Epilepsi pada Anak
August 2, 2017 | Author: Martga Bella Rahimi | Category: N/A
Short Description
Epilepsi pada anak...
Description
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Epilepsi pada anak adalah penyebab utama kunjungan ke pusat
pengobatan, terutama bagian emergensi. Epilepsi masih menjadi masalah utama pada anak khususnya di bidang Neurologi yang dapat mengakibatkan mobiditas dan disabilitas pada anak. Angka kematian anak penderita epilepsi meningkat terutama pada anak dengan abnormalitas neurologik dan epilepsi yang tidak terdiagnosis. Insiden epilepsi pada anak adalah dua kali lipat dibandingkan insiden pada dewasa (sekitar 700 per 100.000 pada anak usia kurang 16 tahun dibandingkan dengan 330 per 100.000 pada dewasa).1,2,3 Menurut WHO, 50 juta penduduk Bumi menderita epilepsi. Sekitar 80% penderita epilepsi berada di negara berkembang. Setidaknya 4-10% anak pernah menderita serangan epilepsi pada usia kurang 16 tahun. Di amerika, sekitar 2-3 juta penduduk menderita epilepsi. Setiap tahun dilaporkan sekitar 300.000 serangan pertama epilepsi pada penduduk Amerika dan sebanyak 120.000 penderita adalah anak berusia di bawah 18 tahun. Sekitar 75.000-100.000 penderita ini pernah mengalami kejang demam pada usia kurang 5 tahun. Di Australia sekitar 1 dari 120 penduduk menderita epilepsi. Dari sebuah studi di Peru, didapatkan bahwa 2016 dari 100.000 anak di bawah usia 15 tahun menderita epilepsi.2,4,5 Epilepsi adalah kondisi kronik pada sistem saraf yang ditandai dengan kejang berulang. Kejang terjadi ketika suatu aktivitas listrik abnormal pada otak menyebabkan perubahan yang tidak disadari pada pergerakan dan fungsi tubuh, sensasi, kesadaran, dan tingkah laku. Sebagian penderita memiliki hanya satu tipe kejang sedangkan pada penderita lain dapat menderita lebih dari satu tipe. Kondisi ini tidak dapat ditularkan dari satu orang ke orang lainnya. Manifestasi klinis dari epilepsi tergantung jenis epilepsi yang diderita. The International League Againts Epilepsy (ILAE) mengelompokkan epilepsi menjadi 3, yaitu epilepsi lokal, epilepsi umum, dan epilepsi tidak terklasifikasi.6
1
Seseorang dapat menderita epilepsi jika ia memiliki faktor risiko. Faktor risiko yang diketahui dapat meningkatkan insiden epilepsi adalah kelainan kongenital pada sistem saraf pusat, trauma kepala sedang dan berat, infeksi cairan serebro-spinal, gangguan metabolik bawaan, dan faktor genetik. Faktor ini dapat dikelompokkan menjadi faktor prenatal, natal, postnatal, dan faktor herediter. Diagnosis epilepsi ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan, fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang paling sensitif adalah elekroensefalografi (EEG).3 Hampir 70% dari penderita epilepsi memberikan respon baik terhadap pengobatan, sisanya sebanyak 30% penderita yang berada di negara berkembang tidak mendapatkan pengobatan yang semestinya. Penderita epilepsi dan keluarganya mendapat stigma yang buruk dari masyarakat. Oleh karena itu, perlu diagnosis dini terhadap epilepsi agar dapat diobati secara tepat sehingga penderita mengalami remisi.
1.2.
Tujuan Penulisan Tujuan penulisan referat ini adalah untuk menambah pengetahuan dan
pemahaman mengenai epilepsi mulai dari definisi sampai penatalaksanaannya.
1.3.
Manfaat Penulisan Manfaat penulisan referat ini adalah menambah pengetahuan mengenai
epilepsi.
1.4.
Metode Penulisan Penulisan referat ini menggunakan metode tinjauan pustaka yang mengacu
pada beberapa literatur.
2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Definisi Epilepsi Epilepsi merupakan suatu gangguan kronik yang ditandai oleh kejang
berulang dalam waktu lebih dari 24 jam. Jika seorang anak mengalami kejang hanya satu kali, maka belum dapat disebut sebagai epilepsi. Namun, jika terjadi dua atau lebih kejang dalam waktu lebih dari 24 jam, maka anak dapat dinyatakan menderita epilepsi. Epilepsi terjadi akibat ketidakseimbangan rangsangan (eksitasi) dan hambatan (inhibitor) muatan listrik di neuron otak. Epilepsi dapat menimbulkan implikasi medis dan psikososial.7,8,9,10,11 Berdasarkan etiologi, epilepsi dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu, epilepsi simtomatik dan epilepsi idiopatik. Jika epilepsi terjadi setelah peristiwa tertentu (asfiksia, trauma kepala, meningitis), maka ini disebut sebagai epilepsi simptomatik. Namun, jika epilepsi terjadi tidak diketahui penyebabnya maka disebut sebagai epilepsi idiopatik.9
2.2
Epidemiologi Epilepsi adalah penyakit kronis dengan tingkat prevalensi tinggi. Oleh
karena itu setiap tenaga medis diharapakan lebih memperhatikan penderita dengan epilepsi dan menangani mereka dengan baik. Insiden epilepsi lebih tinggi di negara berkembang dibanding negara maju.11 Dari berbagai penelitian di beberapa negara, didapatkaan insiden epilepsi sebanyak 20-70 kasus per 100.000 penduduk setiap tahunnya.11 Berdasarkan penelitian di British Colombia tahun 2002-2003, terdapat sebanyak 8125 anak menderita epilepsi dari 1.013.816 kunjungan anak yang datang berobat. Angka ini setara dengan 55 per 10.000 anak. Dari jumlah ini, kasus terbanyak terjadi pada anak dengan usia 0-4 tahun.12 Di Indonesia, setidaknya terdapat 700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun. Dari jumlah ini, diperkirakan 40%-50% kasus terjadi pada anak. Insiden epilepsi dalam 4 tahun belakangan adalah 5,3% dari kasus yang berobat. Insiden terbanyak terjadi pada
3
kelompok umur 1-5 tahun, sedangkan onset terbanyak pada kelompok umur 80%) berlangsung kurang dari 10 detik. Fenomena klinis lainnya termasuk berkedip, gerakan klonik sedikit batang atau anggota badan dan otomatisasi yang singkat dapat terjadi terutama pada saat serangan terjadi. Serangan sering terulang, kadang-kadang mencapai ratusan kali dalam sehari.11 Kejang absen dapat dipicu oleh kelelahan, mengantuk, relaksasi, atau hiperventilasi. Kejang tidak khas berkembang di masa anak-anak atau remaja. Variasi dari bentuk khas kejang ini termasuk tidak adanya mioklonik, dan tidak adanya dengan mioklonik perioral atau mioklonik kelopak mata.11
5. Kejang Mioklonik Kejang mioklonik merupakan kontraksi singkat otot atau sekelompok otot. Hal ini dapat terjadi sekali atau berulang-ulang, yang bervariasi dalam tingkat keparahan mulai dari kedutan yang hampir tak terlihat sampai sentakan yang kuat. Contohnya, penderita
tiba-tiba jatuh atau melempar
benda yang ada ditangannya. Pemulihan pada kejang ini cepat dan penderita sering menyatakan bahwa kesadaran tidak hilang saat kejang terjadi. Kejang mioklonik dapat disebabkan oleh tindakan, kebisingan, terkejut, atau stimulasi oleh cahaya.11 Kejang mioklonik biasanya terjadi beberapa jam setelah bangun atau sebelum tidur. Kejang mioklonik juga terjadi pada ensefalopati epilepsi. Mioclonus Focal adalah gambaran dari fokus epilepsi lobus oksipital dan epilepsi yang timbul di daerah pusat (jika terjadi terus menerus, diberi nama epilepsia partialis continua). Mioklonik umum juga dapat terjadi pada
13
epilepsi simtomatik yang disebabkan oleh anoksia otak, infeksi otak, penyakit metabolik bawaan atau yang didapat, obat-obatan, atau keracunan.11
6. Kejang Klonik Kejang klonik terdiri dari sentakan yang sering asimetris dan tidak teratur. Kejang ini paling sering terjadi pada neonatus, bayi atau anak-anak muda.11
7.
Kejang Tonik Kejang tonik adalah bentuk kontraksi otot tonik dengan kesadaran berubah tanpa ada fase klonik. Kontraksi pada kejang tonik menyebabkan ekstensi leher, kontraksi otot-otot wajah, dengan mata membuka secara luas, bola mata melihat ke atas, kontraksi otot-otot respirasi, dan spasme otot-otot proksimal ekstremitas atas. Jika kontraksi tonik menyebar ke distal, lengan akan naik ke samping-samping kepala seolah-olah menyembunyikan kepala terhadap pukulan dan tungkai seolah-olah dipaksa utuk menjadi lebih panjang. Kejang biasanya berfluktuasi sehingga kepala terlihat seolah-olah mengangguk atau ada sedikit perubahan dalam postur badan.11
8.
Kejang Tonik Klonik Kejang ini merupakan bentuk klasik dari serangan epilepsi. Kejang ini didahului oleh aura, dimulai dengan kehilangan kesadaran dan dilanjutkan dengan tonik (Terjatuh jika berdiri, kejadian singkat kontraksi otot, respirasi terhenti dan terjadi sianosis umum) dan dilanjutkan dengan fase kloni (gerakan kejang, pernafasan menjadi sesak, dan air liur sering tercampur darah akibat lidah yang tergigit).11
9. Kejang Atonik
14
Atonik adalah klinis kejang yang paling berat dimana penderita tibatiba jatuh ke tanah seperti boneka kain. Biasanya kejang ini berlangsung sebentar dan diikuti oleh pemulihan segera.11
2.6.
Diagnosis Epilepsi Langkah awal dalam mendiagnosa penderita epilepsi adalah menentukan
apakah serangan yang terjadi merupakan serangan kejang atau bukan, dalam hal ini memastikannya biasanya dengan melakukan wawancara baik dengan orangtua atau orang yang merawat dan saksi mata yang mengetahui tentang penderita. Beberapa pertanyaan yang perlu diajukan adalah untuk menggambarkan kejadian sebelum, selama dan sesudah serangan kejang itu berlangsung. Dengan mengetahui
riwayat
kejadian serangan kejang tersebut
biasanya
dapat
memberikan informasi yang lengkap dan baik mengingat pada kebanyakan kasus, dokter tidak melihat sendiri serangan kejang yang dialami penderita.17 a. Hal-hal yang penting dalam anamnesis adalah sebagai berikut: 1. Waktu serangan pertama kali muncul Usia serangan dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab kejang. Serangan kejang yang dimulai pada neonatus biasanya penyebab sekunder gangguan pada masa perinatal, kelainan metabolik dan malformasi kongenital. Serangan kejang umum cenderung muncul pada usia anakanak dan remaja. Pada usia sekitar 70 tahunan muncul serangan kejang biasanya ada kemungkinan mempunyai kelainan patologis di otak seperti stroke atau tumor otak dsb.17 2. Hal yang terjadi selama serangan kejang berlangsung Serangan kejang yang berasal dari lobus frontalis mungkin dapat menyebabkan kepala dan mata deviasi kearah kontralateral lesi. Serangan kejang yang berasal dari lobus temporalis sering tampak gerakan mengecapkan bibir dan atau gerakan mengunyah. Pada serangan kejang dari lobus oksipitalis dapat menimbulkan gerakan mata berkedip yang berlebihan dan gangguan penglihatan. Lidah tergigit dan inkontinens urin
15
kebanyakan dijumpai dengan serangan kejang umum meskipun dapat dijumpai pada serangan kejang parsial kompleks.17 3. Hal yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung Periode sesudah serangan kejang berlangsung dikenal dengan istilah “post ictal period ” Sesudah mengalami serangan kejang umum tonik klonik penderita lalu tertidur. Periode disorientasi dan kesadaran yang menurun terhadap sekelilingnya biasanya sesudah mengalami serangan kejang parsial kompleks. Hemiparese atau hemiplegi sesudah serangan kejang disebut “Todd’s Paralysis“ yang menggambarkan adanya fokus patologis di otak.17 4. Frekuensi kejang per siklus 24 jam Serangan kejang tonik klonik dan mioklonik banyak dijumpai biasanya pada waktu terjaga dan pagi hari. Serangan kejang lobus temporalis dapat terjadi setiap waktu, sedangkan serangan kejang lobus frontalis biasanya muncul pada waktu malam hari.17 5. Faktor pencetus Serangan kejang dapat dicetuskan oleh karena panas, kelelahan fisik dan mental, atau suara suara tertentu. Dengan mengetahui faktor pencetus ini dalam konseling dengan keluarga dapat membantu dalam mencegah serangan kejang.17 6.
Frekuensi serangan kejang Informasi ini
dapat membantu untuk mengetahui bagaimana respon
pengobatan jika sudah mendapat obat obat anti kejang.17 7.
Periode bebas kejang Pertanyaan ini mencoba untuk mencari apakah sebelumnya penderita sudah mendapat obat anti kejang atau belum dan dapat menentukan apakah obat tersebut yang sedang digunakan spesifik bermanfaat.17
8.
Luka ditubuh sehubungan dengan serangan kejang
16
Pertanyaan ini penting mengingat penderita yang mengalami luka ditubuh akibat serangan kejang, sehingga dalam hal ini informasi tersebut dapat dipersiapkan upaya upaya untuk mengurangi bahaya terjadinya luka.17 9.
Riwayat pengobatan Dengan mengetahui gambaran penderita yang pernah datang ke unit gawat darurat dapat mengidentifikasi derajat beratnya serangan kejang itu terjadi yang mungkin disebabkan oleh karena kurangnya perawatan penderita, ketidakpatuhan minum obat, ada perubahan minum obat dan penyakit lain yang menyertai.17
b. Riwayat Keluarga Ditanyakan apa ada orangtua, saudara, yang menderita penyakit seperti ini. c. Riwayat Perinatal Pertanyaan tentang masa perinatal penting ditanyakan ke orang tua baik keluhan ibu selama hamil, penggunaan obat-obatan selama kehamilan, alkohol, rokok dan penyakit-penyakit yang diidap ibu selama hamil.9 d. Riwayat Persalinan Masa persalinan juga dapat menetukan apakah ada faktor penyebab yang dimiliki anak. Dengan bertanya tentang cara persalinan, lamanya persalinan, apakah terjadi asfiksia, berat badan saat lahir, dan riwayat penyakit yang dialami anak seperti kuning, sesak nafas. Selain dari itu, riwayat menyusui dan imunisasi juga ditanyakan kepada keluarga.9 e. Masa Tumbuh Kembang Pertumbuhan dan perkembangan anak dapat dipengaruhi oleh epilepsi yang diderita oleh anak dan sebaliknya pertumbuhan dan perkembangan yang terhambat dapat menjadi faktor risiko terjadinya epilepsi. Untuk itu sangat
17
penting menanyakan tumbuh kembang anak apakah sesuai dengan milestone, bagaimana prestasi disekolah, kualitas tidur, dan kegiatan sehari-hari.9 f. Mengenai tindakan yang telah dilakukan untuk mengatasi kejang Riwayat perawatan dan pengobatan karena kejang. Perlu ditanyakan jenis obat yang diberikan berserta dosis, apakah pernah diganti dengan obat lain, apakah alasan diganti.9
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik pada penderita kejang diawali dengan observasi. Hal-hal yang diobservasi antara lain cara berjalannyaapakah normal, atau tampak kelemahan bahkan spastisitas pada salah satu atau kedua sisi.perlu pula diperhatikan interaksi dengan lingkungan, normal atau hiperaktif dan apakah perkembangan bicara sesuai dengam usia.9 Pemeriksaan fisik dilakukan pada semua sistem. Perlu diperhatikan apakah ada jaringan parut, perubahan warna kulit, adenoma sebaseum, haemangioma, asimetri, anomali kongenital. Pada kondisi akut, perhatikan: demam, penonjolan fontanel, kaku leher, ruam, penurunan kesadaran.9 Pemeriksaan neurologis yang perlu diperhatikan antara lain mata: ukuran dan reaksi pupil, lapangan pandang, nystagmus, funduskopi jika memungkinkan serta saraf kranial lainnya, kekuatan otot, serta tonus (hiper atau hipotonus) refleks apakah ada perbedaan antara kiri dengan kanan. Tanda-tanda keracunan obat, seperti ataksia, mengantuk, nystagmus.9
2.7.
Pemeriksaan Penunjang Selain dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, penegakan diagnosa epilepsi
juga tergantung dari pemeriksaan penunjang
yang dilakukan. Beberapa
pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita dengan kejang adalah sebagai berikut.9
18
1. Elektroensefalografi (EEG) Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua penderita epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling baik untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG, menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan adanya kemungkinan kelainan genetik atau metabolik.9 Perlu diingat bahwa tidak selalu gangguan fungsi otak dapat tercermin dalam gambaran EEG. EEG normal dapat dijumpai pada anak yang nyata-nyata ,menderita kelainan otak, dan sebaliknya EEG abnormal dapat dijumpai pada anak normal dan sehat. EEG abnormal ringan dan tidak khas terdapat pada 15 % populasi normal, dan kira-kira 10% penderita epilepsi mempunyai EEG normal.9 Untuk mendapatkan hasil EEG yang lebih positif perlu dilakukan beberapa prosedur aktivasi, misalnya tidur, hiperventilasi, stimulasi fotik, dan lain-lain. Aktivasi tidur akan memberikan hasil positif terutama pada penderita dengan epilepsi psikomotor (epilepsi lobus temporalis). Aktivasi hiperventilasi akan memberikan hasil positif terutama pada penderita epilepsi absence (petit mal). Stimulasi fotik akan memberikan hasil positif terutama pada penderita epilepsi centrencephalic. Ada jenis epilepsi yang timbil apajika ada rangsangan atau suara tertentu. Aktivasi dapat dilakukan dengan rangsangan yang sesuai, yang dapat menimbulkan epilepsi.9 Rekaman EEG dikatakan abnormal apajika terdapat : 1. Asimetri irama dan voltase gelombang pada derah yang sama di kedua hemisfer otak. 2. Irama gelombang tidak teratur. 3. Irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya misalnya gelombang delta.
19
4. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada amak normal, misalnya gelombamg tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksismal. Bentuk serangan epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas, misalnya spasme infantil mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal mempunyai gambaran EEG gelombang paku-ombak 3 siklus perdetik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku/tajam/lambat dan paku majemuk yang timbul secara serempak.9 2. Pemeriksaan Cairan Serebrospinal Cairan serebrospinal pada penderita epilepsi umumnya normal, pungsi lumbal dilakukan pada penderita yang diduga menderita meningitis. Pada penderita epilepsi dengan kelainan neurologis fokal dan tanda peningkatan tekanan intrakranial sangat berbahaya apajika dilakukan pungsi lumbal. Pada penderita dengan proses degeneratif pemeriksaan cairan serebrospinal dapat berguna untuk menegakkan diagnosis, misalnya pada Subaccute sclerosing panencephalitis (SSPE). Jika ditemukan zat anti terhadap morbili dalam cairan serebrospinal berarti penderita menderita SSPE.9 3. CT Scan Merupakan prosedur aman dan non invasif. Serangkaian gambar dari bagian horisontal tengkorak dan otak diambil dan disajikan dalam gambar anatomis yang akurat. Radiasi yang digunakan adalah dalam dosis rendah. Teknik ini dapat menunjukkan tumor, hemorrhage, subdural hematoma, anomali vaskular dan kelainan struktur lainnya.9 4. MRI MRI bekerja berdasarkan prinsip absorpsi dan emisi energi dalam range radiofrekuensi dari spektrum elektromagnetis. Tubuh manusia utamanya terdiri dari lemak dan air. Lemak dan air tersusun dari atom hidrogen. Tubuh manusia terdiri dari 63% atom hidrogen. Inti hidrogen
20
memiliki sinyal Nuclear Magnetic Resonance (NMR). Atas kerja inilah MRI mencitrakan sinyal NRM dari inti hidrogen. MRI menghasilkan gambar dalam potongan tipis
tubuh manusia. MRI telah banyak
membantu dalam penilaian Sistem Saraf Pusat.9
2.8.
Diagnosis Banding
1. Gangguan metabolik a. Hipoglikemia Kadar gula plasma < 45 mg/dl pada bayi atau anak-anak dengan atau tanpa gejala. Kadar gula plasma < 35 mg/dl pada neonatus aterm < 72 jam Kadar gula plasma < 25 mg/dl pada neonatus preterm dan KMK Ketika kadar glukosa dalam darah rendah, sel-sel dalam tubuh terutama otak, tidak menerima cukup glukosa dan akibatnya tidak dapat menghasilkan cukup energi untuk metabolisme dan dapat menimbulkan kejang yang dapat berakibat pada rusaknya sel-sel otak serta saraf dan sel-sel otak serta saraf yang rusak dapat menyebabkan cerebral palsy, retardasi mental, dll.18 Penyebab hipoglikemia pada anak : o Peningkatan pemakaian glukosa / hiperinsulin yaitu pada neonatus dari ibu penderita diabetes, besar masa kehamilan (BMK), neonatus yang menderita eritroblastosis fetalis,dll18 o Penurunan produksi/simpanan glukosa seperti pada bayi prematur, IUGR, Asupan kalori yang tidak adekuat, penundaan pemberian asupan(susu/minum), dll.18 o Peningkatan pemakaian glukosa dan atau penurunan produksi glukosa seperti pada stress perinatal, sepsis, syok, asfiksia, hipotermi, pasca resusitasi, dll.18
21
b. Hiponatremia - Kadar natrium serum < 120 mEq/L sering bergejala kejang, syok dan lethargi.8 - Hiponatremia dapat mengakibatkan penurunan kesadaran hingga koma, dan penderita juga dapat mengalami kejang, hemiparesis, ataksia, tremor, afasia dan gejala gangguan jaras kortikospinalis. Apajika disertai kejang, harus segera dilakukan koreksi natrium karena penderita mempunyai mortalitas yang tinggi.19 c. Hipomagnesemia -
Hypomagnesemia magnesium plasma
didefinisikan 10 kg = 10 mg) dosis maksimal adalah 10 mg/dosis.
-
Maksimal diberikan 2 kali dengan interval 5 menit.22
27
2. 5 – 10 menit -
Jika masih kejang, dapat diberikan diazepam rektal dalam dosis yang sama.
-
Lakukan pemasangan akses intravena sekaligus mengambil darah untuk pemeriksaan darah rutin, glukosa, dan elektrolit.
-
Jika masih kejang berikan diazepam 0,2 – 0,5 mg/kgbb secara intravena (kecepatan 5 mg/menit).22
3. 10 – 30 menit -
Pada waktu ini cenderung menjadi status konvulsifus
-
Berikan fenitoin 20mg/kg intravena dengan pengenceran setiap 10 mg fenitoin dengan 1 ml NaCl 0,9% dan diberikan dengan kecepatan 50mg/menit. Dosis maksimal adalah 1g fenitoin.
-
Jika kejang tidak berhenti diberikan fenobarbital 20mg/kg intravena bolus perlahan-lahan dengan kecepatan 100mg/menit. Dosis maksimal yang diberikan adalah 1000mg fenobarbital.
-
Jika kejang masih berlangsung diberikan midazolam 0,2mg/kg diberikan
bolu
perlahan
dilanjutkan
dengan
dosis
0,02-
0,06mg/kg/jam yang diberikan secara drip. Cairan dibuat dengan cara 15 mg midazolam berupa 3 ml midazolam diencerkan dengan 12 ml NaCl 0,9% menjadi 15 ml larutan dan diberikan perdrip dengan kecepatan 1ml/jam (1mg/jam).22 4. > 30 menit -
Jika kejang berhenti dengan pemberian fenitoin dan selama perawatan timbul kejang kembali, diberikan fenitoin tambahan dengan dosis 10mgkg intravena dengan pengenceran. Dosis rumatan fenitoin selanjutnya adalah 5 – 7 mg/kg intravena dengan pengenceran diberikan 12 jam kemudian
28
-
Jika kejang berhenti dengan fenobarbital dan selama perawatan timbul kejang kembali, diberikan fenobarbital tambahan dengan dosis 10mg/kg intravena secara bolus langsung. Dosis rumatan fenobarbital adalah 5 – 7 mg/kg intravena diberikan 12 jam kemudian.
-
Jika kejang berhenti dengan midazolam, maka rumatan fenitoin dan fenobarbital tetap diberikan.
-
Pemeriksaan laboratorium disesuaikan dengan kebutuhan seperti analisis gas darah, elektrolit, gula darah. Dilakukan koreksi terhadap kelainan yang ada dan awasi tanda-tanda depresi pernafasan.22
Terdapat perbedaan antara penatalaksanaan kejang dari beberapa negara dengan penatalaksanaan kejang di Indonesia. Dimana pada awal kejang, IDAI menyarankan untuk pemberian diazepam baru diikuti dengan pemberian fenitoin dan fenobarbital jika kejang tidak berhenti. Sebaliknya, menurut guideline epilepsi dari Indian Pediatrik mengatakan seperti yang tergambar dalam skema berikut.
29
Skema 2. Penatalaksanaan emergensi penderita kejang23
Kejang dapat terjadi lebih dari satu kali dan penyebab lain untuk kejang harus diidentifikasi sebelum dilakukannya pengobatan rutin antiepilepsi. Tujuan dari identifikasi ini adalah untuk mencegah serangan kejang lebih lanjut baik sepenuhnya ataupun untuk mengurangi frekuensi dan tingkat keparahan dengan sedikit mungkin efek samping.23 Obat antiepilepsi diberikan setiap hari selama bertahun-tahun atau terkadang seumur hidup sampai periode bebas kejang. Periode bebas kejang setidaknya dua tahun pada epilepsi idiopatik dan setidaknya tiga tahun pada epilepsi simtomatik. Setelah itu dosis dapat dikurangi secara bertahap selama berbulan-buln dan jika tidak kambuh lagi obat dapat dihentikan. Dalam kasus di mana epilepsi itu sangat berat sebelum pengobatan dimulai, atau jika terdapat lesi
30
otak, lebih baik untuk melanjutkan pengobatan lebih lama, karena kemungkinan kambuh dikemudian hari jauh lebih besar. Prinsip-prinsip bagaimana memulai pengobatan pada penderita yang baru didiagnosis diringkas sebagai berikut:9 -
Hati-hati dalam menegakkan diagnosis
-
Mulai pengobatan dengan satu jenis macam obat
-
Mulai pengobatan dengan dosis minimal
-
Naikkan dosis secara bertahap sampai kejang terkontrol. Dosis ini merupakan dosis minimum pemeliharaan.
-
Tujuan dari pengobatan adalah untuk mencapai dosis minimum pemeliharaan.
-
Pengobatan dengan menaikkan dosis secara bertahap menghasilkan terapi secepat inisiasi dengan dosis besar tetapi dengan efek samping minimum.
-
Efek samping berupa keracunan yang berat muncul pada awal pengobatan dengan dosis yang terlalu besar atau peningkatan terlalu cepat. Efek samping lainnya termasuk kelelahan, kebutuhan tidur yang berlebih, pusing, atau kesulitan belajar (ataksia).
-
Jika obat yang diberikan tidak ditoleransi dengan baik (efek samping timbul atau dosis maksimum tidak menghentikan kejang) maka obat digantikan dengan obat antikonvulsan lain yang juga lini pertama.
-
Antikonvulsan yang kedua harus ditambah secara bertahap dan antikonvusan pertama perlahan-lahan ditarik.
-
Dalam kasus acute withdrawal syndrom, kekambuhan kejang digunakan diazepam
-
Kepatuhan dalam meminum obat adalah kunci untuk mengontrol kejang dan konseling pada pada keluarga adalah faktor yang terpenting dalam kepatuhan9
31
Idealnya pemberian obat awal tergantung dari jenis epilepsi dan jenis yang terjadi. Tetap dalam prakteknya kembali kepada ketersediaan dan keterjangkauan obat. Karena pada awal kejadian kejang sulit menentukan jenis epilepsi yang terjadi, maka pengobatan biasanya dimulai sesuai dengan jenis kejang. Kejang yang umum terjadi adalah tonik-klonik. Terapi antiepilepsi yang digunakan untuk kejang ini ada empat jenis yang utama yakni fenobarbital, phenitoin, carbamazepin, dan valproate. Jika kita mampu membedakan antara kejang tonikklonik primer dan sekunder, maka fenobarbital atau valproate digunakan untuk kejang tonik-klonik primer dan phenitoin atau carbamazepin untuk kejang tonikklonik sekunder.23 1. Fenobarbital Fenobarbital merupakan obat antikonvulsan yang efektif dan murah, tetapi penggunaan fenobarbital tidak lagi dianjurkan pada negara maju. Jika obat jenis ini satu-satunya obat yang ada, maka pengobatan semua penderita epilepsi dimulai dengan fenobarbital. Tetapi jika tidak ada perbaikan atau bahkan kondisi menjadi lebih buruk, penderita dirujuk ke pusat kesehatan lain yang memiliki obat antikonvulsan jenis lain.9 Efek samping utama fenobarbital adalah mengantuk terutama selama minggu pertama pengobatan dan perlahan-lahan menghilang, dan hanya berulang ketika dosis menjadi terlalu tinggi. Pada beberapa anak mungkin terdapat penurunan kinerja belajar atau perubahan perilaku, seperti hiperaktif dan kadang-kadang agresif. Fenobarbital memiliki waktu paruh yang panjang dan oleh karena itu akan memakan waktu beberapa minggu sebelum mencapai tingkat terapeutik dan efektif. Ini juga berarti bahwa obat ini dapat diberikan hanya sekali sehari, sebaiknya setelah makan malam sebelum tidur.9 Indikasi utama adalah epilepsi umum idiopatik. Tetapi juga cukup efektif dalam kejang umum lainnya dan kejang parsial. Hal ini tidak efektif dalam absen umum, dan mungkin memperburuk kejang malam hari, karena akan meningkatkan tidur. Ini adalah obat pilihan
32
ketika pengobatan profilaksis yang ditunjukkan untuk kejang demam, namun jika diazepam rektal dapat dengan mudah diperoleh dengan harga yang wajar maka obat ini bukan merupakan pengobatan profilaksis.9 2. Fenitoin Phenitoin merupakan antikonvulsan yang sangat efektif untuk untuk kejang parsial, kejang tonik-klonik, dan kejang saat tidur. Tetapi phenitoin memiliki jarak yang kecil antara dosis terapeutik dan dosis toksik.9 Efek samping dari phenitoin adalah mengantuk, hipertropi gusi, dan hirsutisme. Jika dosis terlalu tinggi akan terjadi ataksia dan nistagmus. Jika gejala toksisitas telah muncul, dosis harus dihilangkan selama satu hari dan kemudian restart pada tingkat yang lebih rendah. Jika memungkinkan, mengganti obat ke antikonvulsan lain dapat dilakukan untuk mencegah kecelakaan lebih lanjut.9 Obat-obat dengan zat aktif yang sama banyak diproduksi dari pabrik yang berbeda. Dalam hal ini memungkinkan untuk terjadi perbedaan antara penyerapan obat satu dengan yang lainnya. Sebuah peningkatan dalam penyerapan dapat mengakibatkan efek toksik, sedangkan
menurunnya
sebuah
penyerapan
phenitoin
dapat
menyebabkan terulangnya kejang karena dosis terapeutik tidak tercapai.9
3. Carbamazepine Carbamazepine adalah obat yang dipasarkan setelah tahun 1960. Indikasi utama pemakaian carbamazepine adalah untuk kejang parsial kompleks. Tetapi juga efektif untuk kejang parsial lainnya dan untuk semua tonik-klonik. Hal ini tidak efektif untuk absen umum dan kejang mioklonik. Pada awal pengobatan biasanya akan terjadi efek seperti mengantuk dan pusing, dan terjadi lagi ketika dosis menjadi
33
terlalu tinggi. Efek samping lain ada juga penglihatan ganda dan ataksia. Obat ini tidak memiliki waktu paruh yang lama dan karena itu tidak dapat diberikan sekali sehari. Obat ini harus diberikan dua kali sehari dan jika dikombinasikan dengan obat lain harus diberikan tiga kali sehari.9
4. Valproate Valproatetelah dipasarkan sejak tahun 1966. Indikasi utama adalah absen umum, kejang mioklonik, dan serangan drop. Obat ini juga digunakan untuk kejang tonik-klonik. Jika perlu dapat digunakan untuk semua jenis kejang lainnya. Phenobarbitone tidak dapat digunakan sebagai profilaksis untuk kejang demam. Obat ini memiliki waktu paruh pendek. Walaupun farmakodinamik dalam sistem saraf pusat melebihi jumlah di serum, obat ini harus diberikan tiga kali sehari untuk menghindari konsentrasi puncak tinggi. Efek samping spesifik adalah peningkatan berat badan, rambut rontok, dan iritasi lambung.9 5. Diazepam Diazepam digunakan untuk status epileptikus dan kejang demam. Diazepam harus diberikan secara intravena, tetapi jika tidak dapat akses intravena maka pemberian melalui rektum diperbolehkan.9
34
Dosis yang diberikan untuk masing-masing obat dapat dilihat dalam tabel berikut.
Jenis Obat
Dosis (perhari)
Efek Samping
Fenobarbital
3-8 mg/kg
Hiperaktif, penurunan kinerja belajar, mengantuk
Fenitoin
5-15 mg/kg
Hipersutisme, ataxia,
Valparin
10-60 mg/kg
Mual, muntah, peningkatan berat badan, rambut rontok
Carbamazepine
10-30 mg/kg
Mengantuk, pusing
Tabel 1. Dosis obat-obat epilepsi23
2.10. Prognosis Prognosis dari epilepsi tergantung dari jenis epilepsi yang ada. Beberapa prognosis jenis epilepsi dijelaskan pada tabel berikut.
35
Gambar II.4. Prognosis Epilepsi9
36
BAB 3 PENUTUP 3.1
Kesimpulan Epilepsi adalah bangkitan kejang tanpa didahului demam yang
berfrekuensi lebih dari satu kali dengan interval waktu lebih dari 24 jam. Berdasarkan etiologi, epilepsi dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu, epilepsi simtomatik dan epilepsi idiopatik. Epilepsi dicetuskan oleh inaktivasi sinaps inhibisi atau oleh stimulasi berlebihan sinaps eksitasi atau perubahan keseimbangan neurotransmitter. Faktor risiko yang diketahui dapat meningkatkan insiden epilepsi adalah kelainan kongenital pada sistem saraf pusat, trauma kepala sedang dan berat, infeksi cairan serebro-spinal, gangguan metabolik bawaan, dan faktor genetik. Faktor ini dapat dikelompokkan menjadi faktor prenatal, natal, postnatal, dan faktor herediter. Diagnosis epilepsi ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan, fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang paling sensitif adalah elekroensefalografi (EEG). Penatalaksanaan epilepsi pada saat terjadi bangkitan kejang adalah sama dengan penatalaksaan kejang anak pada umumnya. Perbedaan terletak pada pengobatan jangka panjang yaitu sampai dua tahun periode bebas kejang.
3.2
Saran Diharapkan tenaga kesehatan dapat mendiagnosis epilepsi secara dini
sehingga dapat melakukan tata laksana secara tepat. Selain itu, diperlukan edukasi kepada keluarga mengenai epilepsi sehingga keluarga dapat berpartisipasi aktif dalam pengobatan penderita.
37
DAFTAR PUSTAKA 1. Shinnar S, Pellock JM. Update on the Epidemiology and Prognosis of Pediatric Epilepsy. J Child Neurol. 2002; 17:S4—S17. 2. WHO. Epilepsy. Diakses di http://www.who.int/mediacentre/ factsheets/fs999/en/ pada 10 April 2014 pukul 20.15 WIB. 3. Cowan LD. The epidemiology of the epilepsies in children. Ment Retard Dev Disabil Res Rev. 2002;8(3):171-81. 4. Friedman MJ, Ghazala QS. Seizure in children. In Taheri PA, Naseri M, Lahooti M, Sadeghi M. The Life Time Prevalence of Chilhood Seizure. Iranian J Publ Health. 2009 Jan; 28(1):69-73. 5. Mandal A. Epilepsy Epidemiology. Diakses di http://www.newsmedical.net/health/Epilepsy-Epidemiology.aspx pada 10 April 2014 pukul 19.05 WIB. 6. CDC. Targeting Epilepsy Improving the Lives of People One of The Nation’s Most Common Neurological Conditions. At a Glance. 2011; 1-4. 7. Soetamenggolo TS, Sofyan I. Kelainan Paroksismal dalam Buku Ajar Neurologi anak. IDAI;(10):190. 8. Kliegman RM, Behrman, Richard E, Jenson. Nelson Textbook of Pediatric, 18th ed. 2007. 9. WHO. Epilepsy:Manual
For
Medical
and
Clinical
Officer
in
Africa.Geneva;2002;3-4 10. Major P, Thiele EA. Seizure in children: laboratory, diagnosis, and management. Pediatri Rev 2007;28:405-14. 11. Shorvon S. Definition and Epidemiology in Handbook of Epilepsy Treatment. Ed.3 2010:1-2. 12. Suwarba, IGNM. Insidens dan Karakteristik Klinis Epilepsi Pada Anak. Saripediatri. Vol.13;2;2011;123-28. 13. Risan NA. Aspek Genetik Pada Epilepsi dalam PIKAB VII Tatalaksana Terkini di Bidang Nefrologi, Neuropediatri dan Respirologi untuk Meningkatkan Kualitas Hidup Anak dari Ilmu Dasar ke Aplikasi Klinis. (ed) Garna H. 2009; 93-99. 14. Raharjo TB. Faktor-Faktor Risiko Epilepsi pada Anak Dibawah Usia 6 Tahun.Tesis, Magister Biomedik dan Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Saraf Universitas Diponegoro Semarang. 2002.
38
15. Ropper A. Brown R. Adam And Victor’s Principle of Neurology. In Epilepsy And Other Seizure Disorders. 2005; 285-86. 16. Engelborghs S, D’hooge R, Deyn PPD. Pathophysiology of Epilepsy. J Acta Neurol. 2000; (100):210-13. 17. Sunaryo U. Diagnosis Epilepsi dalam Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma. 2007;1:1 18. IDAI. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Indonesia. (Ed) Antonius HP, Badriul H, Septio H, Nikmah SI, Ellen PG, Eva DH. Jil.1. 2010. 19. Weiner HL. Buku Saku Neurologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2001: 227. 20. Hardjono DP, Widodo DP, Ismael S. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2006; 1-7. 21. Nanan S, Rachmadi D, Hilmanto D. Tatalaksana Hipertensi pada anak. Jakarta:Unit Kerja Koordinasi Nefrologi. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011; 11. 22. WHO, Depkes RI. Tatalaksana Kejang dalam Pelayanan Kesehatan Anak di rumah Sakit: Pedoman bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. 2008. Hal:16-17. 23. Naek N. Guideline for Diagnosis and Management of Childhood Epilepsy. Indian Pediatric. 2007;46:683.
39
View more...
Comments