Farmakologi Dan Terapi Edisi 4
April 30, 2017 | Author: anisetiyowati1423 | Category: N/A
Short Description
d...
Description
FARMAKOLOGI DAN
TERAPI EDISI 4 Editor Utama
: Su/islia G. Ganiswarna
Editor
: Rianto Setiabudy Frans D. Suyatna Purwantyastuti Natrialdi
Bagian FarmakoloEi Fakultas Kedokteran - Universitas lndonesia Jakarta 199s
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Ditarang mernperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara dan dalam bentuk apapun juga tanpa seizin editor dan
penerbit
1972 1980 1 987 1 995
Edisi pertama Edisi kedua Edisi ketisa Edisi keempat
Edisi keempat (cetak ulang dengan perbaikan)
:
1995
Cetak ulang 1 997 Cetak ulang 1 998 Cetak ulang 1 999 Cetak ulang 2000 Cetak ulang 2001 Desain sampul oleh Rianto Setiabudy
Pencetakan oleh
:
GaYa Baru, Jakarta
ISBN : 979-496-112-4
Kata Sambutan
Terbitnya buku "Farmakologi dan Terapi'saya sambut dengan rasa gembira dan bangga. Hal ini sekali lagi membuktikan kegiatan Fakultas Kedokteran Universitas lndonesia dalam bidang ilmiah dan pendidikan. Oleh para dokter baik yang berpraktek maupun yang bekerja dalam lembaga-lembaga penelitian sudah lama dirasakan keperluan akan adanya suatu buku yang dapat dijadikan sumber pengetahuan mengenai khasiat obat-obat serta penggunaannya dalam ilmu kedokteran. Kemajuan dalam ilmu kedokteran yang pesat, khususnya dalam bidang larmakologi dan banyaknya macam obat yang kini membanjiri lndonesia menyebabkan bahwa para dokter merasa ketinggalan dalam ilmunya. Untuk dapat melaksanakan pekerjaan dokter secara elektil dengan dilandasi pengetahuan yang up-to-date khususnya mengenai pemakaian obat-obat, maka diraqakan sangat perlu adanya suatu buku yang sederhana tetapi cukup lengkap mengenai hal ikhwal obat dan pengobatan, sehingga dapat menjadi pegangan dalam praktek dan juga merupakan sumber penyegar bagi para dokter. Saya yakin buku "Farmakologi dan Terapi" yang disusun oleh Stal Bagian Farmakologi FKUI akan memenuhi keperluan tersebut.
Juga bagi para mahasiswa kedokteran buku ini akan merupakan bantuan yang tidak kecil dalam menguasai bahan-bahan yang mereka pelajari. Akhirnya saya sampaikan selamal kepada Stal Bagian Farmakologi FKUI atas hasil yang telah dicapai. Mudah-mudahan buku 'Farmakologi dan Terapi" benar-benar akan bermanlaat dalam usaaha kita bersama untuk mempertinggi derajat ilmu kedokteran di lndonesia.
Jakarta, 1 Februari 197'l
Profesor Dr. Mahar Mardjono Dekan FKUI
Kata Pengantar Edisi 4
Dengan mengucapkan syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa kami sampaikan kepada para pembaca buku edisi ke-4 ini. llmu Farmakologi terus berkembang pesat sehingga tidaklah mungkin mencetak ulang buku ini tanpa melakukan revisi. Kami telah berusaha semaksimal mungkin untuk dapat menyajikan buku ajar farmakologi yang lebih laik baca dan seirama dengan perkembangan ilmu kedokteran. Sedikit banyaknya revisi dilakukan sesuai dengan kebutuhan saat ini. Daltar pustaka utama yang kami gunakan dalam merevisi buku ini ialah : 1. Goodman & Gillman's. The Pharmacological Basis of Therapeutics, 8th ed. Mac Millan Publishing
2. 3.
Company,1990. Drug Evaluations Annual 1991 , 1992, 1993. American Medical Association. Basic & Clinical Pharmacology. Bertram G. Katzung. 5th Edition, 1993.
Buku ini diharapkan akan dapat digunakan sebagai buku pegangan oleh mahasiswa kedokteran, farmasi dan kedokteran gigi serta sebagai penyegar ilmu bagi para dokter, larmasi dan profesi lain yang terkait dengan ilmu farmakologi. Tim editor menyadari bahwa edisi ini masih jauh dari sempurna sehingga kami dengan senang hati akan menerima segala bentuk kritik membangun demi meningkatkan mutu buku ini. Terima kasih kami sampaikan kepada semua orang yang telah berpartisipasi dengan penuh kerelaan dalam penerbitan edisi ini, khususnya kepada dr. Hedi R. Dewoto, dr. Dian Tirza, MSc, Dra. Loecke Kurnadi, Dra. Yanti Mariana, Dra. Azalia, Zunilda SB, MS, dan ibu Lana Sugengriadi. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan petunjuk dan bimbingan-NYA pada kita semua.
Jakarla, Januari 1995 Tim Editor
Kata Pengantar Edisi Pertama
Kata pendahuluan adalah bagian buku yang paling sedikit dibaca orang. Meskipun demikian, kami (editor dan para pengarang buku ini) hendak menggunakan kesempatan ini untuk mengemukakan alasan karangan ini dan laktor yang mendorong kami untuk menulis buku ini. Tujuan kami ialah supaya pengetahuan dasar tentang farmakologi dalam buku ini dapat bermanlaat bagi mahasiswa, dokter dan lain orang yang menggunakan pengetahuan tentang obat dalam pekerjaannya sehari-hari. Bagi mahasiswa buku ini dimaksudkan sebagai pelengkap kuliah. Bagi dokter, terutama yang baru terjun dalam praktek, diharapkan buku ini dapat memberi pegangan di bidang terapi. Kepentingan larmakologi bagi dokter tidak dapat disangsikan. Obat digunakan di semua bidang kedokteran, baik praktek umum maupun di berbagai bidang spesialistik. Obat digunakan dalam diagnostik, prolilaksis, terapi maupun untuk pengaturan kehamilan. Pengetahuan dasar larmakologi inilah yang hendak kami berikan dalam buku ini.
Farmakologi sedang berkembang pesal. Memadai perkembangan ini terasa amat sukar dengan kekurangan majalah serta literatur ilmiah lainnya. Di luar negeri, pada waktu suatu textbook diterbitkan buku itu mungkin sudah terkebelakang 5 tahun atau lebih. Meskipun demikian, kami berharapan bahwa buku larmakologi ini tidak terlampau kurang mutunya. Kami telah mendapat dorongan juga dari rekan yang berkecimpung di bidang larmakologi baik di Jakarta maupun yang berada di lain tempat, yang berpendapat bahwa suatu buku larmakologi dalam bahasa lndonesia memang diperlukan. Pada mereka semua selain ucapan terimakasih, kami sadar baahwa masih banyak kekurangan terdapat dalam buku ini. Moga-moga kekurangan ini dapat kami perbaiki dalam edisi selanjutnya. Untuk ini kami menanti kritik dari semua lihak yang menaruh perhatian.
Terimakasih kami sampaikan kepada dr. Lie Kioeng Foei dan dr. Soemarsono dari Bagian Penyakit Dalam RSCM, yang telah meluangkan waktu untuk meneliti naskah mengenai kardiovaskular. Terimakasih pula kami ucapkan kepada Nn, Lana Virginia, Sekretaris Bagian Farmakologi FKUI unluk pekerjaan mengetik naskah; dr. Jusul Zubaidi dan dr. Tony Handoko untuk persiapan pembuatan klise; dra. Arini Setiawati, Nn. Janti Mariana B.Sc. dan Nn. Azalia Arief B.Sc. untuk bantuan koreksi cetak percobaan, serta kepada para rekan lainnya di Bagian Farmakologi FKUI yang lelah menyumbangkan pikiran, tenaga dan waktu pada pengarangan buku ini. Akhirnya tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada perusahaanperusahaan Farmasi untuk bantuan yang memungkinkaan penerbitan buku ini.
F.K.U.t. Februari 1972.
A.n. Pengarang lan Tanu
Daftar Penulis dr. Amir Syarif, SKM Lektor Kepala Madya Dra. Arini Setiawati,
Lektor
PhD
Muchtar Kepala Dra. Azalia Arif Asisten Ahli Madya dr. Bahroelim Bahry' Lektor Kepala dr. H. Bambang Suharto Mantan Staf Ahli Kalbe Farma dr. Dian Tirza, MSc Asisten Ahli Madya dr. Franciscus D. Suyatna, PhD Lektor Madya dr. Hedi Rosmiati Dewoto Lektor dr. Hendra Utama Lektor Muda Prof.dr. lwan Darmansjah Guru Besar Dra. Loecke Surjadjaja Kunardi Lektor Muda Dra. Metta Sinta Sari Wiria Lektor dr. Nafrialdi, PhD. Asisten Ahli Madya dr. Petrus Freddy Wilmana Lektor
dr. Zunilda Sadikin Bustami, MS Lektor Muda
dr. Purwantyastuti Ascobat, MSc Lektor Madya
dr. H. Armen
Dr.dr. Rianto Setiabudy
Lektor
Lektor Kepala Madya
* : Laboratorium FK Universitas Andalas " : Peneliti Badan Litbangkes Dep.Kes. Rl '*' : Almarhum Tidak ada tanda : Bagian Farmakologi dan Terapeutik FKUI
Prof.dr. H. Sardiono Oerip Santoso Guru Besar Madya
dr. Suharti Kartanegara Suherman Lektor KePala
dr. Sukarno Sukarban Lektor
dr, R. Sunaryo Lektor Kepala Madya
dr. Hj. Srimarti Wardhini BP Lektor
dr. Sulistia Gunawan Ganiswarna Lektor
dr. Tony Handoko SK Lektor
Prof.dr. H. Udin Sjamsudin*"" Guru Besar Madya dr. Vincent HS Ganiswarna" Peneliti Madya
Dra. Yanti Mariana Lektor Muda
dr. Yati Harwati lstiantoro Lektor Kepala
dr. H. Jusuf Zubaidi Lektor Muda
Eiaan dan lstilah
Dengan kesadaran akan pentingnya bahasa yang baik dalam seQuah karya tulis, lebih-lebih sebuah buku ajar, editor telah berusaha sedapat mungkin untuk menyajikan buku ini dalam Bahasa lndonesia yang baik dan benar. lstilah-istilah asing, sejauh mungkin diganti dengan padanannya dalam bahasa lndonesia, walaupun dalam bentuk singkatan adakalanya tetap dipertahankan singkatan asingnya yang lazim dikenal. lstilah asing yang belum dipadankan dicetak miring, demikian juga nama lanaman dan hewan yang iidak dieja lndonesia. Selebihnya, penulisan naskah dalam buku inisesuah dengan pedoman yang ada dan berpegang pada prinsip singkat dan padat arti. Untuk memudahkan pembaca di bawah ini dicantumkan beberapa istilah dengan padanannya dalam bahasa asing dan daftar singkatan yang digunakan dalam buku ini. Rujukan yang digunakan dalam edisi ini ialah (1) Pedoman Umum Ejaan Bahasa lndonesia yang Disempurnakan (Edisi kedua berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik lndonesia, nomor 0543 alul1987 ,9 September 1987); (2) Pedoman Pembentukan lstilah, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1980 (Edisi kedua berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik lndonesia nomor 03891/u/1988, tanggal 11 Agustus 1988; dan (3) Kamus besar Bahasa lndonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, edisi ll' 1991.
l.
Daftar Padanan lstilah Inggris lndonesia
lndonesia
lnggris
abortus yang mengancam Ag dependen timus Ag independen timus antineurosis/antiansietas asam pangamat
treatened abortion thymus dependent antigens thy m u q i nde pe nd ent antigens
bangkitan bangkitan epilepsi barbiturat kerja lama berulang, kambuh busa fibrin insani daya cadangan napas deselerasi lambat diuretik kuat elek lintas awal elek tersamar/terselubung epilepsi umum faktor penglepas hormon lluorosis gigi gambaran sitologi-berupa daun pakis akibat pengaruh estrogen gawat janin hipersensitivitas lambat hormon penglepas ion tetap kadar mantap' kematian intrauterin kepatuhan penderita
minor tranquilizer pangamic acid seizure epileptic seizure
long acting barbiturates recurrent human fibrin foam respiratory reserve Iate decelaration high ceiling diuretics first pass effect masking eflect
generalized epilePsY releasing factors hormones mottled enamel ferning fetal distress del ayed hipersensitivitY releasing hormone fixed ion steady stafe concentration missed abortion compliance
xii
koagulasi intravaskular diseminata kumparan ganda DNA laktogen uri insani lensa kontak keras makrolag teraktivasi minyak jarak (oleum ricini) nilai laju endap eritrosit (LED)
d i se m i n ated i ntrav as
c u Ia
r coag
u I ati
o
n
double helix DNA human placental lactogen hard lense activated macrophages castrol oil bl ood sedimentation rate
neu roleptik/antipsikosi s nyeri tidak tajam obat mirip aspirin penyakit paru obstruktif menahun penyedot peptide penghubung petanda periode dimana insulin tak dibutuhkan perdarahan putus obat perdarahan sedikit-sedikit
major tranquilizer dull pain aspirin like drugs chronic obstructil pulmonary disease suction convecting peptide marker honey moon phase withdrawal bleeding
pil pascasanggama plasmid penular puntiran DNA respons bertingkat refleks ejeksi susu resistensi didapat resistensi yang dipindahkan
morning after pil inlectious plasmids
semangat semprotan takar lajak tenggang waktu tegangan prahaid
tekanan diastolik akhir terapi pengganti
tubulihulu uji oksitosin umpan balik, loloh balik wajah bulan zat penurun tegangan permukaan
spofrng
overwinding
graded response milk let down/milk ejection acquired resistance tr a n sf e r re d resisfance
mood nebulization
overdosis time lag
premenstrual tension e
nd -d i astol i c pi'essure
replacement therapy early distal tubules oxytocin Challenge test feed back moon face surtace active agent
ll. Singkatan 1.25 - DHCC 5-HT
6-MNA ACTH
AD ADH ADO Ag AINS AKG
alfa MSH
1 .25 dihidroksi kolekalsiferol. serotonin 6- M ethox y-2 - na phtyl acetic acid
adenokorlikotropin aldehid dehidrogenase antidiuretic hormone antidiabetik oral antigen anti-inf lf,masi nonsteroid angka kecukupan gizi rata - rata yang dianjurkan alf a me I anocyte sti m ul ati ng
hormone
APTT
activated partial thromboplastin time. orti co ste roi d bi nd i n g g lob ul i n
CBG
c
cDs
cell differentiation complex 3. chemotactic factor calcium channel blocker chorionic gonadotropin hormone corti cotro pi n re I e asi ng ho rm o ne chronic obstructil pulmonary disease
CF
ccB CGH CRH COPD
cPz
klorpromazin
CSS
cairan serebrospinal chemoreceptor trigger zone diagnostic and statistical manual of mental disorders revised.
cTz DSM.III-R
Ejaan dan lstilah
Dengan kesadaran akan pentingnya bahasa yang baik dalam seQuah karya tulis, lebih-lebih sebuah buku ajar, editor telah berusaha sedapat mungkin untuk menyajikan buku ini dalam Bahasa lndonesia yang baik dan benar. lstilah-istilah asing, sejauh mungkin diganti dengan padanannya dalam bahasa lndonesia, walaupun dalam bentuk singkatan adakalanya tetap dipertahankan singkatan asingnya yang lazim dikenal. lstilah asing yang belum dipadankan dicetak miring, demikian juga nama tanaman dan hewan yang tidak dieja lndonesia. Selebihnya, penulisan naskah dalam buku ini sesuah dengan pedoman yang ada dan berpegang pada prinsip singkat dan padat arti.
Unluk memudahkan pembaca di bawah ini dicantumkan beberapa istilah dengan padanannya dalam bahasa asing dan daftar singkatan yang digunakan dalam buku ini. Flujukan yang digunakan dalam edisi ini ialah (1) Pedoman Umum Ejaan Bahasa lndonesia yang Disempurnakan (Edisi kedua berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Flepublik lndonesia, nomor 0543 a1u11987,9 September 1987); (2) Pedoman Pembentukan lstilah, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,1980 (Edisi kedua berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik lndonesia nomor 03891/u/1988, tanggal 11 Agustus 1988; dan (3) Kamus besar Bahasa lndonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, edisi ll, 1991'
l.
Daftar Padanan lstilah lnggris lndonesia
lndonesia
lnggris
abortus yang mengancam Ag dependen timus Ag independen timus antineu rosis/antiansietas asam pangamat bangkitan bangkitan epilepsi barbiturat kerja lama berulang, kambuh busa librin insani daya cadangan napas
treatened abortion thymus dependent antigens th y m ug i n d epe nde nt antig en s minor tranquilizer
deselerasi lambat diuretik kuat efek lintas awal efek tersamar/terselubung epilepsi umum laktor penglepas hormon lluorosis gigi gambaran sitologi-berupa daun pakis akibat pengaruh estrogen gawat janin hipersensitivitas lambat hormon penglepas ion tetap kadar mantap
kematian inlrauterin kepatuhan penderita
pangamic acid seizure epileptic seizure
long acting barbiturates recurrent human fibrin foam respiratory reserve late decelaration
high ceiling diuretics first pass effect masking etfect generalized epilepsy releasing factors hormones mottled enamel lerning fetal distress delayed hipersensitivitY releasing hormone fixed ion
steady state concentration missed abortion compliance
xI
koagulasi intravaskular diseminata kumparan ganda DNA laktogen uri insani lensa kontak keras makrolag teraktivasi minyak jarak (oleum ricinil nilai laju endap eritrosit (LED) neuroleptik/antipsikosis nyeri tidak tajam obat mirip aspirin penyakit paru obstruktif menahun penyedot peptide penghubung petanda periode dimana insulin tak dibutuhkan perdarahan putus obat perdarahan sedikit-sedikit pil pascasanggama plasmid penular puntiran DNA
respons bertingkat refleks ejeksi susu resistensi didapat resistensi yang dipindahkan semangat semprotan takar lajak tenggang waktu tegangan prahaid
tekanan diastolik akhir terapi pengganti
tubuli hulu uji oksitosin umpan balik, loloh balik wajah bulan zat penurun tegangan permukaan
d i se mi n ated i ntrav as
c ul ar double helix DNA human placental lactogen hard lense activated macrophages castrol oil blood sedimentation rate
co ag u I ati
o
n
major tranquilizer dull pain aspirin like drugs chronic obstructif pulmonary disease suction convecting peptide marker honey moon phase withdrawal bleeding spof,ng
morning after pil infectious plasmids overwinding
graded response milk let down/milk ejection acquired resistance tran sferred restsfance
mood nebulization oyerdosis time lag
premenstrual tension e n d -d i a sto I ic pressure replacement therapy early distal tubules oxytocin Challenge test feed back moon lace surface active agent
ll. Singkatan 1.25 - DHCC 5-HT 6-MNA ACTH AD ADH ADO Ag AINS AKG
alfa MSH
1 .25 dihidroksi kolekalsiferol. serotonin 6 - M ethox y-2 - n aphtylacetic acid adenokortikotropin aldehid dehidrogenase antidiuretic hormone antidiabetik oral antigen o anti-inllamasi nonsteroid angka kecukupan gizi rata - rata yang dianjurkan alfa mel anocyte stim ulating
hormone
APTT
activated partial thromboplastin time.
CBG
co rti c oste roi d bi ndi n g g lobul i n
CDg
cell differentiation complex 3. chemotactic factor calcium channel blocker choionic gonadotropin hormone corlicotropin releasing hormone chronic obstructif pulmonary disease
CF
ccB CGH CRH COPD
cPz
klorpromazin
CSS
cairan serebrospinal chemo receptor trigger zone diagnostic and statisfical manual of mental disorders revised.
cTz DSM.lII.R
xilt
DHP DDS
dihidropiridin
PAS
4,4' diamino dilenil sullon
PABA
Drc
d i s sem in ate d - i ntr ava sc u I ar coag ul ati on
DOPAC EDRF
3,4 dihidroksi-fenilasetat. endothelium - derived relaxing factor etinil estradiol electroconvul sive the rapy eritema nodosum leprosum epinelrin food and drug administration ieniletil malonamid llavin mononukleotide flavin adenin dinukleotida factor intrinsic Cast/e follicle stimulating hormone. gonadotropin releasing hormone growth hormone growth hormone-releasing factor
PGI2 PgE PPNG PP, faktor PCM
EE
ECT ENL EPI
FDA FEMA FMN FAD
Ftc FSH
Gni{H rsH GHRF Hb HDL HCC
HMG-KoA HVA ICSH IDL
ILA IL
ISA KHM
KBM LDL LCAT LH LSD LHRH LN MAF MAO MHC 1I
Mg(oH)z MIF MSA MSH MPA MPTP NO NAD NADP
/
hemoglobin
high density lipoprotein hidroksi kolekalsilerol hidroksi metil glutamil koenzim-A asam homovanilat nterstitial cell stimulati ng hormone i nte rmedi ate de n sity lipoprotei n insulin like activity interleukin i ntri n si c sy m p ath o m i meti c activ ity kadar hambat minimal kadar bunuh minimal low de n sity li poprotei n I e c ith i n ch ol e ste rol acyl tran sf e rase luteinizing hormone lisergat dietilamid LH releasing hormone levonorgestrel m ac ro ph age acti v ati n g lacto r penghambat monoamin oksidase. m ajo r hi stoco m p ati bi I ity c ompl ex c/ass // antigens magnesium hidroksida mi g rati o n i n hibitory f actor membrane stabilizing activitY melanocyte stimulating hormone medroksi progesteron asetat N-metil-4-fenil-1,2,3,6-tetrahidropirin. nitrogen oksida nikotinamid adenin dinukleotida. nikotinamid adenin dinukleotida fosfat. i
Pfi
PT PRF PRIH
PmGA PDC PTCA PRL POMC PAF RBP RDA RH
rt-PA ROC RTF SHBG SGOT SMON SLE
soc SSP TF
TIA TCA
Tipe BB: Tipe HB: TNF
TXA: TT THFA TSH UGDP
p- amino salisilat ( analog PABA ) asam paraamino benzoat prostasiklin
prostaglandin
E
N.gonorrhoeae penghasill penisilinase
pellagra preventive lactor protei n calori mal n utriti on. p
arti
al
th ro m bo
pl asti n ti me
protrombin time.
prolactin releasing lactor prolactin release inhibitory hormone asam pteroil monoglutamat potenti al dependent channel percutane us transl uminal coronary angioplasty prolaktin
pro-opiomelanokoriin pl ate I et- acti v ati n g f acto r. reti nol bi nd i ng p rotein
recommended dietary allowances
rhesus recombinant human tissue tYPe plasminogen activator receptor operated channel resisfance tr an sf e r f acto r. sex hormone binding globulin se
rum gl utamic -ox alacetic
transaminase subacute myelo-optic neuroPathy lupus eritematosus sistemik sfretch operated channel susunan saral pusat transfer factor transient i schemic attacks. tricarboxylic acid kreb's cYcle bentuk pausibasiler M.tuberculosis multibasiler M.tuberculosis. tumor nekrosis laktor tromboksan A2 thrombine time tetrahydrofolic acid thyroid stimulating hormone university graup diabetes program
US.RDA
united states recommended dietary' allowances.
VS
versus voltage - operated channel very low density lipoProtein
voc VLDL
Daftar lsi Kata Sarnbutan Dekan FKUI Kata Pengantar Edisi
KataPengantarEdisi Daftar
v
....,,..
.......
Penulis
Ejaan dan lstilah
Daftar
4 Pertama
vii ix
.
xi-xiii
lsi
xv
SEKSI I. PENGANTAR FARMAKOLOGI '1. Pengantar
Farmakologi
.
.
, . Zunilda
SB, Arini Setiawati dan F.D.
Suyatna 1- 23
SEKSI II. OBAT OTONOM
2. Susunan Saraf Otonom dan Transmisi Neurohumoral l, Darmanslah, Arini Setiawati dan Sulistia Gan
.....
Kolinergik 4. Antimuskarinik S.Adrenergik 6. Penghambat Adrenergik
3.
l.Darmansjah danSulistiaGan . . l. Darmansjah
......
7. Pelumpuh Otot 8. Obat Ganglion
Arini Setiawati
24- 39
40- 49 50- 56 57- 76
Arini Setiawati dan Sulistia Gan
Tt-
l. Darmansjah dan. A. Setiawati
96-102
l.Darmansjah dan Sulistia Gan
103-108
95
SEKSI III. OBAT SUSUNAN SARAF PUSAT
Umum Alkohol . Psikotropik 12.Antikonvulsi ....,
.. ..
9. Anestetik
..
13. Obat Penyakit Parkinson dan Pelemas Otot Yang Bekerja
Antagonis
Tony Handoko
Sardjono O. Santoso dan Metta
11
14. Analgesik Opioid dan
.
Mena Sinta Sari Wiria dan Tony Handoko
10. Hipnotik-Sedatit dan
...
.
HendraUtamadanVincentH.S,Gan 163-174
Sentral
Gan Rosmiali D.
Vincent H.S. gan dan Sulistia
. . .H.Sardjono O. Santoso dan Hedi
(15./naleesik-Antipiretik Analgesik Anti-lnflamasi Nonsteroid dan Obat ld Perangsang Susunan Saraf
SK 109-123 SK 124-147 SS 148-1 62
Pirai
P, Freddy
Pusat
175-188 189-206
Wilmana 207-222
Sunaryo
223-233
SEKSI IV. ANESTETIK LOKAL 17. Kokain dan Anestetik Lokal
Sintetik
..
. Sunaryo 234'247
SEKSIV. AUTAKOID DAN ANTAGONIS
Antialergi 19. Serotonin dan Antiserotonin
18. Histamin dan
Udin Sjamsudin dan Hedi R
Dewoto 248-261
F.D. Suyatna dan Udin Sjamsudin 262-270.
SEKSI VI. OBAT KARDIOVASKULAR
Jantung Antiaritmia 22. Antihipertensi . . . 23. Obat Antiangina 24. Hipolipidemik . . . . 20. Obat Gagal 2'1. Obat
Armen Muchtar dan Zunilda
SB
271-288
Armen Muchtar dan F.D. Suyatna 289'314 Arini Setiawali dan Zunilda S.Bustami 315-342 Arini Setiawati dan F.D. Suyatna 343-363 F,D. Suyatna dan Tony Handoko
S.K.
364-379
SEKSI VII. OBAT YANG MEMPENGARUHI AIFI DAN ELEKTFOLIT
25.DiuretikdanAntidiuretik.....
..
Sunaryo
380-399
SEKSI VIII. OKSITOSIK
26.
Oksitosik
Amir Syaril dan Armen Muchtar 400-409
SEKSI IX. HORMON DAN ANTAGONIS
Adenohipofisis Antitiroid 29. Hormon Paratiroid dan Kalsitonin
Purwantyastuti Ascobat 410-419
27. Hormon
28. Hormon Tiroid dan
S.Wardhini BP dan B. Suharto 420-431 .
30. Estrogen, Antiestrogen, Progestin, dan kontrasepsi 31. Androgen, Antiandrolen & Anabolik Steroid
32. lnsulin, Glukagon dan Anti diabetik
hormonal
.
. suharti K.
.
.
.
suherman
432-4gB
.suharti K.Suherman 439-455
Purwantyastuti Ascobat 456-466
oral
.."
.
.Tony Handoko dan B. Suharto 467-481
33. Adrenoko(ikotropin, Adrenokortikosteroid, Analog-Sintetik dan Antagonisnya . . . . . Suharti
K.suherman 482-500
SEKSI X. OBAT LOKAL
34. Obat lokal . .
. Azalia Aril dan Udin
Sjamsudin 501-522
SEKSI XI. KEMOTERAPI PARASIT
Antelmintik 36.Amubisid 37. Obat Malaria 38. Obat Jamur
. . . Sukarno Sukarban dan Sardjono O.Santoso 523-536
35.
....... ...
.
...AmirSjarif SB
. . .sukarno Sukarban dan Zunilda
537-544 545-559
. Bahroelim Bahry dan R. Setiabudy 560-570
SEKSI XII. ANTIMIKFIOBA
39. Pengantar
Antimikroba
R. Setiabudy dan Vincent H.S.
40. Sulfonamid, Kotrimoksazol dan Antiseptik Saluran 41 .
Kemih
. . . .Yanti Mariana dan R.
Leprostatik lnterferon
Tuberkulostatik dan
42. Anti-Virus dan
.
.
Gan
571-583
Setiabudy 584-596
. . Yusuf
Zubaidi
597-615
. . . . . . F. Freddy Wilmana 616-621 43. Penisilin, Sefalosporin dan Antibiotik Betalaktam Lainnya . . . . . . Yati H.lstiantoro dan Vincent H.S. Gan 622-650
44.GolonganTetrasiklindanKloramfenikol 45. Aminoglikosid . . .
...
....
R.SetiabudydanL.Kunardi 651-660
Sulistia G.Gan dan Vincent H.S. Gan 661-674
Lain Antikanker
46. Antimikroba 47.
. .
. ..
.
R. Setiabudy 675-685
Nafrialdi dan Sulistia
Gan 686-701
SEKSI XIII. ANTIKANKER DAN IMUNOSUPRESAN
48. lmmunosupresan
.
. ,Dian Tirza dan Tony
Handoko 702-713
SEKSI XIV, VITAMIN
49. Vitamin dan
Mineral
.
.
Hedi Rosmiati dan S. Wardhini B.P 714-737
SEKSI XV, OBAT HEMATOLOGIK 50. Antianemia
Detisiensi
5l.Antikoagulan,Antitrombosit,TrombolitikdanHemostatik,......
. . S.Wardhini B.P. dan Hedi
Hedi Rosmiati
Rosmiati 738-746
dan VincentH.S.Gan 747-761
xvll
SEKSI VI. TOKSIKOLOGI
52.
DasarToksikologi Antagonis
l.Darmansjah Z62-7S0
53. Logam Berat dan
....
.
Udin Sjamsudin 791-Zgg
SEKSIXVII. ADENDUM 54. lnteraksi Obat . 55. Farmakokinetik
, Klinik
56. Faktor-faktor yang mempengaruhi respons penderita terhadap
. ...
obat
. .
Arini Setiawati gOO-g1O Arini Setiawati g1 1-919
Arini Setiawati dan Armen Muchtar B2O-g2g 831-863
Pengantar Farmakologi
I. PENGANTAR FARMAKOLOGI Arini Setiawati, Zunilda SB dan F.D. Suyatna
1.
Pendahuluan
2.
Farmakokinetik 2.1. Absorpsi dan bioavailabilitas 2.2. Distribusi 2.3, Biotransformasi 2.4. Ekskresi Farmakodinamik
1. PENDAHULUAN Dalam arti luas, obat ialah setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup, maka farmakologi merupakan ilmu yang sangat luas cakupannya. Namun untuk seorang dokter, ilmu ini dibatasi tujuannya yaitu agar dapat menggunakan obat untuk maksud pencegahan, diagnosis, dan pengobatan penyakit. Selain itu, agar mengerti bahwa penggunaan obat dapat mengakibatkan berbagai gejala penyakit. Dahulu farmakologi mencakup pengetahuan tentang sejarah, sumber, sifat kimia dan fisik, komposisi, efekfisiologi dan biokimia, mekanisme kerja,
absorpsi, distribusi, biotransformasi, ekskresi dan penggunaan obat. Namun dengan berkembangnya pengetahuan, beberapa bidang ilmu tersebut telah berkembang menjadi cabang ilmu tersendiri. Farmakognosi ialah cabang ilmu larmakologi yang mempelajari sifat-sifat tumbuhan dan bahan lain yang merupakan sumber obat. Cabang ilmu ini tidak lagi dipelajari di lakultas kedokteran, tetapi merupakan salah satu mata pelajaran penting di fakultas farmasi. Mungkin saja ilmu ini menjadi penting lagi bagi kita kelak, kalau program tanaman obat keluarga semakin populer. Farmasi ialah ilmu yang mempelajari cara membuat, memformulasikan, menyimpan, dan menyediakan obat. Dalam batas tertentu pengetahuan
3.1, Mekanisme kerja obat 3.2, Fleseptor obat 3.3. Transmisi sinyal biologis 3.4. lnteraksi obat-reseptor 3.5. Antagonisme larmakodinamik 3.6. Kerja obat yang tidak diperantarai reseptor 3.7. Terminologi
4.
Pengembangan dan penilaian obat
ini diberikan kepada mahasiswa kedokteran, karena ada kalanya seorang dokter perlu memberikan obat racikan.
Farmakologi klinik ialah cabang farrnakologi yang mempelajari efek obat pada manusia, Berbagai aspek dalam studi obat pada manusia tercakup dalam cabang ilmu ini dengan tujuan menda-
patkan dasar ilmiah untuk penggunaan obat. Pengembangan dan penilaian obat akan dibahas pada bagian akhir bab ini.
Untuk mempelajari pengaruh obat pada manusia, obat dicobakan dulu pada hewan dan dipela-
jari efeknya dalam farmakologi eksperimental, Farmakokinetik ialah aspek larmakologi yang mencakup nasib obat dalam tubuh yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresinya. Farmakodinamik mempelajari efek obat terhadap fisiologi dan biokimia berbagai organ tubuh serta mekanisme kerjanya,
Farmakoterapi ialah cabang ilmu yang berhubungan dengan penggunaan obat dalam pencegahan dan pengobatan penyakit, Dalam farmakoj terapi ini dipelajari aspek larmakokinetik dan farmakodinamik suatu obat yang dimanfaatkan untuk mengobati penyakit tertentu. Pengetahuan ini merupakan bagian yang terpenting dalam pendidikan farmakologi di fakultas kedokteran agar seorang dokter mampu menggunakan obat secara rasional. Karena upaya terapi juga menyangkut tindakan
Pengantar Farmakologi
hedah atau tindakan lain yang tidak menggunakan
zat pengawet. Dalam cabang ilmu ini dipelajari juga
Membran sel terdiri dari dua lapis lemak yang membentuk lase hidrofilik di kedua sisi membran dan lase hidrofobik di antaranya. Molekul-molekul protein yang tertanam di kedua sisi membran atau menembus membran berupa mozaik pada membran. Molekul-molekul protein ini membentuk kanal hidrolilik untuk transport air dan molekul kecil lainnya yang larut dalam air. Cara-cara transport obat lintas membran
cara pencegahan, pengenalan, dan penanggula-
yang terpenting ialah difusi pasif dan transport aktif;
ngan kasus-kasus keracunan.
yang terakhir melibatkan komponen-komponen membran sel dan membutuhkan energi. Sifat fisiko-kimia obat yang menentukan cara transport
obat, maka dalam buku ini akan digunakan kata "terapi" untuk arti yang luas, dan kata "pengobatan" untuk arti larmakoterapi atau terapi obat. t6t NE >> lso. Agonis yang selektil untuk reseptor crt misalnya lenilelrin dan metoksamin, sedangkan agonis yang selektif untuk
reseptor a2 misalnya klonidin dan o-metilnorepinefrin. Epi dan NE adalah agonis reseptor c( yang nonselektil. Di antara antagonis, prazosin relatil selektil untuk reseptor cr1 sedangkan yohimbin untuk reseptor az. Fleseptor ar dan 9r terletak pada membran sel elektor pasca sinaps langsung di seberang ujung saraf adrenergik, strategis untuk distimulasi oleh NE yang dilepaskan dari ujung saraf. Fleseptor az dan Fz juga terletak pada membran sel efektor pasca sinaps telapi agak jauh dari tempat penglepasan NE. Ke-2 reseptor ini distimulasi terutama oleh Epi
yang terdapat dalam sirkulasi, Reseptor oz iuga terdapat pada ujung saraf adrenergik untuk umpan balik negatif penglepasan NE. Semua reseptor p berhubungan dengan enzim adenilsiklase, yang mengubah ATP menjadi siklik AMP, melalui protein G stimulasi (Gr). Aktivasi reseptor p menstimulasi enzim tersebut se-
hingga kadar siklik AMP dalam sel elektor me-ningkat. Siklik AMP akan berikatan dengan
reseptornya, yakni protein kinase yang bergantung pada siklik AMP, disebut protein kinase A. lkatan ini akan mengaktilkan enzim tersebut, yang selan-
jutnya akan mengkatalisis loslorilasi berbagai protein seluler dan menimbulkan berbagai efek adrenergik p. Oleh karena itu, siklik AMP disebut juga second messenger karena menjadi perantara
dalam me-nimbulkan berbagai elek tersebut. Protein Gs juga dapat secara langsung mengaktifkan kanal Ca** pada membran sel otot jantung.
Sebagai contoh, pada stimulasi glikogeno-
lisis dalam otot rangka dan hati (melalui reseptor 0z), siklik AMP mengaktifkan protein kinase A yang kemudian mengkatalisis loslorilasi 2 macam enzinf yan g kerjanya berlawanan, yakni glikogen si ntetase menjadi inaktif dan losforilase kinase menjadi aktif. Selanjutnya, enzim yang lerakhir ini mengkatalisis
losforilasi enzim fosforilase-b menjadi enzim fosforilase-a yang akti( yang memecah glikogen menjadi glukose-l-fosfat. Pada stimulasi lipolisis dalam sel-sel lemak (melalui reseptor p3), protein
34
kinase A yang diaktilkan oleh siklik AMp akan mengkatalisis losforilasi enzim lipase trigliserida menjadi ahit untuk memecah trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak bebas. Pada otot jantung, stimulqsi reseptor pt memperkuat kontraksi otot melalui peningkatan kadar siklik AMp intrasel, yang meningkatkan losforilasi troponin dan losfolamban. Elek inotropik positif ini tidak ada hubungannya dengan stimulasi glikogenolisis pada otot jantung. Pada otot polos, stimulasi reseptor Fe menimbulkan relaksasi otot melalui peningkatan kadar siklik AMP intrasel, yang diikuti dengan proses foslorilasi dan penurunan kadar Ca** intrasel, mekanismenya yang pasti belum diketahui.
Bila dalam sel elektor peruraian siklik AMp oleh enzim fosfodiesterase dihambat oleh derivat metilxantin, misalnya teolilin atau kalein, kadar siklik AMP di dalam sel juga akan naik; akibatnya akan timbul elek seperti elek adrenergik Reseptor a2 berhubungan dengan enzim adenilsiklase melalui protein G inhibisi(ci). Akti_ vasi reseptor a2 menghambat enzim tersebut sehingga kadar siklik AMP dalam sel elektor menurun dan aktivasi protein kinase A berkurang. protein Gi juga dapat mengaktilkan kanal K+ (sehingga terjadi hiperpolarisasi) dan menghambat kanal Ca**. Semuanya ini menimbulkan elek hambatan : sekresi insulin dari sel-sel p pankreas berkurang, penglepasan NE dari ujung saraf adrenergik berkurang, perangsangan simpatis dari SSp berkurang, dan
terjadi relaksasi otot polos saluran cerna. yang terakhir ini melalui hiperpolarisasi neuron mienterik kolinergik sehingga mengurangi penglepasan ACh. Reseptor o1 berhubungan dengan enzim foslolipase C (PLC) melalui suatu protein G yang belum dikenal. Aktivasi reseptor crl menstimulasi enzim tersebut yang menghidrolisis foslatidil inositol difostat (PlPz) menjadi inositot trifostat (lps) dan diasilgliserol (DAG). lP3 menstimulasi penglepasan Ca" dari retikulum endoplasmik. peningkatan kadar Ca++ intrasel akan mengaktifkan beibagai protein kinase yang sensitil Ca++, termasuk protein kinase C (yang akan memloslorilasi protein-protein membran, yakni kanal, pompa dan penukar berbagai ion, termasuk kanal Ca** yang menimbulkan -my6sin inlluks Ca++ dari luar sel) dan light chain (MLC) kinase yang bergantung pada kalmodulin (yang akan memfoslorilasi MLC dan menimbulkan kontraksi otot). Pada. kebanyakan otot polos, peningkatan
kadar Ca" intrasel akibat stimulasi reseptor cr1 akan mengaktifkan MLC kinase yang bergantung pada kalmodulin, sehingga terjadi loslorilasi MLC
Farmakologi dan Terapi
dan kontraksi otot. Sebaliknya, pada otot polos saluran cerna, peningkatan kadar Ca** intrasel akan mengaktifkan kanal K+ yang bergantung pada Ca**, sehingga terjadi hiperpolarisasi dan relaksasi otot. Suatu subtipe reseptor ar dapat menstimulasi kanal Ca*+ secara langsung, demikian juga reseptor q,2 pada otot polos vaskuler. Akibatnya terjadi influks Ca** ekstrasel diikuti dengan kontraksi otot. Stimulasi reseptor cr dijantung menyebabkan hambatan repolarisasi oleh ion K* (mungkin melalui lPs dan/atau DAG), yang menimbulkan peningkatan kontraksi jantung dan efek aritmogenik.
6. RESPONS BERBAGAI ORGAN EFEKTOR TERHADAP PERANGSANG. AN SARAF OTONOM 6.1. PERANGSANGAN SARAF
ADRENERGIK
Pada perangsangan adrenergik
dilepaskan
NE dari ujung saraf adrenergik dan Epi dari medula
adrenal. Epi bekerja pada semua reseptor adrenera1, o"2,Pt,Pzdan p3 (aktivitas Fs agak lemah), sedangkan NE bekerja pada reseptor o1, d2,p1 dan 0e (aktivitas Fz'nya sangat lemah). Respons suatu organ otonom terhadap perangsangan saral adrenergik bergantung pada jenis reseptor adrenergik yang dimiliki organ tersebut serta jenis organ itu sendiri. Misalnya, olot polos pembuluh darah kulit hanya mempunyai reseptor a dan tidak mempunyai reseptor p, maka perangsangan saral adrenergik akan menyebabkan vasokonstriksi dan tidak vasodilatasi. Fleseptor at pada otot polos pembuluh darah akan memberikan respons kontraksi, tetapi reseptor yang sama pada otot polos usus akan memberikan respons relaksasi pada perangsangan saral adrenergik. Suatu organ elektor dapat saia mempunyai lebih dari satu jenis reseptor adrenergik. Misalnya, otot polos pembuluh darah otot rangka mempunyai reseptor B2 dan cr. Epi bekerja pada kedua resepior tersebut, dengan afinitas yang lebih tinggi pada reseptor Fe. Karena itu, Epi kadar rendah, yaitu yang biasa terdapat dalam sirkulasi, akan mengikat hanya reseptor p2 sehingga menyebabkan vasodilatasi. Dalam kadar yang tinggi, Epi akan mengikat kedua reseptor p2 dan q,. Karena reseptor ct terdapat dalam jumlah yang lebih banyak daripada
gik:
T
ransmisi
N
35
eurohumoral
reseptor p2, maka elek vasokonstriksi akibat aktivasi reseptor a dominan terhadap efek vasodilatasi akibat aktivasi reseptor Pz. Respons masing-masing organ serta jenis reseptor adrenergik yang dimilikinya dapat dilihat pada Tabel 2-1. Pada arteriol koroner, paru dan otot rangka,
Epinelrin dalam kadar lisiologis menyebabkan
vasodilatasi (dominasi respons reseptor p) pada otot rangka dan hati, tetapivasokonstriksi (dominasi respons reseptor a) pada visera abdominal lainnya. Pembuluh darah ginjal dan mesenterik luga mempunyai reseptor dopaminergik (DA) yang menys' babkan vasodilatasi.
vasodilatasi dominan akibat autoregulasi metabolik. TAbEI 2..I. RESPONS ORGAN EFEKTOR TERHADAP PERANGSANGAN SARAF OTONOM
Perangsangan kollnerglk
Perangsangan adrenergik Organ elektor
Jantung
Respons
Reseptor
Respons
0r
Denyutjantung I
0r
Kec€patan konduksi
0r
Kontraktilitas
9t
Kecepatan konduksi
:
Nodus SA
Denyut iantung
lI
Atrium
Sistem konduksi Otot Nodus AV
1
Kontraktilitas I
1
t,
Kecepatan konduksi I
I
automatisitas t Ventrikel Sistem konduksi
Kecepatan konduksi t 1,
Otot
9t
Kontraktilitas 11
sj ,42
Konstriksi (kuat)
automatisitas t t
Arteriol
:
Kulit dan mukosa Otot rangka
a1t
o-2
Visera
a1
Fe,Dr Ginjal
oi,
a2
9z,Dt O'tak
s.1
Koroner
oj, Fz
Paru
Vena
Konstriksi Dilatasi (dominan)
9z
Konstriksi (kuat) Dilatasi (lemah) Konstriksi (kuat) Dilatasi (lemah) Konsrriksi (sedikit)
a2
Konstriksi Dilatasi (dominan)
Fz
Konstriksi Dilatasi (dominan)
a1
Konstriksi
0z
Dilatasi
d,l
Peran sistem kolinergik
tidak berarti
36
Farmakologi dan Terapi
TAbCI 2-1, (Sambungan). RESPON ORGAN EFEKTOR TERHADAP PERANGSANGAN SARAF
Perangsangan adrenergik Organ elektor
Paru
Reseptor
oToNoM
Perangsangan kolinergik
Respons
Respons
:
Otot bronkus
&
trakea
Kelenjar bronkus Sel mast
gz
Relaksasi
Kontraksi
o1
Sekresi
Sekresi
9z
Sekresi I
Fz
Penglepasan mediator
J
inflamasi Saluran cerna
l
1
J
:
Otot polos lambung &
Sfingter Kelenjar
Otot
usus
o1, a2 9z 01 az
Relaksasi
Kontraksr I
l
Relaksasi
Kontraksi I
Relaksasi
Sekresi
Sekresi
1
t
Ginjal Sekresi renin
Sekresi I Sekresi 1 I
o1
Ft
Kandung kemih: Otot detrusor
0z
Relaksasi
Kontraksi
Trigon & Slingter
d,.t
Kontraksi
Relaksasi
Uterus
01 9z
Organ kelamin pria
01
Ejakulasi
Prostat
Ol
Kontraksi
01
Kontraksi (midriasis)
gz
Relaksasi untuk
Mata
(hamil)
Kontraksi Relaksasi (hamil maupun tidak hamil)
1
1
Bervariasi
(kuat)
Ereksi (kuat)
:
Otot radial iris Otot sfingter iris Otot
siliaris
Kontraksi (miosis) Kontraksi untuk melihat dekat (kuat)
melihat jauh (lemah)
Kulit: Otot pilomotor Kelenjar keringat
ol ol
Otot rangka
9z
Hati
o-r,
Kontraksi Sekresi setempat (keringat
I
Sekresi di seluruh tubuh 1 1
adrenergik)
Glikogenolisis & ambilan K* 1
Fz
Glikogenolisis & glukoneogenesis I t
37
Tnnsmisi Neurohumoral
SARAF OTONOM Tabel 2-1. (Sambungan). RESPON ORGAN EFEKTOR TERHADAP PERANGSANGAN Perangsangan kolinergik
Perangsangan adrenergik Organ efektor
Pankreas
Respons
d
Sekresi I
:
Kelenjar Acini Sel beta
Respons
Reseptor
Sekesi t t
9z
Sekresi insulin I I Sekresi insulin t
Sel lemak
Fg
Lipolisis t t
Keleniar liur
dt
a2
p
Sekresi K* dan air Sekresi amilase t
1
Sekresi Kt dan air 1l
Keleniar nasofarings Sekresr
Kelenjar air mata Adenohipofisis
Pr
Sekresi ADH
Agregasi
Trombosit
Sekresi t I
1
'l
Pergamon Press' 1991' Adaptasi dari Goodman and Gilman's The Pharmacologi:al Basis ol Therapeutics' 8th ed'
6.2. PERANGSANGAN SARAF KOLINERGIK Organ efektor memiliki reseptor muskarinik. Pada berbagai otot polos dan kelenjar, subtipe re' septornya belum dipastikan, tetapi kemungkinan besar Ms atau M r , sedangkan reseptor M2 terutama terdapat di jantung. Akan tetapi kebanyakan jaring-
an mengandung berbagai subtipe reseptor mus' karinik, ditambah lagi dengan adanya ganglia parasimpatis di dalam jaringan.
Respons masing-masing organ dapat dilihat pada Tabel 2-1 tetapi ienis reseptor muskariniknya tidak dicantumkan karena alasan di atas. Pada pembuluh darah tidak ada persarafan parasimpatis kecuali pada organ kelamin pria dan pada otak. Di samping itu ada persaratan kolinergik simpatis pada organ kelamin pria dan pada otot rangka. Akan tetapi, semua invervasi kolinergik pada pembuluh darah hanya menghasilkan vasodilatasi setempat yang tidak mempengaruhi respons fisiologis secara umum (misalnya tekanan darah)' lnvervasi kelenjar keringat di seluruh tubuh adalah kolinergik simPatis'
7. CARA KERJA OBAT OTONOM Sebelumnya telah dikemukakan bahwa pe' ngertian lentang transmisi neurohumoral sangat penting untuk dapat mengerti elek obat otonom' Obat otonom mempengaruhi transmisi neurohumo' ral dengan cara menghambat atau mengintensifkannya. Terdapat beberapa kemungkinan pengaruh obat pada transmisi sistem kolinergik maupun adrenergik, yaitu : (1) hambatan pada sintesis atau penglepasan transmitor; (2) menyebabkan penglepasan lransmitor; (3) ikatan dengan reseptor; dan (4) hambatan destruksi transmitor (lihat Tabel 2-2)'
7.1. HAMBATAN PADA SINTESIS ATAU
PENGLEPASAN TRANSMITOR
.
Kolinergik. Hemikolinium menghambatambilan
kolin ke dalam ujung saraf dan dengan demikian mengurangi sintesis ACh. Toksin botulinus menghamUat penglepasan ACh di semua saral kolinergik sehingga dapat menyebabkan kematian akibat paralisis pernapasan perifer. Toksin tersebut mem-
blok secara ireversibel penglepasan ACh dari
38
Farmakologi dan Terapi
Tabel 2-2. CARA KERJA OBAT OTONoM Cara kerja
Kolinergik
Hambatin sintesis
Hemikolinium
transmitor Hambatan penglepasan
transmitor Menyebabkan penglepasan transmitor
Adrenergik a-metiltirosin
Toksin botulinus
Guanetidin, guanadrel
Bacun laba-laba black widow
Tiramin, efedrin, amf€tamin
Mengosongkan transmitor di ujung saraf
Reserpin, guanetidin
Hambatan ambilan kembali
Kokain, imipramin
transmitor Perangsangan reseptor (Agonis)
Muskarinik : ACh, metakolin, pilokarpin Nikotinik : ACh, nikotin
umum:epinefrin
at : lenilefrin oz: klonidin 0r, Pe: isoproterenol
0r : dobutamin 0a : terbutalin, salbutamol. Blokade reseptor (Antagonis)
Mr, Me, M3 : atropin M1 : pirenzepin
d., p: labetalol
at,
a.z:
Nu : tubokurarin NN : trimetafan
fenoksibenzamin, tentolamin.
a1 : prazosin, doxazosin oz : yohimbin
Pr, 9e: propranolol Pl : metoprolol, atenolol Hambatan pengrusakan transmitor
AntiChE
gelembung saral di ujung akson dan merupakan salah satu toksin paling poten yang dikenal orang. Toksin letanus mempunyai mekanisme kerja yang serupa.
Adrenergik. Metiltirosin memblok sintesis
NE den-
gan menghambat tirosin-hidroksilase, enzim yang mengkatalisis tahap penentu pada sintesis NE. Se_ baliknya metildopa, penghambat dopa dekarboksilase, seperti dopa sendiri didekarboksilasi dan dihidroksilasi menjadi cr-metil NE. Guanetidin dan bretilium juga m€ngganggu penglepasan dan penyimpanan NH.
MAOI
7.2. MENYEBABKAN PENGLEPASAN
TRANSMITOR Kolinergik. Racun laba-laba black widow menyebabkan penglepasan ACh (eksositosis) yang berlebihan, disusul dengan blokade penglepasan ini.
Adrenergik. Banyak obat dapat meningkatkan penglepasan NE. Tergantung dari kecepatan dan lamanya penglepasan, elek yang terlihat dapat ber-
lawanan. Tiramin, eledrin, amfetamin dan obat sejenis menyebabkan penglepasan NE yang relatil cepat dan singkat sehingga menghasilkan efek sim-
T
ransmisi
N
39
eurohu moral
palomimetik. Sebaliknya reserpin, dengan memblok transport aktil NE ke dalam vesikel, menyebabkan penglepasan NE secara lambat dari dalam vesikel ke aksoplasma sehingga NE dipecah oleh MAO'
Akibatnya ierjadi blokade adrenergik akibat pengosongan depot NE di ujung saraf.
7.3. IKATAN DENGAN RESEPTOR Obat yang menduduki reseptor dan dapat me' nimbulkan elek yang mirip dengan elek transmitor disebut agonis. Obat yang hanya menduduki reseptor tanpa menimbulkan elek langsung, tetapi elek akibat hilangnya elek transmitor (karena tergesernya transmitor dari reseptor) disebul antagonis
atau bloker. Contoh obai agonis dan antagonis pada sistem kolinergik maupun adrenergik dapat dilihat pada Tabel 2-2.
7.4. HAMBATAN DESTRUKSI TRANS. MITOR
Kolinergik. Antikolinesterase merupakan kelompok besar zat yang menghambat destruksi ACh karena menghambat AChE, dengan akibat perangsangan berlebihan di reseptor muskarinik oleh ACh dan terjadinya perangsangan disusul blokade di reseplor nikotinik.
Adrenergik. Ambilan kembali NE setelah peng' lepasannya di ujung saraf merupakan mekanisme
utama penghentian transmisi adrenergik. Hambatan proses ini oleh kokain dan imipramin mendasari peningkatan respons terhadap perangsangan simpatis oleh obat tersebut. Penghambat COMT misalnya pirogalol hanya sedikit meningkatkan respons katekolamin, sedangkan penghambat MAO misalnya tranilsipromin, pargilin, iproniazid dan nialamid hanya meningkatkan efek tiramin tetapi tidak meningkatkan elek katekolamin.
8. PENGGOLONGAN OBAT OTONOM Menurut elek utamanya maka obat otonom dapat dibagi dalam 5 golongan
1.
:
Parasimpatomimetik atau kolinergik. Elek obat golongan ini menyerupai efek yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan saraf parasimPatis.
2.
Simpatomimetik atau adrenergik yang eleknya menyerupai elekyang ditimbulkan oleh aktivitas susunan saraf simPatis.
3.
Parasimpatolitik atau penghambat kolinergik menghambat timbulnya elek akibat aktivitas susunan saral parasimPatis.
4.
Simpatolitik atau penghambat adrenergik menghambat timbulnya
elek akibat aktivitas
saraf simpatis.
5.
Obat ganglion merangsang atau menghambat penerusan impuls di ganglion.
Farmakologi dan Terapi
3. KOLINERGIK l. Darmansjah dan Sulistia Gan
1.
Golongan ester kolin 1.1. Farmakodinamik 1.2. Posologi 1.3. Efek samping 1.4. lndikasi
Obat antikolinesterase 2.1. Mekanisme kerja 2.2. Farmakodinamik 2.3. Farmakokinetik 2.4. lntoksikasi
Obat kolinergik singkatnya disebut kolinergik juga disebut parasimpatomimetik, berarti obat yang kerja serupa perangsangan saraf parasimpatis. Tetapi karena ada saraf, yang secara analomis termasuk saraf simpatis, yang transmitornya asetilkolin maka istilah obat kolinergik lebih tepat daripada istilah parasimpatomimetik. Dalam bab ini hanya dibahas obat kolinergik yang bekerja pada reseptor muskarinik. Perangsang reseptor nikotinik dibahas di Bab 7 dan Bab 8. Obat kolinergik dibagi dalam tiga golongan : (1) Ester kolin; dalam golongan ini termasuk : asetil-
kolin, metakolin, karbakol, betanekol; (2) Antikolinesterase, termasuk didalamnya : eserin (lisostigmin), prostigmin (neostigmin), diisopropil- fluorofoslat (DFP), dan insektisid golongan organofoslat; dan (3) Alkaloid tumbuhan, yaitu : muskarin, pilokarpin dan arekolin.
1. ESTER KOLIN Obat yang termasuk golongan ini akan dibicarakan bersama sambil menyebutkan perbedaan jika
cukup berarti. Rumus ester kolin dapat dilihat di Tabel 3-1.
Asetilkolin (ACh) merupakan prototip dari obat golongan ester kolin. Sekarang telah lerbukti bahwa, ACh merupakan transmitor di berbagai sinaps dan akhiran saraf pada saraf simpatis, para-
2.5. Sediaan dan posologi 2.6. lndikasi 3. Alkaloid tumbuhan
3.1. Farmakologi 3.2. lntoksikasi 3.3. lndikasi 4. Obat kolinergik lainnya
4.1. Metoklopramid 4.2. Sisaprid
simpatis dan somatik. Asetilkolin hanya bermanlaat
dalam penelitian dan tidak berguna secara klinis karena efeknya menyebar ke berbagai organ sehingga titik tangkapnya terlalu luas dan terlalu singkat. Selain itu ACh tidak dapat diberikan per oral, karena dihidrolisis oleh asam lambung. Untuk mendapatkan kolinergik yang kerjanya lebih selektif dan masa kerjanya lebih panjang telah dikembangkan berbagai obat misalnya metakolin yang kerjanya lebih lama dan takrin yang bekerja sentral.
1.1. FARMAKODINAMIK Cara kerja ACh pada sel efektor telah diuraikan dalam bab 2. Asetilkolin eksogen secara umum memperlihatkan efek yang sama dengan ACh endogen, yang eksogen kerjanya tentu lebih menyebar (difus) dan memerlukan kadar yang lebih besar untuk menimbulkan efek yang sama. Efek farmakodinamik esterkolin maupun obat kolinerglk lainnya dapat dimengerti bila diketahui efek ACh pada berbagai organ. Secara umum farmakodinamik dari ACh dibagi dalam 2 golongan, yaitu terhadap : (1 ) kelenjar
eksokrin dan otot polos, yang disebut efek muskarinik; (2) ganglion (simpatis dan parasimpatis) dan otot rangka, yang disebut efek nikotinik. Pembagian efek ACh ini didasarkan obat yang dapat menghambatnya, yaitu atropin menghambat khu-
Kolinergik
Tabel 3-1. BEBERAPA ESTER KOLIN DAN RUMUSNYA
lCHs)s
-
+
Kolin klorida
(CHs)s
-
+
Asetilkolin klorida Metakolin klorida
(CHe)s- N - CHs- CH - O- COCHg. Cl
N - OHe- CHaOH. Cl N - CHz- CHz
-O
- COCHs. Cl
+
I
CHg
Karbakol klorida Betanekol klorida
(CHo)s (CH3)3
-
+
N - CHa- CHz
-O
+
-O-
N
-CHz-
CH
- CONHz. Cl CONHz. Cl
I
CHs
sus elek muskarinik, dan nikotin dalam dosis besar menghambat efek nikotinik asetilkolin terhadap ganglion. Kurare khusus menghambat elek nikotinik terhadap otot rangka' Bila digunakan dosis yang berlebihan maka atropin, nikotin dan kurare masing-masing dapat iuga menghambat semua efek muskarinik dan nikotinik ACh. Elek obat pada dosis toksik ini tidak diariggap sebagai elek farmakologik lagi, karena sifat selektilnya hilang'
Sistem kardiovaskular, Perubahan kardiovaskular yang nyata hanya dapat dilihat bila ACh disuntikkan secara intravena dengan dosis besar atau pada organ terisolasi. Pemberian dengan cara yang lain tidak memberikan elek karena ACh sangat cepat dihidrolisis, juga setelah pemberian SK. Pada hewan coba atau pada manusia, ACh menyebabkan vasodilatasi terutama dari pembuluh darah kecil, yang mengakibatkan turunnya tekanan darah disertai bradikardi dan beberapa kelainan EKG. Bila asetilkolin diberikan intravena, maka efeknya terhadap pembuluh darah merupakan resultante dari beberapa efek tunggal (Gambar 3-1) : (1) ACh bekerja langsung pada reseptor kolinergik pembuluh darah dan melalui penglepasan EDRF (e ndotheti u m d e riv ed re I axing f acto r) menyebabkan sekurang-kuran gnya vasodilatasi. E DRF didu ga (nifric oxide)' Zat ini NO merupakan sebagian mengaktivasi guanilat siklase dan meningkatkan cGMP otot polos sehingga mengakibatkan vasodilatasi; (2) ACh bekerja pada ganglion simpatis dengan akibat penglepasan NE pada akhiran postsinaptik pembuluh darah dan menyebabkan vasokonstriksi. Saraf parasimpatis hampir tidak mempunyai pengaruh terhadap pembuluh darah melalui
ganglion parasimpatis kecuali pada alat kelamin; (3)
ACh bekerja merangsang sel medula anak ginjal yang melepaskan katekolamin dan menyebabkan vasokonstriksi; (4) ACh dapat merangsang reseptor muskarinik prasinaps saraf adrenergik dan mengurangi penglepasan NE. Saral simPatis I I
/.t zo
Medula anak ginjal
Gambar 3-1. Efek asetilkolin intravena pada pembuluh darah
Resultante dari keempat efek ini akan menenatau penurqnan efek muskabiasa tekanan darah. Dalam keadaan hipotensif' elek terlihat sehingga yang unggul, rinik Bila dosis besar, elek hipotensi akan terjadi secara
tukan apakah terjadi kenaikan
mendadak sehingga baroreseptor yang terletak dalam aorta dan arteri karotis terangsang, dengan akibat terjadinya refleks simpatis' Flelleks simpatis menyebabkan iantung berdenyut lebih cepat dan lebih kuat disertai vasokonstriksi yang mungkin me-
42
Farmakologi dan Terapi
naikkan tekanan darah. Kejadian ini dikenal sebagai refleks kompensasi yang hanya terjadi kalau ada perubahan mendadak. Takikardi ini tentunya tidak
akan terlihat pada sediaan jantung terpisah
(iso_
lated fteart), yang tidak lagi dapat dipengaruhi
refleks kompensasi. Jadi pada sediaan jantung ler_ pisah, ACh jelas menyebabkan bradikardi. Fenomen ini adalah contoh efek farmakodinamik yang pada hakekatnya terdiri dari banyak komponen. Se_ tiap perubahan keadaan laali maupun patologik akan disertai reaksi untuk mengembalikan keadaan semula. Apa yang terlihat setelah pemberian obat merupakan resultante berbagai kejadian. pemberi_
an atropin sebelum ACh dapat menghambat efek muskariniknya, sehingga takikardi lebih jelas keli-
hatan karena perangsangan ganglion simpatis dan medula anak ginjal tidak diimbangioleh efek koliner_ gik.
Pada feokromositoma (tumor medula adrenal) pemberian ACh akan menyebabkan penglepasan katekolamin yang lebih banyak daripada dalam ke_ adaan normal, sehingga menimbulkan tekanan
darah yang naik-turun secara mendadak tergan_ tung pada jumlah sekresi katekolamin.
Saluran cerna. Semua obat dalam golongan ini dapat merangsang peristalsis dan sekresi lambung serta usus. Karbakol dan betanekol menimbulkan hal ini tanpa mempengaruhi sistem kardiovaskular, sedangkan elek asetilkolin dan metakolin disertai dengan hipotensi dan takikardi kompensatoar.
Kelenjar eksokrin. ACh dan ester kolin lainnya
merangsang kelenjar keringat, kelenjar air mala, kelenjar ludah dan pankreas, Efek ini merupakan efek muskarinik dan tidak nyata pada orang sehat.
Bronkus. Ester kolin dikontraindikasikan pada pen-
derita asma bronkial karena terutama
pada orang sehat.
Saluran kemih. Karbakol dan betanekol memper_ lihatkan efek yang lebih jelas terhadap otot detrusor dan otot ureler dibandingkan dengan asetilkolin dan
metakolin. Obat ini menyebabkan kapasitas kan_ dung kemih berkurang dan peristalsis ureter ber_ tambah.
Curah jantung dan waktu sirkulasi tidak meng_ alami perubahan berarti pada pemberian ACh.
Ester kolin lain kurang afinitasnya terhadap asetilkolinesterase sehingga masa kerjanya lebih panjang. Selain itu zaI-zaltersebut memperlihatkan beberapa perbedaan efek yang dapat dilihat pada Tabel 3-2. Karbakol memegang peranan yang agak unik,
selain bekerja pada sel efektor, karbakol juga me_ mudahkan penglepasan ACh dari akhiran sinaptik kolinergik (mirip efedrin pada transmisi adrenergik).
1.2. SEDIAAN DAN POSOLOGI Karena jarang digunakan
di klinik,
Asetilkolin klorida/bromida dapat diperoleh seba_ gai bubuk kering, dan dalam ampul berisi 200 mg. Dosis : 10 - 100 mg lV.
Metakolin klorida tersedia sebagai tablet 200 mg. Pemberian oral tidak dapat diandalkan; sebaiknya diberikan subkutan (SK) 2,5 - 40 mg, tergantung dari respons penderila.
Kepekaan Kekuatan
terhadap ACh-esterase
Kolin Asetilkolin
1/1
00.000
Efek
Efek
Muskarinik
Nikotinik
+
+
1
+++
++
++
+
+++
+
++
+++
Metakolin
2
Karbakol
800
Betanekol
10
sediaan
kolinergik sulit didapat di lndonesia.
Tabel 3-2. PERBEDAAN PENTTNG ANTARA srFAT-srFAT ESTER KoLrN
Ester kolin
pada
penderita ini akan menyebabkan spasme bronkus dan produksi lendir berlebihan. Efek ini tidak nyata
+++
43
Kolinergik
Karbakol klorida sebagai lablet 2 mg atau ampul 0,25 mg/ml; pemberian oral cukup efektif dengan dosis 3 kali 0,2 - 0,8 mg. Dosis subkutan adalah 0,2 - 0,4 mg. Preparat initidak boleh diberikan lV. Juga tersedia sebagai obat tetes mata untuk miotikum.
Betanekol klorida tersedia sebagai tablet 5 dan 10 mg atau dalam ampul yang mengandung 5 mg/ml. Dosis oral adalah 10-30 mg, sedangkan dosis subkutan 2,5 - 5,0 mg. Tidak boleh diberikan lV atau lM.
1.3. EFEK SAMPING Dosis berlebihan dari ester kolin sangat berbahaya karena itu jangan diberikan secara lV, kecuali asetilkolin yang lama kerjanya sangat singkat. Pemberian oral atau SK merupakan cara yang lazim digunakan. Kombinasi dengan prostigmin atau obat kolinergik lain juga tidak boleh digunakan, karena terjadinya potensiasi yang dapat membawa akibat buruk. Asma bronkial atau ulkus peptikum merupakan kontraindikasi untuk pengobatan semacam ini. Ester kolin dapat mendatangkan serangan iskemia jantung pada penderita angina pektoris, karena tekanan darah yang menurun mengurangi sirkulasi koroner, Penderita hipertiroidisme dapat mengalami librilasi atrium, terutama pada pemberian metakolin; tindakan pengamanan perlu diambil, yaitu dengan menyediakan atropin dan epinelrin sebagai antidotum. Gejala keracunan pada umumnya berupa efek muskarinik dan nikotinik yang berlebihan. Keracunan ini harus cepat diatasi dengan atropin dan epinefrin.
saluran cerna misalnya pada ileus pascabedah. Berdasarkan mekanisme yang sama, dapat terjadi atonia kandung kemih dan retensi urin. Unluk me-
ngobati keadaan ini dapat digunakan prostigmin letapi betan€kol dan karbakol dapat juga dipakai.
Feokromositoma. Metakolin dapat digunakan untuk tes provokasi penyakit ini pada waktu tekanan
darah penderita sedang rendah. Pemberian metakolin 25 mg SK akan menyebabkan turunnya tekanan darah seperti diharapkan, tetapi dengan cepat disusul dengan peninggian tekanan sistolik maupun diastolik. Hal ini patognomonik pada leokromositoma, karena perangsangan terhadap sel kromalin
menghasilkan katekolamin dalam jumlah yang sangat besar. Uji semacam ini juga dapat dikerjakan dengan asetilkolin atau dengan histamin. Bila tensi penderita sedang tinggi, sedikit-dikitnya di atas 190 mm Hg, maka sebaiknya dilakukan uji tentolamin. Hasil uji fentolamin dikatakan positif bila penurunan tekanan darah sekurang-kurangnya 35/25 mmHg.
2. OBAT ANTIKOLINESTERASE Antikolinesterase menghambat kerja kolinesterase (dengan mengikat kolinesterase) dan mengakibatkan perangsangan saral kolinergik terus menerus karena ACh tidak dihidrolisis. Dalam golongan ini kita kenal dua kelompok obat yaitu yang menghambat secara reversibel, misalnya fisostigmin, prostigmin, piridostigmin dan edrolonium; dan menghambat secara reversibel misalnya gas pe-
rang: tabun, sarin, soman dan sebagainya;. dan insektisida organoloslat: paration, malation, diazinon, tetraetil-pirolosfat fIEPP), heksaetiltetralostat (HETP) dan oktametilpiro-foslortetramid (OMPA). Karena miripnya kerja obat-obat dalam golongan
1.4. INDIKASI
ini, maka semuanya akan dibicarakan bersama dengan menyebutkan perbedaan-perbedaan seper-
Metakolin pernah digunakan untuk memperbaiki sirkulasi periler pada penyakit Raynaud atau tromboflebitis berdasarkan efek vasodilatasi terha-
lunya. Salah satu obat yang saat ini masih sedang diteliti ialah takrin (tetrahidroamino-akriin) suatu antikolinergik sentral untuk pengobatan penyakit Alzheimer.
dap pembuluh darah arteri. Sekarang tidak digunakan lagi karena intensitas respons yang tidak dapat diramalkan.
2.1. MEKANISME KERJA
Saluran cerna. Meteorisme merupakan gejala akibat penimbunan gas dalam saluran cerna. Keadaan ini dapat disebabkan oleh banyak hal seperti akibat
Hampir semua kerja antikolinesterase dapat diterangkan dengan adanya asetilkolin endogen. Hal ini disebabkan oleh tidak terjadinya hidrolisis
makanan atau keadaan patologis. Biasanya meteorisme disertai dengan berkurangnya peristalsis
asetilkolin yang biasanya terjadi sangat cepat, karena enzim yang diperlukan diikat dan dihambat oleh
44
Farmakologi dan Terapi
antikolinesterase. Hambatan ini berlangsung beberapa jam untuk antikolinesterase yang reversibel,
dalam beberapa jam (fisostigmin) atau beberapa
tetapi yang ireversibel dapat merusak kolinesterase sehingga diperlukan sintesis baru dari enzim ini untuk kembalinya transmisi normal. Akibat hambatan ini asetilkolin tertimbun pada reseptor kolinergik di tempat ACh dilepaskan. Setelah deneruasi saral kolinergik pascaganglion, lisostigmin dan antikolinesterase lain tidak dapat bekerja, karena ujung-ujung saral ini tidak dapat memproduksi asetilkolin lagi. Hal ini terlihat secara mengesankan bila ganglion siliar mata dirusak. Pemberian lisostigmin secara lokal tidak akan menyebabkan miosis. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa lisostigmin dan antikolinesterase lain hanya dapat bekerja pada inervasi yang utuh. Akan tetapi klta tidak dapat terlalu berpegang teguh pada pernyataan tersebut, karena antikolinesterase tertentu misalnya prostigmin memperlihatkan elek langsung terhadap reseptor nikotinik di otot rangka. Fleseptor kolinergik di susunan saraf pusat juga mengalami stimulasi pada permulaan dan kemudian timbul depresi. Pada dosis toksik semua gejala muskarinik, nikotinik dan sentral dapat dilihat, tetapi pada dosis terapi efeknya terbatas pada elek muskarinik dan otot rangka. Segala elek asetilkolin terlihat pada pemberian antikolinesterase karena yang menyebabkan efek tersebut ialah ACh endogen yang tidak dipecah oleh asetilkolinesterase. Elek obat dapat berbeda sehubungan perbedaan aksesabilitas (accessabllity) obal diberbagaitempat. Takrin misalnya memperlihatkan selektivitas kerja sentral dan kurang menyebabkan elek perifer pada dosis yang sudah memperlihatkan efek sentral.
terbukanya saluran Schlemm, sehingga pengaliran cairan mata lebih mudah, maka tekanan intraokuler menurun, terutama bila ada glaukoma. Hilangnya daya akomodasi dan hiperemia konjungtiva tidak berlangsung lama dan biasanya tidak tampak lagi, jauh sebelum menghilangnya miosis. Miosis oleh obat golongan ini dapat diatasi oleh atropin,
2.2. FARMAKODINAMIK Efek utama antikolinesterase yang menyangkut terapi terlihat pada pupil, usus dan sambungan saraf-otot. Efek-efek lain hanya mempunyai arti toksikologik.
MATA. Bila fisostigmin (Eserin) atau DFp ditereskan pada konjungtiva bulbi, maka terlihat suatu perubahan yang nyata pada pupil berupa miosis, hilangnya daya akomodasi dan hiperemia konjung-
tiva. Miosis terjadi cepat sekali, dalam beberapa menit, dan menjadi maksimal setelah setengah jam. Tergantung dari antikolinesterase yang digunakan, kembalinya ukuran pupil ke normal dapat terjadi
hari sampai seminggu (DFP). Miosis menyebabkan
SALURAN CERNA. Prostigmin paling efektif terhadap saluran cerna. Pada manusia pemberian prostigmin meningkatkan peristalsis dan kontraksi lambung serta sekresi asam lambung. Efek muskarinik ini dapat mengatasi inhibisi oleh atropin. Di sini N. vagus yang mempersarafi lambung harus utuh; setelah denervasi, prostigmin tidak memperlihatkan efek. Perbaikan peristalsis ini merupakan dasar pengobatan meteorisme dan penggunaan prostigmin pasca bedah.
SAMBUNGAN SARAF-OTOT" Antikolinesterase memperlihatkan efek nikotinik terhadap otot rangka dan asetilkolin yang tertimbun pada sambungan saraf-otot menyebabkan otot rangka dalam keadaan terangsang terus menerus. Hal ini menimbulkan tremor, fibrilasi otot, dan dalam keadaan keracunan,
kejang-kejang. Prostigmin memperlihatkan efek yang tidak dimiliki oleh lisostigmin, yaitu efek perangsangan otot rangka secara langsung. Bila perangsangan otot rangka terlampau besar misalnya pada keracunan insektisida organofoslat, maka
akan terjadi kelumpuhan akibat depolarisasi menetap (persisten). Antikolinesterase bekerja sinergistik dengan asetilkolin eksogen dan dihambat oleh d-tubokurarin dan atropin dosis besar. Edrolonium bekerja terhadap otot rangka jauh lebih kuat daripada terhadap sel efektor otonom atau ganglion. Karena itu edrofonium dapat digunakan sebagai suatu antagonis kurare. Kerja langsung prostigmin dan piridostigmin pada otot rangka merupakan dasar kegunaan obat ini pada miastenia gravis.
TEMPAT-TEMPAT LAIN. Pada umumnya antikolinesterase, melalui efek muskarinik, memperb'esar sekresi semua kelenjar eksokrin misalnya kelenjar pada bronkus, kelenjar air mata, kelenjar keringat, kelenjar liur, dan kelenjar saluran cerna. Pada otot polos bronkus obat ini menyebabkan konstriksi, sehingga dapat terjadi suatu keadaan yang menyerupai asma bronkial, sedangkan pada ureter meningkatkan peristalsis.
45
Kolinergik
Pembuluh darah perifer umumnya melebar
akibat antikolinesterase, sebaliknya pembuluh koroner dan paru-paru menyempit. Terhadap jantung sendiri efeknya sangat kompleks, dan seperti telah dijelaskan, tergantung dari resultante berbagai efek. Elek langsung terhadap jantung
ialah penimbunan asetilkolin endogen dengan akibat bradikardi dan efek inotropik negatil se-
hingga menyebabkan berkurangnya curah jantung' Hal ini disertai dengan memanjangnyawaktu refrakler dan waktu konduksi. Tetapi sesekali dapat terjadi takikardia yang mencapai 140/men dengan hanya20 mg prostigmin oral pada sukarelawan sehat' Kerja antikolinesterase pada ganglion dapat disamakan dengan efek nikotinik asetilkolin, yang merangsang pada dosis rendah dan menghambat pada dosis tinggi.
2.3. FARMAKOKINETIK Fisostigmin mudah diserap melalui saluran cerna, tempat suntikan maupun melaluiselaput lendir lain. Seperti atropin,lisostigmin dalam obat tetes mata dapat menyebabkan elek sistemik. Hal ini dapat dicegah dengan menekan sudut medial mata dimana terdapat kanalis lakrimalis. Prostigmin dapat diserap secara baik pada pemberian parenteral, sedangkan pada pemberian oral diperlukan dosis 30 kali lebih besar, lagipula penyerapan tidak teratur. Efek hipersalivasi baru tampak 1 '1 112iam setelah pemberian oral 15-20 mg. lnsektisida orga' noloslat memperlihatkan koelisien partisi yang tinggi karena itu dapat diserap dari semua tempat di tubuh, termasuk kulit. Absorpsi demikian baik sehingga keracunan dapat terjadi hanya akibat tersiram insektisida organolosfat di kulit utuh' Bila inseksitida disemprotkan di udara, racun ini diserap lewat paru-paru. Antikolinesterase diikat oleh protein plasma, kemudian mengalami hidrolisis dalam tubuh' yang satu lebih cepat daripada yang lain. Pada manusia,
dapat ditimbulkan akibat absorpsi dari berbagal tempat termasuk dari kulit. Tergantung dari jenis antikollnesterase, keracunan dapat berlangsung dari beberapa jam sampai beberapa minggu. Prostigmin misalnya hanya bekerja beberapa iam, karena hambatannya reversibel. Dengan antikolinesterase yang bersifat irreversibel perbaikan baru timbul setelah tubuh mensintesis kembali kolinesterase. Gas perang misalnya sarin, memerlukan beberapa minggu, sedangkan keracunan paration dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. Gejala keracunan berupa elek muskarinik,
nikotinik dan kelainan sentral. Mala hiperemis di' sertai miosis yang kuat. Bronkokonstriksi dan laringospasme terutama terjadi bila zat diinhalasi' Perangsangan selaput lendir hidung menyebabkan pengeluaran sekret yang mirip rinitis alergik disertai bersin dan sekresi saliva yang berlebihan. Peristalsis usus meningkat disertai muntah dan diare. Bila pajanan terjadi pada kulit, misalnya dengan gas perang atau insektisida organolosfat, maka produksi keringat akan bertambah akibat elek muskarinik. Juga akan timbul elek terhadap otot rangka berupa tremor, librilasi otot dan kejang. Pada keracunan yang lebih berat, otot rangka akan lumpuh, sebagian karena elek nikotinik dan sebagian karena elek sentral. Gejala lain yang disebabkan kelainan sentral meliputi alaksia, hilangnya relleks, bingung' sukar berbicara, konvulsi, koma, pernalasan CheyneStokes dan kelumpuhan napas. Kematian dapat timbul dalam waktu yang bervariasi sekali, antara
beberapa menit sampai beberapa hari' Karena itu pengobatan harus diberikan secepat mungkin. Diagnosis dapat ditentukan dengan mengukur kadar butirokolinesterase dan asetilkolinesterase dalam eritrosit. Kadar kedua enzim itu jelas menurun sebelum gejala klinis timbul, Kadar normal pada
sebanyak 1 mg prostigmin misalnya telah dirusak dalam waktu 2 jam setelah pemberian subkutan' Ekskresi terjadi dalam urin sebagai metabolit hasil
manusia variasinya besar, yaitu 75 - 100%' Bila kadar ini menurun sampai kurang dari 35% barulah terjadi gejala klinis yang jelas. Pengukuran inidapat dilakukan secara kasar dengan paperstrips (Merck). Perlu diperhatikan bahwa kadar asetilkolinesterase pascamati dapat lebih tinggi atau lebih
hidrolisis.
rendah.
2.4. INTOKSIKASI lnsektisida organolosf at merupakan golongan
yang terpenting dalam menimbulkan keracunan, karena kerjanya sangat kuat dan lama. lntoksikasi
Selain terapi simtomatik, pengobatan kausal dengan atropin sangat penting. Tergantung dari kecepatan pemberian atropin ini, penderita dapat ditolong atau tidak dari bahaya maut' Atropin dosis besar dapat menghambat elek muskarinik. Bila diagnosis sudah pasti, atropin harus diberikan 2 mg lV atau lM. Dibutuhkan 8 ampul sediaan atropin
Farmakologi dan Terapi
berisi 0,25 mg/ml, dan dosis ini diulang tiap 7 - 10 menit sampai peristalsis dan bronkokonstriksi di_ hambat dan penderita dapat bernafas sendiri tanpa bantuan alat. Untuk ini sebaiknya disediakan ampul atropin sulfat yang berisi 2 mg per ampul. penderita
Diisopropilfluorofosfat (DFp) atau isoflurofat tersedia sebagai larutan dalam minyak untuk pem_ berian parenteral dan sebagai obat tetes mata (0.1% larutan dalam air).
harus dipertahankan dalam atropinisasi yang ter_ lihat dari muka merah, sekresi saliva dan keringat berhenti, terdapat midriasis dan takikardi, dan ini dipertahankan dengan memberi atropin ulangan se-
tiap tanda atropinisasi menghilang lagi. Observasi penderita harus dilakukan terus menerus, karena setiap waktu dapat terjadi relaps. Dosis atropin yang
digunakan ini memang besar, dapat menimbulkan keracunan pada orang biasa. Sebagian efek sentral
antikolinesterase dapat diatasi oleh atropin, letapi
2.6. INDIKAST ATONI OTOT POLOS. Prostigmin terutama berguna untuk keadaan atoni otot polos saluran cerna dan kandung kemih yang sering terjadi pada pasca-bedah atau keadaan toksik. pemberian sebaiknya secera SK atau lM. prostigmin yang diberi-
kan sebelum pengambilan X-foto abdomen juga bermanfaat untuk menghilangkan bayangan gas
terhadap ganglion dan otot rangka atropin tidak berefek. Khusus untuk mengatasi paralisis otot
dalam usus.
rangka dapat digunakan pralidoksim (piridin-aldoksim metiodida atau disingkat 2-pAM) yang merupa_ kan suatu kolinesterase reaktivator. Zat ini melepaskan ikatan kolinesterase dengan antikolineste-
SEBAGAI MIOTIKA. Fisostigmin dan DFp secara lokal digunakan dalam oftalmologi untuk menyempitkan pupil, terutama sesudah pemberian atropin pada funduskopi. Dilatasi pupil oleh atropin berlangsung berhari-hari dan mengganggu penglihatan bila tidak dianlagonis dengan eserin. Terjadinya miosis berguna untuk mengalirkan cairan inlraoku-
rase. Efek 2-PAM terhadap gejala-gejala muskari_ nik dan susunan saraf pusat kurang jelas. Dosisnya 1-2gram lV dengan kecepatan 500 mg/menit, serta harus diberikan dalam waktu 2 x24jam. pemberian 2-PAM tidak merupakan hal mutlak, karena atropin saja sudah cukup. Perlu dimengerti bahwa yang bersifat menyelamatkan jiwa (life saving) adalah atropin dan bukan 2-PAM. Atropinisasi harus dilakukan sampai kolinesterase pulih kembali, dan ini mungkin memerlu_ kan waktu beberapa jam sampai beberapa minggu
tergantung beratnya keracunan. Selama waktu itu penderita harus dijaga dengan cermat. Atropin harus diberi ulang bila efeknya hilang sedangkan kolinesterase belum pulih.
2.5. SEDIAAN DAN POSOLOGI Fisostigmin salisilat (eserin salisilat) tersedia sebagai obat tetes mata, oral dan parenteral. Prostigmin bromida (Neostigmin bromida) tersedia untuk pemakaian oral (15 mg per tablet) dan neostigmin metilsulfat untuk suntikan, dalam ampul 0,5 dan 1,0 mg/ml.
Piridostigmin bromida (Mestinon bromida) sebagai tablet 60 mg dan juga ampul 0,5 mg/ml.
Edrofonium klorida (Tensilon klorida), dalam ampul 10 mg/ml, dapat dipakai untuk antagonis kurare atau diagnosis miastenia gravls.
ler, karena dengan ini saluran Schlemm terbuka dan ini dapat dipakai untuk mengobati glaukoma. Dalam
hal ini DFP merupakan miotik yang terkuat. perlekatan iris dengan lensa kadang-kadang terjadi akibat peradangan; dalam hal ini atropin dan fisos-
tigmin digunakan berganti-ganti untuk mencegah timbulnya perlengketan lersebut.
DIAGNOSIS DAN PEilGOBATAN MIASTENIA GRAVIS. Penyakit ini ditandai dengan kelemahan otot yang ekstrim. Ada dua teori yang dikemukakan untuk menerangkan gejala-gejala penyakit tersebut. Teori pertama menganggap bahwa, produksi asetilkolin pada sambungan saraf-otot berkurang, teori kedua mengemukakan suatu peninggian am-
bang rangsang. Kedua dugaan ini disokong kenyataan bahwa prostlgmin menambah kekuatan
otot. Setelah pemberian 1,5 mg prostigmin
SK,
kelemahan otot rangka diperbaiki sedemikian rupa sehingga dapat dianggap sebagai suatu tes diagnostik. Sebaliknya kina dan kurare memperhebat gejala-gejala miastenia gravis. Untuk diagnosis, digunakan 2 mg edrofonium, disusul 8 mg 45 detik kemudian bila dosis pertama tidak mempan. Respon positif ditandai dengan peningkatan kekualan otot.
47
Kolinergik
Prostigmin dan piridostigmin merupakan koli' nergik yang tersering digunakan untuk mengobati miastenia gravis. Pengobatan dimulai dengan 7,5 mg prostigmin atau 30 mg piridostigmin biasanya 3 kali sehhri. Tergantung kebutuhan, dosis dapat ditambah bertahap. Bila diragukan apakah elek kolinergik sudah cukup atau belum, dapat diuli dengan pemberian edrofonium; bila terjadi perbaikan berarti dosis perlu ditambah.
UJI KEHAMILAN. Prostigmin pernah digunakan untuk uji kehamilan. Hasil ini tidak dapat dipercaya dan mungkin berhubungan dengan timbulnya hiperemia endometrium. Pemberian prostigmin untuk tujuan ini disertai efek samping saluran cerna yang kadang-kadang sangat tidak menyenangkan dan karena itu tidak dianiurkan lagi.
PENYAKIT ALZHEIMER. Dugaan adanya defisiensi sistem kolinergik sentral pada penyakit Alzheimer telah mendorong dikembangkannya zat kolinergik sentral. Takrin ialah hasil pengembangan yang saat ini sedang diuji pakai. Takrin merupakan suatu senyawa antikolinesterase sentral. Dalam penelitian terbatas dibandingkan dengan plasebo disimpulkan bahwa takrin dapat menghambat progresivitas penyakit Alzheimer. Ukuran perbaikan dalam penelitian tersebut ialah nilai abbre viated mental test dan mi ni me ntal state ex ami n ation. Perbaikan terutama terlihat pada kerja dengan
lungsi sederhana, tidak jelas pada complex rule learning. Dosis yang diberikan tiga kali sehari 25-50
3. ALKALOID TUMBUHAN 3.1. FARMAKOLOGI Dalam golongan ini termasuk 3 alkaloid yaitu muskarin yang berasal dari iamur Amanita muscaria, pilokarpin yang berasal dari tanaman Pilocarpus jaborandi dan Pilokarpus microphyllus, dan arekolin yang berasal dari Areca catechu (pinang). Pada umumnya ketiga obat ini bekerja pada
efektor muskarinik, kecuali pilokarpin yang juga memperlihatkan efek nikotinik. Elek nikotinik iniiuga terlihat setelah diadakan denervasi. Pilokarpin terulama menyebabkan rangsangan terhadap kelenjar keringat, kelenjar air mata dan kelenjar ludah' Produksi keringat dapat mencapai tiga liter' Efek terhadap kelenjar keringat ini terjadi karena perangsangan langsung (elek muskarinik) dan sebagian karena perangsangan ganglion (efek nikotinik). Suatu kekhususan dari kelenjar keringat ialah bahwa, secara anatomi kelenjar ini termasuk sistem simpatik, tetapi neurotransmitornya asetilkolin. lni yang menjelaskan terjadinya hiperhidrosis oleh zat kolinergik. Selain yang tersebut di atas, pada penyuntikan lV biasanya teriadi kenaikan tekanan darah akibat elek ganglionik dan sekresi katekolamin dari medula adrenal; terjadi juga hipersekresi pepsin dan musin. Sekresi bronkus meningkat, dan ber-
sama dengan timbulnya konstriksi bronkus dapat menyebabkan udem Paru.
mg diawali dengan 50 mg/hari dan ditingkatkan sampai 150 mg/hari dalam 4 minggu. Elek samping mual dan elek kolinergik periler lainnya tidak menimbulkan masalah, mungkin karena dosis dinaikkan secara bertahap dalam 4 minggu. Obat ini meningkatkan enzim aminolranslerase dan dikhawatirkan bersifat hepatotoksik. Karena itu dianjurkan melakukan ujilungsi hatisetiap 2 minggu dalam 3 bulan pertama dan setiap bulan setelahnya. Masih diperlukan penelitian pada jumlah pasien yang lebih besar sebelum jelas manfaatrisiko obat ini untuk penggunaan rutin pada pasien Alzheimer.
3.2. INTOKSIKASI Keracunan muskarin dapat terjadi akibat keracunan jamur. Spesies jamur yang banyak mengandung muskarin ialah Clitocybe dan lnocyh. Kadar muskarin dalam Amanita muscaria rendah sehing' ga tanda keracunan muskarin akibat jamur tersebut
jarang terjadi. Pada 2 spesies jamur yang disebut dahulu terjadi keracunan dengan cepat, yaitu dalam beberapa menit sampai dua jam setelah makan jamur, sedangkan gejala keracunan A' phalloides timbul lambat, kira-kira sesudah 6-1 5 jam, dengan silat gejala yang berlainan.
48
Farmakologi dan Terapi
Amanita muscaria dapat menyebabkan gejala muskarinik tetapi elek utama disebabkan oleh suatu turunan isoksazol yang merupakan racun susunan saraf pusat dengan gejala bingung, koma dan kadang-kadang konvulsi. Keracunan dapat berakibat kematian dan atropin hanya merupakan antidotum yang ampuh bila efek muskariniknya yang dominan. Amanita phalloides lebih berbahaya; keracunannya ditandai dengan gejala-gejala akut di saluran cerna dan dehidrasi yang hebat. Kerusakan hepar menyebabkan ikterus dan mungkin berakhir dengan acute yellow atrophy, Oliguri atau anuri terjadi sebagai akibat kerusakan parenkim ginjal. Sianosis dan hipotensi timbul karena kerusakan otot jantung dan dinding kapiler. Toksin Amanita phalloides iuga merusak sel-sel susunan saral pusat. Gejala- gejala ini tidak dapat digolongkan sebagai elek muskarinik, meliputi banyak organ-organ vital secara langsung dan berakhir dengan kematian pada 50-1 00% penderita. Pengobatan hanya bersifat simtomatik dan suportif; atropin tidak berguna. Keracunan dengan pilokarpin atau arekolin jarang terjadi, kecuali pada pengobatan yang salah, Mungkin hal ini disebabkan oleh adanya hambatan absorpsi pada pemakaian menahun atau adanya suatu toleransi. Dosis latal untuk pilokarpin kira-kira 100 mg.
3.3. INDIKASI
Hanya pilokarpin HCI atau pilokarpin nitrat yang digunakan, yaitu sebagai obat tetes mata untuk menimbulkan miosis dengan larutan 0,5 - 3%.
Obat ini digunakan juga sebagai dialoretik dan untuk menimbulkan salivasi, diberikan per oral denmg. Arekolin hanya digunakan dalam bidang kedokteran hewan untuk penyakit cacing gelang. Muskarin hanya berguna untuk penelitian dalam laboratorium, dan tidak digunakan dalam terapi. Aseklidin adalah suatu senyawa sintetik yang strukturnya mirip arekolin. Dalam kadar 0,5-4% sama efektifnya dengan pilokarpin dalam menurunkan
gan dosis 7,5
tekanan intraokular, Obat ini digunakan pada p'enderita glaukoma yang tidak tahan pilokarpin.
4. OBAT KOLINERGIK LAINNYA Dalam bagian ini akan dibicarakan mengenai obat kolinergik lain yaitu metoklopramid dan sisaprid yang memperlihatkan efek kolinergik di saluran cerna.
4.1. METOKLOPRAMID Metoklopramid merupakan senyawa golong-
an benzamid. Gugus kimianya mirip prokainamid, tetapi metoklopramid memiliki elek anestetik lokal yang sangat lemah dan hampir tidak berpengaruh terhadap miokard. Elek larmakologi metoklopramid sangat nyata pada saluran cerna; obat ini juga dapat meningkatkan sekresi prolaktin. Mekanisme kerja metoklopramid pada saluran cerna belum diketahui secara pasti. Tapi jelas bahwa efeknya dapat dihambat oleh antikolinergik dan diperkuat oleh obat-obat kolinergik misalnya karbakol dan metakolin. Tiga hipotesis telah diajukan tentang mekanisme kerja metoklopramid di saluran cerna, yaitu: (1) potensiasielek kolinergik;(2) elek langsung pada otot polos; dan (3) penghambatan dopaminergik sentral.
FARMAKODINAMIK. Saluran cerna. Metoklopramid memperkuat tonus sfingter esolagus distal dan meningkatkan amplitudo konlraksi esolagus. Efek ini lebih besar pada orang sehat dibanding dengan pada penderita dengan refluks esofagus, wanita hamil dan hiatus hernia. Pada gaster, metoklopramid memperkuat kontraksi terutama pada bagian antrum, memperbaiki koordinasi kontraktilitas antrum dan duodenum sehingga mempercepat pengosongan lambung. Sedangkan sekresi lambung tidak dipengaruhi. Berbeda dengan di esofagus, elek di gaster lebih nyata pada penderita dengan gangguan pengosongan dan kontraksi lambung dibanding dengan elek pada orang sehat. Iransft fime di usus halus lebih pendek selelah kontraksi otot polos. Elek ini dapat dilawan oleh obat antikolinergik.. Efek antiemetik. Elek ini timbul berdasarkan mekanisme sentral maupun perifer. Secara sentral metoklopramid mempertinggi ambang rangsang muntah di Chernoreceptor Trigger Zone (CTZ), sedangkan secara perifer obat ini menurunkan kepekaan saraf viseral yang menghantarkan impuls aferen dari saluran cerna ke pusat muntah.
Kolinergik
Susunan Saraf Pusat. Antagonisme dopamin sentral merupakan dasar elek antiemetik dan gejala ekstrapiramidal dari metoklopramid. Selain itu obat ini juga merangsang sekresi prolaktin dengan akibat perbaikan laktasi.
lNDlKASl. Metoklopramid terutamadigunakan untuk memperlancar jalannya zat kontras pada waktu pemeriksaan radiologik lambung dan duodenum, uniuk mencegah atau mengurangi muntah akibat radiasi dan pascabedah. Selain itu metok' lopramid bermanlaat untuk mempermudah intubasi saluran cerna. Selain itu obat ini diindikasikan pada berbagai gangguan saluran cerna dengan gejala mual, muntah, rasa terbakar di ulu hati, perasaan penuh setelah makan dan gangguan e'erna (indigestion) misalnya pada gastroparesis diabetik' Elek terhadap migren, perangsangan laktasi dan hipomotilitas ureter masih memerlukan pbnelitian lebih lanjut.
KONTRAINDIKASI, EFEK SAMPING DAN INTER. AKSI OBAT. Metoklopramid dikonlraindikasikan pada obstruksi, perdarahan dan perlorasi saluran cerna, epilepsi, feokromositoma dan gangguan ekstrapiramidal. Elek samping yang timbul pada penggunaan metoklopramid pada umumnya ringan. Yang penting diantaranya adalah kantuk, diare, sembelit dan gejala ekstrapiramidal. Keamanan penggunaan pada kehamilan belum terbukti, sebaiknya tidak diberikan pada trimester pertama kehamilan. Elek metoklopramid pada saluran cerna diper' lemah oleh atropin. Pemberian bersama simetidin perlu diberi jarak waktu minimal satu jam karena metoklopramid dapat menurunkan biovailabilitas simetidin sebanyak 25 sampai 30%, sangat mungkin karena perpendekan masa transit.
SEDIAAN DAN POSOLOGI. Metoklopramid tersedia dalam bentuk tablet 5 mg dan 10 mg; sirup mengandung 5 mg/ 5 ml; dan suntikan 10 mg/2 ml untuk penggunaan lM atau lV. Dosis untuk dewasa ialah 5-10 mg 3 kali sehari. Untuk anak 5-14 tahun 2,5 mg - 5 mg 3 kali sehari; anak 3'5 tahun 2 mg' 2
atau 3 kali sehari; anak 1-3 tahun 1 mg, 2 atau 3 kali sehari; dan bayi 1 mg, 2 kali sehari,
4.2. SISAPRID Sisaprid merupakan senyawa benzamid yang
merangsang motilitas saluran cerna. Kerja obat ini diduga meningkatkan penglepasan ACh di saluran cerna. Kerja pada reseptor lain termasuk reseptor dopamin belum dapat disingkirkan. Berbeda dengan kolinergik lain obat ini cenderung menyebabkan
takikardia. Berbeda dengan metoklopramid obat ini meningkatkan motilitas kolon dan dapat menyebabkan diare.
Eksperimental pada hewan. Sisaprid meningkatkan tonus istirahat sfingter bawah esofagus dan meningkatkan amplitudo kontraksi esolagus bagian
distal. Pengosongan lambung dipercepat, waktu transit mulut-saekum memendek, peristalsis kolon meningkat. Sisaprid diindikasikan pada refluks gastroesofagial, gangguan mobilitas gaster dan dispepsia bukan karena tukak. Dosis 3-4 kali sehari 10 mg, 15-30 menit sebelum makan. Lama pengobalan 4-12 minggu. Obat ini dimetabolisme secara ekstensil di hati sehingga dosis perlu disesuaikan pada gagal hati. Pada pasien gagal ginial, dosis juga perlu diturunkan sesuai beratnya gangguan, mungkin sampai separuhnya.
Perhatian. Jingan memberikan sisaprid bila peningkatan gerakan saluran cerna dapat berpengaruh buruk misalnya pada perdarahan, obstruksi, perlorasi, atau keadaan pascabedah. Pengaruhnya terhadap saluran cerna mungkin meningkatkan atau mengurangi absorpsi obat lain.
Efek samping. Terutama mengenai saluran cerna berupa : kolik, borborigmi dan diare. Gejala sistem saral pusat berupa sakit kepala, pusing, konvulsi dan efek ekstrapiramidal dan takikardia. Hipertensi dan ekstrasistol iuga dilaporkan, tidak jelas hubungannya dengan Pemberian obat.
50
Farmakologi dan Terapi
4. ANTIMUSKARINIK l. Darmansjah
1.
Alkaloid Belladona 1,1. Farmakodinamik 1.2, Farmakokinetik 1.3. Toleransi 1.4. Toksikotogi 1.5. Posologi
Bab ini semula berjudul antikolinergik, tetapi karena dalam bab ini hanya dibahas antikolinergik yang bekerja pada reseptor muskarinik, maka judul bab diganti menjadi antimuskarinik. AntikolinLrgik sentral misalnya triheksilenidil dibahas di Bab Obat Penyakit Parkinson dan yang bekerja pada reseptor
nikotinik di Bab 7 dan Bab 8. Dalam bab ini hanya dibahas antimuskarinik yang mirip atropin dan anti-
2. Obat sintetik 3. Sediaan 4. Penggunaan
mirip atropin klinik
yang digunakan untuk : (1) mendapatkan elek peri_
ler tanpa elek sentral misalnya, antispasmodik; (2)
penggunaan lokal pada mata sebagai midriatikum; (3) memperoleh efek sentral misalnya, obal untuk penyakit Parkinson; (4) elek bronkodilatasi;dan (5) memperoleh efek hambatan pada sekresi lambung dan gerakan saluran cerna,
muskarinik generasi baru misalnya ipratropium bro_
mida, dan pirenzepin, Atropin merupakan prototip golongan ini. Antimuskarinik ini bekerja di alat yang dipersa-
rafi serabut pascaganglion kolinergik. pada gang_ lion otonom dan otot rangka, tempat asetilkoli; juga bekerja, penghambatan oleh atropin hanya teiladi dengan dosis sangat besar. Kelompok obat ini memperlihatkan kerja yang hampir sama, tetapi dengan afinitas yang sedikit berbeda terhadap berbagai alat; pada dosis kecil (sekitar 0.25 mg) misalnya, atropin hanya menekan sekresi air liur, mukus bronkus dan keringat. Sedangkan dilatasi pupil, gangguan akomodasi dan penghambatan N. vagus terhadap jantung baru terlihat pada dosis yang lebih besar (0.5 - 1.0 mg). Dosis yang lebih besar lagi diperlukan untuk menghambat peristalsis usus dan sekresi kelenjar di lambung. Beberapa subtipe reseptor muskarinik telah diidentifikasi saat ini (lihat Bab 2). Penghambatan pada reseptor muskarinik ini mirip denervasi serabut pascaganglion kolinergik dan biasanya efek adrenergik menjadi lebih nyata. Antimuskarinik memperlihatkan elek sentral terhadap susunan saraf pusat, yaitu merangsang pada dosis kecil dan mendepresi pada dosis toksik. Banyak sekali antikolinergik disintesis dengan
maksud mendapatkan obat dengan elek selektif terhadap gangguan tertentu disertai efek samping yang lebih ringan. Saat ini terdapat antimuskarinik
1. ALKALOID BELLADONA Atropin (campuran d- dan /- hiosiamin) dan skopolamin (/-hiosin) merupakan dua alkaloid aktil.
'i;4:" Gi Atropin
,/"t HOCHz
G+
\u,
H
Skopolamin
Gambar 4-1. Struktur atropin dan skopolamin. Perbedaan atropin dan skopo{amin hanya terletak pada jembatan oksigen padatempat CaCt.
51
Antimuskarinik
Atropin terutama ditemukan pada Atropa belladonna dan Datura stramonium, sedangkan skopolamin terutama diperoleh dari Hyoscyamus niger. Alkaloid-alkaloid ini merupakan ester organik dari asam tropat dengan tropanol atau skopin (basa organik), Rumus bangun atropin dan skopolamin dapat di-
lihat pada Gambar 4-1. 1.1. FARMAKODINAMIK
MATA. Alkaloid belladona menghambat M. constrictor pupillae dan M. clliaris lensa mata, sehingga menyebabkan midriasis dan sikloplegia (paralisis mekanisme akomodasi). Midriasis mengakibatkan
lotofobia, sedangkan sikloplegia menyebabkan hilangnya daya melihat jarak dekat. Sesudah pemberian 0,6 mg atropin SK pada mulanya terlihat efek terhadap kelenjar eksokrin, terutama hambatan salivasi, serta efek bradikardi sebagai hasil perangsangan N. vagus. Midriasis baru terlihat dengan dosis yang lebih tinggi (> 1 mg).
Atropin sebagai prototip antimuskarinik akan dibicarakan sebagai contoh dan antimuskarinik lain akan disebut bila ada perbedaan. Hambatan oleh atropin bersifat reversibel dan
dapat diatasi dengan pemberian asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian antikolinesterase, Atropin memblok asetilkolin endogen maupun eksogen, tetapi hambatannya jauh lebih kuat ter-
hadap yang eksogen. Skopolamin memiliki elek depresi sentral yang lebih besar daripada atropin, sedangkan elek perifer terhadap jantung, usus dan otot bronkus lebih kuat dipengaruhi oleh atropin. SUSUNAN SARAF PUSAT. Atropin merangsang medula oblongata dan pusat lain di otak. Dalam dosis 0,5 mg (untuk orang lndonesia mungkin + 0,3 mg) atropin merangsang N. vagus dan lrekuensi jantung berkurang. Efek penghambatan sentral pada dosis ini belum terlihat. Depresi yang timbul khusus di beberapa pusat motorik dalam otak, dapat menghilangkan tremor yang terlihat pada parkinsonisme. Perangsangan respirasi terjadi sebagai akibat dilatasi bronkus, tetapi dalam hal depresi respirasi oleh sebab tertenlu, atropin tidak berguna merangsang respirasi. Bahkan pada dosis yang besar sekali, atropin menyebabkan depresi napas, eksitasi, disorientasi, delirium, halusinasi dan perangsangan lebih jelas di pusat-pusat yang lebih tinggi. Lebih lanjut lerjadi depresi dan paralisis medula oblongata. Skopolamin memperlihatkan elek terapi yang
berlainan, yaitu euloria, amnesia dan kantuk. Kadang-kadang terjadi idiosinkrasi berupa kegelisahan, delirium dan halusinasi dengan dosis terapi. Pada orang tua, antikolinergik terutama yang efek sentralnya kuat dapat menyebabkan sindrom demensia. Secara tiba-tiba pasien kehilangan orientasi tempat, waktu dan personal. lni dapat me-
rupakan trauma psikis bagi pasien dan keluarga' nya.
Mula timbulnya midriasis tergantung dari besarnya dosis, dan hilangnya lebih lambat daripada hilangnya elek lerhadap kelenjar liur. Pemberian lokal pada mata menyebabkan perubahan yang lebih cepat dan berlangsung lama sekali (7-12 hari). Hal ini disebabkan atropin sukar dieliminasi dari cairan bola mata. Midriasis oleh alkaloid belladona dapat diatasi oleh pilokarpin, eserin atau DFP. Tekanan intraokular pada mata yang normal tidak banyak mengalami perubahan. Tetapi pada penderita glaukoma, penyaluran dari cairan intraokular akan terhambat, terutama pada glaukoma sudut sempit, sehingga dapat meninggikan tekanan intraokular. Hal ini disebabkan karena dalam keadaan midriasis muara saluran Schlemm yang terletak di sudut bilik depan mata menyempit, sehingga terjadi bendung' an cairan bola mata.
SALURAN NAPAS. Alkaloid belladona mengurangi sekret hidung, mulut, laring dan bronkus. Pema-
kaiannya ialah pada medikasi preanestetik untuk mengurangi sekresi lendir pada jalan napas. Sebagai bronkodilator, atropin tidak berguna dan jauh lebih lemah daripada epinelrin atau aminofilin. lpra-
tropiurn bromida merupakan antimuskarinik yang
memperlihatkan bronkodilatasi berarti secara khusus.
SISTEM KARDIOVASKULAR. Pengaruh atropin terhadap jantung bersifat bifasik. Dengan dosis 0,25-0,5 mg yang biasa digunakan, lrekuensi jantung berkurang, mungkin disebabkan karena perangsangan nukleus N. vagus. Bradikardi biasanya
tidak nyata dan tidak disertai perubahan tekanan darah atau curah jantung, Pada dosis lebih dari 2 mg, yang biasanya hanya digunakan pada keracun-
an insektisida organofosfat, terjadi hambatan N. vagus dan timbul suatu takikardi. Atropin dalam hal ini lebih efektif daripada skopolamin. Obat ini juga dapat menghambat bradikardi yang ditimbulkan oleh obat kolinergik. Atropin tidak mempengaruhi
52
pernbuluh darah maupun tekanan darah secara langsung, tetapi dapat menghambat vasodilatasi oleh asetilkolin atau ester kolin yang lain. Atropin tidak berefek terhadap sirkulasi darah bila diberikan sendiri, karena pembuluh darah hampir tidak diper-
sarafi parasimpatik. Dilatasi kapiler pada bagian muka dan leher terjadi dengan dosis yang besar dan
toksik. Kelainan ini mungkin dapat dikacaukan dengan penyakit yang menyebabkan kemerahan kulit di daerah tersebut, vasodilatasi ini disertai dengan naiknya suhu kulit. Hipotensi ortostatik kadangkadang dapat terjadi setelah pemberian dosis 2 mg.
SALURAN CERNA. Karena bersilat menghambat peristalsis lambung dan usus, atropin juga disebut obat antispasmodik. Penghambatan terhadap asetilkolin eksogen (atau ester kolin) terjadi lengkap, tetapi terhadap asetilkolin endogen hanya terjadi parsial. Atropin menyebabkan berkurangnya sekresi liur dan sebagian juga sekresi lambung. Pada tukak peptik, atropin sedikit saja mengurangi sekresi HCl, karena sekresi asam ini lebih di bawah kontrol lase gaster daripada oleh N. vagus. Gejalagejala ulkus peptikum setelah pemberian atropin terutama dikurangi oleh hambatan motilitas lambung, inipun memerlukan dosis yang selalu disertai dengan keringnya mulut. Tetapi sekali terjadi blokade, maka blpkade akan bertahan untuk waktu yang agak lama. Atropin hampir tidak mengurangi sekresi cairan pankreas, empedu dan cairan usus, yang lebih banyak dikontrol oleh faktor hormonal. Antimuskarinik yang lebih selektif ialah pirenzepin yang afinitasnya lebih jelas pada reseptor M1. Konstante disosiasi pirenzepin pada M1, kira-kira 5 kali konstante disosiasinya pada M2. Pirenzepin bekerja lebih selektif menghambat sekresi asam lambung dan pepsin pada dosis yang kurang mempengaruhi organ lain. Sekresi asam lambung pada malam hari dapat diturunkan sampai 44%. Dengan dosis 100 mg sehari, sekresi saliva dan motilitas kolon berkurang. pengosongan lambung dan laal pankreas tidak dipengaruhi obat ini.
OTOT POLOS LAIN. Saluran kemih dipengaruhi oleh atropin dalam dosis agak besar (kira-kira 1 mg). Pada pielogram akan terlihat dilatasi kaliks, pelvis, ureter dan kandung kemih. Hal ini dapat mengakibatkan retensi urin, Fletensi urin disebabkan relaksasi M. delrusor dan konstriksi sfingter uretra. Bila ringan akan berupa kesulitan miksi yaitu
penderita harus mengejan sewaktu miksi. Efek antispasmodik pada saluran empedu, tidak cukup kuat
Farmakologi dan Terapi
untuk menghilangkan kolik yang disebabkan oleh batu dalam saluran empedu. Pada uterus, yang inervasi otonomnya berbeda dari otot polos lainnya, tidak terlihat relaksasi, sehingga atropin hampir
tidak bermanfaat untuk pengobatan nyeri haid.
KELENJAR EKSOKRIN. Kelenjar eksokrin yang paling jelas dipengaruhi oleh atropin ialah kelenjar liur dalam mulut serta bronkus. Untuk menghambat aktivitas kelenjar keringat diperlukan dosis yang lebih besar; kulit menjadi kering, panas dan merah lerutama dibagian muka dan leher. Hal ini menjadi lebih jelas lagi pada keracunan yaitu seluruh suhu badan meningkat. Elek terhadap kelenjar air mata dan air susu tidak jelas.
1.2. FARMAKOKINETIK Alkaloid belladona mudah diserap dari semua tempat, kecuali dari kulit. Pemberian atropin sebagai obat tetes mata, terutama pada anak dapal menyebabkan absorpsi dalam jumlah yang cukup besar lewat mukosa nasal, sehingga menimbulkan elek sistemik dan bahkan keracunan. Untuk mencegah hal ini perlu dilakri.kan penekanan kantus internus mata setelahj- penetesan obat agar
larutan atropin tidak misuk ke rongga hidung, terserap dan menyebabkan efek sistemik. Dari sirkulasi darah, atropin cepat memasuki jaringan dan kebanyakan mengalami hidrolisis enzimatik oleh hepar, Sebagian diekskresi melalui ginjal dalam bentuk asal.
Antikolinergik sintetik yang merupakan amo-
nium kuaterner, misalnya skopolamin metilbromida, lebih sulit diabsorpsi sehingga perlu diberikan dalam dosis yang lebih besar (2,5 mg), tetapi efek sentralnya tidak sekuat atropin karena tidak melewati sawar darah otak. Absorpsi pirenzepin tidak lengkap (20-30%) dan dipengaruhi adanya makanan dalam lambu49. Masa paruh eliminasinya sekitar 11 jam. Sebagian besar pirenzepin diekskresi melalui urin dan leses dalam bentuk senyawa asalnya. Pada pasien gagal"ginjal, kadar obat meningkat 30-40%, namun belUm menyebabkan efek toksik. Hemodialisis tidak banyak bermanlaat untuk mempercepat ekskresi obat pada keracunan pirenzepin.
53
Antimuskarinik
1.3. TOLERANSI
Gejala keracunan timbul dalam 15-20 menit' dimulai dengan pusing, mulut kering, tidak dapat
Toleransi pada manusia dapat terjadi, misalnya, pad.a penderita parkinsonisme, yang sering
menelan, berbicara sukar, dan perasaan haus
mendapat dosis yang tinggi sekali. Adiksi dan habi-
sekali karena air liur tidak ada. Penglihatan menjadi kabur dan daya melihat jarak dekat hilang. Midriasis
tuasi tidak jelas tampak, kadang'kadang terlihat gejala muntah-muntah, berkeringat dan salivasi pada penderita parkinsonisme yang pengobatan-
yang hampir maksimal menyebabkan lotofobia' Kulit terasa panas, kering dan pada perabaan se'
nya dihentikan secara mendadak.
bagian muka, leher dan bahu. Suhu badan meninggi, terutama pada anak. Jantung berdenyut ce' pat sekali dan mungkin berupagallop rhythm;halini menyebabkan naiknya tekanan darah. Peristalsis
1.4. EFEK SAMPING I TOKSIK Efek samping antimuskarinik hampir semuanya merupakhn efek farmakodinamik obat. Pada orang muda efek samping mulut kering, gangguan miksi, meteorisme sering terjadi, tetapi tidak membahayakan. Pada orang tua efek sentral terutama sindrom demensia, dapat terjadi. Memburuknya retensi urin pada pasien dengan hipertrofi prostat dan penglihatan pada pasien glaukoma, menye-
babkan obat ini kurang diterima. Elek samping sentral kurang pada pemberian antimuskarinik yang bersifat amonium kuaterner. Walaupun demikian selektivitas hanya berlaku pada dosis rendah dan pada dosis toksik semuanya dapat terjadi. Muka rnerah selelah pemberian atropin bukan alergi melainkan efek samping sehubungan vasodilatasi pembuluh darah di wajah. Alergi terhadap atropin tidak sering ditemukan.
Atropin dan skopolamin kadang-kadang menyebabkan keracunan, terutama pada anak, karena kesalahan dalam menghitung dosis, atau sewaktu
meracik obat kombinasi, karena itu atropin tidak dianjurkan diberikan pada anak di bawah 4 tahun. Telah dijelaskan di atas bahwa kadang-kadang obat tetes matapun dapat menyebabkan keracunan bila tidak dilakukan tindakan untuk mengurangi absorpsinya. Keracunan terjadi akibat makan buah dari tanaman yang mengandung alkaloid belladona, misalnya kecubung. Walaupun gejala keracunan obat ini sangat mengeiutkan, kematian iarang ter-
jadi. Telah dilaporkan bahwa dosis 500-1000 mg masih belum merupakan dosis latal. Sebaliknya pada anak, dosis 10 mg mungkin menyebabkan kematian, Di RSCM pernah teriadi kematian pada 2 dari 3 anak yang makan beberapa buah kecubung (Datura Stramonium), Perbedaan dalam dosis latal ini mungkin berdasarkan reaksi idiosinkrasi dan ke-
pekaan seseorang. Karena itu, tiap keracunan
alkaloid belladona tidak boleh dianggap tidak berbahaya. Skopolamin mungkin lebih toksik dari' pada atropin.
perti bahan beludru, berwarna merah terutama di
dihambat sehingga abdomen meteoristik dan bising usus hilang seperti pada ileus paralitik. Miksi sukar karena atoni kandung kemih dengan akibat terjadinya penyakit infeksi saluran kemih. Gejala-
gejala sentral timbul berupa inkoordinasi, eksitasi' bingung dan tidak terkendalinya gerakan otot' Berbicara dengan baik tak mungkin lagi dan penderita sering mengigau. Halusinasi bercampur dengan gelala-gejala lain, mungkin menyerupai suatu psikosis skizolrenik atau akibat alkoholisme. Pada keadaan yang berat delirium inidapat berakhir dengan koma, tekanan darah menurun dan depresi respirasi yang dapat menyebabkan kematian. Gejalagejala ini dapat berlangsung sampai tiga hari dan dalam periode ini harus dijaga kemungkinan komplikasi jantung dan gangguan keseimbangan elektrolit. Diagnosis keracunan atropin tldak akan mele' set, asal saja kemungkinan keracunan ini diingat pada tiap keadaan toksik dengan gejala sentral ditambah dengan midriasis, kulit merah dan kering serta takikardi, Teoritis diagnosis dapat ditegakkan bila sesudah suntikan 10 mg metakolin, tidak terlihat
gejala-gejala kolinergik yaitu salivasi, berkeringat' lakrimasi dan lain-lainny4 framun hal ini jarang dibutuhkan. Selain itu setetes urin penderita yang pada mata kucing menimbulkan midriasis merupakan uji diagnostik yang mudah dan dapat dipercaya. Pengobatannya ialah dengan bilas lambung bila obat baru saja ditelan dan pemasangan klisma untuk mempercepat pengeluaran obat ini dari usus' Eksitasi dapat dikurangi dengan barbiturat kerja singkat, kloralhidrat atau diazepam dengan dosis secukupnya saja, Bila ada depresi napas perlu dilakukan napas buatan. Bila penderita tidak sadar untuk waktu yang agak lama, keseimbangan elektrolit perlu dimonitor dan diperbaiki. Kateterisasi perlu dikerjakan bila penderita mengalami retensi urin. Kamar perlu digelapkan untuk melindungi retina dari cahaya yang berlebihan'
Farmakologi dan Terapi
Antidotum yang dianjurkan ialah lisostigmin. Fisostigmin salisilat 2-4 mg SK dapat mengatasi semua gejala susunan saraf pusat serta menghi_ langkan elek anhidrosis. Dapat juga diberikan 1-2 mg SK setiap 2 jam, sampai penderita dapat me-
ngenal lingkungannya. Sikloplegia, inkoordinasi motorik dan xerostomia tidak teratasi pada setiap penderita. Fisostigmin lebih bermanfaat daripada metakolin, karena dapat melalui sawar clarah otak. Tetapi, pengobatan kausal dengan fisostigmin tidak dianjurkan untuk keracunan ringan, karena lisostigmin dapat menimbulkan keracunan yang lebih berbahaya bila dosisnya berlebihan.
1.5. POSOLOGT Dosis atropin umumnya berkisar anlara seper-
empat sampai 1 mg. Untuk keracunan antikolinesterase digunakan dosis 2 mglkali (lihat juga Bab 3 dan Bab 52). Dosis untuk mengatasi keracunan kolinergik pada anak adalah 0,04 mg/kgBB, per kali.
2. OBAT SINTETIK MIRIP ATROPIN
ngan dosis 50-100 mg. Propantelin Br lebih kuat daripada metantelin Br.
Oksifenonium menghambat ganglion lebih kuat, daripada metantelin bromida. Terutama dipakai untuk ulkus peptikum dengan dosis 5 mg. Karamifen dan triheksifenidil terutama digunakan untuk penyakit Parkinson (Bab 1 3). lpratropium bromida tersedia dalam bentuk mete red -d ose
i n hal er y ang memberikan 20 pg/semprotan untuk pengobatan tambahan asma bronkial. Dosis untuk orang dewasa ialah 2 inhalasi setiap 3-4 jam (maksimal 12 inhalasi/24 jam). Pirenzepin. Pirenzepin menghambat reseptor kolinerglk muskarinik secara selektil. Dewasa ini diketahui ada 2 jenis reseptor muskarinik yaitu reseptor Mt yang beralinitas tinggi dan reseptor M2 yang berafinitas rendah terhadap pirenzepin. Reseptor
M1, terutama terdapat di susunan saraf pusat dan ganglia, sedangkan reseptor Mz umumnya ada di
organ-organ efektor pasca-ganglion seperti jantung
dan ileum. Dengan dosis 3 x 25 mg/hari faal kandung kemih tidak dipengaruhi. Dosis terapi untuk tukak peptik 2 x 50 mg sehari. Obat diberikan 112 - 1 jam sebelum makan, karena penyerapannya terhambat oleh adanya makanan.
Karena efek tambahan atropin begitu banyak
dan tidak menyenangkan, maka telah disintesis banyak zat untuk mendapatkan obat dengan kerja
yang agak selektif. Usaha ini ditujukan untuk mendapatkan obat yang bekerja khusus terhadap mala,
ulkus peptikum dan penyakit parkinson. pada umumnya elek farmakodinamik tidak banyak berbeda dengan atropin. Ekstrak Beladona ialah ekstrak yang mengandung campuran alkaloid. Homatropin ialah obat semisintetik, kekuatannya'l/1 0 dari atropin. Hanya digunakan sebagai midriatik (larutan 2-5 o/o homatropin HBr), karena mula kerjanya cepat dan efeknya hilang dalam 24 jam. Homatropin metilbromida juga obat semisintetik, dipakai sebagai obat antispasmodik (dosis oral 2,5-5 mg). Sifat penghambat ganglionnya lebih nyata daripada atropin. Skopolamin metilbromida memperlihatkan efek sentral kurang dari skopolamin, lebih lemah daripada atropin, tetapi kerjanya bertahan lebih lama, yaitu kira-kira 8 jam. Dosis oral adalah 2,5 mg. Metantelin bromida memperlihatkan efek penghambat ganglion yang lebih besar daripada atropin, terutama digunakan untuk ulkus peptik de-
3. SEDIAAN Banyak sekali me-too drugs dalam golongan ini yang semuanya tidak memberi keuntungan yang mencolok dari segi efektlvitasnya, toksisitas dan
harga. Daftar antikolinergik dapat dilihat
dalam
Tabel 4-1.
Tabel ZI-1 OBAT ANTIKOLINERGIK Nama generik
Atropin sulfat Butropium bromida Ekst. Belladon Fentonium bromida Hiosin N-butilbromida Skopolamin metil-bromida Oksifenonium bromida Oksifensiklimin HCI Prifinium bromida
Propantelin bromida Pirenzepin
Sediaan 0,25 dan 0,50 mg tablet dan suntikan 5 mg/tablet 10 mg/tablet
20 mg/tablet 10 mg/tablet 20 mg/ampul 1 mg/tablet
5 mg/tablet 5 mg/tablet 15 mg/tablet 15 mg/tablet 25 mg/tablet
55
Antimuskarinik
INTERAKSI OBAT. Antasid natrium bikarbonat dan kombinasi magnesium trisilikat + aluminium hidroksid meningkatkan absorpsi pirenzepin sekitar 14-
SALURAN CERNA. Antikolinergik digunakan untuk menghambat motilitas lambung dan usus. Terutama dipakai pada ulkus peptikum dan sebagai peng-
Pi16nzepin tidak diindikasikan untuk penderita sindrom Zollinger- Ellison, namun bila dikombinasL kan dengan AH2 (misalnya simetidin alau ranitidin) dapat menghambat produksi asam lambung secara lebih efektil sehingga mencapai keadaan aklorhidria.
obatan simtomatik pada berbagai keadaan misalnya disentri, kolitis, divertikulitis dan kolik karena obat atau sebab lain. Dosis untuk ini biasanya sangat bervariasi dan harus disesuaikan untuk tiap penderita sedemikian rupa, sehingga gejala-gejala tambahan dirasakan seminimal mungkin. Alkaloid belladona tidak akan mengurangi frekuensi diare
4. PENGGUNAAN KLINIS
dan untuk ini perlu diberikan pengobatan tambahan dengan opiat dosis kecil, jika benar diperlukan; atau aslringen, adsorben seperti kaolin, dan sebagainya.
20%.
SUSUNAN SARAF PUSAT. Parkinsonisme. Antikolinergik merupakan obat tambahan di samping levodopa (lihat juga Bab 13), Pemakaian lain ialah pada mabuk kendaraan (misalnya mabuk laut) dan untuk ini 0,5-1 ,0 mg skopolamin dapat digunakan sebagai profilaktik. Antihistamin atau derivat lenotiazin sekarang lebih sering digunakan pada mabuk kendaraan.
OFTALMOLOGI. Biasanya dipakai lokal untuk me-
nimbulkan midriasis pada beberapa keadaan. Misalnya diperlukan untuk melakukan lunduskopi, menghilangkan daya akomodasi sewaktu pemeriksaan refraksi dan untuk beberapa keadaan inleksi misalnya iritis, iridosiklitis dan keratitis. lnfeksi mata di bagian depan ini sering mengakibatkan perlekatan antara iris dengan lensa atau kornea. Untuk
menghindari ini, iris perlu ditarik jauh dari tempat persentuhan dengan lensa. Atropin biasanya dipakai dengan kekuatan larutan 1 %, dua atau tiga tetes larutan ini cukup untuk menyebabkan midriasis selama beberapa hari sampai seminggu. Dalam keadaan infeksi perlu diberi dua atau tiga kali sehari untuk mendapat elek penuh. Tentu pengobatan dengan antibiotik harus disertakan. Homatropin sebagai obat letes mala (2-5%) bekerja lebih pendek, yaitu kira-kira24iam.
Tropikamid 1% diberikan 2 tetes selang 5 menit menimbulkan sikloplegia dan midriasis dalam 20-35 menit. Fungsi akomodasi kembali dalam 2-6 jam. Semua penderita yang diberi antikolinergik sebagai obat tetes mata harus diperiksa dahulu untuk menentukan adanya glaukoma, karena penyakit ini merupakan kontraindikasi utama antikolinergik. Peninggian tekanan intraokuler terus-menerus dapat menyebabkan kebutaan.
Beberapa macam diare yang disertai lahor psikis perlu tambahan obat penenang. Sedangkan diare non-spesifik biasanya akan berhenti sendiri dalam beberapa hari bila isi kolon telah bersih, Tentu tidak boleh dilupakan pemberian oralit bila kehilangan cairan banyak.
Dalam pengobalan ulkus peplikum, atropin atau antikolinergik lain dalam dosis yang biasa digunakan tidak cukup untuk menghambat sekresi asam lambung, Pirenzepin berguna sebagai obat tunggal atau bila dikombinasi dengan antagonis Hz untuk tukak duodeni dengan dosis 2 x 50 mg sehari. Dosis kurang dari 100 mg/hari tidak memperbaiki angka penyembuhan tukak secara bermakna. Dalam suatu penelitian pemberian selama 4 minggu dica' pai angka penyembuhan tukak sebesar 80%, sedangkan ranitidin (300 mg/hari) memberi angka penyembuhan 87%. Dosis pirenzepin untuk tukak lambung $ma dengan dosis yang diberikan untuk tukak duodenum, namun diperlukan masa pengobatan yang lebih lama (6-8 minggu) dan angka penyembuhannya pun lebih rendah (18'64%ol. SALURAN NAPAS. Antikolinergik dapat berguna untuk mengurangi ekskresi lendir hidung dan saluran napas secara simtomatis, misalnya untuk rinitis
akut, koriza dan hay fever. Terapi antikolinergik tidak memperpendek masa penyakit. lpratropium bromida ialah suatu derivat metil atropin, jadi juga suatu amonium kuaterner; el6ktivitas sebagai bronkodilator bila diinhalasi tidak sekuat beta-agonis. Obat ini diindikasikan mengatasi bronkokonstriksi yang tidak dapat diatasi lagi dengan teofilin atau beta-2 agonis atau bila kedua obat tersebut tidak terterima oleh pasien.
Pada bronkitis kronis dan emfisema, ipratropium bromida lebih efektif daripada beta-2 agonis
56
dan dapat dipertimbangkan sebagai obat pilihan utama, khususnya untuk anak-anak dan penderita berusia lanjut.
Pada pemberian secara inhalasi ipratropium bromida tidak mempengaruhi kekentalan, produksi, maupun proses pembersihan mukus. Obat ini juga praktis tidak diserap sehingga jarang menimbulkan efek samping sistemik. Elektivitas obat mencapai puncaknya antara 1-2 jam setelah inhalasi dan bertahan 3-5 jam. Toleransi tidak terjadi dalam pemakaian sampai 5 tahun. Obat inidiperkirakan cukup aman untuk penderita dengan glaukoma atau hipertroli prostat.
INDIKASI LAIN. Medikasi preanestetik. Atropin berguna untuk mengurangi sekresi lendir jalan napas pada anestesi, lerutama pada anestesi inha-
lasi dengan gas-gas yang merangsang. Skopola-
Farmakologi dan Terapi
dapat dikatakan konsisten dan untuk ini perlu dikombinasi dengan petidin atau analgesik lain. Tonus kandung kemih memang dapat berkurang dan elek ini menjadi dasar penggunaannya pada keadaan enuresis bersama dengan efedrin. Walaupun demikian pengobatan ini tidak dianjurkan, karena efek samping yang lebih mengganggu.
Toksikologi. Manfaat antikolinergik pada keracunan antikolinesterase dapat dibaca pada Bab 3 dan Bab 52. Sedangkan pada keracunan jamur, atropin hanya berguna untuk keracunan yang ditandai den-
gan gejala muskarinik (lihat Bab 3). Atropin berguna untuk mengantagonis gejala parasimpatomimetik yang menyertai pengobatan kolinergik pada miastenia gravis. Obat ini tidak mengganggu elek kolinergik terhadap otot rangka.
min
khususnya, menyebabkan amnesia tentang hal-hal yang terjadi sewaktu tindakan anestesia. Kelenjar yang sekresinya dihambat secara baik
ANTAGONIS RESEPTOR MUSKARINIK DALAM TAHAP PENGEMBANGAN.
oleh antikolinergik ialah kelenjar keringat dan kelen-
jar ludah. Atropin kadang-kadang berguna untuk menghambat N. vagus pada bradikardi atau sinkope akibat retleks sinus karotis yang hiperaktif. Beberapa jenis blok A-V yang disertai dengan hiperaktivitas vagus dapat diperbaiki dengan atropin,
Terhadap otot polos. Efek relaksasi uterus oleh atropin tidak dapat diandalkan dan zat ini hampir tidak berguna untuk nyeri haid. Elektivitasnya lerhadap kolik ginjal atau saluran empedu juga tidak
Telenzepin: analog pirenzepin ini juga menghambat reseptor muskarinik Mr. Potensinya untuk menghambat sekresi asam lambung 4-1 0 kali lebih tinggi dari pirenzepin.
AF-DX 116, metoktramin, dan himbasin. Obat ini alinitasnya lebih besar terhadap reseplor muskarinik Mz di jantung. Obat-obat ini masih dalam iaral pengembangan, diharapkan berguna untuk mengatasi sinus bradikardia dan blok AV karena peningkatan tonus vagal.
57
Adrenergik
5. ADRENERGIK Arini Setiawati
1.
Pendahuluan 1.1. Obat adrenergik kerja langsung 1.2. Obat adrenergik kerja tidak langsung 1.3. Pengaruh refleks
4. Adrenergik lain
4.1. Farmakodinamik 4.2. Farmakokinetik 4.3. lntoksikasi, efek samping dan kontraindikasi
Kimia 5.
3. Epinelrin
3.1. Farmakodinamik 3.2. Farmakokinetik 3.3. lntoksikasi, efek samPing dan kontraindikasi
3.4. Penggunaan klinis 3.5. Posologi dan sediaan
1. PENDAHULUAN Obat golongan ini disebut obat adrenergik karena efek yang ditimbulkannya mirip perangsangan saraf adrenergik, atau mirip efek neurotransmitor norepinefrin dan epinefrin (yang disebut iuga noradrenalin dan adrenalin) dari susunan saral simpatis. Golongan obat ini disebut juga obat simpatik atau simpatomimetik, tetapi nama ini kurang tepat karena aktivitas susunan saral simpatis ada yang diperantarai oleh transmitor asetilkolin'
Kerja obat adrenergik dapat dibagi dalam 7 : (1) perangsangan perifer terhadap otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa, dan ter' hadap kelenjar liur dan keringat; (2) penghambatan perifer terhadap otot polos usus, bronkus, dan pembuluh darah otot rangka; (3) perangsangan jantung, dengan akibat peningkatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi; (4) perangsangan
jenis
SSP, misalnya perangsangan pernapasan, pening-
katan kewaspadaan, aktivitas psikomotor, dan pengurangan nalsu makan; (5) efek metabolik, misalnya peningkatan glikogenolisis di hati dan otot, lipolisis dan penglepasan asam lemak bebas dari jari' ngan lemak; (6) efek endokrin, misalnya mempe-
Penggunaan klinik 5.1. Berdasarkan efek kardiovaskular 5.2. Asma bronkial 5.3. Reaksi alergi 5.4. Mata 5.5. Berdasarkan efek sentral 5.6. Lain-lain
ngaruhi sekresi insulin, renin dan hormon hipofisis; dan (7) efek prasinaptik, dengan akibat hambatan atau penin gkatan pen glepasan neurotransmitor NE dan ACh (secara fisiologis, elek hambatan lebih penting). Efek adrenergik tersebut di atas dan reseptor yang memperantarainya dapat dilihat pada Tabel 2-1 . Tabel ini mengemukakan secara iingkas respons berbagai organ efektor terhadap perangsangan adrenergik.
1.1. OBAT ADRENERGIK KERJA
LANGSUNG Kebanyakan obat adrenergik bekerja secara langsung pada reseptor adrenergik di membran sel efeitor. Akan tetapi, berbagai obat adrenergik tersebut berbeda dalam kapasitasnya untuk mengaktifkan berbagai jenis reseptor adrenergik. Misalnya, isoproterenol praktis hanya bekerja pada reseptor p dan sedikit sekali pengaruhnya pada reseptor o. Sebaliknya, lenilefrin praktis hanya menunjukkan aktivitas pada reseptor cr. Jadi, efek suatu obat adrenergik dapat diduga bilS diketahui reseptor mana yang terutama dipengaruhi oleh obat
58
Farmakologi dan Terapi
tersebut. Misalnya isoproterenol, pada dosis yang biasa diberikan, hanya mempengaruhi reseptor pr dan B2, dan sedikit sekali mempengaruhi reseptor o,, sehingga akan mempercepat denyut jantung, mempdrkuat kontraksi otot jantung dan melebarkan pembuluh darah otot rangka, dengan akibat pening_ katan tekanan darah sistolik dan penurunan tekan_ an darah diastolik, dan akan merelaksasi bronkus. Sebaliknya feniletrin, pada dosis yang biasa diberi_ kan, terutama mempengaruhi reseptor a, sehingga akan sedikit sekali mempengaruhi jantung secara langsung dan tidak merelaksasi bronkus, letapi menyebabkan konstriksi pembuluh darah kulit dan daerah splanknikus sehingga menaikkan tekanan darah.
Konsep reseptor a dan p sukar diterapkan pada efek metabolik dan efek pada SSp. Misainya, urutan potensi NE, Epi, dan lso dalam menimbulkan hiperglikemia pada manusia menunjukkan aktivitas reseptor a, tetapi efek ini tidak dapat dihambat oleh antagonis reseptor o. dan justru antagonis reseptor
I
yang dapat menghambat efek tersebut. Hal ini
sebenarnya tidak mengherankan karena kadar gula darah dipengaruhi oleh bapyak faktor, dan hanya beberapa di antaranya yang dipengaruhi oleh obat adrenergik. Demikian juga pada SSp, sirkuit saraf yang kompleks, yang saling berhubungan satu dengan yang lain secara ekstensif, menyukarkan pembedaan antara elek a dan efek p dari obat adrenergik.
1.2. OBAT ADRENERGIK KERJA TIDAK
LANGSUNG Banyak obat adrenergik, misalnya amfetamin dan efedrin, bekerja secara tidak langsung, artinya menimbulkan efek adrenergik melalui penglepasan NE yang tersimpan dalam ujung saraf adrenergik. Karenanya, elek obat-obat ini menyerupai efek NE, tetapi timbulnya lebih lambat dan masa kerjanya lebih lama. Obat- obat ini diambil ke dalam ujung saraf adrenergik melalui sistem transport untuk NE dan Epi (secara facititated diffusion) yang disebut
ambilan-1 (lihat Bab 2 butir 5.1) dan bertukar de_ ngan NE dalam jumlah yang sama dari poolnya
yang terletak dekat membran plasma (terikat di luar maupun di dalam gelembung sinaps). penglepasan NE oleh obat-obat ini tidak disertai dengan'peng_
lepasan enzim dopamin B-hidroksilase yang
ter_
dapat dalam gelembung sinaps sehingga di-
perkirakan tidak mellbatkan eksositosis. pemberi-
an obat-obat ini secara terus-menerus dalam waktu
singkat akan menimbulkan takifilaksis (lihat Bab 2 butir 5.1.).
Pada umumnya, obat yang mempunyai efek tidak langsung ini juga mempunyai efek langsung pada reseptor adrenergik. Efek langsung ini tentu saja tidak bergantung pada cadangan NE endogen.
Adanya efek melalui penglepasan NE endo_ gen terlihat dari menurunnya efek bila obat inidiberi_
kan setelah pemberian reserpin yang mengosong_ kan simpanan NE endogen; efek meningkat kem_ bali setelah pemberian NE secara intravena. pemu_
tusan saraf adrenergik menyebabkan ujung saraf_ nya berdegenerasi. Tidak adanya NE endogen di sini juga akan menyebabkan hilangnya efek tidak langsung dari obat adrenergik pada organ yang mengalami denervasi. pada pemberian kokain, yang menghambat sistem transport ambilan_1 , terjadi hambatan ambilan amin simpatomimetik yang efeknya tidak langsung maupun yang efeknya langsung. Akibatnya, obat-obat adrenergik yang
eleknya tidak langsung tidak dapat bekerja sedangkan obat-obat adrenergik yang efeknya langsung kerjanya diper-kuat.
Telah disebutkan dalam Bab 2 butir 5.1. bahwa obat-obat adrenergik yang dapat melepaskan NE endogen ini juga ditransport aktif ke dalam vesikel. Akan tetapi, obat-obat yang tidak mem_ punyai gugus p-hidroksil (misalnya amfetamin) tidak lama disimpan dalam vesikel. Hanya obat_ obat yang mempunyai gugus p- hidroksil (misalnya efedrin) atau yang akan dihidroksilasi dalam vesikel oleh dopamin p-hidroksilase (misalnya tiramin.men_ jadi oktopamin) akan disimpan lama dalam vesikel dan menjadi transmitor palsu. Konsep transmitor palsu ini menjelaskan inter_ aksi antara tiramin dengan penghambat MAO (MAO inhibitor = MAOI). Tiramin yang terbentuk dalam saluran cerna (akibat kerja enzim tirosin dekarbok-
silase dari bakteri) biasanya dirusak oleh MAO di dinding usus dan di hati sehingga tidak mencapai sirkulasi. Pemberian MAOI menyebabkan tiramin
yang utuh masuk ke dalam sirkulasi, dibawa
ke
ujung saraf adrenergik, diubah menjadi oktopamin dan disimpan dalam gelembung sinaps, Oleh kare-
na oktopamin mempunyai aktivitas yang rendah terhadap reseptor ct maupun p, maka pemberian MAOI jangka lama akan mengurangi transmisi adrenergik. Pemberian MAOI bersama makanan yang kaya dengan tiramin (misalnya keju, bir, anggur merah, dan hasil fermentasi lainnya) akan menyebabkan tiramin dalam jumlah besar dapat
Adrenergik
59
mencapai ujung saral adrenergik dan menyebabkan penglepasan NE yang masif. Akibatnya dapat terjadi hip€rt€nsi krasas sampai infark miokard atau stroke.
1.3. PENGARUH REFLEKS Respons suatu organ otonom terhadap obat adrenergik ditentukan tidak hanya oleh elek langsung obat lersebut, tetapi juga oleh relleks homeostatik tubuh. Misalnya, rangsangan adrenergik cr1 menimbulkan vasokonstriksi yang meningkatkan tekanan darah. lni menimbulkan refleks kompensasi melalui baroreseptor pada lengkung aorta dan sinus karotis, sehingga tonus simpatis berkurang dan tonus parasimpatis (vagal) bertambah, Akibatnya, vasokonstriksi oleh obat adrenergik ct1 berku-
rang dan terjadi bradikardi. Metoksamin adalah contoh obat yang mempunyai efek adrenergik
cr1
yang hampir murni; obat ini dapat digunakan untuk menghentikan takikardi paroksismal, NE, yang di samping elek a juga mempunyai elek gr yang me-
rangsang jantung, ternyata juga menimbulkan relleks baroreseptor yang kuat, sehingga timbul bradikardi. Sebaliknya Epi, selain elek a dan pl yang berupa perangsangan, juga mempunyai elek pz yang menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah otot rangka, sehingga peningkatan tekanan darah lidak begitu besar. Refleks vagal yang timbul tidak begitu kuat, sehingga biasanya hasil akhirnya adalah takikardi.
bekerja langsung pada reseptor adrenergik di peri-
fer. Karena itu, obat adrenergik yang tidak mempunyai gugus OH pada cincin benzen maupun pada atom C-p (misalnya amfetamin, metamletamin) mudah menembus sawar darah otak sehingga menimbulkan elek sentral yang kuat. Di samping itu, obatobat ini kehilangan aktivitas perilernya yang langsung, sehingga kerjanya praktis hanya secara tidak langsung. Sebaliknya, katekolamin dengan gugus OH pada C-p (misalnya Epi, NE dan lso) sukar sekali masuk SSP sehingga elek sentralnya minimal. Obat-obat ini bekerja secara langsung dan menimbulkan elek periler yang maksimal. Amin simpatomimetik dengan 2 gugus OH, pada posisi 3 dan 4 (misalnya dopamin dan dobutamin) atau pada posisi 3 dan C-B (misalnya fenilefrin, metaraminol) juga sukar masuk SSP sehingga elek sentralnya minimal, sedangkan elek perilernya ditimbulkan lerutama melalui kerja langsung, Obat dengan'1 gugus OH, pada C-p (misalnya eledrin, lenilpropanolamin) atau pada cincin benzen (misalnya hidroksiamfetamin) mempunyai efek sentral yang lebih lemah daripada efek sentral amfetamin (hidroksiamfetamin
hampir tidak mempunyai efek sentral), dan efek periler akibat kerja langsung dan kerja tidak lang-
sung. Gugus OH pada posisi 3 dan 5 bersama gugusOH padaC-p dan substitusiyang besarpada gugus amino memberikan selektivitas reseptor p2 (efek perifer melalui kerja langsung). Katekolamin
tidak elektil pada pemberian oral dan masa kerjanya singkat karena merupakan substrat enzim COMT (katekol-O-metiltransferase) yang banyak terdapat pada dinding usus dan hati; enzim ini me-
2.KIMIA Obal adrenergik, yang juga dikenal sebagai amin simpatomimetik, mempunyai struktur dasar
ngubahnya menjadi derivat 3-metoksi yang tidak aktif. Nonkatekolamin (tidak ada atau hanya satu substitusi OH pada cincin benzen, atau gugus OH pada posisi 3 dan 5) bukan substrat enzim COMT, sehingga meningkatkan efektivitas oral dan memperpanjang masa kerla obat, misalnya efedrin dan
p-feniletilamin, yang terdiri dari inti aromatis berupa cincin benzen dan baglan alifatis berupa etilamin (Tabel 5-2). Substitusi dapat dilakukan pada cincin benzen maupun pada atom C-a, atom C-B, dan gugus amino dari etilamin.
terbutalin.
Substitusi pada cincin benzen dan pada atom C-p. Amin simpatomimetik dengan substitusi gugus OH pada posisi 3 dan 4 dari cincin benzen disebut katekolamin (o-dihidroksibenzen disebut katekol)
dalam biotransformasi amin simpatomimetik, maka hambatan MAO hanya akan mempunyai arti bila COMT juga dihambat. Jadi substitusi pada atom C-a, hanya akan meningkatkan elektivilas oral dan
Substitusi pada atom C-cr menghambat oksidasi amin simpatomimetik oleh enzim monoamin oksidase (MAO) menjadi asam mandelat yang tidak aktil. Karena selain MAO, COMT juga berperan
Substitusi gugus OH yang polar pada cincin benzen
memperpanjang masa kerja amin simpatomimetik
atau pada atom C-p mengurangi kelarutan obat dalam lemak dan memberikan aktivitas untuk
yang tidak mempunyai substitusi 3-OH pada inti benzen (misalnya efedrin, amfetamin), tetapi tidak
60
Farmakologi dan Terapi
memperpanjang masa kerja amin simpatomimetik
yang mempunyai substitusi 3-OH (misalnya etilnorepinefrin). Karena MAO merusak amin simpatomimetik di dalam ujung saraf adrenergik, maka obat yang. resisten terhadap MAO dapat lebih banyak
melepaskan NE endogen (mempunyai elek tidak langsung yang lebih besar).
Substitusi pada gugus amino. Makin besar gugus alkil pada atom N, makin kuat aktivitas p, seperti lerlihat pada lso > Epi > NE. Mdkin kecil gugus alkil pada atom N, makin kuat aktivitas a', dengan gugus metil memberikan aklivitas cr yang paling kuat, sehingga urutan aktivitas a : Epi > NE >> lso.
lsomeri optik. Substitusi yang bersifat levorotatory
p disertai aktivitas perifer yang lebih kuat. Dengan demikian, l-epinefrin dan l-norepinelrin mempunyai efek periler 2 10 kali lebih kuat daripada isomer dekstronya. Sebaliknya, substitusi yang bersifat dextrorotatory pada atom C-a menyepada atom C-
babkan elek sentral yang lebih kuat, misalnya d-am-
letamin mempunyai efek sentral lebih kuat daripada l-amletamin.
Elek Epi terhadap reseptor p2 masih ada pada kadar yang rendah ini, dan menyebabkan hipotensi sekunder pada pemberian Epi secara sisternik. Jlka sebelum Epi telah diberikan suatu penghambat reseptor cr, maka pemberian Epi hanya menimbulkan vasodilatasi dan penurunan tekanan darah. Gejala ini disebut epinephrine reversal. Suatu kenaikan tekanan darah yang tidak begitu jelas mungkin timbul sebelum penurunan tekanan darah ini; kenaikan yang selintas ini akibat stimulasijantung oleh Epi. Pada manusia, pemberian Epi dalam dosis terapi yang menimbulkan kenaikan tekanan darah tidak menyebabkan konstriksi arteriol otak, tetapi menimbulkan peningkatan aliran darah otak. Epi dalam dosis yang tidak banyak mempengaruhi tekanan darah, meningkatkan resistensi pembuluh darah ginjal dan mengurangi aliran darah ginjal sebanyak 40%. Ekskresi Na, K, dan Cl berkurang; volume urin mungkin bertambah, berkurang atau tidak berubah. Tekanan darah arteri maupun vena paru meningkat oleh Epi. Meskipun terjadi konstriksi pembuluh darah paru, redistribusi darah yang berasal dari sirkulasi sistemik akibat konstriksi vena-vena besar juga berperan penting dalam menimbulkan
3.EPINEFRIN 3.1. FARMAKODINAMlK Pada umumnya, pemberian Epi menimbulkan elek mirip stimulasi saral adrenergik. Ada beberapa perbedaan karena neurotransmitor pada saral adrenergik adalah NE. Efek yang paling menonjol adalah efek terhadap jantung, otot polos pembuluh darah dan otot polos lain.
KARDIOVASKULAR. Pembuluh darah. Efek vaskular Epi terutama pada arteriol kecil dan sfingter prekapiler, tetapi vena dan arteri besar juga dipengaruhi. Pembuluh darah kulit, mukosa dan ginjal mengalami konstriksi akibat aktivasi reseptor a oleh
Epi. Pembuluh darah otot rangka mengalami dilatasi oleh Epi dosis rendah, akibat aktivasi reseptor Fe yang mempunyai alinitas lebih besar pada Epi dibandingkan dengan reseptor a. Epi dosis tinggi bereaksi dengan kedua jenis reseptor. Dominasi reseptor a menyebabkan peningkatan resistensi perifer yang berakibat peningkatan tekanan darah. Pada waktu kadar Epi menurun, elek terhadap re-
septor
cr
yang kurang sensitif lebih dulu menghilang.
kenaikan tekanan darah paru. Dosis Epi yang berlebih dapat menimbulkan kematian karena udem paru.
Arteri koroner. Epi meningkatkan aliran darah koroner. Di satu pihak Epi cenderung menurunkan aliran darah koroner karena kompresi akibat peningkatan kontraksi otot jantung, dan karena vaso-
konstriksi pembuluh darah koroner akibat elek reseptor cr. Di lain pihak Epi memperpanjarig wahu diastolik, meningkatkan tekanan darah aorta, dan menyebabkan dilepaskannya adenosin, suatu metabolit yang bersifat vasodilator, akibat peningkatan kontraksi jantung dan konsumsi oksigen miokard; semuanya ini akan meningkatkan aliran darah koroner. Autoregulasi metabolik merupakan faktor yang dominan, sehingga hasil akhirnya adalah vasodilatasi dan peningkatan aliran darah koroner. Tetapi, elek Epi ini tidak dapat dimanlaatkan pada keadaan iskemia miokard, karena manlaal peningkalan aliran darah ditiadakan oleh bertambahnya kerja miokard akibat perangsangan langsung oleh Epi.
Jantung. Epi mengaktivasi reseptor pt di otot jantung, sel pacu jantung dan jaringan konduksi. lni merupakan dasar efek inotropik dan kronotropik positil Epi pada jantung.
61
Adrenergik
Epi mempercepat depolarisasi lase 4, yakni depolarisasi lambat sewaktu diastole, dari nodus sino-atrial (SA) dan sel otomatik lainnya, dengan demikian mempercepalfiring rate pacu jantung dan merangsang pembentukan lokus ektopik dalam ventrikel. Dalam nodus SA, Epi juga menyebabkan perpindahan pacu jantung ke sel yang mempunyai liring rate lebih cepat. Epi mempercepat konduksi sepanjang jaring-
an konduksi, mulai dari atrium ke nodus alrioventrikular (AV), sepanjang bundle of His dan serat
Purkinje sampai ke ventrikel. Epi juga mengurangi blokade AV yang terjadi akibat penyakit, obat atau aktivitas vagal. Selain itu Epi memperpendek periode refrakter nodus AV dan berbagai bagian iantung lainnya. Epi memperkuat kontraksi dan mempercepal relaksasi. Dalam mempercepat denyut jantung dalam kisaran lisiologis, Epi memperpendek waktu sislolik tanpa mengurangi waktu diastolik. Akibalnya, curah jantung bertambah, tetapi kerja jantung dan pemakaian oksigen sangat ber-
reseptor p2 di pembuluh darah otot rangka, di mana aliran darah bertambah. Karena kenaikan lekanan darah tidak begitu besar, relleks kompensasi vagal yang melawan elek langsung Epi terhadap iantung juga tidak begitu kuat. Dengan demikian, denyut jantung, curah jantung, curah sekuncup dan kerja ventrikel meningkat akibat stimulasi langsung pada jantung dan peningkatan alir balik vena (venous return). Biasanya elek vasodilatasi Epi mendominasi sirkulasi; kenaikan tekanan sistolik terutama disebabkan oleh peningkatan curah jantung. OTOT POLOS. Elek Epi pada otot polos berbagai organ bergantung pada jenis rsseptor adrenergik pada otot polos yang bersangkutan. Saluran cerna. Melalui reseplor ct dan pe, Epi menimbulkan relaksasi otot polos saluran cerna pada umumnya: tonus dan motilitas usus dan lambung
tambah, sehingga elisiensi jantung (kerja dibandingkan dengan pemakaian oksigen) berkurang.
berkurang. Reseptor ar dan p2 terdapat pada membran sel otot polos sedangkan reseptor ae pada membran saral mienterik kolinergik. Aktivasi reseplor cr2 menyebabkan hambatan penglepasan ACh. Pada slingter pilorus dan ileosekal, Epi menimbulkan kontraksi melalui aktivasi reseptor ctl'
Dosis Epi yang berlebih di samping menyebabkan tekanan darah naik sangat tinggi, juga menimbulkan kontraksi ventrikel prematur, diikuti takikardi ventrikel, dan akhirnya librilasi ventrikel.
Uterus. Otot polos uterus manusia mempunyai reseptor crr dan p2. Responsnya terhadap Epi berbeda-beda, iergantung pada lase kehamilan dan
Tekanan darah. Pemberian Epi lV dengan cepat (pada hewan) menimbulkan kenaikan tekanan da' rah yang cepat dan berbanding langsung dengan besarnya dosis. Kenaikan sistolik lebih besar daripada kenaikan diastolik, sehingga tekanan nadi membesar. Tekanan darah kemudian turun sampai di bawah normal sebelum kembali pada tekanan semula. Kenaikan tekanan darah disebabkan oleh perangsangan jantung dan terutama oleh konstriksi arteriol kulit, mukosa dan ginjal, serta konstriksi vena, Denyut nadi mula-mula bertambah cepat, ke-
dosis yang diberikan. Selama kehamilan bulan terakhir dan diwaktu partus, Epi menghambat tonus dan kontraksi uterus melalui reseptor Fz; elek ini tidak mempunyai arti klinis karena singkat dan disertai elek kardiovaskular. Tetapi p2-agonis yang lebih selektil seperti ritodrin atau terbutalin ternyata efektil untuk menunda kelahiran prematur'
.Kandung kemih. Epi menyebabkan relaksasi otot detrusor melalui reseptor Fz dan kontraksi otot trigon dan slingter melalui reseptor o1, sehingga dapat menimbulkan kesulitan urinasi serta retensi urin
mudian dapat menjadi sangat lambat pada waklu tekanan darah mencapai puncaknya karena pe-
dalam kandung kemih.
ngaruh kompensasi vagal. Turunnya tekanan darah di bawah normal yang ditimbulkan oleh dosis kecil' atau oleh dosis besar padalase akhir, adalah akibat aktivasi hanya reseptor Pe. Pemberian Epi pada manusia secara SK atau secara lV dengan lambat menyebabkan kenaikan tekanan sistolik yang sedang dan penurunan tekanan diastolik. Tekanan nadi bertambah besar, tetapi tekanan darah rata-rala (mean arterial pressure)
utama dengan cara merelaksasi otot bronkus melalui reseptor Fz. Elek bronkodilatasi ini jelas sekali bila sudah ada kontraksi otot polos bronkus karena asma bronkial, histamin, ester kolin, pilokarpin, bra' dikinin, zat penyebab analilaksis yang bereaksi lambat (SRS-A), dan lain-lain. Di sini Epi bekerja seba-
jarang sekali menunjukkan kenaikan yang besar'
sekresi bronkus dan kongesti mukosa melalui reseptor di.
Resistensi perifer berkurang akibat kerja Epi pada
Pernapasan. Epi mempengaruhi pernapasan ter-
gai antagonis fisiologik. Pada asma, Epi juga menghambat penglepasan mediator inflamasi dari sel-sel mast melalui reseptor 02, serta mengurangi
62
SUSUNAN SARAF PUSAT. Epi pada dosis terapi
tidak mempunyai efek stimulasi SSp yang kuat karena obat ini relatif polar sehingga sukar masuk SSP. Tetapi pada banyak orang Epi dapat menimbulkan kegelisahan, rasa kuatir, nyeri kepala dan tremor; sebagian karena efeknya pada sistem kardiovaskular.
PROSES METABOLIK. Epi menstimutasi gtikogenolisis di sel hati dan otot rangka melalui reseptor p2; glikogen diubah menjadi glukosa-l-fosfat dan kemudian glukosa-6-fosfat. Hati mempunyai glukosa-6-fosfatase tetapi otot rangka tidak, sehingga hati melepas glukosa sedangkan otot rangka melepas asam laktat. Epi juga menyebabkan pengham-
batan sekresi insulin akibat dominasi aktivasi
reseptor
d,2 yang menghambat, terhadap aktivasi reseptor p2 yang menstimulasi sekresi insulin. Selain itu Epi menyebabkan berkurangnya ambilan
(uptake) glukosa oleh jaringan perifer, sebagian
akibat eleknya pada sekresi insulin. Akibatnya, ter-
jadi peningkatan kadar glukosa dan laktat dalam
darah, dan penurunan kadar glikogen dalam hati dan otot rangka. Epi melalui aktivasi reseptor ps meningkatkan aktivitas lipase trigliserida dalam jaringan lemak, sehingga mempercepat pemecahan trigliserida menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Akibatnya, kadar asam lemak bebas dalam darah meningkat. Elek kalorigenik Epi terlihat sebagai peningkatan pemakaian oksigen sebanyak 20 sampai 30% pada pemberian dosis terapi. Elek ini terutama disebabkan oleh peningkatan katabolisme lemak, yang menyediakan lebih banyak substrat untuk oksidasi. Suhu badan sedikit meningkat, hal ini antara lain disebabkan vasokonstriksi di kulit.
LAIN-LAIN. Kelenjar. Efek Epi terhadap berbagai kelenjar tidak nyata; kebanyakan kelenjar mengalami penghambatan sekresi, sebagian disebabkan berkurangnya aliran darah akibat vasokonstriksi. Epi merangsang sekresi air mata dan sedikit sekresi mukus dari kelenjar ludah. Aktivitas pilomotor tidak limbul setelah pemberian Epi secara sistemik, tetapi
timbul setelah penyuntikan intradermal larutan Epi atau NE yang sangat encer; demikian juga dengan pengeluaran keringat dari kelenjar keringat apokrin di telapak tangan dan beberapa tempat lain (adrenergic sweating). Efek-efek ini dihambat oleh cbloker.
Farmakologi dan Terapi
Mata. Midriasis mudah lerjadi pada perangsangan simpatis tetapi tidak bila Epi diteteskan pada konyungtiva mata normal. Tetapi, Epi biasanya menurunkan tekanan intraokuler yang normal maupun pada penderita glaukoma sudut lebar. Timbulnya efek ini mungkin karena berkurangnya pembentukan cairan mata akibat vasokonstriksi dan karena bertambahnya aliran ke luar. Anehnya, timolol, suatu B-bloker, juga mengurangi tekanan intraokuler dan elektif untuk pengobatan glaukoma.
Otot rangka. Epi tidak langsung merangsang otot rangka, tetapi melalui aktivasi reseptor ct dan p pada ujung saraf somatik, Epi meningkatkan inlluks Ca++
(reseptor a) dan meningkatkan kadar siklik AMp intrasel (reseptor p) sehingga meningkatkan penglepasan neurolransmitor ACh pada setiap impuls dan terjadi lasilitasi transmisi saraf-otot. Hal ini terjadi terutama setelah stimulasi saral somatik yang terus-menerus. Epi dan p2-agonis memperpendek masa aktil otot merah yang kontraksinya lambat
(dengan mempercepat sekuestrasi Ca*+ dalam sitoplasma) sehingga stimulasi saral pada kecepatan lisiologis menyebabkan kontraksi otot yang terjadi tidak bergabung dengan sempurna dan dengan demikian kekuatan kontraksinya berkurang. Elek ini disertai dengan peningkatan aktivitas listrik dari otot (akibat aktivasi reseptor p) sehingga menyebabkan terjadinya tremor yang merupakan efek
samping pada penggunaan p2-agonis sebagai bronkodilator.
Pembekuan darah. Epi mempercepat pembekuan darah. Mekanismenya diduga melalui peningkatan aktivitas faktor V.
3.2. FARMAKOKINETIK ABSORPSI. Pada pemberian oral, Epi tidak mencapai dosis terapi karena sebagian besar dirusak oleh enzim COMT dan MAO yang banyak terdapat pada dinding usus dan hati. Pada penyuntikan SK, absorpsi yang lambat terjadi karena vasokonstriksi lokal, dapat di percepat dengan memijat tempat suntikan. Absorpsi yang lebih cepat terjadi dengan penyuntikan lM. Pada pemberian lokal secara inhalasi, eleknya terbatas terutama pada saluran napas, tetapi elek sistemik dapat terjadi, terutama bila digunakan dosis besar. BIOTRANSFORMAST DAN EKSKRESt. Epi srabit dalam darah. Degradasi Epi terutama terjadi dalam hati yang banyak mengandung kedua enzim COMT
63
Adrenergik
dan MAO, tetapijaringan lain juga dapat merusak zat ini. Sebagian besar Epi mengalami biotransformasi, mula-mula oleh COMT dan MAO, kemudian terjadi oksidasi, reduksi dan/atau konjugasi, menjadi metanelrin, asam 3-metoksi-4-hidroksimandelal, 3-metoksi-4-hidroksifeniletilenglikol, dan bentuk konjugasi glukuronat dan sullat. Metabolit-metabolit ini bersama Epi yang tidak diubah dikeluarkan dalarn urin. Pada orang normal, jumlah Epi yang utuh dalam urin hanya sedikit. Pada penderita leokromositoma, urin mengandung Epi dan NE utuh dalam jumlah besar bersama metabolitnya.
3.3. INTOKSIKASI, EFEK SAMPING DAN KONTRAINDIKASI Pemberian Epi dapat menimbulkan gelala seperti perasaan takut, khawatir, gelisah, tegang, nyeri kepala berdenyut, tremor, rasa lemah, pusing,
darah dapat menyebabkan hipertensi yang berat dan perdarahan otak.
3.4. PENGGUNAAN KLINIS Manlaat Epidalam klinik berdasarkan eleknya terhadap pembuluh darah, jantung dan otot polos bronkus. Penggunaan paling sering ialah untuk menghilangkan sesak napas akibat bronkokonstriksi, untuk mengatasi reaksi hipersensitivitas terhadap obat maupun alergen lainnya, dan untu* memperpanjang masa kerja anestetik lokal. Epi juga dapat digunakan untuk merangsang jantung
pada waktu henti jantung oleh berbagai sebab. Secara lokal obat ini digunakan untuk menghentlkan perdarahan kapiler. Penggunaan lain dapat dilihat pada akhir bab ini.
3.5. POSOLOGI DAN SEDIAAN
pucat, sukar bernapas dan palpitasi. Gelala-gejala
ini mereda dengan cepat setelah istirahat. Pen-
Epinefrin adalah isomer
derita hipertiroid dan hipertensi lebih peka terhadap
Suntikan epinefrin adalah larutan steril 1
efek-efek tersebut di atas maupun terhadap elek pada sistem kardiovaskular. Pada penderita psikoneurotik, Epi memperberat gejala-gejalanya, Dosis Epi yang besar atau penyuntikan lV cepat yang lidak disengaja dapat menimbulkan perdarahan otak karena kenaikan tekanan darah yang hebat. Bahkan penyuntikan SK 0,5 ml larutan 1 : 1000 dapat menimbulkan perdarahan subaraknoid dan hemiplegia. Untuk mengatasinya, dapat diberikan vasodilator yang kerjanya cepat, misalnya nitrit atau natrium nitroprusid; a-bloker mungkin luga berguna. Epi dapat menimbulkan aritmia ventrikel. Fibrilasi ventrikel bila terjadi, biasanya bersilal fatal; ini terutama terjadi bila Epi diberikan sewaktu anestesia dengan hidrokarbon berhalogen, alau pada penderita penyakit jantung organik. Pada penderita asma bronkial yang sudah lama dan menderita emfisema, yang sudah mencapai usia di mana penyakit jantung degeneratil sering terdapat, pemberian Epi harus sangat hati-hati. Pada penderita syok, Epi dapat memperberat penyebab dari syok. Pada penderita angina pektoris, Epi mudah menimbulkan
serangan karena obat ini meningkatkan kerja jantung sehingga memperberat kekurangan akan kebutuhan oksigen. Epi dikontraindikasikan pada penderita yang mendapat cr-bloker nonselektif, karena kerjanya yang tidak terimbangi pada reseptor a, pembuluh
L :
1.000 Epi HCI dalam air untuk penyuntikan SK; ini digunakan untuk mengatasi syok anafilaktik dan reaksi-reaksi hipersensitivitas akut lainnya. Dosis dewasa berkisar antara 0.2-0,5 mg (0,2-0,5 ml larutan 1 : 1.000). Untuk penyuntikan lV, yang jarang dilakukan, larutan ini harus diencerkan lagi dan harus disuntikkan dengan sangat perlahan-lahan. Dosisnya jarang sampai0,25 mg, kecualipada henti jantung, dosis 0,5 mg dapat diberikan tiap 5 menit. Penyuntikan intrakardial kadang-kadang dilakukan untuk resusitasi dalam keadaan darurat (0,3-0,5 ms). lnhalasi epinefrin adalah larutan lidak steril 10/o Epi HCI atau 2o/o Epi bitartrat dalam air untuk inhalasi oral (bukan nasal) yang digunakan untuk menghilangkan bronkokonslriksi.
Epinefrin tetes mata adalah larutan 0,'l-2% Epi HCl, 0,5-20/o Epi borat dan 20/o Epi bitartrat.
4. ADRENERGIK LAIN Di sini akan dibicarakan bersama berbagai obat adrenergik yang lain. Obat adrenergik yang termasuk katekolamin (epinefrin, norepinelrin, isoproterenol, dopamin dan lain-lain; Tabel 5-1) pada umumnya menimbulkan efek adrenergik melalui kerja langsung pada reseptor adrenergik.
Farmakologi dan Terapi
64
Tabel5-1. STUKTUR KIMIA OBAT-OBAT ADRENERGIK
0
cHc
cHcl
NH
I
I
H
H
H
H
H
H
3-OH, 4-OH
OH
H
cHg
Norepinefrin (Noradrenalin) 3-OH,4-OH
OH
H
H
3-OH, 4-OH
OH
cH2cH3
H
lsoproterenol (lsoprenalinl 3-OH.4-OH
OH
H
cH
(cH3)2
lsoetarin
3-OH, 4-OH
OH
cH2cH3
cH
(cH3)2
Dopamin
3-OH, 4-OH
H
H
H-
Dobutamin
3-OH, 4-OH
H
H
Feniletilamin 4-OH
Tiramin
Epinefrin (Adrenalin)
Etilnorepinefrin
?H-
,/_ \ (cH,){))oH
cH.
Amfetamin
H
cH.
H
Metamfetamin
H
cHs
cH.
Efedrin
OH
cHg
cHs
OH
cHt
H
H
c
cHg
H
cHs
H
Fen
ilpropanolamin
Mefentermin 4-OH
Hidroksiamfetamin
(cH3)2
Metaraminol
3-OH
OH
cH.
H
Fenilefrin
3-OH
OH
H
cH.
Metoksamin
2-OCH3' s-OCH3
OH
cHs
H
Metaproterenol (Orsiprenalin) 3-OH, s-OH
OH
H
cH
Terbutalin
3-OH, s-OH
OH
H
c
Fenoterol
3-OH, s-OH
OH
H
(cH3)2
(cH3)3
?H-CH,-(C)OH cH.
Salbutamol (Albuterol)
3-CH2OH' 4-OH
Ritodrin Fenfluramin
4-OH 3-CF3
c
(cH3l3
OH
H
OH
cH.
cH,_cH,{o>oH
H
cH.
C,H,
Adrenergik
Obat adrenergik nonkatekolamin (amfetamin, efedrin, lenilefrin dan lain-lain; Tabel 5-1), eleknya sebagian melalui penglepasan NE endogen, dan sebagian lagi akibat kerja langsung pada reseptor adrenergik. Perbandingan antara kerja langsung dan kerja tidak langsung pada berbagai nonkatekolamin sangat bervariasi, tergantung dari obatnya, jaringannya, dan spesiesnya. Karena elek NE pada reseptor o dan gr lebih nyata daripada eleknya pada reseptor Fz, maka nonkatekolamin yang kerjanya terutama melalui penglepasan NE juga menunjukkan efek reseptor o dan efek jantung yang lebih nyata. Tetapi karena banyak nonkatekolamin juga mempunyai kerja langsung pada reseptor adrenergik, maka tergantung pada silat kerja langsung ini dan pada perbandingannya terhadap kerja yang tidak langsung, nonkatekolamin dapat saja mempunyai efek yang berbeda dari efek NE. Misalnya : efedrin mempunyai
elek 0z yang hampir tidak dipunyai NE; lenilefrin, yang terutama bekerja langsung, tidak mempunyai elek 0r dari NE. Berbeda dengan katekolamin, kebanyakan nonkatekolamin dapat diberikan secara oral, dan banyak di antaranya mempunyai masa kerja yang cukup lama. Hal ini disebabkan selain oleh resisten-
si obat-obat ini terhadap COMT dan MAO, juga karena diberikannya dalam jumlah yang relatif besar. Berbeda dengan katekolamin yang sukar sekali melewati sawar darah-otak, lenilisopropilamin (amfetamin dan metamfetamin; Tabel 5-1) melewatinya dengan mudah dan ditemukan dalam jaringan otak dan cairan serebrospinalis dalam kadar yang tinggi. Hal ini merupakan salah satu sebab bagi efek sentralnya yang relatil kuat. Penderita yang sedang diobati dengan penghambat MAO tidak boleh diberi nonkatekolamin atau makan makanan yang beragi, seperti keju, bir dan anggur. Makanan beragi mengandung banyak tiramin yang biasanya dirusak oleh MAO di dinding usus dan hati sehingga tidak pernah mencapai sirkulasi sistemik. Dengan adanya penghambat MAO, tiramin dalam jumlah besar mencapai sirkulasi sistemik dan melepaskan NE yang sama banyaknya dari ujung saral adrenergik, akibatnya dapat terjadi krisis hipertensi. Obat adrenergik yang resisten terhadap MAO sekalipun jangan diberikan bersama penghambat MAO karena yang terakhir ini akan memperkuat elek NE endogen yang dilepaskan oleh obat tadi.
65
4.1. FARMAKODINAMIK NOREPINEFRIN. Obat ini Juga dikenal sebagal levarterenol, l- arterenol atau l-noradrenalin, dan merupakan neurotransmitor yang dilepas oleh serat pasca ganglion adrenergik. NE bekerja terutama pada reseptor o, tetapi eleknya masih sedikit lebih lemah bila dibandingkan dengan Epi. NE mempunyai elek Fr pada iantung yang sebanding dengan Epi,letapielek Fz nya jauh lebih lemah daripada Epi. lnlus NE pada manusia menimbulkan peningkatan tekanan diastolik, tekanan sistolik, dan biasanya juga tekanan nadi. Resistensi perifer meningkat sehingga aliran darah melalui ginjal, hati, dan juga otot rangka berkurang. Filtrasl glomerulus msnurun hanya bila aliran darah ginjal sangat berkurang. Relleks vagal memperlambat denyut Jantung, mongatasi efek langsung NE yang mempercepatnya. Perpanjangan waktu pengisian Jantung akibat perlambatan denyut jantung ini, disertai venokonstriksl dan peningkatan kerja jantung akibat €lek langsung NE pada pembuluh darah dan jantung, msngakibatkan peningkatan curah sekuncup. Tetapi curah jantung tidak berubah atau bahkan berkurang. Aliran darah koroner meningkat, mungkin karena dilatasi pembuluh darah koroner akibat peningkatan kerja jantung, dan karena peningkatan tekanan darah. Penderita angina Prinzmetal mungkin supersensitif terhadap elek vasokonstriksi a-adrenergik dari NE, Epi dan perangsangan simpatis. Pada penderita ini, NE dapat mengurangi aliran darah koroner, sehingga terjadi serangan angina saat islirahat dan bila hebat sampaiterjadi inlark miokard. Berlainan dengan Epi, NE dalam dosis kecil tidak menimbulkan vasodilatasi maupun penurunan tekanan darah, karena NE boleh dikatakan tidak mempunyai elek terhadap reseptor p2 pada pembuluh darah otot rangka. Elek metabolik NE mirip Epi tetapi hanya timbul pada dosis yang lebih besar.
ISOPROTERENOL. Obat ini, yang juga dikenalsabagai isopropilnorepinelrin, isopropilarterenol dan isoprenalin, merupakan amin simpatomimetik yang kerjanya paling kuat pada semua reseptor p, dan hampir tidak bekerja pada reseptor q. lsoproterenol tersedia dalam bentuk dl (campuran rasemik). lnlus isoproterenol pada manusia menurunkan resistensi perifer, terutama pada otot rangka, letapijuga pada ginjal dan mesenterium, sehingga
Farmakologi dan Terapi
tekanan diastolik menurun. Curah jantung meningkat karena efek inotropik dan kronotropik positil yang langsung dari obat. Pada dosis isoproterenol yang biasa diberikan pada manusia, peningkatan curah'jantung umumnya cukup besar untuk mempertahankan atau meningkatkan tekanan sistolik, tetapi tekanan rata-rata menurun. Aliran darah ginjal sangat ditingkatkan pada penderita dengan syok kardiogenik maupun syok septik. Tekanan darah paru tidak berubah. Dosis isoproterenol yang lebih besar menimbulkan penurunan tekanan darah ratarata yang hebat.
lsoproterenol, melalui aktivasi reseptor B2, menimbulkan relaksasi hampir semua jenis otot polos. Elek inijelas terlihat bila tonus otot tinggi, dan paling jelas pada otot polos bronkus dan saluran cerna. lsoproterenol bekerja sebagai antagonis fisiologik dalam mencegah atau mengurangi bronkokonstriksi yang disebabkan oleh obat atau pada
asma bronkial, tetapi toleransi terhadap efek ini timbul bila obat digunakan secara berlebihan. Pada asma, selain menimbulkan bronkodilatasi, isoproterenol juga menghambat penglepasan histamin dan mediator-mediator inllamasi lainnya akibat reaksi antigen-antibodi; efek inijuga dimiliki oleh pz-agonis yang selektif. lsoproterenol mengurangi tonus dan motilitas otol polos usus, dan menghambat motilitas uterus. Efek hiperglikemik isoproterenol lebih lemah dibandingkan dengan Eoi, antara lain karena obat ini menyebabkan sekresi insulin melalui aktivasi reseptor p2 pada sel-sel beta pankreas, lsoproterenol lebih kuat dari Epi dalam menimbuikan elek penglepasan asam lemak bebas dan efek kalorigenik.
DOPAMIN. Prekursor NE ini mempunyaikerja langsung pada reseptor dopaminergik dan adrenergik, dan dapat melepaskan NE endogen, Pada kadar rendah, doparnin bekerja pada reseptor dopaminergik D1 pembuluh darah, terutama di ginjal, mesenterium, dan pembuluh darah koroner. Stimulasi re-
pl
septor menyebabkan vasodilatasi melalui aktivasi adenilsiklase. Dengan demikian infus dopamin dosis rendah akan meningkatkan aliran darah ginjal, laju lillrasi glomerulus dan ekskresi Na+. Pada dosis yang sedikit lebih tinggi, dopamin meningkatkan kontraktilitas miokard melalui aktivasi reseptor Fr. Dopamin juga melepaskan NE endogen yang menambah eleknya pada jantung. Pada dosis rendah sampai sedang, resistensi periler total
tidak berubah. Hal ini mungkin karena dopamin mengurangi resistensi arterial di ginjal dan mesen-
terium dengan hanya sedikit peningkatan di tempattempat laln. Dengan demikian dopamin meningkatkan tekanan sistolik dan tekanan nadi tanpa mengubah tekanan diastolik (atau sedikit meningkat). Akibatnya, dopamin terutama berguna untuk keadaan curah jantung rendah disertai dengan gangguan fungsi ginjal, misalnya syok kardiogenik dan hipovolemik. Pada kadar yang tinggi dopamin me-
nyebabkan vasokonstriksi akibat aktivasi reseptor crr pembuluh darah. Karena itu bila dopamin digunakan untuk syok yang mengancam jiwa, tekanan darah dan lungsi ginjal harus dimonitor. Reseptor dopamin juga terdapat dalam otak, tetapi dopamin yang diberikan lV, tidak menimbulkan efek sentral karena obat ini sukar melewati sawar darah-otak, DOBUTAMIN. Senyawa ini mirip dopamin, dengan substitusi yang besar pada gugus amino. Dobutamin merupakan campuran rasemik dari kedua isomer I dan d. lsomer I adalah d,t-agonis yang poten sedangkan isomer d a1-bloker yang poten.
Sifat agonis isomer I dominan, sehingga terjadi vasokonstriksi yang lemah melalui aktivasi reseptor crr. lsomer d 10 kali lebih poten sebagai agonis reseptor p daripada isomer I dan lebih selektif untuk reseptor
p1
daripada
pe,
Dobutamin menimbulkan efek inotropik yang lebih kuat daripada efek kronotropik dibandingkan isoproterenol. Hal ini mungkin disebabkan karena resistensi periler yang relatil tidak berubah (akibat vasokonstriksi melalui reseptor a1 diimbangi oleh vasodilalasi melalui reseptor p2) sehingga tidak menimbulkan refleks takikardi, atau karena reseptor
o1 di jantung menambah elek inotropik obat ini. Pada dosis yang menimbulkan elek inotropik yang sebanding, elek dobutamin dalam meningkatkan automatisitas nodus SA kurang dibanding isoproterenol, tetapi peningkatan konduksi AV dan intraventrikuler oleh ke-2 obat ini sebanding. Dengan demikian, intus dobutamin akan meningkatkan kontraktilitas jantung dan curah jantung, hanya sedikit meningkatkan denyut jantung, sedangkan resistensi periler relatil tidak berubah.
AMFETAMIN. Obat iniadalah salah satu amin simpatomimetik yang paling kuat dalam merangsang SSP, di samping mempunyai kerja perifer pada reseptor cr dan p melalui penglepasan NE endogen. Amletamin merangsang pusat napas pada medula oblongata dan mengurangi depresi sentral yang ditimbulkan oleh berbagai obat. Meskipun pada dosis biasa, amtetamin hanya sedikit meningkatkan
Adrenergik
kecepatan dan volume napas, tetapi obat ini dapat meringankan depresi napas oleh obat-obal yang bekerja sentral. Efek ini disebabkan oleh perangsangan pqda korteks dan sistem aktivasi retikuler.
Sebaliknya, amletamin dapat pula mengurangi kejang akibat renjatan listrik dan dapat memperpanjang depresi setelahnya. Sebagai perangsang SSp, isomer d (dekstroamfetamin) 3-4 kali lebih kuat daripada isomer l-nya. Pada manusia, efek psikik dapat berupa peningkatan kewaspadaan, hilangnya rasa ngantuk, dan berkurangnya rasa lelah; perbaikan mood, bertambahnya inisiatif, keyakinan diri, dan daya konsentrasi; mungkin pula euforia; peningkatan aktivitas motorik dan aktivitas bicara. Tugas mental yang sederhana lebih banyak dapat diselesaikan,
tetapi jumlah kesalahan tidak berkurang. prestasi fisik, misalnya pada atlit, meningkat. Tetapi elek ini sangat bervariasi dan dapat terjadi hal-hal yang sebaliknya pada dosis yang berlebihan atau penggunaan berulang-ulang. Penggunaan lama atau dosis besar hampir selalu diikuti oleh depresi mental dan kelelahan fisik. Banyak juga orang yang pada pemberian amletamin, mengalami sakit kepala, palpitasi, rasa pusing, gangguan vasomotor, rasa khawatir, kacau pikir, disforia, delirium, atau rasa lelah. Penggunaan amletamin dapat menimbulkan adiksi. Amletamin seringkali digunakan untuk menunda kelelahan. Dalam hal ini amletamin mengurangi lrekuensi hilangnya perhatian akibat kurang tidur sehingga memperbaiki pelaksanaan tugas yang memerlukan perhatian yang terus menerus.
Kebutuhan untuk tidur dapat ditunda, tetapi tidak dapat terus menerus dihindarkan. Bila obat ini dihentikan setelah penggunaan kronik, kembalinya pola tidur yang normal dapat makan waktu sampai 2 bulan, Efek anoreksik amfetamin juga merupakan elek sentral, yakni pada pusat makan di hipotalamus lateral, dan bukan pada pusat kenyang di
hipotalamus ventromedial. Berkurangnya nafsu makan menyebabkan berkurangnya jumlah kalori yang masuk; inilah yang merupakan faktor penting pada penggunaan amfetamin untuk mengurangi berat badan. Dalam hal ini peningkatan metabolisme sangat kecil perannya. Toleransi terhadap elek anoreksik ini timbul dengan cepat. Amletamin tidak dapat menimbulkan elek anoreksik pada orang-orang yang kebiasaan makannya yang berlebihan disebabkan oleh laktor-laktor psikologik. Mekanisme kerja amletamin di SSP semuanya atau hampir semuanya melalui penglepasan amin biogenik dari ujung saral yang bersangkutan
6T
di otak. Peningkatan kewaspadaan, efek anoreksik dan sebagian aktivitas lokomotor melalui penglepasan NE. Dosis yang lebih tinggi melepaskan dopamin, terutama di neostiiatum dan menimbulkan aktivitas lokomotor serta perilaku yang stereotipe. Dosis yang lebih tinggi lagi melepaskan serotonin (S-HT) dan dopamin di mesolirnbik, di samping
bekerja langsung sebagai serotonin-agonis, _dan menimbulkan gangguan persepsi serta perilaku psikotik. Pada sistem kardiovaskular, amfetamin yang
diberikan secara oral, meningkatkan tekanan sistolik dan diastolik. Denyut jantung diperlambat secara refleks. Pada dosis besar, dapat terjadi aritmia jantung. Curah jantung tidak bertambah pada dosis terapi, dan aliran darah otak hampir tidak berubah. lsomer I sedikit lebih poten daripada isomer d dalam menimbulkan efek kardiovaskular. Kontraksi slingter kandung kemih sangat jelas, dan elek ini dimanlaatkan pada enuresis dan inkontinensia. Elek pada saluran cerna tidak konstan; jika usus sedang aktif, amfetamin dapat menimbulkan relaksasi dan memperlambat gerakan usus, jika usus sedang tenang dapat timbul elek yang sebaliknya. Uterus biasanya mengalami kenaikan tonus oleh amfetamin.
ll|ETAMFETAMIN. Efek farmakodinamik melamfetamin serupa dengan amfetamin, bedanya dalam perbandingan antara efek sentral dan efek perifer. Dosis kecil menimbulkan efek perangsangan sentral yang nyata tanpa menimbulkan efek periter yang berarti. Dosis yang lebih besar menirnbulkan peningkatan tekanan sistolik dan diastolik, terutama akibat stimulasi jantung. Konstriksi vena meningkatkan alir balik vena, yang bersama stimulasi janlung meningkatkan curah jantung, Denyut jantung diperlambat secara refleks. Dosis yang berlebihan menimbulkan depresi miokard.
EFEDRIN. Efedrin adalah alkaloid yang terdapat dalam tumbuhan jenis Efedra. Efek larmakodinamik efedrin banyak menyerupai elek Epi. Perbedaan-
nya ialah bahwa efedrin elektif pada pemberian oral, rnasa kerjanya jauh lebih panjang, efek sentralnya lebih kuat, tetapi diperlukan ciosis yang jauh lebih besar daripada dosis Epi. Seperti halnya dengan Epi, efedrin bekerja pada reseptor cr, p1 dan Fz. Efek perifer efedrin me-
lalui kerja langsung dan melalui penglepasan NE endogen. Kerja tidak langsungnya mendasari timbulnya takililaksis terhadap elek perifernya. Hanya
68
Farmakologi dan Terapi
l-efedrin dan efedrin rasemikyang digunakan dalam klinik.
Efek kardiovaskular eledrin menyerupai elek Epi tetapi berlangsung kira-kira 10 kali lebih lama. Tekanan sistolik meningkat, dan biasanya juga tekanan diastolik, sehingga tekanan nadi membesar, Peningkatan tekanan darah ini sebagian disebabkan oleh vasokonstriksi, tetapi terutama oleh stimulasi jantung yang meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan curah jantung. Denyut jantung mungkin tidak berubah akibat relleks kompensasi vagal terhadap kenaikan tekanan darah. Aliran darah ginjal dan viseral berkurang, sedangkan aliran darah koroner, otak dan otot rangka meningkat. Berbeda dengan Epi, penurunan tekanan darah pada dosis rendah tidak nyata pada efedrin. Bronkorelaksasi oleh efedrin lebih lemah tetapi berlangsung lebih lama daripada oleh Epi. Pene-
tesan larutan efedrin pada mata menimbulkan midriasis. Relleks cahaya, daya akomodasi, dan tekanan intraokular iidak berubah. Aktivitas uterus biasanya dikurangi oleh efedrin: cfek ini daoat dimanlaatkan pada dismenore. Eledrin kurang efektil dalam meningkatkan kadar gula darah dibandingkan dengan Epi. Elek sentral eledrin menyerupai efek amfeta-
sung maupun melalui penglepasan NE endogen, dan mempunyai banyak persamaan dengan efedrin. Obat ini memperkuat kontraksi jantung dan menimbulkan vasokonstriksi perifer sehingga meningkatkan curah jantung, tekanan sistolik dan tekanan diastolik. Pada dosis terapi, elek sentralnya lemah, tetapi menjadi nyata pada dosis yang lebih besar.
METARAMINOL. Metaraminol rnempunyai kerja langsung pada reseptor a, vaskular dan kerja tidak langsung. Obat ini digunakan untuk pengobatan hipotensi atau untuk menghentikan serangan takikardi atrial paroksismal, lerutama yang menyertai hipotensi. FENILPROPANOLAMIN. Elek larmakodinamik lenilpropanolamin menyerupai efedrin dan potensinya hampir sama dengan eledrin kecuali bahwa obat ini kurang menimbulkan perangsangan SSP, Seperti eledrin, obat ini elektif pada pemberian oral.
HIDROKSIAMFETAMIN. Efek larmakodinamik hidroksiamfetamin mirip efek eledrin, kecuali bahwa obat ini hampir tidak mempunyai elek terhadap SSP. Penetesan larutan hidroksiamletamin pada mata menirnbulkan midriasis melalui aktivasi resep-
min tetapilebih lemah.
tor al. lni merupakan indikasi penggunaannya.
METOKSAMIN. Metoksamin merupakan agonis
ETILNOREPINEFRIN. Obat ini terutama berelek p-agonis maka digunakan sebagai bronkodilator, tetapi juga mempunyai aktivitas a.-agonis sehingga
yang hampir murni, dan kerjanya secara langsung. Obat ini tidak mempengaruhi reseptor pl maupun 02, dan tidak mempunyai elek sentral. Eleknya berupa peningkatan tekanan darah diastolik dan sistolik yang seluruhnya berdasarkan vasokonstriksi, diserlai dengan relleks bradikardi yang dapat diblok dengan atropin. Obat ini digunakan untuk pengobatan hipotensi atau untuk menghentikan serangan takikardi atrial paroksismal, terutama yang menyertai hipotensi. reseptor
cr,1
FENILEFRIN. Fenilefrin adalah agonis selektif reseptor ot dan hanya sedikit mempengaruhi reseptor p. Efeknya mirip metoksamin dan digunakan untuk indikasi yang sama. Obat ini juga digunakan sebagai dekongestan nasal dan sebagai midriatik.
MEFENTERMIN. Mefentermin digunakan dalam klinik sebagai obat suntik untuk mencegah hipotensi yang seringkali menyertai anestesia spinal. Setelah penyuntikan lM, obat inimulai bekerja dalam 5-15 menit, dengan lama kerja beberapa jam, Pemberian lV atau infus dengan dosis sesuai respons tekanan darahnya lebih disukai. Mefentermin bekerja lang-
menyebabkan vasokonstriksi lokal dan dengan demikian mengurangi kongesti bronkus. Etil NE digunakan lM atau SK, AGONIS SELEKTIF RESEPTOR p2 ( p2-agonis).
Dalam golongan ini termasuk metaprolerenol (orsiprenalin), salbutamol (albuteroi), terbutalin, fenoterol, ritodrin, isoetarin, pirbuterol, bitolterol, dan lain-lain. Pada dosis kecil, kerja obat-obat ini pada reseptor Fz jauh lebih kuat daripada kerjanya pada reseptor 0r. Tetapibila dosisnya ditinggikan, selektivitas ini hilang. Misalnya, pada penderita asma, salbutamol kira-kira sama kuat dengan isoproterenol sebagai bronkodilator (bila diberikan sebagai aerosol), tetapi iauh lebih lemah dari isoproterenol sebagai stimulan jantung. Tetapi bila dosis salbutamolditinggikan 10 kalilipat, diperoleh elek stimulan jantung yang menyamai efek isoproterenol. Melalui aktivitas reseptor pz, obat-obat ini menimbulkan relaksasi otot polos bronkus, uterus dan
69
Adrenergik
pembuluh darah otot rangka. Aktivasi reseptor Bt yang menghasilkan stimulasi jantung, oleh dosis sama, jauh lebih lemah. Obat-obat ini, yang hanya menimbulkan sedikit perubahan tekanan darah, di-
kembanjkan terutama untuk pengobatan asma bronkial. Selektivitas obat-obat ini terhadap reseptor Pz tidak sama untuk setiap obat, misalnya meta-
proterenol kurang selektif dibandingkan dengan salbutamol. Ritodrin, terbutalin dan lenoterol telah digunakan (sebagai infus) untuk menunda kelahiran prematur.
AGoNls SELEKTIF RESEPTOR
crz
(c2-agonis)
Di batang otak seperti hipotalamus dan nukleus traktus solitarius terdapat neuron adrenergik yang mengatur aktivitas simpatis periler melalui akson eferennya. Sampai saat ini belum diketahui secara lepat bagaimana pengaturannya. Klonidin,
metildopa, guanfasin, dan guanabenz adalah obat antihipertensi yang bekerja dengan menghambat perangsangan neuron adronergik di SSP.
KLONIDIN. Klonidin ialah antihipertensi yang merupakan o2agonis. Obat ini merangsang adrenoseptor az di SSP maupun di perifer, tetapi efek antihipertensinya terutama akibat perangsangan reseptor ct,z di SSP. Obat lain yang bekerja serupa klonidin ialah guanabenz dan guanfasin.
Klonidin menyebabkan kenaikan tekanan darah segera setelah pemberian lV, Efek ini tampaknya akibat perangsangan reseptor a2 pada otot polos pembuluh darah yang menimbulkan vasokonstriksi. Klonidin mempunyai alinitas yang tinggi untuk reseptor di sini meskipun dengan efektivitas yang rendah. Elek vasokonstriksi ini hanya sebentar dan tidak terlihat pada pemberian oral. Lalu disusul dengan elek hipotensil akibat perangsangan adrenoseptor oz di batang otak bagian bawah, mungkin di nukleus traktus solitarius. Efek antihipertensi klonidin dapat dihambat dengan yohimbin, suatu o2-bloker yang cukup se-
lektif. lni menunjukkan bahwa efek hipotensil klonidin berdasarkan aktivitas cr2-agonis. Tetapi elek hipotensil klonidin menetap setelah deplesi katekolamin di SSP dengan reserpin. Karena itu diduga
bahwa adrenoseptor a2 di batang otak terletak di pascasinaps dan bahwa aktivasinya menyebabkan hambatan aktivitas neuron adrenergik di batang otak tersebut. lni berakibat menurunnya aktivitas saral adrenergik di perifer, yang selanjutnya menye-
babkan berkurangnya penglepasan NE dari ujung saral adrenergik. Klonidin juga bekerja sebagai a2agonis di perifer. Aktivasi reseptor cr2 di ujung saral adrenergik menyebabkan hambatan penglepasan NE dari ujung saral tersebut. Jadi, efek periler ini
akan memperkuat elek sentral, tetapi tampakpya efek sentral klonidin lebih penting daripada elek perifernya. Klonidin juga merangsang saraf parasimpatis sentral sehingga meningkatkan tonus vagal yang menambah perlambatan denyut jantung.
GUANFASIN. Obat ini ialah o2-agonis yang lebih selektif dibanding klonidin, Seperti klonidin, guanlasin menurunkan tekanan darah melalui aktivasi reseptor d,2 sentral sehingga mengurangi aktivitas sistem simpatis.
GUANABENZ. Obat ini mirip dengan guanfasin, baik struktur kimianya maupun elek larmakologiknya. Kerjanyajuga sebagai a2- agonis sentral yang menurunkan tekanan darah dengan mekanisme yang sama dengan guanfasin dan klonidin. METILDOPA. Saat ini telah disepakati bahwa elek antihipertensi a-metildopa berdasarkan elek sentral. Obat ini masuk ke SSP dengan mudah dan mengalami ciekarboksilasi menjadi cr,-metildopamin dan kemudian mengalami hidroksilasi menjadi crmetilnorepinelrin dalam neuron adrenergik sentral. Alfa-metil NE tersebut yang dilepaskan dari neuron adrenergik sentral merupakan oe-agonis yang poten di SSP dan menghambat aktivitas adrenergik di SSP dengan cara yang sama seperti klonidin. Seperti klonidin, o-ffietil NE menstimulasi adrenoreseptor a2 lebih kuat dari adrenoseptor crl. Uraian lebih lanjut mengenai obat-obat az agonis dapat dilihat pada Bab 22.
VASOKONSTRIKTOR LOKAL PADA HIDUNG ATAU MATA. Dalam golongan ini termasuk obat-obat adrenergik yang terutama digunakan sebagai vasokons-
triktor untuk pemakaian lokal pada lapisan mukosa hidung atau pada mata, yakni propilheksedrin, nafazolin, tetrahidrozolin, oksimetazolin, dan xilometazolin.
LAIN-LAIN METILFENIDAT. Obat ini mempunyai struktur kimia mirip amletamin, dengan elek larmakologik praktis
70
Farmakologi dan Terapi
sama dengan amtetamin. Sebagai perangsang SSP yang lemah, efeknya lebih nyata pada aktivitas mental daripada aktivitas motorik. Dosis besar menimbulkan stimulasi SSP secara umum dan dapat terjadi kejang. Seperti halnya dengan amfetamin, penyalahgunaan obat ini dapat terjadi.
PEMOLIN. Struktur kimia obat ini tidak sama dengan metillenidat tetapi menimbulkan efek sentral yang sama dengan elek kardiovaskular yang minimal.
4.3. INTOKSIKASI, EFEK SAMPING DAN
KONTRAINDIKASI Norepinefrin. Elek samping NE serupa dengan elek samping Epi tetapi biasanya lebih ringan dan lebih jarang. Elek samping yang paling umum berupa rasa kuatir, sukar bernapas, d€nyut Jantung yang lambat tetapi kuat, dan nyeri kepala selintas.
Dosis berlebih atau dosis biasa pada penderita yang hiper-reaktif (misalnya penderita hipertiroid) menyebabkan hipertensi berat dengan nyeri kepala
4.2. FARMAKOKINETIK Norepinelrin, isoproterenol, dopamin, dan dobutamin, sebagai katekolamin, tidak efektil pada pemberian oral. NE tidak diabsorpsi dengan baik pada pemberian SK. lsoproterenol diabsorpsi dengan baik pada pemberian parenteral atau sebagai aerosol, tetapi tidak dapat diandalkan pada pemberian oral atau sublingual sehingga tidak dianjurkan. Obat ini merupakan substrat yang baik untuk COMT tetapi bukan substrat yang baik untuk MAO, sehingga kerjanya sedikit lebih panjang daripada Epi. Di samping itu isoproterenol tidak diambil oleh ujung saral adrenergik. Nonkatekolamin yang digunakan dalam klinik pada umumnya elektil pada pemberian oral dan kerjanya lama, karena obat-obat ini resisten terhadap COMT dan MAO yang banyak terdapat pada dinding usus, hati dan ginjal. Misalnya, amletamin, metamfetamin dan efedrin adalah obat-obat oral. Demikian juga fenilpropranolamin, lenilelrin, dan
pseudoeledrin merupakan obat simpatomimetik yang paling sering diberikan per oral untuk dekongesti nasal dan sinus. Akan tetapi metoksamin, mefentermin, metaraminol dan lenilefrin yang digunakan untuk pengobatan hipotensi, diberikan
yang hebat, totofobia, nyeri dada, pucat, berkeringat banyak, dan muntah. Obat ini merupakan kontraindikasi pada anestesia dengan obat-obat yang menyebabkan sensitisasi jantung karena dapat timbul aritmia. Ekstravasasi cbat sewaktu penyuntikan lV atau inlus dengan NE dapat menimbulkan nekrosis jaringan. Gangguan sirkulasi pada tempat suntikan dengan maupun tanpa ekstravasasi NE, dapat diobati dengan fentolamin. Berkurangnya aliran darah ke organ-organ merupakan
bahaya yang selalu ada pada penggunaan NE. Obat ini dikontraindikasikan pada wanita hamil karena menirnbulkan kontraksi uterus hamil.
lsoproterenol. Efek samping yang umum berupa palpitasi, takikardi, nyeri kepala dan kemerahan kulit; kadang-kadang terjadi aritmia, serangan angina, nausea, tremor, rasa pusing, rasa lemah, dan pengeluaran keringat. lnhalasi isoproterenol dosis berlebih dapat menimbulkan aritmia ventrikel yang fatal.
Dopamin. Sebelum dopamin diberikan pada penderita syok, hipovolemia harus dikoreksi tedeUh dulu. Dosis berlebih menimbulkan efek adrenergik
yang berlebihan. Elek samping termasuk nausea, muntah, takikardi, aritmia, nyeri dada, nyeri kepala,
secara lV atau infus, karena pemberian secara lM atau SK tidak dapal dipercaya pada keadaan
hipertensi dan peningkatan tekanan diastolik.
hipotensi,
dikurangi (menjadi 1/10 atau kurang) pada penderita yang sedang diobati dengan penghambat
Golongan p2-agonis, selain efektif pada pemberian oral, juga diabsorpsi dengan baik dan cepat pada pemberian sebagai aerosol. Obat-obat ini bukan katekolamin, maka resisten terhadap COMT, kecuali isoetarin yang merupakan katekolamin. Terbutalin merupakan satu-satunya B2-agonis yang mempunyai sediaan parenteral untuk pengobatan darurat slatus asmatikus. Semua o2-agonis adalah obat-obat oral, demikian juga meliltenidat dan pemolin, yang terakhir ini dapat diberikan sekali sehari karena waktu paruhnya yang panjang.
Dopamin harus dihindarkan atau dosisnya sangat
MAO. Dosis dopamin juga harus disesuaikan pada penderita yang mendapat antidepresi trisiklik.
Dobutamin. Aritmia yang berat dapat terjadi, tetapi lebih jarang dibandingkan pada isoproterenol atau dopamin. Obat ini mempercepat konduksi AV, maka sebaiknya dihindarkan pada librilasi atrium. Dobutamin dapat sangat meningkatkan denyut jantung atau tekanan sistolik. Bila ini terjadi, kurangi kecepatan inlus obat. Efek samping yang jarang terjadi adalah nausea, nyeri kepala, palpitasi, dispnea, dan
Adrenergik
nyeri angina. Seperti obat inotropik lainnya, dobutamin dikontraindikasikan pada stenosis subaorta.
Amfetamin. lntoksikasi akut disebabkan oleh dosis berlebih dan merupakan kelanjutan dari elek terapinya. Gejala sentral berupa kegelisahan, pusing kepala, tremor, relleks hiperaktif, suka bicara, rasa tegang, mudah tersinggung, insomnia, dan kadangkadang euforia. Stimulasi sentral biasanya diikuti dengan kelelahan lisik dan depresi mental. Gejala kardiovaskular berupa nyeri kepala, rasa dingin, palpitasi, aritmia jantung, serangan angina, hipertensi atau hipotensi dan kolaps kardiovaskular. Pengeluaran keringat yang berlebihan dan gejala saluran cerna juga dapat timbul. Keracunan yang
hebat berakhir dengan konvulsi, koma dan kematian karena perdarahan otak.
Pengobatan keracunan akut termasuk pengasaman urin dengan amonium klorida untuk mem-
percepat ekskresinya. Gejala-gejala sentralnya dapat diatasi dengan sedatif, sedangkan hipertensi
yang berat membutuhkan natrium nitroprusid atau suatu a-bloker.
lntoksikasi kronik menimbulkan gejala yang serupa dengan gejala intoksikasi akut, tetapi geiala mental lebih umum terjadi. Geiala yang berat umumnya berupa reaksi psikotik dengan halusinasi dan delusi paranoid, menyerupai skizolrenia. Berat badan turun dengan nyata. Bila obat dihentikan, biasanya penderita sembuh dengan cepat. Penyalahgunaan obat ini untuk mengatasi rasa ngantuk dan untuk menambah tenaga atau kewaspadaan harus dicegah. Amletamin sebaiknya tidak diberikan pada penderita dengan anoreksia, insomnia, astenia, kepribadian yang psikopat atau yang labil. Kontraindikasi dan perhatian lain pada penggunaan obat ini umumnya sama dengan Epi. Amletamin sering menimbulkan adiksi, Toleransi terhadap efek anoreksigenik hampir selalu timbul, Sensitivitas muncul kembali bila obat dihentikan. Pada pengobatan narkolepsi, toleransi tidak timbul meskipun pengobatan telah berlangsung selama bertahun- lahun.
Efedrin. Elek samping pada penggunaan eledrin serupa dengan elek samping epinefrin, dengan tambahan elek sentral efedrin. lnsomnia, yang sering terjadi pada pengobatan kronik, mudah diatasi dengan pemberian sedatif. Perhatian pada penggunaan obat ini sama dengan pada epinefrin dan amfetamin.
71
Metoksamin. Dosis terapi menimbulkan perangsangan pilomolor dan keinginan kencing. Pada penyuntikan lV kadang-kadang timbul rasa sakit pada ekstremitas dan perasaan dingin.
Mefentermin. Dosis besar dapat menimbulkan efek sentral (misalnya, rasa menganluk, incoherence, dan kejang-kejang), peningkatan tekanan darah berlebihan, dan aritmia.
Agonis selektif reseptor gz. Elek samping berupa rasa gugup, tremor, takikardi, palpitasi, menganluk, nyeri kepala, nausea, muntah, dan berkeringat, terutama pada pemberian oral. Elek samping sistemik ini jarang terjadi pada pemberian secara inhalasi. lnfus ritodrin, terbutalin, lenoterol, atau p2-agonis lainnya untuk menunda kelahiran prematur menimbulkan efek samping berupa takikardi, hiperglikemia, hipokalemia, edema paru (bila hidrasi berlebihan), dan lain-lain pada sang ibu, sedangkan bayinya dapat mengalami hipoglikemia. Penggunaan pe-agonis sebagai bronkodilator harus hati-hati pada penderita dengan hipertensi, penyakil jantung koroner, gagal iantung kongestif, hipertiroid, atau diabetes. Disamping itu, pengguna'
an Fe-agonis untuk menunda kelahiran dikontrain' dikasikan pada penderita dengan penyakit jantung atau diabetes yang bergantung pada insulin.
Obat adrenergik lokal sebagai dekongestan nasal (lihat penggunaan klinik). Penggunaannya dapat diikuti dengan kongesti susulan, dan penggunaan lama sering menimbulkan rinitis kronik. Nalazolin juga merangsang mukosa hidung, sehingga menimbulkan rasa sakit seperti ditusuk pada pe-
makaian pertama. Derivat imidazolin (nafazolin' tetrahidrozolin, oksimetazolin dan xilometazolin) bila cukup banyak terabsorpsi dapat menimbulkan depresi SSP dengan akibat koma dan penurunan suhu tubuh yang hebat, terutama pada bayi. Karenanya, obat-obat ini tidak boleh diberikan pada bayi dan anak kecil. Dekongestan nasal yang elektil pada pembe' (misalnya fenilpropanolamin) selain meoral rian nimbulkan konstriksi pembuluh darah rnukosa hidung, juga menimbulkan konstriksi pembuluh darah lain sehingga dapat meningkatkan tekanan darah, dan mungkin iuga menimbulkan stimulasi jantung.
72
Farmakologi dan Terapi
yang terjadi akibat perfusi jaringan yang kurang
5. PENGGUNAAN KLINIK
setelah inlark miokard harus diperbaiki, karena
5.1. BERDASARKAN EFEK KARDIO VASKULAR SYOK. Ada 3 jenis syok, yakni syok hipovolemik, kardiogenik, dan septik. Syok hipovolemik terjadi akibat hilangnya cairan dari kompartemen vaskulal atau ekstravaskular. Pada syok ini kekurangan volume darah menyebabkan mekanisme kompen-
sasi menimbulkan vasokonstriksi perifer
yang
hebat, Pemberian obat adrenergik yang bekerja pada reseptor akan meningkatkan tekanan darah, tetapi memperhebat vasokonstriksi dan sangal mengurangi aliran darah ke ginjal, hati, dan organ vital lainnya. Tindakan pertama pada pengobatan jenis syok ini ialah perbaikan volume darah (dengan darah, plasma, atau air dengan elektrolit); hal ini akan mengurangi tonus simpatis dan memperbaiki
aliran darah ke organ- organ vital. Di samping itu dilakukan koreksi faktor-faktor penyebabnya" Syok kardiogenik adalah syok akibat infark miokard. Pada syok ini, curah jantung berkurang akibat berkurangnya kerja jantung dalam memompa darah, Penurunan tekanan darah yang terjadi menyebabkan aktivasi simpatis yang hebat; vasokonstriksi yang ditimbulkan makin mengurangi curah jantung karena jantung yang rusak harus memompa darah melawan resistensi perifer yang lebih tinggi. Pengobatan ditujukan untuk mengoptimalkan tekanan pen g isian jantun g (preload), kontraktilitas miokard, dan resistensi periler (afte rload). Preload mungkin perlu ditingkatkan dengan cairan lV atau diturunkan dengan diuretik dan nitrat. Untuk meningkatkan kontraktilitas miokard, digunakan dopamin atau dobutamin. Kedua obat ini meningkatkan kontraktilitas miokard, tidak banyak meningkatkan denyut jantung (sehingga tidak banyak meningkatkan kebutuhan oksigen bagi jantung yang sakit), dan hampir tidak mempengaruhi resistensi perifer. Dopamin lebih menguntungkan karena menyebabkan dilatasi arteriol ginjal sehingga mempertahankan lungsi ginjal. Tetapi dopamin dosis lebih tinggi (lebih dari 10-20 ug/kg per menit) juga mengaktilkan reseptor cr, adrenergik sehingga menyebabkan vasokonstriksi periler dan renal. Karena itu dosis dopamin harus diperhatikan, dan pada syok yang mengancam jiwa, tekanan darah dan
lungsi ginjal harus dimonitor. Asidosis metabolik
akan menambah depresi jantung dan menghambat efek obat adrenergik, Tetapi hasil pengobatan syok kardiogenik ini sampai sekarang masih sangat terbatas, dan angka kematian masih sangat tinggi.
Pada syok dengan hipotensi yang sangat berat sehingga diperlukan vasokonstriktor periler untuk mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perlusi otak, digunakan ar-agonis yakni NE, metoksamin, lenilefrin, metaraminol atau metentermin. Vasokonstrikt6r ini hanya boleh diberikan pada syok neurogenik (akibat kegagalan sistem simpatis, misalnya setelah anestesia atau kerusakan spinal), di mana relleks vasokonstriksi masih belum begitu hebat. Pada jenis-jenis syok yang lain, vasokons-
triktor tidak boleh diberikan karena refleks vasokonstriksi sudah hebat sehingga pemberian vasokonstriktor hanya akan memperburuk aliran darah dan meningkatkan beban jantung. Pada jenis-jenis syok ini, justru dianjurkan penggunaan vasodilator untuk memperbaiki aliran darah ke jaringan-jaringan dan mengurangi beban jantung asalkan tekanan darah minimal dapat dipertahankan. Untuk maksud ini, natrium nitroprusid lebih baik daripada ar-bloker
karena eleknya dapat dititrasi langsung dari kecepatan infusnya.
Syok septik terjadi akibat septikemia. Pengobatan utama pada syok ini adalah antibiotik yang sesuai. Penggunaan kortikosteroid untuk mengurangi efek dari zat-zat vasoaktif yang menyebabkan terjadinya syok ini masih belum terbukti khasiatnya. Pada syok septik yang sudah lanjut terdapat depresi miokard dan peningkatan resistensi perifer. Terapi dengan dopamin atau dobuiamin harus disesuaikan dengan kondisi klinis masing-masing penderita.
HIPOTENSI. Hipotensi yang menyebabkan perfusi
organ-organ vital tidak mencukupi dan bukan karena perdarahan, merupakan indikasi pengguna-
an obat adrenergik yang kerjanya terutama pada reseptor o. Misalnya, unluk hipotensi akibat dosis berlebih obat antihipertensi, atau untuk hipotensi selama anestesia spinal yang mengganggu aktivasi simpatis. Untuk tujuan ini digunakan metoksamin, fenilefrin, melentermin alau metaraminol lV atau inlus yang dititrasi sesuai dengan tekanan darah penderita. Untuk hipotensi karena anestesia umum dengan siklopropan, halotan, atau anestetik lain yang menimbulkan sensitisasi jantung terhadap aritmia
oleh amin simpatomimetik, harus dipilih obat
73
Adrenergik
adrenergik yang hampir tidak mempunyai khasiat stimulasi iantung seperti metoksamin' Feniletrin' yang mempunyai khasiat stimulasi iantung yang iemin, iuga dapat menimbulkan aritmia ventrikuler' l-iipotensi akibat perdarahan akut dapat diobati secara darurat dengan obat adrenerglk' Kenaikan tekanan darah diperlukan untuk mempertahankan aliran darah ke otak dan lantung sementara menunggu tindakan untuk menambah volume darah. Pada hipotensi postural kronik akibat gangguan fungsi sistem saral otonom, dapat diberikan
pengobatan oral dengan efedrin atau vasopresor adrenergik lain yang kerjanya panjang'
HIPERTENSI. a2-agonis yang bekerja sentral, yakni klonidin, guanfasin, guanabenz dan metildopa bigunakan untuk terapi hipertensi' Obat antihipertensi dibahas dalam Bab 22'
ARITMIA JANTUNG. Pada penderita dengan henti elektroiantung akibat librilasi ventrikel, disosiasi kardiopulmoner resusitasi asistole, atau mekanis, dapat dibantu dengan obat. Epinefrin merupakan obat yang penting; efektivitasnya tampaknya akibat efek vasokonstriksinya melalui reseptor a' Epi dan a1-agonis lainnya meningkatkan tekanan diastolik, memperbaiki aliran darah koroner, dan membantu mempertahankan aliran darah otak selama resusitasi. Diperkirakan elek Epi pada reseptor p di jantung menyebabkan librilasi ventrikel menjadi iebih sensitif untuk konversi ke ritme normal pada kardioversi elektrik, tetapi ternyata tidak terbukti
pada uli dengan hewan coba' Dosis optimal Epi pada penderita dengan henti jantung tidak diketahui; tetapi American Hearf Association mengan-
jurkan 0,5-1 ,0 mg Epi HCI (untuk berat badan 70 kg) lV setiap 5 menit. Setelah diperoleh ritme jantung' perlu diobati aritmia, hipotensi atau syok yang ada' Penderita dengan takikardi supraventrikuler paroksismal, terutama yang disertai dengan hipoiensi ringan, diberikan infus ctt- agonis (metoksamin, lenilelrin, metaraminol) untuk menaikkan
tekanan darah sampai sekitar 160 mm Hg; re{leks vagal akan mengakhiri aritmia ini' Cara pengobatan ini telah digantikan oleh verapamil (suatu kalsium antagonis yang pada saat ini merupakan obat pilihan utama untuk indikasi ini) dan p-bloker'
Penderita dengan bradikardi yang menye-
babkan gangguan hemodinamik dapat diberikan isoproterenol dan atropin; bila diperlukan terapi jangka paniang digunakan alat pacu iantung'
cAGAL JANTUNG KONGESTIF. Pada penderita
ini, terapi jangka pan.iang dengan B-agonis untuk meningkatkan kontraksi jantung tidak memberikan
hasil yang memuaskan' Hal ini mungkin karena
respons terhadap obat-obat ini terganggu oleh kondisi penyakit dan oleh teriadinya desensitisasi aklbat terapi Yang terus menerus. EFEK VASOKONSTBIKSI LOKAL. Epi digunakan pada prosedur-prosedur operasi di hidung' tenggorok, dan larings untuk mengurangi perdarahan iehingga memperbaiki visualisasi' lnjeksi Epi bersama anestetik lokal memperlambat absorpsi anestetik dan memperpaniang kerjanya' ln.ieksi atagonis ke dalam penis digunakan untuk mengobati priapismus yang mungkin terjadi pada penggunaan
ar- bloker untuk imPotensi. DEKONGESTAN NASAL. a-agonis banyak digunakan sebagai dekongestan nasal pada penderita penrinitis alergika atau rinitis vasomotor dan pada derita infeksi saluran napas atas dengan rinitis akut' Obat-obat ini menyebabkan venokonstriksi dalam
mukosa hidung melalui reseptor at sehingga mengurangi volume mukosa dan dengan demikian mengurangi Penyumbatan hidung. Reseptor a2 terdapat pada arteriol yang mem-
bawa suplai makanan bagi mukosa hidung' Vasokonstriksi arteriol ini oleh o.2-agonis dapat menyebabkan kerusakan struktural pada mukosa terse-
but. Pengobatan dengan dekongestan nasal seringkali menimbulkan hilangnya efektivitas pada pemberian kronik, serta rebound hiperemia dan memburuknya gejala bila obat dihentikan' Mekanismenya beium jelas, tetapi mungkin melibatkah desensitisasi reseptor dan kerusakan mukosa' o1-agonis yang selektif lebih kecil kemungkinannya untuk menimbulkan kerusakan mukosa' Untuk indikasi ini, a-agonis dapat diberikan per oral atau secara topikal' Eledrin oral sering
menimbulkan elek samping sentral' Pseudoefedrin adalah stereoisomer dari efedrin yang kurang kuat dibanding efedrin dalam menimbulkan takikardi, peningkatan tekanan darah, atau stimulasi SSP'
Fenilpropanolamin mirip dengan pseudoetedrin'
Obat-obat ini harus digunakan dengan sangat hatihati pada penderita hipertensi dan pada pria dengan hipertroli prostat. Kombinasi obat-obat ini dengan
penghambat MAO merupakan kontraindikasi' Dekongestan topikal (lihat di atas) terutama berguna untuk rinitis akut karena tempat kerjanya y"ng t"Oin selektif, tetapi obat-obat ini cenderung
74
Farmakologi dan Terapi
untuk digunakan secara berlebihan oleh penderita, sehingga menimbulkan penyumbatan yang berle_ bihan (rebound congestion). Dekongestan oral jauh lebih kecil kemungkinannya untuk menimbulkan rebound'congestion tetapi lebih besar risikonya untuk menlmbulkan efek samping sistemik.
pada anafilaksis, tetapi Epi adalah terapi yang per_ tama dan yang utama.
5.2. ASMA BRONKIAL
5.4. MATA
p2-agonis merupakan salah satu obat utama dalam pengobatan asma bronkial. Bentuk aerosol-
Berdasarkan efek midriatiknya, obat adrenergik seperti efedrin (0,1o/o), hidroksiamfetamin (1%),
nya adalah obat pilihan ulama untuk mengatasi serangan akut. Bentuk inijuga efektif untuk profilaksis serangan akibat hawa dingin atau olahraga. Tetapi penderita perlu dilatih untuk menggunakan
aerosol dengan teknik yang benar, karena hal ini sangat menentukan keberhasilan terapi. Sediaan oral menimbulkan lebih banyak elek samping kardiovaskuler dan sentral, karena itu hanya diguna-
kan untuk penderita yang tidak mau menggunakan aerosol atau yang menyalahgunakannya.
Terapi parenteral dengan terbutalin, kadangkadang dikombinasi dengan bentuk aerosol, digu_ nakan untuk asma refrakter berat yang tldak responsif dengan pengobatan lain. ge-agonis seringkali diberikan pada penderita PPOM (penyakit paru obstruktif menahun) yang mempunyai komponen bronkokonstriksi yang re_ versibel, tetapi tidak semua penderita membeiikan respons yang baik terhadap obat ini. Karena itu, efektivitasnya harus dinilai sebelumdigunakan untuk pengobatan jangka panjang.
5.3. REAKSIALERGI Epinelrin merupakan obat pilihan utama untuk melawan syok anafilaktik dan reaksi hipersensitivitas akut lainnya yang ditimbulkan oleh obat (misal. nya penisilin), serum, atau alergen lain. Suntikan Epi SK (0,3-0,5 mg) segera menghilangkan bronkospasme, rasa gatal, urtikaria, kongesti mukosa (pembengkakan bibir, kelopak mata, dan lidah, serta udem glotis yang membahayakan jiwa), an_
gioudem, dan kolaps kardiovaskuler (syok). Di samping itu, Epi merangsang reseptor p2 pada sel mast dan menyebabkan hambatan penglepasan mediator inflamasi histamin dan leukotrien. Untuk reaksi alergi akut ini hanya Epi yang dapat diguna_ kan karena kerjanya sangat cepat. Efedrin, kirena efeknya berlangsung lama, digunakan untuk reaksi
alergi yang memerlukan terapi jangka panjang, seperti pada hay lever yang berlangsung selama beberapa bulan. Glukokortikoid dan antihistamin kadang-kadang berguna sebagai terapi sekunder
dan fenilefrin (1-2,5o/o), digunakan lokal pada kcn-
jungtiva untuk membantu funduskopi. Midriasis oleh obat-obat ini hanya berlangsung selama beberapa jam dan obat-obat ini tidak menimbulkan sikloplegia sehingga tidak begitu mengganggu bila dibanding_ kan dengan atropin yang digunakan untuk maksud yang sama. Tetapi ada sedikit risiko menimbulkan glaukoma akut sudut sempit pada penderita yang sensitif. Midriatik simpatomimetik ini juga digunakan, berganti-ganti dengan miotik, untuk mencegah atau melepaskan perlekatan antara iris dan lensa pada uveitis.
Epinelrin (0,25-2%) dan fenitefrin (2,5_10%) topikal digunakan untuk mengurangi tekanan intra_ okuler penderita glaukoma sudut lebar berdasar_ kan efek vasokonstriksi lokal yang menyebabkan pembentukan cairan mata berkurang.
5.5. BERDASARKAN EFEK SENTRAL
Obat adrenergik yang terutama digunakan berdasarkan efek sentralnya, kecuali yang digunakan sebagai anorektik, adalah efedrin, amfetamin dekstroamfetamin, metamfetamin, dan mefenter_ min. Dekstromletamin dan metamletamin yang paling banyak dipakai; efedrin, mefentermin dan amfetamin mempunyai efek perifer yang cukup kuat
sebagai efek sampingnya.
NARKOLEPSI. Eledrin, amfetamin, metamfetamin, dan dekstroamfetamin digunakan untuk mengobati. penderita narkolepsi. Dosis dekstroamfetamin ber_ variasi 5-60 mg sehari, dibagi dalam beberapa kali pemberian, dan dosis terakhir diberikan sebelum jam 4 sore agar tidur di malam hari tidak terganggu,
Terapi dengan amfetamin dapat mengakibatkan penyalahgunaan dan terjadinya toleransi. Depre_ si, iritabilitas, dan paranoid juga dapat teriadi. Amfetamin dapat mengganggu tidurdi malam hari
Adrenergik
sehingga serangan tidur di siang hari sulit dihindarkan. Pemolin merupakan obat alternatif.
PARKINSON. Dekstroamfetamin dapat diberikan bila penderita tidak tahan levodopa, sebagai adjuvan bagi obat antiparkinson yang lain. Dekstroamletamin tidak banyak mempengaruhi tremor, tetapi mengurangi kekakuan dan seringkali mengurangi krisis okulogirik. Obat ini, selain menimbulkan perbaikan siklus tidur dan perbaikan subyektif kekuatan otot dan kekakuan, iuga menimbulkan perbaikan mood penderita, yang merupakan tuiuan paling penting pada pengobatan penyakit Parkinson' Dosis total sehari antara 10-50 mg atau mungkin lebih. Dekstroamletamin juga dapat meringankan gejala sistem ekstrapiramidal yang lain, seperti tortikolis spasmodik dan gerakan spasmodik dari tangan atau kaki.
OBESITAS. Obesitas selalu disebabkan jumlah kalori yang dimakan lebih banyak daripada yang dipergunakan oleh tubuh, maka usaha untuk menurunkan berat badan adalah dengan meningkatkan penggunaan kalori (melalui olahraga) dikombinasi dengan diet rendah kalori. Obat adrenergik yang dapat menurunkan berat badan bekeria dengan cara menekan nalsu makan, dan tidak dengan me-
ningkatkan penggunaan kalori. Obatadrenergik yang dapat mengurangi nafsu makan digunakan untuk menolong penderita dalam menjalankan diet rendah kalori. Keberhasilan dalam menurunkan berat badan bila penggunaannya tidak disertai dengan diet yang ketat. Hal lain yang mungkin menyerus. Obat anoreksik akan gagal dalam menurunkan berat badan bila penggunaannya tidak disertai dengan diet yang ketat. Hal lain yang mungkin menyebabkan kegagalan ialah bahwa obat ini tidak diberikan sesudah jam 4 sore agar tidak mengganggu tidur di malam hari karena efek anoreksiknya tidak dapat dipisahkan dari efek stimulasi sentralnya, sedangkan kebiasaan makan yang berlebihan biasanya .iustru pada waktu makan malam. Pemberran barbiturat bersama obat anoreksik di waktu makan malam, ternyata tidak memberikan hasil yang lebih baik. Toleransi timbul setelah pemakaian beberapa minggu, sedangkan peningkatan dosis dibatasi oleh timbulnya efek samping (palpitasi' gangguan tidur, mulut kering). Efek samping ringan sebenarnya sudah ada sejak awal terapi' Bagi penderita dengan motivasiyang kuat, obat anoreksik ini sangat membantu dalam nrenjalankan diet yang ketat, sementara pola diet yang baru belum terbentuk.
75
Obat adrenergik yang telah lama digunakan
sebagai anoreksik ialah dekstroamfetamin dan metamfetamin. Obat yang lebih baru tidak terbukti lebih unggul daripada kedua obat ini, dari segi efektivitas maupun efek sampingnya, tetapi lebih unggul dalam hal tidak banyak menimbulkan penyalahgunaan. Fenfluramin mempunyai efektivitas yang sepadan dengan dekstroamfetamin dalam menekan
nafsu makan. Berbeda dengan dekstroamletamin
atau anoreksik lainnya, lenlluramin tidak me-
rangsang tetapi mendepresi SSP. Oleh karena itu obat ini dapat bermanlaat untuk penderita obesitas yang cenderung makan berlebihan pada malam hari. Dalam hal ini lenfluramin diberikan sebelum makan malam (obat anoreksik lain bila diberikan pada saat ini dapat menyebabkan insomnia). Pemberian sebelum makan malam ini juga akan mengurangi gangguan rasa mengantuk pada siang hari. Dosis oral yang lazim ialah 3 kali sehari 20 mg' satu iam sebelum makan, atau sekali sehari 60 mg
sediaan lepas lambat 1 jam sebelum makan malam. Obat anoreksik yang lain ialah lenilpropranolamin, fentermin, dietilpropion, mazindol, benzfetamin, lendimetrazin, dan fenmetrazin'
KERACUNAN DEPRESAN SSP. Berdasarkan efek stimulasi sentralnya, beberapa obat adrenergik digunakan untuk mengurangi depresi yang disebabkan oleh anestetik atau hipnotik, tetapi manfaatnya diragukan (lihat Bab 53).
SINDRoM HIPERKINETIK PADA ANAK' Kelompok amletamin sangat berguna untuk menenangkan anak yang hiperkinetik, di samping psikoterapi dan pengertian orang tua. Pada anak-anak ini, amfetamin mengurangi ketidaktenangan, kekurangan perhatian, dan kelakuan yang impulsif , serta memperbaiki daya konsentrasi, mungkin berdasarkan efeknya pada neurotransmitor otak. Diperlukan pengobatan jangka lama; gejala memburuk bila obat dihentikan. Dosis dekstroamfetamin 5-10 mg 3 kali sehari; toleransi terhadap efek ini tampaknya tidak
timbul. Penggunaan dekstroamfetamin secara terus menerus menghambat pertumbuhan anakanak ini karena elek anoreksia; bila obat dihentikan' berat badan naik dengan hebat' Metilfenidat sama elektifnya dan kurang menimbulkan hambatan pertumbuhan. Pengobatan dimulai dengan dosis 5 mg pagi dan siang hari; dosis ditingkatkan perlahanlahan dalam waktu beberapa minggu tergantung respons menurut orang tua, guru dan dokternya. Dosis sehari biasanya tidak lebih dari 60 mg dan
76
dibagi dalam 2-3 kali pemberian. Bagi anak yang tidak memberikan respons, obat harus dihentikan 1 bulan setelah penyesuaian dosis. pemolin, yang dapat diberikan sekali sehari, tampaknya kurang elektif .dibandingkan ke-2 obat tersebut diatas. Obat-obat ini juga efektif untuk orang dewasa de-
ngan penyakit yang sama. Penggunaan jangka panjang obat- obat ini tidak diikuti dengan penyalahgunaannya di kemudian hari.
Farmakologi dan Terapi
5.6. LAIN-LAIN Ritodrin, terbutalin, dan lenoterol, berdasarkan elek relaksasi uterus, dapat digunakan untuk menunda kelahiran prematur.
T7
Penghambat Adrenergik
6. PENGHAMBAT ADRENERGIK Arinl Setiawati dan Sulislia Gan
3.
Antagonis adrenoseptor a (a-bloker) 1.1. a-bloker nonselektif 1.2. ar-bloker selektif 1.3. oz-bloker selektil 2. Antagonis adrenoseptor F (F-blokefl
1.
3.2. FleserPin 3.3. Metirosin
Penghambat adrenergik atau adrenolitik
ialah golongan obat yang menghambat perangsa-
nganldrenergik' Berdasarkan tempat kerjanya' golongan obat ini dibagi atas antagonis adrenoseptor dan penghambat saraf adrenergik'
Antagonis adrenoseptor atau adrenosep-
tor bloker ialah obat yang menduduki adrenoseptor
sehingga menghalanginya untuk berinteraksi dengan obat adrenergik, dan dengan demikian menghalangi keria obat adrenergik pada sel elektornya' lni berarti adrenoseptor bloker mengurangi respons sel elektor adrenergik terhadap perangsangan saral adrenergik maupun terhadap obat adrenergik
eksogen. Untuk masing-masing adrenoseptor o dan p ada penghambatnya yang selektif' Antagonis adrenoseptor a atau o- bloker memblok hanya reseptor or,dan tidak menduduki reseptor p' Sebalik-
nya, antagonis adrenoseptor p atau p'bloker
memblok hanya reseptor p dan tidak mempenga' ruhi reseptor a. Penghambat saraf adrenergik ialah obat yang mengurangi respons sel efektor.terhadap p"ting""ng"n saral adrenergik, tetapi tidak terhadap obat Jdrenergik eksogen' Obat golongan ini bekerja pada uiung saral adrenergik' mengganggu pengl-epasan dan/atau penyimpanan norepinelrin (NE).
1. ANTAGONIS ADRENOSEPTOR
Penghambat saral adrenergik 3.1. Guanetidin dan guanadrel
O
(a-BLoKER)
DERIVAT HALOALKILAMIN
Obat golongan ini memperlihatkan elek farmakodinamik yang serupa. Sebagai contoh ialah dibenamin, ying ditemukan pertama kali; dan fe' noksibenzamin,yang potensinya 6-10 kali potensi dibenamin serta diabsorpsi lebih baik pada pem' berian oral,
pKIMIA DAN MEKANTSME KERJA. Sebagai
halo-etilamin tersier, obat- obat ini dalam suasana
netral atau basa dalam darah akan kehilangan gugus p-halogen dan membentuk cincin etileni-
monium yang reaklif, tidak stabil, dan dapat mengadakan interaksi dengan adrenoseptor cr, melalui ikatan-ikatan lemah yaitu ikatan hidrogen, ikatan ion dan lain-lain. Pada stadium awal, o-bloker ini masih dapat digeser dari reseptor yang didudukiny.a.oleh a-blokerlain atau oleh obat cr,-adrenergik' Jadihambatan masih bersifat reversibel dan kompetitif' Kemudian cincin etilenimonium ini pecah dan membentuk ion karbonium yang sangat reaktif' yang akan membentuk ikatan kovalen yang stabil dengan adrenoseptor cr. Pada stadium ini hambatan bersifat nonekuilibrium, nonkompetitil dan praktis irreversibel. Mekanisme kerja ini menyebabkan golongan obat ini memperlihatkan mula kerja lambat meskipun setelah pemberian lV, dan masa kerja yang panjang yaitu berhari-hari karena menunggu biniesis reldptor cl yang baru' Karena itu obat golongan ini disebut a,-bloker yang nonkompetitil dan kerianya paniang, di samping kerianya yang non-
selektil pada reseptor ct,l maupun
1.1. CT,.BLOKER NONSELEKTIF Ada 3 kelompok: (1) derivat haloalkilamin; (2) derivat imidazolin; dan (3) alkaloid ergot'
cr2'
yang
FARMAKODINAMIK. Karena sifat hambatan praktis irreversibel, fenoksibenzamin dan dibena' min dapat dianggap bekerja dengan cara mengu-
78
Farmakologi dan Terapi
rangi jumlah adrenoseptor q, yang tersedia untuk
dirangsang,
Perlu diingat bahwa obat yang kerjanya ber_
dasarkan hambatan, efeknya sangat bergantung pada aktivitas sistem yang dihamba| makin aktif
sistemnya, makin nyata efek hambatannya. Fenoksibenzamin memblok reseptor al mau_ pun cr2 pada otot polos arteriol dan vena sehingga menimbulkan vasodilatasi dan venodilatasi. Akibat_ nya tekanan darah turun dan terjadi refleks stimulasi
jantung. Hambatan reseptor cl'2 di ujung saraf adre_ nergik meningkatkan penglepasan NE dari ujung saraf, yang meningkatkan perangsangan reseptor Fr di jantung. Di samping itu lenoksibenzamin menghambat proses ambilan kembali NE ke dalam ujung saraf adrenergik (ambilan-1) maupun ke jari_
ngan ekstraneuronal (ambilan-2). Hal ini meningkatkan jumlah NE di sinaps dan makin memperkuat stimulasi jantung. Akibatnya terjadi takikardi dan peningkatan kontraksi jantung yang menyebabkan peningkatan curah jantung. pada subyek normoten_ sil yang berbaring, penurunan tekanan darah relatil kecil, tetapi bila berdiri terjadi penurunan tekanan darah yang hebat karena aktivitas vasokonstriksi yang meningkat sewaktu berdiri dihambat oleh q'bloker. Jadi a-bloker ini menunjukkan efek postural yang jelas. Hambatan refleks vasokonstriksi ini juga
terjadi pada hipovolemia dan pada vasodilitasi akibat anestesia. pemberian Epi akan menimbul_ kan respons hipotensi karena blokade reseptor c, menyebabkan efek Epi pada reseptor p2 (vaso_ dilatasi) tidak terimbangi. Pada dosis yang lebih tinggi,lenoksibenzamin
juga memblok secara irreversibel reseptor serotonin, histamin dan ACh.
PENGGUNAAN TERApl. penggunaan utama
lenoksibenzamin adalah untuk pengobatan feokro_ mositoma, yakni tumor anak ginjal yang melepaskan sejumlah besar NE dan Epi ke dalam sirkulasi dan menimbulkan hipertensi yang episodik dan
berat, Pengobatan utama tumor ini adalah tindakan. bedah. Fenoksibenzamin diberikan pada penderita
yang tidak dapat dioperasi dan yang dalam
per_
siapan untuk operasi. Obat ini mengendalikan epi_ sode hipertensi berat dan mengurangi efek buruk NE dan Epi lainnya, misalnya berkurangnya volume plasma dan kerusakan miokard. Dosis awal 10 mg
2 kali sehari 1-3 minggu sebelum operasi. Dosis ditingkatkan 2 hari sekali sampai dicapai tekanan
darah yang diinginkan. Efek samping yang mem_ batasi kenaikan dosis adalah hipotensi postural; kongesti nasal sering terjadi. Dosis total sehari biasanya antara 40-120 mg dibagi dalam 2_3 kali pem_
berian. Bila perlu, terutama pada leokromosiioma maligna, diberikan metirosin, penghambat sintesis NE, sebagai adjuvan, p-bloker dapat juga ditambah_ kan pada pengobatan dengan o,-bloker.
Fenoksibenzamin efektil untuk pengobatan simtomatik hipertrofi prostat benigna (BpH).
Pada pria, proses menua disertai dengan berku_ rangnya produksi testosteron. Sebagai kompensa_ si, dibentuk lebih banyak enzim 5 a-reduktase yang mereduksi testosteron menjadi dihidrotestosteron (DHT) yang lebih aktif, Tetapi DHT merangsang pertumbuhan prostat. pada umur 65 tahun, lebih dari 70% pria mempunyai prostat yang membesar, BPH. Pembesaran prostat mencekik uretra sehing_
FARMAKOKINETIK. Absorpsi lenoksibenzamin dari saluran cerna hanya 20-30%. Waktu paruhnya kurang dari24 jam,tetapi lama kerjanya bergantung
juga pada kecepatan sintesis reseptor o.
na hambatan kontraksi otot polos vas deferens dan saluran ejakulasi.
Diper_
lukan waktu berhari-hari sebelum jumlah reseptor cr pada permukaan sel target kembali normal. Fenok_
sibenzamin tersedia dalam bentuk kapsul 10 mg untuk pemberian oral.
ga mengurangi aliran urin. a-bloker merelaksasi
otpt-otot di leher kandung kemih (trigon dan sling_ ler) dan di kelenjar prostat yang kaya dengan reseptor a1 sehingga mengurangi gejala-gejala obstruksi
dan kebutuhan miksi di malam hari. Dosis fenoksi_ benzamin biasanya 10-20 mg sehari. pengbbatan ini efektil tetapi sering menimbulkan hipotensi orto_ statik.
INTOKSIKASI DAN EFEK sAMptNG. Efek sam- DER|VAT tMtDAzoLlN ping utama adalah hipotensi postural, yang sering disertai denganrellekstakikardi danaritmialainnval Fentolamin dan tolazolin adalah a-bloker Hipotensi yang berat lerjadi pada hipovolemia aiau nonselektil yang kompetitif. Efeknya pada sistem keadaan-keadaan yang menyebabkan vasodilatas' kardiovaskuler mirip sekali dengan lenoksiben(obat vasodilator, latihan fisik, minum alkohol atau zamin. Obat-obat ini juga menghambat reseptor makan banyak). Hambatan ejakulasi dan aspermia serotonin, melepaskan histamin dari sel mast, me-
yang reversibel setelah orgasme dapat terjadi
kare-
rangsang reseptor muskarinik di saluran cerna, me-
79
Penghamht Adrcnergik
rangsang sekresi asam lambung, saliva, air mata dan keringat. Elek samping yang utama adalah hipolensi. Relleks slimulasi iantung menyebabkan takikardi yang hebat, aritmia jantung dan iskemia miokard, sampai inlark miokard. Slimulasi saluran cerna menyebabkan nyeri lambung, nausea, dan eksaserbasi ulkus p€ptikum. Obat-obat ini harus diberikan dengan sangat hati-hati pada penderita dengan penyakit iantung koroner atau dengan riwayat ulkus peptikum. Fentolamin tersedia dalam vial 5 mg untuk pemberian lV atau lM, sedangkan tolazolin dalam kadar 25 mg/ml untuk suntikan lV.
PENGGUNAAN TERAPI. Fentolamin digunakan untuk berbagai keadaan berikut : (1) mengatasi episode akut hipertensi pada feokromositoma, dengan dosis 5 mg diberikan sebagai inlus yang lambat;
(2) mengatasi pseudo-obstruksi usus pada leokromositoma akibat relaksasi berlebihan oleh NE dan Epi; (3) mencegah nekrosis kulit akibat ekstravasasi oagonis;
(4) krisis hipertensi akibat penghentian mendadak klonidin atau akibat makanan mengandung tiramin pada pengobatan dengan MAOI;
(5) impotensi, dengan cara penyuntikan langsung secara intrakavernosa (bersama papaverin). Elektivitas jangka panjang cara pengobatan ini belum diketahui. Penyuntikan tentolamin secara intrakavernosa ini dapat menimbulkan hipotensi ortostatik dan priapismus, yang terakhir ini da-
pat dialasi dengan penyuntikan intrapenis oagonis misalnya fenilefrin. lnjeksi intrapenis
yang berulang-ulang dapat
menyebabkan
librosis; (6) tolazolin telah digunakan untuk pengobatan hipertensi pulmonal yang persisten pada bayi baru lahir.
toksin, yang mempunyai rantai samping polipep-
tida
(alkaloid ergot peptida), menunjukkan elek penghambatan reseptor adrenergik o. Di antara alkaloid ergot alam, ergotoksin menunjukkan efek blokade adrenoseptor o paling kuat. Ergotoksin ternyata merupakan campuran 3 alkaloid, yakni ergokornin, ergokristin, dan ergokriptin, yang mempunyai elek larmakologik yang mirip satu sama lain.
Dihidrogenasi inti asam lisergat memperkuat efek
penghambatan adrenoseptor a dan memperlemah efek perangsangan otot polos melalui reseptor triptaminergik. Alkaloid ergot secara klinis tidak berguna sebagai a-bloker karena elek ini baru timbul pada dosis besar yang tidak dapat ditoleransi oleh manu-
sia. Pada dosis terapi, yang lerlihat bukan elek akibat blokade adrenoseptor
o tetapi efek
ergot
terhadap SSP dan stimulasi langsung berbagai otot polos, termasuk otot polos vaskular dan uterus. Penjelasan ergot sebagai obat migren dan oksitosik dapat dilihat di Bab 26. Semua alkaloid ergot alam meningkatkan tekanan darah melalui vasokonstriksi perifer, yang
lebih kuat pada pembuluh pascakapiler daripada pembuluh prekapiler. Meskipun hidrogenasi mengurangi elek ini, dihidroergotamin masih merupakan vasokonstriktor yang efektif, sedangkan dihidroergotoksin (ergoloid mesilat) masih mempunyai sedikit efek vasokonstriksi. Ergotamin, ergonovin dan alkaloid ergot lainnya dapat menimbulkan vasokonstriksi koroner, yang disertai dengan gefala iskemia dan nyeri angina pada penderita dengan penyakit jantung koroner. Alkaloid ergot bias.anya
menimbulkan bradikardi meskipun bila tekanan darah tidak naik. lni terutama akibat peningkatan aktivitas vagal, tetapi juga karena penurunan aktivitas simpatis sentral dan depresi miokard secara langsung. Dosis dihidroergotoksin dibatasi oleh adanya nausea dan muntah. Pemberian alkaloid ergot alam dengan rantai peptida dalam jangka panjang atau berlebihan dapat menyebabkan insulisiensi vaskuler dan gangren pada ekstremitas. Bila hebat, harus
segera dilakukan vasodilatasi, dan untuk ini otiat ALKALOID ERGOT Kimia alkaloid ergot dibicarakan lebih lengkap
dalam Bab 26. Singkatnya, terdapat 3 jenis alkaloid ergot alam yakni ergonovin, ergotamin dan ergotoksin. Jenis ergonovin, yang tidak mempunyai ranlai samping polipeptida, lidak menunjukkan efek penghambatan adrenergik. Jenis ergotamin dan ergo-
yang bekerja langsung, misalnya nitroprusid, paling efektif. Pembahasan lebih rinci dapat dilihat pada Bab 26. Penggunaan utama alkaloid ergot adalah untuk stimulasi kontraksi uterus setelah partus dan untuk mengurangi nyeri migren. Untuk pembahasan lebih rinci, lihat Bab 26.
80
Farmakologi dan Tenpi
Campuran ergoloid mesilat (tablet 1 mg terdiri
dari dihidro-ergokornin, dihidro-ergokristin
dan dihidro-ergokriptin sama banyak) banyak dipakai untuk pengobatan demensia senilis. Pada beberapa uji klinik, dihidro-ergotoksin menimbulkan sedikit perbaikan perilaku atau parameter psikologis lainnya dibandingkan dengan plasebo. Satu uji
klinik
pada
penderita penyakit serebrovaskuler
kronik menunjukkan bahwa pemberian obat ini sela-
ma 8 minggu memperbaiki aliran darah otak
di
daerah yang hipoksik, dibandingkan dengan pentoksifilin yang memberikan perbaikan yang lebih besar dalam tingkah laku maupun aliran darah otak setempat. Mekanisme kerjanya masih belum diketahui.
mengurangi aktivitas neuron adrenergik, sehingga mengurangi penglepasan NE darl ujung saraf dl perifer, Kerja sentral ini ikut mengurangi refleks takikardi, di samping memperkuat efek hambatan c,1
-adrenergik di perifer.
Karena efek vasodilatasinya, maka aliran darah di organ-organ vital (otak, jantung, ginjal) dapat dipertahankan, demikian juga dengan aliran darah perifer di ekstremitas.
FARMAKOKINETIK. Semua derivat kuinazolin diabsorpsi dengan baik pada pemberian oral, terikal kuat pada protein plasma (terutama or,1-glikoprotein), mengalami metabolisme yang ekstensif di hali, dan hanya sedikit yang diekskresi utuh melalui
ginjal (berkisar dari O,7% untuk bunazosin sampai 10% untuk terazosin),
1.2. ar-BLOKER SELEKTIF Dalam golongan ini termasuk derivat kuina-
zolin dan beberapa obat lain, misalnya indoramin dan urapidil, yang masih belum mapan statusnya sehingga tidak akan dibahas di sini. DERIVAT KUINAZOLIN Dalam kelompok ini termasuk prazosin seba-
gai prototipe, terazosin, doksazosin, trimazosin dan bunazosin. Semuanya merupakan antagonis kompetitif pada reseptor al yang sangat selektif dan sangat poten. Rasio selektivitasnya (afinitas lerhadap reseplor o1 dibanding reseptor a,2) sekitar 300 untuk prazosin dan > 600 untuk doxazosin. FARMAKODINAMIK. Efeknya yang utama adatah hasil hambatan reseptor o,1 pada otot polos arteriol dan vena, yang menimbulkan vaso- dan venodilatasi sehingga menurunkan resistensi perifer dan alir balik vena. Penurunan resistensi perifer menyebabkan penurunan tekanan darah tetapi biasanya tidak menimbulkan relleks takikardi. Hal ini disebabkan (1 ) or-bloker tidak memblok reseptor p2 prasinaps sehingga tidak meningkatkan penglepasan NE dari ujung saraf (yang akan merangsang jantung melalui reseptor 0r yang tidak diblok), dan (2) penurunan alir balik vena menyebabkan berkurangnya peningkatan curah jantung dan denyutjantung (berbeda dengan vasodilator murni, misalnya hidralazin, yang tidak menyebabkan venodilatasi). Di samping itu, prazosin dan doksazosin, dan mungkin juga o1-bloker lainnya, juga bekerja sentral untuk
Perbedaan utama terletak pada waktu paruh eliminasinya. Prazosin, trimazosin dan bunazosin mempunyai waktu paruh 2-3 jam sehingga harus diberikan 2-3 kali sehari. Terazosin mempunyai waktu paruh 12 jam, sehingga harus diberikan 1-2 kali sehari. Sedangkan doksazosin dengan waktu paruh 20-22jam dapat diberikan sekali sehari. SEDIAAN. Semua derivat kulnazolin diberikan per oral. Prazosin dalam bentuk tablet 1 mg dan 2 mg, demikian juga terazosin dan doksazosin. Bunazosin tablet 0,5, 1 dan 3 mg, sedangkan trimazosin belum dipasarkan di lndonesia. EFEK SAMPING. Efek samping utama yang potensial dapat terjadi pada pemberian or-bloker adalah fenomen dosis pertama, yakni hipotensi posfural yang hebat dan sinkop yang terjadi 30-90 menit setelah pemberian dosis pertama. Hal ini disebabkan oleh penurunan tekanan darah yang cepat pada
posisi berdiri akibat mula kerja yang cepat tanpa disertai relleks takikardi sebagai kompensasi, bahkan diperkuat oleh kerja senlral yang mengurangi aktivitas simpatis; di samping dosis awal yang terlalu besar, Fenomen inijuga terjadi pada peningkalan dosis yang terlalu cepat atau pada penambahan antihipertensi kedua pada penderita yang telah mendapat ar-bloker dosis besar. Toleransi terhAdap lenomen ini terjadi dengan cepat, mekanismenye tidak diketahui. Risiko terjadinya lenomen ini dapat dikurangi dengan memberikan dosis awal yang rendah sebelum tidur, meningkatkan dosis dengan perlahan, dan menambahkan antihipertensi kedua dengan hati.hati. Pada pemberian a,r-bloker, tekanan darah harus diukur pada waktu berdiri maupun berbaring untuk melihat adanya elek postural
8'l
Penghambat Adreneryik
ini. Fenomen dosis pertama ini kecil kemungkinan terjadinya pada pemberian doksazosin, karena selain dilakukan titrasi dosis yang hati-hati, obat ini mempunyai mula kerja yang lambat (yang menyertai masa kerjanyayang panjang) sehingga penurunan tekanan darah terjadi secara perlahan (gradual).
Elek samping yang paling sering berupa pu' sing (hipotensi postural), sakit kepala, ngantuk, palpitasi, edema periler dan nausea.
PENGGUNAAN TERAPI
Hipertensi. Semua derivat kuinazolin diindikasikan untuk hipertensi, yang merupakan penggunaan utama dari kelompok obat ini. Penggunaan obatobat antihipertensi dibahas dalam Bab 22.
Gagal jantung kongestif (GJK). Sebagai vasodilator, cr-bloker telah digunakan untuk pengobatan GJK. a-bloker menyebabkan dilatasi arteriol dan vena, sehingga mengurangi alterload dan preload. Akibatnya, curah jantung meningkat dan kongesti paru berkurang, sehingga kemampuan melakukan kegiatan lisik meningkat dan gejala sesak napas berkurang. Pada penggunaan iangka panjang dengan prazosin, efek lerapi ini menetap tetapi jumlah kematian tidak berkurang. Lain halnya dengan penggunaan penghambal ACE atau kombinasi hidralazin dengan nitrat yang dapat memperpan-
jang hidup penderita GJK. crr-bloker lainnya, karena relatit masih baru, belum diteliti elek jangka panjangnya untuk GJK. Penyakit vaskuler perifer. Prazosin dapat mengurangi insidens vasospasme digital pada penderita penyakit Raynaud. Pemberian doxazosin pada penderita hipertensi ringan sampai sedang dengan klaudikasio intermiten dapat memperbaiki gejala penyakit tersebut.
Hipertrofi prostat benigna (BPH). Pemberian clt-bloker pada BPH menyebabkan relaksasi otototot trigon dan slingter di leher kandung kemih serta
otot polos kelenjar prostat yang membesar, sehingga memperbaiki aliran urin serta geiala-gejala lain yang menyertai obstruksi prostat tersebut. Pembahasan yang lebih rinci dapat dilihat pada 'Penggunaan terapi lenoksibenzamin'.
1.3. az-BLOKER SELEKTIF Sebagai o2bloker yang selektil hanya dikenal
yohimbin, yang dilemukan dalam kulit batang po-
hon Pausrnystaliayohimbe dan dalam akar Rauwalfia. Struktur kimianya mirip reserpin. Yohimbin masuk SSP dengan mudah, di situ memblok reseptor cr2 pascasinaps (lihat uraian pada Bab 5 mengenai a2-agonis) dan menyebabkan peningkatan aktivitas neuron adrenergik sentral, sehingga meningkatkan penglepasan NE dari ujung saraf adrenergik di perifer. Akibatnya, lerjadi peningkatan tekanan darah dan denyut jantung serta aktivitas molorik, dan juga terjadi tremor' Efek ini berlawanan dengan elek a2-agonis, misal-
nya klonidin.
Yohimbin juga merupakan antagonis serotonin. Obat ini banyak dipakai untuk impotensi meskipun efektivitasnya tidak jelas terbukti. obat ini meningkatkan aktivitas seksual pada tikus jantan, dan mungkin berguna bagi beberapa penderita dengan impotensi psikogenik.
2. ANTAGONIS ADRENOSEPTOR
p
(p-BLoKER) Dikloroisoproterenol adalah p-bloker yang pertama ditemukan tetapi tidak digunakan karena obat ini juga merupakan agonis parsial yang cukup kuat. Propranolol, yang ditemukan kemudian, menjadi prototipe golongan obat ini' Sampai sekarang, semua B- bloker baru dibandingkan dengan propranolol. Antagonis adrenoseptor p yang sekarang terdapat di pasaran dapat dilihat dalam Tabel 6-1"
KIMIA Struktur kimia berbagai p-bloker bersama isoproterenol sebagai perbandingan dapat dilihat pada Gambar 6-1 . Ternyata bahwa semua B-bloker mern'
punyai struktur kimia mirip dengan isoproterenol'
Rantai samping dengan substitusi isopropil atau butil tersier pada gugus amin sekunder rupanya diperlukan untuk inleraksi dengan adrenoseptor B" Substitusi pada cincin aromatik menentukan elek obat terutama perangsangan atau penghambatan, dan juga menentukan kardioselektivitasnya. Gugus hidroksil alifatik diperlukan untuk aktivitasnya. Gu gus ini memberikan aklivitas optik, dan isomer J p-agonis maupun p-bloker jauh lebih poten daripada isomer d-nya. Misalnya /-propranolol mempunyai aktivilas lebih dari 100 kali aktivitas d'propranolol sebagai p-bloker. Untuk penggunaan klinik
82
Farmakologi dan Tenpi
tr@;H-cH-NH OH H
H2-4H-CH-NH
llr
CH(CHs1z
OH
lsoproterenol
Propranolol
.a*lt"H2--cH-cH-NH
-'t-"",
--6-"c
H2--c
H-c H-N
OH H
CgHz
\ru:] 1 N' \J
H
CH(CHs)e
o H
2-c H-cH-N
OH H
ttt
H
OH
H
C(cHs)s
CH(CHs)z
Atenolol
Nadolol
cHsocHa-cH-O*"Hz-GH--cH-N H oH H CH(CHs)z
o lt
rrl\-c l\L/ttt
H.c-[-H
H-c H-N
O
Metoprolol
OH H
H
CH(CHo)z
Sotalol
o
ll
c(cHs)s
CH2--€H-CH-NH
rt-[-H rc-@-oc
cHgo-c-cH
H
oH
1l
Timolol
Asebutolol
*,
cH(CHs)z
o
o l-t
H
/.=\,
r--aHJ( -v )!ocx--cH-cH-NH I I OH H CH(cHs)z I
Esmolol
6\-o"rr-*H-cH-NH
Yrrr
oHH
HN. I \=l
CH(CHs)z
Pindolol
cH--HH2-cHr--o-cH.@--ocH2-c H-cH-N oH H
(CHs)z
H
'CH2--€H--€H-NH
ttt
OH H
CH(CHg)z
CH(CHs)z
OCHe-CH=CHz Bisoprolol
Oksprenolol
H*€>-"H-cH-NH
r-ttt OH H
HzN-C il
o
CHCH3 I
H2--€H-CH-NH
ttt
OH H
CHa-€H=
CHz-CHrLabetalol
Alprenolol
Gambar 6-1. Struktur kimia berbagai p-Bloker dan l3oproterenol
CHe
CH(CHg)z
Penghambat Adrenergik
8ri,
hanya tersedia bentuk rasemik, yakni campuran sama banyak kedua isomer. lsomer / yang aktil dimetabolisme lebih lambat dari isomerdyang tidak ahif. Labetalol mempunyai 2 atom C yang asimetris, sehingga mempunyai 4 isomer. Labetalol tersedia sebagai campuran sama banyak dari ke-4 isomernya.
FARMAKODINAMIK
Beta-bloker menghambat secara kompetitil elek obat adrenergik, baik NE dan Epi endogen maupun obat adrenergik eksogen, pada adrenoseptor B. Potensi penghambatan dilihat dari kemampuan obat ini dalam menghambat takikardi yang ditimbulkan oleh isoproterenol atau oleh exercise. Karena penghambatan ini bersilal kompetitil, maka dapat diatasi dengan meningkatkan kadar
(Tabel 6-1). Tetapi, sifat kardioselektivitas ini relatif,
artinya pada dosis yang lebih tinggi p-bloker yang kardioselektil juga memblok reseptor p2. Pindolol, oksprenolol, aiprenelol dan asebuto-
lol, bila berinteraksi dengan reseptor p tanpa adanya obat adrenergik seperti epinefrin atau isoproterenol, menimbulkan elek adrenergik yang lemah tetapi jelas; aktivitas agonis parsial (partlal agonist activity - PAA) ini disebut juga aktivitas sim-
patomimetik intrinsik (lntrlnslc sympathomlmetlc actlvlty - ISA). Beta-bloker lainnya tidak mempunyai aktivitas ini (Iabel 6-1 ).
Propranolol, oksprenolol, alprenolol, asebutolol, metoprolol, pindolol, dan labetalol mempunyai elek stabilisasi membran atau elek seperti anestetik lokal atau seperti kuinidin, maka disebut sebagai
obat adrenergik.
aktivitas stabilisasi membran (membrane stabiltzlng activity - MSA), aktivitas anestetik lokal atau aktivitas seperti kuinidin. Kekuatan MSA
Asebutolol, me[oprolol, atenolol dan bisoprodisebut p-bloker yang kardioselektif karena mempunyai afinitas yang lebih tinggi terhadap reseptor pl daripada reseptor Fz. P-bloker lainnya disebut nonselektif karena mempunyai afinitas yang sama terhadap kedua reseptor p1 dan p2
nonselektil, juga adalah ar-bloker yang cukup
lol
propranolol kira-kira sama dengan lidokain; oksprenolol kira-kira setengahnya; sedangkan atenolol, bisoprolol, timolol, nadolol dan sotalol tidak mempunyai silat ini (Tabel 6-1). Labetalol, selain merupakan p-bloker yang
Tabel 6-1. BERBAGAI BETA-BLOKER DENGAN SIFAT-SIFAT FARMAKODINAMIKNYA Kardioselektivitas Beta-bloker
Aktivltas
Akllvltas
Simpatomimetik
Stablllsssl
lntrinsik
Membran (MSA)
0sA) 1. Asebutolol
+
+
2. Metoprolol
++
+
3. Atenolol
++
4. Bisoprolol
+++
5, Propranolol 6. Timolol
7. Nadolol 8. Sotalol ++
9. Pindolol
+
10. Oksprenolol
+
+
11. Alprenolol
+
+
12. Labetalol'
+
*' Juga merupakan at-bloker Pada reseptor
02
+
Farmakologi dan Tenpi
84
Peningkatan denyut jantung, kontraktilitas
selehif. Ke-4 isomer labetalol mempunyai atinitas yang berbeda-beda terhadap reseptor cr dan p. Potensi campuran ini untuk rnemblok reseptor p 5-1 0 kali potensinya untuk memblok reseptor o. Labetalolluga mempunyai ISA tapiterbatas pada reseptorpz. Di samping itu labetalol menghambat ambilan kembali NE oleh ujung saraf adrenergik (penghambat ambilan-l, seperti kokain).
miokard, dan lekanan sistolik selama exercise atau stres meningkatkan kebutuhan Oz rniokard. Aliran darah koroner meningkat untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Akan tetapi, pada penderita dengan penyakit jantung koroner, sumbatan arteri koroner menyebabkan aliran darah koroner berkurang sehingga terjadi iskemia miokard. B-bloker mengu-
KARDIOVASKULAR. Efek terhadap sistem kardiovaskular merupakan efek p-bloker yang terpenting,
miokard dan tekanan sistolik sehingga mengurangi konsumsi Oe miokard. Meskipun p-bloker juga meningkatkan kebutuhan Oe miokard melalui pening-
terutama akibat kerjanya pada jantung. p-bloker mengurangi denyut jantung dan kontraktilitas miokard. Elek lni kecil pada orang normal dalam keadaan istirahat, tetapi menjadi nyata bila sistem simpatis dipacrr, misalnya sewaktu exercise atau stres.
Pemberian jangka pendek mengurangi curah jantung; resistensi perifer meningkat akibat relleks simpatis yang merangsang reseptor cr pembuluh darah. Dengan p-bloker nonselektil, lerjadi hambatan reseptor gz pembuluh darah, yang juga meningkatkan resistensi perifer. Aliran darah ke semua jaringan kecuali ke olak berkurang. Penurunan aliran darah ginjal, dan dengan demikian laju filtrasi glomerulus, oleh p-bloker yang nonselektil sekalipun tidaklah banyak, sehingga biasanya tidak penting pada penderita dengan lungsi ginjal yang normal. Resistensi periler msnurun kembali pada pemberian kronik. Labetalol, karena mempunyai aktivitas obloker, pada pemberian jangka pendek akan bekerja langsung menurunkan resistensi perifer.
Telah disebutkan bahwa elek hambatan pbloker pada jantung lebih nyata sewaktu melakukan kegiatan fisik. p-bloker mengurangi peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas miokard sewaktu
exercise. Tetapi, peningkatan curah jantungnya hanya sedikit dikurangi karena terjadinya peningkatan curah sekuncup selama exercise. Kemampuan exercise dikurangi oleh p-bloker, lebih banyak oleh p-bloker yang nonselektif dibandingkan p-bloker yang selektil. Hambatan reseptor 0e oleh pbloker nonselektif mengurangi peningkatan aliran darah ke otot rangka selama exercise yang submaksimal serta mengurangi peningkatan glikogenolisis yang dibutuhkan sewaktu exercise. Pada kegiatan lisik yang submaksimal, pemberian p-bloker dengan ISA mungkin menimbulkan hambatan denyut iantung yang sama dengan p-bloker tanpa lSA. Tetapi pada kegiatan fisik yang tinggi, p-bloker
dengan ISA menimbulkan hambatan denyut jantung yang kurang dibandingkan dengan p-bloker lanpa lSA.
rangi peningkatan denyut jantung, kontraktilitas
katan tekanan akhir diastolik dan waktu sistolik, letapi pengurangannya masih lebih banyak, sehingga kemampuan exercise ditingkatkan pada penderita angina ini. Tekanan darah. p-bloker tidak menurunkan tekanan darah penderita normotensi, tetapi menurunkan tekanan darah penderita hipertensi. Mekanisme an-
tihipertensi ini masih belum jelas. Pemberian pbloker secara kronik pada penderita hipertensi pada
akhirnya menyebabkan penurunan resistensi perifer. Mekanismenya tidak diketahui, tetapi mungkin sekali karena adanya penyesuaian pembuluh darah perifer terhadap pengurangan curah jantung yang berlangsung secara kronik. Di samping ilu, ham-
batan sekresi renin dari ginjal melalui reseptor
p1
juga menimbulkan elek hipotensif. Sebagian sekresi renin akibat diet rendah Na* iuga diblok oleh p-bloker. Tidak ada bukti yang mendukung adanya elek sentral. Pemberian labetalol untuk pengobatan hipertensi menyebabkan denyut jantung dan curah jantung tidak banyak berubah, resistensi perifer total menurun, dan aktivitas renin plasma mungkin berkurang. Hipotensi postural terjadi pada sebagian kecil penderita. Ritme iantung. p-bloker mengurangi kecepatan de-
polarisasi spontan (fase 4) nodus SA dan sel automatik lainnya, sehingga mengurangi denyut jantung dan aktivitas lokus ektopik. p-bloker juga mengurangi kecepatan konduksi nodus AV dan sistem konduksi lainnya, serta meningkatkan masa refrakter nodus AV. Aktivitas stabilisasimembran (MSA) atau aktivitas seperti kuinidin yang dimiliki beberapa B-bloker tidak muncul pada dosis lerapi, aktivitas ini baru muncul pada dosis berlebih, p-bloker yang tidak memiliki MSA tetap efektil sebagai antiaritmia.
Pembuluh darah. p-blokeryang nonselektil, misalnya propranolol, menghambat efek vasodilatasi melalui reseptor pz. Akibatnya terjadi hambatan elek
85
Penghambat Adrenergik
vasodepresor isoproterenol dan peningkatan efek presor epinefrin. Hal ini terutama penting pada feokromositoma, di mana p-bloker hanya boleh diberikan setelah hambatan reseptor o yang cukup. lni u ntuk riencegah terjadinya vasokonstriksi melal ui reseptor q yang tidak terimbangi akibat rangsangan Epiyang dilepaskan oleh tumor. Elek presor pada pemberian B-bloker nonselektil dapat juga terjadi pada keadaan lain yang meningkatkan aktivitas simpatis, misalnya pada reaksi hipoglikemia pada diabetes yang tidak stabil atau bila merokok secara berlebihan. Pindolol adalah p-bloker nonselektil yang
mempunyai ISA paling kuat, p-bloker dengan ISA menghasilkan penurunan denyut jantung dan te-
kanan darah istirahal yang lebih kecil dibanding p-bloker lainnya yang tidak mempunyai lSA. Karena itu, B-bloker dengan ISA mungkin lebih disukai sebagai anlihipertensi untuk penderita dengan cadangan jantung yang kurang atau dengan kecenderungan terjadi bradikardi.
SALURAN NAPAS. Bronkodilatasi adrenergik diperantarai oleh adrenoseptor p2. Adanya bronkodilatasi adrenergik intrinsik baru disadari setelah ditemukannya p-bloker yang selalu meningkatkan resistensi saluran napas. Efek bronkokonstriksi ini kecil dan tidak berarti pada orang normal, tetapi dapat membahayakan ;jiwa pada penderita asma
atau penderita penyakit obstruktil
menahun
(PPOM), misalnya emfisema. p-bloker yang kardioselektil (misalnya atenolol atau metoprolol) alau yang mempunyai ISA (misalnya pindolol) kurang
menimbulkan bronkokonstriksi pada penderita asma dibandingkan dengan yang nonselektif.
Tetapi, p-bloker yang kardioselektil maupun yang ber-lSA tetap dapat menimbulkan bronkospasme pada penderita asma atau PPOM yang peka. pbloker dapat memperkuat bronkospasme oleh sero' tonin, dan elek potensiasi ini lebih kual pada penderita asma daripada orang normal.
EFEK METABOLTK. Metabolisme karbohidrat. Propranolol menghambat glikogenolisis di sel hati dan otot rangka, sehingga mengurangi elek hiperglikemia dari epinelrin eksogen maupun epinefrin endogen yang dilepaskan oleh adanya hipoglikemia. Akibatnya, kembalinya kadar gula darah pada hipoglikemia (misalnya oleh insulin) diperlambat. Selain itu, stimulasi sekresi insulin oleh obat adrenergik juga dihambat oleh propranolol. Oleh karena glikogenolisis oleh epinelrin diperantarai reseptor
92, maka untuk penderita yang mudah mengalami hipoglikemia, terutama penderita diabetes yang diobati dengan insulin, lebih baik digunakan p-bloker
yang kardioselektif. Semua p-bloker menghambat lakikardi akibat rangsangan Epi yang dilepaskan oleh hipoglikemia; takikardi merupakan tanda peringatan yang p€nting akan adanya hipoglikemia tersebut. Meskipun stimulasi sekresi insulin oleh epinefrin diperantarai reseptor 9e, p-bloker larang mengganggu penglepasan insulin.
Metabolisme lemak. Propranolol menghambat ak-
tivasi enzim lipase dalam sel lernak, sehingga menghambat ponglepasan asam lemak bebas dalam sirkulasi, yang ditimbulkan oleh peningkatan aktivitas simpatis sewaktu kegiatan lisik atau stres emosional. Akibatnya, peningkatan asam lemakda' lam darah, yang dibutuhkan sebagai sumber enersi oleh otot rangka yang sedang aktil bekerja, berkurang. p-bloker yang nonselektil sedikit meningkatkan kadar trigliserida dan menurunkan kadar koles' terol HDL dalam plasma. Kadar kolesterol LDL dan kolesterol total biasanya tidak berubah. p-bloker yang kardioselektil dan yang mempunyai ISA lebih jarang dalam menimbulkan gangguan metabolisme
lemak tersebut, demikian luga o, p-bloker. Meka' nisme elek initidak diketahui. p-agonis menurunkan kadar K+ plasma dengan meningkatkan ambilan ion tersebut, lerutama ke dalam otot rangka (melalui reseptor Fe). Kadar Epi yang sangat meningkat sewaktu stres (misalnya
inlark miokard) dapat menimbulkan hipokalemia, g. Exerclse menyebabkan peningkatan keluarnya ion K+ dari otot rangka, dan epinefrin mengurangi kenaikan
yan g mudah menimbulkan aritmia jantun
kadar plasma K* dengan meningkatkan ambilari ion tersebut ke dalam otot. p-bloker mengurangi ambilan ini.
Hormon. F-bloker menghambat sekresi renin dari jukstaglomerulus ginjal oleh obat adrsnergik atau aktivitas sistem adrenergik, dan sebagian sekresi yang ditimbulkan oleh diet rendah garam. p- bloker tanpa ISA memperlihatkan efek terkuat, sedangkan p-bloker dengan ISA efeknya lebih lemah' Pind6lol'
yang
mempunyai ISA paling kuat, praktis tidak
memperlihatkan elek ini, Penurunan aktivitas renin PRA) tidak mutlak plasma (ptasma renin activity diperlukan untuk efek antihipertensi'p-bloker. Pada penderita hipertensi dengan PRA yang tinggi, renin memegang peran penting dalam meningkatkan tekanan darah; pada penderita demikian propranolol
'
86
Farmakologi dan Terapi
dosis rendah (kadar plasma 3-30 ng/ml) dapat menurunkan tekanan darah, terutama dengan mensupresi renin. Pada penderita hipertensi dengan PRA rendah, propranolol juga dapat menurunkan tekanan'darah, tetapi diperlukan dosis yang jauh
p-bloker menghambat relaksasi uterus yang ditimbulkan oleh katekolamin (melalui reseptor p2), letapi tidak mempengaruhi kontraksinya oleh katekolamin (melalui reseptor d,l). Dengan menghambat relaksasinya, propranolol meningkatkan aktivitas
lebih tinggi (kadar plasma 30-100 ng/ml); pada pen-
uterus, dan efek ini lebih kuat pada wanita tidak
derita demikian renin kurang berperan dalam meningkatkan tekanan darah, sehingga efek antihipertensi propranolol ini tidak berdasarkan supresi renin. Selain itu, pindolol yang praktis tidak mempunyai efek supresi renin, juga mempunyai elek
hamil. p-bloker juga memblok hambatan degranulasi sel mast oleh katekolannin (melalui reseplor pz).
antihipertensi.
FARMAKOKINETIK
Propranolol menghambat elek sentral dopamin yang menghambat sekresi hormon pertumbuhan sehingga terjadi peningkatan hormon pertumbuhan dalam plasma. Efek ini lemah pada orang normal, tetapi dapat memperkuat peningkatan kadar plasma hormon pertumbuhan yang ditimbulkan oleh hipoglikemia akibat insulin. LAIN-LAIN. p-bloker menghambat tremor yang ditimbulkan oleh epinefrin atau obat adrenergik lainnya (melalui reseptor p2). Tetapi, propranolol tidak selalu efektif terhadap tremor esensial atau tremor pada penyakit Parkinson. Hal ini mungkin karena efek antitremor propranolol merupakan efek periler,
jadi hanya dapat mengurangi tremor yang diperhebat oleh peningkatan aktivitas sistem simpatis, misalnya dengan adanya stres emosional.
Sifat-silat larmakokinetik berbagai p-bloker dapat dilihat dalam Tabel 6-2. Berdasarkan sifatsifat ini, p-bloker dapat dibagi atas 3 golongan : (1) p-bloker yang mudah larut dalam lemak, yakni propranolol, alprenolol, oksprenolol, labetalol, dan metoprolol. Semuanya diabsorpsi dengan baik (> 90%) dari saluran cerna, tetapi bioavailabilitasnya rendah (tidak lebih dari 50%) karena mengalami metabolisme lintas pertama yang ekstensil di hati. Eliminasinya melalui metabolisme di hati sangat ekstensil sehingga obat utuh yang diekskresi melalui ginjal sangat sedikit (< 10%), Kelompok ini mem-
punyai waktu paruh eliminasi yang pendek, yakni berkisar antara 2-6 jam, kecuali labetalol dapat mencapai 8 jam.
Tabel 6-2. SIFAT-SIFAT FARMAKOKTNETIK BERBAGAI p-BLOKER
p-blokcr
Larut dalam air/lemak
Bioavaila- Metabolisme
bilitas oral (%i
1. Propranolol 2. Alprenolol 3. Oksprenolol
4. 5.
Labetalol Meloprolol
6. Timobl 7. Bisoprolol
8. 9.
Asebutolol Pindolol
lemak lemak l€mak dan ait lomak dan ai] lemak dan ait l€mak dan air lemak dan air air dan lemak air dan lemak
10. Sotabl 11. Nadolol
air air
12. Atenolol
air
*'
*r
o/o
25-30 10
25-50 25
40-50 50-75 90
linta3 pcrtama di hati
Eliminasl melalui ginjaUhati
Ekskresi obat utuh dalam urin (Yol'
ya ya ya ya ya
hati hati hati hati hati
s6dang
35-55
30 mm Hg dan TDD (Korotkotf fase V) meningkat ) 15 mm Hg dibandingkan dengan nilai rata-rata selama 20 minggu pertama kehamilan. Bila TD sebelumnya tidak diketahui, nilai 140/90 mm Hg atau lebih dianggap tidak normal. Preeklamsia ini dapat dengan cepat berkembang menjadi fase konvulsil yang disebut eklamsia. preeklamsia biasanya terjadi pada kehamilan pertama,
Antihiperlensi
Keputusan untuk memberikan AH harus didasarkan pada keselamatan ibunya, karena tidak jelas apakah penurunan TD akan menguntungkan letus, s€dangkan pengobatan ini tidak menyembuhkan preeklamsia. Terapi dengan AH dimulai bila TDD > 100 mm Hg. Bila kelahiran tidak diharapkan dalam 24 jam, diberikan obat oral, yakni metildopa. Hidralazin, antagonis kalsium, B-bloker, dan labetalol merupakan obat tambahan atau obat pengganti. Diuretik akan makin memperburuk perfusi organ sehingga harus dihindarkan pada preeklamsia. Bila kelahiran akan segera terladi, diberikan
AH parenteral. Hidralazin intravena elektif
dan
telah digunakan dengan aman pada kehamilan, sedangkan data penggunaan diazoksid, labetalol, dan klonidin masih terbatas. Penggunaan aspirin dosis rendah (60 mg sehari) sebagai antiplatelet ternyata tidak dapat mencegah atau mengobati preeklamsia.
dian initampaknya bukan efek langsung tiazid tetapi karena adanya penyesuaian pembuluh darah perifer terhadap pengurangan volume plasma yang terus menerus. Kemungkinan lain adalah berkurangnya volume cairan interstisial berakibat berku-
rangnya kekakuan dinding pembuluh darah dan bertambah nya daya lenlur (co m pl iance) vasku ar' I
DIURETIK TIAZID DAN SEJENISNYA
Berbagai tiazid (misalnya hidroklorotiazid' bendroflumetiazid) dan diuretik yang sejenis (misalnya klortalidon, indapamid) mempunyai mekanisme kerja yang sama. Dalam dosis yang ekuipoten' berbagai obat ini menimbulkan efek antihipertensi dan
toksisitas yang tidak berbeda satu sama lain, kecuali indapamid mungkin lebih efektif daripada tiazid lainnya pada penderita dengan gangguan lungsi ginjal. Perbedaan utama antara berbagai obat ini terletak dalam masa kerianYa.
2. OBAT ANTIHIPERTENSI Karena kebanyakan AH telah dibahas secara umum pada Bab 6 dan 25, maka pada bab ini hanya akan dibahas segi penggunaannya sebagai antihipertensi. Golongan AH yang belum dibahas pada bab lain, yakni penghambat enzim konversi angiotensin (penghambat ACE) dan vasodilator langsung, di sini akan dibicarakan lebih terinci. Status obat-obat ini dalam pengobatan hipertensi telah dibahas pada PRINSIP PENGOBATAN HIPERTENSI, sedangkan posologi dan sediaannya ter-
cantum padaTabel22-4'
2.1. DIURETIK Uraian rinci tentang golongan obat ini dapat dilihat pada Bab 25.
Mekanisme antihipertensi. Khasiat antihipertensi diuretik berawal dari efeknya meningkatkan ekskresi natrium, klorida, dan air, sehingga mengurangi volume plasma dan cairan ekstrasel' TD turun akibat berkurangnya curah jantung, sedangkan resistensi perifer tidak berubah pada awal terapi. Pada pemberian kronik, volume plasma kembali tetapi masih kira-kira 5% di bawah nilai sebelum pengobatan. Curah jantung kembali mendekati normal' TD tetap turun karena sekarang resistensi perifer menurun. Vasodilatasi periler yang terjadi kemu-
Elek antihipertensi tiazid berlangsung lebih lama dan terjadi pada dosis yang jauh lebih rendah daripada elek diuretiknya. Efek hipotensilnya baru terlihat setelah 2-3 hari dan mencapai maksimum setelah 2-4 minggu. Karena itu, peningkatan dosis tiazid harus dilakukan dengan interval tidak kurang dari 4 minggu.
Penggunaan sebagai antihipertensi. Sampai sekarang tiazid merupakan obat utama dalam terapi antihipertensi pada penderita dengan lungsi ginial yang normal. Obat ini ierutama efektif untuk penderita hipertensi dengan kadar renin yang rendah, misalnya (kebanyakan) penderita yang lebih tua' Tiazid digunakan sebagai obat tunggal pada penderita hipertensi ringan sampai sedang, atau dalam kombinasi dengan AH lain pada penderita yang
TD-nya tidak dapat dikendalikan dengan diuretik saja. Tiazid menurunkan TD berdiri maupun berbaring, jarang menimbulkan hipotensi postural, ditoleransi penderita dengan baik, harganya relatil murah, dapat diberikan sekali sehari, dan efek hipoten-
sifnya bertahan pada penggunaan jangka panjang. Tiazid seringkali dikombinasi dengan AH lain karena (1 ) tiazid meningkatkan efek hipotensil obat lain yang mekanisme kerjanya berbeda sehingga dosis obat tersebut dapat dikurangi, dan dengan demikian mengurangi jumlah dan beratnya efek samping;dan (2) tiazid mencegah terjadinya retensi
cairan oleh AH lainnya sehingga elek hipotensil obat-obat tersebut dapat beftahan.
s30
Efek samping dan perhatian. Tiazid dapat menim-
bulkan berbagai efek samping metabolik, yakni hi_ pokalemia, hipomagnesemia, hiponatremia, hiper_ urisemia, hiperkalsemia, hiperglikemia, hiperkolesterolemia, dan hipertrigliseridemia. Tiazid dapat mencetuskan gout akut. Untuk menghindari efek metabolik ini, tiazid harus digunakan dengan dosis rendah dan dilakukan pengaturan diet. Kecuali indapamid, tiazid kehilangan efektivi_
tasnya sebagai diuretik maupun antihipertensi pada gagal ginjal (kreatinin serum > 2,5 mg/dl). Untuk
kasus demikian digunakan diuretik kuat. Hipoka_ lemia meningkatkan efek toksik digitalis, yang dibe_
rikan bersama untuk gagal jantung. Tiazid juga
menimbulkan gangguan fungsi seksual dan rasa
lemah.
. Efek hipotensif diuretik diantagonisasi oleh obat-obat antiinf lamasi nonsteroid (AINS), terutama indometasin, melalui hambatan sintesis prostaglan_ din yang bersilat vasodilator dan berperan punting dalam pengaturan aliran darah ginjal serta melabo_
lisme air dan garam. pada akhirnya AINS menyebabkan retensi natrium dan air, yang mengurangi efek hampir semua AH. AINS juga menyebabkan
Farmakologi dan Terapi
diuretik lain untuk mencegah atau mengurangi hipokalemia dari diuretik lain. Diuretik hemat kalium dapat menyebabkan hiperkalemia, terutama pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal atau bila dikombinasi dengan penghambat ACE, suplemen kalium, atau AINS. pada penderita dengan kreatinin
serum > 2,5 mg/dl, penggunaannya harus dihin_ darkan. 'l
Spironolakton Odtam dosis sampai dengan 00 mg sehari mempunyai elek hipotensif yang
sebanding dengan hidroklorotiazid. Spironolakton
adalah antagonis spesifik dari aldosteron, maka merupakan obat pilihan utama untuk hiperal_ dosteronisme prirner. Elek sampingnya idalah
ginekomastia, mastodinia, menstruasi tidak teratur,
dan berkurangnya libido pada pria.
2.2. PENGHAMBAT ADRENERGIK Uraian rinci mengenai golongan obat ini dapat
dilihat pada Bab 6.
hiperkalemia.
PENGHAMBAT ADRENOSEPTOR
DIURETIK KUAT DAN DIURETIK HEMAT
Mekanisme antihipertensi. Mekanisme kerja pbloker sebagai antihipertensi masih belum jelas.
KALIUM
Diuretik kuat, misalnya furosemid, merupakan AH yang lebih efektif dibandingkan tiazid untuk hipertensi dengan gangguan lungsi ginjal atau gagal
jantung. Mula kerjanya lebih cepat dan efek diuretiknya lebih kuat daripada tiazid. Tetapi tiazid
lebih efektif untuk bentuk-bentuk hipertensi lainnya. Karena itu, penggunaan diuretik kuat sebagai AH oral biasanya dicadangkan untuk penderita dengan kreatinin serum > 2,5 mg/dl atau
gagal jantung. Masa kerjanya pendek sehingga untuk mengendalikan TD diperlukan pemberian
minimal 2 kali sehari. Seperti halnya tiazid, perubahan kadar kalium plasma oleh diuretik kuat berhubungan dengan efek diuretiknya, dan tidak dengan efek hipotensifnya. Elek samping diuretik kuat sama dengan tiazid kecuali tidak menyebabkan hiperkalsemia. Untuk menghindari elek metabolik ini, diuretik kuat harus
digunakan dengan dosis rendah disertai penga_ turan diet.
Diuretik hemat kalium merupakan diuretik lemah, penggunaannya terutama dalam kombinasi dengan
p
(B_BLOKER)
Diperkirakan ada beberapa cara: (1) pengurangan denyut jantung dan kontraktilitas miokard menye_ babkan curah jantung berkurang. Refleks barore_ septor serta hambatan reseptor B2 vaskular menye_ babkan resistensi perifer pada awalnya meningkat. Pada pemberian kronik resistensi periler menuiun,
mungkin sebagai penyesuaian terhadap pengura_
ngan curah jantung yang kronik; (2) hambatan
penglepasan NE melalui hambatan reseptor gzpra-
sinaps; (3) hambatan sekresi renin melalui hambatan reseptor pr di ginjal; dan (4) efek sentral. Berbagai mekanisme ini memberikan kontribusi yang berbeda-beda dalam menimOJtt 2 uglkgl menit dan dapat dicegah bila diberikan juga natrium tiosulfat secara bersamaan. Tiosianat adalah metabolit nitroprusid yang diekskresi dalam urin dengan waktu paruh 3-4 hari. Risiko keracunan tiosianat meningkat bila lama infus lebih dari 24-48 iam, terutama pada penderita dengan gangguan ginial. Tanda{anda dan gejala-gejala keracunan tiosianat berupa anoreksia, mual, kelelahan, disorientasi,
dan psikosis toksik akut. Kadar plasma tiosianat harus dimonitor dan tidak boleh melampaui 0,1 mg/
ml, Kadar tiosianat yang berlebihan juga dapat mengganggu fungsi tiroid. Pada gagal ginjal, tio-
sianat dengan mudah dieliminasi melalui hemodialisis. Juga terjadi methemoglobinemia dan asidosis.
Nitroprusid dapat memperburuk hipoksemia arteri pada penderita dengan PPOM karena obat ini mengganggu vasokonstriksi pembuluh darah paru yang hipoksik sehingga meningkatkan ketidakseimbangan anlara ventilasi dan perlusi.
Hipertensi rebound dapat terjadi setelah inlus nitroprusid jangka pendek dihentikan men' dadak, mungkin karena kadar renin plasma meningkat secara persisten.
2.4. PENGHAMBAT ENZIM KONVERSI ANGIOTENSIN Kaptopril adalah penghambat enzim konversi angiotensin (penghambat ACE) yang pertama dite' mukan. Sejak itu telah dikembangkan banyak penghambat ACE lain, dan yang telah resmi beredar di lndonesia adalah enalapril, lisinopril, kuina-
pril, perindopril, ramipril, silazapril, benazepril, delapril, dan losinopril. Secara umum penghambat ACE dapat dibedakan atas (1) yang bekeria langsung, yakni kaptopril dan lisinopril; dan (2) yang bekerja
tidak langsung (merupakan prodrug), yakni semua yang lainnya.
SISTEM RENIN-ANGIOTENSIN-ALDOSTERON (RAA)
Renin disekresi oleh sel jukstaglomerular di dinding arteriol aleren dan glomerulus ke dalam darah bila perlusi ginjal menurun (akibat menurunnya TD atau adanya stenosis pada arteri ginjal), blla terdapat deplesi natrium (penurunan kadar natrium dalam tubuli ginjal), dan/atau bila terdapat stimulasi adrenergik (melalui reseptor pl).
Renin, yang merupakan enzim proteolitik, akan memecah angiotensinogen, suatu cr-globulin yang disintesis dalam hati dan beredar dalam darah, menjadi angiotensin I (Al). Al yang relatif tidak aktil akan dikonversi dengan cepat sekali oleh ACE yang terikat pada membran sel endotel yang menghadap ke lumen di seluruh sistem vaskuler,
menjadi angiotensin
ll (All) yang sangat aktif. All
bekerja pada reseptor di otot polos vaskuler, korteks
adrenal, jantung, dan SSP untuk menimbulkan konstriksi arteriol dan venula (elek pada arteriol lebih kuat), slimulasi sintesis dan sekresi aldosteron, stimulasi jantung dan sistem simpatis, dan efek di SSP berupa stimulasi konsumsi air dan peningkatan sekresi ADH. Akibatnya terjadi peningkatan resistensi perifer, reabsorpsi natrium dan air, serta peningkatan denyutjantung dan curah
jantung. Peningkatan TD ini mengaktifkan mekanisme umpan balik yang mengurangi sekresi renin.
ACE juga adalah enzim kininase ll yang mengingktifkan bradikinin. Bradikinin merupakan vasodilator arteriol sistemik yang poten, kerianya melalui produksi EDRF (endothelial-derived relaxing fac.tor) dan prostaglandin oleh sel-sel endotel vaskuler. Sistem RAA tidak berperan aktil dalam mempertahankan homeostasis TD pada subjek dengan volume darah dan kadar natrium yang normal, tetapi berperan penting dalam mempertahankan TD dan
volume intravaskular sewaktu terdapat deplesi natrium dan cairan.
Farmakologi dan Terapi
MEKANISME ANTIHIPERTENSI Penghambat ACE mengurangi pembentukan
All sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron yang menyebabkan terjadinya ekskresi natrium dan air, serta retensi kalium. Akibatnya terjadi penurunan TD pada penderita hipertensi esensial maupun hipertensi renovaskuler. Kadar plasma All dan aldosteron menurun, sedangkan kadar plasma Al dan aktivitas renin plasma (PFIA) meningkat karena mekanisme kompensasi. Sekresi aldosteron, yang dipengaruhi oleh faktor-
faktor lain di samping sistem renin-angiotensin, mungkin kembali ke nilai awal pada terapi jangka panjang. Karena efekvasokonstriksi All paling kuat antara lain pada pembuluh darah ginlal, maka berkurangnya pembentukan All oleh penghambat ACE menimbulkan vasodilatasi renal yang kuat, sehingga terjadi peningkatan aliran darah ginjal. Penurunan TD oleh penghambat ACE disertai dengan penurunan resistensi perifer, tanpa disertai refleks takikardia. Penghambat ACE juga mengurangi tonus vena. Besarnya penurunan TD oleh penghambat ACE berbanding lurus dengan PRA awal, tetapi hanya pada pemberian akut, dan tidak pada pemberian kronik. Tampaknya kerja golongan obat
ini tidak hanya melalui sistem RAA, tetapi juga melalui sistem kinin. Hambatan inaklivasi bradikinin oleh penghambat ACE meningkatkan bradikinin dan prostaglandin vasodilator sehingga meningkatkan vasodilatasi akibat hambatan pembentukan All. Seperti halnya dengan diuretik, penghambat
ACE mempunyai kurva dosis-respons yang relatil
curam pada kisaran dosis rendah dan menjadi relatif rata pada kisaran dosis tinggi.
Diuretik atau diet rendah garam merangsang
sekresi renin dan mengaktifkan sistem BAA sehingga memberikan elek sinergistik dengan penghambat ACE. Pada penggunaan jangka panjang, tidak terjadi toleransi terhadap elek hipotensil golongan obat ini. Penghentian obat-obat ini secara mendadak tidak menimbulkan fenomen rebound.
hambat ACE efektif sebagal AH pada sekitar 70% penderita. Penurunan TD sekitar 10/5 sampai 15/1 2 mm Hg. Besarnya penurunan TD ini sebanding dengan tingginya TD sebelum pengobatan. Penghambat ACE terutama efektif pada hipertensi dengan PRA yang tinggi, yakni pada kebanyakan hipertensi maligna dan hipertensi renovaskuler, dan pada kira-kira l/5 populasi hipertensi esensial, tetapi obat ini juga efektif pada hipertensi dengan PRA yang normal dan yang rendah. Karena itu penentuan PRA tidak berguna untuk individualisasi terapi. Pada hipertensi berat, penghambat ACE dapat ditambahkan sebagai vasodilator obat ke-3 pada diuretik dan p-bloker. Kombinasi dengan dluretik memberikan efek antihipertensi yang sinergis-
tik (kira-kira 85% penderita TD-nya terkendali dengan kombinasi ini), sedangkan efek hipokalemia diuretik dicegah atau dikurangi. Kombinasi dengan B'bloker memberikan efek yang aditif. Kombinasi dengan vasodilator, termasuk prazosin dan nifedipin, memberikan efek yang baik. Tetapi pemberian bersama penghambat adrenergik lainnya yang menghambat respons adrenergik o dan p (misal-
nya metildopa, klonidin, labetalol, prazosin
+
p-
bloker), sebaiknya dihindarkan karena dapat menimbulkan hipotensi yang berat dan berkepanjangan. Penghambat ACE lebih efektif pada penderita yang lebih muda bila digunakan sendiri. Obat-obat ini terpilih untuk penderita hipertensi dengan gagal jantung kongestif yang juga merupakan indikasi penghambat ACE. Penghambat ACE oral dapat digunakan untuk hipertensi mendesak, sedangkan preparat lV (enalaprilat) digunakan pada hipertensi darurat. EFEK SAMPING DAN PERHATIAN Batuk kering merupakan efek samping yang paling sering terjadi, insidensnya sampai 10-20%, lebih sering pada wanita dan pada malam hari. Elek samping ini bergantung pada besarnya dosis, dan
PENGGUNAAN SEBAGAI ANTIHIPERTENSI Sejak JNC-IV (1988) dan WHo/lSH (1989), penghambat ACE telah menjadi salah satu golongan AH tahap pertama. Penghambat ACE elektif untuk hipertensi yang ringan, sedang maupun berat. Sebagai monoterapi, penghambat ACE sama
etektivitasnya dengan golongan AH lainnya, Peng-
reversibel bila obat dihentikan.
Efek samping berupa rash dan gangguan pengecap lebih sering terjadi pada penggunaan kaptopril karena adanya gugus sulfhidril pada obat ini, yang tidak dimiliki oleh penghambat ACE lainnya. Sekitar 10% penderita yang mendapat kaptopril mengalami rash makulopapular atau morbililorm. Fleaksidermatologik ini menghilang bila obat
339
Antihipertensi
dihentikan dan tidak selalu muncul kembali bila obat diberikan lagi; beberapa rash eritematosus hilang meskipun obat diteruskan. Gangguan pengecap (disgeusia) terjadi pada kira-kira 70h penderila yang diberi kaptopril; gangguan ini bersilat reversibel, tetapi pemberian kaptopril mungkin perlu dihentikan bila terjadianoreksia dan penurunan berat badan. Fash dan disgeusia lebih jarang terjadi bila digunakan dosis rendah (< 150 mg sehari).
fungsi ginjal, atau diberikan bersama suplemen
Udem angioneurotik, yang dapat terjadi
Pada saat ini penghambat ACE menjadi AH terpilih pada hipertensi dengan netropati diabetik.
pada penggunaan semua penghambat ACE, dapat cukup parah sampai menjadi fatal, tetapi hanya terjadi < 0,1%. Risiko udem ini meningkat pada penderita yang meneruskan obat meskipun sudah terjadi ulkus di mulut atau rash kulit.
Dosis pertama penghambat ACE dapat menimbulkan hipotensi simtomatik yang berat, terutama pada penderita yang mengalami deplesi cairan akibat pemberian diuretik, diet rendah garam, atau dialisis, atau pada penderita yang hiponatre-
mik. Untuk mengurangi efek samping ini, dosis dimulai serendah mungkin dan dinaikkan perlahanlahan, dosis pertama dan setiap kali peningkatan dosis diberikan sebelum tidur, dan sebaiknya dosis diuretik dikurangi atau dihentikan dulu beberapa waktu sebelum memulai penghambat ACE. Diuretik dapat diberikan kembali kemudian, bila diperlukan. Pada penderita dengan penyakit jantung koroner, hipotensi akut ini dapat mencetuskan serangan angina. Gagal ginjal akut yang reversibel dapat terjadi pada penderita dengan stenosis arteri ginjal pada kedua ginjal atau pada satu-satunya ginjal yang berfungsi, akibat berkurangnya kadarAll yang pada kondisi ini diperlukan untuk konstriksi arteriol glomerulus eferen dan mempertahankan filtrasi glomerulus yang cukup; pada penderita ini penghambat ACEI tidak boleh diberikan. Proteinuria (> 1 g/hari) jarang terjadi. Dulu
banyak dilaporkan pada penggunaan kaptopril dosis tinggi sekali dan terutama terjadi pada penderita yang mempunyai penyakit parenkim ginjal. Demikian juga dengan neutropenia, efek samping ini juga jarang terjadi; dulu banyak dilaporkan pada penggunaan kaptopril dosis tinggi dan terutama ter-
jadi pada penderita dengan penyakit kolagen atau penyakit parenkim ginjal.
Hiperkalemia yang bermakna secara klinik jarang terjadi pada penderita dengan fungsi ginjal normal. Risiko hiperkalemia meningkat bila obatobat ini diberikan pada penderita dengan gangguan
kalium atau diuretik hemat kalium.
Penghambat ACE tidak menimbulkan efek samping metabolik pada penggunaan iangka panjang, yakni tidak mengubah metabolisme karbohidrat maupun kadar lipid dan asam urat dalam plasma. Penghambat ACE, di samping a-bloker, juga dapat mengurangi resistensi insulin, sehing-
ga menjadi AH terpilih pada hipertensi dengan NIDDM atau dengan obesitas.
Diperkirakan bahwa dilatasi arteriol glomerulus eferen oleh penghambat ACE akan mengurangi perbedaan tekanan hidraulik pada pembuluh kapiler glomerulus sehingga dapat mengurangi kebocoran albumin yang menyebabkan kerusakan membran dasar glomerulus, sehingga dapat memperlambat proses terjadinya glomerulosklerosis diabetik. Efek hipotensi penghambat ACE dilawan oleh obat-obat AINS, terutama indometasin, melalui
hambatan sintesis prostaglandin yang bersifat vasodilator dan berperan penting dalam aliran darah ginjal serta metabolisme air dan garam. Pada akhirnya AINS menyebabkan retensi natrium dan air, yang mengurangi elek hampir semua AH. Penghambat ACE tidak boleh diberikan pada kehamilan trimester 2 dan 3 karena dapat menyebabkan gagal ginjal dan kematian pada letus.
FARMAKOKINETIK KAPTOPRIL. Bioavailabilitas oral 60-65%, dan berkurang bila diberikan bersama makanan, maka obat ini harus diberikan 1 jam sebelum makan. lkatan dengan protein plasma sekitar 30%. Waktu paruh eliminasinya sekitar 2,2 iam. Ekskresi utuh dalam urin terjadi pada 40% dari dosis yang bioavailabel, maka pada gangguan ginjal dosis obat harus dikurangi.
ENALAPBIL. Enalapril adalah prodrug yang dipecah dalam hati menjadi bentuk aktifnya, enalaprilat. Bioavailabilitas oral 40% dan tidak dipengaruhi oteh makanan. Waktu paruh enalaprilat setelah dosis berulang 'l 1 jam dan meningkat bila terdapat gangguan ginjal sehingga pada keadaan ini dosis obat harus dikurangi. LISINOPRIL. Bioavailabilitas oral antara 30-50%' dan tidak dipengaruhi makanan. Waktu paruhnya sekitar 12 jam, dan sama sekali tidak terikat pada
340
Farmakologi dan Terapi
protein plasma. Hampir 100% dari dosis yang bioavailabel diekskresi utuh dalam urin.
kuloseleklil dari golongan DHP ini menguntungkan
pada penggunaannya sebagai antihipertensi karena (a) tidak ada efek langsung pada nodus AV
dan SA; (b) menurunkan resistensi perifer tanpa depresi fungsi jantung yang berarti; dan (c) relatil
2.5. ANTAGONIS KALSIUM
aman dalam kombinasi dengan p-bloker.
Pembahasan mengenai mekanisme kerja antagonis kalsium secara umum, serta elek samping dan perhatian untuk ke-3 prototipe antagonis kalsium, yakni verapamil, diltiazem dan nifedipin, dapat dilihat pada Bab 23. Berbagai antagonis kalsium yang telah resmi beredar di lndonesia sebagai antihipertensi, de-
(2). Bioavailabilitas oral yang rendah dari kebanyakan antagonis kalsium disebabkan oleh eliminasi presistemik (metabolisme lintas pertama) di hati yang tinggi. Hal ini menghasilkan kadar plasma
yang sangat bervariasi karena mudah dipengaruhi oleh faktor-faktor absorpsi maupun faktor-faktor metabolisme di hati. Dalam hal ini, bioavailabilitas
ngan dosis dan sediaannya, dapat dilihat pada Tabel 22-4. Beberapa perbedaan penting lainnya
oral yang tinggi dari amlodipin menguntungkan karena menghasilkan kadar plasma yang tinggi dan predictable.
antara berbagai antagonis kalsium tersebut dapat dilihat pada Tabel 22-10. Tabel 22-10 menunjukkan bahwa:
(3). Kadar puncak yang cepat dicapai oleh kebanyakan anlagonis kalsium menyebabkan TD turun dengan cepat, dan ini dapat mencetuskan iskemia miokard atau serebral. Absorpsi yang lambat dari amlodipin menyebabkan TD turun dengan perlahan.
(1). Golongan dihidropiridin (DHP, yakni nifedipin, nikardipin, isradipin, lelodipin dan amlodipin) bersilat vaskuloselektif dan generasi yang baru mempunyai selektivitas yang lebih tinggi. Sifat vas-
TAbEI 22-10. BEBERAPA PERBEDAAN PENTING ANTARA BERBAGAI ANTAGONIS KALSIUM Generasi
Generasi ll
I
NK
1. Selektivitas vaskuler
2. Bioavailabilitas oral (%)
15-30
3. Tma (am) - biasa - retard
5-1 0
4. Ttle eliminasi (iam)
3-7
1-2
+2+ 40 40-60 1-2 0,5-1 3-4 2 3-7 2-3
3+ 10-18 0,3-1
6. Metabolisme hati (%) Metabolit
7. Ekskresi utuh lewat ginjal (%)
- V€rapamll
D
-
Diltiazem
N - Nifedipin Nk - Nikardipin
tru
7-8
9
,:
3x 2x
>95
>99
100
inaktif
inaktit
aktif aktif 3-4 1-4
inaktif V > D); (2) pengurangan kontraktilitas mlokard (V > D); dan (3) penurunan frekuensi denyut jantung (D t V). Tabel 23-3. EFEK KARDIOVASKULAR NIFEDIPIN, VERAPAMIL DAN DILTIAZEM
Nifedipin VeraEfek kardiovaskular
(N) Resistensi perifer
(N>V>D) Tekanan darah
(N>V=D) Refleks simpatis
Diltiazem
pamil
(v)
(D)
JJI
IJ
i.[
li
J.l
1tt
I1
lill
(N>V>D) IJ
Efek inotropik
(V'
I
D)
Frekuensi denyut jantung
ll
1J
Curah jantung
t1
IJ
Tonus arteri koroner
lJl
J1
lt' l 1il
l.l
I
(N>D>V) Konduksi AV
(V>D) Periode refrakter AV
(V>D)
tt
1
354
Farmakologi dan Terapi
Antagonis kalsium meningkatkan suplai ok-
sigen miokard melalui (1 ) dilatasi langsung arteri epikardial (N > D > V) sehingga dapat mengatasi atau rnencegah vasospasme koroner pada angina vasospastik; (2) penurunan tekanan darah (N > V > D) sehingga tegangan dinding ventrikel selama sislole (afterloadl berkurang dan akibatnya perfusi subendokard meningkat; (3) dilatasi arteri epikardial disertai dilatasi arteriol koroneryang lemah (sehing-
lebih lemah dari verapamil dan tidak berefek langsung terhadap jantung. Metabolit ini mempunyai
waktu paruh yang panjang (8-13 jam) sehingga akan terakumulasi pada pemberian verapamil dosis berulang. Metabolit utama diltiazem adalah desase-
tildiltiazem yang mempunyai efek vasodilatasi separuh diltiazem. Metabolit derivat dihidropiridin tidak aktil.
ga resistensi koroner hanya sedikit berkurang dan
Sirosis hepatis meningkatkan bioavailabilitas V dan N sekitar 2 x lipat, dan waktu paruhnya 3-4 x
autoregulasi hanya sebagian dihambat) menyebab-
lipat, serta mengurangi bersihannya sampai
kan aliran darah miokard meningkat terutama di daerah iskemik, di mana arteriol berdilatasi paling
separuhnya atau lebih, sehingga dosis obat-obat ini
lebar akibat autoregulasi yang masih berfungsi, (4) dilatasi stenosis eksentris pada arteri epikardial (yang ternyata belum berdilatasl secara maksimal) sehingga meningkatkan aliran darah di pascastenosis (daerah yang iskemik); dan (5) penurunan denyut jantung (D > V) sehingga memperpanjang waktu diastolik, dan dengan demikian meningkatkan perfusi subendokard.
Tetapi antagonis kalsium meningkatkan kebutuhan oksigen miokard melalui ('l ) penurunan
frekuensi denyut jantunS (D > V) sehingga memper-
panjang waktu sistolik, dan dengan demikian meningkatkan kerja jantung; dan (2) pengurangan kontraktilitas miokard (V > D) sehingga memperbesar volume ventrikel (preload). Dari mekanisme di alas, jelaslah bahwa antagonis kalsium efektif untuk angina akibat vaso-
spasme koroner maupun aterosklerosis koroner.
4.2. FARMAKOKINETIK DAN DOSIS ANTIANGINA Nifedipin (N), verapamil (V) dan diltiazem (D) mudah larut dalam lemak sehingga mudah diabsorpsi pada pemberian oral maupun sublingual, dan
harus diturunkan pada penderita ini. Sirosis juga mempengaruhi farmakokinetik diltiazem, tetapi
dalam skala yang lebih kecil. Gagal ginjal telah terbukti tidak mempengaruhi bersihan V, D, maupun N. Pada pemberian bersama digoksin atau deri-
vatnya (p-metildigoksin, p-asetildigoksin), verapamil secara konsisten meningkatkan kadar plasma digoksin meskipun besarnya peningkatan tersebut bervariasi. Tetapi nifedipin maupun diltiazem tidak selalu meningkatkan kadar serum digoksin. Peningkatan kadar digoksin yang cukup tinggi hanya ditemukan pada sebagian penderita yang mendapat N atau D, sedangkan pada sebagian penderita lainnya kadar digoksin tidak berubah. Interaksi inidiperkirakan akibat hambatan bersihan ginjal dari digoksin oleh CCB. Kadar plasma siklosporin meningkat pada pemberian bersama D atau V. N dan D meningkat-
kan kadar plasma lenitoin. Kadar plasma teolilin ditingkatkan oleh N dan V. V juga meningkatkan kadar plasma karbamazepin. Semua intdraksi ini tampaknya akibat hambatan enzim mikrosonal hati oleh V, D, maupun N. Sebaliknya, pemberian bersama simetidin (penghambat enzim sitokrom Pnso)
meningkatkan kadar plasma N dan D, tetapi tidak mempengaruhi larmakokinetik V. Pemberian rifampisin bersama vera-pamil sangat menurunkan kadar plasma verapamil; hal ini
dieliminasi terutama melalui metabolisme di hati. Tetapi karena sebagian dari dosis oral dimetabo-
tampaknya akibat induksi enzim metabolisme
lisme pada lintasan pertama di hati, maka bioavailabilitas obat-obat ini tidak begitu tinggi, terutama untuk V dan D. Pada pemberian berulang, metabolisme lintas pertama ini berkurang sehingga bioavailabilitas obat meningkat, karena enzim metabolismenya mengalami kejenuhan. Dengan demikian, pemberian berulang juga memperpanjang waktu paruh dan mengurangi bersihan V dan D. Norverapamil, yang merupakan metabolit aktif dari verapamil, mempunyai efek vasodilatasi yang
dan D dengan rifampisin, tetapi interaksi yang.sama diperkirakan akan terjadi. Oleh karena serangan pada angina Prinzmetal biasanya lebih hebat dan lebih lama dibandingkan pada angina stabil kronik, maka untuk angina varian ini seringkali diperlukan dosis CCB yang lebih tinggi. Resume tentang farmakokinetik dan dosis antiangina dari N, V dan D dapat dilihat pada Tabel 23-4.
verapamil oleh rifampisin. Tidak ada data untuk
N
Obat Antiangina
Tabel 23-4. SIFAT FARMAKOKINETIK DAN DOSIS ANTIANGINA NIFEDIPIN, VERAPAMIL, DAN DILTIAZEM
Nifedipin 1. Absorpsi oral (ok)
90 - 100
2. Bioavailabilitas oral (%) - dosis tunggal
40-
-
dosis berulang - usia lanjut - sirosis hati - gagal ginjal
3. Mula kerja
60
Verapamil
>90
t
40 2x)
t (-
(2-2,5 x)
,,T*'
Y
3
70
25.0-70.O
22.O-24.A
19.6-22.7
Origin
pre-R
broad B (antara B-pre B)
Kol€sterol non estsr
2
5-8
Kol€sterol sster
5
1
Fosfolipld
eleklrotoresis
106
R
4-10
c
Komposisi (% berat)
I
13
b
1-14
22
49
13
7
20-23
25
27
28
Triglissrida
84
44-60
30
11
3
Protein
2
4-11
15
23
50
Apoprotein (% lotal)
AI
7,4
trace
Ail
4,2 trace
trace
36,9
22,5
tace
:u
49,9 13,0
apolipoprotsin) B-100 B-.18
ct, cil, cilt Eil, Elil, EtV
67 22 50-70 trace 5-1 0
98
traca
10--20
'/ace usus
hati, usus
disintesis dari karbohidrat, maka makanan kaya karbohidrat akan meningkatkan jumlah VLDL. Kadar trigliserid juga mungkin berubah oleh pengaruh berat badan, minum alkohol, stres dan latihan fisik. Efek aterogenik VLDL belum begitu jelas, tetapi hipertrigliseridemia mungkin merupakan tanda bah-
wa kadar HDL kolesterol rendah dan sering dihubungkan dengan kegemukan, intoleransi glukosa dan hiperurisemia. Pernah dilaporkan neuropati sensoris periler yang diduga disebabkan oleh hipertrigliseridemia, membaik setelah kadar trigliserid diturunkan. Jika plasma pasien didinginkan semalam (4oC) maka peningkatan kadar VLDL lampak sebagai kekeruhan dibawah lapisan atas. Apabila lapis-
an atas berupa krim maka kadar kilomikron juga meningkat.
(3) Lipoprotein densitas sedang (IDL, intermediate density lipoprotein). IDL ini kurang mengandung trigliserid (30%), lebih banyak kolesterol (200/o\ dan relatif lebih banyak mengandung apopro-
intravaskuler
intravaskul€r
traco 5-1
1
1-2
tace usus,hati
tein B dan E. IDL adalah zat perantara yang terjadi sewaktu VLDL dikatabolisme menjadi LDL, tidak terdapat dalam kadar yang besar kecuali bila terjadi hambatan konversi lebih lanjut. Bila terdapat dalam jumlah banyak IDL akan terlihat sebagai kekeruhan pada plasma yang didinginkan meskipun ultra sentrilugasi perlu dilakukan untuk memastikan adanya IDL. (4) Lipoprotein densitas rendah (LDL,low density lipoprotein). LDL merupakan lipoprotein pengangkut kolesterol terbesar pada manusia (70 % total).
Partikel LDL mengandung trigliserid sebanyak 10 %
dan kolesterol 50 o/0. LDL merupakan metabolit
VLDL, lungsinya membawa kolesterol ke jaringan perifer (untuk sintesis membran plasma dan hormon steroid). Kadar LDL plasma tergantung dari banyak laktor termasuk kolesterol dalam makanan,
asupan lemak jenuh, kecepatan produksi dan eliminasi LDL dan VLDL. LDL adalah komponen normal plasma dalam keadaan puasa. Plasma yang
368
Farmakologi dan Terapi
mengandung LDL kadar tinggi tetap jernih setelah proses pendinginan karena LDL berukuran relatil kecil. (5) Lipoprotein densitas tinggi (HDL, high density lipoprotein). Saat ini dikenal 3 jenis HDL yaitu HDLl dan HDLz dan HDLs. HDLr didapatkan pada hewan dan manusia yang mengkonsumsi diet tinggi kolesterol dan pernah dihubungkan dengan induksi aterosklerosis. Komponen HDL ialah 13 % kolesterol, kurang dari 5 % trigliserid dan 50 % protein.
HDL berfungsi mengakut kolesterol dari jari-
ngan perifer ke hati, sehingga penimbunan kolesterol di perifer berkurang. Kadar HDL menurun pada kegemukan, perokok, penderita diabetes yang tidak terkontrol dan pada pemakai kombinasi estrogen- progestin. HDL secara normal terdapat dalam plasma puasa, tetapi plasmayang didinginkan tetap jernih walaupun HDL terdapat dalam jumlah besar karena HDL lebih kecil daripada LDL.
Kadar HDL kira-kira sama pada laki-laki dan perem-
puan sampai pubertas, kemudian menurun pada laki-laki sampai 20 % lebih rendah daripada kadar pada perempuan. Pada individu dengan nilai lipid yang normal, kadar HDL relatif menetap sesudah dewasa (kira-kira 45 mg/dl pada pria dan 54 mg/dl pada wanita).
HDL penting untuk bersihan trigliserid dan kolesterol, dan untuk lransport serta metabolisme ester kolesterol dalam plasma. HDL biasanya membawa 20 - 25 % kolesterol darah. Kadar tinggi HDL2 dan HDLs dihubungkan dengan penurunan insiden penyakit dan kematian karena aterosklerosis, Mekanisme proteksi HDLterhadap penyakitjantung koroner belum diketahui dengan jelas.
Tabel
Jenis penyakit
2.
Peningkatan lipoprotein
1.4. PILAHAN HIPERLIPIDEMIA HIPERLIPOPROTEINEMIA Hiperlipoproteinemia dibedakan atas lima macam berdasarkan jenis lipoprotein yang meningkat. Hiperlipidemia ini mungkin primer atau sekunder akibat diet, penyakit atau pemberian obat. Hiperlipidemia primer dibagi dalam 2 kelompok besar (l-abel 2): (a) Hiperlipoproteinemia monogenik karena kelainan gen tunggal yang diturunkan.
Sifat penurunan ini mengikuti hukum Mendel; (b) H iperlipoproteinemia poligeni(multilaktorial. Kadar
PENYAKIT, PROFIL LIPIO DAN OBATNYA
Kadar lipid plasma (mg/dl)
T K
Pilihan
pertama
Obat Lain-lain
- kigliserid - kolesterol
Monogenik Def
isiensi lipoprotein
kilomikron
T:
kilomikron
gemfibrozil
& IDL
K:500 T:350 K:350
LDL
T:
statin +
probukol atau
resin
VLDL
K:350 T:500 K:200
asam nikotinat, gemfibrozil
asam nikotinat + resin klofibrat
vLDL dan
T:
100-500 K : 250-400
asam nikotinat, gemfibrozil
klofibrat, resin
LDL
T: 100 Ki280
resin, statin
probukol,
VLDL
T:500 K:200
gemfibrozil
B-sitosterol, neomisin asam nikotinat, klofibrat
lipid tamilial
Disbetalipoproteinemia tipe lllfamilial Hiperkolesterolemia familial (heterozigot) Hipertrigliseridemia lamilial Hiperlipidemia multipel
LDL
10.000
100
asam nikotinat, klofibrat
Multilaktorial Hiperkolesterolemia poligenik
Hipertrigliseridemia
369
Hipolipidenik
kolesterol pada kelompok ini ditentukan oleh gabungan faktor-faktor genetik dengan faktor lingkungan. Diet lemak jenuh dan kolesterol mempengaruhi kadar kolesterol pada pasien-pasien ini. Jenis poligenik lebih banyak ditemukan daripada monogenik, tetapi jenis monogenik mempu-
nyai kadar kolesterol yang lebih tinggi. Tabel
2
menggambarkan pembagian hiperlipidemia primer dan kemungkinan pemilihan obat. lndividu dengan hiperlipoproteinemia primer juga mungkin menderita hiperlipidemia sekunder yang menimbulkan perubahan gambaran lipidnya. Hiperlipoproteinemia sekunder berhubungan dengan diabetes melitus yang tidak terkontrol, minum alkohol, hipotiroidisme, penyakit obstruksi hati, sindrom nelrotik, uremia, penyakit penimbunan glikogen atau disproteinemia (mieloma multipel, makroglobulinemia, lupus erilematosus). Keberhasilan pengobatan penyakit dasar biasanya memperbaiki hiperlipoproteinemia. Hiperlipoproteinemia sekunder juga dapat disebabkan oleh pemberian kortikosteroid, estrogen, androgen, diuretik atau penghambat adrenoseptor beta.
Di samping menyebabkan aterosklerosis, hiperlipoproteinemia mungkin menimbulkan xantoma pada kulit dan tendo. Hipertrigliseridemia mung-
kin mencetuskan serangan nyeri perut yang berhubungan dengan pankreatitis dan hepatosplenomegali. Pengetahuan mengenai kadar kolesterol dan trigliserid dapat digunakan untuk menduga ienis lipoprotein mana yang meningkat, sehingga bermanfaat dalam menegakkan diagnosis genetik. Jika kadar kolesterol meningkat sedangkan trigliserid normal, maka hal ini hampir selalu disebabkan oleh kenaikan kadar LDL dan merupakan hiperkolesterolemia poligenik. Jika ditemukan peningkatan kadar trigliserid (200-800 mg/dl) dengan kadar
kolesterol normal, maka hal ini hampir selalu menunjukkan adanya kenaikan VLDL. Peningkatan kadar trigliserid di atas 1000 mg/dl biasanya menun-
jukkan adanya kilomikron dengan atau tanpa kenaikan VLDL.
Perbedaan antara hipertrigliserid primer dengan sekunder sulit dilakukan, karena adanya beberapa faktor ikutan. Kenaikan moderat kolesterol dan trigliserid menunjukkan adanya kenaikan LDL dan VLDL; hal ini biasanya ditemukan pada hiperlipoproleinemia lamilial jenis multipel, hiperkoleste-
rolemia familial atau adanya disbetalipoproteinemia lamilial.
Klasifikasi hiperlipoproteinemia yang dikenal adalah klasifikasl Frederickson atau NHLBI yang
membagi hiperlipoproteinemia atas dasar lenotip plasma (Tabel 3). Klasifikasi ini merupakan alat bantu yang penting karena meliput berbagai kelainan metabolisme yang berhubungan dengan keadaan hiperlipoproteinemia, mengidentifikasi jenis lipoprotein yang meningkat dengan gejala klinik serta bermanlaat dalam menentukan pengobatan tanpa memandang etiologi penyakit. Keku-rangannya adalah bahwa sistem ini cenderung menggabungkan jenis penyakit yang secara etiologi berbeda ke dalam satu kelas penyakit. Tipe l. Tipe ini memperlihatkan hiperkilomikronemia pada waktu puasa bahkan dengan diet lemak normal dan biasanya disebabkan oleh defisiensi lipoprotein lipase yang dibutuhkan untuk metabolisme kilomikron. Beberapa keluarga yang kekurangan apoprotein Cll dilaporkan memperlihatkan sindrom yang sama. Trigliserid serum meningkat dengan
jelas, dan rasio kolesteroftrigliserid biasanya < 0,2/1 . Kelainan tipe I biasanya muncul sebelum pasien berumur 10 tahun dengan gejala : kolik, nyeri perut berulang, xantoma dan hepatosplenomegali. Pada orang dewasa nyeri yang mirip akut abdomen sering disertai demam, leukositosis, anoreksia dan muntah. Perdarahan akibat pankreatitis akut merupakan komplikasi penyakit ini yang paling berat dan kadang-kadang latal. Aterosklerosis jantung prematur tidak dihubungkan dengan lipidemia tipe ini. Pemeriksaan biokimia menunjukkan adanya lapisan krem dipermukaan plasma pasien puasa.
Tipe ll. Pada tipe ini terjadi peninggian LDL dan apoprotein B dengan VLDL kadar normal (tipe lla) atau meningkat sedikit (tipe llb). Gejala klinik timbul sejak masa anak pada individu homozigot, tetapi pada heterozigot gejala tidak muncul sebelum umur 20 tahun. Kelainan homozigot dan heterozigot mu' dah didiagnosis pada anak dengan mengukur LDL kolesterol. Bentuk paling umum hiperlipidemia tipe ll dlduga disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor LDL berafinitas tinggi. Pada heterozigot jumlah reseptor LDL primer lungsional kira-kira setengah nilai normal dan homozigot lebih sedikit lagi. Blokade degradasi LDL menyebabkan penimbunan LDL dalam plasma yang kemudian meningkatkan deposit lemak di dinding arteri. Xantoma jenis tuberosa atau tendinosa timbul pada homozigot dan heterozigot, sedangkan lesi plantar sering tampak pada homozigot. Pada penderita homozigot, penyakit iskemia jantung terjadi sebelum umur 20 tahun, pada pria heterozigot per-
370
Farmakologi dan Terapi
sentasenya mencapai 60 % pada umur 50 tahun. Jadi deteksi dini sangat penting.
jelas, telapi kadar trigliserid harus diturunkan untuk mengurangi terjadinya xantoma, pankreatitis dan
Tipe lll. Penimbunan IDL pada tipe ini mungkin disebabkan oleh blokade parsial dalam metabo-
nyeri abdominal.
lisme VLDL menjadi LDL, peningkatan produksi apoprotein B atau peningkatan kadar apoprotein E total. Pada beberapa penderita dengan kelainan lamilial tipe lll ditemukan delisiensi atau hilangnya apoprotein E-lll yang tinggi afinitasnya terhadap hati. Pada penderita ini ambilan sisa VLDL dan sisa
kilomikron oleh hati dihambat dan terjadi kumulasi di darah dan jaringan. Pada kelainan ini kolesterol serum dan trigliserid meningkat (350-B0O mg/dl), Gejala klinik muncul pada masa dewasa muda berupa xantoma pada telapak tangan dan kaki, dan
kelainan tuberoeruptif di siku, lutut atau bokong mungkin bersifat karakteristik. penyakit koroner, kardiovaskular dan pembuluh darah tepi terjadi lebih cepat yaitu pada usia 40-50 tahun; intoleransi glukosa serta hiperurisemiaterdapat
yang
Tabel
3.
POLA LIPOPROTETN PADA BERBAGAT TtpE HIPERLIPIDEMIA
Pola Lipoprotein
Peningkatan utama dalam plasma
Lipoprotein I lla Type llb Type lll Type lV Type V
Lipid
Type
Kilomikron
Type
LDL
Kolesterol
LDL dan VLDL
Kolesterol dan trigliserid
IDL
Trigliserid dan kolesterol
Trigliserid
VLDL
Trigliserid
VLDL dan kito-
Trigliserid dan kolesterol
mikron
pada 40 % penderita.
Tipe lV. Tipe ini mungkin merupakan hiperlipidemia
yang terbanyak dijumpai di negeri Barat. Di sini
terjadi peningkatan VLDL dengan hipertrigliseride_ mia. Gejala klinik muncul pada usia pertengahan. Separuh dari penderita ini meningkat kadar trigliseridnya pada umur 25 tahun. Mekanisme kelainan yang lamilial tidak diketahui, tetapi tipe lV yang didapat biasanya bersifat sekunder akibat penyakit lain, alkoholisme berat atau diet kaya karbohidrat; dan biasanya penderita gemuk. lskemia jantung mungkin terjadi (lebih jarang dibanding dengan tipe ll) pada umur 40 tahunan atau setelahnya pada penderita dengan tipe lV familial. Xantoma umumnya tidak ada. Banyak dari penderita ini menunjukkan intoleransi glukosa dengan reaksi insulin berlebihan terhadap beban karbohidrat; dan lebih dari 40% disertai hiperurisemia.
Tipe V. Tipe ini memperlihatkan kumulasi VLDLdan kilomikron, mungkin karena gangguan katabolisme
trigliserid endogen dan eksogen. Karena semua lipoprotein terdiri dari kolesterol, kadar kolesterol
mungkin meningkat jika kadar trigliserida terlalu tinggi. Kelainan inijarang ditemukan. Secara genetik mungkin bersilat heterogen dan penderita dengan kelainan lamilial biasanya tidak menunjukkan gejala sampai sesudah usia 20 tahun. penderita ini memperlihatkan intoleransi terhadap karbohidrat dan lemak, serta hiperurisemia. Hubungan antara penyakit jantung iskemik dan kelainan tipe V tidak
1.5. PENGATURAN DIET Prinsip utama pengobatan hiperlipoproteineialah mengatur diet yang mempertahankan berat badan normal dan mengurangi kadar lipid plasma. lndividu dengan berat badan berlebih sebaiknya segera mulai makanan dengan diet penurun berat badan. Mereka dianjurkan makan makanan rendah kolesterol (< 300 mg/hari), rendah lemak total (< 30 % dari kalori) dan rendah lemak jenuh (<
mia
1O % dari
kalori). Pasien delisiensi lipoprotein Iipase
jarang memerlukan diet dengan total lemak yang sangat rendah.
1.6. MENGHILANGKAN FAKTOR RISIKO Bila individu dengan hiperlipoproteinemia dipacu oleh beberapa penyakit lain seperti diabetes, pecandu alkohol atau hipotiroidisme maka penyakit
tersebut perlu diobati. lndividu tersebut dianjurkan menghindari faktor-faktor yang dapat meningkatkan pembentukan aterosklerosis, yaitu menghentikan
rokok, mengobati hipertensi, olahraga cukup dan pengawasan kadar gula darah pada penderita diabetes.
Hipolipidemik
371
1.7. PEMBERIAN OBAT Pengobatan hiperlipoproteinemia didasarkan
karena adanya hubungan hiperlipidemia dengan aterosklerosis (koroner dan periler), pankreatitis akut (dengan hipergliseridemia) dan tendinitis serta
xantoma (kosmetik). Pengobatan hiperkolesterolemia terutama ditujukan bagi pasien dengan riwayat alerosklerosis prematur dalam keluarga dan dengan adanya laktor risiko lain seperti diabetes melitus, hipertensi dan merokok.
Berikut dibahas beberapa obat hipolipidemik
dengan kegunaannya dalam klinik. Pengobatan hiperlipoproteinemia meliputi penyelusuran jenis kelainan lipid pasien lalu pemberian obat sesuai dengan keadaan patofisiologi penyakit. Gambar 2 ini menunjukkan mekanisme kerja obatobat hipolipidemik dalam pengobatan hiperlipoproteinemia. Resin menghambat sirkulasi enterohepatik, statin menghambat sintesis kolesterol, asam fibrat meningkatkan aktivitas lipoprotein lipase, asam nikotinat menekan lipolisis dan probukol dengan mencegah oksidasi LDL (antioksidans).
2. OBAT YANG MENURUNKAN LIPOPROTE!N PLASMA 2.1. ASAM FIBRAT
Project ditemukan penurunan kolesterol plasma rata-rata sebanyak 6 % pada penderita yang mendapat pengobatan 1,8 g klofibrat seharinya, sedangkan trigllserid plasma turun 22 % . Klofibrat sangal efektil bagi penderita hiperlipoproteinemia tipe lll familial dimana kadar kolesterol dapat menurun sebanyak 50 % dan trigliserid sebanyak 80 %. Agaknya klolibrat dapat memobilisasi kolesterol dari jaringan yang terlihat dari mengecilnya xantoma.
Klofibrat tidak mempunyai elek terhadap hiperkilomikronemia. Mekanisme kerja obat ini hanya diketahui sebagian. Obat-obat ini meningkatkan aktivitas lipoprotein lipase sehingga katabolisme lipoprotein kaya-trigliserida seperti VLDL dan IDL meningkat. Kadar kolesterol HDL meningkat secara tidak
langsung akibat menurunnya kadar trigliserida VLDL atau karena meningkatnya produksi apo Ar dan Atr (bezalibrat dan lenolibrat), Efek penurunan kolesterol LDL oleh asam fibrat diduga berhubungan dengan meningkatnya bersihan VLDL dan
IDL
dalam hati sehingga
produksi LDL menurun.
FARMAKOKINETIK. Klolibrat diabsorpsi melalui usus secara lengkap terutama bila diberikan bersama makanan dan dalam plasma terdapat sebagai
asam p-klorofenoksibutirat. Pemecahan ikatan ester terjaddi sewaktu absorpsi dan puncak kadar plasma tercapai dalam beberapa jam setelah pemberian oral. Enam puluh persen dari asam ini dieks-
kresi melalui urin sebagai glukuronid. Pemberian KLOFIBRAT Klofibrat adalah ester etil dari asam p-klorofe-
bersama kolestiramin hanya sedikit menunda lercapainya puncak kadar plasma. Klofibrat menggeser antikoagulan dari ikatannya dengan albumin.
noksi-isobutirat. Klofibrat merupakan hipolipidemik yang terutama bermanlaat bagi penderita hipertri-
Obat ini mengalami kon.iugasi dan diekskresi dalam
gliseridemia.
EFEK SAMPING. Golongan asam librat umumnya ditoleransi secara baik. Elek samping yang paling sering ditemukan adalah gangguan saluran cerna (mual, mencret, perut kembung, dll.) yang terjadi pada 10 % penderita. Gangguan umumnya berkurang setelah beberapa waktu. Elek samping lain yang dapat terjadi adalah ruam kulit, alopesia, impotensi, lekopenia, anemia, berat badan bertambah, gangguan irama jantung, dll. Derivat asam librat kadang-kadang menyebabkan peningkatan CPK dan lransaminase disertai miositis (fluJike myosiris); CPK dan transaminase dapat juga meningkat tanpa gejala miositis.
Flumus bangun derivat asam librat dapat di lihat pada halaman berikut FARMAKODINAMIK. Elek terhadap lipid plasma. Penurunan kadar VLDL terjadi dalam 2 sampai 5 hari setelah pengobatan. Umumnya kadar kolesterol dan LDL juga lurun. Pada penderita- penderita tertentu (hipertrigliseridemia primer, tipe lV) penurunan VLDL disertai meningkatnya kadar LDL sehingga pengaruh terhadap kolesterol plasma tidak nyata; penurunan LDL ditemukan pada penderita hiperlipidemia tipe ll atau llb. Pada Coronary Drug
urin.
372
Farmakologi dan Terapi CHs I
-€-C-COOCaHs I
CHs
Klofibrat
,cHs
cHs
\\-/
I
cHs
^"-(*rz)s-l-cooH Gemfibrozil "^"F o
CHs
CHs
CHs
CHs
"_Or-O-***i' Fenofibrat
Siprolibrat
"
-O-
O
CHg
[*r("*,,,
--O-o-l-"oon
Bezafibrat
cHs
Rumus bangun derivat asam tibrat
lndeks litogenik meningkat sehingga lebih mudah terbentuk batu empedu. Klolibrat dikontraindikasikan pada penderita dengan gangguan hati dan ginjal, pada wanita hamil dan masa menyusui.
Klolibrat terutama efektif pada penderita hiperlll, lV dan V, sedangkan terhadap hiperlipidemia tipe ll hasilnya bervariasi. Pada sejumlah penelitian (WHO, 1978 dan The Coronary Drug Project Besearch Group, 1975) klofibrat tampaknya tidak efektif dalam mencegah
lipidemia tipe
POSOLOGI DAN lNDlKASI. Klofibrat tersedia
kematian akibat aterosklerosis koroner, sehingga
sebagai kapsul 500 mg. Diberikan 2-4 kali sehari dengan dosis total sampai 2 g. Penambahan dosis di atas 2 g, tidak menambah efek terapi, tetapi
penggunaannya menurun. Klolibrat mungkin dapat memperbaiki toleransi glukosa, tetapi penggunaannya harus dilakukan secara berhati-hati pada penderita sindrom nefrotik, karena efek samping obat dapat menjadi semakin nyata,
memperbanyak efek samping. Dosis ini harus dikurangi pada penderita yang sedang menjalani hemodialisis.
373
Hipoltpidemik
Klolibrat tidak dianjurkan diberikan pada anak karena belum ada data yang mapan. Klolibrat menggeser antikoagulan oral dari ikatannya. dengan albumin dan memperkuat elek obat-obat ini; tetapi peningkatan potensi antikoagulan mungkin disebabkan karena klofibrat mengganggu sintesis faktor-laktor pembekuan darah, disposisi vitamin K atau reseptor warfarin. Bila dibe-
rikan bersama-sama, dosis antikoagulan harus dikurangi dan waklu protrombin diperiksa secara teratur.
GEMFIBROZIL Gemtibrozil secara struktural berbeda dengan klofibrat. Obat ini sangat efektif dalam menurunkan
trigliserid plasma, sehingga produksi VLDL apoprotein B dalam hati menurun. Obat ini
dan me-
bentukan batu empedu walaupun setelah makan obat selama 2 tahun. Seperti derivat asam librat, gemfibrozil dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan lungsi ginjal dan empedu, wanita hamil dan menyusui. Keamanannya pada anak belum diketahui.
POSOLOGI DAN lNDlKAS!. lndikasi penggunaan obat adalah untuk hiperlipidemia (type lll, lV atau V) yaitu pasien-pasien dengan kadar trigliserid > 750 mg/dl yang tidak bisa diatasi dengan diet dan obat penurun trigliserid yang lain. Dosis oral dewasa adalah 600 mg 2 x sehari, diberikan 112 jam sebelum makan pagi dan makan malam. Gemlibrozil tidak efeklil untuk penderita hiperkilomikronemia karena defisiensi lipoprotein lipase familial.
ningkatkan aktivitas lipoprotein lipase sehingga bersihan partikel kaya trigliserid meningkat. Kadar kolesterol HDL juga dapat meningkat pada pemberian obat ini.
FARMAKOKINETIK, Kadar puncak gemfibrozil dalam plasma dicapai dalam 1-2 jam dan keadaan mantap tercapai dalamT-14 hari pada pemberian 2 kali 600 mg sehari. Agaknya tidak ada hubungan antara besar dosis dengan elek penurunan lipid darah. Masa paruhnya kira-kira 1 112iam;70 % dari obat ini diekskresi secara utuh terutama dalam urin. Seperti klofibrat, obat ini juga meningkatkan efek antikoagulan warfarin. Obat ini mengalami hidrok-
silasi dan konyugasi serta diekskresi dalam urin. Kombinasi dengan resin menambah efek obat. Pemberian bersama penghambat HMG CoA reduktase juga meningkatkan efek obat, tetapi harus dilakukan dengan hati-hati karena dapat terjadi rhabdomyolisis (lihat Penghambat HMG CoA reduktase).
EFEK SAMPING. Gemfibrozil ditoleransi dengan baik dan elek samping yang terjadi kurang darilO% penderita. Efek samping utamanya adalah gangguan saluran cerna (sakit perut, diare, mual). Pada
sejumlah penderita terjadi peningkatan foslatase alkali dan transaminase. Peningkatan kadar CPK dengan miositis dapat terjadi pada penderita yang juga mendapat derivat statin (lovastatin). Obat ini meningkatkan indeks litogenik, tetapi tidak seperti klofibrat, hanya kurang dari 1 % penderita (tidak lebih besar daripada kontrol) yang mengalami pem-
2.2. RESTN KOLESTIRAMIN EFEK TERHADAP LIPID DARAH.
Kolestiramin adalah garam klorida dari basic anion exchange resin yang berbau dan berasa tidak enak. Kolestiramin dan kolestipol bersilat hidrolilik, tetapi tidak larut dalam air, tidak dicerna dan tidak diabsorpsi.
Obat ini menurunkan kadar kolesterol plasma dengan cara menurunkan LDL. Penurunan kadar LDL biasanya nyata setelah 4-7 hari dan mencapai 90 % efek maksimal dalam 2 minggu terapi. Elek obat tergantung besar dosis, tetapi banyak pasien tidak tahan menerima obat ini dalam dosis tinggi karena efek samping pada saluran cerna. Pada
kebanyakan penderita, kadar trigliserida dalam plasma (VLDL) meningkat 5'2O
o/o
dalam minggu-
minggu pertama lalu perlahan-lahan menurun kepada kadar sebelum terapi dalam waktu 4 minggu. Resin terutama elektil pada pasien hiperkolesterolemia lamilial atau poligenik dimana hanya LDL yang meninggi. Kolestiramin dilaporkan mengurangi resiko penyakit iantung koroner dan digunakan untuk jangka lama fl-he Lipid Flesearch Clinics Coronary Primary Prevention Trial, 1984).
374
Farmakologi dan Terapi
HNCH2CH2NCH2CH2NCH2CH2NCH2CH2NH
t-
..-cH--€Hr-cH-cHz-.
I AA
L
.
... -€Hz--cH-..
.
.l
I
cH2 I
HCOH
tt
CH2 ll
I
cH2N*(cHs)sc_Jn
RUMUS BANGUN KOLESTIRAMN
Rumus bangun kolestiramin dan kolestipol dapat di lihat pada halaman berikut.
tt
cH2
I
I
cH2
cH2
cH2
I
I
I
HCOH
HCOH
CH2
cH2
cH2
I
I
HCOH
I
I
HCOH I
I
-€H2CH2NCH2CH2N HNCH2CH2N
cH2 I
HNCH2CH2_
_tt_
RUMUS BANGUN KOLESTIPOL
an absorp-si lemak atau steatore dapatterjadi gangguan absorpsi vitamin A, D dan K serta hipopro-
trombinemia.
MEKANISME KERJA. Resin menurunkan kadar kolesterol dengan cara mengikat asam empedu dalam saluran cerna, mengganggu sirkulasi entero-
hepatik sehingga ekskresi steroid yang bersifat asam dalam tinja meningkat. penurunan kadar asam empedu ini oleh pemberian resin akan menyebabkan meningkatnya produksi asam empedu yang berasal dari kolesterol. Karena sirkulasi enterohepatik dihambat oleh resin maka kolesterol yang diabsorpsi lewat saluran cerna akan terhambat dan keluar bersama tinja. Kedua hal ini akan menyebabkan penurunan kolesterol dalam hati. Selanjutnya penurunan kadar kolesterol dalam hati akan menyebabkan terjadinya 2 hal : pertama, meningkatnya jumlah reseptor LDL sehingga katabolisme LDL meningkat dan mening-katnya aktivitas HMG CoA reduktase. Dari sini tampak pula bahwa efek resin tergantung dari kemampuan sel hati dalam meningkatkan jumlah reseptor LDL fungsional sehingga tidak efektif untuk pasien dengan hiperkolesterolemia familial homozigot dimana reseptor LDL fungsional tidak ada. Efek resin akan meningkat bila diberikan bersama penghambat HMG CoA reduk-
tase (tetapi hati-hati elek samping, lihat penghambat HMG CoA reduktase).
EFEK SAMPING. Obat ini mempunyai rasa tidak enak seperti pasir. Elek samping tersering ialah mual, muntah dan konstipasi yang berkurang setelah beberapa waktu. Konstipasi dapat dikurangi dengan makanan berserat. Klorida yang diabsorpsi dapat menyebabkan terjadinya asidosis hiperkloremik terutama pada pasien muda yang menerima dosis besar. Di samping meningkatkan trigliserida plasma, resin juga meningkatkan aktivitas fostatase alkali dan lransaminase sementara. Akibat ganggu-
Obat ini mengganggu absorpsi klorotiazid, tiroksin, digitalis, besi, lenilbutazon dan warfarin sehingga obat-obat ini harus diberikan 1 jam sebe-lum atau 4 jam setelah pemberian kolestiramin. pemberian bersama antikoagulan harus dilakukan dengan hati-hati karena dapat terjadi perpanjangan masa protrombin.
Dosis yang dianjurkan adalah 12-1 6 g sehari dibagi 2-4 bagian dan dapat ditingkatkan sampai maksimum 3 kali 8 g. Ditelan sebagai larutan atau dalam sari buah untuk mengurangi iritasi, bau dan rasa yang mengganggu. Resin tidak bermanlaat dalam keadaan hiperkilomikronemia, peninggian VLDL atau lDL, dan bahkan dapat meningkatkan kadar trigliserida. Untuk pasien hiperlipoproteinemia dengan peningkatan VLDL (tipe llb atau lV), perlu tambahan obat lain (mis. asam nikotinat dan asam librat).
KOLESTlPOL Kolestipol adalah kopolimer dari dietilpentamin
dan epiklorohidrin, juga suatu resin. Penggunaannya serupa dengan kolestiramin dengan dosis 20309 sehari. Obat ini tidak memberikan bau dan rasa yang mengganggu, sehingga lebih memudahkan kelaatan minum obat dibandingkan dengan kolestiramin. Elek sampingnya berupa konstipasi dan gangguan gastrointestinal ringan.
2.3. PENGHAMBAT HMGCoA REDUK-
TASE Suatu kemajuan dalam pengobatan hiperkolesterolemia dengan ditemukannya kelompok baru
375
Hipolipidamik
zat yang didapat dari jamur yang bersifat kompetitor
yang kuat terhadap HMGCoA
reduktase suatu enzim yang mengkontrol biosintesis kolesterol. Obat-obat ini sangat elektil dalam menurunkan kadeir LDL kolesterol plasma. Empat penghambat HMGCoA reduktase yang telah dipelajari pada manusia : mevastatin, lovastatin, pravastatin dan simvastatin.
Bumus bangun penghambat HMGCoA reduktase tertera di bawah ini.
EFEK TERHADAP LIPID DAN LIPOPROTEIN PLASMA
Semua penghambat HMGCoA reduktase memperlihatkan efek yang sama terhadap lipid plasma, tetapi dari semuanya data yang terbanyak adalah mengenai lovastatin. Bila diberikan pada
penderita yang mengkonsumsi diet rendah koles' terol sebagai obat tunggal, lovastatin akan menurunkan LDL kolesterol plasma yang berhubungan dengan dosis. Penurunan 20 o/o,pada dosis 10 mg
sampai 40 %, pada dosis 80 mg per hari. Perubahan
ini terutama karena penurunan total LDL partikel' juga didapat penurunan sedikit untuk setiap partikel LDL. Jumlah kolesterol dalam VLDL menurun dan kadar trigliserida menurun sampai 25 % sedangkan kadar HDL kolesterol meningkat 10 sampai 13 %' Obat ini juga efektil pada hiperkolesterolemia karena diabetes melitus atau sindrom nefrotik. Lovastatin menunjukkan elek aditil dengan kolestiramin dan kolestipol,
Penderita dengan hiperkolesterolemia type lamilial heterozygot (type ll) yang diberi 20 g kolestipol dan 80 mg lovastatin per hari menunjukkan penurunan kolesterol total dan kolesterol LDL hampir 50 %' Efek tersebut dapat dicapai dengan kombinasi asam nikotinat dan resin pengikat asam empedu yang kurang terterima, CARA KERJA Penghambat HMGCoA reduktase menghambat sintesis kolesterol di hati dan hal ini akan menu-
HsC' Lovastatin
Mevastatin
Ho\r I
\,/
o!
Hsct' Simvastatin
Pravastatin
RUMUS BANGUN PENGHAMBAT HMG COA REDUKTASE
cozNa oH
Farmakologi dan Terapi
runkan kadar LDL plasma. Menurunnya kadar kole_ perubahan-perubahan yang berkaitan dengan potensi obat ini.
sterol akan menimbulkan
Kolesterol menekan transkripsi 3 jenis gen yang mbngatur sintesis HMGCoA sintase, HMGCoA reduktase dan reseptor LDL. Menurunnya sintesis kolesterol oleh penghambat HMGCoA reduktase
akan menghilangkan hambatan ekspresi
jenis gen tersebut diatas, sehingga aktivitas sintesis koles3
terol meningkat secara kompensatoir. Hal ini me_ nyebabkan penurunan sintesis kolesterol oleh penghambat HMGCoA reduktase tidak besar. Rupa-rupanya obat ini melangsungkan efeknya dalam menurunkan kolesterol dengan cara meningkatkan jumlah reseptor LDL, sehingga katabolisme
kolesterol terjadi semakin banyak. Dengan demi_ menurunkan kadar kolesterol (LDL). Oleh karena itu pula obat ini tidak efektif untuk penderita hiperkolesterolemia familial homozigot, karena jumlah reseptor LDL pada penderita ini sangat sedikit sekali.
kian maka obat ini dapat
Peningkatan serum transaminase asimtoma_
tik terjadi pada2 % pasien, untuk hal ini perlu kontrol tiap 4,6 minggu selama .l 5 bulan pertama pengo_ batan, kemudian kontrol secara periodik sesudah_
nya. Obat harus dihentikan jika didapatkan kadar transaminase yang tetap tinggi atau bertambah tinggi.
Kenaikan kadar kreatin fosfokinase (CpK) pada plasma yang asimtomatik terjadi pada lebih dari 11% penderita yang menggunakan lovastatin. Secara umum ini tidak merupakan alasan untuk penghentian penggunaan lovastatin, kecuali CpK
naik sampai 3 x normal, persisten dan timbul gejala miopati. Pada penderita yang menggunakan lovastatin
sebagai obat tunggal, kejadian miopati hanya
kurang dari 0.2 %i tetapi pada penderita yang juga menggunakan obat lain misalnya imunosupresan
(siklosporin), asam nikotinat atau gemfibrozil miopati ini dapat terjadi lebih sering dan berat. Beberapa pasien menderita rhabdomyolisis dengan
myoglobinuria dan gagal ginjal. Lovastatin harus ABSORPSI, NASIB DAN EKSKRESI Pada hewan dan diduga juga pada manusia lovastatin yang diberikan per oral diabsorpsi se_ banyak kira-kira 30 %. Sesudah lintasan pertama melalui hati, obat ditemukan dalam bentuk plasma asal metabolit aktif atau inaktif . Sembilan puluh lima
persen obat ini dan metabolitnya terikat protein
digunakan secara berhati-hati pada keadaan ini dan dosis harian dibatasi sampai 20 mg. Belum lersedia data klinik mengenai penghambat HMGCoA reduk_
tase lain. Lovastatin dosis tinggi menimbulkan katarak pada lensa mata anjing, walaupun hal ini belum
terbukti pada manusia, perlu dilakukan pemeriksaan mala (slit lamp) pada penggunaan obat,
plasma.
Sebagian besar produk degradasi diekskresi melalui leses dan kurang dari 10 % dalam urin. Kadar puncak lovastatin dalam plasma terlihat 2_4 jam sesudah pemberian oral tunggal. Sesudah 3
hari dengan pemberian 1 x sehari, mantap akan ler_ capai dan kadar plasma 1 l12xkadar puncak pada pemberian tunggal. Kadar lebih tinggi bisa didapat bila lovastatin diberikan bersama makanan. Lovas_ tatin agaknya tidak menginduksi sitokrom pqso.
EFEK SAMPING DAN INTERAKSI OBAT Lovastatin sudah digunakan secara luas di AS
mulai 1987. Sejauh ini, lovastatin dapat terterima secara baik dan belum ada elek toksik yang dilaporkan. Kurang dari 10 % penderita menunjukkan
gangguan saluran cerna, sakit kepala, ,rash, (ke_ merahan), tetapi gangguan ini tidak sampai perlu menghentikan pemberian obat.
POSOLOGIDAN INDIKASI Lovastatin lersedia dalam bentuk tablet 20 dan 40 mg. Dosis dimulai dari 20-40 mg per hari diberikan bersama makanan. Bila perlu sesudah 4 minggu dosis dapat ditingkatkan sampai maksimum
80 mg per hari. Obat ini sedikit lebih efektil bila
diberikan dengan dosis terbagi. Bila diberikan de_ ngan dosis lunggal, sebaiknya malam hari, sehu_ bungan dengan ritme diurnal sintesis kolesterol. Kombinasi lovastatin dengan gemfibrozil sa_ ngat efektf pada penderita tertentu, tetapi harus hati-hati dengan kemungkinan terjadinya miopati. Lovastatin seperti obat penurun kolesterol lainnya hanya dianjurkan diberikan bila diet rendah koles_ terol dan lemak jenuh lelah gagal. Lovastatin meru_ pakan terapi utama untuk penderita dengan resiko
tinggi infark miokard karena hiperkolesterolemia,
termasuk pasien dengan lotal kolesterol lebih dari 300 mg/dlatau lebih dari240 mg/dtyang juga men-
377
Hipolipidemik
karena pemberian aspirin dapat mencegah timbulnya gangguan ini. Tetapi elek ini akan cepat menghilang bila obat diteruskan (takifilaksis). Efek samping yang paling berbahaya adalah
derita penyakit koroner atau ada faktor-faktor risiko lain. Obat ini dikontraindikasikan pada wanita hamil karena mempunyai efek teratogenik pada hewan,
gangguan lungsi hati ditandai dengan kenaikan 2.4. ASAM NIKOTINAT Asam nikotinat (niasin) adalah salah satu dari komponen vitamin B kompleks yang hingga kini
masih dipakai secara luas (di Amerika Serikat) untuk pengobatan hiperkolesterolemia (tipe lla) dan tipe kombinasi (llb dan lV). Efek initidak dimiliki oleh nikotinamid. Efek lisiologik asam nikotinat dibahas dalam Bab 50.
Rumus bangun asam nikotinat adalah sebagai berikut:
kadar foslatase alkali dan transaminase terutama pada dosis tinggi (di atas 3 gram)' Gangguan faal hati ini diduga disebabkan karena penghambatan sintesis NAD. Efek samping lain adalah gangguan saluran cerna (muntah, diare, ulkus lambung karena sekresi asam lambung meningkat, dsb.). Juga dapat terjadi acanthosis nigricans dan pandangan kabur pada pemakaian jangka lama, hiperurisemia dan hipergli' kemia. Gangguan laal hati, hiperurisemia dan hiper-
glikemia bersitat reversibel dan menghilang jika obat dihentikan. Karena banyaknya efek samping asam nikotinat ini, maka banyak pasien menghenti-
kan pengobatan dan mengganti dengan obat lain' Kombinasi niasin dengan kolestipol menurunkan kadar "thyroxin binding globulin" sehingga tiroksin total menurun.
o
Q-!-oH
POSOLOGI DAN lNDlKASl. Asam nikotinat ber-
RUMUS BANGUN ASAM NIKOTINAT
FARMAKODINAMIK. Asam nikotinat menurunkan produksiVLDL, sehingga kadar IDL dan LDL menurun. Bagaimana jelasnya penurunan VLDL ini belum diketahui secara pasti, tetapi mungkin berhubungan dengan penghambatan lipolisis pada jari-
ngan lemak sehingga asam lemak bebas (yang diperlukan untuk sintesis VLDL di hati menurun) dan meningkatnya aktivitas lipoprotein lipase. Akibat dari hal diatas kadar LDL akan menurun. Kadar HDL meningkat sedikit sampai sedang karena menurunnya katabolisme Apo Al oleh mekanisme yang
guna sebagai obat pilihan pertama untuk pengobatan semua jenis hipertrigliseridemia dan hiperkolesterolemia, kecuali tipe I' Asam nikotinat terutama bermanlaat pada pasien hiperlipoproteinemia tipe lV yang tidak berhasil diobati dengan resin. Pada Suatu studi (the Coronary Drug Proiect, 1975), pemberian asam nikotinat menurunkan kadar kolesterol (10 %) dan trigliserida serum (26 %) pada pasien infark jantung. Pada penelitian ini ditemukan penurunan infark jantung nonlalal(27 %) tetapi angka kematian total tidak berbeda dengan plasebo setelah pengobatan 5 tahun. Tetapi pada penelitian lanjutan (1 5 tahun kemudian) ditemukan penurunan angka kematian total sebanyak 11 %' Asam nikotinat biasanya diberikan per oral 2-69 sehari terbagi dalam 3 dosis bersama makanan; mula-mula dalam dosis rendah (3 kali 100-200 mg seharl) lalu dinaikkan setelah 1-3 minggu.
belum diketahui.
Obat
ini tidak mempengaruhi
katabolisme
VLDL, sintesis kolesterol total atau ekskresi asam empedu.
EFEK SAMPING. Efek samping asam nikotinat pada pengobatan hiperlipidemia yang paling mengganggu adalah gatal dan kemerahan kulit terutama di daerah wajah dan tengkuk, yang timbul dalam
beberapa menit hingga beberapa jam. Elek
ini
agaknya dilangsungkan lewat jalur prostaglandin,
ASIPIMOKS
Asipimoks merupakan analog sintetik asam nikotinat yang juga menghambat lipolisis pada jaringan lemak. Obat ini menurunkan lemak darah dan meningkatkan HDL pada pasien hiperlipidemia tipe ll' lll, dan lV. Dibandingkan dengan asam nikotinat' asipimoks kurang mengganggu toleransi glukosa
378
Farmakologi dan Terapi
dan saluran cerna serta kurang menimbulkan vasodilatasi di muka (flushing).
2.5. PROBUKOL Probukol menurunkan kadar kolesterol serum dengan menurunkan kadar LDL. Obat ini tidak me_ nurunkan kadar trigliserid serum pada kebanyakan penderita, Kadar HDL menurun lebih banyak daripada kadar LDL sehingga menimbulkan rasio LDL: HDL yang kurang menguntungkan. penyelidikan menunjukkan probukol meningkatkan kecepalan katabolisme lraksi LDL pada pasien hiperkoleste_ rolemia lamilial heterozigot dan homozigot lewat jalur non-reseptor. Akhir-akhir ini probukol mendapat perhatian kembali karena kemungkinan bermanfaat dalam menghambat proses aterosklerosis berdasarkan efek antioksidansnya. Agaknya elek antiaterogenik probukol ini terlepas dari efek hipolipidemiknya.
lNDlKAS|. Probukol dianggap sebagai obat pilihan kedua pada pengobatan hiperkolesterolemia de_
ngan peninggian LDL. Obat ini menurunkan kadar LDL dan HDL tanpa perubahan kadar trigliserid. Efek penurunan LDL karena obat ini kurang kuat dibandingkan resin. Probukol menurunkan LDL dan mengecilkan xanthoma pada penderita hiperkoles_ terolemia lamilial homozigot. Obat ini dapat dikombinasi dengan hipolipidemik lainnya. Pemberian bersama resin mening_ katkan elek hipolipidemiknya; probukol menimbul_ kan konsistensi tinja yang lunak sehingga memper_ baiki elek samping resin yang menimbulkan konstipasi, Kombinasi probukol dengan klofibrat tidak bo_ leh dilakukan karena kadar HDL akan lebih rendah.
FARMAKOKINETIK. Walaupun probukol larut lemak, obat ini diabsorpsi terbatas lewat saluran cerna (< 10
o/o).,
tetapi kadar darah yang tinggidapat dicapai bila obat ini diberikan bersama makanan. Waktu paruh eliminasi adalah 23hari, tetapi akan
memanjang pada pemberian kronik. Obat ini per_ lahan-lahan berkumpul dalam jaringan lemak dan bertahan selama 6 bulan atau lebih setelah dosis terakhir dimakan. Tidak ada korelasi antara kadar dalam darah dengan elek hipokolesterolemiknya. Metabolismenya tidak diketahui dan jalan ekskresi yang utama adalah melalui leses.
EFEK NONTERAPI. Probukol ditoleransi dengan baik. Beaksi yang sering terjadi berupa gangguan gastrointestinal ringan (diare, llatus, nyeri perut dqn mual). Kadang-kadang terjadi eosinolilia, pareste_ sia dan edema angioneurotik. pada wanita yang merencanakan untuk hamil dianjurkan agar meng_ hentikan probukol 6 bulan sebelumnya. Keamanan pada anak belum diketahui. Selama makan probu_ kol dianjurkan agar pasien memeriksakan EKG (pe_
manjangan interval QT) sebelum terapi, 6 bulan kemudian dan tiap tahun setelahnya. probukol tidak boleh diberikan pada pasien infark jantung baru atau dengan kelainan EKG. POSOLOGI. Dosis sewasa 250-500 mg sebaiknya ditelan bersama makanan, 2 kali sehari. Biasanya dikombinasi dengan obat hipolipidemik yang lain (mis. resin atau penghambat HMGCoA reduktase).
(CHe)oC
CHs
C(CHs)s
-1 '-i-s$oH cHs t1"r.y.
HO
(cHs):]C
RUMUS BANGUN PROBUKOL
2.6. LAIN-LAIN NEOMISIN SULFAT Neomisin sullat yang diberikan per oral dapat menurunkan kadar kolesterol dengan cara mirip resin yaitu membentuk kompleks tidak larut dalam asam empedu. Efek penurunan kolesterol neomisin bersifat sedang; pada pemberian 2 g/hari dalam dosis terbagi menurunkan LDL dan kolesterol total sebanyak 10-30 %, tanpa mengubah kadar trigliserid. Obat ini dapat diberikan tunggal atau bersama obat lain dengan indikasi serupa dengan resin, sebaiknya bagi pasien yang tidak cocok dengan obat hipolipidemik lainnya. Efek samping neomisin meliputi gangguan saluran cerna, ototoksisitas, nefrotoksisitas (terutama pada pasien gangguan fungsi ginjal), gangguan absorpsi obat lain (digoxin) dsb.
Hipolipidemik
BETA SITOSTEROL
379
Obat-obat misalnya etinil estradiol, noretindron asetat, oksandrolon, halofenat dan klofikol
Beta sitosterol adalah gabungan sterol tanam-
dahulu digunakan untuk hiperlipoproteinemia tetapi
an yang tidak diabsorpsi saluran cerna manusia.
sekarang tidak digunakan lagi karena tidak menguntungkan ditinjau dari pertimbangan untungrugi risk dan benefit ratio.
Mekanismej kerjanya diduga menghambat absorpsi kolesterol eksogen dan diindikasikan hanya untuk pasien hiperkolesterolemia poligenik yang amat sensitif dengan penambahan kolesterol dari luar (makanan). Efek sampingnya berupa gangguan saluran cerna (elek laksatif, mual, muntah). Dosis yang dianjurkan berkisar antara 3-6 g/hari. Mengingat khasiat terapinya yang minimal dan efek samping yang mengganggu, maka saat ini beta sitosterol tidak dianjurkan penggunaannya. DEKSTROTIROKSIN
Merupakan isomer optik hormon tiroid yang dahulu digunakan untuk pengobatan hiperkolesterolemia. Mekanisme kerjanya dalam menurunkan kadar lipid darah diduga karena efek tiromimetiknya (kemampuan menurunkan kadar lipid yang lebih besar daripada peningkatan kecepatan metabolismenya).
Metabolisme LDL meningkat karena tiroksin meningkatkan jumlah reseptor LDL. Dekstrotiroksin termasuk obat hipolipidemik yang tidak direkomendasi penggunaannya saat ini. Dekstrotiroksin lebih banyak menimbulkan gangguan jantung (inlark jantung, angina, aritmia) dan meningkatkan mortalilas dibandingkan plasebo flhe Coronary Drug Project Research Group, 1972). Menurut sejumlah peneliti, obat ini mungkin bermanfaat untuk pengobatan hiperkolesterolemia pada anak atau orang dewasa yang tidak disertai kelainan koroner.
3. PENGOBATAN HIPERLIPO. PROTEINEMIA Penyakit aterosklerosis (koroner) merupakan
penyakit multilaktorial, dimana kadar kolesterol tinggi merupakan salah satu faktor resiko utama.
Banyak penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa peningkatan kadar kolesterol total atau LDL berperan dalam pembentukan lesi aterosklerosis, sedangkan peninggian HDL dianggap protektif. Pengobatan hiperlipoproteinemia meliputi penanganan sebab-sebab penyakit sekunder (diabetes melitus, hipotiroid, sindrom nelrotik, dsb.), pengaturan diet dan obat. Pengaturan diet dilakukan meliputi pengurangan konsumsi lemak total (terutama yang mengandung lemak jenuh), kolesterol dan kalori (untuk obesitas). Kadar kolesterol dianggap normaljika kurang dari 200 mg/dl, "borderline" jika antara 200-239 mg/dl dan hiperkolesterolemia jika diatas 240 mg/dl. Pemberian obat dilakukan jika diet telah dilakukan selama 3-6 bulan, tanpa hasil yang memadai. Terapi dengan obat hipolipidemik dianggap penting karena mempengaruhi dan mencegah komplikasi aterosklerosis, Sekalipun demikian, karena upaya penanganan penyakit ini berlangsung untuk waktu
yang
lama, maka perlu ditimbang 'risk-benefit'
pada pemberian suatu obat hipolipidemik.
BEKATUL Bekatul (Bran) populer di masyarakat baik di luar negeri maupun di lndonesia untuk mencegah arleriosklerosis. Dugaan pada permulaan adalah bahwa bekatul dapat menurunkan kadar lipid plasma. Suatu penelitian klinik menyimpulkan bahwa bekatul sampai 50 g/hari selama 12 minggu tidak menurunkan kadar lipid darah. Dugaan lain adalah serat dalam bekatul dapat memperlancar ekskresi empedu. Juga dikemukakan bahwa efek penurunan kolesterol tergantung dari kadar silikat yang dikandungnya. Kegunaan bekatul dalam pencegahan arteriosklerosis masih memerlukan penyelidikan lebih lanjut.
Penggunaan obat untuk hiperkolesterolemia meliputi pemberian resin atau'trial' dengan asam nikotinat, penghambat H MGCoA reduktase, derivat asam librat (gemfibrozil) atau probukol. Keadaan hipertrigliseridemia diobati dengan gemlibrozil dan asam nikotinat dengan kemungkinan penggunaan penghambat HMGCoA reduktase (lihat juga Tabel. 2). Saat ini terdapat pemikiran penggunaan kombinasi obat hipolipidemik yang bersilat sinergistik misalnya asam nikotinat dengan resin untuk menurunkan kadar LDL pada pasien hiperkolesterolemia lamilial heterozigot. Contoh lain adalah probukol atau lovastatin digabung dengan resin. Perlu diingat bahwa kombinasi obat-obat tertentu dapat meningkatkan resiko timbulnya elek samping.
380
Farmakologi dan Terapi
VII. OBAT YANG MEMPENGARUHI METABOLISME ELEKTROLIT DAN KONSERVASI AIR 25. DIURETIK DAN ANTIDIURETIK Sunaryo
1.
Diuretik 1.1. Diuretik osmotik 1.2. Penghambat karbonik anhidrase 1.3. Benzotiadiazid 1.4. Diuretik hemat kalium 1.5. Diuretik kuat 1.6. Xantin
1. DIURETIK Diuretik ialah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin. lstilah diuresis mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya penambahan volume urin yang diproduksi dan yang kedua menunjukkan jumlah pengeluaran (kehilangan) zal-zal terlarut dan air. Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan udem, yang berarti mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstrasel kembali menjadi normal. Pengaruh diuretik terhadap ekskresi zat terlarut penting artinya untuk menentukan tempat kerja diuretik dan sekaligus untuk meramalkan akibat
penggunaan suatu diuretik, Secara umum diuretik dapat dibagi menjadi dua golongan besar yaitu : (1) diuretik osmotik; (2) penghambat mekanisme transport elektrolit di,.dalam tubuli ginjal. Obat yang dapat menghambat transport elektrolit di tubuli ginjal ialah : (1) penghambat karbonik anhidrase; (2) benzotiadiazid; (3) diuretik hemat kalium; dan (4) diuretik kuat. Xantin yang juga berefek diuretik tidak dibahas di sini karena kegunaan-
nya sebagai diuretik telah terdesak oleh diuretik yang lebih kuat. Uraian mengenai xantin dapat dilihat pada Bab 16. Tempat dan cara kerja diuretik dapat dilihat pada Gambar 25-1 dan Tabel 25-1.
1.7. Pengobatan dengan diuretik
2.
Obat yang mempengaruhi konservasi air 2.1. ADH
2.2. Benzotiadiazid 2.3. Penghambat sintesis prostaglandin
1.1. DIURETIK OSMOTIK lstilah diuretik osmotik biasanya dipakai untuk
zat bukan elektrolit yang mudah dan cepat diekskresi oleh ginjal. Suatu zat dapat bertindak sebagai
diuretik osmotik apabila memenuhi 4 syarat : (1 ) difiltrasi secara bebas oleh glomerulus; (2) tidak atau hanya sedikit direabsorpsi sel tubuli ginjal; (3) secara larmakologis merupakan zat yang inert; dan (4) umumnya resisten terhadap perubahan-perubahan metabolik. Dengan sifat-sifat ini, maka diuretik osmotik dapat diberikan dalam jumlah cukup besar sehingga turut menentukan derajat osmolaritas plasma, liltrat glomerulus dan cairan tubuli. Contoh golongan obat ini adalah manitol, urea, gliserin, isosorbid. Adanya zat tersebut dalam cairan tubuli, meningkatkan tekanan osmotik, sehingga jumlah air dan elektrolit yang diekskresi bertambah besar. Tetapi untuk menimbulkan diuresis yang cukup besar, diperlukan dosis diuretik osmotik yang tinggi. Manitol paling sering digunakan diantara obat ini, karena manitol tidak mengalami metabolisme dalam badan dan hanya sedikit sekali direabsorpsi tubuli bahkan praktis dianggap tidak direabsorpsi. Manitol harus diberikan secara lV, jadi obat ini tidak praktis untuk pengobatan udem kronik. Pada penderita payah jantung pemberian manitol berbahaya,
381
Diuretik dan Antidiuretik
Tabel 25-1. TEMPAT DAN CARA KERJA DIURETIK
Obat' Diuretik osmotik
Tempat kerja utama
Cara keria
(1) Tubuli proksimal
Penghambatan reabsorpsi natrium dan alr melalui daya osmotiknYa.
Penghambatan reabsorpsi natrium dan air oleh karena hipertonisitas daerah medula
(2) Ansa Henle
menurun.
Penghambatan reabsorpsi natrium dan air akibat adanya papillary wash out, kecepatan aliran filtrat yang tinggi, atau adanya laktor
(3)Duktus Koligentes
lain. Penghambat enztm karbonik anhidrase
Tubuli Proksimal
Penghambatan terhadap reabsorpsi bikarbonat.
Tiazid
Hulu tubuli distal
Penghambatan terhadap reabsorpsi natrium klorida.
Diuretik hemat kalium
Hilir tubuli distal dan duktus koligentes daerah korteks
Penghambatan reabsorpsi natrium dan sekresi kalium dengan ialan antagonisme kompetitit (spironolakton) atau secara langsung (triamteren dan amilorid).
Diuretik kuat
Ansa Henle bagian asenden pada bagian dengan ePitel tebal
Penghambatan terhadap transport elektrolit Natrium, Kalium, Klorida.
yang menimbulkan nekrosis tubuli, karena dalam
cairan ekstrasel, sehingga secara tidak diharapkan akan terjadi penambahan jumlah cairan ekstrasel. Hal ini tentu berbahaya bagi penderita payah jantung. Kadang-kadang manitol juga dapat menimbulkan reaksi hiPersensitif. Urea lebih bersifat iritatif terhadap jaringan dan dapat menimbulkan trombosis atau nyeri bila
keadaan ini obat yang kerjanya mempengaruhi
terjadi ekstravasasi.
karena volume darah yang beredar menlngkat sehingga memperberat kerja jantung yang telah gagal.
Diuretik osmotik terutama bermanfaat pada pasien oliguria akut akibat syok hipovolemik yang
telah dikoreksi, reaksi transfusi atau sebab
lain
fungsi tubuli tidak efektif.
Manitol digunakan misalnya untuk : ) profilaksis gagal ginjal akut, suatu keadaan yang dapat timbul akibat operasi jantung, luka traumatik berat, atau tindakan operatif dengan penderita yang juga (1
menderita ikterus berat; (2) menurunkan lekanan
Gliserin dimetabolisme dalam tubuh dan da-
pat menyebabkan hiperglikemia dan glukosuria. Pemberian diuretik osmotik sering menimbulkan sakit kepala, mual dan muntah.
maupun volume cairan intraokuler atau cairan serebrospinal. Dengan meninggikan tekanan osmotik plasma, maka air dari kedua macam cairan di atas akan berdifusi kembali ke plasma dan ke dalam
SEDIAAN DAN POSOLOGI
ruangan ekstrasel.
diberikan dalam cairan infus selama 24iam dengan kecepatan infus sedemikian, sehingga diperoleh diuresis sebanyak 30-50 ml per jam' Untuk penderita dengan oliguria hebat diberikan dosis percobaan yaitu 200 mg/kgBB yang diberikan melalui infus
EFEK NONTERAPI Manitol didistribusi ke cairan ekstrasel, oleh karena itu pemberian larutan manitol hipertonis yang bedebihan akan meningkatkan osmolaritas
Manitol. Untuk suntikan intravena digunakan larutan5-25% dengan volume antara 50-1 .000 ml. Dosis
untuk menimbulkan diuresis ialah 50-200 g yang
selama 3-5 menit, Bila dengan 1-2 kali dosis per' cobaan diuresis masih kurang dari 30 ml per jam
382
Farmakologi dan Terapi
Medula - Luar
1. Asetazolamid 2. Diuretik osmotik 3. Diuretik kuat 4. Tiazid 5. Diuretik hemat K 6. Antagonis ADH.
ADH - Hormon antidiuretik PTH - Hormon paratiroid
Gambar 2$'1. Tempat keria diuretik pada tubulus ginlal
Diuretik dan Antidiu reti k
383
dalam 2- 3 jam, maka status pasien harus di evaluasi kembali sebelum pengobatan dilanjutkan. Untuk mencegah gagal ginjal akut pada tindakan operasi atau untuk mengatasi oliguria, dosis total manitol untuk orang dewasa ialah 50-100 g. Untuk menurunkan tekanan intrakranial yang meninggi, menurunkan tekanan intraokuler pada serangan akut glaukoma kongestif atau sebelum operasi mata, digunakan manitol 'l ,5-2 g/kgBB sebagai larutan 15-2O%, yang diberikan melalui infus selama 30-60 menit. Manitol dikontraindikasikan pada penyakit ginjal dengan anuria; kongesti atau udem paru yang berat, dehidrasi hebat dan perdarahan intrakranial kecuali bila akan dilakukan kraniotomi. lnfus manitol
harus segera dihentikan bila terdapat tanda{anda gangguan fungsi ginjal yang progresit, payah janlung atau kongesti paru. Urea. Suatu kristal putih dengan rasa agak pahit dan mudah larut dalam air. Sediaan intravena mengandung urea sampai 30% dalam dekstrose 5% (iso-osmotik) sebab larutan urea murni dapat menimbulkan hemolisis. Pada tindakan bedah saraf,
urea diberikan intravena dengan dosis
1-1
,5 g/
kgBB. Sebagai diuretik, urea potensinya lebih lemah dibandingkan dengan manitol, karena hampir 50% senyawa urea ini akan direabsorpsi oleh tubuli ginjal.
Gliserin. Diberikan per oral sebelum suatu tindakan optalmologi dengan tujuan menurunkan tekanan intraokuler. Efek maksimal terlihat 1 jam sesudah pemberian obat dan menghilang sesudah 5 jam. Dosis untuk orang dewasa yaitu 1-1,5 g/kgBB dalam larutan 50 atau 75%. Gliserin ini cepat dimetabolisme, sehingga efek diuresisnya relatif kecil.
lsosorbid. Diberikan secara oral untuk indikasi yang sama dengan gliserin. Efeknya juga sama, hanya isosorbid menimbulkan diuresis yang lebih besar daripada gliserin, tanpa menimbulkan hiperglikemia. Dosis berkisar antara 1-3 g/kgBB, dan dapat diberikan 2-4 kali sehari.
1.2. PENGHAMBAT KARBONIK ANHIDRASE Karbonik anhidrase adalah enzim yang meng-
katalisis reaksi COz + H2O =- HzCOg. Enzim ini terdapat antara lain dalam sel korteks renalis,
pankreas, mukosa lambung, mata, eritrosit dan SSP, tetapi tidak terdapat dalam plasma. Dalam tubuh, H2CO3 berada dalam keseimbangan dengan ion H+ dan HCO3- yang sangat penting dalam sistem bufer darah. lon ini juga penting pada proses reabsorpsi ion tetap dalam tubuli ginjal, sekresi asam lambung dan beberapa proses lain dalam tubuh. Sebenarnya, tanpa enzim lersebut reaksi di atas dapat berjalan, tetapi sangat lambat.
Karbonik anhidrase merupakan protein dengan berat molekul kira- kira 30.000 dan mengandung satu atom Zn dalam setiap molekul. Enzim ini dapat dihambat aktivitasnya oleh sianida, azida, dan sulfida. Derivat sulfonamid yang juga dapat menghambat kerja enzim ini adalah asetazolamid dan diklorofenamid. Yang akan dibicarakan di sini hanyalah asetazolamid, karena banyak digunakan dalam klinik.
FARMAKODINAMIK. Efek farmakodinamik yang utama dari asetazolamid adalah penghambatan karbonik anhidrase secara nonkompetitif. Akibatnya terjadi perubahan sistemik dan perubahan terbatas pada organ tempat enzim tersebut berada.
Ginjal. Untuk menimbulkan penghambatan efek fisiologis yang nyata, lebih dari 99% aktivitas enzim tersebut harus dihambat. Sekresi H* oleh sel tubuli berkurang karena pembentukan H* dan HCO3yang berkurang dalam sel tubuli, sehingga pertukaran Na* oleh H* terhambat. Hal ini mengakibatkan meningkatnya ekskresi bikarbonat, natrium dan kalium melalui urin sehingga urin menjadi alkalis. Bertambahnya ekskresi kalium disebabkan oleh pertukaran Na* dengan K* menjadi lebih aktif, menggantikan pertukaran dengan H+. Meningkatnya ekskresi elektrolit menyebabkan bertambahnya
ekskresi air.
Susunan cairan plasma. Dengan bertambahnya ekskresi bikarbonat dan ion tetap (fixed ian) dalam urin, terutama Na+, maka kadar ion-ion ini dalam cairan ekstrasel menurun, sehingga terjadi asidosis metabolik. Karena kerjanya melalui peningkatan ekskresi bikarbonat dan kation, maka besarnya efek diuresis tergantung dari kadar ion tersebul dalam plasma. Pada alkalosis metabolik, kadar ion bikarbonat dalam plasma meninggi dan ion klorida menurun (karena adanya chloride sh/t), dalam keada-
an ini efek diuresis asetazolamid makin kuat. Hal yang sebaliknya terjadi dalam keadaan asidosis metabolik,
384
Farmakologi dan Terapi
Bila pada penderita dengan udem diberikan asetazolamid jangka lama, maka dapat terjadi asidosis metabolik sehingga efek asetazolamid makin lemah; Selain ion bikarbonat agaknya kadar kalium juga penting dalam menentukan efek diuresis asetazolamid, karena pada alkalosis ekstrasel yang sudah disertai hipokalemia, efek diuresis obat ini juga kurang. Asetazolamid memperbesar ekskresi K*, tetapi efek ini hanya nyata pada permulaan terapi saja, sehingga pengaruhnya terhadap keseimbangan kalium tidak sebesar pengaruh tiazid.
tubuh ditentukan oleh ada tidaknya enzim karbonik anhidrase dalam sel yang bersangkutan dan dapat tidaknya obat itu masuk ke dalam sel. Asetazolamid tidak dimetabolisme dan diekskresi dalam bentuk utuh melalui urin.
Mata. Dalam cairan bola mata banyak sekali terda-
Reaksi alergi yang jarang terjadi berupa demam, reaksi kulit, depresi sumsum tulang dan lesi renal mirip reaksi terhadap sulfonamid. Seperti tiazid, obat ini dapat menyebabkan disorientasi mental pada penderita sirosis hepatis. Hal ini mungkin disebabkan oleh amoniak yang biasanya disekresi ke dalam urin masuk ke darah karena tidak adanya H* yang terbentuk dalam sel tubuli. Biasanya H+ tersebut bergabung dengan NH3 membentuk NH++ yang berguna untuk menukar ion tetap dalam cairan tubuli. Hati tidak mampu mengubah amoniak yang terlalu banyak menjadi urea dan amoniak inilah yang menyebabkan disorientasi mental. Karena itu asetazolamid dikontraindikasikan pada sirosis hepatis. Asetazolamid sebaiknya tidak diberikan selama kehamilan, karena pada hewan coba obat ini dapat menimbulkan efek teratogenik.
pat enzim karbonik anhidrase dan bikarbonat. Pemberian asetazolamid baik secara oral maupun pa-
renteral, mengurangi pembentukan cairan bola mata disertai penurunan tekanan intraokuler sehingga asetazolamid berguna dalam pengobatan glaukoma. Efek ini mungkin disebabkan oleh penghambatan terhadap karbonik anhidrase. Susunan saraf pusat. Telah lama diketahui bahwa keadaan asidosis dapat mengurangi timbulnya serangan epilepsi, dalam klinik keadaan ini dicapai dengan memberikan diet ketogenik pada penderita. Karena asetazolamid dapat menimbulkan asidosis dan SSP banyak mengandung karbonik anhidrase, maka diduga bahwa obat ini dapat dipakai mengobati penyakit epilepsi. Dugaan ini ternyata benar, tetapi rupanya elek pengurangan serangan epilepsi tersebut bukan hanya disebabkan penghambatan karbonik anhidrase tetapl juga oleh adanya efek langsung pada SSP. Gejala susunan saraf pusat yang sering timbul pada penggunaan asetazolamid adalah somnolen dan parestesia. Pernapasan. Asetazolamid kurang mempengaruhi aktivitas karbonik anhidrase di eritrosit sehingga pengaruh langsung terhadap pernapasan tidak ada.
FARMAKOKINETIK. Asetazolamid mudah diserap melalui saluran cerna, kadar maksimal dalam darah
dicapai dalam 2 jam dan ekskresi melalui ginjal sudah sempurna dalam 24 jam. Obat ini mengalami proses sekresi aktif oleh tubuli dan sebagian direabsorpsi secara pasif. Asetazolamid terikat kuat pada karbonik anhidrase, sehingga terakumulasi dalam sel yang banyak mengandung enzim ini, terutama sel eritrosit dan korteks ginjal. Obat penghambat karbonik anhidrase tidak dapat masuk ke dalam eritrosit, jadi efeknya hanya terbatas pada ginjal saja. Distribusi penghambat karbonik anhidrase dalam
EFEK NONTERAPI DAN KONTRAINDIKASI. lntoksikasi asetazolamid jarang terjadi. Pada dosis tinggi dapat timbul parestesia dan kantuk yang terus-menerus. Asetazolamid mempermudah pembentukan batu ginjal karena berkurangnya ekskresi sitrat; kadar kalsium dalam urin tidak berubah atau meningkat.
INDIKASI. Penggunaan asetazolamid yang utama ialah untuk menurunkan tekanan intraokulei pada penyakit glaukoma. Asetazolamid berguna mengatasi paralisis periodik bahkan yang disertai hipokalemia. Diduga asidosis yang timbul setelah pemberian asetazolamid, akan meningkatkan kadar K+ ekstrasel setempat pada mikrosirkulasi otot. Asetazolamid juga efektif untuk mengurangi gejala acute mountain sickness. Asetazolamid jarang digunakan sebagai diuretik, tetapi dapat bermanfaat untuk alkalinisasi urin sehingga mempermudah ekskresi zat organik yang bersifat asam lemah. Walaupun asam salisilat merupakan zat organik yang bersifat asam lemah, asetazolamid tidak dianjurkan untuk mengatasi intoksikasi asam salisilat, sebab kedua obat ini menyebabkan asidosis. Sedangkan obat gangliolitik yang bersifat basa lemah organik akan dihambat ekskresinya, sehingga akan terjadi potensiasi bila diberikan
bersama dengan asetazolamid pada penderita hipertensi.
385
Diuretik dan Antidiuretik
SEDiAAN DAN POSOLOGI. Asetazolamid tersedia dalam bentuk tablet 125 mg dan 250 mg untuk pemberian oral. Dosis antara 250-500 mg per kali, dosis untuk chronic simple glaucoma yaitu 2501.000 mgj per hari. Natrium asetazolamid untuk pemberian parenteral hendaknya diberikan satu kali sehari, kecuali bila dimaksudkan untuk menimbulkan asidosis metabolik maka obat ini diberikan setiap 8 jam. Tetapi sediaan ini tidak terdapat di lndonesia, demikian juga sediaan yang berbentuk sirup. Dosis dewasa untuk acute mountain stckness yailu2 kali sehari 250 mg, dimulai 3-4 hari sebelum mencapai ketinggian 3.000 m atau lebih, dan dilanjutkan untuk beberapa waktu sesudah dicapai ketinggian tersebut. Dosis untuk paralisis periodik yang bersifat familier (familial periodic paralysis) yaitu 250-750 mg sehari dibagi dalam 2 atau 3 dosis; sedangkan untuk anak-anak 2 atau 3 kali sehari 125 mg. Diklorolenamid dalam tablet 50 mg, efek optimal dapat dicapai dengan dosis awal 200 mg sehari, serta metazolamid dalam tablet 25 mg dan 50 mg
sida. Golongan ini biasa disebut sebagai benzo-
tiadiazid atau tiazid saja, dengan rumus kimia sebagai tertera pada Gambar 25-2. Perubahan pada R2, Rs dan Ro akan membentuk berbagai senyawa tiazid. Hubungan antara struktur dan aktivitasnya ternyata amat kompleks dan dipengaruhi berbagai faktor fisiologik maupun farmakokinetik. Beberapa senyawa ternyata dapat menimbulkan hiperglikemia dan efek ini ditentukan oleh struktur yang berbeda dari struktur yang menentukan daya diuresisnya.
H
",,.*:ry;,'(
dan dosis 100-300 mg sehari, tidak terdapat G a m ba
dipasaran.
1.3. BENZOTIADIAZID SEJARAH
Sintesis golongan ini merupakan hasil dari penelitian zat penghambat enzim karbonik anhidrase. Komposisi yang terbentuk setelah pemberian obat ini ternyata mengandung banyak ion klorida, efek sangat berbeda dengan senyawa induknya yaitu benzen disulfonamid. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa benzotiadiazid ber-efek langsung terhadap transport Na* dan Cl' di tubuli ginjal, lepas dari efek penghambatannya terhadap enzim karbonik anhidrase. Prototipe golongan benzotiadiazid ialah klorotiazid, yang merupakan obat tandingan pertama golongan Hg-organik, yang telah mendominasi diuretik selama lebih dari 30 tahun. Farmakologi diuretik golongan Hg organik ini dapat dilihat pada edisi 2.
KIMIA DAN HUBUNGAN ANTARA STRUKTUR DAN AKTIVITAS
Sebagian besar senyawa benzotiadiazid merupakan analog dari 1 ,2,4-benzo-tiadiazin-1 ,1-diok-
r 25-2. Be nzoli adiazid
Senyawa tiazid menunjukkan kurva dosisefek yang sejajar dan daya kloruretik maksimal yang sebanding. lni menunjukkan bahwa cara kerjanya sama. Jadi perbedaan hanya dalam dosis dan bukan dalam efek diuretik maksimalnya. Beberapa diuretik sulfonamid yang strukturnya sama sekali berbeda dengan tiazid, menunjukkan efek farmakologi yang sama dengan tiazid. Senyawa-senyawa tersebut ialah klortalidon, kuinetazon dan indapamid.
FARMAKODINAMIK Efek farmakodinamik tiazid yang utama ialah meningkatkan ekskresi natrium, klorida dan sejumlah air. Efek natriuresis dan kloruresis ini disebabkan oleh penghambatan mekanisme reabsorpsi elektrolit pada hulu tubuli distal (eaily distaltubule). Berbeda dengan diuretik penghambat karbonik anhidrase, perubahan keseimbangan asam-basa dalam tubuh tidak mempengaruhi efek diuretik tiazid. Derivat tiazid memperlihatkan efek penghambatan karbonik anhidrase dengan potensi yang berbeda-beda. Zal yang aktif sebagai penghambat karbonik anhidrase, dalam dosis yang mencukupi,
Farmakologi dan Terapi
memperlihatkan efek sama seperti aselazolamid dalam ekskresi bikarbonat (lihat efek asetazolamid). Agaknya elek penghambatan karbonik anhidrase ini tidak berarti secara klinis. Elek penghambatan enzim karbonik anhidrase di luar ginjal praktis tidak terlihat karena tiazid tidak ditimbun di sel lain. Pada penderita hipertensi, tiazid menurunkan tekanan darah bukan saja karena efek diuretiknya, tetapi juga karena efek langsung terhadap arteriol sehin g ga terjadi vasodilatasi.
Pada penderita diabetes insipidus, tiazid justru mengurangi diuresis. Mekanisme antidiuretiknya
belum diketahui dengan jelas dan efek ini kita jumpai baik pada diabetes insipidus nefrogen, maupun yang disebabkan oleh kerusakan hipofisis posterior.
FUNGSI GINJAL. Tiazid dapat mengurangi kecepatan filtrasi glomerulus, terutama bila diberikan secara intravena. Efek ini mungkin disebabkan oleh pengurangan aliran darah ginjal. Namun berkurang_
nya filtrasi ini sedikit sekali pengaruhnya terhadap efek diuretik tiazid, dan hanya mempunyai arti klinis bila lungsi ginjal memang sudah kurang. Seperti kebanyakan asam organik lain, tiazid disekresi secara aktif oleh tubuli ginjal bagian proksimal. Sekresi ini dapat berkurang dengan adanya antagonis kompetitil misalnya probenesid. Dalam keadaan tertentu, probenesid dapat menghambat efek diuresis tiazid; hal ini menandakan bahwa untuk menimbulkan efek diuresis tiazid harus ada di dalam cairan tubuli.
Tempat kerja utama tiazid adalah dibagian hulu tubuli (early distal tubules) distal. Seperti diketahui mekanlsme reabsorpsi Na* di tubuli distal masih belum jelas benar, maka demikian pula cara kerja tiazid. Laju ekskresi Na* maksimal yang ditimbulkan oleh tiazid relatif lebih rendah dibandingkan dengan apa yang dicapai oleh beberapa diuretik lain, hal ini disebabkan g0% Na* dalam cairan filtrat telah direabsorpsi lebih dahulu sebelum ia mencapai tempat kerja tiazid. Elek kaliuresis disebabkan oleh bertambahnya natriuresis sehingga pertukaran antara Na+ dan K* yang menjadi lebih aktil pada tubuli distal. Harus diingat bahwa pada penderita dengan udem pertukaran Na* dengan K+ menjadi lebih aktif karena sekresi aldosteron bertambah. Pada manusia tiazid menghambat ekskresi
asam urat sehingga kadarnya dalam darah
me-
ningkat. Ada 2 mekanisme yang terlibat dalam hal ini : (1 ) tiazid meninggikan reabsorpsi asam urat di
tubuli proksimal; (2) tiazid mungkin sekali menghambat ekskresi asam urat oleh tubuli. peninggian kadar asam urat ini kurang begitu berarti karena insidens serangan akut gout terutama berhubungan dengan kadar asam urat dalam plasma sebelum pengobatan dengan tiaz.id. Ekskresi yodida dan bromida secara kualitatif sama dengan ekskresi klorida. Diuretik yang menyebabkan kloruresis juga akan meningkatkan ekskresi kedua ion halogen yang lain. Dengan demikian semua obat yang bersifat kloruresis dapat digunakan untuk menanggulangi keracunan bromida. Selain itu, penggunaan diuretik yang berkepanjangan dapat meningkatkan ekskresi yodida dengan akibat dapat terjadinya deplesi yodida yang ringan. Berbeda dengan natriuretik lain, tiazid menurunkan ekskresi kalsium sampai 40o/o,karenatiazid tidak dapat menghambat reabsorpsi kalsium oleh sel tubuli distal. Ekskresi Mg** meningkat, sehingga dapat menyebabkan hipomagnesemia.
CAIRAN EKSTRASEL. Tiazid dapat meninggikan ekskresi ion K+ terutama pada pemberian jangka pendek, dan mungkin efek ini menjadi kecll bila penggunaannya berlangsung dalam jangka panjang. Ekskresi natrium yang berlebihan tanpa disertai jumlah air yang sebanding, dapat menyebabkan hiponatremia dan hipokloremia, terutama bila penderita tersebut mendapat diet rendah garam. Namun demikian secara keseluruhan golongan tiazid cenderung menimbulkan gangguan komposisi cair-
an ekstrasel yang lebih ringan dibandingkan dengan diuretik kuat, karena intensitas diuresis yang ditimbulkannya relatil lebih rendah.
FARMAKOKINETIK Absorpsi tiazid melalui saluran cerna baik sekali. Umumnya efek obat tampak setelah satu jam. Klorotiazid didistribusi ke seluruh ruang ekstrasel dan dapat melewati sawar uri, tetapi obat ini hanya ditimbun dalam jaringan ginjal saja. Dengan suatu proses aktif, tiazid diekskresi oleh sel tubuli proksimal ke dalam cairan tubuli. Jadi bersihan ginjal obat ini besar sekali, biasanya dalam 3-6 jam sudah diekskresi dari badan. Bendrollumetiazid, politiazid, dan klortalidon mempunyai masa kerja yang lebih panjang karena ekskresinya lebih lambat.
Klorotiazid dalam badan tidak mengalami perubahan metabolik, sedang politiazid sebagian dimetabolisme dalam badan.
Diu retik d an Antid iu
retik
EFEK SAMPING
lntoksikasi dalam klinik jarang terjadi, biasanya reaksiyang timbul disebabkan oleh reaksi alergi atau karena penyakitnya sendiri. Telah dibuktikan pada hewan coba bahwa besarnya dosis toksik beberapa kali dosis terapi. Reaksi yang telah dilaporkan adalah berupa kelainan kulit, purpura, dermatitis disertai fotosensitivitas dan kelainan darah. Pada penggunaan lama dapat timbul hiperglikemia, terutama pada penderita diabetes yang laten. Ada 3 faktor yang menyebabkan hal ini dan telah dapat dibuktikan pada tikus yaitu berkurangnya sekresi insulin terhadap peninggian kadar glukosa plasma, meningkatnya glikogenolisis, dan berkurangnya glikogenesis.
Tiazid dapat menyebabkan peningkatan kadar kolesterol dan trigliserid plasma dengan mekanisme yang tidak diketahui, tetapi tidak jelas apakah
retik hemat kalium pada penderita yang juga mendapat pengobatan digitalis untuk mencegah timbul-
nya hipokalemia yang memudahkan terjadinya intoksikasi digitalis. Hasil yang baik juga didapat pada pengobatan tiazid untuk udem akibat penyakit hati dan ginjal kronis. Tiazid merupakan salah satu obat penting
pada pengobatan hipertensi, baik sebagai obat tunggal atau dalam kombinasi dengan obat hipertensi lain (lihat Bab 22). Pemberian tiazid pada penderita gagal jantung atau hipertensi yang disertai gangguan
fungsi ginjal harus dilakukan dengan hati-
hati
sekali, karena obat ini dapat memperhebat gangguan tersebut akibat penurunan kecepatan filtrasi glomerulus dan hilangnya natrium, klorida dan kalium yang terlalu banyak. Pengobatan lama udem kronik dengan obat ini, hendaknya diberikan dalam dosis yang cukup untuk mempertahankan berat badan
tanpa udem. Penderita jangan terlalu dibatasi
ini meninggikan risiko terjadinya aterosklerosis. Kadar natrium, kalium, klorida dan bikarbonat plasma sebaiknya diperiksa secara berkala pada penggunaan tiazid jangka lama walaupun perubahannya tidak menonjol. Kehilangan kalium lebih lanjut misalnya pada keadaan diare, muntah-mun-
makan garam. Penderita yang tidak responsif terhadap suatu jenis tiazid, kadang-kadang dapat diobati dengan
tah atau anoreksia harus segera diatasi karena dapat memperbesar bahaya intoksikasi digitalis,
retik lain, misalnya diuretik antagonis aldosteron. Golongan tiazid juga digunakan untuk peng-
memungkinkan terjadinya koma hepatikum pada penderita sirosis hepatis dan parese atau paralisis
obatan diabetes insipidus terutama yang bersifat nefrogen dan hiperkalsiuria pada penderita dengan batu kalsium pada saluran kemih.
otot skelet. Kombinasi tetap tiazid dengan KCI tidak
digunakan lagi karena menimbulkan iritasi lokal di usus halus. Suplemen KCI sebagai sediaan terpisah atau pemberian tiazid bersama diuretik hemat kalium dapat mencegah hipokalemia. Gejala insufisiensi ginjal dapat diperberat oleh tiazid, mungkin karena tiazid langsung mengurangi aliran darah ginjal. Gangguan pembentukan H+ menyebabkan amoniak tidak dapat diubah menjadi ion amonium dan memasuki darah, ini merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya depresi mental dan koma pada penderita sirosis hepatis. Suatu reaksi idiosinkrasi yang jarang sekali timbul seperti hepatitis kolestatik, telah dilaporkan.
jenis tiazid lain. Hal ini umumnya disebabkan karena potensi antar jenis tiazid berbeda- beda. Ada baiknya sesekali pengobatan diseling dengan diu-
POSOLOGI
Sediaan dan dosis golongan tiazid dapat dilihat pada Tabel 25-2.
1.4. DIURETIK HEMAT KALIUM Yang tergolong dalam kelompok ini ialah anta-
gonis aldosteron, triamteren dan amilorid. Elek diuretiknya tidak sekuat golongan diuretik kuat.
ANTAGONIS ALDOSTERON INOIKASI
Tiazid merupakan diuretik terpilih untuk pengobatan udem akibat payah jantung ringan sampai sedang, Ada baiknya bila dikombinasi dengan diu-
Aldosteron adalah mineralokortikoid endo-
gen yang paling kuat. Peranan utama aldosteron ialah memperbesar reabsorpsi natrium dan klorida di tubuli serta memperbesar ekskresi kalium. Jadi pada hiperaldosteronisme, akan terjadi penurunan
Diu retik dan Antidiu
rctik
Tabel 25-2. SEDIAAN DAN DOSIS TIAZID OAN SENYAWA SEJENIS
Sediaan
Klorotiazid
Dosis (mg/hari)
500 - 2000
tablet 250 dan 500 mg
H
idroklorotiazid
tablet 25 dan 50 mg
25
-
't00
H
idroflum etiazid
tablet 50 mg
25-
200
Bendrollu metiazid
tablet 2,5; 5 dan 10 mg
Politiazid
tablet 1, 2 dan 4 mg
Benztiazid
tablet 50 mg
Siklotiazid
tablet 2 mg
Metiklotiazid
tablet 2,5 dan 5 mg
Klortalidon
tablet 25, 50 dan 100 mg
Kuinetazon
tablet 50 mg
lndapamid
tablet 2,5 mg
kadar kalium dan alkalosis metabolik karena reabsorpsi HCO3- dan sekresi H* yang bertambah. Keadaan dan tindakan yang dapat menyebab-
kan bertambahnya sekresi aldosteron oleh korteks adrenal adalah sekresi glukokortikoid yang meninggi misalnya pembedahan, rasa takut, trauma fisik dan perdarahan, asupan kalium yang tinggi, asupan natrium yang rendah, bendungan pada
vena kava inferior, sirosis hepatis, nefrosis dan payah jantung akan meningkatkan sekresi aldosteron tanpa peningkatan sekresi glukokortikoid. Keadaan tersebut di atas sering disertai adanya udem, sehingga pemberian antagonis aldosteron yaitu spironolakton sebagai diuretik sangat bermanfaat. Mekanisme kerja antagonis aldosteron adalah penghambatan kompetitif terhadap aldosteron. lni terbukti dari kenyataan bahwa obat ini hanya efektif bila terdapat aldosteron baik endogen ataupun eksogen dalam tubuh dan eleknya dapat dihilangkan dengan meninggikan kadar aldosteron. Jadi dengan pemberian antagonis aldosteron, reabsorpsi Na* di hilir tubuli distal dan duktus koligentes
dikurangi, dengan demikian ekskresi K* luga berkurang.
FARMAKOKINETIK. Tujuh puluh persen spirono-
lakton oral diserap di saluran cerna, mengalami
5- 20 1- 4 50 - 200 1- 2 2,5 10 25 - 100 50 - 200 2,5- 5
Lama kerja 0am)
6-12 6-12 6-12 6-12 24-48 6-12 18-24 24
24-72 18-24
24-36
sirkulasi enterohepatik dan metabolisme lintas pertama. lkatan dengan protein cukup tinggi. Metabolit utamanya, kanrenon, memperlihatkan aktivitas antagonis aldosteron dan turut berperan dailam aktivitas biologik spironolakton. Kanrenon mengalami interkonversi enzimatik menjadi kanrenoat yang tidak aktif.
EFEK SAMPING. Elek toksik yang utama dari spironolakton adalah hiperkalemia yang sering terjadi bila obat ini diberikan bersama- sama dengan asupan kalium yang berlebihan. Tetapi elek toksik ini
dapat pula terjadi bila dosis yang biasa diberikan
bersama dengan tiazid pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal yang berat. Efek samping lain yang ringan dan reversibel diantaranya ginekomastia, efek samping mirip androgen dan gejala saluran cerna.
lNDlKASl. Antagonis aldosteron digunakan secara luas untuk pengobatan hipertensi dan udem yang refrakter. Biasanya obat ini dipakai bersama diuretik lain dengan maksud mengurangi ekskresi kalium, di samping memperbesar diuresis.
Hasilnya ,pada pengobatan payah jantung, sirosis hepatis dan sindrom nelrotik sukar diperkirakan karena interaksi yang terlalu kompleks dari
389
Diuretik dan Antidiu retik
penyakit primernya, hiperaldosteronisme sekunder dan efek diuretik lain yang diberikan bersamaan.
Azotemia yang ringan sampai sedang sering terjadi dan bersifat reversibel. Pada penderita de-
SEDIAAN DAN DOSIS. Spironolakton terdapat dalam bentuk tablet 25, 50 dan 100 mg. Dosis
triamteren pernah dilaporkan terjadi anemia megaloblastik, tetapi hubungan sebab-akibat belum pasti. Hal ini mungkin akibat terjadinya penghambatan terhadap enzim dihidrofolat reduktase, terutama pada penderita dengan penurunan cadangan dan masukan asam folat. Efek samping amilorid yang paling sering selain hiperkalemia yaitu mual, muntah, diare dan sakit kepala.
dewasa berkisar anlara 25-200 mg, tetapi dosis efektif sehari rata-rata 100 mg dalam dosis tunggal atau terbagi. Terdapat pula sediaan kombinasi tetap antara spironolakton 25 mg dan hidrokloroliazid 25 mg, serta antara spironolakton 25 mg dan tiabutazid 2,5 mg.
ngan sirosis hati akibat alkohol yang mendapat
TRIAMTEREN DAN AMILORID Kedua obat initerutama memperbesar ekskre-
INDIKASI
si natrium dan klorida, sedangkan ekskresi kalium berkurang dan ekskresi bikarbonat tidak mengalami perubahan. Efek penghambatan reabsorpsi natrium dan klorida oleh triamteren agaknya suatu efek langsung, tidak melalui penghambatan aldosteron, karena obat ini memperlihatkan efek yang sama baik pada keadaan normal, maupun setelah adrenalektomi. Triamteren menurunkan ekskresi K+ dengan menghambat sekresi kalium disel tubulidistal. Berkurangnya reabsorpsi hatrium di tempat tersebut mengakibatkan turunnya perbedaan potensial listrik transtubular, sedangkan adanya perbedaan potensial listrik transtubular ini diperlukan untuk berlangsungnya proses sekresi K* oleh sel tubulidistal. Secara eksperimental, obat ini efektif dalam keadaan asidosis maupun alkalosis. Beberapa pengalaman klinik menunjukkan bahwa kedua obat ini terutama bermanfaat bila diberikan bersama diuretik lain, misalnya hidroklorotiazid. Dengan kombinasi ini efek natriuresisnya lebih besar dan ekskresi kalium oleh tiazid dikurangi'
Dibandingkan dengan triamteren, amilorid
jauh lebih mudah larut dalam air sehingga lebih banyak diteliti. Pengalaman klinik dengan triamteren pun masih sangat kurang sehingga masih banyak hal-hal yang belum diketahui mengenai obat ini. Absorpsi triamteren melalui saluran cerna baik
sekali, obat ini hanya diberikan oral. Efek diuresisnya biasanya mulai tampak setelah 1 jam. Amilorid dan triamteren per oral diserap kira-kira 50% dan efek diuresisnya terlihat dalam 6 jam dan berakhir sesudah 24jam.
EFEK SAMPING. Efek toksik yang paling berbahaya dari kedua obat ini yaitu hiperkalemia. Triamteren juga dapat menimbulkan efek samping yang berupa mual, muntah, kejang kaki dan pusing.
Diuretik hemat kalium ternyata bermanfaat un-
tuk pengobatan beberapa pasien dengan udem. Tetapi obat golongan ini akan lebih bermanfaat bila diberikan bersama dengan diuretik golongan lain, misalnya dari golongan tiazid. Mengingat kemungkinan dapat terjadinya efek samping hiperkalemia yang membahayakan, maka pasien-pasien yang
sedang mendapat pengobatan dengan diuretik hematk* sekali-kali langan diberikan suplemen K*. Juga harus waspada bila memberikan diuretik ini bersama dengan obat penghambat ACE, karena obat ini mengurangi sekresi aldosteron, sehingga bahaya terjadinya hipovolemia dan hiperkalemia menjadi lebih besar. Selain itu perlu diingat pula bahwa triamteren atau amilorid sekali-kali jangan diberikan bersama spironolakton mengingat bahaya terjadinya hiPerkalemia.
SEDIAAN DAN POSOLOGI. Triamteren tersedia sebagai kapsul dari 100 mg. Dosisnya 100-300 mg sehari. Untuk tiap penderita harus ditetapkan dosis penunjang tersendiri.
Amilorid terdapat dalam bentuk tablel 5 mg. Dosis sehari sebesar 5-10 mg. Sediaan kombinasi tetap antara amilorid 5 mg dan hidroklorotiazid 50 mg terdapat dalam bentuk tablet dengan dosis sehari antara 'l - 2 tablet.
1.5. DIURETIK KUAT Diuretik kual (High-ceiling diuretics) mencakup sekelompok diuretik yang efeknya sangat kuat dibandingkan dengan diuretik lain. Tempat kerja utamanya di bagian epitel tebal ansa Henle bagian asenden, karena itu kelompok ini disebut juga sebagai /oop diuretics. Termasuk dalam kelompok ini
390
Farmakologi dan Terapi
adalah asam etakrinat, turosemid dan bumetanid. Asam etakrinat termasuk diuretik yang dapat diberikan secara oral maupun parenteral dengan hasil'yang memuaskan. Furosemid, atau asam 4kloro-N-furfuril-5-sulfamoil antranilat masih tergolong derivat sulfonamid. Bumetanid merupakan derivat asam 3- aminobenzoat yang lebih poten daripada furosemid, tetapi dalam hal lain kedua senyawa ini mirip satu dengan yang lain. Struktur kimia ketiga obat ini terlihat di Gambar 25-3.
ct il
CHz
Asam etakrinat
,.,-,;g"";""u Furosemid
-
katnya reabsorpsi cairan dan elektrolit di tubuli prok-
simal. Hal yang terakhir ini agaknya merupakan suatu mekanisme kompensasi yang membatasi jumlah zat lerlarut yang mencapai bagian epitel tebal Henle asendens, dengan demikian akan me-
ct
CHs-CHz-C-C-
NH
bahan hemodinamik ginjal ini mengakibatkan menurunnya reabsorpsi cairan dan elektrolit di tubuli proksimal serta meningkatnya efek awal diuresis. Peningkatan aliran darah ginjal ini relatif hanya berlangsung sebentar. Dengan berkurangnya cairan ekstrasel akibat diuresis, maka aliran darah ginjal menurun dan hal ini akan mengakibatkan mening-
CHzCHzCHzCHs
(O>"YA
,..,rr"o1\4"oo, Bumetanid Gambar 25-3. Struktur kimia asam etakrinat, furosemid dan bumelanid
CARA KERJA Secara umum dapat dikatakan bahwa diuretik
kuat mempunyai mula kerja dan lama kerja yang lebih pendek dari tiazid. Hal ini sebagian besar ditentukan oleh faktor farmakokinetik dan adanya mekanisme kompensasi.
Diuretik kuat lerutama bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi elektrolit di ansa Henle asendens bagian epitel tebal; tempat kerjanya di permukaan sel epitel bagian luminal (yang menghadap ke lumen tubuli). Pada pemberian secara lV obat ini cenderung meningkatkan aliran darah ginjal tanpa disertai peningkatan filtrasi glomerulus. Peru-
ngurangi diuresls.
Masih dipertentangkan apakah diuretik kuat juga bekerja di tubuli proksimal. Furosemid dan bumetanid mempunyai daya hambat enzim karbonik anhidrase karena keduanya merupakan derivat sulfonamid, seperti juga tiazid dan aseta-
zolamid, tetapi aktivitasnya terlalu lemah untuk menyebabkan diuresis di tubuli proksimal. Asam etakrinat tidak menghambat enzim karbonik anhidrase. Efek diuretik kuat terhadap segmen yang lebih distal dari ansa Henle asendens epitel tebal,
belum dapat dipastikan, tetapi dari besarnya diuresis yang terjadi, diduga obat ini bekerja juga di segmen tubuli lain. Ketiga obat inijuga menyebabkan meningkatnya ekskresi K* dan kadar asam urat plasma, mekanismenya kemungkinan besar sama dengan tiazid. Ekskresi Ca** dan Mg** iuga ditingkatkan sebanding dengan peninggian ekskresi Na+. Berbeda de-
ngan tiazid, golongan ini tidak meningkatkan re-absorpsi Ca** di tubuli distal. Berdasarkan atas efek kalsiuria ini, golongan diuretik kuat digunakan untuk pengobatan simptomatik hiperkalsemia. Diuretik kuat meningkatkan ekskresi asam yang dapat dititrasi (titratable acid) dan amonia. Fenomena yang diduga tdrjadi karena eleknya di nefron distal ini merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya alkalosis metabolik. Eila mobilisasi cairan udem terlalu cepat, alkalosis metabolik oleh diuretik kuat ini terutama terjadi akibat penyusutan volume cairan ekstrasel. Sebaliknya pada penggunaan yang kronik, faktor utama penyebab alkalosis ialah besarnya asupan daram dan ekskresi H* dan K*. Alkalosis ini seringkali disertai dengan hiponatremia, tetapi masing-masing disebabkan oleh mekanisme yang berbeda.
FARMAKOKINETIK Ketiga obat mudah diserap melalui saluran cerna, dengan derajat yang agak berbeda-beda.
391
Diuretik dan Antidiu retik
Bioavailabilitas furosemid 65% sedangkan bumetanid hampir 100%. Diuretik kuat terikat pada protein plasma secara ekstensif, sehingga tidak difiltrasi di glomerulus tetapi cepat sekali disekresi melalui sistem transport asam organik di tubuli proksimal. Dengan cara ini obat terakumulasi di cairan tubuli dan mungkin sekali di tempat kerja di daerah yang lebih distal lagi. Probenesid dapat menghambat sekresi furosemid, dan interaksi antara keduanya ini hanya terbatas pada tingkat sekresi tubuli, dan tidak pada tempat kerja diuretik. Kira-kira 213 dari asam etakrinat yang diberikan secara lV diekskresi melalui gin.ial dalam bentuk
utuh dan dalam konjugasi dengan senyawa sulf-
sebabkan oleh perubahan komposisi elektrolit cairan endolimfe. Ototoksisitas merupakan suatu efek samping unik kelompok obat ini. Bila karena suatu hal diperlukan pemberian obat yang juga bersifat ototoksik, misalnya aminoglikosid, maka sebaiknya dipilih diuretik yang lain, misalnya tiazid. Diuretik kuat dapat berinteraksi dengan warfarin dan klofibrat melalui penggeseran ikatannya
dengan protein. Pada penggunaan kronis, diuretik kuat ini dapat menurunkan bersihan litium. Penggunaan bersama dengan sefalosporin dapat meningkatkan nefrotoksisitas sefalosporin. Antiinflamasi nonsteroid terutama indometasin dan kortikosteroid melawan kerja furosemid.
hidril terutama sistein dan N-asetilsistein. Sebagian
lagi diekskresi melalui hati. Sebagian besar furosemid diekskresi dengan cara yang sama, hanya sebagian kecildalam bentuk glukuronid. Kira-kira 50% bumetanid diekskresi dalam bentuk asal, selebihnya sebagai metabolit.
EFEK SAMPING
Efek samping asam etakrinat dan furosemid
dapat dibedakan atas: (1) reaksi toksik berupa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang sering terjadi, dan (2) efek samping yang tidak berhubungan dengan kerja utamanya jarang terjadi. Hiperurisemia relatif sering terjadi, namun pada kebanyakan penderita hal ini hanya merupakan kelainan biokimia, Dapat pula terjadi reaksi berupa gangguan saluran cerna, depresi elemen darah, rash kulit, parestesia dan disfungsi hati. Gangguan saluran cerna lebih sering terjadi dengan asam eta-
krinat daripada furosemid. Sensitivitas silang mungkin terjadi antara furosemid dan sulfonamid yang lain. Furosemid dan tiazid diduga dapat me-
nyebabkan nelritis interstisialis alergik yang menyebabkan gagal ginjal reversibel. Juga terjadi penurunan toleransi karbohidrat, tetapi lebih ringan daripada tiazid. Pada dosis yang berlebihan, pernah dilaporkan terjadinya hipoglikemia akut dengan mekanisme yang tidak diketahui. Berdasarkan efeknya pada janin hewan coba, maka diuretik kuat ini tidak dianjurkan pada wanita hamil, kecuali bila mutlak dipedukan. Asam etakrinat dapat menyebabkan ketulian sementara maupun menetap, dan hal ini merupakan elek samping yang serius. Ketulian sementara juga dapat terjadi pada furosemid dan lebih jarang pada bumetanid. Ketulian ini mungkin sekali di-
PENGGUNAAN KLINIK Furosemid lebih banyak digunakan daripada
asam etakrinat, karena gangguan saluran cerna yang lebih ringan dan kurva dosis responsnya kurang curam. Diuretik kuat merupakan obat efektif untuk pengobatan udem akibat gangguan jantung, hati atau ginjal. Sebaiknya diberikan secara oral, kecuali bila diperlukan diuresis yang segera, maka
dapat diberikan secara lV atau lM. Pemberian parenteral ini diperlukan untuk mengatasi udem paru akut. Pada keadaan ini perbaikan klinik dicapai karena terjadi perubahan hemodinamik dan penurunan volume cairan ekstrasel dengan cepat, sehingga alir balik vena dan curah ventrikel kanan ber-
kurang. Untuk mengatasi udem refrakter, diuretik
kuat biasanya diberikan bersama diuretik lain, misalnya tiazid atau diuretik hemat K+. Pemakaian
dua macam obat diuretik kuat secara bersamaan merupakan tindakan yang tidak rasional.
Bila ada nefrosis atau gagal ginjal kronik, maka diperlukan dosis furosemid jauh lebih besar daripada dosis biasa. Diduga hal ini disebabkan oleh banyaknya protein dalam cairan tubuli yang akan mengikat lurosemid sehingga menghambat diuresis. Pada penderita dengan uremia, sekresi furosemid melalui tubuli menurun. Diuretik kuat juga digunakan pada penderita gagal ginjal akut yang masih awal (baru terjadi), namun hasilnya tidak konsisten. Diuretik kuat dikontraindikasikan pada keadaan gagal ginjal yang disertai anuria. Diuretik kuat dapat menurunkan kadar kalsium plasma pada
penderita hiperkalsemia simtomatik dengan cara meningkatkan ekskresi kalsium melalui urin. Bila digunakan untuk tujuan ini, maka perlu pula diberikan suplemen Na* dan Cl- untuk menggantikan kehilangan Na* dan Cl- melalui urin.
392
Farmakologi dan Terapi
SEDIAAN DAN POSOLOGI
Asam etakrinat. Tablet 25 dan 50 mg digunakan dengan dosis 50-200 mg per hari. Sediaan lV berupa Na-etakrinat, dosisnya 50 mg, atau 0,5-1 mg/kgBB.
natrium lebih banyak daripada jumlah natrium yang masuk dan makanan. Tetapi pada penggunaan
kronis akan dicapai keseimbangan, sehingga natrium yang keluar sama dengan natrium yang masuk. Diuretik dapat menurunkan jumlah natrium dalam tubuh, dan harus diingat bahwa efek ini pun
Furosemid. Obat ini tersedia dalam bentuk tablet 20, 40, 80 mg dan preparat suntikan. Umumnya pasien membutuhkan kurang dari 600 mg/hari.
dapat dicapai dengan diet rendah garam. Beberapa
Dosis anak 2 mg/kgBB, bila perlu dapat ditingkatkan
menjadi6 mg/kgBB.
KEADAAN YANG MEMERLUKAN DIURESIS CEPAT. Pada udem paru, pemberian furosemid
Bumetanid. Tablet 0,5 dan 1 mg digunakan dengan dosis dewasa 0,5- 2 mg sehari. Dosis maksimal per hari 10 mg. Obat ini tersedia juga dalam bentuk bubuk injeksi dengan dosis lV atau lM dosis awal antara 0,5-1 mg; dosis diulang 2-3 jam maksimum 10 mg/hari.
atau asam etakrinat lV dapat menyebabkan diuresis cepat. Perbaikan yang terjadi sebagian mungkin disebabkan oleh adanya perubahan hemodinamik yaitu perubahan pada daya tampung vena (venous capacitance); tetapi efek diuresisnya tetap diperlukan untuk mempertahankan hasil tersebut.
1.6. XANTIN
UDEM. Semua diuretik dapat digunakan untuk keadaan udem. Seringkali udem ini disertai hiperaldosteronisme dan karena itu penggunaan diuretik cen-
keadaan klinik yang memerlukan penggunaan diuretik dapat dilihat pada Tabel 25-3.
derung disertai kehilangan kalium. Penyebab Xantin ternyata juga mempunyai efek diuresis. Efek stimulasinya pada fungsi jantung, menimbulkan dugaan bahwa diuresis sebagian disebabkan oleh meningkatnya aliran darah ginjal dan laju fil-
trasi glomerulus. Namun, semua derivat xantin ini rupanya juga beretek langsung pada tubuli ginjal, yaitu menyebabkan peningkatan ekskresi Na* dan Cl'tanpa disertai perubahan yang nyata pada pengasaman urin. Efek diuresis ini hanya sedikit dipengaruhi oleh keseimbangan asam basa, tetapi mengalami potensiasi bila diberikan bersama penghambat karbonik anhidrase. Di antara kelompok xantin, teolilin memperlihatkan efek diuresis yang paling kuat. Xantin sangat jarang digunakan sebagai diuretik utama, namun bila digunakan unluk tujuan lain terutama sebagai bronkodilator, adanya efek diuresis harus tetap diingat. Uraian lebih lengkap tentang xantin dapat dilihat pada Bab 16.
1.7. PENGOBATAN DENGAN DIURETIK INDIKASI
utama udem ialah payah jantung; penyebab lainnya antara lain penyakit hati dan sindrom nefrotik. Pada semua keadaan ini harus diusahakan meningkatkan kadar kalium dalam serum dengan pemberian suplemen kalium atau dengan penggunaan bersama diuretik hemat kalium. Pada penderita sirosis hati yang disertai asites dan udem, sebaiknya digunakan dahulu diuretik hemat kalium, kemudian disusul dengan diuretik yang lebih kuat. Pada udem yang disertai gagal ginjal, penggunaan tiazid kurang bermanfaat, sebaliknya diuretik kuat sangat bermanfaat. Dalam hal ini perlu dosis besar untuk mendapatkan efek pada tubuli proksimal; furosemid lebih disukai dibandingkan dengan asam etakrinat karena asam etakrinat lebih besar ototoksisitasnya. Diuretik hemat kalium sama se-
kali tidak boleh diberikan pada gagal ginjal, karena ada bahaya terjadi hiperkalemia yang fatal.
HIPERTENSI. Dasar penggunaan diuretik pada hipertensi terutama karena efeknya terhadap.keseimbangan natrium dan terhadap resistensi perifer. Furosemid dan asam etakrinat mempunyai natriuresis lebih kuat dibandingkan dengan tiazid; tetapi keduanya tidak mempunyaiqtrek vasodilatasi
Diuretik digunakan untuk menurunkan volume
arteriol langsung seperti tiazid. Oleh karena itu
darah dan cairan interstisial dengan cara meningkatkan ekskresi natrium klorida dan air. Bila diuretik
tiazid terpilih untuk pengobatan hipertensi berdasarkan pertimbangan efektivitas maupun besarnya
diberikan secara akut, akan terjadi kehilangan
biaya.
393
Diuretik dan Antid iuretik
Tabel 25-3. PENGGUNAAN KLINIK DIURETIK
Penyakit
Obat
Komenta r/keteranga n
Hipertensi
Tiazid
Merupakan pilihan utama step 1, pada sebagian besar penderita.
atau bila
Diuretik kuat (biasanya Furosemid)
Digunakan bila terdapat gangguan fungsi ginial diperlukan elek diuretik yang segera.
Diuretik hemat kalium
Digunakan bersama tiazid atau diuretik kuat, bila ada bahaya hipokalemia.
Payah jantung kronik kongestif
Tiazid Diuretik kuat (Furosemid)
Digunakan bila fungsi gin,ial normal. Terutama bermanfaat pada penderita dengan gangguan
Diuretik hemat kalium
Digunakan bersama tiazid atau diuretik kuat bila ada
fungsi ginjal. bahaya hipokalemia.
Udem paru akut
Diuretik kuat (Furosemid)
Sindrom nefrotik
Tiazid atau diuretik kuat bersama dengan spironolakton
Payah ginjal akut
Manitol dan/atau
lurosemid Penyakit hati kronik
Spironolakton (sendiri atau bersama tiazid atau diuretik kuat)
Bila diuresis berhasil, volume cairan tubuh yang hilang harus diganti dengan hati-hati. Diuretik kuat harus digunakan dengan hati-hati. Bila ada gangguan fungsi ginjal, jangan menggunakan spironolakton.
Udem otak
Diuretik osmotik
Hiperkalsemia
Furosemid
Batu ginjal
Tiazid
Diabetes insipidus
Tiazid
Disertai diet rendah garam
Open Angle Glaucoma
Asetazolamid
Peng
Acute Angle Closure
Diuretik osmotik atau asetazolamid
Prabedah
Glaucoma
DIABETES INSIPIDUS. Diuretik tiazid dapat mengurangi ekskresi air pada penderita diabetes insi'
Diberikan bersama infus NaCl hipertonis.
gunaan,jangka Panjang
atau akibat adanya penghambatan langsung sekresi kalsium.
pidus mungkin sekali melalui mekanisme kompensasi intrarenal.
BATU GINJAL. Tiazid menurunkan ekskresi kalsium dalam urin. Hal ini mungkin sebagai akibat adanya kompensasi intrarenal yang menyebabkan reabsorpsi kalsium di tubuli proksimal bertambah
HIPERKALSEMIA. Furosemid dosis tinggi yang diberikan secara lV (1 00 mg) dalam infus larutan garam laal dapat menghambat reabsorpsi natrium klorida, air dan kalsium di tubuli proksimal sehingga digunakan untuk pengobatan hiperkalsemia.
394
Farmakologi dan Terapi
EFEK SAMPING
berkurangnya sekresi insulin dari pankreas,
Hipokalemia. Diuretik dengan tempat kerja di segmen dilusi distal, ansa Henle bagian asendens dan tubuli proksimal dapat menyebabkan kehilangan kalium. Rasio kehilangan kalium dan natrium lebih besar pada penggunaan tiazid daripada furosemid, mungkin karena furosemid tidak mempunyai aktivitas penghambat karbonik anhidrase. Tetapi furosemid mempunyai efek natriuresis lebih kuat, sehingga biasanya akan diikuti deplesi kalium. Penggunaan tiazid dosis kecil pada hipertensi, misalnya dengan klorotiazid 500 mg/hari atau klortalidon 25 mg/hari tidak akan banyak mempengaruhi kadar kalium atau asam urat plasma. Tetapi dengan dosis lebih besar pada pengobatan udem, perlu diadakan pemantauan kadar kalium dalam serum.
Hiperurisemia. Hampir semua diuretik menyebabkan peningkatan kadar asam urat dalam serum
meningkatnya glikogenolisis dan berkurangnya glikogenesis. Bila keadaan ini terjadi maka penggunaan diuretik harus dihentikan.
Hiperkalsemia. Tiazid dapat mengakibatkan peninggian kadar kalsium serum.
Hiperkalemia. Diuretik hemat kalium dapat mengakibatkan hiperkalemia yang dapat merupakan komplikasi yang fatal. Oleh karena itu obat golongan initidak boleh diberikan dengan dosis berlebihan dan juga tidak boleh diberikan pada penderita gagal
ginjal.
Sindrom udem idiopatik. Penggunaan diuretik kuat pada keadaan ini kadang-kadang justru menyebabkan retensi garam dan air. Dengan menghentikan pemberian diuretik, biasanya dalam waktu 5-10 hari akan timbul diuresis.
Volume depletion. Pemberian diuretik kuat pada penderita gagal jantung berat dapat mengakibatkan berkurangnya volume darah yang beredar secara akut. Dan hal ini ditandai dengan turunnya tekanan darah, rasa lelah dan lemah. Biasanya diuresis
melalui pengaruh langsung terhadap sekresi asam urat, dan efek ini berbanding lurus dengan dosis diuretik yang digunakan. Pada penggunaan diuretik dapat terjadi penyakit pirai, baik pada orang normal maupun mereka yang rentan terhadap gout. Hiperurisemia ini dapat diperbaiki dengan pemberian
justru akan terjadi setelah pemberian diuretik dihentikan.
alopurinol atau probenesid.
Hiponatremia. Hiponatremia ringan yang seringkali terjadi tidak menimbulkan masalah. Hiponatremia mudah terjadi pada penggunaan furosemid dosis besar bersama diuretik lain yang bekerja di
Gangguan toleransi glukosa dan diabetes. Tiazid dan furosemid dapat menyebabkan gangguan toleransi glukosa terutama pada penderita diabetes laten, sehingga terjadi manifestasi diabetes. Mekanisme pasti penyebab keadaan ini belum jelas karena menyangkut berbagai macam faktor, antara lain
tubuli distal; keadaan ini akan lebih berat bila penderita juga dianjurkan pantang garam tetapl bebas minum air (Lihat Tabet 25- 4).
Tabel 25-4. PERUBAHAN BtOKtMtA SEBAGA| EFEK SAMptNG OtURETtK Efek samping
Tiazid Furosemid
Hipokalemia dan
+
Asam elakrinat Bumetanid Spironolakton Triamteren Amilorid +
+
0
0
Alkalosis hipokloremik Hiperkalemia
0
0
0
0
+
Hiperglikemia
+
jarang
jarang
jarang
0
+
jarang
+
jarang
Azotemia
+
+
+
+
+
+
+
Hiperurisemia
+
+
+
+
+
+
+
Hiponatremia
+
jarang
jarang
jarang
jarang
jarang
Hiperkalsemia
+
0
0
0
0
0
0
Hiperlrigliseridemia
+
?
?
?
?
?
?
?
395
Diuretik dan Antidiuretik
Tabel 25-5. INTERAKSI KLINIS YANG PENTING PADA PENGGUNAAN DIURETIK
Obat
Diuretik
Efek
Kortikosteroid
Tiazid Diuretik kuat
Meningkatkan hipokalemia
Aminoglikosid
Diuretik kuat
Menambah ototoksisitas
Aminoglikosid sefalosporin
Diuretik kuat
Menambah nef rotoksisitas?
Antikonvulsan
Furosemid
Menurunkan
Diazoksid
Tiazid
Hiperglikemia
ef
ek natriuretik
Furosemid Digitalis
Tiazid Diuretik kuat
Meningkatkan intoksikasi digitalis, bila terjadi
lndometasin
Triamteren, Amilorid
Payah ginjal akut
lndometasin dan penghambat prostaglandin yang lain
Tiazid Diuretik kuat
Menurunkan efek natriuretik dan atau efek
Litium
fiazid
Meningkatkan kadar litium dalam serum.
Antikoagulan oral
Tiazid
Menurunkan efek antikoagulan akibat konsentrasi faktor-faktor pembekuan.
hipokalemia
antih
(kemungkinan diuretik yang lain)
ip e
rtensiny a.
Suplemen Kalium
Diuretik hemat kalium
Hiperkalemia
Suksinilkolin
Diuretik kuat
Efek blokade saraf-otot meningkat.
Tetrasiklin
Kemungkinan semua diuretik
Meningkatkan azotemia pada penderita gagal ginjal
Tubokurarin
Tiazid Diuretik kuat
Blokade di lempeng saraf meningkat
Vitamin D dan produk-produk
Tiazid
Hiperkalsemia
kalsium
produksi oleh sel saraf dalam nukleus supraoptikus
INTEFAKSI Pada penggunaan diuretik bersama obat-obat
lain, harus selalu dipikirkan adanya interaksi yang mungkin terjadi. Beberapa contoh penting lertera dalam Tabel25-5.
2. OBAT.OBAT YANG MEMPENGA. RUHI KONSERVASI AIR 2.1. ADH
KlMlA. ADH (hormon anti diuretik) disebut juga vasopresin merupakan suatu oktapeptid yang di-
dan paraventrikularis di hipotalamus. Melalui serabut saraf, ADH ditransport ke sel-sel pituisit hipolisis posterior. Di hipofisis posterior, vasopresin
ini terikat pada suatu protein spesifik yang disebut
neurofisin; ikatan ini dapat dilepaskan dengan perangsangan listrik atau pemberian asetilkolin. Di alam, dikenal dua macam ADH yaitu 8-Arginin vasopresin yang terdapat pada mamalia, kecuali babi dan 8-Lisin vasopresin yang terdapat pada babi. ln vivo, kedua polipeptida ini mudah sekali
mengalami degradasi enzimatik sehingga eleknya singkat. Kemudian dibuat suatu polipeptid sintetik yang lebih tahan terhadap degradasi enzimatik
yaitu
desmopresin (1-deamino 8-D-arginin
vasopresin
-
dDAVP). Desmopresin ini merupakan
Farmakologi dan Terapi
396
obat yang terpilih untuk pengobatan penyakit diabetes insipidus yang sensitil terhadap ADH. Rumus kimia dan kekuatan relatif ketiga polipeptid tersebut.terlihat pada Tabel 25-6.
PENGATURAN. Sekresi vasopresin diatur oleh beberapa mekanisme, yaitu: (1) Konsep osmoreseptor yang diduga terletak di daerah nukleus hipotalamus; bila osmolalitas plasma bertambah akibat dehidrasi, maka sekresi ADH bertambah. Sebaliknya pada keadaan hidrasi, sekresi ADH akan berku-
rang sehingga kadarnya dalam plasma maupun dalam urin tidak dapat diukur. (2) Konsep reseptor volume, yang terletak di atrium kiri dan vena pulmonalis. Bila terjadi penurunan volume darah yang beredar, misalnya akibat perdarahan hebat akan terjadi perangsangan sekresi ADH; sebaliknya bila volume darah yang beredar bertambah banyak maka sekresi ADH ditekan. (3) Selain kedua macam mekanisme di atas, sekresi vasopresin meningkat
akibat stres emosional atau fisik, atau obat seperti nikotin, klofibrat, siklofosfamid, antidepresan trisiklik, karbamazepin, dan diuretik. Sebaliknya sekresi ADH dihambat oleh alkohol dan fenitoin. Kekurangan atau tidak adanya ADH akan menyebabkan diabetes insipidus, suatu kelainan yang ditandai dengan adanya poliuria yang hebat. Sedangkan kelebihan ADH menyebabkan retensi air
dan hiponatremia dilusional. Kelainan ini dapat terjadi oleh berbagai sebab diantaranya penyakit paru, meningitis atau ensefalitis dan lain-lain.
EFEK ADH PADA GINJAL. Serelah dilepas (elease) oleh kelenjar hipofisis posterior ADH akan disirkulasi dalam pembuluh darah dan pada individu dewasa ADH mempunyai waktu paruh sekitar 17-35 menit. Ada beberapa faktor yang terlibat dalam eliminasi hormon dan darah yang paling penting yaitu pemutusan rantai peptida oleh enzm peptidase.
Tabel 25-6. STRUKTUR KIMIA DAN AKTIVITAS RELATIF SEDIAAN ADH
aktivitas relatil') Jenis peptid
antidiuretik
presor
S I
- Tyr- Phe- Glu - Asp-Cys 123456789
Cys
Pro
-
Arg
-Gly(Nh2)
100
100
80
60
8-Arginin vasopresin (ADH, AVP)
LYS8-Lisin vasopresin (Lypressin, LVP).
S I
H_C_H
H_C-H I
orc 1
'
1.200
D.Arg.
-deamino-8-D-Arginine vasopresin (desmopressin, d DAVP)
-
Aktivitas relatif dibandingkan dengan aktivitas 8-arginin vasopr€sin.
0,39
397
Diuretik dan Antidiu retik
Efek seluler ADH terjadi melalui adanya interaksi.antara ADH dengan reseptor V1 dan Vz. Beseptor Vr letaknya di dalam sel otot polos vaskular, hepatosit, trombosit dan beberapa sel di ginial. Reseptor ini bergabung (coupled) dengan fosfolipase C yang menghidrolisis losfatidilinositol-4-5-bifosfat menjadi inositol 1,4,5 triloslat dan diasil-gliserol' Beseptor V2, yang terletak di dalam sel duktus koli' gentes dan sel ansa Henle asendens yang berepitel tebal, beralinitas besar terhadap ADH. Perangsangan reseptor Vz oleh ADH akan merangsang aktivitas enzim adenilat siklase, mengakibatkan akumulasi siklik AMP didalam kedua jenis sel tersebut di atas. Selanjutnya siklik AMP ini akan memicu
serangkaian kejadian dan akhirnya membran luminal menjadi permeabel terhadap air. ADH mempunyai beberapa tempat kerja di ginjal, dan kedua reseptor Vt dan V2 berpartisipasi dalam terjadinya respons renal. Reseptor Vr yang terdapat di dalam sel mesangial glomerulus, vasa rekta dan sel-sel interslisial di medula ginjal, berturut{urut terlibat dalam pengaturan filtrasi glome-
rulus aliran darah di medula ginjal dan sintesis prostaglandin. Beseptor Vr mungkin juga berperan dalam pengaturan vasokonstriksi pembuluh darah arteriol eferen glomerulus. Tetapi efek ADH yang paling menonjol yaitu di duktus koligentes, dan seperti telah disebutkan di atas, diperantarai oleh reseptor Vz.
Duktus koligentes. Bagian ini berperan amat penting dalam konservasi air di dalam tubuh. Pada saat cairan tubuli mencapai daerah segmen kortikal duktus koligentes, cairan ini cenderung menjadi hipotonik sebagai akibat efek pompa klorida yang bekerja di daerah ansa Henle asendens epitel tebal. Dalam keadaan normal dimana kadar ADH juga rendah, seluruh sel duktus koligentes relatil impermeabel terhadap air, sehingga urin yang terbentuk tetap encer. Sebaliknya dalam keadaan dehidrasi atau adanya deplesi volume cairan tubuh, kadar ADH akan meningkat secara bermakna, akibatnya sel-sel duktus koligentes baik segmen kortikal maupun segmen medular menjadi permeabel terhadap air. Ada perbedaan osmotik antara urin yang encer di dalam tubuli dengan cairan interstisial daerah peritubular dan perbedaan ini semakin meningkat di daerah medula dan di daerah (segmen) papila ginjal. Air akan bergerak secara pasil sepanjang daerah yang berbeda osmotiknya ini dan akan direabsorpsi dari tubuli, dan hal ini akan mengakibatkan osmolaritas urin makin meningkat, dapat mencapai 1.200 mOsm/kg pada manusia.
Dengan demikian akan terjadi proses penghematan pengeluaran air bersama urin. Peningkatan permeabilitas sel duktus koligentes ini terhadap air terjadi akibat terikatnya ADH pada reseptor V2 yang terletak dipermukaan basolateral sel duktus koligentes. Selain itu di dalam ginjal masih ada modulator
endogen yang ikut berperan pada efek ADH di ginjal. Misalnya, melalui reseptor Vr, ADH merangsang biosintesis prostaglandin E (PgE) di dalam sel interstisial medula, dan ini akan menghambat efek ADH. Stimulator reseptor Vt oleh ADH juga akan mengaktifkan protein kinase C, yang juga akan menambah penghambatan terhadap efek ADH. Selain itu, suatu peptida yang berelek natriuretik yang di-
hasilkan atrium menurunkan efek ADH baik di daerah kortikal maupun daerah medula ginjal.
OBAT-OBAT YANG DAPAT MEMODIFIKAS] EFEK ADH
Klorpromazin, parasetamol, dan indometasin meningkatkan kerja ADH, artlnya obat-obat ini men'sensitisasi" ginjal terhadap ADH yang sebenarnya terlalu rendah untuk merangsang reabsorpsi air' Hal ini sebagian mungkin dapat diterangkan melalui adanya penghambatan biosintesis PG di ginjal. Sebaliknya ada pula obat misalnya litium, obat manik depresif, yang dapat menghambat efek antidiuretik ADH sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan poliuria akibat ginjal resisten terhadap ADH. Keadaan ini disebut diabetes insipidus nefrogen. Saat ADH kadarnya sebenarnya tidak cukup untuk menimbulkan efek obat, Poliuria disini biasanya bersifat reversibel dengan menghentikan pemberian Li+. Dalam hal ini Li+ menghambat kerja enzim adenilat siklase yang sensitil terhadap ADH' sehingga tidak terjadi penumpukan siklik AMP.
Pasien-pasien yang. mendapat pengobatan Li*
yang kemudian mengalami diabetes insipidus nelrogen mungkin dapat diobati dengan pemberian amilorid yang akan memblok masuknya Li* dari cairan tubuli ke dalam sel epitel duktus koligentes. lndometasin mungkin juga dapat mengurangi poli' uria. Demeklosiklin dapat mengganggu kemampuan ginjal untuk memproduksi urin yang pekat pada sebagian besar pasien, dan menyebabkan poliuria dan polidipsia. Atas dasar mekanisme tersebut demeklosiklin dimanlaatkan pada pasien yang menderita kera-
398
cunan air akibat produksi ADH yang berlebihan, dan hasilnya ternyata sangat memuaskan.
EFEKADH DILUAR GINJAL SISTEM KARDIOVASKULAR. Efek presor ADH hanya akan terjadi pada dosis jauh lebih tinggi daripada dosis yang diperlukan untuk menimbulkan antidiuresis maksimal. Vasokonstriksi terjadi hampir pada semua pembuluh darah. Sirkulasi di kulit, saluran cerna akan sangat berkurang, juga sirkulasi koroner. Tekanan arteri di paru akan meningkat. ADH juga berperan amat penting dalam memper-
tahankan tonus vaskular. Efek vasokonstriksi ini rupanya melalui reseptor V1 , sebaliknya ADH juga berefek vasodilatasi melalui reseptor Vz di dalam pembuluh darah.
Efek ADH terhadap jantung merupakan efek tidak langsung, yaitu akibat adanya vasokonstriksi pembuluh darah koroner, penurunan aliran darah koroner dan adanya perubahan tonus vagal dan tonus simpatis secara refleks. Terhadap otot polos saluran cerna, efek ADH baru terjadi pada dosis yang besar. Dalam dosis besar, ADH dapat merangsang kontraksi uterus pada semua fase siklus menstruasi ataupun semua fase kehamilan.
FARMAKOKINETIK. Pemberian ADH, lipresin, alau kongenernya secara oral tidak efektif karena segera akan mengalami inaktivasi oleh tripsin yang memutuskan rantai peptida pada ikatan 8-9.
Sediaan ADH dalam larutan diberikan lV, lM atau SK dan dalam bentuk bubuk untuk insuflasi nasal atau juga sebagai semprotan. Pada pemberian lV efeknya hanya berlangsung sebentar akibat ADH cepat mengalami inaktivasi, kecuali bila sediaan tersebut diberikan sebagai infus.
Desmopresin dapat bertahan lama dalam sirkulasi setelah diabsorpsi dari mukosa hidung. Sediaan kerja panjang, misalnya vasopresin tanat dalam minyak, yang disuntikkan secara lM efeknya dapat bertahan lebih lama, sekitar 48 sampai 96 jam.
Farmakologi dan Terapi
EFEK SAMPING
Suntikan ADH dosis besar menyebabkan vasokonstriksi, tekanan darah naik dan kulit jadi pucat. Peristalsis usus meningkat, menyebabkan rasa mual dan kolik usus. Pada wanita ADH menyebabkan spasme uterus. Pembuluh darah koroner menyempit sehingga pada pasien dengan insufisiensi koroner, ADH dalam dosis kecil, yang dapat mengendalikan diabetes insipidus, ternyata dapat menimbulkan serangan angina. lskemia miokard akibat ADH dapat berakibat fatal. Hal ini perlu dipertimbangkan pada penggunaan ADH untuk mengontrol perdarahan di saluran cerna. Gejala efek samping di atas hampir-
hampir tidak ditemukan dengan desmopresin, kecuali pada dosis besar (40 mg). Pada penggunaan sediaan antidiuretik juga ada kemungkinan terjadinya efek samping keracunan air. PENGGUNAAN KLINIK
Vasopresin lerutama digunakan untuk pengobatan diabetes insipidus akibat kekyrangan hormon tersebut. Untuk penggunaan kronis, digunakan sediaan suntikan vasopresin tanat dengan dosis 0,25-1 unit atau lebih per hari. Diabetes insipidus yang disebabkan oleh defek anomali fungsi sel tubuli distal tidak dapat diobati dengan ADH. Pemberian vasopresin secara inhalasi tidak dianjurkan karena sangat iritatif dan absorpsinya tidak teratur. Untuk orang yang alergi terhadap vasopresin
hewan yaitu arginin vasotosin, dapat diberikan senyawa sintetiknya yaitu lisin vasopresin yang dapat diberikan dalam bentuk semprotan hidung tanpa menimbulkan efek samping. Vasopresin dosis tinggi sebesar 10-20 unit bersama dengan tindakan lain, digunakan untuk mengatasi perdarahan varises esofagus; dalam hal ini vasopresin menyebabkan penurunan tekanan darah dan aliran darah portal. Dengan dosis besar ini dapat terjadi peninggian tekanan darah sistemik.
Desmopresin intranasal merupakan obat terpilih untuk sebagian terbesar pasien-pasien dengan diabetes insipidus.
MASA PARUH. ADH di dalam sirkulasi hanya 1735 menit, terutama akibat inaktivasi oleh peptidase di dalam berbagai jaringan. ADH akan cepat menghilang dari sirkulasi setelah mengalami metabolisme di dalam ginjal dan hati, namun pada manusia bersihan melalui urin hanya sedikit.
SEDIAAN ADH tersedia dalam bentuk injeksi dan untuk pemberian intranasal, yaitu vasopresin (Pitresin) suntikan 20 Ulml terdapat dalam ampul 0,5 dan 1
Diuretik dan Antidiuretik
ml untuk penggunaan subkutan atau lM. Vasopre-
sin tanat 5 U/ml untuk suntikan lM. Bubuk hipofisis posterior untuk insuflasi hidung. Lipresin (Lisine-vasopresin) semprot hidung: 50 UniVml dalam botol semprot hidung; setiap semprotan mengandung 2 unit. Desmopresin asetat (dDAVP), dalam bentuk larutan bening yang berisi 0,1 mg/ml desmopresin dalam botol yang berisi 2,5 ml untuk penggunaan intranasal. Terdapat juga sediaan larutan untuk suntikan.
2.2. BENZOTIADIAZID
399
PENGGUNAAN KLlNlK. Untuk pengobalan Pituitary diabetes insipidus, klorotiazid dan kelompoknya kurang efektif dibandingkan dengan ADH; namun tiazid bermanfaat untuk penderita diabetes insipidus nefrogen dan yang tidak tahan atau alergi terhadap ADH. Karena efek antidiuretiknya sejajar dengan efek natriuresis, maka besarnya dosis yang diberikan sama dengan dosis yang digunakan untuk tujuan mobilisasi cairan udem. Yang biasa digunakan yaitu klorotiazid 1-1,5 g/hari atau hidroklorotiazid 50-1 50 mg/hari dalam dosis terbagi. Penurunan volume urin sampai 50% sudah dianggap sebagai hasil yang memuaskan. Dengan membatasi masukan NaCl, efek antidiuretiknya meningkat. Efek samping yang biasa terjadi ialah deplesi kalium.
Klorotiazid dan tiazid yang lain ternyata juga
dapat menyebabkan berkurangnya poliuria pada penderita diabetes insipidus, dan sekarang telah mantap digunakan untuk pengobatan diabetes insipidus terutama yang resisten terhadap ADH atau yang disebut sebagai diabetes insipidus nefrogen. Dengan tiazid, poliuria yang hebat akan berkurang, volume urin lebih sedikit, sehingga kegiatan penderita sehari-hari tidak terganggu. Pada bayi dan anak dengan diabetes insipidus yang resisten terhadap ADH, efek antidiuretik ini menjadi sangat penting sebab poliuria yang tidak terkendali karena kemampuan pasien untuk minum maupun mengabsorpsi cairan mengakibatkan dehidrasi. Mekanisme antidiuretik tiazid belum dimengerti secara.tuntas. Sebagian besar peneliti sependapat bahwa efek natriuretik tiazid memegang peranan yang sangat penting, dan adanya deplesi natrium merupakan hal yang esensial untuk efek antidiuretik. Dalam keadaan ini akan terjadi reabsorpsi NaCl yang berlebihan di tubuli proksimal, sehingga volume f iltrat yang rnengalir ke tubuli distal menurun. Sebagai akibatnya yaitu berkurangnya pembentukan air dan keadaan poliuria berkurang.
2.3. PENGHAMBAT SINTESIS
PROSTAGLANDIN lndometasin ternyata juga efektif untuk pengobat-
an kasus diabetes insipidus nefrogen yang herediter, sedangkan penghambat sintesis Pg yang lain misalnya ibuprofen kurang efektif dibandingkan indometasin. Cara kerjanya belum jelas, mungkin sekali menyangkut beberapa cara, misalnya adanya penurunan filtrasi glomerulus, peninggian kadar zat terlarut di daerah medula ginjal, atau adanya peningkatan reabsorpsi cairan di tubuli proksimal. Bersihan kreatinin sebaiknya diperiksa secara teratur mengingat indometasin dapat menurunkan filtrasi glomerulus. Suatu laporan kasus mengemu-
kakan bahwa indometasin memperbaiki poliuria oleh litium. Hal ini mempunyai arti yang penting, karena dengan demikian indometasin mungkin ber-
manfaat untuk pengobatan poliuria fase akut yang timbul pada pasien yang sedang diobati dengan litium.
Farmakologi dan Terapi
400
vilt. oKSlToslK 26. OKSITOSIK Amir Syaril dan Atmen Muchtar
1.
Oksitosin dan ekstrak hipolisis posterior 3,1. Fisiologi 3.2. Farmakologi 3.3. Farmakokinetik 3.4. Sediaan
Pendahuluan
2. Ergot dan alkaloid ergot
2.1. Asal dan sejarah 2,2. Kimia 2.3. Farmakokinetik 2.4. Farmakodinamik 2.5. Elek samping 2.6, lndikasi 2.7. Kontraindikasi 2.8. Sediaan
1. PENDAHULUAN Oksitosik ialah obat yang merangsang kontraksi uterus. Banyak obat memperlihatkan elek oksitosik, tetapi hanya beberapa sajayang kerjanya cukup selektil dan dapat berguna dalam praktek kebidanan. Obat yang bermanfaat itu ialah oksitosin dan derivatnya, alkaloid ergot dan derivatnya, dan beberapa prostaglandin semisintetik. Obat-obat ter' sebut memperlihatkan respons bertingkat (gradedresponse) pada kehamilan, mulai dari kontraksi uterus spontan, ritmis sampai kontraksi tetani. Meskipun obat ini mempunyai efeklarmakodinamik lain' tetapi manlaat dan bahayanya lerutama terhadap uterus. Derivat prostaglandin merupakan obat yang baru dikembangkan tahun tujuh puluhan' Pembicaraan di sini terbatas pada efek prostaglandin E
4.
Prostaglandin
4.1. Farmakologi 4.2. Posologi dan sediaan 5.
lndikasi
an obat otonom, respons uterus berbeda pada tiap spesies dan berbeda pula pada keadaan hamil dan tidak. Pada manusia, peranan sistem otonom terhadap uterus cukup rumit, karena dipengaruhi siklus haid dan regulasi neurohumor. Miometrium merupakan alat kontraksi. Kontraksi terjadi spontan dan teratur sejak masa pubertas. Kontraksi lebih nyata bila uterus sudah berkembang sempurna, terutama pada masa menstruasi. Kontraktilitas uterus paling nyata pada kehamilan terutama pada kehamilan aterm, dan memegang peranan penting dalam persalinan. Sampai sekarang belum diketahui laktor utama yang mengendalikan kontraksi, Percobaan in vitro menunjukkan bahwa ion Na berperanan penting dalam proses depolarisasi, sedangkan ion Ca diperlukan untuk proses excitation contraction coupling.
dan F terhadap uterus serta penggunaannya sebagai abortivum, dan oksitosin untuk induksi partus.
Anatomidan fisiologi. Uterus dipersarali oleh saral kolinergik dari saraf pelvik dan saral adrenergik dari ganglion mesenterik inferior dan ganglion hipogastrik. Apabila terjadi perangsangan terhadap saral atau pemberi-
2. ALKALOID ERGOT 2.1. SUMBER DAN SEJARAH Sumber alkaloid ergot ialah Claviceps purpurea suatu jamur yang hidup sebagai parasit dalam butir rye dan gandum, banyakterdapat di
401
Oksitosrk
Eropa dan Amerika. Penyebaran penularan terjadi melalui perantaraan serangga dan angin yang memindahkan spora ke kepala putik yang sudah dibuahi. Selanjutnya spora mengeluarkan miselium yang akan menembus putik, kemudian membentuk jaringan padat berwarna ungu dan menjadi keras. Substansi ini dinamai sklerosium. Sklerosium inilah yang merupakan sumber ergot. Zat-zat dalam ergot. Ergot mengandung zat yang penting yaitu alkaloid ergot dan zat lain seperti zat organik, karbohidrat, gliserida, steroid, asam amino, amin dan basa amonium kuaterner. Beberapa amin dan basa memiliki elek larmakologi penting, misal-
nya histamin, tiramin, kolin dan asetilkolin. Jamur Claviceps purpurea dibiak in vitro, seperti jamur penghasil antibiotik. Sejarah. Keracunan ergot sudah dikenal sejak 600 tahun sebelum Masehi, ketika orang Assyria makan gandum yang terkontaminasi dan mengakibatkan keguguran. Sesudah itu banyak dilaporkan kejadian serupa akibat makan gandum dan rye, bahkan dilaporkan adanya epidemi. Baru pada tahun 1670 ditemukan penyebab keracunan ialah ergot. Walaupun etiologi dan pencegahan keracunan ergot telah diketahui, epidemi keracunan ergot masih terjadi, antara lain di Rusia (1926), lrlandia (1929), Perancis (1953). Penggunaan dalam klinik kebidanan dimulai oleh Desgranges (1 818). Sekarang
dipersyaratkan bahwa batas kontaminasi jamur butir-butir gandum/rye tidak boleh lebih dari 0,3%.
2.2. KIMIA Alkaloid ergot terdapat sebagai isomer I dan d.
lsomer I merupakan zat aktil (penamaan dengan akhiran -in), sedangkan isomer d tidak aktil sama sekali (penamaan dengan akhiran -inin). Yang pertama merupakan alkaloid alam, sedangkan yang kedua merupakan hasil perubahan oleh pengaruh zat kimia sewaktu isolasi. Alkaloid pertama yang berhasil diisolasi dalam bentuk kristal dan aktil ialah ergotoksin, yang waktu itu dianggap sebagai alkaloid murni. Sekarang terbukti bahwa ergotoksin merupakan cam-
puran 4 zat, yaitu ergokristin, ergokornin, a-ergokriptin dan P- ergokriptin.
Ergotamin. Ergotamin yang paling kuat dari kelompok alkaloid asam amino yang aktif, dan er' gotaminin yang tidak aktil merupakan alkaloid ergot murni yang perlama ditemukan, Kemudian
zat uterotonik larut air dinamakan ergonovin (ergometrin). Ergonovin dan turunannya menghasilkan asam lisergat dan amin pada hidrolisis, maka disebut juga alkaloid amin. Alkaditemukan
loid dengan berat molekul tinggi yang mengandung asam lisergat, amonia, asam piruvat, prolin dan asam amino lainnya dikenal juga sebagai alkaloid asam amino atau ergopeptin. Salah satu derivat ergopeptin adalah bromokriPtin. Dihidroergotamin dan dihidroergokristin merupakan hasil hidrogenisasi atom C9 dan Cl0, yang berlainan sifat dengan zat asalnya. Selain itu senya' wa baru dapat dihasilkan dari penggabungan asam lisergat dengan berbagai amin; hasil penggabungan ini adalah asam dietilamid lisergat (LSD) dan asam hidroksibutilamid lisergat (metilergonovin), Metisergid merupakan hasil metilasi pada gugus nitrogen indol pada metilergonovin.
2.3. FARMAKOKINETIK Alkaloid asam amino, yaitu ergotamin diab' sorpsi secara lambat dan tidak sempurna melalui salurnan cerna. Obat ini mengalami metabolisme lintas pertama, sehingga kadarnya dalam darah sangal rendah. Kadar puncak plasma dicapai dalam 2 jam. Pemberian 1 mg ergotamin bersama 100 mg kafein akan meningkatkan kecepatan absorpsi dan kadar puncak plasma ergotamin sebesar dua kali, namun bioavailibilitasnya tetap dibawah 1%. Dosis ergotamin yang efektil untuk pemberlan intramuskular adalah sepersepuluh dosis oral, tetapi absorpsinya dari tempat suntikan lambat, sehingga unluk memperoleh respons uterus diperlukan waktu 20 menit. Dosis yang diperlukan untuk pem-
berian lV adalah setengah dosis lM, dan elek pe' rangsangan uterus sudah diperoleh dalam waktu 5 menit.
Bersihan ergotamin hati kira-kira sama dengan alir darah hati, ini menielaskan rendahnya bioavailabilitas oral. Sembilan puluh persen metabolit
diekskresi melalui empedu. Sebagian kecil obat yang tidak dimetabolisme, ditemukan di urin dan iinla. Xeaoaan ini yang menyebabkan ergotamin memperlihatkan elek terapeutik dan elek toksik yang lebih lama meskipun waktu paruhnya di plasma kira-kira 2lam. Pada pemberian oral, bromokriptin diabsorpsi lebih sempurna dan dieliminasi lebih lambat darl ergotamin. Dihidroergotamin dan dihidroergotoksin diabsorpsi kurang sempurna dan dieliminasi lebih
cepat dari ergotamin. Alkaloid amln dlabsorpsl
Farmakologi dan Terapi
402
secara cepat dan sempurna pada pemberian oral. Kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 60-90 menit, 10 kali lebih besar daripada kadar puncak ergotamin pada pemberian dosis yang sebanding. Kontraksi uterus sudah terlihat dalam 10 menit setelah pemberian 0,2 mg ergonovin per oral pada wanita pasca persalinan. Metabolisme dan ekskresi ergonovin dan metil ergonovin berlangsung lebih cepat daripada ergotamin.
2.4. FARMAKODINAMIK Berdasarkan efek dan struktur kimianya alkaloid ergot dibagi menjadi 3 kelompok : (1) Alkaloid asam amino dengan prototip ergotamin; (2) Derivat dihidro alkaloid asam amino dengan prototip dihidroergotamin; dan (3) Alkaloid amin dengan prototip ergonovin.
Yang terutama akan dibicarakan ialah elek terhadap uterus dan pembuluh darah. Efek adrenolitik dan elek terhadap SSP dibicarakan pada bab adrenolitik. Secara ringkas eleknya terlihat pada Tabel 26-1.
UTERUS. Semua alkaloid ergot alam meningkatkan kontraksi uterus dengan nyata. Efeknya sebanding dengan besarnya dosis yang diberikan. Dosis kecil menyebabkan peninggian amplitudo dan frekuensi, kemudian diikuti relaksasi. Dosis besar menimbulkan kontraksi tetanik, dan peninggian tonus otot dalam keadaan istirahat. Dosis yang sangat besar rrrenimbulkan kontraktur yang berlangsung lama. Kepekaan uterus terhadap alkaloid ergot sangat bervariasi, tergantung pada maturitas dan umur kehamilan. Sungguhpun demikian, uterus yang belum matur dapat juga bereaksi terhadap alkaloid ergot.
Sediaan ergot alam yang paling kuat adalah
ergonovin.
SISTEM KARDIOVASKULAR. Ergotamin dan alkaloid yang sejenis menimbulkan vasokonstriksi perifer dan merusak endotel kapiler. Pembendungan aliran darah, trombosis dan gangren dapat terjadi sebagai akibat vasokonstriksi pada keracunan ergot. Toksisitasnya berbeda pada tiap spesies, dalam hal ini manusia cukup sensitil. Terhadap sistem kardiovaskular, ergotamin mempunyai efek paling kuat, dibandingkan dengan sediaan ergot lainnya. Dihidroergotamin mempunyai efek sedikit, sedangkan dihidroergotoksin bo-
leh dikatakan tidak berelek. Alkaloid amin pada dosis terapi hanya menyebabkan pengurangan aliran darah ke ekstremitas. RESPONS VASKULAR DAN MIGREN. Ergotamin efektil menghilangkan gejala migren. Efek ini tidak berdasarkan efek sedatif atau analgetik. Nyeri migren antara lain dihubungkan dengan
peningkatan amplitudo pulsasi arteri kranial, terutama cdbang a. karotis eksterna. Alkaloid ergot mengurangi amplitudo pulsasi a. karotis eksterna melalui pengurangan aliran darah a. basilar tanpa mengurangi aliran ke hemisfer otak.
2.5. EFEK SAMPING Alkaloid ergot sangat toksik, dan dapat menimbulkan keracunan akut dan kronik. Ergotamin merupakan alkaloid yang paling toksik. Berdasarkan hal ini, maka ergonovin dan turunannya (metilergonovin) telah menggantikan ergotamin sebagai oksitosik.Keracunan akut terjadi pada percobaan
Tabel 26-1. EFEK BERBAGAI SENYAWA ALKALOID ERGOT
Golongan
Vasokonstriksi dan
Oksitosik
kerusakan endotel 1. Alkaloid asam amino
sangat aktif , terulama ergotamin
2. Dihidrogenasi alkaloid asam amino
kurang aktif daripada
3. Alkaloid amin
sangat kurang aktif
golongan
I
sangat aktif , bekerja lambat dan tidak efektif per oral. aktif terhadap uterus wanita hamil sangat aktif, bekerja cepat, efektif pada pemberian oral
Penghambat adrenoseptor-cr aktif
lebih aktif daripada
golongan tidak aktif
I
Oksltosik
403
menggugurkan kandungan dengan dosis besar. Gejala-gejalanya ialah mual, muntah, diare, gatal, kulit dingin, nadi lemah dan cepat, tingling, bingung dan tidak sadar. Pada umumnya preparat alkaloid asam amino lebih toksik daripada bentuk dihidro. Keracunan fatal alkaloid asam amino (ergotamin) dapat terjadi dengan dosis 26 mg per oral selama beberapa hari, atau dosis tunggal 0,5-1 ,5 mg parenteral. Toksisitas ergonovin seperempat kali toksisitas alkaloid asam amino,
Dewasa ini, keracunan kronik dan epidemi sebagai akibat makan gandum yang terkontaminasi
ergot jarang terjadi. Tetapi karena pemakaiannya
yang luas sebagai obat, keracunan tidak jarang terjadi akibat takar lajak atau peningkatan sensltivitas pada keadaan demam, sepsis dan penyakit hati.
Keracunan dilaporkan terjadi pada febris puerpuralis dan terapi ergotamin untuk pruritus pada penyakit hati disertai komplikasi gangren yang fatal.
Yang sering menderita komplikasi vaskular ialah mereka yang pernah mengalami penyakit penyumbatan pembuluh darah perifer. Pada ergotisme kronik, baik yang disebabkan takar lajak maupun sensitivitas yang meningkat, jelas terlihat perubahan peredaran darah. Tungkai bawah, paha, kadang-kadang lengan dan tangan menjadi pucat, dingin dan kebas. Nyeri otot timbul selama berjalan dan bila berat timbul pada keadaan istirahat. Denyut nadi ditungkai melemah atau tidak
teraba. Akhirnya terjadi gangren biasanya di jari kaki, kadang-kadang jari tangan. Ada dua faktor yang menyebabkan gangren ini, yaitu vasokonstriksi dan yang lebih penting adalah kerusakan intima
pembuluh darah yang menyebabkan terjadinya
trombosis dan emboli arteri kecil. Pada keracunan kronik juga terdapat gejala angina pektoris, takikar-
dia, bradikardia, peninggian atau
penurunan
tekanan darah. Selain gangguan sirkulasi timbul pula gejala sakit kepala, pusing, mual, muntah, diare. Dapat pula terjadi rasa lemah, kesemutan, gatal dan dingin
di ekstremitas. Gejala yang berhubungan dengan SSP ialah bingung, depresi, mengantuk, kejang, hemiplegia, gejala tabes dan miosis yang menetap. Bila digunakan secara cermat dengan memperhatikan kontraindikasinya, ergotamin merupakan obat yang bermanfaat dan cukup aman. Efek samping berat diduga hanya terjadi pada 0,01% pemakai ergotamin. Komplikasi berat tidak sering
dilaporkan sehubungan penggunaan ergotamin pada migren. Mual dan muntah terjadi pada 10% penderita yang diberi obat per oral, dan 20% paren-
teral. Selalu ada rasa lemah pada kaki dan rasa sakit pada otot yang kadang-kadang sangat hebat. Rasa tertekan substernal menyerupai angina pektoris disertai takikardia atau bradikardia, dan kadang-
kadang timbul pula udem lokal. Umumnya etek samping yang disebut di atas tidak berbahaya dan terapi tidak perlu dihentikan.
Terapi ergotisme. Terapi berupa penghentian pengobatan dan pemberian terapi simtomatis. Terapi simtomatis meliputi usaha mempertahankan aliran darah ke jaringan. Obat yang pernah digunakan ialah antikoagulan, dekstran dengan berat molekul rendah dan vasodilator kuat. Natrium nitroprusid merupakan vasodiIator kuat yang dapat mengatasi gejala seorang penderita ergotisme berat. Mual dan muntah dapat dihilangkan dengan atropin atau obat antiemetik golongan fenotiazin. penyuntikan kalsium glukonat (10 ml larutan 10%) dapat menghilangkan nyeri otot.
2.6. INDIKASI Sediaan ergot terutama digunakan dalam kebidanan yang akan dibicarakan bersama-sama dengan indikasi oksitosik dan untuk mengobati migren. Bromokriptin diEunakan untuk mengobati penyakit Parkinson (lihat Bab 13).
MIGREN. Etiologi migren sangat kompleks,
bila
dan
hendak mengobati migren sebaiknya faktor emosi, stres lisik, diet, hormonal serta pemberian
obat dinilai dahulu, karena dapat mempengaruhi terjadinya serta beratnya serangan. Tindakan simtomatik dengan pemberian analgesik untuk mengatasi migren dicoba dulu sebelum menggunakan ergotamin yang relatif lebih toksik, Ergotamin dapat mengatasi migren pada g0%
penderita, dan pada 15% penderita sakit kepala lainnya. Jika diberikan parenteral, sakit kepala menghilang dalam 15 menit. Pada pemberian oral efek terapi terlihat rata-rata setelah 5 jam, dan tidak efektif untuk serangan migren berat. Obat ini tidak bermanfaat untuk mencegah serangan. Bila obat diberikan sebelum stadium prodromal akan mempercepat timbulnya serangan. dan hal ini mungkin karena terjadinya vasokonstriksi arteri yang bersangkutan. Pengamatan terhadap dosis maksimal per minggu penting untuk dapat mengurangi reaksi yang tidak diharapkan, termasuk kemungkinan terjadinya ketergantungan obat. Toleransi dapat timbul akibat pemberian ergotamin tiap hari dalam
Farmakologi dan Tetaqi
404
ngan migren bisa timbul bila terapi ergotamin tersebut dihentikan. Ergotamin dengan dosis 0,25-0,5 mg biasanya diberikan secara SK atau lM, Dosis ini
dapat diulang bila migren tidak berkurang atau tim-
bul kembali, tetapi dosis jangan melebihi 1 mgl24 jam; 2 mg ergotamin dapat diberikan per oral atau sublingual segera setelah sakit kepala timbul' Dosis
kasi. Keracunan yang berat ditemukan pada pengobatan pruritus, terutama pruritus yang disebabkan penyakit hati. Juga tidak boleh diberikan pada wanita hamil, Untung sekali migren jarang timbul pada waktu hamil.
2.8. SEDIAAN
ini dapat diulang tiap 30 menit, bila perlu dosis boleh sampai6 mg, jangan lebih dari 10 mg/minggu. Kare-
na takar lajak merupakan penyebab utama efek nonterapi gunakanlah dosis terkecil yang efektif. Sesudah pemberian obat sebaiknya penderita se-
gera diasingkan di tempat gelap dan tenang selama 2 jam, Hasil pengobatan tergantung pada cepatnya pengobatan dimulai. Waktu terbaik untuk memulai pengobatan ialah pada waktu stadium prodromal. Bila serangan sudah sampai puncak mula keria ergot lambat dan dosis yang diperlukan lebih besar. Metisergid tidak berguna mengatasi serangan akut migren, digunakan sebagai prolilaktik dan merupakan obat pertama yang efektil untuk maksud tersebut. Efek tersebut dikaitkan dengan efek antiserotoninnya; serotonin dianggap sebagai salah satu zat yang berperanan dalam menimbulkan migren, Propranolol dan adrenergik antagonis lainnya (kecuali yang memiliki aktivitas simpatomimetik intrinsik), serta antidepresan trisiklik, obat mirip aspirin dan antagonis kalsium juga efektif diguna-
Ergotamin tartrat, merupakan kristal yang larut dalam air dan alkohol. Terdapat dalam bentuk tablet oral 1 mg, tablet sublingual 2 mg dan dalam bentuk larutan obat suntik 0,5 mg/ml dalam ampul
1ml. Ergonovin maleat, merupakan kristal berwarna putih atau kuning, tidak berbau, sensitif terhadap cahaya dan mudah larut dalam air. Terdapat dalam
bentuk suntikan ergonovin maleat berisi 0,2 mg/ml dan dalam bentuk tablet berisi 0,2 mg. Sebaiknya disimpan pada suhu antara 0-12oC dan dilindungi terhadap cahaya. Metilergonovin maleat (Methergin), terdapat dalam ampul 0,2 mg/ml dan tablet oral 0'2 mg. Metisergid maleat, tersedia dalam bentuk tablet oral 2 mg. Ergotamin tartrat, 1 atau 2 mg dengan 100 mg katein untuk supositori rektal. Dihidroergotamin mesilat tersedia dalam bentuk larutan 1 mg/ml untuk suntikan. Bromokriptin mesilat tersedia dalam bentuk tablet 2,5 mg.
kan sebagai Profilaktik.
Kombinasi dengan obat lain. Kalein memperkuat kerja alkaloid ergot terhadap migren. Pemberian ergotamin dan kafein secara terpisah lebih dianjurkan daripada penggunaan kombinasi tetap, karena dosis ergotamin yang diperlukan bervariasi. Pada penderita yang tidak responsif terhadap ergotamin, penambahan metoklopramid akan mempercepat absorpsi ergotamin karena mempercepat pengosongan lambung. Selain itu meringankan mual dan muntah akibat ergotamin.
3. OKSITOSTN DAN EKSTRAK HIPOFISIS POSTERIOR Hipofisis posterior menyimpan dan melepaskan oksitosin dan hormon anti diuretik (ADH' vasopresin). Yang akan dibicarakan di sini ialah lisiologi dan larmakologi oksitosin. Hormon adenohipolisis lainnya dapat dibaca di Bab 27,
3.1. FISIOLOGI 2.7. KONTRAINDIKASI Berdasarkan timbulnya gangren, ergotamin tidak boleh diberikan pada penderita dengan sepsis' penyakit pembuluh darah seperti arteritis sililitika, arteriosklerosis, penyakit pembuluh darah koroner, trombollebitis dan sindroma Raynaud atau Buerger. Penyakit hati dan ginjaljuga merupakan kontraindi-
Oksitosin merangsang otot polos uter'us dan kelenjar mama, Fungsi perangsangan ini bersilat selektil dan cukuP kuat. Stimulus sensoris pada serviks, vagina dan payudara secara refleks melepaskan oksitosin dari hipofisis posterior. Walaupun kadar oksitosin dalam plasma dan jumlah reseptor oksitosin di miometrium
meningkat selama kehamilan' kadar oksitosin dalam plasma tidak meningkat nyata sesaat
405
Oksitosrk
sebelum partus, Sensitivitas uterus terhadap oksitosin meninggi bersamaan dengan bertambahnya umur kehamilan. Pada kehamilan tua dan persalinan spontan, pemberian oksitosin meningkatkan kontraksi fundus uteri meliputi peningkatan lrekuensi, amplitudo dan lamanya kontraksi. Partus dan laktasi masih tetap berlangsung meskipun tidak ada oksitosin, tetapi persaJihan menjadi lebih lama dan relleks ejeksi susu (nilk eiection alau milk let down) menghilang. Oksitosin dianggap memberikan kemudahan dalam persalinan serta memegang peranan penting dalam refleks ejeksi susu.
logis merupakan reseptor yang spesifik untuk oksitosin. Oksitosin menyebabkan penglepasan prostaglandin pada beberapa spesies, tetapi tidak jelas apakah ini merupakan elek primernya atau berhubungan dengan kontraksi uterus.
Efek ADH. Berlawanan dengan oksitosin, ADH lebih nyata eleknya pada uterus tidak hamil. Hanya pada trimester terakhir kehamilan, elek oksitosin lebih nyata dari ADH. Beberapa peneliti berpendapat bahwa nyeri haid berhubungan dengan peninggian tonus dan tekanan intrauterin timbul secara konsisten oleh ADH, bukan oleh oksitosin.
KELENJAR MAMA. Bagian alveolar kelenjar 3.2. FARMAKOLOGI
mama dikelilingi oleh jaringan otot polos, yaitu mio-
epitel. Kontraksi mioepitel menyebabkan susu meUTERUS. Oksitosin merangsang lrekuensi dan kekuatan kontraksi otot polos uterus. Elek ini tergantung pada konsentrasi estrogen. Pada konsentrasi estrogen yang rendah, efek oksitosin terhadap uterus juga berkurang. Uterus imatur kurang peka terhadap oksitosin. Pada percobaan in vitro, progesteron dapat mengantagonisasi efek perangsangan oksitosin terhadap uterus, namun pengaruh ini sulit diperlihatkan pada uterus wanita hamil. Progestin digunakan secara luas di klinik untuk mengurangi
aktivitas uterus pada kasus abortus habitualis meskipun elektivitasnya tidak jelas. Pada kehamilan trimester I dan ll aktivitas motorik uterus sangat rendah, dan aktivitas ini secara spontan akan meningkat dengan cepat pada trimester lll dan mencapai puncaknya pada saat persalinan. Bespons uterus terhadap oksitosin selalan dengan peningkatan aktivitas motoriknya. Oksitosin dapat memulai atau meningkatkan ritme kontraksi uterus pada setiap saat, namun pada kehamilan muda diperlukan dosis yang tinggi. Pemberian inlus oksitosin' perlu disertai pengamatan yang sungguh-sungguh terhadap lrekuensi, lama dan kekuatan kontraksi uterus. Caldeyro-Barcia dan Posiero (1 959) mendapatkan bahwa respons uterus terhadap oksitosin meningkat 8 kali pada kehamilan 39 minggu dibandingkan dengan pada kehamilan 20 minggu. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian inlus secara lambat dengan beberapa unit oksitosin saja, sudah cukup elektil dan aman untuk induksi persalinan
aterm. Meskipun ada perbedaan antar individu' umumnya persalinan berlangsung setelah inlus oksilosin 25 mili unit (0,05 pg). Soloff dkk (1977) telah
memperlihatkan bahwa reseptor oksitosin terletak dalam miometrium. Reseptor ini berlokasi pada membran plasma sel otot polos dan secara lisio'
ngalir dari saluran alveolar ke dalam sinus yang besar, sehingga mudah dihisap bayi. Fungsi ini dinamakan ejeksi susu. Mioepitel sangat peka terhadap oksitosin. Walaupun katekolamin dapat menghambat ejeksi susu, kontraksi mioepitel tidak tergantung pada saral otonom, tetapi dikontrol oleh oksitosin. Sediaan oksitosin berguna untuk memperlancar ejeksi susu, bila oksitosin endogen tidak mencukupi. Juga berguna untuk mengurangi pem' bengkakan payudara pascapersalinan. SISTEM KARDIOVASKULAR. Apabila oksitosin diberikan dalam dosis besar akan terlihat relaksasi otot polos pembuluh darah secara langsung. Terjadi penurunan tekanan sistolik dan terutama penurunan tekanan diastolik, warna kulit menjadi merah dan
aliran darah ke ekstremitas bertambah. Secara relleks akan timbul takikardia dan peninggian curah jantung. Bila dosis besar diberikan terus menerus secara infus, maka penurunan tekanan darah akan diikuti sedikit peninggian tekanan darah tetapi menetap. Bila rnekanisme refleks kompensasi menurun, misalnya pada penggunaan bersamaan obat penghambat ganglion atau penghambat simpatis' maka penurunan tekanan darah akan lebih nyata. Dosis oksitosin untuk indikasi obstetrik, tidak jelas menimbulkan penurunan tekanan darah' Penurunan tekanan darah jelas terjadi pada penderita yang mendapat dosis besar, yang diberikan selama anestesia dalam, Otot polos pembuluh darah burung merupakan organ yang paling sensitil lerhadap elek vasodilatasi, karena itu digunakan untuk peneraan hayati oksitosin, Elek vasodilatasi oksitosin disangka tidak melalui reseptor saral otonom dan elek ini mudah dihambat oleh ADH dalam jumlah kecil.
406
Farmakologi dan Terapi
Otot polos yang sensitil terhadap oksitosin hanyalah uterus, pembuluh darah dan mioepitel kelenjar payudara. Pada konsentrasi tinggi, otot polos lainnya mungkin saja memberikan reaksi, telapi nampaknya bukan karena aktivitas primer
alam sudah ditinggalkan karena secara komersial
tidak menguntungkan. Oksitosin juga lerdapat dalam bentuk semprot hidung berisi 40 unit USP/ml. Di samping itu terdapat pula sediaan sublingual yang berisi 200 unit USP per tablet.
hormon tersebut.
EFEK LAIN. Pada hewan coba, oksitosin mening-
gikan ekskresi Na walaupun efek ini tergantung adanya ADH disirkulasi. Pada manusia perubahan
ekskresi elektrolit oleh ginjal tidak berarti. Dosis besar oksitosin mungkin menimbulkan intoksikasi air terutama pada penderita yang mendapat cairan inlus dalam jumlah besar. Oksitosin dapat mensupresi sekresi ACTH.
3.3. FARMAKOKINETIK Oksitosin memberikan hasil baik pada pemberian parenteral. Pemberian oksitosin intranasal, meskipun kurang efisien lebih disukai daripada pemberian parenteral. Oksitosin diabsorpsi dengan
cepat melalui mukosa mulut dan bukal, sehingga memungkinkan oksitosin diberikan sebagai tablet isap. Cara pemberian nasal atau tablet isap dicadangkan untuk penggunaan pasca-persalinan. Selama kehamilan, kadar aminopeptidase dalam plasma (oksitosinase atau sist/ aminopeptidase) meningkat sepuluh kali dan menurun setelah persalinan" Enzim ini menginaktifkan oksitosin dan ADH melalui pemecahan ikatan peptida. Enzim Ini diduga meregulasi konsentrasi oksitosin lokal di uterus tetgpi sedikit pengaruhnya terhadap eliminasi kadar oksitosin dalam plasma. Diduga sumber oksitosinase ini adalah plasenta. Waktu paruh oksitosin sangat singkat, antara 12-17 menit. Penurunan kadar plasma sebagian besar disebabkan ekskresi oleh ginjaldan hati.
4. PROSTAGLANDIN Di dalam tubuh terdapat berbagai jenis prosta-
glandin (PG) dan tempal kerjanya berbeda-beda, serta saling mengadakan interaksi dengan autakoid lain, neurotransmilor, hormon serta obat-obatan. Prostaglandin ditemukan pada ovarium, miometrim dan cairan menstrual dengan konsentrasi berbeda selama siklus haid. Sesudah sanggama, ditemukan PG yang berasal dari semen dalam sistem reproduksi wanita. PG ini diserap dari vagina dan cukup
untuk menghasilkan kadar dalam darah, yang menimbulkan elek fisiologis. Pada kehamilan aterm/ sewaktu persalinan, kadar PG meninggi dalam cair-
an amnion dan pembuluh umbilikus serta dijumpai pula di dalam peredaran darah ibu. Walaupun PG ini sudah dipastikan sebagai oksitosik, namun status peranan lisiologiknya pada saat menstruasi dan kehamilan masih diperdebatkan. Dalam hal ini haruslah dibedakan antara efek fisiologik dan efek larmakologik PG; dosis farmakologik relatil tinggi dan eleknya lebih nyata. Dalam menilai elek lisiologik, secara tidak langsung umum digunaka.n aspirin dan indometasin, yang pada dosis terapi menghambat sintesis dan penglepasan PG, tetapi ternyata tidak mempengaruhi proses menstruasi dan reproduksi. Fakta ini mencerminkan kesulitan me-
PENERAAN HAYATI. Ekstrak posterior tidak ditera
nilai kerja fisiologik PG. Pada hewan coba,
kekuatannya sebagai oksitosik, tetapi kekuatan
berlungsi dalam proses ovulasi dan luteolisis, serta mempengaruhi efek beberapa hormon reproduksi misalnya LH, yang berasal dari hipofisis anterior. Pada manusia PG berperan penting dalam peris-
vasodepresornya. Peneraan ini umumnya dilakukan pada unggas. Hasilnya sejalan dengan kekuatan sebagai oksitosik. Aktivitas ekstrak hipolisis dan oksitosin sintetik dinyatakan dalam Unit USP. Satu unit setara dengan 2 pg hormon murni.
3.4. SEDIAAN Suntikan oksitosin (Pitocin) berisi 10 unit USP/ ml, dapat diberikan lM atau lV. Semua sediaan yang
beredar sekarang adalah sediaan sintetik. Sediaan
PG
tiwa persalinan. Berlainan dengan oksitosin,.PG dapat merangsang terjadinya persalinan, pada setiap usia kehamilan. Pada saat persalinan spontan, konsentrasi PG dalam darah perifer dan cairan amnion meningkat. Penghambat sintesis PG dapat memperlambat alau memperpanjang masa persalinan spontan tersebut.
407
Oksltoslk
4.2. POSOLOGI DAN SEDIAAN
4.1. FARMAKOLOGI Prostaglandin dapat dianggap sebagai hormon lokal, karena kerjanya terbatas pada organ penghasil dan segera diinaktifkan di tempat yang sama. Prostaglandin yang terdapat pada uterus, cairan menstrual dan cairan amnion ialah PGE dan PGF. Di bagian kebidanan penggunaan PG terbatas pada PGEz dan PGFza. Semua PGF merangsang kontraksi uterus baik hamil maupun tidak. Sebaliknya PGEz merelaksasi jaringan uterus tidak
hamil in vitro, tetapi memperlihatkan efek oksitosik lebih kuat dari PGFza pada kehamilan trimester kedua dan ketiga. Untuk memulai persalinan aterm' PGEz sama efektilnya dengan PGFza atau oksitosin. Pada hamil tua respons lisiologik uterus terhadap PG mirip oksitosin. Prostaglandin memperlihatkan kisaran dosis-respons yang sempit dalam menimbulkan kontraksi fisiologik, dan ini memudahkan terjadinya hipertoni uterus yang membahayakan. Bahaya ini dapat dicegah dengan pengamatan yang cermat dan meningkatkan kecepatan infus secara sedikit demi sedikit. Untuk mengakhiri kehamilan pada trimester ll pemberian PGEz dan PGFe" ke dalam rongga ulerus dengan menggunakan kateter atau suntikan memberikan hasil yang baik, disertai efek samping yang ringan. Sebaliknya untuk menghentikan kehamilan muda (menstruasi yang terlambat beberapa minggu); diperlukan dosis sangat besar, sehingga menyebabkan efek samping yang berat, dan derajat keberhasilan yang ren' dah. Efek samping yang menyertai penggunaan PG pada kehamilan trimester ll, lll dan aterm, terjadi akibat perangsangan otot polos saluran cerna berupa mual, muntah dan diare. PGEe dan 15-metil PGFz" meningkalkan suhu tubuh sekilas dan diduga kerjanya melalui pusat
pengatur suhu di hipotalamus. Dosis besar PGFzo menyebabkan hipertensi melalui kontraksi pembuluh darah, sebaliknya PGEz menimbulkan vasodilatasi.
Prostaglandin terdapat merata di dalam miometrium dan bekerja secara sinergis dengan oksitosin terhadap kontraksi uterus. Sediaan kombinasi PG dan oksitosin tidak dianjurkan, karena dapat meningkatkan risiko terjadinya ruptura uterus. Pemberian prostaglandin lokal pada serviks, menyebabkan serviks matang tanpa rnempengaruhi motilitas uterus; mekanisme kerjanya belum diketahui'
Saat ini di lndonesia obat-obat ini belum beredar secara resmi.
KARBOPROS TROMETAMIN adalah 1s-metil PGFzc yang tersedia dalam bentuk suntikan 250 pg/ml. Suntikan awal 1 ml lM yang dalam, ulangi setelah
1
,5 - 3,5
jam. Dosis boleh ditingkatkan sam-
pai 500 pg bila kontraktilitas uterus tidak adekuat tetapi dosis total tidak melebihi 12 mg.
DINOPROSTON ialah PGEz, dapat menginduksi kontraksi uterus pada setiap tahap kehamilan. Obat ini dipilih bila induksi partus diperlukan sedang ser-
viks belum terbuka misalnya pada kematian janin atau ketuban pecah dini. Juga digunakan untuk menangani rnissed abortion serta mola hidatilorm benigna. Penggunaan obat ini hanya boleh dilakukan oleh seorang ahli di rumah sakit yang memiliki lasilitas bedah dan fasilitas perawatan obstetrik yang intensif, Pemberian lV disertai insidens efek samping tinggi terhadap saluran cerna, dan kardiovaskular. Stimulasi uterus berlebihan dapat menyebabkan kegawatan janin dan ruptur uleri. Dinoproston tersedia dalam bentuk supositoria vaginal 20 mg. Tablet iniharus disimpan pada suhu 20oC. Obat harus ditaruh pada suhu kamar sebelum digunakan.
Gemeprost. Gemeprost merupakan analog alpros-
tadil yang berefek oksitosik. Obat ini digunakan untuk melunakkan rahim dan mendilatasi serviks sebelum tindakan bedah untuk terminasi kehamilan. Biasa diberikan dalam kombinasi dengan mifeproston untuk terminasi kehamilan. Pesari berisi 1 mg diberikan 3 jam sebelum tindakan, Elek samping
serupa prostaglandin lain terutama mual dan muntah, nyeri abdominal dan gangguan kardiovaskular, dispnoe, palpitasi, nyeri dada, pusing dan sakit kepala.
Sulproston, derivat dinoproston, digunakan untuk indikasi yang sama dengan prostaglandin yang berefek oksitosik. Diberikan lM, lV atau lokal. Suntikan lM 3-4 kali 500 mg atau extra-amniotik 25' 50 atau 1
00 pg.
5. INDIKASI lndikasi oksltosik adalah : (1) lnduksi parlus aterm dan mempercepat persalinan pada kasuskasus tertentu; (2) Mengontrol perdarahan dan ato-
408
niuteri pasca persalinan; (3) Merangsang kontraksi
uterus selelah operasi caesar maupun operasi uterus lainnya; (4) lnduksiabortus terapeutik; (5) Uji oksitosin; dan (6) menghilangkan pembengkakan payudara.
INDUKSlPARTUS ATERM. Datam hat inioksitosin merupakan obat terpilih; 10 unit oksitosin dilarutkan dalam satu liter dekstrosa 5% sehingga diperoleh larutan dengan kekuatan 'l 0 miliuniVml. Cara pemberiannya ialah secara infus. lnfus dimulai dengan lambat, yaitu 0,2 ml/menit. Jika tidak ada respons selama 15 menit, tetesan dapat ditingkatkan perlahan 0,1-0,2 mflmenit sampai maksimum 2 ml/ menit. Dosis total yang diperlukan untuk induksi partus berkisar antara 600-12000 miliunit dengan
rata- rata 4000 miliunit. Selama pemberian ber_ langsung, keadaan uterus harus diawasi dengan cermat. Kadang-kadang dapat terjadi kontraksi tetanik yang menetap, dan akan mengganggu sirku_ lasi plasenta. Untuk mengatasi kontraksi tetani uterus, inlus oksitosin segera dihentikan dan diberikan
obat anestesi umum. Apabila partus sudah mulai, inlus dihentikan atau dosisnya diturunkan sesuai dengan kebutuhan untuk mempertahankan proses persalinan yang adekuat. Bila digunakan pada ke_ hamilan aterm, oksitosin dapat menginduksi partus pada sebagian besar kasus. Jika ketuban dipecah_ kan, hasilnya mencapai 80-90%. PGE2 dan PGFza telah dicoba sebagai oksitosik pada kehamilan aterm. Ternyata respons penderita sangat berbeda secara individual, dan tenggang waktu sebelum timbulnya elek lebih lama daripada oksitosin. Guna mencegah timbulnya efek toksik kumulatil maka penambahan kecepatan infus
harus dikerjakan dengan sangat hati-hati. Telah dikemukakan di atas bahwa efektivitas pGE2 dan PGFzc sukar dibedakan dengan efektivitas oksitosin. Kadang- kadang dengan pGFza terjadi hipertoni uterus. Proslaglandin harus digunakan dengan kewaspadaan yang sama dengan oksitosin. Kelebihannya ialah PG dapat merangsang kontraksi uterus pada setiap umur kehamilan. PG telah digunakan pada banyak kasus dalam mengakhiri kehamilan dengan missed abortion, kematian intrauterin, ketuban pecah dini dan kehamilan mola, Oksitosin tidak boleh digunakan selama stadium I dan ll bila persalinan dapat berlangsung meskipun lambat. Jika oksitosin diberikan, kontraksi uterus akan bertambah kuat dan lama, ini dapat mengganggu keselamatan ibu dan anak. pada sta_
Farmakologi dan Terapi
dium I terjadi pembukaan serviks. Jika diberi rksitosin akan terjadi hal-hal berikut : (1) bagian tubuh bayi akan terdorong ke luar lewat serviks yang
belum sempurna membuka, sehingga timbul bahaya laserasi serviks dan trauma terhadap bayi; (2) dapat terjadi ruptura uteri; dan (3) kontraksi tetanik yang terlalu kuat akan menyebabkan asfiksi bayi. Di tangan dokter ahli yang berpengalaman oksitosin dapat digunakan untuk mengatasi inersia uteri. Biasanya tindakan ini diambil sebagai pengganti tindakan operatif yang lebih besar risikonya. Oksitosin diindikasikan pada partus lama dan parlus tidak maju, tanpa adanya kontraindikasi untuk tindakan tersebut seperti disproporsi sefalo-pelvik, kelainan letak dan plasenta praevia sempurna. pa-
da multipara (anak 4 atau lebih) oksitosin tidak boleh diberikan selama stadium I dan ll karena mudah terjadi ruptura uteri. Untuk menginduksi per-
salinan, oksitosin merupakan obat pilihan utama, sedangkan PG merupakan pilihan alternatif.
Prostaglandin juga diindikasikan sebagai terapi tambahan, untuk mematangkan serviks.
MENGONTROL PERDARAHAN PASCAPERSALINAN. Penggunaan rutin oksitosik setelah partus, dewasa ini sudah tidak dibenarkan lagi. Apabila diputuskan untuk memberikan oksitosik untuk mengontrol perdarahan pasca persalinan, maka harus
dipastikan bahwa tidak ada kehamilan ganda dan baru diberikan setelah plasenta keluar. Sekarang untuk mengontrol perdarahan pascapersalinan tidak lagi digunakan oksitosin. Ergonovin atau metilergonovin lebih disukai daripada oksitosin, karena toksisitasnya rendah, mula ker-
janya cepat dan masa kerjanya lama. Dosisnya
0,2-0,3 mg lM, atau dapat pula diberikan lV dengan
dosis 0,2 mg, untuk mendapatkan elek lebih cepat. Pilihan lain dapat digunakan PGFzc 250 pg lM. Bila diperlukan, dosis dapat ditambah setiap 15-90 menit, sampai dosis total tidak melebihi 2 mg. Pada individu normal, proses involusi berlang-
sung 8 sampai 10 minggu dan proses ini lerjadi
secara cepat pada 10 hari pertama. para ahli kebidanan memberikan ergonovin per oral dengan dosis 0,2 mg 3 kali sehari selama 7 hari, untuk mengu-
rangi kemungkinan perdarahan
pascapersalinan
dan infeksi. Pada involusi lambat, yang biasanya karena atoni uteri, pemberian ergonovin jelas menolong. Ergonovin diberikan 0,2-0,4 mg 3 kali sehari per oral atau sublingual sehingga terjadi efek yang
409 Oksltosik
diinginkan. Jika involusi lambat ini disertai inleksi' pemberian ergonovin akan mengurangi bahaya pe' nyebaran infeksi. Ergonovin maupun metil ergonovin paOa dosis tersebut di atas dapat menurunkan konsentrasi prolaktin di dalam peredaran darah, karena itu perlu dipertimbangkan untuk ibu yang
tetap harus dilaksanakan dengan cara lain
akan menyusui.
tes melitus dan pre-eklampsia; dan biasanya dilakl sanakan pada minggu terakhir sebelum persalinan dan penderita harus dirawat. Oksitosin diberikan
ABORTUS TERAPEUTIK. Abortus terapeutik pada kehamilan trimester l, biasanya dilakukan dengan
suction curretage. Belum ada obat yang elektil untuk menginduksi abortus pada stadium ini' Pada kehamilan trimester ke ll abortus dilakukan dengan menyuntikan larutan NaCl hipertonik20%' ke dalam amnion. Namun kegagalan serta komplikasi sering terjadi. Oksitosin 20-30 unit, tidak efektif untuk terminasi kehamilan muda. Prostaglandin cukup efektil untuk menimbulkan abortus pada trimester ke ll ini.
Pemberian 250 pg 15 metil PGFz"lM dalam' memperlihatkan hasil yang cukup elektif' Seandainya belum memberikan respons yang adekuat' dapat diulang tiap 1 ,5-3,5jam, dengan dosis 250 prg atau 500 Fg setiap pengulangan' Dosis totalnya iangan melebihi 12 mg.
Pemberian PGEz 20 mg dalam bentuk vaginal suppositoria yang dimasukkan sedalam-dalamnya ke dalam vagina, iuga telah memberikan hasil yang elektif. Penderita harus berbaring terlentang selama 10 menit, setelah suppositoria dimasukkan' Pemberian suppositoria diulang setiap 3-5 iam sampai teriadi abortus. Setama proses ini' kontraksi uterus, dan toleransi pasien diperhatikan' Bila terjadi abortus yang tak lengkap, pemberian dapat jika perditeruskan sampai terjadi abortus lengkap, berat' tidak sampingnya darahan dan reaksi Untuk kasus yang disertai dengan penyakit jantung, paru-paru, ginjal, hati, asma, hipertensi, anemia dan epilepsi' pemberian PG perlu dipertimbangkan. Pada kasus yang disertai penyakit radang pelvis akut, terdapatnya jaringan parut pada uterus' dan hipersensitivitas terhadap obat, pemberian PG tidak dianjurkan. Karena pada hewan PG memperlihatkan efek teratogenik, pengakhiran kehamilan
bila
penggunaan PG gagal.
UJI OKSITOSIN (CHATLENGE TEST)' Oksitosin
digunakan untuk menentukan ada tidaknya insuli-
siensi utero-plasenta. Uii ini dilakukan terutama pada kehamilan dengan risiko tinggi misalnya diabe-
per inlus dengan kecepatan mula-mula 0,5 miliuniV menit, kemudian dosis ditingkatkan perlahan-lahan
sampai tercapai kontraksi uterus tiap 3-4 menit'
Fetal distress kronik ditegakkan (hasil positif) bila terladi pengurangan denyut jantung janin yang tdr-' lambat (tate deceleration) pada setiap kontraksi dengan kekuatan sama. Hasil negatif biasanya benar tetapi hasil positil salah pada sepertiganya'
Jadi sebelum tindakan diambil harus dipertimbangkan f aktor-f aktor lain'
MENGHILANGKAN PEMBENGKAKAN PAYU' DARA. Pada gangguan ejeksi air susu, oksitosin
dapat menolong. Biasanya diberikan intranasal 2-3. menit sebelum anak menyusu. Hasil pada tiap penderita tidak sama' Bila elektil rasa nyeri akan hilang'
Oksitosin tidak beretek galaktopoetik oleh karena itu tidak berguna bagi penderita yang produksi air susunya kurang.
PENGHAMBAT MOTILITAS UTERUS' Beberapa indikasi klinik penggunaan toksolitik adalah : (1) mencegah persalinan prematur pada kasus- kasus tertentu; dan (2) memperlambat atau menghentikan persalinan untuk sesaat guna memperoleh terapi yang sesuai; antara lain mengurangi kemungkinan ierlaOinya letal disfress selama transportasi ibu ke rumah sakit, atau persiapan operasi karena adanya pekomplikasi tertentu seperti prolapsus tali pusat, posisi bokong' adanya lepasan sebagian plasenta,
Obat-obat yang biasa digunakan untuk mak' sud ini adalah agonis p2 adrenergik (Bitodrine' terbutalin, lenoterol, albuterol), magnesium sulfat'
,
501
Obat Lokal
X. OBAT LOKAL 34. OBAT LOKAL Azalia
1.
Aril dan Udin Siamsudin
Antasid dan digestan 1.1. Antasid 1.2. Obat penghambat sekresi asam lambung 1.3. Digestan
2.1. Patolisiologi konstipasi 2.2. Pilahan obat pencahar 2.3. Penggunaan, penyalahgunaan dan bahaya pencahar
3. Obat lokallain
Pencahar
Obat lokal ialah zat yang kerjanya berdasarkan aktivitas lokal secara lisik atau kimia. Banyak obat dalam kelompok ini digunakan dalam klinik. Dalam seksi ini akan dibicarakan antasid, digestan, pencahar dan obat lain yang bekerja pada kulit dan mukosa.
1. ANTASID DAN DIGESTAN
Pada tukak duodenum produksi asam rupanya memegang peranan penting. Etiologi tukak peptik tidak jelas tetapi berbagai laktor di bawah ini diduga ikut berperan.
Pengaturan sekresi asam lambung. Pada perangsangan saral parasimpatik akan dilepaskan asetilkolin yang meninggikan sekresi asam lambung dan pepsin, tetapi peran histamin dalam merangsang sekresi asam lambung iauh lebih kuat
daripada asetilkolin. Sedangkan perangsangan saral simpatik mengurangi sekresi zat tersebut.
1.1. ANTASID
Gastrin merupakan perangsang sekresi asam
lambung dan pepsin. Sekresi gastrin sendiri akan meninggi pada keadaan distensi antrum, dan pH
Mukosa lambung, pilorus dan kardia, mengeluarkan mukus, sehingga mukosanya tahan asam lambung. Sel parietal di lundus dan korpus mengeluarkan HCI dan chief cell mengeluarkan pepsino-
lambung yang tinggi. Sekresi gastrin ini akan dihambat pada distensi antrum yang berlebihan dan bila pH lambung mencapai 1,2-1 ,5. Jumlah gastrin pada pasien tukak duodenum lebih banyak bila dibandingkan dengan pasien tukak lambung atau orang sehat.
gen. Pepsinogen dikatalisis oleh HCI
Etiologi tukak peptik. Katekolamin akan mengu-
ASAM LAMBUNG DAN TUKAK PEPTIK
menjadi pepsin, suatu enzim proteolitik. Bila produksi asam lambung dan pepsin yang bersilat korosil tidak berimbang dengan sistem per-
tahanan gastroduodenal maka akan terjadi tukak peptik di esofagus, lambung dan/atau duodenum. Pada tukak lambung produksi asam lambung normal atau menurun; ini menimbulkan dugaan bahwa faktor primer ialah menurunnya resistensi mukosa.
rangi sekresi asam lambung dan pepsin, sedangkan insulin, alkohol dan kopi meninggikan. Antiinllamasi nonsteroid dan kortikosteroid menurunkan sistem pertahanan gastroduodenal sehingga meningkatkan silat korosif pepsin dan HCl. Dugaan peran kortikosteroid sebagai salah satu etiologi diperkuat oleh kenyataan bahwa tukak peptik tidak ditemukan pada pasien Adison.
502 Farmakologi dan Terapi
Tukak peptik sering terjadi pada keluarga ting_
kat pertama (first degree relatives). penirigkatan kadar pepsinogen I dalam serum teilihat paO-a
SOoZ
pasien. tukak duodenum. Hal ini diduga diturunkan
sebagai sifat bawaan.
Ulkus peptik lebih sering terjadi pada pria dari_
pada wanita, diduga karena jumlah sel parietal pada
wanita lebih sedikit daripada jumlahnya pada pria. Pada pasien sirosis hepatis mungkin terjadi gangguan metabolisme histamin sehingga kadarnya dalam darah meningkat yang menlatiOa*an hipersekresi asam lambung. . Peran laktor psikis dalam etiologi tukak duodenum masih kontroversial. Bertentangan dengan
pendapat terdahulu tidak ada kepribidian yang
merupakan predisposisi tukak duodenum. Ansietas
kronik dan stress psikis dapat merupakan faktor
kekambuhan penyakit ini. Resistensi mukosa usus dan daya regenerasi
mukosa gastro duodenal menurun antlra tain k31"!" menurunnya sirkulasi berhubungan Oengan
aktivitas simpatis yang meninggi. Beibagai stres fisik dan mental, misalnya p"au p"rnd"dahan,
penyakit berat dan luka bakar, juga disertai frekuensi kejadian tukak peptik yang mJningkat.
Antasid dibagidalam dua golongan yaitu anta_ sid sistemik dan antasid nonsistemik. Ant,asid sistemik, misalnya natrium bikarbonat, diabsorpsi dalam
usus halus sehingga menyebabkan urin bersifat alkalis. Pada pasien clengan kelainan ginjal, dapat terjadi alkalosis metabolik. penggunaan kronik na_ trium bikarbonat rnemudahkan nefrolitiasis fosfat. Antasid nonsistemik hampir tidak diabsorpsi 'dalam usus sehingga tidak menimbulkan alkalosis metabolik. Contoh antasid nonsistemik ialah sediaan magnesium, aluminium, dan kalsium, ANTASID SISTEMIK NATRIUM BIKARBONAT. Natrium bikarbonar
ce_
pat menetralkan HCI lambung karena daya larutnya tinggi; reaksi kimianya ialah sebagai berikut :
NaHCOs + HCI
l-t
NaCt+ H2O + 69,
Karbon dioksida (CO2) yang terbentuk datam lambun g akan men imbu kan efek- ca rm i n ative y ang I
menyebabkan sendawa. Distensi lambung dapat terjadi, dan dapat menimbulkan perforasil Selain
FARMAKOLOGI
menimbulkan alkalosis metabolik obat ini dapat menyebabkan retensi natrium dan udem.
Antasid ialah obat yang menetralkan asam lambung sehingga berguna untuk menghilangkan
Natrium bikarbonat sudah jarang digunakan sebagai antasid. Obat ini digunakan Jntul meng_ atasi asidosis metabolik, alkalinisasi urin dan peng_
nyeri tukak peptik. Antasid tidak menguLngi
volurne HCI yang dikeluarkan lambung, tet-api pe_ ninggian pH akan menurunkan aktivitas pepsin. Beberapa antasid, misalnya aluminium niOr'otiiOa,
obatan lokal pruritus.
Natrium bikarbonat tersedia dalam bentuk
djduga menghambat pepsin secara langsung.
tablet 500-1000 mg. Satu gram natrium bikarbonat dapat menetralkan 't2 mEq asam. Dosis yang dian_ jurkan 1-4 gram.
pada dosis terapi bervariasi, tetapi um-umnya pH lambung tidak sampai di atas 4, yaiiu keadaan yang
Pemberian .bersama-sama
Kapasitas menetralkan asam dari berbagai a"ntasid
jelas menurunkan aktivitas pepsin; kecuali bila iem_
beriannya sering dan terus menerus. Mula ierla antasid sangat bergantung pada kelarutan dan ke_ cepatan netralisasi asam; sedangkan kecepatan pengosongan lambung sangat menentukan masa
dosis besar NaHCO3 atau CaCO3
susu atau krim pada pengobatan tukak peptik dapat menimbulkan sindroh alkali susu (milk alkali syndrome).
ANTASID NONSISTEMIK
kerjanya.
_ Umumnya antasid merupakan basa lemah. Senyawa oksi-aluminium (basa lemah) sukar untuk meninggikan pH lambung lebih dari 4, sedangkan basa yang lebih kuat seperti magnesium triOrokiiOa
teoritis dapat meninggikan pH sampai 9, ,secafa tetapi kenyataannya tidak terjadi. Semua antasid meningkatkan produksi HCI berdasarkan kenaikan pH yang meningkatkan aktivitas gastrin.
ALUMINIUM HTDROKSIDA (At (OH)g). Reaksi
yang terjadi di dalam lambung ialah sebagai berikut:
Al (OH)s + 3 HCI
;--
AtCtg + 3HzO
Daya menetralkan asam lambungnya lambat, tetapi masa kerjanya lebih panjang. Al (OH)g bukan merupakan obat yang unggul dibandingkan dengan
E03
Obat Lokal
obat yang tidak larut lainnya. Al (OH)s dan sediaan Al lainnya bereaksi dengan foslat membentuk aluminium fosfat yang sukar diabsorpsi di usus kecil' sehinggq ekskresi fosfat melalui urin berkurang sedangkan melalui tinja bertambah. lon aluminium dapat bereaksi dengan protein sehingga bersifat astringen. Antasid ini mengadsorpsi pepsin dan menginaktivasinya. Absorpsi makanan setelah pemberian Al tidak banyak dipengaruhi dan komposisi tinja tidak berubah. Aluminium juga bersifat demulsen dan adsorben. Efek samping Al (OH)3 yang utama ialah konstipasi. lni dapat diatasi dengan memberikan antasid garam Mg. Mual dan muntah dapat terjadi. Gangguan absorpsi foslat dapat terjadi sehingga menimbulkan sindrom deplesi fosfat disertai osleomalasia. Al (OH)g dapat mengurangi absorpsi bermacammacam vitamin dan tetrasiklin. Al (OH)g lebih sering menyebabkan konstipasi pada usia laniut' Aluminium hidroksida digunakan untuk mengobati tukak peptik, nefrolitiasis losfat dan sebagai adsorben pada keracunan. Antasid Al tersedia dalam bentuk suspensi Al (OH)g gel yang mengandun g 3,6-4,4% AlzOs. Dosis yang dianjurkan 8 ml. Tersedia pula dalam bentuk tablet Al (OH)s yang mengandung 50% AlzOs. Satu gram Al (OH)s dapat menetralkan 25 mEq asam. Dosis tunggal yang dianjurkan 0,6 gram'
KALSIUM KARBONAT. Kalsium karbonat merupa-
kan antasid yang efektif, karena mula kerjanya cepat, masa kerjanya lama dan daya menetralkan asamnya cukup tinggi. Kalsium karbonat dapat menyebabkan konstipasi, mual, muntah, perdarahan saluran cerna dan
dislungsi ginjal dan fenomen acid rebound' Feno-
mena tersebut bukan berdasar daya netralisasi asam, tetapi merupakan kerja langsung kalsium di anlrum yang mensekresi gastrin yang merangsang sel parietal yang mengeluarkan HCI (H'). Sebagai akibatnya, sekresi asam pada malam hari akan sangat tinggiyang akan mengurangi efek netralisasi obat ini. Elek serius yang dapat terjadi ialah hiperkalsemia, kalsilikasi metastatik, alkalosis, azotemia, terutama terjadi pada penggunaan kronik
kalsium karbonat bersama susu dan antasid lain (mitk alkati syndrome). Pemberian 4 g kalsium karbonat dapat menyebabkan hiperkalsemia ringan' MgeSigOa (n)HzO +
4H*
f
g dapat menyebabkan hiperkalsemia sedang. Kalsium karbonat tersedia dalam bentuk tablet 600 dan 1000 mg. Satu gram kalsium karbonat dapat menetralkan 21 mEq asam. .l Dosis yang dianjurkan -2 gram'
sedangkan pemberian 8
MAGNESIUM HIDROKSIDA (Mg(OH)z). Magnesium hidroksida digunakan sebagai katartik dan antasid. Obat ini praktis tidak larut dan tidak elektif sebelum obat ini bereaksi dengan HCI membentuk MgClz. Magnesium hidroksida yang tidak bereaksi akan tetap berada dalam lambung dan akan menetralkan HCI yang disekresi belakangan sehingga masa kerjanya lama. Antasid ini dan natrium bikarbonat sama elektif dalam hal menetralkan HCl. lon magnesium dalam usus akan diabsorpsi dan cepat diekskresi melalui ginjal, hal ini akan membahayakan pasien yang fungsi ginialnya kurang baik. lon magnesium yang diabsorpsi akan bersifat sebagai antasid sistemik sehingga menimbulkan alkaliuria, tetapi jarang terjadi alkalosis.
Pemberian kronik magnesium hidroksida akan menyebabkan diare akibat efek katartiknya' sebab magnesium yang larut tidak diabsorpsi' telap berada dalam usus dan akan menarik air' Sebanyak 5-1 0% magnesium diabsorpsi dan dapat menimbulkan kelainan neurologik, neuromuskular dan kardiovaskular. Sediaan susu magnesium (milk of magnesia) berupa suspensi yang berisi 7-8,5% Mg (OH)2, Satu ml susu magnesium dapat menetralkan 2,7 mEq
asam. Dosis yang dianjurkan 5-30 ml. Bentuk lain ialah tablet susu rnagnesium berisi 325 mg Mg (OH)z yang dapat menetralkan 11 ,1 mEq asam'
MAGNESIUM TRISILIKAT. Magnesium trisilikat (MgzSigOonH20) sebagai antasid nonsistemik bereaksi dalam lambung sebagai berikut:
Silikon dioksid berupa gel yang terbentuk
dalam lambung diduga berfungsi menutup tukak. Sebanyak 7% silika dari magnesium trisilikat akan diabsorpsi melalui usus dan diekskresi dalam urin. Silika gel dan magnesium trisilikat merupakan adsorben yang baik; tidak hanya mengadsorpsi pepsin tetapi juga protein dan besi dalam makanan' Mula kerja magnesium trisilikat lambat, untuk menetral-
kan 30% HCI 0,1 N diperlukan waktu 15 menit'
2Mg** + 3 SiOz + (n + 2) Hzo.
504
Farmakologi dan Terapi
sedangkan untuk menetralkan 60% HCI 0,1 N diper_ lukan waktu satu jam. Dosis tinggimagnesium lrisilikat menyebabkan diare. Banyak dilaporkan terjadi_
nya batu silikat setelah penggunaan kronik magnesiilm trisilikat. Ditinjau dari efektivitasnya yang rendah dan potensinya untuk menimbulkan toksisi_ tas yang khas, kurang beralasan untuk mengguna_ kan obat ini sebagai antasid.
Magnesium trisilikat tersedia dalam bentuk
tablet 500 mgi dosis yang dianjurkan 1_4 gram. Tersedia pula sebagai bubuk magnesium trisilikat yang mengandung sekurang-kurangnya 2ooh MgO dan 45o/o silikon dioksida. Satu gram magnesium trisilikat dapat menetralkan 13-1 7 mEq asam. Sediaan antasid lain dan posologinya dapat
dilihat pada Tabel 34-1.
EFEK SAMPING. Tidak ada antasid yang bebas efek samping, terutama pada penggunaan dosis besar jangka lama. Elek samping yang timbul an-
tara lain
:
Sindroma susu alkali. Sindroma ini hanya
timbul pada pasien yang memakai/menggunakan
antasida sistemik atau kalsium karbonat dan minum susu dalam jumlah besar untuk jangka lama. Geja-
lanya a.l. sakit kepala, iritabel, lemah, mual dan muntah. Sindroma ini ditandai dengan hiperkalse_ mia, alkalosis ringan, kalsilikasi dan terbentuknya batu ginjal serta gagal ginjal kronik. Keadaan ini diduga disebabkan protein dalam susu yang me_ ningkatkan absorpsi kalsium. Hiperkalsemia yang timbul mungkin menekan sekresi hormon paratiroid
yang selanjutnya meningkatkan ekskresi kalsium urin, dan dapat membentuk batu kalsium karena pengendapan di saluran kemih.
Batu ginjal, osteomalasia dan osteoporo_ sis. Aluminium hidroksida dan loslat dapat membentuk senyawa yang sukar larut dalam usus halus, sehingga mengurangi absorpsi loslat dan diikuti penurunan ekskresi losfat urin. penurunan absorpsi
ini berakibat resorpsi tulang yang selanjutnya me_ nyebabkan hiperkalsiuria dan meningkatnyaabsorpsi kalsium dari usus halus. perubahan metabo_
lisme kalsium ini dapat berakibat batu kalsium saluran kemih, osteomalasia dan osteoporosis. Neurotoksisitas. Aluminium yang diabsorpsi dalam jumlah kecil dapat tertimbun dalam otak, dan diduga mendasari sindroma ensefalopati yang ter-
jadi pada pasien gagal ginjal kronik dan pasien penyakit Alzheimer,
Saluran cerna. penggunaan antasid yang mengandung magnesium dapat menimbulkan diare dan yang mengandung aluminium menimbulkan obstruksi terutama berbahaya pada orang tua dengan perdarahan usus, Asupan natrium. Hampir semua antasid me_ ngandung nalrium, sehingga perlu diperhatikan
penggunaannya pada pasien yang harus diet ren_
dah natrium, misalnya pada penyakit kardiovaskular.
lnteraksi dengan obat lain. Antasid dapat mengurangi absorpsi berbagai obat misalnya lNH, penisilin, tetrasiklin, nitrolurantoin, asam nalidiksat, sulfonamid, fenilbutazon, digoksin dan klorpromazin. Antasid sistemik dapat meningkatkan pH urin, sehingga menurunkan ekskresi amin misalnya kina
dan amfetamin serta meningkatkan ekskresi sali_ silat.
ANTASID DALAM TERAPITUKAK PEPTIK Seringkali antasid digunakan dalam pengo_
batan sendiri (self medication) untuk berbagai keluhan lambung. Akibat iklan yang berlebihan maka masyarakat dan sebagian dokter percaya
bahwa setiap keluhan di bagian lambung akan sem_ buh dengan antasid, sehingga terjadi penggunaan antasid yang berlebihan.
Dalam pengobatan tukak peptik antasid memegang peranan penting di samping berbagai cara pengobatan lain. Dengan pemberian antasid, nyeri lambung pasien tukak peptik akan hilang, tetapi tidak berarti pasien dalam taral penyembuhan, jadi bahaya perforasi tetap ada. Kegagalan pengobatan simtomatik lukak pep_
tik dengan antasid disebabkan karena: lrekuensi pengobatan yang tidak adekuat, dosis yang diberi_ kan tidak cukup, pemilihan sediaan yang tidak tepat, sekresi asam lambung diwaktu tidur tidak terkontrol. Regimen dosis antasid bervariasi lergantung dari
beratnya gejala. Untuk tukak peptik tanpa kom_ plikasi pemberian pada 1 dan 3 jam setelah makan dan menjelang tidur malam umumnya memadai. Bentuk tablet maupun suspensi menunjukkan efektivitas yang sama.
Hal-hal berikut dapat digunakan sebagai doman untuk penggunaan antasid
pe_
penggunaan antasid sistemik jangka panjang sebaiknya dihindarkan; (2) bentuk suspensi mula kerjanya lebih cepat daripada bentuk tablet; (3) urutan daya netra_ lisasi asam oleh antasid dari yang tinggi ke yang : (1 )
505
Obat Lokal
Tabel 34-1. SEDIAAN ANTASID
Nama Obat Natrium bikarbonat
Bentuk sediaan dan
dosis
Tablet 500 mg
Dosis: 1-4 g/hari
Aluminium hidroksida
Tablet Suspensi 4% Dosis tunggal 0,6 g
Toksisitas
Keterangan
Alkalosis sistemik, udem, perforasi lambung
Digunakan untuk mengobati asidosis sistemik. Untuk membuat urin alkali. Untuk mengatasi pruritus Pada penggunaan lokal.
Ekskresi Al-fosfat melalui tinia meningkat, menimbulkan sindroma dePlesi fosfat. Menyebabkan konstipasi, mual, muntah dan obstruksi usus.
Aluminium losfat
Suspensi 4-5% Dosis : 15-45 ml
Konstipasi
Al-karbonat basa
Suspensi berisi 5% AlzOg dan 2,4 o/o COz Dosis : 8 ml
Konstipasi
Masa kerja sebagai antasid
lama. Mempunyai sifat astringen dan demulsen. Dapat digunakan unluk mengobati netrolitiasis lostat.
Sifat farmakologis sama seperti aluminium hidroksida. Satu ml susPensi
dapat menetralkan 1,2-1 ,5 mEq asam.
Al-natrium dihidroksikarbonat
Tablet: 300 mg Dosis :300-600 mg
Konstipasi
Kombinasi antara NaHCOs dan Aluminium hidroksida
Kalsium karbonat
Dosis 2-3 g/hari tablet 0,5-0,6 g
Fenomen acid rebound, linja menjadi keras, konstipasi, kerusakan ginjal, hi-
Mula kerja cepat, masa kerja panjang.
perkalsemia, alkalosis, rnilk alkali syndrome Magnesium karbonat
Dosis 0,6-2 g/hari
Magnesium hidroksida
Suspensi susu magnesium 7-8% Dosis 5-30 ml Tablet 325 mg
Efeknya lebih lambat dari pada kalsium karbonat. Kebutuhannya lebih besar daripada kalsium karbonat. Diare (bersilat katartik), ion magnesium yang diseraP akan menyebabkan kelainan neuromuskular.
Kerjanya lama, efek ne' tralisasinya lengkaP. lon magnesium Yang diabsorpsi akan menyebabkan
efek sistemik. Urin menjadi alkalis.
Magnesium trisilikat
Tablet 500 mg Dosis 1-4 g/hari
Diare, s/icaous ne1hroliths
SiOe yang terjadi daPat
melapisi dan melindungi ulkus. Kerjanya lambat. Sebagai adsorben Pada ke' racunan oral,
506
Farmakologi dan Terapi
rendah ialah sebagai berikut
: kalsium karbonat, magnesium karbonat, magnesium oksida dan mag_ nesium hidroksida, dihidroksi aluminium natrium karbonat atau dihidroksi aluminium asetat; (4) campuran"dua atau lebih antasid tidak lebih baik daripada satu macam sediaan antasid. Untuk menghilangkan konstipasi atau diare lebih baik diberikan dua preparat yang terpisah daripada sebagai campuran; (5) jangan menilai biaya pengobatan menu_ rul harga saluan (unit), tetapi berdasarkan biaya sehari untuk mempertahankan netralnya asam lam_ bung, Pada pasien tukak peptik yang berat peng_ obatan dengan antasid perlu dilakukan bersamaan segala usaha pengobatan lainnya yaitu diet, istirahat, psikoterapi, pemberian antikolinergik. pemberian obat sedatif nyatanya tidak lebih baik dari plasebo.
1.2. OBAT PENGHAMBAT SEKRESI
ASAM LAMBUNG Selain antasid, juga digunakan obat berikut pada tukak peptik yaitu antihistamin H2 (lihat Bab 18), antikolinergik (dibahas di Bab 3), sukralfar,
omeprazol, dan misoprostol. Hanya tiga obat yang disebut terakhir akan dibahas di sini. Omeprazol dapat dikatakan bekerja lokal. Misoprostol kerjanya lebih luas tetapi dibahas di sini atas dasar penggunaannya yang sama. OMEPRAZOL Omeprazol merupakan penghambat sekre$i asam lambung lebih kuat dari AHz. Obat ini bekerja di proses terakhir produksi asam lambung, lebih distal dariAMp.
Farmakodinami. Omeprazol merupakan basa lemah yang terkumpul di kanalikuli sekretoar dan mengalami aktivasi disitu. Bentuk aktifnya berikatan
dengan gugus sulfhidril enzim H*, K*, ATpase (enzim ini dikenal sebagai pompa proton) dan berada di membran apikal sel parietal. lkatan ini menyebabkan terjadinya penghambatan enzim terse_ but. Produksi asam lambung praktis terhenti (> 90%) setelah penghambatan pompa proton tersebut.
Omeprazol menurunkan sekresi asam lambung basal dan akibat stimulasi, lepas dari jenis perangsangnya histamin, asetilkolin atau gastrin.
Penghambatan maksimal bertahan selama 4 jam, tetapi produksi asam lambat kembali ke nilai nor_ mal.
Penghambatan berlangsung lama dan pro_ duksi baru kembali ke nilai normal 3-5 hari setelah dosis tunggal. Plasma gastrin meningkat setelah pengobatan 7 hari atau lebih dan baru kembali normal 7-14 hari setelah obat dihentikan. plasma gastrin meningkat akibat hipoasiditas, jadi bukan efek primer obat ini. Omeprazol tidak mempenga_ ruhi sekresi pepsin.
Farmakokinetik. Omeprazol sebaiknya diberikan sebagai tablet salut enterik. Sediaan ini tidak mengalami aktivasi di lambung sehingga bioavailabilitasnya lebih baik. Tabletyang pecah di lambung mengalami aktivasi lalu terikat pada berbagai gugus sulfhidril mukus dan makanan. Obat ini mempunyai masalah bioavailabilitas, formulasi berbeda memperlihatkan presentasi jumlah absorpsi yang bervariasi luas. Bioavailabilitas tablet yang bukan salut enterik meningkat dalam 5-7 hari, ini dapat dijelaskan dengan berkurangnya produksi asam lambung setelah obat bekerja. Omeprazol mengalami metabolisme lengkap. Tidak ditemukan omeprazol dalam bentuk asal di urin, 20% dari obat radioaktif yang ditelan ditemukan dalam tlnja.
lndikasi. lndikasi omeprazol sama dengan AHz
yaitu pada penyakit peptik. Terhadap sindrom Zol_ linger-Ellison, obat ini dapat menekan produksi asam lambung lebih baik dari AH2 pada dosis yang efek sampingnya tidak terlalu mengganggu. Efektivitas dan dosis obat ini untuk mencegah kambuhnya tukak peptik sedang diteliti.
Efek Samping. Pada uji klinik, efek samping obat ini tidak berbeda dengan plasebo. pemberian 200 mg lV selama 24 jam tidak menimbulkan masalah. Setelah pengobatan selama 4 tahun tidak didapatkan peninggian insidens tumor karsinoid lambung. Kekhawatiran terjadinya tumor tersebut didasarkan peningkatan insidens pada hewan coba yang diberi omeprazol dosis besar secara kronis.
lnteraksi Obat. Omeprazol tidak berinteraksi dengan obat lain seluas AHz. lnteraksi dengan teofilin dan propranolol tidak terjadi. peningkatan kadar diazepam dan memanjangnya waktu tidur oleh barbiturat pada eksperimen hewan dilaporkan terjadi. Dosis : 20 mg sehari, kecuali untuk pasien sindrom Zollinger- Ellison yang memerlukan 60-70 mg/hari.
Farmakologi dan Terapi
Pepsin ialah enzim proteolitik yang kurang penting dibanding dengan enzim pankreas. pada
karena
delisiensi pepsin, tidak ditemukan gejala yang seriu.s. Delisiensi pepsin total ditemukan pada
bukan produksi empedu,
pasien aklorhidria. Kegagalan lambung untuk mensekresi pepsin dan asam dengan rangsangan yang adekuat disebut akilia gastrika, sering lerjadi pada pasien anemia pernisiosa dan karsinoma lambung.
Empedu. Empedu mengandung asam empedu dan
konjugatnya. Zat empedu yang penting untuk manusia ialah garam natrium asam kolat dan asarn kenodeoksikolat. Selain penting untuk penyerapan lemak, empedu juga penting untuk absorpsi zat larut lemak misalnya vitamin A, D, E dan K. Dalam jumlah besar, garam empedu dapat menetralkan asam lambung yang masuk ke duodenum. pada keadaan normal hati mensekresi + 24 g garam empedu atau 700-1000 ml cairan empedu/hari. Kira-kira g5% empedu direabsorpsi pada usus kecil bagian bawah (sirkulasi enterohepatik), sehingga hanya g00 mg
garam empedu yang harus disintesis per harinya. Asam-asam empedu meningkalkan sekresi empedu dan disebut zat koleretik, garam empedu kurang memperlihatkan aktivitas koleretik. Asam dehidrokolat suatu kolat semisintetik terutama aktil untuk merangsang empedu dengan BM rendah
itu dinamakan zat hidrokoleretik. Zat
ini
hanya merangsang pengeluaran empedu dan Berbeda dengan asam kolat, asam kenodeoksikolat menurunkan kadar kolesterol dalam empedu. Obat ini berguna untuk mengatasi batu koles-
terol kandung empedu pada pasien tertentu. Obat ini bekerja dengan menurunkan absorpsi kolesterol
dari usus (mungkin karena sekresi garam empedu kurang) dan menurunkan sintesis kolesterol sehubungan dengan hambatan terhadap hidroksi-metil glutanil -KoA reduklase. Bila kadar asam kenodeoksikolat mencapai 70% empedu total, maka larutan empedu yang tadinya jenuh kolesterol menjadi tidak jenuh. Obat ini tidak mempengaruhi batu kalsium atau batu pigmen empedu yang radiolusen. Pengobatan jangka panjang dengan obat ini menyebabkan atroli mikrovili saluran empedu dan meningkatnya liposit sinusoidal. Hepatotoksisitas juga dilaporkan terjadi, yang dihubungkan dengan metabolitnya yaitu asam litokolat. Diare dapat juga terjadi. Garam empedu menurunkan resistensi mukosa saluran cerna terhadap HCl. Kenyataan ini
diduga mempunyai implikasi terhadap terjadinya gastritis, tukak peptik dan relluks esofagitis. Dalam Tabel 34-2dapal dilihat sediaan enzim dan penggunaannya.
Tabel34-2. DIcESTAN DAN ENZTM LAtNNYA Nama
obat
Asam
glutamat
Pepsin
Bentuk sediaan dan dosis
Penggunaan
Kapsul 340 mg Dosis : 0,35-1 g Eliksir 5,5% Dosis : 2-4 ml
Membantu pemecahan protein
menjadi proteosa dan pepton.
Terapi tambahan pada akilia gastrika
Pankreatin
Keterangan
Tablet bersalut enteral Dosis 0,3-1 g/kg BB/hr
Membantu pencernaan karbohidrat dan protein pada defisiensi pankreas seperti pada pankreatitis dan pankreas fibrokistik.
Asal dari mukosa lambung berbagai jenis hewan yang biasa dimakan. Pada suasana asam, pepsin menghancurkan pankreatin, sedangkan pada suasana basa atau netral, pepsin dihancurkan oleh pankreatin. Asal ekstrak pankreas dari berbagai hewan, mengandung tripsin,lipase, dan amilase. Menyebabkan reaksi alergi, serta iritasi bukal dan perianal.
Obat Lokal
509
Tabel 34-2. DIGESTAN DAN ENZIM LAINNYA (Sambungan)
Nama obat
Bentuk sediaan dan dosis
Diastase Papain
Dosis : 60-300 mg Dosis 120-600 mg
Asam dehidrokolat
Tablet 250 mg Dosis 3 kali 250 mg/hari
Natrium dehi-
drokolat
500 mg dalam 10 ml air, 600 mg dalam 3 ml air, 1 g dalam 1 ml air, 2 g dalam 10 ml air, Dosis lV 0,1-1 g
Penggunaan Amylaceous dyspepsia Membantu pencernaan protein pada dispepsia kronik dan gastrltis
Keterangan
Enzim proteolitik atau campuran enzim-enzim asal Carica papaya. Bisa menyebabkan reaksi alergi dan menghancurkan dinding esof agus sehingga dapat menyebabkan perlorasi
Merangsang sekresi empedu
Tidak boleh diberikan
(volume) tanpa meningkatnya garam dan pigmen
pada penderita obstruksi biliar, dan hepatitis
empedu.
berat.
Seperti asam dehidrokolat
Elek toksik berupa hipotensi, bradikardi, otot hiperaktif , dan reaksi alergi. Pemberian lV cepat bisa menyebabkan kematian. Bila pemberian lV bocor menyebabkan reaksi lokal (ekstravasasi).
2. PENCAHAR 2.1. PATOFISIOLOGI KONSTIPASI Konstipasi ialah kesulitan defekasi karena tinja yang mengeras, otot polos usus yang lumpuh misalnya pada megakolon kongenital dan gangguan relleks delekasi (konstipasi habitual); sedangkan
obstipasi ialah kesulitan defekasi karena adanya obstruksi intral atau ekstralumen usus, misalnya pada karsinoma kolon sigmoid. Faktor penyebab konslipasi lainnya ialah: (1) psikis, misalnya akibat perubahan kondisi kakus, perubahan kebiasaan defekasi pada anak, perubahan situasi misalnya dalam perjalanan, atau gangguan emosi misalnya pada keadaan depresi mental; (2) penyakit, misalnya hemoroid sebagai akibat kegagalan relaksasi sfingter ani karena nyeri, miksudem dan skleroderma, kelemahan otot punggung atau abdomen pada kehamilan multipara; dan
(3) obat, misalnya opium, antikolinergik, penghambat ganglion, klonidin, verapamil atau antasid aluminium dan kalsium. Mekanisme kerja pencahar yang sesungguhnya masih belum dapat dijelaskan, karena kom-
pleksnya faktor-faktor yang mempengaruhi lungsi kolon, transport air dan elektrolit. Secara umum dapat dilelaskan a.l. sebagai berikut : (1) sifat hidro-
filik atau osmotiknya sehingga terjadi penarikan air dengan akibat masa, konsistensi dan transit tinja bertambah; (2) pencahar bekerja langsung ataupun
tidak langsung terhadap mukosa kolon dalam menurunkan (absorpsi) air dan NaCl, mungkin dengan
mekanisme seperti pada (1); (3) pencahar dapat meningkatkan motilitas usus dengan akibat menurunnya absorpsi garam dan air dan selanjutnya mengurangi waktu transit.
Pembicaraan tiap obat pencahar disederhanakan dengan mengemukakan elek samping, bentuk dan dosis obat dalam Tabel 34-3,
510
Farmakologi dan Tarapi
Tabel 34-3. OBAT PENCAHAR
Nama Obat PENCAHAR RANGSANG Minyak jarak
Bentuk Sediaan dan Dosi3
Efek samping/toksisitas
Dewasa : 15-60 ml
Kelerangan
Dianjurkan untuk diberikan pagi hari waktu perut kosong. Dosis lsbih b€sar tidak menambah €l€k pen-
Anak : 5-15m|
cahar. Elek p€ncahar terlihat setelah 3.iam
Dilsnilmetan Fenolltalein
Bisakodil
Tabl€t 125 mg
Dosis:60-100
mg
Tabl€t bersalut enteral 5 E 10 mg
Suposiloria 10 mg Dosis dewasa 10-15 mg Dosis anak 5-10 mg Oksilenisatin
Tablet 5 mg, sirup 5 mg/
5ml
Elektrolit banyak keluar Urin & tinja warna merah. Reaksi alergi.
Etek p€ncahar terlihat s€. telah 6-8 iam.
Kolik usus Perasaan terbakar pada penggunaan rektal
Efek p€ncahar lerlihat set6lah 6-12 jam. Pada pemberian rektal €t€k pencahar t€rlihat setelah 1/4-1 iam.
lkterus, hepatitis dan reaksi hipersensitivitas
Jarang digunakan. Elek pencahar terlihal s€lelah 6-12 iam
Supositoria 10 mg Dewasa, oral 4-5 mg, perrektal 10 mg Anak, oral 1.2 mg Antrakinon Kaskara sagrada
Sirup&Eliksir&tablet
Pigmentasi mukosa kolon
Zat aktif ditemukan pada air susu ibu. Elek pencahar torlihat se. telah 8-12 jam
Penggunaan lama menyebabkan kerusakan n€uron mesenterik
Etek pencahar t€rlihat set€lah 6 jam.
125 mg Dosis 2-5 ml atau 100-300 mg. Sena
Sirup & Eliksir, dosb
2-4 ml. Tabl€t 28O mg, dosis 0,5-2 g Dantron
Tabl€t 75 mg, dosis
Elek pencahar terlihat setelah 6-8 jam.
75"150 mg
PENCAHAR GARAM Magnesium sullal
Bubuk, dosis dewasa 15-3O g
Mual, dehidrasi, dekompen.
sasi ginjal, hipotensi paralisis p€rnapasan
Pemberian oral dapat diabsorpsi 2070. Elek pencahar t€rlihat sotelah 3.6 jam.
Susu magnesium
Suspensi, dosis dewasa. 15-30 ml
Magn€sium oksida
Dosis dowasa 2-4 gram
Magn€sium sitrat
Dosis dewasa 200 ml.
Natrium toslat
Dosis dewasa 4-8 g
Nalrium sullat
Dosis dewasa 15 g
Natrium losfat
Dosis dewasa 4 g
sda
sda E ek p€ncahar t€rlihat sslelah 6 jam.
Harga mahal diuresis, dehidrasi
511
Obat Lokal
Tabel 34-3.. OBAT PENCAHAR (Sambungan) Nama Obat
Bentuk Sediaan dan Dosis
Efek samping/toksisitas
Keterangan
Bubuldgranula 500 mg Tabl€Vkapsul 500 mg Dosis anak 3-4 kali 500 mg/hari Dosis dewasa 2-4 kali 1,5 g/hari
Obstruksi usus dan
Elek pencahar lerlihat so
PENCAHAR PEMBENTUK MASSA
Semisintetik: Metilselulosa
Natriumkarboksi-
Tabl€t 0,5 dan 1 g
melilselulosa
Kapsul 650 mg Dosis dewasa 3-6 g
Kalsium polikarbolil
1-2 x 1 .000 mg sehari, maksimum 6 g/hari disertai air minum 250 ml
Zat Alami
esofagus
sda
telah 12-24 iam.
Silat-sifatnya sama sep€rti m€lilselulosa, kecuali tidak larut dalam cairan lambung.
:
Kaya akan hemiselulosa
Dosis dewasa 4'16 g
Agar
PENCAHAH EMOLIEN Dioktilnatrium sulfosuksinat
Tablet 50-300 mg Susp€nsi 4 mg/ml Dosis anak 10-40 mg/hari Dosis dewasa 50-500 mg/hati
Pada hewan coba menyebabkan muntah dan diare
Etek p€ncahar terlihat setelah 24-28 jam
Dioktilkalsiumsul-
Kapsul 50 dan 2zl0 mg Dosis dewasa 50-240 mg/hari
Kolik usus
losuksinat
Sifat-silatnya mirip dengan dioklilnatrium" su lfosuksinat
Parafin cair
Dosis dowasa 15-30 mUhari
Mengganggu absorpsi zat-zat larut lemak. Lipid pnaumonia. Hipoprotrombinomia dan pruritus ani.
Minyak zaitun
Dosis 30 mg
2.2. PILAHAN PENCAHAR PENCAHAR RANGSANG Pencahar rangsang (stimulant cathartrcs) me-
rangsang mukosa, saraf intramural atau otot polos usus sehingga meningkatkan peristalsis dan sekresi lendir usus. Pencahar rangsang dapat menghambat Na*, K* ATPase yang mungkin merupakan sebagian dari kerjanya sebagai pencahar, Banyak diantara pencahar rangsang juga meningkatkan sintesis prostaglandin dan siklik AMP, dan kerja ini meningkatkan sekresi air dan elektrolit. Penghambatan sintesis prostaglandin dengan indometasin
menurunkan efek berbagai obat ini terhadap jumlah
sekresi air. Dilenilmetan dan antrakinon ker,ianya terbatas pada usus besar sehingga terdapat masa laten 6 jam sebelum timbul efeknya. Minyak jarak, yang kerjanya pada usus halus, mempunyai masa laten 3 jam. MINYAK JARAK (Castor oil - oleum ricini),berasal dari biji Ricinus communis, suatu trigliserid asam risinoleat dan asam lemak tidak jenuh. Di dalam usus halus minyak jarak dihidrolisis oleh enzim lipase menjadi gliserol dan asam risinoleat. Asam risinoleat inilah yang merupakan bahan aktil. Minyak jarak juga bersilat emolien. Sebagai pencahar obat ini tidak banyak digunakan lagi karena banyak obat
512
Farmakologi dan Terapi
lain yang lebih aman. Minyak jarang menyebabkan
kolik, dehidrasi yang disertai gangguan elektrolit. Obat ini merupakan bahan induksi diare pada pene_ litian diare secara eksperimental pada tikus.
DIFENILMETAN. Fenolftalein diberikan per oral
dan mengalami absorpsi kira-kira 15% di usus
halus. Efek fenoftalein dapat bertahan lama karena mengalami sirkulasi enterohepatik. Sebagian besar
lenolftalein diekskresi melalui tinja. Sebagian lagi diekskresi melalui ginjal dalam bentuk metabolitnya. Pemberian dosis besarlenolftalein menyebabkan bentuk utuh ditemukan dalam urin; pada sua_ sana alkali menyebabkan urin dan tinja berwarna merah. Ekskresi bersama ASI jumlahnya kecil se_ hingga tidak mempengaruhi bayi yang disusui. Fenolftalein relatif tidak toksik untuk pengo_ batan jangka pendek, tetapi dosis berlebihan me_ ningkatkan kehilangan elektrolit. Fenolltalein dapat menimbulkan reaksi alergi berupa erupsi, sindrom Stevens-Johnson, urlikaria dan pigmentasi kulit.
Kadang-kadang menimbulkan albuminuria dan
adanya hemoglobin bebas dalam urin.
Bisakodil. Penelitian pada tikus, bisakodil secara oral mengalami hidrolisis menjadi dilenol di usus bagian atas. Difenol yang diabsorpsi mengalami konjugasidi hatidan dinding usus. Metabolit ini
di_
ekskresi melalui empedu, selanjutnya mengalami rehidrolisis menjadi difenol kembali yang akan merangsang motilitas usus besar. Efek pencahar timbul 6-12 jam setelah pemberian oral, dan seperempat sampai satu jam sete_ lah pemberian rektal. Pada pemberian oral, bisakodil diabsorpsi kira-kira So/0, dan diekskresi bersama urin dalam bentuk glukuronid. Ekskresi bisakodil terutama dalam tinja. Dosis oral dewasa 10-15 mg dan anak 5-10 mg (0,8 mg/kgBB). Untuk menghindari iritasi lam_ bung tablet bisakodil harus ditelan langsung, jangan
diisap atau dihancurkan. Bisakodil jangan dimai 250 mg. Jenis elek samping A/KV sama dengan amoksisilin tunggal. Dilaporkan A/KV dapat mengganggu lungsi hati yaitu berupa peningkatan lransminase serum. Kelainan ini dapat kembali normal bila obat dihentikan. Alergi terhadap penisilin merupakan kontraindikasi pemberian A/KV. POSOLOGI. Dosis A/KV per oral untuk dewasa dan anak (berat > 40 kg) ialah 250 mg/125 mg tiap 8 jam. Untuk penyakit berat dosis Fi/KV 500 mg/125 mg tiap 8 jam. Untuk anak-anak < 40 kg dosis amoksisilin 20 mg/kg /hari, dosis KV disesuaikan dengan dosis amoksisilin. DINATRIUM TIKARSILIN/KALIUM KLAVULANAT
Tikarsilin ialah suatu karboksipenisilin, berspektrum antibakteri lebih luas dari ampisilin, termasuk Ps. aeruginosa dan kokus gram-negatif.. Obat ini aktil terhadap bakteria gram- positif kecuali enterokok dan stafilikok penghasil betalaktamase atau resisten terhadap metisilin. Tambahan asam klavulanat tidak meningkatkan aktivitas tikarsilin terhadap Ps. aeruginosa, A. calcoacetieug S. marces-
cens dan Enterobicter.
Seperti kombinasi amoksisilin/klavulanat, kombinasi tikarsilin/kalium klavulanat memperluas
648
Farmakologi dan Terapi
spektrum tikarsilin. Tetapi kombinasi ini kurang
rata-rata dalam serum mencapai 18 ug/ml dan 13
elektif terhadap stafilikok yang resisten metisilin. Elek samping kombinasi sama dengan tikarsilin. dan amoksisilin/kalium klavulanat.
ug/ml.
FARMAKOKINETIK. Setelah pemberian infus (30 menit) 3 g tikarsilin/100 g kalium klavulanat, segera dicapai kadar puncak rata-rata dalam darah tikarsilin 330 ug/ml dan asam klavulanat 8 ug/ml. Kadar yang sama akan dicapai bila kedua obat tersebut diberikan masing-masing dalam bentuk tunggal. PENGGUNAAN. Tikarsilin/klavulanat diindikasikan untuk infeksi berat saluran napas bawah, saluran kemih, tulang dan sendi, kulit dan jaringan lunak dan
septisemia oleh bakteria gram-negatif, S. aureus penghasil betalaktamase, dan kuman yang peka terhadap tikarsilin. Selain itu digunakan juga untuk pengobatan inleksi campur intra-abdominal dan ginekologik.
POSOLOGI. Tikarsilin/kalium klavulanat diberikan
secara infus intermiten selama 30 menit. Untuk infeksi saluran kemih sistemik pada orang dewasa (60 kg) dosis tikarsilin/kalium klavulanat 3 g/100 mg
tiap 6 jam per hari; untuk pasien kurang dari 60 kg, 200 sampai 300 mg/kg /hari( berdasarkan komponen tikarsilin) dibagi tiap 4 sampai 6 jam pemberian. Dosis anak di bawah 12 tahun belum diketahui.
Sekitar 38% SB dalam serum terikat protein plasma, obat ini didistribusi terutama ke dalam cairan ekstrasel. Sulbaktam mencapai kadar tinggi di urin, kadar cukup di empedu, mukosa saluran cerna, saluran reprodukssi wanita, selain itu dapat melewati plasenta dan terdapat di air susu ibu. Ekskresi SB melalui liltrasi glomerulus dan sekresi tubuli ginjal, dapat diperlambat oleh probenesid. Kira-kira 75%-85% dosis terdapat di urin dalam bentuk asal, setelah + 8 jam. Waktu paruh eliminasi SB + 1 jam pada dewasa sehat. Pada neonatus, usia lanjut dan penderita kelainan lungsi ginjal wak-
tu paruh SB memanjang. Pada gangguan lungsi ginjal perlu penyesuaian dosis.
POSOLOGI. Ampisilin/sulbaktam dapat diberikan secara lM dalam, lV 10 sampai 15 menit atau inlus lV (50 ml dalam 100 ml pelarut) 15 sampai 30 menit. Untuk dewasa lV, lM-dalam AP/SB 1 g/0,5 S - 2Sl1 g setiap 6 jam. Dosis total sulbaktam tldak lebih dari 4 g/hari. Untuk anak kurang dari 12 tahun belum ada dosis mapan. Untuk penderita dengan kelainan fungsi ginjal dosis disesuaikan dengan bersihan kreatinin, sebagai berikut :
Bersihan Waktu Paruh kreatinin ampisilin/sulbaktam (jam)
NATBTUM AMplStLtN/NATRtUM SULBAKTAM
ln vitro ampisilin (AP) aktif terhadap berbagai kuman gram- positif dan gram-negatif dan beberapa jenis kuman anaerob. Kombinasi dengan sulbaktam (SB) tidak mengubah aktivitas AP, tetapi memper-
luas spektrumnya mencakup kuman penghasil betalaktamase yang intrinsik termasuk galur peka terhadap AP dan kuman anaerob termasuk B. fragitis.
lNDlKASl. Ampilisin/sulbaktam diindikasi pada in-
leksi (oleh kuman yang sensitif) ginekologik, intra abdominal dan kulit serta jaringan lain pada dewasa dan anak usia lebih dari 12 tahun. Selain itu juga diindikasikan untuk mengatasi infeksi campur aerobik dan anaerobik.
FARMAKOKINETIK. Kedua komponen tersebut tidak saling mempengaruhi secara larmakokinetik. Pemberian AP/SB 2 Sl1 g secara inlus lV selama 15 menit akan menghasilkan kadar puncak dalam serum 120 ug/ml dan 60 uglml. Satu jam setelah pemberian lM AP/SB 1 g/500 mg kadar puncak
>30
1
15 - 29
5
5-14
I
1,5-3gtiap6-8jam
1,5-3gtiap12 1,5-3gtiap24
jam jam
EFEK SAMPING. Dosis ini umumnya ditoleransi dengan baik. Efek samping yang timbul sama dengan efek samping ampisilin tunggal.
3.3. KOMBINASI KARBAPENEM tMtPENEM/NATRtUM STLASTATTN
lmipenem, suatu turunan tienamisin, mbrupa-
kan karbapenem pertama yang digunakan dalam pengobatan. Tienamisin diproduksi oleh Strepto myces cattleya. lmipenem mengandung cincin betalaktam dan cincin lima segi tanpa atom sulfur. Oleh enzim dehidropeptidase yang terdapat pada brush border tubuli ginjal, obat ini dimetabolisme menjadi metabolit yang nelrotoksik, Hanya sedikit yang terdeteksi dalam bentuk asal di urin.
Penisilin, Sefalosporin dan Antibiotik Betalaktam Lainnya
dapnya, imipenem memperlihatkan efek pascaantibiotik. SCH2CH2NHCH -
no\"
NH
H20
n"'I CH3
lmlpenem
H\ /'COONa C-C
H
Hooc. , ' C-
cnzscH
I NH2
/
\
zcnzinz i'll-l
ctl3
I >-cH3 o-c---< H
Natrium silastatin
Silastatin, penghambat dehidropeptidase-1,
tidak beraktivitas antibakteri. Bila diberikan bersama imipenem dalam perbandingan sama, silastatin akan meningkatkan kadar imipenem aktif di dalam urin dan mencegah efek toksiknya terhadap ginjal.
Mekanisme kerja dan spektrum antibakteri. lmipenem mengikat PBP2 dan menghambat sintesis
dinding sel kuman. ln vitro obat ini berspektrum sangat luas, termasuk kuman gram-positil dan gram-negatif , baik yang aerobik maupun anaerobik; imipenem beraktivitas bakterisid. Selain itu obat ini
resisten terhadap berbagai jenis betalaktamase baik yang diperantarai plasmid maupun kromosom. lmipenem in vitro sangat aktil terhadap kokus gram-positif , termasuk staf ilokok, streptokok, pneumokok dan E. faecalrs serta kuman penghasil betalaktamase umumnya. Tetapi obat ini tidak aktil terhadap stafilokok resisten metisilin atau galur yang uji koagulasinya negatif. lmipenem aktif terhadap sebagian besar Enterobacteriaceae, potensinya sebanding dengan aztreonam dan sefalosporin generasi ketiga. Selain itu spektrumnya meluas mencakup kuman yang resisten penisilin, aminoglikosida dan sefalosporin generasi ketiga. lmipenem juga sangat aktif terhadap meningokok, gonokokus dan H. influenzae termasuk yang memproduksi
betalaktamase. Terhadap Acinetobacter dan Ps. aeruginosa aktivitasnya sebanding dengan seftazidim. Terhadap kuman anaerob aktivitasnya sebanding dengan klindamisin dan metronidazole, tetapi terhadap Clostridium difficile tidak aktif. Terhadap sebagian besar kuman yang sensitif terha-
lNDlKASl. lmipenem/silastatin digunakan untuk pengobatan inteksi berat oleh kuman yang sensitif, termasuk infeksi nosokomial yang resisten terhadap antibiotik lain, misalnya infeksi saluran napas bawah, intra abdominal, obstetri-ginekologi, osteomielitis dan endokarditis oleh S. aureus. Untuk inleksi berat oleh Ps. aeruginosa dianjurkan agar dikombinasikan dengan aminoglikosida, karena bere{ek sinergestik. EFEK SAMPING. lmipenem/silastatin dosis 1 sampai 4 g tiap komponen per hari, umumnya ditoleransi dengan baik. Efek samping yang mungkin timbul secara umum sama dengan antibiotik betalaktam lainnya. Efek samping yang paling sering dari imipenem ialah mual, muntah, kemerahan kulit dan reaksi lokal pada tempat infus. Kejang dilaporkan terjadi pada 0,9% dari 1,754 pasien yang mendapat obat tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut obat ini dikontraindikasikan pada pasien yang berisiko tinggi untuk menderita kejang. Bila diberikan bersama siklosporin sebaiknya hati-hati, karena keduanya dapat mengganggu susunan saraf pusat.
FARMAKOKINETIK. lmipenem maupun silastatin
tidak diabsorpsi melalui saluran cerna, sehingga harus diberikan secara suntikan. Setelah pemberian masing-masing 1 g impenem/silastatin secara infus 30 menit, kadar puncak rata-rata dapat mencapai 52 dan 65 ug/ml. Enam jam kemudian kadar menurun sampai 1 ug/ml. Kadar puncak imipenem dalam plasma (10 dan 12 prg/ml) dicapai dalam 2 jam. Kadar puncak silastatin 24 dan 33 prg/ml yang dicapai 1 jam sesudah pemberian. Kira-kira 20% impenem dan 40% silastatin terikat protein plasma. Distribusi obat ini merata ke berbagai jaringan dan cairan tubuh, Pada meningitis, pemberian 1 g obat ini tiap 6 jam, akan mencapai kadar dalam cairan otak setinggi 0,5 dan 11 pg/ml. Kadar imipenem dalam empedu umumnya rendah. Obat ini diekskresi melalui liltrasi glomerulus dan sekresi tubu'li ginjal.
Bila diberikan bersama silastatin, + 70% dati dosis imipenem diekskresi di urin dalam bentuk asal
10 jam sesudah pemberian, sisanya dimetabolisme. Silastatin diekskresi dalam urin sekitar 75% dalam bentuk asal, sisanya dimetabolisme, Metabolit utama sebanyak + 12% dari dosis terdapat di
650
urin sebagai N-asetil silastatin. Ekskresi imipenem maupun silastatin melalui tinja hanya sekitar 1%. Waktu paruh imipenem dan silastatin + 1 jam padg orang dewasa. Pada kelainan fungsi ginjal waktu paruh imipenem dapat mencapai 3,5 sampai 4 jam dan silastatin sampai 16 jam sehingga perlu penyesuaian dosis. Pada hemolisis waktu paruh
Farmakolqi dan Terapi
imipenem 2,5 iam dan silastatin 3,8 jam, sehingga sesudah dialisis pedu dosis suplemen.
POSOLOGI. Dosis lazim imipenem ialah 0,5-1 g tiap 6 jam. Dosis harus dikurangi pada keadaan payah ginjal dan dosis tambahan diberikan setelah hemodialisis.
651
Golongan Tetrasiklin dan Kloramfenikol
44. GOLONGAN TETRASIKLIN DAN KLORAMFENIKOL R. Setiabudy dan L. Kunardi
1.
Golongan tetrasiklin 1.1. Asal dan kimia 1.2. Mekanisme kerja 1.3. Efek antimikroba 1.4. Farmakokinetik 1.5. Efek samping 1.6. Penggunaan klinik 1.7. Sediaan dan posologi
2.
Kloramfenikol 2.1. Asal dan kimia 2.2. Elek antimikroba 2.3. Farmakokinetik 2.4. Elek samping 2.5. Penggunaan klinik 2.6. Sediaan dan posologi 2.7. Tiamfenikol
Rg
1. TETRASIKLIN
N(CHs)z
1.1. ASAL DAN KIMIA Antibiotik golongan tetrasiklin yang pertama ditemukan ialah klortetrasiklin yang dihasilkan oleh Streptomyces aureofaciens. Kemudian ditemukan oksitetrasiklin dari Streptomyces rimosus. Tetrasiklin sendiri dibuat secara semisintetik dari klortetrasiklin, tetapi juga dapat diperoleh dari spesies Strep-
tomyces lain. Tetrasiklin merupakan basa yang sukar larut dalam air, tetapi bentuk garam natrium atau garam HCI-nya mudah larut. Dalam keadaan kering, bentuk basa dan garam HCI tetrasiklin bersilat relatif stabil. Dalam larutan, kebanyakan tetrasiklin sangat labil jadi cepat berkurang potensinya.
Gugus Jenis tgtrasiklin Rr 1. Klortetrasiklin 2. Oksitetrasiklin 3. Tetrasiklin 4. Demeklosiklin 5. Doksisiklin 6. Minosiklin
-ct .H -H
-ct .H -N(CHo)e
Rg
-OH -OH -OH -H, -OH -CHg, -H .H, .H
-CHg, -CHo, -CHs,
-H, -H -OH, -H -H, -H
-H, -H -OH, -H .H, .H
Struktur kimia golongan tetrasiklin dapat dilihat pada Gambar 44-1.
Gambar 44-1, Struktur kimia golongan tetrasiklin
1.2. MEKANISME KERJA Golongan tetrasiklin menghambat sintesis protein bakteri pada ribosomnya. Paling sedikit terjadi 2 proses dalam masuknya anlibiotik ke dalam ribosom bakteri gram-negatif; pertamayang disebut dilusi pasil melalui kanal hidrofilik, ke dua ialah sistem transport aktil. Setelah masuk maka antibiotik berikatan dengan ribosom 30S dan menghalangi masuknya komplek tRNA-asam amino pada lokasi asam amino.
1.3. EFEK ANTIMIKROBA Pada umumnya spektrum golongan tetrasiklin
sama (sebab mekanisme kerjanya sama), namun terdapat perbedaan kuantitatil dari aktivitas masingmasing derivat terhadap kuman tertentu. Hanya mikroba yang cepat membelah yang dipengaruhi obat ini.
Farmakologi dan Terapi
Golongan tetrasiklin termasuk antibiotik yang terutama bersifat bakteriostatik dan bekerja dengan jalan menghambat sintesis protein kuman (lihat Bab 3e). .
sistensi terhadap semua letrasiklin lainnya, kecuali minosiklin pada resistensi S. aureus dan doksisiklin pada resistensi B. fragilis.
Spektrum Antimikroba. Tetrasiklin memperlihatkan spektrum antibakteri luas yang meliputi kuman gram-positif dan negatif, aerobik dan anaerobik. Selain itu juga aktif terhadap spiroket, mikoplasma, riketsia, klamidia, legionela dan protozoa tertentu.
Pada umumnya tetrasiklin tidak digunakan untuk pengobatan inleksi oleh streptokokus karena ada obat lain yang lebih efektil yaitu penisilin G, eritromisin, selalosporin; kecuali doksisiklin yang digunakan untuk pengobatan sinusitis pada orang dewasa yang disebabkan oleh Str. pneumoniae dan Str. pyogenes. Banyak strain S. aureus yang resisten terhadap tetrasiklin.
Tetrasiklin dapat digunakan sebagai peng-
ganti penisilin dalam pengobatan inleksi batang gram-positif seperti B. anthracis, Erysipelothrix rhusiopathiae, Clostridium tetani dan Listeria monocytogenes.
1.4. FARMAKOKINETIK Absorpsi. Sekitar 30-80 % tetrasiklin diserap dalam saluran cerna. Doksisiklin dan minosiklin diserap lebih dari 90 %. Absorpsi ini sebagian besar berlangsung di lambung dan usus halus bagian atas. Adanya makanan dalam lambung menghambat penyerapan golongan tetrasiklin, kecuali minosiklin dan doksisiklin. Absorpsi berbagai jenis tetrasiklin dihambat dalam derajat tertentu oleh pH tinggi dan pembentukan kelat yaitu kompleks tetrasiklin dengan suatu zat lain yang sukar diserap seperti alurninium hidroksid, garam kalsium dan magnesium yang biasanya terdapat dalam antasid, dan juga ferum. Tetrasiklin diberikan sebelum makan atau 2 jam sesudah makan. Tetrasiklin losfat kompleks tidak terbukti lebih baik absorpsinya dari sediaan tetrasiklin biasa.
Kebanyakan strain /V. gonorrhoeae sensilil terhadap tetrasiklin, tetapi N. gonorrhoeae penghasil penisilinase (PPNG) biasanya resisten terhadap tetrasiklin. Elektivitasnya tinggi terhadap inleksi batang gram-negatil seperti Brucella, Francisella tularensig Pseudomonas mallei, Pseudomonas pseudo-
variasi.
mallei, Vibrio cholerae, Campylobacter fetus, Haemophilus ducreyi dan Calymmatobacterium granulomatis, Yersinia pests, Pasteurella multo-
Masa paruh doksisiklin tidak berubah pada insulisiensi ginjal sehinggaobat ini boleh diberikan
cida, Spirillum minor, Leptotrichia buccalis, Bordetella pertusis, Acinetobacter dan Fusobacterium. Strain tertentv H. influenzae mungkin sensitif, tetapi E. coli, Klebsiella, Enterobacter, Proteus indol positil dan Pseudomonas umumnya resisten. Tetrasiklin juga merupakan obat yang sangat elektil untuk inleksi Mycoplasma pneumoniae, Ureaplasma urealyticum, Chlamydia trachomatis, Chlamydia psittaci, dan berbagai riketsia. Selain itu obat ini juga aktil terhadap Borrelia rccunentis, Treponema pallid um, T reponema perten ue, Actinomyces r'srae/ii. Dalam kadar tinggi antibiotik ini mengham bat pertumbuhan E ntamoe ba hi stol ytica.
Resistensi. Beberapa spesies kuman, terutama streptokokus bela hemolitikus, E. coli, Pseudomonas aeruginosa, Str, pneumoniae, N. gononhoeae, Bacteroides, Shigella dan S. aureus makin meningkat resistensinya terhadap tetrasiklin. Resistensi terhadap satu jenis tetrasiklin biasanya disertai re-
Distribusi. Dalam plasma semua jenis tetrasiklin terikal oleh protein plasma dalam jumlah yang berPemberian oral 250 mg tetrasiklin, klortetrasiklin dan oksitetrasiklin tiap 6 jam menghasilkan kadar sekitar 2.0-2.5 mcg/ml.
pada gagal ginjal.
Dalam cairan serebrospinal (CSS) kadar go-
longan tetrasiklin hanya 10-20 % kadar dalam serum. Penetrasi ke CSS ini tidak tergantung dari adanya meningitis. Penetrasi ke cairan tubuh lain dan jaringan tubuh cukup baik, Obat golongan ini ditimbun dalam sistem retikuloendotelial di hati, limpa dan sumsum tulang, serta di dentin dan email dari gigiyang belum bererupsi. Golongan tetrasiklin menembus sawar uri, dan terdapat dalam air susu ibu dalam kadar yang relatif tinggi. Dibandingkan dengan tetrasiklin lainnya, doksisiklin dan minosiklin daya penetrasinya ke jaringan lebih baik.
Ekskresi. Golongan tetrasiklin diekskresi melalui urin dengan liltrasi glomerulus, dan melalui empedu. Pada pemberian per oral kira-kira 20 - 55 o/o golongan tetrasiklin diekskresi melalui urin. Golongan tetrasiklin yang diekskresi oleh hali ke dalam empedu mencapai kadar 10 kali kadar dalam serum. Sebagian besar obat yang diekskresi ke dalam
Gotongan Tetrasiklin dan Kloramfenikol
lumen usus ini mengalami sirkulasi enterohepatik; maka obat ini masih terdapat dalam darah untuk waktu lama setelah terapi dihentikan. Bila terjadi obstruksi pada saluran empedu atau gangguan laal hati obat ini akan mengalami kumulasi dalam darah.
Obat yang tidak diserap diekskresi melalui tinja' Antibiotik golongan tetrasiklin dibagi menjadi
3 golongan berdasarkan silat larmakokinetiknya (1 )
:
Tetrasiklin, klortetrasiklin dan oksitetrasiklin.
Absorpsi kelompok tetrasiklin ini tidak lengkap dengan masa paruh 6-12 jam. (2) Demetilklortetrasiklin. Absorpsinya lebih baik dan masa paruhnya kira-kira 16 jam sehingga cukup diberikan 150 mg per oraltiap 6 jam, (3) Doksisiklin dan minosiklin. Absorpsinya baik sekali dan masa paruhnya 17-20 jam. Tetrasiklin golongan ini cukup diberikan 1 atau 2 kali 100 mg sehari.
1.5. EFEK SAMPING
Elek samping yang mungkin timbul akibat pemberian golongan tetrasiklin dapat dibedakan dalam 3 kelompok yaitu reaksi kepekaan, reaksi toksik dan iritalil serta reaksi yang timbul akibat perubahan biologik.
REAKSI KEPEKAAN. Reaksi kulit yang mungkin timbul akibat pemberian golongan tetrasiklin ialah erupsi morbililormis, urlikaria dan dermatitis eksfoliatif. Fleaksi yang lebih hebat ialah udem angioneurotik dan reaksi anafilaksis. Demam dan eosinolilia dapat pula terjadi pada waktu terapi berlangsung. Sensitisasi silang antara berbagai derivat tetrasiklin sering terjadi.
REAKSI TOKSIK DAN lRlTATlF. lritasi lambung paling sering teriadi pada pemberian tetrasiklin per oral, terutama dengan oksitetrasiklin dan doksisiklin. Makin besar dosis yang diberikan, makin sering pula terjadi reaksi ini. Keadaan ini dapat diatasi dengan mengurangi dosis untuk semenlara waktu atau memberikan golongan tetrasiklin bersama dengan makanan, tetapi jangan dengan susu atau antasid yang mengandung aluminium, magnesium atau kalsium. Diare seringkali timbul akibat iritasi dan ini harus dibedakan dengan diare akibat super' inleksi statilokokus atau Clostidium difficile yang sangat berbahaYa.
Manitestasi reaksi iritatil yang lain ialah ter' jadinya trombollebitis pada pemberian lV dan rasa nyeri setempat bila golongan tetrasiklin disuntikkan lM tanpa anestetik lokal.
Terapi dalam waktu lama juga dapat menimbulkan kelainan darah tepi seperti leukositosis, limfosit atipik, granulasi toksik pada granulosit dan trombositopenia. Reaksi lototoksik paling jarang timbul dengan tetrasiklin, tetapi paling sering timbul pada pemberian demetilklortetrasiklin. Manilestasinya berupa fotosensitivitas, kadang-kadang disertai demam
dan eosinofilia. Pigmentasi kuku dan onikolisis,
yaitu lepasnya kuku dari dasarnya, juga dapat terjadi.
Hepatotoksisitas dapat terjadi pada pemberi-
an golongan tetrasiklin dosis tinggi (lebih dari
2
gram sehari) dan paling sering terjadi setelah pem-
berian parenteral. Oksitetrasiklin dan tetrasiklin mempunyai sifat hepatotoksik yang paling lemah dibandingkan dengan golongan tetrasiklin lain. Wanita hamil dengan pielonelritis paling sering menderita kerusakan hepar akibat pemberian golongan tetrasiklin. Kecuali doksisiklin, golongan tetrasiklin
akan mengalami kumulasi dalam tubuh' karena itu dikontraindikasikan pada gagal ginjal' Elek samping yang paling sering timbul biasanya berupa azotemia, hiperlosfatemia dan penurunan berat badan. Golongan tetrasiklin memperlambat koagulasi darah dan memperkuat elek antikoagulan kumarin. Diduga hal ini disebabkan oleh terbentuknya kelat dengan kalsium, tetapi mungkin juga karena obatobat ini mempengaruhi silat lisikokimia lipoprotein plasma, Tetrasiklin terikat pada laringan tulang yang sedang tumbuh dan membentuk kompleks. Pertumbuhan tulang akan terhambat sementara pada fetus dan anak. Bahaya ini terutama terjadi mulai pertengahan masa hamil sampai anak umur tiga tahun. Timbulnya kelainan ini lebih ditentukan oleh jumlah daripada lamanya penggunaan tetrasiklin' Pada gigi susu maupun gigi tetap, tetrasiklin
dapat menimbulkan disgenesis, perubahan warna permanen dan kecenderungan terjadinya karies. Perubahan warna bervariasi dari kuning coklat sampai kelabu lua. Karena itu tetrasiklin jangan digunakan mulai pertengahan kedua kehamilan sampai anak berumur 8 tahun. Efek ini terlihat lebih sedikit pada oksitetrasiklin dan doksisiklin. Tetrasiklin yang sudah kadaluwarsa akan mengalami degradasi menjadi bentuk anhidro-4-epite-
trasiklin. Pada manusia hal ini mengakibatkan
timbulnya sindrom Fanconi dengan gejala poliuria, polidipsia, proteinuria, asidosis, glukosuria, aminoasiduria disertai mual dan muntah. Kelainan ini biasanya bersilat reversibel dan menghilang kira-
654
Farmakologi dan Terapi
kira satu bulan setelah pemberian tetrasiklin kadaluwarsa ini dihentikan. Semua tetrasiklin dapat menimbulkan imbang
nitrogen negatif dan meningkatkan kadar ureum darah. Hal ini tidak menimbulkan arti klinik pada pasien dengan laal ginjal yang normal yang mendapat dosis biasa, tetapi pada keadaan gagal ginjal dapat timbul azotemia. Pemberian golongan tetrasiklin pada neonatus dapat mengakibatkan peninggian lekanan intrakranial dan mengakibatkan lontanel menonjol, sekalipun obat-obat ini diberikan dalam dosis terapi. Pada keadaan ini tidak ditemukan kelainan CSS dan bila terapi dihentikan maka tekanannya akan menurun kembali dengan cepat.
Minosiklin sering bersifat vestibulotoksik dan
dapat menimbulkan vertigo, ataksia dan muntah yang bersifat reversibel.
EFEK SAMPING AKIBAT PERUBAHAN BIOLOGIK Seperti antibiofik lain yang berspektrum luas, pemberian golongan tetrasiklin kadang-kadang diikuti oleh terjadinya superinf'eksi oleh kuman resisten dan jamur. Superinleksi kandida biasanya terjadi dalam rongga mulut, laring, bahkan kadangkadang menyebabkan inleksi sistemik. Faktor predisposisi yang memudahkan terjadinya superinfeksi ini ialah diabetes melitus, leukemia, lupus eritematosus diseminata, daya tahan tubuh yang lemah dan pasien yang mendapat terapi kortikosteroid dalam waktu lama. Salah satu manifestasi superinfeksi ialah diare akibat terganggunya keseimbangan llora normal dalam usus. Dikenal 3 jenis diare akibat superinfeksi dalam saluran cerna sehubungan dengan pemberian golongan tetrasiklin.
Enterokolitis stafilokokus. Dapat timbul setiap saat selama terapi berlangsung. Tinja cair sering men gandun g darah serta leukosit polimorfonuklear.
Pemeriksaan mikroskopik dan kultur sering menun-
jukkan adanya stafilokokus koagulase positif dalam jumlah besar pada tinja, yang pada keadaan normal hanya sedikit. Diagnosis harus ditegakkan dengan cepat karena keadaan ini seringkali mengakibatkan kematian. Bila terjadi septikemia maka harus diberikan antibiotik yang efektil secara parenteral.
Kandidiasis intestinal. Sekalipun menjadi anggapan umum bahwa diare yang timbul karena pemberian golongan tetrasiklin disebabkan oleh super-
infeksi kandida dalam saluran cerna, ternyata hasil kulturtinja dari pasien initidak menunjukkan adanya kandida dalam jumlah besar. Bila jelas terjadi kandidiasis intestinal maka perlu diberikan nistatin atau amfoterisin B per oral.
Kolitis pseudomembranosa. Efek samping ini dapat terjadi tetapi tidak sesering pada penggunaan linkomisin. Pada keadaan ini terjadi nekrosis pada saluran cerna. Jumlah stafilokokus dalam tinja tidak bertambah. Diare yang terjadisangat hebat, disertai demam dan terdapat jaringan mukosayang nekrotik dalam tinja.
Untuk memperkecil kemungkinan timbulnya efek nonterapi golongan tetrasiklin maka perlu diperhatikan beberapa hal dalam memberikan terapi dengan antibiotik ini yaitu : (1 ) Hendaknya tidak diberikan pada wanita hamil; (2) Bila tidak ada indikasi yang kuat, jangan diberikan pada anak-anak; (3) Hanya doksisiklin yang boleh diberikan kepada pasien gagal ginjal; (4) Hindarkan sedapat mungkin
pemakaian untuk tujuan profilaksis; (5) Sisa obat yang tidak terpakai hendaknya segera dibuang; (6) Jangan diberikan pada pasien yang hipersensitif terhadap obat ini.
1.6. PENGGUNAAN KLINIK
lnteraksi obat. Bila tetrasiklin diberikan dengan metoksilluoran maka dapat menyebabkan nef rotoksik. Bila dikombinasikan dengan penisilin maka aktivitas antimikrobanya dihambat. Karena penggunaannya yang berlebih, dewasa ini terjadi resistensi yang mengurangi efektivitas tetrasiklin. Penyakit yang obat pilihannya golongan tetrasiklin ialah
:
RIKETSIOSIS. Perbaikan yang dramarik tampak
setelah pemberian golongan tetrasiklin. Demam mereda dalam 1-3 hari dan ruam kulit menghilang 5 hari. Perbaikan klinis yang nyata telah tampak 24 jam setelah terapi dimulai.
dalam
INFEKSI KLAMIDIA. Limfogranuloma venereum. Untuk penyakit ini, golongan tetrasiklin merupakan obat pilihan utama. Pada infeksi akut, diberikan terapi selama 3-4 minggu dan untuk keadaan kronis diberikan lerapi 1-2 bulan. Empat hari setelah terapi diberikan, bubo mulai mengecil.
Psitakosis. Pemberian golongan tetrasiklin selama beberapa hari dapat mengatasi gejala klinis. Dosis yang digunakan ialah 2 gram per hari selama 7-10 hari atau 1 gram per hari selama 21 hari.
Golongan Tetrasiklin dan Kloramfenikol
lnclusion conjunctivitis. Penyakit ini dapat diobati dengan hasil baik selama 2-3 minggu dengan memberikan salep mata atau obat tetes mata yang mengandung golongan tetrasiklin. Trakoma. Pemberian salep mata golongan tetrasiklin yang dikombinasikan dengan doksisiklin oral selama 40 hari memberikan hasil pengobatan yang baik.
URETRITIS NONSPESIFIK. lnfeksi yang disebabkan oleh Ureaplasma urealyticum alau Chlamydia trachomatis ini terobati baik dengan pemberian tetrasiklin oral 4 kali 500 mg sehari selama 7 hari. lnfeksi C. trachomatis seringkali menyertai uretritis akibat gonokokus.
655
INFEKSI VENERIK. Gonore. Penisilin masih merupakan antibiotik pilihan utama untuk inleksi ini. Bila pasien alergi terhadap penisilin, dapat diberikan tetrasiklin per oral dengan dosis 500 mg empat kali sehari atau doksisiklin 100 mg dua kali sehari sela-
ma 7 hari, Perlu diperhatikan bahwa tetrasiklin mempunyai masking eflect terhadap infeksi sifilis sehingga menyulitkan diagnosis.
Sifilis. Tetrasiklin merupakan antibiotik pilihan kedua setelah penisilin untuk mengobati sifilis. Dosisnya 4 kali 500 mg sehari per oral selama 15 hari. Tetrasiklin juga efektif untuk mengobati chancroid dan granuloma inguinal. Karena itu dianjurkan memberikan dosis yang sama dengan dosis untuk terapi sililis.
INFEKSI MYCOPLASMA PNEUMONIAE. Pneumonia primer atipik yang disebabkan oleh mikroba ini dapat diatasi dengan pemberian golongan tetrasiklin. Walaupun penyembuhan klinis cepat dicapai Mycoplasma pneumoniae mungkin tetap terdapat dalam sputum setelah obat dihentikan.
INFEKSI BASIL. Bruselosis. Pengobatan dengan golongan tetrasiklin memberikan hasil baik sekali untuk penyakit ini. Hasil pengobatan yang memuaskan biasanya didapat dengan pengobatan selama 3 minggu. Untuk kasus berat, seringkali perlu diberikan bersama streptomisin 1 g sehari lM.
AKNE VULGARIS. Tetrasiklin diduga menghambat produksi asam lemak dari sebum. Dosis yang diberikan untuk ini ialah 2kali 250 mg sehari selama 2-3 minggu, bila perlu terapi dapat diteruskan sampai beberapa bulan dengan dosis minimal yang masih efektif
.
INFEKSI LAIN. Actinomycosis.Golongan tetrasik-
lin dapat digunakan untuk mengobati penyakit ini bila penisilin G tidak dapat diberikan kepada pasien.
Frambusia. Respons penderita terhadap pemberi-
Tularemia. Obat pilihan utama untuk penyakit ini
an golongan tetrasiklin berbeda-beda. Pada beberapa kasus hasilnya baik, yang lain tidak memuas-
sebenarnya ialah streptomisin, tetapi terapi dengan golongan letrasiklin juga memberikan hasil yang baik.
kan. Antibiotik pilihan utama untuk penyakit ini ialah penisilin.
Kolera. Tetrasiklin merupakan antibiotik yang efektil untuk penyakit ini. Pemberian letrasiklin dapat mengurangi kebutuhan cairan infus sebanyak 50 % dari yang dibutuhkan tanpa antibiotika untuk mencapai keadaan rehidrasi.
Sampar. Antibiotik terbaik untuk mengobati infeksi ini ialah streptomlsin. Bila streptomisin tidak dapat diberikan, maka dapat dipakai golongan tetrasiklin. Pengobatan dimulai dengan pemberian secara lV selama 2 hari dan dilanjutkan dengan pemberian per oral selama 1 minggu.
irufersl
KOKUS. Golongan tetrasiklin sekarang tidak lagi diindikasikan untuk infeksi stafilokokus
maupun streptokokus karena sering dijumpai resistensi, Adanya strain Sfr. pneumoniae yang resisten juga telah membatasi penggunaan tetrasiklin untuk pneumonia yang disebabkan oleh kuman ini.
Leptospirosis. Walaupun tetrasiklin dan penisilin G sering digunakan untuk pengobatan leptospirosis, elektivitasnya tidak terbukti secara mantap.
lnfeksi saluran cerna. Tetrasiklin mungkin merupakan ajuvan yang bermanlaat pada amubiasis intestinal akut, dan infeksi P/asmodium falciparum. Selain itu mungkin efektif untuk disentri yang disebabkan oleh strain Shigella yang peka.
PENGGUNAAN TOPIKAL. Pemakaian topikal.hanya dibatasi untuk infeksi mata saja. Salep mata golongan tetrasiklin elektif untuk mengobati trakoma dan inleksi lain pada mata oleh kuman grampositif dan gram-negatif yang sensitif. Selain itu salep mata ini dapat pula digunakan untuk profilaksis oltalmia neonatorum pada neonatus.
PROFILAKSIS PADA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF MENAHUN. Banyak penelitian memberi-
656
Farmakologi dan Terapi
kan hasil kontroversial mengenai manfaat dan keamanan pemberian tetrasiklin 500 mg sehari per oral pada pasien penyakit paru menahun. Bahaya potensial pemberian jangka lama ini ialah timbulnya superinfeksi bakteri atau jamur yang sulit diken-
1.7. SEDIAAN DAN POSOLOGI Sediaan dan posologi golongan tetrasiklin da_ pat dilihat pada Tabel 44-1.
dalikan. Tabe| 42I.1, SEDIAAN DAN PosoLoGI GoLoNGAN TETRASIKLIN Derivat
Sediaan
Tetrasiklin
Kapsul/tablet 250 dan 500 mg Bubuk obat suntik lM 100 dan 200 mg/vial Bubuk obat suntik lV 250 dan 500 mgiVial Salep kulit 3 % Salep/obat tetes mata 1 % (tetrasiklin HCI dan tetrasiklin kompleks fosfat untuk oral tersedia dengan ukuran yang sama)
Klortetrasiklin
Kapsul 250 mg Salep kutit 3 % Salep mata 1 %
lihat tetrasiklin
Kapsul 250 mg dan 500 mg Larutan obat suntik lM 250 dan 100 mg/ ampul 2 ml dan 500 mg/vial 10 ml Bubuk obat suntik lV 250 mg Salep kulit 3 % Salep mata 1 %
Dewasa: Oral, 4 kati 250-5OO mg/hari Parenteral, 100 mg lM, diulangi 2-3 sehari 500-1000 mg/hari tV (250 mg bubuk dilarutkan dalam 100 ml larutan garam faal atau dekstrosa
Oksitetrasiklin
Dosis Dewasa '. Oral,4 kali 2S0-S00 mg/hari Parenteral, 3OO lM') mg sehari yang dibagi dalam 2-3 dosis, atau 250-500 mg lV diutang 2-4 kali sehari. Anak: Oral, 25-50 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 4 dosis. Parenteral, untuk pemberian lM 15-25 mg/kg BB/hari sebagai dosis tunggal atau dibagi dalam 2-3 dosis dan lV 20-30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2-3 dosis.
5lo)
Anak: Oral, 25-50 mg/kgBB/hari, dibagi dalam dalam 4 dosis Parenteral, 1 5-25 mg/kgBB/hari, lM dibagi dalam 2 dosis dan 1O-20 mg/kgBB/hari lV dibagi dalam 2 dosis Demeklosiklin
Kapsul atau tablet 150 dan 300 mg Sirup 75 mg/Sml
Dewasa : Oral, 4 kali 150 mg atau 2 kali 300 mg/hari Anak : Oral, 6-12 mg/kgBB/hari dibagi datam 2-4 dosis
Doksisiklin
Kapsul atau tablet 100 mg, tablet 50 mg Sirup 10 mg/ml
Dewasa : Oral, dosis awal 200 mg, selanjutnya 100-200 mg/hari Anak : Oral, hari pertama 4 mg/kgBB/hari, selanjutnya 2 mg/kgBB/hari, dosis tunggal
Minosiklin
Kapsul 100 mg
Dewasa : Oral, dosis awal 200 mg, dilanjutkan 2 kali sehari 100 mg/hari Anak :Oral, dosis awal2-4 mg/kgBB selanjutnya 1-2 mg/kgBB tiap12 jam
') Suntikan lM tidak dianjurkan
karena absorpsinya buruk dan menimbulkan iritasi lokal.
G
olong an
T
etras ikl i n
da
n
K lo
657
ramf e n i kol
2. KLORAMFENIKOL
.
Obat ini iuga efektil terhadap kebanyakan strain E. coli, K. pneumoniae dan Pr. mirabilis. Kebanyakan strain Serralia, Providencia dan Profeus
2.1. ASAL DAN KIMIA
Kloramfenikol diisolasi pertama kali pada tahun 1947 dari Streptomyces venezuelae. Karena ternyata mempunyai daya antimikroba yang kuat maka penggunaan obat ini meluas dengan cepat
sampai pada tahun 1950 diketahui bahwa obat ini dapat menimbulkan anemia aplastik yang latal' Kloramfenikol merupakan kristal putih yang sukar larut dalam air (1 : 400) dan rasanya sangat pahit. Rumus molekul kloramfenikol dan tiamfenikol ialah sebagai berikut (gambar 44-2)'
OH
"1\l\Jt
CHzOH
t- *-[
tI
-
umumnya sensitif, sedang Enterobactericeae banyak yang telah resisten.
cctz
t
Kloramfenikol :R=-NOz Tiamfenikol : R=-CHgSOz Gambar 44-2, Struktur kloramfenikol
2.2. EFEK ANTIMIKROBA Kloramfenikol bekerja dengan jalan menghambat sintesis protein kuman. Yang dihambat ialah enzim peptidil transferase yang berperan sebagai katalisator untuk membentuk ikatan-ikatan peptida pada proses sintesis protein kuman. Elek toksik kloramfenikol pada sel mamalia terutama terlihat pada sistem hemopoetik dan diduga berhubungan dengan mekanisme kerja obat ini. Kloramfenikol umumnya bersilat bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi kloramfenikol kadangkadang bersifat bakterisid terhadap kuman-kuman
rettgerii resisten, iuga kebanyakan strain Ps'aeru' ginosa dan strain tertentu S. typhi.
2.3. FARMAKOKINETIK Setelah pemberian oral, kloramlenikol diserap dengan cepat. Kadar puncak dalam darah tercapai dalam 2 jam. Untuk anak biasanya diberikan bentuk ester kloramfenikol palmitat atau stearat yang rasanya tidak pahit. Bentuk ester ini akan mengalami hidrolisis dalam usus dan membebaskan kloramfenikol. Masa paruh eliminasi pada orang dewasa kurang lebih 3 jam, pada bayi berumur kurang dari 2 minggu sekitar 24iam. Kira-kira 50 % kloramlenikol dalam darah terikat dengan albumin' Obat ini didistribusikan secara baik ke berbagai jaringan tubuh,
termasuk jaringan otak, cairan serebrospinal dan mata. Di dalam hati kloramfenikol mengalami konyugasi dengan asam glukuronat oleh enzim glukuronil transferase. Oleh karena itu waktu paruh kloramlenikol memanjang pada pasien gangguan faal hati. Sebagian kecil kloramfenikol mengalami reduksi menjadi senyawa aril-amin yang tidak aktil lagi. Dalam waktu 24 iam,80- 90 % kloramfenikol yang diberikan oral telah diekskresi melalui ginjal. Dari seluruh kloramfenikol yang diekskresi melalui urin, hanya 5-'l 0 % dalam bentuk aktif' Sisanya terdapat dalam bentuk glukuronat atau hidrolisat lain yang tidak aktit. Bentuk aktif kloramlenikol diekskresi terutama melalui liltrat glomerulus sedangkan metabolitnya dengan sekresi tubulus'
Pada gagal ginjal, masa paruh kloramlenikol bentuk aktil tidak banyak berubah tetapi metabolitnya yang nontoksik mengalami kumulasi. Dosis per-
tertentu. Spektrum antibakteri kloramlenikol meliputi D. pneumoniae, Str. pyogenes, Str. viridans, Neisseria, Haemophilus, Bacillus spp, Listeria, Bartonella, Brucella, P. multocida, C. diphtheriae, Chlamydia,
lu dikurangi bila terdapat gangguan fungsi hepar yang menyertai gagal ginjal. Untuk pemberian secara parenteral digunakan kloramfenikol suksinat yang akan dihidrolisis dalam jaringan dan membebaskan kloramfenikol.
nyakan kuman anaerob. Beberapa strain D. pneumoniae, H' influenzae
lnteraksi. Dalam dosis terapi, kloramfenikol menghambat biotransformasi tolbutamid, tenitoin, diku-
Mycoplasma, Rickettsia, Treponema dan keba-
dan N. meningitidis bersifat resisten; S. aureus
marol dan obat lain yang dimetabolisme oleh enzim
658
Farmakologi dan Terapi
mikrosom hepar. Dengan demikian toksisitas obat_ obat ini lebih tinggi bila diberikan bersama kloramfe_ nikol. lnteraksi obat dengan fenobarbital dan rifam_ pisin. akan memperpendek waktu paruh dari kloram_ fenikol.
2.4. EFEK SAMPING REAKSI HEMATOLOGIK. Terdapat dalam 2 ben_ tuk. Yang pertama ialah reaksi toksik dengan mani_ festasi depresi sumsum tulang. Kelainan ini berhubungan dengan dosis, progresil dan pulih bila pengobatan dihentikan. Kelainan darah yang ter_ lihat ialah anemia, retikulositopenia, peningkatan
serum iron dan iron binding capacity se(la
vakuolisasi seri eritrosit bentuk muda. Reaksi ini terlihat bila kadar kloramfenikol dalam serum melampaui 25 mcg/ml. Bentuk yang kedua prog_ nosisnya sangat buruk karena anemia yang timbul bersifat ireversibel. Timbulnya tidak tergantung dari besarnya dosis atau lama pengobatan. Bentuk yang
hebat bermanifestasi sebagai anemia aplastik
de_
ngan pansitopenia. lnsidens berkisar antara
1:24.000-50.000. Efek samping ini diduga merupakan reaksi idiosinkrasi dan mungkin disebabkan oleh adanya kelainan genetik. Ada pendapat yang menyatakan bahwa klo_ ramfenikol yang diberikan secara parenteral jarang menimbulkan anemia aplastik, tetapi hal ini belum dapat dipastikan kebenarannya. Kloramfenikol da_ pat menimbulkan hemolisis pada pasien dengan defisiensi enzim GoPD bentuk mediteranean. Hitung sel darah yang dilakukan secara perio_
dik dapat memberi petunjuk unluk mengurangi dosis atau menghentikan terapi. Dianjurkan untuk melakukan hitung leukosit dan hitung jenis tiap 2 hari. Pengobatan terlalu lama atau berulang kali perlu dihindarkan. Timbulnya nyeri tenggorok atau infeksi baru selama pemberian kloramfenikol mung_ kin merupakan petunjuk terjadinya leukopeni.
REAKSI ALERGI. Kloramfenikol dapat menimbulkan kemerahan kulit, angioudem, urtikaria dan anafilaksis. Kelainan yang menyerupai reaksi Herxheimer dapat terjadi pada pengobatan demam tifoid walaupun yang terakhir ini jarang dijumpai.
REAKSI SALURAN CERNA. Bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, glositis, diare dan enterokolitis.
SINDROM GRAY. Pada neonatus, terutama bayi
prematur yang mendapat dosis tinggi (200 mg/ kgBB) dapat timbul sindrom Gray, biasanya antara hari ke 2 sampai hari ke g masa terapi, rata-rata hari ke 4. Mula-mula bayi muntah, tidak mau menyusu, pernapasan cepat dan tidak teratur, perut kembung, sianosis dan diare dengan tinja berwarna hijau dan bayi tampak sakit berat. pada hari berikutnya tubuh bayi menjadi lemas dan berwarna keabu-abuan;
terjadi pula hipotermia. Angka kematian kira_kira
sedangkan sisanya sembuh sempurna. Efek toksik ini diduga disebabkan oleh : (l ) Sistem ko_ nyugasi oleh enzim glukuronil translerase belum sempurna dan; (2) Kloramfenikol yang tidak terko_ nyugasi belum dapat diekskresi dengan baik oleh ginjal. Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya efek samping ini maka dosis kloramfenikol untuk bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak boleh mele_ bihi 25 mg/kgBB sehari. Setelah umur ini, dosis 50 mg/kgBB biasanya tidak menimbulkan efek samping tersebut di atas. 409/0,
REAKSI NEUROLOGIK. Dapat terlihat dalam ben_
tuk depresi, bingung, delirium dan sakit kepala.
Neuritis perifer atau neuropati optik dapat juga tim_ bul terutama setelah pengobatan lama. penurunan visus yang diakibatkan oleh neuropati tldak selalu dapat pulih sempurna bila terapi dihentikan. Kepada
pasien perlu dijelaskan agar memperhatikan ter_ jadinya neuritis perifer atau penurunan visus.
2.5. PENGGUNAAN KLINIK Banyak perbedaan pendapat mengenai indi_
kasi penggunaan kloramfenikol, tetapi sebaiknya obat ini hanya digunakan untuk mengobati demam tifoid, salmonelosis lain dan infeksi H. influenzae. lnleksi lain sebaiknya ildak diobati dengan kloramfenikol bila masih ada antimikroba lain yang lebih aman dan efektif. Kloramfenikol dikontraindikaslkan untuk neonatus, pasien dengan gangguan faal hati dan pasien yang hipersensitif terhadapnya. Bila terpaksa diberikan untuk neonatus, dosisnya jangan melebihi 25 mg/kgBB sehari.
DEMAM TlFOlD. Walaupun akhir-akhir ini makin sering dilaporkan adanya resistensi S. typhi lerhadap kloramfenikol, umumnya obat ini masih dianggap sebagai pilihan utama untuk mengobati penyakit tersebut. Dibandingkan dengan ampisilin perbaikan klinis lebih cepat terjadi pada pengobatan dengan kloramfenikol. Tetapi relaps dan carrier state
Golongan Tetrasiklin dan Kloramfenikol
lerbih jarang terjadi pada pengobatan dengan am-
pisilin. Hanya dalam beberapa jam setelah pemberia.n kloranllenikol, salmonela menghilang dari sirkulasi dan dalam beberapa hari kultur tinja menjadi negatif. Perbaikan klinis biasanya tampak dalam 2 hari dan demam turun dalam 3-5 hari. Suhu badan
biasanya turun sebelum lesi di usus sembuh, sehingga perforasi justru terjadi pada waktu keadaan klinis sedang membaik. Untuk pengobatan demam tifoid diberikan do-
sis 4 kali 500 mg sehari selama 2-3 minggu. Bila terjadi relaps, biasanya dapat diatasi dengan memberikan terapi ulang. Untuk anak diberikan dosis 50-100 mS/kSBB sehari dibagi dalam beberapa dosis selama 10 hari. Untuk pengobatan demam tiloid ini dapat pula diberikan tiamfenikol dengan dosis 50 mg/kgBB se-
659
Untuk anak biasanya diberikan kloramfenikol palmitat 100 mg/kgBB sehari. Pengobatan dilanjutkan sampai 48 jam bebas demam. INFEKSI LAIN. Kloramfenikol mempunyai efektivitas sama dengan tetrasiklin untuk pengobalan lymphogranuloma venereum,pslttacosis, infeksi Mycoplasma pneumoniae dan P. pesfis. Tetapi untuk ini sebaiknya digunakan tetrasiklin yang toksisitasnya relatif lebih rendah. Kloramfenikol dapat digunakan untuk mengobati bruselosis dengan dosis 0,75-1 gram tiap 6
jam bila tidak dapat diberikan tetrasiklin. Seperti halnya klindamisin, kloramfenikol dapat pula digunakan untuk mengatasi inleksi kuman anaerobik yang berasal dari lumen usus.
2.6. SEDIAAN DAN POSOLOGI
hari pada minggu pertama, lalu diteruskan 1-2 minggu lagi dengan dosis separuhnya.
Gastroenteritis akibat Salmonella spp (yang bukan S. typhi) lidak perlu diberi antibiotik karena tidak mempercepat sembuhnya inleksi dan dapat memperpanjang masa cariler state.
MENINGITIS PURULENTA. Kloramlenikol efektif untuk mengobati meningitis purulenta yang disebabkan oleh H. inlluenzae. Untuk terapi awal meningitis purulenta pada anak dianjurkan pemberian kloramlenikol bersama suntikan penisilin G sampai didapat hasil pemeriksaan kultur dan uji kepekaan, setelah itu dilanjutkan dengan pemberian obat tunggal yang sesuai dengan hasil kultur.
INFEKSI KUMAN ANAEROB. Kuman anaerob biasanya sensitif terhadap penisilin G, kecuali 8. fragilis. lnfeksi anaerobik di atas diafragma jarang disebabkan oleh B. fragilis, oleh karena itu biasanya diobati dengan penisilin G atau klindamisin. Pada
infeksi anaerobik di bawah diafragma, B. fragilis merupakan etiologi yang penting. Dan kebanyakan kuman anaerob peka terhadap kloramfenikol karena itu digunakan klindamisin, metronidazol, sefoksilin atau kloramfenikol. lnleksi intra-abdominal biasanya disebabkan campuran kuman anaerobik dan aerobik, karena itu kloramlenikol perlu dikombinasikan dengan golongan aminoglikosida,
RIKETSIOSIS. Tetrasiklin merupakan obat terpilih untult penyakit ini. Bila oleh karena suatu hal letrasiklin lidak dapat diberikan, maka dapat digunakan kloramfenikol dengan dosis awal 50 mg/kgBB, dilanjutkan dengan pemberian 1 gram tiap I jam.
Sediaan dan posologi kloramlenikol dapat dilihat pada Tabel 44-2.
2.7. TIAMFENIKOL Rumus molekul tiamlenikol dapat dilihat pada Gambar 44-2. f erhadap kuman gram-positif maupun gram-negatif, obat ini umumnya kurang aktif dibandingkan dengan kloramfenikol tetapi terhadap Str. pyogenes, pneumokokus, hemofilus, dan meningokokus aktivitasnya sama dengan kloramfenikol. Tiamlenikol digunakan untuk indikasi yang sama dengan kloramfenikol. Selain itu juga telah diberikan untuk infeksi saluran empedu dan gonore. Dosis tunggal tiamfenikol 2,5 gram per oral cukup elektif untuk mengobati urethritis gonorrhoica. Obat ini diserap dengan baik pada pemberian per oral dan penetrasinya baik ke cairan serebrospinal, tulang dan sputum sehingga mencapai kadar bakterisid untuk H. influenzae di sputum. Berbeda dengan kloramfenikol, obat ini sebagian besar diekskresi utuh dalam urin. Oleh karena itu dosis harus dikurangi pada pasien payah ginjal. Efek samping yang timbul ialah depresi sumsum tulang yang reversibel dan berhubungan dengan besarnya dosis yang diberikan. Dari penga-
laman klinik yang terbatas kelihatannya obat ini jarang menimbulkan aplasia sumsum tulang. Efek samping yang sering dijumpai ialah depresi eritropoesis. Elek hematologik lainnya ialah leukopenia, trombositopenia dan peningkatan kadar serum iron. Dosis dan sediaan dapat dilihat pada Tabel 44-2.
660
Farmakologi dan Terapi
Tabel 44-2. SEDTAAN DAN
Nama
obat
Kloramfenikol
palmitat atau stearat
Kloramfenikol natrium
suksinat
KLoRAMFENTKoL DAN TTAMFENTKoL
Bentuk sediaan
Posologi/cara pemakaian
Keterangan
Kapsul 250 mg
Dewasa 50 mg/kgBB sehari per oral dibagi dalam 3-4 dosis
Untuk
Salep mata 1 % Obat tetes mata 0,5 % Salep kulit 2 % Obat tetes telinga 1-S % Kloramfenikol
posoLocr
Botol berisi 60 ml suspensi (tiap 5 ml me-
ngandung kloramfenikol palmitat atau stearat setara dengan 125 mg kloramfenikol)
Vial berisi bubuk kloramfenikol natrium suksinat setara dengan 1 g kloramfenikol yang harus dilarutkan dulu dengan 10 ml akuades steril atau dekstrosa 5 7o (mengandung
eksi-infeksi berat
Dipakai beberapa kdli sehari
Bayi prematur, 25 mg/kgBB sehari per oral dibagi dalam 2 dosis. Bayi aterm berumur kurang dari 2 minggu, 25 mg/kgBB sghari per oral dibagi dalam 4 dosis. Bayi aterm berumur iebih dari 2 minggu, 50 mg/kgBB sehari per oral dibagi dalam 3-4 dosis
Dewasa dan anak, S0 mg/kgBB sehari intravena, dibagi dalam 4 dosis.
Peningkatan dosis mungkin menimbulkan sindrom Gray.
Untuk bayi dianjurkan monitoring kadar obat (antara 5-20 mcg/mt)
Pemberian intravena untuk anak hanya dilakukan pada terapi awal meningitis dan keadaan sepsis berat.
Pemberian intramuskular ti. dak dianjurkan karena absorpsinya buruk dan menimbulkan nyeri lokal. Pemberian parenteral harus secepat mungkin diganti dengan pemberian oral karena absorpsi oral cukup baik.
100 mg/ml).
Tiamfenikol
inf
dosis dapat ditingkatkan 2xpada awal terapi sampai didapatkan perbaikan klinis
Kapsul 250 dan 500 mg
Dewasa 1 g sehari dibagi dalam 4 dosis
Botol berisi pelarut 60 ml dan bubuk tiamfenikol 1,5 g yang setelah dilarutkan mengandung 125 mg tiamfenikol tiap 5 ml.
Anak, 25 mg/kgBB sehari dibagi dalam 4 dosis
Untuk infeksi berat dosis dapat ditingkatkah sampql 2 x lipat.
Aminoglikosid
661
45. AMINOGLIKOSID Sulistra G. Gan dan Vincent H.S Gan
1.
Pendahuluan
6.
lnteraksi obat
7.
Sediaan dan posologi 7.1. Streptomisin 7.2. Gentamisin 7.3. Kanamisin 7.4. Amikasin 7.5. Tobramisin 7.6. Netilmisin 7,7. Neomisin 7.8. Lain-lain
8.
lndikasi, Kontra-indikasi dan Penggunaan Klinik
2.
Kimia
3.
Efek antimikroba 3.1. Aktivitas dan mekanisme kerja 3.2. Spektrum antimikroba 3.3. Resistensi
4.
Farmakokinetik
5.
Elek samping 5.1. Alergi 5.2. Reaksi iritasi dan toksik 5.3. Perubahan biologik
1. PENDAHULUAN
2.KIMIA
Sejak ditemukan penisilin, masalah infeksi mikroba gram-positif umumnya dapat diatasi secara baik. Dalam rangka mencari antimikroba untuk mengatasi kuman gram-negatif dalam tahun 1943 berhasil diisolasi suatu turunan Sf/,eptomyces grlseus yang menghasilkan streptomisin. Setelah streptomisin, ditemukan pula berbagai antibiotik lain yang memiliki berbagai silat mirip de-
Aminoglikosid merupakan senyawa yang terdiri dari 2 atau lebih gugus gula amino yang terikat lewat ikatan glikosidik pada inti heksosa. Heksosa tersebut atau aminosiklitol, ialah streptidin (pada streptomisin) atau 2-deoksistreptamin (ciri aminoglikosid lain); berbentuk senyawa polikation yang bersifat basa kuat dan sangat polar; baik dalam bentuk basa maupun garam, bersifat mudah larut dalam air. Sediaan suntikan, berupa garam sulfat, sebab paling kurang nyeri untuk suntikan lM. Stabilitasnya cukup baik pada suhu kamar, terutama dalam bentuk kering, misalnya streptomisin stabil untuk paling sedikit satu tahun. Pengaruh pH terhadap aminoglikosid dibahas dalam pembahasan aktivitas dan mekanisme kerja.
ngan streptomisin yaitu kanamisin, gentamisin, tobramisin, amikasin, netilmisin, neomisin dan lainlain.
Saat ini aminoglikosid masih mempunyai tem-
pat dalam penanggulangan infeksi berat oleh kuman gram-negatif, walaupun bukan satu-satunya
golongan antimikroba yang efektif. Sefalosporin generasi 3 dan beberapa antibiotik penisilin sintetik
baru hampir sama efektif dan lebih aman letapi harganya tidak terjangkau oleh sebagian besar pasien yang membutuhkannya. Gentamisin merupakan prototip dari golongan antibiotikyang dikenal cukup toksik namun dengan pemantauan kadar dalam darah elek toksik dapat dihindarkan.
Aminoglikosid merupakan produk streptomises atau lungus lainnya. Jenis, fungus penghasil, penemu dan tahun penemuan-aminoglikosid dapat dilihat pada Tabel 45-1. Senyawa aminoglikosid dibedakan dari gugus gula-amino yang terikat pada aminosiklitol (lihat Tabel 45-2),
662
Farmakologi dan Terapi
Tabel 45-1. ANTIBtOTtK AMtNOGL|KOS|D
Jenis aminoglikosid
Fungus penghasil
Penemu
Tahun penemuan
Streptomisin
Streptomyces g,seus
Schatz, Bugie,
1944
Streptomyces fradiae
Waksman, Lechevalier
1
Streptomyces lave nd u I ae
Decaris
Waksman Neomisin
(campuran neomisin B + C) Framisetin
(neomisin B) Kanamisin
Stre ptom yce
Paromomisin
Streptomyces nmosus
(aminosidin, katenulin,
s
kan am yceticus
949
1
953
Umezawa et al.
't
957
Haskel, French, Bartz
1
959
hidroksimisin) Gentamisin
M icromonospora purpu
Weinstein MJ et al.
1
963
Tobramisin
Straptom yces tenebrarius
Wick, Welles
1
968
Asilasi kanamisin A (semisintetik)
Kawaguchi, H. et al.
1972
(nebramisin faktor 6) Amikasin
rea
3. EFEK ANTIMIKROBA
dinyatakan sensitil bila pertumbuhannya dihambat
dengan kadar puncak antibiotik dalam plasma 3.1. AKTIVITAS DAN MEKANISME KERJA Aktivitas antibakteri gentamisin, tobramisin, kanamisin, netilmisin dan amikasin terutama tertuju pada basil gram-negatif yang aerobik. Aktivitas terhadap mikroorganisme anaerobik atau bakteri fakultatil dalam kondisi anaerobik rendah sekali. lni dapat dijelaskan berdasarkan kenyataan bahwa untuk transport aminoglikosid membutuhkan oksi_ gen (transport aktiD. Aktivitas terhadap bakteri gram-positif sangat terbatas. Str. pneumomae dan Str. pyogenes sangat resisten. Streptomisin dan gentamisin aktif terhadap enterokok dan streptokok lain tetapi efektivitas klinis hanya dapat dicapai bila
digabung dengan penisilin. Walaupun in vitro g5% galur (strain) S. aureus dan kebanyakan S. eprUer_ mrdis sensitil terhadap gentamisin dan tobramisin, manlaat klinik belum terbukti sehingga sebaiknya obat inijangan digunakan tersendiri pada situasi ter_
sebut. Galur resisten gentamisin cepat timbul
selama pajanan obat.
Basil gram-negatif berbeda suseptibilitasnya terhadap berbagai aminoglikosid. Mikroorganisme
tanpa efek toksik yaitu 4-8 pg/ml untuk gentamisin, tobramisin dan netilmisin; 8-1 6 pg/ml untuk amikasin dan kanamisin. Secara umum aktivitas antimikroba gentamisin, tobramisin, netilmisin dan amikasin lebih tinggi daripada kanamisin. Tobramisin,
sisomisin dan gentamisin sama aktif terhadap kuman gram-negatil dengan catatan bahwa tobramisin lebih aktif terhadap Ps. aeruginosa dan bebe-
rapa galur spesies Proteus. Kebanyakan kuman gram-negatif yang resisten terhadap gentamisin, juga akan resisten terhadap tobramisin dan sisomisin. Tetapi 50o/o Pseudomonas yang resisten terhadap gentamisin masih sensitif terhadap tobramisin. Flora nosokomial telah banyak berubah akhir-akhir ini dengan meningkatnya galur yang resisten terhadap gentamisin dan tobramisin, Hal ini
tentunya sangat tergantung dari lrekuensi penggunaan obat tersebut di suatu tempat. Untunglah aktivitas amikasin dan kadang-kadang netilmisin masih tetap bertahan. Aktivitas aminoglikosid dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama perubahan pH, keadaan
aerobik-anaerobik atau keadaan hiperkapnik. Aklivitas aminoglikosid lebih tinggi pada suasana
Aminoglikosid
663
Tabe| 45-2. STRUKTUR AMINOGLIKOSID KANAMISIN, GENTAMISIN, TOBRAMISIN, AMIKASIN, NETILMISIN
-r-H A
/F oo
---__\
Cincin &
A
--__ Atom-C Am inog likosid\--.-
2',
-NHz
Kanamisin
c
B
-oH
3'
-oH
A',
-oH
4"
3"
5',
-CHz-NHz
-NHa
5"
-CHzOH
\H
OH
-NHz
-N Hz
-NHz
Gentamisin
U1
-N Hz
-NHz
-NHz
-NHz
-NHz
-oH
-oH
-oH
-H
-oH
-oH
-oH
-H
-CHe-NHz
-CHe-OH
-CHz-OH
-cHlcHs
-NHe
-NHe
-NH-CHs
-NH-CHs
-N He
-NHe
-H
-H
-CHlCHs
\*
-NHz
-NHz
-H
-H
-cH1H
-N Hz
-NHz
-H
-H
-cH\H
-NH-(L-AHB)
-oH
-oH
-oH
-cH1H
\cHr OH
-NH-CHs
30 tahun)
0,5 - 2,5 jam 0,5 - 3 jam 1,5 - 15 jam
0,7 - 14 jam
-7,2 jam
4 -70 jam 0,7 - 3 jam 1
-7
jam
Volume distribusi dewasa dan anak dehidrasi hidrasi normal overhidrasi
0,05 0,05 0,15 0,25 0,5 -
neonatus
lkatan protein
- 0,5 l/kg - 0,15 t/kg - 0,25 t/kg - 0,50 l/kg
0,6 Ukg
rendah kecuali streptomisin + 30-50% lainnya kurang dari 30%
Dikutip dari ; Weaver RH dan Cipole RJ. Applied clinical pharmacokinetics. New York: Raven Press, 1983.
Aminoglikosid
data farmakokinetik beberapa aminoglikosid, Pengikatan oleh protein plasma darah hanya jelas terlihat pada streptomisin, yaitu 112 dari seluruh amino-
667
berbagai keadaan, yang disertai dengan kurang sempurnanya lungsi ginjal. Pada gangguan laal
glikosid dalam darah. Yang lain praktis tidak diikat
ginjal, 1172 aminoglikosid cepat meningkat. Karena kekerapan terjadinya nefrotoksisitas dan ototoksi-
oleh protein plasma.
sitas berhubungan dengan kadar dan kumulasi
Streptomisin di dalam darah, hampir seluruhnya terdapat di dalam plasma dan hanya sedikit sekali yang masuk ke dalam eritrosit maupun makrofag. Sifal polarnya menyebabkan aminoglikosid sukar masuk sel. Kadar dalam sekret dan jaringan rendah; kadar tinggi dalam korteks ginjal, endoliml
aminoglikosid, maka perlu penyesuaian dosis pada pasien gangguan ginjal. Streptomisin dan gentamisin diekskresi dalam jumlah yang cukup besar melalui empedu sehingga kadarnya cukup tinggi; streptomisin dosis tinggi menghasilkan kadar dalam empedu setinggi 10-20 pg/ml.
dan periliml telinga, menerangkan toksisitasnya terhadap alat tersebut. Penetrasi ke sekret saluran napas buruk, Dilusi ke cairan pleura dan sinovium lambat tetapi mencapai keseimbangan dengan kadar plasma setelah pemberian berulang. Penetrasi ke dalam mata demikian buruk sehingga diperlukan pemberian secara periokular untuk terapi endoptalmitis. Distribusi aminoglikosid ke dalam cairan otak pada meningen normal sangat terbatas. Berdasarkan hal tersebut aminoglikosid dianggap tidak berguna untuk mengatasi meningitis kecuali bila diberikan intratekal. Ekskresi aminoglikosid berlangsung melalui ginjal terutama dengan liltrasi glomerulus. Penggunaan tobramisin bersama dengan probenesid pada pria usia lanjut tidak mempengaruhi bersihan ginjal total untuk tobramisin. Keadaan ini sama dengan streptomisin, dan menunjukkan bahwa ekskresi ginjal berlangsung hanya dengan liltrasi glomerular, sedangkan sekresi tubular tidak berperan. Pada amikasin terdapat proses reabsorpsi tubular. Hal ini
disimpulkan berdasarkan bersihan ginjal untuk amikasin yang lebih kecil daripada untuk kreatinin, masing-masing 83 ml/min dan 120 mUmin. Bersihan kanamisin dan streptomisin juga demikian. Aminoglikosid yang diberikan dalam dosis tunggal, khususnya gentamisin, menunjukkan jumlah ekskresi renal yang kurang dari dosis yang diberikan. Karena ekskresi hampir seluruhnya berlangsung melalui
AMINOGLIKOSID NON-SISTEMIK Neomisin, paromomisin dan framisetin tidak digunakan secara parenteral, karena sifatnya yang terlalu toksik dibandingkan dengan aminoglikosid lainnya. Pada orang yang fungsi ginjalnya baik, neomisin walaupun diberikan 10 g oral selama 3 hari, tidak mencapai kadar toksik dalam darah, Absorpsi lebih tinggi bila ada lesi di saluran cerna. Adanya insulisiensi faal ginjal dan hati, cepat meningkatkan kadar neomisin dalam darah, sehingga mungkin timbul elek toksik; dosis oral 4-8 g sehari sudah dapat menghasilkan kadar dalam plasma seperti pemberian parenteral, Kalau diperlukan neomisin oral pada insulisiensi ginjal, dosis harus sangat dikurangi. Dalam hal ini lebih baik diganti saja dengan aminoglikosid lain misalnya kanamisin, yang memiliki aktivitas sama tetapi kurang toksik dibanding dengan neomisin. Penggunaan neomisin oral pada anak kecil harus dibatasi masa pemberiannya; terlebih pada penyakit dengan lesi intestinal. Dosis 100 mg/kg BB seharijangan diberikan lebih dari tiga minggu. Neomisin yang tidak diabsorpsi di usus, akan keluar dalam bentuk utuh bersama tinia.
Framisetin, hanya digunakan topikal pada
ginjal, maka keadaan ini menunjukkan adanya sekuestrasi ke dalam jaringan. Walaupun demikian kadar dalam urin mencapai 50-200 prg/ml. Sebagian besar ekskresi terjadi dalam 12 jam setelah obat diberikan. Gangguan fungsi ginial akan menghambat
ekskresi aminoglikosid, menyebabkan terjadinya kumulasi dan kadar dalam darah lebih cepat mencapai kadar toksik. Keadaan ini tidak saja menimbulkan masalah pada penyakit ginjal, tetapi perlu diperhatikan pula pada bayi, terutama yang baru lahir atau prematur, pada pasien usia lanJut dan pada
kulit.
5. EFEK SAMPING Efek samping oleh aminoglikosid dalam garis besarnya dapat dibagi dalam tiga kelompok : (1) alergi; (2) reaksi iritasi dan loksik; dan (3) perubahan biologik.
Farmakologi dan Terapi
5.1. ALERGI Secara umu'm potensi aminoglikosid untuk menyebabkan alergi rendah. Rash, eosinofilia, demam, diskrasia darah, angioudem, dermatitis eksfoliatif, stomatitis dan syok analilaksis, pernah dilaporkan.
Ototoksisitas aminoglikosid ditingkatkan oleh berbagai laktor antara lain : besarnya dosis, adanya gangguan laal ginjal, usia tua, riwayat penggunaan suatu obat ototoksik, pemberian bersama asam etakrinat (suatu diuretik kuat), kadar puncak dan kadar lembah yang meningkat, terapi berkepanjangan dan demam. Gangguan vestibular. Pada streptomisin dan gen-
5.2. REAKSI IRITASI DAN TOKSIK Reaksi iritasi berupa rasa nyeri terjadi di lempat suntikan diikuti dengan radang steril, dan dapat disertai pula peningkatan suhu badan setinggi 1/2 1 lPoC. Reaksi ini sangat terkenal pada suntikan streptomisin lM. Reaksi toksik terpenting oleh aminoglikosid ialah pada susunan saraf, berupa gangguan pendengaran dan keseimbangan, dan pada ginjal. Gejala lain pada susunan saral ialah gangguan pernapasan akibat efek kurariform pada sistem neuromuskular, ensefalopati, neuritis periler, serta gangguan visus. Kadar plasma yang disertai elek toksik tidak ,iauh dari kadar yang dibutuhkan untuk mencapai efek terapi. Penyesuaian dosis dapat dilakukan dengan memperpanjang interval pemberian atau mengurangi dosis atau keduanya. Tidak ada informasi pasti cara mana yang paling baik. Yang sering digunakan ialah penyesuaian dosis dengan menggunakan nomogram dimana bersihan kreatinin atau serum kreatinim dipakai sebagai patokan. Monitoring kadar aminoglikosid pada payah ginjal merupakan pendekatan yang lebih tepat. Dikemukakan bahwa pengukuran kadar lembah (trough) lebih bersifat prediktif untuk men-
tamisin, gejala dininya ialah sakit kepala, yang kemudian diikuti oleh fase akut dengan gejala pusing, mual, muntah dan gangguan keseimbangan. Selanjutnya, pada lase kronik, gejala menjadi nyata bila berjalan atau melakukan gerakan tiba-tiba. Akhirnya pada lase kompensasi, gejala bersilat laten dan hanya menjadi nyata bila menutup mata. Tidak ada terapi khusus terhadap efek toksik ini. Pemulihan sempurna memerlukan waktu 12 sampai 18 bulan, dan pada beberapa pasien bisa tersisa kerusakan menetap (sequelae) pada sistem vestibular. Elek samping ini dapat dikurangi bila pemberian aminoglikosid cepat dihentikan setelah diketahui timbulnya gejala ototoksik. Dari sudut patologi, kerusakan terdapat pada nukleus kohlearis ventral di batang otak yang meluas ke ujung serabut saraf di kohlea. Gangguan vestibular oleh streptomisin cukup tinggi lrekuensinya. Dengan dosis 2 g sehari selama
60-120 hari gejala terlihat pada 75% pasien;
sedangkan dengan dosis 1 g sehari pada 25%. lnsidens ototoksisitas gentamisin + 2o/0,660/o diantaranya berupa gangguan vestibular, sedangkan insidens ototoksisitas kanamisin i 7%.
untuk efek terapi maupun toksisitas.
Gangguan akustik. Gangguan ini tidak selalu terjadi pada kedua telinga sekaligus. Pada mulanya kepekaan terhadap gelombang lrekuensi tinggi
EFEK OTOTOKSIK. Efek toksik aminoglikosid
akan berkurang; dan ini tidak disadari oleh pasien. Pada lase permulaan ini, gangguan dapat terung-
cegah toksisitas, sedang kadar puncak prediktil
pada saraf otak N. Vlll mengenai komponen vestibular maupun akustik. Setiap aminoglikosid berpotensi menyebabkan dua elek toksik tersebut tetapi dalam derajat yang berbeda. Streptomisin dan gentamisin lebih mempengaruhi komponen vestibular; sebaliknya neomisin, kanamisin, amikasin dan dihidrostreptomisin lebih mempengaruhi komponen akustik; tobramisin sama pengaruhnya pada kedua sistem. Studi permulaan pada hewan dan manusia menunjukkan bahwa netilmisin kurang ototoksik dibanding dengan aminoglikosid lain. Pendapat tersebut perlu pembuktian lebih lanjut karena pada salah satu uji klinik 10% pasien mendapat komplikasi ototoksisitas.
kap dengan pemeriksaan audiometrik beruntun (serial). Lambat laun, gangguan yang berkembang terus secara klinis menjadi jelas sebagai tuli- saraf. Mungkin pasien baru menyadari ketuliannya justru beberapa waktu setelah pengobatan dihentikan. Gejala dini berupa tinitus bernada tinggi 'dapat bertahan sampai dua minggu setelah pemberian aminoglikosid dihentikan. Patologi kerusakan akus-
tik terutama berupa degenerasi berat sel rambut
organ Corti mulai dibagian basilar menjalar ke apeks. Gangguan akustik larang terjadi pada anak. Frekuensi kejadian gangguan akustik akibat streptomisin 4-15%brla terapilebih dari 1 minggu; gentamisin tobramisin dan amikasin sampai 25%
Aminoglikosid
tergantung dosis dan faktor lain; kanamisin + 3Oo/o berdasarkan seruntun pemeriksaan audiometrik. Neomisin, paling mudah menimbulkan tuli saraf
dibandingkan dengan aminoglikosid lainnya. Penggunaan topikal atau irigasi luka dengan larutan neomisin 5%,pada pasien dengan laal ginjal normal juga dapat menimbulkan tuli saral. Dengan tobramisin terjadi gangguan vestibular sebanyak0,4%. Dengan amikasin, yang baru tercatat hanyalah gangguan pendengaran; terjadi terutama bila pengobatan lebih dari 14 hari. EFEK NEFROTOKSIK. Kerusakan taraf permulaan ditandai dengan ekskresi enzim dari brush border tubulus renal (alanin-aminopeptidase, losfatase alkali dan p-D-glukosaminidase). Setelah beberapa hari, terjadi defek kemampuan konsentrasi ginjal,
proteinuria ringan dan terdapatnya hialin serta silinder granular, liltrasi glomerulus menurun setelahnya. Fase nonoliguria diduga akibat pengaruh aminoglikosid pada bagian nelron distal. Nekrosis tubuli
berat ditandai dengan kenaikan kreatinin, hipokalemia, hipokalsemia; dan hipofoslatemia kadangkadang dapat terjadi. Gangguan lungsi ginjal hampir selalu bersifat reversibel karena sel tubuli proksimal mempunyai kapasitas regenerasi.
Beratnya nelrotoksisitas berhubungan dengan kadar obat yang tinggi dalam plasma. Kadar puncak lebih dari 12-15 pg/ml gentamisin, tobramisin, sisomisin dan netilmisin diduga meningkatkan nefrotoksisitas. Demikian juga kadar puncak lebih tinggi dari 32 pg/ml untuk amikasin dan kanamisin sedapat mungkin dihindarkan. Adanya insufisiensi faal ginjal, usia lanjut dan penggunaan bersama obat tertentu (diuretik kuat, sefalotin, atau selaloridin) bertahan selama beberapa jam. Potensi nefrotoksik terkuat dimiliki oleh neomisin, sedangkan yang terlemah ialah streptomisin.
Kanamisin dan gentamisin berada di antara keduanya; frekuensi kejadian untuk gentamisin ialah 2- 10%, atau rata-rata sekitar 4%. Nefrotoksisitas
amikasin sama dengan gentamisin; sebaliknya, tobramisin memberi kesan kurang toksik, atau sekuran g-kurangnya nefrotoksisitasnya tidak melebihi
gentamisin. Dengan memantau kadar amino-
glikosid dalam darah, berbagai faktor risiko yang
669
kular. Selain dengan streptomisin, sifat kurarilorm
ini dimiliki juga oleh kanamisin, gentamisin dan neomisin; aminoglikosid lain sebaiknya dianggap potensial bersifat demikian pula. Elek ini terjadi bila aminoglikosid dalam darah mencapai kadar yang relatif sangat tinggi dalam waktu relatil singkat; umpamanya pada pemberian intraperitoneal, atau infus lV yang terlalu cepat. Hambatan neuromuskular terjadi lebih mudah dan dengan gejala lebih berat bila pasien juga mendapatkan obat pelumpuh otot rangka.
Neuritis perifer. Selain sebagai reaksi lokal di tempat suntikan, neuritis terjadi pula sebagai elek sistemik. Yang terkenal ialah parestesia di sekitar mulut, di muka dan di tangan yang timbul 112 -
l
1t2
jam setelah suntikan streptomisin dan bertahan
selama beberapa jam. Aminoglikosid khususnya streptomisin pernah dikailkan dengan skotoma yang berupa meluasnya bintik buta. Selanjutnya, tergantung pada tempat suntikan, streptomisin dan kanamisin menimbulkan pula ensefalopati, radikulitis, arahnoiditis, mielitis transversus dan paraplegia.
5.3. PERUBAHAN BIOLOGIK Efek samping ini bermanilestasi dalam dua bentuk, yaitu gangguan pada pola mikrollora tubuh dan gangguan absorpsi di usus. Perubahan pola mikroflora tubuh memungkinkan terjadinya superin-
feksi oleh kuman gram-positif, gram-negatil,
maupun jamur. Superlnfeksi Pseudomonas dapat
timbul akibat penggunaan kanamisin; sedangkan penggunaan gentamisin oral cenderung menimbulkan kandidiasis. Frekuensi kejadian superinfeksi
tidak diketahui, untuk streptomisin parenteral diperkirakan + 4%. Gangguan absorpsi dapat terjadi akibat pemberian neomisin per oral 3 g atau lebih dalam sehari. Jenis zat yang dihambat absorpsinya
meliputi karbohidrat, lemak, protein, mineral dan vitamin. Mekanisme hambatan absorpsi ini antara lain terjadi akibat gangguan sistem enzim dan nekrosis sel epitel kripta usus. Paromomisin oral juga menimbulkan gangguan absorpsi.
dihubungkan dengan nelrotoksisitas dapat dikontrol.
EFEK NEUROTOKSIK LAtNNYA. Pemberian
6. INTERAKSI OBAT
streptomisin secara intraperitoneal sewaktu bedah abdomen dapat menimbulkan gangguan pernapasan akibat hambatan konduksi neuromus-
Penisilin anti pseudomonas yaitu : karbenisilin, tikarsilin, mezlosilin, azlosilin dan piperazilin
670
Farmakolqi dan Terapi
yang umum diberikan dalam dosis besar, ternyata
menginaktivasi aminoglikosid, khususnya genta-
Dosis beberapa aminoglikosida utama untuk penggunaan parenteral dapat dilihat di Tabel 45-5.
misin dan tobramisin. Karena itu jangan mencampur. aminoglikosid dan penisilin dosis besar dalam larutan intravena. Digunakan terpisah interaksi tidak akan merupakan masalah pada pasien dengan lungsi ginjal normal, tetapi antagonisme ini
7.1. STREPTOMISIN
terjadi in vivo pada pasien dengan gagal ginjal, Amikasin dan netilmisin dilaporkan bersilat kurang peka daripada gentamisin dan tobramisin terhadap inaktivasi oleh penisilin anti pseudomonas ini. Belum ada bukti bahwa lurosemid dan asam etakrinat meningkatkan ototoksisitas aminoglikosid. Sebelum ada kepastian bahwa lidak ada interaksi, penggunaan gabungan kedua obat yang ototoksik tersebut memerlukan pen gamatan cermat terhadap
tanda dan gejala nefrotoksisitas dan ototoksisitas. Juga jangan lupa mengontrol keadaan hidrasi pasien pada pemberian kombinasi obat tersebut karena keadaan dehidrasi meningkatkan kadar obat dan toksisitasnya.
Blokade neuromuskular oleh pelumpuh otot (suksinilkolin, tubokurarin) dapat diperberat oleh aminoglikosid sehingga terjadi paralisis pernapasan. Bila blokade tersebut terjadi maka dapat diatasi dengan pemberian kalsium dan prostigmin. Penin gkatan nefrotoksisitas juga dilaporkan terjadi bila aminoglikosid diberikan bersama metoksifluran, sefaloridin, amloterisin B, siklosporin atau indometasin intravena yang diberikan untuk me-
nutup duktus arteriosus paten pada neonatus. Absorpsi digoksin agaknya dipengaruhi oleh neomisin yang diberikan oral sehingga kadar digoksin perlu dimonitor bila kedua obat ini diberikan bersamaan.
7. SEDIAAN DAN POSOLOGI Sediaan aminoglikosid dapat dibagi dalam dua kelompok : (1 ) sediaan aminoglikosid sistemik untuk pemberian lM atau lV yaitu amikasin, gentamisin, kanamisin dan streptomisin; (2) aminogli-
kosid topikal terdiri dari aminosidin, kanamisin, neomisin, gentamisin dan streptomisin. Dalam ke-
lompok topikal ini lermasuk juga semua aminoglikosid yang diberikan per oral untuk mendapatkan elek lokal dalam lumen saluran cerna, Sediaan aminoglikosid pada umumnya tersedia sebagai garam sultat.
Untuk suntikan tersedia bentuk bubuk kering dalam vial yang mengandung 1 atau 5 g zat lindi. Kadar larutan tergantung dari cara pemberian yang
direncanakan; dan cara penyuntikan tergantung darijenis dan lokasi infeksi.
Suntikan lM merupakan cara yang paling sering dikerjakan. Dosis total sehari berkisar 1-2 g (15-25 mg/kgBB); 5OO mg - 1 g disuntikkan setiap 12 jam. Untuk inleksi berat dosis harian dapat mencapai 2-4 g dibagi dalam 2-4 kali pemberian. Dosis untuk anak ialah 20-30 mg/kgBB sehari, dibagi untuk dua kali penyuntikan. Dosis untuk pengobatan tuberkulosis dapat dibaca pada Bab 41 . Dewasa ini tidak ada lagi indikasi untuk memberikan streptomisin secara intravena, intratekal atau intraperitoneal. Pemberian per oral untuk inleksi gastrointestinal saat ini telah ditinggalkan karena terbukti tidak elektif.
7.2. GENTAMISIN Tersedia sebagai larutan steril dalam vial atau ampul 60 mg/1,5 ml; 80 mg/2 ml; 120 mg/3 ml dan 280 mg/2 ml. Salep atau krem dalam kadar 0,1 dan 0,3%, salep mata 0,3%. Sediaan parenteral ada di pasar tidak boleh digunakan untuk suntikan intratekal atau intraventrikular (otak) karena mengandung zat pengawet. Tidak ada korelasi baik antara dosis dan efektivitas tetapi ada korelasi antara kadar dalam darah dengan efektivitas. Jadi bila hasil pengobatan dengan dosis standar tidak efektif, perlu dilakukan pemantauan kadar dalam darah. Kadar gentamisin, juga aminoglikosid lain perlu dipantau agar mendapat kadar tera;ii, pada pasien dengan : (1) penyakit ginjal; (2) fungsi ginjal
yang labil; (3) lanjut usia; (4) kegemukan;
(5)
demam dengan kemungkinan perubahan bersihan
kreatinin; (6) sepsis; (7) volume distribusi labil, misalnya pada gagal jantung dan asites; (8) luka bakar; (9) librosis kistik; (10) dialisis; ('11) obat lain
yang berinteraksi dengan aminoglikosid, dan (12) neonatus.
671
Aminoglikosid
Tabcl tl5-5. DOSIS AttIINOGLIKOSID
Genlamiein/ Tobramirin (ms/ks BB)
Krnami3in/ Amikasln (ms/ks BB)
Do3i3 awal Dgl ras4anak
5 -7,5
dehkJtasi normal
0,75 - 1,5
1
-2
cairan ekslrasol m€ningkat
1,5
- 2,5
7,5 7,5 - 10
2
-2,5
10
Noonatus 4.
Dorlr penunjang
1 -2
D€wasa : lungsi ginial normal
seliap6lungsi ginjal loryanggu
5 - 35 per hari
12 jam
1 - 1,5 mg/kg setiap 12 - 48 lam 1 -2
Anak: lungsi ginjal normal
10 - 15 per hari
sotiap4-Ojam 1 - 1,5
lungsi ginjal l€rganggu
setiapS-48jam
2-2,5
N€onalus
1
5 p€r hari
s€tiap8-24jam
Dosis anjuran ini seringkali memberi kadar di luar kadar terapi.
Keterangan : * Disesuaikan dengan kondisi pasien (lihat hal 61 1) Untuk sisomisin dan netilmisin sama dengan gentamisin. Dikutip dari : Walver RH dan Cipolle RJ. Applied clinical pharmacokinetics, New York : Raven Press, 1983.
2.3.
KANAMISIN
Untuk suntikan tersedia larutan dan
bubuk
basa
kering. Larutan dalam vial ekuivalen dengan kanamisin 500 mg/2 ml dan 1 g/3 ml untuk orang dewasa; serta 75 mg/2 ml untuk anak. Vial bubuk kering berisi 1 g dan 0,5 g. Untuk pemberian oral tersedia bentuk kapsuutablet 250 mg zat lindi dan
mg/ml.
dalam 4 kali pemberian; untuk orang dewasa dapal mencapai 8 g sehari. Pada gangguan laal ginjal perlu pengurangan dosis, baik parenteral maupun oral, untuk menghindari toksisitas. Bila dilakukan dialisis periloneum, perlu diadakan penyesuaian dosis pula'
7.4. AMIKASIN jarang abkarena dikerjakan, Pemberian lV Obal ini tersedia unluk suntikan lM dan lV, sorpsi melalui suntikan lM sangat baik. Dosis oral unruk anak adalah 50 mg/kg BB seharl, dlbagl dalam vlal berlsl 100; 250; 500; 1.000; dan 2'000
sirup 50
672
Farmakologi dan Terapi
mg. Dosis lazim dapat dilihat pada Tabel 45-5. Dosis total sehari umumnya tidak lebih dari 1 ,5 gram
atau tetes hidung dan maia; masing-masing dengan kadar 1o/o danO,So/o. Juga tersedia sebagai salep di
sehari. Penyesuaian dosis perlu dipertimbangkan
atas kasa, untuk pengobatan luka.
pada.berbagai keadaan. Adanya gangguan laal ginjal memerlukan pengurangan dosis dan perpanjangan interval waktu antara dosis, dengan berpedoman pada kadar elektil dalam darah yang berkisar antara 5-10 ug/ml sampai 20-25 ug/ml. Untuk neonatus dianjurkan dosis 15 mg/kg BB sehari, terbagi dalam dua kali pemberian.
7.5. TOBRAMISIN Obat ini tersedia sebagai larutan 80 mg/2 ml untuk suntikan lM. Dosis dan cara pemberian sama dengan gentamisin (lihat Tabel 45- 5).
Untuk infus tobramisin dilarutkan dalam dekstrose 5% atau larutan NaCl isotonis dan diberikan dalam 30-60 menit. Jangan diberikan lebih dari 10 hari. Penyesuaian dosis sama dengan gen-
7.8. LAIN.LAIN
Paromomisin (aminosidin). Penggunaan aminosidin parenteral tidak dianjurkan karena toksisitasnya sepadan dengan neomisin. Manfaat utama paromomisin ialah sebagai amubisid intestinal dan antelmintik yang pemberiannya per oral.
Sisomisin. Larutan obat suntik sisomisin yang mengandung 50 mg/ml terdapat dalam ampul berisi
1 dan 1,5 ml. Selain itu tersedia pula larutan mengandung 10 mg/ml dalam ampul berisi 1 dan 2 ml. Obat ini dapat diberikan lM atau lV. Dosisnya ialah 3 mg/kg BB sehari yang dibagi dalam 3 kali pemberian,
tamisin.
7.6. NETILMISIN Obat ini boleh diberikan lM atau lV, dan tersedia sebagai larutan 50 dan 100, 150 mg/2 ml. Dosisnya ialah 4-6,5 mg/kg BB sehari yang dibagi dalam 2-3 dosis. Untuk penggunaan intravena dosis tunggal diencerkan dalam 50 sampai 200 ml pelbagai larutan (lihat petunjuk penggunaan). Pada anak kecil dan anak, volum pelarut disesuaikan kebutuhan pasien, lalu diberikan dalam 30 menit - 2 jam. Lama pengobatan 7-1 4 hari. Penyesuaian dosis sama dengan gentamisin.
7.7. NEOMISIN Neomisin tersedia untuk penggunaan lopikal
dan oral, penggunaan parenteral tidak lagi dibenarkan karena toksisitasnya. Salep mata dan kulit mengandung 5 mg/g untuk digunakan 2-3 kali sehari. Untuk oral tersedia tablet 250 mg. Dosis oral neomisin dapat mencapai 4-8 g sehari, dalam dosis lerbagi; misalnya yang digunakan pada pengendalian koma hepatik, atau pembersihan lumen USUS.
Framisetin sulfat (neomisin B) tersedia hanya untuk penggunaan topikal sebagai salep
8. INDIKASI, KONTRAINDIKASI DAN PENGGUNAAN KLINIK Aminoglikosid, sekalipun berspektrum antimikroba lebar, jangan digunakan pada setiap jenis inleksi oleh kuman yang sensitif, karena (1 ) resistensi terhadap aminoglikosid relatil cepat berkembang; (2) toksisitasnya relatif tinggi; (3) tersedianya berbagai antibiotik lain yang cukup elektil dan toksisitasnya lebih rendah. lndikasi penggunaan aminoglikosid sebaiknya dibatasi untuk inleksi oleh kuman aerobik gramnegatil yang sensitif terhadapnya dan telah resisten terhadap antimikroba lain yang kurang toksik; terutama inleksi sistemik berat, Pada berbagai infeksi oleh kuman gram-negatif yang berat dan bersifat
latal, penggunaan aminoglikosid sebagai terapi awal dapat menyelamatkan nyawa pasien, sekalF pun belum dapat dipasiikan jenis kuman penyebab. Termasuk dalam kelompok ini antara lain adalah bakteremia dan syok septik. Keputusan digunakannya aminoglikosid, sangat tergantung dari penga-
laman dan observasi dokter terhadap keadaan klinik pasien. Keputusan ini perlu ditinjau kembali setelah ada hasil kultur dan uji sensitivitas. Untuk inleksi oleh kuman gram-positif dan kuman anaerobik penggunaan aminoglikosid lebih terbatas lagi;
sebab di samping ada obat yang lebih aman, juga sebagian kuman khususnya yang anaerobik, resisten terhadap aminoglikosid.
673
Aminoglikosid
Manlaat aminoglikosid yang perlu dikemuka-
yang dikemukakan oleh berbagai kepustakaan
kan ialah terhadap infeksi oleh spesies Pseudomonas, yang pada umumnya resisten terhadap
hanya dapat digunakan sebagai pedoman umum saja. Sensitivitas strain kuman sangat dipengaruhi oleh berbagai keadaan, antara lain perkembangan silat resistensi akibat penggunaan antimikroba. Untuk aminoglikosid perlu dipertimbangkan pula kemungkinan timbulnya resistensi silang, Gentamisin yang sudah cukup luas digunakan, di bebe-
penisilin.ataupun sefalosporin. Untuk terapi inleksi Ps. aeruginosa, potensi tobramisin ialah kira-kira 2-4kali potensi gentamisin, berdasarkan dosis per kg berat badan. Sekalipun silat larmakologi lalnnya sama untuk kedua aminoglikosid ini, berdasarkan perbedaan potensi tersebut di atas cukup beralasan
untuk memilih tobramisin pada inleksi
Ps.
aeruginosa. Penetrasi yang baik dari aminoglikosid ke berbagai bagian tubuh tertentu, menghasilkan kadar yang kira-kirg sama dengan kadar dalam darah.
lnfeksi oleh kuman yang sensitil di tempattempat ini, dapat diharapkan tertanggulangi dengan aminoglikosid. Organ atau bagian yang dimaksud-
kan adalah jaringan paru, rongga sendi, cairan pleura serta asites. Dosis terapi untuk inleksi saluran kemih dapat dicapai dengan dosis yang lebih rendah daripada untuk inleksi sistemik lain karena kadar obat dalam urin dapat berkisar antara
10 sampai 100 kali lebih tinggi daripada kadar dalam serum. Sebaliknya untuk inleksi saluran empedu mungkin tidak memuaskan, karena kadar yang tercapai dalam empedu berkisar antara 3050% kadar dalam darah.
Toksisitas aminoglikosid mudah meningkat antara lain pada usia lanjut atau adanya gangguan ginjal. Pemantauan kadar obat dalam darah dapat sangat membantu pengendalian dan pencegahan toksisitas. Dosis yang diberikan setiap saat dapat disesuaikan dengan kebutuhan berdasarkan hasil pantauan kadar obat dalam darah. Karena
aminoglikosid melintasi sawar uri, penggunaan pada kehamilan hanya dibenarkan bila benar-benar
diperlukan sehubungan dengan kemungkinan nefrotoksisitas, ototoksisitas dan elek toksik lainnya terhadap neonatus. Pemberian streptomisin pada wanita hamil dapal menimbulkan kerusakan N. Vlll tetus. Pada penggunaan aminoglikosid topikal, tetap
perlu diperhitungkan kemungkinan timbulnya elek
toksik sistemik. Hal ini antara lain dapat terjadi dengan aplikasi aminoglikosid pada luka bakar yang luas, pada gastroenteritis dan suntikan intraperitoneum.
rapa tempat sudah memperlihatkan resistensi yang
cukup tinggi. Di tempat di mana gentamisin masih menunjukkan efektivilas yang tinggi, sebaiknya dibatasi penggunaan aminoglikosid lain yang relatif baru agar tetap dimiliki pilihan penggantijika diperlukan.
Di samping ini, perlu dipertimbangkan silat larmakokinetik dan kemungkinan terjadinya toksisitas. STREPTOMISIN. Manfaat streptomisin pada tuber-
kulosis dapat dibaca pada Bab 41. Untuk inleksi non-tuberkulosis dan inleksi kuman gram-negatil penggunaan streptomisin sudah sangat terdesak oleh aminoglikosid lain dan derivat kuinolon yang lebih poten dan aman. lndikasi lain obat ini ialah tularemia, sampar paru dan bubonik. Untuk berbagai inleksi kuman gram-negatif dan beberapa infeksi kuman gram-positif, penggunaan streptomisin sering digabungkan dengan antimikroba lain. Penggabungan dengan tetrasiklin digunakan pada tularerria dan bruselosis berat (untuk terapi tularemia ringan digunakan terapi obat tunggal tetrasiklin); pada penyakit sampar, streptomisin digabung dengan sulladiazin; kombinasi streptomisin dengan penisilin digunakan pula pada endokarditis bakterial yang disebabkan oleh Str. viridans alau Enterococcus, Dalam keadaan tertentu streptomisin dapat di-
pertimbangkan untuk meningitis oleh Ps. aeruginosa, chancroid dan granuloma inguinale. Streptomisin jangan digunakan bersama obat lain yang bersilat ototoksik, karena toksisitasnya dapat bersilat aditil. KANAMISIN DAN KELOMPOK NEOMISIN. KANA. misin aklil terhadap E. coli, Enterobacter, Klebsiella, Proteus, Salmonella, Shigella, Vibrio, Neisseiia, Staphylococcus, dan Mycobacterium. Kanamisin parenteral digunakan pada inleksi oleh kuman yang sensitif; antara lain inleksi perforasi abdomen dan
saluran kemih oleh Proteus, bakte-remia oleh PEMILIHAN OBAT Pedoman untuk memilih aminoglikosid tergan-
tung dari berbagai faktor. Spektrum antimikroba
kuman enterik. Terhadap inleksi S. aureus, kanamisin sudah terdesak oleh antimikroba lain
yang lebih elektil dan kurang toksik. Sebagaituber' kulostatik, penggunaan kanamisin hanya diterap'
674
Farmakologi dan Terapi
kan jika benar-benar diperlukan, berdasarkan pertimbangan toksisitasnya. Sekalipun in vitro aktif terhadap Sa/monella dan Shigella, secara klinik kanamisin tidak elektif terhadap infeksi oleh kedua jenis kuman ini, Neomisin tidak digunakan parenteral, karena ada obat lain yang kurang toksik.
Kanamisin dan neomisin digunakan oral dalam berbagai keadaan. Penggunaan dengan tujuan "membersihkan' lumen usus sebagai "persiapan' prabedah usus, membawa risiko superinfeksi, Penekanan llora usus dengan neomisin oral, bermanlaat dalam terapi koma-hepatik; dalam hal ini kanamisin digunakan sebagai obat tambahan. Penggunaan kanamisin oral tidak terbukti dapat mempercepat sembuhnya gastroenteritis E. coli enteropatogenik.
Neomisin terbanyak digunakan topikal, baik untuk infeksi kulit maupun untuk inleksi mukosa oleh kuman yang sensitif, GENTAMISIN, TOBRAMISIN, NETILMISIN DAN SISOMISIN. Gentamisin sistemik (parenteral) diindikasikan untuk infeksi oleh kuman gram- negatif yang sensitif; antara lain Proteus, Pseudomonas,
Klebsiella, Serratia, E.
coli dan
Enterobacter. Kuman-kuman ini antara lain menyebabkan bakteremia, meningitis, osteomielitis, pneumonia, inleksi luka bakar, inleksi saluran kencing, inleksi telingahidung-tenggorok dan tularemia. Dalam keadaan
krobanya; karena itu, tobramisin dapat digunakan sebagai pengganti gentamisin. Aktivitas tobramisin yang superior terhadap Ps. aeruginosa dibanding gentamisin menyebabkan obat ini terpilih untuk mengatasi inleksi oleh kuman tersebut. Obat ini tidak memperlihatkan sinergisme dengan penisilin terhadap enterokok dan inaktif terhadap mikobak-
terium, Dibandingkan terhadap gentamisin, terdapat petunjuk bahwa tobramisin bersilat kurang nefrotoksik; tetapi hal ini belum terbukti secara klinis.
Netilmisin dikatakan memperlihatkan efek sama dengan gentamisin. Obat ini dikembangkan untuk mengatasi masalah resistensi terhadap gentamisin atau tobramisin. Penelitian eksperimental mendapatkan bahwa toksisitasnya lebih ringan dibanding aminoglikosid pendahulunya, tetapi hal ini memerlukan konlirmasi pada manusia. Sisomisin mempunyai spektrum antibakteri, sifat larmakokinetik dan toksisitas yang sama dengan gentamisin. Data uji klinik hingga saat ini menunjukkan bahwa obat ini kelihatannya tidak mem-
punyai kelebihan apapun dibandingkan dengan gentamisin atau tobramisin. AMIKASIN. Kuman yang sensitif terhadap amikasin
tertentu gentamisin digunakan pula terhadap gonore dan inleksi S. aureus. Sedapat mungkin,
antara lain ialah E. coli, Kl. pneumoniae, Ps. aeruginosa, Serratia marcescens, Providentia stuartii, Proteus, Salmonella, Enterobacter, S. aureus dan S. a/bus. Amikasin sangat berguna
gentamisin sistemik hanya diterapkan pada inleksi yang berat saja. Pada septisemia yang diduga dis-
untuk inleksi gram- negatif, terutama yang telah resisten terhadap gentamisin. Terhadap inleksi
ebabkan kuman gram-negatil, secara empirik dapat
berat oleh kuman gram-negatil, amikasin sekurangkurangnya sama elektil dengan gentamisin. Secara in vitro, berdasarkan ukuran berat,
diberikan gentamisin sambil menunggu hasil identilikasi dan penentuan sensitivitas kuman penyebab. Penggunaan gentamisin secara topikal khususnya dalam lingkungan rumah sakit, perlu dibatasi sedapat mungkin; untuk menghambat perkembangan resistensi pada kuman-kuman sensitif. Tobramisin tidak jauh berbeda silatnya de-
ngan gentamisin, termasuk spektrum antimi-
amikasin kurang poten dibandingkan dengan aminoglikosid lainnya; tetapi amikasin cukup efektif secara klinis, sebab obat ini resisten terhadap ber-
bagai enzim yang menginaktifkan gentamisin, tobramisin atau kanamisin.
Antimikroba Lain
675
46. ANTIMIKROBA LAIN R. Setiabudy
1.
Eritromisin dan makrolid lain
3.2. Kolistin
1.1. Eritromisin 1.2. Spiramisin 1.3. Roksitromisin dan klaritromisin
4. Basitrasin
Linkomisin dan klindamisin 2.1. Linkomisin 2.2. Klindamisin
6. Mupirosin
Golongan Polimiksin 3.1. Polimiksin B
8. Vankomisin
5. Natrium lusidat
7. Spektinomisin
9. Golongan kuinolon
OH N (CHs)e
1. ERITROMISIN DAN MAKROLID LAIN Antibiotika golongan makrolid mempunyai persamaan yaitu terdapatnya cincin lakton yang besar dalam rumus molekulnya. Eritromisin yang dianggap paling penting dari golongan ini akan dibi-
carakan sebagai contoh utama dari kelompok ini. Dalam kelompok ini lermasuk juga spiramisin, roksitromisin dan klaritromisin.
1.1. ERITROMISIN ASAL DAN KIMIA Eritromisin dihasilkan oleh suatu strain Streptomyces erythreus. Struktur kimia eritromisin dapat dilihat pada Gambar 46-1. Zal ini berupa kristal
AKTIVITAS ANTIMIKROBA
berwarna kekuningan, larut dalam air sebanyak 2
Golongan makrolid menghambat sintesis protein kuman dengan jalan berikatan secara reversi-
mg/ml. Eritromisin larut lebih baik dalam etanol atau pelarut organik.
bel dengan ribosom subunit 50S, dan bersifat bakteriostatik atau bakterisid tergantung dari jenis kuman
Antibiotik ini tidak stabil dalam suasana asam, kurang stabil pada suhu kamar tetapi cukup stabil pada suhu rendah. Aktivitas in vitro paling besar dalam suasana alkalis. Larutan netral eritromisin
yang disimpan pada suhu kamar akan menurun potensinya dalam beberapa hari, tetapi bila disimpan pada suhu 50 biasanya tahan sampai beberapa minggu.
dan kadarnya.
Spektrum antimikroba. ln vitro, elek terbesar eritromisin terhadap kokus gram positif, seperti Sfr. pyogenes dan Sfr. pneumoniae. Str. vmdans mempunyai kepekaan yang bervariasi terhadap eritromisin. S. aureus hanya sebagian yang peka terhadap obat ini. Strain S. aureus yang resisten ter-
676
Farmakologi dan Terapi
hadap eritromisin sering dijumpai di rumah sakit
adalah 5-20o/o dari kadar obat dalam sirkulasi darah
(strain nosokomial). Batang gram positil yang peka terhadap erilromisiri ialah Cl. pertringens, C. diphtheriae, dan L.
ibu.
monocytogenes. Eritromisin tidak aktil terhadap kebanyakan kuman gram negatif, namun ada beberapa spesies yang sangat peka terhadap eritromisin yaitu lV. gonorrhoeae, Campylobacter jejuni, M. pneumoniae, Legionella pneumophila, dan C. trachomatis.
Obat ini diekskresi terutama melalui hati. Dialisis peritoneal dan hemodialisis tidak dapat mengeluarkan eritromisin dari tubuh. Pada wanita hamil pemberian eritromisin stearat dapat meningkatkan aktivitas serum aspartat aminotranslerase (AST) yang akan kembali ke nilai normal walaupun terapi diteruskan.
H. influenzae mempunyai kepekaan yang bervariasi
terhadap obat ini. EFEK SAMPING DAN INTERAKSIOBAT
Resistensi. Resistensi terhadap eritromisin terjadi melalui 3 mekanisme yang diperantarai oleh plasmid yaitu: (1) menurunnya permeabilitas dinding sel kuman, (2) berubahnya reseptor obat pada ribosom kuman, dan (3) hidrolisis obat oleh esterase yang dihasilkan oleh kuman tertentu (Enterobacteriaceae).
Elek samping yang berat akibat pemakaian eritromisin dan turunannya jarang terjadi. Beaksi alergi murrgkin timbul dalam bentuk demam, eosinolilia dan eksantem yang cepat hilang bila terapi dihentikan. Hepatitis kolestatik adalah reaksi kepekaan yang terutama ditimbulkan oleh
eritromisin estolat (sekarang tidak dipasarkan lagi di lndonesia). Fleaksi initimbul pada hari ke 10-20 setelah dimulainya terapi. Gejalanya berupa nyeri perut yang menyerupai nyeri pada kolesistitis akut, mual dan muntah. Kemudian timbul ikterus, demam,
FARMAKOKINETIK
leukositosis dan eosinolilia; transaminase serum
dan kadar bilirubin meninggi; kolesistogram tidak Basa eritromisin diserap baik oleh usus kecil bagian atas; aktivitasnya hilang oleh cairan lambung dan absorpsi diperlambat oleh adanya makanan dalam lambung. Untuk mencegah pengrusakan oleh asam lambung, basa eritromisin diberi selaput yang tahan asam atau digunakan dalam bentuk ester stearat atau etilsuksinat. Dengan dosis oral 500 mg eritromisin basa dapat dicapai kadar puncak 0,3-1,9 ug/ml dalam waktu 4 jam. Hanya2-5% erilromisin yang diekskresi dalam bentuk aktil melalui urin. Eritromisin mengalami pemekatan dalam jaringan hati. Kadar obat aktil dalam cairan empedu dapat melebihi 100 x kadar yang tercapai dalam darah. Masa paruh eliminasi eritromisin adalah sekitar 1,6 jam. Dalam keadaan insulisiensi ginjal tidak diperlukan modilikasi dosis. Eritromisin berdifusi dengan baik ke berbagai jaringan tubuh kecuali ke otak dan cairan serebro spinal. Kadarnya dalam jaringan prostat hanya sekilar 400/o dari kadar yang tercapai dalam darah. Pada ibu hamil, kadar eritromisin dalam sirkulasi fetus
menunjukkan kelainan. Gejala klinis dan pqtologis
sangat mirip dengan gangguan yang ditimbulkan oleh klorpromazin. Kelainan ini biasanya menghilang dalam beberapa hari setelah terapi dihentikan. Elek samping ini dijumpai pula pada penggunaan eritromisin etilsuksinat tetapi jarang sekali terjadi. Eritromisin oral (terutama dalam dosis besar) sering menimbulkan iritasi saluran cerna seperti mual, muntah, dan nyeri epigastriurn. Suntikan lM lebih dari 100 mg menimbulkan sakit yang sangat hebat. Pemberian 1 g dengan infus lV sering disusul oteh timbutnya trombo{lebitis. Kelulian sementara dapat terjadi bila eritromisin diberikan dalam dosis tinggi secara lV.
Eritromisin dilaporkan meningkatkan toksisi-
tas karbamazepin, kortikosteroid, siklosporin, digoksin, warlarin, dan teotilin,
SEDIAAN DAN POSOLOGI Sediaan dan posologi eritromisin dapat dilihat dalam Tabel 46-1.
Antimikroba Lain
677
Tabel 46-1. POSOLOGI ERITFOMISIN Preparat') Erilromisin
Kcmasan Kapsulitablet 250 mg dan 500 mg
Posologi/cara pemberian
Keterangan
Dewasa:1-2 g/hari, dibagi dalam 4 dosis
Dosis dapat ditingkat-
kan2xlipalpada inteksi bsrat.
Anak 30-50 mglkg berat badan sehari dibagi dalam 4 dosis. Eritromisin stearat
Kapsul 250 mg dan tablet 500 mg
Dewasa: 250-5OO mg tiap 6 jam atau 500 mg tiap 12 jam.
Susp€nsi oral mengandung 250 mg/s ml
Anak: 30-50 mglkg b€rat badan sehari dibagi dalam beberapa
Obat dib€rikan s€belum makan
idem
dosis. Eritromisin €tilsuk sinat.
Tablot kunyah 200 mg. Susp€nsi oral mengandung 200 mg/ 5 mldalam botol 60 ml.
Dewasa : 4O0-800 mg tiap 6 jam atau 800 mg tiap 12 jam.
Obat tidak p€rlu diberikan
s6b€lum makan Anak: 30-50 mg/kg berat badan sehari dibagi dalam beberapa dosis.
Teles oral mengandung 100 mg/ 2.5 ml dalam botol 30 ml-
K€terangan : ') berat berbagai sst€r eritromisin ini dinyatakan dalam kesetaraannya dengan eritromisin basa
PENGGUNAAN KLINIK
Pertusis. Bila diberikan pada awal inleksi, eritro-
lnfeksi Mycoplasma pneumoniae. Eritromisin yang diberikan 4 kali 500 mg sehari per oral mempercepat turunnya panas dan mempercepat penyembuhan sakil. Penyakit Legionnaire. Eritromisin merupakan obat yang dianjurkan untuk pneumonia yang disebabkan oleh Legionella pneumophila. Dosis oral ialah 4
kali 0,5-1 g sehari alau secara intravena 1-4
g
sehari.
lnfeksi Klamidia. Eritromisin merupakan alternatil tetrasiklin untuk infeksi klamidia tanpa komplikasi yang menyerang uretra, endoserviks, rektum atau epididimis. Dosisnya ialah 4 kali sehari 500 mg per oral yang diberikan selama 7 hari. Eritromisin merupakan obat terpilih untuk wanita hamil dan anakanak dengan inleksi klamidia.
misin dapat mempercepat penyembuhan.
lnfeksi streptokokus. Faringitis, scar/et lever dan erisipelas oleh Str. pyogenes dapat diatasi dengan pemberian eritromisin per oral dengan dosis 30 mg/
kgBB/hari selama 10 hari. Pneumonia oleh pneumokokus juga dapat diobati secara memuaskan dengan dosis 4 kali sehari 250-500 mg
lnfeksi stafilokokus. Eritromisin merupakan alternatif penisilin untuk inleksi ringan oleh S. aureus (termasuk strain yang resisten terhadap penisilin). Tetapi munculnya strain-strain yang resisten telah mengurangi manfaat obat ini. Untuk inleksi berat oleh stafilokokus yang resisten terhadap penisilin lebih elektif bila digunakan penisilin yang lahan penisilinase (misalnya dikloksasilin atau llukloksasilin) atau sefalosporin. Dosis eritromisin untuk inteksi statilokokus pada kulit atau luka ialah 4 kali 500 mg sehari yang diberikan selama 7-10 hari per
Difteri. Eritromisin sangat elektif untuk membasmi
oral.
kqman ditteri baik pada inleksi akut maupun pada carrier state. Perlu dicatat bahwa eritromisin maupun antibiotik lain tidak mempengaruhi perjalanan penyakit pada inleksi akut dan komplikasinya. Dalam hal ini yang penting antitoksin.
lnfeksi Campylobacfel. Gastroenteritis oleh Campylobacter jejuni dapat diobali dengan eritromisin per oral 4 kali 250 mg sehari. Dewasa ini fluorokuinolon telah menggantikan peran eritromisin untuk inleksi ini.
678
Farmakologi dan Terapi
Tetanus. Eritromisin per oral 4 kali 500 mg sehari selama 10 hari dapat membasmi C/. tetani pada penderita tetqnus yang alergi terhadap penisilin. Antitoksin, obat anti kejang dan pembersihan luka merupakan tindakan lain yang sangat penting.
Sifilis. Untuk penderita sililis stadium diniyang alergi terhadap penisilin, dapat diberikan eritromisin per
oral dengan dosis 2-4 g sehari selama 10-1 5 hari.
Gonore. Eritromisin mungkin bermantaat untuk gonore diseminata pada wanita hamil yang alergi terhadap penisilin. Dosis yang diberikan ialah 4 kali 500 mg sehari yang diberikan selama 5 hari per oral. Angka relaps hampir mencapai 25%. Settriakson merupakan obat terpilih untuk indikasi ini.
Penggunaan profilaksis. Obat terbaik untuk mencegah kambuhnya demam reumatik ialah penisilin. Sullonamid dan eritromisin dapat dipakai bila penderita alergi terhadap penisilin. Eritromisin juga dapat dipakai sebagai pengganti penisilin untuk penderita endokarditis bakterial yang akan dicabut giginya. Dosis eritromisin untuk keperluan ini ialah 1 g per
oral yang diberikan 1 iam sebelum dilakukan tindakan, dilanjutkan dengan dosis tunggal 500 mg yang diberikan 6 jam kemudian.
1.2. SPtRAMtStN Spiramisin adalah antibiotik yang dihasilkan oleh Sfieptomyces ambofaciens. Obat ini elektil terhadap kuman stafilokokus, streptokokus, pneumokoku s, en tero koku s, Neissera, B o rd ete I I a pertusig Rickettsia, ameba dan toksoplasma. Secara in vitro aktivitas antibakteri spiramisin lebih rendah daripada eritromisin. Spiramisin umumnya diberikan per oral. Absorpsi dari saluran cerna tidak lengkap, namun tidak
dipengaruhi adanya makanan dalam lambung. Dalam waklu 2 jam setelah pemberian 2 gram per oral dicapai kadar tertinggi dalam darah (3 mcg/ml). Kadarantibiotik inidalam cairan empedu, air liur dan air susu lebih tinggi daripada dalam darah. Kadar spiramisin dalam berbagai jaringan pada umumnya lebih tinggi daripada kadar antibiotik makrolid lainnya dan bertahan lama walaupun kadar obat ini dalam serum sudah turun rendah sekali. Preparat spiramisin yang tersedia ialah bentuk tablet 500 mg.
Dosis oral untuk penderita dewasa ialah 3-4 kali 500 mg sehari. Pada infeksi berat, dosis dapat ditingkatkan 2 kali lipat. Dosis oral untuk anak ialah 50-75 mg/kgBB sehari, terbagidatam 2-3 kati pemberian. Seperli eritromisin, spiramisin digunakan untuk lerapi inleksi rongga mulut dan saluran napas. Spiramisin juga digunakan sebagai obat alternatil untuk penderita toksoplasmosis yang karena sesuatu sebab tidak dapat diobati dengan pirimetamin + sullonamid (misalnya pada wanita hamil, atau ada kontraindikasi lainnya). Efektivitasnya ti-
dak sebaik pirimetamin + sulfonamid. Dosis yang digunakan untuk indikasi ini ialah 2-3 g/hari yang dibagi dalam beberapa dosis selama tiga minggu. Terapi diulang 2 minggu kemudian. Pemberian spiramisin oral kadang-kadang menimbulkan iritasi saluran cerna.
1.3. ROKSITROMISIN DAN
KLABITROMISIN Roksitromisin adalah derivat eritromisin yang diserap dengan baik pada pemberian oral. Obat ini lebih jarang menimbulkan iritasi lambung dibandingkan dengan eritromisin. Bioavailabilitasnya tidak banyak terpengaruh oleh adanya makanan dalam lambung. Kadarnya dalam plasma dan jaringan lebih tinggi dari eritromisin. Masa paruh eliminasinya sekitar 10 jam sehingga obat ini dapat diberikan dua kali sehari. Penggunaannya sama dengan eritromisin. Dosis oral untuk orang dewasa ialah 2 kali 150 mg sehari. Untuk anak diberikan 5-10 mg/kgBB/ hari yang dibagi dalam 2 dosis, Klaritromisin juga digunakan untuk indikasi yang sama seperti eritromisin. Secara in vitro, obat ini adalah makrolid yang paling aktil terhadap Chlamydia trachomafls, Dosis oral untuk orang dewasa ialah 2 kali 250-500 mg sehari. Absorpsinya tidak banyak dipengaruhi oleh adanya makanan dalam lambung. Efek sampingnya adalah iritasi saluran cerna (lebih jarang dibandingkan dengan eritromisin) dan peningkatan sementara enzim hati. Pada hewan coba, dosis tinggi menimbulkan embrioloksisitas. Klaritromisin juga meningkatkan kadar teolilin dan karbamazepin bila diberikan bersama obat-obat tersebut.
679
Antimikroba Lain
2. LINKOMISIN DAN KLINDAMISIN
.
2.1. LINKOMISIN
Linkomisin adalah antibiotik yang dihasilkan oleh Streptomyces lincolnensis. Antibiotik ini terdiri dari satu asam amino yang terikat pada suatu gula amino.
Linkomisin merupakan antibiotik pertama dari golongan linkosamid yang digunakan diklinik. Tetapi dewasa ini praktis tidak ada alasan lagi untuk menggunakan obat ini karena derivatnya, klindamisin, mempunyai sifat yang lebih baik. Klindamisin lebih aktif, lebih sedikit elek sampingnya serta pada pemberian per oral tidak terlalu dihambat oleh adanya makanan dalam lambung. Sifat-sitat farmakologik linkomisin dapat dilihat pada edisi terdahulu buku ini. Linkomisin tersedia dalam bentuk kapsul 250 dan 500 mg serta sirup yang mengandung 250 mg/5 ml. Obat suntik yang mengandung 600 mg tersedia dalam ampul 2 ml. Dosis oral ialah 500 mg tiap 6-8 jam untuk penderita dewasa; untuk anak 30-60 mg/kgBB terbagi dalam 3 atau 4 kali pemberian tiap hari. Terapi lM menggunakan dosis 600 mg tiap 6, I atau 12 jam tergantung dari beratnya infeksi. Linkomisin tidak boleh diberikan sebagai bolus lV dalam waktu cepat karena dapat menimbulkan henti jantung-paru.
tidak banyak mempengaruhi absorpsi obat ini. Setelah pemberian dosis oral 'l 50 mg biasanya tercapai
kadar puncak plasma 2-3 mcg/ml dalam waktu jam. Masa paruhnya kira- kira 2,7 iam.
1
Klindamisin palmitat, yang digunakan sebagai
preparat oral pediatrik, tidak aktil secara in vitro. Tetapi setelah mengalami hidrolisis akan dibebaskan klindamisin yang aktif. Setelah pemberian beberapa kali dengan dosis 8-16 mg/kgBB dengan interval 6 jam, tercapai konsentrasi 2-4 mcg/ml. Klindamisin didistribusi dengan baik ke berbagai cairan tubuh, jaringan dan tulang, kecuali ke CSS walaupun sedang terjadi meningitis. Obat ini dapat menembus sawar uri dengan baik. Kira- kira 90% klindamisin dalam serum terikat dengan albumin. Klindamisin berakumulasi dalam leukosit polimorfonuklear dan makrolag alveolar tetapi makna klinik dari {enomena ini belum jelas. Hanya sekitar 10% klindamisin diekskresi dalam bentuk asal melalui urin. Sejumlah kecil klindamisin ditemukan dalam leses. Sebagian besar obat dimetabolisme menjadi N-demetilklindamisin dan klindamisin sulfoksid untuk selanjutnya diekskresi melalui urin dan empedu. Masa paruh eliminasi dapat memanjang pada penderita gagal ginjal sehingga diperlukan penyesuaian dosis berdasar-
kan pengukuran kadar obat dalam plasma. Hal ini dapat pula terjadi pada penderita dengan gangguan
fungsi hati yang berat.
2.2. KLINDAMISIN EFEK SAMPING KIMIA Rumus bangun klindamisin mirip dengan linkomisin. Perbedaannya hanya pada 1 gugus hidroksil pada linkomisin yang diganti dengan atom Cl.
AKTIVITAS ANTIBAKTERI Spektrum antibakterinya menyerupai linkomisin hanya in vitro klindamisin lebih aktil. Obat ini pada umumnya aktil terhadap S. aureug D. pneumoniae, Str. pyogeneg Str. anaerobic, Str. viridans dan Actinomyces israelli. Obat ini juga aktil terhadap Eacfercidesfragilis dan kuman anaerob lainnya.
Diare dilaporkan terjadi pada2-20% penderita yang mendapat klindamisin. Sekitar 0,01-'l 0% penderita dilaporkan menderita kolitis pseudomembranosa yang ditandai oleh demam, nyeri abdomen, diare dengan darah dan lendir pada tinja. Pada pemeriksaan proktoskopik terlihat adanya mem-
bran putih kuning pada mukosa kolon. Kelainan yang dapat bersilat latal ini disebabkan oleh toksin yang diekskresioleh Cl. difficile. Penyakit inisekarang disebut antibiotic associated pseudomembra' nous colrtis karena dapat terjadi pada pemberian kebanyakan antibiotika, tetapi paling sering pada klindamisin. Timbulnya penyakit tersebut tidak tergantung dari besarnya dosis dan dapat terjadi pada
FAiiMAKoKINETIK Klindamisin diserap hampir lengkap pada pemberian oral. Adanya makanan dalarn lambung
pemberian oral maupun parenteral. Gejala dapat muncul selama terapi atau beberapa minggu setelah terapi dihentikan. Bila selama terapi limbul diare atau kolitis, maka pengobatan harus dihenti-
680
Farmakologi dan Terapi
kan. Obat terpilih untuk keadaan ini adalah vankomisin yang diberikan 4 kali 125-500 mg sehari per
kin menimbulkan kolitis. Klindamisin terutama bermanlaat untuk inleksi kuman anaerobik, terutama
oral selama 7-1 0 hari. Pemberian basitrasin, metronidazol (3 kali 500 mg sehari) per oral dan kolestiramin (3-4 kali 4 g sehari) dapat bermanfaat pula. Obat penghambat peristalsis dapat memperburuk keadaan. lndikasi penggunaan klindamisin harus dipertimbangkan dengan baik sebelum obat ini diberikan. Kemerahan kulit terjadi pada sekitar 10% penderita. Reaksi lain yang jarang terjadi ialah sindrom Stevens-Johnson, peningkatan kadar SGOT dan SGPT sementara, granulositopenia, trombositopenia dan reaksi anafilaksis. Tromboflebitis dapat terjadi akibat pemberian intravena. Klindamisin dapat
B. fragilis.
menghambat transmisi neuromuskular dan dapat meningkatkan efek obal lain yang mempunyai sitat seperti ini.
Untuk pengobatan abses paru, pemberian klindamisin 3 kali 600 mg lV lebih elektif daripada penisilin 1 juta unit tiap4 jam. Peranan obat ini untuk pneumonia aspirasi, pneumonia pasca obstruksi atau abses paru belum dipastikan, letapi didapat kesan bahwa klindamisin merupakan alternatil yang baik untuk penisilin.
3. GOLONGAN POLIMIKSIN Golongan polimiksin yaitu polimiksin B dan kolistin sekarang hanya digunakan per oral atau topikal, jarang secara parenteral karena sangat nefrotoksik.
SEDIAAN DAN POSOLOGI
3.1. POLIMIKSIN B
Klindamisin tersedia dalam bentuk kapsul ber-
isi klindamisin HCI hidrat yang setara dengan 75 dan 150 mg klindamisin basa. Selain itu terdapat granul klindamisin palmitat HCI untuk suspensi oral dengan konsentrasi 75 mg/5 ml. Dosis oral untuk orang dewasa ialah 150-300 mg tiap 6 jam. Untuk infeksi berat dapat diberikan 450 mg tiap 6 jam. Dosis oral unluk anak ialah 8-12 mg/kgBB sehari yang dibagi dalam beberapa dosis.
Untuk infeksi berat dapat diberikan sampai 25 mgl kgBB sehari. Untuk pemberian secara lM atau lV digunakan larutan klindamisin foslat 150 mg/ml dalam wadah 2 dan 4 ml, Dosis unluk inleksi berat kokus gram positil aerobik ialah 0,6-1,2 g sehari, dibagi dalam beberapa kali pemberian. Untuk inleksi berat oleh B. fragilis, Peptococcus atau Clostridium (kecuali
d. pertringens) diberikan dosis 1 ,2-2,7 g sehari yang dibagi dalam beberapa kali pemberian. Dosis lebih dari 600 mg sebaiknya tidak disuntikkan pada satu tempat.
Untuk anak atau bayi berumur lebih dari
1
bulan diberikan 15-25 mg/kgBB sehari; untuk inleksi berat dosisnya 25-40 mg/kgBB sehari yang dibagi dalam beberapa dosis pemberian.
PENGGUNAAN KLINIK Walaupun beberapa infeksi kokus gram positil dapat diobati dengan klindamisin, penggunaan obat ini harus dipertimbangkan baik-baik karena mung-
KlMlA. Polimiksin B sullat sangat mudah larut dalam air. Stabilitasnya sangal baik dalam bentuk kering maupun dalam bentuk larutan dengan suhu dan pH fisiologik. AKTIVITAS ANTIMIKROBA. Kedua obat ini aktif terhadap berbagai kuman gram negatif, khususnya Ps. aeruginosa. Kuman lain yang peka ialah Escherichia, Haemophilus, Klebsiella, Enterobacter,
Salmonella, Shigella, Pasteurella, Bordetella dan Vibrio. Obal ini bekerja dengan mengganggu lungsi pengaturan osmosis oleh membran sitoplasma kuman. Resisten terhadap antibiotik ini jarang terjadi.
FARMAKOKINETIK. Polimiksin praktis tidak diserap melalui mukosa atau kulit dengan luka bakar. Pada pemberian parenteral, obat ini dapat menem-
bus sawar uri, tetapi tidak dapat mencapai CSS, cairan sendi dan jaringan intra-okuler kecuali bila disuntikkan lokal. Polimiksin B diekskresi melalui urin dan pada gagal ginjal, kumulasi terjadi dengan cepal. EFEK SAMPING. Reaksi alergi jarang sekati timbut akibat pemberian topikal. Efek samping terpenting dari obat ini ialah neurotoksisitas dan nelrotoksisitas yang khususnya mudah terjadi pada penderita gagal ginjal karena terjadinya kumulasi. Dosis
rendah parenteral yang menghasilkan kadar 1-2 pg/ml dalam darah dapat menimbulkan kemerahan pada muka, vertigo, ataksia, rasa mengantuk dan
Antimikroba Lain
parestesia, Dengan dosis terapi juga dapat terjadi paralisis dan henti nafas akibat blokade neuromuskular yang sulit di aiasi dengan neostigmin tetapi mungkin dapat ditolong dengan kalsium glukonat.
SEDIAAN DAN POSOLOGI. Penggunaan sistemik obat ini sekarang praktis telah ditinggalkan orang karena toksisitasnya yang tinggi. Oleh karena itu dosis untuk penggunaan sistemik tidak dicantumkan lagi dalam edisi ini. Untuk penggunaan topikal tersedia krem atau
Basitrasin tersedia dalam bentuk salep kulit
dan mata yang mengandung 500 unit/g. Garam seng basitrasin iuga sering dicampur dengan neomisin sullat, polimiksin B sulfat dan lain-lain untuk penggunaan topikal. Kombinasi ini dianggap rasional karena obat-obat ini relatif aman pada penggunaan topikal dan tidak praktis untuk melakukan identilikasi kuman setiaP kali. Basitrasin stabil dalam bentuk salep, tetapi tidak stabil dalam bentuk krem.
salep kulit dan salep mata yang mengandung 5.000-10.000 unit polimiksin B/g' Obat tetes mata atau telinga mengandung 20'000 unit/ml.
3.2. KOLISTIN Kolistin sullat mudah larut dalam air dan diberikan per oral untuk mengobati diare pada anak dan bayi yang disebabkan oleh E coli, Ps. aeruginosa, dan kuman gram negatil lainnya yang peka. Spektrum antibakterinya secara in vitro sama dengan polimiksin B. Obat ini praktis lidak diserap melalui saluran cerna. Obat ini iarang sekali diberikan secara parenteral. Kolistin sullat diberikan per oral untuk mendapatkan elek antibakteri lokal di saluran cerna. Kadang-kadang obat ini juga diberikan secara topikal untuk tetes mata dan telinga. Obal ini tersedia dalam bentuk bubuk yang setelah ditambahkan air mengandung 25 mg kolistin/s ml suspensi. Dosis oral untuk anak dan bayi ialah 5-15 mg/kgBBlhari dibagi dalam 3 pemberian'
4. BASITRASIN Antibiotik ini dihasilkan oleh strain tertentu 8. subtl/is dan bersilat bakterisid terhadap kuman-kuman gram positil dan Neissena. Basitrasin tidak
aktil terhadap kuman gram negatif lainnya dan beberapa strain StaphY/ococcus. Obat ini sekarang hanya digunakan secara topikal untuk berbagai infeksi kulit dan mata karena
pada pemberian sistemik bersifat nefrotoksik' Reaksi alergi jarang teriadi pada penggunaan topikal. Salep mata yang mengandung basitrasin elektil
untuk mencegah oltalmia neonatorum karena gonore.
5. NATRIUM FUSIDAT Asam fusidat tersedia dalam bentuk garam natrium untuk mempermudah kelarutannya' Di lndonesia hanya tersedia salep natrium fusidal 2% untuk inleksi kulit superfisial oleh stalilokokus. Di
Eropa, obat ini diberikan secara sistemik untuk in{eksi sta{ilokokus yang resisten terhadap penisilin' khususnya untuk osteomielitis karena obat ini terdapat dalam tulang dengan kadar cukup tinggi. Elek samping yang timbul pada pemberian sistemik ialah mual, muntah, erupsi kulit, ikterus dan kelainan laal hatiyang daPat Pulih'
6. MUPIROSIN Obat ini bekerja dengan menghambat enzim isoleusil-t-RNA sintetase pada kuman. Kebanyakan stalilokokus (termasuk S. epider' mrdls dan S. aureus yang resisten terhadap metisilin) dan streptokokus (kecuali S' faecalis) peka terhadap mupirosin. Kuman gram negatif tertentu (E. coli, H. influenzae, N' meningitidis, N. gonorrhoeae) juga peka terhadap obat ini. Mupirosin
tidak mempunyai efek yang berarti terhadap klamidia, jamur, dan llora normal kulit. Obat ini bersilat bakterisidal dalam bentuk salep2o/o dengan
vehikulum polietilen glikol, Namun vehikulum ini sendiri dapat diserap terlalu banyak pada lesi yang luas hingga menimbulkan efek nefrotoksik. Pada umumnya pemberian topikal mupirosin
dapat ditoleransi dengan baik' Jarang sekali dapat terjadi iritasi kulit. Mupirosin topikal diindikasikan untuk berbagai inleksi kulit (baik primer maupun sekunder) yang disebabkan oleh stafilokokus aureus dan streptoko' kus piogenes. Untuk inleksi kulit yang luas diperlukan pemberian antimikroba sistemik.
682
Farmakologi dan Terapi
7. SPEKTINOMISIN Obat ini dihasilkan oleh Sfrepfornyces specfabilis dan aktif terhadap kebanyakan strain N. gonorthoeae. Tidak terdapat resistensi silang antara obat ini dengan penisilin. Spektinomisin digunakan bila gonokokus resisten atau penderita alergi terha-
dap penisilin G. Spektinomisin diserap dengan cepat dari tempat suntikan. Dalam darah praktis tidak terikat oleh protein plasma dan diekskresi melalui urin dalam bentuk aktil.
Setelah suntikan dosis tunggal mungkin tim-
bul mual, menggigil, demam, insomnia, urtikaria
dan oliguria. Elek samping ini relatil jarang terjadi. Setelah pemberian berulang kali, beberapa nilai kimia darah mungkin berubah, misalnya kadar hemoglobin, hematokrit dan bersihan kreatinin menurun, kadar alkali lostatase serum, ureum dan SGpT me-
ningkat. Belum diketahui jelas elek toksik obat ini terhadap fetus, bayi dan anak.
Spektinomisin digunakan untuk mengatasi inleksi /V. gonorrhoeae dalam bentuk uretritis akut
Vankomisin merupakan obat terpilih untuk kolitis oleh Clostridium difficile akibat pengguoian €lrrtibiotik.
Karena sangat toksik, obat ini hanya diguna-
kan bila penderita alergi terhadap obat lain yang lebih aman. Ketulian permanen dan uremia yang fatal dapat terjadi pada pemberian dosis besar, terapi yang lama atau bila diberikan pada penderita payah ginjal. Karena itu perlu pemeriksaan audiogram dan laal ginjal secara teratur, lebih-lebih bila terapi berlangsung lebih dari 1 minggu. Tromboflebitis dapat terjadi pada pemberian lV yang lama. Vankomisin HCI tersedia dalam bentuk bubuk 500 mg untuk pemberian lV. Dosis untuk dewasa ialah 2-4 g/hari yang dibagi dalam beberapa pem-
berian dan untuk anak 40 mg/kgBB/hari. Dosis ini dilarutkan dalam 100-200 ml garam laal atau dekstrosa 5% dan diberikan lV perlahan-lahan untuk mencegah tromboflebitis. Untuk penggunaan oral tersedia bubuk 10 g untuk dilarutkan dengan 1 15 ml air.
dan proktitis pada pria serta servisitis akut dan proktitis pada wanita bila obat utama yaitu penisilin atau tetrasiklin tidak elektif atau tidak dapat diberi-
9. GOLONGAN KUINOLON
kan karena suatu sebab. Dahulu obat ini merupakan
obat terpilih untuk gonore tanpa komplikasi yang disebabkan oleh gonokokus penghasil penisilinase. Sekarang obat terpilih untuk ini ialah seftriakson (suntikan tunggal 125-250 mg),
8. VANKOMISIN Vankomisin dihasilkan oleh Streptomyces orientalis. Obat ini tidak diserap melalui saluran cerna, dan untuk mendapatkan elek sistemik selalu harus diberikan lV karena pemberian lM menimbulkan nekrosis setempat. Obat ini hanya aktil terhadap kuman gram positif, khususnya golongan kokus, lndikasi utama vankomisin ialah septikemia dan endokarditis yang disebabkan oleh stafilokokus, streptokoku.s atau enterokokus bila penderita alergi terhadap penisilin dan sefalosporin. Penggunaannya dapat dikombinasikan dengan gentamisin atau aminoglikosid lainnya. Pada pemberian per oral obat ini juga bermanfaat untuk enterokolitis oleh stalilokokus yang biasanya merupakan elek samping antibiotik lain.
Asam nalidiksat adalah prototip golongan kui-
nolon lama yang dipasarkan sekitar tahun .1 g60. Walaupun obat ini mempunyai daya antibakteri yang baik terhadap kuman gram negatif, eliminasinya melalui urin berlangsung terlalu cepat sehingga sulit dicapai kadar terapeutik dalam darah. Karena itu penggunaan asam nalidiksat praktis terbatas sebagai antiseptik saluran kemih saja. Selain itu resistensi timbul cepat terhadap obat ini. Kuinolon lainnya yang menyusul yaitu asam piromidat, asam pipemidat, sinoksasin, dan lain-lain, juga tidak mempunyai kelebihan yang berarti. Pada awal tahun 1980, diperkenalkan golong-
an kuinolon baru dengan atom fluor pada cincin kuinolon (karena itu dinamakan juga fluorokuinolon). Perubahan struktur ini secara dramatis me-
ningkatkan daya antibakterinya, memperlebar spektrum antibakteri, memperbaiki penyerapannya dari saluran cerna, serta memperpanjang masa kerja obat. Golongan lluorokuinolon ini dapat digunakan untuk infeksi sistemik. Yang termasuk golongan ini antara lain ialah siprolloksasin, enoksasin, ofloksasin, pelloksasin dan norfloksasin.
Antimikroba Lain
MEKANISME KERJA
paling panjang. Bioavailabilitasnya pada pemberian
Bentuk double helx DNA harus dipisahkan menjadi 2 utas DNA pada saat akan berlangsungnya replikasi dan transkripsi. Pemisahan ini selalu
per oral sama dengan pemberian parenteral. Penyerapan siprolloksasin (dan mungkin juga lluorokuinolon lainnya) terhambat bila diberikan bersama antasida. Fluorokuinolon hanya sedikit lerikat dengan protein. Golongan obat ini didistribusi dengan
akan mengakibatkan terjadinya puntiran berlebihan (overwinding) pada double helx DNA sebelum titik pisah. Hambatan mekanik ini dapat diatasi kuman dengan bantuan enzim DNA girase (topoisomerase ll) yang kerjanya menimbulkan negative supercoi/rng. Golongan lluorokuinolon menghambat kerja enzim DNA girase pada kuman dan bersilat bakterisidal. Mekanisme resistensi melalui plasmid seperti yang banyak terjadi pada antibiotika lain tidak dijumpai pada golongan kuinolon, namun dapat terjadi dengan mekanisme mutasi pada DNA atau membran sel kuman.
SPEKTRUM ANTIBAKTERI Golongan fluorokuinolon aktif sekali terhadap enterobacteriaceae (E. coli, Klebsiella, Entercbacter, Proteus), Shigella, Salmonella, Vibio, C. jejuni, B. catarrhalis, H. influenzae, dan lV. gonorrhoeae
baik pada berbagai organ tubuh. Dalam urin semua
lluorokuinolon mencapai kadar yang melampaui Kadar Hambat Minimal untuk kebanyakan kuman patogen selama minimal 12 jam. Salah satu silat fluorokuinolon yang menguntungkan ialah bahwa golongan obat ini mampu mencapai kadar tinggi dalam jaringan prostat. Beberapa lluorokuinolon seperti siprofloksasin dan olloksasin dapat mencapai kadar tinggi dalam cairan serebrospinal bila ada meningitis. Sifat lain lluorokuinolon yang mengun-
tungkan ialah masa paruh eliminasinya panjang sehingga obat cukup diberikan 2 kali sehari. Kebanyakan lluorokuinolon dimetabolisme di hati dan diekskresikan melalui ginjal. Masa paruh eliminasi olloksasin akan sangat memanjang dalam keadaan gagal ginjal. Sebagian kecil obat akan dikeluarkan melalui empedu. Hemodialisis hanya sedikit me-
ngeluarkan lluorokuinolon dari tubuh sehingga penambahan dosis umumnya tidak diperlukan.
(termasuk galur-galur penghasil penisilinase kuman-kuman ini). Golongan obat ini juga aktil terhadap Ps. aeruginosa (yang paling aktil untuk ini ialah siprolloksasin). Berbagai kuman yang telah resisten terhadap golongan aminoglikosida dan
betalaktam ternyata masih peka terhadap lluorokuinolon. Dengan aktivitas yang lebih rendah, golongan obat ini juga dapat menghambat stafilokokus (termasuk S. aureus yang resisten lerhadap metisilin).
Streptokokus (termasuk S. pyogenes, Enterococcus f aec alis, dan Sfreptoco cc u s virid ans) termasuk kuman yang kurang peka terhadap fluorokuinolon.
Secara in vitro, fluorokuinolon tertentu aktil terhadap beberapa galur mikobakteria. Kuman-kuman anaerob pada umumnya resisten terhadap lluorokuinolon.
FARMAKOKINETIK Fluorokuinolon diserap dengan cepat melalui saluran cerna. Semua lluorokuinolon mencapai kadar puncaknya dalam 1-2 jam setelah pemberian obat, Pefloksasin adalah lluorokuinolon yang absorpsinya paling baik dan masa paruh eliminasinya
EFEK SAMPING DAN INTERAKSI OBAT Golongan kuinolon baru umumnya dapat ditoleransi dengan baik. Etek sampingnya yang terpenting ialah pada saluran cerna dan susunan saraf pusat. Manifestasi pada saluran cerna, terutama berupa mual dan hilang nafsu makan, merupakan efek samping yang paling sering dijumpai. Dibandingkan dengan antimikroba lain yang berspektrum luas, lluorokuinolon jarang menimbulkan gangguan keseimbangan llora usus. Hal ini mungkin disebabkan golongan obat ini tidak mempunyai aktivitas antibakteri terhadap kuman anaerob.
Efek samping pada susunan saral pusat umumnya bersilat ringan berupa sakit kepala, vertigo, dan insomnia. Efek samping yang lebih berat
pada SSP seperti reaksi psikotik, halusinadi, depresi dan kejang, jarang terjadl. Penderita berusia lanjut, khususnya dengan arteriosklerosis afau epilepsi, lebih cenderung mengalami efek samping susunan saraf pusat ini. Reaksi hipersensitivitas berupa eritema dan pruritus. Reaksi lotoloksik pernah dilaporkan terjadi setelah pemberian asam nalidiksat. Penderita yang mendapal lluorokuinolon dianjurkan agar menghin-
Farmakologi dan Terapi
darkan diri dari paparan berkepanjangan terhadap sinar matahari.
Pada beberapa spesies hewan percobaan, golgngan kuinolon ternyata dapat menimbulkan artropati pada hewan muda. Meskipun belum dike-
tahui apakah elek samping ini dapat terjadi pada manusia, golongan obat ini tidak diindikasikan pada
wanita hamil dan anak yang belum mencapai usia
akilbalik. Enoksasin menghambat metabolisme teolilin dan dapat menyebabkan peningkatan kadar teolilin. Siprofloksasin dan beberapa lluorokuinolon lain juga memperlihatkan elek iniwalaupun tidak begitu dramatis.
lnfeksi ealuran cerna. Semua patogen penyebab utama diare bakterial dapal dihambat oleh lluorokulnolon dengan kadar kurang dari 1 pg/ ml, Untuk traveller's diarrhoea, golongan obat ini memperlihatkan elektivitas yang setara dengan kotrimoksazol. Diduga lluorokuinolon tidak mudah menimbulkan masalah resistensi untuk indikasi ini karena obat terdapat dalam kadar tinggidalam lumen usus.
Selain itu keseimbangan llora usus juga tidak mudah terganggu karena lluorokuinolon tidak mempengaruhi kuman anaerob maupun streptokokus di lumen usus. Namun perlu diperhatikan bahwa dewasa ini tidak dianjurkan pemberian antimikroba untuk pencegahan Vaveller's diarrhea (NlH Consensus Development Conference, 1 985). Siprolloksasin dilaporkan efektif untuk de-
PENGGUNAAN KLINIK
mam tifoid. Diperkirakan fluorokuinolon lain juga mempunyai etektivitas ini walaupun masih harus
Kuinolon lama (asam nalidiksat, asam piromidat, asam pipemidat) hanya digunakan sebagai antiseptik saluran kemih.
dibuktikan dengan uji klinik yang cukup.
Daya antibakteri lluorokuinolon jauh lebih kuat
dan spektrum antibakterinya lebih luas daripada kuinolon lama. Oleh karena itu indikasi penggunaan
kliniknyapun lebih luas. Dalam garis besarnya penggunaan klinik lluorokuinolon ialah untuk
:
lnfeksi saluran kemih. Golongan lluorokuinolon
elektif untuk infeksi saluran kemih dengan dan tanpa komplikasi. Berbagai kuman gram negatif, termasuk Ps. aeruginosa, kuman nosokomial, serta kuman yang multiresisten lainnya biasanya masih responsil terhadap lluorokuinolon, Walaupun penderita mengalami gangguan lungsi ginjal, fluorokuinolon masih berguna karena dalam keadaan ini biasanya kadar obat dalam urin masih cukup untuk
Fluorokuinolon yang mencapai kadar tinggi dalam empedu dan jaringan hati (misalnya siprolloksasin) merupakan obat yang baik untuk mengatasi inleksi pada saluran empedu.
lnfeksi saluran nafas bawah (lSB). Sekalipun lluorokuinolon bukan merupakan obat terpilih untuk lSB, golongan obat ini mempunyai elektivitas yang cukup baik, rnisalnya untuk eksaserbasi akut bronkitis kronis dan pneumonia akut. Beberapa kuman yang sering menjadi penyebab ISB seperti Haemophilus influenzae dan Branhamella catarrhalis peka sekali terhadap golongan obat ini. Enterobac\eriaceae yang sering menjadi penyebab ISB nosokomial pun peka. Namun perlu diperhatikan bahwa Streptococcus pneumoniae yang juga sering jadi penyebab ISB kurang peka terhadap lluorokuino-
mematikan kuman penyebab infeksi. Dalam keada-
lon. Demikian pula pneumonia aspirasi yang sering
an insufisiensi ginjal, seringkali urin tidak dapat diasamkan. Keadaan ini malah "menguntungkann
disebabkan kuman anaerob tidak merupakan indikasi penggunaan obat ini karena jenis kumankuman ini tidak peka terhadap fluorokuinolon.
dalam terapi dengan lluorokuinolon karena pada pH rendah aktivitas lluorokuinolon berkurang.
Untuk sistitis akut tanpa komplikasi, banyak tersedia antimikroba lain yang lebih murah juga memberikan hasil terapi yang sangat memuaskan dengan pemberian dosis tunggal. Fluorokuinolon juga etektil untuk prostatitis akut (misalnya oleh E colr) karena mampu menembus masuk ke dalam jaringan prostat dengan baik. Peranannya dalam pengobatan prostatitis kronis
belum jelas, namun siprofloksasin mungkin juga elekif untuk indikasi ini.
Penyakit yang ditularkan melalui hubungan kelamin. Semua lluorokuinolon dengan dosis tung-
gal per oral (misalnya 250 mg siprolloksash, 200 mg olloksasin, 800 mg norfloksasin) elektif untuk mengobati gonore, termasuk yang disebabkan oleh
gonokokus penghasil penisilinase. Namun untuk uretritis nonspesilik yang disebabkan oleh klamidia,
hanya siprofloksasin dan olloksasin yang efektif. Untuk ini obat harus diberikan selama 7-10 hari. Obat terpilih untuk penyakit ini ialah doksisiklin karena efehivitasnya lebih tinggi dan harganyapun
685
Antimikroba Lain
lebih murah. Fluorokuinolon dapat digunakan sebagai obat alternatil untuk kotrimoksazol dalam pengobalan ulcus molle.
lnfeksi iaringan lunak dan tulang. lnleksi kulit
umumnya disebabkan oleh stalilokokus dan streptokokus. Obat terpilih untuk inleksi ini ialah golongan betalaktam dan makrolid. Fluorokuinolon merupakan salah satu alternatil bila penyebabnya adalah
kuman gram negatif yang peka terhadap obat ini. Fluorokuinolon bermanfaat untuk ulkus dekubitus yang disebabkan oleh kuman gram negatif aerob di rumah sakit.
Fluorokuinolon dapat digunakan untuk meng-
obati osteomielitis yang disebabkan oleh kumankuman yang peka. Oleh karena dapat diberikan per oral, obat ini memungkinkan penderita yang seharusnya dirawat lama (karena membutuhkan antibio'
tika parenteral) dipulangkan lebih cepat. Selain itu penderita yang sulit diberi obat per infus (misalnya karena tromboflebitis) dapat diobati per oral dengan
fluorokuinolon,
klinik komparatif yang mendukung penggunaan lluorokuinolon untuk indikasi ini belum memadai. lndikasi potensial lain dari fluorokuinolon yang masih memerlukan penelitian lebih lanjut ialah untuk mengatasi kolonisasi saluran nafas atas oleh methicitlin-resistant S. aureus atau N' meningitidis,
infeksi saluran nalas bawah oleh M. tubrculosis, dan pencegahan infeksi pada penderita dengan neutropenia.
SEDIAAN DAN POSOLOGI Asam nalidiksat tersedia dalam bentuk tablet 500 mg dan diberikan dengan dosis 4 kali 1-2 tableV hari. Asam pipemidat tersedia dalam bentuk tablet 400 mg dan diberikan dengan dosis 2 kali 1 tableV hari.
Sediaan dan dosis untuk golongan fluorokuinolon dapat dilihat pada Tabel 46'2'
Tabel46-2. SEDIAAN DAN DOSIS GOLONGAN FLUOROKUINOLON
lnleksi pasca bedah oleh kuman enteroko' kus, Ps. aeruginosa,atau stafilokokus yang resisten terhadap betalaktam atau aminoglikosid, dapat diobati dengan lluorokuinolon. Namun bila terdapat infeksi campur dengan kuman anaerob, perlu ditambahkan melronidazol atau obat antianaerob
kin mempunyai potensi yang baik untuk mengobati inleksi susunan saral pusat yang disebabkan oleh kuman gram negatil pada penderita dewasa (obat ini sekarang masih dikontraindikasikan pada anak)' Pelloksasin mencapai kadar yang tinggi dalam
cairan serebrospinal. Siprolloksasin mungkin iuga dapat dipakai sebagai alternatil untuk meningitis bakterial oleh kuman gram negatil. Namun data uii
Tablet 250, 500, 750 mg Cairan infus 200 mg/100 ml
Siprofloksasin
Oral: 2 kali 250750 mg/hari Parenteral : 2 kali 100-200 mg/hari lV
Norfloksasin
Oral : 2 kali 400 mg/hari
Tablet 400 mg
Ofloksasin
Oral:2 kali 100-
Tablet 200 mg
lainnya.
lndikasi potensial lainnya. Fluorokuinolon mung-
Sediaan
Jenis lluorokuinolon
300 mg/hari Pefloksasin
Oral : 2 kali 400 mg/hari Parenteral : 2 kali 400 mg/hari lV
Tablet 400 mg Cairan infus 400 mg/5 ml
686
Farmakologi dan Terapi
XIII. ANTIKANKER DAN IMUNOSUPRESAN 47. ANTIKANKER Nalrialdi dan Sulistia Gan
1.
2. 3. Busullan 2. 4. Fluorourasil 2. 5. Sitarabin 2. 6. Metotreksat 2. 7. Vinkristin 2. 8. Bleomisin 2. 9. Doksorubisin
Pendahuluan 1.1. Pilahan obat antikanker 1.2. Mekanisme kerja 1.3. Efek nonterapi
Pembicaraan khusus beberapa antikanker utama 2. 1. Klorambusil 2. 2. Siklofosfamid
1. PENDAHULUAN Kanker ialah suatu penyakit sel dengan ciri gangguan atau kegagalan mekanisme pengatur multiplikasi dan lungsi homeostasis lainnya pada organisme multiseluler. Sifat umum dari kanker ialah sebagai berikut : (1 ) pertumbuhan berlebihan umumnya berbentuk tumor; (2) gangguan diferensiasi dari sel dan jaringan sehingga mirip jaringan mudigah; (3) bersifat invasif, mampu tumbuh di jaringan sekitarnya (perbedaan pokok dengan jaringan normal); (4) bersifat metastatik, menyebar ke tempat lain dan menyebabkan pertumbuhan baru; (5) memiliki heriditas bawaan (acquired heredity) yaitu turunan sel kanker juga dapat menimbulkan kanker; dan (6) pergeseran metabolisme ke arah pembentukan makromolekul dari nukleosida dan asam amino serta peningkatan katabolisme karbohidrat untuk energi sel. Sel kanker mengganggu tuan rumah karena menyebabkan (1 ) desakan akibat pertumbuhan tumor; (2) penghancuran jaringan tempat tumor berkembang atau bermetastasis; dan (3) gangguan sistemik lain sebagai akibat sekunder dari pertumbuhan sel kanker.
2.10. Prokarbazin
3.
Prinsip terapi kanker
Di negara yang telah maju yang telah berhasil membasmi penyakit inleksi, kanker merupakan penyebab kematian kedua setelah penyakit kardiovaskular. Di A,S. kanker merupakan penyebab utama kematian pada wanita antara 30-54 tahun dan anak-anak antara 3-14 tahun. Dengan metode pengobatan pada saat ini, 1/3 jumlah pasien tertolong melalui pembedahan dan terapi radiasi. Kesembuhan hampir seluruhnya terjadi pada pasien yang penyakitnya belum menyebar pada saat pembedahan. Diagnosis lebih dini makin meningkatkan penyembuhan. Kemoterapi dengan atau tanpa pengobatan lain bersifat kuratil pada koriokarsinoma pada wanita, limloma Burkitt, tumor Wilms pada anak, sarkoma Ewing, rabdomiosarkoma embrional, dan
beberapa kasus penyakit Hodgkin; mungkin juga menyembuhkan sarkoma osteogenik, limlortra his-
tiositik difusa, tumor testis tertentu (pascaorkiektomi) dan insulinoma bila diagnosis cukup dini dan kadang-kadang bersilat kuratif pada leukemia limfositik akut pada anak. Perlu ditekankan di sini bahwa penyembuhan oleh kemoterapi saja baru dapat tercapai pada tumor-tumoryang jarang dijumpai, Pada kanker payudara stadium ll dan sarkoma osteogenik, kombinasi pembedahan dan kemoterapi sa-
Antikanker
687
ngat bermanfaat, pada kasus demikian, kemoterapi
umumnya lebih buruk daripada pengobatan terda-
ajuvan dapat memberi remisi jangka panjang. Setelah terjadi metastasis dibutuhkan pendekatan sistemik melalui kemoterapi kanker, di samping pembedahan, radiasi dan kemoterapi ajuvan. Pada keadaan ini, pengobatan tidak menyembuhkan tetapi hanya bersifat paliatif terhadap gejala, pencegahan komplikasi, support psikologik dan perpanjangan hidup yang berarti. Selama dekade terakhir ini terlihat kejadian yang memberikan harapan bahwa pengendalian kanker dini mungkin dicapai dengan pengobatan kombinasi. Antikanker diharapkan memiliki loksisitas selektif artinya menghancurkan sel kanker tanpa merusak sel jaringan normal. Pada umumnya antineoplastik menekan pertumbuhan atau proliferasi sel dan menimbulkan toksisitas, karena menghambat pembelahan sel normal yang proliferasinya cepat misalnya sumsum tulang, epitel germinativum, mukosa saluran cerna, {olikel rambut dan jaringan limfosit. Terapi hanya dapat dikatakan berhasil baik, bila dosis yang digunakan dapat mematikan sel
hulu.
tumor yang ganas dan tidak terlalu mengganggu sel normal yang berproliferasi.
lnformasi baru mengenai kinetik
sel
dan
massa sel tumor dapat menjelaskan keterbatasan elektivitas kebanyakan antikanker karena prinsip total cell-killed sangat penting dalam keberhasilan terapi keganasan ini. Matinya sel tumor oleh antikanker mengikuti kinetik orde pertama artinya obat tersebut membasmi sel sebanyak persentase tertentu setiap kalinya. Misalnya pada pasien kanker metastatik mungkin terdapat lebih dari 1012 sel kanker dan sekiranya suatu antikanker dapat membasmi 99,99%-sel kanker maka masih tertinggal sebanyak 108 sel kanker. Berbeda dengan inleksi bakteri, sisa sel kanker yang tidak terbasmi ini tidak dapat diatasi oleh laktor pertahanan tubuh dan da-
pat menyebabkan relaps. Untuk mengatasi hal ini telah dikembangkan kombinasi rasional beberapa obat yang mekanisme kerjanya berbeda. Pendekatan serupa telah berhasil mengatasi infeksi kronik seperti tuberkulosis dan malaria. Pasien yang keadaan umumnya masih baik paling mendapat manlaat dari pengobatan, sedangkan yang keadaan umumnya buruk paling sedikit. Status imunologik pasien khususnya imunitas selu-
lar berkorelasi baik dengan hasil pengobatan. Pa-
sien yang imunitas selularnya tidak lerganggu memberikan respons baik terhadap pengobatan, sebaliknya yang imunokompetensinya rendah menunjukkan respons buruk. Hasil pengobatan ulang
Obat antikanker merupakan obat spesialistik. Batas keamanannya begitu sempit sehingga hanya dibenarkan penggunaannya oleh dokter yang berpengalaman di bidang pengobatan ini. Penggunaan yang kurang cermat hanya akan menambah penderitaan, bersifat latal dan pemborosan biaya. Seorang pasien dapat menghabiskan uang sampai 50-60 juta rupiah sebelum meninggal dengan perpanjangan penderitaan tanpa mengalami hidup yang berarti. Ditangan orang yang bertanggung jawab kemoterapi kanker saat ini cukup menggembirakan hasilnya. Menurut statistik di negara maju, 17% pasien kanker sembuh dengan kemoterapi sehingga ditambah dengan pembedahan dini, 50% pasien kanker disembuhkan Tergantung dari keadaan pasien dan jenis kanker, pengobatan beruariasi dari yang sangat intensif sampai tanpa pengobatan khusus sama sekali, kecuali yang bersifat suportil yaitu dukungan mental-emosional-spiritual dan perbaikan keadaan umum. Seringkali tindakan yang disebut terakhir merupakan tindakan yang paling tepat bagi pasien kanker stadium akhir maupun keluarganya.
1.1. PILAHAN OBAT ANTIKANKER Pilahan obat antikanker dapat dilihat di Tabel 47-1.
1.2. MEKANISME KERJA
HUBUNGAN KERJA ANTIKANKER DENGAN SIKLUS SEL KANKER Sel tumor dapat berada dalam 3 keadaan : (1 ) yang sedang membelah (siklus proliferatif); (2) yang dalam keadaan istirahat (tidak membelah, Go); dan (3) yang secara permanen tidak membelah, Sel tumor yang sedang membelah terdapat dalam beberapa tase yaitu fase mitosis (M), pascamitoiis (G1), fase sintesis DNA (fase S), fase pramitosis (G2) (Gambar 47-11. Pada akhir lase G1 terjadi peningkatan RNA disusul dengan lase S yang merupakan saat terjadinya replikasi DNA. Setelah lase
S berakhir sel masuk dalam lase pramitosis
(G2)
dengan ciri : sel berbentuk tetraploid, mengandung DNA dua kali lebih banyak daripada sel lase lain dan masih berlangsungnya sintesis RNA dan
688
Farmakologi dan Terapi
Tabel 47-1. PILAHAN ANTIKANKER
Golongan
Sub Golongan
l.
Mustar nitrogen
Mekloretamin Siklofosfamid Melfalan Mustar urasil Klorambusil
Derivat etilenamin
Trietilen-melamin OEM) Trietilen-tiof osloramid (tio-TEPA)
Alkil sulfonat
Busulfan
Nitrosourea
Karmustin (BCNU)
Alkilator
Lomustin (CCNU) Semustin (metil CCNU)
ll.
Anti metabolit
Analog pirimidin
5{luorourasil Sitarabin 6-Azauridin
Floksuridin (FUDR)
lll. Produk alamiah
Analog purin
6-Merkaptopurin 6-Tioguanid (I6)
Antagonis folat
Metotreksat
Alkaloid Vinca
Vinblastin (VLB) Vinkristin (VCR)
Antibiotik
Daktinomisin Mitomisin
Antrasiklin : daunorubisin doksorubisin Mitramisin Bleomisin Enzim
lV. Hormon
L-asparaginase
Hormon adrenokortikosteroid
Prednison
Progestin
H
Estrogen
Dietilstilbestrol Etinil estradiol
Androgen
Testosteron propionat
idroksiprogesteron kaproat Hidroksiprogesteron asetat Megestrol asetat
Fluoksimesteron
V.
Vl.
lsotop radioaktif
Lain-lain
Fosfor
Natrium fosfat (P32)
Yodium
Natrium Yodida
Substitusi urea
Hidroksiurea
Derivat metilhidrazin
Prokarbazin
11131;
Antikanker
protein. Sewaktu mitosis berlangsung (fase M) sin-
tesis protein dan RNA berkurang secara tiba-tiba' dan terjadi pembelahan menjadi 2 sel. Setelah itu sel dapat memasuki interfase untuk kembali memasuki lase Gr, saat sel berprolilerasi, atau memasuki fase istirahat (Go). Sel dalam lase Gs lanQ masih potensial untuk berproliferasi disebut sel klonogenik atau sel induk (stem cell). Jadi yang menambah lumlah sel kanker ialah sel yang dalam siklus prolilerasi dan dalam lase Go.
diberikan serentak. Hal tersebut disebabkan vinblastin menghentikan aktivitas sel pada lase M dengan akibat populasi sel berada dalam lase yang sama yaitu fase M. Kira-kira 16 iam setelah vinblastin diberikan, semua sel berada dalam fase S yang
sensitil terhadap sitarabin. Penelitian pengaruh obat terhadap siklus sel diharapkan dapat menemukan kombinasi obat yang sesuai untuk tiap-tiap jenis kanker.
KERJA ANTIKANKER PADA PROSES DALAM SEL Pada umumnya, keria antikanker berdasarkan
atas gangguan pada salah satu proses sel yang
v\.)
Go
Gt
Gz
Gambar 47-1. Fase sel kanker.
Ditinjau dari siklus sel, obat dapat digolongkan dalam 2 golongan. Yang pertama ialah yang mem-
perlihatkan toksisitas selektif terhadap lase-fase tertentu dari siklus sel dan disebut zal cell cycle-
specilic (CSS), misalnya vinkristin, vinblastin, merkaptopurin, hidroksiurea, metotreksat dan asparaginase. Zat CSS ini terbukti efektif terhadap kanker yang berprolilerasi tinggi misalnya kanker sel darah.
Golongan kedua ialah zal cell cycle'nonspecific (CCNS) misalnya zat alkilator, antibiotik antikanker (daktinomisin, daunorubisin, doksorubisin, plikamisin, mitomisin), sisplatin, prokarbazin dan nitrosourea. Perbedaan kerja tersebut lebih bersilat
relatif daripada absolut karena banyak zat yang tergolong CCNS lebih efektil terhadap sel yang berproliferasi dan terhadap sel-sel yang sedang dalam lase tertentu siklusnya. Misalnya bila DNA sel klonogenik yang telah teralkilasi diperbaiki sebe-
lum sel memasuki lase S, maka sel tersebut tidak dipengaruhi oleh zat alkilator. Dalam penelitian didapatkan bahwa terjadi sinergisme antara vinblastin dan sitarabin yang diberikan 16 jam kemudian pada tikus dengan sel leukemik L 1210. Sinergisme tidak terlihat bila obat
esensial. Karena tidak ada perbedaan kualitatif antara sel kanker dengan sel normal maka semua anti-
kanker bersifat mengganggu sel normal, bersilat sitotoksik dan bukan kankerosid atau kankerotoksik
yang selektif.
ALKILATOR Berbagai alkilator menunjukkan persamaan cara keria yaitu melalui pembentukan ion karbonium atau kompleks lain yang sangat reaktif. lkatan kovalen (alkilasi) akan teriadi dengan berbagai nukleolilik penting dalam tubuh misalnya foslat, amino, sulfhidril, hidroksil, karboksil atau gugus imidazol. Elek sitostatik maupun efek sampingnya berhubungan langsung dengan terjadinya alkilasi DNA ini.
Alkilator yang bifungsional misalnya mustar nitrogen dapat berikatan kovalen dengan 2 gugus asam nukleat pada rantai yang berbeda membentuk crossJtnking sehingga terjadi kerusakan pada lungsi DNA. Hal ini dapat menerangkan sifat sitotoksik dan mutagenik dari alkilator. ANTIMETABOLIT. Antipurin dan antipirimidin mengambil tempat purin dan pirimidin dalam pembentukan nukleosida, sehingga mengganggu berbagai reaksi penting dalam tubuh. Penggunaannya sebagai obat kanker didasarkan atas kenyataan bahwa metabolisme purin dan pirimidin lebih tinggi pada sel kanker dari sel normal. Dengan demikian' penghambatan sintesis DNA sel kanker lebih dari'terhadap sal normal.
Antagonis pirimidin misalnya S-fluorourasil, dalam tubuh diubah menjadi 5-fluoro-2-deoksiuridin 5'-monofoslat (FdUMP) yang menghambat timidilat sintetase dengan akibat hambatan sintesis DNA. Fluorourasil iuga diubah meniadi fluorouridin monoloslat (FUMP) yang langsung mengganggu sintesis
690
RNA. Sitarabin diubah menjadi nukleosida yang berkompetisi dengan metabolit normal untuk diinkorporasikan ke dalam DNA. Obat ini bersifat cel/ cycle specific yang spesifik untuk lase S dan tidak berelek terhadap sel yang tidak berproliferasi.
Antagonis purin misalnya merkaptopurin merupakan antagonis kompetitif dari enzim yang menggunakan senyawa purin sebagai substrat. Suatu alter-
natil lain dari mekanisme kerjanya ialah pembentukan 6-metil merkaptopurin (MMPR), yang menghambat biosintesis purin, akibatnya sintesis RNA, CoA, ATP dan DNA dihambat.
Antagonis folat misalnya metotreksat menghambat dihidrofolat reduktase dengan kuat dan berlangsung lama. Dihidrofolat reduktase ialah enzim yan g mengkatalisis dihidrofolat (FH2) menjadi tetra-
hidrololat (FH4). Tetrahidrofolat merupakan metabolit aktil dari asam lolat yang berperan sebagai kofaktor penting dalam berbagai reaksi transler satu atom karbon pada sintesis protein dan asam nukleat. Efek penghambatan ini tidak dapat diatasi dengan pemberF an asam folat, tetapi dapat diatasi dengan leukovorin (asam folinat) yang tersedia sebagai kalsium leukovorin. Anlagonis lolat membasmi sel dalam lase S, terutama pada lase pertumbuhan yang pesat. Namun dengan elek penghambatan terhadap sintesis BNA dan protein, metotreksat menghambat sel memasuki lase S, sehingga bersifat swabatas (self limiting) terhadap efek sitotoksiknya.
Farmakologi dan Terapi
Bleomisin bersilat sitotoksik berdasarkan daya memecahkan DNA. ln vitro, bleomisin menyebabkan akumulasi sel pada lase G2 dan banyak sel
memperlihatkan aberasi kromosom termasuk pecahnya, fragmentasi dan translokasi kromatid.
Asparaginase. Obat ini ialah suatu enzim katalisator yang berperan dalam hidrolisis asparagin menjadi asam aspartat dan amonia. Dengan demikian sel kanker kekurangan asparagin yang berakibat kematian sel ini. Tempat kerja berbagai antikanker dapat dilihat digambar 47-2.
1.3. EFEK NONTERAPI
' Antikanker merupakan obat yang indeks terapinya sempit, Semuanya dapat menyebabkan efek toksik berat, yang mungkin sampai menyebabkan kematian secara langsung maupun tidak langsung. Karena antikanker umumnya bekerja pada sel yang sedang aktif, maka efek sampingnya juga terutama mengenai jaringan dengan proliferasi tinggi yaitu: sistem hemopoetik dan gastrointestinal. Supresi hemopoesis lerlihat sebagai leukopenia, trombositopenia atau anemia. Leukopenia hebat (leukosit < 2000/mm3) dan trombopenia
silik dengan tubulin, komponen protein mikrotubulus, sprndle milotik, dan memblok polimerisasinya, Akibatnya terjadi disolusi mikrotubulus, sehingga sel terhenti dalam metafase (spindle poison).
(trombosit < 100.000/mm3) merupakan petunjuk untuk penghentian terapi pada pasien yang pada awal terapi mempunyai sistem hemopoetik normal. Supresi sistem hemopoetik ini masih dapat berlanjut setelah pemberian obat dihentikan. Umumnya pemulihan terjadi 2 minggu setelah penghentian terapi. Penghambatan sistem hemopoetik oleh nitrosourea dapat berlangsung 4-6 minggu setelah
ANTIBIOTIK. Antrasiklin berinterkalasi dengan
pengobatan dihentikan.
ALKALOID VINKA. Zat ini berikatan secara spe-
DNA, sehingga lungsi DNA sebagai template dan pertukaran sister chrcmatrd terganggu dan pita DNA
putus. Antrasiklin juga bereaksi dengan sitokrom Pcso reduktase yang dengan adanya MADPH mem-
bentuk zal perantara, yang kemudian bereaksi dengan oksigen menghasilkan radikal bebas yang menghancurkan sel. Pembentukan radikal bebas ini
dirangsang oleh adanya Fe. Aktinomisin memblok polimerase RNA yang dependen terhadap DNA, karena terbentuknya kompleks antara obat dengan DNA. Selain itu aktinomisin juga menyebabkan putusnya rantai tunggal DNA mungkin berdasarkan terbentuknya radikal bebas atau akibat kerja topoisomerase ll.
Gangguan saluran cerna berupa anoreksia ringan, mual, muntah, diare dan stomatitis sampai yang berat yaitu ulserasi oral dan intestinal, perlorasi, diare hemoragik. Hampir semua antikanker menyebabkan efek samping ini, tetapi jarang sampai menimbulkan kematian. Lesi selaput lendir mulut umumnya terjadi pada pemberian metotreksat, fluorourasil, daktinomisin, vinblastin, dan antrasiklin (daunorubisin, doksorubisin). Reaksi kulit dapat berupa eritem, urtikaria dan
erupsi makulopapular sampai sindrom StevensJohnson; reaksi berat perlu penghentian terapi. Siklolosfamid, vinkristin, vinblastin, metotreksat, dakti-
nomisin, lluorourasil
dan
kelompokantrasiklin
Antikanker
691
\/
L0) c G
I
'E
c o G
o G
oG n)
-o q) -o (g
ccc
'.a'.4'.a
-
-O -= ^-=o E o g cooE ='= 'EcorU v(s ll t ct o.=
ooo>
jo (g CL
E
o $ E c,
E
.9
c(g
L
c'
= C,j t$ (E
-o
E
(g
(J
c 5 cL-
o.=
trc {d, oo =c
>tr (o(o
Farmakologi dan Terapi
sering menyebabkan alopesia. Rambut umumnya tumbuh kembali setelah pengobatan dihentikan.
Banyak antikanker secara tidak langsung
Berbeda dengan antikanker lain, efek toksik asparaginase terhadap sumsum tulang minimal, demikian juga kerusakan pada saluran cerna.
dapat menyebabkan nefropati hiperurisemik dan gagal ginjal bila digunakan pada pasien leukemia,
Sayangnya obat ini toksik terhadap hati, ginjal,
limfoma dan tumor berproliferasi cepat lainnya yang responsif. Hal ini disebabkan oleh pemecahan nukleoprotein menjadi asam urat yang diekskresikan dalam jumlah tinggi melalui ginjal. Hiperurisemia ini dapat dicegah dengan hidrasi, alkalinisasi urin dan pemberian alopurinol. Sebagian besar antikanker memperlihatkan sifat teratogenik pada binatang. Walaupun bahayanya pada manusia belum terbukti, dianjurkan agar sedapatnya tidak diberikan pada kehamilan trimester pertama. Juga perlu dipertimbangkan kemungkinan elek toksik pada janin yaitu pada sistem hemopoetik, hati dan ginjal. Di bawah ini akan dibicarakan efek nonterapi khusus dari beberapa antikanker.
Gangguan pada hati terjadi pada 50% kasus. Lasparaginase menekan sistem imun dan terlihat dari hambatannya pada sintesis antibodi dan proses imun lainnya. Asparaginase bersifat antigenik; reaksi alergi ringan sampai anafilaksis dilaporkan terjadi pada 5-2O o/o pasien.
Alkilator dapat
menyebabkan depresi hemopoetik yang ireversibel, terutama bila diberikan setelah pengobatan antikanker lain atau setelah radiasi. Siklolosfamid paling kurang menyebabkan
pankreas, SSP dan mekanisme pembekuan darah.
2. PEMBICARAAN KHUSUS BEBERAPA ANTIKANKER UTAMA Berikut hanya akan dibicarakan beberapa antikanker utama yaitu yang tercantum dalam daftar obat esential. Dosis obat kanker sangat bervariasi
tergantung jenis kanker, stadiumnya, keadaan pasien dan apakah obat diberikan dalam kombinasi
atau obat tunggal. lndikasi dan dosis antikanker lainnya dapat dilihat di T abel 47 -2.
trombositopeniadibanding dengan alkilator lain. Frekuensi kejadian reaksi gastrointestinal dan sakit kepala lebih tinggi dengan mekloretamin dibanding
2.1. KLORAMBUSIL
dengan alkilator yang lain, sifat iritatilnya dapat menyebabkan nekrosis pada ekstravasasi obat. Stomatitis altosa lebih jarang terjadi dengan alki-
Klorambusil (Leukeran) merupakan mustar nitrogen yang kerjanya paling lambat dan paling tidak toksik. Obat ini berguna untuk pengobatan paliatil leukemia limfositik kronik dan penyakit Hodgkin (stadium lll dan lV), limloma non-Hodgkin, mieloma multipel makroglobulinemia primer (Wal-
lator daripada dengan antimetabolit.
Antimetabolit, selain menyebabkan depresi hemopoetik dan gangguan saluran cerna, sering menyebabkan stomatitis aftosa. Elek samping ini paling sering terjadi setelah pemberian metotreksat, fluorourasil dan sesekali setelah pemberian merkaptopurin. Stomatitis, diare, trombositopenia, leukopenia alau setiap penurunan mendadak hitung jenis leukosit dan trombosit, merupakan indikasi penghenlian terapi. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya ulserasi pada saluran cerna bagian distal, infeksi dan hemoragi yang dapat berakibat latal. Antimetabolit dikontraindikasikan pada pasien dengan status gizi buruk, leukopenia berat atau trombositopenia. Kondisi ini cenderung terjadi pada phsien yang baru mengalami pembedahan, radiasi atau akibat pengobatan dengan sitostatik. Pada pasien dengan gangguan hati dan ginjal dosis harus disesuaikan berdasarkan respons pasien; status fungsi hati dan ginjalharus dimonitor.
denstrom), dan dalam kombinasi dengan metotrek-
sat atau daktinomisin pada karsinoma testis dan ovarium.
Depresi sumsum tulang terjadi pada pengjangka panjang secara bertahap berupa
obatan
leukopenia, trombositopenia dan anemia. Mielosupresi ini umumnya bersifat reversibel. Untuk mencagah depresi berat, pemeriksaan darah harus dilakukan sedikitnya seminggu sekali. Pemberign obat ini harus diberi tenggang waktu 4 minggu setelah radiasi atau pemberian obat antikanker lain yang juga mendepresi sumsum tulang. Apabila hitung leukosit menurun 50% dari nilai normal, dosis harus diturunkan atau pemberian dihentikan sampai hitung leukosit kembali normal. Ptmeriksaan asam urat serum juga harus dilakukan untuk menghindari hiperurisemia yang dapat menyebabkan gagal ginjal.
633
Antikanker
Tabel 47-2.lND|KAS| DAN DOSIS ANTIKANKER LAINNYA
Namagenerik
Dosis
Mekloretamin
Tunggal lV 0,4
lndikasi
mg/kgBB
Penyakit Hodgkin, limfosarkoma karsinoma mama dan karsinoma ovarium.
oral 6 mg/hari selama 2-3 minggu.
Melfalan
Mustar
Oral 1-2 mg/hari selama 3 minggu, diulang setelah 1 minggu
urasil
(rEM)
rrietirenmeramin
Trietilentiofosforamid (fhiotepa) Karmustin
Mieloma multipel
Tunggu 4 minggu, kemudian penunjang oral 2-4 mg/hari.
(BCNU)
"'3,ir'rl"fli,lil;:iffi,T,ffi' lV 10 mg/hari selama 5 hari. Penunjang lV 5-20 mg/minggu.
diulangi minggu.
lV 75-100 mg/m2lhari setelah 6-8
Leukemia limfosit kronik, limfosarkoma, penyakit Hodgkin dan tumor ovarium.
*%?'I|i::"m,"H,"*T;I:'"' kronik, tumor payudara dan ovarium. Penyakit Hodgkin, limfosarkoma, retinoblastoma, tumor payudara dan ovarium Penyakit Hodgkin yang refrakter terhadap pengobatan, melanoma malignum, mieloma
multi-
pel (kombinasidengan Prednison). Lomustin
(CCNU)
Oral, 130 mglmz diulangi 6-8
Semustin (metil
CCNU)
minggu.
setelah
Oral 175-200 mg7m2 diulangi 6-8 minggu.
setelah
mg/kgBB/hari. mg/kgBB/hari
6-Azauridin
oral 220 Penunjang oral 135
Floksuridin
lnfus intra arteri, 0,1-0,6
6-Merkaptopurin
Oral,2,S
Karsinoma paru dan kolorektal, limloma Hodgkin dan non-Hodgkin dan karsinoma renal. Karsinoma paru Lewis, melanoma malignum, tumor otak metastatik, penyakit Hodgkin, limfoma non-Hodgkin, dan neoplasma saluran cerna. Mikosis lungoides. Polisitemia vera.
mg/
Terapi paliatif untuk karsinoma yang tidak dapat diobati dengan operasi atau cara lain.
mg/kgBB/hari.
Leukemia limfosit akut dan kro-
kgBB/hari.
nik, leukemia granulosit akut dan kronik, koriokarsinoma.
Vinblastin
(VBL)
|V,0,1-0,3
mg/kgBB/minggu.
Penyakit Hodgkin' limfosarkoma'
koriokarsinoma dan tumor payudara.
rr
Farmakologi dan Terapi
Tabel 47-2. IND|KASI DAN DOSTS ANTTKANKER LAINNYA (Sambungan) Nama generik
Dosis
Daktinomisin (Aktinomisin D)
lV, 0,015 mg/kgBB/hari selama 5 hari.
Koriokarsinoma, tumor Wilm, rabdomiosarkoma, dan tumor testis.
Mitomisin C
lV, 125 pg/kgBB, dua kati seminggu.
Kanker lambung.
Mitramisin (Mitrasin)
lV, 25 pg/kgBB seminggu.
Karsinoma sel embrional testis, penyakit Paget (dosis rendah)
L-asparaginase
lV, 50-200 lU/kgBB/hari
Leukemia limfosit akut.
Prednison
Oral, 20-1 00 mg/1-2 hari.
Leukemia limfosit akut & kronik, limfosarkoma, penyakit Hodgkin dan tumor payudara.
Hidroksiprogesteron kaproat
lM, 1,0 g. Dua kali/minggu. Oral 100-200 mg/hari. lM, 200-600 mg. Dua kati/minggu. Oral, 40 mg/hari. Minimum 2 bulan.
Medroksiprogesteron asetat Megestrol asetat
Tumor endometrium.
Dietilstilbestrol Etinil estradiol
Oral, 1-5 mg. Tiga kali/hari. Oral, 0,1-1 ,0 mg. Tiga kali/hari.
Tumor payudara dan prostat.
Testosteron propionat
lM 50-100. Tiga kati/seminggu Oral 10-20 mg/hari.
Tumor payudara.
lV,2,5-5,0 mOi
Polistemia vera.
Fluoksimesteron Natrium fosfat (p32) dosis tunggal kronik. Natrium yodida
Leukemia limf osit/granulosit
Oral atau lV, 100-200 mCi
Tumor tiroid.
Hidroksiurea
Oral, 80 mg/kgBB/3 hari Oral, 20-30 mg/kgBB/hari
Leukemia granulosit kronik. Melanoma malignum.
Mitotan
Oral 2-10 g/hari
Tumor korteks adrenal.
11131;
Klorambusil dilaporkan berhubungan dengan peningkatan frekuensi kejadian leukemia dan tumor lain, berdasarkan pengamatan pada suatu studi
terkontrol penggunaan obat ini pada polisitemia vera dan kanker payudara yang mendapat peng_ obatan jangka panjang. SEDIAAN DAN POSOLOG|. Ktorambusit rersedia
sebagai tablet 2 mg. Untuk leukemia limlositik kro_ nik, limloma Hodgkin dan non-Hodgkin diberikan 1-3 mg/m'lhart sebagat dosis tunggal (pada pe-
nyakit Hodgkin mungkin diperlukan dosis 0,2 mg/ kgBB, sedangkan pada limfoma lain cukup 0,1 mg/
kgBB). Dosis penunjang tidak boteh metebihi 0,1 mg/kgBB. Karena limitasi efek samping, dosis'yang dapat diterima mungkin hanya 0,03 mg/kgBB, Obat ini harus diberikan 1 jam sebelum makan pagi atau 2 jam setelah makan malam. Dosis alternatif pada leukemia limfositik kronik ialah 15-20 mglm' diberikan sebagai dosis-tunggal tiap 2 minggu sekali dan dinaikkan 4 mglmz sampai hitung leukosit terkontrol atau lerlihat tanda-tanda keracunan.
695
Antikanker
2.2. SIKLOFOSFAMID Siklofoslamid, alkilator yang paling banyak digunakan, ialah ester losfamid siklik mekloretamin. Obat ini bersilat nonspesilik terhadap siklus sel dan elektil terhadap penyakit Hodgkin stadium lll dan lV, serta limloma non-Hodgkin terutama dalam kombinasi dengan kortikosteroid dan vinkristin. Siklofoslamid merupakan salah satu obat primer terhadap neuroblastoma pada anak dan sering dikombinasikan dengan antikanker lain untuk leukemia limloblastik pada anak. Kombinasinya dengan daktinomisin dan vinkristin elektif terhadap rabdomiosar-
koma dan tumor Ewing. Sikloloslamid bersifat paliatif terhadap karsinoma mama, ovarium dan paru, serta menghasilkan remisi pada mieloma multipel. Sebagai obat tunggal dalam dosis besar, siklofoslamid dilaporkan menyembuhkan pasien limloma Burkitt. Sebagai imunosupresan sering digunakan pada artritis reumatoid, sindrom nelrotik pada anak, granulomatosis Wegener dan pada pasien yang akan menjalani transplantasi sumsum tulang. Karena berupa pro drug, maka elek siklofoslamid dipengaruhi oleh penghambat atau perang-
sang enzim metabolismenya. Sebaliknya, obat ini merangsang enzim mikrosom, sehingga dapat mempengaruhi aktivitas obat lain. Leukopenia berat terjadi pada hari ke 10-12 setelah pengobatan dan pemulihan pada hari 1721 . Sistitis hemoragik dapat terjadi dengan angka kejadian 20% pada anak dan 10% pada dewasa. Elek toksik ini sukar diatasi dan mungkin fatal, maka sebaiknya obat ini dikontraindikasikan pada pasien yang pernah mengalami sistitis hemoragik. Obat ini juga menyebabkan anoreksia, disertai mual dan muntah. Sesekali terjadi amenore, stomatitis aftosa, hiperpigmentasi kulit, enterokolitis, ikterus dan hipoprotrombinemia. Miokarditis dilaporkan terjadi pada pemberian dosis tinggi (100 mg/kgBB). Efek kardiotoksik doksorubisin diperberat oleh obat ini. Dosis siklolosfamid harus dikurangi sebanyak sepertiga sampai setengahnya, bila diberikan pada pasien dengan gangguan lungsi sumsum tulang.
Lebih dari 50% pasien yang mendapat obat ini menderita alopesia yang umumnya bersilat reversibel. Untuk menghindarkan kerusakan kandung kemih akibat metabolit yang bersifat iritatil, pasien dianjurkan minum banyak dan mengosongkan kandung kemih sesering mungkin. Kumulasi metabolit aktil dapat terjadi pada gangguan lungsi ginjal, sehingga dosis harus dikurangi. Penggunaan pada trimester pertama kehamilan harus dihindarkan, karena obat ini potensial bersilat teratogenik.
SEDIAAN DAN POSOLOGI. Siklofoslamid tersedia
dalam bentuk kristal 100, 200, 500 mg dan 1,2 g untuk suntikan, dan tablet 25 dan 50 mg. Untuk pasien tanpa kelainan hematologis, diberikan 5001500 mg/m' lV dengan interval 2 sampai 4 minggu. Dosis oral bersifat individual, umumnya 60-1 20 mg/
m2lhari. Sebaiknya diberikan bersama atau sesudah makan.
2.3. BUSULFAN Busulfan, suatu alkilator, merupakan obat paliatif pilihan pada leukemia mielositik kronik dan leukemia granulositik kronik. Juga berguna pada polisitemia vera dan mielolibrosis dengan metaplasia mieloid. Obat ini tidak efektif terhadap krisis blastik. Busulfan merupakan antikankeryang unik, ka-
rena tidak memperlihatkan efek larmakodinamik lain kecuali mielosupresi. Berdasarkan hal ini digunakan untuk pengobatan mieloablatil pada persiapan transplantasi sumsum tulang. Pada dosis rendah, depresi selektil terlihat pada granulositopoesis dan trombopoesis, sedangkan efek terhadap eritropoesis terlihat pada dosis yang lebih tinggi. Efek toksik agaknya tidak mengenai jaringan limloid dan epitel gastrointesti nal. Depresi sumsum tulang paling sering terjadi sehingga pemeriksaan darah harus sering dilakukan. Hiperpigmentasi dapat terjadi pada pengobatan jangka panjang yang merupakan salah satu gejala mirip sindrom Addison yang terdiri dari astenia, hipotensi, mual, muntah dan penurunan berat badan, tetapi bukti obyektif hipolungsi kelenjar adrenal tidak ada. Elek samping yang timbul lebih lambat berupa katarak, librosis ovarium, amenore, atroli testis, aspermia dan ginekomastia dapat terjadi. Komplikasijangka panjang yang jqrang terjadi tetapi bersilat latal ialah busulfan /ung akibat fibrosis paru. Asam urat serum harus diawasi untuk mencegah gagal ginial akibat hiperurisemia. Risiko gangguan ginjal dapat diperkecil dengan pemberian cairan yang cukup, alkalinisasi urin dan pemberihn alopurinol.
DOSIS. Untuk pengobatan jangka lama dan intermiten pada leukemia mieloiitikkronik, 2-6 milm2l hari. Obat diberikan sampai hitung leukosit turun menjadi 10000/pl; lalu dihentikan sampai hitung leukosit mencapai 50000/pl, kemudian pengobatan dapat diulang lagi. Untuk pengobatan iangka lama
Farmakologi dan Terapi
dan terus menerus, 2-6 mg/m2lhari sampai hitung leukosit turun menjadi 10000/prl- 20000/pl, lalu dosis diturunkan untuk mempertahankan jumlah leukosit dalam batas lersebut, biasanya 2 mg/hari ('l -3 mg sehari).
leosid alami, gugus gulanya bukan ribosa'atau deoksiribosa melainkan arabinosid. Dalam tubuh, sitarabin diubah menjadi derivat nukleosid trifosfat (araCTP) yang menghambat enzim DNA polimerase dan di-inkorporasikan ke dalam DNA, sehingga ter-
jadi terminasi pembentukan rantai DNA. Efek 2.4. FLUOROURASIL Pada saat ini, lluorourasil dan derivat deoksiribosanya yaitu lloksuridin (FUDR) banyak digunakan sebagai terapi paliatil untuk karsinoma kolorektal diseminata dan karsinoma mama. Obat ini hanya berguna pada tumor padat (solid). Sebagai obat tunggal, respons untuk kedua kanker tersebut hanya 20 dan 30% . Bila diberikan dalam regimen CMF (siklofosfamid, metotreksat, lluorourasil) atau
CAF (siklolosfamid, adriamisin, lluorourasil), lluorourasil merupakan pilihan kemoterapi ajuvant untuk karsinoma mama. Fluorourasil juga berguna pada karsinoma ovarium, prostat, kepala, leher, pankreas, esofagus dan hepatoma. Pemberian secara infus selama 2-8 jam menu-
runkan toksisitas hematologik yang berarti dibanding suntikan bolus. Juga dilaporkan, bahwa pemberian sekali seminggu tanpa dosis awal memberikan respons yang baik disertai toksisitas yang lebih ringan.
Elek samping terutama mengenai sistem hemopoetik dan saluran cerna. Leukopenia ialah efek samping primernya, pemulihan terjadi apabila dosis dikurangi. Trombositopenia lebih jarang terjadi. Stomatitis aftosa merupakan petunjuk bahwa obat harus dihentikan secara temporer. Alopesia, hiperpigmentasi dan ataksia serebelar dapat terjadi.
SEDIAAN DAN POSOLOGI. Obat ini tersedia sebagai larutan 50 mg/ml dalam ampul 10 ml untuk lV. Pada orang dewasa, dosis awal 400-500 mglm2l hari diberikan selama 4 hari beruntun disusul dosis penunjang 1 kali seminggu. Dosis awal kadangkadang diulang setiqp 4-5 minggu. Cara lain dengan infus kontinyu 1 g/m'lhari selama 5 hari dan diulang setiap 3-4 minggu. Penyesuaian dosis harus dilakukan bila ada efek samping hematologik atau gastrointestinal.
2.5. SITARABIN Sitarabin ialah suatu nukleosid sintetik yang merupakan analog pirimidin. Berbeda dengan nuk-
ini
terjadi pada fase S dalam siklus sel. Sitarabin efektil untuk induksi dari remisi leukemia mielositik akut pada orang dewasa maupun anak, dan untuk limfoma non-Hodgkin dalam kom-
binasi dengan obat lain. Untuk leukemia limfositik akut pada anak, obat ini merupakan pilihan kedua. Obat ini juga berguna dalam krisis blastik leukemia mielositik kronik. Remisi umumnya berlangsung selama 3 bulan dan bila diberikan terapi penunjang dapat berlangsung 5-8 bulan. Untuk leukemia mielositik akut biasa dikombinasi dengan doksorubisin atau daunorubisin dan tioguanid. Karena masa paruh sitarabin pendek toksisitasnya lebih tergantung dari interval dan lamanya pemberian daripada dosis totalnya. Pemberian yang paling efektif ialah secara infus kontinyu atau suntikan beberapa kali sehari. Efek samping utama ialah terhadap sumsum tulang berupa leukopenia dan trombositopenia, sesekali timbul anemia dan megaloblastosis. Leukosit menurun setelah 24 jam dengan nadir pada hari ke
7 & 9. Gangguan fungsi hati ditandai dengan
pe-
ninggian SGOT. Pengobatan optimal hanya dapat
diberikan, bila transfusi trombosit dimungkinkan. Penggunaan selama kehamilan tidak dibenarkan, karena kem
un
gkinan terjadinya efek teratogenik.
SEDIAAN DAN POSOLOGI. Bubuk steril 100 dan 500 mg sitarabin serta pelarutnya tersedia untuk penggunaan parenteral. Dosis lV ialah 100-200 mg/ m2124 iam dalam infus kontinyu selama 5-7 hari.
Biasanya dalam kombinasi dengan antraksiklin dan tioquanin. Bila pada akhir masa pengobatan tidak terlihat elek antileukemia maka regimen tersebut dapat diulangi. Jika masih belum terlihat respons
yang diharapkan, perlu ditambahkan obat
lain
dalam regimen pengobatan penderita.
Dosis tinggi lV, 2-3 g7m2 diberikan sebagai infus selama 1 jam tiap 12 jam dengan jumlah total 12 dosis. Dosis pemeliharaan pada leukemia akut diberlkan 50 mg/m2 SK tiap minggu. Dosis intratekal untuk leukemia meningeal ialah 50-100 mg dalam 10 ml garam laal yang diberikan 1-3 kali seminggu.
697
Antikanker
kehamilan karena dilaporkan menyebabkan abor-
2.6. METOTREKSAT
tus.
Metotreksat ialah analog 4-amino, Nlo-metil asam fOlat. Metotreksat sangat efektif pada koriokarsinoma, korioadenoma destruens dan mola hidatidosa. Penyembuhan tercapai pada kebanyakan kasus. Kombinasi metotreksat dengan klorambusil dan daktinomisin elektif terhadap karsinoma testis, limfoma limfositik stadium lll dan lV terutama pada anak, dan memberikan remisi temporer pada mikosis fungoides. Dalam kombinasi dengan berbagai antikanker, metotreksat digunakan pada karsinoma mama, paru dan ovarium, limfoma Burkitt dan limloma non-Hodgkin. Pada leukemia limloblastik akut pada anak, metotreksat sebagai obat tunggal memberikan remisi lengkap pada 20% pasien; dalam kombinasi dengan prednison remisi lengkap mencapai 80%. Untuk terapi penunjang leukemia limfositik akut, metotreksat dalam kombinasi dengan markaptopurin merupakan obat terpilih. Pemberian metotreksat intratekal disertai radiasi kepala rutin dilakukan pada leukemia limlositik akut untuk mencegah leukemia meningeal. Metotreksat ialah obat primer untuk limfoma sel T kulit dan meduloblastoma. Penggunaan metotreksat pada leukemia mieloblastik akut tidak dianjurkan lagi. Penggunaan metotreksat sebagai imunosupresan dibahas di Bab 48.
EFEK SAMPING DAN KONTRAINDIKASI. Toksi-
sitas obat ini juga terutama mengenai
saluran
cerna, sumsum tulang dan mukosa mulut. Obat ini dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan sumsum tulang, hati dan terutama gangguan ginjal
SEDIAAN DAN POSOLOGI. Metotreksat tersedia dalam bentuk tablet 2,5 mg dan bubuk untuk suntikan dalam vial 25, 50, 100 dan 250 mg. Untuk koriokarsinoma diberikan dosis tunggal 15 mg/m2
oral atau lM selama 5 hari karena dalam dosis terbagi metotreksat lebih toksik. Pengobatan biasanya diulang setelah 1-2 minggu. Pengobatan diteruskan sebanyak 2 regimen pengobatan setelah titer gonadotropin korionik kurang dari 50 lUl24 jam. Dosis standard harian untuk leukemia pada anak ialah 2,5-5 mg dan pada orang dewasa2,5-10 mg, tetapi kini banyak dikembangkan regimen pengobatan dalam kombinasi dengan antikanker lain. Metotreksat sangat efektif untuk mempertahankan remisi dengan dosis 30 mg/m' lM secara intermiten
2 kali seminggu. Untuk induksi remisi, vinkristin bersama prednison lebih efektif, dan lebih cepat kerjanya daripada metotreksat. Pada leukemia atau koriokarsinoma yang menyebar ke otak, metotreksat diberikan intratekal dengan dosis 0,2-0,5 mg/kgBB sebagai dosis tunggal atau tiap 2-5 hari sampai hitung sel dalam cairan serebrospinal kembali normal, Bila diperlukan metotreksat dosis tinggi secara lV (1 ,5 g/m') maka harus diikuti dengan pemberian leukovorin untuk menyelamatkan (rescue) sel normal dan mencegah toksisitas sistemik. Setelah infus selama 6 jam, diberikan leukovorin 6-15 mg/m2 lM setiap 6 jam selama 72 jam. Fescue ini dilakukan tiap 3 minggu.
karena metotreksat hanya dieliminasi melalui ginjal.
Pemeriksaan ureum dan kreatinin darah harus dikerjakan 3-4 minggu sekali, Pengobatan jangka panjang dilaporkan menyebabkan gangguan lungsi hati berat, librosis menetap dan sirosis. Sesekali
dapat terjadi demam disertai infiltrasi pulmonum yang mungkin diikuti gangguan fungsi paru yang berat sehingga pengobatan harus dihentikan.
2.7. VINKRISTIN Vinkristin bersama dengan vinblastin merupakan alkaloid murni dari tanaman Vinca rosea. Obal
ini terutama berguna pada leukemia limfoblastik akut dan leukemia sel induk (stem ce//); limfoma malignum (penyakit Hodgkin, limfoma non-Hodgkin
Hitung leukosit dan trombosit harus dilakukan 2 kali seminggu dan dosis obat disesuaikan dengan hasil
dan limfoma Burkitt) dan neoplasma pada anak
pemeriksaan ini. Depresi sumsum tulang yang berat dapat diatasi dengan pemberian 3-6 mg kalsium leukovorin dalam 42 jam setelah pemberian metotreksat. Pengobatan dengan metotreksat harus dihentikan bila stomatitis dan diare muncul karena enteritis hemoragik dan perforasi dapat ierjadi. Obat boleh diberikan lagi setelah gejala hilang. Metotreksat tidak boleh diberikan pada trimester pertama
sarkoma Ewing dan retinoblastoma). Vinkristin
(neuroblastoma, rabdomiosarkoma, tumor Wilms,
sering digunakan dalam kombinasi dengan antikanker lain karena jarang menyebabkan depresi hematologik; bila digunakan sebagai obat tunggal cepat menimbulkan relaps. Baru-baru ini dilaporkan adanya lenomena pleotropic drug resisfance, yaitu terjadinya resistensi silang lerhadap berbagai obat dengan struktur
698
berbeda setelah terpajan terhadap obat tertentu. Fenomena ini juga mengenai alkaloid vinka. pada sel-sel tumor yang menunjukkan fenomena ini, terjadi. peningkatan sintesis glikoprotein-p yang berperan untuk transport keluar sel. Akibatnya kadar sitotoksik dalam sel tidak tercapai. Verapamil, suatu
antagonis kalsium, secara eksperimental dapat mengatasi resistensi jenis ini.
Pemberian vinkristin sebagai obat tunggal pada leukemia limfoblastik akut pada anak memberikan remisi lengkap pada 50-60% kasus dalam 3-4 minggu. Dalam kombinasi dengan prednison remisi meningkat sampai 90%, sebanding dengan yang dicapai oleh kombinasi prednison-metotreksat atau dengan merkaptopurin. Sebagai terapi penunjang, digunakan kombinasi vinkristin dengan metotreksat atau merkaptopurin dan prednison yang diberikan sebulan sekali.
Efek samping khusus ialah menyangkut sis_ tem saraf. Hilangnya relleks lendon Achilles meru_ pakan tanda perlama neuropati. Manifestasi lebih berat termasuk parestesia berat, hilangnya refleks tendo yang dalam, ataksia foot drop, slapping gait dan menyusutnya otot. Yang terkena lebih dulu ialah otot dorsofleksor tangan dan pergelangan tangan, dan otot ekstensor kaki. Gangguan saraf otonom dapat berupa konstipasi dan nyeri abdominal. Gangguan saraf otak berupa ptosis, diplopia dan paralisis abdusens juga dilaporkan terjadi. Alopesia terjadi pada lebih dari 20% pasien, sedangkan mual dan muntah jarang
terjadi. Toksisitas ini meningkat pada gangguan fungsi hati. Reaksi di atas dapat terjadi pada orang dewaterutama pasien usia lanjut yang cenderung menderita toksisitas neuromuskular dan pasien de-
sa
ngan gangguan fungsi hati. Karena reaksi obat lebih sering terjadi bila vinkristin diberikan dalam dosis terbagi, dianjurkan pemberian dosis tunggal per minggu. Obat bersifat iritatif sehingga harus dijaga tidak terjadi ekstravasasi. Neurotoksisitas merupakan pembatas utama pemberian vinkristin,
SEDIAAN DAN POSOLOGI. Vinkristin tersedia dalam vial berisi larutan 1, 2 dan 5 ml yang mengandung 1 mg/ml zat aktif untuk penggunaan lV. Dosis pada anak2 mg/m'diberikan satu kali seminggu. Prednison diberikan 40 mg/m2 sehari. Setelah tercapai remisi dosis boleh diturunkan sampai seperenam dosis semula. Untuk pasien dewasa diberikan dosis 1 ,4-2 mglm2 Oitambah prednison. Hemisi dapat dipertahankan dengan pemberian
Farmakologi dan Terapi
metotreksat atau merkaptopurin 75-g0 mg/m2 sehari sebagai dosis tunggal.
Dosis harus ditetapkan secara individual karena batas keamanannya sempit. Hilangnya refleks tendon dalam bukan petunjuk untuk peng-
hentian terapi tetapi bila timbul gejala neuropati perifer berupa kelemahan otot tungkai pengobatan harus dihentikan.
2.8. BLEOMISIN Bleomisin merupakan sekelompok glukopeptida yang dihasilkan dari Streptomyces verticiilus. Efek sitotoksiknya berdasarkan hambatan sintesis DNA. Obat ini memperlihatkan efek paliatif pada beberapa karsinoma sel skuamosa kulit, leher dan kepala (selaput lendir bukal, lidah, tonsil dan faring)
serta karsinoma paru; demikian juga pada karsinoma di testis, serviks dan esofagus serta limloma malignum. Untuk karsinoma testis, respons penyembuh-
an 30o/o dan meningkat menjadi g0% bila dikombinasi dengan vinblastin. Ditambah dengan sisplastin, remisi lengkap terjadi dan berlangsung beberapa tahun.
Berbeda dengan antikanker lainnya obat ini sedikit sekali menyebabkan depresi sumsum tulang sehingga masih boleh digunakan walaupun ada depresi sumsum tulang atau digabung dengan obat yang menyebabkan depresi sumsum tulang untuk mendapatkan remisi. Elek samping terutama mengenai kulit dan
selaput lendir berupa hiperestesia dan bengkak di jari yang disusul dengan terjadinya vesikel, hiperkeratosis telapak tangan dan stomatitis. Reaksi demam sering terjadi; sakit kepala, mual dan jarangjarang alopesia juga dapat terjadi. Efek samping yang paling serius dari obat ini ialah toksisitas terhadap paru berupa infiltrasi yang kemudian menjadi librosis dengan insidens 5-10%. Reaksi terakhir ini berhubungan dengan dosis total, usia pasien, pemberian antikanker lain dan pemberian oksigen. Bisiko terjadinya toksisitas paru lebih tinggi bila obat ini diberikan pada pasien usia di atas 70 lahun dan pada mereka yang mendapat dosis total lebih dari 400 unit. Pemeriksaan radiologik toraks perlu dilakukan 2 minggu sekali dan pengobatan dihentikan bila terjadi tanda toksisitas paru.
699
Antikanker
SEDIAAN DAN POSOLOGI, Bleomisin sulfat terdapat dalam vial berisi 15 unit untuk pemberian lV, lM, atau kadang-kadang SK atau intraarterial, Pengobatan karsinoma sel skuamosa, kanker testis dan limloma dimulai dengan dosis 0,25-0,5 unit/kgBB (10-20 unit/mz), 1-2kali seminggu. Berhubung dengan kemungkinan terjadinya reaksi anafilaksis, maka 2 dosis pertama diberikan sebanyak 2 unit atau kurang disusul dengan dosis biasa. Untuk penyakit Hodgkin diberikan dosis penunjang 5 unit/minggu setelah dicapai 50% respons.
2.9. DOKSORUBISIN Doksorubisin (Adriamisin) diisolasi dari Sfreptomyces peucetius var. caesiug dan bersama daunorubisin termasuk antibiotik antrasiklin. Regresi sel kanker terjadi setelah pemberian obat ini dalam kombinasi dengan berbagai sitostatik lain pada leukemia limlositik dan mielositik akut, tumor Wilms, neuroblastoma, sarkoma osteogenik dan sarkoma jaringan lunak; karsinoma mama, bronkogenik, sel transisional kandung kemih, ovarium, endometrium, serviks, prostat, dan testis; limfoma Hodgkin dan limloma non-Hodgkin: karsinoma skuamosa leher dan kepala dan hepatoma. Elek toksiknya meliputi sistem hematopoetik, jantung, kulit dan pencernaan. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan kelainan jantung atau depresi hemopoetik yang berat. Gangguan pada jantung dapat terjadi dalam beberapa menit setelah pemberian lV dan mungkin bertahan beberapa minggu, meliputi perubahan elektrokardiograli yaitu takikardi sinus, pendataran gelombang T, depresi segmen ST dan aritmia lain. Perubahan ini umumnya bersifat reversibel. Payah jantung akut dilaporkan terjadi setelah pemberian 550 mg/m2 yang merupakan batas pemberian total maksimal. " Depresi sumsum tulang berupa leukopenia berat juga sering terjadi. Pemberian darah harus dilakukan secara rutin termasuk pemeriksaan trombosit cian eritrosit. Fungsi hati juga harus diawasi selama pengobatan dengan pemeriksaan SGOT, SGPT, alkaliloslatase dan bilirubin. Alopesia biasa-
nya bersilat reversibel. Stomatitis dan esolagitis
SEDIAAN DAN POSOLOGI. Doksorubisin tersedia sebagai bubuk sebanyak 10, 2O dan 50 mg, dan diberikan bersama inlus garam fisiologis atau dekstrosa 5% untuk mencegah ekstravasasi. Ekstravasasi dapat menyebabkan nekrosis dan selulitis. Larutan yang disuntikkan harus diencerkan dengan NaCl menjadi larutan 2 mg/ml. Larutan ini stabil selama 24iam dalam suhu ruang dan 48 jam dalam lemari es. Dosis lV dewasa: 60-75 mg/m2 diberikan sebagai suntikan tunggal setiap 3 minggu sampai dosis total tidak melebihi 550 mg/m'. Alternatif lain ialah 20 mg/m2 seilap minggu. Cara yang terakhir ini lebih disukai untuk pemberian pada anak. Apabila ada gangguan hati dosis dikurangi 25-75% baik pada anak maupun dewasa. Setelah radiasi daerah mediastinal dosis harus dikurangi menjadi 400 mg/ m2. Dosis total yang diberikan harus diturunkan bila sebelumnya telah diberikan (atau diberikan bersamaan) dengan antineoplastik tertentu misalnya
sikloloslamid.
2.10. PROKARBAZIN Prokarbazin ialah suatu derivat metilhidrazin
yang struktur kimianya tidak mirip dengan salah satu antikanker lain. Mekanisme kerjanya belum diketahui, diduga berdasarkan alkilasi asam nukleat. Prokarbazin bersifat nonspesilik terhadap siklus sel. lndikasi primernya ialah untuk pengobatan penyakit Hodgkin stadium lllB dan lV, terutama
dalam kombinasi dengan mekloretamin, vinkristin dan prednison (MOPP regimen). Prokarbazin hanya diberikan pada pasien yang sebelumnya tidak mendapat kemoterapi. Remisi yang didapat
sama dengan yang dicapai dengan pengobatan vinblastin dan alkilator. Bila diberikan pada pasien yang telah gagal diobati dengan alkilator dan vinblastin, maka hasilnya lebih rendah daripada hasil pemberian primer. Prokarbazin, dalam kombinasi dengan berbagai antikanker lain, juga efektil terhadap tumor otak primer dan metaslatik, karsinoma bronkogenik sel kecil (small cell) dan limfoma Hodgkin. Mual dan muntah yang merupakan elek sam' ping tersering pada pemberian prokarbazin biasanya berkurang setelah 1 minggu pengobatan. Anoreksia, stomatitis, dislagia dan diare lebih jarang terjadi. Pada pemberian jangka panjang depresi
sering terjadi dan dapat mengakibatkan terjadinya
sumsum tulang sering terjadi, Perdarahan dapat
ulserasi.
terjadi akibat trombositopenia yaitu berupa patekia,
700
purpura, epistaksis, hemoptisis, hematemesis dan melena. Hemolisis dapat terjadi seperti halnya de-
ngan derivat hidrazin lainnya. Depresi SSP dan gangguan neurologik (parestesia, nistagmus, ataksia) terjadi pada 10-20% pasien. Dermatitis, pruritus, hiperpigmentasi dan alopesia luga dapat terjadi. Prokarbazin bersifat karsinogenik dan mutagenik pada hewan coba. Sebelum pengobatan harus dilakukan pemeriksaan darah, sumsum tulang, fungsi hati dan ginjal. Toleransi berkurang pada gangguan lungsi hati dan ginjal, dan pada pengobatan dengan zat mielosupresif atau radiasi sebelumnya. Pengobatan harus dihentikan bila leukosit kurang dari 4000/mm3, trombosit kurang dari 100000/mm", timbul reaksi alergi, stomatitis, diare atau perdarahan.
INTERAKSI OBAT. Prokarbazin meningkatkan efek obat-obat penghambat susunan saral pusat (barbiturat, lenotiazin; narkotik). Hal ini mungkin berdasarkan penurunan kadar sitokrom P-450 oleh prokarbazin. Prokarbazin merupakan penghambat enzim MAO sehingga penggunaannya bersama simpatomimetik, antidepresi trisiklik dan makanan mengandung tiramin (pisang, keju tua, anggur merah dan yoghurt) harus dihindarkan.
Farmakologi dan Terapi
(1) Kanker baru dapat dideteksi bila jumlah sel kanker kira-kira 10e. Jumlah yang dapat dibasmi diperkirakan 99,9% jadi sel kanker yang tersisa sekurang-kurangnya 106 sel. Jelas sulit mencapai pembasmian total, karena itu diperlukan pengobatan jangka panjang. Untuk membasmi sel tumor sampai jumlahnya cukup dapat dikendalikan oleh mekanisme pertahanan tubuh (1 05). (2) Adanya hubungan dosis-respons yang jelas.
Berkurangnya sel kanker ternyata berbanding lurus dengan dosis. Di lain pihak, elek non terapi juga berbanding lurus dengan dosis. Pertimbangan untung rugi harus dilakukan secara sangat cermat.
(3) Diperlukan jadwal pengobatan yang tepat. Untuk dosis total yang sama, pemberian dosis besar secara intermiten memberikan hasil yang lebih baik dan imunosupresi yang lebih ringan, dibandingkan dengan pemberian dosis kecil setiap hari. Jaringan normal memiliki kapasitas pemulihan yang lebih besar daripada jaringan tumor. Dengan dosis besar intermiten, dapat dibasmi sejumlah sel lertentu dengan pengaruh minimal terhadap jaringan sehat. Dosis ulang diberikan segera setelah ter,adi pemulihan pasien dari efek samping antikanker.
(4) Kemoterapi harus dimulai sedini mungkin.
SEDIAAN DAN POSOLOGI. Prokarbazin kapsul
Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa pada kea-
berisi 50 mg zat aktif. Dosis oral pada orang dewasa: 100 mg/m' sehari sebagai dosis tunggal atau terbagi selama minggu pertama, diikuti pemberian 150-200 mg/m2 sehari selama 3 minggu berikutnya, kemudian dikurangi menjadi 1 00 mg/m'sehari sampai hitung leukosit di bawah 4000/m'atau respons maksimal dicapai, Dosis harus dikurangi pada pasien dengan gangguan hati, ginjal dan sumsum tulang. Dalam kombinasi dengan obat lain digunakan 100 mg/m2 prokarbazin sehari (dewasa dan anak) selama 14 hari dalam 1 bulan. Bila mungkin pengobatan diteruskan selama 6 bulan. Dosis disesuaikan berdasarkan hasil pemeriksaan darah.
daan dini jumlah sel kanker lebih sedikit dan fraksi sel kanker yang dalam pertumbuhan (yang sensitil terhadap obat) lebih besar. Selain itu kemungkinan terdapatnya klonus resisten terhadap obal (drug resisfanl c/onus) lebih kecil; obat lebih sukar mencapai bagian dalam tumor yang besar karena buruknya vaskularisasi; dan pasien dengan
tumor yang kecil umumnya masih berada dalam kondisi umum yang baik sehingga lebih tahan terhadap efek samping kemoterapi dan sistem pertahanan tubuhnya masih utuh. (5) Kemoterapi harus tertuju kepada sel kanker tanpa menyebabkan gangguan menetap pada jaringan normal. Obat kanker yang ada pada saat ini umumnya bersifat sitotoksik, baik terhadap sel nor-
3. PRINSIP KEMOTERAPI KANKER
mal maupun sel kanker. Toksisitas terhadap sel normal selalu ter,iadi. Tetapi kenyataan bahwa ke-
moterapi dapat menghasilkan pemulihan jangka Suatu tumor ganas harus dianggap sebagai sejumlah sel yang seluruhnya harus dibasmi (total cell-killed). Perpanjangan hidup pasien berbanding langsung dengan jumlah sel yang berhasil dibasmi dengan pengobatan. Hal-hal di bawah ini perlu dipertimbbngkan dalam perencanaan pengobatan.
panjang pada leukemia limfositik akut membuktikan bahwa penyembuhan kanker dapat dicapai dengan kemoterapi. Sel-sel yang cepat berproliferasi peka terhadap pengobatan, tetapi untunglah kira-kira 15% sel sumsum tulang berada dalam keadaan istirahat sehingga tidak peka terhadap obat.
Antikanker
Sel sistem imun yang juga rusak akibat kemoterapi menyebabkan infeksi lebih mudah terjadi dan juga memberi peluang untuk pertumbuhan tumor. Agaknya"respons imun selular memegang peran penting dalam pertahanan tubuh terhadap kanker.
Penelitian akhir-akhir ini mendapatkan bahwa kemoterapi tambahan pada tumor paru, setelah pembedahan yang potensial kuratif, memperlihatkan lrekuensi kekambuhan (recurrence rate) yang lebih tinggi, diduga akibat elek imunosupresil kemoterapi.
(6) Silat pertumbuhan tumor ganas harus menjadi pertimbangan. Pertumbuhan tumor mengikuti fungsi Gompertzian, mula-mula bersifat eksponensial kemudian bersifat lambat (banyak sel berada dalam Go). Apabila populasi tumor dikurangi misalnya dengan radiasi atau penyinaran maka sel sisa berkembang secara eksponensial kembali dan menjadi lebih peka terhadap kemoterapi. Protokol pengobatan atas dasar lersebut telah diterapkan pada manusia. Juga mungkin bahwa pada waktu tumor primer tidak tumbuh pesat lagi, anak sebarnya masih dalam pertumbuhan eksponensial sehingga lebih peka terhadap kemoterapi.
(7) Beberapa sitostatik dan hormon memperlihatkan efek selektif relatil terhadap sel dengan tipe histologik tertentu. 5- fluorourasil lebih elektif terhadap tumor gastrointestinal daripada terhadap tumor payudara, dan bleomisin lerutama efektil terhadap kanker kulit. Hormon kelamin terutama efektif terhadap tumor payudara, tumor prostat dan tumor endometrium yang lisiologik dipengaruhi hormon tersebut; demikian juga kortikosteroid terhadap tumor limfoid. (8) Terapi kombinasi. Dasar pemberian dua atau lebih antikanker ialah untuk mendapatkan sinergisme tanpa menambah toksisitas. Selain meningkatkan indeks terapi, kemoterapi korhbinasi mungkin juga dapat mencegah atau menunda terjadinya resistensi terhadap obat-obat ini. Untuk mencapai hasil yang baik terapi kombinasi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: masing-masing obat harus memiliki mekanisme kerja yang berbeda, efek toksik masing-masing obat harus berbeda, sehingga dapat digunakan dengan dosis maksimum yang masih dapat diterima pasien, dan masing-
701
masing obat harus diberikan pada masa siklus sel, di mana obatnya paling efektif. Dosis masing-masing obat pada terapi kombinasi harus ditentukan melalui penelitian alau pengalaman yang disertai pengetahuan mendalam mengenai larmakologi obat maupun penyakitnya. Kemoterapi kombinasi telah terbukti efektif pada leukemia akut, penyakit Hodgkin, limfoma non-Hodgkin, karsinoma mama, karsinoma testis, karsinoma ovarium, karsinoma saluran cerna, neuroblastoma pada anak, tumor Wilms dan sarkoma osteogenik. Alkilator (klorambusil) dan vinblastin memberikan efek aditil atau sinergistik pada penyakir Hodgkin. Kombinasi tioguanin dan sitosin arabinosid atau metotreksat dan sitosin arabinosid bekerja sinergistik untuk mengobati leukemia. Pada kom-
binasi terakhir ini jarak waktu antara pemberian
kedua obat sangat kritis (penting) untuk mencapai elek maksimum. Jarak waktunya tidak boleh melebihi beberapa jam saja. Satu contoh lagi di mana jarak waktu sangat penting ialah kombinasi antara metotreksat dan asparaginase. Bilamana asparaginase diberikan 24 jam setelah metotreksat, ditemukan elek antikanker yang sinergistik terhadap beberapa tumor limfoid eksperimental dan leukemia limfosit akut pada manusia. Prednison dengan dosis tinggi telah digunakan dengan satu atau lebih obat (vinkristin, siklofoslamid, metotreksat atau 6-merkaptopurin) untuk mengobati leukemia akut dan leukemia limfoblastik pada anak. Jumlah pasien yang mencapai remisi dengan salah satu kombinasi ini lebih besar daripada dengan masing- masing obat tunggal.
Beberapa tahun terakhir ini ditemukan laktor perangsang koloni- makrolag (macrophage-coloni
stimulating factor, M-CSF), laktor perangsang koloni-granulosit (granulocyte-coloni stimulating facfor, G-CSF), laktor penstimulasi granulosit-makrofag (GM-CFS) dan faktor perangsang multipotensial (multi-GFS). Zat perangsang ini didapat dengan leknik kloning. Data sementara menyimpulkan
bahwa faktor perangsang ini menurunkan insideis inleksi sehubungan depresi sumsum tulang akibat kemoterapi, mengurangi lama perawatan dan memungkinkan pemberian dosis antikanker yang lebih tinggi untuk membasmi sel kanker.
Farmakologi dan Terapi
48. IMUNOSUPRESAN Dian Tirza dan Tony Handoko
1.
Pendahuluan
2.
Dasar imunologi
3. Obat-obat imunosupresan
3.1. Mekanisme kerja dan pilahan obat imuno-
3.2. Hubungan antara obat imunosupresan dan kemoterapi 3.3. Beberapa obat imunosupresan
3.4. Penggunaan klinik dan pemilihan sediaan
supresan
1. PENDAHULUAN Dalam ilmu kedokteran, imunitas pada mulanya berarti resistensi relatif terhadap suatu mikroor-
ganisme. Flesistensi terbentuk berdasarkan
respons imunologik. Selain membentuk resistensi terhadap suatu infeksi, respons imun juga dapat mengakibatkan terjadinya berbagai penyakit. Oleh karena itu, pada masa sekarang arti respons imun sudah lebih luas, yang pada dasarnya mencakup pengertian pengaruh zat atau benda asing bagi suatu mahluk hidup, dengan segala rangkaian kejadian yang melibatkan sistem retikuloendotelial. Rangkaian kejadian yang dimaksud mencakup netralisasi, metabolisme ataupun penyingkiran zat asing tersebut dengan atau tanpa akibat berupa gangguan pada mahluk hidup yang bersangkutan. Sekarang pengertian dasar imunologik sudah berkembang demikian rupa, sehingga telah ditemukan cara pengobatan penyakit imunologik secara lebih terarah. Dalam bab ini dibicarakan obat yang menekan respons imun. walaupun umumnya imunosupresan merupakan sitostatik atau turunannya, pembahasan akan dibatasi pada hal-hal yang berhubungan dengan sifat imunosupresinya saja dengan terlebih dulu meninjau dasar-dasar imunologi secara singkat. Gambar 48-1 akan digunakan memudahkan pembahasan.
2. DASAR IMUNOLOGI Masuknya suatu zat asing ke dalam tubuh suatu makhluk hidup akan menimbulkan berbagai
reaksi yang bertujuan mempertahankan keutuhan dirinya, Untuk ini, makhluk yang paling primitif memiliki mekanisme fagositosis. Makhluk hidup filogenetik yang lebih tinggi, misalnya vertebrata, termasuk manusia, memiliki mekanisme imunologik di samping mekanisme lagositosis tadi. Zat asing yang bersifat antigen (Ag) masuk ke dalam tubuh manusia dan oleh makrolag atau monosit mengalami tagositosis (lihat Gambar 48-1). Sifat antigenik dibedakan dengan sifat imunogenik, Sifat imunogenik dimaksudkan sebagai daya respons imun, sedangkan sifat antigenik ialah daya bereaksi khusus dengan antibodi (Ab) yang sesuai suatu zat. Ag yang tidak mengalamifagositosis oleh makrolag dapat saja bersifat imunogenik, Tetapi pada umumnya, Ag yang telah difagositosis oleh makrofag memiliki sifat imunogenik lebih kuat. Selanjutnya makrolag akan berkontak erat dengan sel imunokompeten yaitu sel limfoid dari sistem retikuloendotelial. Antigen yang telah diaktifkan oleh sel plasma akan merangsang sel limloid dalam proses imunologik selanjutnya. Sel limlosit terdiri dari dua jenis sel, yaitu sel B dan sel T. Pada kontak pertama, di bawah pengaruh rangsang Ag, sel B akan berdiferensiasi dan berproliferasi menjadi sel plasma yang menghasilkan Ab
reaksi imun humoral. Sedangkan sel f ghymus derived) akan menjadi sel T yang tersensitisasi, yang menghasilkan lymphokines, reaksi imun selular. Sel plasma merupakan sel penghasil Ab yang jauh lebih efisien, dibanding dengan sel B. Hal ini antara lain dapat terlihat pada ultrastruktur sel plasma tersebut. Di samping itu, dilerensiasi dan proliferasi sel B dan T juga menghasilkan sel memori. Pada kontak ulang dengan Ag yang sesuai, sel memori tersebut akan lebih cepat berproliferasi
703
lmunosupresan
A.@
y"::g".19 kedaamt**
?t
@@ Sel T
Sel B
Pengenalan Ag imunogenik oleh
Fagositosis & pengolahan Ag oleh makrolag
selB&selT +
Proliferasi & diferensiasi
selB&selT
D@ Y sel B
Pembentukan Sel T memori
Sel B memori
,@ (Y on
I
NHz
@**qh.ffi
lgL-+
g
Pembentukan sel plasma yang menghasilkan Ab
COOH
I
l:T?::T-Tl' oleh sel plasma
Pembebasan limfokin: Faktor kemotaksis Faktor penghambat migrasi Faktor aktivasi makrof ag Faktor agregasi Limfotoksin, dsb.
A)\
lgE pada sel mast
lv
I
Pembebasan mediator kimia: histamin serotonin kinin plasma, dsb.
,t Reaksi
Pembentukan sel T yang tersensitisasi
6OOH
\ r\(
I Ag
sel T
i
I
I
lgM & lgG free circulating
Proses Pengrusakan iaringan: a.l. akibat inliltrasi dan aktivasi makrolag
Pembentukan KomPleks Ag-Ab Pengikatan komplemen Presipitasi, aglutinasi, inaktivasi,
tagositosis
I
v Fagositosis, lisis, dsb.
Anafilaksis Gambar 48-1. Tahap-tahap rangkaian respons imunologik
704
Farmakologi dan Terapi
menjadi sel plasma dan sel T yang tersensitisasi. Secara histologis, sel ini dikenal sebagai sel pironinofilik (mengikat zat warna pironin) yang berukuran
faktor transler (Transfer FactorfiF), faktor penghambat migrasi (Migration lnhibitory Factorl MIF), laktor kemotaksis (Che,r,rota ctic FactorlCF), laktor
besar dan diduga merupakan sel prekursor limfosit. Sel T merangsang sel B untuk berproliferasi dan bertransformasi menjadi sel penghasil Ab. Jadi, di samping peranannya dalam respons imun selular, sel T juga mempengaruhi sel B berkembang menjadi sel penghasil Ab. Antigen yang melibatkan sel T ini dinamakan Ag dependen timus (Thymusdependent antigens) yang biasanya berbentuk konjugat hapten-protein. Menurut leori cell surveillance, sel T mampu mengenal protein pembawa (canier specific prole/n). Sedangkan sel B mampu mengenal hapten (hapten specific). Beberapa Ag alamiah bersilat independen timus (thymus independent antigens), misalnya polisakarida pneumokokus dan endotoksin bakteri karena dapat merangsang sel B dengan atau tanpa bantuan sel T untuk bertranslormasi menjadi sel penghasil Ab. Kesanggupan sel limfosit untuk dirangsang
aktivasi makrolag (Macrophage Activating Factorl MAF) dan sebagainya. Faktor-faktor ini mengakibatkan antara lain, terkumpulnya makrofag di sekitar tempat penglepasan MlF, dan aklivasi fagositosis makrofag tersebut oleh MAF. Karena kerjanya yang nonspesifik, maka makrofag teraktivasi (activated macrophages) ini tidak hanya menghancurkan Ag spesifiknya, tetapi juga Ag lainnya dan sel-sel tubuh normal sehingga menimbulkan keru-
oleh Ag imunogenik ditentukan oleh sifat genetik sel. Akibatnya, setiap sel B hanya mampu menghasilkan satu jenis Ab saja. Sekelompok sel B sejenis disebut klon. Bahwa terdapat berbagai klon yang masing-masing dapat bereaksi hanya dengan satu jenis Ag saja adalah prinsip dari Teori Seleksi Klon (clonal se/ecfibn theory) (lihat Gambar 4B-2). Ab spesifik dapat mengikat Ag yang sesuai, sehingga terbentuk kompleks Ag-Ab. Selanjutnya
sakan jaringan.
Penyakit yang patogenesisnya dapat dijelas-
kan berdasarkan reaksi imunologik dapat dibagi dalam tiga kelompok, berdasarkan asal/silat antigennya : (1 ) penyakit akibat Ag eksogenik, misalnya asma bronkial, urtikaria dan penyakit serum yang umumnya dikenal sebagai reaksialergi; (2) penyakit akibat Ag homolog, misalnya reaksi translusi darah,
reaksi penolakan pada bedah cangkok; dan (3) penyakit akibat Ag autolog, yang disebut penyakit autoimun, misalnya penyakit lupus eritematosus sistemik (SLE), tiroiditis, glomerulonelritis. Masingmasing kelompok penyakit ini dapat terjadi berdasarkan reaksi imun humoral ataupun selular. Penyakit yang sering dijumpai sehari-hari ialah kelompok pertama; yang pengobatannya lebih banyak bersifat simtomatik. Sasaran terapi dalam hal ini pada umumnya belum tertuju pada tahap lebih dini dalam rangkaian reaksi respons imun.
dapat timbul berbagai peristiwa biokimiawi pada Ag
yang bersangkutan, umpamanya: presipitasi (terhadap Ag yang larut); aglutinasi (terhadap Ag yang berupa partikel); inaktivasi (terhadap virus, toksin); lisis (terhadap eritrosit); ataupun fagositosis (terhadap bakteri). Dalam keadaan tertentu, kompleks Ag-Ab akan melibatkan sistem komplemen dalam respons imun. Dengan liksasi berbagai komponen, komplemen, akan terjadi lisis terhadap eritrosit atau peningkatan terjadinya fagositosis oleh makrolag. Jadi jelaslah, bahwa apabila Ag-nya merupakan salah satu komponen jaringan tubuh, maka akan terjadi pengrusakan jaringan tersebut. Pada sistem respons imun selular diperlukan interaksi kuat anlara sel T dengan Ag imunogenik yang telah mengalami proses dalam makrofag. Patogenesis penyakit berdasarkan respons imun selular dimulai dengan interaksi Ag spesifik dengan sel T yang tersensitisasi. Akibat interaksi tersebut, sel T yang tersensitisasi akan membebaskan limfokin, yaitu berbagai faktor terlarut misalnya
3. OBAT-OBAT IMUNOSUPRESAN Kerja obat imunosupresan berdasarkan peng-
hambatan/supresi reaksi umum secara dini. Pada Gambar 48-3 menunjukkan tempat kerja obat imunosupresan dalam mengatasi manifestasi imunologik. Selain dengan obat, imunosupresi dapat juga diperoleh dengan memanipulasi jumlah Ag dan Ab dalam tubuh. Penggunaan imunosupresan bertujuan untuk mendapatkan toleransi spesi{ik (terarah), yaitu toleransi terhadap suatu antigen tertentu saja. Alasan dikehendakinya suatu toleransi spesilik, dan bukan umum, ialah karena toleransi umum dapat membahayakan individunya; khususnya memudahkan timbulnya penyakit infeksi berat. Tetapi sayangnya toleransi spesifik seringkali sulit dicapai.
lmunosupresan
7A5
V
I
\-/
66
Selektif
? @
Sel limlosit
J-
,/
Proliferasi KIon
(@ \
@
Sel B
-/ \---:
0
Maturasi
/\
Sintesis Ab
Iu
oe /\
CI
1\ Hil
\l\
uuIu
Gambar 48-2. Teori seleksi klon
706
Farmakologi dan Terapi
Komplemen
Allograft
__
/,"
ILN
\
@::ri*''*
Gambar zl8-3. Target kerja dari obat imunosupnesan Singkatan:
lL
-interl€ukin;
CDs OKT 3
-
celt difierentiatiorl complex g;
mul;n. monoklonal
y"ng langsung melawan epitop CD3"niibodi n6krosis laktor histocompatjbitity c/ass // anrgens
TNF - tumor MCH Il - major
Siklosporin
707
lmunosupresan
Perlu dimengerti bahwa bila Ag masih terdapat dalam tubuh, reaksi imunologik akan muncul kembali dengan penghentian pemberian imunosupresan.'
3.1. MEKANISME KERJA DAN PILAHAN OBAT IMUNOSUPRESAN
Efek imunosupresi
dapat dicapai dengan
menghambat proses pengolahan Ag menjadi Ag imunodan fagositosis genik oleh makrofag; (2) menghambat pengenalan Ag oleh sel limloid imunokompeten; (3) merusak sel limloid imunokompeten; (4) menekan diferensiasi dan prolilerasi sel imunokompeten, sehingga tidak terbentuk sel plasma penghasil Ab, atau sel T yang tersensitisasi untuk respons imun selular; dan (5) menghentikan produksi Ab oleh sel plasma, serta melenyapkan sel T yang tersensitisasi yang telah terbentuk. Beberapa imunosupresan mem-
salah satu cara berikut:
(1
)
pengaruhi berbagai reaksi respons imun, umpamanya reaksi inllamasi. Secara praktis, di klinik penggunaan obat imunosupresan berdasarkan waktu pemberiannya. Untuk itu, respons imun dibagi dalam dua lase. Fase pertama adalah lase induksi, yang meliputi: (1 ) fase pengolahan Ag oleh makrofag, dan pengenalan Ag oleh limlosit imunokornpeten; (2) fase proliferasi dan dilerensiasi sel B dan sel T, masingmasing untuk respons imun humoral dan selular. Fase kedua : fase produksi, yaitu lase sintesis aktif Ab dan limfokin.
Berdasarkan fasejase tersebut diatas, imunosupresan dibagi dalam tiga kelas. lmunosupresan kelas I harus diberikan sebelum lase induksi, yaitu sebelum terjadi perangsangan oleh Ag. Jadi, kerjanya adalah merusak limfosit imunokompeten (limfolitik). Contohnya: alkilator radiomimetik dan kortikosteroid (sinar X juga bekerja pada lase ini). Jika diberikan setelah terjadi perangsangan oleh Ag, biasanya tidak diperoleh efek imunosupresil sehingga respons imun dapat berlanjut terus. lmunosupresan kelas ll adalah yang harus diberikan dalam fase induksi; biasanya satu atau dua hari setelah perangsangan oleh Ag berlangsung. Obat golongan ini bekerja menghambat proses diierensiasi dan prolilerasi sel imunokompeten, misalnya antimetabolit. Jika diberikan sebelum adanya perangsangan oleh Ag, umumnya tidak memperlihatkan elek imunosupresif; malahan sebaliknya, beberapa obat tersebut justru dapat meningkatkan respons imun, umpamanya azatioprin dan metotreksat. Bagaimana mekanisme terjadinya hal yang disebut belakangan belum diketahui dengan pasti. lrnunosupresan kelas lll memiliki sifat imunosupresan kelas I maupun kelas ll. Jadi, golongan ini dapat menghasilkan imunosupresi bila diberikan sebelum maupun sesudah adanya perangsangan oleh Ag. Pilahan imunosupresan dapat dilihat dalam Tabel 48-1 . Dari obat yang tertera dalam tabel tersebut hanya beberapa saja yang telah lazim digunakan sebagai imunosupresan, yaitu : (1 ) alkilator: siklofoslamid dan klorambusil: (2) antimetabolit:
Tabel 48-1 . PILAHAN IMUNOSUPBESAN
Kelas
I
Busulfan L-Melfalan D-Melfalan
Glukokortikoid
:
Prednison Prednisolon
Glukokortikoid lainnya Mitomisin C Kolkisin Fitohemaglutinin Sinar-X * paling elektil bila diberikan bersamaan dengan antigen.
Kelas ll
Kelas lll
Klorambusil Metotreksat Azatioprin
Siklofosf amid Prokarbazin
6-Merkaptopurin (6-M P) Sitarabin (ARA-C) 5-Bromo-deoksiuridin (5-BUdR) 5-Fluoro-deoksiuridin (5-FUdR) 5-Fluorourasil (5-FU) Vinblastin (VBL) Vinkristin (VcR) Siklosportn.
708
Farmakologi dan Terapi
azatioprin dan 6-merkaptopurin (analog purin), metotreksat (analog folat); (3) kortikosteroid: pred_ nisolon, prednison; dan (4) siklosporin.
. Obat yang digunakan sebagai imunosupresan
sebagian besar termasuk dalam golongan obat kelas ll, contohnya azatioprin, 6-merkaptopurin, klorambusil dan metotreksat. Efek utama obat kelompok ini ialah menghancurkan sel yang sedang berproliferasi, maka tahap prolilerasi dan diferensiasi umumnya merupakan lase yang lebih sensitil daripada tahap lainnya. Obat-obat ini paling efektif bila diberikan beberapa hari setelah berlangsungnya stimulasi Ag yaitu pada periode dengan sensitivitas maksimal, lmunosupresan kelas lll yang telah banyak digunakan sampai kini hanyalah siklofosfamid. Efek imunosupresif dapat diperoleh, bila diberikan sebe_ lum maupun sesudah berlangsungnya stimulasiAg, tetapi elek initerkuat pada pemberian beberapa hari setelah stimulasi Ag berlangsung. Golongan imunosupresan kelas I yang telah digunakan sampai kini hanyalah glukokortikoid, khususnya prednisolon dan prednison.
Perbedaan yang kedua ialah sewaktu obat sitotoksik digunakan untuk imunosupresi, umum_ nya diberikan dosis rendah harian untuk meng_ hambat imunoproliferasi jangka panjang. Tetapi dalam terapi kanker, obat ini diberikan secara intermiten dengan dosis tinggi setiap 3-6 minggu.
3.3. BEBERAPA OBAT IMUNOSUPRESAN
Berikut akan dibahas mengenai beberapa obat imunosupresan yang penting.
AZATIOPRIN Banyak obat kemoterapi kanker menimbulkan
toksisitas pada sumsum tulang dan imunosupresi. Elek ini digunakan untuk mencegah penolakan
cangkok organ. Azatioprin sudah dipergunakan selama 20 tahun untuk menekan penolakan dari cangkok ginjal dan sudah merupakan prosedur yang diterima. Dalam tubuh, azatioprin dipecah oleh glutation
3.2. HUBUNGAN ANTARA OBAT IMUNO. SUPRESAN DAN KEMOTERAPI
menjadi merkaptopurin yang akan mempengaruhi sintesis dan penggunaan prekursor RNA dan DNA.
Pemberian allopurinol bersama azatioprin akan menimbulkan bahaya takarlajak dengan aza-
Walaupun tampaknya ada tumpang tindih antara obat imunosupresan dan obat kemoterapi kan_ ker, ada perbedaan prinsip yang jelas dalam peng-
gunaannya, Pertama, karakter dan kinetik dari proliferasi sel kanker tidak identik dengan proliferasi sel imun dan berbeda sifat dalam imunosupresi. Misalnya, prolilerasi sel kanker ierjadi secara spontan, tetapi proliferasi sel imun biasanya meru_
pakan respons Ag yang spesifik. pembelahan sel kanker individual di dalam populasi yang besar, terjadi secara random dan unsynchronized. Sedangkan proliferasi sel imun berupa
ledakan pembelahan mitotik synch ronized dan terjadilah kekebalan yang spesifik setelah mengenal Ag. Sitotoksik yang digunakan pada awal terpajannya antigen asing (misalnya pada cangkok ginjal), akan merusak sebagian besar dari sejumlah kecil sel prekursor, Hal ini, terjadi karena antigen cenderung merangsang prolilerasi klon selektif daripada semua klon sel imun. Dengan demikian tidak ter_ jadi produksi klon imun yang tidak diinginkan (antibodi terhadap ginjal cangkok). Sebaliknya, hal ini tidak dapat dilakukan dalam terapi kanker.
tioprin, karena oksidasi merkaptopurin menjadi me-
tabolit yang tidak aktil oleh xanthin oksidase akan menurun oleh allopurinol.
Pengobatan dengan azatioprin dengan siklosporin dan prednison telah dilakukan dibeberapa pusat center untuk menekan penolakan cangkok organ, tetapi kombinasi ini dapat meningkatkan ter-
jadinya keganasan dan komplikasi inleksi. Dokter hanya menggunakan kombinasi ini, bila pemberian
siklosporin dan prednison saja tidak berkasiat. Azatioprin juga dipergunakan untuk pengobatan artritis reumatoid berat yang refrakter. Toksisitas terhadap darah seperti leukopenia dan trombositopenia harus dimonitor dengan baik sebagai petunjuk penentuan dosis azatioprin. Elek samping mual, muntah, biasa terjadi tetapi pengobatan tidak perlu dihentikan.
SEDIAAN DAN DOSIS. Azatioprin untuk pemberi-
an oral terdapat dalam bentuk tablet S0 mg dan untuk intravena dalam bentuk vial berisi 100 mg. Dosis prolilaksis adalah 3-10 mg/kgBB/hari, diberikan 'l -2 hari sebelum cangkok ginjal atau pada hari operasi, untuk dosis penunjang 1-3 mg/kgBB/hari.
Imunosupresan
709
Pengobatan artritis reumatoid dimulai dengan dosis
1 mg/kgBB/hari. Selama 6-9 minggu setelah
itu
dosis diturunkan perlahan-lahan sampai maksimum
2,5 mg/kgBB.
kan 1-2 hari sesudah Ag masuk, obat ini mematikan
sel B yang sedang berproliferasi. pada manusia,
METOTREKSAT Metotreksat merupakan antineoplasia, digunakan sebagai obat tunggal atau kombinasi dengan siklosporin dalam mencegah penolakan cangkok sumsum tulang. Metotreksat juga berguna untuk penyakit autoimun dan peradangan tertentu. Meto-
treksat merupakan penghambat kuat enzirn dihidrololat reduktase, sehingga akan menimbulkan efek pada biosintesis timidilat dan purin. Aktivitas imunosupresi dari obat ini menunjuk-
kan hambatan replikasi dan fungsi dari sel T dan mungkin sel B karena adanya efek terhadap sintesis DNA secara selektif. Pada penderita leukemia yang dilakukan tindakan cangkok sumsum tulang, kambuhnya leukemia lebih jarang bila diberikan metotreksat dibandingkan pemberian siklosporin. lni mungkin disebabkan efek anti-leukemik intrinsik dari metotreksat. Metotreksat akhir-akhir ini disetujui untuk di-
pergunakan dalam pengobatan artritis reumatoid yang aktif dan berat pada orang dewasa dan pada psoriasis yang sudah refrakter terhadap obat lain. Untuk artritis reumatoid, dosis metotreksat yang biasa digunakan adalah 7,5 mg sekali seminggu. lni dapat diberikan secara terbagi 3 kali dalam interval 12 jam. Dosis dapat ditingkatkan perlahan-lahan sampai maksimum 20 mg per minggu. Untuk psoriasis dapat diberikan dengan dosis yang sama. Pada pengobatan jangka lama dengan metotreksat dosis rendah, maka elek toksik yang dilaporkan yaitu terjadinya librosis dan sirosis hati pada 3O-4Ooh penderita psoriasis yang diberikan obat ini. Sedangkan pada pengobatan artritis reumatoid kejadiannya rendah. Kelainan-kelainan ini terutama terjadi pada peminum alkohol. Pneumonitis akut dan kronik juga terjadi pada artritis reumatoid, sedangkan pada psoriasis kejadiannya rendah. Elek toksik ini umumnya reversib6l. Mekanisme dan laktor risikonya belum diket?lhui.
efeknya lebih jelas bila diberikan satu atau dua hari setelah stimulasi Ag. Walaupun respons Ab primer ditekan, sedikil pengaruhnya terhadap respons sekunder. Kadang-kadang Ab-lgE meningkat, mungkin karena inaktivasi sel supresor. pemberian siklofosfamid beberapa hari sebelum imunisasi, umumnya meninggikan imunitas selular. pada marmot dan tikus, respons hipersensitivitas larnbat (delayed hipersensitivitl meningkat dan jumlah bakteri yahg dibutuhkan untuk menimbulkan respons tersebut berkurang. Di dalam tubuh, siklofosfamid harus diaktifkan dulu oleh enzim mikrosom di hati. Karena itu penggunaan bersama obat lain yang mempengaruhi sistem enzim ini, antara lain fenobarbital dan glukokortikoid, memerlukan penyesuaian dosis untuk masing-masing obat yang berinteraksi tersebut, guna memperoleh efek yang optimal. Siklofosfamid, selain pada bedah cangkok, juga digunakan pada artritis reumatoid, sindrom
nefrotik (terutama pada anak) dan granulomatosis Wegener; penggunaannya pada penyakil lainnya masih perlu diteliti lebih lanjut. Dosis berkisar antara 1,5-3 mg/kgBB sehari. Pada artritis reumatoid, biasanya respons klinis diperoleh bersamaan dengan timbulnya leukopenia (2500-4000/ml). Untuk menghindari bahaya infeksi berat, jumlah sel pMN diusahakan paling sedikit 1.000/ml. Pada sindrom nefrotik anak yang sering kambuh dengan terapi kortikosteroid, siklofosfamid dapat mempertahankan remisi yang dihasilkan kortikosteroid, bahkan juga setelah kedua jenis obat tersebut dihentikan pemberiannya. Hasil terapi pada sindrom nefrotik lebih memuaskan daripada artritis reumatoid. Manfaat siklofosfamid jelas pada granulomatosis Wegener, suatu penyakit yang cepat sekali fatal sifatnya dan tidak banyak dapat dipengaruhi oleh kortikosteroid. Tetapi, remisi yang diperoleh tidak dapat dikatakan berdasarkan mekanisme imunosupresan siklofos-
famid, karena dasar penyakit masih belum jelas terungkap.
KORTIKOSTEROID
SIKLOFOSFAMID
Secara umum siklofoslamid
siklofosfamid menginaktivasi sel prekursor dan menurunkan populasi sel B dengan jelas. Bila diberi-
mengurangi
respons imun humoral dan meningkatkan respons imun selular. Bila diberikan sebelum Ag masuk,
Yang digunakan sebagai imunosupresan adalah glukokortikoid yaitu prednisolon dan prednison. Terhadap respons imun humoral, efek glukokor-
710
Farmakologi dan Terapi
tikoid belum dapat disimpulkan secara tuntas; yang
jelas terlihat ialah pengurangan jumlah imunoglo_ bulin. Terhadap respons imun selular, glukokor_ tikoid'menghambat efek MIF sehingga makrolag dibebaskan dari jeratan di sekitar tempat pembe_ basan MIF dan jaringan setempat terhindar dari kerusakan akibat penghancuran oleh makrofag. Dalam hal ini, efek glukokortikoid sebenarnya ter-
jadi berdasarkan mekanisme anti inflamasi.
SEDIAAN DAN DOSIS. Dosis prednison 1-2 mg/ kgBB secara oral atau parenteral menimbulkan elek imunosupresi pada limfoid, neutrofil dan monosit. Dosis lebih besar dari 2 mg/kgBB tidak meningkat_ kan efek terapi, tetapi meningkatkan elek samping obat. Pada peradangan akut yang sedang mulai nekrotik, pemberian dosis harian terbagi lebih disu_ kai daripada pemberian berselang (intermiten) pada awal pengobatan. Bila penyakit atau peradangan
relatif stabil, dianjurkan pemberian berselang, karena cara ini menguntungkan ditinjau dari segi
elek sampingnya. Banyak jadual pengobatan telah dicoba. Yang paling populer ialah pemberian ber_ selang dengan dosis dobel dan dosis harian. pada erupsi akibat obat yang hebat misalnya eritema multiform yang mengenai membran mukosa saluran cerna, sebaiknya diberikan lV, karena adanya gangguan absorpsi akibat rusaknya mukosa saluran cerna,
Target molekuler dari siklosporin adalah protein yang disebut siklofilin. protein ini akan mengikat siklosporin dengan kuat dan protein ini terutama ada di jaringan limfoid. Hubungan langsung antara target molekuler dan efek penghambatan produksi interleukin-2 secara cepat oleh I hetper sel masih belum dapat dibuktikan.
FARMAKOKINETTK. Bioavailabilitas siklosporin pada pemberian oral berkisar anta r a 20-50%, kadar puncak dalam plasma tercapai dalam 3-4 jam; 60_ 70o/o dari obat ini dalam darah berada pada eritrosit. Masa paruh bervariasi, rata-rata 6 jam. Sangal se_ dikit siklosporin alau metabolitnya yang dieksl:resi melalui urin. Umumnya diekskresi melalui empedu
sesudah dimetabolisme di dalam hati.
Ada,nya
gangguan lungsi hati atau pemberian obat yang mempunyai efek pada aktivitas enzim sitokrom p+so
akan menimbulkan perubahan dramatis dalam elirninasi siklosporin. Penderita yang mendapat cbat lenitoin, lenobarbital, trimetoprim-sulfametoksazol, dan rifampisin akan meningkatkan bersihan siklosporin. Juga dapat menimbulkan penolakan o gan cangkok karena menurunnya kadar siklosporin dalam darah. Obat yang dapat menurunkan bersihan siklo-
sporin seperti eritromisin, ketokonasol atau am_ poterisin B dapat meningkatkan toksisitas siklosporin, bila kadar siklosporin di dalam darah tidak dimonitor dengan baik.
SIKLOSPORIN (Cyctosporin A) Siklosporin berasal dari jamur Tolypoctadium inflatum gams. Siklosporin mempunyai efek imuno_ supresan karena mempunyai kemampuan yang selektif dalam menghambat sel T. Siklosporin tidak menimbulkan penekanan pada sumsum tulang se_ perti imunosupresan golongan sitotoksik.
Siklosporin menyebabkan menurunnya pro-
TOKSISITAS Kl_tNtK. Efek toksik utama siklosporin ialah pada ginjal dan efek ini terjadi pada 25-75% penderita yang diberikan obat ini. Efek tok-
sik ini tergantung besarnya dosis yang diberikan dan silatnya reversibel, biasanya perlu dilakukan
modifikasi dosis bila terjadi efek toksik. Kadar kreatinin dan ureum dalam plasma merupakan petunjuk untuk mengatur dosis, hanya kesulitannya penolakan ginjal cangkok menimbulkan
duksi dan penglepasan limfokin dalam respons untuk merangsang antigenik. pada konsentrasi
tanda-tanda yang sama dengan tanda-tanda efek
yang lebih tinggi, siklosporin menghambat ekspresi dari reseptor interleukin-2. Walaupun siklosporin dapat menghambat aktivasi T-helper sel, siklospo_
dibedakan.
rin tidak mencegah stimulasi klonal ekspansinya oleh interleukin-2. Hal ini berkaitan dengan ekspresi dari sel supresor pada konsentrasi yang menghambat induksi sitotoksik sel T. Siklosporin harus diberikan sebelum sel T berproliferasi (lihat Gambar 48-3) akibat pajanan antigen spesifik, tetapi obat ini tidak bersilat sitotoksik.
toksik; tetapi dengan biopsi ginjal, hal ini dapat
Hipertensi (10-15% peningkatan tekahan darah) terlihat pada lebih 30% penderita dengan cangkok ginjal, hati atau jantung yang mendapatkan siklosporin. Toksisitas pada saraf juga terlihat pada penderita dengan cangkok hati, gemetar pada lebih 50% dan kejang- kejang pada 5% penderita. l-lampir 50% penderita yang mendapatkan siklosporin, aktivitas enzim transaminase dan bilirubinnya di dalam plasma meningkat. Kelainan ini akan menghilang,
bila dosis obat diturunkan, Pengobatan dengan si-
711
lmunosupresan
klosporin dihubungkan dengan meningkatnya kejadian infeksi, tetapi elek ini kurang menonjol diban-
nya toksisitas akibat pemberian siklosporin. Alasan-
dingkan dengan pengobatan imunosupresan
potensi untuk menolak. Kadar siklosporin di dalam sirkulasi darah dimonilor 24iam setelah pemberian dosis tunggal oral. Tanda toksisitas ini perlu dibedakan dengan tanda penolakan cangkok. Bila karena elek toksik, maka dosis harus diturunkan, sedangkan bila karena penolakan cangkok, dosis harus ditingkatkan. Kadar 250-800 ng/ml dalam darah total atau
lainnya. Terjadinya keganasan relatif rendah, bila pengobatan hanya dengan siklosporin. Tapi bila obat ini diberikan bersama obat lain, dapat menimbulkan limloma maligna dengan kejadian metastasis pada otak yang tinggi. Hirsutisme dan hiperplasia gingiva terlihat pada 1 0-30% penderita yang mendapat siklosporin, tetapi reaksi ini tidak mengganggu pengobatan. Sakit kepala, parestesia, muka merah, sinusitis, ginekomastia, konjungtivitis dan kuping berdengung kadang-kadang terjadi. Meskipun obat ini embriotoksik pada hewan dan penggunaannya pada wanita hamil tidak dianjurkan, tapi dilaporkan bahwa banyak kelahiran yang baik selama pengobatan dengan siklosporin.
PENGGUNAAN. Siklosporin digunakan terutama dalam kombinasi dengan prednison untuk memper-
tahankan ginjal, hati dan cangkok jantung pada transplantasi. Selama 1 tahun cangkok ginjal dari mayat dapat dipertahankan 7O-85%, cangkok hati lebih dari 60%, sedangkan cangkok iantung lebih dari 80%. Transplantasi dengan pankreas juga memberikan hasil yang baik. Siklosporin juga dipergunakan pada cangkok sumsum tulang. Uji klinik menuniukkan, bahwa siklosporin mungkin berguna untuk mengobati berbagai penyakit autoimun seperti reumatoid artritis, glomerulonefritis, aplasia sel clarah merah, uveitis dan psoriasis terutama untuk mengatasi eksaserbasi akut yang refrakter terhadap obat-obat konvensional.
SEDIAAN DAN DOSIS. Siklosporin diberikan per oral dalam larutan yang berisi 100 mg/ml (pelarut 12,5% etanol dalam minyak). Larutan ini dicampur dengan susu atau air jeruk bila hendak diberikan.
Formula untuk pemberian intravena 50 mg/ml (pelarut 33% etanol dalam polioksietil minyak cas-
tor) diencerkan dengan 0,9% NaCl alau
5o/o
dekstrose segera sebelum infus. Pemberian oral dilakukan 4-24 jam sebelum transplantasi, dengan dosis 15 mg/kgBB. Dosis ini diteruskan 1-2 minggu sesudah operasi. Kemudian, tiap minggu dosisnya dikurangi sampai dosis untuk penunjang 3-10 mg/kgBB tercapai. Dosis harus di-
observasi bila kemungkinan adanya tanda-tanda toksisitas pada ginjal dengan melihat bersihan kreatinin. Perlu perhatian pada penderita cangkok ginial yang tidak ada tanda-tanda penolakan dengan ada-
nya, pada biopsi cangkok umumnya mempunyai
50-300 ng/ml dalam plasma umumnya dapat diterima. Pada penderita yang tak dapat mentoleransi pemberian oral diberikan secara intravena (infus) perlahan-lahan selama 2-6 jam. Dosis harian (5-6
mg/kgBB) hanya 1/3 dosis oral. Bila penderita sudah dapat mentoleransi pemberian oral, maka sebaiknya pemberian intravena segera dihentikan. Pada penderita cangkok hati sering terjadi gangguan fungsi ginjal, karena sindroma hepatorenal. Pengobatan sebaiknya dimulai dengan azatioprin dan prednison, kemudian diganti kombinasi siklosporin dan prednison sesudah fungsi ginjal membaik. ANTIBODI
RH" (D) imunoglobulin. Antibodi ini merupakan bentuk spesifik dalam pengobatan imunologi untuk ibu dengan RHo (D) negatil yang terpapar darah RHo (D) positif pada perdarahan karena abortus, amniosintesis, trauma abdomen atau kelahiran biasa dari janin. Pemberian obat ini akan menghambat respons imun dan mengurangi risiko hemolitik
janin pada kehamilan berikut. Dosis besar obat ini dapat diberikan pada penderita transfusi darah yang tidak cocok. SEDIAAN DAN DOSIS. RHo (D) imunoglobulin terdapat dalam alat suntik atau vial untuk pemberian intramuskular, setiap dosis dapat menetralisir 15 ml darah merah BHo (D) positif. Dosis besar dipergunakan untuk transfusi darah yang tidak cocok atau pada perdarahan fetomaternal. RHo (D) imunoglobulin terbaik diberikan selama72 jam dari kelahiran. RHo (D) imunoglobulin juga terdapat dalam preparat dosis rendah yang
dapat menetralisir 2,5 ml darah merah RH6 (D) positif. Preparat ini dipergunakan untuk pencegahan pada wanita dengan RHo (D) negatif pada kelahiran atau 12 minggu kehamilan, bila suami wanita tersebut RHo (D) positif. Preparat dengan dosis besar digunakan pada kehamilan 13 minggu.
712
Farmakologi dan Terapi
Obat imunosupresan seperti klorambusil, levamisol tidak banyak lagi digunakan. Thalidomid sedang dalam penelitian lebih lanjut sebagai imunosupresan dalam cangkok sumsum tulang. Meskipun mempunyai efek teratogenik obat ini juga dipergunakan untuk mengatasi peradangan pada penderita lepra tipe leproma. 3.4. PENGGUNAAN KLINIK DAN PEMILIHAN SEDIAAN Pada masa kini, imunosupresan digunakan pada tiga keadaan klinik, yakni: penyakit autoimun, penyakit isoimun dan bedah cangkok organ tubuh (Tabel 48-2). Penggunaan iniditujukan untuk menekan/menghalangi timbulnya respons imun primer atau sekunder ataupun keduanya sekaligus. Pada bedah cangkok, saat mula stimulasi Ag diketahui dengan pasti, demikian pula jenis Ag yang menstimulasi, maka imunosupresan ditujukan untuk melawan respons primer. Dalam hal ini, terapi dapat lebih diarahkan untuk mencegah reaksi penolakan, tetapi pada beberapa keadaan, hasilnya masih
belum memadai, karena khasiat imunosupresi spesifik masing-masing imunosupresan belum cukup jelas. Pada berbagai penyakit autoimun dan penyakit kompleks imun, umumnya terapi hanya dapat ditujukan terhadap respons imun sekunder, karena stimulasi Ag telah berlangsung beberapa lama tanpa diketahui. Terapi kedua jenis penyakit ini dapat beragam, karena faktor yang mendasari penyakit ini bersilat sangat kompleks. Terapi dapat ditujukan untuk: (1) menghambat pembentukan Ab; (2) menghambat pembebasan mediator kimia, dan dalam hal ini, histamin dapat merupakan rangsang umpan balik untuk terjadinva kompleks imun pada endotel; dan (3) menghambat proses inflamasi. Tetapi penerapan terapi secara terarah pada umumnya sukar dilaksanakan. Untuk masing-masing jenis penyakit/ keadaan klinis, obat yang digunakan dapat berbeda; dan kalau digunakan obat yang sama, jadwal pemberiannya dapat berbeda. Sekalipun kedua keadaan tersebut telah menjadi kenyataan klinis, fakta ini belum menunjukkan suatu terapi yang terarah;
ditambah pula, banyak hasil terapi tidak dapat di-
kaitkan secara langsung dengan mekanisme imunosupresif, melainkan hanya dapat dijelaskan berdasarkan mekanisme anti-inf lamasi. Kesulitan memilih imunosupresan unluk suatu penyakit tertentu disebabkan antara lain oleh laktor: (1 ) belum jelasnya peran patogenesis berdasarkan proses imun pada berbagai jenis penyakit; (2) belum dapat dirumuskannya kriteria obyektil yang secara efektif dapat menilai efek obat imunosupresan terhadap perubahan- perubahan kecil pada kelangsungan penyakit; dan (3) adanya risiko memberatnya penyakit akibat penekanan bagian tertentu dalam sistem imun dan peningkatan ketidakseimbangan subpopulasi limfosit yang sudah ada. Sesekali, bila suatu imunosupresan tidak efektif, imunosupresan lain mungkin dapat bermanfaat. Penerapan penggunaan imunosupresan tidaklah sederhana, tetapi memerlukan pengetahuan dasar yang cukup mantap mengenai masalah imunologi, termasuk pengetahuan dasar peran proses imun dalam masing-masing kondisi/keadaan yang akan diintervensi dengan imunosupresan. Pada dasarnya, penyakit dengan patogenesis proses imun dapat dipengaruhi oleh imunosupresan. Tetapi, karena pada umumnya imunosupresan yang dikemukakan di atas memiliki toksisitas tinggi, penggunaannya sangat dibatasi untuk penderita yang benar-benar membutuhkan, yaitu setelah gagalnya terapi atau hasilnya kurang dari yang diharapkan. Antisera yang mengandung globulin spesifik juga telah digunakan dalam keadaan klinik tertentu.
Globulin antilimfositik heterolog (ALG) sangat rrermanlaat dalam bedah cangkok, khususnya bedah cangkok ginjal. Globulin imun insani Rho (D) sangat bermanfaat untuk anemia hemolitik neonatus. Obat atau zat yang dapat digunakan untuk masing-masing penyakiSkeadaan klinik tertentu dapat dilihat dalam Tabel4S-2. Yang masih diperlukan ialah menetapkan jadwal pengobatan untuk masing-masing keadaan klinik tersebut berdasarkan hasil evaluasi obyektif terhadap efektivitas relatifnya. Dalam keadaan tertentu, imunosupresarr digunakan dalam kombinasi, misalnya kornbinasi siklofoslamid dengan glukokortikoid pada sindrom nefrotik. Tujuannya untuk mendapatkan hasil terapi seoptimal mungkin, dengan elek samping serendah mungkin.
713
lmunosupresan
Tabel 48-2. PENGGUNAAN IMUNOSUPRESAN Dl KLINIK
Penyakit/Keadaan
Klinik
Respons
lmunosupresan yang digunakan
Autoimun
trombositopenik idiopatik.
Purpura
Anemia hemolitik
autoimun.
Prednison*, vinkristin,
merkaptopurin,
Biasanya baik
azatioprin. Prednison*, siklofosfamid,
klorambusil,
Biasanya baik.
merkaptopurin, azatioPrin. Glomerulonefritis
akut.
Antibodi faktor Xlll
yang
Prednison*, merkaptopurin,
Siklofosfamid dan laktor
siklofosfamid.
Xlll.
Biasanya baik
Biasanya baik.
acquired.
lsoimun Anemia hemolitik
neonatus.
Globulin imun insani Rho
(D)."
Sangat baik
Transplantasi Organ
Ginjal.
Azatioprin, prednison, globulin antilimf ositik, daktinomisin,
Baik sampai sangat baik.
siklosporin A.
Jantung. Sumsum tulang.
* Obat terpilih
A. Siklosfamid, prednison, metotreksat, globulin antilimfositik, penyinaran tubuh total, siklosporin.
Siklofosfamid, siklosporin
Sedang. Keberhasilan terus meningkat dengan menggunakan donor yang cocok (matched).
Farmakologi dan Terapi
XIV. VITAMIN 49. VITAMIN DAN MINERAL Hedi R. Dewoto dan S. Wardhini B.P.
Pendahuluan 2.
Vitamin larut air 2.1. Vitamin B kompleks 2.2. Asam askorbat
3.
Vitamin larut lemak 3.1. Vitamin A
3.2. Vitamin D 3.3. Vitamin E 3.4. Vitamin K
4.
1. PENDAHULUAN Vitamin dan beberapa mineral penting untuk metabolisme. Vitamin merupakan senyawa organik yang diperlukan tubuh dalam jumlah kecil untuk mempertahankan kesehatan dan seringkali bekerja sebagai kolaktor untuk enzim metabolisme. Vitamin yang terdapat dalam lebih dari satu bentuk kimia (misalnya piridoksin, piridoksal, piridoksamin) atau terdapat sebagai suatu prekursor (misalnya karoten untuk vitamin A) kadang-kadang dinamakan vitamer. Mineral merupakan senyawa anorganik yang merupakan bagian penting dari enzim, mengatur berbagai fungsilisiologis, dan dibutuhkan untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan termasuk tulang. Sumber vitamin dan mineral yang paling baik ialah makanan sehingga orang sehat yang makanannya bermutu baik, sudah mendapat jumlah vitamin dan mineral yang cukup. Akan tetapi individu dengan diet rendah kalori (kurang dari 1 200 kalori/hari) seringkali asupan vitaminnya kurang dan memerlukan tambahan. Selain terdapat dalam makanan, vitamin juga dapat diberikan dalarn bentuk murni sebagai sediaan tunggal atau kombinasi. Sediaan untuk tujuan profilaktik harus dibedakan dari sediaan untuk tujuan pengobatan defisiensi. Vitamin dibagi menjadi 2 golongan, yaitu (1) vitamin larut lemak: vitamin A, D, E, dan K; dan (2)
Mineral dalam jumlah relatif banyak Trace elements
vitamin larut air: vitamin B kompleks dan vitamin C. Vitamin larut air disimpan dalam tubuh hanya dalam sehingga untuk mempertahankan saturasi jaringan vitamin larut air perlu sering dikonsumsi. Meskipun demikian, pemberian vitamin larut air dalam jumlah berlebihan selain merupakan pemborosan, juga mungkin menimbulkan elek yang tidak diinginkan. Sebaliknya vitamin larut lemak dapat disimpan dalam
jumlah terbalas dan sisanya dibuang,
jumlah banyak, sehingga kemungkinan terjadinya toksisitas jauh iebih besar daripada vitamin larut air. Beberapa vitamin baru aktif setelah mengalami aktivasi in vivo. Aktivasi vitamin larut air dapat berupa fosforilasi (tiamin, ribollavin, niasin, piridoksin) dan dapat juga membutuhkan pengikatan de-
ngan nukleotida purin atau pirimidin (riboflavin, niasin). Vitamin larut air berperan sebagai kofaktor
untuk enzirn tertentu, sedangkan vitamin A dan D mempunyai sifat lebih menyerupai hormon dan mengadakan interaksi dengan reseptor spesitik intraselular pada jaringan target.
Mineral dalam tubuh dibedakan atas mineral yang terdapat dalam jumlah relatif banyak (kalsium, fosfor, magnesium, kalium, natrium, klorida, sulfur) dan trace elements (fluor, seng, selenium, iodium, besi, kromium, kobalt, tembaga, mangan, molibdenum).
715
Vitamin dan Mineral
lalui Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi. Dalam
Angka Kecukupan Gizi Rata-rata yang Dianiur' kan (AKG = Recommended Dietary Allowances, RDA). Penggunaan vitamin dan mineral berlebih
menentukan kecukupan gizi yang dianjurkan telah diperhitungkan laktor variasi kebutuhan individual. Angka tersebut adalah angka kebutuhan rata-rata ditambah 2 kali simpang baku. Dengan demikian angka kecukupan yang dianjurkan merupakan jum' lah yang dibutuhkan oleh 97,5 % populasi. Untuk vitamin dan mineral AKG sudah mencakup pula untuk cadangan zal gizi tersebut di dalam tubuh. AKG didasarkan pada patokan berat badan untuk masing-masing kelompok umur dan jenis kelamin.
dapat menimbulkan gejala keracunan, sebaliknya bila kekurangan dapat menimbulkan gejala delisiensi. Oleh karena itu banyak negara telah mengadakan penelitian dan mengevaluasi kebutuhan vitamin dan mineral serta zat gizi lainnya per hari pada
masyarakatnya. Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan (AKG) adalah suatu kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi hampir semua
Patokan berat badan didasarkan pada berat badan yang mewakili sebagian besar pendudukyang digo' longkan mempunyai derajat kesehatan optimal. Angka kecukupan berbagai zat gizi rata-rata
orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh dan aktivitas untuk mencapai derajat kese-
hatan yang optimal. Di lndonesia sejak tahun 1978 setiap 5 tahun sekali secara nasional dibuat angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan yang disebarluaskan me-
yang dianjurkan hasil Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi 1993 tertera pada Tabel 49-
1
,
Tabel 49-1. ANGKA KECUKUPAN Glzl RATA-RATA YANG DIANJURKAN (PER ORANG PER HARI)' Golongan B€rat
Tinggi En€rgi Pro-
umur
badan
badan
(ks)
07-
1-
4-
6bl 12bl 3rh 6rh
7-9rh
5,5 8,5 12 't8 24
Pria: 10-12 rh 13-15 rh 16-19 rh 20-59 th
60
rh
30 45 56
62
62
Wanita:
th rh rh rh
35 46 50 54
>50rh
54
10-12 13-15 16-19 20-50
Hamil Menyusul:
0-6bt 7-12 bt
'
{cm) 60 71
90 110 120
tsin
(s) 560 12 800 15 1250 23 1750 32 1900 37
(Kkal)
A
(BE) (ms) (ms) (ms) (us)
0,3 0,3 0,4 0,5 0,5 0,6 0,8 1,0 Q7 1,0 1 ,0
350 350 350 360
2,5 3,8 5,4
8 I
0,1 0,1
0,5 0,7
0,9
45 450 1,0 1,0 9 64 600 1,0 1,2 10 2500 66 600 1,0 1,3 1t 165 Hng 2800 55 600 1,2 ,5 12 Sdg 30OO 55 600 1,2 1,5 13 Brt 3600 55 600 1,5 1,8 16 2200 55 600 1,0 1,2 10 165
1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 r,o
1900 54 500 1,0 1,0 I 1lm 153 2100 62 500 1,0 1,2 10 2000 51 500 1,0 1,0 10 154 156 Rng 2050 48 500 ,0 1,2 I Sdg 2250 /A 5O0 1,0 1,0 10 8n 2600 € 500 1,0 1,3 12 1850 € 500 1,0 1,0 I 1g
1,0 1,0 1,0 1,0
135 150 160
2000
2ll00
1
1
+285+12
Kal-
Tia- Ribo- Nia- Vit. Asam Vit min flavin sin 812 tolat C
Vit
Fos- Magn€-
(us) (ms)
(ms)
30 600 200 35 35 400 250 55 I 500 250 75 45 500 350 110 81,3 45 500 400 145 50 60 60 60 60 60 60
100 130 160 160 r,0 t6o 1,0 160 1,0 150
50 60 60 60 60 60 60
Seng Yodi- Sele-
um
+0,3 +0,4 +0,3 +0,3
HasilWklya Karya Nasbnal Pangan dan Gizi 1993
+3 +0,3 +50 +25 +3 +0,3 +40 +10
(us)
3 5 8 I 10
3 5 10 10 10
50 70 70 100 120
10 15
20 20 30
500 500 500 500 500 5m 500 500 500
180 275 280 280 280 280 280
14 17 23 13 13 13 13
15 15 15 15 15 15 15
150 N 150 50 150 60 150 60 150 60 150 60 150 60
450 450 450 450 500 450 500 450 500 450
210 250 250 250 250 250 250
14 19 2s 26 26 26 14
15 15 15 15 15 15 15
150 150 150 150 150 150 150
700 700 600 500 500
700 700 600 500
+VN +O,2 +O,2 +1 +0,3 +150 +10 +400 +200 +30 +30 +5
+7OO +16 +350 +5OO +12 +300
nium
(ms) (ms) (ms) (ms) (us)
22 32 40 60
90 125 165 190 190 190 190
Besi
sium lor sium
+4OO
+rtoo
70 45 50 50 50 50 50
+25
+15
+300 +40 +2 +10 +5O +200 +30 +2 +10 +50
+25 +20
716
Farmakologi dan Terapi
Asupan Vitamin yang Berlebihan. Asupan (rnfake,) vitamin yang berlebihan dapat disebabkan karena: (1) penggunaan vitamin dalam jumlah besar, bai[< untuk tujuan pencegahan maupun pengobatan penyakit yang tidak jelas berhubungan dengan defisiensi vitamin; (2) penggunaan vitamin secara rutin dengan jumlah yang jauh melebihi AKG
karena adanya anggapan bahwa vitamin dapat memberikan tambahan energi dan membuat seseorang lebih sehat; dan (3) banyaknya sediaan yang mengandung satu macam vitamin atau beberapa macam vilamin (multivitamin) dalam jumlah yang besar yang dinyatakan sebagai suplementasi makanan dan dapat dibeli tanpa resep dokter, Sediaan
multivitamin seringkali diperlukan untuk pengobatan karena defisiensi vitamin seringkali bersilat multipel, tetapi sediaan ini seyogyanya dibedakan dengan sediaan multivitamin untuk suplementasi/profilaksis. Sediaan multivitamin untuk pengobatan penyakit delisiensi mengandung vitamin dalam jumlah lebih besar dan hanya boleh diberikan oleh dokter. Menurut Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat sediaan multivitamin digolongkan sebagai suplementasi makanan atau untuk pro-
filaksis bila mengandung 50-150% U.S.RDA (kecuali untuk vitamin D dan asam lolat yang tidak boleh melebihi U.S. RDA). Sediaan inimungkin diperlukan selama kebutuhan meningkat (misalnya masa hamil dan laktasi), selama sakit di mana terdapat gangguan absorpsi makanan, dan pada pasien yang makanannya kurang baik. Selama masa hamil dan laktasi, sediaan multivitamin yang diberikan sebaiknya mengandung asam folat, sianokobalamin dan besi, karena zal-zal tersebut
mungkin tidak cukup didapdtkan dari makanan. Tambahan vitamin D tidak diperlukan bila pajanan terhadap sinar matahari sudah cukup atau bila diet normal.
Sediaan vitamin untuk pengobatan hanya di-
perlukan untuk terapi penyakit delisiensi vitamin
dan terapi suportit pada keadaan patologik di mana kebutuhan makanan sangat meningkat misalnya pada alkoholisme dan kaheksia pascabedah. pemberiannya memerlukan pongawasan dokter. Sediaan ini dapat mengandung vitamin sampai 5 kali U.S.RDA, kecualivitamin D yang tidak boleh melebihi U.S.RDA. Selain itu asupan vitamin A harus dibatasi untuk mencsgah hipervitaminosis A, Bila kebutuhan akan satu jenls vitamin melebihi 5 kali RDA, maka vitamin tersebul diberikan secara terpisah.
Asupan Vitamin yang Kurang. Asupan vitamin yang kurang dapat terjadi sebagai akibat (1 asupan ) makanan yang tidak mencukupi; (2) gangguan absorpsi vitamin; dan (3) meningkatnya kebutuhan tubuh. Asupan makanan yang tidak mencukupi dapat disebabkan oleh anoreksia, diet rendah kalori, diet khusus misalnya pada diabetes melitus dan nilai gizi makanan yang rendah karena keadaan ekonomi atau kurangnya pengetahuan mengenai nilai gizi makanan. Gangguan absorpsi vitamin dapat terjadi misalnya pada penyakit hati dan saluran empedu, diare kronik, macam-macam gangguan sistem pencernaan dan pada penggunaan antibiotik jangka lama. Meningkatnya kebutuhan tubuh akan vitamin terjadi selama masa pertumbuhan, hamil, laktasi, haid, kerja fisik yang berat, stres dan pada penyakit yang disertai peningkatan metabslisme, misalnya hipertiroidisme dan demam, Selain itu kelainan genetik juga dapat meningkatkan kebutuhan
tubuh akan vitamin. Tambahan vitamin diperlukan pada keadaan-keadaan tersebut di atas untuk mencegah terjadinya defisiensi vitamin.
2. VITAMIN LARUT AIR 'Vitamin larut air terdiri dari vitamin B kompleks
dan vitamin C. Vitamin B kompleks mencakup sejumlah vitamin dengan rumus kimia dan elek biologik yang sangat berbeda yang digolongkan ber-
sama karena dapal diperoleh dari sumber yang sama, antara lain hati dan ragi. yang termasuk dalam golongan vitamin ini ialah : tiamin (vitamin Br), riboflavin (vitamin Bz), asam nikotinat (niasin) piridoksin (vitamin Bo), asam pantotenat, biotin, kolin, inositol, asam para-amino benzoat, asam lolat dan sianokobalamin (vitamin Brz). Asam folat dan sianokobalamin dibicarakan dalam Bab 51. Asam
para-amino benzoat (PABA) merupakan bahan unluk sintesis asam tolat, tetapi ini hanya terjadi pada bakteri. Manusia memperoleh asam folat lang-
sung dari makanan, sehingga PABA tidak esensial . untuk manusia atau mamalia pada umumnya. Vitamin C (asam askorbat) terutama didapatkan pada buah jeruk.
Flavonoid (misalnya rutin dan hesperidin) juga merupakan senyawa larut air dan semula dinyatakan mempunyai aktivitas sebagai vitamin yang bermanfaat untuk beberapa jenis penyakit perdarahan. Ternyata hal ini tidak jelas terbukti. Pangamic acid dan
717
Vitamin dan Mineral
letril yang dipromosikan sebagai "Vitamin Brs" dan "Vitamin Br z" sebetulnya tidak memperlihatkan aktivitas vitamin, dan juga bukan merupakan makanan. Kedua senyawa tersebut bersifat toksik. Pangamlc acid alau asam pangamat mungkin bersifat mutagenik sedangkan letril mengandung sianida sebanyak
6 % sehingga dapat
menyebabkan keracunan
sianida menahun dan kematian.
2.1. VITAMIN B KOMPLEKS TIAMIN
SEJARAH. Sejak akhir abad ke 19 telah diketahui bahwa insiden penyakit beri-beri dapat diturunkan dengan suatu perubahan diet. Kemudian Eijkman, seorang dokter dari Jawa menyatakan bahwa penyakit beri-beri dapat disembuhkan dengan pemberian bekatul beras. Ternyata vitamin inijuga ditemukan dalam ragi, sayur- mayur, kacang-kacangan, susu, kuning telur dan hati.
KlMlA. Tiamin (vitamin Br) merupakan kompleks molekul organik yang mengandung satu inti tiazol
dan pirimidin. Dalam badan zat ini akan diubah menjadi tiamin pirofosfat (tiamin-PP), dengan reaksi
sebagai berikut
:
Tiamin + ATP
----)
Tiamin-PP + AMP
Rumus bangun tiamin dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Nl-tz. I
cHg
ErcHz--cHz-oH
x7\ycHz-N*'
\\))
HsC'
us I
N
pembuluh darah periler berupa vasodilatasi ringan, disertai penurunan tekanan darah yang bersifat sementara. Meskipun tiamin berperan dalam metabo-
lisme karbohidrat, pemberian dosis besar tidak mempengaruhi kadar gula darah. Dosis toksik pada hewan coba adalah 125-350 mg/kgBB secara lV dan kira-kira 40 kalinya untuk pemberian oral. Pada manusia reaksi toksik setelah pemberian parenteral biasanya terjadi karena reaksi alergi. Tiamin pirofosfat adalah bentuk aktil tiamin yang berfungsi sebagai koenzim dalam karboksilasi asam piruvat dan asam ketoglutarat. Peningkatan kadar asam piruvat dalam darah merupakan salah satu landa defisiensi tiamin.
Defisiensi Tiamin. Delisiensi berat menimbulkan penyakit beri- beri yang gejalanya terutama lampak pada sistem saral dan kardiovaskular. Gangguan saraf dapat berupa neuritis perifer dengan gejala rasa berat dan lemah pada tungkai, gangguan sensorik seperti hiperestesia, anestesia, rasa nyeri dan rasa terbakar. Kekuatan otot semakin berkurang dan pada keadaan berat dapat terjadi kelumpuhan tungkai. Kelainan pada SSP dapat berupa depresi, kelelahan, lekas tersinggung, serta menurunnya kemampuan konsentrasi dan daya ingat. Gejala yang timbul pada sistem kardiovaskular dapat berupa gejala insulisiensi jantung antara lain sesak napas setelah kerja jasmani, palpitasi, takikardi, gangguan ritme serta pembesaran jantung dan perubahan elektrokardiogram. Pada saluran cerna gangguan dapat berupa konstipasi, nafsu makan berkurang, perasaan tertekan dan nyeri di daerah epigastrium. Beri-beri basah adalah bentuk defisiensi tiamin yang disertai udem. Bengkak ini terjadi karena hipoprotrombinemia dan gangguan fungsi jantung.
Kebutuhan Sehari. Karena tiamin penting untuk metabolisme energi, terutama karbohidrat, maka kebutuhan akan tiamin umumnya sebanding dengan asupan kalori. Kebutuhan minimum adalah 0,3 mg/1 000 kcal, sedangkan AKG di lndonesia ialah 0,3-0,4 mg/hari untuk bayi, 1,0 mg/hari untuk orang dewasa dan 1 ,2 mglhari untuk wanita harnil.
Tiamin
FARMAKODINAMIK DAN FISIOLOGI. Pada dosis kecil atau dosis terapi tiamin tidak memperlihatkan elek farmakodinamik yang nyata. Pada pemberian lV secara cepat dapat terjadi efek langsung pada
FARMAKOKINETIK. Setelah pemberian parenteral absorpsi berlangsung cepat dan sempurna. Absorpsi per oral berlangsung dalam usus halus dan duodenum, maksimal 8-15 mg/hari yang dicapai dengan pemberian oral sebanyak 40 mg. Dalam satu hari sebanyak 1 mg tiamin mengalami degradasi dijaringan tubuh. Jika asupan jauh
Farmakologi dan Terapi
melebihi jumlah tersebut, maka zat ini akan dikeluarkan melalui urin sebagai tiamin atau pirimidin. EFEK SAMPING. Tiamin tidak menimbulkan efek toksik bila diberikan per oral dan bila kelebihan tiamin cepat diekskresi melalui urin. Meskipun jarang reaksi anafilaktoid dapat terjadi setelah pemberian lV dosis besar pada penderita yang sensitif, dan beberapa di antaranya bersifat latal. SEDIAAN DAN lNDlKASl. Tiamin HCt (vitamin 81, aneurin HCI) tersedia dalam bentuk tablet 5-500 mg, larutan steril 100-200 mg untuk penggunaan parenteral, dan eliksir mengandung 2-25 mg tiamin tiap ml. Tiamin diindikasikan pada pencegahan dan pengobatan defisiensi tiamin dengan dosis 2-5 mg/ hari untuk pencegahan defisiensi dan 5-10 mg tiga kali sehari untuk pengobatan defisiensi. Dosis lebih besar parenteral dianjurkan untuk kasus berat akan tetapi respons tidak meningkat dengan dosis lebih dari 30 mg/hari. Tindakan pencegahan dilakukan pada penderita dengan gangguan absorpsi, misalnya pada diare kronik, atau pada keadaan dengan kecepatan metabolisme yang meningkat. Tiamin berguna untuk pengobatan berbagai neuritis yang disebabkan oleh defisiensi tiamin, mi-
salnya pada (1) neuritis alkoholik yang terjadi karena sumber kalori hanya alkohol saja; (2) wanita hamil yang kurang gizi; atau (3) penderita emesis
gravidarum. Pada trigeminal neuralgia, neuritis yang menyettai anemia, penyakit infeksi dan pemakaian obat tertentu, pemberian tiamin kadang-kadang dapat memberikan perbaikan. Tiamin juga di-
gunakan untuk pengobatan penyakit jantung dan gangguan saluran cerna yang dasarnya defisiensi tiamin.
RIBOFLAVIN SEJARAH DAN KlMlA. Riboflavin (vitamin 82) dikenal pertama kali pada tahun 1 879 sebagai suatu zal berwarna kuning yang terdapat dalam susu, dan dinamakan laktokrom. Ternyata zatyang sama ditemukan juga dalam daging, hati, ragi, telur dan berbagai sayuran, dan selanjutnya disebut sebagai flavin. Oleh peneliti di lnggris disebut vitamin Bz setelah laktor antiberi-beri dinamakan vitamin Br. Nama riboflavin diberikan karena adanya ribosa
dalam rumus kimianya seperli terlihat pada gambar di bawah ini :
CHz(CHOH)s-CHzOH I
;:rq.\rr' o Riboflavin
Dalam badan riboflavin diubah menjadi koenzim riboflavin losfat atau llavin mononukleotida (FMN)
dan llavin adenosin dinukleotida (FAD), melalui reaksi berikut: Fliboflavin + ATP
-----+
FMN + ADP
FMN + ATP -----+ FAD + pp (pirofosfat).
Keduanya merupakan bentuk aktif riboflavin dan berperan sebagai koenzim dalam berbagai proses metabolisme. FAR MAKODINAMIK. Pemberian riboflavin baik secara oral maupun parenteral tidak memberikan efek larmakodinamik yang jelas.
Defisiensi Riboflavin. Keadaan ini ditandai dengan gejala sakit tenggorok dan radang di sudut mulut (stomatitis angularis), keilosis, glositis, lidah berwarna merah dan licin. Timbul dermatitis seboroik di muka, anggota gerak dan seluruh badan.
Gejala-gejala pada mata adalah fotofobia, lakrimasi, gatal dan panas. Pada pemeriksaan tampak vaskularisasi kornea dan katarak. Anemia yang menyertai defisiensi riboflavin biasanya bersifat normokrom normositer.
Kebutuhan Sehari. Kebutuhan tiap individu akan riboflavin berbanding lurus dengan energi yang digunakan, minimum 0,3 mg/1 000 kcal. AKG di lndonesia lihat tabel.
FARMAKOKINETIK. Pemberian secara oral atau parenteral akan diabsorpsi dengan baik dan didistribusi merata ke seluruh jaringan. Asupan yang berlebihan akan dikeluarkan melalui urin dalam bentuk
Vitamin dan Mineral
719
utuh. Dalam tinja ditemukan ribollavin yang disintesis oleh kuman di saluran cerna, tetapi tidak ada bukti nyata yang menjelaskan bahwa zat tersebut dapdt diabsorpsi melalui mukosa usus.
lNDlKASl. Penggunaannya yang utama adalah untuk pencegahan dan terapi delisiensi vitamin Bz yang sering menyertai pelagra atau defisiensi vita; min B kompleks lainnya, sehingga ribollavin sering diberikan bersama vitamin lain. Dosis untuk pengobatan adalah 5- 10 mg/hari.
Elek samping umumnya timbul pada dosis besar yang dapat menurunkan toleransi terhadap glukosa sampai terjadi hiperglikemia. Selain itu terjadi kenaikao kadar asam urat dalam darah, gangguan lungsi hati, gangguan lambung berupa mual sampai muntah serta peningkatan motilitas usus. Reaksi anafilahik dilaporkan terjadi pada pennberian secara lV.
Defisiensi Niasin. Pelagra adalah penyakit defisiensi niasin dengan kelainan pada kulit, saluran cerna dan SSP. Kulit mengalami erupsi eritematosa, bengkak dan merah, pada saluran cerna ter-
ASAM NIKOTINAT
jadi lidah membengkak, merah, stomatitis, mual,
SEJARAH OAN KlMlA. Asam nikotinat atau niasin dikenal juga sebagai laktor PP tpellagra preventive),karena dapat mencegah penyakit pelagra pada manusia atau penyakit lidah hitam pada hewan.
Sumber alami vitamin ini adalah hati, ragi dan daging.
Rumus bangun asam nikotinat dapat dilihat di bawah ini:
O-cooH
muntah dan enteritis, Gejala gangguan SSP berupa sakil kepala, insomnia, bingung, dan kelainan psikis seperti halusinasi, delusi dan demensia pada keadaan lanjut.
Kebutuhan Sehari. Kebutuhan minimal asam nikotinat untuk mencegah pelagra rata-rata 4,4 mg/1 000 kcal, pada dewasa asupan minimal 13 mg. FARMAKOKINETIK. Niasin dan niasinamid mudah diabsorpsi melalui semua bagian saluran cerna dan didistribusi ke seluruh tubuh. Ekskresinya melalui urin sebagian kecil dalam bentuk utuh dan sebagian lainnya dalam bentuk berbagai metabolitnya anlara lain asam nikotinurat dan bentuk glisin peptida dari asam nikotinat. SEDIAAN DAN POSOLOGI. Tablet niasin mengan-
dung 25-750 mg. Sediaan untuk injeksi menganAsam nlkotlnat
FARMAKODINAMIK DAN EFEK NONTERAPI. Bentuk amida dari asam nikotinat yaitu niasinamid juga berelek antipelagra. Dalam badan asam nikotinat dan niasinamid diubah menjadi bentuk aktil NAD (nikotinamid adenin dinukleotida) dan NADF (Nikotinamid adenin dinukleotida foslat). Keduanya berperan dalam metabolisme sebagai koenzim unluk berbagaiprotein yang penting dalam respirasi
dung 50 atau 100 mg niasin/ml. Tablel niasinamid 50-1000 mg, dan larutan untuk injeksi umumnya mengandung 100 mg/ml. Untuk pengobatan pelagra padakeadaan aku:t dianjurkan dosis oral 50 mg diberikan sampai 10 kali sehari, atau 25 mg niasin 2-3 kali sehari secara intravena. Hasil terapi umumnya sangat drarnatis,
dalam 24 jam gejala pada kulit dan mulut dapat hilang, rasa mual dan diare juga segera teratasi.
Sebagai vasodilator obat inl tidak lerb,ukti elektil.
jaringan.
Asam nikotinat merupakan suatu vasodilator yang terutama bekerja pada blushing area yaitu di muka dan leher. Kemerahan di tempat tersebut dapat berlangsung sampai dua jam disertai rasa panas dan gatal. Pada dosis besar asam nikolinat dapat menurunkan kadar kolesterol dan asam
lemak bebas dalam darah. Kedua efek ini tidak diperlihatkan oleh niasinamid.
PIRIDOKSIN
SEJARAH DAN KlMlA. Piridoksin yang oleh Bire,lt dan kawan-kawan dinamakan vitamin Bo diketemukan kira-kira 40 tahun yang lalu. Kekurangan vitamin ini dapat menyebabkan timbulnya dermatitis pada hewan percobaan. Sumbernya adalah ragi, biji-bijian (gandum, jagung dan lain-lain) dan hati.
Farmakologi dan Tarapi
720
Dalam alam vitamin initerdapat dalam tiga bentuk yaitu piridoksin yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, serta piridoksal dan piridoksamin yang terutama berasal dari hewan. Ketiga bentuk piridoksin tersebut dalam tubuh diubah menjadi piridoksalfoslat. Bumus bangun piridoksin dapat dilihat di bawah ini.
CH2OH
EFEK SAMPING. Piridoksin dapat menyebabkan neuropati sensorik atau sindrom neuropati dalam dosis antara 50 mg-2 g per hari untuk iangka panjang. Gejala awal dapat berupa sikap yang tidak stabil dan rasa kebas di kaki, diikuti pada tangan dan sekitar mulut. Gejala berangsur-angsur hiiang setelah beberapa bulan bila asupan piridoksin dihentikan.
SEDIAAN DAN lNDlKASl. Piridoksin tersedia sebagai tablet piridoksin HCI 10-100 mg dan sebagai larutan steril 100 mg/ml piridoksin HCI untuk injeksi.
Selain untuk mencegah dan mengobati deli-
;:ifucH2oH
siensi vitamin Bo, vitamin inijuga diberikan bersama vitamin B lainnya atau sebagai multivitamin untuk
pencegahan dan pengobatan delisiensi vitamin B Plrldoksin
FARMAKODINAMlK DAN FISIOLOGI. PEMbETiAN piridoksin secara oral dan parenteral tidak menunjukkan efek farmakodinamik yang nyala. Dosis sangat besar yaitu 3-4 g/kgBB menyebabkan kejang dan kematian pada hewan coba, letapi dosis kurang dari ini umumnya tidak menimbulkan elek yang jelas. Piridoksal fosfat dalam tubuh merupakan koenzim yang berperan penting dalam metabolisme berbagai asam amino, di anlaranya dekarboksilasi, transaminasi, dan rasemisasi triptolan, asam-asam amino yang bersullur dan asam amino hidroksida.
Defisiensi Piridoksin. Pada hewan coba defisiensi vitamin ini menimbulkan akrodinia, dermatitis dan penebalan cakar, telinga, hidung dan lain-lain. Pada manusia dapat timbul (1) kelainan kulit berupa dermatitis seboroik dan peradangan pada selaput lendir mulut dan lidah; (2) kelainan SSP berupa pe-
rangsdngan sampai timbulnya kejang; dan (3)
kompleks. lndikasi lain untuk mencegah atau mengobati neuritis perifer oleh obat misalnya isoniazid, sikloserin, hidralazin, penisilamin yang bekerja sebagai antagonis piridoksin dan/atau meningkatkan ekskresinya melalui urin. Piridoksin dapat diberikan secara profilaksis sejumlah 300%-500% AKG selama terapi dengan antagonis piridoksin. Pemberiannya pada wanita yang menggunakan kontrasepsi oral yang mengandung estrogen juga dibenarkan, karena kemungkinan terjadinya def isiensi piridoksin pada wanita-wanita tersebut. Piridoksin juga dilaporkan dapat memperbaiki gejala keilosis, derma-
titis seboroik, glositis dan stomatitis yang tidak memberikan respons terhadap tiamin, ribollavin dan niasin serta dapat mengurangi gejala-gejala yang menyertai tegangan prahaid (premenstrrual tension). Piridoksin diindikasikan untuk anemia yang responsif terhadap piridoksin yang biasanya sideroblastik dan mungkin disebabkan kelainan genetik, Sebaliknya pemakaian piridoksin hendaknya dihindarkan pada penderita yang mendapat levodopa (lihat Bab 13).
gangguan sistem erilropoetik berupa anemia hipokrom mikrositer.
Kebutuhan Sehari. Kebutuhan manusia akan piridoksin berhubungan dengan konsumsi protein yaitu kira-kira 2 mg/100 mg protein. FARMAKOKINETIK. Piridoksin, pirldoksal dan piridoksamin mudah diabsorpsi melalui saluran cerna. Metabolit terpenting darl ketiga bentuk tersebut adalah 4-asam plridoksat. Ekskreslmelalui urin terutama dalam bentuk 4-asam piridoksat dan piridoksal.
ASAM PANTOTENAT
SEJARAH DAN KlMlA. Asam pantotenat dikenal sejak tahun '1933 sebagai suatu zat yang esensial untuk pertumbuhan ragi. Selanjutnya diteliti bahwa suatu dermatitis akibat defisiensi suatu laktor pada makanan hewan coba ternyata dapat disembuhkan dengan ekstrak hati. Ternyata zat antidermatitis ter' sebut adalah asam pantotenat dengan rumus bangun sebagai berikut:
721
Viamin dan Mineral
H CHrH HO
tlltt
O
-C -C - C--C-N{HzCHzCOOH H CHrOH H
tllt
Asam Pantotcnat
Dalam tubuh asam pantotenat membentuk ko-
enzim A yang sangat penting dalam metabolisme, karena berlindak sebagai katalisator pada reaksireaksi translerasi gugus asetil. FARMAKODINAMIK. Pada hewan coba asam pan-
Pada manusia belum ditemukan adanya defisiensi spontan. Keadaan defisiensi baru timbul bila diel hanya terdiri dari putih telur mentah sebagai
sumber protein, atau jika diberikan antimetabolit biotin misalnya biotin sullon, destobiotin, atau avidin. Gejala yang timbul pada manusia antara lain dermatitis, sakit otot, rasa lemah, anoreksia, anemia ringan dan perubahan EKG, Dalam lubuh biotin berlungsi sebagai koenzim pada berbagai reaksi karboksilasi. Jumlah biotin yang diperlukan sehari berkisar antara 1 50-300 pg, dan sumbernyaterutama kuning telur, hati, dan ragi. Penggunaan biotin dalam terapi belum jelas.
KOL]N
totenat tidak menyebabkan efek larmakodinamik yang penting dan bersifat nontoksik. Delisiensinya pada manusia belum dikenal, letapi dapat ditimbulkan dengan memberikan diet yang mengandung
antagonis asam pantotenat yaitu omega-metil asam pantotenat. Sindroma yang teriadi berupa: kelelahan, rasa lemah, gangguan saluran cerna, gangguan otot berupa kejang pada ekstremitas dan parestesia.
Kebutuhan sehari. Kebutuhan manusia akan asam pantotenat sehari adalah 5-10 mg.
FARMAKOKINETIK. Pada pemberian oral, pantotenat akan diabsorpsi dengan baik dan didistribusi ke seluruh tubuh dengan kadar 2-45 mcg/g. Dalam tubuh tidak dimetabolisme, dan diekskresi dalam bentuk utuh 70 % melaluiurin dan 30 % melaluitinia.
SEDIAAN. Walaupun indikasinya belum jelas, asam pantotenat tersedia sebagai Ca-pantotenat dalam bentuk tablet 10 atau 30 mg dan dalam bentuk larutan steril untuk injeksi dengan kadar 50 mg/ml. BIOTIN
Biotin dikenaljuga sebagai vitamin H (Haut) yang berarti kulit, karena dianggap dapat melindungi tubuh terhadap suatu sindrom yang disebut egg white iniury Sindrom ini timbul pada hewan coba yang hanya mendapat putih telur (agg white) mentah sebagai dietnya dengan geiala berupa gangguan neuromuskular, darmatitis hebat dan rambut rontok.
Kolin mempunyai lungsi lisiologi penting dalam tubuh, diantaranya sebagai prekursor asetilkolin, suatu neurotransmitor. Dalam metabolisme lemak, kolin berkhasiat lipotropik, yaitu dapat menurunkan kadar lemak dalam hati. Fungsi lain dari kolin adalah dalam metabolisme intermedier yaitu sebagai donor metil dalam pembentukan berbagai
asam amino esensial. Akan tetapi beberapa silat kolin dianggap bertentangan dengan sifat-sifat vitamin umumnya. Dalam jaringan tubuh ditemukan
kadar kolin jauh lebih besar dibandingkan kadar vitamin-vitamin lain. Ternyata zat ini dapat disintesis dalam badan dari serin dengan metionin sebagai donor metil. Efek larmakologi kolin mirip dengan asetilkolin tetapidengan potensi lebih kecil. Kebutuhan tubuh akan kolin sehari-hari belum dapat ditentukan, tetapi dalam makanan sehari-hari rata-rata terdapat 500-900 mg. Penggunaan per oral cukup aman dengan LDso 200-400 g. Delisiensi kolin baru timbul bila pemasukan kolin dan protein termasuk metionin dibatasi. Gejala yang timbul berupa kenaikan kadar lemak dalam hati dan sirosis hepatis, kelainan ginjal degeneratif. Pada kulit limbul kelainan, juga pada otot terjadi kelemahan dan distrofi. Penggunaan kolin terutama sebagai zat lipotropik dalam pengobatan penyakit hati seperti sirosis hepatis, hepatitis. Akan tetapi, efektivitasnya diragukan. Sediaan yang digunakan berupa kolin, kolin bitartrat, kolin dehidrogen sitrat dan kolin klorida.
722
Farmakologi dan Terapi
tNostToL
Vitamin C bekerja sebagai suatu koenzin dan
Sudah sejak lama diketahui bahwa penderita diabetes mengekskresi inositol dalam urin dengan kadar tinggi. lnositol merupakan isomer glukosa dan dalam badan mudah berubah menjadiglukosa, sebaliknya glukosa pun mudah berubah menjadi inositol, Zat akil inositol adalah mio-inositol. Menurut Eagle dkk mio-inositol esensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup 18 jenis sel, mungkin karena peranannya pada pembentukan membran sel.
Pemberian inositol tidak menimbulkan elek farmakodinamik yang nyata, sedangkan lungsinya dalam tubuh belum diketahui, lnositol merupakan bagian dari foslolipid dan losfatidilinositol. Gejala delisiensi inositol yang terlihat pada hewan coba adalah gangguan pertumbuhan, alopesia dan gangguan laktasi. Pernah dikemukakan bahwa inositol mempunyai khasiat lipotropik dan antiskorbut, tetapi pendapat tersebut tidak mendapatkan dukungan lagi. Dalam terapi, inositol kadang-kadang digunakan untuk mengobati penyakit-penyakit yang disertai gangguan transport dan metabolisme lemak, akan tetapi ternyata tidak didapatkan bukti yang mendukung efektivitasnya.
pada keadaan tertentu merupakan reduktor dan antioksidan. Vitamin ini dapat secara langsung atau tidak langsung memberikan elektron ke enzim yang membutuhkan ion-ion logam tereduksi, dan bekerja sebagai kolaktor untuk prolil dan lisil hidroksilase dalam biosintesis kolagen. Zat ini berbentuk kristal dan bubuk putih kekuningan, stabil pada keadaan kering. Dalam bentuk larutan di wadah terbuka, zat ini cepat rusak.
FISIOLOGI DAN FARMAKODINAMIK
Vitamin C berperan sebagai suatu kolaktor dalam sejumlah reaksi hidroksilasi dan amidasi de-
ngan memindahkan elektron ke enzim yang ion metalnya harus berada dalam keadaan tereduksi; dan dalam kondisi tertentu bersilat sebagai antioksidan. Dengan demikian vitamin C dibutuhkan untuk mempercepat perubahan residu prolin dan lisin pada prokolagen menjadi hidroksiprolin dan hidroksilisin pada sintesis kolagen. Selain itu juga diperlukan untuk perubahan asam folat menjadi asam
folinat, metabolisme obat oleh mikrosom dan hidroksilasi dopamin menjadi norepinelrin. Asam askorbat meningkatkan aktivitas enzim amidase yang berperan dalam pembentukan hormon oksitosin,
2.2. ASAM ASKORBAT (V|TAM|N C)
hormon antidiuretik. Dengan mereduksi ion leri
SEJARAH DAN KlMlA. Delisiensivitamin C yang dinamakan skorbut alau scurvy telah dikenal semenjak tahun 1720. Diketahui pula bahwa penyakit tersebut dapat dicegah dengan pemberian sayurmayur alau buah-buahan segar terutama golongan jeruk yang lernyata mengandung vitamin C, Asam askorbal mula-mula dikenal sebagai asam heksuronat dengan rumus CeHsOo. Karena berkhasiat antiskorbut maka dinamakan asam askorbat atau vitamin C dengan rumus bangun berikut ini:
kan absorpsi besi. Selain itu vitamin C juga ber-
CH2OH I
xO-C-n -zo:-
-\
l,/
ct
'!\tt
-co
peran pada pembentukan steroid adrenal.
Pada jaringan lungsi utama vitamin C ialah dalam sintesis kolagen, proteoglikan dan lain zat organik matriks antarsel misalnyA pada tulang, gigi, endotel kapiler. Dalam sintesis kolagen selain berperan dalam hidroksilasi prolin vitamin C juga nampaknya berperan untuk menstimulasi langsung sin-
tesis peptida kolagen. Pada penderita skorbut gangguan siniesis kolagen terlihat sebagai kesulitan penyembuhan luka, gangguan pembentukan gigi dan pecahnya kapiler yang menyebabkan perdarahan seperti petekie dan ekimosis. Perdarahan tersebut disebabkan oleh kebocoran kapiler akibat adhesi sel-sel endotel yang kurang baik dan mungkin juga karena gangguan pada jaringan ikat peri-
kapiler sehingga kapiler mudah pecah oleh
U-U
OH
menjadi fero dalam lambung, vitamin C meningkat-
OH
Vltannln C
penekanan. Pemberian vilamin C pada keadaan normal tidak menunjukkan elek larmakodinamik yang jelas. Tetapi pada keadaan defisiensi, pemberian vitamin
C akan menghilangkan gejala penyakii dengan cepat.
Vitamin dan Mineral
723
Defisiensivitamin C. Gejala awal hipovitaminosis C adalah malaise, mudah lersinggung, gangguan emosi, artralgia, hiperkeratosis lolikel rambut, perdarah'an hidung dan petekie. Skorbut terlihat bila kadar vitamin C pada leukosit dan trombosit < 2 mg/dl dan ini terjadi setelah mendapat diet yang tidak mengandung vitamin C selama 3-5 bulan. Orang tua, alkoholisme, penderita penyakit menahun sangat peka terhadap timbulnya skorbut. Gang-
guan terlihat pada sebagian besar jaringan terutama yang berasal dari mesodermal seperti kolagen, tulang yang sedang tumbuh dan pembuluh darah.
Pada tulang yang sedang tumbuh dapat terjadi gangguan pertumbuhan, pembengkakan pada ujLrng tulang panjang akibat perdarahan subperiosteum serta osteoporosis pada orang dewasa. Gigi geligi mengalami resorpsi dan. atroli dentin serta terjadi gangguan pada alveoli gigi yang mengaki-
batkan gigi mudah lepas. Gusi melunak, mudah ber-
darah dan membengkak hingga menutupi bagian gigi. Gangguan pada dinding pembuluh darah mengakibatkan lragilitas pembuluh darah meningkat, sehingga trauma ringan mudah rnenimbulkan perdarahan kulit, otot, gusi dan tulang. Anemia normositik atau makrositik (sebabnya dapat multilaktorial) sering didapatkan. Bila skorbut tidak diobati dapat terjadi kejang, koma dan kematian, FARMAKOKINETIK. Vitamin C mudah diabsorpsi melalui saluran cerna. Pada keadaan normal tampak kenaikan kadar vitamin C dalam darah setelah diabsorpsi. Kadar dalam leukosit dan trombosit lebih besar daripada dalam plasma dan eritrosit. Distribusinya luas ke seluruh tubuh dengan kadar tertinggi dalam kelenjar dan terendah dalam otot dan jaringan lemak. Ekskresi melalui urin dalam bentuk utuh dan bentuk garam sullatnya lerjadijika
normal dalam serum. Wanita yang menggunakan kontrasepsi oral juga mempunyai kadar vitamin C dalam serum yang rendah, akan tetapi pengaruh kliniknya tidak diketahui, Pada masa hamil dan laktasi diperlukan tambahan vitamin C 't0-25 mg/hari. EFEK SAMPING. Vitamin C dengan dosis lebih dari 1 g/hari dapal menyebabkan diare. Hal ini terjadi karena elek iritasi langsung pada mukosa usus
yang mengakibatkan peningkatan peristaltik. Elek iritasi juga dapat menyebabkan uretritis nonspesilik terutama pada uretra distal. Dosis besar tersebut juga meningkatkan bahaya terbentuknya batu ginjal, karena sebagian vitamin C dimetabolisme dan diekskresi sebagai oksalat. Penggunaan kronik vitamin C dosis sangat besar dapat menyebabkan ketergantungan, dimana penurunan mendadak kadar vitamin C dapat menimbulkan rebound scutvy. Hal ini dapat dihindari dengan mengurangi asupan vitamin C secara bertahap. Vitamin C mega dosis parenteral dapat menyebqbkan oksalosis yang meluas, aritmia jantung, dan kerusakan ginjal berat. Dosis vitamin C 1 g/hari dilaporkan meningkatkan kadar etinil estradiol plasma. lnteraksi ini dapat mengakibatkan break through bleeding dan kegagalan kontrasepsi, bila pemakai kontrasepsi oral yang mengandung etinil estradiol tersebut menghentikan penggunaan vitamin C secara tiba-tiba. Vitamin C meningkatkan absorpsi besi, sehingga dosis besar dapat berbahaya pada penderita hemokromatosis, talasemia dan anemia sideroblastik. Hemolisis ringan dilaporkan terjadi pada penderita dengan defisiensi GOPD. Hemolisis akut dapat mengakibatkan koagulasi intravaskular diseminata dan gagal ginjal akut yang dapat menyebabkan kematian. Vitamin C mega dosis juga dapat mengakibatkan krisis Sickle cell.
kadar dalam darah melewati ambang rangsang gin-
ial 1,4
PENGARUH TERHADAP HASIL UJI LABORA-
mgo/o.
Kebutuhan sehari. AKG vitamin C ialah 35 mg untuk bayi dan meningkat sampai kira-kira 60 mg pada dewasa. Elisiensi absorpsi akan berkurang dan kecepatan ekskresi menlngkat bila digunakan jumlah lebih besar. Kebutuhan akan vitamin C meningkat 300%-500% pada penyakit inleksi, tuberku-
losis, tukak peptik, penyakit neoplasma, pasca bedah atau trauma, pada hiperliroid, kehamilan dan laklasi. Beberapa obat diduga dapat mempercepat ekskresl vitamin C misalnya tetrasiklin, lenobarbital dan salisilat. Perokok diperkirakan membutuhkan tambah-
an vilamin C
5oo/o
untuk mempertahankan kadar
TORIUM. Vitamin C dosis besar dapat memberikan hasil negatil semu pada uji untuk glikosuria (enzymedip tesf) dan uji adanya darah pada tinja penderita karsinoma kolon. Selain itu hasil positil semu dapat terjadi pada c/rnitesf dan tes glikosuria dengan larutan Benedict.
SEDIAAN. Vitamin C terdapat dalam berbagai preparat baik dalam bentuk lablet yang mengandung
50-1500 mg maupun dalam bentuk larutan. Kebanyakan sediaan multivitamin mengandung vita-
min C, Untuk sediaan suntik didapatkan larutan yang m€ngandung vitamin C 100-500 mg. Air jeruk mengandung vitamin C yang tinggi sehingga dapat
Farmakolagi dan Terapi
724
digunakan untuk terapi menggantikan sediaan vitamin C.
Kalsium askorbat dan natrium askorbat didapatkan dalam bentuk tablet dan bubuk untuk penggunaan per oral.
lNDlKASl. Vitamin C diindikasikan untuk pencegahan dan pengobatan skorbut. Selain itu vitamin C digunakan untuk berbagai penyakit yang tidak ada hubungannya dengan delisiensi vitamin C dan seringkali digunakan dengan dosis besar. Akan tetapi ternyata elektivitasnya tidak jelas atau tidak terbuk-
ti. Vitamin C tidak mengurangi insidens common colds meskipun dapat sedikit mengurangi beratnya sakit dan lamanya masa sakit. Juga terbukti vitamin C tidak bermanfaat untuk kanker lanjul. Vitamin C mega dosis tidak terbukti elektif untuk aterosklerosis, penyembuhan luka, dan skizofrenia.
bulkan pada hewan coba dapat diatasi dengan menambahkan mentega atau telur pada makanan. Vitamin A terutama terdapat pada mentega, telur, hati dan daging, dan terdapat dalam beberapa bentuk misalnya retinol (vitamin Ar) dan 3-dehidroretinol (vitamin A2). Asam retinoat (tretinoin, isotretinoin) merupakan hasil oksidasi group alkohol dari retinol. Vitamin A dapat juga berasal dari karoten yang merupakan pigmen tumbuh-tumbuhan, Karoten,
yang disebut juga provitamin A, banyak terdapat pada sayuran berwarna hijau atau kuning dan buah-
buahan seperti pada wortel, pepaya, tomat. Terdapat beberapa jenis karoten yaitu karoten alfa, beta dan gama, dan bentuk yang paling aktif ialah beta karoten. Hanya 113 karoten diubah menjadi vitamin A pada dinding usus halus.
Karena sifat reduktornya vitamin C digunakan
untuk mengatasi methemoglobinemia idiopatik, meskipun kurang elektif dibandingkan dengan biru metilen, Dosis yang dianjurkan minimal 150 mg.
Vitamin A dosis kecil tidak menunjukkan elek larmakodinamik yang berarti. Sebaliknya pemberian dosis besar vitamin A menimbulkan keracunan. Vitamin A diperlukan untuk regenerasi pigmen
3. VITAMIN LARUT LEMAK Vitamin larut lemak (vitamin A, D, E dan
FARMAKODINAMIK
retina mata dalam proses adaptasi gelap. Pigmen retina yang lotosensitif yaitu rodopsin dan iodopsin, K)
diabsorpsi dengan cara yang kompleks dan sejalan dengan absorpsi lemak. Dengan demikian keadaan-keadaan yang menyebabkan gangguan absorpsi lemak seperti delisiensi asam empedu, ikterus dan enteritis dapat mengakibatkan delisiensi satu atau mungkin semua vitamin golongan ini' Vitamin
larut lemak mempengaruhi permeabilitas atau transport pada berbagai membran sel dan bekerja sebagai oksidator atau reduktor, koenzim atau inhibitor enzim. Vitamin A dan D mempunyai aktivitas mirip hormon. Vitamin-vitamin ini disimpan terutama di hati dan diekskresi melalui feses. Karena metabolismenya sangat lambat, dosis yang berlebihan dapat menimbulkan elek toksik.
bila terkena cahaya, akan memutih, terurai dan menimbulkan impuls. Pada penguraian ini akan ter-
jadi kehilangan sebagian vitamin A. Sebaliknya, pada tempat gelap akan terjadi regenerasi pigmen
yang memerlukan vitamin A. Pada delisiensi vita' min A, regenerasi pigmen terutama rodopsin yang penting untuk melihat dalam keadaan gelap akan terhalang atau berlangsung lebih lambat, sehingga kemampuan untuk adaptasi gelap akan berkurang dan timbul keadaan yang disebut buta senja atau niktalopia. Delisiensi vitamin A yang sangat berat dapat menyebabkan kebutaan. Retinol (vitamin A1) memegang peranan penting pada kesempurnaan lungsi dan slruktur sel epitel, karena retinol berperan dalam dilerensiasi sel dan prolilerasi epitel. Dengan adanya retinol sel
epitel basalis distimulasi untuk memproduksi 3.1. VITAMIN A SEJARAH DAN KIMIA Beberapa gejala delisiensi vitamin A seperti xerottalmia dan keratomalasia mulai dikenal pada pertengahan abad ke 19. Timbulnya gejala tersebut disebabkan asupan makanan yang tidak mencukupi. Selanjutnya lernyata xeroftalmia yang ditim-
mukus. Kelebihan retinol akan menyebabkan pembentukan mukus yang berlebihan dan menghambat keratinisasi. Bila tidak ada retinol, sel goblet mukosa hilang dan terjadi atrofi epitelyang diikuti oleh proliferasi sel basal yang berlebihan. Sel-sel baru yang terbentuk ini merupakan epitel berkeratin dan menggantikan epitel yang mensekresi mukus. Penekanan sekresi mukus menyebabkan mudah ter' jadi iritasi dan inleksi.
Vitamin dan Mineral
Selain fungsi-fungsi tersebut di atas vitamin A untuk pertumbuhan tulang, alat rediperlukan iuga produksi dan perkembangan embrio. Hambatan reproduksi pada delisiensi vitamin A mungkin disebabkan oleh peran vitamin A pada interkonversi steroid. Asam retinoat mempercepat pertumbuhan, diferensiasi serta memperlahankan epitel jaringan. Akan tetapi asam retinoat tidak memperbaiki lungsi penglihatan, pendengaran atau reproduksi. Pada hewan coba yang kekurangan vitamin A, sintesis RNA inti berkurang dan dapat distimulasi oleh retinol atau asam retinoat. Retinol dapat mengatur sintesis protein termasuk keratin. Dewasa ini banyak penelitian ditujukan untuk mengetahui apakah retinol mempengaruhi karsinogenesis. Bjelke (1975) berpendapat bahwa defisiensivitamin A agaknya dapat meningkatkan kepekaan terhadap karsinogenesis termasuk pada manusia; didapatkan hiperplasia yang jelas dan peningkatan sintesis DNA oleh sel basal berbagai epitel dan pengurangan dilerensiasi sel, Penggunaan retinol atau retinoid lain pada binatang dapat
mengatasi perubahan-perubahan ini. Menurut Hill (1 982) pada hewan coba perubahan sel premaligna menjadi sel maligna diperlambat, dihen-
dan Grubbs
tikan atau bahkan dilawan. Efek antitumor terlihat pada keganasan yang disebabkan antara lain oleh zat kimia, virus dan radiasi. Mekanisme antikarsinogenik belum dikelahui jelas, Akan tetapi, berbagai kemungkinan dikemukakan antara lain karena induksi dilerensiasi sel maligna meniadi sel normal, penekanan ierhadap lenotip maligna yang sebelumnya ditimbulkan oleh suatu karsinogen dan perbaikan mekanisme pertahanan tubuh. Meskipun penelitian epidemiologis menunjukkan adanya hubungan antara asupan vitamin A yang rendah dengan terjadnya kanker, hubungannya dengan asupan retinol yang rendah tidak konsisten, Oleh karena itu saat ini perhatian ditujukan pada elek biologik beta karoten dan karotenoid lain. Salah satu dugaan ialah karena beta karoten bekerja sebagai antioksidan, sehingga dengan demikian dapat mempengaruhi elek mutagenik karsinogen tertentu atau akibat radiasi dan juga meningkatkan elek sitotoksik leukosil PMM yang aktif.
DEFISIENSI VITAMIN A. Delisiensivitamin A terbila kesanggupan tubuh untuk menyimpan vitamin A terganggu (misalnya pada sirosis hati), bila terdapat delisiensi protein untuk transport dan
jadi
bila absorpsi di usus terganggu atau asupan vitamin A yang kurang. Delisiensi ini lebih sering terjadi
725
pada penyakit menahun dengan gangguan absorpsi lemak, seperti pada penyakit obstruksi saluran empedu, sariawan dan fibrosis kistik. Defisiensi vitamin A bersama dengan penyakil Protein Caloic Malnutrition (PCM) masih merupakan penyakit
gangguan gizi yang sangat penting di lndonesia serta negara berkembang lainnya, dan terutama sering ditemukan pada anak. Pada orang dewasa sehat terdapat persediaan vitamin A, sehingga gejala defisiensi baru timbul 2 atau 3 tahun setelah orang tersebul tidak mendapat vitamin A dalam dietnya. Gejala yang paling
dini dan paling mudah dikenal ialah buta senja, Defisiensi lebih berat menyebabkan gangguan pada mata yang berupa xerottalmia, timbulnya ber' cak Bitot, keratomalasia, dan akhirnya kebutaan. Defisiensi vitamin A dilaporkan meningkatkan kepekaan jaringan epitel terhadap karsinogenesis. Pada umumnya, jaringan yang berprolilerasi cepat lebih sensitil terhadap keadaan delisiensi retinol. Defisiensi vitamin A dapat menyebabkan perubahan epitel, dan ini dapat menyebabkan meningkatnya insidens inleksi saluran napas; terbentuknya batu saluran kemih di sekitar sisa-sisa epitel yang rusak; kulit menjadi kering dengan penebalan lapisan tanduk disertai timbulnya papel-papel terutama pada lengan dan tungkai. Gangguan indra penciuman, perabaan dan pendengaran dapat terjadi akibat keratinisasi. Kadang-kadang timbul diare
yang mungkin disebabkan oleh perubahan-peru' bahan pada epitel usus dan duktus pankreatikus.
HIPERVITAMINOSIS A. Hipervitaminosis A biasanya terjadi akibat penggunaan vitamin A lebih dari 700-3000 lU/kg/hari untuk beberapa bulan sampai beberapa tahun. Akan tetapi kerusakan hati pada anak dapat timbul sebagai akibat penggunaan vitamin A dengan dosis yang sesuai AKG untuk orang dewasa selama beberapa tahun dan dengan dosis 5 kali AKG selama 7-10ltahun pada orang dewasa. Gejalanya pada anak ahtara lain pseudotumor serebri, tinitus, pelebaran Sutura dan ubun-ubun menonjol, meningkatnya tekanan intrakranial, nyeri tulang, letargi, dermatitis eksloliativa, pruritus; stomatitis angular, hiperostosis dan paronikia' Dapat terjadidiplopia dan papiludem dan selaniutnya atroli n. optikus dan kebutaan. Gejala yang umum pada orang dewasa ialah muntah, perubahan kulit, irita-
bel, sakit kepala, hipermenore dan kelemahan. Gejala psikiatrik mungkin terlihat seperti depresi berat atau skizofrenia. Dapat terjadi gangguan lungsi hati yang mungkin disertai hepatosplenome-
726
Farmakologi dan Tenpi
gali. Selain itu hiperkalsemia berat dan asites juga dilaporkan terjadi. Hipervitaminosis A pada anak dan dewasa dapat menyebabkan kekeringan kulit dan .membran mukosa, alopesia, anoreksia, brittle narls, mialgia, ostealgia, artralgia, nyeri perut, splenomegali, anemia hipoplastik dengan leukopenia.
sangat bergantung pada jumlah diet si ibu. Metabolit vitamin A diekskresi melalui urin dan tinja. Kadar normal vitamin A dalam plasma ialah 100-230 uniV100 ml. Selama cadangan vitamin A di hati cukup, kadar normal akan dipertahankan. Bila terjadi penurunan kadar vitamin A berarti persedia-
Kebanyakan gejala hilang bila obat dihentikan. Terhambatnya pertumbuhan karena penulupan epifisis yang terlalu cepat dapat terjadi pada anak.
an vitamin A dalam hati sudah berkurang. Gejala defisiensi vitamin A timbul bila kadar plasma di bawah 10-20 rrg/100 ml. (0,3 prg-1 unit). Absorpsi karoten tidak sebaik dan semudah absorpsi vitamin A. Proses ini juga tergantung dari adanya empedu dan lemak yang diabsorpsi. Di dinding usus halus karoten diubah menjadi vitamin A. Satu molekul B-karoten akan diubah menjadi 2 molekul retinal, sedangkan satu molekul alfa dan B-karoten masing-masing hanya diubah menjadi
TERATOGENISITAS. Dosis berlebihan vitamin A pada binatang menimbulkan malformasi pada SSP, mata, palatum dan saluran kemih. Oleh karena itu, dosis melebihi AKG tidak dianjurkan selama keha-
milan normal. Dilaporkan lerjadinya delormitas pada bayiyang ibunya mendapat 25000 lU vitamin
A segera sebelum dan beberapa bulan pertama kehamilan.
KEBUTUHAN MANUSIA. Kebutuhan vitamin A yang dianjurkan per hari untuk wanita 500 RE dan untuk pria 600 RE. Dosis karoten yang diperlukan kurang lebih 2 kali dosis vitamin A. FARMAKOKINETIK
satu molekul retinal. Sebagian besar retinal direduksi menjadi retinol untuk selanjutnya mengalami esterifikasi, sedangkan sebagian kecil retinal dioksidasi menjadi asam retinoat.
Asupan karoten yang terlalu banyak dapat menyebabkan hiperkarotenemia yang mengakibatkan kulit berwarna kuning. Berbeda dari ikterus, warna kuning pada kulit ini tidak disertai warna kuning pada sklera.
Vitamin A diabsorpsi sempurna melalui salur-
an cerna dan kadarnya dalam plasma mencapai
INDIKASI
puncak setelah 4 jam, tetapi absorpsi dosis besar vitamin A kurang efisien. Gangguan absorpsi lemak akan menyebabkan gangguan absorpsi vitamin A, maka pada keadaan ini dapat digunakan sediaan vitamin A yang larut dalam air. Absorpsi vitamin A berkurang bila diet kurang mengandung protein, atau pada penyakit infeksi tertentu, dan pada penyakit hati seperti hepatitis, sirosis hati atau obstruksi biliaris. Berkurangnya absorpsi vitamin A pada penyakit hati berbanding lurus dengan derajat insufisiensi hati. Sebelum diabsorpsi, sebagian retinol akan mengalami hidrolisis dan reesterilikasi terutama menjadi palmitat, sedangkan sebagian lain akan langsung diabsorpsi.
Dalam darah retinol terutama diikat oleh crr-
globulin yang disebut Retinol Binding Protein (RBP). RBP dalam sirkulasimembentuk kompleks dengan protein prealbumin, sehingga liltrasi vitamin A melaluiginjaldapat dicegah dan jumlah vitamin A berlebihan yang moncapai organ terbatas. Vitamin A terutama disimpan di dalann hati sebagai palmitat, dalam jumlah kecil ditemukan juga diginjal, adrenal, paru, lemak intraperitoneal dan retina. Vitamin A sukar melalui sawar uri dan jumlahnya dalam ASI
Vitamin A diindikasikan untuk pencegahan dan pengobatan delisiensi vitamin A. Untuk pencegahan tambahan vitamin A dapat dianjurkan untuk kebutuhan meningkat misalnya pada bayi. Akan tetapi retinol sejumlah 20.000 lU/hariselama 1 atau 2 bulan pada bayi atau anak sehat dengan makanan yang baik mungkin dapat menimbulkan gejala keracunan. Pada masa hamil dan laktasi dianjurkan untuk meningkatkan asupan vitamin A meskipun hal
ini juga tergantung pada jenis makanan yang dimakan. Tambahan vitamin A juga diperlukan untuk penderita steatore, obslruksi biliaris, sirosis hati, setelah gastrektomi total dan pada penyakit inleksi yang disertai peningkatan ekskresi vitamin A melalui urin seperti pada nelritis menahun. Untuk suplementasi makanan umumnya diperlukan vitamin A 5000 unit. Buta senja yang disebabkan defisiensivitamin A memberikan respons yang baik terhadap vitamin A, tetapi keadaan defisiensi lebih lanjut ternyata sulit diobati. Hasil. penelitian pada anak lndonesia (dibagian llmu Kesehatan Anak FKUI), menunjukkan bahwa gejala defisiensi vitamin A dapat diatasi
727
Vitamin dan Mineral
dengan pemberian vitamin A secara suntikan sebanyak 100.000 unil untuk satu kali pemberian dan dilanjutkan dengan pemberian oral. Tambahan suntikan 20,000 unit tiap minggu dapat dianiurkan. Pemberian vitamin E bersama dengan vitamin A nannpaknya dapat meningkatkan elektivitas vitamin A dan mencegah atau mengurangi kemungkinan terjadinya hipervitaminosis A. Vitamin A juga digunakan secara topikal untuk
pengobatan berbagai infeksi kulit, luka atau luka bakar, meskipun manfaatnya masih diragukan. Vitarn!n A juga digunakan untuk pengobatan penyakit kulii tertentu seperti akne, psoriasis, dan iktiosis. Tretinoin rnemberikan hasil baik untuk pengobatan penyakil kulit misalnya akne dan iktiosis. Obat ini efektif dan aman bila digunakan topikal. lsotretinoin sama elektifnya dengan tretinoin pada penyakit kulit. Meskipun pada saat ini sedang diteliti kemung-
kinan manfaat vitamin A untuk mencegah tumor kulit, kandung kemih, payudara dan lain jaringan epitel, penggunaan vitamin A secara rutin untuk prolilaktik kanker tidak dianjurkan mengingat toksisitasnya.
INTERAKSI. Jika tidak ada indikasi yang spesifik, dosis besar vitamin A sebaiknya dihindarkan pada pasien yang mendapat pengobatan antikoagulan. Pada beberapa pasien terlihat peningkatan respons
hipoprotrombinemik terhadap warlarin yang diberi-
bentuk larutan yang mengandung 50,000 lU vitamin
A/ml dapat diberikan secara lM untuk penderita malabsorbsi, mual, muntah dan gangguan mata yang berat. Dosis lebih dari 25.000 lU/hari hanya dapat diberikan pada pasien defisiensi berat. Penggunaan oral lebih baik daripada parenteral, tetapi pemberian secara lM mungkin diperlukan unluk (1) terapi jangka pendek bila absorpsi sangat terganggu; (2) adanya gangguan mata; atau (3) bila penggunaan secara oral tidak memungkinkan.
Dosis pada defisiensi berat. Pemberian lM pada orang dewasa dan anak berusia lebih dari 8 tahun: 50.000 - 100.000 lU/hari selama 3 hari diikuti dengan 50.000 lU/hari untuk 2 minggu. Pada anak 18 tahun diberikan dosis 5000 - 15.000 lU/hari untuk 10 hari dan bayi 5000 - 10,000 lU/hari untuk 10 hari. Dosis oral pada orang dewasa dan anak lebih dari 8 tahun ialah 100.000 lU/hari selama 3 hari diikuti dengan 50.000 lU/hari selama 2 minggu, dilanjutkan dengan 10.000-20.000 lU/hari untuk 2 bulan. Dosis suplementasi tergantung makanan dan tidak melebihiAKG. Tretinoin, untuk penggunaan topikal dalam bentuk larutan 0,05%, krem 0,025-0,1%, gel 0,0250,01%. Sediaan ini bersilat iritatil menyebabkan penglupasan kulit dan digunakan untuk pengobatan akne dan lain penyakit kulit. lsotretinoin, kapsul mengandung 1O, 20, 40 mg isotretinoin. Untuk pengobatan akne biasanya
kan bersama vitamin A dosis besar (25.000 lU/hari).
dimulai dengan dosis 0,5-1 mg/kg/hari dibagi 2 dosis, maksimum 2 mg/kg. Lama terapi biasanya 15-20 minggu, bila diperlukan dapat diulangi de-
POSOLOGI
ngan interval 2 bulan. Dosis lebih rendah mungkin sama elektif tetapi kekambuhan lebih sering teriadi' lsotretinoin iuga digunakan untuk berbagai keadaan keratinisasi tetapi mungkin diperlukan dosis lebih besar.
Vitamin A terdapat dalam berbagai sediaan untuk penggunaan secara oral, sunlikan dan topikal. Untuk penggunaan oral terdapat bentuk tablet, kapsul ataupun larutan/sirup yang mengandung vitamin A saja atau dengan kombinasi vitamin D ataupun vitamin lain dalam berbagai kombinasi dosis. Absorpsi vitamin A dalam sediaan larutan air paling cepat dibandingkan bentuk emulsi dan larut-
Etretinat, kapsul mengandung 10 dan 25 mg etretinat, Untuk pengobatan psoriasis dosis awal biasanya 0,75-1 mg/kg, maksimum 1,5 mg/kg.
an minyak (paling lambat). Sediaan vitamin A dalam
larutan air memberikan kadar plasma lebih tinggi daripada vitamin A dalam minyak. Sebaliknya sediaan yang larut dalam minyak menyebabkan penimbunan dalam hati lebih banyak dibandingkan dengan sediaan dalam larutan air. Vitamin A kapsul mengandung 3-15 mg retinol
(10.000-50.000 lU) per kapsul, Juga didapatkan sediaan tetes per oral. Sediaan suntikan dalam
3.2. VITAMIN D SEJARAH DAN KIMIA Vitamin D, senyawa yang larut dalam lemak, terbukti berguna untuk mencegah dan mengobati rakitis yaitu penyakit yang banyak terdapat pada anak, terutama di daerah yang kurang mendapat
Farmakologi dan Tenpi
sinar matahari. Pada tahun 1920 Mellanby dan Huldschinsky mendapatkan bahwa rakitis dapat dicegah ataupun diobati dengan minyak ikan atau dgngan sinar matahari yang cukup. Ternyata slerol yang terdapat pada hewan ataupun tumbuh-tumbuhan merupakan provitamin D yang dengan penyi-
naran ultraviolet akan diubah menjadi vitamin D. Provitamin yang terutama didapatkan pada jaringan hewan, ialah 7-dehidrokolesterol yang
sebabkan terutama oleh berkurangnya resorpsi kalsium dari tulang. Peran vitamin D pada pengaturan ekskresi kalsium dan foslat oleh ginjal masih belum jelas. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa elek langsung dari dosis fisiologik ialah meningkatkan reabsorpsi kalsium dan foslat di tubuli proksimal.
kadar kalsium dan losfat plasma yang penting untuk
DEFISIENSI VITAMIN D. Pada defisiensivitamin D terjadi penurunan kadar kalsium plasma, selanjutnya merangsang sekresi HPT yang berakibat meningkatnya resorpsi tulang. Pada bayi dan anak hal ini mengakibatkan gangguan pertumbuhan tulang yang dikenal sebagai penyakit rakitis. Berkurangnya kalsifikasi menyebabkan delormitas tulang seperti kifosis, skoliosis, tulang tasbeh pada dada, kraniotabes pada anak usia di bawah satu tahun dan genu varus atau genu valgus pada anak yang sudah dapat berjalan. Pada orang dewasa, delisiensi vitamin D menyebabkan osteomalasia yang ditandai oleh berkurangnya densitas tulang, sedangkan delormitas tulang hanya terjadi pada kasus yang lanjut.
mineralisasi tulang dan untuk mempertahankan lungsi normal neuromuskular serta lungsi lain yang bergantung pada kalsium.
HIPERVITAMINOSIS D. Hipervitaminosis D dapat timbul akibat asupan vitamin D yang berlebihan,
akan diubah menjadi vitamin D3 (kolekalsiferol). Provitamin D yang terdapat pada ragi dan jamur ialah ergosterol yang akan diubah menjadi vitamin D2 (kalsiferol). Selain itu, 7-dehidrokolesterol juga disintesis pada kulit. Potensi vitamin Dz dan Dr pada manusia praktis tidak berbeda. FARMAKODINAMI FISIOLOGI. Vitamin D mempunyai 2 fungsi lisiologi sebagai pengatur homeostatik kalsium plasma. Pe-
ngaturan ini diperlukan untuk mempertahankan
Pengaturan homeostatik kalsium plasma. Vitamin D berelek meningkatkan absorpsi kalsium dan loslat melalui usus halus, sehingga menjamin kebutuhan kalsium dan loslat yang cukup untuk tulang, Selain itu, vitamin D memperlihatkan efek mobilisasi kalsium lulang dari tulang tua ke dalam plasma (resorpsi tulang) untuk selanjutnya mungkin digunakan pada mineralisasi tulang baru. Namun, pengaruhnya langsung pada mineralisasi tulang belum pernah dibuktikan, hanya laju pembentukan tulang yang normal agaknya lerjadi pada kadar kalsium dan loslat yang adekuat dan transler kalsium yang berjalan timbal-balik antara tulang dan plasma merupakan hal yang penting pada pengaturan kadar kalsium plasma.
Selain oleh vitamin D, pengaturan kadar kalsium plasma dipengaruhijuga oleh hormon paratiroid (HPT) dan kalsitonin. HPT berelek meningkatkan absorpsi kalsium dari usus halus, mempercepat transfer kalsium daritulang dan meningkatkan reabsorpsi kalsium oleh ginjal, sedangkan kalsitonin menurunkan kadar ion kalsium plasma. HPT disekresi bila kadar ion kalsium menurun, sebaliknya kalsitonin dirangsang sekresinya bila kadar ion kalsium plasma meningkat. Turunnya kadar ion kalsium di-
Terdapat variasi yang besar dari jumlah vitamin D yang dapat menyebabkan hipervitaminosis D. Secara kasar diperkirakan 50.000 unit vitamin D tiap hari terus menerus, dapat mengakibatkan keracunan, tetapi pada anak-anak keracunan dapat timbul dengan dosis yang relatif kecil. Gejala hipervitaminosis D berupa hiperkalsemia, kalsilikasi ektopik pada jaringan lunak (misalnya ginjal, pembuluh darah, jantung dan paru), anoreksia, mual, diare, sakit kepala, hipertensi dan hiperkolesterolemia. Hiperkalsemia dapat menyebabkan gangguan fungsi ginjal dengan gejala poliuria, polidipsia, nokturia. Mobilisasi kalsium dari tulang menyebabkan osteoporosis lokal atau umum yang terlihat pada pemeriksaan radiologik. Perubahan yang khas ialah terdapatnya peningkatan kadar kalsium dan nitrogen nonprotein plasma. Asupan vitamin D yang berlebihan pada jbu hamil dihubungkan dengan timbulnya stenosis aorta supravalvular kongenital nonfamilial pada fetus yang dilahirkan. Selain ilu, hiperkalsemia pada ibu hamil dapat menekan lungsi paratiroid bayi yang dilahir-
kan, sehingga dapat menimbulkan hipokalsemia dan tetani.
Hipervitaminosis D diatasi dengan penghen-
tian pemberian vitamin D, diet rendah kalsium,
729
Vitamin dan Mineral
minum banyak dan pemakaian glukokortikoid untuk mengurangi absorPsi kalsium. KEBU"TUHAN SEHARI. Bayimemerlukan 400 uniV hari. Jumlah tersebut juga diperkirakan cukup untuk anak, orang dewasa, pada masa hamil dan laktasi'
FARMAKOKINETIK Absorpsi vitamin D melalui saluran cerna cukup baik. Vitamin Dg diabsorpsi lebih cepat dan lebih sempurna. Gangguan lungsi hati, kandung empedu dan saluran cerna sepeni steatore akan menggangEu absorpsi vitamin D. Dalam sirkulasi vitamin D diikat oleh cr- globulin yang khusus dan selanjutnya disimpan pada lemak tubuh untuk waktu lama dengan masa paruh 19-25 jam' 25- hidroksikolekalsiferol (25-HCC) mempunyai alinitas yang
lebih besar terhadap protein pengikat sehingga masa paruh daPat mencaPai 19 hari. D disimpan dalam bentuk inert di dalam tubuh, untuk menjadi bentuk aktif vitamin D harus dimetabolisme lebih dahulu melalui serangkaian proses hidroksilasi di ginial dan hati' Metabolit terpenting ialah 25-HCC yang dibentuk di hati dan 1,25-dihidroksikolekalsilerol (1,25-DHCC)
Aktivasi vitamin D. Vitamin
yang dibentuk dari 25-HCC di ginjal. 1'2s-DHCC jauh lebih efektif daripada 25-HCC dalam meningkatkan absorpsi dan mobilisasi kalsium' Hidroksilasi ini diatur oleh mekanisme umpan balik negatif dari kadar ion kalsium Plasma' Ekskresi vitamin D terutama melalui empedu dan dalam jumlah kecil ditemukan dalam urin. Pada pasien yang mendapat antikonvulsi misalnya leni-
dung campuran dengan kalsium dan sediaan yang hanya mengandung vitamin D saja. Selain itu, terdapat sediaan yang mengandung metabolit vitamin D misalnya 25-HCC dan 1,25-DHCC dan yang mengandung dihidrotakisterol, suatu analog vitamin D hasil reduksi vitamin D2 alau Ds, yang pada dosis besar lebih elektil daripada vitamin D dalam mobilisasi kalsium tulang. Jumlah vitamin D yang dikandung pada sediaan bervariasi antara 200-1.000 lU'
Selain untuk pencegahan dan pengobatan rakitis, vitamin D antara lain digunakan untuk osteomalasia, hipoparatiroidisme dan tetani infantil, dan untuk keadaan lain dengan alasan penggunaan yang belum atau tidak diketahui misalnya pada psoriasis, artritis dan hay-fever. Vitamin D juga digunakan untuk hipofoslatemia pada pasien sindrom Fanconi dan pasien osteoporosis. Pemberian dosis besar vitamin D untuk pasien osteoporosis masih diragukan hasilnya dan dapat berbahaya. Rakitis. Dosis vitamin D 1.000 unit per hari akan mengembalikan kadar kalsium dan losfat plasma menjadi normal setelah kurang lebih 10 hari, se-
dangkan hasil pemeriksaan radiologik akan menunjukkan penyembuhan dalam waktu 3 minggu' Untuk mempercepat penyembuhan kadang-kadang digunakan dosis 3.000-4.000 unit per hari. Pada keada-
an tertentu diperlukan dosis besar yaitu 20'000-
60.000 unit per hari untuk rakitis metabolik yang vitamin D dependent; 50.000-200'000 unit per hari untuk rakitis yang resisten terhadap vitamin D; dan
20.000-200.000 unit per hari untuk osteodistroli ginjal.
Tetani infantil. Gejala penyakit ini paling cepat di-
toin dan lenobarbital untuk jangka lama dida-
atasi dengan pemberian kalsium, sedangkan pemberian vitamin D berguna untuk menjamin absorpsi
patkan insidens rakitis dan osteomalasiayang tinggi meskipun kadar 1,25 DHCC pada pasien yang mengalaminya tetap normal. Selanjutnya beberapa pe-
kalsium Yang cukuP.
neliti mendapatkan bahwa terapi antikonvulsi menyebabkan target organ menjadi lebih resisten terhadap vitamin D sehingga absorpsi kalsium melalui
Hipoparatiroidisme. Pada keadaan ini diperlukan vitamin D dosis besar yaitu 50.000-250'000 unit
sebagai dosis penuniang' Selain itu, dapat juga digrnuiun dihidrotakisterol yang mula kerjanya lebih cepat dan masa kerjanya lebih singkat. Untuk mencegah hiperkalsemia maka kadar kalsium .darah
usus halus dan resorpsi tulang berkurang. Hal inilah yang menjadi penyebab terjadinya rakitis dan osteomalasia pada pasien tersebut di atas'
SEDIAAN DAN INDIKASI
Vitamin D terdapat dalam beberapa macam bentuk sediaan, misalnya dalam minyak ikan yang biasanya iuga mengandung vitamin A,, dalam se' diaan multivitamin, dalam sediaan yang mengan-
harus sering diPeriksa.
Profilaksis. Pemberian vitamin
D untuk tuiuan pen-
cegahan antara lain diperlukan untuk penyakit dengln gungguan absorpsi vitamin D seperti diare' sLutoi", obstruksi biliaris. Tambahan vitamin D mungkin diperlukan pada masa hamil, laktasi dan pada orang tua agar asupan vitamin D per hari 400 iU. Sita dosis lebih besar digunakan untuk jangka
730
Farmakologi dan Terapi
lama, kadar kalsium darah dan dalam urin 24 jam harus sering dimonitor. Kalsium darah harus dipertahankan pada kadar 9-10 mg/dl. pada bayi premalur atau bayi yang mendapat ASI dalam jumlah yang tidak cukup diperlukan dosis pencegahan 400 lU/hari. Bayi yang kemungkinan besar mengalami rakitis (misalnya pada sindrom malabsorpsi, lahir dari ibu yang mengalami defisiensi vitamin D) memerlukan sampai 30.000 lU/hari.
vitamin E. Sebagian gejala defisiensivitamin E pada hewan dapat dicegah atau diatasi oleh zat-zat ter-
sebut. Kelihatannya vitamin E juga memegang
peran penting dalam sintesis heme. Fungsi lain adalah meningkatkan utilisasi dari vitamin A, absorpsi,
kadar di hati dan sel lain. Vitamin E menghambat produksi prostaglandin, dan merangsang kolaktor yang penting pada metabolisme steroid. Vitamin E juga membantu mernpertahankan fungsi dan struktur saraf.
3.3. VITAMIN E SEJARAH DAN KIMIA Padatahun 1922 Evans dan Bishop menyatakan bahwa tikus betina membutuhkan bahan makanan penting untuk mempertahankan kehamilan. Kekurangan zat tersebut dapat menyebabkan kematian dan resorpsi janin, sedangkan pada tikus jantan dapat menyebabkan sterilitas, Karena itu dahulu vitamin E disebut juga vitamin antisterilitas, tetapi kemudian ternyata bahwa defisiensi vitamin E menimbulkan efek yang lebih luas. Vitamin E antara lain didapatkan pada telur, susu, daging, buah- buahan, kacang-kacangan dan
sayur-sayuran misalnya selada dan bayam. Ter_ dapat I jenis tokolerol alam yang mempunyai aktivilas vitamin E. Alla-tokoferol merupakan bentuk yang paling penting karena merupakan gOo/o dari tokolerol yang berasal dari hewan dengan aktivitas biologik yang paling besar. Bentuk d- lebih aktil dari bentuk /. Struktur c,-lokoferol hampir sama dengan koenzim Q yang terdapat di dalam jaringan tubuh, Tokolerol bersilat antioksidasi dan akan rusak bila terkena udara atau sinar ultraviolet.
FARMAKODINAMIK Mengenai elek dan mekanisme kerja vitamin E masih banyak pertentangan pendapat. Diduga aktivitasnya berhubungan dengan sifat antioksidasi yang dimilikinya. Sebagai antioksidan, vitamin E agaknya mencegah oksidasi bagian sel yang penting atau mencegah terbentuknya hasil oksidasi yang toksik, misalnya hasil peroksidasi asam lemak tidak jenuh. Pada hewan coba diet yang kaya akan
asam lemak tidak jenuh membutuhkan vitamin E lebih banyak. Beberapa zat yang terdapat pada makanan misalnya selenium, asam amino yang mengandung sulfur, koenzim Q dapat menggantikan
Defisiensi vitamin E. Vitamin E banyak terdapat pada makanan, maka detisiensi vitamin E biasanya
lebih sering disebabkan oleh gangguan absorpsi misalnya steatore, obstruksi biliaris dan penyakit pankreas. Tidak dikenal gejala defisiensi vitarnin E yang khas pada orang dewasa. Bayi prematur dengan makanan yang kaya akan asam lemak tidak jenuh ganda dan kurang akan vitamin E mengalami lesi kulit, anemia henrolitik dan udem. pada hewan, defisiensi vitamin E dapat menyebabkan gangguan reproduksi seperti sterilitas dan resorpsi fetus, dis-
trotia otot, nekrosis miokard, payah jantung dan anemia. Anemia terjadi karena gangguan hemato-
poiesis dan penghancuran eritrosit yang terlalu cepat. Agaknya tokoferol melindungi lemak pada membran eritrosit dari peroksidasi yang menyebabkan kerusakan membran dan hemolisis. Atas dasar gejala yang limbul akibat defisiensi vitamin E pada hewan, seringkali vitamin E digunakan untuk pengobatan penyakit dan gejala yang mirip dengan keadaan tersebut pada manusia.
Hipervitaminosis E. Pemakaian vitamin E dosis besar untuk waktu lama dapat menyebabkan kelemahan otot, gangguan reproduksi dan gangguan saluran cerna. Gejala-gejala ini hilang dalam beberapa minggu setelah asupan yang berlebihan dihentikan.
KEBUTUHAN SEHARI. Pada orang lndonesia kebutuhan ini belum diketahui. Diperkirakan asupan 10-30 mg vitamin E cukup untuk mempertahankan kadar normal di dalam darah. Kebutuhan vitamin E umumnya sudah dipenuhi oleh makanan seharihari. Diet yang kaya akan asam lemak tidak jenuh akan meningkatkan kebutuhan vitamin E per hari. Akan tetapi makanan yang mengandung asam lemak tidak jenuh misalnya margarin, minyak sayur juga kaya akan vitamin E. Diet yang mengandung anlioksidan, selenium dan asam amino yang mengandung sullur akan mengurangi kebutuhan vitamin E. Kebutuhan vitamin E mungkin meningkat bila
Vitamin dan Mineral
lingkungan kaya oksigen atau pada penderita yang mendapat terapi sediaan besi atau mendapat dosis besar hormon tiroid. Lesi kulit, perubahan hematologik dan"edema terjadi pada bayi prematur yang mendapat makanan/susu formula yang kaya asam lemak tak jenuh dan rendah vitamin E; defisiensi vitamin E dapat diperberat oleh suplementasi besi dosis besar. Penyembuhan terjadi bila diberikan a-tokolerol 25-50 mg/hari atau pengurangan suplementasi besi dan jumlah asam lemak tak jenuh.
FARMAKOKINETIK Vitamin E diabsorpsi baik melalui saluran cerna. Dalam darah terutama terikat dengan beta-lipoprotein dan didistribusi ke semua jaringan. Vitamin E sukar melalui sawar uri, sehingga bayi yang baru
lahir hanya mempunyai kadar tokoferol plasma kurang lebih 1/5 kadar tokolerol plasma ibunya, tetapi ASI mengandung a- tokoferol yang cukup untuk bayi. Gudang vitamin E di jaringan tubuh dapat merupakan sumber vitamin E untuk waktu larna. Kebanyakan vitamin E diekskresi secara lam-
bat ke dalam empedu, sedangkan sisanya diekskresi melalui urin sebagai glukuronida dari asam tokoferonat atau metabolit lain. SEDIAAN DAN INDIKASI Vitamin E terdapat dalam bentuk d atau cam-
puran d dan / isomer dari tokoferol, o-tokolerol asetat, q,-tokoferol suksinat. Sediaan oral, antara lain dalam bentuk tablel dan kapsul, mengandung 30-1.000 lU, Untuk suntikan tersedia larutan yang mengandung 100 atau 200 lU/ml. Selain itu vitamin E juga terdapat dalam sediaan campuran dengan vitamin lain. Penggunaan vitamin E hanya diindikasikan pada keadaan defisiensi yang dapat terlihat dari kadar serum yang rendah dan atau peningkatan lragilitas eritrosit terhadap hidrogen peroksida. Hal ini dapat terjadi pada bayi prematur dengan berat badan yang rendah, pada penderita-penderita dengan sindrom malabsorpsi dan steatore, dan penyakit dengan gangguan absorpsi lemak. penggunaan vitamin E untuk penyakit-penyakit yang mirip dengan keadaan yang timbul sebagai akibat defisiensivitamin E pada hewan, misalnya distrolia otot, abortus habitualis, sterilitas, toksemia gravidarum, penyakit jantung dan penyakit pembuluh darah perifer, ternyata hasilnya mengecewakan.
73'l
Juga tidak didapatkan bukti-bukti yang menyokong manfaatnya untuk prolilaksis terhadap kanker, kerusakan paru akibat polusi udara atau proses penuaan, arteriosklerosis. Vitamin E tidak efektil untuk radang kulit, sindrom menopause, tukak peptik, luka bakar dan porfiria. Selain itu masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai manfaat vitamin E dosis besar untuk mengurangi insidens dan beratnya retinopati pada prematur. Beberapa penelitian melaporkan adanya respons yang baik terhadap o-tokoferol pada anemia megaloblastik makrositer yang terdapat pada anak PCM, anemia hemolitik pada bayi prematur, anemia hemolitik pada sindrom akantositosis dan anemia hemolitik pada sindrom malabsorpsi yang ditandai oleh steatore. Untuk anemia hemolitik pada bayi prematur, digunakan dosis 200-800 mg cr- tokolerol asetat/hari, dan untuk anemia hemolitik pada sindrom akantositosis digunakan dosis 100 mg/hari cr-tokoferol asetat secara parenteral.
3.4. VITAMIN K SEJARAH DAN KIMIA
Tahun 1929 Dam mendapatkan perdarahan spontan pada ayam dengan diet yang tidak sempurna. Selanjutnya ternyata perdarahan tersebut dapat diatasi dengan memberikan suatu zat yang larut dalam lemak yang diberi nama vitamin K (koagutation vitamin). Dikenal 2 jenis vitamin K alam, yaitu vitamin K1 (filokuinon=fitonadion) dan vitamin Kz (senyawa menakuinon), dan 1 jenis vitamin K sintetik, Vitamin K1, yang digunakan untuk pengobatan, terdapat pada kloroplas sayuran berwarna hijau dan buahbuahan. Vitamin Kz disintesis oleh bakteri usus terutama oleh bakteri Gram-positif. Vitamin K sintetik yaitu vitamin K3 (menadion) merupakan derivat naltokuinon, dengan aktivitas yang mendekati vitamin K alam. Derivatnya yang larut dalam air, ffi€nd. dion natrium dilosfat, didalam tubuh diubah menjadi menadion.
FARMAKODINAMIK Pada orang normal vitamin K tidak mempunyai aktivitas larmakodinamil(, tetapi pada penderita defisiensi vitamin K, vitamin ini berguna untuk
732
meningkatkan biosintesis beberapa laktor pembekuan darah yaitu protrombin, laktor Vll (prokonvertin), faktor lX (faktor Christmas) dan laktor X (faktor Stuqrt) yang berlangsung dihati. Mekanisme kerja vitamin K ini masih belum diketahui dengan pasli.
Kebutuhan Manusia. Jumlah kebutuhan manusia akan vitamin K tidak diketahui dengan jelas, tetapi
rupanya kebutuhan tersebut sangat kecil. Pada orang dewasa sehat, kebutuhan akan vitamin K biasanya sudah terpenuhi dari makanan dan hasil sintesis oleh bakteri usus. Sintesis vitamin K oleh bakteri usus sekitar 50o/o dari kebutuhan vitamin K per hari.
Defisiensi Vitamin K. Delisiensi vitamin K menye"babkan hipoprotrombinemia dan menurunnya kadar beberapa laktor pembekuan darah, sehingga
waktu pembekuan darah memanjang dan dapat terjadi perdarahan spontan seperti: ekimosis, epistaksis, hematuria, perdarahan saluran cerna, perdarahan intrakranial, perdarahan pascabedah dan kadang-kadang hemoptisis.
lntoksikasi. Pemberian lilokuinon secara lV yang terlalu cepat dapat menyebabkan kemerahan pada muka, berkeringat, bronkospasme dan sianosis, sakit pada dada, dan kadang-kadang dapat menye-
babkan kematian. Akan tetapi belum diketahuide-
ngan jelas apakah memang disebabkan oleh vitamin K atau bahan lain yang terdapat pada sediaan
tersebut. Juga dilaporkan timbulnya hiperbilirubinemia pada bayi yang mendapat filokuinon, Menadion bersilat irilatil pada kulit dan saluran napas. Larutan menadion dapat menyebabkan kulit melepuh. Pada bayi terutama bayi prematur, menadion dan derivatnya dapat menyebabkan anemia hemolitik, hiperbilirubinemia dan iherus. Menadion juga menimbulkan hemolisis pada penderita yang eritrositnya kurang mengandung glukosa-6-fosfat-
dehidrogenase. Pada penderita dengan penyakit hati yang berat, pemberian dosis besar lilokuinon atau menadion dapat lebih memperberat hipoprolrombinemia. FARMAKOKINETIK Absorpsi vitamin K melalui usus sangat tergantung dari kelarutannya. Absorpsi lilokuinon dan menakuinon hanya berlangsung balk bila lerdapat garam-garam empedu, sedangkan menadion dan derivatnyayang larut air dapat diabsorpsi walaupun tidak ada empedu. Berbeda den$an filokuinon dan
Farmakologi dan Terapi
menakuinon yang harus melalui saluran limle lebih
dahulu, menadion dan derivatnya yang larut air dapat langsung masuk ke sirkulasi darah. Vitamin K alam dan sintetik diabsorpsi dengan mudah setelah penyuntikan lM. Bila terdapat gangguan absorpsi vitamin t( akan terjadi hipoprotrombinemia setelah beberapa minggu, sebab persediaan vitamin K di dalam tubuh hanya sedikit.
Metabolisme vitamin K di dalam tubuh tidak banyak diketahui. Pada empedu dan urin hampir tidak ditemukan bentuk bebas, sebagian besar di-
konyugasi dengan asam glukuronat. Pemakaian antibiotik sangat mengurangi jumlah vitamin K dalam tinja, yang terutama merupakan hasil sintesis bakteri usus.
SEDIAAN DAN INDIKASI Tablet litonadiort (vitamin Kr) 5 mg. Emulsi litonadion yang mengandung 2 atau 10 mg/ml, untuk parenteral.
Tablet menadion 2,5; dan 10 mg, Larutan menadion dalam minyak yang mengandung 2, 10, dan 25 mg/ml, untuk pemakaian lM. Tablet menadion natrium bisullit 5 mg. Larutan menadion natrium bisullit yang mengandung 5 dan 10 mg/ml, untuk pemakaian parenteral. Tablet menadiol natrium difoslat 5 mg. Larutan menadiol natrium dilosfat yang mengandung 5 dan 10 mg/ml, untuk pemakaian parenteral. Vitamin K berguna untuk mencegah atau mengatasi perdarahan akibat delisiensi vitamin K. Delisiensi vitamin K dapat terjadi akibal gangguan absorpsi vitamin K, berkurangnya bakteri yang mensintesis vitamin K pada usus dan pemakaian antikoagulan tertentu yang dapat mempengaruhi aktivitas vitamin K. Defisiensi vitamin K akibat asupan yang tidak mencukupi jarang terjadi, karena vitamin K terdapat pada banyak jenis makanan dan juga disintesis oleh bakteri usus. Gangguan absorpsi vitamin K dapat terjadi pada penyakit obstruksi biliaris dan gangguan usus seperti sariawan, enteritis, enterokolitis dan reseksi usus. Pemakaian obat seperti antibiotik dan sullonamid untuk waktu lama dapat mengurangi bakteri yang mensintesis vitamin K di usus. Pada bayi baru lahir hipoprotrombinemia dapat terjadi terutama karena belum adanya bakteri yang mensintesis vitamin K di usus dan tidak adanya depot vitamin K. Karena itu dianjurkan untuk memberikan prolilaksis vitamin K secara rutin pada bayiyang baru dilahirkan. Filokuinon yang rupanya
733
Vitamin dan Mineral
kurang toksik merupakan obat terpilih unluk tindakan pencegahan tersebut dan diberikan sejumlah 0,5-1 mg lM atau lV segera setelah bayi dilahirkan.
Dosis ini 'dapat ditambah atau diulangi setelah 1 minggu bila si ibu mendapat pengobatan antikoa-' gulan atau antikonvulsi, atau bila terdapat kecende' rungan timbulnya perdarahan. Tindakan pencegahan ini dilakukan juga pada bayi prematur atau bayi aterm yang dilahirkan dengan bantuan lorseps atau
ekstraksi vakum, dan diberikan dengan dosis 2'5 'mg 3'hari berturut-lurut. Untuk pengobatan untuk
diperlukan vitamin D. Kebutuhan kalsium meningkat pada masa pertumbuhan, selama laktasi dan pada wanita pascamenopause' Bayi yang mendapat susu buatan memerlukan tambahan kalsium' Selain itu asupan kalsium juga perlu ditingkatkan bila makanan banyak mengandung protein dan/
atau losfor. Banyak peneliti yang menganjurkan asupan sekitar 1,2 glhari untuk pasien alkoholik'
sindrom malabsorpsi dan pasien- pasien yang mendapat kortikosteroid, isoniazid, tetrasiklin atau antasid yang mengandung aluminium'
perdarahan pada bayidapat diberikan 1 mg lM atau lV dan bila perlu dapat diulangi setelah 8 jam. Antikoagulan, misalnya derivat kumarin, me-
FOSFOR
sehingga dapat menyebabkan hipoprotrombinemia dan perdarahan. Hipoprotrombinemia berat dan
Mineral ini terlibat dalam penggunaan vitamin B kompleks di dalam tubuh. Fosfor terdapat
ngadakan hambatan bersaing dengan vitamin K perdarahan ini dapat diatasi dengan vitamin K dalam beberapa jam, dalam hal ini lilokuinon jauh
lebih elektil daripada menadion dan derivatnya. Ke' adaan yang ringan dapat diatasi dengan menghentikan atau mengurangi dosis antikoagulan tersebut, atau dengan pemberian dosis tunggal 1-5 mg lilokuinon. Bila perdarahan hebat, diperlukan 20-40 mg filokuinon yang diberikan dengan segera di samping transluSi darah segar. Bila perlu setelah 4 jam
diberikan lagi lilokuinon. Vitamin K mungkin bermanlaat pada hipoprotrombinemia yang disebabkan oleh pemakaian salisilat dosis besar, racun ular yang menginaktivasi protrombin atau asupan vitamin A yang berlebihan. Pada penyakit hepatoselular, misalnya hepatitis dan sirosis hati, dapat leriadi hipoprotrombinemia karena sel hati tidak dapat membentuk faktor' laktor pembekuan darah' Pada keadaan ini pemberian vitamin K biasanya tidak akan memberikan hasil yang baik, bahkan dosis yang besar pada hepatitis din sirosis yang berat dapat memperberat hipoprotrombinemia. Dengan memanlaatkan respons hipoprotrombinemia, pemberian vitamin K parenteral dapat digunakan untuk membedakan ik-
terus akibat obstruksi biliaris atau akibat penyakit hepatoselular.
4. MINERAL YANG DIBUTUHKAN DALAM JUMLAH RELATIF BANYAK KALSIUM Kalsium merupakan mineral yang paling banyak didapatkan di dalam tubuh. Untuk absorpsinya
pada semua jaringan tubuh dan di dalam tulang dan gigi didapatkan dalam jumlah yang hampir sama dengan kalsium. Fosfor sangat penting sebagai bufer cairan tubuh. Lemak, protein, karbohidrat dan berbagai enzim yang berperan dalam transler energi mengandung mineral ini. Makanan dengan komposisi yang baik sudah mengandung losfor yang cukup. Perbandingan kandunEan kalsium dan loslor dalam makanan dianjurkan 1 : 1. Pada orang dewasa delisiensi umumnya tidak terjadi kecuali
pada alkoholisme, penggunaan antasid yang tidak dapat diabsorpsi untuk jangka lama, muntah berkepanjangan, pasien penyakit hati atau hiperparatiroidisme.
MAGNESIUM
Magnesium mengaktivasi banyak sistem enzim (misalnya alkali losfatase, leusin aminopeptidase) dan merupakan kolaktor yang penting pada losforilasi oksidatif, pengaturan suhu tubuh, kon-
iraktilitas otot dan kepekaan saraf' Pada orang sehat dengan makanan yang bervariasi defisiensi
magnesium jarang teriadi. Kebutuhan akan magnesium tergantung pada jumlah protein, kalsium dan loslor yang dimakan.
Aipomagnesemia meningkatkan kepekaan saraf dan transmisi neuromuskuler. Pada keadaan delisiensi berat mengakibatkan tetani dan konvulsi' Hipomagnesemia dapat teriadi pada pasien alkohotit 4 ppm untuk jangka lama. Fluorosis gigi (Mottled enamel) dapat terjadi pada gigi yang sedang tumbuh dan pada orang yang lebih tua dapat menyebabkan osteomalasia dan osteosklerosls. Gangguan yang nyata pada gigi dan tulang terjadi bila air mengandung lluor lebih dari 8 ppm atau akibat kombinasi suplementasi dan asupan lluor melalui air.
SENG (Zn)
Zn merupakan kolaktor lebih dari 100 enzim dan penting untuk metabolisme asam nukleat dan sintesis protein. Mineral jni diperlukan untuk pertumbuhan, lungsi dan maturasi alat kelamin, nafsu makan dan ketajaman rasa, serla penyembuhan
oleh kortikosteroid dan endotoksin. Zn didistribusi ke seluruh tubuh dan kadar tertinggi didapatkan pada koroid mata, spermatozoa, rambut, kuku, tulang dan prostat. Di dalam plasma sebagian besar Zn terikat pada protein terutama pada albumin, a-2- makroglobulin dan transferin. ASI mengandung 3 mg/L Zn pada saat setelah melahirkan, tetapi selanjutnya menurun. Ekskresinya terutama melalui feses sejumlah kurang lebih 2/3 dari asupan Zn. Hanya sekilar 2o/o diekskresi melalu urin. Kehilangan Zn dalam jumlah besar dapat terjadi akibat diare atau keluarnya cairan dari listula.
Defisiensi Zn dapat terjadi sebagai akibat asupan yang tidak cukup misalnya pada orang tua, alkoholisme dengan sirosis dan gizi buruk; absorpsi yang kurang misalnya pada sindrom malabsorpsi, librosis kistik; meningkatnya ekskresi Zn misalnya pada anemia sickle cell,luka bakar yang luas, fistula yang mengeluarkan cairan; atau pada pasien dengan gangguan metabolisme bawaan misalnya akrodermatitis enteropatik. Defisiensi Zn pada ibu hamil mungkin dapat menimbulkan etek teratogenik, karena mallormasi dan gangguan tingkah laku terjadi pada janin hewan coba. Manilestasi kulit akibat delisiensi Zn yang mirip dengan akrodermatitis enteropatik dilaporkan terjadi setelah pemberian makanan parenteral jangka panjang. Oleh karena itu pasien yang mendapat seluruh makanan secara parenteral selama kurang lebih satu bulan harus mendapat tambahan Zn. Bila sumber makanan satu- satunya adalah makanan lormula maka perlu diberikan Zn 100% AKG. Disfungsi kelamin dan impoten yang terjadi pada pasien penyakit ginjal kadang-kadang sebagian dapat diatasi dengan pemberian Zn. Selama dialisis ZnCle mungkin dapat ditambahkan pada dialisat dengan jumlah yang cukup (400 Fg/L) untuk mempertahankan kadar plasma 100-150 mg/dl.
Bukti yang menunjukkan bahwa Zn dapdt
luka.
Absorpsi Zn dipercepat oleh ligand berat
mempercepat penyembuhan luka atau tukak kronik
molekul rendah yang berasal dari pankreas. Kurang lebih 20-30% Zn peroral diabsorpsiterutama pada duodenum dan usus halus bagian proksimal. Jumlah Zn yang diabsorpsi torgantung pada berbagai laktor termasuk sumbernya. Zn yang berasal dari
masih kontroversial. Percepatan penyembuhan
hewan umumnya diabsorpsi lebih baik daripada yang berasal dari tumbuh-lumbuhan. Mungkin hal
luka setelah p€nggunaan Zn mungkin terjadi hanya pada pasien yang mengalami delisiensi. Banyak pasien rawat-inap dan usia lanjut mengalami defisiensi Zn yang sangat ringan, unluk mereka tambahan Zn mungkin bermanfaat bila mengalamipenyembuhan luka yang lambat.
Farmakologi dan Terapi
Zn mempunyai batas keamanan yang relatif lebar. Dengan dosis 1 mg/kg/hari untuk mengobati defisiensi hampir tidak menimbulkan efek samping, meskipun dosis berlebihan jangka lama tidak dianjurkan. Kadar Zn yang tinggi dapat menghambat respons imun dengan menghambat migrasi neutrofil dan mengakibatkan terjadinya akumulasi. Asupan Zn yang berlebihan juga dapat menyebabkan delisiensi Cu dan besi, karena dapat mempengaruhi absorpsi dan penggunaannya serta dapat menyebabkan mual, muntah, sakit kepala, menggigil, demam, malaise, dan nyeri abdomen.
nyakit ini terjadi di daerah dimana.tanahnya kurang mengandung yodium dan sering terjadi sebelum tersedianya garam meja beryodium. Garam meja beryodium merupakan sumber yodium yang murah dan efisien. Selain itu yodium juga banyak didapatkan pada makanan laut. Mineral ini dibutuhkan sejumlah 100-300 pg/ hari dan sampai dengan 1 mg/hari mungkin dapat dikonsumsi dengan aman. Kebutuhan yodium meningkat pada anak yang sedang tumbuh dan wanita pada masa hamil dan laktasi. Akan tetapi penggunaan jumlah besar jangka lama selama kehamil-
an dapat mengakibatkan pembesaran tiroid SELENIUM
Selenium merupakan unsur enzim glutation peroksidase yang terdapat pada sebagian besar jaringan tubuh. Dan hal ini menerangkan sebagian aktivitas biologik yang ditimbulkannya. Selain itu
terdapat hubungan erat antara vitamin E dan 6elenium. Bukti yang menunjukkan bahwa selenium merupakan mineral yang penting untuk manusia terlihat pada penelitian penyakit Keshan yaitu kardiomiopati yang fatal, yang terjadi pada anak dan wanita muda di Cina. lnsidens penyakit ini ternyata tinggi pada anak- anakyang hidup di daerah dimana kadar selenium pada makanan utamanya rendah. Dengan tambahan selenium secara masal maka praktis penyakit tersebut tidak terjadi. Kardomiopati sejenis juga ditemukan pada beberapa pasien yang mendapat makanan parenteral jangka panjang, mungkin sekurang-kurangnya sebagian hal ini disebabkan oleh defisiensi selenium. Akan tetapi masih diperlukan inlormasi lebih lanjut mengenai kebutuhannya,
Diperkirakan asupan selenium melalui makanan telah mencukupi kebutuhan. Selenium 0,050,2 mg/hari nampaknya aman untuk orang dewasa. Penggunaannya untuk memperpanjang hidup atau pencegahan kanker dan penyakit jantung iskemik tidak disokong oleh data yang ada. Selenium dosis besar bersifat toksik dan dapat menyebabkan alopesia, lepasnya kuku, lemah, mual, dan muntah. YODIUM
Yodium merupakan bagian dari hormon tiroid: letrayodotironin (tiroksin) dan triyodotironin. Keadaan delisiensi mengakibatkan terjadinya hiperplasia dan hipertroli kelenjar tiroid (goiter endemik), Pe-
neonatus, hipotiroidisme atau kretinisme.
Manilestasi intoksikasi yodium akut terlihat pada kelenjar tiroid, kelenjar saliva, mata dan dapat menyebabkan edema, demam, konyungtivitis. Edema laring dapat mengakibatkan obstruksi jalan nafas yang bisa latal. Reaksi lokal pada saluran cerna seperti nyeri abdomen, muntah dan diare yang kadang-kadang berdarah dapat terjadi dan dapat mengakibatkan terjadinya dehidrasi dan syok. lntoksikasi kronik yodium (yodisme) lebih sering terjadi. Sensitivitas terhadap yodium bervariasi antar individu, dan yodium 6 mg atau lebih per hari dapat menghambat aktivitas tiroid dan mengakibatkan terjadinya hipotiroidisme. Gejala yang timbul antara lain reaksi hipersensitivitas misalnya ruam kulit dan dermatoses (yang nampaknya tergantung dosis), mual, edema muka dan mata, sakit kepala, batuk dan iritasi lambung. Keterangan lebih lanjut mengenai yodium dapat dilihat pada Bab Hormon Tiroid.
KROMIUM Kromium trivalen berperan sebagai kompleks kolaktor untuk insulin dan karena itu berperan pada penggunaan glukosa secara normal di dalam tubuh. Kromium bentuk organik terdapat pada kompleks dinikotino-glutation pada makanan dan nampaknya diabsorpsi lebih baik daripada bentuk anorganik.
Defisiensi pernah dilaporkan pada penderita yang hanya mendapat makanan secara parenteral selama 5 bulan - 3 tahun. Penderita-penderita tersebut mengalami neuropati perifer dan atau ensefalopati yang membaik dengan penggunaan kromium 150 pg/hari. Gejala defisiensi lain seperti diabetes dengan gangguan penggunaan glukosa. Akan tetapi pada orang normal tambahan kromium tidak menimbulkan elek hipoglikemik.
Vitamin dan Mineral
MANGAN
737
jut, kecuali bila pajanan dihindarkan. Rigiditas dan distonia dapat diatasi dengan levodopa.
Mineral ini terdapat pada mitokondria sel, terutamd pada kelenjar hipolisis, hati, pankreas, ginjal dan tulang. Mangan mempengaruhi sintesis mukopolisakarida, menstimulasi sintesis kolesterol hati
dan asam lemak, dan merupakan kofaktor banyak enzim seperti arginase dan alkali losfatase di hati. Banyak jenis makanan mengandung mangan dalam jumlah besar. Fada orang dewasa asupan se jumlah 2-5 mg aman dan cukup jumlahnya. Bila makanan hanya diberikan secara parenteral untuk jangka panjang maka diperlukan suplementasi mangan,
MOLIBDEN
Molibden merupakan konstituen penting dari banyak enzim. Mineral ini diabsorpsi baik dan terdapat dalam tulang, hati, ginjal. Delisiensi jarang terjadi. Molibden 0,15-0,5 mg/hari diperkirakan cukup dan aman untuk orang dewasa dan nampaknya dapat dipenuhi oleh makanan sehari-hari, Asupan sebesar 10-15 mg/hari disertai de-
jadi intoksikasi mangan menahun akibat inhalasi
ngan gejala seperti pirai, sedangkan kelebihan ringan mungkin disertai dengan keluarnya Cu secara
mangan. Gejala Parkinson dapat timbul dan berlan-
bermakna melalui urin.
Pada daerah tambang dan industri dapat ter-
Farmakologi dan Terapi
XV. OBAT HEMATOLOGIK 50. ANTIANEMIA DEFISIENSI S. Wardhini B.P. dan Hedi R. Dewoto
1.
Antianemiahipokromik 1.1. Besi dan garam-garamnya 1.2. Obat lain
Dalam bab ini dibahas obat yang penting untuk eritropoesis normal yaitu zat besi (Fe), vitamin Brz (sianokobalamin) dan asam lolat. Dengan demikian obat-obat ini digunakan untuk mengobati anemia dan dinamakan juga sebagai hematinik. Obat lain yang berpengaruh terhadap eritropoesis yaitu riboflavin, piridoksin, kobal dan tembaga akan disinggung sedikit, tetapi beberapa hormon yang secara tidak langsung juga mempengaruhi eritropoe-
2.
Antianemia megaloblastik 2.1. Sianokobalamin (Vitamin Brz) 2.2. Asam folat
siensi vitamin B12 juga menyebabkan kelainan neurologik.
1. ANTIANEMIA HIPOKROMIK 1.1. BESI DAN GARAM-GAHAMNYA
sis misalnya hormon tiroid, gonad dan adrenal dibicarakan dalam bab-bab yang bersangkutan. Di samping itu dikenal adanya laktor pertum-
SEJARAH
buhan sel darah merah yaitu eritropoetin yang dibentuk oleh ginjal. Zat ini berperan sebagai regulator proliferasi eritrosit, sehingga bila terganggu dapat berakibat anemia berat. Selain diproduksi oleh ginjal dalam sel peritubuler dari tubuli proksimalis, dalam jumlah kecil protein ini disintesis oleh hati. Untuk kepentingan pengobatan eritropoetin dipro-
Terdapatnya zat besi (Fe) dalam darah baru diketahui setelah penelitian oleh Lemery dan Goeffy (1713), kemudian Pierre Blaud (1831) mendapatkan bahwa FeSO+ dan KzCOs dapat memperbaiki keadaan klorosis, anemia akibat defisiensi Fe. Akan tetapi, sebenarnya berabad-abad sebelum Masehi,
duksi sebagai rekombinan eritropoetin manusia yang disebut "epoetin alfa". Sedangkan indikasi
bahan-bahan yang mengandung Fe untuk mendapatkan tentara yang kuat. Bangsa Yunani merendam pedang-pedang tua dan meminum airnya.
utama adalah untuk anemia pada gagal ginjal kronik
dan pada penderita yang menjalani hemodialisis. Besi dibutuhkan untuk produksi hemoglobin (Hb), sehingga defisiensi Fe akan menyebabkan terbentuknya sel darah merah yang lebih kecil de-
bangsa Yunani dan lndia telah menggunakan
DISTRIBUSI DALAM TUBUH
ngan kandungan Hb yang rendah dan menimbulkan
Tubuh manusia sehat mengandung + 3,5 g Fe
anemia hipokromik mikrositik. Vitamin Brz dan asam lolat dibutuhkan untuk sintesis DNA yang
yang hampir seluruhnya dalam bentuk ikatan kompleks dengan protein. lkalan ini kuat dalam bentuk
normal, sehingga defisiensi salah satu vitamin ini menimbulkan gangguan produksi dan maturasi eritrosit yang memberikan gambaran sebagai anemia megaloblastik. Berbeda dengan asam folat, defi-
organik, yaitu sebagai ikatan nonion dan lebih lemah dalam bentuk anorganik, yaitu sebagai ikatan ion. Besi mudah mengalami oksidasi atau reduksi. Kira-kira 70 % dari Fe yang terdapat dalam tubuh
739
Antianemia Defisiensi
merupakan Fe fungsional atau esensial, dan 30 % merupakan Fe yang nonesensial. Fe esensial ini terdapat pada (1) hemoglobin + 66 %i (2) mioglobin 3%; (3) enzim tertentu yang berfungsi dalam transler elektron misalnya sitokromoksidase, suksinil dehidrogenase dan xantin oksidase sebanyak 0,5 %, dan (4) pada transferin 0,1 %. Besi nonesensial terdapat sebagai cadangan dalam bentuk feritin dan hemosiderin sebanyak25 %, dan pada parenkim jaringan kira-kira 5 To. Cadangan Fe pada wanita hanya 200-400 mg, sedangkan pada pria kira-kira 1 gram.
FARMAKOKINETIK
Absorpsi. Absorpsi Fe melalui saluran cerna terutama berlangsung di duodenum; makin ke distal absorpsinya makin berkurang. Zal ini lebih mudah diabsorpsi dalam bentuk lero. Transportnya melalui sel mukosa usus terjadi secara transport aktif. lon fero yang sudah diabsorpsi akan diubah menjadi ion feri dalam sel mukosa. Selanjutnya ion feri akan masuk ke dalam plasma dengan perantara transferin, atau diubah menjadi feritin dan disimpan dalam sel mukosa usus. Secara umum, bila cadangan dalam tubuh tinggi dan kebutuhan akan zat besi rendah, maka lebih banyak Fe diubah menjadi feritin. Bila cadangan rendah atau kebutuhan mening-
kat, maka Fe yang baru diserap akan segera diangkut dari sel mukosa ke sumsum tulang untuk eritropoesis. Eritropoesis dapat meningkat sampai lebih dari 5 kali pada anemia berat atau hipoksia. Jumlah Fe yang diabsorpsi sangat tergantung dari bentuk dan jumlah absolutnya seda adanya zal-zal lain. Makanan yang mengandung + 6 mg Fe/1000 kilokalori akan diabsorpsi 5-10 % pada
orang normal. Absorpsi dapat ditingkatkan oleh kobal, inosin, etionin, vitamin C, HCl, suksinat dan senyawa asam lain. Asam akan mereduksi ion leri menjadi lero dan menghambat terbentuknya kompleks Fe dengan makanan yang tidak larut. Sebaliknya absorpsi Fe akan menurun bila terdapal fosfat atau antasida misalnya kalsium karbonat, aluminium hidroksida dan magnesium hidroksida. Besi yang terdapat pada makanan hewani umumnya diabsorpsi rata- rata dua kali lebih banyak dibandingkan dengan makanan nabati. Kadar Fe dalam plasma berperan dalam mengatur absorpsi Fe. Absorpsi ini meningkat pada ke-
adaan defisiensi Fe, berkurangnya depot Fe dan meningkatnya eritropoesis. Selain itu, bila Fe diberi-
kan sebagai obat, bentuk sediaan, dosis dan jumlah serta jenis makanan dapat mempengaruhi absorpsinya.
Transport. Setelah diabsorpsi, Fe dalam darah akan diikat oleh transferin (siderofilin), suatu beta 1-globulin glikoprotein, untuk kemudian diangkut ke berbagai jaringan, terutama ke sumsum tulang dan depot Fe. Jelas bahwa kapasitas pengikatan total Fe dalam plasma sebanding dengan jumlah total transferin plasma, tetapi jumlah Fe dalam plasma tidak selalu menggambarkan kapasitas pengikatan total Fe ini. Selain translerin, sel-sel retikulum dapat pula mengangkut Fe, yaitu untuk keperluan eritropoesis. Sel ini juga berfungsi sebagai gudang Fe.
Nasib. Kalau tidak digunakan dalam eritropoesis, Fe akan disimpan sebagai cadangan, dalam bentuk
terikat sebagai leritin. Feritin terutama terdapat dalam sel-sel retikuloendotelial (di hati, limpa dan sumsum tulang). Cadangan ini tersedia untuk digunakan oleh sumsum tulang dalam proses eritropoe-
sis; 10 % diantaranya terdapat dalam labile pool yang cepat dapat dikerahkan untuk proses ini, sedangkan sisanya baru digunakan bila labile pool telah kosong. Besi yang terdapat di dalam parenkim
jaringan tidak dapat digunakan untuk eritropoesis. Bila Fe diberikan lV, cepat sekali diikat oleh apoleritin (protein yang membentuk feritin) dan disimpan terutama di dalam hati, sedangkan setelah pemberian per oral terutama akan disimpan di limpa dan sumsum tulang. Fe yang berasal dari pemecah-
an eritrosit akan masuk ke dalam hati dan limpa' Penimbunan Fe dalam jumlah abnormal tinggi da-
pat terjadi akibat transfusi darah yang berulangulang atau akibat penggunaan preparat Fe dalam jumlah berlebihan yang diikuti absorpsi yang berlebihan pula.
Ekskresi. Jumlah Fe yang diekskresi setiap hari sedikit sekali, biasanya sekitar 0,5-1 mg sehari. Ekskresi terutama berlangsung melalui sel epitel kulit dan saluran cerna yang terkelupas, selain itu
juga melalui keringat, urin, feses, serta kuku dan rambut yang dipotong. Pada proteinuria iumlah yang dikeluarkan dengan urin dapat meningkat bersama dengan sel yang mengelupas' Pada wanita
usia subur dengan siklus haid 28 hari, iumlah Fe yang diekskresi sehubungan dengan haid diperkirakan sebanyak 0,5- 1 mg sehari.
740
Farmakologi dan Terapi
KEBUTUHAN BESI Jumlah Fe yang dibutuhkan setiap hari dipe-
ngaruhi oleh berbagai faktor. Faktor umur, jenis kelamin (sehubungan dengan kehamilan dan laktasi pada wanita) dan jumlah darah dalam badan (dalam hal ini Hb) dapat mempengaruhi kebutuhan,
walaupun keadaan depot Fe memegang peranan yang penting pula. Dalam keadaan normal dapat diperkirakan bahwa seorang laki-laki dewasa memerlukan asupan sebesar 10 mg, dan wanita memerlukan 12 mg sehari guna memenuhi ambilan sebesar masing-masing 1 mg dan 1,2 mg sehari. Sedangkan pada wanita hamil dan menyusui diperlukan tambahan asupan 5 mg sehari, Bila kebutuhan ini tidak dipenuhi, Fe yang terdapat di dalam gudang akan digunakan dan gudang
lambat-laun menjadi kosong. Akibatnya timbul anemia defisiensi Fe. Hal ini dapat disebabkan oleh absorpsi yang jelek, perdarahan kronik dan kebutuhan yang meningkat. Keadaan ini memerlukan penambahan Fe dalam bentuk obat.
Pemberian Fe secara lM dapat menyebabkan reaksi lokal pada tempat suntikan yaitu berupa rasa sakit, warna coklat pada tempat suntikan, peradangan lokal dengan pembesaran kelenjar inguinal. Peradangan lokal lebih sering terjadi pada pemakaian lM dibandingkan lV. Selain itu dapat pula terjadi reaksi sistbmik yaitu pada 0,5-0,8 % kasus. Beaksi yang dapat terjadi dalam 10 menit setelah suntikan adalah sakit kepala, nyeri otot dan sendi, hemolisis, takikardi, flushing, berkeringat, mual, muntah, bronkospasme, hipotensi, pusing dan kolaps sirkulasi. Sedangkan reaksi yang lebih sering timbul dalam
112-24 jam setelah suntikan misalnya sinkop,
demam, menggigil, rash, urtikaria, nyeri dada, perasaan sakit pada seluruh badan dan ensefalopatia. Reaksi sistemik ini lebih sering terjadi pada pemberian lV, demikian pula syok atau henti jantung. lntoksikasi akut sangat jarang terjadi pada orang dewasa, kebanyakan terjadi pada anak akibat menelan terlalu banyak tablet FeSO+ yang mirip gula-gula. lntoksikasi akut ini dapat terjadi setelah menelan Fe sebanyak 'l g. Kelainan utama terdapat pada saluran cerna, mulai dari iritasi, korosi, sampai terjadi nekrosis. Gejala yang timbul seringkali beru-
SUMBER ALAMI
pa mual, muntah, diare, hematemesis serta feses berwarna hitam karena perdarahan pada saluran
Makanan yang mengandung Fe dalam kadar tinggi (lebih dari 5 mg/'|00 g) adalah hati, jantung, kuning telur, ragi, kerang, kacang-kacangan dan buah-buahan kering tertentu. Makanan yang me-
cerna, syok dan akhirnya kolaps kardiovaskular dengan bahaya kematian. Elek korosif dapat menyebabkan stenosis pilorus dan terbentuknya jaringan parut berlebihan di kemudian hari. Gejala keracunan tersebut di atas dapat timbul dalam waktu 30 menit atau setelah beberapa jam meminum obal. Terapi yang dapat dilakukan adalah sebagai ber-
ngandung besi dalam jumlah sedang (1-5 mg/1009) termasuk di antaranya daging, ikan, unggas, sayuran yang berwarna hijau dan biji-bijian. Sedangkan susu atau produknya, dan sayuran yang kurang
hijau mengandung besi dalam jumlah rendah (kurang dari 1 mg/100 g).
EFEK NONTERAPI Efek samping yang paling sering timbul berupa intoleransi terhadap sediaan oral, dan ini sangat tergantung darijumlah Fe yang dapat larut dan yang diabsorpsi pada tiap pemberian. Gejala yang timbul dapat berupa mual dan nyeri lambung (!7 - 20 %),
konstipasi
(t tO X;, diare (+ 5 %) dan kolik,
ikut: pertama-tama diusahakan agar penderita muntah, kemudian diberikan susu atau telur yang dapat mengikat Fe sebagai kompleks protein Fe. Bila obat diminum kurang dari 1 jam sebelumnya, dapat dilakukan bilasan lambung dengan menggunakan larutan natrium bikarbonat 1 %. Akan tetapi, bila masuknya obat telah lebih dari satu jam, maka
telah terjadi nekrosis sehingga bilasan lambung dapat menyebabkan perlorasi. Selanjutnya keadaan syok dehidrasi dan asidosis harus diatasi. Selain
itu, deferoksamin yang merupakan zat pengkelat (chelating agent) spesifik untuk besi, elektif dntuk mengatasi efek toksik sistemik maupun lokal.
lntoksikasi menahun dapat mengakibatkan
Gangguan ini biasanya ringan dan dapat dikurangi dengan mengurangi dosis atau dengan pemberian
hemosiderosis.
sesudah makan, walaupun dengan cara ini absorpsi dapat berkurang. Perlu diterangkan kemungkinan
SEDIAAN DAN POSOLOGI
timbulnya feses yang berwarna hitam kepada penderita.
Sediaan Fe hanya digunakan untuk pengobat-
an anemia defisiensi Fe. Penggunaan di luar in-
741
Antianemia Defislensl
dikasi ini, cenderung menyebabkan penyakit penimbunan besi dan keracunan besi. Anemia defisiensi Fe paling sering disebabkan oleh kehilangan darah. Selain itu, dapat pula terjadi misalnya pada wanita hamil (terutama multipara) dan pada masa pertumbuhan, karena kebutuhan yang meningkat. Banyak anemia yang mirip anemia defisiensi Fe. Sebagai pegangan untuk diagnostik dalam hal ini ialah, bahwa pada anemia defisiensi Fe dapat terlihat granula berwarna kuning emas di dalam sel-sel retikuloendotelial sumsum tulang.
mg, dilanjutkan dengan 100-250 mg setiap hari atau beberapa hari sekali. Penyuntikan dilakukan pada kuadran atas luar m. gluteus dan secara dalam untuk menghindari pewarnaan kulit. Untuk memperkecil reaksi toksik pada pemberian lV, dosis permulaan tidak boleh melebihi 25 mg, dan diikuti dengan peningkatan bertahap untuk 2-3hari sampai tercapai dosis 100 mg/hari. Obat
harus diberikan perlahan-lahan yaitu dengan menyuntikkan 20- 50 mg/menit.
Sediaan Oral. Besi untuk pemberian oral tersedia
dalam bentuk berbagai garam lero dari sulfat, fumarat, glukonat, suksinat, glutamat dan laktat. Tidak ada perbedaan absorpsi di antara garamgaram Fe ini. Jika ada, mungkin disebabkan oleh perbedaan kelarutannya dalam asam lambung. Dalam bentuk garam sitrat, tartrat, karbonat, piroloslat, ternyata Fe sukar diabsorpsi; demikian pula sebagai garam feri (Fe***). Sediaan yang banyak digunakan dan murah ialah hidrat sulfas ferosus (FeSO+.7 HzO) 300 mg yang mengandung 20 % Fe. Untuk anemia berat biasanya diberikan 3 kali 300 mg sullas lerosus sehari selama 6 bulan. Dalam hal ini mula-mula absorpsi berjumlah + 45 mg sehari, dan setelah depot Fe dipenuhi menurun menjadi 5- 10 mg sehari. Selama kausa anemia belum disingkirkan terapi harus diteruskan. Pada mereka yang intoleran terhadap dosis setinggi ini, dosis harus dikurangi sampai jumlah yang terterima, atau bila perlu sediaan diganti dengan sediaan parenteral. Berbeda dengan lero sullat, fero fumarat tidak mudah mengalami oksidasi pada udara lembab; dosis elektifnya 600-800 mg/hari dalam dosis terbagi. Fero glukonat, fero laktat, fero karbonat dosis elektifnya kira-kira sama dengan fero sulfat. Terdapat pula sediaan Fe lepas lambat dan salut enterik, tetapi biovailabilitasnya kurang baik.
Sediaan Parenteral. Penggunaan sediaan untuk suntikan lM dan lV hanya dibenarkan bila pemberian oral tidak mungkin; misalnya penderita ber-
sifat intoleran terhadap sediaan oral, atau pemberian oral tidak menimbulkan respons terapeutik. lron-dextran (imferon) mengandung 50 mg Fe setiap ml (larutan 5 %) untuk penggunaan lM atau
lV. Respons terapeutik terhadap suntikan lM ini tidak lebih cepat daripada pemberian oral. Dosis total yang diperlukan dihitung berdasarkan beratnya anemia, yaitu 250 mg Fe untuk setiap gram kekurangan Hb. Pada hari pertarna disuntikkan 50
1.2. OBAT LAIN RIBOFLAVIN. Riboflavin (vitamin 82) dalam bentuk
llavin mononukleotida (FMN) dan flavin-adenin dinukleotida (FAD) berfungsi sebagai koenzim dalam
metabolisme flavo-protein dalam pernapasan sel. Sehubungan dengan anemia, ternyata riboflavin dapat memperbaiki anemia normokromik-normositik (pure red-cell aplasia). Anemia defisiensi ribo-
flavin banyak terdapat pada malnutrisi proteinkalori, di mana ternyata faktor defisiensi Fe dan penyakit infeksi memegang peranan pula. Dosis yang digunakan cukup 10 mg sehari per oral atau tM.
PIRIDOKSIN. Vitamin Bo ini mungkin berfungsise-
bagai koenzim yang merangsang pertumbuhan heme. Defisiensi piridoksin akan menimbulkan anemia mikrositik hipokromik. Pada sebagian besar penderita akan terjadi anemia normoblastik sideroakrestik dengan jumlah Fe non hemoglobin yang banyak dalam prekursor eritrosit, dan pada beberapa penderita terdapat anemia megaloblastik. Pada keadaan ini absorpsi Fe meningkal, Fe-binding protein menladi jenuh dan terjadi hlperferemia, sedangkan daya regenerasi darah menurun. Akhirnya akan didapatkan gejala hemosiderosis.
KOBAL. Delisiensi kobal belum pernah dilaporkan pada manusia. Kobal dapat meningkatkan jumlah hematokrit, hemoglobin dan eritrosit pada beberapa penderita dengan anemia refrakter, seperti yang
terdapat pada penderita talasemia, infeksi kronik' atau penyakit ginjal, tetapi mekanisme yang pasti tidak diketahui. Kobal merangsang pembentukan eritropoeitin yang berguna untuk meningkatkan ambilan Fe oleh sumsum tulang, tetapi ternyata pada penderita anemia relrakter biasanya kadar eritropoietin sudah tinggi. Penyelidikan lain mendapatkan bahwa kobal menyebabkan hipoksia intrasel sehingga dapat meran gsan g pembentukan eritrosit'
742
Sebaliknya, kobal dosis besar justru menekan pembentukan eritrosit. Kobal sering terdapat dalam campuran sediaan Fe, karena ternyata kobal dapat meningkatkan absorpsi Fe melalui usus. Akan tetapi, harus diingat bahwa kobal dapat menimbulkan elek toksik berupa erupsi kulit, struma, angina, tinilus, tuli, payah jantung, sianosis, koma, malaise, anoreksia, mual dan muntah.
TEMBAGA. Seperti telah diketahui kedua unsur ini terdapat dalam sitokrom oksidase, maka ada sangkut-paut antara metabolisme tembaga (Cu) dan Fe. Hingga sekarang belum ada kenyataan yang menunjukkan pentingnya penambahan Cu baik dalam makanan ataupun sebagai obat, dan defisiensi Cu pada manusia sangat jarang terjadi. Pada hewan coba, pengobatan anemia defisiensi Fe yang disertai hipokupremia dengan sediaan Fe, bersama atau tanpa Cu, memberikan hasil yang sama, Sebaliknya, pada anemia dengan defisiensi Cu (yang sukar dibedakan dari defisiensi Fe) diper-
lukan kedua unsur tersebut karena pada hewan dengan defisiensi Cu absorpsi Fe akan berkurang.
2. ANTIANEMIA MEGALOBLASTIK Pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang memerlukan sianokobalamin dan asam folat. Kekurangan salah satu atau kedua faktor ini dapat menyebabkan anemia yang disertai dengan dilepasnya eritrosit muda ke sirkulasi (eritrosit dengan inti dan sel yang berukuran lebih besar dari normal). Kekurangan vitamin 812 atau asam lolat dapat disebabkan oleh kurangnya asupan, terganggunya absorpsi, terganggunya utilisasi, meningkatnya kebuluhan, destruksi yang berkelebihan atau ekskresi yang meningkat, Defisiensi sianokobalamin menimbulkan anemia megaloblastik yang disertai gangguan neurologik; bila tidak cepat diobati kelainan neurologik ini dapat membuat penderita cacat seumur hidup. Penggunaan asam folat pada anemia pernisiosa dapat memperbaiki anemia, sedangkan kelainan neurologik tidak dipengaruhi. Jelas deni;an ini bahwa pada suatu anemia megaloblastik harus benarbenar dipastikan apakah kelainan yang ada meru-
pakan anemia pernisiosa atau bukan agar dapal diberikan terapi yang tepat.
Farmakologi dan Terapi
2.1. SIANOKOBALAMIN Sianokobalamin (vilamin 812) merupakan satu-satunya kelompok senyawa alam yang mengandung unsur Co dengan struktur yang mirip derivat porfirin alam lain. Molekulnya terdiri atas bagian-bagian cincin porfirin dengan satu atom Co, basa dimetilbenzimidazol, ribosa dan asam fosfat. Umumnya senyawa dalam kelompok ini dinamakan kobalamin; penambahan gugus-CN pada kobalamin menghasilkan sianokobalamin, sedangkan penambahan gugus-OH menghasilkan zat yang dinamakan hidroksokobalamin. Sianokobalamin yang aktil dalam tubuh manusia adalah deoksiadenosil kobalamin dan metilkobalamin. Dengan demikian sianokobalamin dan hidroksokobalamin yang terdapat dalam obat serta kobalamin lain dalam makanan harus diubah menjadi bentuk aktif ini. FUNGSI METABOLIK. Vitamin Brz bersama asam
folat sangat penting untuk metabolisme intrasel. Pada rangkaian reaksi ini vitamin Brz terdapat sebagai koenzim Bl2yang aktif yaitu 5-deoksiadenosilkobalamin dan metilkobalamin. Yang pertama merupakan unsur yang penting dalam reaksi enzimatik di mitokondria, sedangkan metilkobalamin diperlukan sebagai donor metil pada pembentukan metionin dan derivatnya dari homosistein. Jumlah vitamin B12 yang tidak adekuat ternyata juga mempengaruhi metabolisme intrasel dari asam folat melalui interaksi yang kompleks. lnteraksi ini merupakan rangkaian reaksi inti dalam sistesis purin dan
pirimidin untuk pembentukan DNA. lnilah yang mendasari terjadinya anemia megaloblastik pada defisiensi vitamin Bre. Kelainan neurologi pada delisiensi vitamin Brz
diduga karena kerusakan pada sarung mielin. Namun, mekanisme yang pasti belum dapat dijelas-
kan. Agaknya pembentukan bagian lemak dari sarung mielin memerlukan isomerasi metilmalonat menjadi suksinatyang menggunakan deoksiadenosilkobalamin sebagai kolaktor. DEFISIENSI VITAMIN 812. Delisiensi kobalamin ditandai dengan gangguan hematopoesis, gangguan neurologi, kerusakan sel epitel, terutama epitel saluran cerna, dan debilitas umum. Delisiensi ini dapat didiagnosis dengan mengukur kadar vitamin Bre dalam plasma dan dengan uji fungsi lambung. Delisiensi vitamin Brz pada orang dewasa lebih sering disebabkan oleh gangguan absorpsinya, misalnya pada defisiensi vitamin Brz yang klasik
Antianemia Delislensi
yang disebut anemia pernisiosa Addison. Pada penyakit tersebut terjadi kegagalan sekresi faktor intrinsik Castle (FlC) oleh sel parietal lambung yang berfungsi dalam absorpsi vitamin Brz di ileum. Selain itu, sekresi FIC juga dapat berkurang pada kerusakan mukosa lambung oleh berbagai sebab. Gangguan fungsi ataupun struktur pada
ileum, penyakit pankreas dan adanya infestasi parasit dalam usus dapat pula menyebabkan defisiensi vitamin Brz.
KEBUTUHAN VITAMIN Brz. Kebutuhan vitamin Brz bagi orang sehat kira-kira 1 Fg sehari yaitu
sesuai dengan jumlah yang diekskresi oleh tubuh.
Setiap hari tubuh akan mengeluarkan 3-7 Fg sehari ke dalam saluran empedu; sebagian besar akan direabsorpsi melalui usus dan hanya 1 pg yang tidak direabsorpsi. Jadijumlah tersebut cukup untuk
mempertahankan jumlah vitamin Brz dalam gudang. Pada delisiensi vitamin Brz tanpa komplikasi, respons hematologik minimal sudah didapat dengan 1 pg sehari. Tetapi, pada anemia pernisiosa di mana faktor intrinsik Castle berkurang atau tidak ada, kebutuhan ini akan meningkat, sebab apa yang dikeluarkan melalui saluran empedu tidak dapat direabsorpsi.
SUMBER VITAMIN Brz ALAMI. Sumber asli satusatunya untuk vitamin Brz adalah mikroorganisme. Bakteri dalam kolon manusia juga membentuk vitamin Bre, tetapi ini tidak berguna untuk memenuhi kebutuhan individu yang bersangkutan sebab ab-
sorpsi vitamin Brz terutama berlangsung dalam ileum. Selain itu, vitamin Brz dalam kolon ternyata terikat pada protein. Jadi sumber untuk memenuhi kebutuhan manusia adalah makanan hewani, sebab tumbuh-tumbuhan tidak mengandung vitamin Brz. Berbeda dengan manusia, usus halus hewan mengandung mikroorganisme yang menyebabkan hewan dapat memperoleh vitamin Brz dari llora ususnya sendiri.
Vitamin Bre dalam makanan manusia juga ter-
ikat pada protein, telapi akan dibebaskan pada proses proteolisis. Jenis makanan yang kaya akan vitamin Brz adalah jeroan (hati, ginjal, jantung) dan kerang. Kuning telur, susu kering bebas lemak dan makanan yang berasal dari laut (ikan sardin, kepiting) mengandung vitamin Bre dalam jumlah sedang.
FARMAKOKINETIK.
743
plasma mencapai puncak dalam waktu 1 jam setelah suntikan lM. Hidroksokobalamin dan koenzim Brz lebih lambat diabsorpsi, agaknya karena ikatannya yang lebih kuat dengan protein. Absorpsi per oral berlangsung lambat di ileum; kadar puncak dicapai 8-12 jam setelah pemberian 3 mcg. Absorpsi ini berlangsung dengan dua mekanisme, yaitu dengan perantaraan faktor intrinsik Castle (FlC) dan absorpsi secara langsung.
Absorpsi dengan perantaraan FIC sangat penting, dan sebagian besar anemia megaloblastik disebabkan oleh gangguan mekanisme ini. Setelah dibebaskan dari ikatan protein vitamin Brz dari makanan akan membentuk kompleks Brz - FlC. FIC
hanya mampu mengikat sejumlah 1,5-3 mcg vitamin Brz. Kompleks ini masuk ke ileum dan di sini melekat pada reseptor khusus di sel mukosa ileum untuk diabsorpsi. Untuk perlekatan ini diperlukan ion kalsium (ion magnesium dapat juga membantu) dan suasana pH sekitar 6. Absorpsi bedangsung dengan mekanisme pinositosis oleh sel mukosa ileum. FIC yang dihasilkan oleh sel parietal lambung, merupakan suatu glikoprotein dengan berat molekul 60 000. Bila sekresi FIC bertambah, misalnya akibat obat-obat kolinergik, histamin, dan mungkin juga beberapa hormon seperti ACTH, kortikosteroid dan hormon tiroid, maka absorpsi vitamin Brz juga akan meningkat. Karena untuk diabsorpsi vitamin Brz harus dibebaskan lebih dahulu dari protein, maka jumlah yang diabsorpsi juga tergantung dari ikatannya dengan makanan/jenis makanan. Faktor intrinsik konsentrat (eksogen) yang diberikan bersama vitamin Brz hanya berguna untuk penderita yang kurang mensekresi FIC dan penderita menolak untuk disuntik. Kebanyakan penderita akan menjadi refrakter setelah pengobatan lebih dari satu tahun, diduga karena terbentuknya antibodi terhadap laktor intrinsik konsentrat di usus. Yang juga dapat mengurangi absorpsi vitamin Brz ialah pengkelat kalsium dan sorbitol dosis besar (mungkin menyebabkan diare).
Absorpsi secara langsung tidak begitu p"nting, karena baru terjadi pada kadar vitamin 812 yang tinggi, dan berlangsung secara difusi;jadi merupakan suatu mass action effect.
Transport. Setelah diabsorpsi, hampir semua vita-
Absorpsi. Sianokobalamin diabsorpsi baik dan
min Bre dalam darah terikat dengan protein plasma. Sebagian besar terikat pada beta-globulin (transko-
cepat setelah pemberian lM dan SK. Kadar dalam
balamin ll), sisanya terikat pada alla-glikoprotein
744
(transkobalamin l) dan inter-alta-g likoprotein (trans-
kobalamin lll). Vitamin 812 yang terikat pada transkobalamin ll akan diangkut ke berbagai jaringan, terutama hati yang merupakan gudang utama penyimpanan vitamin Brz (50-90 %). Kadar normal vitamin Brz dalam plasma adalah 200-900 pg/ml dengan simpanan sebanyak 1-10 mg dalam hepar. Nasib dan ekskresi. Baik sianokobalamin maupun hidroksokobalamin dalam jaringan dan darah terikat oleh protein. Seperti halnya koenzim Bre, ikatan dengan hidroksokobalamin lebih kuat sehingga sukar diekskresi melalui urin. Di dalam hati kedua kobalamin tersebut akan diubah menjadi koenzim Brz. Pengurangan jumlah kobalamin dalam tubuh disebabkan oleh ekskresi melalui saluran empedu; sebanyak 3-7 mcg sehari harus direabsorpsi dengan perantaraan FlC. Ekskresi bersama urin hanya terjadi pada bentuk yang tidak terikat protein. Delapan puluh sampai 95 % vitamin 812 akan diretensi dalam tubuh bila diberikan dalam dosis sampai 50 mcg; dengan dosis yang lebih besar, jumlah yang diekskresi akan lebih banyak. Jadi bila kapasitas ikatan protein dari hati, jaringan dan darah telah jenuh, vitamin Brz bebas akan dikeluarkan bersama urin sehingga tidak ada gunanya memberikan vitamin Brz dalam jumlah yang terlalu besar. Vitamin B12 dapat menembus sawar urin dan masuk ke dalam sirkulasi bayi.
SEDIAAN DAN POSOLOGI Vitamin Brz diindikasikan untuk penderita defisiensi
vitamin 812 misalnya anemia pernisiosa. pada penderita tanpa komplikasi perbaikan subyektif dan
obyektif cepat diperoleh. Karena kausa tidak dihilangkan (kekurangan FIC tidak diperbaiki), penderita memerlukan terapi seumur hidup. pada penderita anemia pernisiosa yang berat, selain gejala anemia mungkin terdapat trombositopenia dan leukopenia berat, kerusakan neurologik yang menyolok, kerusakan hati berat atau komplikasi bentuk lain. Walaupun diagnosis pasti belum ditegakkan, sebaiknya langsung disuntikkan 100 mcg sianokobalamin dan asam folat 1-5 mg secara lM. Selanjutnya 100 mcg sianokobalamin lM dan 1-2 mg asam folat per oral diberikan selama 1-2 minggu. Tindakan ini dilakukan untuk menghindari kerusakan neurologik yang lebih berat. Vitamin Br z tersedia dalam bentuk tablet untuk
pemberian oral dan larutan untuk suntikan. peng-
Farmakologi dan Terapi
gunaan sediaan oral pada pengobatan anemia pernisiosa kurang bermanlaat dan biasanya terapi oral lebih mahal daripada terapi parenteral. Sediaan antianemia yang terdiri dari campuran Fe, vitamin 812, asam folat, kobal, Cu, ekstrak hati dan sebagainya, selain mahal, juga akan mengaburkan etiologi anemia yang sebenarnya. Meskipun sediaan oral dapat bermanfaat sebagai suplemen diit, namun kecil manfaatnya untuk penderita yang kekurangan laktor intrinsik atau penderita dengan gangguan ileum, karena absorpsi secara difusi tidak dapat diandalkan sebagai terapi efektif. Maka cara pemberian yang terbaik adalah secara lM atau SK yang disuntikkan dalam. Dikenal tiga jenis suntikan vitamin B12 yaitu (1 ) larutan sianokobalamin yang berkekuatan 1 0-1 000
mcg/ml; (2) larutan ekstrak hati dalam air; dan (3) suntikan depot vitamin Brz. Suntikan larutan sianokobalamin jarang sekali menyebabkan reaksi alergi dan iritasi di tempat suntikan. Kalau terjadi reaksi alergi biasanya karena sediaannya tidak murni. Manfaat larutan ekstrak hati terhadap anemia pernisiosa disebabkan oleh vitamin 812lang terkandung di dalamnya. Penggunaan suntikan ekstrak hati ini dapat menimbulkan reaksi alergi lokal maupun umum, dan dari yang ringan sampai berat. Reaksi ini disebabkan oleh alergen yang bersilat spesies spesifik dan bukan organ spesifik. Tidak ada hipersensitivitas silang antara larutan ekstrak hati dengan sianokobalamin. Tujuan penggunaan suntikan depot vitamin 812 adalah untuk mengurangi lre-
kuensi suntikan. Namun manfaat penggunaan sediaan ini masih dalam penelitian.
Selain sediaan-sediaan di atas, terdapat pula suntikan hidroksokobalamin 100 mcg yang memberikan efek lebih lama daripada sianokobalamin, sehingga interval penyuntikkan dapat diperpanjang.
Akan tetapi pada penyuntikkan sediaan ini dapat terbentuk antibodi terhadap transkobalamin ll yang mengikatnya. Dosis sianokobalamin untuk penderita anemia pernisiosa tergantung dari berat anemianya, ada tidaknya komplikasi dan respons terhadap pengobatan. Secara garis besar cara penggunaannya dibagi atas terapi awal yang intensif dan terapi penunjang. Sebelum pengobatan dimulai dapat dilakukan percobaan terapi untuk memastikan diagnosis anemia pernisiosa. Untuk ini hanya dibutuhkan dosis 1-10 mcg sehari yang diberikan selama 10 hari. Jumlah sekecil ini akan menimbulkan respons he-
Antianemia Defisiensi
matologik berupa reaksi retikulosit pada anemia pernisiosa tanpa komplikasi. Percobaan terapi ini
terbentuk bertindak sebagai akseptor berbagai unit karbon tunggal dan selanjutnya memindahkan unit
tidak dianjurkan pada penderita anemia megalob-
ini kepada zal-zal yang memerlukan. Berbagai
lastik berat dengan gangguan neurologi, sebab
reaksi penting yang menggunakan unit karbon tunggal adalah: (1) sintesis purin melalui pembentukan asam inosinat; (2) sintesis nukleotida pirimidin melalui metilasi asam deoksiuridilat menjadi asam timidilat; (3) interkonversi beberapa asam amino misalnya antara serin dengan glisin, histidin dengan asam glutamat, homosistein dengan metionin (yang terakhir ini memerlukan pula vitamin 812).
pengobatan harus segera dimulai, demikian pula pada penderita usia lanjut yang lebih rentan terhadap hipoksia jaringan akibat anemia. Pada terapi awal diberikan dosis 100 mcg sehari parenteral selama 5-10 hari. Dengan terapi ini respons hematologik baik sekali, tetapi respons dapat kurang memuaskan bila terdapat keadaan yang menghambat hematopoesis misalnya infeksi, uremia atau penggunaan kloramfenikol. Respons yang buruk dengan dosis 100 mcg/hari selama 10 hari, mungkin juga disebabkan oleh salah diagnosis atau potensi obat yang kurang. Progresi kerusakan neurologik pada anemia pernisiosa dapat dihentikan dengan sempurna, sedangkan perbaikan yang nyata dari kerusakan yang telah terjadi hanya dapat diperoleh bila terapi dimulai sedini mungkin.
Terapi penuniang dilakukan dengan memberikan dosis penunjang 100- 200 mcg sebulan sekali sampai diperoleh remisi yang lengkap yaitu
jumlah eritrosit dalam darah + 4,5 juta/mm' dan morfologi hematologik berada dalam batas-batas normal. Kemudian 100 mcg sebulan sekali cukup untuk mempertahankan remisi. Pemberian dosis penunjang setiap bulan ini penting sebab retensi vitamin Brz terbatas, walaupun diberikan dosis sampai 1000 mcg.
2.2. ASAM FOLAT
Asam lolat (asam pteroilmonoglutamat, PmGA) terdiri atas bagian- bagian pteridin, asam para-aminobenzoat dan asam glutamat. Dari penelitian terbukti bahwa yang memiliki arti biologik adalah gugus PABA dan gugus asam glutamat. PmGA bersama-sama dengan koniugat yang mengandung lebih dari satu asam glutamat, membentuk suatu kelompok zat yang dikenal sebagai folat. Folat terdapat dalam hampir setiap jenis makanan dengan kadar tertinggi dalam hati, ragi dan daun hijau yang segar. Folat mudah rusak dengan pengolahan (pemasakan) makanan.
FUNGSI METABOLIK. PmGA merupakan prekursor inaktil dari beberapa koenzim yang berfungsi pada transler unit karbon tunggal (single carbon unit). Mula-mula lolat reduktase mereduksi PmGA menjadi THFA (asam tetrahidrofolat). THFA yang
KEBUTUHAN FOLAT. Kebutuhan tubuh akan folat rata-rata 50 mcg sehari, dalam bentuk PmGA, tetapi
jumlah ini dipengaruhi oleh kecepatan metabolisme dan lafu malih sel (cell turn-over) setiap harinya. Jadi, peningkatan metabolisme akibat penyakit infeksi, anemia hemolitik dan adanya tumor ganas akan meningkatkan kebutuhan folat. DEFISIENSI FOLAT. Delisiensi lolat sering merupakan komplikasi dari (1) gangguan di usus kecil; (2) alkoholisme yang menyebabkan asupan makanan buruk; (3) efek toksik alkohol pada sel hepar; dan
(4) anemia hemolitik yang menyebabkan laju malih eritrosit tinggi. Obat-obat yang dapat menghambat enzim dihidrofolat reduktase (misalnya metotreksat, trimetoprim) dan yang mengadakan interaksi pada absorpsi dan penyimpanan folat (misalnya beberapa antikonvulsi dan kontrasepsi oral) dapat menurunkan kadar lolat dalam plasma dan menimbulkan anemia megaloblastik. Dipandang dari sudut biologik, delisiensi lolat terutama akan memperlihatkan gangguan pertum-
buhan akibat gangguan pembentukan nukleotida purin dan pirimidin. Gangguan ini akan menyebabkan kegagalan sintesis DNA dan hambatan mitosis sel. Semua jaringan yang cepat berprolilerasi akan dipengaruhi, misalnya pada darah, eritropoiesis normoblastik akan menjadi megaloblastik. Perubahan megaloblastik ini dapat diperbaiki dengan pemberian timin sehingga timbul dugaan bahwa terjadi kegagalan lungsi timidilat sintetase. Dalam hal ini perubahan megaloblastik akibat delisiensi vitamin Brz lidak dipengaruhi.
Gejala Klinik. Gejala delisiensi lolat yang paling menonjol adalah hematopoesis megaloblastik (yang menyerupai anemia defisiensi vitamin Btz). Selain itu, terjadi juga glositis, diare dan penurunan berat badan. Perbedaan klinik yang nyata antara defisiensi {olat dengan defisiensi vitamin Btz ialah bahwa pada yang pertama tidak terdapat kerusakan
746
Farmakologi dan Terapi
sarung mielin sehingga tidak ada gangguan neurologik. Hal ini dapat diterangkan dengan sifat folat yang secara selektil dapat menumpuk dalam cairan "serebrospinal, tetapi akibat gangguan metabolisme otak penderita dapat menunjukkan gejala insomnia, pelupa dan iritabilitas. Sel epitel usus, yang regenerasinya juga tinggi, tidak dirusak secara lungsional maupun morfologik, mungkin berdasarkan kebutuhan akan lolat yang rendah sehingga jumlah lolat yang dapat dipertahankan masih mencukupi. Sebaliknya, suatu
antagonis folat yang juga menyebabkan delisiensi lolat akan menimbulkan kelainan lungsional dan morfologik pada epitel usus. FARMAKOKINETIK. Pada pemberian oral absorpsi folat baik sekali, terutama di 1/3 bagian proksimal
usus halus. Dengan dosis oral yang kecil, absorpsi memerlukan energi, sedangkan pada kadar tinggi absorpsi dapat berlangsung secara dilusi. Walaupun terdapat gangguan pada usus halus, absorpsi lolat biasanya masih mencukupi kebutuhan terutama sebagai PmGA. Ada tidaknya transport protein belum dapat dipastikan, tetapi yang jelas 2/3 dari asam lolat
yang terdapat dalam plasma darah terikat pada protein yang tidak dililtrasi ginjal. Distribusinya merata ke semua sel jaringan dan terjadi penumpukan dalam cairan serebrospinal. Ekskresi berlangsung melalui ginjal, sebagian besar dalam bentuk metabolit. Belum diketahui pas-
ti apakah degradasi berlangsung di ginjal alau
di
tempat lain. Pada orang dengan diet normal, jumlah yang diekskresi hanya sedikit sekali, dan akan meningkat bila diberikan lolat dalam jumlah besar.
SEDIAAN DAN POSOLOGI. Folat tersedia sebagai asam folat dalam bentuk tablet0,1;O,4;4;5; 10 atau 20 mg dan dalam larutan injeksi asam lolat 5 mg/ml. Selain itu, asam lolat terdapat dalam berbagai sediaan multivitamin atau digabung dengan antiane-
mia lainnya. Asam lolat injeksi biasanya hanya digu-
nakan sebagai antidotum pada intoksikasi antifolal (antikanker). Penggunaan lolat yang rasional adalah pada
pencegahan dan pengobatan defisiensi folat. Harus diingat bahwa penggunaan secara membabi buta dapat merugikan penderita, sebab folat dapal memperbaiki kelainan darah pada anemia perni-
siosa tanpa memperbaiki kelainan neurologik sehingga dapat berakibat penderita cacat seumur hidup.
Dosis yang digunakan tergantung dari berat-
nya anemia dan komplikasi yang ada. Umumnya lolat diberikan per oral, tetapi bila keadaan tidak memungkinkan, folat diberikan secara lM atau SK.
Untuk tujuan diagnostik digunakan dosis 0,1
mg per oral selama 10 hari yang hanya menimbulkan respons hematologik pada penderita defisiensi folat. Hal ini membedakannya dengan defisiensi vitamin'Brz yang baru memberikan respons hematologik dengan dosis 0,2 mg per hari atau lebih. Terapi awal pada defisiensi {olat tanpa komplikasi dimulai dengan 0,5-1 mg sehari secara oral selama 10 hari. Dengan adanya komplikasi di mana kebutuhan lolat meningkat disertai pula dengan supresi hematopoesis, dosis perlu lebih besar. Setelah perbaikan cukup memuaskan, terapi dilanjutkan dengan dosis penunjang yang biasanya berkisar antara 0,1-0,5 mg sehari. Efek toksik pada penggunaan folat untuk manusia hingga sekarang belum pernah dilaporkan terjadi. Sedangkan pada tikus, dosis tinggi dapal menyebabkan pengendapan kristal asam lolat dalam tubuli ginjal, Dosis 15 mg pada manusia masih belum menimbulkan efek toksik. Ada laporan yang menyatakan bahwa asam folat dapat menurunkan elek antiepilepsi fenobarbital, fenitoin dan primidon sehingga meningkatkan frekuensi serangan, tetapi pernyataan ini disangkal oleh peneliti lain.
Antikoagulan, Antitrombosit,
T
747
romblitik dan Hemostatik
51. ANTIKOAGULAN, ANTITROMBOSIT, TROMBOLITIK DAN HEMOSTATIK Hedi Rosmiati dan Vincent H.S. Gan
1. Hemostasis 2. Antikoagulan 2.1. Heparin 2.2. Antikoagulan oral 2.3. Antikoagulan pengikat ion kalsium
Pada bab ini akan dibahas obat-obat untuk pencegahan dan pengobatan tromboemboli dan untuk mengatasi perdarahan. Kedua keadaan tersebut terjadi karena terganggunya proses hemostasis, khususnya lungsi trombosit dan proses pembekuan darah.
Tromboemboli merupakan salah satu penyebab sakit dan kematian yang banyak terjadi' Kelainan ini sering merupakan penyulit atau menyertai penyakit lain misalnya gagal jantung, diabetes melitus, varises vena dan kerusakan arteri. Banyak faktor mempengaruhi timbulnya tromboemboli, misalnya trauma, kebiasaan merokok, pembedahan' imobilisasi, kehamilan atau akibat obat-obat yang
3. Antitrombotik 4. Trombolitik 5. Hemostatik 5.1. Hemostatik lokal 5.2. Hemostatik sistemik
membentuk sumbat trombosit' Selanjutnya sumbat trombosit oleh librin yang dibentuk melalui proses pembekuan darah akan memperkuat sumbat trombosit yang telah terbentuk sebelumnya' Dalam garis besar proses pembekuan darah berjalan melalui tiga tahap: (1) aktivasitromboplastin; (2) pembentukan trombin dari protrombin, dan (3) pembentukan iibrin dari {ibrinogen. Dalam proses ini diperlukan
faktor{aktor pembekuan darah dan hingga kini dikenal 15 laktor pembekuan darah (Tabel 51-1). Tabel
51-1, FAKTOR-FAKTOR UNTUK
PEMBEKU-
AN DARAH
Tromboplastin iaringan
suk hemostatik.
I ll lll lV V Vll
obat ini terlebih dahulu akan dibahas mengenai
Vlll
Globulin antihemolilik (AHG), faktor A antihe-
mengandung estrogen. Obalyalg!1llunal
lxa
Protrombin (ll)
Trombin (lla) J
Fibrinogen (l)
', I
Fibrin (la)
Xllla
Fibrin (stabit)
Gambar 51.1, Proses pembekuan darah
Antikoagulan, Antitombosit, Trombolitik dan Hemostatik
trombin dan bentuk aktif faktor-faktor pembekuan darah lain, termasuk laktoJ lxa, Xa, Xla, Xlla. Untuk mempertahankan kecairaiEah-ffiii6ncegah trombosis diperlukan kadar normal AT-lll dan ikat-
749
boemboli terutama pada vena. Kedua macam antikoagulan ini juga bermanlaat untuk pengobatan trombosis arteri karena mempengaruhi pembentukan librin yang diperlukan untuk mempertahan-
annya dengan bentuk aktil faktor- faktor pembe-
kan gumpalan trombosit. Pada trombus yang sudah
kuan darah. Defisiensi AT-lll dapat terladi secara heriditer. Selain itu kadar AT-lll mungkin menurun setelah operasi atau pada pasien koagulasi intravaskular diseminata (diseminated intravascular coagulation, DIC), sirosis hepatis, sindrom nefrotik,
terbentuk, antikoagulan hanya mencegah membesarnya trombus dan mengurangi kemungkinan terjadinya emboli, tetapi tidak memperkecil trombus. Antikoagulan dapat dibagi menjadi 3 kelompok : (1) heparin; (2) antikoagulan oral, terdiri dari
trombosis akut. Prqpalat konlrasepsi yang mengan-
duns estrosen juga *' *DetfSiensi' AT-
ni;;0iire!"gffAljliltrljl-*il
I
"yand' ber;if at
h
erid
iter d itan-
dai dengan adanya gejala trombosis yang seringkali
terlihat untuk pertama kali pada masa kehamilan. Pada pasien ini dilaporkan pula terjadi tromboemboliberulanq(recurrent){fin-tik66!il*lai-tirdl-meiiid6€ _L:\ "+ //* =_r__ q3gg!-gllivitas AT-lll, maka obat ini merupakan u , obat terpilih untuk pasien dengan gangguan heri- i
derivat 4-hidroksikumarin misalnya: dikumoral, war-
larin, dan derivat-derivat indan-1 ,3-dion misalnya: anisindion; (3) antikoagulan yang bekerja dengan mengikat ion kalsium, salah satu faktor pembekuan darah.
2.1. HEPARIN
.
)dileiTersebiit.
i
t"*-
--,
Protein C dan S. Sintesisnya tergantung pada vitamin K. Protein C terikat pada trombomodulen pada permukaan sel endotel dimana zat ini diaktivasi oleh
trombin. Protein C aktil, menginaktivasi laktor pembekuan V dan Vlll. Protein S merupakan kofaktor untuk meningkatkan aktivitas Protein C. Defisiensi faktor-faktor ini dapat menyebabkan tromboemboli misalnya pada pasien penyakit hati, dan DlC. Sistem fibrinolitik terdiri dari : (1) plasminogen ialah proenzim dalam sirkulasi dan bentuk aktifnya, plasmin; (2) aktivator plasminogen yang merupakan enzim-enzim yang berada dalam darah, endotel pembuluh darah dan banyak jaringan; (3) inhibitor spesilik yaitu cr2 antiplasmin dan inhibitor plasminogen aktivator.
2. ANTIKOAGULAN Antikoagulan digunakan untuk mencegah pembekuan darah dengan jalan menghambat pembentukan atau menghambat lungsi beberapa laktor
pembekuan darah. Atas dasar ini antikoagulan diperlukan untuk mencegah terbentuk dan meluasnya trombus dan emboli, maupun untuk mencegah bekunya darah in vitro pada pemeriksaan laboratorium atau transfusi, Antikoagulan oral dan heparin menghambat pembentukan librin dan digunakan secara prolilaktik untuk mengurangi insidens trom-
Heparin endogen merupakan suatu mukopolisakarida yang mengandung sullat. Zat ini disintesis di dalam sel mast dan terutama banyak terdapat di paru. Peranan fisiologik heparin belum diketahui seluruhnya, akan tetapi penglepasannya ke dalam darah yang tiba-tiba pada syok analilaksis
menunjukkan bahwa heparin mungkin berperan dalam reaksi imunologik.
FARMAKODINAMIK MEKANISME KERJA. Heparin mengikat antitrombin lll membentuk
xomoffin
besar dari antitrg0lin Jllsend"ir,Lterhadap beberapa faktoibEffi66Kuan darah aktil, terutama trombin dan
faktor Xa. Oleh karena itu heparin lgg1ner9gt*" inaktivasi f aktor pembeku an darah. SGd'iEHilfi"5pari6 dengan berat moleiiJi r;;dafiI< 6000) beraktivitas anti-Xa kuat dan sifat antitrombin sedang; sedangkan sediaan heparin dengan berat molekul yang tinggi (> 25.000) beraktivitas antitrombin kuat -i---.-*" dan aktivitas anti-Xa yang sedang.
Dosis kecil heparin dengan AT-lll menginaktivasi faktor Xa dan mencegah pembekuan deingan mencegah perubahan protrombin menjadi trombin. Heparin dengan jumlah yang lebih besar bersama AT-lll menghambat pembekuan dengan menginaktivasi trombin dan faktor- faktor pembekuan sebelumnya, sehingga mencegah perubahan fibrincgen menjadi fibrin. Heparin juga menginaktivasi laktor
Xllla dan mencegah terbentuknya bekuan librin yang stabil.
Farmakologi dan Terapi
Terhadap lemak darah, heparin bersilat lipotropik yaitu memperlancar transfer lemak darah ke dalam depot lemak. Aksi penjernih initerjadi karena heparin membebaskan enzim-enzim yang menghidrolisis lemak (salah satu di antaranya ialah lipase lipoprotein) ke dalam sirkulasi serta menstabilkan aktivitasnya. Elek lipotropik ini dapat dihambal oleh protamin,
blood clotting time), partial thromboplastin time (PTT), atau activated partial thromboplastin time (APTT). Tes APTT ialah yang paling banyak dilakukan. Trombosis umumnya dapat dicegah bila APTT 1 112 - 2 kali nilai normal (nilai APTT 60-80 detik bila
nilainormal40 detik). FARMAKOKINETIK
Pengaruh heparin terhadap hasil pemeriksaan darah. Bila ditambahkan pada darah, heparin tidak mengubah hasil pemeriksaan rutin kimia darah, tetapi heparin mengubah bentuk eritrosit dan leukosit. Ujilragilitas tidak dapat dilakukan pada darah berheparin karena heparin mencegah hemolisis.
Heparin tidak diabsorpsi secara oral, karena itu diberikan secara SK atau lV. Pemberian secara SK memberikan masa kerja yang lebih lama tetapi efeknya tidak dapat diramalkan. Suntikan lM dapat menyebabkan terjadinya hematom yang besar pa-
Hitung leukosit darah yang dicampur heparin in vitro
da tempat suntikan dan absorpsinya tidak teratur serta tidak dapat diramalkan. Elek antikoagulan segera timbul pada pemberian suntikan bolus lV dengan dosis terapi, dan terjadi kira-kira 20-30
harus dilakukan dalam dua jam, sebab setelah 2 jam leukosit dapal menghilang. Nilai laju endap eritrosit (BSB) darah berheparin juga berbeda dibandingkan darah dengan senyawa oksalat atau sitrat. Sampel darah yang diambil melalui kanula lV,
yang sebelumnya secara intermiten dilalui larutan garam berheparin, mengandung kadar asam lemak bebas yang meningkat, Hal ini akan menghambat ikatan protein plasma dari obat-obat lipofilik misalnya propranolol, kuinidin, lenitoin dan digoksin sehingga mempengaruhi pengukuran kadar obat-obat tersebut.
Efek lain. Heparin dilaporkan menekan kecepatan sekresi aldosleron, meningkatkan kadar tiroksin bebas dalam plasma, menghambat aktivator fibrinolitik, menghambat penyembuhan luka, menekan imunitas selular, menekan reaksi hospes terhadap graft dan mempercepat penyembuhan luka bakar.
Monitoring pengobatan. Agar obat elektif mencegah pembekuan dan tidak menimbulkan perdarahan maka diperlukan penentuan dosis yang tepat, pemeriksaan darah berulang dan tes laboratorium yang dapat dipercaya hasilnya. Pada saat ini telah terbukti bahwa dosis kecil heparin yang diberikan subkutan unluk mencegah emboli vena tidak memerlukan pemeriksaan darah berulang. Akan tetapi karena respons pasien terhadap heparin bervariasi
maka mungkin satu alau 2 tes untuk aktivitas heparin diperlukan pada permulaan pengobatan. Monitoring pemeriksaan laboratorium mungkin diperlukan bila dosis standard heparin diberikan secara intermiten lV atau secara infus lV. Berbagai tes
yang dianjurkan untuk memonitor pengobatan dengan heparin ialah waktu pembekuan darah (whole
menit setelah suntikan SK. Heparin cepat dimetabolisme terutama di hati. Masa paruhnya tergantung dari dosis yang digunakan, suntikan lV 100, 400, atau 800 unit/kgBB memperlihatkan masa paruh masing-masing kira-kira 1 , 2 112 dan 5 jam. Masa paruh mungkin memendek pada pasien emboli paru dan memanjang pada pasien sirosis hepatis atau penyakit ginjal berat, Metabolit inaktif diekskresi melalui urin. Heparin diekskresi dalam bentuk utuh melalui urin hanya bila digunakan dosis besar lV, Penderita emboli paru memerlukan dosis heparin yang lebih tinggi karena bersihan yang lebih cepat. Terdapat variasi individual dalam elek antikoagulan yang ditimbulkan maupun dalam kecepatan bersihan obat. Heparin tidak melalui plasenta dan tidak terdapat dalam air susu ibu.
POSOLOGI Heparin tersedia sebagai larutan untuk pema-
kaian parenteral dengan kekuatan 1000-40.000 unit/ml (=USP unit), dan sebagai repository alau depot heparin dengan kekuatan 20.000-40.000 uniV ml.
Pemberian lV (intermiten) : Pada orang dewasa biasanya dimulai dengan 5.000 unit dan selanjut-
nya 5.000-10.000 unit untuk tiap 4- 6 jam, terganlung dari berat badan dan respons pasien. Pada hakekatnya dosis ditentukan berdasarkan masa pembekuan. Untuk DIC ada yang menganjurkan dimulai dengan 50 unit/kg pada dewasa dan 25 unit/kg pada anak tiap 6 jam atau diberikan secara
Antikoagulan, Antitrombosit, Trombolitik dan Hemostatik
751
infus. Untuk anak, dimulai dengan 50 unit/kgBB dan selanjutnya 100 unit/kgBB tiap 4 jam. Pada inlus lV untuk orang dewasa heparin 20.000-40.000 unit dilarutkan dalam 1 liter larutan glukosa 5 % atau NaCl 0,9 % dan diberikan dalam 24 jam. Untuk mempercepat timbulnya elek, dianjurkan menambahkan 5.000 unit langsung ke dalam pipa infus sebelumnya, Kecepatan infus didasarkan pada nilai APTT. Komplikasi perdarahan umumnya lebih jarang terjadi dibandingkan dengan pemberian secara intermiten. Untuk anak dimulai dengan 50 unig/kg diikuti dengan 100 unit/kg tiap 4 jam. Heparin dapat juga diberikan secara SK da-
atau mungkin kurang. Kadang-kadang dapat terjadi alopesia sementara dan perasaan panas pada kaki. Trombositopenia ringan yang bersifat sementara dapat terjadi pada25 % pasien; dan pada beberapa pasien dapat terjadi trombositopenia berat. Nekrosis kulit yang kadang-kadang cukup berat dapat terjadi pada tempat penyuntikan SK. Penggunaan
lam. Pada orang dewasa untuk tujuan prolilaksis tromboemboli pada tindakan operasi diberikan 5.000 unit 2 jam sebelum operasi dan selanjutnya tiap 12 jam sampai pasien keluar dari rumah sakit. Dosis penuh biasanya 10.000 - 12,000 unit tiap 8 jam atau 14.000 - 20.000 unit tiap 12 jam. Pemakaian heparin lM tidak dianjurkan lagi
karena sering terjadi perdarahan dan hematom yang disertai rasa sakit pada tempat suntikan. EFEK SAMPING DAN INTOKSIKASI Bahaya utama pemberian heparin secara lV atau SK ialah perdarahan, telapi pemberian secara lV atau SK jarang menimbulkan efek samping. Ter-
jadinya perdarahan dapat dikurangi dengan : (1) mengawasi/mengatur dosis obat; (2) menghindari penggunaan bersamaan dengan obat yang mengandung aspirin; (3) seleksi pasien;dan (4) memperhatikan kontraindikasi pemberian heparin. Selama masa lromboemboli akut, resistensi atau toleransi terhadap heparin dapat terjadi, dan karena itu efek antikoagulan harus dimonitor dengan tes pembekuan darah misalnya activated partial thrombo-
plastin frme (APTT). Perdarahan antara lain dapat berupa perdarahan saluran cerna atau hematuria. Wanita usia lanjut umumnya lebih mudah mengalami komplikasi perdarahan. Ekimosis dan hematom pada tempat suntikan dapat terjadi baik setelah pemberian heparin secara SK maupun lM. Karena heparin berasal dari jaringan hewan, maka harus digunakan secara hati-hati pada pasien alergi. Beaksi hipersensitivitas antara lain berupa menggigil, demam, urtikaria atau syok anafilaksis. Pada penggunaan jangka panjang dapat terjadi mialgia, nyeri tulang dan osteoporosis. Osteoporosis dan lraktur spontan dapat terjadi bila dosis melebihi 20.000 unit/hari diberikan selama 4 bulan
heparin pada masa kehamilan nampaknya tidak lebih aman dari antikoagulan oral. lnsidens perdarahan maternal, lahir mati dan lahir prematur dilaporkan meningkat pada penggunaan heparin.
KONTRAINDIKASI Heparin dikontraindikasikan pada pasien yang
sedang mengalami perdarahan atau cenderung mengalami perdarahan misalnya: pasien hemolilia,
permeabilitas kapiler yang meningkal, threatened abortion, endokarditis bakterial subakut, perdarahan intrakranial, lesi ulseratil terutama pada saluran cerna, anestesia lumbal atau regional, hipertensi berat, syok. Heparin tidak boleh diberikan selama atau setelah operasi mata, otak atau medula spinal, dan pasien yang mengalami pungsi lumbal atau anestesi blok. Heparin juga dikontraindikasikan pada pasien yang mendapat dosis besar etanol, peminum alkohol dan pasien yang hipersensitif terhadap heparin. Meskipun heparin tidak melalui plasenta, obat ini hanya digunakan untuk wanita hamil bila memang benar-benar diperlukan. Hal ini disebabkan insidens perdarahan maternal, lahir mati dan lahir prematur yang dilaporkan meningkat pada penggunaan heparin.
INDIKASI
Heparin merupakan satu-satunya antikoagulan yang diberikan secara parenteral dan merupakan obat terpilih bila diperlukan efek yang cepat, misalnya untuk emboli paru-paru dan trombosis vena dalam, oklusi arteri akut atau infark miokard akut. Obat inijuga digunakan untuk profilaksis tromboemboli vena selama operasi dan untuk mempertahankan sirkulasi ekstrakorporal selama operasi lantung terbuka. Heparin juga diindikasikan untuk wanita hamil yang memerlukan antikoagulan, Mengenai manfaat heparin untuk DIC belum didapatkan kesepakatan.
752
Farmakologi dan Terapi
INTOKSIKASI HEPARIN
siglutamat. Untuk berfungsi vitamin K mengalami siklus oksidasi dan reduksi dihati. Antikoagulan oral
Perdarahan ringan akibat heparin biasanya
mencegah reduksi vitamin K teroksidasi sehingga
cukUp diatasi dengan menghentikan pemberian heparin. Tetapi perdarahan yang cukup berat perlu di-
aktivasi faktor- laktor pembekuan darah terganggu/ tidak terjadi. Karena efek antikoagulan oral berdasarkan
hentikan dengan antagonis heparin. Tersedia bermacam-macam sediaan antagonis heparin antara lain protamin sulfat. Protamin sulfat ialah suatu basa kuat yang dapat mengikat dan menginaktivasi heparin, tetapi zat inijuga memiliki efek antikoagulan dan memperpanjang waktu pembekuan. Tiap mg protamin menetralkan 80-100 USP unit aktivitas heparin (tergantung dari sumber heparin). Reaksi ini berlangsung segera dan menetap kira- kira 2 jam. Karena elek heparin lebih ldma dari protamin maka perdarahan dapat kambuh terutama pada pasien pas-
cabedah, sehingga diperlukan suntikan protamin berikutnya. Penggunaan protamin biasanya cukup aman. Dosis sampai 200 mg lV dalam 2 jam biasanya tidak menimbulkan elek samping. Protamin tersedia dalam bentuk larutan atau serbuk untuk suntikan lV. Dosis total ditentukan oleh jumlah heparin yang diberikan selama 3-4 jam sebelumnya, 1 mg protamin sulfat menetralkan sekurang-kurangnya 80 USP unit aktivitas heparin
dari jaringan paru dan 100 USP unit aktivitas heparin dari mukosa usus. Obat ini harus disuntikkan perlahan-lahan untuk mencegah trombosis. Larutan 1 Yo disuntikkan selama 1-3 menit, atau maksimal 50 mg dalam 10 menit. Penderita diabetes melitus yang mendapal protamin zinc insulin jlka hipersensitif terhadap protamin dapat mengalami reaksi berat dengan gejala antara lain hipotensi, sesak napas dan bradikardi. Kadang-kadang terdapat perasaan panas danflushing pada muka.
2.2. ANTIKOAGULAN OHAL Dalam golongan ini dikenal derivat 4-hidroksikumarin dan derivat indan-1,3-dion. Perbedaan utama antara kedua derivat tersebut terletak pada dosis, mula kerja, masa kerja, dan efek sampingnya, sedangkan mekanisme kerjanya sama.
MEKANISME KERJA. Antikoagulan oral merupakan antagonis vitamin K. Vitamin K ialah kolaktor yang berperan dalam aktivasi faktor pembekuan darah ll, Vll, lX, X yaitu dalam mengubah residu asam glutamat menjadi residu asam gama-karbok-
penghambatan produksi faktor pembekuan, jelaslah bahwa efeknya baru nyata setelah sedikitnya 12-24 jam, yaitu setelah kadar faktor-faktor tersebut menurun sampai suatu nilai tertentu. Demikian juga perdarahan akibat takar lajak antikoagulan oral,
tidak dapat diatasi dengan segera oleh vitamin K. Untuk ini diperlukan transfusi darah segar atau plasma.
Faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas. Respons terhadap antikoagulan oral dapat dipengaruhi
oleh banyak faktor, misalnya asupan vitamin
K,
banyaknya lemak yang terdapat dalam makanan
atau interaksi dengan obat lain. Bayi baru lahir, pasien kahektik dan pasien dengan gangguan lungsi hati lebih sensitif terhadap antikoagulan oral. Selain itu respons terhadap antikoagulan oral akan ditingkatkan atau diperpanjang masa kerjanya pada pasien insufisiensi ginjal, demam dan skorbut. Sebaliknya, terdapat juga pasien yang resisten terhadap antikoagulan oral yang membutuhkan dosis 10 sampai 20 kali dosis lazim. Keadaan ini dihubungkan dengan kelainan genetik. Penggunaan antikoagulan oral bersama kortikotropin atau kortikosteroid dapat menyebabkan perdarahan berat.
INTERAKSI OBAT. Meskipun banyak obat mem-
pengaruhi kerja antikoagulan oral pada hewan coba, ternyata yang jelas mempengaruhi efek antikoagulan oral pada manusia jauh lebih sedikit jumlahnya (Tabel 51-2).
Obat yang mengurangi respons terhadap antikoagulan oral. Dalam kelompok ini terutama dikenal barbiturat, glutetimid dan rifampisin. Barbiturat menginduksi enzim mikrosom di hati sehingga mengurangi masa paruh kumarin. Pada kebanyakan pasien efek ini nyata setelah pemakaian bersama selama 2 hari; kadang- kadang elek baru terlihat setelah satu minggu. Dipercepatnya metabolisme antikoagulan oral oleh obat tersebut di atas menyebabkan dosis warfarin perlu ditingkatkan 2-4 kali lipat bertahap dalam waktu beberapa minggu untuk mengembalikan efektivitasnya. Kemudian, sewaktu
zat penginduksi tersebut dihentikan, dosis warfarin harus diturunkan kembali secara bertahap pula.
Antikoagulan, Antitombosit, Trombolitik dan Hemostatik
Tabe|
51.2. INTERAKSI OBAT DENGAN ANTIKOAGULAN ORAL
l.
Obat Yang Mengurangi Respons Terhadap Antikoagulan Oral
A. B. C.
ll.
dengan menghambat absorpsi : griseofulvin dengan menginduksi enzim mikrosom hati : barbiturat, etklorvinol, glutetimid dan griseofulvin*. dengan merangsang pembentukan faktor pembekuan darah : vitamin K.
Obat Yang Meningkatkan Respons Terhadap Antikoagulan Oral
A. B. C. D.
E.
F.
dengan menggeser antikoagulan dari ikatannya dengan plagma albumin : kloralhidrat, klofibrat", asam mefenamat, fenilbutazen dan diazoksid. dengan meningkatkan af initas terhadap reseptor: d-tiroksin*.
dengan menghambat enzim mikrosom hati : kloramlenikol dan klof ibrat*. dengan menghambat availabilitas vitamin K: steroid anabolik*, klofibrat', d-tiroksin" dan antibiotik spektrum luas. dengan menghambat pembentukan faktor pembekuan darah : steroid anabolik*, glukagon', kuinidin" dan salisilat*. dengan meningkatkan katabolisme faktor pembekuan darah : steroid anabolik* dan d-tiroksin*.
* mekanisme belum diketahui dengan pasti
Obat yang meningkatkan respons terhadap antikoagulan oral. Pada pasien yang sedang dalam pengobatan dengan antikoagulan oral, pemakaian dosis besar salisilat dapat menyebabkan perdarahan. Elek ini mungkin disebabkan oleh efek langsung salisilat berupa iritasi lambung, penekanan fungsi trombosit; atau karena hipoprotrombinemik. Bila disebabkan oleh hipoprotrombinemik, maka keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian vitamin K.
Antibiotik dan obat lain yang mempengaruhi mikroflora usus dapat meningkatkan efek antivitamin K dari antikoagulan oral sebab mikroflora usus merupakan sumbervitamin K. Tetapi efek ini biasanya tidak terlihat, kecuali bila terdapat defisiensi vitamin K pada makanan. Beberapa jenis antiinllamasi, antara lain {enilbutazon, sullinpirazon, oksilenbutazon dan asam melenamat, dapat menggeser antikoagulan oral dari ikatannya dengan albumin plasma. Penggeseran ini menyebabkan peningkatan sementara kadar antikoagulan oral bebas dalam darah; biotransformasi dan ekskresi juga meningkat sehingga masa paruh
753
diperpendek. Selanjutnya akan tercapai kembali tarat-mantap baru dengan nilai kadar antikoagulan bebas di dalam darah dan masa protrombin seperti sebelum terjadi interaksi obat. Meskipun hanya bersifat sementara, peningkatan kadar antikoagulan oral bebas dalam darah ini dapat menyebabkan perdarahan berat. Karena itu diperlukan pemeriksaan.waktu protrombin secara berkala selama pengobatan.
Dikumarol dapat menyebabkan tolbutamid dan fenitoin mengalami akumulasi di dalam badan, karena itu kedua obat ini harus dikurangi dosisnya bila diberikan bersama kumarin atau derivat indandion.
FARMAKOKINETIK. Semua derivat 4-hidroksikumarin dan derivat indan-1 ,3-dion dapat diberikan per oral, warfarin dapat juga diberikan lM dan lV. Absorpsi dikumarol dari saluran cerna lambat dan tidak sempurna, sedangkan wadarin diabsorpsi lebih cepat dan hampir sempurna. Kecepatan absorpsi berbeda untuk tiap individu. Dalam darah dikumarol dan warfarin hampir seluruhnya terikat pada albumin plasma; ikatan ini tidak kuat dan mudah digeser oleh obat tertentu misalnya fenilbutazon dan asarir mefenamat. Hanya sebagian kecil dikumarol dan warfarin yang terdapat dalam bentuk bebas dalam darah, sehingga degradasi dan ekskresi menjadi lambat. Masa paruh warfarin 48 jam, sedangkan nasa paruh dikumarol 10-30 jam, Masa paruh dikumarol sangat bergantung dosis dan berdasarkan faktor genetik berbeda pada masingmasing individu. Dikumarol dan warfarin ditimbun terutama dalam paru-paru, hati, limpa dan ginjal. Efek hipoprotrombinemiknya berkorelasi dengan lamanya obat tinggal di hati. Elek terapi baru tercapai 12-24 jam setelah kadar puncak obat dalam plasma, karena diperlukan waktu untuk mengosongkan laktor- faktor pembekuan darah dalam sirkulasi. Makin besar dosis awal, makin cepat timbulnya efek terapi; tetapi dosis harus tetap dibatasi agar tidak sampai menimbulkan efek toksik. Lama kerja sebanding dengan masa paruh obat dalam plasma. Dikumarol dan warfarin mengalami hidroksilasi oleh enzim retikulum endoplasma hati menjadi bentuk tidak aktif. Ekskresi dalam urin terutama dalam bentuk metabolit; anisindion dapat menyebabkan urin berwarna merah jingga. Bagian yang tidak diabsorpsi diekskresi melalui tinja. Antikoagulan kumarin dapat melewati sawar uri. Pemberian antepartum memungkinkan terjadinya hipoprotrom-
754
Farmakologi dan Terapi
binemia berat pada neonatus. Obat-obat ini juga disekresi ke dalam ASl, tetapi waktu protrombin
cerna, divertikulitis, kolitis, endokardilis bakterial subakut, keguguran yang mengancam, operasi
pada bayi tidak dipengaruhi secara bermakna.
otak dan medula spinalis, anestesi lumbal, defisiensi vitamin K serta penyakit hati dan ginjal yang berat. Selain itu obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian jangka panjang pada alkoholisme, pasien dengan pengobatan intensif salisilat, hipertensi berat, dan tuberkulosis aktif. Pemberian antikoagulan oral pada wanita hamil dapat menyebabkan perdarahan pada neonatus; juga dilaporkan terjadinya embrio-
EFEK NONTERAPI. Efek toksik yang paling sering akibat pemakaian antikoagulan oral ialah perdarahan dengan lrekuensi kejadian 2- 4%. Namun, perdarahan juga dapat terjadi pada dosis terapi karena itu pemberian antikoagulan oral harus disertai pemeriksaan waktu protrombin dan pengawasan terhadap terjadinya perdarahan.
Perdarahan paling sering terjadi di selaput lendir, kulit, saluran cerna dan saluran kemih. Hematuria sering terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal, dapat disertai kolik dan hematom intrarenal. Gejala perdarahan yang mungkin timbul ialah ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hemoptisis, perdarahan serebral, perdarahan paru, uterus dan hati. Kurang lebih 25 o/o dari kematian akibat penggunaan antikoagulan kumarin disebabkan oleh perdarahan berat di saluran cerna, biasanya berasal dari tukak peptik atau neoplasma.
Pada perdarahan, tindakan pertama ialah menghentikan pemberian antikoagulan. Perdarah-
an hebat memerlukan suntikan vitamin Kr (filokuinon) lV, dan biasanya perdarahan dapat diatasi dalam beberapa jam setelah penyuntikan. Perdarahan yang tidak terlampau berat cukup dengan dosis tunggal 1-5 mg;tetapi untuk perdarahan berat dapat diberikan dosis 20-40 mg, jika perlu dosis dapat ditambah setelah 4 jarn. Pemakaian vitamin Kr harus dibatasi untuk kasus-kasus perdarahan yang berat saja, karena pasien mungkin menjadi refrakter berhari-hari terhadap terapi ulang dengan antikoagulan oral. Dikumarol atau warfarin dapat menyebabkan anoreksia, mual, muntah, lesi kulit berupa purpura dan urtikaria, alopesia, nekrosis kelenlar mama dan kulit; kadang-kadang jari kaki menjadi ungu. Pada
penggunaan lenprokumon dapat timbul diare dan dermatitis, sedangkan asenokumarol dapat menyebabkan tukak pada mulut dan gangguan saluran cerna. Fenindion dapat menyebabkan leukopenia, agranulositosis, demam, ruam kulit, ikterus, hepatitis, diare, paralisis akomodasi, tukak pada mulut, neuropati dan urin berwarna merah jingga, sedangkan difenadion menyebabkan mual, dan anisindion menyebabkan urin berwarna jingga.
KONTRAINDIKASI. Antikoagulan oral dikontraindikasikan pada penyakit-penyakit dengan kecenderungan perdarahan, diskrasia darah, tukak saluran
pati misalnya kondroplasia pungtata pada janin. Penderita payah jantung seringkali lebih sensitif terhadap antikoagulan oral, sehingga mungkin diperlukan pengurangan dosis. MONITORING TERAPI. Besarnya dosis yang diberikan bergantung keadaan masing-masing pasien; sebagai pedoman harus selalu diperiksa masa protrombin, serta diperhatikan kecenderungan untuk
terjadinya perdarahan. Komplikasi perdarahan umumnya terjadi bila Pf (Prothrombin tine) ralio 1,3-1 ,5 kali nilai normal. Kadang- kadang ditemukan
pasien yang resisten terhadap antikoagulan oral, sehingga diperlukan dosis yang lebih besar.
lNDlKASl. Seperti halnya heparin, antikoagulan oral berguna untuk pencegahan dan pengobatan tromboemboli. Untuk pencegahan, umumnya obat ini digunakan dalam jangka panjang. Terhadap trombosis vena, efek antikoagulan oral sama dengan heparin, tetapi terhadap tromboemboli sistem arteri, antikoagulan oral kurang efektif. Antikoagulan oral diindikasikan untuk penyakit dengan kecen-
derungan timbulnya tromboemboli, antara lain infark miokard, penyakit jantung reumatik, serangan iskemia selintas (transient ischemic attacts, TIA), trombosis vena, emboli paru dan DlC.
Uji klinik terkontrol memperlihatkan bahwa obat golongan ini mengurangi insidens tromboemboli pada pasien dengan katup jantur,g buatan; efek terhadap tromboemboli ini meningkat secara bermakna bila digunakan bersama dipiridamol 400 mg/ hari atau aspirin 325 mg/hari. Tetapi kombinasi anti-
koagulan oral dengan aspirin meningkatkan kemungkinan perdarahan. Pada TIA antikoagulan oral bermanfaat, selama beberapa bulan pertama pengobatan tetapi tidak mempengaruhi mortalitas. Pada suatu percobaan didapatkan bahwa penggunaan lebih dari satu tahun disertai peningkatan perdarahan intrakranial. Pada penderita emboli serebral berulang, morbidiias dan mortalitas menurun bila antikoagulan diberikan setelah diagnosis ditegakkan.
Antikoagu I an,
A
ntitrom bo
s
it, T rom
755
bol iti k d a n H e mo stati k
Untuk mencegah kekambuhan, terapi hendaknya dimulai dalam 24-48 jam setelah terjadinya emboli serebral yang didiagnosis dengan teknik CAT scan-
ning. Perdnan pencegahan antikoagulan oral untuk penyakit pembuluh darah perifer nampaknya kecil.
POSOLOGI. Natrium warfarin
:
oral, lV. Masa
utama sering ditemukan pada sistem arteri. Aspirin,
sulfinpirazon, dipiridamol dan dekstran merupakan obat yang termasuk golongan ini. Selain itu beberapa obat misalnya epoprostenol (prostasiklin, PGlz) dan tiklopidin merupakan obat- obat yang sedang diteliti mengenai manfaatnya sebagai antitrombosis.
protrombin harus ditentukan sebelum mulai terapi dan selanjutnya tiap hari sampai respons stabil. Setelah taral mantap tercapai masa protrombin harus tetap diperiksa dengan interval tertentu secara teratur. Dosis dewasa biasanya 10-15 mg/hari untuk 2-4hari, dilanjutkan dengan 2-15 mg/hari yang didasarkan pada hasil pemeriksaan masa protrombin.
Dikumarol : Oral, dosis dewasa 200-300 mg pada hari pertama, selanjutnya 25-100 mg/hari tergantung hasil pemeriksaan waklu protrombin. Penyesuaian dosis mungkin perlu sering dilakukan selama 7-14 hari pertama dan masa protrombin harus ditentukan tiap hari selama masa tersebut. Dosis penunjang 25-150 mg/hari.
Anisendion : Oral, dosis dewasa 300
mg
pada hari pertama,200 mg pada hari kedua dan 1 00 mg pada hari ketiga. Dosis penunjang biasanya 25-250 mg/hari.
ASPIRIN.
Aspirin menghambat sintesis tromboksan Az (TXA2) di dalam trombosit dan prostasiklin (PG12) di pembuluh darah dengan menghambat secara ireversibel enzim siklo-oksigenase (akan tetapi siklooksigenase dapat dibentuk kembali oleh sel endotel). Sebagai akibatnya terjadi pengurangan agregasi trombosit. Aspirin dosis kecil (20-40 mg) hanya dapat menekan pembentukan TXAz tetapi dosis yang terbukti efektif (325 mg - 1 g/hari) tidak selektif
.
Pada infark miokard akut nampaknya aspirin bermanfaat untuk mencegah kambuhnya miokard infark yang latal maupun nonlatal. Pada penderita TIA penggunaan aspirin jangka panjang juga bermanlaat untuk mengurangi kekambuhan TlA, slroke karena penyumbatan dan kemalian akibat Eang-
2.3. ANTIKOAGULAN PENGIKAT ION
KALSIUM Natrium sitrat dalam darah akan mengikat kalsium rnenjadi kompleks kalsium sitrat. Bahan ini banyak digunakan dalam darah untuk transfusi, karena tidak toksik. Tetapi dosis yang terlalu tinggi, umpamanya pada transfusi darah sampai + 1.400 ml dapat menyebabkan depresi jantung. Asam oksalat dan senyawa oksalat lainnya digunakan untuk antikoagulan in vitro, sebab terlalu toksik untuk penggunaan in vivo. Natrium edetat mengikat kalsium meniadi suatu kompleks dan bersifat sebagai antikoagulan. Uraian lebih lanjut terdapat dalam pembahasan antagonis logam berat.
3. ANTITROMBOSIT Antitrombosit adalah obat yang dapat menghambat agregasi trombosit sehingga menyebabkan
terhambatnya pembentukan trombus yang ter-
guan pembuluh darah. Berkurangnya kematian terutama jelas pada pria. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa dosis rendah aspirin sama efektil dengan dosis tinggi aspirin atau sullinpirazon. Elek samping aspirin misalnya rasa tidak enak di perut, mual, dan perdarahan saluran cerna biasanya dapat dihindarkan bila dosis per hari tidak lebih
dari 325 mg. Penggunaan bersama antasid atau antagonist Hz dapat mengurangi elek tersebut Obat ini dapat mengganggu hemostasis pada tin dakan operasi dan bila diberikan bersama heparin atau antikoagulan oral dapat meningkatkan risiko perdarahan.
Sebagai antitrombosit dosis yang paling banyak dianjurkan adalah 325 mglhari. DIPIRIDAMOL
Dipiridamol menghambat ambilan dan metabolisme adenosin oleh eritrosit dan sel endotel pem-
buluh darah, dengan demikian meningkatkan kadarnya dalam plasma. Adenosin menghambat lungsi trombosit dengan merangsang adenilat siklase dan nrerupakan vasodilator. Dipiridamol juga memperbesar efek antiagregasi prostasiklin, Kare-
756
na dengan dosis yang diperlukan untuk menghambat agregasi trombosit kira-kira 10 % pasien mengalami flushing dan sakit kepala, maka sering diberikan dosis dipiridamolyang lebih kecil bersama aspirin atau antikoagulan oral. Dipiridamol sering digunakan bersama heparin pada penderita dengan katup jantung bualan. Obat ini juga banyak digunakan bersama aspirin pada pasien infark miokard akut untuk prevensi sekunder dan pada pasien TIA untuk mencegah stroke. Belum diketahui secara pasti apakah kombinasi dipiridamol dengan aspirin lebih elektil dari aspirin saja. Elek samping yang paling sering yaitu sakit kepala biasanya jarang menimbulkan masalah dengan dosis yang digunakan sebagai antitrombosit. Bila digunakan untuk pasien angina pektoris dipiridamol kadang-kadang memperberat gejala karena terjadinya fenomena coronary stea/. Efek samping lain ialah pusing, sinkop, dan gangguan saluran cerna. Bioavailabilitas obat ini sangat bervariasi. Lebih dari 90 % dipiridamol terikat protein dan mengalami sirkulasi enterohepatik. Masa paruh eliminasi bervariasi 1 - 12 jam. Dosis untuk profilaksis jangka panjang pada pasien katup jantung buatan 400 mg/hari bersama dengan warfarin. Untuk mence-
gah aktivasi trombosit selama operasi by-pass dosisnya 400 mg dimulai 2 hari sebelum operasi.
SULFINPIRAZON. Mekanisme kerja sulfinpirazon untuk menghambat agregasi trombosit belum diketahui; letapi sep€rti aspirin obat ini diperkirakan menghambat bersaing sintesis prostaglandin yang lebih lemah. Bila digunakan untuk prevensi sekunder infark miokard akut obat ini dilaporkan dapat menurunkan risiko kematian mendadak dan mengurangi kemungkinan kekambuhan. Sullinpirazon tidak elektil untuk mencegah infark miokard akut pada penderita angina tak stabil. Elek samping yang paling sering ialah gangguan saluran cerna. Elek samping lain ruam kulit dan kadang-kadang diskrasia darah, nelritis intersisial akut, kolik ginjal, dan gagal ginjal akul dapat terjadi. Sulfinpirazon dapat memperkuat efek antikoagulan warlarin. Dosis untuk prevensi sekunder setelah inlark miokard akut, 800 mg/hari.
DEKSTRAN Dekstran menghambat perlengketan (adhesiveness) trombosit dan mencegah bendungan pada
Farmakolqi dan Terapi
pembuluh darah dengan mempengaruhi aliran darah. Dekstran dengan berat molekul rendah telah digunakan sebagai profilaksis pada penderita yang cenderung mengalami komplikasi tromboemboli pada pembedahan.
NATRIUM EPOPROSTENOL (PROSTAS|KL|N, PGlz) Prostasiklin pada saat ini masih diteliti mengenai manfaat dan keamanannya. Prostasiklin merupakan metabolit asam arakidonat dan dibentuk oleh
endotel pembuluh darah. Obat ini menghambat agregasi trombosit dan melebarkan pembuluh darah, dan masih diteliti kemungkinannya untuk menggantikan heparin selama hemodialisis. Efek sampingnya antara lain flushing, sakit kepala, nausea, muntah, gelisah, cemas, hipotensi, refleks takikardia.
TIKLOPIDIN HCI Tiklopidin masih dalam taral penelitian mengenai manfaat keamanannya. Mekanisme kerjanya belum diketahui seluruhnya tetapi diduga berdasarkan perubahan pada membran trombosit. Dari 2 penelitian besar dan jangka panjang didapatkan bahwa tiklopidin dapat mengurangi kambuhnya sf/oke, infark miokard dan kematian pada pasien yang baru menderita stroke karena lromboemboli. Elek samping antara lain gangguan saluran cerna, komplikasi perdarahan, urtikaria, ruam kulit, gangguan fungsi hati, gangguan darah (leukopenia, agranulositosis, pansitopenia), ikterus kolestatik, meningkatnya kadar LDL dan VLDL kolesterol.
4. TROMBOLITIK Berbeda dengan antikoagulan yang mencegah terbentuk dan meluasnya tromboemboli, trom-
bolitik melarutkan trombus yang sudah terbentuk. Agar elektil trombolitik harus diberikan sedini mungkin. lndikasi golongan obat ini ialah untuk infark miokard akut, trombosis vena dalam dan emboli paru, tromboemboli arteri, melarutkan bekuan darah pada katup jantung buatan dan kateter intravena.
757
Antikoagulan, Antitrombosit, Trombolitik dan Hemostatik
Untuk penderita inlark miokard akut agar reperfusi tercapai obat harus diberikan dalam 3-4
jam setelah timbulnya gejala. Tetapi bila penyumbatan arteri koronaria bersilat subtotal atau terben-
tuk sirkulasi kolateral yang baik, trombolitik dapat dimulai lebih lambat. Penelitian terbatas menunjukkan pengurangan mortalitas masih terjadi bila trombolitik diberikan dalam 24iam setelah gejala. Pasien inlark miokard akut memerlukan trom-
bolitik bila nyeri dada timbul sekurang-kurangnya selama 30 menit dan peningkatan segmen ST per-
sisten dan relrakter terhadap nitrogliserin sublingual. Untuk pasien trombosis vena, trombolitik hanya bermanfaat bila umur trombus kurang dari 7 hari; sedangkan untuk pasien emboli paru indikasi utama obat ini ialah untuk emboli paru masif dan akut yang dapat mengancam jiwa. Trombolitik mungkin juga diindikasikan untuk pasien emboli paru ringan yang juga berpenyakit jantung atau paru-paru. Obat-obat yang termasuk golongan trombolitik ialah streptokinase, urokinase, aktivator plasminogen, rt-PA (Recombinant Human Tissue-Type PIas-
minogen Activator). Kelompok obat ini sangat mahal.
pasien infark miokard akut, yang biasanya digunakan sebagai petunjuk terjadinya reperfusi. Elek samping lain mual, muntah. Streptokinaseyang merupakan protein asing dapat menyebabkan reaksi alergi seperti pruritus, urtikaria, flushing, kadangkadang angioedema, bronkospasme. Reaksi alergi lambat seperti demam, artralgia, sering dilaporkan. Reaksi alergi ringan juga dilaporkan pada penggunaan urokinase dan rt-PA yang nonantigenik. STREPTOKINASE Streptokinase berasal dari Streptococcus C. hemolyticus, dan berguna untuk pengobatan fase dini emboli paru akut dan infark miokard akut. Streptokinase mengaktivasi plasminogen dengan cara tidak langsung yaitu dengan bergabung terlebih dahulu dengan plasminogen untuk membentuk kompleks aktivator. Selanjutnya kompteks aktivator tersebut mengkatalisis perubahan plasminogen bebas menjadi plasmin. Kebanyakan pasien memiliki antibodi terhadap streptokinase sebagai
akibat inleksi streptokokus sebelumnya; oleh karena itu mula-mula diberikan loading-dose. Bila
MONITORING TERAPI. Sebelum pengobatan di-
dengan dosis 1 juta lU tidak elektil obat ini mungkin tidak aktif dan tidak digunakan.
mulai heparin harus dihentikan (kecuali pada pasien infark miokard akut yang memerlukan pengobatan segera) dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan
FARMAKOKINETIK. Masa paruhnya bifasik. Fase cepat + 11-1 3 menit dan fase lambat 23 menit.
laboratorium yaitu waktu trombin (thrombin time, Ff), prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin dme (APTD, hematokrit, kadar fibrinogen dan hitung trombosit, untuk menentukan ada tidaknya perdarahan. TT dan APTT harus kurang dari 2 x nilai normal pada awal teraPi.
DOSIS. lV: dosis dewasa untuk infark miokard akut dianjurkan dosis total 1,5 juta lU secara infus selama 1 jam. Untuk trombosis vena akut, emboli paru, trombosis arteri akut atau emboli dapat diberikan toading dose 250.000 lU secara inlus selama 30 menit diikutidengan 100.000 lU/jam (biasanya sela-
EFEK SAMPING. Trombolitik dapat menyebabkan perdarahan. Meskipun rt-PA menyebabkan fibrinogenolisis yang lebih sedikit dibandingkan dengan streptokinase dan urokinase, selektivitas terhadap bekuan darah nampaknya tidak mengurangi risiko timbulnya perdarahan, Bila perdarahan hebat obat harus dihentikan dan mungkin diperlukan translusi darah. Untuk mengatasi librinolisis dengan cepat dapat diberikan asam aminokaproat, suatu inhibitor fibrinolisis, secara lV lambat. Atas dasar kemungkinan terjadinya perdarahan trombolitik sedapat mungkin dihindarkan penggunaannya pada pende-
ma 24 jam pada penderita emboli paru,24'72 iam pada penderita trombosis arteri atau emboli dan sampai dengan 72 jam pada penderita trombosis vena dalam.
rita dengan perdarahan internal, sfroke baru, proses
intrakranial lain, hiperlensi, gangguan hemostatik, kehamilan, dan operasi besar. Bradikardia dan aritmia dapat tedadi pada penggunaan obal ini pada
UROKINASE Urokinase diisolasi dari urin manusia. Berbeda dengan streptokinase, urokinase langsung mengaktifkan plasminogen. Selain terhadap emboli paru, urokinase juga digunakan untuk tromboemboli pada arteri dan vena. Seperti streptokinase obat ini tidak bekeria spesifik terhadap librin sehingga menimbulkan lisis sistemik (fibrinogenolisis dan destruksi laktor pembekuan darah lainnya). Peng' gunaan urokinase bersama heparin menyebabkan
758
Farmakologi dan Terapi
insidens perdarahan yang lebih besar (45 %) diban-
liputi daerah yang luas. Pemilihan obat harus dilaku-
dingkan dengan heparin saja (27 %). Sebaiknya tidak diberikan pada penderita emboli paru yang
kan secarb tepat sesuai dengan patogenesis perdarahan. Bila daerah perdarahan kecil, tindakan lisik seperti penekanan, pendinginan atau kauteri-
berumur lebih dari 50 tahun, penderita dengan sejarah penyakit kardiopulmonal atau gangguan hemostasis berat.
FARMAKOKINETIK. Bila diberikan infus intravena
urokinase mengalami bersihan yang cepat oleh hati. Masa paruh sekitar 20 menit. Sejumlah kecil obat diekskresi dalam empedu dan urin. DOSIS. Dosis yang dianjurkan loading dose 1 .0004.500 lU/kg secara lV dilanjutkan dengan inlus lV 4.4001U/kg/jam.
Asam aminokaproat merupakan penawar spesifik
untuk keracunan urokinase. Dosis biasa dimulai dengan 5 g (oral atau lV), diikuti dengan 1,25 g tiap jam sampai perdarahan teratasi. Dosis tidak boleh melebihi 30 g dalam 24 jam. Penyuntikan lV cepat dapat menyebabkan hipotensi, bradikardia dan aritmia.
sasi seringkali dapat menghentikan perdarahan dengan cepat. Perdarahan dapat disebabkan oleh delisiensi satu faktor pembekuan darah yang bersifat heriditer misalnya delisiensi faktor antihemolilik (faktor Vlll), dan dapat pula akibat defisiensi banyak faktor yang mungkin sulit untuk didiagnosis dan diobati. Defisiensi satu laktor pembekuan darah dapat diatasi dengan memberikan laktor yang kurang yang berupa konsentrat darah manusia, misalnya faktor antihemofilik (faktor Vlll), Cryoprecipitated antihemophilic factor, kompleks laktor lX (komponen tromboplastin plasma). Perdarahan dapat pula dihentikan dengan memberikan obat yang dapat meningkatkan pembentukan faktor-faktor pembekuan darah misalnya vitamin K, atau yang menghambat mekanisme fibrinolitik seperti asam aminokaproat. Selain hemostatik sistemik di atas terdapat pula hemostatik yang digunakan lokal (hemostatik lokal).
ALTEPLASE, RECOMBTNANT (RECOMBTNANT
HUMAN TISSUE.TYPE PLASMINOGEN AC. TIVATOR, rt-PA)
rl-PA merupakan aktivator plasminogen jaringan yang diproduksi dengan teknik rekayasa DNA.
5.1. I-IEMOSTATIK LOKAL Yang termasuk dalam golongan inidapat diba-
gi lagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan
Obat ini bekerja lebih selektil mengaktivasi plasminogen yang mengikat librin daripada plasmino-
mekanisme hemostasisnya.
gen bebas di dalam darah. Dengan demikian rt-PA bekerja lebih selektif terhadap bekuan darahfibrin.
HEMOSTATIK SERAP
FARMAKOKINETIK. Masa paruh rt-PA i 5 menit, mengalami metabolisme di hati dan kadar plasma bervariasi karena aliran darah ke hati yang ber-
Hemostatik serap (absorbable hemostatics) menghentikan perdarahan dengan pembentukan suatu bekuan buatan atau memberikan jala seratserat yang mempermudah pembekuan bila diletak-
variasi.
kan langsung pada permukaan yang berdarah.
DOSIS. lV: Dewasa, dosis total 100 mg, 60 mg diberikan pada jam pertama, diikuti dengan 20 mg pada jam ke dua dan 20 mg pada jam ke tiga. Untuk
penderila dengan berat badan kurang dari 65 kg dosis total 1,25 mg/kg diberikan selama 3 jam seperti di atas. Obat ini mahal harganya.
Dengan kontak pada permukaan asing, trombosit akan pecah dan membebaskan laktor yang memulai proses pembekuan darah. Hemostatik golongan ini berguna untuk mengatasi perdarahan yang berasal dari pembuluh darah kecil saja, misalnya kapiler, dan tidak elektif untuk menghentikan peidarahan arteri atau vena yang tekanan intravaskularnya cukup besar. Termasuk kelompok ini antara lain
5. HEMOSTATIK
spons gelatin, oksisel (selulosa oksida) dan busa fibrin insani (human fibrin foam). Spons gelatin dan
Hemostatik ialah zat atau obat yang diguna-
oksisel dapat digunakan sebagai penutup luka yang akhirnya akan diabsorpsi. Hal ini menguntungkan
kan untuk menghentikan perdarahan. Obat-obat ini
karena tidak memerlukan penyingkiran yang me-
diperlukan unluk mengatasi perdarahan yang me-
mungkinkan perdarahan ulang, seperti yang terjadi
759
Antikoagulan, Antitrombosit, Trombolitik dan Hemostatik
pada penggunaan kain kasa. Untuk absorpsi yang sempurna dari kedua zat ini diperlukan waktu sampai 6 jam. Selulosa oksida dapat mempengaruhi regenerasi tulang dan dapat mengakibatkan pembentukan kista bila digunakan jangka panjang pada patah tulang. Selain itu karena dapat menghambat epitelisasi, selulosa oksida tidak dianjurkan untuk digunakan dalam jangka panjang. Busa fibrin insani yang berbentuk spons, setelah dibasahi, dengan tekanan sedikit dapat menutup dengan baik permukaan yang berdarah. ASTRINGEN
Zat ini bekerja lokal dengan mengendapkan protein darah sehingga perdarahan dapat dihentikan. Sehubungan dengan cara penggunaannya, zat ini dinamakan juga sfyptic. Yang termasuk ke-
VASOKONSTRIKTOR
Epinefrin dan norepinefrin berefek vasokonstriksi, dapat digunakan untuk menghentikan perdarahan kapiler suatu permukaan. Cara penggunaannya ialah dengan mengoleskan kapas yang telah dibasahi dengan larutan 1 : 1.000 tersebut pada permukaan yang berdarah. Vasopresin, yang dihasilkan oleh hipofisis, pernah digunakan untuk mengatasi perdarahan pasca-bedah persalinan, tetapi banyak elek sam-
ping dan telah ditinggalkan penggunaannya. Namun perkembangan terakhir menunjukkan kemungkinan kegunaannya kembali bila disuntikkan langsung ke dalam korpus uteri untuk mencegah perdarahan yang berlebihan selama operasi korektif ginekologik.
lompok ini antara lain leri klorida, nitras argenti, asam tanat. Kelompok ini digunakan untuk menghentikan perdarahan kapiler, tetapi kurang efektif bila dibandingkan dengan vasokonstriktor yang digunakan lokal. KOAGULAN Obat kelompok ini pada penggunaan lokal me-
nimbulkan hemostasis dengan dua cara, yaitu dengan mempercepat perubahan protrombin menjadi trombin dan secara langsung menggumpalkan librinogen.
Aktivator protrombin. Ekstrak yang mengandung aktivator protrombin dapat dibuat antara lain dari
jaringan otak yang diolah secara kering dengan asetat. Beberapa racun ular memiliki pula aktivitas tromboplastin yang dapat menimbulkan pembekuan darah. Salah satu contoh adalah Fusse//'s vlper venom yang sangat efektif sebagai hemostatik lokal dan dapat digunakan umpamanya untuk alveolus gigi yang berdarah pada pasien hemofilia; untuk tujuan ini kapas dibasahi dengan larutan segar 0,1%o dan ditekankan ke dalam alveolus sehabis
ekstraksigigi.
Trombin. Zat ini tersedia dalam bentuk bubuk atau larutan untuk penggunaan lokal. Sediaan ini tidak boleh disuntikkan lV, sebab segera menimbulkan pernbekuan dengan bahaya emboli.
5.2. HEMOSTATIK SISTEMIK Dengan memberikan transfusi darah, sering-
kali perdarahan dapat dihentikan dengan segera. Hal ini terjadi karena penderita mendapatkan sernua faktor pembekuan darah yan terdapat dalarn darah transfusi. Keuntungan lain dari transfusi ialah perbaikan volume sirkulasi. Perdarahan yang disebabkan oleh delisiensi laktor pembekuan darah tertentu dapat diatasi dengan mengganti/memberikan laktor pembekuan yang kurang.
FAKTOR ANTTHEMOFILIK (FAKTOR Vlll) DAN CRYOPRECIPITATED ANTIHEMOPHILIC FACTOR
Kedua zat ini bermanfaat untuk mencegah atau mengatasi perdarahan pada penderita hemofilia A (defisiensi laktor Vlll yang silatnya heriditer) dan pada penderita yang darahnya mengandung in h bitor lakto r V lll. C ryopreci pitated anti he mo ph i Ii c factor didapat dari plasma donor tunggal dan kaya akan faktor Vlll, fibrinogen dan protein plasma lain. Akan tetapi jumlah laktor Vlll yang dikandung bervariasi dan hal ini berbeda dengan preparat kbnsentrat faktor antihemofilik yang mengandung faktor Vlll dalam jumlah baku. Selain untuk penderita hemofilia A cryoprecipitated antihemophilic lactor i
juga dapat digunakan untuk pasien dengan penyakit von Willebrand, penyakit heriditer yang selain
terdapat defisiensi faktor Vlll juga terdapat gangguan suatu laktor plasma yaitu kofaktor rislosetin yang penting untuk adhesi trombosit dan stabilitas
760
Farmakologi dan Terapi
kapiler. Kolaktor ristosetin ini biasanya hilang selama proses pembuatan sediaan konsentrat faktor antihemolilik.
Efek samping. Cryoprecipitated antihemophitic lactor mengandung librinogen dan protein plasrfia lain dalam jumlah yang lebih banyak dari sediaan konsentrat laktor Vlll, sehingga kemungkinan terjadinya reaksi hipersensitivitas lebih besar pula. Elek samping lain yang dapat timbul pada penggunaan kedua jenis sediaan ini ialah hepatitis virus,
anemia hemolitik, hiperfibrinogenemia, menggigil, dan demam.
Posologi. Kadar laktor antihemolilik 20.30 % dari normal yang diberikan lV biasanya diperlukan untuk mengatasi perdarahan pada penderita hemofilia. Biasanya hemostasis dicapai dengan dosis tunggal 15-20 unit/kgBB. Untuk perdarahan ringan pada otot dan jaringan lunak, diberikan dosis tunggal 1O unit/kgBB. Pada penderita hemofilia sebelum ope-
rasi diperlukan kadar antihemotilik sekurangkurangnya 50 % dari normal, dan pasca bedah diperlukan kadar 20-25 % dari normal untuk 7-1 0 hari.
dan menetap sampai dengan 6 jam. Pemberian lebih sering dari tiap 2 atau 3 hari dapat menurunkan respons terapeutik. Obat ini diindikasikan untuk hemostatik jangka
pendek pada pasien dtjngan delisiensi laktor Vlll 'yang ringan sampai sedang dan pada pasien penyakit von Willebrand tipe 1. Elek s'amping antara lain sakit kepala, mual,
flushing, sakit dan pembengkdkan pada tempat s,untikan. Juga dilaporkan terjadinya peningkatan tekanan darah yang ringan dan harus hati-hati penggiloaannya pada pasien hipertensi dan penyakit arteri.koronaria. Obat ini sering digunakan lV dengan dosis 0,3 mikrogram secara inlus dalam waktu 15-30 menit. FIBRINOGEN*INSANI Sediaan ini hanya digunakan bila dapat diten-
tukan kadar librinogen dalam darah penderita, dan daya pembekuan yang sebenarnya. VITAMIN K
KOMPLEKS FAKTOR IX Sediaan ini mengandung laktor ll, Vll, lX dan
X, serta sejumlah kecil protein plasma lain
dan
digunakan untuk pengobatan hemolilia B, atau bila' diperlukan faktor-faktor yang terdapat dalam sediaan tersebut untuk mencegah perdarahan. Akan teiapi karena ada kemungkinan timbulnya hepatitis, preparat ini sebaiknya tidak diberikan pada penderita nonhemofilia. Elek samping lain adalah trombosis, demam, menggigil, sakit kepala, flusfiing, dan reaksi hipersensitivitas berat (syok analilaksis).
Posologi. Kebutuhan tergantung dari kqadaan penderita. Perlu dilakukan pemeriksaan pembekuan sebelum dan selama pengobatan sebagai petunjuk untuk menentukan dosis. Satu unit/{gBB meningkatkan aktivitas laktor lX sebanyak 1,5 %. Sela-
ma fase penyembuhan setelah operasi iliperlukan kadar laktor lX 25-30 % dari normal.
Sebagai hemostatik, vitamin K memerlukan waktu untuk dapat menimbulkan elek, sebab vitamin K harus merangsang pembentukan faktor-faktor pembekuan darah lebih dahulu (lihat Bab 50), ASAM AMINOKAPROAT Asam aminokaproat merupakan penghambat bersaing dari aktivator plasminogen dan penghambat plasmin. Plasmin sendiri berperan menghancurkan librinogen, fibrin dan laktor pembekuan darah lain. Oleh karena itu asam aminokaproat dapat membantu mengatasi perdarahan berat akibat librinolisis yang berlebihan. Dugaan akan adanya fibrinolisis yang berlebihan dapat didasarkan atas hasil tes laboratorium berupa waktu trombin dan protrombin yang memanjang, hipofibrinogenemia atau kadar plasminogen yang menurun. Akan tetapl beberapa dari hasil laboratorium di atas biasanya didapatkan pula pada penderita DlC, yang merupakan
kontraindikasi pemberian asam aminokaproat, DESMOPRESIN Desmopresin merupakan vasopresin sintetik yang dapat meningkatkan kadar faktor Vlll dan vWl untuk sementara. Peningkatan kadar laktor pembekuan tersebut paling besar terjadi pada 1-2 jam
karena dapat menyebabkan pembentukan trombus
yang mungkin bersifat fatal, Oleh karena itu asam aminokaproat hanya digunakan untuk mengatasi perdarahan librinolisis berlebihan yang bukan disebabkan oleh DlC. Bila terdapat keraguan, kriteria untuk membedakan kedua keadaan tersebut ada-
Antikoagulan, Antittombsit, Tromlr,litik dan Hemostatik
lah hitung trombosit, tes parakoagulasi protamin
manusia tidak didapatkan abnormalitas yang ber-
dan lisis bekuan euglobulin. Pada DIC : hitung trom-
makna, meskipun demikian asam aminokaproat sebaiknya tidak digunakan selama kehamilan trimgster pertama dan kedua, kecuali bila memang benarbenar diperlukan. Bila asam aminokaproat diberikan selama operasi maka kandung kemih harus bebas dari bekuan darah, karena obat ini akan tertumpuk pada bekuan tersebut dan menghambat disolusinya.
bosit menurun, tes parakoagulasi protamin positil dan lisis bekuan euglobulin normal. Pada librinolisis primer: hitung trombosil normal, tes parakoagulasi protamin negatit dan lisis bekuan euglobulin berkurang. Tetapi librinolisis jarang teriadi tersendiri, biasanya terjadi sekunder akibat DlC.
Farmakokinetik. Asam aminokaproat diabsorpsi secara baik per oral dan juga dapat diberikan lV. Obat ini diekskresi dengan cepat melalui urin, sebagian besar dalam bentuk asal. Kadar puncak setelah pemberian per oral dicapai kurang lebih 2 jam setelah dosis tunggal.
lndikasi. Asam aminokaproat digunakan untuk mengatasi hematuria yang berasal dari kandung kemih, prostat atau uretra. Pada penderita yang mengalami prostatektomi transuretral atau suprapubik, asam aminokaproat mengurangi hematuria pasca bedah secara bermakna. Akan tetapi penggunaannya harus dibatasi pada penderita dengan perdarahan berat dan yang penyebab perdarahannya tidak dapat diperbaiki. Asam aminokaproat juga dapat digunakan sebagai antidotum untuk melawan elek trombolitik streptokinase dan urokinase yang merupakan aktivator plasminogen. Asam aminokaproat dilaporkan bermanfaat untuk pasien hemofilia sebelum dan sesudah ekstraksi gigi dan perdarahan lain karena trauma di dalam mulut.
Efek samping. Asam aminokaproat dapat menyebabkan pruritus, eritema, ruam kulit, hipotensi dispepsia, mual, diare, inhibisi eyakulasi, eritema ko-
nyungtiva, dan hidung lersumbat. Efek samping yang paling berbahaya ialah trombosis umum, karena itu penderita yang mendapat obat ini harus diperiksa mekanisme hemostatiknYa.
Teratogenisitas. Penelitian teratogenisitas pada hewan memberikan hasil yang bervariasi. Pada
Posologi. Dosis dewasa dimulai dengan 5-6 g per oral atau inlus lV secara lambat, lalu 1 g tiap jam atau 6 g tiap 6 jam bila lungsi ginjal normal. Dengan
dosis tersebut dihasilkan kadar terapi etektif 13 mg/dl plasma. Pada pasien penyakit ginial atau oliguri diperlukan dosis lebih kecil. Anak-anak, 100 mg/kgBB tiap 6 jam untuk 6 hari. Bila digunakan lV asam aminokaproat harus dilarutkan dengan larut-
an NaCl, dekstrosa 5 % atau larutan Ringer. Namun, masih diperlukan bukti lebih laniut mengenai keamanan penggunaan obat ini untuk jangka panjang dengan dosis di atas. ASAM TRANEKSAMAT Obat ini mempunyai indikasi dan mekanisme kerja yang sama dengan asam aminokaproat tetapi 10 kali lebih potent dengan efek smaping yang lebih ringan,
Farmakokinetik. Asam traneksamat cepat diabsorpsi dari saluran cerna. Sampai 40 % dari satu dosis oral dan 90 % dari satu dosis lV diekskresi melalui urin dalam 24 iam. Obat ini dapat melalui sawar uri.
Posologi. Dosis yang dianjurkan 0,5 - 1 g, diberikan 2-3 kali sehari secara lV lambat sekurang-kurangnya dalam waktu 5 menit. Cara pemberian lain per oral 'l -1 ,5 g,2-3 kali per hari. Pada pasien gagal ginjal dosis dikurangi.
762
Farmakologi dan Terapi
XV. TOKSIKOLOGI
52. DASAR TOKSIKOLOGI I. Darmansiah
1.
2.
Pendahuluan
Toksikologi eksperimental 2.1 . Uji farmakokinetik 2.2. Uji farmakodinamik 2.3. Menilai keamanan zat kimia 2.4. Uji toksikologi 2.5. Hubungan antara hewan coba dengan
3.
Keracunan
3.1. Pilahan keracunan 3.2. Penyebab keracunan 3.3. Gejala dan diagnosis keracunan 3.4. Peranan laboratorium 3.5. Terapi keracunan
manusia
1. PENDAHULUAN
memungkinkan terdeteksinya xenobiotik dalam tubuh dalam jumlah kecil sekali.
Toksikologi merupakan ilmu yang lebih tua dari Farmakologi. Disiplin ini mempelajari sifat-sifat racun zat kimia terhadap mahluk hidup dan lingkungan. Sedikitnya 50.000 zat kimia kini digunakan oleh manusia dan karena tidak dapat dihindarkan, maka kita harus sadar tentang bahayanya. Sintesis zat kimia yang diperkirakan berjumlah
1000 per tahun, menyebabkan toksikologi tidak hanya meliputi sifat-sifat racun, tetapi lebih penting lagi mempelajari "keamanan" setiap zat kimia yang
dapat masuk ke dalam tubuh. Zat-zat kimia itu disebut "xenobiotik" (xeno=asing). Setiap zat kimiabaru harus diteliti sifat-sifat toksiknya sebelum diperbolehkan penggunaannya secara luas. Bila zat kimia merupakan obat atau makanan, instansi yang harus menilai ialah Direktorat Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan, zat kimia lain diatur oleh Badan misalnya Environmental Protection Agency di A.S. (di lndonesia mungkin akan tumbuh dari Departemen Lingkungan Hidup). Toksikologi berkembang luas ke bidang kimia, kedokteran hewan, kedokteran dasar dan klinik, pertanian, perikanan, industri, entomologi, hukum, lingkungan dan juga ilmu perang. Perkembangan ini dimungkinkan oleh teknologi analitik canggih yang
Karena penilaian sifat xenobiotik tidak dapat dilakukan pada manusia sebagaimana lazimnya dilakukan untuk obat, maka penelitian xenobiotik dilakukan pada hewan coba. Karena itu penilaian keamanan dilakukan melalui ekstrapolasi data dari hewan ke manusia (lihat 2.5). Dengan dernikian hanya perkiraan, yang dapat kita berikan sebagai jawaban atas pertanyaan yang sering terlontar oleh masyarakat, seperti : Berapa amankah zat x ini bila kita makan terus-menerus? Apakah zat x ini dapat menimbulkan tumor? Apakah peraturan-peraturan yang dibuat untuk melindungi kita dari keracunan, sudah benar-benar menjamin aman? Apa yang ter-
jadi, bila saya melampaui makan zat x sebanyak berapa kali acceptable daily intake (ADI) ?
Pertanyaan seperti ini sering timbul di mass media, dan biasanya polemik menjadi hangat tanpa diperoleh jawaban yang pasti, karena penilaian keamanan xenobiotik hampir selalu merupakan suatu
perkiraan saja. Prosedur pemeriksaan toksisitas obat dan zat kimia menjadi sangat rumit dan semuanya dilakukan untuk mencegah kejadian yanE dapat merugikan konsumen/pasien seperti pada kasus talidomid.
Tetapi perlu disadari bahwa uji keamanan yang
Dasar Toksikologi
763
ketat sekalipun tidak dapat menjamin keamanan konsumen seratus persen. penggunaan obat, teru_ tama yang baru selalu akan disertai risiko, walau_
beri hasil yang sulit dievaluasi atau diramalkan tok_ sisitasnya.
pun risiko ini telah diusahakan sekecil mungkin. Hal ini terjadi karena beberapa reaksi toksik atau elek
atasinya berbeda-beda. Tabel 52-1 memberi petun_ juk singkat perihal keracunan beberapa zat kimia, perkiraan dosis letal, tanda dan gejala serta tindakan terapi.
samping timbul dengan frekuensi kejadian yang amat kecil. Food and Drug Administration di Ame_ rika Serikat misalnya, rnenyarankan penggunaan
Gejala keracunan dan tindakan untuk meng_
pada sedikitnya 15.000 orang untuk melihat mani_
festasi reaksi yang tidak dikehendaki. Variabilitas
masyarakat dalam faktor umur, seks, ras, kehamii_ an atau kelainan gen mempengaruhi juga lrekuensi kejadian. Parasetamol misalnya telah digunakan berpuluh-puluh tahun, tanpa diketahui bahwa pada keracunan dapat terjadi kerusakan sel hati yang berakhir fatal, Setiap zat kimia pada dasarnya bersifat racun
dan terjadinya keracunan ditentukan oleh dosis dan cara pemberian. Paracelsus pada tahun 1564 telah meletakkan dasar penilaian toksikologis de_ ngan mengatakan, bahwa dosis menentukan apakah suatu zat kimia adalah racun (dosis sota facit venenum). Sekarang dikenal banyak laktor yang menentukan apakah suatu zat kimia bersilat racun, namun dosis tetap merupakan faktor utama yang
terpenting. Untuk setiap zat kimia, lermasuk air, dapat ditentukan dosis kecilyang tidak berefek sama sekali, atau suatu dosis besar sekali yang dapat menimbulkan keracunan dan kematian, Untuk zat kimia dengan efek terapi, maka dosis yang adekuat dapat menimbulkan efek farmakoterapeutik.
Banyak prinsip pengobatan keracunan yang dahulu dianut berubah drastik dan tindakan yang lebih rasional telah ditemukan. Satu kemajuan mencolok yang seolah-olah nihilistik, ialah dihilangkan-
nya kebiasaan pengobatan keracunan hipnotik se-
datil dengan menggunakan analeptik dan menggantinya dengan pengobatan simtomatik, Tindakan ini, bersama dengan perbaikan dalam cara merawat
pasien, telah menurunkan angka kematian akibat
keracunan barbiturat dari 20-25% sekitar tahun 1945 sampai 1-2% dewasa ini.
Manlaat antidotum umum yang terdiri dari norit, asam tanat dan magnesium oksida diragukan dan kombinasi ini ternyata saling mengantagonisasi. Aktivitas norit ditiadakan sebagian oleh magnesium oksida. Beberapa macam keracunan telah dikelahui terjadi berdasarkan kelainan genetik (primakuin, lNH, suksinilkolin) atau defisiensienzim pada neonatus prematur (kloramfenikol); interaksi pada pemberian obat kombinasi kadang-kadang mem-
2. TOKSIKOLOGI EKSPERIMENTAL Sejak awal harus disadari bahwa tidak mung_
kin membuat suatu petunjuk lengkap mengenai
pemeriksaan toksisitas suatu obat atau zat kimia. Pada hakekatnya tidak perlu dibedakan antara obal dan zat kimia dari sudut toksikologi, sehingga dalam pembahasan keduanya diperlakukan sama. Selanjutnya dalam bab ini akan disebut zat untuk pengertian zat kimia termasuk obat. percobaan toksisitas
sangat bejrvariasi dan suatu protokol yang kaku akan membuat penelitian tidak relevan atau menghasilkan kesimpulan yang tidak sahih. Karena itu
jenis pemeriksaan toksisitas harus didasarkan pada silat zat (kimia atau obat) yang akan digunakan serta cara pemakaiannya. penggunaan obat secara kronik seperti pada pengobatan hipertensi atau penggunaan kontrasepsi harus disertai dengan data karsinogenisitas dan teratogenisitas. Sedangkan obat cacing yang digunakan dalam waktu pendek pertama- tama harus memenuhi syarat toksisitas akut.
Dengan tidak mengurangi kepentingan hal yang telah dijelaskan tadi, akan dibahas beberapa aspek dari pemeriksaan toksisitas obat. penilaian komprehensil dapat diperoleh melalui penyelidikan dalam bidang farmakokinetik, farmakodinamik dan toksikologi. Toksikologi sendiri berhubungan dengan farmakologi, karena perbedaan fundamental hanya terletak pada penggunaan dosis yang lebih besar dalam eksperimen toksikologi. pengetahuan dalam kedua ilmu ini bersifat komplementer dan saling menunjang.
2.1. UJI FARMAKOKINETIK Uji larmakokinetik diperoleh melalui penelitian nasib obat dalam tubuh, yang menyangkut absorpsi, distribusi, redistribusi, biotransformasi dan ekskresi obat. Pengetahuan mengenai hal ini penting untuk menalsirkan tidak saja elek terapi tetapi, juga
764
toksisitas suatu obat. Segala hal yang menyangkut farmakokinetik ini memerlukan analisis kuantitatil dari zat dalam cairan biologik atau organ tubuh. . Karakteristik absorpsi penting untuk diketahui; zat kimia dengan sifat koefisien partisi yang tinggi serta derajat ionisasi yang rendah akan mudah diserap melalui dinding sel. Sebaliknya alkaloid dan gugus molekulyang berionisasi baik akan sukar diabsorpsi. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi absorpsi ini, sehingga akan mempengaruhi dosis dan toksisitasnya. Cara absorpsi yang diteliti sebaiknya disesuaikan dengan cara pemakaiannya. Suatu obat atau zat kimia yang akan dipakai lokal saja pada kulit, harus dipelajari lerutama berapa jauh absorpsinya melalui kulit. Perbedaan kadar dalam darah dari pemberian oral dan parenteral akan memberi gambaran tentang derajat absorpsi per oral. Setelah diabsorpsi semua zat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui peredaran darah. Distribusi ini mungkin tidak akan merata dan kumulasi sering dilihat dalam organ tubuh tertentu. Elek toksik obat dapat tergantung dari kumulasi ini seperti juga efek terapinya. Pengikatan obat oleh protein plasma dapat mengurangi elektivitas/toksisitasnya. Otak mempunyai semacam sawar yang menghalangi beberapa obat dengan silat tertentu
Farm akologi' dan Terapi
luarkan melalui urin dalam bentuk aktif dan bukan dalam bentuk metabolit inaktil. Parameteryang diperlukan untuk mempelajari nasib obat dalam tubuh ialah kadar plasma, masa paruh, karakteristik distribusi, produk biotransfor-
masi dan ekskresi. Data ini merupakan petunjuk yang mengarahkan lebih tepat mengenai percobaan toksisitas apa yang masih harus dilakukan.
2.2. UJI FARMAKODINAM IK Sebelum suatu obat dapat digunakan untuk indikasi tertentu, harus diketahui dahulu efek apa yang terjadi terhadap semua organ dalam tubuh yang sehat. Screening elek farmakodinamik ini sangat diperlukan. Jarang terdapat suatu obat yang hanya memiliki salu jenis elek; hampir semua obat mempunyai elek tambahan dan mampu mempengaruhi fungsi berbagai macam alat dan faal tubuh. Efek yang me-
nonjol, biasanya merupakan pegangan daiam menentukan penggunaannya, sedangkan perubahan lain merupakan efek samping yang bahkan dapat bersifat toksik. Seringkali sifat toksik suatu obat merupakan lanjutan dari efek farmakodinamik atau elek terapinya.
untuk masuk ke dalamnya. Keadaan distribusi ini tidak statis tetapi sangat dinamis sehingga selalu obat akan mengalami redistribusi dalam cairan dan organ tubuh. Setiap obat akan dianggap oleh tubuh sebagai suatu bahan asing, sehingga tubuh merombaknya menjadi bentuk yang dapat diekskresi (lebih larut dalam air, lebih polar). Metabolit yang terbentuk, biasanya tidak aktif lagi dan toksisitas biasanya berkurang, walaupun kadang-kadang dapat terjadi sebaliknya, sehingga mungkin metabolit lebih toksik misalnya prontosil menjadi sulfa, lenasetin menjadi parasetamol dan paration menjadi paraokson. Biotransformasi dapat terjadi cepat sekali, sehingga suatu obat tidak bermanlaat dalam klinik,
karena kadar efektif tidak dapat dipertahankan (asetilkolin). Metakolin dan karbakol bertahan lebih lama dan karena itu bersifat lebih toksik. Alat ekskresi terpenting ialah hati dan ginjal. Ekskresi obat dapat terjadi dalam bentuk asalnya maupun bentuk metabolit. Pengetahuan mengenai ini penting dalam toksikologi karena pada keracunan, usaha untuk meningkatkan diuresis hanya dapat bermanlaat bila obat yang bersangkutan dike-
2.3. MENILAI KEAMANAN ZAT KIMIA Penilaian keamanan suatu obat atau zat kimia merupakan bagian penting dari toksikologi, karena setiap zat kimia yang baru disintesis dan akan dipergunakan harus diuji toksisitas dan keamanannya. Bila zat kimia itu merupakan zat lambahan makanan atau kontaminan yang tanpa sengaja dapat masuk dalam makanan, misalnya pestisida atau berbagai metal, maka penilaian keamanannya dilakukan melalui tahap-tahap yang telah baku. Setiap zat kimia, bila diberikan dengan dosis yang cukup besar akan menimbulkan gelala-gejala toksis. Gejala-gejala ini pertama- tama harus ditentukan pada hewan coba melaluipenelitian toksisitas akut dan subkronik guna memperoleh kesan pertama tentang kelainan yang dapat ditimbulkan. Hal
ini diperlukan untuk meramalkan kemungkinan yang dapat lerjadi pada manusia dengan dosis yang lebih kecil. Selanjutnya, perlu ditentukan suatu
dosis yang terbesar, dinyatakan dalam mg/kgBBl hari, yang tidak menimbulkan elek merugikan pada hewan coba; yang disebut No Effect Level (NEL)
Dasar Toksikologi
765
atau No (observed) effect level(NOEL). Hal ini dilakukan dengan mencobakan berbagai tingkat dosis sampai ditemukan dosis yang tidak menimbulkan
elek buruk pada hewan coba. NEL didelinisikan sebagai :"jumlah atau konsentrasi suatu zat kimia yang ditemukan melalui penelitian atau observasi, yang tidak menimbulkan kelainan buruk, perubahan modologi atau lungsi organ, pertumbuhan, perkembangan, maupun mengurangi lama hidup hewan coba", Suatu faktor keamanan kemudian (pedu) diterapkan guna memperhitungkan perbedaan antara tikus dan manusia dan antar manusia sendiri. Faktor keamanan ini secara konsensus telah ditentukan sebesar 100 yang berasal dari laktor 10 untuk perbedaan hewan ke manusia dan 10 lagi untuk perbedaan antar manusia. Bila NEL dibagi 100 maka diperoleh suatu batas keamanan yanQ disebut Acceptable Daily lntake (ADl). Berikut ialah rumus perhitungan ADI :
ADt
r_
NEL mg/kgBB/hari 100
l
ADI didefinisikan sebagai 'dosis suatu zat kimia yang terbesar, yang dinyatakan dalam satuan mg/kgBB/hari, yang dapat diberikan setiap hari seumur hidup, dan diperkirakan tidak menimbulkan efek kesehatan yang buruk pada manusia, berdasarkan pengetahuan yang ada pada waktu itu'. ADI ini merupakan suatu perkiraan, tetapi cukup menjamin bahwa bila angka itu tidak dilampaui dalam konsumsi kita sehari-hari, maka zat kimia yang bersangkutan akan cukup aman. ADI juga dimaksudkan sebagai batas-atas konsumsi harian sehingga makin kecil tentu akan lebih menjamin keamananny a. Zal kimia yang dikumulasi dalam tubuh tidak diperbolehkan dipakai se-
bagai zat tambahan makanan dan zat kimia ini harus sudah diekskresi dalam 24 jam.
Untuk mudahnya maka ADI biasanya diperhitungkan dengan jenis makanan yang mengandung zat tambahan makanan atau kontaminan itu. Dengan demikian dapat dihitung berapa konsentrasi zat kimia itu diperbolehkan berada dalam ma-
kanan lertentu dan disebut Maximal Permissiile Concentration (MPC). Hal inididasarkan atas data statistik konsumsi berbagai makanan, seperti nasi, ikan, gula, roli, dsb. Bila zat tambahan makanan atau kontaminan itu digunakan dalam berbagai jenis makanan, maka jumlah seluruhnya perlu diper-
kirakan dan konsentrasi dalam setiap makanan per-
lu ditentukan. Dalam perhitungan ini tentu juga dipikirkan mengenai batas maksimal seseorang dapat minum atau makan sehingga kuantitas atau rasa, secara otomatis membatasi jumlah zat kimia yang dapat dikonsumsi. Formula yang diterapkan ialah sbb. M.P.C,
-
:
ADlx Berat Badan (kg) ,...p.p.m. laktor makanan (kg)
Faktor makanan ialah "konsumsi rata-rata sesuatu makanan tertentu dalam kg/orang/hari.
2.4. UJITOKS|KOLOGT Sebelum percobaan toksikologi dilakukan sebaiknya telah ada data mengenai identifikasi, silat obat dan rencana penggunaannya. Data ini dapat dipakai untuk mengarahkan percobaan toksisitas yang akan dilakukan. Hal ini memerlukan iudgement seorang yang berpengalaman dalam bidang ini. Beberapa segi akan dibahas di bawah ini. HEWAN COBA. Respons berbagai hewan coba terhadap uji toksisitas sangat berbeda, tetapi hewan coba yang lazim digunakan ialah salah satu strain tikus putih. Kadang-kadang digunakan mencit dan satu dua spesies yang lebih besar seperti anjing, babi atau kera. Tikus putih yang digunakan biasanya yang berumur 2-3 bulan dengan berat badan 180-200 gram, Tikus ini harus diaklimatisasi dalam laboratorium dan harus semuanya sehat. Untuk ini ada yang menggunakan Specffic Pathogen Free (SPF) atau Caesarean Orginated Barrier Susfained Animals (COBS) sehingga terjamin kesehatannya. Penggunaan tikus sebagai suatu model patologik sering tidak relevan karena sulit untuk menyamakan keadaan ini dengan patologi manusia. Tikus jantan dan betina sebaiknya dievaluasi terpisah karena kadang-kadang berbeda responsnya. Penggunaan hewan coba yang besar membawa konsekuensi biaya yang besar pula, namun tidak jarang diperlukan hewan yang lebih tinggi misalnya anjing, babi, kera dan sebagainya.
TOKSISITAS AKUT. Percobaan ini meliputi Srhg/e Dose Experimenfs yang dievaluasi 3-14 hari sesudahnya, tergantung dari gejala yang ditimbulkan. Batas dosis harus dipilih sedemikian rupa sehingga
766
dapat mempercleh suatu kurva dosis respons yang dapat berwujud respons bertahap (misalnya me-
ngukur lamanya waktu tidur) atau suatu respons kuantal (misalnya mati). Biasanya digunakan 4-6 kelompok terdiri dari sedikitnya 4 ekor tikus. Peningkatan dosis harus dipilih dengan log-interval atau antilog- interval, misalnya : l. 10 mg/ kgBB; ll. 15 mg/kgBB; lll.22,5 mg/kgBB; lV. 33,75 mg/kgBB. Batas dosis ini diharapkan dapat menimbulkan respons pada 10-90% dari hewan coba. Perhitungan EDso atau LDso didasarkan atas perhitungan statistik. Nilai LDso untuk zat kimia yang sama dapat berbeda 0,002 sampai 16 kali bila dilakukan di berbagai macam laboratorium. Karena itu harus dijelaskan lebih lanjut tentang prosedur yang dipakai, misalnya berat badan dan umur tikus, zat pelarut, jantan atau betina, lingkungan dan sebagainya. Jumlah cairan yang diberikan per oral pada tikus untuk semua golongan termasuk kontrol harus kira-kira sama, sedapatnya tidak melebihi 2 ml. Cara pemberian obat harus dipilih sesuai dengan yang akan digunakan di klinik. Jadi untuk obat yang akan dipakai sebagai obat suntik perlu diuji dengan cara parenteral dan obat yang digunakan sebagai salep terutama harus diuji terhadap kulit. Evaluasi tidak hanya mengenai LD5e, tetapi juga terhadap kelainan tingkah laku, stimulasi atau depresi SSP, aktivitas motorik dan pernapasan ti-
kus untuk mendapat gambaran tentang sebab kematian. Hal ini harus dilengkapi dengan pemeriksaan laboratorium klinik dan pembuatan sediaan histologik dari organ yang dianggap dapat memperlihatkan kelainan. Kematian yang timbul oleh kerusakan pada hati, ginjal atau sistem hemopoetik tidak akan terjadi
pada hari pertama. Kematian yang ditimbulkan karena kerusakan alat tersebut di atas, baru timbul paling cepat pada hari ketiga. TOKSISITAS JANGKA LAMA. Percobaan jenis ini mencakup pemberian obal secara berulang selama 1-3 bulan (percobaan subakut), 3-6 bulan (percobaan kronik) atau seumur hewan (lifelong studles). Memperpanjang percobaan kronik untuk lebih dari 6 bulan tidak akan bermanfaat, kecuali untuk percobaan karsinogenisitas. Hal ini telah dibuktikan dengan membandingkan penelitian 6 bulan dengan yang lebih lama, dan ternyata tidak diperoleh informasi baru dengan memperpanjang penelitian. Berlainan dengan percobaan toksisitas akut yang mengutamakan mencari elek toksik, maksud utama percobaan toksisitas kronik ialah menguji
Farmakologi dan Terapi
keamanan obat. Menafsirkan keamanan obat (atau
zat kimia) untuk manusia dapat dilakukan melalui serangkaian percobaan toksisitas terhadap hewan. Perhatikan, bahwa di sini digunakan istilah menaf-
sirkan, karena ekstrapolasi data dari hewan
ke
manusia tidak dapat dilakukan begitu saja lanpa mempertimbangkan segala laktor perbedaan antara hewan dan manusia. Mendekati penilaian ke-
amanan obaVzal kimia dapat dilakukan dengan tahapan berikut: (1) menentukan LDsoi (2) melakukan percobaan toksisitas subakut dan kronik untuk menentukan no elfect levels; dan (3) melakukan
percobaan karsinogenisitas, teratogenisitas dan mutagenisitas yang merupakan bagian dari penyaringan rutin mengenai keamanan. Dalam melakukan studi di atas, segala perubahan berupa kumulasi, toleransi, metabolisme dan kelainan khusus di organ atau sistem organ tertentu harus dipelajari. Dan pada waktu tertentu sebagian tikus perlu dibunuh untuk mengetahui pengaruh bertahap obat terhadap organ. Sebagian lain digunakan untuk eksperimen pemulihan guna mempelajari reversibilitas dari kelainan yar,g terjadi. Pemeriksaan kimia darah, urin dan tinja perlu diusahakan agar dapat diikuti kelainan yang timbul.
MEKANISME TERJADINYA TOKSISITAS OBAT. Berbagai mekanisme dapat mendasari toksisitas obat, Biasanya reaksi toksik merupakan kelanjutan dari elek larmakodinamik, Karena itu, gejala toksik merupakan elek farmakodinamik yang berlebihan. Suatu obat jantung yang bekerja menghambat kon-
duksi atrioventrikular akan menimbulkan blok AV pada keracunan; suatu hipnotik akan menimbulkar, koma. Hal ini akan lebih cepat terjadi, pada manusia yang hipereaktif terhadap obat bersangkutan. Kelainan yang disebabkan oleh reaksi antigen-antibodi bermanifestasi sebagai reaksi alergi. Gugus kimia tertentu dapat menimbulkan reaksi toksik yang sama. Ketidakmurnian dalam sediaan hormon seperti insulin dapat menyebabkan reaksi toksik. Zat pengisi laktosa dalam produk feniloin dapat memperbesar bioavailabilitas sehingga mening-
gikan kadar lenitoin dalam darah. Hal ini, dapat menimbulkan keracunan karena batas keamanan
lenitoin sempit. Di bawah kadar darah 10 pg/ml fenitoin tidak elektil sedangkan di atas 20 pg/ml timbul reaksi toksik. Sedangkan penggunaan fenitoin dalam dosis 0,3 gram sehari dapat memberikan
kadar darah yang sangat bervariasi yaitu 4-60 Fg/ml.
Dasar Toksikologi
Produk dekomposisi daritetrasiklin yang ber-
warna coklat mengandung epi-anhidrotetrasiklin yang dapat merusak ginjal,.dan karena itu tetrasiklin
yang telah menjadi coklat tidak boleh digunakan lagi.
Kerusakan jaringan tubuh misalnya hati dan ginjal dapat mengganggu secara tidak langsung dan memudahkan terjadinya toksisitas.
2.5. HUBUNGAN ANTARA HEWAN COBA DENGAN MANUSIA Perbedaan antara tikus dan manusia cukup besar. Memang suatu percobaan larmakologl maupun toksikologi hanya dapat berarti bila dilakukan pada manusia sendiri. Tetapi pengalaman telah membuktikan bahwa hasil percobaan toksisitas pada hewan coba dapat diekstrapolasikan pada manusia bila beberapa spesies hewan menunjukkan toksisitas yang sama. Sebagai suatu tindakan keamanan biasanya digunakan suatu laktor 10 x l0 dalam memperhitungkan bahaya pada manusia dari data hewan coba. Sepuluh yang pertama dimaksudkan untuk perbedaan spesies, dan sepuluh
yang kedua dicadangkan untuk perbedaan individu (variabilitas). Juga hasil LDso zal kimia atau obat, sering diannbil sebagai patokan LD56 pada manusia
jika tidak ada petunjuk yang menyarankan elek lain pada manusia. Data langsung toksisilas pada manusia diperoleh dari penelitian kasus keracunan, Selain itu percobaan pada manusia (uji klinik) yang dikontrol secara baik adalah yang paling relevan (Bab 1). Hal ini dapat dilakukan dengan sukarelawan bila menyangkut suatu obat yang akan digunakan pada manusia, tetapi tidak etis dilakukan untuk suatu zal kimia yang tidak direncanakan untuk konsumsi manusia. Subyek penelitian sebaiknya dipilih dari pasien dengan penyakit yang merupakan indikasi obat
tersebut, setelah uji keamanan pada hewan tidak menunjukkan hal yang membahayakan. Ada baiknya menggunakan dosis sekecil mungkin pada per-
cobaan pertama pada manusia ini untuk mengurangi risiko yang mungkin timbul. Kemudian dosis ini dapat ditingkatkan untuk mengetahui toleransi manusia,
Dalam percobaan toksikologi pada hewan harus digunakan dosis yang sangat besar karena ingin dilemukan kelainan jaringan atau elek toksik
yang jelas. Dengan cara ini, reaksi yang jarang
terjadi bisa dibuat lebih sering. Bila dengan dosis
767
terapi elek hepatotoksik hanya terjadi pada 1 per 10.000 orang, maka diperlukan ribuan tikus untuk percobaan dengan dosis ini sebelum lerlihat reaksi pada 1-2 ekor tikus saja, Selain itu waktu observasi akan jauh lebih pendek bila kita menggunakan dosis
yang lebih besar, sehingga akan mengurangi biaya pemeriksaan. Namun akan timbul kesulitan dalam interpretasi hasilnya pada manusia, sebab kelainan yang ditemukan tidak dapat diekstrapolasikan begitu saja pada manusia. lnterpretasi ini harus dilakukan dengan bijaksana dengan memperhitungkan besarnya dosis dan kondisi percobaan.
NILAI PREDIKTIF EKSPERIMEN HEWAN. Ada empat kombinasi kemungkinan jika hasil penelitian toksikologi atau farmakologi pada hewan kemudian dibandingkan dengan hasil klinis pada manusia. Kemungkinan pertama dan ke dua ialah :jika hasil eksperimen hewan atau in vitro menyamai
hasil klinis pada manusia; hal ini dapat benarujud hasil yang positif maupun hasil yang negatit.
Kemungkinan ketiga ialah, jika efek in vitro atau pada hewan coba menunjukkan hasil positif, lapi pada manusia efek itu tidak terlihat. Kemungkinan ke empat, ialah bila tidak terlihat efek pada hewan coba, tetapi timbul elek klinis pada manusia. a) Hasil positif yang benar. Pada kemungkinan ini, eksperimen hewan benar telah meramalkan efeknya pada manusia. Kelainan yang tadinya ditemu-
kan pada hewan coba, kemudian terbukti juga pada manusia. Hasil positif-positil inijelas sangat diinginkan oleh toksikolog karena nilai prediktilnya berguna. Namun hasil positif-posltif yang 100% agak jarang ditemukan. Hal ini biasanya berlanjut ke penemuan suatu obat yang dapat digunakan secara klinis.
b) Hasil negatif yang benar. Keadaan ini paling sering dijumpai: hasilyang negatil pada hewan juga negatil pada manusia, Untuk toksikolog, hal ini merupakan suatu penemuan penting, bila mengenai suatu efek samping $otensial obat. Namun pernyataan ini memerlukdn keyakinan yang mantap dari percobaan yang dil'akukan, karena suatu hasil negatil lebih sulit dipaslikan dibandingkan hasil yang
positif.
'.
c) Hasil positif palsu. Banyak obat yang dalam eksperimen hewan atau in vitro, memperlihatkan elek larmakologi ternyata tidak menunjukkan efek terapi pada manusia, atau hasilnya sangat mengecewakan, Beberapa diantara obat seperti ini akhir-
Farmakologi dan Terapi
768
nya dipasarkan juga jika Badan Pengawasan Obat tidak cukup jeli melihat datanya. Karena itu hasil uji klinik yang dilakukan dengan baik harus menyertai pendaftaran suatu obat baru. Dalam bidang toksikologi, hasil positif-negatit ini berarti sifat toksik pada hewan tidak terlihat pada manusia. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan spesies atau dosis yang besar pada eksperimen tidak ditemui dalam terapi, atau karena perbedaan dalam silat larmakokinetik dan metabolisme.
Attempted Suicide. Dalam hal ini, pasien memang bermaksud bunuh diri, tetapi bisa berakhir dengan kematian atau pasien sembuh kembali bila ia salah talsir tentang dosis yang dimakannya. Acc id enta I Poison ing. I ni jelas merupakan kecelakaan, tanpa faktor kesengajaan sama sekali.
Homicidal Poisoning. Keracunan ini akibat tindakan kriminal yaitu seseorang dengan sengaja meracuni orang lain,
d) Hasil negatif yang palsu. Hasil ini merupakan hasil yang paling dikhawatirkan dalam toksikologi, karena eksperimen tidak mampu meramalkan efek samping atau silat toksik yang terjadi pada manusia. Hal ini biasanya, bila menyangkut suatu obat, akan berakhir dengan ditariknya obat tersebut dari peredaran atau diberlakukannya reslriksi dalam penggunaannya. Hasil negatif- positil ini mungkin
disebabkan ekskresi yang lebih lambat pada manusia, metabolit yang berbeda, sensitivitas reseptor
yang berbeda, perbedaan anatomi atau faal, adanya kondisi penyakit yang menyertai, induksi enzim
dan sebagainya.
3. KERACUNAN 3.1. PILAHAN KERACUNAN Anamnesis amat penting dan sering dapat menunjukkan adanya unsur keracunan. Tetapi ini hanya benar bila anamnesis menjurus ke suatu ceritera yang positit. Sering dokter dihadapkan pada pasien yang kesadarannya menurun sedangkan anamnesis keluarganya tidak banyak menolong. Keracunan dapat terjadi karena beberapa hal,
dan pilahan di bawah ini dapat membantu dalam mencari sebab keracunan. PILAHAN MENURUT CARA TERJADINYA KERA-
PILAHAN MENUBUT MULA WAKTU TERJADINYA KERACUNAN Diagnosis keracunan kronik sulit dibuat, kare-
na gejalanya timbul perlahan dan lama sesudah pajanan. Gejala juga dapat timbul secara akut setelah pemajanan berkali-kali dalam dosis yang relatif kecil. Suatu ciri khas ialah bahwa zat penyebab diekskresi lebih lama dari 24 jam, waktu paruhnya panjang, sehingga terjadi akumulasi. Juga mungkin terjadi suatu manifestasi kronik
pada organ oleh zat kimia yang mempunyai
trTe
pendek, namun sifat toksisnya terhadap organ yang kumulatif. Contoh untuk ini misalnya ialah nekrosis papila ginjal yang terjadi karena makan analgesik bertahun-tahun. Berbagai kelainan organ yang tidak dapat diterangkan patogenesisnya harus dicurigai sebagai akibat keracunan dan suatu anamnesis yang rinci sangat diperlukan.
Keracunan akut lebih mudah dikenal daripaQa keracunan kronik karena biasanya terjadi mendadak setelah makan sesuatu. Ciri lain ialah sering me-
ngenai banyak orang, misalnya pada keracunan makanan, dapat mengenai seluruh keluarga atau
warga sekampung. Gejala keracunan akut dapat menyerupai setiap sindrom penyakit, karena itu harus selalu diingat kemungkinan keracunan pada keadaan sakit mendadak dengan gejala seperti muntah, diare, konvulsi, koma dan sebagainya.
CUNAN
Sell Poisoning. Pada keadaan ini pasien makan obat dengan dosis berlebihan tetapi dengan penge-
lahuan bahwa dosis ini tidak akan membahayakan. Jadi pasien lidak bermaksud bunuh diri, biasanya hanya untuk menarik perhatian lingkungannya. Pada anak muda kadang-kadang dilakukan untuk coba-coba, tanpa disadari bahwa tindakan ini dapat membahayakan dirinya.
PILAHAN MENURUT ALAT TUBUH YAi'IG TER. KENA Dalam pilahan ini keracunan digolongkan menurut alat tubuh yang terkena, misalnya racun SSP, racun jantung, racun hati, racun ginjal dan sebagainya. Suatu alat cenderung dipengaruhi oleh banyak macam obat, sebaliknya jarang terdapat obat yang
hanya mengenai satu organ. Karbon tetraklorida
769
Dasar Toksikologi
misalnya, bersifat toksik terhadap hati, ginjal dan iantung sekaligus.
dian yang dahulu disangka keracunan ptomain,lel nyata disebabkan oleh enterotoksin stafilokokus. Kemungkinan besar enterotoksin ini pula penyebab
PILAHAN MENURUT JENIS BAHAN KIMIA
yang tidak diketahui etiologinya secara jelas. Dengan berkembangnya industri di lndonesia, tentu tidak boleh dilupakan beraneka zat kimia yang digunakan di pabrik, yang semuanya merupakan bahaya potensial bila tidak diadakan tindakan pengamanan.
Golongan zat kimia tertentu biasanya memperlihatkan sifat toksik yang sama. Misalnya golongan alkohol, fenol, logam berat, organoklorin dan lain-lain.
tersering dari keracunan makanan
'
3.2. PENYEBAB KERACUNAN Tidak ada batasan yang tegas tentang keracunan berbagai macam obat dan zat kimia, praktis
setiap zat kimia mungkin menjadi penyebabnya. Accidental poisoning terutama terjadi pada anak di bawah umur 5 tahun karena kebiasaannya memasukkan segala benda yang dijumpai ke dalam mulut. Obat berlapis gula atau asetosal pun menarik bagi mereka. Minyak tanah merupakan penyebab keracunan terbesar pada anak menurut survai kera-
cunan yang dilakukan di Jakarta pada tahun 'l 971 dan 1972. Barbiturat dan hipnotik-sedatif lain merupakan
pilihan pertama untuk bunuh diri pada orang dewasa, sedangkan opiat biasanya merupakan penyebab pada anak muda yang menyalah-gunakannya. Keracunan insektisida dapat terjadi karena
self-poisoning atau suatu kecelakaan karena ku rang berhati-hati dalam penggunaannya. Namun dalam 20 tahun terakhir ini, keracunan insektisida merupakan salah satu penyebab paling sering di lndonesia.
Enterotoksin stalilokokus sering mencemari makanan dan menyebabkan keracunan. Demikian pula toksin botulinus mungkin terdapat dalam makanan kaleng yang sudah rusak karena pengawetan yang kurang sempurna. Makanan sehari-hari dapat mengandung racun yang amat kuat seperti sianida pada singkong, muskarin atau laloidin pada jamur, ichtyosarcotoxin pada ikan dan sebagainya. Jengkol dapat menyebabkan penyumbatan tubuli ginjal sehingga timbul hematuria dan anuria. Keracunan ptomaln dahulu disangka disebabkan oleh makanan basi (ptoma = corpse). Anggap-
.
di
lndonesia
3.3. GEJALA DAN DIAGNOSIS
KERACUNAN
Gejala yang mengarah ke suatu diagnosis keracunan sebanding dengan banyaknya jumlah golongan obat yang beredar. Makin banyak golongan obat yang beredar makin beragam gejala keracunan obat. Dan suatu gejala sering bersifat aspesilik, misalnya koma yang dapat disebabkan oleh hipnotik, obat perangsang SSP, salisilat, antidepresi dan lain-lain. Dalam hal ini anamnesis dapat membantu menegakkan diagnosis, walaupun harus selalu dicocokkan dengan gejala yang ditemukan, karena suatu botol yang digenggam oleh pasien mungkin bukan berisi zat penyebab keracunan. Jadi diagnosis memang sulit ditegakkan, karena harus dikenal segala efek farmakodinamik dari semua obat yang potensial bersilat racun. Namun biasanya keracunan menyangkut golongan obat terlentu dan beberapa diantaranya mempunyai gejala yang pasti. Obat-obat hipnotik misalnya, menimbulkan
koma dengan tonus dan relleks otot menurun seperti dalam anestesia. Antikolinergik juga memperlihatkan gejala khas yaitu midr,iasis, takikardi, kulit merah dan panas. Petunjuk singkat mengenai gejala dan pengobatan beberapa keracunan yang sering terjadi dapat dilihat pada Tabel 52-1 . Pada pengelolaan pasien keracunan yang pa-
ling penting adalah penilaian klinis, walaupun sebabnya belum diketahui. Hal ini disebabkan karena pengobatan simtomatis sudah dapat dilakukan terhadap gejala-gejalanya. Diantaranya yang sangat penting pada permulaan keracunan ialah derajat kesadaran dan respirasi.
an ini ternyata tidak benar. Pada kenyataannya banyak makanan yang justru dimakan setelah dibusukkan, misalnya keju Limburg, ikan busuk dan udang busuk yang disukai orang Eskimo dan telur busuk tidak menyebabkan keracunan. Banyak keja-
KESADARAN Kesadaran merupakan petunjuk penting tentang beratnya keracunan. Makin dalam koma, ma-
Farmakologi dan Terapi
kin berat keracunannya, dan angka kematian bertambah dengan bertambah dalamnya koma. Derajat koma ini sebanding dengan kadar obat dalam darah pasien, tetapi suatu kadar terlentu tidak menimbulkan derajat koma yang sama pada setiap orang. Hal ini berhubungan dengan toleransi dan perbedaan kepekaan seseorang. Dalam toksikologi derajat kesadaran dibagi dalam 4 tingkat seperti pada anestesia.
(oleh striknin) atau hubungan saral otot (oleh insek-
tisida organofosfat). Keadaan ini harus dibedakan dari penyakit yang menimbulkan kejang misalnya epilepsi, kejang demam dan sebagainya. Kombinasi antara koma dan rangsangan SSP obat. Misalnya metakualon dapat menimbulkan koma, hipertoni, relleks meninggi, klonus serta hiperekstensi relleks plantar.
dapat terjadi pada keracunan beberapa
Tingkat L Penderita ngantuk tetapi mudah diajak bicara.
Tingkat ll. Penderita dalam keadaan sopor, dapat dibangunkan dengan rangsang minimal, misalnya bicara keras atau digoyang lengannya.
Tingkat lll. Penderita dalam keadaan soporokoma, hanya dapal bereaksi terhadap rangsangan maksimal yaitu dengan menggosok sternum dengan kepalan tangan.
PUPIL DAN REFLEKS EKSTREMITAS Bertentangan dengan pendapat umum, gejala
pupil dan relleks ekstremitas tidak begitu penting untuk diagnosis karena sangat bervariasi, kecuali pada keracunan atropin dan morfin. Juga dalam menentukan prognosis, gejala ini tidak dapat diiadikan pegangan. Pada keracunan hipnotik, pupil sering anisokor dan midriasis menetap tetapi tidak selalu menandakan prognosis buruk.
Tingkat lV. Penderita dalam keadaan koma, lidak ada reaksi sedikit pun terhadap rangsangan maksimal seperti di atas. Keadaan ini paling berat teiapi prognosisnya tidak selalu buruk. RESPIRASI
Seringkali hambatan pada pusat napas merupakan sebab kematian pada keracunan, karena itu lrekuensi napas dan volume semenit harus diperhatikan. Volume semenit dapat diukur dengan Wright's spirometer yang diletakkan di atas mulut dan hidung pasien; bila kurang dari 4 liter/menit, maka diperlukan Oe dan respirator mekanik bila lersedia. Jalan napas juga sering terhambat oleh sekresi mukus yang dapat berbahaya bila tidak segera dibersihkan. Hal ini dijumpai pada keracunan insektisida organoloslat atau karbamat. TEKANAN DARAH
BISING USUS Perubahan bising usus biasanya menyertai perubahan derajat kesadaran. Pada kesadaran tingkat lll biasanya bising usus negatif, dan pada tingkat lV selalu negatif, sehingga tanda ini dapat dipakai unluk mencocokkan derajat kesadaran misalnya pada pasien yang bersimulasi (berpurapura). JANTUNG
Beberapa obat menimbulkan kelainan ritme jantung sehingga dapat terjadi gejala payah jantung atau henti jantung. Untuk menentukan keracunan obat misalnya digitalis, antidepresan trisiklik dan hidrokarbon berklorida serta pengobatannya, diperlukan pengetahuan khusus lentang mekanisme lerjadinya aritmia ini.
Syok sering dijumpai pada keracunan. Biasa-
nya keadaan syok tidak begitu berat dan dapat diatasi dengan tindakan yang sederhana. Syok berat biasanya berkaitan dengan kerusakan pusat vasomotor dan prognosisnya buruk.
KEJANG
Kejang menandakan adanya perangsangan
SSP (misalnya oleh amfetamin), medula spinalis
LAIN-LAIN
Gejala lain tentu perlu juga diperhatikan, misalnya gangguan keseimbangan asam basa atau air, tanda kerusakan hati dan ginjal, kelainan EEG, retensi urin, muntah dan diare serta kelainan spesifik misalnya pada Xjoto tulang dan lain-lain, Pada 6% pasien keracunan akut barbiturat atau hipnotik lain ditemukan bula di kulit.
Dasar Toksikologi
771
3.4. PERANAN LABORATORIUM
intensif. Hanya di beberapa tempat tertentu lerdapat suatu Poisoning Treatment Ward, dengan
Diagnosis akhir keracunan ditsntukan oleh pe-
staf khusus dan dilengkapi alat yang tidak banyak berbeda dengan perlengkapan suatu unit perawatan intensif. Banyak ahli berpendapat bahwa tidak diperlukan pengobatan di suatu center tertentu karena sebagian besar pasien memerlukan pengobatan simtomatik. Lima persen kasus memerlukan terapi khusus, misalnya hemodialisis. Antidotum khusus hanya tersedia untuk kurang dari 2-30/o kasus, misalnya pada keracunan Pb, As, Hg, sianida, insektisida organofosfat, karbamat, derivat morfin dan warfarin, Tetapi tidak dapat disangkal bahwa suatu unit keracunan banyak manfaat dan keunggulannya, yang tercermin dari kecilnyafatality rate dalam unit seperti ini (kurang dari 1-2% pada institusi yang baik). Case fatality rate di lndonesia
meriksaari analitik darah, urin atau muntahan pasien, Pemeriksaan laboratorium ini tidak mudah, karena obat di dalam tubuh mengalami perubahan molekular akibat proses biotransformasi.
Spesimen biologik dapat diperiksa secara kualitatil maupun kuantitatif. Pemeriksaan secara kualitatif dan semikuantitatif sudah cukup untuk diagnosis. Pemeriksaan kuanlitatit yang memerlukan teknik dan alat yang lebih canggih terbatas nilainya sehingga tidak begitu praktis dilakukan, kecuali unluk penelitian.
Keterbatasan ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu:
(1 )
adanya variasi individu dalam biotrans-
lormasi; (2) terjadinya toleransi dan habituasi misalnya seorang yang biasa minum barbiturat kadangkadang masih sadar dengan kadar dalam darah 8 mg%, sedangkan yang belum pernah mendapat barbiturat sudah tidak sadar dengan kadar 2 mgo/o; (3) adanya kombinasi obat yang dalam tubuh dapat
mengubah kadar obat dan metabolitnya dalam darah; (4) digunakannya bermacam-macam metode untuk menentukan kadar dalam cairan biologik yang memberikan hasil berbeda-beda sehingga su-
kar untuk membandingkannya; (5) data kadar dalam kepustakaan jarang disertai penjelasan tentang fraksi yang diperiksa, obat bebaskah atau metabolit inaktifnya; dan (6) beberapa kombinasi obat mengganggu pemeriksaan kadar yang dilakukan, misalnya pengobatan dengan bemegrid mempersulit pemeriksaan kadar barbiturat. Dengan mempertimbangkan faktor-fahor di atas dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan semikuantitatil saja sudah cukup. Untuk ini perlu disertakan data gejala pasien dan permintaan mengenai obat apa atau sedikitnya golongan apa yang harus diperiksa. Pemeriksaan ini cukup dilakukan dengan kromatograli lapis tipis. Dalam hal yang meragukan penentuan dapat diulangi dengan metode yang lebih akurat, misalnya kromatograli gas dan kromatografi cair kinerja tinggi (hrgh performance liquid
chromatography).
(1
979-1 983) untuk keracunan pestisida berkisar an-
lara 4,1-7,7%.
Dalam tiga dekade terakhir ini pengobatan keracunan mengarah ke prinsip merawat pasien dan tidak memberi pengobatan berlebihan. Hal ini terlihat jelas pada pengobatan keracunan barbitu-
rat. Pengobatan simtomatik tidak kalah pentingnya dari penggunaan antidotum, Selama lungsi vital tubuh pasien dapat dipertahankan maka biotrans-
lormasi dan ekskresi obat tetap berlangsung, dengan demikian dapat mengatasi keracunannya sen-
diri. Keadaan menjadi lebih sulit jika terjadi komplikasi kerusakan alat penting misalnya otak, hati dan ginial. KEADAAN DARURAT Dalam menangani pasien keracunan, pertimbangan pertama ialah memutuskan apakah diperlukan suatu tindakan segera terutama pada lungsi vital, karena itu tindakan darurat meliputi penanganan gagal napas dan syok serta mencegah absorpsi obat lebih lanjut,
GAGAL NAPAS. Hambatan respirasi tidak hanya lerjadi pada keracunan obat hipnotik sedatif, tetapi . juga pada obat lain, misalnya salisilat dan obat
3.5. TERAPI INTOKSIKASI
perangsang SSP. Gangguan napas dapat berakibat anoksia dan gangguan keseimbangan asam basa. Sering sekresi saliva dan bronkus menyurnbat jalan napas, terutama pada keracunan obat koliner-
Dewasa ini pengobatan keracunan umumnya dilakukan di bagian Penyakit Dalam, llmu Kesehatan Anak dan jika perlu di suatu unit perawatan
napas merupakan tindakan pertama yang harus dilakukan. Untuk mengurangi kemungkinan aspirasi, pasien harus selalu dibaringkan dalam posisi miring
gik. Dalam hal ini membersihkan mulut dan jalan
Farmakologi dan Terapi
772
bergantian pada sisi kanan atau kiri bila ia tidak sadar.
Evaluasi napas yang obyektif dapat diukur dengan respirometer; bila volume semenit kurang dari 4 liter maka diperlukan oksigen. Pengukuran pH, PCOz, POe dan standar bikarbonat daridarah arteri juga diperlukan. Dalam keadaan darurat niketamid boleh digunakan sebagai perangsang napas; pemberian satu kali 2 ml sudah cukup. Jika terjadi apne atau keadaan yang mendekati apne, maka suatu respirator mekanik harus dipakai. Bila pipa endotrakeal dari respirator perlu dipertahankan lebih dari 48 jam, maka harus dilakukan trakeotomi untuk mencegah kerusakan pita suara.
SYOK. Pada keracunan barbiturat, syok terjadi karena depresi otot jantung dan berkurangnya curah
jantung. Kedua-duanya rupanya berdasarkan mekanisme sentral, Curah jantung menurun karena alir balik vena terganggu oleh dua hal : (1 ) permeabilitas kapiler meninggi, sehingga terjadi ekstravasasi cairan dengan akibat berkurangnya volume darah; dan (2) katup vena di ekstremitas tidak be-
kerja secara baik,
sehingga darah terkumpul di bagian vena. Kemungkinan besar mekanisme ini juga terdapat pada keracunan sedatif lain. Berda-
sarkan pendapat di atas, maka urutan tindakan untuk mengatasi syok pada keracunan barbiturat ialah: (1) pasien diletakkan dalam sikap yaitu tungkai sedikil (+ 10 cm) ke atas; (2) berikan metaraminol 5 mg lM dan diulangi 2-3 kali dengan interval 20 menit bila perlu;tekanan darah lidak boleh melebihi 100 mm Hg sistolik, karena pada tekanan di atas 100 mm Hg lerjadi inelisiensi kerja jantung serta vasokonstriksi pembuluh darah ginjal; (3) bila lindakan di atas belum menolong dapat diberikan inlus dekstran (berat molekul 60-70.000); (4) oksigen perlu selalu diberikan; (5) asidemia dan payah
jantung memperhebat syok dan lindakan untuk mengatasi kedua hal ini perlu dilakukan; dan (6) hidrokortison 100 mg tiap 6 jam dapat ditambahkan dalam pengobatan kasus yang resisten.
PREVENSI ABSORPSI OBAT. Bila keracunan terjadi melalui kulit, harus diingat bahwa tidak boleh menggunakan zat pelarut organik untuk membersihkan; sabun dan air merupakan pembersih yang paling baik. Pada keracunan per inhalasi, pasien harus dipindahkan ke ruangan yang segar. Bila obat ditelan, ada 3 jalan untuk mengeluarkannya, yaitu dengan menimbulkan muntah, membilas lambung dan mernberikan pencahar. Menim-
bulkan muntah pada pasien yang sadar dilakukan dengan cara mengorek dinding farings belakang dengan spatel atau memberikan apon'lor{in 5-8 mg subkutan. Pemberian larutan garam tidak begitu baik karena ada kemungkinan terjadi penyerapan
garam berlebihan. Mustard dapat diberikan dua sendok makan dalam segelas air hangat. Tindakan ini mungkin sia-sia bila penyebab keracunan adalah antiemetik. Bilas lambung dengan pipa karet berdiameter besar dianggap lebih berguna sebab memungkinkan keluarnya tablet yang belum hancur. Tindakan ini hanya boleh dikerjakan bila pasien sadar, Cara yang baik untuk mengerjakannya ialah dalam sikap miring ke kiri, kepala lebih rendah untuk mengurangi kemungkinan aspirasi paru. Prosedur ini dikerjakan dalam 4 jam setelah obat ditelan, kecuali untuk salisilat dan barbiturat atau obat lain yang memperpanjang waktu pengosongan lambung. Cairan yang biasa digunakan untuk ini ialah air hangat, tetapi dalam beberapa keadaan bisa digunakan larutan lain, misalnya untuk sianida dan pemutih pakaian diberikan larutan tiosullat dan untuk opiat digunakan larutan KMnOc. Pemberian pencahar meningkatkan peristalsis usus sehingga waktu absorpsi berkurang. Karbon aktil kadang-kadang berguna untuk menyerap obat yang terdapat dalam saluran cerna atau yang diekskresi melalui empedu. Bubuk karbon aktil dalam suspensi air, dapat diberikan melalui nasogastric'tube. Dosis awal 35-50 gram, disusul dengan dosis 1 5-20 g setiap 4-6 jam. Dengan demikian wak-
tu paruh eliminasi dapat dikurangi, misalnya fenobarbital dari 110 menjadi 19,8 jam, karbamazepin dari 32 menjadi 17,6 jam, lenilbutazon dari 51,5 menjadi 36,7 jam. Hasil serupa juga diperoleh pada digoksin, propoksilen, nadolol, sotalol dan teolilin. Namun perlu diingat bahwa karbon aktil hanya merupakan tindakan tambahan, tidak dapat menggantikan cara pengobatan kausal dan simtomqtik lainnya.
TINDAKAN LAIN Selain perawatan yang baik, pasien memerlukan pengobatan simtomatik lain yang lidak banyak berbeda dengan pengobatan penyakit. Karena itu
penilaian keadaan klinik sangat penting. Hal-hal tersebut di bawah ini mungkin diperlukan: (1) barbiturat atau diazepam untuk kejang-kejang; (2) ca;nan lV untuk mengalasi gangguan keseimbangan air
773
Dasar Toksikologi
dan elektrolit serta gagal ginjal; atau (3) antibiotik pada komplikasi radang paru. Tindakan simtomatik lain yang lebih khusus dan penling untuk mempercepat ekskresi obat diperlukan untuk kira-kira 5% dari pasien keracunan. Ada beberapa cara untuk ini yaitu transfusi (ex-
change transfusion), dialisis peritoneal, diuresis paksa, hemodialisis dan hemoperfusi (lihat Tabel 52-2).
TRANSFUSI DAN DIALISIS PERITONEAL. CaTa ini paling aman dan dapat dikerjakan di rumah sakit kecil tanpa alat khusus. Transtusi total misalnya dapat dikerjakan pada anak yang menderita kerusakan elemen darah akibat keracunan. Pada dialisis peritoneal, peritoneum berfungsi sebagai membran semipermeabel dan karena perbedaan kadar, racun akan berdifusi ke cairan dialisat yang kemudian dikeluarkan lagi dari abdomen. Tidak semua keracunan dapat diatasi dengan tindakan dialisis. Syarat terpenting ialah bahwa zat toksik yang aktif dapat dikeluarkan dalam jumlah cukup besar. Bila hanya metabolit yang tidak aktil yang diekskresi, maka tindakan dialisis tidak akan mengatasi keracunan. Perbedaan kadar jelas sangat menentukan. Bila kadar obat bebas dalam darah besar, maka dialisis akan lebih berhasil. Fenobarbital sering mencapai kadar 15 mg% dan karena itu dialisis sangat berguna. Sedangkan klordiazepoksid pada keracunan hanya mencapai kadar sekitar 0,5 mg%, hal ini menerangkan inefektivitas dialisis. Dialisis peritoneal efektivitasnya hampir menyamai diuresis paksa tetapi tidak ada bahaya dan kontraindikasi mutlak sejauh syarat di atas dipenuhi. Obat yang dapat dipercepat ekskresinya oleh dialisis peritoneal ialah alkohol, metilalkohol, amfetamin, barbiturat kerja panjang, asam borat, bromida, karbon tetraklorida, sikloserin, salisilat, metilsalisilat, primidon, natrium klorat dan sulfonamid. Cairan yang digunakan untuk dialisis peritoneal ialah cairan dia-
lisis baku yang ditambah dengan
:
(1) 3 ml KCI
(berisi 1 gram KCI/S ml); (2) heparin t.000 U; (3) 2 ml prokain 1o/o',dan (4)bilaterjadi overhidrasi ditambah 50 ml glukosa 50%. Cairan dengan suhu + 370C sebanyak 2 liter untuk orang dewasa (kurang dari 200 ml untuk bayi) dimasukkan ke dalam rongga peritoneum melalui trokar selama 10 menit. Tiga puluh menit kemudian cairan ini dikeluarkan lagi dengan jalqn hevel dan prosedur ini diulangi terus sampai pasien sadar.
DIURESIS PAKSA. Diuresis paksa ialah tindakan memberi cairan parenteral dalam jumlah besar (0,51,5 liter sejam) untuk mempercepat ekskresi obat melalui ginjal. Semakin besar ekskresi bahan aktif oleh ginjal, semakin berhasil prosedur ini. Syarat untuk dilakukannya tindakan ini adalah : (1) keracunan harus cukup berat; (2) obat harus larut dalam air; (3) berat molekul obat harus kecil; (4) obat tidak diikat oleh protein atau lemak; (5) obat tidak dikumu-
lasi dalam suatu rongga atau organ tubuh, dan (6) obat tidak diekskresi lebih cepat melalui jalan lain
misalnya paru atau usus. Obat yang memenuhi kriteria ini misalnya alkohol, metilalkohol, amfetamin, lenobarbital dan barbital, bromida, litium, meprobamat, salisilat dan metilsalisilat, primidon, kina, kuinidin dan sulfonamid. Tindakan ini mudah dilaksanakan tetapi mengandung bahaya yang tidak boleh diabaikan karena itu hanya dilakukan bila ada indikasi yang baik dan dipenuhi syarat-syaratnya. Keadaan pasien harus dievaluasi sebelumnya dan beberapa kontraindikasi harus diperhatikan. Bila obat tidak diekskresi dalam bentuk aktil oleh ginjal maka diuresis
paksa tidak bermanlaat. Adanya gangguan lungsi vital, misalnya gagal jantung, insulisiensi ginjal dan syok merupakan kdntraindikasi prosedur ini. Udem paru mungkin timbul oleh racunnya sendiri misalnya
metakualon, maka penambahan cairan dalam jumlah besar tentu akan memperburuk keadaan. Pemeriksaan kadar elektrolit setiap waktu iuga diperlukan. Pada prinsipnya cairan diberikan dalam jumlah kira-kira 500 mlflam, yang mungkin perlu ditambah sampai 1-2 liteiljam bila ada dehidrasi, misalnya pada keracunan salisilat. Pedoman pemberiannya adalah sebagai berikut : (1 ) 300 ml elektrolit ditambah 80 ml urea 50%' per jam untuk 4 jam pertama; bila diuresis tidak melebihi 350 mlilam, diuresis paksa harus dihentikan, karena keadaan ini menandakan adanya insufisiensi ginlal; (2) bila
diuresis baik, cairan ditingkatkan sampai 600 ml elektrolit ditambah 30 ml urea 50% per jam untuk 4 jam berikutnya; (3) prosedur diteruskan dengan 400 mlfiam sampai pasien sadar. Elektrolit yang digunakan pada dasarnya mengandung NaCl 0,9% dan laevulosa 5ok.Padakera-
cunan salisilat atau asam lain (lenobarbital) dapat ditambahkan natrium bikarbonat 1,26% dan KCI 1,5% (untuk keracunan salisilat saja), ini disebut diuresis alkali. Diuresis asam dengan pemberian amonium klorida 1% yang dahulu dilakukan pada keracunan kina dan amfetamin tidak tagi dianiurkan
Tt4
Farmakologi dan Terapi
karena manfaatnya kecil sedang bahaya cukup besar yaitu terhadap lungsi ginjal dan jantung. Tetapi untuk diuresis alkali, pH urin harus di atas 7,5 dan
untuk diuresis asam, pH urin harus di bawah 7,0. Bila urin lidak memenuhi syarat di atas, maka harus ditambahkan bikarbonat untuk diuresis alkali dan amonium klorida untuk diuresis asam. Sebagai tambahan, lurosemid dapat digunakan untuk memperlancar diuresis.
HEMODIALISIS DAN HEMOPERFUST. Mekanisme detoksikasi prosedur ini sama dengan dialisis peritoneal, tetapi diperlukan alat khusus dan lebih banyak kelrampilan. Seperti metode lain di sinijuga harus dipenuhi kriteria bahwa obat atau zat kimia harus dapat didialisis. Keterangan lebih lanjut mengenai prosedur dapat ditemukan dalam buku yang lebih spesifik. Pada hemoperfusi, darah dialirkan ke dalam tabung yang perisi kolom karbon aktif yang dipreparasi secara khusus, minyak alau resin penukar anion misalnya amberlite. Darah yang bebas obat dikembalikan lagi ke dalam sirkulasivena. Tindakan ini leoritis akan sedikit menganggu keutuhan eritrosit dan elemen darah lain, letapi pengalaman menunjukkan harapan yang baik di masa mendatang.
TINDAKAN DAN PENGOBATAN BERLEBIHAN
Dalam tahun 1945 waktu digunakan analeptik untuk mengatasi koma, kematian karena keracunan barbiturat kira-kira 25ok, sekarang angka ini turun sampai 1-2o/o.lni dicapai dengan pengobatan simtomatik dengan menghilangkan atau mengobati syoknya saja, sentralisasi perawatan dan menghentikan penggunaan analeptik (amfetamin dan bemegrid).
Pemberian cairan lV tidak diperlukan untuk 12 jam pertama walaupun pasien dalam keadaan koma kecuali bila terdapat dehidrasi misalnya pada keracunan salisilat.
Kateterisasi dan diuresis paksa adalah contoh lain dari tindakan yang sering berlebihan. lnkontinensia urin pada keracunan tidak memerlukan kateterisasi sebab tidak berlangsung lama. lnkonti-
nensia di sini merupakan tanda perbaikan tonus
kandung kemih dan tanda bahwa pasien akan sadar. Kateterisasi kandung kemih sering menim-
bulkan sistitis yang sulit diobati. Diuresis paksa sering dikerjakan tanpa indikasi yang tepat mengingat bahwa hanya keracunan obat yang diekskresi dalam bentuk aktil melalui urin yang diperbaiki oleh lindakan ini. Pada keracunan obat yang dapat menyebabkan udem paru (misalnya metakualon) tindakan diuresis paksa dapat membahayakan pasien.
Beberapa tindakan sering dilakukan tanpa alasan yang tepat sehingga jusiru banyak kesalahan yang telah dilakukan dalam mengatasi keracunan. Pemberian analeptik yang dulu dilakukan untuk
pasien dalam keadaan koma, tidak ada gunanya karena elek analeptik hanya sebentar serta menimbulkan bahaya kejang dan aritmia jantung,
Antibiotik sebagai prolilaksis hendaknya tidak diberikan secara rutin. Sedangkan pernapasan mulut ke mulut dapat berbahaya jika kadar obat di paru cukup besar. Seorang dokter dilaporkan menderita keracunan oleh tindakan ini waktu menolong pasien dengan intoksikasi insektisida organotosfat.
Tabel 52-1. KERACUNAN DENGAN TINDAKAN TERAPINYA
Nama zat
Pe*iraan dosis
Tanda dan geiala
Terapl
ketal
Alkohol (etili
Anilin (lain-lain: as€tanilkJ, tenas€tin, as€taminofen)
: 6-20
g
Muntah, delirium dan dspresi SSP
Simlomatik. Bori kopi tubruk. Emotik dengan rnustald satu sendok makan dalam air atau garam dapur.
Akul : meth€moglobin€mia dengan sianosis. Darah benrvarna coklat, kulil dingin, lekanan darah turun,
VitaminClglV. Biru m€tilon 1 % 1 mg/kgBB lV, perlahan-lahan. Simto-
nadl lemah, pornapasan cgpat,
malik d€ngan perhatian
dangkal. D€lirium dan p€rangsangan
t€rhadap sirkulasi dan p€r
SSP. Koma.
Kronik: Netritis monahun, anemia.
napasan. Hentikan obat dan s€lan.iutnya
simtomatik.
Dasar Toksikologi
775
Tabbl 52-1. KERACUNAN DENGAN TINDAKAN TERAPINYA (Sambungan) Nama zal
Perkiraan dosis l€tal
Tanda dan gejala
Depresi SSP sampai koma. Kejang disusul dengan depresi pernapasan Mulut kering. Takikardia.
Antihistamin
Terapi
Simtomatik, perhatikan psrmapasan. Bila kejang dibori antikonvulsan, gunakan 3-4 ml tiopental 2-5 %, secara lV. Luminal tidak boleh diberikan.
Arsen trioks'da
200-300 mg 100 mg
Akut : Tenggorokan tercekik dan sukar msnelan. Kolik usus, dinding p€rut sakit, diare berdarah, muntah, oliguria, kejang, koma dan syok.
Kronik: Lemah, mual. Gejala seperti koriza akut. Stomatitis, salivasi, dermatiiis, arsenic melanosis. Edema lokal pada kelopak mata dan pergelangan kaki. Keratosis palmaris dan plantaris, hepatomegali, sirosis, kerusakan ginjal dan ensetalopati. Asam dan basa kuat (HCl, HzSO+, KOH, NaOH)
Korosil
Mortin unluk menghilangkan nyeri. Bilas lambung. Beri susu. Berikan BAL 2,5 mg/ kgBB lM, tiap 4 jam sampai 10 mg/kgBB. Berikan BAL 2,5 mg/kgBB lM, diulangi sampai 4 kali. Bila geiala timbul kembali, pengobalan diulangi lagi.
Simlomatik: beri susu. Bila tertelan dalam larutan pekat, jangan melakukan bilas lambung.
Asam boral
Aspirin
15 g
20-309
Muntah, diare, suhu badan menurun, rasa lemah, sakit kepala, lidak tenang, rash erythemateus.
Simtomatik; diuresis paksa.
Hiperventilasi, keringat, muntah, d€lirium, kejang dan koma. Akhirnya depresi napas.
Simtomatik (awasi pernapasan). Beri susu. Bilas lambung dengan Na-bikarbonat 5%, vitamin K bila ada perdarahan. Anlikonvulsi tidak boleh diberikan.
Atropin (alkaloiJ beladona dan antikolin€rgik lain)
500-1000 mg 0umlah lebih kecil mungkin sudah b€rbahaya)
Barbiturat:
tenobarbital
5g
pentobarbital dan sekobarbital.
3g
Bensin
Mulut kering, kulil merah dan panas mirip beledru pada perabaan; penglihatan kabur dan midriasis; takikardia, retensi urin, delirium, halusinasi dan koma.
Simtomatik: beri susu. Bilas lambung dengan air. Katet€r urin. Perhatikan pernapasan dan sistem kardio-
Relleks berkurang, depresi pernapasan, koma, syok. Pupil kecil, dilalasi pada akhirnya.
Bilas lambung walaupun sudah lebih dari 4 jam. Tinggalkan 30 g larutan MgSO4 dalam usus. Eeri kopi tubruk.
Sama d€ngan lenobarbital, hanya berlangsung lebih pendek.
Diuresis paksa hanya pada keracunan lenobarbital. Hemodialisis paling baik. Bila perlu berikan 2 ml niketamid untuk memp€rbaiki pernapasan
lnhalasi atau oral : mual, muntah, sakit kepala, penglihatan terganggu, mabuk, koma, d€presi sentral dan depresi napas.
Simtomatik: epinelrin dan norepinetrin tidak boleh diberikan karena bisa menimbulkan fibrilasi ventrikel.
Kronik: Lihat keracunan timbal
vaskuler.
776
Farmakologi dan Terapi
Tabel 52-1. KERACUNAN DENGAN TTNDAKAN TERAptNyA (Sambungan) Nama zal
Perkiraan dosis letal
Bromida (Karbromal,
Tanda dan gejala
Akut : jarang, karena dimuntahkan. Subakut atau kronik : munlah, sakil perut, gelisah, d€lirium dan kelainan mental s€rta n€urologik lain; dapat menjurus k6 bunuh diri. Koma. Angioneurotik edema dan kelainan
Iromisovalum)
Diphon
kulit, eksitasi, kadang-kadang agranulosilosis.
Fenol
lg
Korosil (sel lendir mulut dan usus), sakit hebat, muntah, koma & syok. Kerusakan ginjal.
Terapi
Bila mungkin beri oral : NaCl atau NHrCI 6 g/hari. HCT 2 x 25 mg atau luros€mide
40 mg.
Simlomatik: Gejala-gejala kulit dan angioneurotik edema dapat diberikan antihistamin dan 0,3 ml epinefrin 1 permil subkutan.
Simtomatik: beri susu. Eilas lambung d6ngan hati-hati,
bila ada gunakan o/eurn olivarium.
lnsektisida Golongan organolostat misalnya, DOVP, diazinon, malation dan paration.
Setiap dosis berbahaya
Golongan karbamat (karbaril, Baygon)
Golongan organoklorin misalnya aldrin, BHC, DDT, di€ldrin, endrin, klordan, tiodan dan toksalen.
Jamur
DDT 15.30 g Endrin : 1,5 g
Keracunan lewat oral, inhalasi dan kontak kulit; muntah, diare, hipersalivasi, bronkokonstriksi, koringat banyak, miosis, bradikardia (kadangkadang takikardia); t€nsi menurun, ke.iang atau paralisis. Depresi pernapasan.
Bersihkan jalan napas. Berikan segera 2 mg atropin sullat lV diulang tiap 10-15 menit sampai terlihat muka merah, hipersalivasi berhenti dan bradikardia berubah menjadi takikardia dan kulit tidak berkeringat lagi. Observasi pasien t6rusmenerus dan bila g€iala kembali, ulangi pemberian atropin.
Seperli organofosfat
Eeri cepat atropin sullat 2 mg lV, diulangi liap 10-15 menit sampai atropinisasi penuh.
Ke.iang, tr€mor, koma. Kemudian
Simtomatik. Bilas lambung dan tinggalkan larulan Mg SOa 30 g. Fenobarbital 100-200 mg lM atau 5-10 mg diazepam lV.
dapat limbul paralisis.
T€rganlung jenis jamur:
Gejala muskarinik, atau degenerasi sel hepar dan ginjal.
Atropin sullat 2 mg SK dan simtomatik.
Jgngkol
Kolik ureter dan renal, hematuria, oliguria, kadang-kadang anuria dengan bahaya uremia.
Natrium bikarbon at 4 g per oral sehati. Bila ada anuria penOobatan tersebut di atas tidak berguna. Obatilah sebagai pasien uromia.
Kalium p€rmanganat
Kristal : beker.ia korosit (Larutan : tdak berbahaya), muntah, nadi lemah, kulit dingin, kolaps, dan edema glotis.
Beri putih telur, susu dan laksan, bilas lambung. Persiapan untuk lrakeotomi.
xi
777
Dasar Toksikologi
Tabel 52-1. KERACUNAN DENGANTINDAKANTERAPINYA (Sambungan) Perkiraan dosis
Nama zat
Tanda dan gejala
Terapi
l€lal
2go'al
Kamler
Karbon monoks'da
Ksiang.
Simtomatik,,luminal 1 00-200 mg lM.
Sakit kepala, koma, dePresi P€r-
Pernapasan bualan dsngan murni di bawah lekanan.
napasan dan syok. (orcnasal mask). Mual, muntah, sakil kePala, kulil dingin, k€iang, koma, librilasi v€ntrik€l. Gangguan lungsi hati dan ginial. Ksmatian karena deprosi napas.
Simlomatik. P€rnaPasan buatan dengan Oz. lnlus glukosa Epinelrin dan nor€pinelrin tidak boleh daberikan.
Mual, muntah, pusing, kulit dingin, pupil k6cil. Depresi naPas. Koma.
Bila ada depresi napas,
tinggi s€kali
Menyerupai keracunan alropin dengan perbedaan (lihat atroPin) : halusinasi nyata sebelum koma, mulut kering tidak begitu hebat; retensi urin tdak ada; midriasis tidak ielas.
Simtomatik. Tidak berbahaya, kesadaran pulih set€lah 1/2 - t hari lanpa amnosia.
30 ml
Setelah p€riode laten 8-32 jam : depresi SSP, asidosis, rotinitis, bula, sal{t kepala, sakit P€rut kulit dingin, mengigau, koma. Bradikardia menandakan prognosis buruk.
Diuresis paksa. Simtomatik dengan m6mperbaiki asidosis, pernapasan diawasi. Berikan
Aspirasi dalam paru'Paru Paling berbahaya. lritasi saluran c€rna. Depresi SSP dengan deprssi naPas, Muntah : aspirasi dengan akibat dispnea, asliksia, udom Paru, dan pneumonitis, dan kadang-kadang ke.lang
Bilas lambung tkJak bol€h. Simtomatik saia. Bslikan 02 under prcssure, bila ada edema paru. Antibiotika Prolilaktik.
Seperti kod€in
Seperti kodein.
Kolik usus, muntah, diar6,
Berikan inlus glukosa 5 % dan CaCh 10 % lV (bisa diu' langi). Simtomatik, berikan Al-hlJroksida gol secara oral.
2-10ml
Karbon tetraklorida
Kodein (opiat lain)
Marihuana (gan.ia)
Metilalkohol (dalam bahan bakar: 5-10 %)
Minyak tanah
120-150 ml. Dua sendok leh bila aspirasi
t€r
120-150 mg.
Morfin
Q
berikan nalokson HCI 5-10 mg. Bila lidak ada depresi napas simlomatik saia.
etilalkohol unluk menghambat oksidasi metanol. Berikan asam nikotin lV untuk dilatasi arteri r€tina, sesudah koma diatasi.
60 mg berbahaya 2'5 s
Natrium lluorida (racun kecoa)
30 ml larutan
Natrium hipoklorit (pemutih pakaian, bukan detergsn)
15
o/o
1 gram
Natrium nitrit
Nikolin
-
60 mg 3 batang gigar€t yang
kejang tstanilorm (Chvostekb sign)i paralisis PernaPasan.
Bila pekat l6bih berbahaya, dan ber' silat korosil pada selaPut lendir. Perlorasi lambung, P€rdarahan, syok dan striklur (kemudian).
Simtomatik, beri susu, Putih lelur atau MgO. Jangan dib€ri Na-bikarbonat. Bilas
Hipotonsi, sianosis karena mothemoglobinemia, keiang dan koma.
Bilas lambung. Berikan 500 mg vitamin C lV. Biru melilon 1 70, 1 mglkgBB lV.
Sakil kopala, Pusing, tremot, k€iang
Tidak ada antidolum. Bilas lambung dan laksan d€ngan
paralisis pernapasan, koma.
lambung harus hati-hati.
778
Farmakologi dan Terapi
Tabet 52-1. KERACUNAN DENGAN TTNDAKAN TERAptNyA (Sambungan) Nama zal
Perkiraan dosis tetal
Tanda dan g€jala
Terapi dihrutkan dalam air.
MgSor 30 g.
Nitrogen dioksida
p"rnao""*
Duatan
(Noz)
Se?a_gai gas menimbulkan iritasi mata dan
saluran napas. Ud€m patu, otspnea, bronkiolitis oblit€18ns,
Koma.
Bersihkan jalan napas. Berikan u2 oan ptednison dosis besar.
Reaksi obat 8elm-acam_macam
reaksi kulit; demam angioneurotik ud€m, reaksi s-eJum, ,eaksi anafilaktik dan o^b_al,
tain_lain
Sianida (singkong)
'
Timbat
X1 ;,f,,i1
jil,i*,f i:.#
*0",,
Beri 0,3 ml adren alin 1 %a. subkutan, harus diulangi tiap /- tu menit sampai ada ?erbaikan. Antihistamin_ Deksametason 2 x 1 mg oral s€tama 4 hari.
*H:;ii;50
mrNa riosurat
Akut : jarang Berikan
I g CaNa2 EDTA dalam intus 5OO ml glukosa 5% dua kali sehari selama 3 hari.
Kronik : sakit kepala, rasa logam oalafi mulut. Garis biru paia gusi, p:y,(kolik), diare, anemia, Dasophiilic stippling dail €fltro^sil paralisis dan kejang, ^oproportirinuria, kelainan radiologik pada tulang.
::l,l
Tingtur yodium Tingtur yodium p€kat.
Warfarin atau derivat di-
kumarol
90-60 mt.
Ca glukonat 2 g lV. Laksan dels-al.ygso4 Luminar too,zoo
il:#fl1",i*
Eila p€kat b€rsitat korosir. Hioor€nst, lakikardia, delifium stupor, nolritis.
Dosis b€rbahaya l-2 mg/kqBB untuk 6 hari.
keians' atau
BeJlk€n air tajin dan susu dengan s-egera.- Bilas lambung denqan rarutan Na_tiosullat 10 Vo.
Pordarahan kulit dan mukosa.
Vitamin K 5O mg lM atau 3 kali bu mg oral sehari. Fitomenadion, jauh lebih poten dan bermanraat
(racarn tikus)
TAbEI 52-2. MANFAAT OIALISIS DAN OIURESIS PAKSA PADA KERACUNAN Nama zat
Atkohot (etil) Alkohot (merit)
Amfetamin
Diuresis paksa
++ ++
Dialisis peritoneal
Hemodialisis
Keterangan
++ ++
+++
Penyembuhan dengan dialisis pentoneal dipercepat bila pada dialisat ditambahkan alkali.
Diuresis paksa dengan menambahkan amonium klorida aran meninggikan eliminasi.
779
Dasar Toksikologi
Tabet 52-2. MANFAAT DIALISIS DAN DIURESIS PAKSA PADA KERACUNAN (Sambungan)
Nama zat
Diuresis paksa
Dialisis peritoneal
Keterangan
Hemodialisis
Amitriptilin
0
0
0
Anilin
++
?
++
Asam borat
0
+++
+++
Barbiturat masa kerja lama
++
++
+++
masa kerja sedang
0
+
+
masa kerja singkat
0
+
+
Jangan mencoba melakukan diuresis paksa karena kemungkinan adanya gagal ginjal. Penyembuhan dengan dialisis peritoneal akan dipercepat dengan menambahkan albumin.
+++
+++
+++
Desipramin
0
0
0
Diazepam
0
0
0
Dikloralfenazin
+++
+++
+++
Etilen glikol
++
++
++
Etinamat
?
0
++
Etklorvinol
0
+
+++
Fenasetin
+
?
++
Fenotiazin
0
0
++
Fluorida
+
?
+++
Glutetimid
0
+
++
lmipramin
0
0
0
lsoniazid
0
+
++
Jamur (Amanita phalloides)
?
?
+++
Karbon tetraklorida
0
Kinin & Kinidin
++
0
0
Kloralhidrat
+++
+++
+++
Klordiazepoksid
0
0
0
Litium
+++
+++
+++
Meprobamat
++
0
+
Metakualon
0
?
++
Diuresis paksa jangan dilakukan karena cenderung timbulnya ed€ma pulmoner.
Metakualon + difenhi-
0
?
++
Hemodialisis hanya dikerja'
Bromida
Penyembuhan akan dipercepat dengan menambahkan emulsi lemak pada dialisat.
Hemodialisis mungkin tidak
etektif 36jam sesudah makan jamur. ++
++
Jangan mencoba melakukan diuresis paksa karena kemungkinan adanya gagal ginial. Diuresis paksa.
780
Farmakologi dan Terapi
Tabel 52-2. MANFAAT DlALlsls oAN DtuREsts pAKsA PADA KERACUNAN (sambungan)
Nama zat
Diuresis paksa
Dialisis peritoneal
Hemodialisis
dramin
Keterangan
kan bila kadar dalam darah lebih dari '12 mg o/o pada pasien yang tidak toleran terhadap obat ini. Diuresis paksajangan dilakukan karena cenderung timbulnya edema paru yang berbahaya.
Metilpentinol Metil salisilat
+ +++
+
Metiprilon Misolin
+ ++
+
+
++
+++
+++
+ +++
Penyembuhan dengan dialisis peritoneal akan dipercepat dengan menambahkan albumin pada dialisat.
Natrium klorat
+++
+++
Seperti pada barbiturat masa kerja lama.
Jangan mencoba melakukan diuresis paksa karena kemungkinan adanya gagal ginjal.
Nilrazepam
0
0
0
Nerotriptilin
0
0
0
Paraldehid
+
++
Paras€tanol
0
?
++
Penghambat monoamin
?
?
++
Penisilin
++
++
++
Salisilat
+++
+++
+++
Sikloserin
++
+++
Streptomisin
+
?
++
Sulfonamida
++
++
+++
Timbal
0
+
++
?
oksidase
Penyembuhan pada dialisis peritoneal akan dipercepat bila ditambahkan albumin pada dialisat. Diuresis paksa alkali.
?
Dialisis hanya digunakan
dalam kombinasi dengan chelating agent. Trimipramin 0 ? +
++ +++
: tindak8n lldak b€rmantaal. : tHak dikstahul. : cukup b€rmanlsal. : bormantaat. : sangat b€rmanlaat.
0
0
781
Logam Berat dan Antagonis
53. LOGAM BERAT DAN ANTAGONIS Udin Sjamsudin
1.
Pendahuluan
2. Logam berat
2.1. Timbal 2.2, Merkuri 2.3. Arsen 2.4. Kadmium 2.5. Besi 2.6. Logam berat radioaktif
1. PENDAHULUAN Manusia senantiasa terpajan (exposed) logam berat dalam lingkungan hidupnya. Dilingkungan yang kadar logam beratnya cukup linggi, kontaminasi dalam makanan dan air dapat menyebabkan keracunan. Logam yang terlepas dari alat makanminum dan alat masak juga dapat menimbulkan keracunan tanpa disadari. Dalam abad industri ini, penambangan secara besar-besaran telah menimbulkan penyakit-kerj a (occupational disease) berupa keracunan berbagai logam toksik. Konstituen logam dalam pestisida dan obat merupakan iambahan sumber pajanan logam yang berbahaya bagi manusia. Pembakaran batu bara yang mengandung logam berat, tambahan Pb tetraetil pada bensin, dan peningkatan penggunaan logam dalam industri menjadi sumber pen@maran lingkungan dan penyebab utama keracunan logam berat. Logam berat tidak mengalami metabolisme,
tetap berada dalam tubuh dan menyebabkan elek toksik dengan cara bergabung dengan suatu atau beberapa gugus ligan yang esensial bagi fungsi lisiologis normal. Ligan ialah suatu molekul yang mengikat molekul lain yang umumnya lebih besar' Ligand memberi atau menerima elektron untuk
3. Antagonis logam
berat
3.1. Kalsium dinatrium edetat 3.2. Dimerkaprol(BAL) 3.3. Asam 2,3-dimerkaPtosuksinat 3.4. Penisilamin 3.5. Deleroksamin 3.6. Asam dietilentriaminPenta asetat (DTPA)
lating agent) khusus dirancang untuk berkompetisi dengan ligan terhadap logam berat, sehingga meningkatkan ekskresi logam dan mencegah atau menghilangkan elek toksiknya. Logam berat bisa bereaksi membentuk ikatan koordinat dengan ligan dalam tubuh yang berbentuk -oH, -coo-, -oPosH, - C=O, -SH, -S-S-, -NHz dan -NH. Antagonis logam beratyang dibicarakan di sini membentuk kompleks dengan logam berat, sehingga mencegah'atau menggeser ikatan logam dengan ligan tubuh. Kelat (chelate) ialah suatu kom-
pleks yang terbentuk antara suatu logam dan senyawa yang mengandung dua ligan potensial atau lebih. Hasil reaksi ini ialah suatu cincin heterosiklik, dan cincin kelat yang berbentuk segi lima dan enam ialah yang paling stabil, Stabilitas kelat tergantung dari sifat kimia golongan ligan, misalnya plumbum dan merkurilebih besar alinitasnya terhadap ligan yang mengandung sullur dan nitrogen daripada terhadap ligan yang
mengandung oksigen. Kalsium memperlihatkan silat yang sebaliknYa.
Elektivitas suatu kelator untuk pengobatan keracunan logam berat tergantung dari beberapa faktor, yaitu : (1) alinitas relatil kelator terhadap logam berat dan logam esensial dalam tubuh; (2) distribusi kelator dan logam dalam tubuh: dan (3)
membenluk ikatan kovalen biasanya dengan
kemampuan kelaior untuk mengeluarkan logam
logam. Anlagonis logam berat, suatu kelatot (che-
dari tubuh.
782
Farmakolqi dan Terapi
Suatu kelator yang ideal sebaiknya memiliki sifat sebagai berikut : (1) larut dalam air; (2) resisten lerhadap biotransformasi; (3) mampu mencapai tempat penyimpanan logam; (4) kelat yang terbentuk mudah diekskresi; dan (5) harus aktil pada pH cairan tubuh. Alinitas kelator yang rendah terhadap kalsium juga merupakan persyaratan, karena kalsium dalam plasma mudah diikat. Suatu kelator mungkin menyebabkan hipokalsemia walaupun afinitasnya tinggi terhadap logam berat. Silat terpenting kelator ialah mempunyai alinitas terhadap logam yang lebih besar daripada alinitas logam terhadap ligan. Banyaknya ligan dalam tubuh merupakan rintangan besar bagi efektivitas suatu kelator. Karena banyak hal yang belum diketahui secara mendalam, penggunaan kelator dalam keracunan sebagian besar didasarkan atas penelitian in vitro dan pengalaman.
2. LOGAM BERAT
bak; pipa ledeng; pigmen cat para artis; abu dan
dica| limbah tukang emas/perhiasan, industri rumah, baterai dan percetakan (huruf cetak dari Pb). Keracunan pada anak cukup sering karena termakannya serpihan cat yang berasal dari bangunan tua atau karena keasap dari pembakaran kayu yang
biasaan menggerogoti lis dan kerangka jendela yang dicat Pb. Cat tersebut mengandung Pb karbonat (beruvarna putih) dan Pb oksida (benvarna merah) sebanyak 5-40%. Asosiasi Standar Amerika dalam tahun 1955 menentukan bahwa cat mainan, perabot rumah tangga, dan interior.tempat tinggal tidak boleh mengandung lebih dari 1% Pb.
Per::ajanan Pb di tempat kerja di Amerika telah berkurang secara mencolok selama 50 tahun terakhir ini karena adanya peraturan dan program tepat guna di bidang pengawasan medis. Pajanan Pb paling tinggi ialah ditempat peleburan Pb; kare-
na asap dan debu yang mengandung Pb'oksida. Juga pekerja di pabrik aki menghadapirisiko serupa. Dari suatu penelitian yang dilakukan di lndonesia, kadar Pb darah karyawan pabrik aki kurang dari
0,69 ppm (mcg/ml) belum melewati batas toksik 2.1. TIMBAL Timbal (Pb, timah hitam) terdapat dimanamana dalam lingkungan, karena terdapat di alam dan digunakan dalam industri. Kira-kira 10% dari hasiltambang timbaldigunakan untuk produksi Pb tetraetil, yang ditambahkan pada bensin sebanyak 1 m[L bensin sebagai antiknock. Pengurangan kadar Pb dalam bensin dalam dasawarsa terakhir menyebabkan penurunan kadar Pb dalam darah manusia. Manusia terpajan Pb terutama melalui makanan. Jumlah Pb yang dikonsumsi seorang dewasa di Amerika Serikat rata-rata per hari 0,1-2 mg. Namun demikian, sebagian besartoksisitas nyata Pb diakibatkan oleh pajanan di lingkungan dan industri. Makanan dan minuman yang bersilat asam, seperti air tomat, air buah, minuman kola, air apel dan asinan dapat melarutkan Pb yang lerdapat pada lapisan mangkuk dan panci. Makanan dan minuman yang terkena kontaminasi tersebut lelah menyebabkan keracunan latal pada manusia. Timbal juga merupakan kontaminan wiski yang disuling secara gelap di Amerika karena digunakannya radiator mobil sebagai kondensor, dan komponen lain
(0,72 ppm), tetapi perlu pemantauan kadar Pb darah karyawan untuk mendeteksi gejala dini keracunan Pb.
Absorpsi Pb terutama melalui saluran cerna dan saluran napas. Absorpsi melalui usus pada orang dewasa kira-kira 10%, pada anak kira-kira 400/0. Ada dugaan bahwa Pb dan kalsium berkompetisi dalam transport lewat mukosa usus, karena ada suatu hubungan timbal- balik antara kadar kalsium makanan dan absorpsi Pb. Kekurangan zat besi dilaporkan meningkatkan absorpsi Pb melalui saluran cerna. Absorpsi Pb yang dihirup berbeda-
beda tergantung dari bentuk (uap atau partikel) dan kadar Pb. Kira-kira 90% partikel Pb di udala diabsorpsi melalui saluran napas. Pb anorganill mulamula terdistribusi di jaringan lemak, terutama dalam ginjal dan hali. Kemudian Pb mengalami redistribusi ke dalam tulang (95%), gigidan rambut. Sejumlah kecil Pb anorganik ditimbun dalam otak, sebagian
besar dari jumlah tersebut berada di substansia grisea dan ganglia basal. Hampir semua Pb anorganik terikat dengan eritrosit dalam sirkulasi. Bila kadar Pb relatif tinggi dalam sirkulasi, barulah ditemukan Pb dalam plasma.
Kumulasi Pb dalam tulang mirip dengan kumulasi kalsium, letapi sebagai Pb losfat tersier,
yang disolder dengan Pb.
garam Pb di tulang (fosfat, karbonat) tidak menye-
Kasus sporadis keracunan Pb bersumber dari Pb dalam mainan; debu di tempat latihan menem-
kadar Pb lebih tinggi dalam tulang pipih daripada
babkan efek toksik. Pada pajanan yang,baru terjadi,
Logam Berat dan Antagonis
dalam tulang panjang, meskipun secara keseluruhan tulang panjang mengandung lebih banyak Pb. Dalam masa awal deposisi kadar Pb paling tinggi dalam epilisis tulang panjang. Hal ini terutama jelas pada tulang yang sedang tumbuh dan dapat dide-
teksi dengan pemeriksaan radiologis. Ganqbaran radiologi berupa cincin dengan densitas tinggi pada pusat osifikasi tulang rawan epilisial, juga sebagai garis lransversal pada diafisis. Gambaran tersebut khas untuk diagnosis keracunan Pb pada anak. Faktor yang mempengaruhi distribusi kalsium
juga mempengaruhi distribusi Pb. Asupan losfat tinggi mempermudah penimbunan Pb dalam tulang dan mengurangi kadar Pb dalam jaringan lunak. Asupan kalsium dosis tinggi tanpa peninggian asupan foslat menyebabkan elek serupa, disebabkan persaingan dalam pengikatan fosfat antara Pb dan kalsium. Jika fosfat cukup, vitamin D mempermu-
dah penimbunan Pb dalam tulang; bila foslat kurang, deposisi kalsium melebihi Pb. Hormon paratiroid dan dihidrotakisterol memobilisasi Pb dari tulang, meningkatkan kadar Pb dalam darah dan ekskresinya dalam urin. Pada hewan coba, ekskresi Pb melalui empedu dan tinja jumlahnya jauh lebih banyak daripada yang dikeluarkan melalui urin. Pada manusia ekskresi Pb melalui urin lebih penting, dan kadar Pb dalam urin berbanding langsung dengan kadarnya dalam plasma. Tetapi kebanyakan Pb berada dalam eritrosit sehingga sangat sedikit Pb ditemukan dalam urin; Pb juga diekskresi malalui ASI dan keringat, ditimbun dalam rambut dan kuku. Pb juga dapat mencapai plasenta, Waklu paruh Pb dalam darah ialah 'l - 2 bulan, kadar mantap dicapai dalam waktu kira-kira 6 bulan. Sesudah tercapai kadar mantap, jumlah Pb yang dikonsumsi setiap hari kira-kira sama jumlahnya dengan Pb yang diekskresi, dan kadar Pb dalam jaringan lunak sedikit mengalami perubahan. Namun begitu, kadar Pb dalam tulang meningkat, dan wahu paruh dalam tulang diperkirakan 20-30 tahun. Karena ekskresi Pb terbatas, maka sedikit saja peningkatan asupan setiap hari dapat menimbulkan kumulasi Pb. Asupan Pb normal per hari kira-kira 0,3 mg, sementara
keseimbangan positil dimulai pada asupan 0,6 mg per hari. Orang normal dengan asupan Pb 0,6 mg per hari dalam jangka sangat lama dapat menderita keracunan. Asupan Pb yang lebih besar misalnya dengan asupan Pb 2,5 mg/hari keracunan terjadi setelah 4 tahun, sedangkan asupan 3,5 mg/hari hanya memerlukan waktu beberapa bulan.
783
KERACUNAN AKUT
Keracunan Pb akut yang ditandai dengan kadar lebih dari 0,72 ppm dalam darah, jarang terjadi. Keracunan yang terjadi biasanya disebabkan oleh masuknya senyawa Pb yang larut dalam asam atau inhalasi uap Pb. Efek astringen menimbulkan rasa haus dan rasa logam. Gejala lain yang sering timbul ialah mual, muntah dengan muntahan menyerupai susu karena Pb klorida, dan sakit perut hebat. Tinja warna hitam karena Pb sulfida, dapat disertai diare atau konstipasi, Pb yang diserap dengan cepat dapat menyebabkan sindrom syok yang juga disebabkan oleh kehilangan cairan lewat salur-
an cerna. Terhadap susunan saral, Pb anorganik menyebabkan parestesia, nyeri dan kelemahan otot. Anemia berat dan hemoglobinuria terjadi karena hemolisis darah. Dapat timbul kerusakan ginjal, dan kematian dapat terjadi dalam 1-2 hari. Kalau keracunan akut teratasi, umumnya terlihat gejala keracunan Pb kronik.
KERACUNAN KRONIS Gejala keracunan Pb kronis (plumbism) dapat dibedakan atas enam macam sindrom yaitu sindrom abdominal, neuromuskular, SSP, hematologi, renal dan sindrom lain. Gejala ini bisa timbul sebagi-
an atau semua sekaligus. Sindrom neuromuskular dan sindrom SSP terjadi pada pemajanan hebat, sementara sindrom abdominal merupakan manifestasi yang timbul perlahan-lahan. Di Amerika Serikat sindrom SSP lebih sering ditemukan pada anak dan sindrom abdominal lebih sering ditemukan pada orang dewasa. Sindrom abdominal dimulai dengan mual, malaise, sakil kepala. Konstipasi biasanya merupakan gejala awal, terutama pada orang dewasa, kadang-kadang terjadi diare. Rasa logam yang menetap merupakan gejala dini dari sindrom ini. Dengan memberatnya intoksikasi, anoreksia dan konstipasi menghebat. Spasme intestinal yang meny6babkan nyeri abdominal (kolik Pb) merupakap gejala abdominal lanjut yang paling mengganggu dan berat. serangannya bersilat paroksismal berupa kaku otot perut dan nyeri tekan daerah pusar. Kalsium glukonat lV dianjurkan untuk mengurangi nyeriabdominal, dan biasanya lebih elektif daripada morfin,
lead
Sindrom neuromuskular yang disebut juga plsy lebih jarang terlihat, gejala ini merupa-
kan gejala keracunan subakut lanjut. Gejala patog-
784
Farmakolqi dan Tempi
nomonisialah wrisf drop dan kadang-kadang foof
porfirinogen lll), tetapi tidak jelas apakah hal ini karena hambatan aktivitas enzim atau laktor lain.
utama bagian ekstensor lengan bawah, pergelangan tangan, jari serta otot ekstraokuler. Kelemahan otot tidak terjadi kecuali setelah aktivitas otot berlebihan. Sensoris umumnya tidak dipengaruhi.
Peningkatan ekskresi porfobilinogen dan uroporfirin dilaporkan hanya terjadi pada kasus berat. Peningkatan aktivitas delta-AlA sintase disebabkan oleh berkurangnya kadar heme dalam sel, yang mengatur sintesis delta-AlA sintase dengan hambatan tolok balik (feedback inhibition) , Aktivitas delta-ALA dehidratase dalam hemolisat dan delta-AlA dalam urin merupakan indikator sensitif adanya pajanan
drop karena yang terserang ialah otot aktif, ter-
Sindrom SSP yang disebut juga ensefalopati
timbaf (lead encephalopathy) lebih sering terjadi pada anak. Gejala permulaan berupa kekakuan, ataksia, vertigo, insomnia, gelisah dan iritabilitas. Dengan memberatnya enselalopati penderita akan terangsang dan bingung, delirium disertai konvulsi tonik-klonik, letargi disusul koma. Sering terjadi muntah proyektil dan gangguan penglihatan. lni merupakan gejala tekanan intrakranial yang meninggi tetapi kraniotomi tidak dapat mengatasinya; angka kematian 25o/o. Bila pengobatan dengan kelator dimulai setelah timbul gejala enselopati akut, maka
40% dari yang hidup mengalami kerusakan saral berupa retardasi mental, cerebral palsy, atrofi optik atau distonia otot. Pajanan Pb kadang-kadang menimbulkan kemunduran mental yang jelas dan progresif pada anak. Kadar Pb dalam darah anak anlara 0,30-0,50 ppm, meningkatkan lrekuensi kejadian hiperkinetik dan menyebabkan penurunan lQ yang berarti. Sindrom hematologi antara lain berupa basophllic stippling akibat agregasi asam ribonukleat pada eritrosit, yang terjadi bila kadar Pb darah 0,80 ppm atau lebih. Hal ini dianggap merupakan akibat penghambatan enzim pirimidin-5'-nukleotidase oleh Pb, tetapi basophilic sfipp/rng bukan tanda patognomonik keracunan Pb. Gambaran hematologi intoksikasi Pb kronis yang sering timbul pada anak ialah anemia hipokrom mikrositer. Anemia ini mirip anemia delisiensi besi dan dianggap disebabkan oleh dua laktor yaitu menurunnya umur eritrosit dan hambatan sintesis heme. Enzim yang diperlukan untuk sintesis heme lerdistribusi luas di jaringan mamalia, dan heme tersebut diinkorporasikan ke hemoglobin, mioglobin, sitokrom dan katalase. Kadar Pb yang rendah mempengaruhi sintesis heme yaitu menghambat pada beberapa tahap sintssis, Terbukti adanya penghambatan A-aminolevulinat (A-ALA) dehidratase dan ferokelatase, yang merupakan enzim dengan gugus sullhidril (-SH). Keracunan Pb pada manusia dan hewan coba ditandai oleh adanya akumulasi protoporlirin lX dan Fe nonheme dalam eritrosil, A-ALA dalam plasma dan meningkatnya ekskresi A-ALA dalam urin. Juga terjadi peningkatan ekskresi koproporlirin I ll (hasil oksidasi kopro-
Pb; perubahan paramater yang dapat dideteksi dengan prosedur laboratorium sederhana ini mendahului munculnya gejala keracunan. Sindrom renal terlihat dalam dua bentukyaitu gangguan tubuli ginjal yang reversibel (biasanya karena pajanan Pb akut pada anak) dan nelropati interstisial yang ireversibel, akibat pemajanan Pb kronik di industri. Terlihat kumpulan gejala yang mirip sindrom Fanconi dengan proteinuria, hematuria, dan adanya silinder dalam urin, Pada beberapa penderita, terjadi hiperurisemia berhubungan dengan insufisiensi ginjal. Secara histologis, nefropati Pb ditandai oleh adanya badan inklusi nuklear yang khas yaitu suatu kompleks Pb-protein. Hal ini timbul dengan cepat dan menghilang setelah terapi dengan kelator. Badan inklusi ini juga ditemukan dalam sedimen urin pekerja pabrik yang terpajan Pb.
Sindrom lain dari plumbism ialah muka warna kelabu dan bibir pucat, bercak retina, tanda keluaan dini (bungkuk, menurunnya tonus otot, kuruskering) dan adanya garis Pb yang merupakan pengendapan Pb sullida benrvarna hitam keabu-abuan di tepi gusi, Gejala ini dapat dihindari dengan higiene gigi yang baik. Pigmentasi serupa dapat diakibatkan oleh merkuri, bismut, perak, talium dan besi. Telah dilaporkan beberapa kasus adenokarsinoma ginjal pada pekerja industri Pb, tetapi bukti karsinogenisitas Pb belum mapan.
DIAGNOSIS KERACUNAN TIMBAL. Tanpa diketahui adanya pemaparan Pb yang abnormal, diagnosis keracunan Pb sering tidak ditegakkan kar0na gejala keracunannya yang tidak spesilik. Misalnya, gejala ensefalopati Pb menyerupai gejala berbagai keadaan degeneratif SSP. Dengan pemeriksaan lisik sulit membedakan kolik Pb dari kolik akibat tukak peplik, pankreatitis atau porliria akut. Kecurigaan klinis harus dikonlirmasikan dengan pengukuran kadar Pb darah dan protoporfirin dalam eritrosit.
785
Logam Berat dan Antagonis
Pada anak dan orang dewasa normal, nilai Pb darah berkisar antara 0,10-0,40 ppm. Penderita dengan kadar Pb darah 0,40-0,60 ppm tidak memperlihatkan gejala keracunan, namun mungkin memperlihatkan penurunan aktivitas A-ALA dehidratase yang nyata dan sedikit peningkatan ekskresi A-ALA dalam urin. Penderita dengan kadar Pb darah 0,6-
0,8 ppm memperlihatkan penurunan aktivitas
A-
ALA dehidratase eritrosit, peningkatan ekskresi AALA dan koproporfirin urin diserlai gejala keracunan Pb ringan yang nonspesifik. Protoporlirin dalam eritrosit meningkat karena Pb menghambat ferokelatase. Gejala keracunan Pb jelas terlihat bila kadar Pb darah melebihi 0,8 ppm, dan lead encephalopathy le(lihaljelas bila kadar Pb darah lebih dari 1 ,2 ppm. Ekskresi Pb dalam urin orang dewasa normal umumnya kurang dari 80 mcg per liter. Kebanyakan penderita dengan keracunan Pb yang nyata memperlihatkan kadar Pb 150-300 pg/L urin. Tetapi bila disertai nefropati Pb alau insufisiensi ginjal, ekskresi Pb urin mungkin dalam batas normal. Permulaan keracunan Pb biasanya tidak jelas, sehingga perlu pengukuran kandungan Pb dalam tubuh orang yang terpajan. Uji mobilisasi dengan CaNazEDTA membantu menentukan terdapatnya peningkatan kandungan Pb'dalam tubuh orang yang terpajan. Uji inidilaksanakan dengan inlus 1 g
CaNaeEDTA dalam 250 ml larutan dekstrosa 5% selama satu jam. Kemudian produksi urin selama 4 hari dikumpulkan. Batas tertinggi ekskresi Pb orang dewasa normal ialah 600 pg. Uji mobilisasitidak dilakukan pada penderita dengan gejala keracunan Pb yang nyata, yailu pada orang yang mengandung Pb darah lebih dari 1 ppm, karena penderita ini memerlukan regimen pengobatan kelator yang tepat.
Singkatnya diagnosis keracunan Pb didasar-
kan atas riwayat dan gejala klinik penderita dan mudah ditegakkan secara laboratoris, lnlormasi diagnoslik lainnya mencakup : garis Pb yang khas dalam tulang panjang anak; Pb yang tidak terserap yang terlihat sec€lra radiogralis di saluran cerna
pada anak yang baru saja menelan Pb; bercak basofilik dengan anemia; dislungsi ginjal; dan lesi neurologis.
Simtom utama intoksikasi Pb-tetraetil ialah pengaruhnya terhadap SSP berupa insomnia, mimpi buruk, anoreksia, mual, diare, sakit kepala, kelemahan otot dan instabilitas emosional. Gejala berikutnya ialah iritabilitas, gelisah, cemas, hipotermia, bradikardi dan hipotensi pada pajanan kronis atau akut berat. Bila gejala SSP berat akan terjadi delusi, ataksia, gerakan otot berlebihan dan keadaan maniak. Pada keracunan Pb-tetraetil, ekskresi Pb dalam urin meningkat, tetapi kadar Pb darah normal. Anemia tidak umum terjadi pada keracunan Pb organik, dan kadar protoporfirin eritrosit naik secara tidak konsisten. Efeknya pada metabolisme porfirin tidak jelas, bercak basofilik eritrosit iarang terjadi. Pada keracunan berat bisa terjadi kematian dalam beberapa jam sampai beberapa minggu. Jika penderita berhasil melewati fase akut, maka penyembuhan umumnya sempurna, walaupun kerusakan SSP yang menetap sesekali terjadi.
PENGOBATAN KERACUNAN TIMBAL. Pengobatan awal lase akut intoksikasi Pb ialah secara suportif, dan selanjutnya harus dicegah pajanan lebih jauh. Serangan kejang diobati dengan diazepam; keseimbangan cairan dan elektrolit harus di' pertahankan; udem otak diatasi dengan manitol dan
deksametason. Kadar Pb darah harus ditentukan sebelum pengobatan dengan kelator. Kelator harus diberikan pada penderita dengan gejala atau pada penderita dengan kadar Pb darah melebihi0,5-0,6 ppm. Tiga kelator biasa digunakan dalam pengobatan intoksikasi Pb, yaitu kal' sium disodium edetat (CaNazEDTA), dimerkaprol (British antilewisite; BAL), dan D-penisilamin. Mula-mula CaNaeEDTA dan dimerkaprol diberikan
secara kombinasi, diikuti pemberian penisilamin untuk pengobatan langka paniang. CaNazEDTA dengan dosis 50-75 mg/kgBB per hari dibagi dalam dua kali pemberian, secara lM yang dalam, atau sebagai inlus selama 5 hari berturut-turut. lnterval antara pemberian CaNazEDTA dan pemberian BAL pertama ialah 4 jam. Pengulangan pemberian CaNazEDTA bisa diberikan setelah pengobatan dihentikan 2 hari. Setiap regimen terapi dengan CaNa2EDTA tidak boleh melebihijumlah dosis 500
mg/kgBB. Produksi urin harus dipantau, karena
Keracunan Pb organik. Pb-tetraetil dan Pb-tetrametil ialah senyawa larut lemak sehingga mudah
kompleks logam-kelator bersilat nefrotoksik. Pengobatan dengan CaNazEDTA dapal segera mengu-
diekskresi melalui kulit, usus dan paru. Toksisitas Pb-tetraetil disebabkan oleh melabolitnya yaitu Pb trietil dan Pb anorganik.
parestesia dan tremor dalam 4 atau 5 hari; koproporfirinuria, bercak basolilik eritrosit, dan garis Pb
rangi gejala. Kolik hilang dalam waktu 2
Jann;
786
Farmakologi dan Terapi
pada gusi cenderung berkurang dalam waklu 4 sampai t hari. Eliminasi Pb melalui urin biasanya
mengandung merkuri dalam jumlah besar; dan (2) meningkatnya penggunaan merkuri di bidang industri dan pertanian. Selama berbulan-bulan, bah-
paling besar selama berlangsungnya inlus awal. . Dimerkaprol dengan dosis 4 mg/kgBB diberikan secara lM seliap 4 jam selama 48 jam, kemudian seliap 6 jam selama 48 jam berikutnya, dan akhirnya setiap 6-12 jam selama '17 hari terakhir. Kombinasi kedua obat tersebut lebih efektif dari-
pada hewan dan manusia telah salah didiagnosis. Sebab keterlambatan diagnosis yang tragis ini antara lain karena onset yang lambat, tanda klinis dini yang tidak jelas, dan prolesi kedokteran tidak me-
pada penggunaan salah satu saja, Berbeda dengan
ngenal penyakit tersebut.
kan berlahun-tahun epidemi keracunan merkuri
CaNazEDTA dan dimerkaprol, penisilamin elektif secara oral, dan dapat ditambahkan dalam regimen pengobatan dengan dosis empat kali 250 mg sehari selama 5 hari. Pada terapi jangka panjang, dosis tidak boleh melebihi 40 mg/kgBB per hari. Keracunan Pb pada anak lebih berbahaya daripada orang dewasa, terutama karena tingginya lrekuensi kejadian ensefalopati. Angka kematian Pb-ensefalopati yang tidak diobati dan berat bisa mencapai 65%, dan pada penderita yang bertahan hidup, umumnya ditemukan gejala sisa pada sistem saraf. Rawat inap dianjurkan untuk setiap anak dengan simtom keracunan Pb atau anak dengan kadar Pb darah 0,8 ppm atau lebih. Dengan demikian pajanan dapal diakhiri, dan perhatian dapat dicurahkan untuk m€mantau dengan c€rmat dan melakukan terapi suportif. Terapi dengan kelator jangka panjang untuk
penderila dengan residual encephalopathy alau dengan kadar Pb darah melebihi 0,6 ppm dan dengan gambaran deposit tulang Pb yang jelas secara ra-diogralis, paling praktis dengan pemberian penisilamin oral maksimum 40 mg/kgBB per hari. Harus diingat bahwa penisilamin dapat meningkatkan absorpsi Pb dari saluran cerna maka menghindari pajanan Pb ialah sangat penting.
Pengobatan keracunan Pb organik bersifat simtomatik. Pemberian kelator akan meningkatkan sedikit ekskresi Pb anorganik yang dihasilkan dari metabolisme Pb organik.
2.2. MERKURI Merkuri (Hg) merupakan obat penting selama berabad-abad, yailu sebagai diuretik, antibakteri, antiseptik, salep kulit, dan laksan. Sekarang ini obat yang lebih efektil dan spesilik telah menggantikan Hg, sehingga keracunan merkuri dari obat berkurang, namun keracunan merkuri dari pence-
maran lingkungan semakin menonjol. Kadar merkuri di udara, tanah dan air telah meningkat karena : (1) penggunaan bahan bakar losil yang
JENIS DAN SUMBER MERKURI Ada tiga bentuk utama Hg yang harus dibeda-
kan yaitu uap Hg (unsur Hg), garam Hg, dan Hg organik. Unsur Hg ialah Hg anorganik yang paling mudah menguap. Pajanan manusia terhadap uap Hg sudah lama dikenal dan sebagian besar disebabkan oleh jenis pekerjaan seseorang. Pajanan
kronis Hg dalam udara ialah akibat kontaminasi yang tidak disengaja dalam ruangan berventilasi buruk, misalnya dalam laboratorium penelitian. Garam Hg terdapat dalam bentuk garam monovalen dan divalen. HgClz (kalomel) yang dahulu
diindikasikan sebagai obat cacing, masih terdapat
dalam sejumlah krim kulit sebagai antiseptik, Garam Hg merupakan iritan dan racun yang sangat kuat dari logam tersebut. Hg (NOz)2 merupak4n bahaya umum dalam industri topi laken lebih dari 400 tahun yang silam. Kelainan neurologis dan tingkah laku teriadi akibat pajanan di tempat kerja tersebut. Hg Cl2, yang pernah digunakan sebagai anti-
septik juga digunakan untuk tujuan bunuh diri. Garam merkuri masih digunakan dalam industri, dan limbah industri ke sungai telah mencemari lingkungan hidup. Merkuri anorganik di industridigunakan untuk memproduksi kloralkali dan alat elektronik;juga untuk pembuatan plastik, fungisida, germisida dan lanaman lormula amalgam dalam kedokteran gigi. Hg organik yang digunakan dewasa ini mengandung merkuri dengan satu ikatan kovalen de-
ngan atom karbon. lni merupakan suatu kelompok senyawa heterogen, dan masing-masing rnempunyai kemampuan yang berbeda untuk menghasilkan efek toksik. Garam alkilmerkuri paling berbahaya dari kelompok senyawa ini, terutama metilmerkuri. Garam ini digunakan sebagai lungisida dan dapat menimbulkan efek toksik pada manusia. Keracunan merkuri pada manusia akibat konsumsi biji bibit gandum bermerkuri telah terjadi di lrak, Pakistan, Ghana dan Guatemala selama musim
787
Logam Berat dan Antagonis
rontok tahun 1971 . lrak telah mengimpor sejumlah besar biji gandum yang diawetkan dengan metil merkuri dan mendistribusi biji gandum tersebut
lase dalam eritrosit, Disposisi uap merkuri sama dengan garam Hg tetapi karena uap merkuri lebih
untuk ditanam pada masa tanam musim semi. Meskipun sudah diberi peringatan resmi, biji gandum tersebut digiling menjadi tepung dan selanjutnya dibuat roti. Akibatnya, 6530 orang dirawat di rumah sakit dan 500 orang meninggal. Penyakit Minamata juga disebabkan oleh
merkuri telah memasuki otak sebelum dioksidasi sehingga toksisitasnya terhadap SSP lebih besar
metilmerkuri. Minamata ialah sebuah kota kecil di Jepang, tempat sebuah pabrik kimia yang besar menuang limbahnya langsung ke Teluk Minamata. Pabrik kimia tersebut menggunakan merkuri anorganik sebagai katalisator, dan sebagian telah dimetilasi sebelum disalurkan ke leluk tadi, Di samping
itu, mikroorganisme mengubah merkuri anorganik menjadi metilmerkuri yang kemudian diambil oleh plankton algae dan selanjutnya terkumulasi dalam ikan lewat rantai makanan. Penduduk Minamata yang mengkonsumsi ikan dalam jumlah besar menjadi korban pertama. Dilaporkan 121 orang mengalami keracunan dan 46 orang meninggal. Di Amerika Serikat, keracunan serupa teriadi akibat makan
daging babi yang diberi makan biji-bijian yang diawetkan dengan lungisida Hg organik. KIMIA DAN MEKANISME KERJA Merkuri mudah membentuk ikatan kovalen dengan sulfur, dan silat inilah yang mendasari sebagi-
an besar efek biologisnya. Apabila sullur terdapat
dalam bentuk sullhidril, maka merkuri divalen menggantikan atom hidrogen membentuk merkaptida, X-Hg-SH dan Hg (SR)z; X menunjukkan suatu radikal elektronegatil dan R ialah protein. Hg orga-
nik membentuk merkaptida tipe BHg-SR'. Akibatnya aktivitas enzim sullhidril tqrhambat sehingga metabolisme dan fungsi sel terganggu. Alinitas merkuri terhadap tiol merupakan dasar pengobatan keracunan merkuri dengan dimerkaprol dan penisilamin. Merkuri mengikai ligan lain, yaitu fosforil, karboksil, amida dan amin,
FARMAKOKINETIK
Unsur merkuri. Unsur merkuri tidak toksik bila ter-
cepat melinlasi membran maka sejumlah besar uap
daripada bentuk divalennya.
Garam Merkuri Anorganik. Garam merkuri yang larut (Hg2*) memasuki sirkulasi bila diberikan secara oral. Absorpsi melalui usus kira- kira 10%, sejumlah besar Hg2* tetap terikat pada mukosa usus dan isi usus. Senyawa merkuri anorganik yang tidak dapat larut, seperti kalomel (HgClz), bisa mengalami oksidasi menjadi senyawa yang larut yang lebih mudah diabsorpsi. Distribusi merkuri anorganik sangat tidak seragam. Kadar tertinggi Hg2* ditemukan dalam ginjal dan bertahan lebih lama daripada di jaringan lain. Kadar merkuri anorganik dalam darah sama tinggi dengan dalam plasma. Hg anorganik sukar melewati sawar darah-otak atau plasenta. Logam ini diekskresi melalui urin dan tinja, tetapi ekskresi melalui tinja lebih penting. Masa paruhnya pada manusia kira-kira 60 hari.
Merkuri Organik. Hg organik diabsorpsi lebih lengkap melalui usus daripada garam anorganik karena Hg organik lebih larul dalam lemak dan kurang korosif terhadap mukosa usus. Lebih dari 90% metilmerkuri diabsorpsi melalui saluran @rna manusia. Hg organik melintasi sawar darah otak dan plasenta sehingga elek neurologis dan teratogenik lebih nyata daripada yang disebabkan oleh garam anorganik, Hg organik didistribusi ke seluruh jaringan lebih merata daripada garam anorganik. SebagF an besar Hg organik terdapat dalam eritrosit. Rasio kadar Hg organik dalam eritrosit dengan kadarnya dalam plasma berbeda tergantung dari bentuk senyawa, untuk metilmerkuri ialah 2O : 'l . lkatan karbon-merkuri dari beberapa Hg organik terurai setelah diabsorpsi. Penguraian ini sangat lambat pada
metilmerkuri, dan Hg anorganik yang terbentuk iidak toksik. Arilmerkuri, misalnya merkurofen mempunyai ikatan merkuri-karbon yang labil, dan toksisitas senyawa ini serupa dengan toksisitas Hg anorganik. Ekskresi metilmerkuri terutama melalui tinja; kurang dari 10o/o melalui urin. Waktu paruh biologis metilmerkuri pada manusia kira-kira 65 hari.
makan karena absorpsi dari saluran cerna sangat
rendah dan Hg dalam bentuk ini fidak bereaksi
TOKSISITAS
dengan molekul penting secara biologis. Uap merkuri yang terhirup diserap seluruhnya oleh paru dan dioksidasi menjadi kation merkuri divalen oleh kata-
Unsur Merkuri. Pajanan akut terhadap uap merkuri bisa menyebabkan gejala dalam beberapa jam be-
788
rupa rasa lemah, menggigil, rasa logam, mual, mun-
Farmakologi dan Terapi
tah, diare, batuk dan sesak napas. Toksisitas paru bisa berkembang menjadi pneumonia interstisial disertai gangguan lungsi paru berat. Penyembuhan umumnya sempurna tetapi librosis interstisial resi-
kronis terhadap ion merkuri anorganik. Sindrom akrodinia berupa eritem ekstremitas, dada dan wajah, dengan fotolobia, diaforesis, mual, takikardi, dan sembelit atau diare. Kompleks gejala ini terlihat secara ekslusif akibat termakannya merkuri dan
dual dapat terjadi. Pajanan kronis terhadap uap
diduga merupakan reaksi hipersensivitas lerhadap
merkuri menyebabkan toksisitas yang timbul lambat terutama gejala neurologis yang disebut sindrom vegetatif astenik. Sindrom ini terdiri dari gejala neu-
merkuri.
rastenik ditambah tiga atau lebih gejala berikut : peningkatan ambilan yodium radioaktil oleh kelenjar tiroid, takikardi, nadi labil, gingivitis, dermogralia dan peningkatan merkuri dalam urin. Pajanan yang lerus menerus menimbulkan tremor dan perubahan psikologis misalnya deprpsi, iritabilitas, rasa malu berlebihan, insomnia, emosi labil, pelupa, bingung
dan gangguan vasomotor (perspirasi berlebihan dan kemerahan di wajah) keseluruhan gejala ini disebut eretism. Ciri umum intoksikasi uap merkuri ialah hipersalivasi dan gingivitis. Trias gejala yaitu
eksitabilitas yang meningkat, tremor dan gingivitis merupakan manifeslasi utama pajanan uap merkuri pada industri topi bulu laken yang menggunakan Hg-nitrit. Pernah dilaporkan dislungsi ginjal karena pajanan kronis terhadap uap merkuri.
Hg Organik. Kebanyakan data toksikologi Hg organik pada manusia menyangkut metilmerkuri sebagai akibat pajanan lidak disengaja. Gejala pajanan metilmerkuri sebagian besar bersilat neurologis seperti gangguan penglihatan (skotoma dan penyempitan medan penglihatan), ataksia, parestesia, neurastenia, kehilangan pendengaran, disartri, kemunduran mental, tremor, gangguan motorik,
paralisis dan kematian. Daerah otak yang sangat peka terhadap efektoksik metilmerkuri ialah korteks serebri (terutama korteks visual) dan lapisan granular serebelum. Elek metilmerkuri pada letus dapat terjadi walaupun ibunya asimtomatik, yailu berupa kemunduran pental dan gangguan neuromuskular.
DIAGNOSIS KERACUNAN MERKURI. Riwayat
Garam Merkuri Anorganik. Merkuri anorganik dan ionik (misalnya, merkuri klorida) dapat menyebabkan toksisitas akut berat. Pengendapan protein
pajanan lerhadap merkuri sangat menolong dalam diagnosis keracunan merkuri. Tanpa adanya riwayat serupa itu, kecurigaan klinik harus dikonfirmasi dengan analisis laboratorium. Batas tertinggi mer-
selaput lendir akibat garam merkuri mengakibatkan
kuri dalam darah ialah 0,03-0,04 ppm.
warna mulut, faring, dan saluran cerna keabu-abu-
Kadar merkuri dalam darah di atas 0,04 ppm harus diang-
an disertai nyeri hebal dan muntah. Muntah ini
gap abnormal pada orang dewasa. Karena melil-
bersilat protektil karena menyingkirkan merkuri dari lambung. Elek korosif Hg anorganik pada mukosa usus menyebabkan hematochezia yang ditandai dengan mukosa lepas dalam tinja. Syok hipovolemik dan kematian biasanya diakibatkan oleh tindakan yang tidak tepat. Elek lokal ini sebenarnya mudah diatasi dengan tindakan korektil dimulai dalam beberapa jam setelah pajanan merkuri dan berlangsung beberapa hari. Rasa logam diikutioleh stomatitis dengan iritasi gingiva, pernapasan berbau dan goyahnya gigi. Elek sistemik paling serius dan paling sering terjadiakibat Hg anorganik ialah toksisitas renal. Terjadi nekrosis tubuli ginjal disertai oliguria atau anuria; namun kerusakan glomerular lebih menonjol. Hal ini disebabkan oleh efek langsung merkuri pada membran basal glomerulus dan efek tidak langsung yang diperantarai oleh kompleks imun. Kerusakan ginjal umumnya terjadi aki-
merkuri terkumpul dalam eritrosit dan merkuri anorganik tidak, maka distribusi merkuri total antara eritrosit dan plasma merupakan petunjuk yang membedakan kerqcunan Hg anorganik atau organik. Pengukuran merkuri total dalam eritrosit memberikan perkiraan yang lebih baik untuk kandungan metilmerkuri dalam tubuh daripada untuk kandungan Hg anorganik. Hubungan antara kadar merkuri dalam darah dan lrekuensi beberapa gejala keracunan metilmerkuri dapat dilihat pada Tabel 53-1. Kadar merkuri dalam plasma merupakan indeks yang lebih baik dari kandungan merkuri anorganik, namun tidak ada dokumentasi tentang hubungan antara kandungan merkuri dalam tubuh dan kadar Hg anorganik dalam plasma. Hubungan antara ka-
bat pajanan kronis Hg anorganik, Sindrom akrodinia (pink dr'sease) umumnya juga akibat palanan
dar Hg anorganik dalam darah dan toksisitasnya tergantung dari bentuk pajanan. Misalnya pajanan uap merkuri mengakibatkan kadar dalam otak kirakira sepuluh kali lebih tinggi daripada kadar akibat pajanan garam Hg anorganik dengan dosis sama.
789
Logam Berat dan Antagonis
Tabel 53-1. HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI GEJALA KERACUNAN METILMEBKURI DENGAN KAOAR MERKURI DALAM DARAH
Kasus dengan gejala (%)
Kadar merkuri dalam darah
(ps/ml)
Parestesia
Ataksia
Gangguan
Disartri
Gangguan
Meninggal
pendengaran
penglihatan
0,1 - 0,5
5
0
0
5
00
0,5 - 1,0
42
11
21
5
5
0
1,0 - 2,0
60
47
53
24
5
0
2,0 - 3,0
79
60
56
25
13
0
36
17
66
28
3,0 - 4,0
82
100
58
75
4,0 - 5,0
100
100
83
85
Kadar merkuri dalam urin juga digunakan selubuh. Batas tertinggi untuk ekskresi merkuri dalam urin pada orang normal ialah 25 pg/L. Terdapat sualu hubungan linear antara kadar dalam plasma dan ekskresi merkuri dalam urin setelah pajanan uap merkuri. lni terbukti pada pekerja sebuah pabrik kloralkali yang mengalami lremor bila kadar dalam urin mencapai 500 pg/L. Tetapi, ekskresi merkuri dalam urin bukan merupakan indikator bagi jumlah metilmerkuri dalam darah, karena metilmerkuri sebagian besar dieliminasi dalam tinja. Rambut kaya akan gugus sulfhidril, dan kadar merkuri dalam rambut kira-kira 300 kali kadarnya dalam darah. Pertumbuhan rambut yang paling akhir mencerminkan kadar merkuri mutakhir dalam darah. Rambut manusia tumbuh kira-kira 20 cm
bagai ukuran kandungan merkuri dalam
setahun, dan riwayat mengenai pajanan dapat diperoleh dengan analisis segmen rambut yang berbeda,
PENGOBATAN KERACUNAN MERKURI. Pengukuran kadar merkuri dalam darah harus dilakukan secepat mungkin setelah adanya keracunan logam tersebut.
Uap Unsur Merkuri. Tindakan terapeutik mencakup : segera mengakhiri pajanan dan memberi perhatian khusus terhadaplungsi paru. Bantuan napas mungkin diperlukan secara akut. Terapi kelasi seperti pada keracunan Hg anorganik hendaknya dimulai segera dan dilaniutkan sesuai dengan kondisi klinis dan kadar merkuri dalam darah/urin.
Merkuri Anorganik. Tindakan segera lerhadap keseimbangan cairan dan elektrolit dan status hema-
lologis sangat penting dalam pajanan oral moderat hingga berat. Emesis harus dilakukan jika penderita sadar. Bilas lambung dapat dilakukan sebagai alternatif. Karbon aktif dan magnesium sullat (katartik) diberikan untuk membatasi absorpsi lebih lanjut. Terapi kelasi dengan dimerkaprol digunakan secara rutin untuk mengobati keracunan merkuri anorganik atau unsur Hg. Dosis dimerkaprol yang dianjurkan ialah 5 mg/kgBB, yang disusul dengan 2,5 mg/kgBB secara lM setiap 12iam selama 10 hari. Penisilamin 250 mg secara oral setiap 6 jam bisa digunakan sendiri atau selanjutnya dikombinasikan dengan dimerkaprol. Kemajuan hasil terapi dapat dipantau dengan mengukur kadar merkuri dalam urin dan darah. Hemodialisis boleh jadi diperlukan pada pasien keracunan dengan penurunan lungsi ginial. Dalam hal ini kelator masih bisa digunakan, karena kompleks dimerkaprol-merkuri dapat dikeluarkan dengan cara dialisis.
Merkuri Organik. Merkuri organik berantai pendek, terutama metilmerkuri adalah bentuk merkuri paling sulit untuk dikeluarkan dari tubuh, diduga karena sukar diikat oleh kelator. Dimerkaprol dikontrain' dikasikan pada keracunan metilmerkuri karen3 dimerkaprol terbukti meningkatkan kadar metilmerkuri pada hewan coba. Penisilamin memudahkan ekskresi metilmerkuri dari tubuh, tetapi hasil terapi keracunan metilmerkuri dengan penisilamin tidak memuaskan. Penisilamin dengan dosis yang biasa digunakan untuk mengobati keracunan Hg anorganik, hanya menghasilkan sedikit penurunan kadar metilmerkuri dalam darah; diperlukan dosis yang lebih besar (2 g per hari) pada keracunan Hg
790
Farmakologi dan Terapi
organik. Hemodialisis konvensional tak berarti dalam pengobatan keracunan metilmerkuri, karena metilmerkuri terkumpul dalam eritrosit dan hanya sejumlah kecil yang terdapat dalam plasma,
CHe-SH
CHe-\^ l
|
I
CHz
CHe I
cH-sH
+
(P*ao I
2.3. ARSEN Arsen (As) digunakan lebih dari 2400 tahun yang lampau di Yunani dan Roma sebagai racun dan untuk pengobatan. Sekarang As hanya penting dalam pengobatan penyakit tropis tertentu. Di Amerika Serikat dampak As atas kesehatan sangat menonjol akibat pajanan dari industri dan lingkungan. Arsen dijumpai dalam tanah, air dan udara. Unsur As ditemukan sebagai hasil sampingan dari peleburan tembaga, timah, seng dan logam lainnya. lni dapat mengakibatkan dilepasnya As ke lingkungan. Arsen kadang-kadang digunakan sebagai bahan tambahan pada makanan unggas dan hewan ternak lainnya untuk meningkatkan pertumbuhan. Sumber utama pajanan As di lingkungan kerja adalah dari pabrik pembuat herbisida dan pestisida yang mengandung As. Jumlah As yang dikonsumsi manusia rata-rata per hari ialah 300 pg. Hampir semua jumlah ini ditelan bersama makanan dan air. Pada umumnya, toksisitas As meningkat dengan urutan sebagai berikut : As organik < AsS* < Asg* < arsin (AsHs).
| cH'-s'
R-AS=O
I
cooH
5_:
-
)As-R +
HzO
I
(CHe)a I
cooH
FARMAKOKINETIK
Absorpsi As organik sebagai obat melalui usus bervariasi. Distribusinya tergantung dari lama pemberian dan jenis As. Sebagian besar As disimpan dalam hati, ginjal, jantung dan paru. Karena tingginya kandungan sulfhidril dalam keratin, kadar As yang tinggi dijumpai dalam rambut dan kuku. Pengendapan dalam rambut dimulai 2 minggu setelah pemberian, dan As tetap utuh pada tempat ini selama bertahun-tahun. Arsen juga diendapkan dalam tulang dan gigi untukwaktu yang lama. Arsen dieliminasi melalui tinja, urin, keringat, ASl, rambut, kulit dan paru, Pada manusia sebagian besar As dikeluarkan melalui urin. Masa paruh untuk ekskresi As dalam urin adalah 3-5 hari.
FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI
Sistem Kardiovaskular. Dosis kecil As anorganik menyebabkan vasodilatasi ringan. Dosis lebih besar menyebabkan dilatasi kapiler dan meningkat-
nya permeabilitas kapiler yang paling nyata di daerah splanik, sehingga bisa terjadi lransudasi MEKANISME KERJA Arsenat adalah suatu uncoupler pada proses loslorilasi oksidatil mitokondria. Kerjanya dihubungkan dengan substitusi kompetitif arsenat dengan loslat anorganik sehingga terbentuk ester arsenat yang cepat dihidrolisis. Proses ini disebut arseno-
lisis.
plasma dan penurunan volume intravaskular. Keru-
sakan miokard dan hipotensi muncul kemudian. Kelainan EKG bisa berlangsung terus selama berbulan-bulan setelah penyembuhan intoksikasi akut. Saluran Cerna. Dosis kecil As anorganik, terutama senyawa trivalen, menyebabkan hiperemia splanik ringan. Transudasi kapiler plasma, yang diakibatkan oleh dosis lebih besar, menimbulkan vesikel
Arsen trivalen, termasuk arsenit anorganik,
pada mukosa saluran cerna. Vesikel pecih dan
terulama mengikat gugus sullhidril. Dengan demikian As trivalen menghambat enzim yang mengan-
epitel terlepas, plasma keluar ke lumen usus dan mengental. Adanya kerusakan jaringan dan elek katartik akibat cairan yang meningkat dalam lumen
dung gugus -SH. Sistem piruvat dehidrogenase terulama sensitif terhadap As trivalen karena interaksinya dengan dua kelompok sullhidril dari asam lipoat akan membentuk cincin stabil seperli tampak pada reaksi di bawah ini :
usus menyebabkan peristalsis meningkat dan diare
seperti air cucian beras. Prolilerasi epitel normal ditekan, sehingga meningkatkan kerusakan. Akhirnya kerusakan pada saluran cerna mengakibatkan hematemesis dan melena.
Logam Bent dan Antagonis
791
Ginjal. Arsen bisa menyebabkan kerusakan pem-
Karsinogenesis dan teratogenesis. Arsen
buluh kapiler ginjal, tubulidan glomeruli. Yang dipengaruhi mula-mula adalah glomeruli sehingga ter-
nyebabkan putusnya kromosom pada kultur leukosit manusia dan bersilat teratogenik pada hamster. Banyak sekali bukti epidemiologis yang menyatakan bahwa penggunaan air minum yang mengandung As secara rnenahun atau pajanan kronis terhadap As anorganik yang ditemukan pada cairan
jadi proteinuria. Kemudian terjadi berbagai tingkat nekrosis tubular dan degenerasi. Oliguria disertai proteinuria, hematuria dan silinderuria sering disebabkan oleh pajanan As.
Kulit. Secara akut, As bersifat vesikan (menimbulkan vesikel) mengakibatkan nekrdsis dan pengelupasan kulit. Arsen anorganik dosis rendah yang lermakan secara kronis menyebabkan vasodilatasi kulit, hiperkeratosis, terutama pada lelapak tangan dan tumit, d:n hiperpigmentasi pada tubuh, kaki dan tangan. Akhirnya menyebabkan atrofi, dege-
nerasi dan mungkin kanker kulit. Erupsi kulit lazirn pada penderita yang menerima pengobatan As anorganik.
me-
penyemprot kebun anggur atau untuk memandikan biri-biri, rnerupakan predisposisi terjadinya karsinoma skuamosa intraepidermis dan karsinoma basalis. Bukti-bukti telah menunjukkan bahwa penggunaan kronis larutan Fowler (K-arsenit) untuk psoriasis atau penyakit kulit lainnya dapat berakibat kanker kulit. Di kalangan orang yang bekerja dengan logam terdapat korelasi kuat antara kanker paru dengan intensitas dan lamanya pajanan terhadap As. Hemangiosarkoma ditemukan pada pekerja kebun anggur yang terpajan As secara kronis.
Sistem Saraf, Pajanan kronis terhadap As anorganik bisa menyebabkan neurilis perifer. Pada kasus
berat, medula spinalis bisa terkena. Setelah As anorganik termakan secara akut dengan dosis toksik, kira-kira 5% penderita mengalami depresi senlral tanpa gejala saluran cerna. Gejala neurologis mencakup sakit kepala berat, kantuk, bingung, demam, kejang dan koma. Kelemahan otot juga terjadi pada kaki dan tangan, dan bila pajanan berlanjut,
relleks tendo berkurang dan teriadi atroli otot. Kelainan serebral t€rutama karena gangguan vaskular yang terjadi pada substansia grisea dan alba berupa lokus nekrosis hemoragi yang multipel dan simetris.
Darah. Arsen anorganik mempengaruhi sumsum tulang dan mengubah komposisi sel darah. Evaluasi hematologis biasanya mengungkapkan anemia dengan leukemia ringan sampai moderat; eosinofilia bisa juga dijumpai. Anisositosis menjadi nyata dengan pajanan yang meningkat terhadap As. Vaskularisasi sumsum tulang meningkat. Sejumlah kasus agranulositosis pernah dilaporkan disebabkan oleh glikobiarsol.
Hati. Arsen anorganik dan sejumlah As organik sangat toksik terhadap hati dan menyebabkan infil-
trasi lemak, nekosis sentral dan sirosis hepatis. Dosis terapi obat tripanosoma, triparsamid, dapat menyebabkan kerusakan hati ringan sampai berat. Kerusakan umumnya terjadi pada parenkim hati, tetapi pada beberapa kasus gambaran klinis sangat mirip dengan obstruksi saluran empedu. Kelainan utama berupa perikolangitis dan trombi empedu dalam saluran empedu yang lebih kecil.
KERACUNAN ARSEN AKUT Peraturan pemerintah mengurangi kandung" an As yang diperbolehkan pada makanan dan lingkungan pekerjaan, telah meningkatkan segi keamanan dan menurunkan jumlah intoksikasi serta jumlah penggunaan As. Tetapi produksi herbisida yang mengandung As t€tap meningkat. Timbulnya keracunan As akibat kecelakaan, homisid dan bunuh diri telah menurun dalam dasawarsa terakhir ini. Dahulu AseOo menjadi penyebab umum keracunan karena banyak tersedia, tidak mempunyai rasa, dan berbentuk seperti gula. Gejala awal keracunan As akut ialah rasa tidak enak dalam perut, bibir rasa terbakar, penyempitan tenggorokan dan susah menelan, disusul oleh nyeri lambung hebat, muntah proyektil dan diare berat. Gejala lain ialah oliguria, proteinuria, hematuria dan anuria. Penderita sering mengeluh kejang otot skelet dan haus, Jika kehilangan cairan terus berlanjul, akan timbul syok. Kejang hipoksik dapat terjadi dalam lase lanjut, berakhir dengan koma dan kematian. Dengan pengobatan yang tepat dan cepat, penderita dapat bertahan melewati fase akut dengan gejala sisa neuropati serta gangguan lainnya. Pernah dilaporkan dari suatu penelitian terhadap 57 pasien, 37 mengalami neuropati perifer dan 5 orang mengalami enselalopati.
792
Farmakolqi dan Terapi
KERACUNAN ARSEN KRONIS Tanda dini keracunan As kronis yang paling umum ialah kelemahan dan nyeri otot, pigmentasi kulii, hiperkeratosis dan udem. Gejala lain ialah napas dan keringat bau bawang putih, hipersalivasi, hiperhidrosis, stomatitis, coryza, lakrimasi, parestesia, gatal, dermatitis, vitiligo dan alopesia. Dapat pula terjadi hepatomegali, obstruksi saluran empedu, gangguan tungsi ginjal, neuritis perifer, ensefalopati dan kerusakan sumsum tulang.
PENGOBATAN KERACUNAN ARSEN. Setetah pajanan akut terhadap As, maka tindakan suportif
perlu diambil untuk menstabilkan penderita dan mencegah penyerapan racun lebih lanjut. Perhatian
khususnya diarahkan untuk mengoreksi volume cairan intravaskular, karena eleknya terhadap saluran cerna dapat mengakibatkan syok hipovolemik yang latal. Untuk memperbaiki hipotensi diperlukan cairan infus dengan obat yang menaikkan tekanan darah, misalnya dopamin. Terapi kelasi
harus dimulai dengan dimerkaprol 3 mg/kgBB lM
tiap 4 jam sampai gejala abnominal reda. Pengobalan dilanjutkan dengan penisilamin 4 x 250 mg/hari secara oral selama 4 hari berikutnya. Jika gejala berulang kembali setelah dihentikannya terapi kelasi, maka dapat dilakukan pemberian ulang penisilamin. Keracunan As kronis dapat diobati dengan dimerkaprol dan penisilamin, tetapi penisilamin per oral saja biasanya sudah cukup. Dialisis ginjal mungkin diperlukan pada nelropati arsen berat; keberhasilan dengan cara dialisis ini pernah dilaporkan.
2.4. KADMIUM Kadmium merupakari logam toksik yang penting saat ini. Dalam alam, kadmium tercampur dengan seng dan Pb; ekstraksi serta pengolahan kedua logam terakhir ini sering menyebabkan pencemaran lingkungan oleh kadmium. Unsur kadmium ditemukan dalam tahun 181 7, tetapi baru digunakan kira-kira 50 tahun yang lalu. Resistensi yang tinggi terhadap korosi, silat elektrokimiawi
dariS% kadmium yang mengalami daur ulang. Batu bara dan bahan bakar fosil lainnya mengandung kadmium, dan pembakaran benda ini melepaskan unsur kadmium ke dalam lingkungan. Pekerja pada
tempat peleburan dan pabrik pengolahan logam
lainnya dapat terpajan kadmium kadar tinggi
di
udara; namun bagi kebanyakan penduduk, yang paling utama ialah pada kontaminasi makanan. Bahan makanan yang tidak tercemar mengandung pg per gram berat basah, dan jumlah asupan rata-rata per hari kirakira 50 pg. Air minum biasanya lidak memberikan tambahan yang berarti dalam kadmium, telapi rokok
kadmium ku:rang dari 0,05
sebaliknya. Setiap batang rokok mengandung 1 sampai 2 pg kadmium. Walaupun absorpsi kadmium melalui paru 1Oo/o, mengisap satu bungkus rokok per hari berarti mengkonsumsi kira-kira 1 mg kadmium per tahun. Kerang serta hati dan ginjal hewan merupakan bahan makanan yang mengandung kadmium melebihi 0,05 pg/g. Bila beras dan gandum terkontaminasi kadmium dalam tanah dan air, maka kidar kadmium bisa meningkat secara
mencolok (1 f,S/S). Di Fuchu, Jepang setelah Perang Dunia ll, sejumlah besar orang menderita nyeri reumatik dan otot, penyakit lersebut diberi nama itai-itai (ouch-ouch). Kemudian diketahui bah-
wa kadmium yang berasal dari limbah sebuah pabrik pengolahan Pb-seng telah mencemari sawah setempat.
FARMAKOKINETIK Kadmium sukar diabsorpsi dari saluran cerna.
Absorpsinya pada hewan coba kira-kira 1,5%, dan pada manusia kira-kira 5%. Absorpsi kadmium melalui saluran napas para perokok anlara 1O- 4Oo/0. Selanjutnya kadmium diangkut dalam darah, sebagian besar terikat pada eritrosit dan albumin. Selelah distribusi, kira- kira 50% darijumlah kadmium dalam tubuh ditemukan pada hati dan ginjal. Waktu paruh kadmium dalam tubuh berkisar antara 10-30
tahun. Eliminasi kadmium melalui leses secara kuantitatil lebih penting daripada melalui urin. KERACUNAN KADMIUM AKUT
yang berharga, dan silat kimiawi yang bermanlaat lainnya menyebabkan kadium digunakan secara luas dalam electroplating dan galvanisasi, dalam pembualan plastik, warna cat (kuning) dan baterai
Keracunan akut biasanya terjadi karena menghirup debu dan asap yang mengandung kad-
nikel-kadmium. Pencemaran lingkungan dengan kadmium akan bertambah karena hanya kurang
termakan, Elek toksik dini disebabkan oleh peradangan setempat. Kadmium yang termakan akan
mium (kadmium oksida), dan garam kadmium yang
793
Logam Berat dan Antagonis
menimbulkan mual, muntah, salivasi, diare dan kejang perut. Secara akut, kadmium lebih toksik bila dihirup. Tanda dan gejala yang timbul dalam waktu beberapa jam meliputi peradangan saluran napas atas, sakii dada, mual, pusing dan diare, Toksisitas bisa berkembang menjadi udem paru atau €rnfisema residual dengan librosis peribronkial dan perivaskular.
kalsium dan vitamin larut-lemak seperti vitamin D
jauh lebih tinggi di negara ini daripada di Jepang. Korban di Jepang kebanyakan terdiri dari wanita multipara dan pascamenopause. Jadi, mungkin terdapat suatu interaksi antara kadmium, gizi dan penyakit tulang. Penyimpanan kalsium dalam tulang menurun pada orang yang terpajan kadmium' Elek kadmium ini bisa disebabkan oleh gangguan terhadap pengaturan ginjal atas keseimbangan kalsium dan fosfat.
KERACUNAN KADMIUM KRONIS Efek toksik pajanan kronis kadmium agak berbeda, tergantung dari caranya masuk tubuh. Ginjal terkena akibat pajanan melalui paru atau saluran
cerna. Efek yang berarti pada paru hanya ierlihat setelah adanya pajanan lewat jalan napas.
Ginjal. Kadar kadmium 200 Fg/g ginjal, akan menyebabkan cedera ginjal; ada kemungkinan bahwa metalotionein sebagai pengikat kadmium, melindungiginjal pada kadar kadmium yang lebih rendah' Protenuria disebabkan oleh cedera tubuli proksimal. Pengukuran pz-mikroglobulin dalam urin merupakan petunjuk paling peka terhadap nefrotoksisitas kadmium. Pada pajanan kadmium berat, terjadi cedera glomeruli, berkurangnya liltrasi serta timbulnya aminoasiduria, glikosuria dan proteinuria. Silat cedera glomeruli tersebut tidak diketahui tetapi mungkin melibatkan suatu komponen autoimun. Paru. Sesak napas merupakan keluhan yang paling sering terjadi karena emfisema dan fibrosis paru. Patogenesisnya tidak diketahui, namun secara spesilik kadmium menghambat sintesis o1-antitripsin plasma; dan terdapat asosiasi antara delisiensi otantitripsin bawaan yang berat dengan emfisema pada manusia.
Testis. Nekrosis testikuler terjadi pada hewan coba dengan pajanan akut kadmium; tetapi hal ini tidak ditemukan pada manusia.
PENGOBATAN KERACUNAN KADMIUM' TETApi efektif untuk keracunan kadmium sukar dilaku-
kan. Setelah penghirupan akut, penderita harus dipindahkan dari sumber kadmium dan ventilasi paru harus dipantau dengan cermat. Napas buatan dan terapi steroid mungkin diperlukan' Terapi kelasi dengan CaNazEDTA umumnya diberikan, meskipun tidak terbukti bermanfaat. Dimerkaprol dikontraindikasikan karena obat ini meningkatkan nefrotoksisitas. Hal tersebut mungkin karena kadmium didistribusi ke tempat yang sukar dicapai oleh kelator.
2.5. BESI Meskipun besi bukan suatu racun lingkungan' garam besi yang digunakan untuk mengobati anemia kekurangan besi sering merupakan sumber keracunan yang tidak disengaja pada anak' Pembahasan tentang keracunan besi akut dapat dilihat dalam Bab 50.
Sistem Kardiovaskular. Peran kadmium dalam menyebabkan hipertensi sangat kontroversial. Penelitian awal yang bersilat epidemiologis memperlihatkan bahwa orang yang meninggal karena hipertensi mengandung kadmium lebih tinggi dan rasio kadmium seng lebih tinggi dalam ginjal dibandingkan dengan orang yang meninggal karena sebab lain. Namun demikian, hipertensi tidak menoniol pada keracunan kadmium dalam industri. Elek hipertensi yang ditimbulkan kadmium pada manusia masih belum jelas.
Tulang. Salah satu tanda utama p€nyakit itai-itai ialah osteomalasia. Tetapi penelitian di Swedia dan lnggris tidak menyokong hal ini. Jumlah asupan
2.6. LOGAM BERAT RADIOAKTIF Meluasnya produksi dan penggunaan logam berat radioaktif untuk pembangkit listrik tenaga nuklir, senjata nuklir, riset laboratorium, industri dan diagnosis medis menimbulkan masalah dalam keracunan oleh logam tersebut, Karena hampir semua toksisitas logam radioaktil merupakan akibat radiasi ion, maka pengobatan bukan saia ditujukan pada kelasi logam tersebut, tetapi juga untuk mengeluarkan logam dari tubuh secepat dan sesempurna mungkin. Pengobatan sindrom radiasi akut sebagi-
794
Farmakologi dan Terapi
an besar bersilat simtomatik. Telah diselidiki efekti-
vitas reduktor organik misalnya sisteamin untuk mencegah pembentukan radikal bebas, tetapi keberhasilannya masih terbatas. Produk radioaktif utama yang menyebabkan kecelakaan radioaktil atau vanq diqunakan oada senjata nuklir meliputl 23epu, 137cJ, 14ce,'d"n 'osr. Telah terbukti sangat sukar mengeluarkan isolop Sr dan Ra dari tubuh dengan kelator. Beberapa faktor yang menyebabkan logam radioaktil relatil resisten terhadap terapi kelasi adalah: (1 ) alinitas logam bersifat spesilik terhadap masing-
NaOOCCHz
CHzCOONa
lr"'\l
,/ \ -,,- \ cHz )ca-
Loott
\oo/
bHa
Kalslum dinatrium edetal
masing kelator; dan (2) radiasi Sr dan Ra pada tulang dapat menghancurkan pembuluh kapiler sekitarnya sehingga arus darah dalam tulang menurun dan radioisotop sukar dicapai. Telah banyak kelator yang dimanfaatkan dalam percobaan termasuk DTPA yang lerbukti elektil untuk meningkatkan pengeluaran 'o'Pu. Satu gram DTPA (dietilene triamine penta asetat) yang diberikan dengan inlus secara perlahan tiga kali seminggu, mempertinggi pengeluaran radioisotop 50-100 kali lipat. Efektivitas pengobatan menurun bila pajanan telah berlangsung lama dan mula terapi terlambat.
MEKANISME KERJA
Efek larmakologis CaNa2EDTA disebabkan oleh ikatannya dengan logam divalen dan trivalen dalam tubuh, lon logam bebas (baik eksogen maupun endogen) dengan alinitas tinggi terhadap CaNazEDTA akan menggantikan kalsium dari ikatannya, dan diekskresi. Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa pemberian CaNazEDTA memobilisasi logam Zn, Mn dan Fe. CaNazEDTA digunakan sebagai lerapi utama dalam pengobatan intoksikasi Pb; keberhasilannya sebagian disebabkan oleh ka-
pasitas Pb menggeser kalsium dari kelat. Meningkatnya mobilisasi dan ekskresi Pb menunjukkan bahwa Pb dapat bereaksi dengan EDTA. Sebaliknya Hg tidak bereaksi terhadapnya, meskipun data in vitro menunjukkan bahwa Hg dapat menggeser kalsium dari CaNazEDTA. Hg tidak berikatan dengan EDTA, mungkin karena ikatan Hg sangat kuat dengan gugus-SH atau mengalami sekuesterisasi dalam kompartemen tubuh yang tidak dapat dipe-
3. ANTAGONIS LOGAM BERAT 3.1. KALSIUM DINATRIUM EDETAT SEJARAH DAN KIMIA.
netrasi CaNazEDTA.
Asam elilendiamintetraasetat (EDTA), garam natriumnya (natrium edetate, NazEDTA) dan sejumlah derivatnya banyak digunakan selama bertahuntahun sebagai reagensia dalam industri dan laboratorium karena kemampuannya mengikat logam divalen dan trivalen. Kation yang digunakan untuk membuat garam EDTA yang larut dalam air berperan penting dalam toksisitas kelator tersebut. Pe-
nelitian pada hewan menunjukkan bahwa
Nae
EDTA menyebabkan tetani hipokalsemia. Namun demikian, dalam penelitian lebih lanjut didapatkan
bahwa kelat kalsium dinatrium edetat
(CaNa2
EDTA) yang relatif nontoksik dapat dimanlaatkan untuk pengobatan keracunan logam yang afinitasnya terhadap NazEDTA lebih tinggi daripada Ca2*. Slruktur CaNazEDTA adalah sebagai berikut:
Tulang merupakan sumber utama dari Pb yang diikat oleh CaNazEDTA, Setelah kelasi ini Pb mengalami redistribusi darijaringan lunak ke tulang. FARMAKOKINETIK Kurang dari 5% CaNazEDTA diabsopsi dari saluran cerna. Degradasi metabolik EDTA sangat kecil. Obat ini didistribusi terutama dalam cairan ekstraseluler, tetapi sangat sedikit yang masuk ke cairan serebrospinal yaitu 5% dari kadar dalam plasma. Waktu paruh CaNazEDTA setelah pemberian lV antara 20-60 menit; kira-kira 50% dikeluarkan dalam urin dalam waktu 1 jam dan lebih 95% dalam waktu 24 jam. Karena itu diperlukan ginjal yang memadai agar terapi berhasil. Pengubahan
795
Logam Berat dan Antagonis
pH atau kecepatan aliran urin tidak mempengaruhi kecepatan ekskresi.
TOKSISITAS Pemberian cepat NazEDTA secara lV dapat menyebabkan tetani hipokalsemia, tetapi infus yang lambat (kurang dari 15 mg per menit) pada orang normal sama sekali tidak menimbulkan gejala hipokalsemia karena adanya persediaan kalsium ekstravaskular. Sebaliknya, CaNazEDTA dapat diberi-
kan secara lV dalam jumlah relatif besar tanpa menimbulkan elek yang merugikan, karena peru' bahan kadar kalsium dalam plasma dan seluruh tubuh dapat diabaikan. Efek toksik CaNazEDTA terutama terhadap ginjal. Kelainan yang terlihat berupa vakuolisasi hidrops, hilangnya brushborder dan degenerasi sel tubuli proksimal. Cedera tubuli dapat ditimbulkan oleh CaNazEDTA atau NazEDTA dosis tinggi. Perubahan dalam tubuli distal dan glomerulitidak begitu mencolok. Efek terhadap ginjal biasanya reversibel, dan kelainan ini segera hilang setelah pemberian obat dihentikan, Toksisitas ini mungkin berhubungan dengan lewatnya sejumlah besar logam yang diikat melalui tubuli dalam waktu relatil singkat selama terapi. Disosiasi kelat dapat terjadi karena adanya kompetisi terhadap ligan secara lisiologis atau karena adanya perubahan pH dalam sel lumen tubuli. Akan tetapi mekanisme toksisitas yang lebih mungkin, adalah interaksi antara kelator dengan logam endogen dalam sel tubuli proksimal, Elek samping lain yang berhubungan dengan penggunaan CaNazEDTA antara lain malaise, letih dan rasa haus berlebihan yang disusul oleh demam. Halinidapat disertaioleh mialgia berat, sakit kepala bagian frontal, anoreksia, mual dan muntah, meningkatnya frekuensi dan keinginan berkemih. Elek samping lain ialah bersin, penyumbatan hidung dan lakrimasi, glukosuria, anemia, dermatitis dengan gambaran mirip kelainan kulit akibat kekurangan vitamn 86, penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik, memanjangnya waktu protrombin, dan inversi gelombang T dari EKG. POSOLOGI CaNaeEDTA tersedia sebagai suntikan yang mengandung 200 mg/ml. Pemberian CaNazEDTA secara lM akan diabsorpsi sec€lra baik, tetapi timbul rasa sakit di tempat suntik, Untuk pemakaian lV,
CaNazEDTA diencerkan dengan dekstrosa 5% alau garam lisiologis dan diberikan perlahan-lahan sekurang-kurangnya dalam 1 jam. Pengenceran ini diperlukan untuk menghindari tromboflebitis. Untuk anak, dosis maksimal per hari ialah 75 mg/kgBB yang dibagi dalam dua atau tiga kali pemberian. Guna mengurangi nelrotoksisitas, produksi urin yang memadai harus diusahakan sebelum dan selama pengobatan dengan CaNazEDTA. Tetapi pada penderita yang mengalami enselalopati dan tekanan intrakranial yang meningkat, kelebihan cairan harus dihindarkan. Suntikan dinatrium edetat dibutuhkan untuk pengobatan hiperkalsemia.
INDIKASI
Penggunaan CaNaeEDTA untuk pengobatan intoksikasi berbagai logam sudah dibahas di atas. Kelasi dengan EDTA selain mengikat logam berat juga mengikat Caz*. Kalsium ini merupakan salah satu komponen atheroselerotic plaque, sehingga timbul spekulasi bahwa EDTA dapat menghilangkan afheroselerotic plaque. Setelah menelaah se-
mua literatur ilmiah tentang masalah ini dengan seksama, American Heart Association (AHA) menyimpulkan bahwa penggunaan EDTA untuk menghilangkan atheroselerotic plaque tidak terbukti secara ilmiah, sehingga tidak menganjurkannya untuk pengobatan aterosklerosis.
3.2. DIMERKAPROL SEJARAH DAN KIMIA Selama Perang Dunia ll telah dilakukan usaha intensif untuk mengembangkan antidotum terhadap lewisite, semacam gas As yang digunakan dalam perang. Karena diketahui As bereaksi dengan molekul yang mengandung -SH, maka Stocken dan Thompson meneliti secara sistematis dan menemukan senyawa yang mampu berkompetisi dengan radikal -SH jaringan tubuh untuk berikatan dengqn As. Penelitian mereka menunjukkan bahwa As akan membentuk cincin kelat yang sangat stabil dan relatil nontoksik dengan dimerkaprol (2,3-dimerkapto-
propanol). Selanlutnya dimerkaprol disebut 8r?ish antilewisite (BAL). Dimerkaprol ternyata juga memberikan perlindungan terhadap elek toksik logam berat lainnya. Struktur kimianya adalah sebagai berikut :
796
Farmakologi dan Terapi
HHH
lrt c _c_H
ltt SH
SH
OH
Dimerkaprol
BAL berupa cairan bening, tanpa warna, ken-
tal dan berminyak dengan bau tajam tidak sedap yang merupakan silat khas senyawa merkaptan. Zat ini larut dalam air, juga dalam minyak sayur, alkohol, dan berbagai pelarut organik lainnya. Karena tidak stabil dalam larutan polar, maka digunakan minyak kacang sebagai pelarut. BAL dan
senyawa tiol sejenis dengan mudah dioksidasi in vitro bila ada katalisator. Agaknya, oksidasi in vivo membentuk suatu senyawa siklik S-S. :
MEKANISME KERJA Efek larmakologi BAL adalah hasil pembentukan kompleks kelasi antara gugus sullhidril dengan logam. Reaksi BAL dengan Hg, emas dan arsen diharapkan membentuk kompleks yang stabil untuk meningkatkan elim,inasi logam tersebut. Di dalam tubuh kompleks kelasi dapat mengalami disosiasi dan BAL teroksidasi. Selain itu, ikatan sulfur-logam menjadi labil dalam cairan tubuh yang asam, dan ini meningkatkan toksisitas logam-logam tersebut terhadap ginjal. Oleh karena itu, pengaturan dosis dirancang untuk mempertahankan kadar BAL dalam plasma yang menladai agar membentuk kompleks (BAL : logam) 2 : 1 yang lebih stabil dan ekskresinya cepat. BAL jauh lebih elektil bila diberikan segera setelah pajanan tbrhadap logam, karena BAL lebih efektif mencegah hambatan enzim bergugus -SH daripada mengaktifkannya kembali. Prinsip terapi ini berlaku untuk penggunaan semua kelator. BAL mengantagonis elek biologis logam terutama arsen, emas dan Hg yang membentuk merkaptid dengan gugus -SH selular yang esensial. BAL juga digunakan dalam kombinasi dengan CaNazEDTA untuk mengobati keracunan Pb. lntoksikasi selenit, yang menloksidasi enzim bergugus -SH, tidak dipengaruhi oleh BAL.
dicapai dalam waktu 30-60 menit. Waktu paruhnya
singkat; degradasi metabolik dan ekskresinya umumnya sempurna dalam waktu 4 jam. Penyuntikan BAL pada hewan coba meningkatkan ekskresi sullur netral melalui urin yang 50% berasal dari BAL. Kenaikan asam glukuronat dalam urin menunjukkan bahwa sebagian BAL diekskresi sebagai glukuronid.
TOKSISITAS Pemberian BAL pada manusia menghasilkan berbagai macam efek samping yang biasanya lebih
banyak menimbulkan rasa khawatir tetapi tidak serius;walaupun demikian efek samping ini menun-
jukkan bahwa jumlah ditiol yang dapat diberikan harus dibatasi. Reaksi terhadap BAL terjadi pada kira-kira 50% pasien yang menerima 5 mg/kgBB lM. Pemberian ulang dengan interval sedikitnya 4 jam tidak menimbulkan efek kumulasi. Salah satu respons paling konsisten terhadap BAL ialah naiknya tekanan darah sistolik disertai takikardi. Kenaikan tekanan darah sebanding dengan dosis yang diberikan dan bisa mencapai 50 mmHg bila dosis ulangan
yang sama (5 mg/kgBB) diberikan dalam jarak waktu 2 jam. Tekanan darah naik dengan cepat tetapi kembali normal dalam waktu 2 jam. 'Gejala lain kebanyakan paralel dengan perubahan tekanan darah yaitu mual dan muntah; sakit kepala; rasa terbakar pada bibir, mulut dan kerongkongan; rasa tercekik pada kerongkongan; sakit dada atau lengan; konjungtivitis, lakrimasi, rinore
dan hipersalivasi; tangan terasa tertusuk-tusuk; rasa panas pada penis; berkeringat terutama pada tangan dan dahi; sakit perut dan kadang-kadang
timbul abses steril yang nyeri di tempat suntik. Gejala ini sering disertai rasa cemas dan khawatir. Gelala akibat BAL pada anak sama seperti pada orang dewasa, meskipun kira-kira 50% bisa mengalamidemam yang akan hilang sesudah obat dihentikan. Leukosit polimorlonuklear dapat menurun selintas. BAL bisa menyebabkan anemia hemolitik pada penderita delisiensi G6PD. BAL dikontraindikasikan pada penderita insulisiensi hati, kecuali kelainan hati akibat keracunan arsen.
FARMAKOKINETIK
SEDIAAN
BAL tidak dapat diberikan secara oral, harus disuntikkan lM dalam. Kadar puncak dalam darah
Dimerkaprol tersedia dalam bentuk larutan suntik 100 mg/mldalam minyak kacang. Regimen
797
Logam Berat dan Antagonis
pengobatan telah dijelaskan pada pembahasan masing-masing logam.
3.3. ASAM 2,3.DIMERKAPTOSUKSINAT Asam dimerkaptosuksinat, seperti BAL, merupakan senyawa disullhidfll dengan struktur sebagai
berikut:
Penisilamin dibuat dari degradasi hidrolitik penisilin, dan tidak beraktivitas antibakteri. Yang digunakan di klinik adalah bentuk D-isomer. Penisilamin membentuk kelat dengan tembaga, merkuri, seng dan timbal serta meningkatkan ekskresi logam-logam ini dalam urin. FARMAKOKINETIK Penisilamin diabsorpsi secara baik dari salur-
cooH I
CHSH I
CHSH I
cooH Asam 2,3-Dimerkaptosuksinat
Asam dimerkaptosuksinat elektil secara oral dan
jauh kurang toksik dibandingkan dengan BAL. Penggunaan obat ini masih dalam penelitian, dan ada harapan digunakan sebagai kelatoryang elektif secara oral dan relatil tidak toksik untuk pengobatan keracunan merkuri, arsen dan timbal.
3.4. PENISILAMIN SEJARAH DAN KIMIA Tahun 1953 penisilamin Oiisotasi untuk pertama kali dari urin penderita penyakit hati yang mene-
rima penisilin. Penemuan silat kelatornya mengakibatkan obat ini digunakan untuk terapi penyakit Wilson dan intoksikasi logam berat. Penisilamin adalah D-dimetilsistein dengan struktur sebagai berikut :
CHg I
H3C-C
ll
-CH-COOH SH NHe
Penisilamin
an cerna (4O-7Oo/o); ini merupakan kelebihan penisi-
lamin dari kelator lain. Kadar puncak dalam darah diperoleh antara 1-2 jam setelah obat diberikan. Penisilamin diekskresi dengan cepat melalui urin. Berbeda dengan sistein, penisilamin agak resisten terhadap sistein desulfhidrase atau L-asam amino oksidase. Akibatnya penisilamin relatif stabil in vivo. Hal ini menjelaskan elektivitas penisilamin dan kurang efektilnya sistein dalam meningkatkan ekskresi logam, meskipun in vitro kedua senyawa ini membentuk kelat logam yang stabil. Penjelasan ini diperkuat oleh lakta bahwa N-asetilpenisilamin bahkan lebih elektil daripada penisilamin dalam memberikan perlindungan terhadap elek toksik merkuri, karena derivat asetil lebih resisten terhadap degradasi metabolik daripada senyawa induknya. Biotranstormasi penisilamin sebagian besar terjadi dalam hati, dan sedikit sekali yang diekskresi dalam bentuk asal. Bentuk metabolit dijumpai dalam urin dan tinja. INDIKASI Penisilamin digunakan untuk mengobati keracunan tembaga, merkuri, timbal dan mengobati penyakit Wilson (degenerasi hepatolenlikuler karena kelebihan tembaga), sistinuria dan artritis reumatoid. Penisilamin digunakan pada sistinuria karena penisilamin membentuk senyawa disullida dengan sistein; zat ini relatil mudah larut, dengan demikian menurunkan pembentukan batu ginjal yang mengandung sistein. Mekanisme kerja penisilamin pada artritis r.eu' matoid belum diketahui dengan pasti, meskipun supresi terhadap penyakit bisa diakibatkan oleh penurunan kadar laktor lgM reumatoid secara berarti. Uniknya, penurunan ini tidak disertai oleh penurunan kadar imunoglobulin dalam plasma. Penggu-
naan eksperimental lainnya dari penisilamin meli' puti pengobatan sirosis bilier primer dan skleroderma, Mekanisme kerja penisilamin pada penyakit ini
798
Farmakologi dan Terapi
bisa juga melibatkan efek terhadap imunoglobulin dan kompleks imun.
menghindari gangguan oleh logam dalam makan-
an. Untuk terapi kelasi, dosis biasa adalah 500'l
500 mg per hari yang diberikan dalam empat dosis
(lihat pembicaraan masing-masing logam). Pada
TOKSISITAS Meskipun penggunaan jangka pendek penisilamin sebagai kelator relatil aman, penggunaan kronis pada artritis reumatoid menimbulkan toksisitas yang berarti dan beragam. Penisilamin menyebabkan lesi kulit, urtikaria, reaksi makula dan papula, lesi pemligus, lupus eritematosus, dermatomiositis, kulit kering dan bersisik. Reaktivitas silang antara penisilamin dan penisilin bisa terjadi, misalnya reaksi urtikaria atau makulopapular dengan udem umum, pruritus dan demam yang ierjadi pada sepertiga penderita yang makan penisilamin. Pada sistem hematologi bisa terjadi leukopenia, anemia aplastik dan agranulositosis. Kelainan ini bisa timbul setiap saat selama terapi dan bisa bersifat latal sehingga penderita harus dipantau dengan teliti. Toksisitas renal yang bisa timbul ialah proteinuria yang reversibel; tetapi toksisitas ini bisa berlanjut menjadi sindrom nelrotik dengan glomerulopati membran. Jarang-jarang terjadi kematian akibat sindrom Goodpasture, yaitu sindrom glomerulonelritis disertai perdarahan paru-paru. Toksisitas saluran napas tidak umurn terjadi, tetapi sesak napas berat terjadi akibat bronkoalveolitis yang disebabkan oleh penisilamin pernah dilaporkan. Miastenia gravis disebabkan oleh terapi kronis dengan penisilamin juga pernah dilaporkan. Efek samping lain ialah mual, muntah, diare, dispepsia, anoreksia dan hilangnya merasakan rasa manis dan asin untuk sementara, yang dapat disembuhkan dengan menambahkan tembaga dalam diet. Penisilamin dikontraindikasikan pada kehamilan, penderila yang pernah mengalami agranulositosis atau anemia aplastik akibat penisilamin, dan insufisiensi ginjal.
sistinuria ekskresi sistin dalam urin digunakan untuk menyesuaikan dosis, meskipun biasanya digunakan 2 g per hari yang dibagi dalam empat dosis. Berbagai regimen dosis telah dipelajari untuk pengobatan artritis reumatoid. Untuk memulai terapi biasanya digunakan dosis tunggal 125-250 mg per hari, Dosis ditingkatkan dengan interval 1-3 bulan tergantung keadaan. Diperlukan waktu dua atau tiga bulan sebelum ada perbaikan yang nyata. Kebanyakan penderita akhirnya memberikan respons terhadap dosis 500-700 mg per hari atau kurang. Untuk pengobatan penyakit Wilson, diperlukan empat dosis per hari, dan biasanya yang digu-
nakan adalah 1-2 g per hari. Ekskresi tembaga dalam urin harus dipantau guna menentukan apakah dosis penisilamin sudah memadai. Selama 6 bulan pertama pengobatan 40 mg sulfurated potash bisa diberikan bersama setiap dosis penisilamin guna memperkecil absorpsi diet tembaga.
3.5. DEFEROKSAMIN Deferoksamin dengan struktur di bawah ini di-
isolasi sebagai kelat besi dari Streptomyces pilosus dan diproses secara kimiawi untuk memperoleh ligan yang bebas logam. Deleroksamin memiliki silat yang diinginkan berupa afinitas yang sangat tinggi terhadap besi valensi 3 dan alinitas yang sangat rendah terhadap kalsium. ln vitro, deleroksamin mengikat besi dari hemosiderin, leritin dan transferin. Besi dalam hemoglobin atau sitokrom tldak diikat oleh deferoksamin. Deferoksamin sukar diabsorpsi setelah pem-
berian oral sehingga diperlukan pemberian secara parenteral. Deferoksamin mengalami metabolisme oleh pengaruh enzim plasma, tetapi caranya belum
POSOLOGI Penisilamin tersedia dalam bentuk kapsul 125
atau 250 mg atau sebagai tablet 250 mg. Obat tersebut harus diberikan waktu perut kosong uniuk HeN{CHz)s-N--C-(CHe)a
tll HOO
-4-N It OH
(CHe)s
jelas. Obat ini mudah diekskresi bersama urin. Deleroksamin bisa menimbulkan reaksi alergi misalnya pruritus, udem, ruam kulit dan reaksi anafilaksis. Efek samping lainnya meliputi disuria, sakit
-N -C-(CHz)e -C -N lil It HOO OH
Deleroksamin
-{CHz)s
-N -C til HOO
-CHg
Logam Berat dan Antagonis
perut, diare, demam, kram kaki dan takikardi. Kadang-kadang dilaporkan terjadinya kalarak. Kontradindikasi penggunaan deferoksamin meliputi kehamilan, insulisiensi ginjal dan anuria.
799
dapat translusi darah perlu diberikan 2,0 g deferoksamin secara inlus dengan kecepalan tidak melebihi 15 mg/kgBB per jam pada vena lain. Deferoksamin lidak dianjurkan untuk mengobati hemokromatosis primer; untuk ini tlebotomi merupakan tindakan pengobatan terpilih.
POSOLOGT
Deleroksamin mesilat tersedia dalam botol kecil yang mengandung 500 mg. Pada keracunan besi akut, lebih diutamakan pemberian lM, kecuali jika penderita dalam keadaan syok. Untuk orang dewasa dan anak diberikan 1 g, disusul dengan 2 x 500 mg tiap 4 jam. Dosis 500 mg ini bisa diteruskan dengan interval 4-12 jam, tergantung dari respons klinis, tetapijumlah obat yang diberikan tidak boleh melebihi 6 g dalam waktu 24lam. Pemberian lV diperlukan bagi penderita yang berada dalam keadaan syok. Jadwal dan pembatasan dosis sama seperti pada pemberian lM, tetapi kecepatan inlus tidak boleh melebihi 15 mg/kgBB per jam. Begitu keadaan klinis mengizinkan, pemberian secara lV
3.6. ASAM DIETILENTRIAMINPENTA.
ASETAT Asam dietilentriaminpentaasetat (DTPA) seperti halnya EDTA, adalah suatu kelator asam polikarboksilat, tetapi afinitasnya lebih besar terhadap kebanyakan logam berat. Banyak penelitian pada hewan menunjukkan bahwa spektrum elektivitas klinik DTPA serupa dengan spektrum elektivitas klinik EDTA, Karena alinitasnya yang relatil besar terhadap logam, DTPA pernah dicoba pada kasus keracunan logam berat yang tidak memberikan respons terhadap EDTA, terutama sekali keracunan
harus dihentikan dan obat diberikan secara lM. Aspek lain dari pengobatan keracunan besi akut telah dibicarakan dalam 8ab 50. Untuk intoksikasi besi kronis misalnya pada lalasemia, dianjurkan
yang disebabkan oleh logam radioaktif. Manlaat
untuk menggunakan dosis 0,5-1,0 g perhari secara lM. Pada penderita talasemia yang sedang men-
digunakan CaNazEDTA karena DTPA cepat mengikat kalsium.
DTPA ternyata terbatas karena sulit mencapai pe-
nyimpanan logam di intraseluler. Penggunaan DTPA masih dalam penelitian, dan lebih banyak
-
Farmakologi dan Terapi
800
XVII. ADENDUM 54. INTERAKSI OBAT Arini Setiawati
1.
Pendahuluan
2.
lnkompatibilitas
3.3. lnteraksi dalam metabolisme 3,4. lnleraksi dalam ekskresi
3. lnteraksi larmakokinetik
3.1. lnteraksi dalam absorpsi di saluran cerna 3.2. lnteraksi dalam distribusi
1. PENDAHULUAN Diantara berbagai faktor yang rnempengaruhi respons tubuh terhadap pengobatan terdapat laktor interaksi obat. Obat dapat berinteraksi dengan makanan, zat kimia yang masuk dari lingkungan, atau dengan obat lain. Dalam bab ini uraian dibatasi hanya pada interaksi antar obat (obat resep maupun obat bebas). lnteraksi antar obat dapat berakibat menguntungkan atau merugikan. lnteraksi yang mengun-
tungkan, misalnya
(1
) penisilin dengan probenesid:
probenesid menghambat sekresi penisilin di tubuli ginjal sehingga meningkatkan kadar penisilin dalam plasma dan dengan demikian meningkatkan efektivitasnya dalam terapi gonore; (2) kombinasi obat
antihipertensi: meningkatkan efektivitas dan mengurangi elek samping; (3) kombinasi obat antikanker: juga meningkatkan elektivitas dan mengurangi elek samping; (4) kombinasi obat antituberkulosis: memperlambat timbulnya resistensi kuman terhadap obat; dan (5) antagonisme elek toksik obat oleh antidotnya masing-masing. Pembahasan lebih
lengkap dapat dilihat dalam bab mengenai obat yang bersangkutan. Hanya interaksi yang merugikan yang akan diuraikan dalam bab ini. Pengobatan dengan beberapa obat sekaligus (polifarmasi)-yang menjadi kebiasaan para dokter
-
memudahkan terjadinya interaksi obat. Suatu
4. lnteraksi farmakodinamik 5. lnteraksi lain-lain
survai yang dilaporkan pada tahun 1977 mengenai polifarmasi pada penderita yang dirawat di rumah sakit menunjukkan bahwa insidens elek samping pada penderita yang mendapat 0-5 macam obat adalah 3,5%, sedangkan yang mendapat.l 6- 20 macam obat adalah 54%, Peningkatan insidens efek samping yang jauh melebihi peningkatan jumlah obat yang diberikan bersama ini diperkirakan akibat terjadinya interaksi obat yang iuga makin meningkat. lnteraksi obat dianggap penting secara klinik
bila berakibat meningkatkan toksisitas dan/atau mengurangi elektivitas obat yang berinteraksi, jadi terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah atau s/ope log DEC yang curam), misalnya glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-obat sitostatik. Demikian juga interaksi yang menyangkut obat-obat
yang biasa digunakan alau yang sering diberikan bersama tentu lebih penting daripada obat yang jarang dipakai.
lnsidens interaksi obat yang penting dalam klinik sukar diperkirakan karena (1 ) dokumentasinya masih sangat kurang; (2) seringkali lolos dari pengamatan karena kurangnya pengetahuan para dokter akan mekanisme dan kemungkinan terjadinya interaksi obat sehingga interaksi obat berupa peningkatan toksisitas seringkali dianggap sebagai reaksi idiosinkrasi lerhadap salah satu obat sedangkan
lnteraksi Obat
interaksi berupa penurunan elektivitas seringkali diduga akibat bertambahnya keparahan penyakit; selain itu terlalu banyak obatyang saling berinteraksi sehingga sulit untuk diingat; dan (3) kejadian atau
keparahan interaksi dipengaruhi oleh variasi indi-
vidual (populasi tertentu lebih peka misalnya penderita lanjut usia atau yang berpenyakit parah, adanya perbedaan kapasitas metabolisme antar individu), penyakit tertentu (terutama gagal ginjal atau penyakit hati yang parah), dan laktor-faktor lain (dosis besar, obat ditelan bersama-sama, pemberian kronik).
Mekanisme interaksi obat secara garis besar dapat dibedakan atas 3 mekanisme, yakni: (1) interaksi larmaseutik atau inkompatibilitas, (2) interaksi larmakokinetik, dan (3) interaksi larmakodinamik.
2. INKOMPATIBILITAS lnkompatibilitas ini terjadi diluar tubuh (sebelum obat diberikan) antara obat yang tidak dapat dicampur (inkompatibel). Pencampuran obat demikian menyebabkan terjadinya interaksi langsung secara lisik atau kimiawi, yang hasilnya mungkin terlihat sebagai pembentukan endapan, perubahan warna dan lain- lain, atau mungkin juga tidak
terlihat. lnteraksi ini biasanya berakibat inaktivasi obat.
Bagi seorang dokter, interaksi larmaseutik yang penting adalah interaksi antar obat suntik dan interaksi antara obat suntik dengan cairan infus. Lebih dari 100 macam obat tidak dapat dicampur dengan cairan inlus, Lagipula, banyak obat suntik lidak kornpatibel dengan berbagai obat suntik lain, yaitu dengan bahan obatnya atau dengan bahan pembawanya (vehicle). Oleh karena itu, dianjurkan tidak mencampur obat suntik dalam satu semprit aiau dengan cairan inlus kecuali bila jelas diketahui tidak ada interaksi. Contohnya, gentamisin mengalami inaktivasi bila dicampur dengan karbenisilin, demikian juga penisilin G bila dicampur dengan vitamin O, sedangkan amfoterisin B mengendap dalam1arutan garam lisiologis atau larutan Ringer,
801
lisme atau ekskresi obat kedua sehingga kadar
plasma obal kedua meningkat atau menurun. Akibatnya, terjadi peningkatan toksisitas atau penurunan efektivitas obat tersebut. lnteraksi farmakokinetik tidak dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi, sekalipun struktur kimianya mirip, karena antar obat
segolongan terdapat variasi sifat-sifat lisikokimia
yang menyebabkan variasi sifat-sifat farmakokinetiknya.
3.I. INTERAKSI DALAM ABSORPSI
DI
SALURAN CERNA lnteraksi langsung. lnteraksi secara fisik/kimiawi antar obat dalam lumen saluran cerna sebelum absorpsi dapat mengganggu proses absorpsi. lnteraksi ini dapatdihindarkan/sangat dikurangi bila obat yang berinteraksi diberikan dengan jarak waktu minimal
2 jam. Contoh
interaksi ini dapat dilihat
pada Tabel 54-1.
Perubahan pH cairan saluran cerna. Cairan saluran cerna yang alkalis, misalnya akibat antasid, akan meningkatkan kelarutan obat bersifat asam yang sukar larut dalam cairan tersebut, misalnya aspirin. Dalam suasana alkalis, aspirin lebih banyak terionisasi sehingga absorpsi per satuan luas area absorpsi lebih lambat, tetapi karena sangat luasnya area absorpsi di usus halus maka kecepatan ab-
sorpsi secara keseluruhan tidak banyak dipengaruhi. Dengan demikian, dipercepatnya disolusi aspirin oleh basa akan mempercepat absorpsinya. Akan tetapi, suasana alkalis di saluran cerna akan mengurangi kelarutan beberapa obat bersilat basa (misalnya telrasiklin) dalam cairan saluran cerna, dengan akibat mengurangi absorpsinya. Berkurangnya keasamanan lambung oleh an-
tasid akan mengurangi pengrusakan obat yang tidak tahan asam sehingga meningkatkan bioavailabilitasnya, dan mengurangi absorpsi Fe, yang diabsorpsi paling baik bila cairan lambung sangat asam.
Perubahan waktu pengosongan lambung dan waktu transit dalam usus (motilitas saluran cerna). Usus halus adalah tempat absorpsi utama untuk semua obat termasuk obat bersifat asam. Di
3. INTERAKSI FARMAKOKINETIK
sini absorpsi terjadi jauh lebih cepat daripada di lambung. Oleh karena itu, makin cepat obat sampai
lnleraksi larmakokinetik terjadi bila salah satu
obat mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabo-
di usus halus, makin cepat pula absorpsinya. Dengan demikian, obat yang memperpendek waktu
Farmakologi dan Terapi
802
Tabel 54-1. CONTOH INTERAKSI FARMAKOKINETIK
ObalA
L
ObatB
Absorpsi a. lnteraksl langsung
'Tetrasiklin
Kation
multivalen
Terbentuk kelat yang tidak diabsorpsi
antasid, + jumlah absorpsi obat A dan Fe2* I
(Caz', Mgz*, Al& dalam caZ'dalam susu, FeZ* dalam sediaan besi)
'Digoksin,
digiloksin,
'Digoksin,
linkomisin
'Digoksin 'Rilampisin
Koles$ramin kortikosteroid, tiroksin, Kaolin-pektin Mg trisilikat, Al(OH)s
gel tablet
B€ntonit (bahan pengisi PAS)
Obat A diikat oleh obat
absorpsi obat
6+
jumlah
Al
Obat A diadsorpsi oleh obat jumlah abs6rpsi obat A I
I +
ldem ldem
b. Perubahan pH cairan saluran ccrna
'NaHCOs
Aspitin
Kecepatan disolusi
B1
-
kecepatan absorpsi obat B
.
NaHCOs
Tetrasiklin
Kelarutan obat B absorpsi obat B
'
Antasid
'Antasid 'Vilamin
C
Penisilin G,
eritromisin
pH lambung
+
I
'
l_r, lumlah
I
| -pengrusakan obat B I t + jumlah | aabsorpsi
jumlah absorpsi obat B
Fe
pH lambung obat B I
Fe
pH lambung J obat B 1
+
jumlah absorpsi
c. Perubahan waktu pengosongan lambung dan trtn3ll usug
prolenilbutazon
'Antikolinergik antidepresi trisiklik
Parasetamol, diazepam,
Obat A memperpanjang waktu
pranolol,
pengosongan lambung memperlambat absorpsi obat B
narkotik 'Antikolinergik,
Parasetamol Levodopa
'Analgesik
-
ldem Obat A memperpaniang waktu ns bioavaira-
*
i,",,l"t,oll:?T iambu
gel 'Litium 'Al .
(OH)3
klorpromazin Klorpromazin lsoniazid,
Antikorinersik Disoksin
trisiklik 'Metoklopramid 'Anlidepresi
Dikumarol Paraselamol, diazepam, Propranolol
ldem ldem
:i,1i1';=*[il,':.nJo1:i*'ldem Obat A memperpendek waktu pengo-
songan lambung absorpsi obat B
d
merylpercepat
lnteraksi Obat
803
Tabel 5tl-1. CONTOH INTERAKS| FARMAKOKTNETTK (Sambungan)
ObatA
ObatB
Elek
'Metoklopramid
Levodopa
Obat A memperpendek waktu pengolsongan ambung bioavailabilitas
+
obat B
'Metoklopramid'
Digoksin
'Mg
Digoksin, prednison,
Obat A memperpendek waktu transit
usus (oH)z
I
dikumarol
+
bioavailabilitas obat B
I
ldem
d. Elek toksik pada saluran cerna
'Kolkisin (kronik)
Vitamin 812
Obat A mengganggu absorpsi obat B
'Neomisin (kronik)
Penisilin, digoksin
ldem
'Neomisin (kronik)
Kolesterol, asam-asam
empedu,
Obat A mengganggu pembentukan
+
vitamin A
misel
'Al(OH)s
Propranolol, indometasin
Obat A mengurangi jumlah absorpsi obat B
" Fenobarbital
Griseof ulvin, dikumarol
ldem
'Sulfasalazin
Digoksin
ldem
menghambat absorpsi obat B
e. Mekanisme tidak diketahui
ll.
Distribusl lkalan protein plasma : Obat B (ikatan protein sangat kuat) mengg€s€r obat A (ikatan protein kurang kuat dibanding obat B) dari ikatannya dengan protein pla$ma + etel(toksisitas obat Al
'Warlarin
Fenilbutazon,
oksitenbutazon,
perdarahan
salisilat, klof ibrat, lenitoin, sulfinpirazon, asam mefenamat
'Tolbutamid,
klorpropamid
Fenilbutazon,
oksifonbutazon,
Hipoglikemia
salisilal * Metotreksat
Salisilat, sultonamid
oksifenbutazon,
Pansitopenia
'Fenitoin
Fenilbutazon, salisilat, valproat
Toksisitas lenitoin
'Kinin 'Bilirubin
Pirimetamin
Sinkonisme, depresi sumsum tulang
Salisilat, sullonamid
Kernikterus pada neonatus
I
lll. Metabollsme a. Metabollsme dipercepat : Obat A menginduksi sintesis enzim metabolism€ obat B + kadar plasma obat B sedangkan metabolitnyal
I
'Fenobarbital
'Fenitoin
Barbiturat, fenitoin, warlarin, dikumarol, hormon s€ks steroid (kontrasepsi oral), kortikosteroid, digitoksin, kuinidin, lenilbutazon, kloramtenikol, parasetamol, bilirubin, tiroksin
Kortikosteroid, hormon s€ks steroid, kuinidin
+
metabolisme obat
B
I
804
Farmakologi dan Terapi
Tabel 54-1. CONTOH INTERAKSI FARMAKOKINETIK (Sambungan)
Obat *
A
Obat B
Elek
Fenitoin
Kortikosteroid, hormon seks steroid, kuinidin
'Rifampisin
Tolbutamid, antikoagulan oral, kortikosteroid, hormon seks steroid, INH, PAS
'Karbamazepin * Fenilbutazon * DDT
Fenitoin, warfarin
* Merokok, makanan panggang arang
Kortikosteroid, hormon seks steroid Kortikosteroid, hormon seks steroid, tiroksin
Teofilin, dekstropropoksifen
b. Metabolisme dihambat : Obat B menghambat metabolisme obat * Fenitoin
A+
efek/toksisitas obat A
I
Dikumoral, disulfiram, kloramfenikol, fenilbutazon, simetidin, dekstropropoksifen, INH (pada asetilator lambat), PAS, sikloserin, klorpromazin, imipramin
* Dikumarol
Kloramfenikol, fenilbutazon, oksifenbutazon
* Warfarin
Fenilbutazon, oksilenbutazon, kotrimoksazol, disulfiram, metronidazol, simetidin, dekstropropoksifen
* Tolbutamid
Dikumarol, fenilbutazon, oksitenbutazon, kloramtenikol, probenesid, salisilat, Penghambat MAO
* 6-merkaptopurin,
Alopurinol azatioprin
* Lidokain
Simetidin
* lmipramin
Klorpromazin, haloperidol
* Suksinilkolin
Heksaf luorenium, prokain
c. Perubahan alir darah hepar (-Qx) * Obat-obat dengan Ex tinggi : lidokain, propranolol,
Propranolo!
Obat B menurunkan curah jantung
-Qnl*ClxobatAl lsoproterenol
Obat B meningkat curah jantung - Qx I + Clx obat Al
Fenobarbital
Obat B meningkat Qn obat At
nitrogliserin, morfin,
dan lain-lain
+
Clx
lV. Ekskresi a, Ekskresi melalui empedu dan sirkulasi enterohepatik
'Probenesid
Rif
ampisin, indornetasin
Obat A mengurangi ekskresi obat B melalui empedu
'
Neomisin,
rifampisin
Kontrasepsi oral
+
efek obat Bl
+
Obat A mensupresi bakteri usus nrenghambat sirkulasi enterohepatik
obal B
+
efek obat
Bl
lnteraksi Obal
805
Tabel 5G1. CONTOH INTERAKSI FARMAKOKINETIK (Sambungan)
Obat A
Obat B
b. Sekrcsi tubuli ginjal * Probenesid
Efek
Metotreksat, penisilin, dapson, furosemid, sulfinpirazon, PAS, indometasin
* Salisilat * Sultonamid
Metotreksat, penisilin
* Fenilbutazon
Klorpropamid, asetoheksamid,
Obat A menghambat sekresi obat B ke dalam rubuli ginjal
Metotreksat,
penisilin
'Dikumarol
Klorpropamid
" Furosemid
Gentamisin, sefaloridin
'
Penisilin
lndometasin, sulfinpirazon
* Salisilat
Probenesid, sulf inpirazon
+ -
bersihan ginjal obat B eteUtoksisitas obat B
Obat A menghambat sekresi obat B ke
+ sebagai urikosurik I dalam tubuli Qinjal
* Fenilbutazon, indometasin
I t
efek obat B
Obat A menghambat sekresi obat B ke dalam tubuli ginjal + efek obat B sebagai diuretik I
Tiazid, furosemid
c. Perubahan pH urin * Obat bersifat basa
:
amtetamin, efedrin, fenfluramin, kuinidin
Amonium klorida (untuk pengobatan pada keracunan obat A)
Obat B mengasamkan urin + bersihan ginjal obat Al - elek obat Al
Natrium bikarbonat, asetazolamid
Obat B membasakan urin
ginjalobatA * Obat bersifat asam
:
salisilat, fenobarbital
Natrium bikarbonat (untuk pengobatan pada keracunan obat A), antasid misalnya Al(OH)s dan
l-
+
efekobatA
bersihan
t
Obat B membasakan urin + bersihan ginjal obat A I * efek obat Al
Mg (OH)z
pengosongan lambung, misalnya metoklopramid, akan mempercepat absorpsi obat lain yang diberikan pada waktu yang sama. Sebaliknya, obat yang memperpanjang waktu pengosongan lambung, misalnya antikolinergik, antidepresi trisiklik, beberapa antihistarnin, antasid garam Al dan analgesik narkotik, akan memperlambat absorpsi obat lain. Kecepalan pengosongan lambung biasanya hanya mempengaruhi kecepatan absorpsi tanpa mempengaruhi jumlah obat yang diabsorpsi, lni berarti, kecepatan pengosongan lambung biasanya hanya mengubah tinggi kadar puncak dan waktu
untuk mencapai kadar lersebut tanpa mengubah bioavailabilitas obat. Sebagai kecualian adalah obat yang mengalami metabolisme lintas pertama oleh enzim dalam dinding lambung dan usus halus (misalnya levodopa dan klorpromazin). Karena kapasitas metabolisme dinding usus halus lebih
terbalas dibandingkan kapasitas absorpsinya, maka makin cepat obat ini sampai di usus halus, makin tinggi bioavailabilitasnya.
Waktu transit dalam usus biasanya tidak mempengaruhi absorpsi obat, kecuali untuk : (1) obat yang sukar larut dalam cairan untuk saluran
806
Farmakologi dan Terapi
cerna misalnya digoksin dan kortikosteroid, atau sukar diabsorpsi misalnya dikumarol, sehingga memerlukan waktu untuk melarut dan diabsorpsi; (2) obat yang diabsorpsi secara aktil hanya di satu segmen usus halus, misalnya Fe dan riboflavin di usus halus bagian atas, vitamin B1 2 di ileum. Obat yang memperpendek waktu transit dalam usus (misalnya metoklopramid, laksans, antasid, garam Mg) akan mengurangi jumlah absorpsi obat tadi. Sebaliknya, obat yang memperpanjang waktu transit usus (sama dengan obat yang memperpanjang waktu pengosongan lambung) akan meningkatkan bioavailabilitas obat tersebut.
Kompetisi untuk mekanisme absorpsi aktif. Obat yang merupakan analog dari zat makanan, misalnya levodopa, metildopa dan 6-merkaptopurin, diabsorpsi aktil melalui mekanisme yang sama dengan mekanisme untuk zal makanan. Oleh karena itu, absorpsi obat tersebut dapat dihambat secara kompetitil oleh zat makanan yang bersangkutan. Misalnya, absorpsi levodopa dihambat oleh lenilalanin yang berasal dari diet tinggi protein (2 g/kg/hari). Sebaliknya, diet rendah protein (0,5 g/ kg/hari) akan meningkatkan absorpsi levodopa.
Perubahan flora usus. Flora normal usus berperan antara lain dalam: (1 ) sintesis vitamin K dan merupakan sumber vitamin K yang penting (di samping dari diet) (2) memecah sulfasalazin menjadi bagianbagiannya yang aktif; (3) sebagian metabolisme obat (misalnya levodopa); dan (4) hidrolisis glukuronid yang diekskresi melalui empedu sehingga terjadi sirkulasi enterohepatik yang memperpanjang kerja obat (misalnya kontrasepsi oral).
Pemberian antibakteri berspektrum lebar (misalnya telrasiklin, kloramlenikol, amipisilin, sullonamid) akan mengubah/mensupresi llora normal usus, dengan akibat: meningkatkan elektivitas antikoagulan oral (antagonis vitamin K) yang diberikan
bersama, mengurangi efektivitas sulfasalazin, meningkatkan bioavailabilitas levodopa, dan mengurangi elektivitas kontrasepsi oral.
Efek toksik pada saluran cerna. Terapi kronik dengan asam mefenamat, neomisin dan kolkisin menimbulkan sindrom malabsorpsi yang menyebabkan absorpsi obat lain terganggu.
Mekanisme tidak diketahui. Beberapa obat mengurangi jumlah absorpsi obat lain dengan mekanisme yang tidak diketahui.
3.2. INTERAKSI DALAM DISTRIBUSI lnteraksi dalam ikatan protein plasma. Banyak obat terikat pada protein plasma, obat yang bersilat asam terutama pada albumin, sedangkan obatyang ,.bersifat basa pada asam a1-glikoprotein. Oleh karena jumlah protein plasmaterbatas, maka terjadi kompetisi antara obat bersifat asam maupun antara obat bersifat basa untuk berikatan dengan protein
yang sama. Tergantung dari kadar obat dan alinitasnya terhadap protein, maka suatu obat dapat
digeser dari ikatannya dengan protein oleh obat lain, dan peningkatan kadar obat bebas menimbulkan peningkatan efek farmakologiknya. Akan tetapi keadaan ini hanya berlangsung sementara karena peningkatan kadar obat bebas juga meningkatkan eliminasinya sehingga akhirnya tercapai keadaan mantap yang baru dimana kadar obat total menurun tetapi kadar obat bebas kembali seperti sebelumnya (mekanisme konpensasi). lnleraksi dalam ikatan protein ini, meskipun banyak terjadi, letapi yang menimbulkan masalah dalam klinik hanyalah yang menyangkut obat dengan sifat berikut : (1 ) mempunyai ikatan yang kuat dengan protein plasma (minimal 85%) dan volume distribusi yang kecil sehingga sedikit saja obat yang dibebaskan akan meningkatkan kadarnya 2-3 kali lipat; ini berlaku terutama untuk obat bersilat asam, karena kebanyakan obat bersilat basa volume dis-
tribusinya sangat tuas; (2) mempunyai batas keamanan yang sempit, sehingga peningkatan kadar obat bebas tersebut dapat mencapai kadar
toksik; (3) elek toksik yang serius telah terjadi sebelum kompensasi lersebut di atas terjadi, misalnya terjadinya perdarahan pada antikoagulan oral, hipoglikemia pada antidiabetik oral; dan (4) eliminasinya mengalami kejenuhan, misalnya fenitoin, salisilat dan dikumarol, sehingga peningkatan kadar obal bebas tidak disertai dengan peningkatan kecepatan eliminasinya. lnteraksi ini lebih nyata pada penderita dengan hipoalbuminemia, gagal ginjal, atau penyakit hati yang berat, akibat berkurangnya junilah albumin plasma, ikatan obat bersifat asam dengan albumin, serta menurunnya eliminasi obat.
lnteraksi dalam ikatan jaringan. Kompetisi untuk ikatan dalam jaringan terjadi misalnya antara digoksin dan kuinidin, dengan akibat peningkatan kadar plasma digoksin.
807
lntenksi Obat
3.3. INTERAKSI DALAM METABOLISME Metabolisme obat dipercepat. Banyak obat yang larut dalam lemak dapat menginduksi sintesis enzim mikrosom hati, misalnya fenobarbital, lenitoin, rifampisin, karbamazepin, etanol, fenilbutazon, dan lain-lain. Tergantung dosis dan obatnya, induksi terjadi setelah 1-4 minggu. Waklu yang
sama diperlukan untuk hilangnya elek induksi setelah obat penginduksi dihentikan. Zal penginduksi seperti DDT dan gameksan bertahan lebih lama karena zat ini disimpan dalam lemak tubuh dan mempunyai waktu paruh biologik yang sangat panjang, Merokok dan makanan panggang arang menghasilkan hidrokarbon polisiklik yang iuga merupakan zat penginduksi enzim metabolisme.
Setiap reaksi metabolisme dikatalisis oleh beberapa jenis enzim yang berbeda dalam spesilisitas substratnya dan kemampuannya untuk diinduksi (ditentukan secara genetik). Oleh karena ilu, tergantung dari jenis enzim yang diinduksinya, suatu zat penginduksi dapat mempercepat metabolisme beberapa obat tetapi tidak mempengaruhi metabolisme obat-obat yang lain. Bila metabolit hanya sedikit atau tidak mempunyai elek larmakologik, maka zat penginduksi mengurangi elek obat. Sebaliknya, bila metabolit lebih aktif atau merupakan zat yang loksik, maka zat
penginduksi meningkatkan elek atau toksisitas obat. Dipercepatnya metabolisme antikoagulan oral
oleh fenobarbital atau rilampisin menyebabkan dosis warfarin perlu ditingkatkan 2-4 kali lipat (dalam waktu beberapa minggu) untuk mengembalikan efektivitasnya. Kemudian, sewaktu obat penginduksi tersebut dihentikan, dosis warfarin harus diturunkan kembali (secara bertahap dalam
waktu beberapa minggu) untuk mencegah terjadinya perdarahan.
Pemberian rifampisin atau zat penginduksi lain pada akseptor kontrasepsi oral dapat menye-
babkan terjadinya kehamilan. Pada penderita cangkok ginjal yang mendapat kortikosteroid sebagai imunosupresi, pemberian rifampisin atau zat penginduksi lain dapat menyebabkan terjadinya penolakan cangkok ginial tersebut.
Hepatotoksisitas parasetamol meningkat pada penderita yang mendapat lenobarbital atau pada alkoholik yang kronik.
Metabolisme obat dihambat. Penghambatan metabolisme suatu obat menyebabkan peningkatan
kadar plasma obat tersebut sehingga meningkatkan
elek atau toksisitasnya. Kebanyakan interaksi demikian terjadi akibat kompetisi antar substrat untuk qnzim metabolisme yang sama. Obat yang
seringkali menghambat metabolisme obat lain adalah, eritromisin, ketokonazol, kloramlenikol, dikumarol, disulfiram, simetidin, lenilbutazon dan propoksifen. Elek penghambalan ini menjadi lebih nyata bila menyangkut obat poten yang metabolismenya mengalami kejenuhan, seperti lenitoin dan dikumarol, atau pada penderita dengan penyakit hati yang berat, status gizi yang buruk, usia ekstrim, atau kelainan genetik, di mana terdapat aktivitas enzim metabolisme yang rendah. Eritromisin
dilaporkan meningkatkan kadar plasma karbama'' zepin, benzodiazepin, teolilin, kortikosteroid, disopi-r ramid dan siklosporin. :
Perubahan alir darah hepar (=Qx). Untuk obat yang dimetabolisme oleh hepar dengan kapasitas tinggi (mempunyai rasio ekstraksi hepar - E6 yang tinggi), bersihan heparnya sangat dipengaruhi oleh perubahan Qn.
3.4. INTERAKSI DALAM EKSKRESI Ekskresi melalui empedu dan sirkulasi enterohepatik. Gangguan dalam ekskresi melalui empedu terjadi akibat kompetisi antara obat dan metabolit
obat untuk sistem transport (sekresi aktif ke dalam empedu) yang sama. Sedangkan sirkulasi enterohepatik dapat diputuskan dengan mensupresi bakteri usus yang menghidrolisis konyugat obat atau dengan mengikat obat yang dibebaskan sehingga tidak dapat direabsorPsi.
Sekresi tubuli ginjal. Penghambatan sekresi
di
tubuli ginjal terjadi akibat kompelisi antara obat dan metabolit obat unluk sistem transport aktil yang sama, terutama sislem transport untuk obat asam dan metabolit yang bersifat asam.
Perubahan pH urin. Perubahan ini akan mengha'-
silkan perubahan bersihan ginjal (melalui perubahan jumlah reabsorpsi pasil di tubuli ginjal) yang berarti secara klinik hanya bila: (1 ) lraksi obat yang diekskresi utuh oleh ginialcukup besar (lebih dari 30%), dan (2) obat berupa basa lemah dengan pKa 7,5-1 0 atau asam lemah dengan pKa 3,0 -7'5.
808
Farmakolqi dan Terapi
4. INTERAKSI FARMAKODINAMIK lnleraksi farmakodinamik adalah interaksi antara obalyang bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi elek yang aditif, sinergistik atau antagonistik.
lnteraksi larmakodinamik merupakan sebagian besar dari interaksi obat yang penting dalam klinik. Berbeda dengan interaksi farmakokinetik, interaksi larmakodinamik seringkali dapat di ekstrapolasi kan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi, karena penggolongan obat memang
berdasarkan persamaan efek larmakodinamiknya. Di samping itu, kebanyakan interaksi farmakodinamik dapat diramalkan kejadiannya, karena itu dapat dihindarkan bila dokter mengetahui mekanisme kerja obat yang bersangkutan dan menggunakan krgikanya.
Selanjutnya akan dibahas mekanisme interak-
si yang lebih terinci, masing-masing
dengan
beberapa contohnya yang penting dalam klinik dan menyangkut obat yang sering digunakan. lni harus dibedakan dari interaksi yang tidak mempengaruhi hasil terapi dan yang baru terlihal pada percobaan
hewan atau in vitro (belum tentu terjadi pada manusia), yang jumlahnya jauh lebih banyak. INTERAKSI PADA RESEPTOR. lnteraksipada sistem reseptor yang sama biasanya merupakan antagonisme antara agonis dan antagonis/bloker dari
reseptor yang bersangkutan. Beberapa contoh agonis dan antagonis untuk reseptor lertentu dapat dilihat pada Tabel 54-2.
INTERAKSI FISIOLOGIK. lnteraksi pada sistem fisiologik yang sama dapat menghasilkan peningkatan atau penurunan respons (potensial atau an-
TabeI 54-2. CONTOH INTERAKSI PADA RESEPTOR
Rercptor
Agonis
Antagonis
Kolinergil(muskarinik
Asetilkolin, f isostigmin
Atropin, propantelin, triheksifenidil antihistamin Hr, fenotiazin, antidepresi trisiklik, kuinidin, disopiramid
Nikotinik neuromuskular
Asetilkolin, n€ostigmin
d-Tubokurarin, galamin, pankuronium, vekuronium
Nikotinik ganglie
Asetilkolin, nikotin
Mekamilamin, trimetaf an
Adrcnergik
Norepinefrin, epinefrin, fenilefrin,
lenilpropanolamin
Fenoksibenzamin, fentolamin, prazosin, lenotiazin, antidepresi trisiklik
Norepinekin, epinelrin, klonidin,
Yohimbin
crr
Adrenergik c2
metildopa
Adrenergik Br
Adrenergik 82
lsoproterenol, epinefrin, norepinefrin, dobutarnin
Beta-bloker nbnselektif (propranolol, oksprenolol dan lain-lain) dan selektif Br (metoprolol, atenolol)
lsoproterenol, epinef rin,
Beta-bloker nonselektif (propranolol, oksprenolol, nadolol, pindolol dan lainlain) dan selektif Ba (butoksamin)
salbutamol, terbutalin
Dopaminergk
Dopamin, bromokriptin
Fenotiazin, tioxanten, butirofenon
Seroloninergik
Serotonin, LSD
Metilsergid, siproheptadin, pizotifen, fenotiazin, mianserin
Histamin Hl
Histamin
Klorf eniramin, dif enhidramin, prometazin, siproheptadin, antidepresi trisiklik
Histamin He
Histamin
Simetidin, ranitidin
Opioid
Morfin, nalorfin, metadon, petidin
Nalokson, nalorlin
Estrogen
Estrogen
Klomilen, tamoksifen
Reseptor vitamin K dalam sel hati
Vitamin K
Antikoagulan kumarin
809
Inieraksi Ottat
antihip€rtensi), dapat dihambat secara kompetitif oleh amln simpatomimetik misalnya yang terdapat
tagonisme). Contoh interaksi ini dapal dilihat pada Tabel 54-3.
llu (fenilelrin, lenilpropanolamin, eledrin, pseudoefedrin) atau obat yang menekan napsu makan (am{etamin, mazindol), antidepresi dalam obat
PERUBAHAN DALAI{ KESETIMBANGAN CAIRAN DAN ELEKTFOLIT. Perubahan inidapat mengubah elek obat, terutama yang bekerja pada jantung, transmisi neuromuskular dan ginjal. Contoh obatnya dapat dilihat pada Tabel 54-4.
trisiklik (amitriptilin, imipramin, desipramin' maprotilin), kokain dan fenotiazin (klorpromazin)' Dengan demikian, obat ini mengantagonisasi efek hipotensil pen gharnbat saraf adrenergik.
GANGGUAN MEKANISHE AMBILAN AIIIN DI UJUNG SARAF ADRENERGIK. Penghambat saral adrenergik (guanetidin, bretilium, b€tanidin'
INTERAKSI DENGAN PENGHAMBAT MONO. AtlN OKSIDASE (PENGHAIiBAT llAO). Peng-
debrisokuin dan guanadrsl) diambil oleh uiung saraf adranergik dengan mekanism€ transport aktif untuk
hadtbat MAO menghasilkan akumulasi norepinelrin dalam iumlah bosar di uiung saral adrenergik. Pem-
norepinelrin. Mekanisrne arnbilan ini, yang dlper.
berian penghambat MAO bersama amin sim-
lukan agar otat tersebut dapat bekeria (sebagai
patomimetik keria tidak langsung (lenilelrin' fenil-
Tabcl 54-3. CONTOH INTERAKSI FISIOLOGIK
Obat A
Obat B
Etck
HipnotiVsedatil
Analgesik narkotik, antihistamin, antikonvulsi, antipsikotik, antidepresi, reserpin, klonidin, metildopa, etanol, dan lain-lrin
Depresi SSP
Antihipertensi
Diuretik, penghambat SSP, anostetik, anti' psikotik, antidepresi
Elek obat A
I
Antihipertensi
Simpatomimetik
Efek obat
A
I
Diazoksid
Hidralazin, antihipertensi poten lainnya
Hipotensi berat
Pcngham bat neurornuskulat
Anasldik (oler, cnllwan, isotlurrn, m.toksitlurrn, hslotan), ane3tctik !okd, Iuinidin,
Elct obat A
kompctitil (d-tubokurarin, pankuronium, dan lain-lain)
aminogilikoslda, garam Mg, klindamisin, linkomisin.
t kr3tlin,
I
I
kolislin'
Antikoaguhn
Aspirin, antiinf lamasi nonsteroid esarn lainnya
Antikoagulan kumarin
Klof ibrat, tiroksin,
I obat A t
Elck obat A Elek
steroid anabolik, antibiotik
spektrum lebar
I
Aminoglikosida
Asam etakrinat, luroscrnid, vankomisin, sisplatin
ototoksisitas
Amhogt$koeida
Sc{rlo,ri{tin, s€falotin, rmtottrisin B, Jsplrtin' siklosporin, Yankomisin, kolistin, luroecmid
Nctrotoksisitag
Antidiabetik
Beta-bloker
Elek obat A
tiazid, diazoksid, kortikosleroid, kontrasepsi
Efek obat A
Antidiabetik
oral
I
I
1
Demensiairreversibel
)
lekstrapiramidal
I ;;;;;i^;,il;;;i;
Litium
Hatoperidol, metildopa
Haloperidol
Metildopa
Fenotiazin
Etanol
Gelala-gejala ekstraPiramidal
Amf€tamin
Litium
Stimulasi SSP oleh obat A
Nilrogliserin sublingual
Nitrat kerja lama (penggunaan langka paniang)
.
EfekobatAl (erjadi tolcransi silang)
I
810
Farmakologi dan Terapi
Tabel5'l-4. coNToH PERUBAHAN KESETTMBANGAN cAtRAN DAN ELEKTROLIT Obat A
Obat B
Digitalis
Diuretik, amfoterisin B
Elek Hipokalemia oleh obat
obatA
B
toksisitas
1
Penghambat neuromuskular kompetitif (d-tubokurarin, pankuronium, dan lainlain)
Diuretik, amfoterisin B
Hipokalemia oleh obat B hip€rpolarisasi motor andplate elek obat A t
Antiaritmia (lidokain, f enitoin, kuinidin, prokainamid)
Diuretik, amfoterisin B
Hipokalemia oleh obat
Digitalis
Suksinilkolin
B
efek obat
A
1
Penglepasan K yang cepat dari dalam
sel otot oleh obat B aritmia ventrikel oleh obat
A
(terutama pada penderita
dengan trauma jaringan lunak atau luka bakar yang luas) Diuretik yang meretensi K
(amilorid, triamteren, spirono-
Garam K
Hiperkalemia, terutama pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal
lakton)
Litium
,
Diuretik
Natriuresis oleh obat
A
+
B+ t
retensi obat
toksisitas obat A
Litium
NaHCOs
Antihipertensi (misalnya guanetidin, diuretik, B-btoker)
Fenilbutazon, oksif enbutazon,
Retensi air dan garam oleh obat B
indometasin
efek obat A
propanolamin, efedrin, pseudoetedrin, amfetamin atau tiramin), menyebabkan penglepasan norepi_ nelrin jumlah besar tersebut sehingga terjadi krisis hipertensi, sakit kepala berdenyut yang hebat, dan kadang-kadang perdarahan intraserebral, Tiramin, yang banyak ter- dapat dalam keju, bir, anggur dan makanan lain yang mengalami fermentasi, biasa_ nya dimetabo{isme oleh MAO di dinding usus dan di hati sebelum dapat mencapai sirkulasi sistemik. Tetapi pada penderita yang mendapat penghambat MAO, tiramin terlindung dari metabolisme oleh MAO dan dapat mencapai ujung saral adrenergik melalui sirkulasi. Fleaksi hipertensif yang sama juga terjadi awal
pengobatan dengan guanetidin, bretilium, beta_ nidin, debrisokuin, guanadrel dan reserpin, bila di_ berikan bersama penghambat MAO. Demikian juga pemberian penghambat MAO bersama dopamin /-dopa atau metildopa akan menimbulkan elek yang sama, Pemberian penghambat MAO bersama anti-
depresi trisiklik, anestetik atau petidin kadangkadang dapat menimbulkan hiperpireksia dan eksitasi serebral (agitasi, tremor, konvulsi, dan koma).
Obat B meningkatkan ekskresi obat A melalui ginjal + efek obat A I
+
I
5. INTERAKSI LAIN.LAIN INTERAKSI ANMN ANTIMIKROBA. PAdA MENi.
ngitis yang disebabkan oleh pneumokokus yang sensitil terhadap ampisilin, pemberian ampisilin bersama kloramlenikol menimbulkan antagonisme.
Pemberian ketokonazol bersama amfoterisin
B
untuk penyakit jamur sistemik bersifat antagonisme,
LAIN.LAIN Obat A
Obat B
l-dopa
Vitamin
Klonidin
Sotalol
Spironolakton Aspirin
&
Obat B meningkatkan aktivitas enzim metabolisme obat A di perifer efek obat A I Tekanan darah 1 (pada beberapa penderita) Obat B menguiangi efek diuretik obat A
Farmakokinetik Kinik
55. FARMAKOKINETIK KLINIK Arini Setiawati
1. Prinsiplarmakokinetik 1.1. Model larmakokinetik tubuh manusia 1.2. Kinetika linear dan nonlinear 1 .3. Parameter larmakokinetik 1.4. lnlus kontinyu dan dosis berulang
Efek obat terhadap tubuh pada dasarnya merupakan akibat interaksi obat dengan reseptornya; maka secara teoritis intensitas elek obat, baik elek terapi maupun efek toksik, tergantung dari kadar obat di tempat reseptor atau tempat kerjanya, Oleh karena kadar obat di tempat kerja belum dapat diukur, maka sebagai penggantinya diambil kadar obal dalam plasma/serum yang umumnya dalam keseimbangan dengan kadarnya di tempat kerja (lihat pada Gambar 1-1, Bab 1)' Telah terbukti bahwa
2.
Penetapan regimen dosis optimal 2.1. Batas kadarteraPi obat 2.2. Langkah penetapan regimen dosis optimal
etek toksik pada kadar yang sedikit lebih tinggi dari
kadar yang menimbulkan elek terapi; untuk obat demikian juga telah diketahui kadar terapi dan kadar toksiknya. Perhitungan farmakokinetik untuk menetapkan regimen dosis berdasarkan data populasi akan cocok untuk sebagian besar penderita, tetapi belum tentu cocok untuk sejumlah penderita yang lain. lni berarti bahwa untuk sebagian kecil
babkan karena kadar obat dalam plasma ditentukan
penderita masih perlu dilakukan penyesuaian dosis lebih lanjut, khususnya untuk obat-obat dengan batas keamanan yang sempit. Beberapa obat tidak memperlihatkan'hubungan yang jelas antara kadar dalam plasma dengan efek farmakologiknya, misalnya B-bloker dengan elek antihipertensinya, Untuk obat seperti ini sulit
tidak hanya oleh dosis obat tetapi juga oleh faktor-
untuk mengadakan pendekatan larmakokinetik
laktor larmakokinetik yang ternyata sangat ber-
dalam menentukan dosis.
untuk kebanyakan obat, terdapat hubungan linear
anlara elek farmakologik obat dengan kadarnya dalam plasma atau serum; tetapi tidak demikian halnya antara elek dengan dosis obat. Hal ini dise-
variasi anlar individu (lihat Bab 56). Disiplin ilmu farmakokinetik klinik menerapkan prinsip larmakokinelik dalam klinik, yakni dalam
larmakoterapi. Untuk itu disini diberikan prinsip larmakokinetik yang perlu diketahui oleh seorang dokter agar dapat menetapkan regimen dosis yang optimal bagi masing-masing penderita dengan ber-
pedoman pada kadar obat dalam plasma atau serum.
Sqat ini telah tersedia data farmakokinetik obat, yang meliputi berbagai parameter larmakokinetik, yaitu bioavailabilitas oral, waktu paruh, bersihan (c/earance), dan volume distribusi, dalam keadaan lisiologik maupun patologik. Beberapa kondisi fisiologik dan berbagai kondisi patologik dapat menimbulkan perubahan pada parameter larmako-
kinetik obat (lihat Bab 56). Data larmakokinetik terutama penting untuk obat yang memperlihatkan batas keamanan sempit, artinya telah menimbulkan
1. PRINSIP FARMAKOKINETIK Farmakokinetik menggunakan model matematik untuk menguraikan proses'proses absorpsi, distribusi, biotranslormasi dan ekskresi, dan memperkirakan besarnya kadar obat dafam plasma sebagai lungsi dari besarnya dosis, in'terval pemberian dan waktu,
1.1. MODEL FARMAKOKINET]K TUBUH
MANUSIA MODEL 1 KOMPARTEMEN. Menurut model ini, tubuh dianggap sebagai 1 kompartemen tempat obat menyebar dengan seketika dan merata ke
812
Farmakologi dan Terapi
seluruh cairan dan jaringan tubuh. Model ini terlalu disederhanakan sehingga untuk kebanyakan obat
(kompademen 2) dan kompartemen perifer yang dalam (kompartemen 3).
kurang tepal.
Model mana yang cocok untuk suatu obat tergantung obatnya dan dapat diperkirakan dari prolil kurva kadar obat dalam plasma terhadap
MODEL 2 KOMPARTEMEN. Tubuh dianggap ter-
diri atas kompartem€n sentral dan kompartemen perifer. Kompartemen sentral terdiri dari darah dan berbagai jaringan yang banyak dialiri darah seperlijantung, paru, hati, ginjal dan kelenjar-kelenjar endokrin. Obat tersebar dan mencapai keseim-
bangan dengan cepat dalam kompartemen ini. Kompartemen perifer adalah berbagai jaringan yang kurang dialiri darah misalnya otot, kulit dan jaringan lemak, sehingga obat lambat masuk ke dalamnya. Model 2 kompartemen ini pada prinsipnya sama dengan model 1 kompartemen, bedanya hanya dalam proses distribusi karena adanya komparlemen perifer; eliminasi tetap dari kompartemen sentral. Model ini ternyala cocok untuk banyak obat.
MODEL 3 KOMPARTEMEN. Kompartemen periler dibagi atas kompartemen perifer yang dangkal
waktu. Dalam penelitian larmakokinetik tentu saja harus digunakan model yang paling cocok untuk obat yang bersangkutan. Tetapi untuk perhitungan
regimen dosis di klinik, yang harus cepat dan tidak perlu terlalu tepat karena selalu harus disesuaikan kembali menurut respons penderita, cukup digunakan model 1 kompartemen untuk pemberian oral dan kalau perlu model 2 kompartemen untuk pemberian lV. Pada pemberian bolus lV, biasanya lase distribusi terlihat dengan jelas (yang rnenandakan 2 kompartemen), sedangkan pada
pemberian oral, lase distribusinya seringkali lertutup oleh lase absorpsi (Gambar 55-1).
Untuk keperluan farmakokinetik klinik, maka
pembahasan selaniutnya akan dibatasi pada model
I
kompartemen saja.
tase distribusi Co (oral)
Co (lV)
fase eliminasi
.k"
slope =2.303 log C (log kadar obat dalam plasma)
t (waktu) Gambar 55-1 , Kurun waktu kadar obat dalam plasma setclah pemberian lV dan oral, untuk obat-obat yang rnengikuti
kinetika lirct ordeL
813
Farmakokinetik Klinik
1.2. KINETIKA LINEAR DAN NONLINEAR
KINETIKA LINEAR ATAU KINETIKA FIRST ORDER.'Proses-proses absorpsi, distribusi dan eliminasi (metabolisme dan ekskresi bentuk utuh) yang dialami oleh hampir semua obat pada dosis terapi mengikuti kinetika first order, artinya kece' patan proses-proses tersebut sebanding dengan jumlah obat yang ada (yang tinggal). Jadi jumlah obat yang diabsorpsi, didistribusi dan dieliminasi
per satuan waktu makin lama makin sedikit' sebanding dengan jumlah obat yang masih belum mengalami proses-proses tersebut. Kinetika first order ini terjadi pada proses-proses yang tidak mengalami kejenuhan. Pada obat-obat dengan kinetika first order atau kinetika linear ini terdapat hubungan yang linear antara log kadar obat dalam plasma dengan waktu pada lase absorpsi, distribusi dan eliminasinya (Gambar 55-1), demikian juga antara dosis obat yang diberikan dengan kadar plasma yang dicapai pada seorang individu; yang terakhir ini menjadi dasar perhitungan dalam menyesuaikan dosis pada kegiatan Therapeutic Drug Monitoring (lihat uraian di bawah).
1.3. PARAMETER FARMAKOKINETIK BIOAVAILABILITAS atau AVAILABILITAS SIS' TEMIK (=F). Parameter ini menunjukkan fraksidari dosis obal yang mencapai peredarah darah sistemik dalam bentuk aktif. Bila obat dalam bentuk aktif diberikan secara lV maka F-1 , tetapt bih disuntikkan dalam bentuk derivat yang perlu dikonversi dalam tubuh, maka F - lraksi yang dikonversi menjadi bentuk aktif, misalnya kloramlenikol etilsuksinat, hidrokortison Na-suksinat, klindamisin loslat. Bila obat diberikan per otal maka F biasanya kurang dari 1 dan besarnya bergantung pada jumlah obat yang dapat menembus dinding sa'luran cerna fiumlah obat yang diabsorpsi) dan iumlah obat yang mengalami elirninasi presistemik (meta-
bolisme lintasan pertama) di mukosa usus dan dalam hepar. Obat.obat yang mengalami eliminasi presistemik misalnya propranolol, metoprolol, levodopa, klorpromazin, morfin, propoksifen, verapamil dan diltiazem.
berlangsung dengan kecepatan konstan per satuan waktu (tidak tergantung dari iumlah obat yang masih
Besarnya bioavailabilitas suatu obat oral digambarkan oleh AUC (area under the curve) alau luas area di bawah kurva kadar obat dalam plasma terhadap waktu, dari obat oral tersebut dibandingkan dengan AUC-nya pada pemberian lV. lni disebut bioavailabilitas oral, dan merupakan bioavailabilitas absolut dari obat oral tersebut.
tinggal) dikatakan mengikuti kinetika zero order.
Bioavailabilitas oral
KINETIKA ZERO ORDER. Proses-proses yang
Sebagai contoh: proses disolusi obat dan infus obat.
KINETIKA NONLINEAR. Eliminasi obat dalam dosis toksik mula-mula mengikuti kinetika zero order karena kapasitas metabolisme hati dan/atau
kapasitas ekskresi ginjal mengalami keienuhan, kemudian setelah iumlah obat dalam tubuh menurun, kembali mengikuti kinetika first order. Untuk beberapa obat, kinetika nonlinear terjadi pada dosis terapi, misalnya dilenilhidantoin dan salisilat. Pada obat-obat dengan kinetika nonlinear ini, terdapat hubungan yang nonlinear antara kadar
obat dalam plasma dengan waktu pada lase eliminasinya, demikian iuga antara dosis obat yang diberikan dengan kadar plasma yang dicapai pada seorang individu.
Pembahasan selaniutnya dibatasi pada kinetika obat lirst order.
=
Bioavailabilitas absolut=F AUC or"l AUC tv
Bioavailabilitas suatu sediaan obat (preparat dagang) disebut bloavailabilitas produk yang bersangkutan. lni ditentukan selain oleh bahan baku obatnya, juga oleh lormulasi produk tersebut; be-
sarnya dibandingkan dengan bioavailabilitas produk penemunya, sehingga merupakan bioavailabilitas relatil dari produk tersebut.
Bioavailabilitas suatu produk litas relatif
x=
Bioavailabi'
AUC or.l produk x
AUC or"l produk standar
814
Farmakologi dan Terapi
VOLUME DISTRIBUSI (Va). Parameter ini menunjukkan volume penyebaran obat dalam tubuh dengan kadar plasma atau serum. Vo tidak perlu menunjukkan volume penyebaran obat yang sesungguhnya ataupun volume secara anatomik, tetapi hanya volume imajinasi dimana tubuh dianggap sebagai 1 kompartemen yang terdiri dari plasma atau serum, dan Vo menghubungkan jumlah obat dalam tubuh dengan kadarnya dalam plasma atau serum.
X
Dtv
V6=
c -=
Co
(lV)
F'Dor"l
Cl
laju eliminasi oleh seluruh tubuh =
kadar obat dalam plasma
Pada pemberian dosis tunggal
Cl
Dlv =
F'D orat
AUCIV
dimana: AUC =
AUCoral
Area Under the Curye -
Co (oral)
dalam plasma terhadap waktu
dimana:
=
DIV = Doral = F = = =
Co
luas
area di bawah kurva kadar obat (dari 0
X C
:
--+c'c;
Bersihan total merupakan hasil penjumlahan jumlah obat dalam tubuh \ pada waktu kadar obat dalam plasma I yang sama
serum
bersihan berbagai organ dan jaringan tubuh, terutama ginjal dan hepar.
)
atau dosis obat pada pemberian lV dosis obat pada pemberian oral traksi dosis oral yang mencapai peredaran darah sistemik dalam bentuk aktif bioavailabilitas oral kadar plasma/serum pada waktu t = O (ekstrapolasi garis eliminasi ke t = 0, lihat
Gambar 55-1).
Cl = CIR + Clx + Clo
- 6"t"'n"n renal - 6"r*'n"n hepar Clo - bersihan organ lain Cln Cln
Laju eliminasi oleh organ
Besarnya V6 ditentukan oleh ukuran dan kom-
posisi tubuh, lungsi kardiovaskular, kemampuan molekul obat memasuki berbagai kompartemen
QCl -
dimana:
aliran darah organ kadar obat yang masuk (dalam darah arteri) Cv = kadar obat yang keluar (dalam darah vena)
timbun dalam jaringan sehingga kadar dalam plasma rendah sekali mempunyai Vo yang besar sekali (misalnya digoksin), sedangkan obat yang terikat dengan kuat pada protein plasma sehingga kadar dalam plasma cukup tinggi mempunyai V6
laju eliminasi oleh organ Cl organ =
kadar obat yang masuk
salisilat). BERSTHAN TOTAL (TOTAL BODy CLEARANCE = Cl). Cl adalah volume plasma yang dibersihkan dari obat per satuan waktu oleh seluruh tubuh (ml/menit). Parameter ini menunjukkan kemampuan tubuh untuk mengeliminasi obat. Untuk obat dengan kinetika first order, Cl merupakan bilangan konstan pada kadar obat yang biasa ditemukan dalam klinik.
jumlah obat yang
= Q'CA'Q'Cv=A(Cn-Cv)
tubuh, dan derajat ikatan obat dengan protein plasma dan dengan berbagai jaringan. Obat yang ter-
yang kecil (misalnya warlarin, tolbutamid, dan
-
masuk organ per satuan waktu dikurangi jumlah obat yang keluar organ per satuan waktu.
-'organ ^t
-
(darah)
cl'cv cA
=
o (cA-cv)
=
a.E.
cA
E = rasio ekstraksi obat oleh organ
Farmakokinetik Klinik
815
Bersihan hepar ( =Clx) ialah volume plasma yang dibersihkan dari obat per satuan waktu oleh hepar (ml/menit). laju metabolisme obat oleh hepar
clH (plasma)
kadar obat dalam plasma
untuk memetabolisme obat bebasper satuan waktu (tanpa dibatasi
Pada sirosis hepatis, tidak hanya Cl; yang menurun akibat kerusakan parenkim hati, tetapi Qn juga menurun karena terjadrnya aliran darah pintas sehingga hanya sebagian dari alir darah portal yang melewati bagian hepar yang normal. Oleh karena itu pada penyakit ini terjadi penurunan CIH untuk semua obat yang dimetabolisme oleh hepar, baik obat dengan Cli atau EH tinggi maupun rendah. lni berarti bahwa pada sirosis hepatis, semua obat yang eliminasinya terutama melalui hepar harus diturunkan dosisnya. Bersihan ginjal (=Clp) adalah volume plasma yang dibersihkan dari obat per satuan waktu oleh
eH)
ginjal (mUmenit).
=
cc
Cli fu.......(a)
Qx Cli fe
Clx
di mana : Cl1
-
.........(b) Qx + Cli fe
bersihan intrinsik hepar, yaitu ke-
mampuan enzim dalam hepar
Cu= QH-
kadar obat bebas dalam plasma lraksi obat bebas dalam plasma lraksi obat bebas dalam darah aliran darah hepar
En
rasio ekstraksi hepar
fu
fe
itu, untuk obat dengan Cl; yang rendah, ada pengaruh induksi atau inhibisi enzim tersebut oleh obat lain atau laktor lingkungan.
Cli Cu Gli fu C
= Qx Ex (darah)
oleh QH. Sebagai contoh :lenitoin, teofilin, tolbutamid dan warfarin. Pada orang normal, bersihan hepar paling banyak dipengaruhi oleh aktivitas enzim metabolisme hepar (Cl) yang sangat bervariasi antar individu akibat variasi genetik yang besar. Di samping
laju ekskresi obat utuh oleh ginjal CIR
(plasma)
kadar obat dalam plasma
laju liltrasi + laju sekresi - laju reabsorpsi
Jadi besarnya Cl6 dipengaruhi oleh aktivitas enzim metabolisme (Cl;), ikatan protein plasma (fu) dan aliran darah hepar (QH). Bila Cli besar, dibandingkan dengan jumlah obat yang masuk hepar, maka semua obat yang dibawa oleh darah ke hepar akan dimetabolisme (E11 tinggi, mendekali 1). Dalam hal ini CIH (darah) tidak dipengaruhi oleh ikatan protein maupun oleh perubahan kecil dalam Cli (akibat induksi atau penyakit hepar yang ringan), tetapi dibatasi oleh q6 (ClH mendekati nilai QH, lihat persamaan b), jadi sangat dipengaruhi oleh perubahan Qn. Sebagai contoh: propranolol, lidokain, nitrogliserin dan morfin. Bila Cli kecil dibandingkan dengan jumlah
di mana: GFR
obat yang masuk hepar, maka hanya sebagian kecil
Jadi, laju liltrasi obat ditentukan oleh alir darah
obat yang akan dimetabolisme (Es rendah, mendekati O). Dalam hal ini Cln (plasma) sebanding dengan fraksi obat bebas (fu) dan Cli (lihat persamaan a), sehingga dipengaruhi oleh perubahan ikatan protein (akibat penyakit atau interaksi obat) dan oleh perubahan Cli(akibat induksi atau penyakit hepar), tetapi tidak atau hanya sedikit dipengaruhi
kadar plasma
Laju liltrasi obat = GFH.Cu = GFR.fu.C
Cu lu C -
laju filtrasi glomerulus kadar obat bebas dalam plasma lraksi obat bebas dalam plasma kadar obat dalam plasma
ginjal, fungsi ginjal dan ikatan obat dengan protein plasma. Laju sekresi aktil di tubuli biasanya tergan-
tung dari alir darah ginjal dan ada atau tidaknya kompetisi dengan zal-zal lain, dan tidak tergantung
dari ikatan protein. Sedangkan laju reabsorpsi ditentukan oleh kelarutan bentuk nonion dalam lemak, pH urin dan laju aliran urin.
Farmakologi dan Terapi
816
Analog dengan ClH, maka
Cln
Bersihan (Cl), yang merupakan ukuran kemampuan tubuh untuk mengeliminasi obat, tergan-
:
t112, tetapi juga dari V6. t1y2 nya memanjang dengan
tung tidak hanya dari
= Qn.En
Misalnya diazepam,
(darah)
= Bila
alir darah ginjal x rasio ekstraksi ginjal
meningkatnya usia, tetapi bersihannya tetap karena Vd nya juga meningkat. Meskipun trTz bukan indeks yang baik untuk
Er:r
tinggi (akibat laju sekresiyang tinggi)
maka Cln dibatasi oleh Qn dan tidak atau hanya sedikit dipengaruhi oleh ikatan protein maupun oleh insufisiensi ginjal yang ringan (misalnya penisilin G, konyugat glukuronid). Sebaliknya, bila En rendah (filtrasi saja, atau dengan laju sekresi yang rendah, atau dengan laju reabsorpsi yang tinggi) maka Clp dipengaruhi oleh ikatan protein dan oleh penyakit ginjal, tetapi tidak atau hanya sedikit dipengaruhi oleh Qn (misalnya digoksin, gentamisin). Pada orang normal, bersihan ginial paling banyak dipengaruhi oleh pH urin, terutama untuk obat-obat yang bersilat asam atau basa lemah'
kecepatan eliminasi obat, tetapi
t112
merupakan in-
deks yang baik untuk waktu mencapai keadaan mantap (sfeadystafe) atau tss, waktu untuk menghi-
langkan obat dari tubuh (sama besar dengan tss), dan untuk memperkirakan interval dosis atau T (lihat di bawah).
1.4. INFUS KONTINYU DAN DOSIS
BERULANG Pada pemberian infus yang kontinyu atau dosis berulang, akan terjadi peningkatan kadar obat
cln
(akumulasi) sampai tercapai keadaan mantap (steady state), di mana kadar obat tidak lagi
cl
meningkat (stabil) karena kecepatan eliminasi obat oleh tubuh telah menyamai kecepatan masuknya
rR--
a_
obat ke dalam tubuh.
= fraksi obat diekskresi utuh oleh ginjal dari dosis yang bioavailabel WAKTU PARUH ELIMINASI (= t 1i2). lni adalah waktu yang diperlukan untuk turunnya kadar obat dalam plasma atau serum pada fase eliminasi (setelah fase absorpsi dan distribusi) menjadi separuhnya. Untuk obat-obat dengan kinetika firsf order, l1/2 ini merupakan bilangan konstan, tidak tergantung dari besarnya dosis, interval pemberian, kadar plasma maupun cara pemberian. 0.693
Kadar mantap atau kadar steady stale (Css) dicapai setalah 4-5 x waktu paruh obat.
tss tgo%
- 4-5x\lz ss = 3.3 x t1/2
INFUS KONTINYU. Css dicapai ketika kecepatan eliminasi obat oleh tubuh (Cl) telah menyamai
kecepatan masuknya obat ke dalam tubuh (kecepatan infus).
Dosis awal (Loading dose = D1) ialah dosis yang dimaksudkan untuk langsung mencapai Css (Css adalah kadar terapi = Ctner)
tl12 = ke
DL
=
Crs,max X
ke = konstanta laiu eliminasi first order.
0.693
Cl=ke.Vo=-Va 1112
(oral)
F
(Gambar 55-1) 2.303
(lV)
Vo
=C33,6syX-
k?
S/ope fase eliminasi
Vd
F.Du vd
I 1-e-k"r
Vo F
Dn
1-e-k"r
817
Farmakokinetik Klinik
Rint
Cs3 =-
ct Rint
=-
ke'Vo Rint
x1.44x\p Vu Rint
= kecepatan infus
DOSIS BERULANG (1) lntravena
:
lf
C"",^",
=
Du
'l
Vo
I -e-k"T
_x
Va
1.44xkp Du I x= TTCI -
Du
e
Dm
Cr","t log C
Css,min =
I-e-kr
Vo -x
2T
3T
-kJ
r = interval dosis Css,r"r * kadar mantap tertinggi Css,"v = kadar mantap rata-rala (average) Css,min = kadar mantap terendah Du = dosis penunjang (malntenance dose)
(2) Oral
:
Csr.m.x C"",""
log C
F.Dm
I
x
Vo
'l
-
e'k.T
F.Du -'1.4/.xh12 F.Du I x=VaTTCI F.Dm
Crs,min =Csc,maxXe-kcT= 2T
3T
va
-X
e -k.T
t -e-*"i
-
Farmakologi dan Terapi
818
Dl biasanya diberikan untuk obat-obat yang \pnya relatil terlalu panjang dibandingkan dengan waktu yang diinginkan untuk mencapai kadar terapi, misalnya.:
-
tetrasiklin (trlz
digoksin (trlz
-
-
11 jam)
36 jam), tetapi digitalisasi
biasanya dibagi dalam 3-4 dosis yang diberikan
-
selama 1-2hari
lidokain (\p- ljam) untukaritmiasetelahinfark miokard.
lnterval dosis (T). Dari segi larmakokinetik, T yang rasional untuk kebanyakan obat sama dengan
t1y2
eliminasi obat yang bersangkutan, dengan demikian kadarnya berlluktuasi 2 x lipat (Css,max = 2 x Css,min). Obat dengan trTz yang pendek dapat di-
untuk kebanyakan penderita. Ctner,max adalah kadar toksik minimal, yakni kadar obat yang menghasilkan efek toksik pada tidak lebih dari 510% penderita. Obat-obat yang sangat aman tidak mempunyai Crh"r,r"t, sedangkan untuk obat-obat dengan batas keamanan yang sempit nilai Crher,max biasanya hanya 2 X Cther,min, dan bahkan memerlukan kadar tinggi ini untuk mendapatkan respons terapi, sedangkan beberapa penderita lainnya telah mengalami efek toksik pada kadar yang jauh lebih rendah. Tumpang tindih antara kadar terapi dan kadar toksik adalah umum, dan untuk beberapa obat, misalnya digoksin, meliputi kisaran (range) kadar yang cukup lebar. Flegimen dosis yang optimal akan menghasilkan kadar mantap, yang tertinggi maupun yang terendah, di dalam batas-batas terapi obat.
berikan dengan T beberapa kali trlz nya bila obatnya cukup aman untuk diberikan dalam dosis yang jauh lebih besar dari yang dibutuhkan untuk menimbulkan efek terapinya (misalnya penisilin G). Akan tetapi bila batas keamanannya sempit, mungkin obat tidak dapat diberikan dengan T lebih besar dari tr/z nya karena kemungkinan lluktuasi kadarnya
Untuk menetapkan regimen dosis yang optimal bagi seorang penderita dilakukan langkah-
akan melampaui batas-batas kadar terapinya
langkah berikut
(misalnya teofilin). Obat dengan t1/2 yang lebih dari
(1) Mula-mula ditentukan kadar target (Ctarset)
hari, biasanya diberikan sekali sehari untuk me-
yang biasanya merupakan nilai tengah dari
t
mudahkan pemberiannya (misalnya fenobarbital, digoksin). Difenilhidantoin yang mempunyai
t112
-
2.2. LANGKAH-LANG KAH PENETAPAN REGIMEN DOSIS OPTIMAL
:
kisaran nilai terapi.
1
hari sebenarnya tidak perlu diberikan 3 x sehari tapi
cukup 1 x sehari. Tetapi pemberian dalam dosis terbagi mungkin dimaksudkan untuk mengurangi iritasi lambung.
Ctarget = 1/2 (Ctner,min + Cther,max)
(2) Kemudian dihitung regimen dosis yang diharapkan akan mencapai kadar target tersebut : Rint
lnfuS I
Crarger = Css =
ct
2. PENETAPAN REGIMEN DOSIS OPTTMAL
Rint=CtargetxCl
Untuk maksud ini perlu diketahui batas-batas
kadar terapi, Cl, F, Vo dan tr/e obat yang ber-
F.Dm
Oral :C619gt=Css,av
(Ctner,mtn) adalah
terapi maksimal. Kadar obat di bawah Ctner,min ini dapat menimbulkan elek terapi tapi tidak cukup
|
ct
Drrr
2.1. BATAS KADAR TEBAPI OBAT (Cther,min dan Cshgy,riley)
kadar obat yang menghasilkan sekitar 50% elek
1
TCI
sangkutan (dari kepustakaan).
Kadar efektif minimal
x-
TF
Ctarget x
-
T dan Dr'l dipilih sedemikian sehinggd Css,max dan hasil perhitungan akan berada dalam batasbatas kadar terapi dan T tidak terlalu pendek untuk menjaga kepatuhan penderita makan obat.
Css,min
Farmakokinetik Klinik
819
F.Dm
1
C"t,t.t
l-e'k"T
Va
.
Hanya bila respons klinik tidak dapat dijadikan pegangan, maka penyesuaian dosis ditentukan sepenuhnya oleh kadar plasma
Css,min = Css,max x e-kcT
0.693
^e-
dengan menggunakan perhitungan berikut
tu2
Bolus lV i Dr = Ctarset x Vd
vd D1
=Crargerx
-F Untuk perhitungan regimen dosis ini diguna\p dari kepustakaan,
kan nilai-nilai Cl, F, Vo dan
bukan dari masing-masing penderita yang bersangkutan (karena tidak diketahui), maka Cs5 lang dicapai belum tentu cocok, dan ternyata memang berki-
sar antara 35-270% dari C16yss1. Variasi ini teddu besar untuk obat-obat yang batas keamanannya sempit. Oleh karena itu, terutama untuk obat- obat demikian, C33 yang dicapai dalam plasma atau serum perlu diukur. (3) Sampel darah harus diambil setelah tercapai keadaan mantap, yakni setelah paling sedikit 4-S x \p, bila obat diberikan lanpa dosis awal. Tetapi untuk obat-obat yang toksik, sampel di-
ambil setiap
2x
t112
:
Dosis baru =
Bila diinginkan kadar target segera dicapai, maka diberikan dosis awal (D1):
Oral :
utama dalam melakukan penyesuaian dosis, artinya dalam menentukan kadar plasma yang akan dituju (kadar plasma target). Selama respons klinik dapat dijadikan pegangan, kadar plasma hanya menjadi determinan tambahan.
dan dosisnya langsung
disesuaikan bila kadar yang dicapai lebih tinggi dari yang diharapkan. Selain itu, sampel darah
harus diambil tepat sebelum dosis berikut-
nya, yakni waktu kadar obat paling rendah (Css,min), kecuali untuk obat-obat
yang kerjanya
hanya di bagian awal dari interval dosis (sampel harus diambil segera setelah pemberian) dan untuk obat-obat yang \p nya lebih dari t hari sehingga fluktuasi kadarnya kecil sekali sepan-
kadar plasma target
Dosis lama x kadar plasma yang diukur
lndividualisasi regimen dosis obat dengan pertolongan pengukuran kadar obat dalam plasma merupakan kegiatan monitoring kadar terapi obat (therapeutic drug monitoring = TDM). Dengan tujuan untuk meningkatkan efektivitas dan keamanan larmakoterapi, TDM diperlukan untuk obat-obat atau keadaan-keadaan klinik berikut : (1) Obat poten dengan margin of safety yang sempit, misalnya digoksin, lenitoin, aminoglikosida, antiaritmia dan teofilin. (2) Obat yang menimbulkan kadar plasma sangat bervariasi pada dosis yang biasa diberikan, contohnya propranolol, lenitoin, teolilin, aspirin, dan antidepresan trisiklik. (3) Obat yang efek farmakologiknya sukar atau tidak dapat dikuantifikasi dari respons kliniknya, misalnya obat-obat profilaksis termasuk antikonvulsi. (4) Obat yang efek toksiknya sukar dikenali secara klinik atau tidak dapat dibedakan dengan efek subterapinya, misalnya digoksin. (5) Penderita dengan penyakit ginjal, hepar, kar-
diovaskular atau saluran cerna; pada penderita ini hubungan antara dosis dan kadar plasma dapat sangat menyimpang.
(6) Kasus-kasus kegagalan terapi dengan dosis yang biasa diberikan: tidak efektif atau menimbulkan efek toksik, (7) Polilarmasi dengan kemungkinan terjadi interaksi obat. (8) Penderita yang tidak patuh atau kepatuhannya diragukan.
jang hari (sampel dapat diambil setiap saat setelah lase dislribusinya selesai).
TDM tidak diperlukan untuk
:
(4) Penyesuaian regimen dosis obat dilakukan berdasarkan respons klinik penderita dan/atau
kadar plasmanya. Harus diingat bahwa respons klinik penderita merupakan determinan
(1) Obat yang relatif aman (2) Penderita yang memberikan respons klinis yang baik pada dosis yang biasa diberikan.
Farmakologi dan Terapi
820
56. FAKTOR.FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RESPONS PENDERITA TERHADAP OBAT Arini Setiawati dan Armen Muchtar
1. 2,
Pendahuluan Kondisi fisiologik 2.1, Anak 2.2. Usia lanjut
4. Faktor genetik
3,
Kondisi patologik 3.1. Penyakit saluran cerna
5.
Faktor-faktor lain
e
Penutup
1. PENDAHULUAN Obat biasanya diberikan dalam dosis biasa atau dosis rata-rata, yang cocok untuk sebagian besar penderita. Untuk penderita lainnya, dosis biasa ini terlalu besar sehingga menimbulkan efek toksik atau terlalu kecil sehingga tidak efektif. Berbagai laktor yang dapat mempengaruhi respons penderita terhadap obat dapat dilihat pada Gambar 56-1.
3.2. Penyakit kardiovaskular 3.3. Penyakit hati 3.4. Penyakit ginjal
DOSIS YANG DIBERIKAN (RESEP)
|
- Kepatuhan penderita
J
- Kesalahan medikasi
DOSIS YANG DIMINUM
Faktor-faktor larmakoki neti k - absorpsi fiumlah dan kecepatan) - distribusi (ukuran dan komposisi tubuh, distribusi dalam cairan-cairan tubuh, ikatan dengan protein plasma dan jaringan)
Tanpa adanya kesalahan medikasi, kepatuh-
eliminasi (kecepatan)
an penderita menentukan jumlah obat yang
diminum. Faktorjaktor larmakokinetik menentukan berapa dari jumlah obat yang diminum dapat mencapai tempat kerja obat untuk bereaksi dengan reseptornya. Faktor-faktor larmakodinamik menentukan intensitas efek larmakologik yang ditimbulkan oleh kadar obat di sekitar tempat reseptor lersebut. Untuk kebanyakan obat, keragaman respons penderita terhadap obat terutama disebabkan oleh adanya perbedaan individual yang besar dalam fak-
tor-faktor larmakokinetik; kecepatan biotransformasi suatu obat menuniukkan variasi yang terbesar. Untuk beberapa obat, perubahan dalam faktor-faktor larmakodinamik merupakan sebab utama yang menimbulkan keragaman respons penderita. Variasi dalam berbagai laktor farmakokinetik dan larmakodinamik ini berasal dari perbedaan individual dalam kondisifisiologik, kondisi patologik, faktor genetik, interaksi obat dan toleransi.
* Kondisi fisiologik
'Kondisi patologik
'
Faktor genetik
'lnteraksi obat * Toleransi
Faktor-faktor larmakodinamik
obat-reseptor \ jaringan J homeostatik
- interaksi - keadaan fungsional - mekanisme
.sensitivitas
reseptor/ jaringan
INTENSITAS EFEK FARMAKOLOGIK (RESPONS PENDERITA)
Gambar 56-1. Faktor-faktor yang dapat mempenga' ruhl rcspons penderlta terhadap obat
Fanot-faktor yang Mempengaruhi Respons Pendeilta Terhadap Obat
NEONATUS DAN BAYI PREMATUR
2. KONDISI FISIOLOGIK
.
Pada usia ekstrim ini terdapat perbedaan responq yang terutama disebabkan oleh belum
2.1. ANAK
Usia, berat badan, luas permukaan tubuh atau
kombinasi faktor- faktor ini dapat digunakan untuk menghitung dosis anak dari dosis dewasa. Untuk perhitungan dosis, usia anak dibagi
dalam beberapa kelompok usia sbb.: sampai
1
bulan (neonatus), sampai 1 tahun (bayi), anak 1-5 tahun, dan anak 6-1 2 tahun.
Berat badan digunakan untuk menghitung dosis yang dinyatakan dalam mg/kg. Akan tetapi, perhitungan dosis anak dari dosis dewasa berdasarkan berat badan saja, seringkali menghasilkan dosis anak yang terlalu kecil karena anak mempunyai laju metabolisme yang lebih tinggi sehingga
per kg berat badannya seringkali membutuhkan dosis yang lebih tinggi daripada orang dewasa (kecuali pada neonatus).
Luas permukaan tubuh lebih tepat untuk menghitung dosis anak karena banyak lenomen
fisik lebih erat hubungannya dengan luas permukaan tubuh. Berdasarkan luas permukaan tubuh ini, besarnya dosis anak sebagai persentase dari dosis dewasa dapat dilihat pada Tabel 56-1 . Tabel 56-1. USIA, BERAT BADAN, DAN DOSIS ANAK Berat badan (ks)
Usia
821
Dosis anak* (% dosis dewasa)
Neonatus*'
3,4
< 12,5
1 bulan**
4,2
< 14,5
3 bulan
5,6
18
6 bulan
7,7
22
1 tahun
10
25
3 tahun
14
33
5 tahun
18
40
7 tahun
23
50
12 tahun
37
75
Dihitung berdasarkan luas permukaan tubuh.
Untuk neonatus sampai usia 1 bulan, gunakan dosis yang lebih kecil dari dosis yang dihitung berdasarkan luas permukaan tubuh ini. Untuk bayi prematur, gunakan dosis yang lebih rendah lagi, sesuai dengan kondisi klinik penderita.
sempurnanya berbagai fungsi farmakokinetik tubuh, yakni (1 ) fungsi bictranslormasi hati (terutama glukuronidasi, dan juga hidroksilasi) yang kurang; (2) lungsi ekskresi ginjal (filtrasi glomerulus dan sekresi tubuli) yang hanya 60-70% dari lungsi ginjal dewasa; (3) kapasitas ikatan protein plasma (terutama albumin) yang rendah; dan (4) sawar darah-otak serta sawar kulit yang belum sempurna. Dengan demikian diperoleh kadar obat yang tinggi dalam darah dan jaringan. Di samping itu terdapat
peningkatan sensitivitas reseptor terhadap beberapa obat. Akibatnya terjadi respons yang berlebihan atau efek toksik pada dosis yang biasa diberikan berdasarkan perhitungan luas permukaan tubuh. Contoh obat dengan respons yang berlainan pada neonatus dan bayi prematur dapatdilihat pada Tabel 56-2.
Prinsip umum penggunaan obat pada neonatus dan bayi prematur adalah
:
(1) Hindarkan penggunaan sulfonamid, aspirin, heksaklorofen (kadar berapapun untuk kulit yang 3o/o atau lebih untuk kulit yang utuh), modin, barbiturat lV. (2) Untuk obat-obat lain : gunakan dosis yang lebih rendah dari dosis yang dihitung berdasarkan luas
tidak utuh, kadar
permukaan tubuh (lihat Tabel 56-1). Tidak ada pedoman umum untuk menghitung berapa besar dosis harus diturunkan, maka gunakan educated guess atau bila ada, ikuti petunjuk dari pabrik obat
yang bersangkutan. Kemudian monitor respons klinik penderita, dan bila perlu monitor kadar obat dalam plasma, untuk menjadi dasar penyesuaian dosis pada masing-masing penderita.
2.2. USIA LANJUT Perubahan respons penderita usia lanjut disebabkan oleh banyak faktor, yakni : (1 ) Penurunan lungsi ginjal (liltrasi glomerulus dan sekresi tubuli) merupakan perubahan laktor farmakokinetik yang terpenting. Penurunan filtrasi glomerulus sekitar 30% pada usia 65 tahun. Perubahan farmakokinetik lainnya adalah penurunan kapasitas metabolisme beberapa obal, berkurangnya kadar
albumin plasma (sehingga dapat meningkatkan kadar cbat bebas), pengurangan berat badan dan
cairan tubuh serta penambahan lemak tubuh
Farmakologi dan Terapi
Tabel 56-2. PERUBAHAN REspoNs TERHADAP OBAT pADA uMUR-uMUR EKSTRTM
Obat Neonatus dan bayi prematur * Heksaklorofen topikal
Respons
Mekanisme utama
Neurotoksisitas
Sawar kulit belum sempurna.
Kernikterus (bilirubin masuk otak)
* Kloramfenikol
Obat mendesak bilirubin dari ikatan protein plasma, kapasitas ikatan protein plasma J, glukuronidasi bilirubin oleh hepar 1, dan sawar darah-otak belum sempurna,
Sindrom bayi abu-abu
Glukuronidasi obat oleh hepar t, dan tiltrasi obat utuh oleh glomerulus ginjal .l kadar obat dalam plasma dan jaringan 1
'Aminoglikosida
lntoksikasi
Filtrasi glomerulus
" Morfin, barbiturat lV
Depresi pernapasan
* Oksigen
Retrolental f ibroplasia
Sawar darah-otak belum sempurna Tidak diketahui
Usia lanjut * Digoksin
lntoksikasi
* Antihipertensi (terutama penghambat saraf
Berat badan J, f iltrasi glomeruluo l, adanya gangguan elektrolit, dan penyakit kardiovaskular yang lanjut.
Sinkope akibat hipotensi postural, insuf isiensi koroner
Mekanisme homeostatik kardiovaskular
Hipotensi, hipokalemia, hipovolemia, hiperglikemia, hiper-
Berat badan l, fungsi ginjal l, dan mekanisme homeostatik kardiovaskular I
* Sulfonamid, salisilat,
vitamin K sintetik
(misalnya gentamisin)
adrenergik) * Diuretik tiazid, furosemid
urikemia * Antikoagulan *
Antikoagulan oral
* Barbiturat
.l
I
Perdarahan
Respons hemostatik vaskular I
Perdarahan
Respons hemostatik vaskular .l , sensitivitas reseptor di hati t, dan ikatan protein
plasma
1
Bervariasi dari gelisah sampai psikosis (terutama kebingungan mental)
Sensitivitas otak 1 , metabolisme heparl
Depresi SSP t
Sensitivitas otak 1 , metabolisme hepar I
Hipotensi postural, hipotermia, reaksi koreiform
Sensitivitas otak 1 , metabolisme hepar I
Kebingungan mental, halusinasi, konstipasi, retensi urin
Sensitivitas otak
Ototoksisitas
Fungsi ginjal
* lsoniazid
Hepatotoksisitas
Metabolisme hepar I
'Klorpropamid
Hipoglikemia
Berat badan 1, filtrasi glomerulus
'
Diazepam, nitrazepam,
flurazepam * Fenotiazin (mis. klorpromazin) * Triheksifenidil * Streptomisin,
asam etakrinat
I
,
eliminasi I
I
.!
823
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Respons Penderita Terhadap Obat
(sehingga dapat mengubah distribusi obat), dan berkurangnya absorpsi aktil. Resultante dari semua perubahan ini adalah kadar obat yang lebih tinggi dan bertahan lebih lama dalam darah dan jaringan. Waktu paruh obat dapat meningkat sampai 50%. (2) Perubahan faktor-faktor {armakodinamik, yakni peningkatan sensitivitas reseptor, terutama reseptor di otak (terhadap obat- obat yang bekeria sentral), dan penurunan mekanisme homeostatik, misalnya homeostatik kardiovaskular (terhadap obat-obat antihipertensi).
(3) Adanya berbagai penyakit (lihat uraian di bawah). (4) Penggunaan banyak obat sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya interaksi obat. Akibatnya, seringkali terjadi respons yang ber-
lebihan atau elek toksik serta berbagai efek samp-
ing bila mereka mendapat dosis yang biasa diberikan kepada penderita dewasa muda. Untuk contoh obatnya, lihat Tabel 56-2.
Prinsip umum penggunaan obat Pada penderita usia lanjut adalah : (1 ) Berikan obat hanya yang betul-betul dipedukan, artinya hanya bila ada indikasi yang tepat. Bila diperlukan efek plasebo, berikan plasebo yang sesungguhnya (yang tidak mengandung bahan aktif). (2) Pilih obat yang memberikan rasio manlaatrisiko paling menguntungkan bagi penderita usia lan,ut (misalnya bila diperlukan hipnotik, iangan digunakan barbiturat), dan tidak berinteraksi dengan obat lain atau penyakit lain pada penderita yang bersangkutan.
(3) Mulai pengobatan dengan dosis separuh lebih sedikit dari dosis yang biasa diberikan kepada penderita dewasa muda. (4) Selanjutnya sesuaikan dosis obat berdasarkan respons klinik penderita, dan bila perlu dengan memonitor kadar obat dalam plasma penderita. Dosis penunjang yang tepat pada umumnya lebih rendah daripada dosis untuk penderita dewasa muda. (5) Berikan regimen dosis yang sederhana (yang ideal 1x sehari) dan sediaan obat yang mudah ditelan (sebaiknya sirop atau tablet yang dilarutkan dalam air) untuk memelihara kepatuhan penderita. (6) Periksa secara berkala semua obat yang dimakan penderita, dan hentikan obat yang tidak diperlukap lagi.
Besarnya dosis dapat diperkirakan dari berat badan penderita, indeks terapi obat, dan cara eliminasi obat. Untuk obat-obat yang eliminasi utamanya m€lalul ekskresl glnJal (misalnya digoksin, amino-
glikosid dan klorpropamid), besarnya penurunan dosis dapat diperhitungkan berdasarkan besarnya penurunan bersihan kreatinin penderita. Sedangkan untuk obat-obat lain, besarnya penurunan dosis hanya dikira-kira saja berdasarkan educafed guess.
3. KONDISI PATOLOGIK Karena banyaknya jenis penyakit, maka pembahasan dibatasi pada penyakit organ-organ utama yang melaksanakan lungsi larmakokinetik tubuh, yakni saluran cerna, kardiovaskular, hati dan ginjal.
3.1. PENYAKIT SALURAN CERNA Penyakit ini dapat mengurangi kecepatan dan/ atau jumlah obat yang diabsorpsi pada pemberian oral melalui perlambatan pengosongan lambung, percepatan waktu transit dalam saluran cerna, malabsorpsi, dan/atau metabolisme dalam saluran cerna (lihat contoh pada Tabel 56-3).
Prinsip umum pemberian obat Pada penyakit saluran cerna adalah
:
(1) Hindarkan obat iritan (misalnya KCl, aspirin, anti-inflamasi nonsteroid lainnya) pada keadaan stasis/hipomotilitas saluran cerna. (2) Hindarkan sediaan lepas lambat dan sediaan salut enterik pada keadaan hiper- maupun hipomotilitas saluran cerna. (3) Berikan levodopa dalam kombinasi dengan karbidopa. (4) Untuk obat-obat lain: dosis harus disesuaikan berdasarkan respons klinik penderita dan/atau bila perlu melalui pengukuran kadar obat dalam plasma.
3.2. PENYAKIT KARDIOVASKULAR Penyakit ini mengurangi distribusi obat dan alir
darah ke hepar dan ginjal untuk eliminasi obat'sehingga kadar obat tinggi dalam darah dan menim-
bulkan elek yang berlebihan atau elek toksik (contoh obat pada Tabel 56-3). Prinsip umum pemberian obat pada keadaan ini : (1) Turunkan dosis awal (Dl) maupun dosis penunjang (Du); (2) Sesuaikan dosis berdasarkan respons klinik penderita dan/atau bila perlu melalui pengukuran kadar obat dalam plasma.
824
Farmakologi dan Terapi
TAbeI 56.3. PERUBAHAN RESPONS TERHADAP OBAT PADA BEBBAGAI KEADAAN PATOLOGIK
Penyakit
Respons
Obat
Mekanisme utama
Penyakit saluran cerna *
Diare/gastroenteritis
pilorus
* Stenosis
pilorus, konstipasi
* Stenosis
* Stenosis
esofagus,
pilorus atau
duodenum
* Stenosis pilorus atau
* Sindrom
Digoksin, kontrasepsi Respons oral, fenitoin, salut enterik,
sediaan sediaan lepas lambat Parasetamol, aspirin Levodopa
t
Waktu transit dalam saluran cerna J waktu untuk obat melarut dan dijumlah obat yang absorpsi l,
-
-
diabsorpsi I Respons Respons
1
Kecepatan pengosongan lambung
-
I
kecepatan absorpsi
J
I
waktu pengosongan lambung
1,
waktu transit dalam saluran cerna 1 + metabolisme di dinding lambung dan usus 1r jumlah obat yang mencapai sirkulasi sistemik 1 KCl, aspirin, iritan
lain
obat
Ulserasi
lokal
Obat tertahan lama di suatu tempat
liff:li;:ilJ,ipen€tepasan
obat
esofagus, duodenum
KCl, aspirin, atau Ulserasi di usus halus Obat iritan dilepaskan secara meniritan lain dalam sediaan (di samping ulserasi dadak dalam jumlah besar di usus lepas lambat halus yang sedang stasis sediaan salut enterik
malabsorpsi
Digoksin, penisilin
obat
atau
V
lokal)
Respons
i
Kapasitas absorpsi I
Penyakit kardiovaskular * lnfark miokard, terutama dengan syok atau gagal jantung * ldem
Lidokain
lntoksikasi
Volume distribusi 1, alir darah hepar untuk eliminasi l kadar obat J
-
Prokainamid,
kuinidin lntoksikasi
Volume distribusi 1, alir darah ginjal untuk eliminasi I kadar obat l
*
Penyakit hati *
Koma/prekoma
Morfin,
barbiturat
Ensefalopati
Sensitivitas
Ensefalopati
Kehilangan banyak K
Perdarahan
Sintesis faktor-faktor pembekuan
ldem
Absorpsi vitamin K
otakl, depresi pernapasan
hepatikum * sirosis dengan atau
udem Diuretik tiazid, asites diuretik kuat * Hepatitis, Antikoagulan oral sirosis hepatis tldem 'lkterus obstrukti * Penyakit hati/empedu Kontrasepsi oral kolestatik
darah I Kolestasis,
toksi-
silas estrogen
1
I
Metabolisme estrogen
I
825
Faktot-faktor yang Mempengaruhi Respons Penderita Terhadap Obat
TAbEI
56.3. PERUBAHAN RESPONS TERHADAP OBAT PADA BERBAGAI KEADAAN PATOLOGIK (Sambungan)
Respons
Mekanisme utama
Sedatil-hipnotik, analgesik-narkotik, antiPsikotik, antihistamin
Koma
Sensitivitas otak t
Antidiabetik oral
Hipoglikemi, ikterus (sulf onilurea), asidosis laktat (biguanid)
Metabolisme
Teolilin
Toksisitas
Metabolisme
J
Rifampisin, isoniazid, pirazinamid, eritromisin estolat, metildopa, klofibrat, bezaf ibrat, klorpromazin, penghambat MAO, natrium valproat, preparat emas, parasetamol dosis besar, ketokonazol
Hepatotoksisitas
Metabolisme
i
Lidokain Suksinilkolin
Toksisitas SSP t Respons 1
Aspirin
Perdarahan lambung
Fenilbutazon
Perdarahan lambung, retensi cairan
Androgen, steroid anabolik
Toksisitas t
Klomifen
Toksisitas
Simetidin
Kebingungan mental
Metotreksat
Depresi sumsum tulang
Antasid garam Ca, difenoksilat
Koma
Konstipasi
Kloramfenikol
Depresi sumsum tulang
Metabolisme
Niridazol
Toksisitas SSP
1
Metabolisme I
* Penyakit hati berat, terutama dengan dislungsi ginjal
Fenitoin
Toksisitas SSP
1
* Hepatitis viral akut,
Ergotamin
Toksisitas
Penyakit
* Penyakit hati berat
* Sirosis
ikterus akibat obat
1 1
1
1
l,
kadar obat
bebas t
Metabolisme I Pseudokolinesterase Plasma Metabolisme I, kadar obat bebas 1 Metabolisme l, kadar obat bebas t Metabolisme I Metabolisme I Metabolisme I Metabolisme I
Metabolisme bebas t
l l,
Metabolisme I
kadar obat
J
826
Farmakologi dan Terapi
Tabel 56-3. PERUBAHAN RESPONS TERHADAP OBAT PADA BERBAGAI KEADAAN PATOLOGIK (Sambungan)
Penyakit
Obat
Respons
Mekanisme utama
Penyakit Ginjal Gagal ginjal
Penisilin dosis besar
Enselalopati,
Ekskresi
anemia hemolitik Gagal ginjal kronik
Aminoglikosid
Ototoksisitas,
Ekskresi
nefrotoksisitas, blok neuromuskular
Gangguan ginjal
Tetrasiklin
Kerusakan ginjal
(azotemia
I *efek
Ekskresi
anti anabolik t
)
Gagal ginjal
Digoksin
Toksisitas
Gagal ginjal
Prokainamid
Toksisitas
Ekskresi I
Gagal ginjal kronik
Diuretik merkuri
Nekrosis tubular akut
Ekskresi
Gagal ginjal
Spironolakton,
Hiperkalemia
Ekskresi I
Respons I
Ekskresi
EkskresiJ gangguan elektrolit 1
triamteren, amilorid Gagal ginjat tanjut
Tiazid
i
hiperurikemia, hiperkalsemia, hiperglikemia
Gagal ginjal etakrinat Gagal ginjal kronik
Furosemid, asam
Ototoksisitas
Klorpropamid,
Hipoglikemia
1
Ekskresi
1
Ekskresi
J
asetoheksamid Uremia
Aspirin
Perdarahan lambung
Uremia
lkatan protein plasma
Tiopental
Respons
Sensitivitas otak 1, ikatan
Gagal ginjal, usia lanjut yang sakit parah
Simetidin
Kebingungan mental, konvulsi
1
protein plasma
3.3. PENYAKIT HATI Penyakit ini mengurangi metabolisme obat di hati dan sintesis protein plasma sehingga mening-
katkan kadar obat, terutama kadar bebasnya, da_ lam darah dan jaringan. Akibatnya terjadi respons
yang berlebihan atau efek toksik. Tetapi perubahan respons ini baru terjadi pada penyakit hati yang parah, dan tidak terlihat pada penyakit hati yang ringan karena hati mempunyai kapasitas cadangan yang besar. Pada penyakit hati yang parah juga terdapat peningkatan sensitivitas reseptor di otak terhadap
1
J
Ekskresi I
obat-obat yang mendepresi SSp (sedatif-hipnotik, analgesik narkotik), diuretik yang menimbulkan hipokalemi, dan obat yang menyebabkan konstipasi, sehingga pemberian obat-obat ini dapat mencetuskan ensefalopati hepatik. Berkurangnya sin_ tesis faktor-faktor pembekuan darah pada penyakit hati meningkatkan respons penderita terhadap antikoagulan oral.
Udem dan asites pada penyakit hati kronik dapat diperburuk oleh obat-obat yang menyebabkan retensi cairan, misalnya antiinflamasi nonsteroid, kortikosteroid dan korlikotropin. Di samping itu,
ada obat-obat yang hepatotoksik. Hepatotoksisitas
FaktorJaktor yang Mempengaruhi Respons Pencierlta Terhadap Obat
yang berhubungan dengan besarnya dosis terjadi
827
(2) Hindarkan penggunaan : golongan tetrasiklin untuk semua derajat gangguan ginjal (kecuali doksisiklin dan minosiklin yang dapat diberikan asal
pada dosis yang lebih rendah, dan hepatotoksisitas yang idiosinkratik terjadi lebih sering pada penderita dengan penyakit hati.
fungsi ginlal tetap dimonito|, diuretik merkuri,
Contoh obat dengan perubahan atau
diuretik hemat K, diuretik tiazid, antidiabetik oral,
peningkatan respons pada penyakit hati dapat
dan aspirin (parasetamol mungkin merupakan analgesik yang paling aman pada penyakit ginjal). (3) Gunakan dosis yang lebih rendah dari normal, terutama untuk obat-obat yang eliminasi utamanya melalui ekskresi ginjal.
dilihat pada Tabel 56-3.
Prinsip umum penggunaan obat pada penyakit hati yang berat: (1 ) Sedapat mungkin dipilih obat yang eliminasinya terutama melalui ekskresi ginjal. (2) Hindarkan penggunaan : obatobat yang mendepresi SSP (terutama morfin), diuretik tiazid dan diuretik kuat, obat-obat yang menyebabkan konstipasi, antikoagulan oral, kontrasepsi oral, dan obatobat hepatotoksik. Sedatif yang paling aman pada penyakit hati adalah oksazepam dan lorazepam. (3) Gunakan dosis yang lebih rendah dari normal, terutama untuk obat-obat yang eliminasi utamanya melalui metabolisme hati. Tidak ada pedoman umum untuk menghitung besarnya penurunan dosis, maka gunakan educated guess. Mulailah dengan dosis kecil, kemudian dosis disesuaikan berdasarkan respons klinik penderita, dan bila perlu
dengan pengukuran kadar obat dalam plasma, serta uji fungsi hati pada penderita dengan fungsi hati yang berlluktuasi.
3.4. PENYAKIT GINJAL Penyakit ini mengurangi ekskresi obat aktif maupun metabolitnya yang aktif melalui ginjal sehingga meningkatkan kadarnya dalam darah dan jaringan, dan menimbulkan respons yang berlebihan atau efek toksik. Di samping itu penyakit ginjal dapat mengurangi kadar protein plasma (sindrom nefrotik) atau mengurangi ikatan protein plasma (oleh adanya peningkatan kadar ureum dan asam lemak bebas dalam darah) sehingga meningkatkan kadar obat bebas dalam darah, mengubah keseimbangan elektrolit dan asam - basa, meningkatkan sensitivitas atau respons jaringan terhadap beberapa obat, dan mengurangi atau menghilangkan efektiVitas beberapa obat (lihat contoh pada Tabel 56-3).
Prinsip umum penggunaan obat pada gagal ginial
:
(1) Sedapat mungkin dipilih obat yang eliminasinya terutama melalui metabolisme hati, untuk obatnya sendiri maupun untuk metabolit aklifnya,
Untuk penurunan dosis tersebut dapat digunakan perhitungan sebagai berikut
G
= 1- fn
:
Clcr,r
(1
- ------
)
Clcr,H
G
=
laktor penyesuaian dosis menurut
fn
-
lraksi obat yang diekskresi utuh dalam urin dari dosis yang bioavailabel
Giusti-Hayton
Cln
fraksi bersihan renal dari bersihan total obat dalam keadaan fungsi ginjal normal bersihan kreatinin pada penderita dengan lungsi ginjal normal bersihan kreatinin pada penderita dengan gangguan lungsi ginjal
Cl
Clcr,r.t
=
Clc',r
-
Penyesuaian regimen dosis penuniang (Du) dapat dilakukan dengan 3 cara
:
(1) Besar dosis per kali (Du) tetap, intervaldosis (T) diperpanjang : Tr = Tr x 1/G (2) lnterval dosis [I) tetap, besar dosis per kali (Du) diperkecil : Dm,r = Du,N x G. (3) Gabungan (1) dan (2) : Drr,r diperkecil dan T diperpanjang, asalkan total dosis per saluan waktu pada gangguan lungsi ginjal - nilai tersebut pada ginjal normal x G. Hasil perhitungan tersebut belum tentu merupakan dosis yang tepat karena masih ada faktorfaktor farmakokinetik dan larmakodinamik yand tidak diperhitungkan di samping fungsi ginjal dapat berubah dengan cepat. Oleh karena itu, dosis tersebut hanya merupakan pedoman untuk pengobatan awal, yang harus disesuaikan kembali berdasarkan respons klinik penderita, dan untuk obat dengan
batas-batas keamanan yang sempit sebaiknya kadar obat dalam plasma juga dimonitor secara berkala.
828
Farmakologi dan Terapi
cara sederhana untuk mengenali orang-orangnya, sehingga dosis obat yang sesuai dapat diberikan kepada mereka. Beberapa obat yang menimbulkan perbedaan respons berdasarkan faktor genetik dapat dilihat pada Tabel 56-4.
4. FAKTOR GENETIK Kemampuan memetabolisme obat dipengaruhi'oleh laktor genetik dan lingkungan. Metabolisme obat yang dikendalikan oleh banyak gen akan membentuk distribusi kemampuan metabolisme
yang berbentuk unimodal pada suatu populasi. Meta-bolisme obat yang dikendalikan oleh gen
5. FAKTOR.FAKTOR LAIN
tunggal (yang berpadu dengan pengaruh lingkungan) akan membentuk distribusi dengan 2 atau 3 modus bila sebagian dari anggota populasi mempunyai cacat pada gen tersebut. Oleh karena itu di sini disebut terjadi polimorfisme metabolisme obat.
INTERAKSI OBAT. Perubahan respons penderita akibat interaksi obat telah dibahas dalam Bab 54. TOLERANSI. Toleransi adalah penurunan efek far-
Dengan demikian individu dalam suatu populasi
makologik akibat pemberian berulang. Berdasarkan mekanismenya ada 2 jenis toleransi, yakni toleransi farmakokinetik dan toleransi larmakodinamik.
dapat dibagi 2 kelompok yaitu pemetabolisme ekstensif dan pemetabolisme lemah. Berbagai dampak
klinik dapat timbul akibat terjadinya polimorlisme
Toleransi farmakokinetik biasanya terjadi
genetik dalam kemampuan memetabolisme obat. Farmakogenetik adalah cabang ilmu farmakologi klinik yang mempelajari perubahan respons
karena obat meningkatkan metabolismenya sendiri (obat merupakan se/f inducer), misalnya barbiturat dan rifampisin.
terhadap obat yang disebabkan oleh faktor genetik. Disiplin ini bertujuan mengidentilikasi perbedaanperbedaan tersebut, mengetahui sebab-sebabnya pada tingkat molekuler, dan mengembangkan cara-
Toleransi farmakodinamik atau toleransi seluler terjadi karena proses adaptasi sel atau
Tabe|
56{,
reseptor terhadap obat yang terus menerus berada
di lingkungannya. Dalam hal ini jumlah obat yang
CONTOH OBAT YANG MENIMBULKAN RESPONS BERBEDA KARENA PERBEDAAN GENETIK
lsoniazid, hidralazin, prokainamid, sulfametazin, dapson
Respons
Mekanisme kerja
Asetilator cepat : respons l, toksisitasoleh derivat N-asetil 1 Asetilator lambat toksisitas 1
Perbedaan aktivitas enzim N-asetil-transferase
Hidroksilator ekstensif
Perbedaan aktivitas salah satu sitokrom P450 hati yang mengoksidasi debrisokuin/spartein
:
Debrisokuin, metoprolol, lidokain, perheksilin
Hidroksilator lemah
respons S-melenitoin, diazepam, omeprazol
:
respons I :
1
Hidroksilator eksters'' responssa'ir -
!,i":{S
,a'.al ,eman
=?':e]=*a- :"{1..d?S Sai3- sii:r::r -.a-: -:-;:. s :as $r.elen.toin
:45: -e:
.
respons'
i
Aktivitas pseudokolinesterase dalam plasma I
Suksinilkolin
Apnea
Primakuin, klorokuin, kuinin, kuinidin, sulfa, sulton, nitrof urantoin, kloramlenikol, aspirin, PAS
Hemolisis pada pemberian bersama obat-obat yang bersifal oksidator
Def isiensi glukose-6Josf at
Halotan, suksinilkolin
Hipertermia maligna
Tidak diketahui
dehidrogenase
829
Faktor-taktor yang Mempengaruhi Respons Penderita Tarhadap Obat
mencapai reseptor tidak berkurang tetapi karena sensitivitas reseptornya berkurang maka responsnya berkurang. Toleransi ini dapat terladi terhadap barbiturat, opiat, benzodiazepin, amfetamin dan nitrat organik.
Takifilaksis adalah toleransi larmakodinamik yang terjadi secara akut. lni terjadi pada pemberian amin simpatomimetik yang kerianya tidak langsung (misalnya efedrin) akibat deplesi neurotransmitor dari gelembung sinaps.
terhadap obat antara lain kebiasaan (merokok, minum alkohol) dan keadaan sosial budaya (makanan, pekerjaan, tempat tinggal). Hidrokarbon polisiklik yang terdapat dalam asap rokok menginduksi sintesis enzim metabolisme obat-obat terlentu (misalnya teofilin) sehingga mempercepat biotransformasi obat-obat tersebut dan dengan demikian mengurangi respons penderita.
BIOAVAILABILITAS. Perbedaan bioavailabilitas antar preparat dari obat yang sama (bioinekivalensi) yang cukup besar dapat menimbulkan respons terapi yang berbeda (inekivalensi terapi)' Untuk obat dengan batas-batas keamanan yang sempit,
dan obat untuk penyakit yang berbahaya (life' saving drugs), perbedaan bioavailabilitas antara 1020% sudah cukup untuk menimbulkan inekivalensi terapi. Contoh obat yang seringkali menimbulkan masalah dalam bioavailabilitasnya adalah : digoksin, lenitoin, dikumarol, tolbutamid, eritromisin, am-
loterisin B, dan nitroluranloin.
EFEK PLASEBO. Dalam setiap pengobatan, respons yang diperlihatkan penderita merupakan resultante dari elek farmakologik obat yang diberikan dan elek plasebo (efek yang bukan disebabkan oleh obat) yang selalu terikut selama pengobatan. Efek plasebo ini dapat berbeda secara individual dan dapat berubah dari waktu ke waktu pada individu yang sama. Elek ini dapat memper-
baiki respons penderita terhadap pengobatan' tetapi dapat juga merugikan, tergantung dari kualitas hubungan dokter-penderita. Manilestasinya dapat berupa perubahan emosi, perasaan subyektif' dan gejala obyektif yang berada di bawah kontrol saral otonom ataupun somatik. PENGARUH LINGKUNGAN. Faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respons penderita
6. PENUTUP Dari uraian di atas jelaslah bahwa pengaruh
berbagai faktor tersebut pada respons penderita terhadap obat pada umumnya menyebabkan regimen dosis obat perlu disesuaikan. Besarnya penyesuaian dosis biasanya tidak dapat diperhitungkan, jadi hanya dikira-kira saja berdasarkan educated guess, kecuali dalam hal penyesuaian terhadap berat badan dan penyesuaian akibat gangguan lungsi ginial. Penyesuaian dosis hasil perhitungan tidak meniamin dosis yang tepat' karena di samping adanya asumsi-asumsi dalam melakukan perhitungan larmakokinetik sehingga kadaryang dicapai belum tentu dalam batas-batas kadar terapi' masih ada laktor- laktor larmakodinamik yang tidak diperhitungkan, yang dapat memberikan respons yang menyimpang meskipun kadar yang dicapai sudah benar. Tetapi penyesuaian dosis hasil perhi-
tungan tentunya lebih mendekati dosis yang tepat dibandingkan dengan dosis hasil perkiraan saja. Jadi pada prinsipnya, penyesuaian dosis hasil
perhitungan maupun hasil perkiraan hanya merupakan langkah pertama yang masih memerlukan penyesuaian dosis lebih lanjut berdasarkan respons klinik dan/atau kadar obat dalam plasma penderita.
271
Obat Gagal Jantung
VI. OBAT KARDIOVASKULAR 20. OBAT GAGAL JANTUNG Armen Muchtar dan Zunilda S. Bustami
1.
2.
Pendahuluan
Digitalis f bt,cl 'i'. o,,r ", ,oecg
2.1. Sejarah 2.2. Sumber dan kimia 2.3. Farmakodinamik 2.4. Farmakokinetik
{a,,r,{,.i
,,r.,
3.
2.6. lnteraksi obat 2.7. Penggunaan klinik 2.8, Sediaan dan posologi Obat gagal jantung lain 3.1. DiUfetik --l ri!!{i\t { q&,
2.5. lntoksikasi
i.,i.
',i,,,'.
I el '. ,
i.,
f;
, :,
i;,:
r!
.4-1,1,';
'
Lqq {1qr,dir;.._
n sirkulasi dengan
1. PENDAHULUAN Gagal jantung kongestif adalah sindrom klinik yang ditimbulkan oleh gangguan lungsi jantung yang dapat berupa menurunnya kontraktilitas, berkurangnya massa jantung yang berkontraksi, gangguan sinergi kontraksi, atau berkurangnya kelenturan. Sindrom ini terjadi karena curah jantung tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gangguan lungsi pompa jantung itu menyebabkan bendungan sirkulasi dengan segala akibatnya. Tujuan utama pengobatan gagal jantung adalah mengurangi gejala akibat bendungan sirkulasi, memperbaiki kapasitas kerja dan kualitas hidup, serta memperpanjang harapan hidup. Untuk itu pendekatan awal adalah memperbaiki berbagai gangguan yang mampu pulih untuk menghilangkan beban kardiovaskular yang berlebihan, misalnya mengobati hipertensi, mengobati anemia, mengurangi berat badan, atau memperbaiki stenosis aorta. Gagal jantung yang tetap berge,iala walaupun penyakit yang mendasarinya telah diobati memerlukan pembatasan aktivitas lisik, pembatasan asupan garam, dan obat. Kebanyakan penderita gagal jantung memperlihatkan gangguan lungsi sistolik. Pada pende-
rita demikian terapi obat dimaksudkan untuk
ji
3.2. Vasodilator , 3.3. lnotropik lain {, q"';rr',prs{:e{ ,
(1)
beban pengisian ventrikel (preload = beban dan menurunkan tahanan periter (afterload; beban hili0. Obat-obat utama untuk tujuan itu adalah glikosida digitalis dan zat inotropik lainnya untuk fr-e*m: T-on tr-it 120
TDS (mmHg) D >> N); dan (4) depresi nodus SA. Efek samping akibat vasodilatasi berlebihan
berupa nyeri kepala berdenyut, pusing, muka merah, udem perifer, hipotensi, refleks takikardi dan
Farmakologi dan Terapi
palpitasi. Berkurangnya perlusi koroner akibat hipotensi berlebihan dan/atau meningkatnya kerja jantung akibat terjadinya takikardi dapat menimbulkan atau memperburuk serangan anglna; ini dapat terjadi pada pemberian nifedipin dosis terapi.
Efek inotropik negatil CCB tidak menjadi masalah bila lungsi jantung penderita baik, tetapi dapat menimbulkan gagal jantung pada penderita dengan gangguan fungsi jantung. Kemungkinan terjadinya gagal jantung ini lebih besar bila CCB diberikan bersama obat lain yang juga bersifat inotropik negatif , misalnya B-bloker. Depresi konduksi AV menimbulkan blok AV, terutama bila pemberian CCB dikombinasi dengan obat lain yang juga mendepresi konduksiAV, misalnya p-bloker atau digitalis. Depresi nodus SA dapat menimbulkan bradikardi sinus dan henti sinus. Elek samping saluran cerna (mual, muntah, konstipasi dan sebagainya) jarang terjadi, kecuali konstipasi oleh verapamil cukup sering dijumpai.
Nifedipin. Efek sampingnya terutama akibat e{ek vasodilatasi berlebihan (Tabel 23-5). lnsidensnya tinggi (sekitar 20%) tetapi biasanya ringan dan da-
pat membaik dengan berjalannya waktu. Efek samping ini dapat dikurangl dengan menurunkan dosis atau kombinasi dengan B-bloker.
Telah disebutkan bahwa nifedipin (V dan D tidak) dapat menimbulkan serangan angina. Rasa nyeri muncul kira-kira 30 menit setelah makan obat. Bila ini terjadi, obat harus diturunkan dosisnya atau dihentikan.
Verapamil. Efek sampingnya terutama akibat depresi konduksi AV, efek inotropik negatif dan depresi nodus SA, dan juga akibat vasodilatasi berlebihan (Tabel 23-5). Asistole, hipotensi berat, gagal
jantung, syok kardiogenik, bradikardi sinus, dan
henti sinus biasanya terjadi pada pemberian verapamil inlravena, pada penderita dengan gangguan konduksi AV, gangguan fungsi jantung atau penyakit nodus SA, atau bila verapamil diberikan dalam kombinasi dengan B-bloker. Pemberian verapamil lV bersama p-bloker lV merupakan kontraindikasl, karena memperbesar kemungkinan lerjadinya blok AV dan depresi fungsi ventrikel yang berat. Pemberian verapamil oral pada penderita de-
ngan jantung sehat hanya menimbulkan nyeri
TAbCI 23-5' EFEK SAMPING ANTAGONIS KALSIUM : NIFEDIPIN, VERAPAMIL DAN DILTIAZEM
Nifedipin lnsidens efek samping
20%
Menghentikan obat
2-6Yo
Cara mengurangi insidens
'turunkan dosis atau
.
1
0-1 5%
.
'serangan angina (tim bul/mem buruk)
pemilihan
" pengawasan yang baik
'pusing (3-12%) 'edema perifer
* mual
%
penderita
'konstipasi
" kelemahan otot
2-10
. hati-hati dalam
' nyeri kepala berdenyut (7%) * muka merah (5-7%) 'hipotensi . takikardia
Diltiazem
1-2%
kombinasi dengan pbloker
Elek samping yang sering/ relatif sering
Verapamil
t
. nyeri kepala
nyeri kepala berdenyut pusing
'muka merah
'edema perifer
. rash kulit
" edema periler
'blok AV (berat
'
ber-
denyut pusing
bila lV)
* nausea
. hipotensi (berat bilalV)
'astenia
'asistote (lV)
" bradikardi
t gagal jantung (terjadi/ memburuk; lV).
. syok kardiogenik (iV) * bradikardi sinus (lV)
'srnus aresl (lV)
Obat Antiangina
Tabel 23-6. PERHATIAN DAN KONTRAINDIKASI ANTAGONIS KALSIUM, NIFEDIPIN VERAPAMIL DAN DILTIAZEM
Verapamil
Nifedipin
Kondisi" 1. Disiungsi iantung - Tidak berat
Diltiazem
Perhatian
(kontrol dulu dengan digitalis dan diuretik) Kontraindikasi. (kecuali
- Berat (fraksi ejeksi < 30 %)
akibat aritmia supraventrikuler)
Kontraindikasi
2. Slck shus syndrome (tanpa pacu jantung ventrikel) Bradikardi (< 55/menit)
3.
(bradikardi sinus, stnus aresl)
Blok AV
- Derajat
Perhatian (blok AV t
1
Hipotensi berat (sistole < 90 mmHg) atau Syok kardiogenik
5. Stenosis katup aorta
6. Flufterfiib(ilasi
)
Kontraindikasi (blok jantung total, asistole, syok kardiogenik)
- Derajat 2-3 (tanpa pacu jantung ventrikel)
4.
Perhatian (kontrol dulu dengan digitalis dan/atau diuretik)
Kontraindikasi (kecuali akibat takiaritmia supraventrikuler)
Perhatian
Perhatian (gagal jantung) Kontraindikasi (oral, lV) (aritmia ventrikuler)
atrium
dengan sindrom WPW
Kontraindikasi
(tv) (aritmia ventrikuler)
Kontraindikasi (bila lV) (f ibrilasi ventrikule0
7, Takikardia ventrikuler
Perhatian (bila ke-2 obat oral) (hipotensi berat, blok AV, bradikardi, gagal jantung)
8. Kombinasi dengan P-bloker
Kontraindikasi (bila ke-2 obat lV) (hipotensi berat, blok AV, asistole, bradikardi, blok SA, gagal jantung) 9. Kombinasi dengan digoksin - Tanpa toksisitas digitalis
- Dengan toksisitas digitalis
10. Kombinasi dengan obat antihipertenst
Perhatian (kadar plasma digoksin
)
(kadar plasma digoksin 1 ; blok AV, bradikardi) Kontraindikasi (blok AV total, asistole)
Perhatian
Perhatian (efek hipotensit 1
Perhatian
t
)
Perhatian (blok AV 1 )
Perhatian (efek hipotensif 1
)
358
Farmakologi dan Terapi
Tabe| 23.6. PERHATIAN DAN KONTRAINDIKASI ANTAGONIS KALSIUM, NIFEDIPIN VERAPAMIL DAN DILTTAZEM (SAMBUNGAN)
Kondisi 11
Verapamil
Kombinasi dengan anti-
Diltiazem Perhatian (blok AV t
aritmia
)
12. Sirosis hati; usia lanjut
13. Kehamilan
Kontraindikasi
(embriotoksik dan teratogenik
Perhatian (embriotoksik pada hewan)
pada hewan) 14. Menyusui
Perhatian (hentikan menyusui)
Perhatian
(hentikan menyusui; diltiazem kadar dalam ASI - dalam serum)
kepala berdenyut, pusing, konstipasi, wajah merah, udem perlfer, blok AV derajat 1 alau 2 dan hipotensi, dengan insidens yang tidak begitu tinggi. Efek
vaskuloselektif (lihat butir 4.1). Golongan DHP juga
samping yang paling sering terjadi (sampai 15%) adalah konstipasi. Efek samping ini berhubungan dengan dosis dan biasanya dapat diobati dengan laksans, tetapi pada 1-20h penderita, verapamil harus dihentikan sama sekali.
nodus AV, Tetapi kombinasi DHP dengan p-bloker dapat menimbulkan hipotensl berat dan/atau gagal jantung bila diberikan kepada penderita dengan risiko tinggi, yakni penderita dengan angina pektoris berat, aterosklerosis pada tiga pembuluh koroner (triple-vessel disease), gangguan fungsi jantung dan/atau riwayat infark miokard. Sebaliknya verapamil, karena efeknya terhadap otot jantung, nodus SA dan nodus AV,
Diltiazem. Efek sampingnya mirip dengan verapamil, tetapi diltiazem lebih lemah dalam menimbulkan depresi konduksi AV dan efek inotropik negatif, serta jarang sekali menimbulkan konstipasi. Oleh karena itu insidens efek sampingnya lebih rendah dibandingkan kedua CCB lainnya (Tabel 23-5). Kebanyakan efek samping CCB berhubungan dengan besarnya dosis. Oleh karena itu dosis untuk setiap penderita harus dititrasi untuk mendapatkan
dosis efektif sekecil mungkin. Efek samping kardiovaskuler akibat CCB dosis berlebih dapat diantagonisasi dengan garam Ca** dan/atau adrenalin, dan bila perlu atropin, PERHATIAN DAN KONTRAINDIKASI
paling aman untuk dikombinasi dengan digitalis
atau p-bloker, karena DHP tidak bere{ek pada
dikontraindikasikan pada gagal jantung yang berat, sick srnus syndrorne, blok AV derajat 2-3,
hipotensi atau syok kardiogenik flutter/fibrilasi atrium dengan sindrom WPW. Kombinasi verapamil dengan p-bloker intravena juga merupakan kontraindikasi; demikian juga kombinasi CCB dengan digoksin bila terdapat toksisitas digitalis (Tabel 23-6). Diltiazem, karena sifatnya yang hampir sama dengan verapamil, kontraindikasinya hampir.sama pula (Tabel23-6).
4"4. INDIKASI LAIN
Nifedipin dan dihidropiridin lainnya adalah CCB yang paling aman untuk penderita dengan
CCB diindikasikan juga untuk hipertensi, dan takiaritmia supraventrikular; pembahasan untuk
gagal jantung, karena CCB golongan DHP bersifat
indikasi tersebut dapat dibaca pada Bab 2Q dan 21.
Obat Antiangina
DIPIRIDAMOL. Obat ini adalah vasodilator koroner
yang poten, kerjanya lebih kuat pada pembuluh darah koroner dibandingkan pembuluh darah peri{ey. Karena itu, pada dosis yang biasa diberikan,
yakni dosis yang menurunkan resistensi koroner dan meningkatkan aliran darah koroner, dipiridamol hanya sedikit mempengaruhi tekanan darah sistemik dan aliran darah periter. Dipiridamol bekerja
terutama pada arteriol koroner, sehingga memperlihatkafi steal phenomenon. Oleh karena itu obat ini tidak berguna, baik untuk angtna of effort maupun untuk angina varian. Berbagai uji klinik telah menunjukkan bahwa dipiridamol tidak menurunkan frekuensi maupun keparahan serangan angina dan tidak meningkatkan kemampuan penderita melakukan kerja flsik. Dengan demikian, obat ini tidak lagi mempunyai tempat untuk terapi
angina. Di negara-negara sepe(i Amerika dan lnggris, penggunaan obat ini sebagai antiangina telah lama ditinggalkan. Sebagai antiplatelet/antitrombotik, dipiridamol sendiri tidak mempunyai efek klinik. Dalam kombinasi dengan aspirin, obat ini memperpanjang umur trombosit pada penderita dengan penyakit trombotik, tetapi ternyata tidak efektif untuk mencegah kambuhnya infark miokard. Satu-satunya in-
dikasi dipiridamol yang dianjurkan pada saat ini adalah untuk pencegahan primer tromboemboli
pada penderita dengan katup jantung buatan,
dalam kombinasi dengan warfarin.
5. PENGGUNAAN KLINIK 5.1. ANGINA STABIL KRONIK
Bila serangan lebih kerap timbul sehingga mengganggu kegiatan sehari-hari, maka diperlukan obat untuk pencegahan jangka paniang, yakni nitrat kerja lama (long-acting nitrates\, B-bloker atau CCB. Nitrat kerja singkat diberikan sewaktu-waktu serangan muncul/diperkirakan akan muncul. TAHAP 1 : MONOTERAPI Nitrat kerja lama, p-bloker atau CCB sangat efektil untuk terapi jangka lana angina of effort.
NITRAT KERJA LAMA. Sediaan ini sering digunakan sebagai obat pilihan pertama untuk terapi jangka panjang angina of effort karena sudah lama dikenal sebagai antiangina yang sangat elektif dan cukup aman. Efek sampingnya dapat diduga dan mudah diobati. Syarat utama penggunaan nitrat
kerja lama adalah respons yang jelas terhadap
nitrogliserin sublingual. Tetapi harus diingat bahwa toleransi dapat terjadi pada penggunaan kronik, dan dapat terjadi toleransi silang dengan nitrat kerja singkat.
BETA-BLOKER. Golongan ini paling sering digunakan sebagai obat pilihan pertama untuk terapi jangka panjang angina of effort, yakni pada (1) penderita dengan nyeri angina yang jelas berhubungan dengan kerja lisik, terutama bagi mereka yang sangat aktif, karena penurunan denyut jantung dan tekanan darah pada waktu kerja fisik paling jelas pada golongan obat ini; (2) semua penderita dengan angina pascainfark bila tidak ada kontraindikasi; (3) penderita angina dengan hipertensi yang reaktif atau takikardi; dan (4) penderita angina dengan ekstrasistol ventrikel akibat kerja fisik. ISA dari p-bloker mengurangi efektivitas pbloker untuk a ngina of effort, terutama untuk angina
Telah disebutkan bahwa pada angina stabil kronik biasanya juga terdapat vasospasme koroner. Oleh karena itu yang dimaksud dengan angina stabil kronik di sini mencakup angina yang mem-
punyai komponen vasospasme yang kecil. Bila serangan iarang terjadi atau terjadi sewaktu kerja {isik maksimal, maka cukup diobati dengan nitrat kerja singkat (shoft- acting nitrates) yang dapat mengatasi serangan secara cepat sewaktu-waktu serangan muncul, dan dapat mencegah
timbulnya serangan sewaktu-waktu serangan diperkirakan akan muncul (pencegahan akut). Telah disebutkan pula bahwa di antara nitrat kerja singkat, nitrogliserin sublingual merupakan obat terpilih karena mula kerjanya paling cepat.
yang berat (lihat butir 3.2). Sifat-si{at farmakologik lainnya (kardioselektivitas, kelarutan airllemak) tidak mempengaruhi elektivitas p-bloker sebagai
antiangina, tetapi menentukan pilihan p-bloker mana yang paling cocok untuk masing-masing penderita (lihat butir 3.2). Beta-bloker tidak menimbulkan toleransi pada penggunaan jangka panjang.
PENGHAMBAT KANAL KALSIUM. Obat ini makin sering digunakan sebagai obat pilihan pertama untuk terapi jangka panjang angina stabil kronik' karena secara umum, CCB dan p-bloker efektivitasnya sebanding untuk jenis angina ini. Selain itu CCB lebih jarang menimbulkan efek samping yang serius
dibandingkan p-bloker. CCB menjadi obat terpilih
Farmakologi dan Terapi
terutama bila :
(1
) Beta-bloker merupakan kontrain-
dikasi, misalnya pada gagal jantung, sick srnus syndrome, blok AV derajat 2 atau lebih (untuk keadaan-keadaan ini sebaiknya dipilih nifedipln), penyakit paru obstruktif (asma), penyakit vaskular perifer atau diabetes melitus yang berat (lihat butir 3.3); dan (2) penderita tidak dapat mentoleransi efek samping p-bloker.
Pemilihan CCB. Verapamil menunjukkan efektivitas yang sebanding atau lebih baik dibandingkan dengan p-bloker dalam beberapa studi komparatif. Obat ini menjadi obat terpilih untuk penderita angina dengan aritmia supraventrikuler.
Diltiazem mempunyai efek samping yang
lebih jarang atau lebih ringan dibandingkan verapamil dan nifedipin, di samping efektivitas klinik yang sebanding dengan verapamil dan efek ino-
tropik negatif yang lemah (kurang dibanding verapamil).
Nifedipin, insidens efek sampingnya paling tinggi sehingga dosisnya perlu dititrasi secara baik. Obat ini menjadi obat terpilih bila : (1) penderita juga mendapat B-bloker; (2) penderita mempunyai gangguan fungsi jantung, nodus SA atau konduksi AV; dan (3) penderita angina dengan hipertensi yang serius. DHP generasi baru efek sampingnya lebih jarang atau lebih ringan dibanding nifedipin. Dengan demikian diperkirakan bahwa, tanpa adanya kontraindikasi dan keadaan-keadaan khusus seperti tersebut di atas, di antara ke-3 prototipe
CCB, diltiazem akan terpilih sebagai monoterapi untuk sebagian besar penderita angina of effort. Selanjutnya, bila monoterapi dengan nitrat kerja lama, B-bloker atau CCB lernyata tidak cukup efektif, maka diberikan terapi kombinasi antara ketiga golongan obat lersebut. Oleh karena meka-
nisme kerjanya berlainan, maka akan diperoleh efek terapi aditif , sedangkan efek sampingnya berkurang karena dosis masing-masing obat dalam kombinasi dikurangi, di samping adanya efek saling menetralkan dalam efek sampingnya.
TAHAP 2 : TERAPI KOMBINASI 2 OBAT NITRAT KERJA LAMA + PENGHAMBAT KANAL
KALSIUM. Kombinasi ini digunakan untuk angina yang berat, baik angina ol eflort maupun angina akibat vasospasme. Kombinasi ini memberikan
efek aditil dalam mengurangi kebutuhan oksigen
miokard, karena nitrat kerja lama mengurangi beban hulu, sedangkan CCB mengurangi beban hilir jantung. Kombinasi ini juga aditif dalam mendilatasi slenosis eksentris pada arteri epikardial dan dalam mencegah atau mengatasi spasme pada arteri koroner tersebut. Tetapi kombinasi ini dapat menimbulkan vasodilatasi berlebihan sehingga ter-
jadi hipotensi berat. Kombinasi nitrat kerja lama dengan verapamil merupakan kombinasi yang sangat efektil karena verapamil selain mengurangi
beban hilir jantung, juga berefek depresi ,iantung sehingga dapat mengurangi efek samping nitrat pada jantung. Kombinasi nitrat kerja lama dengan nifedipin atau DHP lainnya dianjurkan terutama untuk penderita angina dengan gagal jantung, sick sinus syndrome alau gangguan konduksi AV, di mana kombinasi B-bloker + CCB tidak tepat atau bahkan tidak boleh diberikan. BETA-BLOKER + PENGHAMBAT KANAL KALSIUM. Nifedipin atau DHP lainnya adalah CCB yang paling aman untuk dikombinasi dengan pbloker karena DHP tidak beretek langsung pada nodus AV maupun nodus SA, serta tidak mempunyai efek inotropik negatif in vivo. Tetapi karena p-bloker memblok refleks simpatis di jantung, maka efek langsung inotropik negatif dari nifedipin tidak lagi dinetralkan oleh refleks simpatis akibat vasodilatasi yang ditimbulkan nifedipln. Pada penderita dengan fungsi jantung normal, kombinasi p-bloker+ nifedipin dapat diberikan dengan aman, tetapi pada penderita dengan gangguan fungsi jantung, kombinasi ini harus diberikan dengan hati-hati karena dapat menimbulkan gagal jantung dan/atau hipotensi berat. Kombinasi B-bloker dengan verapamil atau diltiazem memberikan efek aditif dalam mendepresi konduksi AV, nodus SA dan kontraktilitas miokard, sehingga dapat menimbulkan hipotensi berat, blok AV, bradikardi berat dan gagal jantung.
Oleh karena itu kombinasi p-bloker + verapamif diltiazem hanya boleh diberikan pada penderita tanpa gangguan konduksi AV, nodus SA maupun lungsi jantung, secara oral dan dengan hati-hati. Pemberian kombinasi ini secara lV atau pada pen. derita dengan salah satu gangguan tersebut di atas, yang ringan sekalipun, merupakan kontraindikasi. Dengan demikian jelaslah bahwa untuk kombinasi dengan p-bloker, sebaiknya dipilih nifedipin atau DHP lainnya, sedangkan kombinasi B-bloker dengan verapamil atau diltiazem tidak dianjurkan.
Obat Antiangina
Kombinasi p-bloker + nifedipin telah terbukti lebih efektif daripada monoterapi dengan masingmasf ng obat pada angina of effort, terutama karena
p-bloker.memblok relleks takikardi yang ditimbulkan
oleh nifedipin. Selain itu nifedipin mengurangi peningkatan tonus arteri koroner yang ditimbulkan oleh B-bloker, serta mengurangi afterload. Belabloker mengurangi denyut jantung dan kontraktilitas miokard terutama sewaktu kerja fisik. Selama kerja fisik, kombinasi p-bloker + nifedipin menimbulkan denyut jantung dan tekanan darah yang lebih rendah dibandingkan lrekuensi jantung dan tekanan darah pada pemberian masing-masing obat. Oleh karena itu kombinasi ini diberikan terutama bila terdapat peningkatan frekuensi jantung yang hebat sewaktu kerja fisik atau bila terdapat hipertensi yang tidak cukup terkontrol dengan masing-masing obat. Akan tetapi dosis masing-masing obat ini dalam kombinasi harus dititrasi dengan baik untuk menghindarkan terjadinya hipotensi yang berlebihan. Kombinasi p-bloker + nifedipin ini tampaknya
lebih dapat ditoleransi penderita dan lebih elektif dibandingkan kombinasi B-bloker + nitrat kerja lama (isosorbid dinitrat).
TAHAP 3 : TERAPI KOMBINASI 3 OBAT NITRAT KERJA LAMA+ BETA-BLOKER + PENGHAMBAT KANAL KALSIUM. Kombinasi ini hanya diberikan bila angina of effort tidak dapat diatasi dengan kombinasi 2 .jenis obat antiangina. Nitrat kerja-lama mengurangi beban hulu, B-bloker menurunkan denyut jantung dan kontraktilitas miokard, sedangkan CCB (hanya golongan DHP yang boleh digunakan dalam keadaan ini) mengurangi beban hilir, sehingga diperoleh efek aditif dalam mengurangi kebutuhan oksigen miokard. Tetapi terapi yang maksimal ini ternyata tidak lebih etektif dibandingkan dengan terapi kombinasi 2 obat, bahkan pada lebih dari setengah jumlah penderitanya, kom-
binasi p-bloker + nifedipin saja lebih efektif. Hal ini mungkin karena pada kombinasi 3 obat terjadi terlalu banyak vasodilatasi sehingga mengurangi lekanan perfusi koroner.
5.2. ANGINA VARIAN
361
koroner juga mempunyai aterosklerosis koroner. Prinsip pengobatan untuk angina varian yang akan diuraikan di sini berlaku untuk semua jenis angina di mana vasospasme koroner memegang peran penting atau utama dalam patogenesisnya (angina vasospastik), termasuk (1 ) angina sewaktu istirahat (akan diuraikan pada butir 5.3); (2) angina of
elforf dengan elevasi segmen ST; (3) angina of effort dengan ambang serangan yang bervariasi sewaktu kerja fisik pada jam atau hari yang berlainan; dan (4) angina yang muncul segera setelah terjadinya infark miokard. Untuk jenis-jenis angina vasospastik tersebut di atas, nitrat dan penghambat kanal kalsium merupakan penghambat vasospasme yang kuat, karena kerjanya langsung mendilatasi arteri epikar-
dial tempat spasme terjadi, sehingga langsung dapat mengatasi atau mencegah terjadinya vasospasme tersebut. Bila diperlukan terapi akut, nitrat oral memberlkan efek selama beberapa jam, sedangkan nitrogliserin sublingual hanya beberapa menit. Untuk terapi jangka panjang angina vaso-
spastik, penghambat kanal kalsium merupakan obat terpilih, karena: (1) CCB tidak menimbulkan toleransi pada penggunaan jangka panjang; (2) tidak ada sediaan nitrat yang kerjanya cukup panjang untuk dapat melindungi penderita dari serangan vasospasme yang seringkali terjadi di pagi buta (terutama pada angina varian), sedangkan dengan sediaan nitrat lepas lambat dan transdermal, toleransi justru lebih mudah atau cepat terjadi (lihat butir
2.5); dan (3) CCB mempunyai efek antihipertensi, sehingga menguntungkan untuk penderita angina yang disertai hipertensi. Nifedipin, diltiazem maupun verapamil sangat efektif untuk indikasi ini; efektivitas verapamil sama atau sedikit lebih rendah dibandingkan nifedipin dan
diltiazem. Pemilihan penghambat kanal kalsium mana yang akan digunakan untuk masing-masing penderita ditentukan oleh perbedaan sifat masingmasing CCB tersebut. Mlsalnya, verapamil dipilih untuk penderita angina vasospastik yang disertai takikardi supraventrikuler dan dikontraindikasikan pada penderita angina varian yang disertai gagal jantung kiri; nifedipin atau DHP lainnya untuk penderita dengan gangguan konduksi jantung, bradikardi sinus, disfungsi jantung, atau hipertensi, atau
Angina varian yang murni (penyebabnya
untuk dikombinasi dengan 0-bloker; sedangkan diltiazem digunakan bila diinginkan juga penurunan
hanya vasospasme koroner) jarang ditemukan, dan
denyut jantung sebagai salah satu tujuan terapi atau
sebagian besar penderita dengan vasospasme
bila ditakutkan terjadi efek samping hipotensi pada
Farmakologi dan Terapi
penderitanya. lnsidens efek samping dengan diltiazem dilaporkan paling rendah di antara ketiga prototipe CCB, maka seperti halnya untuk penderilaangi_ na of effort, obat ini juga diperkirakan akan terpilih
sebagai monoterapi untuk sebagian besar pen_ derita angina varian. Pemberian p-bloker pada angina varian dapat
memperburuk vasospasme koroner. Telah di_ sebutkan bahwa penghambatan adrenoseptor_p2 pada arteri koroner oleh B-bloker menyebabkan dominasi adrenoseptor-cr pada arteri tersebut. Telah
diketahui bahwa aktivitas adrenoseptor-ct tampaknya memegang peran penting dalam menimbulkan vasospasme koroner. Jadi B-bloker dikon_ traindikasikan untuk angina varian bila diberikan sendiri. Akan tetapi bila B-bloker perlu diberikan, misalnya karena adanya hipertensi yang reaktif atau takikardi, maka B-bloker harus diberikan dalam kombinasi dengan CCB atau nitrat. Meskipun untuk pengobatan jangka pendek, manfaat klinik CCB untuk indikasi ini sudah jelas, manfaat untuk pengobatan jangka panjang masih belum diketahui. Dari data pendahuluan yang ada, tampaknya golongan obat ini tidak dapat mencegah timbulnya infark miokard dan kematian mendadak, meskipun gejala-gejala anginanya dapat diatasi de_ ngan baik.
TAHAP 1 : MONOTERAPI. pada tahap int diberikan salah satu penghambat kanal kalsium dalam dosis terbagi 3-4 x sehari : nifedipin sampai dosis 'l
20 mg sehari, atau verapamil sampai dosis 480 mg
sehari, atau diltiazem sampai dosis 360 mg sehari. TAHAP 2 : TAMBAHKAN NITRAT KERJA LAMA. Kombinasi ini aditif dalam mendilatasi arteri epikar-
dial, dan dengan demikian dalam mencegah atau mengatasi vasospasme koroner; juga aditif dalam mendilatasi stenosis eksentrik pada arteri koroner tersebut. Dosis masing- masing obat harus dikura_ ngi untuk menghindarkan terjadlnya hipotensi berle-
bihan yang berakibat memburuknya perlusi
perlu sampai hampir maksimal, karena efeknya ter_ hadap denyut jantung berlawanan. Nitrat kerja lama ditambahkan bila perlu. Dosis masing-masing obat
harus disesuaikan agar tidak terjadi hipotensi berlebihan. Pada angina varian, penghentian pengobat-
an dengan penghambat kanal kalsium dapat menimbulkan infark miokard atau bahkan kematian
tiba-tiba. Oleh karena itu pada penderita dengan serangan yang disertai aritmia yang berbahaya, bila
terapi perlu dihentikan, harus dilakukan dengan hati-hati di rumah sakit. Pada penderita dengan risiko rendah yang telah bebas dari serangan angina selama beberapa bulan sampai 1 tahun, terapi dapat dihentikan secara bertahap. Tetapi bila gejala timbul kembali, CCB harus diberikan kembali dalam dosis penuh.
Banyak di antara penderita angina varian menjadi penderita angina stabil di kemudian hari. Tetapi kambuhnya spasme koroner selalu dapat terjadi, meskl setelah bertahun-tahun. pada angina stabil, terapi mungkin diperlukan seumur hidup. 5.3. ANGINA TIDAK STABIL Tidak semua kasus angina tidak stabil akan berakhir dengan infark miokard atau kematian mendadak, tetapi tidak jelas kasus mana yang akan mengalami inlark atau mati mendadak. Ketidakpastian ini menyebabkan terapi maksimal perlu diberikan pada semua kasus angina tidak stabil. Terapi angina tidak stabil ditujukan untuk mengatasi nyeri angina dengan cepat dan mencegah kambuhnya iskemia serta terjadinya infark miokard atau kematian mendadak sampai lebih dari 1 tahun. Oleh karena setiap kasus berbeda patogenesisnya, maka cara terapi terbaik adalah individualisasi dan bertahap, dimulai dengan masuk rumah sakit (Unit Perawatan Koroner lntensif) dan istirahat total
(bed rest).
koroner.
: PENGGANTIAN PENGHAMBAT KANAL KALSIUM. Dalam tahap inijenis CCB di-
TAHAP 3
ganti, tetapi nitrat kerja lama tetap diberikan.
TAHAP 4: KOMBINASI 2 PENGHAMBAT KANAL KALSIUM. Nifedipin + diltiazem atau nifedipin + verapamil memberikan efek terapi yang aditil. Dosis masing-masing CCB dapat ditingkatkan, bila
TAHAP 1 : FARMAKOTERAPT AWAL. pengobaran intensif segera diberikan dan ditujukan untuk mengatasi nyeri angina.
(1) Obat terpilih untuk terapi awal adalah nitrat, yakni nitrogliserin sublingual (bila perlu diulang tiap 10-15 menit) dikombinasi dengan nitrat oral (mulai dengan dosis rendah dan kemudian dosis ditingkatkan). Bila hasilnya belum memuaskan, diberikan nitrat intravena;
Obat Antiangina
(2) Bila hasil masih kurang memuaskan, ditambah-
kan penghambat kanal kalsium atau p-bloker.
Pengharnbat kanal kalsium dipilih untuk angina. sewaktu istirahat karena telah diketahui bahwa vasospasme koroner memegang peran
utama dalam patogenesis kelompok angina ini. Demikian juga CCB dipilih untuk angina stabil yang
tiba-tiba memburuk dan angina yang baru mulai tetapi langsung parah, karena diperkirakan bahwa keadaan-keadaan tersebut merupakan akibat dari terjadinya vasospasme koroner. Beta-bloker dapat juga diberikan pada angina vasospastik ini karena disini p-bloker ditambahkan pada nitrat (lihat butir 5.2), tentunya bila tidak ada kontraindikasi seperti gagal jantung dan lain-lain. Dalam kombinasi dengan nitrat, ternyata p-bloker memberikan hasil yang baik sehingga kombinasi nitrat + p-bloker ini telah menjadi terapi standard untuk angina tidak stabil selama bertahun-tahun. Elektivitas p-bloker, tanpa nitrat atau CCB, pada angina tidak stabil merupakan kontroversi.
(3) Hasil yang terbaik diperoleh dari kombinasi nitrat + penghambat kanal kalsiulp + p-bloker (triple therapy). Dalam hal ini p-bloker ditambahkan pada CCB atau sebaliknya, bila hasil masih belum memuaskan dengan nitrat + CCB atau nitrat
363
+
B-bloker saja; atau CCB dan p-bloker ditambahkan sekaligus pada nitrat (CCB yang dipilih untuk dikombinasi dengan p-bloker adalah nifedipin atau DHP lainnya).
TAHAP 2 : ARTERIOGRAFI KORONER. Bilatriple therapy tidak berhasil mengatasi manifestasi iskemia miokard dalam 6-12 jam, arteriografi koroner perlu dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dari patogenesisnya, sehingga dapat ditetapkan penatalaksanaan yang optimal. TAHAP 3 : Tergantung dari hasil arteriografi tersebut, terapi trombolitik, angioplasti (PTCA) atau
bedah pintas koroner harus dilakukan dengan Segera.
Pada penderita yang nyeri anginanya dapat diatasi dengan farmakoterapi, sebaiknya dilakukan juga arteriografi koroner untuk menentukan apakah angioplasti (PTCA) atau bedah pintas koroner diperlukan atau diperkirakan akan menguntungkan. Meskipun CCB sangat efektif untuk angina tidak stabil dengan penyebab utama vasospasme, belum cukup data untuk menilai apakah pengobatan ini mengurangi mortalitas. Sebaliknya, terapi jangka panjang dengan antitrombotik aspirin tampaknya mengurangi insidens intark miokard pada penderita dengan angina tidak stabil.
364
Farmakologi dan Terapi
24. HIPOLIPIDEMIK F.D. Suyatna dan Tony Handoko S.K.
1.
Pendahuluan 1.1. Definisi dan. masalah 1.2. Ateriosklerosis dan metabolisme lemak 1.3. Lipid plasma
1.4. Pilahan hiperlipidemia 1.5. Pengaturan diet 1.6. Menghilangkan laktor risiko 1.7, Pemberian obat
1. PENDAHULUAN 1.1. DEFINISI DAN MASALAH
2. Obat yang menurunkan lipoprotein plasma
2.1. Asam fibrat 2.2. Resin
2.3. Penghambat HMGCoA reduktase 2.4. Asam nikotinat 2.5. Probukol 2.6. Lain-lain Pen
gobatan hiperlipoproteinemia
kurang gerak, keturunan dan sfress. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa penyakit jantung koroner merupakan penyakit multilaktorial dan pemberian pengobatannya harus dilakukan bersamaan dengan tindakan untuk mengatasi faktor risiko lainnya.
Hijolipidemik adalah obat yang digunakan untuk menurunkan kadar lipid plasma. Tindakan menurunkan kadar lipid plasma merupakan salah satu tindakan yang ditujukan untuk menurunkan risiko penyulit aterosklerosis.
Arteriosklerosis, adalah suatu penyakit yang ditandai dengan penebalan dan hilangnya elastisitas dinding arteri. Dikenal 3 bentuk arteriosklerosis yaitu aterosklerosis, arteriosklerosis Monckeberg dan arteriolosklerosis. Aterosklerosis adalah bentuk arteriosklerosis yang paling umum ditemukan, ditandai dengan terdapatnya aterom pada bagian intima arteri yang berisi kolesterol, zat lipoid dan lipofag. Pembuluh darah yang terkena adalah arteri besar dan sedang yaitu pembuluh serebral, vertebral, koroner, renal, aorta dan pembuluh di tungkai.
Komplikasi terpenting dari arlerosklerosis adalah penyakit jantung koroner, gangguan pembuluh darah serebral dan gangguan pembuluh darah perifer. Penyakit jantung koroner merupakan penyebab kematian utama di negara yang telah maju dan semakin sering ditemukan di negara kita. Faktor risiko yang merupakan predisposisi untuk timbulnya penyakit koroner adalah hiperlipidemia, hipertensi, kebiasaan merokok, diabetes melitus,
1.2. ATEROSKLEROSIS DAN METABO-
LISME LEMAK Hubungan antara aterosklerosis dan metabolisme lemak telah menjadi perhatian para ahli patologi dalam abad ke 19, dan semakin mendapat perhatian setelah Getler (1 950) melaporkan bahwa kadar plasma kolesterol pada penderita penyakit jantung koroner lebih tinggi daripada orang normal. Gofman (1 950) mendapatkan peningkatan lipoprotein ringan (low density lipoprotein, LDL) pada penderita penyakit koroner. Albrink dan Mann (1959) mendapatkan bahwa kadar trigliserid pada penderita penyakit koroner juga meningkat. Penelitian prospektif di Framingham menunjukkan bahwa insidens dan kasus baru penyakit koroner paling tinggi jumlahnya pada kelompok dengan kadar lemak dan lipoprotein plasma yang paling tinggi.
lnsidens penyakit koroner lebih rendah di negara yang sedang berkembang dibanding dengan negara yang sudah maju dan hal ini dihubung-
kan antara lain dengan diet lemak yang jauh lebih tinggi di negara yang sudah maju.
Hipolipidemik
365
Penelitian selama perang dunia ke 2 dan pe-
nelitian pada hewan coba memberikan harapan bahwa aterosklerosis bersifat reversibel. Atas dasar
tersebut di atas dilakukan usaha untuk mencegah dan memperbaiki aterosklerosis antara lain dengan menurunkan kadar kolesterol dan trigliserid dalam plasma.
Selain meningkatkan risiko penyakit koroner, peningkatan lipoprotein juga dapat menimbulkan pankreatitis.
1.3. LIPID PLASMA Lipid plasma yang utama yaitu kolesterol, trigliserid, foslolipid dan asam lemak bebas tidak larut dalam cairan plasma. Agar lipid plasma dapat diangkut dalam sirkulasi, maka susunan molekul lipid tersebut perlu dimodilikasi, yaitu dalam bentuk lipoprotein yang bersifat larut dalam air. Skema lipoprotein seperti dalam Gambar 1 menunjukkan bahwa pada inti terdapat ester kolesterol dan trigliserida, dikelilingi oleh loslolipid, kolesterol non-ester dan apolipoprotein. Zal-zal tersebut beredar dalam darah sebagai lipoprotein larut plasma. Lipoprotein ini bertugas mengangkut lipid dari tempat sintesisnya menuju tempat penggunaannya. Apolipoprotein berfungsi untuk mempertahankan struktur lipoprotein dan mengarahkan metabolisme lipid tersebut. Diagnosis hiperlipidemia aterogenik yang tepat membutuhkan penentuan abnormalitas lipoprotein yang spesifik dan pengobatan diarahkan
untuk memperbaikikelainan lipoprotein, bukan
hanya menurunkan kadar total kolesterol dan trigliserid plasma saja. Lipid darah diangkut dengan 2 cara (lihat gambar 2) : (1) jalur eksogen dan (2) jalur endogen.
Jalur eksogen. Trigliserida dan kolesterol yang berasal dari makanan dalam usus dikemas sebagai kilomikron. Kilomikron ini akan diangkut dalarn saluran limfe lalu ke dalam darah via duktus torasikus. Di dalam jaringan lemak, trigliserid dalam kilomikron mengalami hidrolisis oleh lipoprotein lipase yang terdapat pada permukaan sel endotel. Akibat hidrolisis ini maka akan terbentuk asam lemak dan kilomikron remnan. Asam lemak bebas akan menembus endotel dan masuk ke dalam jaringan lemak atau sel otot untuk diubah menjadi trigliserid kembali (cadangan) atau dioksidasi (energi). Kilomikron remnan adalah kilomikron yang telah dihilangkan sebagian besar trigliseridnya sehingga ukurannya mengecil tetapi jumlah ester kolesterol tetap. Kilomikron remnan ini akan dibersihkan oleh hati dari sirkulasi dengan mekanisme endositosis oleh lisosom. Hasil metabolisme ini berupa kolesterol bebas yang akan digunakan untuk sintesis berbagai struktur (membran plasma, mielin, hormon steroid dsb.), disimpan dalam hati sebagai kolesterol ester lagi atau diekskresi ke dalam empedu (sebagai kolesterol atau asam empedu) atau diubah jadi lipoprotein endogen yang dikeluarkan ke dalam plasma. Kolesterol juga dapat disintesis dari asetat dibawah pengaruh enzim HMG CoA reduktase yang menjadi aktif jika terdapat kekurangan kolesterol endogen. Asupan kolesterol dari darah juga diatur oleh jumlah reseplor LDL yang terdapat pada permukaan sel hati.
Jalur endogen, Trigliserid dan kolesterol yang
di-
sintesis oleh hati diangkut secara endogen dalam bentuk VLDL kaya trigliserid dan mengalami hidrolisis dalam sirkulasi oleh lipoprotein lipase yang juga menghidrolisis kilomikron menjadi partikel lipoprotein yang lebih kecil yaitu IDL dan LDL. LDL merupa-
Gambar 1. Partlkel lipoprotein
kan lipoprotein yang mengandung kolesterol paling banyak (60-70 %). LDL mengalami katabolisme melalui reseptor seperti diatas dan jalur non res6ptor. Jalur katabolisme reseptor dapat ditekan oleh produksi kolesterol endogen. Penderita hiperkolesterolemia lamilial heterozigol mempunyai kira-kira 50 % reseptor LDL yang fungsional. Pada pasien katabolisme LDL oleh hati dan jaringan periler berkurang sehingga kadar kolesterol plasmanya meningkat. Peningkatan kadar kolesterol sebagian disalurkan ke dalam makrolag yang akan membentuk sel busa
366
Farmakologi dan Terapi
JALUR ENDOGEN
JALUR EKSOGEN asam empedu
LDL teroksidasi
f-:
lemak dari makanan
kolesterol
I I
J
reseptor LDL
I""o,-
I
fr
m akrofag
triqliserida
o
usus I
I
parenkim
kilomikron
.l
iipoprotein lipasd\
Gambar 2. Jalur transpor lipid dan tempat kerja obat
(foam cells) yang berperanan dalam terjadinya ate-
(1) Kilomikron. Lipoprotein dengan berat molekul
rosklerosis prematur. Bentuk homozigot lebih jarang dan lebih berbahaya sehingga pada usia
terbesar ini lebih dari 80 % komponennya terdiri dari trigliserid yang berasal dari makanan dan kurang dari 5 ak kolesterol ester. Kilomikron membawa trigliserid dari makanan ke jaringan lemak dan otot rangka, juga membawa kolesterol makanan ke hati. Kilomikronemia pascamakan (postprandial) mereda 8-1 0 jam sesudah makan. Adanya kilomikron dalam plasma sewaktu puasa dianggap abnormal. Kilomikron membentuk lapisan krim di atas plasma yang didinginkan.
anak dapat terjadi serangan inlark jantung. HDL berasal dari hati dan usus sewaktu terjadi hidrolisis kilomikron dibawah pengaruh enzim lecithin: cholesterol acyltranslerase (LCAT). Ester kolesterol ini akan mengalami perpindahan dari HDL kepada VLDL atau IDL sehingga dengan demikian tdrjadi kebalikan arah transport kolesterol dari periler menuju ke hati untuk dikatabolisasi. Aktivitas ini mungkin berperan sebagai sifat antiaterogenik.
Pada gambar ini juga ditunjukkan tempat di mana obat hipolipidemik bekerja, LIPOPROTEIN. Dengan elektroloresis lipoprotein dibedakan menjadi 5 golongan besar (Tabel 1).
(2) Lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL, very low density lipoprctein). Lipoprotein ini terdiri dari 60 % trigliserid (endogen) dan 10-15 % kolesterol. Lipoprotein ini dibentuk dari asam lemak bebas di hati. Karena asam lemak bebas dan gliserol dapat
Hipolipidemik
367
Tabe| 1. KLASIFIKASI DAN KOMPOSISI LIPOPBOTEIN
VLDL
IDL
< 1.006
< 1,006
Berat molekul
(0,4-30)x10s
Diamot€r (nm) Mobilitas
Parameter
kilomikron
Dsnsitas
LDL
HDL
1.006-1.019
1.019-1.063
1.063-1 .21
(5-10)x106
(3,9-4,8)x l05
2.75
x
(3.6-1 .75)x1 05
>70
25.0-70.O
22.O-24.A
19.6-22.7
Origin
pre-R
broad B (antara B-pre B)
Kol€sterol non estsr
2
5-8
Kol€sterol sster
5
1
Fosfolipld
eleklrotoresis
106
R
4-10
c
Komposisi (% berat)
I
13
b
1-14
22
49
13
7
20-23
25
27
28
Triglissrida
84
44-60
30
11
3
Protein
2
4-11
15
23
50
Apoprotein (% lotal)
AI
7,4
trace
Ail
4,2 trace
trace
36,9
22,5
tace
:u
49,9 13,0
apolipoprotsin) B-100 B-.18
ct, cil, cilt Eil, Elil, EtV
67 22 50-70 trace 5-1 0
98
traca
10--20
'/ace usus
hati, usus
disintesis dari karbohidrat, maka makanan kaya karbohidrat akan meningkatkan jumlah VLDL. Kadar trigliserid juga mungkin berubah oleh pengaruh berat badan, minum alkohol, stres dan latihan fisik. Efek aterogenik VLDL belum begitu jelas, tetapi hipertrigliseridemia mungkin merupakan tanda bah-
wa kadar HDL kolesterol rendah dan sering dihubungkan dengan kegemukan, intoleransi glukosa dan hiperurisemia. Pernah dilaporkan neuropati sensoris periler yang diduga disebabkan oleh hipertrigliseridemia, membaik setelah kadar trigliserid diturunkan. Jika plasma pasien didinginkan semalam (4oC) maka peningkatan kadar VLDL lampak sebagai kekeruhan dibawah lapisan atas. Apabila lapis-
an atas berupa krim maka kadar kilomikron juga meningkat.
(3) Lipoprotein densitas sedang (IDL, intermediate density lipoprotein). IDL ini kurang mengandung trigliserid (30%), lebih banyak kolesterol (200/o\ dan relatif lebih banyak mengandung apopro-
intravaskuler
intravaskul€r
traco 5-1
1
1-2
tace usus,hati
tein B dan E. IDL adalah zat perantara yang terjadi sewaktu VLDL dikatabolisme menjadi LDL, tidak terdapat dalam kadar yang besar kecuali bila terjadi hambatan konversi lebih lanjut. Bila terdapat dalam jumlah banyak IDL akan terlihat sebagai kekeruhan pada plasma yang didinginkan meskipun ultra sentrilugasi perlu dilakukan untuk memastikan adanya IDL. (4) Lipoprotein densitas rendah (LDL,low density lipoprotein). LDL merupakan lipoprotein pengangkut kolesterol terbesar pada manusia (70 % total).
Partikel LDL mengandung trigliserid sebanyak 10 %
dan kolesterol 50 o/0. LDL merupakan metabolit
VLDL, lungsinya membawa kolesterol ke jaringan perifer (untuk sintesis membran plasma dan hormon steroid). Kadar LDL plasma tergantung dari banyak laktor termasuk kolesterol dalam makanan,
asupan lemak jenuh, kecepatan produksi dan eliminasi LDL dan VLDL. LDL adalah komponen normal plasma dalam keadaan puasa. Plasma yang
368
Farmakologi dan Terapi
mengandung LDL kadar tinggi tetap jernih setelah proses pendinginan karena LDL berukuran relatil kecil. (5) Lipoprotein densitas tinggi (HDL, high density lipoprotein). Saat ini dikenal 3 jenis HDL yaitu HDLl dan HDLz dan HDLs. HDLr didapatkan pada hewan dan manusia yang mengkonsumsi diet tinggi kolesterol dan pernah dihubungkan dengan induksi aterosklerosis. Komponen HDL ialah 13 % kolesterol, kurang dari 5 % trigliserid dan 50 % protein.
HDL berfungsi mengakut kolesterol dari jari-
ngan perifer ke hati, sehingga penimbunan kolesterol di perifer berkurang. Kadar HDL menurun pada kegemukan, perokok, penderita diabetes yang tidak terkontrol dan pada pemakai kombinasi estrogen- progestin. HDL secara normal terdapat dalam plasma puasa, tetapi plasmayang didinginkan tetap jernih walaupun HDL terdapat dalam jumlah besar karena HDL lebih kecil daripada LDL.
Kadar HDL kira-kira sama pada laki-laki dan perem-
puan sampai pubertas, kemudian menurun pada laki-laki sampai 20 % lebih rendah daripada kadar pada perempuan. Pada individu dengan nilai lipid yang normal, kadar HDL relatif menetap sesudah dewasa (kira-kira 45 mg/dl pada pria dan 54 mg/dl pada wanita).
HDL penting untuk bersihan trigliserid dan kolesterol, dan untuk lransport serta metabolisme ester kolesterol dalam plasma. HDL biasanya membawa 20 - 25 % kolesterol darah. Kadar tinggi HDL2 dan HDLs dihubungkan dengan penurunan insiden penyakit dan kematian karena aterosklerosis, Mekanisme proteksi HDLterhadap penyakitjantung koroner belum diketahui dengan jelas.
Tabel
Jenis penyakit
2.
Peningkatan lipoprotein
1.4. PILAHAN HIPERLIPIDEMIA HIPERLIPOPROTEINEMIA Hiperlipoproteinemia dibedakan atas lima macam berdasarkan jenis lipoprotein yang meningkat. Hiperlipidemia ini mungkin primer atau sekunder akibat diet, penyakit atau pemberian obat. Hiperlipidemia primer dibagi dalam 2 kelompok besar (l-abel 2): (a) Hiperlipoproteinemia monogenik karena kelainan gen tunggal yang diturunkan.
Sifat penurunan ini mengikuti hukum Mendel; (b) H iperlipoproteinemia poligeni(multilaktorial. Kadar
PENYAKIT, PROFIL LIPIO DAN OBATNYA
Kadar lipid plasma (mg/dl)
T K
Pilihan
pertama
Obat Lain-lain
- kigliserid - kolesterol
Monogenik Def
isiensi lipoprotein
kilomikron
T:
kilomikron
gemfibrozil
& IDL
K:500 T:350 K:350
LDL
T:
statin +
probukol atau
resin
VLDL
K:350 T:500 K:200
asam nikotinat, gemfibrozil
asam nikotinat + resin klofibrat
vLDL dan
T:
100-500 K : 250-400
asam nikotinat, gemfibrozil
klofibrat, resin
LDL
T: 100 Ki280
resin, statin
probukol,
VLDL
T:500 K:200
gemfibrozil
B-sitosterol, neomisin asam nikotinat, klofibrat
lipid tamilial
Disbetalipoproteinemia tipe lllfamilial Hiperkolesterolemia familial (heterozigot) Hipertrigliseridemia lamilial Hiperlipidemia multipel
LDL
10.000
100
asam nikotinat, klofibrat
Multilaktorial Hiperkolesterolemia poligenik
Hipertrigliseridemia
369
Hipolipidenik
kolesterol pada kelompok ini ditentukan oleh gabungan faktor-faktor genetik dengan faktor lingkungan. Diet lemak jenuh dan kolesterol mempengaruhi kadar kolesterol pada pasien-pasien ini. Jenis poligenik lebih banyak ditemukan daripada monogenik, tetapi jenis monogenik mempu-
nyai kadar kolesterol yang lebih tinggi. Tabel
2
menggambarkan pembagian hiperlipidemia primer dan kemungkinan pemilihan obat. lndividu dengan hiperlipoproteinemia primer juga mungkin menderita hiperlipidemia sekunder yang menimbulkan perubahan gambaran lipidnya. Hiperlipoproteinemia sekunder berhubungan dengan diabetes melitus yang tidak terkontrol, minum alkohol, hipotiroidisme, penyakit obstruksi hati, sindrom nelrotik, uremia, penyakit penimbunan glikogen atau disproteinemia (mieloma multipel, makroglobulinemia, lupus erilematosus). Keberhasilan pengobatan penyakit dasar biasanya memperbaiki hiperlipoproteinemia. Hiperlipoproteinemia sekunder juga dapat disebabkan oleh pemberian kortikosteroid, estrogen, androgen, diuretik atau penghambat adrenoseptor beta.
Di samping menyebabkan aterosklerosis, hiperlipoproteinemia mungkin menimbulkan xantoma pada kulit dan tendo. Hipertrigliseridemia mung-
kin mencetuskan serangan nyeri perut yang berhubungan dengan pankreatitis dan hepatosplenomegali. Pengetahuan mengenai kadar kolesterol dan trigliserid dapat digunakan untuk menduga ienis lipoprotein mana yang meningkat, sehingga bermanfaat dalam menegakkan diagnosis genetik. Jika kadar kolesterol meningkat sedangkan trigliserid normal, maka hal ini hampir selalu disebabkan oleh kenaikan kadar LDL dan merupakan hiperkolesterolemia poligenik. Jika ditemukan peningkatan kadar trigliserid (200-800 mg/dl) dengan kadar
kolesterol normal, maka hal ini hampir selalu menunjukkan adanya kenaikan VLDL. Peningkatan kadar trigliserid di atas 1000 mg/dl biasanya menun-
jukkan adanya kilomikron dengan atau tanpa kenaikan VLDL.
Perbedaan antara hipertrigliserid primer dengan sekunder sulit dilakukan, karena adanya beberapa faktor ikutan. Kenaikan moderat kolesterol dan trigliserid menunjukkan adanya kenaikan LDL dan VLDL; hal ini biasanya ditemukan pada hiperlipoproleinemia lamilial jenis multipel, hiperkoleste-
rolemia familial atau adanya disbetalipoproteinemia lamilial.
Klasifikasi hiperlipoproteinemia yang dikenal adalah klasifikasl Frederickson atau NHLBI yang
membagi hiperlipoproteinemia atas dasar lenotip plasma (Tabel 3). Klasifikasi ini merupakan alat bantu yang penting karena meliput berbagai kelainan metabolisme yang berhubungan dengan keadaan hiperlipoproteinemia, mengidentifikasi jenis lipoprotein yang meningkat dengan gejala klinik serta bermanlaat dalam menentukan pengobatan tanpa memandang etiologi penyakit. Keku-rangannya adalah bahwa sistem ini cenderung menggabungkan jenis penyakit yang secara etiologi berbeda ke dalam satu kelas penyakit. Tipe l. Tipe ini memperlihatkan hiperkilomikronemia pada waktu puasa bahkan dengan diet lemak normal dan biasanya disebabkan oleh defisiensi lipoprotein lipase yang dibutuhkan untuk metabolisme kilomikron. Beberapa keluarga yang kekurangan apoprotein Cll dilaporkan memperlihatkan sindrom yang sama. Trigliserid serum meningkat dengan
jelas, dan rasio kolesteroftrigliserid biasanya < 0,2/1 . Kelainan tipe I biasanya muncul sebelum pasien berumur 10 tahun dengan gejala : kolik, nyeri perut berulang, xantoma dan hepatosplenomegali. Pada orang dewasa nyeri yang mirip akut abdomen sering disertai demam, leukositosis, anoreksia dan muntah. Perdarahan akibat pankreatitis akut merupakan komplikasi penyakit ini yang paling berat dan kadang-kadang latal. Aterosklerosis jantung prematur tidak dihubungkan dengan lipidemia tipe ini. Pemeriksaan biokimia menunjukkan adanya lapisan krem dipermukaan plasma pasien puasa.
Tipe ll. Pada tipe ini terjadi peninggian LDL dan apoprotein B dengan VLDL kadar normal (tipe lla) atau meningkat sedikit (tipe llb). Gejala klinik timbul sejak masa anak pada individu homozigot, tetapi pada heterozigot gejala tidak muncul sebelum umur 20 tahun. Kelainan homozigot dan heterozigot mu' dah didiagnosis pada anak dengan mengukur LDL kolesterol. Bentuk paling umum hiperlipidemia tipe ll dlduga disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor LDL berafinitas tinggi. Pada heterozigot jumlah reseptor LDL primer lungsional kira-kira setengah nilai normal dan homozigot lebih sedikit lagi. Blokade degradasi LDL menyebabkan penimbunan LDL dalam plasma yang kemudian meningkatkan deposit lemak di dinding arteri. Xantoma jenis tuberosa atau tendinosa timbul pada homozigot dan heterozigot, sedangkan lesi plantar sering tampak pada homozigot. Pada penderita homozigot, penyakit iskemia jantung terjadi sebelum umur 20 tahun, pada pria heterozigot per-
370
Farmakologi dan Terapi
sentasenya mencapai 60 % pada umur 50 tahun. Jadi deteksi dini sangat penting.
jelas, telapi kadar trigliserid harus diturunkan untuk mengurangi terjadinya xantoma, pankreatitis dan
Tipe lll. Penimbunan IDL pada tipe ini mungkin disebabkan oleh blokade parsial dalam metabo-
nyeri abdominal.
lisme VLDL menjadi LDL, peningkatan produksi apoprotein B atau peningkatan kadar apoprotein E total. Pada beberapa penderita dengan kelainan lamilial tipe lll ditemukan delisiensi atau hilangnya apoprotein E-lll yang tinggi afinitasnya terhadap hati. Pada penderita ini ambilan sisa VLDL dan sisa
kilomikron oleh hati dihambat dan terjadi kumulasi di darah dan jaringan. Pada kelainan ini kolesterol serum dan trigliserid meningkat (350-B0O mg/dl), Gejala klinik muncul pada masa dewasa muda berupa xantoma pada telapak tangan dan kaki, dan
kelainan tuberoeruptif di siku, lutut atau bokong mungkin bersifat karakteristik. penyakit koroner, kardiovaskular dan pembuluh darah tepi terjadi lebih cepat yaitu pada usia 40-50 tahun; intoleransi glukosa serta hiperurisemiaterdapat
yang
Tabel
3.
POLA LIPOPROTETN PADA BERBAGAT TtpE HIPERLIPIDEMIA
Pola Lipoprotein
Peningkatan utama dalam plasma
Lipoprotein I lla Type llb Type lll Type lV Type V
Lipid
Type
Kilomikron
Type
LDL
Kolesterol
LDL dan VLDL
Kolesterol dan trigliserid
IDL
Trigliserid dan kolesterol
Trigliserid
VLDL
Trigliserid
VLDL dan kito-
Trigliserid dan kolesterol
mikron
pada 40 % penderita.
Tipe lV. Tipe ini mungkin merupakan hiperlipidemia
yang terbanyak dijumpai di negeri Barat. Di sini
terjadi peningkatan VLDL dengan hipertrigliseride_ mia. Gejala klinik muncul pada usia pertengahan. Separuh dari penderita ini meningkat kadar trigliseridnya pada umur 25 tahun. Mekanisme kelainan yang lamilial tidak diketahui, tetapi tipe lV yang didapat biasanya bersifat sekunder akibat penyakit lain, alkoholisme berat atau diet kaya karbohidrat; dan biasanya penderita gemuk. lskemia jantung mungkin terjadi (lebih jarang dibanding dengan tipe ll) pada umur 40 tahunan atau setelahnya pada penderita dengan tipe lV familial. Xantoma umumnya tidak ada. Banyak dari penderita ini menunjukkan intoleransi glukosa dengan reaksi insulin berlebihan terhadap beban karbohidrat; dan lebih dari 40% disertai hiperurisemia.
Tipe V. Tipe ini memperlihatkan kumulasi VLDLdan kilomikron, mungkin karena gangguan katabolisme
trigliserid endogen dan eksogen. Karena semua lipoprotein terdiri dari kolesterol, kadar kolesterol
mungkin meningkat jika kadar trigliserida terlalu tinggi. Kelainan inijarang ditemukan. Secara genetik mungkin bersilat heterogen dan penderita dengan kelainan lamilial biasanya tidak menunjukkan gejala sampai sesudah usia 20 tahun. penderita ini memperlihatkan intoleransi terhadap karbohidrat dan lemak, serta hiperurisemia. Hubungan antara penyakit jantung iskemik dan kelainan tipe V tidak
1.5. PENGATURAN DIET Prinsip utama pengobatan hiperlipoproteineialah mengatur diet yang mempertahankan berat badan normal dan mengurangi kadar lipid plasma. lndividu dengan berat badan berlebih sebaiknya segera mulai makanan dengan diet penurun berat badan. Mereka dianjurkan makan makanan rendah kolesterol (< 300 mg/hari), rendah lemak total (< 30 % dari kalori) dan rendah lemak jenuh (<
mia
1O % dari
kalori). Pasien delisiensi lipoprotein Iipase
jarang memerlukan diet dengan total lemak yang sangat rendah.
1.6. MENGHILANGKAN FAKTOR RISIKO Bila individu dengan hiperlipoproteinemia dipacu oleh beberapa penyakit lain seperti diabetes, pecandu alkohol atau hipotiroidisme maka penyakit
tersebut perlu diobati. lndividu tersebut dianjurkan menghindari faktor-faktor yang dapat meningkatkan pembentukan aterosklerosis, yaitu menghentikan
rokok, mengobati hipertensi, olahraga cukup dan pengawasan kadar gula darah pada penderita diabetes.
Hipolipidemik
371
1.7. PEMBERIAN OBAT Pengobatan hiperlipoproteinemia didasarkan
karena adanya hubungan hiperlipidemia dengan aterosklerosis (koroner dan periler), pankreatitis akut (dengan hipergliseridemia) dan tendinitis serta
xantoma (kosmetik). Pengobatan hiperkolesterolemia terutama ditujukan bagi pasien dengan riwayat alerosklerosis prematur dalam keluarga dan dengan adanya laktor risiko lain seperti diabetes melitus, hipertensi dan merokok.
Berikut dibahas beberapa obat hipolipidemik
dengan kegunaannya dalam klinik. Pengobatan hiperlipoproteinemia meliputi penyelusuran jenis kelainan lipid pasien lalu pemberian obat sesuai dengan keadaan patofisiologi penyakit. Gambar 2 ini menunjukkan mekanisme kerja obatobat hipolipidemik dalam pengobatan hiperlipoproteinemia. Resin menghambat sirkulasi enterohepatik, statin menghambat sintesis kolesterol, asam fibrat meningkatkan aktivitas lipoprotein lipase, asam nikotinat menekan lipolisis dan probukol dengan mencegah oksidasi LDL (antioksidans).
2. OBAT YANG MENURUNKAN LIPOPROTE!N PLASMA 2.1. ASAM FIBRAT
Project ditemukan penurunan kolesterol plasma rata-rata sebanyak 6 % pada penderita yang mendapat pengobatan 1,8 g klofibrat seharinya, sedangkan trigllserid plasma turun 22 % . Klofibrat sangal efektil bagi penderita hiperlipoproteinemia tipe lll familial dimana kadar kolesterol dapat menurun sebanyak 50 % dan trigliserid sebanyak 80 %. Agaknya klolibrat dapat memobilisasi kolesterol dari jaringan yang terlihat dari mengecilnya xantoma.
Klofibrat tidak mempunyai elek terhadap hiperkilomikronemia. Mekanisme kerja obat ini hanya diketahui sebagian. Obat-obat ini meningkatkan aktivitas lipoprotein lipase sehingga katabolisme lipoprotein kaya-trigliserida seperti VLDL dan IDL meningkat. Kadar kolesterol HDL meningkat secara tidak
langsung akibat menurunnya kadar trigliserida VLDL atau karena meningkatnya produksi apo Ar dan Atr (bezalibrat dan lenolibrat), Efek penurunan kolesterol LDL oleh asam fibrat diduga berhubungan dengan meningkatnya bersihan VLDL dan
IDL
dalam hati sehingga
produksi LDL menurun.
FARMAKOKINETIK. Klolibrat diabsorpsi melalui usus secara lengkap terutama bila diberikan bersama makanan dan dalam plasma terdapat sebagai
asam p-klorofenoksibutirat. Pemecahan ikatan ester terjaddi sewaktu absorpsi dan puncak kadar plasma tercapai dalam beberapa jam setelah pemberian oral. Enam puluh persen dari asam ini dieks-
kresi melalui urin sebagai glukuronid. Pemberian KLOFIBRAT Klofibrat adalah ester etil dari asam p-klorofe-
bersama kolestiramin hanya sedikit menunda lercapainya puncak kadar plasma. Klofibrat menggeser antikoagulan dari ikatannya dengan albumin.
noksi-isobutirat. Klofibrat merupakan hipolipidemik yang terutama bermanlaat bagi penderita hipertri-
Obat ini mengalami kon.iugasi dan diekskresi dalam
gliseridemia.
EFEK SAMPING. Golongan asam librat umumnya ditoleransi secara baik. Elek samping yang paling sering ditemukan adalah gangguan saluran cerna (mual, mencret, perut kembung, dll.) yang terjadi pada 10 % penderita. Gangguan umumnya berkurang setelah beberapa waktu. Elek samping lain yang dapat terjadi adalah ruam kulit, alopesia, impotensi, lekopenia, anemia, berat badan bertambah, gangguan irama jantung, dll. Derivat asam librat kadang-kadang menyebabkan peningkatan CPK dan lransaminase disertai miositis (fluJike myosiris); CPK dan transaminase dapat juga meningkat tanpa gejala miositis.
Flumus bangun derivat asam librat dapat di lihat pada halaman berikut FARMAKODINAMIK. Elek terhadap lipid plasma. Penurunan kadar VLDL terjadi dalam 2 sampai 5 hari setelah pengobatan. Umumnya kadar kolesterol dan LDL juga lurun. Pada penderita- penderita tertentu (hipertrigliseridemia primer, tipe lV) penurunan VLDL disertai meningkatnya kadar LDL sehingga pengaruh terhadap kolesterol plasma tidak nyata; penurunan LDL ditemukan pada penderita hiperlipidemia tipe ll atau llb. Pada Coronary Drug
urin.
372
Farmakologi dan Terapi CHs I
-€-C-COOCaHs I
CHs
Klofibrat
,cHs
cHs
\\-/
I
cHs
^"-(*rz)s-l-cooH Gemfibrozil "^"F o
CHs
CHs
CHs
CHs
"_Or-O-***i' Fenofibrat
Siprolibrat
"
-O-
O
CHg
[*r("*,,,
--O-o-l-"oon
Bezafibrat
cHs
Rumus bangun derivat asam tibrat
lndeks litogenik meningkat sehingga lebih mudah terbentuk batu empedu. Klolibrat dikontraindikasikan pada penderita dengan gangguan hati dan ginjal, pada wanita hamil dan masa menyusui.
Klolibrat terutama efektif pada penderita hiperlll, lV dan V, sedangkan terhadap hiperlipidemia tipe ll hasilnya bervariasi. Pada sejumlah penelitian (WHO, 1978 dan The Coronary Drug Project Besearch Group, 1975) klofibrat tampaknya tidak efektif dalam mencegah
lipidemia tipe
POSOLOGI DAN lNDlKASI. Klofibrat tersedia
kematian akibat aterosklerosis koroner, sehingga
sebagai kapsul 500 mg. Diberikan 2-4 kali sehari dengan dosis total sampai 2 g. Penambahan dosis di atas 2 g, tidak menambah efek terapi, tetapi
penggunaannya menurun. Klolibrat mungkin dapat memperbaiki toleransi glukosa, tetapi penggunaannya harus dilakukan secara berhati-hati pada penderita sindrom nefrotik, karena efek samping obat dapat menjadi semakin nyata,
memperbanyak efek samping. Dosis ini harus dikurangi pada penderita yang sedang menjalani hemodialisis.
373
Hipoltpidemik
Klolibrat tidak dianjurkan diberikan pada anak karena belum ada data yang mapan. Klolibrat menggeser antikoagulan oral dari ikatannya. dengan albumin dan memperkuat elek obat-obat ini; tetapi peningkatan potensi antikoagulan mungkin disebabkan karena klofibrat mengganggu sintesis faktor-laktor pembekuan darah, disposisi vitamin K atau reseptor warfarin. Bila dibe-
rikan bersama-sama, dosis antikoagulan harus dikurangi dan waklu protrombin diperiksa secara teratur.
GEMFIBROZIL Gemtibrozil secara struktural berbeda dengan klofibrat. Obat ini sangat efektif dalam menurunkan
trigliserid plasma, sehingga produksi VLDL apoprotein B dalam hati menurun. Obat ini
dan me-
bentukan batu empedu walaupun setelah makan obat selama 2 tahun. Seperti derivat asam librat, gemfibrozil dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan lungsi ginjal dan empedu, wanita hamil dan menyusui. Keamanannya pada anak belum diketahui.
POSOLOGI DAN lNDlKAS!. lndikasi penggunaan obat adalah untuk hiperlipidemia (type lll, lV atau V) yaitu pasien-pasien dengan kadar trigliserid > 750 mg/dl yang tidak bisa diatasi dengan diet dan obat penurun trigliserid yang lain. Dosis oral dewasa adalah 600 mg 2 x sehari, diberikan 112 jam sebelum makan pagi dan makan malam. Gemlibrozil tidak efeklil untuk penderita hiperkilomikronemia karena defisiensi lipoprotein lipase familial.
ningkatkan aktivitas lipoprotein lipase sehingga bersihan partikel kaya trigliserid meningkat. Kadar kolesterol HDL juga dapat meningkat pada pemberian obat ini.
FARMAKOKINETIK, Kadar puncak gemfibrozil dalam plasma dicapai dalam 1-2 jam dan keadaan mantap tercapai dalamT-14 hari pada pemberian 2 kali 600 mg sehari. Agaknya tidak ada hubungan antara besar dosis dengan elek penurunan lipid darah. Masa paruhnya kira-kira 1 112iam;70 % dari obat ini diekskresi secara utuh terutama dalam urin. Seperti klofibrat, obat ini juga meningkatkan efek antikoagulan warfarin. Obat ini mengalami hidrok-
silasi dan konyugasi serta diekskresi dalam urin. Kombinasi dengan resin menambah efek obat. Pemberian bersama penghambat HMG CoA reduktase juga meningkatkan efek obat, tetapi harus dilakukan dengan hati-hati karena dapat terjadi rhabdomyolisis (lihat Penghambat HMG CoA reduktase).
EFEK SAMPING. Gemfibrozil ditoleransi dengan baik dan elek samping yang terjadi kurang darilO% penderita. Efek samping utamanya adalah gangguan saluran cerna (sakit perut, diare, mual). Pada
sejumlah penderita terjadi peningkatan foslatase alkali dan transaminase. Peningkatan kadar CPK dengan miositis dapat terjadi pada penderita yang juga mendapat derivat statin (lovastatin). Obat ini meningkatkan indeks litogenik, tetapi tidak seperti klofibrat, hanya kurang dari 1 % penderita (tidak lebih besar daripada kontrol) yang mengalami pem-
2.2. RESTN KOLESTIRAMIN EFEK TERHADAP LIPID DARAH.
Kolestiramin adalah garam klorida dari basic anion exchange resin yang berbau dan berasa tidak enak. Kolestiramin dan kolestipol bersilat hidrolilik, tetapi tidak larut dalam air, tidak dicerna dan tidak diabsorpsi.
Obat ini menurunkan kadar kolesterol plasma dengan cara menurunkan LDL. Penurunan kadar LDL biasanya nyata setelah 4-7 hari dan mencapai 90 % efek maksimal dalam 2 minggu terapi. Elek obat tergantung besar dosis, tetapi banyak pasien tidak tahan menerima obat ini dalam dosis tinggi karena efek samping pada saluran cerna. Pada
kebanyakan penderita, kadar trigliserida dalam plasma (VLDL) meningkat 5'2O
o/o
dalam minggu-
minggu pertama lalu perlahan-lahan menurun kepada kadar sebelum terapi dalam waktu 4 minggu. Resin terutama elektil pada pasien hiperkolesterolemia lamilial atau poligenik dimana hanya LDL yang meninggi. Kolestiramin dilaporkan mengurangi resiko penyakit iantung koroner dan digunakan untuk jangka lama fl-he Lipid Flesearch Clinics Coronary Primary Prevention Trial, 1984).
374
Farmakologi dan Terapi
HNCH2CH2NCH2CH2NCH2CH2NCH2CH2NH
t-
..-cH--€Hr-cH-cHz-.
I AA
L
.
... -€Hz--cH-..
.
.l
I
cH2 I
HCOH
tt
CH2 ll
I
cH2N*(cHs)sc_Jn
RUMUS BANGUN KOLESTIRAMN
Rumus bangun kolestiramin dan kolestipol dapat di lihat pada halaman berikut.
tt
cH2
I
I
cH2
cH2
cH2
I
I
I
HCOH
HCOH
CH2
cH2
cH2
I
I
HCOH
I
I
HCOH I
I
-€H2CH2NCH2CH2N HNCH2CH2N
cH2 I
HNCH2CH2_
_tt_
RUMUS BANGUN KOLESTIPOL
an absorp-si lemak atau steatore dapatterjadi gangguan absorpsi vitamin A, D dan K serta hipopro-
trombinemia.
MEKANISME KERJA. Resin menurunkan kadar kolesterol dengan cara mengikat asam empedu dalam saluran cerna, mengganggu sirkulasi entero-
hepatik sehingga ekskresi steroid yang bersifat asam dalam tinja meningkat. penurunan kadar asam empedu ini oleh pemberian resin akan menyebabkan meningkatnya produksi asam empedu yang berasal dari kolesterol. Karena sirkulasi enterohepatik dihambat oleh resin maka kolesterol yang diabsorpsi lewat saluran cerna akan terhambat dan keluar bersama tinja. Kedua hal ini akan menyebabkan penurunan kolesterol dalam hati. Selanjutnya penurunan kadar kolesterol dalam hati akan menyebabkan terjadinya 2 hal : pertama, meningkatnya jumlah reseptor LDL sehingga katabolisme LDL meningkat dan mening-katnya aktivitas HMG CoA reduktase. Dari sini tampak pula bahwa efek resin tergantung dari kemampuan sel hati dalam meningkatkan jumlah reseptor LDL fungsional sehingga tidak efektif untuk pasien dengan hiperkolesterolemia familial homozigot dimana reseptor LDL fungsional tidak ada. Efek resin akan meningkat bila diberikan bersama penghambat HMG CoA reduk-
tase (tetapi hati-hati elek samping, lihat penghambat HMG CoA reduktase).
EFEK SAMPING. Obat ini mempunyai rasa tidak enak seperti pasir. Elek samping tersering ialah mual, muntah dan konstipasi yang berkurang setelah beberapa waktu. Konstipasi dapat dikurangi dengan makanan berserat. Klorida yang diabsorpsi dapat menyebabkan terjadinya asidosis hiperkloremik terutama pada pasien muda yang menerima dosis besar. Di samping meningkatkan trigliserida plasma, resin juga meningkatkan aktivitas fostatase alkali dan lransaminase sementara. Akibat ganggu-
Obat ini mengganggu absorpsi klorotiazid, tiroksin, digitalis, besi, lenilbutazon dan warfarin sehingga obat-obat ini harus diberikan 1 jam sebe-lum atau 4 jam setelah pemberian kolestiramin. pemberian bersama antikoagulan harus dilakukan dengan hati-hati karena dapat terjadi perpanjangan masa protrombin.
Dosis yang dianjurkan adalah 12-1 6 g sehari dibagi 2-4 bagian dan dapat ditingkatkan sampai maksimum 3 kali 8 g. Ditelan sebagai larutan atau dalam sari buah untuk mengurangi iritasi, bau dan rasa yang mengganggu. Resin tidak bermanlaat dalam keadaan hiperkilomikronemia, peninggian VLDL atau lDL, dan bahkan dapat meningkatkan kadar trigliserida. Untuk pasien hiperlipoproteinemia dengan peningkatan VLDL (tipe llb atau lV), perlu tambahan obat lain (mis. asam nikotinat dan asam librat).
KOLESTlPOL Kolestipol adalah kopolimer dari dietilpentamin
dan epiklorohidrin, juga suatu resin. Penggunaannya serupa dengan kolestiramin dengan dosis 20309 sehari. Obat ini tidak memberikan bau dan rasa yang mengganggu, sehingga lebih memudahkan kelaatan minum obat dibandingkan dengan kolestiramin. Elek sampingnya berupa konstipasi dan gangguan gastrointestinal ringan.
2.3. PENGHAMBAT HMGCoA REDUK-
TASE Suatu kemajuan dalam pengobatan hiperkolesterolemia dengan ditemukannya kelompok baru
375
Hipolipidamik
zat yang didapat dari jamur yang bersifat kompetitor
yang kuat terhadap HMGCoA
reduktase suatu enzim yang mengkontrol biosintesis kolesterol. Obat-obat ini sangat elektil dalam menurunkan kadeir LDL kolesterol plasma. Empat penghambat HMGCoA reduktase yang telah dipelajari pada manusia : mevastatin, lovastatin, pravastatin dan simvastatin.
Bumus bangun penghambat HMGCoA reduktase tertera di bawah ini.
EFEK TERHADAP LIPID DAN LIPOPROTEIN PLASMA
Semua penghambat HMGCoA reduktase memperlihatkan efek yang sama terhadap lipid plasma, tetapi dari semuanya data yang terbanyak adalah mengenai lovastatin. Bila diberikan pada
penderita yang mengkonsumsi diet rendah koles' terol sebagai obat tunggal, lovastatin akan menurunkan LDL kolesterol plasma yang berhubungan dengan dosis. Penurunan 20 o/o,pada dosis 10 mg
sampai 40 %, pada dosis 80 mg per hari. Perubahan
ini terutama karena penurunan total LDL partikel' juga didapat penurunan sedikit untuk setiap partikel LDL. Jumlah kolesterol dalam VLDL menurun dan kadar trigliserida menurun sampai 25 % sedangkan kadar HDL kolesterol meningkat 10 sampai 13 %' Obat ini juga efektil pada hiperkolesterolemia karena diabetes melitus atau sindrom nefrotik. Lovastatin menunjukkan elek aditil dengan kolestiramin dan kolestipol,
Penderita dengan hiperkolesterolemia type lamilial heterozygot (type ll) yang diberi 20 g kolestipol dan 80 mg lovastatin per hari menunjukkan penurunan kolesterol total dan kolesterol LDL hampir 50 %' Efek tersebut dapat dicapai dengan kombinasi asam nikotinat dan resin pengikat asam empedu yang kurang terterima, CARA KERJA Penghambat HMGCoA reduktase menghambat sintesis kolesterol di hati dan hal ini akan menu-
HsC' Lovastatin
Mevastatin
Ho\r I
\,/
o!
Hsct' Simvastatin
Pravastatin
RUMUS BANGUN PENGHAMBAT HMG COA REDUKTASE
cozNa oH
Farmakologi dan Terapi
runkan kadar LDL plasma. Menurunnya kadar kole_ perubahan-perubahan yang berkaitan dengan potensi obat ini.
sterol akan menimbulkan
Kolesterol menekan transkripsi 3 jenis gen yang mbngatur sintesis HMGCoA sintase, HMGCoA reduktase dan reseptor LDL. Menurunnya sintesis kolesterol oleh penghambat HMGCoA reduktase
akan menghilangkan hambatan ekspresi
jenis gen tersebut diatas, sehingga aktivitas sintesis koles3
terol meningkat secara kompensatoir. Hal ini me_ nyebabkan penurunan sintesis kolesterol oleh penghambat HMGCoA reduktase tidak besar. Rupa-rupanya obat ini melangsungkan efeknya dalam menurunkan kolesterol dengan cara meningkatkan jumlah reseptor LDL, sehingga katabolisme
kolesterol terjadi semakin banyak. Dengan demi_ menurunkan kadar kolesterol (LDL). Oleh karena itu pula obat ini tidak efektif untuk penderita hiperkolesterolemia familial homozigot, karena jumlah reseptor LDL pada penderita ini sangat sedikit sekali.
kian maka obat ini dapat
Peningkatan serum transaminase asimtoma_
tik terjadi pada2 % pasien, untuk hal ini perlu kontrol tiap 4,6 minggu selama .l 5 bulan pertama pengo_ batan, kemudian kontrol secara periodik sesudah_
nya. Obat harus dihentikan jika didapatkan kadar transaminase yang tetap tinggi atau bertambah tinggi.
Kenaikan kadar kreatin fosfokinase (CpK) pada plasma yang asimtomatik terjadi pada lebih dari 11% penderita yang menggunakan lovastatin. Secara umum ini tidak merupakan alasan untuk penghentian penggunaan lovastatin, kecuali CpK
naik sampai 3 x normal, persisten dan timbul gejala miopati. Pada penderita yang menggunakan lovastatin
sebagai obat tunggal, kejadian miopati hanya
kurang dari 0.2 %i tetapi pada penderita yang juga menggunakan obat lain misalnya imunosupresan
(siklosporin), asam nikotinat atau gemfibrozil miopati ini dapat terjadi lebih sering dan berat. Beberapa pasien menderita rhabdomyolisis dengan
myoglobinuria dan gagal ginjal. Lovastatin harus ABSORPSI, NASIB DAN EKSKRESI Pada hewan dan diduga juga pada manusia lovastatin yang diberikan per oral diabsorpsi se_ banyak kira-kira 30 %. Sesudah lintasan pertama melalui hati, obat ditemukan dalam bentuk plasma asal metabolit aktif atau inaktif . Sembilan puluh lima
persen obat ini dan metabolitnya terikat protein
digunakan secara berhati-hati pada keadaan ini dan dosis harian dibatasi sampai 20 mg. Belum lersedia data klinik mengenai penghambat HMGCoA reduk_
tase lain. Lovastatin dosis tinggi menimbulkan katarak pada lensa mata anjing, walaupun hal ini belum
terbukti pada manusia, perlu dilakukan pemeriksaan mala (slit lamp) pada penggunaan obat,
plasma.
Sebagian besar produk degradasi diekskresi melalui leses dan kurang dari 10 % dalam urin. Kadar puncak lovastatin dalam plasma terlihat 2_4 jam sesudah pemberian oral tunggal. Sesudah 3
hari dengan pemberian 1 x sehari, mantap akan ler_ capai dan kadar plasma 1 l12xkadar puncak pada pemberian tunggal. Kadar lebih tinggi bisa didapat bila lovastatin diberikan bersama makanan. Lovas_ tatin agaknya tidak menginduksi sitokrom pqso.
EFEK SAMPING DAN INTERAKSI OBAT Lovastatin sudah digunakan secara luas di AS
mulai 1987. Sejauh ini, lovastatin dapat terterima secara baik dan belum ada elek toksik yang dilaporkan. Kurang dari 10 % penderita menunjukkan
gangguan saluran cerna, sakit kepala, ,rash, (ke_ merahan), tetapi gangguan ini tidak sampai perlu menghentikan pemberian obat.
POSOLOGIDAN INDIKASI Lovastatin lersedia dalam bentuk tablet 20 dan 40 mg. Dosis dimulai dari 20-40 mg per hari diberikan bersama makanan. Bila perlu sesudah 4 minggu dosis dapat ditingkatkan sampai maksimum
80 mg per hari. Obat ini sedikit lebih efektil bila
diberikan dengan dosis terbagi. Bila diberikan de_ ngan dosis lunggal, sebaiknya malam hari, sehu_ bungan dengan ritme diurnal sintesis kolesterol. Kombinasi lovastatin dengan gemfibrozil sa_ ngat efektf pada penderita tertentu, tetapi harus hati-hati dengan kemungkinan terjadinya miopati. Lovastatin seperti obat penurun kolesterol lainnya hanya dianjurkan diberikan bila diet rendah koles_ terol dan lemak jenuh lelah gagal. Lovastatin meru_ pakan terapi utama untuk penderita dengan resiko
tinggi infark miokard karena hiperkolesterolemia,
termasuk pasien dengan lotal kolesterol lebih dari 300 mg/dlatau lebih dari240 mg/dtyang juga men-
377
Hipolipidemik
karena pemberian aspirin dapat mencegah timbulnya gangguan ini. Tetapi elek ini akan cepat menghilang bila obat diteruskan (takifilaksis). Efek samping yang paling berbahaya adalah
derita penyakit koroner atau ada faktor-faktor risiko lain. Obat ini dikontraindikasikan pada wanita hamil karena mempunyai efek teratogenik pada hewan,
gangguan lungsi hati ditandai dengan kenaikan 2.4. ASAM NIKOTINAT Asam nikotinat (niasin) adalah salah satu dari komponen vitamin B kompleks yang hingga kini
masih dipakai secara luas (di Amerika Serikat) untuk pengobatan hiperkolesterolemia (tipe lla) dan tipe kombinasi (llb dan lV). Efek initidak dimiliki oleh nikotinamid. Efek lisiologik asam nikotinat dibahas dalam Bab 50.
Rumus bangun asam nikotinat adalah sebagai berikut:
kadar foslatase alkali dan transaminase terutama pada dosis tinggi (di atas 3 gram)' Gangguan faal hati ini diduga disebabkan karena penghambatan sintesis NAD. Efek samping lain adalah gangguan saluran cerna (muntah, diare, ulkus lambung karena sekresi asam lambung meningkat, dsb.). Juga dapat terjadi acanthosis nigricans dan pandangan kabur pada pemakaian jangka lama, hiperurisemia dan hipergli' kemia. Gangguan laal hati, hiperurisemia dan hiper-
glikemia bersitat reversibel dan menghilang jika obat dihentikan. Karena banyaknya efek samping asam nikotinat ini, maka banyak pasien menghenti-
kan pengobatan dan mengganti dengan obat lain' Kombinasi niasin dengan kolestipol menurunkan kadar "thyroxin binding globulin" sehingga tiroksin total menurun.
o
Q-!-oH
POSOLOGI DAN lNDlKASl. Asam nikotinat ber-
RUMUS BANGUN ASAM NIKOTINAT
FARMAKODINAMIK. Asam nikotinat menurunkan produksiVLDL, sehingga kadar IDL dan LDL menurun. Bagaimana jelasnya penurunan VLDL ini belum diketahui secara pasti, tetapi mungkin berhubungan dengan penghambatan lipolisis pada jari-
ngan lemak sehingga asam lemak bebas (yang diperlukan untuk sintesis VLDL di hati menurun) dan meningkatnya aktivitas lipoprotein lipase. Akibat dari hal diatas kadar LDL akan menurun. Kadar HDL meningkat sedikit sampai sedang karena menurunnya katabolisme Apo Al oleh mekanisme yang
guna sebagai obat pilihan pertama untuk pengobatan semua jenis hipertrigliseridemia dan hiperkolesterolemia, kecuali tipe I' Asam nikotinat terutama bermanlaat pada pasien hiperlipoproteinemia tipe lV yang tidak berhasil diobati dengan resin. Pada Suatu studi (the Coronary Drug Proiect, 1975), pemberian asam nikotinat menurunkan kadar kolesterol (10 %) dan trigliserida serum (26 %) pada pasien infark jantung. Pada penelitian ini ditemukan penurunan infark jantung nonlalal(27 %) tetapi angka kematian total tidak berbeda dengan plasebo setelah pengobatan 5 tahun. Tetapi pada penelitian lanjutan (1 5 tahun kemudian) ditemukan penurunan angka kematian total sebanyak 11 %' Asam nikotinat biasanya diberikan per oral 2-69 sehari terbagi dalam 3 dosis bersama makanan; mula-mula dalam dosis rendah (3 kali 100-200 mg seharl) lalu dinaikkan setelah 1-3 minggu.
belum diketahui.
Obat
ini tidak mempengaruhi
katabolisme
VLDL, sintesis kolesterol total atau ekskresi asam empedu.
EFEK SAMPING. Efek samping asam nikotinat pada pengobatan hiperlipidemia yang paling mengganggu adalah gatal dan kemerahan kulit terutama di daerah wajah dan tengkuk, yang timbul dalam
beberapa menit hingga beberapa jam. Elek
ini
agaknya dilangsungkan lewat jalur prostaglandin,
ASIPIMOKS
Asipimoks merupakan analog sintetik asam nikotinat yang juga menghambat lipolisis pada jaringan lemak. Obat ini menurunkan lemak darah dan meningkatkan HDL pada pasien hiperlipidemia tipe ll' lll, dan lV. Dibandingkan dengan asam nikotinat' asipimoks kurang mengganggu toleransi glukosa
378
Farmakologi dan Terapi
dan saluran cerna serta kurang menimbulkan vasodilatasi di muka (flushing).
2.5. PROBUKOL Probukol menurunkan kadar kolesterol serum dengan menurunkan kadar LDL. Obat ini tidak me_ nurunkan kadar trigliserid serum pada kebanyakan penderita, Kadar HDL menurun lebih banyak daripada kadar LDL sehingga menimbulkan rasio LDL: HDL yang kurang menguntungkan. penyelidikan menunjukkan probukol meningkatkan kecepalan katabolisme lraksi LDL pada pasien hiperkoleste_ rolemia lamilial heterozigot dan homozigot lewat jalur non-reseptor. Akhir-akhir ini probukol mendapat perhatian kembali karena kemungkinan bermanfaat dalam menghambat proses aterosklerosis berdasarkan efek antioksidansnya. Agaknya elek antiaterogenik probukol ini terlepas dari efek hipolipidemiknya.
lNDlKAS|. Probukol dianggap sebagai obat pilihan kedua pada pengobatan hiperkolesterolemia de_
ngan peninggian LDL. Obat ini menurunkan kadar LDL dan HDL tanpa perubahan kadar trigliserid. Efek penurunan LDL karena obat ini kurang kuat dibandingkan resin. Probukol menurunkan LDL dan mengecilkan xanthoma pada penderita hiperkoles_ terolemia lamilial homozigot. Obat ini dapat dikombinasi dengan hipolipidemik lainnya. Pemberian bersama resin mening_ katkan elek hipolipidemiknya; probukol menimbul_ kan konsistensi tinja yang lunak sehingga memper_ baiki elek samping resin yang menimbulkan konstipasi, Kombinasi probukol dengan klofibrat tidak bo_ leh dilakukan karena kadar HDL akan lebih rendah.
FARMAKOKINETIK. Walaupun probukol larut lemak, obat ini diabsorpsi terbatas lewat saluran cerna (< 10
o/o).,
tetapi kadar darah yang tinggidapat dicapai bila obat ini diberikan bersama makanan. Waktu paruh eliminasi adalah 23hari, tetapi akan
memanjang pada pemberian kronik. Obat ini per_ lahan-lahan berkumpul dalam jaringan lemak dan bertahan selama 6 bulan atau lebih setelah dosis terakhir dimakan. Tidak ada korelasi antara kadar dalam darah dengan elek hipokolesterolemiknya. Metabolismenya tidak diketahui dan jalan ekskresi yang utama adalah melalui leses.
EFEK NONTERAPI. Probukol ditoleransi dengan baik. Beaksi yang sering terjadi berupa gangguan gastrointestinal ringan (diare, llatus, nyeri perut dqn mual). Kadang-kadang terjadi eosinolilia, pareste_ sia dan edema angioneurotik. pada wanita yang merencanakan untuk hamil dianjurkan agar meng_ hentikan probukol 6 bulan sebelumnya. Keamanan pada anak belum diketahui. Selama makan probu_ kol dianjurkan agar pasien memeriksakan EKG (pe_
manjangan interval QT) sebelum terapi, 6 bulan kemudian dan tiap tahun setelahnya. probukol tidak boleh diberikan pada pasien infark jantung baru atau dengan kelainan EKG. POSOLOGI. Dosis sewasa 250-500 mg sebaiknya ditelan bersama makanan, 2 kali sehari. Biasanya dikombinasi dengan obat hipolipidemik yang lain (mis. resin atau penghambat HMGCoA reduktase).
(CHe)oC
CHs
C(CHs)s
-1 '-i-s$oH cHs t1"r.y.
HO
(cHs):]C
RUMUS BANGUN PROBUKOL
2.6. LAIN-LAIN NEOMISIN SULFAT Neomisin sullat yang diberikan per oral dapat menurunkan kadar kolesterol dengan cara mirip resin yaitu membentuk kompleks tidak larut dalam asam empedu. Efek penurunan kolesterol neomisin bersifat sedang; pada pemberian 2 g/hari dalam dosis terbagi menurunkan LDL dan kolesterol total sebanyak 10-30 %, tanpa mengubah kadar trigliserid. Obat ini dapat diberikan tunggal atau bersama obat lain dengan indikasi serupa dengan resin, sebaiknya bagi pasien yang tidak cocok dengan obat hipolipidemik lainnya. Efek samping neomisin meliputi gangguan saluran cerna, ototoksisitas, nefrotoksisitas (terutama pada pasien gangguan fungsi ginjal), gangguan absorpsi obat lain (digoxin) dsb.
Hipolipidemik
BETA SITOSTEROL
379
Obat-obat misalnya etinil estradiol, noretindron asetat, oksandrolon, halofenat dan klofikol
Beta sitosterol adalah gabungan sterol tanam-
dahulu digunakan untuk hiperlipoproteinemia tetapi
an yang tidak diabsorpsi saluran cerna manusia.
sekarang tidak digunakan lagi karena tidak menguntungkan ditinjau dari pertimbangan untungrugi risk dan benefit ratio.
Mekanismej kerjanya diduga menghambat absorpsi kolesterol eksogen dan diindikasikan hanya untuk pasien hiperkolesterolemia poligenik yang amat sensitif dengan penambahan kolesterol dari luar (makanan). Efek sampingnya berupa gangguan saluran cerna (elek laksatif, mual, muntah). Dosis yang dianjurkan berkisar antara 3-6 g/hari. Mengingat khasiat terapinya yang minimal dan efek samping yang mengganggu, maka saat ini beta sitosterol tidak dianjurkan penggunaannya. DEKSTROTIROKSIN
Merupakan isomer optik hormon tiroid yang dahulu digunakan untuk pengobatan hiperkolesterolemia. Mekanisme kerjanya dalam menurunkan kadar lipid darah diduga karena efek tiromimetiknya (kemampuan menurunkan kadar lipid yang lebih besar daripada peningkatan kecepatan metabolismenya).
Metabolisme LDL meningkat karena tiroksin meningkatkan jumlah reseptor LDL. Dekstrotiroksin termasuk obat hipolipidemik yang tidak direkomendasi penggunaannya saat ini. Dekstrotiroksin lebih banyak menimbulkan gangguan jantung (inlark jantung, angina, aritmia) dan meningkatkan mortalilas dibandingkan plasebo flhe Coronary Drug Project Research Group, 1972). Menurut sejumlah peneliti, obat ini mungkin bermanfaat untuk pengobatan hiperkolesterolemia pada anak atau orang dewasa yang tidak disertai kelainan koroner.
3. PENGOBATAN HIPERLIPO. PROTEINEMIA Penyakit aterosklerosis (koroner) merupakan
penyakit multilaktorial, dimana kadar kolesterol tinggi merupakan salah satu faktor resiko utama.
Banyak penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa peningkatan kadar kolesterol total atau LDL berperan dalam pembentukan lesi aterosklerosis, sedangkan peninggian HDL dianggap protektif. Pengobatan hiperlipoproteinemia meliputi penanganan sebab-sebab penyakit sekunder (diabetes melitus, hipotiroid, sindrom nelrotik, dsb.), pengaturan diet dan obat. Pengaturan diet dilakukan meliputi pengurangan konsumsi lemak total (terutama yang mengandung lemak jenuh), kolesterol dan kalori (untuk obesitas). Kadar kolesterol dianggap normaljika kurang dari 200 mg/dl, "borderline" jika antara 200-239 mg/dl dan hiperkolesterolemia jika diatas 240 mg/dl. Pemberian obat dilakukan jika diet telah dilakukan selama 3-6 bulan, tanpa hasil yang memadai. Terapi dengan obat hipolipidemik dianggap penting karena mempengaruhi dan mencegah komplikasi aterosklerosis, Sekalipun demikian, karena upaya penanganan penyakit ini berlangsung untuk waktu
yang
lama, maka perlu ditimbang 'risk-benefit'
pada pemberian suatu obat hipolipidemik.
BEKATUL Bekatul (Bran) populer di masyarakat baik di luar negeri maupun di lndonesia untuk mencegah arleriosklerosis. Dugaan pada permulaan adalah bahwa bekatul dapat menurunkan kadar lipid plasma. Suatu penelitian klinik menyimpulkan bahwa bekatul sampai 50 g/hari selama 12 minggu tidak menurunkan kadar lipid darah. Dugaan lain adalah serat dalam bekatul dapat memperlancar ekskresi empedu. Juga dikemukakan bahwa efek penurunan kolesterol tergantung dari kadar silikat yang dikandungnya. Kegunaan bekatul dalam pencegahan arteriosklerosis masih memerlukan penyelidikan lebih lanjut.
Penggunaan obat untuk hiperkolesterolemia meliputi pemberian resin atau'trial' dengan asam nikotinat, penghambat H MGCoA reduktase, derivat asam librat (gemfibrozil) atau probukol. Keadaan hipertrigliseridemia diobati dengan gemlibrozil dan asam nikotinat dengan kemungkinan penggunaan penghambat HMGCoA reduktase (lihat juga Tabel. 2). Saat ini terdapat pemikiran penggunaan kombinasi obat hipolipidemik yang bersilat sinergistik misalnya asam nikotinat dengan resin untuk menurunkan kadar LDL pada pasien hiperkolesterolemia lamilial heterozigot. Contoh lain adalah probukol atau lovastatin digabung dengan resin. Perlu diingat bahwa kombinasi obat-obat tertentu dapat meningkatkan resiko timbulnya elek samping.
627
Penisilin, Sefalosporin dan Antibiotik Betalaktam Lainnya
bermakna dalam penggunaan di klinik. Sering absorpsi ampisilin oraf tidak cukup memuaskan sehingga perlu meningkaikan dosis. Ester ampisilin misalnya. pivampisilin, bakampisilin dan hetasilin diabsorpsi lebih baik daripada ampisilin' Berbagai enzim dalam mukosa saluran cerna, serum dan
jaringan lain menghidrolisis ester-ester ini dan membebaskan ampisilin.
Absorpsi amoksisilin di saluran cerna jauh lebih baik daripada ampisilin. Dengan dosis oral yang sama, amoksisilin mencapai kadar dalam darah yang tingginya kira-kira 2 kali lebih tinggi daripada yang dicapai oleh ampisilin, sedang masa paruh eliminasi kedua obat ini hampir sama. Penyerapan ampisilin terhambat oleh adanya makanan di lambung, sedang amoksisilin tidak. Metisilin dan nafsilin tidak diberikan per oral sebab cepat dirusak oleh asam lambung dan absorpsinya buruk. Karbenisilin tidak diabsorpsi di saluran cerna. Dalam bentuk ester, indanil karbenisilin sangat tahan asam dan dapat diberikan oral. Pada pemberian 1 g lM, kadar puncak karbenisilin dalam plasma mencapai 15 sampai 20 pg/ml dalam 0,5 sampai 2 jam. Aktivitasnya hilang sekitar 6 iam sesudah pemberian. Waktu paruh eliminasi pada individu dengan lungsi ginjal normal, sekitar 1 jam dan dapat memanjang hingga 2 jam bila ada kelainan fungsi hati. Sekitar 50% obat ini terikat pada protein plasma.
Tikarsilin, suatu bentuk ester lain dari karbeni-
silin, tidak stabil pada pH asam sehingga hartis diberikan parenteral. Sulbenisilin, azlosilin, mezlosilin dan piperasilin juga diberikan parenteral. DISTRIBUSI, Penisilin G didistribusi luas dalam tubuh. lkatan proteinnya ialah 65%. Kadar obat yang memadai dapat tercapai dalam hati, empedu, ginjal, usus, limfe dan semen, tetapi dalam CSS sukar dicapai. Bila meningen dalam keadaan normal, sukarsekali dicapai kadar0,5 UUml dalam CSS walaupun kadar plasmanya 50 Ul/ml. Adanya radang meningen lebih memudahkan penetrasi penisilin G ke CSS tetapi tercapai tidaknya kadar efektil tetap sukar diramalkan. Pemberian intratekal jarang dikerjakan karena risiko yang lebih tinggi dan efektivitasnya tidak lebih memuaskan.
Distribusi lenoksimetil penisilin, leneiisilin, penisilin isoksazolil dan metisilin pada umumnya sama dengan penisilin G. Dengan dosis yang sama' kadar puncak dalam serum tertinggi dicapai oleh diklosasilin, sedangkan kadar tertinggi obat bebas dalam serum dicapai oleh llukloksasilin. Perbedaan nyata yang terlihat antara lain adalah dalam hal pengikatan oleh protein plasma. Penisilin isoksazolil memiliki angka ikatan protein tertinggi (Tabel 43-2). Dengan dosis yang sama, dikloksasilin oral maupun lV menghasilkan kadar dalam darah lebih tinggi daripada oksasilin ataupun kloksasilin karena adanya perbedaan distribusi dan eliminasi'
Tabel 43-2. PARAMETER FARMAKOKINETIK BEBERAPA PENISILIN
Jenis Penisilin
Penisilin G Penisilin V Metisilin Oksasilin Kloksasilin Dikloksasilin Flukloksasilin Ampisilin Hetasilin Pivampisilin Amoksisilin Karbenisilin Sulbenisilin Tikarsilin Azlosilin Mezlosilin
Cara Pemberian
IM
Dosis
IM
IM IV IM IV IM
oral (% dosis)
Plasma (pg/ml)
8U
300.000 u 49
oral oral oral oral oral oral oral oral oral
Bioavailabilitas KadarPuncak
1g 1g 1g 0,5 g 0,5 g 0,5 g 0,45 g 0,5 g 0,5 g
30-50 37 49
10 5 - 10
5-10 15 11
49 32 65
65-78
3
2,5 5,7 6,75
1g
15-20
4g 29 5g 3g
157
60 236,5 100
protein plasma
lkatan
t1/2 Plasma (menit)
("/t 65 75 40
a:
90-95
30-60
94 97 93 20 20 20 20 50
33 37
45
20-40 16-42
30-60 60-90 60-90 60-90 60-90 60 70 70 60 60
Pengantar Antimikroba
XII. ANTIMIKROBA 39. PENGANTAR ANTIMIKROBA R. Setiabudy dan Vincent H.S. Gan
1.
7. Sebab kegagalan terapi
Delinisi
2. Aktivitas dan spektrum
8. Penggunaan antimikroba di klinik
3. Mekanisme kerja 4.
8.1. lndikasi
Resistensi
8.2. Pilihan antimikroba dan posologi
5. Elek samping 6.
8.3. Kombinasi antimikroba
Faktor pasien yang mempengaruhi larmakodinamik dan {armakokinetik
8.4. Kemoprofilaksis antimikroba
2. AKTIVITAS DAN SPEKTRUM
1. DEFINISI
ANTIMIKROBA.
Antimikroba (AM) ialah obat pembasmi mikroba, khususnya mikroba yang merugikan manusia. Dalam pembicaraan di sini, yang dimaksudkan dengan mikroba terbatas pada jasad renik yang tidak termasuk kelompok parasit.
Antibiotik ialah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama lungi, yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain. Banyak antibiotik dewasa ini dibuat secara semisintetik atau sintetik penuh. Namun dalam praktek sehari-hari AM sintetikyang tidak diturunkan dari produk mikroba (misalnya sulfonamid dan kuinolon) iuga sering digolongkan sebagai antibiotik.
Obat yang digunakan untuk membasmi mikroba, penyebab inleksi pada manusia, ditentukan
harus memiliki silat toksisitas selektil setinggi mungkin. Artinya, obat tersebut haruslah bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatil tidak toksik untuk hospes. Silat toksisitas selektil yang absolut belum atau mungkin juga tidak akan diperoleh.
Berdasarkan silat toksisitas selektif, ada m
i
krob
a
y an
g
be rs
il
at
mengh.a
m b:alLae4!u.
anti- , *5-
!l [uJ
n
kenal se bag ai a Eli vltas b! kteri 3:tati "k ; yang bersilat membunuF mfkiriba, tilR6fr6l dan ada sebagai aktivitas bakterisid. Kadar minimal yang diperl,rkan untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau membunuhnya, masing-masing dikenal
$-i Kr.qb.a*gi
sebagaikadar hambat minimal(KHM) dan kadar bunuh minimal (KBM). Antimikrobatertentu aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatik meniadi bakterisid bila kadar antimikrobanya ditingkatkan melebihiKHM. 'deSifat antimikroba dapat berbeda satu ngan lainnya. Umpamanya, penisilin G bersifat aktil terutama terhadap bakteri gram-positif, sedangkan bakteri gram-negatif pada umumnya tidak peka (esisten) terhadap penisilin G; slreptomisin memiliki si{at yang sebaliknya; tetrasiklin aktil terhadap beberapa bakteri gram-positif maupun baklerigram-negatil, dan juga terhadap Rickeftsia dan
Sl."
572
Farmakologi dan Terapi
Chlamydia. Berdasarkan perbedaan silat ini antimikroba dibagi menjadi dua kelompok, yaitu berspektrum sempit (umpamanya: benzil penisilin dan streptomisin), dan berspektrum luas (umpamanya tetrabiklin dan kloramlenikol). Batas antara kedua jenis spektrum ini terkadang tidak jelas.
Walaupun suatu antimikroba berspektrum luas, efektivilas kliniknya belum tentu seluas spektrumnya sebab efektivitas maksimal diperoleh de-
ngan menggunakan obat terpilih untuk infeksi yang sedang dihadapi terlepas dari efeknya terhadap mikroba lain. Di samping itu antimikroba berspektrum luas cenderung menimbulkan superinfeksi oleh kuman atau jamur yang resisten. Di lain pihak pada septikemia yang kausanya belum diketahui diperlukan antimikroba yang berspektrum luas sementara menunggu hasil pemeriksaan mikrobiologik,
3. MEKANISME KERJA ANTIMIKROBA Pemusnahan mikroba dengan antimikroba
yang bersilat bakteriostatik masih tergantung dari kesanggupan reaksi daya tahan tubuh hospes. Peranan lamanya kontak antara mikroba dengan antimikroba dalam kadar efektif juga sangat menen-
tukan untuk mendapatkan elek; khususnya pada tuberkulostatik.
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antimikroba dibagi dalam lima kelompok : (1) yang mengganggu metabolisme sel mikroba; (2) yang menghambat sintesis dinding sel mikroba; (3) yang meng-
ganggu permeabilitas membran sel mikroba; (4) yang menghambat sintesis protein sel mikroba; dan (5) yang menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel mikroba.
Antimikroba yang menghambat metabolisme sel mikroba. Antimikroba yang termasuk dalam
ini ialah sulfonamid, trimetoprim, asam p-aminosalisilat (PAS) dan sulfon. Dengan mekanisme kerja ini diperoleh efek baheriostatik. Mikroba membuluhkan asam folat untuk kelangsungan hidupnya. Berbeda dengan mamalia yang mendapatkan asam lolat dari luar, kuman patogen harus mensintesis sendiri asam lolat dari kelompok
asam para amino benzoat (PABA) untuk kebutuhan hidupnya. Apabila sulfonamid atau sullon menang bersaing dengan PABA untuk diikutsertakan dalam pembentukan asam folat, maka terbentuk analog
asam folat yang nonlungsional. Akibatnya, kehidupan mikroba akan terganggu. Berdasarkan sifat kompetisi, efek sullonamid dapat diatasi dengan meningkatkan kadar PABA. Untuk dapat bekerja, dihidrololat harus diubah menjadi bentuk aktilnya yaitu asam tetrahidrofolat. Enzim dihidrofolat reduktase yang berperanan di sini dihambat oleh trimetoprim, sehingga asam dihidrololal tidak dapat direduksi menjadi asam tetrahidrofolat yang fungsional. PAS merupakan analog PABA, dan bekerja dengan menghambat sintesis asam lolat pada M. tuberculosis. Sullonamid tidak efektif terhadap M. tuberculosis dan sebaliknya PAS tidak efektif terhadap bakteri yang sensitil terhadap sullonamid. perbedaan ini mungkin disebabkan perbedaan enzim
untuk sintesis asam folat yang bersifat sangat khusus bagi masing-masing jenis mikroba.
Antimikroba yang menghambat sintesis dinding sel mikroba. Obat yang termasuk dalam kelompok ini ialah penisilin, sefalosporin, basitrasin, vankomisin, dan sikloserin. Dinding sel bakteri, terdiri dari polipeptidoglikan yaitu suatu kompleks polimer mukopeptida (glikopeptida). Sikloserin menghambat reaksi yang paling dini dalam proses sintesis dinding sel; diikuti berturut- turul oleh basitrasin, vankomisin dan diakhiri oleh penisilin dan sefalosporin, yang menghambat reaksi terakhir (transpep-
tidasi) dalam rangkaian reaksi tersebut. Oleh karena tekanan osmotik dalam sel kuman lebih tinggi daripada di luar sel maka kerusakan dinding sel kuman akan menyebabkan terjadinya lisis, yang merupakan dasar efek bakterisidal pada kuman yang peka.
Antimikroba
yang mengganggu
keutuhan
membran sel mikroba. Obat yang lermasuk dalam kelompok ini ialah polimiksin, golongan polien serta berbagai antimikroba kemoterapeutik, umpamanya antiseptik surface active agents. Polimiksin sebagai senyawa amonium-kuaterner dapat merusak membran sel setelah bereaksi dengan loslat pada
losfolipid membran sel mikroba, Polimiksin.tidak efektil terhadap kuman gram-positif karena jumlah losfor bakteri ini rendah. Kuman gram-nagatif yang menjadi resisten terhadap polimiksin, ternyata jumlah loslornya menurun. Antibiotik polien bereaksi dengan struktur sterolyang terdapat pada membran sel lungus sehingga mempengaruhi permeabilitas selektif membran tersebut, Bakteri tidak sensitif terhadap antibiotik polien, karena tidak memiliki struk-
573
Pengantar Antimikroba
tur sterol pada membran selnya. Antiseptik yang mengubah tegangan permukaan (surface-active agents), dapat merusak permeabilitas selektif dari membran sel mikroba. Kerusakan membran sel menyebabkan keluarnya berbagai komponen penting dari dalam sel mikroba yaitu protein, asam nukleat, nukleotida dan lain-lain.
Antimikroba yang menghambat sintesis protein sel mikroba. Obat yang termasuk dalam kelompok ini ialah golongan aminoglikosid, makrolid' linkomisin, tetrasiklin dan kloramfenikol. Untuk kehidupannya, sel mikroba perlu mensintesis berbagai
protein. Sintesis protein berlangsung di ribosom' dengan bantuan mRNA dan IRNA. Pada bakteri' ribosom terdiri atas dua sub unit, yang berdasarkan konstanta sedimentasi dinyatakan sebagai ribosom 3OS dan 5OS. Untuk berlungsi pada sintesis protein, kedua komponen ini akan bersatu pada pangkal rantai mRNA menjadi ribosom 7OS. Penghambatan sintesis protein terjadi dengan berbagai cara. Streptomisin berikatan dengan komponen ribosom 3OS dan menyebabkan kode pada mFINA salah dibaca oleh tRNA pada waktu sintesis protein' Akibatnya akan ter6entuk protein yang abnormal dan nonfungsional bagi sel mikroba. Antibiotik aminoglikosid lainnya yaitu gentamisin, kanamisin, dan
neomisin memiliki mekanisme kerja yang sama' namun potensinya berbeda.
Eritromisin berikatan dengan ribosom 5OS dan menghambat translokasi kompleks tRNA-peptida dari lokasi asam amino ke lokasi peptida. Akibatnya, rantai polipeptida tidak dapat diperpanjang karena lokasi asam amino tidak dapat menerima kompleks tRNA-asam amino yang baru. Linkomisin juga berikatan dengan ribosom 5OS dan menghambat sintesis protein' Tetrasiklin berikatan dengan ribosom 3OS dan menghalangi masuknya kompleks tBNA-asam amino pada lokasi asam amino. Kloramlenikol berikatan dengan ribosom 5OS dan menghambat pengikatan asam amino baru pada rantai polipeptida oleh enzim peptidil trans-
lerase.
Antimikroba yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba. Antimikroba yang termasuk dalam kelompok ini ialah rilampisin, dan golongan kuinolon. Yang lainnya walaupun bersilat antimikroba, karena silat sitotoksisitasnya, pada umumnya hanya digunakan sebagai obat antikanker; tetapi beberapa obat dalam kelompok terakhir ini dapat pula digunakan sebagai antivirus. Yang akan dike-
mukakan di sini hanya mekanisme kerja obat yang berguna sebagai antimikroba, yaitu rilampisin dan golongan kuinolon. Rilampisin, salah satu derivat rifamisin, berikatan dengan enzim polimerase-RNA (pada subunit) sehingga menghambat sintesis RNA dan DNA oleh enzim tersebut. Golongan kuinolon menghambat enzim DNA girase pada kuman yang lungsinya menata kromosom yang sangat panjang menjadi bentuk spiral hingga bisa muat dalam sel kuman yang kecil.
4. RESISTENSI Resistensi sel mikroba ialah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel mikroba oleh antimikroba. Silat ini dapat merupakan suatu mekanisme alamiah untuk bertahan hidup. Dikenal tiga pola resistensi dan sensitivitas mikroba terhadap antimikroba. Pola I : belum pernah terjadi resistensi bermakna yang menimbulkan kesulitan di klinik. Contoh untuk ini: Streptococcus pyogenes grup A terhadap penisilin G. Pola ll : pergeseran dari sifat peka menjadi kurang peka, tetapi tidak sampai terjadi resistensi sepenuhnya. Contoh: gonokokus bukan penghasil penisilinase; sebagian besar galur (strain) masih peka terhadap penisilin 0,06 pg/ml' tetapi jumlah galur yang memerlukan kadar 1 pg/ ml, terus bertambah. Untunglah kadar penisilin 1
pg/ml dalam darah masih dapat dicapai dengan mudah, sehingga belum ada masalah sifat resistensi klinis. Pola lll : sifat resistensi pada taraf yang
cukup tinggi, sehingga menimbulkan masalah di klinik. Contoh : galur tertentu dari Staphylococcus yang menghasilkan p-laktamase dapat berubah menjadi resislen terhadap penisilin G. Faktor yang menentukan silat resistensi atau sensitivitas mikroba terhadap AM terdapat pada elemen yang bersifat genetik. Didasarkan pada lokasi elemen untuk resistensi ini, dikenal resistensi kromosomal dan resistensi ekstrakromosomal. Silat genetik dapat menyebabkan suatu mikroba
sejak awal resisten terhadap suatu antimikroba
(resistensi alamiah). Contohnya bakteri gramnegatif yang resisten terhadap penisilin G.
Mikroba yang semula peka terhadap suatu antimikroba, dapat berubah sifat genetiknya menjadi tidak atau kurang peka. Perubahan silat genetik terjadi karena kuman memperoleh elemen genetik yang membawa silat resisten; keadaan ini dikenal
Farmakologi dan Terapi
sebagai resistensi di dapat (ac q u i red reslsfance). Elemen resistensi ini dapat diperoleh dari luar dan d isebut resistensi yan g d ipin da hkan (tran slerred resisfance), dapat pula terjadi akibat adanya mutasi
genetik spontan atau akibat rangsang AM (induced resl'stance),
Pembahasan resistensi dibagi dalam kelom_
pok resistensi genetik, resistensi nongenetik dan
resistensi silang, serta mekanisme peristiwa resis_
tensi.
RESISTENSI GENETIK. Mutasi spontan. Dengan
mutasi spontan gen mikroba berubah, sehingga mikroba yang sensitif terhadap suatu antimikroba menjadi resisten. Kejadian ini dinamakan mutasi
spontan karena terjadi tanpa pengaruh ada_tidak-
nya antimikroba tersebut. Dengan adanya anti mikroba tersebut terjadi seleksi, galur yang felah
resisten bermultiplikasi sedangian gatuiyang
masih sensitif terbasmi, sehingga berakhir dengan terbentuknya populasi resisten.
Resistensi dipindahkan. Mikroba dapat berubah menjadi resisten akibat memperoleh suatu elemen pembawa laktor resisten. Faktor ini mungkin dida_ pat dengan cara transformasi, transdulsi atau
konyugasi. Dengan transformasi, mikroba menginkorporasi laktor resistensi langsung dari media ii
sekitarnya (lingkungannya). pada trinsduksi, fak_ tor resistensi dipindahkan dari suatu mikroba resisten ke mikroba sensitif dengan perantaraan bakte_ riofag. Dalam hal ini, yang dipindahkan ialah suatu komponen DNA dari kromosom yang mengandung laktor resistensi tersebut. Walaupun tidak-berjenis kelamin, mikroba sering kali mempedihatk"n ,r"t, peristiwa yang mirip dengan kopulasi yang dikenal sebagaiperistiwa konyugasi, potensi untut< meng_ adakan konyugasi ditentukan oleh suatu faktor ge_
netik, dikenal sebagai faktor seks. Faktor seks ini terdapat dalam sel kuman tertentu. Dengan konyugasi terbentuklah hubungan langsung (-'saluran,) antara isi sel kuman yang saling berkonyugasi, se_ hingga memungkinkan perpindahan berbaiai kom-
ponen antar kuman khususnya komponen pem-
bawa faktor resistensi. Faktor resistensi yang jipindahkan terdapat dalam dua bentuk ptismiO Oan Plasmid merupakan suatu elemen genetik _"!!l9r: (DNA-plasmid) yang terpisah dari DNA_ kroriosom; jadi merupakan suatu DNA nonkromosom. Tidak setiap plasmid dapat dipindahkan. yang dapat di_
pindahkan ialah plasmid faktor R, disebui juga plas_ mid penular (infectious plasmds).
Faktor R sendiri terdiri atas dua unit: Segmen RTF (resistance transfer factor) dan determinan_r (unit-r). Segmen RTF memungkinkan terjadinya perpindahan faktor B. Masing_masing uniti mem_
bawa sifat resistensi terhadap satu antimikroba. Dengan demikian berbagai unit_r pada 1 plasmid faktor R membawa sifat resistensi terhadap ber_
bagai antimikroba sekaligus, misalnya sulfonamid, penisilin, kloramfenikol, tetrasiklin dan sebagainya. Faktor R ini ditularkan terutama diantara entJrobakteria, antara lain Sa/monella, Shigella, E. coli, Vibrio dan lain-lain. Gen yang membawa sifat resisten juga dapat dipindahkan oleh segmen DNA yang Oisibut trans_ .posable elements. Ada 2 bentuk transposable ele_ menls yang dikenal yaitu ,nserfion sequence dan transposon. lnsertion seguence hanya mengandung gen untuk proses transposisi sedangkan transposon mengandung gen yang membawa sifat resisten. Transposon dapat berpindah dari plasmid ke kromosom dan sebaliknya. Transposon menimbulkan masalah karena berbeda dengan plasmid (yang selalu bersifat ekstra kromosomj, ia bersifat sangat stabil. Bahkan dalam keadaan di mana tidak ada lekanan selektil sekalipun sifat resistensi ini berlahan lama atau permanen. RESISTENST NONGENETTK.
Bakteri datam
ke_
adaan istirahat (inaktivitas metabolik) biasanya
tidak dipengaruhi oleh antimikroba. Keadaan ini dikenal sebagai resistensi nongenetik. Mikroba terse_ but dikenal sebagai persisters. Bila berubah men-
jadi aktil kembali, mikroba kembali bersifat sensitif, dan keturunannya juga tetap bersifat sensitif ter_ hadap antimikroba seperti semula. lni merupakan masalah pada pengobatan lepra dan tuberkulosis. RESISTENSI SILANG. Resistensi sitang, iatah ke-
adaan resistensi terhadap antimikrobl tertentu
yang juga memperlihatkan sifat resistensi terhadap antimikroba yang lain.
Keadaan ini harus dibedakan dengan multi_ ple-drug resistance. padaresistensi silan-g, sifat re-
sistensi ditentukan oleh satu lokus genetikl sedang_ kan pada multiple-drug resistance oleh lebih dari satu lokus, yang biasanya berada dalam elemen ekskakromosom (plasmid faktor B). Resistensi silang biasanya terjadi antara antimikroba dengan struktur kimia yang hampir sama, umpam"ny" tara berbagai derivat tetrasiklin, atau antara Lntimi_ "n_ kroba dengan struktur kimia yang agak berbeda tetapi mekanisme kerjanya hampir sama. misalnya linkomisin dan eritromisin.
Pangantar Antimikroba
MEKANISME RESISTENSI. Ada 5 mekanisme resistensi kuman terhadap antimikroba yaitu : (1 ) perubahan tempat kerja (target site) obat pada mikroba; (2) mikroba menurunkan permeabilitasnya sehingga obat sulit masuk ke dalam sel; (3) inakti-
vasi obat oleh mikroba; (4) mikroba membentuk jalan pintas untuk menghindari tahap yang dihambat oleh antimikroba; (5) meningkatkan produksi enzim yang dihambat oleh antimikroba.
5. EFEK SAMPING Efek samping penggunaan AM dapat dikelom-
pokkan menurut reaksi alergi, reaksi idiosinkrasi, reaksi toksik, serta perubahan biologik dan metabolik pada hospes.
REAKSI ALERGI. Reaksi alergi dapat ditimbulkan oleh semua antibiotik dengan melibatkan sistem imun tubuh hospes; terjadinya tidak bergantung pada besarnya dosis obat. Manileslasi gejala dan derajat beratnya reaksi dapat bervariasi. Prognosis reaksi seringkali sukar diramalkan walaupun didasarkan atas riwayat reaksi alergi pasien. Orang yang pernah mengalami reaksi alergi, umpamanya oleh penisilin, tidak selalu mengalami reaksi itu kembali ketika diberikan obat yang sama. Sebaliknya orang tanpa riwayat alergi dapat mengalami reaksi alergi pada penggunaan ulang penisilin, Reaksi alergi pada kulit akibat penggunaan penisilin dapat menghilang sendiri, walaupun terapinya diteruskan. Peristiwa ini rnungkin berdasarkan pada desensitisasi. Tetapi pada kejadian reaksi alergi yang lebih berat daripada eksantem kulit, tidaklah bijaksana untuk meneruskan terapi; sebab makin berat silat reaksi pertama makin besar kemungkinan timbulnya reaksi yang lebih berat pada pemberian ulang, berupa analilaksis, dermatitis eksfoliativa, angioudema, dan lain-lain.
REAKSI IDIOSINKRASI. Gejala ini merupakan reaksi abnormal yang diturunkan secara genetik terhadap pemberian antimikroba tartentu. Sebagai conloh, 10% pria berkulit hitam akan rnengalami anemia hemolitik berat bila rnendapat primakuin. lni disebabkan mereka kekurangan enzim G6PD, REAKSI TOKSIK. AM pada umumnya bersilattoksik-selektif, tetapi silat ini relatit. Efek toksik pada hospes dapal ditimbulkan oleh semua jenis AM. Yang mungkin dapat dianggap relatil tidak toksik
575
sampai kini ialah golongan penisilin. Dalam menimbulkan elek toksik, masing-masing AM dapat memiliki predileksi terhadap organ atau sistem tertentu pada tubuh hospes. Golongan aminoglikosida pada umumnya bersilat toksik lerutama terhadap Nervus ocfavus. Golongan tetrasiklin cukup terkenal dalam meng-
ganggu pertumbuhan jaringan tulang, termasuk gigi, akibat deposisi kompleks tetrasiklin kalsium-ortolosfat. Dalam dosis besar obat ini bersifat hepatotoksik, terutama pada pasien pielonelritis dan pada wanita hamil. Yang dikemukakan di atas ini, hanya merupakan beberapa contoh saja. Pembahasan lebih lanjut terdapat dalam masing-masing bab antimikroba yang bersangkutan.
Di samping faktor jenis obat, berbagai laktor
dalam tubuh dapat turut menentukan terjadinya reaksi toksik; antara lain lungsi organ/sistem terten-
tu sehubungan dengan biotranslormasi dan ekskresi obal.
PERUBAHAN BIOLOGIK
DAN
METABOLIK.
Pada tubuh hospes, baik yang sehat maupun yang menderita inleksi, terdapat populasi mikrollora normal. Dengan keseimbangan ekologik, populasi rni-
krollora tersebut biasanya tidak menunjukkan sifat patogen. Penggunaan AM, terutama yang berspektrum lebar, dapal mengganggu keseimbangan ekologik mikrollora sehingga jenis mikroba yang meningkat jumlah populasinya dapat menjadi patogen. Gangguan keseimbangan ekologik mikrollora normal tubuh dapal terjadi di saluran cerna, napas dan kelamin, dan pada kulit. Pada beberapa keadaan
perubahan ini dapat menimbulkan superinfeksi yaitu suatu inleksi baru yang terjadi akibat terapi
AM. Mikroba penyebab superinleksi biasanya ialah jenis mikroba yang menjadi dominan pertumbuhannya akibat inleksi primer dengan suatu
penggunaan AM, umpamanya kandidiasis sering
timbul sebagai akibat penggunaan antibiotik b€rspektrum lebar, khususnya tetrasiklin. Pada pasien yang lemah, superinleksi potensial dapat sangat berbahaya, sebab kebanyakan mikroba penyebab superinfeksi biasanya ialbh kuman gram-negatif dan stalilokok yang multi-resisten terhadap obat, Candida serta tungus sejati. Keadaan superinleksi secara khusus dapat menimbulkan kesulitan di rumah sakit. Kejadian resislensi galur kuman yang tadinya sensitil terhadap suatu AM, di rumah sakit terus meningkat, sehingga bila superinleksi terjadi dengan mikroba yang telah menjadi r€sisten, terapi akan sangat sukar berhasil.
576
Faktor yang memudahkan timbulnya superinfeksi ialah : (1) adanya faktor atau penyakit yang mengurangi daya lahan pasien; (2) penggunaan antimlkroba terlalu lama; (3) luasnya spektrum akti-
vitas antimikroba obat, baik tunggal ataupun dalam
kombinasi. Makin lebar spektrum antimikroba, makin besar kemungkinan suatu jenis mikrollora tertentu menjadi dominan. Frekuensi kejadian su_ perinleksi paling rendah ialah dengan penisilin G. Jika terjadi superinfeksi, tindakan yang perlu diambil untuk mengalasinya ialah: (l) menghentikan terapi dengan AM yang sedang digunakan; (2) melakukan biakan mikroba penyebabsuperinfeksi; dan (3) memberikan suatu AM yang elektil terhadap mikroba tersebut.
Selain menimbulkan perubahan biologik ter_ sebut, penggunaan AM terlentu dapat pula menimbulkan gangguan nutrisi atau metabolik, umpama-
nya gangguan absorpsi zat makanan oleh neomisin.
6. FAKTOR PENDERITA YANG MEM. PENGARUHI FARMAKODINAMIK DAN FARMAKOKINETIK Selain dipengaruhi oleh aktivitas antimikroba, efek larmakodinamik dan silat farmakokinetiknya, elektivitas AM dipengaruhi juga oleh berbagai laktor yang terdapat pada pasien,
Umur. Neonatus pada umumnya memiliki organ atau sistem tubuh yang belum berkembang sepe_ nuhnya. Umpamanya lungsi glukuronidasi oleh hepar belum cukup lancar, sehingga memudahkan terjadinya efek loksik oleh kloramfenikol. Fungsi ginjal sebagai alat ekskresi, juga belum lancar sehingga memudahkan terjadinya elek toksik oleh obat yang eliminasinya terutama melalui ginjal.
Farmakologi dan Terapi
samping pada ibu maupun pada janin. lbu hamil pada umumnya lebih peka terhadap pengaruh obat tertentu, termasuk AM. Sedangkan kemungkinan timbulnya efek pada letus, tergantung pada daya obat menembus sawar uri serta usia janin. pembe_ rian streptomisin pada ibu yang hamiltua dapat me_ nimbulkan ketulian pada bayi yang dilahirkan, se-
dangkan pemberian AM pada kehamilan trimester pertama harus diingat bahaya teratogenesisnya. Genetik. Adanya perbedaan genetik antar ras dapat menimbulkan perbedaan reaksi terhadap obat. Sebagai contoh delisiensi enzim G6pD dapat menimbulkan hemolisis akibat pemberian sulfonamid,
kloJgnlentkq!
dapsonffi
iutnya, silat atdpffiSn
g
tan-
Tdmafif paAi3aseorang,
umumnya lebih memudahkan terjadinya reaksi aler_
gi terhadap suatu obat, walaupun sebelumnya
orang tersebut belum pernah mendapatkan obat
yang bersangkutan.
Keadaan patologik tubuh hospes. Keadaan patologik tubuh hospes dapat mengubah larmakodinamik dan larmakokinetik AM tertentu. Keadaan tungsi hati dan ginjal penting diketahui dalam pemberian obat, termasuk pemberian AM, sebab kedua
organ tersebut berpengaruh besar pada farmakokinetik obat. Sirosis hati atau gangguan laal hati yang berat dapat meningkatkan toksisitas letrasiklin, memperpanjang waktu paruh eliminasi linkomisin, meningkatkan kadar kloramlenikol dalam darah sehingga menimbulkan bahaya toksik. Gangguan pada hepar dapat menyebabkan gangguan pada biotransformasi maupun pada ekskresi obat melalui empedu. Antimikroba yang terutama diekskresi melalui ginjal akan mengalami kumulasi dalam tubuh hospes yang menderila gangguan lungsi ginjal. Streptomisin, kanamisin, penisilin dieliminasi dari tubuh terutama dengan ekskresi melalui ginjal. Gangguan lungsi ekskresi ginjal hanya sedikit sekali menim-
Orang yang berusia lanjut seringkali mengalami
bulkan bahaya intoksikasi dengan penisilin, letapi sebaliknya streptomisin, kanamisin (dan aminogli_ kosida lainnya) sangat potensial menimbulkari in-
kemunduran lungsi organ atau sistem terlentu, se-
toksikasi.
hingga reaksi tubuh terhadap pemberian obat
berubah, baik dalam segi larmakodinamik maupun segi farmakokinetik. Untuk kedua golongan umur
Jadi, sama dengan pemberian obat lain, pada pemberian AM sebaiknya selalu diperhatikan ke_ mungkinan adanya gangguan lungsi organ atau
tersebut di atas, posologi obal, termasuk AM, harus disesuaikan dengan keadaannya masing-masing.
sistem tubuh, khususnya hati dan ginjal, guna mendapatkan efek terapi yang optimal. Keadaan lungsi organ/sistem lain, tetap perlu dipertimbangkan walaupun tidak dirinci di sini; um-
Kehamilan. Pemberian obat pada ibu hamil harus disertai pertimbangan kemungkinan terjadinya elek
pamanya pengaruh keasaman lambung yang ke-
sTt
Pengantar Antimikroba
mungkinan besar merusak eritromisin strearat
lain) hanya elektil untuk inleksi saluran kemih
sebelum sempat diserap.
yang terlokalisasi. Obat-obat ini tidak dapat mencapai kadar terapeutik untuk inleksi di organ tubuh lain.
7. SEBAB KEGAGALAN TERAPI
6.
tidak dengan sendirinya menyatakan bahwa setiap AM yang tercantum itu akan memberi efektivitas klinik yang sama. Di sini klinikus harus dapat mengenali dan memilih AM yang secara klinis merupakan obat terpilih untuk suatu kuman lertentu. Sebagai contoh obat terpilih untuk inleksi oleh Str. faecalis ialah ampisilin,
Kepekaan kuman terhadap AM lertentu tidak menjamin elektivitas klinis. Faktor berikut dapat menjadi penyebab kegagalan terapi :
1.
2.
Dosis yang kurang : dosis suatu AM seringkali tergantung dari tempat infeksi, walaupun kuman penyebabnya sama. Sebagai contoh dosis penisilin G yang diperlukan untuk mengobati meningitis oleh pneumokokus jauh leblh tinggi daripada dosis yang diperlukan untuk pengobatan inleksi saluran nalas bawah yang disebabkan oleh kuman yang sama.
Masa terapi yang kurang : konsep lama yang menyatakan bahwa untuk tiap jenis inleksi perlu diberikan AM tertentu selama jangka waktu tertentu kini telah ditinggalkan. Pada umumnya para ahli cenderung melakukan individualisasi masa terapi, yang sesuai dengan tercapainya respons klinik yang memuaskan. Namun untuk penyakit tertentu sepertilaringitis oleh Str. pyo-
genes, osteomielitis, endokarditis, lepradan tuberkulosis paru tetap dipertahankan masa terapi yang cukup walaupun perbaikan klinis
Pilihan AM yang kurang tepat : Suatu daftar AM
yang dinyatakan efektif dalam uji kepekaan
walaupun secara in vitro kuman tersebut juga dinyatakan sensitil terhadap sefamandol atau gentamisin.
7.
Faktor pasien : Keadaan umum yang buruk dan gangguan mekanisme pertahanan badan (seluler dan humoral) merupakan faktor penting yang menyebabkan gagalnya terapi AM. Sebagai contoh obat sitostatik, imunosupresan, penyakit agamaglobulinemia kongenital, AIDS, dan lainlain, menyebabkan gangguan mekanisme pertahanan badan.
8. PENGGUNAAN ANTIMIKROBA DI KLINIK
cepat terlihat.
3.
Adanya faktor mekanik : abses, benda asing, jaringan nekrotik, sekuester tulang, batu saluran kemih, mukus yang banyak, dan lain-lain, merupakan laktor-faktor yang dapat menggagalkan terapi dengan AM. Tindakan mengatasi laktor mekanik tersebut yaitu pencucian luka, debridemen, insisi, dan lain-lain, sangat menentukan keberhasilan mengatasi inleksi.
4.
Kesalahan dalam menetapkan'etiologi : Demam disebabkan oleh kuman. Virus, jamur, parasit, reaksi obat, dan lain-lain dapat meningkatkan suhu badan. Pemberian AM yang lazim diberikan dalam keadaan initidak berman-
tidak selalu
laat.
5.
Faktor larmakokinetik : Tidak semua bagian tubuh dapat ditembus dengan mudah oleh AM. Jaringan prostat ialah contoh organ yang sulit dicapai oleh kebanyakan obat dengan kadar yang adekuat. Antlseptik traktus urinarius (misalnya nitrofurantoin, asam nalidiksat, dan lain-
8.1.INDIKASI Penggunaan terapeutik AM di klinik bertujuan membasmi mikroba penyebab infeksi. Penggunaan AM ditentukan berdasarkan indikasi dengan mempertimbangkan faktor-faktor berikut : (1) Gambaran klinik penyakit inleksi, yakni elek yang ditimbulkan oleh adanya mikroba dalam tubuh hospes, dan bukan berdasarkan atas kehadiran mikroba tersebut semata-mata; (2) Efek terapi AM pada penyakit infeksi diperoleh hanya sebagai akibat kerja AM terhadap biomekanisme mikroba, dan tidak ter-. hadap biomekanisme tubuh hospes; (3) Antimikroba dapat dikatakan bukan merupakan "obat penyembuh' penyakit infeksi dalam arti kata sebenarnya. Antimikroba hanyalah menyingkatkan waktu yang diperlukan tubuh hospes untuk sembuh dari suatu penyakit infeksi. Sepertitelah dikemukakan di atas, dengan adanya invasi oleh mikroba, tubuh hospes akan bereaksi dengan mengaktilkan meka-
Farmakologi dan Terapi
nisme daya tahan tubuhnya. Sebagian besar inleksi
8.2. PILIHAN ANTIMIKROBA DAN
yang terjadi pada hospes dapat sembuh dengan
POSOLOGT
sendiri, tanpa memerlukan AM.
Gejala klinik infeksi terjadi akibat gangguan langsung oleh mikroba maupun oleh berbagai zat toksik yang dihasilkan mikroba. Bila mekanisme pertahanan tubuh berhasil, mikroba dan zat toksik yang dihasilkannya akan dapat disingkirkan. Dalam
hal ini tidak diperlukan pemberian AM untuk pe_ nyembuhan penyakit infeksi. Untuk memutuskan perlu{idaknya pemberian AM pada suatu infeksi, perlu diperhatikan gejala klinik, jenis dan patogenisitas mikrobanya, serta
kesanggupan mekanisme
daya tahan tubuh
hospes.
Penyakit infeksi dengan gejala klinik ringan,
tidak perlu segera mendapatkan AM.
Menunda
pemberian AM malahan memberikan kesempatan terangsangnya mekanisme kekebalan tubuh, Teta_ pi penyakit infeksi dengan gejala yang berat, walau_
pun belum membahayakan, apalagi bila telah ber_ langsung untuk beberapa waktu lamanya, dengan sendirinya memerlukan lerapi AM. Gejala demam yang merupakan salah satu gejala sistemik penyakit infeksi paling umum, tidak merupakan indikator yang kuat untuk pemberian AM. Pemberian AM berdasarkan adanya demam tidak bijaksana, karena : (1) pemberian AM yang tidak pada tempalnya dapat merugikan pasien (be_ rupa efek samping), dan masyarakat sekitarnya (berupa masalah resistensi); (2) demam dapat di_
sebabkan oleh penyakit infeksi virus, yang cukup tinggi angka kejadiannya dan tidak dapat diper_ cepat penyembuhannya dengan pemberian AM
yang lazim; (3) demam dapat juga terjadi pada penyakit noninleksi, yang dengan sendirinya bukan indikasi pemberian AM. Karena AM hanya mempercepat penyembuhan penyakit infeksi, maka AM hanya diperlukan bila inleksi berlangsung lebih dari beberapa hari dan
dapat menimbulkan akibat cukup berat, misalnya pada tifus abdominalis, laringitis oleh Str. pyogenes dengan kemungkinan kompli-kasi penyakit jantung reumatik di kemudian hari. Kesimpulannya, indikasi untuk memberikan AM pada seorang pasien haruslah dipertimbangkan dengan seksama, dan sangat tergantung pada pe-
ngalaman pengamatan klinik dokter yang meng_ obati pasien.
PILIHAN ANTIMIKROBA
Setelah dokter menetapkan perlu diberikan AM pada pasien, langkah berikutnya ialah memilih jenis AM yang tepat, serta menentukan dosis dan cara pemberiannya. Dalam memilih jenis AM yang tepat harus dipertimbangkan laktor sensitivitas mi_ krobanya terhadap AM, keadaan tubuh hospes, dan
laktor biaya pengobatan. Untuk mengetahui kepekaan mikroba terha_ dap AM secara pasti perlu dilakukan pembiakan kuman penyebab infeksi, yang diikuti dengan uji kepekaan. Bahan biologik dari hospes untuk pem_ biakan, diambil sebelum pemberian AM. Setelah pengambilan bahan tersebut, terutama dalam ke_
adaan penyakit inleksi berat, terapi dengan AM dapat dimulaidengan memilih AM yang paling tepat berdasarkan gambaran klinik pasien. Dalam prak_
tek sehari-hari tidak mungkin melakukan pemerik_
saan biakan pada setiap terapi penyakit infeksi. Bila
dapat dibuat perkiraan kuman penyebab dan pola kepekaannya, dapat dipitih AM yang tepat (Tabel 2.1). Bila dari hasil uji kepekaan ternyata pilihan AM semula tadi tepat serta gejala klinik jelas membaik, terapi dapat dilanjutkan terus dengan AM tersebut. Dalam hal hasil uji sensitivitas menunjukkan ada AM lain yang lebih efektif, sedangkan dengan AM semula gejala klinik penyakit menunjukkan perbaik_ an-perbaikan yang meyakinkan, AM semula ter-
sebut sebaiknya diteruskan. Tetapi bila hasil per_ baikan klinik kurang memuaskan, AM yang diberi_ kan semula dapat diganti dengan yang lebih tepat, sesuai dengan hasil uji sensitivitas. Hasil uji sensitivitas umumnya berkorelasi yang baik dengan elek klinik. Dalam keadaan tertentu dapat terjadi ketidaksesuaian, umpamanya karena adanya benda asing, jaringan nekrotik, atau adanya hambatan larmakokinetik; kuman dinyata_ kan sensitif tetapi inleksi tidak dapat diatasi. Bila AM hanya bersifat bakteriostatik, pemus_ nahan mikroba masih tergantung pada daya tahan tubuh hospes, tidak demikian halnya dengan AM bakterisid. Suatu AM yang bersifat bakterisid dapat lebih pastl menghasilkan efek terapi, apalagi bila diketahui bahwa daya tahan tubuh hospes t.elah
menurun, umpamanya pada penyakit defisiensi_
Pengantar Antimikoba
imun, leukemia akut, dan lain-lain. Pada keadaankeadaan ini, sebaiknya digunakan AM bakterisid. Memilih AM yang didasarkan atas luas spektrum antirnikrobanya, tidak dibenarkan karena hasil terapi tidak lebih unggul daripada hasil terapi dengan AM berspektrum sempit, sedangkan superinleksi lebih sering terjadi dengan AM berspektrum lebar. Antimikroba yang mutakhir misalnya sefalosporin generasi lll, lluorokuinolon, aminoglikosida yang baru dll, seyogyanya tidak terlalu sering digunakan untuk keperluan rutin. Tindakan ini perlu untuk menjaga supaya telap tersedia AM elektif bila timbul masalah resistensi dalam kurun waktu tertentu.
Keadaan tubuh hospes perlu dipertimbangkan untuk dapat memilih AM yang tepal. Untuk pasien penyakit infeksiyang juga berpenyakit ginjal misal-
579
Sebaiknya AM diberikan oral karena mudah, aman dan tidak invasif. Untuk inleksi berat AM harus diberikan secara parenteral. Cara pemberian topikal seringkali tidak memberikan elek terapi yang memuaskan, dapat menimbulkan sensitisasi dan masalah resistensi.
8.3. KOMBINASI ANTIMIKROBA Kombinasi AM yang digunakan menurut indikasi yang tepat dapat memberi manfaat klinik yang besar. Terapi kombinasi AM yang tidakterarah akan meningkatkan biaya dan elek samping, menseleksi galur kuman yang resisten terhadap banyak
antimikroba, dan tidakmeningkatkan efektivilas terapi.
nya, jika diperlukan jenis tetrasiklin sebagai AM maka sebaiknya dipilih doksisiklin yang paling aman di antara letrasiklin lainnya,
Dalam menilai ongkos pengobatan, tidak cukup hanya diperhatikan harga satuan obatnya, tetapi harus pula dipertimbangkan waktu yang diperlukan untuk menyembuhkan suatu penyakit anlara lain sehubungan dengan jumlah obat yang diperlukan. Biaya pengobatan merupakan salah satu aspek ekonomi suatu penyakit. Pada inleksi berat seringkali harus segera diberikan antimikroba sementara sebelum diperoleh
hasil pemeriksaan mikrobiologik. Pemilihan ini harus didasarkan pada pengalaman empiris yang rasional berdasarkan perkiraan etiologi yang paling mungkin serta antimikroba terbaik untuk inleksi tersebut (educatedguess) (Iabel2.1). Selain itu tabel ini juga dapat dimanfaatkan bila pemeriksaan mikrobiologik tidak dapat dikerjakan karena alasan tertentu.
POSOLOGI ANTIMIKROBA
Efek terapi yang optimal sangat dipengaruhi oleh tercapainya kadar AM pada tempat infeksi. Faktor-faktoryang perlu diperhatikan dalam menentukan dosis ialah umur, berat badan, lungsi ginjal, lungsi hati dan lain-lain, Kadar ini ditentukan juga oleh penyerapannya. Penyerapan AM tertentu dapat terhambat dengan adanya zat lain, misalnya absorpsi tetrasiklin lerhambat bila diberikan bersama preparat besi.
INDIKASI PENGGUNAAN KOMBINASI
Dalam garis besarnya, ada empat indikasi penggunaan kombinasi tidak tetap, yaitu
:
(1) Pengobatan infeksi campuran. Beberapa infeksi tertentu dapat disebabkan oleh lebih dari satu jenis mikroba yang peka terhadap AM yang berbeda. Dalam hal ini diperlukan pemberian kombinasi AM sesuai dengan kepekaan kuman-kuman penyebab infeksi campuran tersebut. Sebagai con-
toh infeksi pascabedah abdominal sering disebabkan oleh kuman anaerob (8. fragilis) dan kuman aerob gram- negatit yang peka terhadap AM yang berbeda. Kuman anaerob peka terhadap AM anaerobisid misalnya metronidazol, klindamisin, sefoksitin, dll., sedang yang aerob peka terhadap gentamisin, dll. Karena itu kombinasi AM untuk kuman aerob dan anaerob diindikasikan untuk keadaan ini, misalnya gentamisin dengan metronidazol.
(2)
Pengobatan awal pada inteksi berat yang etiologinya belum jelas. Beberapa infeksi berat misalnya septisemia, meningitis purulenta dan inleksi berat lainnya memerlukan kombinasi AM, kdrena keterlambatan pengobatan dapat membahayakan jiwa pasien, sedangkan kuman penyebab belum diketahui. Kombinasi AM di sini di berikan dalam dosis penuh. Bila hasil pemeriksaan mikrobiologi telah diperoleh maka AM yang tidak diperlukan dapat dihentikan pemberiannya, Sebagai contoh kombinasi ampisilin dan kloramfenikol diindikasik
580
Farmakologi dan Terapi
(3) Mendapatkan efek sinergi. Sinergisme terjadi bila kombinasi AM menghasilkan elek yang lebih besar daripada sekedar efek aditif saja terhadap kurnan tertentu. Kombinasi seperti ini bermanlaat untuk infeksi Pseudomonas pada pasien neutropenia. Secara in vitro, kombinasi karbenisilin atau tikarsilin dengan aminoglikosid menghasilkan elek sinergisme. Dengan aminoglikosid saja misalnya gentamisin, inleksi seringkali tidak dapat diatasi.
Penambahan karbenisilin sangat mempertinggi angka penyembuhan. Meskipun banyak data in vitro yang memperlihatkan efek sinergi, secara klinis manfaat ini hanya terlihat pada pengobatan endokarditis bakterial dan pada infeksi yang dialami pasien dengan neutropenia. (4) Memperlambat timbulnya resistensi. Bila mutasi merupakan mekanisme limbulnya resistensi terhadap suatu AM maka secara teoritis kombinasi AM merupakan cara etektif untuk memperlarnbat resistensi. Sebagai contoh bila frekuensi mutasi yang menimbulkan resistensi terhadap obat A ialah 10-' dan lerhadap obat B ialah 10-b, maka kemungkinan mutasi yang resisten lerhadap kedua obat tersebut bersama ialah 10-'J, Dengan demikian secara statistik kemungkinan ini dapat dikatakan kecil sekali. Tetapi ternyata penerapannya hanya terlihat pada pengobatan tuberkulosis di mana penggunaan 2 atau lebih tuberkulostatik secara nyata memperlambat timbulnya resistensi oleh kuman tuberkulosis.
Secara umum dapat dikatakan bahwa bila suatu AM digunakan untuk mencegah infeksi kuman tertentu (yang peka terhadap AM tersebut)
sebelum terjadinya kolonisasi dan multiplikasi, maka prolilaksis ini seringkali berhasil. Tetapi bila prolilaksis dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan infeksi oleh segala macam mikroba yang ada di sekitar pasien, maka profilaksis ini biasanya gagal. Secara garis besar profilaksis AM untuk kasus bukan bedah diberikan untuk 3 tujuan :
1. melindungi seseorang yang terpaj an (exposed) kuman tertentu. Penisilin G mencegah inleksi streptokokus Grup A. Kotrimoksazol efektil untuk mencegah kambuhnya inleksi saluran kemih. 2. mencegah infeksi bakterial sekunder pada se-
seorang yang sedang menderita penyakit lain. Misalnya mencegah infeksi bakterial pada pasien koma, pasien dengan alat bantu napas, kateter dan sebagainya, Pencegahan yang bersifat "total" ini biasanya tidak berhasil. Mikroba yang resisten terulama
E nte robacte ri aceae
dan jam u r serin
g
kali tim-
bul
sebagai patogen bila profilaksis diteruskan. Flora normal tubuh pasien merupakan salah satu mekanisme penting untuk mencegah kolonisasi dan infeksi oleh kuman patogen ini disebut resistensi koloni. Profilaksis tidak terarah akan mengganggu mekanisme pertahanan ini.
3. mencegah endokarditis pada pasien kelainan katup atau struktur jantung lain yang akan menempuh prosedur yang sering menimbulkan
Kombinasi tetap AM hanya dibenarkan bila komponen-komponen yang membentuk kombinasi itu selalu dibutuhkan bersama. Dewasa ini hanya ada sedikit sekali kombinasi tetap AM yang dianggap rasional yaitu sullonamid-trimetroprim (misalnya kotrimoksazol), sulfadoksin-pirimetamin, asam klavulanat-amoksisilin dan sulbaktam-ampisilin.
bakteremia, misalnya ekstraksi gigi, tindakan pembedahan dan lain-lain. Endokarditis terjadi karena kolonisasi kuman pada katup jantung yang rusak. Profilaksis juga perlu diberikan untuk pasien dengan lesi jantung lainnya karena deposit librin dan trombosit yang menjadi tempat kolonisasi sering berhubungan dengan tempat terjadinya arus darah turbulen pada jantung. Setiap tindakan yang melukai mukosa yang kaya bakteri misalnya mulut dan
8.4. PROFILAKSIS ANTIMIKROBA
saluran cerna akan menyebabkan bakteremia selintas. Profilaksis ini diberikan segera sebelum tindakan. Untuk profilaksis kasus bedah berlaku prinsip sebagai berikut : (1) Penggunaan AM untuk profilaksis selalu harus dibedakan dari penggunaan untuk terapi pada kasus-kasus bedah; (2) Pemberian profilaksis AM hanya diindikasikan untuk tindakan bedah tertentu yang sering disertai infeksi pascabedah, atau yang membawa akibat berat bila terjadi
Di Amerika sekitar 30-50 % antibiotik diberikan untuk tujuan profilaksis. Seringkali pemberian profilaksis ini merupakan penggunaan AM yang berlebihan. Uji klinik telah membuktikan bahwa pemberian protilaksis sangat bermanfaat untuk beberapa indikasi tertentu, sedangkan untuk indikasi lain sama sekali lidak bermanlaat atau kontroversial.
Pengantar Antimikroba
infeksi pascabedah; (3) AM yang dipakai harus sesuai dengan jenis kuman yang potensial menimbulkan inleksi pascabedah; (4) Cara pemberian biasanya l! atau lM; (5) Pemberian dilakukan pada saat induksi anestesi, tidak dibenarkan pemberian
yang lebih dini dan biasanya hanya diberikan 1'2 dosis. Pemberian profilaksis lebih dari24 iam tidak dibenarkan.
Prolilaksis untuk bedah hanya dibenarkan un-
tuk kasus dengan resiko inleksi pasca bedah yang tinggi yaitu yang tergolon g clean-contaminated dan contaminated.
Tindakan-tindakan bedah yang bersih (clean)
tidak memerlukan prolilaksis AM, kecuali bila dikhawatirkan akan terjadi inleksi pasca bedah yang berat sekali.
Tabel 2.1. PILIHAN ANTIMIKHOBA BERDASARKAN EDUCATED GUESS
JENIS INFEKSI
PENYEBAB TERSEBING
PILIHAN ANTIMIKFOBA
I. SALURAN NAFAS
- Faringitis
- virus
- Str. pyogenos - C. diphtheriae - Otitis media dan
sinusitis - Bronkilis akut
- Eksaserbasi akut bronkitis kronis
- Str. pneumoniae, H.influenzae, - S. aureus, kuman anaerob
p"ni"i,in V, eritromisin, penisilin G - penisilin G, eritromisin -
amoksisilin/ampisilin, eriltomisin' kotrimoksazol
-
- amoksisilin - asam klavulanal
- virus
amoksisilin/ampisilin, eritromisin
- Str. pneumoniae, H.inlluenzae - M. pneumoniae
-
- Str. pneumoniae, H. influenzae, M. pneumoniae - B. catarrhalis (jarang)
-
- eritromisin
amoksisilin/ampi3ilitr, sritromisin' kotrimoksazol, doksisiklin - amoksi3ilin-a3am klavulanal, kotrimoksazol,
eritromisin
- lnlluonza
- virus inlluenza A atau B
- Pneumonia baktsrial
- Str. pneumoniae
- penisilin G prokain, penisilin V, €ritromisin'
- H.inlluenzae
- amoksirilin/ampi3ilin, kotrimoksazol'
- M. pn€umoniae - S. aureus - kuman gnterik gram-negati{
-
- M. tub€rculosis
- isoniazid +
- Sislilis akut
- E. coli, S. saproPhyticus, kuman gram-n€gatil lainnYa
- nitroturantoin, ampisilin' trim€loprim
. Pi€bn€lrilis akut
- E. coli, kuman gram-negatif
- untuk pasicn rawat : gcnlamisin (atau aminoglikosid lainnya), kotrimok-
selalosporin g€n€rasi
I
ampisilin-sulbahamr::kbramlenikol, lluorokuinolon critromisin, doksisiklin - kloksasilin, selabsporin generasi I - sefalosporin generasi lll dengadtanpa aminoglikosid
- Tuberkulosisparu
rif*rnpisin + pirazinamid/etambutol
II. INFEKSI SALURAN KEMIH
lainnya, StlePtococcus
- Prostatitis akut
- E. coli, kuman gram-negatil lainnya, E. laecalis
- Prostalitis kronis
- E. coli, kuman gram-negalil
lainnya, E. laecalis
sazol parsnteral, selalosporin ggnerasi lll, azlreonam - untuk pa3ien bcrobat ialan : kotrimok3azol oral, lluorokuinolon, amoksisilinasam klavulanat - kotrimoksazol atau fluorokuinolon atau amino'
glikosid + amPisilin Parentcral - kolrimoksazol, fluolokuinolon alau lrimeloptim
582 Farmakologi dan Terapi
TAbEI
2.I. PILIHAN ANTIMIKROBA BERDASARKAN EDUCATEDGUESS (SAMbUNgAN)
JENIS INFEKSI
PENYEBAB TERSEHING
PILIHAN ANTIMIKROBA
III. INFEKSI YANG DITULAFKAN MELALUI HUBUNGAN KELAMIN - uretritis
- N. gonorrhoeae (bukan penghasil
- amp.isilin/amoksisilin/penisilin G + probenesid, settriakson, t€trasiklin
penisilinase)
- N. gonorrhoeae (penghasil
- seftriakson, fluorokuinolon
penisilinase) - C. trachomatis
- Herpss genital
- doksisiklin/tetrasiklin, eritromisin
- Ur€aplasma ur€alyticum
-
doksisiklin/tetrasiklln
- virus herpes simpleks
-
asiklovir
- Sifilis
- T. pallidum
- Ulkus mole
- H. ducr€yi
- penisilin G prokain, s€ttriakson, tetrasiklin kotrimoksazol, eritromlsin, s€ftriakson,
l€trasiklin
rv.
CERNA
y'-
Ginggiviris dan 'iALURAN abses gigi
VzlKandiOiasis oral - Enteritis inteksiosa
- int€ksi campuran kuman aerob + anaerob
- penisilin G prokain/penisitin V
- C. albicans
- nistatin
- virus - Shig€lla
- kotrimoksazoffluorokuinolon/amplsilin
- V. cholerae
-
- E. histotytica - C. pjuni
- Kol€sistitis akul
- berbagai kuman enterik gram
- eritromisinfluorokuinolon, tekasiklin - umumnya tidak memsrlukan antimikroba -negatil lainnya
- E. coli, berbagai kuman enterik
-
gram-negatif, B. lragilis
- Peritonitis kar€na porlorasi usus
letrasiklin, kotrimoksazol
- melronidazol
ampisilin + gentamisin, ampisilin_sulbaktam, setazolin
- E. coli, berbagai kuman enlerlk gram-negatit, kuman ana€rob
-
ampisilin + gentamisin + metronidazoVklindamisin,
g€ntamisin + metronidazouklindamisin,
V. KARDIOVASKULAB - Endokarditis
- str€ptokokus - statilokokus - statilokokus yang toleran terhadap metisitin (MRSA) - kuman gram-negatit
- penisilin G + gentamisin - kloksasilin + gentamisin -
vankomisin
- tefotaksim + gentamisin
VI. KULIT, OTOT. TULANG - lmp€tigo, furunkel, selulitis, dil.
a",/eas
gangren
- Osteomyelitis akut
- Slr. pyogen€s, S. aureus - Cl. perfringens
- S. aureus
- kloksasilin/eritromisin, setalosporin generasi I - penisilin G - kloksasilin
VII. SUSUNAN SARAF PUSAT - Moningitis baktgrial
anak/dewasa
- Str. pneumonia€, stafilokokus, H. inlluenzae'
-
ampisllin + kloramfenikol (s6bagai terapi awal)
- meningokokus
.
Penisilin G, kloramf€nikol
sefoksitiil
583
Pengantar Antimikroba
Tabel 2.1. PILIHAN ANTIMIKROBA BERDASARKAN EDUCATED GUESS (Sambungan)
JENIS INFEKSI
pada
-M€ningitis neonatus - abses olak
PENYEBAB TERSEBING
PILIHAN ANTIMIKROBA
- Berbagai kuman enterik gram-negatil
- sefalosporin generasi lll
- Str€ptokokus, S. aureus,
- Penisitin G + kloramfenikoUmetronidazol sef alosporin gen€rasi lll
Enterobacteriac€ae, kuman anaerob
b€rbagai
+
VIII. SEPSIS -
slreptokokus
neonatus
- anak < 5
tahun
- anak > 5 tahun
dewasa
Kotsrangan
dan
- str. agalacliae, lain, kuman enterik glam-n€9atil
- ampisilin + aminoglikosid
inlluenzae, auraus - Kuman enterik gram-negatil, S. aureus, streplokokus
- kloksasilin/ampisilin + kloramfenikol atau ampisilin + kloramlenikol
- Str. pneumoniae, H. N. meningitidis, S.
- kloksasilin/sefalosporin generasi I + amino-
glikosida atau sefalosporin generasi lll/ ampi:ilin.sulbaktam dengan atau tanpa amino' glikosida
:
(1) Tab€l ini dimaksudkan untuk membantu mgn€ntukan pilihan antimikroba untuk sem€ntara.
Bila hasil p6meriksaan mikrobiologik t€lah didapat maka pilihan antimikroba harus disesuaikan lagl.
(2) Kuman penyebab dan kep6kaannya terhadap antimikroba dapat b€rvariasi pada rumah sakivtempat yang berbeda. (3) yang termasuk d€ngan aminoglikosida ialah : gentamisin, tobramisin, netilmisin dan amikasin (slreptomisin dan kanamisin tidak termasuk)
(4) yang termasuk dengan solalosporin generasi I ialah : solazolin, s€lradin, selaleksin, s€fadroksil dll; gehorasi ll : s€lamandol' selotaksim, selop€razon, s€ltriakson, seltaziJin, selsulodin, moksalaktam, dll. (5) yang t€rmasuk d€ngan lluorokuinolon ialah : siprofloksasin, olbksasin, pelloksasin, norlloksasin, dll. (asam nalidiksat, asam pip€midat, asam piromlJat lklak t€rmasuk). sefJksitin, s€luroksim, dll; generasi
lli:
Farmakolagi dan Terapi
40. SULFONAMID, KOTRIMOKSAZOL DAN ANTISEPTIK SALURAN KEMIH Yanti Mariana dan R.Setiabudy
1.
Sullonamid dan kotrimoksazol 1.1. Sulfonamid 1.2. Kotrimoksazol
2.
Antiseptik saluran kemih
2.1. Metenamin 2.2. Asam nalidiksat 2.3. Nitrolurantoin
I.1. SULFONAMID Sullonamid adalah kemoterapeutik yang pertama digunakan secara sistemik untuk pengobatan dan pencegahan penyakit infeksi pada manusia. Penggunaan sulfonamid kemudian terdesak oleh antibiotik. Pertengahan tahun 1970 penemuan kegunaan sediaan kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol meningkatkan kembali penggunaan sullonamid untuk pengobatan penyakit infeksi ter-
cooH
+
+ NHe
NHz
sultanilamid
tentu.
KIMIA
asam para amino benzoat (PABA)
AT"r\,.
Sullonamid berupa kristal putih yang umumnya sukar larut dalam air, tetapi garam natriumnya mudah larut. Rumus dasarnya adalah sullanilamid
Y NHz
(Gambar 40-1). Berbagai variasi radikal R pada gugus amida (-SO2NHR) dan substitusi gugus amino (NH2) menyebabkan perubahan sifat lisik, kimia dan daya antibakteri sulfonamid.
sulfisoksazol
AKTIVITAS ANTIMIKROBA NHOC
Sullonamid mempunyai spektrum antibakteri
yang luas, meskipun kurang kuat dibandingkan dengan antibiotik dan strain mikroba yang resisten makin meningkat. Golongan obat ini umumnya hanya bersilat bakteriostatik, namun pada kadar yang tinggi dalam urin, sulfonamid dapat bersifat bakterisid.
sulfametoksazol
Italilsullatiazol Gambar 40-1. Struktur beberapa sulfonamid dan asam para amino benzoat
Sutfonamid, Kotrimoksazot dan Antiseptik Saluran Kemih
585
SPEKTRUM ANTIBAKTERI. Kuman yang sensitif terhadap sulla secaraln vltro ialah Strep. pyogenes,
Sel-sel mamalia tidak dipengaruhi oleh sullonamid karena menggunakan lolat iadi yang terdapat dalam makanan (tidak mensintesis sendiri
Strep. pneumoniae, beberapa galur Bacil/us anthracis dan Corynebacteium diphtheriae, Haemophilus influenzae, H. ducreyi, Brucella, Vibrio chalerae, Nocardia, Actinomyces, Calymmatobac -
terium granulomatis, Chtamydia trachomatis dan beberapa protozoa. Beberapa kuman enterik iuga ihambat. Ps e ud o monas, Se rrati a, P rote us dan kuman-kuman multiregisten tidak peka terhadap obat ini. Beberapa strain E. coli penyebab infeksi saluran kemih telah resisten terhadap sulfonamid, karena itu sullonamid bukan obat pilihan lagi untuk penyakit
d
inleksi tersebut. Banyak galur meningokokus, pneumokokus,
streptokokus, stafilokokus dan gonokokus yang sekarang telah resisten terhadap sulfonamid'
MEKANISME KERJA. Kuman memerlukan PABA (p-aminobenzoic acid) untuk membentuk asam folat (Gambar 40-2) yang digunakan untuk sintesis purin dan asam-asam nukleat. Sulfonamid merupakan penghambat bersaing PABA'
senyawa tersebut).
Dalam proses sintesis asam lolat, bila PABA digantikan oleh sulfonamid, maka akan terbentuk analog asam folat yang tidak lungsional. KOMBINASI DENGAN TRIMETOPRIM' Senyawa
yang memperlihatkan elek sinergistik paling kuat bila digunakan bersama sulfonamid ialah trimetoprim. Senyawa ini merupakan penghambat enzim dihidrololat reduktase yang kuat dan selektif. Enzim ini berfungsi mereduksi asam dihidrofolat menjadi asam tetrahidro{olat, jadi pemberian sulfonamid bersama trimetoprim menyebabkan hambatan berangkai dalam reaksi pembentukan asam telrahidrofolat (Gambar 40-2)' Kombinasi kedua obat ini akan dibahas lebih laniut pada bagian lain dari bab ini.
RESISTENSI BAKTERI. Bakteriyang semula sensitif terhadap sulfonamid dapat menjadi resisten secara in vitro maupun in vivo. Resistensi ini biasanya bersifat ireversibel, tetapi tidak disertai resisten-
si silang terhadap kemoterapeutik lain. Resistensi
PABA
ini mungkin disebabkan oleh mutasi yang meningkatkan produksi PABA atau mengubah struktur mo-
Sulfonamid
lekul enzim yang berperan dalam sintesis lolat
berkompetisi dengan
sedemikian rupa sehingga afinitasnya terhadap sullonamid menurun. Timbulnya resistensi merupakan laktor yang membatasi manfaat sulfonamid dalam pengobatan penyakit inleksi, terutama inleksi yang disebabkan
PABA
Asam dihidrofolat
Trimetoprim
oleh gonokokus, stafilokokus, meningokokus' streptokokus dan beberapa galur Shige//a'
Asam tetrahidrololat
.t Purin
0 DNA
Gambar 40-2. Mekanisme keria sullonamid dan
trimetoPrim
Efek antibakteri sullonamid dihambat oleh adanya darah, nanah dan jaringan nekrotik, karena kebutuhan mikroba akan'asam lolat berkurang dalam media yang mengandung basa purin dan timidin.
FARMAKOKINETIK ABSOBPSI. Absorpsi melalui saluran cerna mudah
dan cepat, kecuali beberapa macam sullonamid
yang khusus digunakan untuk infeksi lokal pada Lsus. Kira-kira 70-100 % dosis oral sulfonamid diabsorpsi melalui saluran cerna dan dapat ditemukan
dalam urin 30 menit setelah pemberian. Absorpsi terulama terladi pada usus halus, tetapi beberapa jenis sulfa dapat diabsorpsi melalui lambung' Absorpsi melalui tempat-tempat lain, misalnya
vagina, saluran nafas, kulit yang terluka, pada umumnya kurang baik, tetapi cukup menyebabkan reaksi toksik atau reaksi hipersensitivitas.
586
Farmakologi dan Terapi
DISTRIBUSI. Semua sulfonamid terikat pada pro-
tein plasma lerutama albumin dalam derajat yang
berbeda-beda. Obat ini tersebar ke seluruh jaringan
tubuh, karena itu berguna untuk infeksi sistemik.
diterangkan lebih lanjut pada pembicaraan masing_ masing golongan sulfa. Berdasarkan kecepatan absorpsi dan ekskre_ sinya, sulfonamid dibagi dalam 3 gotongan besar : (1 ) sulfonamid dengan absorpsi dan ekskresi cepat,
Dalani cairan tubuh kadar obat bentuk bebas mencapai 50-80 ok kadar dalam darah. pemberian sul_ fadiazin dan sulfisoksazol secara sistemik dengan dosis adekuat dapat mencapai kadar efektif dalam CSS (cairan serebrospinal) otak. Kadar taraf man_ tap di dalam CSS mencapai 10-g0 o/o darikadarnya dalam darah; pada meningitis kadar ini lebih tinggi lagi. Namun oleh karena timbulnya resistensi mi_ kroba terhadap sullonamid, obat ini jarang lagi di_ gunakan untuk pengobatan meningitis. Obat dapat melalui sawar uri dan menimbulkan elek antimik_ roba dan efek toksik pada janin.
SULFONAMID DENGAN ABSORPSI DAN
METABOLISME. Dalam tubuh, sulfa mengalami
prototip golongan ini dengan efek antibakteri kuat.
asetilasi dan oksidasi. Hasil oksidasi inilah yang se_ ring menyebabkan reaksi toksik sistemik berupa lesi
pada kulit dan gejala hipersensitivitas, sedangkan
hasil asetilasi menyebabkan hilangnya aktivitas
obat. Bentuk asetil pada N-4 merupakan metabolit utama, dan beberapa sulfonamid yang terasetilasi lebih sukar larut dalam air sehingga sering menyebabkan kristaluria atau komplikasi ginjal lain. Bentuk asetil ini lebih banyak terikat protein plasma daripada bentuk asalnya. Kadar bentuk teikonyugasi ini tergantung terutama pada besarnya dosis, lama pemberian, keadaan fungsi hati dan ginjal penderita.
EKSKRESI. Hampir semua diekskresi melalui gin_ jal, baik dalam bentuk asetil maupun bentuk bebas. Masa paruh sulfonamid tergantung pada keadaan lungsi ginjal. Sebagian kecil diekskresi melalui tinja, empedu dan air susu ibu.
FARMAKOLOGI, SEDIAAN DAN POSOLOGI Cara pemberian yang paling aman dan mudah
ialah per oral, absorpsinya cepat dan kadar yang cukup dalam darah segera tercapai. Bila pemberian per oral tidak mungkin dilakukan maka dapat diberi-
kan parenteral (lM atau lV). penggunaan topikal sullonamid umumnya telah ditinggalkan kecuali sullasetamid untuk mata, mafenid asetat dan sulfadia_ zin perak untuk luka bakar, serta sullasalazin untuk kolitis ulseratif. Dosis obat tergantung dari umur penderita, macam dan hebatnya penyakit, cara pemberian, jenis sulfa dan keadaan fungsi ginjal; dan ini akan
antara lain sulfadiazin dan sulfisoksazol; (2) sul_ lonamid yang hanya diabsorpsi sedikit bila diberi_ kan per oral dan karena itu kerjanya dalam lumen usus, antara lain ftalilsulfatiazol dan sulfasalazin; (3) sulfonamid yang terutama digunakan untuk pemberian topikal, antara lain sullasetamid, mafe_ nid, dan Ag-sulfadiazin; (4) sulfonamid dengan masa kerja panjang, seperti sulfadoksin, absorpsi_ nya cepat dan ekskresinya lambat. EKSKRESI CEPAT. Sulfisoksazol./Merupakan
Sulfisoksazol hanya didistribusikan ke dalam cairan ekstrasel dan sebagian besar terikat pada protein plasma. Kadar puncak dalam darah tercapai dalam 2-4 jam setelah pemberian dosis oral 2_4 g. Hampi
95 % obat diekskresi melalui urin dalam 24 jam sesudah pemberian dosis tunggal. Kadar obat ini
dalam urin jauh melebihi kadarnya dalam darah sehingga mungkin bersifat bakterisid. Kadarnya dalam CSS hanya 1/3 dari kadar dalam darah. Kelarutan sulfisoksazol dalam urin jauh lebih tinggi daripada sulfadiazin sehingga jarang menyebabkan hematuria atau kristaluria (0,2-0,3%). Sulfa ini dapat menggantikan golongan sulfa yang sukar larut dan toksik terhadap ginjal. Dosis permulaan untuk dewasa 2-4 g dilanjutkan dengan 1 g setiap 4-6 jam, sedangkan untuk anak 150 mg/kg berat badan sehari. Mula-mula diberikan setengah dosis tersebut, kemudian dilanjutkan dengan 1/6 dosis per hari setiap 4 jam (maksimal 6 g sehari). Sulfisok-
sazol dapal menyebabkan reaksi hipersensitivitas
yang kadang-kadang bersilat letal. Sediaan
sul_
lisoksazol tersedia dalam bentuk tablet 500 mg untuk pemberian oral.
Sulfametoksazol. Obat ini merupakan derivat
sul_
fisoksazol dengan absorpsi dan ekskresi yang lebih lambat. Dapat diberikan pada penderita dengan
infeksi saluran kemih dan infeksi sistemik.
Kris_
taluria lebih sering timbul karena persentase ase_ tilasinya tinggi. Sulfametoksazol umumnya digunakan dalam bentuk kombinasi tetap dengan trimetoprim (di luar negeri ada sediaan tablet sullometoksazol saja yang mengandung 500 mg zat aktif).
(.r\{i5oLsaeoL} e, -r r{eJ ina.trr /
Sulfonamid, Kotrimoksazol dan Antiseptik Saluran Kemih
l/
Sulfadiazin.'Absorpsi di usus terjadi cepat dan kadar maksimal dalam darah dicapai dalam waktu 3-6 jam sesudah pemberian dosis tunggal. Kira-kira 15-4oo/o dari obat yang diberikan diekskresi dalam bentuk asetil yang lebih mudah diekskresi. Hampir 70% obat ini mengalami reabsorpsi di tubuli ginjal dan pemberian alkali memperbesar bersihan ginjal dengan mengurangi reabsorpsi tubuli. Karena beberapa macam sulla sukar larut dalam urin yang asam, maka sering timbul kristaluria dan komplikasi ginial lainnya. Untuk mencegah ini penderita dianjurkan minum banyak air agar produksi urin tidak kurang dari 1200 mUhari atau diberi' kan sediaan alkalis seperti Na-bikarbonat untuk menaikkan pH urin. Dosis permulaan oral pada orang dewasa 2-4 g, dilanjutkan dengan 2-4 g dalam 3-6 kali pemberian; lamanya pemberian tergantung dari keadaan penyakit. Anak-anak berumur lebih dari dua bulan diberikan dosis awal setengah dosis per hari kemudian dilanjutkan dengan 60-150 mg/kg BB (maksimum 6 g/hari) dalam 4-G kali pemberian. Sediaan biasanya terdapat dalam bentuk tablet 500 mg.
Sulfasitin (Sulfacytin) adalah sullonamid yang ekskresinya cspat untuk penggunaan per oral pada infeksi saluran kemih. Masa paruhnya dalam darah lebih pendek daripada sullisoksazol (4 jam vs 7 jam). Kadarnya dalam darah lebih rendah daripada kadar sulfisoksazol, oleh karena itu hanya digunakan untuk inleksi saluran kemih. Pemberian dimulai dengan dosis awal 500 mg, dilaniutkan dengan
dosis 250 mg empat kali sehari. Sullasitin tersedia dalam bentuk tablet 250 mg (tidak dipasarkan di lndonesia),
Sulfametizol. Sullametizol termasuk golongan sulfonamid yang ekskresinya cepat, sehingga kadarnya dalam darah rendah setelah pemberian dosis
o
f eo rggr ( y?F'l
pLil'(,:?i
SULFONAMID YANG HANYA DIABSORPSI
587
SE' ,{\..
DIKIT OLEH SALURAN CERNA. Sulfasalazin.{t+o+.t Obat ini digunakan unluk pengobalan kolitis ulse- iu i .l ratil dan enteritis regional dan reumatoid artritis' Sullasalazin dalam usus diuraikan menjadi sulfapiridin yang diabsorpsi dan diekskresi melalui urin, dan 5-aminosalisilat yang mempunyai efek antiinfla-
masi. Reaksi toksik yang terjadi antara lain Heinzbody anemia, hemolisis akut pada penderita delisiensi GoPD, dan agranulositosis. Mual, demam, artralgia serta ruam kulit terjadi pada2Oo/o penderita dan desensitisasi dapat mengurangi angka kejadian. Dosis awal ialah 0,5 g sehari yang ditingkalkan sampai 2-6 g sehari. Sullasalazin tersedia dalam
bentuk tablet 500 mg dan bentuk suspensi 50 mg/ml.
Suksinilsulfatiazol dan ftalisulfatiazol. Dalam kolon, kedua sulfa ini dihidrolisis oleh bakteri usus menjadi sulfatiazol yang berkhasiat antibakteri dan
hampir tidak diabsorpsi oleh usus. Kedua obat ini tidak lagi dianjurkan penggunaannya karena terbukti tidak elektif untuk enteritis.
suLFoNAMID UNTUK PENGGUNAAN TOPIKAL. Sulfasetamid. Natrium sullasetamid digunakan secara topikal untuk inleksi mata. Kadar tinggi dalam larutan 30% tidak mengiritasi jaringan mata, karena pHnya netral (7,4), dan bersifat bakterisid. Obat ini dapat menembus ke dalam cairan dan iaringan mata mencapai kadar yang tinggi, sehingga sangat baik untuk konyungtivitis akut maupun kronik. Meskipun jarang menimbulkan reaksi sensiti' sasi, obat ini tidak boleh diberikan pada penderita yang hipersensitif terhadap sullonamid' Obat ini tersedia dalam bentuk salep mata 10% atau tetes mata 30%. Pada inleksi kronik diberikan 1-2 tetes setiap 2 jam untuk inleksi yang berat atau 3-4 kali sehari untuk penyakit kronik'
biasa. Digunakan untuk pengobatan inleksi saluran kemih dengan dosis 500-1000 mg dalam 3-4 kali pemberian sehari. Sullametizol tersedia dalam bentuk tabl€t 250 atau 500 mg.
Ag-Sulfadiazin (sulfadiazin-perak). ln vitro obat ini menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur,
Kombinasi sulfa. Untuk mengurangi atau men-
ngurangi jumlah koloni mikroba dan mencegah infeksi luka bakar. Obat tidak dianjurkan untuk pengobatan luka yang besar dan dalam. Ag dilepaskan secara perlahan-lahan sampai mencapai kadar tok-
cegah terjadinya kristaluria dibuat sediaan kombinasi tetap beberapa macam sulfa, misalnya sulfa' diaZin, sullamerazin dan sullametazin yang dikenal sebagai trisullapirimidin. Kombinasi ini hanya lersedia dalam bentuk tablet atau suspensi oral' Kombinasi sulla ini lidak menghasilkan potensi atau porluasan spektrum antibakteri.
termasuk spesies yang telah resisten terhadap sul-
fonamid. Sulfadiazin-perak digunakan untuk. rne-
sik yang selektil untuk mikroba. Namun mikroba dapat menjadi resislen terhadap obat ini. Ag hanya sedikit diserap telapi sulfadiazin dapat mencapai
kadar lerapl bila permukaan yang'diolesi cukup
/
588
luas. Walaupun jarang terjadi, efek samping dapat limbul dalam bentuk rasa terbakar, gatal dan erupsi kulit. Sulfadiazin-perak merupakan bbat pilihan untuk pencegahan inleksi pada luka bakar. Obat ini tersedia dalam bentuk krem (10 mg/g) yang diberi_ kan 1-2 kali sehari. Mafenid (mafenid asetat) mengandung alfa_ amino-p-toluen sulfonamid, digunakan secari topi_ kaldalam bentuk krem (g5 mg/g) untuk mengurangi jumlah koloni bakteri dan mencegah infeksi luka bakar oleh mikroba gram positif dan gram negatif. Obal ini tidak dianjurkan untuk pengobatan luka inleksi yang dalam. Kadang- kadang dapat terjadi superinfeksioleh kandida. pemberian krem 1_ 2 kali sehari dengan ketebalan 1-2 mm pada permukaan luka bakar. Sebelum pemberian obat, luka harus dF
bersihkan, Pengobatan dilanjutkan sampai dapat dilakukan pencangkokan kulit. . Mafenid cepat diabsorpsi melalui permukaan
luka bakar, kadar puncak dalam darah tercapai dalam 2-4 jam setelah pemberian. Efek samping
berupa nyeri pada tempat pemberian, reaksi aiergi dan kekeringan jaringan karena luka tidak dibalut dan metabolit obat menghambat enzim karbonat anhidrase. Urin dapat menjadi alkalis dan dapat terjadi asidosis metabolik yang berakibat sesak napas dan hiperventilasi.
SULFONAMID DENGAN MASAKERJA PAN-.i JANG. Sulfadoksin adalah sulfonamid dengan \ masa kerja 7 sampai 9 hari. Obat ini digunakan
dalam bentuk kombinasi tetap dengan pirimetamin
(500 mg sutfadoksin dan 25 mg pirimetamin) untuk
Farmakolqi dan Terapi
pemakaiannya secepat mungkin dihentikan. Mere_
ka yang pernah menunjukkan reaksi tersebut,
seterusnya tidak boleh diberi sullonamid.
untuk
GANGGUAN STSTEM HEMATOpOEIKVdnemia hemolitik akut dapat disebabkan oleh reaksi alergi alau karena delisiensi ahivitas GopD. Sulfadiazin jarang menimbulkan reaksi ini (0,05%). Agranulo_
sitosis terjadi pada sekitar 0,.1% penderiia yang
mendapat sulladiazin. Kebanyakan penderita sem-
buh kembali dalam beberapa minggu atau bulan
setelah pemberian sullonamid dihentikan. Anemia aplastik, sangat jarang terjadi dan dapat bersilat tatal. Hal ini diduga berdasarkan efek mielotoksik
langsung. ; Trombositopenia berat, jarang terjadi pada pemakaian sulfonamid. Trombositopenia ririgan selintas lebih sering lerjadi. Mekanisme terjadinya tidak diketahui.
Eosinofilia, dapat terjadi dan bersifat reversi-
bel. Kadang-kadang disertai dengan gejala hiper_ sensitivitas terhadap sulfonamid.
Pada penderita dengan gangguan sumsum tulang penderita AIDS atau yang mendapat kemo_ terapi dengan mielosupresan sering menimbulkan hambatan sumsum tulang yang bersilat reversibel. GANGGUAN SALURAN KEMIH. pemakaian siste-
mik dapat menimbulkan komplikasi pada saluran kemih, meskipun sekarang jarang terjadi karena telah banyak ditemukan sulla yang lebih mudah larut seperti sulfisoksazol. penyebab utama ialah
pembentukan dan penumpukan kristal dalam ginjal, kaliks, pelvis, ureter, atau kandung kemih, yang me_
pencegahan dan pengobatan malaria akibat p. fal_ ciparum yang resisten terhadap klorokuin, Namun karena efek samping hebat seperli gejala StevensJohnson yang kgdang-kadang sampai menimbul_ kan kematian, obat hanya digunakan untuk pence_ gahan bila resiko resistensi malaria cukup tinggi, Kombinasi ini juga digunakan untuk pencegahan p.n?umonia pneumocystis carinii pada penderita AIDS (acguired immuno deficiency syndrome), meskipun penggunaannya belum luas dan efek sampingnya mungkin hebat.
telah diterangkan di atas. presipitasi sulfadiazin
EFEK NONTERAPI
7,15 atau lebih.
nyebabkan iritasi dan obstruksi. Anuria dan k-ematian dapat terjadi tanpa kristaluria atau hematuria;
pada autopsi ditemukan nekrosis tubular dan angii_
tis nekrotikans. Bahaya kristalur#apat dikurangi dengan membasakan (alkalinisasi) urin atau minum airyang banyak sehingga produksi urin mencapai tbOO1500 ml sehari. Kombinasi beberapa jenis sulfa
dapat pula mengurangi terjadinya kristaluria seperti
atau sulfamerazin tidak akan terjadi pada pH urin
Elek nonterapi sering timbul (sekitar S%) pada penderita yang mendapat sulfonamid. Reaksi ini
dapat hebat dan kadang-kadang bersilat fatal. Ka-
rena.itu pemakaiannya harus berhati-hati. Bila mulai lerlihat adanya gejala reaksi toksik atau sensitisasi,
REAKSI ALERGI. Gambaran hipersensitivitas pada kulit dan mukosa bervariasi, berupa kelainan morbiliform, skarlatinilorm, urtikariform, erisipeloid, pemfigoid, purpura, petekia, juga dapat timbul eri_ tema nodosum, eritema multilormis tipe Stevens_ Johnson, sindrom Behcet, dermatitis eksloliativa
Sulfonamid, Kotrimoksazol dan Antisptik Saluran Kemih
589
dan totosensitivitas. Kontak dermalitis sekarang jarang terjadi. Gejala umumnya limbul setelah minggu pertama pengobatan tetapi mungkin lebih dini pada penderita yang telah tersensitisasi. Kekerapan lerjadinya reaksi kulit 1,5% dengan sulfadiazin dan 2% dengan sulfisoksazol. Suatu sindrom yang menyerupai penyakit serum (serum sickness) dapat lerjadi beberapa hari setelah pengobatan dengan sullonamid. Hipersensitivitas sislemik dif us kadan gkadang dapat pula terjadi. Sensilivitas silang dapat terjadi antara bermacam-macam sulfa. Demam obatterjadi pada pemakaian sulfonamid dan mungkin juga disebabkan oleh sensitisasi; terjadi pada 3% kasus yang mendapat sulfisoksazol. Timbulnya demam tiba.tiba pada hari ketujuh sampai kesepuluh pengobatan, dan dapat disertai sakit kepala, menggigil, rasa lemah, pruritus dan erupsi kulit, yang semuanya bersilat reversibel. Demam obat ini perlu dibedakan dari demam yang menandai reaksi toksik berat misalnya agranulositosis dan anemia hemolitik akut. Hepatitis yang terjadi pada 0,1 % pasien dapat
mun peranannya meningkat kembali dengan dite-
merupakan elek toksik atau akibat sensitisasi. Tanda-tanda seperti sakit kepala, mual, muntah, demam, hepatomegali, ikterus dan gangguan sel hati tampak 3-5 hari setolah pengobalap, dapat berlanjut menjadi atroli kuning akul dan kematian.
mukannya kotrimoksazol.
Penggunaan iopikal tidak dianjurkan karena kurang/tidak efektif, sedangkan resiko terjadinya reaksi sensitisasi tinggi, kecuali pemakaian lokal dari Na-sulfasetamid pada infeksi mata.
lnfeksi saluran kemih. Sullonamid pada saat ini bukan lagi obat pilihan pertama untuk inleksi salur-
an kemih, karena jumlah mikroba yang resislen makin meningkat . Namun demikian sullisoksazol masih efeklil untuk pengobatan inleksi saluran kemih dimana prevalensi resistensi mikroba masih rendah atau mikroba masih peka. Obat pilihan lain untuk inleksi saluran kemih anlara lain trimetoprim-
sullametoksazol, antiseptik saluran kemih, derivat kuinolon dan ampisilin. Kombinasi trimetoprim-sulfametoksazol sangat berguna untuk pengobatan inleksi saluran kemih. Masalah ini akan dibahas pada judul kotrimoksazol.
Disentri basiler. Sullonamid tidak lagi merupakan obat terpilih, karena banyak strain yang telah resis-
ten. Obat terpilih sekarang adalah ampisilin atau kloramfenikol. Trimetoprim-sulfametoksazol agaknya masih efektil pada pemberian per oral, meskipun di beberapa tempat telah terjadi resistensi.
Kerusakan pada hepar dapat memburuk walaupun
Dosis dewasa ialah 160 mg trimetoprim dan 800 mg
obat dihentikan.
sullametoksazol setiap 12 jam selama 5 hari.
LAIN-LAIN. Salu sampal 2% penderila mengeluh mual dan muntah yang mungkin bersilat sentral karena meski diberikan parentsralelek ini kadangkadang juga timbul. Pemberian obat pada bayl dapat menyebabkan penggeseran ikatan bilirubin dengan albumin. Sulfonamid tidak boleh diberikan pada wanita hamil aterm. INTERAKSI OBAT. Sullonamid dapal berinteraksi dengan antikoagulan oral, antidiabetik sullonilurea dan lenitoin. Dalam hal lersebut sulla dapat mempsrkuat efek obat lain dengan cara hambatan malabolisme atau penggeseran ikatan dengan albumin. Pada pemberian bersama sullonamid dosis obalobal tersebut perlu disesuaikan. PENGGUNAAN KLINIK Penggunaan sullonamid sebagai obat pilihan pertama dan untuk pengobatan penyakit inleksi tertentu makin terd€sak oleh perkembangan obat antimikroba lain yang lebih elektil serta meningkatnya jumlah mikroba yang r€sisten terhadap sulfa. Na-
Meningitis oleh meningokokus. Banyak strain telah resislen terhadap sullonamid, sehingga obat terpilih adalah penisilin G, ampisilin, selalosporin generasi ketiga, atau kloramfenikol. Kemoprofilaksis perlu dipertimbangkan diberikan pada subyek yang berkontak langsung dengan penderita yang
terinleksi meningokokus. Rifampisin merupakan obat terpilih untuk profilaksis. Bila strain penyebabnya sensitit diberikan sullisoksazol dengan dosis 1 gram setiap 12 jam sebanyak 4 dosis.
Nokardiosis. Sullonamid sangat berguna untuk pengobatan infeksi oleh Nocardia asterolUes. Sullisoksazol atau sulladiazin dapat diberikan 6-8 g/hari sampai beberapa bulan setelah semua gejala hilang. Untuk inleksiyang berat sullonamid diberikan bersama ampisilin, eritromisin, dan streptomisin.
Trakoma dan inclusion conjunctivitis. Walaupun bukan merupakan obat terpilih, pemberlan suJfonamid secara oral selama 3 minggu eleklil untuk trakoma. Walaupun pemberian topikal mensupresi gejala inleksi, eradikasi mikroorganisme tidak terca-
590
Farmakologi dan Terapi
pai. lnteksi sekunder dengan bakteri piogenik dapat diobati dengan tetrasiklin topikal. Dalam beberapa hari gejala-gejala lokal akan menghilang, Untuk,ncl u sion co nj unctiviti s (i ncl us ion blenorrhea) diberikan salep sullasetamid 10 % topikal selama 10 hari; dapat juga dipergunakan tetrasiklin.
Toksoplasmosis. lnleksi Toxoplasmosis gondli paling baik diobatidengan pirimetamin. Tetapi menurut pengalaman, lebih baik bila obat tersebut dikombinasi dengan sulladiazin, sulfisoksazol atau lrisulfapirimidin ,dosis penuh. Bila terjadi korioretinitis sebaiknya juga diberikan kortikosteroid.
Kemoprofilaksis dengan sulfonamid. Sullonamid juga digunakan sebagai kemoprofilaksis terutama untuk inleksi spesifik dengan bakteri-bakteri yang masih sensitil terhadap sulfa. Untuk mencegah infeksi maupun kambuhnya demam reumatik oleh Sfrepfococcus-hemolyticus group A, sulfa sama
dalam usaha meningkatkan elektivitas klinik antimikroba. Kombinasi ini lebih dikenal dengan nama kotrimoksazol. K I M I A. Silat kimia sulfametoksazol telah dibicara-
kan di atas dan struktur kimianya dapat dilihat pada Gambar 40-3. Trimetoprim adalah suatu diamino-pirimidin yang bersifat basa lemah dengan pKa 7,3 dan sedikit larut dalam air. Struktur kimianya adalah sebagai berikut:
NHz
*A*
\A 1
NHa
CHz
elektilnya dengan penisilin oral. Sulla tidak dapat membasmi carrier streptokokus, tetapi dapat mencegah timbulnya laringitis dan demam reumatik.
Tetapi karena toksisitas sulla dan kemungkinan inleksi oleh streptokokus yang resisten terhadap
OCHg
sulla, maka penisilin lebih disukai untuk maksud ini. Sulfisoksazol dengan dosis 1 g, 2 kali sehari diguna-
kan pada penderita yang hipersensitil terhadap penisilin. Dosis untuk anak setengah dari dosis orang dewasa. Bila timbul elek samping yang umumnya terjadi pada 8 minggu pertama pengobatan, maka perlu dilakukan pemeriksaan hitung leukosit setiap minggu selama 8 minggu. Untuk kemoprolilaksis di-
senteri basiler dengan penyebab Shigelta, kecuali strain yang telah resisten, dapat digunakan sulfadiazin atau sullisoksazol 1-2 gram sehari selama 7 hari. Beberapa penulis menyatakan bahwa infeksi oleh meningokokus yang sensitil dapat dicegah dengan sulfadiazin atau sulfisoksazol. Namun, resistensi terhadap obat ini sekarang sangat meningkat. Prolilaksis inleksi dengan sullonamid sewaktu manipulasi saluran kemih, misalnya kateterisasi, diragukan kegunaannya
Gambar rlo-3. Struktur kimia trlmetoprlm
EFEK TERHADAP MIKROBA
SPEKTRUM ANTIBAKTER|. Spektrum antibakteri trimetoprim sama dengan sullametoksazol, meskipun daya antibakterinya 20-100 kali lebih kuat daripada sullametoksazol. Mikroba yang peka terhadap kombinasi trime-
toprim-sulfametoksazol ialah: Sfr. pneumoniae, C. diphtheriae, dan l/. meningitis, S0-9S% strain S. aureus, S. epidermidis, Str. pyogenes, Str. viridans, Sfr. faecalls, E. Coli, Pr. mirabilis, Pr. morganii, pr, rettgeri, Enterobacter, Aercbacter sposies, Sa/monella, Shigella, Serratia dan Alcaligenes spesies dan Klebsietla spesies. Juga beberapa strain stalilokokus yang resisten terhadap metisilin, trimetoprim
I.2. KOTRIMOKSAZOL
atau sullametoksazol sendiri, peka terhadap kombinasi tersebut. Kedua komponen memperlihatkan
Trimetoprim dan sullametoksazol menghambat reaksi enzimatik obligat pada dua tahap yang berurutan pada mikroba, sehingga'kombinasi kedua obat memberikan elek sinergi. penemuan sediaan kombinasi ini merupakan kemajuan penting
interaksi sinergistik. Kombinasi ini mungkin efekfif walaupun mikroba telah resisten terhadap sulfonamid dan agak resisten terhadap trimetoprim. Sinergisme maksimum akan terjadi bila mikroba peka terhadap kedua komponen.
Sulfonamid, Kotrimoksazol dan Antiseptik Saluran Kemih
591
MEKANISME KERJA. Aktivitas antibakteri kotri-
nya resistensi pada beberapa jenis mikroba Gram
moksazol berdasarkan atas kerianya pada dua tahap yang berurutan dalam reaksi enzimatik untuk
negatil.
membeintuk asam tetrahidrofolat. Sulfonamid
FARMAKOKINETIK
menghambat masuknya molekul PABA ke dalam molekul asam lolat dan trimetoprim menghambat terjadinya reaksi reduksi dari dihidrololat menjadi tetrahidrofolat. Tetrahidrololat penting untuk reaksireaksi pemindahan satu atom C, seperti pembentukan basa purin (adenin, guanin, dan timidin) dan beberapa asam amino (metionin, glisin). Sel-sel mamalia menggunakan lolat jadi yang terdapat dalam makanan dan tidak mensintesis senyawa tersebut. Trimetoprim menghambat enzim dihidrofolat reduktase mikroba secara sangat selektif. Hal ini penting, karena enzim tersebut juga terdapat pada sel mamalia. Untuk mendapatkan efek sinergi diperlukan perbandingan kadar yang optimal dari kedua obat. Untuk kebanyakan kuman, rasio kadar sulfametoksazol : trimetroprim yang optimal ialah 20 : 1. Silat larmakokinetik sulfonamid yang dipilih untuk kombinasi dengan trimetoprim sangat penting mengingat diperlukannya kadar yang relatif letap dari kedua obat tersebut dalam tubuh. Trimetoprim pada
Rasio kadar sulfametoksazol dan trimetoprim yang ingin dicapai dalam darah ialah sekitar 20 : 1' Karena silatnya yang lipofilik, trimetoprim mempunyai volume distribusi yang lebih besar dari pada sullametoksazol. Dengan memberikan sufametok-
umumnya 20-100 kali lebih poten daripada sulfametoksazol, sehingga sediaan kombinasi diformulasi-
sazol 800 mg dan trimetoprim 160 mg per oral (rasio sulfametoksazol : trimetoprim - 5 : 1) dapat diperoleh rasio kadar kedua obat tersebut dalam darah kurang lebih 20 : 1. Trimetoprim cepat didistribusi ke dalam jaringan dan kira-kira 40 % terikat pada protein plasma dengan adanya sulfametoksazol. Volume distribusi trimetoprim hampir 9 kali lebih besar daripada sulfametoksazol. Obat masuk ke CSS dan saliva dengan mudah. Masing-masing komponen juga ditemukan dalam kadar tinggi di dalam empedu. Kira-kira 65% sullametoksazol terikat pada protein plasma. Sampai 60% trimetoprim dan 25-50% sullametoksazol diekskresi melalui urin dalam 24 iam setelah pemberian. Dua-pertiga dari sulfonamid tidak mengalami konjugasi. Metabolit trimetoprim ditemukan juga di urin. Pada penderita uremia, kecepatan ekskresi dan kadar urin kedua obat jelas menurun.
kan untuk mendapatkan kadar sulfametoksazol in vivo 20 kali lebih besar daripada trimetoprim.
SEDIAAN DAN POSOLOGI
RESISTENSI BAKTERI, Frekuensi terjadinya resistensi terhadap kotrimoksazol leblh rendah daripada terhadap masing-masing obat, karena mikroba yang resisten terhadap salah satu komponen masih peka terhadap komponen lainnya. Resistensi mikroba terhadap trimetoprim dapat terjadi karena mutasi. Resistensi yang terjadi pada bakteri gram
negatif disebabkan oleh adanya plasmid yang membawa silat menghambat kerja obat terhadap
Kotrimoksazol tersedia dalam bentuk tablet oral, mengandung 400 mg sulfametoksazol dan 80
mg trimetoprim atau 800 mg sulfametoksazol dan 160 mg trimetoprim. Untuk anak tersedia iuga bentuk suspensi oral yang mengandung 200 mg sul' lametoksazol dan 40 mg trimetoprim/S ml, serta tablet pediatrik yang mengandung 100 mg sullametoksazol dan 20 mg trimetoprim. Untuk pemberian intravena tersedia sediaan infus yang mengandung 400 mg sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim per
enzim dihidrofolat reduktase. Resistensi S. aureus terhadap trimetoprim ditentukan oleh gen kromo-
5 ml. Dosis dewasa pada umumnya ialah 80Q mg
som, bukan oleh plasmid. Resistensi terhadap bentuk kombinasi juga terjadi in vivo. Prevalensi resistensi E. coli dan S. aureus terhadap kotrimoksazol meningkat pada penderita yang diberi pengobatan dengan sediaan kombinasi tersebut. Selama lima tahun penggunaan resistensi S. aureus meningkat dari 0,40h menjadi 12,60 . Dilaporkan pula terjadi-
jam. Pada infeksi yang berat diberikan dosis lebih
sulfa metoksazol dan 160 mg trimetoprim setiap 12
besar. Pada penderita dengan gagal ginjal' diberikan dosis biasa bila bersihan kreatinin lebih
dari 30 mumenit; bila bersihan kreatinin 15-30 ml/menit, dosis 2 tablet diberikan setiap 24 iam dan bila bersihan kreatinin kurang dari 15 ml/menit, obat ini tidak boleh diberikan.
592
Farmakologi dan Terapi
Dosis yang dianjurkan pada anak ialah trime_
8 mg/kgBB/haridan sulfametoksazol 40 mg/ kgBB/hariyang diberikan dalam 2 dosis. pemberian
-toqrim
pada anak dibawah usia 2 tahun dan pada ibu hamil atau menyusui tidak dianjurkan.
Trimetoprim juga terdapat sebagai sediaan tunggal dalam bentuk tablet 100 dan 200 mg.
EFEK NONTERAPI Pada dosis yang dianjurkan tidak terbukti bah_
wa kotrimoksazol menimbulkan defisiensi folat pa_ da orang normal. Namun batas antara toksisitas untuk bakteri dan untuk manusia relatif sempit bila sel tubuh mengalami defisiensi folat. Dalam keada_
an demikian obat ini mungkin menimbulkan megalo_
blastosis, leukopenia, atau trombositopenia. Kirakira.7.5% efek samping terjadi pada kulit, berupa reaksi yang khas ditimbulkan oleh sulfonamid. Na_ mun demikian kombinasi trimetoprim_sulfametok_ sazol dilaporkan dapat menimbuikan reaksi kulit sampai tiga kali lebih sering dibandingkan sulfisok_ sazol pada pemberian tunggal (5,9% vs 1 ,7%). Der_
matitis eksfoliatif, sindrom Stevens-Johnron dun
toxic epidermal necrolysis jarang terjadi. Gejala_ gejala saluran cerna terutama beruja mual
dan
muntah; diare jarang terjadi. Glositis dan stomatitis
relatif sering. lkterus lerutama terjadi pada pen_ sebelumnya telah menialami hepatitis le,rita V3nO kolestatik alergik. Reaksi susunan slrut prsuiOuru_
pa sakit kepala, depresi dan halusinasi, disebabkan
oleh sulfonamid. Fleaksi hematologik iainnya ialah berbagai macam anemia (aplasti[, hemolitik oan makrositik), gangguan koagulasi, granulositopenia, agranulositosis, purpura, purpura Henoch-S'chon_ lein dan sulfhemoglobinemia. pemberian diuretik sebelumnya atau bersamaan dengan kotrimoksa_ zol dapat mempermudah timbulnyl trombositope_ nia, terutama pada penderita usia lanjut dengan payah jantung; kematian dapat terjadi. eida penderita AIDS (Acquired immuno- defiiiency syndrome) yang diberi pengobatan kotrimoksazol Lntuk infeksi ol.eh Pneumocystis carinii, sering terjadi efek samping demam, lemah, erupsi kulit, dun/at", pansito-
penia.
bawah. Tetapi timbulnya resistensi makin mening_ kat terutama pada bakteri Gram negatif, sehingga sulfonamid tidak dapat diandalkan untuk pengobat
an infeksi yang lebih berat pada saluian kemih bagian atas. penting untuk membedakan infeksi
pada ginjal
dan infeksi pada saluran kemih bagian bawah. Pada keadaan pielonefritis akut yang disertai demam hebat dan bila ada kemungkinaniirOrt_
nya bakteremi dan syok, sebaiknyalangan diberi pengobatan dengan sulfonamid; tetapi dianjurkan pemberian suatu antimikroba yang bakterisid seca_ ra.parenteral yang dipilih berdasarkan uji sen_ sitivitas mikroba dari hasil kultur urin. SulfonamiO digunakan untqk pengobatan sistitis akul maupun
kronik, infeksi kronik saluran kemih bagian atas dan
bakteriuria yang asimtomatik. Sulfonamid efektif
untuk sistitis akut tanpa penyulit pada wanita. peng_ obatan infeksi ringan saluran kemih bagian bawah,
dengan kotrimoksazol ternyata sangat Lt"ttit, Ounkan untuk infeksi oleh mikroba yan! t"lun ,"ri.t"n
terhadap sulfonamid sendiri. Dosis 160 mg
trimetoprim dan 800 mg sulfametoksazol setiap 12 jam selama 10 hari menyembuhkan sebagian besar penderita. Efek terapi sediaan kombinasi lebih baik daripada masing_masing komponennya terutama bila mikroba penyebabnya golongan enterobacteriaceae. pemberian dosis tunlgal (320 mg trim_etoprim dengan 1600 sulfametoksazol) selama 3 hari, juga efektif untuk pengobatan infeksi
akut saluran kemih yang ringan. Sediaan kombinasi
initerutama efektif untuk infeksi kronik dan berulang
saluran kemih. pada wanita, efektivitasnya mungkin
disebabkan oleh tercapainya kadar terapi dalam sekret vaginal. Jumlah mikroba di sekitar orificium
urethrae menurun sehingga kemungkinan
mg sulfametoksazol dan 40 mg trimetoprim per hari alau 2-4 kali dosis tersebut yang diberikan satu atau
dua kali per minggu) efektif untuk mengurangi frekuensi kambuhnya infeksi saluran kemih pada wanita. Harus diingat bahwa trimetoprim saja juga cukup efektif untuk pengobatan infeksi saluran
kemih. Dosis dewasa yang umum digunakan ialah
100 mg setiap 1p jam. Untuk me;berikan
PENGGUNAAN KLINIK
INFEKSI SALURAN KEMIH. Sulfonamid masih
berguna untuk infeksiringan saluran kemih Uajian
ter_
jadinya infeksi ulang pada saluran ke-mih bagian bawah berkurang. Trimetoprim juga ditemukan dalam kadar terapi pada sekret proslat dan efektif untuk pengobatan infeksi prostat. Dosis kecil (200
pen_
gobatan dengan sediaan kombinasi tersebut perlu dipertimbangkan hasil pemeriksaan sensitivitas
mikroba.
lnfeksi berulang saluran kemih lebih sukar di_ tanggulangi daripada infeksi akut; infeksi kronik ini
Sultonamid, Kotrimoksazol dan Antiseptik Saturan Kemih
593
pengobatan dengan sediaan kombinasi tersebut perlu dipertimbangkan hasil pemeriksaan sensitivitas mikroba. lnleksi berulang saluran kemih lebih sukar ditanggulangi daripada inleksi akut; infeksi kronik ini
tensi mikroba penyebabnya terhadap obat ini masih rendah. Kotrimoksazol elektif untuk carier S. typhi dan
mungkin disebabkan inleksi ulang oleh mikroba lain alau karena persistensi mikroba yang sama. lnleksi ulang biasanya dapat diatasi dengan antimikroba seperti sulfisoksazol, sedangkan kambuh oleh mikroba yang sama biasanya lebih sukar diatasi dan menunjukkan adanya sumber infeksi yang persisten di saluran kemih bagian atas yang sukar dibasmi. Sebab persistensi ini antara lain : (1 ) obstruksi yang bersilat lungsional atau mekanik yang menghambat pengosongan kandung kemih; (2) resisten-
si mikroba terhadap antibiotik yang biasa digunakan; (3) gangguan daya tahan tubuh seperti pada penderita diabetes melitus; (4) kombinasi dari ketiga hal di atas, Mikroba penyebabnya antara lain Escherichia, Enterobacter (Aerobacter), Atcaligeneg K/ebsiella, Proteus, kokus qram positif (termasuk enterokokus) dan mikroba campuran. Laju penyembuhan infeksi kronik saluran kemih relatil rendah, apapun antimikroba yang digunakan, dan terapi supresil kronik atau pengobatan intermiten terhadap kambuhnya gejala merupakan tujuan pengobatan yang paling baik. Pengobatan dengan antibiotik pada kasus demikian ternyata tidak memberikan hasil yang lebih baik dan pemberian anti-
biotik jangka lama sering menimbulkan efek samping.
INFEKSI SALURAN NAFAS, Kotrimoksazot tidak dianjurkan untuk mengobati laringitis akut oleh Str. pyogenes, karena tidak dapat membasmi mikroba. Preparat kombinasi ini efektil untuk pengobatan bronkitis kronis dengan eksaserbasi akut. Preparat kombinasi ini juga elektil untuk pengobatan otitis media akut pada anak dan sinusitis maksilaris akut pada orang dewasa yang disebabkan oleh strain H. influenzae dan Str. pneumoniae yang masih sensitif. Beberapa galur pneumokokus penyebab bakteremia dilaporkan telah resisten terhadap obat ini.
INFEKSI SALURAN CERNA. Sediaan kombinasi ini berguna untuk pengobatan shige//osis karena beberapa strain mikroba penyebabnya telah resisten terhadap ampisilin. Namun demikian akhir-akhir
ini dilaporkan terjadinya resistensi mikroba terhadap kotrimoksazol. Obat ini juga etektil untuk demam tiloid. Kloramlenikol tetap merupakan obat terpilih unluk demam tifoid, karena prevalensi resis-
Salmonella spesies lain. Dosis yang dianjurkan : 160 mg trimetoprim - 800 mg sullametoksazol dua kali sehari selama 3 bulan, tetapi dengan dosis ini penyakit masih dapat kambuh. Terjadinya penyakit kronik pada kandung empedu diduga karena kega-
galan menghilangkan carrier sfafe ini. Diare akut karena E. coli dapat dicegah atau diobati dengan pemberian trimetoprim tunggal atau kotrimoksazol. INFEKS! OLEH PNEUMOCYSTIS CARtNtt. Peng-
obatan dengan dosis tinggi (trimetoprim 2O mgl kgBB per hari dengan sulfametoksazol 100 mg/ kgBB per hari, dalam 3-4 kali pemberian) elektif untuk penderita infeksi yang berat pada penderita AIDS. Beberapa hasil penelitian telah memperlihatkan bahwa pengobatan dengan dosis kecil efektif untuk pencegahan inleksi Pneumocystis carinii pada penderita neutropeni.
INFEKSI GENITALIA. Karena resistensi mikroba kotrimoksazol tidak dianjurkan lagi unluk pengobat-
an gonore. Pemberian eritromisin 500 mg 4
kali
sehari selama 10 hari atau 160 mg trimetoprim dan 800 mg sullametoksazol per oral dua kali sehari selama 10 hari efektil untuk pengobatan chancroid.
INFEKSI LAINNYA. lnleksi oleh jamur nokardia dapat diobati dengan kombinasi ini. Banyak laporan mengemukakan bahwa sulfametoksazol mungkin elektif unluk pengobatan bruselosis bahkan bila ada lesi lokal seperti artritis, endokarditis atau epididimo-orkitis. Dosis yang diberikan berkisar antara 2 tablet (800 mg sulfametoksazol dan 160 mg trimetoprim) tiga kali sehari selama 1 minggu diikuti dengan 2 tablet per hari selama 2 minggu sampai 4- 8 tablet per hari selama 2 bulan. Sebagian besar penderita sembuh terutama setelah pemberian rangkaian dosis yang disebut terakhir, namun 4% penderila kambuh dengan rangkaian dosis tersebut. Pemberian kotrimoksazol secara lV dengan karbenisilin
ternyala efektil untuk pengobatan infeksi pada penderita neutropenia. Trimetoprim-sullametoksazol juga berguna untuk pengobatan berbagai penyakit inleksi berat pada anak. Strain S. aureus yang telah resisten terhadap metisilin mungkin masih peka terhadap kotrimoksazol, tetapi vankomisin masih tetap merupakan obat pilihan untuk inleksi berat yang disebabkan oleh S. aureus yang telah resisten terhadap melisilin.
.
594
Farmakologi dan Tarapi
2. ANTISEPTIK SALURAN KEMIH Beberapa obat antimikroba tidak dapat digunakan untuk mengobati infeksi sistemik yang ber_ asal dari saluran kemih karena bioavailatilitasnya dalam plasma tidak mencukupi. Tetapi pada tubuli renalis, obat-obat ini akan mengalami pemekatan dan berdilusi kembali ke parentim ginlat setringga be_rmanfaat untuk pengobatan inleisi'saluran ke_
mih. Oleh karena kadarnya hanya cukup tinggipada
saluran kemih saja, maka antimikroUa
2.1. METENAMIN KIMIA
Metenamin atau heksamin adalah heksametilentetramin. Dalam suasana asam, metenamin terurai dan membebaskan formaldehid yang beker_
ja sebagai antiseptik saluran kemih. Forrito"niO mematikan kuman dengan jalan menimbulkan denaturasi protein.
Reaksi ini berlangsung baik pada pH urin yang
rendah. Pada
pH lebih dari
efektif.
7,4 obat
ini
tidak
se-p-erti ini
sering dianggap sebagai antiseptik lokal untuk infeksi saluran kemih. Untuk infeksi akut saluran kemih yang disertai tanda-tanda sistemik seperti demam, menigigil, hi_ potensi dan lain-lain, obat antiseptit
saluriri femin tidak dapat digunakan karena pada keadaan ter-
sebut diperlukan obat dengan kadar efektif dalam plasma. Pengobatan rasional pada keadaan ini ha_
rus berdasarkan atas hasil biakan dan uji kepekaan
kuman. Sementara menunggu hasil la-boratorium,
dapat diberikan obat golongan aminoglikosid misal_ nya gentamisin, atau sulfonamid, kotrimoksazol, ampisllin, selalosporin, lluorokuinolon, dan lain_lain.
Dengan pemberian selama 5_10 hari, biasanya in_ feksi akut dapat diredakan dan selanlurnya jiberi kan antiseptik saluran kemih sebag"i p"ngob"t"n prolilaksis atau supresif lnfeksi saluran kemih yang sering kambuh pa_ da pria usia lanjut seringkali diiebabk-an oleh ada_ nya prostatitis kronis. Keadaan ini sulit diatasi kare_ na obat sulit mencapai kelenjar prostat. Semua penderita dengan inleksi saluran kemih berulang harus diperiksa dengan teliti apakah disertaiteiain_ an anatomis saluran kemih.
Perlu
diingat bahwa pada gagal ginjal, hasil pengobatan seringkali tidak memuaJkan karena na_ nya sedikit sekali obat yang dapat diekskresikan melalui ginjal. Selain itu beberapa obat mengalami kumulasi dalam badan sehinggapertu oiperpinjang interval pemberiannya atau dikurangi Oosisnya lerdasarkan hasil pantauan kadar obaioalam pi"rr". Bila belum tersedia fasilitas untuk memantau f"Oa,
obat dalam plasma, bersihan kreatinin Oapat Jigu_ nakan sebagai pegangan. Antimikroba untuk inleksi akut dan sistemik saluran kemih telah dikemukakan pada bagian iain
dalam buku ini, sehingga selanjutnya afaniiOatras tentang antiseptik saluran kemih saja,
EFEK ANTIMIKROBA. Metenamin aktif terhadap berbagai jenis mikroba. Kuman Gram
negatif umumnya dapat pula dihambat dengan metenamin, kecuali Proteus karena kuman ini d-apat menguOan
urea menjadi amonium hidroksid y"ng m"n"ikkan pH sehingga menghambat peruOanan' metenamin
menjadi formaldehid.
Karena tidak terjadi resistensi kuman terha_
dap lormaldehid, elektivitas metenamin tetap baik.
EFEK NONTERAPI DAN KONTRAINDIKASI. Metenamin dikontraindikasikan paOa gangguan
fungsi hati karena dalam lambung oOat"ini Lem_ bebaskan amonia. lritasi lambung Jerinj teryadi Oita
diberikan dosis tebih dari 500 mg pe,
fiti. '
Dosis 4-8 g sehari selama teUifr Oari 3 minggu
mungkin menimbulkan iritasi kandung kemih, pro-
teinuria, hematuria dan erupsi kulit. Oleh karena itu
dosis harus segera diturunkan bila urin telah steril. Sebenarnya metenamin tidak merupatcan fontraindikasi untuk gagal ginjal, tetapi J"p"t
memperburuk keadaan. Oleh karena"""rny" itu mitenamin
mandelat misalnya, tidak boleh diberikan pada keadaan ini. Metenamin jangan diberikan b"ir"r" sullonamid karena dapat menimbulkan kristaluria. uetama pengobatan dengan metenamin, penderita harus menghindarkan diri dari matananioOatlang dapat meningkatkan pH urin misalnya ,rrr,
tasid.
"n_
SEDIAAN DAN POSOLOG|. Metenamin dan metenamin mandelat tersedia dalam bentuk tablet 0,5 g, Dosis untuk orang dewasa ialah 4 kali 1 gramlhari, diberikan setelah makan. Dosis untuk furung
dari 6 tahun ialah 50 mg/kgBB/hari "nit yang
dalam beberapa dosis.
OOagi
lND|KAS|. Obat ini digunakan untuk profilaksis ter_ hadap infeksi saluran kemih berulang, khususnya bila ada residu kemih. Metenamin tid-ak diindikasi_ kan untuk infeksi akut saluran kemih.
Sulfonamid, Kotimoksazol dan Antiseptik Saluran Kemih
2.2. ASAM NALIDIKSAT KlMlA. Kristal asam nalidiksat berupa bubuk putih atau kuning muda. Kelarutan dalam air rendah sekali, tetapi mudah larut dalam hidroksida alkali dan karbonat, Struktur molekulnya dapat dilihat pada Gambar 40-4.
I o
cooH
Gambar 1O.4. Struktur asam nalidiksat
SPEKTRUM ANTIMIKROBA. Asam nalidiksat be. kerja dengan menghambat enzim DNA girase bakteri dan biasanya bersifat bakterisid terhadap kebanyakan kuman patogen penyebab infeksi saluran kemih. Obat ini menghambal E. coli, Proteus spp., Klebsiella spp. dan kuman-kuman koliform lainnya. Pseudomonas spp. biasanya resisten.
Resistensi terhadap asam nalidiksat lidak dF pindahkan melalui plasmid (faktor R), tetapi dengan mekanisme lain. Resistensi terhadap asam nalidiksat telah menimbulkan masalah klinik.
FARMAKOKINETIK. Pada pemberian per oral, 96% obat akan diserap. Konsentrasinya dalam plasma kira-kira 20-50 pg/ml, tetapi 95% terikat dengan protein plasma. Dalam tubuh, sebagian dari
obat ini akan diubah menjadi asam hidroksinalidiksat yang juga mempunyai daya antimikroba, Konyu-
gasi terjadi sebagian besar dalam hepar. Masa paruh obat ini adalah 1 112-2 jam, tetapi dapat
595
Gejala SSP dapat berupa sakit kepala, vertigo
dan kantuk. Pada anak dan bayi yang mendapat asam nalidiksat dosis tinggi, dapat timbul kejang yang mungkin disebabkan oleh peninggian tekanan intrakranial. Elek samping ini dapat pula timbul bila obat diberikan kepada penderita parkinsonisme, epilepsi dan gangguan sirkulasi darah pada otak. Asam nalidiksat tidak boleh diberikan pada bayi berumur kurang dari 3 bulan dan juga pada trimester pertama kehamilan. Asam nalidiksat memberikan reaksi positil se-
mu pada pemeriksaan reduksi urin m€nurut cara Benedict. Pada penderita dengan gangguan faal hati atau ginjal, terjadi kumulasi dalam tubuh sehingga obat ini harus diberikan hati-hati sekali. Daya antibaherinya akan berkurang bila diberikan bersama nitrofurantoin. Oleh karena itu pemberian kombinasi asam nalidiksat dan nitrolurantoin dikontraindikasikan pada pengobatan infeksi saluran kemih.
SEDIAAN DAN POSOLOGI. Asam nalidiksat ter-
sedia dalam bentuk tablet 500 mg, Dosis untuk orang dewasa ialah 4 kali 500 mg/hari. Obat ini dikontraindikasikan pada wanita hamil trimester pertama dan juga anak prapuber.
lNDlKASl. Asam nalidiksat digunakan untuk meng-
obati infeksi saluran kemih bawah tanpa penyulit (misalnya sistitis akut). Obat ini tidak efektif untuk infeksi saluran kemih bagian atas, misalnya pielonefritis.
Dengan ditemukannya lluorokuinolon (siprofloksasin, olloksasin, dll.) yang mempunyai daya antibakteri dan sifat larmakokinetik yang lebih baik, thmpaknya asam nalidiksat tidak akan banyak digunakan lagi di masa yang akan datang.
Asam pipemidal mempunyai indikasi klinik sama dengan asam nalidiksat. Dosisnya ialah 2 kali 400 mg/hari.
memanjang sampai 20 jam pada gagal ginjal.
EFEK NONTERAPI DAN KONTRAINDIKASI. Pemberian asam nalidiksat per oral kadang-kadang menimbulkan mual, muntah, ruam kulit dan urtika-
2.3. NITROFURANTOIN
ria. Diare, demam, eosinolilia dan lotosensitivitas
KIMIA DAN EFEK ANTIMIKROBA.
kadang-kadang timbul. Anemia hemolitik dapat juga timbul, walaupun hal ini jarang terjadi dan diduga berdasarkan delisiensi enzim GcPD.
adalah antiseptik saluran kemih derivat luran. Struktur molekulnya dapat dilihat pada Gambar 40-5. (lihat halaman berikut).
N|ITOIUTANTO|N
596
Farmakologi dan Terapi
o'*trY"-7to" o/-*^
Gambar 4O_5. Struktur nilrolurantoln
Obat ini efektif untuk kebanyakan kuman pe_ nyebab inleksi saluran kemih seperti E. coli, proteus specieg Klebsiella, Enterobacter, Enteio,co,ccus, Strepfococcus, ClostridiaOan A. subatrsUnirf. p-_ teus mirabilis dan pseudomonas obat ini iurang Resistensi dapat berkemO"ng ,"i"rri p"_
1:Itr:
mindahan plasmid.
FARMAKOKINETIK. Nitrofurantoin diserap de_ cepat dan lengkap melalui saluran @rna. 1S"l Hemberian obat bersama makanan bukan hanya
menguran gi kemun gkinan terjadinya iritasi lambung
tapi juga mempertinggi bioavailabilitasnya.
diserap, obat ini terikat kuat dengan . Setelah protein plasma dan cepat diekskresi melatuilinlat
sehingga kadar obat bebas dalam oaratr tiJaf O'apat mencapai kadar terapi. Masa paruhnya dalam se-
rum hanya 20 menit dan kira-kira iOrt" oOit ini diekskresi datam bentuk asatnya, ,"t,inf gL a-illp"r_ kan kadar yang cukup tinggi datam ,iin oir" r""r ginjal cukup baik.
Bila bersihan kreatinin kurang dari 40 ml/menit
maka kadar obat datam urin tidlk cukup iinggi, sebaliknya terjadi kumulasi datam Oaran slningga
kemun gkinan rerjadinya intoksikasi iu J" Llii.,''0"sar. Dengan demikian nitroturantoin iiO"L Oof"n Oi_ berikan pada penderita gagal ginjal. Nitrofurantoin menyebabkan urin benryarna
agak coklat.
EFEK NONTERAPI DAN KONTRA|ND|KAS|. Efek
samping,yang paling sering dijumpai ialah mual,
muntah dan diare. Keluhan_keluhan ini dapat diku_ rangi dengan pemberian bersama makanan atau susu. Reaksi hipersensitivitas mungkin timbul berupa demam,. leukopeni, granulosi6peni, anemia nemotttik (pada penderita delisiensi enzim GopD), ikterus kolestatik dan kerusakan hepatos;iuler. Se_
lain itu dapat timbul pneumonitis akibat reaksi alergi dan librosis pulmonus interstisial (arang sefati ter_ jadi). , . . Efek samping lain yang mungkin timbul ialah kelainan neurologik seperti sakit -kepala, vertigo, kantuk, nistagmus, dan nyeri otot. Keiainan_kelain-
an lain bersifat sementara. polineuropati lebih mu_ dah terjadi pada penderita dengan gangguan taal ginjat, anemia, diabetes, detisiensiuit"niii e ror_ pleks.atau gangguan keseimbangan etektroiit. Nitrolurantoin dikonkaindikisikan pada f angguan.laal.ginjal dengan bersihan kreatinin tJrang dari 40 mt/menit, Obat inijuga dikontrainlif.asif"n bagi wanita hamil aterm dan bayi berumur furung dari 3 bulan, karena dapat menimbulkan anemia
hemolitik. Nitrofurantoin melawan efek anti bakteri asam nalidiksat di saluran kemih.
SEDIAAN
DAN POSOLOGI. Nitrofurantoin tersedia dalam bentuk kapsul atau tablet 50 dan 100 mg.
Dos_is untuk orang dewasa ialah 3-4 kali 50_1OO mg/hari. Untuk anak diberikan dosis 5_7 mg/kgBB/ 'e'"w hari yang dibagi dalam beberapa dosis.
PENGGUNAAN
KLtNtK. Nitrofurantoin efektif untuk mengobati bakteriuria yang disebabkan oleh infeksi saluran kemih bagian baiah. penggunaan_ nya terbatas untuk tujuan prolilaksis atau p-e-ngobat_
an supresif inleksi saluran kemih menahun]vaitu setelah kuman penyebabnya dibasmi atau' Cifu_
rangi dengan antimikroba lain yang lebih efektif. Hidroksimetilnitrofurantoin digunakan Oengan sama dengan nitrofurantoin. Dosisnya 4'1|'I::'^V""S kali 40 mg sehari per oral.
Tu
597
berku lostatik dan Le p rostatik
41. TUBERKULOSTATIK DAN LEPROSTATIK Yusuf Zubaidi
1.
1.10, Etionamid 1.1 1, Pengobatan Tuberkulosis
Tuberkulostatik
1. 1. Streptomisin 1. 2, lsoniazid 1. 3. Rifampisin 1. 4. Etambutol 1. 5. Pirazinamid 1. 6. Asam paraamino salisilat 1. 7. Sikloserin 1. 8. Kanamisin 1. 9. Kapreomisin
Tuberkulosis dan lepra disebabkan oleh kuman tahan asam yang silalnya berbeda dengan kuman lain. Walaupun perkembangan penemuan obat baru untuk kedua penyakit ini tidak semarak seperti penemuan antibiotik baru untuk inleksi lain, pengenalan sifat mikobakteria lebih mendalam menyebabkan masa pengobatan dapat dipersingkat dan angka kekambuhan lebih kecil. Resistensi dan efek samping masih merupakan masalah utama dalam pengobatan tuberkulosis. Paduan obat mana yang paling baik juga masih diperdebatkan. Pengobatan infeksi kuman tahan asam masih merupakan persoalan dan tantangan dalam bidang kemoterapi. Faktor yang mempersulit pengobatan ialah (1) kurangnya daya tahan hospes terhadap mikobakteria, (2) kurangnya daya bakterisid obat yang ada, (3) timbulnya resistensi kuman terhadap obat, dan (4) masalah elek samping obat. Tantangan ini lebih berat lagi dengan munculnya masaAlDS yang berkaitan erat dengan meningkatnya kejadian tuberkulosis.
1. TUBERKULOSTATIK Obat yang digunakan untuk tuberkulosis digo-
longkan atas dua kelompok yaitu kelompok obat primer dan obat sekunder. Kelompok obat primer,
2.
Leprostatik
2.1. Sullon 2,2, Rifampisin 2.3. Klofazimin 2.4. Amitiozon
2.5. Obat-obat lain 2.6. Kemoterapi lepra
yaitu isoniazid, rilampisin, etambutol, streptomisin' dan pirazinamid, memperlihatkan elektivitas yang tinggi dengan toksisitas yang dapat diterima. Sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini. Walaupun demikian, kadang terpaksa digunakan obat lain yang kurang elektil karena pertimbangan resistensi atau kontraindikasi pada penderita. Antituberkulosis sekunder adalah etionamid, paraaminosalisilat, sikloserin, amikasin, kapreomisin, dan kanamisin.
1.1. STREPTOMISIN Dalam bab ini hanya akan dibicarakan penggunaan streptomisin pada tuberkulosis. Streptomisin ialah antituberkulosis pertama yang secara klinik dinilai efektif. Namun sebagai obat tunggal, bukan obat yang ideal.
AKIVITAS ANTIBAKTERI. Streptomisin in vitro bersilat bakteriostatik dan bakterisid terhadap kuman tuberkulosis. Kadar serendah 0,4 pg/ml dapat menghambat pertumbuhan kuman. Sebagian besar bvin dihambat dengan kadar 10 pg/ml. Mikobakterium atipik foto-
M. tuberculosis strain human dan
kromatogen, skotokromatogen, nonkromatogen' dan spesies yang tumbuh cepat tidak peka terhadap streptomisin, Adanya mikroorganisme yang hidup
598
Farmakologi dan Terapi
dalam abses atau kelenjar limfe regional serta hilangnya pengaruh obat setelah bebirapa bulan
pengobatan, mendukung konsep bahwa kerja
streptomisin in vivo ialah supresi, bukan eradikasi kuman tuberkulosis, Obat ini C"p"t m"n""pai favi_ tas, tetapi relatif sukar berdilusi ke cairan intrasel,
mendapat dosis total 10_12 gram dapat mengalami gangguan tersebut. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan audiometri basal dan berkala pada mereka yang mendapat streptomisin. Seperti ami_ noglikosida lainnya, obat inijuga bersifat nefrotoksik. Ototoksisitas dan nefrotoksisitas ini sangatting_
gi kejadiannya pada kelompok usia diatas 65 tahun,
RESISTENSI. Dalam populasi yang besar selalu terdapat J
View more...
Comments