Dokumen RAN-PG 2015-2019_edit12April.doc

February 21, 2017 | Author: Akbar 'Kanserio' Bahar | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Dokumen RAN-PG 2015-2019_edit12April.doc...

Description

RENCANA AKSI NASIONAL PANGAN DAN GIZI TAHUN 2015-2019

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

ii

I.

KATA PENGANTAR

Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) merupakan Rencana Aksi Nasional untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia, bercirikan manusia Indonesia yang cerdas, sehat, produktif dan memiliki daya saing tinggi. Untuk mewujudkan SDM Indonesia yang berkualitas diperlukan kerjasama berbagai pemangku kepentingan baik pemerintah, legislatif, dunia usaha, masyarakat madani dan keluarga sebagai ujung tombak terdepan. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) Tahun 2015 – 2019 merupakan amanat Pasal 63 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Disamping itu pelaksanaan RAN-PG menjadi bagian penting dari pelaksanaan Pasal 141 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya mengenai upaya perbaikan gizi, Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019 dan Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. RAN-PG tahun 2015-2019 merupakan periode ke-empat (periode pertama tahun 2001-2005, kedua tahun 2006-2010, dan ketiga tahun 2011-2015). Pada periode tahun 2010-2015 pendekatan yang digunakan adalah 5 (lima) Pilar yaitu : (1) Perbaikan Gizi Masyarkat, (2) Peningkatan Aksesibilitas Pangan yang Beragam, (3) Peningkatan Pengawasan Mutu dan Keamanan Pangan, (4) Peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, dan (5) Kelembagaan. RAN-PG Tahun 2015-2019 menggunakan pendekatan multisektor yang melibatkan 20 (dua puluh) Kementerian/Lembaga dan 3 (tiga) Kementerian Koordinator. Di dalam pelaksanaannya tetap menggunakan 5 (lima) pilar yaitu pada Pilar (1) Perbaikan Gizi Masyarakat terdiri dari Kementerian/Lembaga : Kesehatan, Ketenagakerjaan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Sosial, dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN); Pilar (2) Peningkatan Aksesibilitas Pangan yang Beragam terdiri dari Kementerian/Lembaga : Pertanian, Kelautan dan Perikanan, Perindustrian, Perdagangan, Desa-Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transimigrasi, dan Kementerian Sosial; Pilar (3) Peningkatan Pengawasan Mutu dan Keamanan Pangan terdiri dari Kementerian/Lembaga, Pertanian, Kelautan dan Perikanan, Perindustrian, Perdagangan, dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan; Pilar (4) Peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat terdiri dari Kementerian/Lembaga : Kesehatan, Pendidikan dan Kebudayaan, Agama, Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Pemuda dan Olahraga, dan Komunikasi dan Informasi; Pilar (5) Kelembagaan, terdiri dari Kementerian/Lembaga : Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kemenko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kemenko bidang Perekonomian, Kemenko bidang Kemaritiman, Kementerian Dalam Negeri, Sekretariat Kabinet, dan Sekretariat Negara. Sebagai kelanjutan RAN-PG maka di daerah disusun Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi (RAD-PG) yang juga menggunakan pendekatan multisektor. Landasan hukum RAD-PG di daerah bisa dalam bentuk Peraturan Daerah atau Peraturan Gubernur di Propinsi dan Peraturan Daerah atau Peraturan Bupati/Walikota di Kabupaten/Kota. Kami menyampaikan terima kasih kepada seluruh Kementerian/Lembaga yang telah berpartisipasi dalam penyusunan RAN-PG Tahun 2015-2019 secara baik. Dokumen RANPG tahun 2015-2019 ini merupakan bagian dari pertanggungjawabkan dari Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Bappenas dalam Kegiatan Koordinasi Strategis Percepatan Perbaikan Gizi Tahun 2015. Kami menyadari dokumen ini belum sepenuhnya sempurna sehingga sekiranya ada masukan akan kami jadikan bahan untuk perbaikan selanjutnya. Semoga seluruh upaya kita ini bermanfaat untuk kesejahteraan bangsa Indonesia. Jakarta,

Desember 2015

iii

Theresia Ronny Andayani Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat

iv

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR....................................................................................................ii DAFTAR ISI............................................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR.....................................................................................................v DAFTAR SINGKATAN...............................................................................................vi GLOSSARY............................................................................................................. viii BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1 1.1

Latar Belakang..............................................................................................1

1.2

Tujuan RAN-PG............................................................................................2

BAB II PERANAN PANGAN DAN GIZI DALAM PEMBANGUNAN.............................3 2.1.

Situasi Pangan dan Gizi............................................................................3

2.2.

Analisis Kausalitas..................................................................................10

2.3.

Konsekuensi Pangan dan Gizi dalam Pembangunan..............................12

2.4.

Konteks Kebijakan...................................................................................16

2.5.

Tantangan dan Hambatan Kunci.............................................................21

BAB III RENCANA AKSI MULTI-SEKTOR................................................................25 3.1.

Faktor Determinan Pangan dan Gizi.......................................................28

3.2.

Goal, Outcome dan Logical Framework..................................................28

3.3.

Prinsip dan Pendekatan Kunci................................................................35

3.4.

Risiko dan Asumsi...................................................................................40

3.5.

Penguatan RAN-PG................................................................................42

BAB IV KERANGKA PELAKSANAAN RENCANA AKSI...........................................44 4.1.

Kerangka Kelembagaan..........................................................................44

4.2.

Manajemen Keuangan dan Pendanaan..................................................47

4.3.

Anggaran Indikatif...................................................................................47

4.4.

Strategi Pengembangan Kapasitas.........................................................47

4.5.

Strategi Advokasi dan Komunikasi..........................................................48

4.6.

Strategi Monitoring dan Evaluasi.............................................................49

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................50 LAMPIRAN............................................................................................................... 50

v

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9

Pola Konsumsi Pangan Tahun 2014 Tren terakhir PTM/Penyakit Kronis dan Kelebihan Gizi di Indonesia Indikator Outcome Perbaikan Gizi Logical Framework RAN-PG Multi Sektor 2015-2019 Penguatan RAN-PG Strategi Advokasi Dan Komunikasi Ilustrasi Hubungan antara Gizi dan SDGs Indikator Kinerja Utama/Output RAN-PG 2015-2019 Anggaran Indikatif yang Mendukung Program Perbaikan Pangan dan Gizi Tahun 2015-2019

7 16 29 29 42 48 54 58 62

vi

DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4

Produksi Pangan Utama Nasional 2004-2014 Impor Pangan Utama, 2004-2013 Perkembangan Harga Pangan Bulanan Tren Anak Balita Pendek, Kurang Gizi dan Kurus Tahun 2007-2013

4 5 7 8

Gambar 5 Gambar 6 Gambar 7 Gambar 8

dan Target RPJMN Tahun 2014 Prevalensi Balita Pendek dan Sangat Pendek (Stunting) Persentase Anak Balita Pendek Berdasarkan Provinsi Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi Estimasi Provinsi Dengan Persentase Rumah Tangga Dengan

9 9 11 11

Gambar 9

Akses Sanitasi Yang Baik Dan Prevalensi Stunting Pada Balita Dampak Jangka Pendek dan Jangka Panjang akibat Gangguan

15

Gambar 10 Gambar 11 Gambar 12

Gizi pada Masa Janin Intervensi Gizi Spesifik Pada Target 1000 HPK Kerangka Pendekatan Multi-Sektor Contoh Peran Multi-Sektor Dalam Kerangka Perbaikan Gizi

26 27 37

vii

DAFTAR SINGKATAN AEC AIDS AKG APBD APBN API APK ASEAN ASI Bansos Bappenas BB BB/U BBLR BKKBN BKP BOK BOP BPOM BPS CRF CSR DAK Desa PAMAN DFI GDP Gernas HIV HPK IBI IMD IMT ISPA IRTP IUGR/PJT KB KEK Kemen PPPA Kemen PU dan PR Kemenaker Kemendag Kemendagri Kemendikbud Kemenkes Kemenko PMK Kebudayaan

: ASEAN Economic Community : Acquired Immunodeficiency Syndrome : Angka Kecukupan Gizi : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah : Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara : Annual Parasite Rate : Angka Partisipasi Kasar : Association of Southeast Asia Nation : Air Susu Ibu : Bantuan Sosial : Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional : Berat Badan : Berat Badan terhadap Umur : Bayi Berat Lahir Rendah : Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional : Badan Ketahanan Pangan : Biaya Operasional Kesehatan : Biaya Operasional Pendidikan : Badan Pengawas Obat dan Makanan : Badan Pusat Statistik : Common Results Framework : Corporate Social Responsibility : Dana Alokasi Khusus : Desa Pangan Aman : District Food Inspector : Gross Domestic Product : Gerakan Nasional : Human Immunodeficiency Virus : Hari Pertama Kehidupan : Ikatan Bidan Indonesia : Inisiasi Menyusui Dini : Indeks Massa Tubuh : Infeksi Saluran Pernafasan Akut : Industri Rumah Tangga Pangan : Intra Uterine Growth Restriction/ Pertumbuhan Janin Terhambat : Keluarga Berencana : Kurang Energi Kronis : Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak : Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat : Kementerian Ketenagakerjaan : Kementerian Perdagangan : Kementerian Dalam Negeri : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan : Kementerian Kesehatan : Kementerian Koordinator Bid Pembangunan Manusia

&

viii

Kemenkominfo Kemenperin Kemenpora Kemensos Kementan KIE KKP MP ASI PAUD Pergizi Pangan Persagi PHLN PKH PKK PTM PPH Riskesdas RPJMN RPJPN SDGs SKPG SUN Susenas TB TB/U UNICEF WHO WUS

: Kementerian Komunikasi dan Informatika : Kementerian Perindustrian : Kementerian Pemuda dan Olahraga : Kementerian Sosial : Kementerian Pertanian : Komunikasi Informasi Edukasi : Kementerian Kelautan dan Perikanan : Makanan Pendamping Air Susu Ibu : Pendidikan Anak Usia Dini : Perhimpunan Peminat Gizi dan Pangan Indonesia : Persatuan Ahli Gizi Indonesia : Pinjaman Hibah Luar Negeri : Program Keluarga Harapan : Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga : Penyakit Tidak Menular : Pola Pangan Harapan : Riset Kesehatan Dasar : Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional : Sustainable Development Goals : Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi : Scaling Up Nutrition : Survei Sosial Ekonomi Nasional : Tinggi Badan : Tinggi Badan terhadap Umur : United Nations Children's Fund : World Health Organization : Wanita Usia Subur

ix

GLOSSARY 1000 Hari Kehidupan

Pertama :

270 hari masa kehamilan dan 730 hari pada kehidupan pertama bayi (usia 2 tahun) merupakan masa yang sangat menentukan kondisi kesehatan, produktivitas, dan kesejahteraan di masa yang akan datang. Periode ini sering disebut periode emas, dan Bank Dunia menyebutnya sebagai “window of opportunity”

AKG

:

Angka Kecukupan Gizi, sejumlah zat gizi / energi yang diperlukan oleh seseorang dalam suatu populasi untuk hidup sehat.

Anemia

:

ASI Eksklusif

:

Rendahnya kadar hemoglobin dalam darah berada di bawah normal atau standar yang telah ditetapkan (standar bervariasi ditentukan oleh usia, jenis kelamin, dan kondisi kehamilan). ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, tanpa menambahkan dan / atau mengganti dengan makanan atau minuman lain.

BBLR

:

Bayi lahir dengan berat badan rendah (kurang dari 2.500 gram).

Diversifikasi Pangan

:

Penganekaragaman pangan atau diversifikasi pangan adalah upaya peningkatan konsumsi anekaragam pangan dengan prinsip gizi seimbang.

Double Burden Malnutrition

:

Beban ganda masalah gizi, merupakan kekurangan gizi dan kelebihan gizi yang terjadi di semua siklus kehidupan.

Gizi kurang

:

Dikenal dengan istilah underweight, merupakan kegagalan untuk mencapai pertumbuhan yang optimal, diukur berdasarkan indikator BB/U (berat badan menurut umur).

Gizi Seimbang

:

Anjuran susunan makanan yang sesuai kebutuhan gizi seseorang/kelompok orang untuk hidup sehat, cerdas dan produktif, berdasarkan Prinsip Gizi Seimbang

IMT

:

Indeks Massa Tubuh, yaitu berat badan dalam kilogram dibagi dengan kuadrat dari tinggi badan dalam meter (kg/m2)

IUGR atau PJT

:

Keamanan Pangan

:

Intra Uterine Growth Restriction atau Pertumbuhan Janin Terhambat merupakan retardasi pertumbuhan janin dalam rahim yang ditandai dengan berat bayi lahir kurang dari 10 persentil dengan usia kehamilan normal (lebih dari 37 minggu). Kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia seta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya

x

Konsumsi Kalori

:

Konsumsi Pangan

:

Kurang Energi Kronis

:

Kurus

:

Overweight

:

Pangan

:

Pendek

:

Skor PPH

:

Status gizi

:

WUS

:

masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi. Jumlah energi yang dikonsumsi penduduk/seseorang dalam satuan kalori per kapita per hari Jumlah makanan dan minuman yang dimakan atau diminum penduduk/seseorang dalam satuan gram per kapita per hari. Suatu keadaan dimana jumlah energi yang dikeluarkan sama dengan jumlah energi yang dikonsumsi namun tubuh memiliki berat badan dan cadagan energi yang rendah, ditandai dengan IMT 1 s.d. ≤2 (IMT terhadap umur) pada anak dan IMT > 25 pada orang dewasa. Segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk Bahan Tambahan Pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Dikenal dengan istilah stunting, merupakan kegagalan untuk mencapai pertumbuhan yang optimal, diukur berdasarkan indikator TB/U (tinggi badan menurut umur). Susunan jumlah pangan menurut 9 (sembilan) kelompok pangan yang didasarkan pada kontribusi energi yang memenuhi kebutuhan gizi secara kuantitas, kualitas maupun keragaman dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, budaya, agama dan cita rasa. Keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan. Keseimbangan tersebut dapat dilihat dari variabel pertumbuhan, yaitu berat badan, tinggi badan/panjang badan, lingkar kepala, lingkar lengan, dan panjang tungkai Wanita Usia Subur yaitu wanita yang berada pada usia reproduktif, usia 15-49 tahun.

1

BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Pembangunan sumber daya manusia (SDM) merupakan hal mendasar yang diamanatkan oleh konstitusi dalam pembangunan nasional. Oleh karena itu, pembangunan SDM selalu menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional dari periode ke periode. Selain itu. Salah satu aspek mendasar dalam membangun SDM Indonesia berkualitas dan berdaya saing tinggi adalah pembangunan pangan dan gizi untuk meningkatkan kualitas hidup, produktivitas dan kemandirian nasional. Pembangunan pangan dan gizi merupakan rangkaian aktivitas pembangunan multisektor, mulai dari aspek produksi pangan, distribusi, keterjangkauan, konsumsi sampai pada aspek pemanfaatan yang mempengaruhi status gizi. Pembangunan pangan dan gizi pada seluruh aspek tersebut memerlukan dukungan multisektor diantaranya Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Sosial, Kementerian Agama, Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transimigrasi, Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan. Di dalam perencanaan, monitoring dan evaluasi memerlukan koordinasi dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, dan di dalam pelaksanaan memerlukan koordinasi dari Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, dan Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman, dan di dalam pelaksanaan di daerah memerlukan koordinasi dari Kementerian Dalam Negeri. Selain itu kelembagaan juga melibatkan Sekretariat Kabinet dan Sekretariat Negara. Indonesia saat ini mengalami beban gizi ganda (double burden malnutrition) yaitu masih tingginya masalah kekurangan gizi dan kelebihan gizi pada semua siklus kehidupan. Beban gizi ganda tersebut terutama berawal dari kekurangan dan kelebihan gizi pada fase awal kehidupan yang memicu berbagai konsekuensi pada usia dewasa 1. Riskesdas tahun 2013 menunjukkan tidak adanya perbaikan status gizi dari berbagai upaya yang dilakukan selama ini yang diindikasikan dengan peningkatan stunting pada anak balita dari 35,6 persen tahun 2010 menjadi 37,2 persen tahun 2013. Sementara itu gizi lebih (overweight) tidak menunjukkan perbaikan yang bermakna meskipun menurun dari 12,2 persen tahun 2010 menjadi 11,9 persen tahun 2013. Kekhawatiran terhadap perkembangan kualitas SDM yang diakibatkan oleh beban gizi ganda diawali oleh masalah gizi pada usia dini terutama pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) sejak kehamilan sampai usia anak 2 tahun. Oleh karena itu fokus perbaikan gizi ke depan diprioritaskan pada 1000 HPK tanpa meninggalkan siklus hidup lainnya. Hal ini sejalan dengan komitmen global yang menekankan pentingnya negara – negara memperhatikan masalah gizi pada periode 1000 HPK tersebut. Dalam rangka mengintegrasikan dan menyelaraskan perencanaan pangan dan gizi secara multisektor dalam skala nasional dan daerah, maka diperlukan rencana aksi pangan dan gizi di Pusat dan Daerah. Hal ini sejalan dengan pasal 63 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang mengamanatkan “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyusun Rencana Aksi Pangan dan Gizi setiap 5 (lima) Tahun”. Penyusunan Rencana Aksi Pangan dan Gizi di Pusat dan Daerah juga merupakan implementasi dari percepatan perbaikan gizi sebagaimana termaktub dalam RPJMN 2015-2019. 1

Shrimpton & Rokx. 2012. The Double Burden of Malnutrition – A Review of Global Evidence, Roger Shrimpton and Claudia Rokx, World Bank, HNP Discussion Paper, November 2012

2

I.2

Tujuan RAN-PG RAN-PG bertujuan untuk : 1. Mengintegrasikan dan menyelaraskan perencanaan pangan dan gizi nasional melalui koordinasi program dan kegiatan multisektoral; 2. Meningkatkan pemahaman, peran dan komitmen Pemangku Kepentingan Pangan dan Gizi untuk mencapai Kedaulatan Pangan serta Ketahanan Pangan dan Gizi. 3. Memberikan panduan bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan rencana aksi Pangan dan Gizi dengan menggunakan pendekatan multisektor; dan 4. Memberikan panduan bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan pemantauan dan evaluasi rencana aksi Pangan dan Gizi;

1.3.

Dasar Hukum RAN-PG a. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, khususnya Pasal 63 (ayat 3) yang menyebutkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyusun rencana aksi Pangan dan Gizi setiap 5 (lima) tahun. b. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. d. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi, e. Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. f. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019. g. Rencana Strategis Kementerian/Lembaga.

3

BAB II PERANAN PANGAN DAN GIZI DALAM PEMBANGUNAN 2.1.

Situasi Pangan dan Gizi

Situasi Pangan Situasi pangan sebagai indikasi posisi ketahanan pangan nasional dapat diperlihatkan melalui empat indikator utama, yaitu produksi dan impor untuk menggambarkan situasi ketersediaan, harga pangan sebagai indikasi kondisi distribusi dan juga akses masyarakat terhadap pangan yang aman, serta tingkat konsumsi pangan aman yang menunjukkan tingkat pemanfaatan pangan oleh masyarakat. Keempat indikator tersebut sangat penting dan mempunyai keterkaitan di dalam menganalisa situsi pangan, sehingga tidak dapat hanya merujuk kepada satu indikator untuk menyimpulkan kondisi ketahanan pangan, baik secara nasional maupun daerah. Sebagai contoh, tingginya produksi pangan di suatu daerah tidak serta merta dapat menunjukkan bahwa daerah tersebut telah tahan pangan, karena indikator lain seperti harga dan tingkat konsumsi juga harus diperhitungkan. Demikian juga untuk daerah yang bukan sentra produksi, sangat memungkinkan daerah tersebut tahan pangan karena didukung dengan kelancaran perdagangan antar daerah, harga pangan yang stabil, penduduk dapat mengkonsumsi pangan beragam dan bergizi. Meskipun demikian, potensi “kerentanan” juga sangat tinggi karena daerah tersebut sangat tergantung dengan pasokan pangan dari daerah sentra produksi. Di sisi lain, tingginya produksi atau ketersediaan pangan disuatu daerah, jika tidak memperhatikan faktor keamanan pangan, akan banyak menimbulkan masalah kesehatan, bahkan dapat mempengaruhi status gizi masyarakat.

a. Ketersediaan bahan pangan Ketersediaan pangan. Produksi pangan utama nasional dalam sepuluh tahun terakhir secara umum menunjukkan trend yang meningkat, yang dapat dilihat dari produksi padi/beras, jagung, daging, dan gula, sementara kedelai masih berfluktuasi (Gambar 1). Meskipun demikian, pertumbuhan produksi pangan utama tersebut secara rata-rata tahunannya pada periode tahun 2004-2014 masih berada di atas 2 (dua) persen. Bahkan untuk padi mampu tumbuh rata-rata pertahunnya mencapai 3,05 persen dan jagung, lebih tinggi, 7,04 persen. Kedelai tercatat tumbuh 2,74 persen, daging sapi 2,21 persen, dan gula 2,43 persen. Pertumbuhan positif tersebut setidaknya menunjukkan keberhasilan kinerja produksi pangan nasional ditengah-tengah ancaman dampak negatif perubahan iklim dan juga tantangan semakin terbatasnya lahan pertanian, khususnya sawah. Terlebih dengan positifnya rata-rata pertumbuhan produksi padi dan kedelai dalam sepuluh tahun terakhir secara bersamaan, menunjukkan upaya diversifikasi produksi, mengingat bagi petani kedua komoditas tersebut lazimnya bersifat substitusi. Apabila padi meningkat, maka kecenderungannya kedelai turun, dan sebaliknya. Hal ini bisa ditunjukkan pada tahun 20122014 dimana pertumbuhan kedua komoditas tersebut berbanding terbalik. Adapun faktor utama yang dapat menjadi pendorong sifat substitusi kedua komoditas tersebut adalah harga pasar, sehingga ketika harga beras lebih menarik bagi petani maka kecenderungan yang terjadi adalah meningkatnya produksi padi/beras, demikian juga sebaliknya. Untuk itu, Pemerintah sangat mempertimbangkan sifat hubungan kedua komoditas ketika melakukan intervensi kebijakan peningkatan produksi pangan untuk keduanya. Terlepas dari peningkatan produksi pangan dalam sepuluh tahun terakhir, tampak dari keragaan yang ada, fluktuasi produksi ternyata perlu diperhatikan. Ketidakstabilan produksi menunjukkan setidaknya tidak ada jaminan bahwa produksi dapat dengan mudah untuk terus ditingkatkan dalam tahun-tahun ke depan. Bahkan diperkirakan tantangan peningkatan produksi akan semakin meningkat dengan kondisi iklim yang “sulit” diperkirakan, lahan produktif yang semakin terkonversi, dan menurunnya minat tenaga kerja maupun perhatian pengambil kebijakan terhadap sektor pertanian pangan. Untuk itu, upaya peningkatan produksi pangan, baik dalam sepuluh tahun terakhir maupun ke depan, akan difokuskan

4

kepada intensifikasi melalui peningkatan produktivitas tanaman dan ekstensifikasi melalui perluasan lahan pertanian pangan. Dalam upaya tersebut di atas, selain tentunya sektor teknis yang membidangi peningkatan produksi, bagian penelitian dan pengembangan (litbang) bermain sebagai faktor penting dalam mendukung terciptanya benih unggul adaptif terhadap kondisi iklim dan terlaksananya Good Agricultural Practicies (GAP). Demikian pula dengan perluasan lahan, litbang akan berfungsi dalam mengidentifikasi kesesuaian lahan dan juga langkah-langkah peningkatan produktivitas/kesuburan lahan tersebut. Bagian lain yang menjadi pendorong peningkatan produksi pangan dalam sepuluh tahun terakhir adalah penyuluhan pertanian dalam rangka diseminasi hasil litbang dan program pemerintah lainnya. Adanya kebijakan “satu desa satu penyuluh”, meskipun belum sepenuhnya terlaksana, setidaknya mampu berperan dalam menggerakkan petani untuk dapat terus berproduksi secara tepat. Sebaliknya, dengan keberadaan penyuluh di lapangan menjadikan Pemerintah dapat dengan mudah dan cepat mendapatkan informasi kekinian di dalam pelaksanaan kebijakan peningkatan produksi pangan di lapangan. Gambar 1. Produksi Pangan Utama Nasional 2004-2014

Sumber : BPS dan Kementerian Pertanian diolah Bappenas Kondisi ketersediaan pangan selanjutnya dapat terlihat dari keragaan impor pangan secara nasional. Dalam sepuluh tahun terakhir (2004-2013) impor pangan utama menunjukkan fluktuasi, yang setidaknya dapat menggambarkan tentang kebijakan impor yang sangat situasional. Keberadaan impor dianggap sebagai langkah terakhir ketika produksi pangan dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi. Di dalam Gambar 2 terlihat bahwa impor beras tertinggi terjadi pada tahun 2011 yang mencapai 2,75 juta ton dan selanjutnya pada tahun 2012 yang mencapai 1,78 juta ton. Besarnya impor beras pada tahun tersebut tidak terlepas dari menurunnya produksi padi/beras nasional pada tahun 2011 serta merupakan langkah pengaman yang diambil Pemerintah untuk menjaga stabilitas pasokan beras bagi masyarakat. Kebijakan impor beras selain diarahkan untuk beras jenis medium yang dikonsumsi masyarakat secara umum, juga diarahkan untuk beras jenis khusus yang diperuntukkan untuk kebutuhan terbatas, seperti restoran (beras japonica) dan alasan kesehatan (beras basmati). Meskipun demikian, seperti telah disampaikan sebelumnya, langkah untuk meminimalkan impor terus dilakukan dengan upaya memproduksi jenis beras tertentu sebagai substitusi beras impor tersebut.

5

Gambar 2. Impor Pangan Utama, 2004-2013

Sumber : BPS dan Kementerian Pertanian diolah Bappenas Untuk komoditas pangan lainnya, impor jagung masih dilakukan, khususnya untuk memenuhi kebutuhan pabrik pakan yang belum dapat sepenuhnya mampu dicukupi dari kebutuhan dalam negeri. Meskipun secara kuantitatif total produksi nasional, jagung dalam negeri diperkirakan dapat memenuhi seluruh kebutuhan dalam negeri, namun dengan karakteristik produksi yang masih scatter dan relatif kecil menyebabkan kesulitan pabrik pakan untuk mendapatkan pasokan jagung secara cukup dan kontinu dari petani. Kondisi inilah yang menyebabkan impor jagung nasional masih cukup tinggi, terutama pada tahun 2011 yang menembus 3 juta ton. Kondisi yang relatif sama dengan impor jagung adalah impor gula yang sebenarnya lebih merupakan gula rafinasi sebagai bahan baku pembuatan gula konsumsi. Pabrik gula di dalam negeri cenderung mengimpor gula rafinasi mengingat kemudahan prosesnya, dibandingkan harus menyerap tebu dari petani. Impor gula dalam sepuluh tahun terakhir selalu berada di atas 1 juta ton, bahkan pada tahun 2007 dan 2012 telah mencapai 3 juta ton. Untuk mengantisipasi kondisi yang lebih buruk (impor gula yang semakin tinggi), Pemerintah telah mendorong pabrik gula agar mempunyai perkebunan tebu sendiri atau setidaknya dapat menyerap tebu petani. Dengan demikian, industri gula diharapkan dapat memberikan multiplier effect bagi peningkatan sektor industri dan sekaligus sektor pertanian dalam negeri. Sementara untuk impor kedelai masih didominasi untuk memenuhi kebutuhan pabrik tahu-tempe di dalam negeri. Dengan total impor berkisar 1-2 juta ton setiap tahunnya, jumlah tersebut telah melebihi total produksi kedelai tahunan dalam negeri yang masih di bawah 1 juta ton. Dengan alasan yang relatif sama dengan impor jagung, pabrik tahu-tempe lebih memilih membeli kedelai impor dikarenakan pasokan yang lebih mencukupi dan jaminan keberlanjutan. Hal tersebut sulit dipenuhi dari kedelai dalam negeri mengingat, seperti telah dijelaskan pada bagian produksi pangan utama, produksi petani yang tidak stabil dan scatter dalam jumlah yang relatif kecil. Kondisi yang sedikit berbeda ditunjukkan dengan impor daging sapi. Meskipun setiap tahun terus dilakukan impor, namun dengan jumlah yang relatif lebih kecil dibandingkan produksi dalam negeri setidaknya terbuka peluang untuk terus menurunkan impor daging sapi. Namun demikian, tantangan peningkatan produksi daging sapi dalam negeri masih menghadapi kendala terutama dengan keberlanjutan produksi pada tahun-tahun ke depan. Hal ini tidak terlepas dari kondisi di lapangan, dimana peningkatan produksi daging sapi ternyata mendorong peternak untuk memotong sapi betina produktif yang sebenarnya diharapkan dapat meningkatkan populasi sapi ke depan. Selain itu, kepemilikan peternak yang skala kecil menyebabkan upaya peningkatan populasi sapi tidak berdampak signifikan. Untuk mengurangi tantangan tersebut, maka langkah Pemerintah yang sedang dan akan dilakukan adalah dengan melindungi sapi betina produktif serta membuka peternakan sapi

6

dengan skala besar sehingga diharapkan dapat menjamin pasokan sapi dan selanjutnya daging sapi ke depan.

b. Distribusi dan Harga Pangan Distribusi pangan berfungsi penting untuk menyalurkan bahan pangan secara adil dan efisien kepada konsumen pangan atau masyarakat. Aspek distribusi pangan dituntut untuk menjawab tantangan atas kesenjangan produksi dan konsumsi antar daerah dan antar waktu. Perwujudan fungsi distribusi ini masih perlu terus ditingkatkan mengingat masih adanya defisit bahan pangan di suatu daerah sedangkan surplus bahan pangan di daerah lain. Pembangunan sistem dan infrastruktur transportasi dan logistik yang mendukung distribusi pangan masih menjadi isu penting dalam aspek ini. Selain itu, terjadinya gejolak harga bahan pangan masih terus menjadi tantangan berat dari logistik bahan pangan. Selain kendala transportasi, faktor sosial budaya juga berperan penting pada terjadinya gejolak harga bahan pangan. Dari tahun ke tahun, lonjakan permintaan dan harga bahan pangan pada hari-hari besar nasional dan keagamaan masih terjadi. Lonjakan permintaan dan harga pangan yang tinggi membuka peluang bagi produsen pangan yang tidak bertanggung jawab untuk menyuplai pagan yang tidak aman ke pasaran Efisiensi kelembagaan distribusi dan logistik pangan juga perlu terus mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Insiden penimbunan bahan pangan dan permainan spekulan memperparah isu distribusi pangan. Harga pangan utama pada lima tahun terakhir (2010-2014) relatif stabil, kecuali untuk daging sapi sebagaimana terlihat dalam Gambar 3. Harga tiga komoditas pangan, yaitu beras, gula pasir, dan kedelai, masih berkisar Rp. 10 ribu sehingga fluktuasi harga tidak terlihat. Hal ini sangat berbeda dengan perkembangan harga daging sapi yang terus melonjak dari kisaran Rp. 60 ribu pada awal tahun 2010 menjadi lebih dari Rp. 100 ribu pada tahun 2014. Situasi ini tentunya menjadi fokus Pemerintah, mengingat keragaman produksi daging sapi dalam negeri yang jauh melebihi impor ternyata tidak menjamin stabilitas harga di pasar dalam negeri. Dalam hal ini, tentunya dapat dipahami bahwa dengan skala kecil ternyata posisi peternak dalam negeri tidak terlalu kuat untuk mempengaruhi harga daging di pasar. Terlebih dengan adanya keberadaan Rumah Potong Hewan yang menjadikan peternak tidak langsung bersinggungan dengan pasar daging, menyebabkan sangat kecil korelasi antara pengaruh peternak dengan harga daging sapi. Meskipun demikian, tingginya harga daging sapi dapat menjadi ancaman bagi keberlanjutan sapi betina produktif seperti diuraikan pada bagian sebelumnya. Dalam kondisi tersebut, peternak terdorong untuk memotong sapi betina produktifnya mengingat insentif harga yang cukup besar. Analisa situasi harga pangan dalam negeri juga menunjukkan bahwa kondisi harga pangan sangat dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu pertama adalah ketersediaan pasokan pangan, dimana pada saat panen raya kecenderungan harga menurun dan sebaliknya ketika terjadi kekurangan pasokan mengakibatkan harga cenderung meningkat. Adapun faktor kedua adalah kondisi psikologi pasar, dimana stabilitas harga pangan menjadi “terganggu” ketika adanya kekhawatiran pedagang akan menurunnya pasokan maupun tindakan “ambil untung” yang dilakukan pedagang. Hal ini biasanya terjadi ketika perayaan hari besar keagamaan dimana harga pangan cenderung meningkat.

7

Gambar 3. Perkembangan Harga Pangan Bulanan, 2010-2014

Sumber : BPS, Kemendag, Kemenko Perekonomian, diolah Bappenas Dari sisi pemerintah, sistem logistik pangan dilakukan melalui cadangan pangan yang disediakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Kemampuan pemerintah untuk menjaga cadangan beras pemerintah menjadi intervensi langsung pemerintah dalam upaya stabilisasi harga pangan. c.

Konsumsi Pangan Sebagai indikator terakhir dari situasi pangan nasional adalah keragaan konsumsi pangan penduduk sebagai gambaran bagaimana pangan yang tersedia dapat diakses dan dimanfaatkan oleh penduduk. Dalam sepuluh tahun terakhir pengeluaran untuk bahan makanan penduduk masih sekitar 50 persen, dimana pada satu sisi dapat menjelaskan bahwa secara nilai konsumsi pangan sangat penting bagi penduduk. Pada tahun 2014, pengeluaran rata-rata per kapita dalam sebulan untuk bahan makanan mencapai 46,45 persen dengan proporsi pengeluaran untuk kelompok makanan bersumber padi-padian sebesar 6,83 persen dan makanan jadi 12,56 persen. Dari keragaan tersebut terlihat bahwa terjadi perubahan pola konsumsi dari sisi habit, yaitu meningkatnya konsumsi bahan makanan jadi. Sementara dari sisi jenis pangan, konsumsi penduduk masih didominasi dengan jenis pangan bersumber padi-padian, meskipun kecenderungannya terus menurun dalam sepuluh tahun terakhir. Adapun konsumsi pangan bersumber ikan dan daging masih relatif rendah, yaitu masing-masing 3,94 persen dan 1,93 persen. Tabel 1. Pola Konsumsi Pangan Tahun 2014 2014 Proporsi Total Kelompok Pangan (Perhitungan Energi Sementara) 1170 59,48 Padi-padian 38 1,93 Umbi-umbian 183 9,30 Pangan hewani 244 12,40 Minyak dan lemak 38 1,93 Buah/biji berminyak 57 2,90 Kacang-kacangan 91 4,63 Gula 110 5,59 Sayur dan buah 36 1,83 Lain-lain 1967 100,00 Total Energi 55,9 Total Protein 81,8 SKOR PPH Sumber: Kementerian Pertanian Keragaan pengeluaran konsumsi rata-rata perkapita tersebut selanjutnya dapat dikaitkan dengan analisa kondisi konsumsi pangan sumber energi. Adapun konsumsi pangan bersumber padi-padian diperkirakan masih mencapai 59,48 persen dari total

8

konsumsi energi penduduk pada tahun 2014 sebagaimana diuraikan dalam Tabel 1. Hal ini tidak terlepas dari kondisi dimana beras masih mendominasi konsumsi pangan masyarakat sebagai sumber karbohidrat. Seperti terlihat dari proporsi konsumsi pangan bersumber umbi-umbian yang hanya sebesar 1,93 persen. Kondisi yang lebih baik ditunjukkan dengan keragaan konsumsi pangan bersumber pangan hewani dan dan bersumber sayur-buah yang masing-masing dapat mencapai 9,30 persen dan 5,59 persen. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam konsumsi pangan adalah konsumsi pangan yang tidak aman akan berdampak buruk bagi kesehatan masyarakat, termasuk dapat menyebabkan gangguan gizi kronis yang berlangsung lama atau kegagalan pertumbuhan jangka panjang yang bersifat irreversible bagi individu dan masyarakat. Situasi Gizi Dalam RPJMN tahun 2010-2014 telah ditetapkan sasaran yang akan dicapai untuk indikator gizi adalah prevalensi balita gizi kurang (underweight) berdasarkan berat badan terhadap umur (BB/U) sekurang-kurangnya 15 persen dan prevalensi balita pendek (stunting) yang dilihat dari indikator tinggi badan menurut umur (TB/U) sebesar 32 persen (RPJMN 2010-2014). Namun hasil survei Riskesdas pada tahun 2013 memperlihatkan tren yang kurang menggembirakan. Gambar 4 memperlihatkan tren prevalensi balita gizi kurang dan gizi buruk (BB/U) berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2007, 2010, dan 2013. Pada gambar terlihat sempat terjadi sedikit penurunan prevalensi balita gizi kurang pada tahun 2010, namun pada tahun 2013 terjadi peningkatan menjadi 19,6 persen. Prevalensi balita gizi kurang pada tahun 2013 tersebut semakin jauh dari target RPJMN yang harus dicapai pada tahun 2014, yaitu 15 persen. Dengan demikian, penanganan gizi kurang pada balita masih harus terus diupayakan untuk mencapai target RPJMN tahun 2019 yaitu 17 persen. Gambar 4. Tren Anak Balita Pendek, Kurang Gizi, dan Kurus Tahun 2007-2013 dan Target RPJMN Tahun 2014

Sumber: Bappenas, Health Sector Review. 2014 Gizi kurang (underweight) pada anak saat ini tidak lagi menjadi indikator gizi yang paling sesuai pada tingkat populasi, dan digantikan oleh stunting pada usia di bawah dua tahun. Stunting terjadi akibat dari kekurangan gizi kronis yang telah berlangsung lama atau kegagalan pertumbuhan pada masa lalu yang memiliki dampak jangka panjang yang bersifat irreversible bagi individu dan masyarakat, diantaranya penurunan kemampuan kognitif, menghambat pertumbuhan, menurunkan produktivitas dan kualitas kesehatan serta meningkatkan risiko menderita penyakit degeneratif pada usia dewasa (UNICEF, 2013)2. Melihat hasil survei Riskesdas tahun 2013, hampir dapat dipastikan target RPJMN tahun 2014 untuk mengurangi prevalensi balita pendek menjadi 32 persen tidak tercapai. Hasil survei Riskesdas terakhir memperlihatkan peningkatan prevalensi stunting sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 5. Prevalensi anak balita pendek secara nasional di tahun 2013 adalah 37,2 persen, artinya terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010 (35,6 persen) dan 2007 (36,8 persen). 2

Victora CG, Adair L, Fall C, Hallal PC, Martorell R, Richter L, et al. Maternal and child undernutrition: consequences for adult health and human capital. Lancet. 2008;371:340-57.

9

Prevalensi balita pendek sebesar 37,2 persen terdiri dari 18,0 persen sangat pendek dan 19,2 persen pendek. Prevalensi balita sangat pendek mencapai setengah dari prevalensi balita yang tergolong stunting. Untuk usia bayi di bawah dua tahun (baduta) diketahui terdapat 32,9 persen yang mengalami stunting.Hasil tersebut memperlihatkan bahwa Indonesia masih harus bekerja keras untuk mencapai target penurunan prevalensi baduta stunting yang ditargetkan pada RPJMN 2015-2019, yaitu sebesar 28 persen. Gambar 5. Prevalensi Balita Pendek dan Sangat Pendek (stunting)

Sumber: Riset Kesehatan Dasar, 2007, 2010, dan 2013 Pada tingkat nasional terlihat angka balita gizi kurang, kurus, dan pendek masih tinggi, namun jika dilihat lebih rinci berdasarkan provinsi, ditemukan bahwa terdapat 20 provinsi dengan angka balita pendek yang berada di atas 37,2 persen. Jika mengacu pada kategorisasi permasalahan stunting yang ditetapkan WHO, sejumlah 14 provinsi termasuk dalam kategori berat, yaitu prevalensinya sebesar 30-39 persen dan 15 provinsi termasuk dalam kategori serius, yaitu prevalensinya ≥40 persen (Riskesdas, 2013). Gambar 6. Persentase Anak Balita Pendek Berdasarkan Provinsi

37,2

36,8

Kep.Riau DIY DKI Kaltim Babel Bali Banten Sulut Jabar Jatim Sumsel Jateng Riau Indonesia Jambi Kalbar Gorontalo Sumbar Bengkulu Papua Maluku Sulsel Malut Sulteng Kalteng Aceh Sumut Sultra Lampung Kalsel Pabar NTB Sulbar NTT

70,0 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,

Keterangan

= 2007;

= 2010; dan

= 2013

Sumber: Riskesdas 2007, 2010, 2013 Diketahui pada tahun 2013 sejumlah 21,7 persen wanita usia subur di Indonesia menderita anemia dan terjadi peningkatan persentase ibu hamil yang menderita anemia sejak tahun 2007, yaitu 24,5 persen menjadi 37,1 persen pada tahun 2013 (Riskesdas). Bukan hanya anemia, status gizi wanita usia subur, yang diketahui melalui indeks massa tubuh (IMT) atau lingkar lengan atas (LiLA), juga memprihatinkan. Data Riskesdas menunjukkan 14 persen wanita usia subur menderita kurang energi kronis (KEK). Apabila sebagian besar wanita usia subur ini memasuki usia kehamilan dengan kondisi anemia dan KEK maka janinnya akan mengalami hambatan pertumbuhan. Tingginya prevalensi anemia pada ibu hamil dapat menjadi faktor penyebab rendahnya penurunan angka kematian bayi, sebuah studi menyebutkan 20 persen kematian

10

neonatal di Indonesia disebabkan oleh kekurangan suplementasi zat besi dan folat selama dalam kandungan (Riskesdas, 2013). Kondisi ini diperburuk dengan cakupan ASI eksklusif yang masih jauh dari target yang ditetapkan yaitu sebesar 38 persen dari 80 persen yang ditargetkan. Padahal ASI eksklusif merupakan makanan terbaik bagi bayi untuk mencegah terjadinya dampak yang lebih buruk pada masa yang akan datang. Kondisi beban gizi ganda yang selama ini dikhawatirkan terlihat semakin nyata. Selain kasus stunting yang meningkat, adanya potensi stunting berdasarkan kasus BBLR dan rendahnya status gizi wanita usia subur dan ibu hamil, terdapat kecenderungan peningkatan kasus obesitas dan berat badan lebih yang tinggi pada usia dewasa (>18 tahun). Riskesdas tahun 2007 dan 2013 menunjukkan terjadi peningkatan persentase obesitas pada wanita dan laki-laki. Pada tahun 2007 terdapat 14,8 persen wanita mengalami obesitas dan angka ini meningkat menjadi 32,9 persen pada tahun 2013. Pada laki-laki dewasa, kasus obesitas meningkat dari 13,9 persen pada tahun 2007 menjadi 19,7 persen pada tahun 2013. Begitupun dengan kasus obesitas sentral yang meningkat dari 18,8 persen (Riskesdas, 2007) menjadi 26,6 persen (Riskesdas, 2013). Adanya beban gizi ganda dapat meningkatkan risiko kesehatan, menurunkan produktivitas, dan berdampak pada kapasitas pendidikan serta kesejahteraan ekonomi. Dengan demikian diperlukan adanya upaya yang berfokus pada upaya preventif dengam memperbaiki status gizi wanita usia subur dan mengupayakan perbaikan gizi terutama pada 1000 HPK dalam menghadapi permasalahan tersebut. 2.2.

Analisis Kausalitas Gambar 7 mengilustrasikan konsep terjadinya masalah gizi secara umum, dengan penekanan pada balita. Kerangka tersebut memperlihatkan jalur terjadinya suatu keadaan salah gizi/malnutrition. Dua faktor langsung yang mempengaruhi status gizi adalah kecukupan konsumsi dan status kesehatan/kejadian infeksi. Keduanya saling mempengaruhi dan berinteraksi, yaitu pada anak yang kekurangan gizi maka daya tahannya akan turun sehingga akan mudah menderita penyakit infeksi, selanjutnya jatuh pada kondisi malnutrition, sebaliknya seorang anak yang menderita penyakit infeksi akan mengalami kekurangan asupan karena nafsu makan yang rendah dan meningkatnya kebutuhan zat gizi akibat penyakit pada keadaan malnutrition. Tidak adekuatnya asupan makanan dan terjadinya penyakit infeksi sangat dipengaruhi oleh pola asuh yang diberikan ibu atau pengasuh anak. Pola asuh ibu atau pengasuh sangat dipengaruhi oleh pendidikan ibu karena menentukan pemahaman ibu terhadap pola asuh anak yang baik. Dengan demikian ada faktor-faktor lain diluar faktor kesehatan yang berpengaruh terhadap kedua faktor penyebab langsung salah gizi, yang dikategorikan sebagai faktor penyebab tidak langsung dan faktor dasar. Faktor penyebab tidak langsung yang mempengaruhi status gizi, adalah: 1) Ketahanan pangan keluarga yang menentukan kecukupan konsumsi setiap anggota keluarga; 2) pola asuh yang menentukan kecukupan zat gizi yang antara lain terdiri dari pemberian ASI eksklusif pada anak 0-6 bulan, pemberian makanan pendamping ASI pada anak 6 bulan-2 tahun, dan penyiapan makanan secara higienis; serta 3) pemanfaatan pelayanan kesehatan saat sakit dan akses terhadap lingkungan yang bersih. Kecukupan konsumsi dipengaruhi oleh ketahanan pangan di tingkat keluarga dan pola asuh, sementara itu penyakit infeksi dipengaruhi oleh pelayanan kesehatan seperti imunisasi, kualitas lingkungan hidup, ketersediaan air bersih, sanitasi, dan perilaku hidup bersih dan sehat. Sementara itu, faktor yang mendasari faktor langsung dipengaruhi oleh akar masalah, adalah pendidikan, kelembagaan, politik dan ideologi, kebijakan ekonomi, sumber daya lingkungan, teknologi, dan penduduk (UNICEF, 1991). Gambar 7. Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi

11

Sumber: Unicef, 1990 Di Indonesia sanitasi yang buruk merupakan isu penting yang berhubungan dengan meningkatnya risiko penyakit infeksi yang dapat mengakibatkan stunting. Hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan terdapat 12,9 persen rumah tangga yang tidak memiliki fasilitas buang air besar (BAB) dan melakukan BAB sembarangan dan perilaku ini berhubungan erat dengan indeks kepemilikan, semakin rendah kuintil indeks kepemilikan proporsi rumah tangga yang melakukan BAB sembarangan lebih tinggi (Riskesdas 2007). Spears3 melakukan perhitungan bahwa BAB di tempat terbuka dapat menjelaskan hingga 54 persen variasi tinggi badan anak. Pentingnya mencuci tangan dan perilaku BAB yang benar merupakan bagian dari praktik pola asuh yang baik yang juga penting. Analisis lebih lanjut terhadap data Riskesdas disajikan dalam dokumen background study health sector review (tahun 2014) yang menunjukkan adanya hubungan antara sanitasi yang buruk dengan stunting (Gambar 8). Terdapat kecenderungan bahwa provinsi yang memiliki proporsi rumah tangga dengan akses sanitasi yang lebih baik memiliki persentase stunting yang lebih rendah (R2=66 persen). Gambar 8. Estimasi Provinsi dengan Persentase Rumah Tangga dengan Akses Sanitasi yang Baik dan Prevalensi Stunting pada Balita

Sumber: Bappenas, Nutrition Background Study,Health Sector Review, 2014 Penyakit infeksi sebagai salah satu faktor penyebab tidak langsung yang mempengaruhi status gizi dan dapat mengakibatkan stunting, juga bisa disebabkan oleh pangan yang tidak aman karena adanya cemaran dari bakteri atau zat pencemar lainnya terhadap pangan. Keamanan pangan merupakan syarat penting yang harus melekat pada pangan yang hendak dikonsumsi oleh semua masyarakat Indonesia. Walaupun pangan itu menarik, nikmat, dan tinggi gizinya, jika tidak aman dikonsumsi, praktis tidak ada nilainya sama sekali. Ada saling ketergantungan antara gizi dan keamanan pangan. Pangan yang tidak aman kalau dipaksakan dikonsumsi akan menimbulkan gangguan kesehatan dan bisaberakibat lebih jauh pada kematian. Salah satu contohnya adalah diare terus-menerus karena mengkonsumsi pangan yang tidak aman, sehingga menyebabkan gangguan 3

Spears D. 2013. How much international variation in child height can sanitation explain? Water and Sanitation Policy Research Working Paper No 6351. Washington: World Bank.

12

penyerapan zat gizi atau malabsorbsi. Selain penyakit infeksi, faktor yang secara langsung mempengaruhi status gizi adalah kecukupan konsumsi. Di dalam mengatasi masalah gizi maka perlu memperhatikan continum of care, mulai dari 1000 Hari Pertama Kehidupan, anak balita, remaja, dewasa, sampai dengan usia lanjut. Meskipun 1000 Hari Pertama Kehidupan merupakan fokus dari percepatan perbaikan gizi, tetapi usia remaja menjadi satu faktor penting yang perlu diperhatikan, khususnya kehamilan pada usia remaja. Kehamilan pada remaja penting diperhatikan oleh karena konsekuensi yang mungkin terjadi. Secara umum, sebagian besar perempuan selesai pertumbuhannya saat berusia rata-rata 18 tahun, dalam hal ini proses pertumbuhan tinggi badan dan panggulnya serta organ reproduksinya telah selesai. Sementara, menstruasi bukan menandakan selesainya pertumbuhan, karena seorang anak yang sudah mengalami menstruasi masih bertumbuh tinggi badannya dan tulang panggulnya sampai beberapa tahun setelah menstruasi pertama. Oleh karena itu, seorang anak yang belum selesai pertumbuhannya dan mengalami kehamilan, berarti dia dihadapkan pada situasi dimana terjadi persaingan untuk pemenuhan kebutuhan gizi bagi pertumbuhan janinnya dan pertumbuhan dirinya sendiri yang belum selesai. Akibatnya pertumbuhan dan perkembangan janinnya dan dirinya sendiri terhambat, dengan berbagai risikonya. Kondisi ini dapat diperburuk bila remaja yang menikah pada usia muda mempunyai status gizi kurang, sehingga risiko terhadap diri dan bayinya semakin tinggi. Berbagai studi kohort yang dilakukan di berbagai negara menunjukkan bahwa anak yang dilahirkan oleh ibu dengan usia yang terlalu muda (< 20 tahun) lebih berisiko mengalami BBLR, yang berisiko tumbuh menjadi anak yang pendek pada usia dua tahun dan memiliki prestasi sekolah yang lebih buruk, dibandingkan dengan anak yang dilahirkan oleh ibu dengan usia 20-24 tahun. 2.3.

Konsekuensi Pangan dan Gizi dalam Pembangunan Keberhasilan pembangunan pangan dan gizi selain meningkatkan kualitas sumberdaya manusia juga akan memberikan sumbangan bagi pembangunan berkelanjutan berikutnya. Adapun peran dan dampak pangan dan gizi dalam pembangunan diuraikan sebagai berikut. Peran dan Dampak Pangan dalam Pembangunan Di dalam Undang-Undang Pangan disebutkan bahwa kedaulatan pangan merupakan hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumberdaya lokal. Salah satu hak tersebut adalah tekad untuk kemandirian pangan, yaitu membangun kemampuan negara dan bangsa untuk memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri, dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat. Sedangkan ketahanan pangan adalah kondisi tepenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan. Seperti diketahui bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama, yang pemenuhannya tidak dapat ditunda dan tidak dapat disubstitusi dengan bahan lain, dan merupakan salah satu hak asasi manusia. Pangan juga memiliki peranan penting dalam menentukan kualitas sumber daya manusia. Untuk itu, pemerintah berupaya mewujudkan ketahanan pangan yaitu dengan upaya peningkatan produksi pangan beragam, yang selanjutnya dapat diakses secara mudah oleh penduduk, dan selanjutnya dapat menjadi asupan konsumsi yang aman dan bergizi. Dengan ketersediaan pangan yang cukup bagi penduduk, maka kebutuhan dasar akan pangan menjadi kunci utama dalam

13

pemenuhan gizi bagi penduduk dan selanjutnya dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia secara lebih menyeluruh. Dampak kekurangan pangan akan menimbulkan berbagai bentuk kekurangan gizi yang selanjutnya menimbulkan kerentanan terjadinya penyakit menular. Kekurangan pangan yang cukup lama terutama dalam 1000 Hari Pertama Kehidupan yang diikuti oleh permasalahan pada faktor-faktor determinan masalah gizi, maka akan menimbulkan masalah gizi diantaranya stunting yang kemudian rentan menyebabkan penyakit tidak menular. Konsumsi makanan yang lebih besar dari pada pengeluaran energi akan menimbulkan kelebihan gizi yang menjadi salah satu pemicu berbagai penyakit tidak menular. Sejak tahun 1990 sampai dengan saat ini prevalensi penyakit tidak menular terus meningkat dari semula 37 persen (tahun 1990) dan menjadi 58 persen (tahun 2010). Oleh karena itu selama 2 dekade terakhir ini pola penyakit berubah dan menyebabkan beban kesehatan ganda. Di satu sisi terdapat permasalahan penyakit menular yang belum tertangani dengan baik, seperti tinggi badan, malaria, dan HIV, kusta, filariasis, dan sindrom pernafasan akut. Namun pada saat yang sama terjadi pergeseran peningkatan penyakit tidak menular seperti penyakit jantung, diabetes, dan demensia. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mengatur konsumsi pangan yang berlebihan melalui perilaku konsumsi gizi seimbang. Peran dan Dampak Gizi dalam Pembangunan Fokus perbaikan gizi adalah 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) yang terdiri dari 270 hari masa kehamilan dan 730 hari yaitu sampai anak berusia 2 tahun. Periode ini sering disebut periode emas, atau dikenal sebagai “window of opportunity”. Maknanya adalah kesempatan untuk meningkatkan mutu SDM di masa yang akan datang ternyata sangat sempit, yaitu 1000 hari. Rentang 1000 hari pertama kehidupan merupakan periode yang sensitif, karena akibat yang ditimbulkan terhadap bayi pada masa ini akan bersifat permanen dan tidak dapat dikoreksi. Banyak yang berpendapat bahwa ukuran fisik, termasuk pendek dan gemuk, dan risiko penyakit tidak menular sangat erat hubungannya dengan faktor genetik, dengan demikian ada anggapan tidak banyak yang dapat dilakukan untuk memperbaikinya. Namun berbagai bukti ilmiah dari banyak penelitian dan lembaga riset gizi dan kesehatan terbaik di dunia telah mengubah paradigma tersebut. Diketahui bahwa faktor lingkungan sejak konsepsi sampai usia 2 tahun merupakan penyebab terpenting ukuran tubuh pendek, gemuk, dan penyakit degeneratif, dan indikator kualitas hidup lainnya (Hales, 2001). Profesor David Barker menyimpulkan hipotesis The fetal origins of disease yang menyatakan kondisi kurang gizi semasa janin dapat menyebabkan perubahan struktur dan metabolisme tubuh secara permanen (Barker, 1998). Saat ini berkembang teori developmental plasticity, yaitu janin sangat fleksibel atau plastis terhadap lingkungan, termasuk lingkungan gizi. Perubahan tersebut merupakan interaksi antara gen dengan lingkungan barunya. Lingkungan gizi yang buruk pada masa janin menyebabkan janin mengalami reaksi penyesuaian yang dapat meliputi perlambatan pertumbuhan dengan pengurangan jumlah dan pengembangan sel-sel tubuh pembentuk organ, seperti otak dan organ lainnya. Saat bayi dilahirkan, sebagian besar perubahan tersebut bersifat menetap dan selesai, kecuali beberapa fungsi, yaitu perkembangan otak dan imunitas yang berlanjut sampai beberapa tahun pertama kehidupan bayi. Perubahan tersebut bersifat irreversible atau permanen, sekali perubahan tersebut terjadi maka tidak dapat kembali ke keadaan semula. Hasil reaksi penyesuaian tersebut diekspresikan pada usia selanjutnya dalam bentuk tubuh pendek serta rendahnya kemampuan kognitif akibat pertumbuhan dan perkembangan otak yang tidak optimal. Reaksi penyesuaian tersebut akan berakibat pada salah gizi/malnutrition pada usia anak-anak yang cenderung meningkatkan risiko kelebihan gizi dan obesitas pada usia dewasa dan berdampak pada meningkatnya risiko menderita PTM seperti diabetes, penyakit jantung koroner, dan stroke pada usia dewasa (Hales, 2001) (Bappenas, 2013).

14

Sebelumnya telah disebutkan adanya hubungan antara masalah gizi kurus, pendek, atau pendek-kurus pada masa balita dengan tubuh pendek dan gemuk ketika dewasa. Peningkatan risiko penyakit tidak menular bermula saat proses tumbuh kembang janin hingga usia 2 tahun. Apabila lingkungan anak, termasuk lingkungan gizi, dan asupan makan anak baik, maka anak akan tumbuh dengan normal hingga dewasa sesuai dengan faktor keturunan atau gen yang sudah diprogram dalam sel. Namun apabila terdapat gangguan, salah satunya akibat kurang gizi maka proses pertumbuhannya akan terganggu. Akibatnya terjadi ketidaknormalan dalam bentuk tubuh pendek, meski faktor gen dalam sel menunjukkan potensi untuk tumbuh normal (Barker, 2012). Penelitian terbaru menyimpulkan pertumbuhan yang lambat pada bayi dan pertambahan berat badan yang cepat pada masa anak-anak (mismatch) berdampak pada peningkatan risiko menderita PTM seperti diabetes (WHO, 2003). Di Indonesia dan di negara berkembang lainnya, gangguan pertumbuhan tidak hanya dikarenakan lingkungan gizi, namun juga dikarenakan faktor lingkungan lainnya. Masalah gizi 1000 HPK diawali dengan perlambatan atau retardasi pertumbuhan janin yang dikenal dengan pertumbuhan janin terhambat atau Intra Uterine Growth Restriction (IUGR). Sejumlah 20 persen kasus IUGR dikarenakan pertambahan berat badan saat kehamilan yang rendah dan ¼ lainnya dikarenakan status gizi ibu yang tidak memadai saat memasuki usia kehamilan. Di negara berkembang, kurang gizi yang terjadi pada ibu sebelum dan saat kehamilannya dapat mengakibatkan hambatan pertumbuhan janin yang berdampak pada BBLR. Prevalensi BBLR di Indonesia masih tinggi, hasil Riskesdas memperlihatkan hanya sedikit penurunan BBLR, yaitu 11,1 persen (tahun 2010) dibandingkan 10,2 persen (tahun 2013). Sebagian besar kasus BBLR di negara berkembang dikarenakan IUGR, berbeda dengan di negara maju yang lebih banyak dikarenakan prematuritas. Sebagian kondisi IUGR berkaitan dengan status gizi ibu. Ibu malnutrisi saat prahamil mengalami kesulitan untuk mencapai kenaikan berat badan ideal yang harus dicapai, sebab ibu dengan status gizi lebih rendah harus mencapai kenaikan berat badan yang lebih tinggi. Selain itu, ibu yang bertubuh pendek juga cenderung melahirkan bayi BBLR. Dalam jangka pendek IUGR berakibat pada gangguan pertumbuhan dan perkembangan otak. Dalam jangka panjang dapat berdampak pada menurunnya kemampuan kognitif, tubuh yang pendek, dan peningkatan risiko penyakit degeneratif pada usia dewasa. Lebih jauh lagi, ternyata orang dewasa yang bertubuh pendek saat berusia 2 tahun cenderung tumbuh sebagai orang dewasa yang pendek, dan apabila hal tersebut terjadi pada wanita yang akan memasuki masa kehamilan, ditambah dengan lingkungan gizi yang buruk, akan mengulang permasalahan yang sama, sebagaimana ditampilkan pada Gambar 9. Gambar tersebut juga memperlihatkan penyebab terjadinya beban gizi ganda (double burden) dimana terjadi kondisi kekurangan dan kelebihan gizi pada satu populasi, yaitu kurang gizi pada fase awal kehidupan yang memicu kelebihan gizi pada usia dewasa. Gambar 9. Dampak Jangka Pendek dan Jangka Panjang Akibat Gangguan Gizi pada Masa Janin4

4

Modifikasi Achadi dari Gopalan. 2007 dan Kramer 1987.

15

Gambar 9 menunjukkan dampak jangka pendek dan jangka panjang yang berakibat pada menurunnya kualitas SDM. Gangguan jangka pendek berupa gangguan tumbuh kembang pada jangka panjang dapat menurunkan kualitas hidup dikarenakan penurunan kemampuan kognitif, peningkatan risiko penyakit degeneratif, hingga malnutrisi antargenerasi dikarenakan stunting. Dampak yang dirasakan tentu dapat mengakibatkan konsekuensi ekonomi berupa kerugian akibat biaya kesehatan yang harus ditanggung dan penurunan produktivitas masyarakat. Penelitian terakhir mengungkapkan adanya hubungan antara stunting dengan kemampuan kognitif. Disebutkan bahwa anak yang pendek memiliki IQ yang lebih rendah 5 – 10 poin dibandingkan dengan anak dengan status gizi baik. Diketahui pada daerah endemis GAKI di Indonesia, anak yang stunting 9 kali lebih berisiko memiliki IQ dibawah rata-rata (Puspitasari, 2011). Nutrition Global Report menyebutkan bahwa hasil survei di 40 negara memperlihatkan bahwa untuk setiap dolar, rupee, birr, atau peso yang diinvestasikan untuk perbaikan gizi akan menghasilkan 16 kali senilai mata uang tersebut di masa yang akan datang. Sedangkan untuk Indonesia sendiri untuk setiap USD 94.83 yang dikeluarkan bagi setiap anak untuk mencegah stunting, akan menghasilkan keuntungan ekonomi sebesar USD 4,522 pada masa yang akan datang, sehingga rasio keuntungan yang akan diperoleh adalah 48 kali dari biaya yang dikerluakan (Hoddinott, 2013). Gizi berperan penting dalam pembangunan dan sudah sepatutnya menjadi prioritas agenda pembangunan pasca 2015. Tujuan pembangunan berkelanjutan Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan fokus pembangunan yang akan diusahakan semaksimal mungkin untuk dicapai pada tahun 2030, investasi gizi dapat berkontribusi pada pencapaian SDGs, begitupun sebaliknya jika SDGs tercapai maka akan berkontribusi terhadap perbaikan gizi, sebagaimana terlihat pada lampiran.

16

Dampak Pangan dan Gizi Terhadap Penyakit Pangan dan gizi memiliki dampak terhadap terjadinya berbagai penyakit baik penyakit menular maupun penyakit tidak menular. Data Riskesdas 2007 dan 2013 menunjukkan telah terjadi peningkatan penyakit tidak menular dengan pengambilan data penyakit dilakukan dengan metode wawancara, pengukuran, dan pemeriksaan klinis, sebagaimana pada Tabel 2. Tabel 2 Tren terakhir PTM/Penyakit Kronis dan Kelebihan Gizi di Indonesia PTM dan Kelebihan Gizi Riskesdas Metode (proporsi dan kelompok umur) 2007 2013 Stroke (per mil ≥15 tahun) 8.3 12.1 Wawancara Hipertensi (≥18 tahun) 7.6 9.5 Wawancara 31.7 25.8 Pengukuran klinis Diabetes (persen ≥15 tahun) 1.1 2.1 Wawancara 5.7 6.9 Pengukuran klinis Pre-diabetes (persen ≥15 tahun) 10.2 36.3 Pengukuran klinis Kolesterol tinggi(persen ≥15 tahun) 35.9 Pengukuran klinis Low High Density Lipoproteins (persen ≥15 22.9 Pengukuran tahun) klinis High Low Density Lipoproteins (persen ≥15 15.9 Pengukuran tahun) klinis High triglycerides (persen ≥15 tahun) 11.9 Pengukuran klinis Overweight dan obesitas (persen≥18 tahun) 19.1 26.0 Pengukuran Overweight dan obesitas (persen18 tahun (persen) Ket= * 2014

Target (2019) 82,0 24,1 2,6 3,8 755,1 18,8 4,5 92,5 2150 Kkal 54,5 28 8 50 17 9,5 28 15,4

Untuk mencapai indikator tersebut diperlukan peran lintas sektor yang contoh peranannya diperlihatkan oleh gambar 11, Sedangkan penjabaran lebih rinci terkait peran lintas sektor ditampilkan pada Tabel 3 yang didalamnya terdapat alur pikir (logical framework) dari peranan setiap stakeholder dan tabel 3 ini merupakan modifikasi dari kegiatan yang tercantum pada RPJMN dan Rencana Strategis K/L. Sementara itu, untuk mencapai outcome tersebut setiap sektor memiliki indikator kinerja utama key performance indicator/KPI atau indikator output yang merupakan indikator kinerja setiap K/L yang diantaranya bersumber dari RPJMN dan Renstra K/L. KPI untuk setiap K/L yang terlibat dikelompokkan berdasarkan intervensi gizi spesifik dan sensitif yang tercantum pada Tabel 7 (lampiran).

29

Tabel 4 Logical Framework RAN-PG Multi Sektor 2015-2019 Impact Peningkatan Kualitas SDM Outcome 1. Produksi padi mencapai 82,0 juta ton 2. Produksi jagung mencapai 24,1 juta ton 3. Produksi kedelai mencapai 2,6 juta ton 4. Produksi gula mencapai 3,8 juta ton 5. Produksi daging sapi mencapai 755,1 ribu ton 6. Produksi ikan (diluar rumput laut) mencapai 18,8 juta ton 7. Produksi garam mencapai 4,5 juta ton 8. Skor pola pangan harapan (PPH) mencapai 92,5 9. Konsumsi kalori mencapai 2150 kkal/kapita/hari 10. Prevalensi anemia pada ibu hamil mencapai 28 persen 11. Persentase bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mencapai 8 persen 12. Persentase bayi dengan usia kurang dari 6 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif mencapai 50 persen 13. Prevalensi kekurangan gizi (underweight) pada anak balita mencapai 17 persen 14. Prevalensi kurus (wasting) pada anak balita mencapai 9,5 persen 15. Prevalensi pendek dan sangat pendek (stunting) pada anak baduta (bayi di bawah 2 tahun) mencapai 28 persen 16. Prevalensi berat badan lebih dan obesitas pada penduduk usia >18 tahun mencapai 15,4 persen.

Pelaksana Kemenkes

Input 1) Promosi dan kampanye 1000 HPK, ASI eksklusif dan pedoman gizi seimbang, serta pemantauan berat badan pada anak dan remaja 2) Pelatihan tenaga kesehatan dan kader posyandu tentang 1000 HPK, tumbuh kembang anak, status gizi prahamil dan saat hamil, inisiasi menyusu dini, ASI eksklusif 3) Edukasi gizi saat pemeriksaan ANC, pelaksanaan kelas ibu hamil 4) Penyebaran media KIE gizi di fasilitas kesehatan dan sekolah 5) Pengawasan pemasaran susu formula 6) Pelatihan pemberian makan balita 7) Intensifikasi penggunaan informasi yang ada pada kartu menuju sehat 8) Standardisasi pengetahuan gizi bagi tenaga gizi.

Output Peningkatan pengetahuan gizi remaja, wanita usia subur, dan ibu

30

Pelaksana Kemendikbud

Kemenpora Perguruan Tinggi Masyarakat Madani

Lembaga Profesi Pelaku usaha Media Kemenkes

Kementan

Input 1) Menambahkan kurikulum gizi seimbang dan pentingnya 1000 HPK serta ASI eksklusif dalam pelajaran SD, SMP, dan SMA 2) Aktivasi program UKS, dokter kecil 3) Edukasi dan promosi terkait jajanan sehat Memasyarakatkan olahraga Menyelenggarakan penelitian dan penyebarluasan informasi mengenai 1000 HPK kepada mahasiswa, terutama calon tenaga kesehatan 1) Aktif dalam mencari informasi tentang gizi remaja, wanita usia subur, dan kesehatan ibu 2) Berpartisipasi dalam kegiatan konseling dan edukasi gizi dan kesehatan 3) Menerapkan pola konsumsi gizi seimbang dalam kehidupan sehari-hari 4) Melakukan aktivitas fisik yang cukup Standardisasi kapasitas tenaga kesehatan melalui akreditasi 1) Tidak mempromosikan penggunaan susu formula 2) Mempromosikan ASI eksklusif dan pola makan gizi seimbang Menyediakan rubrik, segmen, dan/atau acara dengan konten kesehatan dan gizi, terutama terkait konsep 1000 HPK 1) Suplementasi tablet besi-folat/ Multiple Micronutrient Supplementation (MMS) bagi ibu hamil dan remaja putri 2) Suplementasi vitamin A pada anak 3) Fortifikasi garam beryodium 4) PMT pada ibu KEK 5) Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak melalui penimbangan di Posyandu dan pengisian kartu menuju sehat.

1) Promosi dan kampanye dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi aneka ragam pangan sehingga terjadi diversifikasi konsumsi pangan 2) Meningkatkan keterampilan dalam pengembangan olahan pangan lokal 3) Mengembangkan dan mendiseminasikan tekonologi tepat guna untuk pengolahan pangan lokal. 4) Aktivasi Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi

Output

Konsumsi energi dan zat gizi tercukupi, terutama bagi kelompok rentan, yaitu remaja putri, ibu hamil dan menyusui, dan balita serta pemantauan tumbuh kembang anak dan stimulasi

31

Pelaksana Dunia usaha Kemenkes

Kemenpora BPOM Kemendikbud Mitra Pembangunan (UNICEF, WHO) Kemenkes

Input 1) Membuat produk bernilai gizi tinggi yang dapat diakses masyarakat secara ekonomi 2) Fortifikasi zat gizi pada produk, seperti terigu, minyak goreng, garam 1) Imunisasi dasar lengkap bagi bayi dan anak 2) Peningkatan sanitasi 3) Memasyarakatkan olah raga dengan promosi, edukasi, dan dukungan untuk melakukan aktivitas fisik yang cukup sehingga mencapai keseimbangan energi. 1) Memasyarakatkan olah raga 2) Mengolahragakan masyarakat dengan menyediakan fasilitas yang mendukung aktivitas fisik 1) Pengawasan keamanan obat dan makanan 2) Regulasi pelabelan, promosi, serta iklan makanan Pembenahan kantin sekolah dan aturan terkait jajan di luar sekolah

Output Manajemen pencegahan penyakit

dan

Mendukung program pemerintah melalui penyediaan teknis

1) Surveilens dan skrining gizi 2) Melakukan penatalaksanaan kasus gizi buruk akut Donor Mendukung program pemerintah dengan mensgisi gap sumber daya Masyarakat Madani Mendukung program pemerintah dengan memperkuat komunitas dan masyarakat Kementan 1) Peningkatan poduksi padi, jagung, kedelai, gula dan daging sapi 2) Model kawasan mandiri pangan 3) Penguatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi 4) Model lumbung pangan masyarakat 5) Pemantauan distribus, harga, dan cadangan pangan 6) Optimalisasi pemanfaatan pekarangan, diantaranya melalui Program Kawasan Rumah Pangan Lestari 7) Promosi dan kampanye terkait diversifikasi pangan 8) Peningkatan keterampilan dalam pengembangan olahan 9) Diseminasi tekonologi tepat guna untuk pengolahan pangan lokal Mitra Pembangunan 1) Mendukung program pemerintah dengan memperkuat komunitas dan masyarakat (FAO) 2) Mendukung pendanaan dan asistensi teknis untuk penanggulangan gizi buruk akut BPOM 1) Pengembangan Desa Pangan Aman (PAMAN) 2) Peningkatan pemberdayaan kader keamanan pangan desa 3) Peningkatan kualitas manajemen keamanan pangan sekolah 4) Pembinaan dan pengawasan Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) 5) Peningkatan kapasitas dan kompetensi tenaga Penyuluh Keamanan Pangan (PKP) dan

Penanggulangan gizi buruk akut Ketersediaan pangan, akses ekonomi, dan pemanfaatan pangan

32

Pelaksana Kemensos Kemendag Kemenperin Kemenaker Kemen KKP Kemendikbud Dunia usaha

Kemensos Kemenkes Kemen PU dan PR Daerah/Kemendagri Mitra Pembangunan (UNICEF, UNDP WHO) BKKBN

Input District Food Inspector (DFI) 1) Pelaksanaan program keluarga harapan 2) Pemberian stimulus Usaha Ekonomi Produktif Melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE) 1) Memantau stabilitas harga bahan pangan 2) Melakukan operasi pasar 3) Melakukan pengawasan terhadap promosi susu formula 1) Dukungan terhadap industri pangan dan makanan 2) Regulasi terkait fortifikasi 1) Pembinaan penyediaan ruang laktasi di perusahaan 1) Peningkatan produksi dan akses untuk memperoleh ikan 2) Peningkatan produksi ikan budi daya 3) Peningkatan produksi ikan tangkap Menggalakkan kembali program kebun sekolah 1) Menggunakan teknologi pertanian untuk meningkatkan jumlah produksi 2) Memperluas distribusi hasil panen 3) Mendukung pemerintah dalam menstabilkan harga hingga tingkat konsumen 4) Tukar menukar pengalaman dalam sistem distribusi pangan dan gizi, termasuk penggunaan teknologi 5) Menyalurkan dana CSR untuk intervensi pangan dan gizi Bantuan tunai bersyarat melalui PKH. 1) 2) 1) 2) 1) 2) 1) 2) 1) 2)

Pelaksanaan program sanitasi total berbasis masyarakat (STBM) Edukasi penerapan PHBS (terutama penggunaan jamban sehat dan penggunaan air bersih) Pembangunan Saluran PAM ke rumah tangga Pembangunan infrastruktur limbah. Penerapan dan pengawasan terhadap aturan untuk tidak membuang sampah sembarangan dan buang air di sungai Mendorong daerah agar menjaga kebersihan sungai dan sumber air lainnya Bekerjasama dan mendukung program pemerintah melalui dukungan dana dan asistensi teknis Melakukan sinergitas agenda perbaikan gizi nasional dan global. Peningkatan kualitas ber-KB Pembinaan keluarga sejahtera

Output

Peningkatan cakupan kesehatan dan gizi Peningkatan sanitasi dan akses air bersih

Pelayanan kesehatan

dan

33

Pelaksana

Input 3) Mengkampanyekan usia kehamilan >18 tahun Kemenkes 1) Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan 2) Jumlah dan distribusi tenaga kesehatan serta fasilitas kesehatan yang memenuhi standar tandar pelayanan minimal Kemendikbud 1) Pelatihan gizi dan tumbuh kembang anak bagi guru 2) Program kecakapan hidup perempuan dan keayahbundaan BKKBN Pengasuhan tumbuh kembang balita dan anak Kementerian Agama 1) Pembinaan UKS di satuan pendidikan agama (tingkat dasar) 2) Pendidikan persiapan perkawinan ditinjau dari aspek usia, kesehatan, dan budaya Kemen PPPA 1) Pelaksanaan pemenuhan hak perempuan 2) Pelaksanaan pemenuhan hak kesehatan anak 3) Mengkampanyekan usia terbaik pernikahan >18 tahun Kementerian Desa 1) Fasilitasi peningkatan pembardayaan kesejahteraan keluarga (PKK) termasuk penguatan Pembangunan kelembagaan posyandu dalam pelayanan sosial dasar masyarakat Daerah Tertinggal, & Transmigrasi, /Kemendagri Mitra Pembangunan 1) Bekerjasama dan mendukung program pemerintah melalui dukungan dana dan asistensi (UNICEF, ILO) teknis 2) melakukan sinergitas agenda perbaikan gizi nasional dan global. Mitra Pembangunan 1) Mendukung intensitas kerjasama nasional dan global 2) Memberikan bantuan teknis kepada pemerintah untuk intervensi gizi spesifik dan sensitif Donor Mendukung program pemerintah dengan mengisi gap sumber daya Masyarakat Madani Mendukung program pemerintah dengan memperkuat komunitas dan masyarakat Bappenas 1) Pertemuan advokasi berjenjang, workshop 2) Mempublikasikan dan menyebarluaskan Policy brief kepada pengambil kebijakan Kemenko bidang 1) Koordinasi Kementerian/Lembaga PMK, Perekonomian, dan Kemaritiman Bappenas Koordinasi rutin Gernas 1000 HPK di tingkat pusat dan pemantauannya di tingkat daerah Kemenko PMK Koordinasi Gernas 1000 HPK Kemendagri 1) Koordinasi dengan pemerintah daerah 2) Mendorong adanya penyusunan peraturan daerah yang memfokuskan 1000 HPK

Output keluarga berencana

Pendidikan dan pemberdayaan perempuan, serta perkembangan anak usia dini

Strategi Advokasi

Koordinasi horizontal

vertikal

34

Pelaksana Bappenas DPR Donor Mitra Pembangunan Pelaku Usaha K/L BPS Bappenas

Input 1) Koordinasi perencanaan, monitoring dan evaluasi RAN-PG 2) Penyebarluasan konsep 1000 HPK 3) Memberikan apresiasi bagi daerah yang memfokuskan 1000 HPK 1) Memberikan dukungan penganggaran untuk pembangunan pangan dan gizi 2) Menjadikan konsep 1000 HPK sebagai arus utama dalam penyusunan regulasi Mengisi kesenjangan dana yang tidak dapat disediakan oleh pemerintah Bantuan teknis terkait perencanaan, implementasi kegiatan, dan monev Penyaluran dana CSR untuk intervensi gizi, terutama 1000 HPK 1) Menindaklanjuti umpan balik atas hasil evaluasi internal dan eksternal; 2) Penyelenggaraan survei Riskesdas dan data rutin terkait indikator kinerja intervensi gizi spesifik dan sensitif terkait Penyelenggaraan survei terkait pangan dan gizi 1) Monitoring dan koordinasi K/L 2) Monitoring pelaksanaan RAD PG

Output Investasi kapasitas, mobilisasi

Monitoring evalusi tepat

dan

35

3.3.

Prinsip dan Pendekatan Kunci

Pendekatan Multi Sektor Apabila intervensi spesifik gizi, melalui upaya sektor kesehatan, ditingkatkan cakupannya menjadi 90 persen dari populasi, tingkat stunting hanya akan turun sebesar 30 persen. Penurunan ini masih lebih rendah dari target yang ditetapkan WHO melalui Comprehensive Implementation Plan (CIP) untuk tahun 2025. Meningkatkan intervensi sensitif gizi melalui sektor lainnya sangat diperlukan untuk mencapai target ini. Meskipun belum ada bukti yang menghitung estimasi secara tepat kontribusi intervensi gizi sensitif terhadap pengurangan stunting, indikasi awal menunjukkan bahwa perlindungan sosial, penguatan pertanian, serta perbaikan air dan sanitasi lingkungan berkontribusi terhadap percepatan perbaikan gizi (Franzo, 2014). International Conference on Nutrition 2 telah menyepakati diperlukannya aksi yang terkoordinasi antar pelaku di semua sektor terkait yang harus didukung melalui koordinasi lintas-sektor, kebijakan yang koheren, program dan inisiatif, untuk mengatasi beban gizi dan mempromosikan sistem pangan berkelanjutan (FAO, 2014). Dalam rangka mengatasi permasalahan gizi diketahui bahwa intervensi gizi spesifik yang sebagian besar dilaksanakan oleh sektor kesehatan dan berpengaruh secara langsung merupakan yang paling efektif (Bhutta, 2013). Keberlanjutan intervensi ini bergantung pada pelaksanaan intervensi gizi sensitif, yang merupakan faktor mendasar yang mempengaruhi status gizi. Intervensi sensitif dilaksanakan oleh sektor lain seperti pendidikan, pertanian, pekerjaan umum/infrastruktur, dan kesejahteraan sosial (WHO, 2012). Gambar 11 mengilustrasikan keterkaitan program spesifik dan sensitif gizi serta peran masing-masing sektor terkait. Pada prinsipnya peran setiap sektor dikaitkan dengan upaya untuk mengatasi penyebab langsung masalah gizi, yaitu konsumsi makanan yang adekuat serta pencegahan dan penanganan infeksi. Selanjutnya ada tiga faktor yang mempengaruhi kedua faktor langsung tersebut yaitu akses terhadap pangan, pola asuh serta akses terhadap air bersih, sanitasi lingkungan yang baik, dan pelayanan kesehatan. Sementara peran sektor kesehatan terutama adalah pada penyebab langsung, peran sektor non-kesehatan muncul pada ketiga faktor tidak langsung tersebut. Konsumsi Adekuat dan akses terhadap pangan yang aman. Selain sektor kesehatan yang mendorong konsumsi yang adekuat pada tingkat rumah tangga dan individu, diperlukan adanya dukungan dari akses dan keamanan pangan. Peran sektor yang berpengaruh terhadap akses pangan adalah Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Sosial, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Desa, daerah tertinggal, dan transmigrasi. Sementara itu untuk menjamin mutu dan keamanan pangan selain Badan POM dan Kementerian tersebut diatas, juga memerlukan peran pelaku usaha. Untuk mecapai akses dan keamanan pangan pada tingkat daerah diperlukan fasilitasi Kementerian Dalam Negeri sehingga kebijakan pada tingkat daerah berorientasi pada ketahanan pangan dan gizi. Sementara itu untuk mencapai adanya keseimbangan energi, selain konsumsi hal yang harus menjadi perhaatian adalah aktivitas fisik yang memerlukan dukungan dari Kementerian Pemuda dan dan Olahraga serta Kementerian Kesehatan. Pola asuh. Untuk meningkatkan pola asuh diperlukan peran dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Agama, BKKBN, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Komunikasi dan Informasi, Kementerian Pemuda dan Olahraga. Akses terhadap air bersih, sanitasi lingkungan yang baik, dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Ketersediaan air bersih dan sanitasi lingkungan yang baik memerlukan peran Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pemerintah Daerah, Swasta, dan Media Gambar 12 menyajikan logical framework (logframe) RAN-PG Multi-sektor dengan peran Kementerian dan Lembaga secara lebih rinci. Semua K/L terkait mempunyai goal atau dampak program multi-sektor yang sama yaitu menghasilkan sumber daya manusia

36

Indonesia yang berkualitas. Semua kegiatan K/L ini diharapkan dapat mencapai semua outcome yang telah ditentukan. Seluruh outcome akan dapat dicapai setidaknya apabila 1) Terjadi peningkatan pengetahuan gizi dan kesehatan pada remaja, wanita usia subur dan ibu; 2) Konsumsi makanan yang berpedoman pada gizi seimbang terutama pada kelompok rentan yaitu kelompok 1000 HPK, remaja perempuan, ibu menyusui, dan Balita; 3) Pemantauan dan stimulasi tumbuh kembang; 4) Pencegahan dan manajemen penyakit infeksi; 5) Penanggulangan gizi buruk akut; 6) Ketersediaan pangan, akses ekonomi dan pemanfaatan pangan yang adekuat; 7) Jaminan terhadap akses kesehatan dan sosial; 8)Peningkatan sanitasi dan air bersih; 9) Akses terhadap Pelayanan kesehatan dan KB; 10) Pendidikan dan pemberdayaan perempuan, serta perkembangan anak usia dini; 11) Peningkatan pemahaman dan pelaksanaan advokasi yang strategis; 12) Koordinasi vertikal dan horizontal; 13) Akuntabilitas, regulasi insentif, peraturan perundang-undangan; 14) investasi dan mobiliasi kapasitas; dan 15) Monitoring dan evaluasi tepat guna. Peran setiap K/L dapat dijabarkan melalui pencapaian indikator output, seperti yang dicantumkan pada indikator input didalam logframe RAN PG 2015-2019. Pemihakan Upaya Multi-Sektor Kepada Kelompok Miskin dan Hampir Miskin Situasi di Indonesia menunjukkan bahwa permasalahan gizi dan impikasinya cenderung lebih besar pada kelompok miskin dan hampir miskin. Prevalensi stunting pada Balita dan permasalahan gizi lainnya lebih tinggi pada kelompok miskin dan hampir miskin. Penyakit tidak menular, yang muara utamanya adalah pada 1000 HPK menunjukkan bahwa masalah pada kelompok miskin hampir sama dengan pada kelompok kaya, sehingga anggapan bahwa PTM merupakan akibat gaya hidup semata menjadi gugur. Akibatnya beban masalah gizi dan beban PTM pada kelompok miskin, baik pada tataran individu, keluarga maupun negara menjadi lebih kompleks, karena produktivitas dan penghasilan yang menurun terjadi bersamaan dengan beban pengeluaran yang tinggi untuk pelayanan kesehatan. Penyebab kemiskinan lekat dengan karakteristik lain yang mempengaruhi status gizi dan kesehatan. Mereka yang miskin umumnya mempunyai pendidikan yang lebih rendah, kurang terpapar dan atau kurang tepat memahami pesan-pesan kesehatan yang baik, pangan yang aman, rendahnya akses terhadap air bersih dan lingkungan yang sehat, rendahnya akses terhadap promosi dan pelayanan kesehatan serta keluarga berencana. Oleh karena itu, agar upaya multi sektor dapat memberikan hasil yang optimal, upaya-upaya tersebut perlu difokuskan pada kelompok miskin dan hampir miskin, dengan tidak melupakan upaya untuk kelompok masyarakat lainnya.

Sektor Kesehatan*

Peran Penyuluhan tentang Konsumsi adekuat untuk setiap anggota keluarga, terutama pada 1000 HPK Memasyarakatkan olah  Kesehatan dan  Kepemudaa raga mengolahragakan n dan olah masyarakat, raga Sektor terkait Mutu dan Akses pangan: Produksi cukup,  Pertanian* penganekaragaman pangan, SKPG, stabilitas harga pangan Produksi dan distribusi  Kelautan ikan untuk masyarakat dan perikanan*  Perdaganga ketersediaan pangan di pasar terdekat, n* stabilitas harga pangan Bantuan sosial  Sosial  Ketenagaker Peningkatan ekonomi keluarga dan daya beli jaan Peningkatan akses  Desa, terhadap pangan di daerah daerah terpencil, tertinggal, perbatasan, dan dan kepulauan transmigrasi Sektor terkait mutu dan keamanan pangan: Keamanan makanan,  Pengawas Obat dan makanan* Produksi bahan  Pelaku makanan bergizi dan usaha* aman terkait  Perindustria Regulasi Fortifiksi maknan n Dalam negeri* Kebijakan yang berorientasi pada ketahanan pangan dan kecukupan gizi

Status Gizi 37

Pencegahan & Penanganan Penyakit Infeksi

Konsumsi adekuat

Akses Pangan Sektor Pendidikan* Kesehatan* BKKBN* Agama Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak  Komunikasi dan informasi  Pemuda dan olahraga  Swasta  Media Pendidikan*     

 Perdagangan  Perindustrian  BPOM

Dalam negeri*

Pertanian

Pola Asuh

Peran Peningkatan wawasan dan pengetahuan tentang pencegahan dan penanganan penyakit infeksi, PHBS termasuk olah raga, tumbuh kembang anak, ASI eksklusif, dan MP ASI, dokter kecil, UKS, dan kebun sekolah

Peningkatan pendidikan perempuan Kebijakan terkait pelabelan, promosi dan iklan susu formula dan makanan olahan untuk bayi dan anak, regulasi terkait iklan dan pelabelan makanan Pemberdayaan perangkat dan lembaga (Posyandu, PKK, UPGK) daerah Stok dan distribusi pangan dalam rumah tangga, program kawasan rumah pangan lestasi,

Peran Wawasan  dan  pengetahuan  terkait pola  hidup bersih dan sehat Distribusi  Dalam Sektor Peran dan suplai air negeri* Kesehatan* Imunisasi, bersih,  Pelaku penyuluhan tentang kebersihan penanganan dan usaha sumber air pencegahan penyakit Penyediaan  Pekerjaan infeksi sarana serta Umum dan terhadap  Kesehatan* Akses fasilitas Perumahan pelayanan kesehatan,  Dalam sumber air Rakyat* negeri* bersih dan  Sosial tempat Dalam Revitalisasi buang air negeri posyandu; rekrutmen, Gambar 12. dan Contoh Peran penempatan/distribusi Multi-sektor tenaga kesehatan dalam dan  Pendidikan Pendidikan Kerangka untuk  Kesehatan penyuluhan Perbaikan meningkatkan Gizi wawasan kesehatan Sumber: dan PHBS, Keterangan : Endang Kecukupan dan *) Peran Utama dari setiap Sektor L.Achadi, 2015 pemerataan tenaga kesehatan Pelaku Pelayanan kesehatan usaha swasta

Sanitasi dan air bersih, pelayanan kesehatan

Sektor Kesehatan* Pendidikan Media Swasta

38

Sensitif Gender Penyelesaian pendidikan hingga tingkat menengah oleh anak perempuan telah terbukti menjadi salah satu kontributor terbesar untuk menurunkan stunting di Bangladesh, Indonesia (Semba, 2008) dan Nepal (Crum, 2012). Meskipun mekanisme yang menjelaskan hubungan ini belum jelas (Wachs, 2008), hal ini dapat terjadi dikarenakan perempuan yang sekolah cenderung untuk tidak hamil pada usia remaja, sehingga tingkat kehamilan remaja lebih rendah. Selain itu tingkat pendidikan anak perempuan juga berkontribusi meningkatkan status gizi sebelum menikah, yang semuanya berkontribusi untuk meningkatkan berat lahir (UNSCN, 2010). Produksi pangan lokal dan pengolahan, terutama oleh petani kecil dan keluarga petani harus diperkuat dan memberikan perhatian khusus untuk pemberdayaan perempuan, sesuai dengan rekomendasi ICN2 nomor 9. Usia legal untuk menikah bagi perempuan juga perlu ditingkatkan menjadi 18 tahun. Kesetaraan Dengan menargetkan kegiatan penanggulangan kemiskinan dan mempertemukan upaya untuk mengkolaborasikan berbagai sektor di rumah tangga termiskin dari kabupaten termiskin akan berkontribusi untuk mengurangi kesenjangan. Hal ini dapat dicapai dengan mengarahkan program-program yang ada untuk mengurangi jumlah keluarga miskin, seperti program Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Generasi, PKH, dan berbagai program terkait lainnya. Keberlanjutan Menerapkan produksi pangan yang berkelanjutan melalui pengelolaan sumber daya alam dengan promosi diversifikasi tanaman, termasuk tanaman tradisional yang kurang dimanfaatkan, memproduksi lebih banyak buah dan sayuran, dan memproduksi produk hewan dengan tepat sesuai dengan yang diperlukan. Sejalan dengan RPJMN dan Regulasi Pemerintah Lainnya Berbagai aspek gizi dan komponen sektor lainnnya seperti pertanian, air dan sanitasi,dan kebutuhan perlindungan sosial pada RAN-PG perlu mengacu pada apa yang telah ditetapkan dalam RPJMN dan aturan pemerintah lainnya. Pelaksanaan aturan yang ditetapkan harus fokus pada kelompok yang rentan dan termiskin, sehingga dapat meningkatkan pencapaian target yang telah ditetapkan. Scaling Up Rencana Aksi Integrasi Multi-Sektor Pengembangan pendekatan multi-sektor yang terintegrasi untuk intervensi diperlukan melalui pendekatan dari bawah ke atas (bottom up) yang dapat dilakukan oleh badan perencana di kab/kota. Untuk pelaksanaan RAN-PG dapat dimulai di tingkat Provinsi dan selanjutnya dilakkan di tingkat kab/kota. Untuk memperoleh hasil yang optimal bisa menggunakan contoh kab/kota yang selama ini sudah melaksanakan RAD-PG dengan baik. Selain itu juga dapat menggunakan pelaksanaan program 1000 HPK pada proyek yang sedang berlangsung di 64 kabupaten di 11 provinsi. Pelaksanaan program gizi spesifik dan sensitif di 64 kabupaten ini merupakan langkah awal yang dapat direplikasi di kabupaten lainnya. Meski intervensi spesifik dan sensitif yang dilakukan masih terbatas, namun pelaksanaan program yang melibatkan peran multi sektor di 64 kabupaten tersebut merupakan proses pembelajaran yang dapat dikembangkan dan disebarluaskan. Dengan demikian, kabupaten/kota yang akan melaksanakan RAD-PG dapat mengacu kepada kegiatan yang telah dilakukan di 64 kab tersebut. Peningkatan Kapasitas Membangun pendekatan desentralisasi memerlukan kapasitas pemerintahan daerah untuk melaksanakan RAD-PG di daerah tersebut. Agar hal ini terwujud diperlukan kapasitas pusat dan provinsi untuk mendukung kapasitas pemerintah kabupaten/kota melalui pelatihan di berbagai tingkat untuk memahami dan mampu melaksanakan intervensi spesifik

39

dan sensitif. Selanjutnya peningkatan kapasitas juga diperlukan untuk terlaksananya monitoring dan evaluasi secara baik termasuk adanya umpan balik. Umpan Balik dari Hasil Evaluasi Untuk memastikan bahwa perkembangan pendekatan terintegrasi mencapai tujuan, monitoring secara berkala terhadap cakupan berbagai intervensi yang dilakukan sangat penting. Sistem informasi rutin yang sudah ada perlu diperkuat dan dilakukan survei berkala untuk mengetahui cakupan yang dicapai di tingkat kabupaten/kota. Kegiatan pengumpulan data dan informasi harus dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota dan hasil yang diperoleh disampaikan kepada perangkat daerah dan kecamatan di kab/kota tersebut sebagai bahan umpan balik. Hal yang sama juga dilakukan di tingkat provinsi dan pusat, umpan balik disampaikan kepada kabupaten oleh provinsi dan kepada provinsi kepada pusat dan kepada multisektor lainnya. Seluruh hasil yang diperoleh tersebut dipergunakan untuk perbaikan kegiatan berikutnya. Akuntabilitas di Daerah Pemerintah daerah harus memimpin pengembangan rencana multi-sektor terintegrasi dan akuntabel/bertanggung jawab untuk memastikan bahwa intervensi difokuskan bagi rumah tangga termiskin dari desa termiskin di lokasi termiskin. Pemerintah daerah harus menyepakati target yang ingin dicapai dan melaporkan cakupan yang diperoleh serta tantangan yang dihadapi. Untuk mewujudkan hal ini diperlukan sistem yang lebih baik untuk menghasilkan, menganalisis, dan menggunakan data yang diperlukan. Partisipasi Masyarakat “Gotong royong” merupakan tradisi Indonesia yang perlu dibangun dan dikembangkan. Di dalam RAN-PG, seluruh sektor perlu mengidentifikasi bentuk-bentuk gotong royong yang ada di masyarakat dan menjadikannya sebagai kegiatan dalam pangan dna gizi. Partisipasi masyarakat merupakan hal terpenting untuk memperluas cakupan intervensi gizi baik di masyarakat, keluarga bahkan untuk mendukung lembaga pangan dan gizi lain. Hal yang perlu dilakukan adalah meningkatkan peranan posyandu termasuk dukungan dari PKK. Disamping posyandu, peran masyarakat seperti pada PAUD dan BKB, sebagai komponen yang paling dekat dengan masyarakat perlu terus dikembangkan. Kemitraan Setiap provinsi dan kabupaten/kota harus membangun kesempatan untuk kemitraan sehingga masyarakat, pemerintah, dan swasta dapat bekerjasama dan berkontribusi terhadap pencapaian rencana aksi pangan dan gizi multi-sektor. Kemitraan dilakukan dengan satu flatform, sehingga setiap pemangku kepentingan memiliki pemahaman yang sama terhadap tujuan dari kegiatan yang dilakukan. Pengurangan risiko bencana. Setiap kabupaten/kota harus mengikutsertakan rencana multi-sektor pangan dan gizi, serta rencana kontigensi untuk mengatasi bencana yang mungkin terjadi. Apabila terjadi bencana perlu mengacu pada pedoman mengatasi masalah pangan dan gizi dalam situasi darurat. Kegiatan ini dapat dikoordinasikan Bappeda dengan BNPD dan perangkat daerah terkait, sehingga pangan dan gizi kelompok rawan dapat diberikan. Menciptakan lingkungan yang memungkinkan untuk perubahan perilaku. Agar pendekatan multi-sektor dapat dilaksanakan secara efektif, perlu diciptakan lingkungan yang memungkinkan implementasinya mulai dari tingkat pusat untuk mendorong perubahan perilaku pada tingkat masyarakat (R, Dobbs, 2014). Pendekatan sektoral memerlukan perubahan perilaku oleh individu di tingkat masyarakat, dan ini dapat difasilitasi dengan berbagai cara antara lain dengan mengendalikan iklan makanan. Selain itu dapat dilakukan dengan memastikan pelabelan yang memadai pada semua produk makanan olahan untuk memberikan pilihan kepada konsumen yang akan dilaksakan oleh Badan POM.

40

Penggunaan pajak dan/atau penghapusan subsidi juga dapat digunakan untuk mencegah konsumsi makanan yang tidak sehat dan Kementerian Perdagangan, Pertanian, dan Industri memiliki peran di sini. 3.4.

Risiko dan Asumsi Untuk mencapai target yang telah ditetapkan, diperlukan pemenuhan kondisi sehingga target yang ditetapkan dapat tercapai. Berikut ini merupakan asumsi yang harus dipenuhi : 1.

Dana Dana merupakan salah satu komponen perencanaan yang akan digunakan untuk seluruh kegiatan yang diperlukan. Ketersediaan dana yang memadai mutlak diperlukan, namun yang lebih penting adalah penggunaan dana yang efektif dan efisien yang nantinya menentukan keberhasilan suatu program. Pada sektor pangan, untuk menerapkan pengelolaan pertanian berbasis teknologi memerlukan modal yang tidak sedikit begitu juga dengan perbaikan gizi dengan jumlah sasaran yang relatif besar. Dengan demikian, diperlukan analisis atau studi lebih lanjut untuk mengetahui berapa jumlah dana yang diperlukan untuk mencapai target ketersediaan pangan dan perbaikan gizi dalam jangka waktu tertentu, jumlahnya akan berbeda untuk setiap daerah dengan beban gizi yang beragam. 2.

Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia merupakan komponen yang akan melaksanakan program dan kegiatan yang direncanakan. Untuk melaksanakan program dan kegiatan pangan dan gizi yang bersifat pemberian layanan diperlukan tenaga dalam jumlah yang mencukupi dan merata sesuai dengan kebutuhan setiap daerah. Pentingnya tenaga tidak saja dalam hal pertanian yaitu penyuluh pertanian lapangan dan tenaga gizi dan kesehatan, tetapi juga keberadaan tenaga penyuluh keluarga berencana, pemberdayaan masyarakat, serta tenaga sosial lainnya sangatlah penting. Begitu pula dengan kader posyandu, fasilitator PNPM, pendamping PKH, dan juga petani menjadi sumber daya manusia yang perlu diperhatikan dan dipenuhi jumlahnya. Persoalan sumber daya manusia yang perlu ditingkatkan juga adalah pengetahuan dan keterampilan tenaga, sehingga memiliki kompetensi sesuai dengan yang dibutuhkan di masyarakat. Disamping kebutuhan tenaga tersebut diatas, hal yang juga sangat penting adalah merubah paradigma tenaga gizi dan kesehatan serta stakeholder yang berperan dalam perbaikan pangan dan gizi untuk mengedepankan upaya promotif-preventif. Berdasarkan kerangka pikir dan tujuan perbaikan pangan dan gizi terlihat bahwa aspek promotif-preventif merupakan kunci keberhasilan. Misalnya untuk mencegah terjadinya anemia pada ibu hamil, konsumsi pangan yang mengandung tinggi protein dan zat gizi besi sangatlah penting disamping peningkatan cakupan suplementasi tablet tambah darah, begitupun untuk meningkatkan cakupan ASI eksklusif, selain ibu juga perlu meningkatkan pengetahuan bapak, dan anggota keluarga lainnya sehingga dapat memberikan dukungan bagi pencapaian ASI eksklusif. 3.

Metodologi Intervensi Pendekatan dan metode intervensi yang digunakan dalam menyelesaikan suatu permasalahan menentukan keberhasilan pencapaian target suatu program. Secara umum, pendekatan yang mulai diperkenalkan pada tahun 2013 untuk mengatasi permasalahan gizi adalah intervensi yang berfokus pada kelompok rentan melalui program 1000 HPK. Pendekatan ini memerlukan adanya upaya promotif-preventif untuk mengoptimalkan 1000 HPK yang dimulai dari mempersiapkan sejak usia remaja agar saat hamil memiliki status gizi yang baik, memaksimalkan perbaikan gizi pada masa kehamilan sehingga melahirkan bayi yang sehat dengan berat lahir cukup, mencukupi kebutuhan gizi ibu menyusui dan pemberian ASI eksklusif hingga 6 bulan diteruskan pemberian ASI hingga 2 tahun serta pemberian MP ASI kepada bayi mulai usia 6 bulan. Berbagai studi telah membuktikan

41

efektivitas pendektan ini (Lancet, 2013), namun efektivitas dan efisiensi dari metode intervensi yang digunakan dalam program 1000 HPK belum dievaluasi secara menyeluruh di Indonesia dikarenakan penerapannya relatif baru. Untuk mengetahui efektivitas dari metode intervensi yang digunakan dapat dilakukan riset operasional dan monitoring dan evaluasi yang tepat. Sehingga akan diketahui metode intervensi yang efektif untuk mengatasi permasalahan tertentu di setiap daerah. 4.

Cakupan dan Keberlanjutan Diketahui, untuk menurunkan angka stunting sebesar 1/5 dari angka saat ini dapat dilakukan dengan mengimplementasikan 10 intervensi gizi spesifik dengan cakupan sejumlah 90 persen (Lancet, 2013). Intervensi tersebut dilakukan oleh sektor kesehatan. Rendahnya cakupan atas intervensi yang dilakukan, terutama untuk daerah dengan beban permasalahan gizi tinggi dapat berakibat pada rendahnya pencapaian target perbaikan gizi. Selain itu intervensi sensitif harus terus ditingkatkan sehingga masyarakat memperoleh pelayanan sosial dasar secara cukup dan terjadi perbaikan pendapatan. Hal yang juga sangat penting adalah keberlanjutan atau sustainabilitas suatu program, pelaksanaan program secara intensif dan terus-menerus merupakan kunci keberhasilan untuk meningkatkan perbaikan pangan dan gizi. Diperlukan adanya komitmen dari pemeintah daerah untuk melanjutkan inisiatif maupun pilot project yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun mitra pembangunan. Di sisi lain, pemerintah pusat maupun mitra pembangunan yang melaksanakan proyek percontohan atau intervensi lainnya perlu memikirkan exit strategy saat pendanaan selesai. 5.

Koordinasi antara Pusat, Provinsi, dan Kabupaten Adanya koordinasi yang dibangun antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sangat menentukan efektivitas pelaksanaan program yang telah direncanakan. Koordinasi ini merupakan upaya untuk menyelaraskan rencana pembangunan dan program yang di pusat dengan di propinsi dan kabupaten/kota. Pada sistim desenteralisasi koordinasi di tingkat kabupaten/kota diharapkan lebih kuat karena banyak kewenangan yang dimiliki dan dapat digunakan untuk perbaikan pangan dan gizi. Dengan adanya koordinasi yang baik, diharapkan adanya keselarasan antara program dan target yang ditetapkan di tingkat pusat, propinsi, dan kabupaten/kota. 6.

Kerjasama Lintas Sektor Diketahui untuk menyelesaikan permasalahan pangan dan gizi diperlukan adanya upaya dari berbagai sektor. Kerjasama lintas sektor sangat diperlukan untuk mengetahui siapa saja yang berperan dan harus dilibatkan dan kapasitas yang dimiliki untuk untuk mewujudkan perbaikan pangan dan gizi. Kerjasama lintas sektor juga akan meningkatkan efektivitas pelaksanaan program karena satu sama lain dapat saling mengetahui dan bermitra untuk melaksanakan suatu program. Kerjasama lintas sektor di pusat atau lintas perangkat daerah di propinsi dan kabupaten/kota, dilaksanakan sesuai dengan kewenangan masing-masing. Melalui kerjasama tersebut dapat dilakukan integrasi sehingga permasalah pangan dan gizi pada suatu wilayah akan lebih cepat diatasi. 3.5.

Penguatan RAN-PG RAN-PG merupakan perdoman yang disusun dan diimplementasikan oleh kementerian/lembaga dan pemangku kepentingan lainnya di tingkat pusat yang selanjutnya diterjemahkan dalam RAD-PG di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Penguatan RAN-PG merupakan langkah-langkah yang ditempuh untuk melaksanakan RAN-PG. Tahapan pelaksanaan perbaikan gizi dilakukan melalui beberapa tahapan yang tercantum pada Tabel 5 Penguatan RAN-PG

42

Pelaksanaan di Pusat

1.

2.

3.

4.

Provinsi

1.

2.

3.

Kegiatan Memperkuat legal aspek RAN-PG Multi Sektor  Membentuk tim koordinasi di tingkat pusat yang terdiri dari lintas sektor  Menetapkan dasar hukum RAN-PG Multi dan menetapkan SK Bersama antara Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional dan Menteri Dalam Negeri Perencanaan dan Penganggaran  Sosialisasi RAN-PG kepada Kementerian/Lembaga dan pemangku kepentingan  Menjadikan Peraturan Presiden No. 42 Tahun 2013 sebagai acuan untuk melaksanakan perbaikan gizi pada 1000 HPK  Penyusunan pedoman teknis: Menyusun pedoman penyusunan RAD-PG Menyusun pedoman teknis pencapaian indikator RAD-PG Menyusun pedoman pembiayaan RAD-PG Menyusun pedoman monitoring dan evaluasi RAD-PG Menyusun pedoman insentif RAD-PG Menyusun pedoman advokasi dan komunikasi untuk pengarusutamaan RAD-PG pada RPJMD  Menyertakan program terkait intervensi gizi sensitif dan spesifik dalam RKA K/L dan memastikan intervensi tersebut memperoleh pendanaan yang memadai setiap tahunnya  Mengembangkan data based RAD-PG Implementasi  Melaksanakan intervensi gizi sensitif dan spesifik oleh K/L dan pemangku kepentingan lainnya dengan memperhatikan pendekatan multisektor dan pendekatan lain yang tepat.  Membuat laporan tahunan pelaksanaan RAN-PG. Monitoring dan Evaluasi  Pembuatan website dalam rangka monitoring dan evaluasi  Melakukan pencatatan atau pengumpulan data terkait target indikator utama yang harus dicapai, dapat berupa data rutin maupun survei.  Melaksanaan pertemuan atau forum dalam rangka koordinasi dan evaluasi rutin litas sektor Memperkuat legal aspek RAD-PG Multi Sektor  Membentuk tim koordinasi di tingkat provinsi yang terdiri dari lintas sektor  Menetapkan dasar hukum RAD-PG melalui Peraturan Daerah atau Peraturan Gubernur. Perencanaan dan Penganggaran  Penyusunan RAD-PG di tingkat provinsi  Sosialisasi RAD-PG kepada pemangku kepentingan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota  Menyertakan program terkait intervensi gizi sensitif dan spesifik dalam RKA K/L dan memastikan intervensi tersebut memperoleh pendanaan yang memadai setiap tahunnya Implementasi  Melaksanakan intervensi gizi sensitif dan spesifik oleh K/L dan pemangku kepentingan lainnya dengan memperhatikan pendekatan multisektor dan pendekatan lain yang tepat.

43

Pelaksanaan di

Kegiatan 

Membuat laporan tahunan pelaksanaan RAD-PG di propinsi berdasarkan hasil tingkat kabupaten/kota. 4. Monitoring dan Evaluasi  Pembuatan website di tingkat provinsi dalam rangka monitoring dan evaluasi  Melakukan pencatatan atau pengumpulan data terkait target indikator utama yang harus dicapai, dapat berupa data rutin maupun survei.  Melaksanaan pertemuan atau forum dalam rangka koordinasi dan evaluasi rutin litas sektor Kabupaten/kota

1. Memperkuat legal aspek RAD-PG  Membentuk tim koordinasi di tingkat kab/kota yang terdiri dari lintas sektor 2. Perencanaan dan Penganggaran  Sosialisasi RAD-PG kepada stakeholder di tingkat kabupaten Menyertakan program terkait intervensi gizi sensitif dan spesifik dan memastikan intervensi tersebut memperoleh pendanaan yang memadai setiap tahunnya 3. Implementasi  Penyusunan pedoman laporan tahunan RAD-PG  Melaksanakan intervensi gizi sensitif dan spesifik oleh K/L dan stakeholder lainnya dengan memperhatikan pendekatan multisektor dan pendekatan lain yang tepat. 4. Monitoring dan Evaluasi  Pembuatan website dalam rangka monitoring dan evaluasi  Melakukan pencatatan atau pengumpulan data terkait target indikator utama yang harus dicapai, dapat berupa data rutin maupun survei.  Melaksanaan pertemuan atau forum dalam rangka koordinasi dan evaluasi rutin litas sektor

BAB IV KERANGKA PELAKSANAAN RENCANA AKSI Kerangka pelaksanaan rencana aksi menjadi suatu hal yang penting karena menyangkut siapa dan bagaimana kegiatan tersebut dilaksanakan. Pada kerangka pelaksanaan diatur kerangka kelembagaan, manajemen keuangan dan aliran dana, anggaran indikatif, strategi pengembangan kapasitas, strategi advokasi dan komunikasi, dan strategi monitoring dan evaluasi. 4.1.

Kerangka Kelembagaan

Struktur Organisasi Tingkat Pusat Dalam perencanaan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi, maka koordinasi dalam perencanaan, monitoring dan evaluasi adalah Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas. Sedangkan di dalam pelaksanaan, koordinator

44

disesuaikan dengan Kementerian/Lembaga, yang dikoordinasikan oleh : Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan; Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian; dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman. Sedangkan pelaksanaan di Daerah akan dikoordinasikan oleh Kementerian Dalam Negeri. Selama ini berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi, telah terdapat organisasi Percepatan Perbaikan Gizi dengan struktur : Ketua : Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Wakil Ketua I : Menteri Dalam Negeri Wakil Ketua II : Menteri Kesehatan Sekretaris : Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Bappenas (merangkap anggota) Anggota : 1. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas 2. Menteri Pertanian 3. Menteri Kelautan danPerikanan 4. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 5. Menteri Perindustrian 6. Menteri Perdagangan 7. Menteri Sosial 8. Menteri Agama 9. Menteri Komunikasi dan Informatika 10. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 11. Sekretaris Kabinet Di dalam organisasi RAN-PG tahun 2015-2019, selain Kementerian/Lembaga tersebut juga melibatkan : 1. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat 2. Badan Koordinasi Keluarga Berencanan Nasional 3. Badan Pengawas Obat dan Makanan 4. Kementerian Pemuda dan Olahraga 5. Kementerian Ketenagakerjaan 6. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi 7. Sekretariat Negara Mengingat RAN-PG terdiri dari multi Kementerian/Lembaga, maka di dalam pelaksanaannya dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman. Sementara itu, keorganisasian Gerakan Nasional 1000 HPK juga membentuk Tim Teknis dan Kelompok Kerja. Struktur Organisasi Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota Pada tingkat Propinsi dibentuk Tim Pengarah dengan struktur organisasi Penanggung Jawab : Gubernur Ketua : Sekretaris Daerah Sekretaris : Kepala Bappeda Anggota : Kepala Dinas teknis/Kepala Instansi menangani : 1. Kesehatan, 2. Pertanian/Ketahanan pangan, 3. Kelautan dan Perikanan, 4. Pendidikan, 5. Perindustrian, 6. Perdagangan, 7. Sosial,

45

8. Agama, 9. Tenaga Kerja 10.Komunikasi dan Informasi, 11.Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 12.Desa dan PDT dan Transimigrasi, 13.Pemuda dan olahraga 14.Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Aanak, 15.BKKBN 16.Badan pengawas Obat dan Makanan. Di samping Tim Pengarah dibentuk Tim Teknis yang terdiri dari : Ketua : Kepala Bappeda Sekretaris : Kepala Dinas Kesehatan dan Kepala Instansi Ketahanan Pangan Sedangkan keanggotaan melibatkan seluruh Perangkat Daerah yang sesuai dan dapat juga menambahkan pemangku kepentingan yang terkait dengan pangan dan gizi. Struktur organisasi di Kabupaten/Kota dapat mengacu kepada struktur organisasi di Provinsi. Struktur organisasi dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah. Peran Sektor Swasta dan Lembaga Masyarakat Selain sektor pemerintah, sektor non pemerintah atau swasta dan lembaga masyarakat juga berperan untuk melaksanakan rencana aksi pangan dan gizi. Sektor swasta yang dapat mengambil peran adalah perguruan tinggi, lembaga profesi, lembaga swadaya masyarakat, pelaku usaha, organisasi PBB (UN system), donor, masyarakat madani, dan media. Perguruan tinggi dapat mendukung pencapaian target perbaikan pangan dan gizi melalui pelaksanaan riset operasional dan penyebarluasan informasi pangan dan gizi terkini kepada mahasiswa, terutama calon tenaga kesehatan, saat proses belajar di dalam kelas. Sementara itu, lembaga profesi dapat melakukan standardisasi kompetensi tenaga gizi dan kesehatan melalui akreditasi. Peran yang dapat diambil oleh mitra pembangunan adalah untuk meningkatan pelaksanaan melalui pembentukan pilot proyek yang akan dijadikan sebagai best practice untuk direplikasi. Selain itu mitra pembangunan juga dapat memberikan bantuan teknis bagi peningkatan kualitas pelaksanaan. Di sisi lain, organisasi kemasyarakatan dapat memperkuat mobilisasi, advokasi, dan komunikasi dan riset serta analisis kebijakan juga pelaksanaan kegiatan di tingkat masyarakat dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan dan perbaikan gizi. Peranan pelaku usaha adalah dengan melakukan pengembangan produk pangan bergizi yang dapat diakses masyarakat, menjaga kualitas, distribusi ke berbagai daerah sehingga mudah dijangkau, riset, pengembangan teknologi, komunikasi, serta mendorong perilaku hidup sehat bagi karyawannya. Kolaborasi antara sektor swasta dan pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan ketersediaan makanan bergizi yang terjangkau masih sangat sedikit. Di satu sisi, di perkotaan sangat mudah ditemui makanan bergizi untuk anak, namun bagi populasi di pedesaan dengan kuintil kepemilikan rendah tidak ditemukan hal yang sama. Sektor swasta sering kali tidak memilih lokasi dengan tingkat permintaan yang rendah sehingga tidak menyediakan bahan makanan ke lokasi tersebut, sehingga mengakibatkan tidak adanya makanan anak yang berkualitas bagi penduduk yang rentan tersebut. Selain rendahnya permintaan, biaya yang dikeluarkan untuk distribusi sering kali lebih besar ditambah daya beli maysrakatnya rendah, sehingga sektor swasta semakin tidak tertarik untuk menyediakan makanan ke daerah tersebut, kalaupun dilakukan harganya sulit lagi terjangkau. Dengan demikian sektor swasta dapat berperan untuk menyediakan kesempatan untuk membuat makanan bergizi yang terjangkau dan mendorong karyawannya untuk menerapkan pola hidup sehat.

46

Instansi Pelaksana Untuk mengimplementasikan rencana aksi ini, terdapat pelaksana dari pihak pemerintah dan non pemerintah yang berada di setiap tingkat administrasi, yaitu di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten, bahkan kecamatan, dan desa. Untuk pihak pemerintah, terdapat K/L yang bekerja di tingkat pusat dan Perangkat Daerah (PD) di tingkat daerah. Di dalam mempermudah pelaksanaan di lapangan Kementerian/Lembaga dan atau Perangkat Daerah dapat dikelompokkan ke dalam pilar, yaitu : 1. Perbaikan Gizi Masyarakat, melibatkan Kementerian Kesehatan, Kementerian Ketenagakerjaan, BKKBN, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transimigrasi, dan Kementerian Sosial; 2. Peningkatan Aksesibilitas Pangan yang Beragam, melibatkan Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transimigrasi, dan Kementerian Sosial 3. Peningkatan Pengawasan Mutu dan Keamanan Pangan, melibatkan Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan. 4. Peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, melibatkan Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Pemuda dan Olahraga, dan Kementerian Komunikasi dan Informasi. 5. Kelembagaan, melibatkan Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian Dalam Negeri, Sekretariat Kabinet, dan Sekretariat Negara.

47

4.2.

Manajemen Keuangan dan Pendanaan Untuk menjalankan rencana aksi ini, setiap pelaksana memerlukan dukungan dan pengelolaan dana yang dapat berasal dari berbagai sumber. Sumber pendanaan utama berasal dari APBN dari pemerintah pusat dan APBD dari pemerintah daerah. Dana APBD diatur secara mandiri oleh pemerintah daerah, untuk dana APBN pembiayaannya diperuntukkan bagi belanja kegiatan di tingkat pusat dan dapat digunakan di provinsi dan kabupaten dalam berbagai skema yang ada. Dana APBN yang dapat didistribusikan ke daerah berbeda-beda sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara itu, untuk K/L tertentu terdapat skema pendanaan khusus untuk digunakan di daerah yang belum tentu dimiliki oleh K/L lainnya, seperti biaya operasional kesehatan (BOK) untuk Kementerian Kesehatan, biaya operasional sekolah (BOS) untuk Kemeterian Pendidikan, dan dana bantuan sosial (Bansos) di beberapa K/L. Selain bersumber dari dana APBN dan APBD, terdapat sumber pendanaan lainnya yang berupa hibah yang berasal dari masyarakat yang dapat berasal dari pelaku usaha berupa dana Corporate Social Responsibility (CSR), philantrophy sesuai peraturan perundang-undangan. 4.3.

Anggaran Indikatif Penting untuk mengetahui anggaran yang tersedia untuk pelaksanaan program, dengan demikian dapat diketahui jumlah dana yang diperlukan dan ketersediaan dana sehingga apabila terjadi kekurangan dana dapat diketahui lebih awal dan direncanakan untuk mencari alternatif pendanaan dari sumber lainnya. Besar dana indikatif untuk program dan kegiatan hendaknya dimiliki pusat dan daerah dan untuk pusat biasanya terdapat pada RPJMN dan Renstra K/L. 4.4.

Strategi Pengembangan Kapasitas Untuk melaksanakan program yang telah direncanakan, diperlukan adanya peningkatan kapasitas organisasi, sumber daya manusia, dan panduan pelaksanaan program atau kegaiatan. Strategi pengembangan kapasitas yang dapat dilakukan adalah dengan cara berikut: 1. Pelatihan Pelatihan merupakan upaya peningkatan kapasitas sumber daya manusia sehingga program yang direncanakan dapat terlaksana sesuai dengan yang diharapkan. Pelatihan yang diberikan harus menunjang kompetensi SDM untuk melaksanakan perbaikan pangan dan gizi terutama pada 1000 HPK. Pelatihan dapat dilakukan melalui dua bentuk, yaitu: a. Pre service training Kegiatan preservice training yang dilakukan meliputi pengembangan kurikulum yang sesuai dengan isu strategis gizi bagi perguruan tinggi atau pusat pelatihan tenaga kesehatan. Untuk memastikan hal ini salah satu yang dapat dilakukan adalah menjadikan adanya isu strategis pangan dan atau gizi dalam kurikulum rumpun ilmu kesehatan dan kurikulum ilmu pertanian yang bisa dijadikan sebagai syarat akreditasi perguruan tinggi. Pemerintah pusat, provinsi, kabupatendan kota juga perlu bekerjasama dengan lembaga profesi, seperti Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gizi Medik Indonesia (PDGMI), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Persatuan Obsteri dan Ginekologi Indonnesia (POGI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Pergizi Pangan, dan organisasi penyuluh pertanian, dan organisasi pertanian lainnya, untuk membuat kurikulum atau modul pelatihan yang mendukung kompetensi untuk melaksanakan isu-isu 1000 HPK. b. On the job/in service training Dengan adanya kurikulum dan modul pelatihan, dapat dilakukan pelatihan kepada tenaga yang terkait dengan 1000 HPK untuk mendukung berbagai kompetensi terkait 1000 HPK, diantaranya adalah komunikasi konseling, penyuluhan, dan praktik implementasi intervensi seperti inisiasi menyusu dini (IMD)

48

dan pembuatan MP ASI, STBM, penganekaragaman pangan, penyuluhan pertanian, parenting, PAUD, kesehatan reproduksi. Diperlukan adanya pengelola pelatihan ini di tingkat pusat dan daerah. Materi untuk on the jobtraining disediakan oleh tim khusus yang dikoordinasikan oleh Pokja Pelatihan Gernas 1000 HPK dan di tingkat daerah berkoordinasi dengan Bappeda dipimpin oleh bupati, wali kota dan gubernur. 2. Pedoman teknis Pemerintah sebagai regulator salah satu tugas utamanya adalah menetapkan standar, termasuk standard untuk pelaksanaan program perbaikan pangan dan gizi multi sektor. Setiap K/L memiliki panduan pelaksanaan program yang dituangkan dalam pedoman maupun panduan teknis. Informasi mengenai pedoman yang digunakan sangat penting untuk dijadikan panduan dalam pelaksanaan program merupakan pedoman teknis yang dimiliki K/L dalam melaksanakan program. 4.5.

Strategi Advokasi dan Komunikasi Advokasi adalah kombinasi dari desain dukungan individu dan sosial untuk meningkatkan komitmen politik, dukungan kebijakan, penerimaan sosial, dan dukungan sistem untuk tujuan program kesehatan tertentu (WHO, 1998). Advokasi merupakan strategi untuk mempengaruhi para pengambil keputusan khususnya saat mereka menetapkan peraturan, mengatur sumber daya dan mengambil keputusan-keputusan yang menyangkut khalayak masyarakat6. Agar mencapai target yang telah ditetapkan, diperlukan pemenuhan kondisi dan asumsi, sehingga target yang ditetapkan dapat tercapai. Untuk memenuhi asumsi tersebut diperlukan adanya advokasi kepada stakeholder terkait dalam mencapai komitmen pengambil kebijakan, dan stakeholder yang terlibat sehingga diperoleh pendanaan, sumber daya manusia yang cukup, metode intervensi yang tepat, dan peningkatan cakupan serta keberlanjutan intervensi yang dilakukan, koordinasi antar pemerintah pusat dan daerah serta koordinasi lintas sektor berjalan dengan baik. Pada Tabel 6 diperlihatkan strategi advokasi yang harus dilakukan terhadap stakeholder terkait.

Stakeholder Pemerintah pusat Pemerintah daerah Masyarakat DPR/DPRD CSO Mitra Internasional Masyarakat

Tabel 6 Strategi Advokasi dan Komunikasi Frekuensi/tahun Strategi Policy brief, pertemuan advokasi berjenjang, work Semesteran shop Policy brief, pertemuan advokasi, work shop

Semesteran

Policy brief, dengar pendapat Policy brief, pertemuan advokasi Seminar, round table discussion (RTD)

Semesteran Semesteran Semesteran

RTD

Semesteran

Media, konseling

Bulanan

4.6.

Strategi Monitoring dan Evaluasi Untuk melaksanakan monitoring dan evaluasi perlu ditetapkan target atau output yang ingin dicapai, siapa saja yang berperan, apa saja input dan proses yang harus dilakukan. Secara garis besar informasi ini diperoleh dari logical framework yang tercantum pada Tabel 4. Namun agar lebih terukur dipilih beberapa indikator kinerja utama untuk setiap K/L yang akan terus dipantau pencapaiannya dalam kurun waktu tertentu. Indikator diperoleh dengan memilih indikator kinerjanya yang berasal dari RPJMN maupun Renstra 6

Unicef. Panduan pelatihan advokasi berbasis komunikasi persuasif

49

K/L atau kegiatan lainnya yang relevan terhadap upaya perbaikan gizi dan berkaitan dengan output dan outcome yang ingin dicapai. Indikator ini akan terus dipantau dan dievaluasi sehingga dapat mendorong tercapainya output dan outcome dari RAN PG 2015-2019.

50

DAFTAR PUSTAKA Bappenas RI. 1994. Tersedia di www.bappenas.go.id/index.php/download.../1729/ Bappenas RI. 2013. Kerangka Kebijakan Gerakan 1000 HPK. Bappenas RI Bappenas RI. 2014. Nutrition Background Study for Health Sector Review. Bappenas RI Bappenas RI. RPJMN 2015-2019, Bappenas RI Barker DJP. 1998. Mothers, Babies and Health in Adult Life. Edinburgh: Churchill Livingstone. Barker DJP. 2012. Developmental Origins of Chronic Disease. Public Health 126:185-9 Bhutta ZA Das JK, Rizvi A, Gaffey MF, Walker N, Horton S, Webb P, Lartey A, Black RE. 2013. Lancet Nutrition Interventions Review Group; Maternal and Child Nutrition Study Group. Evidence-based interventions for improvement of maternal and child nutrition: what can be done and at what cost? Lancet. 382 (9890):452-77. Black et al. 2008. Maternal and child undernutrition: global and regional exposures and health consequences. The Lancet Black RE et al. 2013. Maternal and child undernutrition and overweight in low income and middle income countries. The Lancet Crum J, Mason JM, Hutchinson P. 2012. Analysis of trends in nutrition of children and women in Nepal. Kathmandu: UNICEF Dobbs R, Sawers C, Thompson F, Manyika J, Woetzel J, Child P, McKena S, Spatharou A. 2014. Overcoming obesity: An initial economic analysis. London: McKinsey Global Institute. FAO. 1996. World Food Summit Rome Declaration of Food Security. Tersedia di http://www.fao.org/docrep/003/w3613e/w3613e00.HTM FAO. 1997. Agriculture food and nutrition for Africa - A resource book for teachers of agriculture. Tersedia di http://www.fao.org/docrep/w0078e/w0078e04.htm FAO/WHO. 2014. Republic of Indonesia: National Nutrition Strategy. 2nd International Conference on Nutrition (ICN2). Tersedia di http://www.fao.org/3/a-at618e.pdf FAO 2014. Second International Conference on Nutrition: Rome Declaration on Nutrition. Rome: Food and Agriculture Organization. Finkelstein EA, Chay J, Bajpal S. 2014. The economic burden of self-reported and undiagnosed cardiovascular diseases and diabetes on Indonesian households. PLoS ONE 9(6): e995572 Fanzo J, Curran S, Remans R, Mara V, Briseno JS, Cisewski D, Denning G, and Fracassi P. 2014. Simulating Potential of Nutrition-Sensitive Interventions. New York: Columbia University, EarthInstitute, Center on Globalization and Sustainable Development.. Grantham-McGregor et al. 2007. Development potential in the first 5 years for children in developing countries. The Lancet, 369:60–70 Hales, C Nicholas and Barker, David JP. 2001. The Thrifty Phenotype Hypothesis. British Medical Bulletin 2001;60. Hoddinott et al. 2013, and additional country estimates made by the authors based on the methodology in Hoddinott et al. 2013 dalam IFPRI. 2014. Global Nutrition Report. IFPRI.

2014. Global Nutrition Report. Tersedia http://globalnutritionreport.org/2014/11/13/global-nutrition-report-2014/

di

51

Institute for Health Matric. 2010. Global Burden of Disease Profil: Indonesia. Bappenas RI. 2014. Health Sector Review. Bappenas RI.

Dalam

IRRI. Trends in Global Rice Consumption. Dapat diakses di http://irri.org/rice-today/trends-inglobal-rice-consumption Kemenkes RI. 2007. Riset Kesehatan Dasar 2010. Kemenkes RI Kemenkes RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar 2010. Kemenkes RI Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Kemenkes RI Kemenkes RI. 2014. Pedoman Gizi Seimbang 2014. Tersedia di http://gizi.depkes.go.id/pgs2014-2 Kemenkes. 2015. Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat. Disampaikan pada Rapat Kerja Kesehatan Nasional. http://www.depkes.go.id/resources/download/rakerkesnas-2015/MENKES Kramer MS. 1987. Determinants of low birth weight: methodological assessment and metaanalysis.Bull World Health Organ. 65(5): 663–737. Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. Potenza MV. 2009. The metabolic syndrome: definition, global impact, and pathophysiology. Nutr Clin Pract.24(5):560Puspitasari FD, Sudargo T, Gamayanti IL. 2011. Hubungan antara status gizi dan faktor sosiodemografi dengan kemampuan kognitif anak sekolah dasar di daerah endemis gaki. Gizi Indon 2011, 34(1):52-60. Scaling up Nutrition. Establishing Common Results Frameworks for Nutrition. Diakses padahttp://scalingupnutrition.org/resources-archive/common-results-frameworks Semba RD, de Pee S, Sun K, Sari M, Akhter N, Bloem MW, 2008. Effect of parental formal education on risk of child stunting in Indonesia and Bangladesh: a cross-sectional study The Lancet 371 (9609): 322–32826 Shrimpton & Rokx. 2012. The Double Burden of Malnutrition – A Review of Global Evidence, Roger Shrimpton and Claudia Rokx, World Bank, HNP Discussion Paper, November 212 Shrimpton R and Rokx C. 2013. The Double Burden of Malnutrition in Indonesia. The World Bank. Sukirman, 2010. Food Security and Nutrition Nexus. Disampaikan pada Seminar ADB, Manila. SUN

2010. Scaling Up Nutrition: A Framework For Action, available http://scalingupnutrition.org/wp-content/uploads/2013/05/SUN_Framework.pdf

at:

The Lancet. 2013. Executive summary of The Maternal and Child Nutrition Undang-undang No 18 Tahun 2012tentang Pangan. Unicef. 1990. Strategy for Improved Nutrition of Children and Women in Developing Countries. Policy review paper E/ICEF/1990/1.6. Unicef: New York. Unicef. 1991. Strategy for improved nutrition of children and women in developing countries. Policy Review Peper. New York. Unicef. 2013 The state of the world’s children 2013:Children with disabilities. New York: United Nations Children’s Fund. Tersedia di http://www.unicef.org.uk/Documents/Publication-pdfs/sowc-2013-children-withdisabilities.pdf.

52

Unicef. Panduan pelatihan advokasi berbasis komunikasi persuasif UNSCN 2010. “Maternal Nutrition”, Chapter Three in the Sixth Report on the World Nutrition Situation. Geneva: UNSCN. Victora CG, Adair L, Fall C, Hallal PC, Martorell R, Richter L, et al. Maternal and child undernutrition: consequences for adult health and human capital. The Lancet. 2008;371:340-57. Victoria et al. 2008.Maternal and child undernutrition: consequences for adult health and human capital. The Lancet Wachs TD. 2008 Mechanisms linking parental education and stunting. The Lancet. 371 :280281 Webb P. 2015. Nutrition and the Sustainable Development Goals: an opportunity for real progress.UNSCN WHO 2012. Population-based approaches to childhood obesity prevention. Geneva: WHO WHO UNS SCN. 2010. 6th Report on the world nutrition situation. WHO. 1998. Health Promotion Glossary. Geneva WHO. 2003. Dalam WHO. 2006. Promoting Optimal Fetal Development Report of a Technical Consultation. Geneva: World Health Organization. World Bank 2006. Repositioning Nutrition as Central to Development: A strategy for large scale action. Washington: The World Bank. World Bank. 2012. PKH Conditional Cash transfers. Social Assistance Programme and Public Expenditure Review 6.Jakarta: Word Bank.

53

Lampiran

54

Lampiran 1. Agenda pembangunan dunia pada 15 tahun mendatang dilanjutkan melalui tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDGs) yang mencakup pencapaian tujuan pembangunan dari berbagai sektor. Meski tujuan dan indikator SDGs yang berkaitan langsung dengan sektor pangan dan gizi hanya bagian kecil dari tujuan pembagunan berkelanjutan (SDGs), hal tersebut tidak serta merta menjadikan sektor pangan dan gizi sebagai agenda pembangunan yang tidak menjadi prioritas utama. Pemahaman yang lebih baik tentang kontribusi sektor gizi untuk mendorong tercapainya seluruh tujuan SDGs dan kontribusi pencapaian SDGs terhadap gizi menjadi sangat penting. Hal tersebut dijabarkan pada Tabel 8 berikut ini. Tabel 7 Ilustrasi Hubungan antara Gizi dan SDGs (Webb, 2015) Kontribusi Gizi terhadap SDGs Kontribusi SDGs terhadap Gizi SDGs Gizi yang baik menghasilkan 1. Mengakhiri segala Pendapatan perkapita yang pekerja dengan produktivitas bentuk kemiskinan meningkat dua kali lebih besar akan dan kesehatan mental yang dimanapun menurunkan stunting sebesar 15 lebih baik serta usia sehat persen. Hal ini terjadi dikarenakan yang lebih panjang. Setiap menurunnya keluarga miskin dan cm pertambahan TB orang peningkatan investasi pada bidang dewasa berhubungan gizi oleh karena berkurangnya dengan 5 persen kenaikan kerugian GDP. gaji. Gizi maternal yang baik 2. Mengakhiri Gizi akan memberi keuntungan menurunkan risiko kelaparan, besar, dari zero hunger sampai melahirkan BBLR dan mencapai keamanan pangan. Pertanian peningkatan pengasuhan keamanan pangan berkelanjutan mendukung pola anak. Pekerja dengan status dan meningkatkan makan yang baik, pemasukan, dan gizi yang baik akan gizi dan penggunaan sumber daya. mendukung produktivitas mempromosikan pertanian dan peningkatan pertanian permintaan pangan, berkelanjutan peningkatan ketahanan pangan dan menurunkan kelaparan Penyakit dan zat gizi 3. Memastikan hidup Meningkatkan kesehatan, sejak berinteraksi secara sinergis. sehat dan remaja puteri dan fokus pada 1000 Gizi yang baik mengurangi mempromosikan HPK (termasuk promosi ASI), risiko kesakitan dan kesejahteraan bagi mendukung gizi dan pertumbuhan kematian dalam konteks semua umur anak yang akan menurunkan risiko host disease secara PJT di masa yang akan datang signifikan , juga kesehatan ibu dan pertumbuhan janin Meningkatkan pertumbuhan 4. Memastikan Akses informasi, pendidikan di linear baduta sejumlah 1 kualitas pendidikan sekolah, dan pendidikan informal standar deviasi yang inklusif dan akan meningkatkan kesehatan dan menambahkan pencapaian berkeadilan, serta memperluas pilihan makanan untuk di kelas. Menangani mempromosikan dikonsumsi, memaksimalkan defisiensi zat besi, yodium proses belajar pertumbuhan, dan pendapatan

55

Kontribusi Gizi terhadap SDGs mendukung kapasitas mental. Meningkatkan gizi anak perempuan, remaja, dan wanita meningkatkan kemampuan mereka untuk berprestasi di sekolah dan di tempat kerja Peningkatan gizi berhubungan dengan peningkatan pengetahuan dan perilaku yang berhubungan dengan higienitas dan sanitasi makanan dan individu yang akan meningkatkan kebutuhan air bersih dan sanitasi Meningkatkan gizi dalam segala bentuk dapat meningkatkan permintaan makanan, barang, jasa, termasuk listrik dalam konteks untuk lemari pendingin dan alat pengolahan makanan Gizi menstimulasi pertumbuhan ekonomi, meningkatkan produktivitas mental dan mental pekerja. Mengatasi gizi kurang dapat mencegah kerugian akibat penurunan GNP sebesar 811 persen

SDGs sepanjang hidup 5. Mencapai kesetaraan gender untuk semua anak perempuan dan perempuan 6. Memastikan ketersediaan dan keberlanjutan manajemen air dan sanitasi untuk semua

7. Memastikan akses energi yang terjangkau, handal, modern, dan berkelanjutan untuk semua

8. Mendorong pertumbuhan pekerja penuh waktu dan produktif yang berkelanjutan, dan inklusif serta pekerjaan yang layak untuk semua

Meningkatkan gizi melalui 9. Membangun dukungan pembelajaran dan infrastuktur yang potensi inovasi. Industri dan kokoh, mendorong pasar hanya akan industrialisasi yang berkembang jika inklusif, dan meningkatnya produksi dan mendorong inovasi pertumbuhan permintaan pada sistem pangan Meningkatkan gizi melalui 10. Membangun dukungan pembelajaran dan infrastuktur yang potensi inovasi. Industri dan kokoh, mendorong

Kontribusi SDGs terhadap Gizi keluarga Kesetaraan gender dalam hal pendidikan, status, dan pendapatan meningkatkan gizi anak sejumlah 25 persen. Pendidikan anak perempuan menunda usia pernikahan dan kelahiran pertama Penurunan BAB di tempat terbuka dan peningkatan akses terhadap air menghalangi kontaminasi bakteri pada makanan dan mendorong kebiasaan cuci tangan yang berdampak terhadap gizi

Akses terhadap energi akan mengurangi wanita yang mencari dan menggunakan kayu bakar sebagai sumber energi untuk memasak, sehingga mengurangi polusi udara di dalam ruangan dan menurunkan penyakit yang dikarenakan faktor gizi Meningkatkan kesempatan kerja merupakan kunci untuk mengeluarkan rumah tangga dari garis kemiskinan yang akan meningkatkan kualitas dietnya. GNP yang meningkat memungkinkan pemerintah menginvestasikan program yang pro terhadap gizi Inovasi dan teknologi yang produktif

Inovasi dan teknologi yang produktif

56

Kontribusi Gizi terhadap SDGs SDGs pasar hanya akan industrialisasi yang berkembang jika inklusif, dan meningkatnya produksi dan mendorong inovasi pertumbuhan permintaan pada sistem pangan Menyelesaikan masalah 11. Mengurangi stunting berdampak lebih ketidaksetaraan di untuk masyarakat miskin, setiap negara sehingga mengurangi ketidaksetaraan gizi mengurangi permasalahan gizi pada usia selanjutnya dan ketidaksetaraan pendapatan Penurunan angka kematian 12. Menciptakan dan kelahiran yang perkotaan dan dikarenakan faktor gizi yang pemukiman baik akan mengurangi penduduk yang tekanan populasi pada inklusif, aman, sumber daya seiring dengan teguh, dan menurunnya fertilitas berkelanjutan Menurunnya kemiskinan dan 13. Memastikan perbaikan gizi meningkatkan keberlanjutan permintaan atas pola diet produksi yang berkualitas dan beragam

Penelitian tentang kualitas 14. Tindakan zat gizi pada pangan dapat mendesak untuk meningkatkan vilatitas menghadapi tanaman yang mendukung perubahan iklim penelitian tentang pertanian dan dampakyang tahan terhadapiklim dampaknya Mengurangi tekanan 15. Melestarikan dan populasi atas sumber daya memanfaatkan laut alam yang timbul melalui gizi dan sumber daya yang lebih baik mendukung laut secara berkurangkanya angka berkelanjutan kematian dan angka fertilitas yang rendah Permintaan konsumen yang 16. Melindungi, semakin informatif untuk diet memperbaiki, dan yang aman, berkualitas meningkatkan

Kontribusi SDGs terhadap Gizi

Mengurangi ketidaksetaraan gizi memberikan produktifitas yang lebih seimbang dan pertumbuhan populasi. Menurunnya ketidaksetaraan meningkatkan dialogue dan keterikatan yang seimbang

Permintaan masyarakat perkotaan atas pola makan aman dan berkualitas mendukung pertumbuhan pada produk jasa di pedesaan dan meningkatkan gizi. Limbah air dan polusi yang semakin sedikit akan mendukung gizi di wilayah perkotaan dan desa. Ragam produk dan produktifitas yang lebih mendukung pola konsumsi beragam, kualitas dan keamaan makanan (termasuk makanan pelengkap), dan semua hal yang dibutuhkan untuk gizi yang lebih baik Penelitian untuk meningkatkan ketahanan tanaman dan hewan untuk pergeseran agroekologis yang berhubungan dengan perubahan iklim akan melindungan kesediaan makanan dan ragam diet Meningkatkan resilensi produksi makanan dan sistem pemasarannya dapat mengurangi ketidakstabilan harga pangan yang dapat merugikan masyarakat miskin

Ragam produksi berdasarkan praktik berkelanjutan yang menuju pada lebih rendahnya harga

57

Kontribusi Gizi terhadap SDGs SDGs tinggi, dan beragam, keberlanjutan mendorong perhatian pada pemanfaatan keberlanjutan produksi dan ekosistem bumi dampak dari pilihan produk sistem pangan Gerakan untuk memperkuat 17. Menciptakan akuntabilitas dan masyarakat yang pengelolaan gizi secara tentram dan global mendorong perhatian inklusif, akses atas pada pentingnya dialog keadilan bagi stakeholder yang inklusif dan semua orang, dan model lintas sektor untuk membangun kebijakan yang efektif institusi yang efektif dan akuntabel

Kontribusi SDGs terhadap Gizi konsumen (permintaan beragam) dan kemudian kualitas diet

Diskriminasi, ketidaksetaraan, kemiskinan, dan ketidakadilan adalah kunci konflik, kerusakan, dan malnutrisi. Ketentraman dan keadilan adalah ketentuan untuk membangun institusi yang akuntabel dan dibutuhkan untuk mencapai gizi baik untuk semua orang.

58

Lampiran 2. Tabel 8 Indikator Kinerja Utama/Output RAN-PG 2015-2019 No I.

Key Performance Indicator (Indikator Kinerja Utama/Output)

K/L

2015

2016

Target 2017

2018

2019

Frekuensi Monitorin Evaluasi g

45%

Triwulana n, semestera n

Spesifik

1. Persentase Puskesmas yang menyelenggarakan kegiatan kesehatan remaja

Kemenkes

25%

30%

35%

40%

2. Persentase Puskesmas yang melaksanakan penjaringan peserta didik kelas 1, kelas 7 dan kelas 10

Kemenkes

30%

40%

50%

55%

60%

Semester an

3. Kemenkes

10%

15%

20%

25%

30%

Bulanan, triwulanan

Kemenkes

13%

50%

65%

80%

95%

Triwulana n

Kemenkes

72%

74%

76%

78%

80%

Bulanan

yang

Kemenkes

78%

81%

84%

87%

90%

Triwulana n

Persentase ibu hamil yang mendapatkan TTD 90 tablet selama masa kehamilan

Kemenkes

82%

85%

90%

95%

98%

Bulanan

Kemenkes

70%

75%

80%

85%

90%

Bulanan, triwulanan

Persentase remaja putri yang mendapatkan tablet tambah darah (TTD) 4.

5.

Persentase ibu hamil KEK yang mendapat pemberian makanan tambahan (PMT) Persentase ibu hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal minimal empat kali (K4)

6. Persentase Puskesmas melaksanakan kelas ibu hamil 7.

8. Persentase balita kurus yang mendapat

Tahunan, tiga tahunan Tahunan, tiga tahunan Tahunan, tiga tahunan Tahunan, tiga tahunan Tahunan, tiga tahunan Tahunan, tiga tahunan Tahunan, tiga tahunan Tahunan, tiga

59

No

9. 10. 11.

12.

Key Performance Indicator (Indikator Kinerja Utama/Output) makanan tambahan Persentase anak usia 0-11 bulan yang mendapat imunisasi dasar lengkap

Target

Frekuensi tahunan

Kemenkes

91%

91.5%

92%

92.5%

93%

Bulanan

Persentase kab/kota yang mencapai 80% imunisasi dasar lengkap pada bayi

Kemenkes

75%

80%

85%

90%

95%

Bulanan

Persentase kab/kota yang mempunyai kebijakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah

Kemenkes

29%

46%

64%

82%

100%

Tahunan

Tahunan

Persentase bayi kurang dari 6 bulan yang mendapat ASI Eksklusif

Kemenkes

39%

42%

44%

47%

50%

Semester an

Semester an, Tahunan

K/L

Tahunan, tiga tahunan Tahunan, tiga tahunan

60

II. 1.

Sensitif Jumlah peserta olahraga massal, tradisional, petualang, tantangan dan wisata (orang)

8.000

8.000

8.000

8.000

8.000

Triwulana n

BKKBN

50,2

55,5

60,5

65,5

70,5

Triwulana n

BPOM

58%

63%

63%

63%

63%

Semester an

Tahunan, tiga tahunan

2 (Dit. KP dan Dit. PPI)

14

20

26

32

Semester an

Tahunan

2. Persentase keluarga yang mempunyai balita dan anak memahami dan melaksanakan pengasuhan tumbuh kembang balita dan anak 3.

4.

5.

6.

7.

Persentase cakupan pengawasan sarana produksi Obat dan Makanan Jumlah sosialisasi terkait Peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat pada media cetak dan elektronik lokal dan nasional a. Melalui radio nasional b. Melalui televisi nasional c. Melalui konten cetak d. Melalui indografis e. Melalui videografis f. Melalui banner website g. Melalui banner tabloit Komunika h. Melalui artikel kesehatan di tabloit Komunika Koefisien variasi harga barang kebutuhan pokok antar waktu Koefisien variasi kebutuhan pokok antar wilayah

harga

Kemenkominfo

Kemendag

< 9%

< 9%

< 9%

< 9%

< 9%

Kemendag

< 14,2%

< 14,2%

< 13,8%

< 13,8%

< 13,0%

Kemendag

1000

1000

1000

1000

1000

barang

Jumlah pembangunan/revitalisasi pasar

Tahunan, tiga tahunan Tahunan, Tiga Tahunan

Kemenpora

Triwulana n, semestera n Triwulana n, semestera n Tahunan

Tahunan

Tahunan Tahunan

61

II. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.

17. 18. 19. 20.

Sensitif rakyat Pengembangan Industri Pangan (komoditi) : Pengolahan Ikan, Tepung, Gula berbasis Tebu, dan Minyak Nabati Jumlah pekerja anak yang ditarik dari Bentuk Pekerja Terburuk Anak (BPTA) Jumlah Desa Pangan Aman (PAMAN) Jumlah pasar yang diintervensi menjadi pasar aman dari bahan berbahaya Jumlah kab/kota yang sudah menerapkan Peraturan Kepala BPOM tentang IRTP Rata-rata konsumsi ikan per kapita nasional (Kg/Kap) Jumlah keluarga miskin yang mendapatkan bantuan tunai bersyarat PKH Persentase Kab/kota yang memiliki kebijakan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) Jumlah sambungan rumah (SR) bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) terfasilitasi pengembangan jaringan SPAM Terbangunnya 9.665.920 SR SPAM perdesaan berbasis masyarakat Persentase sarana air minum yang dilakukan pengawasan Persentase kab/kota yang melaksanakan kebijakan kawasan tanpa rokok minimal 50% sekolah Persentase puskesmas yang

Kemenperin

4

4

4

4

4

Tahunan

Tahunan

Kemenaker

16000

16500

17000

17500

18000

Tahunan

Tahunan

BPOM

100

100

100

100

100

BPOM

77

108

139

170

201

BPOM

20

20

20

20

20

Semester an Semester an

Tahunan Tahunan

Semester an

Tahunan

KKP

40,9

43,88

47,12

50,65

54,49

Tahunan

Tahunan, tiga tahunan

Kemensos

3.500.00 0

6.000.00 0

7.000.00 0

7.500.00 0

8.000.00 0

Triwulana n

Tahunan

Kemenkes

40%

50%

60%

70%

80%

Semester an

Tahunan, tiga tahunan

Kemen PU dan PR

32.000

120.000

136.000

152.000

221.600

Semester an

Tahunan, tiga tahunan

Kemen PU dan PR

927.360

1.280.00 0

1.920.00 0

2.560.00 0

2.978.56 0

Kemenkes

-

35%

40%

45%

50%

Kemenkes

10%

20%

30

40

50

Tahunan

Kemenkes

10%

20%

30

40

50

Tahunan

Semester an Triwulana n

Semester an Tahunan Tahunan, tiga tahunan Tahunan,

62

II. 21. 22. 23. 24.

25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.

Sensitif melaksanakan pengendalian PTM terpadu Jumlah kab/kota yang terlayani infrastruktur tempat pemprosesan akhir sampah (163 kab/kota) Jumlah kab/kota yang terlayani Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (222 kab/kota) Pembinaan, fasilitasi, pengawasan dan kampanye serta advokasi Persentase Puskesmas yang melakukan orientasi Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) Indeks kesehatan reproduksi remaja (KRR) melalui generasi berencana (genre) Jumlah pelaksanaan kegiatan KIE pelaksanaan kebijakan pemenuhan hak anak atas kesehatan dan kesejahteraan Jumlah orang dewasa mengikuti pendidikan keayahbundaan/keluarga Persentase sekolah dasar yang melaksanakan UKS Siswa yang mendapatkan program gizi anak sekolah (progas) (piloting) Persentase satuan pendidikan agama dan keagamaan (pendidikan dasar) yang melaksanakan UKS Jumlah calon pengantin peserta kursus bina pra-nikah Pembinaan keluarga (Sakinah, Sukinah, Hitasukaya, Kristiani) Jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang terfasilitasi dalam peningkatan

tiga tahunan Kemen PU dan PR

75

40

16

20

12

Tahunan

Tahunan

Kemen PU dan PR Kemen PU dan PR

40

24

65

52

41

Tahunan

Tahunan

507 kab/kota

507 kab/kota

507 kab/kota

507 kab/kota

507 kab/kota

Tahunan

Tahunan

Kemenkes

77%

83%

88%

95%

100%

Semester an

Tahunan, tiga tahunan

BKKBN

48,4

49

50

51

52

Triwulana n

Tahunan

Kemen PPPA

5

6

-

-

-

Triwulana n

Tahunan

Kemendikbud

25.500

970.900

1.890.70 0

3.014.90 0

4.343.50 0

Semester an

Tahunan

Kemendikbud

-

38.448 siswa

-

-

-

Kemenag

30%

40%

50%

60%

70%

Semester an

Tahunan

Kemenag

20%

40%

60%

70%

80%

Tahunan

Tahunan

34 Provinsi 34 Prov. 505

34 Provinsi 34 Prov. 505

34 Provinsi 34 Prov. 505

34 Provinsi 34 Prov. 505

34 Provinsi 34 Prov. 505

Tahunan

Tahunan

Semester an

Tahunan

Kemendikbud

Kemenag Kemen Desa, Pembangunan

63

II.

34. III. 35.

Sensitif pembardayaan kesejahteraan keluarga (PKK) termasuk penguatan kelembagaan posyandu dalam pelayanan sosial dasar masyarakat Persentase Angka Partisipasi Kasar (APK) PAUD usia 3-6 tahun Enabling factor Koordinasi lintas sektor melalui Pokja Gernas 1000 HPK

36.

37. 38.

39. 40.

Koordinasi lintas sektor melalui Pokja Gernas 1000 HPK Jumlah Provinsi yang melaporkan laporan tahunan pelaksanaan RAN PG Multi Sektor Pemantauan, evaluasi dan perumusan kebijakan ketersediaan dan kerawanan pangan (Rekomendasi) Jumlah advokasi yang dilakukan Jumlah dunia usaha yang memanfaatkan CSR-nya untuk program kesehatan

Daerah Tertinggal dan Transmigrasi

kab/kota

kab/kota

kab/kota

kab/kota

kab/kota

Kemendikbud

70.1%

72.1%

74.3%

76.4%

78.7%

Semester an Triwulana n, semestera n Triwulana n, semestera n

Tahunan

2

2

2

2

2

Bappenas

3

3

3

3

3

Bappenas

30

30

34

34

34

Tahunan

Tahunan, tiga tahunan

Kementan

31

31

31

31

31

Semester an

Tahunan

5

5

5

5

5

Triwulana n

Tahunan

4

8

12

16

20

Semester an

Tahunan

Kemenko PMK

Bappenas, Kemenkes, Kementan Dunia usaha, Kemenkes

Tahunan

Tahunan

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF