cerpen Dua Perempuan Dengan HP-Nya ( un soir du paris 3 )

March 23, 2019 | Author: lizphobee | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

dari buku un soir du paris, nemu di 4shared...

Description

DUA PEREMPUAN DENGAN HP-NYA

Seno Gumira Ajidarma

Menjelang senja, sebuah mobil sport yang mulus mendecit tiba-tiba di tepi pantai. Hanya ada dua pintu di mobil itu, yang terbuka ke atas seperti sepasang sayap secara bersamaan, memunculkan dua orang perempuan. Kedua-duanya meninggalkan sepatu tinggi mereka di dalam mobil, dan bertelanjang kaki menapaki pasir menuju ke pantai, sementara kedua  pintu mobilnya yang seperti sayap itu menutup ke bawah secara otomatis. Mereka berjalan sambil bergandengan tangan. Dua perempuan yang tampaknya matang, tampaknya dewasa, dan tampaknya tahu benar apa yang dikehendakinya. Wajah mereka seperti anak kembar, potongan rambut mereka pun seperti sengaja disamakan, panjang dan di-blow, dengan poni yang juga sama persis menutupi dahi, sehingga tampak seperti pir  naik turun dalam langkah-langkah keduanya yang mantap dan pasti. Mereka sama-sama mengenakan blazer, di dalamnya ada blouse tipuan yang you-can-see saja supaya tidak   panas, dan sama-sama berdasi. Bedanya hanya bahwa yang satu mengenakan rok mini dan yang lain celana panjang. Seperti warna blazer mereka, keduanya berwarna hitam. Samb Sambil il berg bergan ande deng ngan an tang tangan an kedu keduan anya ya salin saling g meli meliri rik, k, dan dan ters tersen enyu yum m bers bersam amaan aan.. Perempuan yang mengenakan rok mini berada di sebelah kiri, menggenggam handphone di tang tangan an kiri kiri.. Pere Peremp mpua uan n yang yang meng mengen enak akan an pant pantal alon on bera berada da di sebe sebela lah h kana kanan, n, menggengga menggenggam m handphone handphone di tangan kanan. Sambil berjalan berjalan dan bergandeng bergandengan an keduanya keduanya memijit-mijit handphone. Kedua calling mereka connecting dalam waktu bersamaan. “Halo?” “Halo?” “Halo!” “Halo!” “Iyem? Nanti kalau Tuan pulang bilang saya terlambat sampai rumah. Jalanan pasti macet dan saya banyak urusan….” “Linda? Bilang sama bos kamu aku tidak bisa ketemu dia malam ini. Kamu atur saja entah kapan, pokoknya tidak bisa malam ini, banyak urusan…” “Kalau anak-anak pulang dari les langsung suruh makan…” “Apa? Harus berpasangan? Pergi sama kamu saja Linda. Kenapa harus malu? Kalian toh sudah sering melakukannya…” “Jangan lupa kasih makan anjing, kucing, nyalakan lampu, matikan ledeng, kalau Tuan  pulang jangan lupa dibikinkan susu cokelat sebelum tidur…” “Sialan kamu Linda! Jangan bilang kamu tidak tahu apa-apa…” “Jendela tutup sekarang juga, nyamuk banyak sekali sekarang…”

“Aku sudah dengar dari mana-mana mana-mana sejak kapan-kapan kapan-kapan tentang tentang kalian itu Linda, dan aku tidak apa-apa, aku tidak peduli sama sekali…” “Aduh Iyeeeeemmm! Cepat kejar Si Blackie! Jangan sampai dia lepas ke jalan! Cepat aku tunggu…” “Kenapa aku harus jadi susah karena kelakuan laki-laki memble seperti itu?” “Aduh! Punya pembantu satu saja sial begini! Halo! Sudah?” “Apa kamu tidak tahu sih, kamu punya bos itu sudah kawin? Dengar baik-baik. Sudah kawin!” “Apa? Tidak kelihatan di jalan? Aduh, dia pasti ke rumah seberang. Blackie punya pacar di situ, kan?” “Kamu mau kawin sama dia? Kawinlah! Dasar simpanan!” “Aduuuuhhhh. Blackie, Blackie, anjing sekecil itu lari-lari menyeberangi jalan sendirian.” “He, “He, begini begini saja sekret sekretaris aris bego, bilang bilang bos kamu aku tidak pulang pulang malam ini. ini. Aku menginap di rumah pacarku. Bilang saja begitu.” “Sudah “Sudah ketemu ketemu,, Yem? Yem? Sini, Sini, suruh suruh Blacki Blackiee ngomon ngomong g di telepon telepon.. Bisa, Bisa, bisa, bisa, aku biasa biasa ngomong sama dia. Blackie, Blackie, kamu tidak apa-apa, kan?” “Eh, jangan kamu kurang ajar seperti itu ya? Kamu kira aku tidak bisa menghabisi kamu? Itu cuma soal membalik tangan, tahu?” “Blackie, Blackie…” “Masalahnya, aku tidak peduli lagi dengan suamiku. Paham kamu?” “Blackie sayang, jangan nakal lagi ya?” “Tentu saja aku punya pacar, apa cuma kamu saja yang boleh punya pacar?’ “Iyem, jangan lupa langsung kasih makan Si Blackie, kamu tahu kan makanan anjing yang kubeli dari supermarket?” “Yang jelas pacarku bukan suami orang seperti kamu!” “Kucingnya juga jangan lupa, kasih makanan yang dari supermarket.” “Kenapa harus aku? Kamu dong yang memberi penjelasan.” “Iyem, mana kucingnya? Aku mau ngomong.” “Bukan aku, tapi kamu!” “Iya, aku juga bisa ngomong sama kucing, bawa saja ke telepon.” “Begini saja Linda, kita omongin ini lain kali, oke? Sekarang aku sibuk.” “Puss...”

“Aku terlalu sibuk untuk ngomong dengan simpanan!” “Puss, kamu jangan seperti Si Blackie, tunggu Mama di tempat tidur, ya?” “Ya, memang simpanan! Kalau bukan, kamu itu apa?” “Puss? Iyem! Mana Si Puss?” “Simpanan!” “Iyeeemmm!” “Tidak ada urusan apa-apa antara kita! Tidak ada urusan apa-apa!” “Aduh, Puss, kamu diapakan sama Si Iyem?” “Dasar simpanan!”

*** Mereka masih bergandengan tangan dan mereka sudah tiba di pantai. “Lihat, senja sudah tiba.” “Yeah. Matahari sudah hampir terbenam.” Lantas mereka duduk. Mereka duduk di sebuah bukit pasir. Bukit pasir itu menghadirkan   pem peman anda dang ngan an senj senjak akal alaa yang yang ceme cemerl rlan ang. g. Mema Memand ndan ang g ke bawa bawah, h, debu deburr omba ombak  k  mengempas, mengirimkan buih-buih putih yang kini keunguan dalam semburat cahaya  jingga di langit yang mulai terbakar kemerah-merahan.

*** Handphone masing-masing berbunyi. “Halo? Ya, aku di sini.” “Halo? Ya, ada apa?” “Ya, ya, melihat sunset, sama Susan.” “Sama Sandra! Kenapa sih?” “Benar Susan, bukan orang lain.” “Sudahlah. Pergi saja dengan Linda.” “Jadi kamu pulang cepat hari ini? Tidak jadi ke Batam?” “Kita cerai! Hal itu sudah jelas, gampang, dan pasti. Kita toh tidak punya anak!” “Dari Batam ke Singapore? Aku masih harus beresin dulu urusan franchise makanan

Prancis itu.” “Kamu bisa punya anak dari Linda.” “Iya, Prancis, sudah terlalu banyak makanan Amerika dan Jepang di sini.” “Aku pergi dengan siapa pun yang aku mau. Tidak ada urusan apa-apa lagi antara kita. Jelas?” “Gampanglah, pokoknya soal harus ada anak pejabat itu soal nanti.” “Tidak! Tidak bisa!” “Iya. Sudah ada yang urus. Ada juga saudaranya menteri. Bereslah.” “Aku mau sendirian sementara ini. Please. Biarkan aku sendiri, sendiri, dan sendiri.” “Makan sendiri, ya? Jangan mampir-mampir. Tolong lihat Si Blackie sama Si Puss, dan temanilah anak-anak makan ya? I love you.” “Sudahlah. Aku bisa hidup tanpa kamu. Goodbye.” Percakapan telepon selesai. Mereka saling memandang. Memasukkan handphone masingmasing ke dalam kantong blazer. Kemudian keduanya memandang ke arah matahari, yang dari detik ke detik semakin mendekati laut. Matahari seperti piringan besi panas yang merah membara. “Kamu lihat matahari itu, Sandra?” “Ya, Susan, aku melihat matahari itu.” “Seperti piringan besi panas yang merah membara.” “Ya, seperti piringan besi panas yang merah membara.” “Kamu kok ikut-ikut?” “Kamu kok ikut-ikut?” Hampir bersamaan mereka saling memandang, dan tiba-tiba saja keduanya seperti saling menarik dan mulut mereka saling memagut. Keduanya berpelukan dan berciuman dengan  panas.

*** Pantai itu kosong, tapi sama sekali tidak sepi. Ketika matahari mulai terbenam serentak  langit menyala-nyala dan angin membuat pohon-pohon nyiur berdesah sementara dahan dan daunnya yang kehitaman seperti melambai-lambai menggapai semacam lagu yang  bertiup dari arah laut menyusur sepanjang tepi pantai mengendap di antara celah karang yang dihantam gelombang dan buihnya mendesis di pantai begitu pelan begitu pelahan. Ketika Ketika mataha matahari ri terben terbenam am seluru seluruhn hnya ya langit langit yang yang menyal menyalaa keemas keemasan an itu semaki semakin n saja saja

cemerla cemerlang ng bagaik bagaikan an jerit jerit terakhi terakhirr sebelu sebelum m kemati kematian an meski meski kemudi kemudian an dengan dengan cepat cepat sungguhsungguh-sung sungguh guh menjadi menjadi kelam menenggela menenggelamkan mkan awan menenggelam menenggelamkan kan laut hanya menyisakan suara-suara ombak yang tiada bosan-bosannya berdebur meskipun senja telah  berubah menjadi malam. Kedua perempuan itu tidak melihatnya. Mereka juga bergeming ketika handphone masingmasing berbunyi. Tulilililit… Tulilililit … Tulilililit … Tulilililit … Hanya sebelah tangan masing-masing memasuki saku blazer—mematikannya.

Jakarta, Senin 18 Agustus 1997. 01:27 *Pernah dimuat di Koran Tempo, Minggu 1 April 2001

Cerpen Dua Perempuan dan HP-nya ini juga termuat dalam Kumcer “Aku Kesepian, Sayang.” “Datanglah, Menjelang Kematian.” (GPU, ( GPU, 2004) Tentang Pengarang: Seno Gumira Ajidarma adalah sastrawan, fotografer dan kritikus film Indonesia. Karya-karya sastranya meliputi kumpulan cerpen, drama, novel, dan komik. Cerpen-cerpennya muncul di berbagai media massa nasional. Ia lahir di Boston tanggal 19 Juni Juni 1958. 1958. Selain Selain menulis, menulis, Doktor Doktor Ilmu Ilmu Sastra Sastra lulusa lulusan n UI ini juga mengaj mengajar ar di IKJ. IKJ. Sebagian bukunya diterjemahkan ke berbagai bahasa dan mendapat sejumlah penghargaan, anta antara ra lain lain SEA SEA Wr Write ite Awar Award d (198 (1987) 7),, Dinn Dinny y O’He O’Hearn arn Priz Prizee for for Lite Litera rary ry (199 (1997) 7),, Khatulistiwa Literary Award (2005).

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF