Contoh Skandal Etika Dibidang Akuntansi

September 25, 2017 | Author: Prana Djati Ningrum | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Contoh Skandal Etika Dibidang Akuntansi...

Description

contoh skandal etika dibidang akuntansi http://rizkiadiputra08.blogspot.com/2013/01/contoh-skandal-etika-dibidangakuntansi.html A. KASUS Dalam Kode Etik Profesi Akuntan telah diatur bagaimana seharusnya para akuntan bertindak. Akan tetapi pada kenyataannya, selalu ada penyimpangan- penyimpangan yang dilakukan oleh para akuntan. Penyimpangan- penyimpangan ini tentunya berdampak kurang baik terhadap kredibilitas maupun nama baik akuntan di mata masyarakat. Kasus pelanggaran Standar Profesional Akuntan Publik kembali muncul. Menteri Keuangan pun memberi sanksi pembekuan. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati membekukan izin Akuntan Publik (AP) Drs. Petrus Mitra Winata dari Kantor Akuntan Publik (KAP) Drs. Mitra Winata dan Rekan selama dua tahun, terhitung sejak 15 Maret 2007. Kepala Biro Hubungan Masyarakat Departemen Keuangan Samsuar Said dalam siaran pers yang diterima Hukumonline, Selasa (27/3), menjelaskan sanksi pembekuan izin diberikan karena akuntan publik tersebut melakukan pelanggaran terhadap Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP). Pelanggaran itu berkaitan dengan pelaksanaan audit atas Laporan Keuangan PT Muzatek Jaya tahun buku berakhir 31 Desember 2004 yang dilakukan oleh Petrus. Selain itu, Petrus juga telah melakukan pelanggaran atas pembatasan penugasan audit umum dengan melakukan audit umum atas laporan keuangan PT Muzatek Jaya, PT Luhur Artha Kencana dan Apartemen Nuansa Hijau sejak tahun buku 2001 sampai dengan 2004. Selama izinnya dibekukan, Petrus dilarang memberikan jasa atestasi termasuk audit umum, review, audit kinerja dan audit khusus. Yang bersangkutan juga dilarang menjadi pemimpin rekan atau pemimpin cabang KAP, namun dia tetap bertanggungjawab atas jasajasa yang telah diberikan, serta wajib memenuhi ketentuan mengikuti Pendidikan Profesional Berkelanjutan (PPL). Pembekuan izin oleh Menkeu tersebut sesuai dengan Keputusan Menkeu Nomor 423/KMK.06/2002 tentang Jasa Akuntan Publik sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menkeu Nomor 359/KMK.06/2003.

B. PEMBAHASAN

Laporan Keuangan yang accountable dan auditable sangatlah penting, baik bagiperusahaan itu sendiri maupun bagi para pelaku bisnis lainnya. Disini peran akuntan publik sangatlah penting. Akuntan publik sebagai suatu profesi yang mengemban kepercayaan publik harus bekerja dalam kerangka peraturan perundang-undangan, kode etik dan standar profesi yang jelas. Berbagai pelanggaran etika yang dilakukan para akuntan telah banyak terjadi saat ini,misalnya berupa perekayasaan laporan keuangan untuk menunjukkan kinerja perusahaan agar terlihat lebih baik, ini merupakan pelanggaran akuntan terhadap kode etik profesinya yang telah melanggar kode etik akuntan karena akuntan telah memiliki seperangkat kode etik tersendiri yang disebut sebagai aturan tingkah laku moral bagi para akuntan dalam masyarakat.

Oleh karena itu, sikap profesional dan ketaatan pada kode etik profesi akuntansi sangat penting untuk dimiliki oleh setiap akuntan.Akuntan tidak independen apabila selama periode Audit dan periode Penugasan Profesioanalnya, baik Akuntan, Kantor Akuntan Publik (KAP) maupun orang dalam KAP memberikan jasa-jasa non-audit kepada klien, seperti pembukaan atau jasa lain yang berhubungan dengan jasa akuntansi klien, desain sistem informasi keuangan, aktuaria dan audit internal. Konsultasi kepada kliennya dibidang itu menimbulkan benturan kepentingan. Oleh karena itu Akuntan Profesional diharuskan untuk mematuhi prinsip-prinsip fundamental sebagai berikut: 1. Integritas, Akuntan Profesional harus bersikap jujur dalam semua hubungan professional dan bisnis. 2. Objektivitas, Akuntan Profesional tidak boleh membiarkan hal-hal yang biasa terjadi, tidak boleh membiarkan terjadinya benturan kepentingan, atau tidak boleh mempengaruhi kepentingan pihak lain secara tidak pantas yang dapat mengesampingkan pertimbangan professional atau pertimbangan bisnis. 3. Kompetensi dan sikap kehati-hatian professional, Akuntan Profesional memiliki kewajiban yang berkesinambungan untuk memelihara pengetahuan dan keahlian pada suatu tingkat dimana klien atau pemberi kerja menerima jasa profesional yang kompeten yang didasarkan pada pelatihan, perundang-undangan, dan teknik terkini. 4. Kerahasiaan, Akuntan Profesional harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh sebagai hasil hubungan profesional dan hubungan bisnis dan tidak boleh mengungkapkan informasi apapun kepada pihak ketiga tanpa ada izin yang tepat dan spesifik kecuali terdapat hak dan professional untuk mengungkapkan. 5. Profesional, Akuntan Profesional harus mematuhi hukum dan perundang-undangan yang relevan dan harus menghindari semua tindakan yang dapat mendeskreditkan profesi. C. ANALISIS Dalam kasus tersebut, sanksi pembekuan izin diberikan karena akuntan publik tersebut melakukan pelanggaran terhadap Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP). Berdasarkan etika profesi akuntansi, auditor tersebut telah melanggar prinsip keempat, yaitu prinsip objektivitas. Dimana setiap anggota harus menjaga obyektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya. Pelanggaran itu berkaitan dengan pelaksanaan audit atas Laporan Keuangan PT Muzatek Jaya tahun buku berakhir 31 Desember 2004 yang dilakukan oleh Drs. PetrusMitra Winata. Selain itu, Petrus juga telah melakukan pelanggaran atas pembatasan penugasan audit umum dengan melakukan audit umum atas laporan keuangan PT Muzatek Jaya, PT Luhur Artha Kencana dan Apartemen Nuansa Hijau sejak tahun buku 2001 sampai dengan 2004. Sebagai seorang akuntan publik, Drs. Petrus Mitra Winata seharusnya mematuhi Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP) yang berlaku. Ketika memang dia harus melakukan jasa audit, maka audit yang dilakukan pun harus sesuai dengan Standar Auditing (SA) dalam SPAP. Penelitian terhadap perilaku akuntan telah banyak dilakukan baik di luar negeri maupun di Indonesia. Penelitian ini dipicu dengan semakin banyaknya pelanggaran etika yang terjadi. Dari kondisi tersebut banyak peneliti yang ingin mencari tahu mengenai “faktor – faktor apa saja yang menjadi penentu atau mempengaruhi pengambilan keputusan tidak etis atau pelanggaran terhadap etika. Trevino (1990) menyatakan bahwa terdapat dua pandangan mengenai faktor – faktor yang mempengaruhi tindakan tidak etis yang dibuat oleh seorang individu. Pertama,

pandangan yang berpendapat bahwa tindakan atau pengambilan keputusan tidak etis lebih dipengaruhi oleh karakter moral individu. Kedua, tindakan tidak etis lebih dipengaruhi oleh lingkungan, misalnya sistem reward dan punishment perusahaah, iklim kerja organisasi dan sosialisasi kode etik profesi oleh organisasi dimana individu tersebut bekerja. Sementara Volker menyatakan bahwa para akuntan profesional cenderung mengabaikan persoalan etika dan moral bilamana menemukan masalah yang bersifat teknis, artinya bahwa para akuntan profesional cenderung berperilaku tidak bermoral apabila dihadapkan dengan suatu persoalan akuntansi. Selain itu Finn Etal juga menyatakan bahwa akuntan seringkali dihadapkan pada situasi adanya dilema yang menyebabkan dan memungkinkan akuntan tidak dapat independen. Akuntan diminta untuk teta independen dari klien, tetapi pada saat yang sama kebutuhan mereka tergantung kepada klien karena fee yang diterimanya, sehingga seringkali akuntan berada dalam situasi dilematis. Hal ini akan berlanjut jika hasil temuan auditor tidak sesuai dengan harapan klien, sehingga menimbulkan konflik audit. Konflik audit ini akan berkembang menjadi sebuah dilema etika ketika auditor diharuskan membuat keputusan yang bertentangan dengan independensi dan integritasnya dengan imbalan ekonomis yang mungkin terjadi atau tekanan di sisi lainnya. Situasi dilematis sebagaimana yang digambarkan di atas adalah situasi yang sangat sering dihadapi oleh auditor. Situasi demikianlah yang menyebabkan terjadinya pelanggaran terhada etika dan sangat wajarlah apabila ketika para pemakai laporan keuangan seperti investor dan kreditur mulai mempertanyakan kembali eksistensi akuntan sebagai pihak independen yang menilai kewajaran laporan keuangan.

BAB I PENDAHULUAN

Auditor berfungsi memastikan bahwa representansi keuangan seutuhnya bebas dari bias dan tersaji secara wajar sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang diterima secara umum. Fungsi audit ini berkaitan dengan kerangka-kerangka konseptual seperti agency theory, information economics, permintaan dan penawaran audit, atribut-atribut produk audit, dan asuransi dan hipotesis informasi. Kesimpulan dasarnya adalah insentif-insentif ekonomi melandasi pihak-pihak untuk memiliki dan menawarkan suatu audit. Menurut Prof. Wallace, audit memenuhi 3 permintaan eksplisit, yaitu: 1. Permintaan akan adanya suatu mekanisme pengawasan 2. Permintaan bagi produksi informasi untuk memperbaiki keputusan-keputusan investor, dan

3. Permintaan bagi asuransi/jaminan agar terlindung dari kerugian yang diakibatkan oleh informasi yang menyimpang. Saran auditor untuk memperbaiki efisiensi operasi yang dilakukan klien menyebabkan biaya operasi dapat dihemat, seperti biaya properti dan asuransi kerugian keuangan menjadi lebih rendah, berkurangnya kerugian karena kesalahan-kesalahan, biaya jasa-jasa pendukung menjadi lebih rendah, dan semakin tinggi ketaatan pada peraturan. Ini merupakan manfaat yang diperoleh dari pelaksanaan audit oleh auditor. Suatu audit memungkinkan kreditor, banker, investor, dan pihak-pihak lain untuk menggunakan laporan keuangan dengan penuh keyakinan. Walaupun audit tidak menjamin ketepatan laporan keuangan, audit memberikan kepastian yang layak kepada para pemakai bahwa laporan keuangan entitas yang dimaksud menyajikan secara wajar, dalam semua yang material pada posisi keuangan, hasil-hasil operasi, dan arus kas yang sesuai GAAP. Suatu audit mempertinggi keyakinan pemakai bahwa laporan keuangan tidak mengandung salah saji yang material karena auditor adalah seorang yang independent, ahli yang objektif, paham mengenai bisnis dan kewajiban-kewajiban pelaporan keuangan dan entitas yang bersangkutan. Laporan hasil audit berbeda secara signifikan dari satu negara dengan negara yang lain. Laporan ini ada yang hanya berupa laporan sederhana mengenai ketaatan terhadap kewajiban-kewajiban hukum hingga berupa suatu suatu laporan mengenai standar-standar dan prosedur-prosedur yang dipakai, lingkup audit, proses yang digunakan sampai dikeluarkannya pendapat audit, kesesuaian dengan standar akuntansi yang terkait, konsistensi dari standar akuntansi, auditing, dan pelaporan yang dipakai, pembebasan manajemen dari tugas-tugasnya.

BAB II PEMBAHASAN

A. KASUS AUDIT DI DALAM NEGERI Menerapkan proses GCG dalam suatu perusahaan bukanlah merupakan suatu proses yang mudah. Diperlukan konsistensi, komitmen, dan pemahaman yang jelas dari seluruh stakeholders perusahaan mengenai bagaimana seharusnya proses tersebut dijalankan. Apabila ketiga hal tersebut diatas masih belum dimiliki oleh perusahaan, maka dapat dipastikan bahwa GCG bagi perusahaan hanya sebagai pemenuhan peraturan (formalitas) dan belum dapat dianggap sebagai bagian dari sistem pengawasan yang efektif. Mengamati kasus-kasus yang terjadi baik di BUMN maupun Perusahaan Publik, mungkin dapat disimpulkan sementara bahwa penerapan proses GCG masih setengah hati, belum dipahami dan diterapkan seutuhnya, terutama oleh top management sebagai pengambil keputusan strategis. Pembedahan kasus yang terjadi di perusahaan BUMN atas proses pengawasan yang efektif akan dapat menjadi suatu pembelajaran yang menarik dan kiranya dapat kita hindari apabila kita dihadapkan pada situasi yang sama.

Salah satu contohnya adalah kasus audit umum yang dialami oleh PT Kereta Api Indonesia (PT KAI). Kasus ini menunjukkan bagaimana proses tata kelola yang dijalankan dalam suatu perusahaan, dan bagaimana peran dari tiap-tiap organ pengawas di dalam menyajikan laporan keuangan yang tidak salah saji dan mampu menggambarkan keadaan keuangan perusahaan yang semestinya. Sebagai perusahaan BUMN yang bergerak di bidang pelayanan publik, PT KAI memiliki business environment yang berbeda dengan perusahaan swasta lainnya dan merupakan pembelajaran yang menarik bagi semua badan pengawas perusahaan, terutama mengenai bagaimana seharusnya pengawasan yang efektif dapat dibangun.

Kasus Audit PT KAI 1. Permasalahan yang Dihadapi PT KAI Untuk memahami akar dari permasalahan yang terjadi, perlu dikaji beberapa hal yang signifikan terkait dengan masalah ini, yang mungkin merupakan sumber permasalahan dari tidak berjalannya mekanisme pengawasan (oversight) di PT KAI. Misalnya, bagaimana proses penyusunan laporan keuangan yang berjalan selama ini? Apakah Komisaris (termasuk Komite Audit) terlibat di dalamnya? Mengapa Komisaris baru dapat mengidentifikasi permasalahan setelah laporan keuangan selesai diaudit oleh auditor eksternal? Bagaimana proses dan kualitas internal control yang ada? Apakah Komisaris dan Komite Audit berperan secara optimal dalam melakukan pengawasan (oversight)? Untuk menjawab berbagai pertanyaan tersebut, Ikatan Komite Audit Indonesia akan menyelenggarakan Forum Komite Audit 13. Forum ini akan membahas proses Good Corporate Governance (GCG) bagi Direksi, Komisaris, dan Komite Audit, khususnya dalam membangun pengawasan yang efektif. Kasus PT KAI bermuara pada perbedaan pandangan antara Manajemen dan Komisaris, khususnya Ketua Komite Audit dimana Komisaris menolak menyetujui dan menandatangani laporan keuangan yang telah diaudit oleh Auditor Eksternal. Dan Komisaris meminta untuk dilakukan audit ulang agar laporan keuangan dapat disajikan secara transparan dan sesuai dengan fakta yang ada. Perbedaan pandangan antara Manajemen dan Komisaris bersumber pada perbedaan pendapat mengenai:

a. Masalah piutang PPN Piutang PPN per 31 Desember 2005 senilai Rp 95,2 milyar, menurut Komite Audit harus dicadangkan penghapusannya pada tahun 2005 karena diragukan kolektibilitasnya, tetapi tidak dilakukan oleh manajemen dan tidak dikoreksi oleh auditor.

b. Masalah Beban Ditangguhkan yang berasal dari penurunan nilai persediaan. Saldo beban yang ditangguhkan per 31 Desember 2005 sebesar Rp. 6 milyar yang merupakan penurunan nilai persediaan tahun 2002 yang belum diamortisasi, menurut Komite Audit harus dibebankan sekaligus pada tahun 2005 sebagai beban usaha. c. Masalah persediaan dalam perjalanan Berkaitan dengan pengalihan persediaan suku cadang Rp. 1,4 milyar yang dialihkan dari satu unit kerja ke unit kerja lainnya di lingkungan PT. KAI yang belum selesai proses akuntansinya per 31 Desember 2005, menurut Komite Audit seharusnya telah menjadi beban tahun 2005. d. Masalah uang muka gaji Biaya dibayar dimuka sebesar Rp. 28 milyar yang merupakan gaji Januari 2006 dan seharusnya dibayar tanggal 1 Januari 2006 tetapi telah dibayar per 31 Desember 2005 diperlakukan sebagai uang muka biaya gaji, yang menurut Komite Audit harus dibebankan pada tahun 2005. e. Masalah Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditentukan Statusnya (BPYDBS) dan Penyertaan Modal Negara (PMN) BPYDBS sebesar Rp. 674,5 milyar dan PMN sebesar Rp. 70 milyar yang dalam laporan audit digolongkan sebagai pos tersendiri di bawah hutang jangka panjang, menurut Komite Audit harus direklasifikasi menjadi kelompok ekuitas dalam neraca tahun buku 2005. Terlepas dari pihak mana yang benar, permasalahan ini tentunya didasari oleh tidak berjalannya fungsi check and balances yang merupakan fungsi substantif dalam perusahaan. Yang terpenting adalah mengidentifikasi kelemahan yang ada sehingga dapat dilakukan penyempurnaan untuk menghindari munculnya permasalahan yang sama di masa yang akan datang.

2. Penyelesaian Untuk menjawab pertanyaan mengenai mekanisme pengawasan yang telah dijelaskan pada latar belakang, Ikatan Komite Audit Indonesia akan menyelenggarakan Forum Komite Audit 13. Forum ini akan membahas Proses Good Corporate Governance bagi Direksi, Komisaris, dan Komite Audit, khususnya dalam membangun pengawasan yang efektif. Tujuan Pembentukan Komite 13 1) Menjadi forum pembelajaran bagi berbagai kalangan, termasuk Direksi, Komisaris, Komite Audit, Pejabat Negara (khususnya Kementerian BUMN) maupun Auditor Eksternal didalam memahami proses Good Corporate Governance melalui bedah kasus nyata. 2)

Memahami permasalahan secara komprehensif mengenai bagaimana membangun pengawasan yang efektif dan bagaimana sebaiknya badan pengawas baik Direksi, Komisaris dan Komite Audit menyikapi permasalahan ini.

3) Mendapatkan gambaran mengenai batasan dan ruang lingkup pelaksanaan peran dan tanggung jawab Komite audit, Komisaris, dan Direksi dalam menjalankan fungsi pengawasan (oversight) atas penyusunan laporan keuangan. 4) Mendapatkan gambaran apakah due process telah berjalan dengan baik, khususnya yang menyangkut Komite Audit dan hal-hal apa saja yang perlu mendapatkan perhatian baik dari Direksi, Komisaris, maupun Komite Audit didalam membangun pengawasan yang efektif. B. KASUS AUDIT DI LUAR NEGERI International Auditing and Assurance Standards Board (IAASB) adalah merupakan badan yang dibentuk oleh International Federation of Accountants (IFAC) sebagai badan pembuat standar auditing dan assurance. Standar yang diterbitkan oleh IAASB terbagi dalam tiga kategori. Pertama, standar audit dan review informasi keuangan historis. Standar ini terdiri dari dua standar yaitu: International Standard on Auditings (ISAs), dan International Standard on Review Engagement (ISREs). Selanjutnya, untuk membantu penerapan standar auditing, IAASB mengeluarkan International Auditing Practice Statement (IAPSs). IAPS ini merupakan pedoman interpretasi dan bantuan praktis di dalam menerapkan standar auditing. Dan untuk penerapan standar review, IAASB juga telah mengeluarkan pedoman interpretasi dan batuan praktisnya. Pedoman ini diberi nama International Review Engagement Practice Statement (IREPSs). Kategori kedua, standar untuk penugasan assurance selain audit atau review laporan keuangan historis. Untuk kategori kedua ini, IAASB mengeluarkan

International Standard Assurance Engagements (ISAEs). Dan untuk penerapan lebih praktisnya, IAASB telah menerbitkan International Assurance Engagement Practice Statements (IAEPS). IAEPS ini merupakan pedoman interpretasi dan bantuan praktis didalam menerapkan standar assurance. Kategori terakhir adalah standar untuk jasa lainnya. Untuk kategori ketiga ini, IAASB menerbitkan International Standard on Related Services (ISRSs). Standar ini harus diterapkan pada penugasan kompilasi, pengolahan informasi, dan jasa penugasan lain. Untuk penerapannya, IAASB juga telah mengeluarkan pedoman interpretasi dan bantuan praktis yang diberi nama International Related Service Practice Statements (IRSPSs). Selain mengeluarkan standar untuk pekerjaan auditor, IAASB juga mengeluarkan standar untuk memberikan mutu pelayanan yang baik. Standar ini dinamakan International Standard on Qualitiy Controls (ISQCSs). Auditing internasional menghadapi sejumlah masalah yang belum terpecahkan: 1.

Prinsip-prinsip dasar. Apakah prinsip-prinsip dasar (IACP) bias diterima di seluruh dunia?

2.

Laporan Auditor. Format dan bahasa pelaporan tidak seragam secara internasional.

3.

Kebebasan Profesional. Kebebasan auditor menimbulkan masalah-masalah operasional dalam kegiatan kerja internasional.

4.

Kondisi Audit. Audit independent mungkin dalam beberapa kasus diwajibkan secara hokum dan dalam kasus-kasus tertentu dilakukan secara sukarela, fee audit di satu Negara mungkin ditentukan secara hokum dan di Negara-negara lain mungkin bergantung pada mekanisme pasar, prosedur audit secara multinasional agak kurang seragam dibandingkan dengan yang diharapkan, begitu pula dengan praktek auditnya, tingkah laku professional diatur oleh hokum di beberapa Negara, sementara di tempat-tempat lain hanya ada rekomendasirekomendasi dari institute-institut professional tempat para auditor bernaung untuk mencapai pengakuan dan penerimaan professional.

5.

Laporan keuangan untuk digunakan di Negara lain: apakah pelaporan auditor domestic mengenai suatu entitas domestic bisa menggunakan prinsip-prinsip akuntansi yang diterima umum di Negara lain?

6.

Kepercayaan pada Auditor Luar Negeri. Keseluruhan implikasi dari pemilih untuk percaya kepada auditor lain masih tidak jelas, baik dalam pengertian professional maupun dalam pengertian hokum.

7.

Kualifikasi Profesi

8.

Keharusan dilakukannya audit di luar negeri

9.

Politisasi

10. Riset. Bidang auditing masih kekurangan riset-riset yang relatif mendalam. 11. Auditing pemerintahan internasional. 12. Penerapan standar. Standar yang dikembangkan secara professional kurang memiliki kekuatan hokum, potensi perrsetujuan ekonomis, dan yang lebih umum, pengakuan politik dan diplomatic internasional, penerapan standar umumnya bergantung pada profesi itu sendiri. 13. Fungsi audit intern dalam operasi bisnis multinasional tengah meningkat di dalam segala dimensi dan berkembang dengan baik di seluruh dunia.

Kasus Bright and Lorren 1. Latar Belakang Frank Dorrance, seorang manajer audit senior Bright and Lorren, CPA, baru saja diinformasikan bahwa perusahaan berencana untuk mempromosikannya menjadi rekanan pada 1 atau 2 tahun ke depan bila ia terus memperlihatkan tingkat mutu yang tinggi sama seperti masa sebelumnya. Baru saja Frank ditugaskan untuk mengaudit “Machine International”, sebuah perusahaan grosir besar yang mengirimkan barang ke seluruh dunia yang merupakan klien Bright and Lorren yang bergengsi. Selama audit, Frank memperkirakan bahwa Machine International menggunakan metode pengenalan pendapatan yang disebut “tagih dan tahan” yang baru saja dipertanyakan oleh SEC. Setelah banyak melakukan riset, Frank menyimpulkan bahwa metode pengenalan pendapatan tidaklah tepat untuk Machine International. Ia membahas hal ini dengan rekanan penugasan yang menyimpulkan bahwa metode akuntansi itu telah digunakan selama lebih dari 10 tahun oleh klien dan ternyata tepat. Frank berkeras bahwa metode tersebut tepat pada tahun sebelumnya tetapi peraturan SEC membuatnya tidak tepat tahun ini. Frank menyadari tanggung jawab rekan itu untuk membuat keputusan akhir, tetapi ia merasa cukup yakin untuk menyatakan bahwa ia merencanakan untuk mengikuti persyaratan SAS 22 (AU 311) dan menyertakan sebuah pernyataan dalam kertas kerja bahwa ia tidak setuju dengan keputusan rekannya. Rekan itu memberitahukan Frank bahwa ia tidak akan mengizinkan pernyataan demikian karena potensi implikasi hukum. Namun, ia mau menulis sebuah surat kepada Frank yang

menyatakan bahwa ia mengambil tanggung jawab penuh untuk keputusan akhir bila timbul suatu permasalahan hukum. Ia menutupnya dengan mengatakan, “Frank, rekan harus bertindak seperti rekan. Bukan seperti meriam lepas yang berusaha membuat hidup menjadi sulit bagi rekan mereka. Anda masih harus berkembang sebelum saya merasa nyaman dengan anda sebagai rekan.” 2. Penyelesaian Pada kasus di atas, kita dapat menggunakan pendekatan enam langkah untuk menyelesaikan dilema etis tersebut, antara lain: a. Terdapat fakta-fakta yang relevan Dalam kasus ini, fakta-fakta tersebut adalah: 1) Metode pengenalan pendapatan yang digunakan Machine International merupakan metode yang dipertanyakan oleh pihak SEC. 2) Setelah melakukan riset, Frank menemukan bahwa metode tersebut tidak sesuai bagi Machine Internatioal. Frank mengetahui bahwa metode tersebut memang tepat pada tahun sebelumnya tetapi peraturan SEC membuatnya tidak tepat tahun ini. 3) Frank merencanakan untuk mengikuti persyaratan SAS 22 (AU 311) dan menyertakan sebuah pernyataan dalam kertas kerja bahwa ia tidak setuju dengan keputusan rekannya. 4) Rekannya meminta Frank agar sependapat dengan dirinya untuk menyetujui penggunaan metode tersebut karena metode tersebut telah digunakan selama bertahun-tahun dan diyakini ketepatannya. Rekannya menawarkan surat pernyataan bahwa bila terjadi suatu permasalahan hukum, maka ia mengambil tanggung jawab penuh akan hal tersebut. b. Mengidentifikasi isu-isu etika berdasarkan fakta-fakta tersebut. Isu etika dari dilema tersebut apakah merupakan hal yang etis bagi Frank untuk mengeluarkan pernyataan bahwa ia tidak setuju dengan keputusan rekannya mengingat rekan merupakan orang yang membuat keputusan akhir serta berada di atas kedudukannya saat ini sebagai manajer senior. c. Menentukan siapa yang akan terkena pengaruh dari keluaran dilema tersebut dan bagaimana cara masing-masing pribadi atau kelompok itu dipengaruhi. Dari kasus tersebut, dapat kita ketahui bahwa siapa, bagaimana cara mempengaruhi Frank agar sependapat dengan rekannya bahwa metode pengenalan pendapatan yang digunakan oleh Machine International adalah

metode yang tepat, dan agar Frank menerima surat penawaran dari rekannya bahwa rekannya yang bertanggung jawab penuh jika terjadi masalah hukum. d. Menentukan alternatif-alternatif yang tersedia bagi Frank 1) Menolak untuk sependapat dengan rekannya 2) Menolak surat penawaran yang ditawarkan rekannya 3) Memberitahu Machine International bahwa metode yang digunakan tidak sesuai dengan SEC 4) Menyetujui pendapat dan tawaran surat pertanggung jawaban dari rekannya 5) Meminta agar rekannya mematuhi aturan yang terdapat pada SEC 6) Menolak untuk melakukan kegiatan penugasan tersebut 7) Mengundurkan diri dari perusahaan e. Konsekuensi dari setiap alternatif Jika ia menyetujui pendapat dan tawaran surat pertanggungjawaban dari rekannya kemungkinan hal ini dapat berpengaruh besar bagi hasil audit ini nantinya. Jika timbul permasalahan hukum maka hal ini dapat membuat perusahaanya (Bright and Lorren, CPA), rekannya, dan ia sendiri dituntut oleh kliennya karena melakukan kesalahan selama pelaksanaan audit. f.

Tindakan yang tepat keputusan sepenuhnya berada ditangan Frank, tentunya ia harus mempertimbangkan masak-masak akan dilema yang dihadapinya saat ini. Secara ekstrim, jika ia tetap menjunjung akan SPAP dan PSAK maka ia akan tetap menuliskan ketidaksetujuannya akan keputusan rekannya dalam menangani kasus tersebut, mengingat metode akuntansi yang digunakan klien tidaklah sesuai dengan aturan yang diberikan SEC. Namun, jika ia menyetujui pendapat rekannya maka kemungkinan ia akan memperoleh kedudukannya sebagai rekan yang akan ia peroleh 1 atau 2 tahun ke depan serta adanya pandangan bahwa ia telah menunjukkan sikap menghargai dan menghormati keputusan rekannya. Sementara di satu pilihan lainnya Frank dapat memilih untuk tidak melakukan kegiatan penugasan tersebut melihat adanya risiko yang cukup besar pada hasil auditnya nanti.

BAB III PENUTUP

Kesimpulan Auditor berfungsi memastikan bahwa representansi keuangan seutuhnya bebas dari bias dan tersaji secara wajar sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang diterima secara umum. Fungsi audit ini berkaitan dengan kerangka-kerangka konseptual seperti agency theory, information economics, permintaan dan penawaran audit, atribut-atribut produk audit, dan asuransi dan hipotesis informasi. Kesimpulan dasarnya adalah insentif-insentif ekonomi melandasi pihak-pihak untuk memiliki dan menawarkan suatu audit. Menurut Prof. Wallace, audit memenuhi 3 permintaan eksplisit: 1. Permintaan akan adanya suatu mekanisme pengawasan

2. Permintaan bagi produksi informasi untuk memperbaiki keputusan-keputusan investor 3. Permintaan bagi asuransi/jaminan agar terlindung dari kerugian yang diakibatkan oleh informasi yang menyimpang. Biaya operasi yang disebabkan oleh saran auditor untuk memperbaiki efisiensi operasi dapat dihemat, biaya property dan asuransi kerugian keuangan menjadi lebih rendah, berkurangnya kerugian karena kesalahan-kesalahan, biaya jasa-jasa pendukung menjadi lebih rendah, dan semakin tinggi ketaatan pada peraturan. Suatu audit memungkinkan kreditor, banker, investor, dan pihak-pihak lain untuk menggunakan laporan keuangan dengan penuh keyakinan. Walaupun audit tidak menjamin ketepatan laporan keuangan, audit memberikan kepastian yang layak kepada para pemakai bahwa laporan keuangan entitas yang dimaksud menyajikan secara wajar, dalam semua yang material posisi keuangan, hasil-hasil operasi, arus kas sesuai GAAP. Suatu audit mempertinggi keyakinan pemakai bahwa laporan keuangan tidak mengandung salah saji yang material karena auditor adalah seorang yang independent, ahli yang objektif, yang paham mengenai bisnis dan kewajiban-kewajiban pelaporan keuangan dan entitas yang bersangkutan.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF