Erich Fromm Psikoanalis Humanis

November 24, 2021 | Author: Anonymous | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Erich Fromm Psikoanalis Humanis...

Description

BELAJAR DARI ERICH FROMM Oleh : Zainal Habib A. Biografi Erich Fromm. Erich Fromm dikenal luas sebagai tokoh psikoanalisa dan filosof sosial. Terlahir tanggal 23 Maret 1900 di Frankfurt Jerman dalam lingkungan keluarga Yahudi ortodoks. Fromm adalah anak tunggal dari seorang ayah

pemurung, cemas dan tegang yang

berprofesi sebagai pengusaha, dan seorang ibu yang mengalami depresi sebagai pengurus rumah tangganya. Keluarga Fromm mengalami

ketidakharmonisan

perbenturan antara perhatian

yang

disebabkan

adanya

besar nilai-nilai spiritual Ibunya

dengan keberhasilan material sang ayah. Dari keadaan keluarga yang demikian ini, masa kecil Fromm terlihat tidak begitu bahagia. Ia menjuluki orang tuanya dengan highly neurotic dan menjuluki masa kecilnya dengan a probably rather unbearable, neurotic child (Funk, 1982:1). Sejak kecil Fromm telah diperkenalkan dengan kitab perjanjian lama. Ia sangat tertarik dengan visi perdamaian universal yang diajarkan para Nabi. Pada masa remaja, Fromm mulai berkenalan dengan model pemikiran Yahudi, ia mendapat didikan dari Herman Cohen (seorang pemikir Kantian), Rabbi Salman Baruch Rabinkow dan Rabbi Nehemia Nobel. Ketiga guru Fromm ini memiliki kecenderungan pemikiran yang berbeda, Cohen adalah seorang liberal yang kurang menyukai ritual-ritual

keagamaan, ia juga sangat tidak tertarik dengan dunia mistik dan lebih

tertarik

pada

keutamaan

etika

keagamaan.

Nobel

merupakan penganut Talmudian yang sangat mengagumi Goethe dan

pencerahan

Jerman,

ia

juga

banyak

tertarik

pada

psikoanalisa. Sedangkan Rabinkow banyak memberi pelajaran Fromm tentang mistisisme Yahudi dan ide-ide humanisme sosialis. Namun

sebagai

anak

yang

termasuk

kritis,

Fromm

tidak

menerima begitu saja apa yang didapat dari gurunya ini. Pada tahun 1920, Fromm mendapat kesempatan untuk menempuh studi doktoral di Universitas Heidelberg, dan pada tahun 1922 dia memperoleh gelar Ph.D, dengan disertasi berjudul, Das Judische Gesetz ein Beitrag Zur Soziologie des Diaspora Judentums,

disertasi

ini

tentang

struktur

sosial

pada

tiga

komunitas Yahudi, Diaspora kaica, Heidisme dan pembaharuan Yahudi. Tahun 1924, Fromm mulai keluar dari lingkungan Rabbi dan mendalami psikoanalisa. Ia belajar satu tahun dengan Wilhelm Witenberg di Munich, dan kepada Karl Landauer di Frankfurt dan terakhir dengan Hans Sach serta Theodor Reik di Berlin.

Setelah

menikah

pada

Reichman, pada tahun 1927,

tahun

1926

dengan

Freida

Fromm bersama dengan Karl

Laundauer, George Broddeck, Heinrich Meng dan Ernst Schneider mendirikan Frankfurt Psichoanalitic Institute, dan ia membuka praktek psikoanalisa di sana. Pada tahun ini pula, Fromm berkenalan dengan pemikiran Buddhisme. Ketertarikan Fromm

kepada Buddhisme membuatnya kemudian belajar Buddhisme pada D.T. Suzuki, peristiwa penting yang banyak mempengaruhi pemikirannya

kemudian,

terutama

analisisnya

terhadap

irrasionalitas dan paksaan dalam agama serta gagasan rasional dan mistis yang banyak diungkapkannya (Funk, 1982:3). Pada tahun 1932, dengan bantuan Horkheimer, Fromm masuk dalam lingkungan Institute Fur Social Forschung dan menjadi direktur sosial psikologi. Di Institute inilah Fromm banyak menimba

pengalaman

tentang

berbagai

bidang

pemikiran,

terutama materialisme, psikoanalisa, pengaruh ekonomi terhadap kejiwaan, serta karakter sosial masyarakat. Pada tahun 1933 Fromm menderita penyakit Tubercoluse (TBC), sejalan dengan itu, Fromm meninggalkan Nazi Jerman dan pindah ke USA. Di USA, pada tahun 1935,

Fromm bergabung

dengan kelompok Internasional Institute for Social Research di Universitas

Columbia.

Setahun

kemudian

(1936),

Fromm

bergabung dengan para antropolog untuk mengadakan penelitian tentang manusia dan kebudayaannya, dan setelah itu dia menjadi dosen psikologi sosial di New York Psichoanalytic Institute. Tahun 1944, Fromm menikah untuk yang kedua kalinya, dan resmi sebagai warga negara USA. Tahun 1945, bersama dengan Clara Thompson, Freida Fromm Reichman (mantan isterinya), serta Harry S. Sullivan (pakar psikologi interpersonal) mendirikan William Alanson White Institute, di sini Fromm menjadi direktur periode 1946-1950. Pada saat yang sama, Fromm juga

menjadi profesor tamu di Michigan University, Yale University serta New York University. Sebelum jabatannya ini berakhir, pada tahun 1949, karena alasan kesehatan, Fromm pindah ke Mexico dan mengajar di National Authonomous University. Di negaranya yang baru, Fromm pernah mendirikan ‘Sane’,

sebuah

perdamaian

kelompok

international.

gerakan

masyarakat

Fromm

juga

pernah

USA

untuk

mengikuti

kampanye memperjuangkan senator Eugene Mc Carty untuk menduduki kursi Presiden dari Partai Demokrasi. Pada usia 80 tahun di bulan yang sama dengan kelahirannya, tepatnya tanggal 19 Maret 1980, Fromm mengakhiri karier keilmuannya dengan meninggalkan dunia ini untuk selamanya.

B. Karya-karya Erich Fromm. Awal karier akademis Fromm diawali pada tahun 1922 dengan ditulisnya disertasi yang berjudul Das Judische Gesetz ein Beitrag Zur Soziologie des Diaspora Judentums, yang berisi tentang struktur sosial pada tiga komunitas Yahudi, Diaspora Kaica, Heidisme dan pembaharuan Yahudi. Setelah itu, pada tahun 1930 dia menulis The Development of Dogma Christ ; a Psychoanalytical Study on The Socio-Psychological Function of Religion, yang banyak mengungkapkan hubungan antara agama dan gagasan keagamaan dengan realitas kultural dan sosial masyarakat. Karyanya ini merupakan analisis sosio-psikologis dalam mengkaji fenomena perilaku sosial. Melalui tulisannya ini, Fromm

mulai

menyinggung

teori

super-struktur

Marx

dan

psikoanalisa

Freud

yang

menurutnya

memiliki

beberapa

kelemahan. Keberadaan Fromm sebagai pemikir kritis mulai banyak dikenal semenjak terbitnya buku Escape from Freedom, pada tahun 1941. Dalam buku ini banyak dianalisa pelarian diri manusia modern dari diri dan kebebasannya. Gerakan totaliter telah menjadi suatu dambaan sebagai tempat pelarian dari suatu yang dicapai manusia bebas di dunia modern. Fromm melihat bahwa telah bebasnya manusia modern dari ikatan-ikatan abad pertengahan

ternyata

tidak

membuatnya

bebas

untuk

membangun suatu hidup yang bermakna berdasarkan akal budi dan cinta. Karena itu mereka mencari rasa aman baru dalam kepatuhan kepada pemimpin, ras atau negara. Dalam buku Escape from Freedom, Fromm mencoba melakukan analisis perilaku masyarakat modern setelah lepas dari ikatan pra industri. Menurut Fromm manusia modern tidak memperoleh suatu yang positif, karena kebebasannya dari ikatan pra-industri mengarah pada ketundukan baru, bukannya maju pada

perwujudan

kebebasan

positif

yang

didasarkan

atas

individualitas manusia. Fenomena semacam inilah yang menurut Fromm membuat manusia teralienasi dari diri dan lingkungannya. Karya Fromm selanjutnya yang banyak menjadi perhatian adalah Man for Himself ; an Inquiry into the Psychology of Ethics yang ditulis pada tahun 1946. Dalam bukunya ini

Fromm

mengembangkan ide-ide tentang pelbagai orientasi karakter yang

menggantikan skema Freudian tentang perkembangan libido. Orientasi karakter ini diasumsikan dapat membimbing manusia menuju realisasi individualitasnya. Dalam

bukunya

ini,

Fromm

banyak

mengfokuskan

pembahasannya pada masalah etika humanistik yang berakar dari kodrat manusia. Menurutnya, agar dapat mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk bagi manusia, orang harus mengetahui sifat dasar manusia. Fromm disini juga menjelaskan tentang tidak dapat dilepaskannya psikologi dari filsafat, karena personalitas manusia tidak dapat dipahami jika seseorang tidak melihat manusia mendapat

dalam sebuah

eksistensinya dan

totalitasnya, jawaban

yang

atas

menemukan

mencakup

pertanyaan

norma

yang

kebutuhan

mengenai sesuai

arti

dengan

bagaimana dia seharusnya hidup. Fromm menegaskan bahwa mustahil memahami manusia dan gangguan emosional secara mental tanpa memahami sifat dasar, nilai, dan konflik-konflik moral, yang mengarah pada tujuan

manusia untuk menjadi

dirinya, dan mengada bagi dirinya. Fromm dalam karyanya ini juga menunjukkan hubungan struktur

sosio-ekonomis

masyarakat

dengan

pembentukan

karakter manusia. Fromm menjelaskan bahwa struktur watak (karakter) personalitas yang matang dan terpadu, suatu karakter produktif, merupakan sumber dan basis dari ‘kebaikan’, dan sifat buruk pada hakikatnya adalah pengabdian pada dirinya sendiri dan perusakan diri. Nilai penting bagi kemanusiaan menurut

Fromm bukan penolakan diri atau bukan keadaan mementingkan diri, melainkan ‘cinta diri’; bukan peniadaan terhadap individu, melainkan

penegasan

Dalam

analisis

diri

kemanusiaan

Fromm,

yang

kebaikan

sebenarnya.

dalam

pengertian

modern adalah sebuah konsepsi tentang etika otoritarianisme. Menjadi baik menandakan penolakan diri dan kepatuhan pada otoritas kekuasaan, dan penindasan individualitas lebih baik daripada realisasinya paling penuh. Pada tahun 1955 Fromm menulis The Sane Society yang mencermati perkembangan masyarakat yang sedang beranjak dalam transisi dari kolektivitas tradisional agraris menuju kota --industrialis menunjukkan

yang

individualis.

Fromm

prasyarat-prasyarat

dalam

bagaimana

bukunya

ini

mewujudkan

masyarakat yang terbuka dan sehat. The Sane Society

menunjukkan bahwa segala rekayasa

sosial akan mencapai batasnya manakala tidak ada penghargaan pada kesadaran masing-masing individu melalui konsensus yang dialogis. Kesulitan pengelolaan masyarakat dengan budaya yang telah ada menurut Fromm banyak disebabkan karena terlalu ekstrem memberikan semua kemerdekaan tanpa batas pada individu, sehingga mengakibatkan anarkhi (situasi kacau karena masing-masing individu menurut kemauannya sendiri). Di lain pihak, bila perkembangan masyarakat diatur ketat dengan kekerasan tangan besi, maka yang terjadi adalah masyarakat otoriter, beku, apatis, karena daya kreatif anggota-anggotanya

sudah dibekukan dalam sistem penataan. Karya Fromm ini menjelaskan kesadaran

sejauh

mana

masing-masing

ruang individu

bebas bisa

untuk

pemekaran

menumbuhkan

pola

kesepakatan untuk kohabitasi atau hidup bersama dengan saling menghargai. Tahun 1962 Fromm menulis The Art of Loving, karya yang memperoleh best seller. Dalam karyanya ini Fromm menggugat konsepsi cinta yang selama ini dipercayai dan disepakati. Dalam Pandangan Fromm cinta adalah perhatian aktif terhadap hidup dan perkembangan dari apa atau siapa yang dicintai, karena perhatian aktif ini berkurang, maka tidak ada lagi cinta. Cinta bagi Fromm

tidak

identik

dengan

‘jatuh’

cinta,

karena

hal

ini

menunjukkan kepasifan, suatu bentuk cinta semu yang lebih terlihat ‘mendewakan’ yang dicintai. Jika seorang pribadi tidak mencapai tingkat tempat ia memiliki suatu kesadaran identitas, rasa keakuan yang berdasarkan pengungkapan produktif, maka ia cenderung untuk ‘memuja’ pribadi yang dicintainya. Ia terasing dari kekuatan-kekuatannya sendiri dan memproyeksikan ke dalam pribadi yang dicintainya itu sebagai summum bonum. Pada tahun 1976 Fromm menulis karyanya yang terakhir yang diberi judul To Have or To Be. Dalam karyanya ini Fromm menjalaskan bahwa karakter yang produktif dan karakter non produktif dalam diri manusia maupun perilaku budaya manusia pada akhirnya berakar pada orientasi dasar manusia to have dan to be. Dua orientasi dasar ini merupakan dua modus pengalaman

dan kecenderungan yang secara fundamental berbeda. Orientasi dasar yang dominan akan menentukan seluruh pikiran, perasaan dan perbuatan seseorang.

C. Pemikiran yang Mempengaruhi. Dalam pelbagai tulisannya, Fromm terlihat berupaya menjembatani kesenjangan pemikiran antara Marx dan Freud. Namun pemikiran Fromm tidak hanya bersumber dari dua tokoh ini, latar belakang Yahudi dan perkenalannya dengan Buddhisme Zen setidakya juga banyak mempengaruhi pemikirannya. Marx dan Freud meletakkan pijakan teoretik tentang perilaku manusia individual maupun kelompok serta perubahanperubahannya. Di samping itu, kedua tokoh ini memiliki sikap yang

skeptis

terhadap

ideologi

(Fromm,

1962:12).

Fromm

beranggapan bahwa sistem pemikiran Marx sedikit banyak telah meninggalkan aspek individu dalam memahami tingkah laku manusia, sebaliknya Freud banyak meninggalkan komponen sosial. Fromm menjelaskan sebagai berikut : I wanted to understand the laws that govern the life of the individual man and the law of society –that is of man in their social existence. I tried to see the lasting truth in Freud’s concept as against those assumption which were in need of revision. I tried to do the same with Marx’s theory, and finally I tried to arrive at a synthesis which followed from the understanding and the criticism of both thinkers (Fromm, 1962:6). a. Pengaruh Karl Marx. Dalam pandangan Marx, struktur ekonomi masyarakat (alat-alat produksi dan hubungan sosial dalam produksi)

merupakan dasar yang sebenarnya bagi perilaku sosial dalam masyarakat. Semua institusi sosial lainnya didirikan atas dasar struktur ekonomi ini dan menyesuaikan diri dengan tuntutan dan

pra-syarat

yang

terdapat

didalamnya.

Kebutuhan

masyarakat, termasuk standar moral, kepercayaan agama, sistem filsafat, ideologi, budaya dan politik mencerminkan pengalaman hidup yang riil dari orang-orang yang terjalin dalam hubungan ekonomi (Johnson, 1986:134) Johnson juga menjelaskan bahwa dalam pemikiran Marx perubahan-perubahan yang terjadi pada sejarah dalam bentuk kesadaran,

ideologi

atau

asumsi-asumsi

filosofis

mencerminkan, bukan menyebabkan perubahan-perubahan dalam kehidupan sosial dan material manusia. Kondisi-kondisi kehidupan material bergantung pada sumber-sumber alam yang ada, dan kegiatan manusia yang produktif. Hubungan antara infra-struktur dan ekonomi, super-struktur budaya dan struktur sosial yang dibagi atas dasar sistem ekonomi itu merupakan akibat langsung yang wajar dari materialisme historis Marx (Johnson, 1986:134-135). Adaptasi manusia terhadap

lingkungan

material

selalu

melalui

hubungan-

hubungan ekonomi tertentu, dan hubungan ini sedemikian meresapnya sehingga semua hubungan sosial lainnya dan juga bentuk-bentuk dasar kesadaran dibentuk oleh hubungan ekonomi.

Dengan Fromm

menganalisis

beranggapan

bahwa

pelbagai

pandangan

kebanyakan

Marx,

pemikir

telah

melakukan kekeliruan besar dalam menafsirkan gagasan Marx. Mereka meyakini bahwa asumsi dasar teoretik Marx telah menunjukkan bahwa motif utama manusia adalah memperoleh keuntungan dan kesenangan material belaka, serta mereka meyakini bahwa Marx memiliki tendensi yang anti spiritual. Fromm menjelaskan sebagai berikut : Interpreted Marx thought in the economistic and materialistic categories that are prevalent in capitalism. For them, socialism is not society humanly different from capitalism, but rather, a form of capitalism in which the working class has achieved a higher status (Fromm, 1966:6). Salah paham yang sering terjadi tentang teori Marx adalah interpretasi seakan-akan Marx memaksudkan bahwa usaha-usaha untuk memperoleh materi merupakan motif utama dalam diri manusia. Sebenarnya pandangan seperti ini merupakan menekankan

ide

dasar

bahwa

kapitalisme

pendorong

yang

utama

terus manusia

menerus bekerja

adalah keinginan untuk mendapatkan uang. Konsepsi Marx sangat berbeda dari asumsi ini, karena konsepsinya tentang faktor ekonomi tidak bersifat psikologis, melainkan lebih bersifat sosiologis, yaitu perkembangan ekonomi adalah kondisi objektif bagi pengembangan budaya. Konsepsi Marx yang mengandaikan bahwa kondisikondisi material manusia menentukan cara produksi dan

konsumsi, yang pada gilirannya menentukan pula organisasi sosial-politik, budaya, serta praktek hidupnya, dan akhirnya mempengaruhi cara berpikir dan cara menghayati sesuatu ini banyak mempengaruhi analisis Fromm terhadap karakter individu dan watak sosial masyarakat. Dialektika materialisme Marx juga mendapat tempat tersendiri dalam pemikiran Fromm. Menurut Fromm teori materialisme historis menawarkan konsep-konsep ilmiah yang penting

untuk

pengembangan

memahami teori

ini

hukum-hukum akan

melihat

sejarah. korelasi

Titik antara

perkembangan ekonomi dan perkembangan kebudayaan. Fromm sebagai pemikir kritis juga melakukan kritik terhadap Marx yang menurutnya kurang menyadari bahwa kodrat manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan eksistensial yang harus dipenuhi yang terus menerus berinteraksi dengan kondisi-kondisi ekonomi dalam membentuk sejarah. Marx menurut Fromm tidak memiliki konsepsi yang cukup tentang karakter manusia, ia kurang menyadari bahwa di samping manusia dibentuk oleh struktur sosial dan struktur ekonomi, manusia pada gilirannya juga membentuk struktur-struktur itu (Fromm, 1955:123). b. Pengaruh Sigmund Freud. Konsep dasar pemikiran Freud adalah bahwa individu muncul untuk memenuhi dorongan-dorongan biologis yang perlu dipuaskan. Agar dorongan itu dapat terpuaskan, individu

harus mengadakan hubungan dengan objek lain. Freud melakukan analisis atas kekuatan irrasionalitas dan tindakan bawah sadar yang menentukan tindakan manusia. Freud menerima keyakinan tradisional tentang dikhotomi mendasar antara manusia dan masyarakat, seperti halnya doktrin tradisional mengenai menurut

Freud

masyarakat

jahatnya kodrat manusia. Manusia

pada

harus

dasarnya

mampu

anti

sosial,

menjinakkan

sehingga

dia,

harus

memberikan kepuasan-kepuasan. Nafsu-nafsu biologis yang ada pada diri manusia tidak dapat dimusnahkan, sehingga masyarakat harus menyaring dan menyeleksi secara ketat dorongan-dorongan dasar manusia tersebut. Namun sebagai akibat dari penekanan terhadap dorongan alamiah manusia oleh masyarakat ini menurut Freud sangat mengejutkan, dorongan-dorongan yang ditekan berubah menjadi usahausaha yang bernilai secara budaya, oleh karena itu menjadi dasar bagi budaya manusia (Freud, 1993:43). Freud

menggunakan

istilah

‘sublimasi’

untuk

menjelaskan transformasi aneh yang mengarah pada perilaku beradab ini. Menurut Freud, jika tekanan lebih kuat dari kapasitas sublimasi, individu-individu menjadi neurosis dan karena itu perlu pengendoran terhadap tekanan. Secara umum dalam analisis Freud, ada hubungan antara

kepuasan

dorongan-dorongan

timbal balik

manusia

dan

kebudayaan. Makin besar tekanan, makin besarlah budaya

dan makin tinggi pula bahaya neurosis yang ada pada diri manusia. Dalam pandangan Fromm, teori Freud menunjukkan adanya hubungan antara individu dengan masyarakat yang relatif

sama,

dan

mengalami

perubahan

hanya

sejauh

masyarakat menekan dengan lebih kuat dorongan-dorongan alamiahnya (dan karena itu sublimasi) atau memberikan pemuasan (dengan demikian mengorbankan kebudayaan) (Fromm, 1941:7). Dalam analisis Fromm, psikologi adalah keterkaitan individu dengan dunianya, bukan kepuasan atau kefrustasian hubungan atau kebutuhan instingtual itu sendiri. Dengan asumsi bahwa hubungan antara individu dengan masyarakat bukanlah hubungan yang bersifat

statis. Walaupun ada

kebutuhan pokok yang umum ada bagi manusia, seperti : lapar,

haus,

sex,

namun

ada

dorongan-dorongan

yang

berbeda dalam karakter manusia, seperti kebencian dan cinta, haus akan kekuasaan dan kecenderungan untuk

tunduk,

kesenangan kepada kesenangan inderawi dan ketakutanketakutan terhadapnya yang kesemuanya merupakan produk dari proses sosial. Kecenderungan-kecenderungan manusia yang paling baik ataupun yang paling buruk bukan merupakan kepastian atau secara biologis merupakan kodrat manusia, melainkan merupakan hasil proses sosial yang membentuk manusia.

Fromm menjelaskan bahwa masyarakat tidak hanya merupakan fungsi penekan (walaupun itu juga merupakan salah satu fungsinya), tetapi masyarakat juga sebagai fungsi pembentuk. Perilaku manusia, nafsu dan kegelisahannya merupakan produk kebudayaan. Dalam pandangan Fromm manusia tidak hanya dibentuk oleh sejarah, karena sejarah juga

diciptakan

manusia.

Seseorang

tidak

hanya

memperlihatkan bagaimana nafsu, keinginan, kegelisahan tumbuh dan berkembang sebagai hasil dari proses sosial, melainkan juga memperlihatkan bagaimana energi manusia mewujud sehingga

dalam

bentuk-bentuk

menjadi

khusus

kekuatan-kekuatan

sedemikian

rupa

produktif

yang

membentuk proses sosial. Dengan demikian Fromm juga menolak pandangan psikologi behavioristik yang melihat karakter manusia sebagai ‘budak’ sejarah, manusia selalu beradaptasi dengan pola budaya baru. Jika dilihat dari pelbagai karya Fromm akan tampak bahwa walaupun ide-ide Fromm pada dasarnya berbeda dengan

gagasan-gagasan

Freud,

namun

ide-ide

Fromm

didasarkan pada penemuan-penemuan fundamental Freud, jadi

berada

di

bawah

pengaruh

gagasan-gagasan

dan

pengalaman suatu generasi yang berdiri di atas bahu Freud. Tetapi justru karena kritik langsung atau tidak langsung terhadap Freud, Fromm ingin menekankan sejelas mungkin bahwa ia melihat beberapa bahaya dalam arah perkembangan

pemikiran Freud. Pandangan Fromm yang terlihat mengambil jarak

dengan pemikiran

Freud ini terutama disebabkan

pengaruh Marx. Misalnya, kalau Freud menekankan bahwa fenomena tak-sadar merupakan penentu bagi tingkah laku individual, Fromm melihat bahwa dalam perilaku masyarakat juga fenomena tak-sadar memiliki peranan yang signifikan (Bertens, 1991:xiv). Hal

penting

yang

dapat

dilihat

dari

perbedaan

pandangan kedua tokoh ini adalah Fromm menganggap bahwa watak manusia pada dasarnya dikondisikan secara historis, walaupun ia tidak meremehkan arti penting dari faktor-faktor

biologis

dan

tidak

mempercayai

bahwa

persoalannya dapat diletakkan secara pasti dalam istilah kebudayaan versus faktor-faktor biologis. Sedangkan Freud memandang manusia sebagai suatu entitas, sistem yang tertutup, dibekali oleh alam dengan dorongan-dorongan yang dikondisikan secara psikologis.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF