Emfisema pulmonum dan laminitis pada sapi perah

September 30, 2017 | Author: veterinarian_91 | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Laporan penyakit dalam emfiseme pulmonum dan laminitis pada sapi perah....

Description

LAPORAN HASIL UJIAN PENYAKIT DALAM PHYSICAL EXAMINATION (PE)

Oleh : ANDI NUR IZZATI BINTI DOLAR, SKH

B94144103

Dosen Penguji : Drh. Retno Wulansari, M.Si, Ph.D Dr. Drh. R. P. Agus Lelana, Sp. MP, M.Si

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2016

FORMULIR PEMERIKSAAN FISIK HEWAN (PHYSICAL EXAMINATION FORM) Tanggal pemeriksaan

: 31 Maret 2016

Anamnesis Berdasarkan anamnesa yang diperoleh, sapi telah melahirkan satu kali, pada saat post partus mengalami pendarahan dan sudah diberikan pengobatan oleh paramedis. Produksi susu 9 liter perhari. Signalament Nama Jenis hewan Ras/ Breed Warna bulu dan kulit Jenis kelamin Umur Berat badan Tanda khusus

: Sapi II : Sapi : Friesien Holstein : Putih hitam : Betina : ± 3 Tahun : ± 400 kg : Tidak ada

Status Present Keadaan Umum Perawatan Habitus/tingkah laku Temperamen Gizi Pertumbuhan Badan Body Condition Score Sikap berdiri Suhu tubuh Frekuensi nadi Frekuensi napas

: Baik : Tulang punggung lurus / jinak : Jinak : Baik : Baik : 2.7 : Tegak pada keempat kaki : 39,6 oC : 100 kali/menit : 56 kali/menit

Adaptasi Lingkungan

: Baik

Kepala dan Leher Inspeksi Ekspresi wajah Pertulangan kepala Posisi tegak telinga Posisi kepala Palpasi Turgor kulit Kondisi kulit

Mata dan Orbita Kiri

: Tenang : Simetris, tegas : Tegak sejajar ke samping : Sejajar dengan tulang punggung : ≥ 3 detik : Baik

Palpebrae Cilia Konjungtiva Membrana nictitans

: Membuka dan menutup sempurna : Melengkung ke arah luar : Pucat, lembab : Tersembunyi

Mata dan Orbita Kanan Palpebrae Cilia Konjungtiva Membrana nictitans

: Membuka dan menutup sempurna : Melengkung ke arah luar : Pucat, lembab : Tersembunyi

Bola Mata Kiri Sclera Kornea Iris Limbus Pupil Refleks pupil Vasa injeksio

: Putih : Bening : Tidak ada perlekatan : Rata : Tidak ada kelainan : Ada : Tidak ada

Bola Mata Kanan Sclera Kornea Iris Limbus Pupil Refleks pupil Vasa injeksio

: Putih : Bening : Tidak ada perlekatan : Rata : Tidak ada kelainan : Ada : Tidak ada

Hidung dan Sinus Hidung : Lembab, tidak ada sumbatan, tidak ada leleran Mulut dan Rongga Mulut Rusak/luka bibir Mukosa Gigi-geligi Lidah CRT

: Tidak ada : Pucat : Gigi lengkap : Pucat, kasar, tidak ada perlukaan : ≥ 2 detik

Telinga Posisi telinga Bau Permukaan Refleks panggilan

: Tegak sejajar ke samping : Bau khas serumen : Halus, rata, tidak ada perlukaan : Ada

Leher

Perototan Trachea Esofagus Ln. Retropharyngealis

: Simetris : Teraba, tidak ada refleks batuk : Teraba, kosong : Simetris, kenyal, suhu sama dengan daerah sekitar.

Thoraks (Sistem Pernafasan) Inspeksi Bentuk rongga thoraks : Simetris Tipe Pernafasan : Abdominal Ritme : Aritmis Intensitas : Dangkal Frekuensi : 56 kali/menit Palpasi Penekanan rongga thoraks : Tidak ada rasa sakit Palpasi intercostal : Tidak ada rasa sakit Perkusi Lapangan paru-paru : Ada perluasan Gema perkusi : Nyaring sampai costae ke 12, redup di costae 5-7 Auskultasi Suara pernafasan : Suara vesikular inspirasi meningkat dan pendek Suara ikutan : Tidak ada Thoraks (Sistem Peredaran Darah) Inspeksi Ictus cordis : Tidak ada Pulsus jugularis : Negatif Perkusi Lapangan jantung : Tidak ada perluasan Auskultasi Frekuensi : 100 kali/menit Intensitas : Kuat Ritme : Ritmis (Teratur) Suara sistolik & diastolik : Terdengar jelas Suara ekstrasistolik : Tidak ada Lapangan jantung : Tidak ada perluasan Sinkron pulsus & jantung : Sinkron Uji-Uji Lain Uji alu Uji gumba

: Tidak ada respon sakit : Positif (Ada respon sakit, kepala menjulur ke depan)

Abdomen dan Organ Pencernaan yang Berkaitan Inspeksi Besarnya : Proporsional (kiri lebih besar dari kanan) Bentuknya : Asimetris Legok lapar : Ada Suara peristaltik lambung : Tidak ada kelainan

Palpasi Tegangan isi perut Frekuensi gerakan rumen

: Tidak tegang : 7x / 5 menit

Auskultasi Rumen Peristaltik usus

: Terdengar suara motilitas rumen : Terdengar suara peristaltik usus, tidak ada peningkatan

Anus Sekitar anus Refleks spinchter ani Kebersihan daerah perineal

: Sedikit kotor : Ada : Sedikit kotor

Perkemihan dan Kelamin (Urogenitalis) Betina Mukosa vagina : Pucat, ada ulkus Kelenjar mamae - Besar - Letak - Bentuk - Kesimetrisan - Konsistensi kelenjar Alat Gerak Inpeksi Perototan kaki depan Perototan kaki belakang Spasmus otot Tremor Sudut persendian Cara bergerak-berjalan Palpasi Struktur Pertulangan Kaki kiri depan Kaki kanan depan Kaki kiri belakang Kaki kanan belakang Konsistensi pertulangan Reaksi saat palpasi

Letak rasa sakit Digit Kestabilan pelvis

: Proporsional : Inguinal : Seragam : Simetris : Kenyal

: Simetris, memerah pada daerah pertumbuhan kuku : Ada abses di tarsus kaki belakang kanan dan kiri, memerah pada pertumbuhan kuku : Tidak ada : Tidak ada : Tidak ada perubahan : Inkoordinatif

: Kompak, kokoh : Kompak, kokoh : Kompak, kokoh : Kompak, kokoh : Keras : Ada rasa sakit di daerah digit kaki kiri depan (dekat pertumbuhan kuku), sakit pada kaki belakang daerah sendi (pada bagian yang meradang/abses) : Ada rasa sakit dibagian heel kaki kiri depan, persendian tarsus kaki belakang kanan dan kiri : Pertumbuhan kuku tidak rata pada kaki kiri depan

Konformasi Kesimetrisan

: Jelas stabil : Simetris

Diagnosa Prognosa Terapi

: Emfisema pulmonum, Laminitis, Pododermatitis : Infausta :-

PEMBAHASAN Seekor sapi Friesien Holstein (FH) berumur sekitar 3 tahun dan berdasarkan anamnesa sapi sudah melahirkan satu kali dan saat post partus mengalami pendarahan dan sudah diberikan pengobatan oleh paramedis. Produksi susu sebanyak 9 liter perhari. Sapi memiliki perawatan, gizi dan pertumbuhan badan yang baik. Berdasarkan pemeriksaan fisik keadaan umum sapi menunjukkan kondisi tubuh yang berada dalam kondisi kurang baik. Hal ini ditunjukkan dengan kondisi suhu tubuh berada di atas kisaran normal sapi, yaitu 39.6°C (normal: 38.5°C-39.3°C) (Subronto 2003). Sementara frekuensi nafas dan denyut jantung juga berada di batas normal yaitu frekuensi nafas 56x/menit (normal: 20x-40x/menit) (Sugeng 2000) dan frekuensi denyut jantung 100x/menit (40x-70x/menit) (Tilley dan Smith 2000). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi laju pernafasan antara lain spesies hewan, umur, suhu tubuh, jenis kelamin, status kesehatan, ukuran tubuh, aktivitas, penggunaan obatobatan, kualitas udara, dan suhu lingkungan. Pemeriksaan sistem integumen memiliki turgor kulit yang buruk yaitu lebih 3 detik yang menunjukkan sapi mengalami dehidrasi. Dehidrasi adalah gangguan dalam keseimbangan cairan atau air pada tubuh. Gangguan kehilangan cairan tubuh ini disertai dengan gangguan keseimbangan zat elektrolit tubuh. Pada pemeriksaan sistem hemodinamika menunjukkan kelainan dimana mukosa sapi yang pucat pada konjungtiva, mukosa hidung, lidah, mukosa mulut dan mukosa vagina serta Capillary Refill Time (CRT) lebih dari 2 detik. Kepucatan umum atau anemia pada mukosa sapi ini disebabkan oleh penurunan kapasitas angkut oksigen yang muncul sebagai respon sekunder akibat penyakit atau gangguan fungsi organ. Pada sapi ini kepucatan disebabkan oleh gangguan pada organ respirasi. Pemeriksaan indera penglihatan, pendengaran dan sistem pertahanan tubuh tidak ditemukan adanya kelainan. Pemeriksaan sistem respirasi ditemukan adanya ketidakteraturan ritme pernafasan dengan intensitas dangkal dan frekuensi di atas kisaran normal. Kondisi ini disertai dengan adanya dispnoe inspiration dengan gejala klinis terkadang menjulurkan leher dan kepala ke depan dan membutuhkan waktu inspirasi yang lebih lama. Hal ini sesuai dengan pernyataan Widodo et al. (2011) terkait gejala-gejala klinis hewan yang menderita dispnoe inspiration. Selain itu kelainan ditemukan saat dilakukan perkusi lapangan paru-paru. Terdapat perluasan di paru-paru kiri dimana terdengar nyaring sampai os costae ke 12. Gema perkusi juga terdengar redup pada paru-paru kiri bagian dorsal intercostalis 5, 6 dan 7. Suara nyaring diluar dari wilayah normalnya diindikasikan terjadinya emfisema atau pneumothoraks (Jackson dan Cockcroft 2002). Bentuk rongga thoraks yang tidak simetris dan suara perkusi

paru-paru seperti suara logam tidak ditemukan pada sapi sehingga dugaan pneumothoraks dapat dieliminasi. Auskultasi suara pernafasan terdengar suara vesicular inspirasi meningkat dan pendek dengan intensitas denyut jantung yang kuat dan frekuensi jantung yaitu 100x/menit berada di atas batas normal. Menurut Andrews et al. (2004) intensitas pernafasan dangkal dan intensitas jantung kuat bisa disebabkan adanya penyakit pulmonary, kondisi metabolic acidosis dan toksemia. Gerakan pernafasan secara menyeluruh dengan gerakan abdominal mengindikasikan terjadi kesakitan pada daerah thoraks seperti pada kasus penyakit pulmonary, dan pneumonia (Jackson dan Cockcroft 2002). Beberapa pengujian dengan tujuan tertentu dilakukan untuk melihat reaksi sakit yang timbul. Saat dilakukan uji gumba, sapi terlihat menjulurkan kepala ke depan dan terlihat sapi berontak. Beberapa penyakit yang dapat diduga pada reaksi menjulurkan kepala ke depan adalah laminitis, pododermatitis, emfisema pulmonum sebelah kiri, pleuritis, perikarditis dan retikulitis. Untuk membedakan penyakit tersebut dilakukan uji-uji lain seperti uji alu, penekanan rongga thoraks dan penekanan intercostalis menunjukkan hasil negatif sehingga dugaan penyakit pleuritis, perikarditis dan retikulits dapat dieliminasi. Pemeriksaan pada ekstremitas kaki sapi terlihat kemerahan pada coronary band dikeempat-empat kaki serta perubahan pada dinding kuku kaki kiri depan dan saat dipalpasi ada rasa sakit dibagian sole sehingga sapi diagnosa mengalami laminitis dan pododermatitis. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan temuan klinis yang dilihat, diagnosa lebih mengerucut pada penyakit emfisema pulmonum, laminitis dan pododermatitis. Emfisema pulmonum adalah keadaan pembesaran paru-paru yang disebabkan oleh pengembangan alveoli secara berlebihan yang disertai atau tanpa disertai robeknya dinding alveoli tergantung kerusakan alveoli. Emfisema dicirikan dengan adanya dispnoe, hyperpnoe, ekspiratorik, dan mudah mengalami kelelahan (Subronto 2003). Dilatasi alveolar yang berlebihan karena terjadi peregangan yang berlebihan pada penyangga dan jaringan elastic dari parenkhim paru-paru. Penumpukan udara menyebabkan desakan yang akhirnya alveoli rupture. Emfisema pulmonum biasanya disebabkan oleh agen alergi dan toksin. Emfisema pulmonum biasanya dapat terjadi secara primer maupun sekunder (Subronto 2003). Emfisema primer disebabkan trauma pada alveoli secara langsung seperti kerusakan rongga thoraks. Emfisema sekunder merupakan penyakit ikutan pada saluran pernapasan, radang paru-paru (pneumonia), bronchitis dan pengaruh pakan. Beberapa macam penyebab terjadinya pneumonia di sapi, antara lain agen virus, fungi, dan bakteri. Agen virus yang dapat menginfeksi di antaranya Parainfluenza-3 (PI-3), Bovine Respiratory Syncytial Virus (BRSV), dan Bovine Viral Diarrhea (BVD). PI-3 dan BRSV merupakan jenis virus yang paling banyak menyerang. Kemudian jenis fungi yang paling sering menyerang, yaitu Mycoplasma sp. Beberapa jenis bakteri yang sering ditemukan antara lain Mannheimia haemolytica, Pasteurella multocida dan Histophilus somni (Potter 2007). Patogenesa terjadinya pneumonia akibat deposisi agen infeksius memasuki jaringan paru-paru secara inhalasi, hematogen atau limfogen. Saluran pernafasan dan parenkhim paruparu mencegah masuknya agen yang berbahaya, menetralisir serta menyingkirkannya. Agen

infeksius yang mudah terbawa oleh udara menginfeksi secara mudah melalui aerosol masuk kedalam paru-paru. Kasus ini terlihat pada kondisi sanitasi kandang dan kepadatan kandang memicu terjadinya pneumonia dan emfisema pulmonum. Kotoran yang tidak dibersihkan menyebakan kondisi kandang yang lembab menyebabkan agen-agen infeksi memasuki jaringan paru-paru. Kejadian akut biasanya disebabkan oleh bakteri Pasteurela sp dan Mycoplasma sp. Kondisi kandang kotor terlihat dari tumpukan feses dan urin yang menggenang menyebabkan bau ammonia yang menguap sehingga menyengat dan menyebabkan iritasi saluran pernafasan. Radostits et al. (2007) menyatakan sapi yang mengalami iritasi pernafasan oleh bahan kimia akut (gas klorin) dapat memicu emfisema pulmonum. Proses peradangan tergantung pada jenis agen yang menginfeksi, virulensi, dan jumlah agen infeksius yang berhasil memasuki jaringan. Infeksi secara hematogen dan limfogen menyebabkan terbentuknya fokus-fokus radang yang letaknya tersebar pada berbagai lobus paru-paru. Kejadian akut biasanya disebabkan oleh bakteri Pasteurela sp. dan Mycoplasma sp., sedangkan yang disebabkan bakteri Mycobacterium sp. kebanyakan bersifat kronis dengan pembentukan granuloma. Agen infeksius yang disebabkan oleh viral berlangsung subklinis yang memerlukan faktor lain dalam patogenesisnya yaitu kerja sama dengan bakteri patogen lain maupun pengelolaan peternakan dan lingkungan yang jelek (Potter 2007). Radang paru-paru akan menyebabkan terjadinya hipoksia karena terjadi gangguan pada pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida. Kompensasi dari hal tersebut hewan akan meningkatkan frekuensi dan intensitas pernafasan. Karena adanya rasa sakit ketika bernafas disebabkan meningkatnya kepekaan jaringan yang mengalami radang pernapasan berlangsung cepat dan dangkal (Potter 2007). Kapasitas paru-paru akan berkurang pada keadaan pneumonia. Sebagai kompensasi hal tersebut, maka intensitas pernapasan akan ditingkatkan menjadi lebih dalam untuk mengatasi kondisi hipoksia akibat terganggunya proses pertukaran udara di dalam paru-paru. Hal tersebut ditemukan pada kasus ini. Kompensasi lainnya untuk memenuhi kebutuhan oksigen terjadinya pelebaran alveoli yang menyebabkan distensi dan rupturenya dinding alveoli. Paru-paru sapi mempunyai tingkat pembagian ruangan yang lebih besar dari pada hewan lain. Hal ini memungkinkan terjadinya hipoksia perifer pada jalannya udara sehingga jalannya udara menjadi terhambat. Hal ini mengakibatkan penurunan aktifitas fagositosis dan retensi multifikasi agen-agen infeksius. Disamping itu, karena makrofag alveolar jumlahnya rendah pada paru-paru sapi, maka mekanisme pembersihan paru-paru tidak seefektif hewan lain. Demikian pula tingkat typical bioactivity dari lysozyme mukus respirasi pada sapi yang rendah, memungkinkan sapi lebih mudah menderita infeksi saluran pernafasan dibandingkan spesies hewan lainnya (Cordes et al. 2005). Faktor predisposisi terjadinya pneumonia adalah faktor lingkungan seperti kondisi lingkungan yang menyebabkan stress pada sapi (temperatur tinggi, kepadatan, transportasi) dan biosekuriti kandang. Kondisi stress menyebabkan kerja sistem imun akan tertekan sehingga hewan akan lebih rentan terkena penyakit. Pengawasan pada sapi yang masih sehat

sangatlah penting, sapi dengan pneumonia sebaiknya ditempatkan dikandang yang bersih, hangat, dan ventilasi yang baik. Terapi yang dapat diberikan pada sapi yang menderita pneumonia adalah dengan pemberian antibiotik dan anti inflamasi. Antibiotik yang biasa digunakan pada terapi awal adalah tertrasiklin. Jika hal tersebut dianggap kurang efektif maka dapat diberikan antibiotik dari golongan cephalosporin (ceftriaxone, cefotaxime, ceftazidime, atau cefepime) atau fluoroquinolon (Maas 2008). Kombinasi tilmicosin and oxytetracycline dapat mengobati pneumonia akut (Musser et al. 1996). Dosis oxytetracycline dihydrate 16-20 mg/kg berat badan secara intramuscular dan macrolide tilmicosin 10-15 mg/kg berat badan secara subcutan. Selain itu, hewan dapat diberikan flunixin meglumin sebagai terapi anti inflamasi yang merupakan non-steroidal antiinflamatory drugs (NSAIDS) untuk mempercepat proses persembuhan hewan (Maas 2008). Pengobatan akan lebih efektif apabila diketahui penyebab pneumonia secara pasti (Cordes et al. 2005). Pengobatan emfisema pulmonum dapat diberikan antihistamin atau kortikosteroid karena kondisi emfisema pulmonum terkait dengan atypical interstitial. Kelainan selanjutnya yaitu pada kaki menunjukkan sapi tersebut mengalami laminitis. Laminitis merupakan peradangan yang terjadi pada lamina dan corium dari dinding kuku (Bergsten 2003). Menurut Kloosterman (2007), laminitis merupakan gangguan yang sering terjadi pada sapi perah dengan tingkat kejadian lebih dari 80% yang menyebabkan ketidaknyamanan. Efek laminitis pada sapi perah sebagian besar terlihat pada permukaan kuku, sole dan white line. Gangguan lamina pada dinding dorsal kuku menyebabkan kuku melengkung (buckled toe). Laminitis dikategorikan menjadi tiga bentuk yaitu akut, subakut dan kronis. Laminitis akut terjadi dalam jangka waktu pendek. Laminitis subakut merupakan bentuk paling umum yang terjadi pada sapi perah, terutama terjadi pada kondisi menjelang partus. Laminitis kronis merupakan hasil dari laminitis akut dan atau subakut. Laminitis kronis ditunjukkan dengan adanya deformasi pada dinding dorsal kuku berupa melengkung atau biasa disebut buckled toe. Kondisi laminitis pada sapi di lapangan dengan kondisi pertumbuhan kuku seperti geriting atau tidak rata ini menunjukkan bahwa laminitis telah berjalan kronis (Kloosterman 2007). Nutrisi berperan penting terhadap terjadinya laminitis, namun kondisi kandang, breeding, body condition, beban penyangga terhadap kuku juga merupakan faktor penting (Kloosterman 2007). Laminitis sering terjadi pada kondisi menjelang partus, hal ini dipengaruhi oleh faktor manajemen. Pemotongan kuku sekitar dua bulan sebelum partus dapat mencegah atau mengurangi terjadinya kepincangan akibat laminitis postpartus. Kondisi ini terjadi kasus ini dimana dengan body condition score (BCS) 2.75 dari 5, dan keadaan kandang cukup kotor serta lantai tidak dialasi dengan karet. Laminitis disebabkan oleh multifaktor salah satunya manajemen nutrisi, metabolisme, gangguan pencernaan, perubahan hormon postpartus, laktasi, serta penyakit infeksius seperti mastitis, metritis, footrot. Selain itu faktor-faktor lain penyebab laminitis yaitu kondisi lingkungan kandang (lantai yang kasar, kepadatan kandang), kondisi tubuh, berat badan, struktur kaki yang dapat mempengaruhi peningkatan beban berat dan stres (Nocek 1996).

Laminitis yang terjadi pada kasus ini disebabkan oleh manajemen nutrisi yang kurang baik terhadap sapi bunting disertai dengan manajemen kandang yang buruk (lantai kandang tidak dialasi karet). Selain itu, laminitis pada sapi ini juga didukung oleh pneumonia kronis yang berjalan cukup lama sehingga terjadinya emfisema pulmonum. Emfisema tersebut menyebabkan pelepasan toksin dan produk inflamasi ke dalam aliran darah. Pakan yang diberikan pada sapi bunting di lapangan ini yaitu berupa konsentrat, rumput dan gedebog pisang, namun frekuensi pemberian tidak diketahui. Menurut Kloosterman (2007), sapi dalam keadaan post partus harus dipastikan mengkonsumsi serat yang cukup dan memiliki asupan bahan kering yang baik. Kualitas pakan juga menjadi penting, pakan yang berjamur dapat menjadi faktor risiko (pembentukan histamin), selain itu kualitas konsentrat yang digunakan pada total mix ration (TMR) juga harus tinggi. Pemberian jumlah pakan yang tidak cukup pada kasus ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan antara konsentrat dan serat. Menurut Greenough (2012), ketidakseimbangan konsentrat dan serat dengan karbohidrat yang tinggi dalam rumen memicu peningkatan bakteri Streptococcus bovis dan Lactobacillus spp. Peningkatan bakteri ini menyebabkan penurunan pH dan menginduksi terjadinya rumen asidosis, sehingga menyebabkan bakteri Gram negatif mati dan melepaskan endotoksin secara vasoaktif. Selain endotoksin, produk inflamasi dari emfisema pada sapi yang dilepas ke dalam pembuluh darah juga memicu tubuh untuk mengeluarkan histamin sebagai reaksi perubahan dan ketidakseimbangan. Pengeluaran histamin oleh tubuh memicu pembuluh darah mengalami vasokonstriksi/vasodilatasi yang berakibat pada kaki dan kuku sebagai penyangga tubuh akan tertekan. Peningkatan tekanan darah akan menyebabkan perembesan pembuluh darah di bagian bawah digit dan lama-lama akan menjadi rusak. Kerusakan pembuluh darah ini akan menyebabkan nutrisi yang mencapai epidermis berkurang sehingga terjadi kerusakan pada stratum germinativum epidermis. Selanjutnya terjadi degenerasi corium dan pemecahan daerah lamina. Os phalanx distal yang berhubungan dengan corium dan dinding dorsal kuku dapat menyebabkan kompresi jaringan lunak sehingga sangat rentan terhadap kerusakan. Hal ini dapat menyebabkan hemoragi, trombosis, dan berkembang menjadi oedema dan iskhemia yang mengakibatkan terjadinya daerah nekrotik pada kaki dalam kaitannya dengan perubahan anatomi dan manifestasi klinis dari berbagai bentuk laminitis (Nocek 1996). Laminitis ini sering dikelirukan dengan pododermatitis. Pododermatitis merupakan peradangan pada jaringan antara toe, di sekitar coronary dan heels. Reaksi peradangan pada pododermatitis diikuti oleh nekrosis dan pengelupasan pada bagian kuku, sehingga sering dikenal dengan penyakit busuk pada kaki, kuku dan hoof. Pada beberapa kasus kejadian pododermatitis dapat berlanjut dan kembali normal, namun juga sering berlanjut menjadi arthritis, nekrosis dan laminitis (McIntosh 1938). Pada kasus ini kaki belakang sapi diduga mengalami pododermatitis. Hal ini dapat dilihat dari peradangan pada daerah kulit bagian atas kuku kaki belakang kanan dan kiri. Menurut Bergsten (2003), pencegahan terhadap laminitis yaitu dengan cara memperbaiki manajemen pakan untuk mengurangi risiko asidosis, mengendalikan penyakit parturient, memperbaiki manajemen kandang dengan menggantikan penggunaan lantai yang terbuat dari beton dengan pemberian karet, serta kebersihan kandang. Tidak terdapat

pengobatan khusus untuk lamintis, namun dapat menggunakan NSAID untuk mengurangi rasa sakit. Kuku yang tumbuh berlebihan harus dilakukan pemotongan secara terus-menerus (Stokka et al. 2011).

SARAN Pada kasus ini perlu dilakukan perbaikkan dalam pola pemeliharaan sapi tersebut untuk mencegah dan mengendalikan penyakit yang diderita sapi seperti manajemen kandang, manajemen pakan serta manajemen kesehatan dan sanitasi. Manajemen kandang - Menggantikan penggunaan lantai kasar yang terbuat dari beton dengan pemberian karet untuk mencegah kuku sapi luka dan memudahkan kotoran sapi dibersihkan. Menurut Kloosterman (2007) Alas kaki yang keras berdampak pada penekanan lapisan kuku dan menyebabkan tulang jari ketiga terbenam dan menekan lapisan korium yang dapat menyebabkan terjadinya laminitis. - Menyediakan kandang yang bersih, hangat dan ventilasi yang baik serta tidak terlalu padat. Kondisi kandang yang terlalu padat dapat menimbulkan stress, kelembaban yang tinggi, ventilasi yang buruk, sanitasi yang kurang baik sehingga dapat menyebabkan kerja imun tubuh tertekan sehingga sapi akan lebih rentan terhadap penyakit. - Menyediakan lahan terbuka agar sapi dapat dilepas untuk exercise. Tujuan dilakukan exercise pada ternak adalah untuk memperoleh sinar matahari yang cukup, memperkuat perototan, memperlancar peredaran darah, mencegah terjadinya retensio plasenta, prolaps uteri dan terjadinya distokia pada ternak yang baru melahirkan (Cole 1991). - Tempat pakan dan minum dipisah agar menghindari hadirnya bakteri patogen dan jamur. - Menyediakan gudang pakan yang tidak jauh dari kandang dengan keadaan tertutup agar pakan terhindar dari debu dan spora jamur. Manajemen pakan - Sapi diberikan pakan berkualitas baik dengan menyeimbangkan pemberian konsentrat dan serat. Menurut Greenoughh (2012), ketidakseimbangan konsentrat dan serat dengan karbohidrat yang tinggi dalam rumen dapat memicu peningkatan bakteri Streptococcus bovis dan Lactobacillus spp. Peningkatan bakteri ini menyebabkan penurunan pH dan menginduksi terjadinya rumen asidosis. - Hijauan sebaiknya dipotong-potong atau dicacah untuk memudahkan sapi makan dan melancarkan proses pencernaan sapi. Manajemen kesehatan dan sanitasi - Hewan yang sakit di pisahkan dengan yang sihat dan ditempatkan di kandang yang bersih, hangat dan ventilasi yang baik. - Perbaikan sanitasi dan manajemen kandang dimana bak tempat air minum sebisa mungkin dibersihkan untuk menghindari bakteri patogen. - Kotoran feses sentiasa dibersihkan dan tidak dibiarkan menumpuk agar menghindari bau ammonia yang dapat menguap sehingga menyengat dan menyebabkan iritasi saluran pernafasan. Radostits et al. (2007) menyatakan sapi yang mengalami iritasi pernafasan oleh bahan kimia akut dapat memicu emfisema pulmonum.

-

Terapi yang dapat diberikan pada sapi yang menderita emfisema pulmonum adalah dengan pemberian antibiotik dan anti inflamasi. Antibiotik yang biasa digunakan pada terapi awal adalah tertrasiklin. Jika hal tersebut dianggap kurang efektif maka dapat diberikan antibiotik dari golongan cephalosporin (ceftriaxone, cefotaxime, ceftazidime, atau cefepime) atau fluoroquinolon (Maas 2008). - Penanganan masalah laminitis pada sapi adalah dengan melakukan trimming (pemotongan kuku), pemberian antiinflamasi, dan analgesik (Kloosterman 2007). - Terapi laminitis juga dapat dilakukan dengan perendaman kuku dalam larutan CuSO4 5%, penggunaan antibiotika seperti penisilin 20.000 IU, sulfamethazine 200 mg/kg bobot badan dengan rute intravena, serta pemberian flunixin meglumine atau phenylbutazone untuk pereda nyeri dan antiinflamasi (Aiello 2000)

DAFTAR PUSTAKA Aiello SE. 2000. The Merck Veterinary Manual. Edisi ke-8. Pennsylvania (US): Merc & Co, Inc. Andrews AH, Blowey RW, Boyd H, Eddy RG. 2004. Bovine Medicine Diseases and Husbandry of Cattle. 2nd Edition. Iowa (US): Blackwell Pub Bergsten C. 2003. Causes, Ris Factors, and Prevention and Related Claw Lesions. Acta vet scand. 98: 157-166. Cordes DO, Dodd DC, O’Hara PJ. 2005. Pneumonia in cattle. New Zealand Vet J 12(5): 101104. Greenough PR. 2012. Laminitis in cattle [internet]. [diunduh 2016 April 04]. Tersedia pada: http://www.merckvetmanual.com/mvm/musculoskeletal_sys tem/lameness_in_cattle/laminitis_in_cattle.html Jackson PG, Cockcroft PD. 2002. Clinical Examination of Farm Animals. Iowa(US): Blackwell Science Ltd. Kloosterman P. 2007. Laminitis-Prevention, diagnosis and Treatment. WCDS Advances in dairy Technology. 19: 157-166. Maas J. Treating pneumonia in beef cattle. [Internet]. [diunduh 23 Agustus 2015]. Tersedia pada: http://www.vetmed.ucdavis.edu/vetext/local-assets/pdfs McIntosh RA. 1938. Infectious Pododermatitis of Cattle. Canadian Journal of Comparative Medicine. 2(9): 257-259. Musser J, Mechor GD, Gröhn YT, Dubovi EJ dan Shin S. 1996. Comparison of tilmicosin with long-acting oxytetracycline for treatment of respiratory tract disease in calves. J Am Vet Med Assoc. 208(1):102-106 Nocek JE. 1996. The Link Between Nutrition, Acidosis, Laminitis and Environment [internet]. [diunduh 2016 April 04]. Tersdia pada: http://www.wcds.ca/proc/1996/wcd96049.htm Potter T. 2007. Calf Pneumonia. UK Vet 12(1). Radostits OM, Gay CC, Hinchcliff KW, Constable PD. 2007. Veterinary Medicine: A Textbook of the Diseases of Cattle, Horses, Sheep, Pigs, and Goats, 10th Edition. London (GB): Saunders Elsevier.

Stokka G, Smith JF, Dunham JR, Anne TV. 2011. Lameness in Dairy Cattle [internet]. [diunduh 2016 April 05]. Tersedia pada: http://www.extension. org/pages/10855/lameness-in-dairy-cattle#.VZm3qrV8tG0 Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak 1 (Mammalia). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sugeng YB. 2000. Ternak Potong dan Kerja. Edisi I. Jakarta: CV Swadaya. Widodo S, Lelana RP. 2011. Sistem sirkulasi. Dalam Diagnostik Hewan Kecil . Bogor : IPB Press.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF