Ekonomi Kerakyatan Dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat

September 6, 2017 | Author: adnan | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

eko...

Description

EKONOMI KERAKYATAN DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI RAKYAT: SUATU KAJIAN KONSEPTUAL

Ruang Ekonomi Kerakyatan Indonesia

Saat mendapat tugas untuk mebahas konsep ekonomi kerakyatan dalam kaitan dengan makalah Prof. Mubyarto tentang “Ekonomi Kerakyatan dalam Era Globalisasi dan Otonomi Daerah”, saya mencoba untuk menangkap (baca memahami) makna kata ‘rakyat’ secara utuh. Akhirnya saya sampai pada pemahaman bahwa rakyat sendiri bukan sesuatu obyek yang bisa ‘ditangkap’ untuk diamati secara visual, khususnya dalam kaitan dengan pembangunan ekonomi. Kata rakyat merupakan suatu konsep yang abstrak dan tidak dapat di’tangkap’ untuk diamati perubahan visual ekonominya. Kata rakyat baru bermakna secara visual jika yang diamati adalah individualitas dari rakyat (Asy’arie, 2001). Ibarat kata ‘binatang’, kita tidak bisa menangkap binatang untuk mengatakan gemuk atau kurus, kecuali binatang itu adalah misalnya seekor tikus. Persoalannya ada begitu banyak obyek yang masuk dalam baris binatang (tikus, kucing, ular, dll.), sehingga kita harus jelas mengatakan binatang yang mana yang bentuk visualnya gemuk atau kurus. Pertanyaan yang sama harus dikenakan pada konsep ekonomi rakyat, yaitu ekonomi rakyat yan mana, siapa, di mana dan berapa jumlahnya. Karena dalam dimensi ruang Indonesia semua orang (Indonesia) ber untuk menyandang predikat ‘rakyat’. Buruh tani, konglomerat, koruptor pun berhak menyandang predikat ‘rakyat’. Sama seperti jika seekor kucing digabungkan dengan 100 ekor tikus dalam satu ruang, maka semuanya disebut binatang. Walaupun dalam perjalanannya seekor kucing dapat saja menelan 100 ekor tikus atas nama binatang.

Ilustrasi di atas saya sampaikan untuk membuka ruang diskusi tetang ekonomi kerakyatan dalam perspektif yang terarah dalam kerangka mengagas pikiran Prof. Mubyarto. Kita harus jelas mengatakan rakyat yang mana yang seharusnya kita tempatkan dalam ruang ekonomi kerakyatan Indonesia. Selanjutnya, bagaimana kita memperlakuk rakyat dimaksud dan apakah perlakuan terhadapnya selama ini sudah benar. Atau apakah upaya menggiring rakya dalam ruang ekonomi kerakyatan selama ini sudah berada dalam koridor yang benar.

Dalam konteks ilmu sosial, kata rakyat terdiri dari satuan individu pada umumnya atau jenis manusia kebanyakan. Kalau diterjemahkan dalam konteks ilmu ekonomi, maka rakyat adalah kumpulan kebanyakan individu dengan raga ekonomi yang relatif sama. Dainy Tara (2001) membuat perbedaan yang tegas antara ‘ekonomi rakyat’ dengan ‘ekonomi kerakyatan’. Menurutnya, ekonomi rakyat adalah satuan (usaha) yang mendominasi ragaan perekonomia rakyat. Sedangkan ekonomi kerakyatan lebih merupakan kata sifat, yakni upaya memberdayakan (kelompok atau satuan) ekonomi yang mendominasi struktur dunia usaha. Dalam ruang Indonesia, maka kata rakyat dalam kontek ilmu ekonomi selayaknya diterjemahkan sebagai kesatuan besar individu aktor ekonomi dengan jenis kegiatan usah berskala kecil dalam permodalannya, sarana teknologi produksi yang sederhana, menejemen usaha yang belum bersistem, dan bentuk kepemilikan usaha secara pribadi. Karena kelompok usaha dengan karakteristik seperti inila yang mendominasi struktur dunia usaha di Indonesia.

Ekonomi Kerakyatan dan Sistem Ekonomi Pasar

Ekonomi rakyat tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya. Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun, atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar. Perlu dipahami bahwa dalam ruang ekonomi nasional pun terdapat sejumlah aktor ekonomi (konglomerat) dengan bentuk usaha yang kontras dengan a yang diragakan oleh sebagian besar pelaku ekonomi rakyat. Memiliki modal yang besar, mempunyai akses pasar y luas, menguasai usaha dari hulu ke hilir, menguasai teknologi produksi dan menejemen usaha modern. Kenapa me tidak digolongkan juga dalam ekonomi kerakyatan?. Karena jumlahnya hanya sedikit sehingga tidak merupakan representasi dari kondisi ekonomi rakyat yang sebenarnya. Atau dengan kata lain, usaha ekonomi yang diragakan bernilai ekstrim terhadap totalitas ekonomi nasional. Golongan yang kedua ini biasanya (walaupun tidak semua) le banyak tumbuh karena mampu membangun partner usaha yang baik dengan penguasa sehingga memperoleh berb bentuk kemudahan usaha dan insentif serta proteksi bisnis. Mereka lahir dan berkembang dalam suatu sistem eko yang selama ini lebih menekankan pada peran negara yang dikukuhkan (salah satunya) melalui pengontrolan

perusahan swasta dengan rezim insentif yang memihak serta membangun hubungan istimewa dengan pengusahapengusaha yang besar yang melahirkan praktik-praktik anti persaingan.

Lahirnya sejumlah pengusaha besar (konglomerat) yang bukan merupakan hasil derivasi dari kemampuan menejem bisnis yang baik menyebabkan fondasi ekonomi nasional yang dibangun berstruktur rapuh terhadap persaingan pa Mereka tidak bisa diandalkan untuk menopang perekonomian nasional dalam sistem ekonomi pasar. Padahal ekon pasar diperlukan untuk menentukan harga yang tepat (price right) untuk menentukan posisi tawar-menawar yang imbang. Saya perlu menggaris bawahi bahwa yang patut mendapat kesalahan terhadap kegagalan pembangunan ekonomi nasional selama regim orde baru adalah implementasi kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang tid tepat dalam sistem ekonomi pasar, bukan ekonomi pasar itu sendiri. Dalam pemahaman seperti ini, saya merasa kurang memiliki justifikasi empirik untuk mempertanyakan kembali sistem ekonomi pasar, lalu mencari suatu sistem paradigma baru di luar sistem ekonomi pasar untuk dirujuk dalam pembangunan ekonomi nasional. Bagi saya dun “pasar” Adam Smith adalah suatu dunia yang indah dan adil untuk dibayangkan. Tapi sayangnya sangat sulit untuk diacu untuk mencapai keseimbangan dalam tatanan perekonomian nasional. Karena konsep “pasar” yang disodork oleh Adam Smit sesungguhnya tidak pernah ada dan tidak pernah akan ada. Namun demikian tidak harus diartikan bahwa konsep pasar Adam Smith yang relatif bersifat utopis ini harus diabaikan. Persepektif yang perlu dianut ada bahwa keindahan, keadilan dan keseimbangan yang dibangun melalui mekanisme “pasar”nya Adam Smith adalah sesuatu yang harus diakui keberadaannya, minimal telah dibuktikan melalui suatu review teoritis. Yang perlu dilakuk adalah upaya untuk mendekati kondisi indah, adil, dan seimbang melalui berbagai regulasi pemerintah sebagai wuj intervensi yang berimbang dan kontekstual. Bukan sebaliknya membangun suatu format lain di luar “ekonomi pasa untuk diacu dalam pembangunan ekonomi nasional, yang keberhasilannya masih mendapat tanda tanya besar atau minimal belum dapat dibuktikan melalui suatu kajian teoritis-empiris.

Mari kita membedah lebih jauh tentang konsep ekonomi kerakyatan. Pengalaman pembangunan ekonomi Indones yang dijalankan berdasarkan mekanisme pasar sering tidak berjalan dengan baik, khusunya sejak masa orde baru. Kegagalan pembangunan ekonomi yang diragakan berdasarkan mekanisme pasar ini antara lain karena kegagalan pasar itu sendiri, intervensi pemerintah yang tidak benar, tidak efektifnya pasar tersebut berjalan, dan adanya penga eksternal. Kemudian sejak sidang istimewa (SI) 1998, dihasilkan suatu TAP MPR mengenai Demokrasi Ekonomi, ya antara lain berisikan tentang keberpihakan yang sangat kuat terhadap usaha kecil-menengah serta koperasi. Keputusan politik ini sebenarnya menandai suatu babak baru pembangunan ekonomi nasional dengan perspektif ya baru, di mana bangun ekonomi yang mendominasi regaan struktur ekonomi nasional mendapat tempat tersendiri. Komitmen pemerintah untuk mengurangi gap penguasaan aset ekonomi antara sebagian besar pelaku ekonomi di tingkat rakyat dan sebagian kecil pengusaha besar (konglomerat), perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak. H yang diharapkan adalah terciptanya struktur ekonomi yang berimbang antar pelaku ekonomi dalam negeri, demi mengamankan pencapaian target pertumbuhan (growth) (Gillis et al., 1987). Bahwa kegagalan kebijakan pembang ekonomi nasional masa orde baru dengan keberpihakan yang berlebihan terhadap kelompok pengusaha besar per diubah. Sudah saatnya dan cukup adil jika pengusaha kecil –menengah dan bangun usaha koperasi mendapat kesempatan secara ekonomi untuk berkembang sekaligus mengejar ketertinggalan yang selama ini mewarnai buru tampilan struktur ekonomi nasional. Sekali lagi, komitmen politik pemerintah ini perlu mendapat dukungan dari berb pihak. Hal yang masih kurang jelas dalam TAP MPR dimaksud adalah apakah perspektif pembangunan nasional dengan keberpihakan kepada usaha kecil-menengah dan koperasi ini masih dijalankan melalui mekanisme pasar? Dalam arti apakah intervensi pemerintah dalam bentuk keberpihakan kepada usaha kecil-menengah dan koperasi i adalah benar-benar merupakan affirmative action untuk memperbaiki distorsi pasar yang selama ini terjadi karena bentuk campur tangan pemerintah dalam pasar yang tidak benar? Ataukah pemerintah mulai ragu dengan bekerjan mekanisme pasar itu sendiri sehingga berupaya untuk meninggalkannya dan mencoba merujuk pada suatu mekani sistem ekonomi yang baru ?. Nampaknya kita semua berada pada pilahan yang dilematis. Mau meninggalkan mekanisme pasar dalam sistem ekonomi nasional, kita masih ragu-ragu, karena pengalaman keberhasilan pembangunan ekonomi negara-negara maju saat ini selalu merujuk pada bekerjanya mekanisme pasar. Mau meru pada bekerja suatu mekanisme yang baru (apapun namanya), dalam prakteknya belum ada satu negarapun yang c berpengalaman serta yang paling penting menunjukkan keberhasilan nyata, bahkan kita sendiri belum berpengalam (ibarat membeli kucing dalam karung). Bukti keragu-raguan ini tercermin dalam TAP MPR hasil sidang istimewa itu sendiri, dimana demokrasi ekonomi nasional tidak semata-mata dijalankan dengan keberpihakan habis-habisan pad usaha kecil-menengah dan koperasi, tapi perusahaan swasta besar dan BUMN tetap mendapat tempat bahkan

mempunyai peran yang sangat strategis.

Bagi saya, sebenarnya keragu-raguan ini tidak perlu terjadi, jika kita semua jernih melihat dan jujur untuk mengakui bahwa kegagalan-kegagalan pembangunan ekonomi nasional selama ini terjadi bukan disebabkan oleh karena ketidakmampuan mekanisme pasar mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional, tetapi lebih disebab karena pasar sendiri tidak diberi kesempatan untuk bekerja secara baik. Bentuk campur tangan pemerintah (o baru) yang seharusya diarahkan untuk menjamin bekerjanya mekanisme pasar guna mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional, ternyata dalam prakteknya lebih diarahkan pada keberpihakan yang berlebihan p pengusaha besar (konglomerat) dalam bentuk insentif maupun regim proteksi yang ekstrim. Pengalaman pembang ekonomi nasional dengan kebijakan proteksi bagi kelompok industri tertentu (yang diasumsikan sebagai infant indu dan diharapkan akan menjadi “lokomotif “ yang akan menarik gerbong ekonomi lainnya, pada akhirnya bermuara pa incapability dan inefficiency dari industri yang bersangkutan (contoh kebijakan pengembangan industri otomotif). Periode waktu yang telah ditetapkan untuk berkembang menjadi suatu bisnis yang besar dalam skala dan skop ser melibatkan sejumlah besar pelaku ekonomi di dalamnya, menjadi tidak bermakna saat dihadapkan pada kenyataan bahwa bisnis yang bersangkutan masih tetap berada pada level perkembangan “bayi”, karena dimanjakan oleh berb insentif dan berbagai bentuk proteksi.

Saya juga kurang setuju dengan pendapat bahwa mekanisme pasar tidak dapat menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan ekonomi nasional. Pendapat seperti ini juga tidak benar secara absolut. Buktinya negara-negara m yang selalu merujuk pada bekerjanya mekanisme pasar secara baik, mampu menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan ekonominya secara baik pula. Sudah menjadi pengetahuan yang luas bahwa negara-negara maju (termasuk beberapa negara berkembang, seperti Singapura) mempunyai suatu sistem social security jangka panjan (yang berfungsi secara permanen) untuk membantu kelompok masyarakat yang inferior dalam kompetisi memperol akses ekonomi. Justru negara-negara yang masih setengah hati mendorong bekerjanya mekanisme pasar (seperti Indonesia) tidak mampu menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan ekonominya secara mantap. Sebenarnya sudah banyak program jaminan sosial temporer semacam JPS di Indonesia, namun pelaksanaannya masih jauh da memuaskan, karena kurang mantapnya perencanaan, terjadi banyak penyimpangan dalam implementasi, serta lemahnya pengawasan.

Fungsi sosial dapat berjalan dengan baik dalam mekanisme pasar, jika ada intervensi pemerintah melalui perpajaka instrumen distribusi kekayaan dan pendapatan, sistem jaminan sosial, sistem perburuhan, dsb. Ini yang namanya affirmative action yang terarah oleh pemerintah dalam mekanisme pasar (Bandingkan dengan pendapat Anggito Abimanyu, 2000).

Jadi yang salah selama ini bukan mekanisme pasar, tetapi kurang adanya affirmative action yang jelas oleh pemeri demi menjamin bekerjanya mekanisme pasar. Yang disebut dengan affirmative action seharusnya lebih dutujukkan pada disadvantage group (sebagian besar rakyat kecil), bukan sebaliknya pada konglomerat. Kalau begitu logikany maka kurang ada justifikasi logis yang jelas untuk mengabaikan bekerjanya mekanisme pasar dalam mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional. Apalagi dengan merujuk pada suatu mekanisme sistem ekonomi ya baru. Ini sama artinya dengan “sakit di kaki, kepala yang dipenggal”. Bagi saya, harganya terlalu mahal bagi rakya kita mencoba-coba dengan sesuatu yang tidak pasti. Pada saat yang sama, rakyat sudah terlalu lama menunggu dengan penuh pengorbanan, untuk melihat keberhasilan pembangunan ekonomi nasional yang dapat dinikmati sec bersama.

Perlu dicatat, bahwa disamping obyek keberpihakan selama pemerintah orde baru dalam kebijakan ekonomi nasionalnya salah alamat, pemerintah sendiri kurang mempunyai acuan yang jelas tentang kapan seharusnya phas out process diintrodusir dalam tahapan intervensi, demi mengkreasi bekerjanya mekanisme pasar dalam program pembangunan ekonomi nasional. Akibatnya tidak terjadi proses pendewasaan (maturity) terhadap obyek keberpiha (dalam mekanisme pasar) untuk mengambil peran sebagai lokomotif keberhasilan pembangunan ekonomi nasional

Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang salah atau kurang sempurna dengan konsep ekonomi kerakyatan?. Seja awal saya katakan bahwa semua pihak perlu mendukung affirmative action policy pada usaha kecil-menengah dan koperasi yang diambil oleh pemerintah sesuai dengan tuntutan TAP MPR. Pembangunan harus dikembangkan den

berbasiskan ekonomi domestik (bila perlu pada daerah kabupaten/kota) dengan tingkat kemandirian yang tinggi, kepercayaan diri dan kesetaraan, meluasnya kesempatan berusaha dan pendapatan, partisipatif, adanya persainga yang sehat, keterbukaan/demokratis, dan pemerataan yang berkeadilan. Semua ini merupakan ciri-ciri dari Ekonom Kerakyatan yang kita tuju bersama (Prawirokusumo, 2001). Kita akan membahas lebih jauh tentang kekurangan ko ekonomi kerakyatan yang di dengungkan oleh pemerintah pada sub-pokok bahasan di bawah ini.

Ekonomi Kerakyatan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat

Perlu digarisbawahi bahwa ekonomi kerakyatan tidak bisa hanya sekedar komitmen politik untuk merubah kecenderungan dalam sistem ekonomi orde baru yang amat membela kaum pengusaha besar khususnya para konglomerat. Perubahan itu hendaknya dilaksanakan dengan benar-benar memberi perhatian utama kepada rakya kecil lewat program-program operasional yang nyata dan mampu merangsang kegiatan ekonomi produktif di tingka rakyat sekaligus memupuk jiwa kewirausahaan. Tidak dapat disangkal bahwa membangun ekonomi kerakyatan membutuhkan adanya komitmen politik (political will), tetapi menyamakan ekonomi kerakyatan dengan praktek membagi-bagi uang kepada rakyat kecil (saya tidak membuat penilaian terhadap sistem JPS), adalah sesuatu kekeliruan besar dalam perspektif ekonomi kerakyatan yang benar. Praktek membagi-bagi uang kepada rakyat keci sangat tidak menguntungkan pihak manapun, termasuk rakyat kecil sendiri (Bandingkan dengan pendapat Ignas Kleden, 2000). Pendekatan seperti ini jelas sangat berbeda dengan apa yang dimaksud dengan affirmative action Aksi membagi-bagi uang secara tidak sadar menyebabkan usaha kecil-menengah dan koperasi yang selama ini tid berdaya untuk bersaing dalam suatu mekanisme pasar, menjadi sangat tergantung pada aksi dimaksud. Sebenarn yang harus ada pada tangan obyek affirmative action adalah kesempatan untuk berkembang dalam suatu mekanism pasar yang sehat, bukan cash money/cash material. Jika pemahaman ini tidak dibangun sejak awal, maka saya khawatir cerita keberpihakan yang salah selama masa orde baru kembali akan terulang. Tidak terjadi proses pendewasaan (maturity) dalam ragaan bisnis usaha kecil-menengah dan koperasi yang menjadi target affirmative a policy. Bahkan sangat mungkin terjadi suatu proses yang bersifat counter-productive, karena asumsi awal yang dia adalah usaha kecil-menengah dan koperasi yang merupakan ciri ekonomi kerakyatan Indonesia tumbuh secara nat karena adanya sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya. Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun, atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar. Modal dasar yang dimiliki inilah yang seharusnya ditumbuhkembangkan dalam suat mekanisme pasar yang sehat. Bukan sebaliknya ditiadakan dengan menciptakan ketergantungan model baru pada kebijakan keberpihakan dimaksud.

Selanjutnya, pemerintah harus mempunyai ancangan yang pasti tentang kapan seharusnya pemerintah mengurang bentuk campur tangan dalam affirmative action policynya, untuk mendorong ekonomi kerakyatan berkembang seca sehat. Oleh karena itu, diperlukan adanya kajian ekonomi yang akurat tentang timing dan process di mana pemerin harus mengurangi bentuk keberpihakannya pada usaha kecil-menengah dan koperasi dalam pembangunan ekonom rakyat. Isu ini perlu mendapat perhatian tersendiri, karena sampai saat ini masih banyak pihak (di luar UKM dan Koperasi) yang memanfaatkan momen keberpihakan pemerintah ini sebagai free-rider. Justru kelompok ini yang enggan mendorong adanya proses phasing-out untuk mengkerasi mekanisme pasar yang sehat dalam rangka mendorong keberhasilan program ekonomi kerakyatan. Kita semua masih mengarahkan seluruh energi untuk mendukung program keberpihakan pemerintah pada UKM dan koperasi sesuai dengan tuntutan TAP MPR. Tapi kit lupa bahwa ada tahapan lainnya yang penting dalam program keberpihakan dimaksud, yaitu phasing-out process y harus pula dipersiapkan sejak awal. Kalau tidak, maka sekali lagi kita akan mengulangi kegagalan yang sama sepe apa yang terjadi selama masa pemerintahan orde baru.

Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di NTT

Kita telah membahas tentang konsep ekonomi kerakyatan dalam pembangunan ekonomi nasional melalui program program keberpihakan pemerintah terhadap UKM dan Koperasi. Masih ada masalah lain yang perlu dibahas dalam hubungan dengan internal condition UKM dan Koperasi. Beberapa kajian empiris menunjukkan bahwa permasalah umum yang dihadapi oleh UKM dan Koperasi adalah: keterbatasan akses terhadap sumber-sumber permbiayaan d

permodalan, keterbatasan penguasaan teknologi dan informasi, keterbatasan akses pasar, keterbatasan organisas pengelolaannya (Asy’arie, 2001).

Komitmen keberpihakan pemerintah pada UKM dan Koperasi di dalam perspektif ekonomi kerakyatan harus benarbenar diarahkan untuk mengatasi masalah-masalah yang disebut di atas. Program pengembangan ekonomi rakya memerlukan adanya program-program operasional di tingkat bawah, bukan sekedar jargon-jargon politik yang hany berada pada tataran konsep. Hal ini perlu ditegaskan, agar pembahasan tentang ekonomi kerakyatan tidak hanya berhenti pada suatu konsep abstrak (seperti pembahasan tentang konsep ‘binatang’ di atas), tetapi perlu ditindalanj dengan pengembangan program-program operasional yang diarahkan untuk mengatasi persoalan keterbatasan ak kebanyakan rakyat kecil. Ini adalah suatu model pendekatan struktural (structural approach).

Pada era otonomisasi saat ini, konsep pengembangan ekonomi kerakyatan harus diterjemahkan dalam bentuk prog operasional berbasiskan ekonomi domestik pada tingkat kabupaten dan kota dengan tingkat kemandirian yang ting Namun demikian perlu ditegaskan bahwa pengembangan ekonomi kerakyatan pada era otonomisasi saat ini tidak h ditejemahkan dalam perspektif territorial. Tapi sebaiknya dikembangkan dalam perspektif ‘regionalisasi’ di mana di dalamnya terintegrasi kesatuan potensi, keunggulan, peluang, dan karakter sosial budaya.

Pada tingkat regional NTT, masih terdapat persoalan mendasar yang ‘mengurung’ para pengusaha kecil-menenga dan Koperasi (termasuk di dalamnya berbagai bentuk usaha di bidang pertanian) untuk melakukan rasionalisasi da ekspansi usaha. Sekalipun sudah banyak program pemberdayaan ekonomi yang langsung menyentuh rakyat di tin bawah telah dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun oleh lembaga-lembaga non-pemerintah (NGOs), tetapi sebagian besar rakyat kecil masih sulit untuk mengaktualisasikannya dalam ragaan usaha mereka. Tingkat pencap tertinggi yang paling banyak diperoleh dari program-program dimaksud adalah hanya terbatas pada tumbuhnya kesadaran berpikir dan hasrat untuk maju. Tetapi ada semacam jarak antara kesadaran berpikir dan realitas perilaku (Bandingkan dengan pendapat Musa Asy’arie, 2001). Sekedar sebagai pembanding disajikan data realis dan tunggakan Kredit Usaha Tani (KUT) selama periode 1996-2000. Jumlah realisasi KUT yang telah disalurkan p petani sejak tahun 1996 sampai tahun 2000 kurang lebih 35, 6 milyar dengan jumlah tunggakan (pokok+bunga) seb kurang lebih 26,1 milyar (Laporan Gubernur NTT, 2002). Atau dengan kata lain tingkat keberhasilan KUT di NTT ha mencapai kurang dari 26 %. Selanjutnya, data yang diperoleh dari Biro Perekonomian Seta NTT menunjukkan bah sejak ditetapkannya TAP MPR tentang demokrasi ekonomi yang menekankan adanya keberpihakan yang jelas terh UKM dan Koperasi di Indonesia, jumlah KK miskin di NTT malah mengalami kenaikan yang cukup murad sebesar 5 selama periode 1998-2002.

Persoalan mendasar yang mengurung ini, mungkin ada kaitannya dengan sistem nilai budaya yang sudah mengaka pada diri pelaku ekonomi rakyat di NTT secara turun temurun. Sistem nilai budaya ini yang banyak mendeterminas perilaku aktor ekonomi rakyat di NTT, termasuk di dalamnya cara pandang tentang usaha, cara pandang tentang tin keuntungan, cara pengelolaan keuangan, sikap terhadap mitra dan kompetitor, strategei menghadapi resiko, dsb. O karena itu saya setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa program pemberdayaan ekonomi rakyat, khusus di NTT, sebaiknya dimulai dengan program rekayasa sosial-budaya (socio-cultural engineering) untuk merubah inne dan mengkondisikan suatu tatanan masyarakat yang akomodatif terhadap tuntutan pasar untuk maju. Ini adalah su model pendekatan lain yang disebut pendekatan kultural (cultural approach).

Fredrik Benu – Dosen Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana, Kupang Makalah disampaikan pada Seminar Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di Provinsi NTT, tgl. 26 Nopember 2002. di Hotel Kristal, Kupang.

PUSTAKA Abimanyu, Anggito. 2000, Ekonomi Indonesia Baru, kajian dan alternatif solusi menuju pemulihan, Elex Media Komputindo, Jakarta. Asy’arie, Musa. 2001, Keluar dari Krisis Multi Dimensi, Lembaga Studi Filsafat Islam, Yogyakarta. Gillis, Malcolm; Perkins, Dwight, H., Roemer Donald R. 1987, Economics of Development, 2 nd Ed. W.W.Norton & Companny, New York.

Kleden, Ignas. 2000, Persepsi dan Mispersepsi tentang Pemulihan Ekonomi Indonesia, Pokok-Pokok pikiran dalam Menggugat Masa Lalu, Menggagas Masa Depan Ekonomi Indonesia, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta.

Gubernur Nusa Tenggara Timur, 2002, Laporan disampaikan pada kunjungan Menteri Pertanian Republik Indonesia Propinsi Nusa Tenggara Timur, tidak dipublikasikan. Prawirokusumo, Soeharto. 2001, Ekonomi Rakyat, Kosep, Kebijakan, dan Strategi, BPFE, Yogyakarta. Simanjuntak, Djisman, S. 2000, Ekonomi Pasar Sosial Indonesia, dalam Menggugat Masa Lalu, Menggagas Masa Depan Ekonomi Indonesia, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta. Tara, Azwir Dainy, 2001, Strategi Membangun Ekonomi Rakyat, Nuansa Madani, Jakarta.

>> Tulis komentar anda.....

PEMBERDAYAAN EKONOMI KERAKYATAN Dalam rangka menumbuhkan dan mengembangkan potensi ekonomi kerakyatan peran koperasi dan Usaha Mikro kecil dan Menengah ( UMKM ) berkedudukan sangat strategis, sehingga perlu diciptakan iklim dan kondisi yang dapat mendorong pertumbuhan dan pengembangannya. Salah satu upaya untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif dalam mendorong pertumbuhan dan pengembangan Koperasi dan UMKM adalah dengan memfasilitasi pembinaan, pendampingan langsung maupun peningkatan permodalan, serta pembentukkan lembaga penjamin kredit dan regulasi yang berpihak kepada koperasi dan UMKM. Untuk

menggali dan mengetahui secara rinci tentang sumber daya UMKM,ketersediaan SDM, mempermudah koperasi dan UMKM dalam memperoleh modal usaha, kemampuan daya saing, ketersediaan jejaring pasar serta mengetahui sampai sejauh mana kualitas produk yang dihasilkan oleh koperasi UMKM agar dapat berkompetisi pada era globalisasi. Beberapa masalah mendasar dalam pengembangan koperasi dan UMKM antara lain keterbatasan modal dan bahan baku, regulasi yang belum berpihak kepada koperasi dan UMKM, keterbatasan manejerial pengelolaan UMKM yang bersifat perorangan dan heterogen dengan variasi yang cukup tinggi. Permasalahan yang turut berpengaruh terhadap pengembangan UMKM adalah belum maksimalnya kemampuan dan prefesionalisme aparatur Pembina UMKM dan SDM UMKM, koordinasi di tingkat pelaksana teknis belum optimal, disamping itu belum optimalnya kemitraan usaha antara koperasi dan UMKM dengan BUMN Pembina atau pengusaha besar dan lembaga financial lainnya. Kebijakkan pemerintah provinsi Kalimantan Tengah dalam upaya pembinaan dan pengembangan Koperasi dan UMKM ke depan direkomendasikan langkah-langkah stratejik untuk memantapkan daya saing Usaha guna peningkatan peluang bisnis dan ekspor melalui : 1. Kebijakan regulasi yang berpihak kepada koperasi dan UMKM seperti penyisihan 5 % dari laba BUMN untuk pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi ( PUKK ) 2. Mempercepat pembentukkan lembaga penjamin kredit bagi koperasi dan UMKM. 3. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan teknis yang lebih efektif, terhadap SDM aparatur maupun SDM UMKM melalui Unit Pendampingan langsung khususnya pada bidang kewirausahaan serta teknologi Informasi. 4. Membangun kerja sama antar daerah dalam rangka pemenuhan kebutuhan bahan baku UMKM. Uraian ini untuk melihat dan menganalisa isu actual yang berkaitan dengan koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Kalteng guna dicarikan solusi pemecahannya, bagi perkembangan UMKM dimasa mendatang. Semoga bahasan ini dapat bermanfaat bagi pembinaan ekonomi kerakyatan melalui UMKM di Kalimantan Tengah.  

Share this: Reddit



Suka Be the first to like this post.

28 Tan

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF