Fakta Bicara
September 25, 2018 | Author: Nashrun Marzuki | Category: N/A
Short Description
Download Fakta Bicara...
Description
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
|I|
FAKTA BICARA
|II|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
FAKTA BICARA Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Editor: Nashrun Marzuki Adi Warsidi
|III|
FAKTA BICARA
FAKTA BICARA
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989 - 2005 Hak Cipta dilindungi Undang-undang All right reserved ISBN: 978-979-15580-1-3 Cetakan Pertama, Maret 2011 Diterbitkan oleh Koalisi NGO HAM Aceh Jalan Alue Blang Lorong Cempaka Putih No.: 5 Neusu Aceh, Banda Aceh 23244 phone: +6265132826 Fax: +62651637013 http://www.koalisi-ham.org/ Penanggung Jawab Evi Narti Zain Kata Pengantar Saifuddin Bantasyam, SH., MA. Editor Nashrun Marzuki Adi Warsidi Riset/Penulis Qahar Muzakar Mellyan Penulis Analisa/Opini Fuad Mardhatillah UY. Tiba Syamsidar Sepriady Utama Tata Letak Akmal Decky R Risakotta Kulit Muka Akmal M. Roem
|IV|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
DAFTAR ISI Ungkapan Terima Kasih ~ 1 Pengantar Penerbit ~ 3 Kata Pengantar ~ 5 Pendahuluan Sekilas Perang Panjang ~ 24 FAKTA KEKERASAN DI ACEH 1989 – 2005 Kisah Awal DOM ~ 37 Antara Daerah Operasi Militer dan Darurat Militer (1998 - 2003 ) ~ 58 Operasi Wibawa ~ 62 Operasi Sadar Rencong I, II, dan III ~ 64 Jeda Kemanusiaan (2000 - 2003) ~ 73 Operasi Cinta Meunasah I dan II ~ 77 Operasi Keamanan dan Penegakan Hukum ~ 79 COHA ~ 80 Darurat Militer ~ 82 Darurat Sipil ~ 91
|V|
FAKTA BICARA
KESAKSIAN KORBAN PELANGGARAN HAM Lautan Darah di Arakundo ~ 97 Tragedi KNPI ~ 106 Kisah Rumoh Geudong ~ 120 (Bukit Haru Saksi Bisu) Kisah Pemerkosaan di Alue Lhok ~ 137 (KISAH-KISAH DARI TENGAH) Pembantaian di Kanis Gonggong ~ 152 Pepedang Berdarah ~ 166 Perang Koboy di Pondok Kresek ~ 171 Box: Kesaksian NA~ 184 Tragedi Jamboe Keupok ~ 187 PEMENUHAN HAK KORBAN Menunggu Pengadilan HAM dan KKR ~ 199 ANALISA DAN OPINI Kehidupan Korban Yang Semakin Sulit ~ 209 Hukum dan Komnas HAM ~ 214 Refleksi Historis Atas Kejahatan HAM di Aceh ~ 225 TENTANG PENULIS
|VI|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Ungkapan Terima Kasih
t
Banyak sekali orang dan lembaga yang berjasa dalam proses pembuatan buku ini. Seluruh data dan informasi yang ada di pusat dokumentasi Koalisi NGO HAM Aceh merupakan kerja banyak orang di banyak periode. Sebagian mereka ada yang telah tiada. Untuk itu kami menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang tulus bagi para pendahulu kami, yang telah berupaya memberikan yang terbaik. Secara khusus kami berterima kasih kepada para saksi dan korban, baik yang sempat kami temui ketika proses penerbitan buku baru-baru ini, atau pun saat kami melakukan investigasi dan verifikasi data, atau mereka yang datang kepada kami, mengisahkan tragedi yang mereka hadapi. Semoga upaya yang sama-sama kita perjuangkan, dapat berbuah keadilan bagi korban yang berhak. Tentu tak mungkin menuliskan deretan nama mereka satu per satu di sini. Kami yakin, mereka akan maklum bahwa kami sangat berterima kasih atas dedikasi dan upaya-upaya yang telah mereka berikan bagi penghormatan dan tegaknya hak asasi manusia serta perdamaian di Aceh. Terakhir, terima kasih kami tujukan kepada ICCO (inter church organisation for development cooperation) dan ICTJ (International Center for Transitional Justice) yang mendukung kami melakukan pendokumentasian dari waktu ke waktu hingga proses penerbitan buku ini. Tanpa bantuan mereka, sulit bagi kami untuk dapat melaksanakan tugastugas kampanye dan pendokumentasian hak asasi manusia |1|
FAKTA BICARA
dengan lancar. Tentu, segala konsekuensi atas terbit dan beredarnya buku ini menjadi tanggung jawab kami, Koalisi NGO HAM Aceh. Semoga kerja-kerja tulus kita dapat bermanfaat bagi pemenuhan hak-hak korban. []
|2|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Pengantar Penerbit
t
Sejak dibentuk pada 7 Agustus 1998, Koalisi NGO HAM Aceh bersama 29 lembaga anggota serta mitra jaringan, mengumpulkan data dan informasi tentang pelanggaran HAM di Aceh. Dari waktu ke waktu, hasil dokumentasi tersebut dilengkapi dan dimutakhirkan, agar tindak pelanggaran HAM di Aceh dapat diurai dan menjadi lebih terang. Selain berasal dari hasil investigasi dan testimoni para saksi dan korban, dokumentasi Koalisi NGO HAM Aceh juga bersumber dari berbagai publikasi yang dilansir media. Data dan informasi itu menjadi bahan dasar berbagai advokasi, sebagai upaya Koalisi NGO HAM Aceh untuk mendekatkan korban dengan hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan. Namun, hingga kini, para korban belum merasakan keadilan ditegakkan untuk mereka. Mekanisme penyelesaian non-yudisial yang telah ditetapkan secara legislasi, masih perlu terus diperjuangkan hingga benar-benar penuh ditunaikan. Penyelesaian secara pidana untuk berbagai kasus yang berkualifikasi pelanggaran HAM berat pun, hingga kini belum juga menemukan titik terang. Memorialisasi seperti yang coba disuguhkan dalam buku ini, diharapkan dapat menjaga ingatan kita pada mereka yang terluka, kehilangan harta dan nyawa, akibat perang kerap berulang di Aceh. Buku ini hanya mengungkap sebagian fakta yang terekam dalam dokumentasi Koalisi NGO HAM Aceh ihwal pelanggaran hak asasi manusia di Serambi Mekkah. |3|
FAKTA BICARA
Tim penyusun menelusuri pula kondisi aktual korban beberapa tragedi yang pernah terjadi di beberapa daerah di Aceh. Paparan deskripsi kejadian, testimoni para saksi dan korban, dimaksudkan untuk dapat mendekatkan kita pada situasi dan kondisi pada waktu peristiwa berlangsung. Sedang analisa dan opini para ahli di akhir laporan ini, menjadi pemerkaya pemahaman atas konteks peristiwa yang dipaparkan pada bagian-bagian awal. Pengayaan dari berbagai sumber, juga dilakukan untuk memudahkan kita mengenali lebih baik konteks peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM pada kurun waktu 1989– 2005 di Aceh. Dari laporan ini tampak bahwa korban masih harus terus memperjuangkan keadilan dan perlakuan sepatutnya dari pemerintah. Setidaknya, hingga akhir 2010, Negara belum penuh menunaikan hak-hak korban, meski suasana damai sudah mulai terasa. Karena itu, buku ini kami dedikasikan bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia, khususnya di Aceh. Selain itu, publikasi ini juga untuk mereka yang peduli atas tegaknya HAM dan keadilan di negeri ini. Kami sadar, masih banyak kekurangan dalam pemaparan data dan analisa dokumentasi yang kami sajikan. Apa lagi, data dan informasi yang melatari buku ini tidaklah mewakili populasi tertentu. Tidak pula merujuk jumlah seluruh angka pelanggaran HAM di Aceh. Kritik dan saran Anda sangat perlu, untuk perbaikan kualitas terbitan-terbitan kami di masa datang. Semoga Allah bersedia memelihara niat tulus kita. Amien. Evi Narti Zain Direktur Eksekutif Koalisi NGO HAM Aceh
|4|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Kata Pengantar
t
Oleh : Saifuddin Bantasyam, SH, MA
Aceh adalah sebuah sejarah. Dalam konteks masa lalu sejarah itu berisikan perjuangan menyetarakan diri dengan bangsa-bangsa lain di Eropa pada abad ke-14 dan abad-abad sesudahnya, sejarah mengenai pembebasan dari penjajahan. Dalam konteks situasi pascakemerdekaan Indonesia, sejarah itu antara lain berisikan perlawanan dan pemberontakan. Kini perdamaian sudah bersemi di Aceh, karena itu bagi sebagian orang, Aceh bisa bermakna tanah penuh harapan, namun bagi sebagian yang lain Aceh masih menyisakan derita dan air mata. Bagi mereka yang mencari keadilan, atau bagi sebagian mereka yang pernah menjadi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan atau korban konflik, Aceh adalah sebuah tanah yang keadilan menjadi sangat sukar tumbuh subur di atasnya, seberapa pun kerasnya mereka mencari keadilan itu, tidak pada masa konflik, tidak juga pada masa setelah perdamaian seperti saat ini. Keadaan di atas bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja, melainkan datang dari sebuah masa lalu yang penuh luka, dari sebuah peristiwa di mana ketika kedaulatan menjadi taruhan, maka perang adalah salah satu cara mempertahankannya. Sejarah pun kemudian tertorehkan; Aceh menjadi negeri yang tak pernah tertaklukkan ketika Belanda dengan mudahnya menjajah daerah-daerah lain di Nusantara. Aceh pun kemudian menjadi daerah modal dan berperan penting dalam sejarah Indonesia meraih |5|
FAKTA BICARA
kemerdekaannya. Tetapi sejarah tak lantas berakhir, sebab pada tahun 1953 kemudian muncul gerakan DI/TII yang dipimpin oleh Tgk. Muhammad Daud Beureueh, sebagai bentuk perlawanan kepada sikap pemerintah pusat di bawah kepemimpinan Soekarno yang mengingkari janji-janji yang pernah diucapkan. Tgk. Muhammad Daud Beureueh kemudian menghentikan perlawanannya pada tahun 1962, mengakhiri sebuah episode penting dalam sejarah Aceh dan Indonesia. Tahun 1976 Hasan Tiro di Gunung Halimun, Pidie, memproklamirkan gerakan lain, yaitu Aceh Merdeka. Bagi Hasan Tiro, sebagaimana dinukilkan dalam tulisan-tulisannya dan juga dalam ulasan penulis lain, Aceh adalah sebuah negara yang berdaulat, yang kemudian harus berjuang mendapatkan kembali kedaulatan itu dari Indonesia. Meskipun demikian, dalam beberapa literatur lain, konflik Aceh juga disebutkan terkait dengan kebijakan politik ekonomi pemerintah pusat terhadap daerah yang tidak adil, sehingga disebutkan bahwa dalam hal penghasilan dari minyak dan gas misalnya, Jakarta mengambil terlalu banyak dari Aceh dan mengembalikannya sangat sedikit. Dalam konteks HAM, mau tidak mau, dalam beberapa kesempatan, pengertian-pengertian atau pemahaman mengenai makna self of determinationatau sering dibaca juga sebagai hak atas kemerdekaan, muncul kembali ke permukaan. Begitu juga mengenai hak atas pembangunan (rights do development), sesuatu yang sangat terkait dengan bagaimana masyarakat di suatu kawasan menjadi objek sekaligus subjek pembangunan. Mengenai hak untuk menentukan nasib sendiri, dalam kenyataannya, memang tak kalah kontroversialnya dalam diskursus HAM, pada masamasa perumusan draft DUHAM. Tetapi toh kemudian hak itu tetap dianggap sebagai salah satu hak dasar, dan karena itu hak tersebut tak hanya diatur dalam Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik, melainkan juga dalam Konvensi Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. |6|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Sebagaimana kita ketahui kemudian, Hasan Tiro pada akhirnya memilih berdamai dengan Indonesia, dan sebuah sejarah penting Aceh yang juga mendapat perhatian dunia internasional, pun kembali ditorehkan. Nun jauh di sana, di Hensinki, Finlandia, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dipimpin Hasan Tiro, menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) pada tanggal 15 Agustus 2005 dengan Pemerintah Indonesia, yang kemudian dikenal dengan nama MoU Helsinki. Peristiwa penting itu adalah puncak kemenangan kemanusiaan. Kedua pihak yang bertikai mengakhiri pertikaiannya, bertekad membangun Aceh bersama-sama dalam bingkai Indonesia sebagai sebuah negara yang berdaulat. Namun bukan tiada sesuatu yang tak tersisa. Konflik bersenjata, tak terhindarkan, telah melahirkan banyak luka, sengsara, derita, yang mungkin sulit tersembuhkan. Mereka yang hilang selama konflik, juga tak mungkin kembali, meskipun rindu tiada henti tiap hari dari keluarga yang ditinggalkan. *** Jika diteliti kembali, maka pada masa konflik bersenjata dulu, setidak-tidaknya terdapat tiga hal penting mengenai Aceh, yang sebagian di antaranya memiliki implikasi sangat panjang dan luas sampai dengan sekarang ini. Ketiga hal tersebut adalah masalah pelanggaran HAM, kondisi kemanusiaan (humaniter) di daerah-daerah konflik, dan proses dialog sebagai upaya penyelesaian secara damai konflik Aceh. Sebelum dijelaskan tentang masalah HAM, di sini diberi sedikit gambaran tentang kondisi kemanusiaan yang pernah dialami oleh masyarakat. Sebagaimana sedikit dinukilkan di atas, konflik bersenjata telah mengakibatkan istri kehilangan suami, anak kehilangan ayah, orang tua kehilangan anak, anggota masyarakat kehilangan rumah karena dibakar, ribuan orang harus mengungsi, anak-anak |7|
FAKTA BICARA
tidak dapat bersekolah dengan baik dan lancar, tak kurang pula orang-orang yang kehilangan pekerjaannya, atau tidak lagi dapat berusaha dengan baik karena kondisi tak mengizinkan. Segmen masyarakat yang paling menderita lahir batin adalah para pengungsi, khususnya yang ada di Aceh Timur dan Aceh Utara. Kala itu, pemerintah tampaknya tak mampu menangani dengan baik persoalan-persoalan pengungsi itu, sehingga dalam konteks HAM, pemerintah sebenarnya berpotensi pula untuk melanggar HAM para pengungsi. Sebagai anggota masyarakat, mereka memiliki beberapa hak inti, yang dalam keadaan apapun tidak boleh dicabut (nonderogable rights), misalnya hak untuk hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan, hak atas perlakuan yang sama di depan hukum, dan sebagainya. Di sisi lain, negara memiliki kewajiban untuk memenuhi hak-hak itu. Jadi, manakala kewajiban itu tidak disanggup dijalankan, maka pemerintah dapat dituduh melakukan pelanggaran HAM (by ommission). Akan halnya mengenai dialog untuk perdamaian, pemerintah dan GAM memang menunjukkan kemauan yang sangat tinggi untuk mengakhiri konflik atau setidak-tidaknya mengelola konflik agar bisa meminimalisir kekerasan. Tergantung dari sisi mana kita melihat, ada yang mengatakan bahwa pengelolaan konflik adalah salah satu tugas yang paling sulit dan rumit yang bisa diemban manusia. Hal ini khususnya berlaku untuk bentuk-bentuk konflik yang sudah sangat mengakar, sudah berlangsung dalam rentang waktu yang lama, menggunakan senjata sebagai alat untuk mencapai tujuan, dan objek sengketa menyangkut hal-hal yang sifatnya ideologis, identitas, dan penguasaan wilayah. Dalam kasus Aceh, tekanan-tekanan baik internal maupun eksternal telah mampu menggiring wakil-wakil RI dan GAM untuk maju ke meja perundingan. Kedua pihak tidak dapat menafikan kecenderungan global, memberikan dukungan yang signifikan bagi upaya penyelesaian konflik atau sengketa secara damai (peaceful solution). Ditengahi oleh Henry Dunant Center for Humanitarian Dialogue |8|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
(HDC), kedua pihak yang sedang bertikai sepakat untuk menandatangani Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh (Jeda Kemanusiaan), yang mulai efektif berlaku pada 2 Juni 2000. Namun realitas kemudian menunjukkan bahwa Jeda Kemanusiaan tidak menghasilkan sesuatu yang monumental bagi upaya peredaan konflik di Aceh. Selama Jeda Kemanusiaan I dan II (2 Juni 2000 – 15 Januari 2001) ketegangan dan kekerasan tetap terus terjadi dan telah mengakibatkan jatuhnya korban yang tak sedikit. Mobilisasi dana untuk bantuan kemanusiaan---tujuan kedua Jeda Kemanusiaan---juga jauh di bawah harapan. Demikian pula tujuan yang ketiga Jeda Kemanusiaan, yaitu untuk mendapat dukungan atau kepercayaan publik kepada kedua pihak dalam menyelesaikan perbedaan-perbedaan secara damai, tidak terwujud sebagaimana diharapkan. Jeda Kemanusiaan kemudian berganti menjadi MoV--moratorium of violence (penghentian kekerasan). Belajar dari kegagalan Jeda Kemanusiaan, banyak orang percaya bahwa MoV dengan masa berlaku satu bulan (14 Januari–14 Februari 2001) akan berdampak positif bagi penyelesaian konflik. Ternyata, kekerasan-kekerasan di daerah-daerah konflik tak pernah reda. Dengan tetap difasilitasi oleh HDC, kedua pihak yang bertikai kemudian menyetujui sebuah lembaga baru, bernama Damai Melalui Dialog (peace through dialog—DMD). Ada beberapa keputusan besar yang dibuat kedua pihak ketika lahir MoV dan DMD. Pertama, terjadinya pertemuan berkala antara level tertentu komandan pasukan RI dan GAM. Kedua, sebagai hasil pertemuan itu, disepakati adanya Zona Damai (peace zone), yaitu Aceh Utara dan Bireun. Namun, DMD mengalami nasib sama dengan MoV dan Jeda Kemanusiaan. Kontak senjata tetap berlangsung, kesepakatan Zona Damai tidak dipatuhi, rumah-rumah penduduk dirusak atau dibakar, bom ditanam di berbagai tempat, gelombang pengungsian terus terjadi; semuanya adalah rangkaian keadaan yang tak pernah dibayangkan orang sebelumnya. Pemerintah Pusat |9|
FAKTA BICARA
akhirnya memutuskan untuk menetapkan keadaan Darurat Militer untuk Aceh yang dikemudian dilanjutkan dengan Darurat Sipil. Kebijakan politik pemerintah pusat sebagaimana disebutkan di atas, menimbulkan banyak masalah di lapangan, utamanya terkait dengan penegakan hukum dan HAM, melengkapi kondisi buruk tahun-tahun sebelumnya. Gambaran singkatnya mengenai HAM adalah sebagai berikut: (a) kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa Aceh sebagai daerah operasi militer (DOM) belum diselesaikan secara adil berdasarkan pada kaedah-kaedah hukum nasional dan internasional; (b) program pemberian kompensasi terhadap korban pelanggaran HAM tidak dilaksanakan secara maksimal; (c) kasus-kasus pelanggaran HAM pasca DOM--sebagai akibat dari konflik bersenjata----belum diselesaikan secara hukum. Tapi keadilan terasa begitu jauh dan sulit digapai. Kasus-kasus semasa operasi militer (DOM) hilang ditiup angin. Demikian juga berbagai indikasi pelanggaran HAM sejak Agustus 1998 sampai dengan tahun 2010, terabaikan penyelesaiannya. Tak ada penyelidikan terhadap kasus simpang PT KKA Krueng Geukuh Aceh Utara, tidak juga diketahui oleh publik bagaimana akhir proses hukum kasus pembunuhan tiga relawan RATA yang terjadi di Blang Mangat Aceh Utara dulu, atau investigasi kasus pembunuhan Tgk. Al-Kamal dan Suprin Sulaiman di Aceh Selatan, sekedar menyebut beberapa contoh. *** Apa sebenarnya yang terjadi sehingga berbagai kasus pelanggaran HAM itu tidak pernah terselesaikan secara tuntas? Berikut ini adalah beberapa kemungkinan jawaban. Pertama, berkembangnya pandangan bahwa apa yang terjadi pada masa DOM, atau masa sesudahnya bukanlah kasuskasus pelanggaran HAM. “Kasus-kasus itu merupakan ekses |10|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
dari pelaksanaan tugas negara dalam mengatasi persoalan keamanan di Aceh,” demikian kurang lebih pernyataan Try Sutrisno, di hadapan anggota DPR-RI Pansus Aceh pada Desember 1999, yang disiarkan secara luas oleh siaran televisi. Untuk menambah bahwa jawaban-jawaban di atas menjadi sebuah pola tersendiri bagi aparatur pemerintah, terlihat lagi saat Wiranto dan beberapa jenderal lainnya diminta keterangan oleh DPR-RI awal Mei lalu tentang dugaan keterlibatan mereka dalam kasus pelanggaran HAM di Timtim. Wiranto mengatakan dirinya tidak bertanggungjawab atas apa yang terjadi di Timtim, sebab operasi di Timtim adalah sebuah tugas negara, dan merupakan keputusan politik resmi pemerintahan pada masa itu. Tentu saja harus ada koreksi yang mendasar atas polapola yang demikian itu. Koreksinya adalah bahwa setiap pelaksanaan tugas, apapun tugas itu, tersimpan dalam dirinya potensi pelanggaran atau penyimpangan dari tugas. Ini berlaku pula bagi tugas-tugas yang disebut sebagai tugas negara; sangat terbuka kemungkinan pengemban tugas (sengaja atau tidak) terseret kepada tindakan-tindakan yang melanggar HAM. Itu sebabnya mengapa, seperti diakui sendiri oleh kalangan militer, prajurit atau aparat yang ditugaskan melakukan operasi selalu dibekali pengetahuan tentang HAM dan sosial kemasyarakatan. Juga pedoman-pedoman kepada prajurit yang bertugas di lapangan. Menghindari diri dari pelanggaran HAM bukanlah sebuah pekerjaan gampang, khususnya saat sudah berada dalam sebuah suasana yang penuh dengan ketegangan, lelah fisik dan mental, hingga berakibat demoralisasi pasukan. Namun, secara hukum tetap saja semua itu tidak menjadi alasan pemaaf, yang artinya harus ada proses hukum yang adil terhadap tersangka pelanggaran HAM. Kedua, minimnya pemahaman tentang apa sesungguhnya arti atau makna pelanggaran HAM itu. Mana yang melanggar HAM, mana yang tidak, kapan suatu pelanggaran HAM disebut telah terjadi, atau apa perbedaan |11|
FAKTA BICARA
antara melanggar kriminal biasa dan melanggar HAM, merupakan hal-hal yang tidak semua orang memiliki jawabannya. Dalam realitas sehari-hari, pemahaman yang berkembang selalu dalam arti “melakukan sesuatu.” Jika motif melakukan sesuatu itu tidak ada, atau tidak terbukti, atau karena merupakan ekses dari pelaksanaan tugas, maka dianggap tak ada pelanggaran HAM, dan tidak ada pula orang yang harus diminta pertanggungjawabannya. Ini juga perlu dikoreksi; bahwa pelanggaran HAM sebenarnya dapat terjadi dengan dua cara. Yaitu dengan melakukan sesuatu (by commission), dan dengan tidak melakukan sesuatu (by ommission). Jenderal Wiranto, dalam kasus Timtim sebagai misal, memang tidak terbukti melakukan sesuatu perbuatan di Timtim, tetapi Komnas HAM menemukan fakta bahwa Wiranto tahu mengenai keadaan di Timtim namun tidak melakukan upaya pencegahan apapun. Sering juga dipahami bahwa pelanggaran HAM hanya dapat dilakukan oleh aparatur negara, dikaitkan dengan kenyataan bahwa pada negara-lah terletak kewajiban melindungi hak-hak warga negara. Berbagai konvensi internasional HAM meletakkan kewajiban pertama dan utama pada negara untuk melindungi HAM warga negara. Namun, ada sebuah pandangan lain yang menyebutkan bahwa pelaku pelanggaran HAM bisa dua pihak: state actor (aparatur negara) dan nonstate actor. Pandangan lain ini menegaskan kepada kita, bahwa mereka yang bukan aparatur negara juga dapat dipandang melanggar HAM. Namun ada prasyarat, misalnya memiliki kemampuan mempengaruhi kebijakankebijakan ekonomi, politik, sosial dan budaya, atau dapat memaksa pihak lain membuat kebijakan-kebijakan menurut keinginan nonstate actor itu. Dalam kondisi konflik bersenjata atau perang, maka pihak lawan yang bukan aparatur negara, juga tidak terbebas dari tuduhan melanggar HAM, misalnya karena tidak mengindahkan prinsip-prinsip Konvensi Jenewa mulai dari Protokol I sampai IV. Ketiga, lemahnya kebijakan hukum dan tidak adanya |12|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
kebijakan politik yang paripurna untuk menyelidiki tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM meskipun fakta-fakta pelanggaran HAM atau konsep-konsep pelanggaran sudah diketahui. Di sini, pemerintah disebut sebagai unwilling (tidak memiliki keinginan) untuk mengusut dan mengadili pelanggar HAM, misalnya dengan alasan akan membuat citra negara atau korps menjadi rusak. Dengan kata lain, dengan menutup berbagai fakta, maka tak ada pandangan jelek atas negara. Ini juga harus dikoreksi. Dengan cara bagaimana? Dengan cara mengatakan yang sebaliknya, bahwa citra negara menjadi baik atau positif di mata dunia jika negara menghilangkan praktek-praktek impunity (membiarkan pelanggar HAM tak tersentuh hukum), menegakkan hukum, respek kepada HAM dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya. Keempat, negara tidak mampu (unable) menuntaskan pelanggaran HAM. Ketidakmampuan itu bisa dalam berbagai wujud. Misalnya tidak adanya landasan hukum bagi pengambilan tindakan, atau ada landasan hukum, namun sumberdaya pelaksana berkualitas rendah. Bisa juga terjadi, landasan hukum dan sumberdaya tersedia secara memadai, namun prasarana pendukung lainnya, misalnya gedung pengadilan tidak ada. Atau ada gedung pengadilan, namun tidak ada hakim, seperti yang terjadi di Aceh pada masa sekarang ini. Ini memberikan kontribusi tertentu pada upaya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM. Jadi, sebuah kesepakatan yang ditujukan bagi berfungsinya kembali lembaga-lembaga peradilan sangat perlu dipikirkan. Sangat mungkin, ada beberapa lagi sebab-sebab lain mengapa tidak ada penuntasan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM. Misalnya, ada korban, namun tidak diketahui siapa pelakunya meskipun sudah dicoba cari, antara lain dengan petunjuk dari korban. Atau ada korban, namun korban tidak mau memberikan testimoni, misalnya karena takut pada ancaman. Atau sudah diketahui pelakunya, namun lemah segi pembuktian, sehingga tidak bisa diproses lebih lanjut, atau jika ada proses maka pelaku dibebaskan |13|
FAKTA BICARA
oleh pengadilan. Beberapa waktu belakangan ini, berkembang berbagai wacana tentang bagaimana masyarakat mesti bersikap terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM, seperti yang terjadi di Aceh. Apakah akan dipakai pendekatan hukum atau pendekatan politik? Dalam UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM misalnya, ada lembaga Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), tetapi Mahkamah Konstitusi kemudian mencabut UU tentang KKR. Sesungguhnya masyarakat ini hidup normal, namun pada saat yang sama kita dihadapkan pada kebutuhan mencegah abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan). Maka yang dibutuhkan, misalnya dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Aceh, adalah tegaknya the rule of law, bukan the rule of the ruler. Mungkinkah bandul jam bergerak ke arah itu? Tentu sulit sekali. Kita tidak yakin, terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu (past human rights abuses), hak-hak korban semisal the victim’s rights to know (hak untuk tahu), the rights to justice (hak untuk keadilan), tak dapat dipersembahkan kecuali ada keinginan negara untuk mengingat bahwa kekuasaan negara telah disalahgunakan di masa lalu untuk melanggar hak-hak warganya (state’s duty to remember). *** Pemaparan di atas memberikan suatu pengertian bahwa persoalan- persoalan HAM di Aceh, meskipun konflik sudah berakhir, masih jauh dari selesai dan menyisakan banyak pekerjaan bagi berbagai pihak, terutama pemerintah yang mengemban tanggung jawab utama untuk menghargai, melindungi, dan memenuhi HAM para rakyatnya. Kita semua diingatkan kembali mengenai tugas-tugas tersebut, dengan juga tidak mengecualikan tanggung jawab dan peran masyarakat juga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks “mengingat” itulah buku yang berjudul “Fakta |14|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Bicara: Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989 – 2005” dihadirkan ke depan sidang pembaca. Buku ini dibagi ke dalam empat bagian.” Pada Bagian I disajikan sejarah-sejarah awal eksistensi Aceh sebagai sebuah negeri yang berdaulat yang kemudian terlibat perang mempertahankan diri melawan Portugis pada abad ke-15, sampai kepada masa kejayaan Aceh pada awal abad ke-16. Pada masa sesudah itu Aceh mengalami kemunduran, sehingga akhirnya Belanda yang ingin menaklukkan Aceh mengumumkan perang. Dalam sejarah, inilah sebuah perang yang berlangsung sangat lama, dimulai pada 1873 dan baru berakhir pada tahun 1942. Dalam rentang waktu yang demikian, sekitar 10.000 tentara Belanda tewas, namun Aceh tetaplah menjadi negeri yang tak sepenuhnya dapat ditaklukkan oleh Belanda. Bagian ini juga menjelaskan bagaimana Aceh setelah Indonesia meraih kemerdekaan pada tahun 1945. Sebagaimana sudah saya nukilkan pada bagian terdahulu, di dalam bagian awal buku ini dijelaskan juga perkembangan yang terjadi pada masa awal kemerdekaan, termasuk di dalamnya adalah pemberontakan DI/TII di bawah kepemimpinan Tgk. Muhammad Daud Beureueh yang ingin menjadikan Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia. Babakan selanjut yang diulas pada bagian I ini adalah pergolakan politik ketika Hasan Tiro memproklamirkan Aceh Merdeka yang mendorong pemerintah pusat melakukan operasi militer, namun pada saat yang sama juga dilakukan upaya untuk menyelesaikan konflik secara damai pada tahun 1999-2001. Upaya ini gagal, sehingga pemerintah pusat menetapkan status Darurat Militer dan Darurat Sipil untuk Aceh. Pada masa ini, TNI/Polri mengklaim telah berhasil menewaskan dua ribu lebih orang GAM. Semua kebijakan yang berakibat pada pelanggaran HAM di berbagai tempat itu berakhir ketika gempa bumi dahsyat dan tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004. Menyusul bencana ini, pemerintah pusat dan GAM memutuskan untuk melanjutkan kembali upaya |15|
FAKTA BICARA
penyelesaian konflik secara damai, yang berakhir dengan penandatanganan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005. Pada Bagian II yang diberi judul “Fakta-Fakta Kekerasan 1989–2005” disampaikan data kekerasan di Aceh dalam rentang waktu sejak 1989–2005. Bagian ini dibagi ke dalam tiga fase, yaitu fase pemberlakuan operasi miiliter di Aceh atau dikenal luas dengan masa (Aceh) sebagai DOM (Daerah Operasi Militer), fase darurat militer, dan fase darurat sipil. Dalam memori orang Aceh, tahun 1989 adalah di mana kehidupan masyarakat di beberapa wilayah menjadi seperti kisah seseorang yang masuk ke dalam gua gelap tiada berujung, di mana kehidupan bisa berhenti secara tiba-tiba. Sebagai balasan atas serangan yang dilakukan oleh GAM, pemerintah pusat melancarkan operasi militer di daerahdaerah basis GAM. Operasi penumpasan itu sebenarnya bukan sebuah operasi baru, sebab sebelumnya pemerintah juga telah melakukan penumpasan terhadap apa yang disebut Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Namun operasi militer tahun 1989 dan operasi-operasi pada masa sesudahnya, berdampak sangat luas kepada masyarakat, utamanya yang berada di Kabupaten Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur. Masa-masa itu disebut dengan masa DOM. Dalam benak orang Aceh, DOM menjadi sebuah ringkasan yang menakutkan, menimbulkan trauma fisik dan psikis sekaligus. Selanjutnya pada bagian ini dikemukan pula kejadiankejadian besar yang masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat, disertai dengan jumlah korban yang meninggal atau hilang, atau yang mengalami penyiksaan dengan berbagai cara dan dalam berbagai kesempatan. Pada tahun 1990, tercatat misalnya kejadian di Desa Raya Sangeu, Kecamatan Pidie, dan di Desa Puuk, Kecamatan Delima, Kabupaten Pidie. Berikutnya kejadian di Desa Pulo, Tunong Are, yang juga masih di Kabupaten Pidie yang berlangsyng tahun 1992. Keadaan yang sulit pada masa itu sebenarnya dicoba suarakan oleh media massa internasional, nasional, dan lokal. Di satu pihak, kontribusi media massa memang tak banyak |16|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
berpengaruh kepada pengambil kebijakan, namun di pihak lain media massa cetak dan elektronik berhasil menyajikan kepada dunia mengenai berbagai hal yang terjadi di Aceh. Setelah serangkaian kampanye panjang dari berbagai kelompok masyarakat, dan bertepatan dengan terjungkalnya Soeharto dari kekuasaan pada Mai 1998, Pemerintah Pusat akhirnya memutuskan mencabut status Aceh sebagai DOM (orang kemudian menyebutnya dengan “mencabut DOM”). Pada bagian ini dinukilkan secara kronologis proses pencabutan DOM tersebut dalam bentuk suatu matrik, sehingga pembaca lebih mudah mendapatkan pemahaman dari sekuel yang satu ke sekuel yang lain. Di Bagian II ini selanjutnya diuraikan mengenai keputusan Pemerintah Pusat untuk menetapkan status Darurat Militer (DM) dan Darurat Sipil (DS) untuk Aceh. Ini merupakan sebuah mimpi buruk, setelah sebelumnya rakyat Aceh merasa lega dengan pencabutan DOM. Megawati, Presiden RI mengeluarkan Kepres No. 28 Tahun 2003 tanggal 19 Mai 2003 tentang Pernyataan Keadaan Bahaya Dengan Tingkatan Keadaan Darurat Militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Melalui keputusan tersebut, Megawati kemudian mengirim puluhan ribu tentara ke Aceh untuk menumpas GAM yang saat itu diperkirakan sekiar 5.300 orang dengan kekuatan 2000 pucuk senjata api. Dan sebagaimana lazimnya perang, maka korban pun berjatuhan, demikian juga pelanggaran HAM. Mengutip laporan Human Rights Watch (HRW), saat itu banyak terjadi eksekusi di luar pengadilan (extrajudicial killing), penghilangan secara paksa (force disappearance), pemukulan (beating), penangakapan dan penahanan secara sewenang-wenang (arbitrarily arrest and detention), serta pembatasan atas kebebasan bergerak. Menariknya, untuk melengkapi laporan itu, dalam buku disajikan juga table mengenai bentuk-bentuk kekerasan yang pernah didokumentasikan oleh HRW. Data kuantitatif ini sangat membantu pembaca untuk memahami keadaan nyata di lapangan dalam kaitannya dengan HAM. Data |17|
FAKTA BICARA
kuantitatif itu menyajikan kekerasan atau kejadian dalam dua periode waktu, yaitu 19 Mai–19 November 2003, dan 19 November 2003–19 April 2004. Sebagaimana diketahui, setelah DM berakhir, pemerintah Megawati memberlakukan DS yang tahapan pertamanya dimulai April dan berakhir 18 November 2004, dan tahapan ke dua mulai dari 18 November 2004 sampai dengan 18 Mai 2005. Pada masa ini, masyarakat sipil menjadi korban terbanyak, mencapai 248 jiwa baik dalam kasus penganiayaan dan pembunuhan, maupun dalam kasus penculikan dan penangkapan. Korban jiwa juga jatuh di pihak GAM dan TNI yang melakukan operasi penumpasan GAM. Namun, DS berakhir saat Aceh dilanda gemba besar dan tsunami raksasa pada 26 Desember 2004. Banyak pendapat bahwa di balik korban jiwa yang sampai ratusan ribu jumlahnya, bencana itu juga merupakan rahmat terselubung; pihak RI dan GAM melanjutkan kembali perdamaian untuk membangun Aceh yang sudah porak-poranda karena bencana tersebut. Masih pada bagian II ini, kepada pembaca disajikan juga hal-hal yang terkait dengan komitmen pihak RI dan GAM melalui perdamaian di Helsinki. Isu HAM jelas menjadi penting dalam perundingan tersebut, dan dicapai kesepakatan bahwa Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) akan didirikan di Aceh. Atas dasar perintah MoU Helsinki, dibuat pula sebuah undang-undang baru untuk Aceh yaitu UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, di mana ditegaskan kembali mengenai pembuatan Pengadilan HAM dan KKR di Aceh melalui sebuah qanun. Namun sebagaimana kita ketahui bersama, pendirian KKR itu terhambat karena pendirian itu harus dikaitkan dengan keberadaan KKR nasional, yang UU-nya sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Itu sebabnya qanun KKR belum diajukan oleh eksekutif kepada legislatif sampai dengan awal tahun 2011 ini. Nasib yang sama dialami oleh Pengadilan HAM yang juga belum didirikan oleh pemerintah sebagaimana diperintahkan oleh UU No. 11/2006. |18|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Pada halaman-halaman lain dari Bagian II ini dijelaskan bahwa penanganan korban konflik belum optimal. Namun upaya-upaya tetap dilakukan, termasuk memberikan dana reintegrasi kepada mantan GAM dan dana diyat kepada korban konflik. Hanya saja, di sini sana terdengar laporan mengenai ketidakadilan dalam penyaluran bantuan kemanusiaan tersebut, terutama kepada para korban pada masa konflik. Juga dinukilkan di sini mengenai penanganan perempuan korban konflik, namun masalah ini tidak disajikan secara panjang lebar. Bagian II ini ditutup dengan penyajian data kuantitatif mengenai tindak kekerasan yang sempat dicatat oleh KontraS Aceh. Data ini terasa sangat membantu membaca memahami ragam kasus pelanggaran HAM dalam rentang waktu 2004-2005. Bagaimana sesungguhnya nasib para korban konflik atau korban pelanggaran HAM? Penderitaan seperti apa yang mereka alami, dan bagaimana kondisi mereka saat ini? Jawaban dari pertanyaan ini sebagian besar disajikan pada Bagian III buku ini yang diberi judul “Kesaksian Korban Pelanggaran HAM”. Sesuai dengan judulnya, di sini pembaca misalnya dapat mencermati kasus-kasus pelanggaran HAM di Ara Kundo, Idi Cut, Aceh Timur, tragedi di Gedung KNPI Lhokseumawe. Kasus Ara Kundo itu, dari pemaparan para korban, memang menggetarkan. Suatu malam, setelah selesai ceramah, tentera melakukan serangan dengan menggunakan senjata api terhadap warga masyarakat. Diperkirakan, serangan itu ada kaitannya dengan sweeping yang dilakukan oleh sejumlah orang sipil pada 3 Januari 1999 di Lhok Nibong, dan dengan isi ceramah yang terkait dengan perjuangan Aceh Merdeka, suatu keterkaitan yang diakui sendiri oleh AP (salah serang korban), yang bertindak sebagai penceramah pada malam tersebut. Sebanyak tujuh orang tewas dalam serangkan pada 3 Februari itu, dan mayat ke tujuh orang tersebut ditemukan di Sungai Ara Kundo. Dalam kasus ini, keadilan tak pernah ditegakkan, kerugian jiwa dan harta tak |19|
FAKTA BICARA
pernah mendapat perhatian sebagaimana semestinya. Jika kita teliti dengan seksama, kasus Ara Kundo ini suatu saat dapat ditelusuri kembali untuk memungkinkan keadilan berpihak kepada orang-orang yang mencarinya. Tragedi KNPI yang diulas pada Bagian III ini bermula dengan demonstrasi massa yang dihadang oleh tentara yang menyebabkan meninggalnya beberapa pendemo serta puluhan lainnya luka-luka. Di sini MD (salah seorang korban) mendapat penyiksaan sebab dituduh sebagai penggerak massa. Dia mengalami penyiksaan di bagian mata dan kaki bersama dengan beberapa tahanan lain, selama beberapa hari. MD merasakan bahwa dia tak mendapat bantuan yang setimpal dibanding penderitaan yang sudah dia alami di gedung KNPI pada tahun 1999 itu. Masih dalam kaitannya dengan peristiwa di Gedung KNPI, dalam buku ini dipaparkan pula pengalaman korban lainnya, bernama US yang juga mengalami penyiksaan. Dia bernasib sama dengan MD, tak mendapat kompensasi yang memadai dari pemerintah sampai dengan saat ini. Kisah lain adalah kisah yang dialami oleh DW, yang suaminya tewas dalam hubungannya dengan kejadian di gedung KNPI tersebut. Lagi-lagi dia mengeluh mengenai kurangnya perhatian yang diberikan pemerintah kepadanya. Pada bagian selanjutnya disajikan keberadaan Pos Sattis Billeu Aron, penyiksaan di Rumoh Geudong, pemerkosaan di Bukit Haru, pembantaian di Kanis Gonggong, dan tragedi Jamboe Keupok. Pada masing-masing bagian ini pembaca dapat mencermati dampak yang muncul dari setiap kejadian, yang rata-rata sangat menyedihkan. Konflik kadang kala memang tak pandang bulu dalam memilih korbannya. Orang tak bersalah kehilangan nyawa, atau hilang tak tentu rimba, keluarga yang ditinggalkan juga hidup menderita. Sebagian mereka tak tahu mengapa mereka harus mengalami kepahitan hidup yang tak terhingga itu. Ada yang berusah tegar, namun tak kurang pula yang kemudian kalah dalam menghadapi kerasnya kehidupan yang mengelilingi mereka. |20|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Pada Bagian IV yang diberi judul “Pemenuhan Hak Korban” diulas hal-hal yang terkait kenyataan mengenai rendahnya perhatian terhadap korban pelanggaran HAM pada masa sesudah perdamaian terjadi di Aceh. Dipaparkan bahwa di samping melalui jalur hukum, harapan banyak diarahkan kepada KKR. Namun ini memang menimbulkan masalah tersendiri; kontruksi mengenai KKR dalam MoU Helsinki dan dalam UU No. 11/2006 dikaitkan dengan KKR Nasional yang diatur dalam UU No. 27/2004, tetapi kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Dijelaskan pada bagian ini bahwa jauh sebelum itu telah dilakukan berbagai upaya untung membantu korban, dan KKR merupakan salah satu mekanisme yang sangat ditunggu-tunggu. Namun KKR ini tetap belum terwujud sampai dengan awal tahun 2011. *** Dapat dipastikan bahwa buku ini lahir dari sebuah kerja keras penuh komitmen para pihak yang terlibat di dalamnya, dalam hal ini Koalisi NGO HAM. Pengalaman menunjukkan bahwa menghimpun data pelanggaran HAM dalam rentang waktu yang lama, bukanlah sebuah pekerjaan mudah. Namun ketidakmudahan itu ternyata tak menyurutkan tekad Koalisi NGO HAM untuk mempublikasikan data yang pernah mereka dokumentasikan, dengan niat utama adalah agar orangorang tidak begitu saja melupakan kondisi HAM di Aceh yang pernah berada dalam situasi yang sangat buruk dan memprihatinkan. Harapan harus selalu dipelihara bagi perbaikanperbaikan di masa mendatang. Dunia tak akan pernah memberi tempat bagi pihak-pihak yang diduga terlibat melanggar HAM. Perumpamaannya, lari ke ujung dunia sekalipun, akan tetap dicari. Negara-negara atau pihak-pihak yang melecehkan HAM, akan mengalami pengucilan, khususnya secara politik dan ekonomi, dua bidang yang dapat membuat suatu negara mundur puluhan tahun ke belakang jika terkena embargo. |21|
FAKTA BICARA
Saat ini, pemerintah dan masyarakat negara-negara maju, semakin tersadarkan betapa perlunya mereka memberi perhatian kepada orang-orang yang tertindas HAM-nya. Ini pula yang mendorong, misalnya, banyaknya perhatian orang atau pihak luar negeri, terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di Aceh. Dalam kondisi sebuah negara unwilling dan unable dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM, maka mekanisme internasional pada akhirnya akan berlaku atas negara tersebut. Masyarakat dunia akan mendorong PBB untuk turun tangan. Dulu, hal ini hampir terjadi terhadap kasus pelanggaran HAM di Timtim. Ketua Komisi Tinggi HAM PBB, Mari Robinson, melakukan kunjungan ke Jakarta dan bicara serta mendesak pemerintah RI agar mengadili pelaku pelanggaran HAM di Timtim. Jika tidak diadili, maka PBB akan menggunakan mekanisme yang ada untuk mengadili sendiri kasus Timtim tersebut. Hal ini kemudian tidak terjadi, sebab Jaksa Agung kemudian melaksanakan proses hukum terhadap belasan orang yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM di calon negara baru itu. Informasi-informasi mengenai pelanggaran HAM diterima PBB dari berbagai sumber, terutama tentu saja dari badan-badan khusus PBB pemantau HAM, dalam bentuk komite-komite. Kontribusi berbagai organisasi nonpemerintah juga tak kalah pentingnya bagi upaya memberi keadilan kepada para korban, atau bagi tegaknya hukum atas berbagai kasus pelanggaran HAM. Sejumlah LSM di Aceh telah secara intensif melakukan kampanye pada level nasional dan internasional. Sayang sekali, tak ada satu pun kasus yang berhasil terangkat, misalnya sampai dengan dilakukannya persidangan, baik dengan menggunakan mekanisme hukum nasional maupun mekanisme atau standar HAM internasional. Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa negara harus menaruh perhatian serius terhadap past human rights abuses, dengan melakukan berbagai koreksi, serta menanamkan |22|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
tekad baru untuk mempersembahkan keadilan kepada yang berhak. Seperti masyarakat yang dinamis, demikian pula perkembangan tentang HAM. Aparatur, mau tidak mau, mesti mencermati dengan baik seluk beluk HAM. Dalam bertindak, mesti memperhatikan keabsahan (landasan hukum), kebutuhan, proporsionalitas, etika dan sosial budaya. Perilaku yang bertentangan dengan HAM, sudah jelas tidak akan mendapat penghormatan dari masyarakat nasional dan internasional. Juga harus selalu terbangun kesadaran bahwa kritik-kritik atas pelanggaran HAM merupakan kritik konstruktif bagi pembentukan citra sebuah negara. Ornop sendiri merupakan sebuah lembaga yang sangat dinantikan karya nyatanya. Memperbaiki kualitas, dengan demikian, menjadi sebuah kewajiban, dalam rangka menuju ke sebuah entitas yang menghargai HAM dan hukum serta demokrasi. Jika tidak demikian, tak akan pernah ada kasus pelanggaran yang selesai dengan tuntas, dan itu artinya para korban pelanggaran ibarat pungguk merindukan bulan. Wallahu ‘alam bissawab.
|23|
FAKTA BICARA
Sekilas Perang Panjang
t
PENDAHULUAN Penandatanganan kesepakatan damai, 15 Agustus 2005 antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka adalah titik akhir dari sebuah kisah perang di Aceh yang telah berlangsung lama. Konflik itu adalah episode terakhir dalam lintas sejarah Aceh yang telah lelah hidup dalam suasana perang. Babakan sebelumnya teramat panjang dan telah menimbulkan ribuan korban. Sejak kolonial Belanda memproklamirkan perang dengan Aceh pada 1873, konflik tak berhenti di bumi serambi. Dari perang melawan penjajah sampai perang memperjuangkan keadilan melawan pemerintah. Berikut adalah sekilas catatan perang. Aceh telah lama ada. Dalam kisah Babad Cina pada abad ke-6 Masehi, dituliskan telah ada sebuah kerajaan di bagian ujung utara Pulau Sumatra yang mereka kenali sebagai PoLi. Kemudian naskah Arab dan India dalam kurun abad ke-9 Masehi juga mengatakan hal yang sama. Berbanding dengan kawasan-kawasan Indonesia yang lain, Aceh merupakan daerah pertama yang mempunyai hubungan langsung dengan dunia luar. Aceh memiliki sebuah sejarah yang lama. Aceh memainkan peranan penting dalam tranformasi yang dijalani sejak pertumbuhannya. Marco Polo, pada tahun 1292, pernah berkisah. Saat dalam pelayaran ke Parsi dari China, dia sempat singgah di Sumatra. Dia melaporkan terdapat enam pelabuhan yang sibuk di bagian utara pulau tersebut. Termasuk diantaranya |24|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
pelabuhan Perlak (Peurelak, Aceh Timur), Samudera (Samudera Pasai, Aceh Utara) dan Lambri. Kerajaan Islam yang pertama kali tumbuh di Aceh adalah Kerajaan Perlak pada tahun 804, sekitar 100 tahun setelah pengaruh Islam di Nusantara. Babakan perang dimulai dengan Portugis. Saat itu, negara-negara di Eropa sedang melirik wilayah perdagangan baru di Asia, mencari lada dan rempah-rempah dan membuka wilayah jajahan baru. Tahun 1511, Portugis menguasai pelabuhan Melaka, Malaysia. Aceh terdekat dengan wilayah itu, sebagai kerajaan yang sedang tumbuh besar, perlu melindungi pedagang yang umumnya muslim dari Gujarat dan Arab. Akibatnya, Aceh perlu perang untuk mengusir Portugis dari semenanjung Malaya. Perang itu berlangsung dalam beberapa tahap. Kerajaan Demak di Pulau Jawa pernah membantu Aceh untuk mengusir Portugis. Pangeran Pati Unus memimpin bala bantuan secara langsung pada 1513. Portugis tak bergeming, bahkan tambah meraja-lela mengepakkan sayap ke seantero Nusantara. Wilayah Aceh sejauh itu memang tak terusik, masih terlalu kuat untuk ditaklukkan. Hal ini menyebabkan, para pedagang Arab dan India memindahkan perdagangan mereka ke Aceh, yang telah menjadi kerajaan yang makmur. Aceh pun mendominasi perdagangan dan politik di utara Sumatra khususnya dan Nusantara pada umumnya. Keadaan ini terus berlangsung, sampai Aceh mencapai puncak kejayaan kemakmuran pada tahun 1610 sampai 1640, masa Sultan Iskandar Muda dan beberapa sultan sesudahnya. Aceh aman di dalam negeri dan bahkan menjadi penjamin keamanan beberapa wilayah lain di nusantara, kekuasaannya bertambah luas. Aceh mengalami kemunduran sejak kemangkatan Sultan Iskandar Thani pada 1641. Saat Belanda dan Inggris yang mengantikan posisi Portugis di Melaka dan Nusantara. Dengan berbagai taktik mereka mencoba memperluas wilayah |25|
FAKTA BICARA
koloni perdagangannya. Pelan-pelan, dominasi perdagangan oleh Inggris dan Belanda bertambah besar. Mereka berlomba menguasai sebanyak mungkin kawasan di Nusantara. Aceh diambang perang lagi. Sebuah kesepakatan antara Inggris dan Belanda pada 1824 telah memberi kuasa kepada Belanda, guna menguasai segala kawasan Inggris di Sumatra. Sementara Belanda akan menyerahkan segala kuasa perdagangan mereka di India dan juga berjanji tidak akan menandingi Inggris untuk menguasai Singapura. Saat itu, Aceh masih dijamin oleh Inggris sebagai negara berdaulat dan Belanda harus mengakuinya. Sejauh itu, Belanda masih belum bisa menjamah Aceh. Mereka terus berusaha mencoba menguasai, sampai kemudian Perjanjian Sumatera tahun 1871 membatalkan jaminan Inggris itu. Belanda leluasa dan perang pun dimaklumatkan dengan Aceh, pada Maret 1873. Pecahlah Perang Aceh yang berlangsung dari tahun 1873 ke 1942, tidak secara terus menerus. Perang paling lama yang dihadapi Belanda, merengut nyawa lebih 10.000 tentera mereka. Dalam sejarah, Belanda tidak pernah menguasai Aceh secara penuh. Walaupun mereka mampu menguasai Kesultanan Aceh, tapi perlawanan terus dilakukan Masyarakat Aceh di bawah pemimpin mereka yang silih berganti, antara lain, Tgk Chik Di Tiro, Panglima Polem, T. Umar, Cut Meutia, Cut Nyak Dhien. Berakhirnya kekuasaan Belanda di Aceh ditandai dengan pecahnya perang dunia II dan masuknya Jepang ke Aceh pada 12 Maret 1942. Prajurit Jepang bergerak cepat sampai ke daerah Gayo, Aceh Tengah. Rakyat pun menggila, melucuti senjata kesatuan-kesatuan Belanda. 28 Maret 1942, Belanda menyerah kalah di Aceh, tiga minggu setelah Batavia menyatakan takluk kepada Jepang. Belanda hengkang. Aceh kemudian berada dalam kekuasaan Jepang. Ratusan pemuda Aceh dilatih ketentaraan. Mereka umumnya adalah angkatan muda Persatuan Ulama |26|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Seluruh Aceh (PUSA), yang kemudian mengambil banyak kedudukan Ulee balang (turunan bangsawan, pemimpin pemerintahan) di Aceh. Kekuasaan para Uleebalang pun semakin berkurang. 14 Agustus 1945, Jepang menyerah kalah dari sekutu. 17 Agustus 1945, Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Dua bulan kemudian beberapa perwira Belanda hadir ke Aceh untuk mengadakan penyelidikan. Aceh dijumpai dalam keadaan kacau balau, Belanda berpendapat perlu diadakan pendudukan sekutu untuk mencegah timbulnya pemberontakan. Pendudukan itu tidak pernah terjadi, sampai Jepang meninggalkan Aceh pada Desember 1945. Sekutu masih sibuk mengurus Jawa. Sumatera dan Aceh mengambil jalannya sendiri. Sebuah pemerintahan republik didirikan dengan Gubernur pertama, Mr. Teuku Moehammad Hasan. Belanda tidak pernah lagi menembus Aceh, hingga membuat Aceh daerah yang benar-benar nyata kemerdekaannya, saat itu. Mengawal kemerdekaan Indonesia, Aceh tercatat sebagai penyumbang dua pesawat yang menjadi cikal-bakal lahirnya Garuda Indonesia Airways. Tahun 1948, kala sekutu berhasil menguasai pemerintahan Indonesia di Pulau Jawa, Aceh menjadi daerah penyelamat. Melalui Radio Rimba Raya di Aceh Tengah, dengung kemerdekaan Indonesia masih dipancarkan dari sana. *** Sejarah kembali tercatat, saat Gubernur Aceh Daud Beureueh menjabat. Dia merasa Jakarta mengkhianati perjuangan Aceh, dengan melakukan beberapa tindakan politik. Antaranya, membubarkan Divisi X TNI di Aceh yang terkenal itu. Lalu, pada 23 Januari 1951, status Provinsi Aceh dicabut oleh Kabinet Natsir. Aceh dipaksa lebur dalam Provinsi Sumatera Utara. Kebencian rakyat Aceh kepada Soekarno, presiden RI |27|
FAKTA BICARA
saat itu, menyala. Daud Beureueh masih sempat menghadap Soekarno, tapi patah arang. Sebagai pemimpin, Beureueh pun memukul genderang pemberontakan, 21 September 1953, setelah kongres ulama di Titeue, satu kecamatan di Pidie. Di sana dia menyatakan Aceh menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia (NII), mengikuti jejak Kartosoewirjo di Jawa Barat. Perlawanan bersenjata dimulai. Bersama Beureueh, sejumlah pasukan TNI pun bergabung menjadi Tentara Islam Indonesia (TII). Sehari setelah proklamasi itu, mereka menguasai sebagian besar daerah Pidie, dan bertahan di Garot. Pertempuran demi pertempuran terjadi. Kesepakatan gencatan senjata diambil dalam sebuah perjanjian, Ikrar Lamteh, 8 April 1957. Isinya, ada kesepakatan antara pemerintah lokal dan pemberontak untuk mengutamakan kepentingan rakyat dan daerah Aceh di atas kepentingan kelompok. Gencatan senjata ini sempat berjalan sampai 1959. Dan momentum itu pun menjadi titik balik pemberontakan. Di masa itulah Perdana Menteri Djuanda mengunjungi Aceh. Dia sempat bertemu dengan Hasan Saleh, Panglima DI/TII. Bersama Hasan Saleh, hadir juga Hasan Ali, Perdana Menteri Negara Bagian Aceh, NII. Hasan Saleh menuntut kepada Djuanda agar Aceh dijadikan Negara Bagian di bawah Republik Indonesia. Tuntutan itu ditolak oleh Djuanda. Alasannya, Indonesia telah berbentuk kesatuan. Meski begitu, Hasan Saleh setuju untuk mencari jalan damai. Daud Beureueh lalu meminta Hasan Ali membatalkan gencatan senjata dan memulai lagi serangan gerilya besarbesaran. Beureueh letih bergerilya, setelah satu persatu karibnya meninggalkannya di tengah jalan. Di ujung masa pemberontakannya, Beureueh bergabung dengan Republik Persatuan Indonesia, bersama PRRI dan Permesta. Bersama itu pula sejak 1961 nama Negara Bagian Aceh/NII diubah menjadi Republik Islam Aceh (RIA). Pemerintahan Aceh belum kuat. Saat Sjamaun Gaharu digantikan Kolonel Mohammad Jasin menjadi Komandan Daerah Militer Aceh. Jasin berhasil mendekati Daud Beureueh |28|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
dengan rasa hormat, dan terus-menerus menyerukan agar pemimpin pemberontak itu mau turun gunung. Sejak 1961, surat-menyurat keduanya terus berlangsung. Bahkan Jasin berani bertemu langsung dengan Beureueh, untuk berdialog empat mata. Dengan berbagai bujukan dan jalan panjang Jasin, akhirnya Beureueh luluh. Dia bersedia turun gunung, pada 9 Mei 1962, beserta pasukan setianya yang dipimpin oleh Teungku Ilyas Leube. Daerah Aceh kembali seperti semula, bahkan berstatus Istimewa. Kendati demikian, kondisi kemakmuran rakyat masih morat-marit, meski sumber minyak dan gas melimpah ruah di Aceh, setelah ditemukan pada tahun 1970. Alasan itulah yang membuat Aceh kembali bergolak. Empat belas tahun setelah Beureueh turun gunung, Hasan Tiro memimpin pemberontakan melalui Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diproklamirkan pada tahun 4 Desember 1976 di Tiro, Pidie. Seterusnya, terus-menerus kekacauan terjadi di Aceh. Hasan Tiro kabur ke Swedia, memimpim pemberontakan dari sana. Berbagai operasi digelar TNI di Aceh, untuk menumpas GAM. Pemberontakan tak kunjung padam. Tahun 1989, Aceh ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), dengan operasi jaring merah-nya. Berlangsung selama 10 tahun, operasi itu tercatat banyak makan korban. Pasca kejatuhan Presiden Soeharto, suara rakyat menuntut peradilan hak asasi manusia makin gencar dilakukan. 7 Agustus 1998, operasi itu dicabut. Tuntutan kemerdekaan Aceh yang disuarakan GAM kian bergema. Selain itu, muncul juga tuntutan referendum sebagai akumulasi kekecewaan rakyat Aceh pada pemerintah. Tuntutan itu dimobilisir oleh para intelektual Aceh yang terhimpun dalam Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA), yang didirikan di Banda Aceh pada 4 Februari 1999. Sejarah mencatat, aksi kolosal yang dibuat SIRA di Banda Aceh pada 8 November 1999 dihadiri kurang dari sejutaan |29|
FAKTA BICARA
rakyat Aceh (sebagian sumber menyebutnya dua jutaan) dari berbagai kabupaten. SIRA yang dipimpin Muhammad Nazar berhasil memobilisasi perjuangan rakyat Aceh, untuk mendapatkan hak-haknya sebagai sebagai sebuah bangsa. Keinginan rakyat Aceh untuk menentukan nasib sendiri semakin bergema dengan kelahiran berbagai organisasi perlawanan rakyat, seperti KARMA, Farmidia, SMUR, FPDRA, SPURA, PERAK, dan HANTAM, yang lahir dengan mengusung berbagai macam isu. HANTAM misalnya, mengusung isu antimiliterisme berhasil membuat sebuah aksi yang spektakuler pada tahun 2002. Aksi yang dinilai paling fenomenal itu menuntut cease-fire (gencatan senjata) antara RI dan GAM. Selain itu HANTAM dalam aksinya mengusung empat bendera, seperti bendera GAM, RI, Referendum dan Bendera PBB. Aksi yang berlangsung pada 6 Mei 2002 itu berakhir dengan penangkapan semua peserta aksi HANTAM. Aksi itu memberikan makna khusus bahwa intervensi PBB untuk memediasi konflik Aceh tak dapat ditolak. Situasi yang relatif aman tercipta setelah pihak GAM dan pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian damai, 9 Desember 2002 di Jenewa. Kendati bentrok terus berlanjut, tapi kuantitasnya tidak seperti dulu. Komite Keamanan Bersama (KKB), yang terdiri dari tiga pihak, Indonesia, GAM, dan Henry Dunant Centre (HDC) sebagai penengah pun dibentuk. Komite itu terkenal dengan nama Joint Security Committee (JSC). Komite itu diketuai oleh Thanongsuk Tuvinum, perwira tinggi asal Thailand. 9 Februari 2003, perjanjian damai itu memasuki tahap penting dan kritis. Kedua pihak telah sepakat sejak hingga lima bulan ke depan, melucuti senjata masing-masing. Pelucutan senjata akan diawasi oleh komite bersama itu. Masalahnya, proses perundingan kemudian gagal. Pada Mei 2003, masa CoHA itu dinyatakan gagal dan tidak dilanjutkan. Para juru runding GAM, ditangkap dan dipenjara. Darurat Militer (DM) digelar pada 19 Mei |30|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
2003. Ribuan personil TNI/Polri dikirim kembali ke Aceh, untuk menumpas GAM. Satu tahun DM, TNI mengklaim telah menewaskan 2.439 GAM, 2.003 ditangkap dan 1.559 menyerah. Sementara di pihak TNI, 147 orang tewas dan 422 luka-luka. Dalam darurat itu, puluhan aktivis yang kritis ditangkap, tak sedikit pula yang harus hengkang ke luar Aceh. Salah satu yang ditangkap ketika itu, Muhammad Nazar dari SIRA. Usai DM, status Aceh berganti menjadi Darurat Sipil (DS) pada 19 Mei 2004. Kondisi Aceh hampir tak jauh berbeda dengan masa DM. Aceh tertutup bagi dunia luar. Ratusan korban muncul, terbanyak di pihak sipil. Pemerintah tak pernah mengumumkan secara pasti, berapa jumlah korban dari sipil. Namun Dinas Penerangan Umum Mabes TNI mengakui, sejak masa darurat diberlakukan sampai September 2004, sekitar 662 warga sipil tewas, 140 luka berat dan 227 luka ringan. Banyak kalangan meyakini, korban lebih banyak dari itu. Tak ada instansi yang punya referensi pasti berapa jumlah korban sebenarnya dalam konflik Aceh. Buktinya, ada banyak warga yang masih melaporkan saudaranya hilang, setelah perang-perang itu berkobar. *** Perang belum usai, saat tsunami membuat sejarah baru. Bencana dahsyat tsunami membelalakkan mata warga dunia, pada jumlah korban dan kerusakan yang ditimbulkan. Hampir seluruh negara besar di dunia menyatakan berkabung selama seminggu. Bahkan penjara milik Amerika Serikat di Guantanamo, Kuba juga mengibarkan bendera setengah tiang. Tercatat, sekitar 129.775 orang tewas, 36.786 orang hilang dan 174.000 orang hidup di tenda-tenda pengungsian. Dari segi materil, 120.000 rumah rusak atau hancur, |31|
FAKTA BICARA
800 kilometer jalan dan 2.260 jembatan rusak atau musnah, 693 fasilitas kesehatan (RS, Puskesmas, Pos Imunisasi, dan klinik) rusak atau hancur dan 2.224 sekolah rusak atau hancur. Kerugiannya, sekitar U$ 4,5 milyar. Bencana itu, membuka pintu Aceh bagi siapa saja. Status DS tenggelam dengan sendirinya. Ratusan NGO asing masuk, berlomba-lomba memberikan bantuan. Pelan-pelan Aceh mulai membangun kembali kehidupannya. Darurat Sipil diganti dengan Tertib Sipil pada 19 Mei 2005, disaat Aceh sedang membangun pasca tsunami. Kontak senjata masih terjadi di daerah-daerah, kendati dalam jumlah yang sudah minim. Mustahil membangun Aceh kembali tanpa damai. Kondisi inilah yang membuat petinggi Indonesia dan GAM memikirkan kembali persoalan damai, agar tak banyak lagi warga Aceh mati sia-sia. Damai pun disenandungkan. Pembahasan mencari damai di Aceh dipikirkan keras. Kali ini Presiden RI Bambang Susilo Yodhoyono lebih serius. Difasilitasi oleh Crisis Management Initiative (CMI) perundingan antara GAM dan RI pun digelar di Helsinki, Filandia. CMI diketuai oleh bekas Presiden Finlandia Martti Ahtisaari. Setelah dialog lima babak di Helsinki, perundingan mencapai kesepakatan. Perunding RI diketuai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaluddin dan perunding GAM diketuai Perdana Menteri-nya Malik Mahmud. Ditandatangani pada 15 Agustus 2005, kesepakatan itu dikenal dengan MoU Helsinki. Awal masa damai di Aceh. Poin-poin MoU mendukung sepenuhnya rekontruksi Aceh pasca tsunami. Tim Pemantau Uni Eropa dan ASEAN, Aceh Monitoring Mission (AMM) dibentuk. Mereka bertugas sejak 15 September 2005, setelah sebelumnya sebuah tim persiapan memonitor keadaan sejak damai dicetuskan. Tim itu diketuai oleh Pieter Feith asal Belanda. Tugas utama AMM, melucuti senjata GAM dan memantau penarikan pasukan TNI di Aceh. Sesuai dengan MoU, GAM |32|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
harus menyerahkan 840 pucuk senjatanya. Sementara TNI/ Polri hanya boleh menyisakan 14.700 personil TNI dan 9.100 personil Polri di Aceh. Perlahan-lahan, damai mulai tampak setelah 29 tahun lebih konflik RI–GAM. Proses penyerahan senjata dan penarikan pasukan berakhir sampai 26 Desember 2005. Bersamaan dengan setahun tsunami di Aceh. Perang memang selalu menimbulkan korban. Buku ini tak hendak menulis data dan fakta sepanjang perang di Aceh. Buku ini hanya mencoba merekam fakta kekerasan dan pelanggaran HAM yang tercecer sepanjang pemberlakuan status DOM di Aceh sampai perdamaian diraih. Fakta banyaknya korban yang belum merasakan keadilan adalah pemicu menyusun laporan ini. Sesungguhnya slogan pencari keadilan masih terus mengiang. “Perdamaian tidak berarti apa-apa, tanpa keadilan buat korban.”
|33|
FAKTA BICARA
|34|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
FAKTA KEKERASAN DI ACEH 1989 - 2005
|35|
FAKTA BICARA
|36|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Kisah Awal DOM
t
Sepanjang 1989-1998, Aceh berstatus Daerah Operasi Militer (DOM). Status itu disandang karena Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soeharto bermaksud untuk memberantas Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang melakukan perlawanan, untuk kemerdekaan Aceh. GAM diproklamirkan oleh Hasan Tiro pada 4 Desember 1976. Sejumlah sumber menyebutkan bahwa status DOM Aceh selama sembilan tahun, Misalnya dapat dilihat dari judul buku “Aceh Bersimbah Darah, Mengungkap penerapan Status Daerah operasi Militer (DOM) di Aceh 1989-1998, yang ditulis oleh Al Chaidar, Sayed Mudhahar Ahmad dan Yarmen Dinamika. Namun dokumen resmi tentang ditetapkannya DOM pada tahun 1989, tidak ditemukan. Meski masyarakat luas mengetahui bahwa penerapan DOM dimulai sejak tahun 1989, namun jauh sebelum itu, pemerintah pusat telah melancarkan sejumlah operasi militer untuk menumpas GAM, yang ketika itu disebut dengan Aceh Merdeka (AM). Saat itu, masyarakat juga mengenal gerakan tersebut dengan sebutan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) sebagaimana yang dilabelkan pemerintah saat itu. Sebelum Aceh secara resmi dinyatakan berstatus DOM dalam rentang 1989-1998, beberapa peristiwa kontak senjata telah terjadi di wilayah ini, ditandai dengan dilakukannya kampanye panjang berintensitas rendah yang bertujuan melacak anggota-anggota GAM dan menghancurkan
|37|
FAKTA BICARA
pemberontakannya.1 Operasi-operasi penanganan pemberontakan tersebut telah menyebabkan terjadinya berbagai macam pelanggaran HAM yang dilakukan oleh tentara Indonesia, dulu disebut Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Sejumlah operasi militer ABRI yang dilakukan di Aceh awalnya dipicu oleh timbulnya gerakan bersenjata yang disebut GPK. Meski begitu, penetapan status Aceh sebagai daerah operasimiliter tidak terlepas dari peran Ibrahim Hasan, Gubernur Aceh periode 1987-1993. Hal ini terungkap dalam wawancara Ibrahim Hasan dengan Majalah Tempo, pada Agustus 1998.2 Ia membedakan gerakan yang dilakukan oleh GPK saat itu ke dalam dua kelompok, yakni GPK generasi pertama(sejak tahun 1976), dan setelah itu merupakan GPK generasi kedua. Menurut Ibrahim Hasan, GPK generasi kedua terjadi karena penyelesaian masalah terhadap GPK generasi pertama belum tuntas. Awalnya, pemerintah saat itu mengira bahwa setelah Hasan Tiro, deklarator GAM hijrah ke luar negeri, masalah GPK generasi pertama selesai. Tapi kemudian, gerakan tersebut muncul lagi dengan melibatkan beberapa orang Aceh yang eksodus ke Malaysia dan kemudian dibawa mengikuti pelatihan militer ke Maktabah Tajurra di Libya. “GPK generasi kedua ini --generasi pertama tahun 1976- berbeda sekali dengan GPK generasi satu. GPK generasi kedua ini luar biasa kejam. Ganas sekali. Tidak ada lagi nilainilai kemanusiaan. Begitu datang, mereka serbu dulu polisi, kantor-kantor polisi. Polisi ditembak mati di tengah jalan, kemudian dipotong-potong. Istrinya kemudian diperkosa.” “Mereka itu GPK teroris. Teroris yang dilatih di Libya. Kemudian murid di SD-SD di daerah tepi pantai dipaksakan menyanyikan lagu Aceh Merdeka. Itu di Pidie. Kemudian pos-pos ABRI, polisi diserang habis. Selesai dari Pidie, 1_Ross Clarke, Galuh Wandita, Samsidar, Memperhatikan Korban: Proses Perdamaian di Aceh dari Perspektif Keadilan Transisi, International Centre for Transitional Jusctice, Jakarta Pusat 2008, hal. 11 2_Wawancara Prof. Dr. Ibrahim Hasan:”Yang Ganas itu GPK Generasi Kedua”, Majalah Tempo Edisi 23/03-8/Agustus/1998 |38|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
mereka menggilir ke Aceh Utara. Di Panton Labu, Jeunieb, di Samalanga. Kemudian di Aceh Timur, di Keude Geurubak, Peureulak. Di situ, GPK yang paling besar. Mereka memilih di situ, karena mereka mudah lari. Dari Aceh Utara juga mudah lari ke Malaysia. Pidie juga begitu. Kenapa dia tidak pilih Aceh Tengah, Aceh Barat, apalagi Aceh Selatan? Dalam kondisi seperti itulah saya panggil ABRI.”3 Secara kronologis, penetapan DOM setidaknya dapat disimak daripublikasi majalah Tempo. Di tahun 1989, muncul gerakan bersenjata yang oleh pemerintah disebut GPK. Gerakan mereka makin meningkat setelah merebut 21 pucuk senjata dan membunuh 20 prajurit ABRI yang sedang melaksanakan kegiatan ABRI Masuk Desa pada tahun 1991. Wilayah kegiatan kelompok bersenjata itu mula-mula hanya di Aceh Utara, kemudian meluas hingga Aceh Timur dan Pidie. Menghadapi situasi ini, Gubernur Aceh waktu itu, Ibrahim Hasan, minta bantuan pasukan ABRI kepada Presiden Soeharto. “Saya mengundang putra-putra terbaik bangsa dari Jakarta untuk membantu memulihkan keamanan di Aceh,” ujar Ibrahim kala itu. Ibrahim juga berpesan agar rakyat Aceh membantu tugas-tugas ABRI. “Beri nasi kalau mereka lapar, dan air kelapa jika mereka haus. Ibarat orang meukeurija rayuek(pesta besar) sudah tentu risikonya akan pecah piring dan gelas selusin-dua lusin, hal itu janganlah jadi soal,” kata mantan rektor Universitas Syah Kuala itu.4 Sumber lain menyebutukan, sebelum DOM ditetapkan, pemerintah telah mengupayakan pendekatan kultural dengan mengedepankan peran tokoh-tokoh agama. Namun usaha itu tidak mampu mengatasi kondisi keamanan kala itu.Hingga akhirnya pemerintah memutuskan pendekatan militer sebagai solusi penanganan keamanan di Aceh. Inilah awal dari derita masa DOM yang dialami masyarakat Aceh.5 Sumber tersebut menyebutkan juga, saat itu Ibrahim 3_Ibid 4_Ibid 5_Position Paper Koalisi NGO HAM Aceh |39|
FAKTA BICARA
Hasan sempat berkilah. Menurutnya, ia hanya melaporkan kondisi keamanan Aceh sebagaimana yang mesti dilakukan sebagai Gubernur Aceh kala itu. Hal tersebut menurutnya dilakukan setelah melakukan konsultasi dengan berbagai pihak; Muspida, ulama, pimpinan partai Golkar, serta tokohtokoh Aceh lainnya seperti Ali Hasjmy, Noer Nikmat (di Medan), serta mantan aktivis DI/TII seperti Hasan Saleh, yang pernah menjadi Panglima Perang DI/TII, dan Hasan Ali yang merupakan mantan Perdana Mentri DI/TII, bupati, aparat keamanan dari Kodim dan Korem. Atas desakan Mayjen (Purn) H.R Pramono, Ibrahim Hasan melaporkan kondisi Aceh kepada Presiden Suharto. Ia menyampaikan bahwa aksi-aksi yang dilakukan GPK saat itu tergolong ganas, mereka merupakan sisa-sisa GPK tahun 1976. Dalam pertemuan pertama, presiden menekankan agar lebih dulu dilakukan pendekatan kultural dan kemasyarakatan. Hal itu dilaporkan Ibrahim Hasan kepada kalangan Muspida, ulama dan tokoh masyrakat. Salah satu yang kemudian dilakukan adalah oleh Majelis Ulama Indonesia yang saat itu diketuai Ali Hasjmy. Ia turun langsung ke daerah-daerah rawan, namun pendekatan tersebut kemudian dinyatakan gagal dan dianggap penting untuk menempuh pendekatan militer. Mayjen (Purn) H.R Pramono sebagai Pangdam I Bukit Barisan kemudian menerapkan Operasi Jaring Merah di seluruh Aceh. Tokoh-tokoh yang dianggap bertanggung jawab terhadap pemberlakuan DOM di Aceh adalah: 1. Jendral (Purn) Haji Mohammad Suharto sebagai Presiden Republik Indonesia saat itu sekaligus sebagai Panglima Tertinggi dalam struktur Militer Indonesia. 2. Jenderal (Purn) L.B Murdani, Mentri Pertahanan dan Keamanan 3. Jenderal (Purn) Try Sutrisno, Pangab ABRI 4. Letjen (Purn) Syarwan Hamid, Danrem 011 Lilawangsa, Aceh |40|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
5. Jenderal (Purn) Faisal Tanjung, saat itu menjabat sebagai Komandan Seskoad di Bandung (1989-24 Juli 1992). Dalam masa jabatan sebagai Pangab (21 Mei 1993-1998) banyak mengirimkan banyak pasukan non organik di Aceh. Dalam masa jabatan sebagai Menkopolkam (1998) ia menyatakan bahwa peristiwa pembantaian di Aceh bukanlah suatu pelanggaran HAM. 6. Mayjen (Purn) H.R Pramono yang saat itu menjabat sebagai Pangdam I Bukit Barisan untuk wilayah Aceh, Sumut, Sumbar, dan Riau. 7. Letjen Prabowo Subianto, saat itu menjabat sebagai Komandan Intelijen (Danjen) Kopassus. 8. Prof. DR. Ibrahim Hasan, MBA saat itu sebagai Gubernur Daerah Istimewa Aceh (1986-1991).6 Lebih kurang sebulan setelah Ibrahim Hasan menyampaikan himbauannya tentang “meukeurija rayuek” itu, kemudiandatanglah para “undangan” Gubernur Ibrahim, terutama satuan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dari Jakarta. Sejak itu di seluruh wilayah Daerah Istimewa Aceh dilancarkan Operasi Jaring Merah. Amnesti Internasional mencatat, dari tahun 1989 hingga 1992, sebanyak 2.000 orang, termasuk warga sipil dan pendukung Aceh Merdeka, dibunuh. Lebih kurang seribu warga sipil ditangkap atas dugaan mendukung Gerakan Aceh Merdeka atau karena memiliki hubungan saudara dengan anggota kelompok Aceh Merdeka. Lebih dari 50 orang diadili dan dihukum penjara 13 hingga 20 tahun, atas tuduhan subversi.7 Juli 1990, setahun sebelum Gubernur Ibrahim mengundang pasukan dari Jakarta, satuan ABRI berhasil menembak mati Yusuf A.B, seorang tokoh penting GAM. Yusuf, Gubernur Wilayah Pasee dalam struktur GAM, ditembak di kawasan Matang Seujuk, Kecamatan Baktinya, Kabupaten Aceh Utara. Operasi yang lebih intensif dilancarkan dengan 6_Ibid 7_Loc.Cit |41|
FAKTA BICARA
nama sandi Jaring Merah. Hasilnya, sejumlah pendukung GAM ditangkap dan diadili. Dalam sebuah operasi di bulan Desember 1993, Kopassus berhasil menembak mati Umar Ibrahim, Panglima Wali Negara dan Ketua Komando Pusat Negara Islam Aceh Merdeka.8 Hingga beberapa tahun sejak operasi militer Aceh berstatus DOM, tidak ada kabar yang begitu mencolok, apalagi hingga diketahui dunia luar. Sejak sebelum ditetapkan dan setelah ditetapkan sebagai wilayah DOM, tak banyak banyak masyarakat yang tahu akan dampak yang ditimbulkan akibat pemberlakuan status tersebut. Hanya sebagian masyarakat yang tahu dan merasakan langsung dampaknya, seperti di daerah Pidie dan Aceh Utara, dua daerah yang kemudian paling banyak muncul dalam laporan kasus-kasus pelanggaran HAM seusai DOM dicabut pada 1998. Sebenarnya, upaya pengungkapan sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh pada masa DOM telah mulai diupayakan sejak tahun 1991, khususnya oleh media. Kantor berita Reuters pada bulan Mei 1991 melaporkan sejumlah orang Aceh telah dieksekusi di depan umum.9 Selain itu, majalah Tempo edisi 25 Mei 1991 juga menurunkan liputan tentang kejadian tersebut.Namun minguan berita itu tak mendapatkan bukti-bukti seperti dilaporkan Reuters yang berpusat di Inggris itu. Tempo malah menurunkan counter beritadari Kepala Penerangan Kodam I/Bukit Barisan waktu itu, Letkol Achmad Soedjai,yang menyebutkan bahwa 13 anggota GPK Aceh divonis di pengadilan, bukan dieksekusi di depan umum. Pernyataan Achmad dibenarkan Kepala Pusat Penerangan ABRI kala itu, Brigjen Nurhadi.10 Bahkan Bupati Pidie, Diah Ibrahim yang pernah menjadi salah satu sumber wartawati Reuters Elizabeth Pisani, menampik pemberitaan ihwal eksekusi di depan umum terjadi di wilayahnya. Ternyata, kantor berita Reuters keliru 8_The Killing Field di Aceh, Majalah Tempo Edisi 23/03-8/Agustus/1998 9_ibid 10_ibid |42|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
menyebutkan tempat eksekusi. Berdasarkan liputan Tempo pada Agustus 1998, disebutkan bahwa tim relawan Forum Peduli Hak Asasi Manusia (FP-HAM) menyatakan eksekusi di depan umum itu memang pernah terjadi. Namun bukan di Pidie, melainkan di Desa Lueng Sa, Simpang Ulim, Aceh Timur. Ada dua warga desa yang menjadi korban eksekusi: Sarjani Ibrahim (35 tahun), penduduk Lueng Sa, dan Tengku Imum Budiman (50 tahun) penduduk Lueng Dua. Eksekusi pada tahun 1991 itu bertepatan pada bulan puasa, 17 Ramadan 1411 Hijriah. Membongkar kekerasan masa DOM Tahun 1997 menjadi era baru kebangkitan demokrasi di Indonesia. Mahasiswa dan rakyat turun ke jalan. Mereka menuntut segera dilakukan reformasi di Indonesia. Pada 21 Mei 1998, Suharto mundur, rakyat pun berpesta. Sejumlah kebobrokan yang dijaga ketat selama 32 tahun mulai disuarakan. Kondisi itu dimanfaatkan para aktivis yang sedari dulu telah menghimpun data berbagai macam pelanggaran HAM di Aceh. Sebelumnya, tuntutan pencabutan status DOM Aceh mengemuka dari beberapa pihak (lihat kronologis pencabutan DOM). Ketika gaung reformasi semakin membahana, kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh pun ikut terangkat ke permukaan. Sejumlah data dan fakta pelanggaran HAM di propinsi yang berstatus istimewa itu segera terkabar ke hampir seluruh penjuru dunia. Akibat permberlakuan DOM dengan sandi operasi Jaring Merah, rakyat harus menerima akibat yang sungguh memilukan. Salah satu sumber menyebutkan bahwa sejak tahun 1989 hingga 1998 jumlah korban mencapai 30.000 jiwa. Hal ini dianggap sebagai malapetaka peradaban yang hanya mungkin terjadi dalam masyarakat primitif.11 11_Al Chaidar, Sayed Mudhahar Ahmad dan Yarmen Dinamika, Aceh Bersimbah Darah, Mengungkap penerarapan Status Daerah operasi Militer (DOM) di Aceh 19891998, Pustaka Al-Kausar, Jakarta 1999 |43|
FAKTA BICARA
Data yang dimiliki Koalisi NGO HAM Aceh menunjukkan operasi yang semula bertujuan menumpas GAM, dalam pelaksanaannya mengakibatkan 871 orang tewas di TKP karena tindak kekerasan, 387 orang ditemukan mati, 550 orang hilang, 368 korban penganiayaan, 120 korban dibakar rumahnya, serta 102 korban perkosaan.12 Berdasarkan data korban DOM hasil investigasi yang dilakukan oleh TPF yang dibentuk pasca pencabutan DOM menunjukkan bahwa konsentrasi korban terbesar adalah di Kabupaten Aceh Utara sebanyak 1716 korban, kemudian Aceh Timur sebanyak 1548 korban, kabupaten Bireuen yang saat itu masih tergabung dengan Aceh Utara sebanyak 525 korban, dan Kabupaten Pidie yang mencakup Pidie Jaya saat itu sebanyak 494 korban. Tabel Data Jumlah Kasus per Kabupaten Kab
1
2
3
3
4
5
6
7
8
A Timur
808
237
26
AUtara
272
394
656
Bireuen
63
76
326
2
Jumlah
1
0
530
574
1
20
2197
103
11
0
0
0
0
1436
7
0
0
0
0
474
Pidie
373
138
0
0
0
0
0
0
0
511
jumlah
1516
845
1008
106
18
530
574
1
20
4618
Keterangan: 1= pembunuhan 2= penculikan 3= Penganiayaan 4= penangkapan
5= pelecehan seksual 6= kekerasan 7= pembakaran 8= pengerusakan
Kedudukan Aceh Utara dan Aceh Timur sebagai wilayah yang memiliki korban terbanyak mungkin disebabkan karena di kabupaten itulah memiliki sumber daya gas alam yang dikelola oleh PT Arun LNG.Co. Melindungi keberadaan proyek tersebut menjadi salah satu alasan pemerintah Orde Baru untuk mengirimkan tentara dalam jumlah besar ke 12_Loc.Cit |44|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Aceh. Hal ini diperkuat dengan data jumlah korban terbesar di Aceh Utara berada di Kecamatan Baktiya, Jamboe dan Matangkuli yang merupakan titik-titik eksplorasi gas alam tersebut. Begitu juga di Aceh Timur, korban terbesar berada di Idi, Simpang Ulim, dan Peurelak yang merupakan daerah yang berada dekat dengan lokasi eksplorasi gas alam. Selain itu, pemerintah Orde Baru juga mengampanyekan isu tentang keberadaan Gerakan Pengacau Liar (GPL) sehingga operasi ABRI untuk melaksanakan Jaring Merah merupakan langkah pemulihan keamanan Aceh. Hal ini mengakibatkan warga di daerah-daerah yang menjadi basis GAM mengalami teror yang luar biasa. Misalnya, di Kecamatan Tiro, tempat kelahiran Hasan Tiro.13
Tindakan paling keji dilaporkan terjadi pada masa pemberlakukan DOM. Selain pembunuhan terhadap masyarakat sipil, puluhan ribu warga lainnya ditahan dan dimasukkan ke dalam kamp-kamp indoktrinasi. Kasus-kasus kekerasan seksual dilaporkan terjadi di daerah-daerah konflik. Para anggota GAM dikabarkan juga melakukan pelanggaran terhadap mereka yang dituduh sebagai informan dan orang Jawa yang mengikuti program transmigrasi sebagai sasaran utama.14 Ketika kasus-kasus pelanggaran HAM masa DOM mengemuka pada 1998, banyak pihak menuntut pemerintah mencabut status DOM Aceh. Tuntutan itu juga dibarengi rasa 13_Ibid 14_Loc.Cit. hal.1 |45|
FAKTA BICARA
tidakpercaya terhadap apa yang sudah terjadi di Aceh. “Saya terkejut juga menerima laporan kasus orang hilang itu, kini lebih dari 1.000 orang, bahkan ada pihak yang memperkirakan kasus tersebut mencapai angka 5.000 orang,” kata HT Djohan, Ketua DPR Propinsi Aceh tahun 1998 kepada Hari Sabarno Ketua Tim Pencari Fakta TPF DPR RI. Ia juga menjelaskan kepada TPF DPR-RI bahwa sesuai laporan yang diterimanya, selama berlangsung operasi pemulihan keamanan di Aceh telah banyak terjadi tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM, termasuk kepada kaum wanita serta munculnya kasus “orang hilang”.15 Akibat pemberlakukan DOM, di Aceh telah memunculkan beberapa sebutan yang bernada angker dan menyedihkan. Misalnya,“Bukit Tengkorak” di Lhoksukon, “Bukit Janda” di Pidie, dan “Rumoh Geudong” yang terkenal dengan kesadisan penyiksaan yang pernah terjadi di tempat itu. (Baca: Kisah Rumoh Geudong). Tim Pencari Fakta (TPF) untuk melakukan investigasi ke berbagai kecamatan di Aceh Utara, hingga Minggu (20 September 1999) mendata 287 orang terbunuh, 328 orang lainnya dinyatakan hilang. Tim investigasi yang dikoordinir TS Sani di wilayah timur Aceh Utara, mencatat 116 orang tewas dan 212 hilang dengan jumlah janda 233 orang dan 770 anak yatim.16 Di wilayah barat, tim yang dikoordinir Muzakkir SH dan Yacob Hamzah SH, mendapat data sementara orang tewas (diketahui kuburnya) sebanyak 171 jiwa dan hilang atau diculik 116 orang. Sedangkan janda 196 orang dengan anak yatim 642 orang. Korban lainnya 290 orang mengalami cacat fisik dan mental. Korban jiwa dan harta, menurut kedua koordinator tim investigasi pencarian fakta itu, rata-rata terjadi antara 1989-1997, dan umumnya dilakukan aparat keamanan di samping Gerakan Pengacau Liar (GPL – Sebutan lain untuk GAM atau AM). Tim yang menyisir desa-desa di Aceh Utara menemukan 69 unit rumah dibakar, beberapa unit lembaga pendidikan dan balai pengajian. Kendaraan yang diambil terdiri atasempat 15_hamline.edu/apakabar/basisdata/1998/07/30/0007.html 16_zxbakri.tripod.com/selama-dom.html |46|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
unit mobil dan 26 unit sepeda motor. Kehilangan barang sebanyak 178 kasus dalam berbagai jenis, serta kerugian uang ratusan juta rupiah. Di samping ratusan ekor ternak lembu.17 Tuntutan penarikan status DOM hingga tuntutan adanya kepastian hukum bagi korban dan pelaku makin nyaring disuarakan. “Masyarakat Aceh sangat menginginkan DOM dihapus dan pasukan khusus ABRI ditarik dari daerah ini,” kata Mustafa A Gelanggang kepada media pada Juli 1998. Saat itu, ia adalah Sekretaris Fraksi Persatuan Pembangunan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRD) Aceh. 18 Pada bulan yang sama, Gubernur Aceh saat itu, Prof. Dr. Syamsuddin Mahmud juga meminta kepada pemerintah pusat agar status DOM Aceh segera diakhiri dan menarik kembali satuan ABRI non organik yang bertugas di Aceh saat itu. Permintaan itu tertuang dalam Surat Gubernur Aceh bernomor 520/16588 bertanggal 29 Juli 1998. Tembusan surat ditujukan kepada Ketua DPR/MPR, Menko Polkam, Mendagri dan Menhankam/Pangab, seperti yang disampaikan oleh Kepala Humas Pemda Aceh, Drs. H. Natsir Ali kepada kantor berita Antara di Banda Aceh. Permintaan itu diikuti dengan alasan dan latar belakang mengapa DOM harus dicabut. “Kehadiran satuan ABRI yang berasal dari luar Aceh pada saat ini justru dirasakan mengganggu karena tindakan-tindakan yang dilakukan mereka menjadikan masyarakat merasa tidak aman,” sebut Syamsudin Mahmud.19 Satu bulan setelah Syamsudin Mahmud menyampaikan surat tersebut, pemerintah melalui Menhankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto di Lhokseumawe, menyatakan mengakhiri operasi militer di Aceh. Pernyataan itu juga diikuti dengan permintaan maaf atas perlakuan yang pernah dilakukan ABRI kepada rakyat Aceh pada masa DOM. Berikut ini kronologis pencabutan DOM di Aceh yang terlihat jelas harus diupayakan melalui jalan panjang oleh beberapa elemen di Aceh. 17_Ibid 18_Loc.cit hal 7 19_zxbakri.tripod.com/hamaceh.html |47|
FAKTA BICARA
Tabel Kronologis Pencabutan DOM Aceh20 Waktu
Keterangan
14 Oktober Rektor Universitas Syiah Kuala Prof. Dr. Dayan 1996 Dawood pada konferensi pers di Darussalam mengatakan, dalam kondisi sekarang, Aceh lebih aman dibanding Jakarta. Karenanya, predikat Aceh sebagai “Daerah Rawan” sudah saatnya dicabut, karena merugikan secara ekonomis, politis, dan psikologis 24 Oktober Wakil Gubernur Lembahannas, Prof Dr Juwono 1996 Sudarsono mengatakan, berdasarkan kajian mutakhir Lemhannas, Aceh lebih berpeluang dihapuskan dari predikat daerah rawan dibanding Timtim dan Irja, asal Aceh tidak lagi berniat memisahkan diri dari republik. 29 Oktober Pangab Feisal Tanjung menegaskan, Aceh 1996 sudah aman dan terkendali. Tapi, tentang pencabutan predikat daerah rawan, menurutnya, tak boleh gegabah. Semua itu harus dikaji dan dievaluasi. 29 Kapolda Aceh, Kolonel Pol Drs Suwahyu Desember menilai situasi Aceh sudah cukup aman. 1996 Karena itu sudah sepantasnya operasi militer dihentikan, diganti Operasi Kamtibmas. 30 Pangdam I/BB Mayjen Sedaryanto menyatakan Desember mendukung sepenuhnya keinginan masyarakat 1996 Aceh untuk itu. Namun, ia meminta jaminan “hitam di atas putih” sebelum status daerah rawan dicabut.
20_Diolah berdasarkan antenna.nl/indonesie/mn08172.html |48|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
1997
Selama tahun 1997, desakan terhadap pencabutan DOM atau penarikan pasukan khusus dari Aceh terus dilakukan berbagai kalangan, namun tidak lagi secara terbuka.
MaretTerutama memasuki “Era Reformasi” desakan April 1998 terhadap pencabutan digelar di mana-mana secara terbuka oleh kelompok-kelompok mahasiswa, para korban, LSM dan berbagai lapisan masyarakat. Para pengunjukrasa itu, baik di Aceh, Medan, maupun Jakarta mendesak pemerintah pusat untuk segera mencabut DOM. 29 Mei 1997
Atas desakan berbagai kelompok masyarakat, terutama mahasiswa, LSM, dan korban DOM, DPRD Aceh melayangkan surat kepada Menhankam RI, yang isinya meminta pencabutan atau peninjauan status daerah operasi militer.
8-22 Juni 1998
Karena DOM belum dicabut, 13 mahasiswa melakukan mogok makan selama tiga minggu di Kampus Unsyiah, Banda Aceh. Mereka akhirnya berhenti dan merubuhkan tendanya karena harus ikut ujian final. Di bulan ini pula, para kobran DOM, terutama janda, mulai secara terang-terangan melaporkan perlakuan sadis pasukan elite yang terlibat “Operasi Jaring” terhadap masyarakat. Laporan itu disampaikan antara lain ke DPRRI, DPRD Aceh, DPRD Pidie, DPRD Aceh Utara, DPRD Aceh Timur, serta sejumlah LSM, bahkan organisasi pemuda. Bersamaan dengan itu, gedoran para mahasiswa juga semakin gencar.
|49|
FAKTA BICARA
22 Juni 1998
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Aceh mengusulkan kepada Menhankam/Pangab untuk mencabut DOM dan mengembalikan status “Bumi Serambi Mekkah” sebagaimana dicita-citakan masyarakat.
22 Juli 1998
Karena desakan dan laporan tadi, DPRD-RI membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) “Kasus Aceh”. Tim ini diketuai Hari Sabarno yang juga Wakil Ketua MPR/DPR.
26-31 Juli 1998
TPF DPR mencari keterangan dan masukan di Banda Aceh, Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur sebagai bahan evaluasi masih layaktidaknya pemberlakuan DOM. Selama berada di Aceh, TPF acap disambut dengan unjukrasa yang menuntut DOM segera dicabut.
29 Juli 1998
Gubernur Aceh, Prof. Dr. Syamsuddin Mahmud mengirim surat kepada Presiden RI yang isinya minta pencabutan status DOM dan mengakhiri tindak kekerasan di Aceh.
31 Juli 1998
Direktur LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jakarta, Nursyahbani Kantjasungkana, SH menyerukan perempuan Indonesia untuk memboikot Pemilu mendatang bila DOM di Aceh tak dicabut.
4 Agustus 1998
Kalangan LSM Aceh dan internasional (Yayasan Leuser Internasional) menyebutpembantaian di Aceh sebagai malapetaka peradaban.
7 Agustus 1998
Menhankan/Pangab Jenderal TNI Wiranto menyatakan segera menarik pasukan luar dari Aceh sebagai mengakhiri operasi militer. Dengan kata lain DOM dicabut. Ia juga minta maaf kepada rakyat Aceh atas tindakan kasar aparat ABRI.
|50|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
17 Agustus Presiden Habibie minta maaf kepada rakyat 1998 Indonesia atas pelanggaran HAM yang terjadi dalam menumpas gerakan separatis. 18 Agustus Gubernur Aceh Syamsuddin Mahmud meminta 1998 kepada Presiden Habibie agar pelanggaran HAM selama berlangsungnya operasi militer di Aceh dituntaskan secara hukum. 20 Agustus 250 personil militer non-organik Aceh ditarik 1998 Pangdam I Bukit Barisan. Pada saat yang sama Tim Komnas HAM diketuai Baharuddin Lopa tiba di Banda Aceh. Selama tiga hari melakukan investigasi dan interview dengan korban DOM, serta membongkar empat lokasi dari sekitar sembilan kuburan massal di Pidie dan Aceh Utara. Hasilnya, ditemukan 20 kerangka korban DOM. 24 Agustus Tim Lopa mengumumkan di Jakarta, akibat 1998 Peristiwa Aceh (1989- 20 Agustus 1998) setidaknya 781 orang tewas. Selain itu, 163 orang hilang, 368 orang dianiaya, janda akibat suaminya meninggal/hilang sebanyak 3.000 orang, anak yatim akibat Peristiwa Aceh 15.00-20.000 orang. Bangunan, termasuk perumahan rakyat yang dibakar 98 unit, serta 102 orang wanita diperkosa. 31 Agustus Seluruh pasukan non-organik di Aceh, ditarik 1998 mundur. Kisah-kisah kekerasan masa DOM, membuat Aceh larut dalam kesedihan dan kemarahan. Berikut ini adalah berapa fakta yang terekam media dan lembaga-lembaga HAM.
|51|
FAKTA BICARA
Tahun 1990, di Desa Raya Sangeu, Kecamatan Pidie, Kabupaten Pidie. (Cerita berdasarkan kesaksian korban) Tanggal 22 Juni 1990 pukul 18.00 WIB korban II saat itu sedang berada di rumahnya. Ia didatangi oleh aparat gabungan TNI dan Brimob Pidie menggunakan kijang pick up hitam, jumlahnya sekitar 12 orang. Korban kemudian ditangkap karena diduga menyembunyikan abangnya yang disebut sebagai pelaku perampokan atau GPK. Saat itu, abang korban tidak berada di rumah. Korban kemudian di bawa ke pos jaga desa. Saat itu, Siskamling desa telah dimulai sejak sore hari. Dari pos jaga korban dibawa ke Polsek setempat dan ditahan selama dua jam. Dia ditanyai tentang keberadaan abangnya. Kemudian korban di bawa ke Kodim setempat. Selama dua jam di Kodim, korban dibawa ke Satgas Lamlo, matanya ditutup dan tangan diborgol. Ia tiba disana pukul 23.00. Pemeriksaan pertama dilakukan selama empat jam, sambil disiksa. Dipukuli di perut, kaki dan bahu dengan balok ukuran 7x7 sentimeter. Penyiksaan itu dilakukan di dalam ruangan tertutup. Esoknya, pemeriksaan dilakukan dari pukul 14.00 WIB hingga 19.00 WIB. Korban dicambuk dengan kabel. Di Satgas Lamlo korban ditahan selama delapan hari. Saat akan dibebaskan, pelaku meminta tebusan sebanyak Rp 10 juta. Korban hanya menyanggupi Rp 200 ribu. Pelaku meminta Rp5 juta. Akhirnya tebusan hanya mampu diberikan Rp 750.000. Korban dipulangkan ke rumah tanggal 31 Juni 1991 mengunakan labi-labi (kenderaan umum).21 Tahun 1990, di Desa Puuk, Kecamatan Delima, Pidie. (Cerita berdasarkan kesaksian istri korban) Pada tanggal 20 Desember 1990, korban UI yang saat itu berumur 60 tahun dijemput dari rumahnya oleh dua 21_Database Koalisi NGO HAM |52|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
orang TNI Kopassus dari pos desa setempat. Korban dibawa ke meunasah desa, setelah sebelumnya di tempat itu sudah berkumpul beberapa warga, termasuk istri dan anak korban. Di meunasah, korban dipukuli menggunakan tongkat miliknya sendiri. Setelah dipukuli, ia dibawa ke Pos TNI Lamlo, Kota Bakti. Ia ditahan di sana selama 10 hari. Dalam tahanan, korban terus disiksa. Tanpa memakai baju, ia direndam air WC yang dipenuhi lintah selama satu malam. Kemudian kepalanya dipukuli dengan batu hingga berdarah. Tulang rusuk korban juga patah akibat ditendang oleh pelaku. Pada tanggal 30 Desember 1990, korban dibawa ke rumah dengan diantar oleh dua orang anggota TNI. Setelah tiga hari di rumah, korban didatangi oleh anggota GAM. Karena takut, istri korban melaporkan kedatangan tersebut ke Pos TNI yang ada di desa. Setibanya anggota TNI, anggota GAM tidak berada di tempat. TNI yang datang tersebut kemudian langsung menarik korban dan memukulinya di depan anak dan istri. Korban kemudian di tahan di Lamlo, Kota Bakti selama satu setengah tahun. Di sana ia kembali disiksa; dipukuli dengan kabel listrik, popor senjata dan balok. Korban diantarkan ke rumah pada bulan Juli tahun 1992. Dia masih diwajibkan melapor seminggu sekali selama enam bulan. Korban saat ini sudah meninggal. Pada masa damai, tahun 2008, keluarga korban pernah mendapatkan bantuan satu kaki palsu dan uang Rp10 juta.22 Tahun 1991, di Desa Puuk, Kecamatan Delima, Pidie. (Cerita berdasarkan kesaksian salah seorang korban, TZ, saat itu berumur 32 tahun) Tepatnya pada tanggal 21 Desember 1991. Saat itu korban sedang berada di rumah. Tiba-tiba korban mendengar teriakan bahwa semua warga Desa Puuk diperintahkan keluar dari rumahnya. Mereka disuruh berkumpul di pos TNI yang ada di desa tersebut, sekitar 90 meter dari rumah korban. Menurut korban, TNI tersebut dari kesatuan Koppasus. 22_Database Koalisi NGO HAM |53|
FAKTA BICARA
Semua warga, lelaki dan perempuan kemudian kumpul di sebuah lahan kosong di samping pos TNI. Di tempat itu, mereka ditanyai keberadaan anggota GAM. Namun tak seorang pun warga yang mengetahui. Kemudian pelaku memerintahkan warga lelaki berguling di jalan selama satu jam, dengan jarak kurang lebih 50 meter. Setelah itu, para korban diperintah untuk jungkir balik dengan jarak yang sama selama satu jam. Akibat perlakuan tersebut, TZ muntah di tempat, kepalanya mengeluarkan darah terkena kerikil. Setelah itu, lelaki, perempuan dan anak-anak dikumpulkan, mereka dijemur di bawah terik matahari selama dua jam.23 Tahun 1992, di Desa Pulo Tunong Aree, Pidie. (Cerita ini berdasarkan kesaksian salah seorang korban, SB, saat itu berumur 32 tahun) Malam itu, tahun 1992, korban menuju ke pos jaga untuk melakukan Siskamling. Di sana sudah ada empat orang rekan SB yang juga ikut menjadi korban saat itu. Mereka adalah, HS saat itu berumur 21 tahun, ND 24 tahun, HL 46 tahun, dan BD 47 tahun. Pukul 12.00 WIB, para korban tertidur di pos jaga. Saat itulah, delapan orang anggota TNI dari pos di desa setempat datang dan membangunkan mereka dengan cara menggedor dinding pos jaga menggunakan popor senjata. Korban diperintah untuk bangun dan duduk di depan pos jaga. Kemudian pelaku menampar pipi korban masingmasing dua kali. Mereka dibawa ke pos TNI setempat. Setiba di pos, di bawah guyuran hujan deras masing-masing korban disuruh memanjat pohon kelapa. Dan di atas pohon kelapa, mereka diperintahkan untuk bernyanyi dan menirukan suara binatang, seperti kucing dan anjing. Setelah satu jam di atas pohon kelapa, korban diperintahkan turun. Kemudian mereka disuruh lompat 23_Database Koalisi NGO HAM |54|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
kodok. Setelah itu, pelaku meminta korban untuk mendatangi pos jaga lain yang anggota jaganya tertidur. Mereka menyampaikan bahwa pelaku meminta agar anggota jaga mendatangi pelaku. Setelah mengantarkan teman dari pos jaga lain tersebut, korban tidak tahu lagi bagaimana nasib rekannya itu. 24 DOM bukan hanya telah menyebabkan pelanggaran hukum dan HAM, tapi juga suatu perusakan kultur dan agama yang sudah berabad-abad dibangun leluhur masyarakat Aceh. Masyarakat yang tidak mempunyai hubungan apapun dengan dengan GAM atau GPK telah pula menjadi korban. Bagi masyarakat Aceh, DOM telah menjadi momok sangat menakutkan dan traumatik. Tindakan kekerasan, penyiksaan, atau penangkapan tanpa prosedur, penculikan, pelecehan seksual, pemerkosaan, penghilangan nyawa dan praktik-praktik pelanggaran hukum dan HAM lainnya berlangsung hampir setiap saat. Dan jumlah terbesar dari ribuan korban adalah masyarakat sipil yang tidak ada hubungan dengan GAM. Ditetapkannya Aceh sebagai DOM adalah keputusan politik, karenanya pencabutan DOM harus diikuti dengan pertanggungjawaban politik, hukum dan sosial ekonomi. Presiden Habibie, sebagai kepala Negara yang menggantikan Suharto saat itu memang telah menyampaikan penyeselan yang sedalam-dalamnya atas pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh semasa DOM. Tentu, hal itu tidak menggugurkan upaya pengusutan dan pengadilan atas pelanggaran HAM yang terjadi. Jenis pelanggaran HAM yang terjadi pada DOM diklasifikasikan sebagai gross violation of the humanity atau pelanggaran HAM berat dan masuk dalam kategori crime against humanity atau kejahatan terhadap kemanusiaan yang lengkap dan nyaris meliputi semua aspek pelanggaran HAM, yaitu: penghilangan paksa, pembantaian yang termasuk pembunuhan atau penghilangan nyawa secara paksa, 24_Database Koalisi NGO HAM
|55|
FAKTA BICARA
penahanan semena-mena dan penangkapan sewenangwenang, kekerasan terhadap perempuan termasuk perkosaan, pelecehan seksual, dan kekerasan terhadap alat reproduksi manusia. Umumnya, pelanggaran HAM yang dialami masyarakat Aceh saat terjadi atas tuduhan; terlibat sebagai GAM, membantu GAM, pernah bertemu atau berdialog dengan GAM, mempunyai atau memiliki senjata, mengetahui keberadaan GAM, dan merupakan anggota keluarga orang yang terlibat atau dituduh sebagai GAM. Selain penyelidikan yang dilakukan oleh aktivis kemanusiaan, sejumlah penyelidikan resmi oleh pemerintah juga telah dilakukan sejak Juli 1998, yaitu: 1. Juli 1998, TPF DPR dibentuk. Oktober 1998, tim ini mengumumkan temuan sementara yang menyebutkan bahwa lebih dari 1700 kasus pelanggaran HAM, termasuk 426 kasus paksa dan 320 kasus pembunuhan di luar jalur hukum 2. Juli dan Agustus 1998, Komnas HAM melakukan penyelidikan di Aceh. Laporan pendahuluannya menyebutkan, paling tidak 781 orang meninggal, 163 hilang, 368 kasus penyiksaan, dan 102 kasus pemerkosaan yang terjadi tahun 1989-1998. 3. Juli 199, Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan Aceh (KPTKA) dibentuk melalui Intruksi Presiden. Dilaporkan bahwa komisi ini telah mengumpulkan keterangan mengenai 5000 kasus pelanggaran HAM. Komisi itu merekomendasikan lima kasus untuk segera diajukan ke pengadilan. 4. November 1999, sidang Komisi DPR Aceh dilakukan, dimana pejabat senior dan pemerintah ditanya mengenai peranan mereka dalam pelanggaran HAM di Aceh sejak tahun 1989. 5. November 1999, Kejaksaan Agung melakukan penyelidikan terhadap lima kasus yang |56|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
direkomendasikan KPTKA, yaitu kasus pemerkosaan di Pidie pada Agustus 1996, kasus penyiksaan dan penghilangan paksa tahun 1997-1998 di Rumoh Geudong Pidie, pembunuhan di luar jalur hukum terhadap tujuh warga sipil di Idi Cut, Aceh Timur pada Februari 1999, pembunuhan di luar jalur hukum terhadap 35 warga sipil di Simpang KKA, Lhokseumawe pada Mei 1999, dan pembunuhan di luar jalur hukum terhadap seorang ulama dan pengikutnya di Desa Blang Meurandeh, Buetong Ateuh, Aceh Barat pada Juli 1999.25
25_Loc.Cit, Position Paper Koalisi NGO HAM Aceh |57|
FAKTA BICARA
Antara Daerah Operasi Militer dan Darurat Militer (1998-2003)
t
Status DOM Aceh dicabut pada 7 Agustus 1998, saat presiden BJ Habibie yang menggantikan Soeharto berkuasa. Sejenak masyarakat lega, berharap segala kekejian yang pernah dialami semasa DOM tak akan terulang kembali. Tapi fakta kemudian berkata lain. Berbagai macam pelanggaran HAM terus berulang, seiring semakin meningkatknya perlawanan yang dilakukan GAM saat itu. Paskadicabutnya status DOM, masyarakat menuntut pemerintah untuk mengusut kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi selama masa DOM dan pasca DOM. Sidang Tahunan tahun 1999 MPR secara jelas mengeluarkan mandat Kepada Presiden dalam bentuk TAP MPR No. IV/1999 Tentang GBHN, BAB IV Arah Kebijakan, pada huruf g no.2 yang berbunyi: “Menyelesaikan kasus Aceh secara berkeadilan dan bermartabat dengan melakukan pengusutan dan pelaksanaan pengadilan yang jujur bagi pelaku pelanggar hak asasi manusia, baik selama pemberlakuan daerah operasi militer maupun pasca pemberlakuan daerah operasi militer.” Sementara itu berdasarkan Keppres RI No. 88 tanggal 30 Juli 1999, pemerintah membentuk Komite Independen Pengusutan Tindakan Kekerasan di Aceh (KIPTKA). Sidang paripurna DPR pada 18 November 1999, membentuk |58|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
tim Pansus Aceh. Namun, hingga kini proses peradilan terhadap kekerasan dan pelanggaran HAM di Aceh belum ditindaklanjuti dengan serius.26 KIPTKA bertugas mengusut tindak kekerasan yang tejadi di Aceh sehingga diharapkan dapat meredam amarah dan mengobati rasa sakit rakyat Aceh. Dalam kesimpulannya Komisi Independen menyatakan bahwa: 1) Tindak kekerasan di Aceh tidak dapat dilepaskan dari dua persoalan mendasar, yaitu adanya kesalahan proses dan kebijakan politik pemerintah ketika harus memandang masalah serta munculnya Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) generasi kedua yang sering disebut Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kesalahan kebijakan politik dengan menerapkan pendekatan keamanan, meskipun oleh pihak militer tidak dipahami sebagai darurat militer, tetapi dipahami publik sebagai DOM. 2) Tindak kekerasan yang dilakukan oleh militer merupakan suatu jenis kekerasan negara, yang memang dilakukan oleh agen negara untuk mengamankan proses pengerukan kekayaan alam dari Aceh untuk kepentingan pusat, kepentingan elite pusat maupun lokal yang dibuktikan dengan kondisi sosial dan ekonomi yang sangat pincang antara pusat dan daerah. 3) Pada Pasca DOM, eskalasi situasi menjadi berbalik, yaitu saat titik ketidakpuasan berbaur dengan ideologi gerakan yang lebih luas, memasyarakat dalam dua kutub yaitu merdeka atau referendum. Hal ini harus dipahami sebagai suatu proses alamiah dari struktur sosial di Aceh yang telah mengalami penindasan cukup lama. 4) Sebab khusus yang ikut mempercepat permasalahan di Aceh semakin kompleks, tidak terkendali dan sulit diselesaikan adalah munculnya akumulasi kekecewaan yang bersifat serbamuka dan multidimensional. Maka Komisi Independen merekomendasikan tujuh rekomendasi mikro dan enam rekomendasi makro kepada 26_ Aceh Damai Dengan Keadilan, Kontras Aceh, 2006 hal 81. |59|
FAKTA BICARA
pemerintah. Antara lain, mewajibkan pemerintah untuk segera: a) menghentikan kekerasan di Aceh melalui pendekatan dialogis dengan kelompok yang terlibat, pendekatan kultural dengan pihak-pihak yang berpengaruh demi rekonsiliasi nasional serta menarik seluruh pasukan militer non organik di Aceh dan digantikan oleh Polri; b) melaksanakan peradilan terhadap para pelaku tindak kekerasan di Aceh sesuai dengan kesepakatan Tim Koneksitas serta membentuk pengadilan khusus atas pelaku-pelaku tindak kekerasan di Aceh; c) melakukan langkah-langkah nyata untuk berupa rehabilitasi dan santunan bagi korban tindak kekerasan termasuk pengungsi. Melalui Menteri Negara Urusan HAM membentuk badan yang berfungsi mengembalikan harkat dan martabat masyarakat Aceh untuk mewujudkan tertib social budaya,meratifikasi semua konvensi internasionalterutama mengenai perlindungan terhadap saksi dan korban,mencari akar masalah Aceh sekarang dan masa lalu beserta dampak ikutannya,mempercepat UU No. 44 tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh serta memproses pembahasan dan pelaksanaan TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang Status Otonomi Khusus kepada Daerah Istimewa Aceh sesuai GBHNmerealisasikan program restorasi atau pengembalian atas proses demoralisasi TNI/Polri menjadi aparat yang lebih profesional dan dekat dengan rakyat.27 Dari berbagai pembahasan yang dilakukan untuk masa depan Aceh, pemerintah tetap menyetujui kembali operasioperasi militer di Aceh setelah pencabutan DOM. Operasi Wibawa merupakan operasi gabungan yang dilakukan di Aceh pasca DOM. Operasi yang dideklarasikan pada 2 Januari 1999, dipimpin Letkol Pol Iskandar Hasan (Kapolres Aceh Utara) dengan wakilnya Kolonel Inf. Johny Wahab (Danrem 27_Aceh Damai Dengan Keadilan, Kontras Aceh, 2006, hal 84 |60|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Lilawangsa). Selanjutnya, Aceh dihujani operasi militer lainnya yang membuat kondisi semakin memanas dan darah tetap mengalir setiap harinya. Pihak militer melaksanakan beberapa operasi militer diantaranya Operasi Sadar Rencong I (Mei 1999 – Januari 2000), Operasi Sadar Rencong II (Februari 2000 – Mei 2000), dan Operasi Sadar Rencong III (Juni 2000 – 18 Februari 2001), Operasi PPRM (Pasukan Penindak Rusuh Massa) tahun 1993, Operasi Cinta Meunasah (Juni 20002001), dan Operasi Cinta Damai (2001 – 2002). Operasi militer pasca-DOM tetap mengakibatkan penderitaan bagi masyarakat Aceh. Pembunuhan, penyiksaan, penculikan, pemerkosaan semakin menjadi, gelombang pengungsian pun membludak.
|61|
FAKTA BICARA
Operasi Wibawa
t
Operasi wibawa merupakan operasi militer gabungan pertama yang diberlakukan setelah pencabutan status daerah operasi militer. Operasi dimulai 2 Januari 1999. Letkol Polisi Iskandar Hasan Kapolres Aceh Utara sebagai Komandan Operasi Wibawa’99 dan wakilnya adalah Danrem O11/Lilawangsa Kolonel Inf. Johny Wahab. Operasi ini diberlakukan, penanggung jawab operasi ini adalah Kepolisian Daerah Istimewa Aceh. Operasi ini diberlakukan sebagai respon atas penculikan terhadap tujuh orang prajurit AD di Lhok Nibong pada tanggal 29 Desember 1998. Saat itu, selasa 29 Desember 1998 sekitar pukul 10.00 WIB, delapan anggota yonif 113 Bireuen, Aceh Utara yang menumpang Bus Kurnia menuju Medan, Aceh utara. Ketika melintasi Lhok Nibong, sekelompok masyarakat berjumlah sekitasr 200 orang yang membawa senjata tajam menghentikan laju bus tersebut. Lalu, mereka masuk ke bus dan melakukan sweeping dengan memeriksa Kartu tanda Penduduk (KTP) untuk mencari penumpang anggota ABRI. Dari 18 anggota ABRI dan dua anggota Polri itu, yang memiliki KTP hanya 12 orang dan dari dua anggota Polri hanya satu orang yang memiliki KTP. Semua yang memiliki KTP dilepas untuk melanjutkan kembali perjalanan, sedangkan yang tidak memiliki KTP dipaksa tinggal dan disandera massa. Sekitar pukul 13.00 WIB, laporan peristiwa tersebut diterima Makorem setelah mendapat laporan lewat telepon |62|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
dari anggota ABRI yang lolos di Lhok Nibong, mereka menelpon dari Peudawa Rayeuk, Aceh Timur. Selanjutnya mereka menurunkan timnya ke lokasi untuk mencari anggota ABRI yang ditawan. Pada hari yang sama sekitar pukul 23:00 WIB, aparat keamanan telah menangkap sekitar 13 warga pelaku penyanderaan dan yang terlibat pemeriksaan KTP. Untuk mencari korban penyanderaan tersebut, dua Satuan Setingkat Kompi (SKK) pasukan tambahan dari Yonif Linud 100/Medan. Selain itu dua Peleton ABRI dan Polisi dari Aceh Timur ditambah tiga Peleton ABRI dari Lhoksumawe. Korban tewas dalam kejadian tersebut berjumlah tujuh orang yang ditemukan beberapa hari setelah kejadian.1 Kejadian itu menjadi alasan Pangdam I Bukit Barisan Mayjen Ismet Yuzairi untuk mengirim pasukan ke Aceh. Pasukan TNI tersebut sebanyak 4 SSK (Satuan Setingkat Kompi) sekitar 400 prajurit, dari Linud 100/Pematang Siantar, Binjai–Sumatera Utara. Jakarta juga mengirimkan tentara ke Aceh dengan nama Pasukan Penindak Rusuh Massa (PPRM) dengan jumlah berkisar 5.000 personil. Banyak tragedi terjadi saat pemberlakuan operasi ini, di antaranya; tragedi gedung KNPI, tragedi Idi Cut. (Baca: Kesaksian Korban Pelanggaran HAM)
1_Data dan Dokumentasi koalisi NGO HAM, 1999
|63|
FAKTA BICARA
Operasi Sadar Rencong I, II, dan III
t
Operasi Sadar Rencong I, II, III dimulai awal Mei 1999 hingga 18 Februari 2000. Menurut Kapolda Aceh pada waktu itu, Brigjen Polisi Bachrumsyah Kasman, operasi ini lebih mengedepankan pendekatan manusiawi, pendekatan budaya, dan pendekatan agama. Kenyataan yang terjadi sebaliknya, lagi-lagi masyarakat yang menjadi pihak paling menderita dan paling dirugikan. Setelah Menhankam Pangab TNI Jenderal Wiranto mengirimkan pasukan PPRM dari Jakarta ke Aceh dengan menggunakan alat tempur yang lengkap. Setiap perubahan nama sandi operasi pemegang komando operasi juga berubah, Komandan Satgas Penerangan Operasi Sadar Rencong II adalah Letkol Sayed Husaeny.2 Pada tanggal 2 Februari 2000 di Banda Aceh, Kapolda Aceh Bachrumsyah Kasman mengumumkan akan memberlakukan operasi dengan sandi Operasi Sadar Rencong III sebagai pemegang komando dalam Operasi Sadar Rencong III adalah Kolonel (Pol) Drs. Yusuf Muharram dan sebagai Kasubsatgas Penerangan OSR III, Kolonel (Pol) Drs. Syafri DM, SH. Operasi ini masih diwarnai berbagai bentuk kekerasan dan tidak ada perubahan sama sekali dari operasi sebelumnya. Ada sedikit perbedaan dalam hal kekerasan 2_Damai Aceh Dengan Keadilan?, Kontras Aceh, 2006, hlm 90
|64|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
yang target sasarannya adalah gedung-gedung sekolah yang dibakar, selain itu terdapat kasus pembunuhan massal serta munculnya Petrus (penembakan misterius) yang tidak pernah terungkap.3 Operasi ini juga diwarnai berbagai tragedi, di antaranya adalah; Tragedi Alue Nireh Tragedi ini terjadi di kawasan Peurelak, Aceh Timur pada 12 Juni 1999. Telah terjadi pemberondongan senjata ke arah masa tanpa alasan yang jelas oleh anggota TNI satuan PPRM yang menggunakan truk militer Unimag Yonif 111/ Karma Bakti, Tualang Cut. Kejadian berawal saat masyarakat sedang melakukan aktivitasnya dan berlalu-lalang di jalan Medan–Banda Aceh. Saat truk militer melintas di depan Keude Alue Nireh, tibatiba ban truk sebelah kanan meletus. Kemudian seorang anggota TNI yang ada dalam truk tersebut melepaskan tembakan yang diikuti tembakan secara membabi buta ke arah masyarakat dari anggota TNI lainnya yang telah turun ke badan jalan. Tembakan tersebut kembali disusul oleh tentara yang ada di Pos Alue Nireh Peureulak. Sebelum tembakan meletus, tidak terdengar tembakan dari pihak lain. Korban tewas satu orang perempuan dan dua laki-laki diangkut truk militer dibawa ke Makodim 0104 Aceh Timur di Langsa, dua korban yang masih anak-anak dibawa ke rumah sakit Peureulak. 4 Tragedi Kluet Utara Penembakan terhadap massa yang melakukan demonstrasi ke Mapolsek Aceh Selatan. Sabtu, 11 september 1999 massa yang sebagian besar berasal dari Kluet Utara tiba di Mapolres sekitar pukul 14.30 WIB dengan menumpang belasan truk. Warga mendatangi Mapolres Aceh Selatan di Tapak Tuan. 3_Ibid, 90 4_Data dan Dokumentasi Koalisi NGO HAM, 1999
|65|
FAKTA BICARA
Mereka menuntut agar Raja Faisal, warga Jambo Manyang Kecamatan Kluet Utara yang ditangkap jumat 10 Oktober 1999 dibebaskan. Menurut warga, korban ditangkap saat sedang tidur di meunasah setempat. Pada awalnya massa datang dengan damai, lautan massa yang berada di luar pagar Mapolres memenuhi badan jalan sehingga memacetkan arus lalu lintas. Situasi semakin tegang, tawaran dialog dari pihak kepolisian ditolak massa. Namun beberapa saat kemudian massa menerima tawaran dialog dengan mengirim enam orang utusan ke Mapolres. Utusan tersebut diterima oleh Wakapolres Mayor Pol Drs Edi Rianto, karena pada saat itu Kapolres Letkol Pol Drs. Gatot Subroto sedang melakukan kunjungan kerja ke jajaran Mapolsek di sejumlah kecamatan. Saat dialog berlangsung 15 menit, ada seorang yang memulai melakukan pelemparan batu berasal dari belakang kelompok pengunjuk rasa. Massa kembali berteriak agar jangan ada yang membuat rusuh dengan melempar batu. Akhirnya suasana menjadi gaduh hingga terjadi penyerangan. Untuk membubarkan massa, aparat melepaskan tembakan ke udara hingga massa terlihat kocar-kacir dan berusaha menyelamatkan diri dengan lari, tiarap ataupun masuk ke parit-parit. Saksi mata mengatakan, pada saat massa membubarkan diri, aparat keamanan yang terdiri dari Brimob, Polisi, Gegana dan pasukan BKO TNI dari Batalyon 131 itu masih tetap melepaskan tembakan, tidak hanya ke atas namun ke massa. Bahkan aparat terus melakukan pengejaran terhadap para pengunjuk rasa yang telah membubarkan diri tersebut. Aparat tampak beringas dalam menghadapi massa dan mengejar warga sipil tersebut sampai ke belakang rumah penduduk, baik ke arah gunung maupun ke arah laut bahkan sebagian di antara aparat melakukan pemeriksaan ke rumah-rumah penduduk. Dalam pengejaran tersebut, selain menembak aparat juga melakukan pemukulan terhadap |66|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
massa. Peristiwa itu juga merusak mobil pengangkut massa yang diparkir sepanjang jalan, aparat juga menembak dan memecahkan kaca mobil. Dalam peristiwa tersebut, korban tewas sebanyak tiga orang, luka parah akibat tertembus peluru sebanyak 13 orang dan korban yang menderita luka ringan sebanyak 229 orang.5 Tragedi Peudada Selasa 25 mei 1999 terjadi bentrokan antara aparat keamanan dengan kelompok sipil bersenjata, di kawasan Cot Trieng Kecamatan Peudada Kabupaten Aceh Utara. Kejadian berawal dari laporan Kepala Desa Alue Kuta ke Mapolsek dan Makoramil Peudada, ada dua orang korban penembakan misterius di desanya yang berjarak 2 kilometer dari Peudada. Kapolsek Peudada Pelda Naharuddin mengontak Komando Sektor PPRM yang ada di Bireuen, Lettu Pol Hendrik Budi P, meminta dukungan dan bantuan PPRM untuk pengamanan identifikasi mayat korban dan penelitian di TKP. Untuk melaksanakan tugas tersebut, Kapolres juga meminta bantuan tim medis dari Pusat kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Dr. Fauziah dan empat petugas medis lainnya turun lapangan melakukan visum. Tim medis akan berangkat menggunakan ambulan, namun pihak Polsek Peudada meminta tim medis berangkat dengan menggunakan truk PPRM. Pukul 09:30 WIB rombongan menuju lokasi kejadian, mereka terdiri dari personil PPRM, Polsek, Koramil serta tim medis total berjumlah 18 orang. Sampai di Cot Kruet, secara mendadak rombongan diberondong sekelompok orang bersenjata dari atas bukit. Dari keterangan lain, saat diserang truk sedang mogok setelah sempat tersendat-sendat karena tanjakan. Karena truk berhenti, beberapa penumpang turun saat itulah 5_Data dan Dokumentasi Koalisi NGO HAM, 1999 |67|
FAKTA BICARA
penyerangan dari arah semak belukar. Akibat serangat tersebut, empat orang tewas, 12 luka-luka dan dua lainnya berhasil selamat. Korban tewas termasuk Dokter Fauziah yang sedang hamil tiga bulan. 6 Salah satu tragedi yang paling besar dan terkenal Pada masa operasi ini adalah tragedi Tengku Bantaqiah di Beutong Ateuh, pada saat itu masih masuk dalam wilayah Aceh Barat sebelum pemekaran pada 2002 menjadi Kabupaten Nagan Raya. Sebanyak 215 orang pasukan TNI yang berasal dari beberapa kesatuan, seperti Kopassus, Yonif Linud 328/ Dirgahayu Kostrad, Linud 100/Prajurit Setra, Yonif 113/ Jaya Sakti, serta pasukan dari Korem 011/Lilawangsa pada tanggal 20 Juli 1999 sudah mulai bergerak menuju kawasan Beutong Ateuh Aceh Barat guna melaksanakan Surat Telegram Rahasia (STR) Danrem 012/Teuku Umar Kolonel Syafnil Armen, bernomor STR/232/VII/1999 tentang perintah penangkapan Tgk. Bantaqiah.7 Pada tanggal 23 Juli 1999, tepatnya pukul 11.30 WIB, pasukan tersebut sampai di tempat Tgk. Bantaqiah. Bantaqiah serta para santrinya yang laki–laki dikumpulkan di halaman pesantren tersebut, mulailah para tentara yang dipimpin oleh Letkol Sudjono menembak Tgk. Bantaqiah beserta para santrinya. Korban tewas termasuk Tgk. Bantaqiyah berjumlah 57 orang, sebagian meninggal di komplek pesantren, sebagian lagi ditemukan di Kilometer 7, serta tiga orang hilang ditambah tiga rumah warga yang dibakar TNI. 8 Tragedi Simpang KKA. Jumat malam sekitar pukul 20.30 Wib masyarakat Desa Cot Murong, Kecamatan Dewantara, mengadakan rapat akbar untuk memperingati 1Muharram yang bertepatan dengan 30 April 1999. Oleh pihak keamanan, peringatan 1 Muharram yang biasa diselenggarakan masyarakat Islam di manapun 6_Data dan Dokumentasi Koalisi NGO HAM, 1999 7_Matinya Bantaqiah,Menguak Tragedi Beutong Ateuh “Dyah Rahmany P,Cordova 8_Data dan Dokumentasi Koalisi NGO HAM, 1999 |68|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
di seluruh Propinsi Aceh, disebut sebagai ceramah Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Lalu muncul kabar bahwa seorang anggota TNI dari kesatuan Den Rudal 001/Pulo Rungkom berpangkat Sersan, bernama Adityawarman, hilang saat melakukan penyusupan di tengah kegiatan ceramah (Keterangan Kapuspen TNI, nama anggotanya yang hilang itu adalah Sersan Kepala Edi, dari Den Rudal 001/Pulo Rungkom, Aceh Utara). Tidak jelas apakah anggota TNI itu benar hilang atau terjadi berbagai kemungkinan lainnya, tetapi yang pasti tidak satupun dari penduduk yang mengetahui keberadaannya. Dan yang pasti lagi, malam itu tidak terjadi apa-apa yang berarti di Desa Cot Murong. Sabtu malam, 1 Mei 1999. Sebuah truk militer dari kesatuan Den Rudal 001/Pulo Rungkom berputar-putar dikawasan Desa Cot Murong dengan aktivitas yang tidak jelas, tetapi hari itu tidak terjadi apa-apa. Esok harinya, Minggu pagi, 2 Mei 1999, mulai pukul 05.00 WIB pasukan Den Rudal 001/Pulo Rungkom mulai melakukan operasi di kawasan Desa Cot Murong. Pada minggu pagi itu masyarakat sedang melakukan persiapan pelaksanaan kenduri untuk anak-anak yatim sehubungan dengan peringatan 1 Muharram yang dilaksanakan sejak Jumat malam sebelumnya. Masyarakat memotong empat ekor lembu di halaman Masjid Al-Abrar, Cot Murong. Pada saaat itulah, sekitar jam 11.00 WIB datang pasukan Den Rudal ke tempat kenduri dan dengan dalih menanyakan anggotanya yang hilang sehari sebelumnya mulai memuli warga setempat. Dilaporkan, waktu itu ada tidak kurang 20 orang yang dianiaya oleh anggota TNI tersebut. Praktek kekerasan dan penganiayaan dengan bertindak kasar, menampar dan memukuli hingga cedera, telah terjadi. Ketika sedang melancarkan aksinya, penduduk sempat mencatat kata-kata yang dikeluarkan para anggota TNI yaitu “akan kami tembak semua orang Aceh apabila seorang anggota kami tidak ditemukan”. |69|
FAKTA BICARA
Menyadari kondisi yang mulai mencemaskan tersebut kemudian para warga dari Desa Murong dan desa-desa tentangga seperti Desa Lancang Barat, Kecamatan Nisam dan Paloh Lada, yang terdiri dari pemuda, perempuan, orang tua serta anak-anak berkumpul untuk mencegah kemungkinan penganiayaan lebih lanjut, apalagi aparat militer telah mengeluarkan ancaman yang cukup menakutkan. Tiba-tiba, pada pukul 13.00 WIB datang lagi pasukan tambahan yang terdiri dari tujuh truk anggota TNI ke lokasi kenduri. Melihat itu, masyarakat yang telah berkumpul dari berbagai penjuru Kecamatan mencoba menghadang. Tepat pukul 14.00 WIB terjadi negosiasi (membuat perjanjian) antara masyarakat Kecamatan Dewantara dengan Danramil Kecamatan Dewantara yang diketahui pihak MUI kecamatan, yang isinya: “TNI tidak akan datang lagi ke Desa Cot Murong dengan alasan apapun”. Minggu malam, 2 Mei 1999. Masyarakat desa mengetahui adanya penyusupan anggota TNI antara jam 20:00 WIB sampai dinihari ke Desa Cot Murong dan Desa Lancang Barat. Bahkan penduduk pun mengetahui adanya sebuah boat yang diperkirakan milik militer berupaya untuk melakukan pendaratan di pantai Desa Cot Murong, namun batal karena terlanjur diketahui oleh warga setempat. Sampai waktu itu tidak terjadi apa-apa, namun kecemasan penduduk semakin memuncak, dan sejak saat itu mereka semua mulai berkumpul sampai Senin pagi. Senin pagi, 3 mei 1999. Tepat pukul 09:00 WIB, empat truk pasukan TNI datang lagi memasuki Desa Lancang Barat, Desa Tentangga Cot Murong. Massa rakyat yang berkumpul merasa cemas dan mulai mempersenjatai diri dengan kayu dan parang (tanpa senjata api). Lalu datang Camat Dewantara, Drs. Marzuki Amin ke Simpang KKA dan mulai melakukan negosiasi dengan aparat TNI. Aparat berkeras dan negosiasi mentok. Camat tetap berpegang kepada perjanjian terdahulu yang telah disepakati oleh masyarakat dengan Koramil Dewantara yang intinya pihak TNI tidak lagi |70|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
melakukan kegiatan operasi di daerah mereka. Negosiasi itu berlangsung cukup lama. Waktu sudah menunjukkan hampir jam 12.00 WIB. Untuk menunjukkan kesungguhan hati dan permohonan yang sangat besar agar pasukan segera ditarik dan pihak TNI menghormati perjanjian yang telah dibuat, Camat Marzuki Amin sempat mencopot tanda jabatan dari dadanya. Tetapi malah sang Camat kemudian dipukuli oleh tentara. Pada saat itu tiba-tiba satu truk milik TNI bergerak dan sambil berlalu, dari atas truk para tentara melempari batu ke arah masyarakat, dan masyarakat yang terpancing balas melempari batu ke atas truk. Pada saat yang hampir bersamaan juga seorang anggota tentara berlari kearah semak-semak dan masyarakat yang terpancing mengejarnya. Tiba-tiba dari arah semak itu terdengar satu letusan senjata. Letusan senjata itulah yang seperti sebuah “komando” disusul oleh rentetan serangan. Pembantaian segera dimulai. Tepat jam 12.30 WIB. Suara gemuruh dan teriakan manusia memenuhi Simpang KKA. Ribuan orang berlarian menghindari serangan dari TNI. Dua wartawan RCTI (Umar HN dan Ali Raban) yang kebetulan sudah berada di tempat itu sempat merekam moment-moment penting yang terjadi baik dengan foto atau video. Dapat dikatakan, hasil rekamannya itu menjadi salah-satu bukti yang paling akurat dan tidak mungkin dapat dipungkiri tentang bagaimana peristiwa yang sebenarnya. Selain melakukan tembakan kearah masa, TNI juga mengarahkan tembakan ke rumah-rumah penduduk, sehingga banyak warga yang sedang di dalam rumah juga menjadi korban. Bahkan mereka mengejar dan memasuki rumah-rumah penduduk dan melakukan pembantaian di sana. Korban tewas dalam tragedi simpang KKA berjumlah 46 orang, korban luka tembak 156 orang dan korban hilang berjumlah 10 orang. Pengungsian pun terjadi pada masa ini, kondisi |71|
FAKTA BICARA
keamanan semakin tidak stabil. Kontak senjata antara kedua kekuatan militer pihak yang bertikai (TNI/Polri dan GAM) sering terjadi, penembakan misterius dan orang hilang menjadi berita media massa. Akibatnya, banyak masyarakat yang keluar dari desanya mengungsi di mesjid-mesjid, sekolah-sekolah ataupun tempat umum lainnya. Jumlah pengungsi sepanjang pemberlakuan Operasi Sadar Rencong tahun 1999 mencapai 309.982 jiwa.9
9_Damai Aceh dalam Keadilan, Kontras Aceh |72|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Jeda Kemanusiaan (2000-2003)
t
Persoalan Aceh menjadi suatu prioritas tinggi Pemerintah Indonesia di bawah pemerintahan Megawati Soekarnoputri atau setelahnya. Eskalasi militer akan terjadi secara simultan melibatkan kepentingan politik nasional yang berdampak secara internasional. Apa yang diwariskan oleh Pemerintahan Abdurrahman Wahid terhadap “Peace Agreement” antara Aceh-Indonesia, merupakan langkah maju dan progressif. Hanya saja langkah-langkah Pemerintahan Wahid tidak didukung oleh kekuatan Tentara Indonesia yang berafiliasi dengan kelompok Nasionalis. Wahid hanya menghadirkan suatu ‘peta baru’ (New Map) tentang penyelesaian konflik yang berlarut dan mengakar dalam kehidupan politik antara pemerintah Indonesia dan ASNLF/ GAM.10 Ternyata Hasan Tiro dan pasukannya menjadi lawan tangguh bagi pemerintahan Soeharto (1968-1998), Habibie (1998), Wahid (1999-2001), dan Megawati (2001-2004). Ia terus memperkuat solidaritas international yang sekarang ini sangat dibutuhkan oleh orang-orang Aceh. Upaya dialog dimulai dengan kesepakatan untuk menerapkan Joint Understanding on Humanitarian Pause For Aceh (Jeda Kemanusiaan) antara Pemerintah RI dan 10_Ibid, hlm 229
|73|
FAKTA BICARA
GAM, yang ditandatangani pada 12 Mei 2000 dan berlaku pada 2 Juni 2000. Ini merupakan sebuah langkah maju bagi pemerintah dan harapan bagi penyelesaian Aceh secara damai dengan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi dan kemanusiaan. Jeda Kemanusiaan memiliki badan tertinggi, yaitu Forum Bersama yang berkedudukan di Swiss yang di dalamnya berisi perwakilan pemerintah RI dan GAM serta Henry Dunant Centre (HDC) sebagai fasilitator. Jeda Kemanusiaan ini memiliki tujuan untuk; 1) Mengirimkan bantuan kemanusiaan kepada masyarakat Aceh akibat konflik melalui Komite Bersama Kemanusiaan; 2) Menyediakan bantuan keamanan guna mendukung pengiriman bantuan kemanusiaan dan untuk mengurangi ketegangan serta kekerasan yang dapat menyebabkan penderitaan selanjutnya melalui Komite Bersama Bantuan Keamanan; dan 3) Meningkatkan langkah-langkah untuk membangun kepercayaan untuk mendapatkan solusi damai terhadap situasi konflik di Aceh (trust building). Sesuai kesepakatan, GAM dan RI tidak dibenarkan melakukan provokasi maupun aksi yang dapat menyebabkan terganggunya kegiatan bantuan kemanusiaan dan tidak diperbolehkan untuk melaksanakan operasi militer yang dapat mengakibatkan ketegangan dan keresahan dalam masyarakat. Kebijakan yang diterapkan belum memberikan jaminan atas perubahan yang signifikan terhadap situasi keamanan di Aceh. Ruang ekspresi kebebasan masyarakat sipil justru dibatasi. Baik TNI maupun GAM masih melakukan mobilitas pasukan, penyisiran dan kontak senjata sehingga mengakibatkan warga sipil harus mengungsi keluar dari wilayahnya. Sedangkan di bidang kemanusiaan, kerja-kerja komite tidak berjalan lancar akibat kelambanan dalam menyikapi kebutuhan masyarakat. Pengungsian masih terjadi akibat ketakutan dan intimidasi terhadap warga sipil. Bahkan tidak ada upaya
|74|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
kongkret terhadap rehabilitasi korban kekerasan serta sarana dan prasarana sosial. Pelaksanaan Jeda Kemanusiaan kemudian diperpanjang lagi selama empat bulan. Dalam pelaksanaan JOU yang diperpanjang ini justru terjadi sebuah peristiwa kekerasan terbesar selama disepakatinya JOU. Peristiwa ini terjadi seiring dengan diadakannya Sidang Rakyat Aceh untuk Kedamaian (SIRA-RAKAN) pada 10-11 November 2000 di Banda Aceh. Masa moratorium kekerasan merupakan hasil perundingan RI dan GAM di Swiss pada 6-10 Januari 2001. Masa ini merupakan kesepakatan para pihak untuk mentransformasi perjuangan GAM yang tadinya perjuangan bersenjata menjadi perjuangan politik dan GAM akan bekerja di bawah hukum humaniter yang berlaku. Sebuah intruksi presiden dikeluarkan, Inpres No. 4 tahun 2001 tentang langkah-langkah komprehensif dalam rangka penyelesaian Aceh pada 11 April 2001. Intruksi itu justru berdampak pada digelarnya kembali operasi militer di Aceh dengan nama operasi Rajawali yang melibatkan hampir seluruh satuan organik TNI/Polri. Kemudian meningkatnya berbagai aksi kekerasan dan perlawanan bersenjata yang dilakukan elemen-elemen bersenjata di Aceh, serta terpecahbelahnya masyarakat sipil Aceh dengan sentimen pro dan anti GAM. Selama diberlakukannya Inpres tersebut justru terjadi peningkatan intensitas peristiwa kekerasan, bila tiga bulan sebelum berlakunya inpres (Januari-Maret), terjadi 79 peristiwa kekerasan maka setelah dikeluarkannya Inpres (April – Agustus), terjadi 1.216 peristiwa kekerasan di Aceh. 11
Banyaknya kasus kekerasan di Bagian tengah Aceh justru terjadi setelah inpres tersebut. Di antaranya tragedi Kanis Gonggong, Pepedang dan Pondok Kresek. Sebagian besar korban dibunuh secara sadis, pembantaian menjadi kisah pilu yang tak kunjung usai saat itu (Baca: Kisah-Kisah 11_Ibid
|75|
FAKTA BICARA
Dari Tengah). Sejak awal Januari 2002 telah bergulir wacana tentang rencana dihidupkannya kembali Kodam di Aceh. Berdasarkan pernyataan Wakil Presiden, Menhan, Menkopolkam, maupun Gubernur NAD dan DPRD Aceh, rencana pembentukan Kodam tersebut merupakan bentuk keinginan rakyat Aceh serta mendekatkan dengan rentang kendali serta bagian dari solusi bagi rakyat Aceh. Pada 5 Februari 2002, pemerintah RI membentuk Kodam Iskandar Muda di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan Brigjen TNI Djali Yusuf sebagai panglimanya. Pembentukan ini merupakan keputusan politik yang diambil untuk merespon keputusan menyeluruh dari sebuah pertahanan dan semata untuk memelihara kedaulatan serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
|76|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Operasi Cinta Meunasah I dan II
t
Operasi ini efektif pada 18 Agustus 2000 sampai 18 September 2001. Sebagai Komandan Satgas Pemulihan Keamaman adalah AKBP Drs. D Achmad, Kepala Satuan Tugas Penerangan Operasi Cinta Meunasah (OCM) Polda Aceh dijabat oleh AKBP Sad Harun, sementara Kasub Satgaspen dijabat oleh Senior Superintendent Safri DM. Tragedi yang terjadi dalam masa tersebut adalah pembunuhan terhadap seorang intelektual Aceh, Prof H Syafwan Idris MA, Rektor IAIN Ar- Raniry, Banda Aceh. Ia meninggal ditembak di rumahnya oleh dua orang pengendara sepeda motor yang tak dikenal pada 16 September 2000. Peristiwa tersebut menyebabkan para pekerja HAM dan kemanusiaan merasa ketakutan. Ini mengakibatkan mereka tidak bisa melanjutkan pekerjaan mereka. Dalam keadaan seperti ini, organisasi HAM, pekerja kemanusiaan, dan ribuan pengungsi menghadapi banyak kesulitan untuk tidak terlibat dalam konflik itu sendiri. Jeda Kemanusiaan yang berakhir pada 2 September 2000 gagal meningkatkan keamanan untuk pekerja HAM dan kemanusiaan. Dua organisasi bantuan kemanusiaan internasional sudah menghentikan kegiatannya untuk sementara karena tidak ada jaminan keamanan untuk mereka dan staf mereka di Aceh. Tetapi bagaimanapun juga
|77|
FAKTA BICARA
harus dimengerti bahwa tidak ada alternatif lain selain Jeda Kemanusiaan.12 Tiadanya jaminan keamanan untuk para pekerja HAM dan kemanusiaan, mendorong delegasi NGO HAM Internasional, pada 28 September 2000 lalu menyerukan agar pemerintah memberikan jaminan keamanan dan perlindungan kepada pekerja kemanusiaan Aceh. Delegasi ini juga menyerukan agar organisasi HAM, pekerja kemanusiaan, dan pengungsi tidak dijadikan alat politik oleh kedua belah pihak. Delegasi Internasional NGO HAM terdiri dari perwakilan organisasi HAM di empat negara yang mengunjungi Aceh dari 19 hingga 26 September 2000. Delegasi ini juga memberi penilaian terhadap situasi sekarang dan meningkatnya pelanggaran HAM di Aceh dan terhadap orang Aceh. Misi kunjungan ini juga menarik perhatian internasional yang dibutuhkan untuk kelanjutan investigasi yang terbuka atas kematian Jafar Siddiq dan empat mayat yang ditemui bersama jenazahnya pada 3 September 2000 serta ratusan orang lainnya yang hilang dan dibunuh selama tahun terakhir ini di Aceh.13 Beberapa kejadian yang terjadi dalam kurun waktu tersebut adalah pembunuhan terhadap empat aktivis Rehabilitation Action Torture Victim in Aceh (RATA), pada 6 Desember 2000, saat penyisiran aparat di sekitar Markas Koramil Tanah Luas, Aceh Utara. Satu orang aktivis berhasil lolos dan membeberkan kasus itu kemudian.
12_Pekerja Kemanusiaan Aceh dan resiko Kematian, Asasi newsletter, Edisi MeiJuni 2001 13_Ibid
|78|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Operasi Keamanan dan Penegakan Hukum
t
Pada April 2001 Operasi Keamanan dan Penegakan Hukum ini dilancarkan. Perubahan operasi dan tekanan pada penegakan hukum tidak mengubah pola kekerasan dan tidak membuat jumlah korban menurun. Dalam operasi militer ini, peristiwa yang mendapat perhatian masyarakat dan pekerja HAM adalah terjadinya pembunuhan terhadap masyarakat Gayo di Pepedang desa Mangku Kecamatan Syiah Utama Kabupaten Aceh Tengah. Di Aceh Tengah juga sebanyak 2.179 jiwa warga ikut ke Aceh Utara dan Bireuen karena mendapat intimidasi dan sebagian rumah mereka telah di bakar, malah sekitar 462 orang penduduk (126 orang diantaranya adalah anak anak) yang berasal dari beberapa desa di Kecamatan Syiah Utama terpaksa menempuh perjalanan sekitar 250 kilometer melalui hutan Rimba Gayo selama lima hari guna menghindar dari ancaman kelompok milisi. Jumlah total pengungsi Aceh tahun 2001 yaitu 6. 250 KK / 27. 578 Jiwa.14
14_Report PCC Aceh, tentang kondisi IDPs akhir september 2001 |79|
FAKTA BICARA
COHA
t
Secara kuantitas, peristiwa kekerasan menurun drastis, walau masih terjadi konflik di berbagai wilayah Aceh. Terbentuknya Acehnesse Civil Society Task Force (ACSTF) yang merupakan sebuah organisasi yang diprakarsai oleh beberapa aktifis/tokoh masyarakat Aceh di Washington pada pertemuan Persaudaran Rakyat Aceh telah melahirkan semangat kebersamaan dari kelompok-kelompok sipil di Aceh dalam memperjuangkan penyelesaian masalah Aceh secara damai dan demokratis. Tentu saja dengan mengedepankan keterlibatan rakyat secara aktif. Salah satu yang dilakukan oleh ACSTF adalah memberikan masukan kepada pihak pemerintah RI dan GAM agar memasukan juga pandangan-pandangan masyarakat sipil dalam setiap proses perundingan yang sedang dilakukan. Seperti halnya jaminan akan partisipasi publik dalam implementasi kesepakatan dan juga adanya ruang demokrasi bagi rakyat dalam rangka ekspresi sikap politiknya. Selain itu, ACSTF juga ikut melakukan sosialisasisosialisasi hasil perundingan ke masyarakat di level akar rumput (grassroots).15 Dengan menguatnya organisasi masyarakat sipil, dukungan dan desakan agar pihak RI dan GAM melakukan gencatan senjata semakin kuat. Antara lain didengungkan oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil dalam aksi-aksi simbolik maupun demonstrasinya. Pencabutan status DOM, ternyata tidak mengurangi eskalasi kekerasan terhadap 15_Aceh Damai Dengan Keadilan?, Kontras Aceh, 2006 |80|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
warga sipil di Aceh. Dalam kurun waktu yang sama, jika dibandingkan dengan masa DOM, jumlah korban kekerasan yang terjadi lebih besar. Awal 2002, Jakarta bemaksud menumpas GAM, tapi kemudian menempuh strategi politik dan diplomasi. Bank Dunia, Amerika Serikat dan Jepang dilibatkan melalui persiapan konferensi donor Tokyo. Pertama kali tercapai suatu kesepakatan yang mantap dan rinci: Persetujuan Penghentian Permusuhan atau CoHA (Cessation of Hostility Agreement), yang ditandatangani RI dan GAM pada 9 Desember 2003 di Jenewa. Menurut rencana CoHA, dua bulan pertama merupakan sosialisasi CoHA yang kepercayaan, disusul demilitarisasi mulai Februari sampai Juli 2003, dan kemudian proses dialog menyeluruh tentang otonomi NAD, disusul dengan pemilu Aceh. Dua bulan pertama CoHA, yaitu Desember dan Januari merupakan masa-masa aman di Aceh, tapi hanya sesaat. Kedua pihak melakukan pelanggaran gencatan. TNI tidak merelokasi pasukan, Brimob tidak mengubah posisi, sedangkan GAM juga belum memulai peletakan senjata. Selain itu, GAM berkampanye “kemerdekaan tinggal sebatang rokok lagi” dan Jakarta gagal menghentikan sumber penghasilan “pajak” GAM. Sejak itu, proses damai CoHA merosot. Jakarta minta sidang 25 April 2003 di Jenewa, tapi GAM menolak tanggal tersebut. Sementara itu persiapan perang ditingkatkan dan pemerintah Jakarta datang ke pembicaraan final di Tokyo dengan ultimatum; GAM harus menerima NKRI, meletakkan senjata dan menerima otonomi khusus. GAM bersedia meletakkan senjata, tetapi tak mau secara ekplisit menerima otonomi dan NKRI. Eskalasi persiapan perang sudah amat meluas dan pembicaraan Tokyo akhirnya gagal. [ ]
|81|
FAKTA BICARA
Darurat Militer
t
Status DOM Aceh dicabut pada tahun 1998, sejenak masyarakat lega, berharap segala kekejian yang pernah dialami semasa DOM tak akan terulang kembali. Tapi fakta kemudian berkata lain. Berbagai macam pelanggaran HAM terus berulang, seiring semakin meningkatknya perlawanan yang dilakukan oleh GAM saat itu. Setahun DOM dicabut, Megawati Sukarnoputri, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesai Perjuangan (PDIP) saat itu, mengunjungi Aceh, 29 Juli 1999. Dalam pidato politiknya, dia berkata, “Bila kelak Cut Nya’ memimpin negeri ini, tak akan saya biarkan setetes pun darah rakyat menyentuh Tanah Rencong yang begitu besar jasanya dalam menjadikan Indonesia merdeka.” Pernyataan itu pula disampaikan langsung di hadapan para wartawan dalam dan luar negeri di Kantor DPP PDI Perjuangan, Jakarta. PDIP menang pemilu legislatif 1999 dan Megawati menjadi wakil presiden. Yang menjadi presiden saat itu adalah Abdurrahman Wahid. Waktu terus berjalan, sampai kemudian karena Abdurrahman Wahid dipaksa turun tahta karena dinilai tak mampu memimpin negeri. Tanggal 23 Juli 2001, Megawati dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia (RI). Sebagai orang yang pernah menumpahkan air matanya untuk Aceh, tentu saja masyarakat Serambi Mekkah menaruh harapan besar kepada putri Sukarno, presiden pertama RI yang juga pernah terisak menangis di hadapan Daud Beureueh ketika awal-awal |82|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
kemederkaan. Sepekan Megawati menjabat sebagai presiden, tumpahan darah terus berlanjut di Aceh. Sekurang-kurangnya 39 orang terbunuh--atau rata-rata lima hari dalam sepekan-. Korban terbanyak adalah penduduk sipil, yang mencapai 28 orang (sebagian di antaranya menurut aparat adalah anggota GAM), sembilan orang jelas GAM, dan dua anggota Polri.16 Hari-hari selanjutnya, berbagai macam pelanggaran terus berlanjut, di daerah yang katanya memiliki jasa besar dalam menjadikan Indonesia merdeka. Pelanggaran itu tidak hanya dilakukan oleh aparat TNI/Polri, tapi juga oleh GAM. (Baca: Kisah-kisah dari Tengah). Dua tahun setelah menjadi presiden kelima RI, Megawati lalu mengeluarkan sebuah kebijakan yang menetapkan Aceh resmi menjadi zona perang. Tanggal 19 Mei 2003, pemerintah menetapkan Aceh dengan status Darurat Militer (DM), melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2003, TentangPernyataan Keadaan Bahaya Dengan Tingkatan Keadaan Darurat Militer Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Status tersebut diterapkan setelah perundingan antara pihak Pemerintah Indonesia dan GAM berakhir pahit di Tokyo, pada 17–18 Mei 2003. Empat juru runding GAM langsung ditangkap di Banda Aceh. Pasal 1 Keppres tersebut dengan jelas mengatakan bahwa seluruh wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dinyatakan dalam keadaan bahaya dengan tingkatan Keadaan Darurat Militer. Selanjutnya pada pasal 2 dikatakan bahwa penguasaan tertinggi Keadaan Bahaya dengan tingkatan Keadaan Darurat Militer sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 dilakukan oleh Presiden selaku Penguasa Darurat Militer Pusat. Kemudian dalam Pasal 3 ayat (1) disebutkan juga Penguasaan Keadaan Darurat Militer di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilakukan oleh Panglima Daerah 16_Menunggu Tangisan Kedua Cut Nya’ Mega, KONTRAS Edisi 149, 1-6 Agustus 2001hamline.edu/apakabar/basisdata/2001/08/06/0069.html)
|83|
FAKTA BICARA
Militer Iskandar Muda selaku Penguasa Darurat Militer Daerah. Ayat (2) Dalam melakukan penguasaan Keadaan Darurat Militer di Daerah, Panglima Komando Daerah Militer Iskandar Muda dibantu oleh: Gubernur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam; Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Kepala Kejaksaan Tinggi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Keppres yang melegalkan perang di Aceh tersebut mulai berlaku sejak pukul 00:00 WIB tanggal 19 Mei 2003, untuk jangka waktu enam bulan, kecuali diperpanjang dengan Keputusan Presiden tersendiri, hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 6 Keppres tersebut. Setelah enam bulan, Darurat Militer kembali diperpanjang untuk enam bulan ke depan melalui Keputusan Presiden Nomor 97 Tahun 2003, pada 19 November 2003. Perpanjangan status keadaan bahaya tersebut, karena selama operasi sebelumnya dianggap belum berhasil. Menumpas kelompok pemberontak yang saat itu jumlahnya bertambah banyak dibanding saat DOM, pemerintah menerjunkan puluhan ribu pasukan. Jumlah resmi yang disebutkan beberapa sumber mencapai angka 50.000 sampai 60.000 pasukan. Yang terdiri atas Angkatan Darat, Brimob, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.17 Sedangkan target jumlah musuh yang telah ditetapkan saat itu adalah 5. 325 orang anggota GAM dengan 2.000 pucuk senjata. Dibandingkan dengan jumlah tentara yang dikirim, ini artinya pemerintah telah menyiapkan 10 orang pasukan untuk menghadapi satu orang anggota GAM yang tidak semua bersenjata. Dilihat dari tujuan penetapan DM tersebut, terlihat bahwa dalam menghadapi persoalan Aceh pemerintah pusat hanya menempatkan GAM sebagai faktor tunggal, dan bukannya melihat kembali pada kesalahan-kesalahan kebijakan yang selama ini diambil dan dijalankan. Penyerdehanaan masalah oleh Pemerintah RI hanya dengan menempatkan GAM 17_Aceh Damai Dengan Keadilan? Kontras 2006, hal. 122 |84|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
sebagai faktor tunggal bisa disimpulkan bahwa Pemerintah RI berusaha melepaskan tanggung jawabnya atas kesalahankesalahan politik dalam menghadapi persoalan Aceh selama ini. Untuk menutupi semua aib berupa ketidakbecusan kebijakan yang tidak pada tempatnya, kebobrokoan pemerintah daerah Aceh, pengabaian atas kejahatan HAM yang dilakukan aparat negara, ketidakadilan distribusi ekonomi, kegagalan pemenuhan rasa keadilan hukum masyarakat maka pemerintah mengambil jalan pintas: darurat militer.18 Sebenarnya, sebelum status DM Aceh ditetapkan oleh Megawati, sejumlah pasukan sudah bersiap siaga. Pada tanggal 17 April 2003, pasukan TNI di Aceh sudah siap siaga berkumpul dalam jumlah 26.000 pasukan. Dan pada tanggal 24 April 2003 Pangdam Iskandar Muda Mayjend TNI Djali Yusuf sudah mengumumkan Aceh dalam kondisi Siaga I. Dua minggu sebelum Darurat Militer, sudah terjadi kontak senjata di mana-mana.19 Lazimnya sebuah perang pasti akan memakan korban, termasuk korban warga sipil yang tak bersalah. Pada Desember 2003, Human Rights Watch menurunkan laporan tentang kondisi Aceh di bawah status darurat militer. Laporan tersebut memberikan beberapa kenyataan yang terjadi di lapangan: antara lain eksekusi di luar hukum (extrajudicial execution), penghilangan secara terpaksa (forced dissapearence), pemukulan (beating), penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang (arbitrarily arrest and detention), serta pembatasan atas kebebasan bergerak. Dalam laporan itu juga disebutkan bahwa, di dalam banyak peristiwa yang dideskripsikan kepada Human Right Watch, pasukan keamanan Indonesia–militer dan polisi– secara rutin terutama mengambil jalan kekerasan terhadap laki-laki muda Aceh yang diberhentikan untuk ditanyai. Para 18_Daniel Hutagalung,Problem Aceh : Menutup Aib Dengan Darurat Militer, seperti yang dipublikasikan Aceh-eye.org, hal. 5 19_Aceh Damai Dengan Keadilan? Kontras 2006, hal. 121 |85|
FAKTA BICARA
saksi mengatakan kepada Human Right Watch mengenai pembunuhan para penduduk sipil saat terjadi “sweepings” di desa-desa, sebagian ditanyai atau ditahan, beberapa lainnya melarikan diri karena takut dianiaya.20 Kehadiran 50.000 sampai 60.000 pasukan dan 5000 anggota GAM otomatis telah membuat Aceh bertabur perang. Dari kota hingga ke pelosok desa. Pos-pos keamanan baru tentara dibuat oleh TNI dan Brimob. Operasi pengejaran GAM tidak hanya di kawasan pegunungan dan hutan, tapi terjadi di perkampungan penduduk. Kontak tembak antara GAM dan militer Indonesia saat itu adalah hal yang terjadi saban hari. Pelanggaran hak asasi manusia yang meningkat tajam sejak Darurat Militer dimulai bisa jadi sebagian disumbangkan dari meningkatnya kontak sehari-hari antara tentara dan penduduk desa. Meningkatnya kehadiran di desa-desa nampaknya bertujuan untuk membatasi dukungan materi dan moral dari penduduk lokal untuk GAM dan kemampuan GAM untuk mengambil pengungsi di desa-desa dan mengikutsertakan mereka dalam pengerahan.21
20_Aceh dibawah Darurat Militer:Di dalam perang rahasia, Human Rights Watch Desember 2003, Vol. 15, No. 10 (C), hal. 3 21_Aceh dibawah Darurat Militer:Di dalam perang rahasia, Human Rights Watch Desember 2003, Vol. 15, No. 10 (C), hal. 17 |86|
|87|
6
Penghilangan Paksa
Pemerkosaan
Pelecehan seksual.
Penyiksaan
Pembakaran Rumah
Penggeledahan
Pemboman
Intimidasi
TOTAL
3
4
4
5
6
7
8
9
1_Data Kontras Aceh
0
Penangkapan
2
0
0
0
3
1
0
1
0
1
Pembunuhan
1
107
0
0
0
2
52
1
3
24
3
22
75
1
1
6
0
1
0
0
11
53
3
89
1
1
35
0
29
0
2
2
9
8
80
0
0
13
1
24
5
4
16
8
9
104
0
0
4
0
59
0
9
4
5
20
9
1
1
0
0
0
0
0
4
3
1
4
0
0
0
0
0
0
0
1
0
3
474
3
6
58
3
168
7
18
63
81
67
Nagan Aceh Aceh Pidie Bireuen Aceh Aceh Aceh Jumlah Raya Selatan Besar Utara Timur Temiang
Bentuk kekerasan
No
Tabel Data Kekerasan Enam Bulan DM Tahap I Periode 19 Mei -19 November 20031
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
FAKTA BICARA
T able Data Kekerasan Enam Bulan DM tahap II Periode 19 November 2003-19 April 200422 No
Jenis Kejadian
Event
Korban
1
Pembunuhan
210
316
2
Penculikan
25
63
3
Penyiksaan
51
89
4
Penangkapan
80
166
5
Perkosaan
1
1
6
Pelecehan seks
1
1
7
Pembakaran
8
91
8
Intimidasi
2
2
9
Peledakan BOM
2
13
380
742
Total
Berdasarkan telaah yang dilakuan terhadap datadata pelanggaran HAM, 80 persen kasus pelanggaran HAM yang dilakukan militer terhadap pihak-pihak yang dicurigai berhubungan dengan GAM. Hubungan itu antara lain dalam bentuk; dituduh terlibat, membantu, mengenal, atau nama yang mirip dengan GAM yang dicari. Ada juga yang diminta menunjukkan GAM, atau berada di lokasi saat terjadi kontak tembak antara GAM dengan militer Indonesia. Selama penerapan DM, pelanggaran HAM dalam berbagai bentuk terus terjadi. Yang didapat selama masa tersebut hanya kemunduran-kemunduran derajat penghormatan atas manusia dan kemanusiaan. Bentuknya antara lain, pertama, terjadinya pelanggaran hak-hak dan kebebasan dasar warga sipil Aceh. Berdasarkan data-data yang ada, operasi militer tidak mampu membedakan anggota kelompok bersenjata GAM dengan aktivis politik, pembela hak asasi manusia termasuk para pekerja kemanusiaan, dan 22_Ibid |88|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
para jurnalis yang bekerja untuk memperoleh informasi. Dalam beberapa kasus, aparat keamanan sengaja menyempitkan ruang publik (ruang demokrasi) di Aceh. Hal ini terlihat dalam berbagai bentuk peristiwa seperti pelarangan dan pembubaran aksi-aksi kelompok masyarakat sipil hingga pembubaran sebuah kegiatan pelatihan yang diadakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).23 Kondisi itu diperparah lagi dengan tertutup akses terhadap Aceh. Sejumlah kasus-kasus yang terjadi hanya terpendam di bumi rencoeng, yang kemudian semakin menambah daftar panjang pelanggaran HAM yang terjadi sejak masa DOM. Padahal, ketika itu, suasana politik Indonesia baru saja menemui kebebasannya setelah Suharto lengser, namun hal itu terkecuali untuk Aceh. Pintu menuju ke Aceh dikunci rapat. Pemerintah melarang diplomat, pengamat internasional yang independen, dan LSM internasional di bidang hak asasi manusia untuk memasuki Aceh. Selain itu juga, pemerintah menganjurkan badan kemanusiaan PBB dan LSM kemanusiaan luar negeri untuk pergi dari Aceh. Pemerintah Indonesia telah sangat sukses membatasi arus informasi dari propinsi tersebut.24 Laporan perkembangan Aceh pasca-MoU oleh Imparsial 2006 lalu menyebutkan telah terjadi pembongkaran kuburan warga sipil. Kebanyakan kuburan itu berada di dekat Pos-pos keamanan TNI non-organik yang didirikan pada era Darurat Militer hingga Darurat Sipil. Awalnya, pembongkaran itu dilakukan karena kecurigaan penduduk sekitar dan juga kecurigaan masyarakat yang kehilangan anggota keluarga pada periode tersebut. Dari beberapa pembongkaran yang dilakukan, kerangka yang ditemukan dapat diidentifikasi oleh warga atapun keluarganya namun tidak diketahui penyebab kematiannya. Hingga 30 Januari 2006 tercatat sebanyak 23 peristiwa 23_Aceh Damai Dengan Keadilan? Kontras 2006, hal. 123 24_Aceh dibawah Darurat Militer:Di dalam perang rahasia, Human Rights Watch Desember 2003, Vol. 15, No. 10 (C), hal. 3 dan 4. |89|
FAKTA BICARA
penggalian. Dari tempat itu ditemukan sebanyak 38 kerangka korban yang diindikasikan hilang pada masa Darurat Militer berlangsung di Aceh. 34 diantaranya laki-laki, satu perempuan dan tiga kerangka anak-anak. Beberapa kerangka juga ditemukan dalam keadaan tangan terikat, kepala hilang dan terbungkus dalam karung. Penggalian terhadap kuburan tersebut seharusnya melibatkan pihak yang berwenang dan kelompok ahli forensik. Hal ini dimaksud agar dapat terungkap persitiwa yang terjadi. Namun, pihak yang berwenang tidak melakukan perlindungan terhadap temuan kerangka tersebut dan berbagai lokasi yang diindikasikan menjadi lokasi kuburan korban pelanggaran HAM. Pembongkaran kuburan tersebut menghancurkan, bahkan menghilangkan barang bukti pelanggaran HAM, sehingga dapat menghambat penyelidikan. Sesuai dengan mandat MoU perdamaian antara Pemerintah RI dan GAM untuk penyelesaian masalah pelanggaran HAM di Aceh, maka aparat penegak hukum diwajibkan untuk menjaga dan tidak membiarkan terjadinya penghancuran barang bukti.25
25_Laporan MonitoringPerkembangan Aceh Pasca Mou1 Januari–28Februari 2006, ImparsialFebruari 2006 |90|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Darurat Sipil
t
Status Darurat Militer di Aceh dicabut pada 19 Mei 2004, dan berganti menjadi Darurat Sipil (DS). Status tersebut ditetapkan melalui Keputusan Presiden nomor 43 tahun 2004, tentang Pernyataan Perubahan Status Keadaan Bahaya dengan Tingkatan Keadaan Darurat Militer menjadi Keadaan Bahaya dengan Tingkatan Keadaan Darurat Sipil di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, tertanggal 19 Mei 2004. Status tersebut diterapkan selama satu tahun, dengan satu kali perpanjangan. Status tersebut tetap merampas ruang gerak masyarakat. Misalnya penambahan pasukan ke Aceh terus berlangsung, seperti pengiriman 900 personil TNI Batalion 512 asal Malang Jawa Timur, pada awal DS diberlakukan. Masa DS Aceh tetap mencekam. Korban mencapai 535 jiwa dari periode pemberlakuan DS tahap pertama (19 Maret 2004-18 November 2004). Sementara DS tahap kedua pada (19 November 2004-18 Mei 2005), korban sekitar 248 jiwa. Dalam pemberlakuan status darurat sipil di Aceh, tercatat ada 140 anggota GAM meninggal. Anggota GAM yang ditangkap ada sekitar 67 jiwa, sedangkan yang mengalami penganiayaan (delapan jiwa) dan penculikan (enam jiwa). Di pihakTNl/Polri, korban meninggal akibat pembunuhan adalah 12 jiwa, dan korban penganiayaan (21 jiwa).26 Tsunami pada 26 Desember 2004 yang terjadi masa darurat sipil tahap kedua, membuat kedua belah pihak yang 26_Aceh kita.com, 17 Mei 2005 |91|
FAKTA BICARA
berseteru berpikir lebih lunak. Meja perundingan menjadi pilihan. Karena proses Rekonstruksi dan Rehabilitasi di Aceh pasca bencana bisa berjalan maksimal apabila konflik sudah reda, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Republik Indonesia (RI), akhirnya memberi respon yang postif yaitu dengan bersepakat untuk duduk satu meja di Helsinki membahas agenda perdamaian dalam rangka rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh yang disapu bencana dahsyat tsunami. Tidak heran jika banyak orang menafsirkan damai Aceh karena tsunami. Jika tidak ada bencana tersebut, saat ini Aceh dapat diprediksi masih berkubang darah dan hidup dalam ketakutan. Perundingan Pertama dilaksanakan pada tanggal 27-29 Januari 2005, Kedua tanggal 21-23 Februari 2005, Ketiga tanggal 12-17 April 2005, keempat tanggal 2631 Mei 2005 dan selanjutnya12 – 17 Juli 2005. Perundingan tersebut difasilitasi Crisis Management Iniciative (CMI). Pada 15 Agustus 2005, perundingan mencapai sepakat menghentikan perang dan menghasilkan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki. Masyarakat Aceh saat itu berduyun-duyun datang ke Mesjid Raya Baiturahman, yang terletak di pusat kota. Semuanya memanjatkan doa untuk keputusan terbaik demi demi masa depan Aceh yang telah lelah berperang, hidup dalam konflik selama puluhan tahun dan kebaikan untuk Aceh yang waktu itu baru saja dihantam musibah tsunami. Hasil dari perjanjian damai antara Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, telah membuka ruang terhadap pengungkapan kejahatan kemanusiaan (Pelanggaran HAM). Poin2, butir 2.2. menorehkan sebuah pengadilan HAM akan dibentuk untuk Aceh, dan butir 2.3. KKR akan dibentuk di Aceh dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi.27 Bagi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Poin 2. butir 2.2. meminta bahwa pengadilan HAM di Aceh untuk mengadili berbagai pelanggaran dengan asas retroaktif atau berlaku surut. Standar yang menjadi pegangan GAM adalah perjanjian 27_ Draf Nota Kesepahaman antara Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka |92|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Nuremberg bahwa persoalan pelanggaran hak asasi manusia tidak bisa dihilangkan oleh perjanjian damai atau perjanjian lainnya. Berbeda lagi dengan pihak Indonesia, pemerintah Indonesia mengklaim pengadilan HAM hanya berlaku untuk mengadili pelanggaran HAM pasca-MoU.28 Pemerintah Indonesia dan GAM masih berbeda pendapat soal pengadilan HAM. Salah satu juru runding pihak GAM, M Nur Djuli menegaskan asas retroaktif, sebaliknya anggota juru runding pemerintah Indonesia, Sofyan Djalil mengatakan pengadilan HAM di Aceh hanya mengadili pelanggaran pasca kesepakatan damai, bukan pelanggaran yang terjadi pada masa lalu.29 Semangat kesepahaman adalah memaafkan, ungkap Sofyan Djalil. Pemerintah Indonesia berpendirian bahwa pelanggaran HAM masa lalu tidak akan diinvestigasi, yang diinvestigasi hanya pelanggaran HAM yang terjadi setelah 15 Agustus 2005.30 Bahasa yang digunakan dalam MoU Helsinki tidak dijelaskan secara eksplisit apakah berlaku surut atau berlaku ke depan, hanya disebut pengadilan HAM. Tidak disebut berlaku surut atau berlaku ke depan. Hal inilah yang kemudian mengakibatkan terjadinya perbedaan penafsiran. Pada dasarnya untuk kasus dugaan pelanggaran HAM, berlaku asas retroaktif (berlaku surut) dan tidak mengenal batasan waktu (kadaluarsa), karena itu pengadilan HAM untuk Aceh bisa digetar secara retroaktif, tidak dikenalnya kadaluarsa telah diatur pada Pasal 46 Undang-Undang Nomor 26/2000 tentang pengadilan HAM, pemberlakuan retroaktif diatur pada pasal 43 UU Nomor 26/2000. Hal seperti itu juga diungkapkan oleh Usman Hamid, Koordinator Kontras Jakarta.31 KKR di Aceh sama rumitnya (baca: Menunggu Pengadilan HAM dan KKR). Sampai awal 2011, KKR maupun pengadilan HAM di Aceh masih menjadi mimpi dan angan28_ Harian Kompas 20 Agustus 2005 29_ Harian Kompas 12 Agustus 2005 30_ Harian Serambi Indonesia, 25 Agustus 2005 31Koran Tempo 20 Agustus 2005 |93|
FAKTA BICARA
angan masyarakat. Mereka belum merasakan damai yang sesungguhnya jika pengungkapan kebenaran belum dilakukan, jika perlindungan jaminan hidup terhadap janda, yatim korban konflik belum dipenuhi. Masyarakat Aceh, terutama mereka yang hidup di pedalaman sangat kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah. Mereka lebih banyak bangun dan bangkit dari keterpurukan dengan sendirinya. Berusaha melupakan kejadian pahit yang mereka alami. Jenis pelanggaran HAM Priode 2004 s/d Maret 2005 No
Jenis-jenis kasus
Peristiwa
Jumlah korban
1
Pembunuhan
15
23
2
Penghilangan paksa
13
3
3
Pembakaran rumah
1
1
4
Penangkapan
19
20
5
Penyiksaan
24
62
6
Intimidasi/teror
3
3
65
113
Jumlah
Tipologi kekerasan dan pelaku Priode 2004 s/d Maret 20045 No
Jenis-jenis kasus
TNI
POLRI
GAM
OTK
1
Pembunuhan
6
1
4
4
2
Penghilangan paksa
2
0
0
1
3
Pembakaran rumah
1
0
0
0
4
Penangkapan
17
2
2
0
5
penyiksaan
23
1
1
0
6
Intimidasi/teror
3
0
0
0
jumlah 52 4 4 Sumber: laporan Ham 2005 Kontras |94|
5
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
KESAKSIAN KORBAN PELANGGARAN HAM
|95|
FAKTA BICARA
|96|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Lautan Darah di Arakundo
t
ZY bersama adiknya US, saat itu masih duduk di kelas dua dan tiga Sekolah Menengah Pertama (SMP). Malam itu mereka pulang dari lokasi ceramah dengan menggunakan sepeda. Ia juga melihat masyarakat yang rumahnya jauh dari lokasi ceramah sedang menunggu kendaraan. Di Simpang Kuala, tiba-tiba masyarakat diserang dari arah Komando Rayon Militer (Koramil) Idi Rayeuk. Mendengar suara tembakan, ZY panik, masuk ke parit menyelamatkan diri. Tapi aparat yang melakukan penembakan menarik paksa beberapa masyarakat yang bersembunyi di parit, termasuk ZY. Setelah keluar dari parit, kepalanya ditendang. Tentara melemparnya ke jalan. Tentara juga menembak kendaraan di jalan. Serpihan peluru yang ditembakkan mengenai ZY. “Keunong serpihan jih bak punggong lon. Nyankeuh nyan gadoh asoe punggong lon (Kena serpihannya di pantat saya, itu sebabnya luka di pantat saya).” Kemudian ia dipukuli, ditampar dan diinjak-injak. Tulang rusuknya patah. Setelah dianiaya, tentara melemparnya ke dalam truk. ZY sempat melihat warga lain yang masih bersembunyi di dalam parit dipaksa keluar dan dilempar ke dalam truk. Di dalam truk, mereka masih mendapat pukulan dengan tali pinggang dan popor senjata. Sedangkan US tidak sempat dimasukkan ke truk. Setelah dipukul dan diijak-injak, US dilempar ke sebelah parit. Sebelumnya US sempat berteriak memanggil ZY karena |97|
FAKTA BICARA
ia melihat abangnya diangkut tentara. ZY yang kondisinya sudah sangat lemah hanya dapat memandang US dari balik truk. Melihat abangnya dibawa, US tidak dapat berbuat apa-apa. Ia kemudian lari ke dalam hutan. Keesokan harinya US baru berani pulang ke rumah. Di rumah, ia menceritakan semua yang mereka alami dan mengatakan abangnya dibawa tentara. “Abang ka hana le (abang sudah tidak ada),” ujar US waktu itu kepada orang tuanya. Malam itu ZY dibawa ke kantor Komando Rayon Militer (Koramil). Keesokan harinya ia baru dibawa ke kantor Polisi Resort (Polres) Langsa. ZY dimintai keterangan mengenai keikutsertaannya mendengar ceramah. Kemudian ia dibebaskan dan pulang sendiri ke rumahnya. Saat ini ia merantau ke Aceh Besar bersama sang adik. Dia pernah mengikuti beberapa pertemuan terkait korban yang diadakan Koalisi NGO-HAM. DH alias AP, yang pada malam itu mengisi ceramah, mengatakan bahwa dakwah yang mereka lakukan waktu itu memang untuk perjuangan Aceh Merdeka. Kegiatan tersebut untuk memberitahu masyarakat tentang perjuangan tersebut. “Dasar kegiatannya, meupeuget dakwah nyan kareuna na saboh reuncana untuk meuprang (dasar kegiatan tersebut, membuat dakwah karena ada rencana berperang).” Kegiatan tersebut yang keempat kalinya dilakukan di desa berbeda. Pertama di Desa Kaseh Sayang, Desa Pulo, Alue Meurebo, Kemuneng dan tragedi tersebut terjadi ketika ceramah di Desa Matang Ulim, Meunasah Blang. “Isi ceramahnya ingin bebas, ingin pisah dari Indonesia. Apalagi kita tahu sejarah, bahwa Aceh memang negara merdeka. Otomatis kami masuk dalam struktur GAM, itu kami lakukan tanpa paksaan, atas inisiatif sendiri,” ujar SB, salah seorang panitia acara kala itu. Menurutnya, semua masyarakat yang malam hari dibawa ke Langsa oleh aparat berjumlah 59 orang. Keesokan |98|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
harinya tentara kembali membawa 12 orang masyarakat ke Polres Langsa. Mereka semua ditanyai keikutsertaan dalam ceramah tersebut. Setelah semua dibebaskan, hanya tinggal tiga orang yang memang terlibat dalam penyelenggaraan acara, yaitu RN, AP dan SB. Mereka kemudian diproses dan diajukan ke pengadilan. Namun proses tersebut terhalang karena konflik yang terus memanas. Selanjutnya oleh Presiden BJ Habibie mengeluarkan kebijakan pembebasan tahanan politik. Mereka bebas. *** Tragedi itu terjadi di Simpang Kuala, Kecamatan Idi Cut, kaupaten Aceh Timur, Rabu dinihari, 3 Februari 1999, persis di depan Markas Komandan Rayon Militer (Koramil) dan Kantor Polisi Sektor (Polsek) setempat. Selasa, 2 Pebuari 1999, warga Desa Matang Ulim, Idi Cut, Kecamatan Darul Aman, Aceh Timur bergotong royong untuk menyiapkan pentas kegiatan. Sekitar pukul 16.00 WIB datang beberapa tentara dengan membawa senjata laras panjang yang diperkirakan oleh para penduduk sebagai anggota Koramil setempat. Aparat militer tersebut langsung mengobrak-abrik pentas yang sedang dikerjakan serta menganiaya beberapa orang yang pada saat itu berdiri di sekitar tempat pembuatan pentas.Nama-nama korban pemukulan adalah; Ri, Za, Bm, MB, Jn, Ms, Si, US, Su, Ml dan MN. Mereka semuanya berumur antara 16 sampai 27 tahun. Tetapi tidak lama setelah itu masyarakat kembali bergotong royong melanjutkan pekerjaan mereka yang tertunda. Sebelum acara dimulai pada pukul 20.30. WIB, massa sudah berkumpul sejak sore harinya serta membanjiri lapangan Simpang Kuala, Idi Cut, sampai ke sisi jalan MedanBanda Aceh. Massa yang hadir pada saat dakwah tersebut diperkirakan sekitar 10.000 pengunjung dan berbagai daerah. |99|
FAKTA BICARA
Setelah acara selesai pukul 00.30 WIB dinihari, massa kemudian bubar dan sempat tertahan lama di simpang jalan Kuala Idi Cut karena banyaknya kendaraan yang akan keluar dan jalan tersebut. Sekitar pukul 00:45 WIB, masyarakat yang mendengar ceramah pulang ke rumah masing-masing, sebagian berjalan kaki, menggunakan sepeda motor dan sebagian lagi menggunakan mobil bak terbuka. Mereka melewati kantor Koramil Idi Cut. Suasana gelap, tidak ada satu lampu pun yang menyala. Pada saat itu massa menjadi kacau karena banyak kendaraan yang diberhentikan oleh anggota Koramil. Pukul 01:00 WIB dini hari, terdengar suara tembakan dari arah Barat kantor Koramil, sudah ada beberapa truk aparat di sana. Menurut korban, ada tiga atau empat truk. Setelah suara letusan pertama, dilanjutkan dengan penembakan ke arah massa yang ramai. Menurut saksi mata yang kebetulan pada saat penembakan brutal itu terjadi baru kembali dan Kota Langsa Aceh Timur, sedan merah miliknya, dihentikan beberapa meter setelah lewat di depan kantor Koramil. Hi, 59 tahun, penduduk Desa Blang Pauh Sa, Kuta Binjei, Aceh Timur. Malam itu Hi pulang bersama istrinya Cn. Tiba di Simpang Kuala Idi Cut ia terjebak dalam insiden berdarah itu. Mobilnya terpaksa berhenti karena dihadang oleh truk dari arah berlawanan. Belakangan ia tahu itu truk militer. Ada tiga truk militer menghadang dari arah berlawanan. Di depan mobilnya juga ada truk umum bermuatan tong-tong fiber glass, biasa digunakan untuk mengangkut ikan atau udang. Ban mobil tersebut kempes, karena ditembaki para penghadang. Di depan truk satu mobil pick-up Chevrolet Luv dipenuhi warga yang baru pulang dari ceramah. Menurut Hi, pick-up itulah mobil yang pertama sekali dihadang. Karena ia tidak melihat ada mobil lain di depan Chevrolet tersebut. Dari mobil Chevrolet itulah, ia melihat orang-orang berhamburan meloncat ke jalan. Keadaan cukup panik saat itu. Husaini mendengar suara tembakan kemudian jelas ia |100|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
mendengar suara- suara teriakan kesakitan. Kemudian ia dan istrinya keluar dari mobil dan tiarap. Karena panik, ia tidak sempat menutup pintu dan lampu mobilnya masih menyala. Tentara marah karena adanya penerangan dari mobil Hi. Tentara hendak menghancurkan kaca mobilnya. Tiba-tiba Hi berdiri dan mengatakan pada tentara itu bahwa ia keluarga tentara dan hidup di asrama tentara. Anaknya juga seorang tentara. “Enak saja kamu. Anak saya saja yang melatih kamu tidak sekejam itu,” bentak Hi. Mendengar suaranya yang membentak keras, tentara lain menghampiri dan bertanya siapa Hi dan anaknya. Kemudian Hi mengatakan nama anaknya, pangkat dan tempat tugasnya. Mendengar itu, mereka menjadi lunak dan menyuruh Hi dan istri untuk tiarap. Ia juga sempat menanyakan mereka berasal dari kesatuan mana. Tentara tersebut menjawab “cepek”. Karena itu Hi tahu mereka berasal dari Linud 100. Pada saat itu orang-orang ditembaki. Setelah rubuh, dicampakkan ke dalam truk tentara. Hi juga mendengar perkataan dan aparat yang melakukan penembakan. “Kamu yang membunuh tentara, habis semua. Kamu potong leher. Kamu campak ke sungai.” Sebanyak 58 korban yang telah ditembak dinaikkan ke dalam truk aparat. Baik yang sudah tewas maupun yang lukaluka. Tapi ada beberapa korban yang terluka tidak terangkut, karena bersembunyi di selokan-selokan samping jalan. Pukul 03:00 WIB truk aparat yang di dalamnya terdapat korban-korban penembakan tampak bergerak menuju jembatan Arakundo. Di markas Koramil tampak truk lain yang masih kosong. Sebelum dicampak ke dalam truk dan kemudian diangkut untuk dibuang ke sungai, para korban diikat telebih dahulu dengan kawat di seluruh tubuhnya. Dimasukkan ke dalam goni milik masing-masing tentara yang masih bertuliskan nama pelakunya, seperti nama Sertu lskandar. |101|
FAKTA BICARA
Goni-goni yang telah berisi manusia itu kemudian diberi batu pemberat dan terakhir dilemparkan dalam sungai Arakundo. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan temuan mayat-mayat korban pada 4 dan 5 Februari 1999. Seorang saksi bernama Bar, warga desa Tanjong Lhok Blang kecamatan Julok, yang ketika kejadian tinggal sekitar 300 meter dari jembtan Arakundo. Saat itu Bar yang sedang berada di dalam rumahnya mendengar tentara mengatakan “lanjut-lanjut” dan kemudian terdengar suara gesekan batu. Bar penasaran, kemudian mengintip dari balik gorden rumahnya. Saat itu listrik padam. Di depan rumahnya terparkir tiga truk. Dua truk dipenuhi tentara sedangkan satu truk lagi terlihat kosong. Saat itu sekitar pukul 03:00 Wib. Kemudian salah satu truk menuju jembatan Arakundo, sedangkan dua truk masih berada di depan rumahnya dan terlihat sibuk membersihkan sesuatu. Di depan rumah Bar terdapat jerigen air berukuran 20 liter yang digunakan tentara untuk menyiram jalan. Menurut Bar, mereka meninggalkan jembatan Arakundo menuju ke arah Idi Cut. Tidak lama setelah itu, tercium bau amis bersumber dari arah depan rumahnya. Saksi lainnya bernama Rl. Dia mengatakan ceceran darah yang terdapat di sekitar jembatan Arakundo berusaha ditutupi dengan pasir. Penduduk sekitar sungai sebagian besar bermata pencaharian sebagai penambang pasir, hasilnya biasa mereka tumpuk di pinggir sungai sekitar jembatan tersebut. Rabu, 4 Febuari 1999, pukul 07.00 WIB, masyarakat melihat tetesan darah yang sudah kering sepanjang jalan menuju jembatan Arakundo. Sampai siang berkisar pukul 08.00-12.00 WIB, tentara ternyata masih tetap bertahan juga di sekitar lokasi pembantaian Idi Cut. Bahkan masih terjadi muntahan peluru tanpa tentu arah. Kondisi ini disaksikan oleh Si yang kemudian dibawa ke Kantor Koramil bersama dengan delapan orang lainnya dengan truk aparat. |102|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Masyarakat kemudian melakukan pencaharian di sungai Arakundo dan menemukan IU, 22 tahun, warga Desa Sapai Baro Kecamatan Darul Aman, Aceh Timur. Ia ditemukan dalam keadaan meninggal di dalam goni yang bertuliskan Sertu Iskandar. Goni tersebut masih disimpan oleh istrinya. Keesokan harinya pencarian dilanjutkan. Masyarakat menemukan mayat HS, 35 tahun, warga Desa Leubok Tuha, Kecamatan Julok; IM, 24 tahun dari Desa Jambo Bale, Kecamatan Julok; JM, 22 tahun dari Desa Jambo Bale Kecamatan Julok; KI, 20 tahun, dari Desa Matang Neuhen Bagok, Kecamatan Julok; SY penduduk Boh Tren Desa Bandar Baru Kecamatan Julok. Pecarian korban dilakukan dengan alat tradisional, karena tentara dan pihak lainnya tidak membantu melakukan pencarian. Sebagian besar korban tidak mengapung, karena di tubuh mereka diikat alat pemberat berupa batu. Hal tersebut menyulitkan pencarian. Menurut saksi, jumlah korban luka-luka sangat banyak. Karena tentara memuntahkan peluru ke arah masa secara membabi buta. Tapi sebagian besar masyarakat yang terluka tidak melapor. Ditambah korban yang malam itu diangkut truk ke Polres Langsa 58 orang. Keesokan harinya 12 orang kembali dibawa ke Langsa. Selain korban luka dan meninggal, sebagian masyarakat juga menderita kerugian harta benda. Saat penembakan, beberapa orang kehilangan sepeda motor. Kaca mobil dirusak. Il misalnya, mobilnya dirusak, dan menderita kerugian Rp7 juta. Fyh, 35 tahun, motornya dirusak dan kerugian sekitar Rp1,5 juta. Selain itu, masih banyak warga lainnya yang mengalami kerugian materi. Setelah kejadian, masyarakat masih ketakutan. Teror yang dilakukan oleh aparat militer terus berlangsung. Aparat berkeliaran berkeliling kota dengan truk militer yang bertulisan “Sambar Nyawa” pada kaca mobilnya. Tentara juga menggunakan alat komunikasi (telepon) masyarakat dengan |103|
FAKTA BICARA
paksa. Mereka menakut-nakuti warga agar mau menyerahkan hasil buminya seperti sayuran, ikan hasil tangkapan nelayan, dan kebutuhan sehari hari lainnya. Tindakan kekerasan di Idi Cut merupakan balas dendam ABRI terhadap peristiwa sebelumnya, berupa swepping yang dilakukan sejumlah orang sipil di Lhok Nibong, 3 Januari 1999. Hal itu terbukti dari makian-makian yang dilontarkan para serdadu ABRI saat sedang membantai korban. “Kalian bunuh kawan kami. Kalian ceburkan mereka ke sungai. rasakan balasannya.” *** 10 November 2010 setelah lima tahun perdamaian hadir di Aceh, kondisi sebagian besar masyarakat masih trauma, ditambah ekonomi yang memprihatinkan dan kurangnya perhatian dari pemerintah. Buktinya AP, menyangka tripod yang dibawa tim Koalisi NGO-HAM adalah senjata. Memang benda penyangga berkaki tiga itu jika masih di dalam sarung hitam sekilas terlihat seperti senjata. Saat Koalisi NGO-HAM mendatangi korban, mereka sangat mengharapkan bantuan, terutama pendidikan dan ekonomi. Karena banyak anak-anak korban yang tidak dapat melanjutkan pendidikan, terkendala biaya. Di sisi kiri dan kanan Jembatan Arakundo yang berjarak sekitar 23 kilometer dari Idi Cut, telah berdiri warung dan doorsmeer (tempat pencucian kendaraan). Pinggir sungai tertutupi rimbunnya pohon pisang milik warga. Dua remaja sedang beristirahat di bawah pohon rindang di sisi kanan jembatan. Mereka masih duduk di kelas satu dan dua Sekolah Menengah Pertama (SMA). Kedua remaja tersebut bekerja paruh waktu di doorsmeer tersebut. Tidak ada tugu atau penanda apapun mengenai jembatan tersebut. Sebagian orang yang lalu lalang tidak pernah tahu jika di jembatan tersebut pernah terjadi tragedi kemanusiaan. Hanya keluarga, korban dan masyarakat yang akan terus mengenang peristiwa itu. |104|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
“Teupue na ditiek mayet dalam krueng nyoe, (tahu pernah dibuang mayat di sini),” tanya Tim Koalisi NGO HAM kepada remaja tersebut. “Teupue lah, mandum masyarakat inoe teupue, (Tahulah, semua masyarakat di sini tahu),” jawab mereka hampir bersamaan. Waktu peristiwa tersebut, mereka masih berumur 6 tahun.[]
|105|
FAKTA BICARA
Tragedi KNPI
t
Kisah 1 Minggu pagi, 3 Januari 1999 atau 15 Ramadhan, terdengar pengumuman dari pengeras suara masjid. Isinya mengajak seluruh masyarakat untuk berkumpul di masjid, mereka akan mengadakan demo ke Kantor Bupati Aceh Utara. Massa berkumpul dan bergerak ke Kantor Bupati Aceh Utara. Karena Minggu, kantor tutup dan massa bergerak ke pendopo yang berada di pusat Kota Lhokseumawe. Di tengah jalan mereka dihadang tentara. Orang kampung membawa senjata berupa parang dan pisau. Tiba-tiba ada lemparan batu dari barisan belakang pendemo. Kemudian, aparat mulai melepaskan tembakan ke arah massa. Padahal waktu itu di barisan paling depan adalah anak-anak dan perempuan. Korban meninggal di tempat tiga orang. Luka-luka mencapai puluhan, di antaranya anak-anak dan perempuan. Massa ketakutan dan lari menyelamatkan diri. Lalu aparat datang ke kampung-kampung, mengingatkan warga untuk tidak ikut-ikutan melakukan demo. Karena kondisi sudah dianggap aman, sebagian masyarakat pulang ke rumah masing-masing. MD, salah satu korban tragedi di Gedung Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) mengakui, ia tidak mengetahui siapa yang menggerakkan massa. Setelah kejadian tersebut, MD berjalan menuju pasar. Di tengah jalan ia melihat seorang anak berumur 15 tahun terkena serpihan peluru. Ternyata anak yatim itu masih ada |106|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
hubungan saudara dengannnya. Karena kasihan, ia membantu membawanya ke rumah sakit. Di Jalan Iskandar Muda, dekat Gedung KNPI, persis berdampingan dengan Markas Komando Resor Militer (Korem) Lilawangsa, Tentara menghadang MD dan dua perempuan lain yang menolong anak tersebut. Mereka menanyakan tujuan MD, ia mengatakan hendak mengantar seorang anak ke rumah sakit, sebab klinik di desanya tidak buka sejak demo. Sebelum pergi, MD telah mengingatkan anak tersebut, jika ada pemeriksaan jangan mengatakan ke rumah sakit akibat terkena peluru, tapi karena jatuh dari kamar mandi. Namun si anak mengaku ia terkena peluru. Tentara marah, MD dibawa dengan tuduhan sebagai mata-mata daerah Pusong. Saat dibawa ke KNPI, ia melewati beberapa tentara yang sedang istirahat, ada yang meneriakinya sebagai orang Pusong, kemudian tentara tersebut mengeroyok MD, satu lawan 10. Pusong adalah daerah pesisir yang sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan. Sampai saat ini masyarakat Pusong masih tinggal di rumah-rumah pinggir pantai yang terbuat dari kayu. Karena serangan yang sangat tiba-tiba, MD berusaha menyelamatkan diri. ia berusaha melawan, tapi hal tersebut membuat tentara semakin marah karena dianggap melawan. Kemudian mereka mulai menggunakan senjata. Saat itu MD diam dan tidak berani melawan. Tentara terus memukulinya, kemudian ia disuruh merangkak ke Gedung KNPI, air tergenang sepanjang jalan dan lapangan menuju gedung. Ia berhenti merangkak tepat di depan pintu KNPI. “Entah air hujan atau sengaja disiram di situ. Seperti masa perang yang saya lihat di TV,” kenang MD. MD melihat tubuh-tubuh kaku berlumuran darah berjejer di lantai. Ia ketakutan dan mulai berzikir, karena merasa nasibnya akan sama seperti mereka. Kemudian |107|
FAKTA BICARA
tentara-tentara memerintahkannya untuk tidur seperti yang lain. Dengan jarak lebih dekat, ia melihat mereka masih ada yang hidup, walaupun dalam keadaan sangat lemah. “Saya lihat yang sudah meninggal dilempar ke sudut ruangan, mereka sekitar 10 orang,” ujar MD. MD mengalami dan menyaksikan berbagai macam penyiksaan. Mulai dengan tangan kosong dan menggunakan alat seperti kabel, popor senjata dan lainnya. “Dihantam ke lantai, inanju meupatee lage manok matee, na yang ditrom, dianiaya lah tanyoe. (dihantam ke lantai, disitu menggelepar seperti ayam mau mati, dipukuli, dianiaya kita). Diijak-injak, ditendang muka, saya lihat ada teman yang sudah keluar biji mata dan miring mulutnya.” MD dituduh sebagai komandan dari Pusong yang menggerakkan aksi massa. Seorang tentara mengatakan kepada semua orang MD komandan dari Pusong. Tentara lain marah kemudian duduk di atas MD dan menyilet daging bawah mata sebelah kiri. Perlakuan tersebut didapat karena tentara curiga MD punya ilmu kebal. Kemudian ia ditendang di bagian tengkuk, lalu MD melihat seperti cahaya berpendar, kemudian hilang. Ia tak sadarkan diri. Sampai sekarang, luka bekas sayatan masih terihat di bawah mata sebelah kirinya. Kejadian itu terulang ketika MD dipaksa mengaku sebagai komandan dari Pusong. Ia dipaksa naik kepanggung KNPI, namanya dipanggil berkali-kali. Tapi ia tidak beranjak dari tempatnya. Karena ia ingat pesan seorang tentara dari tim penasehat untuk tidak bangun jika namanya dipanggil kecuali dipanggil komandan tersebut. Tapi saat itu tentara Lintas Udara (Linud) yang masuk ke ruang KNPI menyiksa MD.Tentara menyayat bagian bawah matanya. “Wate ditarik sikin inan, sang ka diteubit iek, tapi nyan keuh dupnan, meu ban syok teuh. Saket that. Meu kreut-kreut (ketika disayat rasanya keluar pipis, bergetar-getar tubuh saya, sakit sekali).” Dua kuku kakinya juga pernah dicabut saat ia dipaksa |108|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
mengaku sebagai komandan Pusong. Karena sudah tidak tahan dengan perlakuan yang ia alami, MD mencoba meminta belas kasihan tentara. Ia menggigit bibir bagian dalam, tentara melihat Madi mulai menggelepar, darah dan busa keluar dari mulutnya. Kemudian ia dibiarkan karena dikira tidak akan bertahan. “Udah tu, hampir lewat,” MD menirukan ucapan tentara saat itu. MD menyebut mereka tim penyiksa, karena setelah tim tersebut keluar, masuk tim lain yang ia sebut tim penasehat. Semua tawanan diperintahkan untuk duduk, tangan mereka diikat dengan kawat. Sampai meninggalkan bekas hitam. Karena korban sudah terlalu lemah, mereka tidak dapat menyimak yang dikatakan tim penasehat. Sekilas, MD menyimpulkan jika mereka mengatakan kepada semua tawanan untuk jangan ikut-ikutan dan menyesalkan keikutsertaan korban dalam demo. Karena walaupun mereka tahu sebagian besar tawanan tidak bersalah, tetapi mereka sudah terjaring operasi. Tidak lama kemudian, tim penyiksa kembali masuk. Setiap hari mereka disiksa, MD ingat saat mereka duduk memeluk lutut menghadap tembok. Tentara mengambil tawanan secara acak. Korban lain tidak boleh melihat perlakuan tentara tersebut. Tapi MD penasaran, ia mencuri lihat dari bawah lengan, waktu itu ia melihat salah satu korban sedang diangkat dan dihantam ke lantai. Tentara melihat kelakuan MD, lalu ia pun dipukuli. Malam hari mereka istirahat, karena waktu itu bulan puasa, mereka diberi makan ketika sahur dan buka puasa. Malam mereka tidak disiksa. Tawanan tidur di lantai yang dipenuhi darah. Pagi hari, mereka kembali disiksa. Setelah agak siang, masuk tentara yang menurut MD baru pulang operasi, mereka terlihat sangar, mata merah, pakaian lengkap, memakai tutup kepala. “Saya nggak pernah lihat tentara seperti itu, ngeri that (mengerikan).” Hari ke lima, para tawanan diberi obat, karena persediaan obat tidak cukup untuk korban yang sangat |109|
FAKTA BICARA
banyak, sebagian korban yang mengalami luka sayat seperti MD dijahit tanpa bius. “Lebih dari disiksa sakitnya.” Hari ke lima di KNPI, tawanan sudah tidak mendapatkan siksaan. Tahanan satu persatu mulai dikeluarkan dari KNPI, mata mereka ditutup dengan kain hitam. Sebanyak lima orang dikembalikan lagi ke KNPI, MD tidak tahu nasib mereka. Hari ke tujuh ketika mereka dibariskan, MD ingat jumlah tawanan 147 orang. Hari itu, polisi datang, MD sudah pasrah dengan nasibnya. Satu hari satu malam MD berada di Kepolisian Resort (Polres) Aceh Utara. Di situ ia dipaksa mengaku bahwa ia komandan dari Pusong, dan membagi-bagikan senjata untuk masyarakat yang mengadakan demo ke Kantor Bupati. “Kau kan yang bagi-bagi senjata untuk orang kampung?” tanya petugas. “Enggak pak, saya nggak bagi-bagi buat apa saya ngaku, karena saya nggak bersalah, di rumah aja nggak ada parang hanya ada pisau, itu pun sudah patah kalo tidak percaya lihat di rumah saya,” ujar MD waktu itu membela diri. “Mengaku aja, biar cepat beres.” “Alah jangan pura-pura bego kau, malas saya, bawa aja dia ke sana lagi.” ancam mereka. MD memohon untuk tidak dikembalikan ke KNPI. Saat diketik di dalam laporan, MD dilabelkan sebagai Komandan Pusong, yang membagikan parang saat demo. Ia kembali protes. “Ini cuma merek aja, udah kau teken udah. Kau pulang nanti,” ujar petugas. Kemudian keuchik dan orang tuanya datang, MD tetap bersikeras tidak mau menandatangani surat pernyataan bahwa ia Komandan Pusong yang membagikan senjata untuk warga. “Han ek lon teken, lon hana ikot-ikotan, pajan lon ikot, yang na ku ba aneuk yatim u rumoh saket (tidak mau saya tanda tangan, saya enggak ikut-ikutan, saya hanya bawa anak yatim ke rumah sakit).” Kemudian ibu MD memintanya untuk menandatangani surat itu, karena orang tuanya sudah rela kalau memang |110|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
setelah ditanda-tangan ia tidak kembali ke rumah. “Adak pih dipeunget hana di puwo ureung chik lon ka rela. Karna weuh, lheunyan lon teken (walaupun ditipu tidak dikembalikan ke rumah, orang tua saya sudah rela. Karena sedih melihat orang tua, akhirnya saya tanda tangan).” MD dibebaskan, hanya dikenai wajib lapor. Hari pertama pulang dari Polres, ia dibawa ke rumah orang tuanya. Istrinya kaget melihat kondisi MD. Wajah dan seluruh tubuhnya bengkak, ia juga tidak mengenali istri dan anaknya. Kondisinya terlalu lemah. Hari ke dua di rumah orang tuanya, beberapa orang tentara dan camat datang menjenguknya. Tentara tersebut meminta keterangan dari MD, bagian tubuh yang luka difoto. Ketika ditanya bagaimana perlakuan yang dialaminya, MD hanya diam, karena sebelum keluar dari KNPI, ia diancam untuk tidak memberitahu perlakuan yang dialaminya kepada siapapun. Karena jika ketahuan, ia akan diambil kembali untuk dihabisi. Namun tentara yang mendatangi rumahnya meyakinkan MD untuk menceritakan semua yang ia alami. “Ngaku saja bang, nggak usah takut ada kami.” “Padahal saya takut karena ada mereka, lama mereka menunggu kesaksian dari saya. lon pike pu nyoe dipanceng enteuk malam ka di cok lon (saya fikir, apa ini hanya pancingan, nanti malam saya kembali diambil),” cerita MD tentang tentara berbaret hijau yang mendatanginya. Setelah lama menunggu, akhirnya MD menceritakan semua yang dialaminya di gedung KNPI. Setelah itu, para tentara dan camat mengatakan MD akan diberi bantuan. “Masalah bantuan enggak terlalu saya dengar, tapi memang ada bantuan tiga ratus ribu, yang diambil melalui Keuchik tidak lama setelah kejadian.” Masyarakat di kampungnya ikut menjenguk MD, mendoakan kesehatannya. Setelah ia lebih sehat, MD pulang ke rumahnya di Pusong. Di rumahnya ia mendengar kabar bahwa ia dituduh cuak (mata-mata) oleh warga kampung. |111|
FAKTA BICARA
Karena tidak terima dengan tuduhan tersebut, ia mendatangi Panglima Wilayah Pusong yang waktu itu dijabat Tengku Raju. Ia melapor bahwa ia dituduh cuak. Setelah penyiksaan di KNPI Ia tidak menyangka orang kampung menganggapnya cuak. “Nyoe ka dianggap cuak, bah droen bi beude sikrak, neu pauso aneuk, neu peuruno kiban cara. (kalau memang dianggap cuak, beri saya senjata, isi pelurunya, ajari saya bagaimana cara menggunakannya),” tantang MD. Setelah itu, MD hidup normal kembali. Tahun 2002 ia mengadu nasib ke Kutacane, Aceh Tenggara, berjualan jamu. Selama belum damai, dia masih sering mendengar kabar, masyarakat wilayah Pusong hidup dalam ketakutan. Jelang tsunami dia kembali ke kampungnya. *** Setelah tsunami, tepatnya pasca-damai MD mendapatkan bantuan Rp10 juta. “Kalau dikasih kan wajar kita ambil, tapi kami sebagai korban enggak hanya cukup dengan itu, maunya nasib kami diperjuangkan, jangan dilalaikan dengan uang dan proposal. Maunya semua bersatu dan kita tuntut hak kita yang pernah dirampas dulu. Kita bisa berusaha dan mencari rezeki. Jangan sampai kena tipu lagi.” Ia sedih mengingat nasib sesama korban. Walaupun sering sakit-sakitan ia bersyukur masih bisa bekerja. Sedangkan korban lain seperti janda dan anak-anak korban konflik nasibnya lebih menyedihkan. Tidak ada yang menjamin kebutuhan hidup mereka. Ia juga mengingatkan pemerintah agar tidak lupa pada korban konflik. “Mereka duduk di pemerintahan karena ada pengorbanan dari seluruh rakyat Aceh, termasuk korban konflik. Pemerintah mengusahakan pekerjaan dan biaya pendidikan bagi anak korban, jangan sampai putus sekolah karena tidak ada biaya,” harapnya. MD mempunyai empat orang anak, dua orang putus |112|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
sekolah setelah duduk di kelas dua Sekolah Menengah Atas (SMA) dan kelas dua Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Matang Kuli, Aceh Utara. Anaknya yang ke tiga, kelas dua Sekolah Dasar (SD) dan sibungsu masih bayi. MD sering sakit-sakitan, hasil melautnya hanya cukup untuk makan, tidak untuk membiayai pendidikan anakanaknya. “Nyoe kesedihan aneuk nyoe cukop that brat. Na yang hana lon woe u rumoh karena hana sanggup lon kalon aneuk mit nyoe (anak-anak saya sangat sedih, sampai saya tidak sanggup pulang karena tidak sanggup melihat anakanak).” “Kalau bicara masalah dendam, sebenarnya dendam, tapi ini sudah damai, kita pelihara damai ini.” Ia sangat berharap pemerintah berlaku adil terhadap semua korban konflik, semuanya diadili dan dihukum sesuai hukum yang berlaku di Indonesia. “Undang-undang yang kita pelajari di sekolah ditegakkan, untuk apa juga belajar, anak-anak sekarang juga belajar hal yang sama. Rugi saja belajar sementara hukum tidak berjalan, hukum tidak bagi penguasa, hanya untuk orang menindas orang kecil seperti kami,” ujarnya mengakhiri. [ ] Kisah 2 Pada 3 Januari 1999, Pukul 12:00 WIB, istri dan anak US belum kembali ke rumah setelah berdemo ke kantor bupati sejak pagi. US memutuskan mencari mereka bersama empat temannya yang juga mencari keluarga. Di persimpangan jalan dekat Rumah Sakit, ia diintrogasi oleh tentara. US mengatakan apa adanya, ia menuju rumah sakit mencari anak istri, karena ia dengar ramai korban demo yang dibawa ke rumah sakit. Tapi para tentara tidak percaya yang dikatakan US. Setelah dipukul, US dibawa ke KNPI. “Dipoh lage asee, dipeueh-eh di dalam KNPI lage manyet, digidong, darah meuhambo dalam KNPI, yang lon teupu 117 droe dalam KNPI, yang na sileuwe dalam teuk. Ditumpok lage manyet, tentara |113|
FAKTA BICARA
nyan ganas-ganas that (dipukul seperti anjing, di dalam KNPI orang ditidurkan seperti mayat, diinjak-injak darah berhamburan, yang saya ingat jumlahnya sekitar 117 orang. Hanya tinggal celana dalam. Disusun seperti mayat, tentara terlihat sangat ganas).” Ia juga mendengar suara tembakan pukul 04.00 WIB pagi, US yakin ada tahanan yang ditembak. Selama di KNPI, US hanya sanggup berpuasa dua hari, selanjutnya ia terlalu lemah untuk berpuasa. Seluruh tubuhnya berdarah-darah. Untuk buang air kecil saja para tawanan dikawal lima tentara. Ia juga ditanya mengenai pekerjaannya. Padahal ia seorang nelayan, tapi karena ketakutan ia menjawab ia seorang penjual ikan. Mendengar jawabannya, tentara marah dan kembali memukuli US. Ternyata beberapa penjual ikan tidak memberi ikan kepada tentara. Di gedung KNPI ia diinterogasi, mereka menuduh US terlibat pemukulan terhadap seorang tentara bernama Bambang. Memang beberapa waktu sebelum demo dan kejadian KNPI, seorang tentara dipukul oleh masyarakat di pasar ikan. Bambang memang terkenal sering membuat onar, karena masyarakat tidak tahan melihat kelakuannya, lalu dipukuli ramai-ramai. US ingat di KNPI ada tawanan yang disetrum, korban yang disetrum hanya berjarak 10 meter darinya. Tawanan tersebut dituduh membakar bendera merah putih saat demo. Malam hari semua tawanan tidak bisa tidur, lantai dingin, darah tergenang di lantai. Ketakutan, kesakitan dan kelaparan. Hari ke tiga, keuchik dan camat datang. Ia sudah tidak mengalami penyiksaan. Setelah dikeluarkan, US tidak mengetahui nasib tawanan lain. Setelah bebas, dia berobat ke Bireun. Karena jika tinggal di Pusong, ia ketakutan. Untuk biaya pengobatan selama sebulan menghabiskan Rp5 juta. Ia tidak berobat di rumah sakit karena khawatir |114|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
tidak diterima karena dianggap GAM pelarian dari Pusong. USmemilih berobat tradisional. Dadanya sakit, karena sering dipukuli. Ludahnya pun memerah. US trauma, melihat orang yang datang menjenguknya ia pun ketakutan. sampai hari ini ia masih takut jika melihat tentara. Bahkan kejadian itu masih sering terbawa mimpi. “Lon manteng teingat keu sue nyan, baje nyan, mantoeng terbayang-bayang kejadiannya. Perasaan mantoeng hana meuoh lom, trauma lheuh (saya masih ingat suara itu, baju itu, kejadiannya masih terbayang-bayang. Perasaan masih belum menentu. Masih trauma).” Satu bulan kemudian ia kembali ke Pusong, namun tiga bulan setelah itu ia baru kembali melaut, karena kondisinya belum pulih, sampai hari ini pun ia masih sering merasa sakit di bagian dada. “Nyoe jino jak u laot saket dada wate tarek pukat. Man tanyoe ka terpaksa kiban ta peuget (Kalau sekarang, kalau saya tarik jala, dada terasa sakit. Tapi mau bagaimana lagi),” Sampai sekarang, US mengaku belum pernah mendapatkan bantuan apapun setelah damai. US sangat mengharapkan keadilan dapat ditegakkan. Selain itu, pemerintah juga memperhatikan ekonomi masyarakat. “Sebetoi jih mantoeng beungeh, tapi tanyoe hanjeut dendam, karna Allah peugah dosa dendamnyan, ta serah bak Allah. Beungeh jeut tapi hanjeut dendam (sebetulnya saya masih marah dengan pelaku, tapi kita tidak boleh dendam, karena kata Allah dendam itu dosa, kita serahkan pada Allah semuanya. Marah boleh, tapi jangan dendam),” ujar laki-laki 50 tahun ini. [ ] Kisah 3 Dw menggendong bayinya yang baru berumur enam bulan dan menuntun seorang anaknya yang masih duduk di kelas tiga Sekolah Dasar (SD). Sang suami ikut barisan lakilaki. Tentara mulai menembak pendemo dengan membabi buta. |115|
FAKTA BICARA
“Wate nyan dipeugah demo jak lake perdamaian, leh pu perdamaian hom, lon hana meuphom (ketika itu katanya demo meminta perdamaian, entah perdamaian seperti apa, saya tidak mengerti).” DW melihat beberapa helikopter terbang rendah, kemudian tentara mulai menembaki para pendemo. Ia ketakutan tidak sanggup untuk lari, kakinya mendadak lemas. Akhirnya ia berjalan di antara desingan peluru dan melihat masyarakat yang kena terjangan timah panas tersebut. Di tengah kepanikan ia berpesan pada anak sulungnya untuk lari menyelamatkan diri, tapi si anak tetap ingin bersama ibu dan adiknya. Akhirnya mereka terus berjalan. Satu tangan menggendong si bungsu tangan sebelahnya menuntun si sulung. “Bek mak, dak mate-mate sigo (jangan mak, kalaupun mati, mati bersama kita),” ujar anak sulungnya yang waktu itu masih duduk di kelas tiga SD ketika sang ibu menyuruhnya untuk lari menyelamatkan diri. Pukul 11:00 WIB DW sampai di masjid kampungnya, tapi ia tidak melihat Is, suaminya. Kepada siapa saja yang datang, ia menanyakan suaminya. Pukul 16.00 WIB ia pulang ke rumah. Namun sang suami tidak ada di rumah. Ia mulai gelisah, saat hendak pergi mencari suaminya di Rumah Sakit, seorang yang dituakan di kampungnya, Abu Sayed Amad melarangnya karena khawatir ia ikut hilang seperti beberapa korban lain. Akhirnya Abu Sayed dan beberapa orang lainnya mencari Is. Setelah Ashar, ambulan berhenti di depan rumahnya, ternyata membawa mayat Is “Saya lihat di kepalanya terdapat luka yang sangat besar, dada kirinya tertembus peluru tembus sampai ke belakang. Uang dan KTP dirampas,” DW mulai terisak. Setelah Magrib, jenazah dimandikan. DW melihat bekas luka menganga di kepala Suaminya. Kepalanya bergeser sampai beredar isu di masyarakat kepalanya putus. Si sulung menyaksikan kondisi ayahnya. Jenazah kemudian dibawa ke |116|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Meunasah Blang, Kandang untuk dimakamkan. “Pu han ta e, cit ka di keu mata, (apa enggak dilihat, memang sudah di depan mata),” ujar si sulung. Saat itu aparat masih keluar masuk kampung. Setelah kematian sang suami, DW tidak pulang ke kampungnya, ia duduk di pinggir jalan selama tujuh hari. Warga desa yang kasihan melihat kondisi DW memberikan makanan untuk ke dua anaknya. Kemudian ia pulang ke rumahnya di Pusong, mengambil beberapa keperluan anak-anaknya. Para tetanggga menasehati untuk mengungsi, tentara masih mencari-carinya. Mereka menanyakan rumah Is. Tentara mengetahui alamat dan nama suami DW dari dompet yang dirampas. Ia mengungsi selama satu bulan. Beberapa bulan setelah kejadian, ia mendapat bantuan yang diberikan melalui keuchik Rp900.000.Selanjutnya Rp2,5 juta dari wali kota. Dan Rp3 juta yang ditransfer melalui rekening bank. Setelah damai, DW mengaku belum mendapatkan bantuan. Sekarang, anak sulungnya telah dewasa dan si bungsu duduk di kelas satu SMP. Ia sangat membutuhkan biaya untuk kebutuhan biaya pendidikan anaknya. Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, DW bekerja menjadi buruh cuci. Beberapa tahun yang lalu ia sempat membuat usaha ikan kering, usaha tersebut terhenti karena tidak ada biaya. “Saya mengharap bantuan ekonomi, karena tidak ada biaya untuk pendidikan anak. Sekarang sering lapar dari pada kenyang. Kalau kita penduduk pinggir laut ini maunya ada modal, misalnya untuk usaha ikan kering,” harap DW. *** Waktu kejadian itu Su masih kelas enam SD. Ia belum mengerti politik, ketika ada pengumuman untuk berkumpul di mesjid, ia ikut berkumpul karena memang anak-anak dan perempuan diikut-sertakan dalam demo tersebut. Sekarang umurnya sudah 26 tahun. Berkulit hitam dan aktif membela hak korban konflik di sebuah LSM di Lhokseumawe. |117|
FAKTA BICARA
Menurut Su, beberapa waktu sebelum kejadian itu ada warga Desa Kandang yang ditangkap tentara, bahkan ada warga Pusong yang menikah dengan penduduk Kandang juga ikut ditangkap. Karena ada saudara yang ditangkap oleh tentara, timbul rasa solidaritas. Massa berkumpul dan berdemo ke kantor bupati. Namun, karena hari Minggu massa dialihkan menuju pendopo. Awalnya orang tua Su melihat-lihat kondisi jalan saat para pendemo mulai ramai. Orang tuanya melihat beberapa tentara menembaki lampu jalan, sebagian berdiri di dalam toko. Orang tua Su pulang dan berpesan padanya untuk tidak ikut berdemo. Di tengah jalan, massa dihadang oleh tentara. Mereka berjumlah lebih dari 100 orang, sedangkan massa berjumlah ribuan. Pendemo berada di Jalan Keuramat. Sekarang di simpang tersebut sudah ada bangunan toko. Tentara menembakkan senjata ke atas dan memerintahkan massa untuk pulang. Masyarakat pada saat itu sedang emosi, teriakan Allahhu Akbar bersahut-sahutan. Perempuan dan anak-anak berjalan di barisan depan. “Karena kami kira tentara juga manusia dan punya rasa kemanusiaan, tidak akan menembak, jadi anak-anak dan perempuan berjalan di depan.” Massa terus meneriakkan Allahu Akbar. Seorang yang dikenal dengan Bang Man Dukon yang berbama asli Idris ditembak dalam jarak sekitar 20 meter. Kemudian masa mulai kocar-kacir. Tentara juga mulai memuntahkan peluru ke arah massa. Sebagian pendemo terkena tembakan. Anakanak dan perempuan juga ikut menjadi korban. Massa lari menyelamatkan diri. Sebelum penembakan, terjadi pelemparan batu dari masyarakat ke tentara. Su ikut lari menyelamatkan diri. Dia sangat ketakutan. “Saya ketakutan, percikan api dari peluru sangat dekat dengan saya, karena peluru di arahkan ke masyarakat.” Serentak dengan kejadian tersebut, Su menceritakan kejadian yang |118|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
terjadi belakang Meunasah Kota. Terjadi perlawanan antara tentara dan masyarakat. Tentara menembak seorang warga, ia tukang reparasi jam. Setelah kejadian itu, semua korban meninggal dibawa ke masjid. Baju-baju korban ditanam di dekat mesjid. Sekarang tempat itu dijadikan tempat wudhu jamaah laki-laki. Setelah demo, tentara turun ke kampung-kampung mencari pendemo. Beberapa yang sudah dikenali wajahnya langsung diambil dan dibawa ke KNPI. Di gedung pemuda itulah ratusan orang disiksa seperti yang dialami MD dan US. Setelah 11 tahun kejadian, Peringatan tragedi KNPI baru dua tahun dilaksanakan. Itupun dilaksanakan di masjid desa, karena sebagian masyarakat terutama korban masih trauma jika peringatan tersebut dilakukan di gedung KNPI. Acara tersebut diisi dengan doa, ceramah, pemberian santunan untuk anak yatim serta makan bersama. Mereka juga sedang mengupayakan dana untuk membangun tugu peringatan tragedi KNPI. Karena kendala dana, acara yang seharusnya diperingati tanggal 3 Januari harus mundur 9 Januari. “Kami semua berharap bantuan dari Koalisi NGO HAM,” ujar Su. Demo yang dilakukan warga berhubungan dengan kejadian penyerbuan tentara ke desa Kandang, penyerbuan tersebut dilakukan untuk meringkus Ahmad Kandang, seorang pentolan GAM. Namun tentara gagal menangkap Ahmad Kandang, mereka menahan beberapa masyarakat desa. Warga kemudian menggelar aksi untuk menuntut pembebasan beberapa rekannya yang ditangkap. [ ]
|119|
FAKTA BICARA
Kisah Rumoh Geudong
t
Menjelang Magrib, 17 Juli 1997, tentara membawa Mr dan suaminya, Tgk. Hf dari rumahnya di Tangse menuju Rumoh Geudong di Desa Bilie Aron, Geulumpang Tiga, Pidie. Sesampainya di sana, mereka diperiksa secara bergiliran, dan ditahan. Keesokan harinya, sekitar pukul 10.00 WIB, Hf kembali diperiksa dengan cara disetrum, dipukuli. Mereka berdua ditelanjangi. Kabel hitam dijepitkan pada kemaluan dan kabel merah di payudara. Kemudian mereka diperiksa secara terpisah, pelaku ingin mengetahui jawaban dari mereka dari pasangan suami istri tersebut. Aparat TNI bertanya kepada Mr dan Hf tentang Abdullah Syafi’I (Panglima Angkatan Gerakan Aceh Merdeka – saat itu), dan orang-orang yang membantu Panglima GAM yang akrab dengan panggilah Tengku Lah tersebut. “Ku peugah kuturi Abdullah syafi’I dan kuturi ureng yang bantu Tengku Lah (saya katakan pada mereka, saya kenal Abdullah Syafi’I serta orang yang membantunya),” ujar Mr. Mendengar jawaban tersebut, Kopassus dibantu oleh beberapa cuak (tenaga pembantu operasi) Aceh mengancam akan menembak Hf. Tapi kemudian niat tersebut diurungkan, Mr dan Hf kembali disiksa dengan cara disetrum dan ditelanjangi. Mr mencoba melawan, ia melarang Kopassus dan cuak menyiksa sang suami, namun perbuatannya membuat mereka marah dan balik menyiksa Mr. “Han ku bi kontak lako lon, dikontak lon (saya melarang mereka menyetrum suami, |120|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
malah saya yang disetrum),” kisahnya. “Sekarang saya rela mati daripada disiksa,” ujarnya waktu itu. Hf dan Mr duduk berdampingan dalam keadaan telanjang. Aparat mulai menggerakkan senjata ke arah pasangan suami istri tersebut. Namun mereka berhenti, membatalkan niatnya untuk menembak mereka. Jam 09:00 WIB di Rumoh Geudong, anak mereka juga ikut dibawa ke Rumoh Geudong. Bayi yang masih berumur 18 bulan itu digantung di atas Rumoh Geudong. Lalu Kopassus dibantu oleh cuak melempari seurabee (sejenis tawon) ke arah bayi tersebut. “Itu yang membuat saya paling sedih, saya teriak-teriak mohon anak saya tidak diperlakukan seperti itu, aneuk lon dikab le seurabee reuhung bak ming dan bak dada ji. (anak saya digigit tawon di pipi dan dada),” ujar Mr mulai terisak. Di Rumoh Geudong Mr tiga hari sekali diperiksa, setiap pemeriksaan pasti disiksa. Seringkali ia disetrum, alat setrum diletakkan di hidung dan di kemaluan, perlakuan yang sama juga dialami sang suami, karena saat itu Mr sedang hamil enam bulan, ia pindahkan alat setrum ke pahanya, sampai sekarang bekasnya masih bisa dilihat. “Karena hamil, jaroe lon hana diikat jadi lon peuse alat kontaknya, karena lon teungoh meume. (karena hamil, tangan saya tidak diikat, saya pindah kan alat setrumnya ke paha),” ceritanya. “Nyoe mate aneuk lon, kah tanggong jaweb beuh, (Kalau anak saya mati, kamu yang tanggung jawab ya!),” ujarnya kepada Saifuddin, salah satu cuak di Rumoh Geudong itu). “Hana peurele tupue lon, lon dari Aceh Timu (saya enggak perlu tahu, saya dari Aceh Timur),” Mr menirukan ucapan Saifuddin waktu itu. “Pu awak Aceh Timur, adoe kah GAM cit di gampong lon dimeuwet-wet, hana pue ceuek-ceuk kah. (apanya orang Aceh Timur, saudara kamu GAM, di kampung saya. Enggak usah banyak gaya),“ jawab Mr marah, ia sering menyebut cuak di |121|
FAKTA BICARA
rumah gedung dengan sebutan anak haram. Perlakuan lainnya, ketika Mr turun dari Rumoh Geudong, ia sering dilempari batu dari belakang, padahal ia sendiri dalam keadaan sangat lemah. Dia sering diturunkan pukul 09:00 WIB dan baru dinaikkan kembali ke Rumoh Geudong sekitar jam 01:00 WIB dini hari. Salah satu penyebab ia berada di Rumoh Geudong adalah tuduhan membantu GAM. Memang ia membantu gerilyawan dengan menyimpan sembilan senjata dan memberi 12 pasang baju. Anggota GAM pernah memberi Mr uang Rp 10 juta untuk belanja keperluan mereka di dalam hutan. Berapapun sisa uang yang diberikan, pasti dikembalikan oleh Mr. Setelah membeli keperluan berupa ikan teri, kue, obatobatan dan kebutuhan lainnya. Ia juga membeli plastik kaca dalam jumlah yang banyak, seringkali ia berpapasan dengan tentara ketika hendak mengantarkan bekal tersebut. “Untuk apa kak, banyak sekali plastiknya, apa untuk GAM?,” tanya tentara suatu hari. “Bukan, untuk tutup pinang dan kandang lembu, kalo enggak percaya lihat di rumah,” ujarnya beralasan. Mr juga sering memasak nasi untuk GAM, nasi dimasukkan dalam timba dan diantarnya ke pinggir hutan, ketika berjumpa dengan tentara, ia beralasan mau mencuci, karena sumur memang jauh dari rumahnya. Sewaktu tentara melakukan penyisiran, mereka menemukan roti sebanyak dua karung di dalam hutan, tentara mulai curiga masyarakat sering mengantar makanan dan membantu GAM. Ia teringat, pasukan Kopassus dan cuak seringkali makan mie atau makanan lainnya di bawah Rumoh Geudong yang berbentuk panggung, wanginya tercium sampai ke kamar para tawanan. Mr merasa sedih, aroma makanan yang terbawa angin membuat liurnya menetes. Padahal ia juga sedang ingin makan nasi gurih, nasi goreng, roti dan mie. Ia sering menghayalkan makanan yang ia ingikan. Namun kenyataanya untuk makan saja, Mr harus berlomba-lomba |122|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
dengan tikus. Seringkali ia menjemur nasi tanpa lauk yang diberikan sehari sekali. Kalau sedang tidak sanggup makan ia menjemur nasi di atas kertas, kebetulan banyak majalah berserak di lantai. Pertama dibawa ke Rumoh Geudong, ia masih ditempatkan di dalam ruangan besar, kemudian dibuat kamar kecil bersekat dalam satu kamar lima sampai sebelas orang. Dalam satu hari Mr melihat dua atau tiga tawanan dibawa keluar menggunakan mobil. Mata ditutup dengan kain hitam, sampai dalam mobil tawanan dimasukkan dalam karung, dengan keadaan seperti itu korban dipaksa untuk duduk. Lalu dililit dengan tali kabel. Kemudian dibawa kesuatu tempat. Menurut Mr, korban di Rumoh Geudong sangat banyak jumlahnya. Bahkan menurut cerita suaminya, ada tawanan bernama Abu Nie dikubur hidup-hidup dalam posisi duduk di pekarangan Rumoh Geudong. Ada juga korban yang meninggal ketika digantung. Karena Mr hamil, ia tidak terlalu dikurung. Jadi ia sering keluar dan melihat perlakuan yang dialami tawanan di Rumoh Geudong. Selain disiksa, sepeda motornya juga diambil tentara dan satu ekor lembunya ditembak. Mr pernah minta keluar dari Rumoh Geudong, karena anaknya sakit, kepalanya luka. Karena permintaannnya, Mr ditendang di perut, padahal waktu itu ia sedang hamil, ia ditendang berkali-kali. Empat bulan kemudian ia melahirkan di Rumoh Geudong, dibantu seorang bidan bernama Cut. Ia melahirkan bayi kembar, bayi perempuanya lahir sebesar botol kaca, bayi laki-lakinya lebih kecil lagi, dua hari tidak bersuara dan tidak minum ASI. Nashrun, salah seorang tentara yang menjaga Mr, memberikan nama untuk bayinya. Namun ia punya nama lain. “Yang laki-laki enggak bersuara, dadanya terlihat dalam, hanya kulit berbalut tulang, tangannya sebesar jari kita, seperti tidak ada harapan hidup,” kenangnya dengan suara bergetar, air mata mulai menggenangi sudut matanya. |123|
FAKTA BICARA
Sekarang anak pertamanya duduk di kelas dua Sekolah Menengah Pertama (SMP) sedangkan anak kembarnya duduk di kelas satu SMP. Tiga hari setelah melahirkan, Mr keluar dari Rumoh Geudong, lalu ia mengobati anak sulungnya yang ikut terluka karena sering kena pukul di Rumoh Geudong. Tiga bulan kemudian, suaminya pulang bersama anggota Koppasus dan Cuak dari Rumoh Geudong. Suaminya membawa pulang uang sebesar Rp60.000. Ternyata suaminya pulang karena aparat meminta Mr membuat alat panah sekaligus mengecek apakah anggota GAM masih berkunjung ke tempat Mr. Mr menulis surat yang isinya GAM sudah tidak ada lagi di kampungnya, ia tidak bisa datang ke Rumoh Geudong karena anaknya sakit dan ia tidak bisa membuat alat panah. Surat itu ia titip pada suaminya, karena suaminya kembali dibawa ke Rumoh Geudong. Setelah bayinya berumur tujuh bulan, Hf kembali pulang bersama cuak dari Rumoh Geudong, kepulangan Hf disambut dengan gembira, Ayah Mr membelikan durian dan membakar lemang, sejenis makanan khas berupa beras ketan yang dimasukkan dalam bambu yang telah dilapisi daun pisang dan dibakar. *** Setelah damai, menurut pengakuannya Mr belum pernah menerima bantuan apapun, padahal ia sering membuat proposal bantuan. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, ia menjadi kuli upahan di sawah orang lain. Sedangkan suaminya menjadi tukang RBT (Ojek), sekaligus menjual minyak eceran di rumahnya. Menurut Mr, pemerintah seharusnya lebih adil dan jeli melihat korban, karena selama ini yang tidak merasakan siksaan semasa konflik diberikan bantuan, bahkan hingga beberapa kali, sedangkan orang seperti dirinya tidak mendapatkan apa-apa. |124|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Keinginan terbesarnya adalah pelaku diadili dan dihukum. Karena Mr masih ingat semua pelaku di Rumoh Geudong. Menurut Mr, cuak yang membantu tentara berjumlah tiga orang. Sedangkan tentara bernama Partono (komandan), Sasmito (wakil komandan), Pak Kumis, Heri, Makmur, Udin, Budi, Prapat dan satu lagi yang menamai diri sendiri Algojo dan sering menakut-nakuti tawanan kalau ia suka minum darah. Dari nama tersebut, ada beberapa yang menurut Mr tidak menyiksa tawanan, yaitu Sasmito, Makmur dan Udin. “Kalau bisa, ingin saya minum darah mereka, saya tahu semua pelaku,” ujar Mr lantang. Mr sangat berharap diberi modal usaha karena seringkali ia meminta bantuan tapi tidak pernah diberi. Saat Koalisi NGO HAM meminta keterangannya, ia mengaku hanya punya Rp20.000, dan bersedia datang memenuhi undangan karena mengharapkan bantuan. Lagipula ia sudah tidak dapat bekerja berat, karena siksaan di Rumoh Geudong membuatnya sakit-sakitan, mata rabun kepala sering berdenyut. Kalau kerja berat ia sering jatuh dan pingsan. Mr sering membuat proposal untuk mendapatkan dana, tapi sampai sekarang belum ada yang cair. Ia juga sering ke kantor camat dan Badan Reintegrasi Aceh (BRA) untuk menanyakan nasib proposal rumah yang diajukan, baginya anggota BRA adalah saudara dan teman. Namun kenyataannnya berbeda, bantuan yang ia harapkan tak kunjung datang. “Hari ini semua GAM telah mati, yang tertinggal hanya orang Indonesia, seandainya masih ada GAM, mereka pasti kenal saya. Satu Kecamatan Sakti dan Pidie kenal kami yang dibawa ke Rumoh Geudong, mungkin tujuan mereka sekarang memang memberi uang untuk orang kaya.” “Bagaimana caranya, saya minta kepada kalian (koalisi) untuk membantu kami, supaya mendapat keadilan, yang kaya tidak usah dibantu lagi.” *** |125|
FAKTA BICARA
Sama seperti Mr, salah seorang korban Rumoh Geudong lainnya juga kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah, namanya Ui, ia berasal dari desa Lancang Timur, Kecamatan Kembang Tanjong. Dari kota Sigli ke Kembang Tanjong berjarak sekitar 15 km. Ui hanya pernah mendapatbantuan Rp10 juta dari BRA. “Ada diberi bantuan sepuluh juta. Apa cukup dengan uang itu? Mereka (mantan kombatan) berapa ratus juta, proyek ini dan itu. Ketika lebaran kan enggak ada salahnya diberi kain sarung dan sirup. Lihatlah nanti akan kena bencana lagi. Sebenarnya kita enggak perlu meminta, tapi saya coba minta daging sekilo, enggak ada. Katanya ia juga sama seperti saya. Saya sakit hati dengan mereka.” Menurut Ui, mantan kombatan sekarang banyak yang telah melupakannya. Rumahnya pernah dibakar tahun 1990. Ia sudah melapor ke kantor BRA, rumah batuan tersebut belum diberikan kepada Ui. Setelah tsunami 2004 lalu, ia mendapatkan bantuan rumah untuk korban tsunami, bukan sebagai korban konflik. Menurutnya, mantan kombatan sekarang berbeda dengan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) atau Aceh Merdeka (AM), sebutan untuk angkatan awal dari GAM. Ui menilai anggota AM dulu lebih peduli pada masyarakat. “Mana ada lagi mereka (AM) sekarang, sudah habis semua kena peluru. Sebagian di luar negeri. Mana mau mereka pulang, keadaannya begini. Kalau GAM, kita ini enggak ada arti. Orang yang dulu pegang senjata sekarang kerja di sawah,” tuturnya. Ui kelahiran 1945, namun ia masih tampak bugar dan tetap bersemangat menceritakan kisah yang telah dilaluinya. Sejak DOM ditetapkna pada tahun 1989, ia mulai membantu gerakan yang pada awalnya disebut AM atau GPK. Tahun 1990-an Ia mulai menerima GAM di rumahnya, kemudian ia ikut dengan Abdullah Syafi’i, karena Tgk Lah melihat Ui di dalam hutan, di Cot Pedoman, pedalaman Jeunib, |126|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Kabupaten Bireuen sekarang. Waktu itu Ui dan anggota GAM lainnya dikejar-kejar oleh tentara. Ia seringkali kelaparan di hutan. Ia ikut Abdullah Syafi’i bergerilya mengelilingi hutan Aceh, sampai ke Tapak Tuan, Aceh Selatan hingga hutan Meulaboh Aceh Barat. “Saya ditangkap karena terima GPK di rumah, bukan GAM. GPK itu baik, GAM itu bagi saya hanya orang yang sekedar melihat-lihat atau sekedar lewat saja. Bukan orang yang ikut berperang. Enggak usah tanya sejarah perang sama mereka, tanya sama saya, semua tersimpan dalam kepala ini. Sekarang, kalau ada perang lagi saya masih mau ikut.” Ia juga pernah membantu mereka yang terluka dan kelaparan dalam hutan, bahkan ia masih mengingat beberapa nama yang ia tolong, seperti Robert, Jaman Burak dan Arjuna. Selain menerima kombatan, Ui juga seringkali berkeliling Aceh untuk mencari gadis-gadis muda yang berasal dari pedalaman Aceh untuk dinikahkan dengan petinggi-petinggi AM di luar negeri. Para petinggi tersebut memberikan kriteria calon istri yang harus dicari oleh Ummi. Yaitu harus Asli Aceh, santri pesantren dan miskin. Sendirian ia mengantarkan calon istri anggota AM dari Aceh, dibawa ke Medan Sumatera Utara, sampai ke Tanjung Bale, Malaysia. “Tujuh kali saya ke Malaysia melalui jalan laut, hebatnya kami, selalu mengarungi laut membawa istri untuk mereka, syaratnya mereka mau lapar, karena perang,” ujarnya. Selain mencari istri untuk anggota AM, Ui juga berjumpa Malek Mahmud di Singapura dan pernah ke luar negeri membelikan senjata untuk AM. Demi membantu AM, Ui bolak-balik Malaysia-Aceh dengan mempertaruhkan nyawa. Di Malaysia, ia kerap melalui pemeriksaan polisi wanita, beruntung pemeriksaan tidak sampai ke bagian paling pribadi, karena ia sering menyembunyikan uang di kemaluannya. Baik untuk membeli senjata atau membawakan istri untuk para petinggi AM. Ia juga pernah tinggal di Hutan Montasik, Aceh Besar. |127|
FAKTA BICARA
Selama satu bulan kelaparan. Ia nekat ke simpang Aneuk Galong, Aceh Besar sekitar 20 kilometer dari Banda Aceh. Ia bertemu dengan Kopassus. Mereka bertanya banyak hal pada Ui, namun ia pintar berkelit dan tentara tersebut percaya. “Dari mana bu,”tanya tantara pada Ui waktu itu. “Mau ke Darussalam, anak saya kuliah disana.” “Kami sedang cari seseorang, dia membantu Abdullah Syafi’i, Daud Paneuk dan Wali Nanggroe.” “Pokok jih meupu ditanyoeng, meupu lon jaweub.” Ia ingat saat Hasan Tiro meminta salah satu anak lelakinya dibawa dan dilatih ke Libya, Ui sedih harus berpisah dengan anaknya, namun ia rela karena anaknya akan mendapatkan pendidikan di tempat barunya. Sekarang anaknya berada di Denmark. “Seandainya bisa, sejarah itu jangan diceritakan lagi, terlalu menyakitkan. Makanya ketika saya tahu dari orang dari HAM (Koaisi NGO HAM), saya bilang sama cucu, untuk membawa saya wawancara dengan orang HAM, mungkin bisa dapat beras satu bambu,” ujar Ui ketika ia tahu Koalisi NGO HAM akan mewawancarainya. Ui adalah korban Rumoh Geudong, karena ada cuak yang melapor bahwa Ui membantu GAM. Ia mendekam empat bulan kurang lima hari di sana. Saat diperiksa, ia ditanyai tentang Wali Nanggroe, Daod Paneuk, dan Abdullah Syafi’i. Setelah beberapa hari di Rumoh Geudong, Empat tawanan dibawa keluar dari Rumoh Geudong, termasuk Ui. Ada yang dibawa ke arah Tiro dan Ui sendiri dibawa ke Rancong, Aceh Utara. Setelah 15 hari mendapat siksaan di Rancong, sebuah lubang disediakan untuk Ui, ia dipaksa masuk ke dalam lubang tersebut. Ketika ia hendak ditembak, tiba-tiba tentara membawa Ui kembali ke Rumoh Geudong. Di Rumoh Geudong dan Rancong, ia diperlakukan tidak manusiawi, bekas luka ketika digantung, disilet dengan pisau, dipukul dengan balok dan diestrum masih dapat dilihat sampai sekarang. |128|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Di rumoh Geudong, ia tidak mandi sehingga rambutnya mengembang dan tinggi, tiga minggu sekali ia diturunkan dari rumah gedung, untuk membersihkan halaman atau hal lain yang diperintahkan, ia pernah diturunkan sekalian dengan Pocut Sari, istri (Alm) Tgk Usman Lampoh Awe (mantan petinggi GAM). Di dalam kamar berukuran 3x3 meter ia disekap. Di situ Ui tetap berusaha shalat, wudhunya dengan tayamum. Kalau ingin buang air besar ia teriak minta diturunkan dan dibawa ke kamar mandi. Terkadang tentara dan cuak terlambat menurunkannya, pernah suatu kali ia buang air kecil di atas kepala mereka. Terkadang, saat ia diturunkan untuk membersihkan halaman atau hal lain yang diperintahkan, tawanan lakilaki sering berbisik pada Ui untuk menaikkan sisa puntung rokok. Berbagai penyiksaan dialaminya; diikat, ditelanjangi, dipukul dan disetrum. Ia dituduh berkomplot, melindungi dan menyembunyikan Daud Paneuk, Abdullah Syafi’i, Adam Malik dan Wali Nanggroe. Menurutnya, jumlah tawanan di Rumoh geudong sangat banyak, karena ia pernah melihat satu truk berisi lakilaki dari Desa Cot Murong Ujong Rimba, dibawa ke Rumoh Geudong karena dituduh menyimpan senjata. Namun untuk jumlah pastinya ia tidak dapat menyebutkan karena mereka dipisah dalam kamar yang berbeda dan sangat jarang melihat tawanan lain, hanya suara rintihan dan tangisan yang sering ia dengar. Di rumoh Geudong menurut Ui, banyak sekali korban yang ditanam di pekarangaan rumah. Ketika diperiksa, Ui menjawab semua yang ditanyakan, bahkan menantang mereka untuk ke Swedia mencari Hasan Tiro atau ke hutan mencari Abdullah Syafi’i dan petinggi GAM lainnya. Tapi Ui berpesan, mereka harus berani, dia yang akan memberikan alamatnya. *** |129|
FAKTA BICARA
Semua korban yang dibawa ke Rumoh Geudong mendapat tuduhan serupa, yaitu membantu GAM atau dituduh terlibat GAM. Sama halnya dengan RU dan RK. Suatu ketika, RU bekerja di kebun. Menjelang magrib, Kepala Desa datang ke kebunnya dan mengajaknya pulang. Di rumahnya, ia ganti baju lalu mereka bersama menuju rumah keuchik. Di halaman rumah keuchik terparkir mobil Rocky putih, di dalam mobil ada Algojo yang bertanya pada RU rumah RK. RU mengatakan ia tidak tahu karena RK sudah tidak tinggal di Tiro tapi pindah ke Tu Geudeng. “Jadi siapa yang tahu rumah RK?” “MK pak,” jawab Sh. Salah seorang yang juga berada di rumah keuchik waktu itu. Kemudian mereka naik mobil dan dibawa ke rumah MK. Karena MK tahu rumah RK, ia juga ikut naik mobil menuju ke Tu Geudeng. Sesampainya ke rumah RK, ia dibawa dengan mobil Rocky putih tersebut. RU dan RK duduk berdekatan di dalam mobil, mereka saling bertanya kenapa mereka dibawa dan akan dibawa ke mana. Mendengar mereka bicara, cuak yang membawa mereka marah dan memisahkan tempat duduk mereka. Usai Magrib, RU dan RK dibawa ke Rumoh Geudong, mereka duduk di seuramoe, bagian depan rumoh Geudong. Sekitar dua jam mereka duduk, mereka dibawa ke belakang halaman belakang. Di situ mereka lihat orang-orang yang baru disiksa, kulit punggung mereka terkelupas. Pukul 23:00 WIB mereka mulai disiksa, pada awalnya RU dijadikan penonton, ia duduk di kursi bulat yang terdapat di Rumoh Geudong, RK dikontak empat kali. “Coba lihat tu, kawan kamu sebelum sampai giliran kamu,” ujar aparat saat itu. RU melihat RK sudah tidak bergerak. Ia juga melihat seorang tawanan meninggal akibat disetrum, namanya Pahang. Setelah RK , kemudian RU dipukul dan disetrum. Ia dituduh menyembunyikan GAM dan memberi izin Gani |130|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Ahmad (anggota GAM) tidur di rumahnya. “Saya nggak pernah nginapkan Gani Ahmad di rumah, jangankan menginapkan Gani Ahmad, untuk tempat tidur anak saya saja enggak ada, kalao enggak percaya boleh bapak cek kerumah,” bantahnya. Mereka tidak percaya ucapan RU, tentara dan cuak terus memukuli RU. setelah seluruh tubuh berlumuran darah, sekitar pukul 01:00 WIB, RU dan RK di lempar keluar Rumoh Geudong. Di luar sedang hujan, petir menyambar-nyambar, angin kencang. Tentara memerintahkan mereka tengkurap kemudian terlentang, mereka masih dalam keadaan telanjang, kesempatan itu mereka gunakan untuk minum air hujan. Kemudian tentara mengancam akan membunuh mereka berdua. “Sekarang titik terakhir, mau jawab silakan, nggak mau jawab silakan, berapa malam kamu nginapkan Gani Ahmad, berapa pucuk senjata si Gani Ahmad, berapa kawan Gani Ahmad,” tanya tentara. Gani Ahmad adalah mantan AM yang sampai sekarang masih hidup. Ia pejuang tahun 1976, sekarang di Tiro hanya tinggal Gani Ahmad dan Tgk Ishak yang masih hidup. RU dan RK tetap menjawab tidak tahu, jawaban tersebut membuat tentara marah dan menembakkan senjata ke arah RU dan RK. Peluru itu hanya berjarak satu centimeter dari telinga mereka. Setelah itu telinga mereka berdengung seperti suara pesawat, kemudian tidak sadarkan diri. Ketika sadar mereka sudah berada di dalam salah satu kamar di Rumoh Geudong. Di dalam kamar terdapat 11 tawanan. Setiap hari mereka disiksa, nasi diberikan satu hari sekali, tanpa lauk. Mereka juga diperintahkan untuk pemanasan. Biasanya jam 09:00 WIB pagi. Itu pun dalam keadaan telanjang bulat. RU masih mengingat beberapa kebiasaan di Rumoh Geudong, misalnya jika terdengar suara pintu ditendang, mereka harus berdiri menghadap dinding. Pagi dan sore seperti itu. |131|
FAKTA BICARA
Ia ditawan di Rumoh Geudong selama dua minggu. Ia bebas karena seorang Koppasus dari Pintu Satu (pos tentara di jalur masuk ke Kecamatan Tiro) yang ia kenal datang ke Rumoh Geudong dan tidak sengaja melihat RU. Ia memohon kepada Kopassus yang ia panggil Pak Pen untuk membawanya ke Pintu Satu, karena ia sudah tidak tahan disiksa. “Bawa saya ke pintu satu apabila terbukti bersalah di Pintu Satu, pisahkan kepala saya dengan badan saya, itu saja janji saya pada pak Pen.” “Saya punya atasan, kalau permintaan Anda dikabulkan dalam waktu dekat akan kami bawa Pintu Satu,” ujar orang yang dipanggil Pak Pen itu. Ternyata keesokan harinya sekitar pukul 12.00 Wib mereka menjemput RU untuk dibawa ke Pintu Satu, sedangkan RK tetap di Rumoh Geudong hingga dua bulan. Sebelum dibawa, Kopasus bertanya pada RU, apakah ia kenal dengan Tgk Amin. “Kenal, itu bapak saya,”ujar RU.” “Kenapa berani bilang bapak kamu, padahal kan dia terlibat.” “Masalah terlibat masalah lain, itu urusan lain, saya nggak tahu, saya di Tiro beliau di Panton Monot.” Kemudian ia dibawa ke Pintu Satu, di dalam kamar tahanan ia berjumpa dengan Tgk Amin dan US. Mereka memang terlibat dalam pemberontakan. Kopassus bertanya kepada Tgk Amin, apakah ia mengenal RU. “Kenal, ini anak saya,” ujar Tgk Amin. Selama 17 hari berada di Pintu Satu, RU tidak mengalami penyiksaan. Hanya menunggu luka-luka bekas penyiksaan di Rumoh Geudong sembuh. Saat akan dilepaskan, RU diancam untuk tidak memberi tahu kepada siapapun mengenai siksaan yang dialaminya. Ia sembunyikan bahwa ia disiksa di Rumoh Geudong bahkan dari ibu, adik dan istrinya. Satu minggu kemudian ketika ia mandi, sang istri tidak sengaja masuk ke kamar mandi dan melihat seluruh |132|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
bekas luka di tubuh RU. Saat itu pula istrinya menjerit dan menangis. “Apa juga enggak dipukul,” tanya istrinya. “Ka jeut, bek peugah-peugah bak gob (sudah, jangan katakana pada siapaun),” ujar RU menenangkan sang istri. Setelah damai banyak yang mendata para korban konflik termasuk warga asing. Tapi RU kecewa, ia tidak mendapatkan apa-apa. “Kadang ka bosan. Ditanyong-tanyong mantoeng, Oh wate woe meurukok pih tan (sudah bosan, hanya ditanya-tanya saja, uang rokok saja enggak diberi),” terangnya. RU mengaku pernah mendapat bantuan sebanyak Rp10 juta, uang tersebut diambil tiga tahap, tahap selanjutnya diberikan jika sudah menyerahkan pertanggungjawaban dari pengambilan uang sebelumnya. “Dikoh leubeh bak sijuta (dipotong lebih dari satu juta).” Tahun 2009, RU sudah melapor ke BRA mengenai korban konflik yang belum mendapatkan rumah, tapi jawaban dari BRA, rumah yang dibakar pada masa konflik sudah tuntas dibayar. Padahal menurut catatan RU, masih sekitar 200 rumah yang belum diganti di daerahnya. “Memang belum habis diganti semua rumah yang dibakar, saya siap tanggung jawab untuk daerah Tiro. Saya bukan berjuang untuk pribadi, jadi saya mohon agar membantu korban konflik agar tidak kembali terjadi kekacauan,” ujar RU. Ia sangat berharap pemerintah memperhatikan mereka, karena pada masa konflik bukan hanya kombatan yang dibunuh, bahkan masyarakat biasa juga menjadi korban. Lainnya, “harus ada keadilan, menegakkan hukum, pelaku yang salah dihukum. Orang yang dirugikan dibayar, kalau enggak Aceh enggak akan aman,” ujar RU. ***
|133|
FAKTA BICARA
Setelah RU keluar dari Rumoh Geudong, RK masih mejalani siksaan. Laki-laki berumur 65 tahun ini (sekarang) dibebaskan Agustus 1998 beberapa hari sebelum Rumoh Geudong dibakar massa. Ia dituduh menyimpan senjata dan menembak anggota Koramil. Karena beberapa waktu sebelumnya, terjadi pembunuhan terhadap anggota Koramil. Ia dibebaskan begitu saja tanpa sebab. Sebelum bebas pelaku menanyakan hari itu hari apa. “Hari Meugang,” jawabnya. “Mau pulang,” tanya tentara. “Mau.” Kemudian ia dibebaskan bersama dua tawanan lainnya. Waktu itu hampir Magrib. Mereka juga pulang dengan ancaman agar tidak memberitahu siksaan yang mereka alami di Rumoh Geudong. Jika rahasia itu terbongkar mereka akan diambil kembali. Bekas-bekas penyiksaan masih dapat dilihat sampai sekarang. Bahkan ada bagian tubuhnya yang mati rasa, “mau dipukul, dipatahkan, tapi enggak terasa,” ujar RK. Dengan kondisi sakit-sakitan, ia tetap ke sawah untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. RK pernah mendapat bantuan sebesar Rp700.000, tapi uang tersebut tidak cukup untuk berobat. *** Temuan Tim Pencari Fakta DPR RI, hampir 50 persen kasus tindak kekerasan yang terjadi di Pidie, dilakukan di sebuah tempat yang disebut sebagai Pos Sattis Billie Aron di Rumoh Geudong, Glumpang Tiga. Hingga Juli 1998 Komandan pos tersebut adalah Lettu (Inf) Sutarman, yang menggantikan Dan Pos Sattis Billi Aron sebelumnya. Pos tersebut beranggotakan enam personil, membawahi tiga Kecamatan Glumpang Tiga, Kembang Tanjong dan Bandar Baru yang semuanya terletak di kabupaten Pidie. |134|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Rumoh Geudong terdiri dari beberapa ruang; ruang makan, kamar mandi/wc, dilengkapi televisi, video player dan beberapa perabot rumah lainnya. Suasana terkesan gelap dan terdapat beberapa kamar kecil, disekat-sekat berjumlah delapan kamar, kamar tahanan diberi nama dengan nama hewan seperti Bilik Anjing, Kerbau, Harimau, Monyet, Kambing dan sebagainya. Di ruang-ruang kecil inilah penyiksaan terjadi. Di sisisisinya terlihat beberapa benda, seperti balok kayu, kabel listrik. Rumah terkesan sepi dan baru saja dibersihkan oleh aparat ketika TPF Komnas HAM datang 21 Agustus 1998. Samsidar, seorang aktivis perempuan yang pernah mengunjungi tempat tersebut sebelum dibakar masih ingat darah yang menempel di pohon kelapa di halaman Rumoh Geudong. Ia juga melihat speaker terpasang di pepohonan. Speaker tersebut berguna untuk meredam terikan korban saat terjadi penyiksaan. Di halaman rumah juga terdapat beberapa kolam yang menurut Samsidar digunakan untuk menyiksa korban. Menurut para korban, Rumoh Geudong berbentuk rumah panggung khas rumah adatAceh. Di bagian belakang ada bangunan besar sehingga masyarakat menamakannya Rumoh Geudong, Geudong dapat diartikan besar atau rumah orang kaya. Rumoh Geudong berbentuk seperti dua rumah yang digabungkan, sehingga sangat besar. Ada tempat duduk yang biasa disebut panteu di tengah rumah, di bagian belakangnya ada meja dan tiang-tiang besar, di dekat tiang itulah tawanan disiksa. Rumoh ini sejak tahun 1990 dijadikan sebagai markas militer dan sebagai tempat dilakukannnya berbagai tindak kekerasan di Kabupaten Pidie. Tim KOMNS HAM yang dipimpin Baharuddin Lopa datang pada tanggal 21 Agustus 1998, dibantu oleh masyarakat menyisisr halaman Rumoh Geudong yang berukuran lebih dari 150x180 meter. Tim KOMNAS HAM menemukan serpihan tulang jari kaki, tangan, rambut dan rantai. Namun tidak menemukan |135|
FAKTA BICARA
satupun kerangka manusia di sana. Ketika melakukan penyisiran ini, tim Komnas HAM tidak bertemu dengan Komandan Sattis Kopassus. Sekitar pukul 15.00 WIB tim komnas HAM meniggalkan lokasi. Entah siapa yang memulai, tiba-tiba masyarakat marah dan akhirnya Rumoh Geudong itu dibakar oleh massa. Namun sebagian menyebutkan yang memerintahkan membakar tempat penyiksaan tersebut adalah Ghazali Abbas yang saat itu menjabat sebagai anggota DPR RI. Rumoh Geudong, pada awalnya merupakan rumah seorang ulee balang yang sebenarnya diwarisi oleh cucunya bernama Almarhum T A Rahman Ahmad yang bertugas di PTP IX Sumatera Utara. Karena kakaknya sudah meninggal, rumoh itu dialihkan kepada adiknya yang bernama Djaffar Ahmad (Pensiunan Dinas perkebunan Aceh Timur) yang saat ini tinggal di Glumpang Minyeuk tak jauh dari Rumoh Geudong. Karena Djaffar sakit-sakitan, pengelolaan rumoh tersebut dialihkan kepada anaknya yang bernama Cut Mayda Wati, Perawat Pukesmas di Geulumpang Minyeuk. Rumoh tersebut awalnya dijaga oleh seorang pembantu, sejak tahun 1990 rumoh tersebut mulai ditinggali oleh aparat TNI setelah meminta izin kepada penjaga rumah untuk dijadikan sebagai Pos Sattis Bilie Aron. Sejak tahun 1990 sudah tercatat tujuh orang Komandan Sattis bersama anak buahnya tinggal di sana. Pada tahun 1998, rumoh tersebut dihuni oleh Lettu Sutarman (April-21 Agustus 1998), sebagai komandan pos, menggantikan Letda Umar (yang hanya bertugas 10 hari). Komandan Pos (Danpos) tersadis menurut beberapa korban adalah lettu Partono. Selama masa tiga Danpos itu, wakilnya adalah Sasmito. Dalam operasi tersebut, aparat umumnya didampingi oleh beberapa TPO (Tenaga Pembantu Operasi). Setelah Kopasus ditarik dari sana, TPO kabur dari kampungnya.[]
|136|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
(Bukit Haru Saksi Bisu) Kasus Pemerkosaan di Alue Lhok
t
Mobil Panther orange terseok-seok dalam lubang besar di sepanjang jalan menuju Alue Lhok, Aceh Utara. Tanah liat dan sisa air hujan membentuk kubangan besar bewarna kecoklatan. Di sisi kanan hamparan sawah tampak menghijau, rumah penduduk terbuat dari kayu dan bambu yang dianyam. Sebagian besar hampir roboh, dindingnya berlubang dengan lantai beralas tanah. Biji coklat basah dalam goni ditumpuk di pinggir jalan, menebar bau yang cukup menyengat. 11 November 2010 Alue pukul 13.00 Wib, tim Koalisi NGO HAM menuju desa Alue Lhok, menemui korban perkosaan yang terjadi pada masa konflik. Menurut data Koalisi NGO HAM, akhir tahun 1999 telah terjadi pemerkosaan terhadap dua warga desa tersebut, kejadian tersebut terulang tiga tahun kemudian dengan jumlah korban lima orang. Dua jam kemudian, tim sampai ke desa yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian petani tersebut. Na bertubuh kurus, hari itu memakai rok coklat, baju putih dan menutup kepala dengan kain panjang. Serta seorang balita di dalam gendongannya. Awalnya, korban enggan bercerita, setelah mendengar penjelasan kemudian mereka lebih terbuka menceritakan kasus yang mereka alami. Menjelang Magrib, Juli 2003, satu bulan setelah diberlakukan Darurat Militer (DM) di Aceh, sekitar lima orang tentara mendatangi Desa Alue Lhok, mereka memeriksa penduduk yang tidak memiliki KTP Merah Putih. Mereka |137|
FAKTA BICARA
mendatangi rumah penduduk satu persatu. Kartu Tanda Penduduk (KTP) Merah Putih, kartu baru ini diberikan kepada masyarakat, siapa yang tidak memilikinya dianggap GAM. KTP Merah Putih dicetak Penguasa DM dan Pemerintah Daerah Aceh. Kartu baru ini berbeda, karena tiga kali lebih besar dari KTP biasa dan terlihat lebih menonjolkan warna merah putih. Malam itu, Na berjalan kaki dari rumah menuju rumah orang tuanya. Setelah menikah, ia tinggal terpisah dari orang tua. Jarak rumah mereka tidak sampai satu kilometer. Anaknya yang masih balita, sedang berada di rumah orang tua. Ia mendengar kabar adiknya ditangkap tentara. Di perjalanan, ia berjumpa dengan tentara yang sedang berpatroli, Na mulai ketakutan, tentara mencurigai rantang makanan yang dibawa Na akan diberikan kepada GAM. Sebenarnya itu makan yang ia siapkan untuk anaknya. Tentara mengancam akan membawa Na ke markas. Namun setelah memberi penjelasan ia dibiarkan pergi. Sesampai di rumah orang tuanya, ternyata tentara sudah berada di situ dan menanyakan KTP kepadanya dan Nu, Istri adiknya yang dikabarkan dibawa tentara. Karena tidak mempunyai KTP, mereka berdua dituduh membantu GAM dan dibawa untuk mencari GAM ke dalam hutan. Sebelum pergi tentara sempat melempar anak Nu ke dalam pangkuan neneknya. Selain mereka berdua, satu korban lainnya juga ikut dibawa ke bukit. Nu dibawa ke atas bukit, kemudian tentara tersebut melakukan perbuatan bejat kepadanya. Ia menangis, meronta, tapi tidak mampu melawan, selain itu ia diancam dengan senjata dan pisau di leher. Dua jam telah berlalu, namun ia belum dilepaskan. Karena sudah sangat lelah dan ketakutan, ia berkata kepada tentara tersebut bahwa tempat itu adalah kuburan. Tiba-tiba angin bertiup kencang, mendung, petir menyambar-nyambar, ranting-ranting pohon mulai berjatuhan di sekitar mereka. Mereka bertiga dilepaskan dengan bunyi tembakan |138|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
ke udara, perempuan-perempuan malang itu ketakutan, tertatih-tatih menuruni bukit, dari jauh Nu melihat cahaya lampu dari sebuah rumah di tengah hutan yang sudah lama tidak ditinggali. Namun ketika mereka mendekat, ternyata cahaya tersebut tidak ada, mereka terus berjalan hingga akhirnya melihat lampu desa dari kejauhan. Saat dibebaskan, tentara mengancaman untuk tidak menceritakan kejadian yang mereka alami kepada siapapun. Karena, jika rahasia tersebut bocor mereka akan dihabisi. Sesampainya di rumah, ia merasa ketakutan dan terusterusan menangis. Seluruh anggota keluarga berkumpul di rumahnya. Terdengar suara di bawah rumah, seperti ada yang mengintai. Rumah Nu berbentuk panggung, khas rumah Aceh. Keesokan harinya masyarakat mulai datang dan bertanya kejadian yang dialaminya. Akhirnya berita tersebut sampai ke telinga keuchik, akhirnya Nu dan korban lainnya melapor ke Kantor Koramil Matang Kuli, Aceh Utara. Di Pengadilan Militer, perjuangan Nu dan korban lainnya sangat berat, diadili, disumpah, ditambah tekanan mental terhadap korban karena berada di Koramil enam hari untuk pemeriksaan. Mereka ditanya tentang kesatuan pelaku, lambang baju, jenis senjata, nomor seri senjata dan sebagainya. Pos pelaku terdapat di Cot Girek. Pelaku kemudian dibawa ke Pengadilan Mahkamah Militer. Setelah kasus tersebut, ia menjual harta bendanya untuk berobat, mengungsi dan untuk mengobati anaknya yang sakitsakitan. Ia mengungsi ke desa tentangga. Nu menjalani masa sulit bersama anak dan orang tuanya, sedangkan suaminya pergi setelah menjatuhkan talak kepadanya beberapa waktu sebelum kejadian pemerkosaan. Mantan suaminya menjadi anggota GAM. Beberapa tahun yang lalu ia kembali menikah, namun diceraikan. Suami keduanya menjatuhkan talak setelah mereka mempunyai seorang anak. Untuk mencukupi |139|
FAKTA BICARA
kebutuhan hidup, Nu bekerja di kebun dengan upah Rp20.000 setiap harinya. Anak pertamanya laki-laki telah berumur 12 tahun, yang perempuan 10 tahun dan si bungsu 2,5 tahun dari pernikahannya yang kedua. Kejadian pemerkosaan terjadi tiga hari berturut-turut di wilayah itu. Pertama seorang warga Alue Lhok bernama An diperkosa hari Jumat, malam Sabtu bulan Juni 2003 di dalam kebun coklat di samping kuburan. Kemudian sore Minggu, kejadian menimpa Nu , Nl dan satu korban lainnya. *** Nl adalah adik iparnya Nu yang ikut diperkosa di Bukit Haru. Ketika diperkosa umurnya 22 tahun dan telah menikah. Nu diperkosa dua kali karena korban ketiga yang bernama Nw sedang menstruasi, salah satu dari tiga tentara belum melampiaskan nafsu bejatnya, sehingga Nu dipaksa melayani dua tentara. Nurlaila berkulit hitam dan gemuk, suaranya lantang. Setelah kejadian tersebut ia mengungsi ke Pulau Batam selama tiga tahun, setelah perjanjian damai RI dan Gam ditandatangani, ia kembali ke Aceh bersama suami dan anaknya. Rumahnya terbuat dari anyaman bambu beratap daun rumbia, berbentuk lurus dengan dua kamar, ruang tamu dan dapur. Rumah Nu masih berlantai tanah, hanya ditutupi karpet bunga-bunga merah jambu yang telah koyak. Ia mengeluhkan bantuan pemerintah yang tidak tepat sasaran. “Yang menjadi korban tidak mendapatkan bantuan, sedangkan yang bukan korban mendapatkan bantuan. Kami mengharap perhatian, bukan harus diberikan uang Rp20 juta. Dulu, GAM menyuruh kami ke Jakarta, karena merdeka di tangan kami masyarakat. Sekarang kita hanya dapat merasakan asap mobil mereka saja.” Nu dan korban lainnya pernah mendatangi rumah mantan kombatan, meminta bantuan dan menagih janji |140|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
kesejateraan yang dijanjikan pada masa konflik. Tapi mereka tidak mendapat perhatian layak dari pemilik rumah, mereka duduk di lantai, dan tidak disuguhi minum. Nu sering membuat permohonan bantuan, setiap mendengar akan diberikan bantuan untuk korban konflik ia berusaha mengurus persyaratan untuk mendapatkan bantuan. Namun bantuan tersebut belum diterimanya, selain dana diyat Rp3 juta beberapa waktu setelah damai. Nu sangat berharap pemerintah memperhatikan korban seperti dirinya.Namun ia teringat kejadian demo yang dilakukan oleh penduduk Desa Alue Lhok dan Bukit Tiji kepada GAM pada masa konflik. Ia berasumsi karena demo tersebutlah Alue Lhok sangat sulit mendapat bantuan. Karena penyaluran bantuan sebagian besar berada di tangan BRA yang anggotanya adalah mantan kombatan. *** Nr masih ingat semuanya, saat ia ‘direndahkan’ oleh tentara yang mendatangi rumah-rumah penduduk untuk mencari GAM. Malam Sabtu, 26 Desember 1999, ia dan Lf diperkosa di rumah masing-masing. Saat itu pukul 01:00 WIB dini hari, hampir setiap malam seluruh laki-laki di kampung tersebut sembunyi di hutan, mereka takut karena laki-laki menjadi sasaran tentara. kebetulan malam naas tersebut Suami Nr tidak ke hutan. Ia di rumah bersama istri dan kedua anak mereka. Sebelum pelaku masuk ke rumah, lampu dimatikan dari luar. Dalam suasana gelap tentara mengetuk pintu dan memaksa masuk dan langsung memukuli sang suami. Tentara bertanya kepada Nr mengenai GAM. “Ada kamu bantu GAM?” “Di mana kamu simpan duit Indonesia?” ujarnya menirukan ucapan tentara waktu itu. Karena ia menjawab tidak tahu, lalu ia diperkosa dan suaminya disiksa,diikat dan dipukuli. Jumlah pelaku menurut |141|
FAKTA BICARA
Nr sekitar tiga sampai enam orang. ”Disiksa yang laki, yang perempuan diperkosa. Jadi nggak dapat GAM, orang kampung yang kena. Kejadian itu masih terbayang-bayang di kepala. Malamnya, tahunnya, tanggalnya, jamnya, masih ingat semua,” ujar Nr. Setelah kejadian tersebut, sang suami kembali menerima Nr dan membantu pemulihan mentalnya dengan memberi dukungan. Dukungan juga ia dapatkan dari keluarga besar yang selalu membantunya. Namun berbeda dengan penduduk desa, mereka kurang menerima korban perkosaan dalam lingkungannya. Karena dianggap ‘kotor’ dan aib di kampung tersebut. “Dulu, awal-awal kejadian, pernah saya dengar ada orang kampung bilang, enak ya, udah ‘main-main’ dengan tentara dapat bantuan lagi,” cerita Nr. Tahun 2000, Nr melaporkan kejadian yang dialaminya, namun karena tidak cukup bukti, laporan ditolak. Karena mereka hanya tahu pelakunya TNI tanpa mengetahui satuan dan nama pelaku. Ketika korban perkosaan pada tahun 2003 melapor, tentara kembali mencari Nr dan Lf . Karena mereka mengungsi setelah kejadian tersebut, tentara kesulitan menemukan jejak mereka. “Dulu saya tinggal sekitar dua kilometer dari sini, dulu mungkin saya masih muda, kan sekarang ndak tanda lagi, syukur juga mereka nggak ingat,” ujarnya sambil tertawa. Nr curiga jika pelaku pemerkosaan 1999 dan 2003 berasal dari kesatuan yang sama. Karena saat korban tahun 2003 melapor, korban tahun 1999 kembali dicari oleh tentara. Nr merasa sangat bersyukur sekarang keadaan lebih aman, bekerja di kebun tidak merasa dihantui peluru, penghasilannya perbulan sekitar Rp500.000. Anak sulungnya kelas tiga SMA, anak kedua kelas tiga SMP, yang ketiga duduk di bangku SD dan si bungsu masih berusia sekitar dua tahun. Ia juga ingin kejadian yang dialaminya tidak diungkit lagi, dengan alasan malu jika masalah tersebut sampai ke |142|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
telinga anak-anak, karena mereka semakin besar. Ia tidak ingin adanya pengadilan atau penegakan hukum terkait hal tersebut. Nr hanya mengharap bantuan ekonomi dan biaya pendidikan untuk anak-anaknya. Tapi satu hal yang sangat ia inginkan, yaitu membersihkan seluruh korban dengan cara dimandikan oleh tengku atau kiyai pesantren. Harapan tersebut disampaikan oleh seluruh korban pemerkosaan 1999 dan 2003. “Tanyoe kon ka kuto (kami sudah kotor) kami mau dimandikan oleh tengku untuk disucikan kembali. Karena kalau sudah dimandikan kami merasa kembali suci, agar penduduk desa kembali menerima kami.” Lf, korban yang lain adalah perempuan pendiam, namun murah senyum. Ia sebenarnya tidak suka jika ada yang menanyakan kejadian tersebut. Ia juga tidak mengharapkan adanya pengadilan dan pembersihan nama baik. “Enggak usah diingat lagi, kasus kayak gini nggak mau diungkit lagi, tutup saja, jangan ada lagi yang datang tanya ini, tanya itu, udah capek,” tuturnya. “Malas cerita, masuk koran, masuk televisi, karena bukan sekali, udah sering. Kayaknya engak berhasil, yang ada kita dicemoohkan orang, tahulah gimana mulut masyarakat,” ujar Lf. Jika ada orang luar yang menemui korban, masyarakat kembali ribut. Mereka mengira semua yang datang memberikan uang untuk korban pemerkosaan tersebut. Namun jika tidak ada yang menemui korban, penduduk diam dan tidak mencemooh. Saat kejadian tersebut, Lf tinggal dekat kebun sawit yang berjarak sekitar tiga kilometer dari tempat tinggalnya sekarang. Kejadiannya persis sama seperti yang dialami oleh Nr, lampu rumah dimatikan, kemudian pintu diketuk, tentara masuk ke rumah dan menanyakan tentang GAM dan uang Indonesia. Tangan sang suami diikat ke belakang, kemudian dipukuli. Sementara Lf diperkosa, padahal ia sedang hamil |143|
FAKTA BICARA
muda. Karena kejadian tersebut, Lf kehilangan bayinya. Menurutnya, ketika itu masih ada korban selain ia dan Nr. Namun mereka tidak mau melapor. Selain memperkosa, tentara tersebut juga merampas uang simpanan Lf sebanyak Rp7 juta. Setelah kejadian, sang suami kembali menerima Lf, dan memberi dukungan untuk menghilangkan traumanya. Kondisi suaminya juga sehat, namun menurut Lf, suaminya masih trauma dan ketakutan jika melihat tentara. Nurjubah, Direktur JARI yang melakukan pendampingan terhadap korban pemerkosaan menilai pemerintah kurang memperhatikan perempuan korban perkosaan. Sehingga tidak mendapatkan bantuan dan konseling yang sangat dibutuhkan untuk pemulihan mental. Untuk mendapatkan bantuan, mereka harus melapor dan membuat surat keterangan di Kantor Camat dan Koramil setempat. Karena mereka tidak dianggap korban, Nurjubah pernah melakukan advokasi bersama JARI sampai melapor ke ketua BRA Banda Aceh, akhirnya korban mendapat bantuan Rp10 juta perorang, namun setelah pemotongan, korban hanya mendapatkan sekitar Rp5 juta. Menurutnya, sebenarnya yang dialami oleh korban pemerkosaan lebih berat dari pada korban konflik lainnya. Jika korban lain kelihatan bekas lukanya sedangkan korban pemerkosaan menderita secara fisik dan mental, hal tersebut diperparah dengan kondisi masyarakat yang kurang menerima korban. Saat membuat laporan untuk mendapatkan bantuan, mereka pernah harus divisum sebagi bukti. Sebenarnya, hasil visum itu tidak mungkin didapatkan karena kejadiannya terjadi tujuh hingga sebelas tahun yang lalu. Nurjubah mengatakan, pimpinan daerah yang sekarang dijabat oleh mantan GAM juga menganggap mereka bukan korban. Karena yang dianggap adalah orang yang ditembak, cacat, serta dibunuh. Padahal, menurut Nurjubah sebelum damai pihak GAM |144|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
sendiri yang memberikan semangat kepada korban untuk melaporkan kejadian yang mereka alami, bahkan sampi ke Jakarta. Agar dunia internasional tahu apa yang terjadi di Aceh. Dari amatan JARI, korban masih trauma dan tertanam dalam pikiran, bahwa mereka kotor, jadi harus dibersihkan oleh ulama agar kembali suci, padahal ketika dalam pendampingan Nurjubah memberitahu hal seperti itu bukanlah sebuah kewajiban, tetapi masih menjadi keinginan terbesar dari korban. Masyarakat juga kurang memberi dukungan untuk pemulihan korban, bahkan Nurjubah pernah mendengar salah seorang penduduk mengatakan, “kami mana ada dapat bantuan kami kan enggak main sama tentara.” Padahal, tidak semua yang datang menemui korban memberikan bantuan. Untuk mengurangi beban korban, JARI masih melakukan pendampingan dan konseling, selain itu JARI juga memberi modal usaha untuk pemberdayaan ekonomi dan beasisiwa pendidikan perbulan, untuk SD Rp10.000 persiswa, SMP Rp15.000 dan SMA 20.000. Program tersebut telah berjalan sejak tahun 2007. Rencananya sampai semua anak korban menyelesaikan pendidikan hingga SMA. Selain itu, JARI juga memberi beberapa ekor sapi untuk korban perkosaan. Nurjubah berharap dengan bantuan seperti itu sedikit memulihkan trauma yang mereka alami. “Karena kita sangat tidak adil ketika kita memerlukan informasi dari mereka, tapi kita nggak pernah berbuat apaapa, seolah-olah kita hanya mengambil keuntungan dari mereka, mengaku enggak mengaku itu intinya, walaupun kita punya niat lagi, ingin mengkampanyekan bahwa ada kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM),” ujarnya. Nurjubah sangat berharap, pejabat berwenang memberi perhatian yang sama terhadap korban pemerkosaan. Korban pemerkosaan juga sama seperti korban lainnya. Malah lebih parah, korban lain memang seumur hidup juga berbekas, tapi |145|
FAKTA BICARA
kalau perkosaan sangat berbeda. Karena ini sangat sensitif, belum lagi ditambah anggapan negatif dari masyarakatnya. *** Tanggal 19 Juli 2003 Mahkamah Militer I-01 Kodam Iskandar Muda di Lhokseumawe menjatuhkan vonis 2,6 hingga 3,6 tahun penjara kepada 3 orang prajurit TNI anggota Batalyon Infantri Yonif 411/Pandawa Salatiga yang terbukti bersalah melakukan pemerkosaan terhadap empat perempuan di Desa Alue Lhok, Kecamatan Paya Bakong Kabupaten Aceh Utara. Ketiga prajurit TNI tersebut secara nyata melanggar Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 Ke-IV tentang Perlindungan Orang-orang Sipil di Waktu Perang yang secara tegas melarang tindakan perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat. Termasuk pula di dalamnya pelanggaran terhadap Pasal 4 ayat (2) butir (e) Protokol Tambahan II (1977) Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan terhadap Korban-korban Perang Non-Internasional. Tindakan tersebut juga melanggar Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi (Convention on the Elimination of Discrimination Against Women) 1979 yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan UU nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan 1979. Prajurit Kepala Seprianus Lau Webang, terdakwa perkara pemerkosaan di Aceh Utara, menangis di persidangan. Anggota Batalion Infanteri 411/Pandawa, Salatiga, itu meminta majelis hakim tidak memecatnya dari dinas militer. Seprianus menangis saat Ketua Majelis Hakim Mayor CHK Adil Karo Karo bertanya tentang tuntutan yang dibacakan oditur militer. Dalam sidang sebelumnya, oditur militer menuntutnya dengan hukuman empat tahun penjara dan dipecat dari militer. |146|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Seprianus bersama dua prajurit dari kesatuan yang sama, Prajurit Satu Husni Dwila dan Pratu Awaluedin, didakwa telah memerkosa empat warga sipil di Desa Aluee Lhok, Kecamatan Paya Bakong, Aceh Utara, pada 20, 21, dan 22 Juni 2003. Oditur militer Mayor CHK Ahmad Dandy menjerat ketiganya dengan dakwaan primer tentang pemerkosaan dan subsider tindakan asusila di depan umum. Praka Seprianus sempat diberi kesempatan menyampaikan permintaan terakhir sebelum majelis hakim menjatuhkan vonis, ia memohon agar ia tidak dipecat, ia memohon diberi hukuman yang ringan karena ia telah berkeluarga dan mempunyai dua anak yang masih kecilkecil. Satu baru berumur tiga tahun, satu lagi baru berumur lima hari ketika ia berangkat ke Aceh, majelis hakim mempertimbangkan permintaan terdakwa. Selain kasus pemerkosaan tersebut, masih banyak kasus yang dialami perempuan Aceh selama konflik berlangsung, di antaranya seperti yang diberitakan TNI Watch, (29/3/2000). Peristiwanya sebenarnya sudah berlangsung Rabu, 7 Maret 2000 Alue Lhok. Namun, peristiwa yang sebenarnya tertutup rapat itu terbongkar setelah para korban berani memberikan pengakuan. Penuturan korban, tindak perkosaan, pelecehan seksual dan penyiksaan yang diikuti dengan perampokan terhadap 22 warga di dua desa pedalaman di Kecamatan Matangkuli, Aceh Utara, terjadi pada dinihari, Rabu 7 Maret 2000. Para pelaku berseragam loreng, bersenjata api laras panjang dan pendek, serta mengenakan topeng. Para korban amat yakin bahwa para pelaku itu adalah sekelompok anggota TNI/ Polri yang tiga malam sebelum kejadian sempat bermalam di Meunasah (surau) Desa Alue Lhok setelah pada siang harinya menyisir salah satu desa lokasi kejadian itu. Satu desa lainnya yang warganya menjadi korban perampokan dan tindak kekerasan seksual adalah di Seuneubok Aceh. Desa Aluee Lhok dan Desa Seuneubok Aceh adalah desa |147|
FAKTA BICARA
bertetangga yang terletak cukup terpencil. Menurut sejumlah warga kedua desa yang hanya berpenduduk 110 Kepala Keluarga (KK) itu, merupakan ujung Kecamatan Matangkuli. Perkampungan dikelilingi hutan lebat, areal persawahan dan perkebunan. Peristiwa itu terjadi mulai pukul 01.00 WIB hingga 04:00 WIB. Saksi mengatakan, para pelaku mayoritas menggunakan bahasa Indonesia aksen luar Sumatra yang sangat kental. Sementara jumlah pelaku tidak terdeteksi secara detail, karena antara satu rumah dengan rumah lain yang didatangi jumlahnya bervariasi, dua hingga enam orang. Pemerkosaan dan perampokan yang terjadi di sembilan rumah warga di Desa Alue Lhok dan Seuneubok Aceh itu, berlangsung seragam. Rata-rata, pelaku mengetuk pintu rumah, mematikan aliran listrik, meminta pria keluar dari rumah kemudian tangannya diikat ke belakang dan disiksa, selanjutnya isi rumah diobrak-abrik dan di antara istri dan anak-anak mereka diperkosa. Ny Lt (32), wanita asal Aceh Tengah yang bersama suaminya, R (34), menetap di Desa Alue Lhok, Ibu dua anak yang masih kecil itu diperkosa secara bergilir oleh dua orang aparat keamanan berseragam loreng setelah suaminya diseret keluar rumah dan tangannya diikat ke belakang serta kepalanya ditodong senjata api dan diperlakukan secara tidak manusiawi. Ny Lt yang sebelumnya mengadukan kasus tersebut ke delegasi Palang MerahInternasional (ICRC) di Lhokseumawe mengungkapkan, pemerkosaan itu terjadi pada saat dua aparat masing-masing bersenjata laras panjang dan pistol mengacak-acak isi rumahnya untuk mencari benda-benda berharga. Sementara suaminya terus dipukuli. “Kalau mau suamimu selamat, berikan semua uang dan emas. Dan kamu buka pakaian seluruhnya,” ujar Ny Lt menirukan para perampok dan pemerkosa itu. “Saya takut. Dan kasihan sama suami saya. Sehingga sambil menangis saya menanggalkan pakaian sampai akhirnya saya diperkosa,” |148|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
ujarnya sambil menangis. Setelah memperkosa, kedua aparat itu masih meminta uang dan emas miliknya. “Bila tidak dikasih, suami saya katanya akan dibawa ke pos mereka di Cot Girek. Saya akhirnya memberikan uang simpanan sebesar Rp3,5 juta dan emas lima gram. Setelah beraksi sekitar setengah jam di rumah kami mereka pergi,” ujar Ny Lt lagi. Korban perkosaan lain gerombolan itu adalah Ny Nah (35). Warga Desa Alue Lhok ini diperkosa sekitar pukul 01:00 WIB. Dinihari itu, enam pria berseragam loreng dan bertopeng dan senjata di tangan menggedor pintu. Setelah pintu dibuka, aliran listrik dimatikan. Kemudian mereka menanyai pemilik rumah dan suaminya digelandang ke luar rumah. Saat kejadian, di rumah korban ada lima wanita. Selain Ny Nah, ada An (18), Ah (13) dan Mar (20) serta seorang nenek. Tiga orang pelaku masuk dan tiga lainnya berada di luar rumah mengobrak-abrik isi rumah seraya minta duit dan emas simpanan. “Katanya untuk dana operasi. Kalau tidak kami akan dibawa ke pos mereka di Cot Girek,” Karena perlakuan tersebut, akhirnya semua uang simpanan sebesar Rp3 juta diserahkan serta tiga jam tangan, dan satu pasang sepatu,” cerita Nah. Setelah menguras harta, menurut Nah, tiga pria berseragam loreng yang berada di dalam rumah memerintahkan seluruh wanita membuka pakaian. Nah digiring ke kamar kemudian diperkosa oleh satu orang. Sedangkan tiga wanita lainnya, kecuali seorang nenek, digerayangi. Bahkan, AN yang masih gadis dilaporkan ikut dicabuli. “Kami tidak tahu harus bagaimana. Mereka bersenjata dan mengancam tembak bila tidak menuruti. Bahkan setelah selesai melakukan aksinya mereka masih mengancam kami untuk tidak mengadu ke pihak manapun,” tutur Nah sambil menangis. Ny Aih (45), warga Desa Alue Lhok menuturkan seorang |149|
FAKTA BICARA
putrinya, mendadak pingsan pada saat empat pria berseragam loreng dan bertopeng mengetuk pintu dan mengacak-acak isi rumahnya sekaligus memerintahkan ketiga anaknya R (17), As (15), dan B (13) untuk telanjang. Ketiga anak korban digerayangi tiga pria bersenjata itu. “Satu tangan mereka memegangi senjata. Sedangkan satu lainnya menggerayangi anggota tubuh kami,” ungkap mereka. Aksi itu dilakukan para pelaku setelah menguras harta benda mereka berupa uang kontan Rp1,5 juta dan sejumlah emas perhiasan. Perlakuan tidak manusiawi lainnya juga menimpa Nd (60). Ayah empat anak ini bersama seorang anaknya MF dan menantunya AR, tangannya diikat ke belakang kemudian dipukuli oleh dua dari empat orang berseragam. Dua lainnya, kemudian mengacak rumah panggungnya. dan meminta harta bendanya. “Setelah mendapat penyiksaan sekian lama, akhirnya mereka menemukan uang Rp2,5 juta. Rp500 ribu di antaranya uang warga yang akan saya pergunakan untuk menebus beras murah. Sedangkan sisanya mau saya bayar harga lembu acara perkawinan anaknya yang telah berlangsung lima hari sebelum kejadian,” ungkap Nd yang juga diancam akan dibawa ke Pos Cot Girek, Lhoksukon, bila tidak memberikan uang. Dalam peristiwa yang sebelumnya tidak segera terungkap itu, pelaku setidaknya menyantroni sembilan rumah yang mengakibatkan 22 orang, 16 perempuan dan enam pria, mengalami tindak kekerasan psikis dan fisik. Selain itu, para korban perampokan dan tindak kekerasan lainnya masing-masing Ny Hh (35) dan suaminya Mus (37) warga Alue Lhok dengan kerugian uang kontan Rp1,2 juta, Ny Ham, Seuneubok Aceh, Mar (30), warga Seuneubok Aceh Rp300 ribu, Yusma (35), uang Rp1 juta dan emas 15 mayam dirampok dan suaminya Yus diikat serta disiksa, Mah (37) suaminya Ishak uang Rp1 juta disikat, Ny Aisyah uang tunai Rp1,5 juta, dan N Fat uang Rp3 juta serta emas lima gram. |150|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
*** Perempuan menjadi pihak yang paling menderita dalam perang. Bahkan, ketika konflik di Aceh, ada desa yang dinamakan “Bukit Janda”. Hal ini muncul karena di desa tersebut hanya tinggal perempuan saja, dengan anak kecil dan beberapa laki-laki yang sudah lanjut usia. Sebagian laki-laki memang terbunuh, diculik, tapi sebagian lagi pergi meninggalkan desa demi keamanan, dan kembali pada pasca DOM. Namun Pasca DOM-pun ternyata tetap ada desa yang menjadi “kampung janda”, karena berbagai operasi yang digelar pemerintah untuk menumpas GAM. Kala konflik panjang, perempuan-perempuan Aceh yang melanjutkan seluruh kehidupan sosial di desa-desa, menyelenggarakan upacara keagamaan, gotong royong membersihkan desa, membantu tetangga yang sakit, menguburkan mayat sampai berbagi cerita untuk mengurangi penderitaan.[]
|151|
FAKTA BICARA
(KISAH-KISAH DARI TENGAH)
Pembantaian di Kanis Gonggong
t
Satu persatu, warga meninggalkan desa. Ada yang terang-terangan, ada yang secara diam-diam dengan alasan ingin mengantarkan keluarga. Tapi yang mengantar pun tak jua kembali ke desa. Tahun 2001, sama seperti daerah lain di seluruh Aceh, suasana Desa Cemparam Jaya, Kecamatan Syiah Utama, Kabupaten Bener Meriah (dulu Aceh Tengah) mencekam. Sebabnya karena intensitas konflik Aceh yang semakin meningkat. Ada perang antara aparat keamanan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di mana-mana. Khususnya di wilayah Aceh bagian tengah, suasana diperparah lagi dengan terjadinya pengusiran terhadap warga keturunan Jawa oleh sekelompok orang. Pengusiran itu bahkan dilakukan dengan cara kekerasan. Di Desa Cemparam Jaya, kondisi itu memaksa sebagian warga untuk pindah ke tempat yang dikira lebih aman. Jn, 50 tahun, adalah salah seorang warga Cemparam Jaya yang memilih bertahan di desanya. Saat itu ia menjabat sebagai kepala salah satu dusun. Sebagai pemimpin, ia merasa memilki tanggung jawab untuk menjadi panutan warganya. “Kalau pemimpinnya lari duluan, pemimpin macam apa saya ini. Apa kata dunia,” katanya sambil terkekeh saat ditemui beberapa waktu lalu di tempat kediamannya sekarang, Desa Selirih Mara, Kecamatan Syiah Utama, Bener Meriah. |152|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Jn bukannya tak sadar akan resiko yang bakal diterima atas keputusannya itu. Ia mengaku sering mendengar kejadian-kejadian buruk yang berlaku di desa lain yang dihuni oleh mayoritas suku Jawa. Tapi sebagai pemimpin, ia tetap berpegang teguh pada prinsip, meski nyawa taruhannya. Ibu Jn juga sempat memohon agar ia ikut mengungsi bersama yang lain. “Doanya saja mak yang mamak tinggalkan untuk aku,” Jn tetap berpegang pada prinsip. Ia tak melarang keluarga dan warga yang lain jika ingin meninggalkan desa. Secara pribadi Jn juga punya alasan lain untuk tetap bertahan di desa yang letaknya di wilayah pedalaman Bener Meriah. “Saya ingin tahu sebenarnya GAM itu siapa? Karena memang saya belum tahu, yang namanya GAM itu siapa. Kenapa orang pada takut semua,” pikir Jn kala itu. Hingga Juli 2001, dari total 61 Kepala Keluarga (KK) yang tinggal di Cemparam Jaya, hanya 21 KK di antaranya yang memilih bertahan. Dalam keadaan tetap was-was, mereka memilih tetap tidak meninggalkan rumah yang telah ditempati selama berpuluh tahun itu. Hingga suatu malam tanggal 9 Juli 2001. Hal yang selama ini dikhawatirkan datang juga. Warga Cemparam Jaya kedatangan tamu yang tak diundang. Jumlahnya puluhan orang. Tanpa sepengetahun sang tamu, warga buru-buru bersembunyi di kebun kopi yang tak jauh dari daerah perumahan. Satu persatu, rumah-rumah dibakar. Dari dalam kebun kopi, Jn dan warga yang lain hanya bisa menyaksikan peristiwa itu dengan rasa amarah bercampur sedih. “Kami tidak berani teriak. Karena tujuan mereka bukan cuma bakar rumah, tapi orangnya pun dibunuh kalau jumpa.” Meski begitu, salah seorang warga yang tak tahan melihat peristiwa itu mengusulkan agar mereka melakukan perlawanan untuk melindungi harta benda. Jn menyergah, pertimbangannya, pelaku pembakaran juga melibatkan anakanak yang berumur sekitar 12 tahun. Ia tak mau anak tersebut menjadi korban jika mereka melakukan perlawanan. |153|
FAKTA BICARA
Menurut Jn, hanya ada dua orang GAM yang ikut dalam pembakaran itu, selebihnya adalah anak-anak dan beberapa warga setempat. Ternyata, pelaku adalah orang-orang yang selama ini dianggap sebagai kawan oleh Jn. “Jadi sandiwara mereka itu sudah saya baca,” kata Jn menyimpulkan apa yang dilihatnya saat itu. “Katanya geriliya, tapi mainnya kok begitu? Berarti mereka sudah mengganggap kita ini kerupuk semua.” Hampir semua rumah rata dengan tanah. Tapi Jn tidak ingat berapa jumlahnya. Melewati tengah malam, warga masih bertahan di kebun kopi. Tak berapa lama kemudian, pelaku meninggalkan tempat kejadian. Api mulai padam, situasi dianggap sudah aman. Tepat pada pukul 03:00 WIB, warga keluar dari lokasi persembunyian, jumlahnya 12 orang. Mereka hanya bisa memandang puing-puing rumah yang terbakar dengan sedih. Tak ada lagi tempat untuk berteduh. Di tempat terbuka di salah satu sudut dusun, warga berkumpul. Dalam situasi yang masih dirundung waswas, mereka mengadakan musyawarah. “Rumah kita sudah dibakar, sebelum kita ini dibunuh habis, lebih bagus kita berangkat turun (pergi dari desa) malam ini,” kata Jn mengusulkan. Tujuannya, ke Sidodadi atau ke Selamet Rejo, desa lain di Kecamatan Banda yang bertetangga dengan Kecamatan Syiah Utama. Usulan itu ditolak oleh seorang tetua desa, yang tak lain adalah paman Jn. Ia beralasan, tak mungkin melakukan perjalanan melewati hutan pada malam hari dengan diikuti oleh anak kecil bersama mereka. Ya, rombongan 12 orang tersebut, termasuk beberapa di antaranya anak-anak. “Kita turun aja Lek...” Jn tetap menyarankan agar perjalanan dilakukan pada malam hari. Ia tak yakin jika esok hari para pelaku tidak akan mendatangi lagi dusun. Atau bisa jadi pelaku akan mencegat mereka di jalan. “Kau tenang aja nak,” kata Paman Jn meyakinkan. |154|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Mereka kemudian sepakat untuk meninggalkan desa keesokan harinya. Malam itu, warga menunggu datangnya pagi di tempat terbuka, bersama puing-puing rumah dan harta benda yang hangus terbakar. Keesokan pagi, matahari mulai bersinar. Suasana desa yang dulunya asri berganti dengan legamnya asap dan arang sisa pembakaran rumah. Warga hanya bisa memandang, berserapah pun sudah tak ada gunanya lagi. Mereka berkeliling untuk mencari sisa-sisa harta yang masih bisa digunakan. Perut lapar, untuk menanak nasi memang sudah tak mungkin. Dari sebuah kedai kecil milik salah seorang warga, Jn memungut beberapa makanan yang masih mungkin untuk dilahap. “Yang tidak habis dimakan mereka (pelaku), paginya kami yang makan,” kata Jn. Warga masih di desa. Jn menyarankan agar mereka segera berangkat. Ia khawatir jika pelaku pembakaran rumah akan menghadang mereka di jalan. Tapi pamannya memberi nasehat, tak usah terburu-buru. Apa yang ditakutkan Jn dianggap tak mungkin terjadi. Sudah pukul 08:00 WIB. Mereka mulai bersiap-siap meninggalkan desa, tujuannya ke Desa Selirih Mara, tempat Jn dan keluarga menetap sekarang. Jn sudah siap dengan sepeda motornya. Anaknya yang perempuan duduk di belakang sambil memegang sebuah tilam yang berhasil diselamatkan pada malam hari. Mereka mulai berangkat. Dalam perjalanan, Sle, adik Jn, menawarkan diri untuk memegangi tilam. “Udah bang, biar aku saja,” kata Sle. Ia tak tega melihat anak gadis Jn bersusah payah memegangi tilam tersebut. Kini, Jn berboncengan dengan Sle, sedangkan anak gadisnya ikut bersama rombongan yang lain. Mereka berangkat secara bergantian, agar tidak menampakkan suasana mencolok di perjalanan. “Kau dengar omongku ini. Kita ini memang saudara (Sle), tapi kalau dalam perjalanan ini, nyawa kita itu kita sendiri yang selamatkan. Nanti kalau ada orang yang cegat |155|
FAKTA BICARA
di jalan, nanti kau loncat saja. Lari terus, tinggalkan abang,” kepada Jn memberikan nasehatnya. Sle mengiyakan perkataan abangnya itu. Perjalanan dilanjutkan. Jn melaju sepeda motornya dengan perasaan was-was. Desa Cemparam Jaya berada di wilayah pedalaman Bener Meriah. Untuk keluar desa, warga harus melewati arel hutan dan pegunungan. Desa Selisih Mara berada tujuh kilometer dari Cemparam Jaya. Hingga pukul 09:00 WIB, perjalanan masih amanaman saja. Mereka sudah tiba di wilayah Kanis Gonggong. Tiba-tiba, antara yakin dan tidak, dari kejauhan Jn melihat lima sosok tubuh telungkup bersimbah darah. Belum cukup waktu untuk meyakinkan apa yang dilihat, ia dikejutkan oleh kemunculan beberapa orang yang gelagatnya sangat tidak bersahabat. Mereka langsung mencegat. “Dari maka kau?” tanya mereka dengan suara keras. “Saya duluan yang harus nanya, siapa kau?” bukannya menjawab, Jn balik bertanya. “Jangan banyak tanya, kubunuh kau!” dengan parang yang terhunus di tangan, mereka langsung menuju ke arah Jn. Sadar tidak akan mungkin terjadi negosiasi, Jn melaju sepeda motor ke arah para pelaku. Sle masih duduk di belakang, ia tak melaksanakan rencana yang disampaikan kepadanya saat berangkat tadi. Jn menyikut Sle hingga terjatuh, tujuannya agar ia segera meninggalkan tempat itu. Jn terus melaju sepeda motornya, menerobos kawanan orang-orang yang ingin merenggut nyawa itu. Begitu dekat, pelaku langsung menebaskan parang. Ketika pelaku menebas bagian tangan kiri, Jn mengangkat tangannya. Tebasan dari kanan pun segera datang, ia kembali memegang kemudi dengan tangan kiri, tangan diangkat dengan segera. Pelaku menebas bagian kepala, Jn segara menunduk. Ia berhasil menghindar serangan pertama. Di depan, tiga orang sudah siap menunggu, dengan parang terhunus. Sebagian mereka memakai sebu. Jn tetap |156|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
melaju sepeda motornya ke arah pelaku yang memang berdiri di badan jalan. Kali ini, Jn berpikir tak mungkin bisa melewati mereka. Ia harus memberikan perlawanan. “Begitu mereka sudah ada lagi di depan saya, yang sebelah kiri saya timpain kereta, yang depan saya tunjang, yang kanan saya tinju,” kata Jn menceritakan kembali peristiwa yang dialaminya hari itu. Semua gerakan itu dilakukan dalam waktu yang bersamaan. “Saya juga heran, kok kena semua,” Jn terkekeh. Tiga orang pelaku terjerambab ke tanah. Tapi bukan berarti Jn segera lolos dari maut, bahaya malah semakin mengancam. Sadar tak mampu melumpuhkan Jn, pelaku berteriak meminta pertolongan. Seketika, pelaku yang lain datang, Jn tak ingat berapa jumlahnya, yang ia tahu, ada banyak sekali orang yang datang memakai sebu dengan parang terhunus. Tak mungkin Jn melawan. Ia berlari sekencang mungkin menuju ke rawa-rawa yang tak jauh dari lokasi kejadian. Jn menerobos lumpur dan pepohonan rawa. Pelaku enggan mengikuti ke dalam rawa. “Saya masuk ke dalam buangan air, terus saya lari pontang-ponting.” Pelaku rupanya tak mengejar dari belakang. Mereka mengitari ke sisi lain, tujuannya, ingin mencegat dari depan. Begitu tiba ke sisi lain rawa-rawa tersebut, Jn sadar dirinya sudah terkepung. Pelaku berada tepat di depannya, ia bisa melihat langsung kaki mereka. Tapi Jn tak terlihat, rawa-rawa tersebut memang dipenuhi semak-semak. “Ya Allah ya tuhanku, tolonglah saya, saya belum mau mati. Tunjukkanlah kekuasaanmu,” dalam keadaan terkepung, Jn bermunajat, ia benar-benar takut. Ia terus berdoa. Saat itulah, Jn mengaku merasakan langsung kebesaran Tuhan. Suasana yang lengang tiba-tiba gaduh. Angin kencang datang, berputar-putar tak menentu arah. Kayu-kayu beterbangan, menimbulkan suara yang riuh. Kesempatan itu tak disia-siakan Jn, ia melarikan diri, merayap di antara pengepung. |157|
FAKTA BICARA
“Jangan cuma berdiri di situ kalian. Itu kalian tebas semak itu, dia (Jn) masih di bawah kakimu. Kau tebas-tebas, pasti dia ada di situ,” salah seorang pelaku memberikan perintah tersebut ketika Jn telah melewati mereka sekitar 10 meter jaraknya. Menurut Jn, saat itu pelaku berbicara menggunakan bahasa Gayo. “Kepada yang suku Gayo saya harap jangan tersinggung. Itu kan masa lalu,” katanya menyelingi cerita saat wawancara. Jn melanjutkan cerita. Pelaku segera melakukan perintah yang menurut Jn adalah pimpinan dari kelompok tersebut. Mereka membabat semak-semak, saat itulah tampak bekas tempat Jn merayap. “Kejar terus kata mereka, itu yang berbahaya, kalau dia lolos, habis kita semua!” teriak pelaku. Mendengar perkataan itu, rasa takut Jn bertambah. Ia terus merayap agar tak terlihat oleh pelaku yang mengejar mengikuti jejak Jn. Ia tak perduli apa yang ada di depan. Semak belukar, pepohon berduri diterobos dengan buruburu. Dari amatannya saat itu, ada tiga orang pelaku yang terus mengejar. Setelah merayap cukup jauh, Jn melihat ke belakang. Tak tampak lagi pelaku yang mengejar. Perasaannya sedikit lega, kali ini ia berlari sekuat tenaga melewati hutan seorang diri. Setelah cukup yakin bahwa pelaku tidak mengejar lagi, ia beristirahat sejenak. “Disitulah saya sadar, rupanya saya tidak pakai celana lagi,” kata Jn. Ia yakin celana training yang awalnya dipakai terlepas saat ia merayap menyelamatkan diri. *** Sejauh mata memandang, tak ada seorang pun yang tampak, harta-harta penduduk ditinggal begitu saja. Jn baru saja tiba di Desa Slamet Rejo, Kecamatan Bandar. Seorang diri, ia berlari menyusuri jalan aspal desa tersebut. Tak ada |158|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
sandal, hanya baju dan celana dalam yang ia pakai. Jn terus mencari-cari orang yang bisa ditemui. Ia berlari ke mesjid desa, di sanalah, penduduk setempat dan dari beberapa desa lainnya telah berkumpul. Ketika pertama kali sampai ke mesjid, ia langsung bertemu dengan abangnya. Tubuh Jn dipenuhi luka dan darah, si abang langsung pingsan. “Aduh, malah aku yang jadi nolongin yang pingsan tadi,” kata Jn sambil terkekeh. Jn segera meminta celana. Ia menceritakan apa yang baru dialaminya. “Kawan kita mungkin banyak yang korban. Saya salah satunya coba dibantai tadi,” Jelasnya. “Cobalah menurut kalian, bagaimana caranya, tolonglah yang dibelakang itu,” kata Jn menyarankan. Saat itu, beberapa orang anggota TNI dari Koramil Pondok Baru tengah berada di tempat pengungsian. Akhirnya disepakati, bersama beberapa warga lainnya, mereka akan mengecek keberadaan warga Cemparam Jaya yang pergi meninggalkan desa pagi tadi. Jn tidak ikut. Anggota TNI dan beberapa warga lain tiba di Kanis Gonggong, tepatnya, di lokasi tempat Jn dan adiknya dihadang. Di sana, darah berceceran. Tak ada seorang pun di tempat itu. Setelah diperiksa, akhirnya diketahui, ada beberapa manyat di dalam jurang, di tempat lokasi kejadian. Satu persatu mayat diangkat. Kondisi jurang yang cukup dalam dan dipenuhi semak belukar membuat aparat agak kesulitan mengangkat mayat-mayat itu. Kondisi mayat itupun cukup mengerikan, penuh luka tatakan pedang. Setelah diangkat, mayat-mayat itu dijejerkan di pinggir jalan. Dihitung, dan diketahui ada 12 orang yang menjadi korban pembantaian hari itu. Saat aparat dan warga bersiap-siap mengevakuasi manyat itu, tiba-tiba ada hal yang mencurigakan. Daun pisang yang dipakai untuk menutupi manyat salah satu korban itu bergerak-gerak. Mereka langsung memeriksa, ternyata sosok yang dipenuhi luka bacokan itu masih hidup. |159|
FAKTA BICARA
“Namanya Im, saat itu umurnya 14 tahun,” kata Jn. Padahal menurutnya, jika dilihat dari kondisi Im saat itu, sangat tidak bisa diterima akal sehat jika dia selamat. Badannya penuh luka parah, mata dicongkel dan tubuhnya dilempar ke jurang yang dalam. Ketika diangkat dari jurang, Im dikira sudah meninggal. Karena itu, tak ada pertolongan yang diberikan pada awalnya. Ia diperlakukan sama seperti mayat-mayat yang lain. Karena kondisi jurang yang cukup terjal, tubuh Im terpaksa ditarik begitu saja. Darahnya terus berceceran. Diketahui masih hidup, Im langsung dilarikan ke Rumah Sakit di Pondok Baru. Setelah diperiksa, dokter setempat mengatakan pihaknya tak mampu menangani kondisi Im yang cukup parah itu. Im kemudian dibawa ke rumah sakit di Kota Takengon. Sama seperti sebelumnya, dokter setempat juga mengatakan tidak mampu memberikan pertolongan. Im lalu dilarikan ke Rumah Sakit di Banda Aceh. Lagilagi, dokter di Banda Aceh juga tak mampu memberikan pertolongan. Setelah itu, Im di bawa ke Jakarta. Di sanalah ia baru mendapatkan perawatan yang intensif. Sesampai di Jakarta, Im juga dijadikan sebagai contoh kasus terhadap sejumlah peristiwa yang terjadi di Aceh pada masa itu. Kejadian di Kanis Gonggong menyebabkan 11 orang meninggal, termasuk Sle dan Paman Jn . Kondisi para korban sungguh menggenaskan, “ada yang dikorek otaknya, ada yang dikorek jantungnya dan wajahnya dihancurkan,” kata Jn. Anak perempuan Jn selamat, tapi anaknya sempat melihat Paman Jn digorok lehernya oleh pelaku. Saat itu, menurut penuturan Jn dari pengakuan anaknya, dihadapan pelaku, pamannya telah memohon sambil bersujud, tapi permohonan itu tidak digubris. Dalam keadaan bersujud, pelaku menyayatkan pedangnya ke bagian leher lelaki malang itu. Melihat kejadian itu, anak perempuan Jn hilang kendali, ia langsung melompat ke jurang bersama tiga orang lainnya. Setelah berguling-guling, ia sempat tertindih tiga |160|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
orang tersebut. Syukur, ia selamat. Setelah diobati, ia hijrah ke Medan selama empat tahun. Pasca penghadanganan di Kanis Gonggong, warga dari tiga desa, yaitu Cemparam Jaya, Sidodadi dan Slamet Rejo memilih untuk mengungsi ke Mesjid Desa Sidodadi. Di sana, mereka bertahan hidup sebisanya. Ketika malam hari, mereka berjaga secara bergantian. “Di pengungsian lebih susah lagi, aparat yang datang yang seharusnya melindungi kita, tapi kita malah yang disuruh jaga. Jadi seolah kita yang jagain dia,” kata Jn. Saat itu, desakan untuk mengungsi ke luar propinsi kembali datang. Adik Jn yang lain mengajak abangnya itu untuk pindah ke Medan, tapi ia menolak. “Saya lebih baik takut daripada susah. Kalau susah kita sendirian, kalau takut kita ya rame. Kalau di Medan kita susah sendiri, kalau di sini kita takutnya rame-rame,” katanya memberikan alasan saat itu. Empat bulan di pengungsian, Jn kemudian pindah ke Desa Selisih Mara, kampung asal bapak dan mertuanya. Ia tinggal di sana hingga sekarang. “Setelah kejadian itu, saya baru tahu siapa GAM itu, dan saya juga takut. Awalnya saya tidak takut, karena saya pikir kalau sudah kenal mungkin tidak akan dibunuh, rupanya enggak, yang udah nyembah pun terus dibunuh,” kata lelaki kelahiran Kuala Simpang tahun 1984 itu. *** Sebelum kejadian tersebut, warga Cemparam Jaya mengaku tak pernah bermasalah dengan pihak siapapun. Meski konflik Aceh terus memanas kala itu, hingga warga memutuskan untuk meninggalkan desa, tidak pernah ada pos aparat keamanan yang ditempatkan di desa. Menurut pengetahuan Jn, penyerangan dan penghadangan dan pembunuhan terhadap warga Cemparam Jaya dilakukan karena pelaku telah mengganggap orang Jawa sebagai musuhnya. |161|
FAKTA BICARA
“Menurut saya, kalau dari pihak yang sesunggungnya, enggak ada saya dengar begitu. Tapi di lapangan kok kejadiannya begitu. Katanya Jawa kafir, Jawa penjajah, begitu dia teriak waktu bakar rumah. Kita enggak mengerti apa maksud mereka.” Karena itu Jn menggangap bahwa perang yang terjadi saat itu bukanlah perang sesungguhnya. Bagi dia, yang namanya perang jelas tidak akan memberikan keuntungan bagi siapapun. “Kalau bisa anak cucu saya jangan merasakan seperti itu lagi. Yang namanya perang itu kejam,” katanya. Bagi Ju, Perang yang terjadi saat itu lebih kepada perang suku. Karenanya, sulit untuk dibayangkan jika harus mencari siapa pelaku yang tega melakukan pembantaian sadis tersebut. Ia tak mau terlalu memikirkan lagi. “Kalau mau cari tau, stress saya. Lebih baik, kalau memang takut dosa, ya enggak usah ikut perang. Kalau perang, kalau tidak dibunuh, ya membunuh.” *** Berulang kali Jn telah menjelaskan, bahwa dirinya adalah benar korban konflik dari Desa Cemparam Jaya. Adik kandungnya benar-benar menjadi korban saat peristiwa 9 Juli tahun 2001. Tapi petugas di Badan Reintegrasi Aceh (BRA) setempat menuduh Jn telah mengada-ngada. Penjelasan berulang kali dari Jn dianggap hanya rekayasa oleh mereka. Saat itu, ia akan mengurus dana diyat dari pemerintah bagi korban konflik Aceh. “Kemudian datang dari milisi yang ikut mengambil mayat waktu kejadian, dia bilang, saya ini benar, adik saya benar jadi korban. Baru mereka diam,” kata Jn menjelaskan. Sebagai keluarga korban konflik, ia mengaku telah pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah sebanyak lima kali. Ia tak ingat rincian waktu dan jumlahnya, bantuan itu diterima sekitar tahun 2001, 2002 dan 2007. Bantuan yang terakhir diterima sejumlah Rp3 juta, yang tak lain adalah |162|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
dana diyat. “Setelah damai cuma sekali dapat. Dana itu untuk saya sebagai keluarga almarhum (adik), kalau bantuan untuk saya korban konflik enggak pernah ada,” katanya. Di Desa Cemparam Jaya, kondisi sekarang lebih ramai dibanding masa konflik. Jn tentu saja bersyukur dengan semakin membaiknya kondisi tersebut. Bagi dia pribadi, meski telah mengalami langsung perisiwa mengerikan tersebut, namun tak ada istilah trauma baginya. “Sekarang ini tinggal jengkelnya aja, bukan trauma. Apalagi kalau ada orang pemerintah yang ngomong sok jujur di depan saya, rasanya mau saya lepok terus. Taik kucing semua!” kata Jn dengan nada kesal. Kekesalan ini bukan tanpa alasan, hal itu tak lain disebabkan karena perangai pemerintah yang ditunjukkan kepada masyarakat selama ini, khususnya terhadap warga korban konflik. Bayangkan saja, meski di Desa Cemparam Jaya saat ini telah dibangun begitu banyak rumah bagi warga yang rumahnya dibakar pada masa konflik, namun hal itu terkeculi buat Jn. Bantuan rumah tersebut diberikan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Mamamia. Ketika pertama sekali direncanakan akan dibangun rumah di desa, Jn langsung mendaftarkan diri. Namun, saat pembangunan rumah akan dilakukan, ia tidak masuk dalam daftar penerima rumah. Mengatahui hal itu, Jn langsung mendatangi pihak LSM Mamamia. Ia menanyakan mengapa dirinya tidak masuk dalam daftar penerima rumah. “Kelemahan Anda karena aparat desa (kepala desa) Cemparam tidak mau tanda tangan untuk bapak. Tinggal di tandatangan saja langsung kami bangun rumah,” kisah Jn menceritakan alasan yang diberikan LSM Mamamia saat itu. “Saya tahu bapak memang orang sana, bekas rumah bapak juga saya tahu, tapi tolong bapak mengerti tentang kami, siapapun yang kami buat rumahnya tanpa tandatangan pemerintah setempat, itu saya yang harus tanggung jawab,” |163|
FAKTA BICARA
sebut pihak LSM Mamamia saat itu, seperti diucapkan Jn. Mengetahui hal tersebut, sebagai warga yang pernah tinggal di Desa Cemparam Jaya dan memilih untuk bertahan hingga penghabisan darah terakhir, emosi Jn memuncak. Ia mendatangi kepala desa dan berkali-kali berusaha menjelaskan. Namun penjelasan itu tidak digubris. “Dia (kepala desa) enggak mau tanda tangan. Katanya saya bukan masyarkat di situ.” Yang lebih menyakitkan lagi, bantuan rumah justru didapatkan oleh sanak famili kepala desa tersebut yang dulu memilih untuk mengungsi ke Medan. “Saya kenal kepala desa, dulu sama-sama di desa, dulu dia yang duluan mengungsi,” kata Jn yang telah menetap di Bener Meriah sejak tahun 1984 itu. Usaha Jn tidak berhenti. Meski tidak mendapatkan bantuan di desanya, ia berusaha mendapatkannya di tempat lain. Setiap diundang ke pertemuan yang diperuntukkan bagi korban konflik, ia selalu hadir, baik oleh pemerintah maupun LSM. Tujuannya, untuk mendapatkan kejelasalan tentang apa hak yang harus diterimanya. “Jadi saya lihat, kebenaran yang dari pihak korban ini memang enggak didengar. Yang jadi hak saya saja enggak diberikan, apalagi kalau kita minta bantuan,” kata Jn menyimpulkan. Dan sekarang, Jn mengaku tidak terlalu menaruh harapan lagi kepada pemerintah. Bagia dia, pemerintah memang membenci yang namanya kebenaran. Dan itulah sebenarnya yang menjadi sebab timbulnya berbagai macam persoalan yang ada di dalam masyarakat saat ini. “Kalau pemerintah jujur, mungkin enggak ada yang namanya GAM, enggak ada GPK, AM atau yang lainnya. Itu kalau memang pemerintahnya jujur, adil, bisa buat sejahtera,” kata Jn berpendapat. Bagi dia, pemerintahan sekarang masih sama seperti yang dulu, belum ada perubahan. Bagaimana keadilan secara hukum? “Wah.. kalau keadilan seperti itu sudah tidak diharapkan, karena sudah enggak mungkin terjadi. Enggak bakal, jangan mimpi kalau |164|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
sampai disidang,” kata Jn. Baginya, tidak ada lagi keadilan yang bisa diharapkan. “Kalaupun ada, untuk meraih itu misalnya, memerlukan uang yang seharusnya bisa untuk makan seminggu. Kalau ingin menuntut keadilan, nggak bisa makan kita.” Saat ini, Jn menghabiskan hari-hari di kawasan sejuk, di Desa Selisih Mara, Bener Meriah. Rumah yang ditempati saat ini awalnya adalah milik mertuanya. Untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari, ia berusaha apa yang bisa. Salah satunya, sebagai pedagang pisang, dibeli dari petani, lalu dijual lagi. Kebun kopi sebenarnya ia punya, yaitu di Desa Cemparam Jaya. Namun karena sudah tidak menetap lagi di sana, kebun tersebut kini tidak terurus, dipenuhi semak belukar. Ketika ditanya pontensi timbulnya konflik seperti pada tahun 2001, dengan yakin Jn menjawab bahwa itu tidak tidak ada lagi pada masa sekarang. Yang menjadi masalah hanya persoalan begitu banyaknya janji-janji pemerintah kepada korban konflik yang tak kunjung dipenuhi hingga saat ini. [ ]
|165|
FAKTA BICARA
Pepedang Berdarah
t
Sekitar akhir tahun 2001, masyarakat di dataran tinggi Aceh, khusus di Kabupaten Bener Meriah dikejutkan oleh kabar terjadinya pembantaian besar-besaran yang terjadi di kawasan Pepedang. Tepatnya di sebuah ruas jalan tembus Bener Meriah-Aceh Utara. Beberapa sumber menyebutkan, jumlah korban atas kejadian itu mencapai 60 orang. Namun tim penulis tidak berhasil mendapatkan angka pasti jumlah korban. Motif pembunuhan juga masih misteri. Dari hasil penelusuran di lapangan, tim penulis berhasil menemui seorang korban yang selamat dari kejadian Pepedang. Awalnya, ia menolak untuk diwawancara, setelah dijelaskan maksud dan tujuan, ia bersedia, tapi tidak mau namanya disebut. Sebut saja namanya Saksi Pepedang (SP). Ia tak ingat lagi kapan persisnya peritiwa itu terjadi, antara akhir 2001 atau awal 2002. Saat itu, SP bersama adik angkat dan pamannya berangkat menuju ke Trusep, arah Kecamatan Samar Kilang. Setelah menempuh perjalanan, mereka tiba di kawasan Pepedang, suasana sepi. Satu kilometer dari Pepedang, mereka tiba di tempat tujuan. Untuk sebuah keperluan, adik angkat SP yang bersuku Jawa itu pergi ke sebuah tempat yang rutenya harus melewati Pepedang. Tak berapa lama, SP yang warga asli Bener Meriah mendengar suara letusan senjata. Ia khawatir, kalaukalau terjadi sesuatu terhadap adik angkatnya itu. Ia lantas meminjam sepeda motor milik salah seorang temannya. |166|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Mengunggunakan motor Honda CB itu, SP melaju ke arah Pepedang. Saat itu jelang siang hari, setibanya di Pepedang, dari kejauah SP melihat beberapa orang berpakaian loreng, ada senjata di tangan. Jumlahnya 20 hingga 30 orang. Mereka memanggil SP, melihat kondisi demikian, ia tak memutar haluan sepeda motornya, hanya menurunkan kecepatan saja. Ketika orang bersenjata itu memanggilnya, ia mengganguk saja. “Iya..,” kata SP saat itu. Jarak antara SP dan orang bersenjata itu sudah sangat dekat. Ia mencoba mencari tahu, siapa mereka? Tak mau terlalu lama berpikir, SP melepaskan sepeda motor yang terus melaju ke arah orang bersenjata itu, melihat SP akan melarikan diri, beberapa orang bersenjata itu lantas melepaskan rentetan senjata. Dor..dor..dor.. di bawah berondongan senjata, SP balik arah, berlari sekuat tenaga. Setelah berlari sekitar 50 meter, SP langsung melompat ke jurang. Beruntung ia, langsung jatuh ke dalam air. Tapi tubuhnya luka-luka, tersayat ranting pepohonan. Pelaku tidak melakukan penyisiran. “Orang itu kalau udah masuk ke jurang, ke semaksemak, nggak di sisir lagi, paling berapa jam setelah itu, mereka enggak berani langsung mencari. Masa itu, yang namanya perang lawan pun punya senjata, jadi mereka nggak berani mencari.”32 SP selamat. Dengan tubuh yang luka-luka, ia berlari seorang diri di dalam hutan, menuju ke Truseb. Setiba di sana, ia mendapat pertolongan dari warga. SP menceritakan apa yang baru saja dialaminya itu. Ia tak bisa memastikan siapa pelaku yang menembaknya itu. Menurutnya yang pasti mereka itu bukan GAM. Di Trusep, SP mencari tahu keberadaan adik angkatnya. Setelah ditunggu-tunggu, sang adik tak muncul, juga tak ada kabar tentang dirinya. Satu pekan berada di Trusep, SP memutuskan untuk melihat ke Pepedang. SP ditemani beberapa warga Trusep lainnya. Setiba di Pepedang, mereka 32_Wawancara SP, bukan nama sebenarnya, korban selamat peristiwa Pepedang |167|
FAKTA BICARA
menemukan mayat-mayat bergeletakan. Jumlahnya puluhan, SP menyebut di atas 20 orang. Bau busuk menyengat hidung, kondisinya sangat memprihatinkan. Mayat-mayat itu, ada yang digigit anjing dan biawak. Wajah dan perut jasad itu sudah menggembung, ada yang kepala terpisah dari badan. Hampir semua tak lagi menggunakan pakaian, hanya celana dalam. SP tak mengenali yang mana jasad adik sepupunya. Ia yakin, di antara mayatmayat itu, termasuk adik sepupunya. Setelah bermufakat dengan beberapa warga Trusep lainnya, mayat-mayat itu dikuburkan, rencananya secara massal. Mereka kemudian menggali lubang, tapi kemudian penggalian tak tuntas dikerjakan. Mereka khawatir, kalaukalau pelaku datang dan mendapati mereka di tempat itu. Warga kembali ke Trusep, sedangkan SP menuju ke kampung untuk memberitahukan perihal yang menimpa adik angkatnya kepada keluarga. Menurut kabar yang di dengar SP, beberapa hari kemudian, mayat-mayat di Pepedang dievakuasi oleh Palang Merah Indonesia (PMI) Aceh Tengah. Mustawalad, aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) asal Bener Meriah menyebutkan bahwa kejadian di Pepedang merupakan pembantaian besar33 yang pernah terjadi di Bener Meriah pada masa konflik. Namun sayangnya belum ada satu pihak pun yang menulis secara detail kisah tersebut. Lelaki asli Bener Meriah ini mengaku telah mengupayakan pengumpulan informasi tentang kejadian Pepedang. Ia mengaku telah pernah bertemu salah seorang keluarga korban di Takengon yang mengaku kehilangan empat orang anggota keluarga saat peristiwa Pepedang terjadi. Dari hasil investigasi sementara, Mustawalad menyebutkan, memang ada banyak sekali korban yang berjatuhan di Pepedang. Koordinator K2HAU itu baru bisa memastikan jumlah korban sebanyak 27 oang. Ada yang dikuburkan secara massal, sebagian lainnya dibawa pulang 33_Wawancara Mustawalad, Koordinator K2HAU |168|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
oleh keluarga masing-masing. Korban kebanyakan bersuku Aceh dan Gayo, ada juga suku Jawa. Menurutnya, Peristiwa Pepedang memiliki keterkaitan dengan peristiwa-peristiwa pembantaian lain yang terjadi sebelumnya di Bener Meriah dan Aceh Tengah. Pepedang merupakan puncaknya. Menurut Mustawalad, sebagian korban dicegat dan dibunuh saat melintasi jalur tersebut, sebagian lainnya memang dibawa dari tempat lain dan mayatnya dibuang di tempat itu. Misalnya ia menyebut nama salah seorang korban, yaitu Keuchik Sabil, warga Weh Tenang Uken. Menurut informasi yang diterimanya, Keuchik Sabil diculik dari kampung dan mayatnya ditemukan di Pepedang. Identifikasi terhadap jasad Keuchik Sabil diketahui dari luka ditubuhnya yang berbentuk tulisan “Sabil.” Nama lain adalah Mak Den. Dalam catatan Kontras, Mak Den merupakan korban orang hilang, namun ada yang mengaku bahwa melihat mayat Mak Den ditemukan di Pepedang. Mak Den adalah Ketua Pemuda Pancasila Aceh Tengah. Informasi tentang kondisi mayat yang cukup mengerikan juga didapat oleh Mustawalad. Kondisi manyat sudah rusak karena dimakan biawak. “Ini indikasinya bahwa memang kejadian itu sudah lama,” kata Mustawalad.34 Dari pengalaman Mustawalad bertemu dengan beberapa saksi dan menelesuri informasi mengenai peristwa Pepedang, pada umumnya keluarga korban mengaku sangat trauma dengan kejadian itu. Karena memang kondisi mayatmayatnya sangat mengerikan, sadis. Harapan keluarga korban, dalam istilah Gayo disebut dengan ngeh simungeh, ageh simengeh, yang artinya kira-kita “cukup sudah, jangan terulang lagi.“ “Jika berbicara proses hukum, mereka juga ingin ada kejelasan hukumnya. Tegaknya hukum, kepastian hukum, dan siapa pelakunya? Kenapa mereka dikorbankan. Tapi walau bagaimanapun jangan terulang lagi kejadian itu. Bagaimana ini jangan terulang lagi, pemerintah yang harus menjamin hal 34_Ibid hal.2 |169|
FAKTA BICARA
ini. Ngeh genap, cukup sudah.” 35 Begitu juga dengan SP, ia mengaku tak sanggup membayangkan jika konflik harus terulang lagi. Apalagi saat ini ia harus membiaya kebutuhan hidup keluarga dan pendidikan anaknya. Di masa damai, sebagai korban konflik, SP mengaku tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Padahal, selain kehilangan keluarga, pada masa konflik ia juga banyak kehilangan harta benda; dua sepeda motornya hilang akibat konflik. []
35_Ibid hal.2 |170|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Perang Koboy di Pondok Kresek
t
Tahun 1999, intensitas konflik Aceh semakin memanas, tak terkecuali kawasan Bener Meriah (dulu masuk Kabupaten Aceh Tengah). Konflik di sana dikisahkan kembali oleh tokoh masyarakat setempat, Sutrisno. Saat itu, Sutrisno adalah Kepala Desa Pondok Kresek, Kecamatan Pondok Baru. Belakangan, nama Pondok Kresek berganti menjadi Sedie Jadi. Sejak tahun 2004, Sutrisno menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bener Meriah. Sutrisno dan beberapa warga lain di desa itu mulai gusar saat konflik mendera. Bukan karena perang antara GAM dan TNI/Polri yang terjadi di mana-mana, tapi ada isu lain yang mulai merebak. “Kalau orang Jawa lewat ke daerah Aceh, nanti akan disweeping sama GAM. Bisa dibilang hilang lah,” kata Sutrisno. Selain itu, ia juga mendapat kabar bahwa di beberapa tempat telah terjadi pengusiran terhadap penduduk di kampung-kampung yang dihuni suku Jawa. Misalnya, di Jantho, Kabupaten Aceh Besar, di Samalanga, Kabupaten Aceh Utara (sekarang Bireuen), di Aceh Timur, dan di beberapa tempat lainnya yang dihuni oleh warga transmigrasi asal Jawa. Awalnya, Sutrisno tak percaya, hingga kemudian kabar itu benar-benar dialami langsung oleh salah seorang familinya di kawasan Bireuen. Di sana, ada beberapa Kepala Keluarga (KK) suku Jawa yang diusir secara paksa dari kampung |171|
FAKTA BICARA
mereka. Harta benda yang telah diusahakan selama sekian tahun, dihargai dengan sesuka hati oleh pelaku pengusiran. “Dan ada juga yang dibunuh,” kata Sutrisno.36 Kabar yang dulu hanya didengar, kini telah dialami langsung oleh keluarganya. Keputusan harus dibuat. Tapi, jika harus pergi, pergi ke mana? Sutrisno memang bersuku Jawa, tapi ia lahir di Aceh Tengah, pada 27 mei 1967 silam. Kakeknya dan neneknya sudah menetap di kawasan dataran tinggi Aceh itu sejak tahun 1937. Keduanya meninggal dan dikuburkan di Bener Meriah. Saat itu, Sutrisno sama sekali tidak tahu di mana kampung asalnya di Pulau Jawa. Begitu juga dengan sebagian besar penduduk transmigrasi lainnya. Ketika sudah menjadi anggota Dewan, Sutrisno mencoba melacak keberadaan tempat asal dan familinya yang ada di Pulau Jawa. April 2010 lalu, ia berhasil menemukan tempat dan sanak familinya itu. Satu orang keponakannya kini tinggal bersama di Bener Meriah. Atas dasar pemikiran; jikapun harus pergi, hendak pergi ke mana, warga Pondok Kresek memutuskan, mereka tidak akan meninggalkan desa yang telah ditempati selama puluhan tahun itu. Mereka menyatukan diri, bersepakat, jika memang ada yang datang dan mengusir, akan dilawan bersama-sama. Kekhawatiran adanya pengusiran paksa terhadap warga suku Jawa tidak hanya dirasakan oleh penduduk Pondok Kresek, tapi juga oleh warga suku Jawa yang tinggal di beberapa desa lain yang keseluruhannya berjumlah 30 persen dari penduduk yang ada di Bener Meriah dan Aceh Tengah37. Para tokoh masyarakat dari berbagai desa berkumpul, dan memutuskan akan bertahan. Keputusan sudah dibuat, musuh yang akan dihadapi pun sudah jelas, dan mereka bersenjata. Lalu, bagaimana cara melawan jika sewaktu-waktu musuh datang dan mengusir 36_Wawancara Sutrisno, mantan kepala Desa Pondok Kresek, saat ini anggota DPRK Bener Meriah 37_Ibid hal.1 |172|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
secara paksa? Tentu dengan senjata pula. Lalu darimana mendapatkan senjata? Khususnya di Pondok Kresek, kebetulan saat itu ada seorang warga yang sudah memiliki pengalaman tempur sebagai anggota Operasi Perlawanan Rakyat (OPR) di masa DI/’TII. Namanya Tg, ia mahir membuat senjata rakitan. Warga kemudian menyuplai bahan-bahan seadanya kepada Tg untuk diolah menjadi senjata rakitan. Dari olahan tangan Tg tersebut, terciptalah beberapa jenis senjata api rakitan. Pokoknya senjata api, apakah itu bagus atau tidak. Salah satu jenis senjata api rakitan yang dibuat saat itu adalah kecepek. Amunisi senjata ini diolah dari korek api. Di dalam bagian pelurunya dimasukkan hancuran besi. Dengan jarak tembakan sekitar 200 meter, kecepek mampu mengenai semua sasaran yang ada di depannya. Pelurunya menyebar, hampir mirip senjata modern Shotgun Pump (SP). Kecepek mampu mematikan lawan dengan jarak maksimal 60 meter. Ketika di Pondok Kresek warga mempersiap diri untuk bertahan, di tempat lain, pembantaian terhadap suku Jawa benar-benar terjadi. Ju, yang tak lain adalah paman Sutrisno menjadi salah seorang korban. Tepatnya pada tanggal 6 September tahun 2000, bersama beberapa orang lainnya, mayat Ju ditemukan di Weh Kanis. Dari informasi yang diterima Sutrisno, pamannya itu menjadi korban sweping terhadap warga Jawa yang dilakukan oleh sekelompok orang. Seminggu setelah meninggal, mayat Ju dibawa dan dikuburkan di Pondok Kresek. “Jadi yang sebelumnya saya dengar bahwa ada sweping orang jawa, dan bahkan dibunuh, sudah menimpa langsung keluarga saya. Dengan dasar itu, memperkuat bahwa betul kita memang mau dihabiskan,” ujarnya. Untuk kesekian kalinya, warga dari beberapa desa mengadakan rembukan di Pondok Kresek, bisa dibilang, desa ini adalah tempat berkumpulnya warga suku Jawa khususnya di Aceh Tengah untuk mengadakan rembukan. Mereka berkoordinasi untuk menyikapi masalah yang |173|
FAKTA BICARA
terjadi. Menurut Sutrisno, ketika pamannya menjadi korban sweping, pasukan GAM saat itu masih menguasai Kecamatan Permata dan sekitarnya selama 11 hari penuh. Mereka bebas menenteng senjata ke sana kemari. Jelas saja hal itu semakin membuat takut warga Desa Pondok Kresek, karena memang berbahaya bagi mereka. Rasa khawatir bertambah, meski kondisi semakin tak menentu, namun tak ada aparat keamanan yang patroli atau ditempatkan di desa. Padahal saat itu, Sutrisno sudah pernah menghadap ke Bupati Aceh Tengah yang saat itu dijabat oleh Mustafa Tami, ia meminta agar aparat keamanan ditempatkan di Pondok Kresek. Namun permintaan itu tak kunjung ditanggapi. Kondisi sudah jelas, warga memang harus mempertahankan keselamatannya sendiri. Pirin, salah seorang warga Pondok Kresek mengusulkan kepada Sutrisno agar warga membuat bunker (lubang pertahanan), di salah satu sudut desa. Saat itu, usulan tersebut benar-benar tak diterima akal Sutrisno, karena ia tak pernah membayangkan akan terjadi perang di desa yang dipimpinnya itu. Bahkan ia sempat mengganggap Pirin kurang waras. Tak berapa lama, bersama istrinya, Pirin berhasil merampungkan pembangunan bunker sederhana itu. Ada juga beberapa bunker lain yang dipersiapkan warga. Bunker sudah ada, senjata api rakitan juga, tapi senjata itu butuh peluru. Dengan bahan-bahan seadanya, warga juga mencoba mempersiapkan peluru. Bagaimanapun caranya, peluruh harus ada. Beberapa di antaranya didapatkan dari polisi yang ditukarkan dengan kayu grupel. “Entah beli, entah dari mana, kadang kita tukar kayu grupel dengan Brimob yang datang, kita dapat peluru lima biji. Jadi kita upayakan hal-hal seperti itu, dengan tujuan, apabila betul memang kita diserang pakai senjata api, kita bisa memberi perlawanan, meskipun dengan suara saja.” Memasuki tahun 2001 keadaan semakin memanas. Untuk memudahkan komunikasi, warga juga mengupayakan |174|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Handy Talkie (HT). Sejak tahun tahun 2000, pada malam hari warga tidak lagi tidur di rumah masing-masing. Yang perempuan berkumpul, yang lelaki berjaga-jaga dalam beberapa kelompok. Untuk kesekian kalinya, Sutrisno kembali meminta kepada aparat keamanan agar pasukan ditempatkan di desa mereka. Kepada Kapolsek setempat, ia memohon, paling tidak pada malam hari ada aparat keamanan yang tinggal di desa. Tapi menurut Sutrisno, permintaan itu tidak ditanggapi, aparat keamanan juga takut saat itu. Malam, 5 Juni tahun 2011. Seperti malam-malam sebelumnya dalam beberapa waktu terakhir, warga lelaki berjaga-jaga di beberapa sudut desa. Ada di pos bawah tak jauh dari pintu gerbang masuk ke Desa Pondok Kresek. Ada juga di pos atas, di salah satu ujung desa yang letaknya agak di ketinggian. Desa ini memang berada di kaki pegunungan, memasuki desa dari arah pintu gerbang, kita langsung menemukan jalur menanjak. Saat itu, selain warga desa Pondok Kresek, ada juga warga dari Desa Jumirah yang memilih bermalam di desa ini. Informasi yang berkembang saat itu, akan segera terjadi penyerangan. Dari HT yang dimiliki warga Pondok Kresek, mereka bisa berkomunikasi dengan anggota GAM yang berada di sekitar desa. Tapi warga Pondok Kresek tak paham dengan sandi yang digunakan oleh GAM. Dari hasil analisa semampunya, diketahui bahwa benar akan terjadi penyerangan. Sasarannya, Sidodadi dan Pondok Gajah, bukan Pondok Kresek. Menurut Sutrisno, saat itu di Pondok Gajah ada Koramil dengan 12 orang anggota TNI. Atas dasar informasi yang berkembang saat itu, enam orang anggota TNI Koramil Pondok Gajah ditempatkan ke Sidodadi. Sedangkan di Pondok Kresek tidak ada aparat keamanan yang berjaga, hanya warga yang bersenjata rakitan. Informasi lain yang didapati tim penulis, warga yang berjaga-jaga saat itu bukan karena adanya kabar akan terjadi |175|
FAKTA BICARA
penyerangan, tapi memang karena adanya pengumuman agar dilaksanakan jaga malam massal di seluruh Kabupaten Aceh Tengah. Sebagai kepala desa, Sutrisno memimpin penjagaan. Ia berada di pos bawah, dengan senjata api rakitan, HT dan sepatu PDL. Di pos atas, ada sekitar delapan orang. Mereka berjaga sambil bakar jagung. Jelang pukul 22.00 WIB, salah seorang di antara mereka menuju ke arah semak untuk buang air kecil. Saat itulah, ketika menoleh ke arah bukit, 30 meter dari tempatnya berdiri, ia melihat puluhan orang sedang berendap-endap. “Ada orang masuk!” kata dia setengah berbisik kepada rekannya yang lain. “Siapa?” teman yang lainnya bertanya. Belum sempat pertanyaan terjawab “Dor…!,” spontan lelaki yang berbisik itu melepaskan tembakan dari senjata rakitannya.38 Sutrisno di pos bawah, mendengar letusan itu, spontan ia berserapah. “Kurang ajar anak-anak itu, main petasan malam-malam. Belum ada instruksi udah maen itu,” kata dia. Ada 10 butir peluru yang dibawa bersamanya. Belum habis rasa kesalnya, tiba-tiba kembali terdengar suara letusan, kali ini lebih dahsyat, jumlahnya tak terbilang. Ia yakin suara itu berasal dari moncong senapan serbu AK-47. “Serbuu..!” Sutrisno berteriak. Begitu hendak menuju ke pos atas, langkahnya terhenti oleh penampakan musuh yang ternyata sudah begitu dekat, tak jauh dari lokasi pos bawah. Dor..! dor..! dor..! rentetan tembakan senapan otomatis langsung ditujukan ke arah mereka. Sesekali diselingi ledakan bom! Sutrisno dan rekan-rekan urung menuju ke pos atas, mereka bersembunyi di sebuah rumah warga. Dari luar, tembakan bertubi-tubi menghantam dinding rumah. Karena jumlah peluru yang sedikit, warga harus menghemat peluru. Tembakan baru dilepaskan jika sasaran sudah jelas. “Dor..!” sesekali balasan tembakan terdengar dari dalam rumah tempat Sutrisno dan rekan-rekannya 38_Wawancara YA, salah seorang warga yang berjaga di pos atas |176|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
bersembunyi. Setelah tembakan sedikit mereda, mereka ke luar, tujuannya ke tempat lain yang lebih aman. Di pos atas, YA dan rekan-rekan memilih mundur. Pos tersebut tepat berada di samping rumah YA . Di dalam ada ibu, kakak perempuan dan keponakannya. YA mundur ke tangga menuju halaman rumah. Rupanya musuh sudah ada di mana-mana, mereka terkepung. Di bawah berondongan senjata, sesekali ia melepaskan tembakan balasan. Saat itu, YA mengaku sempat menembak salah seorang musuhnya dari jarak dekat. Ia yakin, tembakan itu mengenai sasaran. Tepatnya di tempat tak jauh dari tempat pertamakali ia terkepung, “Saya rasa kenak dia,” kata YA . Sebelumnya, rekan YA sempat memperingatkan musuh tersebut untuk berhenti. YA langsung menembak. Setelah itu, ia juga mengaku sempat menembak satu orang musuhnya yang lain, ia yakin, tembakan itu juga mengenai sasaran. Setiap satu tembakannya dibalas dengan berondongan. Listrik padam, tapi suasana terang benderang. Malam itu purnama. Rentetan tembakan diiringi letusan bom terus menggema di desa yang berada di kaki bukit itu. YA dan rekan-rekan berusaha menghidar dari amatan pelaku. Tapi mereka tidak lari, berendap-endap sambil sesekali membalas tembakan. Saat itu, pelaku mulai membakar rumah warga satu persatu, termasuk rumah YA . “Waktu dibakar rumah, kami masih di sekitar lokasi, sembunyi,” kata Yudi. Di pos bawah, Sutrisno dan rekan-rekannya masih terus menghadapi gempuran musuh. Mereka juga tidak lari meninggalkan desa, hanya menghindar. Mereka menyelinap dari balik-balik rumah, tujuannya hendak ke pos atas. Ketika hendak sampai di pos atas, mereka menemukan salah seorang warga yang menjadi korban penembakan, namanya Edy Suyono. Ia menghembuskan nafas terakhir setelah sebelumnya dievakuasi ke dalam bunker. Melihat salah seorang warganya tertembak, Sutrisno memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan ke pos atas, tapi menghindar ke sisi lain ujung desa. Setibanya di |177|
FAKTA BICARA
sana, beberapa rumah telah hangus terbakar. Sudah satu jam, suara tembakan masih terdengar. Bak bermain petak umpet, Sutrisno dan rekan-rekan menghidar dari pantauan pelaku. Ketika mereka tiba di ujung desa sisi lain, pelaku tiba di pos bawah. Sambil melepaskan tembakan dan memabakar rumah, mereka berteriak-teriak, dalam bahasa Aceh dan Gayo. “Kata-katanya kira-kira, Jawa harus pergi dari sini. Habiskan semua, habiskan!” kata Sutrisno menceritakan. Rumahnya termasuk yang dibakar pelaku. Suara tembakan baru reda pada pukul 23:30 WIB, atau satu setengah jam sejak suara tembakan pertama kali meletus. Pelaku sudah meninggalkan desa, dari kejauhan, suara tembakan sesekali terdengar. Sutrisno memperkirakan jumlah pelaku ratusan orang. Begitu juga dengan YA. Bahkan ia mendapat informasi bahwa ada 30 orang pasukan inti pelaku dari Aceh Utara yang ikut penyerangan malam itu. Mereka memakai loreng. Setiap tiga sampai enam orang pelaku memiliki satu pucuk senjata. Ada juga pasukan jerigen, yang bertugas sebagai pembakar rumah. Kemudian hari didapatkan informasi bahwa sebagian pasukan jerigen adalah warga yang menetap di Pondok Kresek, dan dari desa tetangga yang diajak paksa oleh pelaku untuk ikut penyerangan dan pembakaran itu. Suasana mulai lengang. Api masih membara dari rumah yang dibakar. Warga mulai berkumpul, mereka menyisir kampung. Pirin, 60 tahun adalah korban meninggal yang pertamakali ditemukan. Awalnya, mayat Pirin tidak dikenali, karena setengah badan bagian atas hangus terbakar. Di tubuhnya ada luka tembak, kepalanya terbelah oleh tatakan parang. Anak Pirin menyakini bahwa itu adalah ayahnya. Korban lain adalah Edy Suyono, ia terkena tembakan dan meninggal saat dievakuasi ke dalam bunker. Zen Kaharuddin, 50 tahun, ia meninggal di dalam bunker akibat jantungan. Sedangkan Marnak, 60 tahun, baru ditemukan abu jasadnya setelah warga mematikan kobaran api dari salah satu rumah |178|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
yang dibakar. “Cuma tinggal abunya saja,” kata Sutrisno. Korban lain adalah Irma Yuni Prastika, dua tahun. Ia terkena tembakan dan meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit. Satu orang terluka, terkena tembakan di kaki (baca; kesaksian NA). Peristiwa 5 Juli 2001 itu memakan korban jiwa lima orang, 15 rumah dan balai desa ludes dilalap api. Aparat keamanan baru tiba di Desa Pondok Kresek pada pukul 00:30 WIB. “Mareka baru datang, untuk apa lagi, sudah ada tidak ada lagi penyerang. Orang kita sudah beberapa orang jadi korban,” kata Sutrisno. Ia juga menduga beberapa pelaku turut menjadi korban saat perang malam itu. Ketika penyerangan selesai, warga menemukan banyak jejak darah yang diyakini milik pelaku. Di tempat kejadian, pelaku juga meninggalkan sepatu, parang, dan tentu saja selonsong peluru dari berbagai jenis senjata; AK-47, Double Loop, Shotgun, dan GLM. Saat dikumpulkan, jumlahnya mencapai satu ember. YA menduga korban dari pihak musuh mencapai 13 orang. “Menurut informasi ada 13 orang mereka yang kena. Setelah beberapa hari kejadian, ada banyak tentara yang dikirim. Ada juga yang dari mereka (pelaku) yang kita pegang, dia mengaku, ada sekitar 13 orang mereka yang kena. Yang jelas di mata saya waktu itu dua orang.” Ia juga menyebutkan dua nama anggota GAM yang terlibat penyerangan malam itu, yang kemudian menyerahkan diri di Buntul. Pagi hari, kabar telah terjadinya perang selama satu setengah pada malam itu dengan cepat menyebar ke desadesa lain. Warga dari berbagai desa kemudian berbondongbondong menuju kampung duka itu, termasuk Komandan Kodim setempat. Hari itu, dalam suasana duka, warga tetap memilih untuk bertahan di desa. Mereka berkumpul di mesjid. Sore hari, yang lelaki melakukan patroli, dan saat malam tiba jaga malam seperti sebelum penyerangan itu tetap dilakukan. Sebulan lamanya warga mengungsi di mesjid. Mereka |179|
FAKTA BICARA
sempat menerima sejumlah bantuan dari Bupati Aceh Tengah dan dari warga Budha yang ada di kabupaten ini. Setelah itu, warga kembali ke rumahnya masing-masing. Bagi yang rumahnya dibakar, mereka menumpang pada sanak famili. Pondok Kresek hanya pernah diserang sekali. Usai penyerangan itu, jika ada orang yang mencurigakan, menurut Sutrisno, pihaknya segera mengamankan orang tersebut. Pondok Kresek telah nyata diserang. Pelakunya menggunakan bahasa Gayo dan Aceh. Untung saja peristiwa penyerangan kampungnya itu tidak menyebabkan perang saudara, atau perang antara suku-suku yang ada di Aceh Tengah. Sutrisno masih ingat benar, salah seorang yang sangat berjasa menghindari terjadinya perang saudara tersebut adalah Kopral Nawawi, anggota TNI 142. Kopral Nawawi lah yang berupaya menghubungkan para tokoh masyarakat dari suku Jawa, Gayo dan Aceh untuk mengadakan pertemuan membicarakan kelanjutan masalah yang terjadi saat itu. Jika dibiarkan, kondisi akan semakin memburuk; orang Jawa tidak berani ke kampung Gayo, dan begitu juga sebaliknya. Pada tanggal 9 Juni 2001, pertemuan diadakan di Pondok Baru. “Ada juga sebagian masyarakat kita yang dari kelurga korban yang sudah tak terkontrol,” kata Sutrisno. Bagi Sutrisno, untung ada saja ada pertemuan itu, jika tidak perang saudara secara terangan-terangan bakal meledak di Aceh Tengah. Kalau pun memang terjadi beberapa pertentangan, hal itu bukan secara keseluruhan, artinya musuh yang dihadapi saat itu sudah jelas dari pihak mana. Tidak semua orang Aceh atau Gayo dianggap musuh, dan juga sebaliknya tidak semua orang Jawa diaggap musuh, bisa dipilah-pilah. Perang terus berlanjut di beberapa tempat. Sutrisno mengaku tetap ikut perang, tapi ia juga aktif mengikuti pertemuan-pertemuan dalam rangka menyamakan pandangan antar beberapa suku. “Artinya, saya juga tidak mau mati konyol.”39 Setelah dilakukan sejumlah perundingan, 39_Loc.cit hal.1 |180|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
jelaslah siapa musuh yang dihadapi, yaitu GAM. Waktu itu, Sutrisno sudah dengan sikap yang tegas, pro kepada NKRI, perlawanan yang mereka berikan ada bukti bahwa mereka memihak kepada merah putih. Mereka berlindungya kepada TNI-Polri. Ia juga bergabung bersama Pembela Tanah Air (PETA),pernah menjabat sebagai wakil ketua. Baru saja usai dilakukannya pertemuan, kejadian mengerikan lainnya terlanjur terjadi. Di kawasan Pepedang telah terjadi pembantaian besar-besaran terhadap masyarakat. Sutrisno tahu kabar itu, menurutnya ada 60 orang yang tewas. Pihaknya termasuk yang ikut turun melakukan evakuasi terhadap korban. 60 orang itu bercampur; suku Gayo, Aceh dan termasuk Jawa. Pertemuan lainnya pernah diikuti Sutrisno adalah adalah di Camp, sebuah tempat yang berada di Nisam. Pertemuan itu diadakan saat masa CoHA, dihadiri oleh tokoh masyarakat, ulama. Ada juga GAM yang hadir. Saat undangan pertemuan pertama, Sutrisno tak berani hadir. Ia baru datang pada pertemuan yang kedua. Sutrisno hadir dengan menyamar sebagai wartawan, membawa kamera dan sempat memotret beberapa di antara mereka. Sebagai seorang kepala desa saat itu, Sutrisno terus mengupayakan berbagai hal untuk warganya. Tak lama usai penyerangan dan pembakaran rumah warga, ia langsung menemui bupati, meminta agar disediakan bantuan rumah. Permintaan itu ditanggapi, tapi hanya untuk 10 rumah saja, kurang dari jumlah total rumah yang dibakar. Satu rumah dijatahkan Rp7 juta. Dengan dana 10 rumah itu, warga bersama-sama bekerja, memotong kayu di hutan untuk bahan pembangunan rumah. Hasilnya, dari jatah 10 yang tersedia, mereka berhasil mendirikan 13 unit rumah. Tahap kedua, pemerintah setempat kembali memberikan bantuan rumah, untuk tiga unit. Jumlah itu kemudian disiasati hingga seluruh rumah yang terbakar dan rusak bisa diperbaiki. Keseluruhan yang |181|
FAKTA BICARA
dibangun mencapai 20 rumah. Sejak tahun 2004, Sutrisno menjadi anggota DPRK Bener Meriah. Jabatan Kepala Desa Pondok Kresek yang sudah berganti nama menjadi Desa Sedie Jadi dipegang oleh Ali Udin. Saat ini, Desa Sedie Jadi dihuni oleh 130 (KK), hampir semua berprofesi sebagai petani. Bagi Ali Udin, sebagai daerah yang pernah mengalami masa konflik yang parah, pemerintah masih kurang perhatiannya terhadap desa tersebut. Memang, selama ini keluarga korban telah pernah menerima dana diyat, tapi menurutnya itu saja tidak cukup jika dibanding apa yang dialami pada masa konflik. Di sisi lain, ia sangat mensyukuri perdamaian yang ada sekarang ini. Warga kini dapat leluasa mencari rezeki. Tak ada lagi dendam yang dipendam terkait peristiwa 5 Juni tersebut. “Pagi kita kebun, sore pulang. Ya begitu saja sudah cukup.”40 Jikapun berbicara keadilan terkait apa yang telah dialami warga Desa Sedie Jadie, menurut Ali Udin, yang paling harus diperhatikan adalah keadilan di bidang ekonomi, hal itu sudah cukup adil. Pemerintah harus memperhatikan kondisi perekonomian warga. Nah, inilah yang dalam pandangannya dikatakan belum ada. Keadilan terkait ekonomi oleh pemerintah, diberi nilai nol olehnya. Hal serupa juga disampaikan oleh YA, yang ayah dan keponakannya meninggal akibat konflik. Bagi dia, tak mungkin jika harus menuntut keadilan secara hukum. Bagi dia, konflik tetap berakibat buruk bagi masyarakat. Jika masa lalu itu kemudian diungkit lagi sekarang, hal itu dikhawatirkan akan menimbulkan konflik lain lagi di dalam masyarakat. Seharihari YA saat ini bekerja di kebun; kopi dan berbagai jenis tanaman sayuran lainnya. “Jadi kalau mau tuntut pelaku enggak mungkin, bagaimana kita tuntut begitu banyak, Siapa yang akan kita tuntut. Apa mungkin semua GAM itu akan diadili, kan enggak mungkin kalau satu persatu. Jadi keadilannya, bagaimana kita 40_Loc.Cit hal. 4 |182|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
ini yang jadi korban ya diperhatikan lah oleh pemerintah.”41 Dalam pandangan YA, perhatian pemerintah terhadap korban konflik saat ini masih kurang. Yang lebih menyakitkannya lagi, kebanyakan yang diperhatikan atau yang mendapat bantuan selama ini adalah orang-orang yang bukan korban konflik. Misalnya, ia menyebut di daerah Cemparam Jaya (baca; peristiwa Kanis Gonggong), di sana ada warga yang bukan korban konflik namun mendapat rumah sebanyak dua unit. Sementara rumah YA dan keluarga yang dibakar 5 Juni 2001, masih seadanya. Janji pemerintah untuk dibuatkan rumah permanen hingga saat ini belum terealisasi. Untuk mengenang peristiwa 5 Juni, warga membangun tugu peringatan, letaknya tak jauh dari pos atas ketika peristiwa itu terjadi. Di tugu itu, tercantum nama-nama korban, dan nama Sutrisno di bagian belakangnya. Tugu ini dibangun atas inisiatif warga sendiri, dan biayanya juga dari warga. Semuanya untuk mengenang mereka yang membela desa, tanah lahir. []
41_Loc.cit hal.4 |183|
FAKTA BICARA
Box: Kesaksian NA
t
NA sempat berhadap muka dengan pelaku, ketika terjadi penyerangan ke Desa Pondok Kresek pada 5 Juni 2001. Malam itu, ia berada di dalam rumah bersama anak perempuan dan cucunya, Irma Yuni Prastika, dua tahun. Tepat di sebelah rumah, beberapa lelaki lainnya berjaga, lengkap senjata rakitan. “Dor..!” suara tembakan pertama dari senjata rakitan terdengar. Hanya berselang detik, berondongan AK-47 menambah kekagetan NA. Seorang diri di kamarnya, ia segera merebahkan diri ke lantai, takut-takut rentetan peluru itu mengenainya. Tapi, belum sempat ia tiarap, sebutir peluru mengenai kaki kirinya. Di kamar lain, Irma bersama ibunya. Dalam berondongan peluru yang ternyata diarahkan ke rumah berkontruksi papan itu mereka berlari menuju ke kamar NA. Naas, sebutir peluru keburu mengenai kepala Irma yang saat itu berada dalam pelukan ibunya. “Aduh mak, anakku kenak!” Mendengar tembakan itu, Pirin, 60 tahun berlari menuju ke rumah. Belum sempat tiba di tempat tujuan, ia dihadang pelaku. “Angkat tangan!” teriak pelaku. Lalu, dor..! peluru bersarang di dada kakek tua itu. Pelaku kemudian membacok kepalanya, dan melemparkan tubuh Pirin ke dalam kobaran api dari rumah yang dibakar pelaku. Di dalam rumah, NA terduduk di lantai. Kakinya tak lagi berasa, darah berceceran. Sedangkan Irma terkulai dalam pelukan ibunya. Pelaku datang, mereka memecahkan |184|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
kaca jendela, lalu masuk ke rumah. Jumlahnya empat orang, menenteng senjata, mukanya tertutup sebu. Mereka pakai baju biasa. Yang lain tetap di luar rumah. Di hadapan NA, pelaku marah-marah, dalam bahasa Gayo. “Kenapa tak buka pintu!” bentak pelaku. NA hanya terduduk diam. Sekitar 10 menit berada di dalam rumah, NA dan yang lain dipaksa ke luar. Pasukan jerigen mendekat, berliter-liter minyak tanah disiram, api disulut, dan sekejap saja api membumbung tinggi. Usai perang selama lebih satu jam, pelaku pergi. Dalam keadaan kaki terluka, NA, anak, cucunya yang bersimbah darah, dan beberapa tetangga lain menuju ke kebun yang berada tak jauh di belakang rumah. Jalurnya menanjak, NA dibopong. Mereka bersembunyi di kebun kopi selama satu jam. Setelah dirasa suasana mulai aman, NA dan yang lain menuju ke masjid desa, berkumpul bersama warga yang lain. Malam itu juga, ia dan cucunya yang terkena tembakan dibawa lari ke rumah sakit di Pondok Baru. Tapi dalam perjalanan, cucu kesayangannya itu meninggal dunia. Pihak Rumah Sakit di Pondok Baru tak mampu menangani kondisi NA, pagi hari ia dilarikan ke rumah sakit di Takengon. Empat hari kemudian, karena kondisinya tak kunjung membaik, NA dibawa ke Rumah Sakit Adam Malik, Medan. Sampai di Medan, 10 hari kemudian baru dioperasi. “Waktu itu mereka (petugas di rumah sakit) tanya KTP terus, sedangkan saya tidak punya lagi KTP karena sudah terbakar di rumah. Rumah saya dibakar yang ditanyak kok KTP aja,” kata NA mengungkap kekesalannya saat itu. 42 Semua biaya operasi di Medan ditanggung sendiri oleh keluarganya. Kaki NA terpaksa diamputasi, dari tumit hingga ke bawah. Meski begitu, luka tersebut belum sepenuhnya sembuh. “Belum baik, enggak percaya tengok,” ia membuka sepatu dan memperlihatkan luka yang belum sembuh 42_Wawancara NA |185|
FAKTA BICARA
itu. Sehari-hari NA memakai sepatu, yang di dalamnya dimasukkan kain. Oleh sebuah lembaga yang ia tak ingat lagi namanya, NA pernah dijanjikan akan diberikan kaki palsu, tap hingga saat ini janji itu tak kunjung ditunaikan. Beberapa pihak lain juga telah pernah mendatangi NA. Mereka tanya ini, tanya itu, ambil foto, tapi tak ada apapun yang diterima yang diterima hingga sekarang. Bantuan yang pernah diterima hanya dana diyat. Karena almarhum suaminya memiliki dua orang istiri jadi bantuan yang diterima itu dibagi dua. Tiga kali, masing-masing Rp3 juta, dibagi dua. Ia tak ingat lagi kapan bantuan itu diterima. Dibekas rumah yang dibakar, kini telah dibangun rumah lain, bentuknya tak lebih bagus dari rumah awalnya. rumah bantuan yang dibangun hanya bagian depan saja, sedangkan bagian dapur dibangun atas biaya sendiri. “Pinginnya, ya opo, paling pangan pingine, ekonomi,” kata NA mengungkapkan keinginannya terkait peristiwa yang dialami 2001 lalu itu. Masih dendam tidak? “Ya kalau anu ya masih,” ucapnya tertawa sambil mendekap cucunya yang lain, berumur empat tahun. Saat ini, sehari-hari, NA berkebun; kopi dan tanaman sayuran lainnya. Untuk pergi ke kebun, ia harus memakai tongkat.[]
|186|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Tragedi Jamboe Keupok
t
”Siapa yang lari ke gunung berarti GAM.” Pada medio tahun 2003, pernyataan itu sering dilontarkan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) setiap kali mereka melakukan operasi atau sekedar patroli ke Desa Jambo Keupok, Kecamatan Bakongan, Aceh Selatan. Bagi penduduk setempat, kata-kata itu menjadi semacam ancaman yang mengkhawatirkan, sekaligus pernyataan yang melegakan. Khawatir, karena siapa yang lari ke hutan berarti GAM (Gerakan Aceh Merdeka), namun sedikit melegakan, jika tak ingin dituduh sebagai GAM, maka jangan lari ke hutan. Tetap di kampung. Karena itu, ketika Jumat malam tanggal 16 Mei 2003, dari kejauhan terdengar rentetan salak senjata sejak pukul 22:00 WIB hingga beberapa jam lamanya, warga tak menaruh firasat apa-apa. Mereka berdiam diri di rumah, tak perduli sebab musabab rentetan senjata itu. Warga juga tak akan menyangka, jika keesokan harinya akan menjadi saat yang paling memilukan dalam hidup. 16 orang meninggal, 12 di antaranya dibakar hidup-hidup, tiga rumah hangus. “Sembilan orang termasuk famili saya,” kata SB, 25 tahun, salah seorang keluarga korban yang ditemui di Saree School, Aceh Besar. Saat itu SB sedang mengikuti training penulisan bagi korban konflik Aceh. SB dan sepupunya, N, 29 tahun, mewakili korban dari Jamboe Keupok, Aceh Selatan. Desa Jamboe Keupok berada 12 kilometer dari Ibu Kota Kecamatan Bakongan. Letaknya di ujung perkampungan, |187|
FAKTA BICARA
Setelah desa ini, yang ditemui hanya areal pegunungan. Dengan luas dua kilometer persegi, Jamboe Keupok memiliki empat dusun, Keude Tuha, Hilir, Seneubok Pareh, dan Dusun Tengah. SB menceritakan kisah pilu yang menimpa keluarganya itu. SB memang tak mengalami langsung peristiwa tersebut, namun semua yang diceritakan SB dibenarkan oleh N. Selain orang tua, N juga kehilangan suami tercinta. Ia melihat langsung peristiwa itu. N tak mampu untuk menceritakan kembali tragedi. Setiap kali mengingat, air matanya berderai tak tertahan. Ceritanya, pagi hari, Sabtu, tanggal tanggal 17 Mei 2003, atau dua hari sebelum Aceh ditetapkan sebagai daerah Darurat Militer (DM). Seperti hari-hari sebelumnya, saat itu, warga bersiap mengawali aktivitas. Ayah SB sudah tiba di sebuah warung kopi yang tak jauh dari rumah. Ia membawa serta kitab suci Al Quran. Rencananya, bersama beberapa rekan yang lain, usai menikmati kopi ia akan menuju ke tempat pengajian. Jelang pukul 07.30 WIB. Rencana ayah SB untuk mengikuti pengajian terpaksa urung dilaksanakan. Pasalnya, anggota TNI sudah berada di setiap sudut desa. “Sebenarnya mereka sudah masuk sejak pukul 06.00 WIB,” kata SB. Namun tidak ada pergerakan apa-apa hingga menjelang pukul 07:30 WIB. “Mereka datang menggunakan tiga reo, TNI Parako.” Saat itu, entah kapan dan dari mana munculnya, tibatiba saja puluhan anggota TNI sudah berada di setiap rumahrumah penduduk. Mereka berjaga, di bagian depan dan belakang. Warga tak bisa berkutik. Termasuk Ayah SB dan beberapa rekannya yang lain. “Hanya bisa duduk diam di tempat,” kata SB. Sesaat kemudian, terdengar suara deru mobil memasuki dusun. ”Seperti mobil pelontar,” kata SB. Bersamaan dengan suara deru mobil tersebut, pelaku yang sudah bersiap di setiap rumah penduduk mulai bergerak. Mereka masuk ke dalam rumah, memeriksa isi rumah, dan memaksa keluar |188|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
setiap orang yang berada di dalam. Lelaki, perempuan, tua, muda, semua digiring ke luar, lalu dikumpulkan di sebuah tempat. Kelompok lakilaki dipisah dari kaum perempuan dan anak-anak. Mereka ditempatkan di depan sebuah rumah berkontruksi papan. Lalu, tanpa pandang bulu, para lelaki dipukuli habishabisan. Tak tahan melihat suami mereka disiksa, beberapa perempuan berteriak histeris. Salah seorang perempuan yang suaminya ikut disiksa hari itu nekat untuk menolong. Bersama dengan seorang anaknya, ia nekat menerobos kawalan pelaku saat melihat sang suami terjerambab ke tanah akibat dipukuli. Ia berusaha menarik suaminya, menjerit dan meronta sekuat tenaga. ”Dor..,” sebutir peluru bersarang di kakinya. Ia tak bisa berkutik lagi. Pelaku menyeretnya kembali ke kumpulan perempuan. Bersama para perempuan lainnya, ia dimasukkan ke dalam sebuah rumah. Di luar, penyiksaan terhadap suami mereka terus berlanjut. Dari dalam rumah, salah seorang perempuan mencoba mencuri pandang. Ia menyaksikan para pelaku memukuli kelompok lelaki yang berada di luar. Saat itu, tiba-tiba melintas salah seorang penduduk lain menggunakan sepeda motor. Pelaku langsung melepaskan tembakan, tepat di kepala lelaki naas tersebut. Melihat kejadian itu, spontan saja perempuan yang mengintip dari dalam rumah menjerit histeris. Mendengar jeritan itu, pelaku berang, mereka kemudian melepaskan tembakan ke arah rumah. Beruntung tidak ada yang kena. Lalu para perempuan itu diperintahkan ke luar. Di antara mereka, terdapat seorang lelaki yang tak lain ada suami N. Saat pelaku memeriksa ke dalam rumah ketika pertama datang, ia berhasil bersembunyi. Namun karena merasa takut saat pelaku memberondong rumah tersebut, ia memutuskan ikut ke luar bersama para perempuan. “Padahal kalau di dalam rumah saja mereka (pelaku) |189|
FAKTA BICARA
tidak tahu. Sampai di luar dia dikumpulkan bersama lelaki lainnya,” kata SB. Setiba di luar, perempuan dan anak-anak kemudian digiring ke dalam rumah sekolah yang tak jauh dari lokasi awal. Bagi mereka, hari itu, waktu seolah berjalan lambat. Di bawah rentetan suara senjata yang tak henti-henti, mereka terus saja merapal segala macam doa, berharap kengerian itu segera berakhir. Dikurung di dalam gedung sekolah, para perempuan itu tak bisa berbuat apa-apa. Mereka tak tahu lagi apa yang terjadi pada suami dan sanak saudara lelaki yang masih dalam pengawasan para pelaku. Yang terdengar hanya suara rintih dan rentetan tembakan. Tak berapa lama kemudian, 12 orang lelaki tersebut dimasukkan ke dalam rumah yang berada dekat dengan lokasi kejadian. Sama seperti para perempuan tadi, mereka dikurung dari luar. “Lalu rumah itu dibakar,” kata SB. *** Suasana mulai tenang, tidak ada lagi suara rintihan dan rentetan senjata. Pelaku sudah meninggalkan lokasi, dan kobaran api dari rumah tempat 12 orang lelaki itu dikurung mulai padam. Bahu membahu, para perempuan yang dikurung di dalam gedung sekolah mencari cara untuk keluar, mereka berhasil. Suasana masih mencekam, darah penyiksaan berceceran. Isak tangis saling menyahut. Awalnya mereka bingung hendak ke mana, setelah bermusyarah, mereka sepakat menuju ke sungai yang tak jauh dari lokasi. Dalam perjalanan, ketika rombongan perempuan dan beberapa orang anak-anak itu melewati sebuah rumah yang sudah terbakar, salah seorang perempuan melihat tumpukan hitam di antara sisa-sisa rumah yang terbakar. Ia mendekat, dan sontak saja ia berkata “Nyoe pat ureng nyo mandum (Mereka di sini semua).” “Dari 12 orang itu, tidak ada satupun yang bisa ditanda |190|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
wajahnya,” kata SB. Lima orang di antara korban tersebut berumur 18 hingga 20 tahun. Salah seorangnya Usman, 18 tahun, yang tak lain sepupu SB. N mendekat ke tempat tumpukan mayat. Ia memeriksa satu persatu tubuh-tubuh yang terbakar itu. Ada sesosok manyat yang bagian kakinya tak habis terbakar. Dari tanda kuku, N meyakini, sosok mayat tersebut adalah suaminya tercinta. Kabar tentang kejadian itu langsung tersiar ke desa lain. 16 orang meninggal, satu luka tembak, tak ada lagi lelaki di desa Jamboe Keupok. Mengetahui kabar itu, beberapa warga dari desa tetangga langsung mendatangi tempat kejadian, hari itu juga. Mayat-mayat diangkat dari puing-puing rumah, dimandikan dan dikuburkan di satu tempat. “Manyat tidak bisa diluruskan lagi. Bagaimana bentuk saat meninggal, begitulah dikuburkan,” kata SB. Warga trauma, tak berani lagi tinggal di desa. Mereka memilih untuk mengungsi ke sebuah masjid di desa tetangga. Menurut informasi yang diketahui SB, penyerangan terhadap Desa jamboe Keupok terjadi akibat informasi yang diberikan seorang cuak (informan) kepada TNI. Ia memberitahu bahwa di Desa Jamboe Keupok, terdapat banyak orang GAM. Hanya 15 orang dari total penduduk yang tidak terlibat GAM. Sebelum tahun 2001, menurut SB, di desanya memang banyak anggota GAM. Bahkan, mereka pernah menjadikan Jamboe Keupok sebagai tempat latihan militer. Tidak hanya bagi anggota GAM, latihan itu juga diperuntukkan bagi anakanak di desa tersebut. Lelaki dan perempuan, termasuk yang masih bersekolah. Bagi yang tidak bersedia ikut latihan, akan dianggap tidak setuju dengan perjuangan. Saat itu, usai bangun tidur pagi, SB dan beberapa teman seusianya yang lain diperintahkan untuk latihan fisik seperti lari, melompat, dan merayap. Tidak ada latihan menembak. “Setelah latihan baru ke sekolah. Memang kelihatannya |191|
FAKTA BICARA
mereka tidak mengutamakam pendidikan. Seharusnya yang anak sekolah kan jangan diganggu,” kata SB seolah kesal. Latihan tersebut tidak hanya mengganggu sekolah para pelajar di Jamboe Keupok, tapi juga keselamatan mereka. Di desa itu dan desa-desa sekitar lainnya, TNI sering melakukan razia. Mereka melakukan pemeriksaan badan terhadap siapa saja yang lewat. Termasuk kepada anak sekolah. “Mereka periksa siku kami, kalau sikunya luka berarti ikut latihan. Kami anak sekolah yang ikut latihan luka semua sikunya, kami semua kena sama TNI,” kata SB. Ia juga menyebutkan, jika pada masa itu ada banyak orang GAM yang menenteng-nenteng senjata di desa. Ada juga mesin bubut untuk merakit senjata. “Dari beberapa kecamatan, semua (GAM) berkumpul di desa kami.” Sebelum peritiwa Jamboe Keupok, aparat memang sering masuk ke desa. “Yang paling sering Brimob,” kata SB. Setiap kali datang, mereka selalu mengambil paksa harta penduduk, seperti televisi, kulkas, hingga sepeda motor. Sebelum kejadian itu, kontak tembak antara aparat dengan GAM memang sering terjadi. Bukan di Desa Jamboe Keupok, tapi di sekitar pegunungan yang jauh dari desa. Namun, 16 orang yang menjadi korban itu bukanlah GAM, SB menyakini itu. Saat itu menurutnya GAM tidak lagi menetap di kampung. Hanya sesekali melintas. “Mereka tidak lagi di desa sejak tahun 2001. Mereka sudah ke hutan. Setelah kejadian itu GAM tidak pernah lagi ke kampung, mereka tidak berani. Dan orang kampung pun sudah marah, jangan sampai gara-gara mereka ada di kampung, datang lagi tentara, kami lagi yang jadi korban.” Pada tahun 2001, SB baru saja menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Orang tuanya kemudian memutuskan untuk melanjutkan pendidikan SB ke sebuah dayah terpadu yang berjarak 12 kilometer dari desa. Ketika peristiwa tragis yang merenggut nyawa sembilan orang familinya, SB baru lima hari tiba di dayah. “Kamu balik saja ke pasantren,” kata SB mengenang saat-saat terakhir |192|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
bersama ayahnya. Di dayah, hari itu, usai menjalankan tugas sebagai pengawas, ia beristirahat di sebuah bilik. SB tertidur lelap. Tiba-tiba, SB tersentak. Ia baru saja bermimpi buruk tentang kampung dan keluarganya. Buru-buru ia keluar dari bilik. Belum habis rasa penasaran karena mimpi buruk yang baru saja dialami, rasa penasaran SB bertambah akibat tingkah teman-temannya. Semua menatap SB dengan mimik iba. Ia makin terheran. “Ada apa?” SB bertanya pada salah seorang teman. “Tak ada apa-apa,” sang teman menjawab sambil berlalu. Pimpinan dayah kemudian memanggil SB untuk menghadap. Ia menceritakan apa yang telah berlaku di Desa. Rasa sedih dan amarah spontan berkecamuk.“Seperti apa mimpi saya, seperti itulah kejadiannya,” kata SB. Ia langsung minta pulang ke desa, tapi pimpinan dayah tidak mengizinkan, kondisi saat itu memang tidak memungkinkan. Tanpa bisa melihat langsung lokasi kejadian atau mengunjungi tempat pengungsian, SB harus menerima kenyataan pahit itu. Waktu berjalan, hingga satu bulan lamanya. Warga masih bertahan di tempat pengusian. Setelah dikira memungkinkan, 45 hari setelah kejadian, warga memutuskan untuk kembali ke desa. Tapi SB masih belum diizinkan pulang. Hingga kemudian, setelah hampir dua bulan, dari seorang utusan yang dikirim ke dayah, SB mendapat pesan, ibunya meminta agar ia segera pulang. “Langsung saya pulang,” kata SB. Setiba di desa, rasa sedih beserta amarah kembali memuncak. Orang-orang menatap SB dengan wajah iba. Suasana haru menyelimuti kepulangan SB. Ada banyak orang yang melayat ke rumahnya. Maklum saja, Sembilan orang korban tragedi Jamboe Keupok adalah keluarga SB. Setelah dua hari di kampung, SB lalu mengajak beberapa orang warga untuk mengadakan khanduri bagi para almarhum sekaligus pemasangan batu nisan di kuburan. |193|
FAKTA BICARA
Warga yang umumnya perempuan itu sepakat. Usulan itu juga mendapat sambutan dari petua desa. “Hari itu kami mencari batu ke sungai, tidak jauh dari desa. Besok paginya, kami undang pimpinan pasantren untuk doa bersama.” Kini, hampir delapan tahun telah berlalu. Bagi SB, peristiwa itu terlalu pahit untuk dilupakan. Tak hanya dalam ingatan, cerita mengenai tragedi Jamboe Keupok dan berbagai peristiwa lain di masa konflik ditorehkannya dalam catatan hariannya (diary). “Ketika masa konflik, ada 27 orang warga (Jamboe Keupok) yang meninggal,” ucapa SB membeberkan salah satu isi catatan hariannya. Khusus peristiwa Jamboe Keupok, untuk mengenang para almarhum, setiap tahunnya warga mengadakan peringatan ala kadar dengan cara doa bersama. Acara dipusatkan di makam tempat 16 orang korban dikubur, Letaknya di tempat pekuburan umum desa, 500 meter dari rumah SB, atau 50 meter dari rumah tempat korban dibakar. Awalnya, tempat pemakaman korban dibangun seadanya. Hingga pada tahun 2007, dari hasil sumbangan warga dan bantuan lembaga Kontras Aceh, warga membangun pagar besi yang mengelilingi tempat 16 orang korban tragedi Jamboe Keupok disemayamkan. Selain itu, sebagai bentuk solidaritas, SB juga menggerakkan warga untuk membentuk komunitas yang disebut sebagai Perkumpulan Korban Konflik Jamboe Keupok. Warga juga mempercayakan SB untuk menjadi ketua. Komunitas ini murni inisiatif warga sendiri, khususnya keluarga korban. ”Ada orang GAM waktu itu mau jadi ketua, tidak kami izinkan. Kami tidak mau disangkut-sangkut pautkan dengan lembaga lain,” kata SB. Sebagai keluarga korban konflik, SB mengaku pernah mendapatkan dana diyat dari Badan Reintegrasi Aceh (BRA). Menurutnya ada 30 orang warga Jamboe Keupok yang masuk dalam daftar penerima diyat. 27 orang warga biasa, dan tiga |194|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
lainnya adalah GAM. SB menerima dua kali, tahun 2007 dan 2008, masing-masing sebanyak Rp3 juta. Begitu pula dengan tiga rumah yang dibakar, semuanya sudah dibangun, termasuk rumah kepala desa, sekretaris desa, dan ketua pemuda. Selain dana diyat, tak pernah ada bantuan lain yang diterima SB. Padahal menurutnya, telah beberapa kali dirinya dan beberapa warga lain didata oleh pihak-pihak tertentu dengan iming-iming akan mendapat bantuan. Suatu ketika, Kepala Desa Jamboe Keupok kedatangan tamu. Mereka menanyakan berbagai hal tentang peristiwa yang dialami warga pada masa konflik. Usai meminta segala macam data dan cerita, mereka pulang. SB datang menjumpai kepala desa untuk menanyakan siapa gerangan tamu yang baru saja pulang itu. Kepala desa mengaku tak tahu, ia tak menanyakan asal muasal si tamu tersebut. Dan hingga saat ini, tamu itu tak pernah muncul lagi. Setelah dibentuknya Perkumpulan Korban Konflik Jamboe Keupok, warga kemudian sepakat, siapa saja yang datang untuk menanyakan tentang peristiwa yang pernah di Jamboe Keupok, mereka harus diproses; apa tujuan, manfaatnya dan harus mengikut tatacara yang telah disepakati. Misalnya, tak boleh berkunjung di waktu Magrib. “Itu karena kami sudah capek,” kata SB. Peraturan itu ditetapkan bagi siap saja, tak pandang bulu. “Keadilan hukum. Para pelaku harus diproses secara hukum. Harus dihukum sesuai perbuatannya. Kami sangat berharap pengadilan HAM (Hak Asasi Manusia) dapat dibentuk di Aceh,” kata SB ketika ditanyakan keadilan seperti apa yang paling diingikan dirinya selaku keluarga korban konflik. ”Kalau pelaku sudah diadili, baru ada keadilan bagi korban.” Namun, bukan berarti dirinya tak mengharapkan keadilan lain seperti pemberdayaan ekonomi, tapi yang paling |195|
FAKTA BICARA
utama adalah adanya proses hukum bagi pelaku. ”Kami ingin menuntut, tapi kami tidak tahu bagaimana caranya, untuk lembaga-lembaga yang tahu itu, tolong tunjukkan caranya kepada kami.” Setamat Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Bakongan, SB tak melanjutkan pendidikan lagi. Ia tahu, selepas kepergian tulang punggung keluarganya saat tragedi Jamboe Keupok, kondisi perekonomian mereka semakin terjepit. Tak banyak harta warisan yang ditinggal oleh ayahnya. Sebagai anak lelaki tertua yang masih hidup, SB berusaha sekuat tenaga membantu beban keluarga. Ijazah terakhir di MAN yang telah diperolehnya tak banyak membantu. “Saya kerjakan apa saja, yang penting halal,” kata SB. Hari-hari terus dilalui, bersama ibu dan dua orang adik lelakinya. Karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinan, satu orang diantaranya tak lagi bersekolah. Seorang lainnya berstatus sebagai siswa kelas tiga MAN. “Saya ingin usahakan agar dia nanti bisa kuliah.”[]
|196|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
PEMENUHAN HAK KORBAN
|197|
FAKTA BICARA
|198|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Menunggu Pengadilan HAM dan KKR
t
MoU Helsinki mengamanatkan pengadilan HAM dan KKR. Tercantum pada poin nomor dua, jalan ke sana masih buntu. Deadline pun telah lewat, rakyat parau dalam teriaknya. Tak luntur semangat dua ratusan massa pagi itu, kendati hujan mengguyur Banda Aceh. Akhir Juli 2007 lalu, mereka punya unek-unek yang akan dilemparkan ke gedung dewan. Yel...yel ... membahana di tengah ocehan para orator, kadang parau diiringi isak tangis perempuan yang banyak ikut serta. Mereka datang dari -sedikitnya-10 kabupaten/kota di Aceh. Korban dan keluarga korban yang tergabung dalam Solidaritas Persaudaraan Korban Pelanggaran (SPKP) HAM Aceh, menyodorkan sejumlah PR (pekerjaan rumah) yang belum terselesaikan. Soal Pengadilan Hak Azasi Manusia (HAM) dan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh. Serambi ini telah damai. Tugas itu adalah bagian dari amanat kesepakatan damai (MoU) yang lahir di Helsinki, Finlandia, dua tahun lalu. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Aceh (UU-PA) yang disahkan pada Juli 2006 lalu, juga mengamanatkan hal yang sama. Massa menuntut Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) agar segera menindak lanjuti hasil MoU Helsinki dan UU-PA dengan memperjelas tindak lanjut dari pelanggaran HAM pada masa konflik dulu. “Sejarah kelam Aceh harus segera diungkap melalui instrumen KKR,” Ali Zamzami, |199|
FAKTA BICARA
koordinator aksi dalam orasinya. “Dalam UU-PA kasus pelanggaran HAM akan diusut, tapi mana janji itu, sudah hampir setahun KKR aja belum ada,” sebut Ali Zamzami. Memang KKR di Aceh masih mengambang. Padahal dalam UU-PA tercantum bahwa KKR Aceh harus dibentuk maksimal setahun setelah UUPA disahkan. Pembentukan KKR Aceh pun harus dibentuk oleh KKR Nasional. Di sinilah masalahnya, Mahkamah Konstitusi telah mencabut UU KKR Nasional pada awal Desember 2006. Mahkamah Konstitusi menyatakan produk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut bertentangan dengan konstitusi. Dengan dicabutnya Undang-Undang No. 27/2004 itu, praktis upaya penyelesaian kasus pelanggaran hak azasi lewat jalur rekonsiliasi mandek. Demikian pula nasib 42 calon anggota Komisi Kebenaran hasil seleksi DPR. Putusan Mahkamah itu menjawab gugatan uji material yang diajukan, antara lain oleh LBH Jakarta, Elsam, Kontras, Solidaritas Nusa Bangsa, dan Imparsial. Setahun setengah silam lembaga-lembaga tersebut meminta Mahkamah membatalkan pasal 1 ayat 9, pasal 27, dan pasal 44 UndangUndang Komisi Kebenaran. Mereka menyebut pasal-pasal itu bertentangan dengan UUD 45. Pada pasal 1 ayat 9, misalnya, disebutkan amnesti diberikan presiden untuk pelaku pelanggaran berat terhadap hak asasi setelah memperhatikan pertimbangan DPR. Menurut Mahkamah, untuk pelaku pelanggaran berat hak asasi tidak ada ruang sama sekali untuk amnesti. Jadi, pasal ini bertentangan dengan hukum internasional yang sudah diterima oleh hukum Indonesia. Adapun pasal 27 menegaskan, kompensasi dan rehabilitasi untuk korban diberikan jika permohonan amnesti pelaku kejahatan dikabulkan presiden. Menurut Mahkamah, pemberian kompensasi dan rehabilitasi bagi korban tidak bergantung pada satu kondisi, termasuk amnesti. Nah, pasal ini dinilai bertabrakan dengan konstitusi, yang memberikan |200|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
jaminan warga Indonesia mendapat perlindungan hak asasi. Sebenarnya hanya pasal 27 yang dibatalkan Mahkamah. Pasal itu, menurut Mahkamah, jelas bertubrukan dengan UUD 45. Namun, karena seluruh ”operasional” Undang-Undang Komisi Kebenaran dinilai bergantung dan bermuara pada pasal 27, Mahkamah pun ”membekukan” undang-undang tersebut. Menurut Mahkamah, dengan aturan-aturan seperti itu, undang-undang itu justru tidak mendorong pelaku menyelesaikan perkaranya lewat Komisi Kebenaran. ”Karena mengandung banyak ketidakpastian hukum,” kata Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie seperti dikutip dari Majalah Tempo. Banyak yang kecewa putusan itu. Banyak juga usulan lain muncul dari aktivis hak azasi. Bekas Sekjen Komnas HAM, Asmara Nababan, misalnya, mengusulkan pemerintah segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undangundang (perpu). ”Atau masyarakat membuat sendiri Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,” ujarnya. Bagaimana dengan Aceh? Batalnya putusan di tingkat nasional itu memandekkan jalan bagi KKR Aceh. Padahal itu adalah amanat MoU Helsinki. Dalam kesepakatan yang ditanda-tangani pada 15 Agustus 2005 lalu, pihak GAM dan Pemerintah RI sepakat bahwa; “Sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia akan dibentuk untuk Aceh” dan “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi.” (MoU Poin 2.2 dan 2.3). Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU-PA) menyebutkan; Untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi, dengan UU ini akan dibentuk KKR di Aceh. Kemudian, KKR Aceh merupakan bagian yang tak terpisahkan dari KKR Pusat serta bekerja dengan aturan perundang-undangan. (Pasal 229) Dalam pasal 259 dan 260 disebutkan bahwa Pengadilan HAM dan KKR sudah terbentuk di di Aceh maksimal satu |201|
FAKTA BICARA
tahun setelah UU-PA disahkan. UU-PA disahkan pada 11 Juli 2006. Deadline itu terlewat sudah. Pengadilan HAM dan KKR Aceh masih nihil. Pemerintahan Aceh dan penggiat HAM di Aceh optimis, KKR tetap bisa dibentuk kendati UU tentang KKR telah dicabut Mahkamah Kontitusi. Acuannya tentu pada amanat UU-PA. Jalan itu sedang terus dirintis. *** Satu jalan buntu. Analis politik Indra J. Piliang mengatakan, pembentukan KKR Aceh akan terhambat karena tidak mempunyai landasan hukum. “Kita harus menunggu adanya Undang Undang KKR yang baru,” katanya dalam sebuah seminar di Banda Aceh. Dia mengatakan, masyarakat Aceh harus bekerja lebih keras dengan melakukan permintaan dan mengirim surat kepada Mahkamah Agung, Menteri Dalam Negeri serta Mahkamah Konstitusi. “Ajukan surat supaya Mahkamah Agung dan Mahkamah konstitusi mendorong pemerintah dan DPR untuk cepat berbuat, supaya UU KKR yang baru segera lahir.” Tapi Pemerintahan Aceh dan para aktivis azasi di Aceh punya pandangan lain. Mereka optimis, KKR tetap bisa dibentuk tanpa mengacu kepada UU No. 27 tahun 2004 tentang KKR yang telah dicabut mahkamah. Sayed Fuad Zakaria, Anggota DPR - RI menilai pembentukan KKR di Aceh tidak harus mengacu pada KKR pusat. “Kita sudah ada UU khusus yaitu UU PA dan kita mengacu ke sana, ini bagian dari tugas pemerintah Aceh selaku pelaksana jalannya roda pemerintahan, pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Aceh,” katanya ketika masih menjabat sebagai Ketua DPR Aceh. Dalam hal ini, pemerintah Aceh terus mendesak Jakarta untuk segera mempersiapkan landasan hukum supaya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh bisa |202|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
secepatnya dibentuk. Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar mengatakan pihaknya telah menyampaikan desakan berkali-kali kepada Pusat untuk segera mempersiapkan landasan itu. “Berkali-kali sudah kita sampaikan, seperti kepada Lemhanas, bahkan kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla. Kita harus mendorong pembentukan KKR Nasional,” sebutnya. Sesuai amanat MoU dan UU-PA, harusnya Pengadilan HAM dan KKR Aceh sudah terbentuk di Aceh maksimal setahun usai UU-PA disahkan. Deadline itu sudah lewat sejak 11 Juli 2007 lalu, Pengadilan HAM dan KKR masih mengambang. Aktivis HAM di Aceh terus merapatkan barisan berjuang untuk keadilan bagi korban. “Kalau kita bicara mandat, otomatis kedua-duanya menjadi penting dan memang dibutuhkan oleh korban,” sebut Asiah, Direktur Komisi untuk Orang hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh. Dengan bekunya UU tentang KKR, Asiah berpendapat masih terbuka peluang bagi Aceh untuk membentuk KKR di Aceh. Alasannya, yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi adalah Undang-undangnya, bukan intitusi KKR. Lagi pula, Aceh punya UU-PA yang mengamatkan pengadilan HAM dan KKR. Jadi peluang untuk itu masih saja terbuka. Afridar Darni, mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh berpendapat, kalau ada niat semua masalah akan bisa diatasi. Tapi, masalah KKR di Aceh adalah pekerjaan besar dan mungkin menghabiskan waktu yang cukup lama. “Sampai hari ini saya tidak tahu, apakah dibahas ulang atau bagaimana masalah KKR ini di tingkat pusat,” sebutnya. Menjawab tuntutan masyarakat Aceh terkait kepentingan pembentukan KKR di Aceh, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, September 2010 lalu menyatakan pemerintah segera mengajukan Rancangan UndangUndang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ke DPR, karena penyusunannya sudah final. RUU KKR yang akan dilimpahkan |203|
FAKTA BICARA
itu telah disepakati dibahas oleh parlemen pada periode 2010, karena dinilai sudah mendesak dan dibutuhkan oleh masyarakat. Menurut dia, keterlambatan dalam pengajuan RUU KKR disebabkan pemerintah sangat berhati-hati menyusunnya, karena RUU KKR sebelumnya dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Desember 2006, akibat beberapa pasalnya dinilai lemah. Jika UU KKR sudah disahkan pemerintah segera membentuk Badan KKR nasional untuk menangani masalah khususnya terkait HAM yang muncul hingga memberi keadilan bagi korban kekerasan. Jika dalam waktu dekat, UU KKR nasional lahir, pembentukan KKR di Aceh tidak lagi menjadi masalah. *** Masyarakat Aceh banyak yang tak paham apa itu Pengadilan HAM dan KKR. Ini menjadi kesulitan tersendiri dalam menuntut keadilan bagi korban konflik di Aceh. Asiah menilai, salah satu faktor pelanggaran HAM di Aceh banyak yang tidak terungkap, karena masyarakat tidak tahu mekanisme penyelesaian itu. “Ada yang keluarganya hilang, ada yang keluarganya disiksa atau dipukul, masyarakat tidak tahu apa yang harus mereka lakukan untuk mendapatkan keadilan dari apa yang mereka alami.” “Dari temuan kami, masyarakat sadar bahwa hak-hak mereka dilanggar tapi mereka tidak mengerti dengan aturan konstitusi yang ada,” sambung Asiah. Sosialisasi yang dilakukan pun selama ini masih terbatas, hanya menyentuh kalangan atas. Sosialisasi hanya terjadi antara Pemerintah Aceh ke Pemerintah Kabupaten. Kemudian juga ke beberapa LSM. Sedikit sekali yang menyentuh masyarakat bawah yang merasakan sendiri dampak langsungnya. KontraS telah setahun terakhir mencoba melakukan |204|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
penguatan korban konflik dan korban pelanggaran HAM di Aceh. “Kita juga melakukan sosialisasi tentang pengadilan HAM dan KKR,” urainya. Apapun, keduanya penting karena merupakan amanat MoU dan UUPA. Dua landasan yang lahir mengisi perdamaian di Aceh. “Satu lagi yang perlu diingat, problem konflik di Aceh karena adanya rasa ketidak-adilan. Kalau KKR dan pengadilan HAM terbentuk, asumsinya sebagian dari rasa keadilan korban itu terpenuhi,” sebut Afridar Darni. “Maka dari itu Aceh bisa menjadi lebih damai.” Masalah menghadirkan keadilan di Aceh itu memang komplek. Pengadilan HAM dan KKR masih sebatas merangkak. Pemerintahan Aceh dan aktivis HAM masih dalam perjuangannya. Masyarakat terus berteriak dengan suara parau, meneriakkan sebuah amanat MoU yang lesu, dalam aksi-aksi itu. [ ]
|205|
FAKTA BICARA
|206|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
ANALISA DAN OPINI
|207|
FAKTA BICARA
|208|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Kehidupan Korban Yang Semakin Sulit
t
Oleh: Samsidar Aktivis Perempuan Aceh Pada masa konflik Aceh, khususnya mengenai pelanggaran Hak Asasi Manusian (HAM) terhadap perempuan, kekerasan seksual merupakan kasus yang paling sulit dan rumit penyelesaiannya, karena ada banyak persoalan yang tumpah tindih. Saat seperti itu, yang paling menderita adalah si korban itu sendiri (perempuan). Apalagi jika dikaitkan dengan pandangan dalam masyarakat kita, yang menganggap perempuan sebagai simbol kesucian. Faktanya, hingga saat ini sangat sedikit kasus-kasus perkosaan yang terungkap. Korban berusaha menutupi kisah kelam yang dialami di masa silam. Salah satu temuan dari sebuah penelitian saya beberapa waktu lalu, ada keuchik yang mengumumkan agar jangan ada perempuan di desanya yang mengaku pernah diperkosa, dengan alasan pengakuan itu akan membuat malu desa. Hal demikian adalah salah satu bentuk pembungkaman terhadap kebenaran dan derita yang dialami korban. Seharusnya, jika ingin menyelesaikan masalah, bukan korban yang dibungkam, tapi pelakunya yang harus diungkap. Harus diingat, pencabutan status Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) salah satunya dilakukan karena keberanian korban perkosaan yang mengungkap kisah mereka ke publik. Saya masih ingat, ketika di Pidie, ada salah seorang korban perkosaan yang bersaksi langsung di hadapan mentri tentang apa yang dialami. Itu merupakan keberanian |209|
FAKTA BICARA
dan pengorbanan luar biasa, yang mempertaruhkan kehidupannya demi pengungkapan kebenaran. Begitu juga dengan korban perkosaan di Rumoh Geudong yang terkenal dengan perbudakan seksual. Semua itu diungkapkan oleh korban hingga menarik simpatik dunia international. Tapi hingga sekarang para korban tidak mendapatkan apa-apa dari pemerintah, malah mereka dipersulit. Betapa tidak, pemerintah menempatkan korban perkosaan sama dengan korban pelanggaran HAM lainnya, yang dimintai pembuktian fisik untuk menentukan benar atau tidak ia menjadi korban perkosaan. Alasannya, hal itu dilakukan agar tidak ada yang cuma mengaku-ngaku sebagai korban perkosaan. Adakah perempuan yang ingin mengaku sebagai korban perkosaan? Membuat korban mengaku saja sulit, konon lagi mencari perempuan yang mengaku sebagai korban perkosaan! Menurut saya, orang gila sekalipun tidak akan mau mengaku-ngaku sebagai korban perkosaan. Karena itu saya berpendapat, mekanisme pembuktian fisik itu dibuat oleh orang yang tidak punya otak, alias gila. Pada tahun 2000, di Langsa, Aceh Timur, kami pernah menemukan seorang dokter yang ketakutan ketika menangani korban perkosaan. Korban tersebut mengalami pendarahan hebat akibat perkosaan yang dialami. Hingga sekarang, ia masih sering mengalami pendarahan. Tak ada upaya apapun yang dilakukan oleh pemerintah. Bahkan ada satu korban, ketika ia datang ke kantor camat untuk menanyakan dana diyat, ia ditolak. Alasannya, korban perkosaan tidak termasuk kasus besar. Diyat hanya untuk korban hilang, meninggal dan luka. Mekanisme pembuktian seharusnya dibuat dengan berpihak pada korban. Dan kami sudah pernah menawarkan mekanisme tersebut kepada BRA pada tahun 2010. Mekanisme itu merupakan hasil rumusan beberapa lembaga masyarakat sipil yang sudah lama melakukan pendampingan |210|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
kepada korban kekerasan seksual. Namun hingga sekarang, tidak ada tanggapan apapun dari BRA. Memang tidak mudah untuk mendapat pengakuan dari para korban perkosaan. Harus dilakukan oleh orang yang benar memahami kondisi perempuan, dan kondisi masingmasing si korban itu sendiri. Selain kendala dari dalam dirinya, ada kendala lain yang saya temukan ketika melakukan penelitian beberapa waktu lalu. Ada salah saeorang perempuan yang mengaku takut diceraikan suaminya kalau kisah itu terungkap ke publik. Atau seorang gadis yang pernah diperkosa, ia takut menceritakan itu ke publik karena khawatir tidak ada yang mau menikahinya lagi. Hal-hal seperit ituah yang membuat hidup korban semakin menderita. Karena masyarakat menghakimi seolah-olah korbanlah yang bersalah. Dalam konteks yang lebih luas, pada umumnya korban saat ini hidup dalam kondisi serba kekurangan, mereka mengatasi kesulitan hidup sendiri. Padahal jelas kesulitan hidup yang dihadapi itu akibat dari konflik di masa lalu, ada trauma yang masih membekas. Di bidang lain, pemerintah memiliki banyak program khusus. Untuk orang sakit jiwa misalnya, pemerintah memilik program bebas pasung, Ini tentu sangat bagus. Di bidang kesehatan pemerintah punya progam cerdas JKA. Tapi pemerintah juga jangan lupa bahwa sebegaian besar masyarakat Aceh adalah korban pelanggaran HAM. Lalu apa program khusus untuk mereka? Tidak bisa hanya dibiarkan BRA dengan dana diyatnya yang konsep dan pelaksanaannya masih dipertentangankan untuk mengatasi para korban konflik. Memang, BRA sebagai sebuah institusi harus dukung, tidak ada di tempat lain lembaga semacam BRA ini. Tapi dari segi konsep dan pelaksanaan, masih banyak kekurangan yang harus dibenahi. Namun, tidak juga menunggu BRA selesai dibenahi, sementara korban tidak tertangani. Harus ada program khusus untuk korban konflik, di bidang ekonomi, |211|
FAKTA BICARA
pendidikan, kesehatan dan mental. Bukan berarti hal ingin mengatakan bahwa para korban kurang waras, tapi harus diakui mereka hidup dalam bayangbayang pelanggaran HAM masa lalu. Melihat keluarga mereka ditemukan dalam kondisi mengenaskan, atau melihat kejadian mengerikan di depan mata. Di Jambo Keupok misalnya, ada yang mendengar orang dibakar meminta tolong, bahkan ada anak yang melihat langsung kejadian itu. Hal tersebut juga terjadi terhadap kasus-kasus lainnya. Saya sudah ketemu dengan korban, saya pernah mendengarkan itu dari salah seorang pejabat pemerintah. Pertanyaannya, apakah penanganannya seperti itu yang harus dilakukan? Hanya mengumpulkan korban dan mendengar cerita mereka lalu selesai? Menurut saya, tidak demikian, tidak cukup hanya dengan seperti itu, tidak cukup hanya dengan mengantarkan korban ke Rumah Sakit. Artinya tidak mesti seorang pejabat untuk melakukan hal seperti itu. Tapi apa mekanismenya? Sekali lagi, harus ada program khusus bagi korban pelanggaran HAM, pemerintah seharusnya tidak larut menunggu KKR dan pengadilan HAM, baru korban dipulihkan. Hingga saat ini tidak ada kemajuan apapun dalam penaganan kasus pelanggaran di Aceh. Malah bisa dikatakan semakin mundur, karena seiring berjalan waktu, ingatan kita terhadap berbagai macam pelanggaran HAM itu semakin dikubur, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu di masa lalu. Sungguh miris; di satu sisi kita terus menikmati berbagai macam dana, tapi di sisi lain kita berusaha menguburkan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Padahal di sisi lain, Aceh bisa menikmati berbagai dana saat ini tak lepas pengaruhnya dari konflik puluhan tahun dan bencana tsunami yang melanda. Dengan kata lain –dalam konteks konflik misalnya-- triliunan dana dan berbagai macam bantuan itu tak lain karena adanya ribuan orang yang menjadi korban. Ada tanggung jawab rasa kemanusian yang sedang kita |212|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
gadaikan. Pemerintah seharusnya menjalankan tanggung jawab penuh dalam penegakan HAM, selama ini yang terjadi, jika masyarakat sipil tidak bergerak, maka pemerintah pun mendiamkannya. Jangan pernah melihat masalah pelanggaran HAM di Aceh hanya urusan Jakarta, ini merupakan urusan kita semua. Tanggung jawab siapa saja yang duduk di pemerintah, baik pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah. Baik pemerintah sebelumnya, maupun pemerintah sekarang. Tidak ada alasan untuk menguburkan masalah ini. Saya rasa semua orang di Aceh bukan tidak tahu, tapi banyak orang yang tidak mau tahu, termasuk mereka yang mempunyai tanggung jawab itu. Pemerintah Aceh jangan hanya menunggu pemerintah Indonesia itu menyelesaikannya. Pemerintah Aceh harus punya inisiatif, karena paling dekat dengan masyarakat Aceh sendiri. Namun kenyataan, hingga saat ini tidak ada kemajuan apapun mengenai penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM Aceh. Padahal menurut saya, UUPA sudah menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah Aceh untuk bekerja. Di Timor Leste, ada yang disebut namanya sebagai Komisi Persahabatan Timor Leste. Hebatnya, komisi ini tidak memiliki landasan yuridis apapun. Sedangkan di Aceh, yang sudah ada landasan yuridisinya, namun tidak ada kerja apapun yang dihasilkan. Ini sangat disayangkan. Dari semua yang ada, kendala terbesar yang dihadapi saat ini ada pada political will pemerintah untuk melaksanakan penegakan HAM. Dari sini sekali lagi dapat disimpulkan bahwa persoalan-persoalan pelanggaran HAM Aceh masa lalu memang ingin “dikuburkan hidup-hidup” oleh pemerintah. Indikatornya jelas, sejak tahun 2006 hingga sekarang, langkah apapun yang dilakukan pemerintah, khususnya Pemerintah Aceh. Ini merupakan fakta dari refeleksi, monitoring, dan evaluasi terhadap empat tahun sejak UUPA diundangkan.[] |213|
FAKTA BICARA
Hukum dan Komnas HAM
t
Oleh: Sepriady Utama, SH, Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Aceh
Sebelum berbicara tentang proses hukum, agaknya penting untuk memperhatikan dengan cermat dan seksama perbedaan antara pelanggaran HAM dengan pelanggaran HAM yang berat. Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, pelanggaran HAM diartikan sebagai setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang, termasuk aparat negara, baik dengan sengaja ataupun tidak disengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum, mengurangi, menghalangi, membatasi, atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini (UU HAM) dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Dengan demikian, jika merujuk pada definisi itu, sesungguhnya makna pelanggaran HAM dalam UU tersebut adalah pelanggaran terhadap prinsip-prinsip HAM. Sementara itu, Istilah Pelanggaran HAM berat (Gross Violation on Human Rights) yang menjadi bagian dari hukum positif nasional sejak diundangkannya Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, pada tanggal 23 November 2000 (LN No. 208 dan TLN 4026), memang tidak mendefinisikan pengertian istilah “pelanggaran HAM berat”, melainkan menyebutkan katagori kejahatan yang merupakan pelanggaran HAM berat, yakni kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 1 angka 2, juncto |214|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Pasal 7 beserta penjelasannya dan juncto Pasal 9 beserta penjelasannya). Kedua jenis kejahatan tersebut, sesungguhnya merupakan beberapa dari jenis-jenis kejahatan yang masuk dalam Internasional seriouse crime dan extra ordinary crimes, dan karenanya UU No 26 Tahun 2000 dapat disebut sebagai erga omnes dan instrumen atau mekanisme [judisial] nasional dalam perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia, yang secara khusus mengatur keberadaan pengadilan yang sifatnya terbatas dan khusus untuk mengadili serta menghukum pelaku kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dengan demikian, jika dikaitkan dengan konteks Aceh, maka sesungguhnya, penanganan dan penyelesaian terhadap kasus pelanggaran HAM dan pelanggaran HAM dan pelanggaran HAM yang berat masa lalu, tidak bergantung sepenuhnya pada satu mekanisme, melainkan perpaduan antara mekanisme judisial, dan mekanisme non judisial. Diakui atau tidak, secara politik, penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu bukan sesuatu yang gampang dan sederhana. Sebab, masalah pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM berat masa lalu di Aceh, sebagaimana halnya di wilayah konflik bersenjata lainnya, merupakan salah satu issu yang sangat pelik yang kita hadapi sekarang. Apalagi, konflik Aceh itu, tidak ada yang “menang” atau “kalah”. Secara objektif banyak diantara pemerintahan transisi dihadapkan dengan kebutuhan untuk menyelematkan terlebih dahulu proses transisi ke demokratis ketimbang mendahulukan kewajiban internasionalnya dalam menangani pelanggaran HAM dan pelanggaran HAM berat masa lalu [erga omnes]. Dengan bahasa lain, apakah kita mendahulukan kebenaran atau keadilan. Kita dihadapkan, setidaknya oleh tiga pertanyaan (1) Apakah menyelesaikannya dengan mengajukan ke pengadilan (to punish); (2) menyelesaikannya dengan cara melupakannya (to forget); (3) menyelesaikan dengan cara memaafkannya (to pardon). Meskipun dalam bahasa yang berbeda, kita bisa dihadapkan pada tiga model penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, yaitu;pertama,“to Forget and to forgive” (Melupakan dan memaafkan; artinya tidak ada pengadilan |215|
FAKTA BICARA
dan lupakan masa lalu). Model ini agak dilematis. Disatu sisi masyarakat korban diminta melupakan begitu saja --sekaligus memaafkan tanpa proses hukum-- kejahatan atau pelanggaran HAM yang pernah dilakukan terhadap dirinya dan orang-orang terdekatnya, sementara disisi lain peristiwa tsb berdampak thd jalan hidupnya dan menyisakan “kenangan pahit” yang traumatik. Melupakan dan memaafkan tanpa proses hukum mungkin pilihan yang diinginkan para pelaku. Tapi itu kontradiktif dgn keinginan masyarakat korban. Model ini juga akan menjadi preseden diburuk di masa depan, melanggengkan praktek impunity dan tidak memberikan “efek jera”. Kedua, “Never to forget, never to forgive”, (Tidak melupakan dan tidak memaafkan). Artinya, peristiwa masa lalu akan diproses secara hukum. Para pelaku akan diadili dan apabila terbukti bersalah maka dijatuhi hukuman. Tetapi model ini agak beresiko, mengundang resistensi pelaku dan berdampak bagi proses damai. Ketiga, Never to forget but to forgive” (Tidak melupakan, tetapi kemudian memaafkan. Artinya, Ungkapkan terlebih, sampaikan kebenaran, kemudian ampuni). Ini adalah bentuk kompromi. Merujuk pada pertanyaan atau pilihan diatas, maka model penyelesaian ideal yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat korban adalah melalui pengadilan. Namun begitu, tidak bisa tidak, harus dipertimbangkan pula bahwa Aceh masuk dalam “katagori transisi”. Nah dalam konteks inilah, Komnas HAM sebagai lembaga negara memiliki tanggung jawab hukum untuk turut menyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Aceh, bersama dengan Kejaksaan Agung dan Pengadilan HAM43. Atas dasar itu pula kemudian Sidang Paripurna Komnas HAM membentuk Tim Pengkajian Kekerasan di Aceh berdasarkan Keputusan Ketua Komisi Nasional 43_Terdapat beberapa kasus yang diindikasikan sebagai pelanggaran HAM berat, antara lain, {1}Kasus Pelanggaran HAM pada masa DOM, [2]. Kasus Pembunuhan di Bumi Flora; [3]. Kasus Idi Cut; [4]. Kasus Simpang KKA; [5]. Kasus-kasus pada saat: (a) Darurat Militer I, (b) Darurat Militer II, (c) Darurat Sipil I dan (d) Darurat Sipil II. Komnas HAM antara lain pernah membentuk TPF pada masa DOM, Tim Penyelidik Pro Justicia Dugaan Peristiwa Pelanggaran HAM Berat Bumi Flora, Tim Adhoc Aceh pada masa DM. |216|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Hak Asasi Manusia Nomor 53/Komnas HAM/IX/2008 tentang Pembentukan Tim Pengkajian Kekerasan di Aceh, yang selanjutnya disebut Tim Pengkajian Aceh.Meskipun Kantor Perwakilan Komnas HAM Aceh masuk dan menjadi bagian dari Tim, tetapi penggunaan mandat pengkajian, bukan pemantauan dan penyelidikan, dikritik oleh Kantor Perwakilan Komnas HAM Aceh. Pada 9 Desember 2008, Kantor Perwakilan Komnas HAM Aceh memberikan rekomendasi tertulis kepada Sidang Paripurna Komnas HAM berkenaan dengan tindak lanjut penanganan kasus Aceh. Dalam hal ini, Kantor Perwakilan Komnas HAM Aceh telah mengusulkan agar Sidang Paripurna Komnas HAM seharusnya dan sepatutnya menetapkan keputusan yang sesuai dan berdasarkan ketentuan Undangundang No. 39 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 26 Tahun 2000. Keputusan tersebut antara lain: Pertama, Membentuk Tim Penyelidikan Pemeriksaan dalam rangka melaksanakan pemantauan berdasarkan Pasal 89 ayat (3) UU 39/1999 dan atau Tim adhoc Penyelidikan Pro Justicia sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (2) UU 26/2000. Tugas untuk mengkaji, memeriksa dan atau verifikasi dokumen penyelidikan merupakan salah satu dari tanggung jawab dari Tim Penyelidikan. Kedua, dengan tanpa mengenyampingkan kemungkinan diselidikinya peristiwa-peristiwa masa lalu, maka tempus delicti dari peristiwa yang akan diselidiki baik berdasarkan Undang-undang No. 39 Tahun 1999 maupun Undang-undang No. 26 Tahun 2000 sebaiknya difokuskan pada peristiwa atau kasus-kasus yang terjadi sejak diundangkannya UU. 26/2000, sehingga Komnas HAM dapat dengan mudah melakukan penyelidikan, dan tidak memerlukan persetujuan politik dari DPR sebagaimana yang terjadi dalam kasus-kasus yang terjadinya sebelum di undangkannya Undang-undang No. 26/2000 Ketiga, Untuk memudahkan penelusuran dokumen, maka sebaiknya Peristiwa yang akan diselidiki adalah peristiwa-peristiwa yang telah pernah dipantau atau diselidiki oleh Komnas HAM, sehingga dokumen hasil pemantauan dan penyelidikan lebih mudah ditelusuri kembali, termasuk kasus penghilangan orang paksa yang telah diinvestigasi dan |217|
FAKTA BICARA
diverifikasi oleh Kontras Aceh dan kemudian diserahkan kepada Kantor Perwakilan Komnas HAM Aceh dan Komnas HAM Jakarta; Keempat, Rangkaian penyelidikan pro-justicia oleh Komnas HAM adalah langkah awal menuju penyelesaian pelanggaran HAM berat di Aceh melalui Pengadilan HAM. Dengan demikian, penyelidikan pemeriksaan dan penyelidikan projusticia Komnas HAM memiliki arti penting bagi penegakan HAM. Melalui penyelidikan projusticia, Komnas HAM ditugasi oleh Undang-undang untuk menentukan apakah suatu peristiwa terdapat pelanggaran HAM berat atau tidak. Dalam konteks ini, Komnas HAM menjadi penentu ada tidaknya suatu kejahatan (crimes) dalam sebuah peristiwa. Tanpa penyelidikan pro-justicia oleh Komnas HAM, kasuskasus pelanggaran HAM berat di Aceh tidak mungkin disidik oleh Jaksa Agung. Selanjutnya, setelah mempertimbangkan usulan Kantor Perwakilan Komnas HAM Aceh dan berbagai pihak lainnya, serta melalui pengkajian yang komprehensif, Tim Pengkajian Aceh bekerja dan menghasilkan rekomendasi yang disetujui oleh Sidang Paripurna Komnas HAM, yang pada intinya menyatakan bahwa penyelesaian pelanggaran HAM dan pelanggaran HAM berat di Aceh di Aceh menggunakan apa yang disebut sebagai ”jalan ketiga” yaitu pengkombinasian antara jalan pengadilan dan pengungkapan kebenaran. Keduanya, yakni KKR dan Pengadilan HAM, bukan merupakan jalan yang terpisah satu sama lain, tetapi saling melengkapi. Tim juga berpendapat bahwa negara mempunyai kewenangan untuk mengamankan keutuhan wilayah dan warga negarnya. Akan tetapi operasi militer yang dilakukan di Aceh telah menyebabkan terjadinya tindak-tindak kekerasan dan pelanggaran HAM. Selain itu Tim menyimpulkan bahwa selama konflik bersenjata terjadi kedua belah pihak telah melakukan tindakan-tindakan yang mengakibatkan terjadinya korban di kalangan penduduk sipil. Adapun rekomendasi lengkap dari Tim, yaitu, Pertama: Menindaklanjuti hasil laporan kajian kekerasaan di Aceh, untuk disampaikan kepada pihakpihak terkait yaitu: Presiden, DPR RI, Mahkamah Agung, dan |218|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Pemerintah Aceh: a) Untuk menjalankan kewajibannya menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat di Aceh sebagai bentuk pemenuhan kewajiban negara memproses secara hukum pelaku kekerasan (the duty to prosecute) dan pemenuhan hak korban atas kebenaran, keadilan, dan reparasi. Upaya dimaksud harus menggunakan pendekatan transitional justice atau keadilan transisi dimana pendekatan ini merupakan bentuk akuntabilitas negara, yaitu: [1]. Penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui mekanisme UU No. 26 Tahun 2000; dan [2] Penyelesaian melalui KKR b) Mengambil langkah-langkah penyelesaian terutama dengan mempertimbangkan hasil Tim kajian yang dilakukan oleh Komnas HAM. Kedua, Mendesak Pemerintah termasuk Pemerintah Aceh untuk mengalokasikan anggaran secara khusus yang dipergunakan bagi penyelesaian berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia serta pemberian reparasi kepada para korban. Ketiga, Komnas HAM harus menindaklanjuti laporan Tim Ad-hoc Pemantauan Perdamaian di Aceh Komnas HAM tahun 2004 serta menyempurnakan laporan Tim ini sehingga mencakup keseluruhan periode DM dan DS hingga MoU Helsinki. Keempat, Mendorong segera dibentuknya Pengadilan HAM dan KKR di Aceh sebagaimana diamanatkan di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sayangnya, sampai sekarang, rekomendasi yang menjadi kebijakan Komnas HAM dalam penyelesaian dan penanganan kasus pelanggaran HAM dan pelanggaran HAM berat masa lalu di Aceh, belum diumumkan kepada publik. KKR adalah bagian dari mekenisme keadilan di masa transisi, dan merupakan salah satu mekanisme (komplementer) dalam menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu. Komisi ini --sebagai badan resmi yang temporer dan non judicial-- bekerja dalam masa transisi, dengan rentang |219|
FAKTA BICARA
batas tertentu, untuk pengambilan pernyataan/kesaksian, penyelidikan riset, dan dengar pendapat umum, sebelum Komisi mengakhiri tugasnya dalam bentuk laporan akhir. Komisi ini tidak sepenuhnya dirancang untuk menggantikan kebutuhan atas penuntutan. KKR bukan semata-semata menentukan upaya rekonsiliasi, tetapi memberikan catatan resmi tentang pelanggaran HAM masa lalu (historical record of past abuses), yang akan berguna untuk menentukan dan menjadi dasar bagaimana memperlakukan para pelaku, memperlakukan korban dan memperbaiki kondisi yang selama ini tercabik-cabik. Pembentukan KKR Aceh merupakan “perintah” MoU Helsinki 2005, sebagaimana tersebut dalam angka 2.3 yaitu : ”Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh Komisi kebenaran dan rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi. Dasar hukum pembentukan KKR adalah pasal 229 ayat (1) Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Selanjutnya, dalam Pasal 229 ayat (2) disebutkan bahwa KKR Aceh merupakan bagian tak terpisahkan dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional. Tetapi MK telah memutuskan bahwa UU KKR dinyatakan tidak berlaku (tidak mengikat secara hukum). Dari sisi hukum, putusan MK mebatalkan UU. KKR melanggar prinsip ultra-petita. (Memutuskan sesuatu melebihi apa yang diminta/dituntut para pihak). Meskipun ada pandangan atau tafsiran yang menyatakan bahwa sesungguhnya, tanpa menunggu UU KKR pun, KKR Aceh dapat dibentuk, namun tidak bisa dibantah bahwa pembatalan UU KKR oleh MK secara nyata telah memperlambat proses rekonsiliasi yang di Aceh. Oleh karena itu, Pemerintah Pusat harus segera menunjukkan kesungguhannya untuk mengesahkan RUU KKR Nasional yang baru pada tahun 2011, bukan saja karena tanggung jawab terhadap penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu merupakan state responsibility, pengungakapan kebenaran oleh KKR Aceh selain penting untuk mendorong proses damai yang permanen di Aceh, juga untuk penegakan keadilan dalam masa transisi. Terkait keadilan buat korban, pada dasarnya, secara hukum, korban dan keluarganya berhak menggunakan |220|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
semua mekanisme untuk menuntut keadilan, baik itu nasional maupun internasional. Untuk konteks Aceh, mekanisme nasional yang digunakan adalah, pertama, penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui Pengadilan HAM berdasarkan Undang-undang No. 26 Tahun 2000, dan kedua, KKR. Selain itu, penggunaan mekanisme internasional tetap dimungkinkan. Namun harus diingat bahwa pada prinsipnya, mekanisme internasional bersifat komplementer, yang hanya “akan diberlakukan” jika mekanisme nasional (atau sebuah negara), tidak berniat (unwilling) dan tidak mampu (unable) melaksanakan peradilan yang fair terhadap kejahatan yang oleh instrumen hukum internasional dikatagorikan sebagai kejahatan yang serius (serious crimes) dan luar biasa (extra ordinary crimes), dan karenanya dianggap sebagai “hostis humanis generis”. Dengan demikian, mekanisme nasional penyelesaian pelanggaran HAM dan pelanggaran HAM berat di Aceh [baik melalui Pengadilan HAM menurut UU No. 26 Tahun 2000 maupun KKR yang saling melengkapi] harus merupakan mekanisme yang fair, terbuka untuk umum dan pengawasan internasional serta dilakukan dengan merujuk Undangundang No. 26 Tahun 2000, UU KKR dan berdasarkan standar dan instrumen hukum internasional. Jika mekanisme tersebut dilakukan “tidak dengan kesungguhan” untuk memberikan “rasa keadilan” dan “mengungkap kebenaran”, maka implikasinya adalah (bukan tidak mungkin) Mekanisme HAM Internasional dan Jurisdiksi Universal dapat diterapkan. Dalam UUPA, dicantumkannya beberapa ketentuan HAM sipol dan ekosob, seperti hak untuk tidak ditangkap dan tidak ditahan tanpa berdasarkan hukum, hak untuk tidak disiksa, hak pendidikan dan hak kesehatan, selain merupakan langkah maju menuju Aceh baru yang berkeadilan, juga adalah bentuk tanggung jawab pemerintah dalam memajukan dan menegakkan HAM di Aceh di masa mendatang. Demikian juga halnya dengan Pengadilan HAM berdasarkan ketentuan pasal 228 UUPA. Keberadaan pengadilan HAM tersebut, harus dilihat dalam konteks masa paska damai [masa depan] dan bukan untuk menyelesaikan kasus masa lalu. Selain itu, pengadilan HAM dibawah UUPA, bukanlah pengadilan pidana. Dalam Pasal 228 ayat (1) UUPA |221|
FAKTA BICARA
disebutkan bahwa “untuk memeriksa, mengadili, memutus dan meyelesaikan perkara pelanggaran HAM yang terjadi sesudah Undang-undang ini diundangkan dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh”.Penggunaan istilah pelanggaran HAM, bukan pelanggaran HAM yang berat (groos violation of human rights) menunjukkan bahwa pengertian pelanggaran HAM dalam Pasal 228 ayat (1) sejalan dengan maksud Pelanggaran HAM yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (6) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Ketiadaan jurisdiksi untuk mengadili Pelanggaran HAM yang berat, dapat diartikan bahwa (sesungguhnya) Pengadilan HAM di Aceh yang dibentuk berdasarkan UUPA, berbedadengan Pengadilan HAM yang dimaksud oleh Undangundang No. 26/2000. Dengan demikian, pengadilan dibawah UUPA tidak ditempatkan sebagai pengadilan yang sifatnya khusus untuk menangani extra-ordinary crimes (kejahatan yang luar biasa) yang berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional. Jurisdiksi Pengadilan HAM berdasarkan UUPA lebih cenderung (atau relatif) sama dengan yurisdiksi Pengadilan Umum lainnya yang menangani kejahatan biasa (ordinary crimes) atau, jika melihat jenis putusan sebagaimana yang diatur dalam ayat (2) pasal 228, merupakan pengadilan yang memeriksa gugatan [perdata] atas pelanggaran HAM sebagaimana halnya pengadilan HAM Eropa. Pengungkapan kebenaran, meskipun bukan mekanisme resmi yang legal, setidaknya dilihat dari sisi advokasi, pengungkapan kebenaran yang dilakukan korban dan kalangan NGO, dapat mendorong pemerintah untuk segera dan mempercepat terbentuknya Undang-undang KKR yang baru sebagai langkah awal pengungkapan kebenaran menuju rekonsiliasi. Terkait perlindungan saksi, Sejak 11 Agustus 2006, Regulasi Perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia diatur dalam UU. No. 13 Tahun 2006, dan diundangkan dalam LNRI Tahun 2006 No. 64. Keberadaan undang-undang ini setidaknya merupakan langkah maju bagi perlindungan para saksi dan korban, termasuk untuk kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat. Dalam pasal 4 Undang-undang itu, disebutkan bahwa |222|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
perlindungan saksi dan korban bertujuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan atau korban dalam memberikan keterangan dalam setiap proses peradilan pidana. Sementara dalam pasal 5 ayat (1) UU No. 13/2006, disebutkan hak-hak saksi dan korban, yaitu: • Perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga & harta benda lainnya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dng kesaksian yg akan, sedang atau telah diberikannya; • Ikut serta dlm proses memilih & menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; • Memberikan keterangan tanpa paksaan; • Mendapat penterjemah; • Bebas dari pertanyaan yang menjerat; • Mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus & ptsn pengadilan; • Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; • Mendapatkan identitas baru dan tempat kediaman baru; • Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai kebutuhan; • Mendapat nasihat hukum; dan atau • memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. Selain itu, ketentuan Pidana dapat diberlakukan kepada setiap orang yang memaksa kehendaknya baik menggunakan kekerasan (yang menimbulkan luka berat dan atau mengakibatkan matinya saksi/korban) maupun caracara tertentu, atau menghalang-halangi dengan cara apapun dengan tujuan agar saksi atau korban tidak memperoleh perlindungan atau bantuan, kehilangan pekerjaan, serta memberitahukan keberadaan saksi dan korban yang dilindungi oleh LPSK (lihat Pasal 37 sd 43 UU 13/2006); Jika perbuatan itu dilakukan oleh pejabat publik, ancaman pidananya ditambah dengan 1/32menyebabkan saksi/korban tidak memperoleh perlindungan (Pasal 42 UU 13/2006). Merujuk pasal 4 UU 13/2006 diatas, agaknya dapat |223|
FAKTA BICARA
disebutkan bahwa perlindungan saksi dan korban hanya dapat diberikan untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang diselesaikan melalui mekanisme judicial, yaitu Pengadilan HAM. Sementara untuk mekanisme non judisial, seperti KKR tidak disebutkan. Dengan demikian, untuk melindungi saksi dan korban yang mengungkapkan pengakuan dan kebenaran di hadapan KKR, perlu dibangun kerjasama antara KKR dengan LPSK, sebagai sesama lembaga negara yang bekerja berdasarkan Undang-undang.[]
|224|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Refleksi Historis Atas Kejahatan HAM di Aceh
t
Oleh: Fuad Mardhatillah UY. Tiba
Rangkaian kekerasan dan kejahatan kemanusiaan telah menghiasi sejarah eksistensial Negara Kesatuan Republik Indonesia, sejak awal berdirinya. Yakni, pada periode awal kepemimpinan bangsa Indonesia telah ditandai dengan adanya perang saudara antar anak-anak bangsa dalam pemberontakan DI/TII dan PRRI/Permesta yang sebabsebab pertikaiannya menyangkut bentuk dan bagaimana Negara ini harus dikelola. Juga ada peristiwa G30S/PKI yang ditandai berbagai tindak kekerasan yang membuat Negara ini bergelimangan darah dan harus kehilangan banyak warga bangsanya. Kemudian, pada periode selanjutnya juga banyak dihiasi dengan berbagai kekerasan dan kejahatan kemanusiaan dalam berbagai peristiwa berdarah. Mulai dari pembasmian sisasisa anggota gerakan komunisme Indonesia, hingga politik pembungkaman aspirasi dan suara kritis masyarakat sipil serta kebijakan penumpasan berbagai gerakan separatisme, di Aceh, Papua dan Timor Timor. Semua aksi pemerintah itu, banyak sekali merenggut nyawa anak-anak bangsa, melalui berbagai bentuk dan adegan kekejaman atas kemanusiaan. Tragis memang! Terjadinya semua tragedi kebangsaan dan kemanusiaan itu, sedikitnya telah dilatari oleh dua alasan mendasar. Pertama, karena wawasan, cara pandang dan pola pikir |225|
FAKTA BICARA
para pendiri/penguasa Negara yang tergolong masih amat primitive dan merupakan manifestasi dari pemerintahan barbarism modern.44 Fenomena keprimitifan dan barbarisme ini terutama terlihat dalam praksis bagaimana konsep dan prinsip-prinsip dasar organisasi Indonesia sebagai sebuah Bangsa dan Negara yang baru lahir dan berdasarkan Pancasila ini, semestinya harus dirumus, diurus dan dikelola, yang kemudian dipenuhi berbagai tindak kekerasan dan kejahatan kemanusiaan. Sehingga berbagai pemikiran, pertimbangan, dan aksioma-aksioma logis-rasional serta pola-pola politik nir-kekerasan, niscaya tidak lebih dikedepankan dalam menyusun kerangka dasar yang menjadi landasan bagi pelaksanaan pembangunan kebangsaan dan kenegaraan yang benar dan aspiratif. Tetapi semua dimensi rasional yang melahirkan pikiran-pikiran kritis tampak telah terpinggirkan sedemikian rupa. Akhirnya Negara dijalankan sesuai selera dan kepentingan politik dan ekonomi para penguasanya. Konsekuensi logisnya, kekerasan dalam berbagai bentuknya menjadi pendekatan dan modus pilihan yang selalu cendrung dikedepankan, dan digunakan di atas premis membela keutuhan negara. Ini jelas memberi kesimpulan kepada kita, bahwa para pendiri Negara yang telah berhasil mengusir penjajah Belanda keluar dari tanah air Indonesia dan kemudian mereka menjadi para penguasa, yang ternyata mewarisi dan meniru cara-cara kejam yang telah digunakan Belanda untuk menguasasi, memperbudak rakyat dan mempertahankan daerah jajahannya.45 44_Lebih lanjut mengenai kultur penguasa barbaric yang mengenyampingkan dimensi rasionaitas dalam memahami berbagai tuntutan pemenuhan dari kebutuhan hidup, yang sebenarnya diperlukan untuk mengenyahkan segala bentuk kekerasan ketika manusia dipenuhi keinginan yang perlu dipenuhi dalam kehidupan masyarakat manusia, baca misalnya, Stjepan G. Mestrovic, The barbarian Temperament, Toward a Postmodern Critical Theory, (London and New York: Routledge), 1993, khususnya hal. 28-48. 45_Agaknya, gerakan social bangsa pribumi untuk mengenyah seluruh tradisi colonial yang telah sekian lama menjadi pengalaman keseharian kaum jajahan, kiranya telah menjadi proses social modeling yangf menyebabkan para pribumi yang kemudian menjadi para penguasa cendrung menerapkan cara-cara colonialist dalam mengelola daerah dan bangsa jajahannya. Untuk ini baca misalnya, Linda Tuhiwai |226|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
Tegasnya, para penguasa yang kemudian memimpin Indonesia hanya mampu mengusir fisik para penjajah, tetapi memungut dan mengamalkan seluruh prilakunya, untuk diterapkan pada bangsanya sendiri. Inilah proses social modelling kolonialisme yang sukses. Kedua, karena adanya nafsu obsessive kekuasaan (obsessive lust of power) para pemimpinnya yang dapat ditengarai sedang mengalami semacam mental disorder, setelah sekian lama merasa tertekan, yang kemudian menyebabkan dirinya kehilangan dimensi social (altruism) dari jati kemanusiaannya. Maka kekuasaan Negara yang diperolehnya digunakan secara sempurna sebagai sebuah kesempatan untuk menguasai seluruh rakyatnya, mengekang berbagai bentuk kebebasannya, membonsai daya kritis pemikiran dan nalarnya. Di samping itu, penguasa juga menyeragamkan segala bentuk keragaman, membungkam segala aspirasi kritiknya dan semata-mata mengharapkan kepatuhannya. Dengan demikian, penguasa sentral dan seluruh para punggawanya akan dengan mudah dapat memenuhi segala kehendak dan kemauan politik dan ekonominya.46 Sehingga sistem pengelolaan Negara yang dibangun kemudian adalah sistem yang memusatkan segala kekuasaan di tangan seorang Presiden dan segala kebijakan kenegaraan terpusat pada segala kepentingan politik dan ekonominya. Dan pada gilirannya, Negara Indonesia dimasa rezim Orba menjadi rezim yang kleptokatis, yang dipenuhi para penguasa pencuri, yang masih terwariskan hingga saat ini.47 Kekuasaan tunggal ini, akan memberi kesempatan hidup aman dan Smith, (terj.), Dekolonialisasi Metodologi, (Jogjakarta: Insist Press), 2005, hal. 165172. 46_Prilaku politik ekonomi Orde Baru yang akhirnya memuarakan krisis ekonomi dan moneter luar biasa yang justru kemudian berdampak menjatuhkan kedudukan Soeharto sebaggai Presiden, kiranya dapat dibaca lebih jauh dalam, Pradjoto, Mencegah Kebangkrutan Bangsa, Pelajaran dari Krisis, (Jakarta: Masyarakat Transparansi Indonesia), 2003, khususnya hal. Bab I hingga V. 47_Memahami lebih lanjut, bagaimana para penguasa pencuri memainkan kekuasaan untuk memperkaya diri, baca misalnya, Prof. Dr. T. Jacob, Tragedi Negara Kleptokratis: Catatan di Senjakala, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia), 2004. |227|
FAKTA BICARA
enak hanya kepada para pengikutnya yang patuh saja. Segala bentuk kritik, perdebatan, pertentangan dan kekuatan perlawanan dari manapun dan siapapun, semuanya harus dilumpuhkan atau bahkan dibantai habis. Akhirnya rakyat hanya menjadi mangsa kekuasaan, dan sasaran persemaian aneka ketakutan dan segala akibat eksponensialnya. Itulah situasi Negara Kesatuan Republik Indonesia saat berada di bawah sistem kekuasaan rezim sentralistik-otoriter Orde Baru, yang menjalankan kepemimipinan Negara secara tangan besi dan kejam,48 dan tentunya ditandai dengan banyaknya berbagai tindak kekerasan, dalam berbagai jenisnya, dan pelanggaran HAM berat yang menimpa rakyatnya.49 *** Salah satu akibat sistemik yang cukup tragis dari libido kekuasaan yang mengurus Negara secara terpusat, penuh korupsi, kolusi, nepostisme, ketidakadilan dan penindasan struktural yang dilaksanakan oleh pemerintahan Orde Baru adalah, munculnya perlawanan dan pemberontakan bersenjata dari rakyat Aceh, yang dimanifestasikan lewat Gerakan Aceh Merdeka yang dipimpin oleh Tgk Hasan di Tiro. Gerakan Aceh Merdeka yang bercita-cita untuk memisahkan Aceh dari Indonesia ini, lahir setelah sekian lama rakyat Aceh menderita berbagai keitidak-adilan, penindasan dan kekerasan dalam berbagai bentuknya, akibat sistem otoritarian pemerintahan Orde Baru. Maka pemberontakan bersenjata yang muncul di Aceh ini, cukup menjadi alasan yang dianggap sah secara hukum 48_ Untuk memahami berbagai kekejaman yang pernah dipraktekkan selama Orde Baru berkuasa, baca misalnya, Margiyono dan Kurniawan Triyunanto, Neraka Rezim Soeharto, Misteri Tempat Penyiksaan Orde Baru, (Jakarta: Spasi & VHR Book), Mei 2008. 49_Untuk memahami detail, bagaimana prilaku kekuasaan dari rezim Orde Baru, baca misalnya, Benedict O’G Anderson and Audrey Kahin, (eds.),Interpreting IndonesianPolitics: Thirteen Contribution to the Debate,Interim Reports series,no. 62,Cornell Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, (Ithaca, New York: Cornell University), 1982. |228|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
oleh penguasa Orde Baru untuk melakukan berbagai tindakan militeristik dalam upaya menumpas sampai ke akar-akarnya gerakan pemisahan diri Aceh itu. Tanpa merasa perlu harus memiliki semacam petunjuk moral atau kode etik operasi militer yang dirumuskan berdasarkan kesadaran kebangsaan yang multikultural berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, segala bentuk aksi dan tindakan pembasmian terhadap kelompok yang memberontak dan menggugat keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dipandang sah dan boleh untuk dilakukan apa saja. Tanpa sama sekali merasa perlu untuk merisaukan, baik persoalanpersoalan menyangkut moral kebangsaan, maupun hukum dan nilai-nilai kemanusiaan serta berbagai tugas suci (divine task) sebagai makhluk bertuhan.50 Konsekuensinya, terjadilah di Aceh aksi euphoria militerisme yang seolah sedang merayakan kemenangan perang. Ini diperlihatkan melalui serangkaian panjang dan dalam waktu yang cukup lama, berbagai kejahatan kemanusiaan dan pembantaian kehidupan yang luar biasa sadisnya.51 Bukan saja terhadap para anggota pemberontak bersenjata, tetapi juga terhadap rakyat sipil Aceh yang tak berdosa, semua menjadi sasaran berbagai tindak penganiayaan, penyiksaan, pembunuhan dan penistaan oleh aksi militer Indonesia.52 50_Sebenarnya manusia yang telah memiliki perjanjian primordial dengan Tuhan, selalu merasa wajib untuk berbuat sesuatu yang merupakan kebaikan bagi sesame manusia. Namun tampaknya, pemerintah Indonesia di masa Orba bersama semua aparatur pelaksana kebijakan bengisnya benar-benar telah kehilangan dimensi tugas suci kemanusiaan itu. Lebih lanjut mengenai tugas suci yang semestinya diamalkan dalam urusan apapun, baca misalnya, William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge, Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination, (New York: State University of New York), 1989, hal. 98-99. 51_Kesan euphoria kekerasan militer Indonesia di masa Orba, ddapat dilihat dari sejumlah kasus kejahatan berat kemanusiaan yang pernah dilaporkan oleh masyarakat Aceh Timur, Utara dan Pidie, menjelang dan setelah pencabutan DOM, yang kemudian dibukukan dalam misalnya, Al-Chaidar, Aceh Bersimbah Darah, hal. 126-143. 52_Untuk mengetahui lebih lanjut rangkaian panjang dan detail-detail kejahatan kemanusiaan dalam berbagai jenis dan modusnya yang dialami rakyat Aceh selama pemerintah pusat memberlakukan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer “Jaring Merah”(1989-1998), baca misalnya, Al-Chaidar (dkk), Aceh bersimbah Darah, (Jakarta: Pustaka Al-Kaustar), Edisi Revisi, 1998. |229|
FAKTA BICARA
Dalam konteks euphoria itu, berbagai foto-foto yang mengabadikan kekerasan yang telah dilakukan di Aceh selama Operasi Militer dan banyak tersebar di dalam masyarakat, juga telah benar-benar menjadi indikasi yang memperlihatkan euphoria kekuasaan Orde Baru yang mengesankan tidak ada lagi kekhawatiran yang merasa perlu bahwa kejahatan itu disembunyikan. Memang saat itu, seolah tampak sudah tidak ada lagi kekuatan yang mampu melawan atau menghentikan berbagai kejahatan kemanusiaan yang amat sadis tersebut. Akan tetapi, ketika gelombang kebencian rakyat Indonesia yang menggumpalkan kesadaran dan kekuatan untuk melawan rezim bengis Soeharto itu terus semakin membesar, akhirnya penguasa tertinggi rezim Orde Baru yang tadinya sangat amat menakutkan rakyat, mampu dipaksa mundur dari jabatan Presiden pada bulan Mei 1998. Meskipun besar juga harga social-politik dan ekonomi yang harus dibayar dalam peristiwa untuk memaksakan sebuah perubahan tampuk pimpinan Indonesia itu. Menyusul turunnya Soeharto itu, dan menggumpalnya tuntutan dan desakan rakyat Aceh untuk pencabutan status DOM yang telah cukup lama tersiksa, maka status Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) yang telah berlangsung sejak tahun 1989, juga akhirnya terpaksa dicabut oleh panglima ABRI saat itu, Jendral Wiranto. Pascapencabutan DOM, berbagai kekerasan masih juga terus terjadi dan bahkan semakin menggila dan liar saja, dengan sasaran yang sangat acak. Penculikan, pembunuhan, penganiayaan, pembantaian dan pembubuhan racun pada rokok Dji Sam Soe dan di dapur-dapur pengungsi, nyaris setiap hari menghiasi headline berita surat kabar di Aceh, khususnya harian Serambi Indonesia. Seiring itu, kekuatan GAM juga berhasil melakukan konsolidasi, bahkan kekuatan GAM menjadi semakin terus membesar kembali melebihi kekuatan yang pernah dimiliki sebelumnya. Ini bisa terjadi ketika berbagai bantuan strategis para aparatur Indonesia yang konon dikatakan telah |230|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
melakukan disersi dan membelot membantu GAM, dengan berbagai perangkat perang, termasuk mesin bubut yang dapat digunakan untuk membuat senjata rakitan pernah ditemukan oleh aparat di belantara hutan Aceh Utara dan telah menjadi pemberitaan sejumlah media massa di Aceh sekitar tahun 2001. Selanjutnya, rangkaian peristiwa kekerasan, mulai dari peristiwa pembantaian massal Arakundo, penembakan membabi buta di Gedung KNPI Lhokseumawe, Simpang KKA, pembantaian massal di Pesantren Tgk Bantaqiyah, Beutong Ateuh, semua dapat terjadi dengan mulus tanpa ada halangan sama sekali dari siapapun atau pihak manapun. Semua kisah nestapa kejahatan kemanusiaan itu bersama ratusan kasus-kasus pembantaian, penghilangan paksa, pembunuhan dan penyiksaan lainnya, tampak telah terjadi dan berlangsung begitu saja di tengah pusaran konflik vertical Aceh. Seolah seluruh kekuatan social, politik dan keagamaan yang ada di Aceh atau Indonesia seperti memberi legitimasi terhadap seluruh kejahatan kemanusiaan itu. Hingga akhirnya kembali diberlakukan status Aceh sebagai Daerah Darurat Militer. Pada masa Darurat Militer yang ditetapkan melalui Keppres No. 28/2003, yang berlangsung selama 6 bulan dan kemudian ditambah lagi dengan Darurat Sipil, juga dihiasi oleh berbagai kejahatan kemanusiaan yang sama sekali tidak tersentuh hukum. Singkat cerita, dari semua realitas kejahatan kemanusiaan yang hingga kini sulit disentuh hukum, telah benar-benar mencitrakan Indonesia sebagai Negara yang para penguasanya telah cukup banyak menistakan nilai-nilai kemanusiaan bangsanya sendiri. Sehingga kini diperlukan suatu kesadaran baru, dalam mengemudi sejarah perjalanan Negara dan bangsa ini menuju masa depannya yang diisi dengan situasi kehidupan yang demokratis dalam makna yang lebih substansial, berupa tegaknya keadilan dan perlindungan optimal terhadap nilai dan hak-hak dasar kemanusiaan.
|231|
FAKTA BICARA
Berbagai kejahatan sistemik di Indonesia, khususnya di Aceh, yang telah menistakan seluruh nilai-nilai mulia kemanusiaan, sebagai makhluk berakal dan bertuhan, sepertinya telah mengantarkan bangsa ini untuk menuai kerusakan kumulatif eksponensial, menyangkut nyaris seluruh sector dan aspek kehidupan di negeri ini. Kita boleh yakin, bahwa tidak ada satu sektor dan aspekpun dari kehidupan berbangsa dan bernegara yang hari ini tidak bermasalah atau tidak mengalami krisis. Semua jenis kerusakan menyangkut semua sektor dan aspek kehidupan itu, bermula dari rusaknya human capital yang diakibatkan oleh sistem bernegara dan pengelolaannya yang tidak menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Sebut misalnya, sistem bernegara yang memusatkan segala kekuasaan berada di tangan Presiden, sungguh telah menciptakan otoritarianisme yang mematikan dimensi dinamis dan kreatif bangsa. Karena dimensi dinamis bangsa selalu menghendaki berlangsungnya perubahan sebagai sebuah keniscayaan. Akibat lanjutannya, segala bentuk kreatifitas pun ikut tergerus setelah kehidupan selalu diarah menuju statisme kemapanan. Selanjutnya, sistem otoritarian dengan kekuasaan terpusat itu, juga memperlakukan realitas kebangsaan Indonesia yang sangat majemuk untuk tidak mendapat tempat yang layak dan penghargaan yang memadai dalam konteks aktualisasi diri yang didasarkan pada keunikannya masingmasing, yang tentu akan cukup beragam dan berbeda-beda. Akibatnya, bangsa ini nyaris sama sekali tidak disiapkan untuk mampu memahami dan menghargai pluralitas sebagai khasanah kekayaan bangsa yang dapat membuat bangsa ini menjadi kreatif dan unggul. Selain itu, system kekuasaan yang otoriter dan terpusat itupun telah membuat bangsa ini kehilangan kebebasannya dalam beraktualisasi diri. Karena kebebasan aktualisasi diri ini selalu cendrung menciptakan munculnya perbedaan dalam berbagai hal, seperti perbedaan pendapat, pikiran, |232|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
pilihan dan putusan. Kemudian berbagai perbedaan itu, cendrung melahirkan gugatan kritis terhadap realitas yang ada, untuk kemudian oleh para penguasa cendrung dipahami sebagai ancaman bagi upaya mereka melestarikan kekuasaan yang dirancang sebagai pintu gerbang bagi usaha menumpuk kekayaan bagi melayani orientasi kehidupan hidupnya yang cendrung mendambakan kemewahan, tanpa harus kerja keras. Itulah sebabnya jika muncul suara-suara yang secara kritis mempersoalkan cara-cara mengelola Negara yang penuh ketidak-adilan dan akan membawa bangsa ini pada suatu sitruasi masa depan yang akan menuai banyak masalah, segera saja para penguasa bertindak tegas untuk membungkam dan hanya kepatuhan yang semata diharapkan. Dan jika ada suara rakyat yang memberontak atas kehendak penguasa yang membungkamkan itu, berbagai bentuk kekerasan segera saja menjadi pilihan strategis yang dengan mudah saja dilaksanakan. Tanpa merasa perlu mempertimbangkan berbagai nilai kemanusiaan yang secara moral memang sepatutnya dipertimbangkan.53 Apalagi jika menyangkut pemberontakan untuk melepaskan diri dari bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti yang diperjuangkan oleh rakyat Aceh, segera saja para penguasa memilih pendekatan militer sebagai satu-satu alternative penyelesaian konflik tersebut. Karena konsep introspeksi diri tidak pernah ada dalam benak pikiran para penguasa otoriter. Tetapi menganggap diri seolah selalu berada di pihak yang benar, dan melihat bahwa pemberontakan rakyat Aceh itu sebagai tindakan yang salah dan perlu dibasmi sampai ke akar-akarnya. Maka akhirnya muncullah sejumlah aksi kejahatan kemanusiaan yang dari hari ke hari semakin meningkatkan derajat kesadisannya, 53_ Manusia sebagai entitas yang unik yang senantiasa pasti memiliki cita-cita kebahagiaan dan ketenangan, semestinya ditempatkan sebagai focus pemahaman yang selalu perlu diuji komitmen perjuangannya bagi orang-orang lain. Untuk memahami lebih lanjut tentang entitas manusia yang memiliki keunikannya masing-masing bersama segala kebutuhannya, baca misalnya, Alexis Carrel, Misteri Manusia, (Bandung: Penerbit Remaja Karya), hal. 9-32. |233|
FAKTA BICARA
yang kemudian memunculkan trauma psychis dan ketakutan rakyat yang luar biasa. Itulah serangkaian dampak yang diakibatkan oleh penerapan sistem kenegaraan yang otoritarian-militeristik dengan kekuasaan terpusat yang kemudian menghendaki banyak sekali tindakan kekerasan dan kejahatan kemnusiaan hanya untuk sekedar membela kelestarian kekuasaan.54 Dan akhirnya, sepeninggal system itu, rakyat pun menjadi kehilangan berbagai modal sosialnya. Ini antara lain, hilangnya rasa saling percaya antar individu masyarakat, antar kelompok masyarakat dan juga antara masyarakat dengan pemerintah. Hilangnya rasa percaya ini juga menggiring dirinya menjadi amat individualis, yang hanya bersedia berjuang untuk keselamatan dan kesenangan dirinya semata. Selanjutnya, orientasi hidup yang sangat individualis ini, otomatis membuat masyarakat, termasuk para aparatur pemerintahan, menjadi kehilangan kemampuannya untuk bekerjasama secara saling percaya, kreatif dan produuktif, khususnya dalam merencanakan, merumuskan, membangun dan melaksanakan cita-cita bersama secara bersama-sama. Maka salah satu krisis yang dialami bangsa ini kini adalah krisis perencanaan anggran yang dikelola pemerintah. Yakni bagaimana kemudian anggaran itu dapat diharapkan mampu menjawab berbagai permasalahan yang ada dalam kehidupan masyarakat. Berbagai aksi korupsi yang secara pandemic mengidap nyaris seluruh aparat penguasa negeri ini, adalah bukti kongkrit yang menunjukkan adanya kesulitan untuk merencanakan kebaikan bagi masyarakatnya. Korupsi yang mulai berkembang dan terus menjadi-jadi ketika kekuasaan Orde Baru sedang berada pada masa-masa keemasannya, kini semakin tak terhentikan. Karena para penguasa dan kelompok pendukungnya mengalami kesulitan untuk memikirkan kepentingan bersama secara serius dan sistematis. Maka masyarakat yang mayoritasnya berada di 54_Untuk memahami bagaimana militer Indonesia memainkan peran politiknya di masa Orde Baru, baca misalnya, Harold Crouch, The army and Politics in Indonesia, (Ithaca New York: Cornell University Press), 1988. |234|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
lapis bawah piramida sosial, terus saja menderita, baik secara lahir maupun batinnya. Berbagai program pemerintah yang dikatakan untuk menjawab persoalan kemiskinan masyarakat ternyata hanya melestarikan kemiskinan itu sendiri. Kini, apatisme social tampak sedang mengidap sebagian besar warga masyarakat Aceh. Mereka sepertinya menyadari betapa titik terang masa depan Aceh semakin tidak tampak dan buram. Tentu, untuk menumbuhkan kembali optimisme rakyat terhadap masa depannya yang cemerlang, kiranya dibutuhkan seorang pemimpin yang bersedia memimpin perubahan.55 Masalahnya adalah bagaimana menemukan seorang sosok pemimpin yang kiranya memiliki pemikiran luas dan lintas disiplin untuk memimpin perubahan mendasar dalam berbagai sektornya. *** Menyadari secara kritis-retrospektif tentang situasi realitas kontekstual kemanusiaan masyarakat Aceh yang kini sedang terkurung dalam segala dampak negative dari kejahatan kemanusiaan masa lalu, adalah sebuah awal yang baik bagi upaya merencanakan nasib masa depan rakyat Aceh. Dari kesadaran kontekstual ini, diharapkan lahir sebuah kesadaran dan semangat bersama di masa transisi sekarang ini, untuk secara bersama melakukan perubahan yang direfleksikan dari berbagai pengalaman pahit masa lalunya.56 Maka tuntutan rakyat Aceh yang telah dituangkan dalam UU No. 11/2006 tentang Pemerintah Aceh, terhadap 55_Ada sejumlah criteria pemimpin yang sangat diperlukan dalam memimpin suatu gerakan perubahan, terutama menyangkut kapasitas kepemimpinan yang mampu merajut kembali kebersamaan dari suatu masyarakat Aceh yang fragmented dan cendrung lebih hanya mementingkan diri sendiri. Lebih lanjut baca, misalnya, Micheal Fullan, Leading in a Culture of Change, (San Fransisco: Jose Bass Publisher), 2001. 56_Ada pelajaran bagus yang dapat dipetik dari pengalaman Afrika Selatan yang kiranya bisa memperkaya wawasan substansial KKR Aceh, baca misalnya, Simpson G, A Brief Evaluation of South Africa’s Truth and Reconciliation Commission: SomeLessons for Societies in Transition, 1998. |235|
FAKTA BICARA
pendirian lembaga Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) kiranya dapat menjadi salah satu entry point untuk mengungkap kebenaran dalam rangka memahami masa lalu. Sekaligus berguna bagi pelurusan sejarah yang sejauh ini masih dibalut kabut gelap tentang apa, siapa dan mengapa sebuah kejahatan kemanusiaan yang pernah terjadi dulu, agar kemudian dapat dipahami secara benar. Dapat diyakini, bahwa pembentukan KKR dalam substansi operasionalnya yang lebih akan membawa kesadaran bagi perlunya perubahan sistemik dalam penataan masa depan Aceh, melalui perbaikan sistem pengelolaan pemerintahan, kiranya dapat menjadi landasan penting yang perlu dirumuskan bersama. Artinya, KKR itu tidak perlu lebih dilihat sebagai upaya pengungkapan kebenaran dalam perspektif hukum untuk menegakkan keadilan. Karena substansi semacam ini seringkali dilihat sebagai ancaman bagi eksistensi para pelangagar HAM berat masa lalu. Akan tetapi barangkali dapat lebih dilihat dan dirumuskan bahwa KKR adalah lembaga pengungkap kebenaran yang diperuntukkan bagi upaya pelurusan sejarah kejahatan kemanusiaan masa lalu di Aceh. Agar generasi ke depan nanti dapat mengambil pelajaran berharga, untuk kemudian mereka tidak mengulangi kesalahan tersebut di masa depannya. Jadi, perspektif pembentukan KKR perlu lebih dirumuskan dalam upaya mempertimbangkan kehidupan generasi masa depan, agar tatanan kehidupannya menjadi maju dan manusiawi.57 Kecuali itu, perubahan mendasar menyangkut sistem pengelolaan pemerintahan yang bersifat lebih terbuka, akuntabel, partisipatif dan mengembalikan segala kedaulatan ke tangan rakyat. Tatanan system yang seperti ini akan sangat potensial menjadi energi atau kekuatan transformative bagi penciptaan social capital baru dalam kehidupan 57_Memahami lebih lanjut dan mendalam tentang bagaiaman seluk beluk rancangan KKR dalam perspektif generasi masa depan, baca misalnya, Adolfo Ceretti, The Truth and Reconciliation Commission: A Justice Looking Also to Future Generations, (Italy: Milano-Bicocca University), 2008.
|236|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
kemasyarakatan di Aceh.58 Harus disadari, bahwa keharusan perubahan sistem pemerintahan ini merupakan pra syarat dalam upaya sistematis membangun nasib baik masa depan rakyat Aceh. Ini kini telah menjadi tuntutan mendesak, yang perlu disikapi secara cerdas dan berani dalam merombak segala sistem tirani yang didasarkan pada aturan-aturan yang lebih berpihak pada penguasa dan di pihak lain justru menistakan rakyat, yang justru menjadi salah satu biang kerok penyebab bagi terjadinya kejahatan kemanusiaan di masa lalu. Semangat perubahan yang bersifat sistemis ini, kini terbuka lebar peluang aktualisasi nya, ketika UUPA yang kini menjadi landasan hokum bagi pemerintahan di Aceh memerlukan puluhan qanun yang harus dirumuskan dalam semangat transformative. Maka kemampuan orang Aceh dalam memanfaatkan peluang luas UUPA bagi penciptaan perubahan secara sistematis inilah yang akan sangat menentukan nasib masa depan rakyat Aceh. Dan secara meyakinkan dapat memastikan, bahwa berbagai kejahatan sistematis yang menistakan nilai-nilai kemanusiaan dapat sejak dini diantisipasi keterulangannya. Masa lalu yang pahit, hina dan penuh penderitaan dapat menjadi sumber inspiratif yang menyadarkan kita dalam membangun masa depan secara rasional bersama kerja sama produktif yang akan membahagiakan kita semua. Karena pada dasarnya, tidak ada kebahagiaan yang dapat dirasa sendiri, betapapun seseorang memiliki harta melimpah, jika ia hidup di tengah komunitas yang penuh penderitaan. *** 58_Social Capital ini dapat dijabarkan rincian bentuk-bentuk karakter yang perlu dimiliki setiap warga masyarakat Aceh, meliputi: kejujuran, keterbukaan, kemampuan dan kemauan menghargai perbedaan, rasa saling percaya, kemampuan merancang perencanaan pembangunan bersama, kesediaan membangun kerjasama lintas kelompok yang efektif dan produktif dapat menghasilkan realitas perwujudan keinginan bersama, terbangunnya kapasitas social enterprenerialship, semuanya merupakan modal-modal dasar yang perlu dimiliki masyarakat bagi membangun realitas nasib masa depannya dalam kualifikasi kemanusiaan yang maju dan manusiawi. Untuk ini, baca misalnya, David Bornstein, How to Change the World: Social Enterpreneurs and the Power of New Ideas, (New York: Oxford University), 2004. |237|
FAKTA BICARA
Sebuah entitas pemerintahan yang ingin ditegakkan di atas linangan darah dan deraian air mata, serta pengingkaran atas cucuran keringat rakyatnya, adalah sebuah nestapa yang tentu tidak akan membawa bangsa dan Negara ini menjadi kuat dan mulia di mata dunia. Kecuali kalau kemudian ada kerelaan untuk bertaubat dari para pendosa yang masih tersisa, dengan mengakui segala kesalahan dalam proses berbangsa dan pengelolaan Negara, serta kesediaan untuk memperbaiki kesalahan menuju tatanan kehidupan baru dalam sistem berbangsa dan bernegara. Jika perubahan dapat menjadi semangat zaman,59 sebagai momentum yang hari ini harus kita lalui, dan mampu membuat semua orang siap untuk merubah diri, maka disinilah kita telah memiliki landasan bagi pembinaan nasib baik masa depan rakyat Aceh. Sejauh ini, meskipun di satu pihak, kata, terminologi dan frasa “perubahan” tampaknya secara retorika telah seolah menjadi tuntutan mayoritas masyarakat Aceh. Namun di pihak lain, kekuatan resisten yang seolah tak tampak, yang menolak terjadinya perubahan, kiranya masih cukup kuat. Bagi kalangan yang menolak perubahan ini, kiranya mereka lebih melihat perubahan sebagai ancaman bagi pupusnya berbagai kenikmatan dan keuntungan yang dapat diperoleh dari situasi status quo. Jadi, kejahatan masa lalu yang telah menistakan kemanusiaan Aceh sekian lama bahkan hingga saat ini, justru sebenarnya merupakan produk system yang dipakai oleh orang-orang yang hingga saat ini masih belum ingin untuk berubah, dan masih berusaha berusaha bertahan untuk semaksimal menangguk keuntungan dari sistem yang jahat tersebut yang hingga kini masih berlaku. Itulah sebabnya, qanun-qanun menyangkut tatalaksana pemerintahan yang baik dan bersih yang semestinya menjadi turunan pertama yang perlu dihasilkan menyusul 59_Dalam al-Quran, surah as-Syams: 9, Allah menegaskan betapa orang-orang yang senantiasa mau menyucikan jiwa-jiwanya dengan melakukan perubahan dan perbaikan adalah orang-orang yang beruntung. Maka untuk memperoleh nasib masa depan bangsa yang penuh keberuntungan, maka penyucian jiwa-jiwa warga masyarakat Aceh mutlak diperlukan. |238|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
disahkannnya UUPA No 11/2006, hingga hari ini sekedar dipikirkan pun belum. Masyarakat Aceh, khususnya para elit yang diuntungkan dengan system yang ada, tampaknya sama sekali tidak may belajar dari pengalaman pahit masa lalu masyarakatnya. Karena sistem masa lalu tampaknya telah sukses mempola pikirannya untuk sekedar menjadi individualis yang justru menentang ajaran Islam, yang kini dikodifikasi menjadi hokum positif yang tak membawa oarng Aceh menjadi lebih mulia, kalau tidak menjadi lebih hina…. Wallahu’alam bish-shawaab….
|239|
FAKTA BICARA
|240|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
TENTANG PENULIS Adi Warsidi, wartawan untuk Tempo Inti Media dan The Asahi Shimbun yang bekerja untuk wilayah Aceh. Salah seorang pengurus Aliansi Jurnalis Independen Banda Aceh, aktif sebagai pengajar jurnalistik di Muharram Jurnalis College (MJC) dan beberapa pelatihan jurnalistik lainnya yang digelar lembaga-lembaga mahasiswa maupun organisasi lain. Pernah terlibat dalam beberapa penelitian terkait perdamaian di Aceh, serta ikut menjadi editor beberapa buku, di antaranya Merangkai Kata Damai dan Kisah Usai Perang (Katahati Institute, 2009). Fuad Mardhatillah UY Tiba, adalah penulis dan narasumber yang sangat produktif. Tulisan dan berbagai analisis yang bermuatan filosofis dipublikasikannya melalui berbagai media maupun jurnal internasional, dan telah memberi warna dalam dinamika perkembangan pemikiran masyarakat Aceh. Pria asal Tiba, Meureudu, Pidie Jaya yang lahir pada 1961 ini dikenal pula sebagai pendidik pada beberapa perguruan tinggi di Aceh dan pulau Jawa. Master Studi Islam dari Mc Gill University, Montreal, Kanada ini merupakan dosen Pendidikan Filsafat dan Metodologi Penelitian IAIN Ar-raniry serta dosen Filsafat Ilmu di Unsyiah. Dia juga aktif sebagai peneliti, konsultan dan fasilitator berbagai training perdamaian, resolusi konflik dan hak asasi manusia. Qahar Muzakar, Putra Lhokseumawe lulusan Fakultas Hukum Unsyiah ini pernah menjadi jurnalis berbagai media cetak dan situs berita sejak di bangku kuliah, antara lain, sebagai wartawan Koran AcehKita untuk Banda Aceh, koresponden majalah Nasional Mingguan Gatra untuk Banda Aceh dan sekitarnya, Redaktur di Tabloid Sipil Aceh serta beberapa media lainnya. Kini, selain menjadi kontributor untuk media, dia terlibat dalam berbagai proyek penulisan dan penelitian pada beberapa NGO di Banda Aceh. |241|
FAKTA BICARA
Melyan Nyakman, adalah Sarjana Hukum Islam IAIN Arraniry, Banda Aceh. Peraih juara harapan 1 tingkat nasional pada Anugerah Jurnalistik Komisi Pemilihan Umum (2009) dan juara harapan 1, penulisan studi antropologi dan jurnalisme damai (2009) ini pernah menjadi wartawan tabloid mingguan SIPIL, Banda Aceh. Kini dia aktif menulis sebagai kontributor Aceh Feature. Nashrun Marzuki, adalah Knowledge Management Manager Koalisi NGO HAM Aceh. Selain itu, alumni Fakutas Hukum UII Yogyakarta ini juga aktif sebagai konsultan dan fasilitator pada berbagai pelatihan terkait perdamaian, komunikasi serta hukum dan hak asasi manusia. Dia pernah menjadi Direktur Eksekutif Indonesian Institute for Investigative Journalism (IIIJ), Jakarta. Memulai karir jurnalistik di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta pada akhir 1980-an, kemudian dia memimpin news room beberapa media cetak, antara lain, Harian Aceh, Harian Lampung Post dan Harian Umum Republika, Jakarta. Samsidar, pernah menjadi anggota Komisi Perempuan tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia (1998 - 2006). Pada tahun 2005, sebagai tanggapan terhadap bencana tsunami Aceh dan kesepakatan damai, dia ditunjuk sebagai Pelapor Khusus untuk provinsi dan menghasilkan laporan tentang kondisi perempuan di kampkamp pengungsian dan isu-isu keadailan bagi perempuan Aceh. Dia juga pernah melakukan penyeldikan mengenai pelanggaran Hak Asasi Manusia di Aceh dengan Komnas HAM, dan merupakan anggota pendiri dan board pada relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK), sebuah LSM perempuan terkemuka di Aceh. Sepriady Utama, adalah Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Aceh. Alumni Fakultas Hukum Unsyiah ini pernah pula menjabat Koordinator Daerah Tim Adhoc Aceh Komnas HAM |242|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
RI pada saat Darurat Militer I dan II di Aceh [2003-2004]. Ketika kuliah, ia adalah Ketua Biro Pers Mahasiswa Fakultas Hukum Unsyiah. Selain menjadi narasumber dalam berbagai seminar dan pelatihan, ia juga beberapa kali mengikuti Workshop HAM yang difasilitasi UN-OHCHR, baik di Jakarta maupun Jenewa [Swiss]. Saifuddin Bantasyam, adalah dosen Fakultas Hukum dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unsyiah, Banda Aceh. Analisa sertaga gasannya kerap dipublikasi berbagai media massa nasional. Memperoleh gelar Master of Arts dari Ateneo de Manila University, Manila, Filipina, dia pernah menjadi liaison officer KOMNAS HAM untuk Aceh serta konsultan untuk berbagai badan dan lembaga internasional. Ketua tim perumus naskah akademik Qanun Perlindungan Anak ini pernah mengikuti pelatihan internasional HAM (Kanada, 1999), pelatihan HAM dan Resolusi Konflik (Jakarta, 1999), TOT HAM Polisi (Bogor, 2000), short course Peace and Development (Washington, 2000), short course Hukum Humaniter Internasional (Jenewa, 2003), dan short course tentang socio-legalstudies (Jakarta, 2010). Berpengalaman sebagai fasilitator pelatihan HAM untuk aparat penegak hukum dan masyarakat di Provinsi Aceh, dia juga pendiri serta Direktur Eksekutif Yayasan Peduli Hak Asasi Manusia, serta pendiri Aceh Recovery Forum (ARF), Banda Aceh.
|243|
FAKTA BICARA
|244|
Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005
|245|
FAKTA BICARA
|246|
View more...
Comments