Case Report Asthma

August 18, 2019 | Author: Iman Sulaiman | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Case Report Asthma...

Description

LAPORAN KASUS

A. IDENTI IDENTITAS TAS PASIE PASIEN N

 Nama

: Tn.jaenudin

Umur

: 23 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Suku Bangsa

: Sunda

Agama

: Islam

Alamat

: ge g enteng RT/RW 01/03 ruka jaya tarogong kidul

Masuk RS

: 10 april 2013

B. ANAM ANAMNE NESI SIS S Diambil dari

: Autoanamnesis

Tanggal

: 11 april 2013

Keluhan Utama

Sesak nafas

Riwayat Penyakit Sekarang

Os datang ke rumah sakit dr.slamet garut dengan keluhan sesak nafas Sejak 1 jam smrs, keluhan sesak sering dirasakan saat udara dingin, sesak tidak berkurang dengan merubah  posisi tubuh, tidak ada nyeri dada, tidak ada jantung berdebar – debar. Os juga mengeluh batuk berdahak berwrana putih namun susah mengeluarkan dahaknya Sejak kelas 4SD os didiagnosa menderita asma, sejak saat itu os mendapat serangan asma setiap tahunnya. Biasanya os akan meminum obat sesak nafas yang dijual di warung dan sesak akan  berkurang. Namun semakin lama sesak dirasakan pasien semakin bertambah berat. Satu tahun terakhir, dalam satu bulan pasien mendapat serangan 2 – 3 kali serangan. Dan sudah pernah diasap Riwayat Penyakit Dahulu •

1|Page

Alergi udara dingin



Riwayat asma (+)

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak Tidak ada anggot anggotaa keluar keluarga ga pasien pasien yang mengal mengalami ami penyaki penyakitt yang sama sama sepert sepertii  pasien.

C. PEMERIKSAAN PEMERIKSAAN FISIK  Pemeriksaan Umum

Kesadaran

: Compos mentis

Tekanan darah

: 120/70 mmhg

 Nadi

: 80 x/menit

Suhu

: 36,2 oC

Pernafasan

: 32 x/menit

Kepala

: Normocephal

Mata

: Konjungtiva anemis -/Sklera ikterik -/-

Hidung

: Deviasi septum (-), (-), epistaksis (-), pch (-)

Mulut

: Sianosis peroral (-) peroral (-)

Leher

: KGB tidak tidak teraba teraba membesar  Tidak ada deviasi trakea

Thorak 

 Paru Inspeksi Inspeksi

: Hemithorak Hemithorak kanan = kiri kiri simetris simetris dalam keadaan statis statis

dan dinamis Palpasi

: Fremitus vokal dan taktil kanan = kiri

Perkusi

: Sonor pada kedua hemithorak 

Auskultasi

: VBS kanan = kiri, Ronkhi -/-, wheezing -/-

 Jantung  Inspeksi 2|Page

: Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi

: Ictus cordis tidak teraba

Perkusi

: Batas jantung kanan ICS IV linea parasternal dextra Batas jantung kiri ICS V linea axilaris anterior sinistra Batas jantung atas ICS II linea parasternal sinistra

Auskultasi

: BJ I-II irreguler, Murmur (-), Gallop (-)

Abdomen

Inspeksi

: datar lembut, tidak terdapat pelebaran vena pada abdomen

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Perkusi

: timpani,Shifting Dulness (-)

Palpasi

: Nyeri tekan pada abdomen (-),pembesaran organ (-)

Ekstremitas

edema

: -

-

-

-

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. LABORATORIUM (11 april 2013)

Hematologi

Haemoglobin

: 16,3 gr/dl

Hematokrit

: 49 %

Leukosit

: 14.500 /mm3

Trombosit

: 269.000 /mm3

Eritrosit

: 3,39 juta/mm3

Kimia Klinik 

3|Page

AST (SGOT)

: 27U/L

ALT (SGPT)

: 30 U/L

Ureum

: 31 mg/dL

Kreatinin

: 0.71mg/dL

Glukosa darah sewaktu

: 127mg/dl

II. ELEKTROKARDIOGRAM

Tidak dilakukan pemeriksaan

DAFTAR MASALAH SEMENTARA

Asma bronkhiale

PENGKAJIAN

Os merasakan sesak nafas saat udara dingin, dirasakan semakin memberat ketika malam hari. Os memiliki riwayat asma dan sering mendapatkan serangan asma

PERENCANAAN

Diagnostik 

: Cek darah lengkap Rutin, Albumin, Ureum kreatinin, SGOT SGPT Ro Thorax : O2 3liter 

Terapi

Nebu (combiven) Inf D5 + aminophilin 10mg Dexametason 4x1 iv Syr ambroxol 3x1

Edukasi

: tidak boleh merokok  Jangan terpapar udara dingin Minum obat teratur 

PROGNOSIS

-

Quo ad vitam

: Dubia ad bonam

-

Quo ad fungsionam

: dubia ad bonam

-

Quo ad sanationam

: Dubia ad bonam

4|Page

FOLLOW UP

5|Page

Tanggal

11-04-13

Subjektif

Objektif

Analisis

Pasien

datang

KU : SS

dengan

keluhan

KS : CM

D/

sesak nafas yang di

T : 110/80mmHg

 bronkhial

rasakan sejak 2jam

 N : 100 x/menit

smrs

R : x/menit

Keluhan

Perencanaan

PD/

asma

Cek darah lengkap Rontgen thorax

disertai

S: º C

T/

berdahak,

 Mata :

inf D5 +aminophilin

suara nafas bunyi

 Paru : VBS ka=ki,

inf dexametason 3x1

ngik

Wh +/+ Rh -/-

ceftrin 1x1

 batuk

ngikan

keluhan

sering

Cor : BJ I-II regular,

rimbul jika udara

m(-) g(-)

dingin

 Abdomen : datar lmbut

Os

mengaku

ada

 Nt (-), nyeri lepas (-)

riwayat asma sejak   Ekstremitas : edema (kecil

12/04/13

akral  hangat

Sesak nafas

KU :SS

Batuk berdahak 

T :160/ 70

KS : CM Asma

 N:84 x/menit

 bronkhial

Ceftrin 1x1

S:af 

 Nebu 3x1

Mata : ca -/-si -/-

dexametason

Mulut : spo Leher : KGB dalma btas Cor : bjl, bj ll murni regular m(-) g(-) Pulmo : vbs ka=ki rh -/wh -/Abd :bu (+),nt (-) KU : SS

KS :CM

T:110/80mmhg  N:84x /menit R:28x /menit S:af  Mata : ca -/- si -/Hidung : pch (-)

6|Page

Ambroksol 3x1

R:24 x /menit

Hidung :pch -

13/04/13

Th : D5+aminofilin

Mulut :spo (-) Leher : pembesaran kgb (-)

Asma  bronkhial

Asma bronkhiale Definisi

Kata “Asma” berasal dari bahasa Yunani yang berarti “sukar bernafas”. Asma Bronkial adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh peningkatan respon trakea dan  bronkus terhadap bermacam-macam stimulus, ditandai dengan penyempitan bronkus atau bronkiolus dan berakibat sesak nafas. Penyempitan bronkus disebabkan oleh kontraksi otot polos, pembengkakan dinding bronkus dan sekresi yang berlebihan dari kelenjar-kelenjar di mukosa bronkus. Atau lebih sederhana lagi Asma Bronkial adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh keadaan saluran nafas yang sangat peka terhadap berbagai rangsangan, baik dari dalam maupun luar tubuh. Akibat dari

7|Page

kepekaan yang berlebihan ini terjadilah penyempitan saluran pernafasan secara menyeluruh (Dina and Mahdi, 1984; Angela et al., 2002). Insidensi

Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai dengan mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di Negara maju. Peningkatan terjadi juga di negara-negara Asia Pasifik seperti Indonesia. Studi di Asia Pasifik baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Amerika Serikat dan Eropa. Hampir  separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya. Hal tersebut disebabkan manajemen

dan

pengobatan asma

yang masih

jauh

dari

pedoman yang

direkomendasikan Global Initiative for  Asthma (GINA) (Rengganis, 2008). Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian  pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC ( International  Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 melaporkan  prevalensi asma sebesar 2,1%, sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survey asma pada anak sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun) berkisar antara 3,76,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar 5,8%. Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius (Rengganis, 2008).

8|Page

Rasio jenis kelamin pada anak-anak sekitar 7 tahun menunjukkan bahwa anak  laki-laki satu setengah sampai dua kali lebih sering terkena asma daripada anak   perempuan, tetapi selama masa remajanya keadaan laki-laku lebih baik daripada anak perempuan dan pada saat mereka mencapai masa dewasa insidennya menjadi hampir sama (Rees and Price, 1998). Etiologi

Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan asa bronkial (Tanjung, 2003). a. Faktor predisposisi • Genetik  Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui  bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar  dengan foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.  b. Faktor presipitasi • Alergen Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu : 1. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan Seperti: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi 2. Ingestan, yang masuk melalui mulut Seperti : makanan dan obat-obatan

9|Page

3. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit Seperti : perhiasan, logam dan jam tangan • Perubahan cuaca Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu. • Stress Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu  juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul

harus segera

diobati

penderita asma

yang mengalami

stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah  pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum  bisa diobati. • Lingkungan kerja Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti. • Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah

10 | P a g e

menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut. Patofisiologi

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur  imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam  jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini  berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan allergen dan bertahan selama 16-24 jam,

11 | P a g e

 bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan  Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam  patogenesis asma (Rengganis, 2008). Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih  permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi (Rengganis, 2008). Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas  bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter  objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk mengukur  hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik (Rengganis, 2008). Klasifikasi Asma

12 | P a g e

Sebenarnya derajat berat asma adalah suatu kontinum, yang berarti bahwa derajat berat asma persisten dapat berkurang atau bertambah. Derajat gejala eksaserbasi atau serangan asma dapat bervariasi yang tidak tergantung dari derajat sebelumnya (Rengganis, 2008).  Klasifikasi Menurut Etiologi Banyak usaha telah dilakukan untuk membagi asma menurut etiologi, terutama dengan bahan lingkungan yang mensensititasi. Namun hal itu sulit dilakukan antara lain oleh karena bahan tersebut sering tidak diketahui.  Klasifikasi Menurut Derajat Berat Asma Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menentukan obat yang diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat besar asma diklasifikasikan sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan persisten berat.

 Klasifikasi Menurut Kontrol Asma Kontrol asma dapat didefinisikan menurut berbagai cara. Pada umumnya, istilah kontrol menunjukkan penyakit yang tercegah atau bahkan sembuh. Namun  pada asma, hal itu tidak realistis; maksud kontrol adalah kontrol manifestasi  penyakit. Kontrol yang lengkap biasanya diperoleh dengan pengobatan. Tujuan  pengobatan adalah memperoleh dan mempertahankan kontrol untuk waktu lama dengan pemberian obat yang aman, dan tanpa efek samping.  Klasifikasi Asma Berdasarkan Gejala Asma dapat diklasifikasikan pada saat tanpa serangan dan pada saat serangan. Tidak ada satu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu

13 | P a g e

 penyakit, pemeriksaan gejala-gejala dan uji faal paru berguna untuk mengklasifikasi  penyakit

menurut

berat

ringannya.

Klasifikasi

itu

sangat

penting

untuk 

 penatalaksanaan asma. Berat ringan asma ditentukan oleh berbagai faktor seperti gambaran klinis sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari,  pemberian obat inhalasi b-2 agonis, dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Asma dapat diklasifikasikan menjadi intermiten, persisten ringan, persisten sedang, dan persisten berat (Tabel 1). Selain klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat ringannya serangan. Global  Initiative for Asthma (GINA) melakukan pembagian derajat serangan asma  berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut adalah asma serangan ringan, asma serangan sedang, dan asma serangan berat. Dalam hal ini perlu adanya pembedaan antara asma kronik dengan serangan asma akut. Dalam melakukan penilaian berat ringannya serangan asma, tidak harus lengkap untuk setiap pasien. Penggolongannya harus diartikan sebagai prediksi dalam menangani pasien asma yang datang ke fasilitas kesehatan dengan keterbatasan yang ada.

14 | P a g e

Diagnosa

Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat ditangani dengan baik, mengi (wheezing ) berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak episodik, mengi, batuk  dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Mengukur  status alergi dapat membantu identifikasi faktor risiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma diklasifikasikan menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan waktu. 15 | P a g e

Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut ambang kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma, diperlukan pengkajian kondisi klinis serta  pemeriksaan penunjang (Rengganis, 2008).  Anamnesis

Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair  (konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga), sering terbangun  pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain bludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar  tidur. Apakah sesak dengan bau-bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah  pasien merokok, orang lain yang merokok di rumah atau lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker , aspirin atau steroid. Gejala-gejala kunci untuk menegakkan diagnosis asma dirangkum dalam Tabel 2.

16 | P a g e

 Pemeriksaan Klinis

Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara rinci, menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan fisis pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan  bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan; napas cepat, kesulitan  bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher, perut dan dada. Pada auskultasi dapat ditemukan; mengi, ekspirasi memanjang.  Pemeriksaan Penunjang 

1. Spirometer  17 | P a g e

Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk  menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan. 2.  Peak Flow Meter/ PFM  Peak flow meter  merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena  pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV. untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak dapat melakukan  pemeriksaan FEV1. 3.  X-ray dada/thorax Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma 4. Pemeriksaan IgE Uji tusuk kulit ( skin prick test ) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik   pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor   pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent test  (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada dermographism). 5. Petanda inflamasi Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak   berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan

18 | P a g e

spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif  inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan  Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat  berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset. 6. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan  berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada  penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi  pada subyek alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2 um sampai 20 um, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin, dan metakolin. Penanganan

Tujuan pengobatan asma bronkial adalah agar penderita dapat hidup normal,  bebas dari serangan asma serta memiliki faal paru senormal mungkin, mengurangi reaktifasi saluran napas, sehingga menurunkan angka perawatan dan angka kematian akibat asma. Suatu kesalahan dalam penatalaksanaan asma dalam jangka pendek dapat

19 | P a g e

menyebabkan kematian, sedangkan jangka panjang dapat mengakibatkan peningkatan serangan atau terjadi obstruksi paru yang menahun. Untuk pengobatan asma perlu diketahui juga perjalanan penyakit, pemilihan obat yang tepat, cara untuk menghindari faktor pencetus. Dalam penanganan pasien asma penting diberikan penjelasan tentang cara penggunaan obat yang benar, pengenalan dan pengontrolan faktor alergi. Faktor  alergi banyak ditemukan dalam rumah seperti tungau debu rumah, alergen dari hewan,  jamur, dan alergen di luar rumah seperti zat yang berasal dari tepung sari, jamur, polusi udara. Obat aspirin dan anti inflamasi non steroid dapat menjadi faktor  pencetus asma. Olah raga dan peningkatan aktivitas secara bertahap dapat mengurangi gejala asma. Psikoterapi dan fisioterapi perlu diberikan pada penderita asma (Meiyanti, 2000). Obat asma digunakan untuk menghilangkan dan mencegah timbulnya gejala dan obstruksi saluran pernafasan. Pada saat ini obat asma dibedakan dalam dua kelompok   besar yaitu reliever (obat pereda) dan controller (obat pengendali). Reliever adalah obat yang cepat menghilangkan gejala asma yaitu obstruksi saluran napas. Controller adalah obat yang digunakan untuk mengendalikan asma yang persisten. Obat yang termasuk  golongan reliever  adalah agonis beta-2, antikolinergik, teofilin, dan kortikosteroid sistemik. Agonis beta-2 adalah bronkodilator yang paling kuat pada pengobatan asma. Agonis Beta-2 mempunyai efek bronkodilatasi, menurunkan permeabilitas kapiler, dan mencegah pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Golongan agonis beta-2 merupakan stabilisator yang kuat bagi sel mast, tapi obat golongan ini tidak dapat mencegah respon lambat maupun menurunkan hiperresponsif bronkus. Obat agonis beta2 seperti salbutamol, terbutalin, fenoterol, prokaterol dan isoprenalin, merupakan obat golongan simpatomimetik. Efek samping obat golongan agonis beta-2 dapat berupa

20 | P a g e

gangguan kardiovaskuler, peningkatan tekanan darah, tremor, palpitasi, takikardi dan sakit kepala. Pemakaian agonis beta-2 secara reguler hanya diberikan pada penderita asma kronik berat yang tidak dapat lepas dari bronkodilator (Meiyanti, 2000). Antikolinergik dapat digunakan sebagai bronkodilator, misalnya ipratropium  bromid dalam bentuk inhalasi. Ipratropium bromid mempunyai efek menghambat reseptor

kolinergik

sehingga

menekan

enzim

guanilsiklase

dan

menghambat

 pembentukan cGMP. Efek samping ipratropium inhalasi adalah rasa kering di mulut dan tenggorokan. Mula kerja obat ini lebih cepat dibandingkan dengan kerja obat agonis beta2 yang diberikan secara inhalasi. Ipratropium bromid digunakan sebagai obat tambahan  jika pemberian agonis beta-2 belum memberikan efek yang optimal. Penambahan obat ini terutama bermanfaat untuk penderita asma dengan hiperaktivitas bronkus yang ekstrem atau pada penderita yang disertai dengan bronkitis yang kronis (Meiyanti, 2000). Obat golongan xantin seperti teofilin dan aminofilin adalah obat bronkodilator  yang lemah, tetapi jenis ini banyak digunakan oleh pasien karena efektif, aman, dan harganya murah. Dosis teofilin peroral 4 mg/kgBB/kali, pada orang dewasa biasanya diberikan 125-200 mg/kali. Efek samping yang ditimbulkan pada pemberian teofilin  peroral terutama mengenai sistem gastrointestinal seperti mual, muntah, rasa kembung dan nafsu makan berkurang. Efek samping yang lain ialah diuresis. Pada pemberian teofilin dengan dosis tinggi dapat menyebabkan terjadinya hipotensi, takikardi dan aritmia, stimulasi sistem saraf pusat (Meiyanti, 2000). Obat yang termasuk dalam golongan controller adalah obat anti inflamasi seperti kortikosteroid, natrium kromoglikat, natrium nedokromil , dan antihistamin aksi lambat. Obat agonis beta-2 aksi lambat dan teofilin lepas lambat dapat juga digunakan sebagai

21 | P a g e

controller . Natrium kromoglikat dapat mencegah bronkikonstriksi respon cepat atau lambat, dan mengurangi gejala klinis penderita asma. Natrium kromoglikat lebih sering digunakan pada anak karena dianggap lebih aman daripada kortikosteroid. Perkembangan terbaru natrium kromoglikat menghasilkan natrium nedoksomil yang lebih poten. Obat ini digunakan sebagai tambahan pada penderita asma yang sudah mendapat terapi kortikosteroid tetapi belum mendapat hasil yang optimal (Meiyanti, 2000). Antihistamin tidak digunakan sebagai obat utama untuk mengobati asma.,  biasanya hanya diberikan pada pasien yang mempunyai riwayat penyakit atopik seperti rinitis alergi. Pemberian antihistamin selama 3 bulan pada sebagian penderita asma dengan dasar alergi dapat mengurangi gejala asma (Meiyanti, 2000). Kortikosteroid merupakan anti inflamasi yang paling kuat. Kortikosteroid menekan respons inflamasi dengan cara mengurangi kebocoran mikrovaskuler, menghambat produksi dan sekresi sitokin, mencegah kemotaksis dan aktivitas sel inflamasi, mengurangi sel inflamasi, dan menghambat sintesis leukotrin. Kortikosteroid dapat meningkatkan sensitifitas otot pernafasan yang dipengaruhi oleh stimulasi beta-2 melalui peningkatan reseptor beta adrenergik. Pemberian steroid dianjurkan dengan dosis seminimal mungkin. Pemberian kortikosteroid peroral dapat diberikan secara intermiten  beberapa hari dalam sebulan atau dosis tunggal pagi selang sehari (alternate day), atau dosis tunggal pagi hari. Pemberian kortikosteroid peroral sering menimbulkan efek  samping pada saluran cerna seperti gastritis, penurunan daya tahan tubuh, osteoporosis,  peningkatan kadar gula darah dan tekanan darah, gangguan psikiatri, hipokalemi, moonface, retensi natrium dan cairan, obesitas, cushing syndrom , bullneck  dan yang  paling ditakutkan adalah terjadinya supresi kelenjar adrenal (Meiyanti, 2000).

22 | P a g e

Efek samping timbul terutama pada pemberian sistemik dalam jangka lama, maka lebih baik diberikan obat steroid kerja pendek misalnya prednison, hidrokortison, atau metilprednisolon. Prednison diberikan 40-60 mg/hari/oral, kemudian diturunkan secara  bertahap 50% setiap 3-5 hari. Hidrokortison diberikan 4 mg/kgBB secara bolus diikuti 3mg/kgBB/6jam. Metilprednisolon diberikan 50-100 mg/6 jam secara intravena. Sekarang ini tersedia kortikosteroid dalam bentuk inhalasi seperti budesonide, fluticasone. Dosis budesonide inhalasi untuk orang dewasa bervariasi, dosis awal yang dianjurkan adalah 400-1600 mikrogram /hari dibagi dalam 2-4 dosis, sedangkan untuk  anak dianjurkan 200-400

mikrogram/hari dibagi dalam

2-4

dosis. Pemberian

kortikosteroid secara inhalasi lebih baik dibandingkan pemberian secara sistemik, karena konsentrasi obat yang tinggi pada tempat pemberian langsung dibawa melalui pernafasan dan bekerja langsung pada saluran napas sehingga memberikan efek samping sistemik  yang lebih kecil. Penelitian dari Agertoft dan Pedersen menunjukkan bahwa pemakaian  budesonide tidak mengganggu pertumbuhan anak. Penggunaan kortikosteroid inhalasi merupakan pilihan pertama untuk menggantikan steroid sistemik pada penderita asma kronik yang berat. Efek samping yang sering ditimbulkan dapat berupa kandidiasis orofaring, refleks batuk, suara serak, infeksi paru, dan kerusakan mukosa. Pernah dilaporkan efek samping dispnoe dan bronkospasme pada penggunaan kortikosteroid inhalasi. Dalam beberapa penelitian diketahui bahwa penggunaan kortikosteroid secara inhalasi tidak menyebabkan terjadinya osteoporosis, gangguan pertumbuhan, dan gangguan toleransi glukosa (Meiyanti, 2000). Pemberian kortikosteroid sistemik lebih sering menimbulkan efek samping, maka sekarang dikembangkan pemberian obat secara inhalasi. Keuntungan pemberian obat

23 | P a g e

inhalasi yaitu mula kerja yang cepat karena obat bekerja langsung pada target organ, diperlukan dosis yang kecil secara lokal, dan efek samping yang minimal. Dengan demikian untuk mengatasi asma kortikosteroid inhalasi merupakan pilihan yang lebih  baik (Meiyanti, 2000). Komplikasi

Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah : 1. Pneumothoraks 2. Atelektasis 3. Hipoksemia 4. Emfisema 5. Gagal nafas 6. Deformitas thoraks (Tanjung, 2003). Pencegahan

 A. Mencegah Sensititasi Cara-cara mencegah asma berupa pencegahan sensitisasi alergi (terjadinya atopi, diduga paling relevan pada masa prenatal dan perinatal) atau pencegahan terjadinya asma  pada individu yang disensitisasi. Selain menghindari pajanan dengan asap rokok, baik in utero atau setelah lahir, tidak ada bukti intervensi yang dapat mencegah perkembangan asma. Hipotesis higiene untuk mengarahkan sistem imun bayi kearah Th1, respons nonalergi atau modulasi sel T regulator masih merupakan hipotesis (Rengganis, 2008).

 B. Mencegah Eksaserbasi

24 | P a g e

Eksaserbasi asma dapat ditimbulkan berbagai faktor (trigger ) seperti alergen (indoor  seperti tungau debu rumah, hewan berbulu, kecoa, dan jamur, alergen outdoor  seperti  polen, jamur, infeksi virus, polutan dan obat. Mengurangi pajanan penderita dengan  beberapa faktor seperti menghentikan merokok, menghindari asap rokok, lingkungan kerja, makanan, aditif, obat yang menimbulkan gejala dapat memperbaiki kontrol asma serta keperluan obat. Tetapi biasanya penderita bereaksi terhadap banyak faktor  lingkungan sehingga usaha menghindari alergen sulit untuk dilakukan. Hal-hal lain yang harus pula dihindari adalah polutan indoor  dan outdoor , makanan dan aditif, obesitas, emosi-stres dan berbagai faktor lainnya (Rengganis, 2008).

25 | P a g e

DAFTAR PUSTAKA

Dina, H and Mahdi, H. 1984. Pemakaian Dermatophagoides Pteronyssinus Sebagai  pendekatan Tunggal guna Pembuktian Atopi pada Asma Bronkial. Universitas Airlangga Press, Surabaya. Angela et al. 2002. Mengenai Mencegah dan Mengatas Asma pada Anak Plus Panduan Senam Asma. Puspa Swara, Jakarta. Rees, J and Price, J. 1998. Petunjuk Penting Asma. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. Tanjung, D. 2003. Asuhan Keperawatan Asma Bronkial. USU Digital Library. Rengganis, I. 2008. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Maj Kedokt Indon, 58(11), 444-451. Meiyanti, M. 2000. Perkembangan pathogenesis dan pengobatan Asma Bronkial. J.  Kedokteran Trisakti,19(3), 125-132.

26 | P a g e

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF