kelebihan-kelebihannya, fenomenologi sebenarnya juga tidak luput dari berbagai kelemahan. Tujuan fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan, merupakan sesuatu yang absurd. Sebab fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value-free), tetapi bermuatan nilai (value-bound). Hal ini dipertegas oleh Derrida, yang menyatakan bahwa tidak ada penelitian yang tidak mempertimbangkan implikasi filosofis status pengetahuan. Kita tidak dapat lagi menegaskan objektivitas atau penelitian bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya mengaku sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif dan oleh karenanya status seluruh pengetahuan adalah sementara dan relatif. Sebagai akibatnya, tujuan penelitian fenomenologis tidak pernah dapat terwujud. Selanjutnya, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digenaralisasi.
DAFTAR PUSTAKA Adian, Donny Gahral, 2001, Matinya Metafisika Barat, Jakarta: komunitas Bambu. Sutopo, H.B., 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press. http://teguhimanprasetya.wordpress.com/2008/09/25/fenomenologi-1/ http://sarwono.staff.uns.ac.id/2009/03/06/fenomenologi-dan-hermeneutika-4/ http://veggy.wetpaint.com/page/Fenomenologi,+Hermeneutika+dan+Positivi sme
1. A. TEORI FENOMENOLOGI Fenomenologi secara etimologi berasal dari kata “phenomenon” yang berarti realitas yang tampak, dan “logos” yang berarti ilmu. Sehingga secara terminology, fenomenologi adalah ilmu berorientasi untuk dapat mendapatkan penjelasan tentang realitas yang tampak. [1] Fenomena yang tampak adalah refleksi dari realitas yang tidak berdiri sendiri karena ia memiliki makna yang memerlukan penafsiran lebih lanjut. Fenomenologi menerobos fenomena untuk dapat mengetahui makna (hakikat) terdalam dari fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Tokoh-tokoh fenomenologi:
Edmund Husserl Alfred Schutz
Peter L. Berger
Ahli teori sosiologi-fenomenologi yang paling menonjol adalah Alfred Schutz, seorang murid Husserl yang berimigrasi ke Amerika Serikat setelah munculnya fascism di Eropa, melanjutkan karirnya sebagai bankir dan guru penggal-waktu (part-time). Dia muncul di bawah pengaruh filsafat pragmatis dan interaksionisme-simbol; barngkali cara terbaik untuk mendekati karyanya adalah melihatnya sebagai bentuk interaksionisme yang lebih sistematik dan tajam. Akan tetapi, dalam karya klasiknya yang berjudul The Phenomenology of the Social World, bagaimanapun, dia tertarik dengan penggabungan pandangan fenomenologi dengan sosiologi melalui suatu kritik sosiologi terhadap karya Weber. [2] Dia mengatakan bahwa reduksi fenomenologis, pengesampingan pengetahuan kita tentang dunia, meninggalkan kita dengan apa yang ia sebut sebagai suatu “aruspengalaman” (stream of experience). Sebutan fenomenologis berarti studi tentang cara dimana fenomena hal-hal yang kita sadari muncul kepada kita, dan cara yang paling mendasar dari pemunculannya adalah sebagai suatu aliran pengalaman-pengalaman inderawi yang berkesinambungan yang kita terima melalui panca indera kita. [3]
Fenomenologi tertarik dengan pengidentifikasian masalah ini dari dunia pengalaman inderawi yang bermakna, suatu hal yang semula yang terjadi di dalam kesadaran individual kita secara terpisah dan kemudian secara kolektif, di dalam interaksi antara kesadarankesadaran. Bagian ini adalah suatu bagian dimana kesadaran bertindak (acts) atas data inderawi yang masih mentah, untuk menciptakan makna, didalam cara yang sama sehingga kita bisa melihat sesuatu yang bersifat mendua dari jarak itu, tanpa masuk lebih dekat, mengidebtifikasikannya melalui suatu proses dengan menghubungkannya dengan latar belakangnya. [4] Hal ini mengantarkan kita kepada salah satu perbedaan yang jelas antara fenomenologi dan bentuk lain dari teori tindakan: “tindakan” sejauh ini mengacu pada tindakan manusi dalam berhubungan satu denan yang lain dan lingkungannya. Bagi fenomenologi juga sama halnya, bahkan tindakan terutama ditujukan kepada proses internal dari kesadaran (manusia), baik individualataupun kolektif. Sekali tindakan itu ditransformasikan ke dalam fikiran kita, ia menjadi sulit untuk keluar lagi dan ini mempunyai konsekuensinya pada usaha untuk memperluas sosiologi-fenomenologis menjadi sebuah teori tentang masyarakat seperti juga tentang pribadi. Menurut Schutz, cara kita mengkonstruksikan makna diluar dari arus utama pengalaman ialah melalui proses tipikasi. Dalam hal ini termsuk membentuk penggolongan atau klasifikasi dari pengalaman dengan melihat keserupaannya. Jadi dalam arus pengalaman saya, saya melihat bahwa objek-objek tertentu pada umumnya memiliki ciri-ciri khusus, bahwa mereka bergerak dari tempat ke tempat, sementara lingkungan sendiri mungkin tetap diam. [5] Jadi, kita menentukan apa yang Schutz sebutkan sebagai “hubungan-hubungan makna” (meanings contexs), serangkaian kriteria yang dengannya kita mengorgnisir pengalaman inderawi kita ke dalam suatu dunia yang bermakna. Hubungan-hubungan makna iorganisir secara bersama-sama, juga melalui proses tipikasi, ke dalam apa yag Schutz namakan “kumpulan pengetahuan” (stock of knowledge). Kalau kita tetap pada tingkat kumpulan pengetahuan umum (commomsense knowledge), kita diarahkan kepada studi-studi yang berlingkup kecil, mengenai situasi-situasi tertentu, yang merupakan jenis karya empiris. Dimana interaksionisme simboliklah yang lebih unggul. Secara umum karya Schutz telah digunakan untuk memberikan konsep-konsep kepekaan yang lebih lanjut, sering secara implicit. Saya kira tiada satupun studi empiris yang menggunakannya secara sistematik kecuali melalui pengembangan etnometodologi. Namun demikian, Peter Berger telah mencoba secara sistematis untuk mengembangkan fenomenologi menjadi suatu teori mengenai masyarakat. [6]
Sosiologi-fenomenologi memiliki kemampuan tertentu untuk bersifat sangat menarik dan sekaligus membosankan. Khususmya di dalam fungsionalisme structural, ia merupakan suatu perubahan yang menyegarkan, yang bergerak dari kategori-kategori teoritis yang sangat abstrak, yang sedikit sekali keitannya dengan dunia sosial yang kita alami, dan langsung masuk ke dalam kehidupan sehari-hari. [7]
v Contoh teori fenomenologi dalam kehidupan sehari-hari Saat ini sepasang pemuda-pemudi tidak lagi mempunyai rasa malu dalam hal berpacaran. Banyak di jumpai misalkan di taman, mereka tidak malu bermesraan atau bahkan beradegan hal yang tidak senonoh seperti ciuman di tempat umum. Hal itu merupakan suatu fenomena atau suatu realitas yang nampak pada saat ini dan menjadi suatu yang tidak di anggap tabuh lagi.
1. B.
TEORI ETNOMETODOLOGI
Istilah etnometodologi (ethomethodology), yang berakar pada bahasa Yunani berarti “metode” yang digunakan orang dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari. Bila dinyatakan secara sedikit berbeda, dunia dipandang sebagai penyelesaian masalah secara praktis secara terus-menerus. Manusia dipandang rasional, tetapi dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari, mereka menggunakan “penalaran praktis”, bukan logika formula. [8] Kita mulai dengan definisi etnometodologi studi tentang “kumpulan pengetahuan berdasarkan akal sehat dan rangkaian prosedur dan pertimbangan (metode) yang dengannya masyarakat biasa dapat memahami, mencari tahu, dan bertindak berdasarkan situasi di mana mereka menemukan dirinya sendiri”. (Heritage, 1984:4). Pemahaman lebih mendalam tentang sifat dasar etnometodologi akan bisa kita dapatkan dengan meneliti upaya pendirinya, Garfinkel (1988, 1991), untuk mendefinisikannyaseperti Durkheim, Garfinkel menganggap “fakta sosial” sebagai fenomena sosiologi fundamental. Namun, fakta sosial menurut Garfinkel sangat berbeda dari fakta sosial menurut Durkheim.menurut Duekheim, fakta sosial berada di luar dan memaksa individu. Pakar
yang menerima pemikiran demikin cenderung melihat actor dipaksa atau ditentukan oleh struktur dan pranata sosial dan sedikit sekali kemampuannya atau tak mempunyai kebebasan untuk membuat pertimbangan. Seperti sosiolog, pakar etnometodologi cenderung membicarakan actor seperti “si tolol yang memberikan pertimbangan”. [9] Sebaliknya etnometodologi membicarakan objektivitas fakta sosial sebagai prestasi anggota (definisi anggota segera menyusul) sebagai produk aktivitas metodologis anggota. Garfinkel melukiskan sasaran perhatian etnometodologi sebagai berikut: Realitas objektif fakta sosial bagi etnometodologi adalah fenomena fundamental sosiologi karena merupakan setiap produk masyarakat setempat yang diciptakan dan diorganisir secara alamiah, terus-menerus, prestasi praktis, selalu, hanya, pasti dan menyeluruh, tanpa henti dan tanpa peluang menghindar, menyembunyikan diri, melampaui, atau menunda (Garfinkel, 1991:11). [10] Salah satu pendirian kunci Garfinkel mengenai etnometodologi adalah bahwa mereka “dapat dijelaskan secara reflektif”. Penjelasan adalah cara actor malakukan sesuatu seperti mendeskripsikan, mengkritik, dan mengidealisasikan situasi tertentu. Penjelasan (acaunnting) adalah proses yang dilalui actor dalam memberikan penhelasan untuk memahami dunia. Pakar etnometodologi menekankan perhatian untuk menganalisis penjelasan actor maupun cara-cara penjelasan diberikan dan diterima (atau ditolak) oleh orang lain. Inilah salah satu alasan mengapa pakar etnometodologi memustkan perhatian dalam mengalisis percakapan. Satu contoh, ketika seorang maahasiswa menerangkan kepada profesornya mengapa ia gagal mengambil ujian, ia sebenarnya memberikan suatu penjelasan. Mahasiswa itu mencoba mengemukakan pemikiran mengenai suatu peristiwa kepada profesornya. Pakar etnometodologi tertarik pada sifat dasar panjelasan itu, dan lebih umum lagi, pada praktik penjelasan yang dengannya mahasiswa memberikan penjelasan dan profesor menerima atau menolak. Dalam menganalisis penjelasan, pakar etnometodologi menganut pendirian ketakacuhan metodologis. Artinya mereka tidak menilai sifat dasar penjelasan, tetapi lebih menganalisis penjelasan itu dilihat dari sudut pandang bagaimana cara penjelasan itu digunakan dalam tindakan praktis. [11] Bagimanapun juga, masalah pokok yang menjadi sasaran studi etnometodologi adalah berbagai jenis kehidupan sehari-hari yang terbatas. Karena itu akan semakin banyak studi makin banyak diversifikasinya dan makin “growing paints”. Studi setting institusional melukiskan sejumlah karya fariasi dalam etnometodologi, tetapi dalam sudut padang kita hanya ada dua jenis studi etnometodologi yang menonjol, diantaranya:
1. Studi etnometodologi tentang setting institusional Dilakukan oleh pertama kali oleh Garfinkel dan rekannya berlangsung dalam setting biasa dan tidak di institusionalkan (non-institutonalized) seperti di rumah, kemudian bergeser kea rah studi kebiasaan sehari-hari dalam setting institusional seperti dalam siding pengadilan, klinik, dan kantor polisi. Tujuan studi seperti ini adalah memahami cara orang dalam setting institusonal melaksanakan tugas kantor mereka dan proses yang terjadi dalam institusi tempat tugas itu berlangsung. Misalnya, tingkat angka criminal disusun oleh kantor polisi bukan semata-mata karena akibat petugas mengikuti peraturan yang ditetapkan secra jelas dalam tugas mereka. Petugas lebih memanfaatkan prosedur berdasarkan akal sehat untuk memutuskan umpamanya apakah korban harus digolongkan sebagi korban pembunuhan. Jadi, angka criminal seperti itu berdasarkan penafsiran pekerjaan dan profesional, dan pemeliharaan catatan criminal seperti itu adalah kegiatan yang berguna untuk studi yang sebenarnya. 1. Studi tentang analisis percakapan (conversation analisis) Tujuan analisis percakapan adalah untuk memahami sacara rinci struktur fundamental interaksi melalui percakapan. Percakapan didefinisikan dalam arti yang sama dengan unsure dasar perspektif etnometodologi: “percakapan adalah aktivitas interaksi yang menunjukkan aktivitas yang stabil dan teratur yang merupakan kegiatan yang dapat dianalisis”. Meski percakapan mempunyai aturan dalam prosedur keduanya tak menentukan apa yang dikatakan, tetapi lebih digunakan untuk “menyempurnakan percakapan”. Sasaran perhatian percakapan terbatas pada mengenai apa yang dikatakan dalam percakapan itu sendiri dan bukan kekuatan eksternal yang membatasi percakapan. Percakapan dipandang sebagai tatanan internal sekuensial. [12] Sasaran sentral kajian etnometodologi adalah menganalisis penalaran sosiologis praktis dan melaluinya aktivitas sosial diatur dan dijelaskan. Perhatian ini mengsumsikan gagasan bahwa semua ciri scenic dari interaksi sosial muncul sesekali dan dibentuk sebagai prestasi praktis, di mana melaluinya masing-masing pihak menunjukkan kompetensi mereka dalam manajemen praktis dalam tatanan sosial. Sebagai analisis, minat kita adalah untuk menerangkan, dalam kaitannya dengan pemanfaatan, metode yang dengannya keteraturan semacam itu dapat di tampilkan, dikelola, dan dikenali oleh anggotanya. [13] Bagi seorang ahli etnometodologi asumsi-asumsi demikian secara substansial tidak ada dan di dalam masing-masingnya, setiap kelas berkonspirasi secra bersama-sama, gun memberikan kesan bahwa mereka ada. Kita sedang “membuat” sebuah kelas-mahasiswa saya sedang membuat dirinya sebagai seorang mahasiswa dan saya sedang membuat diri
saya sebagai seorang dosen. Setiap interaksi sosial yang stabil adalah sebuah prestasi, sesuatu yang sudah dikerjakan, juga etnometodologi mencari tahu bagaimana hal itu dikerjakan. Karena itu nama ologi (studi mengenai), ethno (orang-orang) method (metode) guna menciptakan keteraturan sosial. [14]
v Contoh teori etnometodologi dalam kehidupan sehari-hari 1. Percakapan telepon (pengenalan dan pengakuan) Emanuel A. Schegloff memandang pengujiannya tentang cr membuka percakapan telepon sebagai bagian upaya lebih besar untuk memahami ciri keteraturan sosial, yang ditekankan pada perhatiannya terhadap berbagai macam fenomena teratur dalam proses interaksi seperti pengaturan giliran berbicara dan cara orang memperbaiki pelanggaran yang dilakukan dalam prosedur percakapan biasa yang diantaranya termasuk pembukaan, penutupan, dan keteraturan urutan berbicara. 1. Membuat tertawa Gail Jefferson mempertanyakan bagaimana orang tahu kapan saatnya tertawa dalam percakapan. Menurut pandangan awam, tertawa sama sekali bebas waktunya dalam percakapan atau interaksi, artinya, kapan saja dikehendaki. Tetapi Jefferson menemukan bahwa beberapa ciri structural mendasar suatu ucapan dimaksudkan untuk membuat pihak lain agar tertawa yakni pertama, penempatan tawa oleh pembicara di ujung ucapannya. Kedua, tertawa diletakkan di tengah pembicaraan, misalnya di tengah kalimat. Jadi, kemungkinan yang dapat menimbulkan tertawa tak diorganisir sebebas yang diperkirakan orang. Masalahnya bukanlah sesuatu yang akan terjadi, tertawa atau apa pun lainnya, tapi tertawa harus terjadi atas dasar suka rela atau oleh ajakan. [15]
Dari contoh di atas, dapat dijelaskan bahwa teori etnometodologi memberikan cara-cara atau metode yang di gunakan dalam suatu interaksi antara sesama manusia agar tercipta suatu keteraturan sosial yang baik dan sempurna. KESIMPULAN
Etnometodologi (ethomethodology), berarti “metode” yang digunakan orang dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari. Bila dinyatakan secara sedikit berbeda, dunia dipandang sebagai penyelesaian masalah secara praktis secara terus-menerus. Manusia dipandang rasional, tetapi dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari, mereka menggunakan “penalaran praktis”, bukan logika formula. Sasaran sentral kajian etnometodologi adalah menganalisis penalaran sosiologis praktis dan melaluinya aktivitas sosial diatur dan dijelaskan. Etnometodologi mencari tahu bagaimana hal itu dikerjakan. Karena itu nama ologi (studi mengenai), ethno (orang-orang) method (metode) guna menciptakan keteraturan sosial. Fenomenologi adalah ilmu berorientasi untuk dapat mendapatkan penjelasan tentang realitas yang tampak. Fenomena yang tampak adalah refleksi dari realitas yang tidak berdiri sendiri karena ia memiliki makna yang memerlukan penafsiran lebih lanjut. Fenomenologi menerobos fenomena untuk dapat mengetahui makna (hakikat) terdalam dari fenomena-fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Paul Jhonson, Doyle. 1986. Teori Sosiologi Klasik Dan Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Ritzer, George. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Soekanto, Soerjono. 1993. Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Surbakti, Ramlan. 2010. Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial. Malang: Aditya Media Publishing. Zeitlin, Muhammad. 1998. Memahami kembali Sosiologi. Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity Press.
[1] Soerdjono Soekanto, Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1993). Hlm. 68. [2] Muhammad Zeitlin, 1998. Memahami kembali Sosiologi. (Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity Press. 1998). Hlm. 128.
[3] Ibid., hlm. 129. [4] Soerdjono Sukanto, Op.Cit., hlm. 69. [5] Muhammad Zeitlin, Op.Cit., hlm. 129-130. [6] George Ritzer, Teori Sosiologi Modern. (Jakarta: Kencana. 2007). Hlm. 346. [7] Ibid., hlm. 345. [8] Ramlan Surbakti, Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial. (Malang: Aditya Media Publishing. 2010). Hlm. 185. [9] Muhammad Zeitlin., hlm. 132-133. [10] George Ritzer, Op.Cit., hlm. 322.
[11] Ibid., hlm. 323-324. [12] Ibid., hlm. 326-327. [13] Ramlan Surbakti, Op.Cit., hlm. 187. [14] George Ritzer, Op.Cit. hlm. 138. [15] Ibid., hlm. 332-334 FENOMENOLOGI PENGANTAR Fenomenologi merupakan sebuah pengembangan filosofi yang diadaptasi oleh sosiolog tertentu untuk memperluas serta memperkembangkan pemahaman tentang hubungan antara kondisi kesadaran manusia dan kehidupan sosial. Sebagai sebuah pendekatan dalam sosiologi, fenomenologi mencoba membuka pikiran tentang bagaimana kesadaran manusia diimplikasikan dalam sebuah hasil tindakan, situasi dan dunia sosial. Fenomenologi pertamakali dikembangkan oleh Edmund Husserl (1859-1938), seorang matematikawan Jerman yang mencoba objektivisme ilmu dihindarkan untuk memahami dunia secara adekuat. Dia mengajukan berbagai macam konseptualisasi filosofis dan teknik yang dirancang untuk menempatkan sumber-sumber atau esensi realitas dalam kesadaran manusia. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama ketika Alfred Schutz (1899-1959) datang menghadirkan sejumlah masalah dalam teori Max Weber yang mendorong fenomenologi memasuki lingkup sosiologi. Schutz menyaring tulisan-tulisan Husserl guna memperoleh intisari pendekatan sosiologi yang relevan. Schutz menata tentang penggambaran makna subjektif yang sanggup membangkitkan dunia sosial secara nyata dan tampak objektif. Migrasi Schutz ke US ketika Perang Dunia II mulai meletus, membawa kajian-kajian pengetahuan fenomenologi yang makin meningkat, serta menyebarkan pendekatan tersebut dalam lingkup akademik orang-orang Amerika dan secara mendasar mewarnai transformasi perubahan dalam menginterpretasikan masalah-masalah sosiologi. Dua pendekatan yang diungkapkan olehnya yakni, reality constructionism & ethnomethodology. Reality constructionism merupakan sintesa Schutz yang diperoleh dari penyaringan fenomenologi, dengan inti bahan pemikiran sosiologi klasik yang memperhitungkan kemungkinan realitas sosial. Ethnomethodologi merupakan pendekatan yang mengintegrasikan pandangan Parsonian dengan mengkaitkan keberlakuan sosial dalam fenomenologi serta menjelaskan makna-makna yang terjadi melalui cara-cara orang
memberlakukan kebiasaan hidup sehari-hari. Fenomenologi dipergunakan sebagai dasar pendekatan sosiologi melalui dua cara, yakni untuk menteorikan problem sosiologi dari segi substansinya serta mengembangkan metode riset sosiologi yang adekuat. Sejak fenomenologi masuk dalam kemasyarakatan untuk mengkaji konstruksi manusia berkaitan erat dengan kehidupan pribadi sosiologinya, maka dengan sendirinya teori serta metode pengkajiannya juga dapat dikonstruksi. Oleh karena itu, fenomenologi tampak menawarkan sebuah penekanan studi korektif atas konseptualisasi dan metode riset positivistik guna mencapai penemuan yang lebih memuaskan untuk menjawab sejumlah permasalahan para fenomenolog. Fenomenologi menghadirkan teknik-teknik penteorian dan metode kualitatif guna merumuskan kebermaknaan manusia dalam kehidupan sosialnya. Tantangan fenomenologi akhir-akhir ini dipandang sebagai kerangka sosiologi yang bergaya konvensional serta kurang menggugah. Secara perlahan-lahan, kedatangan fenomenologi dipandang sebagai penjelas tambahan yang melengkapi atau bagian disiplin yang sanggup mengintegrasi, memberi kontribusi yang bermanfaat penuh sebagai alat analitis untuk menyeimbangkan pendekatan-pendekatan objektivistik. TEKNIK Fenomenologi agak berbeda dari ilmu sosial konvensional. Fenomenologi adalah orientasi teoretik, tetapi tidak sekedar menggeneralisasikan deduksi dari proposisi yang secara empirik dapat diuji. Keberlakuan fenomenologi lebih berada pada tingkat metasosiologis, mendemonstrasikan serangkaian premis melalui analisis deskriptif yang menghasilkan tentang diri (self), situasional dan konstitusi sosial. Melalui sejumlah pendemonstrasian, orang lebih memahami makna dari fenomena (gejala), kesadaran manusia yang mendalam yang datang serta berasal dari pengalaman duniawi. Teknik fenomenologi dalam sosiologi dewasa ini mencakup metoda “bracketing” (mengumpulkan dalam pengelompokan). Pendekatan demikian mengangkat item-item dibawah penyelidikan menjadi terungkap konteks kebermaknaannya dalam dunia penginderaan yang umum, dengan menunda seluruh penyimpulan yang bersifat masih menduga (judgement). Sebagai contoh, item “alkoholism sebagai sebuah penyakit” tidak begitu saja dievaluasi dalam penggolongan fenomenologikal sebagai sesuatu yang benar atau salah. Ada upaya lebih, yakni reduction ditampilkan dalam item yang mana hal tersebut diasses menurut terminologi untuk mengoperasikan bagaimana kesadaran berlaku. Dengan kata lain, item tersebut harus ditela’ah menurut cara pandang bagaimana dan didefinisikan oleh siapa. Pereduksian fenomenologikal meliputi berbagai sudut pandang esensi serta ulasan berbagai arah kepentingan kebermaknaan yang kesemuanya memperlihatkan independensi dari seluruh kejadian atau bagian-bagian kejadian sehingga bebas tujuan. Mereduksi gejala (fenomenon) yang telah digolongkan serta dikumpulkan
berkelompok-kelompok merupakan sebuah teknik untuk mengumpulkan insight teoretik kedalam kebermaknaan elemen kesadaran. Alat-alat fenomonelogi mencakup penggunaan introspeksi dan metoda Verstehen yang menawarkan serangkaian deskripsi rinci tentang bagaimana kesadaran kedirian (itself) berlangsung. Introspeksi mempersyaratkan proses-proses subjektif pribadi dalam diri fenomenolog sebagai suatu sumber untuk studi, sementara Verstehen mempersyaratkan upaya empati untuk dapat menjelajah kedalam pemikiran orang lain. Tidak hanya introspeksi dan Verstehen sebagai alat analisis fenomenologi, tetapi juga memberlakukan prosedur yang biasa digunakan oleh individu ketika membawakan pribadi mereka. Oleh karena itu fenomenologist sebagai seorang analist hendaknya juga mempelajari dirinya sendiri ketika memberlakukan kebiasaan subjek pada pribadinya sehingga dapat membedah kesadaran diri dan skema tindakan-tindakan. Dalam teknik demikian, sikap analitis menuju peran kesadaran hendaknya telah dikembangkan dalam rancangan kebiasaan hidup sehari-hari. Sejak kognisi merupakan sebuah elemen krusial fenomenologi, beberapa ahli teori memfokuskan pengetahuan sosial sebagai landasan awal dari teknik mereka. Berkaitan erat dengan bagaimana pengetahuan pada umumnya dapat dihasilkan, diperluas dan diinternalisasi; teknik demikian membutuhkan wacana teoretik serta penggalian historis yang biasanya bersama-sama terjadi sebagai dasar-dasar pengetahuan. Seringkali pemikiran religius ditempatkan pada posisi utama dan pertama sebagai sumber dan legitimasi dunia pengetahuan. Oleh karena itu, fenomenologi seringkali dikaitkan dengan riset-riset yang menggunakan metoda kualitatif. Peneliti fenomenologi seringkali menggunakan media analisis dalam bentuk kelompok kecil, situasi sosial dan organisasi yang menerapkan serangkaian teknik face to face dalam observasi partisipan. Riset ethnographic seringkali memberlakukan alat-alat fenomenologikal sehingga memerlukan interviu intensif untuk mengungkap orientasi subjek atas dunia nyata kehidupan mereka yang dipraktekkan secara luas dalam lingkup kesehariannya. Alat-alat kualitatif digunakan dalam riset fenomenologi guna memperoleh insight atas sejumlah mikrodinamik ruang lingkup tertentu kehidupan manusia yang mereka lakukan atau mendorong pembentukan aktivitas dalam kesadaran manusia. Teknik-teknik tertentu cabang ethnomethodologi dalam fenomenologi telah dikembangkan dalam bentuk-bentuk praktis yang menghasilkan sejumlah alat keberlakuan sosial sehingga memungkinkan dapat dioperasikan dalam hidup sehari-hari. Pada saat-saat tertentu, “demonstrasi penggangguan/pelanggaran (breaching)” dilakukan guna menyingkap tabir esensi kemapanan rutinitas dan itu berarti mempergunakan sejumlah rutinitas ancaman. Karena gangguan semacam demikian kadangkala menghasilkan kekacauan hubungan yang telah terbina, agaknya teknik demikian mulai diabaikan. Situasi
sosial yang divideokan dewasa ini telah memungkinkan dapat menangkap tentang gangguan-gangguan yang dihasilkan oleh para partisipan guna menginterpretasikan kebermaknaan tindakan serta mengamati struktur sosial yang terjadi. Analisis percakapan merupakan teknik yang seringkali juga dimanfaatkan untuk menggambarkan bagaimana seseorang mengenali hubungan yang terjadi satu sama lain melalui pembicaraan, disamping juga dapat mengungkap latarbelakang pengetahuan umum mereka. Interelasi antara penalaran umum serta penalaran abstrak juga dapat dijelaskan dan diungkap melalui pendalaman yang lebih luas oleh para peneliti, sebagai contohnya tentang bagaimana terbentuknya dasar-dasar praktek keilmuan dan matematika yang berlaku serta dibangun dengan latarbelakang pemikiran-pemikiran umum secara sosial. TEORI Tugas pokok fenomenologi sosial adalah mendemonstrasikan interaksi timbalbalik yang terjadi diantara proses-proses tindakan manusia, penstrukturan yang terjadi secara situasional serta konstruksi realitas. Tugas demikian tidak sekedar mengkhususkan pada aspek yang dianggap sebagai faktor penyebab, akan tetapi seluruh dimensi pandangan fenomenologi juga ditujukan untuk mengungkap serta menjabarkan keseluruhan pembentukan variabel. Para fenomenolog menggunakan istilah reflexity untuk menunjukkan karakteristik cara-cara terbentuknya dimensi yang tercakup baik sebagai sebab-sebab dasar maupun akibat dari keseluruhan apa yang terjadi pada manusia. Oleh karena itu, tugas fenomenologi juga mengungkap manifestasi proses-proses tanpa henti dalam merefleksikan tindakan, situasi, realitas pada berbagai ragam pola bentukan dalam kehidupan dunia (being in the world). Fenomenologi tidak dapat dipisahkan dengan analisis sikap dasar alamiah (natural attitude). Pemahaman demikian menunjukkan bahwa fenomenologi merupakan sebuah aturan kebiasaan cara individu untuk terlibat dalam dunianya, menempatkan keberadaan (existensi) yang diakui, mengasumsikannya sebagai objektivitas, serta menelusuri berbagai tindakan yang telah ditentukan menjadi kebiasaan. Bahasa, budaya serta pengalaman kebiasaan umum pada sikap dasar alami manusia dipandang sebagai gambaran objektif dunia luar (eksternal) yang dipelajari oleh individu dalam menjalani aktivitas kehidupan mereka. Fenomenologi menguak tabir kehidupan manusia dalam pola-pola pengalaman sosial sebagai sebuah perjuangan menuju pada keterlibatan yang lebih bermakna dalam dunia pengetahuan mereka. Keseluruhan proses-proses demikian dikarakteristikkan melalui penjenisan (typifying) mode kesadaran menuju pada klasifikasi pemanfaatan data. Oleh karena itu, pengalaman kehidupan manusia dalam dunianya, secara fenomenologi dikaji dengan memanfaatkan istilah typifications. Contohnya: bagaimana seorang anak menampilkan bunyi-bunyi suara yang umum serta cara melihat lingkungannya, mencakup
didalamnya bagian-bagian tubuh mereka, dengan orang lain, binatang, kendaraan. Anakanak tersebut ternyata mengembangkan pemahaman melalui pengenalan kategori serta melakukan tipifikasi makna untuk masing-masing item dalam bentuk bahasa konvensional. Dengan cara yang serupa, anak-anak belajar memformulasikan aktivitas umum yang biasa dilakukan, dan hal demikian disebut sebagai recipes for action. Typifications & recipes, pertamakali diinternalisasikan melalui titik tolak kesadaran sepenuhnya, menjadi (pengkristalan) sedimented, sebagaimana lapisan-lapisan karang. Oleh karenannya, sikap dasar alami mereka seperti itu merupakan sebuah kebermaknaan pengetahuan dan akan menjadi kebiasaan tindakan yang ditempuh. Individu mengasumsikan pengetahuan sebagai hal objektif dan semua orang mempunyai alasan untuk bertindak-tanduk. Setiap individu mengasumsikan bahwa mereka mengetahui tentang dunianya: Semua mempercayai dan meyakini, sehingga mereka berbagi suatu pembiasaan. Oleh karena itu, biografi tiap-tiap individu menjadi unik, karena masingmasing berkembang menuju suatu kumpulan typifications & recipes yang relatif berbeda satu sama lain., sehingga interpretasi yang dilakukan hendaklah juga berlainan. Setiap interaksi sosial yang terjadi menandai bahwa para pelaku (individu) mengembangkan kehidupan perasaan, dan secara umum mereka akan saling berbagi dalam suatu pemahaman mutualisma, sehingga setiap hal atau apapun adalah benar adanya. Fenomenologi menekankan kehidupan manusia dalam dunia inter subjektif, terlepas apakah mereka memiliki tanggapan terbaik untuk berbagi dalam realitas. Sementara itu, realitas yang paling mengemuka, umumnya akan dialami dan secara tertentu realitas tersebut akan menjadi kebermaknaan pasti yang dikonstruksi dan dialami dalam budaya, sosial dan kelompok pekerjaan yang berlainan. Bagi fenomenologi, seluruh kesadaran manusia adalah praktis terjadi. Individu akan berlaku menurut dunianya karena mereka bertindak menurut aturan-aturan yang bertujuan didasarkan pada typification dan recipes yang berkumpul pada persediaan sumber pengetahuan mereka (stock of knowledge). Kesadaran adalah proses intensional yang terbentuk dari komponen berpikir, pemahaman, perasaa, pengingatan, imajinasi serta cara-cara mengantisipasi secara langsung dunia mereka. Objek kesadaran, dan tindakan intensional merupakan sumber dari seluruh realitas sosial, dan pada suatu waktu akan menyinggung aspek material. Oleh karena itu, typification merupakan turunan dari keberlakuan kesadaran umum yang diinternalisasikan, menjadi alat-alat kesadaran individu yang ditujukan untuk membentuk dunia kehidupan (lifeworld), menggabungkan bagian kesadaran manusia dan tindakan. Kesadaran umum merupakan sumber daya yang memperkuat individu untuk memandang realitas subjektivitas menusia sebagai sebuah realitas objektif. Oleh karenanya, individu akan melakukan tindakan secara terus menerus sebagai upaya untuk mengkolaborasikan proyeksi-proyeksi mereka, dimana mereka akan memperkuat kerangka pemikiran guna
memperoleh pembuktian suatu konstruksi yang telah terbentuk. Interaksi sosial dalam pandangan fenomenologis merupakan sebuah proses penafsiran konsruksi timbalbalik dari individu pelaku yang mengaplikasikan sumber pengetahuan atas suatu kejadian. Individu memiliki orientasi yang berpangkal dari dirinya ketika berhubungan dengan orang lain melalui sejumlah perhitungan kebermaknaan tipifikasi situasi yang diketahui melalui kebiasaan kesadaran umum. Skema tindakan yang berlangsung berangkat dari sekumpulan presumsi yang dihasilkan dari interseksi (irisan) tindakan-tindakan intensional yang menunjukkan individu sebagai anggota kelompok. Sebagai anggota dalam sebuah kolektivitas, individu melakukan komunikasi atau koordinasi dengan segala sesuatu yang disukai untuk terjadi diantara mereka. Bagi seorang anggota, pemberlakuan dan pengungkapan dilakukan dengan ekspresi indeksikal (petunjuk) dari sifat situasi yang tak dapat terelakan terjadi dalam setiap proses interaksi, sehingga timbul penafsiran tentang diri, orang lain menurut kontekstual. Melalui praktekpraktek penfasiran, anggota mengikuti situasi menurut pribadinya dalam suatu bentuk yang koheren. Oleh karena itu, anggota cenderung mengabaikan aspek-aspek yang tidak relevan dan menimbulkan kesenjangan, mengesampingkan inkonsistensi dan mengasumsikan kebermaknaan yang terus berlanjut, sehingga mereka memformulasikan kejadian menurut diri pribadinya. Ketika situasi sosial termanifestasikan dalam pola-pola rutin yang berlangsung secara nyata, maka para peneliti mencoba menangkapnya dengan mengacu pada aspek-aspek normatif dengan berpedoman pada panduan atau petunjuk. Dari segi fenomenologis, aturan petunjuk merupakan tampilan indeks proses interpretasi yang diterapkan oleh anggota ketika melangsungkan interaksi mereka. Peraturan, kebijakan, hierarki dan organisasi harus dipergunakan sepenuhnya dalam menginterpretasi tindakan sepanjang terjadi interaksi, guna menjabarkan sistem-sistem rasional yang disepakati dan dapat dipertanggungjawabkan. Struktur kerangka kerja demikian dilakukan guna mempertahankan situasi agar tetap sesuai berdasar pada aspek faktualitas. Fenomenologi menganalisis aturan-aturan realitas sosial guna mencari tahu bagaimana keberlakuan pengetahuan memberi kontribusi terhadap aturan-aturan tersebut. Oleh karena itu tindakan penjenisan (tipifikasi) dari serangkaian interaksi dapat menjadi habituasi (pembiasaan). Melalui sedimentasi lapisan kesadaran, manusia mampu menguasai habituasi menjadi sebuah kenyataan dan menghasilkan eksternalisasi (menampakannya keluar kesadaran). Sepanjang terdapat kebermaknaan usaha perjuangan hidup, manusia membangun penjelasan teoretik dan pembenaran (justifikasi) moral agar habituasi tersebut dapat dipandang atau dinilai absah untuk pemberlakuannya. Dalam konteks kebermaknaan yang lebih tinggi, pemberlakuan demikan menjadi hal yang objektif. Ketika internalisasi dilakukan dari generasi ke generasi, proses keberlakuan umum ini diinstitusionalisasikan (dilembagakan) dalam serangkaian tuntutan diatas keinginan
individual. Secara periodik, institusi (pelembagaan) dimaksudkan untuk memperbaiki respons-respons yang terancam, sehingga individu dapat menyetel kembali konstruksi kognitif atau afektifnya ketika bermigrasi pada tempat yang sama sekali berbeda dengan lokasi terdahulu. PENERAPAN Menerapkan fenomenologi dalam sosiologi memerlukan prosedur yang berbeda dengan riset-riset positivistik. Praktek fenomenologi menunjukkan bukti-bukti dari kerangka kerja subjektivistik yang kian meningkat dan dapat dipublikasikan. Analisis fenomenologi biasa ditemukan dalam media massa dengan konteks budaya; contohnya ketika menerapkan sejumlah pendekatan terhadap bidang tertentu maka perlu dipahami interplay refleksive dunia kehidupan individu dengan materi program yang hendak ditayangkan dalam sebuah acara talk show TV. Konteks-konteks sosial digambarkan dan direfraksikan menurut identitas yang umum dengan penyertaan narasi guna membangkitkan image tentang segala sesuatu yang telah dilihat secara realistis. Kerangka kerja fenomenologi juga diterapkan untuk menjelaskan bagaimana interaksi keluarga dan anak-anak sepanjang dalam kehidupan sehari-hari guna menjabarkan sebuah konstruksi tentang masa anakanak (childhood). Sejumlah investigasi memperlihatkan adanya otoritas orang dewasa dan sebagian perspektif keilmuan yang secara aalmiah memberikan pengalaman kepada anak untuk mengarungi dunianya. Kompetensi interaktif dan komunikasi antara bayi dan anakanak juga menjadi kian terfokus untuk memperoleh penjelasan tersendiri serta tidak berkurang esensinya ketika dijabarkan sebagai dorongan (drive) menuju tingkat fungsional yang lebih tinggi. Kerangka kerja fenomenologis juga berhasil dipergunakan untuk menjabarkan pengalaman traumatis seseorang menurut tingkat pertumbuhan usia dengan melakukan serangkaian penjenisan tindakan interaksi dari sejumlah pengalaman rasa sakit kronis dari klien. Ternyata dalam sebuah budaya memperlihatkan adanya cara-cara pengelolaan rasa sakit berkaitan dengan masa-masa perkembangan usia individu yang secara nyata menjadi sebuah kesadaran umum, sehingga memberikan manfaat interpretasi tersendiri bagi sebuah proses kegagalan pengalaman mengatasi rasa sakit yang dilakukan oleh klien. Melalui fenomenologis, pengalaman subjektif pasien dapat terfokus dan dikonstruksi apabila fenomenolog mencoba mengembangkan pemahaman yang bersifat empati dalam dunia kehidupan pasien tersebut. Dari segi implikasi etika, diperlukan berbagai variasi definsi gangguan penyakit menurut cara pandang klien, sehingga faktor bahasa untuk mengungkapkan respons-respons sakit dapat menjadi sebuah model paradigmatik yang berpengaruh pada kedalaman serta pola komunikasi antara pasien dan profesional medis.
IMPLIKASI Bagi fenomenologi, masyarakat (society), realitas sosial, aturan sosial, institusi, organisasi, situasi, interaksi dan tindakan individual merupakan konstruksi yang benar-benar nyata dalam sebuah entitas manusia. Fenomenologi memiliki pandangan yang lebih maju dalam menyatakan manusia sebagai agen yang kreatif mengkonstruksi dunia sosial. Seluruh kesadaran manusia tidak terelakkan dan terjadi. Namun kreativitas manusia sanggup pula mengurangi kebermaknaan, menurunkan nilai esensi dan mengacaukan apa yang telah dan seharusnya terjadi, karena manusia sanggup menciptakan diskoneksitas dalam bentuk kehidupan yang menjadi tidak nyata. Ini merupakan mimpi buruk bagi fenomenologi. Oleh karena itu para praktisi masih takut untuk berlaku sebagaimana sosiolog positivistik yang menteorikan segala sesuatu menjadi sebuah dunia yang berlaku umum. Sosiolog memandang fenomena sosial dalam sebuah sikap alamiah sebagai objek yang dapat dilegitimasi daripada dianalisis. Sosiolog fenomenologis menyelidiki produk-produk sosial sebagai sebuah tindakan kebermaknaan manusia, terlepas apakah itu berupa sikap, perilaku, keluarga, usia, group etnik, kelas sosial masyarakat. Hasil-hasil sosiologis dapat berupa fiktif belaka ketika kita mencoba untuk memahaminya menurut standar perangkat penyelidikan seperti setting interviu, lokasi observasi, situasi pengambilan dan pengumpulan data, lapangan penelitian serta instrumen riset semacamnya. Konteks kebermaknaan perlu diterapkan oleh para analist fenomenologi untuk menunjukkan korelasi antara subjek dibawah penyelidikan dan menegaskan pokok bahasan yang hendak diungkap sebaik apa yang biasanya dilakukan oleh para subjek pelaku. Para fenomenolog harus berjuang keras untuk mengungkapkan secara nyata bagaimana subjek pelaku mengkonstruksikan sesuatu, dengan segala upaya mengenali kembali secara berulangkali pribadi subjek ketika mengkonstruksi sesuatu menurut dirinya sendiri. Dalam pemahaman fenomenologis, konstruksi manusia terjadi dengan seutuhnya, yang diantarkan melalui penggagasan pemikiran abstrak. Walaupun fenomenologi berkaitan dengan tindakan evaluatif, akan tetapi ia bersikap netral secara politis. Fenomenologi dapat dipergunakan secara nyata untuk mengungkap konstruksi pemikiran manusia yang lebih luas, bahkan sanggup membongkar latarbelakang teoretik yang terpendam atau diluar batas kesadaran itu sendiri. Fenomenolog memerlukan pemenuhan kebermaknaan manusia secara mutlak, jalur ikatan hubungan dengan subjek dan peka mengindera petunjuk-petunjuk tentang keberlakuan. Pengaruh fenomenologi dapat terjadi pada sosiologi kontemporer dengan melihat adanya peningkatan atas kerangka teoretik tentang humanisasi, metode riset, prosedur asesmen pendidikan dan model pengajaran. Yang perlu digarisbawahi bahwa catatan tentang constructionism, situasionalism dan reflexity merupakan inti dari fenomenologi yang memberi bukti-bukti dasar rumusan teori yang terus berkembang dewasa ini. Walaupun ada anggapan bahwa fenomenologi identik
dengan disiplin sosiologi dan merupakan bagian dari sosiologi, akan tetapi memiliki pengaruh kuat pada sebagian besar riset berbagai bidang keilmuan. Sejumlah inklusi dari pendekatan kualitatif dalam riset konvensional biasanya memperlihatkan adanya akomodasi peran fenomenologi didalamnya. Penggunaan yang lebih intensif dan meluas teknik-teknik interviu, observasi partisipan dan Forum Group Discussion (FGD) menggambarkan keinginan para sosiolog yang bukan fenomenolog, berupaya mengabungkan pendekatan subjektivistik dalam kerangka kerja mereka. Studi tentang kesadaran yang konstruktif merupakan sebuah metode yang mulai berkembang luas dan makin banyak dipergunakan guna mendalami sosiologi dikalangan komunitas ilmiah serta pendidikan kesarjanaan. Fenomenologi membangun tanda-tanda tertentu dalam area kebijakan pendidikan dengan membaginya pada sejumlah jenjang tingkat pendidikan. Kelemahan tes-tes objektif diatasi dengan menggunakan pendekatan fenomenologi. Tes-tes yang dilakukan terhadap anak cenderung akan menjadi meningkat perolehan skornya apabila tester (penguji) menghargai subjektivitas yang ada dalam diri anak. Para pendidik menjadi lebih waspada dalam mencermati kebutuhan akan pemahaman terhadap proses-proses kognitif yang berlangsung dari siswa-siswa yang belajar sosial, sebab selama mekanisme belajar terjadi, perlu untuk memperhitungkan tuntutan atau tekanan parameter kesadaran individu, mengingat bahwa mereka berhak untuk terlibat dalam proses merefleksikan kesadaran diri. Analisis refleksive dalam fenomenologi dapat menjadi popular karena hal tersebut menjembatani pertumbuhan dan perkembangan budaya dalam keterkaitannya dengan pembentukan identitas seseorang yang tampaknya perlu digali dengan lebih mendalam dengan perspektif tentang dunia virtual, cyberspace dan permainan komputerisasi. __________ REFERENSI Bogdan, Robert & Steven J. Taylor. 1975. Introduction to Qualitative Research Methods : A Phenomenological Approach to The Social Sciences. New York : Wiley Berger, Peter L. & brigitte Berger. 1972. Sociology: A Biographical Approach. New York. Basic Books Garfinkel, Harold. 1967. Studies in Ethnomethodology.Englewood Cliffs, N.J., Prentice Hall Psathas, George. 1973. Phenomenological Sociology: Issue & Applications. NewYork Wiley Ritzer, George. 1996. Modern Sociological Theory. New York : McGraw Hill
View more...
Comments