Dampak Iklan Politik Melalui Media Massa Terhadap Pengambilan Keputusan Wajib Pilih Dalam Pemilihan Umum

April 5, 2018 | Author: Madu Biru | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

sad...

Description

84

Jurnal Stimuli Ilmu Komunikasi, ISSN. 2088-2742, Edisi II, Juli-Desember 2011

Dampak Iklan Politik Melalui Media Massa terhadap Pengambilan Keputusan Wajib Pilih dalam Pemilihan Umum Sirajuddin Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Haluoleo Kendari Email: [email protected] Abstrak This paper reviews the research on effects of political advertising on voting. Discussing some important issues as well as difficulties in measuring mass communication effects, it argues that to produce a better understanding about the effects of the political advertising, the research need alternative theoretical perspectives and research paradigms. By focusing only on the efforts to generalize the effects, the research will have no chances to provide important explanations concerning the process that create the effects.

Kata kunci: Dampak iklan politik, media massa, pengambilan keputusan wajib pilih, pemilihan umum.

Pendahuluan

Pengambilan keputusan wajib pilih atau lebih populer dikenal dengan perilaku memilih atau voting behavior dalam pemilihan umum merupakan salah satu yang harus menjadi fokus perhatian bagi para aktor politik. Pengambilan keputusan wajib pilih tersebut sangat menentukan bagi partai politik mana dan siapa calon yang akan terpilih menjadi wakil-wakil rakyat dan pemimpin politik dalam suatu pesta demokrasi. Demikian pentingnya hal itu bagi keberhasilan pencapaian tujuan politik mereka, maka banyak Parpol dan calon pemimpin politik melakukan berbagai upaya untuk dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan wajib pilih masyarakat konstituen. Berbagai upaya yang dilakukan partai politik maupun calon pemimpin politik untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan wajib pilih bagi masyarakat konstituen antara lain dengan melakukan kampanye politik. Melalui proses kampanye politik ini, partai politik dan para kandidat pemimpin politik dapat mengartikulasikan gagasan dan visi misi yang dikemas melalui pesan-pesan politik untuk tujuan membentuk dan mempengaruhi opini, sikap dan sampai pada pengambilan keputusan wajib pilih. Kampanye melalui iklan di media massa mampu menimbulkan dampak tertentu pada proses pengambilan keputusan wajib pilih. Dampak komunikasi politik tersebut bisa berupa perubahan-perubahan opini, persepsi, sikap bahkan sampai pada perubahan dalam pengambilan keputusan wajib pilih terhadap suatu kandidat atau partai politik tertentu, karena isu media tertentu saja atau secara umum, dan bersifat alterasi atau stabilisasi. Apa dan bagaimana pun bentuk dan sifatnya, komunikasi politik tersebut dapat menimbulkan efek tertentu pada khalayak luas.

85

Terpaan Iklan politik melalui media massa adalah salah satu alternatif yang sering dipilih partai politik maupun para kandidat pemimpin politik dalam pelaksanaan kampanye pemilihan umum. Meskipun harus mengeluarkan dana yang cukup besar, partai politik sering menggunakan iklan melalui media massa sebagai salah satu alat untuk memudahkan upaya pencapaian tujuantujuan politik mereka. Sejak awal perkembangannya sampai saat ini dampak kampanye melalui media massa mendapat perhatian para ahli dan peneliti dari berbagai bidang studi. Dalam studi komunikasi misalnya, para ahli dan peneliti telah memberikan perhatian mereka terhadap dampak media massa terhadap proses pengambilan keputusan wajib pilih sejak tahun 1950-an, diawali dengan studi Paul Lazarsfeld di Erie County, Ohio (1954) sebelum adanya TV yang menunjukkan adanya keterkaitan antara proses pengambilan keputusan wajib pilih dengan penggunaan media. Studi yang merupakan studi pertama tentang dampak media massa terhadap proses pengambilan keputusan wajib pilih itu menghasilkan kesimpulan dampak yang sifatnya terbatas, yakni karena adanya pengaruh faktor terpaan selektif atau selective exposure, yakni bahwa masyarakat hanya memperhatikan gagasan-gagasan dalam media massa yang sebelumnya sudah menjadi keyakinan mereka. Dengan kata lain, dampak media massa terhadap proses pengambilan keputusan wajib pilih ternyata hanya memperkuat (reinforce) keyakinan yang sebelumnya memang sudah dimiliki masyarakat. Para ahli dan peneliti pada masa selanjutnya mengembangkan penelitian tersebut sehingga menghasilkan teori-teori dampak/efek media massa dalam pemilihan umum dan dukungan terhadap partai politik yang sangat terkenal sampai sekarang, seperti Agendasetting (McCombs & Shaw, 1972), dan Spiral of Silence (Noelle-Neumann, 1973). Namun hasilhasil penelitian tersebut sampai saat ini belum mampu sepenuhnya menjawab pertanyaan dan menghasilkan kesepakatan diantara para ahli dan peneliti bidang komunikasi massa mengenai ukuran, bentuk, dan sifat dampak media terhadap khalayaknya. Sebagian penelitian hasilnya menunjukkan bahwa media massa menimbulkan dampak yang sangat besar, tetapi sebagian penelitian lain hasilnya menunjukkan bukti-bukti dampak media sangat kecil terhadap khalayak. Sejumlah penelitian berhasil menunjukkan bukti bahwa media mampu menimbulkan perubahan-perubahan sikap dan perilaku, tetapi sejumlah penelitian lain hanya mampu menunjukkan perubahan-perubahan opini dan persepsi pada khalayak. Dalam penelitian-penelitian tertentu terbukti bahwa media massa menimbulkan dampak positif, tetapi dalam penelitian-penelitian lain justru diperoleh bukti-bukti sebaliknya. Variasi dan inkonsistensi temuan-temuan penelitian tersebut terus terjadi sejak awal perkembangan penelitian komunikasi massa sampai sekarang sehingga mendorong para ahli dan peneliti untuk terus melakukan berbagai studi dalam upaya menjawab pertanyaan penting tersebut. Tulisan ini mengajak pembaca untuk meninjau beberapa aspek penting yang berkaitan dengan penelitian tentang dampak iklan politik melalui media massa terhadap pengambilan keputusan wajib pilih dalam pemilihan umum. Iklan Politik Melalui Media Massa Pemiliahan umum yang biasa disebut sebagai pesta demokrasi sepanjang sejarah di Indonesia telah dilaksanakan sebanyak sepuluh kali. Pemilihan umum yang kesepuluh yakni tahun 2009 yang lalu, pada pemilihan umum tersebut, rakyat Indonesia telah memilih wakilwakilnya di lembaga legislatif DPR dan DPRD dan memilih Presiden dan Wakil Presiden. Tetapi khusus pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dari sepuluh kali dilaksanakan pemilihan umum,

86

baru dua kali dilaksanakan pemilihan umum secara langsung oleh rakyat, yakni pemilu 2004 dan 2009. Sehingga pada dua pesta demokrasi tersebut telah merubah strategi komunikasi partai politik maupun para kandidat pemimpin politik dengan lebih banyak menggunakan media massa sebagai saluran kampanye politik, antara lain melalui desain iklan politik. Iklan politik merupakan salah satu alat komunikasi yang cukup sering dimanfaatkan oleh para kandidat. Sebagaimana iklan-iklan yang menawarkan produk barang dan jasa, iklan politik juga menawarkan produk visi misi, rencana program, harapan dan berbagai pesan politik kepada khalayak media massa. Kampanye merupakan salah satu upaya komunikasi politik yang biasa dilakukan oleh peserta Pemilu. Kampanye biasanya berkaitan dengan pembentukan perilaku yang sejalan dengan norma dan nilai-nilai yang berlaku. Selain itu, kampanye juga memberi perhatian pada upaya mengarahkan, memperkuat, dan mengaktifkan kecenderungan perilaku yang ada ke arah tujuan yang telah diterima secara sosial. Selama masa kampanye Pemilu 2009 media massa cetak dan elektronik sering dimanfaatkan parpol, kandidat (calon legislatif) serta calon presiden dan calon wakil presiden sebagai alat penyampaian pesan-pesan politik. Salah satu media penyampaian pesan-pesan politik itu adalah iklan yang sering disebut iklan politik. Pada putaran pertama Pemilu iklan-iklan tersebut dipasang oleh sejumlah Parpol dan caleg, dan pada putaran ke dua dipasang oleh pasangan calon presiden dan wakil presiden. Iklan-iklan politik tersebut umumnya berisi pesanpesan persuasif kepada masyarakat yang disusun sedemikian rupa untuk menarik perhatian dan simpati khalayak. Pesan-pesan dalam iklan-iklan tersebut dimaksudkan agar pada saatnya nanti masyarakat mau memberikan suara mereka dengan memilih calon-calon dari Parpol tersebut sebagai wakil-wakil mereka di DPR-RI dan DPRD. Fakta juga menunjukkan, penyampaian pesan-pesan dalam iklan-iklan politik tersebut kurang memperhatikan fungsinya dalam setiap tahapan kampanye. Parpol, caleg, serta calon presiden dan calon wakil presiden yang mampu membiayai pembuatan dan pemasangan iklan politik dalam media massa bagian besar memasang iklan yang sama yang disajikan dalam media yang sama sejak awal sampai akhir masa kampanye. Padahal, menurut Valentino dan kawankawan (2002), iklan politik memiliki beberapa fungsi, tergantung pada tahap-tahap kampanye dan karakteristik calon yang bersangkutan. Pada tahap awal kampanye iklan tersebut dapat difokuskan pada kualitas pribadi si-calon dalam upaya memperkenalkan nama calon dan menumbuhkan kesadaran mengenai posisi-posisi isu penting. Iklan yang bertentangan dengan posisi-posisi tersebut, kualifikasi, dan perbedaan-perbedaan relevan lainnya diantara para calon biasanya disajikan pada tahap kampanye selanjutnya. Sedangkan pada tahap akhir kampanye materi iklan bisanya difokuskan pada berbagai isu lain yang berkaitan dengan isu penting tersebut dalam upaya mendorong para pemilih untuk memilih calon tersebut dan menolak caloncalon lainnya. Aktivasi dan penguatan kembali basis dukungan bagi si-calon selalu menjadi hal yang penting diperhatikan dalam kampanye. Keberhasilan pelaksanaan tanggungjawab pekerja kampanye pada tingkat grassroots, dan mobilisasi dukungan yang belum terlihat sangat tergantung pada efektif tidaknya strategi iklan politik. Dampak Iklan Politik melalui Media Massa Dampak iklan politik melalui media massa yang dapat terjadi pada masyarakat memiliki banyak sekali kemungkinan. Sebagian dari efek tersebut dapat sengaja diciptakan dan sebagian lainnya tidak. Sebagian dari efek tersebut dapat bersifat sementara, tetapi sebagian lainnya bersifat jangka panjang. Oleh karena itu, penelitian mengukur dampak iklan politik dalam media

87

massa terhadap pengambilan keputusan wajib pilih dalam menentukan pilihannya pada Pemilu 2009 perlu dilakukan secara cermat dan hati-hati. Dalam menganalisis dampak tersebut para peneliti biasanya menggunakan teknik pengujian hipotesa secara statistik inferensial untuk mengukur perubahan-perubahan yang terjadi dengan membandingkan kondisi subyek sebelum dan sesudah penerimaan pesan-pesan (pre-and-post test), membandingkan kondisi subyek pada titik-titik waktu yang berbeda, membandingkan kondisi kelompok yang menerima dengan kelompok yang tidak menerima pesan-pesan (control groups), atau membandingkan efek dengan memasukkan varibel-variabel pengganggu (control variables), atau kombinasi diantara teknikteknik tersebut. Persyaratan utama bagi terjadinya dampak iklan politik dalam media massa terhadap pengambilan keputusan wajib pilih adalah terpaan (exposure) informasi dari iklan tersebut. Dalam hal ini penerimaan informasi oleh masyarakat dari iklan tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Hasil-hasil penelitian terdahulu umumnya menunjukkan bahwa dalam kampanye terdapat beberapa kondisi yang dapat memperlambat arus pesan-pesan kepada seluruh atau sebagian dari publik, diantaranya adalah perhatian, persepsi, pengaruh kelompok, dan motivasi1. Selain faktor terpaan informasi yang menjadi persyaratan utama terjadinya dampak, salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan wajib pilih sebagai bentuk dampak iklan politik dalam Pemilu 2009 adalah sikap masyarakat. Sebagaimana telah dijelaskan, hasil-hasil penelitian yang dilaksanakan sebelum kampanye Pemilu 2009 umumnya menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat mengaku kurang tertarik dengan pemilihan wakil rakyat di DPR-RI dan DPRD. Masyarakat yang menyatakan tertarik dengan kegiatan politik tersebut proporsinya hanya sekitar 50%. Fakta yang menunjukkan kecenderungan sikap politik masyarakat yang demikian merupakan hal penting yang perlu diperhatikan para peneliti dalam mengukur dampak iklan politik terhadap pengambilan keputusan wajib pilih dalam Pemilu. Di negara-negara lain kecenderungan sikap politik masyarakat merupakan salah satu aspek yang sering mendapatkan perhatian serius para peneliti dalam upaya mengukur dampak iklan-iklan politik. Salah satu dari penelitian-penelitian yang memperhatikan hal itu adalah survei tentang efektivitas iklan politik negatif yang dilaksanakan Won Ho Chang, Jae-Jin Park dan Sung Wook Shim (1996). Dengan melibatkan 297 orang responden yang dipilih secara acak diantara penduduk Colombia Missouri, AS penelitian itu menghasilkan kesimpulan bahwa iklan politik negatif dianggap tidak menunjukkan kebenaran, dan hal yang benar dianggap berkaitan dengan sikap mendukung sponsor dan berhubungan secara negatif dengan sikap terhadap target. Meskipun demikian, terdapat sebagian kecil responden yang menganggap iklan tersebut sebagai suatu hal yang benar. Secara menyeluruh, iklan politik negatif menghasilkan evaluasi negatif baik terhadap sponsor maupun target. Efek tersebut konsisten dengan temuan penelitianpenelitian sebelumnya. Efek semacam itu bisa jadi berkaitan dengan sikap reponden secara keseluruhan terhadap iklan politik negatif, sebagaimana ditunjukkan oleh fakta bahwa lebih dari separoh responden menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap iklan semacam itu2. Di Indonesia, meskipun tidak dikaitkan dengan iklan politik, para peneliti juga memberikan perhatian khusus pada kecenderungan sikap politik masyarakat sebelum pelaksanaan Pemilu. Lama sebelum Pemilu Legislatif 2009 dilaksanakan, upaya penjajagan 1

2

Denis McQuail (1994), Mass Communication Theory – An Introduction. Third Edition. London: Sage Publications, hal. 347-348. Won Ho Chang, Jae-Jim Park & Sung Wook Shim, “Effectiveness of Negative Political Advertising”, WJMCR 2:1 December 1998, http://www.scripps.ohiou.edu/wjmrc/vol02-1a-B.htm

88

terhadap sikap politik masyarakat terhadap Parpol telah dilakukan LISAN. dengan menggunakan kerangka sampling yang disusun menurut daftar Kartu Keluarga (KK) di 13 provinsi dan jumlah responden sebanyak 3.000 orang yang terbagi sama proporsinya dalam kelompok laki-laki dan perempuan yang dipilih dengan teknik multi-stage random sampling, dan margin of error lebihkurang sebesar 2% pada tingkat kepercayaan 95% penelitian dengan teknik wawancara tatapmuka itu antara lain menghasilkan temuan yang secara tidak langsung menjelaskan makna penting Pemilu dan Parpol peserta Pemilu bagi sebagian besar masyarakat. Temuan penelitian itu antara lain menunjukkan bahwa responden yang menyatakan tertarik pada pemilihan wakil rakyat baik di DPR-RI maupun di DPRD hanya mencapai angka sekitar 50%. Secara rinci, proporsi responden yang menyatakan tertarik pada pemilihan wakil rakyat di DPR-RI hanya 54%, sedangkan responden selebihnya yang menyatakan tidak tertarik 27%, dan yang menyatakan tidak tahu/tidak menjawab 19%. Kecenderungan kecilnya jumlah anggota masyarakat yang berminat pada Pemilu Legislatif 2009 juga ditunjukkan oleh temuan penelitian yang menunjukkan proporsi responden yang menyatakan tertarik pada pemilihan wakil rakyat di DPRD hanya mencapai angka 53%, sedangkan responden selebihnya yang menyatakan tidak tertarik pada pemilihan tersebut 28%, serta yang menyatakan tidak tahu/tidak menjawab 20%. Kecenderungan kurangnya minat masyarakat terhadap Pemilu Legislatif 2009 tampaknya berkaitan dengan kurangnya keyakinan masyarakat terhadap fungsi Parpol sebagai pihak yang mampu menjamin penyaluran kepentingan rakyat. Dari jumlah keseluruhan responden, yang menyatakan yakin bahwa Parpol yang ada saat ini mampu menjamin penyaluran kepentingan rakyat hanya sebanyak 18%, sedangkan responden selebihnya yang menyatakan tidak yakin jumlahnya cukup besar, yakni sebanyak 64%, dan yang menyatakan tidak tahu/tidak menjawab 21%. Bagian besar responden ternyata juga mengaku tidak percaya bahwa Parpol berperan dalam menyampaikan kepentingan rakyat. Dari jumlah keseluruhan responden, yang menyatakan tidak percaya mencapai angka 49%, sedangkan yang menyatakan percaya hanya 29%, dan responden selebihnya yakni sebanyak 22% menyatakan tidak tahu/tidak menjawab3. Kecenderungan perilaku politik masyarakat Indonesia yang demikian jelas berbeda dengan kecenderungan masyarakat di negara-negara demokrasi lainnya. Di negara-negara demokrasi yang lebih maju masyarakat umumnya memiliki pemikiran dan pertimbangan obyektif sebelum memutuskan memberikan suara mereka kepada partai politik yang akan dipilihnya. Sebagai contoh, penelitian survei berupa polling dengan 6.400 responden tentang perilaku pemilih atau voting behaviour yang dilakukan di Rusia oleh lembaga New Russia Barometer tahun 1999 menemukan bahwa sebelum pelaksanaan Pemilu responden menyatakan akan memberikan suara mereka kepada partai tertentu karena mereka menyukai pemimpin partai, mereka ingin mendukung program partai, partai tersebut dapat membela kepentingan mereka, partai tersebut menawarkan kehidupan yang normal, partai tersebut selalu berhasil melaksanakan tugasnya, partai tersebut memiliki masa depan yang jelas, partai tersebut merupakan partai terkuat, partai tersebut memiliki pandangan-pandangan pertemanan / kekeluargaan, partai tersebut memahami mereka, dan alasan-alasan lainnya4. Demikian juga penelitian di negara demokrasi lainnya menemukan kecenderungan serupa. Misalnya, penelitian survei tentang persepsi masyarakat dalam Pemilu lokal untuk memilih anggota Dewan Kota di kota kecil Cardiff, Kerajaan Inggris tahun 2002. Survei yang dilakukan oleh Cardiff Research Centre itu menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden 3

4

LISAN, “Survai tentang Popularitas Partai Menjelang Pemilu 2009”, Laporan http://www.lisan.com/program/popolar2.htm. diakses 10 Februari 2011. New Russia Barometer, “Voting Behaviour 1999,” http://www.russiavotes.org/NRBDuma.htm

Penelitian,

89

berusia 16 – 55 tahun atau lebih yang memberikan suara dalam Pemilu tersebut menyatakan bahwa hal yang mempengaruhi keputusan mereka dalam memilih partai tertentu adalah karena partai tersebut mewakili kepentingan mereka. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa lebih dari 25% responden yang tidak mau memberikan suara meyakini bahwa keikutsertaan atau ketidakikutsertaan mereka dalam Pemilu tersebut tidak akan menimbulkan perbedaan apapun. Selain itu, penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa hampir 50% menyatakan bahwa mereka akan memberikan suara dalam Pemilu lokal berikutnya apabila mereka mengetahui bahwa suara mereka akan memberikan arti tertentu bagi perkembangan kota5. Fakta juga menunjukkan, masyarakat Indonesia umumnya menggunakan media massa lebih sering untuk tujuan mencari hiburan. Dalam menggunakan media radio dan TV masyarakat cenderung memilih menikmati acara-acara hiburan dibanding mengikuti siaran berita dan informasi. Dalam kondisi yang demikian, maka merupakan sesuatu yang wajar apabila kegiatan kampanye melalui media massa termasuk yang berupa iklan di media cetak serta acara-acara talk-show, pidato, dan iklan politik di radio dan TV kurang mendapat perhatian masyarakat yang masih dapat dikategorikan lebih haus hiburan dibanding haus informasi. Kondisi sebagian besar masyarakat Indonesia yang belum memiliki budaya politik dan rasionalitas politik yang memadai dalam Pemilu 2009 tampaknya telah dimanfaatkan Parpol tertentu sebagai peluang untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya. Masyarakat kelas bawah yang miskin umumnya mau menerima ajakan Parpol untuk mengikuti kampanye dan memilih calon-calon yang diajukannya setelah mendapatkan iming-iming berupa sejumlah uang dari Parpol tersebut. Upaya Parpol memberikan iming-iming semacam itu tampaknya lebih berhasil dalam menjaring suara masyarakat untuk memilih calon-calon yang diajukannya sebagai wakil rakyat di DPR-RI dan DPRD dibanding upaya-upaya lainnya. Oleh karena masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan perilaku politik yang demikian “khas”, maka penelitian untuk menyimpulkan tentang dampak iklan politik dalam media massa terhadap pengambilan keputusan wajib pilih dalam Pemilu 2009 perlu memperhatian berbagai faktor kondisional yang mungkin secara tidak langsung mempengaruhi perilaku masyarakat. Selain faktor-faktor budaya politik dan rasionalitas politik, upaya menyimpulkan dampak iklan tersebut juga perlu mempertimbangkan kemungkinan pengaruh faktor-faktor pola penggunaan media massa dan pengaruh politik uang yang dilaksanakan Parpol. Penelitian Dampak Iklan Politik melalui Media Massa Dampak media massa dalam Pemilu sejak lama telah menjadi obyek penelitian para peneliti di berbagai negara. Penelitian-penelitian tersebut umumnya diarahkan pada dampak media massa yang berupa perubahan opini, sikap, dan perilaku yang terjadi segera atau tidak lama setelah khalayak terekspos media massa. Metoda yang digunakan para peneliti dalam penelitian-penelitian tersebut biasanya adalah eksperimen dan survei dengan sampel berjumlah besar. Meskipun demikian, hasil penelitian-penelitian tersebut ternyata sangat bervariasi dari waktu-ke-waktu, diantara satu penelitian dengan penelitian lainnya, dalam menunjukkan besarnya dampak media massa terhadap khalayak. Pada suatu saat hasil penelitian menunjukkan dampak tersebut sangat besar (powerful effect), tetapi pada saat-saat selanjutnya hasil penelitian lain menunjukkan dampak sedang (medium effect), dan dampak terbatas atau sangat kecil 5

Cardiff Research Centre, “2002 Omnibus Special – 9. http://www.cardiff.gov.uk/corporate/Reports/Research/issue21_october2002.pdf

Voting

Behaviour.”

90

(limited effect). Inkonsistensi dan bervariasinya hasil penelitian tentang dampak media massa kadang-kadang menimbulkan frustrasi para ahli dan peneliti dalam membuat kesimpulan umum mengenai hal itu. Di Amerika Serikat para peneliti penganut aliran positivis sejak lama telah melakukan berbagai penelitian untuk menjelaskan dampak iklan politik terhadap individu dan masyarakat. Upaya penelitian dilakukan oleh para peneliti secara terus-menerus dan berkesinambungan sehingga menghasilkan akumulasi pengetahuan ilmiah yang semakin lama semakin banyak. Sebagai contoh, Nicholas A. Valentino, dan kawan-kawan (2002) melakukan studi perbandingan di dalam laboratorium dan di lapangan untuk mengukur dampak iklan politik dengan variabel kontrol berupa faktor-faktor kelompok dan ideologis. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa masalah-masalah ras terbukti meningkatkan perubahan isu-isu tertentu menjadi isu-isu rasialis, seperti masalah kesejahteraan, tindakan afirmatif, kebijakan penanganan kriminalitas, dan seluruh hal menyangkut pemerintah. Perubahan opini mengenai isu-isu yang kurang relevan dengan ras, seperti masalah aborsi, pendanaan sekolah-sekolah umum, pemeliharaan kesehatan, dan peningkatan upah minimum, tidak meningkat karena terpaan isu-isu rasial. Ideologi global sangat terpengaruh oleh isu-isu rasial yang melekat pada tuntutan-tuntutan politis tertentu. Meskipun perbedaaan-perbedaan demografis diantara sampel memoderasi sebagian dari dampak iklan, pola umum yang terlihat sangat konsisten dalam dua kondisi penelitian tersebut6. Kemudian, mempelajari hasil-hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa terpaan iklan politik umumnya bersifat informatif dan dapat mengurangi kesenjangan informasi diantara kelompok masyarakat yang memiliki kesadaran politik paling banyak dan kelompok masyarakat yang memiliki kesadaran politik paling sedikit, Nicholas A. Valentino, dan kawankawan (2004) melakukan penelitian untuk mengukur dampak iklan politik terhadap pengetahuan, pencarian informasi dari internet, dan preferensi calon presiden. Penelitian itu menghasilkan kesimpulan bahwa dalam bentuk efek informasi yang sifatnya langsung dan sederhana, iklan politik memberi keuntungan bagi warga negara, khususnya ketika ketersediaan informasi sangat kurang. Baik kelompok masyarakat yang memiliki kesadaran politik paling banyak dan kelompok masyarakat yang memiliki kesadaran politik paling sedikit sama-sama dapat belajar secara langsung dari iklan politik Bush, calon yang telah sangat mereka kenal, tetapi tidak memperoleh banyak informasi dari iklan politik Gore. Akurasi kesimpulan mengenai posisi calon mengenai isu-isu yang tidak dikemukakan dalam iklan meningkat terutama diantara mereka yang telah memiliki kesadaran paling tinggi mengenai calon tersebut7. Salah satu penelitian yang dilakukan untuk menjelaskan tentang dampak iklan politik dalam media massa terhadap perilaku memilih dalam Pemilu di Indonesia yang dilaksanakan oleh Tim Peneliti Institut Penyelidikan, Pembangunan dan Pengkomersilan, Universiti Teknologi Mara, Malaysia (2005). Penelitian berjudul “Impek Kempen Iklan Parti-parti Politik melalui Media terhadap Keputusan Pengundi dalam Pilihanraya Presiden Indonesia 2004” itu dilaksanakan dengan teknik survei dan sampel penelitian sebanyak 1.000 orang responden untuk Pemilu putaran pertama (Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD, 5 Juli 2004) dan 550

6

7

Nicholas A. Valentino, Michael W. Traugott dan Vincent L. Hutchings (2002) “Group Cues and Ideological Constraint: A Replication of Political Advertising Effects Studies in the Lab and in the Field”, Political Communication, 19: 29-48. Nicholas A. Valentino, Vincent L. Hutchings, dan Dimitri Williams (2004), “The Impact of Political Advertising on Knowledge, Internet Information Seeking, and Candidate Preference”, Journal of Communication, 54 (2): 337354.

91

orang responden untuk Pemilu putaran kedua (Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, 20 September 2004)8. Meskipun memberikan deskripsi yang cukup banyak mengenai tanggapan masyarakat terhadap iklan politik dalam media massa, khususnya dari aspek cognitive dan affective, sebagai penelitian yang mempertanyakan tentang efek komunikasi penelitian tersebut tampaknya masih perlu dilanjutkan dan mempertajam analisis di dalamnya. Selain cakupannya yang terbatas di Jakarta dan kurang memperhatikan kecenderungan sikap dan perilaku masyarakat sebelum Pemilu 2004, teknik quota sampling dengan 200 responden di setiap wilayah kota (hal. 8), tolok ukur efek yang hanya mengandalkan “pengakuan” responden apakah mereka merasa terpengaruh oleh iklan tersebut atau tidak (misalnya: pada hal. 61, 76 dan 78), dan teknik analisis statistik descriptive (berupa persentase dan mean) yang diterapkan menyebabkan hasil penelitian ini dipertanyakan validitas dan reliabilitasnya dalam mengukur dan menghasilkan kesimpulan umum mengenai efek iklan dalam media massa. Dengan kondisi laporan penelitian yang demikian, tampaknya akan sulit bagi Tim Peneliti untuk menyimpulkan bahwa Pemilu 2004 di Indonesia menunjukkan titik-balik hasil penelitian tentang peranan atau pengaruh langsung media massa dan iklan tanpa melalui perantara pemimpin pendapat atau opinion leaders, dan sekaligus tentang efek terbatas media massa, sebagaimana dijelaskan oleh teori enforcement yang dikembangkan Paul Lazarsfeld (1970), sebagaimana telah dikemukakan dalam bagian model dan teori (hal. 28-40). Menurut McLeod dan Reeves, gagasan yang selama ini telah menjadi kesepakatan umum mengenai dampak media massa adalah bahwa beberapa aspek isi media memiliki dampak langsung dan segera terhadap khalayak. Di dalam kosakata falsafah ilmu pengetahuan, hal ini menunujukkan bahwa isi media dipandang sebagai suatu kondisi yang perlu dan cukup bagi terjadinya beberapa dampak. Meskipun demikian, model sederhana sebab-akibat semacam itu jarang sekali menunjukkan kesesuaiannya dengan realitas perilaku manusia dalam bidang apa pun, termasuk dalam studi komunikasi. Pengetahuan mengenai dampak media dapat diperoleh jika terdapat pemahaman bahwa konsekuensi terpaan terhadap isi media bervariasi dan kompleks. Sebagai contoh, penelitian-penelitian mengenai dampak TV yang sampai saat ini jumlahnya telah mencapai ratusan telah menunjukkan bukti-bukti yang kuat yang mendukung dugaan tentang dampak tersebut. Di dalam daftar panjang penelitian-penelitian tersebut terdapat aspek-aspek yang menunjukkan dimana dampak media tersebut bervariasi dan menggambarkan kompleksitas mengenai dampak. Variasi tersebut dapat dikelompokkan menurut SIAPA yang dipengaruhi, APA yang berubah, BAGAIMANA proses terjadinya, dan KAPAN dampak itu terjadi. Salah satu dari enam aspek yang perlu dipertimbangkan dalam menjawab pertanyaan tentang dampak media adalah variasi dan kompleksitas dampak. Menurut McLeod dan Reeves, secara umum variasi dan kompleksitas konsekuensi terpaan isi media yang sering dianggap sebagai dampak media dapat dikelompokkan menjadi enam dikotomi. Pertama, dari aspek mikro, dampak media massa disimpulkan secara konsistensi, tetapi dari aspek makro, khususnya dalam penelitian lapangan non eksperimental, kesulitan terjadi dalam menyimpulkan SIAPA yang terkena dampak karena pengukuran pada tingkat individu sering digunakan untuk membuat 8

Abdul Rahim Mohd Salleh, Abdul Ghani Abdul Karim, Abudallah Kassim Ilias Md Salleh, dan Lina Bt. Che Wan (2005) “Kajian Impak Kempen Iklan Parti Politik melalui Media terhadap Keputusan Pengundi dalam Pemilihan Presiden Republik Indonesia 2004”, Laporan Penelitian (Tidak dipublikasikan), Institut Penyelidikan, Pembangunan dan Pengkomersilan, Universiti Teknologi MARA, Malaysia.

92

kesimpulan pada tingkat masyarakat, dan dalam penggunaan pendekatan yang hanya melihat perubahan-perubahan perilaku individual sehingga tidak bisa digunakan untuk mengidentifikasi dampak tertentu lainnya yang mungkin ada. Ke dua, dari aspek langsung, kelemahan penelitian terletak pada asumsi bahwa dampak bisa terjadi pada siapa saja. Model tersebut bisa dianggap naif karena secara tidak langsung menunjukkan bahwa respon terjadi secara seketika tanpa penundaan atau penghapusan oleh keadaan emosional, proses kognitif, atau perilaku sosial penerima isi media. Dari aspek kondisional, sebaliknya, kenyataan memang menunjukkan bahwa hubungan terpaan media dan dampaknya sering dipengaruhi oleh variabel “kondisional” atau variabel ke tiga, yang bisa berperan sebagai kondisi yang mempengaruhi (contingent condition), pendukung (contributory variable), atau perantara (intervening / mediating variable) terjadinya dampak. Ke tiga, dari aspek isi - spesifik, kelemahan penelitian terletak pada titik beratnya, yakni menghubungkan dampak media dengan isi spesifik umumnya tidak melakukan pengamatan terhadap reaksi khalayak dan membuat kesimpulan dampak berdasarkan isi media saja. Di lain pihak, dari aspek sebaran - umum, sebagaimana dilakukan dalam banyak penelitian, kesulitan menyimpulkan dampak media terjadi karena di dalam penelitian-penelitian tersebut kaitan antara dampak media dengan isi sepsifik kurang bisa dijelaskan. Ke empat, dampak media juga sulit untuk disimpulkan karena kurangnya bukti-bukti yang menunjukkan kaitan antara perolehan pengetahuan atau perubahan kognitif lainnya dengan perubahan sikap, dan antara perubahan sikap dengan perubahan perilaku sebagai hasil bekerjanya fungsi alami media. Ke lima, dalam banyak penelitian sikap khalayak baru bisa dianggap mengalami perubahan apabila menunjukkan perubahan yang besar, tetapi jika tidak dampak media dalam perubahan sikap tersebut hanya dianggap “memperkuat” saja. Ke enam, dampak media juga sering diukur dari aspek-aspek lainnya, seperti dalam bagian terbesar studi eksperimental dari durasi jangka pendek dampak yang terjadi setelah terpaan pesan dan tidak diukur dari konsekuensi jangka panjang perubahan secara langsung. McLeod dan Reeves menyimpulkan bahwa tipe dampak media yang sering menjadi fokus perhatian para peneliti adalah tipe kombinasi mikro - langsung - isi spesifik - sikap - alterasi, sedangkan tipe lainnya sering diabaikan. Faktor lainnya yang perlu diperhatikan dalam menyimpulkan dampak media adalah kompleksitas bukti yang diperlukan. Untuk mendapatkan bukti-bukti yang diperlukan dalam pembuatan kesimpulan dampak media diperlukan persyaratan sebagai berikut: pengetahuan mengenai materi stimulus, kontrol terhadap aplikasinya, pengukuran dampak, dan pemahaman terhadap mekanisme atau proses yang mendasari terjadinya dampak. Bukti yang diperlukan dalam pembuatan kesimpulan dampak media antara lain adalah bahwa khalayak bereaksi terhadap sesuatu yang menjadi stimulus. Untuk itu pengetahuan mengenai materi stimulus diperlukan, dan ini bisa diperoleh melalui analisis isi media dalam kaitannya dengan perkiraan bagaimana media bisa menimbulkan dampak, termasuk dalam analisis eksperimental terhadap pesan-pesan jika manipulasi ditujukan menimbulkan dampak atau paling tidak sesuatu yang bisa diinterpretasikan. Bukti lainnya yang diperlukan adalah bahwa khalayak memperhatikan isi media yang bersangkutan. Hal ini sulit diperoleh mengingat kontrol aplikasi isi media dalam kehidupan nyata sulit dilakukan karena penggunaan media biasanya terjadi dengan tingkat perhatian yang rendah dan motivasi yang bervariasi. Ini menyebabkan khalayak mengalami kesulitan dalam mengingat program apa yang ditonton dan pengukuran terhadap frekuensi terpaan dibuat dengan indikator yang relatif lemah dibanding kekuatan stimulus media. Di samping itu, bukti bahwa dampak tertentu secara fungsional disebabkan oleh pesan tertentu juga diperlukan sehingga analisis terhadap dampak isi media perlu dilakukan. Yang terakhir, bukti yang diperlukan dalam pembuatan kesimpulan tersebut adalah bahwa proses kondisional tertentu

93

mempengaruhi terjadinya suatu dampak, dan untuk itu perlu dilakukan elaborasi proses tersebut sehingga membantu kita dalam menginterpretasikan dan menunjukkan kejelasan hubungan. Kesulitan dalam menyimpulkan dampak media antara lain juga disebabkan oleh kompleksitas stimuli media. Pengujian dampak tergantung pada keberadaan kondisi stimulus yang kuat dimana: (1) Terdapat unit stimulus yang menjelaskan proses pengaruh stimuli itu sejak awal sampai akhir, pengukuran stimulus harus dispesifikasi dengan baik dan tepat atau manipulasinya cukup kuat sehingga kita dapat memperkirakan dampak yang akan terjadi; dan (2) Stimulus tersebut harus bebas dari stimuli luar sehingga dampak media bisa dijelaskan. Namun demikian, penelitian dampak media dalam situasi lapangan atau kehidupan nyata jarang memenuhi kriteria tersebut. Salah satu faktor yang mempengaruhi kompleksitas stimuli media adalah unit stimulus. Penelitian-penelitian yang selama ini telah dilaksanakan tampaknya masih memiliki kelemahan dalam hal merumuskan unit stimulus sebenarnya. Sifat dan tingkat abstraksi yang digunakan untuk menggambarkan dan mengukur terpaan media bervariasi dan tidak pasti. Waktu yang dihabiskan untuk menonton TV merupakan ukuran yang paling sering digunakan, dan ini sering diukur secara tidak sah dan tergantung pada kaitan kasar antara waktu menonton dan isi “khas” media. Di samping waktu, seleksi unit waktu perlu melalui pemilihan dari berbagai media, tipe program, program khusus, karakter, urutan interaksi di dalam program dan sebagainya. Paling tidak, seleksi unit terpaan media merupakan pertanyaan empiris yang dapat dicarikan jawabannya melalui penelitian. Namun demikian, saat ini standardisasi unit di bidang itu belum ada, sehingga menyebabkan disparitas temuan dampak media yang dilaporkan. Di samping itu, kompleksitas stimuli media juga dipengaruhi oleh kekuatan stimulus. Di dalam penelitian eksperimental terdapat keharusan untuk memanipulasi perbedaan-perbedaan antar kondisi, tetapi sebaliknya di dalam penelitian non eksperimental keharusan tersebut terletak pada keberadaan variasi yang cukup banyak dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, penelitian non eksperimental sering dianggap kelemahannya terletak pada ketergantungannya pada variasi alami dalam perilaku media di dalam suatu kelompok masyarakat tertentu di suatu negara. Permasalahan kekuatan stimulus juga terdapat dalam penelitian eksperimen: Pertama, adanya kemungkinan bahwa dampak yang diharapkan terjadi karena manipulasi pesan hanya merupakan tambahan terhadap informasi yang sudah dimiliki sehingga dampak media yang diharapkan hanya merupakan serpihan dampak. Ke dua, untuk menguji dampak pesan sangat tidak mungkin untuk menemukan informasi dan topik yang sama sekali belum pernah diterima khalayak. Ke tiga, hasil manipulasi yang dilakukan bisa jadi tidak menunjukkan hubungan antara dua variabel karena banyaknya ulangan pesan. Pertanyaan yang paling mendasar dalam meneliti dampak media adalah apakah dampak tersebut disebabkan oleh sesuatu yang ditambahkan media atau dikurangkan dari “realitas” atau sebaliknya, apakah media tersebut hanya berperan sebagai penghantar dalam menyampaikan apa yang akan diterima khalayak dari sumber lainnya. Jika yang disebut terakhir adalah yang terjadi, apakah kita bisa menyebutnya suatu dampak sebagai dampak media atau hanya sebagai suatu dampak yang ditransmisikan oleh media? Oleh karena itu, ketidaktergantungan atau kebebasan stimuli pada pengaruh sesuatu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kompleksitas stimuli media. Agar dapat menginterpretasi dampak media sebenarnya diperlukan kemampuan menentukan secara tepat aspek mana dari isi media yang menimbulkan dampak. Oleh karena bagian terbesar penelitian dilakukan pada tingkat umum, antara lain belum meneliti seberapa jauh pengaruh selektivitas dan masih banyak dilakukan di lingkungan perilaku sosial dan

94

perilaku media lainnya, sampai saat ini kejelasan mengenai dampak media masih menimbulkan berbagai pertanyaan. Perbedaan bukti juga bisa menyebabkan perbedaan strategi dalam menyimpulkan dampak media. Kekuatan dan sifat dasar kesimpulan yang diambil peneliti dipengaruhi oleh jenis resiko yang ingin diambil menyangkut bukti dampak. Kesimpulan yang sama bisa diambil berdasarkan hasil tes statistik dimana peneliti harus membuat keputusan berdasarkan bukti penelitian: apakah harus menolak hipotesis nol dari tidak adanya perbedaan atau harus tidak menolak hipotesis tersebut. Keputusan manapun yang diambil peneliti tetap beresiko membuat kesalahan. Yang menjadi pertanyaan adalah jenis kesalahan yang mana yang lebih buruk dan lebih mahal, serta kurang sesuai dengan tujuan penelitian. Kekuatiran membuat kesalahan tipe satu tertuju pada kemungkinan membuat kesimpulan yang terlalu kuat sehingga menyebabkan peneliti menerima hipotesis nol dampak media, dan kekuatiran membuat kesalahan tipe dua tertuju pada kebalikan tipe satu, yakni kemungkinan membuat kesimpulan yang terlalu lemah sehingga menyebabkan peneliti menolak hipotesis nol. Dua tipe kekuatiran tersebut menunjukkan bahwa pengukuran variabel-variabel komunikasi cenderung kurang reliable dibanding pengukuran variabel demografik dan variabel lainnya sehingga koefisien korelasi mengaburkan kekuatan prediksi yang “sebenarnya.” McLeod dan Reeves menyarankan alternatif jalan keluar dari dilema ini yakni menggunakan strategi penelitian yang mengkombinasikan kekuatiran membuat kesalahan tipe satu dengan kekuatiran tipe dua9. Pengembangan Penelitian tentang Dampak Media Massa Meskipun suatu penelitian berhasil menunjukkan dampak iklan politik dalam media terhadap pengambilan keputusan wajib pilih dalam Pemilu, penelitian tersebut tidak dapat menjelaskan bagaimana dan mengapa dampak tersebut terjadi. Dalam hal ini beberapa diantara banyak pertanyaan yang memerlukan jawaban misalnya: Bagaimana Parpol mengkonstruksi realitas dirinya sebelum Pemilu, dan mengapa Parpol mengkonstruksi realitas tersebut dengan cara demikian? Bagaimana praktisi periklanan mengkonstruksi realitas Parpol tersebut? Bagaimana ideologi dan orientasi kekuasaan Parpol dalam konstruksi realitas Parpol tersebut? Bagaimana interaksi yang terjadi diantara Parpol, pembuat iklan, dan institusi media dalam mengkonstruksi realitas Parpol dalam iklan Parpol tersebut? Bagaimana makna Parpol yang ditimbulkan oleh iklan Parpol, dan mengapa makna tersebut terjadi? Selain pertanyaanpertanyaan tersebut tentu masih banyak pertanyaan lain yang perlu dijawab untuk dapat menjelaskan proses terjadinya dampak iklan Parpol terhadap pemilih. Di Indonesia penelitian media massa yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu belum banyak dilakukan. Penelitian-penelitian khalayak yang dilakukan dengan menggunakan paradigma konstruktivis dan paradigma kritis tampaknya kurang menarik perhatian para peneliti di Indonesia, meskipun beberapa orang peneliti telah mencoba melakukan penelitian tersebut. Padahal, di negara-negara lain topik hubungan media massa dan periklanan sejak lama telah dijadikan obyek studi para peneliti penganut aliran konstruktivis dan aliran kritis. Penelitian-penelitian tentang dampak media sejak lama, paling tidak lebih dari 30 tahun lalu, umumnya dilakukan dengan menggunakan konsepsi yang sempit mengenai dampak media. Di Inggris misalnya, yang dimaksud dampak media dalam penelitian-penelitian tersebut adalah pengaruh media terhadap pemberian suara dalam Pemilu. Model dominan dalam penelitian9

Jack McLeod dan Byron Reeves (1981), “On the Nature of Media Effects”, dalam G. Cleveland Wilhoit & Harold deBock (Editors). Mass Communication Review Yearbook, Vol. 2. Beverly Hills: Sage Publications, hal. 245-282.

95

penelitian itu adalah model sederhana stimulus-respon, tanpa memperhitungkan kemungkinan adanya pengaruh variabel antara. Di Amerika Serikat penelitian-penelitian terbaru mengenai dampak media cenderung mengarah pada aspek-aspek perilaku memilih dan opini publik dan menempatkan komunikasi politik sebagai bagian penting analisis. Meskipun demikian, menurut Pippa Norris (1995), penelitian-penelitian tersebut umumnya kurang memperhatikan kemungkinan-kemungkinan bahwa kampanye Pemilu merupakan proses interaksi dinamis diantara tiga agensi: Parpol, pemilih, dan media. Agar dapat diperoleh pemahaman mengenai proses interaksi tersebut maka diperlukan inovasi-inovasi teoritis dan metodologis dalam penelitian tentang dampak media, seperti perspektif pendekatan konstruktivis10. Demikian juga, topik yang sama juga telah sering diteliti dan dianalisis para peneliti penganut aliran kritis. Menurut pengamatan John Harms dan Douglas Kleiner, sejak munculnya studi-studi kritis pada tahun 1970-an, sejumlah literatur telah berkembang yang mengamati dan mempertanyakan peran komunikasi massa dan periklanan dalam struktur kelembagaan masyarakat kapitalis kontemporer. Berlawanan dengan studi-studi yang sifatnya “administratif” yang dititikberatkan pada aspek bagaimana menggunakan komunikasi massa dalam ekonomi politik tertentu untuk mempengaruhi khalayak, menjual produk, dan mempromosikan para politisi, penelitian-penelitian kritis terhadap khalayak lebih diarahkan pada efek-efek sosial budaya komunikasi massa dan peran komunikasi massa dalam mempertahankan tatanan sosial. Sebagai contoh, salah satu analisis kritis mengenai periklanan telah dilakukan oleh beberapa orang peneliti yaitu Goffman (Gender Advertisements), Williamson (Decoding Advertisements), serta Andren dan kawan-kawan (Rethoric and Ideology in Advertising). Analisis para peneliti tersebut diarahkan pada isi dan struktur iklan yang mengakibatkan dampak komunikasi dan ideologis. Dengan menerapkan teknik penelitian semiotika dan / atau analisis isi, berbagai analisis kritis yang dilaksanakan pada tingkatan mikro berhasil mengungkap bagaimana komunikasi massa periklanan “membujuk” atau “memanipulasi” konsumen. Sedangkan studi periklanan pada tingkatan makro, seperti yang telah dilakukan oleh Schiller (Mass Communication and American Empire), Ewen (Captains of Consciousness), dan Bagdikian (The Media Monopoly), berhasil menyajikan analisis historis yang lebih luas yang menempatkan periklanan dan komunikasi massa dalam sejarah kapitalisme kontemporer dan membahas dampaknya terhadap struktur sosial politik yang lebih besar. Studi-studi tersebut telah membuktikan bagaimana periklanan dan media massa berperan dalam perkembangan dan reporduksi tatanan sosial yang tidak demokratis dengan memusatkan kekuatan ekonomi dan budaya hanya di tangan beberapa korporasi dan individu11. Penggunaan perspektif teori dan paradigma penelitian kritis sebagaimana ditunjukkan oleh dua kelompok studi tersebut telah menghasilkan banyak pandangan baru terhadap fungsi-fungsi sosial konservatif dan efek ideologis komunikasi massa yang biasanya diabaikan oleh “riset-riset administratif” yang cenderung menitikberatkan pada dampak fungsi-fungsi yang dapat dilaksanakan oleh komunikasi massa (seperti menjangkau khalayak, menjual barang, menyampaikan pesan, dan menghasilkan suara bagi para politisi). Oleh karena hasilnya dapat membantu upaya pengembangan ilmu komunikasi khususnya yang berkaitan dengan proses terjadinya dampak iklan politik dan dapat berperan sebagai kritik sosial, mempermudah proses transformasi, meningkatkan emansipasi, dan social empowerment 10

11

Pippa Norris (1995), “The Media and Party Politics – Political Communications in Election Campaigns: Reconsidering Media Effects”, http://www.psa.ac.uk/cps/1995%5Cnon.pdf John Harms & Douglas Kleiner, “Toward A Critical Theory of Advertising,” http://www.uta.edu/huma/illuminations/kell6.htm

96

maka studi-studi kritis mengenai hubungan iklan politik dengan media massa sangat perlu dikembangkan, khususnya dalam kaitannya dengan kampanye Pemilu di Indonesia. Dengan menggunakan perspektif teori dan paradigma penelitian alternatif tersebut penelitian tentang iklan politik dan media massa hasilnya dapat memberikan kontribusi berharga, tidak saja bagi kepentingan praktis penyelenggaraan Pemilu tetapi juga bagi upaya pengembangan ilmu komunikasi di negara ini. Kesimpulan Tulisan ini telah membahas berbagai aspek yang berkaitan dengan penelitian tentang dampak iklan politik dalam media massa terhadap pengambilan keputusan wajib pilih dalam Pemilu 2009 di Indonesia. Hasil pembahasan yang telah dilakukan paling tidak menghasilkan beberapa kesimpulan, sebagai berikut. Pertama, di Indonesia iklan politik dalam media massa umumnya masih memiliki kelemahan dan kekurangan. Selain tidak banyak mengandung unsur pendidikan politik bagi masyarakat dan ada yang melanggar Etika Periklanan, iklan-iklan tersebut penyajiannya dalam media massa juga kurang memperhatikan fungsi iklan dalam setiap tahapan kampanye. Ke dua, dampak iklan politik yang terjadi pada khalayak media massa memiliki berbagai kemungkinan. dampak tersebut dapat bersifat langsung atau tidak langsung, dapat bersifat singkat atau jangka panjang. Selain itu, dampak iklan tersebut juga dapat dipengaruhi berbagai faktor, termasuk yang memperlambat penerimaan informasi oleh khalayak, seperti perhatian, persepsi, pengaruh kelompok, dan motivasi yang sebelumnya telah dimiliki masyarakat sebelum menerima pesan-pesan dalam iklan politik dalam Pemilu. Ke tiga, penelitian tentang dampak iklan politik terhadap khalayak relatif jarang dilakukan dan kalau pun dilakukan penelitian tersebut lebih sering dilakukan dengan menggunakan perspektif teori dan paradigma penelitian positivis. Meskipun berhasil memberikan deskripsi mengenai kecenderungan tanggapan masyarakat terhadap iklan politik dalam media massa, penelitian yang dilaksanakan Tim Peneliti Universiti Teknologi MARA, Malaysia hasilnya kurang mampu menjelaskan hubungan dan pengaruh iklan dalam media massa terhadap perilaku memilih. Penelitian itu juga kurang memperhatikan berbagai kondisi masyarakat Indonesia sebelum Pemilu (termasuk kecenderungan sikap dan perilaku politik) yang mungkin dapat mempengaruhi terjadinya dampak iklan politik tersebut. Saran Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan tersebut, tulisan ini mengemukakan saran sebagai berikut. Untuk meningkatkan dampak positif iklan politik kepada praktisi periklanan dan praktisi media disarankan lebih meningkatkan profesionalisme dalam pembuatan dan penyajian iklan politik dalam media massa dengan memperhatikan isi pesan, etika perikalanan, dan fungsi iklan dalam setiap tahapan kampanye. Apabila dipandang perlu, kepada Parpol peserta Pemilu yang akan datang selain melakukan kontrol kualitas juga disarankan menggunakan teknik dan strategi penyajian iklan yang lebih tepat sehingga iklan politik yang dipasangnya dalam media massa dapat berfungsi efektif sebagai alat mencari dukungan masyarakat yang lebih luas. Selain itu, khususnya kepada para peneliti disarankan untuk mengembangkan penelitian tentang iklan politik khususnya dan media massa umumnya dengan menggunakan perspektif teori dan paradigma penelitian alternatif yang sifatnya konstruktivis dan kritis. Dengan cara demikian hasil penelitian diharapkan dapat membantu upaya memecahkan masalah-masalah praktis menyangkut iklan politik dab nedia massa dan upaya pengembangan ilmu komunikasi.

97

Disamping menghasikan pemahaman-pemahaman baru mengenai proses terjadinya dampak iklan politik dalam media massa, hasil penelitian-penelitian tersebut juga dapat berperan sebagai kritik sosial, mempermudah proses transformasi, meningkatkan emansipasi, dan social empowerment. Referensi : 1. Almond, Gabriel A. dan Sidney Verba. (1990) Budaya Politik - Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara. Cetakan Kedua. Terjemahan: Sahat Simamora. Jakarta: Bumi Aksara. 2. Bernard, Lazarsfeld P.J., dan McPhee, W.N. (1954) Voting: A Study of Opinion Formation in a Presidential Campaign. Chicago: Chicago University Press. 3. Golding, Peter & Graham Murdock. (1983) “Theories of Communication and Theories of Society”, dalam Ellen Wartella & D. Charles Whitney (eds.), Mass Communication Review Yearbook. Vol. 4. Beverly Hills: Sage Publications. 4. Klapper, Joseph T. (1960) The Effects of Mass Communication. New York: Free Press. 5. McLeod, Jack dan Byron Reeves (1981), “On the Nature of Media Effects”, dalam G. Cleveland Wilhoit & Harold deBock (Editors). Mass Communication Review Yearbook, Vol. 2. Beverly Hills: Sage Publications, hal. 245-282. 6. McQuail, Denis (1994). Mass Communication Theory – An Introduction. Third Edition. London: Sage Publications. 7. Ridwan, Mustoffa-Kamil (1992). “Analysis of the 1977 Election Coverage”, dalam Don Michael Fluornoy (ed.). Content Analysis of Indonesian Newspapers. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 8. Rosengren, Karl Erik (1983). “Communication Research: One Pardigm or Four ”, dalam Journal of Communication. Summer, hal. 185-207. 9. Salleh, Abdul Rahim Mohd, Abdul Ghani Abdul Karim, Abudallah Kassim Ilias Md Salleh, dan Lina Bt. Che Wan (2005) “Kajian Impak Kempen Iklan Parti Politik melalui Media terhadap Keputusan Pengundi dalam Pemilihan Presiden Republik Indonesia 2004”, Laporan Penelitian (Tidak dipublikasikan), Institut Penyelidikan, Pembangunan dan Pengkomersilan, Universiti Teknologi MARA, Malaysia. 10. Severin, Werner J. & James W. Tankard (1988). Communication Theories. Second Edition. New York: Longman. 11. Smith, Craig Allen (1990) Political Communication. San Diego: Harcourt Brace Jovanovich. 12. Valentino, Nicholas A., Michael W. Traugott, dan Vincent L. Hutchings (2002), “Group Cues and Ideological Constraint: A Replication of Political Advertising Effects Studies in the Lab and in the Field”, Political Communication, 19: 29-48. 13. Valentino, Nicholas A., Vincent L. Hutchings, dan Dimitri Williams (2004), “The Impact of Political Advertising on Knowledge, Internet Information Seeking, and Candidate Preference”, Journal of Communication, 54 (2): 337-354. 14. Cardiff Research Centre, “2002 Omnibus Special – 9. Voting Behaviour.” http://www.cardiff.gov.uk/corporate/Reports/Research/issue21_october2002.pdf 15. LISAN, “Survai tentang Popularitas Partai Menjelang Pemilu 2009”, Laporan Penelitian, http://www.lisan.com/program/popular2.htm, diakses 10 Februari 2011.

98

16. John Harms & Douglas Kleiner, “Toward A Critical Theory of Advertising,” http://www.uta.edu/huma/illuminations/kell6.htm 17. New Russia Barometer, “Voting Behaviour 1999,” http://www.russiavotes.org/NRBDuma.htm 18. Norris, Pippa (1995), “The Media and Party Politics – Political Communications in Election Campaigns: Reconsidering Media Effects”, http://www.psa.ac.uk/cps/1995%5Cnon.pdf 19. Won Ho Chang, Jae-Jim Park & Sung Wook Shim, “Effectiveness of Negative Political Advertising”, WJMCR 2:1 December 1998, http://www.scripps.ohiou.edu/wjmrc/vol02-1aB.htm

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF