Diagnosis Dan Penatalaksanaan Diabetes Melitus
December 23, 2017 | Author: ferinanatasya | Category: N/A
Short Description
Download Diagnosis Dan Penatalaksanaan Diabetes Melitus...
Description
PENDAHULUAN Diabetes Melitus merupakan masalah kesehatan utama di masyarakat pada abad ke-21 ini. Prevalensi dari diabetes tipe 1 meningkat perlahan sementara diabetes tipe 2 meningkat secara besar-besaran. Berubahnya pola hidup, masa harapan hidup yang lebih lama, dan bertambahnya pertumbuhan etnis dan populasi ras yang memiliki tingkat prevalensi diabetes tipe 2, sepertinya akan melipat-gandakan prevalensi dari diabetes tipe 2 di dunia sampai tahun 2020. Berdasarkan dari penyebabnya, beberapa faktor yang menyebabkan keadaan hiperglikemia adalah berkurangnya sekresi insulin, menurunnya penggunaan dari glukosa, dan meningkatnya produksi dari glukosa. Di Amerika Serikat, DM merupakan penyebab dari penyakit ginjal terminal, amputasi non-traumatik dari ekstremitas bawah,dan kebutaan pada orang dewasa.Dengan meningkatnya angka kejadian dari DM maka, DM dapat menjadi penyebab utama mobiditas dan mortalitas di masa yang akan datang. Meningkatnya prevalensi diabetes melitus di beberapa negara berkembang, akibat peningkatan kemakmuran di negara bersangkutan, akhir-akhir ini banyak disoroti. Peningkatan pendapat per kapita dan perubahan gaya hidup terutama di kotakota besar, menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit generatif, seperti penyakit jantung koroner (PJK), hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan lain-lain. Tetapi data epidemiologi di negara berkembang memang masih belum banyak. Hal ini disebabkan penelitian epidemiologik yang sangat mahal biayanya. Oleh karena itu, angka prevalensi yang dapat ditelusuri terutama berasal dari negara maju. Dibetes melitus adalah penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup, sehingga yang berperan dalam pengelolaanya tidak hanya dokter, perawat dan ahli gizi, tetapi lebih penting lagi keikut-sertaan pasien sendiri dan keluarganya. Edukasi kepada pasien dan keluarganya akan sengat membantu meningkatkan keikut-sertaan mereka dalam usaha memperbaiki hasil pengelolaan DM.
1
KLASIFIKASI DM diklasifikasikan berdasarkan dari patogenesis dasar yang menyebabkan keadaan hiperglikemia (gambar 1). DM secara umum dibagi menjadi 2 kategori yaitu DM tipe 1 dan tipe 2 (tabel 1). Pada DM tipe 1A terjadi destruksi dari sel beta secara autoimun, yang menyebabkan defisiensi insulin. DM tipe 1B juga terkarakteristik oleh defisiensi insulin dan bertendensi menimbulkan ketosis. Bagaimana pun juga pada penderita DM tipe 1B tidak ditemukan marker imunologis sebagai tanda terjadinya destruksi dari sel beta. Mekanisme terjadinya destruksi dari sel beta pada penderita- penderita tersebut belum diketahui. Secara relatif penderita DM tipe 1 tergolong dalam tipe 1B, yaitu kategori yang idiopatik; kebanyakan dri penderita ini berasal dari AmerikaAfrika atau keturunan Asia.
Gambar 1. Spektrum dari hemostasis glukosa dan diabetes. Spektrum dari toleransi glukosa yang normal menjadi diabetes type 1, diabetes tipe 2, diabetes tipe lain, dan diabetes gestasional terlihat dari kiri ke kanan. Kebanyakan tipe dari diabetes, penderita mengalami perubahan dari toleransi glukosa yang normal menjadi toleransi glukosa terganggu menjadi diabetes yang sebenarnya. Anak panah menunjukan secara arah bolak-balik perubahan toleransi glukosa pada beberapa tipe dari diabetes. Contohnya, penderita DM tipe 2 dapat kembali berubah dari tipe 2 menjadi toleransi glukosa terganggu dengan berkurangnya berat badan, pada diabetes gestasional, diabetes juga dapat berubah menjadi toleransi glukosa terganggu atau bahkan
2
toleransi glukosa normal setelah persalinan. Glukosa darah puasa (GDP) dan glukosa darah 2 jam post prondial, setelah pemberian glukosa pada setiap kategori tolerasi glukosa, terlihat pada bagian bawah gambar. Nilai-nilai tersebut tidak digunakkan untuk mendiagnosa diabetes gestasional.beberapa tipe dari diabetes dapat perlu atau tidak perlu insulin. (diambil dari American Diabetes Association, 2004) Pada DM tipe 2 yang terjadi adalah adanya resistensi insulin, gangguan sekresi dari insulin, dan peningkatan produksi dari insulin. DM tipe 2 didahului oleh suatu gangguan homeostasis glukosa sebelumnya yaitu terdiri dari yang dikenal dengan Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT/ Impaired Fasting Glucose/ IFT) dan Toleransi Glukosa Terganggu (TGT/ Impaired Glucose Tolerance/ IGT).2 Berdasarakan patofisiologi dan etiologinya maka DM diklasifikasikan berdasarkan tabel 1. Walaupun semua bentuk dari DM menunjukan keadaan hiperglikemia, namun mekanisme patologis terjadinya hiperglikemia berbeda-beda. Beberapa bentuk dari DM terkarakteristik oleh defisiensi insulin yang absolut, atau defek genetik yang menyebabkan sekresi insulin yang defektif, dan beberapa bentuk lain dari DM yang terjadi adalah resisitensi dari insulin. Klasifikasi dari DM saat ini berbeda dengan klasifikasi sebelumnya. Klasifikasi yang terdahulu dibagi menjadi dua bentuk yaitu insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM) dan noninsulin-dependent diabetes mellitus (NIDDM). Maka sebenarnya terdapat perbedaan anatara klasifikasi yang sekarang dan dulu. Perbedaan yang pertama yaitu, pada DM tipe 1 (dahulu IDDM) mutlak membutuhkan insulin dalam pengobatannya, sdangkan pada DM tipe 2 (dahulu NIDDM) tidak membutuhkan insulin scara mutlak untuk mencegah terjadinya ketoasidosis. Namun karena penderita DM tipe 2 sebenarnya juga membutuhkan insulin untuk mengontrol kadar gula galam darahnya maka pernyataan diatas sepantasnya mengundang suatu kebingungan. Perbedaan yang kedua yaitu, usia tidak lagi menjadi patokan atau dasar pengelompokan/ klasifikasi saat ini. Walaupun DM tipe 1 sering terjadi pada usia kurang dari 30 tahun, namun proses dari destrukksi dari sel beta dapat terjadi kapan saja pada setiap umur. Malahan diperkirakan bahwa 5 dan 10% penderita yang mendapatkan DM setelah usia 30 tahun merupakan DM tipe 1A. Sebaliknya, walaupun DM tipe 2 secara tipikal terjadi seiring dengan bertambahnya usia, namun tipe ini juga terjadi pada anak-anak, khususnya pada remaja dengan obesitas. . 3
Tipe lain dari DM Beberapa etiologi dari DM yaitu termasuk defek genetik yang spesifik dalam sekresi tau kerja dari insulin, gangguan metabolik yang menyebabkan gangguan dari sekresi insulin, abnoramlitas dari mitokondria dan kondisi-kondisi yang menyebabkan gangguan dari toleransi glukosa. Maturity onset diabetes of the young (MODY) adalah subtipe dari DM yang terkarakteristik oleh kelainan bawaan secara autosomal dominan, early onset hyperglicemia , dan gangguan dari sekresi insulin. Mutasi dari reseptor insulin mengakibatkan beberapa gangguan yang terkarakteristik dalam resistensi insulin berat. DM dapat muncul sebagai akibat dari gangguan eksokrin dari pankreas yaitu bila sel-sel islets pankreas (>80%) rusak. Hormon yang bekerja sebagai antagonis dari insulin dapat meyebabkan DM. DM sering secara klinis menunjukan adanya endokrinopati, seperti akromegali, Cushing’s disease. Infeksi viral dihubungkan dengan kerusakan sel islet di pankreas, namun merupakan penyebab DM yang jarang. Rubela kongenital yang sangat besar mengakibatkan peningkatan resiko dari DM, namun kebanyakan dari penderita ini juga memiliki marker imunologik yang menandai adanya destruksi dari sel beta secara otoimun. Diabetes melitus gestasional Intoleransi glukosa dapat terjadi selama kehamilan. Resistensi insulin yang dihubungkan dengan perubahan metabolik pada kehamilan tua, meningkatkan kebutuhan insulin dan dapat menyebabkan toleransi glukosa terganggu (TGT). DMG muncul pada hampir 4% kehamilan di Amerika Serikat, kebanyakan wanita menunjukkan toleransi glukosa yang normal paost partum namun memiliki resiko yang cukup tinggi (30 sampai 60%) untuk mengalami DM dikemudian hari kehidupannya. Diabetes melitus gestasional adalah diabetes yang timbul selama kehamilan. Ini meliputi 2-5% daripada seluruh diabetes. Jenis ini sangat penting diketahui karena dampaknya pada janin kurang baik bila tidak ditangani dengan benar. EPIDEMIOLOGI Prevalensi DM di dunia telah meningkat secara dramatis dalam dua dekade terakhir ini. Begitu pula terjadi peningkatan dari GDPT. Walaupun prevalensi dari kedua tipe DM, tipe 1 dan 2, sama-sama meningkat namun tampaknya DM tipe 2 akan lebih lagi
4
meningakat pada masa yang akan datang bersamaan dengan bertambahnya kasus obesitas dan berkurangnya tingkat aktivitas. Prevalensi antara wanita dan laki-laki sama namun pada usia > 60 tahun, laki laki prevalensinya lebih besar. DIAGNOSIS Cara utama mencegah terjadinya komplikasi dari diabetes adalah diagnosis awal (early diagnosis). Hal ini penting diketahui untuk DM tipe 2 atau DM tipe 1 lateonset autoimmun, karena gangguan-gangguan ini muncul dalam keadaan tanpa gejala (asimptomatik) yang berlangsung selama 5-10 tahun. Diabetes melitus adalah gangguan metabolik yang terkarakteristik dalam keadaan hiperglikemia yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan mikrovaskular yang kronik, neuropathy, dan atau gangguan makrovaskular. Retinopati dianggap sebagai komplikasi primer karena sangat berhubungan dengan diabetes, mudah untuk dihitung, dan merupakan komplikasi kronik yang paling sering muncul. Beberapa studi telah menunjukan bahwa kadar glukosa darah ≥ 200mg/dl setelah 2 jam pemberian glukosa dalam 5-10 tahun akan menderita retinopati diabetes. Pada tatuh 1997, nilai ini berkaitan dengan kadar GDPT 140 mg/dl. Namun nilai tersebut saat ini terbukti salah. Studi terbaru menunjukan GDPT antara 120 dan 130 mg/dl dan dihubungkan dengan terjadinya retinopati diabetik. Data-data tersebut diatas telah membawa kepada suatu kriteria diagnostik diabetes yang terbaru (tabel 2). The National Diabetes Data Group and World Health Organization telah menetapkan kriteria diagnostik untuk DM (tabel 2) yaitu berdasarkan: (1) Spektrum dari GDP dan respon terhadap glukosa oral bervariasi pada individu yang normal (2) DM ditentukan berdasarkan kadar glukosa dalam darah dimana komplikasi spesifik diabetes muncul dibanding dengan berdasarkan deviasi rata-rata populasi. Contohnya; prevalensi dari retinopati pada Native America (populasi Pima India) yang mulai meningkat pada saat GDP >116 mg/dl. Toleransi glukosa diklasifikasikan menjadi tiga kategori berdasarkan kadar gula darah puasa (GDP); (1). GDP < 100 mg/dl adalah normal (2). GDP ≥ 100 mg/dl namun < 126 mg/dl adalah GDPT dan (3). GDP ≥ 126 mg/dl adalah diabetes melitus. GDPT dibandingkan dengan TGT dimana kadar glukosa darah antara 140-200 mg/dl 2 jam setelah pemberian glukosa oral 75 mg. Individu dengan GDPT dan TGT 5
memiliki resiko tinggi untuk mengalami DM tipe 2 (40% muncul setelah 5 tahun) dan penyakit kardiovaskular. Kriteria diagnostik DM yang telah diperbaharui menyatakan bahwa GDP merupakan tes yang cocok digunakan untuk mendiagnosis penderita DM yang tidak bergejala. Kadar glukosa darah ≥ 200 mg/dl ditambah dengan adanya gejala klasik dari DM (poliuri, polidipsi, penurunan berat badan) mampu atau cukup dapat mendiagnosis DM (tabel 2). Tes toleransi glukosa oral, walaupun masih merupakan cara yang valid untuk mendiagnosis DM, namun tidak dianjurkan menjadi bagian dari pemeriksaan rutin. Beberapa penemu menyatakan bahwa haemoglobin A1c dapat digunakan untuk mendiagnosis DM. Walaupun terdapat korelasi yang kuat anatar peningkatan kadar glukosa darah dengan HbA1c, hubungan antara GDP dan A1c pada individu dengan toleransi glukosa yang normal atau toleransi glukosa yang sedang masih kurang jelas, karena itu A1c sampai sekarang belum dipakai untuk mendiagnosa DM. Kriteria diagnosis DM yang terbaru tidak membuat atau memunculkan penderita DM yang baru namun membuat diagnosa DM lebih mudah dilakukan pada penderita yang belum terdiagnosa melalui kadar GDP daripada tes glukosa oral. Contonya; prevalensi total DM di Amerika serikat (dewasa) pada usia 40-47 tahun adalah 14,26%. Penderita DM yang belum terdiagnosa dapat terdeteksi dari gula darah 2 jam setelah pemberian (GD 2 jam Post Prondial), glukosa darah ≥ 200 mg/dl, adalah sebesar 6,34%. Dan hampir dua per tiga dari mereka (4,35%) terdeteksi melalui kadar GDP ≥ 126 mg/dl. Hanya 1/3 dari mereka (2,35%) terdeteksi melalui kadar GDP ≥ 140 mg/dl. Tabel 2 Tabel Klasifikasi Etiologis Diabetes Melitus I.
Diabetes Melitus Tipe 1
Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut a. Melalui proses imunologik b. Idiopatik
6
II. Diabetes Melitus Tipe 2 Bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin III.
Diabetes Melitus Tipe Lain
a. Defek genetik fungsi sel beta : kromosom 12, HNF-1alfa (dahulu MODY 3) kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2) kromosom 20, HNF-4alfa (dahulu MODY 1) DNA Mitochondria b. Defek genetik kerja insulin c. Penyakit Eksokrin Pankreas : Pankreatitis Trauma / pankreatektomi Neoplasma Cystic fibrosis Hemochromatosis Pankreatopati fibro kalkulus d. Endokrinopati
: Akromegali Sindroma cushing Feokromositoma Hipertiroidisme
e. Karena Obat / Zat Kimia
: Vacor,
pentamidin,
glukokortikoid,
asam
hormon
tiroid,
nikotinat, tiazid,
dilantin, interferon alfa f. Infeksi
: rubella kongetinal dan CMV
g. Imunologi (jarang)
: antibodi anti reseptor insulin
h. Sindroma genetik lain
: Sindrom Down, Klinefelter, Turner, Huntington Chorea, Sindrom Prader Willi
IV. Diabetes Melitus Gestasional (Kehamilan) (ADA 2004)
7
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah dan tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis DM, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya (yang melakukan program pemantauan kendali mutu secara teratur). Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler. Pemeriksaan penyaring Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala/tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko DM. Serangkain uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnostik definitif. Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu resiko DM sbb: 1.
Usia > 45 tahun
2.
Berat badan lebih: BBR > 110% BB idaman atau IMT > 23 kg/m2
3.
Hipertensi ( ≥ 140/90 mmHg)
4.
Riwayat DM dalam garis keturunan
5.
Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau BB lahir bayi > 4000 gram
6.
Kolesterol HDL ≤ 35 mg/dl dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dl
Untuk kelompok resiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negatif, pemeriksaan penyaring ulangan dilakukan tiap tahun; sedangkan bagi mereka yang berusia > 45 tahun tanpa faktor resiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.
8
Pemeriksaan penyaring yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk umumnya (mass screening) tidak dianjurkan karena disamping biayanya mahal, rencana tindak lanjut bagi mereka yang positif belum ada. Bagi mereka yang mendapat kesempatan untuk pemeriksaan penyaring bersama penyakit lain (general check-up) adanya pemeriksaan penyaring untuk DM dalam rangkaian pemeriksaan tersebut sangat dianjurkan. Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, TGT dan GDPT, sehingga dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan sementara menuju DM. Sweetelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang menjadi DM, 1/3 tetap TGT dan 1/3 lainnya kembali normal. Adanya TGT sering berkaitan dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini resiko terjadinya aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT sering berkaitan dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi dan dislipidemia. Peran aktif para pengelola kesehatan sangat diperlukan agar deteksi DM dapat ditegakkan sedini mungkin dan pencegahan primer dan sekunder dapat segera diterapkan. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar. Tabel Kadar glukosa darah sewaktu & puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)
Kadar glukosa darah sewaktu
Bukan
Belum pasti
DM
Plasma Vena
Dm < 110
DM 110 – 199
≥ 200
Darah
< 90
90 – 199
≥ 200
Kapiler Plasma Vena
< 110
110 – 125
≥ 126
Darah
< 90
90 – 109
≥ 110
(mg/dl)
Kadar glukosa darah puasa (mg/dl)
Kapiler
9
Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan ≥ 200 mg/dl.
10
11
Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994) o 3 (tiga ) hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup) o Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan o Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan minum, minum air putih diperbolehkan. o Diperiksa kadar glukosa darah puasa o Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kg BB (anakanak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit. o Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa. o Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok Kriteria diagnostik DM* dan gangguan toleransi glukosa 1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) sewaktu ≥ 200 mg/dl atau 2. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) sewaktu ≥ 126 mg/dl atau 3. Kadar glukosa plasma ≥ 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO * Kriteria diagnostik tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain, kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik berat, seperti ketoasidosis, gejala klasik: poliuri, polidipsi, polifagi dan berat badan menurun cepat. *** Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin di klinik. Untuk penelitian epidemiologis pada penduduk dianjurkan memakai kriteria diagnostik kadar glukosa darah puasa dan 2 jam pasce pembebanan. Untuk DM gestasional juga dianjurkan kriteria diagnostik yang sama.
12
Gambar 1: Langkah-langkah Diagnostik DM dan Gangguan Toleransi Glukosa
Keluhan Klinis Diabetes
Keluhan khas (+)
GDP atau GDS
≥ 126
< 126
≥ 200
< 200
Keluhan khas (-)
GDP atau GDS
≥ 126
110 – 125
≥ 200
110 - 199
< 110
Ulang GDS atau GDP
GDP atau GDS
GDP atau GDS
GDP atau GDS
TTGO GD 2 Jam
≥ 200
-
GDP GDS GDPT TGT
140 – 199
DIABETES MELITUS
TGT
Evaluasi Status Gizi Evaluasi Penyulit DM Evaluasi dan Perencanaan Makan Sesuai Kebutuhan
-
: GLUKOSA DARAH PUASA : GLUKOSA DARAH SEWAKTU : GLUKOSA DARAH PUASA TERGANGGU : TOLERANSI GLUKOSA TERGANGGU
13
< 140
GDPT
Nasihat Umum Perencanaan Makan Latihan Jasmani Berat Idaman Belum Perlu Obat Penurun Glukosa
PATOGENESIS DM tipe 1 Muncul sebagai hasil dari kerja yang sinergis dari faktor genetic, lingkungan dan faktor imunologis yang akhirnya akan merusak sel beta pankreas. Individu yang secara genetik memiliki sel beta yang normal pada saat lahir, namun akan kehilangan sel-sel beta sekunder karena destruksi secara autoimun yang dapat muncul setelah beberapa bulan sampai tahun. Proses autoimun ini dianggap dicetuskan oleh stimulus yang infeksius/lingkungan dan memiliki molekul spesifik. Pada sebagian besar individu, marker imunologis muncul setelah dipicu oleh suatu kondisi namun sebelum DM secara klinis telah muncul sel-sel beta kemudian mulai dan sekresi insulin secara progresif mulai rusak, walaupun toleransi glukosa ditangani tingkat penurunan dari sel beta bervariasi pada setiap individu. Sebagian ada yang secara cepat menjadi penderita DM namun sebagian ada pula yang berjalan lebih lambat. Secara klinis DM tidak terlihat bila sel-sel beta telah rusak sebagian besar (80%). Ini berarti bahwa fungsi dari sel-sel beta yang sisa masih ada, namun tidak mampu mengontrol toleransi glukosa. Peristiwa yang memicu terjadinya diabetes sering diasosiasikan dengan kebutuhan insulin yang meningkat, yang muncul pada saat infeksi atau pubertas. Setelah gejala awal dari DM tipe, fase ‘Honeymoon’ dapat muncul selama kadar gula dalam darah terkontrol dan dalam dosis insulin yang rendah atau jarang sekali saat insulin negatif dibutuhkan. Namun fase dimana insulin endogen ini masih diproduksi oleh sel-sel beta yang tersisa akan menghilang seiring proses kerusakan dari sel-sel beta tersebut dan individu ini akan benar-benar mengalami defisiensi insulin.
14
15
DM tipe 2 Keadaan resistensi insulin dan sekresi insulin yang abnormal merupakan penyebab utama dari DM tipe 2. Walaupun masih kontroversional keadaan mana yang lebih awal muncul namun resistensi insulin akan menyebabkan defeksekresi dari insulin yang kemudian diabetes akan timbul apabila sekresi insulin tidak adekuat. DM tipe 2 terkarakteristik oleh 3 patofisiologi; Sekresi insulin yang abnormal, resistensi insulin perifer dan produksi glukosa oleh hepar yang berlebihan. Obesitas, baik viseral atau sentral (berdasarkan rasio hip-waist) sangat umum pada DM tipe 2. Sel adiposa mensekresi sejumlah produk (leptin, TNF-α, Free fatty acids, resilin dan adinopecilin) yang memodulasi sekresi insulin, kerja dari insulin dan berat badan dan berkontribusi terjadinya resistensi insulin. Pada stadium awal dari gangguan ini, toleransi glukosa masih tetap normal, resistensi insulin karena pada saat ini sel beta berkompensasi dengan menambah pengeluaran insulin. Saat resistensi insulin dan hiperinsulinemia kompensasi terjadi sel-sel tangerhans (islet) pada beberapa individu tidak dapat menghadapi keadaan hiperinsulinemia tersebut. Toleransi glukosa terganggu yang terkarakteristik oleh elevasi, setelah pemberian glukosa (fost prondial) kemudian muncul. Penurunan yang lebih jauh dari sekresi insulin dan penambahan dari produksi insulin oleh hepar dapat menyebabkan diabetes dengan hiperglikemi pada saat puasa. Dan pada akhirnya, kegagalan dari sel sel beta muncul marker dari inflamasi sperti IL-6 dan protein (reactive sering meningkat pada DM tipe 2). Insulin Resisten Penurunan kemampuan dari insulin untuk bekerja secara efektif di target organ perifer (khususnya otot dan hati) adalah kondisi yang utama pada DM tipe 2 dan muncul dari kombinasi F genetic dan obesitas. Resistensi insulin adalah relatif, karena kadar supernormal dari insulin dalam darah akan ‘menormalkan glukosa darah’. Resistensi insulin merusak penggunaan dari glukosa oleh jaringan yang sensitif terhadap insulin dan meningkatkan output dari glukosa oleh hepar, kedua efek tersebut disebut Hiperglikemia. Peningkatan dari produksi glukosa oleh hepar menyebabkan penempatan dari kadar glukosa dara puasa, yang menyebabkan
16
penurunan penggunaan glukosa di perifer dan menyebabkan Hiperglikemia postprandial. Sekresi insulin yang abnormal Sekresi dan sensitivitas insulin saling berhubungan. Pada DM tipe 2 sekresi insulin meningkat, pada respon terhadap resistensi insulin untuk mengatur toleransi glukosa yang normal. Insulin yang abnormal awalnya ringan dan secara selektif mengikutsertakan glucosestimulated insulin secretion. Akhirnya, sekresi insulin yang abnormal secara progresif menjadi sekresi insulin yang inadekuat yang berat Peningkatan produksi insulin oleh hepar Pada DM tipe 2, resistensi insulin pada hepar menyebabkan hiperidsulinemia dan dapat mensupresi proses glukoneosensus yang akhirnya menyebabakan hiperglitenk pada saat puasa dan menurun penyimpanan glikogen oleh hepar pada saat postprondial. Produksi glukosa oleh hepar yang meningkat, timbul secara awal pada DM, walaupun biasanya muncul set terjadi sekresi insulin yang abnormal dan resistensi insulin di otot skelet.
PENGELOLAAN A. Tujuan Pengelolaan Tujuan pengelolaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup pasien diabetes Tujuan jangka pendek: hilangnya keluhan & tanda DM & mempertahankan rasa nyaman & sehat Tujuan jangka
panjang: tercegah
dan terhambatnya
progresivitas
penyulit
mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati dengan tujuan akhir turunnya morbiditas dan mortalitas dini DM. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian hiperglikemia, tekanan darah, berat badan dan lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.
17
B. Langkah-langkah yang perlu dilakukan pada pengelolaan pasien DM 1.
Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan jasmani lengkap
2.
Evaluasi medis khusus diabetes pada pertemuan awal: o Anamnesis keluhan hiperglikemia dan komplikasi o Pemeriksaan jasmani pada setiap kali pertemuan:
TB,BB,TD (diperiksa pada 2 posisi, berbaring & duduk atau
berdiri),
lingkar pinggang Tanda neuropati Mata (ketajaman penglihatan/visus, katarak) Gigi mulut Keadaan kaki (termasuk rabaan nadi kaki), kulit dan kuku o Pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan: Hb, leukosit, hitung jenis leukosit, LED Glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah makan Urinalisis rutin o Pemeriksaan laboratorium tambahan yang disarankan, tergantung fasilitas yang tersedia: A1C Albuminuri mikro Kreatinin Albumin/Globulin dan SGPT Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL dan trigliserida EKG Fibrinogen Foto sinar-X dada Funduskopi o Edukasi singkat mengenai: Apakah penyakit DM itu Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM Hipoglikemia Masalah khusus yang dihadapi
18
3.
Evaluasi medis secara berkala: o Menurut kebutuhan: pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah makan. Tiap 3 (tiga) bulan: A1C o Tiap tahun: Pemeriksaan jasmani lengkap Albuminuri mikro Kreatinin Albumin/globulin dan SGPT Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL dan trigliserida EKG Fibrinogen Foto sinar-X dada Funduskopi
C. Pilar pengelolaan DM PILAR PENATALAKSANAAN DIABETES PERENCANAAN MAKAN
LATIHAN
Edukasi
INTERVENSI
JASMANI FARMAKOLOGIS Dari berbagai penelitian yang ada dapat disimpulkan bahwa latihan jasmani yang teratur bersama dengan perencanaan makanan yang tepat dan penurunan BB merupakan penatalaksanaan diabetes yang dianjurkan terutama bagi penyandang DM tipe 2.
19
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makanan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) atau suntikan insulin.
o
Edukasi
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan pada pengobatan penyakit yang bersifat kronik, pada umumnya rendah. Penelitian terhadap penyandang diabetes, mendapatkan 80% diantaranya menyuntik insulin dengan cara yang tidak tepat, 58% memakai dosis yang salah dan 75% tidak mengikuti diet yang dianjurkan. Ketidakpatuhan ini selain merupakan salah satu hambatan untuk tercapainya tujuan pengobatan, juga mengakibatkan pasien mendapatkan pemeriksaan atau pengobatan yang sebenarnya tidak diperlukan. Untuk mengatasi ketidakpatuhan tersebut, penyuluhan atau edukasi bagi penyandang diabetes berserta keluarganya diperlukan. Penyuluhan diperlukan karena penyakit diabetes adalah penyakit yang berhubungan dengan gaya hidup. Pengobatan dengan obata-obatan penting, tetapi tidaklah cukup. Penyandang DM yang mempunyai pengetahuan yang cukup tentang diabetes, kemudian selanjutnya mengubah perilakunya, akan dapat mengendalikan kondisi penyakitnya sehingga ia dapat hidup lebih lama. Walaupun kepatuhan pasien terhadap prinsip gizi dan perencanaan makan merupakan salah satu kendala pada pelayanan diabetes, terapi gizi merupakan komponen utama keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Kunci keberhasilan terapi gizi medis adalah keterlibatan tim dalam 4 hal yaitu assessment atau pengkajian parameter metabolik individu dan gaya hidup, mendorong pasien berpartisipasi pada penentuan tujuan yang akan dicapai, memilih intervensi gizi yang memadai dan mengevaluasi efektifnya perencanaan pelayanan gizi. Edukasi tersebut meliputi pemahaman tentang: Penyakit DM Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM Penyulit DM
20
Intervensi farmakologis dan non-farmakologis Hipoglikemia Masalah khusus yang dihadapi Cara mengembangkan sistem pendukung dan mengajarkan ketrampilan Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan
o
Perencanaan Makan
Perencanaan makan merupakan salah satu pilar pengelolaan diabetes, meski sampai saat ini tidak ada satupun perencanaan makan yang sesuai untuk semua pasien. Perencanaan makan harus disesuaikan menurut kebiasaan masing-masing individu. Yang dimaksud dengan karbohidrat yaitu gula, tepung dan serat. Faktor yang berpengaruh pada respon glikemik makanan adalah cara memasak, proses penyiapan makanan dan bentuk makanan serta komposisi makanan (karbohidrat, lemak dan protein). Jumlah masukan kalori makanan yang berasal dari karbohidrat lebih penting daripada sumber atau macam karbohidratnya. Gula pasir sebagai bumbu masakan tetap diijinkan. Pada keadaan glukosa darah
terkendali, masih diperbolehkan untuk
mengkonsumsi sukrosa (gula pasir) sampai dengan 5 % kebutuhan kalori. Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi: Karbohidrat
60 – 70 %
Protein
10 – 15 %
Lemak
20 – 25 %
Makanan dengan komposisi karbohidrat sampai 70-75% masih memberikan hasil yang baik. Jumlah kandungan kolesterol disarankan < 300 mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA, Mono Unsaturated Fatty Acid), dan membatasi PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) dan asam lemak jenuh. Jumlah kandungan serat ±25 g/hari, diutamakan serat larut. Pasien diabetes dengan hipertensi perlu mengurangi konsumsi garam. Pemanis buatan dapat dipakai secukupnya. Pemanis buatan yang tak bergizi yang aman dan dapat diterima untuk digunakan pasien diabetes termasuk yang sedang hamil adalah: sakarin, aspartam, acesulfame potassium dan sucralose. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, ada tidaknya stres akut dan kegiatan jasmani. 21
Untuk penentuan status gizi, dapat dipakai Indeks Massa Tubuh (IMT) dan rumus Broca. Indeks massa tubuh dapat dihitung dengasn rumus IMT = BB(kg) / TB (m2) Klasifikasi IMT* BB Kurang
< 18.5
BB Normal
18.5 – 22.9
BB Lebih
≥ 23.0
Dengan resiko
23.0 – 24.9
Obes I
25.0 – 29.9
Obes II
≥ 30
*Klasifikasi Asia Pasifik Untuk menghitung kebutuhan kalori, dapat dipakai rumus Broca, yaitu: Berat Badan Idaman (BBI) = (TB – 100) – 10% Status gizi: BB aktual x 100 %/TB(cm) – 100 BB Kurang bila
BB < 90 % BBI
BB Normal bila
BB 90 – 110 % BBI
BB Lebih bila
BB 110 – 120 % BBI
Gemuk bila
BB > 120 %
Untuk menghitung kebutuhan kalori dapat juga digunakan cara-cara penghitungan lainnya. o
Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani teratur (3-4 kali/minggu selama ± 30 menit) merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan diabetes tipe 2. Latihan jasmani dapat menurunkan berat abdan dan memperbaiki sensitifitas terhadap insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dimaksud adalah jalan, bersepeda santai, jogging, berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasa, menggunakan tangga, berkebun tetap dilakukan. Batasi atau jangan terlalu lama kegiatan yang kurang gerak seperti menonton televisi. o
Intervensi Farmakologis 22
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani. Obat Hipoglikemik Oral (OHO) Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 3 golongan: o
Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid
o
Penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion
o
Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa
Pemicu sekresi insulin 1. Sulfonilurea Obat ini mempuyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang seperti klorpropamid 2. Glinid Merupakan obat generasi baru yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. o
Penambah Sensitivitas Terhadap Insulin 1. Metformin Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati, disamping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer, dan terutama dipakai pada pasien DM gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, syok, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.
23
2. Tiazolidindion Tiazolidindion
(contoh;
rosiglitazon
dan
pioglitazon)
berikatan
pada
peroxisome proliferator activated receptor gamma (PPAR γ), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin
dengan
meningkatkan
jumlah
pentranspor
glukosa,
sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung klas I-IV karena dapat memperberat edema /retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala. Saat ini tiazolidindion tidak digunakan sebagai obat tunggal. Penghambat Glukosidase
o
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak mengakibatkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulen. Tabel Mekanisme kerja, efek samping utama dan pengaruh terhadap penurunan A1C Cara kerja utama
Efek samping utama
Sulfonilurea
Meningkatkan sekresi insulin
Glinid
Meningkatkan sekresi insulin
Metformin
Menekan produksi glukosa
Penghambat glukosidase alfa Tiazolidindion Insulin
BB naik, hipoglikemia
sensitivitas
Diare,
produksi
hati,
stimulasi pemanfaatan glukosa
1.5 – 2.5 % 0.5 – 1.0 %
tinja lembek
terhadap
glukosa
dispepsia,
asisdosis laktat Flatulens,
insulin Menekan
1.5 – 2.5 % 1.5 – 2.5 %
Menghambat absorpsi glukosa Menambah
Penurunan A1C
Edema
1.3 %
Hipoglikemia,
Potensi normal
BB naik
Tabel Obat Hipoglikemik Oral Generik Sulfonilurea
Klorpropamid
Produk
Mg / tab
orisinal Diabenese
Dosis
Lama
Frek
harian
kerja
hari
100 – 250 100 - 500 24 -36
24
1
/
Pemberian
Glibenklamid
Glipizid
Gliklazid
Daonil Euglucon Minidiab Glucontrol-XL** Diamicron Diamicron-MR**
2.5 – 5
2,5 - 15
12 - 24
1-2
5 – 10
5 - 20
10 - 16
80
80 - 240
10 - 20
1-2
1-2 1
Glikuidon
Glurenorm
30
30 -120
-
-
Sebelum
Glimepirid
Amaryl
1,
0.5 - 6
24
1
makan
1.5 - 6
-
3
120
360
-
3
Tidak
4
4-8
24
1
bergantung
15.30
15 - 30
24
1
jadwal makan
2, 3, 4 Glinid
Repaglinid
NovoNorm
0.5, 1, 2
Nateglinid Tiazolidindion
Rosiglitazon* Pioglitazon
Penghambat Glukosidase α Biguanid
Starlix Actos
Bersama Acarbose
Glucobay
50 – 100
100 -300
3
suapan pertama
Metformin
Glucophage
500 – 850 250 - 3000 6 - 8
Bersama
Kombinasi Metformin +
1-3
Gluconvance*
Glibenklamid
* Belum beredar di Indonesia ** Kadar dalam darah konstan setelah beberapa hari
Cara Pemberian OHO
Sulfonilurea generasi I & II: 15 – 30 menit sebelum makan
Glimepiride: sebelum / sesaat sebelum makan
Repaglinid, Nateglinid: sesaat / sebelum makan
25
sesudah makan
/
Metformin: sebelum / pada saat / sesudah makan karbohidrat (sesuai toleransi)
Penghambat glukosidase α (Acarbose): bersama suapan pertama
Tiazolidindion: tiada bergantung pada jadwal makan
OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respons kadar glukosa darah, bisa sampai dosis hampir maksimal
INSULIN Insulin diperlukan pada keadaan:
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Ketoasidosis diabetik
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia dengan asisdosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
Stres berat (infeksi sistematik, operasi besar, IMA, stroke)
Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan pencernaan makanan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Cara penyuntikan Insulin Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan). Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena secara bolus atau drip. Insulin dapat diberikan tunggal (satu macam insulin kerja cepat, kerja menengah, kerrja panjang), tetapi dapat juga diberikan kombinasi insulin kerja cepat dan kerja menengah, sesuai dengan respons individu terhadap insulin, yang dinilai dari hasil permeriksaan kadar glukosa darah harian. Harus diperhatikan kesesuaian konsentrasi insulin (U4O, U100) dengan semprit yang dipakai. Dianjurkan dipakai konsentrasi yang tetap. Saat ini juga tersedia insulin campuran (premixed) kerja cepat dan kerja menengah.
26
TERAPI KOMBINASI Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Kalau dengan OHO tunggal sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, perlu kombinasi dua kelompok obat hipoglikemik oral yang berbeda mekanisme kerjanya. Untuk memulai terapi kombinasi tidak perlu menunggu sampai dosis maksimal. Dapat pula diberikan kombinasi ketiga kelompok OHO bila belum juga tercapai sasaran yang diinginkan, atau ada alasan klinis insulin tidak memungkinkan untuk diberikan. Kalau dengan OHO dosis hampir maksimal, baik sendiri-sendiri ataupun secara kombinasi, sasaran glukosa darah belum tercapai, dipikirkan adanya kegagalan pemakaian OHO. Pada keadaan demikian dapat dipakai kombinasi OHO dan insulin. Untuk kombinasi OHO dan insulin, insulin kerja sedang dapat diberikan pada pagi hari atau malam hari. Yang banyak digunakan adalah kombinasi OHO dan insulin malam hari, mengingat walaupun dapat diperoleh keadaan kendali glukosa darah yang sama, tetapi jumlah insulin yang diperlukan paling sedikit pada kombinasi OHO dan insulin kerja sedang malam hari. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 5 unit yang diberikan antara jam 22.00 – 24.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Peningkatan dosis 2 - 4 unit dilakukan tiap 3 - 4 hari. Bila dengan cara tersebut kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka obat hipoglikemik oral dihentikan dan diberikan insulin saja. Tabel Jenis dan lama kerja insulin Manusia Insulin
Awitan*
Efek Puncak*
Durasi Efektif*
Durasi Maksimum*
Regular NPH Lente
0.5 - 1.0 2-4 3-4
2–3 4 – 10 4 – 12
3-6 10 - 16 12 - 18
4–6 14 – 18 16 – 20
Insulin
Awitan*
Efek Puncak*
Durasi Efektif*
Durasi Maksimum*
Lispro** Aspart** Glargine**
0.25 0.25 4-5
1–2 1–2 tanpa puncak
3-4 3-4 24
24
Analog
* Dalam jam
** Belum beredar di Indonesia
27
Insulin yang beredar di Indonesia Macam Insulin Cepat Novo-Rapid* Humalog Pendek Actrapid Humulin-R Menengah Insulatard Human Monotard Human Humulin-N Campuran Mixtard 30/70 Humulin 30/70 Panjang Lantus*
Efek
Buatan
Puncak
(jam) 2-4
Lama Kerja 6–8
Novo (U-40 dan U-100) Eli Lilly (U-100) Novo (U-40 dan U-100) Eli Lilly (U-100) 4 - 12
18 – 24
1-8
14 – 15
Tanpa puncak
24
Novo (U-40 dan U-100) Novo (U-40 dan U-100) Eli Lilly (U-100) Novo (U-40 dan U-100) Eli Lilly (U-100) Aventis
* Belum beredar di Indonesia D. Penilaian hasil terapi Dalam praktek klinik sehari-hari, hasil pengobatan diabetes tipe 2 harus dipantau dengan terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah: 1.
Pemeriksaan Glukosa Darah Untuk melakukan penyesuaian dosis obat perlu dilakukan pemeriksaan glukosa darah puasa dan atau glukosa 2 jam postprandial
2.
Pemeriksaan A1C Tes Hemoglobin Glikasi (GHb), disebut juga glycohemoglobin, hemoglobin glikosilasi atau A1C, merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8 – 12 minggu sebelumnya, sehingga tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek
3.
Pemantauan Glukosa Darah Mandiri Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah kapiler. Saat ini banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen kering yang umumnya sederhana dan mudah dipakai. Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)
dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan insulin atau pemicu
sekresi insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada terapi. Waktu yang bermanfaat untuk pemantauan adalah pada saat sebelum makan 28
(jam)
dan waktu tidur (untuk menilai resiko hipoglikemia), 2 jam setelah makan (menilai ekskursi maksimal glukosa selama sehari), diantara siklus tidur (untuk menilai adanya hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa gejala), dan ketika mengalami gejala seperti “hypoglicemic spells” atau penyakit lain. 4.
Pemeriksaan Glukosa Urin Pengukuran glukosa urin memberikan penilaian yang tidak langsung dan kurang akurat , dan hanya digunakan pada pasien yang tidak dapat atau tidak mau memeriksa kadar glukosa darah. Ekskresi glukosa renal rata-rata -/+ 180 mg/dl, namun dapat bervariasi pada beberapa pasien dan bahkan pada pasien yang sama dalam jangka waktu lama. Glukosa urin normal tidak dapat membedakan hipoglikemia, euglikemia, atau hiperglikemia sedang.
5.
Penentuan Benda Keton Pemantauan benda keton baik dalam darah maupun dalam urin cukup penting terutama pada pasien diabetes tipe 2 terkendali buruk (kadar glukosa darah > 300 mg/dl) dan dengan penyulit akut serta bila ada gejala-gejala KAD (keto asidosis diabetik) seperti mual, muntah atau nyeri abdominal. Pemeriksaan benda keton juga diperlukan pada pasien diabetes tipe 2 yang sedang hamil. Tes benda keton urin mengukur kadar asetoasetat, sementara benda keton yang penting adalah asam beta hidroksibutirat. Saat ini
telah dimungkinkan
pemeriksaan kadar asam beta hidroksibutirat dalam darah secara langsung dengan alat pengukur glukosa darah dengan menggunakan strip kusus. Kadar benda keton darah < 0.6 mmol/L dianggap normal, diatas 1 mmol/L disebut ketosis dan melebihi 3 mmol/L indikasi adanya KAD. 6.
Kriteria Pengendalian DM Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik. Diabetes terkendali baik tidak berarti hanya kadar glukosa darahnya saja yang baik, tetapi harus secara menyeluruh kadar glukosa darah, status gizi, tekanan darah, kadar lipid dan A1C seperti pada tabel di bawah ini.
Tabel Kriteria Pengendalian DM Baik Glukosa darah puasa (mg/dl) 80 - 109 Glukosa darah 2 jam (mg/dl) 80 - 144 A1C (%) < 6.5
Sedang 110 - 125 145 – 179 6.5 - 8
29
Buruk ≥ 126 ≥ 180 >8
Kolesterol Total (mg/dl) Kolesterol LDL (mg/dl) Kolesterol HDL (mg/dl) Trigeliserida IMT (kg/m2) Tekanan Darah
< 200 < 100 > 45 < 150 18.5 - 22.9 < 130/80
200 – 239 100 – 129
≥ 240 ≥ 130
150 – 199 23 – 25 130-140 / 80-90
≥ 200 > 25 > 140/90
Keterangan: Angka diatas adalah hasil pemeriksaan plasma vena Perlu konversi nilai kadar glukosa darah dari darah kapiler darah utuh ke plasma vena Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun, sasaran kadar glukosa darah lebih tinggi dari biasa (puasa < 150 mg/dl, dan sesudah makan < 200 mg/dl). Demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dan lain-lain, mengacu pada batasan kriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus pada pasien usia lanjut dan juga untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek samping dan interaksi obat. ADA menganjurkan pemeriksaan kadar glukosa darah malam hari (bed time) jam 22.00. PENYULIT Penyulit akut : 1. ketoasidosis diabetik 2. hiperosmolar non ketotik 3. hipoglikemia Penyulit kronik : 1. makroangiopati : -
pembuluh darah jantung
-
pembuluh darah tepi
-
pembuluh darah otaks
2. mikoroangiopati : -
pembuluh darah kapiler retina mata
-
pembuluh darah kapiler ginjal
3. neuropati
30
PENCEGAHAN Pencegahan Primer Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang termasuk kelompok resiko tinggi, yakni mereka yang belum terkena tetapi berpotensi untuk mendapat DM. Edukasi sangat penting dalam upaya pencegahan primer.Pemerintah melalui semua jajaran terkait seperti Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan
perlu
memasukkan
upaya
pencegahan
primer
DM
dalam
programpenyuluhan dan pendidikan kesehatan. Sejak masa prasekolah, hendaknya telah ditanamkan pengertian mengenai pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis makanan yang sehat, menjaga badan agar tidak terlalu gemuk dan resiko merokok bagi kesehatan.
31
Pencegahan Sekunder Maksud pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit dengan tindakan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal penyakit. Deteksi dini dilakukan dengan pemeriksaan penyaring, namun kegiatan tersebut memerlukan biaya yang besar. Memberikan pengobatan sejak awal sudah harus diwaspadai dan sedapat mungkin dicegah kemungkinan terjadinya penyulit menahun. Sistem rujukan yang baik akan sangat mendukung pelayanan kesehatan primer yang merupakan ujung tombak pengelolaan DM. Melalui langkah-langkah tersebut, diharapkan dapat diperoleh hasil yang optimal. Pencegahan Tersier Kalau kemudian penyulit menahun DM ternyata terjadi juga, maka pengelola harus berusaha mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut dan merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut menetap. Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi antar disiplin terkait sangat diperlukan, terutama di rumah sakit rujukan, baik dengan para ahli sesama disiplin ilmu seperrti konsultan penyakit jantung dan ginjal, maupun para ahli dari disiplin lain seperti pada bagian mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi, podiatri dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
32
1. Kasper, Braunwald et. al,. Harrison’s Principles of Internal Medicine. USA. 16th edition, volume II;McGraw-Hill;2005 2. Lebovitz, HE. Therapy for Diabetes Mellitus and Related Disorders. USA. 14th edition:American Diabetes Association;2004 3. Soegondo, dkk. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta.Cetakan kelima:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2005 4. Soegondo, dkk. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Semarang. PERKENI;2002 5. Petunjuk Praktis Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2. Jakarta. PERKENI;2004 6. DIABETES MELITUS. 2006[Cited Jully 3th 2006]Didapat dari www.mayoclinic.com
33
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
Disusun oleh : Fiona Mauria Tambunan (0061050061) Pembimbing : Dr. YUNUS TANGGO, Sp.Pd
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM PERIODE 29 MEI – 5 AGUSTUS 2006 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA JAKARTA 2006
34
View more...
Comments