Catatan Koass Laporan Kasus CKD
July 15, 2017 | Author: Hendrik Surya Adhi Putra | Category: N/A
Short Description
Tinjauan Pustaka Penyakit Ginjal Kronik...
Description
BAB 1 PENDAHULUAN
Penyakit Ginjal Kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Insiden dan prevalensinya semakin meningkat dan sudah merupakan masalah kesehatan global.1 Di negara-negara barat CKD merupakan sebuah epidemi dengan angka pertumbuhan dialisis pertahun 6-8%. Di Amerika Serikat dalam dua dekade terakhir terjadi peningkatan prevalensi gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal terminal yang memerlukan terapi pengganti ginjal Tidak hanya itu, prevalensi CKD stadium awal juga turut mengalami peningkatatan. Diperkirakan satu dari sembilan orang Amerika Serikat mengidap CKD dan sebagian besar tidak menyadari hal ini.2 Tiga strategi yang dapat membantu untuk memperlambat progresifitas CKD meliputi: identifikasi dini penderita, modifikasi faktor risiko dan manajemen secara paripurna. Beberapa faktor risiko untuk terjadinya CKD adalah umur diatas 60 tahun, diabetes melitus, hipertensi atau penyakit kardiovaskular, adanya riwayat keluarga yang menderita sakit ginjal, infeksi saluran kemih yang berulang, penggunaan obat nefrotoksik berulang (NSAID, antibiotik, zat kontras) dan kontak dengan bahan kimia yang berulang.2 Pada stadium dini CKD dapat didiagnosis dengan melakukan pemeriksaan penunjang dan terbukti dengan pengobatan dini dapat mencegah terjadinya gagal ginjal, penyakit kardiovaskular dan dapat mencegah kematian sebelum waktunya.2 CKD merupakan penyakit yang kronis, sehingga diperlukan kerjasama tim medis, pasien, serta keluarga dan lingkungan dalam pengelolaan penyakit ini. Edukasi terhadap pasien dan keluarganya tentang penyakit dan komplikasi yang memungkinkan akan sangat membantu memperbaiki hasil pengobatan, serta diharapkan dapat membantu memperbaiki kualitas hidup penderita.2
1
BAB 2 LAPORAN KASUS
2.1 IDENTITAS PASIEN Nama
: IMS
Umur
: 54 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Kewarganegaraan
: Indonesia
Agama
: Hindu
Pendidikan
: Tamat SD
Status
: Menikah
Pekerjaan
: Wiraswasta
Alamat
: Bangli
Tanggal MRS
: 14 September 2012
Tanggal Pemeriksaan
: 21 September 2012
2.2 ANAMNESIS Keluhan utama :Sesak Nafas Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien merupakan rujukan dari RSUD Bangli, dengan keluhan utama sesak nafas. Sesak nafas mulai dirasakan pasien sejak satu minggu SMRS (7 September 2012). Keluhan muncul secara mendadak saat pasien bangun tidur, bertahan sepanjang hari, dan tidak disertai suara ngik-ngik. Keluhan akan semakin memberat dalam posisi tidur, dan sedikit membaik bila pasien duduk bersandar. Sesak nafas juga dirasakan bertambah berat saat pasien beraktivitas, sehingga selama keluhan muncul pasien hanya terbaring di tempat tidur. Pasien juga mengalami batuk yang timbul bersamaan dengan keluhan sesak nafas. Batuk muncul terus menerus sepanjang hari, berisi dahak yang berwarna putih dan kadang-kadang berbuih. Batuk dirasakan bertambah berat
2
bila pasien sedang sesak dan agak membaik setelah keluhan sesak berkurang. Batuk tidak disertai dengan panas badan maupun berkeringat malam hari. Tiga hari SMRS (10/9/2012), pasien mengalami muntah dengan frekuensi 3-4 kali/hari.Volume tiap kali muntah ± ¼ gelas air mineral, berisi makanan yang pasien makan sebelumnya dan tidak berisi darah. Muntah selalu didahului rasa mual, yang muncul beberapa saat setelah pasien makan atau minum sesuatu. Sembilan hari sebelum pasien MRS, pasien mengeluh kedua kakinya bengkak. Kedua kaki tersebut bengkak secara bersamaan, disadari pertama kali saat pasien baru bangun tidur. Bengkak pada kedua kaki tidak disertai oleh rasa nyeri maupun kesemutan, hanya saja kedua kakinya dirasakan pasien lebih lemah bila digunakan untuk berjalan. Bengkak dikatakan tidak berkurang dengan beristirahat maupun dengan pemberian minyak urut. Semenjak timbulnya keluhan-keluhan diatas, pasien merasa badannya lemah seperti tidak bertenaga. Lemah dirasakan sepanjang hari, hingga membuat pasien lebih banyak berbaring di tempat tidur.Nafsu makan dikatakan pasien menurun.Selama sakit, pasien hanya mau makan beberapa sendok bubur, dan kadang kadang makanan tersebut dimuntahkan kembali oleh pasien. Pasien mengaku tidak mengalami panas badan baik sebelum maupun selama munculnya keluhan-keluhan diatas. Pasien juga tidak pernah mengalami nyeri pada pinggang belakang yang menjalar ke depan hingga ke lipat paha. BAB tidak mengalami perubahan dalam hal frekuensi dan konsistensi. Adanya BAB yang mengandung darah atau BAB kehitaman disangkal oleh pasien. BAK juga tidak mengalami perubahan dalam hal frekuensi, volume dan warna kencing. Pasien mengaku kencing > 3x sepanjang hari tersebut. Pasien juga menyangkal
adanya kencing yang
berwarna merah atau berbuih, nyeri saat kencing maupun kencing yang berisi batu juga disangkal oleh pasien. Saat pasien diperiksa, keluhan sesak nafas sudah agak berkurang, namun pasien masih menggunakan 2 bantal saat tidur. Pasien sudah tidak batuk maupun muntah. Kedua kaki masih bengkak, namun sudah berkurang jika
3
dibandingkan dengan saat pasien baru MRS. Badan masih dirasakan lemah oleh pasien, akan tetapi nafsu makan sudah meningkat dibandingkan saat pasien baru MRS. BAB normal dengan produksi kencing dikatakan sekitar satu botol air mineral sedang, dengan warna kuning agak pekat dan tidak berbuih. Riwayat Penyakit Dahulu Pasien mengatakan belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya, dan ini merupakan kali pertama pasien dirawat di Rumah Sakit. Pasien mengaku dirinya memang memiliki riwayat penyakit batu ginjal (pada ginjal kiri) sejak 10 tahun yang lalu, namun pasien menolak melakukan operasi karena lebih memilih mengkonsumsi ramuan herbal yang dibuat sendiri di rumah. Selama mengkonsumsi ramuan tersebut, sejumlah batu di ginjalnya telah keluar beberapa kali saat pasien kencing.Satu bulan yang lalu adalah kali terakhir kencingnya mengeluarkan batu. Akibat penyakit batu ginjal tersebut, pasien pernah beberapa kali mengalami nyeri pinggang kiri bagian belakang yang menjalar ke depan hingga selangkangan, yang disertai panas badan. Akan tetapi keluhan-keluhan tersebut tidak sampai membuat pasien harus dirawat di rumah sakit. Pasien menetahui dirinya menderita hipertensi sejak 5 tahun yang lalu, dan mendapat pengobatan captopril 2 x 1 tablet sehari. Akan tetapi pasien tidak rutin minum obat. Pasien hanya minum obat bila merasa kepalanya pusing atau tengkuknya sakit. Riwayat penyakit lain seperti diabetes melitus, penyakit jantung serta asma disangkal, demikian pula tidak ada riwayat trauma pada kedua ginjal. Riwayat Penyakit dalam Keluarga Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien. Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit ginjal, hipertensi, jantung, asma, maupun diabetes mellitus.
4
Riwayat Sosial dan Personal Sehari-hari pasien berprofesi sebagai pedagang di pasar tradisional di desanya. Aktivitas keseharian pasien kebanyakan dalam posisi duduk saat melayani pembeli. Pasien mengaku jarang meluangkan waktu secara khusus untuk berolahraga. Pasien tidak merokok maupun minum minuman beralkohol. 2.3 PEMERIKSAAN FISIK a. Tanda-Tanda Vital: Keadaan Umum : Kesan sakit ringan Kesadaran
: Compos Mentis
GCS
: E4V5M6
VAS
: 0/10
Tekanan darah
: 160/100
Nadi
: 89 kali/menit, regular, isi cukup
Respirasi
: 20 kali/menit, regular
Suhu aksila
: 36,7oC
Tinggi badan
: 170 cm
Berat badan
: 70 kg
BMI
: 24,22 kg/m2
b. Pemeriksaan Umum: Mata
: konjungtiva pucat +/+, sklera ikterus -/-, refleks pupil +/+ isokor, edema palpebra -/-
THT
:
Telinga
: sekret -/-, hiperemis -/-
Hidung
: sekret (-), hiperemis (-), nafas cuping hidung (-)
Mulut
: mukosa bibir kering (-), sianosis (-)
Lidah
: papil atrofi (-)
Tenggorokan
: tonsil T1/T1, faring hiperemis (-)
Leher
: JVP PR + 2 cmH2O
5
Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid Pembesaran kelenjar getah bening (-) Thoraks Cor
: : Inspeksi
: tidak tampak pulsasi iktus kordis
Palpasi
: tidak teraba iktus kordis
Perkusi
: batas atas jantung
: ICS II kiri
batas kanan jantung : PSL kanan batas kiri jantung Auskultasi Pulmo : Inspeksi
: MCL kiri
: S1S2 tunggal, regular, murmur (-) : simetris statis dinamis, retraksi dinding dada (-)
Palpasi
: vokal fremitus Normal/Normal
Perkusi
: sonor
sonor
sonor
sonor
sonor
sonor
Auskultasi : vesikuler + + , ronki - - wheezing - + +
- -
- -
+ +
+ -
- -
Abdomen : Inspeksi
: distensi (-)
Auskultasi
: bising usus (+) normal
Palpasi
: hepar tidak teraba, lien tidak teraba, tidak teraba balotement nyeri ketok sudut costo vertebral -/-
Perkusi
Ekstremitas
: timpani
: hangat
, edema
6
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG a. Darah Lengkap (14/9/2012) Parameter
Result
Unit
Remark
Reference Range
8,30
103/μL
4,1 – 10,9
Neu
4,35 (76,40%)
103/μL
2,5 – 7,5
Ly
1,26 (15,20%)
103/μL
1,0 – 4,0
Mo
0,40 (4,90%)
103/μL
0,1 – 1,2
Eo
0,20 (2,73%)
103/μL
0,0 – 0,5
WBC
Ba
3
0,10 (0,73%)
10 /μL
0,0 – 0,1
RBC
3,41
106/μL
Rendah
4,50 – 5,90
HGB
9,40
g/dL
Rendah
13,50 – 17,50
HCT
31,20
%
Rendah
41,0 – 53,0
MCV
91,50
fL
80,0 – 100,0
MCH
27,70
Pg
26,0 – 34,0
MCHC
30,20
g/dL
RDW
14,40
%
PLT
126,40
103/μL
MPV
7,39
Fl
Rendah
31,0 – 36,0 11,0 – 14,8
Rendah
150,00 - 440,00 6.80-10.00
Interpretasi: - Anemia ringan normokromik-normositer b. Kimia Klinik (14/9/2012) Parameter
Result
Unit
Remark
Referenge Range
SGOT
-10,10
U/L
Rendah
3,40 - 4,60
SGPT
16,20
U/L
BUN
88,00
mg/dL
Tinggi
0,70-1,20
Creatinine
16,63
mg/dL
Tinggi
136,00 - 145,00
GDS
122,00
mg/dL
8,00 – 23,00
3,50-5,10
Interpretasi: -
Azotemia
7
5,03 ml/menit/1,73 m2
c. Analisis Gas Darah (14/9/2012) Parameter
Result
Unit
Remark
Reference Range
Rendah
7,35-7,45
pH
7,32
PCO2
21,00
mmHg
Rendah
35,00-45,00
PO2
147,00
mmHg
Tinggi
80,00-100,00
HCO3
10,60
mmol/L
Rendah
22,00-26,00
TCO2
11,40
mmol/L
Rendah
24,00-30,00
BEecf
-15,30
mmol/L
Rendah
-2,00-2,00
SO2C
99,00
%
Natrium
136,00
mmol/L
Kalium
4,30
mmol/L
95,00-100,00 Rendah
136,00-145,00 3,5-5,1
Interpretasi: - Asidosis Metabolik terkompensasi parsial (Alkalosis Respiratorik) d. Urinalisis (14/9/2012) Parameter
Result
Unit
Remark
Reference Range
pH
6,00
-
Leukosit
25,00
Leu/uL
Nitrit
Negatif
-
Protein
500,00
mg/dl
+4
Negatif
Glukosa
50,00
mg/dl
+1
Normal
Keton
Negatif
mg/dl
Negatif
Urobilinogonen
Normal
mg/dl
1 mg/dl
Bilirubin
Negatif
mg/dl
Negatif
Eritrosit
150,00
Ery/uL
Specific gravity
1,015
-
1,005-1,020
Warna
p.yel
-
p.yel-yel
Leukosit
5-7
/lp
< 6/lp
Eritrosit
0-1
/lp
6 meq/L, (3) ureum darah > 200 mg/dL,(4) pH darah < 7,1, (5) anuria berkepanjangan (> 5 hari), (6) serta adanya bukti fluid overload.4 Pada kasus ini, karena pasien menderita CKD stage V, maka telah terjadi kegagalan fungsi ginjal yang didukung dengan GFR 5,03 mL/min/1,73 m2. Sehingga penatalaksanaan utama pada pasien ini ialah terapi pengganti ginjal berupa hemodialisis. Hemodialisis emergensi dipilih pada pasien ini karena dijumpai adanya uremic lung yang merupakan salah satu petanda terjadinya fluid overload. Selanjutnya pasien menjalani Hemodialisis regular 2x seminggu. Disamping itu pada pasien ini juga diberikan beberapa terapi penunjang lainnya, yang disesuaikan dengan keadaan klinis pasien, meliputi: IVFD NaCl 0,9% 8 tpm, captopril 3 x 50 mg, amlodipine 1 x 10 mg, asam folat 2 x 2 mg, CaCO3 3x500 mg , transfusi PRC hingga Hb ≥ 10 gr/dL, diet tinggi kalori 35 kkal/kgBB/hari (2450 kkal/hari), rendah protein 0,8 gr/kgBB/hari (56 gram/hari), rendah garam 100 mEq/hari (230 mg/hari). Adapun dasar pemberian terapi tambahan tersebut akan dijelaskan dalam pembahasan selanjutnya. Anemia terjadi pada 80-90% pasien CKD. Mekanisme terjadinya anemia pada CKD terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin akibat menurunnya fungsi ginjal. Hal-hal yang lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah: defisiensi besi, kehilangan darah (misalnya akibat perdarahan saluran cerna atau hematuria), massa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin ≤ 10 gr % atau HCT ≤ 30% yang meliputi evaluasi terhadap
17
status besi (SI/TIBC/ferritin), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, serta kemungkinan adanya hemolisis.4 Pada kasus ini, pasien mengalami anemia ringan normokromik normositer (Hb 9,40 gr/dL, HCT 31,20%, MCH 27,70fl, MCV 91,50pg). Penyebab anemia masih ditelusuri, dimana salah satu pemeriksaan penunjang yang direncanakan ialah pemeriksaan status besi (SI/TIBC/serum ferritin) untuk menyingkirkan kemungkinan defisiensi besi sebagai penyebab anemia pada pasien ini Koreksi anemia pada penderita CKD dimulai pada kadar Hemoglobin < 10 gr/dL dengan target terapi, tercapainya kadar hemoglobin antara 11-12 gr/dL. Pemberian tranfusi pada CKD harus dilakukan dengan hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh dan hyperkalemia yang kita ketahui menyebabkan perburukan fungsi ginjal.4 Pada pasien ini, dilakukan tranfusi Packed Red Cells (PRC) sebanyak 2 kolf. Masing-masing 1 kolf tiap kali menjalani hemodialisis (pasien sudah menjalani 2x Hemodialisis). Setelah mendapatkan 2 kali tranfusi terjadi kenaikan kadar hemoglobin sesuai target yang diharapkan. Hipertensi merupakan salah satu temuan klinis lain
yang juga sering
dijumpai pada CKD. 3 Pada kasus ini, pasien didapatkan dengan hipertensi grade II dan riwayat pengobatan captopril 2 x 25 mg, namun hipertensinya masih belum terkontrol. Kontrol terhadap tekanan darah sangat penting, tidak hanya untuk menghambat perburukan CKD, tetapi juga untuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskuler. Penatalaksanaan hipertensi pada pasien CKD berupa diet rendah garam dan pemberian obat antihipertensi golongan ACE inhibitor dan atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB). ACE inhibitor dan ARB merupakan pilihan obat antihipertensi untuk pasien CKD karena keduanya mengurangi hipertensi glomerulus melalui 2 mekanisme, yaitu: (1) menurunkan tekanan darah sistemik dan menyebabkan vasodilatasi arteriol eferen; dan (2) meningkatkan permeabilitas membran glomerulus dan menurunkan produksi sitokin fibrogenik. ARB mempunyai efek samping yang lebih sedikit dibandingkan ACE inhibitor (seperti batuk atau hiperkalemia), akan tetapi karena harga ARB lebih mahal, maka
18
biasanya ARB direkomendasikan bagi pasien yang tidak memberikan respon positif terhadap pengobatan dengan ACE inhibitor.3 Adapun target penurunan tekanan darah yang ingin dicapai pada pasien CKD, tergantung pada kadar protein dalam urin pasien. Pada pasien dengan kadar protein urin > 1 gr/hari, target tekanan darah yang diinginkan ialah < 125/75 mmHg, sedangkan bila kadar protein dalam urin < 1 gr/hari, target penurunan tekanan darah yang diharapkan ialah < 130/80 mmHg.3 Pada pasien ini, diberikan pengobatan berupa Captopril 3 x 25 mg yang dikombinasikan dengan amlodipine 1 x 10 mg. Pengkombinasian ACE inhibitor dengan Calcium Channel Blocker pada pasien ini dilakukan karena pasien juga dicurigai mengalami penyakit jantung hipertensi, yang didasarkan adanya gambaran kardiomegali pada pemeriksaan foto thorax. Salah satu manifestasi klinis yang sering dijumpai pada penderita CKD ialah edema paru. Berdasarkan mekanisme yang mendasarinya, edema paru pada pasien dengan penyakit ginjal secara umum dibedakan menjadi: (1) edema paru renal primer dan (2) edema paru sekunder sebagai konsekuensi renal dan jantung. Edema paru renal secara klasik berkaitan dengan adanya kelebihan volume cairan ekstraseluler sebagai akibat dari kegagalan eksresi air dan natrium. Edema paru mikrovaskular merupakan bentuk edema paru renal primer lainnya, yang terjadi akibat adanya peningkatan permeabilitas kapiler paru, yang mungkin disebabkan karena penurunan tekanan onkotik plasma. Sedangkan edema paru sekunder sebagai konsekuensi ginjal dan jantung biasanya merupakan komplikasi dari kelainan jantung yang telah ada sebelumnya, misalnya akibat kardiomiopati hipertensif, anemik, maupun uremikum.5 Pada CKD, mekanisme utama yang mendasari terjadinya edema paru ialah fluid overload akibat retensi cairan dan natrium. Akibatnya terjadi peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler paru yang diikuti oleh terjadinya transudasi cairan dari kapiler paru ke dalam ruang interstisial maupun alveolus paru.
5
Adanya cairan yang mengisi ruang alveolus mengakibatkan gangguan pada proses difusi gas, dari alveolus ke kapiler paru. Secara klinis, keadasan ini ditandai oleh adanya keluhan sesak nafas, rhonki pada pemeriksaan fisik, serta gambaran foto thorax yang mengarah pada kesan suatu edema paru.6 Pada kasus ini, pasien
19
mengeluh sesak nafas dan batu berdahak disertai buih, ditemukan rhonki dan kesan edema pulmonum pada foto thoraxnya. Temuan-temuan ini mengarahkan dugaan adanya edema paru pada pasien ini. Pembatasan asupan air pada pasien CKD sangat perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya edema dan komplikasi kardiovaskuler. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar baik melalui urin maupun insesible water loss (IWL) antara 500 sampai 800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500 sampai 800 ml ditambah jumlah urin per hari.4 Pada pasien ini juga dilakukan pengaturan cairan masuk, guna mencegah volume overload yang akan memperberat edema paru dan edema tungkai yang telah terjadi sebelumnya. Produksi urin pasien perhari rata-rata 600 ml, ditambah IWL (500 ml), maka jumlah cairan keluar adalah 1100 ml, sehingga cairan yang diberikan juga harus sejumlah itu. Pasien diasumsikan dapat minum ± 2 gelas/hari (@ 250 ml), sehingga cairan yang diberikan melalui jalur parenteral ialah 600 ml/hari ~ 8 tetes/menit. Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Salah satu cara untuk mengurangi keadaan tersebut adalah dengan pembatasan asupan protein. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤ 60 ml/menit/1,73m2. Jumlah protein yang dianjurkan ialah 0,6 – 0,8g/kgBB/hari, yang mana 0,35-0,50 gram diantaranya sebaiknya merupakan protein dengan nilai biologis tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari. Diet rendah garam (2-3 gr/hari) juga dianjurkan sebagai upaya untuk mencegah volume overload sekaligus sebagai terapi nonfarmakologis untuk mengatasi hipertensi.3,4 Pada pasien ini, diberikan diet tinggi kalori 35 kkal/kgBB/hari dan rendah protein (0,8 gr/kgBB/hari), serta diet rendah garam (250 mg/hari). Untuk mengatasi hiperfosfatemia dapat diberikan pengikat fosfat. Agen yang banyak dipakai ialah garam kalsium, aluminium hidroksida, garam serta magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorpsi fosfat yang berasal dari makanan. Garam kaslium yang banyak dipakai adalah
20
kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium asetat. 4 Pada pasien ini diberikan CaCO3 dengan dosis 3 x 500 mg. Pasien CKD mengalami peningkatan risiko athesklerosis karena tingginya prevalensi faktor risiko “tradisional” dan non “tradisional”.
3
Peningkatan kadar
homosistein merupakan salah satu faktor risiko non tradisional yang sering terjadi pada pasien CKD. Adapun mekanisme peningkatannya, hingga saat ini masih belum jelas. Homosistein berperan dalam memicu proses atherogenesis melalui beberapa cara: (1) menyebabkan kerusakan sel endotel pembuluh darah, (2) merangsang aktivasi trombosit, (3) mempengaruhi beberapa faktor yang terlibat dalam kaskade pembekuan darah, seperti menurunkan aktivitas anti thrombin, menghambat aktivitas kofaktor trombomodulin dan aktivasi protein C, meningkatkan aktivitas faktor V dan faktor XII, mengganggu sekresi faktor von Willebrand oleh endotel dan mengurangi sintesis prostasiklin.7 Pemberian asam folat merupakan salah satu cara untuk mencegah terjadinya hiperhomosisteinemia pada pasien CKD, karena asam folat merupakan salah satu substansi penting yang diperlukan dalam metabolise homosistein Pada kasus ini, pasien diberikan terapi asam folat 2 x 2 mg.
21
BAB 4 SIMPULAN
Penyakit Ginjal Kronis atau Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan penyakit ginjal yang ditandai adanya kerusakan dari struktur ginjal lebih dari 3 bulan yang dengan atau tanpa penurunan LFG < 60 mL/min/1,73 m2, dyang bersifat progresif dan irreversible. Adapun gejala klasik CKD diantaranya adalah edema, hipertensi dan anemia. Berdasarkan derajat penyakitnya CKD dibagi menjadi 5 stage yang dinilai dari LFG. Gejala klinis CKD meliputi gejala penyakit dasar, gejala sindrom uremikum serta gejala komplikasi CKD. Penatalaksanaan CKD disesuaikan dengan derajat kerusakan fungsi ginjal. Pada kasus, pasien didiagnosis dengan CKD stage V, sehingga penatalaksanaan utama pada pasien ini ialah terapi pengganti ginjal berupa hemodialisis. Disamping itu pada pasien ini juga diberikan beberapa terapi penunjang lainnya, yang disesuaikan dengan manifestasi klinis yang muncul. Penanganan etiologi, gejala dan komplikasi penyakit dengan tepat, serta perubahan pola diet yang disesuaikan dengan fungsi ginjal diharapkan akan membantu mencegah perburukan kondisi ginjal sehingga meningkatkan kualitas hidup pasien.
22
View more...
Comments