Cerpen Dan Unsur Intrinsiknya

November 19, 2018 | Author: z_syahdin5881 | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

cerpen...

Description

Cerpen dan Unsur Intrinsiknya

Luka Oden Wiwin pArlina

“Satu, dua, tiga.” Mulut kecil Oden menghitung kepingan logam yang perlahan dimasukannya ke dalam celengan tanah miliknya. “Tiga ratus!” Oden sumringah, dielusnya sayang celengannya. Kemudian dengan  perlahan dimasukannya ke dalam kotak berkas yang dipungutnya di tempat sampah, hati-hati seklai seperti membelai bayi. Saat Oden menggoyangkan kotak bekas itu, maka suara keping logam yang beradu menjadi sumber suara di dalam gubuk itu, dan bagi Oden suara-suara itu merupakan suara paling indah melebihi suara penyanyi dangdut yang dulu pernah didengarnya. Detik itu menjadi kegembiraan Oden. Namun detik berikutnya kesenangan itu terganggu,  bocah itu merasa ada sesuatu yang jatuh dikepalanya. Diusapnya basah, ini artinya air, hujan! Oden segera mengambil beberapa kaleng bekas cat yang biasa disusun semacam  pyramid, benar-benar kaleng multidungsi! Dengan cetakan diletakannya kaleng itu pada titik-titik rawan gubuknya. Setelah selesai, Oden duduk diatas tikar tidurnya sambil memperhatikan air yang jatuh ke kaleng, bunyi jatuhnya nyaring mengganggu sekali, mala mini sepertnya ia tidak bisa tidur. Hujan, sebenarnya Oden benci hujan. Keadaani ni akan membuatnya kelaparan sedikit lebih lama, karena bibinya pasti tidak akan sudi susah-susah menyambanginya saat hujan. Sejak  awal Oden sudah diperlakukan berbeda, gubuk yang ditempatinya sengaja dibangun untuk  mengatur jarak dengan keluarganya. Masih diingatnya dengan sangat jelas suara-suara yang mengingingkannya dirinya menjauh. “Anak haram membawa sial, empat puluh rumah dari sini!” “Anak jadah pembawa petaka” “Anak jadah pembawa onar” “Anak jadah…” “Anak haram..” “Dosa…” “Petaka…” “Sial…” Entah apalagi yang mereka katakan, karena semakin Oden melangkah pergi, suara-suara itu kian sayup. Bila disuruh memilih, Oden lebih baik dipukul ibunya dan ditendang ayahnya. Setidaknya, artinya bila itu terjadi ia mempunyai mempun yai orang tua. Oden berjanji tidak seperti malin kundang yang durhakan pada ibunya. Bocah berusia 6 tahun itu mempunyai seribu janji pada Tuhan apabila ia bertemu dengan ibunya. Tapi seribu sayang, tak ada satupun kisah ibunya yang sesuai dengan telinga kecilnya. Oden layaknya selebritis, terkenal di kalangan ibu-ibu penggosip, namun tak kalah tenar  di warung-warung pinggri desa, banyak yang Oden dengar tentang ibunya, versi tentang sejarah kelahiranya pun beragam, kata orang-orang, ibunya itu orang gila yang bunting diperkosa orang mabuk, tapi beredar pula berita bahwa ibunya orang gila yang dijadikan bulan-bulanan oleh

 preman kampong. Bahkan, ada yang mengatakan l aki-laki yang menggagahi ibunya masih anggota keluarga. Benar-benar beban mental bagi pikiran sederhana anak seusia Oden. Dibesarkan dalam lingkungan di mana orang-orang selalu mencibirnya,, membuat Oden hidup dalam ruang imajinasinya sendiri, benar-benar sendiri. Ini lebih menyakitkan dibanding sakit dan cacatnya tubuh, lebih menyakitkan disbanding perlakuan kasar pada fisik. Anak itu jijik melihat ibu-ibu penggosip, mereka seperti belatung-belatung yang berpesta di atas bangkai tikus, kotor dan menjijikan! Hanya satu kabar bagus yang menyentuh gendang telinganya, merembes ke pembuluh darah dekat hati, hangat, meningkatkan adrenalin. Angin segar, ini benar-benar angin segar bagi Oden. Sekarang, ia tahu keberadaan ibunya. Yang sejak itu merindukan buaiannya, merindukan  putting susunya. Inilah impian Oden, Selagalas, tempat yang dianggap tujuan hidupnya, tempat yang dilihat sebagai suatu istana dalam imajinasinya, tujuan dari segala usahanya. Mengingat itu, oden sperti mendengar suara kepingan logam, yang beradu, syahdu dan benar-benar nikmat. Bila uang dalam celengannya itu sudah cukup ia akan langsung pergi ke tempat impiannya itu, Selagalas. Tiba-tiba Oden meringis, perutnya merasa melilit, sedangkan hujan d i luar semakin deras, Oden tersenyum kecut, suara air yang jatuh ke dalam kaleng juga sudah tidak terlalu nyaring, rupanya kaleng-kaleng itu sudah penuh, air mulai merembes ke lantai tanah dan gubuk Oden  becek. Oden semakin merapatkan tubuhnya, tubuh kurus itu menggigil, Oden menekuk  tubuhnya dan sedikit menekan perutnya yang kian sakit, perlahan Oden tertidur, ia mulai lupa akan hujan, lupa, lupa… Dalam tidurnya Oden tersenyum, sneyum hangat layaknya anak dalam buaian ibu. Ia seperti mendengar nyanyian bidadari, lembut begitu lembut. Ah, … Oden, mimpi. Memang terkadang mimpi itu indah. Tapi, bersiaplah untuk terjaga…. SELESAI

Unsur-Unsur Intrinsik: Meupakan unsur-unsur yang terdapat di dalam karya sastra. Tema Alur Tokoh Perwatakan Tokoh

: Kerasnya Kehidupan : Maju : Oden, Bibi, Keluarga, Tetangga. : Oden : tegar, pekerja keras, pemimpi. (Protagonis) Bibi, keluarga, tetangga : Tidak bijaksana, tidak baik. (Antagonis) Latar : Tempat : Gubuk, pedesaan. Waktu : Malam hari ketika hujan Suasana : Dingin, meresahkan, mencekam, memprihatinkan. Sudut Pandang : Orang ketiga Gaya Bahasa : Baku Amanat : 1. Seburuk apapun keadaan kita, tetaplah bermimpi, tetaplah berusaha!

2.

Bagaimanapun keadaan orang tua kita, tetaplah berbakti kepada mereka. Karena bagaimanapun  juga, mereka tetap orang tua kita. 3. Tetaplah tegar, tetaplah menjadi positif walaupun tidak ada orang yang mendukungmu! 4. Jangan berbicara sembarangan, karena bisa jadi apa yang kita bicarakan itu belum benar serta menyakiti perasaan orang lain. 5. Apa yang anda lakukan sekarang akan berdampak pada kehidupan anak cucu anda nanti. Maka berbuat baiklah!

Veteran Tua

Seorang lelaki tua menyandarkan sepeda bututnya di parkiran balai desa. Karena baru saja datang, lelaki itu akhirnya duduk di antrian paling belakang. Satu jam sudah ia duduk mengantri di tempat itu. Beberapa saat kemudian, tibalah kakek itu di antrian paling depan. Ia mengeluarkan sebuah map berwarna merah yang ia bungkus dengan kresek berwarna hitam dan menyerahkannya kepada si petugas kelurahan. Si petugaspun langsung memeriksa satu per satu isi map merah milik kakek tadi. “Maaf pak, tapi syarat-syarat bapak kurang lengkap. Bapak harus meminta surat keterangan tidak  mampu dari ketua RT dan RW, baru bapak bisa kembali lagi kesini. Kata si petugas kelurahan sambil menyerahkan kembali map merah milik kakek. Lelaki tua itu tetap berusaha tersenyum, sudah lebih dari sejam ia duduk menunggu disana namun ternyata semua itu sia-sia. Ia kembali menuju sepeda onthel tuanya yang diparkir diantara  beberapa mobil dan sepeda motor. Kakek tua yang sehari-hari bekerja sebagai kuli panggul di pasar itu dulunya adalah seorang  pejuang kemerdekaan, sudah banyak pengalaman pahit manis yang dialaminya. Ia telah kehilangan banyak sekali teman-teman seperjuangannya, tapi kematian teman-temannya tersebut tidaklah sia-sia. Mereka semua adalah para syuhada, mereka semua mati syahid, mati di jalan Illahi sebagai bunga bangsa. Lelaki tua itu tiba-tiba tersentak mendengar klakson bis yang membangunkannya dari lamunan masa lalunya. Tak terasa ternyata ia telah berada di jalan raya, itu artinya ia harus lebih berhatihati lagi. Kakek itu sekarang tinggal bersama istrinya di kol ong jembatan setelah rumah mereka digusur   polisi seminggu lalu. Tapi sayangnya sang istri sekarang sedang sakit keras dan dirawat di rumah sakit, sementara si kakek sedang mengusahakan pengobatan gratis bagi istrinya tersebut. Tiba-tiba anngin berhembus semakin kencang, suara petir mulai terdengar dan awanpun berubah menjadi hitam tanda akan turun hujan. Dan benar saja, hujan turun dengan derasnya. Si kakek  memutuskan untuk berteduh di emperan toko karena tak ingin map yang dibawanya tersebut menjadi basah dan rusak. Ternyata dari tadi lelaki tua itu berteduh di depan warung sate, pantas saja perutnya merasa

semakin lapar. Ia ingat bahwa terakhir ia makan sudah sejak tadi malam, sedangkan sekarang sudah jam dua lebih. Sekilas ia menengok ke dalam warung sate tadi, di dalamnya banyak orang sedang makan dengan lahapnya. Lelaki tua itu pun tersenyum, ia merasa bangga karena  perjuangannya dulu saat mengusir kompeni dari tanah airnya tidaklah sia-sia. Bila ia dan temanteman seperjuangannya dulu gagal mengusir penjajah, mungkin mereka tak akan bisa menikmati suasana seperti ini. Kakek tua itu kemudian mengalihkan pandangannya ke televisi yang dari tadi di setel oleh seorang pedagang kaset yang berjualan tak jauh darinya. Televisi itu sedang menyiarkan seorang  berpakaian jas hitam rapi dengan mengenakan dasi sedang berpidato di sebuah ruangan yang kelihatannya sangat mewah. Si lelaki tua itu menebak bahwa orang yang sedang muncul di televisi tadi pastilah seorang pejabat negerinya. Dalam pidatonya, orang itu mengatakan bahwa rakyat di negerinya sudah kehilangan rasa nasionalisme, rakyat dinegerinya juga dikatakan sudah kehilangan rasa cinta terhadap tanah airnya. Sejenak ia berpikir merenungi kata-kata pejabat itu. Dalam hati ia bertanya, siapa sebenarnya yang tidak punya nasionalisme, rakyat negerinya atau  para pejabat itu? Apakah pejabat yang bernasionalisme adalah pejabat yang makan kekenyangan saat rakyatnya mati kelaparan? Apakah pejabat yang nasionalis adalah para pejabat yang bebas liburan keliling dunia saat rakyat di negerinya antri bbm hingga berhari-hari? Atau pejabat yang punya banyak  mobil mewah saat rakyatnya berdesakan di gerbong kereta api? Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus memenuhi pikirannya, namun ia sadar ia harus pergi sekarang. Istrinya di rumah sakit pasti sudah menunggunya dan hujan pun kini telah reda, lelaki tua itu kembali mengayuh sepedanya. Sesampainya di rumah sakit kekek tua itu memarkirkan sepedanya dan langsung bergegas menuju kamar tempat istrinya dirawat. Entah kenapa k akek itu selalu merasa tak tenang setiap  jauh dari istrinya. Ia akan memastikan dulu bahwa istrinya tak membutuhkan bantuannya, baru ia akan berangkat lagi untuk mengurus surat keringanan ke ketua RT dan RW. Saat sampai di depan kamar tempat istrinya dirawat, ia mendapati bahwa kamar sudah d alam keadaan kosong. Pintu kamarpun dalam keadaan terkunci sehingga tak bisa dibuka, padahal kakek itu yakin ia tidak salah kamar. Dalam hati ia berpikir bahwa mungkin istrinya telah sembuh sehingga dipindahkan ke tempat lain oleh dokter. Namun untuk memastikan, si kakek  mencari seorang dokter yang tadi pagi memeriksa keadaan istrinya. Si kakek pun menanyakan kepada dokter tadi dimana istrinya sekarang berada. Dokter pun menatap wajah si kakek dengan mata berkaca-kaca. “Maaf pak, kami sudah berusaha sebisa kami tapi ternyata Allah berkehendak lain. Istri bapak  sudah meninggal sejam yang lalu.” Kata si dokter yang tak bisa menyembunyikan rasa sedihnya. Si kakek pun meneteskan air matanya, tubuhnya bergetar hebat, map merah yang dibawanya  jatuh dari pegangan tangannya. Pandangannya pun menjadi semakin kabur dan perlahan menjadi gelap gulita. Si kakek pun sekarang sudah tak ingat apa-apa lagi. Keesokan harinya dua buah gundukan tanah baru muncul di kuburan. Yang satu bertuliskan

Darsono bin Atmo, seorang veteran tua yang sehari-hari bekerja sebagai kuli panggul. Sedangkan nisan yang satunya lagi bertuliskan Pariyem binti Ngatijo, istri dari sang veteran  pejuang. Meskipun sang veteran miskin itu sekarang telah tiada. Namun di negerinya, negeri dimana kayu dan batu bisa jadi tanaman, masih banyak orang yang bernasib sama bahkan lebih tragis darinya. Mereka semua, para rakyat di negeri itu, banyak yang rela bekerja keras membanting tulang memeras darah hanya sekedar untuk makan sekali sehari. Dari contoh cerpen diatas, dapat kita tentukan unsur-unsur intrinsik yang membangun ce rita  pendek tersebut, yaitu: Unsur Intrinsik 

1. Tema

: Perjuangan

2. Sudut Pandang : Orang ketiga serba tahu. 3. Amanat

: Tetaplah sabar dan tetap berjuang sesulit apapun keadaan.

4. Alur

: Gabungan (maju dan mundur)



5. Latar :

 

6. Penokohan :

 

:Tempat: kantor balai desa, emperan toko, rumah sakit. Waktu: siang hari, jam dua siang. Suasana: sedih, mengharukan.

Kakek Tua : pekerja keras, penyabar, ramah. Istri : setia, penyabar.

MARTINI Oleh: Kurniawan Lastanto

wanita itu bernama Martini. Kini ia kembali menginjakkan kakinya di lndonesa, setelah tiga tahun ia meninggalkan kampung

halamannya

yang

berjarak

tiga

kilometer

dari

arah

selatan

Wonosari

Gunung

Kidul.

Didalam benak Martini berbaur rasa senang, rindu dan haru. Beberapa jam lagi ia akan berjumpa kembali dengan suaminya, mas Koko dan putranya Andra Mardianto, yang ketika ia tinggalkan masih berusia tiga tahun. Ia membayangkan putranya kini telah duduk dibangku sekolah dasar mengenakan seragam putih  – merah dan menmpati rumahnya yang baru, yang dibangun oleh suaminya dengan uang yang ia kirimkan dari arab Saudi, Negara

dimana

selama

ini

ia

bekerja.

Martini adalah seorang tenaga kerja wanita yang berhasil diantara banyak kisah mengenai tenaga kerja wanita yang nasibnya kurang beruntung. Tidak jarang seorang TKW pulang ketanah airnya dalam keadaan hamil tanpa jelas siapa ayah sang janin yang dikandungnya. Atau disiksa, digilas dibawah setrikaan bersuhu lebih dari 110 derajat celcius, atau tiba  – tiba menjadi bahan pemberitaan di media massa tanah air karena sisa hidupnya yang sudah ditentukan oleh vonis hakim untuk bersiap menghadapi tiang gantungan atau tajamnya logam pancung yang kemudian

membuat

kedubes

RI,

Deplu

dan

Depnaker

kelimpungan

dan

tampak

lebih

sibuk.

Sangatlah beruntung bagi Martini mempunyai majikan yang sangat baik, bahkan dalam tiga tahun ia bekerja, ia telah dua kali melaksanakan umroh dengan biaya sang majikan. Majikannya adalah seorang karyawan disalah satu perusahaan minyak disana. Ia bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga di El Riyadh dengan tugas khusus mengasuh putra sang majikan yang sebaya dengan Andra, putranya. Hal ini membuatnya selalu teringat putranya sendiri

dan

menambah

semangat

dalam

bekerja.

Dengan cermat Martini memperhatikan sekeliling, akan tetapi ia tidak melihat seorang saudara atau kerabatpun yang ia kenal. Sempat terbersit rasa iri dan kecewa ketika ia menyaksikan beberapa rekanannya yang dijemput dan disambut kedatangannya oleh orang tua, anak atau suami mereka. Namun dengan segera ia membuang jauh – jauh pikiran

tersebut.

Ia

tidak

ingin

suuzon

dengan

suaminya.

“mungkin hal ini disebabkan karena kedatanganku yang memang terlambat tiga hari dari jadwalkepulangan yang direncanakan

sebelumnya,”

pikirnya

huznuzon.

Dan pikiran ini malah membuatnya merasa bersalah, karena ia tidak memberitahukan kedatangannya melalui telepon

sebelumnya.

 Akhirnya ia memutuskan untuk menuju terminal pulogadung dengan taksi bandara. Oleh karena ia tidak tahu dimana pool bus maju lancar terdekat dari bandara soekarno-hatta, ia berharap diterminal pulogadung ia bisa langsung menemukan bus tersebut dan membawanya ke wonosari dengan nyaman, karena badannya sekarang sudah terlalu letihuntuk

perjalanan

panjangyang

ditempuh

dari

arab

Saudi.

Tanpa ia sadari, martini telah sampai didepan rumahnya, rumah yang merupakan warisan ayahnya, yang ia huni bersama mas koko, andra dan ibunyayang telah renta. Namun bingung dan pertanyaan muncul dalam benaknya. Yang ia lihat hanyalah rumah tua tanpa berubahan sedikitpun, kecuali kandang sapi didekat rumahnyayang kini telah kosong.

Sama

keadaanya

dengan

tiga

tahun

lalutatkala

ia

meninggalkan

rumah

tersebut.

“ mana rumah baru yang mas koko bangun seperti yang ada difoto yang mas koko kirimkan tiga bulan yang lalu.  Apakah ia membeli tanah ditempat lain dan membangunnya disana. Kalau begitu syukurlah,” pikirnya mencoba huznuzon. Ia ketuk perlahan  – lahanpintu rumahnya. Namun tidak ada seorangpun yang muncul membukakan pintu “kulo nuwun,

mas…!

Andra…!

Mbok…!”

Beberapa saat kemudian barulah pintu yang terbuat dari kayu glugu tersebut terbuka.” Madosi sinten mbak?” Tanya seorang

bocah

berusia

6

tahun

yang

tak

lain

adalah

andra

yang

muncul

dari

balik

pintu.

“Andra aku ini ibumu, sudah lupa ya. Apakah bapakmu tidak menceritakan ihwal kedatanganku?” ucap martini balik

bertanya. “Ayah? Kedatanagn ibu? Oh mari masuk. Sebentar ya, andra bangunkan mbah dulu,” ujar Andra sambi l berlari menuju

kearah

kamar

neneknya.

Martini masuk kedalam rumah dan duduk diatas amben yang terletak disudut ruangan depan, seraya memperhatikan keadaan didalam rumah yang ia huni sejak kecil tersebut. Keadaan dalam rumahpun tidak tampak ada perubahan yang

berarti.

“Martini ya. Wah – wah anakku sudah datangdari perantauan,” terdengar suara tua khas ibu martini sedang setengah berlari keluar dari kamarnya, menyambut kedatangan anaknya, diikuti oleh andra , membawakan segelas the hangat. “bagaimana

keadaan

simbok

disini?”,

Tanya

martini.

“oh, anakku simbok di sini baik – baik saja, kamu sendiri bagaimana, tini?” “saya baik – baik saja mbok, ngomong – ngomong mas koko dimana mbok?” Tanya martini. Mendengar pertanyaan itu, tiba – tiba air muka ibu martini berubah,

ia

tampak

berpikir 

 –

piker

sejenak.

“ oh mengenai suamimu, nanti akan simbok ceritakan, sebaiknya kamu ngaso dulu. Kau pasti capek setelah melakukan

perjalanan

jauh.

Jangan

lupa

the

hangatnya

diminum

dulu,”

saran

ibu

martini.

Martini menurut saja apa yang dikatakan ibunya. Setelah menikmati segelas the hangat, ia mengangkat kaki dan tiduran di atas amben. Namun tetap saja ia tidak dapat memejamkan matanya. Pikirannya tetap melayang memikirkan suaminya ; dimana dia, apakah dia merantau ke Jakarta untu k turut mencari nafkah diperantauan, dimana letak rumah barunya, atau apakah mas koko malah meninggalkan dirinya dan menikah dengan wanita lain?” “ah Ia

tidak

mungkin,”

mencoba

bangkit

pikirnya lalu

kembali

menemui

berusaha

ibunya

untuk

yang

tetap

sedang

huznuzon.

memasak

dipawon.

“maaf Mbok, dimana mas koko, tini sudah kangen dan ingin berbicara dengannya,” ujar martini membuka kembali percakapan. Ibu martini tampak kembali berfikir sejenak, lalu berdiri dan mengambil segelas air putih dingin dari kendi. “ minumlah air putih ini agar kamu lebih tenang, Tini, nanti simbok ceritakan di mana suamimu berada, kalau kamu memang

sudah

Sementara

itu

martini

bersiap

untuk

tidak mendengarkan

dengan

sabar.” seksama

penuturan

ibunya.

“ tiga bulan lalu rumah yang dibuat suamimu atas biaya dari kamu sudah jadi. Letaknya didusun sebelah sana, namun sejak itu pula kesengsem sama seorang wanita. Wanita itu adalah tetangga barunya. Dua bulan lalu mereka menikah dan meninggalkan andra bersama simbok. Tentu saja simbok marah besar kepadanya. Namum apa daya, simbok hanyalah wanita yang sudah renta, sedang ayahmu sudah tiada, dan uang yang simbok pegangpun pas  – pasan. Mau mengirim surat kepadamu simbok tidak bisa, kamu tahukan simbok buta huruf. Mau minta tolong kepada siapa lagi, sedangkan kamu adalah anakku satu – satunya. Kamu tidak mempunyai saudara yang bisa simbok mintai tolong

untuk

Mendengar

mengirimkan penuturan

surat

ibunya,

kepadamu, martini

sedangkan

langsuung

anakmu,

menangis,

andra ia

sedih

masih

kelas

marah

dan

1

SD”. kalut.

“mengapa simbok tidak melaporkannya ke pak kadus dan pak kades, dan beliaupun sudah be rjanji untuk membantu simbok. Namun sampai saat ini simbok belum mendapatkan jawabannya. Sedangkan suamimu sendiri dan istri

barunya , tampak tak peduli denagn suara  – suara miring para tetangga. Dan untuk lapor ke KUA, simbok tidak berfikir

sampai

kesitu,

maafkan

simbok,”

tambah

ibunya

dengan

suara

yang

terdengar

bergetar.

“Duh Gusti...., paringono sabar...,." terdengar Martini terisak, berusaha untuk tetap inga t kepada Yang Maha Kuasa. Bagaimana bisa, suami yang begitu ia cintai dan ia percaya, dapat berbuat begitu kejam terhadapnya. Apalagi ia sekarang tinggal bersama istri barunya, di rumah hasil jerih payahnya selama tiga tahun merantau di Arab Saudi. "Mbok,

di

mana

rumah

baru

itu

berada?”

wajah ibunya terlihat ketakutan, ia tidak tahu apa yang akan dilakukan anaknya dalam keadaan kalut di sana apabila ia

tahu

"Mbok,d

i

mana

Mbok,”

letak Suara

Martini

rumah semakin

tinggi,

tersebut.

namun

ibunya

tetap

diam.

,”Kenapa simbok tidak mau membertihu. Apakah Simbok merestuinya?_Apakah simbok mendukungnya? Apakah Simbok

membela

bajingan

itu

dari

pada

saya

anakmu

sendiri?

Apakah.....”

“Diam Tini, teganya kamu menuduh ibumu seperti itu. Kamu mau menjadi anak durhaka? Ing atlah kamu kepada Tuhan,Nak,

ingatlah

kepada

Gusti

Allah,N

ak"

Kalimat itu muncul dari mulut ibunya, yang kemudian terduduk menangis mendengar ucapan pedas anaknya tersebut. “ya sudah kalau Simbok tidak mau memberitahu. Tini akan cari sendiri rumah itu,” t eriak Martini seraya meninggalkan ibunya yang sangat bersedih, yang berusaha mengejarnya namun kemudian jatuh tersungkur di halam depan rumahnya

karena

tidak

mampu

lagi

mengeiarnya.

“Hei , mana Koko, bajingan sialan,"teriak Martini sambil berjalan membabi buta, menyusuri jalan dengan muka merah Padam. Pikrannya

kacau

balau.

“Buat apa aku bekerja jauh-jauh mencari uang di Arab Saudi demi kamu dan.Andra tetapi mengapa kau tega memanfaatkanku, menggunakan uangku untuk membuat rumah dan tinggal di sana bersama istri barumu, Kurang

apa

aku?”

Mendengar teriakan Martini, kontan para tetangga di sekitar situ segera berhamburan ke luar rumah. Mereka kebingungan menyaksikan ulah Tini yang sudah tidak mereka lihat selama tiga tahun, tiba  – tiba muncul kembali di dusun itu dengan tingkah laku yang berubah 180 derajat. Martini yang dulunya lembut, penurut, kini kasar dan beringasan. Apakah ia telah gila? Apakah yang telah terjadi terhadap dirinya di Arab saudi? Apakah ia Dianiaya

sebagaimana

sering

terdengar

berita

di

media

massa

mengenai

TKW

yang

disiksa?.

Namun kemudian mereka segera menyadari. Hal ini pasti karena Martini telah mengetahui perbuatan suaminya. Segera saja mereka mengejar dan mencoba menenangkan Martini. Namun dengan kuat Martini mencoba melepaskan tangannya dari dekapan tetangganva itu. Dan saat itu pula ia melihat suaminya, ya Koko bajingan itu, keluar dari rumahnya. Koko tampaknya tidak menghiraukan kedatangannya. Bahkan istri barunya itu terlihat dengan mesranya berdiri disamping koko yang meletakkan keduavtangannya dipinggang koko. ,,” hei, siapa kamu. Tini ya. Kenapa kamu kesini? Ini rumahku bersama mas koko. Bukannya kamu sudah mati, kalau belum mendingan kamu mati saja sekarang. Itu lebih baik, dari pada mau merusak kebahagiaan kami. Bukan begitu

mas koko?” ujar wanita yang ada disebelah koko sambil mengalungkan tangan kanannya dileher koko dengan lembutnya. Hal

ini

jelas

membuat

tini

makin

marah.

“hai , dasar kau, wanita murahan, tidak tahu diri. Koko adalah suamiku. Dan kau koko, mengapa kau tega me nipuku, meninggalkanku

hanya

untuk

menikahi

wanita

keparat

ini.

Dasar

bajingan.”

Dekapan tetangga yang memegang Martini akhirnya lepas. Dengan cepat Martini meraih sebuah bamboo yang tergeletak di bawah pohon nangka dan berlari menuju kearah koko dan istri barunya. Dengan tidak hati-hati ia menaiki anak tangga yang menuju kedalam rumah baru itu. Secepat kilat ia mengayunkanbambu itu ke arah mereka berdua. Namun malang, belum sampai bamboo itu mengenai sasaran, ia kehilangan keseimbangan. Ia terpeleset dari dua anak tangga dan jatuh terjerembab tak sadarkan diri. ”Mbak – Mbak bangun Mbak. Mau turun di mana Mbak. Ini sudah sampai di wonosari," terdengar sayup -sayup suara pemuda

yang

"Astaghiirullaahaladzlm “

Ya

Mbak

duduk .Ha...apa...?..

sepertinya

dari

di W

tadi

dekat

onosari,"

Mbak

gelisah

Martini.

Tanya tidurnya"

M ujar

artini.

pemuda

itu

”Apakah benar ini wonosari?" Tanya Martini memastikan seraya mengarahkan pandangannya keluar jendela. Ya

ini

adalah

daerah

yang

telah

tiga

tahun

ia

tinggalkan.

"Alhamdulillah ya. ,Allah terima kasih," batin Martini bahagia.

UNSUR INTRINSIK   





  

Tema : percayalah pada niat baikmu Latar : Tempat : dalam bis(dalam perjalanan) dan di kampung Waktu : tiga tahun setelah kepergian martini ke Arab Saudi Suasana : diawal cerita suasana yang timbul basa saja, tetapi pada pertengahan cerita suasana yang timbul Menegangkan karena adanya konflik yang timbul ketika tokoh utma bermimpi Plot/alur : alur cerita itu adalah alur maju(episode) karena jalan cerita dijelaskan secara runtut. Pada awal cerita diawali dengan pengenalan tokoh, kemudian si tokoh bermimpi, pada mimpinya timbul suatu  pertentangan yang berlanjut ke konflik(klimaks) dilanjutkan dengan antiklimaks dan pada akhir cerita terdapat penyelesaian. Perwatakan : Tokoh utama(martini) : wataknya yang sabar,lembut ,pekerja keras, bertanggung jawab terhadap keluarga, hal ini di tunjukan dari penjelasan tokoh,penggambaran fisik tokoh serta tanggapan tokoh lain terhadap tokoh utama Tokoh pembantu : Mbok : sabar  Andra : patuh terhadap orang tua Mas koko : tidak bertanggung jawab terhadap keluarga Sudut pandang : orang ketiga Mood/suasana hati : kecurigaan,kesabaran,kecemburuan,penyesalan,kebahagiaan Amanat : -Seharusnya suami bertanggungjawab untuk mencari nafkah bagi anak dan istrinya -Jangan dulu bersikap su’udzon kepada seseorang bila belum ada buktinya - Keuletan dan kesabaran dalam bekerja akan membuahkan hasil yang baik  - Selalu berniat baik untuk mendapatkan ridho Allah swt

UNSUR EKSTRINSIK  

 Nilai moral : Dalam cerpen tersebut terdapat kandungan nilai moral yaitu seseorang haruslah bersikap huznudzon terhadap sesama manusia, karena husnudzon mencerminkan akhlak serta budi pekerti yang baik.



 Nilai Sosial-budaya : cerita pada cerpen tadi mempunyai kaitan yang sangat erat dengan kehidupan kita sehari-hari. Bahwa kebanyakan orang yaitu wanita pergi merantau ke negeri orang demi membantu perekonomian keluarga seperti menjadi TKW, sedangkan suaminya menunggu dirumah, untuk dikirimi uang dari istrinya tanpa berpikir , susahnya mencari uang dinegeri orang, sedangkan dia sendiri tidak bekerja. Namun, hal ini bertolakbelakang dengan budaya serta tradisi, bahwa yang wajib mencari nafkah untuk  keluarganya adalah suami. Karena suami adalah pemimpin dalam rumah tangga, jadi ia harus bertanggungjawab terhadap keluarganya. Tetapi, hal ini rupanya sudah banyak terjadi di masyarakat, sehingga tidak jarang pula orang-orang yang menjumpai hal tersebut.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF