Distosia Bahu

April 3, 2017 | Author: ami | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

distosia bahu presus...

Description

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Kejadian distosia bahu semakin menjadi ketakutan sendiri bagi dokter, perawat, bidan, dan tenaga medis lainnya karena seringkali merupakan peristiwa kegawatan obstetri yang tidak bisa diprediksi dan dicegah. Distosia bahu didefinisikan sebagai kelahiran yang membutuhkan manuver obstetri tambahan untuk mengeluarkan bahu setelah traksi bawah gagal. Distosia bahu terjadi ketika terdapat impaksi bahu bayi anterior jarang terjadi,

posterior

dengan simfisis atau promontorium sakralis ibu. Biasanya distosia bahu didahului dengan tanda klasik ―turtle sign‖ yaitu setelah kepala bayi dikeluarkan, akan terjadi retraksi kuat kembali ke perineum ibu. Spong mendefinisikan distosia bahu sebagai persalinan kepala-badan yang lama, yaitu lebih dari 60 detik) dan atau mengharuskan manuver obstetri tambahan. Lama persalinan 60 detik dijadikan batas interval karena waktu tersebut terletak antara dua standar deviasi di atas nilai rerata persalinan normal pada penelitiannya. Walaupun terdapat rekomendasi tersebut, distosia bahu tetap belum memiliki definisi yang jelas. Perbedaan laporan kasus sebagian disebabkan oleh variasi definisi distosia bahu, populasi pasien yang dipelajari, dan bentuk kasus over-diagnosed atau under-diagnosed. Insidensi yang dilaporkan adalah 0,6% sampai 3% kelahiran pervaginam dengan presentasi vertex, walaupun distosia bahu dapat dikelola dengan tepat tetapi tetap dapat meningkatkan angka mortalitas dan morbiditas perinatal. Kegagalan bahu untuk lahir dengan spontan dapat menjadikan ibu hamil dan bayi memiliki risiko cidera persalinan permanen. Cidera pleksus brakhialis adalah komplikasi distosia bahu yang paling sering terjadi, yaitu pada 4-16% persalinan. Kejadian ini tergantung dari pengalaman operator persalinan. Kebanyakan kasus diatasi tanpa adanya kecacatan

1

permanen, yaitu kurang dari 10% yang terjadi disfungsi pleksus brakhialis. Cidera pleksus brakhialis neonatus adalah kasus tuntutan pengadilan paling sering berkaitan dengan distosia bahu di Inggris, sedangkan distosia bahu masuk menjadi empat besar kasus pengadilan, dan diperkirakan menghabiskan 11% klaim kasus obstetri. Walaupun tidak semua cidera pleksus brakhialis disebabkan karena traksi berlebih dan dihubungkan dengan kejadian distosia bahu, manajemen risiko yang baik membutuhkan setiap tahapan harus dilakukan untuk mengatasi segala kemungkinan, pencegahan, dan penatalaksanaan distosia bahu dengan standar yang baik. Sejak dimulainya NHS Litigation Authority pada tahun 1995 terdapat sekitar 555 klaim yang berhubungan dengan distosia bahu, dengan perkiraan biaya £ 189.400.000.

B.

Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meninjau literatur tentang permasalahan distosia bahu yang terdiri dari identitifikasi faktor risiko untuk deteksi awal persalinan beresiko tinggi dan penatalaksanaan yang sistematis dari kedaruratan obsetri untuk menghindari permasalahan kesehatan setelah melahirkan, medicolegal, dan komplikasi yang minimal.

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1.

Definisi Distosia bahu termasuk dalam kedaruratan obsetri, sehingga dibutuhkan tindakan segera, ketrampilan dan kemampuan teknik persalinan yang tepat untuk menghidari morbiditas dan mortalitas perinatal. Hal ini terjadi ketika bahu depan terjepit oleh simpisis pubis atau bahu belakang terjepit oleh sacral promontorium

sehingga

terjadi

kegagalan

dalam

pengeluaran

bahu.

(arulkumaran, 2003). Persalinan kepala umumnya diikuti oleh persalinan bahu dalam waktu 24 detik, sedangkan jika persalinan bahu lebih dari 60 detik dianggap sebagai distosia bahu (Manuaba, 2007).

2.

Insidensi Insidensi distosia bahu dilaporkan meningkat dalam beberapa dekade terakhir ini. Kejadian dengan distosia bahu terjadi 1:200 kelahiran (arulkumaran et al., 2003). Hal itu menyebabkan morbiditas dan mortalitas perinatal yang tinggi dan yang sering dihubungkan dengan komplikasi meskipun sudah dikelola dengan tepat. Akibat dari itu Royal Collage of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG) and The Royal Collage of Midwives (RCM) bersama-sama merekomendasi untuk melakukan pelatihan terhadap manajemen persalinan dengan distosia bahu (RCOG, 2005)

3.

Komplikasi distosia bahu Persalinan distosia bahu mempunyai komplikasi yang cukup serius (tabel 2.1). Dalam menghadapi kemungkinan distosia bahu, sulit diduga sebelumnya oleh karena :

3

a.

Tidak terdapat gejala yang mendahului. Persalinan kepala dapat berlangsung normal, tetapi persalinan bahunya menghadapi kesulitan yang sangat membahayakan

b.

Ketepatan perkiraan berat janin intra uterin dengan menggunakan USG sulit dipastikan

c.

Sectio caesarea yang dilakukan hanya dengan dugaan janin makrosomia janin saja sulit dibenarkan. Namun, jika berat janin diduga sekitar 5000 gram, ibu hamil dengan diabetes mellitus, atau dugaan berat janin 4500 gram pada ibu hamil dengan diabetes

mellitus, seksio sesarea dapat

dibenarkan. (Manuaba, 2007) Tabel 2.1. Komplikasi pada Maternal dan Perinatal Komplikasi Maternal

Komplikasi Perinatal

Trias komplikasi :

Trauma persendian:



Trauma jalan lahir



Perdarahan postpartum



Infeksi



Leher: dislokasi, fraktur tulang leher



Bahu : dislokasi persendian bahu, fraktur tulang humerus

trauma pleksus brakialis : 

Erb

paralisis,

yaitu

C5-C7

abduksi,

rotasi

dengan ciri : -

Humerus internal



Siku ekstensi

Paralisis klumpke atau ikut serta C8 dan TI -

Siku fleksi

-

Tangan terlempang dan jadi mencengkram

4



Sindrom horner -

Jika saraf simfatikus ikut serta

4. Manifestasi Klinis Tanda klinis terjadinya distosia bahu meliputi: 1. Tubuh bayi tidak muncul setelah ibu meneran dengan baik dan traksi yang cukup untuk melahirkan tubuh setelah kepala bayi lahir 2. Turtle sign adalah ketika kepala bayi tiba-tiba tertarik kembali ke perineum ibu setelah keluar dari vagina. Pipi bayi menonjol keluar, seperti seokor kurakura yang menarik kepala kembali ke cangkangnya. Penarikan kepala bayi ini dikarenakan bahu depan bayi terperangkap di tulang pubis ibu, sehingga menghambat lahirnya tubuh bayi.

Gambar 2.1. Turtle Sign

5.

Diagnosis 1.

Kepala janin telah lahir namun masih erat berada di vulva

2.

Tidak terjadi gerakan/ restitusi spontan

3.

Dagu tertarik dan menekan perineum

4.

Adanya tanda khas yang disebut sebagai Turtle Sign, yaitu penarikan kembali kepala terhadap perineum sehingga tampak masuk kembali ke dalam vagina.

5

5.

Penarikan kepala tidak berhasil melahirkan bahu yang terperangkap di belakang symphisis. (RCOG, 2012)

6.

Penatalaksanaan Karena distosia bahu tidak dapat diramalkan, pelaku praktek obstetrik harus mengetahui betul prinsip-prinsip penatalaksanaan penyulit yang terkadang dapat sangat melumpuhkan ini. Pengurangan interval waktu antara pelahiran kepala sampai pelahiran badan amat penting untuk bertahan hidup. Usaha untuk melakukan traksi ringan pada awal pelahiran, yang dibantu dengan gaya dorong ibu, amat dianjurkan. Traksi yang terlalu keras pada kepala atau leher, atau rotasi tubuh berlebihan, dapat menyebabkan cedera serius pada bayi (Cunningham, 2006). Beberapa ahli menyarankan untuk melakukan episiotomi luas dan idealnya diberikan analgesi yang adekuat. Tahap selanjutnya adalah membersihkan mulut dan hidung bayi. Setelah menyelesaikan tahap-tahap ini, dapat diterapkan berbagai teknik untuk membebaskan bahu depan dari posisinya yang terjepit di bawah simfisis pubis ibu (RCOG, 2012; Cunningham, 2006; Rayburn, William F,. Carey, J Christopher, 2001): 1.

Penekanan suprapubik sedang dilakukan oleh seorang asisten sementara dilakukan traksi ke bawah terhadap kepala bayi.

Gambar 2.2. Manuver Massanti

6

2.

Manuver McRoberts yang ditemukan oleh Gonik dan rekan (1983) dan dinamai sesuai nama William A. McRoberts, Jr., yang mempopulerkan penggunaannya di University of Texas di Houston. Manuver ini terdiri atas mengangkat tungkai dari pijakan kaki pada kursi obstetris dan memfleksikannya sejauh mungkin ke abdomen. Gherman dan rekan (2000) menganalisa manuver McRoberts dengan pelvimetri radiologik. Mereka mendapati bahwa prosedur yang menyebabkan pelurusan relatif sakrum terhadap vertebra lumbal, bersama dengan rotasi simfisis pubis ke arah kepala ibu yang menyertainya serta pengurangan sudut kemiringan panggul. Meski manuver ini tidak memperbesar ukuran panggul, rotasi panggul ke arah kepala cenderung membebaskan bahu depan yang terjepit. Gonik dan rekan (1989) menguji posisi McRoberts secara obyektif pada model di laboratorium dan menemukan bahwa manuver ini mampu mengurangi tekanan ekstraksi pada bahu janin.

Gambar 2.3. Manuver McRoberts

7

3.

Woods (1943) melaporkan bahwa, dengan memutar bahu belakang secara progresif sebesar 180 derajat dengan gerakan seperti membuka tutup botol, bahu depan yang terjepit dapat dibebaskan. Tindakan ini sering disebut sebagai manuver corkscrew Woods.

Gambar 2.4. Corkscrew-Woods Manuver

4.

Pelahiran bahu belakang meliputi penyusuran lengan belakang janin secara hati-hati hingga mencapai dada, yang diikuti dengan pelahiran lengan tersebut. Cingulum pektorale kemudian diputar ke arah salah satu diameter oblik panggul yang diikuti pelahiran bahu depan. Tindakan ini disebut sebagai maneuver Jacquimer.

Gambar 2.5. Manuver Jacquimer

8

5.

Rubin (1964) merekomendasikan dua manuver. Pertama, kedua bahu janin diayun dari satu sisi ke sisi lain dengan memberikan tekanan pada abdomen. Bila hal ini tidak berhasil, tangan yang berada di panggul meraih bahu yang paling mudah diakses, yang kemudian didorong ke permukaan anterior bahu. Hal ini biasanya akan menyebabkan abduksi kedua bahu, yang kemudian akan menghasilkan diameter antar-bahu dan pergeseran bahu depan dari belakang simfisis pubis.

Gambar 2.6. Manuver Rubin

6.

Hibbard (1982) menganjurkan untuk menekan dagu dan leher janin ke arah rektum ibu, dan seorang asisten menekan kuat fundus saat bahu depan dibebaskan. Penekanan kuat pada fundus yang dilakukan pada saat yang salah akan mengakibatkan semakin terjepitnya bahu depan. Gross dan rekan (1987) melaporkan bahwa penekanan fundus tanpa disertai manuver

9

lain akan "menyebabkan angka komplikasi sebesar 77 persen dan erat dihubungkan dengan kerusakan ortopedik dan neurologik (janin)." 7. Sandberg (1985) melaporkan penggunaan manuver Zavanelli untuk mengembalikan kepala ke dalam rongga panggul dan kemudian melahirkan secara sesar. Bagian pertama dari manuver ini adalah mengembalikan kepala ke posisi oksiput anterior atau oksiput posterior bila kepala janin telah berputar dari posisi tersebut. Langkah kedua adalah memfleksikan kepala dan secara perlahan mendorongnya masuk kembali ke vagina, yang diikuti dengan pelahiran secara sesar. Terbutaline (250 m g, subkutan) diberikan untuk menghasilkan relaksasi uterus. Sandberg (1999) kemudian meninjau 103 laporan kasus yang menerapkan manuver Zavanelli. Manuver ini berhasil pada 91 persen kasus presentasi kepala dan pada semua kasus terjepitnya kepala pada presentasi bokong. Cedera pada janin biasa terjadi pada keadaan-keadaan sulit yang menerapkan manuver Zavanelli; terdapat delapan kasus kematian neonatal, enam kasus lahir mati, dan 10 neonatus menderita kerusakan otak. Ruptur uteri juga pernah dilaporkan.

Gambar 2.7. Manuver Zavanelli

10

8.

Fraktur klavikula yang dilakukan secara sengaja dengan cara menekan klavikula

anterior

terhadap

ramus

pubis

dapat

dilakukan

untuk

membebaskan bahu yang terjepit. Namun, pada praktiknya, sulit mematahkan klavikula secara sengaja pada bayi besar. Fraktur klavikula biasanya akan sembuh dengan cepat, dan tidak seserius cedera nervus brakhialis, asfiksia atau kematian. 9.

Kleidotomi, yaitu memotong klavikula dengan gunting atau benda tajam lain, dan biasanya dilakukan pada janin mati (Schramm, 1983).

10. Simfisiotomi tampaknya juga dapat diterapkan dengan sukses, seperti dijelaskan oleh Hartfield (1986). Goodwin dan rekan (1997) melaporkan tiga kasus yang mengerjakan simfisiotomi setelah manuver Zavanelli gagal— ketiga bayi mati dan terdapat morbiditas ibu yang signifikan akibat cedera traktus urinarius. Beberapa literatur meengungkapkan beberapa cara dalam mengatasi distosia bahu yaitu Manajemen ALARMER dan 4 P. 1.

Manajemen ALARMER a. Ask for help (Minta bantuan) b. Lift/hyperflex Legs Hiperfleksi kedua kaki (Manuver McRobert), distosia bahu pada umumnya akan teratasi dengan manuver ini pada 70% kasus. c. Anterior shoulder disimpaction (disimpaksi bahu depan) Penekanan suprapubik (Manuver Mazzanti) dan pendekatan pervaginam dengan adduksi bahu depan dengan tekanan untuk mempermudah aspek bahu belakang (yaitu dengan mendorong ke arah dada) sehingga akan menghasilkan diameter terkecil (Manuver Rubin) d. Rotation of the posterior shoulder (Pemutaran bahu belakang) Manuver ini dilakukan dengan memutar 1800 bahu belakang sehingga menjadi bahu depan (Manuver Woodscrew) e. Manual removal posterior arm (mengeluarkan bahu belakang secara manual/ Manuver Jacquemier)

11

f. Episiotomi g. Roll over onto ‘all fours’ (knee-chest position/ Manuver Gaskin)

2.

Hindari empat ―P‖ a. Panic (Panik) b. Pulling (Menarik) c. Pushing (Mendorong) d. Pivot Jika cara tersebut sudah dilakukan dan distosia bahu tetap belum teratasi maka dapat dilakukan: 1. Manuver Zavanelli 2. Kleidotomi 3. Simfisiotomi

7.

Perkiraan dan pencegahan Terjadi evolusi pemikiran yang cukup besar di bidang obstetrik mengenai kemampuan untuk mencegah distosia bahu selama dua dekade terakhir. Selama tahun 1970an, saat praktek seksio sesarea meningkat dengan cepat, diharapkan sejumlah faktor risiko pada kehamilan dapat digunakan untuk mengidentifikasi wanita yang membutuhkan seksio sesarea untuk mengatasi distosia bahunya. Namun, selama tahun 1980an, tampak jelas bahwa angka persalinan

sesar

cenderung

berlebihan.

Juga

menjadi

jelas

bahwa

memperkirakan untuk kemudian mencegah distosia bahu tidaklah mudah. Meski tampaknya beberapa faktor risiko jelas berhubungan dengan distosia bahu, tidak mungkin dilakukan identifikasi aktual terhadap contoh-contoh individual sebelum faktanya dibuktikan (Cuningham, 2006).

12

BAB III ANALISA KASUS

Identitas Pasien : Nama

: Ny. S

Umur

: 35 tahun

Agama

: Islam

Alamat

: Jln. Kebon jeruk timur

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Pendidikan

: SMA

Tanggal masuk RS

: 4 Agustus 2013 pkl. 18.27 WIB

No. Rekam Medik

: 141.46.16

Anamnesis Keluhan Utama Mulas – mulas sejak 12 jam sebelum masuk Rumah Sakit

Riwayat Kehamilan Sekarang Pasien G2P1A0 mengaku hamil 9 bulan, HPHT pasien lupa. Pasien melakukan ANC 1 kali dibidan, USG (+) dikatakan bayi tunggal dan kepala. Pasien mengeluh mulas - mulas sejak 12 jam masuk rumah sakit dan bertambah sering, Pasien kemudian datang ke bidan. Keluar air-air sejak 9 jam masuk rumah sakit, keluar lendir darah sejak 1 hari masuk rumah sakit. Gerak janin aktif (+). Pasien menyangkal adanya pusing, mual muntah, demam, nyeri ulu hati maupun pandangan kabur. Riwayat keputihan (-). Riwayat gigi berlubang (-).

Riwayat Penyakit Dahulu Hipertensi, DM, penyakit paru, penyakit jantung, alergi obat dan makanan disangkal

13

Riwayat Penyakit Keluarga Hipertensi, DM, penyakit paru, penyakit jantung, alergi obat dan makanan disangkal Riwayat Menstruasi Menarche usia 13 tahun, siklus teratur tiap bulan, lama menstruasi 7 hari, ganti pembalut 2-3x/hari, nyeri haid (-). Riwayat Pernikahan Menikah 1x lamanya pernikahan 13 tahun. Riwayat Obstetri G2P1A0 : 1. Perempuan, 12 thn, 3600 gram, lahir spontan di bidan 2. Hamil saat ini.

Pemeriksaan Fisik Status Generalis Keadaan Umum

: Baik, Compos Mentis

Tanda vital

: TD 120/80 mmHg, Nadi 83 x/menit, Suhu 36,7oC, Pernapasan 20x/menit

Mata

: konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik

Jantung

: BJ I-II normal, Murmur (-), Gallop (-)

Paru

: BN veskuler, Rh -/-, Wh -/-

Abdomen

: buncit sesuai usia kehamilan

Ekstremitas

: akral hangat, perfusi perifer cukup, edema -/-

Status Obstetrik Inspeksi : Membuncit, arah memanjang. Palpasi: LI

: TFU 37 cm, TBJ 3720 gram, teraba 1(satu) bagian besar janin, tidak keras, tidak melenting, yang merupakan bokong janin

14

LII

:

Kiri : teraba bagian- bagian kecil janin; Kanan : teraba 1(satu) bagian keras seperti papan yang merupkan punggung janin

LIII :

Teraba 1(satu) bagian besar, bulat, keras, melenting, yang merupakan kepala janin

LIV :

Kepala janin sudah masuk PAP

Auskultasi : DJJ 148 dpm, teratur, kwalitas kuat Kesan : TFU 30 cm, letak janin memanjang, punggung berada di sisi kanan, bagian terbawah kepala, sudah memasuki pintu atas panggul, TBJ 3.720 gr, gerak janin (+), DJJ 148 dpm Inpeksi : vulva - uretra tenang Io

: portio livid, ostium terbuka, Fluor (-), Fluksus (+)

VT

: Pembukaan lengkap, ketuban (-), kepala HII-III

Pemeriksaan penunjang A. Laboratorium ( 4 Agustus 2013) Darah Lengkap •

Eritrosit 33 juta/UL; Hb 11.8 g/dl; Ht 40%; Leukosit 9.970 ribu/ul; Trombosit 270.000/mm3;

Hemostasis •

Masa perdarahan 2 menit. Masa pembekuan 7 menit.

Kimia Klinik : GDS 90 gr/dL; Albumin 3.7 g/dL; SGOT/SGPT 24/30 U/L; Ur/Cr 10/0.6 mg/dl. Urin • Warna Kuning jernih; BJ 1025; PH 6,0; Protein positif (-) 75 mg/dl; Glukosa (-); Keton (-); Bilirubin (-); Sel epitel (+); Leukosit 2-4/LPB; Eritrosit 810/LPB; Bakteri (-).

15

B. CTG Frekuensi dasar 140 dpm; variabilitas 5-20 dpm; akselerasi (+); deselerasi (-); Gerak janin (+); His 4x/10’/40‖ Kesan: Reasuring

Diagnosis Distosia PK II pada G2P1 Hamil aterm, Janin Tunggal Hidup Presentasi Kepala

Penatalaksanaan Rencana Diagnostik - Observasi Tanda vital, His, DJJ / jam - Cek DPL, UL, GDS, BT/CT, Ur/Cr - USG & CTG Rencana Terapi - CTG Reasuring  Per vaginam - CTG Non Reasuring  SC Cito

16

BAB IV PEMBAHASAN

Banyak faktor resiko distosia bahu yang sudah ditemukan (tabel 3.1), distosia bahu merupakan suatu kejadian yang tidak dapat diduga dan tidak dapat dicegah sebelumnya sebab belum ada metode yang akurat untuk menentukan kondisi bayi seperti apa yang akan mengalami distosia bahu (Rekomendasi Grade B). Teori makrosomia sering dihubungkan dengan kejadian distosia bahu dimana keadaan janin lebih besar dari ukuran normal sesuai umur kehamilan (lebih besar 90 persen dari ukuran bayi normal sesuai umur kehamilan) atau berat badan bayi yang lebih dari batas tertentu, biasanya 4000 gram atau 4500 gram. Suatu studi terbaru menyatakan bahwa makrosomia (berat badan janin lebih dari 3500) merupakan satu-satunya faktor predisposisi yang reliable jika dibandingkan dengan diabetes dan anatomi jalan lahir. Secara keseluruhan, kejadian distosia bahu berdasarkan berat janin terjadi sebanyak 0,6 sampai 1,4 persen dari kelahiran dimana berat badan bayi 2500 gram hingga 4000 gram, naik menjadi 5 sampai 9 persen pada kelahiran bayi seberat 4000 gram hingga 4500 gram pada ibu tanpa riwayat diabetes. Semetara itu, ada sebagian peneliti mengajukan serangkaian pemeriksaan Ultra Sound untuk memprediksi makrosomia dan sebagai peringatan dini terjadinya distosia bahu (lingkar perut > 350mm, Newborn Shoulder width dan perkiraan berat 3D U-S), berdasarkan pada level A Evidence ACOG ―tidak tepat mendiagnosis janin makrosomia‖ namun ACOG mendukung penggunaan kisaran berat 4500 gram sebagai indikator makrosomia sebab, pada berat badan janin 4500 aka terjadi peningkatan yang tajam akan resiko persalinan, baik kepada bayi maupun terhadap ibu. Penggunaan ultra sound 3D sebagai prediksi terjadinya makrosomia dibatasi oleh kekurang akuratan hasil USG 3D pada berat janin besar, lebih jauh lagi pada trimester terakhir, akurasi USG 3D hanya mencapai 60% untuk makrosomia (berat badan janin lebih dari 4,5Kg).

17

Distosia bahu lebih sering terjadi pada bayi yang lahir dari ibu dengan riwayat diabetes. Diabetes melitus menaikan resiko terjadinya distosia bahu sebesar 6 kali dari populasi normal dan adanya riwayat diabetes pada ibu akan menaikan resiko terjadinya distosia bahu. McFarland dan rekannya melaporkan bayi makrosomia yang lahir dari ibu dengan riwayat diabetes memiliki karakteristik seperti bahu yang lebih lebar, peningkatan lingkar yang ekstrim, penurunan rasio kepala-bahu, berat badan yang tinggi dan pemanjangan ekstrimitas atas jika dibandingkan bayi dari ibu tanpa riwayat diabetes dengan umur kehamilan yang sama dan berat badan lahir yang sama. Apapun hal yang mengakibatkan meningkatnya risiko terjadinya distosia bahu, penanganan diabetes yang intensif akan menurunkan risiko terjadinya makrosomia dan distosia bahu. Obesitas pada wanita juga dihubungkan dengan makrosomia dan wanita dengan obesitas merupakan salah satu faktor resiko terjadinya distosia bahu. Kehamilan serotinus juga meningkatkan risiko terjadinya makrosomia dan distosia bahu. Ibu lanjut usia sangat berkaitan erat dengan insidensi kelainan dalam dunia medis seperti obesitas dan diabetes. Rata-rata, wanita dengan multiparitas berumur lebih tua dan memiliki bobot badan yang lebih dibandingkan dengan ibu primigravida karena itu mereka memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk melahirkan bayi dengan bobot badan yang berat dan menderita diabetes. Selain itu, ibu dengan multiparitas lebih mungkin mengalami partus presipitatus (kala II < 15 menit) yang mengakibatkan meningkatnya risiko terjadinya distosia bahu. Banyak penelitian berbeda menyebutkan riwayat distosia bahu merupakan salah satu variabel yang menjadi predisposisi terjadinya kekambuhan pada kehamilan selanjutnya. Studi terbaru menyatakan, hampir 12% persalinan dengan riwayat distosia bahu akan mengakibatkan kejadian distosia bahu pada persalinan berikutnya dengan tingkat risiko 1 dari 8 persalinan (OR 8.25;95% Cl). Overland dan Co. melaporkan, dibandingkan risiko 7,3% pada persalinan dengan riwayat distosia bahu, berat badan bayi yang besar merupakan faktor resiko terbesar terjadinya distosia bahu pada persalinan. Persalinan normal maupun dengan sectio caesarea dapat dilakukan pada ibu dengan riwayat distosia bahu, keputusan harus dilakukan oleh ibu dan

18

suaminya. Bagaimanapun, insidensi distosia bahu sepertinya akan tetap menjadi misteri sebab dokter maupun pasien tidak mau menjadi objek penelitian walaupun memiliki riwayat persalinan yang kompleks atau riwayat cedera pada persalinan. Dapat diambil kesimpulan bahwa tidak diketahui secara pasti apakah hubungan antara distosia bahu dengan berat bayi, kehamilan serotinus, ibu dengan usia tua, jenis kelamin bayi, aumentasi dengan oksitosin, multipara dan epidural anestesi dapat terjadi karena salah satu faktor tersebut ataukah merupakan akumulasi dari faktor tersebut. Dalam setiap kasus, faktor-faktor risiko dapat diidentifikasi tapi nilai prediksinya tidak cukup tinggi untuk memprediksi terjadinya distosia bahu oleh karena itu distosia bahu tidak dapat diprediksi secara universal.

Tabel 3.1. Faktor Risiko Distosia Bahu Faktor Antepartum (Ibu-Janin)

Faktor Intrapartum

Makrosomia

Kala 1 Lama

IMT Maternal > 30 kg/m2

Kala 2 Lama

Tubuh pendek

Persalinan dengan alat (forcep atau vacuum)

Riwayat distosia bahu

Penggunaan oksitosin

Anatomi pelvis abnormal

Tindakan fundal pressure

Serotinus

Anestesi epidural

Usia ibu tua Jenis kelamin janin laki-laki Induksi persalinan

Komplikasi pada Bayi dan pada Ibu Kegagalan melahirkan bahu secara spontan dapat mengakibatkan cacat permanen baik pada ibu maupun pada janin dengan resiko tinggi (tabel 3.2). angka kecacatan ibu dan bayi berbanding lurus dengan banyaknya manuver yang dilakukan untuk melahirkan bayi dengan distosia bahu. Komplikasi tersering yang terjadi adalah perdarahan dan laserasi derajat IV perineum. Komplikasi lain yang pernah terjadi adalah laserasi vagina dan serviks beserta atonia uteri. Harus diperhatikan bahwa

19

manuver heroik seperti Zavanelli manuver dan simpisiotomi sering mengakibatkan kecacatan pada ibu. Cedera pleksus brachialis (BPI : Erb-Duschenne’s : cedera pada saraf tepi C5-C6; klumpke pulsy : cedera pada saraf tepi C8-T1) adalah satu dari sekian banyak komplikasi distosia bahu yang terpenting dan berbahaya. Banyak kasus distosia bahu dapat diselesaikan tanpa terjadinya cedera pleksus brachialis dan kurang lebih 10% kasus distosia bahu menyebabkan kecacatan permanen pleksus brachialis. Angka kejadian yang ditemukan dari berbagai penelitian bervariasi antara 4-40%. Berbeda dengan penelitian lain, Suneet P Chauhan & Co membandingkan antara SD dengan BPI dan SD tanpa BPI menunjukan hasil diantara objek penelitian yang pernah ataupun tidak pernah mengalami fraktur yang berulang terdapat nilai yang signifikan terhadap terjadinya BPI jika dilakukan 3 atau lebih manuver dalam penatalaksanaan distosia bahu. Dapat ditarik kesimpulan bahwa penatalaksanaan distosia bahu sangat berhubungan dengan terjadinya cedera pleksus brachialis. Penggunaan 3 manuver akan menaikkan risiko terjadinya cedera pleksus brachialis jika dibandingkan dengan penggunaan 2 manuver atau kurang. Walaupun distosia bahu dan penggunaan manuver dalam penatalaksanaan distosia bahu sering duhubungkan dengan kelemahan otot di atas, BPI juga dapat terjadi pada persalinan pervaginam. Mekanisme yang mungkin terjadi pada cedera akibat persalinan intrauterin adalah akibat tekanan endogeneous propulsive dari uterus ketika bayi berada pada OUE, kegagalan bahu untuk berputar, kelainan tekanan intrauterin akibat kelainan pada uterus (fibroid, septum intrauterin, uterus bikornuate). Semua kondisi ini dapat menyebabkan BPI. Selain itu, tekanan berlebihan saat traksi juga dapat menyebabkan PBI. Cedera tidak hanya disebabkan oleh karena traksi namun juga bisa diakibatkan oleh karena tenaga pendorong ibu. Data lebih lanjut menunjukan bahwa sebagian kecil kejadian BPI tidak berhubungan dengan distosia bahu dimana 4% dari kejadian BPI terjadi selepas persalinan perabdominam. Penggunaan elektromielografi sesaat setelah persalinan (24-48 jam sesudah persalinan) dapat membantu mengetahui kapan terjadi BPI. Hasil elektromielografi dari denervasi otot normalnya membutuhkan 10 sampai 14 hari

20

untuk berkembang. Jika ditemukan dalam periode neonatal dini, sangat disarankan untuk dilakukan persalinan secepatnya. Pada akhirnya kecacatan akibat distosia bahu seperti fraktur klavikula dan humerus dapat sembuh tanpa cacat. Beberapa komplikasi lain yang fatal dari distosia bahu dapat menyebabkan hipoksia-iskemik enselofati dan bahkan kematian.

Tabel 3.2. Komplikasi distosia bahu Ibu

Janin

Perdarahan post partum

Brachial Plexus Palsy

Laserasi derajat III – IV

Fetal Death

Diatesis simfisis dengan atau tanpa

Hipoksia janin, dengan atau tanpa

neuropati femoralis transient

kerusakan neurologis permanen

Fistula rekto-vagina

Fraktur humerus dan klavikula

Ruptur uteri

Pencegahan Antepartum Distosia bahu merupakan kejadian yang tidak dapat diduga dan tidak dapat dicegah (Evidence Level III, RCOG). Pada pasien dengan riwayat distosia bahu harus diperkirakan berat badan janin, usia, kehamilan, intoksikasi glukosa ibu dan tingkat keparahan cedera neonatal pada persalinan sebelumnya harus dievaluasi lebih lanjut dan resiko serta manfaat dari sectio cesaria (rekomendasi level C, ACOG). Studi tentang induksi kehamilan (IOL) dibagi menjadi tiga kategori: IOL untuk pasien makrosomia nondiabetes, IOL untuk makrosomia pada pasien diabetes, dan IOL untuk pencegahan makrosomia pada penderita diabetes. Tidak ada bukti yang mendukung induksi persalinan pada wanita tanpa diabetes pada keadaan dimana janin dianggap makrosomia (Rekomendasi Grade A, RCOG). RCOG juga menegaskan bahwa operasi cesar elektif tidak dianjurkan jika bertujuan untuk mengurangi angka kecacatan kelahiran pada kehamilan yang diduga makrosomia pada ibu tanpa riwayat diabetes. Sebuah studi yang dilakukan berdasarkan decision analysis model memperkirakan sekitar 2.345 sectio caesaria

21

akan menghabiskan biaya 4.9 juta dollar hanya untuk mencegah BPI non-permanen akibat distosia bahu jika semua janin yang diperkirakan berberat 4000 gram atau lebih dilahirkan per-abdominam. Walaupun diagnosa bayi makrosomia tidak tepat, pertimbangan untuk dilakukan sectio caesarea diperbolehkan untuk mencegah distosia bahu pada suspect janin makrosomia dengan estimasi berat janin 5000 gram atau lebih pada wanita hamil tanpa riwayat diabetes atau pada estimasi berat janin 4500 gram pada ibu hamil dengan riwayat diabetes (Rekomendasi Level C, ACOG). Induksi persalinan tidak meningkatkan hasil akhir persalinan pada ibu tanpa riwayat diabetes sebagai indikasi tunggal dari suspect makrosemia dan tidak efektif dalam mengurangi angka kejadian distosia bahu dan mempercepat durante sectio cesarea. Rekomendasi Level B, ACOG mengatakan ―ïnduksi persalinan elektif atau sectio cesaria elektif tidak sesuai pada semua wanita yang dicurigai mempunyai bayi makrosemia‖. Hal ini disebabkan akibat ketidaksesuaian antara hasil ultra sound sebagai prediktor dari makrosomia. Herbst & Co dalam studi analisis efektivitas dana pada management janin dengan estimasi berat 4500 gram menganjurkan pemantauan kehamilan yang baik sebagai penanganan paling murah bagi ibu hamil tanpa riwayat diabetes. Pada ibu dengan riwayat diabetes, kontrol kadar glukosa yang adekuat harus dilakukan dan dijaga agar kadar glukosa ibu hamil dan sesudah melahirkan tidak mengalami peningkatan yang signifikan jika dibandingkan dengan kadar glukosa sebelum kehamilan untuk mengurangi resiko abortus spontan, malformasi janin, makrosomia, kematian intrauterine dan kecacatan pada bayi (Rekomendasi Level B, ACOG). Abortus mungkin menjadi pertanda adanya vaskulopati, nefropati, kadar glukosa yang tidak terkontrol atau stillbirth pada sebagian pasien. Berbanding terbalik dengan ibu dengan kadar glukosa tidak terkontrol, ibu dengan kadar glukosa terkontrol dapat mempertahankan kehamilan hingga saat umur kehamilan yang cukup (aterm) selama Ante Natal Care yang baik dilakukan. Bagaimanapun, persalinan sebelum kehamian aterm tidak direkomendasikan‖ dan sectio cesaria bisa menjadi langkah yang tepat untuk menghindari cedera pada bayi dimana perkiraan berat janin lebih dari 4500 gram pada wanita dengan riwayat diabetes (Rekomendasi Level B).

22

Penanganan Intrapartum Penanganan distosia bahu yang tepat membutuhkan pengenalan dini yang tepat. Penggunaan kekuatan yang berlebihan tidak boleh dilakukan pada kepala janin atau leher serta penekanan pada fundus harus dihindari sebab tindakan ini tidak memiliki manfaat dalam membebaskan impaksi, bahkan memiliki risiko untuk mencederai ibu dan janin. Petugas kesehatan secara rutin harus melakukan observasi terhadap : (Bukti Level IV, RCOG) - Kesulitan yang mungkin terjadi pada persalinan terutama kepala dan dagu. - Kepala terjepit diantara vulva atau mungkin terjadinya re-traksi (turtle sign) - Kegagalan dalam pengeluaran kepala bayi - Kegagalan menarik bahu ke bawah pada kala II Jika hal tersebut terjadi, hal utama yang harus diperhatikan adalah menghindari atau mengurangi resiko terjadinya hipoksia. Distosia bahu berpotensial menimbulkan kegawatan akibat kompresi tali plasenta antara badan janin dan pelvis ibu. Stressor pada janin akibat hipoksia dapat terjadi akibat kompresi leher dengan kongesti vena central, kompresi plasenta, penurunan tekanan intervili yang disebabkan oleh kenaikan tekanan intrauterine yang lama dan brakikardi janin yang kedua. Banyak penelitian dilakukan untuk mencari hubungan antara distosia bahu, cedera pleksus brachialis dan cedera otak pada bayi dengan derajat asam-basa arteri umbilikalis, rasio kepala janin dan pelvis dengan keseimbangan asam basa janin, rasio kepala janin dan pelvis dengan rendahnya APGAR skor. Laporan CESDI yang ke-5 mengidentifikasikan bahwa 47% dari kelahiran dengan distosia bahu akan menyebabkan kematian pada bayi 5 menit setelah kepala bayi dilahirkan. Karena itu, sangat penting untuk menangani masalah secara efisien dan secepatnya namun tetap secara berhati-hati untuk menghindari terjadinya asidosis hipoksia juga menghindari terjadinya trauma yang tidak perlu (Evidence Level III, RCOG). Untuk alasan inilah distosia bahu harus ditangani dengan sistematis. Standart klinis yang digunakan sebagai panduan dalam penanganan distosia bahu adalah HELPERR mnemonic dari Advanced Life Support in Obstetrics.

23

H : call for help (mencari pertolongan) E : Evaluate episiotomy (melakukan evaluasi akan perlunya episiotomi) L : Legs (the McRoberts’manouvere) P : Suprapubic pressure (tekanan suprapubik) E : Enter Manouvres (internal rotation) R : Remove the posterior arm (memindahkan lengan bagian posterior) R : Roll the patient (all-fours position) Penanganan distosia bahu akan memberikan hasil yang baik jika sudah diantisipasi dengen persiapan yang baik sebelumnya (Evidence Level IV, RCOG). Pemimpin persalinan dapat mencurigai adanya kemungkinan distosia bahu dan harus memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga pasien tentang sulitnya persalinan dan resiko yang mungkin terjadi. Kandung kemih pasien harus dikosongkan dan ruang persalinan harus cukup luas sebagai tempat jika dibutuhkan personil dan peralatan tambahan. Beberapa tenaga medis dipersiapkan sebagai tenaga bantuan jika terjadi distosia bahu. Studi Cochrane menunjukan bahwa tidak ada temuan yang jelas untuk mendukung penggunaan profilaksis untuk mencegah terjadinya distosia bahu (karena tidak tebukti dapat mengubah keadaan panggul ibu atau memberikan tekanan eksternal ke panggul ibu sebelum kelahiran dapat membantu bahu bayi dapat melewati jalan lahir). Selain itu, jika dibandingkan penggunaan manuver McRoberts pada posisi litotomi dengan tempat tidur ―broken down‖ sehingga bokong ibu dapat menempel pada tempat tidur sebelum didiagosis distosia bahu untuk mengurangi traksi kepala janin pada persalinan normal untuk wanita multipara. Oleh karena itu penggunaan tempat tidur ―break down‖ tidak direkomendasikan untuk mencegah distosia bahu (Evidence Level Ib, RCOG). Pendekatan sestematis dalam penanganan distosia bahu seperti HELPERR mnemonic bertujuan untuk memberikan hasil salah satu dari : 1.

Meningkatkan fungsional dari tulang panggul secara merata dari lordosis lumbal dan rotasi kepala pada simfisis (melalui manuver McRoberts’)

2.

Mengurangi diameter

bisacromial (luasnya bahu) janin melalui penekanan

suprapubik (yaitu tekanan intrernal pada bagian posterior bahu)

24

3.

Mengubah hubungan diameter bisacromial dalam tulang panggul melalui rotasi manuver internal. Penilaian klinis harus selalu memantau kemajuan dari prosedur yang

digunakan. Dalam semua kasus, penekanan pada fundus tidak boleh digunakan dalam penanganan distosia bahu sebab dapat memperburuk impaksi yang terjadi dengan resiko kecacatan pada bayi dan ibu. (Rekomendasi Grade C, RCOG)

H

: meminta pertolongan ahli harus dilakukan setelah didiagnosis distosia bahu, seorang dokter ahli kandungan, bidan yang sudah berpengalaman, tim resusitasi pediatrik dan dokter ahli anestesi. Ibu diminta untuk tidak mengejan sebab dapat menyebabkan impaksi bahu yang lebih berat dan dapat menyebabkan masalah yang lebih besar. Ibu diminta untuk tetap tertidur dengan panggul menyentuh meja bersalin.

E

: masalah utama pada distosia bahu adalah impaksi tulang jadi episiotomi tidak dapat mejadi solusi tunggal pada distosia bahu. Untuk menunjang keberhasilan manuver McRoberts’ dan penekanan suprapubik dalam menanggulangi distosia bahu, Managing Obstetric Emergencies and Trauma (MOET) Group menyarankan pendekatan selektif, episiotomi dilakukan hanya untuk mempermudah melahirkan lengan bagian posterior atau putaran dalam bahu. Episiotomi tidak harus dilakukan pada semua kasus distosia bahu. (Recommendation Grade B, RCOG)

L

: manuver McRoberts’adalah satu-satunya manuver intervensi yang efektif dan harus dilakukan pertama kali dalam penanganan distosia bahu (Recommendation Grade B, RCOG). Manuver ini dilakukan dengan melakukan hiperfleksi paha ibu ke abdomen. Pada saat ini, jangan mengubah dimensi awal dari panggul ibu. Gerakan ini memungkinkan sakrum menjadi lebih lurus dengan vertebrae bagian lumbal sehingga memudahkan rotasi kepala janin pada simphisis pubis sehingga bahu bayi dapat masuk ke dalam pintu atas panggul. Gerakan ini menyebabkan dorongan pada bahu posterior diatas promontorium sacral, menyebabkan bahu posterior terdorong masuk

25

ke dalam sakrum dan dan memutar simfisis sehingga berada di atas bahu yang terimpaksi. Posisi ini menurunkan tekanan mengejan (kekuatan ibu) dan tekanan dari luar (dorongan dari dokter penolong persalinan) dan meningkatkan tekanan uterin dan amplitudo kontraksi. Kesuksesan manuver McRoberts’ dalam menangani distosia bahu (sebagai tindakan tunggal atau dikombinasikan dengan tekanan suprapubik) dilaporkan sebesar 42 sampai 90%. Manuver McRoberts dipilih sebagai penatalaksanaan utama dalam penanganan distosia bahu sebab memiliki resiko rendah untuk menimbulkan komplikasi lebih lanjut (Recommendation Level C, ACOG). Walaupun begitu, para ahli kandungan masih merekomendasikan kewaspadaan terhadap hiperflexi yang berlebihan dan agresif serta abduksi dari paha ibu terhadap abdomen sebab hal ini sering dikaitkan dengan meningkatnya traksi yang berakibat pada meningkatnya resiko BPI. P

: Tekanan suprapubik dilakukan bersama-sama dengan manuver McRoberts’ dapat

menaikan

angka

kesuksesan

penanganan

distosia

bahu

(Recommendation Grade C, RCOG). Tekanan suprapubik mengurangi diameter bisacromal dan memutar bahu anterior kedalam diameter oblik pelvis, bahu kemudian menjadi bebas untuk berpisah dibawah simphisis pubis ketika traksi rutin berlangsung. Penekanan suprapubik (manuver Rubin I) harus dilakukan ke bawah dan sedikit di lateral ibu sehingga bagian posterior dari bahu anterior akan mendekat ke dada janin (Recommendation Grade C, RCOG). pada awalnya, penekanan dapat dilakukan secara terusmenerus

namun

jika

persalinan

masih

tidak

dapat

dilakukan,

direkomendasikan untuk melakukan guncangan ringan untuk membebaskan bahu dari belakang simphisis pubis namun tidak ada perbedaan signifikan dari kedua gerakan ini. Jika manuver simpel ini gagal, ada pilihan lain yang dapat dilakukan seperti all-faour postion dan manipulasi internal, seperti kelahiran tangan bagian posterior dan rotasi internal (Evidence Level III, RCOG) dalam kasus tertentu, pedoman klinis

26

dan pengalaman sangat membantu ahli kandungan dalam menentukan langkah yang akan diambil. Melanjutkan penjelasan HELPERR mnemonic dari ALSO menyarankan langkah-langkah selanjutnya yaitu : E

: seperti sudah dikatakan sebelumnya, keputusan untuk melakukan episiotomi atau procto-episiotomi harus dilakukan dengen mempertimbangkan keadaan klinis seperti sempitnya dinding vagina pada primigravida untuk dilakukan fourchette atau kebutuhan untuk melakukan manipulasi pada janin. Kelahiran bahu bayi dapat dipermudah dengan rotasi kedalam diameter oblique atau putaran 180 derajat dari sumbu janin (Evidence Level III, RCOG). pada saat tertentu, perlu dilakukan dorongan ke atas pada janin agar naik ke sedikit ke pelvis untuk dapat melakukan manuver ini. Pada manuver Rubin II, tangan penolong persalinan dimasukan ke dalam

vagina dan dengan dua jari digitalis melakukan penekanan pada bagian posterior dari bahu anterior agar mendekat ke arah dada janin. Hal ini menyebabkan bahu janin bergerak ke arah diameter oblique. Gerakan ini akan mengadduksi bahu janin, memutarnya ke depan sehingga semakin sesuai dengan diameter oblique. Jika manuver Rubin II tidak berhasil, manuver Woods-Corkscrew dapat dilakukan. Sementara kedua jari yang digunakan dalam manuver Rubin II tetap memberikan tekanan, dokter ahli kandungan menggunakan tangan kedua untuk menggunakan 2 jari dan diletakan pada bagian anterior dari bahu posterior, melakukan dorongan ke atas secara perlahan untuk memindahkan bahu posterior ke lingkaran oblique. Gerakan ini menghasilkan banyak rotasi yang efektif dan dorongan ke arah bawah harus tetap dilakukan selama dilakukan manuver ini. Jika manuver ini tetap gagal, lakukan rotasi 180 derajat dan teruskan persalinan. Jika manuver Rubin II dan Woods Corkscrew gagal, manuver woods corkscrew reverse dapat dilakukan. Pada manuver ini, jari dokter ahli kandungan yang menjadi penolong persalinan diletakan pada bagian belakang dari bahu posterior janin lalu dilakukan putaran berlawanan dengan putaran pada manuver Rubin II atau manuver Woods Corkscrew. Manuver ini menyebabkan adduksi dari bahu posterior

27

janin, bertujuan untuk melakukan putaran pada bahu agar menjauh dari posisi impaksi dan mengarah pada jalur oblique dan siap untuk persalinan. R

: persalinan juga dapat dipermudah dengan cara melahirkan bahu posterior (Evidence Level III,RCOG). manuver jacquimier secara efektif menurunkan 20% dari diameter bisacromial), memudahkan janin bergerak ke celah sacrum, membebaskan impaksi pada bahu anterior dibawah simphisis pubis. Untuk melakukan manuver ini, penekanan harus diakukan oleh penolong persalinan pada fossa ante-kubiti untuk melenturkan lengan janin. Lengan janin secara perlahan bergerak menjauh dari dada janin dan lahir mengikuti perineum. Badan janin akan ikut lahir atau lengan yang sudah lahir dapat digunakan untuk melakukan putaran pada badan janin untuk mempermudah proses persalinan. Manuver ini hanya dapat dilakukan pada ibu yang besar (Evidence Level III, RCOG), genggaman dan tarikan langsung pada lengan bayi dan memberikan tekanan langsung pada pertengahan batang tulang humerus dapat menyebabkan fraktur humeri namun dapat sembuh dengan sendirinya tanpa kecacatan dalam waktu lama.

R

: posisi ‖all-fours‖ adalah posisi yang memanfaatkan gaya gravitasi dan meningkatkan ruangan pada celah sacrum untuk memfasilitasi persalinan bahu dan tangan posterior. Mengubah penopang menjadi tangan dan lutut akan memberikan celah yang cukup untuk persalinan. Saat pasien sudah di reposisi, dokter memberikan traksi ringan kebawah untuk melahirkan bahu posterior dengan bantuan gravitasi. Posisi ―all-fours‖ dapat digunakan pada semua manipulasi persalina intravaginal untuk distosia bahu. Untuk wanita dengan postur kecil tanpa anestesi epidural dan hanya ada satu penolong persalinan, posisi äll-fours‖adalah posisi yang paling tepat untuk persalinan (Evidence Level III,RCOG) Jika semua manuver yang dijelaskan dalam HELPERR mnemonic tidak

berhasil, beberapa teknik lain dipertimbangkan sebagai percobaan terakhir atau manuver garis ke tiga, seperti :

28

1. Kleidotomi (mematahkan klavikula secara sengaja): memberikan tekanan ke atas dengan 2 jadi pada bagian tengah klavikula janin menyebabkan penurunan lingkar bisacromial namun secara signifikan meningkatkan resiko BPI dan cidera pembuluh darah paru. 2. Manuver Zavanelli (penggantian kepala yang diikuti dengan secsio cesaria) mungkin merupakan tindakan yang paling tepat untuk distosia pada kedua bahu (Evidence Level III, RCOG) digunakan jika tidak ada manuver yang memberikan hasil yang baik, tindakan ini sering dihubungkan dengan meningkatnya resiko kecacatan dan kematian bayi serta kecacatan ibu. 3. Simpisiotomi (pemotongan kartilago fibrosa simfisis secara sengaja dengan penggunaan lokal anestesi) sering mengakibatkan kecacatan pada ibu dan hasil simfisiotomi akan melahirkan bayi yang tidak sehat (Evidence Level III, RCOG). 4. Histerotomi (sectio cesaria dalam pengaruh general anestesi) pemutaran bahu janin trans-abdominal dengean persalinan pervaginam atau penggantian kepala janin dan dilakukan persalinan perabdominal 5. General anestesi (pelemasan sistem muskulo-skeletal atau pelemasan uterine)

Penanganan post-partum Sesudah persalinan, penolong persalinan harus mewaspadai perdarahan post partum dan derajat 3 atau 4 dari laserasi perineum. Pada kasus BPI, terlepas dari etiologinya, penatalaksanaan dari bayi harus dari berbagai aspek klinis meliputi dokter spesialis anak, dokter spesialis neurologi anak, fisioterapis dan harus segera dirujuk ke center trauma pleksus brachialis. Rencana penatalaksanaan harus didiskusikan dengan baik pada orang tua bayi. Insiden distosia bahu cukup rendah namun merupakan salah satu penyebab kegawatan medis, oleh karena itu sangat penting untuk mendokumentasikan secara akurat kesulitan yag ditemui dan kemungkinan adanya trauma pasca persalinan. Setelah semua komplikasi persalinan tertangani dengan baik, analisis gas darah pada tali pusat harus dilakukan, inform consent pada keluarga pasien harus dilakukan dan semua kejadian yang terjadi pada

29

proses persalinan harus didokumentasikan oleh setiap bagian yang terlibat dalam persalinan. Orang tua biasanya akan mengalami trauma akibat persalinan dan mereka berhak untuk mendapatkan keterangan yang lengkap dan akurat tentang persalinan sesat setelah persalinan tentang manuver yang digunakan dan alasan dari tindakan medis yang diambil. Laporan CESDI yang ke enam memberikan gambaran laporan obstetrik yang adekuat dengan resiko mediko-legalnya. Sangat penting untuk mencatat : 1. Waktu kelahiran kepala 2. arah kepala bayi setelah restitusi 3. manuver yang dilakukan, kapan dilakukan dan urutan dilakukan manuver dalam persalinan 4. waktu kelahiran badan bayi 5. staf yang datang saat persalinan dan waktu staf tiba di tempat persalinan 6. kondisi bayi sesaat sesudah lahir (APGAR skor) 7. pengukuran kadar asam basa tali pusat

30

BAB V KESIMPULAN

1.

Distosia bahu termasuk dalam kedaruratan obsetri, sehingga dibutuhkan tindakan segera.

2.

Distosia bahu menyebabkan komplikasi serius pada ibu dan janin.

3.

Faktor risiko distosia bahu dapat terjadi pada saat antepartum maupun intrapartum.

4.

Manajemen penanganan distosia bahu disebut ALARMER, yaitu: a. Ask for help (Minta bantuan) b. Lift/hyperflex Legs c. Anterior shoulder disimpaction (disimpaksi bahu depan) d. Rotation of the posterior shoulder (Pemutaran bahu belakang) e. Manual removal posterior arm (mengeluarkan bahu belakang secara manual/ Manuver Jacquemier) f. Episiotomi g. Roll over onto ‘all fours’ (knee-chest position/ Manuver Gaskin)

31

DAFTAR PUSTAKA

1. Arulkumaran S, Symonds IM, Fowlie A eds (2003). Oxford Handbook of Obstetrics and Gynaecology. Oxford: Oxford University Press: 388-9. 2. Cuningham, F Gary. 2006. Bab 19 Distosia: kelaianan presentasi, posisi, dan perkembangan janin. Dalam: Obstetri William Edisi 21 Vol 1. Jakarta : EGC: 50610 3. Manuaba, Chandradinata. Manuaba, Fajar. dan Manuaba, I.B.G. 2007. Pengantar Kuliah Obsetri. Jakarta:EGC. 4. Politi, S.,D’Emidio, L.,Cignini, P., et al. 2010. Shoulder dystocia: an EvidenceBased approach. Journal of Prenatal Medicine 2010; 4 (3): 35-42. Diakses 8 Mei 2012 avaible from : UR L: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3279180/pdf 5. Rayburn, William F,. Carey, J Christopher, 2001. Bab 9 : Komplikasi-komplikasi Intrapartum. Dalam: Obsetri dan Ginekologi. Jakarta : Widya Medika: 193-4 6. Hoffman, Matthew K., Bailit, Jennifer K., Branch, Ware., et al. 2011. A Comparison of Obsetric Manuevers for the Acute Management of Sholder Dystocia. American College of Obstricians and Gynecologist. Vol. 117, No. 6, June 2011. 7. Royal

College

of

Obstetricians

and

Gynaecologists.

2005.

Shoulder

dystocia.Guideline No. 42. London: RCOG 8. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. 2012. Shoulder dystocia. Green-top Guideline No. 42 2nd Edition. London: RCOG 9. Saifuddin, AB. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Edisi Pertama. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo 10. Sarwono Prawirohardjo . 2005. Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

32

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF