Empati-hubungan Antar Manusia Dan Kesehatan Jiwa-mental
November 13, 2018 | Author: AVG2011 | Category: N/A
Short Description
modul ebp3kh...
Description
EMPATI, HUBUNGAN ANTAR MANUSIA dan KESEHATAN JIWA / MENTAL (revisi 2010) dr. Lukas Mangindaan, SpKJ Bagian Psikiatri FKUI / RSUPCM
PENDAHULUAN HUMANIORA (THE HUMANITIES)
Ilmu Kedokteran adalah salah satu cabang dari humaniora (the (the humanities) humanities). Humaniora adalah
kumpulan pembelajaran yang berhubungan dangan buah pikiran dan hubungan antar manusia (human thoughts and relations ). Bidang Bidang lain yang juga juga termasuk dalam humaniora adalah: teologi, filsafat, ilmu sejarah, filologi, ilmu bahasa, kesusasteraan, kesenian, psikologi, ilmu sosial. Semua cabang dari humaniora mempunyai persamaan dalam tujuan, yaitu untuk membantu manusia agar bersifat lebih manusiawi dan lebih beradab
Humaniora bersifat plastis, jadi humaniora berbeda dengan ilmu murni ( pure pure sciences sciences ) misalnya matematika atau fisika murni, karena bersifat pasti / absolut Ciri khas dari humaniora secara lebih rinci dijelaskan oleh Danner Clouser dalam tulisannya: Humanities in Medical Education: some Contributions 3, 8 ia mengusulkan perlu adanya five qualities of mind yang sepantasnya dimiliki oleh seorang dokter, sebagai anggota masyarakat modern dan beradab.
Ke lima qualities of mind itu adalah: (1) kemampuan berpikir kritis, (2) mempunyai perspektif yang fleksibel, (3) non dogmatisme (4) peka terhadap nilai –nilai; (5) empati dan sadar diri
Ilmu kedokteran bahkan dikatakan sebagai cabang humaniora yang paling ilmiah serta sekaligus paling manusiawi, karena di satu pihak ilmu kedokteran makin bertambah luas dan makin pesat dalam upaya mempelajari manusia secara ilmiah, dan di pihak lain bidang kedokteran juga secara langsung berhubungan dengan manusia, manusia, penderitaannya dan peningkatan kualitas hidup manusia manusia KESEHATAN JIWA / MENTAL (definisi WHO)
1
Orang yang sehat jiwa /mentalnya adalah orang yang: •
merasa sehat dan bahagia,
•
serta mampu menghadapi m enghadapi tantangan kehidupan,
•
dapat menerima orang lain sebagaimana adanya,
•
dan mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain
(Buku Pedoman Kesehatan Jiwa, Departemen Kesehatan R.I., Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat, 2003, hal.5)
Jadi, untuk mencapai suatu taraf kesehatan jiwa / mental , dengan perkataan lain : untuk mempertinggi kualitas kehidupan, perlu:
1
•
perkembangan diri dan lingkungan hidup
•
hubungan antar manusia yang adekuat dan optimal
•
kerjasama antara ilmu kedokteran kedokteran dengan bidang-bidang lainnya yang tergabung dalam humaniora serta ilmu murni yang diaplikasikan untuk manusia (applied sciences)
Definisi Kesehatan Jiwa ini jelas berbeda dengan anggapan di beberapa kalangan bahwa Kesehatan Jiwa adalah identik dengan tidak adanya penyakit atau psikopatologi. Fokusnya adalah: pembinaan perasaan sehat dan bahagia secara subjektif serta sikap, kemampuan adaptasi dalam kehidupan, dan kemampuan untuk menerima dan bersikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain sebagaimana adanya. Dengan perkataan lain: definisi Kesehatan Jiwa WHO ini memberi fokus kepada kualitas kehidupan dan aspek positif seseorang, dan bukan kepada jumlah atau derajat derajat patologi atau psikopatologinya. Kadang
kadang ada kondisi dimana patologi fisik maupun psikopatologi tidak dapat dihilangkan sama sekali, akan tetapi hal itu dapat diisoler, dikendalikan atau dikontrol. Dalam hal ini taraf kesehatan jiwa orang itu dapat ditingkatkan Definisi ini berdasarkan konsep multikultural / pluralisme dengan merangkul pelbagai variasi dan perbedaan manusia apapun identitasnya tanpa menggunakan suatu konsep “normalitas” sebagai suatu standard kesehatan jiwa atau untuk perilaku manusia. Jadi jelaslah bahwa definisi itu menyatakan bahwa kesehatan jiwa/mental - peningkatan kualitas kehidupan merupakan suatu ACUAN / “kiblat” dari segala hal yang dilakukan dalam hubungan antar manusia, termasuk hubungan dokter – pasien. Seorang dokter bukan hanya bertugas menyembuhkan penyakit saja, tetapi upaya penyembuhan penyakit merupakan salah satu langkah dasar dan awal dalam upayanya membantu pasien
mempertinggi taraf kesehatan jiwa / kualitas kehidupannya. Siapapun orang itu, ia berhak mencapai kesehatan jiwa.
Kesehatan jiwa bersifat transenden, dalam artikata tidak dibatasi oleh kondisi/keadaan fisik, mental maupun taraf perkembangannya. Kesehatan jiwa tidak selalu sinkron atau harus disertai kesehatan jasmani, contoh: orang yang menderita gangguan hipokondriasis, ia merasa dirinya menderita penyakit / tidak sehat walaupun secara fisik dirinya terbukti ia tidak menderita penyakit jasmani. Kesehatan jiwa dapat dicapai oleh manusia dalam pelbagai kondisi fisik, mental bahkan dalam menghadapi maut sekalipun. Prinsip kesehatan jiwa perlu sekali merupakan acuan dasar yang diterapkan oleh orang tua, guru bagi pendidikan bagi anak dan remaja yang sedang berkembang. berkembang. Demikian juga prinsip kesehatan jiwa perlu menjadi acuan bagi pemimpin masyarakat maupun para legislatif dalam membuat peraturan dan perundang undangan. Dengan singkat: Definisi WHO ini merupakan suatu definisi acuan (”kiblat” ) bagi setiap lapisan dan golongan masyarakat. 2
Ilmu kedokteran sendiri sekaligus mempunyai dua aspek : •
aspek yang pendekatan manusia sebagai objek (yaitu yang mempelajari manusia dan alat / sistem tubuhnya dari segi ilmiah), dan
•
aspek pendekatan manusia sebagai subjek (yaitu pendekatan yang memperlakukan orang itu sebagai manusia yang utuh, unik dan khas dirinya - dengan perkataan lain : pendekatan yang bersifat manusiawi )b
Landasan pendekatan dan perlakuan yang bersifat manusiawi adalah EMPATI.
EMPATI Empati adalah upaya dan kemampuan untuk mengerti, menghayati dan menempatkan diri seseorang di
tempat orang lain sesuai dengan: •
identitas: nama, usia, jenis kelamin, kondisi fisik (warna kulit, tinggi, berat badan, raut muka,
taraf kesehatan, dsb ), status perkawinan, orientasi seksual (heteroseksual , biseksual , homoseksual), ras, suku bangsa, etnik, latar belakang pendidikan, pengetahuan, taraf perkembangan jiwa / mental, tradisi, budaya, agama; serta •
pikiran, perasaan, keinginan, perilaku dari orang itu,
tanpa mencampur-baurkan nilai - nilai atau selera pribadi dari orang yang berempati dengan nilai atau
selera pribadi orang yang diempati, atau bereaksi secara emosional bila nilai-nilai orang yang berempati berbeda dengan nilai-nilai orang yang diempati. Jadi, berempati berarti tidak bersikap menghakimi , baik dalam artikata menyalahkan, membenarkan, menyetujui atau tidak menyetujui perbuatan seseorang. Dengan perkataan lain: empati sama dengan: menerima orang lain sebagaimana adanya, dalam istilah lain: bersikap pluralistik dan multikultural. Jadi jelaslah bahwa untuk dapat berempati, seseorang perlu ada upaya dan kemampuan untuk berempati. Lawan dari sikap berempati adalah sikap tidak berempati; hal ini akan terlihat jelas pada
beberapa keadaan di mana seseorang tidak mampu dan / atau tidak berupaya untuk berempati, misalnya sikap masa bodoh, sikap egoistik / egosentrik, sikap apriori negatif / prasangka terhadap orang atau kelompok tertentu; atau karena menderita beberapa jenis gangguan jiwa / gangguan perkembangan yang berat (mis. keadaan psikotik, gangguan paranoid, gangguan autisme, beberapa jenis gangguan kepribadian, mis gangguan kepribadian narsisistik , gangguan kepribadian antisosial, gangguan kepribadian paranoid). Empati tidak terlepas dari mengerti dan menghargai nilai dan sistem nilai orang yang diempati itu. Dasar empati tidak lain adalah kasih-sayang ( compassion / brotherly love / ukhuwah insaniyyah) yang bersifat tanpa pamrih terhadap sesama manusia.
3
Empati perlu dibedakan dengan simpati dan antipati (lihat penjelasan di halaman 13)
NILAI DAN SISTEM NILAI
Nilai dan sistem nilai adalah segala hal ikhwal, baik yang konkret, abstrak maupun simbolik yang secara subjektif bernilai / bermakna tinggi bagi seseorang atau sekelompok orang.
Contoh: materi, kedudukan, prestasi, ambisi, harga diri, citra diri, diri sendiri, bagian tuhuh, keluarga, masa depan, hobi, selera pribadi, ajaran / nilai agama, kepercayaan ( terlepas dari benar-tidaknya kepercayaan itu ), keluarga, tradisi, ideologi, kelompok (suku, etnik, partai, bangsa). Jadi, jelaslah sebagai akibat, cara berpikir, perasaan, perbuatan / perilaku seseorang erat sekali hubungannya dengan nilai dan sistem nilainya.
EMPATI DALAM BEBERAPA KONTEKS HUBUNGAN ANTAR MANUSIA Untuk mencapai suatu tingkat kesehatan jiwa /mental ( sesuai dengan definisinya ), selalu perlu ada hubungan, relasi dan komunikasi antar manusia yang adekuat.
Ada beberapa konteks hubungan antar manusia 1. Hubungan antar manusia dalam konteks hubungan “Saya dan Kamu” (I and Thou – Martin Buber) 2
Keunikan hubungan “Saya dan Kamu” ini adalah bahwa hubungan ini hanya dapat terjadi antar manusia, karena hanya dalam bentuk hubungan ini terjadi suatu relasi timbal balik antara seseorang
sebagai orang pertama (Saya) dengan orang lain sebagai orang ke dua (Kamu) . Begitu seseorang mengatakan “Saya” kepada orang lain dalam bentuk orang ke dua sebagai “Kamu”, maka terjadilah suatu hubungan unik, baik berupa dialog, ataupun bentuk komunikasi timbal balik, di mana orang ke dua (Kamu) diperlakukan sebagai subjek , yaitu sebagai sesama manusia yang setara, yang dirinya diterima sebagaimana adanya, dan ia diperlakukan tanpa sikap apriori, dihakimi, serta nilai dan sistem nilainya dihargai. Hubungan “Saya dan Kamu” yang begini adalah hubungan “Saya dan Kamu” yang adekuat.
Hubungan timbal balik “Saya dan Kamu” yang adekuat dan setara ini jelas sekali berbeda dengan suatu hubungan “Saya dan Kamu” yang terjadi antara seseorang dengan hewan atau benda mati, karena dalam bentuk hubungan ini tidak dapat terjadi dialog atau hubungan timbal balik khas yang hanya dapat antara sesama manusia. Berbeda dengan hubungan “Saya dan Kamu” yang adekuat, maka apa yang dinamakan sebagai: hubungan “Saya dan Kamu” yang tidak adekuat, adalah hubungan dimana orang kedua (Kamu) tidak diperlakukan sebagai manusia / subjek yang setara , melainkan sebagai orang yang tidak dihargai kemanusiaannya dan diperlakukan seperti objek untuk kepentingan “ Saya “ itu; contoh: pada situasi dimana seseorang memaksakan kehendaknya pada orang lain, atau dimana orang itu tidak dihargai pendapat, perasaan, nilai, atau martabatnya sebagai manusia yang berbeda. 4
Hubungan “Saya dan Kamu” juga berbeda dengan hubungan “Saya dan Dia”, atau “Saya dan Itu” ( I and It ), karena pada hubungan macam ini tidak dapat terjadi suatu dialog timbal balik yang
adekuat. Akibat hubungan “Saya dan Kamu” yang adekuat, terjadi suatu relasi timbal balik dimana orang kedua ( Kamu ) itu juga sebaliknya akan memperlakukan orang pertama ( Saya ) dalam suatu hubungan yang setara dan adekuat.
Jadi, agar terjadi hubungan “Saya dan Kamu “ yang adekuat harus dimulai dari pihak “Saya” terlebih dahulu dan bukan berupa suatu sikap menunggu di pihak “ Saya “ agar orang kedua
-“Kamu”- yang memulai hubungan itu. (lihat penjelasan hal.14) Dampak dari hubungan / komunikasi “ Saya dan Kamu “ yang adekuat dan yang dimulai dari
pihak “Saya” adalah terjadinya relasi / komunikasi yang nyaman, karena pihak orang ke dua“Kamu”- sebaliknya juga akan memperlakukan pihak “Saya” secara adekuat. Dalam hubungan yang adekuat ini, ke dua pihak selama maupun pada akhir hubungan tidak akan merasa tidak tertekan, karena dapat mengutarakan pendapatnya secara bebas tanpa rasa takut dicela, serta dapat menjadi jati dirinya yang sejati. Demikian pula apabila terjadi suatu penyelesaian masalah, tidak terjadi pemaksaan kehendak, melainkan berupa suatu penyelesaian yang berdasarkan konsep “win-win solution , dimana kedua pihak merasa baik / nyaman ( feel good ) Jadi dasar dari hubungan “Saya” dan “Kamu” yang adekuat, tidak lain adalah hubungan yang berdasarkan empati. 2. Hubungan antar manusia dalam konteks “ke-Kita-an”
4
Hubungan “Saya dan Kamu” yang adekuat akan menghasilkan suatu bentuk hubungan yang bersifat “ke-Kita-an”, karena bentuk hubungan ini mencakup hubungan “Saya” dengan semua orang dengan identitas apapun sebagai sesama manusia , jadi hubungan macam ini bersifat pluralistik / majemuk / multikultural 4.
Dengan perkataan lain: dalam konteks hubungan “ ke-Kita-an”, apapun identitas orang itu , ia akan memperlakukan dirinya: pertama tama : sebagai manusia
kedua:
sebagai identitasnya ,
dan juga memperlakukan orang , kelompok lain : pertama tama: sebagai manusia
kedua:
sebagai identitasnya
Dalam hubungan yang bersifat “ ke-Kita-an “ tetap ada orang ketiga ( Dia ) , tetapi “Dia” diperlakukan sebagai sesama manusia yang setara serta dihargai keunikan diri dan identitasnya. Akibatnya, tiap orang dapat memperkembangkan serta mengaktualisasikan dirinya sesuai dengan jati dirinya tanpa dipaksa harus menjadi sama dengan identitas orang lain.
5
3. Hubungan antar manusia dalam konteks “ke-Kami-an”
4
Hubungan yang bersifat “ke-Kita-an” berbeda dengan hubungan yang bersifat “ke-Kami-an “. Landasan dari hubungan “ke-Kami-an” adalah: memperlakukan diri sendiri: pertama tama: berdasarkan identitasnya
kedua :
sebagai manusia
dan memperlakukan orang lain : pertama tama: berdasarkan identitasnya
kedua:
sebagai manusia
Bentuk hubungan “ke-Kami-an” secara wajar sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, karena memang adalah sifat manusia untuk mencari dan berkelompok dengan orang lain yang sama dalam identitasnya, misalnya dalam hubungan keluarga, suku bangsa, agama, profesi, kelompok sosial, olah raga, seni, hobi, ideologi, partai, dan sebagainya. Dampak negatif dari hubungan “ke-Kami-an” yang eksklusif Yang perlu diperhatikan adalah agar hubungan “ ke-Kami-an” tidak meniadakan hubungan “ke-Kita-an” dengan orang atau kelompok lain yang berbeda identitas , sebab bila hal itu terjadi,
maka semua orang yang berbeda identitas dengan kelompok “kami” dikelompokkan dalam kelompok “mereka” , atau “kaum itu” sehingga dalam keadaan ekstrem dapat terjadi suatu
hubungan yng bersifat : “Kami vs. Mereka /Kaum itu” Bentuk ekstrem dari hubungan “Kami vs Mereka / Kaum itu” adalah sikap: stigmatisasi,
diskriminasi, sikap “ bigot “, pengelompokan dalam arti negatif, perkoncoan , pemaksaan kehendak, berada di atas hukum, prasangka, kebencian, tindak kekerasan, peperangan, pembunuhan terhadap orang yang termasuk dalam kelompok “Mereka / Kaum itu” Dalam bentuk hubungan yang bersifat “ ke-Kami-an” yang ekstrem , orang ketiga (dia) / berbeda identitasnya tidak diperlakukan sebagai sesama manusia , melainkan sebagai objek atau orang yang dikucilkan. Apabila orang itu mau masuk dalam kelompok “Kami”, maka ia harus merubah identitasnya agar menjadi sama seperti orang-orang dalam kelompok “Kami”. Jelaslah dalam
hubungan “ke-Kami-an” yang ekstrem , masing masing individu tidak dapat berkembang dan mengaktualisaikan diri sesuai dengan jati dirinya , karena ia harus tunduk kepada persamaan
identitas yang sesuai “ke-Kami-an “ itu 4 4. Hubungan antar manusia dalam konteks Hubungan Antar Sistem (sesuai General Systems Theory - Ludwig von Bertalanffy) 5, 6 “General Systems Theory”dipelopori oleh Ludwig von Bertalanffy (terbit 1936, 1968. Konsep Bertalanffy menjelaskan bahwa dunia (dan antariksa / universe) terdiri dari sistem sistem yang saling berinteraksi dengan sistem lainnya baik dalam hubungan horizontal maupun vertikal . Yang dinamakan sistem adalah suatu kesatuan yang berfungsi mandiri , terdiri dari elemen elemen yang lebih kecil yang hubungannya unik. Sistem itu berfungsi sebagai sebuah kesatuan yang holistik dan yang tidak semata-mata merupakan penjumlahan elemen-elemennya. Contoh: otak, mata, jantung merupakan sistem yang mandiri; fungsi serta perkembangannya adalah sebagai sebuah kesatuan, dan bukan sekedar penjumlahan dari elemen masing masing organ itu. Kita juga mengetahui bahwa fungsi
6
otak, mata atau jantung sebagai sistem sangat dipengaruhi secara horisontal oleh organ tubuh lainnya; demikian pula secara vertikal ke bawah ke atas oleh fungsi biokimiawi sel-selnya maupun secara vertikal dari atas ke bawah oleh manusia yang memiliki organ tubuhnya itu. Secara vertikal sistem itu mulai dari ato m, molekul, sel, organ, manusia (atau hewan, tumbuhtumbuhan), dsb. Tiap sistem berfungsi sebagai suatu kesatuan dan terbuka serta berinteraksi dengan sistem lainnya, serta mendapat energi positif atau negatif dari sistem lainnya baik secara horizontal dan vertikal. Hubungan sistem secara horisontal pada manusia misalnya: hubungan antar sistem saraf, sistem napas, sistem kardiovaskular, sistem kemih, siste m pencernaan. Beberapa contoh sistem dalam lingkungan hidup: sistem tubuh, sistem keluarga, sistem kesehatan, sistem perbankan, sistem politik, sistem informasi, sistem tumbuh-tumbuhan, sistem hewan, sistem irigasi.Ada pula interaksi antar sistem, misalnya ekologi. Dalam kehidupan di dunia ini pelbagai sistem itu s aling berinteraksi, berkembang dan dipengaruhi (secara positif atau negatif) oleh sistem –sis tem yang lain. Perilaku manusia yang semena-mena terhadap lingkungan akan mempengaruhi ekologi, dan kerusakan ekologi sebaliknya akan berpengaruh secara negatif terhadap manusia . Secara garis besar hubungan vertikal / hierarkis antar sistem adalah sebagai berikut: Antariksa (universe) Dunia Hubungan internasional Negara (Pemerintah) Institut (mis. kementerian, departemen, pemerintah daerah, partai politik) Komunitas Kelompok masyarakat (mis. RT, RW, sekolah, universitas, IDI ) Keluarga Individu Organ (Alat / sistem tubuh) Sel Molekul Atom
Bagan ini akan sangat membantu kita melihat bagaimana keseimbangan dan perubahan pada satu sistem serta antar sistem dapat mempengaruhi sistem yang lain. Dalam konteks hubungan antar sistem , hubungan yang bersifat empatik maupun yang non empatik dari keluarga terhadap anggota keluarga; peraturan yang tidak manusiawi dari atasan
terhadap bawahan; peraturan pemerintah yang diskriminatif /menguntungkan sekelompok masyarakat saja; peperangan antar suku, kelompok, bahkan perang antar negara akan berdampak negatif terhadap rasa nyaman dan kebahagiaan orang sehingga akan mempengaruhi kesehatan jiwa /mental dari orang dan masyarakat.
Beberapa contoh lain dapat dilihat dalam pertanyaan 7: Mengapa empati penting bagi perkembangan kesehatan jiwa? (hal.18). NILAI-NILAI YANG PERLU DIPRIHATINKAN
Jadi, walaupun dalam hubungan antar manusia perlu masing-masing pihak menghargai nilai-nilai pihak lain, tidak semua nilai-nilai dapat diterima, karena kita perlu prihatin akan nilai –nilai yang : •
membahayakan: jiwa / kehidupan, kesehatan, kesehatan jiwa diri sendiri atau orang lain.
•
melanggar hak azasi manusia
•
hanya mempromosikan hubungan “ke-Kami-an” yang sekaligus meniadakan hubungan “ ke-Kitaan” 7
Apabila hal-hal itu terjadi, perlu dilakukan pendekatan dengan cara : •
dialog non kekerasan dan bersifat manusiawi ,
•
membantu timbulnya kesadaran ( awareness ) akan dampak negatif hal hal itu ,
•
membantu menyadari bahwa ada nilai , perilaku dan cara alternatif yang tidak membahayakan jiwa , kesehatan , kesehatan jiwa , atau tidak melanggar hak hak azasi manusia
Catatan: disini sengaja tidak dimasukkan : nilai nilai yang melanggar peraturan atau undang undang , karena walaupun pada umumnya peraturan dan undang-undang adalah baik, kadangkala ada peraturan dan undang undang yang justru membahayakan kehidupan, kesehatan atau kesehatan jiwa, hak azasi manusia atau undang yang bersifat hanya menguntungkan ke kami-an / kelompok atau golongan tertentu saja. Jadi dalam pembuatan peraturan atau undang undang, maka janganlah terjebak ke dalam hal hal yang disebut di atas , dan kalau peraturan atau undang-undang yang semacam itu sudah ada, perlulah dilakukan revisi. Dalam keadaan kritis atau terpaksa apabila terjadi bahaya terhadap kehidupan, kesehatan/ kesehatan jiwa, hak azasi atau penindasan golongan tertentu, maka kadangkala kita kalau perlu “melanggar” peraturan atau undang undang yang ada. Karena perlu diingat bahwa peraturan / undang undang adalah untuk kesejahteraan manusia dan bukan sebaliknya : manusia harus tunduk kepada peraturan / undang secara absolut / kaku. Ingat disini juga tetap berlaku adanya five qualities of mind sebagai manusia yang beradab: (1) kemampuan berpikir kritis, (2) mempunyai perspektif yang fleksibel, (3) non dogmatisme (4) peka terhadap nilai –nilai; (5) empati dan sadar diri Untuk penjelasan lebih lanjut, lihat penjlasana bagi pertanyaan no 8 . Mengapa kalau perlu kita : “melanggar peraturan atau undang undang yang ada?”
BEBERAPA CONTOH HUBUNGAN ANTAR MANUSIA DAN KONUNIKASI YANG BERDASARKAN EMPATI:
1.
Memperlakukan orang lain sebagai sesama manusia yang setara, terlepas dari identitasnya,
tanpa prasangka atau sikap menghakimi 2.
Menghargai perbedaan pendapat dalam komunikasi
3.
Tidak memaksakan kehendak
4.
Tidak bersikap apriori / berprasangka, dengan perkataan lain: bersikap netral dalam
melakukan relasi. Jadi, hal ini berbeda dengan sikap yang dilandasi oleh preokupasi, prasangka, sikap menghakimi, atau anggapan: “Cukup dengan melihat saja, saya sudah tahu”. Sikap preokupasi itu dapat juga berupa sikap apriori, sikap essensialitik /menyamaratakan, sikap diskriminatif, atau sikap yang berlandaskan upaya mencari interpretasi atau mencari maksudmaksud terselubung dari suatu fenomena atau gejala yang ada (termasuk sudah berprasangka semata-mata hanya dari penampakan atau identitas seseorang). Sikap yang demikian akan mengakibatkan apa yang ada didepan mata secara here and now luput dari perhatian . Jadi, yang perlu dilakukan adalah bersikap dan melakukan pendekatan fenomenologis 7, 9 dengan menggunakan semua indra persepsi (indra penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, pengecapan) terhadap fenomema dari orang itu , lalu dengan melakukan komunikasi, wawancara atau berdialog yang bersifat interaktif, baru kita dapat mengambil suatu kesimpulan tentang orang itu
8
5.
Berusaha mengerti cara berpikir, perasaan (termasuk kekuatiran, ambivalensi / perasaan
mendua, kecurigaan, rasa malu, takut dihina, dicela, dsb) dari orang lain. 6.
Menghargai nilai-nilai orang itu
7.
Dapat menyatakan pendapat dan menjadi pendengar yang baik dalam komunikasi
8.
Kalau dalam komunikasi itu diperlukan suatu penyelesaian masalah, maka ke dua
pihak akan saling menghargai dan berada sebagai orang yang setara , sedangkan hasilnya tidak dipaksakan, melainkan merupakan kesepakatan yang sesuai dengan ke dua pihak dan dapat diterima dan cocok bagi ke dua pihak itu. Hasil akhir adalah suatu: “win – win solution “ bagi ke dua pihak. 9.
Dalam hubungan dokter-pasien, dokter hendaklah memperlakukan dirinya
pertama-tama sebagai manusia yang kebetulan beridentitas / berprofesi dokter, dan memperlakukan pasien pertama- tama sebagai manusia yang kebetulan berstatus pasien. Jadi
hal itu jelas berbeda dengan paradigma : “Saya ini dokter, kamu ini pasien” yang menomorsatukan identitasnya, lebih-lebih lagi kalau pasien diperlakukan sebagai objek semata-mata. Keadaan itu akan menjadi lebih parah lagi kalau dokter hanya mengobati organ/alat tubuh pasien saja. Dalam membuat suatu penilaian dan rumusan bagi pasien, hendaklah hal itu dilakukan secara komprehensif , yaitu memperhatikan semua aspek bio-psiko-sosial pasien dan melihat / memperlakukan pasien sebagai orang yang unik / khas dirinya.
10.
Kalau dokter atau konselor mempunyai suatu rumusan atau program terapi yang dianggap
baik, hendaklah hal dilakukan dengan kesepakatan pasien berdasarkan pilihan dan keputusan yang mandiri dari pihak pasien (bukan karena bujukan oleh terapis / konselor). Keputusan pasien itu termasuk juga membantu agar pasien secara sadar (aware) dan bertanggung jawab memeluk baik risiko positif maupun risiko negatif dari pilihan dan keputusannya untuk menjalankan
terapi / konseling Demikian pula pelaksanaan terapi / konseling perlu selalu disesuaikan dengan kondisi pasien 7, 9 .Sementara terapi atau konseling dilakukan, hendaklah terapis tetap bersikap sensitif dan berempati dengan segala hal, termasuk pelbagai perasaan pasien yang terjadi selama
terapi / konseling berlangsung. 11.
Dalam hubungan orang tua – anak misalnya, orang tua tidak memperlakukan anaknya
sebagai ekstensi atau sambungan dari dirinya. Orang tua perlu menyadari bahwa walaupun orang tua sangat menyayang anaknya, anaknya itu adalah seorang manusia lain yang mempunyai pikiran, perasaan dan cita-cita / keinginan yang seringkali berbeda dengan orang tuanya. 12.
Dalam hubungan antar sistem , misalnya antar keluarga, institut, organisasi, kelompok,
partai, agama, atau instansi, hendaklah tidak menganggap pihak lain sebagai “musuh” atau saingan yang harus dikalahkan atau dihabisi, melainkan melakukan pendekatan persaudaraan yang pluralistik /multikultural atas dasar konsep: “ke-Kita-an“ , dengan tujuan kemajuan dan
9
kesejahteraan seluruh rakyat, bukan hanya bagi kelompok / golongan sendiri atau kelompok mayoritas.
13.
Pembuatan serta pelaksanaan suatu peraturan atau perundang-undangan oleh yang
berwenang , juga harus dibuat sedemikian rupa agar bersifat : “ politically correct “ (yang berarti tidak melecehkan, menstigmatisasikan atau menyamaratakan atau membedakan orang / kelompok berdasarkan identitas), tapi bertujuan untuk mensejahterakan seluruh kelompok dalam masyarakat yang pluralistik serta tidak memenangkan satu kelompok atau memojokkan satu atau
lebih kelompok masyarakat walaupun kelompok itu merupakan kelompok yang kecil.
KESIMPULAN Empati adalah kerangka dasar essensial yang diperlukan agar terjadi hubungan serta komunikasi antar
manusia (antar individu, antar kelompok dan antar sistem) yang adekuat dan manusiawi. Hal itu perlu diterapkan oleh tiap orang baik sebagai individu (sebagai orang tua, anak, anggota keluarga, guru, murid) yang memimpin dan yang dipimpin; maupun oleh kelompok (sosial , politik, agama ), institut: terhadap orang lain atau kelompok / masyarakat lain. Dampaknya adalah positif karena akan menghasilkan suatu hubungan antar manusia yang bersifat saling menghargai dan yang bersifat ke-Kita-an; selanjutnya hal itu akan memberi peluang yang baik untuk perkembangan fisik, mental dan emosional dan memberi kesempatan untuk mengaktualisasikan diri / kelompok secara optimal sesuai dengan tujuan utama kesehatan jiwa / mental – peningkatan kualitas kehidupan yaitu: Orang yang sehat jiwa /mentalnya: •
merasa sehat dan bahagia
•
mampu menghadapi tantangan kehidupan
•
dapat menerima orang lain sebagaimana adanya
•
mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain
BEBERAPA PERTANYAAN YANG SERING DIAJUKAN 1. Apa beda antara empati dengan simpati dan antipati?
Pada empati , seseorang dalam relasi dan komunikasinya dengan orang lain berusaha menghayati dan mengerti diri orang lain itu serta berusaha mengerti bagaimana orang lain itu dari sudut pandang pribadinya mempersepsi dirinya sendiri maupun dunia sekitarnya (baik dari segi identitas, perasaan, pikiran atau perilaku orang lain itu); akan tetapi, bersamaan dengan itu, orang yang berempati tidak mencampurbaurkan dirinya, perasaannya dan nilai- nilai pribadinya dengan perasaan dan nilai-nilai pribadi orang yang di empati itu. Perlu diingat bahwa berempati bukanlah berarti secara automatis menyalahkan,
10
membenarkan, menyetujui atau tidak menyetujui perbuatan seseorang.
Pada simpati dan antipati , seseorang mengadakan relasi dengan orang lain berdasarkan perasaan . Bersimpati dan berantipati adalah wajar dan sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, tapi orang yang bersimpati atau berantipati dapat sadar dan membatasi diri serta dapat membedakan kapan ia bersimpati , berantipati dan kapan ia berempati. Pada simpati perasaannya adalah perasaan positif, misalnya menaruh kasihan, rasa iba, turut merasakan perasaan yang dirasakan orang lain, misalnya ikut bersedih atau ikut bergembira sewaktu orang lain itu bersedih atau bergembira. Bila simpati terjadi berlebihan, maka dapat terjadi kecenderungan untuk bersikap “membenarkan” apapun perbuatan orang yang disimpatinya itu. Contoh: karena terlalu bersimpati kepada orang –orang yang hidupnya terpuruk maka bila orang itu melakukan sesuatu yang melanggar hukum , maka orang yang bersimpati itu dapat “membutakan diri” , atau “membenarkan “ perbuatan negatif dari orang yang disimpatinya, sehingga sikapnya tidak objektif lagi. Pada antipati, perasaannya terhadap orang yang di antipati adalah negatif, misalnya berantipati terhadap seseorang karena tidak menyukai perbuatan atau identitasnya. Contoh: seorang ibu mengatakan kepada anaknya “ Saya tidak menyukai perbuatanmu yang memukul adikmu dengan semena-mena.” Pada antipati yang wajar sang ibu dapat membedakan antara sikap antipatinya terhadap perbuatan anaknya, tapi ia masih tetap menyayangi anaknya sebagai manusia. Antipati dapat terjadi juga bila pada dasarnya sudah terjadi sikap apriori tidak menyukai identitas seseorang. Bila perasaan antipati terjadi terus menerus dan sudah tidak proporsional lagi, maka dapat terjadi kecenderungan untuk tidak menyukai semua perbuatan orang itu bahkan perbuatannya yang baik sekalipun , karena yang terjadi adalah berantipati terhadap
orang itu dan semua perbuatannya secara menyeluruh. Bila antipati disamaratakan terhadap orang-orang lain yang sama identitas atau perilakunya, terjadi sikap “bigot” atau prasangka. 2. Mengapa berempati harus mulai dari pihak diri sendiri terlebih dulu?
Kalau kita berprinsip bahwa berempati harus mulai dari diri orang lain terlebih dulu, maka akan terjadi sikap saling menunggu siapa yang terlebih dulu berempati dengan segala macam akibatnya. Lagipula, kalau diri kita bersikap demikian, maka kita memperlakukan diri kita sebagai orang yang pasif serta respons atau reaksi diri kita hanya bergantung dari sikap orang lain ; dengan perkataan
lain: sikap kita diatur atau dikendalikan oleh sikap orang lain. Ingat: Landasan empati adalah kasih
11
sayang persaudaraan terhadap sesama manusia (ukhuwah insaniyyah) yang bersifat aktif dan tanpa pamrih 3. Bagaimana kalau kita sudah terlebih dahulu mulai dengan berempati, akan tetapi dari pihak orang lain itu tidak berempati dengan kita?
Kalau hal itu terjadi, maka justru dengan kemampuan dan kemauan berempati, kita dapat menerima sikap tidak berempati dari orang itu, dan mengerti / menghayati alasan mengapa orang itu tidak berempati dengan kita, sehingga kita tidak bereaksi dengan rasa kesal atau marah. Kita misalnya dapat tetap berkomunikasi dengan dia berdasarkan empati, sehingga lama kelamaan orang itu mengerti akan niat baik kita dan ia dapat berubah sikap, dan dari pihaknyapun akan timbul sikap berempati. Andaikata dari pihak orang itu tetap tidak berespons dengan empati, maka kita tetap tidak akan terpengaruh secara emosional, komunikasi dapat ditangguhkan tanpa dampak emosional dari pihak diri kita (Ingat: sifat kasih sayang tanpa pamrih berarti :kalau tidak mendapat balasan sekalipun, kita tidak akan merasa rugi) Kalau perlu, kitapun dapat meminta maaf kepada orang tanpa disertai rasa jengkel dengan mengatakan bahwa rupanya komunikasi kita dengan dirinya terjadi dalam waktu yang tidak cocok dengan dirinya. Yang jelas, apapun respons negatif dari orang itu, hal itu tidak akan memancing reaksi emosional yang negatif dari diri kita. 4. Bagaimana seseorang dapat berempati dengan orang yang berbeda nilai atau budaya dengan diri kita?
Kalau bagi diri kita sulit untuk memahami nilai atau budaya orang itu, janganlah malu untuk bertanya kepada orang itu tentang nilai atau budayanya sehingga. Penjelasan dari orang itu, akan
lebih mudah bagi kita untuk berempati dengan dirinya, yaitu latar belakang cara berpikir, perasaan atau perilakunya. Lagipula akan cepat terjadi pembinaan “rapport” (hubungan baik ) dengan orang itu , sebab ia merasa bahwa kita berusaha mengerti dirinya. Kita baru berprihatin, kalau ternyata bahwa nilai orang itu merupakan nilai – nilai yang perlu diprihatinkan (halaman 8,9) 5. Bagaimana saya dapat berempati dengan seorang pencandu narkoba, pelacur atau orangorang homo, bukankah “mereka” / “kaum itu“ tidak bermoral?
Pertama-tama perlu kita ingat bahwa dengan menggunakan istilah “pencandu narkoba”, “pelacur”, si “homo” kita sudah menggunakan kata istilah yang bersifat menstigmatisasi, atau melecehkan, sebab yang menjadi fokus adalah sifat kecanduan, perilaku pelacuran, atau homoseksualitasnya dan bukan orangnya.
12
Lebih baik kita menggunakan istilah: “orang dengan kecanduan narkoba”, atau “pekerja atau penjaja seks”, atau “orang homoseksual”, sebab yang menjadi fokus di sini adalah orangnya, sedangkan kecanduan narkobanya atau penjajaan seksnya adalah sebagian dari perilakunya; demikian pula homoseksualitasnya adalah bagian dari identitasnya sebagai manusia. Lagipula, janganlah perasaan kita secara automatis berantipati dengan pekerja seks saja , bukankah hal itu tidak akan terjadi kalau tidak ada pelanggannya? Penggunaan istilah “kaum itu” juga secara automatis tersirat makna pembagian dikotomi antara kelompok “Kami” (yang bukan pencandu, pelacur, homoseksual, dsb.) dengan kelompok “Mereka / Kaum itu” ( yang adalah pencandu, pelacur, homoseksual, dsb). Hal itu juga secara tidak
langsung dapat mengandung arti: “Kami” (orang baik-baik) vs. “Mereka / Kaum itu” (orang-orang yang tidak baik). Jadi fokus terletak pada identitas atau perilakunya. Dengan tidak menggunakan istilah yang bersifat stigmatisasi, melecehkan, atau mengkotakkotakkan manusia berdasarkan perbuatan atau identitasnya, maka lebih mudah bagi kita untuk
berempati dengan orang itu. Kalau ada rasa prihatin fokuskan keprihatinan kita terhadap perilaku orang itu ( hanya apabila perilakunya membahayakan jiwa, kesehatan atau kesehatan jiwa dirinya atau orang lain, atau melanggar hak azasi orang ), tanpa kita bersikap apriori bahwa orang itu adalah “jahat, tak bermoral, pendosa”, atau dengan menggunakan istilah lain yang bersifat menghakimi. Secara apriori tidak menyukai orang yang dianggap “tak bermoral” (seperti orang homoseksual ) juga tidak tepat, karena homoseksualitas adalah identitas seseorang, sama halnya seperti identitas diri lainnya ( perlu dicatat bahwa ada identitas diri yang dibawa sejak lahir dan tidak dapat dipilih serta sukar diubah, mis: jenis kelamin, warna kulit, raut muka, ras/suku bangsa, orientasi seksual; dan adapula identitas diri yang dapat dipilih dan mudah diubah, seperti pakaian, warna rambut, make-up, agama) . Terhadap pernyataan bahwa orang “homoseksual adalah orang yang tidak bermoral” dapat kita balik bertanya: apakah orang yang heteroseksual (tertarik secara erotik kepada lawan jenis) automatis adalah orang yang bermoral? Kita mengetahui perbuatan yang melanggar hukum, hak azasi orang lain, atau membahayakan jiwa atau kesehatan dapat dilakukan baik oleh orang homoseksual maupun orang heteroseksual, sebagaimana banyak pula banyak perbuatan luhur telah dan dapat dilakukan oleh orang heteroseksual dan homoseksual dalam sejarah maupun kehidupan sehari-hari.. Jadi yang perlu dipersoalkan adalah perbuatan / perilaku seseorang, bukan identitasnya. Terhadap identitas yang berbeda dari seseorang hendaknya kita bersikap netral , tanpa sikap apriori, atau bersikap menghakimi, karena identitas seseorang adalah “a state of being ” dari seseorang dan hal itu sifatnya netral. Perlu diingat bahwa: sesuatu yang berbeda tidaklah secara automatis berarti lebih
buruk atau lebih baik
13
Sejarah telah berulang kali membuktikan bahwa sikap apriori terhadap identitas seseorang atau sekelompok orang, akan menghasilkan sikap menganakemaskan, atau menganaktirikan, diskriminasi sampai pembunuhan. Jadi perlu dibedakan antara identitas (a state of being) seseorang dengan perilaku orang itu ( behavior atau the act of doing ) yang dapat bersifat positif, netral atau negatif
Perilaku seseorang bersifat relatif: Suatu perilaku bila dilihat dari budaya tertentu dapat dianggap baik, sedangkan perilaku yang sama kalau dilihat dari budaya yang berbeda dapat dianggap netral atau tidak baik. Jadi terhadap perilaku seseorangpun jangan cepat-cepat kita bersikap apriori, melainkan perlu ditelaah terlebih dulu apakah perilaku seseorang itu merupakan manifestasi atau refleksi dari nilai-nilai yang perlu kita prihatinkan yang disebut di halaman 9,10 ataukah tidak. Bila tidak, janganlah hal itu dipersoalkan. Inilah landasan konsep pendekatan multikultural. 6. Apa bedanya dengan selera pribadi?
Selera pribadi adalah hak azasi tiap orang. Masing –masing orang berhak untuk berselera pribadi tertentu, misalnya menyukai hobi tertentu, menyukai atau tidak menyukai makanan tertentu (baik atas dasar selera pribadi atau alasan agama), menyukai ciri khas tertentu bila mencari calon pasangannya (mis, lebih menyukai calon pasangan dengan warna kulit, raut muka, atau tinggi badan, atau dari agama tertentu) atau menganut agama tertentu. Akan tetapi janganlah kita mencampurbaurkan antara selera pribadi kita dengan hubungan kita dengan orang orang lain yang kebetulan selera pribadinya atau identitasnya tidak sesuai dengan selera pribadi kita. Contoh: walaupun selera pribadi kita lebih menyukai orang dengan warna kulit tertentu, janganlah selera pribadi kita itu menyebabkan kita tidak menyukai semua orang yang tidak mempunyai warna kulit yang kita sukai (lihat definisi empati hal.3). Contoh lain: Dalam menjalankan kehidupan beragama, maka seseorang menjalankan ajaran agama yang dianutnya sebaik mungkin. Dalam konteks ini, maka ia adalah seorang moralis (Catatan: istilah moralis juga dipakai untuk seseorang yang mengajarkan agama dan nilai-nilai suatu agama ). Akan
tetapi di pihak lain, seseorang adalah seorang moralizer apabila orang itu selain menjalankan nilainilai agamanya, berpreokupasi dengan menggunakan nilai-nilai agamanya yang dianggapnya luhur untuk menilai / menghakimi orang lain (baik orang yang beragama sama dengan dirinya maupun
orang yang berbeda agama) . Preokupasinya adalah: apakah orang lain menjalankan nilai-nilai agamanya seperti yang dilakukannya . Dampak menjadi seorang moralizer adalah luas sekali:
karena orang itu biasanya melihat dunia hanya dalam konteks hitam atau putih, dan akibatnya terjadi pemisahan manusia atas dasar ke-Kami-an yang ekstrem. Akibat lebih lanjut adalah situasi Kami vs Mereka / “Kaum itu” (yang nilai-nilai agama atau perlakunya berbeda dengan Kami) yang
secara ektrem dapat berakir dengan sikap diskriminatif, kekerasan, sampai pembunuhan
14
Di pihak lain, kalau kita menjadi seorang moralis, walaupun kita menjalankan ajaran agama yang kita anut sebaik mungkin, pandangan kita adalah multikultural: kita menghormati orang yang berbeda agama dengan kita, dan kita dapat hidup berdampingan secara damai dengan siapapun yang berbeda identitas (termasuk yang berbeda agama) dengan diri kita.
7. Mengapa empati penting bagi perkembangan kesehatan jiwa / mental?
Sesuai dengan definisi Kesehatan Jiwa / Mental: orang yang sehat jiwa / mentalnya:: •
merasa sehat dan bahagia
•
serta mampu menghadapi tantangan kehidupan,
•
dapat menerima orang lain sebagaimana adanya dan
•
mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain;
Untuk mencapai kondisi itu jelaslah bahwa ada beberapa faktor yang sangat mempengaruhi terbinanya kesehatan jiwa /mental seseorang :
- perkembangan kondisi fisik (termasuk perkembangan otak), penyakit yang diderita sejak dalam kandungan, bayi, kanak, dan dalam kehidupan selanjutnya - perkembangan mental-emosional sejak usia bayi sampai dewasa - situasi rumah tangga, hubungan antar keluarga, cara membesarkan dan pendidikan anak dan remaja - pendidikan dan cara pendidikan di sekolah - hubungan sosial dengan teman di sekolah dan masyarakat, - kesejahteraan, rasa tenteram, rasa keadilan, perlindungan hukum, dan pelaksanaan hukum yang tidak pandang bulu, serta rasa aman dalam masyarakat. - kesejahteraan sosial ekonomi - pembuatan undang-undang yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat (bukan sebaliknya) - situasi politik yang kondusif bagi kesejahteraan seluruh masyarakat - ekologi yang baik dan seimbang - hubungan antar negara yang baik Sebagaimana yang telah disebut di atas (hal.8), hubungan faktor-faktor di atas dapat dengan lebih jelas dilihat dari sudut pandang “General Systems Theory” (Ludwig von Bertalanffy) Bertalanffy menjelaskan bahwa dunia (dan antariksa / universe) terdiri dari sistem sistem yang saling berinteraksi dengan sistem lainnya baik dalam hubungan horizontal maupun vertikal . dengan sistem lainnya, serta mendapat energi positif atau negatif dari sistem lainnya baik secara horizontal dan vertikal. Bagan ini akan sangat membantu kita melihat bagaimana keseimbangan dan perubahan pada satu sistem serta antar sistem dapat mempengaruhi sistem yang lain.
15
Beberapa contoh :
1
Anoksia pada sel otot jantung akan mempengaruhi metabolisme sel jantung dan fungsi jantung itu. Disfungsi yang cukup berat dari jantung itu akan mempengaruhi kesehatan, kesehatan mental dan kehidupan orang itu, dan hal itu selanjutnya dapat mempengaruhi fungsi orang itu sebagai anggota keluarganya. Di pihak lain, serangan jantung orang itu mungkin terjadi karena stres yang berat dalam kehidupan keluarga atau pekerjaannya. Fungsinya yang terganggu itu akan memberi dampak terhadap interaksi dalam keluarga dan perkembangan anggota keluarganya sebagai suatu sistem. Apabila ia bekerja, maka disfungsi orang itu akan dapat mempengaruhi sistem tempat kerjanya itu.
2. Hubungan yang tidak harmonis dalam keluarga dapat mempengaruhi interaksi antar anggota keluarga, dan hal itu akan mempengaruhi berkembangnya situasi yang kurang optimal bagi perkembangan kesehatan jiwa anggota keluarga itu. 3. Cara pendidikan anak yang mengutamakan pemaksaan kehendak akan menimbulkan perasaan stres, insekuritas, perasaan tidak layak, atau perasaan memberontak. 4. Masyarakat yang kacau akibat peperangan karena sistem pemerintahan negara itu tidak stabil; karena politik atau perundangan negara yang tidak mensejahterakan seluruh masyarakat; ambruknya ekonomi, pertentangan hebat antar fraksi-fraksi dalam negeri sehingga terjadi perang saudara; atau karena peperangan antar negara, akan berdampak kuat sekali terhadap perkembangan kesehatan mental orang. 5. Tindakan terorisme karena merasa diperlakukan tidak adil atau karena unsur “ke-kami-an” yang ektrem, dapat mendestabilisasi kehidupan masyarakat dan menumbuhkan perasaan ketakutan di kalangan penduduk dan selanjutnya berpengaruh terhadap perkembangan kesehatan mental penduduk 6. Ekologi yang rusak karena polusi industri atau penebangan hutan yang tidak terkontrol oleh pengguna HPH yang hanya mementingkan diri dan perusahaannya sendiri, akan memberi dampak berupa keracunan air sungai, banjir atau kebakaran hutan yang selanjutnya memberi dampat negatif kepada masyarakat. Kemiskinan yang diakibatkannya atau konsumsi air yang tercemar logam berat akan mempengaruhi kesehatan penduduk sekitar dan perkembangan fisik, otak dan gizi janin dalam kandungan. Hal itu selanjutnya akan mempengaruhi perkembangan mental anak itu kelak. 7. Peraturan dan undang-undang yang bersifat diskriminatif yang hanya menguntungkan sebagian masyarakat, akan mengakibatkan rasa tidak nyaman bagi kelompok mayarakat yang terdiskriminasi, dan selanjutnya akan mengakibatkan tidak terbinanya kesehatan jiwa / mental yang baik Beberapa contoh di atas menjelaskan bahwa sikap empati atau non empati (antar anggota keluarga, teman, orang lain, antar golongan, baik dalam hubungan horisontal maupun vertikal) akan sangat 16
berpengaruh terhadap terbina atau tidak terbinanya hubungan yang adekuat antar manusia,
sesuai dengan definisi Kesehatan Jiwa / Mental 1 dalam pelbagai strata kehidupan masyarakat. Hal itu selanjutnya akan berdampak terhadap perkembangan kesehatan jiwa bagi individu, keluarga, masyarakat, kesejahteraan dan kualitas kehidupan manusia. 8. Mengapa kalau perlu kita : “melanggar peraturan atau undang undang yang ada?”.
Dalam halaman 9 ditulis bahwa dalam berempati kita pada umumnya perlu menghargai nilai nilai seseorang. Akan tetapi tertulis pula ada nilai nilai yang perlu diprihatinkan, yaitu nilai –nilai yang : •
membahayakan: jiwa / kehidupan, kesehatan, kesehatan jiwa diri sendiri atau orang lain.
•
melanggar hak azasi manusia
•
hanya mempromosikan hubungan “ke-Kami-an” (yang ektrem) dan yang sekaligus meniadakan hubungan “ ke-Kita-an”
Jadi kalau diperhatikan sengaja tidak ditulis : nilai nilai yang melanggar peraturan atau undang undang . Mengapa? Karena walaupun sebagai warga negara atau sebagai orang yang hidup dalam dunia yang penuh dengan peraturan dan undang undang yang baik, kadangkala ada peraturan ata u undang undang yang justru melanggar hak azasi , bahkan memhahayakan kehidupan . kesehatan jiwa, atau peraturan itu bersifat sangat eksklusif dan hanya menguntungkan Ke kami-an “ dari mereka yang berkuasa atau yang membuat peraturan/undang undang itu , karena sewaktu proses membuat undang undang/peraturan itu mereka tidak berempati terhadap kelompok yang “lain” dari kelompok mereka. Akibatnya apabila kita (1) tidak berpikir kritis, (2) tidak mempunyai perspektif yang fleksibel, (3) besikap dogmatis (4) tidak peka terhadap nilai –nilai; (5) tidak berempati dan sadar diri
(Sjamsuhidajat, R.: Humanities in Medical Education: Some Contributions; in Module Empathy, Bioethics, Personal and Professional Development in the context of The Humanities, FKUI, Semester I , 2006 ) maka dengan menjalankan undang undang / peraturan itu justru akan membahayakan kehidupan /kesehatan /kesehatan jiwa atau hak azasi orang . Yang penting kita bisa mempertanggung jawabkannya kepada Allah dan kemanusiaan
Itulah sebabnya kita perlu sekali mempelajari sejarah (salah satu cabang Humaniora) karena dalam sejarah banyak sekali peristiwa terjadinya diskiriminasi, pelecehan, pengucilan, pembunuhan dan peperangan karena adanya peraturan yang sifatnya melanggar hal hal yang disebut di atas Beberapa contoh:
Beberapa tahun lalu ada peristiwa tenggelamnya seorang anggota keluarga raja Thailand karena terjatuh ke dalam sebuah kolam di sebuah taman wisata di luar Bangkok. Ketika ia terjatuh dan minta tolong, tidak ada seorang pengawal atau pelayan dari pihak istana yang berani menolong orang yang tercebur itu karena ada peraturan bahwa orang /rakyat biasa tidak boleh menatap mata langsung kepada raja dan keluarganya apalagi nenyentuh badannya. Karena mereka lebih mementingkan 17
menaati peraturan itu dibandingkan “melanggar” peraturan itu untuk menolong keluarga raja yang tercebur itu, maka akibatnya keluarga raja yang tercebur itu mati tenggelam. Ketika Hitler berkuasa, ia membuat peraturan dan undang undang yang disetujui oleh parlemennya untuk menyerbu dan menjajah Eropah demi tercapainya konsep “ the Third Reich”, akibatnya terjadi perang dunia ke 2 dengan korban jutaan penduduk yang tak bersalah dan para serdadu yang berperang pada ke dua pihak, belum lagi pembasmian jutaan etnik Yahudi, orang Gypsi, orang retardasi mental, penderita skizofrenia, orang komunis serta orang homoseksual menjadi korban pembasmiannya. Selama ia berkuasa baik mayoritas orang Jerman , parleman, gereja di Jerman , bersikap diam diam saja terhadap segala perbuatan Hitler dan kelompoknya. Hanya ada beberapa orang Jerman yang berani menentang Hitler serta diam diam berkomplot menentang dia serta berusaha melenyapkan Hitler. Salah satu nya adalah Dietrich Bonhoeffer (lihat Dietrich Bonhoeffer wikipedia), Dia mengumpamakan Hitler sebagai seorang pengendara / supir mobil yang ugal ugalan serta menyetir mobil sambil tabrak sana sini Bonhoeffer berkata : “Apakah kita hanya tinggal berpangku tangan dan hanya mengobati orang orang yang menjadi korban supir yang ugal ugalan itu , ataukah kita berupaya menghentikan mobil itu dan menangkap supir ugal ugalan itu sehingga tidak terjadi korban lebih lanjut? Ia memilih opsi ke dua, walaupun ia ada kesempatan untuk keluar dari Jerman, ia memilih untuk tetap tinggal di Jerman dan membentuk komplotan utuk membunuh Hitler. Sayang ia tertangkap dan, Bonhoeffer dihukum gantung dalam penjara bulan April 1945 23 hari sebelum Nazi menyerah Di Iran sepasang pemuda homoseksual dihukum gantung karena kedapatan berciuman di taman karena ada peraturan yang berlaku. Di Aceh direncanakan undang undang untuk merajam orang yang berzinah dan menghukum cambuk 100 kali orang berbuat homosesual ( untunglah hal itu tidak disetujui oleh gubenur Aceh). Di Jambi direncanakan peraturan untuk memeriksa keperawanan siswi sekolah, kalau ketahuan mereka tidak perawan maka mereka harus dikeluarkan dari sekolah Di Amerika Serikat perbudakan dilegaliser selama hampir 200 tahun sampai Presiden Abraham Lincoln mencabut undang undang itu, dengan resiko terjadinya perang saudara di Amerika. Di China, sewaktu terjadinya revolusi kebudayaan selama hampir 10 tahun sejak pertenganhan 1960-an maka terjadi banyak pembunuhan, penangkapan kerja paksa serta pemusnahan budaya Cina yang sudah ribuan tahun semata mata karean peraturan yang dibuat oleh Kelompok Empat demi untuk memurnikan ajaran Mao Tse Tung. Ke-kami-an yang ekstrem terjadi juga di Indonesia dengan perang saudara antar agama di Ambon, Poso dan antar etnis di Kalimantan barat serta peristiwa Mei 1998 terhadap etnis Cina di beberapa kota di Indonesia. Mengapa hal itu sampai terjadi berlarut larut? Karena “dibiarkan” oleh pihak yang berwenang dan berkuasa.
18
Indonesia tidak akan merdeka apabila para “founding fathers Indonesia” serta para pejuang kemerdekaan tidak berani melanggar undang undang /peraturan dari zaman kolonial Belanda Jadi jelaslah bahwa empati tidak hanya terbatas dalam konteks hubungan dokter- pasien saja, melainkan dalam semua tahap, dan lapisan masyarakat termasuk dalam konteks “General System Theory” yaitu perlunya penanaman konsep empati kedalam semua lapisan / sistem masyarakat; dan
hal itu akan lebih mudah terlaksana apabila semua jajaran mulai dari penguasa tertinggi , wakil masyarakat, para legislator bersikap empati baik secara langsung dalam hubungan antar manusia
maupun dalam pelaksanaannya termasuk dalam pembuatan undang undang / peraturan. Dengan perkataan lain: bersikap pluralistik dan menjamin hak azasi manusia serta tidak membahayakan kehidupan, kesehatan dan kesehatan jiwa
Sebetulnya empati tidak sukar dilaksanakan, asal tetap diingat bahwa landasan empati adalah kasih sayang tanpa pamrih terhadap sesama manusia sebagai ciptaan Allah apapun identitasnya. Dari mana asal kasih itu? Tidak lain dari Allah semata, dan kasih itu diberikan secara gratis sehingga bagi kita tidak perlu merasa rugi atau kehabisan kasih karena dari sumber kasih itu kita mendapatkannya secara tdiak terbatas
Beberapa Contoh Bahan Diskusi
1. Bedakan antara simpati , empati, dan antipati. Diskusikan dan berikan beberapa contoh 2. Apabila seseorang berbeda dalam identitas (mis. berbeda agama, nilai-nilai, ras / suku bangsa atau berbeda orientasi seksual) apakah secara automatis orang itu lebih buruk atau lebih baik? Jelaskan dan berikan beberapa contoh dalam kehidupan 3. Bagaimana seseorang dapat berempati dengan orang lain yang berbeda nilai-nilainya? Bagaimana hal itu dapat dilakukan? Berikan beberapa contoh dalam kehidupan 4. Pada dasarnya kita perlu menghargai nilai-nilai orang lain walaupun berbeda dengan nilai diri kita, tapi di lain pihak, kapankah kita perlu prihatin terhadap nilai-nilai seseorang? Berikan contoh, diskusikan 5. Jelaskan perbedaan antara: berempati dengan orang lain yang berbeda nilai /selera pribadi, dengan : mempunyai nilai / selera pribadi yang berbeda dengan nilai / selera pribadi orang lain 6. Apa bedanya seorang “moralis” dengan seorang ”moralizer”? 7. Diskusikan konsep Martin Buber tentang hubungan “Saya dan Kamu” (I and Thou relationship) 8. Diskusikan pentingnya pendekatan multikultural sebagai landasan hubungan antar manusia, jelaskan dampak dari “ke-Kami-an “ yang ekslusif (hubungan monokultural yang ekslusif) 9. Apakah hubungan multikultural antar agama berarti sinkretisme? Diskusikan. 19
10. Mengapa empati harus berawal dari diri sendiri, jelaskan. 11. Apakah dasar empati, jelaskan dan mengapa hal itu penting? 12. Mengapa empati penting bagi perkembangan Kesehatan Jiwa? 13. Diskusikan definisi Kesehatan Jiwa dan diskusikan pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari 14. Mengapa Kesehatan Jiwa penting dalam kehidupan? Berikan beberpa contoh pelaksanaannya dalam diri sendiri, dalam hubungan antar teman, hubungan orang tua- anak / remaja, hubungan suami-istri / pasangan, hubungan dokter - pasien, hubungan guru/dosen – murid, hubungan antar kelompok yang berbeda, maupun hubungan antar umat manusia pada umumnya .
15. Apakah prinsip Kesehatan Jiwa dapat diaplikasikan pada orang yang sakit bahkan sedang menghadapi kematian? 16. Apakah Kesehatan Jiwa perlu dibina sejak usia masa kanak dini, selama usia remaja dan sepanjang kehidupan dewasa? Dalam hal itu siapa saja yang bertanggung jawab dalam pembinaan terjadinya hal itu? Diskusikan dan berikan contoh dalam kehidupan sehari-hari. 17. Jelaskan secara singkat “General Systems Theory” dan bagaimana teori itu dapat membantu memberi perspektif yang luas bagi perkembangan Kesehatan Jiwa 18. Mengapa untuk mencapai Kesehatan Jiwa perlu sekali kerjasama dari pelbagai sistem dalam dunia ini, baik secara vertikal maupun secara horizontal? 19. Mengapa kalau perlu kita boleh melanggar peraturan atau undang undang?
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Pedoman Kesehatan Jiwa: Departemen Kesehatan R.I., Direktorat
Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat, 2003 ( hal. 5) 1. Buber, Martin: I and Thou, a new translation by Walter Kaufmann, Charles Scribner’s sons, 1970 (hal. 53-68) 2. Danner Clouser, K.: Humanities in Medical Education: some Contributions, Journal of Medicine and Philosophy, 15; 289 – 301, 1990 3. Hassan, Fuad, Prof.Dr.: Kita dan Kami , suatu analisa tentang modus dasar kebersamaan, 1974 ( hal. 32-36 ) , penerbit Bulan Bintang, Jakarta 4. Heylighen, F. and Joslyn, C.: What is Systems Theory? Prepared for the Cambridge Dictionary of Philosophy, Cambridge University Press (1992) 5. Gillies, DA. : Nursing management: a systems approach. Philadelphia: W.B.Saunders Company, (1982) 56 – 74. Webpage created by Joyce Begly 2/99 6. Ofman, William V.: Existential Psychotherapy, dalam Comprehensive Textbook of Psychiatry, 3 rd ed. 1980, Kaplan, H.I, Freedman, A.M., Sadock, B.J., eds. (hal. 843 – 846), Williams & Wilkins, Baltimore / London 7. Sjamsuhidajat, R.: Humanities in Medical Education: Some Contributions; in Module Empathy, Bioethics, Personal and Professional Development in the context of The Humanities, FKUI, Semester I , 2006 8. Yontef GM. Gestalt Therapy, In: Binder V, Binder A, Rimland B, eds. Clinical Phenomenology in Modern Therapies. New Jersey: Prentice Hall Inc.1976: 65 – 79
21
View more...
Comments