Demokrasi Prosedural Dan Demokrasi Substansial
March 27, 2017 | Author: Qorry 'Aina | Category: N/A
Short Description
Membahas perbandingan demokrasi prosedural dan substansial....
Description
DEMOKRASI PROSEDURAL DAN SUBSTANSIAL Oleh Qorry ‘Aina 1306459392 Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia
1.
Terdapat dua cara pandang utama untuk melihat demokrasi yakni melihat demokrasi
sebagai demokrasi prosedural dan demokrasi substansial. Melihat demokrasi dari sudut pandang demokrasi prosedural berarti melihat demokrasi sebagai bentuk pemerintahan, yang menekankan prosedur pelaksanaan demokrasi itu seperti bagaimana cara memilih pemerintah dengan menggunakan cara-cara demokratis seperti dengan mufakat atau voting. Sedangkan demokrasi substansial melihat demokrasi pada substansinya yakni penggunaan prinsipprinsip demokrasi seperti kebebasan individu dan pengakuan atas hak sipil sebagai pelaksanaan demokrasi. Singkatnya, demokrasi prosedural berfokus pada bagaimana suatu keputusan itu diambil sedangkan demokrasi substansial berfokus pada apa yang pemerintah lakukan.1 Demokrasi prosedural memiliki empat prinsip yang menggambarkan pelaksanaan demokrasi itu yakni partisipasi universal, kesetaraan politik, majoritarian rules, dan responsivitas wakil atas konstituennya2. Keempat prinsip ini dianggap bisa menjawab bagaimana seharusnya pemerintah membuat keputusan yang demokratis. Partisipasi universal artinya dalam demokrasi prosedural semua orang dewasa yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan politik. Suara yang dimiliki oleh setiap orang dalam pengambilan keputusan adalah sama misalnya 1 Janda, Kenneth etc. 2014. The Challenge of Democracy: American Government in Global Politics, Essentials Edition, Ninth Edition.Boston: Wadsworth Cengage Learning, h.27 2 Ibid, h.27-29
dalam hal voting setiap orang berhak atas satu suara, One man One votes, tidak peduli bagaimana hierarki dan struktur sosial pemilih. Inilah yang disebut konsep kesetaraan politik. Dalam demokrasi prosedural, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak yakni 50%+1. Apabila terdapat banyak pilihan yang menyebabkan tidak ada yang mencapai batas tersebut, maka yang dinyatakan sebagai pemenang dalam pengambilan keputusan adalah yang memiliki suara terbanyak. Semuanya harus tunduk dan patuh pada keputusan yang dihasilkan oleh suara terbanyak. Demokrasi prosedural memiliki dua pilihan cara dalam pelaksanaannya yakni langsung dan tidak langsung. Demokrasi langsung melibatkan semua orang yang telah memenuhi syarat untuk dapat memberikan keputusannya sendiri secara langsung. Namun, hal ini agaknya sulit diterapkan mengingat jumlah rakyat dalam suatu negara besar. Hal ini memunculkan lahirnya konsep perwakilan. Perwakilan adalah konsep bahwa seorang atau suatu kelompok mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar3. Adanya perwakilan ini merupakan pelaksanaan dari demokrasi tidak langsung dan merupakan praktek demokrasi prosedural yang banyak diterapkan di negara-negara yang berideologi demokrasi, termasuk Indonesia. Perwakilan ini juga yang membuat lahirnnya prinsip keempat demokrasi prosedural yakni responsiveness ada. Hal ini merujuk pada bagaimana wakil merespon aspirasi konstituennya setelah terpilih menjadi wakil. Demokrasi substansial disisi lain tidak berfokus pada prosedur demokrasi melainkan pada pelaksanaan nilai-nilai demokrasi dalam politik pemerintahan. Cara pandang substansial ini merupakan respon atas cara pandang prosedural yang tidak memperhatikan adanya kelompok minoritas. Prinsip dalam demokrasi prosedural yang harus mengikuti apapun 3 Budiardjo, Miriam.2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka utama, h.317
kehendak mayoritas membuat kepentingan kelompok minoritas tidak terlalu dipedulikan. Karenanya, demokrasi substansial melihat bahwa pelaksanaan demokrasi akan dapat terwujud apabila jaminan kebebasan sipil dan hak sipil terlaksana 4. Cara pandang demokrasi substansial menjadikan jaminan kebebasan sipil dan pengakuan atas hak sipil tersebut sebagai prinsip utama dalam pelaksanaan demokrasi secara substantif. Kebebasan sipil meliputi kebebasan beragama dan kebebasan berekspresi sedangkan hak sipil berarti pemerintah tidak dapat berlaku sewenang-wenang dan melakukan diskriminasi pada siapapun di negara itu. Contoh praktek pelaksanaan demokrasi substansial, para teorietisi pandangan ini tidak akan tidak setuju jika ada peraturan yang mewajibkan pembacaan kitab bibel di institusi pendidikan. Hal ini karena dilakukan karena pendekatan substansial melihat adanya kelompok minoritas yang tidak beragama kristen, misalnya dan hal ini akan mencederai prinsip kebebasan beragama5. Definisi kontemporer demokrasi ditandai oleh perpecahan antara prosedural dan substansi6.Demokrasi prosedural menitikberatkan pada bagaimana prosedur atau cara demokratis yang digunakan untuk menghasilkan suatu pemerintahan dan keputusankeputusan politik. Sedangkan demokrasi substansial lebih pada penerapan prinsip-prinsip yang melindungi kebebasan individu dan hak sipil dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Demokrasi prosedural memiliki kelemahan karena memiliki kemungkinan untuk dapat mencederai substansi demokrasi, karena ia menafikan adanya minoritas. Sementara itu,
4
5 Janda, Kenneth etc. 2014. The Challenge of Democracy: American Government in Global Politics, Essentials Edition, Ninth Edition.Boston: Wadsworth Cengage Learning, h.29 6 Richard C. Box, Gary S. Marshall, B. J. Reed and Christine M. Reed .New Public Management and Substantive Democracy. Public Administration Review, Vol. 61, No. 5 (Sep. - Oct., 2001), h, 610
demokrasi substansial sulit diukur indikator keberhasilan pelaksanaannya. Pelaksanaan demokrasi prosedural memang lebih jelas dan dapat diukur ketercapaiannya dibandingkan demokrasi substansial. Namun, menurut Janda Kenneth dan tim cara pandang demokrasi prosedural memang lebih applicable dan lebih mewakili definisi umum demokrasi sebagai bentuk pemerintahan oleh rakyat7. Disini akan diperbandingkan pelaksanaan demokrasi prosedural dan demokrasi substansial di dua negara, yakni Prancis dan Amerika. Aspek demokrasi prosedural yang akan dibahas adalah pemilihan umum (pemilu), karena pemilu merupakan prosedur penting yang menentukan berjalannya demokrasi di sebuah negara. Perbandingan Pelaksanaan Demokrasi Prosedural (PEMILU) di Perancis dan Amerika8 Perancis Politik Demokrasi liberal
Sistem Negara Sistem Pemilu 4th Republic: Proporsional berdasarkan 5th Republic:Single ember districtTwo ballot system Sistem pemilihan Sistem daftar terbuka umum Jenis Pemilihan Élections Presidentielles, Élection Legislatives, Élections Regionales, Élections Municipales. (Memilih presiden, legislatif, pemimpin region, dan walikota) Waktu 5 tahun sekali memilih presiden Pelaksanaan dan legislatif, 6 tahun sekali memilih pemimpin region dan walikota. Sistem Multipartai Kepartaian
Amerika Demokrasi Liberal Distrik
Sistem daftar terbuka Memilih Legislatif, Presiden, dan Kepala daerah.
2 tahun sekali untuk legislatif, 4 tahun sekali untuk presiden
Multipartai
7 Janda, Kenneth etc. 2014. The Challenge of Democracy: American Government in Global Politics, Essentials Edition, Ninth Edition.Boston: Wadsworth Cengage Learning h. 30 8 Hauss, Charless.2009.Comparative Politics: Domestic Responses to Global Challenge.Belmond: Cengage Learning, h.121
Tipe demokrasi
Demokrasi tidak langsung, ada Demokrasi tidak langsung, ada DPR. DPR. suara One man One vote One man One vote
Hitungan tiap individu Suara yang 50%+1 / Suara terbanyak Suara terbanyak 50%+1 dibutuhkan Yang Semua warga Perancis berusia 18 Semua warga Amerika Serikat berpartisipasi tahun ke atas yang berusia 18 tahun keatas dalam pemilu
Prinsip demokrasi substansial diantaranya adalah adanya jaminan kebebasan individu dan perlindungan hak sipil yang meliputi kebebasan beragama, kebebasan berekspresi, dan penghapusan diskriminasi9.
Mengacu pada hal tersebut, maka penulis menilai bahwa
pelaksanaan demokrasi substansial di Perancis tidak berjalan dengan baik. Masih dapat dijumpai kasus diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari kehidupan bermasyarakatnya. Hal ini disebabkan karena sistem sekuler Perancis. Masalah yang sama juga terjadi di Amerika Serikat. Demokrasi prosedural yang sudah sedemikian tertata di kedua
negara ini tidak
dibarengi dengan praktek demokrasi substansial yang menyeluruh. Diskriminasi masih kerap dijumpai terutama menyangkut masalah agama. Permasalahan adanya standar ganda terhadap agama islam dapat dilihat dalam peristiwa yang terjadi tidak lama lalu yakni antara peristiwa penembakan di Charlie Hebdo Perancis dan Chapel Hills Amerika. Dalam Peristiwa Charlie Hebdo, media menonjolkan aspek ‘islam’ dari pelaku penembakan. Sedangkan, pada peristiwa penembakan Chapel Hills, tidak diangkat masalah bahwa pelaku penembakan terhadap tiga warga ‘islam’ adalah seorang ‘Barat’ dan ateis. Media Barat juga meliput berita yang menegaskan bahwa penembakan terhadap tiga muslim tersebut tidak terkait dengan
9 Janda, Kenneth etc. 2014. The Challenge of Democracy: American Government in Global Politics, Essentials Edition, Ninth Edition.Boston: Wadsworth Cengage Learning, h.29
permasalahan agama10. Kedua negara tersebut sama-sama menunjukkan bahwa pelaksanaan demokrasi prosedural yang baik belum tentu membuat demokrasi substansial berjalan dengan baik pula. Terbukti dengan masih adanya diskriminasi yang terjadi di negara tersebut, padahal tidak adanya diskriminasi merupakan salah satu prinsip pelaksanaan demokrasi secara substantif. 2. Menurut Marc Howard Ross, pendekatan kultural relevan dengan pendekatan lain dalam ilmu politik, karena untuk mengetahui bagaimana kultur/budaya itu beroperasi, harus dilihat baik secara formal maupun informal verbal kondisi sosial politik dunia yang dibentuk oleh budaya itu11. Budaya yang harus dilihat dalam kerangka formal ini memiliki arti bahwa ada kaitan antara pendekatan kultural dengan pendekatan kelembagaan. Sedangkan, budaya yang juga harus dilihat secara informal verbal memiliki arti bahwa pendekatan kebudayaan memiliki kaitan dengan pendekatan behavioral yang unit analisisnya tidak terpaku pada lembaga legal formal saja melainkan pada perilaku individu. Budaya dilihat memiliki kemampuan
untuk
mengorganisasi
keseharian
manusia,
menghubungkan
identitas
kebudayaan suatu kelompok masyarakat dengan perilaku politiknya, dan menunjukkan adanya perbedaan perilaku dan tindakan antara kelompok satu sama lain yang memiliki kebudayaan yang berbeda12. Untuk membahasnya lebih lanjut, perlu diketahui dulu bagaimana aturan dalam melihat budaya sebagai kajian yang digunakan menganalisa fenomena politik. Hal ini dirangkum oleh Berman dalam tiga karakteristik utama budaya. Pertama, kebudayaan tidak 10 Kumpulan artikel berita dalam CNN megenai peristiwa Charlie Hebdo dan Chapel Hills http://edition.cnn.com/2015/02/11/us/chapel-hill-shooting/ dan http://edition.cnn.com/specials/world/shooting-at-charlie-hebdo 11 Ross Marc Howard dalam Lichbach, Marc Irving and Zuckerman , Alan (ed) . 2009. Comparative Politics Rationality Structure and Culture Second Edition. New York: Cambridge University Press, h. 134 12 Ibid
didefinisikan dalam lingkup yang terlampau luas sehingga menghilangkan kekhasan dan daya penjelasnya. Kedua, kebudayaan harus difahami bukan sebagai unit formal yang memiliki kartu keanggotaan, yang selalu konsisten dan terintegrasi seluruhnya. Ketiga, efek yang dihasilkan dari kebudayaan pada perilaku kolektif dan kehidupan politik terjadi secara tidak langsung. Dan untuk memahami peran kebudayaan ini dalam kehidupan politik, penting untuk dimengerti bagaimana budaya melakukan interaksi, terbentuk, dan dibentuk oleh kepentingan dan lembaga-lembaga politik13. Poin ketiga ini kembali memberikan benang merah antara pendekatan kebudayaan dengan pendekatan konstruktivisme yang mengkaji bagaimana suatu hal dibentuk dan terbentuk. Mengaitkan pendekatan budaya dengan pendekatan formal berarti melihat adanya hubungan budaya dengan entitas kelembagaan. Diyakini bahwa untuk memahami fenomena politik dalam sebuah lembaga, diperlukan pemahaman mengenai budaya yang digunakan oleh individu dan masyarakat dalam lembaga tersebut. Sementara itu, hubungan pendekatan budaya dengan pendekatan behavioral memiliki relevansi yang erat. Hal ini tampak dalam pemaknaan budaya oleh Peter Berger, Chabal, Daloz, dan Schweder yang erat kaitannya dengan perilaku manusia. Budaya mereka maknai sebagai seperangkat nilai yang membentuk bagaimana individu atau kelompok bertindak/bertingkah laku seperti yang mereka lakukan dalam aspek kognitif-afektif dan menunjukkan setiap individu atau kelompok memiliki cara tertentu—yang berbeda satu sama lain—dalam bertindak atau bertingkah laku14. Disini akan dibahas contoh relevansi penggunaan pendekatan budaya dengan pendekatan formal dalam menganalisa fenomena politik dalam studi politik perbandingan. Disini akan dilihat perbedaan pelaksanaan demokrasi di dua negara yang disebabkan oleh
13 Ibid 14 Ibid, h. 137
perbedaan kebudayaan politik yang tercermin dari perilaku masyarakatnya dalam pemilihan umum. Negara yang dibandingkan adalah Indonesia dan Amerika. Ada fenomena politik yang terjadi di Indonesia berkenaan dalam pelaksanaan pemilu, yakni adanya praktek money politics. Pemilu, yang merupakan kegiatan formal yang diselenggarakan oleh lembaga pemilihan umum (KPU) sebagai kesempatan bagi rakyat untuk memilih sendiri eksekutif atau legislatif yang ia kehendaki, memiliki faktor x berupa adanya perilaku-perilaku individu atau masyarakat yang mempengaruhi proses maupun hasil pemilu tersebut. Dalam konteks pemilu, money politics merujuk pada suatu kegiatan yang dilakukan oleh pihak tertentu dengan memberikan uang atau iming-iming kepada konstituen agar memilih dirinya/orang yang dikehendaki dalam pemilihan umum. Fenomena Money politics ini terjadi di Indonesia hampir ada di setiap pemilu 15. Hasil dari pemilu yang dipengaruhi money politics ini tentu akan berbeda dengan pemilu yang tidak menggunakan money politics. Jika reaksi masyarakat pada kegiatan Money politics itu menerima, maka jabatan eksekutif atau legislatif akan diduduki oleh mereka yang melakukan tindakan tidak jujur itu. Ironisnya, budaya Money politics ini terjadi dan seakan-akan sudah mengakar di masyarakat Indonesia16. Di Amerika, ada peraturan legal yang membatasi budaya money politics dalam pemilihan umum yakni dengan pembatasan dana kampanye, meski bukan berarti praktek money politics di Amerika tidak ada17. Namun secara umum, pelaksanaan demokrasi substansial dalam konteks pemilu di Amerika berjalan dengan baik karena dari segi 15 Topan Yuniarto, dalam http://nasional.kompas.com/read/2014/04/28/1458036/Noda.Politik.Uang.di.Pemil u, Senin, 28 April 2014 16 Ahmad Syafii Maarif, dalam http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/14/11/10/netyus-budayapolitik-indonesia, Selasa 11 November 2014 17Baure, dalam http://www.rumahpemilu.org/in/read/502/Pembatasan-Dana-Kampanyedi-Amerika-Hindari-Politik-Uang Kamis, 4 April 2012
masyarakatnya sendiri mendukung terselenggaranya pemilu yang transparan dan jujur. Hal ini mungkin dilatarbelakangi faktor pendidikan dan ekonomi masyarakatnya yang relatif lebih maju. Contoh tersebut memberikan pemahaman bahwa apa yang terjadi dan yang dihasilkan lembaga formal tidak dapat dilepaskan dari budaya yang dimiliki masyarakat. Karenanya, kita bisa meninjau fenomena politik dalam perbandingan politik dengan pendekatan formal sekaligus kultural dalam suatu benang merah. Dengan demikian, dapat difahami bahwa pendekatan budaya relevan digunakan dengan pendekatan lainnya untuk menganalisa fenomena politik yang terjadi di masyarakat.
View more...
Comments