Demam Tifoid Ensefalopati

October 9, 2019 | Author: Anonymous | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Demam Tifoid Ensefalopati...

Description

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOTERAN UNIVERSITAS PATTIMURA R E F E R A T SEPTEMBER 2 0 1 3

ENSEFALOPATI TIFOID

Disusun oleh: Muhammad Ali Samuda, S.Ked 2008.83.050

Pembimbing: Dr. Robby Kalew, Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITRAAN KLINIK PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PATTIMURA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. M. HAULUSSY AMBON 2013

Demam tifoid ensefalopati, merupakan salah satu komplikasi ekstraintestinal dari demam tifoid. Keadaan ini disebut juga sebagai tifoid toksik. Diduga, faktor-faktor sosial ekonomi yang buruk, tingkat pendidikan yang rendah, ras, iklim, nutrisi, kebudayaan yang masih terbelakang ikut mempermudah terjadinya hal tersebut dan akibatnya meningkatkan angka kematian.1 A. Demam tifoid 1.

Definisi

Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh demam berkepanjangan dengan bakteremia dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan Peyer’s patch.2 2.

Epidemiologi

Penyakit ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting di berbagai negara yang sedang berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Di dunia diperkirakan demam tifoid menyerang 21,6 juta manusia dan menyebabkan 216 ribu kematian pada tahun 2000. Insidens demam tifoid termasuk tinggi (>100 kasus per 100.000 populasi per tahun) di Asia Selatan, Asia Tenggara dan Afrika Selatan.2,3 Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Sebagian besar demam tifoid terjadi pada individu berusia 3 sampai 19 tahun.3 Di Indonesia insidens demam tifoid pada usia 3-6 tahun adalah 1307 per 100.000 populasi per tahun, sedangkan pada usia 7-19 tahun adalah 1172. Di Indonesia dijumpai 900 ribu pasien demam tifoid per tahun dengan angka kematian lebih dari 20 ribu.3 3.

Etiologi

S. typhi merupakan basil gram negatif yang tergolong dalam famili Enterobacteriaceae. Bakteri ini tidak membentuk spora, bersifat fakultatif anaerob, dan mempunyai flagela. S. typhi mempunyai antigen O (somatik), antigen H (flagelar antigen) dan antigen K (envelope

antigen). Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dinding sel dan dinamakan endotoksin.2 Bakteri ini terutama berada dalam air dan makanan yang tercemar, karena sumber air minum di beberapa daerah di Indonesia kurang memenuhi syarat. Juga perlu diingat makanan dari penjual makanan di pinggir jalan juga dapat tercemar bakteri S. typhi.3 S. typhi dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada di dalam air, es, debu dan kotoran kering maupun pada pakaian. Akan tetapi bakteri ini akan mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (suhu 63°C).2 S. typhi dapat hidup dalam tubuh manusia, dan manusia yang terinfeksi bakteri tersebut dapat mengeksresikannya melalui sekret saluran napas, urin, dan tinja dalam waktu yang sangat bervariasi.2 4.

Penularan

Penularan sebagian besar melalui makanan/minuman yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita (jalur oro-fekal). Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil dalam keadaan bakteremia kepada bayinya. 2 5.

Patogenesis

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti organisme yaitu: (1) penempelan dan invasi sel-sel M (microfold cell) Peyer’s patch, (2) bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, nodus limfatikus mesenterikus dan organ-organ ekstraintestinal sistem retikuloendotelial (RES), (3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, dan (4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP dalam kripta usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal.2 Dosis infeksius bakteri S. typhi adalah 103 – 106 colony forming unit (CFU). Kondisi yang menurunkan keasaman lambung (usia < 1 tahun, ingesti antasida, atau penyakit aklorhidria) atau yang menurunkan integritas usus (penyakit usus inflamasi, pembedahan gastrointestinal sebelumnya atau perubahan flora usus karena pemberian antibiotik) meningkatkan suseptibilitas terhadap infeksi Salmonella.4 Bakteri ini masuk melalui mulut, kemudian sebagian akan mati di lambung. Bakteri yang hidup akan mencapai lumen usus halus dan melekat pada sel-sel mukosa. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka bakteri akan menginvasi dan menembus sel-sel M (sel epitel khusus yang melapisi Peyer’s patch) dan selanjutnya di

lamina propria. Lamina propria usus halus mengandung sel-sel limfosit, makrofag, sel plasma dan eosinofil. Di lamina propria, bakteri berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.1,2

Gambar 1. Sistem imun mukosa usus halus5 Bakteri dapat hidup dan berkembang biak dalam makrofag, selanjutnya bakteri dibawa ke Peyer’s patch ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening (KGB) mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus bakteri yang ada dalam makrofag masuk ke sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial (RES) terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini bakteri meninggalkan fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel, dan selanjutnya masuk ke sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda atau gejala penyakit infeksi sistemik.2 Walaupun peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, namun diduga endotoksin S. typhi dapat menempel pada reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, dan gangguan organ lainnya.1,2 6.

Manifestasi klinis

Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari, rata-rata 10-14 hari. Gejala klinis bervariasi dari ringan sampai berat. Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Banyak orang tua yang melaporkan bahwa demam lebih tinggi

saat sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi, dapat disertai gejala sistem saraf pusat (SSP) seperti kesadaran berkabut / delirium / obtundasi, atau penurunan kesadaran mulai apatis sampai koma. Gejala sistemik lain yaitu nyeri kepala, anoreksia, nausea, nyeri perut, mialgia. Gejala gastrointestinal sangat bervariasi, yaitu diare, obstipasi, lidah kotor.2 7.

Komplikasi

Komplikasi yang terjadi yaitu komplikasi intestinal (perdarahan intestinal dan perforasi usus) dan komplikasi ekstraintestinal (komplikasi hematologi, hepatitis tifosa, pankreatitis tifosa, miokarditis dan manifestasi neuropsikiatrik / tifoid toksik).1 8.

Diagnosis

Penegakan diagnosis demam tifoid saat ini dilakukan secara klinis (adanya gejala berupa demam, gangguan gastrointestinal dan mungkin disertai perubahan / gangguan kesadaran) dan melalui pemeriksaan laboratorium. Diagnosis demam tifoid secara klinis seringkali tidak tepat karena tidak ditemukannya gejala klinis spesifik atau didapatkan gejala yang sama pada beberapa penyakit lain pada anak, terutama pada minggu pertama sakit. Hal ini menunjukkan perlunya pemeriksaan penunjang laboratorium untuk konfirmasi penegakan diagnosis demam tifoid.6 Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah tepi; (2) pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara molekuler.6 Pada pemeriksaan darah tepi, dapat dijumpai anemia normokromik normositik yang terjadi sebagai akibat perdarahan usus atau supresi sumsum tulang. Jumlah leukosit rendah tetapi jarang di bawah 3000/μl 3. Trombositopenia sering dijumpai, kadang berlangsung sampai beberapa minggu.2 Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.6 Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi S. typhi dari darah, urine, feses, sumsum tulang. Pada dua minggu pertama sakit, kemungkinan mengisolasi S. typhi dari dalam darah pasien lebih besar daripada minggu berikutnya. Biakan yang dilakukan pada urin dan feses

kemungkinan keberhasilannya lebih kecil. Biakan spesimen dari aspirasi sumsum tulang mempunyai sensitivitas tertinggi, namun karena prosedur yang sangat invasif maka tidak dipakai dalam praktik sehari-hari.2 Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.6 Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana media gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.6 Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan.6 Uji serologi Widal merupakan suatu pemeriksaan yang prinsipnya adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.2,6 Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat

setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan.6 Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid. Akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat.6 Namun banyak pusat mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan.2 Selain uji Widal, pemeriksaan serologis lainnya yang dapat dilakukan yaitu (1) tes TUBEX®; (2) metode enzyme immunoassay (EIA); (3) metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA); dan (4) pemeriksaan dipstik.6 Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.6 B. Tifoid toksik / demam tifoid ensefalopati Ensefalopati merujuk pada seiap penyakit degeneratif pada otak. Terkadang, gejala demam tifoid diikuti oleh suatu sindrom klinis berupa gangguan atau penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium, somnolen, stupor atau koma) dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal. Sindrom klinis seperti ini oleh beberapa peneliti disebut tifoid toksik, ada juga yang menyebutnya sebagai demam tifoid berat, demam tifoid ensefalopati atau demam tifoid dengan toksemia.1 Insidensi ensefalopati tifoid yang dilaporkan bervariasi antara 10-30%. Dalam ketiadaan terapi yang tepat, case fatality ensefalopati tifoid tinggi, dimana dilaporkan sebanyak 56%.7 Ensefalopati tifoid adalah gejala yang kompleks, menunjukkan gejala ensefalopati yang terjadi selama periode serangan demam tifoid atau setelah penyakit demam tifoid. Istilah ensefalopati digunakan karena adanya ketiadaan lengkap dari perubahan inflamatorik di otak

atau meninges, walaupun ada patologi sistem saraf yang mengindikasikan, misalnya peningkatan tekanan intrakranial, dll. Telah diobservasi bahwa ensefalopati tifoid jarang terjadi pada orang-orang yang sudah bertumbuh dan lebih sering terjadi pada kelompok usia lebih muda terutama usia antara 6-14 tahun.7 Patogenesis yang jelas mengenai komplikasi ini belum diketahui. Gangguan metabolik, toksemia, hiperpireksia dan perubahan otak non spesifik seperti edema dan perdarahan telah menjadi hipotesis sebagai mekanisme yang kemungkinan terjadi. Proses patologis di otak yang menyebabkan ensefalopati tifoid mungkin berhubungan dengan ensefalomyelitis diseminata akut.8 Pengobatan utamanya adalah antibiotik, dimana kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama. Dosis yang diberikan 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 10 – 14 hari atau sampai 5 – 7 hari setelah demam turun. Selain itu, dapat diberikan ampisilin (namun memberikan respons klinis yang kurang bila dibandingkan dengan kloramfenikol). Dosis yang dianjurkan adalah 200mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian intravena. Amoksisilin juga dapat diberikan dengan dosis 100mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian per oral. Namun, di beberapa negara sudah dilaporkan kasus demam tifoid yang resisten terhadap kloramfenikol. Strain yang resisten umumnya rentan terhadap sefalosporin generasi ketiga. Pemberian sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson 100mg/kgBB/hari dibagi dalam 1 atau 2 dosis (maksimal 4 gr/hari) selama 5-7 hari atau sefotaksim 150200mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Akhir-akhir ini sefiksim oral 10-15mg/kgBB/hari selama 10 hari dapat diberikan sebagai alternatif.2 Untuk kasus tifoid toksik, pengobatan antibiotik ini ditambahkan dengan pemberian deksametason intravena (3mg/kgBB diberikan dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan dengan 1mg/kgBB tiap 6 – 48 jam). 2 Mekanisme aksi deksametason dalam pengobatan ensefalopati tifoid belum diketahui. Endotoksin yang dikeluarkan oleh S. typhi menstimulasi makrofag untuk memproduksi monokin, asam arakidonat dan metabolitnya, dan spesies oksigen bebas yang kemungkinan bertanggung jawan pada terjadinya efek toksik, secara khusus pada pasien dengan ensefalopati tifoid. Deksametason mungkin menurunkan efek fisiologis yang ditimbulkan dari produk makrofag dan bertindak sebagai antioksidan sehingga menurunkan fatalitas. Edema serebelar dan kongesti vena otak sering ditemukan pada ensefalopati tifoid, dan deksametason diperkirakan berperan dalam menurunkan kondisi ini.8 Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Dengan munculnya komplikasi seperti tifoid

toksik, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Namun, terapi antibiotik dengan deksametason IV dapat menurunkan angka mortalitas dari 35-55% menjadi 10%.2 Daftar pustaka 1.

Widodo J. Demam tifoid. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simandibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi kelima jilid III. Jakarta: Interna Publishing; 2009. h.2797-8.

2.

Soedarmo SP, Gama H, Hadinegoro SR, Satari HI, editors. Buku ajar infeksi dan pediatri tropis edisi kedua. Jakarta: IDAI; 2012.

3.

Adisasmito AW. Penggunaan antibiotik pada terapi demam tifoid anak di RSAB Harapan Kita. Sari Pediatri, Vol. 8, No. 3, Desember 2006: 174 - 180.

4.

Pegues DA, Miller SI. Salmonellosis. In: Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et al. Harrison's infectious disease. USA: McGraw-Hill; 2010. p.522

5.

Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi dasar edisi ke-8. Jakarta: BP FKUI; 2009.

6.

Prasetyo RV, Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada anak. [Online]. 2006 Feb 24 [diakses 2013 Sept 13];[11 halaman]. Diunduh dari: URL: http://old.pediatrik.com/buletin/06224114418-f53zji.doc

7.

Prasad S. Enteric encephalopathy. Indian J. Pediat., 29:7, 1962.

8.

Chisti MJ, Bardhan PK, Huq S, Khan WA, Khan AM, Salam MA, et al. High-dose IV dexamethasone in the management of diarrheal patients with enteric fever and encephalopathy. Southeast Asian J Trop Med Public Health, vol.40 no.5, September 2009 : 1065 – 1073.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF