EPILEPSI INTRAKTABEL
November 20, 2017 | Author: putrideas | Category: N/A
Short Description
fhh...
Description
Laporan Kasus
EPILEPSI INTRAKTABEL
Oleh:
Taufik Sofistiawan NIM 1508434478 Pembimbing :
Dr. dr. Dewi A. Wisnumurti, Sp.A (K) IBCLC
KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU RSUD ARIFIN ACHMAD PROVINSI RIAU 2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan Epilepsi intraktabel merupakan penyakit neurologi kronik yang muncul pada masa anak-anak akan mempengaruhi kualitas tumbuh kembang dan potensi anak
0
di masa depan.1 Hal tersebut ditandai dengan menetapnya serangan epilepsi setelah diberi pengobatan kombinasi obat anti epilepsi (OAE) dengan dosis tolerasi maksimal. epilepsi refrakter ditandai dengan frekuensi serangan setidaknya 1 kali dalam 1 bulan selama 2 tahun berturut-turut. 2 Dalam waktu 2 tahun tersebut penderita pernah menerima OAE yang berbeda baik berupa monoterapi atau kombinasi.3 Lebih dari 50 juta orang di seluruh dunia menderita epilepsi dengan 20-30% dari seluruh pasien mengalami resistensi OAE, terutama terjadi pada bayi dan anak-anak.4 Epilepsi intraktabel muncul diduga akibat beberapa keadaan, diantaranya kerusakan otak akibat asfiksia, infeksi kongenital, malformasi otak, dan gangguan metabolik. Hal lain yang berkaitan dengan terjadinya epilepsi intraktabel yakni faktor genetik, diduga akibat berlebihnya ekspresi protein resistensi obat anti epilepsi (OAE).5 Selain itu, kekeliruan dalam menegakkan diagnosis, menentukan klasifikasi maupun jenis serangan epilepsi, pemilihan jenis dan dosis OAE yang tidak tepat, adanya kormobiditas, dan ketidakteraturan penderita meminum OAE dapat pula mendorong terjadinya epilepsi intraktabel.6 Prinsip umum manajemen epilepsi intraktabel didahului dengan meninjau kembali riwayat epilepsi yang terjadi dan menilai tipe kejang berdasarkan gejala klinis dan melalui gambaran elektroensefalografi. Pada keadaan tertentu, gambaran otak dengan MRI dapat dianjurkan untuk mencari kelainan struktural pada otak. Pilihan OAE didasari atas jenis OAE yang digunakan sebelumnya. Jika epilepsi masih berlanjut dengan dosis tolerasi maksimal dari pemberian 1
monoterapi OAE lini pertama, maka dapat dipilih terapi kombinasi jenis OAE lini pertama yang lain dengan dosis optimal. Namun, jika dengan kombinasi 2 OAE lini pertama tidak memberikan perubahan, dapat dipikirkan untuk mengganti dengan jenis OAE lini kedua. Terapi dengan OAE lini kedua dapat menurunkan kemungkinan terjadinya bangkitan kejang sebesar 20-50%.7 Anak dengan epilepsi intraktabel yang mengalami kegagalan terapi OAE, perlu dipikirkan untuk menjalani terapi diet ketogenik. Terapi ini dilaporkan sama atau bahkan lebih efektif dibandingkan OAE. Diet ketogenik ini terdiri dari makanan tinggi lemak dan sedikit kandungan karbohidrat dan protein. Sepertiga hingga setengah anak dengan epilepsi intraktabel memberikan respon yang memuaskan dengan terapi diet ketogenik. 8 Prinsip dasar diet ketogenik ini ialah penggunaan badan keton sebagai sumber energi utama otak yang terjadi akibat terbentuknya ketosis pada saat otak kekurangan glukosa sebagai sumber energi.9 Anak dengan epilepsi didapatkan 40% memiliki kelainan lain berupa mikrosefali. Hal tersebut dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya epilepsi intraktabel dan keterlambatan atau gangguan perkembangan pada anak. Angka mortalitas epilepsi intraktabel 2 sampai 5 kali lebih tinggi dibanding epilepsi secara umum. sementara insidensi kematian mendadak pada epilepsi intraktabel dilaporkan 1 per 100 orang pertahun, dengan penyebab kematian tersering ialah pneumonia aspirasi.6
2
Genetik konseling dan pemeriksaan gen sudah lama diaplikasikan di Amerika. Pemeriksaan gen dapat menemukan secara spesifik mutasi gen yang berperan dalam terjadinya epilepsi, dan untuk mengetahui apakah terdapat jenis ekspresi protein resistensi OAE yang berlebih, dengan menganalisa DNA dari sampel darah.10 Identifikasi penyebab epilepsi secara genetik sangat penting dalam menentukan pilihan terapi dan dapat memberikan infomasi dan mengidentifikasi anggota keluarga yang beresiko menderita epilepsi atau kemungkinan akan mengalami
epilepsi
intraktabel,
mengingat
epilepsi
intraktabel
dapat
menimbulkan dampak yang luas dan kompleks yang berkaitan dengan aspek medik dan psikososial, dan dapat menimbulkan gangguan neurologi maupun masalah kesehatan lain yang mungkin akan dialami penderita di kemudian hari.11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Epilepsi intraktabel merupakan penyakit neurologi kronik yang muncul pada masa anak-anak akan mempengaruhi kualitas tumbuh kembang dan potensi anak di masa depan.1 Hal tersebut ditandai dengan menetapnya serangan epilepsi setelah 3
diberi pengobatan kombinasi obat anti epilepsi (OAE) dengan dosis tolerasi maksimal. epilepsi refrakter ditandai dengan frekuensi serangan setidaknya 1 kali dalam 1 bulan selama 2 tahun berturut-turut.2 Dalam waktu 2 tahun tersebut penderita pernah menerima OAE yang berbeda baik berupa monoterapi atau kombinasi.3 Epidemiologi Lebih dari 50 juta orang di seluruh dunia menderita epilepsi dengan 20-30% dari seluruh pasien mengalami resistensi OAE, terutama terjadi pada bayi dan anak-anak. Angka mortalitas epilepsi intraktabel 2 sampai 5 kali lebih tinggi dibanding epilepsi secara umum. sementara insidensi kematian mendadak pada epilepsi intraktabel dilaporkan 1 per 100 orang pertahun, dengan penyebab kematian tersering ialah pneumonia aspirasi.4 Etiologi Epilepsi intraktabel muncul diduga akibat beberapa keadaan, diantaranya kerusakan otak akibat asfiksia, infeksi kongenital, malformasi otak, dan gangguan metabolik. Hal lain yang berkaitan dengan terjadinya epilepsi intraktabel yakni faktor genetik, diduga akibat berlebihnya ekspresi protein resistensi obat anti epilepsi (OAE).5 Selain itu, kekeliruan dalam menegakkan diagnosis, menentukan klasifikasi maupun jenis serangan epilepsi, pemilihan jenis dan doais OAE yang tidak tepat, adanya kormobiditas, dan ketidakteraturan penderita meminum OAE dapat pula mendorong terjadinya epilepsi intraktabel.6
4
Patofisiologi Telah diketahui bahwa neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena adanya perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinaps dengan neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang akson, untuk merangsang atau menghambat neuron lain. Patofisiologi utama terjadinya epilepsi meliputi mekanisme yang terlibat dalam munculnya kejang (iktogenesis), dan juga mekanisme yang terlibat dalam perubahan otak yang normal menjadi otak yang mudah-kejang (epileptogenesis). 1. Mekanisme iktogenesis Hipereksitasi adalah faktor utama terjadinya iktogenesis. Eksitasi yang berlebihan dapat berasal dari neuron itu sendiri, lingkungan neuron, atau jaringan neuron. -
Sifat eksitasi dari neuron sendiri dapat timbul akibat adanya perubahan fungsional dan struktural pada membran postsinaptik; perubahan pada tipe, jumlah, dan distribusi kanal ion gerbang-voltase dan gerbangligan; atau perubahan biokimiawi pada reseptor yang meningkatkan permeabilitas
5
terhadap Ca2+,
mendukung perkembangan depolarisasi berkepanjangan
yang mengawali kejang. -
Sifat eksitasi yang timbul dari lingkungan neuron dapat berasal dari perubahan fisiologis dan struktural. Perubahan fisiologis meliputi perubahan konsentrasi ion, perubahan metabolik, dan kadar neurotransmitter. Perubahan struktural dapat terjadi pada neuron dan sel glia. Konsentrasi Ca2+ ekstraseluler menurun sebanyak 85% selama kejang, yang mendahului perubahan pada konsentasi K2+. Bagaimanapun, kadar Ca2+ lebih cepat kembali normal daripada kadar K2+.
-
Perubahan pada jaringan neuron dapat memudahkan sifat eksitasi di sepanjang sel granul akson pada girus dentata; kehilangan neuron inhibisi; atau kehilangan neuron eksitasi yang diperlukan untuk aktivasi neuron inhibisi.
2. Mekanisme epileptogenesis -
Mekanisme
nonsinaptik
Perubahan
konsentrasi
ion
terlihat
selama
hipereksitasi, peningkatan kadar K2+ ekstrasel atau penurunan kadar Ca2+ ekstrasel. Kegagalan pompa Na+ -K+ akibat hipoksia atau iskemia diketahui menyebabkan epileptogenesis, dan keikutsertaan angkutan Cl- -K+ , yang mengatur kadar Cl- intrasel dan aliran Cl- inhibisi yang diaktivasi oleh
6
GABA, dapat menimbulkan peningkatan eksitasi. Sifat eksitasi dari ujung sinaps bergantung pada lamanya depolarisasi dan jumlah neurotransmitter yang dilepaskan. Keselarasan rentetan ujung runcing abnormal pada cabang akson di sel penggantian talamokortikal memainkan peran penting pada epileptogenesis. -
Mekanisme sinaptik Patofisiologi sinaptik utama dari epilepsi melibatkan penurunan inhibisi GABA dan peningkatan eksitasi glutamatergik. Kadar GABA yang menunjukkan penurunan pada CSS (cairan serebrospinal) pasien dengan jenis epilepsi tertentu, dan pada potongan jaringan epileptik dari pasien dengan epilepsi yang resisten terhadap obat, memperkirakan bahwa pasien ini mengalami penurunan inhibisi. Rekaman hipokampus dari otak manusia yang sadar menunjukkan peningkatan kadar glutamat ekstrasel yang terus-menerus selama dan mendahului kejang. Kadar GABA tetap rendah pada hipokampus yang epileptogenetik, tapi selama kejang, konsentrasi GABA meningkat, meskipun pada kebanyakan hipokampus yang nonepileptogenetik. Hal ini mengarah pada peningkatan toksik di glutamat ekstrasel akibat penurunan inhibisi di daerah yang epileptogenetik.
Diagnosis Epilepsi dapat ditegakkan setelah pasien mengalami dua atau lebih kejang yang tidak dipicu . Diagnosis pasti dapat ditegakkan hanya jika kejang terjadi selama perekaman EEG atau jika muatan listrik dapat dihubungkan dengan tanda dan gejala pasien. Oleh
7
karena itu, diagnosis kejang tetap yang paling utama. Diagnosis epilepsi merupakan masalah tersendiri karena membuat diagnosis epilepsi secara rutin memerlukan pengetahuan klinis dan keterampilan yang khusus. Pada kebanyakan pasien epilepsi, diagnosis dapat dibuat dengan mengetahui secara lengkap riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan neurologi, pemeriksaan elektroensefalografi, dan pencitraan otak. 1. Anamnesis Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Anamnesis dapat berupa autoanamnesis maupun aloanamnesis, meliputi: a. Pola atau bentuk serangan b. Lama serangan c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan d. Frekuensi serangan Universitas Sumatera Utara e. Faktor pencetus f. Ada tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang g. Usia saat serangan pertama h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
8
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga 2. Pemeriksaan fisik dan neurologi Melihat adanya tanda-tanda infeksi, seperti demam, infeksi telinga, tanda meningeal, atau bukti adanya trauma kepala. Pemeriksaan fisikk harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak, pemeriksa
harus
memperhatikan
adanya
keterlambatan
perkembangan,
organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh yang dapat menunjukkan awal gangguan pertumubuhan otak unilateral. Pemeriksaan neurologis lengkap dan rinci adalah penting, khususnya untuk mencari tanda-tanda fokal atau lateral. 3. Pemeriksaan penunjang a. Elektroensefalografi (EEG) Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk menegakkan diagnosis epilepsi dan tipe kejang lainnya yang tepat dan bahkan sindrom epilepsi. EEG juga dapat membantu pemilihan obat anti epilepsi dan prediksi prognosis pasien. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman pada waktu sadar dalam keadaan istirahat dan pada waktu tidur. Gambaran EEG pasien epilepsi menunjukkan gambaran epileptiform, misalnya gelombang 9
tajam (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksismal. b. Pemeriksaan radiologis Pemeriksaan
yang
dikenal
dengan
istilah
pencitraan
otak
(neuroimaging) bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Pada pencitraan struktural, MRI merupakan pilihan utama, lebih unggul dibandingkan CT scan, karena MRI dapat mendeteksi dan menggambarkan lesi epileptogenik. Pencitraan fungsional seperti Single Photon Emission Computerised Tomography (SPECT), Positron Emission Tomography (PET), dan MRI fungsional digunakan lebih lanjut untuk menentukan lokasi lesi epileptogenik sebelum pembedahan jika pencitraan struktural meragukan. MRI fungsional juga dapat membantu menentukan lokasi area fungsional spesifik sebelum pembedahan.
Tatalaksana Prinsip umum manajemen epilepsi intraktabel didahului dengan meninjau kembali riwayat epilepsi yang terjadi dan menilai tipe kejang berdasarkan gejala klinis dan melalui gambaran elektroensefalografi. Pada keadaan tertentu, gambaran otak dengan MRI dapat dianjurkan untuk mencari kelainan struktural pada otak. Pilihan OAE didasari atas jenis OAE yang digunakan sebelumnya. Jika epilepsi
10
masih berlanjut dengan dosis tolerasi maksimal dari pemberian monoterapi OAE lini pertama, maka dapat dipilih terapi kombinasi jenis OAE lini pertama yang lain dengan dosis optimal. Namun, jika dengan kombinasi 2 OAE lini pertama tidak memberikan perubahan, dapat dipikirkan untuk mengganti dengan jenis OAE lini kedua. Terapi dengan OAE lini kedua dapat menurunkan kemungkinan terjadinya bangkitan kejang sebesar 20-50%.7 Anak dengan epilepsi intraktabel yang mengalami kegagalan terapi OAE, perlu dipikirkan untuk menjalani terapi diet ketogenik. Terapi ini dilaporkan sama atau bahkan lebi efektif dibandingkan OAE. Diet ketogenik ini terdiri dari makanan tinggi lemak dan sedikit kandungan karbohidrat dan protein. Sepertiga hingga setengah anak dengan epilepsi intraktabel memberikan respon yang memuaskan dengan terapi diet ketogenik. 8 Prinsip dasar diet ketogenik ini ialah penggunaan badan keton sebagai sumber energi utama otak yang terjadi akibat terbentuknya ketosis pada saat otak kekurangan glukosa sebagai sumber energi.9 Prognosis Anak dengan epilepsi didapatkan 40% memiliki kelainan lain berupa mikrosefali. Hal tersebut dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya epilepsi intraktabel dan keterlambatan atau gangguan perkembangan pada anak. Angka mortalitas epilepsi intraktabel 2 sampai 5 kali lebih tinggi dibanding epilepsi secara umum. sementara insidensi kematian mendadak pada epilepsi intraktabel dilaporkan
11
1 per 100 orang pertahun, dengan penyebab kematian tersering ialah pneumonia aspirasi.6
BAB III LAPORAN KASUS Identitas pasien Nama Pasien Umur Jenis Kelamin Agama
: An. NR : 4 bulan : Laki-Laki : Kristen 12
Suku Tanggal masuk RS Alamat
: Batak : 25 Agustus 2016 : Jl. Singsingamangaraja No 78, Bangkinang, Kampar
Anamnesis Diberikan Oleh : Ibu kandung pasien Keluhan Utama Sesak napas yang memberat 2 hari SMRS Riwayat Penyakit Sekarang
2 minggu SMRS pasien dikeluhkan sesak napas. Sesah dirasakan tiba-tiba tanpa dipicu perubahan cuaca ataupun makanan. Sesak terus menerus dan tidak hilang dengan perubahan posisi. Sesak memberat jika pasien menangis dan dirasakan hampir setiap waktu hingga pasien sulit tidur. Sesak tidak disertai dengan demam.
1 minggu SMRS pasien dikeluhkan batuk. Batuk berdahak tetapi dahak sulit dikeluarkan. Batuk tidak disertai pilek dan demam. Batuk semakin sering hingga membuat pasien bertambah sesak. Ketika menangis pasien terlihat membiru. Pasien juga menjadi lebih cepat melepas susu ibunya ketika menyusu.
3 hari SMRS pasien mengalami batuk, batuk tidak berdahak, tidak disertai darah, batuk dirasakan semakin memberat saat pasien menangis, keluhan batuk juga disertai suara yang menjadi serak. Pasien juga tidak mau makan sejak keluhan batuk muncul.
Pasien mengalami kejang 2 jam SMRS. Kejang dimulai dari tangan dan kaki pasien yang tampak menegang dan kaku, lalu tampak mulut pasien mencucu, kening mengkerut, mata terbuka dan melihat keatas, tangan menggenggam dan seluruh badan tampak kaku. Lama kejang ± 10 menit. Selama bangkitan kejang, pasien tidak menoleh saat dipanggil oleh ibunya. Setelah kejang selesai, pasien sadar kembali dan tampak lemas. Setelah kejang, pasien sadar kembali. Pasien tidak ada terjatuh ataupun memiliki riwayat trauma sebelumnya. 13
Riwayat Penyakit Dahulu
Sejak lahir pasien tidak pernah tanggap ketika dipanggil dan mata pasien selalu terlihat melihat kearah atas dan disertai kejang-kejang tetapi tidak demam. Pasien sdah dibawa berobat ke spesialis anak dan dilakukan pemeriksaan EEG dan dikatakan anak memiliki gelombang kejang. Pasien lalu diberikan obat kejang yaitu Depaken dan keluhan tidak hilang. Saat ini pasien diberikan obat Trileptal. Riwayat biru sejak lahir disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga Terdapat riwayat kejang demam yang dialami oleh abang kandung pasien pada usia 2 tahun. Abang pasien tidak pernah dikeluhkan menderita penyakit jantung bawaan. Riwayat Orangtua Pekerjaan ayah pasien Polisi, ibu sebagai IRT . Riwayat Kehamilan
Pasien lahir cukup bulan, secara spontan di rumah sakit Bangkinang, BBL 3.200 gram, PB 55 cm, lahir langsung menangis, suntik Vitamin K (+)
Ibu pasien rutin memeriksakan kehamilan ke dokter kandungan. Riwayat mengkonsumsi alkohol (-), obat-obatan (-), merokok (-), jamu-jamuan (-),
Ibu tidak ada riwayat demam selama kehamilan.
Riwayat Makan Dan Minum
Saat ini masih mengkonsumsi ASI eksklusif
Riwayat Imunisasi
Hepatitis B 3x BCG 1x Polio 4x DPT 4x Campak 1x
Riwayat pertumbuhan fisik
BBL: 3200 BBS: 6600
PBL: 48 cm PBS: 55 cm
Kesan: pertumbuhan fisik sesuai umur 14
Riwayat Perkembangan
Usia saat ini 4 bulan, pasien tidak merespon ketika dipanggil, kepalan tangan masih tertutup dan kepalantangan masih menutup.
Kesan: perkembangan tidak sesuai umur Keadaan Perumahan dan Tempat Tinggal Pasien tinggal di rumah permanen, ventilasi cukup, lingkungan cukup bersih. Sumber air minum : air galon Sumber air MCK : sumber bor berbau kecut PEMERIKSAAN FISIK Status Generalis
Keadaan umum : tampak sakit berat. Kesadaran : tidak tanggap Vital Sign : Nadi : 140x/i reguler, cukup Nafas : 31x/i, reguler Suhu : 37,8oC PB : 55 cm BB : 6.6 kg LILA : 11 cm Lingkar kepala : 40 cm (microsefal) Status gizi : Berat Badan menurut Umur :% Tinggi Badan menurut Umur :% Berat Badan menurut Tinggi Badan :% BMI :% Kesan : Gizi Baik Kulit : Pucat (-), sianosis (-), ikterik (-) Kepala : UUB belum menutup, LK 40 cm, microsefal. Rambut : Hitam, lurus, tidak mudah dicabut. Mata - Konjungtiva : Anemis (-/-) - Sclera : Tidak ikterik - Pupil : Bulat, isokhor Ɵ 3 mm/ 3 mm - Reflek cahaya : +/+
15
Mulut
: faring tampak hiperemis, eksudat (-), ptekiae palatum
(-), edema vulva (-) Telinga : Sekret -/Hidung : Sekret -/-, tidak ada tanda-tanda perdarahan Pemeriksaan leher : - pembesaran KGB tidak ada - Kaku kuduk tidak ditemukan. Pemeriksaan Thoraks : - Paru : Inspeksi gerakan dada simetris kiri dankanan,retraksi(-) Perkusi sonor seluruh lapangan paru Auskultasi bronkhovesikuler, ronki-/-, wheezing -/- Jantung : Inspeksi ictus cordis tidak terlihat Auskultasi bunyi jantung normal, bising jantung (-).
Pemeriksaan Abdomen : - Inspeksi datar, distensi (-), venektasi (-) - Palpasi supel, organomegali (-) - Perkusi tympani - Auskultasi bising usus (+), normal. Pemeriksaan alat kelamin : perempuan, dalam batas normal Pemeriksaan Ekstremitas : CRT < 3 detik, akral dingin. STATUS NEUROLOGIS Tanda Rangsang meningeal : kaku kuduk (-), burdzinski I (-), burdzinski II (-), kernique (-), laseque (-) Refleks Patologis : Babinski (-) Openheim (-) Refleks fisiologis : Refleks biseps +/+ Refleks triseps +/+ Refleks patella +/+ Refleks achilles +/+ Hal-hal Penting dari Anamnesis
Sesak sejak 2 minggu SMRS. sesak terus menerus Kejang 2 jam smrs selama ± 10 menit
Hal-hal Penting dari Pemeriksaan Fisik Kesadaran composmentis, suhu: 37,80C, faring hiperemis, rangsang meningeal (-), refleks fisiologis (+), refleks patologis (-). PEMERIKSAAN LABORATORIUM 1. Laboratorium lengkap 16
Pemeriksaan tanggal ( 25 / 08 / 2016 ) Darah rutin Leukosit
: 11,18 x 103/uL
Eritrosit
: 5,19 x 106/uL
Hb
: 12,8 g/dL
Hematokrit : 35,8 % MCV
: 78,67
MCH
: 24,36
MCHC
: 30,97
Trombosit
: 473 x 103
Diagnosis Kerja: Dispneu ec. Bronkopneumoni Epilepsi intractable Diagnosis Gizi Gizi baik Diagnosis Banding : APCD Meningoensepalitis Rencana Pemeriksaan Lanjutan Pemeriksaan Elektrolit Pemeriksaan CT-Scan Kepala Penatalaksanaan Medikamentosa IVFD D5 ½ NS+ KCl 5 meq 6tpm Ceftriaxon 2 x 600 mg Prognosis Quo ad vitam : dubia Quo ad fungsionam : dubia
17
BAB IV PEMBAHASAN KASUS Epilepsi intraktabel yang dialami anak pada laporan kasus ini merupakan keadaan yang paling sering terjadi pada bayi dan anak-anak yang menderita epilepsi. Faktor risiko terjadinya epilepsi intraktabel pada kasus ini dapat dipikirkan suatu kelainan genetik dan malformasi otak. Anak pada laporan kasus ini mengalami epilepsi intraktabel diduga akibat berlebihnya ekspresi protein dari gen resistensi obat anti epilepsi, diketahui terdapat multi drug resistance gene-1-p-glicoprotein (MDR1), multi drug resistance associated proteins (MRP1 & MRP2) dan major vault protein (MVP). Berlebihnya ekspresi protein tersebut menyebabkan terjadinya penurunan efektifitas obat anti epilepsi di area target.4 Berdasarkan penemuan klinis anak pada laporan kasus ini, didapatkan anak mengalami mikrosefali. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Amerika didapatkan bahwa sebesar 58% anak yang lahir dengan mikrosefali mengalami epilepsi intraktabel. Pada keadaan dimana otak mengalami hambatan dalam berkembang atau bahkan samasekali tidak berkembang, maka hal tersebut dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya epilepsi intraktabel dan keterlambatan atau gangguan perkembangan pada anak.7
18
Berdasarkan riwayat pengobatan epilepsi yang dialami oleh anak pada laporan kasus ini, didapatkan anak mengalami kegagalan terapi dengan obat anti epilepsi lini pertama. Berdasarkan prosedur manajemen epilepsi intraktabel, pemberian obat anti epilepsi lini kedua dapat dipikirkan setelah pemberian monoterapi maupun kombinasi obat anti epilepsi lini pertama tidak menunjukkan perubahan. Terapi dengan obat anti epilepsi lini kedua dapat menurunkan kemungkinan terjadinya bangkitan kejang sebesar 20-50%.6 Pilihan terapi yang mulai banyak digunakan saat ini ialah terapi diet ketogenik. Terapi ini dilaporkan sama atau bahkan lebih efektif dibandingkan OAE. Diet ketogenik ini terdiri dari makanan tinggi lemak dan sedikit kandungan karbohidrat dan protein. Sepertiga hingga setengah anak dengan epilepsi intraktabel memberikan respon yang memuaskan dengan terapi diet ketogenik. Prinsip dasar diet ketogenik ini ialah penggunaan badan keton sebagai sumber energi utama otak yang terjadi akibat terbentuknya ketosis pada saat otak kekurangan glukosa sebagai sumber energi.9 Mortalitas dan morbiditas anak dengan epilepsi intraktabel cukup tinggi. Angka mortalitas epilepsi intraktabel 2 sampai 5 kali lebih tinggi dibanding epilepsi secara umum. Sementara insidensi kematian mendadak pada epilepsi intraktabel dilaporkan 1 per 100 orang pertahun, dengan penyebab kematian tersering ialah pneumonia aspirasi. Dengan demikian, edukasi kepada orangtua perlu dilakukan dengan memberikan gambaran dampak yang luas dan kompleks yang berkaitan dengan aspek
19
medik dan psikososial, dan dapat menimbulkan gangguan neurologi maupun masalah kesehatan lain yang mungkin akan dialami penderita di kemudian hari.9
DAFTAR PUSTAKA
1.
Krumhalz A. Intractable epilepsy: new option in 2012. Amerika: Department of Neurology University of Marylard School of Medicine; 2012. hlm. 1–62.
2.
Harsono. Epilepsi refrakter. B.I. Ked.1996;28(3):147–53.
3.
Ghofrani M, Akhondran J. Intractable epilepsy in children. Iran J child neurology. 2010;4(3):7–14.
4.
Laxer KD, Trinka E, Hirsch LJ, Cendes F, Langfitt J, Delanty N, et al. The consequences of refractory epilepsy and its treatment. Br Med J. 2014;37(1):59–70.
5.
Harsono. Terapi epilepsi. B.I. Ked. 1995;27(2):109–13.
6.
Ashwal S, Michelson D, Flawner L, Dobyns WB. Practice parameter: evaluation of the child with microcephaly. Neurology. 2009;73(15):887–97.
7.
Triono A, Herini ES. Faktor prognostik kegagalan terapi epilepsi pada anak dengan monoterapi. Sari pediatri. 2014;16(4):284–89.
8.
Terra VC. Scorza FA, Arida RM, Fernandes MF, Ana LW, Machado HR, Sakamoto AC. Mortality in children with severe epilepsy. Arq Neuropsiquiatr. 2011;69(5):766–69.
9.
Gupta V, Gupta R. Intratable epilepsy. Jk Practitioner. 2005;12(2):105–7.
10.
Epilepsy and genetics. Amerika: International League Againts Epilepsy; 2013. hlm. 1–3.
20
11.
Genetic testing for epilepsy. Amerika: DNA Diagnostic Experts of The National Institutes of Health;2012. hlm. 1–9.
21
View more...
Comments