Cg Pertemuan 5

February 27, 2018 | Author: Gunawan Lim | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

tugas matkul tata kelola perusahaan...

Description

UNIVERSITAS INDONESIA

TATAKELOLA PERUSAHAAN PERTEMUAN 5: PERAN PEMANGKU KEPENTINGAN DALAM TATA KELOLA PERUSAHAAN

Dibuat oleh: Albert A. Buntara

1206253211

Abraham Alloy

1206255766

Ardinan Yulianus

1206266946

Clinton Koanda

1206266435

Gunawan

1206266113

Hendri J. Sutanto

1206266656

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS PROGRAM STUDI AKUNTANSI DEPOK MARET 2016

Pemangku Kepentingan adalah seluruh pihak yang terkait dengan isu atau permasalahan yang diangkat. Menurut Rhenald Kasali, pemangku kepentingan ialah kelompok yang memiliki kepentingan terkait aktivitas organisasi yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan organisasi. Dalam hal dan konteks perusahaan, pemangku kepentingan dibagi menjadi dua, yakni pemangku kepentingan internal dan eksternal. Pemangku kepentingan internal biasanya meliputi pemegang saham, manajer dan petinggi perusahaan, karyawan, dan juga keluarga karyawan. Sedangkan pemangku kepentingan eksternal biasanya meliputi konsumen, pemerintah, bank sebagai kreditur, dan juga masyarakat sekitar. Pada rangkuman ini, akan dibahas mengenai peran pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan di dalam perusahaan, perlindungan pemangku kepentingan di internasional dan di Indonesia dan kasus mengenai JLJ Holdings Limited dari CPA Australia.

Peran Pemangku Kepentingan dalam Pengambilan Keputusan Perusahaan “In order to promote the public interest, a covered institution shall, at the direction of the Minister, take all reasonable steps to appoint at least one but no more than two non-executive directors to its board from a panel approved by the Minister during the period of the guarantee. The covered institution shall remunerate those non-executive directors. The Minister will also have the right to appoint persons to observe all meetings of the remuneration, audit, credit and risk committees of a covered institution. Such observers shall have the right to attend all meetings and have access to necessary committee papers and other relevant information.” -The Credit Institutions Financial Support Scheme 2008 “Direktur Kepentingan Publik” atau yang lebih dikenal sebagai direktur independen, memiliki tanggung jawab sebagai penengah antara pandangan perusahaan dan publik. Maka dari itu, direktur independen merupakan salah satu cara stakeholders governance yang memungkinkan eksternal stakeholders mempunyai akses ke dalam pengambilan keputusan perusahaan dalam rangka mencegah krisis yang akan terjadi di masa depan.

Terdapat dua dimensi penting dalam stakeholder governance: Power dan Scope. Power mengacu pada tingkat pengaruh stakeholder yang diberikan dalam pengambilan keputusan perusahaan (Burchell dan Cook, 2006; Jonker dan Nijhof, 2006; Burchell dan Cook, 2008). Sedangkan scope mengacu pada breath of power dalam pengambilan keputusan perusahaan dan biasanya mencakup sepanjang garis memutuskan isu-isu lokal yang terisolasi untuk keputusan yang mempengaruhi model bisnis umum organisasi (Kaptein dan Van Tulder, 2003; Jonker dan Nijhof, 2006; Uang dan Schepers 2007).

Dua kutub ekstrem power dalam pengambilan keputusan perusahaan adalah: 1. non-partisipasi di mana para pemangku kepentingan tidak memiliki suara dalam pengambilan keputusan 2. pemangku kepentingan di mana para pemangku kepentingan memiliki power untuk memutuskan (Arnstein, 1969).

Dengan menggabungkan dua dimensi tersebut, maka kita dapat menghasilkan sebuah matriks sebagai dasar dari analisis atas sebuah stakeholder governance sebuah perusahaan. Berikut adalah matriksnya:

Analisis penelitian ini menunjukkan matriks 3 x 5. Hanya terdapat tiga pola yang berbeda dari scope partisipasi stakeholder yang dapat dibedakan. scope meningkat dari meningkat dari masalah operasional, untuk manajerial dan akhirnya ke tingkat strategis interaksi.

Lima tingkat yang berbeda dari power dapat dibedakan mulai dari situasi di mana tidak ada bukti stakeholder dalam memengaruhi disediakan sampai tahap akhir di mana para pemangku kepentingan memiliki suara menggabungkan pengambilan keputusan. Tabel memberikan gambaran tentang hasil. Analisis hasil disajikan dalam dua bentuk yang berbeda. Pertama, berbagai tingkat kekuasaan (15) serta ruang lingkup (1-3) dijelaskan dengan mengacu pada data. Kedua, kami menyajikan beberapa cluster logis berasal dari mekanisme tata kelola stakeholder.

Penjelasan lima tingkat power: 1. Tidak ada bukti stakeholder power. Tidak ada bukti yang dapat ditemukan dalam deskripsi dari panel yang musyawarah memiliki dampak pada pengambilan keputusan perusahaan. 2. Mendengarkan suara stakeholder. Perusahaan-perusahaan ini umumnya melaporkan bahwa dialog dengan pemangku kepentingan mendorong pembelajaran organisasi dan membentuk keputusan perusahaan. Namun, dalam semua kasus ini adalah sulit untuk membuat hubungan yang jelas antara masukan dari stakeholder dan keputusan yang diadopsi oleh perusahaan. 3. Dampak perantara. Dalam kasus ini opini pemangku kepentingan misalnya berdampak pada pelaporan perusahaan atau membantu untuk membangun matriks materialitas. Sedangkan hubungan antara pendapat stakeholder dan respon perusahaan lebih kuat seperti pada level-2 yaitu 'mendengarkan suara stakeholder', dampak dari stakeholder terbatas ke lingkup perantara membuat keputusan seperti pelaporan dan membangun proses materialitas. Hal ini mungkin menyebabkan stakeholder dapat mempengaruhi keputusan perusahaan yang tepat (misalnya seperti yang ditunjukkan pada tingkat power 4 dan 5) tidak ada bukti bahwa hal ini terjadi. 4. Dampak terhadap kebijakan dan indikator kinerja utama. ada hubungan yang jelas antara keterlibatan pemangku kepentingan dan adaptasi kebijakan baru dan indikator kinerja utama sebagai hasil dari dialog

5. Stakeholder power. pemangku kepentingan diberikan pengaruh yang signifikan dalam memengaruhi keputusan perusahaan. Sebagian besar kasus ini merujuk pada perusahaan memberikan pelanggan pilihan yang luas dalam desain produk dan jasa.

Penjelasan tiga tingkat scope: 1. Masalah Operasional. Mayoritas dari masalah diwakili mekanisme keterlibatan masyarakat lokal seperti panel penasehat pemangku kepentingan BP di Indonesia, yang berkonsultasi mengenai dampak ekonomi, politik dan sosial dari Proyek Gas Alam Tangguh cair 2. Masalah Manajerial. stakeholder dikonsultasikan pada isu-isu manajerial seperti pelaporan, mengidentifikasi indikator kinerja utama, masalah dan manajemen risiko, melihat peluang, serta manajemen reputasi. Isu-isu manajerial mengacu pendekatan perusahaan saat ini terhadap isu-isu yang relevan bagi para pemangku kepentingan dan tidak melibatkan masukan dari strategi perusahaan atau pengembangan bisnis. 3. Masalah Stratejik. pemangku kepentingan yang terlibat dalam diskusi tentang isu-isu strategis seperti pengembangan bisnis, perencanaan skenario dan inovasi. Biasanya diskusi berpusat pada dengan siapa mereka melakukan bisnis dan di mana keadaan di satu sisi dan pada perancangan pasar masa depan dan inovasi inspirasi di sisi lain.

Mekanisme kelompok dari stakeholder governance

Dengan menggunakan matriks power dan scope di atas, kita dapat mengelompokkan berbagai macam cara/mekanisme para pemangku kepentingan diberikan pengaruh dalam memengaruhi dalam pengambilan keputusan perusahaan. Mayoritas mekanisme tata kelola pemangku kepentingan tetap dalam kategori “Dialog & Issues Advisory” di mana para pemangku kepentingan memiliki pengaruh yang sangat terbatas dalam pengambilan keputusan. Namun, ketika keterlibatan dan pengaruh tidak datang bersama-sama, dapat menyebabkan frustrasi pemangku kepentingan (Burchell dan Cook, 2006, hal. 168). Beberapa dekade kembali, Arnstein sudah menyatakan bahwa: “Partisipasi tanpa redistribusi kekuasaan merupakan proses kosong dan frustasi untuk tak berdaya. Hal ini memungkinkan pemegang kekuasaan untuk mengklaim bahwa semua pihak dianggap, tapi memungkinkan hanya untuk beberapa dari mereka belah pihak untuk diuntungkan. Ia memelihara status quo” (Arnstein, 1969, hal. 216). Kelompok “Issues Collaboration” mencerminkan, ada juga cara untuk membuat dialog memiliki dampak nyata pada pengambilan keputusan perusahaan, ini biasanya terjadi ketika korporasi terlibat dalam dialog terbuka, belajar berorientasi (Burchell dan Cook, 2008 , p. 41) atau dialog simetris (Grunig dan Grunig, 1992). Kelompok “Strategic Advisory & Innovation”, menunjukkan banyak mekanisme tata kelola dengan tujuan pengembangan kolaboratif produk dan layanan baru seperti kolaborasi pelanggan, kompetisi inovasi, kolaborasi LSM, dan inisiatif multi-stakeholder. Lebih luas, mekanisme ini harus dilihat dalam konteks terbuka inovasi berdebat bahwa integrasi sumber eksternal ke dalam manajemen inovasi mengarah ke produk dan layanan (von Hippel, 2005) lebih berhasil. Hasil dari penelitian Hansen et al. (2009) juga menunjukkan bahwa integrasi pemangku kepentingan dalam manajemen inovasi mengarah ke produk dan layanan keberlanjutan berorientasi baru dan lebih. Kelompok “Strategic Collaboration” menunjukkan mekanisme yang ditandai dengan memungkinkan para pemangku kepentingan untuk mengambil kekuasaan membuat keputusan langsung, misalnya, mekanisme voting mengenai

kebijakan perbankan The Co-operative Bank. Bukti empiris ini mendukung pandangan politik korporasi (Scherer dan Palazzo, 2007).

Prinsip OECD terkait pemangku kepentingan (Nomor 3 dan 4) Prinsip OECD nomor 3 mengungkapkan mengenai perlakuan yang sama pada setiap pemegang saham. Pada bagian ini juga menjelaskan mengenai perlindungan bagi pemegang saham yang berada di luar wilayah kedudukan emiten atau perusahaan publik tersebut sehingga harus menggunakan rantai perantara. Sub prinsip ke empat pada prinsip ketiga OECD adalah penghilangan hambatan pemberian suara oleh pemegang saham yang berdomisili di di luar wilayah kedudukan Emiten atau Perusahaan Publik. Hambatan akan terjadi karena biasanya pemegang saham asing menyimpan saham mereka melalui suatu rantai perantara (intermediaries). Saham tersebut dicatat atas nama nasabah dalam akun perusahaan sekuritas lalu akun perusahaan sekuritas tercatat pada lembaga penyelesaian dan penyimpanan. Dengan demikian maka nama dari pemegang saham yang asli tidak langsung dapat diketahui, sehingga begitu perusahaan akan meminta keputusan dari pemegang saham atas suatu transaksi tersebut, informasi yang seharusnya sampai sebelum keputusan di ambil, penyampaiannya menjadi tidak tepat waktu. Dampak dari terlambatnya informasi kepada pemegang saham adalah tidak cukupnya waktu dari pemegang saham untuk menganalisa dan memberikan masukan kepada perusahaan atas hal tersebut Dengan melihat bahwa terdapat kemungkinan perusahaan tidak dapat memberikan perlakuan yang saham kepada semua pemegang sahamnya, maka sebaiknya perundang-undangan yang ada harus dapat memberikan kejelasan mengenai pihak yang dapat diberikan kewenangan oleh pemegang saham asing sebagai wakilnya sehingga informasi dapat segera diterima oleh pemegang saham. Selain itu peraturan jika dimungkinkan juga dapat mengatur mengenai penyerderhanaan rantai perantara. Berbeda dengan prinsip 3, OECD 4 lebih menekankan pada peranan stakeholders dalam tatakelola perusahaan. Secara umum, prinsip ini menyatakan bahwa: “Kerangka corporate governance harus mengakui hak stakeholders yang dicakup oleh perundang-undangan atau perjanjian (mutual agreements) dan

mendukung secara aktif kerjasama antara perusahaan dan stakeholders dalam menciptakan kesejahteraan, lapangan pekerjaan, dan pertumbuhan yang bekesinambungan (sustainabilitas) dari kondisi keuangan perusahaan yang dapat diandalkan”. Pernyataan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: para pemangku kepentingan (stakeholder) seperti investor, karyawan, kreditur dan pemasok memiliki sumber daya yang dibutuhkan oleh perusahaan. Sumber daya yang dimiliki oleh stakeholder tersebut harus dialokasikan secara efektif untuk meningkatkan efisiensi dan kompetisi perusahaan dalam jangka panjang. Alokasi yang efektif dapat dilakukan dengan cara memelihara dan mengoptimalkan kerja sama para stakeholder dengan perusahaan. Hal tersebut dapat tercapai dengan penerapan kerangka corporate governance dalam pengelolaan perusahaan yaitu dengan adanya jaminan dari perusahaan tentang perlindungan kepentingan para pemangku kepentingan baik melalui perundang-undangan maupun perjanjian. Selanjutnya, secara lebih rinci prinsip yang terkait dengan Peranan Stakeholders dalam Corporate Governance (CG) terbagi atas 6 (enam) subprinsip antara lain: A. ”Hak-hak pemangku kepentingan (stakeholders) yang dicakup dalam perundang-undangan

atau perjanjian (mutual agreements) harus

dihormati” B. “Jika kepentingan stakeholder dilindungi oleh undang-undang, maka stakeholders seharusnya memiliki kesempatan untuk menuntut (redress) secara efektif atas hak-hak yang dilanggar”. C. “Mekanisme peningkatan kinerja bagi partisipasi karyawan harus diperkenankan untuk berkembang”. D. “Jika Pemangku Kepentingan (stakeholders) berpartisipasi dalam proses CG, maka stakeholder harus memiliki akses atas informasi yang relevan, memadai dan dapat diandalkan secara tepat waktu dan berkala”. E. “Stakeholders termasuk didalamnya individu karyawan dan serikat karyawan, seharusnya dapat

secara bebas mengkomunikasikan

kepedulian mereka terhadap praktik ilegal atau tidak etis kepada

Dekom, dan tindakan tersebut seharusnya tidak mempengaruhi hak-hak mereka”. F. ”Kerangka CG harus dilengkapi dengan kerangka insolvency yang efisien dan efektif serta penegakanhukum (enforcement) yang efektif atas hak-hak kreditur”. Hukum di Indonesia yang mengatur terkait pemangku kepentingan Walaupun penegakan hukum di Indonesia belum dapat dikatakan berjalan dengan baik, namun Indonesia telah memiliki beberapa hukum yang mengatur terkait perlindungan pemangku kepentingan, antara lain adalah sebagai berikut.

I. Perlindungan pemegang saham dan pemegang saham Minoritas Hal ini diatur di dalam Undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, khususnya terletak di beberapa bagian yang mengatur secara khusus kewenangan pemegang saham, seperti; 

Pasal 61 mengenai kewenangan pemegang saham untuk mengajukan gugatan terhadap perusahaan apabila pemegang saham merasa dirugikan sebagai akibat dari keputusan RUPS.



pasal 62 yang mengatur mengenai kewenangan pemegang saham untuk meminta sahamnya dibuyback oleh perusahaan apabila pemegang saham tidak setuju terhadap perubahan Anggaran Dasar perusahaan dan beberapa kasus lain seperti merger, akuisisi, pengambilalihan atau pemisahan.



pasal 79 mengenai penyelenggaraan RUPS,



pasal 114 mengenai gugatan terhadap anggota direksi yang menyebabkan kerugian perusahaan,



pasal 138 yang mengatur pemberlakuan audit, dan



pasal 144 mengenai kewenangan pemegang saham untuk mengajukan permohonan perseroan.

II. Perlindungan manajer, petinggi perusahaan dan karyawan Hal ini diatur di dalam Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur segala macam hal yang berkaitan dengan pekerjaan karyawan, dari soal masalah perlakuan yang sama, perencanaan tenaga

kerja, pelatihan, sampai ke gaji ,jam istirahat dan sanksi administratif. Selain itu, UU ketenagakerjaan juga didukung oleh Undang-undang lain seperti UU RI no. 40 tahun 2004 mengenai sistem jaminan sosial nasional yang berbicara mengenai jaminan sosial karyawan.

III. Perlindungan konsumen Hal ini diatur di dalam Undang-undang No. 8 tahun 1999 mengenai perlindungan konsumen. Selain itu perlindungan konsumen juga sudah diperkuat dengan Keppres no. 90 tahun 2001 mengenai pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau BPSK, keputusan memperindag RI no. 301 tahun 2001 mengenai pengangkatan dan pemberhentian anggota dan sekretariat BPSK, dan keputusan memperindag RI no.350 tahun 2001 tentang pelaksanaan tugas dan wewenang BPSK. Pembahasan undang-undang perlindungan konsumen yang juga disupport dengan keputusan baik dari memperindag maupun presiden sendiri meliputi banyak hal, dari penentuan hak dan kewajiban konsumen, hak dan kewajiban pelaku usaha, perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, soal penyelesaian sengketa, sedikit mengenai BPSK, sanksi administratif dan sanksi pidana.

IV. Perlindungan Kreditur Secara keseluruhan, perlindungan kreditur diatur di dalam undang-undang no. 42 tahun 2009 mengenai jaminan fidusia, dimana hukum ini mengatur mengenai pembebanan, pendaftaran, pengalihan sampai ke eksekusi jaminan fidusia yang ada. Selain itu, ada juga UU lain yang mengatur perlindungan kreditur, seperti UU no. 37 tahun 2004 yang mengatur soal kewajiban pembayaran utang yang terjadi apabila perusahaan mengalami kepailitan.

V. Perlindungan Lingkungan Hal ini diatur di dalam undang-undang no. 32 tahun 2009 mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Hal yang diatur di dalam undangundang ini meliputi hal-hal seperti asas, tujuan dan ruang lingkungan hidup,

perencanaan, pemanfaatan, pemeliharaan, sampai ke ketentuan pidana yang dilakukan apabila terjadi pelanggaran.

Peraturan terkait Whistleblower Selain mengatur terkait perlindungan terhadap pemangku kepentingan, hukum di Indonesia juga mengatur terkait perlindungan terhadap whistleblower yang mana bertujuan untuk mendorong siapapun untuk melaporkan setiap pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan. Hal ini tentunya dapat menjadi salah satu sarana bagi pemangku kepentingan untuk melakukan tindakan perlindungan diri manakala kepentingannya terabaikan. Peraturan di Indonesia terkait whistleblower diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011. Surat Edaran ini berdasarkan pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Terkait topik pembahasan mengenai The role of stakeholders and intermediaries in governance, peraturan tersebut merupakan perlindungan bagi para whistleblower yang ingin menyampaikan pengaduan mengenai suatu tindakan pidana tetapi tetap ingin merasa aman atau terlepas dari ancaman pihak lain. Karena bagaimanapun whistleblower merupakan stakeholder yang dapat membantu atau berperan dalam menciptakan governance di sebuah perusahaan atau organisasi. Maka dari itu, perlindungan bagi mereka harus diatur dengan jelas dan harus dijalankan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Berikut merupakan bagian dari Surat Edaran tersebut yang menyatakan perlindungan bagi whistleblower: - Butir keenam (6) yang berbunyi sebagai berikut: Perlindungan terhadap Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) memang telah diatur di dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai berikut: (1) Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

(2) Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana. Akan tetapi disadari bahwa ketentuan tersebut di atas masih perlu pedoman lebih lanjut di dalam penerapannya. - Butir kedelapan (8) yang berbunyi sebagai berikut: Pedoman-pedoman yang harus ditaati dalam penanganan kasus yang melibatkan Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) adalah sebagai berikut: a.

Yang bersangkutan merupakan pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya;

b.

Apabila Pelapor Tindak Pidana dilaporkan pula oleh terlapor, maka penanganan perkara atas laporan yang disampaikan oleh Pelapor Tindak Pidana didahulukan dibanding laporan dari terlapor.

- Butir kesembilan (9) yang berbunyi sebagai berikut: Pedoman untuk menentukan seseorang sebagai Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) adalah sebagai berikut: a.

Yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan;

b.

Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan asset-aset/hasil suatu tindak pidana;

c.

Atas bantuannya tersebut, maka terhadap Saksi Pelaku yang Bekerjasama sebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal hal penjatuhan pidana sebagai berikut:

i.

Menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus; dan/atau

ii. Menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud. Dalam pemberian perlakuan khusus dalam bentuk keringanan pidana hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. d.

Ketua Pengadilan di dalam mendistribusikan perkara memperhatikan halhal sebagai berikut: i.

Memberikan perkara-perkara terkait yang diungkap Saksi Pelaku yang Bekerjasama kepada majelis yang sama sejauh memungkinkan; dan

ii. Mendahulukan perkara-perkara lain yang diungkap oleh Saksi Pelaku yang Bekerjasama.

Dengan adanya peraturan ini diharapkan para whistleblower tidak ragu lagi untuk melaporkan tindak pidana yang mereka ketahui. Selain itu, peraturan atau regulasi memang penting untuk dibuat. Tetapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana peraturan yang telah dibuat dapat dijalankan dengan sesuai dan terdapat pengawasan yang ketat terkait pelaksanaan peraturan tersebut. Niscaya, governance di Indonesia akan berjalan dengan lebih baik lagi. OJK sebagai lembaga yang berperan dalam mengatur dan mengawasi pasar modal dan lembaga keuangan juga memiliki sistem terkait Pelapor Tindak Pidana yaitu OJK Whistle Blowing System (OJK WBS). OJK WBS adalah sarana untuk menyampaikan, mengelola dan menindaklanjuti laporan mengenai dugaan terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh pihak internal OJK. Sistem ini sangat menjaga kerahasiaan dan anonimitas dari pelapor. Hal ini tentu untuk melindungi pelapor dari tindakan tidak menyenangkan yang mungkin terjadi sesuai dengan UU No. 13 tahun 2006. Sistem ini sangat baik untuk mendukung whistleblower yang ingin melaporkan tindak pidana. Selain keamanan, sistem ini sangat mudah diakses kapan dan di mana saja. Lebih baik lagi, jika perusahaan-perusahaan di Indonesia, khususnya yang memiliki akuntabilitas publik, memiliki sistem sejenis untuk mendorong terciptanya governance yang lebih baik lagi.

Kasus JLJ Holdings Limited : Poisoned by Its Rotten Apple

Sekilas tentang Kasus 6 Juli 2009, JLJ Holdings resmi mengumumkan IPO dengan menerbitkan 19 juta saham yang bernilai $ 0,27 per lembar saham. Penjualan saham sangat diminati dan terjual habis. Namun, beberapa tahun kemudian popularitasnya berubah menjadi keburukan ketika global supply manager dari Apple ditangkap akibat kasus penyuapan. Tujuan dari kasus ini adalah untuk mendiskusikan isu mengenai dampak korupsi di dalam perusahaan, memastikan perusahaan mampu memitigasi dari risiko tersebut, peran board pada tempat yang seharusnya, dan bagaimana board perlu menghadapi kasus ini melalui investigasi dan komunikasi skandal korupsi.

Mengenai JLJ Holding Ltd Tahun

Kejadian

1993

Jin Li Mould dibentuk oleh Chua Kim Guan (JLJ’s Executive chairman) bersama rekannya

1997

Mengadakan kontrak dengan Hewlett Packard.

2001

Mengadakan kontrak dengan Apple

2003

Chua melihat adanya peluang bisnis di Cina dan mendirikan Emold Kunshan yang beroperasi di provinsi Jiangsu, dengan Chua sebagai pemegang saham tunggal.

2009

JLJ Holdings menjadi public limited company melalui IPO

Lahirnya skema fraud Setelah statusnya berubah menjadi listed company, pendapatan dari kontrak dengan Apple menjadi kunci pertumbuhan bisnis dari grup ini terutama melalui keterlibatan Jin Li Mould. Pihak kunci dari hubungan antara Jin Li Mould dan Apple adalah Paul S. Devine yang merupakan Global Supply Manager (GSM) di Apple serta merupakan karyawan Apple sejak 2005. Devine berperan dalam pemilihan material untuk iPhone dan earphones iPod, dan sebagai kapasitasnya

sebagai GSM, memiliki akses terhadap informasi rahasia perusahaan serta informasi pihak ketiga Apple. Pada Oktober 2006, Devine bekerja sama dengan Andrew Ang, asisten manajer dari Jin Li Mould, untuk membentuk skema dimana Devine akan menyampaikan informasi rahasia Apple kepada Jin Li Mould dan kelima supplier Apple di Asia. Informasi rahasia ini meliputi perkiraan produk, target harga, spesifikasi produk, dan perolehan data dari partner bisnis Apple. Melalui perolehan informasi ini memampukan kelima supplier ini memperoleh tawaran kontrak dengan Apple (bidding). Sebagai imbalannya, Devine memperoleh uang suap dari supplier. Ang setuju untuk menjadi perantara antara Devine dengan supplier. Ang akan memperoleh uang suap yang diterima oleh Divine. Sejak Oktober 2006 hingga Agustus 2010, Devine berkomunikasi dengan Ang melalui akun Hotmail dan Gmail pribadi miliknya. Beberapa kata kode digunakan guna menghindari munculnya kecurigaan – misalnya kata “sample” digunakan sebagai pengganti dari pembayaran uang suap. Untuk menutupi pembayar uang suap sering kali kontrak jasa konsultasi dengan supplier menjadi alasannya.

PERTANYAAN DISKUSI 1. Apa langkah yang perlu diambil JLJ untuk meminimalkan risiko korupsi ? Menurut prinsip Good corporate governance (GCG), jajaran direksi bertanggung jawab untuk menjalankan organisasinya dengan penuh tanggung jawab dan etika. Menurut The Committe of Sponsoring Organizations of the Treadway’s Commisision (COSO’s) di tahun 1999 menganalisa kasus fraud dalam laporan keuangan yang diinvestigasi oleh U.S. Securities dan Exchange (SEC) menemukan bahwa Direksi mempunyai peranan penting dalam manajemen risiko fraud karena mayoritas fraud dilakukan oleh senior manajer (CEO, CFO, atau yang setingkat) yang berkolusi dengan pegawai lainnya.

Langkah yang perlu diambil untuk meminimalkan risiko korupsi adalah : 

Perusahaan harus memiliki manajemen risiko fraud (fraud risk management).



Perusahaan harus mengevaluasi risiko fraud secara periodik untuk mengidentifikasi apa saja potensi fraud dan apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasinya.



Perusahaan menerapkan teknik pencegahan fraud atas potensi risiko fraud.



Menerapkan teknik deteksi fraud untuk mengidentifikasi terjadinya fraud sejak dini.



Membuat sistem pelaporan fraud dan melakukan tindak lanjut / investigasi atas fraud yang terjadi.

2. Apa dampak yang mungkin terjadi terhadap bisnis JLJ ? Dampak yang mungkin terjadi akibat fraud atau korupsi adalah bangkrutnya perusahaan, kerugian investasi, munculnya biaya penyelesaian hukum, turunnya kepercayaan investor di pasar saham, serta hancurnya brand perusahaan.

3. Evaluasi tindakan board dalam meresponi kejadian ini. Chua sebagai jajaran direksi yang memegang kendali atas JLJ malah melanjutkan skema fraud yang dibuat oleh Divine setelah Ang melakukan resign dari Jin Li Mould sehingga menyebabkan Chua harus melepaskan jabatannya sebagai Executive Chairman pada 19 Agustus 2010. Jajaran direksi seharusnya bertanggung jawab atas jalannya perusahaan secara bertanggung jawab dan beretika. Sebaliknya, Chua sebagai jajaran direksi malah ikut terbawa dalam skema fraud ini.

4. Evaluasi peran board dalam menegakkan kode etik organisasi. Chua sebagai jajaran direksi tidak menjalankan peranan sebagai direksi seperti yang seharusnya. Seorang direksi yang memegang kendali atas perusahaan seharusnya menjamin jalannya perusahaan sesuai dengan prinsip GCG yang memegang kode etik perusahaan dan bertanggung jawab.

5. Whistle-blowing menjadi komponen penting dalam kerangka governance perusahaan. Sejauh mana kebijakan whistle-blowing membantu menemukan dan mengungkapkan kasus penyuapan atau fraud ? Pada

umumnya,

whistleblower

akan

melaporkan

kejahatan

di

lingkungannya kepada otoritas internal terlebih dahulu. Namun seorang whistleblower tidak berhenti melaporkan kejahatan kepada otoritas internal ketika proses penyelidikan laporannya mandeg. Ia dapat melaporkan kejahatan kepada otoritas yang lebih tinggi, semisal langsung ke dewan direksi, komisaris, kepala kantor, atau kepada otoritas publik di luar organisasi yang berwenang serta media massa.

6. Berbagai peraturan perundang-undangan mengenai kasus korupsi dan penyuapan telah dibuat di banyak negara dan perusahaan internasional berusaha untuk melaksanakan kode etik bagi suppliernya, bagaimana dampaknya dengan perusahaan-perusahaan Singapura yang melakukan bisnis dengan pihak lain ? Adanya peraturan perundang-undangan dan pelaksanaan penegakkan hukum yang baik bertujuan agar perusahaan-perusahaan berjalan sesuai dengan prinsip GCG, dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan etis. Penerapan GCG dapat membantu perusahaan dalam mengelola perusahaannya secara transparan, berakuntabilitas, bertanggung jawab, independen, dan adil sehingga dengan demikian dapat menjamin kasus korupsi dan penyuapan tidak dilakukan dalam ranah perusahaan. Dengan demikian reputasi dan sustainability perusahaan dapat dijaga dengan baik selama GCG diterapkan dalam perusahaan

DAFTAR PUSTAKA

Spitzeck, Heiko

and Erik G. Hansen (2010),

Stakeholder governance: how

stakeholders influence corporate decision making. Corporate Governance, 10 (4) : 378-391 UU Perseroan Terbatas UU Ketenagakerjaan UU Perlindungan Konsumen UU Jaminan Fidusia UU Kepailitan UU Lingkungan Hidup http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_13_2006.pdf http://multimediaitjen.dephub.go.id/konten/mm/uploadedpdf/SE_MA_No_04_tahun_2011_ Whistleblower.pdf?p=pdf https://www.ojk.go.id/wbs/ https://mukhsonrofi.wordpress.com/2008/10/06/bagaimana-perusahaanmenghindari-fraud-atau-korupsi/ KNKG. 2006. Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia. LPSK. 2011. Memahami Whistleblower

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF