Diktat Pemilihan Bahan Dan Proses, by Godlief
September 10, 2017 | Author: septiadhi wirawan | Category: N/A
Short Description
Download Diktat Pemilihan Bahan Dan Proses, by Godlief...
Description
Diktat
PEMIILIHAN BAH HAN DAN PR ROSES
Oleh :
GODLIEF HERYSON
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik
Universitas Nusa Cendana Kupang
Daftar Isi
Topik KATA PENGANTAR JURUSAN KATA PENGANTAR PENULIS 1. PENGANTAR MATERIAL TEKNIK Pendahuluan, Sejarah Perkembangan, Sifat‐sifat Material Teknik, Klasifikasi Material Teknik, Logam Besi,Logam Bukan Besi, Karakterisasi Material, Konsep Struktur. 2. KEGAGALAN MATERIAL Pendahuluan, Kegagalan Akibat Beban Statis, Kegagalan Akibat Beban fatik, Stress‐Life, Diagram S‐N, Faktor‐faktor Modifikasi, Temperatur, Lingkungan Kerja, Kasus Kegagalan Material. 3. LOGAM DAN PADUAN Pendahuluan, Baja Tahan Karat, Pengaruh Unsur Paduan pada Baja Tahan Karat Austenitik, Pengaruh Perlakuan Panas pada Baja Tahan Karat. 4. POLIMER Pendahuluan, Struktur Polimer, Berat Molekul Polimer, Bahan Tambahan, Proses Pencampuran Polimer, Faktor‐ faktor Pemilihan, Sifat Mekanik, Aplikasi Polimer 5. KERAMIK 6. KOMPOSIT Sejarah Komposit, Komposit dan Paduan, Konsep Dasar, Klasifikasi Komposit, Komposit Partikel, Komposit Serat (KS), Komposit Struktur/Laminat (KSL), Phasa Pembentuk Komposit, Perilaku Umum dan Unsur Komposit
hal i ii 1
20
45
54
74 80
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT dengan rahmatnya penulis diberi kesehatan dan
waktu sehingga terselesainya penulisan Diktat tentang material teknik yang kiranya menjadi bahan ajar untuk mata kuliah Pemilihan Bahan dan Proses dan juga Material Teknik.
Diktat ini berisi uraian‐uraian yang mudah difahami dengan contoh contoh yang
simpel dan mudah untuk dimengerti mengenai jenis‐jenis material, cara‐cara pemilihan material yang sesuai dengan fungsinya sehingga pemanfaatannya maksimal. Diktat ini juga mebahas cara fabrikasi material‐material tersebut.
Atas terselesainya Diktat ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Zulmiardi, ST. MT., selaku Ketua Jurusan Teknik atas dukungan dan arahannya untuk meningkatkan mutu penulisan buku ini. Demikian juga kepada Bapak Zulfikar, ST. MT., dan Maya yang telah banyak membantu dalam proses editing diktat ini. Sebagai karya manusia sudah tentu beberapa kekurang akan ditemui pada diktat ini. Untuk itu, penulis mohon saran‐saran dari rekan‐rekan dosen demi kesempurnaan penulisan ini. Wassalam Penulis. Godlief Heryson
KATA SAMBUTAN Dalam rangka peningkatan mutu Perguruan Tinggi sesuai dengan Misi Visi Pendidikan Nasional salah satunya adalah penerapan Kurikulum Berbasis kompentensi dimana diharapkan mutu lulusan akan lebih berdaya guna dan memenuhi keinginan stake holders. Untuk ini membutuhkan bacaan-bacaan yang beri bahan-bahan kuliah yang bermanfaat dan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan terbaru (up to date) sehingga mahasiswa tidak ketinggalan dalam wawasan keilmuan yang mereka pelajari. Dalam ilmu material teknik, ada suatu kecenderungan perkembangan ke depan bahan konvensional mulai ditinggalkan dan sebagai gantinya bahan non konvensional seperti polimer dan komposit sangat mejnanjikan karena keunggulannya. Dengan adanya Diktat yang berjudul Pemilihan Bahan dan Proses ini kami dari Jurusan Teknik Mesin sangat mendukung dan kiranya dapat dimanfaatkan oleh mahasiswa di Jurusan Teknik Mesin Unimal, khususnya yang mengambil mata kuliah Pemilihan Bahan dan Proses khususnya dan yang mengikuti mata kuliah yang berhubungan dengan Material Teknik umumnya. Demikian kata sambutan dari kami semoga bermanfaat adanya
Penyusun
Godlief Heryson Adoe
1
1 PENGANTAR MATERIAL TEKNIK Pendahuluan Pemilihan dan penggunaan suatu bahan dalam dunia keteknikan, terlebih dahulu dilakukan analisis terhadap bahan tersebut. Proses pemilihan membutuhkan informasi tentang sifat‐sifat bahan tersebut. Pengetahuan mengenai jenis‐jenis dan sifat‐sifat bahan merupakan pengetahuan dasar yang harus dimiliki bagi seorang perencana di bidang teknik mesin. Dengan pengetahuan ini, perencana akan dapat memperlakukan bahan‐bahan yang digunakan sesuai dengan kondisi yang dipersyaratkan sehingga dapat menghindari penggunaan yang berbahaya. Selain itu, perencana juga dapat merekomendasikan bahan alternatif jika memang dibutuhkan atau untuk peningkatan kekuatan misalnya. Seorang perencana di bidang teknik mesin dituntut untuk mampu memilih bahan yang paling sesuai untuk suatu kebutuhan yang khusus. Selain itu seorang perencana teknik mesin juga harus mempertimbangkan pula aspek‐aspek di luar aspek teknologi, misalnya aspek ekonomi.
Sejarah Perkembangan Bahan Sejarah perkembangan bahan sama halnya dengan sejarah peradaban manusia. Sejarah perkembangan bahan dapat dibagi 3 era yaitu era zaman batu, era zaman perunggu dan era zaman besi. Setiap era tersebut melambangkan bahan‐bahan populer yang digunakan di masing‐masing zaman tersebut. Kemampuan pemanfaatan api manandai perobahan era/zaman tersebut. Semakin tinggi suhu dari pemanfaatan api semakin maju teknik pengolahan bahan tersebut . Untuk saat ini dan kedepan adalah era komposit dan polimer.
Sifatsifat Material Teknik/Bahan Sifat‐sifat material teknik dapat dikatagorikan kedalam beberapa kelompok, yaitu ; sifat mekanis, sifat fisis, dan sifat kimia. Sifat‐sifat mekanis merupakan sifat teknik yang paling penting.
Sifat mekanis Sifat mekanis sangat penting diketahui dalam merancang suatu peralatan atau mesin atau dalam perhitungan konstruksi. Informasi mengenai spesifikasi bahan teknik dapat dilakukan dengan uji tarik dengan menggunakan alat uji tarik (tensile test machine) seperti diperlihatkan pada gambar 1.1. Informasi yang diperoleh dari uji tarik adalah kekuatan tarik (Mpa), perpanjangan (mm atau %), reduksi penampang (mm), modulus elastis/kekuatan (Mpa), modulus (Mpa), keuletan bahan/impak (J/m). Sementara itu, kekerasan dan tahan gores dapat
2
3
diuji dengan alat uji kekerasan brinnel hardness test, rockwell hardness test, atau vicker hardness test. Pengujian Tarik dilakukan dengan pemberian beban aksial secara berangsur‐angsur dan kontinu sampai spesimen material yang di uji putus. Pengukuran besaran tegangan (σ) dan regangan (ε) diperoleh dalam diagram HOOK (gbr.1.3). Kurva Tegangan vs Regangan menunjukkan hubungan antara tegangan akibat tarikan dengan terjadinya regangan pada spesimen uji.
Gambar 1.1 Alat uji tarik dan contoh spesimen uji tarik (ASTM M 40) Kurva tegangan‐regangan menunjukkan hubungan antara tegangan akibat tarikan dengan terjadinya regangan pada spesimen uji.
4
σ ε2
σ
1
ε
ε
Gambar 1.2 Kurva tegangan regangan Pada umunya, bahan‐bahan yang kaku akan menunjukkan kurva seperti gambar Alignment dimana daerah plastis tidak jelas. Sedangkan kurva untuk baja logam akan diperoleh seperti pada gambar B dimana daerah plastis tampak. Dari titik 0 ke 1 merupakan daerah elastis, dimana terjadi pemanjangan bila tegangan diberikan dan aakan kembali ke keadaan semula bila tegangan dihilangkan. Dari titik 1 ke 2 merupakan daerah plastis, dimana perpanjnagn batang tidak kembali ke keadaan semula bila tegangan dihilangkan. Namun, batang akan memendek dari panjang ketika ada pembenahan/tarikan dan diameter akan mengecil. Kurva dari titik 2 ke 3, perpanjangan terjadi dengan cepat dan pemanjangan akan terus terjadi serta pengecilan diameter secara drastis walaupun tegangan dikurangkan. Bila beban ditiadakan, panjang batang/spesimen akan tetap. Dan jika pembebanan diteruskan maka batang akhirnya akan patah. Diantara sifat mekanis yang terpenting adalah tegangan tarik (σ), modulus elastis (E) dan regangan/ pemanjangan (ε). Ketiga sifat ini dapat ditentukan dengan persamaan dibawah ini.
5
P σ = 1 A
( MPa )
σ E= ε
ε=
(MPa )
L −L 1 0 L
X 100%
0
Sifat Fisis Sifat‐sifat yang dikatagorikan sifat fisis diantaranya berat jenis, titik lebur, titik didih, titik beku, kalor lebur, kalor beku, perubahan volume, bentuk dan panjang terhadap perubahan temperatur.
Sifat Kimia Sifat kimia meliputi reaksi antara logam dengan oksigen di udara (pengkaratan), kadar bahan beracun, kemungkinan bereaksi dengan garam, asam dan basa.
Klasifikasi Material Teknik (Bahan Struktur): Secara garis besar , material teknik dapat diklasifikasikan pada 4 kategori, yaitu : logam, polimer, keramik dan komposit seperti diperlihatkan pada gambar 1.3. Sedangkan secara lebih rinci, material teknik dapat diklasifikasikan seperti diperlihatkan pada gambar 1.3. BAHAN STRUKTUR
LOGAM
POLIMER
KERAMIKS
Konvensional Rekayasa Teknologi
Gambar. 1.3. Klasifikasi bahan struktur
KOMPOSIT
6
Material Teknik
Logam
Bukan Logam
Polimer/Bahan Sintetis
Bahan Alami
Baja Tuang
Termoplastisti
Batu
Besi Tuang
Termoseting
Minyak
Paduan Besi
Elastomers
Kaca
Logam Besi
Bukan Besi
Logam Ringan
Logam Ringan
Logam Murni
Logam Murni Aluminium, perunggu, beryllium.
PADUAN
PADUAN Anti corotal, alumna, avional
Timah putih, seng timah hitam, nikel tembaga, wolfram dll.
Kuningan, Patri perunggu
Logam Mulia
Termoplastik: Poliertilen (PE), Polipropilen (PP), Polistiren (PS), Polivinil Klorida (PVC), Poliamida (PA), Poli‐ karbonat (PCO), Poliester/ Polietilen treftalat (PET). Termoset: Resin: Fenol, Epoksi, Melamin. Poliester tak Jenuh, Poliuretan. Elastomer: Karet Alam
Gambar. 1.4. Klasifikasi Material Teknik
Logam Besi (Ferrous) Besi dan baja adalah logam terbanyak yang digunakan dalam bidang teknik, yaitu 95% produksi logam dunia. Untuk penggunaan tertentu, besi dan baja adalah satu‐ satunya logam yang memenuhi persyaratan teknis maupun ekonomi. Dalam beberapa bidang tertentu, besi dan baja mulai mendapat persaingan dari logam bukan besi dan bahan bukan logam Khususnya bahan komposit.
7
Penggolongan logam besi tergantung komposisikimia penyususunnya, khususnya kadar karbon. Kadar karbon yang dimiliki oleh suatu logam mempengaruhi sifat‐sifat mekanis/fisis besi tersebut. Jenis‐jenis besi menurut prosentase kadar carbon diberikan di bawah ini. Pembuatan baja diperkenalkan Sir Henry Bessemer (Inggris) pada tahun 1800.atau terkenal dengan dapur Bessenger. Pembuatan besi mampu tempa diperkenalkan Wiliam Kelly (Amerika) pada tahun 1800, bahan utamanya adalah besi dengan paduannya. Diolah melalui proses peleburan pada tanur tinggi dengan menambahkan kokas dan gamping (batu kapur) sehingga diperoleh hasil akhir berupa besi kasar. Bijih besi yang paling banyak digunakan adalah jenis hematif (Fe2O3) yang banyak ditambang di Cina. Jenis hematif mempunyai kadar besinya yang tinggi sedangkan kadar kotorannya relatif rendah.
Gambar 1.5 tungku oxigem (oxygen furnace) yang dipakai untuk poduksi baja.
Logam Bukan Besi Logan bukan besi diproduksi mencapai 20% dari logam produk industri. Umumnya, logam bukan besi lemah. Oleh karena itu, pencampuran dengan logam lain dan membentuk paduan perlu dilakukan untuk meningkatkan kekuatannya.
Paduan (alloy) Paduan (alloy) adalah komposisi lebih dari satu elemen . Ilmu teknik paduan (engineering alloy) meliputi cast‐irons dan baja, paduan aluminium (alluminium alloy), paduan magnesium (magnesium alloy), paduan titanium (titanium alloy), paduan nikel (nickel alloy),paduan seng (zinc alloys) dan paduan tembaga (copper alloys). Sebagai contoh adalah kuningan menrupakan paduan dari kuningan dan tembaga.
Sifat Secara umum, logam bukan besi memiliki sifat tahan korosi, daya hantar listrik baik dan mudah dibentuk. Biasanya, kemmapuan tahan korosi ini semakin baik dengan semakin berat massa jenisnya, kecuali aluminium. Pada permukaan terbentuk lapisan oksida yang akan melindungi logam dari korosi selanjutnya. Logam bukan besi memiliki warna sehingga menambah estetik, seperti perak, kuning, abu‐abu dll.
Pengolahan Logam bukan besi tidak ditemukan sebagai logam murni di alam bebas tapi terikat sebagai oksida dengan kotoran‐kotoran dan membentuk bijih‐bijih. Untuk itu perlu dilakukan pengolahan yang meliputi beberapa tahap, yaitu tahap penghalusan mineral, tahap pencucian, tahap pemisahan antara logam dan kotoran serta tahap peleburan.
8
Proses peleburan dilakukan pada tanur tinggi atau dapur reverberasi. Pada dapur jenis ini, bahan bakar kokas dicampur dengan bijih untuk mempercepat proses pembakaran dan pencampuran dengan fluks dapat meningkatkan kemurnian logam serta mengurangi viskositas terak. Ukuran kokas dan bijih lebih besar dari 1 cm dan tidak akan terbawa keluar oleh hembusan udara.
Karakterisasi Material Perbedaan karakterisasi terhadap suatu material sangat dipengaruhi oleh latar keilmuan dari pengguna. Konsep ini bagi seorang ilmuan yang berfikir material dalam konteks atom‐atom (mikroskopik) berbeda halnya dengan seorang insinyur proses yang cenderung memikirkan sifat‐sifat, proses dan jaminan mutu dari material tersebut. Berbeda pula dengan definisi dari seorang insinyur mesin yang lebih terfokus pada distribusi tegangan dan perpindahan panas. Definsi yang diambil dari ASM‐International Materials Characterization Handbook adalah sebagai berikut “ Karakterissasi menjelaskan tentang komposisi dan struktur termasuk kerusakan dari suatu material yang penting suatu perlakukan khusus, mempelajari sifat‐sifat, atau menggunakannya dan untuk memenuhi reproduksi material.
Suatu komponen penting dari metodologi teknik material adalah pengetahuan struktur material. Struktur khas dapat dilihat dengan menggunakan suatu miskroskop optic atau mikroskrop elektro baik transmission electron microscope (TEM) atau scanning electron microscope (SEM). Transmission electron microscope (TEM) adalah miskroskop elektro yang pencitraan oleh elektron‐elektron yang melalui suatu specimen
9
10
yang tipiss sedangkan scanning eleectron microscope (SEM) adalah pencitraan denggan pengempu ulan elektro‐eelektro yang dipancarkan n dari permukkaan materiaal yang diamaati. Gambar yang diperoleh dari pencitraan miskrosskop elektron dapat dilihaat pada gamb bar 1.6.
mbar 1.6 Hasil SEM Dendritte Gam
Prinsip p pengoperassian miskroskkop optic sam ma halnya den ngan SEM ataau TEM, kecu uali sumber caahaya (light ssource) untukk suatu miskro oskop electro on adalah seb buah penemb bak electron (electron gu un),sedangkan n untuk elektromagnetikk adalah len nsa yang tid dak d optical‐g grade glass. Miskroskop electron meembutuhkan sebuah ruaang terbuat dari hampa (vaacuum colum mn) karena elektro‐elektro on mudah beerinteraksi deengan molekkul‐ molekul udara dan akan mudah diseerap.
Gambarr 1.7 Hasil SEM M pada sebuah IC
11
Gamb bar 1.7, sebu uan mikrograf scanning electron dari suatu wilayah peraltan dari sebuah in ntegrated cirrcuit. Warna putih menu unjukkan jalu ur metalisasi.. Pada gamb bar tersebut, kita dapat melihat m dengaan normal peermukaan siliccon wafer daan jalur koneksi yang terbe entuk. Gambaar 1.8, juga m memperlihatkan penampan ng jalur metal pada suatu IC.
Gam mbar 1.8. Penaampang jalur metal dengan SEM pada IC
Gm mabar 1.9 Fo oto Pelapisan TiC pada graphite dengan n menggunakan SEM
12
Konsep Struktur Struktur suatu material dapat dibagi menjadi empat tingkatan, yaitu struktur atom (atomic structure), susunan atom (atomic arrangement), mikrostruktur (microstructure), dan makrosruktur (macrostructure).
Gambar 1.10 koordinat polihedra pada IC Meskipun penekanan utama bagi insinyur material untuk memahami dan mengatur mikrostruktur dan makro‐struktur berbagai material, namun pengetahuan tentang struktur‐struktur atom dan kristal terlebih dahulu harus dipahami. Struktur atom mempengaruhi bentuk ikatan yang terbentuk sesama atom. Dengan bentuk ikatan atom, kita dapat mengkatagorikan material tersebut sebagai logam, keramik, dan polimer dan kita dapat mendapatkan gambaran beberapa hal penting dari sifat‐sifat makanik dan fisik dalam ketiga kelas tersebut.
This first image shows the coordination polyhedra for a superconductor material as shown on the fig. 1.10. It represents the basic repeat unit that, when aggregated with
13
about 10^20 similar units, will create a monolith of the superconductor somewhat less in size than one cubic centimeter. The crystalline unit cell is one aspect of structure that the materials engineer must understand to produce functional superconductor devices. However, there are other aspects of a material's structure that too must be considered. The purpose of this web page is to introduce the reader to the concept of structure.
Let us begin our discussion of structure by first considering the crystal structure of perovskites. Perovskites are a large family of crystalline ceramics that derive their name from a specific mineral known as perovskite.
Fig. 1.11 amethyst
They are the most abundant minerals on earth and have been of continuing interest to geologists for the clues they hold to the planet's history. The parent material, perovskite, was first described in the 1830's by the geoologist Gustav Rose, who named it after the famous Russian mineralogist Count Lev Aleksevich von Perovski. Currently, the most intensely studied perovskites are those that superconduct at liquid nitrogen temperatures. Superconducting perovskites were first discovered by IBM researchers Bednorz and Mueller who were examining the electrical properties of a family of
materials in the Ba‐La‐Cu‐O system. The coordination polyhedra is only one way to represent a crystalline unit cell. Another way is to use a ball and stick model, with the balls representing atoms and the sticks, bonds between the atoms. Two representations of this are illustrated below.
First, let us consider a basic unit cell, a cubic crystal system, as seen in three dimensions. Those of us who lack 3‐dimensional depth perception can sometimes gain 3D information by moving our heads slightly from left to right while looking at an object. Similarly, all of us can project a 3‐dimensional cube onto a 2‐dimensional screen and then rotate it to provide information on its 3D nature. In other words, we can use a 2D perspective projection extrapolated to a 3D impression. To the left, you see a GIF animation of a unit cell of a three‐dimensional (3D) crystal.
So, the unit cell is the basic repeat‐unit for describing a crystal. What is a crystal? Well most of us have seen mineral crystals. For example, consider amethyst. Amethyst is the purple variety of quartz and is a popular gemstone. If it were not for its widespread availability, amethyst would be very expensive. The name "amethyst" comes from the Greek and means "not drunken." This was maybe due to a belief that amethyst would ward off the effects of alcohol, but most likely the Greeks were referring to the almost wine‐like color of some stones that they may have encountered. Its color is unparalleled, and even other, more expensive purple gemstones are often compared to its color and beauty.
The amethyst crystals, above‐left, are large and well defined. Recall: there are billions and billions and billions of unit‐cells that make up these individual crystals. Let us
14
now take a look at fluorite crystals which are smaller, more regular crystals, aggregated as a group. Fluorite is a mineral with a veritable bouquet of brilliant colors. Fluorite is well known and prized for its glassy luster and rich variety of colors..
Now, let us move from aggregate fluorite crystals to aggregate galena crystals. Galena is PbS, or lead‐sulfide. This fine specimen of the mineral Galena consists of hundreds of intergrown crystals. Most of these are tiny, not measuring more than 0.1" (3 mm) in diameter, but at least 20 of them exceed 0.3" (8 mm) in all dimensions. The crystals shown are of octahedral form with their tips often truncated by small cube‐ oriented faces. They have the standard dark‐gray color, dull metallic luster, and opacity of Galena, and are dusted with a thin layer of superfine pyrite (Fe‐S) or chalcopyrite (Fe/Cu‐S), giving some of the crystals a dull golden appearance.
With the introduction above, the reader may appreciate that there are must necessarily be defects associated with crystals. Defects too define structure. For example, consider the boundaries between individual crystals (or grains). Since these crystalline aggregates grow together with 'random' orientation, grain‐boundaries necessarily exist: and they are defects as the atomic order along them is disrupted from that within individual grains. These planar structures certainly must have something to do with, for example, how the aggregate will break apart if struck by a hammer blow. Note too the reference to a dull golden appearance of the galena specimen. The source of this discoloration is impurity particles. Iron sulfide and iron/copper sulfide grow on (and then into) the lead‐sulfide crystals. These sulfides have different color properties than the lead‐sulfide. It is indeed impurities and imperfections in the crystal structure of the
15
16
amethyst and fluorite crystals, introduced above, that give those crystals color. Note in the case of the amethyst the non‐uniformity of color, and thus the non‐uniformity of chemical content! All of these concepts relate to the structure and associated defects of the materials being discussed.
Fig. 1.12 view inside a perovskite material
Now I share with you a few micro‐structural images. The first will be a look "inside" a perovskite material: lanthanum aluminate. Let's not concern ourselves with the magnification. You can assume dimensions to be in the order of tens of microns. What you will see is a non‐perfect, but beautiful state of matter. In one of the superconducting perovskites, the degree of defect (such as that shown on the left) would determine how well the crystal would work as a superconductor. The structure determines properties. Enjoy the beauty and many natural wonders in the reference source,
For a second look at defect structure, consider fig. 1.13 that is the image on the right from the NASA Science Academy web pages . Here, we are looking at rather high magnification at a Group II‐VI semiconductor compound, possibly ZnS. The color electron photomicrograph shows such common structural defects as a grain boundary (A), twin
17
boundaries (B), and triangular‐shaped dislocation etch pits (C). These defects were revealed by chemical etching of a wafer cut from a crystal of a II‐VI semiconducting alloy, which was produced by directional solidification. Dislocations are another type of defect (line‐defect) common to crystalline solids, and very, very important to their properties.
Fig. 1.13 defect structure
Reflect again on the poly‐crystalline structure of the galena aggregate previously introduced. This is essentially a three dimensional view of how metals and alloys are structured. The sole difference is the scale of the grain‐array. Commercial alloys are fine‐ grained, with grains (ie, crystals) typically 0.075 mm or so, in diameter. Perhaps comparison of the galena aggregate to fig. 1.15 will convince you that grain‐boundaries play a role in the behavior of metals and alloys. Shown is the fracture surface of a high‐ strength alloy which failed by hydrogen embrittlement. This mode of failure is highly dependent on the size, orientation and chemical make‐up of the grain boundaries. Please note the similarity of the galena specimen and this failure specimen, which was
18
subject to inter‐granular (ie, along‐the‐grain‐boundary) fracture. The individual polyhedra facets define the grains.
Fig. 1.14 galena aggregate
Metallography is a means to evaluate the grain‐structure of materials. Shown on the right is a color photo‐micrograph (a two‐dimensional section through a poly‐crystalline array) of a common alloy or metal (brass or nickel, for example). To the trained metallurgist or materials engineer, the structure represents a face‐centered‐cubic material that has been worked and then "recrystallized" during an annealing treatment. The metal or alloy is in a soft, ductile state. I know you may not know what all of these terms mean. I am trying to illustrate the link between structure, properties and processing. I am trying to illustrate the perspective of the materials engineer and the importance of the structure concept. This image is the work of George Vander Voort of the International Metallographic Society.
19
Fig. 1.15 color photo‐micrograph
To reinforce the importance of grain structure to properties, please consider the photo‐micrograph below. Again, failure along grain boundaries of an engineering alloy is featured. The alloy is stainless steel (why is it called "stainless" steel.... do you know?). The failure mode is caustic stress corrosion cracking. Here, in a micrograph of the stainless steel, one can see how failure is proceding along the grain‐boundaries from the free‐surface of the component (top edge). Besides grain boundaries, what other defects do you see in this photomicrograph?
20
2 KEGAGALAN MATERIAL
Pendahuluan Suatu material dinyatakan gagal apabila tidak berkemampuan untuk memenuhi fungsi utama dari perencanaan yang dikehendaki. Faktor utama penyebab suatu bahan mengalami kegagalan adalah beban maksimum yang bekerja melebihi tegangan patah bahan. Namun, tidak semua bahan gagal dengan cara yang sama. Faktor kekuatan, kemuluran dan kerapuhan mempengaruhi mekanikal gagal suatu bahan. Faktor‐faktor yang mempengaruhi kegagalan sangat tergantung pada sifat dasar dan keadaan bahan tersebut , jenis pembebanan yang dikenakan, kadar pembebanan yang dialami, temperature dan keadaan lingkungan, pengaruh tumpuan beban, ketidaksempurnaan permukaan, atau cacat bahan.
Kegagalan Akibat Beban Statis. Kegagalan akibat beban static disebabkan mulur atau rapuh atau dipengaruhi modulus kekenyalan.
Kegagalan Akibat Beban Fatik. Gagal lelah atau fatik adalah kegagalan yang terjadi pada kondisi beban maksimum yang lebih kecil dari kemampuan beban, namun terjadi karena berulang ulang dan terus menerus sehingga terjadi penambahan mikro retak. Fatik yang terjadi pada logam telah dipelajari sejak lebih dari 150 tahun yang lalu. Salah satu peneliti awal tapi bukan yang pertama adalah August Wohler. Dalam kurun waktu sejak tahun 1850 sampai dengan tahun 1875 berbagai percobaan telah dijalankan guna mendapatkan sebuah tegangan alternative yang aman sehingga kegagalan tidak akan terjadi. Hampir seratusan tahun para peneliti telah menampilkan secara eksperimental efek dari beberapa variable yang mempengaruhi panjangnya usia kekuatan fatik logam.
Fatik logam merupakan sebuah proses yang mengakibatkan kegagalan premature atau kerusakan dari sebuah komponen yang dikenai beban berulang. Fatik logam adalah sebuah proses metalurgi yang rumit dan sulit digambarkan secara akurat dan sulit dimodelkan pada tingkatan mikroskopi. Meskipun kompleks, pengamatan kerusakan fatik dalam desain komponen dan struktur harus dilaksanakan. Akibatnya metoda‐ metoda analisa fatik pun mulai tumbuh berkembang.
Stress – Life Metoda S‐N merupakan sebuah pendekatan yang pertama sekali digunakan dalam upaya memahami dan menghitung kelelahan pada logam. Metoda ini telah menjadi metoda standar untuk desain fatik selama kurun waktu hamper 100 tahun. Pendekatan
21
dengan metoda S‐N masih banyak digunakan dalam aplikasi desain dimana tegangan yang berlangsung menjadi faktor utama dengan batas elastis material dan resultan usia pakai sangat panjang seperti pada poros transmisi, roda gigi, kopling dan sebagainya.
Metoda Stess‐life tidak dapat digunakan untuk aplikasi‐aplikasi putaran rendah dimana regangan yang terjadi memiliki sebuah komponen plastis yang signifikan. Untuk kasus ini pendekatan yang berbasis kepada regangan lebih sesuai untuk digunakan. Garis pemisah antara fatik putaran rendah dengan fatik putaran tinggi adalah bergantung kepada material, namun biasanya berkisar antara 10 sampai dengan 105 putaran.
Diagram SN Dasar dari metoda Stress – Life ini adalah diagram S‐N atau disebut juga diagram Wohler yang menggambarkan tegangan – tegangan alternatif (S) terhadap jumlah putaran hingga patah (N). Prosedur yang paling umum untuk mendapatkan data S‐N adalah melalui pengujian Rotating Banding dan Axial Tension. Data hasil uji S‐N ini biasanya ditampilkan dalam grafik log dengan garis aktual S‐N merepresentasikan data rata‐rata. Beberapa material, terutama logam BCC (Body Centered Cubic) memiliki batasan endurance atau batas fatik (Se) dimana batasan tersebut merupakan batasan tegangan dimana material memiliki usia pakai tak terhingga. Untuk kebutuhan engineering, usia pakai tak berhingga biasanya diperhitungkan hingga putaran 1 juta. Batas endurance dipengaruhi oleh elemen‐elemen penyusunnya, seperti karbon atau nitrogen didalam besi dengan dislokasi pin. Hal ini mencegah mekanisme slip yang memicu pembentukan mikrocrack. Bila endurance limit berkurang, maka hal – hal yang harus diperhatikan sebagai penyebabnya adalah :
22
23
1. Terjadinya beban berlebih secara periodik (periodic overloads) dimana terjadinya dislokasi unpin.
2. Lingkungan kerja yang korosif (corrosive environments) yang mengakibatkan terjadinya interakasi fatik korosi.
3. Temperatur yang tinggi (high temperature) yang mengakibatkan terjadinya dislokasi yang berpindah‐pindah.
Adalah penting untuk dicatat bahwa efek dari beban berlebih secara periodik tersebut diatas memiliki hubungan dengan tingkat kemulusan spesimen yang diuji. Untuk komponen bertakik memiliki perilaku yang sangat berbeda yang diakibatkan oleh adanya residual stress (tegangan sisa) yang ditimbulkan oleh beban berlebih.
Kebanyakan material paduan non‐logam tidak memiliki endurance limit dan garis kurva S‐N nya memiliki kemiringan yang kontinu. Batas endurance semu atau kekuatan fatik dari material ini dianggap sama dengan harga tegangan dimana usia pakainya berkisar 5 x 108 putaran.
Hubungan endurance limit terhadap hardness (kekerasan) yaitu:
Se (Ksi) ≈ 0.25 x BHN ; untuk BHN ≤ 400
Se
≈ 100 Ksi ; untuk BHN > 400
Hubungan endurance limit terhadap ultimate strength:
Se ≈ 0,5 x Su
; untuk Su ≤ 200 Ksi
Se ≈ 100 Ksi
; untuk Su > 200 Ksi
24
Tegangan bolak‐balik yang di hubungkan dengan usia pakai 1000 putaran (S1000) dapat di estimasi 0,9 x Sut. Garis yang menghubungkan titik ini dan endurance limit adalah merupakan estimasi yang digunakan untuk garis desain S‐N bila tidak ada data titik aktual yang tersedia untuk material tersebut.
Guna melakukan pendekatan secara grafik sebuah hubungan power dapat digunakan untuk memperkirakan kurva S‐N untuk baja:
S = 10cNb ( untuk 103 lC (misalnya 1‐15 lC) disebut dengan nama serat kontinue. Sedangkan serat dengan 1 > lC (misalnya 1‐15 lC) disebut dengan nama serat kontinue. Sedangkan serat dengan 1
View more...
Comments