drama POLRI, SKANDAL Politik Jokowi
March 24, 2017 | Author: Abi Zaidan | Category: N/A
Short Description
Download drama POLRI, SKANDAL Politik Jokowi...
Description
DR. SOETANTO SOEPIADHY, SH., MH.
DRAMA POLRI
SUTARMAN, KAPOLRI KORBAN SKANDAL POLITIK JOKOWI
“SAVE KPK, SEHATKAN POLRI”
1
2
PENGANTAR PENULIS EKSPEKTASI
dan
harapan
masyarakat
terhadap
pemerintahan Jokowi-JK sangatlah tinggi dan melambung. Sehingga dukungan kepada pasangan ini menggelora di manamana. Terutama dukungan penuh kalangan aktivis, LSM, musisi, buruh dan pekerja, mahasiswa, anak-anak muda kreatif, seniman, budayawan, para pegiat antikorupsi, juga mereka jutaan orang-orang pinggiran yang sederhana, yang semuanya mendambakan negerinya ini bisa cepat berubah menjadi negeri yang bersih dari korupsi, negeri yang sejahtera, makmur dan berkeadilan. Kepada Jokowi mereka menumpahkan semua harapan melambungnya itu. Mereka bangkit dengan inisiatif sendiri untuk memenangkan Jokowi menjadi RI – 1. Karena Jokowi dinilai bersih, jujur, merakyat dan lebih dari itu ia membawa sebuah model kepemimpinan baru dengan gaya “blusukan”nya. Pesta kemenangan Jokowi pun disambut meriah dan pesta rakyat, sekaligus syukuran atas berhasilnya sang jagoan memenangi Pilpres dan menjadi Presiden, diadakan di seluruh pelosok negeri. Masa bulan madu dengan pendukungnya ini pun
berlanjut
terus
sampai
menjelang
seratus
hari
kepemimpinannya. Ini menunjukkan élan semangat rakyat, 3
harapan dan kegairahan hidup baru mereka bagi negeri tercinta ini ke depan begitu membuncah. Benar-benar Jokowi mampu membius massa pendukungnya untuk memilih dia menjadi Presiden. Tetapi ...! Keadaan menjadi terbalik, bahkan terjun di titik nadir ketika
Jokowi
menjelang
seratus
hari
pemerintahannya
melakukan blunder politik yang oleh kalangan pengamat disebut sebagai skandal politik. Itu terjadi ketika Jokowi terus saja mengajukan nama Komjen Budi Gunawan (BG) ke DPR untuk disetujui menjadi Kapolri. Padahal BG bermasalah karena sudah ditetapkan menjadi tersangka korupsi oleh KPK. Lantas menjadi tontonan tidak produktif ketika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan gaya koboi tengik dan tengilnya justru meloloskan fit and proper test-nya BG yang sudah menyandang tersangka itu, bahkan secara cepat pun disetujui menjadi Kapolri. Ada agenda apa DPR kita ini? Karena dilanda kebimbangan akibat begitu kuatnya tekanan,
pada
Jumat,
16
Januari
2015,
Jokowi
lalu
mengeluarkan 2 (dua) Keputusan Presiden (Keppres): Keppres yang Pertama tentang Pemberhentian dengan Hormat Jenderal (Pol) Drs. Sutarman sebagai Kapolri. Keppres yang Kedua tentang Penugasan Wakapolri Komjen Polisi Badrodin Haiti 4
Melaksanakan Tugas, Wewenang, dan Tanggung Jawab Kapolri. Dengan demikian, artinya Sutarman diganti sebelum masa jabatannya selesai di Oktober 2015. Menurut pengamat hukum, di sini Jokowi jelas sudah melanggar Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dengan memberhentikan Sutarman tanpa ada alasan kuat. Jokowi dianggap telah melakukan skandal politik. Padahal, menurut Oegroseno, mantan Wakapolri, Sutarman itu didukung seratus persen oleh seluruh anggota Polri. Sayang sekali anggota DPR pun tak ada yang menyatakan simpatinya kepada Sutarman yang jelas-jelas terdzalimi ini. Akibat skandal politik Jokowi itu, jelas Sutarman jadi korbannya, bahkan lebih jauh dari itu kini di institusi Polri terjadi persaingan tidak sehat dan gesekan antar kolega. Sepeninggal Sutarman, juga muncul lagi perseteruan dan balas dendam antara KPK vs Polri yang amat tajam. Ini akibat Polri tidak memiliki pimpinan sebagai Kapolri definitif. Perang antara KPK vs Polri ini mengundang tanda tanya besar dan kontroversial di masyarakat yang akhirnya berkesimpulan, ini semua karena kepemimpinan Jokowi lemah, tidak tegas dan tidak berani, tidak independen bahkan berada di dalam tekanan dari induk partainya serta Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Semua itu menampilkan lemahnya Jokowi dalam 5
semangat pemberantasan korupsi. Jokowi posisinya menjadi berada dalam keterjepitan di antara elit politik PDIP dan KIH karena, ternyata ia tidak bisa tegas dan bahkan terkesan kuat berada di bawah bayang-bayang Megawati Sukarnoputeri.
Blunder-blunder
semacam
itulah
yang
membuat
pendukung utamanya: kalangan aktivis dan para pegiat antikorupsi, mulai kecewa dan berbalik memusuhinya karena Jokowi tidak tegas dan lemah dalam semangat pemberantasan korupsi dan diragukan keberpihakannya yang nyata terhadap KPK sebagai satu-satunya institusi yang memerangi korupsi, dan yang harus dilindungi dari kriminalisasi serta penghancuran oleh siapapun
dan
kekuatan
dari
manapun.
Jokowi
kurang
menunjukkan semangatnya untuk melindungi KPK ketika dikriminalisasi dan dizalimi. Buku ini: "Sutarman, Kapolri Korban Skandal Politik Jokowi” adalah tentang seorang Kapolri yang menjadi korban skandal politiknya Jokowi, sang Presiden. Sama sekali bukan berniat membela dan mendukung sosok Sutarman dengan memuji-mujinya, tetapi sepenuhnya adalah karena terjadinya peristiwa pencopotan menggantinya 6
dengan
secara tiba-tiba seorang Kapolri dan “cuma”
seorang
pelaksana
tugas.
Peristiwa ini, barulah terjadi kali ini dalam sejarah bangsa Indonesia. Sangat memprihatinkan. Semoga ke depan hal semacam ini tidak akan terulang lagi, karena merupakan sebuah cacat hukum dan sekaligus sebuah skandal politik. Semoga ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua!
Surabaya, 1 Februari 2015 DR. Soetanto Soepiadhy, SH., MH.
7
8
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................................................................... DAFTAR ISI .................................................................................................. BAB I ADA APA DENGAN SUTARMAN?........................................... BAB II JOKOWI MENANG, SUTARMAN TERGUSUR ..................... BAB III BENARKAH SUTARMAN “ORANGNYA” SBY? .................... BAB IV ADA CACAT HUKUM, ADA SKANDAL POLITIK ................. BAB V PERANG BINTANG DI POLRI ................................................. BAB VI KPK DALAM ANCAMAN SERIUS............................................. BAB VII “SAVE KPK, SEHATKAN POLRI”.............................................. BAB VIII ANTIKLIMAKS............................................................................. SUMBER BERITA ........................................................................................ TENTANG PENULIS ...................................................................................
2 9 11 25 39 51 63 89 103 121 137 145
9
10
BAB I ADA APA DENGAN SUTARMAN?
SAMPAI menjelang akhir Januari 2015, kemelut soal Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) masih belum menemui titik terang setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Komisaris Jenderal (Pol) Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka. Kepala Lembaga Pendidikan Polri, BG, diusulkan oleh Presiden Joko Widodo menggantikan Kapolri Jenderal (Pol) Sutarman. Sehari menjelang dilakukan uji kelayakan dan kepatutan –fit and proper test oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), KPK menetapkan BG sebagai tersangka dalam kasus korupsi. Penetapan BG sebagai tersangka inilah yang kemudian memicu reaksi berbagai kalangan. Apa yang terjadi kemudian? Tragis dan ironis. Tragis, karena baru pertama kalinya dalam sejarah terjadi, DPR yang terhormat secara aklamasi menyetujui seseorang dengan status tersangka sebagai calon Kapolri. Mengapa ini bisa terjadi? Tak lain karena ketidaktegasan Presiden Jokowi yang diharapkan menganulir pencalonan BG, sebab dia berstatus tersangka. Namun, sayangnya langkah itu tak diambil Presiden. Menjadi 11
ironis, karena kemudian Presiden membiarkan proses politik DPR berjalan. Dan itu, diyakini sebagai sesuai prosedur di DPR. Memperhatikan berbagai tekanan kuat yang ditujukan kepadanya, jalan tengah lalu diambil Presiden Jokowi dengan cara menunda pelantikan BG dan menunjuk Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Badrodin Haiti yang menjalankan tugas dan kewenangan Kapolri, sebagai “pelaksana tugas” (Plt). Namun, tekanan kepada Presiden untuk melantik BG sebagai Kapolri, atau membatalkan pencalonan BG sebagai Kapolri, terus muncul ke permukaan. Di
sini,
ketidakpastian,
kita
memandang
kenegarawanan
dalam
Jokowi
situasi
diuji.
Ia
penuh harus
mencegah terjadinya konflik institusi yang bisa melemahkan semangat
pemberantasan
korupsi
dan
karenanya
bisa
menguntungkan koruptor. Jalur hukum harus dihormati, tak perlu dicampur aduk dengan langkah politik. Namun demikian, kita apresiasi langkah BG menguji penetapan tersangka melalui jalur
praperadilan.
memutuskannya.
Biarlah
Penegakan
sidang hukum
peradilan harus
yang
betul-betul
dilepaskan dari manuver dan kepentingan politik yang justru dimaksudkan mendelegitimasi lembaga negara. Masyarakat harus mampu memahami, bahwa apa yang dituduhkan KPK terhadap BG bukanlah tuduhan terhadap 12
institusi dan lembaga Polri sebagai penegak hukum. Di sinilah pentingnya kedewasaan bertindak dan bersikap para elit penyelenggara negara kita, mulai dari Presiden Jokowi, Wakil Kepala Polri Badrodin Haiti, dan para menteri terkait, yang seharusnya mendorong anggota Polri yang dipanggil sebagai saksi untuk memenuhi panggilan KPK, agar masalah ini bisa segera selesai. Sangat disayangkan, tiba-tiba muncul tuduhan PDI-P, bahwa ada pimpinan KPK melanggar etika. Semestinya tuduhan yang
provokatif
itu
tidak
diekspos
besar-besaran
yang
berpotensi mengganggu pekerjaaan KPK. Seharusnya pula, KPK didukung untuk menuntaskan tuduhannya ke BG sesegera mungkin, sehingga persoalannya menjadi terang benderang. Karena itu kita berharap, biarlah masalah etika itu diselesaikan melalui mekanisme internal KPK, dan sama sekali tidak boleh mengganggu penyidikan terhadap BG. Selain ketentuan hukum, semua pihak hendaknya berpegang pada semangat bangsa pasca reformasi yang tecermin dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, khususnya mengenai etika politik dan pemerintahan. Dalam bagian itu disebutkan, bahwa setiap pejabat dan elite politik dituntut jujur, sportif, berjiwa besar, memiliki keteladanan, dan siap mundur dari jabatan publik 13
apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Maka ketentuan itulah yang semestinya dipegang oleh siapa saja para penyelenggara negara. Jadi biarlah KPK bekerja sesuai dengan hukum yang berlaku. Berbeda 180 derajat dengan BG yang melakukan perlawanan terhadap KPK dengan melakukan praperadilan – sebuah langkah hukum yang juga harus kita hormati, Jenderal (Pol) Sutarman yang tak lagi menjabat Kapolri karena diberhentikan Presiden yang gagal melantik BG sebagai calon Kapolri baru, ia menerima dengan penuh lapang dada. Ikhlas dan
seratus
persen
loyal
kepada
Presiden.
Meskipun
sesungguhnya sangat dimungkinkan Sutarman bisa menggugat Presiden Jokowi, karena memecatnya tanpa alasan masuk akal –seperti yang dikatakan banyak pengamat hukum. Bahkan ketika ia ditawari Presiden untuk menjadi Duta Besar atau Komisaris di perusahaan BUMN, namun dengan halus Sutarman menolaknya dan mengucapkan terima kasih atas tawaran itu. Pasca pengumuman pemberhentian dengan hormat sebagai Kapolri oleh Presiden Jokowi itu, Jumat, 16 Januari 2015 malam, Sutarman, Alumni Akademi Kepolisian 1981, Rabu pagi, 21 Januari 2015, dengan langkah ringan menghadiri acara pelepasan di Mabes Polri dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian 14
(PTIK). Bertempat di Ruang Rapat Utama (Rupatama) Mabes Polri, Sutarman menandatangani penyerahan tugas, jabatan dan tanggungjawab kepada Plt Kapolri Komjen Pol Badrodin Haiti. Ini sungguh sebuah peristiwa amat bersejarah di tubuh kepolisian kita yang baru pertama kalinya terjadi ada pengangkatan Kapolri dengan jabatan Plt. Meski diberhentikan sebagai Kapolri tanpa alasan yang jelas, pria yang diangkat sebagai Tri Brata 1—sebutan lain Kapolri,
sejak 25
Yudhoyono
(SBY),
Oktober 2014 oleh
Susilo Bambang
tidak
kemarahan
menampakkan
dan
kekecewaan di wajahnya sedikit pun. Sebaliknya, senyuman khas tetap terpancar dari wajah mantan Kabareskrim Mabes Polri ini. Dia tampak ikhlas melepas jabatan itu kepada wakilnya, Komjen Badrodin Haiti. Begitu prosesi upacara dan tanda tangan antara Sutarman dan Badrodin usai, mendadak suara di ruang Rupatama itu menjadi haru, tatkala Sutarman menyampaikan pidatonya.
"Saya mohon doa restu untuk menikmati sisa-sisa
hidup ini di lingkungan masyarakat. Saya janji ke diri saya untuk tidak lagi terjun di kegiatan-kegiatan pemerintahan, politik-politik lain. Saya ingin habiskan sisa hidup saya untuk kepentingan-kepentingan sosial," kata pria kelahiran Sukoharjo, 5 Oktober 1957 itu dengan nada mantab. 15
"Peristiwa ini adalah sebuah peristiwa sejarah bangsa Indonesia akan mencatatnya," ungkap Sutarman dengan sorot mata tajam. Dalam forum tersebut Sutarman mengucapkan selamat kepada Badrodin untuk mengemban amanah yang berat dalam melaksanakan tugas-tugas Kapolri. Menurutnya, pergantian ini telah menimbulkan berbagai persoalan di masyarakat. Namun, dia berharap di internal Polri tidak demikian. Dia meminta kepada semua “adik-adiknya” agar tetap kompak dan menjaga marwah korps baju colekat. Sejak awal, Sutarman mengaku dengan tulus dan ikhlas melepas jabatan Kapolri itu. "Begitu saya duduk jadi Kapolri, saya sudah harus siapkan adik-adik saya untuk menggantikan saya," katanya. “Dan saya berpesan, jangan sampai kesatuan Polri ini diombang-ambing oleh kekuatan-kekuatan politik," tegasnya lagi. Sutarman menjamin bahwa dirinya loyal seratus persen untuk apapun yang diputuskan oleh Presiden Jokowi. Semua peserta upacara pun seolah terpaku menantikan setiap kata yang meluncur dari mulut jendral yang sudah mengabdikan diri selama kurang lebih 34 tahun di lembaga Polri. "Bahkan sempat Presiden menawari saya beberapa jabatan. Saya katakan saya akan pensiun, menikmati hidup. Saya bilang ke Presiden, akan bantu bapak saya bertani," 16
katanya. Sutarman kemudian mengucapkan terima kasih kepada personel Polri dan seluruh Bhayangkari di mana pun berada.
Selama
menjalankan
tugas,
sambung
dia,
bisa
menampilkan sosok kepolisian seperti yang ada saat ini. Dalam peristiwa bersejarah itu, jendral berbadan tegap dan proporsional tersebut tak lupa menyampaikan terima kasih
atas kerjasama, dukungan, dan dedikasi yang telah
diberikan seluruh anggota Polri demi kemajuan institusi. "Ini semua demi pelayanan masyarakat untuk kamtibmas dan penegakan hukum," paparnya. Dia pun sempat meminta maaf kepada seluruh anggota Polri dan masyarakat karena masih banyak terjadi ketidakadilan di dalam dan di luar institusi Polri. Sutarman mengakui selama ini belum bisa berlaku adil terhadap seluruh persoalan dan penyimpangan yang terjadi. "Selama saya menjadi pemimpin Polri saya belum bisa memberikan keadilan itu seluruhnya. Saya tahu banyak penyimpangan tapi saya belum bisa meluruskan. Karena itu saya minta maaf," kata Sutarman. Tapi ia ingin anggota Polri di mana
pun
untuk
tetap
membantu
masyarakat
yang
memerlukan bantuan. "Kita berikan sentuhan lembut tangan kita," ungkap mantan Kapolda Metro Jaya ini. Sutarman tidak menjelaskan lebih gamblang masalah ketidakadilan seperti apa yang dia maksud masih banyak terjadi 17
itu. Namun, Sutarman menyinggung Keputusan Presiden (Keppres) pemberhentian dirinya dengan hormat, sekaligus penunjukan Plt Kapolri kepada Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Badrodin Haiti. "Internal Polri sebelum ada Keputusan Presiden kemarin sejuk dan solid, tidak ada masalah. Setelah ada keputusan, ada dampak yang begitu luas di masyarakat dan di institusi Polri," ujar Sutarman. Namun demikian, Sutarman menegaskan, bahwa dirinya menerima Keppres tersebut dengan ikhlas. Sutarman resmi diberhentikan dengan hormat oleh Presiden Joko Widodo, Jumat, 16 Januari 2015. Sebagai penggantinya, Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal (Pol) Badrodin Haiti diberikan mandat sementara untuk menjalankan fungsi dan wewenang Kapolri. Calon pengganti Sutarman sendiri, BG belum dapat dipastikan kapan bakal dilantik. Pasalnya, BG ini tersandung kasus korupsi dan ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK. Kemudian Jokowi memutuskan menunda pelantikan BG, hingga mendapat kejelasan dari persoalan hukum yang membelitnya. Usai di Mabes Polri, Sutarman lalu menghadiri acara Bhayangkari. Setelah itu, ia dan istri bertolak ke PTIK di Kebayoran Baru, Jaksel. Sekitar pukul 10.35, rombongan 18
Sutarman dan istri tiba di PTIK. Di sini, sudah menunggu ratusan anggota Polri. Bahkan, taruna PTIK ikut terjun menyambut kedatangan Sutarman. Para taruna ini berdiri di halaman, sambil bernyanyi menyambut jenderal polisi bintang empat itu. Yang lebih membuat istimewanya lagi, ternyata Sutarman
sudah ditunggui
oleh
Panglima
TNI Jenderal
Moeldoko, KSAL, KSAU dan Wakasad. Saat Moeldoko memasuki auditorium, tepuk tangan meriah dipersembahkan oleh para anggota Polri. Selang lima menit kemudian, Sutarman dan istri masuk ruangan upacara. Tepuk tangan sambil berdiri dihadiahkan untuk mantan ajudan Presiden RI keempat Abdurrahman Wahid ini. Dia pun lantas duduk bersama Moeldoko, Badrodin, KSAL, KSAU dan Wakasad. Satu demi satu mata acara yang dipandu Ferdy Hasan
dan
seorang
Polwan,
berlangsung
meriah
dan
mengharukan. Pemberian cenderamata silih berganti dilakukan. Mulai dari Panglima, keluarga besar Polri hingga perwakilan seluruh Kapolda yang diwakilkan kepada Kapolda Papua. Suasana
damai
amat
terasa.
Sempat
pula
dipertontonkan selayang pandang perjalanan karir mantan Kapolda
Kepulauan
Riau
itu.
Badrodin
Haiti
yang
menggantikan Sutarman, dengan suara bergetar dan nada seolah menahan tangis menyatakan, selama memimpin Polri, 19
cukup banyak keberhasilan yang dibuat Sutarman, baik dalam tugas pembinaan mau pun operasional. Yang tak kalah penting tambahnya,
adalah
kesuksesan
Sutarman
mengamankan
jalannya Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Umum Presiden 2014. Saat itu, kata Badrodin, hampir semua elemen bangsa terbelah menjadi pendukung calon pasangan capres-cawapres. Menurut dia, tidak hanya media, juga politikus, ulama, tokoh masyarakat, sampai purnawirawan TNI dan Polri terbelah menjadi dua dan harus “berhadap-hadapan”. Prediksi kala itu, ujar Badrodin, akan terjadi chaos dan kerusuhan di mana-mana. "Tapi, ternyata, kepolisian di bawah pimpinan Jenderal Sutarman mampu menjalankan tugasnya dengan sukses. Ini jadi satu kenangan bagi kami semua dengan hati bangga. Kami akan melanjutkan tugas ini ke depan," ujar jenderal bintang tiga ini. Mewakili jajaran Polri, Badrodin Haiti mengucapkan terima
kasih
dan
penghargaan
setinggi-tingginya
atas
kepemimpinan Sutarman di Polri. "Ini patut kita teladani dan lanjutkan," katanya. Badrodin mengakui, tantangan Polri ke depan semakin berat dalam menghadapi turbulensi yang terjadi di Korps Bhayangkara seperti saat ini. Karenanya, Badrodin meminta doa restu untuk bisa bersama-sama melewati masamasa kritis ini dengan baik. Tak cuma itu, Badrodin pun masih 20
meminta bimbingan Jenderal Sutarman, dalam menghadapi masa-masa berat ini. "Kami juga mohon, masih terus memohon bimbingan kepada Pak Jenderal Sutarman. Apa yang kita hadapi ke depan ini cukup berat," kata Badrodin. Dia meminta, internal Polri harus solid menghadapi tugas berat ini. "Kita perlu solid," tegas Plt Kapolri yang alumnus Akademi Kepolisian 1982 itu. Mewakili keluarga
besar Polri,
terakhir Badrodin
mengucapkan terima kasih atas bimbingan Ibu Elly Sutarman sebagai ibu asuh Polisi Wanita yang telah membimbing Bhayangkari.
"Terima kasih atas dharma bhaktinya," kata
Badrodin. Saat meninggalkan ruangan, Sutarman terlihat tenang. Senyum terus terpancar. Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju mobil Toyota Kijang Innova warna hitam nomor B 8080 AB yang sudah menunggunya. Namun, sebelumnya dia sempat berhenti sejenak menerima persembahan sebuah lagu dari grup band PTIK. Dalam lagu itu terdengar bait "Selamat Jalan Jenderal Sutarman, Terima Kasih atas Pengabdianmu." Sutarman pun terus melangkah dengan mata yang kini terlihat berkaca-kaca seolah menahan tangis haru. "Polri harus satu, harus bersama. Tidak boleh terpecah oleh kekuatan siapapun. Selamat berjuang," kata Sutarman. 21
Yang menarik dan perlu kita cermati, dalam berbagai ucapan mantan Kapolri itu, terselip ungkapan-ungkapan yang mewakili kegalauan dan kegundahan yang ada di dalam hatinya. Seperti kalimat: “Sejarah akan mencatat peristiwa pergantian Kapolri ini”; “Pergantian ini telah menimbulkan berbagai persoalan di masyarakat”; “Memicu perseteruan KPK vs Polri”; “Sebelum ada Keputusan Presiden kemarin sejuk dan solid, tidak ada masalah. Setelah ada keputusan, ada dampak yang begitu luas di masyarakat dan di institusi Polri”. Tentu
saja
ungkapan-ungkapan
yang
disampaikan
Sutarman itu menjadi menarik dan mengambil perhatian kita, sehingga kita patut bertanya: “Ada apa dengan Sutarman?” Tetapi yang pasti, pria asal Solo yang pada Oktober 2015 berusia 58 ini, akan mengisi hari-hari pensiunnya ke depan dengan bertani. Dia ingin membantu orangtuanya yang memang seorang petani. "Hidup saya akan saya habiskan untuk membantu masyarakat yang masih membutuhkan bantuan," jelas Sutarman suatu saat di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Jakarta. "Masih banyak rakyat yang perlu bantuan dan sentuhan lembut tangan kita. Itulah yang akan saya lakukan," tambahnya. "Saya sudah terima kasih, saya sudah bekeja di pemerintah hampir 34 tahun sejak 1981 lalu. Sehingga sisa 22
hidup saya akan saya serahkan ke masyarakat yang masih butuh. Dan, sekali lagi, saya akan bantu bapak saya bertani. Dengan bertani sama saja membantu Presiden untuk menyiapkan ketersediaan pangan kita. Karena pangan sangat rawan untuk masa mendatang," jelasnya. Apakah Anda sedih saat tiba-tiba diberhentikan Presiden dari posisi Kapolri, padahal masa tugas Anda masih 9 bulan? "Saya malah senang, bahagia!" aku Sutarman, mantan ajudan Presiden RI keempat Abdurrahman Wahid atau Gus Dur itu. Mantan Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutarman ini sempat berpesan supaya institusi Polri tidak mudah terpecah belah. Sutarman berharap Polri menjadi institusi yang kuat dan berkontribusi pada penegakan hukum di negeri. "Polri harus satu, harus bersama, enggak boleh terpecah belah. Siapa pun pemimpin negara ini, harus didukung dan harus bisa memberikan kontribusi dari aspek Polri," ujar Sutarman di Kompleks PTIK, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (21/1/2015). Selanjutnya Sutarman mengatakan, ke depan, institusi Polri dihadapkan pada banyak tantangan. Tantangan yang pertama ialah kondisi politik di Indonesia yang berpotensi memecah persatuan dan kesatuan, bahkan bagi institusi sebesar Polri. Tantangan selanjutnya, ujar Sutarman, ialah dimensi 23
kejahatan yang kian berkembang, mulai dari kejahatan transnasional hingga kejahatan konvensional. "Oleh sebab itu, kita perlu soliditas, integritas, dan profesionalitas organisasi, sehingga Polri betul-betul bisa menjadi institusi yang kuat untuk mengawal penegakan hukum di negeri ini," pungkas Sutarman. (*)
24
BAB II JOKOWI MENANG, SUTARMAN TERGUSUR
RUPANYA kemenangan Jokowi-JK menjadi Presiden dan Wakil Presiden periode 2015-2019, memicu spekulasi di tubuh
Polri.
Spekulasi
itu
terkait
kemungkinan
adanya
pergantian posisi Kapolri yang dipegang Sutarman sebelum waktunya pensiun. Rasan-rasan untuk mengganti Sutarman ternyata memang sudah terdengar jauh sekitar Agustus 2014 lalu. Yang jelas, rasan-rasan itu adalah: Kemungkian Sutarman akan diganti Jenderal Budi Gunawan, yang menjabat Kepala Lembaga Pendidikan Kepolisian yang dikenal dekat dengan Megawati Soekarnoputri. Lalu, mengapa Sutarman harus diganti? pemerhati
Banyak
alasan
kepolisian.
disebutkan Yang
pasti,
terutama alasan
oleh yang
para biasa
disampaikan, karena masa jabatan Sutarman yang berakhir pada Oktober 2015 akan dipercepat. Terkait
spekulasi
ini,
Komisi
Kepolisian
Nasional
(Kompolnas) saat itu belum dapat memastikan pergeserannya sebelum masa jabatan Sutarman berakhir. Mereka menyerahkan soal itu kepada presiden terpilih, Jokowi. Bagi Kompolnas, 25
ungkap Edi Hasibuan, salah satu anggotanya, hal paling penting bagi calon pengganti Kapolri adalah tokoh yang memenuhi syarat dan bisa memberikan perubahan. “Sebab sampai saat ini secara obyektif, belum banyak yang berubah di Kepolisian kita,” kata Hasibuan. Sepanjang tahun 2014 ini tercatat beberapa kasus yang membelit oknum di internal Kepolisian. Misalnya, kasus pembukaan rekening milik bandar judi online di Jawa Barat. "Jadi ini membuktikan ada konspirasi antara aparat dengan pelaku kejahatan," ujar Juru Bicara Indonesia Police Watch (IPW), Sogi Sasmita, dalam acara diskusi dengan tema "Police Outlook 2015, Evaluasi dan Proyeksi Kinerja Polri" yang digelar IPW di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (21/12/’14). Selain itu, sambung Sogi, keteladanan pimpinan Polri hilang, sehingga muncul bentrokan di Batam antara oknum kepolisian dan tentara. Lebih memprihatinkan lagi, adalah kriminalisasi terhadap anggota Kompolnas. "Dengan bukti itu semua, aspek integritas, keteladanan, dan kemitraan antara polisi dan pengawas (kepolisian) tidak berjalan dengan baik," kritik dia. IPW menilai, Kinerja Kepolisian Republik Indonesia (Polri) tahun 2014 lalu, sangat tidak memuaskan masyarakat. Reformasi di internal Kepolisian juga jalan di tempat. Padahal 26
Polri memiliki 420.275 personel disertai anggaran Rp 44,5 triliun tahun 2014 itu. Makanya, IPW memberikan rapor merah kepada lembaga penegak hukum pimpinan Sutarman ini. "Kinerja Polri masih merah, karena integritas, keteladanan, profesionalisme dan kemitraan sangat lemah. Tidak ada kemajuan sama sekali selama tahun 2014," tegasnya. Dengan mendapat rapor merah, Sogi menilai Kapolri Sutarman gagal dalam
memimpin
lembaga
kepolisian.
"Presiden
harus
mengganti Kapolri demi untuk menata kembali institusi kepolisian lebih baik ke depannya," tegas dia. Karena dengan mengganti pucuk pimpinan di tubuh kepolisian, secara otomatis satuan tingkat kerja yang ada di bawahnya juga akan diganti dengan calon yang lebih segar dan baik. Dalam paparan “Police Outlook 2015” ini telah dimatrikulasi evaluasi kinerja satuan kerja. Yang dapat rapor merah adalah Bareskrim, Intelkam, Irwasum, Korlantas, Polda Sumut, Polda Sulsel, Polda Jawa Tengah, Polda Jawa Barat, Polda Kalimantan Timur, Polda Kepri. Selain itu, Polda Sumatera Barat, Polda Jambi, Polda Bengkulu, Polda Lampung, Polda Kalimantan Barat, Polda Kalimantan Tengah, Polda NTT, Polda NTB, Polda Sulawesi Utara dan Polda Gorontalo. Yang mendapat rapor merah juga adalah Polda Sulawesi Tenggara, Polda Maluku, Polda Maluku Utara, Polda Aceh, Polda 27
Sumatera Selatan, dan Polda Papua. "Adapun variabel ukuran memberikan rapor merah adalah faktor integritas, keteladanan, profesionalisme, dan kemitraan," tandas Sogi Sasmita. Seiring
berjalannya
waktu,
rumor
mempercepat
penggantian Sutarman itu terus bermunculan. Teka-teki siapa calon Kapolri baru mulai ramai diperbincangkan. Karena pengganti Jenderal Sutarman itu sangat penting bagi masa depan Polri dan stabilitas nasional, katanya. Seperti yang diungkapkan Indonesia
Koordinator Timur,
Syahrul
Persaudaraan Ramadhan,
kader
HMI
Sabtu,
se-
20/12.
(www.rmol.co. Read/2014/12/20/184086). Menurut Syahrul, banyaknya isu mulai dari korupsi dan konflik anggota Polri dengan anggota TNI di Kepulauan Riau yang
menyita
perhatian
publik
terjadi
karena
faktor
kepemimpinan. "Lemahnya kepemimpinan dua institusi ini menjadi pemicu bahwa keduanya sulit dikendalikan secara hirarkis pasukannya sampai ke bawah, belum lagi ancaman disintegrasi yang di lancarkan oleh kelompok ekstremis, seperti OPM di Papua, dan lain-lain," kata Syahrul. Beberapa figur yang sudah diwacanakan bakal diusulkan untuk menjadi Kapolri di antaranya Wakapolri Komjen Badrodin Haiti, Kabareskrim Komjen Suhardi Alius, dan Kepala Lemdikpol Komjen Budi Gunawan. Namun demikian, Syahrul 28
meyakini, bahwa sosok yang tepat diberi kepercayaan tersebut adalah BG. "Saya
menilai
figur
intelektual
dan
leader yang
mumpuni adalah Komjen Budi Gunawan untuk jadi Kapolri. Beliau sangat pas memimpin institusi Polri. Presiden perlu mempertimbangkan siapa yang bakal menjadi Kapolri. Ini menyangkut trust publik," jelasnya. Ia berharap, agar Presiden Jokowi tidak salah dalam memilih Kapolri karena akan berimplikasi terhadap jaminan keamanan dan pelayanan masyarakat. "Saya sebagai Ketua Persaudaraan Kader HMI seSulawesi,
mendukung
Komjen
Budi
Gunawan,
seorang
sederhana dan mampu mengembalikan kejayaan Polri yang pelindung, pelayan, dan pengayom masyarakat." BG selama ini dikenal dekat dengan Ketua Umum DPP PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri. Karena dia pernah menjadi ajudan saat putri Bung Karno tersebut menjadi Presiden RI. Bahkan, BG disebut-sebut ikut menyokong Jokowi saat Pilpres 2014. Meski hal itu dibantah. Mendengar
begitu
kerasnya
suara-suara
untuk
mempercepat penggantian dirinya sebagai Kapolri, yang mestinya berakhir pada Oktober 2015, Jendral Sutarman menyatakan siap diberhentikan oleh Presiden Joko Widodo. 29
Pemberhentian
Kapolri,
menurut
Sutarman,
adalah
hak
prerogatif Presiden sepenuhnya. "Mau diganti sekarang atau besok, kami (Kapolri) siap. Kami siap melaksanakan apa yang jadi
perintah
Presiden,"
kata
Sutarman
di
Lapangan
Bhayangkara, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Rabu, 14 Januari 2015. (tempo.co/read/news/2015/01/14/078634812) Begitulah kemudian yang terjadi, dengan gerak cepat, sebelum masa tugas Sutarman berakhir, Presiden Jokowi sudah menunjuk BG sebagai calon tunggal pengganti Sutarman. Jokowi juga telah mengirim surat penunjukan BG ke DPR. Namun, secara tiba-tiba pula, sehari setelah surat Jokowi ke DPR, KPK menetapkan BG sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi. KPK mengaku telah menyelidiki kasus BG sejak Juli 2014. Penyelidikan tersebut didasarkan pada informasi transaksi dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Menghadapi
kenyataan
adanya
anggota
korps
Kepolisian yang menjadi tersangka ini, Sutarman mengatakan, Kepolisian akan menghormati proses hukum yang dilakukan KPK. Kepolisian juga akan memberikan bantuan hukum kepada BG. "Tentu Polri melakukan pembelaan melalui divisi hukum sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku," ujar Sutarman.
30
Kemudian
perkembangan
selanjutnya
yang terjadi
adalah, banyaknya hujatan ditujukan ke Presiden Jokowi. Ia diduga melangggar Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian), terutama pada soal pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Dalam penjelasan yang diuraikan mantan Menteri Kehakiman,
Yusril
Ihza
Mahendra,
ditegaskan
bahwa,
pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dilakukan satu paket, bukan terpisah. Seperti diketahui, yang terjadi sekarang, Kapolri lama sudah diberhentikan tanpa ada pengangkatan Kapolri baru. "Saya ingat betul perdebatan perumusan pasal ini di DPR ketika saya mewakili Pemerintah membahas RUU Kepolisian.
Mestinya
Presiden
dan
DPR
tahu,
bahwa
pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dilakukan satu paket bukan dipisah," tulis Yusril dalam twitternya @Yusrilihza_Mhd. Baik pengangkatan maupun pemberhentian Kapolri, keduanya harus dengan persetujuan DPR. Permintaan pengangkatan dan pemberhentian itu pun wajib disertai alasan-alasannya. "Jadi kalau Sutarman (Kapolri lama) mau diberhentikan, Presiden ajukan permintaan persetujuan ke DPR, dengan alasan-alasannya. Begitu juga calon pengganti Sutarman, harus
31
diajukan permintaan persetujuan DPR disertai alasan mengapa dia dicalonkan," ujar Yusril. Ditegaskannya, Presiden tidak bisa memberhentikan Kapolri tanpa meminta persetujuan DPR seperti yang dilakukan terhadap Jenderal Sutarman saat ini. Hal itu terkecuali bila ada alasan mendesak. Dengan alasan mendesak itulah Presiden dapat memberhentikan Kapolri tanpa minta persetujuan DPR. Namun diingatkannya, alasan mendesak itu hanya dua, yakni jika Kapolri melanggar sumpah jabatan, atau membahayakan keamanan
negara.
Pertanyaannya,
"Apakah
Sutarman
melakukan pelanggaran sumpah jabatan atau melakukan makar sebelum diberhentikan Presiden?". Masih diatur dalam UU Kepolisian, hanya dalam keadaan
mendesak
seperti
di
atas
Presiden
dapat
memberhentikan Kapolri dan menunjuk Plt tanpa persetujuan DPR. Namun sesudah itu, presiden harus menjelaskan alasan pemberhentian Kapolri dengan alasan mendesak itu. Pada saat bersamaan, Presiden harus meminta persetujuan DPR tentang pengangkatan Plt tadi. Selanjutnya Presiden harus segera mengusulkan
calon
Kapolri
defenitif
untuk
mendapat
persetujuan DPR. Calonnya bisa pelaksana tugas atau calon lain. "Demikianlah
tertib
bernegara
dalam
proses
pengangkatan dan pemberhentian Kapolri ini telah diatur 32
dalam undang-undang agar berjalan baik. Saya sebagai Menteri Kehakiman dan HAM serta Menhan Mathori Abd Jalil mewakili pemerintah saat itu mengajukan dan membahas RUU ini dengan DPR sampai tuntas," kenang Yusril. "Saya berharap penerus kami di pemerintahan akan memahami dan menjalankan UU yang kami buat dahulu agar negara
berjalan
tertib
dan
baik,"
pungkas
Yusril.
(politik.rmol.co/read//2015/01/17/187323). Seperti
diketahui,
Presiden
Joko
Widodo
memberhentikan dengan hormat Jenderal (Pol) Sutarman dari jabatannya sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Sebagai penggantinya, jabatan Kapolri dipegang oleh Plt Wakil Kepala Polri Komjen Badrodin Haiti. Pengumuman pemberhentian itu disampaikan Presiden dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Jumat (16/1/2015). Sebagai payung hukumnya, Jokowi mengeluarkan dua Keppres. "Saya
menandatangani
dua
Keppres.
Pertama
tentang
pemberhentian dengan hormat Jenderal (Pol) Drs Sutarman sebagai Kapolri. Keppres yang kedua tentang penugasan Wakapolri Komjen Polisi Badrodin Haiti melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab Kapolri," kata Jokowi. Pernyataan senada dengan Yusril di atas, disampaikan pula oleh mantan Wakil Kepala Polri Komjen (Purn) Oegroseno. 33
Ia tidak yakin, bahwa mantan Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutarman memiliki kesalahan fatal yang menciptakan situasi mendesak hingga ia harus diberhentikan dari jabatannya. Memangnya Pak Sutarman ini salah apa, kok buru-buru diberhentikan? Menjawab ini, Oegroseno mengatakan, hanya Presiden Joko Widodo yang dapat menjawab pertanyaan tersebut. Ia mengatakan, DPR dapat menanyakan hal itu kepada Presiden Jokowi mestinya. Namun,
Oegroseno
menyoroti
alasan
keadaan
mendesak untuk memberhentikan Kapolri sebagaimana diatur dalam UU Kepolisian. UU tersebut menyebutkan, bahwa dalam keadaan mendesak, Presiden dapat memberhentikan sementara Kapolri
dan
selanjutnya
mengangkat dimintakan
pelaksana
persetujuan
tugas DPR.
Kapolri
dan
Namun,
kata
Oegroseno, unsur-unsur keadaan mendesak itu tidak terlihat pada kondisi sekarang. "Apakah
permintaan
sendiri?
Tidak
ada.
Apakah
memasuki pensiun? Kan, masih 9 bulan lagi. Apakah tidak mampu? Dia (Sutarman) segar bugar. Apakah pidana? Beliau tidak tersangka," kata Oegroseno. Apakah
mungkin
adanya
unsur
ketidakpatuhan
Sutarman? Menjawab ini, lagi-lagi Oegroseno yakin, bahwa Sutarman tidak melakukan pelanggaran yang dimaksud. "Saya 34
tidak menemukan indikasi itu. Seratus persen saja, saya yakin itu tidak ada. Saya tidak tahu kalau ada intervensi," ujarnya. (nasional.kompas.com/read/2015/01/19/19553851). Lho, ada intervensi? Ya, itu tidak bisa diragukan dan tak terbantahkan lagi. Banyak kekuatan di belakang Jokowi yang mengintervensinya dalam “memaksakan kehendak” untuk mengganti Kapolri Sutarman dan menjadikan BG sebagai Kapolri. Terbukti Jokowi ditekan oleh empat penjuru kekuatan. Yaitu, kekuatan Istana, DPR, Kuningan, dan Teuku Umar. Ini menyebabkan Jokowi menghadapi posisi sulit. Pengamat politik dari Populi Center, Nico Harjanto menilai posisi Presiden terjepit di antara empat penjuru kekuatan. "Istana, DPR, Kuningan, dan Teuku Umar," kata Nico dalam sebuah diskusi di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu, 17 Januari 2015. Posisi paling kuat dalam intervensi persoalan Kapolri, menurut dia, adalah Teuku Umar. Di sana, bercokol para pimpinan partai politik yang dikomandani oleh Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri. "Itu Sekretariat Bersama Koalisi Indonesia Hebat. Karena setiap pertemuan penting ada di situ," ujarnya. Kondisi yang dihadapi Jokowi amat berbeda dengan Soeharto atau SBY di masa lalu.
35
"Soeharto bukan Ketua Umum Golkar, tapi ketua Dewan Pembina. Dia bisa mengendalikan. Konteks politik kita mensyaratkan begitu. Bahkan, SBY merasa harus jadi ketua umum di masa-masa terakhir," tutur Nico Haryanto. Sementara ICW menduga, Presiden Joko Widodo tidak mampu keluar dari tekanan politik di sekitarnya. Bahkan, "Memberhentikan Sutarman dengan alasan yang tidak jelas, membuat
publik
curiga,
jangan-jangan
ada
kepentingan
tertentu," kata aktivis ICW, Emerson Yunto di kantor Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Jakarta, Senin 12 Januari 2015. Karena itu, benar apa yang dikatakan Oegroseno, kemungkinan adanya intervensi kepada Jokowi untuk segera mempercepat penggantian Sutarman dengan Komjen BG. Tapi kemudian karena KPK menjadikan BG sebagai tersangka, lalu Jokowi menunda pelantikannya. KPK menjerat BG dengan Pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat 2, Pasal 11 atau Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP. Ancaman hukumannya 20 tahun. Pengamat Kepolisian dari PTIK, Bambang Widodo Umar menyatakan, alasan Presiden Jokowi mencopot Jenderal 36
Sutarman sebagai Kapolri tidak tepat. Seperti diketahui Presiden Jokowi mencopot Sutarman sebagai Kapolri, padahal masa pensiun Jenderal kelahiran Sukoharjo, Jawa Tengah masih Oktober 2015. "Kalau
melihat
Pasal
11
UU
Kepolisian
syarat
mempercepat itu ada. Tetapi menurut hemat saya, dengan Pasal 11 tidak cukup memberhentikan Sutarman," kata Bambang Widodo Umar. Menurutnya, tak ada alasan mendesak untuk memberhentikan Sutarman. Apalagi alasan Presiden Jokowi katanya untuk melakukan penyegaran di tubuh Polri. Itu tak masuk akal. Sebab, "Masa jabatan sudah berakhir juga belum, atas permintaan sendiri juga tidak, memasuki usia pensiun belum, berhalangan juga tidak, dan dijatuhi pidana juga tidak. Iya, harus diungkap jangan mencari-cari alasan," terang Widodo lagi. Jadi menurutnya, pencopotan Sutarman jelas sangat menyalahi UU Kepolisian. Menurut pakar komunikasi politik, Tjipta Lesmana, pencopotan Sutarman sebagai orang nomor satu di Korps Bhayangkara
itu
karena
Presiden
Jokowi
benci
kepada
Sutarman. Kebencian itu, menurut Tjipta, karena Sutarman dinilai tak becus menuntaskan kasus majalah Obor Rakyat yang menuding Presiden Jokowi sebagai “Capres Boneka”. 37
"Dosa Sutarman ya karena tidak bisa menuntaskan kasus Obor Rakyat. Jokowi benci sekali," kata Tjipta dalam diskusi bertajuk 'Jokowi, Kok Gitu', Jakarta, Sabtu, 17 Januari 2015. Jadi ternyata, kalau benar dugaan Tjipta Lesmana itu, maka cuma gara-gara Obor Rakyat, Jenderal Sutarman dipecat Jokowi. Sehingga benar banyak orang bilang tentang nasib Sutarman yang Kapolri ini: kalau Jokowi menang, Sutarman tergusur. Dan ... terbukti!(*)
38
BAB III SUTARMAN “ORANGNYA” SBY?
AKIBAT pencopotan Jenderal (Pol) Sutarman dari posisi Kapolri yang dipercepat, sekaligus bersama dengan Komjen (Pol) Suhardi Alius sebagai Kabareskrim Polri, memunculkan banyak spekulasi. Langkah pencopotan ini, dituding sebagai strategi Presiden Jokowi yang secara perlahan untuk mulai mempreteli loyalis mantan Presiden SBY dalam institusi kepolisian. Yang
pasti,
indikasi
kuatnya
dapat
dilihat
dari
pemberhentian Sutarman yang lebih cepat 10 bulan dari masa pensiun yang mestinya jatuh pada Oktober 2015. Begitu pula dengan Suhardi Alius yang tiba-tiba saja juga dimutasikan ke Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas). Penuh tanda tanya. “Dosa Sutarman itu, karena tidak mampu menuntaskan kasus Obor Rakyat. Jokowi benci sekali. Kenapa kasus begitu jelas penghinaannya sejak awal, tidak bisa dituntaskan dengan cepat,” kata pengamat komunikasi politik UI, Tjipta Lesmana. Padahal,
imbuhnya,
kasus
Obor
Rakyat
sudah
berlangsung pada masa kampanye Pilpres. Kemungkinan 39
Sutarman yang tidak memproses kasus tersebut dengan cepat, karena ada intervensi SBY yang ketika itu masih menjabat sebagai Presiden. Meski demikian, Tjipta tidak mengungkapkan secara eksplisit
dugaannya
itu.
Tetapi
dia
hanya
sekedar
mengisyaratkan. “Artinya, Kapolri tidak menjalankan tugas dengan baik. Itu sudah jelas unsur fitnah, tapi tidak bisa selesai dengan cepat. Hal ini juga kemungkinan terkait dengan Suhardi Alius yang menjabat Kabareskrim Polri,” kata Tjipta. Kemudian Syamsuddin,
politisi
Partai
mengingatkan
Demokrat,
Presiden
Didi
Jokowi
Irawadi
melakukan
pencopotan Sutarman dan Suhardi Alius itu tidak dihubunghubungkan karena kedekatan mereka dengan mantan Presiden SBY. “Selama ini, mereka telah bekerja dengan baik, tentu harus didukung,” ujarnya. Tapi Didi juga menyadari kalau Presiden memiliki dipilihnya
hak
prerogatif
menduduki
untuk
kursi
menentukan
Kapolri.
Hanya
siapa
yang
Didi
lebih
mengkritisi pencopotan atas Suhardi Alius sebagai Kabareskrim. Katanya: “Suhardi Alius itu cukup baik dalam melakukan tugastugasnya.
Tapi
memang
Presiden
Jokowi
punya
hak
menentukan posisi jabatan lain di Kepolisian,” tandasnya. (porosberita.com/2015/01/17/)
40
Sementara menjadikan
itu,
BG
keinginan
sebagai
kuat
Kapolri
Presiden
menggantikan
Jokowi Jenderal
Sutarman yang belum habis masa jabatannya, berbuntut panjang. Namun, para pengamat politik meyakini, bahwa kebijakan itu dilakukan lebih karena adanya perseteruan kekuasaan antara Megawati Soekarnoputri dan SBY. Kedua tokoh ini mencoba memainkan perannya untuk mencari
celah,
bagaimana
menyelamatkan
seluruh
aset
kekuasaan dan kebijakannya dulu agar tidak terjerat masalah hukum. “Saya melihat, ini persaingan para jenderal polisi untuk eksistensi kelompok atau faksi mereka. Penetapan tersangka oleh KPK terhadap Budi Gunawan, jelas menguntungkan kelompok pesaing Budi Gunawan,” ujar pengamat politik muda Yasin Muhammad, menanggapi polemik yang makin meruncing soal BG. Secara terang-terangan pula Yasin menyebut, kasus BG merupakan
contoh
perseteruan
antara
Mega
yang
kini
memimpin PDIP, dengan SBY yang memimpin Partai Demokrat. "Persaingan Presiden kelima Megawati dengan Presiden keenam SBY, bertemu di pencalonan Kapolri ini," katanya. Dalam posisinya sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Survei
Independen
menjelaskan,
setiap
Nusantara menjelang
(LSIN),
Yasin
pergantian
lebih
jauh
Kapolri,
aura 41
persaingan antarjenderal selalu sangat tinggi. Dengan keputusan KPK menetapkan BG sebagai tersangka, maka dinamika persaingan internal di tubuh Polri makin tinggi dan menguat. Dimana lawan BG diuntungkan dengan keputusan KPK ini, dan pasti mereka menggalang dan memperluas dukungan ke pihak lain
lagi
untuk
menjegal
BG.
Demikian
pula
dengan
pencopotan Sutarman dan mendudukkan Wakapolri Komjen Badrodin Haiti menjadi Plt Kapolri. Yang pasti, menurut Yasin, kasus Budi dan Sutarman itu jelas
sangat
merugikan
masyarakat,
karena
memberikan
pendidikan politik yang buruk. “Karena Kepolisian merupakan institusi
yang
seharusnya
mengayomi
dan
melindungi
masyarakat. Tetapi ketika akan ada pergantian pucuk pimpinan tertingginya, para jenderal memperlihatkan persaingan tak sehat”. Alumnus
pascasarjana
Universitas
Paramadina
ini
menilai, posisi Kapolri sangat strategis bagi elite dan juga partai politik.
Seharusnya,
kata
dia,
Presiden
Jokowi
mampu
mengambil keputusan untuk menjaga agar situasi politik dan kenegaraan
Indonesia
tetap
stabil.
(teropongsenayan.com/5188). Yang menarik, SBY sendiri masih kuat perseteruan antara dirinya dengan Ketua Umum PDIP Megawati. Dan itu, 42
belakangan ini terlihat dalam akun facebook-nya SBY dalam pusaran kemelut di tubuh Polri saat ini. "Ada pula pengamat yang mengatakan kemelut di tubuh Polri ini tidak terlepas dari perseteruan antara Ibu Megawati dengan SBY. Jenderal Polisi Sutarman dipersepsikan sebagai orangnya SBY, dan Komjen Polisi Budi Gunawan sebagai orangnya Ibu Megawati," kata SBY yang dikutip dari akun
facebook-nya, Selasa (20/1/2015). SBY mengungkapkan, bahwa kedua jenderal polisi itu memiliki kedekatan hubungan secara personal. Namun, dirinya menampik bila Jenderal Sutarman dekat dengannya. "Untuk diingat, kalau Pak Budi Gunawan dinilai dekat dengan Ibu Megawati karena mantan ADC (ajudan)-nya, maka Pak Sutarman adalah mantan ADC Gus Dur. Bukan mantan ADC SBY," tegas SBY masih dalam akun facebook-nya. Lebih lanjut, SBY pun mengungkap, bahwa pada era pemerintahannya,
perjalanan
karir
Komjen
Polisi
Budi
Gunawan berjalan baik dan lancar. Mantan Kapolda Bali itu mengalami 3 kali promosi jabatan, serta kenaikan pangkat dari Brigjen ke Irjen, dan kemudian ke Komjen. Sebelumnya, SBY juga mengaku kaget mendengar adanya isu provokatif yang bisa merusak hubungannya dengan
43
Presiden Joko Widodo. Dalam isu tersebut disebutkan adanya pembersihan “orang-orang SBY”. "Diisukan, bahwa yang tengah dilakukan sekarang ini adalah pembersihan 'orang-orang SBY', baik di jajaran TNI, Polri maupun aparatur Pemerintahan," tulis SBY di facebooknya, Selasa (20/1/2015). Menurut SBY, ia tidak membantah dan bahkan wajar serta masuk akal dikatakan “orang-orang SBY” jika orang tersebut memiliki posisi politik dan masuk dalam jajaran Kabinet Indonesia Bersatu. Namun, ia keberatan jika para perwira TNI dan Polri profesional atau para eselon satu jajaran pemerintahan
yang
statusnya
adalah
abdi
negara
itu
diistilahkan sebagai 'orang-orang SBY', maka menjadi tidak masuk akal. (news.liputan6.com /read/2163542). Selanjutnya SBY justru mempertanyakan, "Jika setiap pejabat tinggi yang bertugas di era SBY harus segera diganti alias dibersihkan, karena dianggap sebagai orang-orang SBY alangkah malangnya mereka. Apa salah dan dosa mereka?". Namun begitu, SBY meyakini Presiden Jokowi tak akan memiliki keinginan seperti itu. Karena menurutnya, bila terjadi ini akan terus ada di saat-saat pergantian pemerintahan. "Saya tidak yakin Presiden Jokowi punya pikiran dan kehendak untuk melakukan pembersihan semacam itu. Kalau 44
hal itu terjadi, bagaimana pula nanti jika Presiden baru pengganti Pak Jokowi juga melakukan 'pembersihan' yang sama." Presiden Jokowi dinilai SBY memiliki kewenangan penuh untuk mengangkat dan memberhentikan seseorang sesuai dengan urgensi dan kebutuhannya. "Beliau yang akan menggunakan. Beliau tentu ingin sukses memimpin kita semua 5 tahun mendatang ini. Tentu semuanya dilakukan sesuai dengan norma, aturan, dan etika yang berlaku," tukas SBY. (news.liputan6.com/read/2163510). Bak gayung bersambut, Presiden Jokowi tidak tinggal diam atas sindiran SBY itu. Tak mau dikatakan melakukan bersih-bersih di pemerintahannya dari orang-orangnya SBY itu, Presiden Joko Widodo menegaskan, pemerintahannya tidak sedang melakukan "pembersihan" terhadap "orang-orang Susilo Bambang Yudhoyono". Hal itu disampaikan Jokowi melalui akun facebook-nya, Selasa (20/1/2015).
"Tidak ada itu istilah "Pembersihan orang-orang Bapak SBY". Kita tidak sedang mengalami "Patahan Politik", juga tidak sedang dalam pertempuran antar generasi, justru sekarang ini perjalanan tatanan pemerintahan dilakukan secara gradual dan juga memperhatikan benang merah segala kebijakan," tulis Jokowi di facebook-nya. 45
Isu bahwa Jokowi melakukan "pembersihan" terhadap para pejabat "peninggalan" pemerintahan SBY muncul setelah ia melakukan pergantian Kepala Polri. Jokowi memberhentikan Kapolri Jenderal Sutarman dan menunjuk pelaksana tugas Komjen Badrodin Haiti untuk menggantikan, karena Kapolri terpilih BG ditunda pelantikannya. BG kini berstatus tersangka dalam kasus dugaan korupsi yang tengah ditangani KPK. Jokowi mengatakan, kebijakan yang kurang baik dari pemerintahan sebelumnya akan diperbaiki. Sementara, yang baik akan ditingkatkan. "Kalau pun ada pergantian-pergantian pejabat di tubuh pemerintahan, itu hanya sirkulasi manajemen pejabat publik, dan itu hal yang biasa untuk penyegaran manajemen tata kelola kebijakan publik," tulis Jokowi. Ia menekankan, Indonesia saat ini tengah melakukan pembangunan secara masif. Ia ingin mempertemukan dua hal, yaitu meneruskan gagasan besar Presiden Soekarno tentang Indonesia yang kuat dengan kerapian infrastruktur; dan manajemen birokrasi pada masa Presiden Soeharto.
"Disamping itu kita perkuat ideologi: "Kedaulatan di segala lini". Presiden Sukarno menanamkan kesadaran pada bangsa Indonesia untuk melakukan semua kebijakan dengan landasan pikiran "Kita adalah Negara Besar" sehingga apa yang kita lakukan adalah persoalan-persoalan besar, bukan urusan 46
remeh temeh. Sementara Presiden Suharto mengajarkan, bahwa manajemen pemerintahan yang rapi akan membawa eksekusi keputusan birokrasi yang efektif. Bila hal itu tercapai, maka kita bisa memiliki landasan modal yang kuat untuk membangun Indonesia," tulisnya lagi. Jokowi juga menyatakan keyakinannya, bahwa dalam era pembangunan yang masif dengan ideologi kedaulatan di segala lini, Indonesia akan menjadi bangsa yang kuat dan mampu bertahan serta memenangkan kompetisi di dunia Internasional. “Itu visi besar saya soal Indonesia Raya". Kata Jokowi. (nasional.kompas.com/read/2015/01/07244721). Untuk lebih menegasi dan lebih menjamin tidak adanya upaya bersih-bersih terhadap orangnya SBY, Luhut Binsar Panjaitan, Kepala Staf Kepresidenan menegaskan, tak ada upaya pemerintahan saat ini untuk "membersihkan" orangorang kepercayaan Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut Luhut, Jokowi sudah cukup direpotkan untuk mengurus masalah ekonomi sehingga tidak mungkin memikirkan cara itu. "Kalau soal itu, Pak Jokowi enggak pernah terpikir yang begitu. Boro-boro mikir begitu, ngurus ekonomi saja beliau sudah pusing," kata Luhut saat ditemui di Istana Kepresidenan, Rabu (21/1/2015).
47
Mantan Duta Besar RI di Singapura itu menilai, upaya "pembersihan" itu hanya akan membuang banyak waktu Jokowi, sehingga dia meyakini Jokowi tidak akan pernah memiliki pemikiran seperti itu. "Pak Jokowi ndak ada pikir ke situ. Saya pikir Pak Jokowi itu fokus untuk penyelesaian tugas pokok dia sebagai presiden," ucap Luhut. Sementara SBY mengaku menerima informasi kuat adanya upaya pembersihan orang-orang kepercayaannya di pemerintahan Jokowi, terutama di lingkungan TNI/Polri. Pernyataan
SBY
ini
keluar
setelah
Presiden
Jokowi
memberhentikan secara tiba-tiba dan diangggap menyalahi UU Kepolisian terhadap Jenderal (Pol) Sutarman sebagai Kapolri. Namun, Presiden Joko Widodo membantah pernyataan SBY dalam akun facebook-nya.
"Tidak ada itu istilah 'Pembersihan orang-orang Bapak SBY'. Kita tidak sedang mengalami 'Patahan Politik', juga tidak sedang dalam pertempuran antar generasi. Justru sekarang ini perjalanan tatanan pemerintahan dilakukan secara gradual dan juga memperhatikan benang merah segala kebijakan," tulis Jokowi. Bahkan Jokowi menggaransi, kebijakan yang kurang baik dari pemerintahan sebelumnya justru akan diperbaiki, sementara yang baik akan terus ditingkatkan. "Kalau pun ada 48
pergantian-pergantian pejabat di tubuh pemerintahan, itu hanya sirkulasi manajemen pejabat publik, dan itu hal yang biasa untuk penyegaran manajemen tata kelola kebijakan publik,"
tegas
Jokowi.
(nasional.kompas.com/read/2015/01/21/20022891) (*)
49
50
BAB IV ADA CACAT HUKUM, ADA SKANDAL POLITIK
PENGANGKATAN
Wakil
Kepala
Polri,
Komjen
Badrodin Haiti, sebagai Plt Kapolri oleh Presiden Jokowi dinilai “cacat hukum” dan melanggar UU Kepolisian. Pengangkatan Plt ini karena calon tunggal Kapolri yang sudah disetujui DPR, yaitu BG, sebelumnya sudah ditetapkan sebagai tersangka korupsi
oleh
KPK.
Sementara
Presiden
Jokowi
tetap
memberhentikan Kapolri Jenderal Sutarman. Sehingga di Kepolisian tak ada Kapolri definitif. Ironis! "Pertanyaannya,
jika
terjadi
kerusuhan
massal
di
Indonesia saat ini, siapa yang bertanggung jawab? Tentu Presiden Jokowi yang harus bertanggung jawab, karena membiarkan
Polri
dalam
kondisi
status
quo
tanpa
kepemimpinan yang jelas," tegas Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S. Pane, dalam keterangan persnya (Sabtu, 17/1) . IPW sudah mengingatkan Presiden Jokowi, bahwa mengangkat Plt Kapolri tidak bisa ujug-ujug, tapi harus mengacu ke UU Kepolisian. Dalam Pasal 11 ayat (5) UU 51
Kepolisan, Presiden harus meminta persetujuan DPR sebelum mengangkat Plt. Ironisnya, Jokowi tidak meminta persetujuan DPR. "Jika DPR tidak menyetujui pengangkatan Plt Kapolri, Presiden
wajib melantik Kapolri yang sudah mendapat
persetujuan DPR yaitu Komjen Budi Gunawan," terang Neta. IPW prihatin dengan sikap bingung Presiden Jokowi dalam menyikapi proses suksesi di Polri. Ketika calon Kapolri yang diusulkannya sudah disetujui DPR, Jokowi malah tidak melantiknya dan cenderung mengabaikan persetujuan DPR sebagai legitimasi suara rakyat. Tragisnya, Jokowi larut dalam suara segelintir orang, hingga menunda pelantikan BG sebagai Kapolri, yang dijadikan tersangka korupsi oleh KPK. Sikap tidak jelas dari Presiden ini hanya menghancurkan supremasi hukum. (keamanan.rmol.co/read/2015/01/17/187319). Sementara itu, mantan Wakil Kepala Polri, Komjen (Purn) Drs. Oegroseno, mengatakan, jika saja sebelumnya Presiden
Jokowi
mau
meminta
pertimbangan
internal
kepolisian dalam proses pergantian Kapolri, maka polemik terkait
pencalonan
BG
tak akan
terjadi.
Sebab, "Yang
memahami polisi adalah internal polisi, jadi pertimbangan dari internal Polri ini sebetulnya menjadi penting," tegas Oegroseno.
52
Dan, ia juga mengecam banyaknya kepentingan dan tekanan politik yang membuat Presiden Jokowi jadi terjepit. Pemberhentian Jenderal Sutarman sebagai Kapolri dan penunjukan BG untuk menggantikannya lantas banyak menuai polemik. Bahkan, pengamat hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra ikut mengkritik cara Jokowi melakukan reorganisasi di Korps Bhayangkara ini. Yusril, senada dengan Oegroseno, juga menyatakan, proses
pemberhentian
Sutarman
yang
bertentangan
dilakukan
dengan
Jokowi
terhadap
undang-undang,
sebab
pemberhentiannya tidak melalui persetujuan DPR terlebih dahulu. "Saya ingat betul perdebatan perumusan pasal ini di DPR ketika saya mewakili Pemerintah membahas RUU Kepolisian.
Mestinya
Presiden
dan
DPR
tahu,
bahwa
pengangkatan dan pemberhentian Kapolri dilakukan satu paket, bukan dipisah," tulis Yusril dalam akun @Yusrilihza_Mhd, Sabtu (17/1). Pernyataan yang disampaikan Yusril ini merujuk pada UU Kepolisian. Di mana dalam Pasal 11 ayat (2) menentukan: "Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai alasannya." Berdasarkan alasan itu, maka Presiden Jokowi tidak bisa seenaknya saja memberhentikan Sutarman dari jabatannya. 53
Pengajuan
pemberhentian
pun
harus
disertakan
dalam
pengajuan calon Kapolri baru yang ditujukan kepada DPR. "Presiden tidak bisa memberhentikan Kapolri tanpa meminta persetujuan DPR seperti yang sekarang dilakukan terhadap Sutarman. Kecuali karena alasan mendesak, presiden dapat memberhentikan Kapolri tanpa minta persetujuan DPR," tegas dia. Selanjutnya, Yusril menambahkan, dalam mengajukan pemberhentian harus memenuhi salah satu syarat sesuai yang tercantum dalam undang-undang, yakni melanggar sumpah jabatan atau dianggap membahayakan keamanan negara. Jika itu terpenuhi, maka Jokowi bisa memberhentikan Kapolri dan menunjuk Plt tanpa harus melalui persetujuan DPR. "Apakah Sutarman melakukan pelanggaran sumpah jabatan
atau
melakukan
makar
sebelum
diberhentikan
presiden?” Tidak! Tak hanya soal pemberhentian, berdasarkan undang-undang tersebut pula, pengangkatan Plt Kapolri juga harus melalui persetujuan dewan. "Pada saat yang bersamaan, Presiden semestinya harus meminta persetujuan DPR tentang pengangkatan
Plt
tadi,"
ungkap
Yusril.
(merdeka.com/politik/yusril ...) Pengamat politik Boni Hargens, di seputar kemelut dalam tubuh Polri saat ini, rupanya mempunyai penilaian 54
sendiri. Katanya, penetapan tersangka oleh KPK terhadap calon tunggal Kapolri Komjen (Pol) Budi Gunawan, bukan berarti Presiden Joko Widodo kecolongan. Tidak. Pasalnya, menurut Boni, BG diusulkan sebagai calon Kapolri atas dorongan orang dekat Jokowi saat ini. Jadi bukan inisiatifnya Jokowi. Dan pernyataan ini ternyata sama seperti yang disampaikan oleh Syafii Ma’arif dalam posisinya sebagai Ketua Tim Independen beranggotakan
sembilan
tokoh
bentukan
Jokowi
untuk
penyelesaian ketegangan KPK vs Polri, bahwa pengajuan nama BG itu bukan inisiatifnya Jokowi. Tetapi orang lain. Kata Syafii Ma’arif, siapa itu? Ah, bukan rahasia umum lagi. “Semua orang sudah tahu, kok.” Selanjutnya kata Boni, “Mereka itu ingin menjebak Jokowi, maka mereka harus segera disingkirkan. Penetapan BG jadi tersangka oleh KPK adalah blessing in disguise, berkah terselubung,” ujar Boni Hargens, Selasa (13/1). Jadi menurut Boni, penetapan BG tersangka adalah sebuah berkah, karena akhirnya publik bisa melihat dengan jelas, bahwa ternyata ada "pembisik" di sekitar Jokowi yang ingin menyesatkannya. “Pelajaran ini mahal. Jokowi harus berani mengatakan tidak pada orang-orang kuat di sekitarnya yang memberikan masukan keliru,” katanya. Boni juga memberikan apresiasi 55
setinggi-tingginya
pada
KPK
dan
PPATK.
Karena
telah
memperlihatkan komitmen nyata memberi dukungan pada citacita revolusi mental pemerintahan Jokowi. Baginya, “Dua lembaga ini telah mewakili kehendak publik dalam menjamin pemerintahan bersih dan demokratis. Kita berharap ke depan Jokowi tetap bergandengan tangan dengan lembaga-lembaga ini, supaya bisa secara sama-sama memerangi segala bentuk banditisme dalam politik dan dalam sektor
lain
seperti
ekonomi
dan
hukum,”
katanya.
(jpnn.com/read/2014/12/01/273038). Ternyata pula, Boni Hargens ini memang jauh-jauh hari sudah meyakini, bahwa pengajuan nama BG bukanlah inisiatif murni Jokowi. Itu nama titipan dari para pembisik yang sangat dipatuhi
Jokowi.
Susah
agaknya
bagi
Jokowi
untuk
menolaknya memang. Akhirnya sangat merugikan Jokowi sendiri dan berakibat permasalahannya terus berbuntut panjang. Apalagi sampai membuat seorang Kapolri harus mendadak diberhentikan 10 bulan sebelum masa tugasnya selesai tanpa ada alasan kuat dan mendesak. Banyak pengamat mengatakan, di sini Jokowi jelas-jelas melakukan “skandal politik”, karena membuat institusi Polri di internnya lantas jadi karut marut, sehingga muncul istilah ada pengkhianat, yang kemudian dari sini menciptakan konflik dan ketegangan semakin tajam antara 56
Polri vs KPK. Yang pasti, kebijakan Presiden Jokowi mencopot Jenderal (Pol) Sutarman sebagai Kapolri dan mengangkat BG sebagai gantinya, dan kemudian jadi tersangka itu, telah menuai
kritikan
tajam
dari
sebagian
besar
masyarakat.
(tempo.co/read/news/2015/01/11/078634113). Tak hanya mereka yang beroposisi dengan Jokowi, kritikan lebih keras juga dilakukan sebagian besar pendukung Jokowi sendiri. Sampai kemudian Jokowi membentuk Tim Sembilan untuk menyelesaikan konflik tajam antara Polri vs KPK. Boni mengatakan, kasus pergantian calon Kapolri di awal
pemerintahan Jokowi ini berbeda
dengan zaman
pemerintahan Presiden SBY dan sebelum-sebelumnya. Di zaman para pendahulu Jokowi, masukan dan pertimbangan dari internal Polri selalu diminta sebelum dilakukan pergantian calon Kapolri. "Yang perlu digarisabawahi, pergantian Kapolri itu sebetulnya bukan hal yang sangat luar biasa. Seperti dulu-dulu, bicarakan, ini kan etika. Setelah itu pasti (nama calon) diajukan dan bulat. Kalau ini ditempuh, saya yakin situasi tak akan seperti saat ini," ujar Boni. Sementara Oegroseno, mantan Wakapolri ini, mengaku simpati kepada Jenderal Sutarman yang diberhentikan Presiden 57
dari jabatan Kapolri, padahal masa aktifnya di kepolisian masih cukup panjang. Apalagi, seperti sudah dijelaskan di muka, Sutarman tidak diajak bicara oleh Presiden tentang rencana pergantian Kapolri ini. Tapi Sutarman berjiwa besar, meski tak diajak bicara Presiden, ia mengaku tetap loyal seratus persen kepada Presiden dan ikhlas melepaskan jabatan sebagai Kepala Polri. "Keikhlasan dan ketulusan saya menyerahkan institusi Polri pada siapa pun yang ditunjuk oleh Presiden," kata Sutarman. "Saya tegaskan, saya loyal seratus persen pada Bapak Presiden," lanjut dia. Sutarman mengaku mengetahui banyak apa yang terjadi di dalam tubuh Polri, secara khusus terkait pencopotannya dari pucuk pimpinan Polri. Namun, dia memilih tidak berbicara apa pun soal itu. Perwira angkatan 1981
tersebut
memastikan
dirinya
akan
mundur
dari
pemerintahan dan memilih untuk terjun di dunia sosial. “Saya akan mengikuti jejak ayah saya, yakni bertani.” Pergantian pimpinan Polri dari Jenderal Sutarman ke Komjen Badrodin Haiti sebagai Plt Kapolri, agaknya masih terus menuai polemik. Terbukti, beberapa anggota polisi di tingkat bawah yang memperhatikan kasus ini menduga ada rekayasa di balik keputusan Presiden Jokowi memberhentikan Jenderal bintang empat Sutarman. 58
Salah satu anggota polisi yang berdinas di wilayah Jakarta menduga kisruh ini kental sekali nuansa politis yang dilakukan segelintir orang pemerintahan yang memanfaatkan situasi kisruh di Mabes Polri. "Indonesia kan banyak orang yang jago merekayasa. Semua ini saya yakin ada yang merekayasa, dari mulai pencalonan Kapolri, terus jadi tersangka, pemberhentian Kapolri, ini semua sudah di rekayasa," kata seorang polisi yang enggan
disebutkan
namanya,
saat
berbincang
dengan
merdeka.com, Selasa (20/1). Polisi berpangkat Iptu ini melanjutkan, keputusan Presiden Jokowi untuk memberhentikan Kapolri Jendral Sutarman menurutnya telah melalui pertimbangan yang sulit. Dirinya menduga, proses pencopotan Kapolri tidak lepas dari hasutan pihak luar di mana hak prerogatif Presiden dijadikan tameng. "Kalau Pak Jokowi saya yakin gak tega berbuat seperti itu. Tapi pasti ada desakan pihak luar yang memaksa untuk mempercepat pemberhentian Pak Sutarman," imbuhnya. Dia berharap, ke depan masalah pengangkatan Kapolri tak sepelik ini. Untuk kondisi yang terjadi saat ini, dia berharap segera selesai.
Supaya
anggota
polisi
yang
di
lapangan
bisa
menjalankan tugasnya dengan baik. 59
"Sebenarnya di kita yang bawahan ini gak ada masalah. Itu kan urusan para Jenderal. Yah tapi sebagai polisi kami berharap ini cepat selesai dengan adanya Kapolri baru," tandasnya. (merdeka.com/peristiwa/polisi-bawahan-tuding). Sampai akhir Januar 2015 berlalu, mantan Kapolri Jenderal Sutarman mengaku sudah tak punya beban usai dicopot sebagai pimpinan Polri oleh Presiden Joko Widodo. Bahkan dirinya menganggap pencopotannya sebagai Kapolri kemarin itu merupakan sejarah bagi Korps Bhayangkara. "Saya sudah menikmati kehidupan kebebasan. Karena saya sudah tidak mendengar, membaca media, koran apapun. Seluruh tugas sudah beralih ke Pak Badrodin," itu seperti yang diucapkan Sutarman dalam sambutan di acara penyerahan tugas wewenang dan tanggung jawab kepada Wakapolri di Ruang Rapat Utama, Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Rabu (21/1). Sayangnya, mantan Kapolri ini belum menjelaskan secara rinci maksud ucapannya itu. Terkesan ia tidak mau memperpanjang
masalahnya,
lalu
ia
alihkan
dengan
memberikan selamat kepada Wakapolri Komjen Pol Badrodin Haiti yang kini dipercaya mengemban tugas untuk sementara waktu menggantikan dirinya sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Kapolri. 60
Sutarman mengatakan jika institusi Polri kini tengah mengalami masalah yang berat. Sejarah akan mencatatnya. "Sejarah akan mencatatnya. Karena itu saya ucapkan selamat kepada Pak Badrodin mengemban tugas yang berat sebagai Kapolri. Di saat yang seperti ini," imbuh jenderal bintang empat ini. (merdeka.com/peristiwa/sutarman-) (*)
61
62
BAB V PERANG BINTANG DI POLRI
DI BULAN Januari 2015 rupanya menjadi bulan di mana Korps Bhayangkara banyak dirundung masalah. Di internal kepolisian itu terjadi mutasi jabatan para perwira tinggi secara tiba-tiba. Dimulai dari Kepala Lembaga Pendidikan Kepolisian (Kalemdikpol) Komjen Budi Gunawan menjadi calon kapolri tunggal pilihan Presiden Jokowi. Lalu Kapolri Jenderal Sutarman dinonaktifkan sebelum masa pensiunnya habis, Oktober 2015. Sampai pada Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Komjen Suhardi Alius yang diganti secara diam-diam oleh Sespimti Irjen Budi Waseso dengan alasan yang tak jelas pula. Konflik senyap di internal kepolisian itu agaknya akan bergulir cukup lama. Banyak kabar beredar, bahwa di Mabes Polri terjadi jegal-menjegal antar perwira tinggi. Ada yang tak suka dengan pencalonan si ini dan si itu, dan ada pula yang menuding, bahwa di dalam tubuh Mabes Polri ada sosok pengkhianat.
63
Rupanya konflik di dalam Korps Bhayangkara tak cuma terjadi kali ini saja. Sejak era Kapolri pertama Soekanto Tjokrodiatmodjo, sudah ada perseteruan besar dan persaingan tidak sehat di dalamnya. Dikutip dari buku 'Hoegeng, Polisi: Idaman dan
Kenyataan', diceritakan pada zaman Kapolri pertama, sudah banyak
para
perwira-perwira
tinggi
polisi
yang
ingin
melengserkan Kapolri Soekanto Tjokrodiatmodjo. Hoegeng bercerita bahwa Soekarno Djojonegoro mengajak perwiraperwira lain mendesak Presiden Soekarno agar Soekanto diberhentikan dari jabatan Kapolri karena dianggap cuma asyik dengan ilmu kebatinan. Selain masalah kebatinan, rupanya para perwira pada saat itu tak setuju dengan rencana Soekanto yang ingin
retooling
melakukan
(pembersihan)
di
dalam
internal
kepolisian agar kinerjanya dianggap lebih efisien dan semakin produktif. Dikutip dari buku 'Konflik dan Integritas TNI AD', kemudian
pada
14
Desember
1959,
Kapolri
Soekanto
mengecam perlawanan dari anak-anak buahnya itu. Soekanto menganggap
pembangkangan
itu
sebagai
bentuk
penyelewengan dan justru akan memecah tubuh Polri. Namun, ternyata Presiden Soekarno malah menyalahkan cara berpikir 64
dan langkah-langkah yang sudah diambil Kapolri Soekanto. Akhirnya, pada 17 Desember 1959 Soekanto diberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan Kapolri. Kemudian pada tahun 1962 resolusi para perwira polisi itu diterima. Presiden Soekarno pun menunjuk Soekarno Djojonegoro menjadi Kapolri kedua (pada saat itu bernama Kepala Kepolisian Negara). Soekarno Djojonegoro sekaligus diresmikan jabatannya menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Men Pangak). Kemudian pada era Kapolri sekarang, banyak pihak yang berspekulasi, bahwa penunjukan calon Kapolri BG karena adanya banyak intervensi kepada Presiden Jokowi. Padahal BG sudah ditetapkan tersangka kasus gratifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (merdeka.com/peristiwa/). Walau begitu, para elite di Senayan tetap memproses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) pada BG beberapa waktu lalu. Hasilnya, Komisi III DPR menyetujui BG diangkat menjadi Kapolri baru pilihan Presiden Jokowi. Kini tinggal bagaimana Presiden Jokowi segera menentukan Kapolri definitifnya
agar
tak
berlarut-larut
menggantung
yang
dikhawatirkan menjadi semakin panas nuansa politiknya. Tak kurang mantan Kapolri Jenderal (Purn) Chaerudin Ismail menduga adanya permainan politik internal Polri dalam 65
perebutan kursi Kapolri. Pasalnya calon tunggal Kapolri BG ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sebelum menjalani uji kelayakan di DPR. Dan ia sangat memprihatinkan kalau terjadi persaingan tidak sehat di internal Polri. "Tetapi kalau terjadi persaingan tidak sehat apalagi mempengaruhi politik, ini yang berbahaya," ujar Chaerudin di Jakarta, Selasa (13/1/2015) malam. Menurutnya, dalam proses penjaringan calon Kapolri oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) sudah sesuai dengan prosedur dimana perwira yang diajukan adalah para jenderal bintang tiga. (nasional.inilah.com/read/detail/2169949) Harus diakui, memanasnya hubungan KPK dan Polri yang terjadi itu dipicu karena terjadinya perseteruan atau seperti kata Chaeruddin Ismail, adanya persaingan tidak sehat di internal Mabes Polri. Khususnya dari sejumlah jenderal yang mengincar kursi Kapolri. Menurut Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S. Pane, ada tiga faksi yang mengiringi terjadinya permasalahan antara KPK dengan Polri. "Pertama, pendukung Kapolri incumbent yang tak rela dicopot. Kedua, kubu yang merasa pantas menjadi Kapolri dibanding BG dan merasa punya akses kuat ke PDIP. Ketiga, kelompok yang sengaja bikin
66
kekacauan dengan harapan bisa terpilih menjadi Kapolri,” papar Neta kepada Inilah.com di Jakarta, Selasa (27/1/2015). Lebih jauh Neta mengakui, adanya perang bintang atau pertarungan kelompok di internal Polri, sudah bukan rahasia lagi.
Tentu
saja,
kondisi
ini
tidaklah
menguntungkan
pemerintah maupun masyarakat. "Kalau mau diselesaikan, Presiden harus berani tegas, jalankan konstitusi dengan melantik BG. Apakah seminggu kemudian presiden mau gunakan hak prerogatifnya, silahkan saja. Sekalian melakukan penataan di tubuh Polri,” tuturnya. Ya, pandangan Neta bisa jadi benar. Sebelumnya, Kompolnas mengajukan tiga jenderal bintang tiga sebagai kandidat Kapolri. Mereka adalah Kalemdikpol Komjen Budi Gunawan, Irwasum Komjen Dwi Prayitno dan Kabareskim Suhardi Alius. Namun, Presiden Joko Widodo dengan hak prerogatifnya menetapkan satu nama yakni Komjen Budi Gunawan atau sering disapa BG. Masalahnya timbul ketika tibatiba BG ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus suap dan gratifikasi. Diduga, status tersangka untuk BG tak datang dari langit. Namun ada yang bermanuver, termasuk menyeret petinggi Bareskrim yang membawahi ekonomi dan perbankan. (nasional.inilah. com/read/detail/2173658).
67
Tetapi informasi lain datang dari Komjen Oegroseno, mantan Wakapolri yang sempat mengeluarkan kritik keras terhadap BG dan Kabareskrim Irjen Budi Waseso. Ia kaget atas pencopotan Komjen Suhardi Alius sebagai Kabareskrim, dan meminta mutasi jabatan di tubuh kepolisian harus berdasarkan aturan dan asas kepatutan. "Jangan sampai seperti zaman PKI dulu. Dicap ini, dicap itu, terus diambil, dibunuh," kata Oegroseno di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu 17 Januari 2015. Apabila memastikan
ketidakjelasan
institusi
Polri
itu akan
terus
berlanjut,
goyah.
Karena,
Oegro akan
membahayakan soliditas mereka dalam menjalankan tugas. "Saya tetap jaga integritas Polri. Integritas perorangan saya tidak punya hak jaga mereka. Hanya hubungan kedekatan dengan junior saya masih ada," ujar Oegroseno. Ia juga kaget dengan
pernyataan
Irjen
Budi
Waseso
yang
menyebut
pengkhianat tidak boleh ada di lingkungan Polri. "Siapa ini pengkhianat?
Jangan
munculkan
masalah
baru,"
Oegro
menegaskan. Jika Irjen Budi Waseso ditunjuk dan mendapat jabatan Kabareskrim, Oegro meminta jangan mengeluarkan pernyataan, bahwa ada misi pembersihan. Dia menegaskan semua polisi baik. "Kalau Suhardi diganti tidak ada masalah. Propam jalan dulu dong. Karena Kadiv Humas saja mengatakan asas praduga 68
tak bersalah. Kenapa masih ada praduga bersalah? Jangan pakai dua kutub. Nanti jadi awan cumulusnimbus. Bahaya," Oegro mengingatkan. "Saya tahu nggak ada masalah. Kalaupun ada masalah setelah saya tinggalkan, buktikan melalui Propam. Supaya
masyarakat
menggunakan
asas
bisa
menilai
praduga
tak
kepolisian bersalah,"
betul-betul tegasnya.
(news.viva.co.id/news/read/579153). Oegro menambahkan, dirinya tak khawatir apabila mendapat ancaman ataupun teror, karena pernyataannya itu. Sebagai orang dalam dan sebagai mantan Wakapolri, tentu saja Komjen Oegroseno sangat mengetahui apa yang terjadi di internal Polri, yaitu terjadinya persaingan tajam antar jenderal. Ia langsung saja mengatakan Budi Gunawan dan Budi Waseso (dua Budi ini) merupakan 'biang masalah' di tubuh Polri saat ini. Dan terkait kritik pedasnya yang disampaikan ini, Oegroseno mengaku tidak takut dengan segala resiko yang harus dihadapi. "Memang resiko bernegara ya gitu. Jangan takut," katanya di Gedung Sekretariat Negara, Jakarta Pusat, Selasa (27/1/2015). (nasional.inilah.com/read/detail/2173646). Mantan Wakapolri ini, ternyata juga cukup keras menanggapi peristiwa penangkapan Bambang Widjojanto, Wakil ketua KPK, yang ditangkap di halaman Sekolah Nurul
69
Fikri, Kelapa Dua, Cimanggis, Depok, pada Jumat pagi 23 Januari 2015. Berikut ini beberapa pernyataan Komjen Pol. (Pur) Oegroseno: 1. Kabareskrim tak anggap Wakapolri. Pasalnya ketika ditanya media pagi-pagi apakah benar Bambang Widjojanto (BW) ditangkap polisi, Wakapolri Badrodin Haiti menjawab “Tidak benar Bareskrim tangkap Bambang Widjojanto”. 2. Penyidik bisa mengirim surat ke rumah BW untuk melakukan pemeriksaan. Tetapi petugas Kepolisian langsung menangkap BW yang berstatus tersangka di depan anaknya, itu bukan tindakan bijaksana, bisa-bisa anak kecil benci Polisi, kata Oegroseno. 3. Irjen Pol. Budi Waseso tidak memenuhi syarat untuk diangkat menjabat Kabreskrim, harusnya Kabareskrim itu pernah dijabat oleh Kapolda tipe A, tipe B. Pengangkatan BG hanya didasari keputusan Pelaksana Tugas Kapolri, Komisaris Jenderal Badrodin Haiti. Plt itu hanya terbatas melaksanakan tugas administratif. Dia tidak boleh mengambil kebijakan strategis. 4. Pencopotan Kabareskrim (lama) Komjen Pol. Suhardi Alius bisa digugat ke PTUN.
70
Pernyataan Komjen Pol (Pur) Oegroseno di atas pada butir satu dan dua masuk nalar umum. Memang rasanya kurang pantas seorang Wakapolri yang notabene sedang menjalankan fungsi Kapolri tidak tahu rencana penangkapan BW, seorang pejabat negara, Wakil Ketua KPK. Wajar jika ada yang menafsirkan kenapa tak melapor atasan, bukankah menangkap BW itu akan menggegerkan perpolitikan nasional. Buktinya sampai Presiden Joko Widodo menyatakan sikapnya di Istana Bogor, menasihati agar KPK dan Polri jangan bergesekan. Butir
dua
juga
sangat
masuk
akal
sehat,
masa
menangkap orang di depan anak kecil di halaman sekolah, dalam keadaan masih menggunakan sarung, dan diborgol pula. Apakah petugas Bareskrim takut BW melawan atau melarikan diri, luar biasa memang. Mengenai pernyataan butir ke tiga bahwa Irjen Budi Waseso tidak memenuhi syarat menjadi Kabareskrim, mestinya pejabat yang mengangkat Budi Waseso lebih tahu, apakah boleh atau tidaknya seseorang yang belum pernah menjadi Kapolda Tipe A menjadi Kabareskrim. Budi Waseso sebelum menjabat
Kepala
Sespimti
Lemdikpol,
pernah
menjabat
Kapolda Gorontalo, sebuah Polda tipe B. Apakah ada aturan tertulis di lingkungan Polri?
Bila persyaratan itu hanya sebuah
konvensi, aturan tak tertulis, maka secara peraturan keberadaan 71
Irjen Pol. Budi Waseso sebagai Kabareskrim sah.
Soal
pencopotan Komjen Pol. Suhardi Alius dianjurkan di-PTUN-kan, mungkin Suhardi Alius sendiri segan melakukannya, apalagi ia sudah menyatakan ikhlas dicopot, walaupun ia pernah juga menyatakan dirinya difitnah. Sejalan
dengan
pemikiran
mantan
Wakapolri
Oegroseno, bahwa Kabareskrim harus dijabat perwira tinggi yang pernah menjadi Kapolda tipe A, bagaimana dengan persyaratan Kapolri? Apakah harus pernah menjadi Kapolda tipe A (Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Metro Jaya, Jawa Barat, Timur,
Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan
Sulawesi
Selatan-Barat,
Papua)?
Pertanyaannya,
bagaimana bila Presiden Joko Widodo dengan alasan prerogatif Presiden memilih salah seorang Komjen Polisi yang ada sekarang, tapi belum pernah menjabat sebagai Kapolda tipe A? Kita
tunggu
perkembangannya,
mudah-mudahan
pilihan
Presiden tidak bikin bumi Indonesia gonjang ganjing lagi. (birokrasi.kompasiana.com/2015/01/24/) Yang pasti, menurut surveinya LSI, mayoritas publik mengkhawatirkan munculnya matahari kembar di kepolisian dengan terjadinya persaingan tidak sehat di Polri. Menurut LSI ada dua matahari. Matahari pertama adalah Plt Kapolri yang dijabat oleh Komjen Badrodin Haiti. Matahari kedua adalah 72
Komjen Budi Gunawan yang sudah disetujui DPR sebagai Kapolri
dan
menunggu
pelantikan.
"Jokowi
diharapkan
secepatnya menetapkan Kapolri definitif. Menunda keputusan untuk Kapolri yang definitif dianggap buruk untuk soliditas kepolisian. Itu buruk juga bagi citra ketegasan seorang presiden," kata peneliti LSI-Denny JA, Ardian Sopa dalam konferensi pers di kantor LSI, Rawamangun, Jakarta, Selasa (20/1). Mayoritas publik, sebesar 69.78% mengharapkan partai koalisi pendukung Jokowi (KIH) tak lagi menekan Jokowi melantik tersangka korupsi BG menjadi Kapolri.
"Hanya
sebesar 23.60% publik berharap Jokowi harus ditekan untuk tetap
melantik
tersangka
korupsi
BG
sebagai
Kapolri,
dan
6.62% publik menyatakan tidak tahu/tidak jawab,"
lanjutnya. Harapan ini merata di semua segmen masyarakat. Baik mereka yang tinggal di perkotaan maupun pedesaan, pria maupun wanita, wong cilik maupun kelas ekonomi mapan, mereka yang terpelajar maupun berpendidikan rendah. Survei ini dilakukan melalui quick poll pada tanggal 1718 Januari 2015. Survei menggunakan metode multistage
random sampling dengan 1.200 responden dan margin of error kurang lebih 2,9 %. Survei dilaksanakan di 33 propinsi di 73
Indonesia. Survei juga dilengkapi dengan penelitian kualitatif dengan metode analisis media, FGD, dan in depth interview. Demikian temuan survei Lingkaran Survei Indonesia – Denny JA (LSI Denny JA) yang mengadakan survei khusus untuk memotret respon publik terhadap polemik Jokowi dan Kapolri. (gatra.com/fokus-berita/130105). Dari Senayan, seorang anggota DPR Fraksi PPP, Arsul Sani, meminta Tim Independen beranggotak sembilan tokoh yang dibentuk Presiden Joko Widodo, harus bisa membongkar akar permasalahan dari kisruh KPK vs Polri yang terjadi sekarang. Termasuk mengungkap dugaan keterlibatan sejumlah jenderal di Polri. Tim Independen ini punya tanggung jawab berat. Yaitu mengungkapkan fakta-fakta di balik kisruh antara KPK dengan Polri. Arsul Sani berharap Tim Independen harus mendalami fakta-fakta yang terjadi, terkait BG dan Wakil Ketua KPK, BW, paparnya kepada inilah.com, Selasa (27/01/2014). Dalam mengungkap kisruh kedua institusi tersebut, lanjut
Arsul,
tim
independen
diharapkan
olehnya
mau
membuka diri bagi informasi atau data-data penting dari masyarakat. Termasuk adanya kabar tentang keterlibatan sejumlah Jenderal di Mabes Polri dalam masalah ini. “Ya, saya mendapatkan informasi mengenai adanya perang bintang di
74
tubuh Polri. Kami berharap, tim independen bisa membuka diri untuk informasi dari masyarakat,” tuturnya. Beredar kabar, kisruh KPK vs Polri ini, tak bisa lepas dari persaingan tak sehat di Mabes Polri. Persaingan itu didominasi oleh sekelompok pendukung calon Kapolri yang berpangkat bintang tiga. Dari sembilan jenderal bintang tiga, muncul tiga nama yang paling berpeluang yakni, Kalemdikpol Komjen Budi Gunawan, Irwasum Komjen Dwi Prayitno, dan Kabareskrim Komjen Suhardi Alius. Yang terjadi kemudian, Presiden Jokowi mencopot Kapolri Jenderal Sutarman dan memilih BG sebagai calon tunggal Kapolri. Tak lama kemudian, Kabareskrim Komjen Suhardi Alius yang menjadi kandidat Kapolri juga dicopot. Di sinilah masalah mulai muncul, ketika KPK menetapkan BG sebagai tersangka dalam kasus gratifikasi dan suap. Kasus ini berasal dari data lama yang direspon dengan cepat oleh komisi antirasuah itu. Yang menjadi operator data tersebut adalah Brigjen KR, salah satu petinggi di Bareskrim Mabes Polri. (nasional.inilah.com/read/detail/2173637/). Tetapi, terjadinya perang bintang di tubuh Polri ini, langsung saja oleh Menko Polhukam Tedjo Edy Purdjiatno dibantah.
Ia
juga
yakin,
Keputusan
Presiden
itu
tidak
75
mempengaruhi soliditas Polri. Tidak ada pertarungan antar jenderal berbintang di tubuh korps Bhayangkara itu. "Enggak ada perang bintang, adanya 'Star Wars'," canda Tedjo yang mantan Kepala Staf Angkatan Laut itu. Lebih lanjut, Tedjo juga memuji kebesaran hati Jenderal Sutarman yang bersedia diberhentikan oleh Presiden. Seharusnya, masa pensiun Sutarman baru jatuh pada Oktober 2015. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Tedjo Edhi Purdjiatno ini mengaku sudah berbicara dengan BG terkait penundaan pelantikannya sebagai Kapolri. Dari pembicaraan itu, Tedjo mengatakan, BG sama sekali tidak masalah pelantikannya ditunda. "Enggak ada masalah, tadi saya kumpulkan bersama Pak Tarman (mantan Kapolri Jenderal Sutarman), Pak Badrodin (Plt Kapolri Badrodin Haiti) dan Pak Budi. Clear semua, enggak ada masalah. Besok akan dijelaskan ke internal mereka," ujar Tedjo di Istana Kepresidenan, Jumat (16/1/2015). Presiden Joko Widodo, kata Tedjo, juga menjelaskan kepada BG bahwa penundaan itu terpaksa dilakukan supaya proses hukum terhadap mantan ajudan Presiden Megawati Soekarnoputri itu bisa tuntas. Meski demikian, Presiden tidak menyebut batas waktu penundaan pelantikan itu dilakukan.
76
"Berhubung Komjen Budi Gunawan sedang menjalani proses hukum, maka kami pandang perlu untuk menunda pengangkatan
sebagai
Kapolri.
Jadi
menunda,
bukan
membatalkan. Ini yang perlu digarisbawahi," kata Presiden Jokowi
dalam
jumpa
pers
di
Istana
Merdeka.
(nasional.kompas.com/read/2015/01/16/23221251). Sama dengan Menkopolhukam Tedjo, Pelaksana Tugas (Plt) Kapolri Komjen Pol Badrodin Haiti menegaskan tak ada
pengkhianatan
dalam
tubuh
Polri.
Istilah
tersebut
dinilainya timbul hanya semata pernyataan emosional saja. "Pengkhianatan itu pernyataan emosional saja. Saya sudah sampaikan, tidak bisa kita bicara seperti itu. Kalau kita emosional akan memancing lebih jauh. Sudah saya tegur sehingga tidak seperti itu," ujar Badrodin saat pertemuan dengan Pemimpin Redaksi media di kantor Menko Polhukam, Jakarta, Selasa (20/1/2015). Kata pengkhianat muncul dari ucapan Kabareskrim Polri Irjen Budi Waseso. Dia menyatakan tidak akan menjadi pengkhianat di tubuh Polri. Namun begitu, Budi Waseso tak menampik ada orang yang bersikap begitu dalam internal Polri. Badrodin membantah keras adanya kubu dalam internal Polri.
Kubu-kubu
itu
disebut-sebut
bersaing
untuk
memperebutkan kursi tertinggi di Korps Bhayangkara. "Saya 77
tadi pagi menjelaskan ke pejabat utama para perwira menengah dari Mabes Polri ini, kok orang luar yang merasa. Jangan sampai orang luar yang memancing kita terbelah. Mungkin
ini analisis
semata
yang datanya
sumir. Bisa
menimbulkan penafsiran salah," jelas dia. Hanya saja, Badrodin juga tidak memungkiri ada percik antara satu orang dengan yang lainnya. Tapi pada dasarnya ia siap menjalankan apa pun keputusan pimpinan. "Bisa saja satu orang kesel bisa saja. Tapi kalau perang bintang tidak ada. Kita sendiri tidak tahu siapa calon Kapolri nanti. Kita serahkan ke pimpinan,
siapa
pun
kita
loyal,"
tandas
Badrodin.
(news.liputan6.com/read/2163753/). Meski dibantah tidak ada perang bintang itu, tapi suarasuara adanya perselisihan antara petinggi Polri malah semakin terendus sampai ke tingkat bawah. Termasuk soal pergantian Kabareskrim yang dinilai mendadak, dari Komjen Suhardi Alius dialihkan kepada Irjen Budi Waseso. Seorang anggota Polri mengatakan: "Soal kisruh di kalangan pejabat Polri itu enggak berimbas terhadap pelayanan masyarakat. Semua pelayanan ke masyarakat masih berjalan normal”. Pernyataan itu disampaikannya ke merdeka.com, Selasa (20/1).
78
Tapi anggota Polri ini hanya bisa berharap, apa yang terjadi di internal korps Bhayangkara saat ini tidak berlarutlarut. Dia mengatakan, apapun yang menjadi perselisihan antar jenderal di lembaga Tri Brata itu, satuannya akan dipimpin oleh seseorang
yang
dapat
membawa
perubahan.
"Semoga
kisruhnya beres. Polri segera memiliki pemimpin yang bisa membawa Polri tetap jaya bahkan semakin jaya," harapnya. Selain itu, dengan adanya kisruh antara petinggipetinggi Polri, lanjut dia, setiap anggota polisi mau berbenah untuk memperbaiki citra dari institusi kepolisian itu sendiri. "Makin solid, profesional dan dicintai masyarakat," pungkasnya. (merdeka.com/peristiwa/ini-kata-anak-buah-soal-perangbintang). Di pusaran perang bintang itu, ada yang menarik, yaitu beredarnya
pernyataan
simpang-siur
tentang
siapa
sesungguhnya yang memutasi Kabareskrim Komjen Suhardi Alius ini. Sutarman atau Badrodin Haiti? Kabareskrim Komjen Pol Suhardi Alius dimutasi ke Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas). Mutasi ini atas perintah dari Kapolri saat itu Jenderal Sutarman. Pernyataan ini dikatakan Kepala Divisi Humas Polri Irjen Ronnie F. Sompie. "Apa yang saya jelaskan ini berdasarkan penjelasan Komjen Pol Drs Suhardi Alius. Pada hari Kamis (15/1) malam, 79
Bapak Kapolri Jenderal Polisi Drs. Sutarman memerintahkan Komjen Pol Drs. Suhardi Alius untuk menyerahkan tugas, wewenang dan tanggung jawab Kabareskrim Polri kepada Irjen Pol Drs Budi Waseso," tutur Kadiv Humas Polri, Irjen Ronnie F Sompie kepada detikcom, Minggu (18/1/2015). Besoknya, lanjut Ronnie, Jumat (16/1) pagi, Komjen Pol Drs Suhardi Alius mengumpulkan seluruh anggota Bareskrim Polri dan menghubungi Irjen Pol Drs Budi Waseso. Komjen Suhardi sudah berpamitan dengan seluruh anggota Bareskrim Polri. "Selanjutnya menyerahkan sepenuhnya tugas, wewenang dan tanggung jawab jabatan Kabareskrim Polri kepada Irjen Pol Drs Budi Waseso. Penyerahan tersebut tanpa upacara seperti biasanya," tutupnya. Sekedar diketahui, Komjen Suhardi Alius diangkat sebagai Kabareskrim di era pemerintahan SBY pada Oktober 2013 dan diberhentikan dari Kabareskrim di era pemerintahan Jokowi per Jumat (16/1). Jenderal bintang tiga yang baru berumur 52 tahun itu saat ini dimutasi ke Lemhannas tanpa alasan yang jelas. Dia dimutasi di tengah gonjang-ganjing pemberhentian Kapolri Jenderal Sutarman dan pengangkatan BG sebagai Kapolri. Kisruh ini berakhir pada keputusan Presiden yang menunda pelantikan BG karena telah dijadikan tersangka oleh KPK dalam kasus rekening tidak wajar. Banyak pihak yang 80
menyayangkan
pencopotan
Suhardi
Alius.
(detik.com/read/2015/01/18/124157/2806475). Ternyata, mantan Kapolri Jenderal Sutarman tak pernah memberi perintah mutasi untuk Komjen Suhardi Alius dari Bareskrim Polri. Ada pernyataan tegas Sutarman, bahwa setelah dia diberhentikan, maka sepenuhnya soal mutasi adalah urusan Wakapolri Komjen Badrodin Haiti. "Sudah bukan wewenang saya. Pergeseran setelah saya bukan wewenang saya," tegas Sutarman, di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Jakarta, Rabu (21/1/2015). Menurut Sutarman, setelah dia lengser pada 18 Januari, dirinya sudah tak lagi berwenang melakukan mutasi. "Sejak 16 Januari kemarin di hadapan bapak Presiden saya sudah serahkan tugas dan wewenang Kapolri kepada Pak Badrodin, sehingga pergeseran setelah itu wewenang Pak Badrodin," tutur Sutarman. Komjen Suhardi Alius turun dari jabatan Kabareskrim memang sangat mendadak dan hampir bersamaan dengan diberhentikannya Sutarman. Masih menjadi misteri apa alasan Suhardi dimutasi walau Mabes Polri pernah menyebut sebagai regenerasi, dan mutasi merupakan perintah terakhir Sutarman. Suhardi Alius kini di Lemhannas, sedangkan jabatan Kabareskrim dijabat Irjen Budi Waseso yang banyak disebut ‘orang dekat’ BG, Kapolri yang ditunda pelantikannya karena 81
kasus hukum di KPK. Tetapi Sutarman tegas-tegas menyatakan, bahwa ia tidak menggeser Suhardi. "Pergeseran ini wewenang pejabat baru karena terjadi setelah saya," tutup Sutarman. (detik.com/read/2015/01/21). Wakapolri Komjen Pol Badrodin Haiti yang menjabat Plt Kapolri, menampik tudingan adanya persaingan tidak sehat antar elit polisi di tubuh Mabes Polri dalam kisruh perseteruan Polri dengan Komisi KPK. Badrodin juga membantah bila persaingan itu didominasi sekelompok pendukung calon Kapolri yang berpangkat bintang tiga. "Saya tidak merasakan adanya persaingan itu, yang berkembang itu hanya si A dekat dengan tokoh X atau si B dekat dengan tokoh lain, dan sebagainya," kata Badrodin ketika dihubungi Okezone, Selasa (27/1/2015). Menurut Badrodin, mantan Kapolri Jenderal Sutarman bahkan pernah menginstruksikan untuk menerima apapun keputusan yang diambil Presiden Jokowi sebagai pemimpin tertinggi negara dan juga pemerintahan. Hal itu disampaikan Sutarman saat dirinya baru menerima tugas sebagai Pelaksana Tugas
Kapolri
untuk
mengisi
kekosongan
pimpinan
di
Kepolisian. "Mantan Kapolri Pak Sutarman dari awal menjabat sudah mengarahkan, bahwa sejak menjabat saya harus siap sewaktu-waktu diganti dan tugasnya menyiapkan penggantinya 82
dari sekarang, sehingga semuanya legowo dengan keputusan Presiden," pungkasnya. Sebelumnya beredar kabar, kegaduhan konflik KPK versus Polri terjadi karena persaingan tidak sehat antar-pejabat polisi di tubuh Mabes Polri. Persaingan itu didominasi oleh sekelompok pendukung calon Kapolri yang berpangkat bintang tiga. Kita semua menjadi prihatin terjadinya perang bintang di tubuh Polri ini, yang konon sudah lama terjadi dan memang bukan rahasia lagi. Kita tahu kasus dugaan korupsi simulator ujian SIM yang saat itu (2012) ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri tampak jelas adanya perang bintang itu. Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane, kasus ini merupakan dampak dari perebutan kursi Kapolri. Dia menjabarkan, Djoko Susilo yang menjadi
tersangka
di
KPK
untuk
kasus
simulator
SIM
merupakan salah satu calon kuat untuk menjabat Kapolri. Namanya cukup populer di kalangan internal kepolisian. Ada beberapa nama lagi yang cukup dijagokan untuk menjadi TB-1 (sebutan untuk Kapolri). Di antaranya Irjen Pol Putut Bayu Seno yang saat itu menjabat sebagai Kapolda Jawa Barat, Kapolda Bali Irjen Pol Budi Gunawan, Kepala Korps Lalu Lintas 83
Puji Hartanto Waluyo, dan Staf Ahli Kapolri Irjen Pol Badrodin Haiti. "Jadi ada semacam perang bintang di internal Polri," kata dia. Juga ada sentimen angkatan di Polri. Lulusan Akabri Akpol 1980, 1981, 1983, dan 1984 adalah yang paling berpeluang menjadi Kapolri. Secara otomatis, di internal Polri kini terbentuk faksi-faksi yang saling mendukung dan sayangnya bisa
saling
menjatuhkan.
(nasional.sindonews.com/read/662635/12/) Yang menarik, mantan Presiden SBY juga angkat bicara terkait kemelut puncak pimpinan Polri. SBY menilai apa yang terjadi saat ini mirip seperti pada 14 tahun lalu yang disebutnya 'Kapolri kembar'. "Empat belas tahun yang lalu, terjadi pula kemelut dengan apa yang disebut sebagai 'Kapolri kembar'. Kini krisis semacam itu terjadi lagi, meskipun tidak sama persis," kata SBY yang dikutip dari akun facebook-nya, Selasa (20/1/2015). Sebenarnya, imbuh SBY, penggantian pimpinan Polri dan juga TNI bukan merupakan sesuatu yang luar biasa. Undang-undang dan perangkat peraturan yang berlaku telah mengaturnya. Khusus untuk Kapolri dan Panglima TNI, setelah Presiden memutuskan siapa calonnya, selanjutnya calon itu dimintakan persetujuannya kepada DPR.
84
"Penunjukan siapa yang menjadi calon Kapolri dan Panglima TNI adalah menjadi prerogatif Presiden. Sungguhpun demikian, Presiden tidak asal tunjuk dan putuskan, tetapi melalui norma dan aturan yang lazim berlaku," ujar dia. SBY mencontohkan, untuk memilih calon Kapolri, biasanya Kapolri
incumbent mengajukan sejumlah nama kepada Presiden yang dianggap layak dan memenuhi syarat. Undang-undang itu juga meminta Kompolnas untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden. "Di situ Presiden bisa memutuskan. Bisa saja Presiden tidak meminta saran dan masukan dari Kapolri, tetapi pertimbangan dari Kompolnas tetap dipersyaratkan," kata SBY. Dia berharap situasi yang sangat mengganggu keutuhan dan kekompakan Polri ini segera bisa diatasi, sehingga Polri segera bisa berfungsi secara normal dan tetap dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik. "Kita perlu memberikan dukungan yang penuh, baik kepada Presiden maupun pimpinan Polri untuk mengatasi permasalahan ini, agar kemelutnya tidak berlarut-larut," tukas SBY. Begitu pula di zaman Gus Dur, ada juga yang namanya ‘Polri Kembar’. Di zamannya, pernah Gus Dur meminta Jenderal Suroyo Bimantoro untuk mundur dari jabatan Kapolri. Namun, Bimantoro tidak bersedia mundur, bahkan menantang 85
Presiden Gus Dur untuk mencopot jabatannya. "Sekali lagi Gus, saya tidak mau mengundurkan diri. Tapi kalau Gus mau mengganti saya, silakan," kata Bimantoro, saat itu. Penolakan pembangkangan.
itu
dinilai
Kemudian
Gus Gus
Dur Dur
sebuah
tindakan
mencopot
jabatan
Bimantoro pada 1 Juli 2001 dan menunjuk Chairudin Ismail lulusan Akpol 1971 sebagai penggantinya. Ternyata, tindakan Gus Dur mendapat perlawanan dari sejumlah perwira tinggi Polri, dengan alasan tidak sesuai dengan Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 yang mensyaratkan pengangkatan dan pergantian
Kapolri
harus
mendapat
persetujuan
Dewan
Perwakilan Rakyat. Kemudian para perwira tinggi dan menengah yang menolak
pencopotan
Kapolri
meminta
Bimantoro
tidak
menyerahkan tongkat komando kepada Kapolri Jenderal Chairudin Ismail yang telah diangkat Gus Dur. Sehingga dalam sejarah Polri, pada masa Gus Dur, institusi Bhayangkara ini memiliki dua pemimpin yakni Bimantoro dan Chairudin. (liputan6.com/read/2163487). Kita berharap, sebagai warga bangsa, Presiden Jokowi bisa mencermati permasalahan yang terjadi di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) ini, lalu mengambil tindakan menyeluruh (tidak tambal sulam) agar tidak menimbulkan 86
konflik berkepanjangan di internal korps Bhayangkara tersebut. Katakan sebagai ‘perang dingin’ ini merupakan peristiwa terburuk dari konflik yang pernah terjadi di internal Polri sebelumnya. Sebab diwarnai aksi ganjal-mengganjal yang menimbulkan perseteruan Polri dengan KPK. Dan ini juga menjadi ujian pemerintahan Presiden Jokowi. Barangkali Presiden Jokowi perlu mengingat pengalaman Gus Dur yang lengser
gara-gara
sembarangan
mengganti
Kapolri.
(merdeka.com/peristiwa/kisah-gus-dur-lengser). Pergantian
mendadak
dan
penuh
konflik
akibat
dikeluarkannya dua Keppres Jokowi untuk Sutarman dan Badrodin Haiti, seperti sekarang ini, ternyata bukan pertama kali terjadi. Peristiwa hampir serupa pernah berlangsung ketika Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 2001 lalu. Bahkan, keputusan Gus Dur tersebut membuatnya lengser dari jabatannya sebagai presiden dan digantikan oleh Megawati berdasarkan keputusan Sidang Istimewa MPR. Kita hanya mengingatkan Jokowi untuk berkaca pada peristiwa Gus Dur itu dengan harapan segera melakukan kebijakan terbaik bagi kemajuan Polri ke depan.(*)
87
88
BAB VI KPK DALAM ANCAMAN SERIUS
KEHEBOHAN luar biasa dilakukan oleh Bareskrim Polri. Tiba-tiba mereka melakukan penangkapan terhadap Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, BW. Sekali lagi, sungguh luar biasa. Meski ada juga yang cuma bergumam, “Ah, ada-ada saja!” Yang jelas, efek dramatis atas kasus penangkapan oleh Bareskrim Polri itu begitu mencolok, antara lain, karena dilakukan di jalan, yang membuat banyak orang terperangah. Berbagai kalangan dibuat terkejut dan terusik karena tindakan penangkapan di luar dugaan publik. Penangkapan BW telah menciptakan prahara tersendiri di antara penegak hukum. "Adu kuat" antara KPK-Polri sebagai penegak hukum mulai kembali dirasakan masyarakat. Mabes Polri dikabarkan menangkap Wakil Ketua KPK BW di Cimanggis, Depok, Jawa Barat, pukul 07.30 WIB, Jumat, usai mengantar puterinya sekolah. Walau sempat enggan berkomentar soal penangkapan BW, namun Polri akhirnya angkat bicara.
89
"Telah
melakukan
upaya
penangkapan
terhadap
tersangka BW, yang saat ini sedang dalam proses berita acara pemeriksaan tersangka oleh penyidik Bareskrim Polri," kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Ronny Franky Sompie di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Jumat (23/1/2015). BW ditangkap atas dugaan menyuruh saksi memberikan keterangan palsu dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi untuk kasus sengketa Pilkada Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, pada 2010. Didasari tiga alat bukti yang sah, pemeriksaan saksi, dokumen, dan keterangan ahli, BW dijerat Pasal 242 juncto Pasal 55 KUHP. "Ancaman kurungan tujuh tahun," ujar Ronny. Sementara
menurut
banyak
pengamat
hukum,
persengketaan itu sendiri dikatakan sudah diselesaikan tahun 2010 di Mahkamah Konstitusi.
Apa pun alasan dan
pertimbangannya, kasus penangkapan BW sama sekali tidak membantu meredam kegaduhan politik yang sedang kita hadapi. Kasus itu justru menambah kehebohan, yang dapat merepotkan pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf
Kalla di
tengah ancang-ancang melaksanakan agenda pembangunan. Kegaduhan bertambah karena bermunculan spekulasi, yang mengaitkan kasus penangkapan BW dengan perseteruan antara KPK dan Kepolisian, yang diibaratkan pertarungan cicak-buaya. 90
Banyak
orang
yang
bertanya-tanya,
mengapa
kegaduhan politik dan hukum seakan tiada habis-habisnya di negeri tercinta ini, terus saja silih berganti. Belum selesai kegaduhan atas pencalonan BG, kini muncul kehebohan atas penangkapan Wakil Ketua KPK BW. Sensitivitas bertambah karena tidak sedikit kalangan yang berusaha mengaitkan penangkapan BW dengan kontroversi atas pencalonan BG sebagai Kepala Polri. Juga kasus penangkapan disebut-sebut sebagai refleksi hubungan tidak harmonis antara kepolisian dan KPK. Penangkapan BW ini sontak memicu sejumlah aktivis antikorupsi mendatangi Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jalan HR Rasuna Said, Jakarta. Mereka datang untuk memberikan dukungan kepada KPK atas penangkapan BW yang dilakukan Bareskrim Polri. Tampak hadir di gedung KPK seperti
Zainal
Arifin
Mochtar,
Donald
Fariz,
Bambang
Harimurti, Suciwati, dan Haris Azhar Aziz dari KontraS. Wajah pakar dan praktisi hukum seperti Denny Indrayana, Saldi Isra, Todung Mulya Lubis juga terlihat. Berbagai kabar seputar kasus yang menimpa pimpinan komisi antirasuah ini beredar. Sempat beredar informasi, kasus ini awalnya dilaporkan Bonaran Situmeang. Dia `bernyanyi` saat ditahan KPK, Rabu 15 Oktober 2014. Laporan itu 91
didasarkan keterangan Akil Mochtar di persidangan yang menyebutkan, BW pernah menemuinya untuk mengurus sengketa pilkada Kota Waringin Barat. Beredar pula kabar, ternyata BW menjadi "tumbal dendam" Polri karena status tersangka yang melekat ke GB oleh KPK. Tidak sedikit yang berpendapat, BW dikriminalisasi. Di media sosial pun tersurat, bahwa penangkapan BW ada upaya pelemahan KPK yang sedang dilakukan Polri. Namun, dengan banyaknya kabar dan informasi yang beredar, yang paling pasti, dukungan untuk KPK mengalir tiada henti. Di dunia nyata rakyat berkumpul. Di dunia maya opini, pendapat, dan dukungan #SaveKPK terhimpun. Tidak peduli, bahwa sehari sebelumnya AS sempat 'digoyang' kasus 'deal politik'
dengan
PDIP
demi
menjadi
Cawapres
yang
ditembakkan oleh Plt Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Sejak BW dicokok Polisi pada 07.30, di-BAP sejak pukul 17.00 hingga pukul 22.00 WIB, hingga dinyatakan telah menandatangani BAP-nya setelah diperiksa 12 jam lebih, dukungan terhadap BW dan KPK terus mengalir. Walau sempat dinyatakan ditahan Polri, akhirnya BW dilepaskan pada Sabtu (24/1/2015) dini hari. BW terlihat keluar dari Bareskrim Mabes Polri sekira pukul 01.28 WIB dini hari.
92
Nasib BW sebagai pimpinan KPK setidaknya masih bertahan hingga Presiden Jokowi memutuskan dia harus berhenti. BW masih akan dibayangi pemeriksaan lanjutannya. Atas dasar itu, muncul berbagai desakan agar Presiden Jokowi segera mengakhiri ketegangan Kepolisian dan KPK. Perlu disampaikan, sejumlah tokoh bangsa sudah mengingatkan, kegaduhan politik jangan dibiarkan berlarut-larut, karena hanya menguras
energi
bangsa
dan
merusak
momentum
pembangunan ekonomi di bawah pemerintahan baru hasil Pemilu 2014. Telah
merebak
luas
pula
kekhawatiran
tentang
kemungkinan kasus penangkapan Wakil Ketua KPK menjadi bola panas, yang bisa bergerak liar dan tak terkendali. Tantangannya semakin berat jika kemelut yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini menggambarkan runyamnya keadaan zaman, yang membuat orang tidak mengenal kawan ataupun lawan,
bellum omnium, contra omnes, perang melawan semua oleh semua. Dalam lapisan yang lebih dalam, jangan-jangan sedang terjadi disorientasi nilai, yang secara kultural digambarkan sebagai wujud zaman edan. Di balik ketegangan KPK dan Kepolisian, dikhawatirkan sedang terjadi pertarungan nilai pula. Sekiranya berpijak dan berorientasi pada nilai yang sama, niscaya tidak terjadi benturan hebat, yang terdengar sampai 93
jauh. Saldi Isra, pakar Hukum Tata Negara, menyebutkan dalam tulisannya di Kompas, 24/1/2015, meskipun Presiden Joko Widodo berupaya memilih jalan tengah dengan cara menunda pelantikan BG, silang-sengkarut proses pengisian jabatan Kepala Kepolisian Negara RI masih jauh untuk dapat dikatakan selesai. Melihat tanda-tanda yang ada, hari-hari ke depan potensial menghadirkan ketegangan lebih luas. Tak hanya di sekitar Kepolisian dan KPK, situasi bisa meluas ke lembaga lain. Paling
tidak,
langkah
Sekjen
PDI-P
Hasto
Kristiyanto
mengungkap isu sensitif ihwal langkah AS di sekitar proses penentuan bakal calon wakil presiden mengonfirmasi wilayah sensitif tersebut. Terlepas dari benar-tidaknya soal ini, kisruh di sekitar pencalonan BG tengah memasuki wilayah politik yang jauh lebih sensitif. Bahkan, lebih jauh dari itu, perkembangan mutakhir, langkah polisi menangkap Wakil Ketua KPK BW merupakan bentangan fakta, betapa besarnya kepentingan di sekitar pengusulan BG. Dengan kejadian ini, hampir nyaris dipastikan segala kemungkinan akan dapat terjadi di ranah penegakan hukum. Satu hal yang pasti, KPK tengah berada dalam ancaman amat serius.
94
Amat disayangkan, adalah kurangnya semua pihak mau melakukan
kearifan
dan
bersemangat
tinggi
untuk
menghadirkan situasi yang lebih kondusif di negeri ini. Sepertinya semua orang lebih suka kalau ada ramai-ramai dan gonjang-ganjing di negeri ini. Ada cara berfikir dan cara pandang yang keliru di sini, ataukah itu sudah menjadi kebiasaan. Andai semua pihak mau arif, tentulah peristiwa ketegangan yang tajam antara dua penegak hukum ini tidak perlu terjadi. Menurut Saldi Isra, ketidakarifan paling awal muncul dari sodoran nama BG ke DPR. Jikalau Jokowi sensitif dan mendengar suara-suara minor yang berada di sekitar bekas ajudan Megawati ini, kontroversial ini tidak perlu terjadi. Bahkan ketidakarifan masih muncul ketika status tersangka tidak menjadi alasan bagi Jokowi menarik kembali usulan yang telah diajukan kepada DPR. Padahal, sejak status hukum itu dirilis KPK, Jokowi memiliki waktu lebih dari cukup untuk menarik kembali usulan nama BG itu. Dalam posisi begitu, alasan menentukan sikap setelah proses politik di DPR dapat dikatakan sebagai pilihan membiarkan kekeliruan berjalan memasuki wilayah kerumitan yang teramat sangat. Begitu pula dengan DPR, lanjut Saldi Isra, lembaga ini dengan
segala
kemungkinan
perhitungan
politik
yang 95
mengitarinya tak mau keluar dari logika formal, tetap saja meneruskan proses uji kelayakan dan kepatutan BG. Sekiranya mau mengambil langkah lebih arif dengan sedikit keluar dari logika formalitas, dengan status tersangka jauh lebih masuk akal mengembalikan
usulan
kepada
Presiden.
Bagaimanapun,
dengan status itu, DPR kehilangan alasan menilai BG proper menjadi calon Kapolri. Lebih jauh menurut Saldi Isra, secara hukum, langkah pembelaan diri BG tentu menjadi bagian dari proses hukum. Meskipun demikian, kata Saldi, melakukan praperadilan yang seolah-olah menempatkan institusi Kepolisian berada di balik semua ini dapat merusak hubungan antara institusi Kepolisian dan KPK. Bahkan, sikap Kepolisian memberikan bantuan hukum kepada BG amat mungkin memperhadapkan kedua institusi
penegak
hukum
ini.
Mestinya,
jikalau
hendak
menjunjung tinggi penegakan hukum, BG harus dinon-aktifkan dari Kepolisian. Terlepas dari itu semua, perlawanan berupa pengajuan praperadilan tak perlu dilakukan. Secara hukum, bagi tersangka, praperadilan dapat dilakukan hanya untuk mempersoalkan sahtidaknya
penangkapan
atau
penahanan.
Bagi
yang
berkepentingan untuk penegakan hukum dan keadilan, upaya ini dapat dilakukan guna menyoal sah-tidaknya penghentian 96
penyidikan atau penghentian penuntutan. Sebagai orang yang telah begitu lama bekerja di ranah penegakan hukum, BG pasti paham betul proses praperadilan. Melihat pengaturan yang amat jelas dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menurut Saldi Isra, semestinya institusi kepolisian tak memberikan dukungan kepada
BG
mengajukan
praperadilan.
Selain
berpotensi
memperlama proses hukum, langkah ini dapat memicu ketegangan antara Kepolisian dan KPK. Sekiranya ini terjadi, secara keseluruhan berpotensi merusak wajah penegakan hukum negeri. Andai pilihan mengajukan praperadilan tak bisa dicegah, biarkan BG melakukan secara personal tanpa perlu melibatkan
institusi
kepolisian.
Celakanya,
jangankan
mendorong menjadi personal, hampir semua upaya yang dilakukan BG mendapat apresiasi dari anggota kabinet. Bukti apresiasi itu, misalnya, bisa dilacak dari sejumlah pernyataan Menteri Hukum dan HAM setelah Jokowi menunda pelantikan BG. Semestinya, dari mana pun anggota kabinet berasal, dukungan terhadap kebijakan presiden tidak boleh terbelah. Yang kita tunggu sekarang adalah munculnya sikap tegas Jokowi.
Langkah
awal
yang
harus
dilakukan
adalah
menghentikan kemungkinan pihak-pihak tertentu menggunakan institusi Kepolisian melakukan serangan balik atas penetapan 97
BG sebagai tersangka. Selain itu, Jokowi harusnya memastikan Kepolisian tak menahan BW secara sewenang-wenang. Jauh lebih penting dari itu semua, Jokowi harus memastikan, bahwa tak akan terjadi lagi kriminalisasi terhadap berbagai pihak di KPK. Kita semua harus punya semangat untuk terus melakukan pemberantasan korupsi. Dan faktanya, KPK adalah instansi yang paling bisa diharapkan untuk itu. Jadi sebenarnya menjadi kewajiban Jokowi untuk memberikan perlindungan dan keberpihakannya kepada KPK secara nyata. Memberikan perlindungan kepada KPK ini bukan berarti Jokowi sebagai Presiden lalu berlaku tidak adil kepada Kepolisian atau juga Kejaksaaan. Tapi itu semata didasarkan, bahwa masyarakat menghendaki KPK harus lebih diperkuat lagi dalam upaya pemberantasan korupsi, dan bukannya dikriminalisasi atau seperti sekarang ini dibiarkan berada dalam ancaman serius terutama oleh elemen-elemen yang dengan gampangnya dipakai para koruptor untuk melakukan fight back-nya. Menurut Zaenal Arifin Mochtar, pegiat antikorupsi dari UGM Jogjakarta, posisi saat ini sudah saling mengunci. Dengan "mengambangkan" pengangkatan BG, pada hakikatnya Presiden berseberangan dengan apa yang diinginkan DPR. Namun, pada saat yang sama, ada banyak pertanyaan, termasuk sampai kapan BG diambangkan? Sampai kapan Wakapolri menjabat 98
Pelaksana Tugas (Plt) Kapolri? Tahapan awal yang dilakukan Presiden dan DPR seakan-akan sudah selesai. Tak mungkin lagi Presiden
menolak.
Dia
dihadapkan
pada
pilihan
sulit.
Setidaknya, ada dua pilihan yang berseberangan secara diametral yang dihadapi Jokowi. Pertama, tak melanjutkan pencalonan BG. Dengan tidak melanjutkan pencalonan BG, ada banyak pilihan jalan yang tersaji, tetapi akan mendatangkan konsekuensi berbeda. Misalnya, tetap mengambangkan BG dan memilih melanjutkan Badrodin sebagai Plt Kapolri. Namun, ini tentu saja jauh dari ideal karena banyaknya kerja-kerja Kapolri yang harus diambil dalam kapasitas Kapolri dan bukan selaku Plt yang memang pada hakikatnya memiliki keterbatasan bertindak atas nama Kapolri. Artinya, pada langkah pertama ini Presiden lebih baik memilih menguatkan moral dan etika publik dengan tak melantik BG, lalu mengajukan calon baru dengan menggunakan mekanisme Pasal 11 ayat (1) dan (2) yang kemudian kembali ke proses persetujuan di DPR. Sesungguhnya, pada langkah ini bukan hanya alasan etika yang menjadi pertimbangan. Ada fondasi "kecil" hukum, yakni itikad Presiden mengisi dan menghindari stagnannya pemerintahan karena suatu kondisi. Tindakan ini semacam diskresi administratur sebagaimana diatur di Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. 99
Tidak hanya itu, tindakan ini juga menegakkan prinsip penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN sebagaimana dikembangkan di Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999. Namun, bukan berarti tanpa kritik. Langkah ini dapat dinilai beragam. Bisa dianggap ketidakpatuhan Jokowi atas UU Kepolisian, atau pembangkangan Presiden atas persetujuan yang telah dikeluarkan DPR. Namun, lewat langkah ini, Presiden akan mendapatkan dukungan moral publik yang lebih kuat. Pilihan kedua, meneruskan pelantikan BG. Namun, setelah dilantik, demi menjaga semangat pemberantasan korupsi di publik, Presiden dapat langsung memberhentikannya dengan alasan-alasan yang memang dimungkinkan dalam penjelasan pasal-pasal di UU Kepolisian. Presiden dapat memilih memberhentikan BG setelah pengangkatannya dengan mekanisme yang tersedia di dalam UU Kepolisian. Kata Zaenal Mochtar, dalam hal ini, Presiden dapat langsung memberhentikan BG dengan pemberhentian definitif seperti diatur Pasal 11 ayat (2) atau pemberhentian sementara seperti diatur Pasal 11 ayat (5). Artinya, Presiden bisa memilih antara mengajukan Kapolri definitif baru sebagaimana diatur 100
dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) atau Plt Kapolri yang tunduk pada aturan Pasal 11 ayat (5). Baik calon baru maupun Plt harus dikirimkan konfirmasinya ke DPR. Langkah kedua ini lebih fit ke aturan hukum, tetapi sangat deras menggerus moral publik yang sedari awal menuntut negara tak boleh melantik pejabat negara yang melakukan korupsi. Di jalur ini, boleh jadi pertanyaan politiknya jauh lebih kecil, tetapi Presiden akan dihadapkan pada kritikan publik. Jadi, menurut penulis, untuk menjaga marwah lembaga kepresidenan dan juga mengukuhkan nama Jokowi sebagai Presiden yang benar-benar memiliki kekuatan dan semangat tinggi memberantas korupsi, maka pilihan pertama, yaitu tidak melantik BG menjadi sebuah keniscayaan. (*)
101
102
BAB VII “SAVE KPK SEHATKAN POLRI”
SECARA obyektif, menjelang momentum 100 harinya pemerintahan Jokowi-JK, masyarakat umum –atau yang disebut Menkopolhukam Tedjo sebagai rakyat yang tak jelas itu, mendesak Presiden segera menyelesaikan kisruh yang terjadi antara KPK dan Polri. Juga meminta pemberantasan korupsi harus terus dilakukan dan semakin diperkuat. Karena KPK memang
lembaga
yang
memiliki
tugas
utama
untuk
memberantas korupsi. Namun, masyarakat juga tetap percaya, bahwa peran Polri dan kejaksaan juga tidak bisa disepelekan. KPK sebagai institusi harus dilindungi, tetapi oknum-oknum di KPK yang memang terbukti melakukan pelanggaran hukum harus tetap diusut sampai tuntas. Begitu juga apabila ada petinggi Polri yang terindikasi korupsi, maka kasusnya juga harus diusut sampai tuntas. "Kami menentang kriminalisasi dan pelemahan KPK. Kami juga meminta proses hukum bagi pimpinan KPK dan petinggi Polri dilakukan secara wajar sesuai aturan yang berlaku," kata Wakil Kepala Departemen Kajian dan Aksi 103
Strategis BEM FISIP UI Dhuha Ramadhani. Dia meminta, "Save KPK! Sehatkan Polri!; "Batalkan Pelantikan Budi Gunawan"; "Dukung KPK dan Polri yang bersih dan berpihak pada rakyat". Selain itu masyarakat juga ingin kejelasan apakah Jokowi mendukung 'Save KPK' atau tidak. Masyarakat juga mendorong penghapusan kriminalisasi KPK dan menolak pelantikan BG sebagai Kapolri. Presiden Jokowi sebelumnya menegasi, bahwa ia akan terus mengawasi dan mengawal proses hukum kasus calon Kepala Polri BG di KPK dan kasus Wakil Ketua KPK BW di Bareskrim Polri Jokowi mengatakan, semua pihak sepakat agar KPK dan Polri mau pun lembaga penegak hukum lain menjaga wibawa sebagai institusi penegak hukum. Oleh karena itu, kata Jokowi, jangan ada kriminalisasi dalam proses hukum di kedua institusi. Proses hukum juga harus dibuat transparan. "Agar proses hukum dapat berjalan baik, jangan ada intervensi dari siapa pun. Dan, saya akan tetap mengawasi dan mengawal,"
kata
Jokowi.
(kompas.com/read/2015/01/28/13315301). Sebagai Kepala
Negara,
Jokowi oleh
masyarakat
dituntut bersikap tegas dan berpihak pada pemberantasan korupsi. 104
Pengamat
politik
dari
Universitas
Islam
Syarif
Hidayatullah, Gun Gun Heryanto, mengatakan ada 4 strategi selama ini yang sudah dilakukan Jokowi dalam menghadapai konflik Polri vs KPK ini. Pertama adalah mengulur waktu dengan menunda pelantikan BG yang berstatus tersangka sebagai Kapolri, meski sudah disetujui DPR. “Mereka melempar bola panas ke Jokowi, dilema dihadapi Jokowi antara harus ikut ambil keputusan DPR dan menghadapi resistensi masyarakat. Dia akhirnya tunda pelantikan, sebagai exit strategy sementara,” kata Gun Gun kepada wartawan di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (31/1/2015). Kedua, adalah strategi prakondisi untuk menetralkan beragam pandangan di ruang publik khususnya di media massa. Pada tahap ini, Jokowi memilih 9 orang tokoh menjadi Tim Independen untuk mengalihkan fokus publik yang sebelumnya semata-mata diarahkan kepadanya. “Sehingga akhirnya Jokowi merasa ditamengi Tim 9. Ini menyebabkan opini tersebar, tidak hanya fokus pada Jokowi. Meskipun akhirnya rekomendasi Tim 9 juga jadi polemik tersendiri,” jelasnya. Strategi
ketiga,
yakni pemanfaatan
media
massa.
Menurut Gun Gun, sejak kasus ini bergulir banyak media
mainstream yang dilibatkan dan diundang ke istana. Seperti diketahui, selain media yang punya pos liputan tetap di istana, beberapa waktu lalu, Jokowi juga melakukan liputan khusus 105
bersama media internasional yang menemaninya blusukan sejak pagi hingga petang “Ini tentunya bisa memasok sudut pandang istana ke publik. Dan, ini jadi ruang yang menambah bobot politik di masyarakat menjadi lebih terkanalisasi. Sehingga Jokowi punya kesempatan untuk berdialektika tanpa banyak distorsi,” tutur Gun Gun. Strategi keempat, yakni zona possible agreement. Menurut Gun Gun, jurus ini biasanya dilakukan saat di bawah tekanan politik luar biasa. Hal ini ditunjukkan Jokowi dengan menemui Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, dan mantan Presiden Habibie, serta Kompolnas pada Kamis (29/1/2015). Tetapi dari tiga pertemuan ini, fokus panggung utamanya adalah dengan Prabowo Subianto. “Pernyataan Prabowo yang bilang akan mendukung pemerintahan, menjadi fokus media. Ini yang diinginkan. Jokowi memanfaatkan panggung ini untuk memberikan pesan kepada elit parpol yang ada di sekitar istana yang memberi tekanan ke Jokowi,” ujarnya. Namun, Gun Gun menambahkan, strategi Jokowi tersebut hanya bisa bertahan untuk sementara waktu. Masyarakat menilai, gejolak dan desakan publik ini akan lebih menguat jika sang Kepala Negara tidak bertindak cepat untuk mencari solusi tentang kasus BG yang menjadi hilir
106
polemik
cicak
vs
buaya.
(detik.com/read/2015/01/31/161641/2820048/10/2/). Masyarakat memang galau dan khawatir, bahwa KPK akan segera habis. Karena satu persatu pimpinannya sudah dilaporkan
ke
Polisi.
Ada
3
Pimpinan
KPK,
Bambang
Widjojanto (BW), Adnan Pandu Praja (APP) dan Zulkarnaen (Z) dilaporkan ke polisi di tengah penetapan tersangka calon tunggal Kapolri Komjen BG. Denny Indrayana, mantan Wamenkumham, melihat hal itu sebagai upaya kriminalisasi KPK. "Kami tetap melihat ini adalah kriminalisasi. Kalau kriminalisasi begini disetujui, ya sebenarnya akan ada tersangka lagi," kata Denny Indrayana di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Senin (26/1/2015). Wakil Ketua KPK Z juga dilaporkan ke Mabes Polri oleh mantan
ketua
penerimaan
DPRD
suap
Jatim
dalam
Fatthorasjid
kasus
korupsi
terkait dana
dugaan Program
Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM). Padahal dalam fit and proper test di 2011 lalu, rekam jejak Z sudah klir. Di tim pansel dan DPR, Z pun lolos. Peristiwa di atas mengingatkan publik beberapa tahun lalu kasus “Cicak Vs Buaya”, yaitu Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto, keduanya Wakil Ketua KPK dijadikan tersangka 107
oleh Bareskrim Polri, sehingga terjadi perseteruan KPK dan Polri yang mengguncangkan dunia penegakan hukum Indonesia. Jum’at, 23 Januari 2015 (pagi), kasus Cicak Vs Buaya jilid 2 kembali terjadi. Kali ini yang mengalami nasib seperti yang pernah dialami Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto adalah BW, Wakil Ketua KPK. Tim Bareskrim Polri menangkap BW pada saat mengantar anak ke tempat sekolahnya di Depok, Jawa Barat. Berita penangkapan BW segera tersiar ke seluruh Indonesia melalui media sosial dan pemberitaan TV, sehingga publik yang diwakili para tokoh dan penggiat anti korupsi memberi dukungan penuh kepada KPK. Mereka berdemo di teras gedung KPK untuk memberi dukungan moral kepada BW dan
para
pimpinan
KPK
lainnya.
Sementara
publik
menggunakan media sosial khususnya Twitter untuk memberi dukungan dengan menulis #Save KPK, sehingga #Save KPK menjadi trending topic di seluruh dunia paling teratas sejak sore 23/1/2017 sampai 24/1/2015 pagi. Gelombang dukungan publik kepada BW dan KPK di media sosial dan demo di KPK para tokoh dan penggiat anti korupsi yang dipublikasikan secara luas dan langsung oleh berbagai stasiun TV, dan pemberitaan media online serta berita koran (24/1/2015) yang menjadikan BW dan KPK sebagai berita 108
utama
(headline),
sangat
menguntungkan
posisi
KPK,
sebaliknya merugikan dan memojokkan posisi Polri. Selanjutnya, semua penggiat anti korupsi yang berbicara di media, mengaitkan penangkapan BW dan pimpinan KPK lainnya sebagai upaya Polri melakukan balas dendam terhadap BG, calon Kapolri yang dijadikan tersangka korupsi oleh KPK. Tindakan yang dilakukan Bareskrim Polri menangkap dan menetapkan BW, juga kemudian APP dan Z, lalu akan disusul AS sebagai tersangka tindak pidana, lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Pertama, publik tidak percaya yang disangkakan kepada pimpinan KPK, walau pun Irjen Ronny F Sompie, Kadiv Humas Polri menyampaikan kepada publik, bahwa apa yang dilakukan Polri adalah murni penegakan hukum. Kedua, publik menganggap Polri melakukan rekayasa kasus untuk melumpuhkan KPK, karena dengan menangkap dan menetapkan pimpinan KPK tersangka tindak pidana, berarti dia harus nonaktif sebagai komisioner KPK sesuai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketiga, publik memberi dukungan yang sangat besar kepada BW, APP, Z dan AS, juga KPK; sebaliknya langsung atau pun tidak langsung memojokkan Polri. 109
Kita memang memberi dukungan penuh kepada KPK dengan hashtag KPK #Save KPK. Dukungan tersebut diberikan sebagai
bentuk
komitmen
kita
yang
tinggi
dalam
pemberantasan korupsi. Walau pun harus diakui, bahwa KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi masih mempunyai kelemahan,
tetapi
harus
diakui
bahwa
publik
masih
mempercayai KPK. Kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi, dipandang publik jauh lebih baik ketimbang penegak hukum yang lain. Juga, komisioner KPK masih sangat dipercaya, sehingga kalau ada upaya “kriminalisasi” terhadap mereka, publik segera akan bangkit membela. Walaupun begitu, kita harus ingat, bahwa kita –dan juga negeri ini, sangat memerlukan keberadaan institusi Polri. Dengan segala kelemahan di tubuh Polri, kita juga tidak boleh melupakan pentingnya menjaga, memelihara dan merawat marwah Polri. Yaitu menyehatkan Polri. Suka tidak suka publik membutuhkan adanya Polri. Apa yang terjadi di tubuh Polri sekarang,
memang
sangat
memprihatinkan
kita
semua.
Semestinya Kompolnas bisa independen dan bekerja lebih profesional dalam mengusulkan nama-nama calon Kapolri ke Presiden, sehingga tidak terjadi kisruh politik dan berujung kisruh KPK Vs Polri. Sekarang semuanya sudah terjadi. Publik menunggu keputusan Presiden Jokowi yang cepat dan tegas 110
untuk mengakhiri kisruh KPK vs Polri dengan semangat melakukan Save KPK, Sehatkan Polri. Terkait langkah Presiden Joko Widodo membentuk tim independen
beranggotakan
sembilan
tokoh
itu
guna
menyudahi polemik KPK-Polri, bagi Denny Indrayana, tim itu bisa menjadi verifikator agar kasus yang mencuat menjadi jelas. Namun, tak cukup dengan Tim 9 itu, Presiden juga perlu mempertimbangkan SP3 BW dan wacana imunitas pimpinan KPK. (detik.com/read/2015/01/26/164232/2814335/10). Lebih jauh tentang Tim 9 yang dibentuk Jokowi (25/1/2015),
tiga
hari
kemudian
sudah
menyerahkan
rekomendasinya kepada Presiden. Tim ini beranggotakan antara lain: Wakapolri Komisaris Jenderal Oegroseno, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jimly Asshiddiqie, Pengamat Kepolisian Bambang Widodo Umar, Pengamat Hukum Internasional Hikmahanto Juwana, Mantan Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas, Tumpak Hatorangan, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafii Maarif, Mantan
Kapolri
Jenderal
(Purnawirawan)
Sutanto,
serta
Sosiolog Imam Prasodjo. Dalam rekomendasi penyelesaian kisruh antara Komisi Pemberantasan Korupsi vs Polri kepada Presiden Joko Widodo, anggota Tim 9, Imam Prasodjo, mengatakan ada dua 111
rekomendasi yakni meminta Jokowi tidak melantik BG sebagai Kepala Polri dan melanjutkan kasus BW di Bareskrim Mabes Polri. "Saya nanti pertimbangkan," ujar Imam menirukan tanggapan
Jokowi
saat
tim
sembilan
menyampaikan
rekomedasi, Rabu, 28 Januari 2015. Tim 9, kata Imam, menyampaikan ke Jokowi akan ada dilema moral bila KPK dan Polri ada yang berstatus tersangka, namun tidak mundur. Karena itu, Tim 9 merekomendasikan Jokowi untuk tidak melantik BG. "Kalau tetap dilantik bisa memberikan sinyal yang kurang baik." Imam juga mengatakan, Tim 9 mengingatkan Jokowi soal komitmen penegakan hukum dalam kampanyenya dulu. "Karena dalam kemelut ini komitmen Bapak dipertanyakan, jangan-jangan orang bertanya Bapak komitmennya tidak terlalu kuat bila tetap melantik BG." Menurut Imam, rekomendasi Tim 9 ini merupakan serapan dari berbagai pandangan dan analisis bukti-bukti
dari
banyak
orang.
(tempo.co/read/news/2015/01/29/078638434/). Berikut hasil analisis dan rekomendasi dari hasil temuan Tim 9 selama dua hari terakhir yang kemudian akan ditindaklanjuti oleh Presiden Joko Widodo:
112
a.
Presiden seyogyanya memberi kepastian terhadap siapa pun penegak hukum yang berstatus tersangka untuk mengundurkan diri dari jabatannya atau tidak menduduki jabatan selama berstatus sebagai tersangka demi menjaga marwah institusi penegak hukum baik Polri maupun KPK;
b.
Presiden seyogyanya tidak melantik calon Kapolri dengan status tersangka, dan mempertimbangkan kembali untuk mengusulkan calon baru Kapolri agar institusi Polri segera dapat memiliki Kapolri yang definitif;
c.
Presiden seyogyanya menghentikan segala upaya yang diduga merupakan kriminalisasi terhadap personel penegak hukum siapapun, baik Polri maupun KPK dan masyarakat pada umumnya;
d.
Presiden seyogyanya memerintahkan kepada Polri maupun KPK untuk menegakkan kode etik terhadap pelanggaran etika profesi yang diduga dilakukan oleh personel Polri maupun KPK;
e.
Presiden agar menegaskan kembali komitmennya terhadap pemberantasan korupsi dan penegakan hukum pada umumnya sesuai harapan masyarakat luas. Kita berharap apa yang dikatakan Imam Prasodjo,
bahwa Presiden mempertimbangkan rekomendasi Tim 9 itu, kiranya benar-benar akan direspon dengan baik oleh Presiden. 113
Artinya, Presiden tidak melantik BG sebagai Kapolri. Kalau tetap dilantik, akan memberi sinyal yang kurang baik di masyarakat. Sentimen negatif di masyarakat akan terus meningkat. Dan yang menarik di sini, ternyata ada analisis dari dunia maya yang menyatakan, bahwa terjadi senja kala Bulan Madu Jokowi - "Netizen". Dikatakan dalam analisis itu bahwa sentimen negatif terhadap Jokowi ternyata terus meningkat di media sosial. Sentimen negatif ini mulai mendominasi sejak bulan ketiga kepemimpinan Jokowi. Dalam tulisannya di Kompas (30/1/2015) tentang itu, Amir Sodikin mengatakan, bahwa dukungan dari media sosial memang menjadi salah satu kekuatan Joko Widodo saat yang bersangkutan memenangi Pemilu Gubernur DKI Jakarta pada 2012 dan saat Pemilu Presiden 2014. Pada saat yang sama, Jokowi diduga juga meyakini kekuatan media sosial. Kondisi ini membuat perkembangan percakapan tentang Jokowi di media sosial menjadi salah satu bahan analisis menarik lembagalembaga
pemantau
penganalisis
media
sosial,
seperti
Awesometrics. Dari kantornya di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, analis media sosial Awesometrics, Yustina Tantri, terus memelototi pergerakan kurva yang merekam percakapan terkait Jokowi. Yustina memulai analisis sejak tiga hari sebelum 114
Jokowi
dilantik
sebagai
presiden
hingga
kini.
Dengan
menggunakan pustaka Awesometrics, belakangan ini Yustina tertegun melihat pergerakan grafik percakapan yang dihimpun dari ratusan media massa dan media sosial. Dia melihat, sesuatu yang besar sedang terjadi. Yustina melihat sentimen negatif terhadap Jokowi terus meningkat di media sosial. Sentimen negatif
ini
mulai
mendominasi
sejak
bulan
ketiga
kepemimpinan Jokowi. Lebih tepat lagi, kenaikan sentimen negatif dimulai 8 Januari 2015 dengan 2.784 percakapan, 10 Januari berlipat menjadi 4.868 percakapan, naik lagi pada 13 Januari sebanyak 6.911 percakapan, dan tertinggi 15 Januari sebanyak 9.967 percakapan. "Sentimen negatif meningkat tajam pada 15 Januari karena ada kabar Jokowi akan melantik BG sebagai kepala Polri, padahal dia sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 13 Januari," kata Yustina. Total selama 100 hari, sentimen negatif untuk Jokowi mencapai
74.346
percakapan,
sentimen
positif
71.048
percakapan, dan 627.652 posisi netral. Padahal, pada 17 Oktober–18 November 2014, sentimen negatif hanya 66.526 berbanding 155.212 sentimen positif, dengan sentimen netral 2 juta. 115
Pendiri Provetic, Iwan Setyawan, juga menemukan hasil serupa. Dia juga menemukan, untuk pertama kali dalam tiga bulan terakhir sentimen negatif Jokowi lebih tinggi daripada yang positif, pada 15 Januari lalu. Sebelum memasuki 15 Januari, rata-rata dalam tiga bulan terakhir sentimen positif selalu lebih tinggi daripada sentimen negatif, berkisar 25 persen berbanding 17 persen. Topik
pembicaraan
yang
paling
menyumbangkan
sentimen negatif selama bulan Januari 2015 adalah terkait kepala Polri (22.497) dan disusul topik bahan bakar minyak (8.088). "Perbincangan Jokowi juga dikaitkan dengan KPK (14.756) dan (Ketua Umum PDI-P) Megawati (6.782)," kata Iwan. Amir Sodikin menulis, bahwa penurunan sentimen positif Jokowi di media sosial sebenarnya tak terjadi tiba-tiba. Jika dilihat selama tiga bulan pertama pemerintahan Jokowi, penurunan reputasi dan popularitas Jokowi di mata netizen akan terlihat terjadi secara sistematis. Kondisi ini sebenarnya membahayakan Jokowi. Yustina mencatat, selama tiga bulan pemerintahan, percakapan total tentang Jokowi mencapai 4,1 juta dari berbagai kanal media. Puncak percakapan pada 20 Oktober
116
2014
saat
pelantikannya
sebagai
presiden
menunjukkan
harapan baru. Jika dibagi dalam tiga bulan, pada bulan pertama jumlah percakapan Jokowi tertinggi, mencapai 2,3 juta di berbagai kanal. Penghargaan netizen terhadap Jokowi dengan sentimen positif sebenarnya mudah ditebak dan Jokowi menyadari potensi ini. Misalnya, kata Yustina, tiga hari jelang dilantik, Jokowi mengunjungi Prabowo Subianto pada 17 Oktober 2014 saat ulang tahun Prabowo. "Ini mengundang simpati, termasuk dari pendukung Prabowo dan berdampak positif buat Jokowi. Favorabilitas (sentimen positif lebih tinggi dari negatif) terhadap Jokowi saat itu meningkat di media sosial,"
kata
Yustina.
Antusiasme
masih
meningkat
saat
pelantikan menteri, 27 Oktober 2014. Namun, sentimen negatif tumbuh ketika dia tetap melantik nama-nama yang mendapat "rapor merah" KPK. Saat Jokowi mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak, 17 November 2014, sentimen negatif menguat. Tagar bersentimen negatif mulai menjadi topik tren Twitter, seperti #SalamGigitJari. "Namun, sentimen masih netral (51 persen), positifnya pun masih lebih tinggi, yakni 26 persen dari negatifnya yang 22 persen," kata Yustina. Pada bulan kedua, periode 17 November hingga 17 Desember 2014, popularitas 117
Jokowi turun hingga 50 persen dibandingkan dengan bulan pertama. Percakapan tentang Jokowi hanya 1,1 juta di berbagai kanal. Awesometrics mencatat, pada 21 November 2014, Jokowi mengangkat HM Prasetyo, anggota DPR dari Partai Nasdem, sebagai Jaksa Agung. Pengangkatan Prasetyo memperburuk reputasi Jokowi. Aktivis Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho, dalam kicauannya di Twitter menilai, pemilihan Prasetyo merupakan titipan partai sehingga kejaksaan rawan diintervensi. Itulah awal mengkristalnya kekesalan netizen terhadap Jokowi. Tinggal menunggu momentum buruk, Jokowi bisa kehilangan kepercayaan pada bulan berikutnya. Tepatnya bulan ketiga 17 Desember 2014 sampai 17 Januari 2015, popularitas Jokowi merosot tajam dengan jumlah percakapan hanya 773.046 dari berbagai kanal. Kebijakan Jokowi yang memilih BG sebagai calon kepala Polri dianggap netizen sebagai pilihan sadar, hingga semakin mengikis reputasi dan sentimen positif atas dirinya di media sosial. Netizen marah kepada Jokowi yang dilampiaskan dengan
gerakan
#SaveKPK
dan
juga
petisi
daring
di
www.change.org/bebaskanbw. "Dulu Jokowi adalah kita. Sekarang jika Jokowi tetap melantik tersangka korupsi sebagai Kapolri, maka Jokowi 118
adalah
mereka,"
kata
Denny
JA
dengan
akun
@dennyJA_World. "Ini komitmen kita untuk menarik dukungan setelah pilpres dan membentuk parlemen jalanan," kata Marzuki Mohamad,
pemilik
akun
@killthedj
yang
dikutip
akun
@jejakpelamun. Penggiat media sosial Ulin Yusron, Denny JA, dan Marzuki "Kill the DJ" adalah beberapa contoh pendukung Jokowi yang kini mengkritik keras Jokowi. Abdee Negara, sukarelawan konser "Salam 2 Jari", bersama
rekan-rekannya
memprotes
Jokowi
karena
pengangkatan BG. Abdee juga mengirimkan tagar #SaveKPK dari akun @AbdeeNegara. Namun, karena dia masih sakit, gerakan memprotes situasi terakhir belum tampak signifikan dari seorang Abdee "Slank". Rekan Abdee, Melanie Subono, dengan
akun
@melaniesubono,
lebih
dulu
meluapkan
kemarahan. "Menanti seorang presiden bertindak sebagai presiden. Penangkapan (Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto oleh Polri) ini adalah upaya mendelegitimasi kewenangan KPK dalam mengusut kasus Budi Gunawan," kata Melanie terkait penangkapan dan penetapan BW sebagai tersangka pada Jumat (23/1/2015) lalu.
119
Situasi politik saat ini mungkin jauh lebih rumit bagi Jokowi, tulis Amir Sodikin. Namun, bagi para netizen, jauh lebih mudah mengidentifikasi siapa lawan siapa kawan. Saat pemilu presiden lalu "Jokowi adalah kita" menjadi slogan amat terkenal. Kini, agaknya Jokowi perlu lebih tegas memilih
antara
"mereka"
dan
"kita".
(kompas.com/read/2015/01/30/22073301) Dari tulisan Amir Sodikin ini, kita tahu, bahwa masa bulan madu Jokowi dengan para netizen itu mulai meredup, terus menurun. Ini seharusnya menjadi perhatian utama buat Jokowi, agar sentimen negatif itu tidak terus meninggi di masyarakat. Karena itu yang harus dilakukan Jokowi adalah: kebijakan yang berpihak kepada kepentingan rakyat dan memperkuat pemberantasan korupsi. (*).
120
BAB VIII ANTIKLIMAKS
KLIMAKS.
Ya,
kata
ini
barangkali
tepat
untuk
menggambarkan betapa dahsyatnya perseteruan yang terjadi antara kedua lembaga penegak hukum kita sekarang ini. Yaitu konflik KPK versus Polri. Awalnya kita mengira kisruh dan perseteruan dua lembaga penegak hukum itu sudah berakhir pada istilah Cicak vs Buaya I, tapi ternyata berlanjut ke jilid II pada Januari 2015. Sulit untuk disangkal pula, bahwa berlanjutnya perseteruan dua lembaga itu tak dipicu oleh mencuatnya kasus BG, calon Kapolri, yang dijadikan tersangka suap oleh KPK. Apalagi
kemudian
publik
melihat
secara
terang
benderang sepak terjang perlawanan ke KPK, sehingga publik memahami kalau penetapan BG menjadi tersangka membuat jajaran Polri terhenyak dan marah. Pasalnya, jenderal bintang tiga calon pucuk pimpinan mereka dijadikan pesakitan oleh KPK. Alhasil, Polri sebagai lembaga penegak hukum yang tengah melakukan perbaikan citranya, jadi kembali tercoreng. Polri setelah sekian lama berusaha memulihkan citranya seperti 121
sia-sia. Tiba-tiba saja KPK menjadikan BG sebagai tersangka dengan tuduhan telah menerima suap atau gratifikasi semasa menjabat Kepala Biro Karir Deputi Pembinaan SDM Mabes Polri 2003-2006. Belum diketahui berapa nilai suap yang diterima BG. Pastinya, puluhan milyar rupiah. Untuk data ini, Tempo.co mengungkapkan ada beberapa hal mencurigakan terkait dengan rekening gendut yang dimilikinya. Inilah tiga di antaranya: 1. Harta kekayaan melonjak tajam dari Rp 4,6 miliar pada 2008 menjadi Rp 22,6 miliar pada Juli 2013. Wakil Ketua Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Desmond J. Mahesa sempat menyoroti lonjakan harta ini. "Kalau sumbernya haram, pencalonan BG pasti kami tolak," kata Desmond pada 12 Januari 2015 lalu. 2. Ada aliran dana mencurigakan. Pada 2006, melalui rekening pribadi dan rekening anaknya, ajudan Presiden Megawati Soekarnoputri itu mendapatkan setoran Rp 54 miliar, antara lain dari sebuah perusahaan properti. Laporan investigasi majalah Tempo edisi 4 Juli 2010 mengungkapkan, dia adalah satu dari enam perwira tinggi serta sejumlah perwira menengah Polri yang melakukan "transaksi yang tidak sesuai profil". Transaksi milik Budi, yang saat itu menjabat Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, merupakan yang paling besar. 122
3. BG membangun gedung di Markas Besar Kepolisian di Jalan Trunojoyo dengan duit sendiri. Hal itu diungkapkan mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia Komisaris Jenderal Ito Sumardi kepada Tempo seperti tertuang dalam laporan edisi 4 Juli 2010. "Budi Gunawan membangun gedung Divisi Profesi dengan dana pribadi," kata Ito kala itu. "Kini gedung itu sangat bagus, jauh lebih
bagus
daripada
kantor
saya."
(tempo.co/read/news/2015/01/13/063634572) Perbuatan BG ini dianggap KPK melanggar Pasal 12a atau b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 11 atau Pasal 12b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP. Atas sangkaan itu, tentu saja secara pribadi, BG kecewa. Sebab dia merasa harta kekayaannya diperoleh secara sah. Menurutnya, kalau ada penambahan harta, ini karena ada perubahan pada nilai jual obyek pajak atas kepemilikan harta tidak bergerak atau tanah miliknya. Mendapat sangkaan itu, BG dan tentu saja institusi Polri lalu
melakukan
upaya
hukum
terhadap
KPK.
Gugatan
praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pun dilayangkan. Karena Polri menilai penetapan tersangka BG 123
tidak
sesuai
dengan
prosedur
hukum.
Polri
mempraperadilankan KPK karena kasus ini tidak jelas siapa pemberi suap terhadap BG. Lainnya, penetapan BG juga dinilai tidak sah karena dipaksakan. Belum adanya pemeriksaan saksi, namun KPK telah menetapkan jenderal bintang tiga itu sebagai tersangka. Lagi-lagi dengan gaya seperti biasanya, KPK hanya mengatakan, bahwa pihaknya telah memiliki dua alat bukti untuk menetapkan BG sebagai tersangka. Maka terjadilah sebuah
klimaks
perseteruan
mereka
sebagai
imbas
dari
penetapan tersangka yang menyebabkan pelantikan BG sebagai Kapolri harus ditunda oleh Presiden Joko Widodo. Presiden ingin memberikan kesempatan BG menyelesaikan dulu masalah hukumnya dengan KPK itu. Maka yang terjadi, ketika KPK menindaklanjutinya dengan melakukan pemanggilan tiga saksi polisi, tak ada satupun yang hadir. Ketidakhadiran mereka ditengarai sebagai bentuk kemarahan Polri terhadap KPK. Pasalnya, Polri sebagai sesama institusi penegak hukum merasa tidak dihargai. Sebab, sebelumnya
Kepolisian
telah
menangani
kasus
transaksi
mencurigakan BG ini, atau biasa disebut rekening gendut. Hasilnya tak ada masalah, rekening BG: clear and clean.
124
Kemarahan
Polri
lainnya
adalah,
KPK
dianggap
melanggar komitmen penanganan perkara yang melibatkan perwira tinggi Polri cukup sampai Irjen Djoko Susilo dalam kasus simulator SIM. Perlawanan
ternyata
tidak
berhenti
sampai pada
gugatan praperadilan ke KPK. BG melalui pengacaranya: Razman Arif Nasution, dari Kantor Advokat Eggy Sudjana juga melaporkan Ketua KPK AS dan wakilnya, BW, ke Kejaksaan Agung.
Mereka
menuduh
keduanya
melakukan
penyalahgunaan wewenang. Menurut Razman Arif, dikatakan, AS telah melakukan pengabaian dan pembiaran kasus-kasus korupsi besar seperti kasus bailout Bank Century dan BLBI. "Membiarkan suatu kasus, itu ada ancaman pidananya, yaitu dua tahun delapan bulan. Juncto-nya kita lihat bisa jadi enam tahun," jelas Razman. Dia menilai penetapan tersangka kliennya sangat dipaksakan. Sebab kasus yang dituduhkan BG menerima gratifikasi terjadi pada medio 2003-2006, tetapi baru ditetapkan sebagai tersangka pada 2015. “Ini kan mengada-ada,” celetuk Razman. Sehari setelah pelaporan ke Kejagung itu, berita mengejutkan datang dari Plt Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Ketua KPK AS dinilainya telah berpolitik saat pilpres lalu. AS dituding
Hasto
aktif
menawarkan
diri
untuk
menjadi 125
cawapresnya Jokowi. Ini dinilainya sebagai pelanggaran etik pimpinan KPK. Di sini, secara tegas Hasto membantah tudingannya ini terkait BG. Dia mengaku, ini adalah sebagai jawaban kepada AS yang merasa difitnah dalam pemberitaaan di sebuah media sosial. Sontak kabar ini mengejutkan publik. Ada yang menganggapnya sebagai cuma manuver politiknya Hasto. Tapi banyak juga yang menyikapinya sebagai persoalan serius yang harus dibuktikan. DPR pun lalu mendesak AS harus dibawa ke sidang etik. Justru yang menarik di sini adalah, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, sama sekali tidak terkejut dengan kabar ini karena dirinya sudah mendengar sejak lama. Menurut Mahfud MD, pertemuan Ketua KPK AS dengan pendukung Jokowi bukanlah berita baru. "Saya percaya itu dan saya sudah lama tahu, rakyat juga sudah lama tahu. Kan sudah dimuat di koran tuh sebelum pilpres, Pak Abraham Samad ketemu Jokowi di bandara, Abraham Samad melakukan ini. Itu kan sudah ada sebelumnya, jadi bukan berita baru," tandas Mahfud di Jakarta, Kamis (22/1/2015) malam. Bagaimana
KPK
menyikapi
tudingan
ini?
Deputi
Pencegahan KPK Johan Budi mengatakan pihaknya telah mengkonfirmasi, dan AS membantah keras pernyataan Hasto 126
tersebut. Pernyataan yang tidak berdasar, kata AS. Lalu KPK meminta Hasto menunjukkan bukti-buktinya. Baru saja tudingan itu muncul, berita baru kembali menyentak dan mengharu-biru kesadaran publik. Pada Jumat (23/1/2015) pagi, Polri menangkap Wakil Ketua KPK BW dan menetapkannya sebagai tersangka pemberi keterangan palsu dalam persidangan di MK pada perkara sengketa Pilkada Kota Waringin Barat, Kalimantan Tengah, tahun 2010. Ketika itu Bambang adalah pengacara. Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Ronny F Sompie, menolak jika proses hukum terhadap BW dikaitkan dengan proses hukum terhadap BG. Ronny berharap semua pihak melihat
proses
hukum
ini
secara
proporsional,
bahwa
penetapan tersangka BW adalah sebuah mekanisme hukum. "Proses penyidikan tidak ada kaitan dengan perlawanan. Ini mekansime hukum yang dilakukan terhadap siapa saja yang menjadi tersangka," kata Ronny. Tapi yang terjadi, meski Polri mengklarifikasi kasus BW bukan perlawanan terkait BG, publik sulit mempercayainya. Ibarat nasi sudah menjadi bubur, dimana Polri
terlanjur
mendapatkan
stigma
(ciri
negatif)
dari
masyarakat akibat ulah oknum-oknumnya yang banyak berbuat penyimpangan dan mengkorupsi uang rakyat, maka trust terhadap Polri menurun drastis. Apalagi belakangan sebuah 127
lembaga penelitian Populi Center menyebut Polri sebagai lembaga terkorup. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap Polri memang tidak mudah untuk dikembalikan. Polri haruslah membuktikan, bahwa dirinya benar-benar sebagai aparat penegak hukum yang bersih, pengayom, pelindung masyarakat, dan selalu bertindak adil. Dan kita tahu, KPK ini lahir melalui Undang-Undang Nomor
30
Tahun
2002,
salah
satu
alasannya
karena
ketidakpercayaan publik pada lembaga penegak hukum itu. Inilah sebuah risiko yang harus diterima Kepolisian kini. Saat ini publik
terpecah
menjadi
dua
faksi.
Mereka
memang
memberikan dukungan terhadap Polri karena menyadari, bahwa keberadaan Polri sangat dibutuhkan seperti menjaga kamtibmas, dan ada yang mendukung KPK, karena KPK sangat dibutuhkan untuk pemberantasan korupsi yang harus terus dilakukan. Di sini kita melihat penegakan hukum di Indonesia kembali diuji. Dimana konflik dua lembaga penegak hukum itu telah memantik reaksi dari masyarakat sipil. Konflik dan ketegangan ini sebetulnya tidak perlu terjadi, jika sedari awal Jokowi cerdas dan berani menggunakan kewenangannya sebagai Presiden. 128
Kalau kita meruntut ke belakang, semestinya saat KPK menetapkan BG sebagai tersangka, ada dua opsi yang bisa diambil
Jokowi. Opsi Pertama, Jokowi masih memiliki
kesempatan untuk menarik kembali surat pengusulan BG sebagai calon tunggal Kepala Polri saat KPK menetapkan BG sebagai tersangka dan sehari sebelum diadakannya fit and
proper test di Komisi III DPR. Pertimbangannya, masa jabatan Sutarman selaku Kapolri masih tersisa sembilan bulan lagi hingga Oktober 2015, sehingga tidak mesti terburu-buru diganti. Opsi Kedua, Jokowi meminta BG berbesar hati dan legawa menarik
diri
dari
pencalonan
untuk
menunjukkan
penghormatan terhadap proses hukum dan institusi Polri. Toh, dia masih bisa diusulkan sebagai Kepala Polri, jika nanti tidak terbukti bersalah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Meski menyakitkan bagi BG, setidaknya keputusan ini akan mencegah potensi konflik KPK-Polri. Dan yang pasti, Jokowi akan dipandang publik sebagai Presiden yang masih memiliki komitmen tinggi terhadap upaya pemberantasan korupsi, dan BG akan dipandang sebagai seorang jenderal negarawan. Indah jadinya! Sayang kedua opsi ini dilewati, tidak dilakukan, sehingga Jokowi "terjebak" dalam kebuntuan politik dan hukum akibat ketidaktegasannya sedari awal. Memang betul, dalam 129
hukum
pidana
berlaku
asas
(presumption of innocence).
praduga
tidak
bersalah
Namun patut juga dicamkan,
bahwa hukum tidak sesempit pasal dalam undang-undang. Di atas norma ada etika dan asas: asas keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Mungkin tidak adil bagi BG, tapi akan dilihat adil bagi institusi Polri. Selanjutnya, di mata publik, Jokowi menjadi "pesakitan" akibat ketidaktegasannya dalam mencegah konflik dua institusi penegak hukum. Jokowi terjebak di antara banyak kepentingan yang memanfaatkan konflik KPK-Polri. Publik juga melihat, di PDIP, Jokowi hanyalah kader dan petugas partai yang tunduk kepada sang Ibu. Kuasa konstitusional yang ia miliki sebagai presiden tumpul di hadapan kuasa partai. Pertanyaan besarnya adalah:
siapa
hakekatnya
yang
mengemudikan
dan
menjalankan serta mengatur negara ini? Memang benar, secara konstitusional, Jokowi adalah presiden pilihan rakyat. Ia memenangi pemilihan presiden dengan suara yang signifikan. Tapi secara politik, ia hanyalah kader dan petugas partai yang lagi-lagi tidak bisa melawan kuasa partainya. Jokowi tak berdaya di atas kuasa oligarki yang diatur barisan demagog di belakangnya. Demagog ini menjadi "tangan gaib" (the invisible hand) yang mengatur agenda politik hukum sesuai dengan kepentingannya. Inilah yang menghambat 130
kinerja Jokowi. Sementara konflik KPK-Polri hanyalah agenda kecil di balik skenario besar pelemahan KPK. Dan itu setidaknya seperti yang dikatakan pengamat politik LIPI, Ikrar Nusa Bhakti, bahwa hambatan utama kinerja Presiden Joko Widodo sesungguhnya adalah PDI Perjuangan selaku partai pengusungnya dalam Pemilu Presiden 2014 silam. "Hambatan utama
kinerja
presiden
adalah partai
pendukungnya sendiri, terutama PDIP, karena partai ini benarbenar amburadul komentar politiknya," kata Ikrar Nusa Bhakti, dalam diskusi bertajuk 100 Hari Pemerintahan Jokowi-JK yang diselenggarakan Forum Intelektual Studi untuk Indonesia, di Jakarta, Kamis (29/1/2015). Dia mencermati, setidaknya ada dua kesalahan kader PDIP dalam berkomentar secara politik yang menimbulkan pertanyaan di publik. Pertama, terkait pernyataan politisi PDI Perjuangan, Effendi Simbolon, yang menakar usia jabatan Presiden Jokowi tidak akan lama lagi berakhir, karena akan dimakzulkan. Ikrar lalu mempertanyakan, “apakah Simbolon mengerti bahwa presiden tidak bisa dimakzulkan karena kinerja, melainkan karena melanggar UUD 1945?” Kedua, terkait pernyataan Plt Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, yang menyebutkan adanya permainan politik yang dilakukan Ketua KPK, AS, yang diketahui politisi 131
PDIP. "Jika benar AS cawe-cawe, kalau pertemuannya sampai enam kali, artinya PDIP memberikan kesempatan buat AS. Artinya kalau AS nakal, PDIP ya nakal juga," kata dia. Selain yang dinyatakan oleh Ikrar Nusa Bhakti di atas, BW sendiri yang dijadikan tersangka oleh Bareskrim Polri, merasa kasus penangkapannya tidak berdiri sendiri. BW menilai kasus ini berhubungan dengan penetapan calon Kapolri, Komisaris Jenderal Budi Gunawan, sebagai tersangka. "Kalau melihat pengetahuan dan pengalaman saya dalam menangani kasus, ini pasti tak berdiri sendiri," katanya di rumahnya di Depok, Jawa Barat, Sabtu, 24 Januari 2015. Ia juga mengatakan, manuver yang terjadi sekarang bukan lagi melemahkan, tapi menghancurkan KPK. Sesuai catatan Tempo, setidaknya ada tiga indikasi keterlibatan PDIP Megawati dalam kisruh KPK-Polri kali ini: 1. Politikus PDIP sebagai Pelapor Sugianto Sabran, nama pelapor BW, tercatat pernah menjadi anggota DPR dari Fraksi Partai Demokasi Indonesia Perjuangan periode 2009-2014. 2. Serangan Politikus PDIP ke AS Pelaksana Kristiyanto
sebelumnya
mengungkapkan 132
Tugas enam
Sekretaris
Jenderal
PDIP
Hasto
menyerang
Ketua
KPK
AS.
pertemuan
politis
yang
pernah
Ia
dilakukan AS dengan PDIP. "Semua atas inisiatif dua orang dekat Abraham Samad," kata Hasto pada Kamis, 22 Januari 2015. Ia mengatakan, pertemuan tersebut terkait dengan keinginan AS disandingkan dengan Joko Widodo sebagai calon wakil presiden. Hasto juga mendesak KPK membentuk komite etik untuk menelusuri masalah ini. 3. Kengototan PDIP Mencalonkan BG Koalisi
pendukung
Jokowi
tetap
menyokong
pencalonan BG sebagai Kepala Polri diproses di DPR. Menurut Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Sutiyoso, kesepakatan ini dicapai dalam pertemuan di rumah Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar,
Jakarta
Pusat,
Selasa
malam,
13
Januari
2015.
(tempo.co/read/news/2015/01/24/078637348) Lebih jauh, Ikrar Nusa Bhakti mengatakan tantangan terberat bagi Jokowi saat ini adalah untuk menentukan apakah Jokowi benar-benar akan membasmi mafia-mafia ekonomi dan korupsi atau justru melenggang dan kehilangan kepercayaan publik. (forum.detik.com/nah-lho-pdip-) Wiwin
Suwandi,
Pemerhati
tulisannya di tempo.co mengatakan,
Tata
Negara
dalam
publik pantas untuk
marah dan menuntut Presiden Jokowi turun tangan. Desakan ini wajar jika mengacu pada narasi konstitusional. UUD 1945 133
menempatkan Presiden sebagai pemegang tertinggi kekuasaan pemerintahan negara. Ia memegang kendali atas TNI dan Polri. Kata Wiwin Suwandi, saat ini situasi sudah mengarah pada
kondisi
ketidak-percayaan
(distrust)
rakyat
kepada
pemimpinnya. Sudah saatnya Jokowi membuktikan, bahwa ia mengabdi untuk bangsa dan negara, bukan kepada kepentingan politik
yang
menyanderanya
di
belakang
layar.
(tempo.co/read/kolom/2015/02/02/1920/). Kalau Jokowi masih terus tersandera oleh demagogdemagog di belakangnya, inilah sebuah antiklimaks bagi bangsa besar ini. Padahal publik berharap sang presiden adalah seorang presiden yang mampu berada di atas semua komponen bangsa. Ia berada di atasnya, berpihak penuh tanpa sedikitpun tidak berpihak pada kepentingan rakyat banyak. Semestinya tak perlu ragu lagi, dan jangan mengulang sejarah seperti presiden sebelumnya: SBY yang peragu. Ambil alih permasalahannya, tetapkan BG tidak dilantik. Dan itu tidak menyalahi aturan. Seperti yang dikatakan tegas oleh Wakil Ketua DPR Fadli Zon, bahwa Presiden tidak menyalahi aturan apa pun apabila tidak jadi melantik calon Kapolri BG. (Kompas, 2/2/2015), Bola di tangan Jokowi. Jangan melakukan skandal politik lagi. Ambil keputusan cepat maka semuanya akan beres, tidak berlarut-larut. Karena, seperti kata Hasyim Muzadi, 134
mantan Ketua Umum PBNU, " Yang saya rasakan, bahwa kekuatan koruptor di Indonesia masih cukup kuat untuk menggerakkan seluruh jaring-jaring negara. Itu harus kita waspadai. Saya tidak menuduh ini dibuat. Tapi ini dapat diproses menjadi kerusakan yang lebih besar lagi," tegas Hasyim Muzadi. Yang pasti, kita semua tidak ingin, kekuatan koruptor terus menggerogoti negeri ini. Sehingga mengganggu rencana pembangunan
yang
sudah
dimulai.
Karena
kita
ingin,
“Indonesia Outlook 2015” itu terwujud semuanya. (*).
135
136
SUMBER TULISAN
http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150121084113-1226140/sutarman-banyak-penyimpangan-saya-minta-maaf/ http://www.jpnn.com/read/2015/01/21/282813/Suasana-HaruSaat-Jenderal-Sutarman-Melepas-Jabatannya http://news.detik.com/read/2015/01/21/103808/2809313/10/ak tivitas-sutarman-setelah-tak-jadi-kapolri-saya-bantu-bapakbertani?n991104466 http://www.rmol.co/read/2014/12/21/184170/Kinerja-PolriTak-Memuaskan,-Kapolri-Sutarman-harus-Digantihttp://www.rmol.co/read/2014/12/20/184086/Orang-DekatMegawati-Mulai-Dielus-Jadi-Calon-Kapolrihttp://www.tempo.co/read/news/2015/01/14/078634812/Kap olri-Sutarman-Siap-Diberhentikan
137
http://politik.rmol.co/read/2015/01/17/187323/ApakahSutarman-Melanggar-Sumpah-Jabatan-atau-Makarhttp://nasional.kompas.com/read/2015/01/19/19553851/.Mema ng.Pak.Sutarman.Salah.Apa.Kok.Buru-buru.Diberhentikan. http://porosberita.com/2015/01/17/jokowi-preteli-loyalis-sbydi-kepolisian/#sthash.g2YcKhrl.dpbs http://www.teropongsenayan.com/5188-kasus-budi-gunawanpersaingan-mega-dan-sby http://news.liputan6.com/read/2163542/sby-beberkan-isuperseteruan-dengan-mega-di-balik-kemelut-kapolri http://news.liputan6.com/read/2163510/sby-ada-isupembersihan-orang-orang-sby-oleh-jokowi http://nasional.kompas.com/read/2015/01/21/07244721/Jokow i.Tidak.Ada.Pembersihan.Orang-orang.Bapak.SBY. http://nasional.kompas.com/read/2015/01/21/20022891/Istana. Boro-
138
boro.Bersihkan.Orang.SBY.Jokowi.Sudah.Pusing.Urus.Eko nomi? http://www.jpnn.com/read/2014/12/01/273038/index.php?mib =berita.detail&id=281234&page=2 http://keamanan.rmol.co/read/2015/01/17/187319/Ternyata,Pengangkatan-Plt-Kapolri-Cacat-Hukumhttp://www.merdeka.com/politik/yusril-kritik-cara-jokowiberhentikan-sutarman.html http://www.tempo.co/read/news/2015/01/11/078634113/Prote s-Jokowi-Pilih-Budi-Gunawan-ICW--Tutup-Mata http://www.merdeka.com/peristiwa/ribut-konflik-parajenderal-polisi-sudah-ada-sejak-kapolri-pertama.html http://nasional.inilah.com/read/detail/2169949/eks-kapolri-adaperang-bintang-di-polri http://nasional.inilah.com/read/detail/2173658/inilah-3-kubudi-perang-bintang-polri
139
http://www.gatra.com/fokus-berita/130105-survei-lsi-denny-japublik-khawatir-muncul-matahari-kembar-di-polri.html http://www.merdeka.com/peristiwa/polisi-bawahan-tudingpemberhentian-sutarman-penuh-rekayasa.html http://www.merdeka.com/peristiwa/sutarman-sebutpencopotan-jabatannya-bakal-jadi-sejarah-buat-polri.html http://nasional.inilah.com/read/detail/2173637/timindependen-harus-ungkap-perang-bintang-polri http://nasional.kompas.com/read/2015/01/16/23221251/Menko. Polhukam.Tidak.Ada.Perang.Bintang.di.Tubuh.Polri.Clear. Semua http://news.liputan6.com/read/2163753/plt-kapolri-tak-adapengkhianatan-dan-perang-bintang-di-polri http://nasional.news.viva.co.id/news/read/579153-mantanwakapolri--mutasi-polri-jangan-mirip-pembersihan-pki
140
http://birokrasi.kompasiana.com/2015/01/24/mantanwakapolri-oegroseno-mempertanyakan-pemilihankabareskrim-baru-718986.html http://news.detik.com/read/2015/01/18/124157/2806475/10/pe rintah-jenderal-sutarman-dan-detik-detik-mutasi-komjensuhardi-alius http://news.detik.com/read/2015/01/21/102736/2809292/10/je nderal-sutarman-tak-pernah-perintahkan-mutasi-komjensuhardi-dari-bareskrim?nd771104bcj http://nasional.sindonews.com/read/662635/12/perangbintang-di-tubuh-polri-1343943365 http://news.liputan6.com/read/2163487/sby-kemelut-polrikembar-pernah-ada-14-tahun-lalu http://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-gus-dur-lengser-garagara-sembarangan-ganti-kapolri-splitnews-2.html http://nasional.kompas.com/read/2015/01/28/13315301/.Save. KPK.Sehatkan.Polri.Jokowi.di.Pihak.Siapa. 141
http://news.detik.com/read/2015/01/31/161641/2820048/10/2/ 4-strategi-presiden-jokowi-hadapi-kisruh-polri-vs-kpk http://news.detik.com/read/2015/01/26/164232/2814335/10/sa tu-persatu-pimpinan-kpk-dilaporkan-ke-polisi-prof-dennykpk-bisa-habis?nd771104bcj http://nasional.kompas.com/read/2015/01/30/22073301/Senja. Kala.Bulan.Madu.Jokowi.Netizen.?utm_campaign=relate d_left&utm_medium=bp&utm_source=news http://www.tempo.co/read/news/2015/01/29/078638434/Tim -9-Jokowi-Dengarkan-Rekomendasi-Tim http://forum.detik.com/nah-lho-pdip-hambatan-utama-kinerjajokowi-t1122417.html?query-string http://www.tempo.co/read/news/2015/01/24/078637348/Pen ghancuran-KPK-Tiga-Indikasi-PDIP-Mega-Bermain http://www.tempo.co/read/kolom/2015/02/02/1920/NegeriDua-Nakhoda 142
http://www.tempo.co/read/news/2015/01/13/063634572/Budi -Gunawan-Tersangka-Tiga-Dosa-Ini-Melilitnya
143
144
TENTANG PENULIS Dr.
Soetanto
Soepiadhy,
SH.,
MH., seorang budayawan dan pengabdi dunia
pendidikan.
Ketua
Umum
Menjabat
Yayasan
sebagai
Kebudayaan
Indonesia. Sering menulis artikel, baik di media cetak lokal maupun nasional. Menjadi dosen Pascasarjana di beberapa perguruan tinggi bidang Ilmu Hukum. Sebagai ilmuwan, pakar Hukum Tata Negara, sekaligus menjabat sebagai Ketua Pusat Kajian Konstitusi Untag Surabaya. Dalam melaksanakan eksistensi civil society, Daddy (panggilan akrab Soetanto Soepiadhy) menjabat sebagai Ketua Umum Lembaga X-ist (Eksponen Inginkan Semua Tertib), dan aktivis Lingkaran Persaudaraan Pemberdayaan Warga Negara, serta
anggota
Dewan
Kehormatan
Peradi
(Perhimpunan
Advokat Indonesia) Jawa Timur. Di bidang perpustakaan, menjadi Direktur Soetanto Soepiadhy Private Library. Banyak karya tulis yang di-terbitkan untuk wacana umum dan kalangan kampus.***
145
View more...
Comments