Document

March 21, 2017 | Author: Wildan Jpp | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

sas...

Description

Menyongsong Era Bangunan Tinggi dan Bentang Panjang Bagian I : Tinggi, Super-tinggi dan Mega-tinggi Wiryanto Dewobroto Universitas Pelita Harapan [email protected]

Abstrak

Pelaksanaan gedung tinggi tidak sekedar masalah menambah jumlah lantai saja. Itu terkait erat dengan kemajuan ilmu dan teknologi untuk material, komputer simulasi (gempa, angin maupun tahapan konstruksi), uji terowongan angin, sistem perancah, pompa beton kapasitas tinggi dan lainnya. Dapat dikatakan, mempelajari progress kemajuan gedung tinggi, ibarat mengenal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Saat ini gedung tinggi tidak sekedar super-tinggi, dengan selesainya BurjKhalifa Tower (828 m, 2010) di Dubai, maka era gedung mega-tinggi sudah dimulai. Apakah itu relevan dipelajari. Jangan salah sangka, meskipun penduduk Indonesia mayoritas masih asing dengan gedung-gedung tinggi (kecuali di Jakarta), ternyata CTBUH (2012) mencantumkan nama Indonesia atas adanya rencana pembangunan gedung mega-tinggi (> 600 m) di Jakarta. Fakta tak terduga, oleh karena itu tidak salah kiranya jika para praktisi dan akademisi bidang rekayasa teknik sipil perlu mempersiapkan diri. Itulah salah satu maksud ditulisnya makalah ini, yang berisi pengenalan lebih dekat, melalui pendekatan yang komprehensif tetapi memotivasi, berdasarkan falsafah ilmu struktur untuk memahami kemajuan rekayasa teknik sipil pada gedung-gedung high-rise, super-tall maupun yang trend saat ini : mega-tall. Key words : high-rise, tall-building, super-tall, mega-tall, CTBUH

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

1/90

Menyongsong Era Bangunan Tinggi dan Bentang Panjang Bagian I : Tinggi, Super-tinggi dan Mega-tinggi Wiryanto Dewobroto Universitas Pelita Harapan [email protected]

DAFTAR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

ISI

Konstruksi dan Peradaban ...................................................................................................... 4 Peradaban dan Kemampuan Rekayasa .............................................................................. 5 Pentingnya Kemampuan Komunikasi pada Kompetensi Rekayasa ....................... 6 Keuntungan Menguasai Kompetensi Rekayasa Secara Mandiri .............................. 9 Bangunan, Ahli Bangunan dan Insinyur.......................................................................... 10 Bagaimana Menjadi Insinyur dan Tidak Sekedar Ahli Bangunan ........................ 13 Karakter Bangunan Tinggi dan Bangunan Bentang Panjang ................................. 15 Bangunan Gedung terhadap Gempa dan Angin ........................................................... 17 8.1. Umum............................................................................................................................... 17 8.2. Karakteristik Penting Bangunan terhadap Gempa dan Angin.................. 18 8.3. Sistem Struktur Penahan Lateral.......................................................................... 19 8.3.1. Sistem struktur dan jumlah lantai........................................................ 19 8.3.2. Gedung tinggi dan analogi kolom kantilever ................................... 22 8.3.3. Sistem rigid frame ....................................................................................... 23 8.3.4. Sistem braced-frame................................................................................... 24 8.3.5. Sistem ganda, kombinasi braced / wall dengan frame................. 26 8.3.6. Sistem coupled shear wall ........................................................................ 31 8.3.7. Sistem dengan outrigger dan belt-truss.............................................. 34 8.3.8. Sistem framed-tube..................................................................................... 37 8.3.9. Sistem trussed-tube..................................................................................... 40 8.3.10. Sistem bundled-tube. .................................................................................. 41 8.4. Hubungan Bangunan, Tanah, Gaya Gempa dan Angin................................. 43 8.4.1. Perilaku dinamik gempa pada bangunan tinggi ............................. 43 8.4.2. Pengaruh angin pada bangunan tinggi. .............................................. 46 8.4.3. Perilaku dinamik angin pada bangunan tinggi................................ 46 8.5. Perilaku Khusus Sistem Struktur Tahan Gempa ............................................ 48 8.5.1. Sistem struktur dengan dissipasi enerji............................................. 48 8.5.2. Sistem portal daktail : Special Moment Frames (SMF) ................. 49 8.5.3. Sistem rangka diagonal khusus (SCBF).............................................. 51 8.5.4. Sistem dinding-geser (shear-wall) ....................................................... 53 8.5.5. Sistem rangka diagonal eksentris (EBF)............................................ 54 8.5.6. Special Truss Moment Frames (STMF) ................................................ 55 8.5.7. Buckling-Restrained Braced Frames (BRBF)..................................... 56 8.5.8. Special Plate Shear Walls (SPSW) ......................................................... 56 8.6. Sistem Isolasi Seismik ............................................................................................... 57

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

2/90

9.

10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.

Bangunan Tinggi (Tall Building) ........................................................................................ 60 9.1. Council on Tall Buildings and Urban Habitat (CTBUH)............................... 60 9.2. Apa itu Gedung Tinggi ?............................................................................................ 60 9.3. Bagaimana Gedung Tinggi Diukur ?..................................................................... 62 9.4. Perbedaan Gedung dan Menara Telekomunikasi (Observasi) ................. 63 9.5. Sistem Struktur Bangunan Tinggi berdasarkan Jenis Material................ 64 Struktur Komposit dan Struktur Campuran ................................................................. 65 10.1. Umum ............................................................................................................................. 65 10.2. Struktur komposit....................................................................................................... 65 10.3. Struktur campuran ..................................................................................................... 73 Era Gedung Mega-Tinggi (> 2020) .................................................................................... 74 Sekelumit Fakta dibalik Gedung Tertinggi Dunia 2012............................................ 76 12.1. Gedung Beton Tertinggi Saat Ini ........................................................................... 76 12.2. Angin dan Bentuk Bangunan .................................................................................. 82 12.3. Sosok Insinyur Perencana Burj Khalifa.............................................................. 84 Partisipasi Indonesia dalam Era Mega-Tinggi.............................................................. 87 Kesimpulan dan Penutup...................................................................................................... 88 Ucapan Terima Kasih.............................................................................................................. 89 Daftar Pustaka ........................................................................................................................... 89

Tentang Pemakalah ............................................................................................................................. 90

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

3/90

Menyongsong Era Bangunan Tinggi dan Bentang Panjang1 Bagian I : Tinggi, Super-tinggi dan Mega-tinggi Wiryanto Dewobroto Universitas Pelita Harapan [email protected]

1. KONSTRUKSI DAN PERADABAN Tidak disangkal lagi, adanya kebanggaan dan kepercayaan diri akan kemajuan negara atau bangsa, perlu bukti fisik dengan adanya bangunan besar dan megah. Hal

ini sudah terjadi sejak awal mula peradaban. Ingatlah legenda Menara Babel yang tertulis di kitab Kejadian, karya tulis manusia tertua yang masih terpelihara sampai

sekarang. Juga adanya peninggalan bangunan kuno di tiap-tiap peradaban maju

yang dianggap pernah ada, misal bangunan Piramid dari jaman Mesir kuno dan Maya (Meksiko kuno), ataupun Tembok Besar di China. Itu semua menjadi petunjuk, betapa tingginya tingkat kemajuan peradaban bangsa-bangsa tersebut.

Kebiasaan seperti di atas, ternyata masih berlanjut sampai sekarang. Negara-negara kaya baru, mereka juga tidak mau ketinggalan membuat bangunan besar dan megah, baik berupa gedung tinggi maupun jembatan bentang panjang. Contoh nyata, negara Uni Emirat Arab, yang dahulu hanya dikenal akan padang pasirnya, onta dan buah

kormanya. Saat ini, karena hasil minyak telah menjadikannya negara maju (kaya), mereka membuat gedung pencakar langit tertinggi di Dubai, Burj Khalifa (828 m), yang baru saja diresmikan pada bulan Januari tahun 2010 lalu. Gedung itu sengaja

dibangun lebih tinggi dari pencakar langit tertinggi di Taiwan, Taipei-101 (509 m), yang ketika diresmikannya (2004) adalah gedung tertinggi di dunia mengalahkan

Menara Petronas (452 m) di Kuala Lumpur, Malaysia. Jadi ketika gedung Taipei-101 di Taiwan dilampaui tingginya oleh gedung Burj Khalifa di Dubai, maka otomatis gedung tersebut menjadi gedung bertingkat tertinggi di dunia saat ini.

Suatu negara berupaya membangun sesuatu yang tertinggi atau semacamnya, agar meningkat reputasinya, dianggap terkemuka. Jadi saat gedung Burj Khalifa, di Dubai, menjadi gedung pencakar langit tertinggi dunia, maka bangsa lain harus mengakui

bahwa penguasa Dubai memang terkemuka, maju dan kaya. Kemajuan negara atau kekayaan peradaban dapat diukur dari bangunan besar dan megah di wilayahnya. 1

Kuliah umum Civil Engineering’s Days 2012, R. Audiovisual, Kampus Thomas Aquinas, Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), hari Rabu, 9 Mei 2012.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

4/90

2. PERADABAN DAN KEMAMPUAN REKAYASA Adanya hubungan kemajuan peradaban bangsa dan keberadaan bangunan megah, kita juga bisa berbangga diri. Indonesia mempunyai bangunan megah juga, seperti candi Borobudur dan candi Prambanan. Meskipun itu sudah kuno, tetapi adalah fakta bahwa bangsa kita dahulu telah memiliki tingkat peradaban yang tinggi (kaya).

Tetapi sayang, fakta adanya bangunan megah bukanlah petunjuk bahwa bangsa di

wilayah tersebut telah mempunyai kompetensi mendirikan bangunan atau rekayasa

konstruksi yang maju. Sepintas ini tentu bertentangan dengan keyakinan umum, yang seakan-akan secara otomatis menganggap bahwa bangunan megah yang ada di

suatu wilayah adalah hasil kemampuan membangun dari bangsa di wilayah itu sendiri. Keberadaan bangunan megah di suatu wilayah dan kemajuan kompetensi rekayasa dari penduduknya, kadang kala tidak ada hubungannya sama sekali.

Untuk mendapatkan pengertian bahwa peradaban tinggi (kaya) tidak selalu terkait

dengan kompetensi bangsa akan bidang rekayasa konstruksinya, maka ada baiknya belajar dari informasi yang terkait dengan pembangunan gedung tertinggi yang baru

saja dibahas. Informasi yang diulas adalah yang berkaitan dengan kepemilikan, asal negara pembuatan rencana (desain) dan pelaksanaan pembangunannya. Kesemua informasi tersebut akan disajikan dalam bentuk tabulasi (lihat Tabel 1).

Tabel 1. Gedung-gedung tertinggi dunia, pemilik dan pelaksananya (Sumber Wikipedia)

No.

Nama gedung (tinggi) kota lokasi, negara

Pemilik (negara)

Perencana struktur (negara)

Kontraktor utama (negara)

1

Burj Kalifa (828 m) Dubai, Uni Emirat Arab

Emaar Properties (Uni Emirat Arab)

Skidmore, Owings and Merrill (USA)

Samsung (Korea)

3

Menara Petronas (452) Kuala Lumpur, Malaysia

KLCC Holdings Sdn Bhd (Malaysia)

Thornton Tomasetti (USA)

Hazama (Jepang) Samsung (Korea)

2

Taipei 101 (509 m) Taipei, Taiwan

Taipei Financial Center Corp. (Taiwan)

Thornton Tomasetti (USA)

KTRT Joint Venture (Jepang)

Selanjutnya perhatikan hubungan antara negara pemilik, perencana dan kontraktor

dengan wilayah negara tempat didirikannya, ternyata hanya unsur pemiliknya saja yang berhubungan. Perencana dan kontraktor pembangunan bisa datang dari mana

saja, atau dengan kata lain pembangunan gedung bertingkat megah tersebut tidak

harus berasal dari bangsa atau penduduk asli di wilayahnya tersebut. Jadi adanya

bangunan megah di suatu wilayah bukan indikasi bahwa kompetensi bangsanya

telah maju di bidang rekayasa dan teknologi konstruksi. Itu hanya membuktikan bahwa bangsa tersebut cukup kaya mengupayakan bangunan megah terwujud. Agar kaya, suatu bangsa atau negara umumnya harus maju dan beradab. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

5/90

3. PENTINGNYA KEMAMPUAN KOMUNIKASI PADA KOMPETENSI REKAYASA Kemampuan bangsa manusia mendirikan bangunan besar, megah tidak diragukan

lagi. Ketika ada sekelompok manusia, atau suatu bangsa meragukan bahwa sesuatu

tidak akan bisa dibangun atau didirikan, ternyata di sudut dunia lain, ada manusia atau bangsa yang berhasil membuktikan bahwa itu bisa didirikan.

Dengan demikian untuk bangsa yang tadinya ada keraguan tersebut, tetapi masih

berkeinginan kuat mendirikan sesuatu yang akan dibangun dan punya modal cukup, maka solusinya penyelesaiannya adalah cukup sederhana, yaitu komunikasi.

Adanya kemampuan komunikasi yang baik memungkinkan terjadinya sharing antar manusia secara menguntungkan. Seperti diketahui bersama, kemampuan manusia sangat beragam, sangat jarang yang menguasai segala-galanya. Di satu sisi ada yang

punya materi berlebih tapi tanpa keahlian yang diperlukan, sedangkan di sisi lain punya keahliannya tapi juga membutuhkan materi. Komunikasi menghasilkan titik temu. Salah satu unsur penting dalam komunikasi adalah kemampuan berbahasa.

Hubungan antara kemampuan berbahasa dan membangun, ternyata sangat lekat. Bahkan jika salah satu dari itu tidak ada, bangunan tidak akan dapat berdiri.

Bagi masyarakat yang terbiasa mengenal pembagian IPA (eksakta) dan IPS (sosial) akibat sistem pendidikan di sekolah-sekolah, tentu merasa bahwa pernyataan di

atas sangat berlebihan. Bagaimana tidak, kemampuan membangun atau rekayasa

adalah eksak, sedangkan kemampuan berbahasa, non-eksak. Selama ini kesannya adalah dua bidang keahlian terpisah, berdiri sendiri. Jadi mengapa membangun

perlu kemampuan berbahasa. Argumentasi yang dirasakan wajar bagi kita semua, yang merasa wajar juga dengan pembagian kelas IPA dan IPS. Betul khan.

Untuk menghindari stagnasi, baca dahulu alasan mengapa Menara Babel yang ada pada kitab Kejadian, tidak berhasil dibangun :

Adapun seluruh bumi, satu bahasanya dan satu logatnya. . . . Juga kata mereka: ”Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit, dan marilah kita cari nama, supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi.” . Lalu turunlah Tuhan untuk melihat kota dan menara yang didirikan oleh anak-anak manusia itu, dan Ia berfirman: ”Mereka ini satu bangsa dengan satu bahasa untuk semuanya. Ini barulah permulaan usaha mereka; mulai dari sekarang apapun juga yang mereka rencanakan, tidak ada yang tidak akan dapat terlaksana. Baiklah Kita turun dan mengacau-balaukan di sana bahasa mereka, sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-masing.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

6/90

Demikianlah mereka diserakkan Tuhan dari situ ke seluruh bumi, dan mereka berhenti mendirikan kota itu. Kejadian[11:1, 4-8]

Ternyata risalah berumur ribuan tahun telah mengungkapkan secara tepat, betapa pentingnya kemampuan berbahasa (berkomunikasi) bagi kesuksesan kerja rekayasawan dalam pembangunan sebuah menara. Kebenaran isi risalah tersebut tentunya tidak perlu diragukan lagi, bahkan diyakini masih sangat relevan sampai saat ini.

Bagi calon sarjana teknik sipil, yang akan bekerja pada bidang rekayasa menghadapi

era pembangunan gedung tinggi dan jembatan bentang panjang, maka jangan lupa

mempersiapkan diri, berlatih meningkatkan kemampuannya dalam berkomunikasi, baik lesan maupun tertulis. Jangan terjebak berkutat saja pada pengetahuan atau ketrampilan harafiah dalam hitung berhitung. Meskipun itu penting, tapi yang lebih

penting adalah dari hitungan yang dibuat, apa yang dapat diungkapkan. Jangan lupa, pada dasarnya manipulasi angka-angka yang terdapat pada hitungan, yang disebut matematika, sebenarnya mempunyai fungsi sama seperti fungsi bahasa yang kita kenal sehari-harinya (Suriasumantri 2006), yaitu mengkomunikasikan penalaran, memformulasikan fenomena-fenomena alam, dan mengungkapkan suatu kepastian.

Pada konteks komunikasi tersebut, jika dapat digunakan media tertulis akan sangat

luar biasa dampaknya. Bahkan ada orang yang berani menyatakan bahwa kemajuan peradaban dan budaya suatu bangsa sangat tergantung dari produk tertulis yang dihasilkannya. Itu bisa dibenarkan, karena tulisan apapun bentuknya merupakan

suatu ungkapan pikiran yang ingin disampaikan ke orang lain. Adanya tulisan, maka

pikiran-pikiran orang yang banyakpun dapat dirangkumkan menjadi satu kesatuan sehingga dapat disimpan, dan dibaca di lain waktu. Dari tulisan pula maka pikiran

seseorang dapat diketahui oleh orang banyak, dipahami dan bisa saja dilaksanakan

sekaligus secara bersama, bahkan pada tempat berbeda sesuai keinginan penulis. Dari situlah pikiran menyebar. Bisa baik dan buruk. Pada konteks rekayasa maka dari tulisan itu pulalah, maka seseorang dapat belajar bagaimana suatu bangunan

dapat dibangun. Tentu saja untuk itu, tulisan yang dimaksud harus ditulis oleh orang ahli bangunan yang dimaksud, jika tidak, maka tentu tidak akan bermakna.

Oleh karena itu, untuk menghadapi era kemajuan bidang konstruksi, selain harus

mempersiapkan diri dengan ilmu pengetahuan dan teknologi baru, maka insinyurinsinyur teknik sipil yang ingin kompeten, juga melengkapi diri dengan kemampuan

berkomunikasi, khususnya bahasa tulis. Berbicara tentang kompetensi, memang Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

7/90

benar bangsa ini telah membangun jembatan terpanjang di Indonesia yang menghubungkan pulau Jawa dan Madura (jembatan Suramadu). Apakah itu berarti secara otomatis para profesional jembatan di Indonesia telah mengambil manfaat. Tanpa

ada pengalaman selama keterlibatan pada proyek besar tersebut yang ditulis, dan dipublikasikan secara luas, maka informasi tentang ilmu pengetahuan dan teknologi

yang digunakan untuk pembangunan tersebut, juga tidak diketahui oleh bangsa ini. Kecuali oleh segelintir orang yang terlibat langsung pada proyek tersebut. Jika itu

terjadi, maka kemampuan (ilmu pengetahuan dan teknologi) yang dikuasi tidak akan dapat melewati generasi berikutnya, kalaupun bisa itupun sangat inklusif, hanya orang-orang tertentu. Berarti tidak ada perkembangannya yang luas.

Melihat itu semua, tentunya dapat dipahami bahwa kemampuan menulis secara baik

adalah sama pentingnya dengan penguasaan ilmu dan pengetahuan itu sendiri.

Adanya kemampuan menulis memungkinkan terjadinya penyebaran ilmu, sekaligus pematangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Maklum, untuk dapat ditulis secara baik,

ilmu pengetahuan yang dipahami penulisnya, perlu ditata dan dikelola secara tepat,

logis, maupun kronologi sehingga dapat dipahami orang lain secara mudah. Jika ilmu yang dituliskan itu dibaca orang lain yang kompentensi sama atau lebih tinggi,

maka tentunya dapat dievaluasi dan diberikan komentar yang membangun. Jika itu yang terjadi, maka penulis ilmu tersebut akan mendapat masukan untuk perbaikan

dan akhirnya mendapatkan keyakinan diri bahwa ilmu yang dipunyainya, memang

benar adanya. Itulah alasan mengapa ilmuwan kelas dunia, dievaluasi dari produk tulis yang dipublikasikan di jurnal-jurnal yang bereputasi.

Dengan cara pikir seperti di atas, penulis senang dan lega ketika Dirjen Dikti, Prof. Dr. Djoko Santosa, tanggal 27 Januari 2012, menerbitkan Surat No. 152/E/T/2012

yang ditujukan kepada para pimpinan perguruan tinggi seluruh Indonesia perihal

“Publikasi Karya Tulis”. Isinya meminta alumni perguruan tinggi di Indonesia wajib pernah menerbitkan suatu tulisan di jurnal ilmiah. Ditinjau dari segi intelektualitas,

bahwa tulisan merupakan isi pikiran seseorang, maka tentunya surat Dirjen Dikti tersebut merupakan suatu terobosan baru untuk meningkatkan kualitas pendidikan

tinggi kita. Tetapi nyatanya terjadi penolakan, dan paling keras dari masyarakat

civitas akademi itu sendiri. Jika penolakannya datang dari pejabat birokrasi, dapat dimaklumi. Gimana lagi, kemampuan menulis dosennya sendiri tidak bisa dihandal-

kan, jadi kalau harus diterapkan ke mahasiswa, tentu masalah. Adapun penolakan yang tidak dapat dipahami, jika itu diberikan oleh seorang yang bergelar Profesor. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

8/90

Seorang mendapatkan gelar Profesor karena telah dianggap dapat menjadi gurunya

guru. Oleh karena itu sering disebut juga sebagai mahaguru atau gurubesar. Salah satu tanggung jawab Profesor yang diamanahkan oleh undang-undang pendidikan adalah penyebar luasan gagasan atau pikiran melalui karya tulis ilmiah. Jadi sangat aneh sekali, ketika ada permintaan agar para calon sarjana untuk mulai membuat karya tulis ilmiah yang dimuat di jurnal, mengapa ada Profesor yang tidak setuju.

Dampak dari adanya penolakan-penolakan itu, maka kewajiban menulis di jurnal

ilmiah menjadi terkatung-katung. Sayang sekali sebenarnya, tapi anehnya banyak yang merasa lega. Maklum, para sarjana kita pada umumnya sudah puas dengan

kemampuan tukang asalkan mendapatkan gaji besar, dianggapnya kemampuan tulis menulis adalah ketrampilan administratif saja. Sekali lagi sangat disayangkan.

4. KEUNTUNGAN MENGUASAI KOMPETENSI REKAYASA SECARA MANDIRI Suatu bangsa yang mempunyai kompetensi tinggi di bidang rekayasa konstruksi,

jelas mengindikasikan bangsa maju. Mereka akan mampu mendirikan bangunan-

bangunan konstruksi yang besar atau megah sendirian, tanpa bantuan bangsa lain, sehingga kekayaan yang dipakainya akan kembali lagi kepada bangsa tersebut. Itu

berarti kekayaan bangsa secara umum tidak berkurang, bahkan bisa semakin kaya karena mendapat tambahan adanya bangunan baru di wilayahnya.

Bahkan jika kompetensinya itu begitu istimewa, dibandingkan yang ada di bangsa lain, maka dimungkinkan juga untuk dibagikan, membantu bangsa lain. Jika terjadi maka itu berarti dapat menambah devisa bagi bangsa itu sendiri. Bertambah kaya, meskipun mungkin sumber daya alam yang dimiliki bangsa tersebut terbatas.

Itulah yang terjadi pada negara kaya karena kepintaran manusianya, mereka akan semakin bertambah kaya, sedangkan negara kaya karena mengandalkan sumber alamnya yang dieksploatasi, maka lama-lama akan habis juga.

Bagaimanakah kondisi di negara kita, Indonesia. Sudahkan menguasai kompetensi

rekayasa secara mandiri. Ini tidak sederhana menjawabnya, jika disebut sudah tapi mengapa sampai terjadi keruntuhan jembatan seperti di Kutai Kartanagara tempo

hari. Juga saat pembangunan jembatan Suramadu, jembatan terpanjang Indonesia, mengapa masih diperlukan kerja sama dengan pihak asing (China).

Kondisi ini tentunya menunjukkan bahwa masih terdapat peluang luas bagi usahausaha peningkatan diri untuk lebih mandiri di bidang rekayasa di Indonesia. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

9/90

5. BANGUNAN, AHLI BANGUNAN DAN INSINYUR Masyarakat awam di pedesaan (juga sebagian di kota) jika membangun rumahnya,

maka mereka akan mencari tukang berpengalaman. Tidak pernah terpikirkan oleh mereka, mencari sarjana teknik sipil lulusan perguruan tinggi terkenal. Jadi tukang

berpengalaman itulah yang dianggapnya sebagai ahli bangunan terbaik, yang dapat membangun rumah yang kuat dan baik untuk menjadi tempat tinggalnya.

Itu tidak mengherankan. Bayangkan saja, bahkan tanpa tukang berpengalamanpun tapi jika didasari suatu motivasi kuat dan keberanian serta rasa kebersamaan yang tinggi, dapat saja dibuat suatu bangunan untuk menyelesaikan permasalahan yang

ada. Untuk itu, perhatikan Gambar 1, suatu jembatan sederhana berhasil dibangun untuk menyeberangi sungai yang lebar, foto diambil di Vietcong, Vietnam.

Gambar 1. Jembatan tradisionil bambu sederhana di Vietcong

Manusia dengan akal budi dan kemampuannya bernalar, ketika berinteraksi dengan

alam sekitarnya, akhirnya dapat memperbandingkan satu hal dengan hal lainnya,

untuk akhirnya dipilih mana yang lebih baik dari yang lain. Ini disebut juga naluri. Selanjutnya dengan konsep trial-and-error, dapatlah dibuat bangunan sederhana

seperti di atas, memenuhi apa yang diperlukannya. Manusia pada dasarnya bisa menjadi ahli bangunan untuk kepentingannya sendiri. Baca juga nats berikut:

. . . Orang itu menggali dalam-dalam dan meletakkan dasarnya di atas batu. Ketika datang air bah dan banjir melanda rumah itu, rumah itu tidak dapat digoyahkan, karena rumah itu kokoh dibangun. Lukas [6:48]

Nats di atas dikutip dari kitab suci, untuk menunjukkan bahwa pengetahuan akan

persyaratan bangunan yang kokoh dari jaman dahulu, ternyata masih dipakai ahliahli bangunan sampai pada masa sekarang. Tidak ada sesuatu yang baru lagi. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

10/90

Jadi, jika sampai diadakan pendidikan tinggi di bidang rekayasa teknik sipil. Apakah

nanti lulusannya cukup menjadi seperti ahli bangunan di atas, yaitu menjadi ahli melalui prinsip "bisa karena biasa”. Biasa diartikan juga sebagai berpengalaman, jadi

ahli yang dimaksud akan bisa melaksanakan sesuatu jika hal itu pernah dikerjakan sebelumnya. Cara berpikir seperti itulah yang mendasari konsep pendidikan yang

dikenal sebagai link-and-match, belajar tentang hal-hal yang nanti banyak ditemui saat bekerja, yang umumnya berupa ketrampilan praktis. Jika seperti itu tidak heran jika nanti akan ada jargon promosi : ”siap meluluskan sarjana-sarjana siap pakai”.

Apakah seperti itu yang dimaksud dengan tujuan pendidikan sarjana teknik sipil ?

Konsep link-and-match itu sendiri, tentu saja tidak salah. Bukankah penerima kerja

akan senang, jika ada pegawai baru dapat cepat beradaptasi dan berproduktivitas

pada pekerjaan rutin yang ada. Apalagi memang, sebagian besar jenis pekerjaan konstruksi umumnya juga bersifat rutin. Kalaupun ada yang bersifat spesifik, dapat diambil alih sesaat oleh para seniornya.

Tetapi jika tujuan pendidikannya adalah semata-mata link-and-match saja, diajarkan yang praktis-praktis saja, maka dalam jangka panjang para sarjana tersebut pasti

akan kewalahan menghadapi tuntutan masyarakat yang semakin maju (berubah).

Konsep link-and-match tidak cukup untuk menghadapi jenis-jenis pekerjaan yang

berubah-ubah, yang baru, yang belum ada sebelumnya. Karena jika demikian, ketika

bertemu hal yang baru, maka yang bisa dikerjakan oleh ahli tersebut adalah ”coba dulu”, yang berarti cara trial-and-error.

Cara trial-and-error untuk hal yang sederhana dan beresiko kecil, tentunya tidak

akan menjadi masalah. Tetapi jika diaplikasikan pada hal-hal yang kompleks, yang

beresiko tinggi terhadap biaya maupun keselamatan jiwa manusianya, maka tentu tidak dapat diandalkan lagi. Untuk itu maka tidak bisa lagi, sarjana teknik sipil harus

menguasai ilmu pengetahuan yang mendasari aplikasi praktis, juga teknologi yang

mendukungnya. Dalam banyak hal, ilmu pengetahuan yang dimaksud kadangkala

bersifat teoritis, tidak praktis jika diaplikasikan pada permasalahan sebenarnya, yang kompleks sifatnya. Tetapi itu penting diberikan pada calon sarjana teknik sipil sebagai sarana membentuk kerangka berpikir logis berkaitan dengan bidangnya.

Akhirnya untuk merangkum dua hal di atas, tujuan pendidikan sarjana teknik sipil diterjemahkan sebagai bisa meluluskan sarjana yang siap bekerja di bidangnya, maupun mempersiapkan diri untuk jenjang studi lebih tinggi. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

11/90

Melalui konsep pendidikan sarjana teknik sipil tersebut, diharapkan akan lahir tidak sekedar ahli bangunan, tetapi insinyur-insinyur teknik sipil yang kompeten.

Jika ahli bangunan menekankan penyelesaian masalah mengandalkan pengalaman yang dimilikinya, baik itu berupa ketrampilan, atau ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada. Maka seorang insinyur teknik sipil diharapkan dapat bertindak lebih

smart lagi. Jika menghadapi permasalahan rutin, maka bisa saja memanfaatkan

strategi yang digunakan ahli bangunan, jika memang terbukti itu lebih efisien. Jika tidak memungkinkan, maka seorang insinyur akan berani mencoba strategi baru yang dipilihnya berdasarkan ilmu dan pengetahuan yang dikuasainya. Bahkan untuk

permasalahan yang belum ada ilmunya, dimungkinkan untuk menderifasi ilmu baru, termasuk menciptakan teknologi yang membantunya.

Konsep insinyur teknik sipil yang di atas, bukan sesuatu yang mustahil, meskipun dalam banyak hal seorang sarjana teknik sipil sudah cukup puas untuk menjadi ahli

bangunan saja. Adapun yang bisa disebut insinyur pada konteks di atas dapat dilihat pada pribadi-pribadi berikut:

 John A. Roebling, dengan jembatan Brooklyn di New York.  Robert Maillart, dengan jembatan Salginatobel di Swiss.  Fritz Leonhardt, dengan tower TV Stuttgart, di Jerman.

 Sedijatmo, dengan konstruksi Cakar Ayam-nya, di Indonesia.

 Tjokorda Raka Sukawati , dengan teknik Sosrobahu, di Indonesia.

Nama-nama di atas dapat dicari karena ada tulisan yang membahasnya, kenyataan

real bisa saja masih banyak yang lain, yang umumnya akan mengiringi kesuksesan

proyek-proyek konstruksi khas yang belum pernah ada sebelumnya. Mereka tidak diketahui karena tidak dituliskan, itulah mengapa hanya sedikit yang dapat menjadi inspirasi bagi calon-calon insinyur lainnya. Jadi terbukti lagi, bahwa kemampuan menulis berkaitan langsung dengan kemajuan atau peningkatan insinyur itu sendiri.

Uraian di atas perlu diungkapkan untuk mengevaluasi kesiapan sarjana teknik sipil

di Indonesia menghadapi era pembangunan gedung super tinggi maupun jembatan

bentang panjang yang mulai menjadi wacana umum negeri ini. Mengapa demikian, karena dapat dimaklumi bahwa yang namanya gedung super tinggi, yang umumnya didasari oleh motivasi ingin menjadi terkemuka, maka bentuk dan ukurannya harus dipilih istimewa, minimal berbeda dengan yang telah ada. Berarti itu adalah hal yang baru, bukan. Jadi kalau hanya mengandalkan level ahli bangunan tentu tidak mudah. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

12/90

6. BAGAIMANA MENJADI INSINYUR DAN TIDAK SEKEDAR AHLI BANGUNAN Telah diungkapkan, bahwa kompetensi insinyur dianggap siap mengantisipasi era pembangunan yang mencakup gedung tinggi maupun jembatan bentang panjang, atau bahkan bangunan-bangunan baru yang belum pernah ada sebelumnya.

Keberadaan orang dengan level insinyur juga tidak diragukan lagi berada di setiap

kesuksesan proyek-proyek baru yang ada. Hanya karena tidak terpublikasi, maka

tidak banyak orang yang mengetahuinya. Oleh sebab itu hanya dapat diketahui dan dipelajari jika bergaul atau mengalami sendiri proyek-proyek yang dimaksud. Bisabisa ternyata kita sendiri mempunyai kapasitas seperti itu, yaitu ketika proyek yang menjadi tanggung jawab kita, ternyata berhasil dengan sukses dilaksanakan.

Tetapi bagi anak-anak muda, yang sedang belajar, tentunya masih akan bertanyatanya, apakah mereka juga mampu mencapai level insinyur tersebut. Jadi kalau bisa,

sedini mungkin mereka dapat mempersiapkan diri, mempelajari apa-apa saja yang mendukung tercapainya level insinyur tersebut. Jadi apa-apa saja itu, tentu sesuatu yang ditunggu-tunggu. Ternyata, untuk mencari tahu itu ternyata tidak mudah, cara

yang umum dilakukan adalah membaca biografi dari insinyur yang dianggap sukses, tapi jika dibandingkan antara satu insinyur yang sukses dengan insinyur sukses lainnya, ternyata sangat bervariasi. Jadi kesan yang didapat bersifat subyektif.

Di belahan dunia lain, khususnya di Amerika ada hal yang menarik, dan kelihatannya dapat menjawab pertanyaan di atas. Asosiasi insinyur teknik sipil Amerika atau

ASCE (American Society of Civil Engineers) telah mencoba mencari jawabnya 2. Itu dimaksudkan sebagai petunjuk bagi generasi mudanya bagaimana menjadi insinyur.

Langkah awal yang diberikan, adalah menjadikan terlebih dahulu profesi tersebut suatu kebanggaan bagi yang memilihnya, seperti diungkap pada quote berikut: It is a great profession.

There is the fascination of watching a figment of the imagination emerge through the aid of science to a plan on paper. Then it brings jobs and homes…it elevates the standards of living and adds to the comforts of life. That is the engineer’s high privilege. Herbert Hoover, engineer, humanitarian, and 31st U.S. President

2

ASCE, The Vision for Civil Engineering in 2025, Based on The Summit on the Future of Civil Engineering - 2025, June 21-22, 2006

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

13/90

Betul juga, jika ingin menjadikan yang terbaik, harus dimulai dari motivasi diri, yang

menyangkut totalitas hidup yang dapat diberikan. Jadi, jika ingin jadi insinyur hanya sekedar uang atau materi yang banyak. Maka tahapan ini belum tentu diperlukan, maklum menjadi ”makelar” di jaman sekarang ini, kadang sudah memungkinkan.

Permasalahan yang dihadapi para insinyur teknik sipil diberbagai negara ternyata mirip dengan yang terjadi di Indonesia. Inilah isue yang ditangkap dalam KTT ASCE:

Buruknya kondisi infrastruktur di banyak negara, banyak terjadinya korupsi di industri konstruksi / rekayasa secara global, minimnya keterlibatan insinyur sipil pada kebijakan politik, issue keberlanjutan lingkungan masih kurang, terjadinya globalisasi di bidang rekayasa, dan sulitnya menarik generasi muda yang terbaik dan cerdas untuk berprofesi tersebut.

Padahal masalah di bidang teknik sipil yang akan dihadapi generasi mendatang bukannya berkurang, sebagaimana telah diidentifikasi oleh ASCE sebagai berikut:

Populasi global yang terus meningkat, yang terus bergeser ke daerah perkotaan akan membutuhkan penyesuaian yang berkelanjutan. Tuntutan akan energi, air minum, udara bersih, pembuangan limbah yang aman, dan transportasi akan mendorong diperlukannya perlindungan lingkungan sekaligus pengembangan infrastruktur. Masyarakat akan menghadapi ancaman meningkat dari bencana alam, kecelakaan, dan mungkin penyebab lain seperti terorisme.

Permasalahan semakin kompleks di atas, menurut ASCE memerlukan keterlibatan

berbagai disiplin ilmu, baik di bidang riset maupun aplikasinya. Pada kasus seperti ini maka kemampuan berkomunikasi menjadi satu-satunya sarana mencapai sukses. Visi kedepan yang diharapkan dari insinyur teknik sipil menurut ASCE adalah:

Insinyur sipil harus dapat menjadi ahli bangunan, penjaga lingkungan, inovator dan integrator, pemimpin untuk mengatasi risiko dan ketidakpastian, serta dalam membentuk kebijakan publik.

Ternyata spesifikasi insinyur yang dikemukakan ASCE lebih dari cukup untuk dijadikan petunjuk menjadi insinyur yang diharapkan, untuk itulah akan dijadikan acuan.

ASCE mengungkapkan, insinyur yang baik sebaiknya melengkapi diri dengan tiga atribut penting, yaitu: [1] knowledge; [2] skill; dan [3] attitudes. Sampai disini diketahui bahwa dua atribut pertama telah dibahas, sedangkan atribut ke tiga sebelumnya tidak dibahas karena dianggap melekat pada setiap personil. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

14/90

Jika sebelumnya atribut tersebut dibahas dalam tahap kualitatif, maka yang menarik ASCE telah mendaftarkan tahap kuantitatif atribut-atribut yang dimaksud, yaitu:

a) Knowledge atau pengetahuan yang menyangkut ranah kognitif dan umumnya

penguasaan teori-teori utama dan yang mendasar, seperti geometri, kalkulus, vektor, momentum, friksi, tegangan dan regangan, mekanika fluida, enerji, sifat menerus (continuity) sifat variabel (variability).

b) Skill atau ketrampilan yang mendukung dapat diselesaikannya secara baik,

tugas yang diberikan atasan, contohnya mengoperasikan komputer dengan baik

(menguasai spreadsheet, pengolah kata, basis data dsb), kemampuan organisasi, bahasa asing (lesan dan tulisan). Secara umum disebutkan, bahwa pendidikan

formal mengusahakan peningkatan bidang knowledge, sedang skill memerlukan pendidikan formal dan non-formal. Ini berarti mahasiswa tidak cukup hanya sekedar belajar dan belajar saja, tetapi juga kegiatan intra kurikuler.

c) Attitudes atau sikap mental, merujuk pada nilai-nilai yang menjadi pegangan hidup, yang menentukan bagaimana seseorang bersikap pada kehidupan ini.

Sikap mental yang mendukung mutu profesional kerja misalnya kemampuan berkomitmen, keingin-tahuan yang tinggi, kejujuran, integritas, sikap optimis, bersifat obyektif, kepekaan, ketelitian dan toleransi kerja (ketepatan).

Jika mempelajari petunjuk yang diberikan ASCE untuk membentuk insinyur di masa

depan, rasanya sangat umum. Hanya 1/3 saja, yaitu knowledge yang ditentukan oleh kurikulum pengajaran di level pendidikan tinggi, adapun 2/3 yang lain lebih banyak

berfokus pada usaha-usaha pengembangan diri pribadi secara umum. Jika demikian dapat diambil kesimpulan bahwa untuk menjadi insinyur, selain perlu pendidikan

formal yang benar, yaitu meraih gelar sarjana teknik, juga diperlukan usaha-usaha pengembangan diri yang terus menerus. Salah satu upaya yang biasa diambil adalah magang, atau nyantrik pada insinyur senior yang terkenal reputasinya.

7. KARAKTER BANGUNAN TINGGI DAN BANGUNAN BENTANG PANJANG Bila kesiapan sarjana teknik sipil diarahkan untuk berani menerima tanggung jawab

yang lebih dari sekedar tukang atau ahli bangunan, maka wajar jika selanjutnya

membahas bangunan tinggi atau jembatan panjang yang mungkin tidak terbayangkan sebelumnya. Kalaupun nantinya, masih melibatkan rekanan dari manca-negara, tetapi event tersebut merupakan sarana transfer of knowledge and technology. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

15/90

Karena perlu membahas bangunan gedung tinggi dan jembatan bentang panjang

sekaligus. Ada baiknya mengenal lebih mendalam karakter keduanya, sehingga dapat diketahui apakah untuk mengenal keduanya dapat sekaligus (paralel) atau secara sendiri-sendiri (seri). Karakter yang dimaksud, dapat dilihat di Tabel 2. Tabel 2. Perbedaan karater gedung tinggi dan jembatan panjang

No Item 1 Orientasi fisik 2 Profesional penentu 3 Tujuan pemakaian

4 Tampak visual luar

Gedung tinggi

Jembatan panjang

Vertikal Multidisiplin, arsitek sebagai leader, dibantu insinyur sipil, M&E, dll. Hunian, baik sementara atau tetap Interaksi manusia banyak, faktor kenyamanan dan rasa terlindung menjadi penting. Ini gunanya arsitek. Insinyur beri jaminan keselamatan. Material penutup, bahan finishing bangunan yang berupa non-struktur.

Horizontal Insinyur sipil, sangat jarang arsitek terlibat. Bukan hunian, hanya sebagai penghubung dan karena tempatnya terbuka (terpapar cuaca) maka kesan keselamatan jadi utama. Arsitek tidak punya peran yang signifikan. Struktur terlihat langsung. Penutup, pelindung pengaruh lingkungan luar.

Sistem struktur tidak menonjol, perlu Sistem struktur terlihat jelas, dapat pengamatan khusus mendalam. digolongkan dari sistem strukturnya. 5 Beban yang menentukan Beban gempa (sementara). Beban gravitasi (tetap). dalam perencanaan. Gedung sudah berdiri, tapi belum Kondisi pelaksanaan kadang paling teruji gempa sesungguhnya. Resiko menentukan. Sering dijumpai runtuh runtuh saat konstruksi relatif jarang, saat pelaksanaannya belum selesai. peran insinyur tidak menonjol. 6 Kepemilikan dan Sifatnya pribadi atau private, dan Dimiliki pemerintah dan dipakai oleh pemakaian pemakaiannya bersifat tertutup. publik (masyarakat). 7 Sifat beban Beban hidup relatif terkontrol, sebab Beban hidup dari publik, pelanggaran bangunan gedung sifatnya tertutup. yaitu kelebihan beban.

8 Metode konstruksi dan proses desain.

Faktor lingkungan dan sistem struktur

Beban hidup bersifat statik, kecuali gempa yang dinamik. Metode konstruksi tidak menentukan dalam perencanaan.

Beban hidup bergerak, resiko terjadi fatik. Metode konstruksi bagian desain, bisa menentukan sistem strukturnya.

Untuk menghindari monopoli, maka sistem struktur yang didesain harus bersifat umum. Sistem struktur terlindung. Pengaruh thermal tidak dominan, sehingga struktur menerus (statis tak tentu) tidak masalah. Ini dipilih untuk menghasilkan struktur redundan, sehingga ketika ada gempa dapat dihasilkan keruntuhan bertahap.

Pekerjaan desain dan konstruksi harus sinkron dan tergantung teknologi yang tersedia. Sistem struktur terbuka. Faktor lingkungan dominan, jadi korosi jadi penting diperhatikan. Untuk struktur statis tak tentu (menerus) pengaruh thermal, differential settlemen sangat penting. Untuk mengatasinya struktur pisah (siar dilatasi, bearing).

Struktur yang menyatu dengan pondasi menyebabkan gempa diteruskan ke struktur atas.

Kondisi struktur atas pisah dengan struktur bawahnya membuatnya lebih baik bilamana terjadi gempa.

Jadi gedung (super) tinggi dan jembatan (sangat) panjang mempunyai karakter yang saling berlainan. Oleh sebab, untuk mendapatkan pemahaman yang baik, uraiannya sebaiknya tidak disatukan, tetapi dibahas tersendiri atau tepatnya dapat difokuskan. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

16/90

8. BANGUNAN GEDUNG TERHADAP GEMPA DAN ANGIN 8.1. Umum Sebelum membahas bangunan tinggi, ada baiknya memperhatikan musibah gempa yang pernah terjadi, yaitu 26 Desember 2004 di Aceh, 9.3 Skala Richter (SR) dengan tsunami, 27 Mei 2006 di Yogyakarta, 5.9 SR, 30 September 2009 di Padang, 7.6 SR. Itu catatan kejadian di dalam negeri, adapun di luar negeri yaitu 15 Agustus 2007 di

Peru, 7.9 SR, lalu 22 Februari 2011 di Christchurch, Selandia Baru, 6.5 SR, dan tidak lama kemudian 11 Maret 2011 di Jepang, 8.9 SR dengan tsunaminya yang dahyat. Adanya gempa-gempa tersebut dan lokasinya menjadi bukti bahwa yang dinamakan ring of fire adalah fakta yang tidak dapat disepelekan, lihat Gambar 2.

Gambar 2. Ring of Fire peta resiko gempa di kawasan Asia-Pasific

Peta virtuil ring of fire di atas dihasilkan dari pemikiran adanya pelat tektonik bumi yang terpisah dan saling bergerak satu dan lainnya, ada bagian yang berjauhan dan

ada bagian yang saling bertemu. Pada daerah itulah yang diyakini sumber terjadinya gempa. Jadi gempa adalah dampak pergerakan itu, dan akan terus terjadi selama ada pergerakan tersebut. Resiko gempa tidak bisa diabaikan, suatu saat akan terjadi.

Hanya kapan waktunya yang tepat, sampai sekarang belum ada ilmu dan teknologi yang dapat mengungkapkannya, baru pada tahap dugaan semata. Bisa ya, bisa tidak.

Pada bangunan tinggi, dampak gempa mirip dengan angin, yaitu pembebanan arah lateral. Karena karakternya didominasi arah vertikal dibanding horizontal, maka pengaruh gempa pada gedung tinggi lebih signifikan menentukan perencanaannya. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

17/90

8.2. Karakteristik Penting Bangunan terhadap Gempa dan Angin Angin dan gempa pada gedung tinggi, efeknya sama, sehingga perlu sistem struktur

penahan lateral. Meskipun demikian, proses terjadinya beban berbeda, sehingga karakternya juga berbeda. Beban gempa terjadi akibat adanya percepatan tanah pada pondasi yang diteruskan ke struktur atas. Ini terjadi, karena secara tradisionil

bangunan bersatu dengan pondasinya. Hasilnya jika disederhanakan, pada pusat massa seakan-akan ada beban lateral, sesuai hukum kedua Newton, yaitu F = m∙ a.

Gambar 3. Perilaku struktur gedung tinggi terhadap angin dan gempa

Besarnya percepatan tanah (a) tergantung lokasi (tempat), karena Indonesia berada

pada daerah ring of fire (Gambar 2), maka resiko terjadi gempa juga besar. Adapun parameter massa (m) tergantung jenis bangunan, yang ringan mengakibatkan beban gempa lebih yang kecil dibanding yang berat. Itulah mengapa bangunan tradisionil

dari kayu relatif lebih tahan gempa (rusak sedikit) dibanding rumah batu. Bahkan dapat dijelaskan, mengapa kolom rumah joglo yang hanya duduk di atas umpak batu punya kinerja lebih baik saat ada gempa dibanding kolom yang tertanam di pondasi.

Karakter bangunan untuk menghadapi gempa berbeda dibandingkan dengan angin.

Bangunan ringan dan terpisah dari pondasi adalah faktor yang menguntungkan terhadap efek gempa, tetapi sebaliknya jika dimaksudkan untuk menghadapi angin.

Jika diterapkan, maka bisa-bisa bangunannya terbawa terbang oleh angin topan.

Angin bekerja langsung menekan (menghisap) bangunan, jadi semakin berat dan terikat erat dengan sistem pondasinya, maka bangunan akan semakin stabil (kuat).

Jadi meskipun pengaruh angin dan gempa adalah sama-sama sebagai beban lateral pada gedung, tetapi karena karakternya berbeda maka solusinya juga bisa berbeda.

Karakteristik bangunan juga tergantung dari material utama yang dipakai. Jika terkait gedung tinggi dan jembatan panjang, maka materialnya relatif terbatas, yaitu beton atau baja, atau kombinasi keduanya. Untuk itu mari kita lihat masing-masing. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

18/90

Material baja secara alami mempunyai rasio kuat berbanding berat-volume yang tinggi, sehingga dihasilkan bangunan yang relatif ringan. Ini penting pada bangunan

tahan gempa. Selain itu, material baja punya karakter kekuatan tinggi, relatif kaku dan sangat daktail, yang merupakan syarat ideal mengantisipasi beban tak terduga.

Karena produk pabrik, mutunya relatif seragam, tetapi karena itu pula ukuran dan bentuknya tertentu, terpisah dan baru disatukan di lapangan. Pada satu sisi hal itu kelemahan karena sulit dihasilkan struktur monolit, perlu detail sambungan yang

baik. Tetapi jika dapat diantisipasi, ternyata dapat dibuat suatu detail khusus sehingga jika terjadi kerusakan (akibat gempa) maka bagian itu saja yang diperbaiki. Itu sangat memungkinkan karena dari awalnya memang tidak monolit.

Material beton berbeda dari segi kekuatan, kekakuan atau daktilitasnya, kalah dari

material baja. Bahkan beton hanya dimanfaatkan terhadap tekan. Jadi untuk dapat digunakan perlu bantuan baja, jadilah beton bertulang atau beton prategang. Sisi

lain, secara alami beton punya karakter lebih awet, ketahanan lingkungan yang baik, tidak korosi, tahan panas (tidak terbakar), dan mudah untuk dibentuk. Ini yang

menyebabkan konstruksi beton lebih monolit atau menerus. Sistem sambungan pada konstruksi beton bertulang bukan sesuatu yang signifikan rumit dalam desainnya, kecuali jika memakai sistem beton pracetak. Material beton punya rasio kuat dibanding berat-volume yang rendah, hasilnya sistem strukturnya relatif lebih

berat, tetapi sifat seperti ini ternyata baik jika digunakan terhadap beban angin. Adanya karakter berbeda antara material baja dan beton, tetapi sebenarnya saling melengkapi, menyebabkan keduanya menjadi material utama pada gedung tinggi.

8.3. Sistem Struktur Penahan Lateral 8.3.1. Sistem struktur dan jumlah lantai

Jarak antar kolom (bentang balok) pada bangunan tinggi umumnya relatif pendek. Dimensi bangunan meningkat kearah vertikal., sehingga gempa dan angin akan lebih

berpengaruh. Akibatnya diperlukan sistem struktur penahan lateral yang sesuai, yang mempengaruhi konfigurasi atau tata letak elemen vertikal dari segi arsitektur.

Pada bangunan relatif tidak tinggi, sistem penahan lateral dapat dirangkap sekaligus

dengan sistem penahan gravitasi, yaitu rigid frame atau portal. Penggunaan beton bertulang untuk rigid frame relatif mudah karena sifatnya monolit, tetapi untuk baja

perlu sistem sambungan yang detailnya lebih kompleks dibanding beton bertulang.

Selanjutnya semakin tinggi bangunan, sistem rigid-frame tidak cukup, perlu dibuat struktur khusus yang memang didedikasikan untuk sistem struktur penahan lateral. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

19/90

Ada berbagai macam sistem struktur penahan lateral, efektivitasnya ditentukan oleh

kekakuan lateral yang dihasilkan. Untuk itu dapat dilihat pada Gambar 4 berbagai macam sistem yang dijumpai, yang dibedakan antara struktur baja dan struktur

beton bertulang. Sistem yang dipilih juga ditentukan dari jumlah lantai bangunan, karena semakin banyak lantai maka diperlukan sistem yang lebih efektif.

Gambar 4. Hubungan sistem penahan lateral dan jumlah lantai (Taranath 2005)

Catatan : Daftar atas belum memperhitungkan sistem struktur Burj-Khalifa (2010), yang berbeda dan dianggap sistem baru, terbukti dapat dipakai sampai  160 lantai.

Sistem struktur penahan lateral menentukan kekakuan bangunan terhadap beban

lateral (gempa dan angin). Ini sangat penting, karena deformasi lateral bangunan

harus dibatasi, agar nyaman dipakai (jangan sampai terjadi goyangan berlebih) yang

dirasakan secara langsung oleh pemakainya, juga dampak pada kekuatannya akibat adanya momen tambahan dengan terjadinya efek P-Δ pada elemen vertikal (kolom). Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

20/90

Perilaku lateral gedung tinggi dapat dianalogikan sebagai kantilever, dimana untuk beban titik deformasinya Δ = PL3/(3EI), dengan P gaya lateral (gempa atau angin), L

tinggi bangunan, E modulus elastisitas material, dan I momen inersia atau konstanta

lentur berdasarkan konfigurasi fisik geometrinya. Jika kekakuan adalah besarnya gaya per-unit deformasi, maka kekakuan lentur kantilever k = 3EI/L3 , berbanding linier dengan EI tetapi berbanding terbalik pangkat tiga dengan tingginya.

Parameter E tergantung materialnya, jika struktur baja nilai Es = 200,000 MPa, tapi

untuk struktur beton bervariasi tergantung mutu beton yaitu Ec = 4700 √fc’ MPa. Jadi dapat dipahami mengapa bangunan super tinggi, pemakaian beton mutu tinggi

adalah sangat penting, tidak hanya dari segi kekuatannya, yaitu kemampuannya menahan gaya tekan yang lebih besar, tetapi juga agar kekakuan struktur meningkat

untuk mengurangi deformasi lateral. Jika peningkatan mutu bahan (E) tidak bisa,

atau tidak cukup ekonomis diusahakan, maka alternatif lainnya adalah peningkatan faktor I , yang dalam hal ini tentunya tidak sekedar momen inersia seperti kantilever biasa, tetapi lebih pada konstanta yang mewakili kondisi geometri atau bentuk fisik struktur terhadap beban lateral.

Gambar 5. Macam sistem struktur penahan lateral: (a) steel rigid frame; (b) RC rigid frame; (c) braced steel frame; (d) RC frame - shear wall; (e) steel frame - shear wall; (f) steel frame – infilled walled (Taranath 2005)

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

21/90

8.3.2. Gedung tinggi dan analogi kolom kantilever Pentingnya mengetahui karakter geometri atau bentuk fisik struktur gedung tinggi

berkaitan dengan perilakunya terhadap beban lateral. Ini tentu berbeda jika yang mempelajarinya arsitek, yang akan mengevaluasi dari segi keindahan atau fungsinya adapun engineer tentunya melihat dari sisi kekuatan, kekakuan dan faktor daktilitas.

Selanjutnya dapat dipelajari strategi peningkatan kekakuan lateral, ditinjau sistem flat-slab kolom (yang paling sederhana). Kekakuan lateral semata-mata ditentukan

oleh elemen vertikal (kolom), yang bekerja sebagai kantilever. Berdasarkan teori elastisitas dapat diketahui perilaku umumnya terhadap beban terpusat (Gambar 6).

Gambar 6. Perilaku kolom kantilever terhadap beban lateral terpusat

Deformasi lateral (total) akibat beban terpusat (P) terdiri deformasi lentur (lentur)

dan deformasi geser (geser), keseluruhannya adalah total = lentur + geser , adapun lentur = PL3/(3EI) dan geser = 1.2PL/(GA) pada penampang persegi, G = ½E/(1+) jadi jika  = 0.2 (material beton) maka G = ½E/(1+) = 0.4167E.

Selanjutnya parameter numerik tersebut digunakan untuk menunjukkan seberapa besar pengaruh deformasi terhadap perubahan ukuran kolom (b x h), dimana nilai h akan ditingkatkan sesuai arah pembebanan, sampai akhirnya disebut dinding. Tabel 3. Pengaruh dimensi kolom terhadap perilaku deformasi

No b h h/L I A lentur geser total 1 1 0.5 0.05 0.01042 0.5 31,990 (99.8%) 58 (0.2%) 32,048 (100%) 2 1 1 0.10 0.08333 1 4,000 (99.3%) 29 (0.7%) 4,029 (100%) 3 1 3 0.30 2.25000 3 148 (93.7%) 10 (6.3%) 158 (100%) 4 1 5 0.50 10.41667 5 32 (84.0%) 6 (16%) 38 (100%) 5 1 7 0.70 28.58333 7 12 (75.0%) 4 (25%) 16 (100%) 6 1 10 1.00 83.33333 10 4 (58.0%) 3 (42%) 7 (100%) Catatan : P =1; E=1 dan L=10 Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

22/90

Dari Tabel 3 diketahui bahwa rasio tinggi penampang (h) terhadap tinggi kolom (L), mempengaruhi perilaku struktur. Jika h/L kecil (kolom) maka deformasi lentur dominan, tetapi h/L semakin besar (dinding), sehingga kekakuan lentur bertambah maka deformasi yang terjadi sebagian disebabkan oleh adanya geser. Sehingga

untuk kolom langsing, deformasi geser dapat diabaikan, tetapi sebaliknya untuk dinding maka deformasi geser yang terjadi harus diperhitungkan. 8.3.3. Sistem rigid frame

Perkembangan lanjut adalah rigid frame atau portal. Kekakuan ujung-ujung bebas

kolom bebas diberdayakan, yaitu dengan menghubungkannya pada balok kaku. Kaku atau tidaknya balok ditentukan parameter EIb/Lb, yang berbanding lurus dengan tinggi penampang balok tetapi berbanding terbalik dengan panjangnya.

Perilaku lateral rigid frame dan kolom bebas (kantilever) ternyata berbeda. Untuk itu akan diperlihatkan komponen-komponen deformasinya sebagai berikut.

Gambar 7. Deformasi rigid-frame: (a) bending momen ; (b) geser

Gambar 7a merupakan deformasi terhadap bending momen yang terjadi jika rigid

frame bekerja sebagai satu kesatuan struktur monolit, yang identik dengan Gambar 6c. Ciri-cirinya ada sisi kolom tekan (-) dan ada sisi kolom tarik (+).

Gambar 7b merupakan deformasi yang diakibatkan oleh kekakuan lentur kolom

secara individu, yang bentuknya identik dengan deformasi geser jika dianggap rigid frame dapat bekerja sebagai satu kesatuan monolit, lihat Gambar 6e. Ciri-cirinya tidak terjadi perubahan panjang dari masing-masing kolom.

Dalam kenyataannya, deformasi lateral rigid-frame secara keseluruhan didominasi oleh bentuk deformasi geser (Gambar 7b). Itu terjadi karena kolom secara individu

mempunyai kekakuan aksial yang besar dibanding lenturnya, sehingga yang lemah (lentur penampang) menentukan perilaku rigid-frame secara keseluruhan. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

23/90

Terkait bangunan tinggi, dimana rasio lebar tapak dan tingginya (h/l) relatif kecil,

maka perilakunya dapat dianalogikan sebagai kolom langsing. Sistem tersebut akan efektif jika mekanisme pengalihan gaya-gaya lateral ke pondasi melalui kekakuan

lentur dibanding kekakuan gesernya. Itu dijelaskan di Tabel 3, kolom dengan rasio

h/l = 0.1 maka 99.8% lendutannya ditentukan dari kekakuan lentur. Ciri-cirinya, ada sisi tekan dan sisi tarik pada potongan penampangnya. Selanjutnya untuk perilaku

rigid-frame ternyata tidak seperti itu, tidak dijumpai sisi tekan atau tarik yang cukup signifikan besarnya, yang ada adalah deformasi lateral pada sistem seperti akbiat

deformasi geser. Itu berarti, balok (horizotal) penghubung kolom (vertikal) dengan komponen vertial lainnya, belum efektif. Dalam praktek, rigid-frame optimal dipakai pada sistem struktur penahan lateral gedung 25 lantai ke bawah (lihat Gambar 4). 8.3.4. Sistem braced-frame

Untuk itu dibuat studi lagi, mencari sistem penghubung kolom-kolom agar efektif

bekerja secara monolit. Alternatifnya adalah brace-frame atau sistem rangka dengan batang diagonal. Konfigurasinya dapat dikategorikan sebagai concentric brace frame (CBF) dan eccentric brace fream (EBF), sebagai berikut:

Gambar 8. Macam-macam sistem rangka dengan batang diagonal

Jika konfigurasi rangka keseluruhan dibentuk dari segitiga-segitiga, disebut CBF, jika hanya sebagian disebut EBF, misalnya rangka g, i, j, dan l pada Gambar 8.

Konfigurasi batang diagonal (bracing) yang bermacam-macam, umumnya untuk mengakomodasi keperluan tata layout ruang di dalamnya, seperti jendela atau pintu Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

24/90

dan sebagainya. Penggolongan CBF dan EBF perlu karena mekanisme pengalihan gaya-gaya lateralnya ke pondasi berbeda. CBF memanfaatkan kekakuan aksial

elemen-elemen batang (Gambar 9a-d), sedang EBF selain seperti CBF ada bagian yang berperilaku sebagai balok lentur (Gambar 9e). Keruntuhan lentur lebih daktail dibanding aksial, hingga EBF juga lebih daktail jika direncanakan dengan baik.

Gambar 9. Aliran gaya-gaya pada rangka dengan batang diagonal

Adanya batang tekan (-) dan tarik (+) pada rangka dengan batang diagonal, menjadi

petunjuk bahwa sistem brace-frame lebih optimal terhadap beban lateral daripada

sistem rigid-frame yang mengandalkan penghubung balok horisontal saja. Juga jika diperhatikan, bentuk deformasinya mirip dengan kantilever (lihat Gambar 10).

Gambar 10. Perilaku brace-frame: deformasi (a) lentur; (b) geser; (c) kombinasi

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

25/90

Brace-frame hanya populer digunakan pada konstruksi baja, untuk maksud sama

pada konstruksi beton bertulang digunakan dinding struktur (semacam kolom yang diperbesar), untuk sistem struktur penahan lateral disebut shear-wall atau dinding geser. Perilaku shear-wall pada bangunan tinggi tidak ubahnya seperti kolom kantilever, dimana deformasi lentur menjadi dominan (lihat Gambar 6). 8.3.5. Sistem Ganda, kombinasi braced / wall dengan frame

Karena tidak setiap sisi bangunan dapat dipasang bracing atau dijadikan dinding struktur maka dapat dibuat sistem kombinasi antara sistem rigid-frame dan sistem brace-frame atau dinding geser (shear wall).

Gambar 11. Sistem kombinasi braced-frame atau shear-wall dengan rigid-frame

Akibat beban lateral, rigid-frame akan berdeformasi geser (bentuk paralelogram)

sedangkan dinding-geser seperti kantilever, yaitu berdeformasi lentur. Bila dua sistem disatukan dengan diaphragm lantai yang kaku, akibat kompatibilitas antara keduanya mengalami deformasi sama di setiap level lantai. Sehingga sistem ganda : rigid-frame dan dinding geser (brace-frame) bersama-sama memikul gaya geser, tetapi bagian atas cenderung saling bertolak-belakang. Pola pembagian gaya geser

antara sistem rangka dan dinding-geser dipengaruhi karakteristik respons dinamik dan terbentuknya sendi plastik saat gempa, yang berbeda dari hasil analisis elastis. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

26/90

Meskipun analisis elastis tidak sepenuhnya dapat dipakai pada desain sistem ganda,

tetapi minimal dapat memberi gambaran bagaimana interaksi antara kedua sistem. Untuk itu, ditinjau bangunan 12 lantai yang terdiri dari sistem rangka dan dinding geser (mewakili brace-frame juga) yang bervariasi ukurannya, hasilnya adalah :

Gambar 12. Distribusi gaya lateral sistem ganda (Paulay and Priestly 1992)

Jika kekakuan dinding-geser diperbesar, tahanan momen bagian dasar bertambah,

tetapi bagian atas tidak efektif, adapun bagian tengah relatif tidak terpengaruh.

Selisih antara total momen pada setiap level dan partisipasi dinding-geser akan diambil alih oleh sistem rangka yang ada. Gambar 12b adalah distribusi gaya geser

pada sistem rangka dan dinding geser. Semakin fleksibel dinding-gesernya maka partisipasi untuk menahan gaya geser semakin cepat berkurang ke arah atas.

Perilaku lentur dari dinding-geser di bagian atas dipakai sebagai kontrol lendutan sistem-ganda. Resiko untuk terjadinya soft-stories juga menjadi berkurang, bahkan tidak akan ada karena dinding-geser bekerja sebagai pengaku pada arah lateral. Perencana dapat lebih bebas menetapkan lokasi terjadinya sendi plastis dalam

rangka disipasi energi gempa. Bentuk atau penempatan lokasi sendi-plastis pada sistem-ganda yang disarankan adalah sebagai berikut:

Gambar 13. Mekanisme disipasi energi terhadap gempa (Paulay and Priestly 1992)

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

27/90

Pada Gambar 13a, sendi plastis terbentuk pada setiap balok dan di dasar semua elemen vertikal. Pada bagian atap sendi plastis bisa terbentuk pada balok atau ujung

kolom. Keuntungan sistem ini adalah segi pendetailannya, detail sendi plastis di balok adalah lebih mudah dibanding di ujung kolom. Selain itu dihindarinya sendi plastis di kolom memungkinkan sambungan lewatan tulangan ditempatkan di atas lantai, daripada memasangnya di tengah-tengah tinggi kolom.

Untuk balok bentang panjang, yang mana beban gravitasi lebih dominan dibanding

lateral, maka bisa saja dibuat sendi plastis terjadi pada ujung-ujung kolom pada keseluruhan lantai (lihat Gambar 13c).

Hasil analisis elastis (Gambar 12) menunjukkan bahwa partisipasi momen pada dinding struktur berbalik pada bagian atas, meskipun demikian karena pada kondisi inelastis dan dinamik berbeda maka cara penulangannya tidak boleh didasarkan sepenuhnya hasil elastis. Paulay dan Priestly (1992) mengusulkan momen rencana dinding-struktur pada sistem-ganda adalah sebagai berikut.

Gambar 14. Momen rencana dinding sistem ganda (Paulay and Priestly 1992)

Pada keseluruhan pembahasan sistem-ganda dianggap lantai sangat kaku pada arah

bidangnya, sehingga bila berfungsi sebagai diaphragma, dapat menyatukan sistem rangka dan sistem dinding-struktur sedemikian sehingga semua elemen vertikal

yang disatukan mempunyai perpindahan lateral yang sama besarnya. Kenyataannya asumsi tersebut tidak sepenuhnya berlaku untuk bangunan panjang dan disatu sisi

lain sangat pendek, ditambah jika penempatan dinding-geser terbatas maka lantai dapat mengalami deformasi yang saling berbeda (lihat Gambar 15). Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

28/90

Gambar 15. Pengaruh kekakuan diaphragm sistem ganda (Paulay and Priestly 1992)

Pada kondisi tersebut maka kekakuan diaphragma perlu dianalisis secara nyata, misalnya dimodelkan sebagai elemen shell dan semacamnya. Bagaimanapun jika

diaphragmanya tidak kaku, tetapi flesibel seperti diatas, maka pembagian gaya-gaya pada rangka dan dinding akan berubah.

Melihat perilaku interaksi sistem rangka dan dinding-struktur yang unik, yang mana dinding-struktur karena kaku pada bagian bawah akan mengambil porsi gaya geser yang lebih besar dibanding di bagian atas, yang kemudian diambil alih oleh rangka

maka sistem-ganda hanya menguntungkan jika diterapkan pada bangunan tinggi 50

lantai ke atas atau lebih (Taranath 2010). Keuntungan sistem-ganda tergantung dari intesitas iteraksi horizontal yang ditentukan oleh kekakuan relatif dinding dan

sistem rangka, juga ketinggian struktur. Semakin tinggi dan semakin kaku sistem rangka, maka iteraksi yang terjadi semakin besar.

Meskipun demikian tidak disangkal lagi, bahwa sistem-ganda (sistem rangka dan dinding-geser) merupakan satu sistem yang paling populer digunakan sebagai

sistem struktur penahan lateral mulai dari bangunan bertingkat medium sampai bertingkat tinggi, mulai dari bangunan 10 lantai sampai bangunan 50 lantai. Bahkan dengan penebalan balok (haunch) dapat dipakai pada bangunan sampai 60 lantai.

Ketentuan tahan gempa menurut ASCE 7-05 terkait penggunaan sistem-ganda sebagai sistem struktur penahan lateral harus mengikuti persyaratan berikut bahwa

meskipun disebut sistem-ganda tetapi dinding-struktur harus dianggap sebagai struktur utama penahan lateral, sedangkan sistem rangka hanya berfungsi sebagai back-up (redundant). Untuk itu maka sistem rangka harus direncanakan memikul Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

29/90

sedikit-sedikitnya 25% dari total gaya gempa yang ada, sedangkan dinding-struktur sebagai yang utama penahan lateral harus didesain penuh (100%) terhadap beban lateral. Kondisi ini tentu akan mempermudah perhitungan sekaligus menambah keamanan penggunaan sistem ganda sebagai struktur pada bangunan tahan gempa. Mengikuti persyaratan ASCE 7-05 perlu tahapan perencanaan sebagai berikut:

 Tahap pertama : analisis sebagai sistem-ganda. Pada analisis tahap ini umumnya

memperlihatkan bahwa semua gaya lateral akan dipikul oleh dinding-struktur di bagian bawah, sedangkan porsi atas akan dipikul oleh sistem rangka kaku. Jadi

ketika kolom bangunan didesain menggunakan hasil analisis dari sistem ganda maka gaya-gaya yang diterima oleh kolom di bagian bawah akan sangat kecil. Itulah diperlukannya analisis tahap kedua, yaitu untuk sistem rangka sendiri.

 Tahap kedua: analisis sistem rigid-frame saja, tak perlu perhitungan ulang gaya

geser dasar atau perioda getar sistem rangka, tetapi cukup memakai gaya gempa rencana yang digunakan pada tahap pertama (sistem ganda) yang dikalikan

dengan 25%-nya. Proses desain tahap ke-2 dimaksudkan agar kolom pada

sistem rangka di bagian bawah khususnya direncanakan cukup kaku dan kuat karena momen rencana kolom di bagian tersebut umumnya ditentukan oleh momen rencana yang dihasilkan oleh analisis pada tahap kedua.

Pemakaian sistem ganda untuk bangunan bertingkat medium belum tentu lebih

menguntungkan dibanding sistem rigid-frame saja. Apalagi jika ternyata lendutan atau tepatnya story-drift dari tiap lantai bangunan masih dapat diantisipasi dengan

penggunaan sistem rangka-kaku (rigid-frame) tersebut, misalnya dengan membuat sistem rangka-perimeter yang berbeda.

Jika tetap diinginkan penambahan dinding-struktur pada sistem rangka-kaku maka memang akan terjadi peningkatan kekakuan bangunan, tetapi itu berdampak pada

perioda getar bangunan yang lebih pendek, sehingga jika dikaitkan dengan grafik respons spektrum akan terlihat bahwa gaya gempa yang perlu diaplikasikan pada perencanaan tahan gempa akan bertambah besar pula. Kecuali hal itu, karena gaya

geser gempa di bagian bawah diserap sepenuhnya oleh dinding-struktur, yang akan

bekerja seperti kantilever, maka itu menimbulkan konsekuensi baru, yaitu perlu

sistem pondasi kaku dan kuat untuk memikul momen di bagian bawah dindingstruktur tersebut. Jelas itu semua akan memerlukan konsekuensi tambahan biaya yang tidak bisa diabaikan.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

30/90

8.3.6. Sistem coupled shear wall Karakter sistem dinding geser yang solid dari beton bertulang tentu akan berbeda

dibanding sistem brace-frame yang memang lebih mengakomodasi adanya bukaan untuk jendela, atau pintu dan sebagainya. Untuk dinding geser perlu strategi khusus

mengantisipasi perlunya bukaan-bukaan dimaksud. Sistem struktur yang efisien dan mempunyai response daktail dalam mendisipasikan energi gempa, dapat dicapai

jika bukaan-bukaan ditempatkan teratur. Bentuk dinding struktur yang mengakomodasi bukaan-bukaan teratur dinamakan dinding geser berangkai (coupled shear wall), dimana bagian dinding yang mengakomodasi bukaan yang umumnya terletak pada elevasi lanti dan terlihat seperti balok, dapat disebut balok perangkai (coupled beam atau link-beam).

Gambar 16. Sistem Dinding Geser Berangkai (Paulay and Priestly 1992)

Tentang istilah teratur, bisa saja ada bukaan yang ditempatkan teratur pada dinding tetapi menghasilkan pelemahan, beresiko terjadi keruntuhan geser.

Gambar 17. Penempatan bukaan buruk pada dinding geser (Paulay and Priestly 1992)

Untuk disebut balok perangkai sebenarnya ada ciri-ciri yang dapat diamati secara visual. Jika tingginya relatif kecil, katakanlah sekedar pelat lantai penghubung

dinding dengan bukaan yang besar maka efektifitas fungsinya sebagai balok

perangakai dapat disangsikan. Artinya bukaan yang ada memisahkan dinding struktur menjadi dua bagian yang akan bekerja sebagai struktur sendiri-sendiri. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

31/90

Jadi tujuan balok perangkai adalah agar dinding struktur dengan bukaan-bukaan teratur dapat bekerja seakan-akan sebagai suatu dinding utuh (tanpa bukaan). Karena ukuran balok perangkai yang relatif lebih kecil dibanding dinding secara

keseluruhan maka bagian tersebut menjadi paling lemah. Strategi perencanaan hanya ada dua, balok perangkai dibiarkan lemah, dalam hal ini dibiarkan terjadi

deformasi yang besar dengan menyediakan tulangan yang akan mengalami leleh dan akan bekerja seperti sendi. Tetapi bisa juga didesain mampu menjadi semacam shear connector seperti balok komposit, menyatukan dua bagian dinding tersebut.

Jika balok perangkai didesain dapat berfungsi sebagai shear connector maka secara fisik biasanya memerlukan suatu ketinggian tertentu dibanding bentang bersihnya.

Pada dinding struktur yang terpisah oleh bukaan maka kedua bagian dinding tadi akan berperilaku seperti kantilever sehingga balok perangkai turut berotasi dan leleh. Jika dapat dibuat detail yang baik, balok perangkai mampu mendisipasi enerji pada keseluruhan tinggi dinding.

Gambar 18. Mekanisme kerja dinding-berangkai (Paulay and Priestly 1992)

Mekanisme tahanan beban dinding-perangkai secara kualitatif diperlihatkan pada

Gambar 18. Dapat terlihat momen guling keseluruhan, Mof atau M, pada dinding struktur tanpa bukaan diperlihatkan pada Gambar 18a, ditahan secara keseluruhan oleh momen lentur dinding. Pada sisi lain, pada dinding berangkai akan timbul gaya aksial sekaligus momen lentur di tumpuan untuk menahan momen guling, M. Kondisi keseimbangannya adalah :

M  M1  M2  T  l ....................................................................................................... (1)

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

32/90

Besarnya gaya aksial, T , sebagai jumlah total gaya geser yang terjadi pada balok

perangkai di atas level yang dievaluasi. Jika balok perangkai lemah, yang umumnya

dijumpai pada bangunan apartemen karena keterbatasan tinggi balok yang dapat dipasang, maka besarnya tahanan momen guling dihasilkan dari komponen momen (M1 dan M2). Pada sisi lain jika balok perangkainya sangat kaku, maka mayoritas

tahanan momen guling dihasilkan dari momen kopel (Tl) dari gaya-gaya aksial yang bekerja pada dinding geser berangkai tersebut.

Balok perangkai yang tidak direncanakan khusus untuk berperilaku daktail dan

menerima gaya geser yang besar saat gempa besar akan menyebabkan kerusakan

dindingnya. Salah satu konfigurasi dengan penulangan diagonal dianggap paling efektif untuk menghindari terjadinya degradasi kekuatan yang besar (Gambar 19).

Gambar 19. Penulangan dinding-geser dan balok perangkai (Taranath 2010)

Detail-1 pada penulangan diagonal balok perangkai Gambar 19, sesuai persyaratan

pengekangan menurut ACI 318-05, tetapi untuk mengapli-kasikannya di lapangan

dijumpai banyak kesulitan. Untuk itu dikembangkan detail-2 yang dapat diterapkan pada hal yang sama mengikuti persyaratan ACI 318-08 yang lebih sederhana.

Taranath (2010) menyatakan bahwa sistem dinding geser berangkai ekonomis

digunakan pada gedung 40 lantai. Adapun dinding geser hanya efektif memikul gaya

lateral pada arah bidangnya, maka dinding geser pada arah saling tegak lurus

(ortogonal) diperlukan untuk menahan beban lateral dari dua arah. Penempatan dinding geser disekitar elevator, tangga dan shaft utilitas adalah cukup umum

karena tidak mengganggu layout arsitektur. Meskipun demikian tahanan terhadap beban torsional perlu dipertimbangkan untuk menetapkan layout tepat. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

33/90

8.3.7. Sistem dengan outrigger dan belt-truss Untuk ketinggian lantai tertentu (± 50 ~ 60 lantai), kombinasi antar elemen atau

sistem,yaitu rigid-frame dengan braced-frame atau shear-wall cukup menghasilkan sistem struktur penahan lateral yang kaku, baik terhadap beban gempa atau angin.

Tetapi pada bangunan gedung lebih tinggi, diperlukan strategi khusus agar perilaku geometri gedung secara keseluruhan dapat diberdayakan.

Seperti diketahui untuk struktur kantilever yang menerima lentur, maka hanya sisi

bagian luar dari struktur tersebut yang bekerja. Bahkan dari rumus balok lenturpun dapat diketahui bahwa titik di garis netral, tegangan lenturnya nol. Itu berarti pada

bangunan tinggi, kolom di tengah bangunan tidak efektif menyumbang kekakuan pada sistem penahan lateralnya. Fungsi hanya menerima beban gravitasi ke pondasi.

Untuk memberdayakan kolom atau elemen-elemen struktur vertikal di bagian tepi

bangunan itu maka dibuat sistem out-trigger, belt-truss, mega-truss, perimeter tube, modular tube, dan lain-lainnya. Sistem tube mensyaratkan struktur perlu dianalisis sebagai suatu struktur ruang (space frame) secara keseluruhan (global).

Gambar 20. (a) Sistem outrigger dengan core-tengah; (b) Outrigger pada offset core; (c) diagonal ; (d) elemen lantai yang bertugas sebagai outtriger (Taranath 2005)

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

34/90

Penggunaan sistem outrigger atau belt-truss dimaksudkan untuk memberdayakan dimensi bangunan seoptimal mungkin agar berperilaku sebagai satu kesatuan

seperti kolom kantilever tunggal. Ciri-cirinya akan terjadi gaya tarik dan gaya tekan di sisi perimeter luar (lihat perilaku kolom tunggal Gambar 6). Jadi outrigger dan belt-truss berfungsi menyatukan elemen vertikal (kolom) yang berada di tepi luar.

Ingat bangunan tinggi dapat dianalogikan seperti kolom langsing, sehingga perilaku lentur dominan. Oleh karena itu gaya / reaksi terbesar terjadi pada sisi luar terjauh.

Untuk mempelajari perilaku sistem outrigger atau belt truss, akan ditinjau bangunan tinggi dengan sistem tersebut di atap, biasa disebut hat-truss sistem (Gambar 21).

Gambar 21. (a) Denah bangunan dengan belt-truss; (b) deformasi lentur braced-core; (c) Deformasi akhir system (Taranath 2005)

Penempatan belt-truss yang kaku di atas gedung menyebabkan kolom perimeter berfungsi sebagai batang tekan atau tarik (Gambar 21c), dan menghasilkan momen

kopel berlawanan dengan momen luar akibat gaya lateral. Akibatnya momen luar berkurang, sehingga lendutan lateral yang terjadi juga berkurang.

Besarnya lendutan yang dapat direduksi ternyata berkaitan dengan penempatan belt-truss atau outrigger tersebut. Penempatan di atas bangunan bukanlah yang

terbaik. Untuk melihat seberapa efektif lokasi penempatannya maka diperlukan peninjauan perilaku lentur sebelum dan sesudah diberikan belt-truss tersebut. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

35/90

(a). Belt-truss di z = L

(b). Belt-truss di z = 0.75L

(c). Belt-truss di z = 0.50L

(d). Belt-truss di z = 0.25L Gambar 22. Pengaruh penempatan Outrigger terhadap elevasi (Taranath 2005)

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

36/90

Dari perilaku penempatan single-outrigger pada Gambar 22 dapat diketahui bahwa penempatan outrigger di ujung paling atas bangunan bukanlah yang terbaik. Selain itu, jika ditempatkan di bagian paling atas, maka kolom perimeter sepanjang tinggi bangunan harus didesain terhadap gaya tarik, meskipun untuk struktur baja baik, karena tidak ada bahaya tekuk, tetapi sambungan tarik menjadi masalah pada sistem sambungannya. Selanjutnya Taranath (2005) memberi usulan tinggi elevasi optimum untuk beberapa tipe outrigger sebagai berikut.

Gambar 23. Lokasi optimum outrigger (a) single; (b) double; (c) triple; (d) quadro (Taranath 2005)

8.3.8. Sistem framed-tube Sistem framed-tube secara umum didefinsikan sebagai sistem struktur ruang (3D) yang memanfaatkan keseluruhan perimeter luar bangunan sebagai sistem struktur

penahan lateral. Persyaratan yang diperlukan adalah perlu dibuat suatu struktur

seperti dinding tiga dimensi di sekeliling luar bangunan, analoginya adalah tabung atau pipa. Untuk sistem rigid-frame dapat dilakukan dengan menempatkan kolom perimeter secara rapat dan dihubungkan dengan balok tinggi.

Meskipun secara teroritis struktur tabung adalah sangat ideal, khususnya untuk

berperilaku seperti kantilever tunggal, tetapi dalam kenyataannya perilaku yang ada

relatif kompleks. Permasalahannya adalah digunakannya sistem rigid-frame, yang ternyata kekakuan lentur penampang tunggal lebih dominan daripada sebagai suatu

kesatuan. Pelajari kembali illustrasi yang ada pada Gambar 6 dan 7. Dampaknya Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

37/90

disebut shear-lag, yang cenderung mengubah distribusi reaksi kolom perimeter. Akibatnya kolom pojok pada perimeter akan menerima gaya reaksi yang lebih besar dibanding kolom perimeter di bagian tengah. Lihat Gambar 24c.

Gambar 24. Framed-tube (a) Denah; (b) Perimeter; (c) Reaksi kolom perimeter

Frame tube yang mengandalkan rigid-frame untuk bekerja seperti dinding perimeter

tabung, tidak efisien karena pengaruh shear lag. Oleh karena itu frame-tube dipakai

pada bangunan 50 – 60 lantai, kecuali jika dapat diusahakan kolom-kolom perimeter yang sangat rapat seperti halnya yang digunakan pada gedung WTC (World Trade Centre), New York. Sistem frame-tube ternyata dapat dipakai untuk gedung sampai

109 lantai. Tetapi konsekuensi pakai sistem tersebut, jarak tipikal kolom perimeter atas adalah 3.333 ft (1.0 m) sekeliling bangunan, detail lihat Gambar 25 dan 26. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

38/90

Gambar 25. Detail perimeter atas gedung WTC (http://911research.wtc7.net)

Gambar 26. WTC saat konstruksi medio 1966 – 1970 (http://911blog.yweb.skl)

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

39/90

8.3.9. Sistem trussed-tube Untuk mendapatkan kekakuan perimeter dengan sistem frame-tube sebagaimana halnya gedung WTC tentu tidak mudah. Perlu dukungan kuat dari arsitek, karena

untuk efektivitas sistem diperlukan kolom-kolom perimeter yang sangat rapat. Pada WTC dengan jarak 3’4” dan kolom 1’2” maka jarak bersih antar kolom hanya 2’2”

atau 0.66 m atau selebar jendela saja. Itu hanya bisa terjadi jika arsiteknya memang menghendaki, kalau hanya dari sisi engineer pasti tidak akan terwujud.

Untuk mengatasi permasalahan jarak kolom perimeter yang rapat, maka strategi

peningkatan kekakuan sebelumnya dapat digunakan, sistem rigid-frame diubah ke brace-frame. Hanya saja brace atau batang diagonal yang dimaksud harus dapat ditempatkan di sekeliling perimeter bangunan. Lihat Gambar 27 di bawah.

Gambar 27. (a) Tube building with multistory diagonal bracing; (b) rotated square tube with super diagonal (Taranath 2005) dan Bank of China Hongkong (kanan)

Konsep brace atau batang diagonal memang populer digunakan pada bangunan dari

baja. Itu disebabkan batang diagonal akan memikul gaya tarik suatu saat, dan gaya

tekan di saat yang lain. Baja kuat terhadap tarik dan tekan, sedangkan beton hanya

mengandalkan tulangan baja terpasang, sehingga perlu tempat yang mencukupi oleh karena itu sistem brace-frame akan digantikan dengan sistem shear-wall. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

40/90

Dengan jumlah lantai dan ukuran keseluruhan yang besar, gedung beton bertulang juga dapat dibuat brace-frame. Caranya, kolom perimeter beton bertulang dibuat

rapat, juga baloknya, kemudian pada lobang-lobang antara kolom-balok tersebut dapat dibuat dinding pengisi yang penempatannya diagonal (lihat Gambar 28).

(a). Wang Building, New York

(b). Onterie Center, Chicago

Gambar 28. Trussed-tube beton bertulang

8.3.10. Sistem bundled-tube. Analogi tabung langsing, tahanan momen paling efektif terhadap beban lateral jika dipikul oleh mekanisme lentur. Ciri-cirinya, sisi-sisi luar perimeter mengalami gaya

tekan dan gaya tarik sekaligus, yang menghasilkan momen kopel. Padahal besarnya

momen kopel ditentukan oleh jarak antara gaya-gaya kopel tadi. Itu berarti luasan dasar bangunan bertingkat menentukan efektifitas tahanan lateral.

Sisi lain pemakaian tabung tunggal menghadapi permasalahan shear-lag, kalaupun dapat dipakai brace, diperlukan elemen berukuran besar, tentu saja akan kesulitan

dalam detailing. Untuk mengatasi hal tersebut, dengan harapan dapat memperbesar luasan dasar bangunan sekaligus mengurangi efek shear lag, maka penggabungan beberapa sistem tabung yang relatif kecil menjadi satu kesatuan dapat dipilih. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

41/90

Gambar 29. Bundled-tube: (a) denah (b)brace-tube; (b) frame-tube. (Taranath 2005)

Gambar 30. Struktur bundled-tube: Sear Tower, Chicago, tinggi bangunan ( 443 m)

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

42/90

8.4. Hubungan Bangunan, Tanah, Gaya Gempa dan Angin. 8.4.1. Perilaku dinamik gempa pada bangunan tinggi Perilaku bangunan ketika gempa adalah permasalahan dinamik (getaran). Gerakan gempa di tanah tidak menyebabkan kerusakan seperti impak atau tumbukan, atau

tekan seperti angin. Tetapi percepatan tanah menimbulkan gaya inersia dari massa bangunan. Penambahan massa bangunan menimbulkan dua hal, pertama adalah

tambahan gaya inersia, kedua menimbulkan efek P-, sehingga terjadi tambahan momen akibat adanya deformasi lateral yang relatif besar. Distribusi deformasi

dinamik akibat gerakan tanah saat gempa dan lama gerakannya merupakan hal penting dalam perencanaan terhadap gempa. Meskipun durasi gempa kuat adalah penting, tetapi tidak tersirat langsung dalam code yang ada (Taranath 2005).

Secara umum, respon bangunan tinggi terhadap gempa berbeda dibanding bangunan rendah. Besarnya gaya inersia selama gerakan gempa di tanah tergantung dari : [1] massa bangunan; [2] akselerasi tanah; [3] kondisi tanah pondasi di bawah bangunan dan [3] karakteristik dinamik bangunan itu sendiri (lihat Gambar 31) .

Gambar 31. Gambaran skematik gaya gempa (Taranath 2010)

Jika bangunan dan tanah pondasi sangat kaku, bangunan mengalami akselerasi (a) sama dengan tanahnya, maka gaya inersia F, sesuai hukum Newton (F = m.a),

dengan m, massa bangunan. Untuk struktur yang mengalami deformasi relatif kecil,

deformasi cenderung mengurangi besarnya gaya inersia yang timbul (F < m .a). Bangunan tinggi relatif lebih fleksibel dibanding bangunan rendah sehingga akan

menerima akselerasi yang lebih kecil. Tetapi bangunan fleksibel yang menerima gerakan percepatan tanah dalam waktu yang lama dapat menghasilkan gaya inersia lebih besar (F > m.a) jika periode getarnya berdekatan dengan gelombang tanah. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

43/90

Jadi, besarnya gaya lateral gampa bangunan bukan sekedar fungsi dari akselerasi

tanah saja, tetapi dipengaruhi oleh respons struktur itu sendiri dan pondasi-nya.

Hubungan perilaku bangunan dan pergerakan tanah akibat gempa juga ditentukan oleh perioda getar bangunan yang dirumuskan dengan respons spektrum.

Sebelum membahas respons spektrum, ada baiknya dibahas dahulu periode getar bangunan (T). Dari rumus analisa dinamik diketahui parameter yang berpengaruh adalah massa (m) dan kekakuan (k) bangunan, sebagai berikut : T  2 m / k .

Jadi bangunan rendah dimana massa relatif kecil dan k relatif besar maka waktu getarnya pendek, sedangkan bangunan tinggi yang sebaliknya, akan panjang.

Respons spektrum adalah pengganti parameter percepatan (a) pada rumus Newton

(F = m . a). Dengannya, pengaruh gempa pada bangunan yang tergantung juga oleh perilaku pondasi, jenis dan tipe bangunan dapat dihitung memakai grafik tunggal.

Dari rekaman gerakan tanah yang ditinjau dengan beberapa prosentasi nilai dam-

ping kritis, maka pada suatu grafik respons spektrum akan diketahui hal-hal yang berkaitan dengan respons gempanya, seperti akselerasi, kecepatan dan deformasi untuk berbagai cakupan (spektrum) perioda getar bangunan.

Gambar 32. Illustrasi bergambar suatu Respons-spektrum (Taranath 2005)

Jadi respon spektrum (Gambar 32 dan 33) dapat dilihat sebagai suatu grafik tunggal

yang menunjukkan berbagai respon dinamik sederetan kantilever pendulum yang

bervariasi linier perioda getarnya terhadap rekaman pergerakan gempa tertentu. Respon maksimumnya kemudian dicatat pada grafik respons spektrum tersebut. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

44/90

Gambar 33. Konsep response spektrum (Taranath 2005)

Jika respons percepatan pada respon spektrum dapat menunjukkan besarnya gaya

gempa pada bangunan, maka disimpulkan juga bahwa semakin tinggi bangunannya

maka gaya gempa yang terjadi adalah relatif lebih kecil. Padahal di sisi lain, angin berbeda. Semakin tinggi, kecepatan angin juga bertambah (lihat Gambar 34).

Gambar 34. Profil kecepatan angin di berbagai daerah dan ketinggian (Taranath 2005)

Jadi bisa saja pada suatu kondisi ketinggian tertentu, gaya gempa yang bekerja pada suatu bangunan tinggi tidak menjadi dominan dibanding pengaruh anginnya. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

45/90

8.4.2. Pengaruh angin pada bangunan tinggi. Angin bisa menimbulkan masalah pada bangunan tinggi, meskipun tidak terlihat oleh orang di bawahnya, tetapi akan dirasakan penghuninya. Angin menyebabkan

getaran, akan timbul bunyi-bunyian mengganggu, pintu / lampu gantung berayun-

ayun, dan sebagainya. Jika bangunannya sendiri berayun, penghuni akan merasakan ilusi bahwa dunia luar bergerak, menciptakan gejala vertigo dan disorientasi. Jadi meskipun tak ada yang rusak, tetapi menyebabkan bangunan tidak nyaman dihuni.

Untuk perencanaan terhadap angin, bangunan tidak dapat dianggap terpisah dari sekitarnya. Pengaruh bangunan di dekatnya dan konfigurasi lahan berpengaruh. 8.4.3. Perilaku dinamik angin pada bangunan tinggi

Aliran angin melewati suatu bangunan tinggi dapat disederhanakan sebagai bidang

horizontal dan bervariasi besarnya terhadap tinggi (Gambar 34). Penyederhanaan aliran angin sebagai bidang diperlihatkan pada Gambar 35 berikut.

Gambar 35. Aliran angin pada bidang horizontal (Taranath 2005)

Saat aliran angin menerjang halangan, alirannya terbelah dan bergerak menyamping sembari berpusar disebut spiral vortices (Gambar 36), yang menekan bidang tegak lurus arah angin utama. Pada kecepatan sedang, spiral vortices terjadi bersamaan di

dua arahnya sehingga terjadi keseimbangan. Tetapi ketika kecepatan bertambah, juga karena sifat angin turbulen (tidak linier) maka kejadiannya secara bergantian, terjadi getaran arah tegak lurus arah angin, yang disebut fenomena vortex-shedding.

Gambar 36. Fenomena Vortex-shedding (Taranath 2005)

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

46/90

Jadi akibat angin besar pada bangunan tinggi, akan terjadi deformasi searah angin

utama sekaligus deformasi arah tegak lurusnya secara berganti-ganti (vortex-

shedding). Pada kecepatan angin yang menyebabkan frekuensi vortex-shedding kirakira sama dengan frekuensi alami bangunan, akan terjadi resonansi. Pada kondisi seperti itu perubahan kecepatan angin yang berubah relatif sedikit, tidak mengubah

keadaan, resonansi masih terjadi, seakan-akan keadaan menjadi terkunci. Jadi

kondisi vortex-shedding dikendalikan frekuensi alami. Baru setelah ada perubahan kecepatan angin yang signifikan maka proses penguncian berhenti, dan kembali

frekuensi shedding dikendalikan oleh kecepatan angin. Untuk kecepatan angin baik bawah atau di atas kisaran tersebut, vortex-sheding tidak akan kritis.

Besarnya frekuensi vortex-sheeding untuk menghindari resonansi, dihitung sbb: f 

dimana

V S ................................................................................................................................. (2) D

f = frekuensi vortex shedding dalam hertz V = kecepatan rata-rata angin pada atap bangunan S = konstanta Strouhal yang tergantung dari bentuk bangunan D = diameter bangunan

Vortex-shedding terjadi pada banyak bentuk bangunan. Nilai S untuk bentuk yang

berbeda dapat ditentukan dengan uji terowongan angin dengan mengukur frekuensi

shedding pada berbagai kecepatan angin. Cukup sulit mengetahui nilai S yang akurat karena adanya fenomena penguncian tadi, yang kira-kira sekitar 10% nilai frekuensi bangunan yang tepat.

Aksi tekanan angin tidak tergantung pada lamanya angin mencapai maksimum dan

kembali nol lagi saja, tetapi juga tergantung dari periode alami bangunan itu sendiri. Jika waktu yang diperlukan untuk maksimum dan nol, lebih pendek dari waktu getar

alami bangunan, maka perilakunya dinamik. Jika waktu angin mencapai intensitas

maksimum dan nol lagi lebih lama dari periode alami bangunan, maka sifatnya statik. Sebagai contoh, hembusan angin yang mencapai kondisi terbesar dan kembali kosong dalam dua detik menjadi beban dinamik untuk bangunan tinggi yang

mempunyai periode alami kira-kira 5 - 10 detik, tetapi untuk hembusan yang sama, yaitu 2 detik adalah beban statik untuk bangunan rendah yang mempunyai perioda alami kurang dari 2 detik.

Akibat perilaku angin pada bangunan tinggi yang kompleks, seperti vortex-shedding dan perilaku dinamis, maka uji terowongan angin menjadi sesuatu yang penting. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

47/90

8.5. Perilaku Khusus Sistem Struktur Tahan Gempa 8.5.1. Sistem struktur dengan dissipasi enerji Untuk beban gravitasi (beban tetap), beban angin dan beban gempa sedang (gempa

yang biasa), struktur diharapkan berperilaku elastis (beban hilang, deformasi juga hilang). Tetapi saat gempa besar, yang jarang dan tak terduga, diperbolehkan terjadi

kondisi inelastis. Strategi ini untuk menjamin keselamatan terhadap gempa yang

lebih besar daripada yang diperkirakan oleh code yang ada. Untuk itu perencanaan struktur tahan gempa harus didasarkan pada metodologi capacity design.

Dengan cara capacity design, struktur direncanakan sedemikian rupa sehingga bila

terjadi kondisi inelastis, maka itu hanya akan terjadi pada tempat-tempat yang telah

ditentukan, yang memang telah direncanakan untuk mengatisipasiknya. Kondisi

inelastis yang terjadi juga terkontrol, dan ditempat itulah yang dijadikan sebagai tempat dissipasi energi. Sedangkan bagian struktur lainnya tetap berperilaku elastis.

Cara kerjanya seperti sekring (fuse) pada peralatan listrik saat menerima overload. Jadi strateginya, kalaupun kondisi inelastis tersebut menyebabkan kerusakan, maka sifatnya lokal, terisolir sehingga dapat dengan mudah diketahui dan diperbaiki.

Adanya bagian yang terpisah-pisah, ada elemen struktur yang bekerja secara elastis

dan ada elemen struktur lain yang bekerja sampai inelastis. Itu dapat dengan mudah diterapkan pada konstruksi baja yang memang dari awalnya bersifat modul atau

segmen terpisah yang tidak monolit. Hal ini tentu saja berbeda dengan konstruksi beton yang alaminya bersifat monolit (beton cast-in-situ). Strategi pada konstruksi beton bertulang adalah mengandalkan detail penulangan khusus, dalam hal ini

perilaku inelastis akan terjadi pada baja tulangan yang daktail. Agar beton bertulang dapat berperilaku inelastis yang optimal, maka keruntuhan yang diharapkan adalah lentur. Karena dengan itu, pada kondisi ultimate terjadi sisi tekan (beton) dan sisi tarik (baja). Jika keruntuhan aksial tarik, maka beton tidak akan bekerja, sedangkan

keruntuhan aksial tekan tidak bisa berperilaku inelastis karena tekuk akan terjadi terlebih dahulu, dan itu sifatnya non-daktail.

Selanjutnya bagian mana dari sistem struktur tahan gempa yang bekerja seperti fuse dan bagian mana yang tidak, disitulah yang menjadi variasinya. Struktur Special Moment Frames misalnya, yang akan berfungsi sebagai fuse, tempat dissipasi energi gempa, adalah sendi plastis yang terbentuk di balok. Untuk sistem struktur yang

lain, yang berfungsi sebagai fuse, bisa berbentuk lain (AISC 2005b, Geschwinder 2008). Untuk itu akan ditinjau satu persatu. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

48/90

8.5.2. Sistem portal daktail : Special Moment Frames (SMF) Ini adalah jenis rangka yang didesain untuk bekerja secara inelastis penuh. Oleh

karena itu pada bagian yang akan mengalami sendi-plastis perlu didesain secara khusus. Cocok dipakai untuk perencanaan gedung tinggi yang masih memungkinkan dengan sistem rigid-frame.

Struktur rangka harus berperilaku strong-colum-weak-beam agar tidak terjadi sendi plastis di kolom yang dapat menyebabkan story mechanisms.

a). Strong column-weak beam

b). Story mechanism

Gambar 37. Perilaku inelastis sistem portal daktail (Hamburger et.al. 2009)

Pada konstruksi baja tahan gempa, jenis sambungan kolom-balok yang akan dipakai

rangka SMF ini harus didukung data empiris hasil uji laboratorium. Hal ini untuk membuktikan bahwa jenis sambungan tersebut mempunyai kemampuan daktilitas

yang mencukupi, yaitu mampu menahan perputaran sudut interstory-drift minimum sebesar 0.04 radian (Section 9.2a AISC 2005b).

Beberapa jenis sambungan yang telah dilakukan pengujian adalah sebagai berikut.

a). Prespektif

b). Aplikasi

Gambar 38. Reduced beam (Hamburger et.al. 2009)

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

49/90

a). Prespektif

b). Aplikasi

Gambar 39. Extended End-Plate (Hamburger et.al. 2009)

Kecuali dua jenis sambungan pada Gambar 38 dan 39, ada beberapa lagi yang dapat

dijumpai. Variasi jenis sambungan pada konstruksi baja umumnya terkait metode

pelaksanaan, misal sambungan jenis Reduced Beam memerlukan pekerjaan las di lapangan. Persyaratan tersebut tentu terkait dengan harus disediakannya s.d.m yang

kompeten disertai pengawasan ketat. Ini berbeda jika digunakan jenis Extended End-

Plate yang cukup dipasang dengan baut mutu tinggi. Hanya saja jenis sambungan ini memerlukan tingkat presisi fabrikasi tinggi, perlu memakai mesin CNC misalnya.

Konsep di atas berlaku pada konstruksi baja, yang ditentukan oleh sambungan

sebagai bagian terlemah sistem. Maklum, baja pada dasarnya komponen terpisah, produk pabrik yang dirangkai di lapangan dengan sambungan. Untuk konstruksi beton bertulang, konsep kontinyu relatif mudah dibuat. Tetapi material beton pada

dasarnya material non-daktail, apalagi jika dipakai beton mutu tinggi. Daktilitasnya hanya mengandalkan baja tulangan yang terpasang. Untuk mendapatkan perilaku daktail inelastis, maka keruntuhan yang diharapkan adalah lentur, karena pada satu

penampang dapat dimanfaatkan dua sifat bahan sekaligus. Sisi tekan ditahan beton

dan sisi tarik ditahan baja. Agar daktail, keruntuhan harus dimulai pada bahan yang bersifat daktail terlebihd dahulu. Oleh karena itu penampang lentur harus bersifat under reinforced section. Tulangan terpasang relatif sedikit, sehingga kalah terlebih

dahulu (leleh). Karena gempa bolak-balik, maka betonnya mengalami tarik-tekan, untuk mengurangi resiko spalling dipersyaratkan tulangan sengkang rapat sekaligus

menghindari terjadinya kegagalan geser. Sistem SMF untuk beton dikenal sebagai SMRF (special moment resisting frame), mensyaratkan pendetailan tulangan kolom dan balok yang khusus sebagai terlihat pada Gambar 40. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

50/90

Gambar 40. Penulangan daktail untuk portal SMRF (Taranath 2010)

Hal penting dalam pendetailan portal SMRF adalah dihindari memakai sambungan lewatan (lap-splice) di daerah yang berpotensi mengalami kondisi inelastis. Dalam

hal ini adalah daerah sepanjang 2 h di depan kolom. Untuk mendapat kepastian bahwa kondisi inelastis hanya terjadi pada balok (bukan kolom), maka portal SMRF

mesyaratkan jumlah kapasitas nominal kolom lebih besar dari jumlah kapasitas balok, yaitu  Mnc  (6/5) Mnb (sesuai ACI318 – Ps. 21-6-2) .

8.5.3. Sistem rangka diagonal khusus: Special Concentrically Braced Frames (SCBF) Sistem rangka diagonal (brace-frame) mempunyai kekakuan lateral lebih tinggi dibanding rigid-frame, sehingga efektif dipakai sebagai sistem penahan lateral pada

bangunan tinggi. Meskipun demikian perilaku keruntuhannya tidak daktail dibanding rigid-frame. Tentu saja sistem ini hanya dapat diterapkan pada konstruksi baja. Sistem brace-frame yang dipersiapkan khusus terhadap kondisi inelastis (SCBF)

dibuat dengan cara bracing-nya dapat bekerja sebagai fuse melalui mekanisme leleh

akibat gaya aksial tarik atau tekuk akibat gaya tekan pada batang diagonal saat terjadi gempa besar.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

51/90

Gambar 41. Mekanisme inelastis SCBF

Teoritis memang mudah, masalahnya adalah bahwa pada konstruksi baja bagian yang kritis adalah pada detail sambungan. Jadi jika diharapkan kondisi inelastis

terjadi pada elemen batang, maka tentu saja sistem sambungan pada saat itu harus tetap pada kondisi elastis (lebih kuat daripada elemen yang disambung).

Alternatif lain, kondisi inelastis ternyata dapat dipindahkan pada bagian sambungan

batang diagonal tersebut, khususnya pada gusset-plate boleh terjadi leleh. Bahkan untuk menghindari gangguan ketika leleh tersebut (proses dissipasi enerji) maka

bagian gusset-plate yang bertemu pelat lantai harus dipisahkan, sebagaimana terlihat pada Gambar 42 berikut.

Gambar 42. Sambungan SCBF yang bersifat daktail (Taranath 2005)

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

52/90

8.5.4. Sistem dinding-geser (shear-wall) Sistem penahan lateral brace-frame lebih kaku dari rigid-frame, tetapi itu hanya cocok untuk konstruksi baja. Alternatif untuk beton dapat memakai dinding-geser atau shear-wall. Sistem penahan lateral berupa dinding-geser yang masuk dalam kategori langsing bekerja seperti halnya balok kantilever dimana perilaku lenturnya

cukup dominan. Sebagai balok kantilever maka momen terbesar akan terletak pada tumpuannya, yaitu bagian dasar dinding, yang menyambung pada pondasi.

Hal penting dalam perencanaan dinding-struktur adalah tersedianya sistem pondasi

kaku untuk menahan momen dari struktur yang bekerja seperti balok-kantilever

tersebut. Oleh karena itu secara visual sistem dinding-geser yang baik dapat dilihat dari sistem dan cara penjangkaran tulangan ke pondasinya, sebagaimana terlihat

secara detail pada Gambar 43. Keberadaan sistem pondasi sebagai satu bagian dari

struktur dinding-geser tidak dapat diabaikan, bahkan untuk dinding geser daktail harus dapat dipastikan bahwa kekuatan terhadap momen lebih besar dari kapasitas

lentur dinding-gesernya. Sehingga dapat dipastikan tidak terjadi kerusakan terlebih

dahulu pada sistem pondasinya. Untuk menghindari kerusakan tersebut maka sistem pondasi direncanakan berperilaku elastis saat gempa terjadi, sedangkan yang

berperilaku inelastis adalah pada dinding-gesernya. Untuk beban guling yang besar

kadang perlu dipastikan sistem pondasi tiang yang ada cukup kuat menahan gaya

tarik, karena kalau sampai terjadi rotasi, apalagi pada sistem-ganda maka prediksi elastis yang dilakukan akan berbeda.

Pada detail Gambar 43 akan terlihat bahwa sistem pondasinya adalah pondasi tiang

pancang yang disatukan oleh suatu pile-cap yang besar, yang ketebalannya juga diperhitungkan agar dapat diperoleh penjangkaran tulangan dinding geser secara

sempuran. Kondisi itu tentu akan sangat berbeda dibanding sistem pondasi untuk

rangka-kaku biasa. Pada detail tersebut dapat dilihat juga bahwa kekangan tulangan lentur masuk ke dalam pile-cap, khususnya ini untuk mengantisipasi kondisi inelastis pada saat terjadinya sendi plastis pada dinding geser di bagian bawah.

Kesuksesan suatu pendetailan tergantung pelaksanaan di lapangan. Meskipun hasil penelitiannya sangat baik, tapi saat diaplikasikan banyak kendala tentu perlu dievaluasi kembali detail tersebut. Bagaimanapun juga, meskipun detail yang dipilih

sudah terbukti sukses untuk kasus-kasus sebelumnya, tetapi kalau pelaksanaannya

tidak baik (akibat tingkat kesulitan dan tingkat ketrampilan sumber daya manusianya) maka hasilnya tidak baik.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

53/90

Gambar 43. Alternatif detail penulangan dinding-geser daktail (Taranath 2005)

8.5.5. Sistem rangka diagonal eksentris: Eccentrically Braced Framed (EBF) Mekanisme kerja sistem rangka EBF adalah memanfaatkan keunggulan brace-frame

yang kaku tetapi tidak daktail, dengan rigid-frame yang kurang kaku tetapi daktail. Bagian brace-frame yang bekerja dengan mekanisme gaya aksial dibiarkan dalam

kondisi elastis, sedangkan daerah LINK akibat bracing yang eksentris akan bekerja seperti balok lentur dan dibiarkan terjadi kondisi inelastis (fuse dissipasi enerji).

Gambar 44. Mekanisme inelastik LINK pada sistem EBF (Taranath 2010)

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

54/90

Link bisa ditempatkan di tengah (Gambar 44 kiri) dan tepi (Gambar 44 kanan). Dari

keduanya, sistem di tengah lebih banyak digunakan karena momen terbesar yang akan mendekati kondisi plastik tidak terjadi di dekat kolom. Sistem pinggir dimana balok dan kolom bertemu, jika rigid dan tidak dicheck dengan baik, maka mungkin kolomnya yang akan mengalami kondisi inelastis. Padahal itu harus dicegah.

Gambar 45. Split-K-braced EBF :Detail Link (kiri) dan Tampak (kanan)

8.5.6. Special Truss Moment Frames (STMF) Special Truss Moment Frames (STMF) adalah sistem struktur dengan rangka batang (truss diagonal) atau Vierendeel sebagai elemen horizontalnya. Saat gempa besar

ada bagian elemen horizontal secara khusus dapat mengalami kondisi inelastis, yang bekerja sebagai fuse (tempat dissipasi energi).

Gambar 46. Perilaku inelastis STMF (Basha and Goel 1996).

Sistem ini cocok digunakan untuk portal dengan bentang besar sedemikian sehingga

kekakuan kolom lebih besar dari kekakuan vierendel. Jika tidak maka sendi plastis akan terbentuk pada kolom, dan ini tentunya tidak baik digunakan terhadap gempa. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

55/90

8.5.7. Buckling-Restrained Braced Frames (BRBF) Sistem BRBF sejenis Concentrically Braced Frames tetapi bracing-nya diganti elemen khusus, yang mampu berperilaku inelastis baik terhadap tarik maupun tekan. Untuk mengantisipasi tekuk maka elemen khusus tersebut terdiri dari batang terbungkus

suatu elemen penutup yang dapat mencegah terjadinya tekuk, sehingga ketika ada

gaya tekan cenderung mengalami leleh saja. Itu menyebabkan perilaku histeretik yang stabil dan mempunyai kemampuan dissipasi energi yang sangat baik.

Gambar 47. Detail dan tampak BRBF (Sabelli and López 2004)

8.5.8. Special Plate Shear Walls (SPSW) Dinding geser umumnya terdiri dari beton bertulang, selain sebagai sistem struktur

penahan lateral, dinding geser juga bisa bekerja sebagai kolom, memikul beban

gravitasi. Konsep yang mirip juga dapa diterapkan pada konstruksi baja, struktur rangka diberi dinding pengisi berupa pelat baja di dalamnya, yang diharapkan akan bekerja sebagai fuse dengan mekanisme leleh pelat dan tekuk (tension field action).

Gambar 48. Steel Plate Shear Walls (Seilie and Hooper 2005).

Sistem ini tentu saja tidak bisa bekerja sebagai dinding pemikul beban gravitasi,

fungsinya lebih seperti pada plate-girder, yaitu menahan geser. Karena memakai pelat yang relati tipis maka kekakuan tegak lurus bidang perlu dipertimbangkan sehingga jarak antar kolom di antara dinding pelat tersebut juga terbatas. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

56/90

8.6. Sistem Isolasi Seismik Pada prinsipnya, sistem isolasi seismik mengurangi respon bangunan terhadap gempa karena memisahkannya dari gerakan tanah saat gempa. Isolasi mengurangi

dampak gempa dengan cara memperpanjang periode getar dan memperbesar

redaman. Akibatnya pada kondisi baik, sistem isolasi mengurangi drift bangunan sampai dua kalinya, bahkan ada sampai lima kali, dibanding sistem biasa.

Gambar 49. Perbandingan respons sistem (a)biasa dan (b)terisolasi (Taranath 2005).

Akselerasi pada bangunan juga berkurang, meskipun itu tergantung karakteristik P sistem isolasinya. Adanya sistem tersebut akan mengurangi akselerasi atap pada

bangunan rendah sampai sebesar 60 – 80%. Bagaimana dengan bangunan tinggi, untuk itu ada baiknya dilihat kembali kurva respons spektrum perencanaan gempa.

Gambar 50. Gaya gempa rencana berdasarkan respons-spektrum (Taranath 2005)

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

57/90

Untuk mengetahui prinsip perencanaan gedung sistem terisolasi, lihat Gambar 50, ada empat kurva respons A, B, C, dan D. Dalam hal ini anggap direncanakan gedung lima lantai tumpuan bawah terjepit (belum diisolasi) dengan perioda getar 0.6 detik.

Kurva A, paling bawah, menunjukkan gaya gempa rencana sesuai code (IBC 2003

atau ASCE 7-02). Kurva B, ke-2 dari bawah, kemungkinan kuat struktur yang terjadi sebenarnya. Kuat aktual bangunan bisa lebih besar dari kuat rencana karena banyak

hal (Taranath 2005), akibatnya kuat terpasang bisa 1.5 sampai 2.0 kali lebih besar dari kuat rencananya. Kurva D, paling atas, menunjukkan gaya lateral gedung bila

berperilaku elastis saat gempa. Namun pada perencanaan tahan gempa, umumnya dianggap sistem struktur akan mengalami kondisi non-linier selama gempa. Sehingga bangunan direncanakan hanya memikul sebagian gaya lateral di Kurva D. Konsekuensi logis, tentunya harus dapat disediakan detail struktur yang dapat

mengakomodasi terjadinya kondisi inelastis yang dimaksud. Perbedaan besarnya gaya elastis linier, kurva D, dan kemungkinan kapasitas sesungguhnya, kurva B, menunjukkan besarnya dissipasi enerji yang akan dipikul oleh daktilitas struktur.

Gambar 51. Sistem isolator seismik (Taranath 2005)

Selanjutnya dibandingkan dissipasi enerji yang dibutuhkan bangunan jika dipakai sistem isolasi seismik. Gaya elastis bangunan terisolasi akan berkurang drastis akibat dua hal. Pertama, isolator bangunan bersifat flesibel sehingga periode getar

bertambah panjang, misalnya, bangunan biasa (terjepit) perioda getarnya 0.6 detik, ketika dipakai sistem isolasi seismik bertambah panjang jadi 2 – 2.5 detik. Besarnya pengurangan akan terlihat langsung pada kurva respons spektrum di atas.

Hal kedua yang berkontribusi terhadap pengurangan gaya gempa adalah redaman tambahan yang terjadi, tentu ini tergantung jenis isolator dasar dan viscous damper

(jika ada) yang dipilih. Redaman dapat meningkat dari nilai umum (asumsi 5%) Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

58/90

sebesar 20% atau lebih. Kedua hal tersebut membantu mengurangi kebutuhan daktilitas dari struktur yang harus tersedia. Bahkan, bisa saja selama gempa tidak pernah sampai pada kondisi inelastis, tetapi tetap elastis. Itu artinya tidak perlu lagi

segi pendetailan yang ketat (rumit). Dengan kata lain, untuk kisaran perioda getar

2.0 – 2.5 detik, kekuatan perlu bangunan sangat hampir sama dengan kebutuhan elastis maksimum tanpa reduksi.

Gedung bertingkat pada Gambar 52a, adalah gedung yang terletak di kampus NTU, Taiwan. Gedung tersebut sepintas terlihat seperti bangunan tinggi lain. Padahal itu

adalah prototipe skala 1:1 gedung tahan gempa sistem isolasi seismik. Keunikan bangunan tersebut dibanding sistem serupa yang telah dibangun, adalah bahwa isolasi atau pemisahan struktur atas dan struktur bawah bangunan tidak berada di

bawah, di level pondasi sebagaimana biasa, tetapi berada di lantai dua yang memang sengaja dikosongkan sebagai tempat pemasangan karet isolasi. Gambar 52b, memperlihatkan prototipe detail bearing pad yang berfungsi sebagai isolasi dan

tulangan beton di atasnya, yang berada di lantai dua, yang sepintas terkesan kosong karena memang tidak digunakan oleh publik pemakai gedung.

(a). Tampak luar

(b). Prototipe Pendetailan Base-isolation

Gambar 52. Bangunan dengan Sistem Base-Isolation NCREE, di Kampus NTU, Taipei

Pada kondisi elastis, gaya gempa terbesar gedung diakibatkan oleh perioda getar

pendek, biasanya bangunan rendah. Untuk periode getar bangunan tinggi, umumnya cukup panjang (lama) sehingga pemilihan sistem isolasi seismik tidak signifikan

hasilnya, bahkan akan menemui kesulitan jika ada momen guling akibat angin yang tinggi, yang akhirnya memerlukan kuat tarik pada pondasinya. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

59/90

9. BANGUNAN TINGGI (TALL BUILDING) 9.1. Council on Tall Buildings and Urban Habitat (CTBUH) Telah dibahas karakter struktur bangunan tinggi terhadap beban lateral, dimana

resiko akibat gempa dan angin bisa sama-sama menentukan. Bahkan bisa saja pada

suatu ketinggian tertentu, angin lebih mendominasi dari gempa. Pada bangunan

seperti itulah maka istilah bangunan tinggi ini dimaksud. Untuk menjelaskan secara

lengkap dan terpadu, perlu mengacu pada CTBUH (http://www.ctbuh.org/), suatu organisasi nirlaba tingkat internasional yang didukung para profesional di bidang

arsitektur, teknik, perencanaan, pengembangan dan konstruksi. Organisasi pertama kali berdiri tahun 1969, oleh Lynn S. Beedle di Universitas Lehigh di Pennsylvania

dan pada waktu itu namanya adalah "Joint Committee on Tall Buildings”, baru pada tahun 1976 berganti nama menjadi CTBUH sampai sekarang.

Gambar 53. Logo badan organisasi dunia tentang gedung tinggi (CTBUH 2012)

CTBUH merupakan organisasi internasional terkemuka untuk gedung tinggi dunia,

dan menjadi wasit atas kriteria ketinggian bangunan. Mereka pula yang mengukur dan memberi gelar "Gedung Tertinggi di Dunia". Oleh karena itu, dalam membahas gedung-gedung tinggi akan mengacu pada informasi dan publikasi dari CTBUH.

9.2. Apa itu Gedung Tinggi ?

Pertama kali tentu perlu mengetahui kriteria yang menentukan apa yang dimaksud

bangunan tinggi. Ternyata tidak ada definisi pastinya, bangunan dapat menunjukkan unsur ketinggian melalui beberapa aspek atau kategori berikut. a) Kriteria tinggi relatif terhadap lingkungannya

Gambar 54. Ketinggian relatif terhadap lingkungan sekitarnya (CTBUH 2012)

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

60/90

Ketinggian absolut bukan kriteria satu-satunya, tergantung bangunan sekitarnya. Bangunan 14 lantai, bukan bangunan tinggi jika ada di kota Chicago atau Hong Kong, tetapi akan menjadi bangunan tertinggi jika berada di kota kecil, di Jawa misalnya. b) Kriteria tinggi berdasarkan proporsinya

Gedung tinggi ternyata bukan hanya tentang tinggi tetapi juga tentang proporsi. Ada banyak bangunan yang tidak terlalu tinggi, tetapi cukup ramping untuk memberikan

tampilan sebuah gedung tinggi, terutama terhadap lingkungan gedung disekitarnya. Sebaliknya, ada banyak tapak bangunan yang besar atau cukup tinggi tetapi karena proporsi ukuran luas lantainya dan tingginya maka tidak termasuk bangunan tinggi.

Gambar 55. Kriteria tinggi berdasarkan proporsi ukurannya (CTBUH 2012)

c) Kriteria tinggi berdasarkan teknologi yang digunakan

Jika bangunan memakai teknologi yang spesifik pada bangunan tinggi (misalnya, lift kecepatan tinggi, bracing penahan angin dll), dapat pula digolongkan gedung tinggi.

Gambar 56. Keberadaan teknologi pendukung (CTBUH 2012)

Meskipun jumlah lantai tidak cukup baik digunakan sebagai indikator ketinggian

suatu gedung, karena tinggi lantai kadang tergantung dari fungsi dan dapat berbeda antara satu dengan yang lainnya (misal, kantor berbeda dengan perumahan), tapi

bangunan lebih dari 14 atau lebih dari 50 meter tingginya - dapat dipakai sebagai indikator batas untuk disebut sebagai gedung tinggi. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

61/90

d). Kriteria bangunan super tinggi

Gambar 57. Kriteria bangunan super tinggi (CTBUH 2012)

Council on Tall Buildings and Urban Habitat (CTBUH) mendefinisikan "super tinggi" sebagai bangunan lebih dari 300 meter tingginya. Meskipun saat ini ada gedung tinggi lebih dari 800 meter, tetapi pertengahan tahun 2011 hanya ada 54 bangunan yang lebih dari 300 meter yang telah selesai dan ditempati di seluruh dunia ini.

Catatan : Comcast Center (58 lantai, 297 m), selesai 2008, tertinggi di Philadelphia, Pennsylvania, dan tertinggi ke-15 di USA; CCTV (China Central TV Headquarters) (44 lantai, 234 m), selesai 2008, Beijing, China; Almas Tower (68 lantai, 360 m), selesai 2008, tertinggi ke-3 di Dubai, setelah Emirates Park Towers dan Burj Khalifa.

9.3. Bagaimana Gedung Tinggi Diukur ?

Council on Tall Buildings and Urban Habitat (CTBUH) mengelompokkan ketinggian

gedung berdasarkan bagian atas tertinggi yang diukur. Tentu saja semuanya diukur dari bagian bawah, yaitu dari elevasi terbuka paling bawah yang menjadi pintu masuk gedung tersebut. Tinggi bagian atas yang diukur adalah :

a) Tinggi puncak bangunan arsitektur, termasuk menara, tetapi tidak termasuk

antena, signage, tiang bendera atau peralatan non-arsitektural lainnya. Cara ini banyak dipakai CTBUH menentukan peringkat “World’s Tallest Buildings”.

b) Tinggi lantai yang dihuni (terpakai) paling atas.

c) Tinggi ke puncak gedung tertinggi, termasuk peralatan non-arsitektural, misal menara radio dsb.

Daftar bangunan tertinggi yang dibuat CTBUH sifatnya tidak absolut, tergantung

waktu tahun pengukurannya. Itu berarti daftarnya bisa berubah-ubah pada tiap tahunnya. Sebagai contoh, daftar yang tercatat sampai tanggal 1 Januari 2011 sbb: Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

62/90

Gambar 58. The World’s Tallest Buildings (Jan. 2011) – puncak arsitektural.

Gambar 59. Gedung tertinggi – lantai hunian paling atas

Gambar 60. Gedung tertinggi – ujung paling atas

9.4. Perbedaan Gedung dan Menara Telekomunikasi (Observasi) Berkaitan dengan gedung tinggi, perlu dibedakan dengan menara telekomunikasi atau pengamat (observasi) yang memang dibuat tinggi. CTBUH dalam hal ini hanya

mengevaluasi gedung tinggi, sesuai namanya Tall Building. Untuk membedakannya,

adalah didasarkan pada prosentasi lantai terhadap tinggi yang dapat dimanfaatkan. Jika kurang dari 50% dianggap sebagai konstruksi menara dan sebaliknya. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

63/90

Gambar 61. Kriteria bangunan sebagai menara atau gedung (CTBUH 2012)

9.5. Sistem Struktur Bangunan Tinggi berdasarkan Jenis Material Meskipun hanya digunakan dua macam material untuk bangunan tinggi, yaitu baja

dan beton, tetapi terkait dengan sistem strukturnya maka dapat dibedakan dalam empat (4) macam material struktur, sebagai berikut :

 Gedung struktur baja (steel), jika unsur-unsur utama struktur vertikal dan

lateral, maupun sistem lantainya memakai struktur baja.

 Gedung struktur beton (concrete), jika unsur-unsur utama struktur vertikal dan

lateral, maupun sistem lantainya memakai struktur beton bertulang.

 Gedung struktur komposit (composite), jika dipakai kombinasi keduanya, baja

dan beton komposit sebagai elemen-elemen utama struktur, termasuk dalam hal ini bangunan baja dengan core-wall dari beton bertulang.

 Gedung struktur campuran (mixed), jika bangunannya memakai sistem struktur

yang berbeda, antara bagian bawah dan atasnya, atau sebaliknya.

Dari studi CTBUH, pemakaian bahan material gedung tinggi dari tahun ke tahun

terjadi perkembangan. Lihat Gambar 62, struktur baja pada awal mulanya sangat

dominan. Era 1990 terjadi perkembangan pesat material beton, bahkan dari catatan tahun 2010 pemakaian struktur beton bertulang untuk gedung tinggi mendominasi, dan mengalahkan struktur baja. Meskipun dalam hal ini, jelas baja tidak bisa

ditinggalkan, tetapi berubah menjadi baja tulangan dan profil komposit untuk bersama-sama memikul dengan beton. Material baja tidak akan dapat dihilangkan, karena material inilah yang akan menahan gaya tarik pada elemen beton bertulang. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

64/90

Gambar 62. Trends pemakaian material struktur gedung tinggi (CTBUH 2012)

10. STRUKTUR KOMPOSIT DAN STRUKTUR CAMPURAN 10.1. Umum Gedung dengan struktur baja atau beton, bukanlah sesuatu yang asing, termasuk

istilah komposit, yang umumnya diasosiasikan dengan perilaku balok komposit. Padahal sebenarnya beton bertulang itu sendiri juga adalah struktur komposit juga. Adapun komposit yang dimaksud di sini adalah gabungan profil baja dengan beton bertulang yang disusun untuk bekerja sama agar pemakaian materialnya efisien.

Istilah yang cukup baru atau asing didengar adalah struktur campuran. Oleh sebab itu akan dibahas terlebih dahulu perbedaan dan persamaan antara dua sistem itu, yaitu struktur komposit dan struktur campuran.

10.2. Struktur Komposit

Penampang beton bertulang pada dasarnya adalah struktur komposit, yaitu elemen

struktur yang terdiri dari dua macam material berbeda (E berbeda) untuk bersamasama memikul gaya-gaya. Tidak disebut komposit karena beton bertulang dan beton

tanpa tulangan perilakunya sangat berbeda. Selain itu tulangan baja yang digunakan adalah juga khusus, hanya untuk sistem beton bertulang saja, tidak bisa dipakai mandiri seperti halnya profil baja. Oleh karena itu material beton yang dirangkai bersama-sama dengan tulangan baja dianggap satu kesatuan, beton bertulang. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

65/90

Istilah elemen struktur komposit adalah untuk elemen struktur yang menggabungkan keunggulan beton-bertulang dengan pemakaian profil baja, yang biasa dipakai pada konstruksi baja, untuk bersama-sama memikul gaya-gaya dan momen jika ada.

Elemen struktur komposit yang paling banyak dijumpai, untuk konstruksi bangunan mulai dari yang rendah sampai tinggi adalah balok atau slab komposit. Ini wajar saja

karena pemilihan balok komposit memang ditujukan untuk mengantisipasi masalah

pada struktur bentang lebar, yaitu terjadinya momen lentur besar. Balok dibebani lentur, sisi tarik ditahan oleh material baja secara efisien, sedangkan bagian desak

ditahan oleh beton yang berdimensi lebih besar dan mempunyai ketahanan tekuk

yang lebih baik. Jika dipakai baja pada sisi desak, tidak efisien, karena kegagalan tekuk akan terjadi lebih dulu tanpa harus mengalami kelelehan. Jadi penggunaan mutu baja yang tinggi menjadi tidak efisien.

Sistem balok komposit paling sesuai diterapkan pada balok pendukung lantai (dari beton bertulang), baik pada bangunan gedung maupun jembatan. Pada sistem balok

lantai, agak susah membedakan dari tampilan luar apakah sistem balok baja nonkomposit atau komposit. Perbedaan hanyalah ditentukan oleh keberadaan shear stud atau shear connector yang tertanam pada pelat betonnya, yang menyebabkan kedua komponen struktur (profil baja dan lantai beton) berperilaku komposit.

Gambar 63. Sistem Balok Komposit pada Jembatan Standar (Sumber : Trans Bakrie)

Sistem balok komposit pada jembatan di atas, menghasilkan struktur yang sangat efisien, kinerjanya bahkan dapat dibandingkan dengan sistem beton prategang.

Jembatan dipilih karena strukturnya simple-beam dan dapat berbentang panjang, kasus masalah yang paling cocok memakai sistem balok komposit. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

66/90

Agar aksi komposit bekerja optimal, yaitu profil baja menerima tarik dan pelat beton

menerima tekan, maka penempatannya sangat menentukan. Dalam hal ini, pelat beton umumnya adalah lantai, yang posisinya pasti ada di atas profil balok bajanya. Untuk kondisi itu, akan optimal jika tegangan bagian atas (beton) adalah desak, dan

bagian bawah (baja) adalah tarik. Itu akan terjadi pada sistem balok sederhana (simple-beam), khususnya untuk antisipasi momen lapangan balok bentang panjang.

Sistem simple-beam dengan bentang panjang jarang dijumpai pada gedung tinggi.

Kalau ada, umumnya diperuntukkan pada sistem lantai terhadap beban tetap. Untuk balok dengan sistem menerus, dimana momen terbesar di tumpuan maka kondisi tegangan jadi terbalik, sisi tarik di atas (beton) dan isi tekan di bawah (baja) pada kondisi ini maka aksi komposit tidak efektif, sebaiknya diabaikan saja.

Meskipun sistem balok komposit tidak banyak dipakai pada gedung tinggi, tetapi

strateginya cocok diaplikasikan pada sistem pelat lantai. Bagaimanapun juga, lantai gedung umumnya adalah beton, karena mempunyai redaman yang baik terhadap

getaran dan bunyi-bunyian. Masalahnya dari segi pelaksanaan, perlu bekisting dan

waktu melepaskannya. Masalah diatasi dengan menggunakan pelat corrugated baja

sehingga dapat sekaligus berfungsi sebagai bekisting sekaligus tulangan positip. Itu berarti sistem lantai harus mengakomodasi sistem pelat komposit.

Gambar 64. Sistem pelat dan balok komposit pada lantai bangunan

Jadi keunggulan penggunaan pelat komposit adalah juga dalam segi pelaksanaannya, yaitu sebagai bekisting permanen. Adapun kelemahan balok komposit pada sistem

menerus (momen negatif), diatasi dengan penambahan tulangan baja. Sedangkan shear connector yang terdapat pada balok (Gambar 64), tidak sekedar agar menjadi balok komposit, tetapi juga diperlukan untuk menyatukan lantai dengan sistem struktur utamanya, yaitu agar lantainya dapat bekerja sebagai floor-diaphragm yang menyebabkan gerakan lateral secara sekaligus pada saat gempa. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

67/90

Penggunaan lantai komposit memakai pelat corrugated baja menghasilkan perilaku

slab satu arah (one-way slab). Kondisi tersebut mempengaruhi konfigurasi balok

pemikulnya sehingga sistem balok dan pelat komposit perlu dipakai bersama-sama, seperti yang terdapat pada sistem lantai tipikal gedung Petronas di Kuala Lumpur.

Gambar 65. Struktur komposit di Petronas, Kuala Lumpur (Taranath 2005)

Jadi penggunaan sistem struktur komposit pada gedung Petronas ditujukan untuk sistem gravitasi, pada sistem struktur lantainya. Itulah mengapa balok kompositnya

lebih banyak berupa balok tunggal (simple-beam). Atas dasar asumsi simple-beam

itu pula maka hubungan balok komposit (profil baja) ke core-wall atau rangka beton

perimeternya menjadi tidak rumit detailnya, sambungan tipe geser atau tumpu akan mencukupi (Gambar 66). Sistem balok komposit tidak memberi kekakuan lateral pada bangunan, terhadap gempa hanya berfungsi sebagai Floor Diaphragms.

Keuntungan sistem balok dan pelat komposit untuk lantainya adalah tidak memerlukan sistem bekisting dan perancah khusus, sehingga konstruksinya jadi cepat. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

68/90

Gambar 66. Hubungan profil baja ke dinding beton (Taranath 2005)

Sistem balok dan pelat komposit pada Gedung Petronas sifatnya lokal (memikul lantai itu saja), tidak mempengaruhi perilaku struktur keseluruhan, arah vertikal atau arah lateral, maka sistem strukturnya tetap kategori gedung beton.

Kecuali struktur balok dan slab komposit, yang lainnya adalah kolom. Ada dua jenis

kolom komposit yang biasa dipakai pada konstruksi bangunan. Pertama, profil baja terbungkus beton bertulang (Gambar 67). Kedua, pipa baja diisi beton struktur.

Gambar 67. Konsep desain kolom komposit (Taranath 2005)

Pada prinsipnya, perilaku dan perencanaan kolom komposit sama seperti kolom

beton bertulang biasa, dalam hal ini profil baja dianggap seperti diskrit-diskrit

tulangan. Adapun motivasi yang mendasari dipilihnya kolom komposit adalah agar

jumlah luasan baja pada kolom tidak dibatasi seperti halnya kolom beton bertulang (≤ 4% Ab). Dengan kandungan material baja yang lebih banyak pada kolom tersebut

maka kapasitasnya diharapkan akan meningkat. Selain itu, karena banyak memakai material baja, maka resiko terjadinya rangkak (creep) dapat dikurangi signifikan. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

69/90

Penggunaan kolom komposit memungkinkan proses pengecoran lantai-lantai secara

paralel. Dalam hal ini, profil baja untuk kolom komposit dipilih sesuai kebutuhan erection, yaitu untuk memikul beberapa lantai di atasnya. Selanjutnya setelah lantai

selesai dirakit dapat dilakukan pengecoran beton beberapa lantai secara sekaligus, termasuk kolom kompositnya. Contoh konfigurasi yang dijumpai di kota Louisiana dan Texas (Taranath 2005) dapat dilihat pada Gambar 68 berikut.

Gambar 68. Tube system dengan kolom komposit (Taranath 2005)

Gambar 68 adalah konfigurasi bangunan tinggi dengan sistem framed-tube, kolom perimeternya harus rapat. Untuk konstruksi beton bertulang, proses pelaksanaan

harus bertahap, lantai-per-lantai. Oleh karena itu, dipilih sistem rangka baja untuk memikul beban gravitasi, sehingga dapat direncanakan ukuran minimalis. Adapun kolom tengah didesain sebagai kolom komposit, tetapi profil baja yang dipilih cukup untuk beberapa lantai di atasnya, meskipun sekedar untuk proses pelaksanaan saja.

Gambar 69. Alternatif sistem komposit pada gedung (Taranath 2005)

Elemen-elemen komposit bangunan di atas ditujukan untuk sistem struktur pemikul beban gravitasi, tetapi sebagian juga sebagai sistem struktur penahan lateral. Oleh karena itu bangunan tinggi di atas memakai sistem struktur komposit. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

70/90

Implementasi sistem struktur komposit yang lengkap, pada sistem struktur gedung First City Tower, di Houston, Texas dalam dilihat secara detail, sebagai berikut:

Gambar 70. First-City Tower (49 lantai), di Houston, Texas (Taranath 2012)

Gedung First-City Tower dibangun tahun 1981, perencana struktur Walter P. Moore

& Associate, menarik dibahas selain karena bentuknya yang unik, juga pemakaian sistem komposit lengkap, mulai balok, slab, kolom, bahkan core-wall utamanya.

(i) Kolom komposit

(ii) Shear-wall komposit

Gambar 71. Detail Elemen komposit First-City Tower (Taranath 2012)

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

71/90

Struktur yang terdiri profil dan tulangan baja, serta beton yang dapat bekerja secara

sekaligus disebut struktur komposit. Tinjauan bisa lokal (elemen struktur), sehingga dapat ditinjau dari segi penampangnya saja (balok/slab/kolom/dinding-komposit).

Gambar 72. Perilaku komposit dinding geser berangkai (Taranath 2012)

Selain penampang, efek komposit dapat diterapkan dengan cara lain. Pada dindinggeser-berangkai, efek komposit dicapai dengan mengganti balok beton dengan profil

baja, sedangkan dinding dari beton bertulang. Ini dipilih karena balok perangkai

akan mengalami kondisi inelastis akibat momen bolak-balik. Jika dipilih profil baja, detailnya relatif sederhana dan juga lebih daktail, meskipun belum tentu lebih kaku.

Gedung dengan sistem penahan lateral memakai elemen struktur komposit disebut gedung dengan sistem struktur komposit. Selain itu, bisa saja tidak ada elemenelemen komposit yang digunakan, tetapi juga disebut sistem struktur komposit jika ditinjau secara keseluruhan, misalnya ”portal-baja” dan ”dinding geser beton”.

Gambar 73. Sistem struktur komposit (Taranath 2012)

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

72/90

10.3. Struktur Campuran Penjelasan gedung dengan sistem struktur komposit sebenarnya relatif kompleks, maklum banyak variasi dapat berkembang, dari lokal (elemen), juga global (sistem).

Pada kondisi khusus, dapat juga dijumpai sistem struktur yang berbeda jika ditinjau terhadap elevasinya yang lain. Lihat Gambar 74 di bawah, sistem struktur bagian atas dari portal baja, sedangkan di bawahnya dari portal beton, atau bisa juga yang

diatas dari brace-frame sedangkan di bawahnya shear-wall. Gedung tinggi seperti itu, disebut sebagai sistem struktur campuran, bukan sistem komposit seperti portal

baja dan core-wall pada Gambar 73 di atas. Sistem campuran, karena sistem tadi dapat bekerja secara mandiri untuk suatu segmen tertentu.

(a) perimeter frame

(b) internal lateral system

Gambar 74. Sistem struktur vertikal campuran (Taranath 2012)

Ada beberapa alasan dipilihnya sistem campuran. Umumnya karena tahapan konstruksi yang tidak sama. Untuk itu, sistem struktur atas yang banyak dipakai adalah konstruksi baja yang berbentuk modul, dibuat di fabrikasi (luar proyek) jadi tinggal dibawa ke lapangan untuk pemasangannya. Prosesnya terkesan sangat cepat.

Bisa juga akibat fungsi bangunan berbeda, misal level tertentu untuk kantor yang perlu bentang lebar dan grid ruang tertentu, sehingga sistem rangka baja cocok. Level yang lain, untuk fungsi apartemen dengan grid-grid ruangan bervariasi sehingga perlu sistem lantai flate-slab dari beton agar fleksibel sifatnya. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

73/90

11. ERA GEDUNG MEGA-TINGGI (> 2020) Laju pertambahan tinggi bangunan, ibarat laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Era sekarang ini adalah masa pesat-pesatnya, lihatlah:

Gambar 75. Peningkatan tinggi bangunan dari masa-ke-masa (CTBUH 2012)

Gambar 75 memperlihatkan progres perkembangan teknik rekayasa dan teknologi

konstruksi gedung-tinggi. Jika 2010 definisi gedung super tinggi (>300 m) sudah cukup mengakomodasi, maklum hanya 54 buah di seluruh dunia ini. Maka sejak

Burj-Khalifa berhasil dibangun (2010), maka peta situasi berubah siginifikan. Untuk memperbandingkannya dapat dilihat gedung-gedung tinggi berdasarkan dekadenya, era lalu (2000), sekarang (2010), dan nantinya (2020), lihat Gambar 76.

Gambar 76. Perkembangan 20 gedung tertinggi tiga dekade terkini (CTBUH 2012)

Dekade 2000 ke 2010 ada peningkatan 17%, selanjutnya dari dekade 2010 ke 2020

yang dimulai dengan berdirinya Burj-Khalifa, peningkatannya sebesar 36%. Jadi era saat ini telah terjadi revolusi ilmu pengetahuan tentang gedung tinggi. Saat inilah terjadi peralihan antara era super-tinggi (300 m) menuju era mega-tinggi (600 m).

Melihat kondisi mayoritas penduduk negeri ini, tak terbayangkan masuk kancah

perlombaan gedung-gedung tinggi di tingkat dunia. Tapi fakta berbicara lain, nama Indonesia ada tercantum pada daftar nama-nama gedung mega tinggi tersebut. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

74/90

Gambar 77. Urutan rencana gedung mega-tinggi menurut CTUBH (2012)

Dari kiri ke kanan data gedung mega-tinggi ditabulasikan sebagai berikut: Tabel 4. Rincian gedung mega-tingg menurut CTBUH (2012)

No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Nama gedung Kingdom Tower Burj Khalifa Ping An Finance Center Seoul Light DMC Tower Signature Tower Jakarta Shanghai Tower Wuhan Greenland Center Makkah Royal Clock Tower Hotel Goldin Finance 117 Lotte World Tower Doha Convention Center and Tower One World Trade Center Chow Tai Fook Guangzhou Tianjin Chow Tai Fook Binhai Center Dalian Greenland Center Pentominium Busan Lotte Town Tower Taipei 101 Kaisa Feng Long Centre Shanghai WFC

Realisasi √

√ √

h (m) 1,000 m 828 m 660 m 640 m 638 m 632 m 606 m 601 m 597 m 555 m 551 m 541 m 530 m 530 m 518 m 516 m 510 m 508 m 500 m 492 m

Lokasi Jeddah Dubai Shenzhen Seoul Jakarta Shanghai Wuhan Makkah Tianjin Seoul Doha New York City Guangzhou Tianjin Dalian Dubai Busan Taipei Kaisa Shanghai

Meskipun baru rencana, tetapi bagi insinyur-insinyur yang bermimpi dapat terlibat pada salah satu gedung tertinggi dunia, tentu mendapatkan harapan yang besar. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

75/90

12. SEKELUMIT FAKTA DI BALIK GEDUNG TERTINGGI DUNIA 2012 12.1. Gedung Beton Tertinggi Saat Ini Burj Khalifa (828 m) di Dubai, saat ini (2012) menjadi bangunan tertinggi di dunia.

Ketinggiannya melesat 60% lebih tinggi dari Taipei 101 (508 m), yang sebelumnya telah menduduki singgasana itu selama 6 tahun (2004 – 2010) setelah mengalahkan menara kembar Petronas Tower (452 m), di Kuala Lumpur.

Gambar 78. Burj Khalifa (828 m) gedung tertinggi di dunia (2012)

Arsiteknya Adrian Smith didukung Bill Baker (structural engineer) dari Skidmore, Owings & Merrill (SOM), Chicago. Kontraktornya Samsung C&T, Besix dan Arabtec.

Konstruksi utama beton bertulang, dan baja untuk bagian menaranya. Penggunaan

beton cukup menarik, sepertinya akan menjadi kecenderungan gedung super-tinggi yang lain. Faktor-faktor yang menyebabkannya (Taranath 2010), adalah :      

Besarnya massa dan rigiditas beton memperbesar redaman dibanding baja, yang akan mengurangi gaya akibat angin pada bangunan super-tinggi.

Peningkatan mutu campuran beton semakin baik, dari segi kekuatan (fc) dan modulus elastisitas (Ec), termasuk SCC (Self-Consolidating Concrete). Beton bertulang secara nature bersifat tahan api (fire resistant)

Penggunaan sistem lantai flat-slab, dapat menghasilkan tinggi lantai-ke-lantai yang sangat minimal dan lebih efisien karena two-way system. Tersedia self-climbing form-work dinding otomatis dari Doka, Austria.

Tersedia teknologi pompa beton kapasitas 5500 psi padahal perlunya hanya 3000 psi, yaitu buatan Putzmeister, Jerman. Crane sudah tidak diperlukan lagi.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

76/90

Untuk mengetahui keistimewaan Burj Khalifa, Dubai terkait dengan ketinggiannya maka akan diperbandingkan dengan bangunan tinggi lain yang tercatat di dunia ini.

Gambar 79. Perbandingan tinggi berbagai objek buatan manusia (2012)

Dari perbandingan di atas, Burj Khalifa tingginya sangat signifikan mengalahkan yang lain, padahal terbuat dari beton bertulang (kecuali menaranya). Keistimewaan yang lain, yang tercatat dari pembangunan gedung Burj Khalifa adalah:  



Tinggi arsitektur 828 m, jumlah lantai 160, konstruksi mulai 2004 sampai 2010, setara dengan kerja sebanyak 22 juta orang per jam. Tower beton bertulang seluas 280,000 m2 digunakan untuk tempat tinggal dan kantor, sebagian juga hotel. Adapun luas tower dan podium adalah 465,000 m2. Luas dasar (site area) adalah 104,210 m2, luasan proyek 454,249 m2.

Mutu beton 60 – 80 MPa dan Ec 43,800 N/mm² (maks) sebanyak 250,000 m3 (setara 110,000 gajah), tulangan baja perlu 39,000 ton, dinding penutup 83,600 m2 kaca dan 27,900 m2 metal (ekivalen 17 lapangan bola). Aluminium yang dipakai setara lima pesawat A380, panjang baja stainless setara 293 kali tinggi menara Eiffel di Paris.

Untuk mewujudkan bangunan tertinggi, arsitek dan insinyur SOM, Chicago memakai

prinsip geometri organik triaksial yang bertumbuh secara spiral (lihat Gambar 80). Untuk itu perlu sistem struktur baru, yang dinamakan ”buttressed core”, terdiri dari dinding beton mutu tinggi membentuk tiga sayap yang saling menopang satu sama lain melalui enam sisi core tengah atau hub hexagonal. Idenya sederhana, core beton

menghasilkan kekakuan torsi, sekaligus pelindung elevator. Tiga sayap menopang core beton terhadap angin. Untuk menghasilkan satu kesatuan diberikan outriggers

di setiap ketinggian tertentu. Hasilnya denah berbentuk Y, yang ternyata ideal sekali untuk bangunan resident dan hotel, karena memberikan keleluasaan pemandangan luar yang terbaik.

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

77/90

Gambar 80. Tampak gedung tertinggi Burj Khalifa, di Dubai (Baker et.al 2010)

Gambar 81. Denah Tipikal Burj-Khalifa (Baker et.al 2010)

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

78/90

Model struktur Burj-Khalifa dianalisis terhadap beban gravitasi (efek P-delta), angin,

dan gempa, memakai program ETABS versi 8.4 dari Computers & Structures, Inc., Berkeley, California. Model strukturnya terdiri RC-wall, link beam, slab, dan sistem

pondasi (rc-slab raft h = 3.7 m dan bore pile  1.5 m Pijin = 3000 ton), sekaligus juga

menara baja di atas. Model struktur lengkap terdiri dari 73,500 element Shells dan 75,000 titik nodal, untuk model struktur lantai tipikal dapat dilihat pada Gambar 82.

Gambar 82. Model Struktur lantai typikal dengan ETABS 8.4

Lendutan lateral akibat angin memenuhi persyaratan umum, dari analisa dinamik diketahui bahwa ragam pertama (mode-1) berupa deformasi lateral dengan perioda

11.3 detik, ragam ke-2 juga deformasi lateral arah tegak lurusnya dengan perioda

10.2 detik. Deformasi torsi terjadi pada ragam ke-5 dengan perioda 4.3 detik, yang berarti tidak menentukan perilaku bangunan terhadap pembebanan lateral.

Untuk perencanaan gempa, Dubai termasuk pada Zone-2 di Uniform Building Code

(International Code Council, 1997), yang berarti daerah gempa sedang (moderate) sebanding kota New York dan Boston. Kondisi tanahnya pada kategori sangat padat

atau karang muda. Analisa gempanya berupa analisa respons spektrum khusus

kondisi tanah di sana. Hasilnya menunjukkan bahwa pembebanan gempa tidak

menentukan perencanaan bangunan tower beton bertulang, hanya bagian podium dan menara baja di puncak tower yang terpengaruh. Meskipun demikian pada

perencanaan bangunan ini telah dilakukan seismic hazard analysis secara khusus, termasuk mempelajari potensi terjadinya bahaya likuifaksi ketika terjadi gempa. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

79/90

Gambar 83. Tahapan konstruksi yang khusus (Baker et.al 2010)

Material beton mengalami creep (rangkak) dan shringkage (susut), yaitu deformasi sebagai fungsi waktu. Karena tower sebagian besar beton bertulang, hanya bagian

atas yang menara baja, maka pengaruh rangkak dan susut harus dihitung cermat.

Strategi jangka panjang, mengusahakan tegangan tekan akibat beban gravitasi pada penampang yang merata. Caranya ukuran penampang diproporsikan terhadap gaya

tekan yang ada. Ini mudah, karena proporsi kolom atau dinding menerus, dan konsisten sesuai luasan lantai yang dipikul, tidak ada balok transfer dsb.

Untuk mengatasi perpendekan elastis jangka pendek, selama tahapan konstruksi

dilakukan analisis struktur, lihat Gambar 84. Analisis harus berurutan disesuaikan dengan kondisi aktual pelaksanaannya, termasuk umur beton pada konfigurasi yang ditinjau. Maklum, umur beton menentukan modulus elastisitas, dan itu parameter

yang menentukan besarnya deformasi aksial yang terjadi (ingat E.A). Hasil analisis digunakan untuk menentukan besarnya kompensasi horizontal dan vertikal. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

80/90

Gambar 84. Tahapan konstruksi (Baker et.al 2010)

Kompensasi horizontal adalah untuk mengantisipasi adanya distorsi arah horizontal

menuju pusat. Jadi untuk pengecoran lantai di atasnya diperhitungkan kompensasi arah lateral yang mengkoreksi terjadinya distorsi lateral yang terjadi. Deformasi

lateral tiap lantai dapat terdeteksi jika pemodelan struktur lantainya memakai element Shell (atau Frame). Jika dipakai diapraghm-floor pada pemodelan lantai seperti cara lama, maka kondisi distorsi lateral tidak akan terdeteksi.

Kompensasi vertikal adalah untuk mengantisipasi adanya distorsi vertikal akibat

adanya perpendekan kolom atau wall. Untuk itu diberikan penambahan tinggi, yang besarnya sebanding dengan beban akibat jumlah lantai di atas yang dipikulnya.

Fenomena distorsi akibat perpendekan aksial diperlihatkan pada Gambar 85. Beban di tengah lebih besar karena jumlah lantainya lebih banyak dibanding pinggir.

Gambar 85. Distorsi akibat perpendekan elastik elemen vertikal

Adanya pengaruh creep dan shrinkage pada struktur beton bertulang itulah yang menyebabkan proses konstruksi Burj-Khalifa tidak dapat dikerjakan sekaligus pada

arah horizontal, yaitu keseluruhan luasan lantainya. Konstruksi dimulai dari bagian yang nantinya akan paling tinggi terlebih dahulu, yaitu bagian tengah, kemudian disusul oleh lantai-lantai ujung yang nanti ada di bawahnya (lihat Gambar 83). Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

81/90

12.2. Angin dan Bentuk Bangunan Burj Khalifa (828 m), begitu tinggi sehingga perioda getar alaminya relatif panjang.

Selanjutnya dari kurva respons spektrum gempa (Gambar 33), dengan perioda yang

relatif panjang maka respons struktur terhadap gempa relatif kecil, kalah dominan dibanding pengaruh angin. Bahkan untuk angin dengan perioda pendek, yaitu lama

waktu perlu untuk terjadi peningkatan intensitas maksimum ke kondisi nol kembali, jika nilainya kurang dari perioda getar alami bangunan, maka respons struktur terhadap angin akan berperilaku dinamis. Pembebanan anginlah yang menentukan.

Pada perencanaannya, bentuk dasar bangunan ditetapkan terlebih dahulu, arsitek dan insinyurnya selanjutnya bersama-sama mengevaluasi hasil uji terowongan angin. Bentuk bangunan dimodifikasi, jadi prosesnya mengandung trial-and-error.

Gambar 86. Uji terowongan angin di RWDI, Gulfp, Ontario (Baker 2010)

Uji terowongan angin oleh Rowan Williams Davies and Irwin Inc. (RWDI) dari Gulfp,

Ontario, Canada, sehingga pengaruh dinamik angin dan fenomena vortex-shedding dapat dievaluasi sekaligus. Akhirnya melalui trial-and-error, bentuk bangunannya

dapat dipilih sedemikian rupa sehingga seakan-akan dapat “membingungkan” angin. Lendutannya dievaluasi sesuai batas-batas tolerasi ijin sesuai ISO, Geneva. Hasilnya

sangat baik, bahkan tidak diperlukan teknologi dumping device khusus seperti yang dipakai pada gedung Taipei 101, Taiwan, yaitu Tuned Mass Pendulum Damper (Taranath 2005), untuk antisipasi goyangan berlebihan akibat angin. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

82/90

Uji terowongan angin yang dikerjakan konsultan RWDI, meliputi rigid-model force balance tests, model aeroelastic, pengukuran tekanan lokal, studi pengaruh angin terhadap pejalan kaki dan lingkungan sekitarnya. Model uji memakai model skala

1:500 (lihat Gambar 86); tetapi untuk studi pengaruh angin terhadap pejalan kaki memakai model skala 1:250 agar pengaruhnya dapat dievaluasi secara teliti.

Melalui hasil uji terowongan angin maka efek vortec-shedding yang terjadi ketika angin melewati bangunan tersebut dapat diprediksi (Gambar 86). Terlihat bahwa vortec-shedding tidak mempengaruhi bangunan, karena terjadinya di belakang jauh.

Itu berarti tidak ada tekanan angin pada arah tegak lurus arah utama angin, hanya tekanan searah angin utama yang perlu diperhitungkan dalam perencanaan. Karena distorsi akibat angin tidak terlalu banyak, jika dapat dikontrol dengan baik maka tentunya kenyamanan hunian akan lebih baik.

Gambar 87. Perilaku angin di sekitar tower Burj Khalifa (Baker 2010)

Untuk mendapatkan stabilitas bangunan terhadap pengaruh angin, maka perencana hanya mengandalkan pada bentuk dan berat sendiri dari bangunannya saja. Oleh sebab itu pemakaian beton SCC (self compacted conrete) pada proyek tersebut

sangat membantu, mudah dibentuk sesuai kebutuhan dan mempunyai massa atau berat yang memadai untuk menghasilkan pengimbangan terhadap angin. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

83/90

12.3. Sosok Insinyur Perencana Burj Khalifa Bagi awam, tentu tidak terbayang bagaimana bangunan setinggi 828 m, Burj Khalifa, berhasil dibangun dan dapat ditempati manusia. Apalagi bagi awam yang pernah membaca legenda menara Babel yang terkesan digagalkan oleh Tuhan karena hal itu (menara tinggi yang menggapai langit) tidak dikehendaki-Nya.

Padahal jika mau merenungkan lebih mendalam, keberhasilan bangunan tertinggi itu merupakan bukti akan kebesaran Tuhan itu sendiri. Mengapa itu bisa dikaitkan ?

Literatur tertua, yang sekarangpun masih dijadikan acuan banyak manusia, yaitu Alkitab telah lama mengatakannya:

Berfirmanlah Allah: ”Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa . . . atas seluruh bumi . . . Kejadian 1:26

Bahkan legenda menara Babel, tidak dapat dianggap itu sebagai ketidak-mampuan manusia untuk berkuasa, sebagaimana ungkapan nats di atas. Bahkan ada suatu pernyataan akan dahsyatnya kemampuan manusia tersebut. Baca lagi secara teliti :

. . . Ini barulah permulaan usaha mereka; mulai dari sekarang apapun juga yang mereka rencanakan, tidak ada yang tidak akan dapat terlaksana. . . . Kejadian 11:6

Jadi nats di atas merupakan bukti tertulis tertua yang menunjukkan bahwa sejak

awal mulanyapun, Tuhan sudah menyatakan bahwa manusia itu begitu istimewa diantara ciptaan lainnya, karena memang sebagai gambar diri-Nya.

Lalu dimana keistimewaan manusia, dibanding burung dengan sayapnya yang dapat terbang tinggi di udara, ikan dengan siripnya yang dapat berenang cepat di air, kuda dengan kakinya yang dapat berlari di darat laksana angin.

Secara fisik, manusia itu lemah dibanding ciptaan Tuhan yang lain. Tetapi dibalik itu ada sesuatu yang luar biasa, yaitu akal-budi. Dengannya dapat dibuat rencana yang Tuhanpun tahu, bahwa tidak ada yang tidak akan dapat terlaksana. [Kejadian 11:6].

Jadi berbicara banyak tentang bangunan tertinggi dunia, tidaklah lengkap tanpa mencari tahu sosok manusia yang erat dengan pembuatan rencana penciptaan itu.

Fokus penciptaan yang dimaksud dikaitkan dengan keterwujudan fisik, tidak sekedar bentuk atau tampilannya, tetapi kemampuannya atau tepatnya kekuatan dan,

kekakuannya untuk berada di alam dunia ini. Berarti itu sosok manusia yang bertanggung jawab pada urusan rekayasa. Sosok yang dimaksud adalah : Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

84/90

William F. Baker, PE, SE, FASCE, FIStructE

Structural and Civil Engineering Partner Skidmore, Owings & Merrill, LLP, Chicago, US.

Education :  University of Illinois, MSc., Civil Engineering, 1980  University of Missouri, BSc, Civil Engineering, 1975 Award  Honorary Doctorate dari Uni Stuttgart, 2011  OPAL Award, dari ASCE, 2011  Gold Medal dari IStructE, London, 2010  Fritz Leonhardt Prize, Uni Stuttgart, 2009  Fazlur Rahman Khan Medal dari CTBUH, 2009.

Ternyata sosok penanggung-jawab rencana penciptaan itu adalah sosok yang mempelajari dan menguasai ilmu teknik sipil, khususnya structural engineering. Itulah ilmu yang Tuhan-pun tahu tidak ada yang tidak akan dapat terlaksana. Tentunya

kita semua di sini (kuliah umum di UAJY, Rabu, 9/5/2012) perlu mensyukuri, bahwa ilmu yang kita pelajari itu adalah istimewa. Dengannya, dunia ini dapat diubah lebih baik, tentunya jika diaplikasikan secara tepat. Bagaimana itu bisa dilakukan ?

W.F. Baker pada Burj Khalifa dikenal akan ide dan pengembangan sistem struktur “buttressed core” yang belum pernah ada dipakai pada gedung tinggi sebelumnya.

Selain itu, sebelumnya juga telah dikenal akan inovasi-inovasinya yang lain, seperti

proyek bangunan bentang panjang Korean Air Lines Operations Hangar, Virginia Beach Convention Center, juga spesial struktur seperti Broadgate-Exchange House.

Gambar 88. Spesial struktur : Broadgate, Exchange House, London – UK (1989)

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

85/90

Perhatikan keunikan rancangan bangunan sepuluh lantai pada Gambar 88, sistem pelengkung yang terlihat bukan untuk keperluan arsitektural semata, itu dipilih

karena dibawahnya terdapat rel kereta api yang tidak dapat diganggu gugat. Berarti bangunan tingkat sepuluh tersebut berdirinya pada ujung-ujung pelengkung saja.

Solusi yang berbeda dibanding bentuk-bentuk bangunan yang umum dijumpai. Itu berarti rancangannya tidak sekedar mengandalkan kemampuan “bisa karena biasa”,

tetapi berdasarkan ilmu pengetahuan (teori/model) yang dimiliki dan diyakininya bahwa nanti hasilnya memang akan berkorelasi sama dengan kondisi realnya.

Tentang ilmu pengetahuan yang diyakini Baker, yang terbukti andal menghasilkan

inovasi-inovasi rekayasa, ternyata tidak ada rahasia khusus. Itu diketahui saat Baker memberikan kuliah (18 December 2011) di Universitas Illinois, Urbana-Champaign, almamaternya. Pada pidatonya, Baker mengenang dan mengingatkan kembali akan

slogan gurunya 30 tahun lalu, Profesor Narby Khachaturian. Slogan yang dimaksud adalah “Theory is Practical”. Teori yang dimaksud adalah teori-teori dasar yang diajarkan di perguruan tinggi, seperti teori plate-shell, teori elastisitas (linear dan

nonlinear), metoda enerji, dll-nya, yang semua terkesan tidak praktis pemakaiannya.

Padahal dari teori-teori dasar seperti itulah, Baker menyusun hipotesis atas solusi

kasus-kasus yang dihadapinya. Ternyata itu semua dapat menghasilkan buah-buah positip, yang bagi orang awam disebutnya sebagai inovasi terkini.

Apakah dengan hal-hal di atas sudah mencukupi untuk menjadi seperti W.F. Baker.

Ternyata tidak, penguasaan ilmu-ilmu dasar hanyalah modal awal, selanjutnya perlu

berani menerima tanggung jawab akan masalah-masalah rekayasa yang ada. Sebagai Partner di konsultan rekayasa SOM, Chicago, tentulah kesempatan yang istimewa. Masalah-masalah rekayasa pelik kelas dunia akan otomatis berdatangan. Nah disitu

akan ada titik temu antara “supply and demand”. Jadi tidak heranlah jika kemudian ada kolaborasi dengan arsitek-arsitek terkenal dan menghasilkan berbagai inovasi.

Jika hanya itu yang dikerjakan W.F. Baker, maka pastilah yang dikenal hanya SOM,

kantor tempatnya bekerja. Tidak akan ada penghargaan khusus secara personal. Itu

semua ada karena W.F Baker ternyata juga aktif dengan banyak kegiatan organisasi profesional dan institusi pendidikan tinggi, sebagai pembicara sekaligus penulis tentang ide-ide yang dikembangkannya. Dia menulis secara rutin pada jurnal atau

majalah ilmiah di bidang rekayasa struktur, bahkan sudah ada sekitar 50 tulisannya tentang proyek-proyeknya maupun penelitiannya terkait dengan optimasi struktur, pengaruh angin dan stabilitas. Itulah profil insinyur struktur yang ideal untuk ditiru. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

86/90

13. PARTISIPASI INDONESIA DALAM ERA MEGA-TINGGI Jika hanya menyimak berita nasional negeri ini, seperti bagaimana gigihnya rakyat menolak rencana kenaikan harga b.b.m sebesar 0.15$ per liter, tentu merasa bahwa

yang namanya era mega-tinggi tentunya bukan di negeri ini, Indonesia. Ternyata

adalah tidak terduga, jika salah satu anak negeri ini ada yang mampu mewujudkan

diri terlibat dan menjadi bagian dari era mega tinggi tersebut. Luar biasa tentunya. Sebagaimana ada pada daftar gedung mega-tinggi yang dilansir CTUBH, pada urutan ke-5 tercantum gedung Signature Tower Jakarta (638 m) akan ada di Jakarta.

Gambar 89. Signature Tower Jakarta (638 m), rencana

Meskipun gedung di atas masih dalam tahap desain, dan terlihat belum adanya aksi

nyata di lapangan tapi kemungkinan terwujudnya akan lebih besar dan lebih cepat dari mimpi bangsa ini akan jembatan bentang panjang penghubung Jawa-Sumatera. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

87/90

Ini dimungkinkan karena adanya perbedaan karakter proyek gedung dan jembatan.

Sebagaimana diungkapkan pada Tabel 2, gedung bersifat lokal, dapat dimiliki swasta dan pengaruhnya terhadap lingkungan tidak sebesar proyek jembatan. Jadi ketika proyek jembatan Jawa-Sumatera dalam tahap sosialisai maka bisa saja proyek

gedung tinggi ini berjalan, tanpa harus menunggu kesiapan yang lain. Ini bukti juga bahwa untuk mewujudkannya tidak perlu harus menunggu kesiapan bangsa ini akan kemampuan rekayasanya. Jujur saja, meskipun di Jakarta akan ada bangunan

tertinggi di dunia ke-5, tapi itu hasil pemikiran rekayasa bangsa lain. Perlu diketahui bahwa arsiteknya adalah Smallwood, Reynolds, Stewart, Stewart & Associates, Inc.

(http://www.srssa.com) berbasis di USA, arsitek lokalnya (Indonesia) yang akan membantu adalah PT. Pandega Desain Wehanma (http://www.pdw-architects.com).

Bagi sarjana teknik sipil, yang ingin diketahui pada proyek tersebut tentunya adalah

perencana strukturnya, Thornton Tomasetti (http://www.thorntontomasetti.com). Konsultan rekayasa struktur yang telah berdiri sejak 1956 di USA dan telah menjadi

kelas dunia, gedung Taipei 101 di Taiwan, Shanghai World di Shanghai, Petronas Tower di Kuala Lumpur, yang merupakan gedung ke-2, ke-3, ke-5 dan ke-6 tertinggi dunia adalah beberapa dari karya-karyanya. Perlu juga diketahui, bahwa konsultan

struktur lokal yang berkenan mendapat kehormatan mendampingi perancang kelas dunia adalah PT. Gistama Inti Semesta (http://www.gistama.com) di Jakarta.

Adapun gedung tertinggi saat ini adalah Burj Khalifa dengan perencana strukturnya

William F. Baker dari Skidmore, Owings & Merrill LLP (SOM), Amerika. Sedangkan

gedung tertinggi ke-4 dunia, International Commerce Centre Hongkong, perencana strukturnya Arup, yang berkantor pusat di Inggris.

Adanya kesempatan dalam waktu dekat ini bahwa gedung mega-tinggi akan segera

hadir di Indonesia, tentunya perlu disikapi dengan baik. Bagaimanapun juga, tidak

setiap negara punya kesempatan terlibat dalam pembangunan gedung seperti itu. Jadi bagi anak-anak muda calon engineer yang punya idealisme tentu akan melihat bahwa ini kesempatan baik belajar dan menguasai teknologi di era mega-tinggi tadi.

14. KESIMPULAN DAN PENUTUP

Uraian makalah dimulai dengan membahas kesiapan sarjana teknik sipil menjadi

insinyur yang baik, dan tidak sekedar tukang kelas satu. Insinyur adalah profesional

yang memandang suatu penyelesaian masalah berdasarkan ilmu pengetahuan dan

teknologi. Adapun tukang, lebih mengandalkan pada ketrampilan dan pengalaman, Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

88/90

yang mana itu semua dapat diusahakan secara tekun dengan falsafah ”bisa karena biasa”. Kompetensi tukang kelas satu jelas tidak bisa diabaikan, keberadaannya juga

penting, khususnya untuk kasus-kasus yang mirip dan ingin diulang secara repetisi. Adapun insinyur penting karena mampu menangani kasus yang belum tentu pernah

dikerjakan sebelumnya, sebagaimana yang diharapkan pada era pembangunan

gedung tinggi dan jembatan bentang panjang nantinya. Dengan adanya kemampuan insinyur maka harapannya kita bisa mandiri, tidak tergantung dari bangsa lain.

Materi bangunan tinggi dan bentang panjang ternyata sangat luas. Untuk itu tulisan akan dibagi menjadi dua bagian. Pertama, makalah yang anda baca hanya membahas tentang bangunan tinggi, yaitu gedung tinggi, super tinggi dan mega tinggi.

Uraian tentang gedung-gedung tinggi, banyak menguraikan pada falsafah dibelakang

sistem struktur penahan lateral, khususnya terhadap gempa dan angin. Untuk menutup makalah, dibahas hal-hal manarik seputar gedung tertinggi dunia saat ini (2012), yaitu Tower Burj Khalifa (828 m) di Dubai.

Meskipun tulisan ini hanya membahas masalah gedung-gedung tinggi saja, tetapi ternyata masalahnya cukup kompleks, tidak sederhana. Itu pula yang menyebabkan,

meskipun dalam waktu dekat, di Jakarta akan dibangun gedung tertinggi ke-5 dunia, tetapi semuanya itu masih melibatkan bangsa lain. Kita belum mandiri. Oleh karena

itu diharapkan dengan tulisan ini, akan memicu mahasiswa-mahasiswa yang sedang belajar ilmu teknik sipil akan termotivasi lebih giat lagi untuk dapat menguasai ilmu rekayasa dan akhirnya berhasil menjadi insinyur yang mandiri dan mumpuni.

15. UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada bapak Ir. Sugeng Wijanto, Ph.D., P.Eng.,

Presiden Direktur PT. Gistama Intisemesta, Jakarta, atas informasi terkait proyek Signature Tower Jakarta, yang nantinya akan menjadi bangunan tertinggi Indonesia dan bahkan ke-5 di tingkat dunia. Semoga impian ini menjadi kenyataan.

16. DAFTAR PUSTAKA

AISC. (2005a). “ANSI/AISC 360-05: Specification for Structural Steel Building”, AISC, Chicago, Illinois AISC. (2005b). “ANSI/AISC 341-05 : Seismic Provisions for Structural Steel Buildings”, AISC, Chicago, Illinois

Basha, H.S. and Subhash C. Goel. (1996). “Seismic Resistant Truss Moment Frames with Ductile Vierendeel Segment”, Paper No.487. Eleventh World Conference on Earthquake Engineering, Elsevier Science Ltd. Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

89/90

Hamburger, R.O., Helmut Krawinkler, James O. Malley, Scott M. Adan. (2009). “NIST GCR 09-917-3 : Seismic Design of Steel Special Moment Frames: A Guide for Practicing Engineers”, U.S. Department of Commerce and The National Institute of Standards and Technology (NIST) http://911research.wtc7.net/mirrors/guardian/WTC/WTC_ch2.htm http://911blog.yweb.sk/55/Fotky-zo-stavby-WTC.html

http://steelconstruct.com/references/fiches/uk/broadgate/

Sabelli, R., and Walterio López. (2004). “Design of Buckling-Restrained Braced Frames”, Modern Steel Construction

Seilie, I.F., and John D. Hooper.(2005). “Steel Plate Shear Walls: Practical Design and Construction”, April 2005 Modern Steel Construction Suriasumantri, J.S. (2006). "Ilmu Dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu", Yayasan Obor Indonesia, Jakarta

Taranath, B.S. (2005). “Wind and Earthquake Resistant Buildings Structural Analysis and Design”, Marcel Dekker, New York 12701, U.S.A. Taranath, B.S. (2010). “Reinforced Concrete Design of Tall Building”, CRC Press, Taylor & Francis Group, Boca Raton.

Taranath, B.S. (2012). “Structural Analysis and Design of Tall Building”, CRC Press, Taylor & Francis Group, Boca Raton.

William F. Baker (2011). “Advice to 2011 grads: 'Don't panic. Work the problem”, http://engineering.illinois.edu/news/2011/12/19/advice-2011-grads-dontpanic-work-problem

William F. Baker. (2010). “First person - Engineering an Idea: The Realization of the Burj Khalifa, Civil Engineering, March 2010 William F. Baker, James J. Pawlikowski, and Bradley S. Young. (2010). “Reaching Toward The Heavens”, Civil Engineering, March 2010

Tentang Pemakalah Dr. Ir. Wiryanto Dewobroto, MT., adalah Dosen Profesional dan Lektor Kepala pada mata kuliah analisa dan perancangan struktur (baja, beton dan kayu), komputer rekayasa, di Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Desain dan Teknik Perencanaan, Universitas Pelita Harapan, Lippo-Karawaci, Tangerang. Pendidikan S -1 di UGM, Yogyakarta (1989); S2 - di UI, Jakarta (1998); S3 di UNPAR, Bandung (2009) via dukungan promotor Prof. Ir. Moh. Sahari Besari, M.Sc., Ph.D. Profesinya di dunia rekayasa diawali sebagai structural engineer PT. Wiratman & Associates, Jakarta (1989–1994), engineering manager di PT. Pandawa Swasatya Putra Consulting Engineer, Jakarta (1994–1998). Krisis moneter (1998) mengalihkannya berkarya ke dunia pendidikan, sebagai guru, peneliti dan penulis. Tentang hal itu, ada puluhan publikasi, berupa prosiding, jurnal, buku, atau tulisan-tulisan ilmiah populer. Semuanya dapat dilacak, bahkan sebagian dapat dibaca dan download di blog-pribadi-nya, yaitu :

http://wiryanto.wordpress.com

Wiryanto Dewobroto – Universitas Pelita Harapan – Mei 2012

90/90

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF