Etos Kerja Orang Bugis

January 6, 2019 | Author: HelmyAyuradiMiharja | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

spirit dan motivasi rantau...

Description

ETOS KERJA ORANG BUGIS (Studi Kasus di Desa Siduwonge, Kecamatan Randangan , Kabupaten Pohuwato)

Oleh Tami Kaani, Rauf A. Hatu *, Farid Th. Musa** Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo Email : [email protected]

1

ABSTRAK

Studi kasus pada penambak Sri Endang Mohi. 2015. “  Etos kerja orang bugis (  empang) “.Skripsi, Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo, Bapak Rauf A. Hatu, M.Si selaku pembimbing I dan Bapak Farit Th. Musa, S.Sos., MA selaku pembimbing II. Penelitian ini bertujuan untuk dapat mengungkapkan permasalahan tentang Etos Kerja Orang Bugis Pada Penambak Empang. Adapun yaang menjadi tujuan dalam penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana Etos Kerja Orang Bugis yang bermigrasi di Desa Siduwonge dan Faktor-faktor apakah yang menyebabkan etos kerja etnis Bugis sebagai  penambak di Desa Siduwonge. Instrumen pengumpulan data yang penulis gunakan dalam  penelitian ini adalah observasi, wawancara dan dokumentasi sehingga data yang di dapatkan  benar-benar akurat sesuai dengan kebutuhan peneliti. Sedangkan analisis data yang di gunakan yaitu analisis deskriptif. Berdasarkan hasil penelitian bahwa Etos Kerja Orang Bugis pada Penambak Empang yakni pengelolaan tambak, jam kerja dan tingkat pendidikan  penggarap merupakan etos kerja dari Orang Bugis. Dalam hal etos kerja Bugis tentunya hal ini telah dijalankan dengan baik namun tentunya di pengaruhi oleh faktor lain pula yakni adat dan prinsip orang bugis, tingkat pendidikan dan pekerjaan, modal, produksi perpanen dan  pemasaran serta penguasaan lokasi merupakan hal yang mendorong serta mempengaruhi etos kerja tersebut.

Kata Kunci : Etos Kerja, Orang Bugis, Penambak Empang

1

Sri Endang Mohi, 281411099, Jurusan S1 Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Dr Rauf A. Hatu M. Si, Farid Th. Musa S. Sos., MA

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang kaya akan adat budaya etnis di dalamnya. Selain itu sumber daya alam yang melimpah menjadi sumber kehidupan dan pekerjaan bagi masyarakatnya. Seperti komunitas manusia Nusantara pada umumnya, maka orang-orang Bugis-pun memiliki identitas dan itu terbentuk dalam proses yang panjang. Penelusuran ke masa terjauh proses pembentukan manusia Bugis, bisa diperoleh dari segala penjuru. Para ilmuan dalam konteks Sejarah Manusia Bugis seperti menemukan kotak harta karun sejarah yang berserak. Mengenal Bugis dari zaman ke zaman, adalah mengenal percampuran antara legenda, mitos, karya susatera, petualangan, kerajaan klasik, dan tentu saja Islamisasi. Dengan dikenalnya orang bugis sebagai penjelajah maka berbagai bentuk pengeloaan alam dilakukan untuk memperoleh perekonomian yang memadai bagi masyarakatnya. Bagi masyarakat Indonesia mengelolah tambak merupakan pekerjaan yang sering didengar dan lumrah di lingkungan masyarakat. Namun, bagi masyarakat yang ada di Desa Siduwonge Kecamatan Randangan Kabupaten Pohuwato, tambak kini menjadi hal yang diburuh saat ini . Inilah pekerjaan yang saat ini menghiasi Kecamatan Randangan khususnya Desa Siduwonge. Masyarakat lokal Desa Siduwonge umumnya bekerja sebagai petani. Tetapi untuk beberapa saat mereka pernah mengolah tambak di Desa Siduwonge, setelah kedatangan orang Bugis lahan tambak tersebut telah beralih status dan pengelolaannya. Hal ini di karenakan banyak orang gorontalo yang tidak mengetahui cara dari mengelolah tambak tersebut di bandingkan orang bugis. Sehingganya saat ini bukan hanya terdapat masyarakat Gorontalo di Desa Siduwonge namun terdapat migran Bugis. Kini di Desa Siduwonge terdapat dua (2) dusun yang masyarakatnya adalah masyarakat Bugis. Struktur masyarakat yang ada di Desa Siduwonge tidak bisa lepas dari sistem budaya,  bahkan budaya yang ada pada masyarakat saat ini adalah sesuatu yang baru dari pola budaya yang ada di Desa Siduwonge. Hal ini terjadi karena adanya budaya di pemukiman tertentu di antara masyarakat lokal Desa Siduwonge. Budaya ini menjadi nilai yang diterapkan dalam  bekerja bahkan menjadi ciri khas dalam masyarakat Bugis. Kearifan lokal ini tetap terjaga meskipun Orang Bugis ini hanya merupakan pendatang di Desa Siduwonge untuk mendapatkan kesempatan ekonomi yang lebih maju, masyarakat ini mengolah tambak dengan memadupadankan nilai-nilai budaya ataupun skill dalam mengelolah tambak serta ditekankan pada pengalaman hidup dan etos kerja yang ada pada etnis Bugis. Kini Desa Siduwonge menjadi wilayah migran Bugis untuk tinggal. Terhitung migran Bugis menduduki 2 Dusun yang ada di Desa Siduwonge dan mereka kini menetap di dusun tersebut. Adapun mereka kembali ke kampung halamannya ketika panen selesai atau ketika hendak membawa hasil tambak yang mereka peroleh ke kampungnya untuk dijual. Harga ikan dari hasil tambak empang ini ternyata cukup fantastik dan harga ini ternyata disesuaikan dengan ukuran ikan, semakin besar ikan semakin mahal pula harganya. Orang Bugis merupakan orang perantau yang memiliki budaya antaranya  siri yang artinya memiliki “malu” dan dimaksudkan agar setiap perantau pulang harus lebih kaya. 2 Budaya bagi orang Bugis tidak serta merta tertinggal di tempat asalnya kini banyak terlihat budaya dan adat tersebut tetap eksis meskipun orang Bugis ini berada dilingkungan masyarakat Gorontalo. Ada simbol-simbol yang tetap terjaga dan dipertahankan sampai dengan kini. Masyarakat yang ada bukan hanya migran Bugis yang bertambak namun ada masyarakat lokal (Gorontalo) yang bekerja sebagai petani. Bagi orang Bugis ritual adat tetap 2

Sumber (Editor) Mochtar Buchori  Pandangan Budaya Daerah dan Pembinaan Masyarakat Pancasila :  Laporan dari Empat Daerah. Jakarta : lembaga ilmu pengetahuan indonesia (1985) dalam Sajogyo dan Sajogyo (2002). Sosiologi Pedesaan ( jilid satu.) Yogyakarta: Gadjah MadaUniversitas Press hal: 19

dilakukan dan adat tersebut meskipun beragam yang ada di Desa Siduwonge. Melakukan hal semacam itu tentunya karena didorong oleh komunitas yang mendukung dan penguasaan lahan tambak serta pemukiman yang ditinggali menjadi menonjol dengan dipegang oleh orang Bugis dalam setiap melakukan pekerjaan. Namun hal ini menjadi batasan untuk lepas dari adanya hubungan antara orang Bugis dan masyarakat lokal yang ada di Desa Siduwonge untuk membina hubungan yang baik. Berdasarkan latar belakang di atas maka adapun yang menjadi rumusan masalah yaitu: 1. Bagaimana etos kerja orang Bugis di Desa Siduwonge? 2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan etos kerja etnis Bugis sebagai penambak di Desa Siduwonge? KAJIAN TEORI 2.1

Etos Kerja dan Pandangan Hidup Bugis Kata etos menurut CliffordGeertz adalah “sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup” etos adalah aspek evaluatif, yang bersifat menilai. Etos kerja adalah nilai-niali yang keluar dari hasil kerja baik itu buruk dan baik 3. Manusia dan masyarakat dalam menyelenggarakan kehidupannya,menunjukkan bahwa mereka memiliki etos dan pandangan hidup yang menjadi pedoman dalam segala aktivitas kehidupannya (Geertz dalam Tarimana,1989) serta sebagai suatu sistem nilai sosial budaya yang mengakibatkan hal-hal yang baik dan buruk, yang indah dan yang jelek, dan yang benar dan salah.4 Orang Bugis memiliki adat budaya tertentu dalam melakukan segala jenis usaha.Sementara Marwah Daudmengemukakan bahwa manusia Bugis tidak melihat adanya  perbedaan gender antara perempuan dan laki-laki. Sedangkan MochtarPabotingimelihat sifat  baik manusia Bugis secara universal.5 Memahami pola tingkah laku orang bugis serta budaya bugis Makassar hanya mungkin dengan konsep mereka tentang  pengendereng  ( Panngadakkang dalam bahasa Makassar) dan Siri. Panngandereng sebagai suatu ikatan utuh sistem-nilai yang memberikan kerangka acuan hidup bermasyarakat orang-orang Bugis Makassar serta siri’sebagai sikap hidup yang sangat mementingkan “harga diri” ternyata telah mampu melandasi kebudayaaan (dan mengikatnya dalam suatu ikatan sistem) dari dua suku bangsa yang terpenting yang menghuni jazirah Sulawesi selatan.6

Ada berbagai adat yang mengatur pola hidup dari etnis Bugis baik dari segi  perkawinannya, berbicara, bahkan dalam merantau ada adat dan budaya yang dipegang teguh dalam hidupnya. Dalam bermukimpun orang Bugis memberikan ciri khasnya tersendiri agar dapat dikenal oleh orang lain. 7 3

 Lihat dalam Taufik Abdullah (1978:3) Etos Kerja dan Perkembangan Perekonomian. Jakarta:LP3ES Lihat dalamLa Janu. (2010)  Etos dan Pandangan Hidup Komunitas Nelayan Bugis DalamKehidupan Sosial  Ekonomi (Studi Kasus Di Kelurahan Tondonggeu Kecamatan Abeli Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara). Forum Ilmu Sosial, Vol. 37 No. 2 5   lihat dalam Kalla (2009) Orang Bugis. www.sempugi.com/2009/12/etos-kerja-bugis.html(diakses 13  November 2014) 6 lihat dalamSajogyo dan Sajogyo (2002:9). Sosiologi Pedesaan. (jilid satu.) Yogyakarta: Gadjah MadaUniversitas Press 7 Beddu Syarif, Akil Arifuddin, Wahidah Wiwik Osman dan Hamzah Baharuddin. (2011).  Eksplorasi Kearifan  Budaya Lokal Sebagai Landasan Perumusan Tatanan Perumahan dan Permukiman Masyarakat Makassar. Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 4

Seperti halnya orang Bugis yang bermukim di Desa Siduwonge dimana orang bugis memiliki pandangan tersendiri dalam memilih tempat tinggalnya serta disesuaikan dengan golongan ataupun strata sosialnya.Dalam membangun tempat tinggal orang bugis dapat dikenal bentuk rumah yang di bangun serta dimana tempat tinggal yang dibangunnya. Ada  bebarapa perbedaan antara orang Bugis untuk memilih tempat tinggalnya ada yang memilih tinggal dengan bermukim langsung di lokasi berjanya ada pula yang memilih untuk tinggal dengan dengan masyarakat lokal dan hal itu karena golongan ataupun disesuaikan dengan daerah asalnya dan sukunya. Selain itu banyak kebudayaan bugis yang menjadi acuan hidup antaranya Pangadereng adalah sistem budaya dan sistem sosial yang dapat diartikan sebagai keseluruhan kaidah yang meliputi cara-cara seseorang bertingkah laku terhadap sesama manusia yang dapat mengakibatkan adanya gerak (dinamika) kehidupan bermasyarakat. Pengertian ini mengisyaratkan bahwa pangadereng merupakan wujud kebudayaan yang hadir di tengah-tengah manusia untuk mengatur dan menjaga stabilitas kehidupan sosial  bermasyarakat.8 Manusia Bugis disebut-sebut sebagai penjelajah dan dengan ringan akan hijrah meninggalkan kampungnya jika merasa tidak sesuai dengan pemimpin raja, namun di tempat  baru, orang Bugis selalu bisa menyatu melalui kawin-mawin. 9 2.2 Strata Sosial Orang Bugis Bagi sebagian orang Bugis menjadi Saudagar adalah pilihan profesi utamanya. Di  beberapa tempat, banyak saudagar Bugis yang maju dalam berusaha. Tentunya segala kemajuan yang dicapainya itu berdasarkan hasil kerja kerasnya, bermandikan keringat dan air mata.Lalu apa yang membuat orang Bugis selalu bekerja keras? ini dikarenakan Bugis adalah salah satu suku yang paling banyak kebutuhannya. Orang Bugis ketika memasuki usia dewasa ia berpikir untuk mulai menikah, dan pernikahan di Bugis tidak murah. Setelah menikah tentunya ia berpikir untuk memiliki rumah dan kendaraan. Setelah itu tercapai mereka mulai berpikir untuk naik Haji. Menjadi Haji adalah tujuan tertinggi dari orangBugis.Setelah itu tercapai, maka kebutuhannya kembali lagi ke dasar dan ingin menikah lagi, mulai lagi punya rumah baru, kendaraan baru, naik Haji lagi dan begitu seterusnya. Karena kebutuhan yang tinggi itulah yang membuat orang Bugis memiliki etos kerja keras. 10 Selain merupakan ibadah wajib dan rukun Islam, haji juga telah menjadi sebuah sistem simbol yang kompleks. Seorang yang sudah melaksanakan ibadah haji secara otomatis akan mendapatkan sebuah penghargaan sosial dari masyarakat atas kehajiannya sehingga karenanya ia harus menyesuaikan perilakunya dengan status sosial baru itu. Dengan statusnya sebagai haji, seorang haji menjadi golongan atas dalam masyarakat. 2.3 Perekonomian Tambak  Para petambak empang ini ada yang memilih untuk tinggal di area pertambakan ada  pula yang tinggal diperkampungan dengan masyarakat yang lain. Hal ini tentunya karena suku dari orang Bugis ini m emiliki pandangan hidup dan didasarkan pada daerah asal,  pengalaman bersama dan memulai usaha yang sama dan disesuiakan dengan tradisi dalam  pemilihan tempat tinggal. Meskipun diantara sesama etnis mereka ada yang bekerja kepada orang Bugis sebagai buruh atau menjaga tambak ikan tersebut, ketika belum ada pekerjaan yang mereka kerjakan sementara waktu pada orang Bugis, maka mereka tidak akan beralih pada pekerjaan yang lainnya. Namun hal inipun mereka kondisikan dengan waktu, misalnya bertepatan 8

 Latif, Syarifuddin. (2012) Meretas Hubungan Mayoritas-Minoritas Dalam Perspektif Nilai Bugis. Jurnal AlUlum Volume. 12,Nomor 1 9 Pelras (2010) sedangakan Menurut George Junus Aditjondro (2010) manusia Bugis itu adalah orang-orang serius, sangat disiplin bekerja, dan sangat menjunjung tinggi kehormatan mereka 10 Kalla. (2009). Orang Bugis. www.sempugi.com/2009/12/etos-kerja-bugis.html

dengan waktu waktu pergantian air ataupun yang lainnya. Orang Bugis ini tidak hanya  bekerja sebagai petambak. Mereka memiliki pekerjaan lain, mereka terdaftar sebagai pegawai ataupun tergabung dalam suatu kelembagaan, dan empang yang dimilikinya orang lain lain yang mengolah dengan diberikannya upah dan biaya hidup untuk para buruh tersebut diberikan. Menurut Subade and Abdullah (1993) bahwa nelayan tetap tinggal pada industri  perikanan karena rendahnya opportunity cost mereka.Opportunity cost nelayan,menurut definisi,adalah kemungkinan atau alternatif kegiatan atau usaha ekonomi lain yang terbaik yang dapat diperoleh selain menangkap ikan. Dengan kata lain,opportunity cost adalahkemungkinan lain yang bisa dikerjakan nelayan bila saja mereka tidakmenangkap ikan. Hal ini misalnya seperti yang dilakukan oleh masyarakat lokal yang ada dekat area tambak ada di antara mereka yang menggunakan air tambak dan mereka kelolah menjadi garam dan ada pula yang pergi menangkap ikan di danau sekitar tambak untuk mereka jual. Bilaopportunity cost rendah maka nelayan cenderung tetap melaksanakan us ahanya meskipun usaha tersebut tidak lagi menguntungkan dan efisien.Ada juga argumen yang mengatakan  bahwaopportunity cost nelayan, khususnya di negara berkembang, sangat kecil dan cenderung mendekati nihil. Bila demikian maka nelayan tidak punya pilihan lain sebagai mata pencahariannya. Dengan demikian apa yang terjadi, nelayantetap bekerja sebagai nelayan karena hanya itu yang bisa dikerjakan. 11 Sedangkan Panayotou (1982) mengatakan bahwa nelayan tetap mau tinggal dalam kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu (preference for a particular way of life). Pendapat Panayotou ini dikalimatkan oleh Subade dan Abdullah (1993) dengan menekankan bahwa nelayan lebih senang memiliki kepuasaan hidup yang bisa diperolehnya dari menangkap ikan dan bukan berlaku sebagai pelaku yang semata-mata beorientasi pada  peningkatan pendapatan. Senada dengan Panantou Menurut Wahyudin (2003) Meningkatnya produksi dan penerimaan bersih telah menyebabkan harga tambak menjadi sangat tinggi, tetapi ini juga telah berperan terhadap lebih tingginya nilai sewa (rent) dan kondisi bagi hasil. 12 Menurut Mayudin (2012) dalam penelitiannya di lahan tambak di Kecamatan Mandalle, Segeri dan Labakkang Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan Kondisi ekonomi masyarakat pesisir pasca konversi hutan mangrove menjadi lahan tambak di Kecamatan Mandalle, Segeri dan Labakkang Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan dikategorikan baik dan dapat diukur dari beberapa indicator. Kemudian Nilai total manfaat ekonomi mangrove sebesar Rp.14.844.084 /ha/thn atau sekitar 1,6 kali lebih besar jika bandingkan dengan nilai ekonomi tambak yang sebesar Rp.9.401.170 /ha/thn. Hal ini menunjukkan bahwa hutanmangrove dapat memberikan manfaat ekonomi yang besar bila dapat dikelola dengan  baik. Selain itu Kondisi ekonomi masyarakat pesisir pascakonversi hutan mangrove menjadi lahantambak secaraumum meningkat50%. 13. Hal ini serupa dengan yang terjadi di Desa Siduwonge dimana lahan mangrove yang luas itu dahulunya tidak menghasilakan ekonomi bagi masyarakat. Karena masyarakat belum mengetahui pemanfaatan hutan mangrove tersebut. Tapi kini lahan mangrove itu telah 11

Lihat dalam Viktor Nikijuluw. 2013.  Populasi dan Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir serta

StrategiPemberdayaan Mereka Dalam Konteks PengelolaanSumberdaya Pesisir Secara Terpadu .” http://www.academia.edu/2385523/Aspek_Sosial_Ekonomi_Masyarakat_Pesisir_dan_Strategi_Pemberdayaan_  Mereka_dalam_Konteks_Pengelolaan_Sumberdaya_Pesisir_Secara_Terpadu(diakses 13 November 2014) 12

Lihat dalam Arif Mayudin. 2012. Kondisi Ekonomi Pasca Konversi Hutan MangroveMenjadi LahanTambak  Di Kabupaten Pangkajene Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan 13 Ibid

 berubah menjadi tambak ikan yang menghasilkan ekonomi bagi masyarakat khususnya kini  bagi masyarakat pendatang Bugis. Meskipun tambak ikan tersebut bukan lagi menjadi milik dari masyarakat lokal. Tambak ikan itu berpengaruh bagi kehidupan masyarakat. Dahulu sebagian masyarakatnya beralih ke tambak ikan. Meskipunkini sebagian masyarakatnya hanya bekerja sebagai buruh saja pada orang Bugis. Tambak tersebut kini banyak yang dijual kepada migran Bugis, dan migran Bugis kini memegang 90% tambak ikan. Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti yakni sebagai berikut: 1. Teknik Observasi, yaitu melakukan pengamatan terhadap kondisi dan kegiatan yang dilakukan oleh migran Bugis ditambak yang ada di Desa Siduwonge dan hubungan antara migran Bugis dan masyarakat lokal yang ada disekitar lokasi  penelitian. 2. Teknik Wawancara, yaitu melakukan wawancara secara langsung dengan migran Bugis yang melakukan usaha tambak, kemudian melakukan wawancara dengan masyarakat lokal terhadap hubungan antara migran Bugis dan masyarakat sekitar. Selain itu melakukan wawancara dengan pihak yang terkait ataupun aparat  pemerintah setempat terkait dengan keberadaan migran Bugis serta usaha tambak yanga dikelolah tersebut. Hasil Penelitian Dan Pembahasan 4.1 Gambaran Umum Lokasi 4.1.1 Sejarah Desa Siduwonge 1.  Nama Siduwonge berasal dari nama sebuah situ/danau kecil yang terdapat dipesisir Kecamatan Randangan Kabupaten Pohuwato. Sejak dahulu kala Danau Siduwonge sudah cukup dikenal oleh masyarakat di Kabupaten Pohuwato dan sekitarnya karena keunikannya  pada masa itu, dimana setiap musim kemarau, air laut yang ada didanau/situ tersebut langsung berubah wujud menjadi garam yang putih bersih,sehingga setiap musim kemarau situ/danau tersebut ramai dikunjungi oleh masyarakat dengan maksud ingin melihat dari dekat keunikan danau tersebut sambil rekreasi menikmati indahnya alam disekitarnya.Walaupun belum ada yang tau apa arti nama Siduwonge tersebut namun diakui sejak dulu nama tersebut sudah menjadi nama wilayah yang sekarang ini telah menjadi wilayah Desa Siduwonge. 4.1.2 Luas wilayah dan Batas-batasnya Luas Wilayah Desa Siduwonge secara keseluruhan adalah 35 KM 2,dengan batas-batas sebagai berikut : - Sebelah Utara : Berbatasan dengan Desa Huyula. - Sebelah Timur : Berbatas dengan Sungai Malango / Desa Imbodu - Sebelah Selatan : Berbatas dengan Teluk Tomini - Sebelah Barat : Berbatas dengan Desa Patuhu. 4.1.5 Penduduk Penduduk Desa Siduwonge terdiri dari 3 (tiga ) Suku Bangsa masing-masing: Suku Gorontalo,Suku Bugis/Makassar dan Suku Sangir yang menganut 2(Dua) Agama yaitu Agama Islam dan Agama Kristen.Adapun jumlah Penduduk pada awal dibentuknya Desa Siduwonge adalah 215 KK dengan jumlah jiwa, laki-laki 503 jiwa,perempuan 495 jiwa. Berdasarkan tabel diatas jumlah tempat tinggal yang mendominasi adalah masyarakat lokal jika di jumlahkan secara keseluruhan. Namun hal ini tidak menyurutkan orang bugis untuk berpindah lokasi membnagun tempat tingggal ke tempat lain.

4.1.6 Kawasan Tambak (Empang) 1. CA Tanjung Panjang a. Letak Secara geografis cagar alam tanjung panjang terletak pada 00 25’28,93”- 0 030’1,90” Lintang Utara dan 121 044’27,60-121047’0,44 Bujur Timur. Secara administratif  pemerintahan, kawasan Cagar Alam Tanjung Panjang terletak di Kecamatan Randangan Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo. 14 Gambar 2 Sumber Data

: Peta Kawasan Tambak : Resort Kehutanan CA Tanjung Panjang Cabang Randangan 2014

b. Luas Kawasan CA Tanjung Panjang mempunyai luas 3.000 Ha berdasarkan penetapan Menteri Kehutanan melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 573/Kpts-11/1995 tanggal 30 Oktober 1995.

4.2 Hasil Penelitian dan Pembahasan 4.2.1 Etos Kerja Orang Bugis Membicarakan etos kerja dari orang bugis adalah tidak lepas dari apa yang mereka kerjakan.pekerjaan yang dilakukan oleh orang bugis memiliki nilai tertentu. Dimana keberhasilan suatu pekerjaan menjadi tolak ukur dari kesusksesan seorang pengusaha dalam  bekerja misalnya dari usaha tambak yang di lakukan oleh orang bugis. Sebagaimana yang di tuturkan oleh bapak Th bahwa orang bugis bekerja empang sudah banyak yang berhasil  berkat suatu kerja keras yang mereka lakukan.15 “Sudah banyak orang bugis yang berhasil disini tapi ada yang punya empang tapi menggunakan tenaga pengagarap/ buruh kerja ada juga yang pemilik tapi juga menggarap langsung empangnya, ada orang bugis hanya jadi buruh saja tapi tetap bertahan hidup di empang karena di panggil oleh yang punya empang dan juga tidak  punya kerja di selatan jadi merantau biar karja apapun diempang yang penting sudah kerja”.

“ Maksud dari bapak Th yakni kini sudah banyak orang bugis yang berhasil berkat  bekerja di empang, meskipun ada yang pemilik empang yang memakai tenaga kerja adapula yang hanya menggarap dan ada juga yang sebagai pemilik dia kelolah sendiir empang tersebut. Kebetulan orang yang menjadi buruh ataupun tenaga penggarap ini adalah mereka yang diajak dan tidak memilik kerja di Sela tan. Berdasarkan hal di atas bahwa orang bugis telah banyak yang berhasil dengan mengelolah empang. Keberhasilan inipun tak lepas dari peran para penggarap bagi yang menggunakan tenaga penggarap. Selain itu tenaga penggarap yang ada di empang ini yang mengajak kelurganya ikut ada  pula yang hanya pergi sendirian dan kelurganya di tinggalkan di selatan. Namun sekitar 70 KK yang tinggal di empang mengelolah empang baik sebagai pemilik pemggarap, sebagai  penggarap yang tinggal bersama dengan keluarganya. 14

Lihat dalam balai konservasi sumber daya alam sulawesi utara. 2013. Sosialisasi H asil RAKOR CA Tanjung Panjang resort CA Tanjung Panjang Kecamatan Randangan (5-15-2013) 15 Bapak Th merupakan orang bugis yang pernah bekerja di empang. saat ini beliau sebagai neelayan biasa.hal ini terjadi karena pada saat mengelolah empang mengalami kebangkrutan karena mengalami gagal panen. Saat ini empang yang pernah do kontraknya telah di kemblaikan pada pemiliknya dan saat ini beliau hanya menjadi nelayan saja.

Gambar 6:Tempat tinggal penggarap sekaligus pemilik empang yang ada di DesaSiduwonge Sumber : Foto Peneliti, 2015

Gambar di atas adalah bagaimana kondisi tempat tinggal yang dihuni oleh pemilik dan sekaligus penggarap empang yang ada di Desa Siduwonge. Kalau dilihat rumah ini termasuk dalam hunian yang kurang nyaman bagi masyarakat kebanyakan. Namun pada kenyataaanya bagi orang Bugis rumah ini adalah tempat dari orang bugis untuk berteduhdan istirahat pada malam hari. Hal ini kontras dengan hasil pendapatan yang mereka dapatkan dalam panen bandeng untuk setiap tahunnya. Meskipun demikian hal ini tidak membuat para  pemilik serta penggarap empang untuk berhenti dari pekerjaan yang mereka geluti. Hal ini seperti apa yang di ungkapakan oleh Panayotou (1982) mengatakan bahwa nelayan tetap mau tinggal dalam kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu. Pendapat Panayotou ini dikalimatkan oleh Subade dan Abdullah (1993) dengan menekankan bahwa nelayan lebih senang memiliki kepuasaan hidup yang bisa diperolehnya dari menangkap ikan dan bukan berlaku sebagai pelaku yang semata-mata berorientasi pada peningkatan  pendapatan.16 Selain tempat tinggal yang kurang nyaman bagi mereka baik penggarap ataupun  pemilik dari empang ini terlihat kurang nyaman, kehidupan lain juga yang begitu memprihatinkan di rasakan oleh tenaga penggarap khususnya. Kondisi kehidupan dari para  penggarap ternyata tak di butuhi oleh pemilik dari empang yang di kelolah oleh para  penggarap tersebut. Bahkan tenaga penggarap ini termasuk sulit memenuhi kebutuhan hidupnya. Segala kebutuhan dari penggrap harus di penuhi sendiri ata upun di penuhi oleh bos namun dengan syarat yang sudah ditentukan oleh pemilik empang tersebut. Sebagaimana yang di ungkapakan oleh informan (MN) bahwa seperti inilah kehidupan penggarap empang : “Ya begitula caranya kita dengan adanya tuhan, ee kalau masala bos termasuk diongkosi tapi t ermasuk ambilan, tidak ada itu penggara’ empan istilahnya Cuma Cuma dari bos harus dihitung pengambilan. Dihitung nanti habis panen kalau masi ada saldo ataukah gali lubang tutu lubang begitu., makanya kita penggara’ kalau memang depe bos tidak mampu melayani saya a lebe baik minggat. Kerna kita ini mo makang mo hidup, apalagi saya punya anak so berapa sekolah semua, Saya punya anak kalau dipikir satu hari 5.000 berapa 1 bulang itu tiap hari. Kalau tiga anak 15 000 perhari kalau sebulan bisa berapa? pokokny kalau bapak ini boleh dikata sepiring berdua. “Maksud dari bapak MN adalah karena adanya Tuhannyalah sehingga sampai saat ini kehidupanya masih tercukupi. Kalau hanya bos termasuk di biayai namun hal itu akan di masukan dalam daftar hutang dan nantinya akan di ganti pada saat panen ketika menerima gaji dari pemilik empang, itupun kalau dari hasil penen masih memiliki sisa saldo. bagi mereka ketika seorang tidak mampu untuk membiayai meskipun itu masik dalam daftar hutang maka lebih baik mereka akan pindah bos sebab mereka bekerja untuk mencari kehidupan. Terlebih lagi baginya ia memiliki kelurga dan anak 3 orang dan semua nak tersebut sekolah. Perhitungannya ketika seorang anak 5.000 berapa 16

Lihat dalam Arif Mayudin. 2012. Kondisi Ekonomi Pasca Konversi Hutan MangroveMenjadi LahanTambak  Di Kabupaten Pangkajene Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan

untuk sebulannya dan mereka memiliki 3 orang anak maka bis berapa sebulannya. Sementara untuknya dan istrinya istilahnya bisa sepiring berdua. Dari penuturan informan di atas dapat dikatakan kesulitan yang di alami oleh para  penggarap adalah tidak sebanding dengan hasil yang mereka dapatkandengan upah yang akan di bayarkan.

Gambar 7 :Aktivitas Para Penggarap Empang Sumber Data: Foto peneliti, 2015

Berdasarkan gambar di atas seperti inilah yang dilakukan oleh para penggarap namun apa yang mereka lakukan tidak seimbang dengan nilai upah yang di berikan oleh para pemilik empang. Upah yang di berikan pun di sesuikan dengan keberhasila yang mereka dapatkan. Bahkan kontrak untuk terus bekerjapun di tentukan oleh keberhasilan panen, ketika beberapa hektar yang dijaga oleh penggarap empang mengalami gagal panen maka penggrap tersebut akan berpindah bos ataupun kontrak kerjanya akan digantikan oleh orang lain sebagaimana yang di tuturkan oleh informan BR; “Sistem jaganya bukan kontrak perbulan kalau penen berhasil berapa kali begitu kontrak jaganya kadang diperpanjang tapi juga kalau gagal mau pindah sama orang lain juga bisa kalau tidak tahan lagi ya terpaksa pulang lagi ke selatan atau cari keja empang sama bos yang lain klau bosnya mau sama s aya” “Maksud dari informan ini adalah sistem kerja dari menjaga empang ini adalah ketika  penennya berhasil beberapa kali maka kontrak akan di perpanjang tapi juga kalau gagal maka akan berpindah kepada orang lain atau akan pulang saja ataupun pindah tuan kepada orang lain kalaupun bos tersebut mau untuk menerimanya. Menurut penuturan dari informan di atas bahwa sistem kerja yang mereka gunakan adalah disesuaikan dengan kinerja setiap orang yang menggarap empang dan tingkat keberhasilan dalam mengelolah empang yang menjadi tanggung jawaab dari seorang  penggarap. 4.2.1.1Jumlah Tenaga Kerja Selain para penggarap bekerja keras dalam mengelolah empang hal lain ynag meperkuat pendapatan dari para pemilik empang iniadalah jumlah tenaga kerja yanga ada di desa Siduwonge. Adapun jumlah yang mengelolah empang yangada di Desa Siduwonge adalah sekitar 150 KK namun yang menggarap dan tinggal langsung di lokasi tambak sekitar 70 KK sementara untuk 80 KK tersebar sekitar Desa Huyula dan Motolohu Selatan dan belum mendaftrakan diri sebgai penduduk tetap dari Desa Siduwonge namun mereka memiliki lahan tambak yang ada di Desa Siduwonge. Kini yang mengelolah tambak empang Desa Siduwonge adalah 70 KK yang menjadi penduduk tetap dari Desa Siduwonge. Jumlah tenga kerja inipun ada pembagian untuk wilayah garapannya tidak seimbang diantara 70 KK dengan luas arel tambak 1073 Ha. Dari luas areal tersebut ada yang menjadi  penggarap seluas 30 Hektar ada pula yang hanya mengelolah sekitar 5 hektar. Sementara para keluarga yang datang ke lokasi tambak itu beserta anak dan istrinya ikut bekerja tambak. Ada  para anak yang memiliki pekerjaan lain semisal menjadi sopir mobil ada pula anak-anak yang

masih usia sekolah disekolahkan. Sementara para istri dari para penggrap itu ikut serta dalam mengelolah tambak tersebut. Meskipun demikian keberadaan para buruh dan penggarap memiliki peran penting dalam suatu keberhasilan dari tambak itu sendiri. Keberadaan penggarap dalam berusaha  bekerja keras dalam menjadikan hasil tambak yang melimpah merupakan salah satu cerminan etos kerja. 4.2.1.2 Jam Kerja Penggarap Kalau dilihat dari cara kerja yang dilakukan oleh para penggarap dan keberhasilan yang diraih oleh para pemilik tambak tentunya hal itu tidak lepas dari sistem dan cara kerja yang dilakukan oleh para penggarap ataupun para pemilik lahan tambak tersebut. Hal ini tentunya  berbalik dengan kehidupan para pemilik empang yang ada di Desa Siduwonge. Cara kerja yang dilakukan oleh orang bugis ataupun para penggarap tak terkira sebagaimana yang di tuturkan oleh bapak KM : 17 “Orang bugis memiliki potensi yang begitu baik dalam mengelolah empang, orang bugis memiliki 3 hal yang kuat antaranya adalah modal uang, tidak takut akan rugi dan memiliki teknik yang baik dalam bekerja di empang. Orang bugis kalau bekerja di empang benar sungguh-sungguh dan meskipun hujan, panas, dan tidak takut untuk modal meskipun panen gagal. Kalaupun gagal panen mereka tetap saja bangun lagi dari nol untuk menebar bibit dan keperluan empang lainnya. Orang bugis terkenal dengan rajin bekerja dan tidak takut dengan uang modal untuk rugi dan terus berusaha untuk maju terus. “Maksud dari bapak KM ialah Orang bugis memiliki potensi yang begitu baik dalam mengelolah empang, orang bugis memiliki 3 hal yang kuat antaranya adalah modal uang bagi yang pemilik ,kemudian mereka tidak takut rugi dalam membangun usaha dan memiliki teknik yang baik dalam bekerja di empang baik itu seorang penggarap ataupun pemilik penggarap. Orang bugis kalau bekerja di empang benar sungguhsungguh meskipun hujan, panas, dan tidak takut untuk modal meskipun panen gagal. Kalaupun gagal panen mereka tetap saja mereka bangun lagi dari nol untuk menebar  bibit dan keperluanempang lainnya. Orang bugis terkenal dengan rajin bekerja dan tidak takut dengan uang modal untuk rugi dan terus berusaha untuk maju terus ”. Berdasarkan penuturan di atas dapat di lihat bahwa orang bugis ketika bekerja dengan sungguh-sungguh dan pantang untuk menyerah serta memiliki tekat yang kuat. Hal ini tentunya menunjukan bahwa orang bugis (pemilik empang) dalam mengelolah empang memiliki modal yang banyak karena modal yang banyak memperngaruhi faktor keberhasilan suatu usaha agar g suatu usaha berjalan dengan lancar. Kemudian pekerjaan yang harus di kerjakan oleh buruh ataupun penggraap yakni ketika melakukan pemupukan untuk 10 hektar di butuhkan 2 ton pupuk untuk itu penggrap  biasanya dibantu oleh buruh yang disewa perharinya 75.000/orang biasanya untuk 10 hektar 15 orang buruh bisa di selesaikan dalam 2 ataupun 1 hari tergantung dari buruh yang disewa tersebut. upah yang diterima oleh buruh setelah pekerjaan itu di selesaikan maka uangpun akan langsung di berikan.

17

Bapak KM merupakan salah satu informan dari masyarakat lokal (Gorontalo). Beliau pernah memiliki empang sekitar 6 hektar dan menggrap empang ±10 tahun. Namun kini empang tersebut telah dijual. Dijualnya empang tersebut karena kurannya modal serta tidak bisa bertahan dengan kondisi pengelolaan empang yang sewaktuwaktu dapat menggangu kesehatan dan berusaha bekerja seagai petani.

4.2.2 Faktor-Faktor Penyebab Etos Kerja Kerja Orang Bugis Sebagai Penambak Empang Orang-orang Bugis menjadi  pasompe,  perantau ataupun karena  siri’   kondisi ekonominya tidak baik ataupun karena di bebani dengan tanggungan yang berat di desanya akan bekerja keras membanting tulang di rantau dan tidak akan pulang sebelum menjadi lebih kaya. Bagi orang Bugis-Makassar akan mengatakan bahwa “orang yang tidak mempunyai “ siri’ adalah sama saja dengan anjing atau lebih baik mati saja bila harus hidup tanpa siri’ Selain itu yang menjadi dasar dari orang Bugis memiliki cara kerja yang keras dalam  berusaha tentunya ini dilatar belakangi oleh adat budaya dan prinsip hidupnya. Bagi sebagian orang Bugis menjadi Saudagar adalah pilihan profesi utamanya. Di beberapa tempat, banyak saudagar Bugis yang maju dalam berusaha. Tentunya segala kemajuan yang dicapainya itu  berdasarkan hasil kerja kerasnya, bermandikan keringat dan air mata.Lalu apa yang membuat orang Bugis selalu bekerja keras? ini dikarenakan Bugis adalah salah satu suku yang paling  banyak kebutuhannya. Karena kebutuhan inilah yang mendorong orang bugis untuk bekerja keras sebaimana prinsip dari bapak (MN) lebih baik mundur sejengkal dari tempat berdiri dari pada mundur dari pekerjaan. Hal inilah yang mendorong orang bugis tentunya tidak henti-hentinya terus bekerja demi mendapatkan hasil serta dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya. 4.2.2.1Adat dan Prinsip Hidup Orang Bugis Ada beberapa adat yang yang masih di pegang teguh oleh orang bugis dalam menjalankan usaha dalam membangun etos kerja yang bagus. Seperti penuturan yang di sampaikan oleh informan dimana orang bugis memiliki adat yang di pasangkan dalam  pekerjaan dan itu menjadi kepercayaan yang kuat bagi orang bugis dan mereka berharap dengan itu hasil kerja yang yang mereka kerjakan akan melimpah dan berhasil. Hal ini di tururkana oleh bapak (Th) “ Ritual Masih ada ritual/ doa-doa yang dipakai di empang toncohnya doa syukuran kalau mau paneng, itu di doa karena orang bugis percaya ada makhluk khusus yang menjaga ikan sehingga di doa agar mendapat restu kalau dipanen. karena kita orang bugis sejak melepas ikan dari masi nener sampe mau di panen tidak bisa ikannya diambil karena belum di doa siapa saja tidak bisa ambil karena takut belum di doa dan  yang belum di doa bagi orang bugis tidak bisa di makan siapapun tidak bisa ambil itu ikan sebelum waktu paneng dan di dioakan selamatan/ syukuran

“Yang dimaksudkan oleh bapak Th adalah adanya ritual untuk orang bugis yang masih ada dan di pakai di empang contohnya doa syukuran hendak panen. Alasannya itu di doakan karena orag bugis percaya ada mahluk khusus yang menjaga ikan sehingga di doa agar mendapat restu kalau di panen. Karena bagi orang bugis sejak melepas ikan dari masih nener sampai mau dipanen tidak bisa ikannya diambil karena belum di doakan, siapa saja tidak bisa ambil karena takut belum didoakan bagi mereka itu haram tidak bisa diambiluntuk dimakan, siapapun tidak bisa mengambilnya”. Berdasarkan penuturan di atas bahwasanya kebiaasaan dari adat yang mereka jalankan serta percayai hal itu dapat mempengaruhi hasil dari tambak yang mereka kelolah. Kebiasaan  berdoa tersebut menjadi patokan dalam setiap menjaga usaha yang mereka kerjakan serta sekaligus dapat mencegah mereka untuk menikmatinya sebelum berhasil. 4.2.2.2 Tingkat Pendidikan dan Pekerjaan Selain adanya adat yang masih di pegang teguh dalam merantau faktor lain yang mempengaruhi etos kerja dari orang bugis yakni tingkat pendidikan dan pekerjaan yang dimiliki. Tingkat pendidikan menjadi pembanding dalam pengelolaan tambak. Namun hal ini

tidak menjadi faktor yang menghalangi keberhasilan tambak meskipun tingkat pendidikan  penggarap ataupun pemilik ada yang di bawah tetap saja usaha yang dilakukan di maksimalkan untuk menghasilkan ekonomi tambak yang melimpah. Berdasarkan tingkat pendidikan dari masyarakat Desa Siduwonge masih banyak yang di tingkat pedidikanya tergolong rendah. Dari jumlah 1025 orang yang memiliki pendidikan sekitar 371 orang maka yang tidak memiliki pendidikan sekitar 654 orang. Selain tingkat pendidikan yang masih tergolong rendah faktor lainnya adalah status dari  penggarap ini merupakan golongan bawah(kecil) sebagaimana yang di tuturkan oleh bapak MN: “Kalau yang punya empang disini termasuk orang besar meman dari sana kalau kita ini termasuk orang kecil saja. Makanya kita cari kerja yang cocoklah ya naman juga kita m hidup haruslah cari kerja mana untuk biaya anak dan kelurga jadi harus menggarap empan. “Yang dimaksud oleh bapak MN adalah orang memilki empang disini rata-rata adalah orang besar (orang yang mampu, punya modal) sementara ia hanya orang yang kecil tidak memiliki modal untuk membuka lahan atapun untuk mengontrak lahan empang  jadi hanya menjadi penggarap empangsaja. hanya itu juga yang cocok untuk di kerjakan kalau mau hidup ya harus bekerja untuk kebutuhan anak dan keluarga. Dari pernyataan di atas dapat di katakan bahwa orang yang banyak membuka ataupun memiliki lahan tambak yang luas hanyalh orang-orang yang memiliki pengaruh ynag kuat serta memiliki modal yang banyak serta tergolong keluarga yang stratifikasi kelas atas. Sementara para penggarap merupakan golongan menengah bawah serta hanyalah orang yang tidak memiliki modal serta orang yang tidak memiliki pekerjaan yang tetap sebelumnya dari kampung halamannya. Alasan diatas merupakan faktor lain yang mendukung etos kerja dari orang bugis untuk  bekerja di rantau agar status keluarga karena di kampung tidak meiliki pekerjaan menjadi  punya pekerjaan hingga mereka memutuskan untuk merantau. Sebagaimana di ungkpakan oleh MN: “Ya begitula kalau diselatan  juga ya istilahnya besar pasak dari pada tian.Dulunya kita bekerja kaya b kebun cokla begitu,karna kerusakannya coklat sehingga semua orang berhamburan mencari pekerjaan di wilayah lain, karna rusakknya depe dulu coklat 2002 sampai 2005.makanya saya bilang Kita kemari itu saya bilang  perhitungnya pendapatan di selatang itu besar pasak dari pada tian jadi biar sukses di tempat lain”. ”Menurutnya beliau di selatan istilahnya lebih besar pasak dari pada tiang . dahulunya sbeliau bekerja kebun coklat, karna rusaknya coklat sehingga semua orang  berhamburan untuk mencari pekerjaan diwilayah lain, makanya saya katakan saya  punya perhitungan pendapatan di selatan itu besar pasak dari pada tiang jadi cari kesuksesan di daerah lain begitu”. Hal ini yang mendorong  beliau untuk merantau sekaligus mencari pekerjaan sebagai penggarap empang milik pamannya. Upah yang didaptkanpun tidak seberapa dengan pekerjaan empang yang dikelolahnya meskipun hanya 5 hektar mengeerjkan empang terasa sulit. Bagaimana tidak terasa sulit untuk  biaya hidupnyapun hanya dibiayai sendiri sementara upah yang didapatkan tidak seberapa. Berdasarkan penuturan salah satu informan di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat  pendidikan diatas dapat mempengaruhi pekerjaan, karena pada saat ini untuk mendapatkan

suatu pekerjaan yang baik membutuhkan pengetahuan yang di buktikan dengan sejauh mana seseorang menempuh pendidikan. Memiliki tingkat pendidikan yang rendah serta tidak memiliki pekerjaan yang tetap menjadikan mereka untuk berjuang terus dalam pekerjaan yang mereka geluti dengan prinsip kehalalan dari pekerjaan itu. Kegigihan dalam bekerja serta keteguhan hati dari menerima pekerjaan yang di berikan tidak membuat mereka putus asa namun menjadikan mereka tetap giat bekerja hal ini yang menjadi faktor pendorobg dalam kberhasilan yang diraih orang bugis. 4.2.2.3Produksi Perpanen dan Pemasaran Selain modal faktor lain yang menjadi penyebab etos kerja bugis dalam meningkatkan usaha tambak adalah produksi empang perpanennya yang begitu fantastic. Produksi ikan ataupun udang yang di hasilkan dalam setiap tidaklah sedikit. Sebagaimana penuturan dari  bapak Ba “Kalau udang itu sekali berhasil 1 tahun untunya banyak sekali cepat kaya tapi kalau  gagal panen bisa bikin bangkrut kita itu. Beda dengan bandeng setahun 3x bisa panen tapi ya hasilnya juga lumayan lebih tinggi hasil udang sebenarnya Cuma kalau dang belum bisa area belum memdukung untuk udangnya, kalau udang juga banyak resikonya” “Maksud dari bapak Ba adalah ketika memelihara udang produksi pertahunnya hanya sekali tapi ketika panen itu berhasil bisa membuat kita cepat kaya. Berbeda dengan  bandeng itu nanti 3x panen bisa membandingi sekali panennya udang tapi hasil dari  bandeng limayan karena untuk udang wilayah siduwonge lokasinya belum mendukung dan resiko untuk udang terlalu besar. Hal ini tentunya dapat memberikan gambaran bahwa untuk ukuran empang 5 hektar dengan modal 15 juta dapat menghasilkan sekitar 4-5 ton ikan dengan ukuran ikan yang besar (2 ekor untuk 1kg). untuk ukuran ikan besar pertonnya dapat menghasilkan sekitar 15 jutaan  belum lagi dalam 5 hektar dengan jumlah 4-5 ton di kalikan dengan Rp 10.000. Untuk  perkiraan 4 ton dikalikan Rp 10.000 dalam 5 hektar bisa menghasilkan sekitar 40.000.000  juta dengan perhitungan 1 kg ikan bandeng ukuran besar di hargai dengan Rp 10.000Rp12.000. Hal ini dapat menggambarkan bahwa untuk ukuran pemilik tambakj jumlah  penghasilan dalam perpanen ikan bandeng dalam areal luas di atas 30 hektar hasil yang di capai sangatlah besar. Hal ini dapat dilihat dengan perkiraan 5 hektardengan hasil 4-5 tonnya dapat menghasilkan 40.000.000 dengan di kurangi modal sekiar 15.000.000 juta, maka hasil  bersih yang di terima oleh pemilik dalam mengelolah empang adalah 25.000.000 dalam sekali panennya. Jika dalam setahun melakukan 2x panen maka produksi untuk setahun dalam 2x panen dengan luas areal 5 hektar adalah Rp 50.000.000. Hal ini jika di lihat dengan seksama dapat di artikan bahwa keutungan yang dapat di raih adalah Rp10.000.000/Ha/thn untuk ukuran rata-rata. Tentunya hasil yang di dapatkan lebih besar dari apa yang di hasilkan dalam penelitian Mayudin (2012) dalam penelitiannya di lahan tambak di Kecamatan Mandalle, Segeri dan Labakkang Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan Kondisi ekonomi masyarakat pesisir pasca konversi hutan mangrove menjadi lahan tambak di Kecamatan Mandalle, Segeri dan Labakkang Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan dikategorikan baik dan dapat diukur dari  beberapa indicator. Kemudian Nilai total manfaat ekonomi mangrove sebesar Rp.14.844.084 /ha/thn atau sekitar 1,6 kali lebih besar jika bandingkan dengan nilai ekonomi tambak yang sebesar Rp.9.401.170 /ha/thn. Beradasarkan hasil di atas menunjukkan bahwa hutan mangrove dapat memberikan manfaat ekonomi yang besar bila dapat dikelola dengan baik. Selain itu Kondisi ekonomi

masyarakat pesisir pasca konversi hutan mangrove menjadi lahan tambak secara umum meningkat. Dengan pemanfaatan tersebut, maka pendapatan masyarakat meningkat hingga 50%. 4.2.2.5 Penguasaan Lokasi Pada awalnya lokasi tambak yang ada saat ini itu merupakan kaplingan dari masyarakat lokal yang dijadikan kolam ikan. Jadikannya kolam ikan sebab masyarakat gorontalo saat itu  belum tahu mengelolah empang sehingga hanya di kapling di jadikan kolam ikan. Setelah kedatangan orang bugis maka kolam itu dijadikan sebagai empang. Proses berpindahnya tambak ke tangan orang bugis pada awalnya orang bugis mencari  pekerjaan. Namun tambak itu pada awaalnya telah melewati tahap survey terlebih dahulu seperti apa yang di ungkpkan oleh (UA) “ Pada awalnya bugis yang pertama ada di Desa Siduwonge yakni haji nompo awal kedatanganya dia melakukan survei awal terhadap tambak. Beliau mengsurvei kondisi lahan tambak yakni kalau tidak salah 1993 dan lahan yang buka di Desa Siduwonge 52 dan patuhu 48 jadi totalnya 100 hektar. Tetapi pada waktu itu masih menjadi Desa  Motolohu.Menjadi banyaknya orang bugis karna pertama sudah meihat hasil tambak  sehingga mereka berdatangan. Pada awalya ada yang bermula dari kontark sampai akhirnya di jual. Kepemilik empang sampai jatuh ketangan orang bugis krna mereka  juga yang datang memakai jasa perantara baiak yang butuh klahan untuk di kontarak ataupun di jual. “Pada awalnya bugis yang pertama ada di Desa Siduwonge yakni Haji Nompo aw al kedatanganya melakukan survei awal terhadap tambak. Beliau mengsurvei kondisi lahan yakni sekitar 1993 dan lahan yang di buka di Desa Siduwonge 52 Hektar dan Desa Patuhu 48 Hektar jadi totalnya 100 hektar. Tetapi pada waktu itu masih Desa Motolohu. Menjadi banyaknya orang bugis karna pertama melihat hasil tambak sehingga mereka berdatangan. Pada awalya ada yang bermula dari kontrak sampai akhirnya di jual. Kepemilikan empang sampai jatuh ketangan orang bugis karena mereka juga yang datang memakai jasa perantara baik yang butuh lahan untuk di kontrak ataupun di jual”. Dari data diatas dapat dilihat bahwa sebelum empang ini menjadi milik dari orang bugis orang bugis ini telah melakukan observasi terlebih dahulu pada lokasi empang ini. Jasa  perantara pun menjadi sangat di perlukan saat itu bagi ynag ingin memiliki ataaupun sekedar untuk dikontrak empang tersebut. Kemudian semakin hari semakin banyaak bugis yang datang di karenakan oleh berbgai keberhasilan empang yang dilihat. Hal ini menjadikan  banyak lahan tambak milik masyarakaat lokal menjadi milik orang bugis. Tentunya hal ini  bukan satu-satunya alasan bedatangnya orang bugis ke Desa Siduwonge. Adapula orang  bugis yang datang untuk menawarkan jasanya sebagai penggarap ini hal yang mebuat  banyaknya orang bugis sehingga pada saat ini tercatat bahwa sekitar 70 KK yang menjadi  penduduk tetap. Penguasaan lokasi empang ini tentunyakarena orang bugis terkenal dengan penguasaan maritimnya tetap saja mereka yang banyak lahan tambaknya menggunakan jasa penggarap dan buruh. Yang dimaksud dengan penggarap dalam empang ialah orang bekerja di empang menjaga empang dalam waktu yang lama. Sedangkan buruh adalah hanyalah tenaga yang sewaktu-waktu du butuhkan misalnya hanya pada waktu panen dan melakukan pemupukan empang dan jasanya langsung di bayarkan. Sementara untuk penggrap empang jasa kerjanya di perhitungkan setelah keberhasilan empang yang di kelolahnya. Kemudian yang menjadi  penggarap ada yang tidak melakukan yang tugas dari buruh ada juga yang merangkap mengerjakan pekerjaan buruh ketika pemilik dari empang itu menyuruhnya tapi ada juga

meskipun memiliki jasa penggarap tetap juga memakai jasa buruh dalam melakukan hal tersebut. Hal serupa di rasakan oleh penggarap empang lainya yang ada di Desa Siduwonge. 18 . Penguasaan dari lokasi tambak yang begitu luas tentunya menjadi faktor yang membuat semakin hari berkembangnya ekonomi tambak bagi orang bugis.Penguasaan lokasi ini memiliki peran pula dalam etos kerja serta perkembangan ekonomi yang melimpah. Simpulan dan Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang di lakukan di Desa Siduwonge Kecamatan Randangan Kabupaten Pohuwato, Maka peneliti menarik kesimpulan s ebagai berikut: 1. Bahwa etos kerja orang bugis dalam mengerjakan suatu pekerjaan di kerjakan dengan sungguh-sungguh.Selain itu orang bugis tidak mudah putus asa dalam merajut suatu pekerjaan dan memiliki modal yang banyak. Kemudian Orang bugis dalam bekerja tidak memilih kondisi meskipun panas dan dingin tetap akan dilalui dalam bekerja untuk meraih sukses. Hal lain adalah jumlah tenaga kerja mempengaruhi etos kerja dari orang Bugis . Jam kerja yang dimiliki oleh orang  bugis mempengaruhi hasil kerja serta merupakan faktor penting dalam etos kerja orang bugis 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi etos kerja dari orang bugis tak lain adalah  penguasaan teknik dalam bekerja. Selainitu tingkat pendidikan serta kebutuhan dari orang Bugis merupakan faktor yang dapat menyebabkan terdorongnya etos kerja orang bugis. Penguasaan pasar yang baik ikut mendorong pertumbuhan ekonomi yang baik bagi orang bugis serta sebagai salah satu etos dari bugis  bekerja dalam menguasai kondisi pasar SARAN Dari uraian di atas yang telah di kemukakan sebelumnya maka penulis dapat menyarankan hal-hal sebagai berikut: 1. Dalam memperkuat etos kerja bugis dalam mengembangkan kondisi ekonomi masyarakat yang baik selayaknya memperhatikan dampak lain dari konndisi alam, dalam memajukan kondisi ekonomi di barengi perbaikan lingkungan agar samasama saling mneguntungkan denagn memcari solusi yang terbaik dan tidak mengabaikan hak drai masyarakat lainnya. 2. Diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dari para pengarap yang ikut dalam membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi meskipun itu merupakan tanggung jawab dari pemilik tambak.

18

Gajinya begitu tidak ada ketentuan. Seumur hidupnya empan ini barusan dia kasi naik kurang termasuk ampa ton lebe banyak bagi 6. Pendapatan pada waktu itu ee termasuk 3 ton g 600x pada waktu itu masi mura depe ikan kali 10.000 bagi 6, 36 jutaan kotor, mana kaluar depe modal dulu. Modal empan pda waktu itu 11 hampir 12  juta. Bersihnya itu kita tidak tawu karna pengambilan pada waktu banyak. Ya jelas di terima karna ada saldonya sedikit kurang lebi berapa juta sekitar 3 jutaan pokokny ini bapak tawu (sambil menunjuk pada bapak yang satunya lagi).

DAFTAR PUSTAKA Buku:

Abdullah, Taufik (Ed). (1978) .  Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta:LP3ES Dwidjoseputro, D. (1994). Ekologi Manusia dan Lingkungannya. Jakarta : Erlangga Poerwanto, Hari. (2000).  Kebudayaan dan Lingkungan  (Dalam Perspektif Antropologi). Yogyakatra: Pustaka Pelajar ( Anggota IKAPI) Sajogyo, dan Sajogyo, P. (2002). Sosiologi Pedesaan. (jilid satu.) Yogyakarta: MadaUniversitas Press.

Gadjah

Setiadi, Hakam dan Efendi. (2007). Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Bandung: Prenada Media Group Sumaatmadja, N. (1998).  Manusia Dalam Konteks Sosial Budaya Dasar dan Lingkungan  Hidup. Bandung: Alfabeta Harrrison, Lawrence E dan Hungtington, Samuel P. (ed). (2006).  Kebangkitan Peran Budaya. Jakarta: pustaka LP3ES Indonesia Margono. (2009). Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta. Idrus, Muhammad. (2009).  Metode Penelitian Ilmu Social   (Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif). Jakarta: Erlangga Arikunto, Suharsimi. (2010). Manajemen Penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta Landjani, k. (2014). Profil Desa Siduwonge. Balai Konsevasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara. (2013).  SosialisaiHasil Rakor CA Tanjung Panjang. Jurnal :

Amin, Basri. (2014). Mempertahankan Ruang Hidup Konservasi dan Budaya Di Teluk Tomini. Masyarakat dan Budaya. Volume 16 No. 1. Anwar, Sakaria J. 2012.  Pengetahuan Lokal (Indigenous Knowledge) “Pasompe” Bugis  Makassar dalam Menjelajah Nusantara. Sosiologi Reflektif, volume 7, nomor 1. Subair. 2015 . SIMBOLISME HAJI ORANG BUGIS: Menguak Makna Ibadah Haji Bagi Orang Bugis di Bone, Sulawesi Selatan. http://dualmode.kemenag.go.id/acis10/file/dokumen/8.subair.pdf  (diakses pada 16 Februari 2015)

La Janu. (2010) Etos dan Pandangan Hidup Komunitas Nelayan Bugis Dalam Kehidupan Sosial Ekonomi (Studi Kasus Di Kelurahan Tondonggeu Kecamatan Abeli Kota  Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara). Forum Ilmu Sosial, Vol. 37 No. 2  Latif, Syarifuddin. (2012) Meretas Hubungan Mayoritas-Minoritas Dalam Perspektif Nilai  Bugis. Jurnal Al-Ulum Volume. 12,Nomor 1. Wekke, Ismail Suardi.( 2013).  Islam dan Adat: Tinjauan Akulturasi Budaya Dan Agama  Dalam Masyarakat Bugis Analisis, Volume XIII, Nomor 1 Indrizal,Edi. (2000).  Mitos Orang Kalah: Orang Laut dan Pola Pemukimannya. ANTROPOLOGI INDONESIA 61.  Akbar, Acep. (2011).Studi Kearifan Lokal Penggunaan Api Persiapan Lahan : Studi Kasus di  Hutan Mawas, Kalimantan Tengah. Penelitian sosial dan ekonomi kehutanan. Vol. 8,  No 3. Fitrisia,Azmi.(2014).Upacara “Tolak Bala”Refleksi Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan  Kenagarian Painan Kabupaten Pesisir Selatan Propinsi Sumatera Barat Terhadap  Laut .humanus Vol.XIII No.1 Irawan, Rudi. (2011 ). Pendidikan Nilai-Nilai Kecakapan Hidup Punggawa dan Sawi Dalam Sistem Sosial Ekonomi Masyarakat Nelayan Etnis Bugis Perantauan di Kota Bandar  Lampung . Jurnal Ekonomi& Pendidikan, Volume 8 Nomor 2. Beddu, Syarif. (2009).  Arsitek Aristektur Tradisional Bugis. Jurnal Penelitian Enjinering. Volume 12, nomor 2. Karya Ilmiah:

Asriyah, Wardatul. (2007). Skripsi strategi peningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat melalui usaha tambak di desa babalan kecamatan wedung kabupaten demak jawa tengah. diambil darihttp://digilib.uinsuka.ac.id/1155/1/BAB%201%2C%20BAB%20IV%2C%20DAFTAR%20PUSTAK  A.pdf  Mayudin, Arif. (2012). Kondisi Ekonomi Pasca Konversi Hutan MangroveMenjadi  LahanTambak Di Kabupaten Pangkajene Kepulauan Provinsi Sulawesi Selatan http://repository.polnep.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/86/05eksos%203%20-%20arif.pdf?sequence=1(diakses 23 November 2014) Prabanugraha , Rizki. (2013).  Estimasi Nilai dan Dampak Ekonomi Kawasan Budidaya Tambak Polikultur Dengan Keterkaitan Mangrove (Studi Kasus Desa Langen SARI,  Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang). http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/64512/H13rpr1.pdf?sequence =1(diakses 20 Februari 2015) Stanis, Stefanus. (2005). Tesis Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Melalui  Pemberdayaan Kearifan Local Di Kabupaten Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timur. http://eprints.undip.ac.id/12790/1/2005MSDP4220.pdf (diakses 20 Februari 2015)

Beddu Syarif, Akil Arifuddin, Wahidah Wiwik Osman dan Hamzah Baharuddin. (2011).  Eksplorasi Kearifan Budaya Lokal Sebagai Landasan Perumusan Tatanan  Perumahan dan Permukiman Masyarakat Makassar.  Prosiding Temu Ilmiah IPLBI. (diakses 20 Februari 2015) Internet:

Junus, George A. (2010). Terlalu bugis sentris. http://www.rappang.com/2010/02/terlalu-bugis-sentris-kurang (diakses 17 November 2014)

perancis.html.

Kalla, Jusuf.(2009). Orang Bugis. www.sempugi.com/2009/12/etos-kerja-bugis.html(diakses 13 November 2014) Pelras,

Christian.  (2010). “ Manusia Bugis”  Jakarta: forum Jakarta http://anditaufantiro.com/2013/09/03/buku/( diakses 17 November 2014)

Paris.

 Nikijuluw, Victor, P.H “ Populasi dan Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir serta StrategiPemberdayaan Mereka Dalam Konteks PengelolaanSumberdaya Pesisir Secara Terpadu.” http://www.academia.edu/2385523/Aspek_Sosial_Ekonomi_Masyarakat_Pesisir_da n_Strategi_Pemberdayaan_Mereka_dalam_Konteks_Pengelolaan_Sumberdaya_Pesi sir_Secara_Terpadu(diakses 13 November 2014)

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF