Diare Kronik Pada Anak
September 24, 2017 | Author: Lanny Ardianny Omorfi | Category: N/A
Short Description
medicine...
Description
REFERAT Diare Kronis Pada Anak
Disusun Oleh: Anthony Gunawan 112014174
Pembimbing: Dr. Edi Pasaribu, SpA
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Tarakan Fakultas Kedokteran Ukrida Periode: 22 Juni-29 Agustus
1
Pendahuluan Diare kronik pada anak masih menjadi suatu masalah kesehatan yang mempengaruhi tingkat kematian anak di dunia. Di Indonesia, prevalensi diare kronis/persisten sebesar 0,1% dengan angka kejadian tertinggi anak-anak berusia 6-11 bulan. Untuk menangani hal ini didasarkan pada anamnesis umum tentang gejala diare, baik pada jenis diare infeksi maupun non infeksi.1 Penyakit diare merupakan masalah kesehatan di banyak negara berkembang termasuk Indonesia. Walaupun telah banyak kemajuan diperoleh di bidang pemberantasan penyakit diare di Indonesia namun hingga kini angka kesakitan diare tetap masih tinggi. Angka kesakitan diare diperkirakan antara 120-130 kejadian per 1000 penduduk, 60% kejadian diare tersebut terjadi pada balita. Telah banyak kemajuan yang diperoleh sehingga angka kematian dari diare akut sudah dapat ditekan, tetapi angka kematian diare persisten pada anak balita masih tinggi yaitu berkisar antara 23-62% dengan rata-rata 45%. Di samping itu penderita diare persisten juga akan mengalami gangguan pertumbuhan di kemudian hari.1 Terdapat faktor-faktor yang merupakan predisposisi terjadinya diare persisten. Identifikasi faktor risiko diare persisten sangat bermanfaat untuk mengetahui riwayat perjalanan penyakit dan perencanaan intervensi pencegahan untuk menurunkan kejadian diare persisten.1 Tujuan penulisan referat ini untuk mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, gejala klinis, diagnosis, penatalaksanaan dan prognosis pada diare kronis.
Definisi Diare adalah peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensi lebih lunak dan lebih cair dari biasanya, dan terjadi paling sedikit 3 kali dalam 24 jam. Dalam referensi lain disebutkan bahwa definisi diare untuk bayi dan anak-anak adalah pengeluaran tinja >10 g/kg/24 jam, sedangkan rata-rata pengeluaran tinja normal pada bayi sekitar 5-10 g/kg/24jam. Diare umumnya dibagi menjadi menjadi diare akut dan diare kronis. Diare kronis dan diare persisten seringkali dianggap sebagai kondisi yang sama. Diare kronis sebagai suatu episode diare lebih dari 2 minggu, sedangkan kondisi serupa disertai berat badan menurun atau sukar naik didefinisikan sebagai diare persisten.1,2
2
Epidemiologi Diare persisten/kronis mencakup 3-20% dari seluruh episode diare pada balita, insidensi diare persisten di beberapa negara berkembang berkisar antara 7-15% setiap tahun dan menyebabkan kematian sebesar 36-54% dari keseluruhan kematian akibat diare. Hal ini menunjukan bahwa diare persisten dan kronis menjadi suatu masalah kesehatan yang mempengaruhi tingkat kematian anak di dunia. Di Indonesia diare kronis/persisten sebesar 0,1% dengan angka kejadian tertinggi anak-anak berusia 6-11 bulan.2 Penyebab diare persisten dan penyakit penyerta adalah terbanyak adalah gizi buruk 36,6%, alergi susu sapi 31,7%, infeksi saluran kemih 24,4%, HIV 19,5%.3
Etiologi Penyebab diare terbagi menjadi 2 yaitu infeksi dan non infeksi: Diare Infeksi biasanya disebabkan oleh bakteri, parasit, protozoa, cacing dan virus ada. contohnya adalah diare sekretorik.2 Diare non infeksi juga dapat menimbulkan diare pada anak seperti: malabsorpsi laktosa, gangguan motilitas usus, alergi susu sapi, defisiensi imun, logam berat, defisiensi disakaridase contohnya adalah diare osmotik.2
Patogenesis Patogenesis diare kronis melibatkan berbagai faktor yang sangat kompleks. Menghasilkan suatu konsep patogenesis diare kronis yang menjelaskan bahwa paparan berbagai faktor predisposisi, baik infeksi maupun non infeksi akan menyebabkan rangkaian proses yang pada akhirnya memicu kerusakan mukosa usus dan mengakibatkan diare kronis. Seringkali diare kronis dan persisten tidak dapat dipisahkan, sehingga beberapa referensi hanya menggunakan salah satu istilah untuk menerangkan kedua jenis diare tersebut. Meskipun sebenarnya definisi diare persisten dan diare kronis berbeda, namun kedua jenis diare ini lebih sering dianggap karena infeksi. 2
3
Gambar 1. Alur Patogenesis diare Kronis.3
Patofisiologi Secara umum patofisiologi diare kronis/persisten dibagi menjadi lima mekanisme: 1. Sekretoris Pada diare sekretoris terjadi peningkatan sekresi Cl- secara aktif dari sel kripta akibat mediator intraseluler seperti cAMP, cGMP, dan Ca2+. Mediator tersebut juga mencegah terjadinya perangkaian antara Na+ dan Cl- pada sel vili usus. Hal ini berakibat cairan tidak dapat diserap dan terjadi pengeluaran cairan secara masif ke lumen usus. Diare dengan mekanisme ini memiliki tanda khas yaitu volume tinja yang banyak (>200ml/24jam), konsistensi tinja yang sangat cair, konsentrasi Na+ dan Cl- > 70 mEq, dan tidak berespon terhadap penghentian makanan. Contoh penyebab diare sekretoris adalah Rotavirus dimana bakteri mengeluarkan toksin yang mengaktivasi cAMP.5 2. Osmotik Diare dengan mekanisme osmotik bermanifestasi ketika terjadi kegagalan proses pencernaan atau penyerapan nutrien dalam usus halus sehingga zat tersebut akan langsung memasuki colon. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan osmotik di lumen usus sehingga menarik cairan ke dalam lumen usus. Absorpsi usus tidak hanya tergantung pada faktor keutuhan epitel saja, tetapi juga pada kecukupan waktu yang diperlukan 4
dalam proses pencernaan kontak dengan epitel. Perubahan waktu transit usus, terutama bila disertai dengan penurunan waktu transit usus yang menyeluruh, akan menimbulkan gangguan absorpsi nutrien. Contoh klasik dari jenis diare ini adalah diare akibat intoleransi laktosa. Absennya enzim laktase karena berbagai sebab infeksi maupun non infeksi yang didapat (sekunder) maupun bawaan (primer), menyebabkan laktosa terbawa ke usus besar dalam keadaan tidak terserap. Karbohidrat yang tidak terserap ini kemungkinan akan difermentasi oleh mikroflora sehingga terbentuk laktat dan asam laktat. Kondisi ini menimbulkan tanda dan gejala yang khas yaitu pH 6 bulan sebesar 20 mg (1 tablet), dengan masa pemberian 10-14 hari. Pemberian zink menurunkan probablitas pemanjangan diare akut sebesar 24% dan mencegah kegagalan terapi diare persisten.6
Probiotik Pemberian susu yang mengandung Lactobacillus casei, Lactobacillus acidophilus dan Saccharomyces boulardii pada penderita diare persisten selama 5 hari menunjukan penurunan jumlah tinja, durasi diare, dan durasi muntah yang menyertai. 6
8
Tempe Anak yang mendapat bahan makanan campuran tempe-terigu berhenti diare setelah 2,39 +- 0,09 hari(rerata), lebih cepat bila dibandingkan dengan anak yang mendapat bahan makanan campuran beras-susu (rata-rata 2,94 =- 0,33 hari), formula yang berbahan dasar tempe dapat mempersingkat durasi diare akut serta mempercepat pertambahan berat badan setelah menderita satu episode diare akut.6
Terapi Farmakologis Antibiotik diberikan jika terdapat tanda-tanda infeksi, baik infeksi intestinal maupun ekstra-intestinal. Jika dalam tinja didapatkan darah, segera diberikan antibiotik yang sensitif untuk shigellosis. Metronidazol oral (50 mg/kg dalam 3 dosis terbagi) diberikan pada kondisi adanya trofozoit Entamoeba histolityca dalam sel darah, adanya trofozoit Giardia lambia pada tinja jika tidak didapatkan perbaikan klinis pada pemberian 2 antibiotik berbeda yang biasanya efektif untuk shigella. Jika dicurigai penyebab infeksi lainnya, antibiotik disesuaikan hasil biakan tinja dan sensitivitas.6
Follow Up Follow up perlu dilakukan untuk memantau tumbuh kembang anak sekaligus memantau perkembangan hasil terapi. Anak-anak yang tidak menunjukan perbaikan dengan terapi diare persisten membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut untuk menyingkirkan kemungkinan intractable diarrhea, yaitu diare yang berlangsung lebih > 2 minggu dimana 50% kebutuhan cairan anak harus diberikan dalam bentuk intravena. Diare ini banyak ditemukan di negara maju, dan berhubungan dengan kelainan genetik. Kegagalan manejemen nutrisi ditandai adanya peningkatan frekuensi buang air besar dan diikuti tanda-tanda kembalinya dehidrasi, atau kegagalan pertambahan berat badan dalam waktu 7 hari.6
Faktor Risiko dan Pencegahan Malnutrisi, defiensi mikronutrien dan defiensi status imun pasca infeksi atau trauma menyebabkan terlambatnya perbaikan mukosa usus, sehingga menjadi kontribusi utama terjadinya diare persisten.7 Kejadian diare persisten sangat terkait dengan pemberian ASI dan makanan. Penderita diare persisten rata-rata mendapatkan ASI eksklusif 2,5 bulan lebih singkat dibandingkan dengan yang tidak mendapat ASI. Penundaan pemberian ASI pertama pada awal kelahiran 9
juga merupakan salah satu faktor risiko diare persisten. Pemberian makan pendamping terlalu dini meningkatkan risiko kontaminasi sehingga insidensi diare persisten semakin tinggi. Oleh karena itu, pencegahan terhadap kejadian diare persisten meliputi pemberian ASI ekslusif selama 6 bulan, pemberian makanan tambahan yang higienis, dan manejemen yang tepat pada diare akut sehingga kejadian diare tidak berkepanjangan Manejemen diare akut yang tepat meliputi pemberian manejemen nutrisi dan suplementasi zink.7
Pemberian Makan Untuk Diare Persisten Bayi berumur di bawah 6 bulan 1. Semangati ibu untuk memberi ASI eksklusif. Bantu ibu yang tidak memberi ASI eksklusif untuk memberi ASI eksklusif pada bayinya.8 2. Jika anak tidak mendapat ASI, beri susu pengganti yang sama sekali tidak mengandung laktosa. Gunakan sendok atau cangkir, jangan gunakan botol susu. Bila anak membaik, bantu ibu untuk menyusui kembali.8 3. Jika ibu tidak dapat memberi ASI karena mengidap HIV-positif, ibu harus mendapatkan konseling yang tepat mengenai penggunaan susu pengganti secara benar.8 4. Anak berumur 6 bulan atau lebih Pemberian makan harus dimulai kembali segera setelah anak bisa makan. Makanan harus diberikan setidaknya 6 kali sehari untuk mencapai total asupan makanan setidaknya 110 kalori/kg/hari. Walaupun demikian, sebagian besar anak akan malas makan, sampai setiap infeksi serius telah diobati selama 24 – 48 jam. Anak ini mungkin memerlukan pemberian makan melalui pipa nasogastrik pada awalnya.8 Jika terdapat tanda kegagalan diet (lihat di bawah) atau jika anak tidak membaik setelah 7 hari pengobatan, diet yang pertama harus dihentikan dan diet yang kedua diberikan selama 7 hari.8
Evaluasi Hasil Diet Pengobatan yang berhasil dengan diet dicirikan dengan: 1. Asupan makanan yang cukup 2. Pertambahan berat badan 3. Diare yang berkurang 4. Tidak ada demam
10
Ciri yang paling penting adalah bertambahnya berat badan. Bertambahnya berat badan dipastikan dengan terjadinya penambahan berat badan setidaknya selama tiga hari berturutturut.9 Beri tambahan buah segar dan sayur-sayuran matang pada anak yang memberikan reaksi yang baik. Setelah 7 hari pengobatan dengan diet efektif, anak harus kembali mendapat diet yang sesuai dengan umurnya, termasuk pemberian susu, yang menyediakan setidaknya 110 kalori/kg/hari. Anak bisa dirawat di rumah, tetapi harus terus diawasi untuk memastikan pertambahan berat badan yang berkelanjutan dan sesuai dengan nasihat pemberian makan.Kegagalan diet ditunjukkan oleh: 1. Peningkatan frekuensi BAB anak (biasanya menjadi >10 berak encer per harinya), sering diikuti dengan kembalinya tanda dehidrasi (biasanya terjadi segera setelah dimulainya diet baru) 2. Kegagalan dalam pertambahan berat badan dalam waktu 7 hari.9
Kesimpulan Diare persisten merupakan diare akut yang berlanjut lebih dari 14 hari. Diare persisten sering berhubungan dengan malnutrisi dengan patogen penyebab sama dengan diare akut. Patogenesis diare persisten berupa osmotik, sekretori, gangguan motilitas usus dan proses inflamasi, yang biasanya saling berkaitan. Perlu juga diperhatikan asupan gizi dan nutrisi yang adekuat dan sehat, juga beberapa faktor resiko, pencegahan dan cara pemberian terapi dan tatalaksana yang tepat. Diare persisten dapat disebabkan berbagai macam kondisi baik secara infeksi maupun non infeksi. Perlu juga diperhatikan penggunaan antibiotik secara rasional,karena seringkali pengunaan antibiotik yang tidak rasional dapat menyebabkan diare. Biasanya diare persisten dan penyakit penyerta saling berkaitan yang terbanyak adalah: gizi buruk, alergi susu sapi, HIV.
Daftar Pustaka 1. Walker-smith J, Barnard J, Bhutta Z et al. Chronic diarrhea and malabsorption Working Group Report Of the first World Congress of pediatric gastroenterology, hepatology, and nutrition. Journal of Pediatric Gastroenterology and nutrition. 2002; 33.
11
2. Juffie M, Arief S, Rosalina I. Gastroenterohepatologi. Dalam: Yati Soenarto. Buku Ajar Gatroenterologi-Hepatologi. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Penerbit IDAI. Jilid 1. 2010. Hal 121-132. 3. Hegar B, Yuliarti K, Gandaputra E. Buku Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Penerbit IDAI. Jilid 2. 2011. hal 56-63. 4. Alfa Yasmar, Prasetyo Dwi, Martiza Iesye. Gastrohepatologi. Dalam: Herry Garna, Hida Melinda D Nataprawira, editor. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Ed 3. Bandung: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RS Dr Hasan Sadikin; 2005. hal 271-8. 5. Widiastuti E, Permono B. Buku Saku Kesehatan Anak. WHO. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Penerbit IDAI. 2009. hal 146-153. 6. Putra DS, Kadim M, Pramita GD, Badriul H, Aswitha B, Agus . 2008. Diare Persisten: Karakteristik Pasien, Klinis, Laboratorium, dan Penyakit Penyerta. Sari Pediatri, Vol. 10, No. 2. 27 Juli 2008. 7. Lannywati G. Faktor-faktor risiko diare persisten pada anak balita. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Tak Menular Badan Penelitian RI. November 2008 8. International Child Health. 2007. Diare persisten. International Child Health. http://www.ichrc.org/53-diare-persisten, 27 Juli 2015. 9. http://www.gizikia.depkes.go.id/wp-content/uploads/downloads/2011/09/.pdf. Diunduh pada tanggal 27 Juli 2015
12
View more...
Comments