Diskusi Pro Dan Kontra Kebebasan Bereksp

September 4, 2017 | Author: Eka Handayani | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Pro Kontra...

Description

Negara secara tertulis telah menjamin kemerdekaan berpendapat bagi tiaptiap orang. Masing-masing orang memiliki cara pandang yang berbeda terhadap kehidupan dalam berbagai sisinya. Salah satu media berekspresi yang paling banyak digunakan manusia modern adalah internet. Media ekspresi di internet berupa blog pribadi, akun jejaring sosial, forum diskusi, mailing list, microblogging dan lain-lain. Kemajuan teknologi komunikasi saat ini patut diacungi jempol. lahirnya internet memudahkan kita semua untuk bekerja, berkomunikasi, menghasilkan uang, memajukan perusahaan, mempelajari hal baru, mendapatkan berita dunia, hingga mencari teman. Semua orang pun lantas bebas mengemukakan pendapatnya di internet. Termasuk keluh kesah mereka terhadap sesuatu hal. Bertukar pikiran melalui internet relatif lebih mudah dilakukan karena setiap orang bebas untuk menampilkan identitas dirinya maupun sebagai anonim. Informasi yang berkembang di internet saat ini menjadi salah satu tolak ukur kemajuan berpikir manusia modern. Meski demikian, banyak sekali hal-hal bijak yang telah dibuat oleh orang-orang besar dalam cakrawala pemikiran mereka, tetapi mereka tidak dapat menemukan sebuah efek dan pengaruh yang berarti ketika berekspresi di internet. Mengapa eksis dengan internet tidak memberi manfaat? Salah satu penyebabnya adalah karena hal-hal bijak tersebut berasal dari sudut pandang yang sempit. Tentu kita belum lupa fenomena twitwar yang terjadi beberapa waktu lalu. Ketika memandang hal-hal bijak yang seharusnya diterima dengan lapang dada, mereka malah membutuhkan penjelasan yang panjang lebar dan tidak menghargai arti eksistensi kebebasan di internet . Di Indonesia sendiri, jumlah pengguna internetnya berdasarkan data dari Google.com/adplanner per Mei 2010 telah mencapai 38 juta orang. Untuk di kawasan Asia, Indonesia masuk dalam 5 besar pengguna Internet terbanyak bersama dengan China, Jepang, India dan Korea Selatan. Pengguna layanan jejaring sosial Facebook di Indonesia juga menunjukkan angka yang tinggi masih menurut sumber yang sama, yaitu tercatat sebanyak 28 juta pengguna. Dari data yang diungkapkan diatas, bisa disimpulkan bahwa lebih dari 75 % pengguna internet di Indonesia menggunakan Facebook sebagai wadah berekspresi via internet. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa keberadaan facebook sebagai media sosial bisa dimanfaatkan sebagai tempat paling pas untuk mencurahkan ekspresi kita di dunia maya.

Meskipun demikian, seperti dinilai oleh situs alexa, selain Facebook ada beberapa wadah lain bagi netter di Indonesia untuk mengungkapkan kebebasan mereka bereksplorasi dan berekspresi via internet, yaitu mencari informasi lewat search engine seperti google dan yahoo, ngeblog melalui blogger, wordpress, berekspresi dengan jejaring sosial twitter dan tidak ketinggalan pula berbagi informasi lewat forum internet terbesar di Indonesia Kaskus. Setidaknya hal tersebut bisa menjadi gambaran umum mengenai cara-cara netter / pengguna internet untuk mengekspresikan kebebasan mereka via internet. Dari beberapa kategori netter di Indonesia di atas, jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter lebih mendominasi pengguna internet di Indonesia dalam menggungkapkan ekspresi mereka di Internet. Oleh karena itu, berikut akan dijelaskan mengenai perkembangan kebebasan berekspresi di internet Indonesia pada situs-situs tersebut serta kebebasan berekspresi internet via blog. A. Kebebasan Berekspresi Internet via Facebook dan Twitter Keberadaan Facebook sebagai situs jejaring sosial terbesar di dunia memungkinkan penggunanya untuk bisa berekspresi tentang apa saja yang kita mau— dari ekspresi curahan hati kita, ceramah keagamaan, berekspresi melalui puisi, menasehati kawan dengan kata-kata bijak, saling berkomentar, chatting dan lain sebagainya. Bahkan untuk para blogger, keberadaan facebook bisa membantu menghubungkan ekspresi mereka dengan memasang fan page sehingga bisa menghubungkan antara para facebooker dengan blogger itu sendiri. Oleh karena itu, kebebasan berekspresi internet via facebook bisa menjadi landasan yang kuat yang bisa mendorong semangat persatuan antar sesama warga Negara, untuk tetap saling menghormati dan menghargai tanpa harus sikut sana-sikut sini. Contoh lain manfaat kebebasan berekspresi internet via facebook dirasakan oleh Blaslus Haryadi yang akrab dipanggil Harry van Yogya, seperti diceritakan dalam Buku @linimas(s)a ( 2011: 30-33) dengan jumlah teman hampir mencapai 5000 orang, Harry van Yogya mampu memanfaatkan facebook sebagai tempat yang pas mempromosikan pekerjaannya sehari-hari sebagai tukang becak. Tentu hal ini bisa menjadi contoh yang baik sebagai lahan kebebasan berekspresi internet via facebook.

Contoh-contoh diatas sangat wajar dalam dunia kebebasan berekspresi internet. Namun begitu tidak sedikit pula berekspresi di jejaring sosial malah membawa efek buruk bagi penggunany. Sebagai contoh seperti di Bogor, kasus penghinaan lewat Facebook menggiring Nur Arafah divonis bersalah oleh pengadilan dengan hukuman dua bulan 15 hari dan empat siswa sebuah SMA di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, dikeluarkan dari sekolah gara-gara dianggap penghinaan lewat Facebook. Sementara itu, meski tidak jauh beda dengan kebebasan berekspresi internet via facebook, kebebasan berekspresi internet via twitter lebih terlihat elit mengingat banyak artis yang menggunakan akun twitter sebagai tempat yang pas mengekspresikan kebebasan mereka di internet. Dengan sering banyaknya berita-berita miring yang ditayangkan di televisi maupun di majalah, koran dan media lainnya. Keberadaan twitter bagi para artis bisa meluruskan semuanya tanpa harus dikejar-kejar para wartawan yang kadang merepotkan kehidupan keseharian mereka. Contoh ini bisa menjadi landasan bahwa kebebasan berekspresi internet via twitter memiliki manfaat. Pada beragam kasus, khususnya di Indonesia, Twitter telah menunjukkan keunggulannya dibanding Facebook. Pada peristiwa bencana banjir di Wasior, Papua, tsunami di Mentawai (Sumatera Barat) dan erupsi Gunung Merapi di Jawa Tengah/DIY, Twitter sungguh berhasil ‘mendekatkan yang jauh’. Mobilisasi bantuan dan relawan, yang dilakukan oleh banyak kalangan, individu, komunitas atau kelompok, berhasil menutup ‘celah kosong’ lambannya aparatur negara dalam menangani bencana dan korban bencana. A. Kebebasan Berekspresi Internet via Blog Blog merupakan salah satu contoh nyata adanya kebebasan berekspresi internet, Nukman Luthfie (2011: 66) mengatakan bahwa akhir tahun 2010, tercatat lebih dari dua juta blog yang ditulis pengguna Indonesia, baik itu dibangun di penyedia jasa blog gratis global seperti Wordpress.com dan Blogger.com, lokal seperti BlogDetik.com, Kompasiana.com dan Dagdigdug.com, maupun yang dibangun dengan nama domain sendiri.

Meski jumlahnya hampir lebih dari 2 juta pengguna, ternyata tidak semua blog di Indonesia menjadi seorang blogger yang sukses. Karena untuk membuat blog yang baik tentu tidak semudah hal yang dikira, ada hal-hal yang harus kita ketahui dan amalkan agar kita dianggap sebagi blogger sukses. Contoh sukses blogger Indonesia, seperti diceritakan pada Buku @linimas(s)a (2011:67), adalah Yodhia Antariksa, seorang blogger yang menulis strategi manajemen sehingga ia sangat dikenal di kalangan Manajer Human Resource karena tulisannya yang berbobot dan mudah dipahami, blognya bisa meraup rezeki yang cukup. Contoh tersebut setidaknya menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi internet melalui blog bisa mendatangkan manfaat yang tidak sedikit. Namun begitu, masih banyak juga kebablasan kebebasan berekspresi internet via blog yang mendatangkan beberapa dampak buruk. Bahkan, Committe to Protect Journalist (CPJ), lembaga independen yang bergerak di bidang kebebasan pers, menerbitkan laporan tentang sepuluh negara berbahaya bagi blogger. 1. Burma Selain menyensor media cetak dan televisi, Burma juga melarang kegiatan ngeblog dan kegiatan online lainnya. Kepemilikan internet secara pribadi di negara ini hanya sekitar 1 persen. Maka sebagian besar warga menggunakan warnet. Namun negara membatasi, antara lain situs-situ yang bisa dibuka. Saat ini setidaknya dua blogger Burma sedang dipenjara. Salah satunya Maung Thura, dikenal dengan nama Zarganar, dihukum penjara 59 tahun gara-gara menyebarluaskan badai Nargis pada tahun 2008 lalu. 2. Iran Pemerintah Iran mengharuskan blogger untuk mendaftarkan blog mereka pada Menteri Seni dan Budaya. Pemerintah mengklaim mereka sudah memblokir jutaan website. Undang-undang yang sedang dibuat pemerintah mencantumkan hukuman mati bagi blogger yang mempromosikan korupsi, prostitusi, dan kemurtadan. Omidreza Mirsayafi, blogger Iran yang dipenjara karena dianggap menghina pemimpin agama dan negara, tewas di penjara tanpa penjelasan yang jelas.

3. Syiria Pemerintah setempat memblokir website yang menyinggung masalah politik. Mereka juga menghukum blogger yang menulis tentang hal yang salah atau mengancam kesatuan bangsa. Self-sensorhip tidak berlaku di negara ini. Pada tagun 2008, Menteri Komunikasi meminta semua warnet untuk merekam nama-nama konsumen dan waktu berkunjung mereka lalu melaporkannya pada pemerintah. Kelompok pejuang hak asasi manusia menyatakan bahwa pemerintah juga menghukum blogger yang dianggap anti-pemerintah. Waed al-Mhana, pengacara setempat sedang dihukum percobaan karena menulis di blognya tentang penghancuran pasar tradisional di Damaskus. 4. Kuba Hanya petugas pemerintah dan orang yang terkait dengan Partai Komunis yang bisa mengakses internet. Mayarakat umum menggunakan internet di hotel karena pemerintah mengontrol penggunaan internet dengan keras. Kelompok kecil seperti Yoani Sánchez menceritakancerita sehari-hari mereka dan sering mengkritik rezim penguasa. Blog mereka dihosting di luar negeri dan diblokir oleh pemerintah setempat. Dua blogger independen mengatakan bahwa mereka dilecehkan oleh pemerintah. Hanya blogger pro pemerintah yang bisa menulis di blognya dan sangat mudah diakses. Saat ini pemerintah Kuba memenjarakan 21 penulis terkemuka di bidang jurnalisme online. 5. Arab Saudi Sekitar 400,000 website diblokir oleh kerajaan, termasuk website tentang politik, sosial, dan agama. Selain memblokir semua hal terkait dengan hal yang dianggap tidak senonoh, Arab Saudi juga memblokir semua hal yang melawan negara. Pada tahun 2008 seorang penulis online dinyatakan bersalah oleh pengadilan karena menulis sesuatu yang dianggap berdosa. Blogger Fouad Ahmed al-Farhan dipenjara tanpa peradilan selama beberapa bulan pada 2007 dan 2008 karena menulis tentang perlunya reformasi dan pembebasan tahanan politik. 6. Vietnam Blogger setempat mencoba menulis isu-isu lain yang tidak ditulis media mainstream yang dikuasai pemerintah. Akibatnya pemerintah membuat banyak

aturan. Bahkan pemerintah meminta bantuan perusahaan online seperti Yahoo, Google, dan Microsoft untuk memberikan informasi tentang blogger yang menggunakan platform mereka. September lalu, blogger terkemuka Nguyen Van Hai, dikenal juga dengan nama Dieu Cay, dihukum penjara 30 bulan. Pada Oktober 2008, Menteri Informasi dan Komunikasi membuat aturan baru untuk mengawasi internet. 7. Tunisia Internet service providers (ISP) harus mendaftarkan alamat IP atau identitas lainnya pada pemerintah. Semua lalu lintas internet harus melalui pengawasan pemerintah. Pemerintah juga menggunakan berbagai cara untuk membatasi blogger: mematai-matai, melarang gerakan blogger, dan sabotase elektronik. Penulis online Slim Boukhdhir dan Mohamed Abbou dipenjara karena tulisan mereka. Pada Maret lalu, Presiden Zine El Abidine Ben Ali mengancam penulis agar tidak menulis kesalahan dan kejahatan pemerintah. 8. Cina Dengan sekitar 300 juta pengguna internet, jumlah terbesar di dunia, Cina adalah sebuah kekuatan baru di bidang digital culture. Tapi Cina adalah negara dengan program sensor online yang paling lengkap di dunia. Pemerintah menyaring informasi, memblokir website kritis, menghapus materi berbahaya, dan mengawasi lalu lintas email. Karena media tradisional di Cina di bawah kontrol pemerintah, maka blogger sering memberitakan hal lain dengan komentar provokatif. Contohnya, blog memberikan informasi penting dan independen terntang gempa bumi Sichuan pada tahun 2008. Namun blogger semacam ini ternacam hukuman penjara. Paling tidak ada 24 blogger yang sekarang dipenjara oleh pemerintah Cina. Pada tahun 2008, Kantor Nasional untuk Pembersihan Pornografi dan Pemberantasan Publikasi Ilegal menghapus sekitar 200 juta bahan online berbahaya selama satu tahun. 9. Turkmenistan Presiden Gurbanguly Berdymukhammedov menjanjikan akan membuka isolasi negaranya dengan menyediakan akses internet. Tapi ketika warnet dibuka pertama kali di negara ini pada 2007, warnet tersebut dijaga oleh tentara, koneksinya lambat, harganya mahal, dan pemerintah memblokir website tertentu. Perusahaan

telekomunikasi Rusia MTS menawarkan akses internet melalui telepon seluler, tapi pemerintah menolak akses web yang dianggap kritis pada pemerintah. Turkmentelecom, perusahaan internet negara, secara rutin memblokir akses pada situs oposisi. Mereka juga mengawasi lalu lintas email dari Gmail, Yahoo, dan Hotmail. 10. Mesir Pemerintah hanya memblokir beberapa website, tapi mereka mengawasi aktivitas online. Semua lalu lintas internet diawasi. Pemerintah juga memenjarakan blogger kritis. Setidaknya 100 blogger dipenjara pada tahun 2008. Meskipun sebagian besar blogger dibebaskan setelah dipenjara sebentar, sebagian lain masih dipenjara tanpa peradilan. Sebagian blogger tersebut disiksa. Blogger Abdel Karim Suleiman, dikenal juga sebagai Karim Amer, dipenjara empat tahun karena dianggap menghina Islam dan Mesir. Terlepas dari itu semua, di Indonesia, masyarakat masih bebas berekspresi di Internet. Masih bebas mengeluhkan buruknya kualitas makanan di sebuah restoran, bebas mengeluhkan panjangnya antrian di sebuah bank, hingga bebas mengeluhkan buruknya birokrasi di berbagai instansi pemerintahan. Masyrakat masih bebas mengeluarkan berbagai pendapat kita di Internet; entah itu pendapat baik atau pendapat buruk. Yang disayangkan adalah kebebasan ini memiliki beberapa prasyarat. Prasyarat yang dimaksud antara lain menyembunyikan identitas asli atau menyembunyikan identitas pihak yang dikeluhkan. Jika dapat memenuhi satu dari dua prasyarat tersebut, kebebasan berekspresi akan terjamin. Hanya saja kebebasan yang didapat dengan cara seperti ini justru kontraproduktif. Kenapa? Apabila menyembunyikan identitas asli, orang lain akan kesulitan menentukan valid atau tidaknya informasi yang disebarkan. Kondisi ini pun rentan disalahgunakan untuk menyebar informasi bohong (hoax). Menyembunyikan identitas pihak yang dikeluhkan pun kontraproduktif. Kenapa? Apa artinya sebuah keluhan akan buruknya pelayanan suatu pihak bila tidak ada kejelasan mengenai pihak yang dimaksud. Buruknya layanan di resto ABC, panjangnya antrian di bank DEF, atau rumitnya birokrasi di kantor kecamatan GHIJ, pada dasarnya tidak memberikan informasi apa pun selain 10 huruf pertama dalam alfabet. Seperti itulah kondisi kebebasan berekspresi di Internet saat ini.

Percayalah bahwa hal ini tidak terjadi di Indonesia saja. Negara-negara lain pun ada yang senasib dan sepenanggungan dalam hal kebebasan berekspresi ini. Sebut saja misalnya Filipina. Pada tanggal 12 September 2012, Presiden Filipina Benigno Aquino III menandatangani Cybercrime Prevention Act of 2012 (Undang-Undang Pencegahan Kejahatan Dunia Maya 2012). Dengan diberlakukannya UU Pencegahan Kejahatan Dunia Maya 2012, pengguna jejaring sosial wajib berhati-hati dengan apa yang ditulisnya, salah-salah bisa dianggap sebagai pencemaran nama baik. Pencemaran nama baik melalui internet diancam dengan hukuman penjara dua kali lipat dari pencemaran nama baik secara ‘konvensional’ karena efek yang ditimbulkannya dianggap jauh lebih masif. Sejumlah pihak mengkhawatirkan bila netizen menekan tombol 'like' di Facebook atau melakukan ' retweet' dapat dianggap sebagai pencemaran nama baik, tak hanya berlaku bagi sang pembuat status. Yang menjadi momok kebebasan berekspresi ini adalah perangkat hukum. Prita Mulyasari sendiri berhasil diseret ke meja hijau karena dijerat pasal-pasal yang terkait pencemaran nama baik. Kesadaran berinteraksi di dunia maya sekaligus kebebasan berekspresi ternyata sekarang harus dibatasi juga. semua karena pasal 25 ayat (3) UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) yang berisi : "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya a-Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik". Ternyata, undang-undang ini sangat bertentangan dengan UU Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang menjamin setiap warga negara sebagai konsumen untuk menyampaikan keluhannya dan Pasal 28 UUD 1945 yang menjelaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”(Pasal 28F, UUD 1945 Indonesia, Amandemen ke-2). Dewasa ini, kebebasan para pengguna Internet ternyata dibatasi oleh aturan yang seringkali membuat kita memilih untuk tetap diam ketimbang berekspresi. Kebebasan yang dimiliki di Internet pun menjadi sifatnya terbatas. Bebas atau terbatas? Lebih tepat kalau kita katakan "bebas terbatas". Kita bebas mengekspresikan apa pun isi pikiran kita di Internet asalkan kita senantiasa

memperhatikan regulasi yang berlaku. Perilaku seperti ini yang perlu kita perhatikan saat menggunakan Internet. Apalagi hukum itu tidak mengenal alasan "tidak tahu". Sekali kita dijerat oleh satu (atau sekumpulan) pasal, alasan "tidak tahu" tidak akan pernah membuat kita lepas. Kita harus berinisiatif untuk berhati-hati saat berbagi informasi di Internet. Tentunya "hati-hati" di sini adalah sifat hati-hati yang tidak berlebihan. Jangan sampai berbagai regulasi tentang kebebasan berekspresi di Internet itu membuat paranoid. Lalu, apa yang harus dilakukan agar dapat berekspresi di internet dengan aman? Maka dari itu diperlukan etika dalam berekspresi di internet. Walau begitu tak ada aturan baku karena etika sifatnya tak tertulis. Etika lebih bersifat filosofis. Untuk konteks dunia teknologi informasi, bersifat borderless atau tak mengenal batas negara dan mengayomi semuanya. Bagi netizen, etika bisa jadi lebih tinggi nilainya daripada perangkat hukum yang dibuat negara. Etika-etika dalam berekspresi di internet adalah sebagai berikut. 1. Jangan pernah menyakiti sesorang lewat kata-kata (teks), gambar, atau video. Dalam jejaring sosial, jangan berkomentar sinis, menghina, menyindir, ataupun merendahkan martabat pengguna lain. Jika dilakukan, maka kegiatan ini telah menjadi bagian dari cyberbullying yang sedang diperangi dinia. 2. Jangan meneruskan email temanmu ke pihak lain tanpa izin dari pemiliknya 3. Jangan mencaci-maki orang, menuduh, memfitnah, menghujat di ranah yang sifatnya publik. 4. Layanan, tulis secara netral dan mengacu pada fakta yang dialami. 5. Jangan meninggalkan data pribadi seperti: nomor telepon, email, secara sembarangan di forum-forum online. Ini bisa disalahgunakan pihak lain. 6. Jangan mengutip, menyadur tau menyalin menyebutkan sumbernya. Ini namanya plagiat.

tulisan

orang

lain

tanpa

7. Hati-hati menulis isu yang masih sumir dan tak ada / belum jelas buktinya. Perhatikan isi informasi yang kita beberkan di Internet. Apakah ada yang berpotensi menjelek-jelekan pihak lain? Apakah ada yang berpotensi menjadi bumerang bagi kita? Perhatikan unsur identitas saat berbagi informasi itu. Apakah identitas kita layak disembunyikan? Apakah identitas pihak yang kita sebut di dalam

informasi kita layak dibeberkan? Perhatikan kondisi media tempat kita berbagi informasi tersebut. Apakah akses ke tempat kita berbagi informasi itu bersifat umum atau terbatas? Kalau kita hanya menyebarkan informasi ke orang-orang tertentu saja, apakah kita yakin bahwa informasi itu tidak akan diteruskan ke ruang yang lebih luas? Masih banyak hal yang perlu diperhatikan saat berekspresi, mengeluarkan pendapat, dan berbagi informasi di Internet seperti yang telah dipaparkan di atas. Jangan berpikir polos dan menganggap bahwa setiap informasi yang kita beberkan di Internet itu akan berbalik menyerang kita. Kalau hal ini sampai terjadi, mungkin saja kita akan mendapatkan dukungan seperti halnya Prita Mulyasari, tapi apakah kita mau mengalami apa yang dialami Prita Mulyasari? Tentu tidak. Oleh karena itu, kebebasan berpikir dan berekspresi di internet tidak berarti bahwa manusia bebas dalam menggunakan anugerah akal pikirannya, maupun tidak menggunakannya. Jika ingin menjadi perhatian publik saja dia akan berpikir dan mengasah kreatifitas diri untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Tetapi jika dia tidak menginginkannya, dia akan cuek dan bertindak masa bodoh terhadap pengguna internet lainnya, serta membiarkan pikirannya tidak berjalan dan menganggur. Buat apa berbagi pikiran melalui artikel blog panjang lebar kalau tidak ada gunanya buat saya, itulah yang mereka pikiran. Selain itu, meski pasal 25 ayat (3) UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) dan UU Nomor 8 tahun 1999 ataupun Pasal 28 UUD 1945 masih mengalami pro dan kontra, sebaiknya pengguna internet tetap berhati-hati dalam mengemukakan pendapat. Buatlah tulisan cerdas untuk memajukan Negeri ini dan tentunya harus sesuai dengan kode etik. kenapa? karena, hukum dan etika di dunia media sangatlah diperlukan karena media mempunyai kelebihan yaitu sebuah hak penuh untuk berbicara. Namun, agar ‘bicara’ dalam media tidak melewati batas dan menyakiti perasaan, sehingga hukum diciptakan oleh pemerintah untuk menjaga batasan-batasan tertentu. Dengan demikian, merenungi interaksi yang terjadi di internet dari berbagai sisinya yang berbeda-beda akan menuntun kita untuk mengarungi kebenaran dan kebaikan yang begitu luas terhampar di dalamnya. Selain itu, kesadaran menghargai pendapat orang lain yang berbeda juga merupakan kerja sama pikiran untuk memberikan sumbangsih manfaat materi dan non materi bagi kebaikan individu dan kelompok. Eksis berbagi ide dan pikiran di internet melalui beragam pilihan media

tidak akan membuat kita rugi. Sudah banyak kisah inspiratif yang terlahir karena konsistensi berbagi manfaat melalui tekonologi internet. Walau dalam prosesnya tidak pernah mudah, akan selalu hadir sikap pro dan kontra, menyatakan pendapat di internet akan memberi nilai lebih bagi manusia. Internet bisa mengikis sikap enggan, malu, enggan, dan sungkan sehingga kita bisa lebih leluasa berbagi ide. Kesimpulannya, dunia maya maupun nyata sebenarnya tidak jauh berbeda, sama-sama sebuah media. Dan asal kita bisa menggunakan media ini secara baik, menjaga etika dan kesopanan, bertanggung jawab, tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain tentunya akan membawa banyak manfaat yang positif dan baik juga. Internet memang bagaikan dua sisi mata pisau, tergantung sisi mana kita menggunakannya, mau memilih yang tajam atau yang tumpul, semua terserah kita dan tentunya disadari betul tentang segala konsekuensi dari pilihan kita.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF