Draft Disertasi
August 19, 2022 | Author: Anonymous | Category: N/A
Short Description
Download Draft Disertasi...
Description
KOMERSIALISASI PRODUKSI DAN ADAPTASI PENERAPAN TEKNOLOGI ALAT PENANGKAPAN KE ARAH PENINGKATAN KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI (Studi Kasus Komunitas Nelayan Patorani di Kabupaten Takalar Propinsi Sulawesi Sul awesi Selatan)
COMMERCIALIZATION PRODUCTION AND ADAPTATION OF TECHNOLOGY APPLICATION OF FISHING GEARS TOWARD BETTER SOCIAL ECONOMIC LIVELIHOOD ( A case study Of Patorani Fishermen Community In Takalar, South Sulawesi Province) Oleh Suwaib. A L3G 03099 DISERTASI Untuk memperoleh gelar Doktor dalam bidang Ilmu Sosial pada Universitas Padjadjaran dengan wibawa Rektor Universitas Padjadjaran Prof.Dr.Ir.Ganjar Kurnia, DEA Sesuai dengan Keputusan Senat/Guru Besar Universitas Padjadjaran dipertahankan pada tanggal 11 Januari 2008 di Universitas Padjadjaran
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2008
ndratmoko.c atmoko.com om w w w .hendr
1
ABSTRACT
Patorani fishermen community is a specific of fishermen community who catch Torani fish. Their existence was believed since the 17 th century. Until mid 20th century, they were known as subsistent fishermen, but it was changed in the last of the same century. The changing was about catching pattern due to market demand and commercialism of production. At beginning, the fishermen caught the mothers of the fish, but now they prefer to catch the eggs. Therefore, they also changed catching device from traditional device into modern one as an adaptation of technology application. The research objective is to describe commercialism of production and adaptation of technology application toward increasing social and economy life of Patorani fishermen community, in Takalar District, South Sulawesi Province. It is a qualitative research, using descriptive and analytic study design. The data was collected from observation and depth-interview on Patorani fishermen and exporters. Patorani Pato rani fishermen are classified into three catego categories, ries, papalele, pinggawa and sawi. Papalele,, capital owners, are people who lend the capital to the workers, they are pinggawa Papalele and sawi. Pinggawa and sawi use the capital in operating catching system, including sail to the sea to catch Torani eggs. Pinggawa acts as the leader in a sailing; he drives the fishing boat and knows the sailing directions. While sawi act as people who catch torani eggs in a sailing. Both pinggawa and sawi must pay back capital to papalele in a certain time, usually within a season.
The research found market demand and commercialism of Torani egg production. It causes a change of social relationship pattern among fishermen. Traditional relationship is changed into functional and contractual one. Besides it also cause adaptation of technology application in term of the use of modern catching device. Social relationship’s a in more structured community by three componentschanging that play showed importantinrole catching system,fishermen papalele, pinggawa and sawi. Papalele increase more benefit and commerce the product to strengthen capital. Pinggawa and sawi must pay back the capital to them in certain time, usually within a season, mentioned as contractual relationship. The research also found a social value; means dignity that believed in community in order to reach succeeds.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
2
Abstrak
Nelayan Patorani adalah nelayan khusus menangkap ikan terbang (ikan torani). Komunitas nelayan Patorani yang keberadaanya sejak abad ke-17, k e-17, hingga pertengahan abad ke-20 merupakan nelayan usaha subsistensi. Namun pada akhir abad ke-20 tuntutan pasar yang menyebabkan komersialisasi produksi mengalami pergeseran pola penangkapan dari induk ikan ke penangkapan telur ikan torani. Terjadinya pergeseran pola penangkapan tradisional ke pola penangkapan modern dan pergeseran penerapan tekologi alat penangkapan. Penelitian Penelitian ditujukan pada komunitas komunitas nelayan patorani
dibalik fen fenomena omena
aktualisasi pergeseran pergeseran komersialisasi produksi d dan an tuntutan pasar yang mengarah pada pola penangkapan dan adaptasi penerapan teknologi.
Penelitan ini menggunakan pendekatan kualitatif, dan desain penelitian p enelitian deskriptif analitik, kaitannya dengan komersialisasi produksi dan adaptasi penerapan teknologi penangkapan p enangkapan ke arah peningkatan sosial ekonomi. Penelitian dilakukan pada p ada dua kecamatan di kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan mendalam dan wawancara berkesinambungan pelaku dalam komunitas ko munitas nelayan patorani yakni, Papalele (pemilik modal) pinggawa (juragan laut) dan sawi (buruh) serta eksportir. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa masuknya permintaan pasar dan da n eksportir maka permintaan telur ikan torani (telur ikan terbang) terbang) menjadi hal yang mutlak di penuhi. Nelayan patorani tradisional beralih pada penerapan penerapan teknologi alat tangkap modern untuk meningkatkan hasil produksi. Kondisi semacam ini, hubungan semakin terpolakan yakni eksportir- papalele dan demikian pula papalele ke pinggawa. Hubungan itu terkait, pengadaan teknologi alat dan penguatan modal operasional kepada nelayan patorani. Kesemua Kesem ua itu dilakukan karena orientasi kuat pada tuntutan pasar dan komersialisasi produksi, dngan demikian struktur pada komunitas semakin terspesialisasi terspesialisasi antara papalele-pinggawa-sawi. papalele-pinggawasawi. Papalele sebagai pemilik modal mengarah pada komersialisasi produksi yang terlihat dengan adanya motivasi agar hasil terus terus ditingkatkan dan mengejar keuntungan semata. Hubungan tradisonal sudah mulai bergeser kehubungan fungsional dan kontraktual. Hubungan kontraktual, diberlakukan atas dasar pem p emberian berian modal pada pinggawa, kemudian pinggawa mengembalikan mengembalikan pada papalele dalam jangka waktu semusim. Internalisasi nilai siri’ (harga diri) secara kultural berhasil membentuk suatu tujuan untuk mencapai sukses dan peningkatan hasil tangkapan komunitas nelayan patorani.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
3
KOMERSIALISASI PRODUKSI DAN ADAPTASI PENERAPAN TEKNOLOGI ALAT PENANGKAPAN KE ARAH PENINGKATAN KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI (Studi Kasus Komunitas Nelayan Patorani di Kabupaten Takalar Propinsi Sulawesi Sul awesi Selatan)
COMMERCIALIZATION PRODUCTION AND ADAPTATION OF TECHNOLOGY APPLICATION OF FISHING GEARS TOWARD BETTER SOCIAL ECONOMIC LIVELIHOOD (case study: Patorani Fishermen Community In Takalar, South Sulawesi Province) Oleh Suwaib. A L3G 03099 DISERTASI Untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna memperoleh gelar Doktor dalam bidang Ilmu Sosial ini telah disetujui oleh Tim Promotor pada tanggal seperti yang tertera di bawah ini Bandung, 20 S September eptember 2007
Prof. Oekan S. Abdoellah, M.A.,Ph.D Ketua Tim Promotor
Prof.Soedard ja Adwikarta, M.A.,Ph.D Prof.Soedardja Anggota Tim Promotor
ndratmoko.c atmoko.com om w w w .hendr
Dr. Yugo Sariyun, M.S Anggota Tim Promotor
4
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan disertasi ini, dengan berbagai rintangan dan tantangan yang dihadapi oleh penulis. Penelitian ini mendeskripsikan komunitas nelayan patorani berkaitan dengan proses terjadinya pergeseran pola penangkapan secara tradisional ke pola penangkapan modern. Terjadinya pergeseran tersebut, karena adanya tuntutan pasar dan komersialisasi produksi. Imbas dari adanya tuntutan pasar tersebut, maka nelayan patorani mengalami pergeseran pola penangkapan dari induk ikan ke penangkapan telur ikan. Untuk mendukung tuntutan pasar dan komersialisasi produksi, maka penerapan teknologi sebagai alat pendukungnya ikut pula mengalami pergeseran dari tradisional ke modern. Realitas tersebut, hubungan sosial dan internalisasi nilai siri’ menjadi motivasi untuk bekerja yang berorientasi ke arah peningkatan peningkat an kehidupan sosial ekonomi komunitas nelayan patorani.
Dalam penulisannya, penulis melewati proses yang cukup panjang dimulai dari proses persiapan, penelitian, dan proses penulisannya sendiri. Tentu saja berbagai kesulitan danhambatan banyak di temui penulis, baik menyakngkut aspek teoritis, aspek penelitian ilmiah yang dilakukan, maupun aspek-aspek lainnya yang ikut pula mempengaruhi penulisan ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa melewati semua hambatan dan kesulitan itu, serta terselesaikannya disertasi ini adalah berkat bantuan dari berbagai pihak yakni ketua Tim Promotor Prof. Oekan S. Abdoellah, M.A.,Ph.D, M.A.,Ph. D, serta
anggota Tim Promotor Prof.
Soedardja Adiwikarta,M.A.,Ph.D dan Dr.Yugo Sariyun. Ketiganya telah meluangkan waktu disela-sela kesibukannya memberikan bimbingan dan arahan sejak pembuatan usulan penelitian, proses penelitian, dan penulisan disertasi. Tanpa kearifan dan kerja keras dari tim
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
5
promotor dalam menuntun penulis, tentunya terselesaikannya penulisan disertasi ini tidak mungkin dicapai.
Ucapan terima kasih yang tulus di haturkan pula kepada Tim Oponen Ahli yang amat terpelajar Prof. H.A. Djadja Saefullah,Drs,M.A.,Ph.D; Prof.H.Kusnaka Adimihardja,M.A.,Ph.D; Prof.H.Judstira K.Garna,M.A.,Ph.D; Prof.Dr.Haryo Martodirdjo,M.A atas telaahan disertasi ini.
Selain itu, penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada berbagai pihak yakni: (1) Rektor Universitas Padjadjaran atas kesempatan belajar dan fasilitas yang diberkan; (2) Direktur, jajaran pimpinan dan pengajar Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran atas bimbingan dan pembelajaran yang diberikan, serta atas laynan administrasi administrasi
yang disediakan; (3) pimpinan dan jajaran pimpinan Pemerintaha Daerah Propinsi Sulawesi Selatan atas pemberian ijin dan rekomendasi untuk ke lokasi penelitian; (4) pimpinan Pemerintah Daerah Kabupaten Takalar, pemerintah Kecamatana Galesong Utara dan Galesong Selatan sebagai lokasi penelitian, dan dinas kelautan dan perikanan kabupaten Takalar; (5) para eksportir, papalele (pemilik modal), Pinggawa (juragan perahu), p erahu), sawi (buruh nelayan) atas kesediaan waktunya untuk menjadi informan dalam kelengkapan data disertasi ini; (6) para rekan (Jumayar Marbun, Drs.,M.S; Endang Hermawan,Drs.,M.Si; Eben Sahlan; Drs,M.Si, Opan S, Drs.,M.Si) dan terkhusus kakanda yang selalu memberikan masukan baik tentang konsep maupun filosofi hidup (kakanda Dr.Iskandar,M.Si; kakanda Dr.Mansyur Ahmad,M.Si; akang Dr.Gunawan Undang.,M.Si, kakanda Dr.Irianto A Baso Ence,S.H.,MH dan Kakanda Muhammad Said UR, SE.,M.Si); serta sahabat-sahabat saya, Syafaruddin,SE,M.Si;; Riswan,ST.,MT; Maqbul Halim,S.Sos.,M.Si; dan (7) yang terkasih d Syafaruddin,SE,M.Si dr.Roro r.Roro Rukmi Windi Perdani, atas dorongan dan semangat yang tidak henti-hentinya pada penulis untuk menyelesaikan disertasi ini.
ndratmoko.c atmoko.com om w w w .hendr
6
Penghargaan dan terima kasih yang tulus khusus disampaikan kehadapan keluarga penulis. Ibunda yang tercinta Inrallang Daeng Te’ne dan ayahanda Amiruddin Daeng Sila, secara tulus dan tiada henti mendoakan, memberikan nasihat dan dorongan semangat agar penulis terus belajar. Kakakku Sultan Amiruddin Sila, S.H, serta istrinya Jumrah,S.E dan adikku Hairani Amiruddin, A.Md serta suaminya Faisal Jabbar. Keluarga inilah pula memberikan dukungan baik moral maupun material. Kemudian terkhusus pula kepada bapak Sutoto,SH.,MH dan ibu Kingkin Wahyuning Wahyuningdiah, diah, SH., SH.,MH MH yang selalu setia memberikan motivasi motiv asi terhadap penulis.
Demikian disertasi ini diajukan, dengan peuh kesadaran bahwa masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan di dalamnya, namun berharap semoga memiliki manfaat.
Bandung,
September
2007
Penulis
ndratmoko.c atmoko.com om w w w .hendr
7
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAGHAN ABSTRAK..........................................................................................................
iii
ABSTRACT.........................................................................................................
iv
KATA PENGANTAR...................... PENGANTAR................................................ .................................................. ......................................... .................
v
DAFTAR ISI....................................................................................................... viii DAFTAR TABEL............................ TABEL................................................... ................................................. ............................................ ..................
xi
DAFTAR GAMBAR GAMBAR............. ....................................... ........................................................... ................................................... .................. xii DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... xiii
BAB I
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian ...................... ........... .................... .................. .................... .............. ... 1.2. Rumusan dan Identifikasi Masalah .................... ......... ...................... .................... ......... 1.3 Maksud Dan Tujuan Penelitian ................... ........ .................... ................... .................. ........ 1.3.1. Maksud Penelitian ...................... ........... .................... .................. .................... .............. ... 1.3.2. Tujuan Penelitian .................. ....... ...................... .................... ................... .................. ........ 1.4. Kegunaan Penelitian ..................... .......... ...................... .................... ................... .................... ............. ... 1.4.1. Kegunaan Akademik. ...................... ........... .................... ................... .................. ........ 13 1.4.2. Kegunaan Praktis ................... .......... ................... ..................... ...................... ............... .... 13
BAB II
1 10 12 12 12 13
KAJIAN PUSTAKA DAN.................... KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Kajian Pustaka ..................... .......... ................... ..................... ...................... .................... ......... 2.1.1. Penelitian Yang Mendahului .................... ........... ................... .................. ........ 2.1.2. Perubahan Sosial dan Modernisasi .................... ......... .................... ......... 2.1.3. Pergeseran Karakteristik Masyarakat ..................... .......... ............... ....
14 14 20 29
2.1.4. Penerapan Teknologi dan Pertumbuhan Ekonomi ...... 2.1.4.1 Penerapan Teknologi dan pergeseran solidaritas sosial. .................. ....... ...................... .................... ................... .................. ........ 2.1.4.2. Penerapan Teknologi dan Terbentuknya Pembagian Kerjaa................................ Kerj .............................................. ............................... ............................ ...........
34
48
2.1.5. Adaptasi Kearah Kehidupan Sosial Ekonomi .............. ........... ... 2.1.5.1. Adaptasi Internal Nilai dan Etos Kerja ......... .................... .............. ...
55 62
42
2.1.5.2.. Makna Nilai Siri’ Kaitannya Kehidupan Sosial Ekonomi w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
70 8
2.2. Kerangka Pemikiran ................... ........ ...................... .................... ................... .................... ............. ...
76
2.3. Hipotesis Kerja .................... ......... .................... ................... ..................... ...................... .................... .........
87
BAB III OBYEK DAN METODE PENELITIAN 3.1 Obyek Penelitian .................. ........ ..................... ...................... .................... ................... .................. ........ 3.2 Desain Penelitian .................. ........ ..................... ...................... .................... ................... .................. ........ 3.3 Langkah Penelitian ..................... .......... ...................... .................... ................... .................... ............. ... 3.4 Penentuan Informan Sumber Data Penelitian ..................... .......... ............... .... 3.5 Teknik Pengumpulan Pengumpulan Data .................... ................... ........ 3.5.1. Tahap Orientasi ......................... .................. ......... 3.5.2. Pengamatan Berperan-serta ..................... .......... ...................... .................... ......... 3.5.3. Wawancara Mendalam...................... Mendalam............ ..................... ..................... ............... ..... 3.5.4.. Diskusi 3.5.4 Diskusi ............................. ........................................... ............................... ............................ ........... 3.5.5. Penggunaan Panduan Pertanyaan ...................... ........... .................... ......... 3.6 Teknik Analisis Data .................... ........... ................... ..................... ...................... .................... ......... 3.7 Keabsahan Data ................... ........ .................... ................... ..................... ...................... .................... ......... 3.8 Lokasi Penelitian .................. ........ ..................... ...................... .................... ................... .................. ........ 3.9 Jadual Penelitian ................... ......... ..................... ...................... .................... ................... .................. ........
88 89 92 93 94 94 95 97 98 100 100 103 105 106
BAB IV HASIL PEN PENELITIAN ELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1
4.2
Pergeseran Pola Penangkapan Secara Tradisional Ke Pola Penangkapan Modern ................... .......... ................... ..................... ...................... .................... ......... 110 4.1.1 Kawasan pantai dan Perkembangan nelayan di Kabupaten Takalar ...................... ........... .................... .................. .................... .............. ... 110 4.1.2. Karakteristik Umum Umum Kehidupan Sosial Sosial Komunitas Nelayan Patorani ......................... ............... ..................... ...................... .................... ......... 117 4.1.3 Wilayah dan Musim Penangkapan ..................... .......... .................... ......... 126 4.1.4 Pergeseran Karaktersistik Nelayan Patorani Dari Tradisional ke Modern Kaitannya Kehidupan Sosial Ekonomi ................... ........ .................... ................... ..................... ...................... .................... ......... 133 4.1.4.1 Pengetahuan Pola Penangkapan Penangkapan Dari Induk Ikan Ke PenangkapanTelur Ikan Akibat Tekanan Pasar ............... ................................ .................................. ............................. ............ 142 4.1.4.2 Orientasi Penangkapan Dari Induk Induk Ikan Ikan Ke Telur Ikan Torani Kaitannya Komersialisasi Produksi 4.1.5. Pergeseran Pola Pranata Sosial Ke Hubungan Hubungan Komersialisasi Produksi................. Produksi.................................. ............................. ............ 160 4.1.5.1 Pergeseran Makna Ritual Tentang Kepatoranian 4.1.5.2 Pergeseran Nilai-Nilai Religius Tradisional Ke Arah Rasionalisasi Tindakan Tindakan ..................... .......... ............... .... 187 Pola Penangkapan Ke Arah Komersialisasi Produksi dan Penerapan Teknologi ................... .......... ................... ..................... ...................... .................... ......... 193 4.2.1 Masuknya Pola Produksi Kapitalis ..................... .......... .................... ......... 193 4.2.1.1 Komersialisasi Produksi Dan Perkembangan Investasi.................. ....... ...................... .................... ................... .................. ........ 197 4.2.1.2. Masuknya Kapitalisme Kapitalisme ke Arah Peningkatan Penghasilan ................... ........ .................... .................. .................... .............. ... 206
153
171
4.2.2. Penggunaan Teknologi Penangkapan ........... ...................... .............. ... 224 w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
9
4.2.2.1 Penerapan Teknologi Penangkapan komunitas nelayan patorani Ke Arah Komersialisasi Produksi.................. ....... ...................... .................... ................... .................. ........ 228 4.2.2.2 Pola Pengelolaan Hasil Tangkapan Subsistensi Ke Arah Orientasi Ekspor ......... .................... .................... ......... 240 4.3 Penerapan Teknologi Teknologi Dan Pola Hungungan Hungungan Sosial ................. ......... ........ 252 4.3.1 Hubungan Sosial Tradisional Ke Industrial ................. ......... ........ 252 4.3.1.1 Hubungan Patron Klien Pada Komunitas Komunitas Nelayan Patorani .................... ........... .................. .................... .............. ... 264 4.3.1.2 Solidaritas Sosial Kekeluargaan Ke Hubungan Kontraktual .................. ....... ..................... ............... ..... 279 4.3.2. Hubungan Sosial Dan Pembagian Pembagian Kerja ........ ................... .............. ... 291 4.3.2.1. Pola Po la Pembagian Kerja Pada Komunitas Nelayan Patoranii ......................................... Patoran ........................................................ ................. 294 4.3.2.2 Pembagian Kerja Kerja Pada Hubung Hubungan an Tradisional Ke Hubungan Industrial ..................... .......... ...................... ............... .... 301 4.3.3. Internalisasi Siri’ Kaitannya Etos Kerja Kerja ........ ................... .............. ... 313 4.3.3.1 Makna Nilai Siri’ Bagi Masyarakat Masyarakat BugisMakassar Dan Nelayan Patorani.................. ....... .............. ... 313 4.3.3.2 Makna Internalisasi Internalisasi Siri’ Terkait Terkait Adaptasi Lingkungan Penangkapan ..................... .......... .................... ......... 317 4.3.3.3 Internalisasi Makna Makna Siri Berkaitan Berkaitan Harga Diri Diri Dan Motivasi Bekerja ..................... .......... ...................... ............... .... 322 4.3.3.4. Internalisasi Nilai-Nilai Siri’ Ke Arah Kehidupan Sosial Ekonomi ................... ........ .................... ................... .................. ........ 332 BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ................... ........ ..................... ................... ................... ..................... ..................... ............... ..... 5.2. Saran .................... ..................................... ............................... ............................... ................................ ................. 5.2.1. Saran Saran Untuk Pengembangan Ilmu ......... ................... .................... ............. ... 5.2.2. Saran Untuk Pengambil Kebijakan Kebijakan ...................... ........... .................... ......... DAFTAR PUSTAKA ............................... .............................................. ............................... ............................... .................... .....
348 349 349 350 351
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...................................................................... LAMPIRAN LAMPI RAN ............................. .............................................. ................................ ............................... ............................... .................... ..... Pedoman Wawancara ..................................................................... Foto-Foto Lokasi Penelitian ........................................................... Peta Lokasi Penelitian ....................................................................
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
10
DAFTAR LAMPIRAN 1. Pedoman wawancara..................................................................................................
2. Panduan pertanyaan wawancara mendalam........................ mendalam.................................................... ...................................... .......... 3. Pedoman observasi.............................. observasi...................................................... ................................................. .............................................. .....................
4. peta propinsi Slawesi Selatan....................................... Selatan................................................................. ............................................ ..................
5. Pata Kabupate Kabupaten n Takalar.................................................... Takalar........................... ...................................................... ........................................ ...........
6. Izin-izn pene penelitian litian (Pemda propinsi Sulawesi selatan dan Pemda Kabupaten Takalar.......................................................................................
7. Foto-foto Foto-foto obyek penelitian........................... penelitian..................................................... .................................................. ................................... ...........
8. Daftar Riwayat Hidup Penulis....................................... Penulis................................................................ ......................................... ................
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
11
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1
Perbedaan unsur solidari tas sosial ……… ……………………................. …………….................
Table
3.1
Jadual Penelitian Penelitian
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
44
……………………………………………..
108 108
12
DALIL-DALIL
1. Bergesernya pola penangkapan yang dilakukan oleh nelayan patorani merupakan tuntutan pasar dan komersialisasi produksi sebagai pertanda bahwa adanya kelompok-kelompok kelompokkelompok tertentu yang berada di luar kemampuan kemampuan sebagai n nelayan. elayan.
2. Untuk meningkatkan produksi maka dibutuhkan teknologi sebagai alat pendukungnya, akibat itulah sehingga nelayan dituntut untuk bergeser dari nelayan dengan menggunakan peralatan sederhana (tradisional) ke nelayan mengunakan teknologii (modern). teknolog
3. Terjadinya proses modernisasi dengan menggunakan teknologi, maka secara otomatis pula menuntut terbentuknya pembagian kerja yang berorientasi pada kemampuan dan keahlian individu. ind ividu.
4. Bergesernya hubungan sosial dalam masyarakat menumbuhkan suatu goncangan pola kekerabatan yang bermuara pada terbentuknya kelompok-kelompok kepentingan sesaat dan keuntungan individu.
5. Pembangunan pada sektor infrastruktur kecenderungan individu hanya mengejar keuntungan dan mengabaikan rasa kemanusiaan dan faktor lingkungan sehingga menyebabkan bencana alam.
6. Pemberdayaan sektor ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat dibutuhkan keberpihakan pemerintah pada penguatan kredit usaha kecil menengah agar dapat memenuhi permintaan pasar dan industri.
7. Untuk mencapai cita-cita individu maka dibutuhkan motivasi penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dan perasaan malu (siri’) untuk dapat sejajar dengan bangsa-bangsa bangsa-bang sa lain di dunia yang lebih dulu maju.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
13
DATAR GAMBAR
Gambar
2.1.
Halaman
Keterkaitan Keterkaitan komersialisasi produksi dan permintaan pasar menuntut
pergeseran pola penangkapan dari induk ikan ke telur ikan ke arah peningkatan kehidupan sosial-ekonomi
2.2.
................................................ 79
Kaitan penerapan teknologi pada pergeseran hubungan sosial dan adaptasi nilai n ilai budaya kaitannya peningkatan produksi ke arah peningkatan kehidupan sosial ekonomi .......................... .................................. ..........
83
2.3. Alur kerangka pemikiran penelitian …………………………………………..... 86 4.4 4.5
Peta kabupaten Takalar dan lokasi penelitian ..................... .............................................. ................................. ........ 88 Peta lokasi pantai Kecamatan Galesong Utara dan Kecamatan Galesong Selatan dan desa pantai tempat tempat pemukiman pemukiman n nelayan elayan patorani .................... ......................................... ..................... 111
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
14
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Pergeseran Pola Penangkapan Secara Tradisional Ke Pola Penangkapan Modern 4.1.1 Kawasan pantai Kabupaten Takalar
dan
Perkembangan
nelayan
di
Kabupaten Takalar adalah salah satu kabupaten yang terletak di arah selatan ibukota propinsi Sulawesi Selatan yaitu Kota Makassar, tepatnya berada sekitar 45 km dari kota Makassar. Selain itu Kabupaten Takalar juga merupakan salah satu kabupaten yang berada di Sulawesi Selatan, secara geografis dikenal sebagai daerah kawasan pantai. Hal itu tercermin di dalamnya terdapat sejumlah penduduk berprofesi sebagai nelayan dan bermatapencaharian utama sebagai penangkap ikan dan biota laut.
Secara administratif, Kabupaten Takalar memiliki batas-batas wilayah antara lain; (1) sebelah utara berbatasan dengan Kota Makassar dan kabupaten Gowa; (2) sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Jeneponto; (3) sebelah selatan berbatasan dengan laut Flores; (4) sebelah barat berbatasan dengan selat Makassar dan luas wilayah berkisar 566,51 km2.
Adapun
jumlah
kecamatan
terdiri
atas;
Kecamatan
Mappakasunggu,
Mangarabombang, Polongbangkeng Utara, Polongbangkeng Selatan, Galesong Selatan dan Kecamatan Galesong Utara.
Kabupaten Takalar adalah wilayah yang beriklim tropis, sehingga hanya mengenal dua musim dalam setahunnya, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Kedua musim ini, menjadikan rata-rata temperatur udaranya sepanjang tahun bermain dari tingkat 28 derajat sampai 32 derajat Celsius. Titik terendah itu 109berada di daerah-daerah ketinggian 100 meter
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
15
di atas permukaan laut yang letaknya sebagian besar di wilayah gugusan pantai (pantai selatan dan pantai barat), dan titik tertinggi berada di daerah-daerah yang terletak di bawah kaki gunung. Secara geografis, kabupaten Takalar memiliki enam kecamatan potensi unggulan untuk dijadikan sebagai sumber penghidupan masyarakatnya. Pemetaan potensi tersebut secara potensial masyarakatnya tergantung pada kondisi alam yang dimiliki. Untuk lebih jelasnya Berikut ini gambar peta lokasi pantai pesisir Kabupaten Takalar dan desa nelayan patorani:
Gambar 4.5
Peta lokasi pantai Kecamatan Galesong Utara dan Kecamatan Galesong Selatan dan desa pantai tempat pemukiman nelayan patorani
Berdasarkan gambar peta di atas maka Kecamatan Galesong Selatan dan Galesong Utara merupakan wilayah kecamatan yang berkategori sebagai wilayah pesisir pantai.
ndratmoko.c atmoko.com om w w w .hendr
16
Indikatornya, karena keempat wilayah kecamatan tersebut menempati pada posisi sepanjang pantai selat Makassar.
Selain indikator itu, maka salah satu indikator yang dapat dijadikan dasar sebagai kategorisasi sebagai kawasan pantai, karena penduduknya bermata pencaharian nelayan dibandingkan dengan kecamatan lainnya yang ada di kabupaten Takalar. Jumlah penduduk berdasarkan data statistik Kabupaten Takalar yakni sebanyak 1149.291 orang (2004) dengan perincian 608.078 perempuan dan 541.213 laki-laki. Terdiri atas 103.892 rumah tangga. Rumah tangga diantaranya adalah bermatapencaharian dibidang perikanan yakni berupa perikanan laut (nelayan) 2.618 rumah tangga, tambak 1.509 rumah tangga. Khususnya pada perikanan laut, jumlah rumah tangga nelayan terbesar adalah kecamatan Galesong Utara (902 rumah tangga, kemudian menyusul Kecamatan Galesong Selatan (865 rumah tangga), kecamatan Mangarabombang (429 rumah tangga) dan kecamatan Mappakasunggu (422 rumah tangga) begitu pula jumlah nelayannya Kecamatan Galesong Utara menempati posisi tertinggi (4.738 orang), kemudian Kecamatan Galesong Selatan 4.321 orang), Kecamatan Mappakasunggu (2.695 orang), dan Kecamatan Kecamatan Mangarabombang (2.290 orang).
Berdasarkan data itu, maka dapat disimpulkan bahwa di antara ke enam kecamatan dalam wilayah kabupaten Takalar, hanya empat kecamatan yang dapat dikategorikan sebagai kawasan pantai, yakni: kecamatan Mangarabombang, Mappakasunggu, Galesong Selatan dan Galesong Utara. Dan berdasarkan pemamparan data di atas, maka Galesong Utara dan Galesong Selatan dijadikan lokasi penelitian atau lokasi kasus dengan fokus pada komunitas nelayan patorani.
Keempat kecamatan tersebut, terbilang setiap waktu secara kuantitas jumlah perahu semakin bertambah. Berdasark Berdasarkan an data dari Dinas Perikanan dan kelautan kabupaten kabupaten Takalar tercatat dalam dekade terakhir, yakni era tahun 1990-an sebanyak 4.311 buah perahu hingga pada tahun 2000-an mencapai 7.431 buah perahu. Mulai dari jenis perahu w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
17
tradisional dengan menggunakan peralatan pancing dan jala (jaring) hingga pada komunitas nelayan modern. Komunitas nelayan tersebut, memiliki karakteristik dan jenis alat penangkapan sendiri.
Perahu yang broperasi tersebut tersebar di beberapa kecamatan yang berkategori sebagai wilayah pesisir. Perahu tersebut bervariasi bentuknya, antara lain jakung, parengge dan perahu khusus papekang. Perkembangan komunitas nelayan dengan menggunakan perahu jakung ini telah mengalami pasang surut, hingga sekarang komunitas ini kurang lagi diminati oleh nelayan. Perahu jakung dari awal kehadirannya berfungsi sebagai perahu yang digunakan untuk menagkap ikan dengan menggunakan teknologi alat tangkap yang sederhana seperti kail dan jala jala (pukat) dan kemampuan lokasi penangkapannya hanya berkisaran di wilayah area pesisir pantai.
Perkembangan selanjutnya, perahu jakung dalam dekade terakhir, walaupun populasinya menurun, namun komunitas yang masih mempertahankan keberadaannya telah beralih dengan menggunakan motor tempel sebagai penggerak utama (sebelumnya dengan tenaga angin/layar). Keberadaan Keberadaan perahu jakung hingga sekarang ini telah mengalami mengalami perubahan dari segi bentuk badan perahu dengan melalui modifikasi, termasuk fungsi dan wilayah operasionalnya juga mengalami perubahan.
Perahu Jakung tradisional mengalami perubahan ke jenis perahu jakung dengan mesin tempel yang dulunya hanya menangkap ikan di sekitar areal pesisir, kini telah mengalami pergeseran pergeseran lokasi penangkapan dan hasil tangkapan pun mengarah ke pencarian udang windu. Keberadaan perahu jakung di Galesong pada dekade sebelumnya, dapat di tarik kesimpulan sementara bahwa mata pencaharian masyarakat Galesong Selatan dan Galesong Utara merupakan mayoritas sebagai nelayan. Aktivitas kenelayanan di Galesong pada umumnya merupakan warisan orang tua atau keluarganya, yang dipertahankan hingga sekarang sebagai sumber mata pencaharianny p encahariannya. a. w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
18
Komunitas nelayan yang bermata pencaharian sebagai nelayan penangkap ikan yang disebut sebagai nelayan palanrak, dan nelayan papekang hingga sekarang tetap bertahan. Komunitas nelayan ini, melakukan aktivitas secara lokal yakni sekitar pesisir pantai p antai Galesong, Galesong, dengan hanya berusaha untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dipasar sebagai konsumsi masyarakat setempat. Kelompok nelayan palanrak dan papekang menggunakan perahu motor tempel. Hingga sekarang ini, komunitas nelayan palanrak dan papekang salah satu sumber mata pencaharian masyarakat Galesong. Nelayan ini khusus menanangkap ikan dengan berbagai jenis ukuran, tergantung pada jenis ikan yang lagi musim.
Pada awalnya perahu papekang dan palanrak dimodifikasi dengan menggunakan teknologi sederhana (tradisional), mulai dari jenis ukuran dan teknologi yang digunakan. Namun dalam perkembangannya kemudian perahu-perahu tradisional yang dimodifikasi dengan menggunakan teknologi sederhana (tradisional) secara pelahan mengalami pergeseran dan hingga sekarang tidak terlalu diminati lagi. Alasannya karena kondisinya sudah termakan usia dan orientasi penangkapan komunitas nelayan yang dulunya palanrak dan papekang sudah mengarah untuk menjadi m enjadi nelayan patorani. Adanya peralihan tersebut, maka secara otomatis pengalaman melaut sudah dimiliki untuk beralih menjadi nelayan patorani. Hal ini terkait informan sawi Jufri (37) yang dulunya adalah nelayan palanrak, dan kini beralih menjadi sawi patorani. Beliau mengatakan bahwa penguasaan akan tantangan laut, sudah terbiasa, namun yang perlu di dalami adalah teknologi penangkapannya, karena menggunakan lanrak (pukat) sangat bereda dengan menggunakan alat penangkapan telur ikan torani (ballak-ballak) (ballak-ballak),, artinya bahwa diperlukan adanya penyesuaian dan keterampilan khusus.
Peralihan penggunaan perahu terjadi melalui sebuah proses, misalnya, peralihan dari perahu jakung ke perahu motor tempel sedangkan perahu parengge beralih ke kapal nelayan patorani. Tuntutan perubahan jenis perahu tersebut, berkaitan orientasi komunitas
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
19
nelayan ke arah peningkatan penghasilan. Demikian halnya pula, pada sektor nelayan patorani dengan adanya tuntutan perubahan orientasi penangkapan dari induk ikan torani beralih kepenangkapan khusus pada telur ikan torani. Terjadinya pergeseran itu, karena adanya tuntutan pasar dan pada muaranya pula kearah peningkatan kehidupan sosial ekonomi nelayan patorani. Realitas perubahan itu, dapat di ambil suatu kesimpulan bahwa awal munculnya orintasi pergeseran tersebut, terkait dengan tuntutan pasar dan kehidupan sosial ekonomi.
Walaupun terjadi pergeseran penangkapan pada komunitas nelayan dengan beralih menjadi nelayan patorani, namun perahu tradisional pun, dengan jenis perahu palanrak dan papekang masih tetap ada yang beroperasi di pesisir pantai Galesong, walaupun jumlah dan komunitasnya sangat kecil. Perahu yang dimaksudkan adalah perahu tradisional yang tidak merubah bentuk, namun hanya dari segi kekuatan alat bantu berubah menjadi perahu motor tempel. Populasi perahu motor tempel merupakan jenis perahu yang masih bertahan populasinya, dan kalau kembali ke darat mesin perahu di lepas dari badan perahu. Mesin biasanya dipasang kembali, jika nelayan hendak melaut. Mesin tersebut biasanya berkapasitas 10-12pk di pasang di bagian belakang badan perahu. Demikian pula halnya dengan perahu nelayan patorani pun mengalami perubahan bentuk. Perubahan jenis dan bentuk perahu yang berbentuk bulat tanpa mesin, kondisi demikan bertahan ckup lama, namun karena adanya tuntutan peningkatan produksi maka kapasitas ukuran perahu ditambah guna untuk menampung beban mesin dan alat penangkapan modern yang dipergunakan.
Perahu nelayan patorani menempati dua kecamatan yakni kecamatan Galesong Selatan dan Galesong Utara dan tersebar di hampir semua desa pantai di Sulawesi Selatan. Jumlah desa di dua kecamatan tersebut sebanyak 12 buah desa. Namun diantara desa-desa tersebut, terdapat lokasi yang dijadikan sebagai basis terbanyak ditempati oleh nelayan patorani yakni desa Galesong baru, Paklaklakkang dan Bontosunggu. Tempat ini, sejak dari
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
20
dulu hingga sekarang menjadi tempat menyimpan (parkir) perahu komunitas nelayan patorani ketika ketika kembali melakukan pena penangkapan. ngkapan. Tempat ini pula dijadikan sebagai lokasi untuk bertukar fikiran, sambil memperbaiki perahu yang dianggap ada kerusakan di sepanjang pesisir pantai Galesong Selatan dan Galesong Utara, terparkir perahu patorani berjejeran dan tersusun sangat rapi. Tumbuh dan berkembangnya populasi nelayan patorani di d i Kabupaten Takalar hingga sekarang, lebih terfokus di kedua kecamatan yakni kecamatan Galesong Utara dan Galesong Selatan. Maka lokasi penelitian di fokuskan pada daerah Galesong Selatan dan Galesong Utara, dengan alasan bahwa lokasi tersebut merupakan daerah pesisir pantai yang meliputi lima buah desa yakni Tamalate, Aeng Batu-batu, Bontosunggu, Tamasaju, dan Pa’laklakkang Pa’laklakkang;; Sedangkan kecamatan Galesong Utara meliputi enam desa yakni Galesong Kota, Bontoloe, Bontomangape, Bontokanang, Bontokassi, dan Bontomarannu. Dari pemetaan lokasi itu, kecamatan Galesong Utara dan kecamatan Galesong Selatan dipilih sebagai unit lokasi penelitian atau wilayah studi kasus. Pemilihan ini didasarkan atas pertimbangan bahwa kedua kecamatan ini merupakan wilayah komunitas nelayan patorani yang mengalami pertumbuhan populasi paling pesat dan menjadi pemukiman secara turun temurun komunitas nelayan patorani.
4.1.2. Karakteristik Umum Kehidupan Sosial Komunitas Nelayan Patorani
Pada masyarakat Bugis-Makassar, Bugis-Makassar, aktivitas kenelayanan kenelayanan hanya merupaka merupakan n salah satu dari keseluruhan aktivitas kebaharian atau kemarit k emaritiman, iman, diantaranya sebagai jasa transportasi transporta si dan perdagang perdagangan an antar pulau. Dan pada masa yang lampau pula, perahu dijadikan sebagai alat transportasi bagi kerajaan untuk berhubungan dengan daerah kerajan lainnya. Jadi sejak beberapa abad yang lalu l alu masyarakat Bugis Makassar sudah menjadikan nelayan sebagai bagian alat untuk mata pencaharian. Sebagaiman w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
21
Koentjaraningrat Koentjaraning rat (1992 :33) mengemukakan bahwa Aktivitas kenelayanan diperkirakan sama usianya dengan aktivitas berburu pada masyarakat pedalaman. Realitas itu, bahwa keberadaan perahu disamping berfungsi sebagai media untuk mempertahankan hidup bagi komunitas nelayan, namun juga difungsikan sebagai transportasi transporta si untuk melakukan kontak dengan daerah lainnya. Fungsi ganda perahu bagi komunitas nelayan, dipergunakan ketika aktivitas pokonya sebagai nelayan (pencari ikan) sudah terlaksana. Hal demikian pun terjadi t erjadi pada komunitas nelayan patorani, patorani, sebelum masuk waktu musim patorani maka sebahagian dijadikan sebagai nelayan pencari ikan pada areal pesisir pantai. Terkait aktivitas penangkapan di luar musim pattoranian, pattoran ian, maka nelayan patorani merasa rugi karena bahan bakar dipersiapkan dalam jumlah yang besar, sedangkan sedangkan penghasilan tidak begitu sebanding dengan dengan pengeluaran. Sepanjang wilayah Galesong Utara dan Galesong Selatan merupakan wilayah pemukiman yang berada di pesisir pantai. Sebagai daerah pesisir pantai, maka masyarakatnya pun lebih cenderung melakukan kegiatan sebagai nelayan diantaranya sebagai nelayan patorani. Keberadaan nelayan patorani di Galesong kabupaten Takalar, merupakan salah satu komunitas nelayan yang tertua, karena di duga lahir sekitar abad ke17. Komunitas nelayan patorani yang menetap di pesisir pantai Galesong Utara dan Galesong Selatan, merupakan ciri khas tersendiri sebagai satu kesatuan yang terpola kehidupannya. Hal demikian terjadi, karena masyarakat setempat pada umumnya u mumnya berprofesi sebagai nelayan patorani. Masyarakat itu, ada yang menjadi papalele patorani tetapi tidak pernah melaut dan ikut melakukan penangkapan, sedangkan pinggawa dan sawi adalah kelompok yang melakukan penangkapan. Pinggawa perahu nelayan patorani pada umumnya berasal dari daerah Galesong Utara dan Galesong Selatan sendiri, namun para sawi ada beberapa orang yang berkategori sebagai penduduk musiman. Penduduk tersebut datang ketika musim patorani telah tiba dan kebanyakan dari daerah Kabupaten Takalar dan di luar Kabupaten Takalar. w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
22
Selain nelayan patorani, pada masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya di Galesong Selatan dan Galesong Utara Kabupaten Takalar, terdapat pula berbagai kelompok nelayan berdasarkan alat tangkap yang digunakan atau jenis ikan yang ditangkap. Kelompokkelompok nelayan yang dimaksud penamaannya menggunakan awalan “pa” yang berarti pelaku (orang yang melakukan) dan menunjuk pada paboya (nelayan yang melakukan aktivitas), seperti palanrak (nelayan yang menggunakan alat tangkap jaring (lanrak) (lanrak) jaring yang terbuat dari tali dan berukran panjang atau tramel net )); patora ; patorani ni (nelayan (nelayan yang secara khusus menagkap ikan torani/ikan terbang dan mengumpulkan telurnya); pareng parenggek gek (nelayan yang menggunakan jaring renggek); paga pagaek ek (nelayan yang menggunakan jaring gaek atau jaring insang); parerek insang); parerek (nelayan yang menggunakan jaring rerek atau jaring tarik); papekang papeka ng (nelayan (nelayan yang menggunakan kail)
Berbagai kelompok nelayan itu, nelayan Patorani merupakan salah satu kelompok nelayan yang pada awal keberadaannya sebagai nelayan tradisional dan tertua di Galesong. Menurut keterangan keterangan yang diperoleh melalui cer cerita-cerita ita-cerita rrakyat akyat dan beberapa informa informan n mengungkapkan bahwa asal usul penangkapan ikan terbang dilakukan oleh orang-orang pemberani tubarani sisa lasykar Karaeng Galesong (raja Galesong) yang kalah perang membantu kerajaan Trunojoyo melawan Belanda. Sesudah berkumpul di Pasuruan, Jawa Timur, mereka ingin kembali ke Makassar. Namun karena perlengkapan perangnya sudah habis maka mereka mondar-mandir di Selat Makassar dan menyamar sebagai nelayan.
Fakta itu dapat dijadikan sebagai awal keberadaan nelayan patorani, dan bukti-bukti bukti-bukti sejarah mencatat pula bahwa keberadaan nelayan patorani di duga pada abad ke-17. Sejak abad ke-17 nelayan patorani dikenal sebagai nelayan tradisional sampai paruh pertama abad ke 20, dan merupakan usaha penangkapan ikan torani yang bersifat subsistensi. Menjelang paruh abad kedua yakni abad ke-20 usaha penangkapan ikan torani bersifat komersial. Pergeseran nelayan subsistensi ke arah komersil ditandai dengan adanya aktivitas
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
23
pengiriman induk ikan torani dan jenis ikan lainnya dalam bentuk ikan kering ke Gresik, Panarukan dan Banyuwangi di Jawa Timur (Munadah, 1991).
Komunitas nelayan patorani, secara tradisional telah lama mengenal suatu sistem pengetahuan yang mereka sebut panganga pangangasengan sengan.. Cakupan konsep ini meliputi dua aspek utama yang dibedakan oleh masyarakai sendiri dalam bentuk pengetahuan lahir dan pengetahuan bathin. Apabila sistem pengetahuan ini dijabarkan dalam aspek-aspek penghidupan tertentu maka biasanya disebutkan dalam bentuk kata majemuk, erang passimombalang passimo mbalang.. Contoh ini merupakan pengertian aplikatif dari pangn dari pangngassengan gassengang g.
Hasil wawancara dari informan, bahwa awal mula timbulnya suatu pengetahuan yang berisikan tentang aturan-aturan dan memiliki nilai-nilai kegaiban terkait dengan ilmu pengetahuan panganga pangangasengan sengan yang dimiliki oleh nelayan patorani. Perilaku nilai-nilai tersebut, menunjukkan pada suatu perbuatan masyarakat nelayan pada jaman dulu, yang kemudian menjadi suatu kebiasaan. Selanjutnya, kebiasaan-kebiasaan itu melekat kedalam suatu harapan-harapan dan sanksi-sanksi sehingga terwujudlah lembaga dan pranata. Pranata-pranata Pranat a-pranata itu, kemudian berfungsi sebagai pengatur hubungan antara sesama nelayan terkait dengan kehidupan sehari-hari baik sebagai individu maupun dalam organisasi kenelayanan.
Struktur kepatoranian terbentuk suatu organisasi yang saling terkait satu sama lain antara paplele (pinggawa darat), juragan (pinggawa laut) dan sawi (pekerja/buruh) yang berkisar pada kepentingan-kepentingan untuk saling mendukung dan saling memerlukan dalam lingkungan untuk beraktivitas sebagai komunitas nelayan patorani. Lama kelamaan pranata-pranata pranata-pra nata tersebut di atas semakin teratur dan mapan dalam arti sudah melembaga di dikalangan patorani, patorani, selan selanjutnya jutnya ter terbentuklah bentuklah suat suatu u organisasi y yang ang disebut disebut
papalele, papalele,
pinggawa dan sawi.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
24
Kehidupan kepatoranian secara struktural telah terbentuk didasarkan melalui kesepakatan yang di musyawarahkan sejak mulai pemberangkatan menuju ke lokasi penangkapan. Selama melaksanakan operasonal di laut hingga hasil dipasarkan, nelayan patorani masih diikat oleh suatu ikatan struktur yang saling mendukung antara pinggawa dan sawi. Penjabaran kegiatan struktur kepatoranian, sawi (anak buah/buruh) diartikan sebagai anggota kelompok atau anak buah dari seorang pinggawa dalam melakukan suatu pekerjaan. Struktur tersebut mulai berlaku sejak melakukan operasionalisasi penangkapan, dan keseluruhannya merupakan satu kesatuan usaha. Setiap sawi mempunyai peranan tertentu yang diberikan oleh pinggawa laut (juragan) selama dalam perjalanan. Pekerjaan dan peranan yang dibebankan oleh pinggawa terhadap sawinya biasanya disesuaikan dengan usia dan pengalaman yang dimiliki oleh sawi. Sawi yang dipandang paling berpengalaman,, diberikan tugas melayani alat-alat pengump berpengalaman pengumpul ul telur iikan kan terbang. Sawi yang diangap masih relatif lebih rendah pengalamannya dibebankan peran sebagai Juru Batu (menurunkan jangkar) saat perahu berlabuh. Untuk sawi yang sangat sedikit pengalamannya biasanya berusia relatif paling muda, diberikan tugas menimba air yang masuk ke dalam lambung perahu dan juga sekaligus menyiapkan makanan.
Peranan dan tanggungjawab sawi mulai dari persiapan pemberangkatan menuju kelokasi penangkapan sampai kembali ke darat membawa hasil produksi. Selain peran tersebut para sawi diharapkan pula harus rajin dan jujur dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, serta patuh pada perintah dan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh pingawa. Bilamana ada sawi yang melakukan pelanggaran, maka akan diberikan sanksisanksi sesuai kadar pelanggaran yang sudah diatur dan disepakati walaupun bentuknya tidak tertulis. Jika seandainya pelanggaran tersebut tidak dapat diselesaikan oleh pinggawa laut (juragan), maka persoalan itu, diserahkan sepenuhnya pada papalele (pinggawa darat) sebagai pengambil kebijakan secara umum dalam organisasi kepatoranian. Hal itu, dilakukan
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
25
oleh seorang papalele, tapi dengan syarat bila seorang papalele yang memiliki perahu tersebut.
Dikembangkannya Dikembangkanny a penangkapan telur i kan torani sebagai komoditi ekspor ke Jepang pada pertengahan tahun 1990-an, dan merupakan negara yang pertama masuk membeli telur ikan torani di Galesong Selatan dan Galesong Utara. Masuknya negara Jepang sebagai eksportir, merupakan salah satu motivasi yang mendorong berkembangnya penerapan teknologi modern. Sebelum masuknya eksportir pada awal tahun 1970-an penangkapan telur ikan torani masih relatif menggunakan teknologi alat tangkap sederhana dan bahkan masih menggunkan alat tangkap pakkaja pakkaja induk ikan torani. Namun semakin membaiknya harga telur ikan di pasaran maka perkembangan penggunaan perahu dengan menggunakan mesin sebagai daya dukung lajunya perahu ke lokasi penangkapan telur ikan torani mulai difikirkan keberadaannya. Alat tangkap modern dalam penangkapan telur ikan torani mulai lebih di modifikasi bila dibandingkan dengan teknologi alat tangkap induk ikan ik an torani.
Pada tahun 1990, penangkapan telur ikan torani semakin terbuka dan lebih menjanjikan untuk menambah menambah penghasilan. Realitas itulah, maka kesempat kesempatan an dan wawasan komunitas nelayan patorani semakin dituntut untuk lebih mendalami strategi penangkapan telur ikan torani. Kesempatan peluang tersebut bukan hanya dimanfaatkan oleh nelayan saja, akan tetapi orang-orang yang terlibat di dalanya terutama terutama papalele (p (pemilik emilik modal) ikut pula memanfaatkan sumber modal yang dimilikinya. Keterbukaan untuk mengalihkan usaha penangkapan dari induk ikan ke telur ikan torani, karena harganya cukup tinggi yakni dari harga Rp. 7000/kg pada tahun 1970-an, kemudian dari tahun ketahun semakin meningkat hingga Rp 60.000. Bahkan pada tahun 2000-an harga telur ikan semakin naik hingga mencapai harga Rp 300.000 dan bertahan hingga kondisi sekarang. Dengan adanya harga pasaran yang semakin tahun semakin tinggi, maka peningkatan pendapatan komunitas
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
26
nelayan patorani pun dalam satu musim bertambah. Menurut informan pinggawa P daeng Jallo (56 tahun) menuturka menuturkan: n:
“Selama saya melakukan penangapan telur ikan torani semakin tahun harganya pun semakin bagus. Pendapatan saya pun semakin meningkat setiap tahun (per-musim) pattoranian. Saya sebagai pinggawa merasa senang juga karena kehidupan keluarga saya juga semakin membaik, dan dapat membeli kebutuhan pokok keluarga saya. Hasil yang saya peroleh dalam semusim biasanya cukup untuk menutupi kebutuhan pokok untuk makan keluarga saya”.
Kondisi harga telur ikan secara merata dapat dinikmati oleh komunitas nelayan patorani baik papalele, pinggawa maupun sawi. Penghasilan hasil tangkapan yang diperoleh, secara spesifik yang lebih banyak meraup keuntungan adalah kelompok pemilik modal (papalele) dibandingkan dengan pinggawa dan sawi. Asumsinya bahwa semakin besar modal yang dikeluarkan, maka semakin besar pula penghasilan yang diperoleh, dengan kata lain bahwa apabila nelayan patorani binaannya memperoleh hasil yang banyak maka secara ortomatis ortomat is bagiannya b agiannya lebih besar pula.
Implikasi dari realitas itu, maka pengembangan usaha penangkapan telur ikan torani yang bermukim di Galesong Selatan dan Galesong Utara, membawa keuntungan secara positif, diakibatkan mencuatnya ekspor telur ikan torani hingga masuk ke pemukiman nelayan patorani. Seiring dengan pengembangan usaha maka nelayan patorani mengikuti pula perkembangan penerapan teknologi modern untuk melakukan penangkapan telur ikan torani, yakni dukungan mulai dari alat tangkap, permodalan, hingga teknologi pendukung perahu. Dengan daya dukung teknologi alat penangkapan, maka nelayan patorani pula dalam melakukan pelayaran tidak terlalu menguras tenaga secara operasionalisasi selama penangkapan berlangsung. Pergeseran tersebut, tentu juga membawa implikasi secara negatif, diantaranya nelayan patorani sudah mulai mengedepankan komersalisasi produksi
dengan target target hasil yang mak maksimal simal untuk dike dikembalikan mbalikan perm permodalan odalan ke ke papalele dan juga
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
27
nelayan paorani sebagai nelayan tradisional mengalami pergeseran dari awal munculnya pada abad ke-17. kemudian dari segi ritual pula nelayan patorni sudah mulai mengalami pergeseran, walaupun tetap masih ada bait-bait ba it-bait pengetahuan pengetahuan pangan pangangasengan gasengan disampaiakn untuk memohon keselamatan pada maha pencipta.
Rangkaian pelaksanaan kepatoranian, tidak terlepas dengan masih adanya penerapan pengetahuan, yakni Perpaduan antara upacara ritual kepatoranian yang dilaksanakan secara turun temurun dengan unsur pemikiran rasional. Keterpadu Keterpaduan an tersebut, sebenarnya bagian wujud adanya kesadaran untuk tidak sepenuhnya meninggalkan sebagian ritual (penyerahan sesajen), akan tetapi upacara ritual dilakukan melalui berdoa bersama meminta perlindungan oleh sang pencipta. Waaupun unsur rasional sudah masuk dalam komunitas, namun teap tidak merubah karakteristik nelayan patorani yang terfokus pada penangkapan telur ikan torani yang dijalaninya saat ini. Dan bahkan nelayan patorani yang bermukim di kabupaten Takalar sudah mulai di kenal sebagai nelayan yang lebih terfokus untuk menangkap telur ikan torani di bandingkan dengan induk ikan torani.
Seiring dengan perkembangan kebutuhan akan penerapan teknologi alat penangkapan yang berorientasi pada peningkatan hasil tangkapan (produksi), maka dalam era tahun 1970-an komunitas nelayan patorani mulai mengalami pergeseran dari teknologi yang sederhana (tradisional) semakin di tinggalkan dan beralih pada penerapan teknologi modern. Selain itu, perubahan alat tangkap pun ikut dalam salah satu perubahan tersebut, karena sasaran utama penangkapan selama melaut bukan lagi induk ikan terbang tetapi nelayan patorani beralih pada penangkapan telurnya sebagai komoditi yang berorientasi pada pasar.
Sebagai nelayan yang sudah mengedepankan dan mengadopsi sistem pasar
(kapitalis), dalam struktur kepatoranian pun antara papalele, pinggawa dan sawi terjadi
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
28
pergeseran pula. Kemudian secara struktur pula terbentuk sistem pembagian hasil yang cenderung mengarah eksploitatif yang berdsarkan pada status sosial yang dimilikinya. Diberlakukannya bagi hasil yang dirasakan tidak seimbang maka seringkali pula munculnya konflik tersembunyi dalam hubungan pinggawa-sawi. Menurut informan Tahere Daeng Bella (60 tahun) bahwa antara pinggawa dan sawi sering terjadi konflik tersembunyi di akibatkan papalele mengambil dari hasil tangkapan lebih banyak bagiannya, bila dibandingkan dengan pinggawa dan sawi, yakni papalele mengambil bagian 25 persen sebelum hasil dibagi. Setelah hasil di bagi, maka untuk bagian sawi di pegang oleh pinggawa, dan kemudian pinggawa membagikan ke sawi. Dari sinilah biasa memunculkan pertanyaan bagi sawi apabila bagi hasil sedikit yang diperoleh, padahal hasil tangkapan yang diperoleh jumlahnya banyak. Hal itu terjadinya, sejak pergeseran sasaran penangkapan induk ikan ke telur ikan torani, karena adanya desakan dari pemilik modal ( papa ( papalele lele)) mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya. Perubahan–perubahan tersebut berdampak secara langsung pada komunitas nelayan patorani dengan mengiasyaratkan bahwa nelayan patorani telah mengalami suatu pergeseran ke arah mengejar hasil baik papalele maupun pinggawa, dan kemudian kurang mendapat keuntungan adalah sawi.
Nilai komersial komoditi telur ikan terbang (ikan torani), nampaknya mendorong peningkatan usaha pada komunitas nelayan patorani, dan orang-orang yang terlibat di dalamnya diantaranya papalele dan eksportir. Pada era awal tahun 1970-an hingga 1990-an terdapat kurang lebih 1.000 buah armada perahu patorani dan semuanya hanya mengandalkan layar (sombala) (sombala),, namun pada era awal tahun 1990-an hingga 2000-an diperkirakan jumlah armada nelayan patorani berkisar antara 1500 hingga 2000-an buah dan memiliki mesin. Perkembangan nelayan patorani sangat pesat, karena ditopang dengan usaha pemerintah untuk meningkatkan dan menggalakkan ekspor komoditi non migas. Sejak pemerintah pada era orde baru memasuki rancangan pembangunan pada Pelita kelima, w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
29
sasarannya adalah pembangunan sektor perikanan yang diarahkan pada peningkatan pendapatan nelayan dan peningkatan produksi komoditi ekspor. Terkait sasaran itu, maka salah satu usaha pemerintah untuk menunjang tujuan pembangunan kesejahteraan nelayan adalah melalui program kearah perubahan perahu sebagai alat tangkap nelayan yang sederhana kemudian beralih ke perahu melalui tenaga mesin.
4.1.5. Wilayah dan Strategi Penangkapan Komunitas Nelayan Patorani Spesis atau jenis ikan yang menjadi sasaran penangkapan bagi komunitas nelayan patorani yang berdomisili di Galesong Utara dan Galesong Selatan Kabupaten Takalar dikenal sebagai nelayan khusus ikan torani (ikan terbang). Dalam era tahun 1940-an hingga akhir 1960-an lebih dominasi pada penangkapan induk ikan torani namun pada era tahun 1970-an mulai bergeser pada penangkapan ke telur ikan torani. Jenis ikan tersebut dalam bahasa Makassar disebut juku’ tuing-tuing tuing-tuing (ikan tuing-tuing) dalam bahasa Bugis di sebut tawarani adalah jenis ikan yang terdapat dihampir semua perairan tropik dan subtropik. Menurut Nontji (1993: 212) Perairan Indonesia terdapat 18 jenis spesies ikan terbang (ikan torani), kebanyakan dari marga (genius) cypsilurus cypsilurus.. Biasanya perikanan ikan torani lebih berkembang di perairan yang mempunyai kadar garam (salinitas) yang lebih tinggi seperti di selat Makassar, perairan Maluku, Nusa Tenggara, dan Irian Barat.
Strategi penangkapan, setelah sampai ke lokasi penangkapan, maka terlebih dahului diawali pemasangan pakkaja yang dilakukan oleh pinggawa. kemudian selanjutnya dibantu oleh para sawi dengan menunggu perintah atau petunjuk tertentu dari pinggawa. Kemudian semua pakkaja yang di bawa dihanyutkan ke air, diikat dengan tali secara bergandengan antara satu dengan yang lainnya. Perluya syarat (sarak) (sarak) untuk memulai penangkapan sepenuhnya di serahkan ke pinggawa, menurut informan pinggawa M Daeng Masaju (57 tahun) bahwa berkenaan dengan upaya menghindari bahaya-bahaya atau malapetaka yang
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
30
akan timbul sebagai akibat dari pekerjaan ini, maka pemasangan pertama alat pakkaja harus dilakukan oleh pinggawa. Hal demikian dilakukan, karena pada awal pemasangan ada semacam mantera-mantera (ilmu untuk berinteraksi dengan alam) yang sengaja diucapakan oleh pinggawa sebagai ritual. Makna ritual tersebut, sebenarnya berisi tentang permintaan izin atau perkenaan dari kekuatan gaib.
Selanjutnya, setelah semua pakkaja yang dipasang telah hanyut terbawa arus ke arah barat. Maka pinggawa dan para sawi bersama-sama mengawasi posisi perahu sambil menyanyikan lagu-lagu dalam syair bahasa Makassar yang berisikan tentang makna-makna yang mengandung bahasa yang porno-porno. Bagi pinggawa dan para sawi, telah menganggap bahwa dengan mendendangkan lagu-lagu porno akan mengundang induk ikan terbang berdatangan ke alat pakkaja yang dipasang untuk memijah. Syair (lagu) yang dinyanyikan tersebut, merupakan suatu strategi yang harus mereka lakukan dalam sistem penangkapan telur ikan torani. Di saat mereka telah melihat ada induk ikan terbang yang mulai mendekat di sekitar alat pakkaja, maka semua awak perahu harus diam sejenak dan pinggawa mengungkapkan mantra-mantra mantra-mantra (pangasengang) (pangasengang) melalui membaca dalam hati yang diawali dengan tafakkur. Ungkapan mantra-mantra termaksud adalah merupakan bait terakhir dari erang pakboyaboyang.
Setelah mereka sudah merasa bahwa seluruh pakkaja yang dipasang berisi telur ikan torani, maka pakkaja di tarik kembali kemudian diangkat naik keperahu, selanjutnya dipetik keseluruhan telur yang melekat di pakkaja. p akkaja. Setelah hasil sudah selesai dipetik maka dipindahkan pada tempat yang diperisiapkan sebelumnya, maka pinggawa bersama para sawi selanjutnya memikirkan untuk tetap melakukan penangkapan/pengumpulan telur ikan torani di tempat mereka berpijak, dan ataukah berlayar menuju ke tempat yang diperkirakan lebih banyak induk ikan torani yang mau
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
31
bertelur. Biasanya keputusan berada di tangan pinggawa, namun pinggawa tetap juga meminta pertimbangan-pertimbangan pertimbangan-pertimbangan khusus para sawi. Selain wilayah itu, Hutomo, (1985: 18) bahwa ikan torani juga terdapat dibeberapa negara seperti di Flipina, taiwan, Carolina, Tahiti, dan Hawaii. Berdasarkan persebaran spesies ikan torani di beberapa daerah dan negara tersebut, terdapat pula nelayan yang khusus menangkap ikan tersebut. Sebagaimana di wilayah perairan Indonesia terdapat komunitas nelayan yang khusus menangkap telur ikan torani, diantaranya Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Maluku, Bali, Nusa Tenggara, dan Sumate Sumatera ra Barat.
Kasus 1 Pelebaran Wilayah Jangakuan Pelayaran
Dg lallo (58) tahun adalah seorang papalele, sejak usia 28 tahun beliau sudah dipercayakan menjadi pinggawa. Dulunya hanya seorang sawi, dan sebagai nelayan patorani ditekuninya sejak usia 19 tahun. Ia menikah di usia 19 tahun, dan untuk menutupi kebutuhan hidup keluarganya, maka beliau ikut dengan kerabatnya menjadi sawi nelayan patorani.
Sejak menjadi sawi nelayan patorani masih menangkap induk ikan torani, dan hanya melakukan operasional di wilayah penangkapan selat Makassar meliputi kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto hingga ke pulau Selayar. Sejak tahun 1979-an beliau menjadi pinggawa perahu patorani. Waktu itu beliau masih tetap memngkap induk ikan terbang, namun sejak tahun 1985 beliau beralih ke penangkapan induk ikan torani. Sejak menangkap induk ikan torani masih mengandalkan lokasi penangkapan di areal kalukkalukuang yang berada di sekitar pulau di selat Makassar. Namun pada tahun 2000-an beliau melakukan pelebaran penangkapan hingga ke Fak-fak Papua (pulau Irian Jaya). Hingga sekarang setiap musim pattoranian Dg Lallo tetap melakukan penangkapan ke wilayah Fakfak. Akibat pelebaran wilayah penangkapan itu, maka jumlah modal yang dibutuhkan pula antara 21 juta hingga mencapai Rp 25 juta sebagai modal awal operasional.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
32
Dari kasus informan tersebut di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu: pertam pertama a ternyata orientasi penangkapan pada telur ikan, menyebabkan terjadinya penambahan modal pelayaran bagi komunitas nelayan patorani; kedua kedua permintaan modal operasional terkait pula semakin dilakukannya perluasan wilayah penangkapan hingga melintasi beberapa beberapa pulau untuk meningkatkan produksi telur ikan torani.
Dari kasus yang ditampilkan di atas (kasus 1) memperlihatkan memperlihatkan bahwa penangkapan telur torani dilakukan di zona penangkapan yakni di perairan Selat Makassar, yakni disekitar pulau Bankaulung di kepulauan Masalima. Bila lokasi itu tidak ditemukan induk ikan torani yang mau memijah maka dilanjutkan ke wilayah penangkap penangkapan an lainnya. sebagaimana sebagaim ana Salle (1995: 76) mengemukakan bahwa penangkapan dilakukan ke pulau Masalembo atau Kepulauan Kangean, bahkan sering sampai pesisir Pulau Bali. Wilayah penangkapan semakin diperlebar sejak tahun 1990-an hingga tahun 2000-an. Aktivitas pelebaran areal wilayah penangkapan telur ikan torani ini dilakukan, terkait adanya permintaan pasar yang selalu menuntut kuota dan mengejar kualitas. sehingga pelayaran pelayara n dan areal lokasi penangkapan pun dilakukan hingga ke pulau Irian Iri an Jaya. Terjadinya pelebaran areal penangkapan tersebut, maka salah satu hal diperhatikan oleh nelayan patorani adalah membutuhkan adanya inovasi alat penangkapan serta alat pendukung lainnya yakni perahu yang memiliki mesin yang berkapasitas tinggi. Menurut informan pinggawa, bahwa dahulu sebelum menggunakan tenaga mesin mereka hanya mampu bertahan di laut atau daerah penangkapan selama kurang lebih dua minggu dan jangkauan pelayaran pelayaran hanya di lakukan sekitar selat Makassa Makassar. r. Dengan adanya mesin, mereka tahan berada di daerah penangkapan/pengumpulan telur ikan selama satu atau dua bulan dan tidak pulang ke rumah dan bahkan kampung halamannya selama antara bulan Maret hingga akhir September. Apabila mereka kekurangan bahan makanan atau bahan bakar,
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
33
maka
mereka
pergi
kepulau-pulau
terdekat
untuk
membeli
atau
menukar
hasil
tangkapannya dengan barang-barang yang dibutuhkan.
Setiap ke lokasi areal penangkapan, papalele menyediakan dana awal sebagai modal operasional pinggawa binaannya (passisambungan), kalau pelayaran hanya dilakukan di daerah penagkapan kaluk-kalukung selat Makassar hanya mengeluarkan dana sekitar Rp. 10 juta, sedangkan kalau sampai ke pualu Irian Jaya, maka papalele mengeluarkan modal awal sebanyak Rp. 25 juta. Lama perjalanan ke lokasi penangkapan. Menurut informan pinggawa Abd. Karim kebetulan beliau hanya melakukan areal penangkapan di wilayah kalukkalukuang k alukkalukuang maka hanya meminta dana pada papalelenya sebanyak Rp 8 juta sampai Rp10 juta rupiah. Tetapi lain halnya pula dengan seorang pinggawa Daeng Asis melakukan penangkapan hingga ke wilayah irian Jaya. Beliau meminta pada papalelenya hanya sekitar Rp 20-an juta. Adanya variasi dana itu, karena berkaitan dengan pengeluaran baik bahan makanan pokok hingga pada penggunaan bahan bakar mesin berupa solar. Menurut pinggawa Daeng Asis, bahwa kewilayah Fakfak bisa menghabiskan bahan bakar antara 1.500 hingga 2.000 liter solar yang dihabiskan.
Untuk menjalankan aktivitas pada musim pattoranian, para anggota patorani mempersiapkan
bekal
dan
peralatan-peralatan
yang
dibutuhkan
dalam
operasi
penangkapan. Peralatan yang dibutuhkan diantaranya, seperti perahu, alat tangkap (ballaballa). Kesemua peralatan tersebut sebelum pemberangkatan terlebih dahulu diperiksa dip eriksa oleh pinggawa dan sawi. Kesiapan lainnya pula adalah bahan makanan selama dalam melakukan operasional dan bahan bakar minyak untuk mesin perahu dan kompor minyak tanah. Pemberangkatan Pemberangkat an nelayan p patorani atorani yang berdomisili di Galesong Selatan dan Galesong Utara umumnya ditentukan hari pertama pemberangkatan pe mberangkatannya. nya. Setelah melakukan upacara (ritual) secara tradisional dan bersama-s b ersama-sama ama kemudian pemb pemberangkatan erangkatan dilakukan, walaupun tidak serentak. Upacara hari pertama merupakan ketentuan-ketentuan yang harus dilaksanakan
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
34
pada saat musim timur (musim kemarau). Nelayan patorani melakukan pemberangkatan pada malam hari dengan perkiraan dapat tiba pagi hari pada lokasi yang ingin dituju. Namun dalam kondisi sekarang, untuk jadwal pemberangkatan tidak selamanya pada malam hari.
Sehubungan realitas tersebut, bahwa terjadinya pergeseran pada wilayah penangkapan dan pola penangkapan memiliki cara untuk memancing induk-induk ikan terbang berdatangan dan terjaring masuk dalam alat tangkap (pakkaja). Strategi tersebut dilakukan dengan menghambur-hamburkan telur ikan yang sempat diperoleh d iperoleh dengan secara tidak sengaja di taburkan ke air laut. Namun setelah terjadinya pergeseran penangkapan ke arah telur ikan maka, strategi tersebut sudah tidak dilakukan lagi. Artinya kebiasaan memancing ikan dengan menggunakan telur ikan akan tetapi sekarang cenderung dedak halus yang menyerupai juga telur ikan torani, baik warna maupun halusnya. Cara yang dilakukan juga melalui menaburkan ke air laut di sekitar alat penangkapan (pakkaja) dipasang.
Selanjutnya wawancara informan seorang sawi Baharuddin (57 th), bahwa hal tersebut dilakukan penaburan telur ikan torani ketika penangkapan terfokus khusus pada penangkapan induk ikan torani. Telur ikan belum menjadi prioritas untuk di tangkap, sehingga apabila nelayan patorani mendapatkan telur ikan torani, maka telur ikan yang diperoleh dihambur-hamburkan disekitar daerah penangkapan agar induk ikan torani berdatangan disekitar alat penangkapan pakkaja pakkaja.. Strartegi tersebut dilakukan untuk memudahkan melakukan penangkapan. Akan tetapi, setelah para nelayan patorani telah mengetahui tentang nilai ekonomi telur ikan jauh lebih tinggi dari harga induknya, maka sasaran nelayan patorani lebih cenderung beralih dan lebih mengutamakan pengumpulan telurnya.
Secara realitas bahwa, sejak penangkapan terfokus khusus pada induk ikan torani, maka wilayah penangkapan hanya dilakukan disekitar kabupaten Takalar, kabupaten w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
35
Bantaeng, kabupaten Bulukumba, dan kabupaten Selayar. Wilayah jangkauan tersebut, secara geografis masuk dalam wilayah selat Makassar dan nelayan patorani hanya mengutamakan penangkapan pada induk ikan terbang. Sedangkan perahu yang digunakan adalah perahu layar dengan jumlah anggota sawi sebanyak 5-8 orang. Namun sejak pergeseran penangkapan induk ikan ke telur ikan torani, maka lokasi penangkapan dilakukan hingga ke sekitar perbatasan Kalimantan, Pulau Jawa dan Nusa Tenggara.
Selain lokasi itu, sejak akhir tahun 1990-an nelayan patorani sudah ada yang melakukan penangkapan sampai ke Irian Jaya (Papua). Pelebaran lokasi penangkapan itu, terkait karena sudah berorintasi pada spesifik penangkapan telur ikan torani. Perahu torani yang digunakan tidak lagi mengandalkan layar seperti ketika masih menangkap induk ikan torani, tetapi dalam melakukan penangkapan khusus telur ikan torani, sudah beralih ke perahu mengandalkan mesin (perahu motor) dengan jumlah anggota sawi sebanyak 4-5 orang dan dipimpin satu orang pinggawa. Umumnya patorani menggunakan alat tangkap pakkaja pakka ja.. Alat tangkap (pakkaja) tersebut, dipasang dengan cara meletakkan di permukaan laut dan dibiarkan teapung-apung (ammanyu-manyu) (ammanyu-manyu)
4.1.4
Pergeseran Karaktersistik Nelayan Patorani Dari Tradisional Kaitan Kehidupan Sosial Ekonomi
Nelayan patorani sejak keberadaannya, yakni abad ke-17 sebagai nelayan tradisonal yang hanya menangkap khusus induk ikan torani. Di dalam melakukan penangkapan induk ikan torani (ikan terbang) pada masa itu, nelayan patorani hanya menangkap untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga beserta kerabat dekatnya. Kegiatan penangkapan berorientasi pada pemunuhan kebutuhan hidup keluarga sendiri (subsistem) (subsistem) itu, berlangsung dengan waktu yang cukup relatif lama. Tenggang waktu antara abad ke-17
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
36
hingga pertengahan abad ke-20. Hal itu terjadi, karena pada masa abad ke-17 nelayan patorani belum mengenal pasar sebagai wadah untuk menjual hasil h asil tangkapannya.
Menangkap induk ikan torani sejak abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20, lebih banyak melakukan penangkapan di wilayah sekitar Selat Makassar. Secara realitas bahwa dekade itu, nelayan patorani menganggap lokasi tersebut dianggap strategis untuk melakukan penangkapan induk ikan torani. Selain hal itu pula, dapat memenuhi permintaan pasar. Dalam dekade itu, penangkapan pun dilakukan dalam waktu relatif singkat yakni antara 5 hingga 7 hari. Daya dukung teknologi pun hanya mengandalkan tenaga manusia dan bantuan arah angin. Melakukan penangkapan dalam waktu relatif singkat tersebut, karena
nelayan patorani
menangkap induk
ikan torani
belum berorientasi
pada
komersialisasi komer sialisasi produksi dan tekanan pasar pun belum begitu k ketat. etat. Dengan kondisi tersebut, maka apabila hasil tangkapan berlebihan, maka nelayan patorani pun memberikan sebagian pada kerabat dan tetangganya secara sukarela.
Dalam dekade awal abad ke 20-an, nelayan patorani sudah mulai mengenal pasar. Komoditi induk ikan torani sudah menjadi andalan dan semakin dibutuhkan dengan kuota yang lebih banyak. Ketersediaan pasar tersebut, memberikan peluang bagi nelayan patorani untuk menjual hasil tangkapannya dan menjadikan induk ikan torani sebagai komoditi di pasaran. Permintaan pasar hanya menerima induk ikan torani dalam bentuk sudah dikeringkan, dan bahkan hasil tangkapan tersebut dipasarkan bukan hanya dalam lokal Kabupaten Takalar, akan tetapi sudah dipasarkan secara luas khsusnya di Makassar dan sekitarnya. Pemenuhan pasar di sekitar kawasan Makassar masih dikategorikan sebagai pemasaran tingkat lokal. Ketersediaan pasar dalam lokal Takalar hingga Makassar sudah terpenuhi, maka hasil tangkapan yang diperoleh tentu masih membutuhkan pasar yang lebih luas. Untuk memenuhi keinginannya tersebut, maka nelayan patorani pun secara bertahap
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
37
melakukan hubungan dagang melalui pemasaran hingga ke beberapa daerah di Pulau Jawa diantaranya Jawa Timur.
Perahu komunitas nelayan patorani, pada masa lalu memiliki karakter dan ciri khas tersendiri yakni bentuknya bulat, dan dikenal sebagai biseang bula’ . Perahu model tersebut, digunakan sejak awal keberadaannya yakni pada abad ke-17 hingga pertengahan tahun 1990-an. Nelayan patorani pada awalnya sebagai nelayan tradisional dengan hanya mengandalkan musim dan arah angin, serta jenis tangkapan hanya di fokuskan pada induk ikan terbang. Kemudian bergeser ke nelayan modern (bertenaga mesin). Akibat perubahan bentuk perahu bulat menjadi kapal (perahu berbentuk kapal besar), maka secara otomatis juga mengakibatkan perubahan (modifikasi) mulai dari bentuk lambung perahu beserta teknologi pendukungnya. Adanya pergeseran tersebut, maka Penggantian dilakukan secara keseluruhan perahu patorani hingga dalam bentuk kapal. kap al. Artinya bahwa perubahan tersebut mulai dari bentuk perahu hingga kapasitas mesinnya. Hal itu dilakukan untuk menciptakan keseimbangan. Bukan hanya itu, tetapi perubahan tersebut pula mengakibatkan adanya penambahan tenaga kerja (sawi). Kebutuhan sawi dulunya hanya antara 3-4 orang sawi, dan sekarang sudah mempekerjakan antara 4-7 orang.
Pergeseran bentuk perahu bagi komunitas nelayan patorani mulai terjadi sejak era akhir tahun 1969 atau awal tahun 1970-an. Perahu nelayan patorani lebih besar ukuran perahunya dibandingkan dengan jenis perahu sebelumnya dan dimodifikasi dalam bentuk kapal pengangkut barang. Apabila dibandingkan dengan bentuk perahu lainnya yang beroperasi di Galesong, maka bentuk perahu nelayan patorani jauh lebih sempurna. Demikian pula dengan kapasitas mesin yang di gunakan memiliki kapasitas lebih besar yakni antara 140-150pk.
Komunitas nelayan patorani hingga sekarang telah mengalami perkembangan pesat terutama dari segi pertambahan populasinya. Terkait hal itu, menurut data potensi w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
38
kecamatan dari tahun 2004 hingga tahun 2006 di kecamatan Galesong Utara terdapat 800 buah perahu dan Galesong Selatan terdapat 1.200 buah perahu. Secara akumulatif maka nelayan patorani tercatat di dua kecamatan tersebut berjumlah 2000 buah perahu. Perahu yang tercatat tersebut adalah khusus nelayan penangkap telur ikan torani.
Nelayan patorani sejak keberadaannya hingga sekarang lokasi tempat tinggalnya pada prinsipnya tidak dapat dilepaskan dengan karakteristik geografis dan potensi yang dimiliki wilayah Galesong Selatan dan Galesong Utara dari
populasi nelayan patorani.
Kemudian dari segi penghasilan, terdapat kesesuaian mata pencaharian ekonomi masyarakat, terutama untuk memperoleh penghasilan di sektor perikanan. sehingga dapat disimpulkan bahwa karakteristik yang dimilikinya sebagai komunitas nelayan yang berciri khas khusus menangkap induk ikan pada masa lalu dan sekarang sudah beralih ke penangkapan telur ikan torani karena tuntutan pasar yang lebih menjanjikan.
Peralihan karakteristk tersebut, bukan hanya pada nelayan patorani akan tetapi komunitas nelayan lainnya pun yang berdiam di Galesong mulai berubah karakter. Nelayan tersebut diantaranya nelayan dengan menggunakan kail (pancing) pape papekang kang,, nelayan dengan alat pukat/jala pala palanrak nrak dan nelayan parengge hingga sekarang dikalangan masyarakat Galesong tidak begitu banyak diminati lagi dan lebih cenderung beralih menjadi nelayan patorani. Peralihan aktivitas kenelayanan tersebut, terjadi sejak tahun 1960-an dan puncaknya pada tahun 1970-an. Menurut informan yang dulunya sebagai nelayan palanrak mengatakan bahwa hal itu terjadi, karena terkait dengan penghasilan yang diperoleh. Penghasilan sebagai nelayan palanrak lebih kecil bila dibandingkan dengan penghasilan nelayan patorani. Nelayan patorani lebih menjanjikan walaupun aktivitas berlayar dilakukan hanya sekali dalam setahun, tetapi penghasilan yang diperoleh jauh lebih nyata. Kemudian dari segi pekerjaannya pun relatif lebih santai dibandingkan aktivitas nelayan lainnya. Realitas itulah sehingga populasi perahu dan nelayan patorani secara kuantitas semakin
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
39
tahun semakin bertambah, dan dibarengi pula dengan bertambahnya jumlah pinggawa patorani yang otomatis merekrut sawi antara 4-5 orang sehingga populasi sawi pada komunitas nelayan pun semakin bertambah.
Perkembangan secara kuantitas itu, selain disebabkan jumlah perahu bertambah, maka terjadi pula pergeseran pada sistem penggunaan teknologi, dari teknologi penangkapan tradisional beralih ke penggunaan teknologi penangkapan modern. Seiring dengan pergeseran tersebut, maka perubahan sistem dan pola penangkapan serta struktur kenelayanan pattoranian pun ikut bergeser. Pergeseran sistem dan pola penangkapan terkait dengan area dan wilayah penangkapan semakin diperluas jangkauannya. Pada struktur menuntut perubahan kapasitas perahu, termasuk jumlah awak perahu disesuaikan dengan kebutuhan selama melaut.
Nelayan patorani sejak lahir pada abad ke 17 hingga awal abad ke 20-an masih mengandalkan layar (sombala) (sombala) sebagai alat untuk mengantarkan lajunya perahu patorani untuk menangkap induk ikan torani. Dalam operasionalnya masih mempertahankan teknologi alat penangkapan sederhana (pakkaja). Namun pada paruh abad ke-20 yakni tahun 1969, nelayan patorani semakin mengalami perkembangan dari segi penggunaan teknologi sehingga tidak mampu lagi menutupi biaya operasionalnya. Karena itu, nelayan patorani di dua kecamatan kasus melakukan perubahan unsur teknologi penangkapan. Komunitas nelayan patorani dihampir segala segmen telah terjadi pergeseran secara besarbesaran baik dari unsur teknologi penangkapan hingga pada perilaku individu yang mengarah pada komersialisasi produksi. Masuknya tuntutan komersialisasi produksi maka tuntutan kapitalis melakukan investasi tidak terbendung lagi dan berbarengan harga telur ikan semakin membaik. Pada era akhir tahun 1960-an berangsur-angsur telah terjadi perubahan dari segi modifikasi alat penangkapan dari induk ikan torani ke penangkapan telur ikan torani hingga ke penerapan teknologi.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
40
Secara perhitungan musim, dalam setahun nelayan patorani mengenal musim penangkapan yakni antara bulan April hingga September. Pada musim ini nelayan patorani menyebutnya musim pattoranian. pattoranian. Musim pattoranian di mulai ketika musim angin Timur berhembus, artinya pergantian musim penghujan ke musim kemarau sudah masuk. Di luar musim
pattoranian
tersebut,
sebagian
besar
perahu-perahu
nelayan
patorani
memanfaatkan dengan kegiatan tertentu. Kegiatan tambahan tersebut dilakukan untuk mencari tambahan tambahan penghasilan sebaga sebagaii sampingan seperti disewakan dalam be bentuk ntuk carter terhadap pedagang antar pulau untuk mengantar pedagang perabotan rumah tangga dan kayu bangunan. Perdagangan tersebut hingga menjangkau Kota Makassar dan Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan.
Selain kegiatan tersebut, adapun kegiatan lainnya yang dilakukan sendiri oleh nelayan patorani yakni memancing ikan tertentu, secara ekonomis memiliki nilai tinggi dipasaran, seperti ikan hiu untuk diambil ekornya, ikan sunu dan sebagainya. kegiatan ini, bagi nelayan patorani hanya dilakukan di saat mempunyai waktu yang senggang dan perahu belum memasuki tahapan renovasi. Sebagian besar nelayan patorani memiliki kebiasaan menjelang musim pattoran musim pattoranian ian yakni yakni antara an tara bulan November hingga bulan Maret merupakan bulan
renovasi
perahu
hingga
pada
tahap
persiapan
pemberangkatan
ke
lokasi
penangkapan.
Pada prinsipnya pada abad ke-17 hingga sekarang ini disepanjang pantai kabupaten Takalar, masyarakatnya bermatapencaharian sebagai nelayan, yang ditandai kehadiran unit perahu penangkapan dengan berbagai jenis dan alat tangkap yang berbeda-beda pula. Mulai dari yang sangat sederhana (tradisional) sampai pada nelayan yang paling modern baik yang dilakukan secara individu maupun secara berkelompok. Setiap kelompok nelayan beranggotakan minimal 1 orang dan maksimal 8 orang. Banyaknya anggota kelompok sangat ditentukan oleh jenis perahu dan jenis tangkapan serta penerapan teknologi penangkapan
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
41
yang digunakan. Setiap kelompok penangkapan, dalam tradisi nelayan makassar dalam pengoperasiannya dipimpin oleh seorang pinggawa laut (juragan). Tradisi ini merupakan suatu kebiasaan sejak masa lalu terhadap nelayan, bahwa setiap pelayaran di bawah pimpinan oleh pinggawa. Kelompok nelayan yang beranggotakan 2-3 orang, biasanya memiliki pemimpin pelayaran (juragan) kemudian anggota kelompoknya dikategorikan sebagai kelompok yang paling terendah disebut sebagai pekerja/buruh (sawi) (sawi).. Keberadaan sawi biasanya pinggawa merekrut dari anak atau sanak keluarga pinggawa itu sendiri.
Kelompok nelayan yang beranggotakan lebih dari 3 orang pun, biasanya anggota kelompoknya juga direkrut dari kerabat keluarga, dan bila tidak mencukupi baru direkrut dari luar keluarga atau dari daerah lain. Pertimbangan perekrutan pekerja (sawi) sepenuhnya ditangan pinggawa dan papalele. Hal ini dilakukan oleh kelompok pemilik modal dan sumberdaya penangkapan di sebut sebagai kelompok papalele, karena disamping memberdayakan keluarganya juga sekaligus untuk memudahkan komunikasi dan juga meminimalisasi adanya unsur-unsur penyelewengan hasil. Faktor kekerabatan perekrutan personil perahu, dikalangan kepapalelean kerap kali masih merupakan faktor utama, khususnya dalam pengangkatan pinggawa laut (Juragan). Kalaupun pinggawa lautnya bukan anggota kerabat papalele, namun setidaknya ada seorang sawi dari anggota kerabat keluarga pinggawa darat (papalele) ataupun minimal ada anggota sawi yang sudah akrab secara turun temurun. menurut informan papalele Dg Siraju dalam wawancara bahwa kehadiran kerabat atau orang yang sudah dipercaya dalam pelayaran maka unsur kepercayaan dan bertanggungjawab untuk memberikan informasi atas kejadian-kejadian yang dilakukan oleh anggota perahu lainnya. Kejadian yang sering terjadi dalam pelayaran diantaranya adalah penyelewengan hasil tangkapan dengan menjual ke pembeli yang lain tanpa memberian informasi pada papalele.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
42
Seiring tampilnya telur ikan torani sebagai komoditi ekspor dan permintaan pasar yang menggeser induk ikan torani sebagai komoditi tangkapan nelayan patorani sejak era keberadaanya hingga pertengahan abad ke-20. Terjadinya pergeseran itu, maka menjadi bagian kegembiraan tersendiri bagi komunitas nelayan patorani, yakni dapat meningkatkan penghasilannya. Penghasilan yang diperoleh bila dibandingkan dengan harga induk ikan torani sekitar awal tahun 1990-an hanya dihargai antara Rp. 1000-Rp 1500 perkilo gram. Sehingga era tahun 1970-an ketika negara Jepang sebagai negara pengekspor dan pemilik pasar yang pertama memasuki daerah Galesong, secara otomatis perlahan-lahan nelayan patorani mengubahr pola tangkapannya. Namun di sisi lain, membawa pula dampak yang kurang menguntungkan bagi segelintir nelayan patorani. Hal itu, terkait karakteristik nelayan patorani itu sendiri, mengubah kebiasaan penangkapan dari induk ikan torani yang sudah digelutinya sejak keberadaannya kemudian beralih ke telur ikan torani. torani.
Selain pergeseran karakteristik itu, maka secara otomatis eksistensi tentang pengetahuan dan kepercayaan ikut pula mengalami pergeseran. Pergeseran itu, secara otomatis otomat is meliputi aspek-aspek aspek-aspek tradisional lainnya cenderung mengalami pergeseran dengan sistem yang baru ke arah peningkatan produksi dan berorientasi pada kehidupan sosial ekonomi. Kebiasaan sebagai nelayan subsitensi ke arah komersialisasi produksi dan kapitalisme menjadi salah satu pola sasaran pula. Indikator yang lain pula antara lain kuantitas nelayan patorani tradisional semakin menurun dan beralih ke nelayan modern.
Fenomena itu, terjadi sejak tahun 1970-an nelayan patorani tradisional hanya bertahan di tiga desa yakni Galesong Baru, Palaklakkang, dan Bontosunggu. Setelah awal tahun 1970-an komunitas nelayan patorani modern terdapat pada hampir seluruh desa pantai di Galesong. Sementara itu, penerapan pengetahuan kenelayanan dan upacara ritual kepatoranian kepatoran ian secara umum mulai merosot pelaksanaannya. Dalam kondisi demikian nelayan patorani mulai memiliki kemampuan adaptasi teknologi, walaupun sebagian komunitas
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
43
nelayan patorani belum menggunakan teknologi modern. Namun penggunaan teknologi modern akan mengarah pada tuntutan untuk mendukung aktivitas ak tivitas penangkapan penangkapan..
Perubahan alat tangkap (karena sasaran utama bukan lagi induk ikan torani tetapi telurnya menjadi komoditas) mulai menjadi hal yang difokuskan oleh pemilik modal (papalele). Kemudian cenderung memunculkan perilaku eksploitatif yang mengarah pada munculnya konflik tersembunyi dalam hubungan pinggawa-sawi. Hal itu terjadi, karena adanya kecenderungan ketidakterbukaan ketidakterbukaan dari segi hasil yang diperoleh dan penetapan harga antara pinggawa dan papalele terhadap sawi. Pada posisi demikian papalele mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya, sedangkan sawi tidak pernah dilibatkan dalam pengitungan hasil, tetapi kecenderungan yang berhubungan adalah antara pinggawa dan papalele. Ketidak terlibatan sawi merupakan dampak negatif yang secara langsung atau tidak langsung mengisyaratkan keberadaan nelayan patorani tradisional mengalami kemunduran dan beralih ke nelayan patorani modern yang mengarah pada persaingan untuk memperoleh hasil yang sebesar-besarnya. sebesar-besarnya.
Terjadinya pergeseran tersebut, mengakibatkan pula kemunduran karakteristik komunitas nelayan patorani tradisional di Galesong. Hakikat pergeseran tersebut, dapat mengancam kebiasaan nelayan patorani terutama dari segi hubungan sosial kekerabatan dan budaya. Kemunduran budaya tersebut, dapat disaksikan terkait dengan tradisi kebaharin secara turun temurun yang pada gilirannya dapat menimbulkan terjadinya krisis budaya. Krisis budaya yang dimaksudkan adalah terkait ritual (accaru-caru) (accaru-caru) sudah sudah bukan lagi hal yang sakral. Walaupun pergeseran itu terjadi, namun sebagian nelayan terutama orang yang dituakan masih tetap mempertahankan ritual tersebut, agar budaya bahari nelayan patorani sebagai salah satu wadah mata pencaharian masyarakat Galesong Utara dan Galesong selaan dapat tetap bertahan. Upacara accaru-caru accaru-caru nelayan patorani hingga sekarang tetap menjalankan dan melaksanakan, walupun tidak sesakral dulu, namun
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
44
pelaksanaan ritual tetap dilaksanakan sebagai bagian budaya kebaharian dengan menyesuaikan dengan tuntutan perkembangan zaman. Dalam artian bahwa komunitas nelayan patorani, walaupun terjadi pergeseran fokus penangkapan, namun tradisi dan ciri khas sebagai nelayan patorani tetap menjadi simbol dengan hanya menangkap induk ikan torani dan bergeser kepenangkapan telur ikan torani.
Terkait pergeseran itu, diakibatkan oleh tuntutan pasar, maka secara bersamaan pula terjadi benturan antara kelompok nelayan yang menggunakan teknologi modern (penggunaan kapal), dengan berkemampuan eksploitasi tinggi dengan nelayan berteknologi sederhana. Realitas itu terjadi pada era awal tahun 1990-an. Kemudian pada era pertengahan tahun 1990-an nelayan patorani sudah mulai menggalakkan teknologi yang mendukung penangkapan khusus pada telur ikan torani. Realitas pergeseran pada komunitas nelayan patorani melalui penangkapan telur ikan torani hingga dekade sekarang ini, menjadi andalan penyumbang pada investasi kabupaten Takalar. Setiap tahun populasi perahu nelayan patorani bertambah hingga sekarang berdasarkan data tahun 2004 hingga 2006 tercatat berkisar 2.000 buah perahu. Kesemua komunitas nelayan tersebut melakukan aktivitas penangkapan telur ikan torani.
4.1.4.1
Pengetahuan Pengetahua n Pola P Penangkapa enangkapan n Dari Induk Ikan Ke Penangkapan Penangkapan Telur Ikan Akibat Tekanan Pasar.
Sejak awal keberadaan nelayan patorani yang diperkirakan sekitar abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20, keadaan teknologi alat pelayaran dan penangkapan yang digunakan oleh nelayan patorani, masih sangat tergantung pada sumber daya manusia (human resource) resource) dan sumberdaya yang sifatnya alami (natural resource) resource) dalam suatu sistem pattoranian. Penggunaan energi melalui tenaga manusia dan energi angin pada era ini mendominasi pada sistem pelayaran dan penangkapan p enangkapan dengan menfokuskan hanya pada w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
45
induk ikan terbang. Perahu yang digunakan adalah jenis perahu layar yang dikenal dengan sebutan biseang bulat , jenis perahu ini, berbentuk bulat dengan menyerupai bentuk telur ayam.
Perahu patorani biseang patorani dari segi bentuk fisik mempunyai ukuran panjang 8-10 m, lebar 2,5-3.5 meter tinggi 1.5-2 m, dan untuk mendukung pelayaran maka biseang patorani dilengkapi dengan dengan alat a antara ntara lain lain:: (1) (1) Sombala (layar) (layar) dua buah dari kain karoro atau balacung yang terpasang di bagian depan dan belakang. Layar dibagian depan berukuran panjang 11 m, sedang layar pada posisi pada bagian belakang berfungsi sebagai tenaga penggerak perahu; (2) Tiang layar , terdiri atas 2 batang, masing-masing panjang 12 dan 9 m dan terbuat dari bambu besar (bulo pattung) berdiameter pattung) berdiameter 25 cm. Alat ini berfungsi sebagai tiang pengikat dan penahan bentangan layar bila berkembang tertiup angin; (3) Bangkeng salara salara (kaki tiang layar) sebagai penangkal tiang layar agar dapat terpancang kokoh dan tiang tidak goyah bila diterpa oleh angin dan ombak; (4) Guling Guling (kemudi) (kemudi) terbuat dari kayu jati dan tahan air berfungsi sebagai kendali arah perahu. Kemudian ini ada dua terpasang di sebelah kiri kanan buritan perahu; (5) Gayong Gayong (kompas) terbuat dari kayu sebagai alat bantu informasi arah pelayaran, jumlah 4 buah; (6) Balla-balla Balla-balla (balai-balai) terbuat nari kayu dan bambu dilengkapi atap nipa, serta berfungsi sebagai tempat tidur atau istirahat; (7) Onjok-onjokang Onjok-onjokang,, terbuat dari bambu dan berfungsi sebagai tumpuan kaki apabila akan memasang lnyar; (8) Epe-epe Epe-epe,, bambu potongan panjang 40 cm, dipergunakan sebagai pelampung pakkaja, alat ini berjumlah sebanyak 30 buah; (9) kayu sambeta, sambeta, atau juga disebut punaga berfungsi sebagai alat bantu dalam menciptakan keseimbangan perahu dan memperkecil terjadinya olengan (berat sebelah) perahu akibat gempuran obmbak keras; k eras; (10) Tokong Tokong,, digunakan sebagai alat pendorong perahu, terbuat dari bambu berdiameter 10cm. dengan panjang 4 m. Alat ini digunakan apabila perahu rnemasuki perairan yang
dangkal di mana layar telah dirurunkan; (11) Jang Jangkar kar , sebagai alat penambat saat perahu
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
46
dihentikan,terutama saat perahu berlabuh; (12) Lampu Lampu,, alat penerangan di malam hari, sekaligus berguna sebagai signal pelayaran. Lampu ini memakai bahan bakar minyak tanah.
Komponen-komponen perahu ini dibuat sesuai dengan bentuk dan model yang di inginkan dan dipasang sendiri oleh pinggawa biseang dan dibantu oleh sawi. Komponenkomponen tersebut lebih cenderun menggunakan bahan baku lokal. Perahu yang digunakan oleh nelayan patorani di Galesong lebih banyak didatangan dari luar daerah d aerah Galesong dalam bentuk belum rampung, namun hanya lambung perahu saja. Sebagain besar nelayan patorani membeli perahu dari Tanah Beru (Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan). Kabupaten Bulukumba dikenal sebagai daerah pembuat perahu sehingga daerah tersebut diberi julukan daerah pembuat perahu panrita perahu panrita lopi. Perahu yang dibeli di daerah Bulukumba, biasanya masih dalam keadaan setengah jadi atau hanya badan perahu saja. Penyelesaian perahu dilakukan setelah sampai di Galesong, kemudian penyelesaian disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan pemilik perahu. Sebelum berlayar menangkap induk ikan terbang, maka penyempurnaan dilakukan di daerah perkampungan nelayan patorani sendiri.
Menyempurnakan
bentuk
dan
perlengkapan
perahu
itu
mereka
tetap
mempertahankan standar pola umum, misalnya ukuran perahu, jumlah guling, layar dan lainnya, yang sudah tertentu kuantitas dan kualitasnya. Pekerjaan untuk menyempurnakan perahu tersebut, dilakukan dengan bertumpu pada pengetahuan kelompok, baik pemilik prahu dan pinggawa. Hal itu dilakukan, untuk mengutamakan kesamaan pandangan dalam menyelesaiakn menyelesaiak n perahu. Menciptakan kesamaan pandangan berbagai elemen yang tergabung dalam kelompok yang akan menggunkan perahu tersebut. Untuk mencapai suatu kesepakatan terlebih dahulu melakukan diskusi baik dari segi bentuk, bahan-bahan hingga pada pembiayaan, akan tetapi biasanya keputusan berada ditangan pinggawa.
Pengutamaan bahan lokal didasarkan atas prinsip agar memudahkan menemukan bahan dan rejeki. Pandangan nelayan patorani bahwa mengunakan bahan lokal diharapkan w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
47
dimudahkan untuk dipertemukan rejeki (assiboyai) (assiboyai).. Dengan prinsip assiboyai , masyarakat patorani mempercayai bahwa bahan lokal yang digunakan diibaratkan berasal dari rumpun keluarga sendiri. Sehingga dengan mudah dapat saling menyesuaikan dan saling menemukan kemudahan dalam memperoleh rejeki dan senantiasa melindungi dan memberikan keselamatan selama pelayaran berlangsung.
Selain kelengkapan perahu, nelayan patorani pula melakukan perawatan melalui cara-cara menutup dan mendempul lobang-lobang bocor yang terdapat di lambung perahu. Nelayan patoran menggunakan pallepa pallepa terbuat dari bahan lokal diantaranya adalah kulit kayu pohon orang lokal menyebutnya pohon pohon baru baru,, kapur dan minyak kelapa. Bahan-bahan ini, juga mudah diperoleh, karena tersedia dan sengaja ditanam disekitar pinggir sungai. Ketika kegiatan pallepa pallepa ini dibuat beramai-ramai sambil bergembira mereka menyanyikan beberapa bait :
Bakra-bakrakko Bakra-bak rakko nukebo; (gunakanlah bedak aga agarr kamu kelihatan putih) kamma biseang biseang nilepa; (seperti perahu sudah didandani) kamma sombala nibassi. (seperti layar dari kejauhan kelihatan)
Perahu yang sudah direnovasi dan dianggap layak untuk berlayar kemudian langkah selanjutnya dilengkapi dengan satu unit alat-tangkap pakkaja pakkaja yaitu bubu hanyut. Mengoperasikan pakka Mengoperasikan pakkaja ja dengan dengan cara dihanyutkan di permukaan laut dan dibiarkan hanyut sampai
diperkirakan sudah mendapatkan hasil. Secara
material
bahwa pakkaja
dikategorikan sebagai alat tangkap yang sesuai dengan fungsinya sebagai alat yang dipasang sebagai penangkap induk ikan, sehingga alat ini digolongkan sebagai alat perangkap (trap). Kegunaan alat perangkap ini dikhususkan pada induk ikan terbang yang akan memijah. Pada mulut pakkaja dipasang daun kelapa berfungsi untuk menarik perhatian induk ikan torani meletakkan telurnya.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
48
Pakkaja dibuat dalam bentuk selinder, bahan pakkaja teridri dari bilah-bilah bambu dengan ukuran yang bervariasi dalam 2 pola ukuran yaitu ada yang menggunakan pakkaja dengan ukuran panjang 57 Cm, dan diameter 47 cm; ada juga yang berukuran panjang 80 cm dan 40 cm. Pakkaja terdiri dari beberapa bagian, yaitu: aro (funnel), daun kelapa. daun pisang atau rumput laut yang diikatkan pada aro, pelampung (tomba) (tomba),, tempat pegangan kadangkang,, tali nilon berfungsi sebagai tali penghubung antara perahu dengan pakkaja kadangkang otere pabbeso pabbeso (drift line), serta diujung belakang di beri penutup pakjempan pakjempang g berfungsi untuk menghindari induk ikan terbang lepas sebelum bertelur.
Proses pelaksanaan penangkapan selalu dimulai dengan kekompakan dan kesiapan masing-masing awak perahu, baik pinggawa maupun sawi. Dalam pelayaran pinggawa sebagai pemimpin selalu memberikan peringatan tentang kesiapan perahu. Sementara alat penangkapan pakkaja pakkaja juga sudah lengkap, maka segera perahu berlayar ke areal sekitar penangkapan. Pelayaran dari asal tempat parkir ke lokasi penangkapan membutuhkan waktu antara 3-5 hari. Daerah lokasi penagkapan itu oleh komunitas nelayan patorani disebut
bayangang.. bayangang
Sebelum
pemberangkatan,
nelayan
patorani
senantiasa
mengedepankan hari yang ditentukan untuk pemberangkatan perdana. Pemberangkatan perdana ini, bukan berarti bahwa semua nelayan patorani harus berangkat dalam hari yang sama, akan tetapi sekedar hanya seremonial pertanda bahwa hari baik ke lokasi penangkapan
sudah
dimulai.
Selain
meyakini
berdasarkan
pengetahuan
tentang
kepatoranian itu, dijadikan pula wadah untuk menentukan bulan tertentu dan atau sekedar menyampaiakn kepada komunitas nelayan patorani bahwa musim pattora pattoranian nian sudah masuk.
Menentukan wilayah atau lokasi ketika nelayan patorani masih fokus pada penangkapan induk ikan torani dipilih dan ditrntukan oleh seorang pinggawa yang memiliki pengetahuan spesifik dengan melakukan eksplorasi yaitu mencelupkan tangannya sampai ke
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
49
siku ke dalam air laut. Dengan cara seperti ini pinggawa dapat mengetahui kondisi air yang terdapat di dalamnya dan juga mengetahui bahwa gerombolan induk ikan torani sudah dekat atau sudah sampai dilokasi penangkapan. Salah satu indikasi yang dijadikan petunjuk adalah suhu (rasa hangat) air. Pengukuran suhu air ini semata-mata berdasarkan daya rasa, dimana pinggawa sendiri mengetahui tingkat dan kondisi air. Indikasi tersebut, sesuai dengan tradisi penangkapan dan diyakini secara turun temurun sebagai pertanda adanya induk ikan terbang (ikan torani). Kemudian tanda-tanda lainnya adalah terdapat disekeliling induk ikan torani beterbangan di sekitar perahu yang ditumpanginya.
Pengalaman dan pengetahuan demikian itu, masih ada hingga sekarang walaupun sudah beralih jenis penangkapannya dari induk ikan terbang ke telur ikan torani. Pengetahuan kebaharian dan kepatoranian bagi komunitas nelayan patorani, tetap merupakan metode untuk menemukan lokasi penangkapan. Dari pengetahuan yang sederhana tersebut, tetapi tercipta suatu wahana untuk melakukan operasional penangkapan induk ikan terbang pada dekade abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20. Pergeseran penankapan hingga sekarang tetap meyakini tanda-tanda akan keberadaan induk ikan torani yang akan bertelur, yang berupa banyaknya induk ikan yang beterbangan untuk mencari tempat pemijahan.
Nelayan patorani mampu membaca tanda kebiasaan induk ikan torani dengan situasi memperhatikan sekelilingnya. Kepekaan itu menunjukkan bahwa ikan torani tiba waktunya untuk memijah dan akan masuk dalam d alam pakkaja. Menurut informan pinggawa P Dg Jallo (56 tahun) bahwa untuk mengetahui kondisi itu, dilihat dari perbedaan ketinggian jangkauan terbangnya. Ikan torani yang akan memijah jangkauan terbangnya sangat rendah dibandingkan dengan ikan torani yang masih muda (belum memasuki waktu untuk bertelur). Ada pula tanda lain untuk mengenalinya yakni datangny datangnya a gorombolan torani ke sekitar lokasi penangkapan. Namun dari berbagai cara tersebut, yang lebih efektif diamati adalah melalui
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
50
alat penciuman. Nelayan patorani dapat membedakan dengan jelas antara bau ikan terbang dengan jenis ikan lainnya dari beberapa puluh meter jauhnya.
Dari cara tersebut, tapak bahwa nelayan patorani sudah melekat pengetahuannya dan bersahabat dengan lingkungan melalui kepekaan terhadap lautan. Pengetahuan dan kepekaan nelayan patorani dalam berlayar terakumulasi atau diperoleh berdasarkan pengalaman. Kemudian di internalisasikan ke dalam suatu pan pangassengan gassengan (pengetahuan) akan nilai-nilai dan tata aturan kepatoranian. Komunitas nelayan patorani sejak dahulu, ketika masih menangkap induk ikan torani hingga pada sekarang penangkapan telur ikan torani masih mengandalkan dasar nilai-nilai pengetahuan kepatoranian. Ilmu kepatoranian dijadikan alat untuk pengambilan keputusan terutama dalam menentukan lokasi penangkapan. Penentuan lokasi tersebut berdasarkan pengetahuan pinggawa, yang di bantu pula oleh seorang sawi yang memiliki keahlian dalam melihat tanda-tanda alam. Penentuan lokasi penangkapan tersebut sawi ataupun pinggawa melakukan kerjasama berdasarkan pengetahuan kepatoranian dan pengalaman yang dimiliki masing-masing. masing-masing.
Pengetahuan tentang pattoranian sangat dibutuhkan sebelum pakkaja diturunkan, yang menurut pinggawa Daeng Laja (63 tahun) bahwa pengetahuan sebelum memulai penangkapan antara lain memperhatikan arah haluan perahu. Jika angin bertiup dari timur, maka haluan perahu harus diarahkan ke utara dan pakkaja diturunkan dari sisi sebelah kiri; hal itu dilakukan untuk mencegah jangan sampai pakkaja masuk di bawah lambung perahu. Pakkaja diturunkan secara pelan dengan teratur, dan tidak semuanya atau seminimal mungkin menghindari supaya tidak terjadi benturan antara pakkaja dan lambung perahu. Untuk menghubungkan lambung perahu dengan pakkaja maka dibutuhkan tali utama, yakni tali yang berukuran besar.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
51
Selama pakkaja dioperasikan, jangkar tidak diturunkan agar pakkaja dan perahu hanyut bersama-sama mengikuti arus dan gelombong. Keadaan ini dibiarkan sampai pinggawa merasakan bahwa pakkaja telah berisi induk ikan torani yang akan memijah, sehingga produksi telur pun dapat meningkat. Hal ini diketahui dengan bertambah kencangnya tali utama yang diakibatkan oleh banyakanya induk ikan torani memijah di dalam pakkaja. Setelah induk ikan torani dianggap selesai memijah, maka dilakukan pengangkatan pakkaja dengan cara mendayung perahu ke dekat pakkaja sambil menarik perlahan dan induk ikan toranipun perlahan-lahan meninggalkan pakkaja.
Langkah selanjutnya pakkaja diangkat ke atas perahu dari arah lambung kiri perahu. Jika hasil tangkapan yang diperoleh cukup banyak, maka daerah operasi penangkapan tetap dilakukan pada daerah sekitar penangkapan sebelumnya. Tetapi bilamana induk ikan torani yang akan melakukan pemijahan untuk bertelur dianggap jumlahnya sedikit terjaring masuk ke pakkaja, maka operasi dipindahkan ke wilayah penangkapan lainnya. Pemindahan lokasi penangkapan, maka keputusan sepenuhnya diserahkan oleh pinggawa untuk menentukan lokasi yang dianggap cukup banyak induk ikan torani yang akan memijah. Dengan demikian, maka sistem penangkapan komunitas nelayan patorani dilakukan secara berpindah-pindah
dari satu wilayah ke wilayah penangkapan lainnya yang dianggap mampu menghasilkan produksi telur lebih banyak.
Realitas dari fenomena terjadinya pergeseran pola penangkapan dari induk ikan ke penangkapan telur ikan, secara otomatis terjadi pula pergeseran tentang pengetahuan kepatoranian beserta teknologi pendukungnya. Pergeseran ini menuntut nelayan patorani adalah untuk beradaptasi dari yang berisikan tentang strategi kepatoranian yang dulunya
menangkap induk ikan torani bergeser kepada penangkapan telur ikan torani. Selain hal itu,
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
52
nelayan patorani pula melakukan pergeseran pola penangkapan yang diakibatkan oleh adanya tekanan pasar yang lebih mengedepankan telur ikan torani sebagai komoditas pasar secara internasional.
4.1.4.2
Orientasi Penangkapan Dari Induk Ikan Ke Telur IIkan kan Torani Kaitan dengan Komersialisasii Produks Komersialisas Produksii dan Hubungan Pasar
Salah satu ciri khas nelayan patorani adalah menangkap ikan terbang (juku torani). torani). Secara historis penangkapan ikan terbang, melalui cerita rakyat Galesong, diawali dengan sebuah perjalanan prajurit Karaeng Galesong dari Pulau Jawa pulang ke Makassar. Karena mereka telah kehabisan alat-alat perang maka dalam perjalanan pulang ke negerinya, mereka menyamar sebagai nelayan. Penyamaran itu, dimaksudkan untuk menghindari serangan dari pasukan Belanda yang telah lama berada di Makassar mengawasi pelaksanaan perjanjian Bongaya. Ditengah perjalanan itu prajurit tidak sengaja menangkap ikan, dan kebetulan ikan yang ditangkap adalah jenis ikan terbang (juku tuing-tuing), yang terdapat di sebagian besar permukaan laut Selat Makassar. Sejak ditangkapnya ikan terbang oleh prajurit Karaeng Galesong itu, maka Karaeng Galesong memberi gelar, yakni ikan pemberani pemberani ( juku juku tubarani), tubarani), dan kemudian kata itu memperoleh penghalusan kata menjadi ikan torani. Sebutan
itu
mendapat
pengesahan
dalam
kepustakaan
perikanan
nasional
dan
internasional, internasio nal, suatu nelaya nelayan n yang menangkapnya pun di patorani.
Pengalaman penangkapan ikan torani dan perang di negeri seberang itulah, kemudian dijadikan dasar dalam memulai kontak perdagangan antara pelaut Makassar dengan beberapa kapitalis keturunan Tionghoa dari Jawa Timur. Rintisan perdagangan ini dinilai menguntungkan, yang pada tahun 1940-an komintas nelayan patorani semakin berkembang populasinya. Pada waktu itu nelayan patorani belum mengejar pangsa pasar, namun hanya menangkap induk ikan torani untuk kebutuhan keluarganya, dan di jual bila
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
53
dianggap ada kelebihan dari hasil tangkapan itu.
Sejak awal tahun 1960-an hampir seluruh hasil tangkapan ikan itu dikonsumsi, karena nelayan patorani menangkap untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kalaupun ada kelebihan ikan biasanya dikeringkan kemudian di jual, dan pasarnya hanya terbatas pada pasar domestik sekitar Takalar. Ketika memasuki tahun 1970-an, terbentuklah suatu hubungan pasar dan intervensi negara-negara pengekspor yang semakin memperkuat jalinan komnitas nelayan dengan pihak yang berada di luar Takalar. Pada kondisi itu, pasar tidak meminta lagi induk ikan sebagai komoditi tetapi meminta telur ikan torani. Melalui mekanisme pasar tersebut, maka nelayan patorani dalam melakukan penangkapan pun lebih terfokus pada telur ikan torani. Permintaan pasar semakin tahun semakin meningkat dan pelaku investasi semakin memasuki kalangan komunitas nelayan patorani beserta kelompok-kelompok yang terlibat diantaranya papalele. Akibat tekanan pasar yang kuat tersebut, akhirnya nelayan patorani lebih terbuka pula untuk bersaing mengejar hasil yang maksimal.
Seiring dengan itu, akumulasi kapital menjadi faktor penting dalam upaya memperbesar kemampuan unit penangkapan. Penyedia modal dengan berbagai prakteknya adalah sekedar mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Pemilik modal (papalele) pun melakukan perhitungan dengan pinggawa untuk lebih meningkatkan produksinya. Praktek perhitungan dilakukan melalui pembagian hasil dengan dalih mengembalikan modal awalnya terlebih dahulu kemudian dilakukan pembagian hasil secara menyeluruh. S Secara ecara eksploitatif, bahwa pinggawa dituntut untuk memperoleh hasil yang maksimal guna mengembalikan modal operasional yang terlebih dahulu dipinjamkan dip injamkan dari papalele.
Pemberian dana operasional, yang dilakukan papalele agak jarang memberikan modal dalam bentuk uang nominal (secara kontan) akan tetapi biasanya dalam bentuk
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
54
barang kebutuhan selama nelayan patorani beroperasi melakukan penangkapan telur ikan. Bentuk barang yang diberikan berupa bahan makanan beserta lauknya, bahan bakar minyak tanah dan solar. Alasan papalele memberikan modal dalam bentuk barang tersebut, adalah supaya merasa aman persediaan kebutuhannya selama melaut. Alasan itu juga banyak benarnya, karena biasanya nelayan patorani tidak mampu menyimpan dana yang sudah diberikan oleh papalele. Pengalaman sebelumnya kebanyakan pinggawa hanya membeli barang-barang barang-bar ang yang dianggap tidak ada kaitannya dengan kebutuhan melaut. Aturan
itu
semakin
ketat
setelah
nelayan
patorani
bergeser
sasaran
penangkapannya, yakni dari induk ikan torani ke telur ikan torani. Sejak pergeseran penangkapan, maka kebutuhan akan anggaran semakin membengkak dari tahun ke tahun. Selama tahun 2000-an nelayan patorani terbagi atas dua wilayah lokasi penangkapan yakni lokasi Kaluk-Kalukuang dan ada yang menangkap sampai ke Fakfak, Papua Barat. Di dua lokasi wilayah penangkapan ini dilakukan sepanjang masa sejak era awal tahun 1970-an hingga sekarang, karena informan berpendapat bahwa telur ikan torani jauh lebih baik kualitasnya dan juga penghasilan lebih banyak yang diperoleh dibandingkan jika hanya melakukan penangkapan di sekitar s ekitar daerah Kaluk-Kalukuan Kaluk-Kalukuang. g. Masuk dan berkembangnya kapitalisme dikalangan nelayan patorani maka, pemilik modal pun populasinya semakin meningkat setelah papalele yang semula berperan sebagai perantara meningkat menjadi pemilik modal. Peningkatan status papalele itu dimungkinkan oleh perannya sebagai perantara antara pemilik pasar (eksportir) dengan nelayan pekerja (pinggawa).. Kehadiran papalele sebagai pemilik modal dan perantara untuk menjual hasil (pinggawa) tangkapan telur ikan torani, maka papalele tentu berkeinginan memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dibalik pekerjaanny p ekerjaannya a tersebut. t ersebut.
Kasus 2 Pergeseran Pola Penangkapan kaitan komersialisasi produksi w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
55
Terjadinya pergeseran pola penangkapan dari induk ikan torani ke telur ikan torani yakni berawal dari kapitalisme yang telah mengglobal hingga ke perahu-perahu nelayan. Kehadirannya diperkirakan bermula pada awal abad ke 20, yakni sejak dimulainya komersialisasi hasil tangkapan nelayan pada masyarakat setempat. Pergeseran terjadi ketika investor (kapitalis) sudah mulai masuk dilingkungan nelayan patorani. Walaupun komersialisasi sudah bermula sejak nelayan patorani melakukan kontak dagang dengan pedagang induk ikan terbang dan jenis ikan lainnya dalam bentuk ikan asin atau ikan kering. Dalam situasi ini, peran kapitalisme dalam menentukan penangkapan pada nelayan patorani, secara spsifik sangat dipengaruhi tuntutan produkstivitas hasil yang diperoleh.
Produktivitas komunitas nelayan patorani banyak ditentukan oleh kehadiran papalele maupun investor dari luar Galesong. Di satu sisi, kehadiran investor memberikan kemudahan terhadap nelayan patorani dari segi permodalan. Namun distribusi pendapatan mereka masih cukup timpang, karena yang memegang kendali pembagian hasil dan pemasaran hasil tangkapan adalah papalele. Ketimpangan yang di alami itu, sejak nelayan patorani mulai bergantung
sepenuhnya
pada
papalele.
Ketergantungan
terhadap
permodalan, terjadi sejak era awal tahun 1970-an, fokus penangkapan sepenuhnya sudah mengarah pada telur ikan torani.
Dari kasus pergeseran penangkapan di atas, memperlihatkan bahwa pertam pertama, a, pergeseran pola penangkapan berawal dari pemilik modal yang sudah memasuki aktivitas nelayan patorani dengan menitipkan modalnya pada investor lokal (papalele), realitas itu, semakin tumbuhnya kekuatan pemilik modal untuk menggeser nelayan ke pola penangkapan telur ikan torani; kedua, kedua, peningkatan produksi dan adaptasi penerapan teknologi pada komunitas nelayan patorani lebih cenderung di tentukan oleh pemilik modal (kapitalis); ketiga, ketiga, kehadiran pemodal di tengah nelayan patorani memberikan keringanan dalam melakukan aktivitas penangkapannya. Namun sebetulnya menyadari bahwa dari segi penghasilan antara pemilik modal (investor) dengan nelayan itu sendiri masih mengalami ketimpangan.
Dari kasus diatas pula dapat memberikan informasi bahwa tampilnya komoditas w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
56
telur ikan torani sebagai andalan hasil perikanan di Sulawesi Selatan membawa pengaruh positif, terutama peningkatan devisa dan juga peningkatan pendapatan nelayan patorani di Galesong. Selain itu, mendorong pengembangan teknologi modern di bidang peralatan tangkap
yakni motorisasi motorisasi perahu. Realitas Realitas itu, membuktikan bahwa nelayan nelayan patoran patoranii
mengubahah hasil tangkapannya dan beradaptasi pada penerapan teknologi penangkapan yang sesuai dengan peruntukan tangkapan yakni telur ikan torani.
Motorisasi perahu dalam penangkapan ikan torani, terutama telurnya, mendorong peningkatan produksi dan produktivitas, serta efesiensi yang bermuara pada peningkatan pendapatan. Namun di sisi lain, pengembangan komoditas ekspor telur ikan torani, membawa dampak negatif bagi komunitas nelayan patorani, yakni terancamnya nelayan yang
tidak
mampu
mengikuti
perkembangan
teknologi,
sehingga
terbentuklah
ketergantungan yang kuat antara pinggawa terhadap pemilik modal papa modal papalele lele..
Berubahnya sasaran utama penangkapan dari induk ikan torani ke telur ikan torani, maka secara otomatis hampir sistem yang sudah terbentuk sejak lama antara awal tahun 1940-an hingga akhir tahun 1960-an mengalami perubahan. Kejadian itu, antara lain nelayan patorani sudah mulai berorientasi pada ketepatan waktu, sehingga layar sebagai pemacu perahu digantikan dengan mesin berkapasitas tinggi hingga 140 pk, dan bahkan mesin yang digunakan di gandakan menjadi dua buah mesin untuk keseimbangan lajunya perahu. Kemudian ilmu pengetahuan pula ikut berubah dari pengetahuan tradisional ke arah pengetahuan penggunaan teknologi.
Rangkaian perkembangan tersebut menunjukkan pergeseran ruang normatif pada komunitas nelayan patorani di Galesong Selatan dan Galesong Utara terutama dari segi komunitas yang mengarah pada komersialisasi produksi dan keinginan investasi dari luar komunitas nelayan patorani. Investor tersebut adalah negara-negara sasaran eksportir, yang negara tersebut mendominasi permintaan pasar. Pergeseran ini semakin kuat dengan w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
57
masuknya kekuatan lokal yang berorientasi pada aturan main eksportir, merekrut hasil yang sebanyak-banyaknya sebanyak-bany aknya dan mengabaikan kesejahteraan hidup nelayan patorani itu sendiri.
Ketimpangan sosial yang terjadi pada masyarakat nelayan patorani di Galesong itu, sesungguhnya merupakan kepentingan dan kebiasaan masa lalu, yang diwariskan dari para pedagang China kepada pedagang lokal (Papalele). Warisan budaya itu adalah berupa konsep “ikatan kontraktual”, yakni suatu bentuk perjanjian kerjasama berbetuk bagi hasil dengan mewajibkan nelayan pekerja menyerahkan seluruh hasil tangkapannya kepada pemilik modal untuk selanjutnya dijual ke pasar. Pada posisi ini, nelayan patorani (pinggawa) tidak diberikan kesempatan ikut didalam menentukan harga di pasaran, tetapi yang terjadi adalah pinggawa menerima keputusan harga yang ditentukan itu.
Nelayan patorani dalam pembagian hasil tangkapan menghadapi kendala oleh kontrak yang tidak tertulis dan berlaku di seluruh komunitas nelayan Sulawesi Selatan. Persoalan sesungguhnya adalah bukan pada proposisi bagi hasil tetapi cenderung pada cara bagi hasil. Begitu pula pada penyerahan hasil tangkapan, adalah bukan pada penyerahannya, penyerahannya, tetapi pada penentuan harga yang kerapkali ditentukan secara sepihak. Hal itu, tampak semakin tidak rasional pembagiannya ketika nelayan patorani beralih pada penangkapan dari induk ikan ke telur ikan torani. Di segmen ini, pinggawa dikejar dengan kuota permintaan pasar melalui tekanan papalele, dan disis lain tekanan beban pengembalian modal pula menjadi prioritas yang harus difikirkan oleh pinggawa.
Masuknya investasi pada komunitas nelayan patorani, memberikan motivasi cenderung pada komersialisasi produksi yang dapat dilihat dengan semakin ketatnya persaingan yang lebih fokus pada penangkapan telur ikan torani. Dibandingkan pada era tahun 1940-an hingga akhir tahun 1960-an, nelayan patorani hanya menangkap di daerah laut selat Makassar. Pada era akhir tahun 1990-an hingga tahun 2000-an nelayan patorani sudah menambah menambah area lokasi penangkapannya penangkapannya melewati w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
Laut Buru hingga ke Papua Papua..
58
Menurut informan bahwa dorongan motivasi ini dilakukan untuk menambah hasil tangkapannya,
karena
semakin
jauh
melakukan
operasi
penangkapan
ikan
maka
kemungkinan besar untuk memperoleh hasil yang lebih banyak.
Sejak terjadinya pergeseran penangkapan dari induk ikan torani ke telur ikan torani maka secara otomatis pula, tradisi normatif sudah mulai bergeser dintaranya kebiasaan tradisional bergeser seiring dengan perkembangan permintaan pasar. Tahap tradisional tergantikan dengan sistem kalkulasi yang lebih modern. Adopsi teknologi mengarah pada sistem penangkapan telur ikan torani memasuki segmen pasar ekspor. Tahap penangkapan telur ikan torani, merupakan suatu puncak kemajuan nelayan patorani untuk mengarah pada kehidupan sosial ekonomi.
4.1.5. Pergeseran Pola Pranata Sosial Ke Hubungan Komersialisasi Produksi
Aktivitas nelayan patorani, sejak mula keberadaannya sebagai komunitas nelayan pun terutama pemilik modal atau pemilik perahu tetap dominan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai hubungan kekerabatan. Setiap ada papa papalele lele atau pemilik perahu yang ingin membentuk usaha pattoranian, maka sistem kekerabatan dijadikan prioritas dalam mencari tenaga untuk menjalankan perahu. Papalele Papalele atau pemilik modal dan perahu terlebih dahulu mencari dan merekrut keluarga dari pihak ayahnya dan ibunya. Umumnya pingga Umumnya pinggawa wa laut atau pemimpin perahu yang digunakan oleh pappalel pappalele e adalah dari pihak keluarga dekatnya. Begitu pula penggunaan p enggunaan sawi-sawi dalam dalam suatu kelompok. Bilamana tidak ada dari keluarga atau kerabat dekatnya, maka ia mencari sawi yang bukan keluarga dan bertempat tinggal dilingkungan sekitarnya. Bila ternyata dilingkungan sekitarnya juga tidak didapatkan, maka papalele atau pinggawa besar dibantu oleh juragan juragan atau pinggawa kecil/perahu mencari atau mendatangkan tenaga kerja atau sawi dari luar daerahny daerahnya. a. w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
59
Kecenderungan seorang papalele untuk memilih sawi, lebih mengedepankan nilai-nilai kekerabatan. Pemilihan pinggawa maupun sawi didasarkan keluarga dekatnya sebagai implementasi internalisasi pada prinsip siri’ na pacce” (belas (belas kasihan). Prinsip tersebut dipandang sebagai alat kontrol dalam perilaku ekonomi nelayan patorani, baik antar individu dalam suatu kelompok, maupun antar satu kelompok dengan kelompok patorani lainnya. Semakin dekat tali kekerabatan atau keluarga dari mereka yang digunakan sebagai tenaga dalam pelayaran, maka lebih muda terbentuk saling kepercayaan dalam berusaha. Selain hal itu, pada tingkat pengawasan para papalele terhadap pinggawa dan sawi memudahkan memperoleh informasi atas kendala yang terjadi selama melakukan penangkapan. Keuntungan dengan pola kekerabatan, akan mengurangi pula terjadinya saling kecurangan dan saling menjaga hubungan nilai-nilai kekerabatan dengan baik dan penghasilan pun dapat dibagi dengan merata Selain sistem nilai-nilai kekerabatan menjadi prioritas, maka nelayan patorani pula memegang teguh kegiatan upacara dalam setiap memasuki musim, antara musim timur atau musim penangkapan telur ikan torani. Apabila kegiatan ritual tidak dilakukan maka sangat dipandang tidak menghargai sumber mata pencaharian leluhurnya. Kegiatan itu merupakan usaha untuk dapat berinteraksi dengan mahluk gaib agar tercipta keseimbangan alam. Nelayan patorani meyakini bahwa setiap alam pasti ada penghuninya, dan interaksi dapat terlaksana terhadap alam gaib melalui wadah upacara. Melalui wadah ritual tersebut, nelayan berharap agar kekuatan-kekuatan mahluk di alam gaib yang berada disekelilingnya dapat memberi ijin kepadanya untuk melakukan penangkapan telur ikan terbang. Nelayan patorani berpendapat pula bahwa situasi lautan penuh dengan misteri yang tidak diketahui kapan bersahabat dan kapan memuncukan kemurkaannya. Selain itu, diharapkan dapat memberi kesejahteraan serta keselamatan selama melaksanakan aktivitas hingga bergabung kembali dengan sanak keluarganya. w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
60
Bagi nelayan patorani, ikan terbang itu dipandang memiliki karakter yang khas dan mempunyai berbagai keajaiban yang tidak dimiliki oleh jenis ikan lainnya. Terkait hal itu informan pinggawa Tahere Daeng Bella (60 th) mengatakan bahwa ikan terbang adalah ikan yang senang dengan ucapan-ucapan yang berkonteks porno. Keajaiban yang dimaksudkan tampaknya dari induk ikan torani bermunculan kepermukaan dalam jumlah yang sangat besar, namun secara tiba-tiba d dan an seketika pula dapat menghilang dari permukaan. Karena itu, nelayan patorani dalam melakukan penangkapan memiliki srategi dan kemampuan membaca tingkah laku induk ikan torani. Pola penangkapan menurut pinggawa Daeng Muni (61 tahun) dibandingkan penangkapan jenis ikan lainnya sebenarnya lebih mudah menurut anggapannya menangkap ikan dengan memasang lanra lanra (pukat) (pukat) dan pancing maka dengan sendirinya ikan datang, sedangkan untuk menangkap ikan torani dan mengumpulkan telurnya membutuhkan strategi tersendiri. Untuk menangkap jenis ikan lainnya, tidak membutuhkan ritual, karena lokasinya sudah tahu. Menangkap ikan torani, mencermati kondisi alam atau musim. Ketergantungan terhadap keadaan musim itulah, nelayan patorani konsentrasi sepenuhnya pada kekuatan dan strategi tertentu. Strategi yang dilakukan adalah upacara (ritus) yang lengkap mulai dari persiapan pemberangkatan hingga sampai berada di lautan. Kegiatan upacara mulai dari memilih dan menentukan batang pohon atau bambu yang akan digunakan sebagai alat perahu, sampai kembali dari Pulau Sanrobengi (suatu pulau yang dijadikan lokasi berlabuh sebelum melakukan perjalanan). Setelah perahu sampai dilokasi Pulau Sanrobengi, maka keseluruh awak perahu kembali kerumah pinggawa untuk melakukan upacara. Upacara persiapan pemberangkatan pemberangkata nd dilaksanakan ilaksanakan pada tempat dan waktu tertentu yang dianggap hari baik b aik (allo baji). baji). Kondisi itu, menunjukkan bahwa komunitas nelayan patorani tetap memegang teguh pranata sosial dan prinsip keseimbangan hidup antara hubungan sesama manusia dengan kekuatan alam. Nelayan patorani memandang lingkungan w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
61
adalah bagian dari sistem kehidupannya yang patut di pelihara. Prosesi upacara, tampaknya nalayan patorani meyakini nilai-nilai lingkungan yang di anut iu adalah sebagai patokan dasar untuk beradaptasi dengan lingkungan hidupnya. Tidak semua nelayan patorani di daerah Galesong Selatan dan Galesong Utara melakukan prosesi upacara secara lengkap seperti apa yang biasa dilakukan oleh para leluhur nelayan patorani dahulu. Perubahan perilaku sebagian komunitas nelayan patorani, cenderung diakibatkan oleh masuknya unsur-unsur dari luar, seperti penggunaan
teknologi
modern,
pembangunan
prasarana
perhubungan,
dan
pertambahan penduduk. Selain itu, kenaikan harga telur ikan torani mendorong dan memberikan motivasi untuk melakukan peningkatan penangkapan. Langkah tersebut dilakukan untuk meningkatkan produksi telur ikan torani yang berorientasi pada komersialisasi produksi. Para pengusaha pribumi dan non pribumi yang bertempat tinggal di Makassar dan Takalar, berlomba-lomba merekrut papalele dalam memberi modal kerja. Ada juga beberapa pedagang yang sering berkunjung ke daerah komunitas nelayan patorani. membeli telur ikan hasil tangkapan nelayan patorani dengan harga yang memadai. Pada mulanya pengusaha tersebut, hanya menawarkan untuk sekedar membeli hasil produksi langsung dengan komunitas nelayan patorani. Setelah mereka berulang berhubungan dengan beberapa nelayan patorani, maka secara perlahan hubungan itu beralih pada seorang papalele, dan sepakat menjadi pelanggan. Setelah kesepakatan kerjasama itu terjadi maka hubungan mereka semakin erat, kemudian ke mudian muncul lagi kesepakatan antara pengusaha dengan papalele dalam pemberian modal kerja. Umumnya pengusaha yang memberikan modal kerja kepada papalele adalah berasal dari kalangan non pribumi (pungusaha Cina, Taiwan dan Jepang). Kelompok eksportir itu memberikan modal kepada papalele, dan selanjutnya papalele melanjutkan pemberian w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
62
modal tersebut pada pinggawa sebagai modal awal pelayaran. Sedangkan Pinggawa bertanggungjawab sepenuhnya untuk mengembalikan modal awal pada papalele dan pinggawa pula mempunyai kewajiban untuk berbagi pada sawi. Modal awal diperhitungkan mulai dari persiapan pemberangkatan hingga pinggawa dan sawinya melaksanakan operasi pengumpulan telur ikan terbang. Setelah pingawa kembali melaut maka seluruh hasil yang diperoleh disepakati untuk dikumpulkan dan dijual kepada papalele dan pengusaha hubungan kerjanya. Realitas itu, membuktikan bahwa hubungan kontrak dalam pembelian hasil tangkapan antara papalele dengan pengusaha sebagai pemberi modal kerja semakin erat. Hal itu, di tunjukkan pada saat semua telur ikan yang dihasilkan oleh nelayan patorani, selalu berada dibawah kendali papalele. p apalele. Melalui kontrak tersebut, secara otomatis pengaturan pemasarannya pun tergantung pada eksportir dan papalele yang bersentuhan langsung dengan pinggawa. Sebelum hasil dipasarkan sudah ada harga yang disepakati eksportir dengan papalele, dan harga itu biasanya berbeda dengan harga yang disampaikan oleh papalele kepada pingawa. Menurut informan pinggawa bahwa papalele memberi harga kepada pinggawa seringkali tidak sesuai dengan harga yang eksportir. Dalam penentuan harga pasaran, pinggawa tidak pernah dilibatkan, yang sepenuhnya berada ditangan papalele. Sebenarnya pinggawa menyadari bahwa putusan itu dilakukan secara sepihak dan tidak melibatkan pinggawa dalam pemutusan harga. Padahal struktur pattoranian bahwa pinggawa dan papalele merupakan dua bagian dalam satu sistem yang tak dapat dipisahkan. Artinya bahwa ada pranata dan nilai-nilai yang sebenarnya harus di junjung sebagai perekat kerjasama melalui sistem kekeluargaan. Namun nilai-nilai tersebut, menurut informan pinggawa bahwa nilai kekeluargaan sudah bergeser, karena papalele cenderung hanya berorientasi pada komersialisasi produksi yang mengejar keuntungan semata.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
63
Terlepas dari kehidupan kepapalelean yang mengejar keuntungan tersebut, hubungan sosial dalam komunitas nelayan patorani, masih memegang teguh nilai-nilai sosial, yang menempati posisi lebih tinggi dari nilai ekonomi. Pinggawa Sonda Daeng Tinggi (59 tahun) menyatakan bahwa, nilai sosial yang terpelihara sejak dulu harus dipertahankan dengan baik, yang menjadi modal utama dalam bekerjasama. Hubungan yang bertahan adalah prinsip hidup bersama dan saling menutupi kekurangan siri’ na pacce’ . Prinsip tersebut adalah bagian dari nilai-nilai dan pranata sosial yang terakumulasi dalam sistem sosial pada komunitas nelayan patorani. Pada tingkat kepekaan antara pinggawa dan sawi yang merasakan suka dan duka dalam kehidupan selama melakukan operasi di lautan. Nilai ekonomi, bergantung pada beruntung tidaknya perjuangan yang dilakukan kelompok (tim) selama berada di laut. Demikian pula antara papalele dengan pinggawa, dalam pemberian modal, apabila pinggawa belum dapat mengembalikan pada musim pemberangkatan sebelumnya, maka diberikan kesempatan pada pemberangkatan berikutnya. Prinsip senasib dan sepenanggungan (siri’ na pacce’) pacce’) masih merupakan patokan dasar tingkah laku dalam masyarakat nelayan patorani di daerah Galesong Utara dan Galesong Selatan. Informan sawi, Bahtiar (45 tahun) menyatakan bahwa seorang sawi yang melanggar ketentuan-ketentuan ketentuan-ketentuan yang disepakati antara anggota dalam kelompok, maka akan diberikan sangsi. Pelanggaran itu, misalnya sawi tersebut sering melakukan penjualan hasil produksi secara diam-diam tanpa sepengetahuan anggota kelompok lainnya. Sebaliknya, bila ada anggota sawi yang melaporkan kepada papalele tentang penjualan sebahagian hasil produksi secara diam-diam oleh kelompoknya, maka sawi tersebut akan terkucilkan dan tidak akan dipercaya lagi sebagai anggota kelompok pada musim berikutnya.
Berdasarkan kekuatan ikatan sosial tersebut, tersebut, maka pranata
hubungan so sosial sial
kekerabatan merupakan bahagian dari sistem sosial dalam masyara masyarakat kat nelayan patorani. w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
64
Implementasi tersebut dijabarkan dalam prinsip senasib dan sepenanggungan (siri’ na pacce’).. Makna dalam prinsip tersebut, memberi arti kebersamaan, kekeluargaan, dan pacce’) kesatuan yang harus dijunjung tinggi dalam menanggung rasa suka dan duka yang dialami oleh kelompok nelayan patorani. Dalam kebersamaan, kekelargaan, dan rasa kesatuan dalam interaksi sosial nelayan patorani, diharapkan ada keterpaduan secara harmonis
dan
berkesinambungan.
Baik
papalele
maupun
pinggawa,
selalu
mengharapkan agar hubungan kerja mereka dapat berlangsung lama, dalam arti bukan hanya satu musim saja. Diharapkan dapat berlangsung secara terus menerus pada setiap musim penangkapan telur ikan terbang antara bulan Maret hingga September. Sejak beberapa abad lamanya, antara abad ke-17 hingga sekrang nelayan patorani bermukim di perkampungan Palaklakkang (sekarang sudah menjadi satu desa). Desa paklaklakkang hingga sekarang diberikan julukan sebagai perkampungan tertua komunitas nelayan patorani. Daerah ini pula, sebagai kiblat buadaya yang mengatur tatanan komunitas nelayan patorani secara turun temurun pada khususnya masyarakat yang bermukim di Galesong. Adat dan budaya serta cikal bakal kepatoranian berawal di daerah Palaklakkang. Selain sebagai pemukiman nelayan patorani, di lokasi ini pula terletak Balla’ Lompoa (rumah Lompoa (rumah tempat tinggal raja-raja dan keturunannya) di rumah ini tersimpan Gaukanga (pranata sosial). Lebih dari itu Gaukanga merupakan simbol kebersamaan, persatuan dan konsistensi terhadap satu adat istiadat pattoranian. Konsep Gaukanga terimplementasikan dalam sebuah makna untuk menggambarkan kesamaan pandangan, aturan dan perilaku dalam kelompok pada berbagai aspek kesamaan pandangan hidup masyaakat setempat, lebih khusus pada nelayan patorani. Hal itu, tercermin antara lain dalam sistem usaha penangkapan, pemasaran dan bagi hasil dahulu diatur diatur oleh gaukanga.
Dalam pola hubungan kerja pinggawa-sawi pun
diatur. Pola yang di anut dalam masyarakat yang mengacu pada gaukanga adalah menjunjung tinggi kebersamaan dan konsistensi dalam membina hubungan kerja w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
65
maupun hubungan kekeluargaan sebagai bentuk penghargaan terhadap sesama manusia. Gaukanga, sebuah sistem yang mengatur tatanan komunitas lokal hingga pada aktivitas ekonomi mengacu pada sistem kekeluargaan. Dengan kata lain, aktivitas ekonomi itu terkait langsung pada sistem sosial dan pranata budaya setempat yaitu budaya saling mengasihi. Komunitas lokal terdiri dari papa papalele lele,, pingg pinggawa awa biseang biseang (pemimpin (pemimpin perahu), dan sawi yang saling berinteraksi, bekerjasama dalam mengelolah sumberdaya laut. Secara tradisional, dalam pengolahan sumberdaya laut tersebut, mempunyai etika lingkungan berdasarkan budaya yang serasi dengan dinamika kelompok. Lingkungan budaya yang dimaksud adalah mengacu pada pemeliharaan sistem pengetahuan tradisional yang telah mewarnai pikiran, perilaku dan alat penangkapannya. Sistem pengetahuan ini, walaupun tidak menjanjikan tingkat produktivitas yang tinggi. Tetapi mewujudkan keseimbangan kehidupan masyarakat setempat secara individu dan kelompok. Dalam hal ini, yang menonjol adalah apresiasi yang tinggi tehadap lingkungan alam, tumbuhnya solidaritas kelompok, kuatnya keutuhan dalam adat istiadat, serta kesatuan pandangan kepada Gaukanga. Kesatuan pandangan itulah, menjadi kekuatan untuk peningkatan ekonomi komunitas yang tahan dari berbagai masalah karena keadaan musim yang tidak menguntungkan, atau bencana alam yang bisa muncul secara tiba-tiba. Pranata gaukanga inilah yang mencegah semena-mena komunias nlayan dalam esploitas esploitasii sumberdaya alam. Eksploitasi komunitas, adalah karena perkembangan komersialisasi telur ikan terbang telah menggeser pada kesamaan pandangan, aturan dan perilaku. Aktivitas ekonomi mulai bergeser keluar dari pola budaya lokal, dan mencari bentuknya sendiri. Dengan demikian muncullah sistem-sistem baru, yang kadangkala menimbulkan konflikkonflik yang sama sekali sebelumnya pernah terjadi. Konflik yang sering terjadi antara
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
66
papalele dengan pinggawa sebenarnya jarang sekali tampak dipermukaan, akan tetapi lebih merupakan balas dendam. Terjadinya konflik internal (balas dendam) tersebut, terkait adanya kesepakatan bahwa pada musim berikutnya seorang pinggawa tidak berkenan lagi untuk bergabung dengan papalele. Dalam sistem pemasaran hasil produksi, secara realitas terdapat pula pranata yang kerap muncul melalui dua sistem usaha dilingkungan penangkapan dan pemasaran telur ikan terbang. Pranata tersebut yakni papalele dengan eksportir, papalele memberikan harga telur ikan torani pada pinggawa dengan harganya sendiri. Walaupun berpatokan pada harga eksportir, tetapi tidak maksimal sebagaimana harga yang ditentukan oleh pasar atau eksportir dari papalele ke pinggawa. Kemudian eksportir pula memberikan harga papalele dengan permintaan harga yang berbeda antara eksportir yang satu dengan eksportir yang lainnya. Keterikatan papalele, pinggawa dan sawi terhadap aturan main pemasaran, menunjukkan bahwa adanya keterikatan mereka dengan lingkungannya. Karena itu, kesejahteraan yang mereka peroleh, kurang membe memberkan rkan kotribusi kotribusi terhadap penghasilan yang diperoleh untuk diperuntukkan pada anggota kelompok lainnya termasuk diantaranya adalah sawi. Padahal untuk mencapai hal tersebut, idealnya harus konsisten dengan sistem dan aturan yang telah terpola, agar posisi dalam pembagian hasil seyogyanya memperhatikan nilai-nilai kekerabatan dan kerjasama. Namun faktanya bahwa pranata hubungan sosial kekerabatan dan kebersamaan tersebut, kini beralih ke hubungan komersialisasi produksi yang pada muaranya hanya mengejar keuntungan dan tuntutan pengembalian modal yang sudah dikeluarkan oleh papalele.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
67
4.1.5.1 Pergeseran Makna Ritual Tentang Kepatoranian Berlayar dan menangkap telur ikan torani, maka nelayan patorani mengandalkan ilmu pengetahuan erang passimombalang dan passimombalang dan erang pakboya-boyang serta pengalaman di laut, disamping itu pula didukung oleh teknologi yang digunakan. Mereka menilai alat perlengkapan pelayaran, terutama perahu patorani yang digunakan sebenarnya tidak sebanding dengan tantangan alam yang harus dihadapi. Karena itu setiap nelayan patorani berkewajiban memiliki erang erang sebagai kekuatan pengimbang. Kekuatan yang dimiliki oleh nelayan patorani, bukan ilmu yang akan merusak lingkungan laut, akan tetapi hanya sekedar ilmu agar mereka memiliki kemampuan untuk menjaga keseimbang k eseimbangan an alam.
Kekuatan pengimbang ini dapat dibuktikan fungsinya di lapangan. Mereka percaya bahwa erang passimombalang dapat melunakkan karang yang kokoh melembutkan angin yang keras dan menjinakkan ombak yang keras. Pembuktian-pembuktian pengetahuan bathin itu, biasanya dilakukan apabila pengetahuan lahir tidak bisa lagi menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Namun apabila, keadaan pelayaran dalam kondisi yang normal, maka pengetahuan lahir lebih cenderung digunakan melalui mobilisasi tenaga sawi lebih berfungsi ketimbang pengetahuan bathin.
Sejak nelayan patorani menggunaan mesin sebagai tenaga penggerak perahu, dan menggantikan fungsi layar, telah terjadi pergeseran pandangan terhadap pemilikan pangngassengan pangn gassengang g. Pemilikan pangngassengang, khususnva erang passimombalang, passimombalang, dan erang pakboyaboyang pakboyaboyang sebagai tradisi kebaharian, tidak lagi menjadi pola umum patorani. Dengan demikian, dewasa ini, dalam kelompok pinggawa dan sawi, telah ditemukan tiga kategori pinggawa. Pertama Pertama,, pinggawa yang memiliki erang, dan menerapkan sepenuhnya erang tersebut; Kedua Kedua,, pinggawa yang pernah memiliki, tapi sudah tidak digunakan lagi; Ketiga,, pinggawa Ketiga p inggawa yang sama sekali tidak pernah memiliki.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
68
Pengtahuan erang erang yang dimaksudkan disini, adalah merupakan bekal kepercayaan yang dapat memberikan kekuatan secara spontanitas bila mendapatkan kesulitan dalam perjalanan pelayaran. Informan pinggawa H Daeng Tawang (62 tahun) bahwa seorang pinggawa
sudah
menjadi
keharusan
untuk
memegang
teguh
kekuatan
erang
passimombalang passimo mbalang dan dan erang pakboyaboyang ketika pakboyaboyang ketika melaut. Akan tetapi dalam era sekarang ini, beliau banyak mendapatkan seorang pinggawa yang tidak memperdulikan lagi kedua erang tersebut. Dan bahkan Seorang pinggawa menilai bahwa erang sudah tidak menjadi lagi suatu keyaknan terhadap efektivitas pattoranian. Munculnya pergeseran tersebut, terkait banyaknya pinggawa patorani tidak memiliki erang tetapi juga mendapatkan hasil. Sadar atau tidak mereka sebenarnya sudah banyak pula melanggar sarak, kondisi tersebut dapat dimaklumi bahwa mereka mereka adalah generasi baru yang lahir antara tahun 40-60-an. 40-60-an.
Walaupun demikian, kebiasaan ritual (accaru-caru) masih tetap dipertahankan, cuma caranya sudah bervariasi, dan kebanyakan pinggawa hanya h anya sekedar melaksanakannya melaksanakannya.. Pelaksanaan accaru-caru ini hanya sekedar simbol saja, sebagai pertanda bahwa akan berangkat melakukan penangkapan telur ikan torani. Tidak ada sangkut paut dengan pemaksaan untuk memperoleh rejeki, apalagi dkonotasikan dengan ritual memanggil roh, karena disadari bahwa menentukan dalam usaha mengumpul telur ikan terbang adalah faktor rejeki, namun kekuatan erang perlu karena itu juga sebagai doa untuk mendapatkan perlindungan selama melaut.
Kasus 3 Makna Erang Bagi Komunitas Nelayan Patorani
Daeng Laja (63 tahun) seorang pinggawa, beliau menjadi pinggawa sudah 32 tahun. Beliau meyakini bahwa memiliki erang terutama pinggawa patorani itu sangat penting, karena erang merupakan wadah untuk berinteraksi dengan penjaga lautan. Namun erang yang dimiliki harus diterapkan secara utuh dan konsisten; harus diyakini sepenuhnya, dengan mengikuti semua sarak dan menghindari kasipalli. Dalam sebuah perahu, semua awak, tanpa kecuali harus percaya terhadap w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
69
pembuktian efek erang itu. Tidak boleh ada sebagian di antaranya yang ragu. Kenyataan yang dihadapi oleh pinggawa yang masih mempercayai dan memiliki erang, dewasa ini adalah karena sebagian sawi tidak peduli lagi dengan sarak dan kasipalli , maka menurut kepercayaan bahwa akan berdampak pada erang tidak bisa berfungsi lagi.
Erang memiliki kekuatan tersendiri bagi nelayan patorani, sebagai keyakinan yang Erang memperkuat pertahanan terhadap bencana yang akan dihadapinya. Erang sendiri berisi tentang ilmu penegtahuan tentang kepatoranian dan ilmu tentang pelayaran.erang sebenarnya tidak berkaitan dengan ilmu gaib dan magik, akan tetapi
lebih
kepatoranian
cenderung dan
kegunaannya
kepercayaan
akan
pada
penerapan
kemampuan
ilmu
bathin
pengetahuan
untuk
mampu
berkomunikasi dengan alam sekitarnya.
Berdasarkan kasus di atas, dapat digambarkan bahwa pertam bahwa pertama, a, makna erang, yang diyakini nelayan patorani merupakan suatu hal yang tidak terlepas dengan keadaan untuk memelihara keharmonisan akan hubungan dengan alam, kegaiban k egaiban dan relegius; kedua pengetahuan (Erang) (Erang) merupakan merupakan sarana untuk berkomunikasi dalam menjalin dialog antara manusia dengan alam sekitar. Kegaiban dapat dipandang sebagai usaha manusia dalam memanfaatkan alam guna memenuhi kebutuhannya melalui cara-cara gaib berupa mantra-mantra. Sedangkan religius dapat dipandang sebagai usaha manusia memanfaatkan alam dengan menundukkan dan menyerahkan kepada yang gaib; ketiga bahwa perpaduan antara agama (religius) dan kepercayaan akan hal-hal gaib sangat tipis perbedaannya dan menjadi sumber kekuatan dalam menaklukkan lautan bebas. Gambaran dari makna pengetahuan (erang) di atas, tercakup sebagai bagian dalam sistem pengetahuan setempat (pribumi) yang secara lokal disebut sistem pengetahuan kenelayanan pangiseng kenelayanan pangisengan an pa’jukukan pa’jukukan.. Sistem pengetahuan ini dalam aplikasinya disebut bawaan/terpaan. bawaan/terpa an. Terkait makan tersebut Koentjaraningrat (1982: 290) menyebutnya pengetahuan alam sekitar, yang artinya bahwa manusia perlu memahami alam sekitarnya. Makna pengetahuan pencarian hidup (erang pakboyaboyang) adalah
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
70
menunjuk pada pengetahuan yang bertalian dengan sistem penangkapan p enangkapan dilaut. Terkait pula penggunaan teknologi penangkapan dan aspek-aspek religius yang bertalian dengan pelayaran dan penangkapan telur ikan torani. Kepercayaan secara alami tumbuh dalam komunitas nelayan patorani melalui dengan pengalaman dan kebiasaan untuk menerapkan dan memelihara dua jenis erang. Erang yang dimaksud disini, merupakan suatu konsep yang dapat memandu dalam melaksanakan penangkapan yang teridiri atas pertam pertama a erang pissimombalang; dan kedua kedua erang pakboyaboyang. Terkait sistem pengetahuan pelayaran yang mencakup pengetahuan tentang erang passimombalang yakni tentang: musim, iklim dan arus, tata cara serta keselamatan keselam atan pelayaran. pelayaran. Sedangkan erang pakboyaboyang terkait dengan sistem pengetahuan tentang organisasi usaha, yang meliputi pergetahuan tentang penangkapan ikan, pengelolaan hasil tangkapan, tangkapan, bagi hasil sampai pada pe pemasaran. masaran.
Kedua sistem pengetahuan di atas, awal muassal keberadaannya dipengaruhi oleh dua kondisi lingkungan, masing-masing yakni lingkungan lahir dan lingkungan bathin. Lingkungan lahir mencakup pengalaman empiris dalam interaksi antara nelayan patorani dengan kelompok dan dengan alam sekitarnya. Sedang lingkungan bathin mengandung pengalaman immanensi dalam bentuk kepercayaan, dan pengalaman transendental dalam bentuk magis. Pemeliharaan kedua pengalaman ini dilaksanakan dalam bentuk ritual. Pengalaman kepercayaan yang diyakini sebagqai kekuatan dalam melakukan aktivitas pelayaran ini menyatu ke dalam erang passimombalang passimombalang dan erang pakboyaboyang pakboyaboyang untuk diterapkan sebagai bekal di lapangan. Akan tetapi, proses pemilikannya melalui pendekatan yang berbeda, tergantung asal muassal gurunya dan peruntukan yang di inginkan terhadap kepercayaan erang tersebut.
Penerimaan pengalaman dan pengetahuan bathin melalui proses sebagai berikut: (1) Pengalaman dan pengetahuan diterima secara tertutup dan personal, langsung dari
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
71
71
seorang guru yang disebut gurunta atau panrita panrita kepada seorang murid; 2) Guru mengajarkan pengalaman dan pengetahuan itu secara doktriner atau dogmatis, dan murid menerimanya tanpa riset; (3) Proses belajar mengajar dilakukan dengan menggunakan media ritus; (4) Sasaran pengajaran adalah pembinaan bathin, yaitu: pengembangan kepekaan hati dan perasaan; (5) Efektivitas pengalaman dan pengetahuan ini tergantung pada keyakinan akan kebenaran dan kemujizatannya; pemenuhan terhadap sarak yang diperlukan, serta pamali serta pamali atau atau pantangan yang harus dihindari; dihin dari; (6) Kuantitas pengalaman dan pengetahuan ini tetan, namun kualitasnya dapat meningkat atau sebaliknya memudar atau ambaraki , tergantung pada tingkat keyakinan dan pemeliharaannva; (7) Pengalaman dan pengetahuan bathin tersebut dipelihara dengan ritus, dan bersifat b ersifat sakral.
Sementara itu proses penerimaan pengalaman dan pengetahuan lahir terjadi dengan identifikasi sebagai berikut :(1) Pengalaman dan pengetahuan lahir diperoleh dari kenyataan empiris.akibat interaksi dengan lingkungan, baik dengan lingkungan manusia sendiri maupun lingkungan alam; (2) Pengetahuan ini jumlahnva tak terbatas, tergantung besar kecilnya pengalaman dan intensitas interaksi tersebut di atas; (3) Pengetahuan ini dikembangkan tanpa ritus, diterima dengan ratio atau logika, dipastikan berdasarkan keteraturan keterat uran tanda-tanda alaYm, d dan an divakini kebenarannya dengan mengandalkan kepekaan ekologis; (4) Pengalaman dan pengetahuan lahir dapat diajarkan dimana saja, ba.ik secara perorangan maupun dalam kelompok kerja, serta tidak bersifat sakral.
Pengetahuan bathin terdiri dari dua komponen utama, yaitu mantra-mantra baca baca dan pesan-pesan pappa pesan-pesan pappasang sang.. Baca adalah ungkapan-ungkapan dalam bahasa Makassar yang di ucapkan pada setiap kegiatan dalam lingkungan pelayaran dan penangkapan. Sedang pappasang merupakan ungkapan-ungkapan dalam bahasa Makassar yang berbentuk sarak dan kasipali. Ungkapan-ungkapan tersebut bersifat sakral dan mengandung kekuatan magis sesuai dengan sasaran peruntukannya.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
72
Dalam pelayaran dan penangkanan telur ikan torani, setiap tahap kegiatan selalu disertai d isertai dengan ungkapan atau baca. Biasanya baca itu dilafalkan dalam hati dan disertai gerakan anggota badan tertentu. Pada saat sa at upacara ritual pelepasan pemberangkatan perahu patorani di ucapkan beberapa bait yang di bacakan Rammang makdonting irate irate
(awan mengumpal di atas)
Kupailalang sorongan sorongan
(kumasukkan ke dalam laci)
Naungko mae
( turun kamu kemari)
Pirassianga tangana biseangku biseangku
(penuhkan tengah (perut) perahuku)
Rassi ipantarang ipantarang
( penuhkan di luar)
Rassi ilalang ilalang
(penuhkan di dalam)
Oh…Nabi Karoppo Karoppo
( oh....Nabi Karoppo) Karoppo)
Sareanga dallekku ri Allah ta’ala ta’ala
(berikan kemari rezekiku dari Allah ta’ala)
Siagang Nabi Muhammad
(dan dari Nabi Muhammad)
Oh….Nabi Pakkere, Nabi Hedere Hedere
(oh....Nabi pakkere, Nabi Hedere)
Sareanga mae dallekku ri Allah Ta’ala (berikan Ta’ala (berikan kemari rrezekiku ezekiku dari Allah ta’ala) Siagang Nabi Muhammad
(dan dari Nabi Muhammad)
Makna bait di atas, menggambarkan bahwa komunitas nelayan patorani percaya bahwa rezeki atau hasil tangkapan telah di tentukan oleh tuhan (Allah Ta’ala) jauh sebelum mereka melaut. Tetapi rezeki itu tidak secara langsung diberikan kepada manusia melainkan melalui perantaraan para nabi atau dewa laut, yakni Nabi Karoppo, Nabi Pakkere, dan Nabi Hedere (Hellere), karena itu nelayan patorani harus memintanya lewat perantaraan para nabi atau dewa termaksud.
Baca atau mantra di atas, di ucapkan oleh pinggawa biseang sambil berdiri tafakur di tepi pantai, sebelum mengayunkan langkah pertama yang menyentuh air laut. Dan apabila pinggawa bisenag sudah berjalan do pinggir pin ggir laut menuju perahu, pinggawa harus w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
73
berhenti di depan perahu sebelum pinggawa melangkah naik ke atas perahu. Pada saat itu pinggawa biseang melafalkan lagi beberap bait Ikau Irumpa Irumpa
(Kau Rumpa adalah nama gelar)
Areng tojennu tojennu ri Allah Ta’ala Ta’ala
(Nama sesungguhmu dari Allah Ta’ala)
Inakke Bitti Iukkang Iukkang
(Saya Bitti Lukkung adalah nama gelar)
Areng tojengku tojengku ri Allah Ta’ala Ta’ala
(nama sesungguhku dari Allah Ta’ala)
Rilangi Tumabbuttanu Tumabbuttanu
(di langit kehidupan)
Sambil mengambil air laut dengan kedua telapak tangan kemudian pinggawa biseang menyebut lagi bait-bait berikut : Ikau irumpa irumpa Areng tojengnu tojengnu ri Allah ta’ala ta’ala Allah ta’ala ta’ala ampa ampa’jariko ’jariko biseang biseang
(kamu Rumpa, adalah nama gelar) (nama sesungguhmu dari Allah Ta’ala) (Allah Ta’ala menjadikan kamu perahu)
Allah Ta’ala bahupaki bahupaki
(Allah Ta’ala yang melengkapimu) melengkapimu)
Bunga intang ri tangngana tangngana
(bunga intan di engahnya)
Rumpakki dalle’nu ri Allah Ta’ala Ta’ala
(temui rezekimu dari Allah Ta’ala)
Siagang Nabi Muhammad
(dari Nabi Muhammad)
Setelah bait-bait ini diucankan, berturut-turut berturut-turut sehanyak tiga kali air yang telah diambil dengan telapak tangan. dihenpashan ke arah butitan perahu. Air itu dianggap sebagai wudhu bagi perahu, sebagai simbol kesucian dalam setiap kcndisi, baik pada waktu menghadapi keberuntungan maupun dalam situasi yang berbahaya. Demikian juga halnya, ketika para patorani sedang dalam pelayaran, sebelum memasang alat tangkapnya, mereka pun tak lupa menyebut bait-bait tertentu yang diyakini akan mengundang ikan terbang masuk kedalam pakkaja. Baik-bait itu antara lain:
Pole torani
(datang.............!)
Pole torani
(datang.............!)
Pole torani ....ee ., .,
(datanglah hai..hai.. ikan torani)
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
74
ri allakna bombang, ri tekona arusu arusu (melalui celah-celah ombak) ri tekona arusu arusu
(melalui aliran arus)
ri balembengna taka taka
(melalui gunung-gunung gunung-gunung karang)
Battu asengmako mae mae
(datanglah semua)
Ri pakkarek-karenanna bainennu bainennu
(ketempat permainan istrimu)
Ipantaranmiantu,Tulolonna satangnga satangnga
(tempat dimana terdapat gadis cantik)
Lompowa pungkukna pungkukna
(yang besar pinggulnya dan seksi)
Bait-bait di atas di lafalkan sebelum pakkaja di turunkan atau di operasikan. Selanjutnya setelah selesai pemasangan pakkaja, seluruh awak perahu diinstruksikan oleh pinggawa untuk mengamati ada tidaknya induk ikan terbang yang mendekati pakkaja. Bila salah seorang diantara mereka telah melihat ikan torani mendekati pakkaja, maka pinggawa laut melafalkan lagi bait-bait berikut
Ia riolo riolo
(siapa yang datang duluan)
Ia angallei bungasakna bungasakna (ia yang m mengambil engambil perawannya) perawannya) Ia riboko riboko
(siapa yang datang belakangan)
Ia angallei pallatea pallatea
(ia yang dapat bekasnya)
Semua contoh bait di atas tergolong sebagai sistem pengetahuan pangasse pangassengan ngan nelayan patorani yang di sebut erang passimombalang maupun erang pakboya-boyang. pakboya-boyang. Untuk membedakan di antara keduanya, hanya dilihat makna dan tujuannya. tingkatan pertama, termasuk kategori erang pakboya-boyang; makna dan tujuannya sebagai doa supaya memperoleh hasil tangkapan yang banyak. Penghasilan yang diperoleh itu, dipersonifikasikan sebagai kumpulan-kumpulan awan yang mengandung berat dan me-
numpahkan air hujan yang mengisi semua tempat dan ruang dalam perahu tersebut. Semoga dewa-dewa ikan menyerahkan dirinya dan seluruh pengikutnya menjadi rezeki bagi
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
75
para patorani, seperti yang telah ditentukan oleh Allah Ta’ala dan Nabi Muhammad, (dewadewa ikan disebut dengan Nabbi Karoppo).
Ungkapan kedua termasuk kategori erang passimombalang, yang menceriterakan
tentang eksistensi sebuah perahu yang akan digunakan berlavar. Sebelum perahu itu dipakai berlayar patorani melakukan dialog imajiner dengan perahu tersebut, masing-masing memperkenalkan diri dan eksistensinya. Dalam dialog itu, pinggawa mengingatkan nama perahu yang sebenarnya diberikan oleh Allah, yaitu Irumpa, sedang nama pinggawa sendiri adalah Bitti Ilukkung. Selain itu, pinggawa juga mengingatkan kejadian perahu itu, yang sebenarnya berasal dari langit, seperti yang terkandung dalam ungkapan, di langit tempat tinggalmu ri langi tumabbutanu. tumabbutanu.
Dialog imajiner adalah satu upaya untuk menjalin hubungan hubungan bathin yang akrab akrab.. Dengan demikian, pinggawa biseang akan segera mengetahui apakah perahu tersebut bersedia dibawa berlayar dan memberi jaminan kesehatan; atau tidak. Dengan mengingatkan kembali eksistensi perahu itu, diharapkan perahu itu dapat berfungsi seperti garis hidup Irumpa Irumpa (bahasa Makassar yang maknanya kurang lebih: sampai pada tujuan) yang telah ditentukan oleh Allah Ta’ala.
Setelah menjalin hubungan bathin yang akrab, pinggawa biseang mengajak awak perahu mencari rezki Allah dan Nabi Muhammad. Harapan ini tercermin dalam ungkapan untuk memanggil ikan torani masuk kedalam pakakaja untuk memijah. Tradisi pemanggilan ini merupakan suatu syarat yang diyakini nelayan patorani untuk memanggil melalui kontak batin rombongan induk ikan torani yang ingin memijah untuk masuk dipakkaja. Pakkaja dipasang terlebih dahulu pada lokasi yang strategis, pemasangan pakkaja biasanya dilakukan berdasarkan kebiasaan, agar dapat memperoleh hasil telur ikan torani.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
76
Ungkapan demi ungkapan di ucapkan dalam keadaan ikhlas sebagai suatu kombinasi erang pakboyaboyang. Kata demi kata yang ducapkan pinggawa memiliki makna untuk mengundang ikan terbang (torani) masuk ke pakkaja untuk memijah dan bertelur sebanyakbanyaknya. Pinggawa memanggil semua ikan torani baik dari-celah-celah ombak, dari pergerakan arus, dan dari gunung-gunung karang. Datanglah semua!, baik yang diarah utara dan arah selatan maupun yang dari bawah dan atas. Datanglah!, ketempat berkumpul dan bermain dengan isteri-isterimu". isteri-isterimu".
Dalam
pandangan
patorani,
ikan
terbang
adalah
jenis
ikan
agresif
dan
dipersonifikasikan sebagai tubarani yang telah lama meninggalkan pacar atau isterinya ke medan perang. Dari kata tubarani yang telah mengalami penghausan, sehingga ikan terbang itu dinamakan torani. Karena itu, untuk mengundang agar ikan datang di pakkaja, maka pakkaja itu digambarkan sebagai tempat berkumpul dan bermain para isteri atau pacar tubarani. Akibat lama meninggaikan isteri atau pacar, patorani menganggap tubarani itu akan timbul gairah dan nafsunya untuk mendekati tempat isterinya. Dalam bait terakhir ungkapan disebutkan "datanglah ke tempat berkumpul dan bermain isteri-isterimu. Di sanalah gadis- gadisnya pulau Satangnga yang besar pinggulnya. Kaimat yang disampaiakn oleh pinggawa mengandung makna sangat romantis.
Efektivitas baca (mantra) sangat terkait dengan konsistensi terhadap pappasang, melalui dua komponen sarak dan kasipalli . Dalam konteks demikian, Sarak merupakan pesan atau nasehat yang harus dilakuakn d ilakuakn selama pelayaran dan penangkapan. Kasipalli atau atau pamali mengandung larangan dan pantangan yang harus di hindari. Patorani percaya bahwa penghasilan akan berpihak kepadanya kepadanya apabila ke keteguhan teguhan akan baca (mantra) terseb tersebut ut diefektifkan, kemudian sarak yang beriringan dengan larangan yang terkait kasipalli di penuhi sebagaimana mestinya. Nelayan patorani sangat meyakini bahwa andaikata melakukan sesuatu yang tidak melanggar ketentuan sarak selama melakukan penangkapan,
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
77
maka akan mendapatkan hasil yang banyak. Namun sebaliknya bila melaksanakan hal yang bertentangan dengan ketentuan sarak dan kasipalli, maka baca (mantra) itu akan menjadi pudar kekuatan magisnya. Untuk menghindari hal-hal kasipalli maka nelayan patorani, baik pinggawa maupun sawi di berikan peringatan untuk tidak melakukan hal-hal yang dianggap akan mengusik ketidak datangan ikan torani untuk masuk dipakkaja memijah dan bertelur.
Pappasang (pesan-pesan) utama yang secara turu-temurun diwariskan adalah keharusan melakukan ritus dan mengikuti adat-istiadat dalam kegiatan pelayaran dan penangkapan telur ikan torani. Tujuan utama ritual ini, untuk memelihara kelestarian pembuktian erang passimombalan dan erang pakboyaboyang tersebut di dalam alam nyata. Menurut informan bahwa nelayan patorani tidak dibenarkan untuk mengabaikan papa papasang sang (pesan-pesan). Bila tidak dilakukan ritual papasang maka terasa ada ketidakse k etidaksempurnaan mpurnaan dan ketimpangan dalam melakukan kegiatan pelayaran dan penangkapan. Gangguan psikologis yang dialami bila tidak dilakukan ritual itu, dihinggapi perasaan cemas, khawatir dan rasa tidak aman dari ancaman bahwa di darat dan di laut.
Sejak rencana pemberangkatan, patorani sudah terikat oleh keharusan memulai pelayaran pada hari yang sudah ditetapkan, berdasarkan kalender kepatoranian secara turun temurun sudah ditentukan allo baji (hari yang baik). Penentuan hari baik (allo baji) baji) antara lain didasarkan pada perhitungan bulan (kenaikkanna bulanga) atau bulanga) atau pergantian hidup dan mati tallasa matea matea yang dihitung dengan jari-jari. Dan ketika hari pemeberangkatan sudah ditentuhan, dan patorani siap berlayar, mereka pun harus memperhatikan pesan -
“teako aklampai punna tena memang nuaggappa nuaggappa oassele”(jangan oassele”(jangan berangkat, apabila memang sudah jelas anda tidak akan membawa hasil). Mereka dapat mengetahui apakah akan memperoleh hasil atau tidak, sebelum berangkat.
Kepekaan nelayan patora patorani ni secara psikologis se sebelum belum berangkat sudah membaca situasi berdasarkan tanda-tanda alam. Tanda-tanda itu, bisa berasal dari dirinya sendiri,
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
78
dapat pula berasal dari lingkungannya. lingkungannya. Salah satu kebiasaan patorani atau pinggawa biseang adalah memeriksa kondisi jiwanya dengan menghayati dan merasakan perjalanan napasnya. Apabila pada saat akan berangkat, dalam keadaan tafakkur arus keluar napasnya lebih kuat pada lobang hidung sebelah kanan, mereka yakin pelayaran bisa dimulai. Keprcayaan melalui tanda-tanda dari dirinya itu, hingga kini masih menjadi patokan untuk mereka mulai berlayar.
Selain tanda-tanda dari fisik, maka nelayan patorani pula meyakini tanda lain yang berasal dari lingkungannya antara lain berupa kicauan burung, ucapan orang yang tidak disengaja. Andaikata, pinggawa biseang sudah bersiap berangkat. tetapi tiba-tiba mendengar ucapan kata tena (tidak ada), biasanya pemberangkatan itu ditunda. Mereka yakin tidak akan mendapat hasil. Sebaliknya, patorani juga memegang teguh untuk tidak melanggar larangan. Selama pelayaran sangat dilarang menyatakan rasa kecil, atau mengeluh dan semaca semacamnya, mnya, misalnya mengata mengatakan: kan: pakrisiki dongko dongkokku kku (s (sakit akit punggungku). Mereka juga pantang bersikap takbur.
Meskipun patorani, khususnya pinggawa biseang telah menguasai pengetahuan bathin, tidaklah berarti mereka mengabaikan pengetahuan lahir. Mereka tidak akan mencapai tingkatan sebagai pinggawa matoa apabila mereka tidak dilengkapi pengetahuan lahir yang tinggi. Karena itu, untuk mencanai status pinggawa matoa, biasanya seorang patorani harus memulai dari status sawi. Mereka harus belajar bertahun-tahun, ikut berlayar dengan pinggawa, sebelum mereka dipercayai memimpin sebuah armada patoraini.
Penguasaan terhadap pengetahuan lahir, sesungguhnya merupakan prasyarat bagi pemberian
pengetahuan
bathin.
Seorang
patorani
hanya
dapat
diberi
erang
passimombalang erang pakboyaboyang, apabila secara nyata telah menguasai pengetahuan palayaran dan penangkapan atau telah melampaui status sawi juru batu. Penjenjangan
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
79
berdasarkan pengalaman yang dimiliki oleh seseorang untuk menjadi juragan, pada masa lalu sangatlah ketat. Hal itu, terjadi karena semakin seseorang berpengalaman maka tidak diragukan lagi tanggungjawabnya baik tanggungjawab tentang pelayaran maupun untuk memperoleh hasil juga menjadi proritas.
Berdasarkan pengalaman berlayar, mereka bisa membedakan angin, hujan atau ombak yang akan membahayakan atau tidak. Mereka dapat menelusuri jalur pelayaran tanpa alat bantu penunjuk arah (kompas), tetapi hanya menggunakan tanda-tanda alam. Mereka juga dapat mengenali lokasi sekitar penangkapan yang potensil tanpa mengetahui lebih awal pemetaan wilayah secara strategis maupun secara konseptual. Kepekaan indera Perasaan, mereka dapat memastikan adanya bahaya yang mendekati perahunya dengan kejauhan radius beberapa ratus meter. Pandangan masyarakat patorani, ikan terbang juga disebut, juku karewatang. Konsep ini ditafsirkan bahwa ikan tersebut memiliki keajaiban. Jumlah ikan ini dianggap luar biasa banyaknya, dan dapat terbang beberapa puluh meter -
jauhnya. Dalam jumlah yang banyak ba nyak itu terkadang ikan ini menghilang dalam waktu hanya sekejap, dan sebaliknya muncul secara tiba-tiba. Anggapan seperti ini nampaknya mempengaruhi tata cara penangkapannya, yang berbeda dengan jenis ikan lainnya. Ada perlakuan khusus dalam menangkap ikan terbang yakni berupa ritus yang diramaikan dan alat penangkapan pun berbeda bila dibandingkan dengan jenis ikan lainnya. Apalagi setelah peralihan penangkapan telur ikan torani membutuhkan keterampilan tersendiri.
Palaksanaan ritual dilakukan sejak mulai dari kegiatan perbaikan alat penagkapan dengan membaca mantra-mantra perbaikan atau modifikasi perahu, dan puncaknya yaitu pada upacara pemberangkatan. Kegiatan perbaikan perahu diawali dengan penebangan pohon bambu untuk dijadikan sebagai tiang layar atau untuk kebutuhan pakkaja. Hari penebangan ditentukan melalui waktu yang dianggap dapat mendatangkan keberuntungan
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
80
atau hari-hari baik allo baji . Sebelum penebangan bambu terlebih dahulu diadakan upacara makan-makan di sebut ritus assurongmaca assurongmaca (memanggil seseorang untuk berdoa, ritual ini biasanya dipimpin oleh imam masjid). Acara ini dipersiapkan oleh tuan rumah berupa sajian kue-kue (umba-umba) (umba-umba),, sebagai simbol sesajen untuk mendatangkan berkah seperti filosifi gula dan kelapa yakni manis dan mengandung mengandung minyak.
Untuk pengadaan bahan baku sebagai alat bantu dalam proses perbaikan perahu, sepeti bambu maka terlebih dahulu di pilih yang terbaik, bentuknya yang lurus, dan apabila ditarik setelah ditebang, tidak akan tersangkut dan merobohkan pohon lainnya. Umba-umba Umba-umba yang mengandung gula merah dan kelapa diparut merupakan simbolisasi keutuhan dan kesejahteraan. Sehingga setiap ada ritual yang diadakan, maka sajian kue umba-umba menjadi kue khas yang paling utama diadakan oleh masyarakat masyarakat Takalar dan lebih khusus lagi nelayan patorani. patorani. Sedang bambu lurus simbolisasi dari usaha yang berjaan lancar dan jujur.
Apabila perahu sudah selesai direnova direnovasi, si, maka tahap berikutnya adalah kegiatan pemberangkatan. pemberangkata n. Menurut pandangan informan bahwa bagi nelayan patorani, perahu itu ibarat manusia juga. Perahu memiliki ujung u jung depan dengan ujung belakang. b elakang. Makna dari hal itu, terdapat pula pangkal bagian depan dan pangkal bagian belakang, masingmasing ditafsirkan sebagai simbol laki-laki dan perempuan. Dalam tradisi Bugis makassar bahwa laki-laki berangkat berjuang di tengah laut dan perempuan tinggal di daratan menjaga rumah tangga, dan perbedaan status inilah terimplementasikan terimplementasikan dalam kehidupan nelayan patorani. Realitas anggapan itu, berlaku sejak nelayan patorani masa lalu sejak masih menangkap induk ikan torani hingga masa kini dengan peralihan penangkapan telur ikan torani. Upacara di lakukan untuk meminta keselamatan pelayaran terutama juga agar kondisi perahu sebagai alat utama yang digunakan ke lokasi penangkapan tetap kondisi baik.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
81
Kondisi agar mendukung semuanya, maka harus dipersiapkan dengan baik dan sempurna atau niparurui melalui ritus yan yang g disebut appassili atau apparappo. apparappo. Ritus Ritus ini merupakan klimaks dari rangkaian persiapan, dan melibatkan seluruh awak (pinggawa dan sawi). Upacara biasanya mempersiapkan berbagai jenis kue untuk dimakan bersama setelah upacara selesai. Dan setelah sampai di lokasi penangkapan, maka bait-bait yang disediakan sebagai rangkaian penangkapan juga selalu di ucapkan agar memperoleh hasil tangkapan yang diharapkan.
4.1.5.2 Pergeseran Nilai-Nilai Religius Tradisional Ke Arah Rasionalisa Rasionalisasi si Tindakan
Proses rasionalisasi tindakan pada komunitas nelayan patorani sebagaimana pada kasus
sebelumnya,
bahwa
kebutuhan
akan
erang
passimombalang
dan erang dan
pakboyaboyang pakboyab oyang merupakan suatu kebutuhan dimiliki oleh setiap pinggawa. Hal itu, telah berlangsung pada ruang normatif yang bersumber dari mitos, sistem kepercayaan dan konstruksi sosial yang terbangun berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang diabadikan dalam nilai-nilai lokal pelayaran. Fenomena pergeseran ruang normatif yang berlangsung pada komunitas nelayan patorani. Fenomena pergeseran itu, dibatasi pada tiga ruang normatif yakni: pertama pertama,,ruang normatif yang bersumber dari mitos; kedua kedua ruang normatif yang bersumber dari konstruksi sosial. Hal di atas, menurut tiryakian (1992) bahwa pergeseran ruang normatif akan nilai-nilai dalam transformasi penerapan teknologi penangkapan bagi komunitas merupakan bahagian yang patut di amati secara umum bagi masyarakat yang bertransformasi.
Dihubungkan dengan pendapat Germani (1981) bahwa peluang tindakan rasional terpresentasikan lebih besar dibanding peluang tindakan kehidupan tradisional. Bila rasionalisasi diartika sebagai sebagai proses pengosongan dunia dari pengaruh magik dan mistik saja sebagimana du definisikan Weber (1958), terlihat bahwa pengaruh tersebut masih
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
82
ditemukan pada berbagai aspek industri penangkapan ikan, tetapi dalam intensitas yang kecil. Secara umum, unsur magik dan mistik tersebut bersinkretisasi dengan unsur Islam. Prosesi upacara dengan membacakan mantera-mantera dengan memakai bahasa Makassar sebelum nelayan Patorani menuju ke penangkapan. Mantera itu di padukan dengan ajaran Agama Islam, mulai dari prosesi berdoa hingga membaca lafadz ayat-ayat alquran di atas perahu. Doa-doa yang dipanjatkan tidak lain adalah meminta keselamatan dan rezeki yang banyak dengan dipertemukan ikan-iakan torani yang mau memijah kemudian bertelur di pakkaja yang di pasang kelak ketika sampai ditempat ditempat penangkapan.
Selain prosesi itu, komunitas nelayan patorani juga membawa sesajen ke atas perahu berupa nasi dari beras ketam warna hitam dan putih kemudian ayam. Sesajen itu
dibacakan mantra oleh ustadz di dampingi oleh para pinggawa. Pada komunitas nelayan masih sering di temukan hingga sekarang sebagaiman temuan Munadah (1991) dan Arifin (1991) bahwa fenomena tersebut sudah menjadi tradisi bagi nelayan patorani di Galesong Selatan dan galeson Utara kabupaten Takalar, dengan tujuan agar perahu yang ditumpangi selamat dan kembali membawa hasil yang banyak.
Realitas di atas, sebagai tindakan tradisional yang sudah menjadi rutunitas dipercayai bahwa sesajian dan bacaan doa akan menjunjung kekuatan spritual untuk berkomunikasi dengan penghuni lautan dan keselamatan awak perahu. Keberhasilan yang diperoleh tidak terlepas dengan kerjasama patorani dan tidak terlepas pula dengan restu penghuni laut. Sehingga merasa memiliki kewajiban untuk menjaga dan memberi makan melalui sesajen. Ritual itu, dilaksanakan agar diberikan keselamatan pada saat melakuakan penangkapan.
Namun sebaliknya, bila upacara di tinggalkan, maka akan ada konsekuensi yang berada di luar kemampuan manusia yang mengancam pada kekuatan ke kuatan dan keselamatan nelayan patorani. Resiko inilah yang menjadi faktor pendorong sehingga upacara berbau magik dan mistik tetap dilakukan, meskipun kebenaran tentang hubungan antara upacara u pacara
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
83
dengan kekuatan dan keselamatan perahu sulit di buktikan secara rasional. Ritual berbau magik dan mistik bagi komunitas nelayan patorani teap masih dipertahank dipertahankan an dan merupakan bagian yang tak terpisahkan oleh komunitas nelayan patorani. Sejak awal keberadaannya keberadaanny a sebagai n nelayan elayan berinteraksi dengan penjaga laut. Ritual magik dan mistik masih tetap mendapatkan legitimasi dari lingkungan sekitar sebagai nelayan. Di satu sisi ada pula nelayan yang tidak melakukan ritual yang sifatnya sifatnya mistik, akan tetapi hanya melakukan upacara dengan berdo’a bersama dengan pinggawa dan sawi di atas perahu. Ritual sederhana itu, dilakukan untuk memohon keselamatan dan mendapatkan rezeki yang banyak. Kelompok ini mempercayai bahwa segala sesuatu rezeki maupun keselamatan ada di tangan sang maha pencipta (allah SWT). Sehingga nelayan patorani hingga sekarang memiliki dua d ua legitimasi basis, antara legitimasi teknologi-mo teknologi-modern dern dan legitimasi rirual-magik. Adanya kelompok itu, bagi komunitas nelayan patorani tidak saling mempermasalahkan, yang pada intinya bermuara pada penghasilanlah yang menjadi titik temunya. Sebagaian masyarakat Galesong Selatan dan Galesong Utara masih memegang teguh tradisi, bahwa seorang keturunan yang berdarah biru (bangsawan) masih dianggap tabu apabila menjadi pinggawa perahu untuk ikut ik ut berlayar. Sehingga pada komunitas nelayan patorani, tidak ditemukan adanya bangsawan yang menjadi pekerja (sawi). Kebanyakan bangsawan menjadi papalele (pinggawa darat). Tindakan ini dilatari pertimbangan bahwa secara askriktif bangsawan tidak patut untuk menjadi pesuruh atau anak buah terhadap keturunan yang bukan bangsawan (orang biasa) tau biasa yang silsilahnya bukan masuk dalam kateogori karaeng karaeng (sebutan (sebutan bangsawan bagi suku Makassar). Tindakan ini mempresentasikan adanya rasionalitas nilai, yang menurut Weber (1978) bahwa rasionalitas nilai bukanlah tipe ideal masyarakat industri, tipe rasional masyarakat industri adalah rasionalitas instrumental. Hal ini terkait dengan kaum bangsawan di Takalar
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
84
terutama di Galesong bahwa kaum bangsawan adalah kelompok yang menjadi penghubung atau penolong untuk kehidupan keseharian masyarakat secara umum, dan secara khusus komunitas nelayan patorani.
Tindakan tradisional yang berbau magik dan mistik merupakan suatu kegiatan sekedar meneruskan kebiasaan turun temurun. Tindakan upacara yang sering dilakukan dalam memulai kativitas penangkapan pada komunitas nelayan patorani, sudah mengalami reinterpretasi ke arah makna yang lebih instrumental. Tindakan tradisional, yakni praktek magik dan mistik diperlukan dan dipraktekkan kembali untuk pencapaian tujuan yang sifatnya rasional. Ini relevan dengan konsep “keterpesonaan kembali” dari Tryakian (1992) bahwa keterpesonaan keterpesonaan kembali pada magik dan mistik.
Tindakan tradisional pula yang muncul pada komunitas nelayan patorani adalah berkaitan kepemilikan permodalan. Hubungan (sambungan) antara papalele dengan pinggawa terbentuk melalui suatu kesepakatan secara tidak tertulis. Sebelum berangkat melaut,
papalele
menuntut
untuk
dikembalikan
modalnya
dan
pinggawa
harus
mendapatkan hasil yang lebih banyak. Artinya sebelum berangkat, papalele sudah memberikan beban kontrak yang berat terhadap pinggawa, padahal belum dilakukan pemberangkatan kewilayah penangkapan. Pesan itu, di sebut kasipalli (mengandung hal buruk) padahal menurut pinggawa nelayan patorani sebelum berangkat apparuru apparuru maka kalimat-kalimat kalimat-kalim at yang sifatnya tidak membebani yang di butuhkan dari papalele. p apalele.
Proses rasionalisasi dalam pengertian menghilangkan nuansa magik dan mistik, terutama terlihat ditinggalkannya penggunaan kekuatan magik dan mistik dalam melakukan penangkapan dan di gantikan dengan doa dan ibadah yang sesuai dengan ajaran agam Islam. Memang kekuatan magik masih ada sebagian yang mempertahankan magik apabila ada halhal yang mengganngu dalam perjalanan dan membutuhkan interaksi dengan yang mengganggu perjalanan tersebut. Pandangan tentang nilai-nilai magik memang dimulai
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
85
dengan kepercayaan bahwa ada suatu tata tertib dalam kehidupan alam ini dan masingmasing memiliki kehidupan yang tetap. Maka pelanggaran terhadap tata tertib memerlukan magik untuk meluruskannya pula. Saat ini, meskipun sebagian pinggawa masih memiliki ilmu yang demikian, tidak pernah lagi dipraktekkan dalam bentuk yang sangat sakral, akan tetapi pinggawa hanya meyakini bahwa sebagai manusia membutuhkan perlndungan dari sang Tuhan Maha Pencipta.
Proses rasionalisasi juga terjadi, setelah terjadinya dominasi penerapan teknologi alat penangkapan, komersialisasi produksi, dan cara kerja. Pengetahuan pelayaran pada komunitas nelayan patorani pada masa abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20 masih mengandalkan situasi alam, misalnya kekuatan angin harus dipanggil oleh pinggawa dan sekarang mengandalkan teknologi mesin untuk menjalankan perahu. Keadaan ini, tentu mengedepankan efesiensi tenaga yang ditawarkan. Peralatan yang digunakan telah mengalahkan kebanggaan dengan kekuatan magik dan mistik yang dimiliki pada masa itu.
Perubahan ke arah penggunaan teknologi pada perahu komunitas nelayan patorani, secara sadar dipilih dengan pertimbangan efesiensi dan efektivitas pekerjaan. Realitas ini, merupakan suatu gambaran masyarakat yang modern dan masyarakat industri yang identik dengan penggantian magik dan mistik dengan kalkulasi rasional. Walaupun ciri masyarakat industri sudah masuk dalam nelayan patorani tidak menutup kemungkinan untuk tetap mempertahankan tradisi upacara untuk meminta keselamatan selama dalam pelayaran, dan juga tetap menggunakan mantra-mantar mantra-mantara a pada saat mau melakukan operasionalisasi operasionalisasi pakkaja. Pelaksanaan ritual tersebut, bukan tujuan untuk meminta pada hal yang gaib, apalagi mengingkari keberadaan Tuhan Maha Pencipta. Tetapi hanya sekedar ritual turun temurun bahwa pelayaran akan dimulai secara serentak, maka untuk tetap menghormati nilai-nilai kebersamaan, maka prosesi melaksanaan upacara sebagai pertanda akan di mulainya pelayaran.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
86
4.2. Pola Penangkapan Ke Arah Komersialisasi Produksi dan Penerapan Teknologi
4.2.1
Masuknya Pola Produksi Kapitalis Runtuhnya feodalisme, maka produksi-untuk-dijual pelan-pelan mulai
menggantikan peran produksi-untuk-dipakai, sebagai tipe pokok aktivitas ekonomi di seluruh Eropa Barat. Sistem yang kita sebut kapitalisme ini, muncul pada beberapa hal pokok dalam masa transisi. t ransisi. Akan tetapi kapan tepatnya kapitalisme lahir, salah seorang pengkaji sejarah sistem kapitalis kapi talis yang paling menonjol adalah Karl Marx, sebagaimana Karl Marx yang dikutip oleh Sanderson (2000: 169) memberikan anggapan bahwa kapitalisme adalah salah satu sistem ekonomi yang memungkinkan beberapa individu menguasai sumberdaya produktif vital, yang mereka gunakan untuk meraih keuntungan maksimal. Marx lebih lanjut lagi bahwa kaum k aum borjuis mempekerjakan sekelompok orang, orang, yang oleh Marx disebut d isebut kaum proletar. Golongan proletar ini memproduksi memproduksi barangbarang yang oleh kaum kapitalis kemudian dijual di d i pasar untuk meraih keuntungan. Jadi kapitalisme mencakup sesuatu lebih dari sekedar pencarian keuntungan. Dari pendapat di atas, maka pada komunitas nelayan patorani terbagi atas adanya kelompok penguasaan modal dan sumberdaya yakni papalele. Kedudukan papalele pada komunitas nelayan patorani dapat dikategorisasikan sebagai kelompok kaum borjuis yang mengatur produksi dan penentuan harga kepada pinggawa. Sedangkan pinggawa dan sawi merupakan satu elemen yang tidak dapat dipisahkan sebagai pekerja yang menghasilkan produksi telur ikan torani. Kaum pinggawa dan papalele ini hanya memiliki kemampuan tenaga untuk menghasilkan telur ikan. Hasil dari d ari produksi pinggawa patorani semuanya semuanya di serahkan pada papalele sebagai pemilik modal. Dan aturan kepatoranian itu sampai sekarang menjadi tradisi yang sebenarnya tidak ada ketentuan secara tertulis, akan tetapi sudah menjadi kesepakatan dan mentradisi. Papalele memegang kendali dari segi pemasaran sehingga keuntungan yang lebih besar secara otomatis kembali pada papalele. p apalele. Setiap komunitas mempuunyai sistem ekonomi yang terjalin sangat dekat dengan pola teknolog teknologii subsistensinya. Namun, ada perbedaan krusial antara ekonomi dan teknologi. Teknologi meliputi alat, teknik dan pengetahuan yang dimiliki para anggota dalam komunitas itu, dan digunakan dalam proses pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam masyarakat pra kapitalis juga, produksi ekonomi ditentukan oleh keinginan dan pilihan para pemilik kekuatan-kekuatan produksi. Dalam konteks itu, Sanderson (2000: 111) membedakan empat pola kepemilikan dalam masyarakat pra-kapitalis yakni komunisme primitif; kepemilikan oleh keluarga k eluarga besar; kepemilikan oleh pemimpin; dan pemilikan segneurial (kepemilikan (kepemilikan pribadi kemudian digunakan oleh sekelompok sekelompok orang). Aktivita Aktivitass ekonomi tidak akan mungkin ada tanpa teknologi, tetapi ekonomi adalah sesuatu yang lebih dari sekedar tingkat teknologi. teknolog i. Ekonomi berisi hubungan-hubungan sosial yang mengorganisasikan produksi, distribusi dan pertukaran barang dan jasa dalam satu masyarakat. masyarakat. Produksi adalah proses yang diorganisasi secara secara sosial di mana barang dan jasa diciptakan. Distribusi Distribusi adalah proses alokasi barang dan jasa yang diproduksi oleh masyarakat artinya siapa
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
87
yang mendapat apa, bagaimana, dan kenapa. Pertanyaan Pertanyaan tentang siap yang memiliki kekuatan-kekuatan kekuatan-kekua tan produksi dan bagaimana mereka memutuskan penggunaan kekuatan-kekuatan kekuatan-kekua tan ini adalah pertanyaan pertanyaan menyangkut produksi. Komersialisasi produksi salah satu sumber yang memacu berkembangnya komunitas nelayan patorani. patorani. Hal H al itu, terkait karena perkembangan investasi dan seiring dengan daya dukungnya penerapan teknologi dan manajemen pada komunitas nelayan patorani di Galesong utara dan Galesong selatan Kabupaten Takalar. Nelayan patorani lahir pada abad ke-17, mengalami perkembangan secara terus menerus hingga beralih pada penerapan teknologi penangkapan sesuai dengan tuntutan produksi dan d an mengarah pada kehidupan sosial ekonomi. Sekitar tahun 1940-an nelayan patorani sudah mengalami perkembangan penangkapan induk ikan torani. Walaupun pada era tahun ini, belum menguasai pasaran secara surut. Demikian pula penguasaan pola distribusi masih sangat terbatas hanya pada pemasaran lokal, walaupun pemasaran hingga dirambah sampai ke pulau Jawa yakni Jawa Timur, namun belum menjadi prioritas tuntutan komersialisasi produksi tetapi masih kecenderungan pada subsistensi. Perkembangan selanjutnya, era tahun 1960-an hingg 1970-an nelayan patorani mengalami pergeseran dari segi penangkapan induk ikan torani beralih ke penangkapan telur ikan torani. Perkembangan itu terjadi terkait dengan masuknya investasi dan kapitalisme. Pola penangkapan yang berubah tersebut, t ersebut, semakin membuka peluang masuknya eksportir dan mendorong pelembagaan investasi dan penerapan teknologi ke arah pengelolaan hasil produksi p roduksi berorientasi berorientasi ekspor. Setelah masuknya investasi maka unsur kapitalisme pula mulai lahir pada komunitas nelayan patorani. Sebagaimana Marx di atas mengatakan bahwa penguasaan asset dimilki oleh kapitalis dan mempermainkan atas kepentingan untuk mengejar keuntungan. Realitas itu, maka dapat diasumsikan bahwa masuknya unsur pasar mendominasi mendominasi hasil p produksi roduksi nelayan patorani maka papalele memiliki peluang yang sangat besar untuk mengejar keuntungan. Permaianan pengejaran keuntungan itu, dilakukan melalui pembagian hasil yang sebenarnya tidak berimbang. Padahal dari segi tenaga, maka pinggawalah yang banyak memegang peranan penting suksesnya hasil produksi. Terkait fenomena ini, maka dapat diasumsikan bahwa pinggawa nelayan patorani hanya mencari produksi demi kepentingan dan keuntungan bagi papalelenya. Sejak orientasi kapitalisme menjadi hal yang mutlak dilakukan oleh kalanga k alangan n papalele, yakni sekitar awal tahun 1970-an, maka disinilah pula berawal adanya penguasaan mengenai penentuan pasar yang sepenuhnya berada ditangan papalele. Adanya kekuatan papalele ini, selain pemilik sumberdaya penangkapan, papalele pula memiliki hubungan secara langsung dengan eksportir. Sedangkan pinggawa hanya mempunyai akses secara langsung dengan papalele, dalam artian bahwa setelah kembali melakukan penangkapan telur ikan torani, maka hasil yang diperoleh semuanya di masukkan ke dalam lingkungan papalele. Sedangkan sawi juga merupakan bagian integral proses penangkapan, hampir tidak punya akses terhadap papalele apalagi sampai ke eksportir. Setelah banyaknya hasil sudah dihitung, maka penentuan harga pun sepenuhnya berada di tangan papalele.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
88
4.2.1.1 Komersialisasi Produksi Dan Perkembangan Investasi Awal
keberadaan
nelayan
patorani
memiliki
karakteristik
sebagai
nelayan
tradisional, alat tangkap yang digunakan pun secara kuantitas sangat terbatas jumlahnya. Periode tahun 1940-an sampai akhir tahun 1970-an, merupakan era bagi komunitas nelayan patorani mengandalkan peralatan yang sangat sederhana dan perahu layar serta dominan menggunakan tenaga manusia. Era ini pula, nelayan patorani melakukan penangkapan masih berorientasi pada induk ikan torani. Model pemasaran pun masih cenderung terbatas pada wilayah tertentu dan jangkauannya terbatas pada pasar domestik. Kondisi demikian di akibatkan permintaan hasil tangkapan induk ikan torani bukanlah komoditas yang diincar kalangan pengusaha secara merata baik ditingkat lokal maupun pasar regional antar pulau. Realitas di atas, menunjukkan bahwa investasi dalam industri penangkapan induk ikan torani masih sangat terbatas sehingga pemasaran maupun pembeli yang berminat pun untuk berinvestasi terbatas. Teknologi alat tangkap masih sederhana, perahu tangkap belum bermesin, dan area tangkap terbatas pada lokasi operasional tertentu. Nelayan hanya menangkap pada lokasi yang sudah biasa di kunjungi untuk menangkap induk ikan torani. Akibat keterbatasan itu, produksi pun sangat terbatas dan menyulitkan pemilik modal untuk berinves berinvestasi. tasi. Hal itu terjadi, karena nelayan patorani belum memiliki akses terhadap kapitaliskapitalis yang berasal dari negara-negara lain. Masuknya tuntutan pasar yang dimotori oleh negara-negara lain sebagai sasran eksportir, maka nelayan patorani pun beralih pola penangkapannya ke penangkapan telur ikan torani. Pergeseran penangkapan itu, secara otomatis membutuhkan sumberdaya permodalan sebagai penguatan usaha agar semakin di tingkatkan, kemudian pula dibutuhkan daya dukung teknologi sebagai bagian dari peningkatan peningkat an produksi telur ikan torani.
Perkembangan investasi dan komersialisasi produksi salah satu unsur pendorong yang paling dominan dalam peningkatan pendapatan komunitas nelayan patorani. Selain itu kehadiran penguasa pasar (eksportir) pula merupakan salah satu aspek yang mengambil bagian terpenting dalam menentukan komersialisasi produksi. Penguasaan pasar (eksportir) masuk ke nelayan patorani sekitar akhir tahun 1960-an, sebagai bentuk peralihan
pola
dari
penangkapan
jenis
induk
ikan
terbang
ke
penangkapan/pengumpulan telur ikan torani. Adanya keadaan tersebut, menuntut komersialisasi produksi semakin dikedepankan termasuk aktivitas yang berhubungan dengan perkembangan industri maritim. Pada awal tahun 1970-an eksportir sudah mulai memasuki Galesong Selatan yang merupakan basis nelayan patorani. Kondisi pada era ini, komersialisasi produksi sudah
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
89
menjadi pula salah satu tujuan pembangunan ekonomi yang dicanangkan oleh pemerintah untuk menjangkau pedesaan termasuk ke kawasan pantai dan masyarakat maritim. Program tersebut membuka ruang baik secara langsung maupun tidak langsung menumbuhkembangkan
investasi,
teknologi
dan
manajemen,
khususnya
pada
komunitas nelayan patorani di Galesong Selatan dan Galesong Utara Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Daya dukung pemerintah dapat terimplementasikan melalui investasi pemerintah dibidang perikanan hingga pada tingkat nelayan patorani. Keinginan pemerintah tersebut, memberikan insentif pada pendapatan nelayan yang masih sangat terbatas pada kebutuhan subsistensi ke arah komersialisasi produksi. Keberadaan nelayan patorani sejak lama sudah menjadi wadah untuk sumber penghidupan sebagian besar masyarakat Galesong saat itu. Namun, jenis perahu dan alat tangkap (pakkaja) masih sederhana, dan unit usahanya bersifat individual dan belum melibatkan pasar secara internasional, tapi lebih cendrung sasaran pemasaran lokal saja. Keadaan nelayan patorani dari tahun 1940-an hingga akhir tahun 1960-an merupakan
periode
dimana
belum
mengedepankan
produksi
yang
mengejar
keuntungan lebih besar dan hanya sekedar subsitensi dan surplus pun tidak tercipta. Dari keadaan itu, investasi perahu dan peralatan tangkap (pakkaja) pun dipergunakan apa yang dimiliki, dengan hanya mengandalkan kondisi alam. Periode ini jika dihubungkan pentahapan perkembangan masyarakat dari Rostow (1964), disebut sebagai tahap tradisional. Tahap ini melanda komunitas nelayan patorani, karena perahu yang digunakan sudah dianggap mampu memenuhi kebutuhan nelayan dengan menangkap induk ikan torani. Kemudian komersialisasi produksi pun, bukan menjadi prioritas untuk dikejar. Perkembangan terjadi ketika komunitas nelayan patorani telah berhubungan dengan investor untuk membantu permodaalan. Investasi tersebut, untuk pengadaan pengoperasian teknologi teknologi penangkapan. Investasi lokal (papalele) mulai mela melakukan kukan pada akhir tahun 1960-an. Walaupun investasi lokal, namun sangat membantu jalannya penangkapan bagi komunitas nelayan patorani. Sedangkan pinggawa dan sawi hanya sekedar pekerja dan tidak memiliki modal sepersenpun. Papalele banyak melakukan pemberian modal pada nelayan patorani dikhususkan pada orang-orang yang memiliki perahu atau juragan perahu. Posisi papalele membentuk ketergantungan permodalan pada pemilik perahu atau juragan, karena pengembalianya pun yang bertanggungjawab adalah pinggawa dan pemilik perahu. Karena itu pula, papalele tidak pernah secara langsung ikut dalam pen penangkapan. angkapan. Namun hasil hasil yang diperol diperoleh eh pinggawa binaannya binaannya melalui modal secara langsung (pasisambungan), hasil dan harga jualnya pun langsung ditentukan oleh papalele melalui standar pembelian eksportir. Kondisi pertumbuhan modal dan masuknya investasi inilah yang pada akhirnya membentuk stratifikasi komunitas nelayan patorani yang terimplementasikan dalam stratifikasi papalele dengan penangap p enangap (paboya) (paboya) yang yang teridi dari pinggawa dan sawi yang telah mengalami perubahan orientasi penangkapan dengan permintaan pasar. Namun kelompok paboya tidak kelompok paboya tidak mampu mengelola meng elola dan juga tidak memiliki akses pasar, sehingga ketergantunagan pada papalele tercipta kembali. Selain ketergantungan akan pasar,
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
90
pinggawa nelayan patorani pun sangat tergantung pada pengadaan modal operasional. Kondisi ini melahirkan kepentingan ekonomi maupun kepentingan dalam terciptanya relasi sosial di dalam komunitasnya, yang secara spesifik dalam komunitas nelayan patorani antara papalele dan pinggawa bercirikan hubungan patron klien. Hubungan ini terjadi, selama berlangsungnya transaksi antara papalele dan eksportir yang bukan hanya berintikan pada relasi ekonomi semata, tetapi didalamnya berlangsung pula relasi-relasi sosial yang di dalam relasi sosial tersebut dipengaruhi oleh adanya nilai-nilai atau norma-norma sosial yang membentuk formasi sosial di dalam komunitas nelayan patorani. Secara aplikatif konteks di atas, pada periode selanjutnya awal tahun 1970-an nelayan patorani mengalami pergeseran yang mengarah pada relasi ekonomi dan pergeseran orientasi penangkapan seiring dengan permintaan pasar. Masuknya eksportir sebagai pemilik pasar pada awal tahun 1970-an, hanya membutuhkan telur ikan sebagai bahan ekspor, tetapi induk ikan torani tidak menjadi lagi salah satu komoditi andalan nelayan patorani yang berada di Galesong Selatan dan Galesong Utara. Pergeseran pola penangkapan tersebut, membutuhkan suatu perubahan paradigma penangkapan, dan era tersebut nelayan patorani mengikuti permintaan pasar. Pergeseran tersebut, tentu membutuhkan adaptasi bagi komunitas nelayan patorani untuk mengubah mulai dari kapasitas teknologi peralatan perahu, seprti mesin dan alat penangkapan (pakkaja) yang dulunya menangkap khusus ikan torani kini beralih pada penangkapan khusus induk ikan torani. Peralihan itu, dilakukan hanya sekedar untuk mengikuti perkembangan pasar. Kalau mereka tidak mengikuti perkembangan pasar, dan hanya bertahan pada kebiasaan semula menangkap induk ikan torani, maka pemasarannya pun tidak akan terpenuhi. Situasi dalam era ini, pasar merupakan salah satu komponen yang berkuasa dan memaksa nelayan patorani untuk mengubah jenis tangkapannya. Selain tuntutan pasar, nelayan patorani pun dituntut oleh papalele untuk meningkatkan produksinya, karena papalele sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan yang mengarah pada peningkatan produksi. Hasil tangkapan merupakan suatu prioritas bagi papalele hanya untuk mengejar keuntungan.
Kasus 5 Awal Mula Penerapan Teknologi Alat Penangkapan Berorientasi Komersialisasi Produksi
H Daeng Tawang (62 tahun) seorang pinggawa yang menekuni sebagai nelayan sejak usia 23 tahun. Perjalanan hidupnya sebagai nelayan berawal dari menangkap induk ikan hingga bergeser pada penangkapan telur kan torani. Sejak masuknya investasi dengan beriringan komersialisasi produksi, maka sistem penangkapan pun juga ikut berubah. Mulai dari jumlah awak perahu hingga pada penggunaan teknologi, wilayah penangkapan pun semakin bertambah luas operasionalnya. Sebelum masuknya eksportir hal itu, belum menjadi prioritas, karena nelayan patorani hanya menangkap induk ikan untuk dipasarkan secara lokal dalam bentuk ikan kering. Walaupun ada juga nelayan patorani yang menjangkau pemasarannya hingga ke pulau jawa, namun kapasitas jumlahnya tidak begitu banyak. Sehingga nelayan
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
91
patorani pada e era ra tahun tahun 1940-an 1940-an hanya hanya mengandalkan mengandalkan
pemasaran hasil
tangkapannya yang sudah dalam bentuk ikan terbang kering dipasarkan secara lokal.
Realitas di atas, berlangsung cukup lama, namun pada era akhir tahun 1960-an atau sampai awal tahun 1970-an, investasi penangkapan telur ikan ikan torani. Usaha memungkinkan nelayannelayan patoraniberalih akan pada meningkat karena telur torani dilirik oleh eksporti. Sejak awal tahun 1970-an telur ikan terbang sudah menjadi komoditi yang dibeli oleh eksportir berasal dari negara Jepang. Investasi dan eksportir inilah mendorong munculnya sistem di dalam kepatoranian secara struktural dan mengikat diantara komunitas nelayan itu sendiri, sebagai salah satu unit yang terbentuk sejak masuknya investasi. investasi. Walaupun st struktur ruktur yang yang sangat sederhana sebelum investasi masuk sudah ada, namun belum begitu menjadi hal yang mengikat secara kontraktual.
Kasus di atas menggambarkan bahwa penerapan teknologi dilakukan untuk kepentingan komersialisasi produksi, yang di tandai bahwa pertama bahwa pertama Periode akhir tahun 1970-an merupakan tahap komunitas nelayan patorani mulai melakukan investasi melalui penanaman modal yang dimotori oleh papalele kepada pemilik perahu atau juragan perahu pinggawa perahu pinggawa;; Kedua diberlakukannya penerapan teknologi, secara otomatis produktivitas meningkat, surplus tercipta dan kelas pengumpul dan sambungan eksportir pun juga mulai bermunculan bermunculan;; Ketiga Keberadaan papalele secara otomatis pula memberikan kemudahan untuk memperoleh memperoleh akses permodalan untuk biaya operasiona operasionall selama melaut. Teciptanya hubungan timbal balik antara papalele dengan eksportir (pemilik pasar), tentu memiliki keuntungan tersendiri bagi papalele untuk mendapatkan akses permodalan dan sebaliknya pula pinggawa yang selama ini lebih banyak tergantung pada papalele. Menurut informan beberapa pinggawa mengatakan bahwa “keberadaan eksportir sangat memudahkan bagi kita sebagi pinggawa untuk mendapatkan modal”. Andalan bagi papalele untuk mendapatkan modal selain dari eksportir adalah melalui perbankan dengan agunan sertifikat tanah dan atau sertifikat perahu. Kondisi demikian tidak semuanya papalele nelayan patorani memiliki kemampuan untuk menembus perbankan dengan adanya agunan yang dipesyaratkan. Demikian pula dengan pinggawa, maka jalan satu-satunya para pinggawa bergantung sepenuhnya pada papalele. Adanya ketergantungan tersebut, maka peningkatan produksi yang mengarah pada mengejar target permintaan eksportir sering di tekanan papalele pada pinggawa. Tekanan yang dilakukan berupa pencapaian target pinggawa. Diberlakukannya target tersebut, maka semakin menambah beratnya beban yang ditanggung oleh pinggawa patorani. Namun disisi lain, dengan adanya tekanan tersebut menambah semangat pinggawa patorani untuk melakukan penangkapan dan mengejar target yang ditentukan sesuai dengan modal yang dikeluarkan berikut keuntunganny keuntungannya. a. Peningkata Peningkatan n penghasilan tidak terlepas pula diterapkannya teknologi penangkapan, dan mendorong semakin banyaknya merekrut sawi untuk bekerja. Demikian pula papalele pun juga bertambah jumlahnya untuk melakukan investasi pada nelayan patorani melalui hubungan kontrak
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
92
kerja dengan pinggawa. Keadaan itu, semakin menambah pula penghasilan keluarga nelayan patorani, yang pada akhirnya mengarah pada peningkatan kehidupan sosial ekonomi. Periode tahun 1970-an hingga tahun 2000-an, eksportir semakin banyak masuk ke daerah Galesong Selatan dan Galesong Utara untuk melakukan kontrak dengan para papalele, untuk pemenuhan kuota permintaan telur ikan torani, diantaranya Jepang, Korea dan China. Menurut informan eksportir Muh. Gassing (51) bahwa pada musim pengeksporan telur ikan torani pada tahun 2007 (sekarang ini) akan bertambah lagi satu negara yaitu Lithuania. Sejak telur ikan torani menjadi komoditi ekspor, maka peletak dasar eksportir yang pertama masuk yaitu negara Jepang pada awal tahun 1970-an hingga kini masih tetap menjadi negara sasaran ekspor bagi pelaku eksportir telur ikan torani yang berasal dari Galesong Utara dan Galesong Selatan. Setelah eksportir masuk ke komunitas nelayan patorani, merupakan langkah awal untuk meningkatkan produktivitas. Kemudian diikuti terciptanya surplus dan kelas pemodal pun mulai bermunculan, baik pemodal lokal maupun pemodal dari luar Galesong masuk membentuk hubungan tersendiri. Fenomena perkembangan yang terjadi pada komunitas nelayan patorani tersebut, bila dihubungkan dengan tahap perkembangan masyarakat Menurut Rostow (1960) bahwa periode ini dianalogikan sebagai tahap pra tinggal landas, yang berimplikasi pada loncatan dalam perkembangan tahap yang dipengaruhi oleh masuknya investasi dan perubahan penerapan teknologi alat penangkapan. Terkait hal itu, sebagaimana dikatakan Poinsoen (1969) bahwa investasi teknologi sangat menentukan transformasi industri. Dalam konteks nelayan patorani, telah mengalami perkembangan sejak masuknya investasi sebagai unsur yang menuntut peningkatan produksi. Adanya tuntutan produksi yang berorientasi pada ekspor, maka unsur selanjutnya yang ikut berubah b erubah pula adalah penerapan teknologi alat penangkapan. Realitas di atas, dapat disimpulkan bahwa pada periode akhir tahun 1960-an hingga awal tahun 1970-an merupakan tahap proses masuknya investor melalui eksportir. Masuknya eksportir tersebut, secara terbuka memaksa nelayan patorani untuk mengubah jenis tangkapannya dari induk ikan torani beralih ke penangkapan telur ikan torani semakin menguat kepermukaan. Selain itu pula, permintaan modal operasional semakin meningkat, dan kebutuhan keluarga juga semakin menjadi tuntutan. Sehingga investor jadi obyek bagi nelayan patorani untuk bergantung memperleh permodalan operasional. Ketergantungan Ketergantungan permodalan dilakukan baik investor lokal maupun investor dari luar Galesong. Tuntutan pada periode ini mengarah pada peningkatan hasil, sehingga pengembangan teknologi penangkapan pula maju beriringan. Bila di analogikan dengan teori perkembangan masyarakat dari Rostow (1964), tahap ini disebut sebagai tahap tinggal landas. Uraian di atas, atas, dapat dirangkum dalam tiga hal. Pertama Pertama,, bahwa komunitas nelayan patorani pernah mengalami era penangkapan dengan subsistensi. Keadaan ini terjadi pada era tahun 1940-an dengan hanya mengandalkan penangkapan induk ikan torani sebagai komoditi yang di pasarkan secara lokal dalam bentuk ikan kering. Pada era ini, investasi eksportir belum menjadi prioritas Kedua Masuknya investasi dan eksportir
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
93
pada komunitas nelayan patorani berlangsung secara bertahap yakni pada era akhir tahun 1960-an hingga awal tahun 1970-an dengan eksportir dari Jepang sebagai negara eksportir yang pertama masuk dikomuntas nelayan patorani sejak terjadinya pergeseran penangkapan dari induk ikan ke telur ikan. Namun dalam era tahun 1990-an hingga tahun 2000-an, negara eksportir bertambah lagi yakni negara Korea. Ketiga Ketiga Kontribusi dari investasi para eksportir mengubah produktivitas dari tradisional ke komersialisasi produksi sehingga tahap perkembangan yang tradsional hingga ke tinggal landas, sesuai teori perkembangan dari Rostow (1960), dapat terjadi pada komunitas nelayan patorani. Hal tersebut ditandai, adanya perubahan orientasi sasaran penangkapan menyebabkan terjadinya penyesuaian alat tangkap yang dipandang lebih baik dan lebih produktif dari sebelumnya.
4.2.1.2. Masuknya Kapitalisme ke Arah Peningkatan Penghasilan Sejarah kelahirannya ekonomi dunia kapitalis berawal dari dunia eropa dari abad ke-15 dan abad ke-16 mengalami ekspansi dan evolusi yang terus menerus. Ekspansi berarti bahwa kapitalis terus memperluas jangkauan geografisnya dimuka bumi ini sedangkan evolusi berarti bahwa komponen-komponen ekonomi dunia terus menerus mengubah strukturnya menjadi satu kesatuan. Perkembangan awal kapitalisme sekitar abad ke-15, menurut Dobbs (dalam Sanderson, 2000: 171) melalui anlisisnya sangat terkait dengan ekspansi aktivitas ekonomi dan kekuatan sosial yang dimiliki oleh pedagang urban. Sepanjang dua abad, kapital pedagang lebih teratur daripada kapital industri. Dengan demikian, aktivitas ekonomi pada abad-abad tersebut didominasi oleh pedagangpedagang kota yang merupakan pelaksana perusahaan niaga, dengan mendapatkan kekuatan yang terus meningkat di berbagai tempat. Terkait hal itu, bahwa masuknya kapitalisme pada komunitas nelayan patorani bermula sejak pertengahan abad ke-20 setelah telur ikan torani dijadikan sebagai komoditi pasar secara internasional. walaupun sebelumnya nelayan patorani tidak menjadikannya telur ikan sebagai komoditi komersialisasi, tapi hanya sekedar untuk menutupi kebutuhan hidup keluarganya (subsistensi). Dan nelayan patorani menjual hasil tangkapannya hanya untuk sekedar bila ada kelebihan kebutuhan hidupnya, dalam bentuk dikeringkan kemudian dijual dipasaran untuk dikonsumsi oleh masyarakat lokal.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
94
Sebagaimana temuan Munadah (1991) bahwa pada abad ke-19 belum ditemukan bukti-bukti sejarah mengenai usaha penangkapan induk ikan terbang yang hasilnya diperjual belikan apalagi telur ikan torani. Hal itu, berarti bahwa sebelum abad ke-19 usaha penangkapan ikan terbang masih bersifat subsistensi. Sedangkan bukti-bukti adanya komersialisasi dan masuknya kapitalisme baru ditemukan pada sekitar tahun 1938, yakni dimulainya pengiriman induk ikan terbang ke Jawa Timur tepatnya di daerah Gersik, Panarukan dan Banyuwangi. Fakta itu, komunitas nelayan patorani hanya sekedar melakukan pelayaran dan menyinggahi pulau untuk menjual secara langsung hasil tangkapannya ke pasaran.
Kasus 6 Masuknya Kapitalis Sebagai Pendorong Komersialisasi Produ Produksi ksi
Kehadiran kapitalisme tidak dapat dipungkiri sebagai bagian yang tidak dapat dilepaskan dengan setiap aktivitas usaha, sehingga kapitalisme penyebarannya semakin mengglobal hingga ke masyarakat pesisir dan nelayan. Tak terlepas pula dengan nelayan patorani yang merupakan komunitas yang sangat menjanjikan bagi kapitalis untuk menanam modalnya. Hal itu, ditanda pada awal abad ke 20-an, kapitalisme sudah mulai masuk memainkan pasar. Salah satu tuntutannya yaitu komersialisasi hasil tangkapan nelayan patorani yang mengarah pada fokus produksi. Komersialisasi bermula dari perdagangan induk ikan terbang yang di keringkan (menjadi dalam bentuk ikan asin) kemudian di kirim ke pasar lokal Sulawesi Selatan hingga dikirim ke Pulau Jawa.
Pada sektor peradagangan induk ikan terbang dalam bentuk dikeringkan mengarah pada pemusatan akumulasi kapital. Pemasarannya banyak dimainkan oleh kapitalis keturunan Tionghoa (cina) yang ada di Makassar maupun yang a da di Jawa Timur. Era itu, sudah memungkinkan munculnya kapitalis pedagang-pedagang lokal komunitas nelayan patorani itu sendiri sekaligus menjadi pedagangnya atau pedagang dari luar memasuki nelayan patorani menjadi pelaku ekonomi yang mendominasi dan mendirikan usaha dagang. Penumpukan keuntungan dilakukan dengan cara menopoli distribusi ind uk ikan terbang dalam bentuk sudah dikeringkan. Kondisi ini pula, menghilangkan kekuatan nelayan patorani untuk memasarkan hasil tangkapannya, karena dominasi pedagang Cina yang berdomisili di Makassar. Untuk melakukan suatu kekuatan penyeimbang dari monopoli itu, maka sebagian nelayan patorani melakukan kontak dagang d engan pelaku ekonomi yang berasal dari Jawa Timur.
Kasus di atas menggambarkan bahwa para pedagang membuka peluang berkembangnya pedagang baik lokal maupun pedagang yang berada b erada di luar Galesong. Masuknya dan berkembangnya pedagang Cina awalnya masih terfokus pada pemmem p emmembelian belian hasil
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
95
tangkapan berupa induk ikan torani yang dikeringkan. Tuntutan Tuntutan kebutuhan permodalan sudah menjadi prioritas yang dharapkan oleh komunitas nelayan patorani. Pada masa ini, pinggawa masih memegang peranan penting dari segi penangkapan dan permodalan. Persaingan untuk memperoleh hasil, sudah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan modal yang banyak sebagai sumberdaya pendukungnya. Kondisi demikian tergambarkan dalam kasus di atas yakni era awal awal abad 20-an patorani masih mengandalkan peralatan yang sangat sederhana. s ederhana. Perahu tradisional masih menjadi alat penangkapan dengan hanya mengandalkan layar (sombala) (sombala) sebagai sebagai kekuatan untuk menjalankan perahu. Kasus diatas pula menggambarkan, bahwa kapitalis Cina menguasai segmen permodalan. Ketergantungan tersebut, tidak menjadi kendala, karena nelayan patorani pun memiliki alternatif untuk menjual hingga ke pulau Jawa. Untuk mendukung usaha hasil tangkapan, maka nelay nelayan an patorani pun berusaha mencari alternatif lain untuk memperoleh memperoleh modal. Adanya tuntutan kebutuhan permodalan itulah maka terbentuk suatu Koperasi Nelayan Indonesia (KONI) yang berkedudukan di Makassar, sebagai wadah secara organisasional dapat membantu permodalan bagi komunitas nelayan patorani. Koperasi nelayan ini didirikan awalnya oleh C daeng Congkeng, salah seorang s eorang pelaut Bugis Makassar yang melakukan kontak dagang dengan pedagang berasal dari Jawa Timur. Koperasi Koperasi ini bertujuan untuk memberikan modal usah pada nelayan, dengan simpanan wajib dan simpanan pokok yang menjamin keuangan dengan anggotanya sebesar 40,5%. Sebagaimana Amir (1989: 95) bahwa Keberadaan KONI pada tahun pertama berdiriny berdirinya a sempat menguasi modal usaha kegiatan kenelayanan dari tahap produksi hingga pada tahap pemasaran. Namun pada tahun 1948, koperasi ini mengalami masa krisis, karena C Daeng Congkeng meninggal dunia. Kondisi ini otomatis dana KONI tidak berjalan lagi, dan tidak ada yang sanggup menjamin keuangan anggota, akhirnya modal KONI habis dan resmi
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
96
dinyatakan bubar pada tahun 1948. Sepeninggalan beliau tidak ada kadernya yang meneruskan, sehingga masa ini memberi peluang bagi para Kapitalis Cina yang berkedudukan di Makassar menginvestasikan modalnya. Untuk pertama kalinya peluang ini dimanfaatkan oleh seorang keturunan Cina yang menetap di Makassar bernama Hai Hong. Kegiatan awalnya mendirikan usaha dalam bentuk Kongsi Dagang dengan sejumlah nelayan setempat terutama nelayan patorani di Galesong. Di sini merupakan awal mula masuknya kapitalis Cina, dan diperkirakan sekitar pertengahan abad ke 20-an. Situasi itu, sistem bagi hasil antara pemilik modal dengan nelayan pekerja sudah mulai menjadi perioritas.
Peluang bagi kapitalis Cina yang menetap di Makassar, tidak hanya bergerak di
bidang pengadaan modal dalam bentuk tunai tetapi juga dalam bentuk pengadaan kredit perahu. Pemasaran hasil tangkapan pun dilakukan untuk memperluas jangkauan sektor usahanya. Sistem pemasaran menjadi kekuasaan kapitalis Cina. Kuota permintaan pasar semakin meningkat, baik regional (Pulau Jawa) dan domestik (Kotamadya Ujung Pandang kini menjadi Kota Makassar). Usaha yang terbentuk melalui kongsi dagang itu, sempat bertahan cukup kuat (dalam arti monopoli) hingga pada akhir tahun 1952. Perkembangan usaha kaum kapitalis Cina mulai oleh CV. Pantai Mas Panarukan Jawa Timur yang membuka perwakilan di Makassar. Perusahaan di pimpin oleh seorang direktur bernama Toke Bodo (nama gelar). Usaha yang sama dilakukan pula oleh Hai Hong, CV. Pantai Mas ini sempat bertahan cukup kuat sebagai pemilik pasar hingga pada akhir tahun 1956.
Berdasarkan fakta proses jatuh bangunnya kelompok-kelompok kapitalis di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan awal bahwa kapitalis sudah lama masuk di daerah Galesong Selatan dan Galesong Utara. Hal ini ditandai dengan awal mula pendirian koperasi secara khusus memberi kredit pada nelayan patorani. Pemberian modal melalui koperasi secara umum belum besar jumlahnya, tetapi unsur kapitalis sudah mulai berkembang. Pemberian kredit pada anggota melalui sistem kredit simpanan wajib dan simpanan pokok. Sistem itu,
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
97
nelayan diwajibkan untuk tetap membayar simpanan wajib dan simpanan poko kepada koperasi. Seiring perjalanan koperasi, pedagang Cina pun masuk pada komunitas nelayan patorani menjadi kelompok perantara untuk menghubungkan pada pihak pasar dan lebih mengejar keuntungan.
Perkembangan selanjutnya, pengadaan kredit perahu dan pemasaran hasil tangkapan tidak lagi dilakukan secara monopoli oleh kapitalis Cina. Pengadaan kredit mulai ditangani oleh sejumlah pengusaha baru yang bermunculan di sepanjang pantai Kotamadya Ujung Pandang (kini kota Makassar). Pengusaha- baru itu adalah berasal dari pengusaha pribumi (non kuturan Cina) dan pengusaha Cina lainnya. Pengusaha itu, mereka bersaing dalam hal pengadaan modal usaha berupa perangkat peralatan penangkapan (perahu dan alat tangkap). Persaingan berupa pemberian biaya operasional operasional hingga pada pemasaran hasil pun menjadi tanggung jawab para pengusaha. Kendati mereka bersaing, namun pengusaha lokal keturunan Cina tetap masih dominan untuk menjalin hubungan kerja dengan komuitas nelayan patorani.
Selama fase intervensi, kelompok kapitalis maupun koperasi semakin menguat, dan secara umum komunitas nelayan patorani tidak mengalami perubahan yang cukup berarti, khususnya dalam peningkatan tarap hidup mereka. Penghasilan nelayan selalu kehabisan modal dalam setiap kali mau memulai operasi penangkapan (pada musim pattoranian). Sebaliknya para kapitalis Cina maupun lokal khusus yang berkedudukan di Ujung Pandang (sekarang Makassar), tampak jauh lebih maju (sejahtera). Kapitalis Cina kecenderungan lebih maju usahanya dan memperoleh banyak keuntungan dari komunitas nelayan, karena para pemilik modal ini, mengikat secara kontraktual hubungan kerjanya. Ikatan kontrak yang dilakukan berdasarkan dana pinjaman yang diberikan oleh nelayan patorani, kemudian imbal dari itu hasil tangkapan semuanya dikumpulkan ke pemilik modal. Selain dari itu, kapitalis Cina memberikan motivasi pada nelayan agar harapan adanya peningkatan produksi setiap
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
98
musim penangkapan.
Selain kontrak di atas, diperkuat pula dalam bentuk perjanjian bagi hasil dengan syarat seluruh hasil tangkapan diserahkan kepada pemilik modal. Kemudian pengembalian modal yang sudah dikeluarkan oleh kapitalis, dilakukan melalui pemotongan dari bagian hasil yang diperoleh nelayan pekerja (pinggawa dan sawi). Tidak ada batas waktu pengembalian dan besarnya kredit yang harus dibayar pada saat tertentu oleh nelayan pekerja. Tetapi kapan nelayan pekerja menjual hasil tangkapannya ke tempat lain dan di luar sepengetahuan pemilik modal, maka perahu yang dioperasionalkan tersebut dapat saja ditarik kepenguasaanya dari tangan nelayan pinggawa. Kredit yang sudah terlanjur di ambil, nelayan wajib melunasi de dengan ngan diberikan teng tenggang gang waktu melalui musim. musim. Realitas Realitas itu, pemberi kredit memegang peranan penting dalam mengikat nelayan pekerja untuk tetap bekerja pada kapitalis yang bersangkutan.
Secara umum, bahwa kehidupan nelayan patorani dalam kondisi k ondisi ini, Kurang berubah kualitas hidupnya. Keprihatinan dari pemerintah setempat pun mulai terusik untuk ikut membantunya. Pemerintah Kabupaten Takalar Donggeng Dg, Ngasa yang pada waktu itu pada tahun 1960-an menjabat sebagai bupati Kabupaten Takalar, memiliki jiwa ingin membangun komunitas nelayan patorani, sehingga terpanggil untuk mendirikan sebuah lembaga yang dapat menghimpun para nelayan. Lembaga yang dibentuknya adalah bernama Yayasan Patorani Galesong yang diketuai langsung oleh bupati yang bersangkutan. Yayasan ini sebagai pemerhati, sekaligus merupakan jawaban atas eksploitasi ikatan kontraktual yang yang selama ini dilakukan oleh para pemilik modal (kapitalis) yang berkedudukan di Makassar.
Dalam perkembangnnya kemudian, tenyata pelarangan ini tidak dapat memutuskan hubungan para kapitalis yang berkedukan di Makassar. Hal itu terjadi, karena program yang
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
99
dicanangkan oleh Yayasan Patorani Galesong, yakni sebagai perantara antara nelayan pekerja dengan Bank Pemerintah. tidak dapat berjalan yang diharapkan oleh kedua belah pihak. Kegagalan misi yang diembang oleh yayasan tersebut menjadikan masyarakat nelayan berada dalam keadaan transisi. Pada akhirnya nelayan setempat tetap menjalin hubungan kerjasama dengan para kapitalis sebelumya terutama bagi mereka yang masih terikat secara kontraktual, kontraktua l, akan tetapi hubungan kali ini adalah melalui perantara.
Disinilah awal munculaya Papalele, yang diberi kepercayaan dari para kapitalis yang berkedudukan di Makassar untuk mengkoordinir dan mengumpulkan hasil tangkapan dari nelayan pekerjaannya. Sebagai perantara yang telah mulai mengidap (ketularan) Gap (ketularan) penyakit yang berjiwa kapitalis. Papalele memiliki motivasi untuk ingin memperoleh keuntungan lebih dari komisi yang diperoleh dari pemilik modal. Motivasi inilah awal melahirkan para papalele dengan dua kekuatan yang terpresentasikan ke dalam nelayan patorani, yakni pertam yakni pertama a berusaha untuk memperoleh keuntungan pada penggunaan biaya operasional maupun pada penjualan hasil. Kedua Biaya operasional yang diperoleh dari kapitalis untuk nelayan pekerja tidak diberikan dalam bentuk tunai tetapi dalam bentuk materi, seningga dimungkinkan papalele perantara memperoleh keuntungan dari materi tersebut. Begitu pula harga hasil tahapan yang diberitahukan kepada nelayan pekerja, yang oleh papalele perantara adalah lebih rendah dari yang ditetapkan oleh pemilik modal dan harga dipasaran.
Masuknya kapitalis negara-negara negara-negara dari luar (eksportir) melalui perantara papalele maka secara otomatis orientasi komersialisasi komersialisasi produksi semakin menjadi prioritas. Untuk mencapai hal itu, maka papalele lokal menempuh jalan satu-satunya satu-satunya adalah kalangan papalele menambah jumlah populasi armada perahunya. Selain papalele pa palele melakukan penambahan perahu, maka strategi lain pun dilakukan oleh papalele dengan melalui
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
100
jalan menambah jaringan pinggawa pinggawa yang memiliki perahu tetapi tetapi tidak memiliki sumberdaya permodalan. Seiring meningkatnya jumlah populasi perahu patorani di Galesong, maka secara
otomatis penghasilan yang diperoleh papalele (pemilik modal) dari hasil eksploitasi dari nelayan pekerja, juga bertambah banyak pula. Perlakuan pembag pembagian ian hasil yang diterapkan oleh papalele pada pinggawa p inggawa nelayan patorani secra faktual tidak berimbang. Papalele hanya mengejar keuntungan, dengan dalih menuntut pinggawa nelayan patorani untuk selalu memperoleh hasil yang lebih banyak, agar pembagian yang diperoleh juga semakin banyak dan modal yang terlebih dahulu diambil dapat dikembalikan dalam satu musim itu juga. ju ga. Kapitalisme semakin pesat perkembangannya, ketika permintaan pasar internasiona i nternasionall (eksportir) sudah mulai masuk sebagai salah satu komponen yang menguasai produksi hasil tangkapan nelayan patorani di Galesong selatan dan Galesong Utara. Kelompk kapitalis eksportir ini, mulai masuk sejak akhir tahun 1960-an yang pada awalnya eksportir paling pertama menginjakkan di Galesong Selatan dan Galesong Utara adalah negara Jepang dan kemudian di susul negara lainnya yakni Korea. Pada awalnya kedua negara ini memiliki masing-masing strategi untuk bersaing, yang cenderung dilakukan dalam persaingan itu adalah dengan memainkan harga di pasaran.
Kehadiran negara-negara eksportir ini pulalah membuat semakin terbukanya peluang kredit investasi para papalele, dan semakin memperkuat posisi papalele untuk tampil mandiri sebagai pemilik sumberdaya permodalan dan fasilitas alat tangkap lainnnya. Kekuatan papalele itu pulalah sehingga ikut mempermainkan pasar dengan mengesploitasi pinggawa dan sawinya. Dampak kekuatan papalele itu, menyebabkan semakin tidak adanya kekuatan pinggawa untuk tidak mempertahankan ketergantungan modal. Papalele dalam
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
101
kondisi terhimpit pun selalu menuntut agar pinggawa memperoleh hasil yang maksimal, agar modal operasional dapat tetap dikembalikan.
Untuk memperkuat modal usahanya, papalele mempunyai jaringan secara langsung ke Bank BRI. Peminjaman melalui Bank BRI papalele sudah diberikan kepercayaan untuk peminjaman kredit. Agunang yang digunakan sebagai jaminan, para papalele menggunakan sertifikat tanah, rumah dan atau perahunya. Pengembalian atas dana yang sudah dipinjam tesebut, dibebankan sepenuhnya oleh pinggawa nelayan patorani. Setiap musim torani (April-September), papalele berlomba untuk memperoleh pinjaman di Bank BRI, kemudian di sebarkan ke seluruh pinggawa yang mau melakukan hubungan kerja sama (passisambungan).. Kerjasama ini, dilakukan dalam bentuk peminjaman permodalan antara (passisambungan) papalele dengan pinggawa. Kerjasama peminjaman ini, bagi papalele tidak perlu meminta agunan dari pinggawa-sawi, tetapi lebih cedenerung melalui dengan kontrak kepercayaan. Selain itu hasil tangkapan harus semuanya di serahkan ke papalele yang memberikan modal sumberdaya permodalan untuk dihitung hasilnya kemudian pengembalian utang pun di proses serta pembagian hasil untuk bagian papalele, pinggawa dan sawi.
Setelah masuknya kapitalis eksportir bekerjasama dengan kapitalis lokal (papalele), maka semakin mendukung menguatnya posisi pemilik pasar dan penerapan teknologi sebagai sumberdaya pendukungnya pun menjadi sasaran investasi para papalele untuk lebih ditingkatkan. Sedangkan papalele sendiri semakin memperkuat strategi teknologi alat penangkapan dan fasilitas yang mendukung berjalannya kerjasama eksportir. Daya dukung tersebut antara lain wadah penyimpanan hasil produksi seperti gudang. Dan daya dukung lainnya adalah tempat proses pemarutan telur ikan torani untuk memisahkan serat dengan telurnya semakin diperbesar sebagai tempat yang terpenting tempat terakhir untuk memproses telur ikan torani. Kesemua proses ini, membutuhkan teknologi agar telur ikan dapat bertahan lama hingga menunggu harga dipasaran semakin membaik. Kemenangna
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
102
papalele disini, bisa memainkan negara-negara eksportir berkaitan dengan kuota permintaan perminta an beserta harga dipasaran berdasarkan persaingan harga eksportir eksportir
Strategi papalele itu merupakan suatu hal normal sebagai penguasa lokal dan kelompok yang terkuat posisisinya di komunitas nelayan patorani ikut bermain di pasaran. Pentingnya penentuan harga jual di pasaran, merupakan hal yang mutlak dilakukan. Apalagi pasar yang dikuasai oleh eksportir, sangat mudah untuk diberlakukan penguasa-penguasa tertentu yang pada muaranya akan memunculkan sifat-sifat monopoli harga di pasaran. Sehingga untuk mengantisipasi hal itu, perlu adanya penyeimbang sebagai kontrol agar tidak merugikan sebagain pihak. Adanya kontrol pula maka baik eksportir maupun papalele komunitas nelayan patorani tidak mempermainkan harga telur ikan.
Terkait adanya penguasaan pasar itu, Menurut Polanyi (1998: 152) bahwa sebuah ekonomi pasar adalah sebuah sistem ekonomi yang dikontrol, diatur, dan di arahkan oleh pasar itu sendiri. Peraturan dan produksi dan distribusi barang yang dipercayakan kepada mekanisme mengatur diri sendiri. Peraturan dan produksi dan distribusi barang yang dipercayakan kepada mekanisme mengatur diri sendiri. Ekonomi jenis ini berasal dari suatu harapan bahwa umat manusia akan mengambil sikap sedemikian rupa untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Sistem ekonomi ini menganggap pasar sebagai tempat penyediaan barang (termasuk jasa) dengan harga tertentu yang berdasarkan harga tertentu akan memenuhi permintaan.
Kondisi yang berbalik, kenyataannya ternyata produksi malah dikontrol oleh harga, karena keuntungan dari pihak yang menjalankan produksi akan tergantung padanya serta distribusi barang juga akan tergantung pada pasar. Distribusi barang juga akan tergantung pada harga, karena membentuk pendapatan dan dengan bantuan pendapatan. Barang yang diproduksi di distribusikan di antara para pelaku ekonomi antara papalele dan eksportis. Berdasarkan pengandaian ini, sebuah aturan dalam peroduksi dan distribusi hanya di jamin
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
103
oleh harga. Atas dasar pengertian tersebut di atas, maka dapatlah dilihat bagaimana kemampuan usaha papalele dan eksportir dalam memperoleh keuntungan dengan melihat dari cara dan strategi mereka dalam menetapkan harga.
Penetapan harga telur ikan torani pada komunitas nelayan patorani sepenuhnya ditentukan oleh papalele dengan pertimbangan dari aspek biaya (biaya tetap maupun biaya tambahan), tenaga kerja, bunga pinjaman papalele di perbankan ikut pula memainkan peranan penting dalam penetapan harga. Penetapan harga inilah yang biasanya disebut dengan harga pokok, yang selanjutnya harga pokok ditambah dengan margin keuntungan yang diharapkan akan menentukan harga jual yang akan ditanggung oleh eksportir. Hubungan semacam ini antar papalele dengan eksportir lebih banyak berlangsung dalam sistem permainan pasar dengan tergantung pada kondisi dan musim penangkapan telur ikan torani itu sendiri yakni antara bulan Maret hingga bulan September.
Berdasarkan wawancara dengan Muhammad Dg Gassing seorang eksportir mengatakan bahwa kondisi harga telur ikan dipasaran tidak menentu, tergantung pada kondisi kebutuhan kuota barang eksportir, bila musim lagi banyak barang maka bisa saja eksportir memainkan harga dan kuota barang. Posisi eksportir di sini, memiliki kekuatan dalam hubungan jual beli sebagai unsur bagian pemilik pasar internasional. Namun sebaliknya, bila eksportir lagi membutuhkan telur ikan yang banyak maka, biasanya dimainkan oleh pengumpul pada tingkat lokal yaitu papalele. Permaianan yang dilakukan oleh papalele tentang harga, secara langsung bersentuhan dengan pinggawa. Terkait hal itu, papalele sebagai agen pengumpul dari pinggawa patorani memberikan keputusan harga sesuai dengan kemauan dan kehendak papalele. Pada situasi seperti inilah, memunculkan ketidak terbukaan papalele pada pinggawa sehingga biasa terjadi perbedaan harga di antara papalele terhadap pinggawanya.
Sejak awal tahun 1970-an menurut informan papalele dan eksportir Muhammad Dg
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
104
Gassing (51 th) bahwa nelayan patorani beralih kepenangkapan dari induk ikan torani ke penangkapan telur ikan torani. Peralihan ini dilakukan, karena nelayan patorani sudah mengejar keuntungan berdasarkan permintaan pasar. Kehadiran pasar untuk membeli telur ikan torani, maka secara otomatis papalele
meminta pinggawanya pinggawan ya untuk beralih
penangkapan. Peralihan ini pula di lakukan, karena telur ikan torani sudah menjadi komoditi yang sangat diutuhkan oleh pasar. Sejak awal peralihan penangkapan dari induk ikan torani ke telur ikan torani, harganya masih relatif rendah, bila dibandingkan dengan biaya operasional yang dikeluarkan. Menurut informan pinggawa bahwa walaupun tahun itu, yakni tahun 1970-an harga telur ikan torani dibeli senilai Rp.11.000, namun nelayan patorani merasa memiliki peningkatan pendapatan bila dibandingkan pada saat menangkap induk ikan torani. Pembeli saat itu masih dilakukan melalui sambungan antara eksportir dengan kelompok pengusaha yang berdomisili di kota Makasasar. Situasi itu antara dasawarsa 1970an hingga tahun 1980-an pasar masih di dominasi oleh pengusaha yang memiliki akses negara-negara pengespor telur ikan torani. Dalam situasi penguasaan pasar didominasi oleh pedagang-pedagang itu, maka papalele lokal tidak mempunyai kemampuan akses untuk menembus para eksportir, karena kondisi saat itu eksportir belum sampai menembus langsung ke papalele lokal yang berdomisili di Galesong Selatan maupun di Galesong Utara.
Namun setelah tahun 1980-an sampai tahun 1990-an, eksportir sudah langsung berhubungan dengan kelompok-kelompok pengumpul yang berada di Galesong, sedangkan pengumpul langsung berhubungan dengan papalele (pemilik modal) dan peralatan tangkap. Setelah masuknya eksportir secara langsung, maka harga telur ikan pun semakin menanjak harganya. Kondisi ini, terjadi seiring permintaan eksportir membutuhkan barang yang banyak, sehingga harga telur ikan torani pada tahun 1990-an hingga tahun 2000-an berkisaran antara Rp.100.000,- sampai Rp.300.000,-. Harga komoditi telur ikan torani semakin menanjak harganya karena eksportir membeli dengan menggunakan perhitungan standarisasi mata uang dollar. Kemudian peningkatan harga pula terjadi karena masuknya
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
105
negara-negara negara-nega ra lain sebagai eksportir, yakni negara Korea sebagai eksportir yang kedua dan juga ikut memainkan harga pasar, dan bahkan mampu membeli hingga seharga Rp.300.000an.
Terkait pernyataan informan eksportir di atas, bahwa penentuan harga telu telurr ikan tergantung pada situasi bulan-bulan tertentu pengiriman barang. Musim yang dianggap di anggap sebagai situasi bulan pengesporan itu adalah pada bulan Juli hingga September. Pada pengiriman pertama dilakukan kegiatan pengeksporan pada negara sasaran ekspor yakni pada bulan Juni. Pada bulan Juni ini i ni harga belum menjadi keputusan mutlak, mutl ak, artinya tergantung dari kuota permintaan negara eksportir. Namun pada bulan Juli bisa bi sa saja harga bertambah naik lagi hingga pada puncak pengiriman pada bulan September. Setelah musim pattoranian sudah berakhir dan barang masih ada, maka disimpan dalam wadah penyimpanan khusus sambil menunggu permintaan negara sasaran ekspor berikutnya. Pengeksporan Pengeksporan di luar musim pattoranian, pattoranian, maka biasanya harga sediit lebih mahal di bandingkan pada musim pattoranian, tapi menurut informan eksportir dalam wawancara bahwa “permintaan di luar musim jaran terjadi, t erjadi, karena negara sasaran eksportir sudah membeli sebanyak-banyaknya pada musim pattoranian dan kemungkinan sudah memenuhi kuota hingga musim pattoranian berikutnya”. Terkait pernyataan eksportir tersebut, mengungapkan bahwa kondisi harga telur ikan torani kadangkala tidak menentu. Kalau hasil yang diperoleh oleh nelayan patorani memenuhi kuota negara tujuan ekspor, maka harga dapat dimainkan oleh negara tujuan. Kemudian secara internal papalele dapat mengembalikan dana operasionalnya kepada eksportir. Metode pengembalian pinjaman modal operasional papalele kepada eksportir tidak ada resiko atau tuntutan apapun juga. Kondisi itu, sebenarnya jarang terjadi, namun kalupun terjadi maka penyelesaiannya di berikan sepenuhnya kepada eksportir untuk menjual hasil tangkapan.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
106
Terkait tentang pemberian modal pada nelayan patorani, sepenuhnya diberlakukan kebiasaan saling kepercayaan kedua belah pihak, antara papalele dengan pinggawa. Pemberian modal tersebut lebih kecenderungan pada kepercayaan untuk memperoleh hasil tangkapan sebanyak-banyaknya sesuai dengan harapan. Pemberan modal tersebut bukan tanpa konsekuensi, tapi sebelum berangkat sudah ada beban yang ditanggung bersama. Artinya bahwa bila nasib tidak berpihak, maka bukan hanya pinggawa yang tidak dapat mengembalikan modal ke papalele, akan tetapi papalele juga menanggung beban berat untuk mengembalikan dana dan bunga pinjamannya di bank BRI yang terlebih dahulu dipinjamnya. Tuntutan komersialisasi produksi pada era penangkapan telur ikan torani, sangatlah diperlukan dan tuntutan ini pulalah menjadi faktor pendorong utama untuk tetap eksis baik untuk hubungan eksportir (pemilik pasar) maupun hubungan bantuan permodalan (perbankan).
Perkembangan ke arah komersialisasi produksi pada telur ikan torani, merupakan tuntutan permintaan pasar sebagai investor. Untuk mengikuti perkembangan tersebut, maka jalan satu-satunya satu-satunya oleh nelayan nelayan patorani adalah menyerap teknologi teknologi penangkapan penangkapan modern. Peralatan pendukungnya adalah perahu dengan ukuran yang lebih besar dan penambahan jumlah tenaga kerja yang lebih profesional. Penyerapan jenis teknologi penangkapan yang digunakan sekarang yakni kapasitas mesin perahu dinilai paling modern pada komunitas nelayan patorani. Selain daya tangkapnya yang jauh lebih besar dibanding dengan jenis teknologi penangkapan pada era tahun 1940-an hingga akhir tahun 1960-an.
Kapitalisme yang berjalan di atas landasan komersialisasi dan modernisasi teknologi, teknolo gi, sebagai cerminan pada komunitas nelayan patorani lebih menggambarkan respon terhadap pasar dan sisi peningkatan teknologi mekanisasi penangkapan. Posisi ini, hanya golongan yang memiliki aksesbilitas terhadap pemerintah dan lembaga-lembaga keuangan yang lebih cepat merspon, sehingga menyebabkan terjadinya ketimpangan kelas antara
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
107
pemilik modal (papalele) dan nelayan pekerja (pinggawa dan sawi). Modernisasi perikanan dalam perkembangannya hanya bisa diakses oleh segelintir nelayan kaya yang memiliki modal dan pengetahuan.
Secara realitas, bahwa pemilik modal (papalele) merupakan kelompok yang pertama memperoleh kesempatan untuk tampil sebagai pelaku ekonomi dominan (kapiatalisasi biaya operasional). Selain itu, papalele pula memiliki peluang untuk membuka akses tanpa melalui perantara kepada para eksportir. Adanya kontak kontak secara langsung ini, tentu saling menguntungkan antara pelaku ekonomi lokal (papalele) dengan para eksportir. Sehingga para eksportir setelah tahun 1990-an sudah masuk secara langsung ke Galesong mengambil barangnya melalui papalele yang terlebih dahulu melakukan kontak dagang. Era kapitalis pada komunitas nelayan patorani, lebih cenderung bersumber pada mengejar keuntungan.
Asumsi itu terkait Dobb (dalam Sanderson, 2000: 171) yang memberikan penjelasan bahwa dalam sistem kapitalis terdapat dua lapisan. Lapisan pertam pertama a adalah bahwa banyak perdagangan pada saat itu, terutama perdagangan luar negeri, mengandung kepentingan politis atau perampokan terselubung; dan lapis kedua kelas pedagang segera setelah membentuk suatu persekutuan dagang dengan cepat memperoleh hak monopoli yang melindungi usahanya dari persaingan, dan berdagang hanya untuk keuntungannya sendiri dalam berhubungan dengan produsen atau konsumen. Analisis Dobb bahwa perdagangan dua lapis dalam periode kapitalis berkuasa memberikan dasar yang esensial bagi kemakmuran awal bagi tuan tanah dan akumulasi kapital pedagang.
Dikaitkan dengan asumsi tersebut, bahwa komunitas nelayan patorani dalam era tahun 1990-an hingga tahun 2000-an terjadi monopoli antara papalele sebagai penguasa kapitalis lapis pertama memainkan perannya sebagai pemilik modal dan memberikan ketergantungan sepenuhnya dengan pinggawa. Monopoli yang dilakukan papalele itu,
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
108
hampir tidak memberikan kesempatan pinggawa untuk tampil sebagai salah satu komponen yang diikutkan ambil andil menentukan harga di pasaran. Kekuatan yang dimiliki papalele itu, seakan-akan membentuk suatu dinding pemisah demi kepentingannya sendiri. Sedangkan eksportir yang mempermainkan harga pasaran juga mempunyai kepentingan untuk memperoleh hasil dalam bentuk barang, karena mengejar kuota permintaan pasar, sehingga kekuatan yang dimiliki adalah lapis kedua dan bertugas sebagai komponen yang akan mencarikan muara pemasaran.
Secara realitas, realitas, bahwa b ahwa implikasi dari pergeseran penangkapan dari indu induk k ikan torani ke penangkapan telur ikan torani dapat disimpulkan bahwa pertama pertama adanya adanya perkembangan tekanan pasar, dan secara tidak langsung berimplikasi pada percepatan penerapan teknologi dan penguasaan ilmu pengetahuan tentang kepatoranian; Kedua Dalam kondisi masuknya kapitalis maka hanya golongan masyarakat yang mendapatkan hasil lebih baik adalah papalele (pemilik modal) yang sudah berorientasi pada kapitalis; dan ketiga ketiga secara secara umum, dapat dikatakan bahwa harga pada hampir semua telur ikan hasil tangkapan nelayan patorani harganya di tentukan oleh papalele yang terpolakan naik turunnya harga di pasaran. Dengan kondisi demikian nelayan patorani hampir tidak punya kekuatan untuk
mengatur produksi tangkapannya ketika kapitalis masuk, baik kapitalis lokal (papalele) maupun pasar internasional (kapitalis eksportir).
4.2.2. Perkembangan Perkembangan Penggunaan P enggunaan Teknologi Penangkapan
Awal keberadaan komunitas nelayan, mula-mula menggunakan teknologi yang sangat sederhana sebagai alat bantu untuk memperoleh penghasilan tangapan. Selain hal itu, nelayan memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungannya berdasarkan
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
109
pengetahuan yang dimilikinya. Sebagaimana Kontjaraningrat (1992: 34) bahwa komunitas nelayan mengawali kegiatan kenelayanannya dengan penggunaan teknologi penangkapan berupa tombak atau sejenisnya. Terkait hal itu, maka diasumsikan bahwa kehidupan nelayan pada masa lalu masih mengandalkan teknologi seerhana (alat bantu) yang mudah dijangkau dan memiliki fungsi untuk melakukan aktivitasnya. Dalam perkembangan selanjutnya komunitas nelayan mulai mengalami perkembangn hingga menggunakan kail hingga ke penggunaan jaring dan pukat sesuai dengan jenis ikan yang akan di tangkapnya. tangkapnya.
Perkembangan teknologi yang berbasis pada lingkungan kehidupan sekitarnya membuat komunitas nelayan untuk berfikir melakukan suatu perubahan. Perlahan menciptakan teknologi sebagai alat bantu walaupun berawal dari hal yang sederhana kemudian berkembang menjadi teknologi yang lebih sempurna dibandingkan dengan teknologi sebelumnya. Penciptaan teknologi bagi komunitas nelayan merupakan hal yang terpenting untuk meudahkan dalam melakukan penangkapan ikan. Pada realitas ii, maka alam konteks nelayan di Kabupaten takalar Sullawesi Selatan lahir berbagai komunitas nelayan di antaranya nelayan palanra, nelayan papekang dan nelayan parengge.
Komunitas nelayan tersebut, melakukan operasional berdasarkan dengan alat tangkap yang dimilikinya. Selain hal itu, maka jenis tangkapannya pun berbeda yang di hasilkan. Misalnya nelayan palanra, beroperasi pada daerah pesisir pantai dengan menggunakan perahu tradisional dan mengandalkan layar (sombala) kemudian awaknya hanya terdiri antara 2-3 orang, dan jenis ikan yang ditangkap adalah ikan berukuran kecil. Sedangkan nelayan papekang adalah komunits nelayan yang menggunakan perahu tradisional dengan alat tangkap kail (pancing) dan ikan yang di tangkap adalah ikan jenis tongkol (cakalang). Sedangkan nelayan parengge adalah nelayan yang memiliki perahu ada yang menggunakan teknologi mesin dan ada pula nelayan hanya menggunakan layar
(sombala) nelayan parenge ini biasanya perjalanannya menjangkau antar daerah di pesisir w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
110
Sulawesi Selatan, dan ikan yang tangkap dan dihasilka dihasilkan n bermacam-macam jenisnya.
Dikawasan pesisir kabupaten Takalar khususnya komunitas nelayan palanrak, papekang dan parengge, perlahan sudah mulai berkurang populasinya walaupun hingga sekarang masih ada beberapa yang bertahan, mungkin diperkirakan sekitar antara puluhan perahu. Komunitas nelayan di kabupaen Takalar sekitar tahun 1940-an banyak yang beralih ke nelayan patorani dengan khusus menangkap induk ikan terbang (ikan torani). Pertumbuhan populasi nelayan patorani hingga sekarang semakin bertambah jumlahnya seiring bertambahnya pula pengadaan perahu yang di khususkan menangkap ikan torani. Pengadaan perahu patorani selain di uahakan sendiri oleh komunitas nelayan itu sendiri secara individu, maupun di adakan oleh oran-orang yang memiliki kemampuan modal, kemudian di berikan pada nelayan untuk dioperasionalkan.
Komunitas nelayan patoani sejak awal keberadaanya, juga sebagai komunitas nelayan tradisional dngan memiliki perahu yang berukuran besar bila dibandngkan dengan nelayan palanrak, papekangdan parengge. Nelayan patoranai pada awalnya juga mengunakan eknologi sederhana seperti penggunaan alat bantu pelayaran yakni layar (sombala) namun pada periode selanjutnya antara tahun 1960-an, nelayan patorani suda menggunakan teknologi mesin sebagai alat bantu pelyaran. Dan hingga pada akhir tahun 1960-an hingga awal tahun 1970-an nelayan patorani sudah beralih pada penangkapan induk ikan torani ke nelayan penangkap khusus telur ikan torani.
Pergeseran penggunaan teknologi tersebut, bermula masuknya unsur pasar berbarengan dengan tuntutan kapitalisme pada komonitas nelayan patorani di Galesong. Orientasi penerapan teknologi sebagai penggerak untuk peningkatan pendapatan secara
ekonomi, dan pemanfaatan teknologi penangkapan yang lebih mutakhir. Kondisi semacam itu, sudah barang tentu terkait erat dengan upaya memperoleh hasil tangkapan yang lebih
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
111
besar. Persoalan yang timbul kemudian, antara lain adalah para nelayan tangkap umumnya bersikap bahwa sumber daya laut adalah milik bersama. Sementara itu, secara teoritis maupun empiris sumber daya laut sifatnya adalah terbata terbatas. s. Gordon (1986) memperingatkan bahwa usaha penangkapan komersial di laut akan mempengaruhi stok ikan di laut. Sebagai konsekuensinya adalah semakin besar usaha penangkapan komersial, terutama yang menggunakan teknologi teknologi tinggi, ak akan an semakin menguras stok ikan di laut.
Perkembangan ekonomi pasar, termasuk atas hasil nelayan patorani membawa dampak terhadap percepatan modernisasi pada kegiatan nelayan patorani. Hanya saja golongan masyarakat yang mula-mula bisa memperoleh berkah dari modernisasi nelayan patorani adalah para pemilik kapital (papalele). Sedangkan dampak terhadap peningkatan kesejateraan pinggawa dan sawi sebagai pekerja masih belum signifikan dibandingkan dengan pekerjaan yang dilakukannya selama melaut.
Dalam sistem pemasaran komoditi nelayan patorani, secara umum ditentukan oleh kekuatan pasar negara pengekspor. Alhasil kondisi tersebut maka nelayan patorani umumnya diperhadapkan naik turunnya harga pasar dan hargapun tidak dapat diprediksi dan tidak dapat dipolakan. Dengan kondisi pasar seperti dewasa ini, hampir tidak ada nelayan yang bisa mengatur produksi dan tangkapannya. Sebaliknya pada tingkat tertentu karena akumulasi kapital sebagai penggerak ekonomi maka para nelayan berusaha memperoleh hasil tangkapan sebanyak-banyaknya. Alasannya bahwa semakin besar hasil tangkapan semakin besar pendapatan bersih yang akan diperoleh.
Pengoperasian alat penangkapan melalui unsur motorisasi yang berkapasitas tinggi terutama dikalangan nelayan Patorani yang dulunya hanya mengandalkan layar (sombala ( sombala= = bahasa makassar) dan di bantu dengan arah angin. Namun pada awal tahun 1970-an komunitas nelayan patorani beralih menggunakan mesin dengan berkekuatan kapasitas
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
112
42pk. Untuk menambah kecepatan dan ketepatan waktu tempuh ke lokasi penangkapan, maka nelayan menambah 1 (satu) buah mesin lagi dengan kekuatan 42pk. Kekuatan akumulasi penggunaan mesin tersebut mencapai 84pk.
Perkembangan ke arah pemakaian jenis alat tangkap yang lebih besar dan berteknologi lebih tinggi, merupakan manivestasi lebih cenderung adanya dorongan kaum pemilik pasar. Fakta tersebut, mengindikasikan bahwa kegiatan nelayan patorani berproses menuju modernisasi. Tuntutan selanjutnya adalah penangkapan telur ikan torani bagi komunitas nelayan patorani merupakan kegiatan lebih rasional untuk meningkatkan penghasilan. Untuk mencapai hal tersebut, maka dibutuhkan tenaga penunjang dengan berdasarkan keahlian dalam penangkapan. Pemanfaatan modal lebih banyak dibutuhkan, berkembangnya bentuk organisasi, dan semakin kompleksitas kepentingan yang mengarah pada untk memperoleh keuntungan dari berbagai pihak yng terkait pada komunitas nelayan patorani. Hal itu terpresentasikan apa yang di sebut Adimihardja (1983: 35) sebagai pandangan formalis yaitu dimana manusia dalam tingkah lakunya selalu mencari untung. Keadaan ini memperkuat bahwa tarikan pasarlah menuntut peningkatan produksi dan mendorong timbulnya modernisasi nelayan tangkap, pada komunitas nelayan patorani itu sendiri.
4.2.2.1 . Penerapan Teknologi Penangkapan komunitas nelayan patorani Ke Ke Arah Komersialisasi Produksi Nelayan patorani memiliki ciri khas tersendiri dalam melakukan aktifitasnya, mulai
dari jenis tangkapannya hingga pada penggunaan teknologi alat tangkap yang digunakan. Pada penggunaan alat penagkapan ikan torani yaitu menggunakan pakka pakkaja ja yaitu sejenis
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
113
bubu terapung (portable traps). traps). Teknologi penangkaan ini adalah spesifik diciptakan secara turun temurun untuk menangkap induk ikan terbang (ikan torani) torani) sekaligus di jadikan sebagai alat untuk menangkap atau menadah telur ikan torani.
Teknologi alat penangkapan pakkaja ini, merupakan teknologi tertua bagi nelayan patorani dan digunakan secara turun temurun. Penggunaan teknologi alat penangkapan pakkaja pakka ja tersebut, tersebut, sehingga nelayan patorani memiliki ciri khas tersendiri dalam melakukan aktivitasnya bila dibandingan dengan alat penangkapan komunitas nelayan lainnya yang ada di Sulawesi Selatan dan tekhusus pada komunitas nelayan yang berada di kabupaten Takalar. Bahan baku pembuatan pakkaja pakkaja pun pun komunitas nelayan patorani semuanya diperoleh dari bahan-bahan lokal, sehingga kekhasan teknologi alat penangkapan mencerminkan pembuatan secara lokal, karena diciptakan oleh masyarakat setempat dan bahan-bahannya pun di peroleh di Kabupaten Takalar sendiri.
Teknologi alat penangkapan pakka pakkaja ja di modifikasi dan di desain oleh nelayan patorani itu sendiri berdasarkan kebutuhan. Pakkaja Pakkaja terbuat dari bambu, di anyam berbentuk silinder dan dihiasi dengan daun kelapa. Sekalipun teknologi teknologi ini diciptakan sendiri secara lokal, terhadapnya dari hari kehari juga mengalami perkembangan ataupun modifikasi sesuai dengan kebutuan nelayan patorani. Dalam konteks penggunaan teknologi modern, maka jenis teknologi ini dapat dikateorikan sebaga bubu terapung (portable traps) traps) atau bubu hanyut. Teknlogi ini disebut bubu hanyut karena dalam pengoperasiannya di biarkan hanyut (pasif) bersama dengan perahu engikuti dengan terbawa arus. Jenis bubu ini memiliki satu atau dua pintu masuk dan satu pintu keluar (pintu pengambilan hasil tangkapan). Bubu berukuran panjang 57-80 cm dengan diameter 40-47 cm. Alat ini dioperasikan oleh tiga-lima orang dengan sebuah perahu yang berkekuatan (bertonase) 2-5 ton atau dengan ukuran panjang 10-12 meter dan lebar antara 2-3 meter. Pakkaja Pakkaja ini
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
114
dipasang pada seutas tali berselang 25-30 meter untuk setiap pakkaja. Pada ujung terluar dari tali dipasang sebuah benda terapung yang dapat da pat berfungsi sebagai simbol ujung tali dan arah arus. Pada ujung lainnya diikatkan pada perahu, dan fungsi pakka pakkaja ja adalah sebagai perangkap induk ikan torani, dan bubu diberi daun penghias yang berfungsi sebagai penadah telur ikan torani.
Perkembangan alat tangkap pakka tangkap pakkaja ja pada pada komunitas nelayan patorani mengalami modifikasi ke dalam bentuk alat tangkap yang diberi nama ballak-ballak , menggantikan pakkaja pakka ja.. Ballak-ballak merupakan merupakan bubu hanyut pula, namun alat tangkap ini merupakan modifikasi alat tangkap sebelumnya dan berukuran lebih besar. Penggunaan Penggunaan daun kelapa lebih banyak, daya tangkap memiliki kapasitas lebih banyak. Ukuran lebih besar tentu dapat memancing dan memilik daya d aya tarik terhadap ikan torani untuk masuk memijah dan bertelur. Kapasitas untuk menampung dan da n mengoleksi telur ikan torani ballak-ballak lebih banyak bila dibandingkan dengan d engan pakkaja pakkaja (bubu hanyut) yang berukuran lebih kecil. Peralatan tangkap ballak-ballak merupakan merupakan alat yang diciptakan d iciptakan dan dimodifikasi untuk tidak menangkap induk ikan torani, tapi hanya lebih cenderung diciptakan sebagai tempat memijah ikan torani sambil menyimpang telurnya. Penggunaan ballak-ballak sebagai alat penangkapan lebih ramah untuk kelestarian ikan torani. Terkait modifikasi alat tangkap tersebut, beberapa informan pinggawa mengatakan bahwa ballak-ballak merupakan alat tangkap yang tidak mengesploitasi induk ikan torani. Hal itu, dikarenakan alat dimodifikasi lebih lapang. Pembuatan alak-ballak hanya digunakan untuk tempat memijah ikan torani. Kalangan nelayan patorani beranggapan bahwa kehadiran alat tangkap ballak-ballak,
sebagai modifikasi alat tangkap sebelumnya lebih cenderung ramah terhadap lingkungan karena tidak menangkap induk ikan torani. Anggapan Anggapan itu d dii perkuat lagi
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
115
melalui pendekatan reproduksi biologis bahwa induk ikan torani di kemudian hari atau a tau pada musim berikutnya masih memiliki harapan akan kembali memijah. Musim pemijahan ikan torani yaitu sekitar bulan April sampai September. Pada musim tersebut, nelayan patorani terkonsentrasi pada wilayah penangkapan yang sudah menjadi lokasi area penangkapan sejak dahulu hingga sekarang. Adapun wilayah penangkapan antara lain selat Makassar dan Fakfak Papua, dan lokasi ini i ni dianggap dianggap sebagai lokasi yang banyak produksi telur ikan torani. Bulan April hingga September merupakan kebiasaan ikan i kan torani melakkan reproduksi. Ko Kondisi ndisi ini dimanfaatkan oleh nelayan untuk mengoleksi telur ikan dengan mengunakan teknologi penangkapan yang dimodifikasi berkuran besar hingga sekarang penggunaannya sudah merata dikalangan komunitas nelayan patorani. Alat tangkap ballak-ballak sebenarnya sebenarnya di buat dan di desain sendiri oleh komunitas nelayan patorani. Pada musim pemijahan ikan torani, tiba maka komunitas nelayan patorani pun serentak berangkat ke lokasi penagkapan.
II. Kasus 7 Aktivitas kenelayanan seiring perkembangan kebutuhan sosial ekonomi, maka dituntut pula mengikuti perkembangan itu. Salah satu strategi untuk berjalan beriringan maka nelayan patorani melakukan perubahan atau inovasi alat penangkapan. Awal keberadaan nelayan patorani di Galesong hanya sebagai nelayan tradisional dan sekedar pemunuhan kebutuhan hidup nelayan. Tetapi seiring dengan masuknya kapitalis baik dari daerah setempat maupun dari luar melakukan investasi untuk mengembangkan hasil tangkapan menjadi hasil yang layak jual dipasaran.
Perubahan yang mulai terasa menimbulkan dampak peningkatan sosial ekonomi, berkisar abad ke 20-an. Perubahan itu memberikan sumbangsi pengetahuan pada komunitas nelayan. Hal itu, pula bermula dari terjadinya perubahan sasaran penangkapan dan wilayah penangkapan semakin luas wilayahnya. Sejak beberapa abad lamanya, patorani berfokus bada penangkapan induk ikan terbang saja. Dan selama itu, tidak terjadi perubahan yang berarti dalam struktur tenaga kerja, sistem bagi hasil, solidaritas kelompok, dan sebagainya.
Kasus di atas, memberikan suatu gambaran bahwa sebelum abad ke 20, nelayan
patorani hanya hidup dengan subsisten. Pola dengan hanya memeprtahankan pemunuhan w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
116
kebutuhan hidup sehari-harinya. Ciri demikian merupakan suatu komunitas nelayan yang bercirikan patorani tadisional yang sementara berproses. Berdasarkan kasus tersebut ada beberapa hal yang menonjol yang perlu diperhatikan lebih lanjut yaitu pertama peralihan nelayan patorani dari tradisional ke penerapan teknologi modern dilalui suatu proses dan waktu yang panjang; kedua orientasi mata pencaharian yang lebih menjanjikan dan dijadikan andalan untuk mencapai status kehidupan sosial yang lebih baik; Ketiga, Ketiga, orientasi untuk mencapai kehidupan sosial ekonomi yang mapan, maka nelayan patorani memerlukan akses pasar lebih luas, hingga pada pasar internasional internasional..
Nelayan patorani merupakan suatu komunitas yang sementara mengalami suatu proses hingga berorientasi pada pencapaian penghasilan produksi. Sebelum tahun 1969, hasil produksi nelayan patorani hanya mengandalkan induk ikan torani. Kemudian perkembangan selanjutnya bergeser pada telur ikan torani dan hingga sekarang menjadi komoditi yang diperhitungkan dan dihargai secara resmi sebagai barang ekspor. Selain itu, masuknya unsur eksportir maka prioritas selanjutnya, perhitungan bagi hasil didasarkan pada jumlah produksi yang diperoleh nelayan patorani. Realitas diatas, sangat jauh berbeda sebelum masuknya eksportir. Perbedaan itu terkait kondisi penangkapan dengan telur ikan torani hanya menjadi konsumsi patorani sendiri, atau diberikan kepada keluarga dan kerabat. Lain halnya dalam kondisi sekarang, telur ikan sudah menjadi barang yang mahal, dan situasi kerabat ikut pula bergeser.
Sesudah tahun 1969, merupakan periode yang penting dalam perubahan sistem dan pengetahuan patorani. Dan perubahan dibidang ini meluas ke aspek-aspek lain dalam kehidupan sosial kelompok pinggawa-sawi. Hal itu, telah menimbulkan berbagai dampak sosial terutama pola penangkapan yang berawal dari induk ikan ke telur ikan torani. Dalam periode pertama (sebelum tahun 1969), perubahan yang rnenonjol nampak pada unsurunsur material, yaitu bagian dari alat penangkapan patorani. Pada perahu patorani telah
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
117
terjadi tiga kali modifikasi. Pada mulanya dikenal perahu padewakang, sejenis perahu pajala yang dimodifikasi dengan ditambah jarupi (menambah bagian perahu agak lebih tinggi). Perahu ini berkapasitas muatan 3 alat penangkapan hanya 5-10 buah, jumlah awak 3 - 4 orang. Perahu Perahu memiliki Panjangnya tujuh meter, lebar ga garis ris tengah 1.5 meter, sert serta a tinggi 1.5 meter. Era ini, nelayan patorani memasuki masa transisi pola tangkapan yakni dari induk ikan torani ke telur ikan torani. Namun pada masa ini masih tetap ada yang menankap induk ikan dan ada pula nelayan yang sudah beralih ke telur ikan torani. Kedua komodiri itu, masih tetap menjadi sasaran permintaan pasar.
Setelah memasuki era awal tahun 1970-an merupakan periode awal pertumbuhan dalam industri penangkapan telur ikan torani, karena sudah ada negara Jepang yang melirik telur ikan torani sebagai komoditas ekspor di Galesong. Periode ini, nelayan patorani berproduksi disamping terarahkan untuk memenuhi kebutuhan subsitensi juga sebagain untuk kepentingan pemunuhan kebutuhan masyarakat lokal. Periode ini pula surplus belum tercipta sehingga investasi perahu dan peralatan tangkap masih sederhana. Periode ini, jika dihubungkan dengan pentahapan perkembangan masyarakat dar Rostow (1964), juga bisa disebut sebagai tahap awal proses para kondisi untuk tinggal landas.
Perkembangan berikutnya, sudah di kenal perahu patorani dengan model dan ukurarn yang lebih besar dari perahu jenis pajala. Ukuran panjangnya 11 meter, lebar antara
5-7 meter, dan tinggi 3 meter. dengan kapasitas muat 9 ton, jumlah awak 8 orang. Modifikas Modifikasii ini bertujuan untuk meningkatkan daya muat dan produktivitas penangkapan.Walaupun demikian, perahu itu masih merupakan perahu layar murni, yang digerakkan oleh tenaga angin dengan alat perlengkapan perlengkapan yang relatif tradisional.
Bertambah besarnya ukuran dan daya muat perahu, maka hal ini disertai pula dengan peningkatan jumlah alat tangkap, serta lamanya waktu operasi penangkanan. Dengan perahu yang berukuran 3 ton saja, maka pakkaja yang disiapkan, jumlahnya rata-
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
118
rata 12 buah, dengan lama penangkapan 1 sampai 2 minggu. Sementara itu, dengan kapasitas perahu 9 ton, jumlah pakkaja yang dibawa 40 sampai 50 buah, dengan lama pelayaran 1 bulan setiap shift bagi areal lokasi penangkapan kalukkalukuang, tetapi nelayan patorani yang berlayar berlayar hingga ke Fakfak F akfak pulau Irian, maka b biasanya iasanya 3 bulan beroperasi.
Periode kedua (sesudah tahun 1969) ditandai dengan perubahan sasaran penangkapan, dari induknya ke telur ikan terbang. Perubahan ini didorong oleh terbukanya pasaran telur terbang di luar negeri. Sehingga usaha penangkapan ini semakin mengarah ke bentuk usaha padat modal. Sejalan dengan itu, dilakukan berbagai penyesuaian dalam sistem pengetahuan dan teknologi patorani, khususnya dalam sistem pengetahuan pelayaran dan penangkapan. berbagai modifikasi yang lebih sempurna telah dilakukan selama periode ini, baik bagi perahu itu sendiri, maupun alat tangkap. Di antaranya, sejak tahun 1986 ukuran besar serta model perahu mulai disesuaikarn dengan bentuk kapal, yang disebut baralo (dilengkapi dengan kamar). Ukuran panjang 9 meter, dan lebar 3 meter, kapasitas muat 9 ton.
Sebelum tahun 1986 dalam periode kedua ini, jenis perahu yang digunakan adalah, juga perahu yang digunakan pada akhir periode pertama. Namun demikian dalam periode kedua ini sudah terjadi penggantian komponen utama perahu, yaitu dari tenaga angin diganti dengan tenaga mesin. Dengan demikian, penggunaan layar tinggal sekedar, alat perengkap saja, dimana digunakan bila mesin tidak berfungsi. Perahu ini sudah berbentuk perahu layar layar bermesin. Dalam hal itu, itu,
penggunaan layar tidak sebanyak semula semula dan
jumlahnya sudah dikurangi. Dengan adanya mesin, jumlah layar tinggal 1- 2 buah hanya untuk dipersiapkan bila salah satu mesin ada yang rusak, padahal sebelum menggunkan mesin setiap perahu memakai 3 layar sebagai alat bantu utama untuk menjalankan perahu kelokasi penangkapan.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
119
Perubahan orientasi sasaran penangkapan menyebabkan terjadinya penyesuaian alat tangkap yang dipandang lebih baik dan lebih produktif dari sebelumnya. Kalau dulu yang dipikirkan adalah penangkapan induknya, maka setelah investor lokal maupun eksportir masuk, kemudian yang diutamakan adalah telurnya. Dengan Dengan p pertimbangan ertimbangan seperti itu, maka yang diperbanyak bukan lagi alat tangkap pakkaja, tetapi daun-daun kelapa dan gosse (rumput laut) yang cenderung disukai ikan terbang sebagai tempat memijah. Pakkaja yang dibawa oleh patorani jumlahnya sisa 12 buah, lebih sedikit dari sebelumnya, kemudian ditambah dengan alat lain yaitu ballak-ballak sebanyak 20 buah. Ballak-ballak memiliki ukuran 2x1 meter, fungsinya sebagai tempat memijah ikan torani untuk bertelur, jadi bukan alat perangkap seperti pakkaja. Penggunaan ballak-ballak di ikatkan daun-daunan seperti daun kelapa, gosse, dan sebagainya. Modifikasi ballak-ballak induk ikan torani tidak akan terperankap, namun hanya telurnya yang tertinggal di ballak-ballak tersebut. Menurut informan bahwa setelah induk ikan terbang sudah memijah biasanya melakukan perjalanan kembalii dan sesuai kebiasaan bahwa musim tahun berikutnya kemudian bertelur kembali. Jadi induk ikan torani bertelur hanya sekali dalam semusim yakni antara bulan April sampai September.
Sejak terjadi perubahan sasaran orientasi penangkapan, muncul berbagai spekulasi oleh kalangan patorani untuk dapat mengumpul telur ikan toranisebanyak mungkin. Orientasi ini terkait komersialisasi produksi sudah menjadi prioritas utama unuk merekrut hasil sebanyak-banyaknya. Diantaranya ada yang membawa dedak yang digunakan sebagai umpan supaya ikan terbang mendekat ke alat tangkap. Dedak tersebut ditaburkan di semua alat tangkap. Selain itu ada pula yang memakai lampu pijar (bola lampu neon) dengan aliran listrik bersumber dari air aki. Penggunaan lampu itu, dilakukan berdasarkan dugaan bahwa ikan torani memiliki kesenangan bermain ditempat sorotan cahaya sinar lampu di malam hari.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
120
Sedikitnya ada tiga hal penting yang dapat digaris bawahi dalam periode selama fase perkembangan teknologi penangkapan nelayan patorani. Pertama Pertama diperkenalkannya motorisasi secara meluas dikalangan komunitas nelayan patorani; kedua, kedua, terciptanya apa yang disebut polarisasi sistematik, yakni polarisasi kinerja sistem penangkapan kemudia diimbangi dengan polarisasi struktural; ketiga ketiga,, terciptanya daur kegiatan k egiatan usaha kenelayanan yang relatif tidak lagi dibatasi lagi ruang geraknya ketika memasuki musim mencari telur ikan torani (pattoranian) (pattoranian),, dan disatu sisi pula peningkatan frekuensi dan perluasan wilayah area penangkapan. Ketiga halinilah yang tampak menggejala dan sekaligus menandai fase perkembangan komunitas nelayan patorani.
Penggunaan motorisasi dikalangan komunitas nelayan nelayan patorani pa torani adalah sejak dimulainya pada kegiatan penangkapan dan penadahan telur ikan torani yaitu sekitar akhir tahun 1960-an hingga era awal tahun 1970-an. Operasi penangkapan dilakukan berkolompok, produktivitas produktivitas dan pendapatan meningkat, meningkat, sehingga investasi investasi untuk penadahan ikan torani dapat dilakukan. Setelah diperkenalkannya diperkenalkannya motorisasi ini adalah terutama karena adanya rangsangan harga pada setiap musim kepatoranian tiba. Dalam kondisi demikian, persaingan harga telur ikan pun semakin terbuka dikalangan eksportir. Dalam kurung waktu tahun 1970-an komunitas nelayan patorani telah megadopsi dua teknologi baru yang signifikan pengaruhnya. Teknologi tersebut terkait dengan perahu yang lebih modern dengan kapasitas mesin lebih besar dan alat tangkap ballak-ballak lebih dimodifikasi. Teknologi tersebut diadopsi oleh komunitas maupun individu dan selanjutnya mengalami pekembangan pekembangan dan semakin s emakin menyebar. Inovasi tersebut merupakan suatu bentuk perkembangan teknologi dalam komunitas industri penangkapan telur ikan torani di Galesong Selatan dan Galesong Utara. Fenomena ini relevan dengan penekanan Rogers (1962) tentang peranan individu inovatif dalam adopsi teknologi.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
121
Komitmen ke arah komersialisasi produksi bagi komunitas nelayan patorani merupakan hal yang tidak dapat ditawar lagi. untuk mendukung hal itu, maka mengadopsi teknologi teknolo gi alat penangkapan dan modifikasi perahu secara lengkap. Modifikasi tersebut, lebih cenderung untuk mendorong produktivitas yang bermuara pada peningkatan hasil. Tahun 1940-hingga akhir tahun 1960-an inovasi kelengkapan perahu dan kelengapan penangkapan (pakkaja) lebih kompleks dan kesemua itu dikembangkan oleh individu tertentu dalam (pakkaja) komunitas.
Mengadopsi teknologi secara eksternal, memiliki keuntungan tersendiri untuk menunjang keberlanjutan nelayan paorani untuk lebih produktif. Untuk mengadopsi teknologi, bagi komunitas nelayan dilakukan melalui du cara yakni pola adopsi (adoption) (adoption) dengan pola menemukan sendiri (invention) (invention).. Perkembangan teknologi dari periode akhir 1960-an sampai tahun 2000-an peralatan tangkap lebih cenderung di temukan sendiri. Antara lain alat penangkapan yang dimodifikasi sendiri adalah ballak-ballak ukurannya ukurannya lebih besar. Alat tangkap ballak-ballak, ballak-ballak, yang yang dimodifikasi hanya di butuhkan b utuhkan antara 15-20-an
Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa inti sari dapat dikemukakan, pertam pertama a, bahwa perkembangan teknologi dalam komunitas nelayan patorani di Galeso Galesong ng Selatan dan Galesong Utara telah berlangsung secara bertahap berdasarkan periodisasi kebutuhannya. Pola adopsi teknologi, terkait antara teknologi yang berasal dari luar komunitasnya yang dikombinasikan dengan temuan sendiri oleh individu inovatif. Kedua Kedua,, bahwa perkembangan teknologi tersebut telah mendorong perolehan surplus produksi yang memungkinkan reinvestasi reinvesta si dan diver diversifikasi sifikasi bidang usaha, den dengan gan tetap menempatkan tangkapan pada telur ikan torani sebagai sentra usaha komunitas nelayan patorani. Ketiga Ketiga keberadaan teknologi memberikan kekuatan untuk semakin berpeluang menggeser pola penangkapan. Hal itu terkait dengan kepemilikan teknologi lebih cenderung berorientasi pada permintaan pasar.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
122
4.2.2.2 Pola Pengelolaan Hasil Tangkapan Subsisten Ke Arah Orientasi Ekspor Perubahan yang terjadi dalam periode 1940-an hingga awal tahun 1970-an
menimbulkan efek sosiologis yang berbeda. Perkembangan tersebut dapat di gambarkan atas dua periode. Pada periode pertama pertama perubahan yang terjadi lebih cenderung pada bagian-bagian sistem pengetahuan. Perubahan tersebut tidak banyak berpengaruh pada perubahan sosial, terutama pola dan jaringan hubungan dalam kelompok pinggawa sawi. Pada periode kedua kedua bagian lebih menonjol mengalami perubahan adalah berkaitan alat penangkapan seperti model dan besar perahu serta jumlah alat tangkap. Perubahan itu lebih bertumpu pada aspek kuantitatif material terutama dari segi hasil tangkapan difokuskan pada kondisi pemunuhan kebutuhan hidup sendiri. Keadaan tersebut di atas, merupakan kondisi sosial yang menonjol pada periode tahun 1940-an hingga tahun 1960-an, ketika nelayan patorani masih menangkap induk ikan torani sebagai komoditi andalannya. Namun tidak berarti, bahwa kondisi tersebut hanya secara spesifik berlaku surut hingga sekarang. Akan tetapi dengan, penggambaran seperti itu adalah cara untuk melihat terjadinva perubahan sosial, dengan mengangkat kepermukaan perbedaan-perbedaan yang mencolok pada periode nelayan patorani ketika terjadi pergeseran penangkapan dan komersialisasi sudah menjadi prioritas sekarang ini.
Kehidupan sosial nelayan patorani, selama kurung waktu tahun 1940-an hingga akhir tahun 1960-an, komunitas nelayan patorani mengutamakan kesamaan dalam banyak hal, kesamaan-kesamaan kesamaan -kesamaan itu antara lain: (1) kesamaan memulai hari H pemberangkatan berlayar secara perdana dalam menangkap ikan terbang; (2) kesamaan bentuk ritus dan upacara; (3) kesamaan pola bagi hasil. Komponen tradisi kehidupan tersebut, menjadi pijakan nelayadi
patorani sejak era 1940-an hingga awal 1970-an. Keselarasan hidup itu berlangsung, karena belum adanya kekuatan-kekuatan dari luar komnunitasnya mampu merubah orientasi
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
123
kehidupan sosialnya. Keselarasan tentang penenentuan hari perdana keberangkatan, masih menjadi tradisi nelayan patorani dan upacara juga masih menjadi suatu kepercayaan yang dipertahankan hingga sekarang.
Sesuai kebiasaan yang berlaku, pelayaran perdana harus dimulai di Paklaklakkang pada hari H yang telah ditentukan. Keharusan ini merupakan bagian yang penting dari tradisi penangkapan ikan terbang, dimana Paklaklakkang dalam sejarah, dipandang sebagai pusat Gaukanga patorani di Takalar. Desa itu, merupakan perkampungan tua di mana Gaukanga terkonsentrasi terkon sentrasi pemarkiran perahu patorani. Kampung iini ni pila ada diyakini seorang pinggawa yang dianggap sebagai pewaris dari tradisi kebaharian yang unik ini. Desa Paklaklakkang merupakan wilayah bermukin turunan Keraeng Galesong (raja Galesong) yang dianggap sebagai awal mula kegiatan penangkapan ikan terbang. Dengan demikian semua kelompok kecil patorani yang tersebar di Takalar tidak akan mendahului berlayar sebelum kelompok pewaris itu secara resmi memulai aktivitas pelayaran. Permulaan pelayaran ditandai oleh ritus yang diramaikan oleh kelompok-kelompok kecil lainya. Desa Paklaklakkang hingga kini dijadikan sebagai kiblat kebersamaan untuk memulai pelayaran dan penangkapan, dan hingga pada pola bagi hasil diatur oleh aturan pangadakkan (norma adat). Kesamaan tersebut di atas, dipelihara sebag sebagai ai satu kesatuan yang mengikat secara bersama-sama pada komunitas nelayan patorani sejak abad ke-17 hingga awal tahun 1990-an. Adanya ikatan tersebut, maka sulit ditemukan adanya perubahan-perubahan yang berarti dalam bentuk inovasi untuk mendorong peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi patorani. Namun demikian, dengan kebersamaan dalam sebuah ikatan, maka partisipasi dan keterlibatan secara luas anggota keluarga patorani secara khusus dan bahkan nelayan pada umumnya menjadikan lebih terbina interaksi kekeluargaa kekeluargaan. n.
Terbinanya hubungan kekeluargaan, maka kelompok umur dan jenis kelamin ikut
berperan serta sebagai tenaga kerja. Anak-anak yang belum bisa ikut i kut berlayar, turut w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
124
mewarnai kesibukan persiapan pemberangkatan. Mereka membantu orang tua mengangkat apa yang mereka mampu, ibu rumah tangga mempersiapkan bekal dan bahan-bahan konsumsi yang diperlukan. Tetangga Tetangga datang menyampaikan selamat berlayar, dengan membawa kue atau makanan. Seterusnya, S eterusnya, kebersamaan kebersamaan itu berlangsung pula ketika para petorani kembali ke darat, sejak hasil tangkapan itu diangkut dari perahu ke darat, kemudian diolah sampai bagi hasil. Bila patorani tiba kembali ke darat, yang pertama sekali dikeluarkan dari hasil tangkapan adalah kaddok-kaddokang kaddok-kaddokang (memberikan (memberikan secara sukarela ikan/telur ikan terbang) kepada tetangga. Pemberian tersebut diberikan pada kerabat dan keluarga yang datang menyambut (attimporong) (attimporong).. Fenomen ini, terpresentasikan ke dalam sebuah hubungan yang belum mengedepankan komersialisasi produksi. Nampaknya dukungan tetangga, kerabat dan keluarga mempunyai koreleasi dengan pemberian kaddok-kaddokang kaddok-kaddokang.. Hal itu, sudah menjadi perilaku yang terpola dan perilaku ini adalah bagian dari sistem sosial patorani.
Pengelolaan telur ikan torani di daerah lokal telah memperluas partisipasi masyarakat masya rakat dan tumbuhnya kebersamaan dalam kelompok. Kesempatan untuk u ntuk memperoleh penghasilan musiman terbuka luas. Musim pattoranian merupakan panen raya, karena
kondisi semusim inilah bertumpu harapan untuk membiayai rencana-rencana peningkatan hidup, seperti: penyelenggaraan pesta perkawinan, perbaikan atau pembangunan rumah, dan semacamnya. Aktivitas ini, sekaligus menjadi sarana kontrol untuk mengokohkan kebersamaan kembali, kehidupan masyarakat yang lebih luas. Setelah beberapa bulan terpencar-pencar terpencarpencar dalam kelompok kecil, kerengganan sosial yang disebabkan oleh kesibukan masing-masing berlayar dan menangkap ikan selama semusim diperkuat kembali melalui berbagi pengalaman selama musim torani.
Kasus 8
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
125
Kehidupan Subsistensi Ke Arah Orientasi Ekspor
Nelayan patorani sejak keberadaannya sebagai nelayan tradisional dan aktivitas penangkapan dilakukan pada areal tertentu. Hal itu, dilakukan karena nelayan patorani hanya mengandalkan untuk mempertahankan hidup s ecara subsistensi. Kehidupan dengan sistem subsitensi ini, hanya menjual hasil tangkapannya pada pasar lokal dan penghasilan hanya berorintasi pada hasil akhir yang diperoleh serta kebutuhan pasar pun permintaannya sangat terbatas.
Selain itu, bahwa pada periode awal keberadaan nelayan patorani, perubahan yang terjadi sangat statis dan alami, sehingga proses adaptasi budaya juga berjalan secara harmonis. Tanpa adanya loncatan teknologi yang melampaui kemampuan pengalaman dan kebiasaan kelompok. Dengan kata lain, perubahan itu berlangsung menurut ev olusi alami, yaitu terjadinya transformasi organisasi dan perubahan secara bertahap. Perubahan yang alami itu, dalam rangka pengembangan dan penyesuaian terhadap suatu lingkungan yang stabil tan pa menghilangkan karakteristik sendiri. Seperti halnya nelayan patorani sejak keberadaannya pada abad ke-17 sebagai nelayan yang berkrakter dengan ciri khas menagkap induk ika n terbang. Namun dari segi hal keterpaduan pada permintaan pasar, maka nelayan patorani melakukan suatu perubahan dari segi kuantitas jumlah tangkapan untuk memenuhi kuota permintaan.
Kasus di atas menggambarkan bahwa nelayan patorani memiliki suatu karakteristik, secara perlahan mengalami pergeseran beriringan dengan tuntutan perkembangan zaman dan lebih cenderung dipengaruhi oleh kondisi secara eksternal. Karakteritik tersebut dapat dilihat pertam pertama, a, sejak sistem penangkapan masih menggunakan perahu dan alat penangkapan secara tradisional, ikatan dan keutuhan kelompok pinggawa-sawi secara lokal merupakan fenomena yang paling menonjol. Kedua, keterpaduan untuk menanggulangi berbagai masalah antara papalele, pinggawa dan sawi belum terusik dengan perubahan komersialisasi produksi yang tajam; Ketiga, naiknya harga telur ikan terbang, di pasaran membuka jaringan secara sosial dan terpadu melalui jaringan ekonomi yang amat kebal dari lntervensi lnterven si kekuatan k ekuatan ekonomi dari luar (out-group). (out-group).
Pengumpulan hasil tangkapan pada tingkat lokal, tidak dapat dengan mudah ditembus begitu saja oleh pedagang dari Makassar, kecuali mereka bekerjasama dengan kelompok-kelompok pengirim yang ada di Takalar. Hal itu terjadi, disebabkan oleh karena setiap unsur dari kelompok tetap konsisten dengan peranan yang harus dimainkan. Mereka memelihara kepercayaan sesuai dengan peranan tersebut. Mereka patuh terhadap kebersamaan dan kesepakatan antara pinggawa darat dengan pinggawa laut (juragan)
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
126
beserta sawi. Papalele memberikan kepercayaan kepada pinggawa biseang (juragan) untuk mengoperasikan perahu milik papalele dengan kesepakatan lisan bahwa pemasaran ditangani oleh papalele. Pinggawa memegang amanah tersebut, sehingga tidak akan terjadi penyelewengan penyelewe ngan dari pinggawa untuk menjualnya ke papalele lain. Kontrak model pemasaran itu, dilakukan guna memudahkan mobilisasi pasar dan penentuan harga pun dapat diketahui secepatnya oleh pinggawa.
Nelayan menjalin kerjasama atas dasar kepercayaan dan kekeluargaan. Pinggawa senantiasa mencegah timbulnya celaan ( paccalla paccalla), ), dari papalele, karena kalau hal itu terjadi, maka dinilai oleh papalele tidak mempunyai perasaan yang menyatu terhadap barang yang dititipkan ke pinggawa. Barang tersebut diantaranya perahu, alat tangkap serta modal yang dipercayakan dipercayak an kepadanya. Apabila timbul celaan, pinggawa itu sendiri menjadi malu. Suasana akan menjadi lain terutama kredibilitas akan memudar akibat celaan yang tersebar dari mulut ke mulut. Bagi mereka, menjaga kepercayaan merupakan nilai yang paling utama dalam menjaga hubungan harmonis antara papalele dengan pinggawa.
Ukuran-ukuran kepercayaan kepercayaan antara mereka tumbuh dan berkembang berkembang melalui proses interaksi, transaksi dan pertukaran sosial, dalam waktu beberapa musim atau tahunan. Indikasi Indika si yang memperkuat saling percaya itu antara
lain:(1) Pinggawa sudah dikenal,
diketahui identitas pribadinya dan tempat tinggalnya, Papalele mengenal pinggawa karena adanya faktor ada hubungan keluarga atau secara geografis berdomisili sekampung/desa; (2) Pinggawa tinggal menetap di kampung, punya rumah dan keluarga di kampung; kecil kemungkinan baginya beralih pekerjaan dan pindah ke tempat lain. Papalele selalu bisa jumpa dengannya, baik karena kepentingan pribadi (keluarga), maunun kepentingan hubungan kerja; (3) Pinggawa belum pernah menipu seseorang. Masyarakat tahu dia jujur; (4) Pinggawa merawat perahu dan alat tangkap serta memperbaikinya bila rusak, seperti miliknya sendiri; (5) Pinggawa menyampaikan laporan hasil penangkapan penangkapan yang sebenarnya.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
127
Indikasi kepercayaan pinggawa terhadap papalele antara lain (1) Papalele memiliki modal usaha; makin banyak perahu yang dioperasikan, makin tinggi pula kepercayaan pinggawa; (2) Papalele tersebut, memang berasal dari turunan papalele sejak kakeknya: dan bukan papalele musiman; (3) Papalele menetap, di tengah-tengah masyarakat, mengayomi para pinggawa, dan menunjukkan solidaritas yang tinggi dalam komunitas; (4) Papalele dinilai oleh masyarakat sebagai orang jujur dan tidak mengeskploitasi pinggawa biseang dan sawinya; (5) Papalele mampu memberi bantuan dan pinjaman modal kepada pinggawa dan hanya menerima bagian dari hasil tangkapan menurut ketentuan yang berlaku.
Ukuran di atas, menjadi pertimbang p ertimbangan an utama baik b aik bagi pihak papalele maupun pihak pinggawa dalam menjalin hubungan kerjasama, yang sekaligus berfungsi sebagai sistem kontrol dalam membina dan mengembangkan jaringan kerja. Konsistensi mereka terhadap saling percaya ini menyebabkan terjadinya sistem bagi hasil yang sudah terpola untuk pinggawa dan sawinya, setelah dikeluarkan biaya operasional. Budaya ini bermula, ketika papalele sudah berorientasi pada kapitalis untuk mengejar keuntungan semata. Memang di satu sisi juga memberikan keuntungan bagi pinggawa setelah adanya peralihan bagi hasil dengan sistem perhitungan demikian. Namun yang menjadi persolanan adalah pekerja (sawi) hanya memperoleh sisa dari pembagian antara papalele dan pinggawa sebagaimana pada kasus bagi hasil yang digambarkan terdahulu.
Adanya penyamaan keinginan antara papalele dan pinggawa nelayan patorani untuk mengejar hasil produksi, maka keutuhan serta konsistensi dalam hubungan sosial ekonomi menjadi prioritas utama. keterterpaduan secara harmonis dan berkesinambungan berkesinambung an itu, merupakan merupakan bahagian ba hagian karakteristik antara papalele dengan pinggwa berlangsung dalam waktu yang cukup lama dan bukan hanya satu musim pattoranian pattoran ian saja. Bahkan bisa menjadi hubungan antar generasi, Sejak pertama seorang
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
128
pinggawa terikat hubungan kerja dengan papalele. Sejak itu pula terjalin hubungan sosial yang semakin dekat, dan makin lama hubungan h ubungan itu makin akrab menjadi hubungan kerabatan berdasarkan dengan adanya kesamaan keinginan untuk
meningkatkan produksi telur ikan torani torani..
Adopsi teknologi modern terkait penggunaan mesin untuk mengganti tenaga angin dalam sistem pelayaran. Adopsi ini secara nyata telah menggeser aspek-aspek tradisional dalam kehidupan komunitas nelayan patorani. Penggunaan mesin sebagai alat bantu nelayan patorani patorani kecenderungan ini sangat berkaitan dengan perubahan nilai komoditas dan sasaran penangkapan dari induk ke telur ikan. Tujuan utama adopsi teknologi adalah lebih cenderung untuk berburu hasil tangkapan atau pengumpulan telur ikan yang lebih banyak. Adopsi teknologi ini semakin gesit perkembangannya ketika tuntutan pasar (eksportir) semakin banyak kuota permintaanya. Periode tahun 1990-an hingga 2000-an, nelayan patorani sudah menjangkau pada lokasi penangkapan lintas pulau.
Penerimaan teknologi modern beserta perangkatnya, terdiri pada penggunaan mesin perahu dan modifikasi perahu. Kondisi dmikian menggambarkan bahwa kemampuan dan kemapanan orientasi ekonomi sudah menjadi prioritas. Selain ekonomi, maka pengetahuan teknis pun perlu dimiliki oleh para patorani sebagai prasyarat untuk menguasai teknologi yang diadopsi tersebut. Sebagaian informan yang menjadi pinggawa karena kepercayaan dan pengalamannya sehingga dibebani untuk menahkodai perahu milik papalele. Selain itu, para pinggawa dan sawi diberikan sepenuhnya menguasai perahu, dan bila rusak maka layar tetap difungsikan kembali. Mesin yang rusak umumnya diperbaiki oleh pinggawa dengan bantuan dana papalele yang sudah membina kerjasama pada musim berikutnya.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
129
Beralihnya sistem pemasaran dari tangan pengumpul (kolektor) ke tangan papalele, tidaklah berarti persoalan telah selesai. Kualitas komoditiuntuk sementara waktu memang di jamin dapat dipertahankan, akan tetapi harga atas komoditi telur ikan torani itu tetap menjadi rahasia bisnis dikalangan papalele. Jika sebelimnya para kolektor membeli pada papalelele, sekarang papalele membeli hasil tangkapan patoraninya dengan harga yang ditentukannya sendiri. Hasil informan para pinggawa menyatakan bahwa ketika mereka menyetor hasil tangkapannya, maka papalele dengan serta merta memberikan harga yang disesuaikan dengan keinginan papalele. Atas keinginan papalele itu, tak seorang pun pinggawa yang pernah membantah ataupun tidak menyetujuinya. Ketidak mampuan pinggawa untuk melawan dan memprotes atas harga yang sudah ditawarkan oleh papalele, karena hal itu sangat prinsipil untuk di bahas dan pada akhirnya akan bermuara konflik antara papalele dan pinggawa.
Setelah telur ikan terbang menjadi komoditi andalan di Sulawesi Selatan, terutama di Galesong Selatan dan Galesong Utara. Peluang investasi sektor telur ikan torani mengalami peningkatan hingga mencapai 2189,7 ton pada tahun 2005 ( data BPPMD, 2005). Telur ikan terbang adalah salah satu komoditas ekspor yang ditangani secara sederhana. Telur ikan terbang di ekspor ke Jepang, Korea dan Taiwan. Harga telur ikan terbang berfluktuasi mengikuti perkembangan mata uang dollar AS, harga pada musim 2005-2006 mencapai Rp. 360.000 perkilo gram.
Menurut informan papalele bahwa naik turunnya harga komoditi telur ikan torani, lebih
cenderung
pada
adanya
permaianan
pasar
atau
negara-negara
eksportir
memperebutkan hasil yang maksimal. Sekitar tahun 1971 telur ikan torani hanya di beli oleh pelaku pasar lokal yang berasal dari Kota Makassar dengan harga sekitar Rp. 10.000Rp.20.000. namun setelah negara Jepang menjadi negara eksportir pertama, maka harga relatif sangat rendah pula bila dibandingkan dalam era sekarang ini. tetapi pada tahun akhir
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
130
tahun 1990-an hingga tahun 200-an eksportir sudah mulai masuk bermain di dalamnya sehingga telur ikan semakin menjadi primadona yang dilirik oleh nelayan patorani dengan orientasi orienta si meningkatkan produksinya.
Dijadikannya telur ikan torani ke dalam salah satu komoditi ekspor, maka papalele sebagai pemilik modal ikut pula memainkan pasar melalui strategi kebutuhan pasar. Pemanfaatan modal bagi papalele pada saat bulan masuknya musim torani melakukan investasi sebanyak-banyaknya. Nelayan yang melaut biasanya membawa pulang minimal 3040 kilogram telur ikan terbang (torani) dalam bentuk sudah di keringkan. Bahkan bisa membawa pulang sekitar 100 kilogram dengan lama melaut membutuhkan waktu 20 hari hingga satu bulan. Musim telur ikan terbang dimulai awal bulan April sampai bulan September. Saat musim angin timur, ikan terbang (torani) berada di selat Makassar. Paling jauh bisa bi sa sampai ke Kalimantan, bahlan perairan Papua. Diluar musim angin timur dan atau sudah memasuki awal musim angin barat, tidak ada satupun ikan terbang (torani) bisa ditemukan.
Dekade terakhir ini, sejak tahun 1990-an hingga tahun 2000-an, tumbuh dan berkembang jumlah pinggawa baru, sehingga jumlah perahu pun bertambah banyak jumlahnya. Lokasi pelabuhan (tempat berlabuh) nelayan patorani di Kecamatan Kecamatan Galesong Selatan dan Galesong Selatan, kabupaten Takalar berstatus pa’torani berkisar sebanyak 2.000-an perahu. Pencarian telur ikan terbang dilakukan memakai kapal motor sepanjang 10-15 meter dengan mesin berkapasitas 48 pk. Penangkapan torani menggunakan ballaballa.. Diantara balla-balla itu, dipasang rumbai-rumbai daun kelapa yang dipotong balla memanjang kecil-kecil, menyerupai semak-semak laut. Sehingga, ikan menitpikan telurnya di rumbai-rumbai bale-bale bale-bale tersebut. Selain dengan bale-bale bale-bale penagkapan torani juga dilakukan memakai jebakan paka pakaja. ja. Bentuk pakaja berupa bingkai bambu persegi panjang berukuran 1x2 meter, yang dipasangi rumbai-rumbai daun kelapa. Puluhan paka pakaja ja diikat
dengan tali, dimasukkan ke laut, kemudian ditarik dengan kapal sambil berjalan pelan-pelan. pelan-pelan. w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
131
Pada saat itulah, ikan yang hendak bertelur meloncat dan hinggap di pakkaja. Ikan torani lalu bertelur di rumbai-rumbai yang senaja di pasang pada alat tangkkap ballak-ballak apabila pakkaja terlihat agak tenggelam, itu pertanda telah dipenuhi induk ikan torani yang sedang memijah.
Telur ikan torani yang dipanen berupa butiran halus berwarna putih keruh sampai kuning keemasan, berlendir serta melekat dalam satu rangkaian memanjang (20-100 cm). Untaian telur tersebut dijemur di atas perahu dengan menggunkan penjemur dari tali. Waktu penjemuran berkisar satu sampai dua hari. Telur yang sudah kering dan berserat ini kemudian di simpan dalam kantong plastik, untuk kemudian di bawah kedarat. Telur ikan dapat dijual ke pengumpul atau dijual d ijual langsung ke eksportir.
Pada umumnya telur hasil dari laut akan dijemur kembali setelah di darat sambil diangin-anginkan. Pelepasan telur dari saratnya dilakukan secara manusal dengan menggunakan parutan yang terbuat dari kawat kasa. Butiran telur yang telah terpisah dari seratnya kemudian di tampih. Penyortiran akhir dilakukan dengan mengambil telur yang telah terpisah dengan menggunakan sendok, kemudian butiran telur dibersihkan lagi dari kotoran maupun serat. Produk telur ikan terbang yang telah bersih disimpan digudang penyimpanan dalam suhu kamar.
Beralihnya orientasi penjualan telur ikan torani yang pada taun 1970-an hanya di jual pada pedagang lokal sekitar Sulawesi Selatan, dan era akhir tahun 1970-an hingga pada awal tahun 2000-an para papalele menyediakan gudang di dekat rumahnya masing-masing untuk dijadikan sebagai penampungan butiran telur ikan yang sudah dipisahkan antara serat/ benang dengan telurnya. Pengerjaan yang lebih profesional itu, dilakukan untuk tetap mengedepankan kualitas telur ikan dan juga akan berimbas pada hubungan dan pencitraan antara papalele maupun eksportir.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
132
4.3. Penerapan Teknologi Dan Pola Hungungan Sosial
4.3.2
Hubungan Sosial Tradisional Ke Industrial
Peralihan hubungan tradisional-industrial tercipta sekaitan pemenuhan pemenuhan ekonomi dalam meningkatkan taraf hidup yang lebih baik, serta fasilitas yang dipergunakan lebih bermanfaat dan m emudahkan memperlancar memperlancar aktivitas. Kemudian kekuasaan yang mempengaruhi kepatuhan berbasis pada pembagian upah sudah menjadi bagian yang di perhitungkan. Implementasii tentang itu adalah atas dasar kepatuhan yang berbasis pada kalkulasi bentuk pekerjaan dan hasil kerja Implementas berdasarkan pada kontraktual. Karakteristik masyarakat tersebut, berbeda satu sama lain dalam berbagai hal yakni mencerminkan sejarah, lingkungan sosial dan fiskal, tetapi ada sejumlah karakteristik penting yang sama dan bisa membantu guna memahaminya.
Karakteristik komunitas nelayan patorani tradisional masa lalu yakni era abad ke 17 hingga awal abad ke 20-an, sudah muncul tentang pemahaman yang difokuskan bahwa pengaruh papalele cenderung mendominasi terkait hasil yang diperoleh pinggawa. Perkembangan itu hingga sekarang masih diperlakukan papalele papalele untuk mendapatkan kepatuhan pinggawa-sawi pinggawa-sawi serta pertimbangan yang melatari pinggawa-sawi dalam keterlibatan keterlibata n pada hubungan tersebut. Pengaruh yang diperlakukan patron (papalele) kepada kliennya (pinggawa-sawi) adalah berbasis pada pemberian upah yang dibarengi dengan manipulasi normatif. Manipulasi itu, diparaktekkan melalui pemberian bantuan yang mengikat klien dalam norma resiprositas. resiprositas.
Kombinasi pengaruh yang demikian, memunculkan ketidakpuasan terhadap pemberian upah dan dinetralisir oleh manipulasi normat normatif, if, hingga hin gga itu harmoni tetap tercipta. Papalele melakukan kombinasi ini dengan sadar untuk tercapainya keberlanjutan usaha dengan kondisi harmoni tetap terjaga. Keharmonisan tradisional itu, terkait antara orang yang telah menolong, pihak yang ditolong harus membalas pertolongan tersebut, atau setidaknya setidakny a harus p patuh, atuh, tidak melawan dan tidak menyakiti. Prinsip ini lahir sebagai implikasi adanya unsur utang budi dari sebuah pertukaran tidak seimbang tersebut menyebabkan kekuasaan berada di tangan yang lebih banyak memberi sehingga berposisi superordinatif,
sedangkan yang lebih banyak menerima kekuasannya minimal sehingga berada di posisi w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
133
subordinatif Scott (1972).
Penghasilan pingg pinggawa awa dan dan sawi pada musim torani cukup (enam bulan dalam setahun) di luar musim torani (paceklik) pendapatan mereka sangat rendah. Oleh karena iitu, tu, seorang papalele mempunyai kewajiban memberikan pinjaman manakala pinggawa membutuhkan. Hal ini, dilakukan karena ada ketakutan akan berdampak terhadap menurunnya semangat pinggawa untuk melaut. Semakin pemurah seorang papalele, semakin ia dipatuhi oleh para pinggawa pinggawa dan sawinya dan bisa membangun citra yang positif pada masyarakat terutama pada komunitas nelayan patorani itu sendiri. Sifat inilah yang selalu dijadikan sebagai pancingan seorang papalele agar selalu di dengar dan di ikuti segala keinginananya oleh pinggawa dan sawi. Hubungan ini semakin bermakna, apabila tatkala papalele membuat semakin ketergantungan pinggawa pada papalele melalui pemberian modal untuk pemunuhan kebutuhan hidup rumah tangga pinggawa.
Kasus 9 Hubungan Kerjasama Nelayan Patorani Tradisional Ke Industrial
Hubungan kerjasam papalele dengan pinggawa terjalin seperti mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. dipisahkan. terkait hal-hal menyangkut kebutuhan hidup keluarganya karena terkait dengan semangat mereka melaut, kalau kita tidak lakukan mereka (pinggawa sawi) sawi) bisa lari kepapalele lain yang mau memberi pinjaman untuk keperluannya. Tentang seringnya pinggawa sawi sawi meminta pertolongan kepada papalele, hal itu sudah biasa, makanya seorang papalele,
papalele , harus mampu
mengayomi pinggawa dan harus pintar melihat situasi. Kalau punggawa-sawi punggawa-sawi kesulitan keuangan karena musibah, dan atau menginginkan barang-barang tertentu berkaitan kebutuhan hidupnya maka secara ortomatis papalele sudah berkewajiban menolongnya. Bahkan kalau perlu ada dana yang diberukan secara cuma-cuma dan atau dalam bentuk pinjaman yang tidak mengikat. Karena kalau mereka minta tolong ke orang lain, nanti juga papalele yang repot untuk menggantikannya. Untuk mencukupi kondisi kebutuhan keuangan keluaraga pinggawa, maka papalele menutupi beragai kebutuhan pinggawa sebagai bentuk kerjasama tidak mencukupi ongkos pengobatan keluarganya yang tiba-tiba, atau dalam kondisi
pemenuhan kebutuhan sehari-hari tidak bisa mencukupi, kita harus turun tangan w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
134
membantu, karena kalau tidak demikian, maka motivasi untuk melaut para punggawa dan sawi berkurang. Imbas dari ketidak adaan motivasi dari pinggawa punggawa maka secara otomatis akan beresiko terhadap penghasilan pinggawa dan juga berkaitan pengembalia modal yang sudah dikeluarkan oleh papalele.
Dari
kasus
tersebut diatas, tergam tergambarkan barkan bahwa kehadiran papalele, tentu
sangat berarti bagi kehidupan pinggawa nelayan patorani dan sawi. Hal demikian, karena papalele menyadari bahwa remunerasi yang diberikan tidak cukup bagi pemenuhan papalele subsistensi ataupun untuk kebutuhan mendadak. Kesadaran papalele untuk mempersiapkan diri memberi bantuan, ketika pingga pinggawa wa - sawi terdesak untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Dengan kondisi demikian papalele tampil sebagai penolong dalam kondisi dibutuhkan oleh pinggawa pinggawa-sawi. -sawi. Munculnya perasaan pinggawa berhutang budi kepada papalele papa lele itulah memunculkan memunculkan hubungan dan perasaan kepatuhan, kepatuhan, dan beriringan berlaku norma resiprositas diawal bekerjanya remunerasi dan manipulasi normatif secara bersamaan.
Kondisi demikian, terdapat pula faktor lain yang menarik, bahwa dibalik pemberian itu bukan hanya pertimbangan hasrat menolong pihak pappalele saja, tetapi ada pertimbangan instrumental bahwa bantuan yang diberikan akhirnya akan berefek pada kelancaran pekerjaan dan citra usaha juga maksimalisasi keuntungan. Jadi hubungan sosial yang terjalin selama ini, yang sejak awal keberadaan nelayan patorani sudah ada rasa tolong menolong antara pemilik modal denga nelayan pekerja (pinggawa-sawi). Namun dibalik hubungan itu tentunya saling memberikan kontribusi antara papalel dan pinggawa. pin ggawa.
Fenomena itu, dapat diindikasikan bahwa telah memunculkan terjadinya gejala pergeseran hubungan pertukaran sosial. Pergeseran dari tradisional yang secara sukarela papalele pada masa lalu membantu pinggawa dengan tidak memaksakan pengembalian utang melalui ikatan kontrak. Namun setelah pergeseran penangkapan dan komersialisasi
produksi, nilai sosial pun beralih pada bentuk utang yang harus dikembalikan oleh pinggawa
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
135
dengan tepat waktu melalui ikatan kontrak. Implementasi Implementasi ikatan kontrak itu itu,, terkait dengan pinggawa tidak diperbolehkan berpindah pada papalele yang lain. sebagaimana dimaksudkan Blau (1964) yaitu dari yang bersifat intrinsik dimana relasi sosial sebagai tujuan utama ke yang bersifat ekstrinsik dengan memanfaatkan relasi yang tercipta sebagai instrumen untuk memperoleh reward (imbalan).
Dibalik kombinasi pemberian upah dan manipulasi normatif, bukan hanya kepatuhan yang diperoleh papalele, akan tetapi sejumlah manfaat pula yang diperoleh untuk menolong menolong keberlangusngan usahanya usahanya.. Pertolongan yang
diperoleh seorang papalele terhadap usahanya adalah pinggawa selalu merasa mempunyai tanggungjawab untuk melalut dan memproleh hasil yang banyak.
Proses patron dalam hal ini pappalele pappalele memanfaatkan norma resiprositas (harus patuh) untuk kepentingan dirinya. Ikatan kepatuhan inilah yang mengikat pinggawa seakanakan ia penolong sehingga klien (punggawa-sawi) terbebani utang budi, padahal pinggawasawi membutuhkan bantuan karena upah yang diperoleh dari papalele memang tidak cukup dan tidak seimbang dengan tantangan yang dihadapi selam selama a melaut.
Realitas itu, Menurut Popkin (1979), tidak semua kemurahan patron didasarkan pada pertimbangan moral kolektivitas, dibaliknya ada pertimbangan individualistik dan kepentingan pribadi. Secara realitas bahwa papalele terlalu mengedepankan keuntungan individualistik ketimbang realitas sosialnya. Dengan demikian masyarakat industri bercirikan suatu tingkat kompleksitas yang tinggi, dan tidak lagi dikendalikan oleh kekuasaan negara. Pada masyarakat industri setiap orang menetapkan dirinya sendiri, hak menentukan dirinya sendiri pada berbagai hal kepentingan kepentingan masyar masyarakat. akat. Kehidupan di masyarakat masyarakat ini muncul individualisasi, kebebasan dan toleransi sosial sebagai akibat kurangnya campur tangan negara (pemerintah), meningkatnya saling ketergantungan, yang mempengaruhi berbagai
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
136
kepentingan untuk selalu kompromi dan adanya kerjasama saling menguntungkan.
Kekuatan papalele, tetap menduduki posisi untuk menentukan nasib pinggawa patorani. Hal itu terjadi, karena papalele memiliki modal usaha sebagai kebutuhan awal pemberangkatan pemberangkat an p patorani. atorani. Belum lagi para pingga pinggawa wa tergantung
ke papalele berkaitan kebutuhan pokok sehari-hari selama meninggalkan keluarga. Akses untuk permodalan permodalan bagi pinggawa tidak a ada da selain papa papalele, lele, sehingga jalan satu-satunya pinggawa meminta pinjaman pada papalele. Pinjaman yang diberikan papalele ke pinggawa itu, bukan berarti bahwa hanya sekedar mengembalikan uang pokok pinjaman, akan tetapi lebih pada terbentuk suatu keterikatan pinggawa pada papalele. Pemberian modal, p papalele apalele juga hati-hati, karena pinggawa juga sebagaian ada yang boros atau tidak pintar mengelola uang, papalele akan berfikir terlebih dahulu untuk memberikan. Kalaupun ditolong, palingpaling dipinjami, itupun dengan sejumlah ketentuan dana untuk operasi selama penangkapan.
Kesadaran dari pihak papa papalele lele untuk selalu memenuhi kebutuhan pokok pinggawa dan sawinya, dalam hal pemberian modal tidak semua permintaan bantuan pinggawa-sawi harus dipenuhi. Kalau sawi sawi kekurangan karena boros papalele papalele berpikir dua kali untuk membantu, meskipun itu dalam bentuk pinjaman. Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi pembagian upah dan manipulasi normatif dalam menciptakan kepatuhan pinggawa sawi sawi tidak selalu otomatis terjadi, tapi bisa kombinasi dan berlaku hanya bila pinggawa sawi sawi terkena musibah atau ada kebutuhan mendesak di luar kebutuhan seharihari.
Pengaruh pemberian upah dan d an manipulasi normatif telah digunakan oleh patron (papalele) sekaligus. Pada pihak klien (punggawa-sawi), (papalele) (punggawa-sawi), keterlibatannya berbasis pada pertimbangan pertimba ngan kalkulatif yang dibarengi prinsip moral. Tersadar Tersadarii oleh mereka bahwa imbalan
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
137
kerjanya kerjany a sering hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan subsisten subsistensi, si, bahkan bahkan kurang. Tetapi karena papalele papalele memudahkan berutang dan sering memberi bantuan, pertimbangan moral menetralisir ketidakpuasan dalam pertimbangan kalkulatif. Ini menjadikan mereka tetap patuh kepada patron. Dihubungkan dengan pendapat Etzioni (1961) berarti keterlibatan punggawa-sawi punggawa-sawi dalam berhubungan dengan papalele papalele merupakan kombinasi antara pertimbangan kalkulatif dan moral.
Kombinasi pengaruh remunerasi dan manipulasi normatif serta kombinasi pertimbangan kalkulatif dan moral, Menurut Etzioni (1961) akan melahirkan kepatuhan yang berada pada tahap transisi dari kepatuhan normatif ke kepatuhan utilitarian. Artinya hubungan papalele papalele dengan punggawa-sawi punggawa-sawi dalam struktur komunitas nelayan berada pada tahap transisi dari kepatuhan normatif (normatif complience) ke kepatuhan utilitarian (utilitarian complience). complience). Ini berbeda dengan ikatan patron klien di masa lalu, yang berbasis pada hubungan bangsawan - budak (Pelras, 1981; Ahiamsa Putra, 1988), yang sepenuhnya berbasis kepatuhan normatif.
Memperhatikan kecenderungan pergeseran basis kepatuhan dalam hubungan, pergeseran hubungan patron klien ke hubungan industri pada komunitas nelayan pertimbangan remuneratif-kalkulatif hadir dalam hubungan, pertimbangan normatif moral juga tetap ada, sehingga kepatuhan utilitarian sudah muncul dan signifikan dibanding kepatuhan normatif dengan demikian berdasarkan penggarisan Etzioni (1960) dan Scott (1972b), fenomena pergeseran dari hubungan patron klien ke hubungan industrial pada komunitas nelayan sudah berlangsung pada tingkat tinggi.
Pergeseran-pergeseran pertukaran semacam ini jelas akan mengurangi rasa komitmen emosional dan moralitas yang mengarah untuk kepentingan perolehan
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
138
keuntungan semata (Etzioni, 1961). Terpresentasi apa yang dikatakan Adimihardja (1983) yakni pergeseran pandangan masyarakat dalam kehidupan ekonomi yang tidak semata-mata mencari penghasilan untuk kebutuhan sendiri (subsistence) kepandangan selalu mencari untung (formalists). Dalam fenomena bergantinya hubungan patron klien ke hubungan kontraktual, tentu saja memungkinkan hubungan dalam struktur sosial komunitas nelayan mengarah ke hubungan pertukaran p ertukaran asimetris antar pelaku ekonomi yang eksploitatif.
Kedudukan papalele selain sebagai pemilik modal juga bertindak sebagai pelaku ekonomi lokal, menciptakan hubungan asimetris yang tidak seimbang antara pinggawa. Hubungan itu terjadi, pada komunitas nelayan patorani berlangsung pada akhir tahun 1960an, yaitu sejak masuknya nilai-nilai pasar memunculkan komersialisasi produksi. Tuntutan hasil tangkapan dalam era ini menjadi prioritas, sehingga tercipta pergeseran hubungan patron-klien yang dulunya berbasis pada keturunan bangsawan yang mengayomi komunitas nelayan patorani. Namun kondisi itu bergeser pada kecenderungan lebih mengikat melalui pencapaian kalkulasi penghasilan dan perhitungan pembagian upah.
Keterikatan pinggawa pada papalele, menciptakan suatu hubungan yang sifatnya lebih mengarah pada hubungan profesi, sebagai pemilik modal dan kepemilikan teknologi penangkapan. Terkait kepemilikan teknologi penangkapan, papalele memasukkan sebagai salah satu yang diperhitungkan diperhi tungkan untuk memperoleh memperole h
bagian hasil dari penangkapa penangkapan. n.
Hubungan ini, tercermin adanya karakteristik perilaku yang mengarah pada komersialisasi produksi dan keuntungan semata dan tidak berimbang.
Perilaku ketidakseimbangan tersebut, berlangsung ketika penerapan teknologi, karena salah satu unsur yang membutuhkan modal besar adalah pengadaan dan pemeliharaan teknologi alat penangkapan semuanya dibebankan pada papalele. Kalupun modal yang sudah dikeluarkan tetap akan dikembalikan oleh pinggawa tatkala sudah
kembali dari lokasi penangkapan. Namun papalele patorani memiliki alasan bahwa modal w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
139
yang dikeluarkan merupakan juga pinjaman dari Bank, sehingga beban yang ditanggung juga agak berat. Jadi pada hubungan ini, papalele memberikan motivasi agar pinggawa dan sawinya bekerja keras untuk memperoleh hasil tangkapan yang lebih banyak.
Motivasi ini, bukan berarti bahwa tidak memiliki alasan, akan tetapi lebih pada orientasi agar modal yang sudah dikeluarkan dapat dikembalikan agar biaya operasional pada musim selanjutnya dapat lagi memperoleh pinjaman. Pinggawa patorani juga sepaham dengan motivasi tersebut, mengingat bahwa seorang pinggawa memiliki tanggungjawab untuk mengembalikan modal yang sudah dipero diperoleh leh dari pa papalele. palele. Kerjasama antara papalele dengan pinggawa, sebenarnya lebih mengara pada sebuah kerjasama kontraktual yang di sepakati sebelum berangkat kelokasi penangkapan.
Kecenderungan pergeseran kerjasama komunitas nelayan patorani dari patron klien secara sederhana pada era tahun 1940-an hingga akhir tahun 1960-an, yang mana hanya berkaitan dengan pembagian hasil penjualan berdasar perolehan hasil tangkapan. Kemudian berubah pada sistem penghitungan pembagian hasil melibatakan seluruh teknologi teknolo gi penangkapan sebagai unsur yang dimasukkan untuk un tuk memperoleh dari penghasilan tangkapan. Perubahan itu, lebih mengarah pada persoalan ketidak mampuan seorang pinggawa untuk meyampaikan usulan ketidak setujuannya pada aturan main sepihak itu. Ketakutan seorang pinggawa, karena pada musim yang akan datang akan menjalin kerjasama kembali dengan papalele. Terjalinnya kembali pada musim berikutnya antara papalele dan pinggawa yang masih sama, karena adanya ketergantungan kepemilikan modal dan utang pinggawa masih tersisa dari papalele yang harus dibayar lunas pada musim berikutnya.
Dari berbagai realitas diatas, dapat disimpulkan bahwa meskipun ciri hubungan dari tradisional ke industrial masih ada yang terpresentasikan. Hubungan tradisional disini
adalah hubungan yang tidak mengikat antara papalele dan pinggawa-sawi. Papalele tidak w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
140
memberikan ikatan tentang target hasil dan beban utang tidak sepenuhnya di serahkan pinggawa, akan tetapi papalele memiliki etika bahwa usaha yang dilakukan merupakan usaha saling terkait antara papalele dan pinggawa. Sehingga kalu hasil minimal yang diperoleh dan tidak dapat pinggawa mengembalikan dana opersaional, maka papalele menuntut agar musim yang akan datang lebih giat lagi bekerja. Namun ikatan ini tetap memberikan ikatan pada pinggawa untuk tidak berpindah kepapalel lain. Hal itu dapat dilihat dari basis kepatuhan yang mendasari hubungan papalele dan punggawa- sawi, sawi, ciri hubungan industrial sebenarnya mulai muncul. Terlebih dengan hubungan kerjasama antara papalele dengan para punggawa-sawi punggawa-sawi diawali dengan perjanjian dalam bentuk kontraktual. Dari sini dapat diartikan bahwa komunitas nelayan patorani telah terjadi pergeseran dari hubungan tradisional-ke hubungan industrial.
4.3.1.1 Hubungan Patron Klien Pada Komunitas Nelayan Patorani
Nelayan
patorani
di
Kabupaten
Takalar
Sulawesi
Selatan,
awal
keberadaannya mengenal nilai-nilai tradisi hubungan patron klien. Tradisi ini sebenarnya berlangsung pada hampir seluruh sektor nelayan dan kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan. Hubungan patron klien tersebut tetap menjadi fenomena
dan bagian kehidupan nelayan patorani beserta aktivitas masyarakat lainnya. Terkait fenomena tersebut terungkap secara spesifik dalam uraian teori Scott (1972) tentang tiga ciri utama hubungan patron klien yaitu: pertama adanya sifat luwes dan meluas dari hubungan (diffuse flexibility); kedua flexibility); kedua adanya ketidaksamaan dalam pertukaran (inequality of excange);; ketiga adanya sifat tatap muka dan mempribadi dalam hubungan (face to excange) face and personal per sonal character). characte r).
Hubungan patron klien pada komunitas nelayan patorani berlangsung sejak masih difokuskan penangkapan induk ikan torani. Hubungan patron klien sebenarnya
sudah berlangsung sejak sebelum masuknya kapitalis (pemilik modal) yang berasal dari
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
141
luar komunitas nelayan patorani. Perbedaan yang dominan adalah ketika nelayan patorani masih menangkap induk ikan, kecenderungan yang menjadi patron adalah pinggawa. Kedudukan pinggawa juga sekaligus sebagai pemimpin dalam operasional penangkapan sedangkan yang menjadi klien adalah para sawi yang ikut dalam pelayaran tersebut. Berlangsungnya modernisasi perikanan tangkap melalui intervensi kapitalisasi terhadap komunitas nelayan patorani telah mengakibatkan terjadinya perubahan jaringan relasional. relasiona l. Kond Kondisi isi secara operasional, pinggawa sebagai patron patron bergeser
menjadi klien tetapi dengan ketergantungan yang lebih sedikit di atas sawi. Posisi pinggawa sebagai patron digantikan oleh papalele (pemilik (p emilik modal).
Sebelum papalele ikut terlibat di dalam andil nelayan patorani, maka papalele hanya sekedar pengumpul hasil tangkapan lalu kemudian di sambungkan ke pembeli yang masuk di daerah Galesong Utara dan Galesong selatan. Pada era tahun t ahun 1940-an hingga akhir tahun 1960-an papalele pada komunitas nelayan patorani belum banyak mengambil andil di dalamnya. Hal itu, karena hasil tangkapan induk ikan torani dijual dalam bentuk ikan kering. Pemasaran ikan kering ini lebih banyak dilakukan sendiri oleh pinggawa nelayan patorani, karena pinggawa memiliki hubungan langsung terhadap pasar dan tanpa melalui perantara papalele. Dalam artian bahwa patron papalele pada masa itu dianggap belum begitu penting keberadaannya, keberadaanny a, sehingga kecenderungan kecenderungan terjadi bahwa pingg pinggawa awa merupakan patron patron yang tertinggi tert inggi dalam menentukan modal dan pemasaran.
Pergeseran posisi pinggawa sebagai patron bagi komunitas nelayan patorani, setelah masuknya unsur pasar dan kelompok yang mendominasi tuntutan peningkatan hasil. Tuntutan komersialisasi produksi merupakan suatu keharusan yang diharapkan oleh pemilik modal dan eksportir sebagai pemilik. Terkait keadaan itu, maka nelayan patorani pun merubah sasaran tangkapannya tangkapann ya dari induk ikan torani ke telur ikan torani. Selain faktor
pasar maka hubungan relasional patron klien pada komunitas nelayan oatorani terbentuk
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
142
ketika penerapan teknologi alat penangkapan dan mulailah pula usaha telur ikan torani menjadi komoditi ekspor yaitu sekitar awal tahun 1970-an.
Kemampuan papalele patorani menguasai sejumlah aset alat produksi membuat semakin kuat hingga menduduki pada posisi patron. Penguasaan teknologi penangkapan berawal pada kepemilikan alat penangkapan sederhana, kemudian berubah menjadi alat penangkapan berteknologi modern. Penguasaan teknologi ada yang secara individu dan berkelompok dan dikoordinir oleh seorang papalele. Ketergantungan pinggawa pada papalele semakin menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan lagi, karena pinggawa memperoleh modal dan peralatan setiap mau melakukan operasional. Dari segi kepemilikan perahu ada dua macam yakni papalele memiliki armada patorani dan ada pula pinggawa sendiri memiliki perahu, tetapi tidak memiliki modal, maka jalan yang ditempuh meminjam modal dari seorang papalele.
Perkembangan papalele semakin meningkat ketika unsur-unsur kapitalis sudah mulai masuk. Kapitalis Cina memasuki komunitas nelayan patorani yang pada era peralihan pola penangkapan dari induk ikan torani beralih ke telur ikan torani. Awal kapitalis Cina masuk, nelayan patorani sama sekali tidak memiliki akses ekonomi dan politik. Situasi itu, lama kelamaan mulai ikut terlibat kerjasama kapitalis cina untuk memperoleh mempero leh akses.
Kehadiran papalele lokal
pada awalnya hanya sekedar
penyambung akses dari para kapitalis Cina sebagai kelas komparador dan meningkat menjadi pemilik modal. Tampilnya papalele hingga sekarang menjadi pemilik tunggal atas modal operasional para pinggawa. pin ggawa.
Masuknya komersialisasi produksi, merupakan hal mutlak pada komunitas nelayan pator ani, seiring itu, hubu ngan patron klien antara papalele papalele - pungawa pungawa dan sawi pun semakin kuat pula bentukannya. bentukannya. Ciri khusus
patron-klien
dalam
hubungan papalele
-
punggawa
sawi
tidak
sepenuhnya
terpresentasikan dalam asal usul hubungan pertalian darah, pertetanggaan, pertemanan, w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
143
dan kekerabatan. Hubungan patron klien setelah nelayan patorani mengenal pasar dan papalele sudah semakin kuat, dan hanya tercipta sekedar hubungan kerja. Hubungan kerja dibuktikan dengan adanya perjanjian dalam bentuk kontrak musiman. Selain itu, hubungan pinggawa-sawi di luar kerja tidak terlihat lagi hubugan kerjasama, kecuali menjelang kontrak pemberangkatan melaut. Realitas itu menurut informan bahwa pinggawa terkait perekrutan sawi bisanya pula banyak berasal dari luar daerah Galesong Utara dan Galesong Selatan, sehingga interaksi hanya terjalin dalam satu musim. Hal itu terjadi, karena sawi hanya datang ketika musim pattoranian dan lebih cenderung berorientasi menjadi pekerja kontrak musiman.
Interaksi yang terjalin antara pinggawa dan sawi selama semusim pattoranian tetap terjalin hubungan yang erat. Keeratan hubungan itu terkait karena adanya hubungan kerja, dan bukan sebagai pengikut. Demikian pula persepsi papalele dalam hal menjalin hubungan dengan sawi di luar hubun gan kerja juga tetap terjalin hubungan biasa dan tidak ada unsur ikatan harus patuh terhadap segala keinginan papalele. papalele. Sikap keterbukaan di luar hubungan kerja itu, menandakan bahwa tejadinya patron klien pada komunitas nelayan patorani tidak terkait pada hubungan panutan sebagaimana layaknya seorang rakyat pada pemimpinnya (raja). Kepatuhan akan terbentuk pada komunitas
nelayan patorani, ketika kontrak kerja sementara berlangsung. Sifat keterbukaan papalele belum begitu meluas, sehingga sehingga hubungan pa patron tron klien lebih mengarah pada pada hubungan sosial lebih spesifik pada hubungan kerja dan bukan pada hubungan sosial tanpa ikatan.
Terkait hubungan sosial di atas, hasil wawancara dengan pinggawa mengenai karakteristik
sifat
keterbukaan
dalam
hubungan
papalele-punggawa-
sawi
berpandangan bahwa bahwa papalele yang menjadi patronnya patronnya tidak otomatis menjadi panutan dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian hal itu pula di benarkan oleh seorang
sawi dalam wawancara bahwa keterlibatannya bekerja bukan karena telah menjalin w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
144
hubungan sebelumnya dengan papalele, dan bahkan tidak ada hubungan kekerabatan dengan papalele. papalele. Jawaban ini muncul dari pinggawa-sawi diluar kerabat. Pinggawa sawi sawi yang masih memiliki hubungan kerabat dengan papalele papalele beranggapan sebaliknya.
Dihubungkan pendapat Scott (1972) bahwa sifat keterbukaan dan hubungan secara luwes dan meluas hanya dipersepsi oleh pinggawa sawi apabila memiliki hubungan berkorelasi dengan seorang pinggawa dan sawi.
Munculnya pula patron klien pada komunitas nelayan patorani dalam era akhir tahun 1960-an, dengan mengacu pada pendapat Scott (1972) bahwa salah satu cirinya adanya pertukaran yang tidak seimbang. Keberadaan pinggawa dan sawi patorani patorani sebelum melakukan penangkapan penangkapan terlebih dahulu sudah ada pemberian yang membuat pinggawa dan sawi berhutang budi dan berhutang modal pada papalele. Pertukaran yang terjadi sebelum bekerja adalah, adanya pemberian pekerjaan dengan hanya persyaratan saling mempercayai. Papalele sepenuhnya menaruh kepercayaan pada pinggawa, dan papalele pula adalah pemiliki semua sumberdaya. Tenaga yang disumbangkan pinggawa sawi sawi tidak senilai dengan investasi dan resiko ekonomi papalele. Ketidaksamaan pertukaran ini lebih nyata lagi karena kebutuhan untuk papalele. menjadi pinggawa-sawi dikedepankan adanya tanggungjawab dan harus orang yang mempunyai pengalaman dalam melakukan penangkapan.
wawancara dengan informan papalele papalele mengenai hal pemberian bantuan dana dan material kepada punggawa-sawi punggawa-sawi diluar pembagian hasil tangkapannya. Papalele mengatakan bahwa bantuan diberikan sebelum berangkat melaut, merupakan modal operasional di darat, diantaranya memperbaiki perahu dan peralatan lainnya berkaiatan operasional di laut. Pemberian modal itu dikategorikan dalam bentuk piutang, dan pembayarannya
semua
dibebankan
pinggawa-sawi
untuk
bertanggungjawab
menggantikan setelah mereka kembali melaut. Dihubungkan dengan pendapat Scott
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
145
(1972) berarti dari sudut pandang papalele papalele bahwa ciri pertukaran tidak seimbang tidak terpresentasikan. Akan tetapi lebih mengarah ke hubungan dengan pertimbangan untung rugi (ciri hubungan kerja kapitalis).
Pinjaman modal meupakan tanggungjawab pinggawa- sawi juga, dan pinjaman yang dibebankan tersebut terlebih dulu diambil sebelum melakukan penangkapan. Pembayaran setelah melaut dilakukan berdasrkan penghitungan hasil tangkapan. Pembayaran yang dilakukan dengan model hasil produksi menurut pinggawa sering melebihi utang pinjamannya, pinjamannya, karena dibay dibayar ar berdasarkan ketentuan harga papalele dan bu bukan kan ha harga rga dipasaran. Dihubungkan dengan teori Scott (1972) bahwa pihak pingawa-sawi terdapat persepsi tentang adanya pertukaran tidak seimbang dalam bentuk pembagian hasil pun merasa dirugikan. Adanya ketidak seimbangan pertukaran ini, menurut informan sawi bahwa banyak dibuktikan dengan perpindahan punggawa-sawi punggawa-sawi antar papalele papalele karena merasa tidak dipenuhi permintaannya.
Adanya permasalahan terkait perpindahan hubungan kerja itu terjadi, karena ketidaksamaan dalam pertukaran yang menggambarkan perbedaan dalam kekuasaan dan sangat merugikan klien (pinggawa-sawi) terutama dalam penetapan harga hasil produksi. Pertukaran yang tidak seimbang digariskan oleh Scott (1972)serta Eistandt (1984) sebagai ciri hubungan patron klien, tidak terpresntasikan sebagai hubungan kerja, akan tetapi lebih cenderung pada pertukaran yang tidak berimbang dari segi perlakuan panghasilan yang diperoleh. Disatu sisi papalele merasa mempunyai posisi berkuasa, karena memiliki modal dan sumberdaya teknologi, sedangkan pinggawa-sawi merasa memiliki kekuatan tenaga dan etos kerja.
Dalam kaitan hubungan pertukaran itu, menurut Scott (1972) bahwa terpatri pula hubungan tatap muka dan hubungan mempribadi. Implementasi hubungan ini
terwujud melalui keterlibatan perasaan dan simpati dalam melakukan pekerjaan. w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
146
Implementasi pertukaran itu, terangkum dalam hasrat menolong dan melindungi kaum patron (papalele). (papalele). Kepatuhan punggawa sawi sawi yang diberikan. Hal itu terindikasi dalam hubungan
kedekatan
melalui
pertemuan
antara
papalele-pinggawa
dan
sawi.
Pertemuan secara tatap muka antara papalele- pinggawa-sawi pada saat perahu berencana
diberangkatkan diberan gkatkan
dan
berlabuh.
Demikan
hampir
setiap
shift
pemberangkatan tatap muka selalu berlangsung. Intensitas pertemuan pinggawa-sawi pemberangkatan sering terjadi baik sebelum berangkat maupun dalam lokasi penangkapan hingga kembali kedarat, sehingga keakraban terjalin dengan baik.
Implementasi hubungan itu, hampir tidak ada batas antara pinggawa dan sawi secara pergaulan namun secara beban pembagian kerja dan tanggungjawab kepatoranian tetap ada perbedaan. Begitu pula antara papalele dan pinggawa-sawi terjalin akrab dan kerjasam tetap menjadi satu ikatan yang utuh. Namun dibalik intensitas pertemuan mereka lebih mengarah ke hubungan untung rugi, hubungan secara kedekatan pribadi antara papalele dan pinggawa-sawi, berlangsung hanya semusim kepatoranian saja. Menurut informan pinggawa bahwa selama ini pinggawa keluar dan pindah kepapalelen, karena merasa tidak tahan lagi dengan perlakuan terkait dengan harga yang diberikan oleh papalele pada pinggawa. Dihubungankan dengan teori Scott (1972) ciri intensitas pertemuan secara langsung dan hubungan mempribadi berlaku. Namun dalam komunitas nelayan patorani sedang mengalami pergeseran akibat adanya perhitungan untung rugi.
Dari sudut pandang punggawa - sawi sawi intensitas pertemuan mereka dengan papalele papalele terjadi terkait adanya kepentingan saling membutuhkan. Artinya bahwa papalele memiliki modal tetapi tidak memiliki skill untuk memangkap, sedangkan pinggawa memiliki skill tetapi tidak memiliki sumberdaya alat penangkapan dan modal, dan begitu pula dengan sami memiliki kemampuan tenaga. Maka kalau ditarik garis hubungan teori Scott (1972), berarti dari pihak
punggawa sawi sawi juga juga terdapat persep persepsi si tatap tatap muka dan mempribad mempribadii dengan hub hubungan ungan mere mereka ka
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
147
dengan papalele. Dari seluruh uraian, ketiga ciri hubungan patron klien yang digariskan Scott (1972), dan Eistandt (1984), tidak berlaku surut lagi, meskipun demikian masih ada yang signifikan tetapi telah mengalami pergeseran seiring dengan perkembangan orientasi baik
papalele maupun pinggawa-sawi. Bergesernya hubungan patron klien pada komunitas nelayan patorani pada era tahun 1940-an dan memasuki era awal tahun 1970-an muncul suatu bentuk hubungan baru sebagai penggantinya, yakni hubungan industrial. Ponsion (1969), Legg (1983) bahwa hubungan industrial ini, merupakan suatu konsep yang mengedepankan kepatuhan. Konsep kepatuhan dalam hal ini Etzioni (1961), menyebutnya kepatuhan utilitarian (utilitarian compliance), yakni sebagai ciri antara majikan dan pekerja. Dalam konteks organisasi industri dapat dilihat pada dua dimensi. Pertama, dimensi kekuasaan (power) yakni jenis kekuasaan yang digunakan oleh suatu pihak dalam mempengaruhi pihak lain untuk patuh. Kedua, dimensi keterlibatan (involvement), yakni pertimbangan apa yang melatari keterlibatan satu pihak untuk patuh kepada pihak lain. Dalam konteks nelayan patorani hubungan industri tercipta tatkala kekuasaan papalele sudah mengedepankan kepatuhan berbasis pada pemberian upah, dan terimplementasikan keterlibatan yang mendasari berbasis pada kalkulasi dan pembagian hasil antara dimensi papalele dan yang terlibat yakni pinggawa dan sawi.
Secara spesifik bahwa basis utilitarian muncul, adanya pemahaman yang difokuskan pada pengaruh perlakuan papalele papalele untuk mendapatkan kepatuhan dari punggawa sawi sawi serta pertimbangan yang melatari punggawa-sawi pungg awa-sawi dalam keterlibatan pada hubungan tersebut. Makna kepatuhan pada komunitas nelayan patorani terlihat adanya perlakuan patron (papalele) (papalele) kepada kliennya (punggawa-sawi) (punggawa-sawi) melalui basis perhitungan pemberian upah yang dibarengi dengan manipulasi normatif dan tidak
transparan, sedangkan manipulasi normatif diparaktekkan melalui pemberian bantuan
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
148
yang mengikat klien dalam kontrak kerja semusim. Dengan kombinasi pengaruh yang demikian, ketidak puasan terhadap pemberian remunerasi dinetralisir oleh manipulasi normatif, hingga itu harmoni tetap tercipta. Papalele melakukan kombinasi ini dengan
sadar untuk tercapainya keberlanjutan usaha dengan kondisi harmoni tetap terjaga. Keharmonisan sebagai mitra kerja antara patron (papalele) dan klien (pinggawa-sawi) tetap terjalin suatu hubungan harmoni dengan saling membantu. Patron sebagai kekuatan yang mengayomi pinggawa-sawi sebagai klien pun terjadi. Implementasi hubungan itu, terkait kondisi kehidupan keluarga pinggawa sawi hingga pada ongkos pengobatan keluarganya. Sebagaimana informan papalele dalam wawancara bahwa pinggawa yang dalam kondisi pemenuhan kebutuhan sehari-hari tidak bisa mencukupi, maka papalele ikut membantu menutupi kebuthannya tersebut. Secara implementatif, hal ini dilakukan oleh seorang papalele karena hanya semata-mata terkait penguatan hubungan kerja untuk terjalin pada musim-musim pattoranian selanjutnya.
Dari realitas itu, dapat diambil anggapan bahwa terbinanya patron klien pada komunitas nelayan patorani, terkait
adanya
ketakutan papalele untuk
tidak
mendapatkan pinggawa yang lebih bertanggungjawab atas pengembalian modal yang sudah dikeluarkan, sehingga dari resiko pun tidak terlalu berat dihadapi oleh papalele. Sebagaimana wawancara dengan abdul Karim (papalele) (papalele) menyatakan bahwa "kita harus selalau membantu pinggawa pinggawa karena terkait dengan semangat mereka melaut, kalau kita tidak lakukan mereka (pinggawa sawi) sawi) bisa lari kepinggawa kepinggawa lain yang mau memberi pinjaman untuk keperluannya. Tentang seringnya punggawa dan sawi sawi meminta pertolongan kepada papalele ia berkata: "kita, para papalele, papalele, harus pintar melihat situasi.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
149
III.
Kasus 10 Hubungan Patron Klien
Mengandalkan penghasilan pada musim torani memiliki keuangan hanya bertahan cukup (enam bulan dalam setahun) Diluar musim torani (paceklik) pendapatan mereka sangat rendah. Oleh karena itu beliau meminta bantuan dalam bentuk pinjaman kepapalele. Beliau memiliki 4 orang anak, jadi dalam sekeluarga yang membutuhkan makan adalah 6 orang. Pinjaman yang diberikan oleh papalele dikembalikan dalam bentuk uang juga. Tetapi ada satu hal yang harus beliau patuhi, walaupun tidak ada dalam bentuk tertulis yakni pinggawa Daeng Bella harus meberikan kepatuhan untuk mengikuti keinginan papalele pada musim berikutnya agar memeperoleh hasil yang lebih banyak, supaya utangnya bisa terbayarkan.
Hubungan patron-klien pada komunitas nelayan patorani telah berlangsung sejak lama. Sebelum masuknya kapitalis dan sebelum bergesernya pola penangkapan dari induk telur ke penangkapan/pengumpulan telur ikan torani sudah terbentuk. Patron pada masa penangkapan induk ikan torani patron lebih cenderung sebagai pimpinan operasional yang di sebut ping pinggawa gawa dan klien direpresentasikan seorang pekerja (sawi). Setelah terjadinya pergeseran penerapan teknologi alat penangkapan dan masuknya unsur pasar sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sosial ekonomi nelayan patorani, maka jaringan rasional. Jaringan ini, pinggawa yang dulunya sebagai patron (pemimpin perahu) bergeser menjadi klien tetapi dengan ketergantungan yang lebih sedikit di atas sawi. Posisi pinggawa sebagai patron digantikan oleh papalele (sebagai pemilik modal). Kehadiran papalele sebagai patron lebih eksklusif di bandingkan dengan patron (pinggawa) pada masa lalu. Papalele hanya sekedar pemilik modal dan tidak ikut melakukan kegiatan penangkapan, tetapi papalele banyak mengatur pinggawa terhadap jalannya operasional.
Dari kasus 10 di atas, tergambar bahwa dengan tampilnya papalele sebagai penolong dalam kondisi dibutuhkan oleh pinggawa-sawi dan pertukaran pun berlangsung. Realitas itu, maka pinggawa merasa berhutang budi kepada papalele. Makna pertukaran itulah kepatuhan muncul karena berlakunya norma dengan prinsip bahwa kepada orang yang telah menolong, pihak yang ditolong harus membalas pertolongan tersebut
(resiprositas).. Tetapi disini juga terdapat faktor lain dibalik pertolongan itu, dan bukan (resiprositas)
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
150
hanya pertimbangan hasrat menolong pihak pappalele saja. Bantuan yang diberikan akhirnya akan berefek pada kelancaran pekerjaan semata, tapi citra usaha ke arah maksimalisasi keuntungan (pertimbangan instrumental). Strategi itu, adalah ilustrasi pada pemberian upah lebih pada pinggawa-sawi, tetapi semua kemurahan patron tidak didasarkan
pada
pertimbangan
moral
kolektivitas.
Dibalik
pertimbangan
itu
kecenderungan individual dan kepentingan pribadi semata yang menurut Popkin (1979) disebut remunerasi dan manipulasi normatif secara bersamaan.
Fenomena itu, mengindikasikan adanya gejala terjadinya pergeseran hubungan pertukaran. Sebagaimana dimaksudkan Blau (1964) dari yang bersifat intrinsik dimana relasi sosial sebagai tujuan utama ke yang bersifat ekstrinsik dengan memanfaatkan relasi yang tercipta sebagai instrumen untuk memperoleh reward (imbalan). Dibalik kombinasi kombin asi remunerasi dan mani pulasi normatif, bukan hanya kepatuhan yang diperoleh papalele, tetapi sejumlah manfaat instrumental papalele, instrum ental bagi usahanya.
Wawancara dengan
informan
papalele
bahwa kalau
punggawa-sawi punggawa-sawi
kesulitan keuangan karena musibah, kita harus tolong, cuma-cuma atau pinjaman. Karena kalau mereka minta tolong ke orang lain, padahal kita papalelenya, papalelenya, maka secara otomatis papalele memiliki tanggungjawab secara moril untuk membantu atas kesulitan yang dihadapinya tersebut. Tetapi kalau pinggawa membutuhkan uang karena hanya untuk kepentingan hura-hura dan tidak terkait dengan kebutuhan hidupkeluarganya sehari-hari, maka papalele berfikir untuk memberikan, kecuali dengan syarat sebagai pinjaman yang harus dikembalikan dalam bentuk utuh tanpa menunggu hasil pada musim pattoranian berikutnya.
Hal di atas, menunjukkan bahwa kombinasi remunerasi dan manipulasi normatif
dalam menciptakan kepatuhan punggawa sawi sawi tidak selalu otomatis terjadi. berdasarkan
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
151
pandangan papalele papalele tersebut di atas, dihubungkan dengan pendapat Etzioni (1961), dari kekuasaan yang digunakan untuk menciptakan kepatuhan, pengaruh remunerasi dan manipulasi normatif telah digunakan oleh patron (papalele) sekaligus. Padahal secara
hubungan sosial papaplele sebagai kekuatan yang tertinggi, selayaknya menutupi keperluan pinggawa atas berbagai kebutuhannya. Berdasarkan fakta diatas, bahwa papalele setengah hati untuk menolong pinggawanya, dan hanya berorientasi pada eksploitasi tenaga untuk mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya ketika musim penangkapan telur ikan torani sudah mulai masuk.
Setiap musim pattoranian tiba, maka papalele tidak serta merta mengeluarkan uang operasional, dengan asumsi untuk memperoleh hasil yang sebanyak-banyaknya. Tetapi secara tidak sadar bahwa imbalan kerja untuk pinggawa hanya cukup untuk memenuhi pemenuhan subsistensi, bahkan kurang untuk menutupi kebutuhan keluarganya, apalagi keluarganya mengutang ketika pinggawa-sawi berangkat melaut. Budaya mengutang juga diberikan kemudahan oleh papalele, sehingga hasil yang diperoleh pinggawa-sawi sebagian besar menutupi utangnya pada papalele patorani. patorani . Pertimbangan moral untuk menetralisir perhitungan untung rugi. Etika ini menjadikan pinggawa-sawi tetap patuh kepada patron (papalele). Dihubungkan dengan pendapat berarti keterlibatan pinggawa-sawi pinggawa-sawi dalam berhubungan dengan papalele papalele merupakan kombinasi antara pertimbangan pertimbangan untung rugi dan moral.
Kombinasi pengaruh akan adanya pertolongan dari papalele sebagai patron merupakan suatu hal yang mutlak dilakukan. Namun di balik itu ada keuntungan yang lebih besar di harapkan oleh papalele terhadap pinggawa diantaranya terjalinnya kerjasama yang mengikat pada pinggawa. Sedangkan pinggawa-sawi sebagai unsur yang diberikan ikatan mengedepankan moralitas sehingga terimplementasikan kedalam bentuk utang budi.
Implementasi pertukaran tersebut, sebenarnya sebuah pertukaran yang tidak seimbang
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
152
karena adanya hubungan kekuasaan tersentralisasi pada papalele. Menurut Etzioni (1961) akan melahirkan kepatuhan yang berada pada tahap transisi dari kepatuhan normatif ke kepatuhan utilitarian. Artinya hubungan papalele papalele patorani dengan pinggawa-
sawi patorani berada pada dua bentuk yang saling bersinggungan dari kepatuhan normatif (normatif complience) ke kepatuhan utilitarian (utilitarian complience). Ini berbeda dengan ikatan patron klien patorani di masa lalu ketika masih melakukan penangkapan induk ikan torani. Masa itu, pinggawa merupakan patron yang selalu hidup bersama dan senasib dengan sawinya. Sehingga nilai-nilai kebersamaan dalam mengatasi segala bentuk kebutuhan hidupnya mereka tanggung bersama.
Dilihat dari basis kepatuhan yang mendasari hubungan papa papalele lele - punggawa sawi, merupakan suatu ciri hubungan yang sudah mengedepankan, bahwa papalele memiliki kekuatan sebagai pemilik alat produksi (papalele)-lah yang paling berpeluang mengatur segala pengeluaran dan investasi atas modal secara ekonomi rumah tangga pinggawa-sawi. Kemudian dari segi modal operasional pun segalanya di atur oleh papalele, baik dari segi harga sehingga papalele pula semakin mereakumulasi modal dan keuntungan. Pinggawa-sawi sebagai pekerja yang mensukseskan pelayaran, hanya pada posisi posisi tetap dan mampu bertahan sebagai pekerja (klien), dengan hasil kerja sekedar bertahan di tingkat aman subsistensi.
Hubungan patron klien yang mengarah pada posisi papalele sebagai orang yang memiliki kekuasaan pada komunitas nelayan patorani, sejak beralihnya penangkapan dari induk ikan torani ke telur ikan torani sebagai komoditas yang di butuhkan oleh pasar. Dari sinilah berawal munculnya papalele-papalele lokal dengan meminjam uang di Bank BRI dengan jaminan sertifikat tanah, rumah dan bahkan perahu yang dimilikinya. Hubungan kepalelean dengan pinggawa sebelum bergabung
dalam suatu sistem pattoranian terlebih dahulu dibangun kerjasama antara papalele papalele
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
153
dengan para pinggawa-sawi pinggawa-sawi diawali dengan perjanjian dalam bentuk kontraktual. Berangat dari sini maka dapat diasumsikan bahwa komunitas nelayan patorani telah terjalin hubungan patron klien antara papalele dan pinggawa-sawi yang saling
mengikat antara pemilik modal dan sumber daya dengan pinggawa-sawi pemilik tenaga dan skill untuk melakukan penangkapan telur ikan torani.
Memperhatikan kecenderungan pergeseran basis kepatuhan dalam hubungan patron klien ke hubungan kontrak pada komunitas nelayan patorani termaktub adanya pertimbangan pemberian upah dengan melalu perhitungan secara menguntungkan papalele (patron) telah hadir dalam hubungan pertimbangan normatif moral. Sehingga kepatuhan utilitarian sudah muncul dan signifikan dibanding kepatuhan normatif dengan demikian berdasarkan penggarisan Etzioni (1960) dan Scott (1972), fenomena pergeseran dari hubungan patron klien pada saat penangkapan induk ikan torani pada era tahun 1940-an hingga akhir tahun1960-an merupakan komoditi andalan nelayan patorani hingga beralih pada penangkapan telur ikan torani telah berlangsung pada awal tahun 1970-an, beriringan pergeseran itu, maka hubungan patron klien pun juga mengalami pergeseran yang secara kalkulatif hanya menguntungkan papalele sebagai patron dan pemilik sumber daya permodalan dan teknologi penangkapan..
Pergeseran pertukaran semacam ini jelas akan mengurangi rasa komitmen emosional dan moralitas, yang hanya mengarah untuk kepentingan perolehan keuntungan semata (Etzioni, 1961). Terpresentasi apa yang dikatakan Adimihardja (1983) yakni pergeseran pandangan masyarakat dalam kehidupan ekonomi yang tidak semata-mata mencari penghasilan untuk kebutuhan sendiri (subsistence) kepandangan selalu mencari untung (formalists). Dalam fenomena yang terjadi pada komunitas nelayan patorani di era sekarang ini ditandai munculnya hubungan kontraktual. Permainan seperti itu, tentu saja
memungkinkan hubungan dalam struktur sosial komunitas nelayan mengarah ke hubungan
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
154
pertukaran asimetris antar pelaku ekonomi yang eksploitatif pada klien (pinggawa-sawi) sebagai kelompok yang memiliki tenaga dan skill untuk melakukan penangkapan.
Dihubungankan konsep yang ditawarkan oleh Scott (1972) bahwa terdapat beberapa penjelasan mengenai signifikannya pergeseran patron klien pada komunitas nelayan patorani. Pertama, pergeseran penangkapan dari induk ikan torani ke penangkapan telur ikan torani, terjadi pergeseran patron dari pinggawa ke papalele sebagai patron; Kedua Kedua kepemilikan sumberdaya modal dan teknologi penangkapan komunitas nelayan patorani sepenuhnya dimiliki oleh papalele sehingga pinggawa-sawi memberi kesempatan lebih besar bagi nelayan pemilik modal dan alat produksi (papalele) menjadikan mereka kelompok patron. Sementara terdapat pula kelompok nelayan yang tidak memiliki alat-alat produksi dan subsistensi, kemudian akses modal dan pasar tidak dimilikinya. Kelompok ini merupakan kelompok yang terbesar dikalangan komunitas nelayan patorani yakni pinggawa-sawi dengan mengandalkan tenaga dan skill.
Terbentuknya patron klien (pinggawa-sawi), keterlibatannya berbasis pada pertimbangan kalkulatif yang dibarengi prinsip moral. Tersadari oleh mereka bahwa imbalan kerjanya sering hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan subsiten dan bahkan kurang dari pemunuhan kebutuhan subsisten itu. Kehadiran papalele memudahkan pinggawa berutang, berutang, dan bahkan memberikan bantuan dengan pertimbangan pertimbangan moral. Hal itu dilakukan untuk menetralisir ketidakpuasan dalam pertimbangan kalkulatif dan tetap menjadikan pinggawa-sawi tetap patuh kepada patron. Dihubungkan dengan pendapat Etzioni (1961) bahwa keterlibat keterlibatan an pinggawa-sawi dalam berhubungan dengan papalele merupakan kombinasi antara pertimbangan kalkulatif dan moral. Patron klien terbentuk di komunitas nelayan patorani, beriringan masuknya unsur pasar dan komersialisasi produksi. Implementasi itu terjadi sebenarnya sudh berlangsung
lama, namun di akhir tahun 1960-an semakin kuat. Pemanfaatan modal dari pihak papalele
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
155
serta, penerapan teknologi alat penangkapan merupakan salah satu faktor semakin kuatnya bentukan patron-klien. Kemampuan papalele untuk memiliki sejumlah alat produksi mengantar mereka berada pada posisi patron. Penangkapan secara individual/unit penangkapan berubah menjadi penangkapan secara berkelompok yang dikoordinir oleh seorang
papalele.
Kekuatan
papalele
pada
komunitas
nelayan
patorani
sangat
diperhitungkan, diperhitungk an, k karena arena adanya ketergantungan pinggawa untuk permodalan.
4.3.1.2 Solidar Solidaritas itas Sosial Kekeluargaan Ke Hubungan Kontraktual
Berbeda halnya dengan sistem pengetahuan tradisional, pengetahuan modern yang masuk dalam sistem peralatan patorani menunjukkan rasionalisasi atau wawasan ekonomi lebih dari kepekaan sosial dan ekologis. Hal itu terjadi, karena lebih mengutamakan produktivitas yang tinggi serta seefektif dan seefesien mungkin. Kondisi itu, walaupun harus mengorbankan kepedualian sosial terutama Faktror-faktor non ekonomi resiprositas dan solidaritas tidak lagi menjadi bagian yang harus diperhitungkan sebagai modal sosial (social cost).. Padahal dalam sistem pengetahuan apapun, faktor-faktor ini, merupakan ketentuan cost) sosial yang secara ikhlas dipatuhi dan dilaksanakan dalam kelompok. Munculnya sistem bagi hasil yang sangat menguntungkan kaum kelas atas (patron). Pembagian hasil pula merupakan salah satu refleksi dari ketidakpedulian sosial antara patron dan klien.
Masuk dan berkembangnya unsur penerapan teknologi, memiliki kekuatan untuk meningkatkan pendapatan. Namun disisi lain memunculkan pula masalah baru dan memperlebar kesenjangan sosial. Pemilik modal (papalele) (papalele)-- pengusaha (eksportir) di satu pihak dan pinggawa biseang (juragan) beserta sawinya dipihak lainnya. Betapa Betapa tidak, unsur teknologi membentuk sistem bagi hasil pada komunitas nelayan patorani. Hasil yang
terkumpul di bagi dengan sistem yakni pemilik modal mengambil dua bagian (mesin dan perahu), dan dua bagian untuk pinggawa dan sawi. w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
156
Besarnya ketimpangan tersebut di atas, tidaklah diukur dari perbandingan modal yang ditanamkan oleh pihak papalele. Aktivitas itu berdasar pada besarnya resiko yang dihadapi oleh masing-masing pihak. Pemilik modal (papalele), resiko yang menghadang ialah kerugian material. Sedangkan pinggawa dan sawi taruhannnya adalah nyawa. Ketimpangan dan resiko itu memberi peluang timbulnya konflik sosial yang sifatnya tersembunyi. Konflik seperti itu, sebenarnya tidak dikehendaki oleh pihak papaele-pinggawa dan sawi. Hal itu menunjukkan dinamika kelompok. Sebaba konflik semacam ini bukan lahir karena ide-ide inovatif, tetapi muncul karena sudah mengabaika mengabaikan n nil nilai-nilai ai-nilai kekeluargaan kekeluargaan dan solidaritas.
Dalam hubungan dengan transformasi masyarakat dari ciri tradisional sederhana menuju ciri modern-kompleks, Durkheim (1964) menghubungkan pembagian kerja dengan pergeseran solidaritas sosial. Durkheim (1964: 106) menyatakan bahwa pada masyarakat yang pembagian kerjanya sederhana solidaritas sosial yang mendorong integrasi adalah solidaritas mekanik, suatu tipe solidaritas sosial yang muncul secara otomatis karena tingginya homogenitas sosial. Sebaliknya, pada masyarakat yang pembagian kerjanya terspesialisasi, dikatakan Durkheim (1964: 131) bahwa solidaritas sosial yang mendorong integrasi adalah solidaritas organik, suatu tipe solidaritas sosial yang muncul karena adanya saling ketergantungan dalam masyarakat.
Munculnya ketergantungan itu, terkait masuknya unsur-unsur pendorong dari luar komunitasnya, diantaranya masuknya pasar sebagai pemegang kendali pada hasil yang diperoleh komunitas nelayan patorani yang menuntut komersialisasi produksi. Maka muncul pula ketergantungan akan penggunaan teknologi alat penangkapan telur ikan torani. Pergeseran ini diharapkan dapat mengakibatkan terjadinya perubahan hasil produksi semakin meningkat. meningkat. Sistem tradisional ke sistem modern dibarengi oleh peregeseran hubungan kerja yang saling menguntungkan. Namun hubungan di atas, tidak selamanya
saling menguntungkan dan malah justru berkembang dari segi perolehan hasil adalah
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
157
pemilik modal (papalele) melalui penciptaan mekanisme ketergantungan. Hubungan patron klien dengan sistem bagi hasil, dari segi pendapatan jauh lebih besar papalele karena disamping itu pula menguasai akses pasar.
Bergesernya solidaritas mekanik pada komunitas nelayan patorani, terkait dengan masuknya unsur penggunaan teknologi. Masuknya unsur teknologi, sebagai alat yang cukup diperhitngkan sebagai suatu hal yang bernilai sehingga setiap nelayan patorani kembali melaut dan membawa hasil tangkapan. Maka teknologi disepakati dengan perhitungan bahwa mesin kapal memiliki jatah penghasilan disetarakan nilainya sebanyak dua orang sawi dan semuanya di serahkan ke papalele. papalele . Padahal jenis teknologi peralatan tersebut merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dengan jenis teknologi peralatan lainnya pada unit penangkapan yang digunakan nelayan patorani. Pembagian hasil yang tidak berimbang tersebut secara otomatis sudah menghilangkan perasaan nilai kolektivitas sebagai bagian yang sudah tersistematis tersistematis sekian lama antara papalele dengan pin pinggawa-sa ggawa-sawi. wi.
Realitas di atas, terkait pemikiran Durkheim dalam Johnson (1986: 187) menegaskan bahwa kesadaran kolektif yang mendasari solidaritas mekanik paling kuat perkemba p erkembangannya ngannya di dalam masyarakat, masyarakat primitif yang sederhana. Dalam masyarakat seperti itu, semua anggota pada dasarnya memiliki kepercayaan bersama, pandangan, nilai dan semuanya memiliki gaya hidup yang kira-kira sama. Homogenitas ini mungkin kalau kita lihat kenyataan bahwa pembagian kerja sangat rendah. Menurut Durkheim bahwa solidaritas itu terbagi kepada solidaritas mekanik dan solidaritas organik, kemudian solidaritas itu terbagi lagi kedalam solidaritas positif dan solidarit solidaritas as negatif.
Hubungan kontraktual yang merupakan ciri pergeseran hubungan patron klien pada komunitas nelayan yang dituangkan dalam suatu perjanjian kerjasama dengan bentuk bagi hasil dengan mewajibkan nelayan pekerja menyerahkan seluruh hasil tangkapannya kepada
pemilik modal untukselanjutnya di jual ke pasar. Fenomena ini relevan dengan apa yang w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
158
dimaksudkan Poensioen (1969) bahwa proses industrialisasi hubungan yang bersifat pribadi (hubungan patron klien) akan bergeser menjadi hubungan yang bercirikan kontraktual. Popkin (1979) menyebut sebagai pergeseran dari hubungan yang berdasarkan oral ke hugungan yang berdasarkan rasionalitas. Legg (1983) menamai pergeseran dari iktan multi kompleks (hubungan kerja yang berlangsung berulang kali sehingga mempribadi) ke ikatan simlek (hubungan kerja impersonal dengan mekanisme kerja yang mengacu pada sistem pasar).
Mekanisme ikatan kontraktual dalam struktur komunitas nelayan patorani melalui sistem dan mekanisme distribusi pendapatan yang kurang proporsional antara papalele dengan pekerja. Papalele sebagai pemilik modal cenderung sangat mengatur hasil tangkapan yang diperoleh nelayan, hingga pada penentuan harga pun di tentukan oleh papalele. Namun distribusi pendapatan ini sudah menjadi pranata sosial ekonomi yang merupakan manifestasi ikatan kontraktual antara pemilik modal dengan d engan nelayan patorani.
Dari hal di atas, terkait Smith (1937) bahwa peningkatan paling besar dalam kekuatan produksi yang dimiliki oleh pekerja merupakan efek dari pembagian kerja. Konsep inipun kemudian di bahas oleh Durkheim (1964: 136) yang menghubungkannya dengan
spesialisasi cara fikir dan kemampuan individu dalam bekerja yang pada gilirannya mendorong terbaginya pekerjaan. Pendapat itu menunjukkan varian dalam konsep pembagian kerja. Varian-varian tersebut juga muncul dalam pembahasan tentang fungsi pembagian kerja. Smith (1937) dan Durkheim (1964) bahwa pembagian kerja berfungsi positif terhadap perkembangan ekonomi pasar dan pembentukan solidaritas sosial. Penelitian ini berasumsi bahwa pembagian kerja fungsional dalam in integrasi tegrasi masyarakat masyarakat..
Dalam hubungan nelayan patorani secara struktural, terjadi pembagian kerja
berdasarkan kegiatan penangkapan, namun secara nilai ekonomi (upah) terjadi perbedaan.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
159
Rendahnya pendapatan yang diterima oleh nelayan pekerja (sawi) adalh disebabkan oleh beberapa al antara lain (1) penjualan hasil tangkapan cenderung ditentukan secara sepihak oleh pemilik modal (papalele); (2) pemilik modal seakan-akan membuat kontrak sebagai pembeli hasil dari nelayannya sendiri tanpa membuka akses untuk dijual ketempat lain;(3) biaya operasional dalam bentuk material maupun non material sepenuhnya tanggungjawab nelayan.
Kesemua cara yang dilakukan pemilik modal di atas, sesungguhnya merupakan suatu hal pelanggaran terhadap pelanggaran terhadap norma-norma bagi hasil yang eksploitatif. Pemutusan secara sepihak, menguntungkan papalele, dengan alasan bahwa pemilik modal lebih dominan dalam pelaksanaan penangkapan. Memang secara nyata, bahwa papalele memilik andil yang besar dari segi permodalan, akan tetapi dibalik kekuasaanya tersebut terjadi eksploitasi. Secara etika ekonomi, terutama ajaran agama Islam, hal itu sudah terjadi pelanggaran karena membebani pada kaum pekerja (pinggawa dan sawi) dengan mencari keuntumngan keuntumnga n maksimal tanpa perduli legal atau illegal atas kontrak yang diputuskan sepihak tersebut.
Ketertutupan mengenai penentuan harga khususnya komoditi ekspor; telur ikan torani, sesungguhnya mulai terjadi sejak papa papalele lele menjadi perantara antara pemilik modal yang berkedudukan di Makassar dengan nelayan pekerja. Sekarang dengan berdikarinya papalele papa lele sebagai pemilik modal, penentuan harga berada di bawah kebijakannya (untuk tidak mengatakan kekuasaan) papalele kekuasaan) papalele yang bersangkutan.
Penentuan penggunaan biaya operasional, tampaknya para kapitalis lokal (papalele) menerima pengaruh yang kuat dari sistem perbankan yang menyebabkan mereka tak ingin merugi sedikit pun dari usahanya, bahkan mereka tetap untung kendati pun
nelayan pekerjanya tidak memperoleh apa-apa. Sekurang-kurangnya mereka berusaha
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
160
untuk memperoleh kembali modal yang mereka tanamkan (meskipun dalam waktu yang tertunda) ditambah dengan keuntungan dari setiap material yang dipergunakan dalam penangkapan.
Kasus 11 Solidaritas Sosial Kekeluargaan Ke Hubungan Kontraktual
Seorang informan berstatus sebagai papalele Dg Se’re setiap musim pattoranian meminjam unag di bank BRI cabang Takalar. Pinjaman diaambil di aambil dengan agunang tanah, rumah dan perahu yang dimilikinya. Beliau memiliki perahu sebanyak lima buah dan dipegang oleh pinggawa-pinggawa berasal dari Galesong sendiri. Dalam pemberian modal pada pinggawanya beliau selalu jauh dari perhitungan pengembalian modalnya dari pinggawa berbeda dengan cara perbankan. Munciulnya perbedaan ini karena resiko yang dihadapinya berbeda dilapangan. Bahkan kadangkala beliau merugi bila hasil h asil tangkapan tidak bagus suasananya. Dengan demikian dapat dipersepsikan bahwa sebenarnya mereka dalam menjalankan usahanya mengacu pada sistem perbankan tanpa mereka menyadari bahwa dipihak lain mereka mempergunakan sistem bagi hasil yang sama sekali berbeda dengan sistem perbankan. Di sinilah sini lah kelemahan sistem bagi hasil bilamana papalele mau mempermainkan hasil yang diperoleh pinggawanya, dengan menawarkan harga yang rendah sedangkan dipasaran harganya tinggi
Kasus 11 di atas secara otomatis tergambar bahwa keuntungan pemilik modal diperoleh melalui penghitungan yang tidak berimbang. Solidaritas sosial sudah tercipta ke hubungan kontraktual. Sistem pembagian hasil dan penentuan harga di tentukan oleh papalele, yang secara realias tercipt tercipta a eksploitasi. Penentuan biaya b iaya operasional dan teknologi peralatan dan pemasaran ditentuakan oleh papalele. Implementasi tersebut, sudah mengedepankan solidaritas organik menurut Durkheim dalam Johnson (1986) salah satu cirinya adalah kesadaran kolektif lemah dan pembagian kerja tinggi. Hal itu terjadi, karena papalele hanya berlandaskan pada rasionalitas-eksploitasi, yakni berupa pengejaran keuntungan maksimal dengan cara merenggut hak-hak pinggawa-sawi. Pengejaran keuntungan adalah dibenarkan secara rasional, akan tetapi jika hal itu diperoleh melalui perenggutan (eksploitasi) atas hak orang lain maka tindakan itu menunjukkan keserakahan,
yang mana menurut Durkheim dalam Johnson (1986) merupakan ciri masyarakat bersifat industrial dan indivudualitas tinggi. w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
161
Unsur-unsur eksploitasi itu, secara realitas mengurangi rasa kekeluargaan komunitas nelayan patorani. Kaitannya dengan solidaritas sosial yang mana pada era tahun 1940-an hingga akhir tahun 1960-an, komunitas nelayan patorani masih memgang teguh nilai-nilai atas dasar kesadaran kolektif. Sebagaimana Durkheim dalam Johnson (1986: 183) bahwa kesadaran mekanik itu adalah kesadaran masyarakat di dasarkan kepada kesadaran kolektif bersama yang menunjuk pada totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimensentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama. Komunitas nelayan patorani sebelum masuknya unsur pasar dan komersialisasi produksi, nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan masih dikedepankan. pergeseran hasil penangkapan di era tahun 1940-an, ketika induk telur menjadi komoditi penghasilan, maka telur ikan saat itu dibagi-bagikan ketetangga. Namun sebaliknya ketika akhir tahun 1960-an, telur ikan torani menjadi komoditi andalan untuk di ekspor, maka kebiasaan untuk membagikan telur itu sudah tidak ada dan induk i nduk ikan pun juga j uga tidak dijadikan lagi salah satu perekat kekeluargaan. Kaitannya dengan struktur sosial pinggawa-sawi pinggawa-sawi dengan kehadiran rasionalitaseksploitasi itu, telah menggeser posisi nilai sosial yang selama ini amat dijunjung tinggi. Nilai sosial yang dimaksud diantaranya adalah nilai-nilai. Dalam konteks nelayan, nilai-nilai kejujuran merupakan nilai utama (dasar) bagi terbentuknya struktur sosial pinggawa-sawi. pinggawa-sawi . Seorang papalele papalele dalam mempekerjakan nelayan pekerja adalah percaya bahwa nelayan pekerjanya tersebut menyerahkan secara jujur seluruh hasil tangkapannya kepada papalele. papalele. Sebaliknya nelayan pekerja juga percaya bahwa papa bahwa papalele lele menyampaikan secara jujur kepada mereka mengenai harga dan biaya operasional yang sesungguhnya.
Namun apa yang terjadi belakangan ini, keduanya sudah tidak lagi konsisten terhadap nilai-nilai kesadaran kolektif itu. Karena nelayan pekerja merasa terlalu dieksploitir oleh pemilik modal, maka kerap kali nelayan pekerja membalasnya melalui cara pengambilan secara sembunyi-sembunyi yakni berupa pengambilan beberapa bagian hasil
tangkapan secara illegal untuk selanjutnya di jual ke pasar atau dibagi-bagikan kepada seluruh sawi. sawi. Memudarnya kesadaran kolektif komunitas nelayan patorani karena terkait w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
162
perolehan perole han hasil yang tidak sama. Maka salah satu unsur inilah menyebabkan penyelewengan pun kerap terjadi. Kemudian ketidak seimbangan pula dari segi pendapatan berdasarkan pembagian kerja antara pinggawa-sawi terjadi perbedaan, padahal dari segi pekerjaan, maka sawi (pekerja/buruh) (pekerja/buruh) yang lebih banyak menanggung menanggung beban kerja. Terjadinya penyelewengan hasil biasanya dipimpin langsung oleh pinggawa pinggawa yang bersangkutan, dengan alasan bahwa jika hal itu tidak dilakukan maka pinggawa pinggawa yang bersangkutan akan kehilangan sawi. sawi . Disinilah perlunya apa yang dimaksudkan Ritzer (1996), bahwa rasionalitas instrumental harus dikontrol oleh rasional nilai karena kalau tidak, akan menimbulkan efek negatif seperti eksploitasi. Nilai sosial termaksud diperkirakan mulai mengalami pergeseran sejak dimulainya komersialisasi komersialisasi produksi nelayan, kemudian menjadi berubah secara total pada saat munculnya papalele papalele perantara, dan akhirnya menjadi nilai sosial tidak menjadi lagi suatu sistem norma, ketika papalele papalele telah menjadi pemilik modal. Hal inilah yang menyebabkan struktur papalele - punggawa - sawi sawi lebih diwarnai oleh pertimbangan ekonomi (pengejaran keuntungan semata) daripada pertimbangan sosial (kemerataan (kemerat aan pendapatan) khususnya dari sisi pemilik modal.
Pergeseran hubungan pertukaran dari yang bersifat intrinsik ke ekstrinsik atau pergeseran pandangan nelayan patorani dan secara umum masyarakat dalam kehidupan ekonomi yang tidak semata-mata mencari penghasilan untuk kebutuhan sendiri (subsistence) kepandangan selalu mencari untung (formalists) (Adimiharja, 1983 : 35). Dalam fenomena pergeseran pandangan seperti ini, tentu saja memungkinkan bahwa dalam struktur sosial komunitas nelayan patorani terindikasi hubungan yang bersifat eksploitatif.
Fenomena solidaritas sosial yang berorientasi pada nilai kekeluargaan komunitas nelayan patorani, mengalami pergeseran sejak akhir tahun 1970-an. Penyebab yang lebih
mendasar adalah masuknya unsur pasar dan komersialisasi produksi yang berorientasi pada ekspor telur ikan torani, sehingga papalele hanya mengejar target pemenuhan permintaan w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
163
eksportir. Dibalik hal itu, pinggawa-sawi menjadi skala prioritas bagi papalele untuk memenuhi keinginannya itu. Papalele sebagai pemilik modal dan teknologi penangkapan melakukan eksploitasi pada pekerja dan sudah mulai menghitung berdasarkan karakteristik masyarakat industri. Struktur pembagian kerja menjadi pula prioritas dalam pembagian hasil, pinggawa-sawi memiliki kedudukan yang berbeda sehingga pembagian hasil pun juga berbeda.
Demikian pula pada struktur antara pinggawa dan papalele memiliki hubungan saling ketergantungan dalam pekerjaan. Sistem itu di implementasikan ke dalam sistem kontraktual, bahwa seorang patron mengandalkan sumber daya kepemilikan modal dan teknologi penangkapan. Sedangkan klien mengandalkan keahlian dan keterampilan penangkapan. Realitas itulah, terjadi suatu hubungan yang lebih profesional yang terimplementasikan kedalam bentuk pekerjaan. Terciptanya hubungan kerja maka secara otomatis otomat is pinggawa nelayan mempe memperoleh roleh permodalan dari papalele. Sistem pe pengembalian ngembalian modal pada nelayan patorani diberlakukan sistem dan mekanisme pengembalian semusim, jadi utang dikembalikan pada saat musim torani berlangsung (antara bulan Aprilseptember), september ), b bila ila musim kali ini belum berhasil, maka dikembalikan pada musim berikutnya.
Fenomena di atas, menandakan bahwa nelayan patorani telah mengalami pergeseran solidaritas sosial kondisi ini menciptakan keterintegrasian yang didasarkan pada solidaritas organik. Keterintegrasian tetap menjadi suatu prioritas dalam solidaritas organik karena adanya saling ketergantungan antara papalele dan pinggawa. Kondisi komunitas nelayan patorani terlihat bahwa, setiap kelokasi penangkapan akan sukses bila papalele sebagai pemilik modal memberikan modal operasional sesuai apa yang dibutuhkan oleh pinggawa, demikian pula seorang pinggawa melakukan aktivitasnya sebagai pimpinan kapal
memiliki keterampilan dan mengefektifkan kelebihannya itu, dalam menjalankan tugasnya. Pada muaranya atas realitas di atas, akan menciptakan ketergantungan fungsional. w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
164
Terciptanya ketergantungan secara fungsional itu, akan sangat membantu untuk menentukan terciptanya integrasi organisasi produksi antara pinggawa-papalele dan eksportir, dan ini menandakan pula bergesernya hubungan kultural antara papalele dan pinggawa berdasrkan hubungan emosional kekeluargaan ke hubungan fungsional kontraktual. kontraktua l. Sesuai teori Durkheim (1964), ini berarti bahwa solidaritas sosial telah bergeser dari solidaritas mekanik ke solidaritas organik. Pergeseran solidaritas nelayan patorani dari mekanik ke organik terkait masuknya unsur pasar dan kapitalis menguasai hasil produksi yang di peroleh nelayan patorani. Terkait hal itu, Weber dalam Sztompka (2004: 83) bahwa dalam konteks masyarakat kapitalis, maka kepemilikan pasar dimonopoli oleh satu kelas yang mengatur prinsip distribusi dan konsumsi.
Dalam kasus nelayan patorani di Galesong Selatan dan Galesong Utara bahwa kapitalis lokal (papalele) memiliki kekuasaan yang mengatur tentang harga jual di pasaran. Adanya unsurkekuasaan yang dumiliki tekait pada fungsinya sebagai pemilik modal dengan motivasi utamanya adalah untuk mencapai keuntungan maksimal, sehingga motivasi perilaku ekonomi untuk mencapai keuntungan tertinggi. Adanya keinginan itu, maka solidaritas tradisional sejak lahirnya nelayan patorani sudah bergeser ke solidaritas yang berorientasi kapitalis. Kemudian selanjtnya, mekanisasi pekerjaan dengan memanfaatkan teknologi sehingga memungkinkan memperhitungkan kapital secara tepat. Proses produksi berdasarkan prinsip organisasi yang efektif, produktif, p roduktif, dan rasional.
4.3.2.
Hubungan Sosial Dan Pembagian Kerja
Hubungan sosial komunitas nelayan umumnya memperlihatkan adanya hubungan antara kelompok sebagai komunitas yang terdiri atas adanya unsur-unsur pekerjaan yang
kompleks selama berlayar. Sebaliknya setelah sampai di daratan pun komunitas nelayan
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
165
tetap diikat oleh suatu ikatan hubungan sosial yang berlaku dan sudah disepakati secara turun temurun. Kesepakatan hubungan sosial tidak ada yang tertulis, namun tetap menjadi ikatan kontrak antara komunitas nelayan baik selama melaut maupun setelah sampai di darat. Nelayan patorani patorani sebagai komunitas sosial secara luas, bahwa hubungan masyarakat bukan saja melingkupi satu kelompok sosial atas pekerjaan semata, disamping faktor lain seperti tempat tinggal yang secara bersama-sama menempati suatu wilayah tertentu. Hubungan sosial juga dijalin berdasar pada ikatan-ikatan lain ataas dasar kepentingan saling membantu dalam bentuk kerjasama untuk keberlanjutan dari komunitas itu.
Hubungan sosial diantara komunitas nelayan patorani diketahui adanya tiga kelompok strata sosial atau lapisan. Perbedaan sosial atas strata didasarkan pada pemilikan atau penguasaan secara nyata atas alat tangkap. Atas dasar kepemilikan tersebut, dapat dikelompokkan dikelompok kan dalam tiga strata yaitu yaitu pertama, pertama, nelayan nelayan pemilik alat tangkap dalam kategori juragan; kedua kedua nelayan pemilik alat tangkap dalam kategori nelayan pemilik kecil (memiliki alat tangkap/perahu akan tetapi tidak memiliki modal); ketiga ketiga nelayan yang termasuk nelayan buruh atau sawi, yaitu nelayan yang tidak memiliki modal dan alat tangkap.
Gambaran di atas merupakan suatu status yang terbentuk dalam komunitas nelayan patorani, lain halnya pula dengan spesialisasi pembagian kerja, identik denagn distribusi status yang diikuti dengan tugaa khusus. Distribusi status terkait dengan keterampilan dan cara memperoleh keterampilan. Menurut Parker (1985) bahwa distribusi stautus berdasarkan keterampilan. Lain halnya penekanan Smith (1937) dan Durkheim (1964), bahwa pembagian kerja identik dengan terspesialisasinya seseorang pada tahap pekerjaan tertentu. Dalam komunitas nelayan patorani, ketika melakukan operasional penangkapan
telah terjadi spesialisasi, walaupun belum berlaku surut karena hampir pekerjaan di kerjakan secara bersama-sama. w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
166
Spesialisasi
pekerjaan
sebelum
tahun
1970-an
pembagian
kerja
belum
mendominasi, akan tetapi masih cenderung pada status yang dimiliki seseorang menjadi tolok ukur dalam posisinya. Hal itu, terkait belum adanya motivasi pada komersialisasi produksi dan dominasi pasar pun belum menjadi bagian yang diperhitungkan. Dalam era ini hasil tangkapan masih mengarah pada induk ikan terbang dan pemasaran pun masih terbatas pada pasaran lokal. Menurut Polanyi (1957) bahwa perkembangan pasar sangat berpengaruh dalam transformasi ekonomi. Sedangkan nelayan patorani dalam era tahun 1940-an hingga akhir tahun 1960-an belum terjadi apa yang di asumsikan oleh Polanyi pada komunitas nelayan patorani belum terjadi, walaupun nelayan patorani sudah mengenal pasar, namun pasar hanya mengandakan induk ikan torani yang nilai ekonomisnya belum menjadi prioritas permintaan pasar. Tetapi konsumen induk ikan torani sangat terbatas jumlahnya, yakni pasar lokal lokal Sulwawesi selatan selatan dan sebagian pulau Jawa Timu Timur. r.
Namun hal itu terjadi, namun pembagian berdasarkan pekerjaan pada komunitas nelayan patorani, ketika eksportir dan komersialisasi produksi sudah menjadi prioritas. Sehingga pembagian kerja sudah mulai tercermin, hal ini ditandai dengan adanya pinggawa yang diberikan beban bertanggungjawab utuk menahkodai perahu dan swai walupun bagaimana tetap pekerja. Hal itu terkait Smith (1973) bahwa pembagian kerja mendorong perekonomian bila ia identik dengan spesialisasi pekerjaan, karena dengan itu efesiensi produkasi tecapai. Durkheim (1964) juga menekankan spesialisasi pekerjaan karena denganitu integrasi diwujudkan melalui solidaritas organik.
Perubahan pembagiankerja terjadi ketika organisasi produksi semakin besar. Sejak awal tahun 1970-an pada komunitas nelayan patorani, berkaitan dengansistem imbalan kerja dan unsur kepapalelelan pula sudah masuk mengatur tentang pola produksi dan
penangkapan. Tradisi pembagian hasil berdasarkan pembagian kerja di komuntas nelayan patorani, yakni papalele memiliki bagian dua puluh persen, seorang pinggawa memiliki dua
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
167
puluh persen lagi (dengan perhitungan sebagai pemimpin dan gaji selama melakukan penangkapan). Berkaiatn dengan gaji pinggawa tidak di tenytukan berdasarkan hari dan lama melakukan penangkapan, akan tetapi tergantun tergantung g pemebrian papalele. Sedangkan sawi medapatkan pembagian secara rata ketika kedua elemen (papalele dan pinggawa) sudah mendapat bagian. Pembagian untuk sawi pun tergantung dari pinggawa. Fenomena pembagian kerja berdasarkan imbalan kerja di atas, sampai sekarang menjadi patokan bagi komunitas nelayan patorani.
4.3.2.1.Pola Pembagian Kerja Pada Komunitas Nelayan Patorani
Pembagian kerja pada komunitas industri penangkapan ikan berkembang seiring dengan masuknya komersialisasi pasar dan penerapan teknologi alat penangkapan. Ketika nelayan masih mengandalkan peralatan yang sederhana, hanya terbatas pada penggunaan pancing pancin g, jala dan bubu bubu.. Keadaan itu, pembagian kerja hampir tidak ada dan belum membutuhkan keahlian penggunaan teknologi penangkapann.
Dalam konteks itu, nelayan patorani pun hampir tidak ada pembagian kerja, sejak sejarah awal keberadaanya sebagai nelayan tradisional pada abad ke-17. Pembagian kerja hanya di dapatkan berdasarkan jenis kelamin antara pria dan wanita. Straus (1971) bahwa pembagian kerja pria dan wanita memaksakan ketergantungan timbal balik, jenis kelamin tertentu harus melakukan pekerjaan tertentu, yang berarti jenis kelamin lain dilarang melakukannya.
Pembagian kerja pada komunitas nelayan patorani diperkirakan mengalami perubahan antara sebelum dan sesudah awal tahun 1940-an hingga akhir tahun 1960-an.
Sebelum tahun 1940-an, pembagian kerja didasarkan pada status dan kemampuan sesorang. Hal itu dapat di temukan dalam kepemilikan modal serta kemahiran dalam melaut. Sesorang w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
168
yang diberikan pekerjaan sebagai pinggawa laut (juragan) bisanya dilihat dari segi pengalaman dan kemahirannya sebagai nahkoda sehingga diberikan kepercayaan untuk memimpin pelayaran.
Nelayan patorani yang menetap di Galesong Utara dan Galesong Selatan Kabupaten Takalar terdapat suatu struktur pembagian kerja dalam melakukan aktivitasnya selama melaut. Struktur tersebut antara lain; pinggawa darat (papalele), pinggawa laut (juragan), dan anak buah/buruh nelayan (sawi). Struktur pembagian kerja itu, mungkin juga sudah lazim di berbagai komunitas nelayan yang ada di Indonesia. Hal itu diperkenalkan, sejak tahun 1940-an pada komunitas nelayan patorani. Namun hal Itu, menjadi suatu hal yang dipandang perlu diterapkan sejak akhir akhi r tahun 1960-an. Munculnya tuntutan profesionalisme dan komersialisasi komersialisasi produksi men menjadi jadi
salah satu tujuan tujuan serta awal penerapan te teknologi knologi
penangkapan sebagai salah satu alat untuk peningkatan produksi. Profesionalisme dan keahlian individu menjadi prioritas yang diperhitungkan dalam bekerjasam antara papalele (pemilik modal), pinggawa, dan sawi.
Sejak nelayan nelayan patorani mulai mengenal mengenal teknologi pada akhir akhir tahun 1960-
an, pembagian kerja secara sederhana pun mulai tercipta. Untuk mengoperasikan mengoperasikan perahu, sudah dikenal dikenal adanya divisi kerja dan jenjang kerja. Divisi kerja mencakup divisi yang melayarkan dan menjaga posisi perahu saat beroperasi, be roperasi, divisi yang menangani lampu penerang dan dapur untuk u ntuk menyiapkan menyiapkan makanan, dan d an divisi khusus untuk mengoperasikan pakkaja (alat penangkapan). Jenjang kerja terlihat te rlihat dari adanya hirarki posisi pinggawa dan sawi. Dikalangan sawi sendiri ada perbedaan status antara
sawi biasa dengan sawi yang bertanggungjawab bertanggungjawab pada satu devisi kerja. Saat perahu dioperasikan, pembagian kerja dalam organisasi penangkapan tetap
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
169
berlaku. Anggota organisasi penangkapan tetap berlaku. Anggota organisasi penangkapan lebih banyak. Sebagaimana dalam pengoperasian alat penangkapan ballak-ballak (rumahrumah/pakkaja) nelayan patorani, keterlibatan dan keterikatan sawi dalam sebuah unit pakkaja pakka ja relatif relatif dipermanenkan untuk bertanggungjawab penuh atas divisi yang dibebankan.
Kasus 13 Pembagian Kerja Komunitas Nelayan Patorani
Dalam
konteks
pembagian
kerja
pada
komunitas
nelayan
patorani,
mempermanenkan pembagian kerja berdasarkan struktur, mulai yang tertinggi hingga pekerja (sawi). Pinggawa dapat diartikan sebagai pemimpin tertinggi dari sejumlah anggota kelompok yang ada dalam perahu (sawi-sawi) yang melakukan kegiatan-kegiatan tertentu, baik yang berlangsung lama, maupun jangka waktu yang singkat. Pada umumnya di kecamatan Galesong Utara dan Galesong Selatan, pinggawa daratlah (papalele) sebagai orang yang memiliki modal untuk membiayai kegiatan kerja mulai dari biaya peralatan produksi hingga pemasarannya. Papalele memberikan biaya kerja dan biaya kebutuhan kehidupan rumah tangga para pinggawa. Imbal balik dari itu, pinggawa laut (juragan) melakukan pengumpulan produksi telur ikan terbang semaksimal mungkin. Selain itu, papalele juga yang mengawasi dan menetapkan kebijaksanaan umum terhadap pinggawa laut (juragan). Sedangkan juragan memimpin langsung para sawi dalam operasi pengumpulan produksi. Kasus di atas tergambar bahwa pembagian kerja berdasarkan struktur kepemilkan dan keahlian. Pinggawa laut ( juragan juragan)) merupakan orang yang dipandang memiliki keahlian khusus tentang laut yang yang cenderung, tidak dimiliki oleh para sawi dalam proses proses kegiatan kerja. Karena itu, hubungan kerja antar papalele dan pinggawa (juragan) cenderung berlangsung lama. Dalam arti, hubungan kekerabatan lebih erat dibanding dengan hubungan hubun gan antara papalele (pinggawa darat) mempergunakan atau mendatangkan pekerja/buruh (sawi) dari (sawi) dari daerah lainnya seperti dari kabupaten Bantaeng dan Jeneponto.
Secara implisit kasus 13 di atas, menggambarkan pula ketiga struktur yang terbentuk
dalam nelayan patorani yaitu: papa yaitu: papalele, lele, pinggawa dan sawi . Struktur itu, merupakan bagian dari krakteristik nelayan patorani di Galesoang Selatan dan Galesoan Utara. Secara status w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
170
sosial pun, masing-masing karakteristik struktur memiliki kewenangan dan peranan dalam pengambilan keputusan. Eksportir sebagai pemegang pasar memiliki keterkaitan dengan papalele sebagai pemilik modal dan bersentuhan langsung nelayan. Papalele pula memiliki
keterkaitan dengan pinggawa, dan pinggawa pula berhubungan langsung dengan pekerja (sawi).
Pemilik modal (Papalele) secara struktur memiliki peranan yang paling besar dalam ruang lingkup pekerjaan. Selain sebagai pemilik modal, pemilik alat pengumpul produksi, juga sebagai orang yang menghubungkan antara pinggawa laut dan sawi. Utamanya sawi yang didatangkan dari daerah lainnya. Oleh sebab itu, masuk menjadi papalele atau pinggawa darat harus mampu memiliki kriteria antara lain yaitu: (1) mampu menyediakan modal untuk biaya pengoperasian pada setiap
kegiatan
pengumpulan
produksi;
(2)
mampu menanggung menanggu ng biaya - biaya
tertentu dari keluarga pingga dan sawi yang ditinggalkan selam operasi pengumpulan produksi; (3) mampu memasarkan hasil pengumpulan produksi; (4) mampu memberikan biaya-biaya biaya-biay a tertentu kepada pinggawa laut (j (juragan) uragan) dan sawi (buruh) pada musim paceklik.
Seringkali pinggawa laut dan sawi terpaksa terp aksa meninggalkan kelompok dan pindah pada pada kelompok kelompok lain dengan alasan, bahwa bahwa papalelenya tidak mau mengerti tentang kubutahannya yang mendesak dan juga mengenai kebutuha keluarganya pada musim-musim pengumpulan telur ikan sering ser ing di ab abaikan aikan.. Sehingga hubungan antara pinggawa dan sawi tidak harmonis lagi dan hanya satu musim bersama-sama. Keberadaan Papalele, sejak dulu kala berproses mulai dari seorang sawi kemudian lambat laun mengikuti proses beranjak pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu pinggawa laut
atau juragan. Pada akhirnya mencapai tingkat yang paling tinggi yaitu pinggawa darat (papalele). Pada masa lalu sekurang-kurangn sekurang-kurangnya ya pernah memiliki pengalamanpengalaman-pengalaman pengalaman di
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
171
laut dan keterampilan tertentu dalam hal perdagangan. Mungkin saja tidak semua sawi dapat beranjak sampai pada tingkat papalele. Tetapi nampaknya, sawi yang sudah memiliki pengalaman yang banyak dan luas, umumnya mendapat perhatian-perhatian atau jaminan jaminan tertentu dari papalele dalam kelompok pinggawa-sawi. pinggawa-sawi. Hal itu, dilakukan oleh papalele bila terbina hubungan yang harmonis baik musim penangkapan maupun disaat musim patorani berakhir.
Perkembangan pasar dan tuntutan produksi, di era sekarang ini papalele yang memberikan modal pada pinggawa, hampir tidak melalui lagi penjenjangan mulai dari sawi hingga menjadi pinggawa dan akhirnya menjadi papalele. Akan tetapi dalam era sekarang, siapa saja bisa menjadi pinggawa pin ggawa darat (papalele) (papalele) sepanjang memiliki akses modal dan akses pasar. Hal itu, itu, menunjukkan bahwa untuk menjadi papalel papalele e dalam era sekarang, hanya didasarkan pada kemampuan menyediakan modal kerja untuk biaya operasi. Sedang teknis pengumpulan produksi dipercayakan penuh kepada pinggawa p inggawa laut (juragan) bersama-sama dengan sawi yang biasanya merupakan keluarga dan kerabatnya sendiri. Pinggawa laut (Juragan), adalah orang yang diberikan tanggungjawab oleh seorang papalele (pinggawa darat) untuk memimpin operasi penagkapan/pengumpulan produksi tertentu. Untuk menjadi pinggawa laut (juragan) sekrang-kurangnya memenuhi persyaratan antara lain: (1) memiliki kesehatan jasmani dan rohani yang memadai; (2) memiliki kejujuran dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab; (3) memiliki pengetahuan yang mendalam dan luas tentang tentang kenelayanan.
Khusus untuk menyangkut pengetahuan tentang kenelayanan dan atau sering disebut erang passimombalang dan dan erang pakboyaboyang, pakboyaboyang, sepatutnya seorang juragan
menguasai. Pengetahuan ini berkaitan pengetahuan tentang musim, perbintangan, iklim,
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
172
tata cara dan keselamatan pelayaran, sistem penangkapan/pengumpulan telur ikan terbang terbang,, manjemen usaha serta teknologi dan sebagainy sebagainya. a.
Selain itu, seorang juragan memiliki kewajiban dan persyaratan yang harus dipatuhi antara lain; (1) membantu papalele untuk mencari dan menentukan sawi-sawi yang dapat menjadi anggota kelompok; (2) menetapkan sistem pembagian kerja para sawi; (3) bertanggungjawab bertanggungjaw ab terhadap keselamatan para sawi dan setiap alat produksi yang digunakan selama dilokasi penangkapan/ pengumpulan produksi; (4) mengumpulkan semua hasil produksi untuk diserahkan kepada papalele (pinggawa (p inggawa darat); (5) membantu papalele dalam menentukan upah untuk sawi; (6) penyalur aspirasi para sawi untuk keluhan-keluhan tertentu dalam kelompok.
Gambaran itu menunjukkan bahwa spesialisasi pekerjaan lebih identik dengan distribusi status yang terstruktur yang diikuti dengan tugas khusus. Distribusi status lebih terkait dengan keterampilan dan cara memperoleh keterampilan. Hal ini terkait, Smith (1937) dan Durkheim (1964), bahwa pembagian kerja identik dengan terspesialisasinya seseorang pada tahap pekerjaan tertentu. Dalam komunitas nelayan Patorani, spesialisasi demikian berdasarkan klasifikasi pekerja berdasarkan keterampilan dan pengalaman
bekerja. Spesialisasi pekerjaan dalam era tahun 1940-an, pada komunitas nelayan patorani belum menjadi suatu hal yang mengikat. Dimungkinkan karena terkait dengan belum mengarah pada perkembangan investasi, dan penerapan teknologi alat penangkapan yang mengedepankan manajemen kerja. Pada saat itu, nelayan patorani masih sangat terbatas pada penggunaan peralatan penangkapan, dan hanya menangkap induk ikan terbang dan pemasarannya masih bersifat lokal dan terbatas pada kisaran pulau jawa yakni Jawa Timur.
Sehingga permintaan yang didorongnya tidak merangsang perkembangan investasi dan penerapan teknologi yang membutuhkan manajemen kerja dan juga tidak mendorong pada w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
173
spesialisasi pekerjaan.
4.3.2.2 Pembagian Kerja Pada Hubungan Industrial
Hubungan
Tradisional
Ke
Perubahan pembagian kerja pada komunitas komunitas nelayan patorani p atorani terjadi ketika organisasi produksi semakin besar dan tuntutan pasar berlangsung b erlangsung.. Kehadiran pasar menjadi bagian terpenting untuk dipenuhi permintaannya. Berawal dari realitas ini, maka komersilaisai produksi mulai masuk dan berkembang pada hampir kelompok yang terlibat langsung pada komunitas nelayan patorani. Realitas demikian, memaksa terbentuknyaa manajemen kerja yang sesuai dengan kebutuhan selama melaut untuk terbentukny melakukan penangkapan. Pinggawa darat atau pemilik modal (papalele) pun mulai terbentuk, seiring masuk dan berkembangnya berkembangnya investor sebagai memberikan modal pada nelayan. nelayan. Modal secara langsung diberikan kepada pinggawa laut (juragan) sebagai bentuk kontrak kerja. Pembagian kerja, secara turun temurun dikenal pada komunitas nelayan patorani yang bertumpu pada kemahiran dan pengalaman pengalaman seseorang. Peng Pengalaman alaman seseorang ditentukan melalui penguasaan sistem pengetahuan secara khusus pola p ola penangkapan komunitas komunitas nelayan patorani. Dalam bentuk peng penguasaan uasaan ilmu pengetahuan cenderung cenderung bahwa seseorang bertum bertumpu pu pada kepercayaan y yang ang dimiliki dan dipelihara melalui ritual. Ritual tersebut bertujuan u untuk ntuk menumbuhkan menumbuhkan kepekaan sosial dan ekologis bagi kelompok pinggawa-sawi dalam berin b erinteraksi teraksi dengan d engan alam. Komunitas nelayan patorani, masih mempertahankan dasar ilmu pengetahuan
melalui ritual itu untuk dapat didudukkan didudukkan sebagai sebagai pinggawa. Hal itu, dianggap penting karena seorang pinggawa dianggap sebagai pengay pengayom om selama se lama w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
174
dalam perjalanan penangkapan agar memiliki kemampuan untuk u ntuk menjaga keseimbangan hidup demi keselamatan anggotanya. kepemilikan pengetahuan itu disesuaikan dengan kemampuan realitas individu i ndividu dan lingkungannya. Kemampuan individu dapat diperoleh dengan melihat riwayat hidup beserta segala tahap pengalamnannya, baik di darat hubungannya hubungannya dengan sesama nelayan maupun masyarakat dan di laut dengan melalui waktu menjadi nelayan patorani. Indikator melalui kemampuan dan pengala p engalaman man serta ilmu pengetahuan dijadikan suatu hal terpenting, karena seorang pinggawa dapat dijadikan anutan. Sebagai anutan maka dibutuhkan perilaku seorang pinggawa dan orang yang dituakan dan dapat berbagi pengalaman dalam hubungan sosial dan melaut. Seorang S eorang sawi (pekerja) mulai belajar dari da ri pekerjaan-pekerjaan praktis yang tidak memerlukan d daya aya pikir tetapi semata-mata kekuatan fisik. Setelah melalui jangka waktu tertentu, barulah meningkat ke pekerjaan yang memerluk memerlukan an inisiatif. Setelah melewati tahaptahap tersebut barulah sampai pada pekerjaan p ekerjaan yang selain memerlukan inisiatif, juga yang terpenting adalah kemampuan memimpin dan d an bertanggungjawab. Dalam praktek ini, sawi harus melewati tahapan t ahapan tersebut dengan legitimasi pinggawa, sebelum menerima pengetahuan p engetahuan pangangasengan dalam bentuk pengetahuan bathin. Pengetahuan empirik yang diperoleh dengan cara magang, pada puncak prestasinya, sawi baru dapat diberi pengetahuan bathin, sekaligus sebagai masa untuk beralih dari sawi menjadi pinggawa. Kasus 14 Hubungan tradisonal ke kontraktual Kontrak kerja yang dimaksud, mulai dari persiapan pemberangk pemb erangkatan atan hingga kembali dari melaut menangkap/mengumpulkan menangkap/mengumpulkan telur ikan. Kemudian Kemud ian dipasarkan hasil produksinya, hingga pada p ada pembagian hasil. Penghitunagan berdasarkan hasil yang diperoleh diperoleh tetap dikembalikan pada pemilik modal/pinggawa darat (papalele) sebagai orang or ang yang dipercayakan membagi hasil yang diperoleh. Pemberian imbalan pada pinggawa maupun sawi di lihat dari segi se gi beban pekerjaan dan tanggung jawab jawab yang dibebankan selama melakukan aktivitas penangkapan/pengumpulan penangkapan /pengumpulan telur ikan torani. Hal seperti itu terjadi, pada akhir akhir tahun 1960-an, perubahan pembagian kerja berorientasi dengan mengedepankan tanggung jawab pekerjaan. Beban yang berat ditanggung adalah pinggawa, karena secara struktur kepatoranian pinggawa bertanggungjawab bertanggungjawa b penuh dalam mengendalikan mengendalikan perahu dan sekaligus bertanggungjawab atas keselamatan keselamatan sawi. Belum lagi pinggawa dituntut atas utang yang dibebankan oleh papalele sebelum berangkat hingga kembali dari penangkapan. Beban utang berkaitan dana yang ditipkan ditipkan untuk kehidupan
keluarga yang ditinggalkan dan kebutuhan pokok selama berlayar. Kasus di atas tergambar bahwa pegeseran sistem imbalan kerja merupakan
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
175
implementasi hubungan kontraktual. Tahun 1940-an, saat nelayan patorani masih menangkap khusus induk ikan torani, kontrak kerja belum menjadi permasalahan secara internal. Hal itu, karena tanggungjawab belum begitu berat terhadap papalele dan pinggawa. Target penghasilan pun belum menjadi hal yang dituntut dan juga utang yang diperoleh dari papalele belum begitu besar. Kasus 14 menggambarkan pula bahwa tahun 1960-an, realitas berbalik yakni dominasi komersialisasi produksi dan permintaan pasar sudah menjadi target sasaran. Secara struktur pada dekade akhir tahun 1960-an terjadi peralihan untuk memenuhi kuota permintaan pasar, dan kontrak kerja sudah mengarah pada tanggungjawab pinggawa untuk kepentingan produksi.
Kondisi peralihan itu, berimbas pula pada target pelayaran menuju ke lokasi untuk menangkap telur ikan terbang. Penangkapan semakin membutuhkan penambahan awak perahu, dan dan berbeda ketika p penangkapan enangkapan induk ikan torani torani hany hanya a berjumlah antara 3-5 orang, dan kini bertamba bertambah h menjadi antara 5-7 orang awak perahu ketika penangkapan beralih ke telur ikan. Perahu dipimpin satu orang pinggawa (juragan laut) dan selebihnya adalah buruh nelayan (sawi). Awak kapal masing-masing memiliki fungsi yang saling membantu satu sama lain sehingga terintegrasi dalam suatu kekompakan dalam aktivitas penangkapan. Menciptakan kekompakan tersebut tidaklah mudah untuk dilakuakan bagi kelompok patorani patorani setiap sift pemberangkatan, karena ada saja sawi yang tidak puas dengan kegaiatn kegaiat n yang dibebankan oleh pinggawa terhadap sawi.
Sawi sebagai anak buah kapal, memiliki peran yang sangat besar dalam kesuksean hasil yang diperoleh, sehingga sawi dituntut ketukunannya untuk senantiasa bekerja keras memasang pakkaja pakkaja hingga membuahkan hasil yang maksimal. Dalam pembagian peran pertimbangan usia juga dipertimbangkan, misalnya seorang sawi yang masih relatif muda usianya, maka beban tanggungjawab pun diberikan relatif ringan. Sesuai aturan
kepatoranian walaupun tidak tertulis, diatur bahwa setiap sift pemeberangkatan, sawi yang usianya masih relatif muda, di bebankan tugas yang tidak memiliki banyak resiko. Sawi
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
176
tersebut hanya cukup menimbah air (akkerrok) (akkerrok) yang masuk kedalam perahu diakibatkan hempasan ombak. Memang pekerjaanya terbilang santai, tetapi pekerjaan yang paling dianggap melelahkan adalah menimba air, karena berada di dek perahu yang paling bawah. Selama pelayaran hubungan kebersamaan tetap terjaga keseimbangannya, jadi seorang sawi juga cenderung menyampaikan pendapat dari hal-hal yang besar hingga hal-hal yang sepele, misalnya bahan makanan yang di bawa tidak sesuai apa yang diinginkan.
Pengoperasian Pengoperas ian perahu untuk menan menangkap/mengumpulkan gkap/mengumpulkan telur ikan torani, torani,
keterikatan sawi sawi dalam sebuah unit peralatan yang terkait dengan proses penangkapan penangkapan relatif dipermanenkan dalam suatu posisi melalui divisi kerja tertentu. Pekerjaan utama
mencakup pemasangan pakkaja (alat penangkapan) dan pengambilan telur ikan dari pakkaja.. Pembuatan, pemasangan dan perbaikan perahu dan pakkaja pakkaja pakkaja melibatkan semua sawi. Dalam penangkapan, sawi dibagi tiga yakni divisi yang menjalankan perahu, yang memantau alat penangkapan bila sudah terpasang , dan yang mengoperasikan jaring alat penangkapan. Imbalan kerja tidak didasarkan pada posisi sawi dalam pembagian kerja, akan tetapi pembagian hasil disamakan semua sawi yang ada dalam kelompok perahu setelah dihitung hasil akhirnya tersebut.
Penggunaan teknologi pada perahu patorani, telah mendorong munculnya pembagian kerja. Pada tahap ini, hubungan spesifik antara divisi kerja dengan sarana produksi relatif permanen. Pada tingkat nelayan patorani pembagian kerja masih selalu mengedepankan berdasarkan pengalaman para sawi untuk memegang satu divisi. Hal ini dilakukan
oleh
tanggungjawab
pinggawa melaut
terhadap
sangatlah
sawinya, berat.
mengoperasikan mengoperasika n setiap peralatan penangkapan.
mengingat
Sehingga
bahwa
dibutuhkan
tantangan keahlian
dan dalam
Setelah pakkaja dioperasikan pada saat penangkapan/pengumpulan berlangsung,
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
177
maka pembagian kerja semakin kompleks. k ompleks. Untuk mengoperasikan pakkaja, pembagian kerja melibatkan divisi mesin pengoperasian yang mengantarkan pakkaja bisa jauh dari perahu, penangkapan untuk memeperolah hasil tentu diharapkan keahlian dalam mengoperasikan alat penangkapan. Jumlah sawi pada sebuah unit perahu berkisar lima-tujuh orang, lama penangkapan biasanya dilakukan selama sebulan sehari semalam. Bagi hasil disesuaikan dengan posisi dalam pembagian kerja, posisi yang dimaksud antara pinggawa dan sawi. Umumnya nelayan patorani dalam pembagian hasil tangkapan antara pinggawa (juragan) dan sawi berbeda, sedangkan sawi bagiannya sama rata. Adanya perbedaan tersebut, kaarena berkaitan dengan beban pekerjaan dan tanggungjawab antara pinggawa dan sawi. Tanggungjawab pinggawa mulai sejak persiapan, pemberangkatan hingga kembali ke darat, sedangkan sawi hanya setelah beroperasi di laut. Pada masa lalu, setelah patorani kembali dari melaut menangkap induk ikan torani, maka peranan sawi masih cukup besar untuk memasarkan hasil tangkapannya situasi ini diperkirakan di era tahun 1940-an hingga akhir tahun 1960-an. Namun, akhir tahun 1960-an nelayan patorani sudah mengubah hasil tangkapannya, yang dulunya hanya menangkap khusus induk ikan torani kemudian dikeringkan dan dipasarkan. Seiring dengan perkembangan zaman dan masuknya permintaan pasar yang hanya menuntut untuk memebeli telur ikan torani, maka nelayan beralih penangkapan/pengumpulan khusus telur ikan torani.
Setelah tuntutan pasar masuk, komersialisasi produksi pun menjadi tuntutan bagi pemilik modal (papalele) untuk mengubah pemberian modalnya kepada pinggawa yang dimodalinya selama ini. Pemasaran pun bagi sawi tidak berdaya lagi dan bahkan pun pinggawa tidak punya andil besar untuk memasarkan hasil tangkapannya. Pembagian kerja
bagi sawi-pinggawa hanya pada saat berada dilaut, sedangkan setelah sampai didarat pembagian kerja untuk pemasaran hampir lagi tidak ada bagi nelayan patorani. Hal itu
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
178
terjadi, karena di darat sudah ada pembagian pekerjaan lagi yang diciptakan oleh papalele. Pekerjaan tersebut meliputi pengolahan yang berorientasi pada ekspor, yakni mulai dari pemarutan (menghilangkan benang/serat telur). Artinya pembagian kerja terbentuk lagi diluar struktur kepatoranian, padahal pada era tahun 1940-an hingga akhir tahun 1960-an nelayan patorani, baik sawi-pinggawa tetap terlibat dalam pemasaran.
Permulaan kompleksitas pembagian kerja tercipta pada nelayan patorani pada akhir tahun 1960-an. Namun pembagian kerja baru hanya terbatas pada mengoperasikan perahu ke areal penangkapan dan meliibatkan semua sawi yang ikut dalam perahu. Jumlah sawi biasanya antara 4-6 orang dengan trip operasi yang lebih lama (antara satu bulan- tiga bulan). Namun setelah awal tahun 1970-an maka pembagian kerja sudah menjadi prioritas untuk memudahkan dalam menjalankan pekerjaan, dan kegiatan pula tidak hanya tertumpu pada satu orang. Pembagian kerja dimulai dari devisi khusus untuk penyiapan kebutuhan makan (khusus untuk memasak), divisi khusus untuk menurunkan alat penangkapan (pakkaja), divisi khusus memetik telur dari pakkaja kemudian menjemur hasilnya, dan sawi sawi yang lebih banyak untuk operasi mesin. Kondisi teknis itu, secara khusus yang menyebabkan lebih terspesialisasinya pembagian kerja dalam penangkapan pada nelayan patorani di era akhir tahun 1960-an atau mwemasuki awal tahun 1970-an.
Pembagian kerja untuk penangkapan pada nelayan patorani lebih luas lagi terbagi dalam tujuh divisi kerja yakni: (1) persiapan pemberangkatan; (2) pengoperasian dan perawatan mesin; (3) pengoperasian dan perawatan alat penangkapan (pakkaja); (4) (4) pengoperasian perahu dan alat penangkapan (5) divisi memetik, menjemur dan mengemas hasil tangkapan kedalam tempat yang rapi yang khusus dipersiapkan; (6) konsumsi dan pembantu umum; (7) pembatu pinggawa dalam mengoperasikan mengoperasikan jalannya perahu.
Persiapan keberangkatan melibatkan pingga melibatkan pinggawa wa laut dibantu sawi divisi juru masak. Pekerjaannya adalah penyiapan es-balok, pembelian solar, penyiapan bahan konsumsi, w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
179
pengecekan fungsi mesin dan alat tangkap, serta kerja temporer penyiapan bahan untuk perbaikan atau pemasangan pakkaja yang baru. Biaya Per Persiapan siapan dihitung oleh pinggawa-laut pinggawa-laut dan disiapkan oleh pinggawa-darat dihitung sebagai biaya produksi awal keberangkatan. Utang itu, dihitung mulai dari perawatan perahu, kebutuhan bahan pokok selama melaut dan operasional perahu (termasuk perawatan dan bahan bakar).
Divisi mesin terdiri dari juru mudi dan dua pembantu juru mudi, juru mudi biasanya dipegang langsung oleh juragan. Sedangkan pembantunya seorang sawi yang mengawasi kondisi mesin dan kelengkapan alat penangkapan. seorang sawi sawi pada mesin yang berkekuatan 42 PK+42 PK (doubel mesin). sawi mesin yang membantu perahu bekerja selama perjalanan pergi-pulang. Sawi Sawi mesin dan penarik pakka penarik pakkaja ja dan otomotif bertugas saat pakkaja pakka ja dipenuhi telur ikan torani. torani. Pembantu juru mudi mengkoordinir pengoperasian mesin, operasi penangkapan, pemuatan dan kondisi fisik perahu selama s elama dalam perjalanan.
Divisi yang menangani alat tangkap (ballak-ballak/pakkaja) (ballak-ballak/pakkaja) terdiri dari sawi yang bertugas memantau pakkaja selama terpasang dan tentu juga memperhatikan ikan torani yang masuk memijah. Aktifitas ini dilakukan oleh sawi sebanyak tiga orang, sawi sawi yang lainnya yakni terdiri satu orang bertugas untuk membuang batu pelampung. Selain tugas tersebut, sawi juga sawi juga menarik pakkaja ke atas atas perahu bila dianggap sudah bany banyak ak yang masuk ke dalama ballak-ballak (pakkaja). (pakkaja). Pakkaja ditarik ke dalam perahu biasanya setelah mendapat persetujuan dari pinggawa perahu, termasuk juga kalau k alau ingin berpindah lokasi penangkapan.
Hasil yang diperoleh dari alat penangkapan ballak-ballak (pakkaja ditarik ke perahu dan dipetik. Langkah selanjutnya di adakan penjemuran pada tali yang sudah disediakan, terbentang di sudut sisi perahu. Penjemuran ini dilakukan, seperti menjemur pakaian yang
habis di cuci. Telur ikan yang dijemur masih menyatu dengan benang (serat) sehingga telur
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
180
masih kelihatan seperti pakaian yang teruntai dengan seratnya. Pekerjaan penjemuran ini dilakukan oleh sawi sebanyak dua orang yang bertanggungjawab.
Divisi pembantu umum adalah juru masak dan satu-dua orang sawi yang masih muda yang tugasnya menimba air dari lambung perahu. Juru masak bertangung jawab atas persediaan bahan makanan, untuk memenuhi makan anggota kelompok dengan porsi sebanyak tiga kali sehari. Selain itu juru masak pun menyediakan minuman dan makanan ringan misalnya kopi/teh. Perlengkapan makan dibersihkan dan dikembalikan sendiri oleh sawi. Sawi yang berpengalaman berpengalaman melaut masih kurang juga dari segi penangkapan maka dianggap sebagai sawi muda. Sawi muda juga ju ga melakukan pekerjaan yang diperintahkan oleh juragan dan atau bahkan sawi yang lebih berpengalaman berpengalaman dengan tujuan untuk memperkenalkan pekerjaan tertentu tertentu kepada sawi sa wi muda tersebut.
Divisi penanganan hasil tangkapan setelah sampai di darat bukan lagi bagian dari organisasi penangkapan. Tetapi, sudah menjadi tanggungjawab papalele dengan eksportir. Pinggawa Pingga wa dan sawi sudah tidak ada lagi pera perannya nnya berkaitan aktivitas pemasa pemasaran. ran. Setelah sampai di di darat tugas sawi yang menurunkan telur ikan hasil tangkapan dari perahu, kemudian memasukkan ke gudang papalele untuk ditimbang dalam kondisi masih belum dipisahkan dengan serat (benangnya). Sawi dibantu oleh buruh khusus yang bekerja di gudang papalele sebagai tenaga untuk memaruk dengan tujuan menghilangkan serat (benang) telur ikan torani. Hal itu dilakukan agar telur terpisah dari seratnya hingga tersisa biji telur yang siap dipasarkan.
Buruh harian itu dibayar berdasarkan hasil parutan yang diperoleh dalam sehari.
Penghitungan hasil dilihat dari berapa kilo gram buruh tersebut sempat dipisahkan telur dari seratnya. Adapun upah yang diberikan Rp.3.500/kg, tetapi kalau disediakan makan oleh w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
181
pemilik gudang, maka upahnya dipotong Rp.1.000. Buruh harian yang bekerja di gudang pemarutan, sebagain besar berdomisili di Galesong. Sehingga setelah selesai bekerja kembali kerumahnya masing-masing. Upahnya diberikan dalam bentuk harian atau juga ada buruh yang sengaja menyimpang hingga stok digudang habis.
Setelah dilakukan pemisahan telur dari seratnya, maka langkah selanjutnya siap di pasarkan (diekspor) kenegara yang sudah dikontrak oleh papalele (pemilik modal). Kehadiran papalele dalam hal ini, menjadi perantara eksportir dengan mengambil barang secara langsung dari pinggawa atau papalele lainnya. Adapun cara lain dilakukan papalele dengan menjalin sambungan langsung dengan pinggawa patorani. Kontrak antara pinggawa patorani dengan papalele, bukan hanya sekedar meminjam uang, tetapi sampai pada tahap pemasaran hasil. Kedudukan papalele sangat kuat hingga pada pemasaran pun papalele masih tetap mengatur posisi pinggawa hingga pada pembagian hasil.
Pembagian hasil pada komunitas nelayan pato patorani rani memiliki lima macam macam model pembagian dantaranya dantaranya yakni: (1) setelah modal dikeluarkan, mesin 2 bGIn, perahu 2 bagian, pinggawa 1 bagian, sawi 1 bagian (untuk sejumlah orang); (2) pinggawa, sawi, mesin dan perahu, masing-masing memperoleh 1 bagian, etapi harga pembayaran ditetapan papalele dan biasanya di bawah stamdar pemasaran umum; (3) papalelel menerima 25%, setelah modal dan biaya operasioal di keluarkan. Selebihnya adalah bagian pinggawa dengan sawi; (4) masing-masing 50% untuk papalele, dan pinggawa dengan sawinya, setelah dikeluarkan modal dan biaya operasional; (5) setelah dikeluarkan modal dan biaya operasional, 20% untuk papalele, masing-masing 2 bagian untuk mesin dan perahu. Selebihnya merupakan bagian pinggawa dengan sawi.
Setelah hasil selesai dipasarkan oleh papalele, maka pembagian hasil mulai
diperhitungkan, dan porsi bagi-hasil disesuaikan posisi dalam pembagian kerja. Keragaman
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
182
sistem bagi hasil menimbulkan berbagai penilaian dan penafsiran yang berbeda-beda tentang kewajaran bagian yang diterima oleh pinggawa dan sawi. Kesemua orang-orang yang bekerja dalam kelompok masing-masing mendapatkan bagian setelah semua anggaran operasional dikeluarkan. Pembagian itu, berdasarkan pada tanggungjawab selama beroperasi, pembagian dilakukan hanya pada tiga komponen yang terkait dalam penangkapan yaitu, papalele (pemilik modal), pinggawa (orang yang memimpin secara langsung pelayaran), dan sawi (sebagai buruh/pekerja). Sawi sebagai pekerja dan pinggawa selama melaut memiliki tanggungjawab besar terhadap papalele untuk mensukseskan berhasil atau tidaknya penangkapan.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
183
Realitas diatas meskipun terdapat divisi kerja, namun spesialisasi pekerjaan belum sepenuhnya tercipta. Hal itu terkait operasi penangkapan tetap melibatkan pinggawa dan sawi sebagai pekerja dan tanggungjawab pada status yang sama. Keadaan demikian, ketergantungan fungsional antar sawi dan pinggawa sangat rendah, namun yang terjadi adalah ketergantungan bersama dalam
menyelesaikan
pekerjaan.
Beban
tanggungjawab
ada
perbedaan antara sawi dengan pinggawa, namun dalam hal pekerjaan tetap saling bekerjasama. Wawancara dengan beberapa informan pinggawa, bahwa segala sesuatu pekerjaan yang berkaitan penangkapan
ketika
sudah
berada
dilautan,
maka
proses
penangkapan dikerjakan secara bersama-sama, serta melibatkan secara keseluruhan dan bertanggungjawab bersama-sama atas suksesnya penangkapan.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
184
Terkait pembagian kerja, mengacu pada konsep Durkheim (1964) tentang
solidaritas
mekanik
dan solidaritas
organik.
Implementasi konsep itu, ke dalam komunitas nelayan patorani secara
horisontal
tercipta
solidaritas
mekanik,
yang
artinya
solidaritas antar sesama sawi dikarenakan kesamaan keterlibatan dalam beban sebagai pekerja. Secara vertikal tercipta solidaritas organik, yakni solidaritas antara pinggawa dan sawi. Ketergantungan tercipta sebenarnya lebih dikarenkan adanya hubungan kontrak dalam melakukan kegiatan pelayaran dan kepemilikan modal dan teknologi. Demikian halnya pembagian hasil dilakukan sesampainya di darat, dan diputuskan oleh papalele, hal itu terkait secara langsung dengan papalele-pinggawa. Kondisi itu nampak terciptanya adanya pembagian kerja berbasis status. Status kontrak pinggawa dan sawi memiliki perbedaan dan demikian halnya pembagian hasil.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
185
Terbentuknya
deskripsi
kerja
pada
setiap
divisi
memperlihatkan makin terspesialisasinya pekerjaan pada komunitas nelayan patorani. Hal demikian semakin berperan pada periode pergeseran penerapan teknologi dan sasaran tangkapan. Dalam konteks itu, maka spesialisasi pekerjaan yang digambarkan oleh Durkheim (1964) terimplementasikan dan lebih signifikan pada komunitas
nelayan
patorani,
bila
dihubungkan
dengan
perkembangan investasi, teknologi dan manajemen, pada periode penggunaan
teknologi
penangkapan
dan
penangkapan dari induk ikan ke telur ikan torani.
pergeseran
pola
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
186
4.3.3. Internalisasi Siri’ Kaitannya Etos Kerja 4.3.3.1 Makna Nilai Siri’ Bagi Masyarakat Bugis-Makassar Dan Nelayan Patorani
Nilai-nilai budaya siri’ merupakan suatu sistem sosial pada masyarakat suku Bugis-Makaassar. Nilai-nilai yang membentuk watak dan kepribadian manusia BugisMakassar baik ketika berada di luar komunitasnya apalagi kalau mereka ada di dalam komunitasnya. Selanjutnya nilai-nilai itu saling terkait dan saling fungsional antara satu nilai dengan nilai lainnya. Siri’ bagi masyarakat Bugis-Makassar merupakan suatu anutan untuk menjaga
harkat dan martabatnya lewat adanya rasa saling memanusiakan yang timbul sebagai akibat dimilikinya "pesse" atau perasaan solidaritas sosial antara sesama manusia Kemudian siri’ dan pesse ini dijadikan dijadi kan landasan untuk dicapainya prestasi lewat "were ", yang hanya dicapai lewat kerja keras yang tidak mengenal lelah dan pantang menyerah. Prestasi lewat "were" akan menjaga dan mengangkat siri’ seseorang yang pada gilirannya akan mempertebal perasaan solidaritas atas sesama manusia. Jadi ketiga konsep itu - siri, pesse, dan were - adalah tiga buah nilai budaya yang saling berhubungan dan saling melengkapi di dalam menciptakan keharmonisan dan kestabilan kehidupan manusia. Sekalipun nilai-nilai budaya di dalam konsepsimya mengandung nilai-nilai luhur, tetapi yang paling penting adalah sejauhmana seseorang aktor dapat menginternalisasi nilai-nilai luhur tersebut yang ada, dan melekat di dalam budaya komunitasnya. Sebab tanpa proses internalisasi yang benar, kemudian diikuti dengan proses eksternalisasi dan objektivasi tentu saja nilai-nilai luhur itu akan tinggal menjadi sejarah kejayaan masa lalu yang terlepas sama sekali dengan dunia kekinian
aktor.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
187
Proses pemahaman aktor tentang nilai-nilai budaya yang dieks diekstemalisasikan temalisasikan di dalam kehidupan sehari-hari dipandang sebagai suatu yang dicapai aktor dari hasil menginternalisasi nilai-nilai budaya yang didukungnya. Karena itulah berikut ini akan a kan diuraikan bagaimana ketiga nilai itu yakni siri, pesse, dan were, dipahami clan sekaligus dieksternalisasikan di dalam kehidupannya sehari-hari. Manifestasi siri’ sebagai rasa malu dan harga diri harus dijelmakan ke dalam diri setiap manusia. Sebab hanya manusia yang memiliki rasa malu dan harga diri (siri’) yang dapat dipandang sebagai manusia. Tanpa siri’ manusia hanyalah sekedar seekor binatang yang menyerupai manusia. Kalau agama memandang perbedaan manusia dengan binatang terletak pada akal manusia, manusia, maka buday buda ya Bugis-Makassar melihat perbedaan manusia dengan binatang adalah dipunyainya dipunyainya ssiri’ iri’ oleh manusia. Implementasi nilai siri’ dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat BugisMakassar yakni; Pertama, siri’ adalah rasa malu dan harga diri. Kedua aspek dari siri ini (malu dan harga diri) menurut nelayan patorani adalah sesuatu yang harus terintegrasi di dalam setiap manusia. Sebab tidak bisa dibayangkan bagaimana seseorang bisa hidup dan berada di tengah-tengah masyarakat bila ia tidak memiliki kedua aspek siri’ tersebut. Kedua, rasa malu dalam siri’ mencerminkan keharusan adanya perilaku terpuji di dalam berbagai aktivitas kehidupan seseorang. Bukan itu saja, namun dalam memilih pekerjaan p ekerjaan pun mereka berkeyakinan bahwa ada pekerjaan yang pantas dan terhormat ada pula pekerjaan yang seharusnya dihindari sebab tidak terpuji (matuna) dan dapat menyebabkan terserangnya nilai siri’ orang yang mengerjakannya. Ketiga, siri adalah suatu sanksi sosial atas tidak mampunya seseorang menggapai prestasi minimal sebagaimana rata-rata minimal yang dicapai
oleh orang-orang yang ada di dalam komunitasnya.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
188
Dalam konsepsi siri sebagai nilai budaya Bugis, bagi komunitas nelayan patorani terimpelementasikan ke dalam perasaan pesse (perasaan solidaritas) dan Were (ketentuan nasib). Kedua nilai itu, sebagaimana juga dipahami oleh komunitas
nelayan patorani harus muncul saling melengkapi. Sebab keduanya harus berada dalam kondisi yang berimbang agar kepribadian seseorang selalu terintegrasi satu sama lain, dengan tujuan bahwa kedua nilai rasa malu dan harga diri itu bersemayam tidak mengalami kegoncangan. Bila rasa malu muncul sebagai akibat kesalahan sendiri dalam bertingkah laku, maka harga diri merasa tergoyahkan. Dan untuk mengangkat harga diri ke tempatnya semula, maka pribadi yang melakukan perbuatan tercela harus segera mengadakan pemulihan dengan menyadari diri dan kembali ke pada perbuatan yang benar. Selanjutnya bila seseorang mengalami penghinaan atau perbuatan yang menginjak-injak harga dirinya seharusnya orang tersebut merasa malu. Rasa malu inilah yang menuntut adanya upaya pemulihan harga diri baik lewat perlawanan maupun maupun lewat pembalasan.
Kasus 15 Makna Siri Komunitas Nelayan Patorani Komunitas nelayan patorani memaknai siri’ sebagai rasa malu dan harga diri. Karena itu siri menurutnya adalah sesuatu yang wajib hukumnya dimiliki oleh setiap orang, sebab hanya dengan siri orang itu bisa disebut tau (orang) kalu ada orang yang tak punya rasa malu, menurut nelayan patorani maka pantas dikatakan orang tersebut untuk meminjam adat istiadatnya orang yang berada di luar dirinya.
Seorang pinggawa nelayan patorani, memaknai siri sebagai rasa malu dan harga diri. Siri adalah rasa malu kalau kita bertingkah laku kurang terpuji dan tak berakhlak mulia. Atau kalau kita mengerjakan sesutu yang tak pantas (tau tuna) seperti ekerja sebagai peminta-minta, menjadi babu atau pembantu rumah tangga. Sedang sebagai harga diri kalau kita dipermalukan kita harus melawan atau tidak boleh berdiam diri. Tidak ada lagi gunanya hidup di dunia ini kalau kita sudah dipermaluka d ipermalukan. n.
Seorang sawi memaknai siri sebagai rasa malu dan harga diri. Rasa malu menurutnya jika kita berkelakuakn tidak baik. Atau dapat juga terjadi bila kita tidak berhasil di dalam hidup sebagaimana layaknya orang lain. Sedang harga w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
189
diri menurutnya adalah apabila kita dihina atau tidak dihargai sebagai layaknya manusia. Bila kita dihina demi harga diri (siri) kita harus berusaha memulihkan harga diri, agar kita tidak diperlakukan lagi seperti itu.
Kasus di atas memberikan gambaran bahwa nilai budaya siri, sebagaimana yang dimaknai oleh nelayan patorani dalam penelitian ini sejalan dengan temuan Rahim (1985), dan Marzuki (1995). Siri’ adalah nilai utama budaya Bugis (Rahim, 1985:100), dalam nilai utama tersebut terkandung dua makna sekaligus, yaitu siri’ sebagai rasa malu dan siri’ sebagai harga diri (Marzuki, 1995:116-132). Kedua aspek siri’ dimaksud bahwa rasa malu dan harga diri itu, haruslah senantiasa berada pada kedudukan yang saling berimbang. Artinya bahwa tanpa keberadaan salah satu aspek, akan menjadikan kepribadian pecah, serta tidak utuh secara totalitas. Manakala aspek malu mendominasi kepribadian, maka aspek harga diri harus segera mengimbangi. Sebaliknya manakala aspek harga diri cenderung untuk angkuh, maka aspek malu harus mengembalikan sikap harga diri kepada kedudukan yang seimbang. Hanya saja siri harus dipahami secara tidak terlepas dari nilai budaya BugisMakassar lainnya yaitu pesse dan were, sehingga ketiganya antara siri, pesse, dan were’, merupakan sebuah konsep pandangan hidup orang Bugis (Abidin, 2003). Manefestasi siri’ sebagai rasa malu dan harga diri harus dijelmakan ke dalam diri setiap manusia. Sebab hanya manusia yang memiliki rasa malu dan harga diri (siri’) yang dapat dipandang sebagai manusia. Tanpa siri’ manusia hanyalah sekedar seekor binatang yang menyerupai menyerupai manusia.
4.3.3.2.
Makna Internalisasi Siri’ Terkait Adaptasi Lingkungan Penangkapan
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
190
Di dalam komunitas nelayan patorani sebagai komunitas suku Makassar, pengertian penge rtian siri’, sebagaimana dijelaskan di atas masih menempati tempat yang terjaga di dalam membimbing pola perilaku warga komunitasnya. Hanya saja kekuatan pengatur penga tur nilai budaya ini hanya berada pada tataran normatif sehingga pelanggaran akan norma semacam ini hanya akan memperoleh sanksi sosial belaka. Keadaan seperti itu disebabkan karena siri’ sebagai unsur utama dan sekaligus landasan dari pangadereng panga dereng tela telah h bergeser dari dar i pangadereng sebagai norma "pemaksa" lewat hukum positif yang diakui negara menjadi tata normatif biasa yang hanya mengikat para aktor lewat relasi sosial semata, baik dengan mereka di dalam komunitas maupun di luar komunitasnya. Runtuhnya pangadereng (Mattulada, 1985) menyebabkan unsur "pemaksa" dari pangadereng menjadi melemah dan hanya menimbulkan konsekuensi atau pun sanksi sosial dari dar i pemangku nilai budaya siri’. Umumnya pinggawa laut (juragan) patorani memiliki dan menerapkan dua macam erang yang merupakan penjabaran dari pangasengan (ilmu pengetahuan) yaitu erang passimombalang dan erang pakboya-boyang pakboya-boyang. Pengetahuan asli tersebut di atas, masih merupakan pola yang pasti dalam rangkaian kegiatan patorani. Tahaptahap kegiatan dalam sistem pengetaahuan harus dilaksanakan dengan baik, agar tidak menimbulkan kekhawatiran akan kemarahan bagi dewa-dewa laut. Selanjutnya karena aturan-aturan itu bersumber dari ketentuan-ketentuan adat, maka ketentuan-ketentuan kenelayanan yang ada di galesong Selatan dan Galesong Utara adalah ketentuanketentuan adat peikanan atau adat kenelayanan yang selama ini di atur dalam komunitas nelayan patorani. Penerapan aturan baik yang bersifat aturan adat kepatoranian maupun aturan
undang-undang tentang lingkungan hidup yang mengatur berkaitan dengan ketentuan yang akan menggantikan ketentuan-ketentuan adat yang tumbuh secara alamiah di
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
191
dalam masyarakat komunitas patorani. Ketentuan perundang-undangan yang ternyata belum makasimal makasimal diupayakan secara aktif dalam masyarakat nelayan patorani. Hal itu, terkait bahwa aturan adat akan lingkungan merupakan bagian internalisasi kehidupan komunitas nelayan untuk tidak melakukan penjarahan spesies induk ikan torani dan telur ikan torani. Selama melakuan penangkapan telur ikan torani sejak akhir tahun 1960-an nelayan patorani selalu berorintasi pada kaidah-kaidah alamiah. Kaidah-kaidah yang dilakukan adalah tidak pernah melakukan penjarahan apalagi penangkapan melalui dengan peralatan yang dapat mengancam populasi ikan torani. Menurut informan bahwa alat yang digunakan dalam menangkap telur ikan torani, adalah peralatan per alatan yang dibuat sendiri tanpa ada maksud lain untuk mengurangi populasinya. Sebenarnya telur induk ikan yang bertelur di alat penagkapan hanyalah sebagain dari populasi ikan terbang. Permasalahan kondisi ekologis merupakan permasalahan lingkungan hidup yang memiliki dimensi yang sangat luas dan banyak seginya. Permasalah tersebut selalu timbul dan berkembang ditengah-tengah masyarakat itu sendiri, namun sebaliknya bahwa masyarakat selalu lebih banyak tahu tentang keadaan lingkungan hidupnya. Sebelum dan sesudah adanya gejala-gejala perubahan kualitas lingkungan, apakah itu lingkungan budaya, lingkungan sosial, maupun lingkungan fisik, masyarakatnya akan lebih dahulu akan merasakan perubahan tersebut. Dan bilamana terjadi perubahan pada satu sisi, cepat atau lambat akan menuntut perubahan pada sisi lainnya. Internalisasi siri’ dalam melakukan penangkapan, terkait akan rasa malu bila
nelayan patorani terlalu serakah dalam mengejar penghasilan. Hal itu merupakan bagian dari kesadaran nelayan patorani, karena di dalam komunitas nelayan patorani w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
192
terkandung nilai-nilai lingkungan yang bersumber dari ketentuan-ketentuan adatnya. Nilai-nilai tersebut diperkirakan juga ada atau dimiliki oleh masyarakat di daerah lainnya terutama pada komunitas nelayan. Selain itu, juga diperkirakan nilai-nilai akan bergeser dan bahkan akan pudar sebagai akibat masuknya teknologi baru dan lebih modern, yang selanjutnya disusul dengan perubahan nilai ekonomi yang drastis menanjak. Karena itu, adat istiadat yang dimiliki oleh nelayan patorani dalam melakukan aktivitasnya selalu berupaya melestarikan potensi nilai-nilai lingkungan asli dalam komunitas nelayan patorani. Komunitas nelayan patorani, memegang teguh nilai-nilai lokal untuk mempertahankan kehidupannya, sehingga nelayan patorani tidak lagi menangkap induk ikan torani sebagai komoditas untuk dipasarkan. Dan kalau ada yang menangkap menangka p induk ikan torani to rani yang berlebihan dan dijadikan sebagai komoditas, maka tidak serta merta akan mendapatkan sanksi sosial dan teguran dari komunitas nelayan itu sendiri. Dalam komunitas masyarakat Bugis-Makassar apabila mendapatkan teguran atas pelanggaran sosial yang dilakukan, tentu sebagai manusia akan malu (perasaan siri’) akan timbul dan tidak akan melakukan lagi kegiatan yang pernah dilakukannya kemudian melanggar. Selanjutnya keefektifan sanksi sosial melalui teguran semacam itu, akan tergantung kepada bagaimana seseorang menerima norma siri’ sebagai tatanan kehidupan sosial yang masih dijaga dan masih dijadikan acuan
normatif di dalam bertingkah laku. Akibat dari itu menurut komunitas nelayan patorani di dalam komunitasnya ada saja orang-orang yang tidak tid ak memiliki rasa malu (makurang siri) dan ada pula orang yang masih memiliki rasa malu ( napaentengi sir’ nai).
Jadi untuk memahami bagaimana nilai malu dan harga diri (siri) diinternalisasi yang selanjutnya dieksternalisasi di dalam kehidupan komunitas nelayan patorani, w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
193
dapat dengan mudah dilihat pada bagaimana seseorang patorani memberi reaksi terhadap nilai siri’. Baik yang berkenaan dengan rasa malu (siri masiri), maupun berkenaan dengan d engan penyerangan p enyerangan harga diri (siri ripakasiri). Berdasar atas wawancara mendalam terhadap sejumlah informan tentang pola reaktif nalayan patorani terhadap siri’, dapat dikelompokkan ke dalam dua pola reaktif siri’, yaitu: (1) pola reaktif siri’ ripakasiri’, dan (2) pola reaktif siri’ masiri’. Pola Reaktif Internal "Siri Masiri’ adalah timbulnya malu malu atau berkembangnya berkembangnya budaya rasa malu sebagai akibat internal internal atau kesalahan sendiri. Seperti perasaan hina karena diri atau pun ada anggota keluarga yang bertingkah laku kurang terpuji, ketiadaan prestasi. Secara umum nilai siri-masiri sebagai nilai malu untuk betingkah laku kurang terpuji yang tidak sesuai dengan norma-norma pengendali di dalam kehidupan bermasyarakat menjadi bersifat umum. Kondisi nilai siri semacam ini tentunya merupakan nilai-nilai normatif yang bersifat umum dan ada di dalam setiap budaya suatu masyarakat. Oleh karena ikatan norma-norma pengendali sosial semacam ini hanya memiliki konsepsi tata hubungan yang dianggap pantas untuk dilakukan, dan tidak memiliki sanksi pemaksaan terhadap warga komunitas. Maka kepatuhan dan ketidakpatuhan seseorang terhadapnya hanya melahirkan sanksi sosial dari warga komunitas lainnya. Tentu saja sanksi sosial seperti ini efektifitasnya untuk membentuk perilaku warga menjadi tergantung bagaimana warga memahami dan peka terhadap celaan celaan warga masyarakat. Akan tetapi, pada kondisi lain di mana seorang laki-laki yang telah berkeluarga dan tidak mempunyai pekerjaan. Pemahaman terhadap kondisi ini menimbulkan rasa malu atau siri-masiri telah mulai melahirkan pemahaman yang
berbeda terhadap konsepsi nilai budaya siri’. Bagi masyarakat Bugis-Makassar terutama komunitas nelayan patorani menempatkan seorang anak laki-laki sebagai
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
194
tulang punggung setelah berkeluarga. Realitas tersebut menuntut seorang anak lakilaki memiliki pekerjaan atau setidak-tidaknya telah menjadi pencari nafkah di dalam keluarga. Terkait hal itu, Mattulada (1985) yang memberi nilai tinggi bagi seorang laki-laki Bugis, untuk bertanggungjawab dalam hal pencarian nafkah lewat kerja untuk keluarga. Baik ia harus pergi meninggalkan negeri untuk bermigrasi ke mana saja untuk mencari pekerjaan. Ketiadaan prestasi di dalam pekerjaan yang menyebabkan keterpurukan kehidupan
juga
mengalami
pergeseran-pergeseran
nilai
siri-masiri.
Namun
kepercayaan akan rezeki yang berasal dari Sang Pencipta mendorong mereka untuk menerima itu sebagai sesuatu yang telah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Bagi komunitas nelayan patorani, rezeki tetap yang kuasa menentukan, bekerja merupakan tugas manusia. Untuk menjaga keseimbangan akan alam itu, nelayan patorani memiliki kepekaan akan hal memelihara lingkungan lin gkungan.. Pemeliharaan lingkungan l ingkungan bukan hanya pada sekitar lingkungan tempat tinggalnya, akan tetapi terkait dengan lokasi peanangkapan.. Pemeliharaan lokasi penangkapan, merupakan bagian kesadaran untuk peanangkapan tetap mempertahankan agar populasi induk ikan torani tetap lestari dan dapat bertelur pada musim-musim pattoranian. pattoranian. Sekalipun telah mulai muncul pergeseran, namun masih terdapat gejala kuat di kalangan komunitas nelayan patorani yang menjadikan nilai siri’-masiri’ sebagai motivasi. Implementasi itu merupakan bentuk dan keinginan untuk meningkatkan harkat kehidupannya, sehingga ia merasa terbebas dari perasaan malu. Terbebasnya mereka dari perasaan siri’-masiri’ akan menjadikan komunitas nelayan patorani telah merasa berhasil menempatkan diri di dalam formasi sosial di dalam komunitasnya.
Temuan seperti ini sejalan dengan apa yang ditemukan oleh Mattulada (1985) yang menemukan nilai siri’ sebagai faktor pendorong yang membangkitkan tenaga untuk
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
195
bekerja membanting tulang, bekerja mati-matian, untuk suatu pekerjaan atau usaha. Juga Rahim (1992) tentang nilai usaha (reso), dan Abdullah (1985) tentang siri sebagai etos kultural.
4.3.3.3 . Internalisasi Makna Siri Berkaitan Harga Diri Dan Motivasi Bekerja
Realitas bahwa nelayan patorani menempatkan siri’ sebagai sumber motivasi untuk bekerja, hal itu terkait hasil penelitian Mattulada (1975), dan Rahim (1992) bahwa siri’ adalah sumber motivasi motivasi dalam pencapaian persetasi ekonomi individu bagi masyarakat Bugis-Makassar, terkait hal itu komunitas nelay nelayan an patorani dijadikan di jadikan sebagai sikap yang mendasar untuk lebih berprestasi. Sebagaimana wawancara informan sawi Syamsuddin dg Ngada (39 tahun) bahwa dalam tradisi pelayaran kita tidak boleh bermalas-malasan karena kita sementara bekerja dan kalau malas maka tidak akan mendapatkan hasil yang banyak. Kemudian kita malu sama pinggawa kalau nanti di minta bekerja baru kita melaksanakan tugas kita masing-masing. Kemudian kalau pinggawa menegur, maka suatu kewajaran bila kita lalai dalam pekerjaan. Teguran yang diterima oleh kita sebagai sawi, maka merasa harga kita turun dihadapan dihadapan pinggawa dan sawi-sawi lainny lainnya. a. Makna dari pernyataan sawi itu, itu, terkait dengan adanya rasa malu (siri) akan mendapatkan teguran dari seorang pinggawa. Seorang sawi sudah memiliki masing-masing tugas dan fungsinya selama se lama pelayaran berlangsung. berlangsung. Secara teoritis, bahwa etos kerja merupakan sikap mendasar seseorang untuk bekerja, dari d ari hasil wawancara seorang sawi di atas terungkap bahwa siri merupakan sumber motivasi utama dalam perestasi kerja. Sikap mendasar mereka tentang kerja
adalah bahwa “bekerja adalah manifestasi dari nilai siri” ini terkait dengan temuan rahim (1192) bahwa bahwa dalam budaya Bugis-Makasar, orang yang malas dan bergantung
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
196
belas kasihan orang lain, dianggap rendah derajat siri’-nya, dan karean itu reso (kerja atau usaha) adalah upaya agar tidak jatuh siri meskipun pangaderarreng sistem adat) sumber sebagai nilai siri’ telah mengalami pergeseran, sebagaimana di tekankan Mattulada (1975), nilai siri’ yang terpencar tetap berpengaruh sebagai sumber motivasi kerja. Implementasi nilai-nilai dan makna siri’ bagi nelayan patorani tekait dengan harga diri dan martabat yang perlu dipertahankan. Konsekuensi atas jatuhnya martabat yang menyinggung diri pribadi bagi suku Makassar, maka pemulihannya biasanya mengikutkan makna siri’ dengan berakibat mengorbankan mengorbankan pihak lain di dalam perkembangannya. Kadang pula terjadi pihak di luar etnik Makassar memandangnya sebagai sesuatu yang hanya sepele saja, tetapi bagi pelakunya yaitu orang yang menjadi orang yang dipermalukan (tau masiri’) justeru dianggap sebagai sesuatu yang mempermalukan (ripakasiri’). Dari tinjauan historis makna siri’ terkait dengan harga diri atau martabat sebagai manusia. Konsep siri’ yang demikian dimaknai sebagai "siri-ripakasiri, yaitu suatu keadaan dimana harkat dan martabat sebagai manusia mendapat serangan atau gangguan eksternal yang menyebabkan munculnya perasaan teraniaya, perasaan memperoleh aib (pengucilan). Karena itulah sebagai manusia Bugis-Makassar, la harus memulihkan harga diri tanpa memperhitungkan harta benda dan bahkan bila perlu dengan nyawa pun sebagai taruhannya. taruhannya. Akibat dari pemulihan dan martabat yang demikian ini dapat menyebabkan pembunuhan atau pengorbanan orang lain. Menurut Hamid (2003:4) pengorbanan orang lain Itu tidak dirasakan sebagai suatu kesalahan (guilt-culture), tetapi bahkan dirasakan sebagai kebanggaan karena
mengangkat mengangk at atau memulihkan harga diri.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
197
Faktor gangguan eksternal apa saja yang menyebabkan terganggunya harga diri sebagai akibat siri’-ripakasiri’, di kalangan orang Makassar tentunya telah mengalami dinamika perkembangan dari dulu sampai sekarang. Perubahan atau pergeseran tentang tentang hal-hal yang dianggap sebagai sesuatu y yang ang melanggar siri’, dalam hal ini siri’ ripasiri’ tidak dapat terhindarkan sebagai akibat perkembangan masyarakat suku Makassar itu sendiri. Nilai-nilai baru tentunya telah muncul menggantikan nilai-nilai lama, atau mungkin juga nilai-nilai lama masih tetap tertanam dan menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat yang begitu kompleks. Proses eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi yang dialami oleh aktor manusia suku Makassar, menjadi relevan untuk dicermati bila pengaruh nilai-nilai siri’-ripakasiri’ ingin ditelusuri didalam aktifitas mereka di dalam kehidupan sosialnya, terutama sekali yang terkait dengan dunianya sebagai nelayan patorani. Sebab di dalam aktifitas dan proses penangkapan tidak hanya berlangsung proses transaksi antara papalele ke eksportir dan juga antara pinggawa ke papalele, tetapi di dalamnya terlibat interaksi sosial yang cukup intens. Proses interaksi sosial sebagaimana yang dipahami dapat melahirkan terjadinya kerjasama antara individu, persaingan, bahkan malah mungkin dapat melahirkan konflik ataupun pertentangan yang melahirkan permusuhan dan keinginan untuk menghancurkan antara satu pihak dengan pihak lainnya. Dalam konteks yang demikian inilah pola pemahaman seseorang terhadap kondisi-kondisi yang dapat menimbulkan me nimbulkan perasaan siri’-ripakasiri’ menjadi relevan. Dalam konteks aktivitas sebagai nelayan yang melakukan kerjasama dengan
papalele, maka penghitungan penghitungan akan penuntutan hak yang menurut nelayan patorani diperoleh setelah dipenuhinya. Kewajiban untuk memperoleh hak-hak tersebut,
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
198
dianggapnya sebagai suatu perlakuan yang menyerang diri mereka. Komunitas nelayan patorani telah terdapat hak-hak yang selama ini menjadi bagian yang tidak dapat terpisahkan terpisahkan atas aktivitasnya. Sistem yang yang terbangun terbangun atas struktur aktivitas tersebut, terdiri atas papalele, pinggawa dan sawi. Sistem ini masing-masing memberikan motivasi untuk memperoleh hasil yang memuaskan dan tentu juga pinggawa dan sawi berharap mendapatkan hasil yang banyak untuk pemunuhan kebutuhan keluarganya yang ditinggalkan berbulan-bulan (antara bulan AprilSeptember). Masuknya unsur komersialisasi produksi dan penguasaan pasar pada komunitas nelayan patorani, secara signifikan akan keterikatan peningkatan untuk bekerja, dengan memaknai, bahwa nilai-nilai siri’ memberikan motivasi untuk meningkatkan prestasi bekerja bagi patorani. Kekuatan internalisasi makna siri’ memang terindikasikan bahwa dalam era sekarang telah bergeser fungsinya, dan bukan lagi menjadi faktor pendorong untuk berprestasi. Namun, sebagaian patorani masih menganggap bahwa nilai-nilai siri’ sangat perlu untuk dijadikan sebagai sumber motivasi motivasi untuk bekerja. Ketiadaan Ketiadaan nilai siri’ akan m mengurangi engurangi aktivitas dan semangat bekerja. Salah satu motivasi kerja yang bersumber dari nilai-nilai siri’ adalah, bahwa sebagain besar pinggawa patorani sangat tergantung pada papalele sebagai pemilik modal yang akan digunakan patorani untuk persiapan hingga pemberangkatan. Sejak awal pemberangkatan pinggawa sudah memiliki ketergantungan utang pada papalele. Keterikatan itu, akan memacu patorani untuk melakukan penangkapan dan membawa penghasilan yang sebanyak-banyaknya untuk menutupi utang dan pemunuhan
kebutuhan hidup keluarganya yang ditinggalkan.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
199
Imbal balik pengembalian utang operasional pinggawa ke papalele, semakin menjadi kewajiban yang tidak dapat terelakkan. Hal itu, terjadi karena papalele juga mengambil dana untuk operasionalisasi pinggawa berasal dari pinjaman melalui kredit perbankan. Hal itu, dilakukan oleh papalele karena tuntutan peningkatan produksi dan permintaan pasar maka salah satu faktor pendorong pula adalah penerapan teknologi. teknologi. Sejak akhir tahun 1960-an penerapan teknologi penangkapan telur ikan torani pada komunitas nelayan patorani semakin berkembang dan menjadi tuntutan yang tidak terelakkan lagi. Hal demikian dilakukan, karena masuknya kapitalisme yang pada awalnya awalnya hanya b erkembang dengan d engan formasi sosial berciri prakapitalisme yaitu pada era tahun 1940-an. Namun masuknya masuknya kapitalisme, maka terjadi pula transformasi industrial yang mempertemukan formasi sosial prakapitalisme dengan formasi sosial kapitalisme. Menurut Meillasoux dan rey dalam Blomstrom dan Hetne (1984), bahwa dalam transformasi industrial demikian terbentuk formasi sosial yang melibatkan koeksistensi antara cara produksi prakapitalisme dengan cara produksi kapitalisme, koiksistensi tersebut sangat dipengaruhi oleh unsur formasi sosial asli. Dalam kaitan itu, nilai siri’ dan etos kerja yang bersumber dari nilai siri’ tersebut, merupakan unsur asli yang signifikan. si gnifikan. Terbentuknya formasi sosial berbasis industri atau kapitalis tersebut, maka pembahasan tentang nilai siri’ dan etos kerja adalah pembahasan pada tingkat aktor dan penerapan teknologi penangkapan telur ikan torani. Karena itu, nilai siri’ dimaknakan oleh aktor dalam situasi tuntutan komersialisasi produksi dan penerapan teknologi. Selanjutnya nilai-nilai siri’ dijadikan sebagai pendorong bagi prestasi kerja
dan usaha nelayan patorani. Teori McClelland (1987) mengatakan sebuah kebudayaan
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
200
mendorong perkembangan ekonomi bila dalam kebudayaan itu tertanamkan motif berprestasi yang tinggi. Berbagai situasi muncul sebagai akibat adanya pergeseran formasi sosial dari prakapitalis dan masuknya kapitalis pada komunitas nelayan patorani. Makna siri’ tidak hanya berlangsung di dalam situasi pasar atau suasana pekerjaan yang memang mempertemukan berbagai kepentingan. Keberlangsungan itu, dipertemukan papalele (pemilik modal), pinggawa dan sawi, tetapi juga di dalamnya terkait berbagai kepentingan dari berbagai pihak yang hidup dan mencari kehidupan di dalam proses transaksi pasar. Karena itu dalam proses interaksi sosial sebagai salah satu bentuk proses sosial melahirkan dinamika kehidupan bersama, yang dalam perkembangannya dapat terwujud ke dalam proses kerjasama yang harmonis. Eksportir merupakan pemilik pasar, ikut andil pula di dalam d alam kepentingan yang sedang berproses. Kondisi kepentingan itu, nilai siri’ menjadi suatu motivasi untuk bekerja meningkatkan produksi dan tidak menutup memunculkan persaingan diantara papalele. Persaingan yang dilakukan kecenderungan pada pencarian jaringan eksportir dengan satu tujuan untuk memperoleh sambungan baik permodalan maupun pemasaran. Kondisi itu pula, kadang meningkat menjadi pertentangan ataupun konflik yang melahirkan saling permusuhan. Permusuhan dan konflik dalam dinamika kehidupan pada papalele (pemilik modal) pada komunitas nelayan patorani kadangkala mewujud ke dalam bentuk akomodasi, di mana kedua pihak saling menahan diri untuk tidak terjadinya konflik terbuka.
Masuknya formasi sosial kapitalis yang penuh dinamika itulah, komunitas nelayan patorani masih memandang siri’ sebagai nilai-nilai budaya luhur. Di dalam wawancara dengan informan diperoleh kesan yang kuat bahwa siri’ masih menjadi pedoman normatif di dalam mengarahkan mengarahkan berlangsungnya berlangsungnya persaingan kepentingan. Hanya saja pada tingkatan apa perbuatan itu dianggap oleh mereka telah menyentuh harga diri atau siri’. Penekanan tersebut, masih menjadi pertimbangan yang kuat bagi nelayan patorani. Dinamika kehidupan nelayan patorani antara era tahun 1940-an ke akhir tahun 1960-an terjadi sebuah persaingan yang berbeda. Hal itu terjadi, karena adanya
perbedaan
kepentingan
komersialisasi produksi.
untuk
mengikuti
perkembangan
pasar
dan
Untuk menjaga berlangsungnya kehidupan sosial di antara sesama nelayan patorani mengedepankan nilai-nilai siri’ sebagai pedoman untuk bertindak. Terbentuk norma pengendali siri’ mengatur tata kelakuan yang berhubungan dengan kehidupan bersama terutama dalam melakoni pekerjaan sebagai nelayan khusus menangkap/pengumpul w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
201
telur ikan torani. Hal itu, pemaknaan siri’ bagi Bugis-Makassar sebagai motivasi instrumental yang positif untuk dijadikan sebagai acuan untuk bertindak maupun bekerja. Karena siri’ yang banyak dimaknai oleh masyarakat Bugis-Makassar adalah ripakasiri’ sama seperti yang ditemukan dalam penelitian Errington (1977: 25) menyimpulkan bahwa untuk orang bugis tidak ada alasan hidup yang lebih penting daripada menjaga siri’nya, dan karena mereka tersingggung atau ripakasiri’ mereka mereka lebih senang mati dengan perkelahian untuk memuliakan siri’ daripada daripada hidup tanpa siri’. si ri’. Makna positif siri’ sebagai motivasi untuk berprestasi terimplementasikan kedalam inti kebudayaan masyarakat Bugus-Makassar, yang menjadi kekuatan pendorong terhadap peradaban (pangadereng) (pangadereng) yang berupa Ade Ade (aturan perilaku yang mengikat); Bicara Bicara (aturan peradilan yang menentukan hal adil dan benar dan sebaliknya curang atau salah); Wari (ketatalksanaan yang mengatur hubungan kekerabatan; Rapang Rapang (aturan yang menempatkan kejadian masa lalu sebagai tauladan yang patut diikuti masa kini); Sara (syariat Sara (syariat Islam yang menjadi panutan). Selain itu siri’ menurut Rahim (1992: 174) adalah salah satu dari enam nilai utama kebudayaan Bugis-Makassar yakni kejujuran (alempureng) (alempureng),, kecendekiaan (amaccang), (amaccang), keteguhan (agettereng), (agettereng), keusahaan keusahaan (reso), (reso), dan dan siri’ (malu siri’ (malu dan harga diri), implementasi diri), implementasi hal di atas akan muncul bila salah satu atau semua nilai utama yang di anut oleh keanusiaan
terlanggar.
Dinamika
nelayan
patorani
dengan
masuknya
unsur
komersialisasi produksi, maka nilai siri’ menjadi motivasi kerja terkait dengan peningkatan usaha reso reso.. Kemampuan untuk meningkatkan usaha seiring masuknya tuntutan pasar dan peningkatan komersialisasi produksi, makna reso reso merupakan merupakan salah satu kekuatan yang dapat mendukung bagian dari internalisasi makna nilai-nilai budaya siri’ untuk berprestasi. Untuk menganalisis makna siri’ dan etos kerja yang bersumber dari nilai n ilai siri’ komunitas nelayan patorani mengimplementasikan nilai-nilai malu ke dalam makna reso ( keusahaan) keusahaan) sehingga yang dulunya pinggawa beralih menjadi papalele untuk lebih meningkatkan usahanya. Nelayan patorani pada masa lalu, ketika masih mengandalkan induk ikan sebagai komoditi yang dipasarkan, penghasilan yang diperoleh hanya sekedar subsistensi. Namun setelah pola penangkapan berubah ke telur ikan, maka usaha dan penerapan teknologi penangkapan pun ikut bergeser. Pergeseran pola penangkapan dan penerapan teknologi, maka komunitas nelayan patorani
pun,
memaknai
siri’
kedalam
amaccang amaccang
(kecendikiaan)
yang
terimplementasikan ke dalam penguasaan teknologi alat penangkapan. Pinggawa patorani, terlebih dahulu memiliki
kemampuan untuk
menerapkan teknologi
permesinan kapal. Jadi dalam era ini, pinggawa bukan hanya dituntuk kemampuan untuk menguasai dan menaklukkan lautan, tetapi dituntut pula mampu mengoperasikan mesin sebagai alat yang diandalkan untuk mengarungi lautan. Walaupun dalam pembagian kerja sudah jelas bahwa sawi bagian permesianan yang menangani alat,
tetapi pinggawa diberikan tanggungjawab penuh oleh papalele (pemilik modal dan peralatan penangkapan) atas pelayaran yang dipimpinnya. Apabila seorang pinggawa tidak menguasai peralatan yang dibawahnya, maka makna siri’ akan menjadi suatu kekuatan yang memotivasi pinggawa untuk tampil sebagai w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
202
pemimpin pelayaran. Apabila seorang pinggawa tidak menguasai strategi dan perlengkapan pelayaran, maka akan mendapatkan teguran dari papalele, atau ada peralatan yang rusak dan tidak mampu diperbaiki oleh pinggawa beserta awak perahu (sawi) maka akan memunculkan rasa malu assiri’-siriki’ terhadap papalele. Dan kemungkinan kegiatan penangkapan musim berikutnya tidak diberikan kesempatan lagi untuk dipercayakan menahkodai perahu. Untuk memperoleh hasil yang maksimal, nelayan patorani dituntut pula ada rasa kejujuran (alempureng) (alempureng),, rasa kejujuran ini sangat penting di jadikan suatu modal untuk saling mempercayai. Kejujuran di harapkan papalele terhadap pinggawa dan sawi, karena papalele sudah memberikan sepenuhnya pada pinggawa berkaitan dengan hasil yang diperoleh. Penyelewengan bisa saja dilakukan oleh pinggawa tanpa sepengetahuan papalele, tetapi mereka sudah sepakat antara pinggawa dan sawi untuk tidak membuka atas kelakuan yang diperbuatnya. Apabila ada seorang diantara kelompok yang melapor atas penyelewengan hasil yang diperoleh, maka rasa malu siri’ akan muncul sebagai suatu kekuatan untuk saling berselisih faham dan d an bisa saja berakhir pada pembunuhan.
4.3.3.4. Internalisasi Nilai-Nilai Siri’ Ke Arah Kehidupan Sosial Ekonomi Secara teoritis, memang salah satu dimensi dari terjadinya stratifikasi di dalam suatu komunitas tidak terlepas dari dimensi ekonomi. Marx (dalam Smelser, 1973) menempatkan stratifikasi antara kelompok borjuis dengan kelompok proletar yang saling bertentangan. Sedang Weber (1920) justru melihat bahwa pembagian stratifikasi yang berdasarkan atas kepentingan ekonomi etrbangun atas dasar adanya persamaan setiap orang terhadap peluang untuk hidup atau nasib (life chances). chances). Persamaan terhadap peluang ini juga berlaku bagi terjadinya penguasaan barang daan jasa sehingga diperoleh penghasilan tertentu. Jadi setiap orang bisa saja memperoleh status yang lebih tinggi-dari aspek ekonomi-tanpa membangun permusuhan atau konflik dengan mereka yang tidak atau belum memiliki status sosial ekonomi yang mapan. Dalam komunitas nelayan patorani memperlihatkan bahwa dimensi ekonomi sebagai dasar penempatan seseorang kepada status sosial yang lebih tinggi. Kondisi status itu, tidak ditempatkan secara terpisah dengan dimensi lainnya, terutama yang terkait intensitas mereka di dalam interaksi sosialnya. Sekalipun seseorang telah memiliki kemampuan dalam aspek ekonomi tetapi bila aktifitas kegiatan keusahaan mereka tidak berlangsung secara intens maka kemampuan ekonomi itu tidak atau kurang pengaruhnya terhadap penempatan seseorang di dalam formasi sosial di komunitasnya. Keadaan itulah yang menempatkan seorang papalele sebagai stratifikasi yang tinggi dikalangan komunitas nelayan patorani. Sekalipun kekuatan ekonomi menjadi pilar dari seorang papalele, tetapi dalam kenyataannya tidak semua peapale dalam struktur kepatoanian yang telah memiliki modal yang kuat dapat memainkan peran dan diajak bekerjasama pinggawa patorani. Orientasi kehidupan sosial untuk mencapai posisi dalam stratifikasi semacam ini memang telah menjadi cita-cita sebagian kecil dari
nelayan patorani (keluarga pinggawa dan sawi). Tetapi dalam lingkup yang lebih meluas kebanyakan mereka untuk mencapai posisi ini dapat diibaratkan sebagai pilar papalele untuk kekuatan atau keberdayaan ekonomi. Padahal sebagian besar dari para papalele
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
203
masih mengalami stagnasi dalam pertumbuhan usahanya, karena masih tetap bergantung pada eksportir yang datang pada saat musim torani berlangsung. Orientasi kehidupan ekonomi dimaksudkan sebagai cita-cita yang berkaitan dengan usaha dijadikan sebagai pedoman. Secara rasional dapat diasumsikan bahwa nelayan patorani baik pinggawa maupun sawi menghendaki terjadinya peningkatan hasil tangkapan. Orientasi ke arah kehidupan sosial ekonomi tidak selalu bertalian dengan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan, karena nelayan patorani sebagian besar hanya menggantungkan dengan kondisi alam dan kondisi musiman. Modal sebagai kekuatan untuk memperoleh penghasilan produksi yang meningkat tidak selamanya menjadi citacita dalam pemanfaatan surplus yang diterima. Namun kadang nelayan patorani masih meninggalkan utang yang harus dibayar pada musim berikutnya. Utang yang tertinggal walaupun tidak memiliki bunga harian maupun bulanan, akan tetapi bisa dijadikan motivasi motiva si untuk lebih bekerja keras, karena makna siri’ malu memiliki utang. Pemaknaan siri’ dalam konteks kehidupan sosial ekonomi bermuatan untuk memperoleh tempat di dalam formasi stratifikasi sosial yang ada di dalam komunitas nelayan patorani. Pola reaktif nilai-nilai siri’ bagi komunitas nelayan patorani menjadi suatu pijakan positif menguatnya sifat-sifat keuletan, orientasi kemasa depan, dan timbulnya keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat. Akan tetapi menguatnya pola reaktif mereka tidak diarahkan kepada terjadinya pertumbuhan usaha tetapi terjadi “pembelokan” terhadap keberhasilan yang di inginkan. Menguatnya dimensi orientasi ke masa depan, keuletan, dan keseimbangan dunia dan akhirat. Sebagai akibat diutamakannya atau dinomorsatukannya pemulihan harkat dan martabat diri lewat simbol-simbol materi dan simbol-simbol kesalehan beragama, dan melupakan dimensi lain dari kualitas karsa yaitu dimensi pertumbuhan dan ketanggapan dalam berusaha. Terkait penelitian Salman (2000) bahwa siri’ telah berhasil mendorong orang-orang Bugis berusaha atau bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, namun dalam perkembangnnya implementasi siri’ (reso (reso dan pajja pajjama ma)) itu cenderung diorientasikan kepada usaha memperoleh materi yang sebanyak-banyaknya untuk kebanggan sosial. Selain hal itu, realitas akan status sosial pun di implementasikan makna nilai-nilai siri’ ke dalam pengejaran status sosial, dengan ukuran keberhasilan kehidupan sosial ekonomi. Pertumbuhan pada pada dasarnya adalah adalah kata kunc kuncii
dari adanya adanya daya d dorong orong int internal ernal
kekuatan usaha nelayan patorani itu sendiri. Jadi tiadanya peningkatan kehidupan ekonomi di dalam komunitas nelayan patorani di akibatkan ketidak mampuan untuk berusaha, padahal mereka memiliki kemampuan pada dimensi orientasi ke masa depan, d epan, keuletan, dan keseimbangan dunia dan akhirat. Realitas di atas, terjadi kecenderungan pada tataran status pinggawa pinggawa (pemimpin pelayaran) beserta sawi. Akibat itu dirasakan, karena tidak adanya akses secara langsung baik dari segi hubungan pasar maupun akses permodalan.
Kondisi stagnasi kehidupan komunitas nelayan patorani dipahami sebagai akibat melemahnya dan belum terciptanya kemampuan untuk cepat memberi respons terhadap kondisi aktual yang dapat memberi mereka peluang lebih berhasil dalam usahanya. Keinginan untuk memiliki status ekonomi yang mapan pada status pinggawa, w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
204
hanya melalui kerja keras selama melaut, begitu pula dengan sawi lebih tertutup dengan akses pada semua elemen di atas. Karena pinggawa dan sawi hanya sekedar sebagai pekerja, dimana pinggawa hanya berhubungan dengan papalele dan sawi dan kecenderungan bekerja pada saat musim pattoranian berlangsung. Kurang dimilikinya akses pada pinggawa dan sawi dimaknai sebagai kecenderungan terjadinya himpitan struktural yang melanda pinggawa dan sawi patorani. Dari aspek rutinitas kehidupan usaha mereka telah lakukan dengan penuh keuletan, kerajinan, bahkan ketahanan mental untuk pantang menyerah. Sekalipun mereka menghadapi tantangan yang begitu kerasnya, baik yang bersumber dari faktor masih kentalnya tata hubungan eksploitatif yang mereka alami, maupun dari dinamika penangkapan yang penuh dengan persaingan. Meningkatnya dimensi keuletan memperoleh dorongan atau pengaruh yang kuat dari nilai-nilai budaya siri’ dan pesse pesse.. Nilai siri’ yang mengandung nilai malu dirasakan nelayan patorani sejak akan mulai merencanakan berangkat melaut, diperhadapkan aturan dan diperhadapkan beban utang yang harus dibayar ketika kembali melaut. Dengan kuatnya dorongan siri’ untuk meraih hasil yang maksimal, dan tidak mengenal kata menyerah. Semangat pemulihan siri’ lewat pola reaktif siri’-masiri’ inilah yang memotivasi mereka untuk menyimpang sebagain hasil pembagian uang yang diperoleh dari papalele. Sebagai manifestasi dari adanya cita-cita pemulihan harga diri lewat prestasi dibidang ekonomi, dimaknai mereka sebagai keberhasilan mengumpulkan uang yang ditandai dengan pemilikan sejumlah barang-bar barang-barang ang berharga dan memperbaiki kondisi bangunan rumahnya. Hal itu, menjadi indikator kemampanan dari segi ekonomi dan keberhasilan di dalam kehidup kehidupan an ekonomi rumah tangga nelayan patorani patorani.. Menguatnya
dimensi
keuletan, orientasi ke masa depan, dan keseimbangan dunia dan akhirat di kalangan nelayan patorani tidak terlepas dari pola reaktif siri’ masiri’ yang telah terpadu secara harmonis dengan nilai-nilai agama Islam yang dianut oleh nelayan patorani. Keterpaduan nilai-nilai budaya siri’ dan agama Islam yang dianut nelayan patorani tidak hanya disebabkan karena faktor kesejarahan menganut agama Islam sejak pada masa kerajaan Gowa. Tetapi juga disebabkan oleh nilai-nilai siri’ mendapat tempat di dalam nilai agama Islam (Mattulada, 1995); lopa, 1985). Karena itulah pola reaktif siri’ masiri’ sebagai upaya pemulihan rasa malu dan harga diri lewat pencapaian were’ sebagai sebagai buah dari kerja keras, kerajinan, ketahanan, dan pantang menyerah sejalan dengan nilai-nilai agama islam yang menempatkan kerja sebagai ibadah, kerja sebagai peluang, dan kerja sebagai orientasi ke masa depan. Kesemua itu mengarah pada peningkatan kehidupan sosial ekonomi yang berdimensi pada status sosial.
Pengalaman seorang nelayan patorani, bahwa nilai budaya siri’ telah menjadi faktor yang memotivasi untuk keluar dari keterpurukan kehidupan yang sementara dihadapi. Memang sikap reaktif siri’ masiri’ menjadi faktor yang memotivasi
dihadapi. Memang sikap reaktif siri
masiri
menjadi faktor yang memotivasi
seseorang untuk bangkit mengubah nasib buruk yang mereka alami. Adakalanya sikap reaktif ini menjadi pendorong kepada seseorang untuk meninggalkan desanya untuk w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
205
pergi mengembara ke mana saja untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Memang dalam budaya Bugis konsepsi tentang kerja mengandung makna secara inklusif maupun eksklusif sebagai nelayan yang ingin memperoleh penghasilan yang lebih banyak, maka jarak dan waktu pelayaran tidak menjadi kendala sepanjang hal itu dapat memperoleh hasil yang lebih banyak untuk kesejahteraan kehidupan ekonominya. Pekerjaan yang ditekuninya dengan pergi meninggalkan rumah untuk mencari rezeki, dengan kembali membawa hasil. Implementasi ini, maka makna siri’ dijadikannyaa sebagai motivasi yang berorientasi pada kehidupan sosial ekonomi. dijadikanny Secara realitas realitas bahwa makna makna internalisasi internalisasi siri’ bagi komunitas
nelayan
patorani dimaknai sebagai suatu motivasi yang membangkitkan membangkitkan untuk melakukan reaksi atas kegiatan yang dilakukan yaitu pertama, ketiadaan pencapaian kehidupan yang memadai di dalam suatu kelompok kekerabatan dapat menimbulkan munculnya perasaan malu (sir’i-masiri’) bila dalam kelompok kekerabatan tersebut terdapat sejumlah anggota yang dijadikan sebagai patokan atau takaran keberhasilan dalam kekerabatan. Perasaan malu tersebut pada gilirannya akan menimbulkan perasaan rendah diri di dalam tata hubungan kekerabatan. Kedua, rasa malu yang menyebabkan menyebabkan jatuhnya harga diri secara positif memunculkan pola reaktif untuk meninggalkan kampung atau menjauh dari komunitas kekerabatan untuk terhindar dari perasaan malu dan jatuhnya harga diri tersebut. Ketiga , pola reaktif siri dengan bermigrasi meninggalkan kampung halaman perlu dilanjutkan dengan usaha kerja keras untuk keluar dari kondisi kehidupan yang memalukan dan sekaligus memulihkan kembali harga diri yang telah jatuh sebagai akibat kehidupan yang kurang beruntung. Keempat , kondisi pemulihan rasa malu dan penegakan kembali harga diri terpuaskan
setelah memiliki kekayaan berupa kepemilikan barang-barang barang-barang berharga telah dimiliki. d imiliki.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
206
Dalam wawancara dengan informan diduga kuat bahwa pola memunculkan kembali makna siri’ bagi komunitas nelayan patorani terwujud ke dalam tindakan rela meninggalkan kampung halaman dan keluarganya berbulan-bulan lamanya (AprilSeptember) untuk melakukan penagkapan/pengumpulan telur ikan torani. Makna siri dijadikan dasar untuk mempertahankan hidup melalui mencari nafkah, dan siri’ dipegangnya sebagai kekuatan untuk menempatkan suatu pekerjaan ke dalam pekerjaan yang pantas untuk dilakukan. Menagkap/mengumpulkan Menagkap/mengumpulkan telur ikan torani, t orani, bagi nelayan patorani merupakan suatu pekerjaan yang mulia dan tidak mengeluarkan tenaga yang banyak. Sehingga nelayan patorani merasakan bahwa meninggalkan kampung halaman dan sanak keluarga selama berbulan-bulan hanya untuk mencari nafkah. Pada awal pemberangkatan, nelayan patorani melakukan ritual sebagai implementasi untuk memperoleh keselamatan selama melaut dan juga sebagai ungkapan kata mau pamit meninggalkan keluarga dan kampung halamannya. Bagi nelayan patorani, meninggalkan keluarga merupakan suatu hal yang biasa pada setiap tahun pada musim torani tiba. Sumber penghidupan pada masyarakat Galesong Selatan dan Galesong Utara, adalah mengandalkan musim penangkapan/pengumpulan telur ikan torani. Terkait itu, anak-anak yang berusia remaja antara 17-19 17 -19 tahun sudah ikut menjadi sawi patorani. Kegiatan ini dilakoni hanya untuk membantu menghidupi kebutuhan kehidupan kehidupan keluarganya. Sawi muda mud a ini didik untuk lebih mahir, karena ada budaya di komunitas komunitas nelayan torani, kalau anak laki-lakinya laki-lakinya sudah dewasa tidak dapat memebantu penghasilan keluarganya. Untuk menutupi rasa malunya tersebut, maka jalan satu-satunya satu-satunya adalah ikut menjadi sawi nelayan patorani patorani..
Kewajiban bekerja sebagai manifestasi dari siri’-masiri’ di dalam budaya Bugis-Makassar lebih banyak dibebankan kepada anak laki-laki daripada kepada anak
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
207
perempuan. Anak laki-laki dijuluki sebagai La Massappa (orang yang diberikan beban untuk mencari rezeki) sedang anak perempuan diberi predikat sebagai I Mattaro (menjaga rumah tanggga). La Massappa diberikan predikat p redikat kepada anak laki-
laki disebabkan karena ia diberi kewajiban untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga sebagai orang yang pergi mencari nafkah. Sedang I Mattaro sebagai predikat yang diberikan kepada anak perempuan yang dimaknai sebagai kewajiban perempuan untuk mengelola rumah tangga terutama mengelola nafkah yang dihasilkan oleh lakilaki dengan prinsip penghematan. Dalam kaitan kewajiban laki-laki yang berfungsi sebagai pencari rejeki dan kewajiban anak perempuan sebagai orang yang menyiapkan makan buat keluarganya, keluarganya, dalam tradisi orang Bugis-Makassar. Setelah kewajiban tersebut, dipenuhi atau mampu diperankan oleh anak laki-laki dan anak perempuan barulah ia dianggap telah dewasa dan sudah siap untuk membentuk rumah tangga sendiri. Seorang laki-laki yang ingin dianggap telah memenuhi kelayakan untuk berumah tangga haruslah ia mampu (maccenneri dapurengnge wekkapitu siesso) (artinya= ia harus mampu mengitari dapur/tungku tujuh kali dalam setiap harinya atau dengan kata lain telah mampu membuat dapur bisa mengepulkan asap. Sedang untuk anak perempuan barulah dianggap sudah layak untuk berumah tangga setelah la mencapai tahap mengetahui seluk beluk tentang dapur. Lebih khusus lagi seorang perempuan telah mengetahui hal-hal tentang pengelolaan dapur, utamanya sikap pengelolaan dapur melalui manajemen yang rapi dan terkontrol. Sedangkan dari pihak laki-laki (anak laki-laki) apabila sudah mampu mencari rezeki telah tiba saatnya untuk berumah tangga dengan gadis yang telah mampu mengelola
dapur dengan prinsip penghematan agar bahtera rumah tangganya dapat hidup dengan penuh kebahagiaan dan kesejahteraan. Suatu konsep kehidupan keluarga yang
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
208
sempuma. Itulah sebabnya bagi laki-laki yang hidupnya dinikahi oleh isterinya atau isteri yang bekerja menimbulkan siri’ masiri’ dikalangan laki-laki Bugis Makassar. Implementasi pada orientasi kehidupan sosial ekonomi, pola reaktif internal siri’ masiri’ sebagai akibat nasib buruk yang menimpa mereka, baik karena ketiadaan
alat penangkapan maupun kepemilikan modal dan tidak adanya prestasi yang bisa ditampilkan dan dipahami oleh nelayan patorani sebagai suatu keadaan yang sangat memalukan. Ungkapan yang banyak diberikan oleh mereka dalam memahami kondisi ini adalah: dekkua siriku narekko degaga mengkaika , (betapa malunya aku bila aku tak memiliki apa-apa). Keperihatinan seperti ini memotivasi mereka untuk lebih bekerja keras agar ia bisa juga mengalami kondisi kehidupan yang lebih baik dan memiliki stratifikasi sosial dalam lingkungan sekitarnya. Orientasi kehidupan ekonomi yang lebih baik, merupakan salah satu hal yang mendorong nelayan patorani untuk meninggalkan kampung halaman untuk pergi mengarungi berbagai pulau hingga ke Fakfak Papua Barat. Hal ini disebabkan karena kondisi kehidupan tidak dapat memberi jaminan hidup yang layak dan cukup kalau hanya pada derah-daerah operasional dekat dengan tempat tinggalnya. Kondisi demikian dilakukan karena adanya persaan malu (siri-masiri) dengan prinsp lebih baik ia pergi jauh melaut dengan d engan mendapatkan hasil tangkapan yang lebih layak la yak dan lebih banyak. Operasi penagkapan telur ikan torani hingga ke Fakfak dimulai sejak tahun 2000-an hingga sekarang. Keberangkatan ke Fakfak hanya semata-mata untuk melebarkan lokasi penangkapan dengan asumsi bahwa dengan perjalanan jauh penangkapan tersebut, tersebut, maka kondisi pengh penghasilan asilan akan jauh lebih banyak. banyak. Terkait dengan operasi penangkapan sampai ke Fakfak memberikan kenaikan
penghasilan lebih banyak dibandingkan dengan daerah terdekat. Menurut informan pinggawa bahwa sejak tahun 2002 melakukan pelayaran ke daerah Fakfak, maka
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
209
penghasilan semakin bertambah. Cuma biaya operasional yang semakin bertambah pula terutama bahan bakar dan cadangan makanan, seperti beras dan lauknya. lauknya. Persoalan biaya operasional yang semakin naik, maka semakin pula berhati-hati dalam penangkapan, karena kalau kembali tanpa membawa hasil yang banyak maka kita akan malu dengan keluarga apalagi dengan papalele harus dikembalikan modal yang sudah diberikan terlebih dahulu. d ahulu. Kondisi semacam itu, sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Lopa (1985:113-115) bahwa nilai budaya siri’ menyebabkan orang Bugis-Makassar ingin mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan layak. Mereka malu dengan kemiskinan yang dialami di kampung halaman, dan untuk itu mereka pergi ke negeri orang. Mereka bekerja keras membanting tulang dan banyak berhasil di perantauan, bahkan beberapa diantara mereka menetap di negeri perantauan dengan menikmati kehidupan yang lebih layak. Penelitian Wahyuddin (2003) juga menemukan bahwa siri’ masiri’ berpengaruh positif terhadap pengambilan keputusan migrasi ke luar pada komunitas pinisi (Bugis) di Sulawesi Selatan. Implementasi makna siri’ terkait temuan dia atas, bagi nelayan patorani hanya di lakukan dengan waktu yang singkat antara bulan April hingga september melakukan penangkapan sampai ke daerah Fakfak. Dan setelah selesai melaksanakan penangkapan, maka kembali berkumpul dengan sanak keluarga dengan membawa hasil untuk kebutuhan hidupnya. Realitas di atas, bahwa orientasi dalam kepemilikan nelayan patorani memberi penjelasan bahwa ternyata terdapat sejumlah cita-cita komunitas nelayan patorani untuk meraih peningkatan kelayakan hidup secara sosial. Implementasi itu, terkait melalui kepemilikan fasilitas dalam kehidupan rumah tangganya. Fasilitas yang
dimaksudkan, diantaranya membangun rumah dan bahkan ada pinggawa yang berkeinginan memiliki perahu sendiri. Dan gambaran orientasi keduanya terkait
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
210
kehidupan sosial ekonomi setidaknya akan memberi gambaran tentang bagaimana kondisi sosial ekonomi mereka. Sebab orientasi kehidupan sosial ekonomi pada akhirnya akan menentukan tingkatan kualitas kehidupan sosial mereka di dalam komunitasnya, komunitasny a, yaitu komunitas nelayan patorani, yang tidak hanya memberi penilaian atas hal-hal yang bersifat materi belaka, tetapi juga memberi penilaian terhadap halhal yang non materi lainnya. Orientasi kehidupan sosial ekonomi suatu masyarakat atau komunitas lokal dapat dilihat dengan memperhatikan secara seksama keinginan yang dominan dari individu-individu, atau cita-cita yang diinginkan untuk mendapatkan tempat di dalam formasi sosial ekonomi di komunitasnya. Di dalam setiap komunitas senantiasa terdapat hal-hal yang dianggap sebagai sesuatu yang bernilai sosial tinggi dibandingkan dengan status sosial yang lainnya. Dari tradisi masa lalu masyarakat Galesong Utara dan Galesong Selatan, Selatan, memposisikan keturunan ban bangswan gswan menjadi aspek yang dominan untuk menempatkan seseorang dalam formasi sosial yang lebih tinggi sebagai anutan untuk memutuskan nilai-nilai adat istiadat. Namun di luar dari itu, maka masyarakat memandang penguasaan materi dan keberanian menyebabkan individu yang memiliki harta dan keberanian menduduki strata atas dari d ari formasi sosial yang ada. Akan tetapi, dalam perkembangan masyarakat nilai-nilai tersebut dapat atau akan bergeser sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakat. Lain halnya dalam komunitas nelayan patorani khususnya di Galesong Selatan dan Galesong Utara, terdapat sejumlah nilai-nilai yang dianggap lebih tinggi sekaligus menjadi persyaratan untuk seseorang menduduki tempat yang terpandang yakni formasi sosial dan ekonami yang dimiliki seseorang. Kecenderungan setiap individu
akan berusaha untuk memperoleh nilai-nilai tersebut sebagai dasar untuk menempatkan dirinya menjadi orang yang disegani terutama dari segi kepemilikan
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
211
harta kekayaan di dalam komunitasnya. Berdasarkan dinamika itu, papalele memiliki kekuatan ekonomi yang mapan bila dibandingkan dengan kehidupan pinggawa-sawi. Sehingga struktur kepatoranian dapat di asumsikan bahwa papalele memiliki posisi yang tertinggi kedudukannya. Salah satu cara yang dapat dipakai di dalam mengindentifikasi nilai-niiai yang dipandang lebih tinggi itu adalah dengan melihat bagaimana orientasi setiap orang atau individu tersebut di dalam kehidupan sosial ekonominya. Untuk maksud itu, dapat dilihat bagaimana cita-cita yang akan direalisasikannya untuk memeproleh surplus di dalam usahanya. Untuk mencapai itu semua, maka papalele sebagai pemilik modal dibutuhkan adanya kemampuan untuk bersaing dalam sistem pasar yang bersifat bebas. Tumbuh kembangny kembangnyaa persaingan pasar secara bebas dimana harga telur ikan torani terjadi fluktuasi. Keadaan itu terjadi adanya campur tangan pihak pihak lain dan kecenderungan tergantung dari mekanisme me kanisme pasar. Adanya pesaing atau kompetitor menyebabkan harga dipasaran terbentuk dengan sendirinya, tidak terlepas dengan memperhatikan kekeuatan persaingan secara global. Dalam kondisi sekarang ini, menurut informan papalele, bahwa masuknya eksportir memunculkan persaingan dengan posisi tawar menawar. Permaian pasar ini dilakukan antara papalele dan eksportir karena eksportir ikut menentukan harga jual dari komoditas di pasaran, dan pada gilirannya akan mengarah me ngarah pada peningkatan ekonomi p papalele. apalele. Demkian halnya pula dengan pinggawa dan sawi, dengan harga yang tinggi dari eksportir secara otomatis menambah pula penghasilan yang diperoleh. Pasang surut akan harga komoditi telur ikan torani akan mengubah situasi pada kondisi stagnasi dalam kehidupan kepatoranian. Hal itu terjadi, diakibatkan melemhanya orientasi pertumbuhan usaha penangkapan. Seyogyanya kondisi itu
nelayan patorani memunculkan kemampuan secara cepat merespon terhadap kondisi aktual yang dapat memberi peluang lebih berhasil di dalam peningkatan sosial
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
212
ekonominya. Dari aspek rutinitas kehidupan usaha nelayan patorani mereka telah melakukan penangkapan secara rutinitas penuh keuletan, kerajinan bahkan ketahanan mental menghadapi tantangan alam dan tuntutan papalele yang bermuara pada tata hubungan eksploitatif. eksploitatif. Pinggawa-sawi nelayan patorani mengalami adanya eksploitasi dari segi penghasilan penangkapan, kemudian ditambah lagi dinamika penjualan hasil yang penuh dengan persaingan dan ketidak jelasan harga yang ditentukan oleh papalele. Atas dasar itulah dipegang asumsi bahwa di dalam komunitas nelayan patorani terdapat sejumlah nilai-nilai yang mengandung aturan main antara pinggawa dan papalele yang tidak transparan dan adanya ketidakjujuran d alam menentukan harga. Salah satu cara yang dapat dipakai di dalam mengidentifikasi nilai-nilai yang dipandang lebih tinggi itu adalah denan melihat bagaimana orientasi setiap papalele sebagai individu dalam mengejar kehidupan sosial ekonominya. Untuk maksud itu dapat dilihat bagaimana cita-cita yang direalisasikannya bila keinginan seorang papalele untuk untu k memiliki surplus surp lus di dalam dal am usahanya. Implementasi makna siri na pacce (perasaan solidaritas sesama manusia) tidak berlangsung secara surut dalam komunitas nelayan patorani yang mengarah pada kehidupan sosial ekonomi sebagai bagian komunitas. Papalele memiliki perasaan solidaritas dalam ketentuan pekerjaan, tetapi dari segi peningkatan kesejahteraan tidak terjadi secara surut. Kecenderungan yang dilakukan adalah eksploitasi dari segi pembagian hasil yang tidak berimbang. Padahal terciptanya makna siri’ harus dibarengi dengan nilai-nilai untuk membangun solidaritas, sebagai satu kesatuan komunitas yang tercipta saling ketergantungan antara pemilik modal
(papalele) dan pinggawa- sawi (pekerja (p ekerja). ).
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
213
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan
1.
Nelayan patorani tradisional beralih pada penerapan peralatan terkait teknologi alat tangkap sebagai penunjang untuk meningkatkan hasil produksi. Pergeseran teknologi menggeser pula perilaku nelayan patorani dari segi pola penangkapan dengan orientasi permintaan pasar. Masuknya unsur teknologi memiliki pula kemampuan untuk menggeser pengetahuan dan kepercayaan tentang kepatoranian, baik maknamakna ritual maupun upacara pattoranian hingga sekarang sudah mulai bergeser ke kondisi rasionalisasi. Walaupun demikian, bekal tentang pengetahuan pelayaran (erang passimombalang) dan passimombalang) dan bekal pengetahuan penangkapan dan pengelolaan hasil (erang pakboya-boyang) pakboya-boyang) tetap dimiliki sebagai bekal untuk melakukan aktivitas pattoranian. Temuan ini menunjukkan adanya relevansi yang dinyatakan oleh Berger (1990) tentang penerapan teknologi modern memiliki kekuatan otonom yang menciptakan pengaruhnya di sekitar konteks kehidupan sosial ekonomi. Maka memperkenalkan teknologi ke dalam suatu masyarakat akan menyebabkan terjadinya beberapa perubahan dalam kehidupan baik material maupun non material.
2.
Pergeseran pola penangkapan pada nelayan patorani dari induk ikan ke telur ikan torani. Kondisi demikian didominasi oleh tekanan pasar dan masuknya eksportir yang memfokuskan permintaan hanya telur ikan torani. Dalam kondisi inilah, maka nelayan
patorani tidak ada pilihan lain serta kelompok-kelompok yang terlibat di dalam aktivitas kepatoranian kepatoranian mengikuti kekuatan arus p permintaan ermintaan pasar tersebut. Kelompokkeompok yang terdiri eksportir-papalele-pinggawa terintegrasi dengan berorientasi w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
214
pada peningkatan produksi. Temuan ini menunjukkan relevansi atau memperkuat konsep Moore tentang Partisipasi pasar mencakup gerakan dari pertanian tradisional dan subsistensi menuju mekanisasi dan komersialisasi berbagai segmen perekonomian serta peranan efektif dalam dunia pasar rasional. 3.
Pergeseran hubungan sosial, secara internal terkait pada struktur semakin terspesialisasi antara papalele-pinggawa-sawi. Hubungan tradisonal sudah mulai bergeser
kehubungan
fungsional
dan
kontraktual.
Hubungan
kontraktual,
diberlakukan atas dasar pemberian modal pada pinggawa kemudian pinggawa mengembalikan pada papalele dalam jangka waktu perhitungan satu musim. Kemudian secara kultural Internalisasi nilai siri’ merupakan salah satu dimensi yang mengarah pada tujuan untuk peningkatan kehidupan sosial ekonomi. Temuan ini menunjukkan relevansi atau memperkuat konsep McClelland tentang kebudayaan menghasilkan daya dorong dari perkembangan ekonomi bila dalam kebudayaan itu tertanamkan kebutuhan berprestasi yang tinggi.
5.2. Saran 5.2.1. Saran Untuk Pengembangan Ilmu 1.
Hasil penelitian ini dari segi keilmuan, menyarankan perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut dan mendalam tentang mengapa komersialisasi produksi dan tuntutan pasar menggeser karakteristik nelayan patorani di Galesong Utara dan Galesong Selatan. Hasil demikian perlu dilakukan untuk menemukan konsep ilmu sosiologi tentang perubahan sosial Pada komunitas nelayan.
2.
Keterlibatan eksportir terkait tentang penguasaan pasar dan distribusi telur ikan hasil
tangkapan nelayan patorani, memberikan kekuatan papalele berkaitan dengan penguasaan
sumberdaya
permodalan
dan
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
kepemilikan
teknologi.
Penelitian
215
selanjutnya disarankan untuk fokus pada sejauhmana kondisi eksternal melakukan eksploitasi. 3.
Penelitian tentang hubungan sosial dan pola hubungan kerja mengarah ke kehidupan sosial ekonomi. Pola pembagian kerja tradisonal ke kontra kontraktual ktual dan aspek internalisasi siri’ sebagai budaya lokal sebagai motivasi etos kerja. menyarankan perlunya dilakukan penelitan berkaitan tentang bagaimana nilai-nilai siri’ ketika kondisi nelayan tradisional kemudian beralih ke nelayan patorani modern. Apakah nilai siri’ secara internalisasi memberikan kontribusi adanya keinginan untuk meningkatkan kehidupan sosial ekonomi.
5.2.2. Saran praktis 1.
Berkaitan dengan pemberdayaan yang berkaitan aspek struktural kondisi kehidupan komunitas nelayan patorani, maka dibutuhkan adanya hubungan antara pengambil kebijakan dengan nelayan patorani untuk melestarikan karaketeristik nelayan patorani. Terkait hal itu, perlu dilakukan melalui program penguatan secara kelembagaan untuk membuka akses pemasaran terutama mencarikan hubungan investasi.
2.
Terkait kepemilikan teknologi dan permodalan sepatutnya pengambil kebijakan perlu memberikan kesempatan dan kemudahan bagi pinggawa untuk membuka akses sumberdaya permodalan terhadap lembaga-lembaga keuangan pemerintah, sehingga kedepannya tidak tergantung lagi pada papalele.
3.
Dari aspek kelembagaan nelayan patorani dengan berbagai kelemahan yang dialaminya, terutama hubungan sosial dengan papalele dan pembagian hasil yang
eksploitatif di butuhkan keterlibatan lembaga yang terkait untuk menengahi pembagian hasil yang sesuai dengan peraturan pemerintah. Hal ini dilakukan untuk
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
216
mengantisipsi adanya ketidak seimbangan antara pembagian papalele-pinggawa dan sawi.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
217
Daftar Pustaka Abdoellah, Oekan. S. 1990. Indones Indonesian ian Transmigrants Transmigrants and Adaptation: An Ecol Ec olog og ical ica l Antrop An tropolo ologica gica l Prespective. Prespec tive. Tesis Ph.D. Berekeley University of California. Pemahaman Masyarakat ----------1997. Antrop An tropol ologi ogi Ekolog Eko log i. Adaptasi Dalam Prisma No.7 JakartaTransmigran: LP3ES.
Pendekatan
Abdullah, Taufik (Ed.). 1993. Agama Agama,, Etos Eto s Kerja dan Perkemb Perkembangan angan Ekono mi. Jakarta : LP3ES. Abraham, Francis. 1991. Mod Moderni erni sa sasi si di Dunia Dun ia Ketiga Ket iga : Suatu Sua tu Teor Teo r Umu m Pembangunan. Yogyakarta: Tiara Wacana. Adimihardja,Kusnaka. 1983. Kerangka Pembangunan, Bandung: Tarsito.
Studi
Antropologi
Sosial
dalam
Minnawang:: Ikatan Patron-Kli Pat ron-Klien en di Sula wesi Selatan. Selat an. Ahimsa putra, HS. 1991. Minnawang Yogyakarta: UGM Press.
Alf iandan M.G. Tan (Ed.). 1981. Keiniskinan Struktural. Jakarta: Obor.
Aliian, 1986, Tansformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Nasional, Jakarta: UI Press. Anshar, 1996/1997. Nilai-Nila Nilai-Nilaii Budaya yang Terkandung Terkandun g Dal Dalam am Upaca Upacara ra Patorani Pato rani di Kecamatan Kecamatan Galesong Kabupaten Kabupaten Takalar. Ujungpandang Depdikbud Dirjen Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. Anwar, Soelaiman, dan Budiman.1984. Ekologi Ekosistem Sumatera, Gajah Maria University, Yogyakarta Aris, 1997. Ana Analisi lisiss Upaya Up aya Pena ngkapa ngk apan n Ikan terb ang (Cysi lu lurus rus spp) spp ) di Perairan Selat Makassar Propinsi Sulawesi Selatan. Tesis. PPS Universitas Hasanuddin, Ujungpandang. Arifin, Ansar. 1991, Patorani Sebuah Okupasi Yang Mulai Terkikis, P3MP Universitas Hasanuddin UjungPandang. Bachtiar, Wardi. 1995. Pengaruh Etos Kerja terhadap Status Sosial Ekonomi (Disertasi). Bandung: PPs-Unpad. Bellah, R.N. 1957. "Tokugaw "Tokugawa a Religion". Boston: Beacon Press.
Bennet, John W, 1982, Of time And Enterprise North American Famaly Farm Man Manag agem emen ent in A Conte ConPress. text xt of Resour Re sour ce Margina Marg ina lit y, Minneapolis, University oftMinneesota,
Berger, Peter. L. dan Thomas Lukcman. 1990, Tafsir Sosial Atas Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES. w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
218
Bertrand. Alvin L. 1980, Sosiologi, Kerangka Acuan, Metode Penelitian, TeoriTeori Tentang Sosialisasi, Kepribadian dan Kebudayaan, Surabaya: Bina Ilmu. Exchang hangee and a nd Power Powe r iin n Social Soci al Lif Life. e. Chicago: John Wiley and Blau, Peter M. 1964. Exc
Sons. Blumer, Herbert. 1972. "Symbolic Interactions", dalam J.P. Spradley (Ed.), Culture and Cognition: Rules, Maps and Plans. San Fransisco: Chandler Publ. Company. Boeke, J.H 1946. Oosterse Economic. Den Haag: N.Service. _______ . 1982. "Memperkenalkan Teori Ekonomi Ganda", dalam Sajogyo (Ed.), Bunga Rampai Perekonomian Desa. Jakarta: Obor. Boelars, Y. 1985. Kepribadian Indonesia Modern: Suatu Penelitian Antropologi Budaya, Jakarta: Gramedia. Bogdan, Robert C. and Biklen. 1982. Qualitative Research For Education: An Introduction Introd uction to Theory and Method, Boston: Allyn and Bacon Inc. BPPT-Wanhankamnas, 1996. Konvensi Hanhankamnas: Jakarta.
Benua
Maritim
Indonesia.
BPPT-
Brannen, Julia. 1997. Memad Memadu u Metode Metod e Peneliti Pene litian an Kualitat Kual itat if dan Kuantitat Kuant itatif: if: Jakarta: Pustaka Pelajar. Budhisantoso, S. 1989. Pembangunan dan Pengaruhnya pada Kegiatan Derep, Dalam Berita Antropologi No 22 Tahan VII Juli. Burger H.D. dan Prayudi. 1960. Sejarah Ekonomis dan Sosioiogis Indonesia (Jilid (J ilid .1) Jaka J akarta: rta: Pradnya Pradnya Paramita. Paramita. Chabot, H. Th. 1984. "Bontoramba: Sebuah Desa di Gowa, Sulawesi Selatan", dalam Koentjaraningrat (Ed.), Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: LPFE-UI. Cohen, Abner. 1974. Urban Ethnicity. Ne New w Yo rk: Tr avis avi s T To o ck Pub lica tio n. Cohen, L. Jonathan. 1983. Modern : S Soci ocial al Theo ry, New York: Bask, Books. Coomans, Mikhael. 1987. Manusia Dayak, Dahulu, Seka rang, dan Masa Depan, Jakarta: Gramedia. Craib, Ian. 1994. "Teori-Teori Sosial Modern dari Parsons Sampai Habermas". Jakarta: Rajawali. Creswell, J. W. 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches.
London: SagePublications. Daniel,
Lehner. 1980. Kebudayaan Gadjahmada University Press.
Masyarakat
Tradisional,
Yogyakarta:
Demmalino, EB. 1997. Transformasi Sosio-Kultural; Model Pengembangan w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
219
Masyarakat Nelayan (Studi Kasus pada Komunitas Nelayan Makassar di Dua desa Pantai Kecamatan Galesong Utara Kabup Kabupaten aten Takalar Sulawesi Selatan) Tesis, PPS Universitas Padjadjaran, Bandung.
Denzin, N.K. dan Y.S. Lincoln (Eds ). 1991. Handboo Handbookk of Qualitative Qualitat ive Research. Thousnd Oaks: Sage Publications. Dharmawan, A. 1986. Aspek-Aspek Dalam Dal am Sosiologi Industri. Jakarta: Binacipta Dove, R. Michael. 1985. Peran Kebudayaan Tradisional Indonesia dalam Modernisasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Indonesia. Durkheim. Emile. 1964. The Devision of Labor in Society. Terjemahan George Simpson New Work. The Free Press. Eder, Klaus. 1992. Contrad Contradictions ictions and Social evolution: A Theory of The Social Evolution Evolut ion and Modernity. Modernit y. dalam H. Haferkamp and N. J. Smelser (Eds), Social Change and Modernity. California: University of California Press. Eisentadt, S.N. dan L. Roniger. 1984. Patrons, Clients and Friends: Interpersonal Relat Rel ation ionss an and d the Structu Stru cture re of Trust Tru st in Socie Soc iety. ty. Canbridge: Canbridge University Press. Errington, Shelly. 1977. Sirik, Darah dan Kekuasaan Politik dalam Kerajaan Luwu Zaman Dulu. Bingkisan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Tahun I No.2., Ujung Pandang. Etzioni, Amitai. 1961. A Compara Comp arativ tivee Ana lysis ly sis of Comple Comp lexx Organ Org anizat izatio ions: ns: On Power, Involvement, and Their Correlates. New Yor k: The T he Fr Free ee Press. Pre ss. Dimensi ensi Moral: Mora l: Menuju Menu ju Ekono mi Baru B aru.. Bandung: Rosdakarya. ______ . 1992. 1992. Dim
_______ . dan E. Etzioni Etzioni (Eds.). (Eds.). 1962. Social Change. Ne New w Yor k: Bas Basic ic Boo ks. Evers, Hans-Dieter. 1997. "Globalisasi dan Kebudayaan Ekonomi Pasar", Prisma, No.5. Jakarta: LP3ES. Eyerman, Ron. 1992. Moderni Modernity ty and Social Movements. Moveme nts. dalam H. Haferkamp and N. J. J . Smelser (Eds), Social Change and Modernity. California: University of California Press. Garna K.Iudistira. S. 1984. Sosiologi Pembangunan, Bina Cipta, Jakarta. .1993. Tradisi Transformasi Modernisasi dan Tantangan masa Depan di Nusantara, Nusantar a, Bandung: Pascasarjana Unpad.
.1996, Ilmu-Ilmu Sosial Dasar dan Konsep dan Posisi, Bandung:
Pascasarjana Bandung. ______ .1996. teori-teori Perubahan Sosial, Bandung. Program Pascasarjana UNPAD.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
220
Geertz, Clifford 1963. Agricultural Involution: The Process of Ecological Change in Indonesia. California: University of California Press. . 1992. Tafsir Kebudayaan (Terjemahan). Yogyakarta: Kanisius. Giddens, Anthony. 1995. The Constitution of Society, The Outline of The Theory of Struktur Strukturation. ation. Polity Press Cambridge-UK.
_______ .1973, Social Change, Englewood Cliffs: Prentice Hall. _______.1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, Suatu Analisis KaryaKarva Marx, Durkheim dun Max Weber. Jakarta, UI Press.
Gouldner, Alvin. 1977. "The Norm of Reciprocity: A Preliminary Statement",dalam S.W. Schmidt (Ed.), Friends, Followers and Factions. Barkeley: University of California Press. Habennas, Jurgen. 1983. Modernity: An Incomplete Project, dalam H. Foster (Ed.), Postmaderri Culture. London: Pluto. Haferkamp, H. dan N.J Smelser (Eds.). 1992. Social Change and Modernity. California: California University Press. ______ . 1992. Modernity and Ascription, dalam H. Haferkamp dan N. J. Smelser (Eds.), Social Change and Modernity. California: California University Press. Hendropuspito. 1989. Sosiologi Sistematik, Yogyakarta: Kanisius. Hetne. 2001. Teori Pembangunan dan Tiga Dunia. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama. Hoogvelt, Anki M.M. 1985. Sosiologi Masyarakat Sedang Berkembang, Alih Bahasa Alimandan, Jakarta: Rajawali. Hutomo, 1985. Sumber Daya Ran Terbang, Jakarta, Proyek Studi Potensi Sumber Daya Alam Indonesia, Studi Potensi Sumber daya Hayati Ikan, Lembaga Oceanologi Nasional-LIPI. Johnson, Paul. Doyle. 1990. Teori Sosiologi Klasik dan Modern I dan II. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kaplan, Manners. 1999. Teori Budaya, Jakarta: Pustaka Pelajar Karim, Muhammad Rusli. 1994. Seluk Beluk Perubahan Sosial, Surbaya: Usaha Nasional. Kern, R.A. 1989. 1 Lagaligo: Cerita Bugis Kuno. Yogyakarta: GM-UP
ang unan an Bunga Rampai Antro Antropolog pologii Koentjaraningrat, 1982. Masalah-Masalah Pemb angun Terapan. Jakarta; LP3ES.
.1984. Metode Metode-Metode Metode Penelitia P enelitian n Masyarakat , Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
221
_____ .1990. Sejarah Teori Antropologi I dan IL Jakarta; UI Press..1993. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ______ .1997. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta; Gramedia. Laacyendecker, 1983. Tata, Perubahan, dan Ketimpangan, suatu PengantarSejurah Sosiologi. Jakarta, Gramedia. Lauer H. Robert, 1993, Prespectives on Social Change (terjemah, Alimandan S.U) Prespektif Tentang Perubahan Sosial, Rineneke Cipta, Jakarta. Legg, K. R. 1993. Tuan, Hamba dan Politisi. Jakarta- Sinar Harapan. Lenski, G. E. 1966. Power and Priviledge: A Theory or Social Stratification. New York-McGraw Hill. Naturali alistic stic Inquiry, Inqui ry, Beverley Hill: Lincoln, Y.S. and Guba E.G. 1985. Natur Publications.
Linton, Ralph. 1936. The Study of Man, New York: D. Appleto Appletopn pn CenturyCompa Centu ryCompany, ny, Inc. .1984. Antropologi, Studi Penyelidikan Tentang Manusia, Alih Bahasa: Firmansya, Bandung; Jemmars. Lipset, S. M., R. Bendix dan H.L. Zetterberg. 1994. "Social Mobillity in Industrial Society", dalam D.L. Grasky (Ed.), Social Stratification in Sociological Perspective: Class Race and Gender. Oxford: Westview Press. -
Luhn ian, Niklas. 1992. "The Direction of Evolution", dalam H. Haferkamp dan N.J. Smelser (Eds.), Socia Sociall Change and Moderni Modernity. ty. Califor California: nia: Califor California nia University Press. Narasi si Agung, Teori Sosial Sosi al Hegemoni Heg emoni k. Surabaya: Maliki, Zainuddin, 2003, Nara Lembaga Pengkajian Agama dan Tiga Masyarakat (LPAM)
Maliowski. Bromslaw. K. 1945. A Scient Sci entific ific Theory Theo ry of Culture Cul ture and oth er Essay, New York: Yor k: Oxford Oxfo rd Univers ity. Mappawata, Tatjong, 1986. Hubung Hubungan an Patron Klien Di kalangan kalanga n nela nelayan, yan, Stud Studii Kasus Desa Tamalate Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan, Jakarta; PPS Ilmu sosial dap Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Martindale, Dole. 1960. The Nature and Types of Socialogical Theory, Boston: Houhton Mifflin.
Marzuki, Laica. 1995. Siri' Bagian dan Kesadaran Hukum Rakyat Bugis Ma ka ssa r: Se bu ah Tela Te la ah Fil Fi l sa fa fatt Hu ku m. Makassar: HUP. Mattulada. 1975. Latoa Latoa:: Satu Lukisan Luki san Terhadap Terha dap Antropolo Ant ropologi gi Politik Poli tik Orang Bugi Bugiss (Disertasi). Jakarta: Universitas Indonesia. w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
222
______ 1986. 1986. "Manajemen Tradisional dalam Kalangan Usahawan Orang Bugis Makassar", dalam Mukhlis (Ed.), Dinamika Bugis-Makassar. Ujung Pandang: PLPIIS Unhas-YIIS. Maxwell, J.A.. 1996. Qualitative Research Design: An Integrative Approach. London: Sage. Masyarakat Berprestasi. Berprestasi. Jakarta: Intermedia. McClelland, D.C. 1987. Memacu Masyarakat
Miles, Mattew B. dan Hubermen, Michael. 1992. Analisa Data Kualitatif.• Buku Buku Sumber Tentang Metode Baru, Terjemahan Tjetjep Rohendy, Jakarta: UI Press. Moein M.G., Andi. 1990. Mengga li Nilai-Ni Nila i-Nilai lai Buda ya Bugi Bugis-Maka s-Makassar ssar dan Siri Siri"" na Pace. Ujung Pandang: Mapress. Metodologi logi Penelitia Pene litian n Kualitati Kuali tatif. f. Bandung, Remaja Moleong, J. Lexy. 2004. Metodo Rosdakarya.
Moore, Wilbert E. 1967. Order And Change; Essays in Comparative Sociology, New Yor k, John J ohn Wile y & So ns. ______ .1973, Social Change, Englewood Cliffs: Prentice Hall. Mukhlis (ed), 1991, Teknologi dan perubahan Sosial di Kawasan Pantai, P3MP Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang. ______ . 1990. "Perahu Bugis: Industri Kemaritiman di Sulawesi Selatan, dalam Sayogyo dan M. Tambunan (Eds.). Industrialisasi Pedesaan. Bogor: PSPIPB-ISEI. Munadah, Agussalim, 1991, Sistem Pengetahuan dan Perubahan Sosial Patorani di Takalar, P3MP Universitas Hasanuddin UjungPandang. Mustafa, Hasan. 1995. Etos kerja dalam Era Industrialisasi: Studi Kasus di Kecamatan Pasar Kemis Kabupaten Tangerang Java Barat (Disertasi).Bandung: FPS-Unpad. Nar wo ko, Dwi Dw i J. da dan n Su yanto yant o Bagon Bag ong. g. 20 04 . Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta: Prenada Mulia. Nugroh Nug roho, o, Heru Heru.. 1997. Kritik Habermas Terhadap Postmodernisme dan Relevansinya bagi Pemahaman Pembangunan, dalam UNISIA, No.32/XIUN/1997. Yogyakarta:UII. Industri. Jakarta. Parker, S.R., R.K. Brown, J. Child, M. A. Smith. 1985. Sosiologi Industri.
Bina Aksara. ______ . 1974. The Structure of Social Action. New Delhi. Amerian Ameriand d Publishing. Publishing. Parsons, Talcott. 1951. The Social System. New York: The Macmillam Company. Company. Pelly, Usman, 1975, Area dengan Perahu Bugisnya: Bugisnya: sebuah Studi Mengenai w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
223
Pewarisan Keahlian Orang Ujungpandang, PLPIIS. Pelras,
Ara
Kepada
Cristian. 1984, Hubun Hubungan gan Patron Klien Klie n Makassar,Ujungpandang, PLPIIS-YIIS.
Anak
dan
Keturunannya;
pada
Masyarakat
Bugis
Polanyi. Karl. 1957. The Great Transformation: the Political and conomic Orirgins of Our Time. New York: Beacon Beacon Paperback. Paperback. Poloma, M.M, 1992, Sosiologi Kontemporer. Kontemporer. Jakarta; Rajawali Press Ponsioen, J. A. 1969. The Analysis of Change Reconsidered, A Sociological Study Paris: Mouton &; Co. Popkin, Samuel, 1979. The Rational Peasant: The Political Economy of Rural Society in Vietnam. California University press. Purwanto, Hari. 2000. Kebuduyaan dan Antropologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Rahim,
Rahman. 1992. Pandang:Lephas.
Nilai-Nilai Nilai-Nil ai
Lingkungan
Utama
dalam
Kebudayaan
Perspektif
Bugis.
Ujung
Riggs, F. W. 1986. Administrasi di Negara-Negara Berkembang: Teori Masyarakat Prismatik, Jakarta: Rajwali. Ritzer, George, dan Goodman J. Douglas, 2004, Moder Modern n Sosio Sosiology logycal cal Theory, Theory , (terjemah, Alimandan), Frenada Media, Jakarta. J akarta. ______ ,1992, ,1992 , 1992, Sosialogi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta Rajawali Press. Memasyaraktkan Memasyaraktka Rogers, Terjemahan E. dan F. Abdillah Floyd. Schoemaker, 1987. Hanafi, Surabaya: Usaha Nasional. n Ide-Ide Baru,
Rousseau, J. 1990. Central Borneo, Ethnic Identity and Social life in Stratified society, New York: Oxfor Unive University rsity Press Press.. Dasar-Dasa Dasarr Penelit Pene litian ian Dalam Dala m Peng embangan embang an Ilmu Ilmu;; Bandung: Rusidi. 1999. DasarProgram Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Sallatang, Arifin, 1982, Pinggawa-Sawi: Suatu Studi Sosiologi Kelompok Kecil. Jakarta, Depdikbud. ______, 1997, 1997 , pembang pembangunan unan Masyarakat pantai di Sulaw Su lawesi esi Selatan. Selata n. Universi Universitas tas
Hasanuddin, Ujungpandang. Perikan an Laut (Stud (Studii Salle, Kaimuddin, 1995. Aspek Hukum Bagi Hasil Perikanan kasus Nelayan Patorani di klabupaten Dati II Takalar), Ujungpandang: PPS Universitas Universitas Hasanuddin.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
224
Sanderson, K Stephen. 1993. Sosiologi Makro, Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Real itas Sosial, Sosia l, Jakarta: Rajawali Press. Schoorl, J.W. 1991. Moderni Modernisasi, sasi, Sosiologi Sosiolo gi Pembanguna Pemban gunan n Negara-Neg Negara-Negara ara Sedang Berkembang, Jakarta: Gramedia. Scott, James C. 1976. Mora Morall Ekonomi Ekon omi Petani; Peta ni; Pengelol Peng elolaha ahan n dan Sub Subsisten sisten si di Asia Tenggara. Terjem Terjemahan ahan Hasan Basri, J akarta; LP3ES. Smelser, N. 1996. Social Structure and Mobility in Economic Development, Chicago: Aldine. Smith. I.R 1979. A Research Resea rch Framework Fram ework for Trad itional itio nal Fisherie Fishe ries. s. Manila: ICLARM. Soekanto, Soerjono .1984. Teori Sosiologi Tentang Perubahan Sosial, Jakarta: Ghalia Indonesia. Soemardjan, Selo. 1981. "Kemiskinan Struktural", dalam Alfian dan M.G. Tan (Ed.). Kemiskinan Struktural. Jakarta: Obor. Soemarwoto, Otto. 1987. Ekolog Ekologii Lingkungan Ling kungan Hidup dan Pembang Pembangunan, unan, Jakarta: Jembatan. Soewarsono dan Alvin Y. So. 1991. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta: LP-ES. Spradley. J.P. (Ed.). 1972. Culture and Cognition: Rules, Maps and Plans. San Fransisco: Chandler Publ. Company. Basics ics of Qualitati Qualitative ve Resear Research: ch: Grounded Grounded Theory Theory Strauss, A. dan J. Corbin. 1991. Bas Procedures and Techniques. London: Sage Publications.
Suwitha, I.P.G. 1991. "Teknologi, Pola Pikir dan Perubahan Sosial Masyarakat Nelayan Nel ayan Pa Panca ncana", na", dalam Mukhlis (Ed.), Teknologi dan Perubahan Sosial Di Kawasan Pantai. Ujung Pandang: P3MP-Unhas. Svalastoga,, Kaare. 1989. Difer Svalastoga Diferensias ensiasii Sosial. Sosial. Jakarta: Bina Aksara. Tiryakian, E.A. 1992. "Dialectics of Modernity: Reenchantment and Dediferent Dedife rentiation iation as Counter Counterproce processes sses", ", in H. Haferkamp and N.J. Smellser (Eds. ), Social Change and Modernity. California: University of California Press. Todaro, Michael P. 1983. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Jakarta: Ghalia.
Veeger, Karel J. 1992. Sosiologi, buku Panduan Mahasiswa, Jakarta: APTIK dan Gramedia. Wallace, Ruth dan A. Wolf. 1980. Contemporary Sociological Theory: Continuing the Classical Tradition. New Jersey: Prentice Prentice Hall Inc. w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
225
Warren. Bill. 1982. Imperialism: Pioner Pioner of Capitalis Capitalism. m. London: Verso. . 1985. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (Edisi Counterpoint). Sydney: Unwin Paperbacks. Translation (Ed. (Ed.:: W.G. Runciman). Weber, Max. 1978. Max Weber: Selections in Translation Cambridge: Cambridge University Press.
Weiner, Myron. 1994. Mod Moderni ernisas sasii Dinamika Dinamika Pertumbuhan, Yogyakarta: Universiti Gadjah Mada Press. Wuthrow, Robert. 1992. "Cultural Change and Sociological Theory", dalam H.Haferkamp and N. J. Smelser (Eds.), Social Change and Modernity. California: University of California Press. Zulkifli. 1992. "Pemborong dan Nelayan: Studi Kasus Pola Hubungan PatronKlien pada pad a Masyarak Masyarakat at Nelayan", Nelayan", dalam P. Tjiptoherijanto (Ed.). Ketenagakerjaan, Kewirausahaan dan Pembangunan Ekonomi. Jakarta: LP3ES.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
226
Kasus 1 Pelebaran Wilayah Jangakuan Pelayaran
Dg lallo (58) tahun adalah seorang papalele, sejak usia 28 tahun beliau sudah dipercayakan menjadi pinggawa. Dulunya hanya seorang sawi, dan sebagai nelayan patorani ditekuninya sejak usia 19 tahun. Ia menikah di usia 19 tahun, dan untuk menutupi kebutuhan hidup keluarganya, maka beliau ikut dengan kerabatnya menjadi sawi nelayan patorani.
Sejak menjadi sawi nelayan patorani masih menangkap induk ikan torani, dan hanya melakukan operasional di wilayah penangkapan selat Makassar meliputi kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto hingga ke pulau Selayar. Sejak tahun 1979-an beliau menjadi pinggawa perahu patorani. Waktu itu beliau masih tetap memngkap induk ikan terbang, namun sejak tahun 1985 beliau beralih ke penangkapan induk ikan torani. Sejak menangkap induk ikan torani masih mengandalkan lokasi penangkapan di areal kalukkalukuang yang berada di sekitar pulau di selat Makassar. Namun pada tahun 2000-an beliau melakukan pelebaran penangkapan hingga ke Fak-fak Papua (pulau Irian Jaya). Hingga sekarang setiap musim pattoranian Dg Lallo tetap melakukan penangkapan ke wilayah Fakfak. Akibat pelebaran wilayah penangkapan itu, maka jumlah modal yang dibutuhkan pula antara 21 juta hingga mencapai Rp 25 juta sebagai modal awal operasional.
Kasus 2 Pergeseran Pola Penangkapan kaitan komersialisasi produksi
Terjadinya pergeseran pola penangkapan dari induk ikan torani ke telur ikan torani yakni berawal dari kapitalisme yang telah mengglobal hingga ke perahu-perahu nelayan. Kehadirannya diperkirakan bermula pada awal abad ke 20, yakni sejak dimulainya komersialisasi hasil tangkapan nelayan pada masyarakat setempat. Pergeseran terjadi ketika investor (kapitalis) sudah mulai masuk dilingkungan nelayan patorani. Walaupun komersialisasi sudah bermula sejak nelayan patorani melakukan kontak dagang dengan pedagang induk ikan terbang dan jenis ikan lainnya dalam bentuk ikan asin atau ikan kering. Dalam situasi ini, peran kapitalisme dalam menentukan penangkapan pada nelayan patorani, secara spsifik sangat dipengaruhi tuntutan produkstivitas hasil yang diperoleh.
Produktivitas komunitas nelayan patorani banyak ditentukan oleh kehadiran papalele maupun investor dari luar Galesong. Di satu sisi, kehadiran investor memberikan kemudahan terhadap nelayan patorani dari segi permodalan. w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
227
Namun distribusi pendapatan mereka masih cukup timpang, karena yang memegang kendali pembagian hasil dan pemasaran hasil tangkapan adalah papalele. Ketimpangan yang di alami itu, sejak nelayan patorani mulai bergantung
sepenuhnya
pada
papalele.
Ketergantungan
terhadap
permodalan, terjadi sejak era awal tahun 1970-an, fokus penangkapan sepenuhnya sudah mengarah pada telur ikan torani. Kasus 3 Makna Erang Bagi Komunitas Nelayan Patorani
Daeng Laja (63 tahun) seorang pinggawa, beliau menjadi pinggawa sudah 32 tahun. Beliau meyakini bahwa memiliki erang terutama pinggawa patorani itu sangat penting, karena erang merupakan wadah untuk berinteraksi dengan penjaga lautan. Namun erang yang dimiliki harus diterapkan secara utuh dan konsisten; harus diyakini sepenuhnya, dengan mengikuti semua sarak dan menghindari kasipalli. Dalam sebuah perahu, semua awak, tanpa kecuali harus percaya terhadap pembuktian efek erang itu. Tidak boleh ada sebagian di antaranya yang ragu. Kenyataan yang dihadapi oleh pinggawa yang masih mempercayai dan memiliki erang, dewasa ini adalah karena sebagian sawi tidak peduli lagi dengan sarak dan kasipalli , maka menurut kepercayaan bahwa akan berdampak pada erang tidak bisa berfungsi lagi.
Erang memiliki kekuatan tersendiri bagi nelayan patorani, sebagai keyakinan yang memperkuat pertahanan terhadap bencana yang akan dihadapinya. Erang sendiri berisi tentang ilmu penegtahuan tentang kepatoranian dan ilmu tentang pelayaran.erang sebenarnya tidak berkaitan dengan ilmu gaib dan magik, akan tetapi lebih cenderung kegunaannya pada penerapan ilmu pengetahuan kepatoranian dan kepercayaan akan kemampuan bathin untuk mampu berkomunikasi dengan alam sekitarnya.
Kasus 4 Pergeseran Ritual Tradisional Ke Rasiona R asionalisasi lisasi Tindakan
Ritual berbau magik dan mistik itu, tetap dipertahankan dan merupakan bagian yang tak terpisahkan oleh komunitas nelayan patorani, karena sejak awal k keberadaa eberadaannya nnya
sebagai nelayan berinteraksi berinteraksi dengan p penjaga enjaga laut. Ritual magik dan mistik masih tetap mendapatkan legitimasi dari lingkungan sekitar sebagai nelayan. Di satu sisi ada pula nelayan yang tidak melakukan ritual yang sifatnya mistik, akan tetapi hanya h anya melakukan upacara dengan berdo’a bersama dengan pinggawa dan sawi di atas perahu. Ritual sederhana itu, dilakukan untuk memohon keselamatan dan w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
228
mendapatkan rezeki yang banyak. Kelompok ini mempercayai bahwa segala sesuatu rezeki maupun keselamatan ada di tangan sang maha pencipta (allah SWT). Sehingga nelayan patorani hingga sekarang memiliki dua legitimasi basis, antara legitimasi teknologi-modern teknologi-modern dan legitimasi rirual-magik. Adanya kelompok itu, bagi komunitas nelayan patorani tidak saling mempermasalahkan, yang pada intinya bermuara pada penghasilanlah yang menjadi titik temunya.
Kasus 5 Awal Mula Penerapan Teknologi Alat Penangkapan Berorientasi Komersialisasi Produksi
H Daeng Tawang (62 tahun) seorang pinggawa yang menekuni sebagai nelayan sejak usia 23 tahun. Perjalanan hidupnya sebagai nelayan berawal dari menangkap induk ikan hingga bergeser pada penangkapan telur kan torani. Sejak masuknya investasi dengan beriringan komersialisasi produksi, maka sistem penangkapan pun juga ikut berubah. Mulai dari jumlah awak perahu hingga pada penggunaan teknologi, wilayah penangkapan pun semakin bertambah luas operasionalnya. Sebelum masuknya eksportir hal itu, belum menjadi prioritas, karena nelayan patorani hanya menangkap induk ikan untuk dipasarkan secara lokal dalam bentuk ikan kering. Walaupun ada juga nelayan patorani yang menjangkau pemasarannya hingga ke pulau jawa, namun kapasitas jumlahnya tidak begitu banyak. Sehingga nelayan patorani pada e era ra tahun tahun 1940-an 1940-an hanya hanya mengandalkan mengandalkan
pemasaran hasil
tangkapannya yang sudah dalam bentuk ikan terbang kering dipasarkan secara lokal.
Realitas di atas, berlangsung cukup lama, namun pada era akhir tahun 1960-an atau sampai awal tahun 1970-an, investasi nelayan beralih pada penangkapan telur ikan torani. Usaha memungkinkan nelayan patorani akan meningkat karena telur ikan torani dilirik oleh eksporti. Sejak awal tahun 1970-an telur ikan terbang sudah menjadi komoditi yang dibeli oleh eksportir berasal dari negara Jepang. Investasi dan eksportir inilah mendorong munculnya sistem di dalam kepatoranian secara
struktural dan
mengikat diantara komunitas nelayan itu sendiri, sebagai salah satu unit yang terbentuk sejak masuknya investasi. investasi. Walaupun struktur yang sangat sederhana sederhana sebelum investasi masuk sudah ada, namun belum begitu menjadi hal yang mengikat sec secara ara kontraktual.
Kasus 6
Masuknya Kapitalis Sebagai Pendorong Komersialisasi Produ Produksi ksi
Kehadiran kapitalisme tidak dapat dipungkiri sebagai bagian yang tidak dapat
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
229
dilepaskan dengan setiap aktivitas usaha, sehingga kapitalisme penyebarannya semakin mengglobal hingga ke masyarakat pesisir dan nelayan. Tak terlepas pula dengan nelayan patorani yang merupakan komunitas yang sangat menjanjikan bagi kapitalis untuk menanam modalnya. Hal itu, ditanda pada awal abad ke 20-an, kapitalisme sudah mulai masuk memainkan pasar. Salah satu tuntutannya yaitu komersialisasi hasil tangkapan nelayan patorani yang mengarah pada fokus produksi. Komersialisasi bermula dari perdagangan induk ikan terbang yang di keringkan (menjadi dalam bentuk ikan asin) kemudian di kirim ke pasar lokal Sulawesi Selatan hingga dikirim ke Pulau Jawa.
Pada sektor peradagangan induk ikan terbang dalam bentuk dikeringkan mengarah pada pemusatan akumulasi kapital. Pemasarannya banyak dimainkan oleh kapitalis keturunan Tionghoa (cina) yang ada di Makassar maupun yang ada di Jawa Timur. Era itu, sudah memungkinkan munculnya kapitalis pedagang-pedagang lokal komunitas nelayan patorani itu sendiri sekaligus menjadi pedagangnya atau pedagang dari luar memasuki nelayan patorani menjadi pelaku ekonomi yang mendominasi dan mendirikan usaha dagang. Penumpukan keuntungan dilakukan dengan cara menopoli distribusi induk ikan terbang dalam bentuk sudah dikeringkan. Kondisi ini pula, menghilangkan kekuatan nelayan patorani untuk memasarkan hasil tangkapannya, karena dominasi pedagang Cina yang berdomisili di Makassar. Untuk melakukan suatu kekuatan penyeimbang dari monopoli itu, maka sebagian nelayan patorani melakukan kontak dagang dengan pelaku ekonomi yang berasal dari Jawa Timur.
IV. Kasus 7 Penggunaan Teknologi Alat Penangkapan Nelayan Patorani
Daeng Laja (51 tahun 36) profesi sebagai seorang pinggawa patorani, beliau memulai menjadi nelayan berawal dari sawi kecil (masih anak-anak) sekitar usia 15 tahun sudah ikut dengan orang tuanya menjadi sawi nelayan patorani. Waktu menjadi sawi ketika itu beliau masih menangkap induk ikan torani sebagai sasaran permintaan pasar. Teknologi yang digunakan adalah alat tangkap pakkaja sebagai perangkap terhadap induk ikan torani, begitu pula dengan perahu masih mengandalkan sombala (layar biasa). Sejak tahun 1990 beliau menjadi pinggawa
dengan perahu seorang papalele. Perahu yang di awakinya adalah perahu yang memiliki mesin dan setiap pemberangkatan membawa sawi 5-7 orang. Sasaran penngkapan adalah telur telur ikan torani
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
230
Aktivitas kenelayanan seiring perkembangan kebutuhan sosial ekonomi, maka dituntut pula mengikuti perkembangan itu. Salah satu strategi untuk berjalan beriringan maka nelayan patorani melakukan perubahan atau inovasi alat penangkapan. Awal keberadaan nelayan patorani di Galesong hanya sebagai nelayan tradisional dan sekedar pemunuhan kebutuhan hidup nelayan. Tetapi seiring dengan masuknya kapitalis baik dari daerah setempat maupun dari luar melakukan investasi untuk mengembangkan hasil tangkapan menjadi hasil yang layak jual dipasaran.
Perubahan yang mulai terasa menimbulkan dampak peningkatan sosial ekonomi, berkisar abad ke 20-an. Perubahan itu memberikan sumbangsi pengetahuan pada komunitas nelayan. Hal itu, pula bermula dari terjadinya perubahan sasaran penangkapan dan wilayah penangkapan semakin luas wilayahnya. Sejak beberapa abad lamanya, patorani berfokus bada penangkapan induk ikan terbang saja. Dan selama itu, tidak terjadi perubahan yang berarti dalam struktur tenaga kerja, sistem bagi hasil, solidaritas kelompok, dan sebagainya.
Kasus 8
Kehidupan Subsistensi Ke Arah Orientasi Ekspor
Nelayan patorani sejak keberadaannya sebagai nelayan tradisional dan aktivitas penangkapan dilakukan pada areal tertentu. Hal itu, dilakukan karena nelayan patorani hanya mengandalkan untuk mempertahankan hidup secara subsistensi. Kehidupan dengan sistem subsitensi ini, hanya menjual hasil tangkapannya pada pasar lokal dan penghasilan hanya berorintasi pada hasil akhir yang diperoleh serta kebutuhan pasar pun permintaannya sangat terbatas.
Selain itu, bahwa pada periode awal keberadaan nelayan patorani, perubahan yang terjadi sangat statis dan alami, sehingga proses adaptasi budaya juga berjalan secara harmonis. Tanpa adanya loncatan teknologi yang melampaui kemampuan pengalaman dan kebiasaan kelompok. Dengan kata lain, perubahan itu berlangsung menurut evolusi alami, yaitu terjadinya transformasi organisasi dan perubahan secara bertahap.
Perubahan yang alami itu, dalam rangka pengembangan dan penyesuaian terhadap suatu lingkungan yang stabil tanpa menghilangkan karakteristik sendiri. Seperti halnya nelayan patorani sejak keberadaannya pada abad ke-17 sebagai w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
231
nelayan yang berkrakter dengan ciri khas menagkap induk ikan terbang. Namun dari segi hal keterpaduan pada permintaan pasar, maka nelayan patorani melakukan suatu perubahan dari segi kuantitas jumlah tangkapan untuk memenuhi kuota permintaan.
Kasus 9 Hubungan Kerjasama Nelayan Patorani Tradisional Ke Industrial
Hubungan kerjasam papalele dengan pinggawa terjalin seperti mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. dipisahkan. terkait hal-hal menyangkut kebutuhan hidup keluarganya karena terkait dengan semangat mereka melaut, kalau kita tidak lakukan mereka (pinggawa sawi) sawi) bisa lari kepapalele lain yang mau memberi pinjaman untuk keperluannya. Tentang seringnya pinggawa sawi sawi meminta pertolongan kepada papalele, hal itu sudah biasa, makanya seorang papalele,
papalele , harus mampu
mengayomi pinggawa dan harus pintar melihat situasi. Kalau punggawa-sawi punggawa-sawi kesulitan keuangan karena musibah, dan atau menginginkan barang-barang tertentu berkaitan kebutuhan hidupnya maka secara ortomatis papalele sudah berkewajiban menolongnya. Bahkan kalau perlu ada dana yang diberukan secara cuma-cuma dan atau dalam bentuk pinjaman yang tidak mengikat. Karena kalau mereka minta tolong ke orang lain, nanti juga papalele yang repot untuk menggantikannya. Untuk mencukupi kondisi kebutuhan keuangan keluaraga pinggawa, maka papalele menutupi beragai kebutuhan pinggawa sebagai bentuk kerjasama tidak mencukupi ongkos pengobatan keluarganya yang tiba-tiba, atau dalam kondisi pemenuhan kebutuhan sehari-hari tidak bisa mencukupi, kita harus turun tangan membantu, karena kalau tidak demikian, maka motivasi untuk melaut para punggawa dan sawi berkurang. Imbas dari ketidak adaan motivasi dari pinggawa punggawa maka secara otomatis akan beresiko terhadap penghasilan pinggawa dan juga berkaitan pengembalia modal yang sudah dikeluarkan oleh papalele.
V. Kasus 10 Hubungan Patron Klien
Seorang pinggawa Daeng Bella mengandalkan penghasilan pada musim torani
memiliki keuangan hanya bertahan cukup (enam bulan dalam setahun) Diluar musim torani (paceklik) pendapatan mereka sangat rendah. Oleh karena itu beliau meminta bantuan dalam benttuk pinjaman kepapalele. Beliau memiliki 4 orang anak, jadi dalam sekeluarga yang membutuhkan makan adalah 6 orang. Pinjaman yang diberikan oleh papalele terhadapnya, beliau mengembalikan w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
232
dalam bentuk uang juga. Tetapi ada satu hal yang harus beliau patuhi, walaupun tidak ada daam bentuk tertulis yakni pinggawa Daeng Bella harus meberikan kepatuhan untuk mengikuti keinginan papalele pada musim berikutnya agar memeperoleh hasil yang lebih banyak, supaya utangnya bisa terbayarkan. Hubungan patron-klien pada komunitas nelayan patorani telah berlangsung sejak lama. Sebelum masuknya kapitalis dan sebelum bergesernya pola penangkapan dari induk telur ke penangkapan/pengumpulan telur ikan torani sudah terbentuk. Patron pada masa penangkapan induk ikan torani patron lebih cenderung sebagai pimpinan operasional yang di sebut ping pinggawa gawa dan klien direpresentasikan seorang pekerja (sawi). Setelah terjadinya pergeseran penerapan teknologi alat penangkapan dan masuknya unsur pasar sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sosial ekonomi nelayan patorani, maka jaringan rasional. Jaringan ini, pinggawa yang dulunya sebagai patron (pemimpin perahu) bergeser menjadi klien tetapi dengan ketergantungan yang lebih sedikit di atas sawi. Posisi pinggawa sebagai patron digantikan oleh papalele (sebagai pemilik modal). Kehadiran papalele sebagai patron lebih eksklusif di bandingkan dengan patron (pinggawa) pada masa lalu. Papalele hanya sekedar pemilik modal dan tidak ikut melakukan kegiatan penangkapan, tetapi papalele banyak mengatur pinggawa terhadap jalannya operasional.
Kasus 11 Solidaritas Sosial Kekeluargaan Ke Hubungan Kontraktual
Seorang informan berstatus sebagai papalele Dg Se’re setiap musim pattoranian meminjam unag di bank BRI cabang Takalar. Pinjaman diaambil dengan agunang tanah, rumah perahuoleh yang di milikinya. Beliauberasal dimilikinya. memiliki perahu sebanyak lima buah dandan dipegang pinggawa-pinggawa dari Gal esong Galesong sendiri. Dalam pemberian modal pada pinggawanya beliau selalu jauh dari perhitungan pengembalian modalnya dari pinggawa berbeda dengan cara perbankan. Munciulnya perbedaan ini karena resiko yang dihadapinya berbeda dilapangan. Bahkan kadangkala beliau merugi bila hasil h asil tangkapan tidak bagus suasananya. Dengan demikian dapat dipersepsikan bahwa sebenarnya mereka dalam menjalankan usahanya mengacu pada sistem perbankan tanpa mereka menyadari bahwa dipihak lain mereka mempergunakan sistem bagi hasil ha sil yang sama sekali berbeda dengan sistem perbankan. Di sinilah kelemahan sistem bagi hasil bilamana papalele mau mempermainkan hasil yang diperoleh pinggawanya, dengan menawarkan harga yang rendah sedangkan dipasaran harganya tinggi
Kasus 13 Pembagian Kerja Komunitas Nelayan Patorani
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
233
Dalam
konteks
pembagian
kerja
pada
komunitas
nelayan
patorani,
mempermanenkan pembagian kerja berdasarkan struktur, mulai yang tertinggi hingga pekerja (sawi). Pinggawa dapat diartikan sebagai pemimpin tertinggi dari sejumlah anggota kelompok yang ada dalam perahu (sawi-sawi) yang melakukan kegiatan-kegiatan tertentu, baik yang berlangsung lama, maupun jangka waktu yang singkat. Pada umumnya di kecamatan Galesong Utara dan Galesong Selatan, pinggawa daratlah (papalele) sebagai orang yang memiliki modal untuk membiayai kegiatan kerja mulai dari biaya peralatan produksi hingga pemasarannya. Papalele memberikan biaya kerja dan biaya kebutuhan kehidupan rumah tangga para pinggawa. Imbal balik dari itu, pinggawa laut (juragan) melakukan pengumpulan produksi telur ikan terbang semaksimal mungkin. Selain itu, papalele juga yang mengawasi dan menetapkan kebijaksanaan umum terhadap pinggawa laut (juragan). Sedangkan juragan memimpin langsung para sawi dalam operasi pengumpulan produksi.
Kasus 14 Hubungan tradisonal ke kontraktual
Kontrak kerja yang dimaksud, mulai dari persiapan pemberangk pemb erangkatan atan hingga kembali dari melaut menangkap/mengumpulkan menangkap/mengumpulkan telur ikan. Kemudian dipasarkan hasil produksinya, hingga pada p ada pembagian hasil. Penghitunagan berdasarkan hasil yang diperoleh diperoleh tetap dikembalikan pada pemilik modal/pinggawa darat (papalele) sebagai orang or ang yang dipercayakan membagi hasil yang diperoleh. Pemberian imbalan pada pinggawa maupun sawi di lihat dari segi se gi beban pekerjaan dan tanggung jawab jawab yang dibebankan selama melakukan aktivitas penangkapan/pengumpulan penangkapan /pengumpulan telur ikan torani. Hal seperti itu terjadi, pada akhir akhir tahun 1960-an, perubahan pembagian kerja berorientasi dengan mengedepankan tanggung jawab pekerjaan. Beban yang berat ditanggung adalah pinggawa, karena secara struktur kepatoranian pinggawa bertanggungjawab bertanggungjawa b penuh dalam mengendalikan mengendalikan perahu dan sekaligus bertanggungjawab atas keselamatan keselamatan sawi. Belum lagi pinggawa dituntut atas utang yang dibebankan oleh papalele sebelum berangkat hingga kembali dari penangkapan. Beban utang berkaitan dana yang ditipkan ditipkan untuk kehidupan keluarga yang ditinggalkan dan kebutuhan pokok selama berlayar.
Kasus 15 Makna Siri Komunitas Nelayan Patorani
Komunitas nelayan patorani memaknai siri’ sebagai rasa malu dan harga diri. Karena itu siri menurutnya adalah sesuatu yang wajib hukumnya dimiliki oleh setiap orang, sebab hanya dengan siri orang itu bisa disebut tau tau (orang) kalu ada orang yang tak punya rasa malu, menurut nelayan patorani maka pantas dikatakan orang tersebut untuk meminjam adat istiadatnya orang yang berada di luar dirinya. w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
234
Seorang pinggawa nelayan patorani, memaknai siri sebagai rasa malu dan harga diri. Siri adalah rasa malu kalau kita bertingkah laku kurang terpuji dan tak berakhlak mulia. Atau kalau kita mengerjakan sesutu yang tak pantas (tau tuna) seperti tuna) seperti ekerja sebagai peminta-minta, menjadi babu atau pembantu rumah tangga. Sedang sebagai harga diri kalau kita dipermalukan kita harus melawan atau tidak boleh berdiam diri. Tidak ada lagi gunanya hidup di dunia ini kalau kita sudah dipermalukan.
Seorang sawi memaknai siri sebagai rasa malu dan d an harga diri. Rasa malu menurutnya jika kita berkelakuakn tidak baik. Atau dapat juga terjadi bila kita tidak berhasil di dalam hidup sebagaimana layaknya orang lain. Sedang harga diri menurutnya adalah apabila kita dihina atau tidak dihargai sebagai layaknya manusia. Bila kita dihina demi harga diri (siri) kita harus berusaha memulihkan harga diri, agar kita tidak diperlakukan lagi seperti itu.
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
Informan Kelompok Papalele Sekaligus Eksportir Nama Umur Alamat
: Muhammad Daeng Gassing : 51 Tahun : Galesong Utara
Nama : H Daeng Tiar Umur : 61 tahun Alamat : Galesong Selatan Nama Umur Alamat
: H Daeng Erni : 50 tahun : Galesong Utara
Nama Umur Alamat
: Daeng Ngawin : 53 tahun : Galesong Utara
Informan Kelompok Papalele Nama : Umur Alamat
: Abdul Rahman : 60 tahun : Galesong Utara
Nama Umur Alamat
: H Daeng Tawang : 62 tahun : Galeson Galesong g Selatan
Nama Umur Alamat
: Daeng Se’re : 53 tahun : Galeson Galesong g Selatan
Nama
: Daeng Siraj Siraju u
Umur Alamat
: 48 tahun : Galesong Utara
Nama Umur Aalamat
: Muda Daeng lolo : 63 tahun : Galesong Selatan
Informan Kelompok Pinggawa Nama Umur
: M Daeng Masaju : 57 tahun
235
Alamat
: Galesong Utara
Nama Umur Alamat Nama
: Daeng Laja : 63 tahun : Galeson Galesong g Selatan : Sonda Daeng Tinggi w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
Umur Alamat
: 59 tahun : Galesong Utara
Nama Umur
: Daeng Nompo : 60 tahun
Alamat
: Galesong Utara
Nama Umur Alamat
: S Daeng Muni : 61 tahun : Galeson Galesong g Selatan
Nama Umur Alamat
: P daeng Jallo : 56 tahun : Galeson Galesong g Selatan
Nama : Tahere daeng Bell Umur : 60 tahun Alamat : Galesong Utara
Informan Kelompok Sawi Nama Umur Alamat
: Bahtiar : 45 tahun : Galesong Utara
Nama Umur Alamat
: Syamsuddin Dang Ngada : 39 tahun : Barombong Gowa
Nama Umur Alamat
: Jufri : 37 tahun : kabupaten Jeneponto
Nama Umur Alamat
: Turatea Daeng Raja : 58 tahun : Galeson Galesong g Selatan
Nama Umur Alamat
: Baharuddi Baharuddin n : 57 tahun : Galesong selatan
Nama Umur Alamat
: Daeng Tutu : 49 tahun : Bbarombong Gowa
236
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
237
I.
PEDOMAN WAWANCARA Daftar pertanyaan ini hanya merupakan point-point pertanyaan berdasarkan tema penelitian. Perinciannya dalam bentuk pertanyaan yang
diaajukan
kepada
informan
kemudian
dikembangkan
di
I. IDENTITAS INFORMAN 1. Nama Informan : ................................................. 2. Jenis Kelamin : L/P* 3. Status Perkawinan : Kawin/belum kawin* 4. Umur :..............................Tahun 5. Alamat Domisili :.............. 6. Pendidikan :formal..............non formal................ 7. Pekerjaan :...................................... 8. Anggota Keluarga :.............................orang 9. PengalamanKenelayanan :........................................Tahun 10.Status Dalam Kenelayanan a. Papalele (pemilik modal) b. Pinggawa c. Sawi d. Eksportir
*Coret yang tidak perlu II. PANDUAN PERTANYAAN WAWANCARA MENDALAM 360
PROSES TERJADINYA PERGESERAN POLA TRADISIONAL KE POLA PENANGKAPAN MODERN
PENANGKAPAN
SECARA
1. Bagaimana kondisi nelayan patorani sejak penangkapan dengan cara sederhana (tradisional) bila dibandingkan setelah mengunakan teknologi moder modern? n? 2. Pola penangkapan secara sederhana bermula sejak kapan dan bagaiman metode yang diterapkan dalam melakukan penangkapan? w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
238
3. Setiap musim penangkapan nelayan patorani memperoleh penghasilan tangkapan bila dibandingkan pada saat menggunkan alat sederhana kepenangkapan modern? 4. Apakah terjadinya pergeseran pola penangkapan diakibatkan oleh faktor eksternal atau internal? 5. faktor apa sajakah secara eksternal maupun secara internal tersebut, dan bagaimana nelayan patorani melakukanbapak adaptasi akibat pergeseran yanghasil terjadi? 6. kemampuan Apakah keterlibatan pasar menuntut untuk mengejar jumlah produksi tangkapan? 7. bagaimana kondisi pasar sejak penangkapan pergeseran penangkapan?
PERGESERAN PENERAPAN TEKOLOGI DAN POLA PENANGKAPAN DARI INDUK IKAN KE PENANGKAPAN TELUR IKAN PADA KOMUNITAS NELAYAN PATORANI
1. Apakah penerapan teknologi penangkapan memberikan hasil yang berbeda dahulu dengan sekarang (sistem manual dengan sistem teknologi)? 2. Sejak kapan nelayan n elayan patorani menerapkan teknologi penangkapan? 3. Bagaimana kondisi penangkapan setelah menerapkan teknologi apabila dibandingkan kondisi sebelum menggunkan teknologi sebagai alat bantu? 4. Secara umum penggunaan alat penangkapan dengan menggunakan teknologi modern selama melaut? (nama dan fungsi) 5. Apakah masih ada peralatan alat tangkap yang digunakan sejak dahulu hingga sekarang tanpa menggunakan teknologi? (nama dan fungsinya) 6. Peralatan tangkap apasajakah yang berubah dengan menggunakan teknologi? (nama dan fungsi)
7. Apakah dengan penerapan teknologi penangkapan dapat memberikan peningkatan penghasilan?
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
239
HUBUNGAN SOSIAL DAN INTERNALISASI NILAI SIRI’ KOMUNITAS NELAYAN PATORANI SEJAK PENERAPAN TEKNOLOGI ALAT PENANGKAPAN DAN KOMERSIALISASI PRODUKSI KE ARAH PENINGKATAN KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI
1. Bagaimana ketergantung nelayan patorani terutama hubungan antara pinggawa, papalele, dan eksportir? 2. Bagaimana gambaran hubungan kerja dan hubungan sehari-hari antara sawi dan pinggawa. Apakah pinggawa sebagai pemimpin/ yang diikuti di tempatkerja juga adalah pimpinan/yang diikuti dalam kehiduapan sehari-hari? Da1am bentuk apa perluasan hubungan kerja ke hubungan sehari-hari? 3. Bagaimana gambaran pertukaran sosial-ekonomi antara sawi dan pinggawa. Apakah selain upah kerja/bagi hasil pinggawa memberi bantuan dalam berbagai bentuk kepada sawi? Apakah bantuan tersebut lebih besar dari bantuan balasan b alasan yang diberikan sawi? 4. Bagaimana gambaran awal keterlibatan sebagai sawi, kriteria-kriteria apa yang diberlakukan pinggawa saat diterima sebagai sawi? 5. Bagaimanakah makna siri’ dihubungkan dengan pencapaian dalam kehidupan ekonomi, khususnya dalam pengembangan teknologi dan penerapan alat teknologi? 6. Bagaimana makna sir’i dihubungkan dengan status sosial diri dan keluarga dan oerintasi masa depan dan kehidupan sosial ekonomi? 7. Bagaiman implementasi makna siri berfungsi sebagai sumber motivas dan etos kerja yang mengarah pada prestasi?
III. PEDOMAN OBSERVASI
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 1. Nama Desa/ K Kelurahan elurahan :
2. Kecamatan
:
3. Lingkungan/Jen Lingkungan/Jenis is Usaha :
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
240
ASPEK-ASPEK YANG DI OBSERVASI
No
Aspek yang diobservasi
1
Keadaan ekonomi masyarakat
2
Jenis kegiata kegiatan n
3
Status dalam kegiatan
4
Produk yang dihasilkan
5
Lama kegiatan yang digeluti
6
Kondisi kegiatan
7
Alat yang digunakan
8
Perkembangan Perkembangan kegiatan
Keadaan
Keterangan
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
PETA KABUPATEN TAKALAR
241
366
w w w .hendr ndratmoko.c atmoko.com om
242
RIWAYAT HIDUP PROMOVENDUS
Promovendus lahir 1 Mei 1974 dari pasangan suami-istri Amiruddin Daeng Sila dan Irallang Daeng Te’ne, di Gantarang kabupaten Jeneponto, yang berjarak kira-kira 90 km dari Makassar ibukota Propinsi Sulawesi Selatan.
Menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar Gantarang tamat tahun 1987 dan Sekolah Menegah Pertama Kelara tamat tahun 1990. kemudian promovendus hijrah ke kota Kabupaten dan melanjutkan Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Jeneponto tamat tahun 1993.
Setelah itu promovendus bermigrasi ke kota Makassar ibukota Propinsi Sulawesi Selatan, untuk melanjutkan pendidikan di Institut Agama Islam Negeri Alauddin Makassar pada jurusan Sejarah dan Kebudayaan hingga memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) pada tahun 1997. kemudian pada tahun 2000 promovendus melanjutkan pendidikan ke Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin kajian ilmu Sosiologi dan memperoleh gelar Magister Sains (S2) pada tahun 2002. kemudian pada tahun 2003 promovendus hijrah ke pulau Jawa dan melanjutkan pendidikan pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung kajian Ilmu-Ilmu Sosial (Sosiologi dan Antropologi).
Karya publikasi promovendus antara lain Diferensiasi Sosial pada komunitas nelayan tradisional di Banten; Interaksi sosial Komunitas Nelayan antar etnik Jawa dan etnik Bugis Di Banten; partisipasi dalam bidang politik kaum perempuan nelayan di Banten; prasangka sosial masyarakat tradisional suku baduy terhadap masyarakat luar; taraf pendidikan anakanak nelayan di Banten; dan publikasi p ublikasi pada media lokal.
Pengalaman organisasi promovendus pernah aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) IAIN Alauddin Makassar, Mahasiswa Pantjasila Cabang Makassar dan Wilayah Sulawesi Selatan, DPD KNPI Kota Makassar dan DPD KNPI Sulawesi Selatan, Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia dan Forum Mahasiswa Pascasarjana Se-Indnesia dan Organisasi Keagamaan.
View more...
Comments