Chronic Sorrow Theory

October 10, 2019 | Author: Anonymous | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Chronic Sorrow Theory...

Description

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Teori Middle Range, merupakan level kedua dari teori keperawatan, abstraknya pada level pertengahan, inklusif, diorganisasi dalam lingkup terbatas, memiliki sejumlah varibel terbatas, dapat diuji secara langsung. Teori MiddleRange memiliki hubungan yang lebih kuat dengan penelitian dan praktik. Hubungan antara penelitian dan praktik menurut Merton (1968), menunjukkan bahwa Teori Mid-Range amat penting dalam disiplin praktik, selain itu Walker dan Avant (1995) mempertahankan bahwa mid-range theories menyeimbangkan kespesifikannya dengan konsep ekonomi secara normal yang nampak dalam grand teori. Akibatnya mid-range teori memberikan manfaat bagi perawat, mudah diaplikasikan dalam praktik dan cukup abstrak secara ilmiah. Chinn dan Kramer (1995:216) mengatakan bahwa mid-range teori sesuai dengan lingkup fenomena yang relatif luas tetapi tidak mencakup keseluruhan fenomena yang ada dan merupakan masalah pada disiplin ilmu. Contoh yang mewakili mid-range teori adalah teori meredakan nyeri dalam keperawatan. Teori ini lebih luas dari theory neural conduction terhadap rangsangan nyeri tetapi lebih sempit dari tujuan mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi. Jadi fenomena nyeri terkait pada konsep mid-range pada keperawatan, karena nyeri adalah salah satu dari fenomena yg terdiri dari konsep global suatu disiplin. Mid-range theories berfokus pada konsep peminatan perawat dan mencakup nyeri, empati, berduka, konsep diri, harapan, kenyamanan, martabat dan kualitas hidup. Contoh dalam keperawatan middle range theories adalah :

DEWI UMU KULSUM, S.Kep., Ners

2

Rogers’s Theory dari akselerasi perubahan, Roy’s Theory dari teori adaptasi, King’s Theory dari pencapaian tujuan. Teori chronic sorrow merupakan teori mid-range karena dalam teori ini membahas tentang fenomena yang spesifik yaitu tentang masalah-masalah yang timbul dari penyakit kronis mencakup proses berduka, kehilangan, faktor pencetus dan metoda manajemennya. Karena kespesifikan teori tersebut, maka teori ini mudah diaplikasikan dalam praktik keperawatan. Banyak penelitian yang telah dilakukan sebagai aplikasi teori ini terkait dengan penyakit kronik seperti pada pasien multiple sklerosis, diabetes mellitus pada anak, anemia sickle cell pada anak, epilepsy, sindrom down, spina bifida, dan lain-lain. Penyakit

kronis

dapat

didefinisikan

sebagai

kondisi

sakit

yang

menimbulkan berkurang atau hilangnya fungsi sehari-hari lebih dari 3 bulan dalam 1 tahun atau mengalami hospitalisasi lebih dari 1 bulan dalam 1 tahun. (Hockenberry, 2007). Hal ini menjadikan individu/anak dengan penyakit kronik mengalami berbagai masalah keterbatasan sehingga individu/ anak tersebut mempunyai kebutuhan akan perawatan khusus, komprehensif dan berkelanjutan. Penyakit kronik memberikan efek yang penting bagi berjalannya fungsi keluarga. Salah satunya adalah efek yang substansial pada fungsi keluarga dimana keluarga akan mendapatkan tugas keluarga yang lebih kompleks, tanggung jawab yang lebih besar, perhatian yang lebih besar, tugas identifikasi kebutuhan anak seperti kebutuhan akan alat bantu, akses pendidikan yang sesuai, pembiayaan, ketidakpastian masa depan, kehilangan secara emosional, reaksi terhadap stigma dalam masyarakat, isolasi sosial, dan kehilangan kesempatan dalam bermasyarakat secara normal. Berdasarkan hal ini orang tua menjadi orang yang sangat terpengaruh dengan kondisi yang terjadi pada anak. Salah satu pengaruh yang besar pada orang tua adalah perasaan berduka atau kehilangan disebabkan karena orang tua mempersepsikan adanya

DEWI UMU KULSUM, S.Kep., Ners

3

perbedaan anaknya dengan anak normal lain. Perasaan berduka atau kehilangan ini akan muncul dalam respon emosional seperti putus asa, menyesal, tidak percaya, menyalahkan diri sendiri, permusuhan, cemas, raguragu, disorientasi dan perasaan terisolasi. Keadaan ini berlangsung lama disebabkan respon emosional itu akan selalu muncul pada saat-saat dimana terjadi kejadian-kejadian yang memicu keadaan yang mengkhawatirkan dan managemen emosional yang tidak efektif. B. Tujuan Penulisan 1. Tujuan Umum : Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran

konsep

penerapannya

dasar

pada

teori

asuhan

keperawatan

keperawatan

chronic di

tatanan

sorrow

dan

pelayanan

kesehatan. 2. Tujuan Khusus : Tujuan khusus penulisan makalah ini adalah : a. Agar perawat yang bekerja di rumah sakit dapat menerapkan teori chronic sorrow pada klien. b. Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman perawat tentang konsep teori chronic sorrow. c. Mampu menerapkan teori chronic sorrow pada asuhan keperawatan dengan pendekatan proses keperawatan.

DEWI UMU KULSUM, S.Kep., Ners

4

BAB II TINJAUAN TEORI

A. Sejarah 1. Georgene Gaskill Eakes Georgene Gaskill Eakes lahir di New Bern, North Carolina. Dia menerima Diploma keperawatan dari Sekolah keperawatan Rumah sakit Watts di Durham, North Carolina 1966 dan pada tahun 1977 dia lulus Bacalaureate dengan Summa Cumlaude dari North Carolina Agricultural dan Technical State university. Eakes melanjutkan M.S.N pada University of North Carolina di Greensboro pada tahun 1980 dan Ed.D dari North Carolina

State

University

DEWI UMU KULSUM, S.Kep., Ners

pada

tahun

1988.

Eakes

menerima

5

penghargaan untuk study masternya dan dari North Carolina league untuk studi doktoralnya. Dia dilantik dalam Sigma Theta Tau International Honor Society of Nurses pada 1979 dan Phi Kappa Phi Honor Society pada 1988. Pada awal pekerjaannya, Eakes bekerja di lingkungan akut maupun komunitas berbasis psikiatrik dan kesehatan mental. Pada tahun 1980 dia bergabunng pada fakultas di East Carolina University School of Nursing Greenville, North Carolina dan sampai sekarang. Eakes berminat dalam permasalahan yang berkaitan dengan mati, kematian, berkabung dan kehilangan sampai tahun 1970 saat dia mengalami ancaman hidup berupa injury adanya kecelakaan mobil. Pengalaman mendekati kematian meningkatkan

kesadarannya

tentang

bagaimana

mempersiapkan

pelayanan kesehatan profesional dan saat individu dihadapkan pada kematian serta kurangnya pemahaman tentang reaksi berduka dalam situasi kehilangan. Dimotivasi oleh pengalamannya, dia memulai usaha penelitian untuk investigasi tentang kecemasan menjelang kematian diantara para perawat dalam setting perawatan jangka panjang dan mengeksplorasi resolusi griefing diantara perawat akut. Pada tahun 1983, Eakes mendirikan pelayanan komunitas, dua kali sebulan mendukung kelompok untuk diagnosa kanker maupun yang lainnya yang signifikan dia sebagi co-facilitate. Keterlibatannya dalam kelompok ini menyiagakannya dalam reaksi berduka berhubungan dengan diagnosis yang berpotensial dalam ancaman hidup, penyakit kronik. Selama memperkenalkan disertasinya pada konferensi Sigma Theta Tau International di Taipei, Taiwan pada 1989, dia menghadiri presentasi tentang chronic sorrow oleh Mary Lermann Burke dan dengan

DEWI UMU KULSUM, S.Kep., Ners

6

segera membuat hubungan antara deskripsi Burke tentang chronic sorrow dengan ibu yang mempunyai anak dengan myelomeningocele dan observasinya tentang reaksi griefing diantara anggota support sistem kelompok kanker. Setelah konferensi,

Eakes

mengkontak

Burke

untuk

mengeksplorasi kemungkinan penelitian secara kolaboratif. Berdasarkan diskusi mereka, mereka menjadwalkan pertemuan dengan Burke dan koleganya yaitu Margaret A. Hainsworth dan Carolyn Lindgren lulusan Hainsworth. Konsorsium keperawatan untuk penelitian tentang chronic sorrow (NCRCS) merupakan pertemuan pertama pada musim panas 1989. Anggota NCRCS melakukan pendekatan kualitatif pada populasi dengan kondisi kronik yang mengancam kehidupan, pada caregiver dan individu yang kehilangan. Eakes berfokus pada penelitian dengan diagnosa kanker, family caregiver pada anak dengan penyakit mental dan individu yang berpengalaman tentang kematian. Dari tahun 1992 sampai 1997, Eakes menerima 3 penghargaan penelitian dari East Carolina University School of Nursing dan dua penghargaan penelitian dari Beta Nu Chapter of Sigma Theta Tau International. Sebagai tambahan dalam

publikasinya,

Eakes

melakukan

presentasi yang berhubungan dengan grief-loss dan death and dying. Eakes juga aktif terlibat dalam usaha untuk meningkatkan kualitas hidup pada akhir kehidupan dan mendekati kematian sebagai anggota dari Board of Directors of the End of Life Care Coalition of Eastern North Carolina. Pada tahun 2002, Eakes menerima penghargaan dari East Carolina University pada penelitiannya yang di integrasikan dalam praktik pembelajaran. Pada 1999, Eakes menerima penghargaan The Best

DEWI UMU KULSUM, S.Kep., Ners

7

Image untuk publikasi teorinya ”Middle-Range Theory of Chronic Sorrow” dari Sigma Theta tau International Honor Society. Dia merupakan finalis dalam oncology nursing forum 1994. Penghargaan lainnya meliputi seleksi sebagai Edukator keperawatan dari North Carolina Nurses Association pada 1991 dan sebagai peneliti oleh Beta Nu Chapter of Sigma Theta Tau Internasional Honor Society for Nurses pada tahun 1994 dan 1998. Eakes juga sebagai reviewer pada penelitian kualitatif kesehatan pada jurnal internasional dengan interdispliner. Eakes adalah seorang professor pada Department keperawatan keluarga dan komunitas di East Carolina University School of Nursing dimana dia mengajar tentang psikiatrik dan keperawatan kesehatan mental dan penelitian keperawatan, sebagai pengajar di Master Keperawatan dan berbagai disiplin ilmu tentang pelajaran perspektif Death/Dying. Dalam penelitian yang terkini untuk mengemabangkan peralatan pengkajian tentang Chronic Sorrow, instrument kuantitatif yang di desain untuk mengkaji bukti adanya chronic sorrow dan untuk mengidentifikasi

mekanisme

koping

efektif

(G.

Eakes,

personal

communication, 2005). 2. Mary Lermann Burke Mary Lermann Burke dilahirkan di Sandusky Ohio dimana dia menyelesaikan sekolah elementary dan secondary. Dia menerima penghargaan untuk pertama kalinya saat diploma dari Good Samaritan Hospital School of Nursing di Cincinnati tahun 1962 kemudian diikuti sertifikat post graduate dari Children’s Medical Center di District Columbia. Setelah beberapa tahun bekerja di keperawatan pediatric, Burke lulus dengan Summa Cum Laude dari Rhode Island College

DEWI UMU KULSUM, S.Kep., Ners

8

Providence dengan bachelor degree. Pada tahun 1982 dia menerima Master Degree pada parent-child nursing dari Boston University. Selama program ini, dia juga menerima penghargaan sertifikat dalam Parent-Child Nursing and Interdisciplinary Training in Development Center of Rhode Island Hospital and the Section on Reproductive and Developmental Medicine, brown University. Burke tertarik dengan konsep chronic sorrow selama program masternya. Thesisnya berjudul “The Concerns of Mothers of Preschool Children With Myelomeningocele”, yang mengidentifikasi emosi tentang kesedihan yang mendalam. Kemudian waktu disertasi doctoral dia mengembangkan Burke Chronic Sorrow Questionaire, “Chronic sorrow in mothers of school-age children with myelomeningocele”. 3. Margaret A. Hainsworth Margaret A. Hainsworth lahir di Brockville, Ontario Canada. Dia menamatkan pendidikan dasar dan sekundernya di tempat kelahirannya. Dia masuk diploma sekolah keperwatan di Brockville General Hospital dan lulus tahun 1953. Tahun 1959 dia pindah ke United State dan menerima diploma pada keperawatan kesehatan masyarakat. Pada tahun 1974 dia melanjutkan pendidikan di Salve Regina College dan menerima Bacalaurate dalam bidang keperawatan tahun 1973 dan master dibidang keperawatan kesehatan mental dan psikiatrik dari Boston College tahun 1974. Dia menerima program Doctor dari University Connecticut tahun 1986. Tahun 1988, menerima sertifikat sebagai spesialis klinik dalam keperawatan

kesehatan

mental

dan

psikiatrik.

Hainsworth berminat pada penyakit kronik dan yang berhubungan dengan dukacita dimulai saat dia sebagai facilitator untuk memberikan dukungan

DEWI UMU KULSUM, S.Kep., Ners

9

pada wanita dengan multiple sklerosis. Praktik tersebut, menginspirasinya untuk mengambil disertasi dengan judul “An Ethnographic Study of Women With Multiple Sclerosis Using Symbolic Interaction Approach”. Penelitian ini dipresentasikan pada Konggres Sigma Theta Tau di Taipei, Taiwan pada tahun 1989. Pada konferensi ini dia menjadi familiar dengan penelitian tentang chronic sorrow setelah menghadiri presentasi yang diadakan Burke. B. Sumber Teori Nursing Concorcium

Reseach

Chronic

Sorrow

(NCRCS)

dibuat

berdasarkan middle range teori keperawatan mengenai kesedihan kronis (chronic sorrow). Kemudian untuk membentuk dasar konseptualisasi mengenai koping individu terhadap kesedihan kronis digunakanlah model stress dan adaptasi milik Lazarus dan Folkman (1984). Konsep kesedihan kronis berasal dari teori oleh Olshansky (1962). Para teoris NCRCS mengintip observasi Olshansky mengenai orang tua dengan anak-anak retardasi mental yang mengalami kesedihan yang terus berulang. Ia menyebutkan dengan kesedihan kronis. Selain itu Bowlby dan Lindemann dalam Lindgsen (1992) membuat konsep berduka sebagai proses yang akan selesai seiring dengan perjalanan waktu dan jika tidak selesai berduka dikatakan sebagai abnormal. Kebalikan dengan teori yang terikat waktu milik Bowlby tersebut, Wilker et al mengatakan bahwa kesedihan yang berulang merupakan peristiwa normal (Lindgsen, 1992). Sedangkan Burke dalam studinya pada anak-anak dengan spina bifida mendefinisikan kesedihan kronis sebagai kesedihan menetap yang permanen, periodik dan progresif dan bersifat alami (Hainsworth, Eakes, Burke, 1994). NCRCS menggunakan hasil studi Lazarus dan Folkman sebagai dasar metode manejemen yang efektif gabi model yang mereka gunakan. Adanya

DEWI UMU KULSUM, S.Kep., Ners

10

perbedaan atau inkonsistensi dan respon terhadap duka yang berulang merangsang mekanisme koping individu. C. Penggunaan Bukti Empiris Studi NCRCS (The Nursing Consortium for Research on Chronic Sorrow) ini meliputi : 1. Individu dengan kanker (Eakes, 1993), infertility (Eakes et al., 1998), Multiple Sclerosis (Hainsworth, Burke, Lindgren, & Eakes, 1993; Hainsworth, 1994) dan Penyakit Parkinson (Lindgren, 1996). 2. Spouse caregivers/individu yang memiliki pasangan hidup dengan penyakit mental kronik (Hainsworth, Busch, Eakes, & Burke, 1995), Multiple Sclerosis (Hainsworth, 1995) dan Penyakit Parkinson (Lindgren, 1996). 3. Parent caregivers/orang tua yang memiliki anak dewasa dengan penyakit mental kronik (Eakes, 1995). Studi kemudian dikembangkan kepada para individu yang mengalami kehilangan (berduka) pada keadaan diri sendiri. Dinyatakan dalam studi ini bahwa

populasi

ini

juga

terus menerus mengalami

kesedihan

kronis.

Berdasarkan bukti-bukti empiris tersebut maka dinyatakan bahwa definisi kesedihan kronis sama dengan kesedihan menetap yang bersifat periodic dalam waktu permanen, atau perasaan terkait sedih lainnya secara terus menerus yang terjadi karena pengalaman kehilangan (Eakes et al, 1998). D. Model Teori Chronic Sorrow Dalam rentang kehidupan manusia, individu dihadapkan pada situasi kehilangan yang dapat terjadi secara terus menerus ataupun satu kejadian. Pengalaman kehilangan tersebut akan menimbulkan ketidakseimbangan antara yang diharapkan dengan kenyataan. Kejadian tersebut dapat memicu timbulnya kesedihan atau dukacita berkepanjangan/mendalam yang potensial progresif, meresap dalam diri individu, berulang dan permanent. Individu dengan

DEWI UMU KULSUM, S.Kep., Ners

11

pengalaman

kesedihan

tersebut

biasanya

akan

menggunakan

metode

management dalam mengatasinya. Metode managemen dapat berasal dari internal (koping personal) ataupun dari eksternal (dukungan orang yang berharga maupun tim kesehatan). Jika metode manageman yang digunakan efektif maka individu akan meningkat perasaan kenyamanannya. Tetapi jika tidak efektif akan terjadi hal sebaliknya. E. Mayor Konsep dan Defenisi 1. Chronic Sorrow Chronic sorrow adalah ketidakseimbangan yang berkelanjutan karena kehilangan yang dikarakteristikkan dengan pervasif dan permanen. Gejala kesedihan berulang secara periodik dan biasanya gejala ini terus berkembang. 2. Loss Kehilangan muncul karena adanya ketidakseimbangan/perbedaan antara ideal dan situasi atau pengalaman yang nyata. Sebagai contoh anak yang sempurna dengan anak dengan kondisi kronik yang berbeda dengan ideal. 3. Trigger Events Kejadian pencetus

adalah

situasi,

keadaan

dan

kondisi

yang

menyebabkan perbedaan atau kehilangan berulang dan memulai atau memperburuk perasaan berduka. 4. Management Method Management method diartikan bahwa individu menerima keadaan chronic sorrow. Hal tersebut dapat secara internal (strategi koping personal) atau eksternal (praktisi pelayanan kesehatan atau intervensi orang lain). 5. Inefektif Management

DEWI UMU KULSUM, S.Kep., Ners

12

Management inefektif merupakan hasil dari strategi yang meningkatkan ketidaknyamanan atau mempertinggi perasaan chronic sorrow. 6. Effective Management Management efektif merupakan hasil dari strategi yang meningkatkan kenyamanan perasaan individual.

F.

Strategi Manajemen NCRCS menyakinkan bahwa kesedihan kronis bukan masalah jika para

individu dapat melakukan menejemen perasaan secara efektif. Strategi tersebut adalah : 1. Strategi koping internal Action (tindakan), mekanisme koping action individu baik yang bersangkutan maupun pelaku rawatnya. Contohnya metode distraksi yang umum digunakan untuk menghadapi nyeri. Kognitif, mekanisme koping ini juga sering digunakan, misalnya berpikir positif, ikhlas menerima semua ini. 2. Interpersonal, mekanisme koping

interpersonal

misalnya

dengan

berkonsultasi dengan ahli jiwa, bergabung dengan kelompok pendukung, melakukan curhat. 3. Emosional, mekanisme koping emosional misalnya adalah menangis dan mengekspresikan emosi. Strategi menejemen ini semua dianggap efektif bila para pelaku atau individu 4.

mengaku terbantu untuk menurunkan perasaan kembali berduka (re-grief). Strategi koping eksternal, dideskripsikan sebagai intervensi yang dilakukan oleh professional kesehatan dengan cara meningkatkan rasa nyaman para subyek dengan bersikap empati, memberi edukasi serta merawat dan melakukan tindakan professional kompeten lainnya.

DEWI UMU KULSUM, S.Kep., Ners

13

G. Asumsi Utama 1. Keperawatan Diagnosis penderitaan kronik dan memberikan intervensi sesuai dengan lingkup praktik keperawatan, perawat dapat memberikan antisipasi berduka pada individu yang beresiko. Peran utama perawat meliputi menunjukan rasa empati, ahli/profesional, caring dan pemberi asuhan keperawatan yang kompeten. 2. Manusia Manusia mempunyai persepsi yang idealis pada proses kehidupan dan kesehatan.

Orang

membandingkan

pengalamanya

dengan

kedua

kenyataan tadi sepanjang kehidupannya. Walaupun setiap orang mempunyai pengalaman dengan kehilangan adalah unik dan umumnya kehilangan dapat diramalkan atau diketahui sehingga dapat diantisipasi reaksi dari kehilangan tersebut. 3. Kesehatan Kesehatan adalah bila seseorang berfungsi normal, kesehatan seseorang tergantung atas bagaimana seseorang beradaptasi terhadap kehilangan. Koping yang efektif akan menghasilkan respon yang normal akibat dari kehilangan.

DEWI UMU KULSUM, S.Kep., Ners

14

4. Lingkungan Interaksi yang terjadi di dalam suatu masyarakat, yang mana meliputi lingkungan keluarga, sosial, lingkungan kerja dan lingkungan perawatan kesehatan. Respon individu di kaji berdasarkan hasil interaksi individu terhadap norma-norma sosial (Eakes, Burke, & Hainsworth, 1998). H. Dampak Kehilangan 1. Masa kanak-kanak : a. Mengancam kemampuan anak untuk berkembang. b. Kadang-kadang regresi. c. Merasa takut ditinggalkan dibiarkan kesepian. 2. Remaja dan dewasa muda : a. Disintegrasi dalam keluarga. b. Kematian pada orang tua “wajar“. 3. Dewasa tua : a. Kematian pasangan. b. Masalah kesehatan meningkat. I.

Berduka (Grieving) Berduka adalah reaksi emosi terhadap kehilangan, biasanya akibat

perpisahan dimanifestasikan dalam perilaku, perasaan dan pemikiran. J.

Reaksi Kehilangan & Berduka 1. KUBLER – ROSS’ MODEL Kubler Ross (1969) mengemukakan 5 tahapan pada berduka : a. Menolak (denial). b. Marah (anger). c. Tawar menawar (bargaining). d. Depresi (depression). e. Menerima (acceptance). 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kehilangan dan berduka a. Sumber Personal dan Stressor Setiap orang melalui situasi kehilangan dengan kombinasi khusus pada sumber personal dan stressor seperti : 1) Keterampilan koping. 2) Pengalaman sebelumnya dengan kehilangan. 3) Kestabilan emosi. 4) Agama. 5) Family developmental stage. 6) Status sosial ekonomi b. Sumber Sosial Kultural dan Stressor

DEWI UMU KULSUM, S.Kep., Ners

15

Sumber sosial kultural meliputi dukungan sosial yang didapatkan dari keluarga, teman, teman sekerja dan lembaga formal.

BAB III TINJAUAN KASUS DAN PEMBAHASAN A. Kasus Annie adalah anak pertama Amanda dan Alan yang sudah lama dirindukan kehadirannya didunia ini. Ketika dia dilahirkan dia tidak responsif, terkulai dan tidak mampu untuk saat diberi makan. Prognosisnya buruk dan dia diprediksikan tidak akan bertahan hidup. Ketika dia berumur beberapa minggu, orang tua nya membawanya pulang ke rumah dan mereka diberitahu untuk memberinya kecintaan, karena dia akan berumur pendek. Faktanya, perawat klinik mengatakan kepada Amanda bahwa itu akan lebih baik jika Annie menghilang saja. Karena ternyata Amanda mempunyai radang selaput otak (viral meningitis) selama trimester pertama kehamilannya. B. Tinjauan Teori Orang tua

dengan

anak

yang

didiagnosa

dengan

ketidakmampuan/disability saat lahir atau dalam awal hidupnya, mulai belajar

DEWI UMU KULSUM, S.Kep., Ners

16

proses yang disebut dengan kehilangan “loss” anak yang normal dan peran orangtua yang normal yang mereka harapkan. Profesional perawatan kesehatan primer membutuhkan pemahaman terhadap kehilangan alamiah ini dan dampaknya terhadap kehidupan keluarga dan masa depan orangtua. Saat didiagnosa adalah merupakan waktu penuh emosional dan kebingungan yang sering juga adalah kecemasan yang tinggi. Orangtua tidak akan pernah siap untuk mendengar berita yang traumatik tentang anak mereka dan pendapat anggota keluarga, teman, para kenalan dan laporan media yang menambah kebingungan mereka. Informasi akurat dan komprehensif tentang disability dibuat secepat mungkin meliputi hasil positif dan negatif terhadap kerusakan dan disabillity.

Sebaiknya

orangtua

dipersiapkan

dulu

bahwa

mereka

akan

mendengar berita buruk. Menurut teori yang dikembangkan oleh Georgene Gaskill Eakes, Mary Lermann Burke dan Margaret A. Hainsworth 1. Chronic Sorrow Kesedihan mendalam dirasakan oleh keluarga Amanda dan Alan karena Annie adalah anak yang idam-idamkan. Tetapi dia mengalami keterbatasan. 2. Loss Pasangan Amanda dan Alan ”kehilangan” anak normal/sempurna. Dia mengharapkan (idealnya) anak mereka bisa hidup dengan normal seperti anak yang lain, tetapi kenyataan sejak lahir Annie sudah mempunyai keterbatasan yang disebabkan karena radang selaput otak yang diderita Amanda. 3. Trigger events Annie sebagai anak yang diharapkan lahir tidak sesuai harapan. Ketika dia dilahirkan dia tidak responsif, terkulai dan tidak mampu untuk saat diberi makan.

DEWI UMU KULSUM, S.Kep., Ners

17

4. Management method Secara internal pasangan

ini

menggunakan

strategi

koping

untuk

mengidentifikasi proses berduka. Secara eksternal didapat dari dukungan keluarga lain atau praktisi perawatan kesehatan. Perawat juga dapat membantu

mengidentifikasi

strategi

koping

secara

personal.

Berikut adalah rencana managemen untuk mengatasi permasalahan diatas : a. Diagnosa keperawatan Sedih kronis berhubungan dengan pengalaman sakit fisik kronik/ ketidakmampuan orang yang signifikan. b. Outcome  Menunjukkan grief resolution  Mengeksprsikan perasaan bersalah, marah dan sedih  Mengidentifikasi penggunaan strategi koping yang efektif  Mengungkapkan dampak kehilangan  Mencari inforamsi tentang penyakit dan perawatan

c. Intervensi 1) Grief work fasilitation :  Identifiksi kehilangan  Bantu pasien untuk mengidentifikasi ikatan antara orang yang hilang

DEWI UMU KULSUM, S.Kep., Ners

18

 Bantu pasien untuk mengidentifikasi reaksi pertama terhadap kehilangan  Anjurkan untuk mengekspresikan perasaan kehilangan  Dengarkan ekspresi kesedihan  Anjurkan diskusi pengalaman kehilangan sebelumnya  Anjurkan pasien untuk mengungkapkan memori tentang kehilangan baik masa lalu dan sekarang  Buat pernyataan empati tentang duka cita  Anjurkan

identifikasi

ketakutan

yang

paling

besar

terhadap

kehilangan  Instruksikan dalam fase berduka  Dukung perkembangan melalui tahapan berduka  Libatkan orang yang berarti dalam diskusi/pengambilan keputusan  Bantu pasien untuk mengidentifikasi strategi koping personal  Anjurkan pasien untuk melakukan kebiasaan sosial, budaya dan keagamaan  Komunikasikan tentang penerimaan kehilangan  Beri reinforcement untuk perkembangan yang dbuat dalam proses berduka

DEWI UMU KULSUM, S.Kep., Ners

19

 Bantu dalam mengidentifikasi modifikasi lifestyle yang dibutuhkan

2) Hope instillation :  Bantu pasien/ keluarga untuk mengidentifikasi harapan dalam hidup  Informasikan pasien tentang situasi saat ini adalah bagian yang temporer  Demonstrasikan harapan dengan mengenali nilai intrinsik pasien dan pandangan penyakit dari segi individu  Kembangkan mekanisme koping individu  Ajarkan mengenali realita dengan mengamati situasi dan membuat perencanaan darurat  Bantu pasien menemukan dan meninjau ulang tujuan berhubungan dengan harapan  Bantu pasien kembangkan spiritual diri  Hindari menutupi kebenaran  Libatkan pasien secara aktif dalam perawatan diri  Ajarkan kepada keluarga tentang aspek positif pada harapan  Berikan kesempatan pasien dan keluarga untuk terlibat dalam kelompok pendukung  Ciptakan lingkungan untuk praktik keagamaan pasien

DEWI UMU KULSUM, S.Kep., Ners

20

3) Coping enhancement :  Kaji hal-hal yang dapat merubah gambaran diri klien  Kaji dampak situasi kehidupan klien terhadap peran dan hubungan  Dukung klien untuk mengidentifikasi gambaran nyata perubahan peran  Kaji pemahaman klien terkait dengan proses penyakit  Kaji dan diskusikan alternatif respon terhadap situasi  Gunakan pendekatan yang membuat klien tenang dan nyaman  Ciptakan suasana untuk dapat menerima klien  Bantu

klien

untuk

mengembangkan

kemampuannya

untuk

menerima kejadian yang dialaminya  Bantu klien mengidentifikasi informasi yang paling menarik  Berikan informasi aktual terkait diagnosa, perawatan dan prognosis  Berikan klien untuk memilih jenis perawatan yang diinginkan  Dukung klien untuk bersikap realistic  Evaluasi kemampuan klien untuk membuat keputusan  Kaji persepsi klien terhadap situasi yang menimbulkan stress

DEWI UMU KULSUM, S.Kep., Ners

21

 Hindari pembuatan keputusan pada saat klien mengalami stress berat  Gunakan pendekatan dengan sabar  Bina hubungan dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan dan tujuan yang sama  Dukung dalam aktivitas sosial dan komunitas  Dukung penerimaan terhadap keterbatasan orang lain  Kaji latar belakang spiritual dan budaya klien  Sediakan dukungan spiritual  Eksplorasi prestasi-prestasi yang pernah dicapai sebelumnya untuk meningkatkan koping  Eksplorasi alasan-alasan untuk mengkritik diri sendiri  Hilangkan perasaan ragu yang dialami  Bantu untuk mengembangkan mekanisme koping yang konstruktif  Pelihara situasi yang mendukung kemandirian  Bantu klien mengidentifikasi respon positif dari orang lain  Dukung identifikasi nilai-nilai kehidupan yang spesifik  Eksplorasi mekanisme koping yang pernah dilakukan oleh klien dalam menghadapi masalah kehidupan

DEWI UMU KULSUM, S.Kep., Ners

22

 Kenalkan klien dengan orang atau grup yang telah sukses dalam menyelesaikan masalah yang sama  Dukung penggunaan mekanisme defensif  Dukung klien untuk mengungkapkan perasaan, persepsi dan ketakutannya  Diskusikan konsekuensi ketika tidak mampu menerima rasa bersalah dan perasaan malu  Dukung klien untuk mengidentifikasi tujuan jangka pendek dan jangka panjang  Bantu klien untuk menyederhanakan tujuan menjadi labih mudah untuk dilakukan  Bantu klien untuk mengkaji sumber-sumber yang tersedia untuk mencapai tujuan  Kurangi stimulus lingkungan yang dapat mengancam  Kaji kebutuhan pasien akan support social  Tingkatkan keterlibatan keluarga dan orang-orang terdekat dalam perawatan  Dukung keluarga untuk mengunkapkan perasaannya mengenai penyakit yang dialami anggota keluarganya  Sediakan keterampilan-keterampilan sosialisasi

DEWI UMU KULSUM, S.Kep., Ners

23

 Bantu klien mengidentifikasi strategi positif untuk menerima keterbatasannya

dan

mengatur

kebutuhan

hidupnya

serta

perubahan peran yang telah terjadi  Bantu klien untuk memecahkan masalahs ecara konstruktif  Anjurkan klien menggunakan teknik relaksasi sesuai kebutuhan  Kaji kesedihan klien dan kehilangan pekerjaannya akibat kondisi sakitnya dan atau ketidakmampuannya  Kaji untuk mengklarifikasi adanya konsep yang salah pada klien  Anjurkan klien untuk mengevaluasi perilakunya

4) Counseling :  Bina hubungan saling percaya sebagai dasar rasa percaya dan perhatian  Tunjukkan perasaan empati, kehangatan, dan ketulusan  Lakukan konseling yang lebih mendalam  Tentukan tujuan  Tingkatkan privasi klien dan rasa percaya diri klien  Berikan informasi yang nyata sesuai kebutuhan  Anjurkan untuk mengekspresikan perasaan

DEWI UMU KULSUM, S.Kep., Ners

24

 Identifikasi permasalahan atau situasi yang menyebabkan sterss pada klien  Gunakan teknik refleksi dan klarifikasi untuk memfasilitasi ekspresi perasaan  Tanya pada klien atau orang terdekat lainnya untuk mengidentifikasi apa yang dapat atau tidak dapat mereka kerjakan terkait dengan kejadian ini  Kaji

klien

untuk

mencatat

dan

memprioritaskan

alternatif

kemungkinan dari permasalahan yang ada  Identifikasi beberapa perbedaan diantara pandangan klien terhadap situasi dan pandangan klien terhadap pemberi layanan kesehatan  Kaji bagaimana perilaku keluarga terhadap klien terkait dengan penyakit yang dialami  Ungkapkan perbedaan diantara perasaan dan perilaku klien  Gunakan

tools

pengkajian

untuk

membantu

meningkatkan

kesadaran diri klien dan pengetahuan konselor terhadap situasi yang terjadi  Ungkapkan secara selektif pengalaman-pengalaman klien sendiri serta ketulusan dan keyakinan pribadi yang sesuai  Identifikasi kekuatan klien dan beri dukungan  Berikan reinforcement terhadap setiap perkembangan yang baru

DEWI UMU KULSUM, S.Kep., Ners

25

 Jika memungkinkan, jangan membuat keputusan pada saat klien berada dalam kondisi stress berat

5) Emotional Support :  Diskusikan dengan klien terkait pengalaman emosional klien  Eksplorasikan stimulus yang memicu emosi klien  Berikan dukungan atau pernyataan yang empati  Berikan sentuhan yang terapeutik  Dukung penggunaan mekanisme pertahanan diri  Bantu klien untuk mengungkapkan perasaannya seperti cemas, takut, sedih  Dengarkan keluhan klien dengan tenang  Fasilitasi klien untuk mengidentifikasi mekanisme koping terhadap ketakutan yang dialami  Berikan dukungan selama fase menolak, marah, tawar menawar dan menerima terhadap proses berduka  Identifikasi adanya perasaan marah, frustasi dan amuk yang dialami klien  Berikan kesempatan klien untuk mengunkapkan perasaannya atau menangis untuk menurunkan emosinya

DEWI UMU KULSUM, S.Kep., Ners

26

 Berada bersama klien dan beri rasa aman dan nyaman selama periode cemas  Bantu dalam pengambilan keputusan  Kurangi beban pikiran klien ketika klien berada dalam kondisi stress (jangan menambah beban pikirannya selama sakit)

6) Spiritual Support :  Gunakan komunikasi terapeutik untuk membina rasa percaya dan empati  Kaji pengalaman masa lalu klien yang mendukung kekuatan spiritualnya  Rawat klien dengan sopan  Motivasi klien untuk mengenang masa lalu yang menyenangkan  Motivasi klien untuk berinteraksi dengan anggota keluarga, teman dan orang lain  Berikan waktu khusus dan ketenangan untuk aktivitas spiritual  Motivasi klien untuk berpartisipasi dalam kelompok pendukung sosialnya  Ajarkan metode relaksasi, meditasi dan imaginasi terbimbing  Diskusikan kepercayaan diri mengenai arti dan tujuan hidup

DEWI UMU KULSUM, S.Kep., Ners

27

 Diskusikan pandangan spiritual klien  Berikan kesempatan untuk mendiskusikan berbagai pandangannya tentang sistem kepercayaan  Berdoa dengan klien  Sediakan alat pendukung spiritual seperti musik, bacaan atau radio, atau program-program televise  Empati

terhadap

ekspresi

klien

akan

kesendirian

dan

ketidakberdayaan  Dukung penggunaan sumber-sumber spiritual  Libatkan rohaniawan  Fasilitasi individu untuk melakukan meditasi, ibadah atau ritual dan tradisi keagamaannya  Dengarkan secara cermat  Yakinkan klien bahwa perawat akan selalu ada untuk klien  Menerima setiap keluhan klien terkait penyakit dan kematian  Bantu klien untuk mengekspresikan perasaan marah dan cara mengendalikannya.

DEWI UMU KULSUM, S.Kep., Ners

28

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Penyakit kronis

dapat

didefinisikan

sebagai

kondisi

sakit

yang

menimbulkan berkurang atau hilangnya fungsi sehari-hari lebih dari 3 bulan dalam 1 tahun atau mengalami hospitalisasi lebih dari 1 bulan dalam 1 tahun. (Hockenberry, 2007). Hal ini menjadikan individu/anak dengan penyakit kronik mengalami berbagai masalah keterbatasan sehingga individu/anak tersebut mempunyai kebutuhan akan perawatan khusus, komprehensif dan berkelanjutan. Penderitaan kronis tidak akan membuat individu melemah bila efektif dalam mengatur perasaan bisa secara internal maupun ekternal. Strategi manajemen perawatan diri diatur melalui strategi koping internal. NCRCS ditunjuk lebih lanjut untuk mengatur strategi koping internal seperti tindakan, kognitif, interpersonal dan emosional. Mekanisme tindakan koping digunakan untuk semua subjek individu dengan kondisi kronis dan pemberi perawatannya (Eakes , 1993, 1995, Eakes at al., 1993, 1999; Hainsworth et al., 1995; Lindgren, 1996). Strategi emosional contohnya menangis atau ekspresi emosi lainnya (Eakes, et al., 1998; Hainsworth, 1995). Manajemen eksternal adalah intervensi yang diberikan oleh tenaga kesehatan (Eakes et al., 1998). Pelayanan kesehatan yang diberikan secara profesional dapat membantu memberikan rasa nyaman bagi mereka, caring dan tenaga profesional yang kompeten lainnya. B. Saran 1. Orang tua harus memahami kondisi anak yang mengalami suatu penyakit kronis salah satunya adalah meningkatkan fungsi keluarga

DEWI UMU KULSUM, S.Kep., Ners

29

dimana keluarga akan mendapatkan tugas keluarga yang lebih kompleks, tanggung jawab yang lebih besar, perhatian yang lebih besar, tugas identifikasi kebutuhan anak seperti kebutuhan akan alat bantu, akses pendidikan yang sesuai, pembiayaan, ketidakpastian masa depan, kehilangan secara emosional, reaksi terhadap stigma dalam masyarakat, isolasi sosial, dan kehilangan kesempatan dalam bermasyarakat secara normal. 2. Salah satu pengaruh yang besar pada orang tua adalah perasaan berduka atau kehilangan disebabkan karena orang tua mempersepsikan adanya perbedaan anaknya dengan anak normal lain. Untuk itu koping yang efektif keluarga sangat di perlukan dalam menerima kondisi anak. 3. Perasaan berduka atau kehilangan ini akan muncul dalam respon emosional seperti putus asa, menyesal, tidak percaya, menyalahkan diri sendiri, permusuhan, cemas, ragu-ragu, disorientasi dan perasaan terisolasi, sehingga diperlukan managemen emosional yang efektif dari keluarga atau orang tua.

D AFTAR PUSTAKA

DEWI UMU KULSUM, S.Kep., Ners

30

Alligood-Tomey, A. (2006). Nursing theorists and their work. Sixth edition. Toronto: Mosby. Kozier, B & Erb. (2000). Fundamental of Nursing. St Louis Toronto : Mosby Company. Nursing outcomes classification (NOC). (2004). Editors Sue Moorhead, Marion Johnson, Meridean Maas. Ed 3rd. Mosby Inc: St Louis Missiouri. Nursing interventions classification (NIC). (2004). Editors, Joanne McCloskey Dochterman, Gloria M. Bulechek. Ed 4th. Mosby Inc. St. Louis Missiouri. Patricia, AP & Anne, GP.(1996). Fundamental of Nursing. St. Louis Toronto : Mosby Company. Perry & Potter, (2005). Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik, Edisi 4 Volume 1, EGC : Jakarta. Perry & Potter, (2006). Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik, Volume 2, Edisi 4, EGC : Jakarta. http://img.medscape.com/article/707/848/707848-fig1.jpg diakses 06 Maret 2012.

DEWI UMU KULSUM, S.Kep., Ners

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF