Farmakologi Dan Indikasi Terapi Kortikosteroid Dalam Bidang Dermatologi

May 15, 2018 | Author: Fanny Fadhilatunnisa | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

a...

Description

FARMAKOLOGI FARMAKOLOGI DAN INDIKASI TERAPI KORTIKOSTEROID DALAM BIDANG DERMATOLOGI 1.

Definisi

Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik   (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis. Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku. Kelenjar adrenal terdiri dari 2 bagian yaitu bagian korteks dan medulla, sedangkan bagian korteks terbagi lagi menjadi 2 zona yaitu fasikulata dan glomerulosa. Zona fasikulata mempunyai peran yang lebih besar dibandingkan zona glomerulosa. Zona fasikulata menghasilkan 2 jenis hormon yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Golongan glukokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya terhadap penyimpanan glikogen hepar dan khasiat anti-inflamasinya nyata, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil atau tidak berarti. Prototip berarti.  Prototip untuk  untuk golongan ini adalah kortisol dan kortison, yang merupakan glukokortikoid alam. Terdapat juga glukokortikoid sintetik, misalnya prednisolon, triamsinolon, dan betametason. Golongan mineralokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya terhadap keseimbangan air dan elektrolit menimbulkan efek retensi  retensi  Na dan deplesi  deplesi  K, sedangkan  pengaruhnya

terhadap

penyimpanan

glikogen

hepar

sangat

kecil.

Oleh

karena

itu

mineralokortikoid jarang digunakan dalam terapi.  Prototip dari golongan ini adalah desoksikortikosteron. desoksikortikosteron. Umumnya golongan ini tidak mempunyai khasiat anti-inflamasi yang  berarti, kecuali 9

-fluorokortisol , meskipun demikian sediaan ini tidak pernah digunakan

α

sebagai obat anti-inflamasi karena efeknya pada keseimbangan air dan elektrolit terlalu besar. Berdasarkan cara penggunaannya kortikosteroid dapat dibagi dua yaitu kortikosteroid sistemik dan kortikosteroid topikal. 2.

Farmakologi

Semua

hormon

steroid

sama-sama

mempunyai

rumus

bangun

 siklopentanoperhidrofenantren   17-karbon dengan 4 buah cincin yang diberi label A  –  D  siklopentanoperhidrofenantren

(Gambar 1). Modifikasi dari struktur cincin dan struktur luar akan mengakibatkan perubahan  pada efektivitas dari steroid tersebut. Atom karbon tambahan dapat ditambahkan pada posisi 10 dan 13 atau sebagai rantai samping yang terikat pada C17. Semua steroid termasuk glukokortikosteroid mempunyai struktur dasar 4 cincin kolestrol dengan 3 cincin heksana dan 1 cincin pentana. Hormon steroid adrenal disintesis dari kolestrol yang terutama berasal dari plasma. Korteks adrenal mengubah asetat menjadi kolestrol, yang kemudian dengan bantuan enzim diubah lebih lanjut menjadi kortikosteroid dengan 21 atom karbon dan androgen lemah dengan 19 atom karbon. Sebagian besar kolesterol yang digunakan untuk steroidogenesis ini berasal dari luar (eksogen), baik pada keadaan basal maupun setelah pemberian ACTH. Dalam korteks adrenal kortikosteroid tidak disimpan sehingga harus disintesis terus menerus. Bila biosintesis berhenti, meskipun hanya untuk beberapa menit saja, jumlah yang tersedia dalam kelenjar adrenal tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan normal. Oleh karenanya kecepatan biosintesisnya disesuaikan dengan kecepatan sekresinya. Berikut adalah tabel yang menunjukkan kecepatan sekresi dan kadar plasma kortikosteroid terpenting pada manusia.

Kecepatan sekresi Kadar plasma dalam

keadaaan (μg/100ml)

optimal (mg/hari)

Jam 08.00

Jam 16.00

Kortisol

20

16

4

Aldosteron

0,125

0,01

-

Pada pemeriksaan sampel dengan tes saliva sebanyak 4 kali dalam satu hari yaitu sebelum sarapan pagi hari, siang, sore hari dan pada malam hari sebelum tidur. Pada pagi hari kadar kortisol yang paling tinggi dibandingkan waktu lainnya yang membuat orang menjadi lebih semangat dalam menjalani aktivitasnya. Orang yang sehat pengeluaran kortisol mengikuti kurva dimana dapat dibuat grafik mulai menurunnya kadar kortisol hingga kadar terendah yaitu  pada pukul 11 malam dibuktikan dengan seseorang yang dapat beristirahat dengan cukup .

3.

Mekanisme Kerja

Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon memasuki jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif di jaringan target, kemudian bereaksi dengan reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan bentuk, lalu  bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan perantara efek fisiologis steroid. Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang transkripsi dan sintesis protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sel limfoid dan fibroblas hormon steroid merangsang sintesis protein yang sifatnya menghambat atau toksik terhadap selsel limfoid, hal ini menimbulkan efek katabolik.

Gambar 1. Gambaran mekanisme kerja kortikosteroid

Metabolisme kortikosteroid sintetis sama dengan kortikosteroid alami. Kortisol (juga disebut hydrocortison) memiliki berbagai efek fisiologis, termasuk regulasi metabolisme  perantara, fungsi kardiovaskuler, pertumbuhan dan imunitas. Sintesis dan sekresinya diregulasi secara ketat oleh sistem saraf pusat yang sangat sensitif terhadap umpan balik negatif yang ditimbulkan oleh kortisol dalam sirkulasi dan glukokortikoid eksogen (sintetis). Pada orang dewasa normal, disekresi 10-20 mg kortisol setiap hari tanpa adanya stres. Pada plasma, kortisol terikat pada protein dalam sirkulasi. Dalam kondisi normal sekitar 90% berikatan dengan globulin- 2 (CBG/ corticosteroid-binding globulin), sedangkan sisanya sekitar 5-10% terikat lemah atau bebas dan tersedia untuk digunakan efeknya pada sel target. Jika kadar plasma kortisol melebihi 20-30%, CBG menjadi jenuh dan konsentrasi kortisol bebas bertambah dengan

cepat. Kortikosteroid sintetis seperti dexametason  terikat dengan albumin dalam jumlah besar dibandingkan CBG. Waktu paruh kortisol dalam sirkulasi, normalnya sekitar 60-90 menit, waktu paruh dapat meningkat apabila hydrocortisone (prefarat farmasi kortisol) diberikan dalam jumlah besar, atau  pada saat terjadi stres, hipotiroidisme atau penyakit hati. Hanya 1% kortisol diekskresi tanpa  perubahan di urin sebagai kortisol bebas, sekitar 20% kortisol diubah menjadi kortison di ginjal dan jaringan lain dengan reseptor mineralokortikoid sebelum mencapai hati. Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula kerja dan lama kerja juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein.  Prednison  adalah  prodrug   yang dengan cepat diubah menjadi prednisolon bentuk aktifnya dalam tubuh. Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnya gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik, atau alergen. Secara mikroskopik obat ini menghambat fenomena inflamasi dini yaitu edema, deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi leukosit ke tempat radang dan aktivitas fagositosis. Selain itu juga dapat menghambat manifestasi inflamasi yang telah lanjut yaitu proliferasi kapiler dan fibroblast, pengumpulan kolagen dan pembentukan sikatriks. Hal ini karena efeknya yang besar terhadap konsentrasi, distribusi dan fungsi leukosit perifer dan juga disebabkan oleh efek supresinya terhadap cytokyne dan chemokyne imflamasi serta mediator inflamasi lipid dan glukolipid lainnya. Inflamasi, tanpa memperhatikan penyebabnya, ditandai dengan ekstravasasi dan infiltrasi leukosit kedalam  jaringan yang mengalami inflamasi. Peristiwa tersebut diperantarai oleh serangkaian interaksi yang komplek dengan molekul adhesi sel, khususnya yang berada pada sel endotel dan dihambat oleh glukokortikoid. Sesudah pemberian dosis tunggal glukokortikoid dengan masa kerja  pendek, konsentrasi neutrofil meningkat , sedangkan limfosit, monosit dan eosinofil dan basofil dalam sirkulasi tersebut berkurang jumlahnya. Perubahan tersebut menjadi maksimal dalam 6  jam dan menghilang setelah 24 jam. Peningkatan neutrofil tersebut disebabkan oleh peningkatan aliran masuk ke dalam darah dari sum-sum tulang dan penurunan migrasi dari pembuluh darah, sehingga menyebabkan penurunan jumlah sel pada tempat inflamasi. Glukokortikoid juga menghambat fungsi makrofag jaringan dan sel penyebab antigen lainnya. Kemampuan sel tersebut untuk bereaksi terhadap antigen dan mitogen diturunkan. Efek terhadap makrofag tersebut terutama menandai dan membatasi kemampuannya untuk memfagosit dan membunuh mikroorganisme serta menghasilkan tumor nekrosis factor-a,

interleukin-1, metalloproteinase  dan activator plasminogen. Selain efeknya terhadap fungsi leukosit, glukokortikoid mempengaruhi reaksi inflamasi dengan cara menurunkan sintesis  prostaglandin,leukotrien dan platelet-aktivating factor.

Gambar 2. Gambar mekanisme inflamasi

Efek katabolik dari kortikosteroid bisa dilihat pada kulit sebagai gambaran dasar dan sepanjang penyembuhan luka. Konsepnya berguna untuk memisahkan efek ke dalam sel atau struktur-struktur yang bertanggungjawab pada gambaran klinis ; keratinosik   (atropi epidermal, re-epitalisasi lambat), produksi fibrolas mengurangi kolagen dan bahan dasar (atropi dermal, striae), efek vaskuler kebanyakan berhubungan dengan jaringan konektif vaskuler  (telangiektasis,  purpura), dan kerusakan angiogenesis  (pembentukan jaringan granulasi yang lambat). Khasiat glukokortikoid adalah sebagai anti radang setempat, anti-proliferatif, dan imunosupresif. Melalui  proses penetrasi, glukokortikoid masuk ke dalam inti sel-sel lesi, berikatan dengan kromatin gen tertentu, sehingga aktivitas sel-sel tersebut mengalami perubahan. Sel-sel ini dapat menghasilkan  protein baru yang dapat membentuk atau menggantikan sel-sel yang tidak berfungsi, menghambat mitosis (anti-proliferatif), bergantung pada jenis dan stadium proses radang. Glukokotikoid juga dapat mengadakan stabilisasi membran lisosom, sehingga enzim-enzim yang dapat merusak jaringan tidak dikeluarkan. Glukokortikoid topikal adalah obat yang paling banyak dan tersering dipakai. Efektifitas kortikosteroid topikal bergantung pada jenis kortikosteroid dan penetrasi. Potensi kortikosteroid

ditentukan berdasarkan kemampuan menyebabkan vasokontriksi pada kulit hewan percobaan dan pada manusia. Jelas ada hubungan dengan struktur kimiawi. Kortison, misalnya, tidak  berkhasiat secara topikal, karena kortison di dalam tubuh mengalami transformasi menjadi dihidrokortison, sedangkan di kulit tidak menjadi proses itu. Hidrokortison efektif secara topikal mulai konsentrasi 1%. Sejak tahun 1958, molekul hidrokortison banyak mengalami perubahan. Pada umumnya molekul hidrokortison yang mengandung fluor digolongkan kortikosteroid poten. Penetrasi perkutan lebih baik apabila yang dipakai adalah vehikulum yang bersifat tertutup. Di antara jenis kemasan yang tersedia yaitu krem, gel, lotion, salep, fatty ointment (paling baik  penetrasinya). Kortikosteroid hanya sedikit diabsorpsi setelah pemberian pada kulit normal, misalnya, kira-kira 1% dari dosis larutan hidrokortison yang diberikan pada lengan bawah ventral diabsorpsi. Dibandingkan absorpsi di daerah lengan bawah, hidrokortison diabsorpsi 0,14 kali yang melalui daerah telapak kaki, 0,83 kali yang melalui daerah telapak tangan, 3,5 kali yang melalui tengkorak kepala, 6 kali yang melalui dahi, 9 kali melalui vulva, dan 42 kali melalui kulit scrotum. Penetrasi ditingkatkan beberapa kali pada daerah kulit yang terinfeksi dermatitis atopik ; dan pada penyakit eksfoliatif berat, seperti psoriasis eritodermik, tampaknya sedikit sawar untuk penetrasi. Efektivitas kortisteroid bisa akibat dari sifat immunosupresifnya. Mekanisme yang terlibat dalam efek ini kurang diketahui. Beberapa studi menunjukkan bahwa kortikosteroid bisa menyebabkan pengurangan sel mast pada kulit. Hal ini bisa menjelaskan penggunaan kortikosteroid

topikal

pada

terapi

urtikariapigmentosa.

Mekanisme sebenarnya dari efek anti-inflamasi sangat kompleks dan kurang dimengerti. Dipercayai bahwa kortikosteroid menggunakan efek anti-inflamasinya dengan menginhibisi  pembentukan prostaglandin dan derivat lain pada jalur asam arakidonik. Mekanisme lain yang turut memberikan efek anti-inflamasi kortikosteroid adalah menghibisi proses fagositosis dan menstabilisasi membran lisosom dari sel-sel fagosit.

4.

Klasifikasi

Meskipun kortikosteroid mempunyai berbagai macam aktivitas biologik, umumnya  potensi sediaan alamiah maupun yang sintetik ditentukan oleh besarnya efek retensi natrium dan  penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat anti-inflamasinya. Sediaan kortikosteroid

sistemik dapat dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan masa kerjanya, potensi glukokortikoid, dosis ekuivalen dan potensi mineralokortikoid. Tabel 1. Perbandingan potensi relatif dan dosis ekuivalen beberapa sediaan kortikosteroid

Keterangan: * hanya berlaku untuk pemberian oral atau IV. S = kerja singkat (t1/2 biologik 8-12 jam) I = intermediate, kerja sedang (t1/2 biologik 12-36 jam) L = kerja lama (t1/2 biologik 36-72 jam)

Pada tabel diatas terlihat bahwa triamsinolon, parametason, betametason, dan deksametason tidak mempunyai efek mineralokortikoid. Hampir semua golongan kortikosteroid mempunyai efek glukokortikoid. Pada tabel ini obat disusun menurut kekuatan (potensi) dari yang paling lemah sampai yang paling kuat. Parametason, betametason, dan deksametason mempunyai potensi paling kuat dengan waktu paruh 36-72 jam. Sedangkan kortison dan hidrokortison mempunyai waktu paruh paling singkat yaitu kurang dari 12 jam. Harus diingat semakin kuat potensinya semakin besar efek samping yang terjadi. Efektifitas kortiksteroid berhubungan dengan 4 hal yaitu vasokonstriksi, (antimitosis) antiproliferatif, immunosupresif dan antiinflamasi.  Steroid topikal menyebabkan vasokontriksi  pembuluh darah di bagian superfisial dermis, yang akan mengurangi eritema. Kemampuan untuk

menyebabkan vasokontriksi ini biasanya berhubungan dengan potensi anti-inflamasi, dan  biasanya vasokontriksi ini digunakan sebagai suatu tanda untuk mengetahui aktivitas klinik dari suatu agen. Kombinasi ini digunakan untuk membagi kortikosteroid topikal mejadi 7 golongan  besar, diantaranya Golongan I yang paling kuat daya anti-inflamasi dan antimitotiknya (super  poten). Sebaliknya golongan VII yang terlemah (potensi lemah).

Tabel 2. Penggolongan kortikosteroid topikal berdasarkan potensi klinis  : Klasifikasi Golongan poten)

Golongan tinggi)

1:

II:

(super

(potensi

Nama Dagang Diprolene ointment Diprolene AF cream Psorcon ointment Temovate ointment Temovate cream Olux foam Ultravate ointment Ultravate cream

Cyclocort ointment Diprosone ointment Elocon ointment Florone ointment Halog ointment Halog cream Halog solution Lidex ointment Lidex cream Lidex gel Lidex solution Maxiflor ointment Maxivate ointment Maxivate cream Topicort ointment Topicort cream Topicort gel

Nama Generik  0,05% dipropionate

betamethason

0,05% diflorasone diacetate 0,05% clobetasol propionate

0,05% halobetasol propionate

0,1% amcinonide 0,05% betamethasone dipropionate 0,01% mometasone fuorate 0,05% diflorasone diacetate 0,01% halcinonide

0,05% fluocinonide

0,05% diflorasone diacetate 0,05% betamethasone dipropionate 0,25% desoximetasone

Golongan III: (potensi tinggi)

Aristocort A ointment Cultivate ointment Cyclocort cream Cyclocort lotion Diprosone cream Flurone cream Lidex E cream

0,05% desoximetasone 0,1% triamcinolone acetonide 0,005% fluticasone propionate 0,1 amcinonide

Maxiflor cream Maxivate lotion Topicort LP cream Valisone ointment

Golongan IV: (potensi medium)

Golongan medium)

V:

(potensi

Golongan VI: (potensi medium)

Golongan VII: (potensi lemah)

Aristocort ointment Cordran ointment Elocon cream Elocon lotion Kenalog ointment Kenalog cream Synalar ointment Westcort ointment Cordran cream Cutivate cream Dermatop cream Diprosone lotion Kenalog lotion Locoid ointment Locoid cream Synalar cream Tridesilon ointment Valisone cream Westcort cream Aclovate ointment Aclovate cream Aristocort cream Desowen cream Kenalog cream Kenalog lotion Locoid solution Synalar cream Synalar solution Tridesilon cream Valisone lotion

0,05% betamethasone dipropionate 0,05% diflorosone diacetate 0,05% fluocinonide 0,05% diflorosone diacetate 0,05% betamethasone dipropionate 0,05% desoximetasone 0,01% betamethasone valerate 0,1% triamcinolone acetonide 0,05% flurandrenolide 0,1% mometasone furoate 0,1% triamcinolone acetonide 0,025% fluocinolone acetonide 0,2% hydrocortisone valerate 0,05% flurandrenolide 0,05% fluticasone propionate 0,1% prednicarbate 0,05% betamethasone dipropionate 0,1% triamcinolone acetonide 0,1% hydrocortisone butyrate 0,025% fluocinolone acetonide 0,05% desonide 0,1% betamethasone valerate 0,2% hydrocortisone valerate 0,05% aclometasone 0,1% triamcinolone acetonide 0,05% desonide 0,025% triamcinolone acetonide

Obat topical dengan 0,1% hydrocortisone butyrate hidrokortison, dekametason, 0,01% fluocinolone acetonide glumetalone, prednisolone, dan metilprednisolone 0,05% desonide 0,1% betamethasone valerate

5.

Penggunaan Klinik 

Kortikosteroid topikal dengan potensi kuat belum tentu merupakan obat pilihan untuk suatu penyakit kulit. Perlu diperhatikan bahwa kortikosteroid topikal bersifat paliatif dan supresif  terhadap penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan kausal. Biasanya pada kelainan akut dipakai kortikosteroid dengan potensi lemah contohnya pada anak-anak dan usia lanjut, sedangkan pada kelainan subakut digunakan kortikosteroid sedang contonya pada dermatitis kontak alergik, dermatitis seboroik dan dermatitis intertriginosa. Jika kelainan kronis dan tebal dipakai kortikosteroid potensi kuat contohnya pada psoriasis, dermatitis atopik, dermatitis dishidrotik, dan dermatitis numular. Pada dermatitis atopik yang penyebabnya belum diketahui, kortikosteroid dipakai dengan harapan agar remisi  lebih cepat terjadi. Yang harus diperhatikan adalah kadar kandungan steroidnya. Dermatosis yang kurang responsif terhadap kortikosteroid ialah lupus eritematousus diskoid, psoriasis di telapak tangan dan kaki, nekrobiosis lipiodika diabetikorum, vitiligo, granuloma anulare, sarkoidosis, liken planus, pemfigoid, eksantema fikstum. Erupsi eksematosa  biasanya diatasi dengan salep hidrokortison 1%. Pada penyakit kulit akut dan berat serta pada eksaserbasi penyakit kulit kronik, kortikosteroid diberikan secara sistemik. Pada pemberian kortikosteroid sistemik yang paling banyak digunakan adalah prednison karena telah lama digunakan dan harganya murah. Bila ada gangguan hepar digunakan  prednisolon karena prednison dimetabolisme di hepar menjadi prednisolon. Kortikosteroid yang memberi banyak efek mineralkortikoid jangan dipakai pada pemberian long term (lebih daripada sebulan). Pada penyakit berat dan sukar menelan, misalnya toksik epidermal nekrolisis  dan sindrom Stevens-Jhonson  harus diberikan kortikosteroid dengan dosis tinggi biasa secara intravena. Jika masa kritis telah diatasi dan penderita telah dapat menelan diganti dengan tablet  prednison. Pengobatan kortikosteroid pada bayi dan anak harus dilakukan dengan lebih hati-hati. Penggunaan pada anak-anak memiliki efektifitas yang tinggi dan sedikit efek samping terhadap  pemberian kortikosteroid topikal dengan potensi lemah dan dalam jangka waktu yang singkat. Sedangkan pada bayi memiliki risiko efek samping yang tinggi karena kulit bayi masih belum sempurna dan fungsinya belum berkembang seutuhnya. Secara umum, kulit bayi lebih tipis, ikatan sel-sel epidermisnya masih longgar, lebih cepat menyerap obat sehingga kemungkinan efek toksis lebih cepat terjadi serta sistem imun belum berfungsi secara sempurna Pada bayi

 prematur lebih berisiko karena kulitnya lebih tipis dan angka penetrasi obat topikal sangat tinggi. Pada geriatri memiliki kulit yang tipis sehingga penetrasi steroid topikal meningkat. Selain itu,  pada geriatric juga telah mengalami kulit yang atropi sekunder karena proses penuaan. Kortikosteroid topikal harus digunakan secara tidak sering, waktu singkat dan dengan  pengawasan yang ketat. Kortikosteroid topikal tidak seharusnya dipakai sewaktu hamil kecuali dinyatakan perlu atau sesuai oleh dokter untuk wanita yang hamil. Pada kasus kelahiran prematur, sering digunakan steroid untuk mempercepat kematangan paru-paru janin (standar pelayanan). Percobaan pada hewan menunjukkan penggunaan kortikosteroid pada kulit hewan hamil akan menyebabkan abnormalitas pada pertumbuhan fetus. Percobaan pada hewan tidak ada kaitan dengan efek pada manusia, tetapi mungkin ada sedikit resiko apabila steroid yang mencukupi di absorbsi di kulit memasuki aliran darah wanita hamil terutama pada penggunaan dalam jumlah yang besar, jangka waktu lama dan steroid potensi tinggi. Analisis yang baru saja dilakukan memperlihatkan hubungan yang kecil tetapi penting antara kehamilan terutama trisemester  pertama dengan bimbing sumbing. Kemungkinannya 1 % dapat terjadi cleft lip atau cleft palate saat penggunaan steroid selama kehamilan. Kortikosteroid sistemik yang biasa digunakan pada saat kehamilan adalah prednison dan kortison. Sedangkan untuk topikal biasa digunakan hidrokortison dan betametason. Begitu juga pada waktu menyusui, penggunaan kortikosteroid topikal harus dihindari dan diperhatikan. Belum diketahui dengan pasti apakah steroid topikal diekskresi melalui ASI, tetapi sebaiknya tidak digunakan pada wanita sedang menyusui. Kortikosteroid dapat menyebabkan gangguan mental bagi penggunanya. Rata-rata dosis yang dapat menyebabkan gangguan mental adalah 60 mg/hari, sedangkan dosis dibawah 30 mg/hari tidak bersifat buruk pada mental penggunanya. Bagi pengguna yang sebelumnya memiliki gangguan jiwa dan sedang menggunakan pengobatan kortikosteroid sekitar 20% dapat menginduksi timbulnya gangguan mental sedangkan 80% tidak.

6.

Dosis dan Mekanisme Pemberian

Pada saat memilih kortikosteroid topikal dipilih yang sesuai, aman, efek samping sedikit dan harga murah, disamping itu ada beberapa faktor yang perlu di pertimbangkan yaitu jenis  penyakit kulit, jenis vehikulum,  kondisi penyakit yaitu stadium penyakit, luas/tidaknya lesi, dalam/dangkalnya lesi dan lokalisasi lesi. Perlu juga dipertimbangkan u mur penderita.

Steroid topikal terdiri dari berbagai macam vehikulum  dan bentuk dosis. Salep (ointments) ialah bahan berlemak atau seperti lemak, yang pada suhu kamar berkonsistensi seperti mentega. Bahan dasar biasanya vaselin, tetapi dapat pula lanolin atau minyak. Jenis ini merupakan yang terbaik untuk pengobatan kulit yang kering karena banyak mengandung  pelembab. Selain itu juga baik untuk pengobatan pada kulit yang tebal contoh telapak tangan dan kaki. Salep mampu melembabkan stratum korneum sehingga meningkatkan penyerapan dan  potensi obat. Krim adalah suspensi minyak dalam air. Krim memiliki komposisi yang bervariasi dan biasanya lebih berminyak dibandingkan ointments tetapi berbeda pada daya hidrasi terhadap kulit. Banyak pasien lebih mudah menemukan krim untuk kulit dan secara kosmetik lebih baik dibandingkan ointments. Meskipun itu, krim terdiri dari emulsi dan bahan pengawet yang mempermudah terjadi reaksi alergi pada beberapa pasien. Lotion (bedak kocok) tediri atas campuran air dan bedak, yang biasanya ditambah dengan gliserin sebagai bahan perekat, lotion mirip dengan krim.  Lotion terdiri dari agents  yang membantu melarutkan kortikosteroid dan lebih mudah menyebar ke kulit. Solution tidak mengandung minyak tetapi kandungannya terdiri dari air, alkohol dan propylene glycol . Gel komponen solid pada suhu kamar tetapi mencair pada saat kontak dengan kulit. Lotion, solution, dan gel memiliki daya penyerapan yang lebih rendah dibandingkan ointment tetapi berguna pada pengobatan area rambut contoh pada daerah scalp dimana lebih berminyak dan secara kosmerik lebih tidak nyaman pada pasien. Pada umumnya dianjurkan pemakaian salep 2-3 x/hari sampai penyakit tersebut sembuh. Perlu dipertimbangkan adanya gejala takifilaksis. Takifilaksis ialah menurunnya respons kulit terhadap glukokortikoid karena pemberian obat yang berulang-ulang berupa toleransi akut yang  berarti efek vasokonstriksinya akan menghilang, setelah diistirahatkan beberapa hari efek vasokonstriksi akan timbul kembali dan akan menghilang lagi bila pengolesan obat tetap dilanjutkan. Lama pemakaian kortikosteroid topikal sebaiknya tidak lebih dari 4-6 minggu untuk steroid potensi lemah dan tidak lebih dari 2 minggu untuk potensi kuat.

Ada beberapa cara pemakaian dari kortikosteroid topikal, yakni :

1.

Pemakaian kortikosteroid topikal poten tidak dibenarkan pada bayi dan anak.

2.

Pemakaian kortikosteroid poten orang dewasa hanya 40 gram per minggu, sebaiknya jangan lebih lama dari 2 minggu. Bila lesi sudah membaik, pilihlah salah satu dari golongan sedang dan  bila perlu diteruskan dengan hidrokortison asetat 1%.

3.

Jangan menyangka bahwa kortikosteroid topikal adalah obat mujarab (panacea) untuk semua dermatosis. Apabila diagnosis suatu dermatosis tidak jelas, jangan pakai kortikosteroid poten karena hal ini dapat mengaburkan ruam khas suatu dermatosis. Tinea dan scabies incognito adalah tinea dan scabies dengan gambaran klinik tidak khas disebabkan pemakaian kortikosteroid. Pada pengobatan berbagai dermatosis dengan kortikosteroid, bila telah mengalami  perbaikan

dosisnya

diturunkan

berangsur-angsur

agar

penyakitnya

tidak

mengalami

eksaaserbasi, tidak terjadi supresi korteks kelenjar adrenal dan sindrom putus obat. Jika terjadi supresi korteks kelenjar adrenal, penderita tidak dapat melawan stress. Supresi terjadi kalau dosis  prednison meebihi 5 mg per hari dan kalau lebih dari sebulan. Pada sindrom putus obat terdapat keluhan lemah, lelah, anoreksia dan demam ringan yang jaranng melebihi 39ºC. Penggunaan glukokortikoid jangka panjang yaitu lebih dari 3 sampai 4 minggu perlu dilakukan penurunan dosis secara perlahan-lahan untuk mencari dosis pemeliharaan dan menghindari terjadi supresi adrenal. Cara penurunan yang baik dengan menukar dari dosis tunggal menjadi dosis selang sehari diikuti dengan penurunan jumlah dosis obat. Untuk mencegah terjadinya supresi korteks kelenjar adrenal kortikosteroid dapat diberikan selang sehari sebagai dosis tunggal pada pagi hari (jam8), karena kadar kortisol tertinggi dalam darah pada pagi hari. Keburukan pemberian dosis selang sehari ialah pada hari  bebas obat penyakit dapat kambuh. Untuk mencegahnya, pada hari yang seharusnya bebas obat masih diberikan kortikosteroid dengan dosis yang lebih rendah daripada dosis pada hari  pemberian obat. Kemudian perlahan-lahan dosisnya diturunkan. Bila dosis telah mencapi 7,5 mg  prednison, selanjutnya pada hari yang seharusnya bebas obat tidak diberikan kortikosteroid lagi. Alasannya ialah bila diturunkan berarti hanya 5 mg dan dosis ini merupakan dosis fisiologik. Seterusnya dapat diberikan selang sehari. Tabel 3. Berbagai penyakit yang dapat diobati dengan kortikosteroid beserta dosisnya: Nama penyakit

Macam kortikosteroid dan dosisnya sehari

Dermatitis Erupsi alergi obat ringan SJS berat dan NET Eritrodermia Reaksi lepra DLE Pemfigoid bulosa

Prednison 4x5 mg atau 3x10mg Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg Deksametason 6x5 mg Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg Prednison 3x10 mg Prednison 3x10 mg Prednison 40-80 mg

Pemfigus vulgaris Pemfigus foliaseus Pemfigus eritematosa Psoriasis pustulosa Reaksi Jarish-Herxheimer

Prednison 60-150 mg Prednison 3x20 mg Prednison 3x20 mg Prednison 4x10 mg Prednison 20-40 mg

Dosis yang tertulis ialah dosis patokan untuk orang dewasa menurut pengalaman, tidak  bersifat mutlak karena bergantung pada respons penderita. Dosis untuk anak disesuaikan dengan  berat badan / umur. Jika setelah beberapa hari belum tampak perbaikan, dosis ditingkatkan sampai ada perbaikan.

7. Sediaan Kortikosteroid Topikal

Berbagai variasi sediaan kortikosteroid tersedia untuk penggunaan topikal pada terapi  penyakit inflamasi okular. Diantaranya yaitu : 1. Deksametason . Deksametason diformulasi dalam bentuk suspensi 0,1 % alkohol, solusi sodium phospat dan salaf 0,05 %. Ini merupakan topikal steroid yang paling poten. Yang mempunyai  posisi yang bersamaan dalam meningkatkan resiko efek yang merugikan dari kondisi mata yang tidak menguntungkan. 2. Prednisolon Prednisolon tersedia dalam bentuk 0,12 % atau suspensi asetat 1 %, 0,12 %, 0,5 % atau solusi sodium phospat 1 % dan salaf phospat 25 %. Meskipun sediaan phospate dengan daya larut bifasik , mempunyai penetrasi terbaik kedalam kornea yang intak ( dengan menggunakan kendaraan phospat ) yang larut dalam air . Perbedaan ini tidak cukup  bermakna ketika terjadi inflamasi intra okuler. Derajat penetrasinya tergantung kepada sejumlah konsentrasi

dan

frekuensi.

Lebih lanjut suspensi memerlukan

dengan

seksama percampuran untuk menjamin konsentrasi steroid maksimal, yang masing –  masing dihantarkan, memperkenalkan masalah potensial, yang membuat solusi lebih  baik pada praktisi klinis. Bioavaibilitas dan potensi dari prednisolon tidak hanya membuatnya sebagai zat anti inflamasi yang mujarab, tetapi juga meningkatkan dosis keteragantungan dan toksisitas okular.

3. Fluorometholon dan medrison Fluorometholon (FML) (0,1 % atau 0,25 % ) dan medrison (HMS) (1,0 % ) tersedia dalam bentuk

sediaan suspensi mata. Fluorometholon

(FML)

juga tersedia dalam

 bentuk sediaan salaf 0,1 % . Obat ini mempunyai efek anti inflamasi yang kuat dan mempunyai pengaruh yang sedikit terhadap kerusakan mata yang berhubungan dengan  pemakaian kortikosteroid (katarak dan glaukoma).

4. Medoxyprogesteron Medoxyprogesteron tidak tersedia dalam bentuk sediaan obat mata, tetapi tersedia untuk obat  –   obatan rumah sakit dalam bentuk parenteral. ( 0,1 % ). Secara nyata obat ini  berguna untuk terapi ulkus perifer, inflamasi, penyakit mata luar, karena obat ini tidak hanya menurunkan infamasi, tetapi juga menurunkan produksi dari kolagenase, dan mempunyai pengaruh yang sedikit dalam mengurangi produksi kolagenase dibandingkan steroid lain. Obat ini

mempunyai potensi yang kurang

dibandingkan

0,12 %

 prednisolon. 8. Efek Samping

Pada penggunan kortikosteroid topikal efek samping dapat terjadi apabila : 1. Penggunaan kortikosteroid topikal yang lama dan berlebihan. 2. Penggunaan kortikosteroid topikal dengan potensi kuat atau sangat kuat atau penggunaan sangat oklusif. Efek samping yang tidak diinginkan adalah berhubungan dengan sifat potensiasinya, tetapi belum dibuktikan kemungkinan efek samping yang terpisah dari potensi, kecuali mungkin merujuk kepada supresi dari adrenokortikal sistemik. Dengan ini efek samping hanya bisa dielakkan sama ada dengan bergantung pada steroid yang lebih lemah atau mengetahui dengan  pasti tentang cara penggunaan, kapan, dan dimana harus digunakan jika me nggunakan yang lebih  paten. Secara umum efek samping dari kortikosteroid topikal termasuk atrofi, striae atrofise, telangiektasis,

purpura,

dermatitis peroral.

dermatosis

akneformis,

hipertrikosis

setempat,

hipopigmentasi,

Beberapa penulis membagi efek samping kortikosteroid kepada beberapa tingkat yaitu:

E fek Epidermal Ini termasuk : 1. Penipisan epidermal yang disertai dengan peningkatan aktivitas kinetik dermal, suatu  penurunan ketebalan rata-rata lapisan keratosit, dengan pendataran dari konvulsi dermoepidermal. Efek ini bisa dicegah dengan penggunaan tretinoin topikal secara konkomitan. 2. Inhibisi dari melanosit, suatu keadaan seperti vitiligo, telah ditemukan. Komplikasi ini muncul pada keadaan oklusi steroid atau injeksi steroid intrakutan.

E fek Dermal Terjadi penurunan sintesis kolagen dan pengurangan pada substansi dasar. Ini menyebabkan terbentuknya striae dan keadaan vaskulator dermal yang lemah akan menyebabkan mudah ruptur jika terjadi trauma atau terpotong. Pendarahan intradermal yang terjadi akan menyebar dengan cepat untuk menghasilkan suatu blot hemorrhage. Ini nantinya akan terserap dan membentuk jaringan parut stelata, yang terlihat seperti usia kulit prematur.

E fek V askular  Efek ini termasuk : 1. Vasodilatasi yang terfiksasi. Kortikosteroid pada awalnya menyebabkan vasokontriksi  pada pembuluh darah yang kecil di superfisial. 2. Fenomena rebound. Vasokontriksi yang lama akan menyebabkan pembuluh darah yang kecil mengalami dilatasi berlebihan, yang bisa mengakibatkan edema, inflamasi lanjut, dan kadang-kadang pustulasi. Terjadi efek samping bergantung pada dosis, lama pengobatan macam kortikosteroid. Pada  pendek (beberapa hari/minggu) umumnya tidak terjadi efek samping yang gawat. Sebaliknya  pada pengobatan jangka panjang (beberapa bulan/tahun) harus diadakan tindakan untuk mencegah terjadi efek tersebut, yaitu : -

Diet tinggi protein dan rendah garam

-

Pemberian KCl 3 x 500 mg sehari untuk orang dewasa,jika terjadi defisiensi K

You're Reading a Preview Unlock full access with a free trial.

Download With Free Trial

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF