Case Manager Profesi Baru Di Rumah Sakit Indonesia
April 4, 2017 | Author: Robertus Arian | Category: N/A
Short Description
Download Case Manager Profesi Baru Di Rumah Sakit Indonesia...
Description
RAD Journal 2013:11:008
Case Manager: Profesi Baru di Rumah Sakit Indonesia Robertus Arian Datusanantyo* Rumah sakit yang sedang berproses untuk menyiapkan akreditasi dengan sistem standarisasi versi tahun 2012 mengenal prinsip koordinasi pelayanan yang diterjemahkan dalam peran case manager. Istilah ini memang belum terlalu dikenal di Indonesia, walaupun sepuluh tahun terakhir ini sudah beberapa kali diperbincangkan dalam berbagai forum manajemen rumah sakit di Indonesia. Case manager adalah pelaku proses case management. Rasanya baik bila kita mencari istilah bahasa Indonesia saja, jadi pengelola kasus (case manager) adalah pelaku proses pengelolaan kasus (case management). Telusur referensi membuahkan dua definisi pengelolaan kasus. Keduanya bersumber dari dua organisasi berbeda di Amerika Serikat. Definisi pengelolaan kasus menurut American Case Management Association (AMCA) berbunyi sebagai berikut. Pengelolaan kasus di rumah sakit dan sistem pelayanan kesehatan adalah model praktek kolaboratif yang mencakup pasien, perawat, pekerja sosial, dokter, tenaga kesehatan lain, pemberi pelayanan, dan komunitas. Pengelolaan kasus ini mencakup komunikasi dan memfasilitasi pelayanan menjadi satu kontinuum melalui koordinasi sumber daya yang efektif. Tujuan pengelolaan kasus mencakup pencapaian kesehatan yang optimal, akses ke pelayanan kesehatan, dan utilisasi sumber daya yang tepat, seimbang dengan hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri (ACMA 2013). Sementara itu, ada definisi yang hampir mirip dengan definisi di atas. Definisi yang kedua ini diambil dari Case Management Society of America (CMSA). Definisi pengelolaan kasus menurut CMSA adalah sebagai berikut. Pengelolaan kasus adalah proses kolaboratif yang mencakup kajian, perencanaan, fasilitasi, koordinasi pelayanan, evaluasi, dan advokasi terhadap pilihan-‐pilihan dan pelayanan-‐pelayanan untuk mencapai kebutuhan kesehatan yang komprehensif pada individu maupun keluarga melalui komunikasi dan sumber daya yang tersedia untuk mencapai luaran yang berkualitas dan efektif biaya (Whitaker 2010). Kedua definisi membawa kita pada kesimpulan bahwa proses pengelolaan kasus adalah suatu proses koordinasi pelayanan kolaboratif untuk mempergunakan sumber daya yang tersedia dengan efektif dan efisien guna mencapai tingkat kesehatan yang optimal lewat komunikasi, penggunaan sumber daya, dan akses ke pelayanan kesehatan dengan memperhatikan hak pasien dalam menentukan nasibnya sendiri. Di dalam rumah sakit, pengelolaan kasus ini telah mulai diperkenalkan pada program pemberantasan penyakit menular seperti pada HIV/AIDS dan tuberkulosis. Berbagai rumah sakit yang mengelola penyakit kronis maupun keganasan juga telah memperkenalkan konsep ini lewat integrasi dengan berbagai komunitas penyakit sejenis untuk memberikan daya dukung bagi pasien. Komunitas ini misalnya komunitas penderita kanker pada anak, komunitas lupus, berbagai klub diabetes mellitu, komunitas stroke, dan lain-‐lain. Sebagian besar contoh yang disebutkan di atas melibatkan pelayanan di rawat jalan dan sebagian rawat inap. Penekanan peran lebih pada koordinasi antar pelayanan kesehatan dan komunitas. Dalam lingkup rumah sakit dewasa ini, peran pengelola kasus diarahkan sebagai kepanjangan tangan manajemen rumah sakit untuk memberikan pelayanan yang bermutu sesuai kebutuhan pasien dengan memperhatikan prinsip kolaborasi dan kendali biaya. Pengelola kasus dapat saja seorang perawat senior, atau dokter, atau profesi lain. Dengan pola pendidikan dan budaya yang berkembang di sistem kesehatan di Indonesia, rasanya agak mustahil bila pengelola kasus ini berasal dari latar belakang non perawat atau non dokter. Profesi lain akan sulit berkomunikasi dengan tenaga kesehatan di dalam rumah sakit. Pengelola kasus juga bukan
Case Manager: Profesi Baru di Rumah Sakit Indonesia, Robertus Arian Datusanantyo |
1
RAD Journal 2013:11:008
merupakan pemberi pelayanan langsung namun mengetahui dan menguasi proses pelayanan pada pasien dan dapat menjadi orang terdekat pasien selama perawatan di rumah sakit. Lebih lanjut ACMA menjelaskan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, pengelola kasus mempunyai lima kategori dalam ruang lingkup pelayanannya, meliputi pendidikan, koordinasi pelayanan, kepatuhan, pengelolaan transisi, dan pengelolaan utilisasi. Sementara itu, standar pelayanan pengelola kasus menurut ACMA adalah akuntabilitas, profesionalisme, kolaborasi, koordinasi pelayanan, advokasi, pengelolaan sumber daya, dan sertifikasi. Sementara itu, CMSA menyarankan adanya delapan langkah dalam proses pengelolaan kasus, yaitu: 1) identifikasi dan seleksi klien; 2) kajian dan identifikasi masalah / kesempatan; 3) pengembangan rencana pengelolaan kasus; 4) implementasi dan koordinasi aktivitas pelayanan; 5) evaluasi rencana pengeloaan kasus dan tindak lanjut; dan 6) pemutusan proses pengeloaan kasus. CMSA meneruskan dengan adanya lima belas standar praktek pengelola kasus. Pertanyaan yang relevan diajukan di Indonesia adalah: apakah pengelolaan kasus oleh pengelola kasus ini benar dapat meningkatkan mutu pelayanan dan berkontribusi pada pendapatan rumah sakit? Jawabannya belum bisa disimpulkan pada saat ini, karena konsep pelayanan pengelolaan kasus ini belum dilakukan di sebagian besar rumah sakit di Indonesia. Beberapa rumah sakit pendidikan dan rumah sakit besar yang melakukannya, itupun terbatas pada kriteria tertentu yang masih sangat khusus, misalnya pasien Jamkesmas, pasien kanker, dan pasien dengan kasus high risk, high cost, dan problem prone. Beberapa studi pustaka memberikan variasi hasil pada penerapan pengelolaan kasus di rumah sakit. Sebagai contoh, penelitian Chen et al. (2013) di Taiwan menyimpulkan bahwa ada keuntungan melakukan pengeloaan kasus oleh perawat dibandingkan pemberian pelayanan reguler seperti biasa pada pasien kanker. Penelitian ini mengambil secara acak 600 pasien kanker yang dimasukkan ke dalam program pengeloaan kasus, dibandingkan dengan 600 pasien kanker lain dari register rawat inap yang ditata laksana dengan pelayanan reguler. Penelitian ini mengukur hanya efektivitas pelayanan termasuk tingkat pasien yang melanjutkan pengobatan, tidak patuh pada pengobatan, perawatan inap yang panjang, readmisi tanpa rencana, dan admisi terencana untuk pengobatan aktif. Penelitian ini tidak mengukur keberhasilan pengelolaan kasus dari sisi luaran paska pelayanan. Pada penelitian ini, proses pengeloaan kasus direduksi hanya pada faktor efektivitas saja. Sebuah systematic review yang dilakukan di Eropa beberapa tahun sebelumnya memberikan hasil yang berbeda. Wulff et al. (2008) melakukan systematic review terhadap tujuh penelitian berbasis pengelolaan kasus pada pasien-‐pasien kanker dan gagal menemukan manfaat pengelolaan kasus. Target populasi yang sangat heterogen dan metodologi penelitian yang sangat beragam dianggap sebagai kontributor gagalnya pengambilan kesimpulan manfaat pengelolaan kasus pada pasien-‐ pasien kanker. Tahun 2012 yang baru saja lewat, diwarnai dengan sebuah penelitian kualitatif yang menarik mengenai bagaimana pengaruh pengelolaan kasus pada populasi tunawisma yang menderita penyakit kronis. Penelitian ini dilakukan oleh Davis et al. (2012) dengan cara melakukan wawancara mendalam terhadap 14 orang di Amerika Serikat. Kesimpulan dari penelitian ini cukup mencengangkan, karena ditulis dengan memanfaatkan situasi emosional tunawisma yang bersyukur karena ada orang yang peduli pada mereka. Para subjek yang diwawancarai mengatakan dengan mantap bahwa keberadaan pengelola kasus yang mengelola penyakit kronis mereka dan melakukan pendampingan yang menyeluruh sungguh meningkatkan derajat kesehatan mereka. Menarik untuk mendalami penelitian kualitatif Davis et al. (2012) tersebut. Para tunawisma yang menjadi subjek penelitian mengawali dengan menggambarkan keterasingan sebelum mereka bertemu dengan para pengelola kasus. Keterasingan atau isolasi ini ternyata bagi mereka membawa konsekuensi tingkat kesehatan yang lebih rendah. Kesendirian, mereka asosiasikan dengan rasa nyeri, tekanan darah yang naik, dan keluhan-‐keluhan lain. Dua hal penting yang bisa dipelajari dari penelitian ini adalah keterikatan hubungan interpersonal yang erat antara pasien dan pengelola kasus dan bagaimana pengelola kasus dapat memfasilitasi peserta kepada pelayanan sosial dan pelayanan medis. Ada manfaat menarik yang disampaikan para subjek mengenai bagaimana proses mereka mengakses pelayanan kesehatan menjadi jauh lebih mudah dan tidak berbelit-‐belit ketika mereka mempunyai pengelola kasus. Case Manager: Profesi Baru di Rumah Sakit Indonesia, Robertus Arian Datusanantyo |
2
RAD Journal 2013:11:008
Dalam perspektif rumah sakit di Indonesia yang bersiap untuk menghadapi era sistem jaminan sosial nasional, peran pengelola kasus ini menjadi penting. Sistem rujukan berjenjang dan sistem rujukan balik mudah dipahami di kalangan pemberi layanan kesehatan, namun sulit diterima para penerima layanan kesehatan. Rujukan berjenjang dikeluhan sebagai penyulit dalam mengakses pelayanan medis spesialistik. Peran pengelola kasus dapat mulai diimplementasikan di sini sehingga pasien setelah rawat inap dapat lebih mudah mengakses pelayanan kesehatan dalam level yang tepat. Fungsi inilah yang oleh ACMA digambarkan sebagai pengelolaan transisi dan utilisasi. Pengelolaan transisi sebenarnya dimulai ketika pasien berada dalam fase post akut. Dalam tahap ini, pengelola kasus mulai dapat berkontribusi untuk penempatan pasien sesuai dengan level kebutuhan mereka. Setelah itu, ketika pasien dapat keluar dari rawat inap, pengelola kasus dapat berkomunikasi dengan komunitas dan masyarakat termasuk keluarga pasien mengenai hal-‐hal penting terkait kebutuhan kesehatan pasien. Koordinasi saat transisi ini juga dilengkapi dengan tindak lanjut, bahkan bila nanti pasien membutuhkan readmisi (ACMA 2013). Pengelolaan utilisasi menjadi pekerjaan yang lebih teknis dan administratif bagi pengelola kasus. Pengelolaan ini nantinya akan mencakup bagaimana pasien dapat mengakses pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya, namun juga memastikan bahwa pihak ketiga yang menanggung pembiayaan mengerti kebutuhan ini dan memberikan pembiayaan yang perlu. Semua hal ini akan menjadi tanggung jawab pengelola kasus, termasuk ketika pihak pembayar tidak dapat melaksanakan fungsinya dan terpaksa memakai sistem lain untuk pembiayaan pasien tersebut. Dengan berbagai fungsi ini, jelaslah bahwa pengelolaan kasus di rumah sakit dapat berkontribusi pada efektivitas dan efisiensi pelayanan. Dalam tugas dan wewenangnya, dapat pula ditambahkan peran sebagai penjaga mutu dan sebagai pengawas utilisasi layanan kesehatan. Tantangan yang dihadapi antara lain sertifikasi dan pendidikan berkala. Berbeda dengan profesi lain yang telah mempunyai asosiasi profesi, pengelola kasus sampai saat ini belum mempunyai organisasi profesi sehingga belum ada kesepakatan mengenai pendidikan dan sertifikasinya. Daftar Pustaka ACMA, 2013. Standards of Practice & Scope of Services for Health Care Delivery System Case Management and Transitions of Care (TOC) Professionals, Little Rock, AR: American Case Management Association. Chen, Y.-‐C. et al., 2013. Effectiveness of nurse case management compared with usual care in cancer patients at a single medical center in Taiwan: a quasi-‐experimental study. BMC health services research, 13(1), p.202. Available at: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3673875&tool=pmcentrez&rendertype=ab stract [Accessed November 1, 2013]. Davis, E., Tamayo, A. & Fernandez, A., 2012. “Because somebody cared about me. That’s how it changed things”: homeless, chronically ill patients’ perspectives on case management. PloS one, 7(9), p.e45980. Available at: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3461032&tool=pmcentrez&rendertype=ab stract [Accessed November 1, 2013]. Whitaker, C.E., 2010. Standards of Practice for Case Management, Little Rock, AR: Case Management Society of America. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21986967. Wulff, C.N. et al., 2008. Case management used to optimize cancer care pathways: a systematic review. BMC health services research, 8, p.227. Available at: http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=2596122&tool=pmcentrez&rendertype=ab stract [Accessed November 1, 2013]. (*) Keterangan Penulis: penulis adalah dokter purna waktu di RS Panti Rapih di mana penulis dipercaya menjadi wakil ketua panitia akreditasi versi baru tahun 2012 dan sebagai kepala IGD. Penulis juga adalah mahasiswa paska sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat dengan peminatan Magister Manajemen Rumah Sakit.
Case Manager: Profesi Baru di Rumah Sakit Indonesia, Robertus Arian Datusanantyo |
3
View more...
Comments