Dzunnun Al-Masri

November 9, 2021 | Author: Anonymous | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Dzunnun Al-Masri...

Description

1

Dzun nun al-misri dan pemikiran tasawufnya Makalah Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Pemikiran islam Edisi revisi

Oleh :

M. yusuf NIM. Fo.6.4.10.033

Dosen Pengampu :

Prof.DR. Djamaluddin Mirri M.A KONSENTRASI PEMIKIRAN ISLAM PROGRAM PASCA SARJANA IAIN SUNAN AMPEL SURABAYA 2010 1- Pendahuluan Pada abad ketiga hijriyah muncul ulama-ulama besar dalam tradisi sufi,

di antaranya ialah al-muhasibi, dzun nun al-misri, abu yazid al-bustami, junaid al-baghdadi dan abu Mansur al-hallaj. Ulama-ulama sufi tersebut menggunakan kebiasaan (tradisi) berpikir yang berkembang pada masa itu. Dzun nun al-misri memiliki konsep sufi yang di kenal dengan “ al-ma’rifah “ nya (pengetahuan), dia juga seorang sufi yang pertama kali menganalisa ma’rifah secara konsepsional.1 Abu yazid al-bustami merumuskan konsep yang di sebut nya dengan “ al-ittihad “ (penyatuan hamba dengan tuhan ). Adapun abu Mansur al-hallaj yang di kenal dengan al-hallaj merumuskan konsep yang di sebut dengan “al-hulul” (tuhan mengambil tempat dalam diri seseorang). Sesungguhnya konsep-konsep tersebut semula tidak di kenal dalam islam. Konsep tersebut hanyalah pengaruh dari beberapa tradisi pemikiran yang ada. Namun dengan konsep tersebut, para sufi meyakini bisa memperoleh pengetahuan tidak dengan alat indrawi atau akal sebagaimana yang di tempuh oleh para filosof dan teolog, melainkan dengan hati dan perasaan. Sebelum al-misri, sebenarnya sudah ada sejumlah guru sufi, tetapi ia adalah orang pertama yang memberi tafsiran terhadap isyarat-isyarat tasawuf. Ia pun merupakan orang pertama di mesir yang berbicara tentang ahwal dan maqomat para wali dan orang yang pertama memberi definisi tauhid dengan pengertian yang bercorak sufistik. Ia mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan pemikiran tasawuf. Tidaklah mengherankan kalau sejumlah penulis menyebutnya sebagai salah seorang peletak dasar-dasar tasawuf2 Pendapat tersebut cukup beralasan mengingat al-misri hidup pada masa awal pertumbuhan ilmu tasawuf. lagi pula, ia seorang sufi pengembara yang memiliki kemampuan dan keberanian untuk menyatakan pendapatnya. Keberanian itu yang menyebabkan ia harus berhadapan dengan gelombang protes yang di sertai tuduhan zindiq. Akibatnya ia pernah di panggil menghadap khalifah al-mutawakkil. 1 Ensilopedi islam, (Jakarta: PT. ictiar Van hoeve, 2000), hal. 243 2 Abd. Al- Mun’im al-hafani. Al-mausu’ah sufiyah, ( kairo: dar ar-rasyid, 1992), hal.165

3 Namun, ia di bebaskan dan di pulangkan kemesir dengan pengaruh dan penghormatan. Kedudukannya sebagai wali di akui secara umum tatkala ia meniggalkan dunia yang fana ini.3 Dalam makalah ini akan di bahas tentang riwayat hidup singkat dzun nun al-misri dan pengalaman serta pmikirannya tentang tasawuf, khususnya tentang masalah ma’rifah yang merupakan cirri khas dari pemikirannya.

2-Pembahasan A- Riwayat hidup singkat dzun nun al-misri Riwayat hidupnya tidak banyak di ketahui kecuali bahwa dzun nun al-misri banyak melakukan perjalanan keberbagai wilayah. Daerah yang pernah di kunjunginya antara lain damaskus, Baghdad, mekkah, madinah, suriah, libanon, dan anathokiah (antiochia). di samping seorang sufi, ia ahli di bidang filsafat, kimia dan tulisan hioroglif (tulisan dan abjad mesir kuno)4 dari berbagai perjalanan ini menyebabkan ia memperoleh pengalaman yang banyak dan mendalam. Ia hidup pada masa munculnya sejumlah ulama terkemuka dalam bidang ilmu fiqh, ilmu hadis, dan guru sufi sehingga dapat berhubungan dan mengambil pelajaran dari mereka. Ia pernah mengikuti pengajian ahmad bin hambal. Ia mengambil riwayat riwayat hadis dari malik, al-laits, dan lain-lain.adapun yang mengambil riwayat darinya antara lain al-hasan bin mush’ib al-nakho’iy. Gurunya dalam bidang tasawuf adalah syaqran al-‘abd atau israfil al-maghriby. Hal ini memungkinkan baginya untuk menjadi seorang yang lain, baik dalam ilmu syariat maupun tasawuf5 Nama lengkapnya adalah abu al-faid al-nun tsauban bin Ibrahim almisri, ia berasal dari desa naubah suatu daerah di selatan mesir.6 Di lahirkan di ikhmim, dataran tinggi mesir tahun 180 H/796 M7 dan

3 Annemarie schimmel. Mystical dimention of islam, ( chapel hill: the university of California press. 1981),hal. 6 4 Ensiklopedi islam, hal. 243 5 Abd. Al-mun’im al-hafani. Al-mausu’ah as-sufiyah, 165 6 Abd karim an-naisaburi, Ar-risalah al-qusyairiyah fi ilm al-tasawwuf, ( kairo: Dar alkhair, tt).hal.433 7 Ensiklopedi islam, 243.

meninggal pada tahun 245 H/ 855 M.8 Dzun nun adalah sebuah gelar, latar belakang pemberian gelar ini di uraikan oleh penulis buku-buku dalam banyak fersi. Yang pasti julukan dzun nun di berikan kepadanya sehubungan dengan berbagai kekaramatannya yang Allah berikan kepadanya di antaranya yaitu, ia pernah mengeluarkan seorang anak dari perut buaya dalam keadaan selamat di sungai nil atas permintaan ibu dan anak tersebut.9 Suatu ketika dzun nun menumpang sebuah kapal saudagar kaya, tiba-tiba saudagar itu kehilangan sebuah permata yang sangat berharga. Dzun nun di tuduh mencurinya. Karena itu, dzun nun di siksa dan di aniaya serta di paksa untuk mengmbalikan permata itu. Dalam keadaan tersiksa dan teraniaya, dzun nun menengadahkan kepalanya ke langit sambil berseru, “ wahai tuhan engkaulah yang maha tahu”. Mendadak muncullah ribuan ekor ikan nun kepermukaan air mendekati kapal sambil membawa permata di mulut masing-masing. Dzun nun mengambil sebuah permata dan menyerahkannya kepada saudagar tadi. Sejak peristiwa aneh itu, ia di gelari “dzun nun “, artinya “ yang empunya ikan nun”10 Nama dzun nun juga mempunyai makna tersendiri, yaitu arti dari namanya adalah “ seseorang yang mempunyai huruf nun dari mesir”. Huruf nun ini mempunyai makna tersendiri pula bahwa huruf nun adalah sebuah symbol yang mempunyai makna spiritual power. Huruf nun di maknai sebagai relasi antara tuhan dan hambanya, dimana huruf nun ini mempunyai sebuah titik di tengah dan garis yang melingkarinya. Symbol tersebut dimaknai sebagai sebuah roda kehidupan yang mempunyai titik tujuan sebagai asal, awal dan titik sentral dari kehidupan. Kaum sufi juga memaknai symbol ini sebagai symbol kesadaran dalam kehidupannya. Begitu pula dengan dzun nun al-misri, dia mengetahui dan sadar akan makna dari symbol yang di milikinya apalagi sebagai nama dari dirinya sendiri. Yang kemudia makna dari namanya itu membawanya serta mendorongnya untuk menjadi seorang sufi yang ikhlas dan tunduk kepada Allah swt. Dia sadar bahwasanya setiap 8 Abd Ar-rahman ash-shulami, tabaqat as-sufiyah,(kairo: maktabah al-khonaji,tt),hal.16 9 Rosihan anwar, akhlak tasawuf,, (bandung: pustaka setia,2009), hal.144 10 Ensiklopedi islam, 243

5 kehidupan akan berawal dan berujung kepada sebuah titik sentral, yaitu sebuah titik sentral pada huruf nun tersebut, dan titik sentral itu di maknai sebagai Allah swt. Yang dimana titik sentral tersebut adalah yang awal dan yang akhir.

B- Ma’rifat menurut dzun nun al-misri 1- Konsep ma’rifat Konsep ma’rifat dzun nun tidak bisa lepas dengan makna yang ia dapat dari namanya itu karena namanya menunjukkan sebuah kepemilikan dan penguasaan terhadap makna dari huruf tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa huruf nun yang menjadi sentral kehidupan di dunia ini, maka untuk mencapai sentral tersebut manusia juga harus memakai sentral dari diri manusia sendiri untuk bertemu dengan sentral kehidupan ini. Sentral yang disebut di atas adalah qalbu, dimana qalbu ini adalah sentral dari manusia dan untuk bertemu dengan sentral yang hakiki maka manusia harus mengoptimalkan sentralnya supaya sampai kepada sentral yang hakiki. Mengapa qalbu atau hati disebut sebagai sebuah sentral, karena pada qalbu ini berkumpul seluruh kelakuan dan tindakan manusia. Maka menurut dzun nun al-misri yang biasa dilakukan oleh hati tersebut adalah: emosi, dekat, shahabat, cinta, mengenal, penyingkapan, menyaksikan, al-ittihad, al-hulul, wahdatul wujud, dan wujudiyah. Ada sebuah perbedaan pengertian yang di maksud oleh dzun nun dengan penyingk apan, perbedaan ini di bagi kepada tiga bagian, yaitu; al-mukasyafah, inkisyaf, dan al-kasy-syaf. Yang di maksud dengan al-mukasyafah adalah saling keterbukaan dimana seorang hamba yang meminta dan Allah yang memberi; al-inkisyaf, adalah penyingkapan atau keterbukaan Allah sebagai karunia kepada hambanya dan seorang hamba hanya menerima saja, tidak dengan meminta. Dimana pada bagian ini keterbukaan hanya diartikan sebagai karunia Allah dan manusia tidak meminta untuk keterbukaan tersebut; al-kasysyaf, pada hal ini tidak menggambarkan proses tentang bagaimana keterbukaannya akan tetapi adanya sebuah pengalaman keterbukaan.

Pada penjelasan di atas disebutkan bahwasanya sentral kehidupan hanya bisa dirasakan oleh sentral manusia, yaitu dimana hati manusia bisa merasakan keterbukaan dengan Allah hanya dengan penglihatan hati yang menjadi sentral kehidupan manusia. Menurut dzun nun hati juga tidak serta merta bisa melihat Allah karena hati yang paling dalam lah yang bisa sampai kepada Allah swt. Sebelum kita sampai pada hati yang dalam, maka akan disebutkan beberapa lapisan hati yang harus di lalui seseorang sebelum bisa ma’rifat kepada Allah swt. Dan lapisan-lapisan tersebut adalah: as-suduur, al-quluub, adldlomair, al-fawaid, as-sir, sir al-asraar, dan basyirah. Yang di maksud dengan as-suduur, hati yang paling luar, pada fase ini hati mengalami penyempitan dan perluasan, dia tak bisa konsisten dalam pendiriannya masih terguncang dan belum istiqamah. Setelah lulus dan berhasil dalam tahapan ini, maka akan masuk dalam lagi kepada tahapan yang kedua, yaitu al-quluub. Setelah masuk dalam tahapan ini, maka hati seseorang tersebut akan kokoh dan lebih istiqamah dalam pendiriannya. Selain itu orang yang sampai pada tahapan ini maka dia akan merasakan ketenangan dalam hatinya. Kemudian setelah lapisan kedua ini berhasil dan tetap konsisten dengan keduanya, yaitu tahap pertama dan kedua. Maka tahap selanjutnya adalah adl-dlomair, yaitu dimana bagian ini juga disebut sebagai bagian terdalam pada tahapan qalbu. Dia menyimpan dan menyempatkan cahaya qalbu, kalau dia sudah sampai pada tahap ini, maka dia akan memiliki kepekaan atau biasa disebut dengan indera keenam. Setelah tahap ini maka selanjutnya adalah al-fawaaid, pada tahapan ini orang sudah separuh perjalanan untuk menggapai puncak ma’rifat. Jika seseorang sudah sampai pada tingkatan ini maka orang tersebut tidak akan bisa dibohongi atas apa yang dia lihat atau rasakan. Kemudian tahap selanjutnya as-sir dan sir al-asraar, tahapan ini adalah tahapan yang hampir mendekati kesempurnaan dan mencapai ma’rifat. Tahapan ini adalah proses untuk mempersiapkan diri kepada tahapan akhir. Maka tahapan akhir, yaitu ketika setiap tahapan tetap terjaga dan saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya, maka sampailah

7 pada tahapan basyirah, yaitu tahapan akhir yang bisa menyampaikan manusia untuk bisa melihat dan merasakan Allah swt. Dan hal ini disebut dengan ma’rifat. 2- Sistematika ma’rifat Dalam perjalanan rohani, dzun nun memiliki sistematika sendiri tentang jalan menuju tingkat ma’rifat. Dari teks ajarannya, abdul halim Mahmud menggambarkan sistematika dzun nun seperti yang di kutip oleh roshihan anwar sebagai berikut: 1- Ketika di Tanya siapa sebenarnya orang bodoh itu, al-misri menjawab “orang bodoh orang yang tidak mengenal jalan menuju Allah dan tidak ada usaha untuk mengenalnya” 2- Al-misri mengatakan bahwa jalan menuju Allah itu ada dua macam, ya itu thariq al-inabak . jalan ini harus dimulai dengan meminta dengan cara ikhlas dan benar, dan thariq al-ithba’. Jalan ini tidak mensyaratka apa-apa pada seseorang, kecuali urusan Allah semata. 3- Disisi lain, al-misri menyatakan bahwa manusia terdiri atas dua macem, yaitu darij dan wasil. Darij adalah orang yang berjalan menuju jalan iman, sedangkan wasil adalah orang yang berjalan (melayang) diatas kekuatan ma’rifat.11 Menurut pengalamannya, sebelum saampai pada maqam ma’rifat, almisri melihat tuhan melalui tanda-tanda kebesarannya yang terdapat di alam semesta. Suatu ungkapan puitisnya adalah: “ ya robbi, aku mengenalmu melalui bukti-bukti karyamu, dan tindakanmu. Tolonglah aku, ya robbi, dalam mencari ridlomu dengan ridloku, dengan semangat engkau dalam kecintaanmu, dengan kesentosaan, dan niat teguh.12 Ketika ditanya bagaimana memperoleh ma’rifat, al-misri menjawab, “ aku mengenal tuhan dengan bantuan tuhan. Kalau bukan karena bantuannya, aku tidak mungkin mengenalnya (‘aroftu rabbi bi rabbi walawla robby lama ‘aroftu robby). 11 Rosihan anwar, akhlaq tasawuf, hal.148 12 Ibid, 148.

Ungkapan itu menunjukkanbahwa ma’rifat tidak di peroleh begitu saja, tetapi merupakan pembirian tuhan, rahmat, dan nikamatnya. Ma’rifat adalh fadl (anugrah) semata dari Allah. Dan ini hanya bisa di capai melalui jalan pengetahuan. Semakin seseorang mengenal tuhannya, maka semakin pula ia dekat, khusyu’ dan mencintainya. Ia termasuk meyakini bahwa ma’rifat sebenarnya adalah puncak dari etika baik vertical maupun horizontal. Jadi, ma’rifat terkait erat dengan syariat, sehingga ilmu batin tidak meneyebabkan seseorang dap[at membatalkan atau melecehkan kewajiban dari ilmu zahir yang juga di muliakan oleh Allah. Demikian pula, dalam kehidupan sesame, seoraqng arif akan senantiasa mengedepankan sikap kelapangan hati dan kesabaran di banding ketegasan dan keadilan. 3-Pembagian ma’rifat Dzun nun al-misri membagi ma’rifat menjadi tiga macam: a- Ma’rifat al-tauhid, yakni doktrin bahwa seorang mukmin bisa mengenal tuhannya karena memang demikian ajaran yang telah ia terima. Atau bisa juga disebut dengan ma’rifatnya orang awam. b- Ma’rifat al-hujjah wa al-bayan, yakni ma’rifat yang di peroleh melalui jalan argumentasi, nalar dan logika. Bentuk konkritnya, mencari dalil atau argument penguat dengan akal sehingga di yakini adanya tuhan. Tetapi, ma’rifat kaum teolog dan filosof ini belum bisa merasakan lezatnya ma’rifat tersebut. c- Ma’rifat sifat al-wahdaniyah wa al-fardhiyah, yakni ma’rifat kaum muqarrobin yang mencari tuhannya dengan pedoman cinta. Sehingga yang di utamakan adalah ilham atau fadl (limpahan karunia Allah) atau kasyf (ketersingkapan tabir antara tuhan dengan manusia). Pada waktu itu akal tidak berjalan lagi, melainkan tiba di derajat yang mustawa pada tingkatan ini, sebenarnya yang lebih berbicara adalah hati dan bukannya akal. Pernah di tanyakan orang kepada dzun nun al-misri: “ dengan jalan apa engkau dapat mengenal tuhan mu?” dia menjawab: “ aku mengenal tuhanku dengan tuhanku sendiri, kalau bukan tuhanku tidaklah aku mengenal

9 tuhan”.13 4- Cirri-ciri seorang arif Karena cinta (mahabbah) yang melandasi pandangan-pandangan dzun nun, maka ma’rifat kepada Allah menurutnya harus berada di atas ketentuan al-qur’an dan as-sunnah yaitu: 1- Nur ma’rifat tidak memadamkan nur kewiraannya. 2- Tidak berkeyakinan bahwa aspek batin dari satu ilmu merusak aspek dhahirnya. 3- Banyaknya nikmat Allah tidak membawa kepada sikap / perbuatan membuka tirai penutup larangan Allah swt. 14

C. Maqamat dan ahwal 1- At-taubah Menurut al-misri, ada dua macam tobat, yaitu tobat awam dan tobat khawas. Orang awam bertobat karena kelalaian (dari mengingat tuhan).15 Dalam ungkapan lain, ia mengatakan bahwa sesuatu yang di anggap sebagai kebaikan oleh al-abrar dianggap sebagai dosa oleh al-muqarrabin. Pandangan ini mirip dengan pernyataan al-junaid al-bahwa tobat adalah engkau melupakan dosamu’. Pada tahap ini, orang-orang yang mendambakan hakikat tidak lagimengingat dosa mereka karena terkalahkan oleh perhatian yang tertuju pada kebesaran tuhan dan zikir yang berkesinambungan. Lebih lanjut al-misri membagi tobat menjadi tiga tingkatan, yaitu: 1- Orang yang bertobat dari dosa dan keburukannya. 2- Orang yang bertobat dari kelalaian dan kealpaan mengingat tuhan 3- Orang bertobat karena memandang kebaikan dan ketaatannya. Pembagian tobat atas tiga tingkatan agaknya tidak harus di lihat sebagai keterangan yang bertentangan dengan apa yang di sebut di atas. Pada pembagian ini, al-misri membagi lagi orang khawas 13 Hamka, tasawuf, perkemangan dan pemurniannya, (Jakarta: PT.pustaka panjimas,2005) hal.93. 14 Abd. Aziz dahlan, tasawuf suni dan tasawuf falsafi, tinjauan filosofis,. jurnal ulumul qur’an, no 8 .1991. hal.29. 15 Abd karim an-naisaburi, ar-risalah al-qusyairiah fi ulm al-tasawuf, hal.433.

menjadi dua bagian, sehingga jenis tobat dibedakan menjadi tiga macam. Perkembangan pemikiran itu merupakan salah satu refleksi dan proses pencarian hakikat oleh seorang sufi yang mengalami tahapan secara gradual.16 2- As-sabr Keterangan al-mishri tentang maqam ash-shabr dikemukakan dalam bentuk kepingan dialog dan sebuah riwayat. Suatu ketika, ia menjenguk orang yang sakit. Ketika orang sakit itu merintih, al-misri berkata, “ tidak termasuk cinta yang benar bagi orang yang tidak sabar dalam menghadapi cobaan tuhan”. Orang sakit itu kemudian menimpali, “ tidak benar pula cintanya orang yang merasakan kenikmatan dari suatu cobaan”. Berikut ini sebuah contoh ucapan al-misri selagi kedua tangan dan haknya di belenggu sambil di bawa kehadapan penguasa dengan disaksikan oleh orang banyak. Ia berkata; “ini adalah salah satu pemberian tuhan karunianya. Semua perbuatan tuhan merupakan nikmat dan kebaikan”.17 3- At-tawakkal Berkenaan dengan maqam at-tawakkal, al-misri mendifinisikan sebagai ‘ berhenti memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki daya dan kekuatan. Intinya adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah di sertai perasaan tidak memiliki kekuatan, hilangnya daya dan kekuatan seolah-olah mengandung arti pasif atau “mati”. Ungkapan seperti ini di kemukakan oleh abu ya’qub an-nahruji bahwa at-tawakkal adalah kematian jiwa tatkala ia kehilangan peluang, bnaik menyangkut urusan dunia maupun akhirat18 4- Ketika ditanya tentang ar-ridla, al-misri menjawab bahwa ar-ridlo adalah kegembiraan hati menyambut ketentuan tuhan baginya. Pendapat ini sejalan dengan apa yang katakan oleh al-qannat, arridla adalah ketenangan hati dengan berlakunya ketentuan tuhan. 16 Rosihan anwar, akhlaq tasawuf, hal.150 17 Ibid,.150 18 Ibid., 150

11 Kedua pendapat ini pada dasarnya menunjukkan makna yang sama. Perbedaannya hanya terletak pada pemilihan kata. Al-mishri memilih kata ‘surur al-qaib’ untuk ketenangan hati, sedangkan alqannad memilih kata ‘sukun al-qalab’. 5- Ahwal Berkenaan dengan ahwal, dzun nun menjadikan mahabbah (cinta kepada tuhan) sebagai urutan pertama dari empat ruang lingkup pembahasan tentang tasawuf. Sebab, tanda-tanda orang mencintai Allah adalah mengikuti kekasihnya, yakni nabi muahammad saw. Dalam hal akhlaq, perbuatan, segala perintah, dan sunnahnya, menghindari sesuatu yang bisa mengakibatkan diri lupa untuk mengingat allah19 artinya, orangorang yang mencintai Allah adalah orang-orang yang mengikuti sunnah rasul, tidak mengabaikan syariat. Untuk memberi pemahaman yang lebih jauh tentang mahabbah bagi orang yang ingin mengetahuinya dengan merinci unsur-unsurnya, ia menyatakan bahwa ada tiga hal symbol mahabbah. Yaitu ridla terhadap hal-hal yang tidak disenangi, berprasangka baik terhadap sesuatu yang belum diketahui, dan berlaku baik dalam menentukan pilihan dan terhadap hal-hal yang di peringatkan.20 Dalam salah satu doanya al-misri berkata, “ya Allah, sesungguhnya rahmatmu yang luas lebih kami dambakan dari pada amal yang kami lakukan, dan kami lebih mengharapkan ampunanmu dari pada siksamu21 Salah satu nasehat dzun nun al-misri, dari yusuf bin hasan berkata bahwa ia pernah mendengar dzun nun berkata: “berteman dengan orang-orang saleh hidup menjadi harum dan kebaikan itu dapat di capai dengan berteman dengan orangorang saleh. Jika kamu lupa ia akan mengingatkanmu, jika kamu ingat ia akan menolongmu.22 19 Ibid., 150 20 Abd ar-rahman as-sulami, thabaqat as-sufiyah, hal.18 21 Ibid.,19 22 Jamaluddi ibn al-farj ibnu al-jauzi, sifat al-safwah, juz 111, (bairut, dar al-kutub alilmiyah, 1999), hal.261

Penutup/kesimpulan Nama lengkapnya adalah abu al-faid dzun nun atsauban bin Ibrahim al-mishri beliau di lahirkan di ikhmim, dataran tinggi mesir tahun 180 H/ 855 M. Buah pemikiran beliau yang terkenal adalah tentang ma’rifat, bahkan beliau diakui sebagai seorang yang pertama kali membuat rumusan tentang ma’rifat. Jika ingin menggapai makna ma’rifat manusia harus berusaha semaksimal mungkin, tidak mungkin bisa menggapai ma’rifat tanpa adanya usaha. Namun jika bisa menggapai ma’rifat hal itu bukan karena usaha dari manusia, tetapi pemberian dari Allah semata. Ma’rifat kepada Allah menurutnya harus berada diatas ketentuan alqur’an dan as-sunnah. Orang yang arif, nur ma’rifatnya tidak memadamkan nur kewaraannya. Keyakinan tidak merusak aspek dhahirnya. Banyaknya nikmat Allah tidak melanggar ketentuan Allah swt. Orang-orang yang mengikuti sunnah rasul dan tidak mengabaikan syariat Dzun nu al-mishri membagi ma’rifat menjadi tiga macem, ma’rifat at-tauid, ma’rifat al-hujjah wal-bayan, ma’rifat sifat alwahdaniya al-wa fardiyah.

Daftar kepustakaan Annemarie schimmel, cal mystidemention oh islam. (Chapel Hill, the university of California press, 1981). Abd Ar-Rahman as-sulami, thabaqat as-sufiyah, (Maktabah al-khanaj, kairo tt). Abd karim An-naisaburi, Ar-risalah Al-qusayairiyah fi ulm al-Tasawwuf. (Dar al-khair,kairo tt). Abd al-mun’m al-hafani. Al-mausu’ah as-sufiyah, (Dar Ar-rasyad, kairo 1992). Abd aziz dahlan, tasawwuf suni dan tasawuf falsafi, tinjauab filosofis, jurnal, ulumul-qur’an, no. 8. 1991 Ensiklopedi islam, (PT. ichtiar van hoeve, Jakarta 2000).

13 Hamka, tasauf, perkembangan dan pemurnian, (PT. pustaka panjimas, jakarta 2005). Jamaluddi ibnu al-farj ibnu al-jauzi, sifat al-safwah juz 111, (bairut: dar alkutub al-‘ilmiyah, 1999). Rosihan anwar, akhlaq tasawuf. (Bandung pustaka setia, 2009).

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF