Crohn's Disease
November 11, 2021 | Author: Anonymous | Category: N/A
Short Description
Download Crohn's Disease...
Description
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Crohn Disease Crohn’s Disease merupakan salah satu Inflammatory Bowel Diseases (IBD), yaitu penyakit peradangan granulomatosa kronik yang mengenai traktus gastrointestinal, mulai dari mulut hingga anus. Namun, lebih sering mengenai bagian ileum terminalis sampai colon bagian awal. Peradangan ini mencakup seluruh bagian dinding usus dari superficial hingga profundal (CCFA, 2013).
B. Anatomi Histologi normal Ileum Sistem digestorium terbentang dari mulut hingga anus. Ileum adalah bagian dari intestinum tenue (usus halus), setelah duodenum dan jejunum. Ileum adalah sebuah saluran yang befungsi untuk pencernaan makanan, absorpsi zat makanan, cairan dan elektrolit (Snell, 2004).
1
Gambar 1. Anatomi dan Histologi Ileum Secara histologis dinding ileum terdiri dari 4 lapisan, yaitu tunika mukosa, tunika submukosa, tunika muskularis, dan tunika serosa. Tunika mukosa ileum melipat ke lumen dan membentuk struktur vili yang tinggi dan banyak mengandung sel goblet. Di antara vili-vili terbentuk Kripte Lieberkuhn, yang di dasarnya terdapat kelenjar intestinal atau Sel Paneth
Gambar 2. Histologi Ileum C. Anatomi Histologi Ileum pada Crohn Disease (Patologi)
2
Gambar 3. Makroskopis Crohn’s Disease Gambaran makroskopis Crohn’s disease di atas menunjukkan bagian tengah dengan penebalan dinding dan mukosa kehilangan lipatanlipatan mukosanya. Permukaan serosa tampak jaringan lemak kemerahan dan mengeras. Tampak gambaran Cobblestone Appearance. Salah satu komplikasi Crohn’s disease adalah pembentukan fistula. Tampak fisura meluas dari mukosa menuju submukosa sampai muskularis. Fistula dapat terbentuk antara usus dengan usus, kandung kemih dan kulit. Bila mengenai usus besar dapat terjadi fistula peri-rektal.
Gambar 4. Mikroskopis Crohn’s Disease D. Etiologi Penyebab pasti belum diketahui, namun beberapa ahli menduga banyak faktor risiko yang dapat menyebakan Crohn’s disease seperti genetik, mikroba, imunologis, lingkungan, diet, vaskular dan faktor psikososial seperti merokok, penggunaan kontrasepsi oral dan penggunaan Non steroid anti-inflammatory drugs (NSAID) (Thoreson, 2007). Pada bidang genetika telah ditemukan pada kromosom 16 (IBD gen) yang diidentifikasi sebagai gen penyebab Crohn’s disease, yaitu 3
NOD2 gene (CARD15). Gen ini terlibat dalam system imunitas tubuh manusia. Penelitian di Jerman dan Norwegia mengemukakan bahwa orang yang memiliki gen alel CARD15 lebih berisiko terkena penyakit pada ileum dan colon (Hampe et al, 2002).
E. Patogenesis dan Patofisiologi (Ghazi et al, 2013) NSAID
mikroba
rokok
diet
antigen APC TH 1 Sitokin pro inflamasi (IL12 & TNF α) Genetik
Asam arachidonat, protease, platelet activating factor, radikal bebas
Integritas barrier epitel abnormal
Intestinal Injury
Defisiensi reseptor imun innate
Inflamasi kripte Granuloma non kaseosa
Maslah diferensiasi limfosit
inflamasi transmural Ulserasi mukosa superficial profunda Fistula (enteroenteral, enterovesica, enterovagina, enterocutan
Ulkus + agregasi limfoid red spot + mukosa depresi Cobblestone Appearance
Edema dinding usus menebal , lumen menyempit Ileus obstruksi
4
Inflamasi kronik yang disebabkan oleh aktivasi Sel T merupakan pathogenesis dari Crohn’s disease. Zat yang menyebabkan inflamasi seperti mikroba, virus, rokok dan dari diet akan dianggap sebagai antigen dan dibawa oleh Antigen Presenting Cell (APC) menuju ke sel T helper 1. Sel T helper akan mengeluarkan sitokin –sitokin pro inflamasi seperti (IL1 & TNF α) yang akan merangsang pengeluaran asam arachidonat, protease dan radikal bebas secara local di bagian ileum terminal (Ghazi et al, 2013) Pada beberapa orang yang secara genetik sudah diturunkan gen CARD 15, bagian ileum dan colon lebih rentan terjadi ‘injury’, selanjutnya akan terjadi inflamasi pada bagian kripte yang berupa inflamasi granulomatosa. Inflamasi dengan infiltrasi sel limfoid akan meluas ke seluruh dinding intestinal, mesentrium dan limfa nodi regional, inflamasi ini disebut inflamasi transmural (Ghazi et al, 2013) Inflamasi kronik akan menyebabkan terjadinya ulserasi di mukosa superficial dan berlanjut ke profunda sehingga terbentuk ulkus, fisura dan meluas sampai lapisan submukosa, muskularis bahkan sampai menembus dinding luar intestinal sebagai fistula (Ghazi et al, 2013) Pada kasus lanjut mukosa mempunyai penampilan “coblestone appearance”. Hal ini terjadi akibat ulkus superficial mukosa bergabung
5
dengan agregasi sel-sel limfoid sehingga menimbulkan titik merah dan lapisan yang bergelombang pada dinding intestinal (Ghazi et al, 2013)
F. Penegakkan Diagnosis Diagnosis Crohn Disease ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala yang didapat berikut ini : 1. Anamnesis Pasien paling banyak mengeluhkan sakit perut dan diare berkepanjangan yang kadang disertai darah, selain itu keluhan yang sering timbul adalah (Wilkins, 2011) : a. Demam b. Malaise c. Mual muntah d. Berat badan turun e. Depresi dan cemas f. Konstipasi dan obstipasi 2. Pemeriksaan Fisik a) Tanda vital : normal, kadang takikardi dan demam b) Gastrointestinal : nyeri tekan abdomen, pada pemeriksaan rektal dapat ditemukan fistula, ulkus, abses, tonus sphincter abnormal, mukosa rektal abnormal, hematochezia
6
c) Genitourinary : ditemukan fistula, abses dan ulkus pada region perianal d) Dermatologi : ulkus mukokutan, eritema nodosum, pioderma 3. Pemeriksaan Penunjang a) Laboratorium •
Darah lengkap : anemia, leukositosis
•
Elektrolit : hipoalbumin, penurunan serum Fe,
•
Inflammatory marker : CRP meningkat
•
Serologi : Antibodi sacromyces , antibody eschericia coli
b) Radiologi 1) Foto polos abdomen Foto polos abdomen merupakan tes yang tidak spesifik untuk
melihat
inflamasi
pada
saluran
cerna.
Namun,
pemeriksaan ini dapat bermanfaat pada penderita ‘Crohn Disease’ dengan eksaserbasi akut. Dapat ditemukan obstruksi, perforasi ataupun distensi colon (Panes et al, 2011). 2) Barium Kontras Barium enema adalah tindakan non invasif yang biasanya digunakan untuk mengevaluasi adanya pseudodivertikel, fistula, dan panjang striktur pada colon. Namun, tindakan ini kontraindikasi jika diketahui terdapat perforasi. Walaupun pada masa lalu barium kontras adalah pemeriksaan penunjang pilihan untuk ‘Crohn Disease’ , kini sudah mulai ditinggalkan (Panes et al, 2011). 7
Pada pemeriksaan radiografi ditemukan edema dan ulserasi pada mukosa intestinal yang ditunjukkan dengan penebalan dan distorsi dari intestinal. ‘Cobblestone appearance’ terlihat sebagai ulkus dalam yang berbentuk transversal maupun longitudinal (Panes et al, 2011).
Gambar 5. Cobblestone Appearance
Gambar 6. Ulsearasi, inflamasi dan penyempitan pada colon ascendens pada Crohn’s Disease
8
Gambar 7. Fistula Enterocolon 3) CT enterografi Pada
pemeriksaan
CT
enterografi
dapat
dinilai
penebalan dinding intestinal, obstruksi, edema mesentrium, abses dan adanya fistula. CT enterografi lebih sensitif ketimbang pemeriksaan barium kontras (Kidd et al, 2000).
Gambar 8. Inflamasi intestinal pada Crohn’s Disease 4) Colonoskopi dan Endoskopi Colonoskopi dinilai lebih sensitif dan spesifik sebagai alat untuk diagnosis dan manajemen yang dicurigai mengalami inflamasi saluran cerna bagian bawah. Prosedur ini dapat diambil biopsi jaringan, untuk menilai lesi dan dibandingkan dengan yang lain (Wilkins et al, 2011).
9
Endoskopi dengan biopsi dapat membantu diagnosis Crohn’s Disease yang disebabkan oleh NSAID, bakteri Helicobacter pylori atau dari jamur dan virus lain (Leighton et al, 2006).
5) Biopsi jaringan Hasil patologi anatomi dari biopsi jaringan menunjukkan inflamasi transmural dimana infiltrasi oleh sel limfoid ke seluruh dinding intestinal yang menimbulkan granuloma non kaseosa. Definisi dari granuloma dalah kumpulan sel monosit atau makrofag dan sel inflamasi lain, dengan atau tanpa ‘Giant Cell’ (Ghazi et al, 2013).
Gambar 9. Mikroskopis Crohn’s Disease G. TERAPI Tujuan umum dari pengobatan Crohn’s Disease yang pertama adalah mendapatkan hasil perbaikan klinis, laboratorium dan histologis
10
yang terbaik untuk mengontrol inflamasi dengan efek samping yang minimal. Kedua, membuat pasien dapat beraktivitas senormal mungkin dan yang ketiga adalah agar anak-anak dapat tumbuh dan mendapatkan nutrisi yang adekuat. Berikut beberapa terapi pilihan untuk Crohn’s Disease (Ghazi et al, 2013).
1. Farmakoterapi a. Antidiare : loperamid, difenoksilate. Pada pasien dengan Crohn’s disease terjadi inflamasi dinding usus yang menyebabkan tidak dapat mengabsorbsi cairan secara normal. Antidiare seperti difenoksilat dan loperamid bekerja dengan cara memperlambat motilitas saluran cerna dengan mempengaruhi otot sirkuler dan longitudinal usus (Robinson, 1997). Dosis pemberian loperamide 2-4mg diberikan sampai 4x sehari, difenoksilat 40-60 mg / hari. Obat dapat diberikan sampai diare berhenti (Ghazi et al, 2013). b. Derivate agen asam 5-aminosalisilat (5-ASA) : sulfasalazine, mesalamine, balsalazide) Pengobatan dengan menggunakan 5-ASA adalah pilihan pertama untuk pasien Crohn’s Disease. 5-ASA bekerja sebagai agen anti inflamasi. Obat ini dapat terus digunakan setelah
11
tindakan pembedahan untuk mencegah terjadinya inflamasi ulang (Lim, 2010). Dosis pemberian mesalamin 800 mg, diberikan 3x sehari. Penggunaan derivate 5-ASA ini pada prinsipnya dalah pengobatan jangka panjang untuk mencegah kambuhnya peradangan (Lim, 2010).
c. Kortikosteroid : prednisone, metilprednisolon, budesonide Crohn’s disease dengan gejala sistemik sedang sampai berat seperti timbul demam, mual-muntah, dan berat badan turun, dapat menggunakan kortikosteroid. Prednisone biasa digunakan pada inflamasi akut tanpa tanda-tanda infeksi. Dosis pemberian prednisone adalah 40-60 mg/ hari Budenoside menginduksi perbaikan sel-sel pada daerah inflamasi. Kombinasi antara kortikosteroid
dan
antibiotik
seperti
metronidazole
lebih
menguntungkan
ciprofloxaxin
dibanding
atau
penggunaan
tunggal (Ford et al, 2011) Pada prinsipnya penggunan kortikosteroid hanya untuk pasien dengan gejala sedang sampai berat. Kortikosteroid tidak diindikasikan untuk pengobatan jangka panjang. Jika kondisi pasien membaik, kortikosteroid dihentikan (Ford et al, 2011). d. Agen imunosupresan: mercaptopurin, methotrexat (6-MP)
12
Apabila penggunaan kortikosteroid tidak menimbulkan perbaikan, dapat digunakan agen imunosupresan. Azathioprine dengan bahan aktif metabolit 6-MP dapat digunakan dengan catatan dalam pengawasan 3-6 bulan. 6-MP bekerja dengan cara menekan pembentukan sel-sel imun yang dalam jangka waktu lama dapat mensupresi sumsum tulang (Turner, 2007). Dosis pemberian methotrexate adalah 25mg/minggu dan diberikan selama 4 bulan kemudian dievaluasi kembali (Mcdonald, 2012). 2. Pengobatan biologis Pengobatan secara biologis pada Crohn’s Disease yaitu dengan cara memberikan antibodi monoklonal (anti-TNFα-antibodi) seperti ; Infliximab, Adalimumab, Natalizumab . a. Infliximab Infliximab adalah antibodi monoclonal yang merupakan antagonis TNFα. Bekerja pada permukaan sel makrofag dan sel T, menghambat pembentukan TNFα (Lichteinstein, 2006). Dosis pemberian 3-10 mg/kg/ hari, dapat diberikan sampai 6 tahun lamanya dan dilihat perbaikan klinis pasien (D’Haens, 2011). b. Adalimumab Adalimumab
adalah
antibodi
monoclonal
immunoglobulin
rekombinan (igG1) yang cara kerjanya mengikat dengan afinitas yang kuat dengan TNFα (Peyrin, 2007).
13
Dosis pemberian 160 mg/hari, ditrunkan menjadi 80mg/hari pada minggu ke 2, diturunkan lagi menjadi 40 mg/hari pada minggu selanjutnya (D’Haens, 2011). c. Natalizumab Natalizumab adalah antibodi monoclonal yang bekerja melawan alpha4 integrin yang menghambat adhesi dan migrasi leukosit ke area inflamasi (Sandborn et al, 2005). Dosis pemberian natalizumab adalah 300mg setiap 4 minggu sekali selama 1 tahun, kemudian di evaluasi kembali (Sandborn et al, 2005). 3. Tindakan pembedahan Pada prinsipnya tindakan pembedahan pada Crohn’s Disease tidak dapat menyembuhkan, namun berikut adalah keadaan-keadaan yang direkomendasikan untuk dilakukan pembedahan pada Crohn’s Disease (ASCRS, 2007) : a.
Gagal pengobatan : tidak ada perubahan secara klinis
b.
Komplikasi : abses, fistula
c.
Obstruksi : striktur colon
d.
Inflamasi : kolitis, peritonitis
e.
Hemoragik : perdarahan intra abdomen
f.
Perforasi
g.
Neoplasia 14
h.
Hambatan tumbuh kembang
Intervensi pembedahan pada ileum terminal, ileocolon, dan colon dapat dilakukan (ASCRS, 2007) : a. Reseksi bagian intestinal yang terkena inflamasi Tindakan pembedahan untuk membuang bagian intestinal yang terkena inflamasi. Sebelumnya didahului dengan pemeriksaan biopsi jaringan, untuk mengetahui daerah yang inflamasi.
15
Gambar 10. Reseksi Ileum, Ileocolon dan Colon
b. Ileostomi Ileostomi berasal dari kata ‘Ileum’ dan ‘Stoma yang artinya adalah tindakan operasi membuat mulut buatan di bagian ileum , untuk membuang zat sisa tubuh, dikarenakan bagian distal ileum tidak dapat bekerja normal (Cima, 2010).
16
Gambar 11. c. Strikturplasti Strikturplasti adalah tindakan bedah yang dilakukan untuk mengatasi jaringan parut yang terbentuk pada dinding intestinal akibat kondisi inflamasi kronik pada Crohn’s Disease. Jaringan parut menyebabkan striktur (penyempitan lumen intestinal). Striktur dapat menyebabkan isi lumen masuk ke dalam ulkus dan fisura yang dapat memperburuk peradangan pada Crohn’s Disease. Tindakan strikturplasti yaitu membuat pasase intestinal lancar tanpa membuang segmen menyempit (reseksi usus). Segmen usus yang menyempit diinsisi kemudian dilebarkan dengan membuat potongan memanjang sepanjang satu sisi usus, kemudian dijahit (Jobanputra, 2007).
Gambar 12. Strikturplasti
17
d. Dilatasi Balon Endoskopi Dilatasi Balon Endoskopi adalah pilihan terapi non bedah untuk penanganan striktur pada Crohn’s Disease. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah risiko perforasi dan striktur rekurens. Striktur didefinisikan sebagai penyempitan yang menghalangi pasase usus sebesar 14 mm atau kurang. Teknik ini dilakukan melalui colonoskopi, mencari bagian yang striktur kemudian dilakukan dilatasi melalui balon-endoskopi. Antibiotic diberikan selama pengerjaan dan 7 hari setelah tindakan (Ajlouni, 2007).
Gambar 13. Dilatasi Balon Endoskopi
18
e. Manajemen Fistula Komplikasi dari Crohn’s Disease adalah terjadinya fistula. Fistula dapat terjadi antara intestinal (ileoileal, ileocecal, ileosigmoid,
enterovesica,
enterocutaneus,
cologastric,
coloduodenal) (Strong, 2007). Tindakan pertama yang dilakukan adalah mencegah dan mengatasi
infeksi
metronidazole
atau
dengan
menggunakan
ciprofloxaxin.
antibiotik
Kemudian
seperti
memperbaiki
keseimbangan cairan dan elektrolit, mengusahakan perbaikan gizi serta merawat kulit di sekitar fistel (Sjamsuhidajat, 2003). Keputusan diambilnya tindakan bedah ditunggu sekurangkurangnya 3-4 minggu. Fistula dapat terjadi penutupan spontan biasanya sekitar minggu keempat. Bila setelah itu fistula masih tetap ada, penanganan sepsis sudah dilakukan cukup baik, maka tindakan bedah harus segera dilakukan (Sjamsuhidajat, 2003).
H. PROGNOSIS Prognosis Crohn’s Disease dikarakteristikkan dalam periode perbaikan dan kekambuhan. Pada tahun pertama setelah diagnosis, angka kekambuhan mencapai 50% dengan 10% masuk kategori kronik. 5 tahun 19
setelah diagnosis, yang membutuhkan tindakan bedah 49%. 10 tahun setelah diagnosis, yang membutuhkan tindakan bedah 62%. 15 tahun setelah diagnosis, yang membutuhkan tindakan bedah mencapai 70% (Munkohlm, 2003).
BAB III KESIMPULAN
1. Crohn’s Disease merupakan salah satu Inflammatory Bowel Diseases (IBD), yaitu penyakit peradangan granulomatosa kronik yang mengenai traktus gastrointestinal. 2. Pasien paling banyak mengeluhkan sakit perut dan diare berkepanjangan yang kadang disertai darah, selain itu keluhan yang sering timbul adalah demam, malaise, mual muntah, berat badan turun, konstipasi dan obstipasi 3. Pada pemeriksaan fisik ditemukan fistula, ulkus, abses pada abdomen disertai nyeri tekan abdomen. 4. Pemeriksaan penunjang dapat digunakan foto polos abdomen, barium kontras, CT enterografi, colonoskopi, endoskopi dan biopsi jaringan, 5. Penatalaksanaan dibagia menjadi tiga, yaitu farmakoterapi, agen biologis dan intervensi pembedahan.
20
6. Farmakoterapi dapat menggunakan antidiare, antibiotic, anti inflamasi, kortikosteroid dan imunosupresan 7. Antibodi
monoclonal
menggunakan
infliximab,
adalimumab,
dan
natalizumab 8. Berbagai intervensi bedah yang dapat digunakan yaitu, reseksi intestinal, ileostomi, strikturplasti, dilatasi balon endoskopi dan manajemen fistula.
21
DAFTAR PUSTAKA
Ajlouni, Y. Iser, J.H and Gibson, P.R. Endoscopic balloon dilatation of intestinal strictures in Crohn’s Disease : safe alternative to surgery. J Gastroenterol Hepatol. Melbourne, Australia. 2007 Apr;22(4):486-90 ASCRS (The American Society of Colon and Rectal Surgeons) ; Strong SA, Koltun WA, Hyman NH, Buie WD, for the Standards Practice Task Force Practice parameters for the surgical management of Crohn’s disease. Dis Colon Rectum. 2007;50(11):1735-46. CCFA (Crohn’s and Colitis Foundation of America). What Is Crohn’s Disease?. Available at URL : http://www.ccfa.org/what-are-crohns-and-colitis/whatis-crohns-disease/ .accessed : 30 May 2013. Cima RR, Pemberton JH. Ileostomy, colostomy, and pouches. In: Feldman M, Friedman LS, Sleisenger MH, eds. Sleisenger & Fordtran's Gastrointestinal and Liver Disease. 9th ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2010:chap 113. D’Haens G, Panaccione R, Higgins P, et al. The London Position Statement of the World Congress of Gastroenterology on Biological Therapy for IBD with the European Crohn’s and Colitis Organization: When to start, when to stop, which drug to choose, and how to predict response? Am J Gastroenterol. 2011;106:199-212. Duerr RH. Update on the genetics of inflammatory bowel disease. J Clin Gastroenterol. Nov-Dec 2003;37(5):358-67. Economou M, Zambeli E, Michopoulos S. Incidence and prevalence of Crohn's disease and its etiological influences. Ann Gastroenterol. 2009;22(3):15867. Available at http://www.annalsgastro.gr/index.php/annalsgastro /article/view/743. Accessed December 11, 2012 Farmer RG, Hawk WA, Turnbull RB Jr. Clinical patterns in Crohn's disease: a statistical study of 615 cases. Gastroenterology. Apr 1975;68(4 Pt 1):62735. Ford AC, Bernstein CN, Khan KJ, Abreu MT, Marshall JK, Talley NJ, et al. Glucocorticosteroid therapy in inflammatory bowel disease: systematic review and meta-analysis. Am J Gastroenterol. Apr 2011;106(4):590-9. Ghazi, L.J. Katz, J. Anand,B.S Balasundaram, P. Coash, M.L. Nachimutu, S. Qureshi, W.A. Rangasamy, P. Raynor, K.M. Talavera F. George, Y.W. 2013. Crohn Disease. Medscape Reference. 25 March 2013
22
Hampe J, Grebe J, Nikolaus S, Solberg C, Croucher PJ, Mascheretti S, et al. Association of NOD2 (CARD 15) genotype with clinical course of Crohn's disease: a cohort study. Lancet. May 11 2002;359(9318):1661-5. Jobanputra, S. and Weiss, E.G. Strictureplasty. Clin Colon Rectal Surg. New York, USA. 2007. 20:294-302 Kidd R, Mezwa DG, Ralls PW, Balfe DM, Bree RL, DiSantis DJ, et al. Imaging recommendations for patients with newly suspected Crohn's disease, and in patients with known Crohn's disease and acute exacerbation or suspected complications. American College of Radiology. ACR Appropriateness Criteria. Radiology. Jun 2000;215 Suppl:181-92. Leighton JA, Shen B, Baron TH, Adler DG, Davila R, Egan JV, et al. ASGE guideline: endoscopy in the diagnosis and treatment of inflammatory bowel disease. Gastrointest Endosc. Apr 2006;63(4):558-65. Lichtenstein GR, Abreu MT, Cohen R, Tremaine W. American Gastroenterological Association Institute medical position statement on corticosteroids, immunomodulators, and infliximab in inflammatory bowel disease. Gastroenterology. Mar 2006;130(3):935-9. Lim WC, Hanauer S. Aminosalicylates for induction of remission or response in Crohn's disease. Cochrane Database Syst Rev. Dec 8 2010;CD008870. Loftus EV Jr, Silverstein MD, Sandborn WJ, Tremaine WJ, Harmsen WS, Zinsmeister AR. Crohn's disease in Olmsted County, Minnesota, 1940-1993: incidence, prevalence, and survival. Gastroenterology. Jun 1998;114(6):1161-8. Loftus EV Jr. Clinical epidemiology of inflammatory bowel disease: Incidence, prevalence, and environmental influences. Gastroenterology. May 2004;126(6):1504-17. Lovasz BD, Golovics PA, Vegh Z, Lakatos PL. New trends in inflammatory bowel disease epidemiology and disease course in Eastern Europe. Dig Liver Dis. Sep 22 2012. Mcdonald, JWD, Tsoulis DJ, Macdonald JK and Feagan BG. Methotrexate for Induction of Remission Refractory Crohn’s Disease. Cochrane Database of Systematic Reviews. Published by JohnWiley & Sons, Ltd. 27 June 2012 Munkholm P, Langholz E, Davidsen M, Binder V. Intestinal cancer risk and mortality in patients with Crohn's disease. Gastroenterology. Dec 2003;105(6):1716-23. Panés J, Bouzas R, Chaparro M, García-Sánchez V, Gisbert JP, Martínez de Guereñu B, et al. Systematic review: the use of ultrasonography, computed tomography and magnetic resonance imaging for the diagnosis, assessment 23
of activity and abdominal complications of Crohn's disease. Aliment Pharmacol Ther. Jul 2011;34(2):125-45. Peyrin-Biroulet L, Laclotte C, Bigard MA. Adalimumab maintenance therapy for Crohn's disease with intolerance or lost response to infliximab: an openlabel study. Aliment Pharmacol Ther. Mar 15 2007;25(6):675-80. Robinson M. Optimizing therapy for inflammatory bowel disease. Am J Gastroenterol. Dec 1997;92(12 suppl):12S-17S. Sandborn WJ, Colombel JF, Enns R, Feagan BG, Hanauer SB, Lawrance IC, et al. Natalizumab induction and maintenance therapy for Crohn's disease. N Engl J Med. Nov 3 2005;353(18):1912-25. Sjamsuhidajat, R. dan de Jong, Wim. 2003. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed.2. Jakarta : EGC Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik Untuk mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC Strong SA, Koltun WA, Hyman NH, Buie WD. Practice parameters for the surgical management of Crohn's disease. Dis Colon Rectum. Nov 2007;50(11):1735-46. Thoreson R, Cullen JJ. Pathophysiology of inflammatory bowel disease: an overview. Surg Clin North Am. Jun 2007;87(3):575-85. Turner D, Grossman AB, Rosh J, et al. Methotrexate following unsuccessful thiopurine therapy in pediatric Crohn's disease. Am J Gastroenterol. Dec 2007;102(12):2804-12 quiz 2803, 2813. Wilkins T, Jarvis K, Patel J. Diagnosis and management of Crohn's disease. Am Fam Physician. Dec 15 2011;84(12):1365-75
24
View more...
Comments