CG kuliah ke 4.docx

March 6, 2018 | Author: MuhammadNaufalZahransyahRamadhan | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download CG kuliah ke 4.docx...

Description

UNIVERSITAS INDONESIA

The principle of the role of stakeholders and the concept of corporate responsibility

TATA KELOLA PERUSAHAAN

MUHAMMAD FAUZAN AZIMAH

1206266675

AKHMAD ARSYAD A.

1306382202

NUR’ANNISA ELLIS SETIAWATI

1306379006

MERISA

1306395306

AULIA SUHUBDY

1306403264

MARIO MAROJAHAN A.

1306408340

FAKULTAS EKONOMI & BISNIS DEPOK 2016/2017

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Kami yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa makalah/tugas terlampir adalah murni hasil pekerjaan kami sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang kami gunakan tanpa menyebutkan sumbernya. Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk makalah/tugas pada mata ajaran lain kecuali kami menyatakan dengan jelas bahwa kami menyatakan menggunakannya. Kami memahami bahwa tugas yang kami kumpulkan ini dapat diperbanyak dan atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.

Mata Kuliah

: Tata Kelola Perusahaan

Judul Makalah

:

Tanggal

: 18 September 2016

Dosen

: Purwatiningsih Lisdiono

Nama

: Muhammad Fauzan Azimah

NPM

: 1206266675

Nama

: Akhmad Arsyad Affrino

NPM

: 1306382202

Nama

: Nur’annisa Ellis Setiawati

NPM

: 1306379006

Nama

: Merisa

NPM

: 1306395306

Nama

: Aulia Suhubdy

NPM

: 1306403264

Nama

: Mario Marojahan A

NPM

: 1306408340

BAB I Pendahuluan Keberlanjutan atau sustainability perusahaan tidak akan dapat terjaga apabila tidak mempertimbangkan kepentingan pemangku kepentingan apabila tidak dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan perusahaan. Dalam menjalankan kegiatan operasional sehari-hari, perusahaan akan berhubungan dengan banyak pihak, mulai dari karyawan, pemasok, pembuat regulasi, konsumen, dan sebagainya. Seluruh pihak tersebut, baik yang memiliki hubungan langsung maupun tidak, merupakan pemangku kepentingan perusahaan yang harus diperhatikan kesejahteraannya. Praktik Good Corporate Governance (GCG) berhubungan erat dengan kesejahteraan pemangku kepentingan. Terdapat beberapa peraturan dan jurnal yang telah membahas pemangku kepentingan dan kaitannya dengan bisnis perusahaan. Salah satu pemangku kepentingan yang menjadi fokus utama saat ini adalah whistleblower.

Sistem

whistleblowing merupakan salah satu bentuk dari penerapan Good Corporate Governance karena bertindak sebagai pendukung dari kontrol internal perusahaan. Efektivitas implementasi dan pengawasan dari praktik GCG sangat bergantung pada pelaporan atas tindakan ilegal atau tidak etis yang disampaikan whistleblower, biasanya berasal dari internal perusahaan. Prinsip ke-4 dari OECD Principles of Corporate Governance menjelaskan bahwa pemegang kepentingan harus dapat secara bebas mengkomunikasikan adanya tindakan ilegal/tidak etis di dalam perusahaan kepada board tanpa konsekuensi kehilangan hak-haknya. Karena itu, perlindungan atas whistleblower sangat penting bagi praktik Good Corporate Governance. Di Amerika Serikat, Sarbanes-Oxley Act mensyaratkan bahwa perusahaan-perusahaan yang terdaftar di bursa saham harus menerapkan jalur pelaporan yang membantu pegawainya untuk melaporkan masalah dalam hal akuntansi, keuangan, dan pelanggaran kode etik. Hal ini dilakukan untuk mendorong perkembangan praktik-praktik terbaik baru dalam rangka menciptakan GCG. Sedangkan di Indonesia, whistleblowing system merupakan sistem pelaporan

pelanggaran yang masih tergolong baru. Dalam rangka

mendorong terciptanya GCG, KNKG menerbitkan suatu pedoman yang diberi judul

“Pedoman

Sistem Pelaporan Pelanggaran (SPP) atau Whistleblowing System (WBS)”.

Namun, pedoman ini hanya bersifat anjuran dan tidak wajib diikuti perusahaan. Sampai dengan tahun 2016, di Indonesia sendiri belum ada undang-undang yang mengatur perlindungan whistleblower dan mekanisme penerapan whistleblowing system. Karena itu, mekanisme yang ada selama ini masih mengacu pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban di samping pedoman KNKG di atas.

BAB II Pembahasan I.

Prinsip No. 4 G20/OECD Principles of Corporate Governance Prinsip keempat dari G20/OECD Principles of Corporate Governance membahas

mengenai peran stakeholders dalam Corporate Governance. Pada dasarnya, kerangka corporate governance harus mengikutsertakan hak para stakeholders yang dibentuk oleh hukum atau melalui mutual agreement. Tertuang dalam OECD CG Principles bahwa kerangka CG harus dapat mendorong kerjasama aktif antara perusahaan dengan stakeholders dalam menciptakan keuntungan, lapangan pekerjaan dan keberlangsungan atas keuangan perusahaan yang baik. Terdapat enam poin utama yang diuraikan dalam OECD yaitu: 1. Hak stakeholders yang dibentuk oleh hukum atau melalui kesepakatan bersama yang dihormati setiap pihak. 2. Dimana kepentingan stakeholders yang dilindungi oleh hukum, stakeholders sebaiknya memiliki kesempatan untuk memperoleh kepastian hukum atas pelanggaran haknya. 3. Mekanisme untuk partisipasi pekerja sebagai stakeholders harus ditingkatkan 4. Dimana para stakeholder berpartisipasi dalam proses CG maka mereka harus mendapat akses atas informasi yang relevan, cukup, dan dapat diandalkan secara periodik dan regular. 5. Stakeholders

(termasuk

di

dalamnya

pekerja

individu,

organisasi

yang

merepresentasikan pekerja tersebut) harus daoat mengkomunikasikan concern atas hal illegal dan praktik tidak etis kepada direksi dan kepada otoritas publik yang kompeten. Hak mereka melakukan ini tidak boleh dikesampingkan. 6. Kerangka corporate governance harus diiringi dengan kerangka kebangkrutan yang efektif dan efisien atas hak kreditor.

II.

Peraturan Perundang-undangan di Indonesia yang Terkait dengan Perlindungan Pemangku Kepentingan Kesejahteraan pemangku kepentingan (stakeholders) menjadi salah satu faktor yang

menentukan sustainability suatu perusahaan, sehingga menjadi fokus dalam tata kelola perusahaan. Contohnya adalah melaksanakan program Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai bukti kepedulian dan tanggungjawab perusahaan, lebih dari sekedar mencari laba. Oleh karena itu, peraturan yang melindungi kepentingan para stakeholders penting dimiliki oleh suatu negara, termasuk Indonesia. Dalam makalah ini akan dijabarkan beberapa peraturan yang ada di Indonesia terkait perlindungan kepentingan pemangku kepentingan , antara lain: 1. Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU No. 5 Tahun 1990) 2. Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999) 3. Perlindungan Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003) 4. Perlindungan kepada Penanam Modal (Investor) 5. Perlindungan terhadap Kompetitor 6. Perlindungan terhadap Kreditur (UU No. 42 Tahun 1999) 7. Perlindungan terhadap Whistleblowers

Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya Dalam Undang- Undang nomor 5 Tahun 1990, ditekankan mengenai pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dalam ekosistemnya secara serasi dan seimbang. Dengan dikeluarkannya undang- undang tersebut diharapkan bahwa upaya ini dapat berguna bagi peningkatan kesejateraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Konservasi sumber daya alam yang dimaksud dibagi menjadi tiga yaitu: perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Pada dasarnya, setiap pemegang hak atas tanah dan hak pengusahaan di perairan, termasuk perusahaan, harus menjaga kelangsungan fungsi perlindungan wilayah tersebut. Sementara kenyataannya, banyak perusahaan yang tidak mengindahkan peraturan ini dan bahkan melakukan tindakan yang berisiko merusak SDA hayati dan ekosistemnya. Di dalam UU No.5 Tahun 1990 dijelaskan prosedur penyidikan oleh aparat negara terhadap pelanggaran konservasi sumber daya alam. Undang-undang tersebut telah mencakup berbagai hal yang harus dilakukan perusahaan. Namun dalam praktiknya, pelanggaran terhadapnya tidak dijatuhi hukuman berat sehingga akhirnya perusahaan semakin semena-mena dan sumber daya alam Indonesia semakin tergerus. Sebagai contoh sebuah perusahaan yang ada di Morowali Sulawesi Tengah yang bergerak dalam bidang pertambangan. Perusahaan ini melakukan penebangan hutan dan membiarkan hutan gundul sehingga menyebabkan banjir. Contoh perusahaan lain yang melakukan pelanggaran adalah PT Tjiwi Kimia. Perusahaan ini memiliki komitmen untuk konsumen, karyawan, investor dan kepda masyarakat serta lingkungan hiup. Badan Lingkungan Hidup (BLH) Jawa Timur pda bulan Juli 2012 pernah mengungkapkan masalah pencemaran sungai yang menyebabkan ratusan ikan mati pada Mei 2012.

Perlindungan Konsumen Perlindungan konsumen di Indonesia telah diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Menurut Pasal 1 UU No. 8 Tahun 1999, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Dengan adanya UU Perlindungan Konsumen, mereka pun bisa menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha. Menurut pasal 3 UU No. 8 Tahun 1999, tujuan dari perlindungan konsumen adalah untuk: 1. Meningkatkan melindungi diri,

kesadaran,

kemampuan

dan

kemandirian

konsumen

untuk

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa, 3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen, 4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum, keterbukaan informasi serta akses untuk memperoleh informasi, 5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha, sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggungjawab dalam penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas, dan 6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen Setiap konsumen sebagai orang yang mengonsumsi barang dan jasa yang diproduksi oleh pelaku usaha memiliki hak dan kewajiban yang sama. Pengetahuan tentang hak dan kewajiban konsumen sangat penting agar dapat bertindak sebagai konsumen yang cerdas dan paham akan pemenuhan hak dan kewahibannya. Tujuannya adalah jika terjadi tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, konsumen dapat bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak dan kewajibannya tersebut. Pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 pun telah menjabarkan hak-hak konsumen yang di antaranya terdiri dari: (1) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa; (2) Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; (3) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa; (4) Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan; (5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; (6) Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen; (7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif; (8) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan (9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Menurut pasal 5 UU No. 8 Tahun 1999, kewajiban Konsumen menurut terdiri dari : a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan, b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa, c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati, dan d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut Perlindungan Ketenagakerjaan Pengertian tenaga kerja berdasarkan pasal 1 ayat 2 UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat. Sedangkan pengertian pekerja atau buruh terdapat di pasal 1 ayat 3 UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, menjelaskan bahwa pekerja atau buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Undang- undang tentang perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak- hak dasar pekerja dan menjamin diberikannya kesempatan dan perlakuan yang sama untuk setiap tenaga kerja. Tenaga kerja memiliki peranan penting dalam proses pembangunan suatu negara. Oleh karena itu, diperlukan undang-undang yang jelas untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembangunan, serta untuk meningkatkan perlindungan tenaga kerja.Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ketenagakerjaan pada dasarnya di atur dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam UU No.13 Tahun 20013, secara lebih jelas mengatur tentang perlindungan pekerja/buruh yang termasuk di dalamnya tentang perlindungan atas hak-hak dasar pekerja/buruh untuk berunding dengan pengusaha, perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan, anak, dan

penyandang cacat, serta perlindungan tentang upah, kesejahteraan, dan jaminan sosial tenaga kerja. Secara prinsip, perlindungan tenaga kerja dibagi menjadi tiga macam, yaitu: 1. Perlindungan Sosial Perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, dan kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi. Kesehatan kerja bertujuan untuk melindungi atau menjaga pekerja/buruh dari kejadian atau keadaan hubungan kerja yang merugikan kesehatan dan kesusilaannya dalam hal pekerja/buruh melakukan pekerjaannya. Peraturan tersebut tercantum dalam Bab X UU No 13 Tahun 2003. 2. Perlindungan Teknis Perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja. Keselamatan kerja ini tidak hanya memberikan perlindungan kepada pekerja, tetapi kepada pengusaha dan pemerintah. Hingga saat ini, peraturan perundang- undangan tentang keselamatan kerja diatur dalam UU No 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja. 

Bagi

pekerja,

adanya

jaminan

perlindungan

keselamatan

kerja

akan

menimbulkan suasana kerja yang aman, sehingga pekerja dapat memusatkan perhatian pda pekerjaannya semaksimal mungkin tanpa khawatir bila suatu saat mengalami kecelakaan kerja. Salah satu contohnya adalah prosedur pakaian dan kewajiban menggunakan helm di dalam pabrik manufaktur Toyota. 

Bagi pengusaha, adanya pengaturan keselamatan kerja di dalam perusahaannya akan dapat mengurangi terjadinya kecelakaan yang dapat mengakibatkan pengusaha harus memberikan jaminan sosial. Salah satu contohnya adalah prosedur menyebrang jalan di kawasan PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia yang dipublikasikan melalui standing banner yang dipasang di setiap lantai kantor.



Bagi pemerintah dan masyarakat, dengan ditaatinya peraturan keselamatan kerja, maka apa yang direncanakan pemerintah untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat akan tercapai dengan meningkatnya produksi barang dan jasa pelaku usaha. 3. Perlindungan Ekonomis Perlindungan tenaga kerja dalam bentuk penghasilan yang cukup, termasuk bila tenaga kerja tidak mampu bekerja di luar kehendaknya. Penyelenggara program jaminan sosial, seperti BPJS yang ada saat ini, merupakan salah satu tangung jawab negara untuk memberikan perlindungan sosial-ekonomi kepada masyarakat. Sesuai dengan Undang-undang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, No, 3 Tahun 1992 Pasal 10, jaminan sosial tenaga kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia.

Perlindungan Terhadap Investor Undang- undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanam Modal, setiap penanam modal memiliki hak untuk mendapat : (1) Kepastian hak, hukum, dan perlindungan; (2) Informasi terbuka mengenai usaha yang dijalankan; (3) Hak pelayanan; dan (4) Berbagai bentuk fasilitas kemudahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Salah satu masalah yang terjadi pada investor adalah ketika investor tidak bisa mendapatkan deposito ketika jatuh tempo. Dalam hal ini, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang akan membayar tabungan investor tersebut. Atas penjaminan ini, bank-bank diwajibkan membayar premi yang ditentukan LPS. Demikian juga seseorang yang telah menjual saham di bursa sudah mempunyai kepastian untuk mendapatkan dana pada periode T+3 yang dibayarkan PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI). LPS dan KPEI memiliki aturan yang dibuat berdasarkan undang-undang. Sering juga dijumpai konsumen mendapatkan barang yang dibeli tidak sesuai dengan aslinya. Oleh karena itu, investor yang bertransaksi di pasar modal juga perlu

dilindungi dari kepalsuan produk keuangan yang ditransaksikan. Regulasi yang dibuat adalah membuat produk yang ditransaksikan tersebut tidak beredar seperti barang konsumsi, tetapi tercatat dalam sebuah kustodian, dalam hal ini PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI). KSEI juga menjamin barang yang dijual secara pasti ada dan secara pasti tersimpan sebagai milik pembeli setelah transaksi berlangsung. Perlindungan terhadap Kompetitor Pemerintah mengesahkan Undang-undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat untuk menciptakan persaingan yang sehat dalam praktik bisnis di Indonesia dan sebagai upaya perlindungan terhadap para kompetitor yang bersaing dalam dunia bisnis. Isi UU tersebut antara lain mengatur perjanjian-perjanjian pelaku usaha yang dilarang, meliputi praktik oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah pemasaran, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertikal, perjanjian tertutup dan perjanjian dengan pihak luar negeri. Selain itu, tindakan atau kegiatan pelaku usaha yang dilarang meliputi praktik monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, dan persekongkolan. Selain mengatur jenis-jenis perjanjian dan praktik yang dilarang, UU tersebut juga menetapkan pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). KPPU memiliki wewenang untuk mengawasi pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1999 tersebut, melakukan penilaian perjanjian antarpelaku usaha, memberi saran dan pertimbangan kepada pemerintah, menerima laporan, serta memutus dan menjatuhkan sanksi administrasi.

Perlindungan kepada Kreditur Salah satu cara untuk melindungi kepentingan kreditor (sebagai penerima fidusia, di mana fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda) adalah dengan memberikan ketentuan yang pasti akan Kreditur. Diaturnya data yang lengkap yang harus termuat dalam jaminan Fidusia (Pasal 6 UUJF), secara tidak langsung memberikan pegangan yang kuat bagi kreditur sebagai penerima

fidusia, khususnya tagihan mana yang dijamin dan besamya nilai jaminan, yang menentukan seberapa besar tagihan kreditur preferen. Maksud atau tujuan dari perjanjian jaminan fidusia dari segi perlindungan hukum bagi kreditur adalah memberikan hak istimewa atau hak didahulukan baginya guna pelunasan hutang-hutang. Lebih jauh perlindungan hukum terhadap hak atas piutang yang didahulukan dapat dilihat pada ketentuan Pasal 27 UUJF : (1) Penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditor lainnya; (2) Hak didahulukan sebagaimana, dimaksud dalam ayat (1) adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia; dan (3) Hak yang didahulukan dan penerima fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau likuidasi pemberi fidusia. Perlindungan yang sama juga dapat dilihat dalam Pasal 23 ayat (2) yang berbunyi : Pemberi fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dan penerima fidusia. Sanksi terhadap ketentuan di atas adalah pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 UUJF, yang berbunyi : Setiap orang dengan sengaja memalsukan, mengubah, menghilangkan atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan, yang jika hal tersebut diketahui oleh salah satu pihak tidak melahirkan perjanjian jaminan fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp.10.000.000.- (seputuhjuta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.- (seratus juta rupiah)

Peraturan Perundang-undangan mengenai Whistleblower Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung no. 4 Tahun 2011, Mahkamah Agung menerjemahkan istilah whistleblower sebagai pelapor tindak pidana yang mengetahui dan

melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan bagian dari pelaku kejahatan yang dilakukannya, atau bisa disebut sebagai seorang saksi. Perlindungan terhadap whistleblower merupakan hal yang penting untuk diperhatikan karena biasanya seorang whistleblower menanggung risiko yang cukup besar atas perbuatannya mengungkap sebuah praktik kecurangan dalam sebuah instansi. Perlindungan maksimal bagi whistleblower oleh seluruh pihak yang terkait, baik pemerintah sebagai regulator maupun perusahaan atau organisasi sebagai instansi merupakan salah satu indikator penerapan prinsip tatakelola yang baik karena hal tersebut semakin meningkatkan transparansi dalam organisasi atau instansi tersebut. Hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai whistleblower di Indonesia. Namun beberapa ketentuan mengenai perlindungan saksi, termasuk didalamnya whistleblower, diatur dalam UU no. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang kemudian diikuti dengan Surat Edaran Mahkamah Agung no. 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan terhadap Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (justice collaborator). Selain itu pada UU no. 13 tahun 2006, diatur pula pembentukan sebuah lembaga bernama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi dan Korban. Lembaga ini diharapkan dapat menjadi wadah dan tonggak perlindungan saksi dan korban dari berbagai ancaman yang mereka terima akibat perbuatan mereka. Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung no. 4 Tahun 2011, MA menghimbau kepada para hakim untuk memberikan perlindungan hukum bagi para pelapor tindak pidana (whistleblower) sehingga mereka tidak dapat dituntut baik dalam pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang sedang, akan, atau telah diberikannya. Bagi pelapor tindak pidana yang juga berstatus sebagai tersangka, MA menghimbau para hakim untuk mempertimbangkan adanya pemberian keringanan pidana terhadap pihak tersebut, walaupun tidak dapat dibebaskan sepenuhnya dari tuntutan pidana yang diberikan. Apabila pelapor tindak pidana (whistleblower) dilaporkan juga oleh pihak terlapor, maka penanganan perkara atas laporan yang disampaikan oleh pelapor tindak pidana didahulukan dibandingkan laporan yang

disampaikan pihak terlapor. Selain dituangkan dalam UU no. 13 tahun 2006 dan SEMA no. 4 tahun 2011, beberapa institusi pemerintahan seperti Kementerian Hukum dan HAM RI, Jaksa Agung, Polri, KPK RI, Kejaksaan RI, dan LPSK mengeluarkan peraturan bersama yang mengatur Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama untuk setiap kasus whistleblower yang terjadi atau ditangani oleh instansiinstansi tersebut. Saat ini memang belum ada peraturan yang khusus mengatur mengenai whistleblower di Indonesia. Peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan Republik Indonesia hanya mengatur perlindungan terhadap saksi secara umum dan memasukkan whistleblower sebagai salah satu bagian dari saksi, sementara peraturan lain yang membahas whistleblower secara lebih eksplisit belum memiliki kekuatan hukum yang baik, karena peraturan-peraturan tersebut umumnya masih berupa Surat Edaran atau peraturan bersama yang dikeluarkan beberapa instansi pemerintahan.

III. The principle of the role of stakeholders and the concept of corporate responsibility Seperti yang kita ketahui bahwa stakeholders itu adalah sekumpulan group atau individu yang mampu memberikan dampak terhadap perusahaan untuk mencapai tujuan perusahaan yang baik. Dan tanggung jawab corporate dalam sosial sangat lah bergantung pada kemajuan perusahaan tersebut. Program CSR merupakan investasi bagi perusahaan demi pertumbuhan dan keberlanjutan (sustainability) perusahaan dan bukan lagi dilihat sebagai sarana biaya (cost centre) melainkan sebagai sarana meraih keuntungan (profit centre). Program CSR merupakan komitmen perusahaan untuk mendukung terciptanya pembangunan

berkelanjutan (sustainable

development).

Disisi

lain

masyarakat

mempertanyakan apakah perusahaan yang berorientasi pada usaha memaksimalisasi keuntungan-keuntungan ekonomis memiliki komitmen moral untuk mendistribusi keuntungan-keuntungannya

membangun

masyarakat

lokal,

karena

seiring

waktu

masyarakat tak sekedar menuntut perusahaan untuk menyediakan barang dan jasa yang diperlukan, melainkan juga menuntut untuk bertanggung jawab sosial. Penerapan program CSR merupakan salah satu bentuk implementasi dari konsep tata kelola perusahaan yang baik (Good Coporate Governance). Diperlukan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) agar perilaku pelaku bisnis mempunyai arahan yang bisa dirujuk dengan mengatur hubungan seluruh kepentingan pemangku kepentingan (stakeholders) yang dapat dipenuhi secara proporsional, mencegah kesalahan-kesalahan signifikan dalam strategi korporasi dan memastikan kesalahankesalahan yang terjadi dapat diperbaiki dengan segera. Dengan pemahaman tersebut, maka pada dasarnya CSR memiliki fungsi atau peran strategis bagi perusahaan, yaitu sebagai bagian dari manajemen risiko khususnya dalam membentuk katup pengaman sosial (social security). Selain itu melalui CSR perusahaan juga dapat membangun reputasinya, seperti meningkatkan citra perusahaan maupun pemegang sahamnya, posisi merek perusahaan, maupun bidang usaha perusahaan Dalam journalnya N. Li, A. Toppien yang berjudul Corporate responsibility and sustainable competitive advantage in forest-basedindustry: Complementary or conflicting goals?,. Bahwa ada hubungan timbal balik dalam Corporate Resposiblity (CR) dengan peran stakholders. Jika perusahaan yang berbasis pada sistem industri hutan atau kita bisa sebut perusahaan yang berfokus produksi pada kayu maka corporate resposibilty yang diberlakukan tidak lah sama dengan CR pada perusahaan pada umumnnya, karena perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan hendak dinyatakan sebagai perusahaan yang bertanggung jawab sosial, maka prasyarat terpentingnya adalah ia tak boleh merusak hutan sama sekali. Perusahaan itu harus mengelola sumberdaya hutannya secara berkelanjutan (sustainable forest management), karena hanya dengan demikian saja maka dampak keputusan dan operasinya bisa sesuai dengan definisi dan prinsip-prinsip CSR Mereka yang berbasis kehutanan perlu terus meningkatkan inovasi-inovasi mereka untuk berjangka panjang, CR tidak hanya untuk keuntungan semata dan untuk menuju kesuskesan sosial tapi diberlakukaknnya strategi-strategi yang mengacu bagainaman perusahaan yang berbasis hutan ini mampu mengelola kembali hutan-hutan yang sudah

mereka tebang, dilakukan tanam ulang. Jadi perubahan nilai-nilai fundamental dalam perusahaan yang berbasis hutan ini perlu di terapkan.

IV. Penelitian Spitzeck, Heiko, dan Erik G. Hansen (2010) mengenai Stakeholder Governance:

bagaimana

para

stakeholders

mempengaruhi

pengambilan

keputusan perusahaan Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki bagaimana stakeholder dengan suka rela memberikan pengaruh dalam pengambilan keputusan di perusahaan. Berdasarkan data dari Lehman Brothers, pada abad ke 18 terjadi 11 krisis perbankan, pada abada 19 18 krisis perbankan, dan pada abad 20 terjadi 33 kali krisis keuangan. Berdasarkan krisis pada tahun 2008 diperkirakan pad abaad ke 21 akan terjadi 60 krisis yang terjadi. Melihat fenomena tersebut, Peter Senge (2008) mengemukakan sebuah frasa bernama financial bubble di mana bubble tersebut ditimbulkan karena adanya ekspansi keuangan yang berlebihan. Dalam fenomena ini terdapat dua relitas yakni, inside bubble yang mengindikasikan orangorang yang terpengaruh ketika bubble terjadi, dan orang-orang yang sudut pandangnya tidak terpengaruh atau outside bubble. Kemudian Senge melakukan penelitian lagi yang kemudian menemukan permasalahan tata kelola dalam perusahaan. Dalam penelitian yang dilakukan kali ini, sebuah poin penting yang ingin dipecahkan adalah bagaimana menyelaraskan sudut pandang dari kedua sisi inside dan outside buble. Kemudian sebuah solusi yang disebut sebagai Public Interest Directors (PID). Penelitian ini didukung oleh dua teori, yakni teori Corporate Governance dan teori stakeholder. PID erat kaitannya dengan teori stakeholder (costumer dan employee) yang dianggap memiliki peran dalam keberlanjutan suatu perusahaan. Dalam teori ini dijelaskan bahwa perusahaan perlu memperhatian stakeholder-stakeholder yang dapat mempengaruhi nilai perusahaan melalui hak suara dalam dialog strategis perusahaan. Teori stakeholder diidentfikasikan dalam dua perspektif, yakni deskriptif dan normatif. Perbedaanya terletak pada pandangan terkait nilai yang dibawa oleh stakeholder. Pandangan normatif memperhatikan hak suara stakeholder yang mengandung nilai intrinsic dan hak moral yang diyakini stakeholder dalam mempengaruhi keputusannya. Sedangkan pandangan secara

deskriptif meengidetifikasi dan mengklasifikasikan kekuasaan dalam suatu organisasi tanpa memperhatikan value statements dari kekuasannya.

Metodologi Penelitian

Model penelitian yang digunakan terdiri dari 2 dimensi yaitu power (kekuatan) dan scope (ruang lingkup). Dimensi Power merujuk kepada kekuatan yang dimiliki oleh stakeholder dalam mempengaruhi keputusan perusahaan. Sedangkan scope merujuk kepada ruang lingkup pengaruh yang diberikan stakeholder terhadap perusahaan. Dalam penelitian kali ini, hanya mendapatkan 3 tingkatan scope yaitu: operasional, manajerial, dan stratejik. Penelitian dilakukan pada 46 perusahaan dengan total 76 mekanisme stakeholder engagement dalam mewujudkan stakeholder governance.

Hasil Penelitian Hasil analisa penelitian ini disajikan dalam dua bentuk, yang pertama adalah dari segi perbedaan level dari power dan scope, dan yang kedua disajikan dalam bentuk kluster dari stakeholder governance mechanisms.

A. Perbedaan level dari power dan scope

Terdapat 5 tingkatan dalam dimensi power: a.

No evidence, berarti tidak ada sama sekali bukti yang menyatakan adanya power stakeholder dalam pengambilan keputusan perusahaan. (17 kasus)

b. Active listening, berarti memiliki bukti adanya fokus pada stakeholder melalui laporan atas hasil dialog dengan stakeholder. (14 kasus) c. Intermediate impact, mengindikasikan terdapat bukti terkait dengan keikutsertaan stakeholder yang masih terbatas dan hanya berdampak sebagai perantara suatu pengambilan keputusan. (25 kasus) d. Policies and KPIs, yaitu tingkatan yang memiliki kaitan yang jelas antara PID stakeholder terhadap kebijakan baru dan indikator kinerja dalam perusahaan sebagai hasil dari dialog strategis. (13 kasus) e. Stakeholder power. Salah satunya ditandai dengan active stakeholder participation. (7 kasus) f. Terdapat 3 tingkatan scope/ruang lingkup: a. Operasional, cakupan meliputi mekanisme konsultasi di bidang ekonomi, politik, dan dampak sosial. (15 kasus) b. Manajerial, cakupan konsultasi hingga tahap manajerial seperti pelaporan, indikator kinerja, manajemen risiko, peluang, hingga reputasi manajemen.

Mayoritas mekanisme perjanjian stakeholder melalui dialog strategis diperuntukkan dalam lingkup manajerial, (40 kasus) c. Stratejik, dimana stakeholder diikutsertakan dalam dialog membahas stratejik perusahaan yang berkaitan dengan pengembangan bisnis, rencana, dan inovasi bisnis. (21 kasus)

B. Cluster of Stakeholder Governance Mechanisms



Dialogue and issues advisory, menunjukkan adanya diversitas yang tinggi dalam stakeholder. Dibutuhkan 2 tipe dialog strategis yaitu dialog secara luas dengan mengikutsertakan seluruh stakeholder dan SAP (stakeholder advisory panels) secara rutin.



Strategic advisory dan innovation, dengan scope yang tinggi tetapi power yang rendah, maka lebih fokus pada SAP untuk merumuskan persoalan spesifik terkait peluang bisnis yang dihadapi.



Issues collaboration, adalah kluster dengan scope yang terbatas namun memiliki power yang tinggi. Hanya membutuhkan panel diskusi kecil dan spesifik namun memiliki dampak yang besar bagi kebijakan perusahaan.



Strategic collaboration, perusahaan menganggap stakeholder sebagai partner dalam berkolaborasi menentukan kebijakan strategis perusahaan. Fokus stakeholder yang dimaksud dalam kluster ini adalah costumer. Poin penting lain yang ditemukan

penulis adalah semakin tinggi power maupun scope stakeholder, maka akan semakin rendah diversitasnya.

C.

Kesimpulan Penelitian ini mengevaluasi bagaimana stakeholders dengan suka rela mempengaruhi

pengambilan keputusan di perusahaan yang mana menunjukan bahwa di samping pendekatan integrasi secara tradisional, ada juga pendekatan inovatif lainnya untuk memprovide keberagaman power dan scope dari stakeholder untuk mempengaruhi keputusan bisnis.

V.

Kasus APP, Widjaja, dan Stakeholders serta Tanggung Jawab Perusahaan Kasus Asia Pulp and Paper Indonesia, merupakan sebuah kasus yang memberikan

gambaran kita secara besar mengenai tanggung jawab perusahaan terhadap tidak hanya pada pemilik saham (shareholder) tetapi juga kepada pemangku kepentingan (stakeholder). Stakeholder terdiri dari individu ataupun lini bisnis yang terpengaruh dengan kebijakan perusahaan, di dalam hal Asia Pulp and Paper Indonesia, stakeholder yang paling terpengaruh dengan keputuan pailit atau gagal bayar terhadap utang sebesar $ 1,4 milyar (1,4 Milyar US Dollar) adalah investor-investor yang membeli bonds atau surat utang tersebut juga para bank-bank yang meminjamkan uang mereka (financing). Padahal perusahaan APP mencatat keuntungan terus menerus dari tahun 1990 hingga masuk tahun 2000-an namun, pada tahun 2001 perusahaan APP menyatakan gagal bayar atas utangutang tersebut. Ketika kita melihat struktur kepemilikan APP atau dalam hal ini keluarga Widjaja, saham-saham perusahaan tersebut memang beredar secara bebas atau dalam Bahasa bisnisnya bersifat terbuka, tetapi ini hanya dalam bentuk secara legalitas, karena pada dasarnya saham itu tetap dimiliki oleh keluarga Widjaja tersebut. Sebagai contoh Lontar Papyrus yang dimiliki sebesar kurang lebih 20% oleh Satria Perkasa Agung dan 80% tersebut dimiliki oleh Pindo Deli, dimana baik Pindo Deli dan Satria Perkasa Agung dimiliki oleh Purinusa Ekaspersada. Memang, pada dasarnya sturktur kepemilikan ini tidak

bermasalah dan bahkan tidak jarang sebuah perusahaan multi lini bisnis memiliki lini bisnis yang kompleks. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah, dalam laporan keuangan atau laporan yang diberikan kepada publik, banyak indikasi bahwa di laporan keuangan tersebut terindikasi ada transfer pricing kebijakan financing atau pembiayayaan yang tidak sesuai dengan nilai pasar atau kebijakan umum atau logika sehat. Sebagai contoh di dalam bisnis yang mengurusi bubur kayu diharuskan membiayai perusahaan yang memotong atau mengolah pohon di sektor hulu nya. Memang, secara materialitas hal ini bernilai kecil dibandingkan pembiayaan yang diberikan oleh bank tetapi hal ini seharusnya sudah menunjukkan sebuah tanda bahaya atau red flag. Ketika kita melihat ini dari masalah luar, kita tidak bisa menyalahkan kesalahan ini sepenuhnya dengan keluarga Widjaja karena pada dasarnya investor dapat melihat tanda bahaya bahwa perusahaan APP ini terlilit dalam utang, tetapi tetap percaya karena berlandaskan rasa percaya pada keluarga Widjaja, di sini juga stakeholder seharusnya berpikir secara rasional dan tidak begitu saja memberikan pinjaman. Bisnis Asia Pulp dan Paper merupakan lini bisnis yang dianggap salah satu paling sehat dan diuntungkan, menurut investor-investor asing, dengan kejadian krisis 1998, hal ini karena perusahaan APP membiayai barang-barang bahan mentah dan pekerja dengan rupiah sementara perusahaan APP menjualnya dengan kurs dollar. Hal ini diperkuat laporan keuangan yang memberikan kesan bahwa margin pendapatan mereka yang tinggi karena mereka berhasil menekan biaya hingga ke titik tertentu. Seharusnya hal ini memberikan keuntungan tersendiri bagi APP apalagi dengan krisis yang terjadi dalam negeri, namun yang menjadi kenyataannya adalah APP menyatakan gagal bayar, seperti yang telah disebutkan di atas, hal ini tidak lain karena biaya yang selama ini dianggap berhasil ditekan, merupakan permainan akuntansi. Apa yang dapat diambil dari kasus ini adalah pertama sebagai salah satu stakeholder apalagi dalam kasus ini adalah peminjam duit, harus diperhatikan kembali skeptesism profesional bahkan dari pihak perbankan, kita meskipun juga memiliki asas kepecaryaan bahwa nilai dari perusahaan harus dievaluasi secara berkala dan evaluasi tersebut menjadikan pertimbangan kita dalam memberikan pinjaman atau menilai nilai dari sebuah

perusahaan. Kita mengetahui bahwa keluarga Widjaja merupakan salah satu konglomerat terbesar pada saat itu di Indonesia, dan pada dasarnya mereka dipercaya oleh berbagai publik. Tetapi rasa kepercayaan saja tidak boleh dijadikan sebagai penilaian untuk perusahaan tersebut. Apa permasalahan dan kesulitan CSR di Indonesia? Bagaimana usulan mengatasinya? Berlandaskan dari aturan Undang-Undang 40 tahun 2007 mengenai Perseroan Terbatas, serta PP 47/2012 tentang tanggung jawab sosial dari PT tersebut , juga UU 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dilengkapi dengan UU 32 tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaaan Lingkungan Hidup. Dapat kita simpulkan secara gambaran besar kita dapat simpulkan tidak ada yang menjadi hambatan untuk CSR di Indonesia. Bahkan Pemerintah menganjurkan kita untuk melakukan apa yang disebut dengan tanggung jawab sosial. Bahwa tidak ada kesulitan dan permasalahn di Inndonesia hal ini justru menimbulkan sebuah pertanyaan bagi para perusahaan. Kenapa tidak mau berbuat lebih dalam hal tanggung jawab sosial. Pihak pemerintah mungkin bisa diminta untuk lebih mensosialisasikan tanggung jawab sosial ini supaya perusahaan tidak hanya perusahaan terbuka, tetapi perusahaan tertutup juga melakukannya

BAB IV Penutup Dalam mempertahankan eksistensi suatu perusahaan, praktek Good Corporate Governance bisa menjadi salah satu syarat yang harus dimplementasikan. Tak hanya perusahaan saja yang bertindak, pemerintah turut mendukung implementasi praktik GCG melalui peraturan perundang- undangan. Penerapan program CSR merupakan salah satu bentuk implementasi dari konsep tata kelola perusahaan yang baik (Good Coporate Governance). Praktik Good Corporate Governance mengatur bagaimana hubungan perusahan dengan para stakeholders dan bagaimana perusahaan melaksanakan tanggung jawabnya pada tiap stakeholders, baik dari sisi internal maupun sisi eksternal. Prinsip tatakelola perusahaan yang baik harus dapat mendorong kerjasama aktif antara perusahaan dengan para stakeholders-nya untuk menciptakan keuntungan bagi kedua belah pihak, menghasilkan lapangan pekerjaan, dan menjaga keberlangsungan operasi perusahaan. Bagi stakeholders eksternal, bentuk tanggung jawab yang dapat diberikan perusahaan adalah melalui program Corporate Social Responsibility (CSR). Melalui program CSR dapat memberikan timbal balik bagi pihak eksternal yang dipengaruhi oleh operasi perusahaan, khususnya lingkungan alam dan sosial. Selain itu, melalui CSR perusahaan juga dapat membangun reputasinya, seperti meningkatkan citra perusahaan maupun pemegang sahamnya, posisi merek perusahaan, maupun bidang usaha perusahaan. Prinsip pengaturan dan perlindungan mengenai stakeholders tidak hanya ditetapkan oleh perusahaan saja, namun perlu ada serangkaian peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai public governance untuk mendukung corporate governance yang dijalankan oleh perusahaan. Saat ini di Indonesia, beberapa aturan mengenai para stakeholders seperti pekerja, konsumen, dan pemegang saham memang telah ditetapkan, namun negara ini belum secara eksplisit mengatur mengenai perlindungan terhadap whistleblower yang merupakan unsur penting demi menjalankan prinsip transparansi pada perusahan.

DAFTAR PUSTAKA DAFTAR PUSTAKA International Labour Organization. Undang Undang Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: Kantor Perburuhan Internasional, 2004. Li, N. and A. Toppinen. Corporate responsibility and sustainable competitive advantage in forest-based industry: Complementary or conflicting goals?. Forest Policy and Economics 13 (2011): 113-123. OECD dan Central Bank Governors. Ensuring the Basis for an Effective Corporate Governance Framework. G20/OECD Corporate Governance (2015): 37-39. Spitzeck, Heiko and Erik G. Hansen. Stakeholder governance: how stakeholders influence corporate decision making. Corporate Governance: The international journal of business in society 10:4 (2010) : 378-391. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sekretariat Negara, 1999. Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya. Jakarta: Sekretariat Negara, 1990.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF