Caping Goenawan Mohamad 2016

April 7, 2017 | Author: Chairil Fatih | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Caping Goenawan Mohamad 2016...

Description

Catatan Pinggir

Daftar Isi Mani .............................................................................. 1 Benci ............................................................................. 7 Hatra ............................................................................ 13 Sang Militan ................................................................ 19 TG ............................................................................... 25 Nostalgia ..................................................................... 31 Badui ........................................................................... 35 Fayadh ......................................................................... 41 Paranoia ....................................................................... 47 Amangkurat ................................................................. 51 Sabangau ..................................................................... 57 Einstein........................................................................ 63 Herakleitos .................................................................. 69 Rivera .......................................................................... 73 Pilatus .......................................................................... 77 Subaltern ..................................................................... 83 Maaf ............................................................................ 89 tuhan ............................................................................ 99 Mandalika.................................................................. 105 Almansor ................................................................... 111

Topeng .......................................................................115 Panggung ...................................................................119 Attar ...........................................................................123 JPC .............................................................................127 Terkutuk.....................................................................133 Bekisar .......................................................................139 Eropa ..........................................................................145 Batik… ... ...................................................................149 Fobia ..........................................................................155 Huesca........................................................................161 Molek .........................................................................167 Angsa .........................................................................171 Rakyat ........................................................................177 Aura ...........................................................................183 Bhima.........................................................................189 Dylan..........................................................................193 Komedie.....................................................................199 Dusta ..........................................................................205 Yang Ditampik...........................................................209 Amarah ......................................................................215 Calas ..........................................................................221

Mani Senin, 04 Januari 2016

There’s been an awakening. Have you felt it? The Dark side, and the Light. —Star Wars: The Force Awakens ejak mula, permusuhan ―sisi Gelap‖ dengan ―sisi Terang‖ mendasari pelbagai dongeng segala zaman; di abad ke-3 seseorang yang disebut ―Nabi Mani‖ di Persia menegaskannya, dan di abad ke-20 dan 21, Star Wars mengulanginya.

S

Dikhotomi Mani, ―Manikheanisme‖, memang tak mudah mati: kosmologi dualistis ini telah membuat ―Gelap‖ dan ―Terang‖, kekejian dan kebajikan, selamanya bentrok di alam semesta—begitu jelas dan sederhana, seolah-olah yang keji dan yang mulia bisa mutlak, seakanakan hitam dan putih telah melenyapkan abu-abu, hingga orang gampang tak membantah. George Lucas dengan sadar mendaur ulang kosmologi itu. Kita ingat adegan pembuka Star Wars empat dasawarsa yang lalu: sederet kalimat bergerak di

Catatan Pinggir | 1

layar, sebuah statemen bahwa kisah ini datang dari ―...zaman nun dahulu kala, di galaksi yang sangat jauh‖. ―Dahulu kala‖: keinginan George Lucas memang bukan membuat sebuah fantasi futuristik seperti 2001: A Space Odyssey, film Stanley Kubrick. Ia justru hendak mengembalikan kisah moralitas yang hidup di masa ketika film hitam-putih menampilkan Tom Mix. Melalui genre Western bisu tahun 1910-an, sang ―koboi‖ (misalnya dalam Saved by the Pony Express) dengan gagah dan lurus bertempur sebagai si ―topi putih‖ yang melawan si ―topi hitam‖. Di hampir semua filmnya, Tom Mix adalah petarung di zaman bergaris lurus. ―Putih‖ berarti suci dan benar, ―hitam‖ berarti kotor dan jahat. Dalam wawancaranya dengan The Washington Post baru-baru ini Lucas mengatakan ia ingin menebus kembali garis ala Mani itu: hitam-putih-gelap-terang yang kini telah buram. ―Terakhir kalinya kita lakukan itu ialah di masa film Western,‖ katanya. Dan ketika genre film ini nyaris tak beredar lagi, ia merasa kehilangan medium untuk menegaskan aturan ―ethis‖ yang diyakini di masa lalu. Lucas pernah mengatakan ia ingin menciptakan ―a modern fairy tale‖. Mungkin itu sebabnya Star Wars terkadang terasa sedikit ―retro‖. Ia bahkan bisa dituduh

Catatan Pinggir | 2

anti-progresif: dalam film pertamanya, sang pahlawan, pasangannya, sekutu dan musuhnya, semua berkulit putih, meskipun mereka bukan warga Wyoming atau Kansas, meskipun mereka konon makhluk planet lain—dan diciptakan Lucas pada 1977, setelah warga kulit hitam Amerika secara dramatis menegakkan hak-hak dasar mereka dan mulai muncul di lanskap kehidupan. Dengan kata lain, Luke Skywalker, Putri Leia, Obi-Wan Kenobi, Han Solo, dan lain-lain tak jauh dari tokoh-tokoh Flash Gordon Alex Raymond dari tahun 1930-an. Dalam cergam termasyhur itu, Flash Gordon adalah kesatria kebajikan yang bule dan pirang; lawannya: Ming si Jahat yang bukan bule dan pirang. Tapi tentu tak adil menilai Star Wars hanya anganangan yang Amerika-sentris dan retrogresif. Kita justru bisa melihat pengaruh luar yang kuat, terutama dari Yojimbo dan Seven Samurai Kurosawa: Lucas menampilkan petarung yang terampil dan elegan dengan pedang, ethos samurai dalam diri seorang Jedi, film action dengan latar yang tegang dan eksotis. Lagi pula Amerika-nya Alex Raymond bukan Amerika-nya Lucas. Pada 1973 Lucas menuliskan garis besar kisah Star Wars sebagai kisah ―sebuah imperium teknologi yang besar yang memburu sekelompok kecil pejuang kemerdekaan‖. Lucas, yang lahir pada 1944, mengalami bagaimana generasinya memandang Perang Vietnam (bermula pada pertengahan 1950-an, berakhir Catatan Pinggir | 3

1975)—dan kita tahu siapa yang mereka anggap ―Gelap‖ dan siapa yang ―Terang‖, mana yang ―imperium‖ dan mana yang ―pejuang kemerdekaan‖ dalam konfrontasi di Asia Tenggara itu. Tapi ini abad ke-21. The Force Awakens, dongeng ke-7 Star Wars, masih memperpanjang thema Manikhean itu. Namun yang ditampilkan J.J. Abrams bukan nostalgia Lucas kepada ―moral‖ film Western. Konflik antara rezim ―The First Order‖ dan gerakan ―Resistance‖ dalam film ini tak terasa sebagai gema kekerasan hari ini. Zaman sudah berubah. Kini zaman ditandai manikheanisme membingungkan dan sekaligus menakutkan.

yang

Ia membingungkan karena label ―Gelap‖ dan ―Terang‖ dengan cepat berpindah, dalam periode yang sama dan ruang yang sama: ―Taliban‖, ―IS‖, ―AS‖, ―Israel‖, ―Arab Saudi‖.... Ia menakutkan karena ketika cap ―Gelap‖ dan ―Terang‖ diterapkan, meskipun dengan cepat berpindah sasaran, tiap kali keduanya dibuat demikian kental, demikian kekal. Seakan-akan hanya penghancuran total yang akan jadi penentu—penghancuran bukan efek sejarah yang serba mungkin, tapi sebagai takdir. Takdir....

Catatan Pinggir | 4

Di layar putih, Kylo Ren berkata: ―Aku akan memenuhi takdirku.‖ Di luar bioskop, di antara kebencian dan pembunuhan di jalan-jalan, kalimat seperti itu terasa heroik tapi buntu. Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 5

Catatan Pinggir | 6

Benci Senin, 11 Januari 2016

"Luapkan kemarahanmu. Hanya kebencianmu yang dapat menghancurkan aku." —Darth Vader kepada Luke Skywalker, dalam satu adegan

duel dalam Return of the Jedi

K

ebencian adalah kekuatan. Kemarahan adalah tenaga. Darth Vader memahami ini. Dan mungkin juga para perumus kata dan tindakan politik sejak abad ke-20: dari Hitler sampai dengan Donald Trump, dari Stalin sampai dengan IS, dari Ku Klux Klan sampai dengan Pol Pot, dari Pengawal Merah sampai dengan FPI. Mereka kobarkan rasa marah, mereka sebar-luaskan rasa benci, dan kemudian mereka jadikan keduanya ―ideologi‖—dan sejak itu entah berapa kemenangan dirayakan dan berapa juta mayat bergelimpangan. Kemarahan, kebencian, kekerasan—masingmasing berbeda dan tak senantiasa punya hubungan sebabakibat. Tapi betapa sering kita menyaksikan ketiganya bertaut, baik dalam sejarah maupun dalam imajinasi. Di Indonesia kita berkali-kali menemukan itu. Sebelum ―Revolusi Sosial‖ di Sumatera Timur pada 1946, Catatan Pinggir | 7

sebelum ―pemberantasan G-30-S/PKI‖ pada 1965, dalam Babad Tanah Jawi bisa kita baca bagaimana Sultan Amangkurat II memperlakukan Trunajaya, pemberontak yang pernah jadi sekutunya dan kemudian dikhianatinya itu. Sang sultan muda menerima sang pemberontak yang kalah di istananya dengan sangat ramah—seakan-akan ia tak punya dendam dan benci. Tapi segera setelah sang tamu menyambut salamnya, ia perintahkan para bupati yang berkumpul di balairung menghunus keris mereka. Trunajaya pun ramai-ramai ditikam. Tubuhnya hancur. Sultan memerintahkan agar bagian hatinya dipotongpotong, untuk dibagikan kepada para bupati yang harus mengunyah dan menelannya di situ juga. Kemudian kepala Trunajaya dipisahkan dari lehernya dan diletakkan sebagai alas kaki di depan pintu, agar tiap orang yang keluar-masuk menginjak bagian jasad yang bergelimang darah dan berbau anyir itu. Mungkin kita perlu melihat diri sendiri di cermin dengan lebih lengkap—termasuk melihat adegan itu sebagai bagian lanskap hidup kita. Kita punya narsisisme yang sering jadi mithos dan filsafat. Dalam Serat Dewa Ruci dikisahkan bagaimana Bhima menemui dewa yang misterius itu dan mendapat ajaran bahwa manusia tinitah luwih, ditakdirkan jadi makhluk yang unggul. Tapi kemudian kita menyaksikan, dalam Bharatayudha, perang perebutan takhta dan pembalasan dendam itu, bagaimana sang kesatria membunuh Dursasana: ia minum darah korbannya, lalu ia beri kesempatan Drupadi, perempuan

Catatan Pinggir | 8

para Pandawa itu, mencuci rambutnya dengan darah segar itu. Tampaknya di sana hendak diperlihatkan, ―makhluk yang unggul‖ tak terpisahkan dari kebinatangan: humanisme hanyalah bentuk lain cinta diri sendiri. Selalu ada dalih untuk kekejian: kita memaklumi mengapa Bhima dan Drupadi begitu buas. Babad Tanah Jawi tak mengecam apa yang terjadi pada Trunajaya. Bisa dimengerti mengapa humanisme kemudian digugat. Dan bukan tanpa alasan. Sampai jam ini, pembunuhan dan kebuasan tak juga usai setelah ribuan tahun berlangsung. Violence, the bloody sire of all the world’s value Kata-kata Robinson Jeffers dalam sajak dari tahun 1940 ini, setelah Perang Dunia I, mengandung nada sarkastis—dengan rasa kecewa kepada manusia sebagai sumber sejarah. Maka sang penyair yang meninggalkan kota dan membangun sendiri rumah terpencil di pantai dekat Carmel, California, itu memilih: We must unhumanize our views a little, and become confident As the rock and ocean that we were made from. Catatan Pinggir | 9

―Menidak-manusiawi-kan pandangan kita‖, bagi sang penyair, justru memperkuat kita: kita bisa percaya diri sebagaimana batu karang dan lautan dari mana kita terjadi. Tapi ―animisme‖ seperti ini tak akan didengar. Sejak manusia merasa dipilih Tuhan. Apa beda mendasar Yoshua dan amarah Tuhan yang membantai semua penduduk Kota Yerikho dalam Perjanjian Lama dengan pasukan IS yang menyembelih tawanan mereka dengan kebencian yang diperam? Tidak ada. Saya ingat yang dikatakan Vaclav Havel dalam sebuah simposium tentang ―anatomi kebencian‖ di Oslo, akhir Agustus 1990: bagi seorang pembenci, ―Kebencian lebih penting ketimbang sasarannya.‖ Ia tak membenci seseorang tertentu, melainkan apa yang ia anggap diwakili orang itu: jalinan hambatan untuk mencapai apa yang mutlak, ―pengakuan mutlak, kekuasaan mutlak, persamaan diri secara mutlak dengan Tuhan, kebenaran, dan ketertiban dunia‖. Tapi benci tak bisa sendiri. Darth Vader ingin agar Luke Skywalker membenci, menghancurkan, dan kuat. Untuk berkuasa. Tapi ia gagal. Dalam Return of the Jedi, yang menang dalam pergulatan hati itu adalah sesuatu yang juga kuno tapi sering terselip: kasih sayang, empati, juga pada momen yang paling mustahil.

Catatan Pinggir | 10

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 11

Catatan Pinggir | 12

Hatra Senin, 18 Januari 2016

A

pa yang bisa kita lakukan terhadap masa lalu, ketika kita berdiri tercengang di puing-puing Hatra?

Hanya beberapa tahun yang silam, di padang pasir antara Sungai Tigris dan Eufrat, di tengah wadi datar yang kecokelatan hampir 300 kilometer dari Bagdad, reruntukan kota purba itu terbentang di arah utara. Sisasisa dinding kota menjulang tinggi. Para arkeolog mengatakan tembok itu, yang dibuat dari batu bata, pelindung sebuah kehidupan 2.200 tahun yang lalu— semacam benteng melingkar dengan diameter dua kilometer. Juga sebuah karya arsitektural yang memukau: berjalan mengelilinginya, kita akan menemukan empat pintu gerbang, sebelas bastion, 28 menara besar, dan 160 menara kecil. Di pusat kota, ada ―temenos‖. Di sini, di wilayah berbentuk persegi panjang yang luasnya satu hektare lebih ini—juga dikelilingi tembok—tak ada rumah, tak ada istana. Yang ada hanya kuil demi kuil, dengan balai agung yang terbuka di depannya, dengan dekorasi topeng-topeng wajah muda, dengan atap berbentuk kubah.

Catatan Pinggir | 13

Mungkin jajaran kuil itu yang menyebabkan orang Arab yang 500 tahun sebelum Islam adalah penghuni Hatra—setelah orang Parthia, setelah orang Persia— menamakan kota ini, dalam bahasa Aramaik, Beit ‗Elh‘, atau ―Rumah Tuhan‖. Tuhan atau dewa-dewa memang tak kurang di sini. Bersama itu, lapisan sejarah. Hatra, seperti halnya kotakota lain di wilayah yang dulu disebut Mesopotamia itu, adalah sebuah dokumen yang tak tepermanai tentang manusia. Tapi yang ―tak tepermanai‖ itu hanya terasa bila kita merasakan kharisma masa lalu, bila kita menemui masa lalu dengan rasa ingin tahu, atau takjub, atau bersyukur, atau rindu. Sebagaimana umumnya manusia. Itulah yang membuat turisme tumbuh, arkeologi jadi ilmu, museum berdiri, hikayat ditulis, dan tambo jadi ritual. Tapi tidak bagi IS, atas nama ―Islam‖. Tak ada kharisma masa lalu itu bagi mereka. Selama beberapa bulan dalam tahun 2015, ketika mereka menduduki Hatra, mereka hanya menjalankan apa yang mereka anggap ―hukum Islam‖: kuil, patung, ukiran, prasasti, semua harus dihancurkan. Dari artefak di museum Kota Mosul, Irak, sampai dengan kuil berumur 2.000 tahun di Palmira, Suriah, IS menunjukkan salah satu bentuk ikonoklasme yang paling agresif dalam sejarah.

Catatan Pinggir | 14

Seperti pendahulu mereka: 15 tahun yang lalu Taliban mendinamit sepasang patung Buddha yang terbesar di dunia di kaki pegunungan Hindu Kush. Patung berusia 1.700 tahun di Afganistan Tengah itu runtuh. Ikonoklasme adalah kelanjutan yang tak diakui dari Yudaisme. Kitab Keluaran (Exodus) yang melarang manusia membuat apa saja yang menyerupai segala sesuatu yang di langit, di darat, dan di dalam air menghantui para perupa Yahudi berabad-abad. Juga berlanjut ke abad ke-16, di dunia Kristen. Yang paling diingat adalah tahun 1566, ketika di Kota Antwerp orang-orang Calvinis merusak sebuah katedral dan membakar patung dan lukisan di dalamnya—dan menandai apa yang dalam bahasa Belanda disebut Beeldenstorm di Nederland dan sekitarnya. Itu pula bagian konflik sosial yang mendalam di sana, yang merebakkan Perang Agama bertahun-tahun. Tanpa disadari, para ikonoklas sebenarnya mengukuhkan apa yang naif dalam kepercayaan para penyembah berhala: mereka meyakini bahwa berhala bisa jadi substitusi, atau pesaing, Yang Maha Dimuliakan. Mereka tak memahami kebutuhan manusia akan simbol dan kiasan, dan lupa akan kemampuan manusia membentuk dan menerima imajinasi. Dan seperti kaum Wahabi di Arab Saudi yang mencoba meniadakan petilasan Nabi, mereka menampik kharisma masa lalu. Catatan Pinggir | 15

Dalam hal itu, IS tak jauh berbeda dengan para Pengawal Merah dalam ―Revolusi Kebudayaan‖ Tiongkok. Dengan bernabi pada Ketua Mao, Pengawal Merah bertekad ―Hancurkan Empat Kuno‖. Pada pertengahan 1960-an, Kuil Konghucu di Shandong yang berumur 2.000 tahun lebih mereka ganyang; 6.000 artefaknya mereka binasakan. IS, Pengawal Merah: ada sikap yang mengutamakan ―patah arang‖ dan bukan ―kelanjutan‖ dalam sejarah. Bagi mereka harus ada manusia yang dianggap lain, atau yang mewakili waktu lain—dan ―lain‖ berarti ―najis‖, atau ―cemar‖, atau ―berdosa‖. Mereka tampik Mesopotamia. Mereka hancurkan bekas-bekasnya. Mereka tak ingin mengakui bahwa dalam peradaban yang tak mengenal Islam itulah orang menemukan roda dan aksara—bagian sentral hidup kita hari ini. Dalam ketakutan akan menjadi kurang suci, mereka ingin memutlakkan kesucian. Mereka tak menyadari bahwa agama mereka sendiri juga mengakui pendahulunya: sebagai bagian dari perbenturan, persilangan, dan pertautan di dunia yang kemudian disebut ―peradaban‖. Mungkin mereka lupa mereka dianjurkan mencari ilmu sampai ke Tiongkok—tanah yang tak bertuhan.

Catatan Pinggir | 16

Mereka takut memperoleh ilmu dari masa lalu Hatra yang juga menakjubkan. Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 17

Catatan Pinggir | 18

Sang Militan Senin, 25 Januari 2016

“Kemanusiaanku kukorbankan.” —Saaman, dalam Keluarga Gerilya Pramoedya Ananta Toer

S

eorang militan adalah orang yang melenyapkan dirinya sendiri untuk jadi sesuatu yang efektif, menggetarkan, mengalahkan. Saaman, tokoh dalam novel Keluarga Gerilya Pramoedya Ananta Toer, pada umur 23 tahun sudah memimpin gerilya kota, ketika Jakarta diduduki pasukan Belanda, dan melancarkan serangkaian pembunuhan—termasuk membunuh ayah tirinya sendiri karena bapak itu berada di pihak musuh. Ia tertangkap. Tapi ia tahu ia harus mati, sebagaimana ia harus mematikan. Ia seorang militan. Ada yang mengatakan istilah ―militan‖ berakar pada kata-kata Latin lama, yang akhirnya kurang-lebih berarti ―orang-yang-menempuh-jarak-bermil-mil‖. Mungkin itu menunjukkan sifat teguh, juga dalam menanggung sakit dan penat, dengan sukarela, menuju sesuatu yang maknanya melebihi dirinya sendiri.

Catatan Pinggir | 19

Saaman menanggungkan dosa, atau perasaan bersalah, seraya menunggu regu tembak mencabut nyawanya. Tapi ia tak merasa sia-sia: ―Kupaksa diriku menjalani kekejaman dan pembunuhan,‖ katanya, ―agar orang yang ada di bumi yang kuinjak ini tak perlu lagi berbuat seperti itu.‖ Ada sesuatu yang paradoksal di sini. Sang militan telah meniadakan diri, ―Kemanusiaanku kukorbankan.‖ Tapi pada saat itulah Saaman, juga di penjara itu, jadi subyek, bukan cuma pelengkap penyerta, bukan hanya pelengkap penderita. Ia, sebagai subyek, menghendaki, meniatkan, melakukan. Ketika jadi subyek juga berarti seakan-akan jadi sebuah nol—―nol‖ karena ia tak bisa tertangkap dalam kategori apa pun—ia pada saat itu jadi sesuatu yang berarti—―a Nothingness counted as Something‖, untuk memakai kata-kata Žižek dalam The Ticklish Subject. Sang subyek, sang militan, juga jadi ―Sesuatu‖ yang universal. Ia menanggalkan apa yang partikular dari dirinya—pertalian keluarganya, agamanya, bahkan statusnya sebagai seorang anggota bangsa tertentu. Ia berbuat seraya menjangkau siapa saja, di mana saja; seperti dikatakannya, ―agar orang yang ada di bumi yang kuinjak ini tak perlu lagi berbuat seperti itu.‖

Catatan Pinggir | 20

Ia memberontak kepada suatu keadaan yang menindasnya, tapi dengan itu ia tak hanya membebaskan dirinya. Sebab hubungan antara majikan-dan-pelayan pada dasarnya tak hanya mengikat sang pelayan. Jika sang hamba bebas, sang tuan juga terbebas. Masyarakat ―komunis‖ yang dicita-citakan Marx bukanlah ditandai kemenangan sepihak, kaum proletariat, melainkan hilangnya perbedaan kelas. Kata-kata Albert Camus terkenal dalam L'homme révolté menggemakan thema itu: ―Aku berontak, maka kita ada.‖ Di sini menarik membandingkan seorang militan seperti Saaman dan seorang tentara IS yang menjadikan dirinya bom. Pengebom-bunuh-diri, seperti sang patriot, juga berkorban untuk sesuatu yang lebih besar ketimbang dirinya. Ia juga bisa jadi contoh heroisme. Itu sebabnya IS bisa mempesona generasi yang, terutama di Eropa, hidup dalam ennui: di sangkar besi modernitas yang serba teratur dan mapan. Generasi ini berada dalam suasana ―akhir sejarah‖. Di mana-mana yang mereka temui adalah apa yang diejek Nietzsche sebagai ―manusia penghabisan‖: orang-orang yang tak lagi punya dorongan jiwa untuk mencapai yang luhur dan agung. Tak ada laku yang heroik. Tak ada yang seru. Membosankan.... Catatan Pinggir | 21

Tak ayal, generasi yang bosan ini pun dengan mudah terpikat: IS mempresentasikan dunia seperti Star Wars di muka bumi. Kebosanan yang ekstrem dihabisi dengan aksi yang ekstrem merangsang sensasi—termasuk kebuasan. Dengan kostum yang gagah dan seram, dengan doktrin yang dramatis dan dahsyat, IS berhasil mengerahkan anak-anak muda itu agar bersiap untuk mengorbankan diri. Tapi berbeda dari seorang Saaman. Seorang Saaman, atau seorang teroris pejuang revolusioner seperti Kalyayev dalam sejarah Rusia, tak mengharapkan surga; mereka tak percaya ada kehidupan sesudah mati. Mereka hanya percaya hidup di dunia yang lebih baik bagi banyak orang. Sebaliknya seorang ―pengantin‖ dalam terorisme IS: ia yakin ia akan mendapatkan surga yang lengkap, justru karena yang hendak dicapainya bukan kebaikan yang universal, bukan untuk seluruh umat manusia, melainkan hanya untuk kemenangan umat Islam—bahkan hanya umat yang menganut doktrinnya. Bagi IS, kita tak akan ada. Yang ada hanya ―aku‖, kaumku. Tafkir, mengkafirkan mereka yang ―bukan-kami‖, adalah sebuah narsisisme.

Catatan Pinggir | 22

Narsisisme itu pada akhirnya semacam benteng, dengan tembok yang juga cermin, tempat para narsis berlindung seraya mengagumi pose mereka sendiri dan menunggu pahala surga yang akan mereka nikmati sendiri—seraya menampik orang lain. Betapa beda. Saya ingat ketika Saaman menggambarkan sikap seorang patriot. ―Orang yang berjuang, Dik Imah, adalah menyediakan surga untuk berpuluh juta manusia bangsanya‖—bukan memperoleh surga untuk diri sendiri. Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 23

Catatan Pinggir | 24

TG Senin, 01 Februari 2016

J

ika ada satu ikon yang menengarai zaman ini, itu adalah ponsel. Bahasa Indonesia menerjemahkannya dengan tepat sekali: ―telepon genggam‖. Saya singkat: TG. Ia bisa kita genggam kapan saja di mana saja, ia juga bisa menggenggam kita kapan saja dan di mana saja. Hampir tiap kali seseorang duduk sendirian di sebuah pojok, atau dengan temannya bertemu di sebuah kafe, atau berjejal di bus atau hadir di rapat desa, akan segera HP, eh, TG dikeluarkan dari saku, pesan di layar sempit itu dibaca diam-diam, dan perhatian berpindah sejenak. Tak jarang percakapan terhenti. Kini benda pertama yang ditengok ketika bangun pagi—sebelum lampu dinyalakan—bukan koran, bukan radio, bukan TV. Tapi TG: si BlackBerry, si Samsung, si Nokia, si Motorola… Kita memasuki senjakala media cetak, seseorang berkata seperti penujum. Mungkin yang lebih tepat: kita memasuki dunia yang justru tak mengacuhkan nujuman dan senjakala. Dunia sedang dibentuk kapitalisme digital. Produksi, pemasaran, persaingan, dan meluasnya

Catatan Pinggir | 25

konsumen kini seperti medium digital itu sendiri: meringkus, atau mengabaikan, ruang dan waktu. Dua abad yang lalu, ―Membaca koran pagi adalah doa pagi seorang realis,‖ kata Hegel di Eropa. Dengan doa dan koran arah pandang seseorang dibentuk oleh Tuhan (dalam doa) atau oleh ―dunia sebagaimana adanya‖ (melalui berita-berita). Kedua-duanya, kata Hegel, memberikan rasa aman: orang tahu di mana ia berdiri. Saya tak yakin, tapi bisa mengerti: di zaman Hegel, berlangganan koran adalah salah satu cara merawat stabilitas; koran yang dipilih seseorang adalah surat kabar yang sesuai dengan seleranya selama ini. Ia tahu ―di mana ia berdiri‖. Tak mengherankan bila dalam Imagined Communities Benedict Anderson mengutip Hegel. Tapi ia menambahkan. Seperti doa pagi, membaca koran berlangsung dalam ruang privat yang hening, dalam lapis dalam kepala kita. Tapi pada saat yang sama, masingmasing kita sadar bahwa ratusan ribu orang lain yang tak kita ketahui identitasnya melakukan hal yang sama—tiap hari, sepanjang tahun. Sebuah ―komunitas‖ pun terbangun dalam imajinasi kita. Kita tak hanya sadar di mana kita berdiri. Kita sadar dengan siapa kita berdiri. Kesadaran akan satu bangsa—diperkuat lagi oleh satu bahasa dan satu jenis

Catatan Pinggir | 26

aksara—tumbuh dari ―kapitalisme cetak‖ ini, menurut thesis Anderson. Tapi kini kita tak lagi hidup di zaman Mas Marco bahkan tak di zaman Jakob Oetama. Apa jadinya jika yang tercetak digantikan dengan yang digital? Kita tatap layar kecil TG kita. Informasi berdatangan, rapat, cepat. Pesan lalu-lalang. Di Twitter berita 29 orang terbunuh di Burkina Faso disusul cerita seseorang yang kucingnya hamil. Praktis tiap tiga detik, sepanjang 24 jam. Balas-membalas, dari pelbagai pojok bumi. Sementara halaman surat kabar ditata sang editor dengan hierarki antara yang penting dan yang kurang penting, dalam TG tak ada organisasi itu. Tiap informasi sama posisinya. Dialog (pesan ―interaktif‖) berlangsung tanpa moderator, tanpa otoritas. Siapa saja, dari orang yang paling tahu sampai dengan yang paling tolol, hadir di satu arena yang riuh. Huruf bersilang selisih dengan foto, bunyibunyian, dan film. Indra penglihatan, yang dalam medium cetak praktis mendominasi pencerapan manusia tentang dunia—meskipun berlangsung sebidang demi sebidang— kini lebur bersama indra pendengaran. Kecuali indra penghidu dan peraba, tubuh kita bergelut secara simultan dengan manusia dan peristiwa di mana pun. Sementara Catatan Pinggir | 27

koran harian akan jadi basi dalam 24 jam, informasi digital akan hambar pada detik berikutnya. Jarak jadi tipis. Kini kita tak membayangkan lagi sebuah kantor, di bagian komunitas nasional kita, tempat koran yang kita baca diproduksi. Pesan berlangsung dalam ―deteritorialisasi‖. Mungkin sebab itu komunitas yang dalam dua abad terakhir terbentuk berkat pengaruh ―kapitalisme cetak‖ akan berubah. ―Bangsa‖ mungkin akan tak terkait dengan sebuah wilayah dan kenangan yang sama. Kita sudah banyak dengar tentang globalisasi, perpindahan modal dan tenaga dari satu negeri ke negeri lain. Mungkin kini pudar pengertian ―tanah tumpah-darah‖. Tapi saya ragu bahwa akhirnya akan terjadi apa yang dimimpikan lagu Imagine. Kini memang menonjol, atau timbul lagi, ―perkauman‖ yang tak berpaut pada ―bangsa‖ dan ―teritori‖. Malah ada penolakan kepada konsep ―bangsa‖. Tapi Michael Billig menulis satu buku yang serius tapi kocak, Banal Nationalism: nasionalisme hadir tiap hari, tak selalu mengejutkan: ada waktu nasional, ada iklim nasional, ada makanan nasional. Kosmopolitanisme pun hanya dalam fantasi. ―Saya belum pernah bertemu dengan banyak orang kosmopolitan dalam hidup saya,‖ kata Ben Anderson. ―Mungkin tak lebih dari lima orang.‖

Catatan Pinggir | 28

Selebihnya, bahkan dengan TG, tetap seperti dulu. Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 29

Catatan Pinggir | 30

Nostalgia Senin, 08 Februari 2016

I

ni tahun 2016. Pada umur 75, masa depan saya jauh makin sedikit ketimbang masa lalu saya. Pada umur ini orang lazimnya akan gugup dengan masa kini, karena di abad ke-21 masa kini kian didera masa depan. Teknologi yang mengelilingi kita dipasang bukan untuk sekarang: kereta api cepat, mobil dengan energi matahari, komunikasi hologram.... Hidup seperti bergerak tanpa mampir ke hari ini. Tapi di celah-celah itu ada nostalgia. Kadang-kadang kita duduk. Di depan kita, sebuah meja kayu mahogani. Meja ―Victorian‖, sebuah katalog menyebutnya, tapi tak amat penting informasi ini. Meja antik itu tetap memikat, dari mana pun zamannya, sebab ia langka. Ia bukan seperti meja kebanyakan yang digelar di toko mebel. Sesuatu yang berbeda, yang tak terduga, memang memberi nilai tambah dalam kreasi manusia. Tapi ada hal lain: meja itu menarik karena ia bertaut dengan kesadaran waktu yang kini tak ada lagi. Ia hasil craftsmanship, atau ―kekriyaan‖, proses kerja yang dalam bahasa Jawa ditandai sikap ―titis, telaten,

Catatan Pinggir | 31

taberi‖. Dengan kata lain, ia dibuat dengan gerak tangan yang seakan-akan menyatu dengan alat, bahan, dan rancangan. Semuanya berjalan dengan bebas, dengan intens, tak peduli waktu, hingga karya selesai. Kini kita kehilangan intensitas kerja pra-industrial itu. Rasa kehilangan itu, nostalgia, bukan kehilangan sebuah milik. Svetlana Boym, dalam The Future of Nostalgia, dengan bagus menggambarkannya sebagai kehilangan ―irama yang lebih perlahan dari mimpi-mimpi kita‖. Nostalgia, kata Boym, melawan gagasan modern tentang waktu. Di dunia modern waktu adalah mesin hitung dalam gerak sejarah, dan gerak sejarah adalah kemajuan. Tapi nostalgia bukan sepenuhnya pembangkangan. Nostalgia bisa produktif. Ia membentuk utopianya sendiri, membangun sebuah imaji tentang masa lalu yang utuh, memukau, menimbulkan rindu. Tapi utopia itu sebenarnya tak menangkap masa lalu itu sebagaimana adanya. Masa lalu tak akan pernah kita ketahui kembali dengan persis. Sebab itu dalam nostalgia utopia itu tak mengarah ke sana, tapi ―ke samping‖. Nostalgia, kata Boym, bukan antimodern, melainkan ―off-modern‖. Kata off itu menunjukkan keadaan terlepas, dan dalam hal ini terlepas dari modernitas. Nostalgia

Catatan Pinggir | 32

sebenarnya sebuah interupsi terhadap perjalanan yang lurus maju. Ia membawa kita berbelok dari narasi sejarah yang seakan-akan memastikan bahwa the idea of progress adalah kebenaran manusia. Dalam nostalgia, kita diam-diam meninggalkan kegandrungan kita kepada ―yang baru‖. Tapi tak berarti kita hendak membuat ―yang lama‖ sebagai kuil tempat kita menutup diri. Nostalgia hanya mencegah kita jadi ―malaikat sejarah‖ yang duduk dalam kokpit pesawat pancar gas, yang (berbeda dengan Angelus Novus dalam gambar Paul Klee) hanya menatap ke depan dengan gugup karena ia tak bisa lagi membedakan mana unggunan puing dari kerusakan akibat zaman yang bergerak dan mana awan yang menutupi konstelasi bintang petunjuk arah. Nostalgia tak menyukai malaikat ini. Tapi terkadang tidak. Terkadang nostalgia membuahkan sesuatu yang juga menakutkan, ketika ia hanya berarti algia (kerinduan) dan nostos (kembali ke rumah). Boym dengan tepat melihat, ketika ―kerinduan‖ jadi desakan ―kembali ke rumah‖, dan menimbulkan energi yang berkecamuk di masyarakat, ia bisa jadi bagian ideologi-ideologi yang melahirkan monster. Boym tampaknya ingin mengacu ke nostalgia ala Nazi. Naziisme merayakan Blut und Boden, pertalian Catatan Pinggir | 33

―darah dan tanah‖. Ikatan primordial itu menolak mereka yang bukan ―pribumi‖, dan dengan itu Hitler membasmi orang Yahudi, kaum tsigana yang mengembara, dan semua oknum yang bukan Jerman. Pasca-Nazi, datang yang lain: orang-orang yang ingin kembali ke ajaran yang ―asli-murni‖—sebuah utopia yang kaku. Mereka tak mau tahu yang ―asli-murni‖ niscaya berubah ketika dipandang dari posisi yang berubah. Asal-usul yang mereka kenang hari ini, dalam usia sekarang, sebenarnya adalah bagian fantasi dan utopia. Kemudian fantasi itu mereka anggap bukan fantasi dan utopia itu bukan utopia. Mereka mengubah nostalgia jadi doktrin—sebuah sindrom ―fundamentalisme‖ yang menganggap masa lalu, manusia, dan teks bisa terbentuk di luar sejarah. Untunglah, tak semua nostalgia melahirkan rabun itu. Memandang almari antik, di depan bangunan kota tua, di latar pastoral pedesaan, nostalgia adalah rasa sayu yang berkabung. Mungkin ini perkabungan manusia modern, yang sekaligus terasa sebagai sebuah pengalaman estetik: kita bersua dengan sesuatu yang tak disangka-sangka, mempesona, dan membuat kita terpekur. Kita merasakan hidup sedang memberi hormat kepada waktu. Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 34

Badui Senin, 15 Februari 2016

A

da sebuah cerita tentang seorang Badui yang hidup jauh dari Damaskus, jauh di pedalaman Suriah, yang kecewa ketika ia naik kereta api buat pertama kalinya. ―Aku tak puas,‖ ia mengeluh kepada temannya. ―Karcisnya mahal, padahal perjalanan berakhir terlalu cepat.‖ Ia mungkin terdengar bodoh, seperti umumnya cerita orang kota yang mengolok-olok orang udik, tapi sebenarnya si Badui mengingatkan orang-orang modern satu hal: mencapai sesuatu dengan ―cepat‖, yang bagi kebanyakan kita merupakan formula keberhasilan di zaman ini, bisa tak sepadan dengan nilai pengalaman. Kecepatan memang bisa menghasilkan, tapi pada saat yang sama menepis sesuatu yang lain. Mengutamakan ―cepat‖ hanyalah cara memandang waktu secara tertentu: waktu sebagai terowongan. ―Cepat‖ berarti terowongan itu pendek. Menganggap itu hal terpenting berarti tak menganggap ukuran yang lain perlu—bahkan tak melihat kemungkinan lain di luar terowongan itu.

Catatan Pinggir | 35

Si Badui, misalnya. Ia tak memandang waktu sebagai sesuatu yang tertutup. Mungkin ia membayangkannya sama dengan gurun pasir yang utuh yang nyaris tanpa tepi. Berhari-hari ia biasa mengarunginya. Di atas untanya yang setia, ia menuju suatu titik, tapi ia praktis seperti seseorang yang menjelajah. Ia mengikuti jadwalnya sendiri yang tak dituliskan dengan tegas—dengan kemungkinan yang belum pasti. Contoh lain orang yang berada dalam waktu yang tak sebagai berada dalam terowongan adalah seorang penyair ketika menulis sebuah sajak. Ia bukan seorang wartawan yang menulis dengan deadline. Ia bisa mulai menulis kapan saja, dan di saat itu ia sama sekali tak tahu kapan ia merasa pas dengan kalimat yang akan ditulisnya dan apa pula yang akan diungkapnya sebagai kata akhir. Tak ada kepastian. Tapi prosesnya intens, dan pengalamannya kaya. Ia seakan-akan berada di antara yang kekal dan tak kekal. Seperti Amir Hamzah: Lalu waktu bukan giliranku Mati hari—bukan kawanku... ―Kadang-kadang bepergian sedikit lebih baik ketimbang tiba.‖ Sometimes it's a little better to travel than to arrive.

Catatan Pinggir | 36

Kalimat itu diucapkan sang narator dalam Zen and the Art of Motorcycle Maintenance. Dan dengan itu, sang narator, mungkin sang pengarang sendiri, Robert M. Pirsig, berangkat dari Minnesota ke Carolina Utara di atas sepeda motornya. Ia berdua dengan anaknya, Chris, yang baru berumur 12 tahun. Dari sinilah Pirsig menulis. Tapi seperti dikemukakannya, buku nonfiksi ini (yang kemudian laku terjual sebanyak lima juta eksemplar) bukan tentang Buddhisme Zen dan bukan pula tentang perawatan motor. Pirsig sibuk dengan yang lain. Sepanjang perjalanan 17 hari itu pikirannya penuh dengan dialog, kenangan, cerita tentang Phaedrus, si filosof yang tak diakui yang sebenarnya dirinya sendiri di masa lalu, yang ingin membahas satu nilai kehidupan yang disebut ―Quality‖. Demikianlah ia berjalan. Tak penting agaknya ke mana dan kapan ia akan tiba. Seperti sang Badui, ia memilih berada dalam waktu sebagai ruang terbuka. Seperti halnya ia memilih sepeda motor, bukan mobil. Dalam mobil kita selalu dalam sebuah kompartemen, dan karena kita sudah terbiasa dengan itu kita tak menyadari bahwa melalui jendela mobil semua yang kita lihat hanya ibarat TV. Kita jadi pengamat yang

Catatan Pinggir | 37

pasif dan semua bergerak di depanmu membosankan di dalam satu bingkai.

dengan

Di atas sepeda motor, bingkai itu lenyap. Kita sepenuhnya dalam kontak dengan semua, tak cuma mengamati.... Dalam kontak dengan semua itu, "cepat" tak merupakan soal yang penting. Yang penting liyan, orang lain, dunia tempat kita ada: anak, sahabat, lanskap musim panas, itik-itik liar, burung hitam, pegunungan, badai, mimpi.... Bahkan juga benda yang selama ini hanya alat, seperti sepeda motor Pirsig itu, misalnya, yang ia rawat dengan telaten dan mesra. Ada sesuatu yang seperti si Badui di tengah padang pasir yang membuat kita, juga Pirsig, bisa merasa betah dengan itu semua. Kita tak menaklukkan gunung dengan yang disebut Pirsig sebagai ego-climbing. Orang yang membawa egonya akan sampai di puncak namun tetap tak berbahagia. Ia merasa tak menemukan sesuatu yang ajaib. Ia tak menemukan sesuatu yang ajaib karena keajaiban itu, yang berada di sekitarnya sejak awal, dalam benda-benda sehari-hari, tubuh dan perasaan hatinya sendiri, tak pernah ditengoknya, dan tak pernah mempesonanya. Ia seperti rabun dalam terowongan waktu.

Catatan Pinggir | 38

Kita lebih kagum kepada sang Badui, yang melepaskan diri dari terowongan itu. Di padang pasir yang tak terukur ia memungut segenggam pasir. Segenggam pasir itu—dan berjuta-juta isi dan bentuknya yang beraneka tak tepermanai—baginya sebuah dunia. Antara kekal dan tak kekal. Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 39

Catatan Pinggir | 40

Fayadh Senin, 22 Februari 2016

F

ayadh tak jadi dihukum mati. Kabar di awal Februari ini mengatakan: sebagai gantinya, ia dihukum delapan tahun penjara dan dicambuk 800 kali. Ashraf Fayadh penyair, umurnya 36 tahun, ia kurator seni, ia menerbitkan sebuah kumpulan sajak (saya terjemahkan dari judul Inggris) Instruksi di Dalam, dan ia ditangkap Polisi Syariat pada 2013. Oleh hakim Arab Saudi ia dianggap murtad. Hukumannya dipenggal atau digantung. Untung nasibnya diketahui dunia luar. Dari pelbagai penjuru protes dikemukakan, dan Kerajaan Saudi mundur—setengah tapak. Delapan tahun disekap dan didera cambuk 800 kali bukan hukuman yang enteng. Instruksi di Dalam tetap dianggap kejahatan serius. Saya belum pernah membaca lengkap sajak-sajak seniman asal Palestina ini. Beberapa buah saya temukan di Internet dalam terjemahan Inggris; salah satunya (dalam versi Indonesia saya) merupakan statemen yang lamatlamat, mungkin tentang ketakbebasan, mungkin juga bukan:

Catatan Pinggir | 41

ia tak berhak berjalan, bagaimanapun, bergoyang, bagaimanapun, menangis, bagaimanapun ia tak berhak membuka jendela hati sendiri, buat melepas air mata, sampah, dan udara lagi Sajak itu dilanjutkan dengan semacam pengingat, entah kepada siapa: kau cenderung lupa, kau adalah sepotong roti. Aneh sekali puisi: beberapa puluh patah kata cukup membuat sebuah kekuasaan dengan senjata lengkap dan lembaga perkasa merasa harus membungkamnya. Hari ini Fayadh. Di masa lain, di Uni Soviet di bawah Stalin. Penyair Osip Mandelstam dihujat, ditangkap, disingkirkan, akhirnya dibuang dan mati nyaris tak diketahui di Siberia. Juga karena sejumlah sajak. Ia dianggap tak patuh kepada garis yang ditetapkan Partai untuk kesusastraan, dan akhirnya dianggap menyerang Stalin. Bagaimana para penguasa itu—hakim Saudi dan pembesar Partai Komunis—menganggap interpretasi mereka adalah tafsir yang benar, sementara mungkin makna itu bukan niat penyairnya? ―Dalam karya sastra yang murni,‖ kata penyair Prancis Stéphane Mallarmé di abad ke-19, dalam Crise de

Catatan Pinggir | 42

Vers, ―sang penyair menghilang sebagai pembicara dan menyerahkan tugasnya kepada kata-kata.‖ Kata-kata puisi lahir tanpa blueprint, dan hidup bak anak yatim. Begitu sebuah sajak kau tafsirkan, katakatanya praktis kau adopsi. Ada satu anekdot tentang Picasso. Seorang opsir Jerman masuk ke apartemen pelukis terkenal itu dan melihat foto Guernica, mural besar Picasso yang mengungkapkan keganasan perang dan kepedihan penduduk Kota Guernica di Spanyol. Opsir Jerman itu bertanya: ―Tuan yang membuat itu?‖ Jawab Picasso: ―Bukan, Tuan yang membuatnya.‖ Picasso mungkin hendak menunjukkan kekejaman Nazi di mural itu, tapi mungkin juga ia hendak menunjukkan bahwa begitu sang opsir membuat tafsir atas karya itu ia pun mengadopsi maknanya—apa pun makna itu. Sang perupa tak ikut lagi. Tapi Polisi Syariat Saudi, apparatchik Soviet, tak akan mudah mempercayai keterangan Mallarmé dan tak akan menyadari bahwa mereka bertanggung jawab atas apa yang mereka baca dan tafsir. Orang-orang itu, yang pakaian dan isi kepalanya diseragamkan, terbiasa membuat asumsi bahwa kata-kata berjalan lurus dari otak ke kertas cetak, dan bahwa makna selalu transparan dan gampang disepakati secara serentak, bahwa kata tetap seperti semula padahal telah disentuh pelbagai emosi dan analisis. Catatan Pinggir | 43

Bukankah dokumen dan perintah atasan yang mereka terima selalu seperti itu? Dan di situlah soalnya. Aparat kekuasaan, apalagi yang punya niat mengatur hidup manusia sampai ke lubuk hati dan imajinasi, selalu punya khayal: kekuasaan yang menghadirkan mereka akan selalu sanggup mencakup dunia. Ironisnya, bagi mereka kekuasaan itu justru selalu genting. Tiap kata bisa mereka anggap peluru yang ditembakkan dengan peredam. Mungkin tak sepenuhnya salah. Kita hidup dalam masa Foucault. Kita makin menyadari bahwa kekuasaan, yang bersifat relasional, sebenarnya selalu terkait dengan ―wacana‖ (discourse)—dengan persuasi, komunikasi, melalui penggunaan bahasa, pengukuhan simbol-simbol, perumusan hukum, pengelolaan ritual, juga penggunaan gertak, teror, dan kekerasan. Senantiasa untuk menegakkan legitimasi. Tapi wacana, sebagaimana juga kekuasaan, tak pernah berada di satu tempat. Ada yang menguasai, ada yang dikuasai, tapi selalu interaktif dan tak stabil. ―Wacana menjadi wahana kekuasaan,‖ kata Foucault, ―juga memproduksi dan meneguhkannya, tapi dalam pada itu menggerogoti dan menelanjanginya, hingga membuat kekuasaan keropos dan bisa dirintangi.‖

Catatan Pinggir | 44

Kekuasaan dengan demikian tak pernah stabil, di masa lalu, apalagi di masa ―modernitas yang cair‖ ini. Sajak-sajak Fayadh mungkin terasa menunjukkan ketakstabilan itu. Ia berbicara tentang ―tuhan-tuhan yang telah kehilangan harga dirinya‖. Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 45

Catatan Pinggir | 46

Paranoia Senin, 29 Februari 2016

O

di ergo sum. Aku membenci, maka aku ada.

Di sebuah rumah yang terletak di gang yang mesum di Paris, 24 Maret 1897, seorang lelaki berumur 67 tahun tampak menulis. Kita tak tahu siapa dia. Jika kita ikuti tutur Sang Pencerita dalam novel Umberto Eco Il cimitero di Praga (Pekuburan Praha) ini, memang tak seorang pun di awal kisah ini yang ―sudah dinamai‖. Orang itu sendiri pun tak ingat siapa dirinya. Dua hari sebelumnya, ketika ia bangun tidur, ia tahu ia ―Kapten Simonini‖. Tapi kemudian ia menemukan fakta-fakta lain: ia adalah Pastor Dalla Piccola, ―atau orang yang dianggap bernama itu‖. Ia tahu: ia ―hilang ingatan‖. Kata ini, anehnya, justru membuatnya teringat percakapan di Chez Magny sekian tahun yang lalu. Di rumah makan itu ia berkenalan dengan sejumlah dokter, dan terutama dengan seorang dokter muda dari Austria, Sigmund Froïde. Mereka berbicara tentang kepribadian ganda dan hubungannya dengan jiwa yang mengalami trauma. Trauma ini bisa

Catatan Pinggir | 47

dikurangi dampaknya dengan merekonstruksi pengalaman masa lalu. Tapi Simonini tak ingin mengisahkan kembali masa lalunya di depan orang lain. Ia menulis. Harus segera saya susulkan, ini bukan novel tentang kelainan jiwa. Il cimitero di Praga membawakan sesuatu yang lebih gelap. Kerancuan ―siapa aku‖ dalam hidup tokohnya berkait dengan cerita di baliknya: ia adalah identitas yang berubah-ubah, selama bertahuntahun. Ia seorang penipu—atau lebih tepat: ia seorang juru palsu yang terus-menerus menyamar. Ia memproduksi dan menjual dokumen palsu untuk apa saja, dalam perkara warisan ataupun politik. Ia siap membuat kebohongan asalkan dibayar mahal. Pernah ia jadi agen rahasia ganda yang memperdaya kedua pihak yang bermusuhan. Untuk mempertahankan para penguasa, ia menyusup ke pelbagai gerakan politik. Ia rapi dalam melipatgandakan fitnah. Simonini mengikuti pesan: untuk menuduh seseorang, ia tak perlu cari bukti. ―Lebih mudah dan lebih murah menciptakannya.‖ Il cimitero di Praga (versi Inggris: The Prague Cemetery) memang dimaksudkan jadi sebuah cerita tentang seorang manusia yang culas, sinis, tanpa moral. Saya membacanya dengan sedikit lelah tapi kagum: Eco begitu asyik menggambarkan detail kehidupan Eropa abad ke-19, mirip keriangan hati seorang turis yang baru mengunjungi sebuah negeri eksotis. Ada liku-liku kota dan

Catatan Pinggir | 48

racikan kuliner, ada skandal politik dan roman picisan. Hasilnya: sebuah novel semi-dokumenter. Kecuali Simonini, semua tokohnya, termasuk Freud yang dieja jadi Froïde, muncul dari sejarah. Tapi justru karena itu apa yang gelap dalam novel yang datar ini jadi terasa kian gelap. Motif yang menggerakkannya kebencian. Eco mempertajamnya dengan menjadikan kebencian itu bagian utama watak Simonini. Si Italia blasteran ini membenci siapa saja— orang Italia, Jerman, Prancis, muslim (―Saracen‖), padri Jesuit, pengikut Freemasons, Martin Luther, dan tentu saja orang Yahudi. ―Aku bermimpi tentang orang Yahudi tiap malam selama bertahun-tahun,‖ tulisnya. Dalam dokumen palsu yang kemudian terkenal ia sebut pekuburan tua orang Yahudi di Kota Praha, sebuah tempat angker di ibu kota Cek itu, sebagai tempat utusan 12 suku Bani Israel menyusun ―Protokol Para Sesepuh Zion‖, sebuah agenda ―menaklukkan dunia‖. Novel tentang pelbagai kepalsuan ini memang sedikit melebih-lebihkan. Tapi di balik kata-kata Simonini tergambar purbasangka yang terpendam lama dalam masyarakat Eropa—purbasangka yang jadi sumbu api kekerasan di abad ke-19, Naziisme dan Holocaust di abad ke-20, sikap anti-Islam dan kaum imigran di abad ke-21. Pada 20 Februari yang lalu Eco meninggal. Novel terakhirnya ini mungkin warisannya yang tepat waktu: Catatan Pinggir | 49

sebuah cerita tentang abad ke-19 yang menjelaskan bau busuk hari ini. Seperti dahulu, kebencian, juga kebencian sosial, tetap jadi unsur utama pengukuhan identitas, pembentukan ―aku‖. Jika saya membenci seseorang, kata Simonini, ada sesuatu yang hadir dalam diri saya. Diri saya tak kosong lagi. Odi ergo sum. Kebencian tentu tak sendirian. Ketika orang lain adalah oknum-oknum yang menjijikkan yang mengancam, sebuah benteng ditegakkan, menara pengawas dan bedil disiapkan. Paranoia tumbuh jadi pedoman. Dengan mata setengah terpicing karena membidik, para pembenci melihat: di luar gerbang hanya ada persekongkolan jahat yang mengepung. Dari sini berkecamuklah ―theori konspirasi‖, campuran khayal dengan dusta. Di dunia, juga di Indonesia, kini ia laku keras. Dusta bisa memikat, dan kepalsuan bisa mengubah sejarah, ketika orang haus akan satu kebenaran yang menjelaskan 1.000 peristiwa. Tapi mengapa tak kita biarkan dunia tetap punya teka-teki yang penuh kebetulan? Sebuah enigma yang ganjil, namun mempesona? Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 50

Amangkurat Senin, 07 Maret 2016

A

mangkurat adalah kesendirian: berteman di sebuah pulau.

raja

yang

tak

Ketika mulai Januari 1648 penguasa Mataram itu memindahkan keratonnya dari Karta ke Plered, di lokasi di Bantul itu Sungai Winongo sudah dibendung. Danaudanau buatan sudah mulai dibangun di sekitar istana. Pekerjaan itu seperti tak pernah berhenti. Tiga belas tahun kemudian, pada 1661, sebuah laporan orang Belanda masih menyebutkan bahwa Raja tetap sibuk ―menjadikan tempat kediamannya sebuah pulau‖. Dua tahun berikutnya Amangkurat memerintahkan agar dibuat ―sebuah kolam besar di sekeliling istananya‖. Pada 5 September tahun itu juga Baginda menyiapkan lagi pembuatan sebuah batang air di belakang keraton. Sebulan setelah itu penggalian ―laut‖ Segarayasa dimulai. Mataram dimobilisasi. Tiga ratus ribu orang bekerja, bahkan penduduk daerah Karawang dipanggil— tak peduli sawah mereka terbengkalai, dan kekurangan pangan terjadi.

Catatan Pinggir | 51

Sebab kehendak sang Raja harus jadi. Dan memang jadi. Pada 1668, seperti disebut dalam buku De Graaf, Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I, seorang pejabat VOC berkunjung. Ia berjalan melalui ―jembatan di atas parit yang mengelilingi istana‖. Parit dan benteng: Amangkurat tak pernah percaya kepada siapa pun di luar dirinya. Ia dirikan keraton baru dengan batu bata, bukan lagi kayu seperti istana ayahnya, Sultan Agung. Ia langsung mengawasi sendiri pembangunannya. Beberapa pejabat tinggi yang tak mau ikut bekerja diperintahkannya untuk diikat, dibaringkan di paseban, dijemur. Sedangkan penduduk, seperti ditulis dalam Serat Kandha, harus ―membakar banyak sekali batu bata‖. Benteng itu akhirnya berdiri; 13 November 1659 menyebutkan tembok keraton itu lima depa tingginya dan dua depa lebarnya. Tapi Baginda toh masih ingin menambahkan lagi ―tembok yang serupa sebuah perisai, setinggi dada‖. Syak wasangka tampaknya sejak mula merundung Amangkurat, yang menyebut diri Ingalaga (―di kancah peperangan‖). Di hari ketika ayahnya yang sudah dekat ajal memaklumkan putra sulungnya sebagai Raja Mataram yang baru, semua pintu gerbang, gudang senjata, dan depot mesiu dijaga ketat. Keluarga kerajaan ditahan

Catatan Pinggir | 52

selama beberapa hari di dalam istana, agar tak bisa mengadakan komplotan. Baru setelah raja tua, Sultan Agung, mengembuskan napas yang penghabisan, sang raja muda muncul di balairung. Babad Tanah Jawi mencatat, waktu itu tiba-tiba Pangeran Purbaya, kakak Sultan almarhum, naik ke takhta. Bersikap seolah-olah ia yang jadi susuhunan, ia menantang siapa yang berani melawannya. Yang hadir menundukkan kepala ketakutan. Merasa aman, Purbaya pun turun dari dampar, bersimpuh di lantai, menyembah raja yang baru. Kecemasan membayang di jam-jam itu: betapa gentingnya pergantian kekuasaan. Bukankah sebagian besar peperangan di Tanah Jawa adalah perang suksesi? Dan terbukti. Di tengah kesibukan Mataram membangun keraton Plered, adik Raja, Pangeran Alit, menyiapkan penyerbuan. Ia hendak merebut takhta. Tapi sebelum bergerak, kedua pembantu dekatnya ketahuan, terjebak, dan dibunuh. Kepala mereka dipersembahkan kepada Raja. Sang adik akhirnya menyerang hanya dibantu enam lurah dengan anak buah yang tak seberapa— dan tewas terluka kerisnya sendiri yang beracun. Konon, Amangkurat merasa sedih atas kematian itu. ―Aku akan membela adikku,‖ demikian ia dikutip dalam Babad Tanah Jawi. Baginda pun melukai bahunya Catatan Pinggir | 53

sendiriâ€‖cara yang aneh untuk ―membela‖ seseorang. Tapi dalam diri Amangkurat kita tak tahu benarkah penguasa ini—yang bertakhta sendirian seperti pulau yang dikelilingi laut—bisa punya empati kepada orang lain. Segera setelah menyatakan berkabung, ia berkata, ―Hatiku sudah lega.‖ Dan seraya tampil dengan rambut kepala yang dicukur sebagai tanda belasungkawa, ia perintahkan empat orang kepercayaannya menyiapkan sebuah pembunuhan besar-besaran. Ia menduga para ulama di Mataram terlibat pemberontakan Pangeran Alit. Setelah nama, keluarga, dan alamat semua tokoh agama itu dicatat, dengan isyarat tembakan meriam dari istana, pembantaian pun dimulai. Dalam tempo 30 menit 5.000-6.000 ulama (termasuk para istri dan anak-anak) dihabisi. Kebuasan tak berhenti di situ. Hari itu Raja juga memerintahkan tujuh orang pembesar dibunuh bersama keluarga mereka.... ―...betapa angkuh dan kejamnya orang-orang ini,‖ tulis Van Goens, orang Belanda yang mencatat peristiwa berdarah pembangkangan Pangeran Alit. Mataram memang kian suram. Tangan Amangkurat berlumur darah, sampai akhirnya Baginda meninggal sakit dalam pelarian, setelah pemberontakan Trunajaya meletus dan Mataram jatuh.

Catatan Pinggir | 54

Ketika sakitnya memberat, Amangkurat minta sereguk air kelapa. Putra mahkota pun menyiapkannya. Tapi sejenak Baginda menatapnya, ―Aku tahu maksudmu, kau ingin mempercepat.‖ Kejatuhan dan kekejaman tak pernah punya teman. Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 55

Catatan Pinggir | 56

Sabangau Senin, 14 Maret 2016

S

aya bosan Kahlil Gibran, tapi sejenak kata-katanya melintas di kepala: Pohon-pohon adalah sajak yang ditulis bumi ke atas langit.

Kaki saya mencari injakan akar di hutan gambut itu, sambil berjalan setapak demi setapak di air kemerahan yang menggenang di antara pokok-pokok jelutung dan ramin. Dahan batang-batang muda itu masih lebat merintangi jalan, tapi segera tampak: "sajak yang ditulis bumi" telah hampir terhapus di Sungai Sabangau. Jutaan pohon telah ditebang. Hutan tropis Kalimantan Tengah seluas 568.700 hektare punah. Keserakahan manusia ―merampas kayu meranti tak hentihentinya untuk memperkaya diri‖ telah melukai lingkungan ini sampai ke intinya. Lima belas tahun lamanya, sejak 1980, penjarahan itu berlangsung.

Catatan Pinggir | 57

Manusia adalah ―super-predator‖, kata orang. Tapi saya kira bukan, sebelum datang pasar besar, modal besar, kuasa politik besar, dan kerakusan besar. Dan di Indonesia, 1980-1995, keempat anasir itu bergabung: klimaks zaman yang bernama ―Orde Baru‖. Negeri dibangun dengan ke-tak-sabar-an yang destruktif. Tahun 1995: Presiden Soeharto memutuskan 1,5 juta hektare hutan gambut Kalimantan Tengah dimusnahkan untuk membuat sawah. Rakyat setempat tak bisa menolak. Para pakar tahu proyek itu sebuah kesalahan (padi tak tumbuh di bekas lahan gambut, yang tingkat keasamannya tinggi), tapi mereka tak bisa berbicara. Dalam novel Sarongge Tosca Santoso digambarkan bagaimana niat untuk menyiapkan lahan pangan itu berakhir dengan malapetaka. Dalam sepucuk surat kepada kekasihnya, Husin, Karen yang mengunjungi tempat itu bercerita: cadangan air dikeringkan, diubah jadi saluran irigasi yang berpuluhpuluh meter panjangnya. Parit-parit baru membuat gambut tak mampu lagi menyerap air bila musim hujan tiba. Kemarau jadi bencana: air kurang, hutan di sekitar selalu terbakar. Penduduk hidup terjepit. Tulis Karen: ―...hasil hutan pun tak bisa didapat lagi.‖ Di bawah ―Orde Baru‖, kemerdekaan bersuara tak mati sendirian. Hutan ikut mati. Ketika politik jadi panglima dan ilmu ditaklukkan, tak perlu lagi hasil

Catatan Pinggir | 58

penelitian. Ketika segala sesuatunya dipaksakan, akal sehat tak berfungsi. Novel Sarongge bercerita: ketika Presiden Soeharto datang untuk melihat sendiri ―Proyek Lahan Gambut‖ itu, para bawahan bergerak cekatan. ―Pohonpohon pisang yang sedang berbuah dipindahkan... ke kebun bekas gambut. Padi-padi yang hampir panen dari sawah-sawah Kalimantan Selatan dicabuti, untuk [juga] dipindahkan.... Seolah lahan gambut itu memang sudah siap berproduksi. Memenuhi mimpi sang presiden....‖ Dilihat dari atas, yang di bawah sering menipu. Raja-raja lama dan dunia modern melakukan kesalahan yang sama. ―Manusia modern merasa bisa menguasai alam, dan mengubah semaunya,‖ tulis Karen pula. ―Padahal, banyak hal yang tak kita ketahui....‖ ―Manusia modern‖ jenis itu tak cuma bagian yang tragis sejarah Indonesia. Pada akhir 1980-an, James Scott menulis telaah yang memaparkan melesetnya ideologi ―modernis tinggi‖ ketika penguasa dan birokrasi Negara melihat ke kehidupan sehari-hari di "bawah". Seeing Like a State memaparkan pelbagai contoh state-optics yang tajam fokusnya tapi luput menangkap kenyataan yang rumit. Contoh yang menarik berkembang di Prusia dan Saxony di abad ke-18.

Catatan Pinggir | 59

Di kerajaan Jerman itu, tatapan ―ilmu‖ merumuskan hutan sebagai ―arus komoditas yang bisa dijual‖. Semua diringkus bagi pendapatan Kerajaan. Maka hilanglah pepohonan, semak belukar, dan tanaman yang tak laku. Bahkan juga disisihkan tetumbuhan yang bisa dibuat obat, pohon yang bisa diraut jadi permainan dan dibuat jadi benda keindahan. Akhirnya, ukuran pohon dibakukan, dan ditetapkanlah pohon yang dianggap normal, Normalbäume. Hutan pun jadi ―mesin komoditas tunggal‖ yang gampang serentak terserang hama atau rusak oleh badai. State-optics: Negara memandang hutan, menyederhanakannya—dan tak sanggup menyelamatkannya. Hutan terbakar, berkali-kali, tapi api selalu dilihat dari atas: dari keputusan Presiden, dari meja birokrasi, dari pesawat penyiram air yang tak pernah sanggup memadamkan bara. Agak di luar Kota Palangkaraya saya bertemu dengan Januminro Bunsal. Laki-laki 56 tahun ini dengan tenaga sendiri merestorasi hutan gambut, sepetak demi sepetak. Ia adalah antitesis bagi state-optics: orang Dayak yang tak menatap hutan dari jendela perpustakaan. Ia merawat pepohonan dengan pengetahuan yang rinci, pengalaman yang tak sebentar, dan dengan akrab dan telaten. Maka ia tahu bahwa cara memadamkan kebakaran

Catatan Pinggir | 60

hutan bukanlah menyewa pesawat penyemprot air yang mahal. Januminro membangun puluhan sumur bor dengan pompa penyemprot dan mematikan api yang memusnahkan pohon-pohon dari dekat. Ia tak mengutip Gibran. Tapi ia tahu pohonku bukanlah pohonku, melainkan hidup yang melindungi bumi anak-anakku, anak-anakmu. Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 61

Catatan Pinggir | 62

Einstein Senin, 21 Maret 2016

“Saya lahir 14 Maret 1879 di Ulm....”

E

instein menuliskan biodatanya pada suatu hari di tahun 1932. Akademi Ilmu Pengetahuan Kaiser Leopold, sebuah institusi yang sangat bermartabat— Goethe pernah jadi salah satu anggotanya—memintanya bergabung. Ada sembilan pertanyaan yang harus dijawab. Pada pertanyaan ke-8 ia mengatakan, ia ―pernah diberi beberapa medali‖. Tapi ia tak merinci apa saja penghargaan itu. Ia juga tak menyebutkan bahwa pada 1921 ia pernah menerima Hadiah Nobel untuk Fisika.... Baginya, penghargaan adalah bagian puji-pujian yang sering ia terima dengan enggan—atau dengan ironi. Sebagian besar ia sembunyikan di satu sudut yang ia namai Protzenecke, ―pojok bual‖. Baginya, yang lebih penting adalah kerja keilmuan—yang sering harus menyendiri. Uang tak pernah memancing Einstein. Yang diterima dari Hadiah Nobelnya ia dermakan. Di tahun

Catatan Pinggir | 63

1927, ia bantu 150 keluarga miskin di Berlin. Suatu hari ia mendapat US$ 1.500, sumbangan Rockefeller Foundation. Ceknya ia pakai buat penyekat halaman buku; bukunya hilang. Pernah ia kaget dijanjikan honorarium tinggi untuk menulis di sebuah majalah; ia pun menawar agar dibayar separuh saja dari jumlah itu. Ia juga baru mau bergabung dengan Institute for Advanced Studies di Universitas Princeton jika jumlah gajinya dipotong. Ia menolak menerima pemberian, apalagi ketika dihadiahi sebuah violin Guarnerius seharga US$ 33.000. Ia merasa alat musik itu terlalu berharga buat kepandaiannya bermain violin. Ia tak mau mengambil banyak, ia selalu memberi banyak. Ia membalas surat-surat yang mengalir ke alamatnya dari mana saja: sarjana fisika yang termasyhur, Ratu Belgia, atau anak kecil yang ingin dihibur. Ketika ia terima sekaleng tembakau dari seorang buruh yang kehilangan kerja, ia membalasnya dengan menulis khusus seuntai sajak terima kasih. Seorang kelasi menulis surat bahwa di kapalnya ada kucing yang ikut naik dari pelabuhan Jerman, dan awak kapal memberinya nama ―Albert Einstein‖. Sang pemenang Nobel membalas, mengirim salam kepada kucing itu. Einstein memang bukan orang yang gampang bilang ―tidak‖ kepada mereka yang tak didengar. Ia tahu

Catatan Pinggir | 64

kemasyhurannya bisa berguna untuk orang banyak— terutama untuk menghimpun dana, atau dukungan suara, untuk tujuan seperti gerakan perdamaian. Tentu saja untuk nasib orang-orang Yahudi yang di Eropa berabad-abad terancam. Einstein seorang Zionis yang aktif. Tapi ia tak melihat Zionisme sebagai gerakan nasionalis. Zionisme, tulisnya di awal 1946, memberi sisa kaum Yahudi kekuatan batin untuk menanggungkan hantaman, "dengan tegak dan tanpa kehilangan harga diri yang sehat". Ketika Nazi berkuasa di Jerman—waktu itu Einstein sudah tak di sana lagi—rumahnya disita. Teori Relativitas dianggap ilmu ―Yahudi‖ dan ―Komunis‖ (meskipun di Uni Soviet yang komunis teori itu juga dihantam sebagai anti-―materialisme dialektis‖). Di zaman penuh kebencian itu, ada saat-saat Einstein nyaris putus asa. ―Tampaknya orang selalu butuh setan untuk saling membenci; dulu itu kepercayaan agama, kini negara,‖ tulisnya setelah usai Perang Dunia I. Ia tak yakin nalar manusia bisa menyelamatkan. ―Nalar bukanlah satu cara mempertalikan manusia di bumi....‖ Tapi Einstein tahu, dunia yang dibentuk nalar bukanlah segala-galanya. Ia, yang membaca karya-karya Yunani klasik tanpa terjemahan (tapi tak begitu menyukai Plato, yang baginya aristokratik), yang jatuh cinta dan Catatan Pinggir | 65

menikah dengan gadis Katolik dan punya anak di luar nikah, yang mencintai musik dan bisa menulis tinjauan kritis atas lakon George Bernard Shaw, mengalami bahwa ada sesuatu yang lain dalam diri manusia. Yakni: dorongan etis, yang disebutnya ―moralitas‖. Bukan agama. ―Agama, menurut kodratnya, tidak toleran,‖ katanya. ―Moralitas sepenuhnya persoalan manusia,‖ tulis Einstein kepada seorang rabi di Chicago yang ingin mengaitkan Teori Relativitas dengan Yudaisme di akhir 1939. Tak berarti manusia bisa menjawab segala hal. Ilmuwan hanya mencoba-coba mengutip kebenaran. Alam dan eksperimen, tulis Einstein, bukanlah hakim yang bisa diduga dan juga ―bukan hakim yang sangat bersahabat‖. Lebih sering Alam dan eksperimen mengatakan ―Tidak‖ kepada satu teori, atau paling ramah ―Barangkali‖. Malah sangat mungkin tiap teori kelak akan bertemu dengan ―Tidak‖. Kerendahan-hati itu punya sifat ―religius‖. ―Religius‖ bagi Einstein adalah rasa takjub menyaksikan ―skema yang menyatakan diri di alam semesta materi‖. Tapi ketakjuban itu tak harus membuat kita mewujudkan Tuhan ―yang bisa mengajukan tuntutan kepada kita‖. Dengan kata lain, manusia membentuk sendiri hubungan etis di antara sesama dari kerendahan-hati itu.

Catatan Pinggir | 66

―Alam bukanlah insinyur atau kontraktor,‖ jawab Einstein ketika ditanya apa yang akan terpikir olehnya sebelum meninggal. Ia meninggal 18 April 1955. Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 67

Catatan Pinggir | 68

Herakleitos Senin, 28 Maret 2016

“Semua hubungan yang tetap, yang cepat membeku, beserta deretan prasangka dan opininya yang kuno, disapu hanyut. Semua hal yang baru berbentuk dengan segera jadi usang… Semua hal yang solid meleleh ke udara…”

D

i tahun 1848, dengan kalimat yang dramatis itu, Manifesto Komunis menggambarkan datangnya zaman ketika modal memasuki kehidupan sosial. Marx dan Engels tak meramal ke masa depan; mereka hanya memaparkan betapa menakjubkannya kaum borjuis mengubah dunia. Dan mengguncang-guncangnya. Tapi di abad ke-21, kalimat itu jadi mirip nujum. Setelah satu abad merupakan sistem yang kukuh (yang disebut Werner Sombart sebagai ―kapitalisme‖), menjelang akhir abad ke-20, gerak modal, yang kini ada di mana-mana, kembali ditandai ketidakstabilan: kapital jadi global, bergerak dalam ―deteritorialisasi‖, batas wilayah raib. Ada yang menyebutnya sebagai ―modal yang tak sabar‖. Nilai saham, perpindahan milik, perpindahan tempat dan tenaga kerja, arus jasa dan benda, tak pernah

Catatan Pinggir | 69

bisa ajek. Bung Karno pernah menggambarkan revolusi sebagai dinamika ―menjebol dan membangun‖, tapi sebenarnya kapitalisme yang pada akhirnya demikian. Tema guncangan hari ini tak jauh berbeda dari masa Manifesto Komunis. Kita tengah terseret hidup ke dalam kondisi Herakleitosian. Kata-kata Herakleitos, pemikir Yunani pra-Sokrates yang hidup 500 tahun sebelum Masehi, ini berlaku sekarang: ―Panta rhei… tiap hal berubah dan tak ada yang tetap‖, dan ―kita tak pernah bisa masuk ke dalam arus yang sama‖. Atau: ―Semua entitas bergerak dan tak ada yang berhenti‖. Satu-satunya yang permanen adalah perubahan itu sendiri. Sosok kapitalisme sendiri mengalami mutasi, seperti organisme yang berubah dalam lingkungan yang berbeda. Ketika teknologi digital masuk ke dalam kehidupan, para kapitalis terkadang seperti tak mengenali posisi mereka sendiri lagi. Kini semboyan lama ―pembeli adalah raja‖ bukan lagi menghadirkan konsumen sebagai konsep yang abstrak. Dengan pelbagai instrumen interaktif, konsumen—sang "raja"—adalah orang seorang yang konkret, mirip pelanggan di kedai kecil di masa lalu. Pemilik modal tak bisa sewenang-wenang mengarahkan pasar. Dan pasar dan persaingan pun berubah jadi sangat heterogen, dengan cepat. Kini ada yang melihat munculnya distributed capitalism—yang belum disadari pengusaha taksi Blue Bird, misalnya.

Catatan Pinggir | 70

Perubahan kendali modal tak hanya di sana. Di masa lalu, kerja diorganisasi dalam piramida yang kukuh, dengan struktur terpusat; waktu kerja buruh dihitung dengan standar yang tetap. Kini apa yang disebut ―kerja imaterial‖ mulai memimpin dinamika produksi: menghasilkan ide-ide, survei, program, teks, desain, konsultasi psikologis, layanan medis.... Hasilnya bukan cuma benda dan jasa, tapi juga komunikasi dan kerja sama, bahkan gaya hidup. Waktu kerja tak dapat dibakukan (berapa harga desain sebuah logo jika dihitung dengan jam kerja?), kendali manajemen tak bisa jadi linear. Pengawasan institusional atas arus hasil kerja dan informasi tak bisa lagi utuh terpadu. Satu dasawarsa yang lalu ada yang melihat perubahan ini dengan optimisme. Antonio Negri dan Michael Hardt menulis Empire (2000) dan Multitude (2004) untuk memperlihatkan, dengan bergelora, bahwa pekerja di bawah kapitalisme yang Herakleitosian ini akan jadi kekuatan alternatif. Mereka bukan proletar, karena hubungan dan sifat kerja sudah berubah. Mereka bukan bangsa, karena negara-bangsa jadi tak relevan dalam hubungan modal-dan-pekerja ini. Mereka adalah multitude. Mereka, tanpa rencana tanpa organisasi, muncul sebagai semacam sosok, Gestalt, dari arus deras informasi, jaringan antarmanusia, dengan hierarki yang tak menentu, dengan pelbagai kontradiksi dan dikotomi yang menyebar—sebagaimana kontak yang tak selamanya disadari antara buruh di Cengkareng dan desainer di Catatan Pinggir | 71

Milan. Mereka merupakan sumber demokratisasi yang sekarang sedang menjalar. Menarik bahwa disuarakan dari semangat yang antikapitalisme, Empire dan Multitude menghasilkan optimisme yang sama dengan apa yang disuarakan Thomas Friedman yang datang dari sisi lain: The Lexus and the Olive Tree berbicara bukan tentang pekerja, melainkan konsumen dan perannya dalam demokratisasi. Bisakah kita berharap? Lebih dari satu dasawarsa kemudian, belum ada tanda yang meyakinkan bahwa optimisme itu berdasar. Demokratisasi yang terjadi di Dunia Arab, misalnya, punya sisi buruk dan baik. Dalam zaman Herakleitosian ini, kita toh tak bisa melupakan apa yang dikatakan sang filosof kuno: alam semesta yang paling apik (kallistos kosmos) pun hanya ―sebuah onggokan sampah yang acak‖. Kita hidup dalam keadaan serba mungkin, tidak ditentukan sebuah kodrat. Dengan kata lain, sebuah keadaan yang acak, tak berarah. Mungkin itu nasib yang buruk—atau justru dasar kemerdekaan manusia. Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 72

Rivera Senin, 08 Agustus 2016

G

ambar di kanvas: seorang perempuan berdiri dengan baju kurung warna ros, berselendang, memegang seikat kembang, sopan. Diego Rivera yang melukisnya mungkin tak akan melihatnya sebagai bagian dari pendiriannya: ―Semua seni adalah propaganda....‖ Aneh, memang, Gadis Melayu dengan Bunga dalam pameran Koleksi Istana Kepresidenan di Galeri Nasional bulan ini adalah karya Rivera sang perupa revolusioner Meksiko. Sosok perempuan itu teramat kalem. Tak ada yang gemuruh di sekitarnya. Tak ada keringat, gerak, kepedihan. Semua jinak. Kanvas ini tak ingin meyakinkan, mengubah, menggempur. Malah membosankan—jauh dari gelora dalam lukisan Sudjojono yang mempesona. Tak terasa energi Rivera yang biasa. Kita ingat El Vendedor de Alcatraces (―Penjual Bunga Lili‖), karya tahun 1941, sebuah contoh yang terkenal. Rivera melukis beberapa perempuan penjual bunga sebelumnya, tapi kanvas ini menampilkan ekspresinya yang paling kuat: sapuan kanvas yang penuh

Catatan Pinggir | 73

untuk latar yang gelap, sesosok tubuh perempuan dengan warna kulit moreno dan rambut hitam lurus. Rivera menampilkan seorang pekerja Indian yang memanggul bakul kembang yang lebih besar ketimbang tubuhnya. Kembang itu bisa berarti beban yang dipertalikan ke badannya, beban yang berlebihan, bisa juga berarti sesuatu yang indah tapi harus diperdagangkan. Atau mungkin lukisan ini menyiratkan apa yang menggugah hati dalam kerja bersama: di belakang perempuan yang merunduk berlutut itu ada sepasang kaki dan tangan yang menolong memasangkan beban besar itu di punggungnya. El Vendedor bisa dilihat sebagai sebuah komentar sosial-politik—sebuah ―propaganda‖, tak berbeda dengan beberapa mural yang dibuat Rivera: karya ekspansif yang menyampaikan sikapnya tentang manusia dalam sejarah. ―Semua seni adalah propaganda...,‖ katanya. Dalam arti tertentu Rivera benar, tapi kiranya catatan sastrawan revolusioner Tiongkok Lu Xun bisa menambahkan frasa yang lebih tepat: ―Tapi tak semua propaganda adalah seni.‖ Atau, tambahan dari saya: seni mengandung propaganda, tapi bukan propaganda yang mengulangi represi lama atau menghasilkan represi baru. Di abad ke-20, seni bisa jadi propaganda dan sebaliknya, dengan sah dan berarti, jika yang menggerakkan adalah, untuk memakai istilah Rancière, ―disensus‖—kata lain untuk penolakan terhadap

Catatan Pinggir | 74

konsensus yang menekan. Di abad ke-20 dan sampai hari ini, meskipun tanpa berteriak, seni adalah bagian emansipasi sebagai proses yang hidup. Yang berperan bukan cuma negasi yang disampaikan sang seniman terhadap kebekuan, melainkan juga bagaimana karya itu diterima atau ditolak orang di suatu masa, di suatu tempat. Pada 1934, Rivera menerima pesanan dari keluarga jutawan Amerika Rockefeller untuk membuat mural di Rockefeller Center, di tengah Manhattan, New York. Themanya: manusia di persimpangan jalan. Di dalamnya diinginkan ada gambar seseorang yang menatap ke depan untuk memilih jalan ke masa depan yang lebih baik, meskipun tak pasti. Rivera pun menyampaikan sebuah sketsa rancangan muralnya. Tapi ternyata kemudian yang dibuatnya berbeda. Ia agaknya terusik cemooh kalangan kiri New York karena ia, seorang seniman komunis, bersedia bekerja untuk propaganda seorang kapitalis besar. Maka di mural itu ia tambahkan dua gambar: di sebelah kanan gambar Lenin, pemimpin revolusi Rusia; di sebelah kiri gambar Rockefeller, sedang mereguk martini di dekat seorang pekerja seks. Tak mengherankan, proyek itu gagal. Mural Rivera bersejarah justru karena dihapus dari dinding. Catatan Pinggir | 75

―Disensus‖ seperti ini tak hanya ia terapkan kepada sang kapitalis. Pada 1938 ia ikut menandatangani ―Manifesto bagi Sebuah Seni Revolusioner yang Independen‖. Penyusunnya Trotsky, pemimpin komunis Rusia yang menyingkir dari kekuasaan Stalin di Moskow (dan kemudian dibunuh), dan André Breton, sastrawan pelopor (―Paus‖) Surealisme; ia juga komunis. Manifesto itu mengutip Marx yang mengatakan bahwa seorang penulis tak memandang kerjanya sebagai sarana, melainkan sebuah tujuan sendiri. Dalam hubungan itu, ―Seni resmi Stalinisme‖, kata lain dari ―realisme sosialis‖, dikecam. Politik Partai bukanlah panglima. Manifesto itu justru menyerukan kehidupan seni yang ―tanpa otoritas, tanpa dikte, tanpa sedikit pun perintah dari atas‖. Rivera beberapa kali dipecat dari keanggotaan Partai Komunis. Ia kembali bergabung. Meskipun demikian, seperti pada Picasso—yang juga seorang komunis—seninya tak pernah bersedia mengikuti formula, tak pernah patuh pada apa pun. ―Saya tak pernah percaya kepada Tuhan, tapi saya percaya kepada Picasso,‖ katanya. Kemudian ia juga meninggalkan Picasso: hidup kreatif memang tak bisa ajek. Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 76

Pilatus Senin, 04 April 2016

E

cce homo! Apa yang dimaksudkannya? Apa yang dikehendaki wakil Imperium Romawi itu, dalam bahasa Latin, dari penduduk Yerusalem yang berkelimun tak sabar menunggu di bawah balkon? Ataukah teriak itu ditujukan kepada Kaiafas dan para tokoh agama yang hadir di sana, yang menuntut agar "orang itu" dihukum mati? Ecce homo! Lihat orang itu! Tapi buat apa? Barangkali inilah yang dimaui Pontius Pilatus: agar orang ramai itu bisa tambah yakin menista ―orang itu‖— tahanan yang kepalanya telah mereka pasangi selingkar duri sebagai cemooh. Atau mungkin supaya mereka bisa menatapnya sepuas-puasnya dengan benci—dan mendukung keputusan hukuman mati atas Yeshua itu. Bukankah sudah lama rabi muda itu dituduh menghasut orang banyak, agar menyimpang dari ajaran agama? Ataukah Pilatus bermaksud sebaliknya? Mungkinkah ia berseru ―Ecce homo!‖ justru agar khalayak ramai itu punya rasa belas kepada wajah yang tulus tapi luka-luka itu? Atau supaya mereka menyadari—setelah

Catatan Pinggir | 77

melihat dari dekat sosok tahanan itu—bahwa mereka sedang hendak menghukum mati seseorang yang tak bisa disederhanakan dengan hukum dan kategori? Atau agar para tokoh agama itu berpikir kembali bahwa dengan dalil-dalil mereka yang diresmikan Tuhan sekalipun, mereka tetap khilaf dalam menafsirkan seorang manusia— makhluk 1.001 kemungkinan dan 1.001 kemustahilan? Ecce homo! Pilatus memperlihatkan paras Yeshua. Mungkin ia ingin menunjukkan bahwa paras itu, seperti paras siapa pun, adalah wujud yang singular, dan sebab itu tak ternilai, tak bisa dipertukarkan dengan siapa pun.... Tapi akhirnya tak mudah mengerti apa maksud dua patah kata Latin yang diteriakkan dari balkon hari itu. Akhirnya kita harus menimbang pejabat Romawi itu: jahat, tidak-jahat, jahat.... Ada yang mengatakan, ia seperti hampir semua pembesar Romawi: brutal dan arogan. Para pengikut Yeshua, yang kemudian disebut umat ―Kristen‖, pantas menganggap penguasa itu tak bersih. Ia memang memperlihatkan kepada khalayak ramai bahwa ia mencuci tangannya sebelum orang ramai melecut Yeshua ke bukit untuk disalibkan. Tapi penguasa itu tak bisa melepaskan diri dari tanggung jawab. Tapi ada yang menduga, Pilatus sebenarnya tak berencana menghabisi Yeshua. Ia hanya tak mau dimusuhi

Catatan Pinggir | 78

orang-orang Yahudi Yerusalem. Mereka sudah mendesak agar orang itu disalibkan, dan pejabat Imperium Romawi yang jauh dari pusat itu tak ingin penduduk lokal melawannya. Ia orang yang, dengan pragmatisme politik, ingin kekuasaannya aman di jalan yang tak lurus. Mungkin Pilatus seorang tokoh dalam drama ambiguitas yang tegang. Di abad ke-2 pernah beredar surat-suratnya (ternyata palsu) yang menunjukkan bahwa pejabat Romawi ini sebenarnya beriman Kristen. Dengan kata lain: ia tak bersalah. Di abad ke-3, Origen Adamantius (184-253), pakar theologi dari Alexandria, misalnya, menulis bahwa orang Yahudi-lah yang membunuh Yesus—sebuah pandangan yang ikut mendasari anti-Semitisme Kristen sampai hari ini. Meskipun di abad ke-4 para theolog kembali meletakkan kesalahan pada Pilatus.... Sejarah, kita tahu, tak pernah ditulis lurus. Maka Ecce homo! Di sekitar Paskah wajar jika orang (terutama yang bukan Kristen) lebih ingin melihat si penghukum, bukan si terhukum. Mikhail Bulgakov mendatangkan Pilatus ke Moskow abad ke-20 dalam novel The Master and Margarita, ke kancah dunia yang tak tenteram di antara fantasi yang ganjil. Pilatus hadir dan membenci kota ―Yershalaim‖ tempat ia bertugas, kota dengan bau mawar yang tak Catatan Pinggir | 79

disukainya dan suara fanatik di mana-mana. Suatu hari ia harus menginterogasi laki-laki pengembara itu, Yeshua Ha-Nozri. Orang ini dituduh akan menghancurkan Baitulah. Tapi Yeshua menyangkal. Tak berarti ia menyukai kenisah itu. Ia percaya bangunan iman lama akan digantikan dengan yang baru. Ia percaya ―semua kekuasaan adalah bentuk kekerasan terhadap orang banyak‖. Tapi ia yakin ada kerajaan kebenaran dan keadilan, kerajaan yang damai—dan kerajaan itu akan datang. ―Tak akan pernah!‖ teriak Pilatus membantah. Baginya kekuasaan yang ada, di bawah Maharaja Tiberius, adalah kekuasaan yang sudah sempurna. Baginya Yeshua tolol, percaya bahwa semua orang baik, bahkan Yudas yang mengkhianatinya. Tapi Pilatus kemudian berteman dengan filosof dari udik yang mengembara itu. Ia, yang membenci semua hal, hanya bisa mengharapkan untuk tak dibenci dari seorang Yeshua. ―Dan mereka berbicara tentang soal yang penting dan membingungkan, dan tak satu pihak pun dapat meyakinkan yang lain... maka percakapan mereka semestinya menarik dan tak pernah berakhir.‖ Tapi kemudian Yeshua dihukum mati.

Catatan Pinggir | 80

Lihat orang itu. Lihat kekosongan itu. Tak ada lagi percakapan yang berlanjut dan tak harus mufakat. Kota berbau mawar klise dan penuh suara fanatik. Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 81

Catatan Pinggir | 82

Subaltern Senin, 18 April 2016

O

rang-orang miskin terkadang mirip dewa-dewa yang malang: suara mereka perlu disimak, tapi sering kali dunia mendengarnya melalui perantara. Umumnya para perantara merasa punya kewajiban mewakili mereka—dan tak jarang, merasa punya hak untuk itu. Pejabat publik. Anggota parlemen. Partai politik. Calon gubernur yang serius dan pura-pura serius. Pengisi yang rajin Twitter dan Facebook. LSM. Aktivis dengan rasa keadilan yang kuat atau hanya kadang-kadang kuat. Atau para kiyai, padri dan pendeta. Atau media— juga stasiun televisi yang dimiliki bisnis besar dengan komentatornya yang mengumumkan, ―saya dulu pernah melarat.‖ Tapi tiap kali, kita sebenarnya berjumpa dengan pertanyaan ini: benarkah mereka berhak? Apa artinya ―mewakili‖? Seberapa jauh dan dekatkah mereka dengan kaum miskin, yang selama ini tak berdaya, mereka yang berada di luar hitungan—kaum yang disebut (mengikuti Gramsci) ―subaltern‖?

Catatan Pinggir | 83

Pada 1994 Gayatrti Spivak menulis satu risalah yang judulnya menggugah dan persoalannya penting untuk dikaji, juga di hari ini: Can the Subaltern speak? Tulisan itu sulit dibaca. Yang bisa saya tangkap adalah teguran Spivak: kita perlu melihat lebih jauh yang terkandung dalam kata ―representasi‖—kata yang lebih tajam ketimbang ―perwakilan.‖ Dalam kata ―perwakilan‖, seperti dalam kata ―representasi‖, memang tersirat ada sesuatu yang tak hadir namun beroleh penggantinya yang seakan-akan menghadirkan dia. Tapi kata ―representasi‖ tak hanya itu. Spivak mengemukakan ada dua kata Jerman yang tercakup dalam kata ―representasi‖: Vertretung dan Darstellung. Yang pertama berarti ―bicara atas nama‖ si X, sebagaimana partai politik, atau Negara, atau cendekiawan atau LSM berbicara atas nama si miskin. Yang kedua berarti penggambaran seperti dalam pentas, seperti dalam novel atau reportase yang hidup—sebuah cerminan kenyataan, dan juga sebuah kreasi. Darstellung bisa mempengaruhi yang Vertretung. Penderitaan, suka-duka, suara dan kebisuan si miskin yang dipaparkan di sebuah kisah yang lengkap dengan dramaturginya dapat mendorong munculnya perwakilan politik bagi kaum papa itu. Tapi bagaimanapun narasi dan dramaturgi itu memerlukan bentuk, dengan format yang pas, dengan tokoh-tokoh yang mengemuka. Pada

Catatan Pinggir | 84

akhirnya, kita akan mendapatkan penggambaran ―makrologis‖, yang mengabaikan carut-marut, liku-liku, nuansa, dan apa saja yang samar dan rinci. Pada saat yang sama, dari pementasan itu biasanya muncul para ―pahlawan‖, para jurubicara atau pembela, yang lazimnya lebih besar, lebih seru, ketimbang para subaltern sendiri. Dan tak kurang dari itu, kaum miskin pun cenderung ditampilkan seperti satu identitas dengan hakikat yang sama dan tak berubah-ubah—sebuah pendekatan ―esensialis‖. Kaum miskin hanya muncul sebagai bagian sebuah taksonomi. Saya kira Spivak tak berniat mengatakan bahwa kaum subaltern tak boleh diwakili. Pada umumnya kaum papa ini tak punya akses ke percakapan yang lebih luas dan diabaikan percaturan kekuasaan para elite. Maka kaum subaltern perlu disiapkan, dididik, buat mengartikulasikan hasrat dan kepentingan mereka sendiri. Namun persoalannya kembali: siapa yang akan mendidik? Pemikir politik Rancière pernah menulis sebuah buku dengan judul, Le Maître ignorant, ―kepala sekolah yang tak tahu apa-apa‖. Rancière menampilkan pengalaman Joseph Jacotot, seorang guru di abad ke-19 yang menunjukkan bahwa mengajar adalah konsep yang salah: tak ada guru yang lebih pandai ketimbang murid. Tak mengherankan bila baginya, gagasan ―mendidik‖

Catatan Pinggir | 85

kaum papa, bahkan ―mewakili‖ mereka, adalah agenda yang hanya melanjutkan ketimpangan kekuasaan. Pada 16 Oktober 2012, di Universitas San Martin di ibukota Argentina, Rancière mengemukakan teorinya tentang demokrasi—dan keyakinannya bahwa asas perwakilan yang kini dipraktekkan di negeri-negeri demokrasi ―sepenuhnya berintegrasi dengan mekanisme oligarki‖. Yang diperlukan sekarang, katanya, adalah ―sebuah gerakan aksi yang kuat yang merupakan wujud kekuasaan, yang merupakan kekuasaan setiap orang dan siapa saja.‖ Ada semangat anarki yang sehat dalam pemikiran ini—tapi juga ada pertanyaan yang membuat lobang di dalamnya: bagaimana ―aksi yang kuat‖ itu dapat jadi mekanisme kekuasaan, jika tanpa organisasi, tanpa struktur, tanpa pemimpin yang mewakilinya Pada akhirnya, kita kembali ke problem klasik yang tak mudah diselesaikan. Konon Gramsci, tokoh komunis Italia yang dipenjara kaum Fasis itu, berbicara tentang subaltern lantaran ia lihat ketimpangan garis yang dipilih Lenin, ketika membentuk organisasi Partai yang bicara atas nama proletariat. Proletariat tak serta merta mewakili yang miskin. Dan Partai Komunis tak serta merta mewakili proletariat.

Catatan Pinggir | 86

Tak benar bahwa Gramsci mengemukakan itu. Tapi bagaimanapun, dimulai dengan perlawanan buruh Polandia terhadap Partai Komunis, pandangan itu terbukti. Akhirnya hanya sesekali kaum miskin lepas dari posisi seperti dewa-dewa yang malang, yang suaranya hanya terdengar dalam gema. Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 87

Catatan Pinggir | 88

Maaf Senin, 25 April 2016

―M

aaf‖ tak pernah bisa dipisahkan dari ingatan, tapi mungkinkah ingatan bisa kekal? Mungkinkah kita berbicara tentang ―maaf‖ di luar sejarah? Dalam Žert (Lelucon, The Joke), novel Milan Kundera, Ludvik ingin membalas sakit hati atas perlakuan temannya di masa lalu, yang menyebabkan ia, hanya karena sebuah lelucon, disingkirkan Partai Komunis yang berkuasa. Pembalasan itu berhasil, tapi yang terjadi tak membuatnya bahagia. Ternyata ada ―lelucon‖ lain: manusia terkecoh ketika menyangka bahwa ingatan bisa kekal, dan terkecoh mengira kesalahan masa silam bisa dibereskan. Pada akhirnya, tulis Kundera, dendam dan maaf ―akan diambil alih oleh lupa‖. Tentu tak selalu demikian. Lupa nyaris tak punya efek dalam Bharatayudha. Dalam kisah perang besar itu, dengan dendam yang utuh, Bhima memenggal leher Dursasana dan meminum darahnya, dan Drupadi mencuci rambutnya dengan darah itu pula. Waktu tak menggerus sakit hati mereka kepada pangeran Kurawa itu, yang di malam pertandingan dadu bertahun-tahun sebelumnya mencoba menelanjangi Drupadi di depan majelis.

Catatan Pinggir | 89

Di luar cerita, di dalam sejarah, dendam juga masih utuh dalam, misalnya, riwayat Ken Arok di abad ke-13 dan persengketaan orang Dayak dengan Madura di Sampit, Kalimantan Tengah, di abad ke-21. Maaf ikut mati dalam bunuh-membunuh itu. Seakan-akan berlaku prinsip pembalasan yang setimpal dari dalam Kitab Suci Taurat: lex talionis yang menentukan ―satu mata dibalas satu mata‖—hukum yang juga didapatkan dalam UndangUndang Hammurabi di Mesopotamia 1.754 tahun sebelum Masehi. Tak berarti kalimat itu selalu ditafsirkan secara harfiah, tapi ajaran-ajaran ethis yang kemudian datang menyadari bahwa dendam yang destruktif bisa jadi sah di dalam lex talionis itu. Yesus membalikkannya secara radikal. Ia mengajarkan agar kita sama sekali tak membalas, bahkan membiarkan pipi kita yang satu dipukul lagi setelah pukulan di pipi lain. Quran menegaskan bahwa Taurat memang mengajarkan Qasas, tapi bila kita bermurah hati untuk tak memberlakukannya, perilaku buruk kita akan dihapuskan. Hukum pembalasan pun diubah jadi pemaafan; siklus kekerasan dicoba dihentikan. Agaknya disadari, lex talionis hanya akan menghancurkan masyarakat manusia. Satu dialog dalam lakon musikal Fiddler on the Roof: Orang dusun: Satu mata dibalas satu mata, dan sepotong gigi dibalas sepotong gigi.

Catatan Pinggir | 90

Tevye: Bagus, bagus! Dengan demikian seluruh dunia akan buta dan ompong. ****

―Maaf‖ punya beragam cerita dan beberapa lapisan. ―Maaf‖ yang dipertukarkan dalam ucapan Lebaran (sering dengan pantun yang boyak) tak akan terasa sedalam ―Maaf‖ yang diberikan Wolter Monginsidi kepada regu tembak Belanda beberapa menit sebelum ia dieksekusi. Maka apa arti permintaan maaf pemerintah sekarang-andai kata pemerintah setuju untuk mengutarakannya-atas kekejaman pasca-1965? Mula-mula, ada yang harus diurai. Belum jelas mengapa pemerintah yang sekarang wajib minta maaf, atau mengapa Kepala Negara hari ini, Joko Widodo-laki-laki yang baru berumur lima tahun ketika kekejaman di pertengahan 1960-an itu terjadi-harus minta maaf untuk itu. Benarkah ―Negara‖ yang sekarang identik dengan ―Negara‖ yang berkuasa pada 1966, dan sebab itu menanggung dosa yang sama? Bisakah pendekatan legal semata-mata berlaku, yang melihat subyek, dalam hal ini ―Negara‖, sebagai identitas yang tak berubah?

Catatan Pinggir | 91

―Negara‖, dalam pengertian Hegel, memang sebuah struktur di mana yang universal menemukan wujudnya. Tapi bagi saya Marx lebih benar: ―Negara‖ tak pernah bisa jadi wadah bagi siapa saja, kapan saja. ―Negara‖ selalu bersifat ―partikular‖, hanya merupakan alat kekuasaan kelas tertentu di ruang dan waktu tertentu. Bukan sesuatu yang kekal. Bagi para pemikir setelah Marx, bahkan ―Negara‖ bukan sesuatu yang siap. Ia sebuah proyek untuk menertibkan situasi yang berlipat-lipat ragamnya, situasi yang, kata Badiou, mirip ―anarki sejati‖. Dalam ―Negara‖ sebagai proyek penertiban, unsur dan bagian-bagian diklasifikasikan, dan diberi sebutan, posisi, dan peran. Mungkin ia tampak utuh, tapi dalam tersusunnya sistem itu selalu ada ―bagian yang tak punya bagian‖. Dengan itulah sebuah komunitas politik, sebuah ―Negara‖, menjadi-sesuatu yang tak stabil dan mengandung sengketa. Kepala Negara meminta maaf? Untuk apa? Untuk kejahatan yang bukan kejahatannya, atas nama Negara yang sebenarnya tak bisa diwakilinya? ****

Sejak 1945, dunia menyaksikan pelbagai adegan penyesalan, pengakuan, atau apologi. Dari orang per orang sampai dengan kepala negara menyatakan minta ―maaf‖

Catatan Pinggir | 92

yang disiarkan secara luas. Tapi tidakkah sebuah permintaan maaf kenegaraan, semacam upacara resmi, hanya bagian dari perhitungan politik, strategi yang tersembunyi dalam (untuk memakai ejekan Derrida) ―komedi‖ permaafan? Semua bukannya tak bermanfaat. Tapi Derrida, dalam Pardon, mengingatkan apa yang terjadi bila ―maaf‖ diberlakukan sebagai proyek politik, ketika ―maaf‖ disertai syarat. ―Maaf‖ dengan syarat adalah seperti yang diberlakukan Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran di Afrika Selatan. Para pelaku kejahatan apartheid diberi amnesti bila mengungkapkan sepenuhnya perbuatan yang mereka lakukan di masa lalu. Bagi Derrida, "maaf" macam ini akhirnya berfungsi bukan sebagai maaf itu sendiri, melainkan sebagai jalan membangun dan merawat sebuah bangsa. Dengan kata lain, ―maaf‖ telah jadi sebuah ―ekonomi pertukaran‖. Memaafkan secara bersyarat juga menghadirkan sebuah hierarki. Yang memberi maaf dan menetapkan syarat meletakkan diri di atas pihak yang diberi syarat dan akan diberi maaf. Maaf bisa dibatalkan jika syarat tak dipenuhi. Faktor kekuasaan menonjol. ―Apa yang membuat ‗aku-maafkan‘ kadang-kadang memuakkan dan menjengkelkan, bahkan terasa tak senonoh, adalah

Catatan Pinggir | 93

dikukuhkannya sebuah daulat dalam kata-kata itu,‖ kata Derrida. Memaafkan dengan sikap demikian pada akhirnya membalik kebrutalan semula: sang korban dielu-elukan sedemikian rupa hingga si pelaku kejahatan direndahkandan akhirnya membuat sang korban tak hadir sebagai korban, si penjahat tak terasa sebagai penjahat, dan maaf hilang maknanya. Tapi mungkinkah ada maaf yang tanpa syarat? Mungkin-betapapun langkanya. Monginsidi, pejuang gerilya Sulawesi Selatan itu, memaafkan regu tembak yang sebentar lagi mencabut nyawanya. Sang korban tetap sebagai korban dan pembunuhan tetap sebagai pembunuhan, namun sesuatu yang baru, yang luar biasa, tumbuh dari Monginsidi-dari yang diberikan Monginsidi. Hanya dengan mengacu kepada yang tumbuh itu, hanya memandang dan membandingkan diri ke ―maaf yang murni‖ itu, pelbagai ―maaf‖ lain mendapatkan arti. ****

Tapi terlampau mudah berbicara tentang ―maaf‖ ketika kita mengenang apa yang dilakukan terhadap Sri Ambar, sebagaimana dikisahkan dalam Bertahan Hidup di Gulag Indonesia yang ditulis Carmel Budiardjo tentang

Catatan Pinggir | 94

perempuan-perempuan yang ditahan rezim Soeharto sejak 1966. Sri Ambar seorang anggota SOBSI, serikat buruh pendukung PKI yang penting. Ia ditangkap di awal Oktober 1965, hari bermulanya kekerasan dan kebuasan terbesar dalam sejarah Indonesia modern. Ia dibawa ke sebuah tempat interogasi di Jalan Gunung Sahari, Jakarta. Di hadapannya dihadirkan seorang teman yang mengkhianatinya dan membuka penyamarannya. Tapi Sri Ambar tak sepatah kata pun mau mengaku. Penyiksaan pun mulai: bersama si pengkhianat ia ditelanjangi dan dihajar. Malamnya mereka berdua diikat dan digantung pada pohon. Ketika tetap saja Sri Ambar tak mau mengaku, Acep, perwira tahanan, ambil tindakan yang lebih drastis: pantat kiri Sri Ambar ditikam. Darah muncrat ke mana-mana. Sri Ambar mencoba menutupkan kembali luka dengan tangannya. Acep pun memerintahkan agar pisau dihunjamkan lagi ke pantat kanan Sri Ambar. Perempuan setengah baya itu pingsan. Ia siuman dua hari kemudian di rumah sakit militer. Luka-lukanya dijahit. Tapi tak lama kemudian datang seorang dokter lain yang mengatakan jahitan lukanya harus dibuka. Dalam kesakitan yang amat sangat, Sri Ambar mendengar dokter itu diperintah Markas Besar Angkatan Darat.

Catatan Pinggir | 95

Dan sebelum sembuh benar, ia dibawa kembali ke tempat interogasi. Di ruangan itu, ia melihat dua anak perempuannya: mereka sedang dipukuli. Mereka ikut ditahan dan dipaksa menceritakan siapa saja yang bertamu ke rumah mereka. Kedua anak itu menolak berbicara. ―Ibu jangan bilang apa-apa!‖ teriak kedua anak itu, ―Biar kami tanggungkan ini!‖ Dan Sri Ambar pun diam, menyaksikan kedua anaknya disiksa. Ia juga diam ketika kemudian ibunya yang tua didatangkan ke ruang interogasi itu-ibu yang mengatakan bahwa Sri Ambar memang anaknya dan bahwa ia akan melindunginya dengan risiko apa pun. Orang tua itu segera jadi tahanan politik. Bisakah ―maaf‖ akan berlaku di sini? Bisakah Sri Ambar memaafkan? Berhakkah ia? Hannah Arendt pernah mengatakan bahwa ―maaf‖ seperti hukuman. Keduanya dimaksudkan untuk mengakhiri sebuah kejahatan. Tapi ia juga mengakui ada yang tak terjangkau oleh keduanya: ―kekejian yang radikal‖—kekejian yang sedemikian rupa hingga tak ada lagi hukuman yang pantas. Itu berarti juga kekejian yang tak ada maaf yang bisa ditawarkan. Maaf adalah bagian proses bersama di mana hidup manusia mungkin. ****

Catatan Pinggir | 96

Pada pertengahan Maret 2000, Abdurrahman Wahid, Presiden Republik Indonesia, sekaligus seorang tokoh NU dari generasi yang mengalami sendiri apa yang terjadi di hari-hari mengerikan dan penuh kekejaman pasca-1965, mengucapkan minta maaf kepada para korban. Ia juga tak ingin menutupi bahwa banyak anggota NU ikut dalam pembantaian orang-orang PKI atau yang dianggap PKI. Dari seorang Gus Dur hal itu tak mengejutkan: sudah lama ia berhubungan dengan para eksil, aktivis Kiri di Eropa; sudah lama ia dikenal sebagai seseorang yang membuka pikiran orang banyak dengan berani. Yang mengejutkan adalah reaksi Ananta Toer, yang disekap bertahun-tahun di dan ketika bebas jadi sebuah ikon tersendiri. permintaan maaf Gus Dur. ―Saya sudah kepercayaan. Saya tidak percaya Gus Dur.‖

Pramoedya Pulau Buru Ia menolak kehilangan

Saya masygul mendengar reaksi ini. Bagi saya, sikap Pram tidak tepat. Dan saya tak sendiri. Sekitar dua hari sesudahnya saya bertemu dengan beberapa bekas tahanan politik di rumah Oey Hay Djoen, tokoh Lekra, penerjemah Das Kapital. Saya sering ke rumah yang sejuk di Cibubur itu. Hari itu kami-Amarzan Ismail Hamid, Hardojo, Joesoef Isak, Hay Djoen sendiri-membicarakan apa yang dikatakan Pram.

Catatan Pinggir | 97

Di satu bagian percakapan terdengar Hay Djoen berkata, seperti kepada dirinya sendiri: ―Apa hak moral kita untuk menolak memberikan maaf....‖ Tiba-tiba dari kalimat yang lirih itu _maaf" punya arti yang sangat dalam. Hay Djoen, sastrawan, aktivis PKI yang bertahun-tahun disekap dan disiksa, adalah suara yang bahkan tak dibayangkan Derrida: pemberi maaf yang tak berbicara tentang syarat dan tak meletakkan diri sebagai "sang korban" yang secara moral lebih tinggi dan lebih berdaulat. Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 98

tuhan Senin, 02 Mei 2016

Tuhan semakin banyak....

S

ajak-sajak Mustofa Bisri tak pernah dibangun dari statemen yang marah. Puisi itu bahkan bisa kocak. Lebih sering bait-baitnya gundah-kegundahan yang menarik: seorang alim melihat keadaan rumpang di sekitarnya tanpa ia merasa jadi lebih suci dari sekitarnya itu. Tiap kali sajak penyair dan kiai dari Rembang ini mengandung kritik sosial, tiap kali ia serasa ditikamkan ke satu bagian hidupnya sendiri. ―Tuhan semakin banyak‖ mengemukakan satu paradoks zaman ini: makin sering Tuhan dipajang di pelbagai laku dan kata-kata, makin jauh Ia dari bumi. ―Aku‖ manusia telah menggantikan-Nya: Di mana-mana tuhan, ya Tuhan Di sini pun semua serba tuhan Di sini pun tuhan merajalela Memenuhi desa dan kota Mesjid dan gereja

Catatan Pinggir | 99

Kuil dan pura Menggagahi mimbar dan seminar Kantor dan sanggar Dewan dan pasar Mendominasi lalu lintas Orpol dan ormas Swasta dan dinas Tuhan pun jadi ―tuhan‖ (dengan ―t‖): bukan saja hanya jadi salah satu dari wujud di dataran benda-benda, tapi juga hanya sebuah bunyi yang diulang-ulang. Tuhan jadi banal. Iman jadi otomatik. Bersamaan dengan itu, ―Aku‖ manusia menggantikannya dalam posisi di depan. Khutbahku khutbah tuhan! Fatwaku fatwa tuhan! Lembagaku lembaga tuhan Jama'ahku jamaah tuhan! Keluargaku keluarga tuhan! Puisiku puisi tuhan! Kritikanku kritikan tuhan! Darahku darah tuhan! Akuku aku tuhan

Catatan Pinggir | 100

Tentu saja ada perbedaan yang radikal antara ―Akuku aku tuhan‖ di akhir sajak itu dengan ekspresi mistik manunggaling kawula gusti. Pengalaman seorang sufi adalah pertalian cinta; sajak Mustofa Bisri menunjukkan sebaliknya: Tuhan dipasang sebagai alat, mirip stempel. Dan puisi ini mencatatnya dengan masygul. Tuhan yang ―semakin banyak‖ yang disebut Mustofa Bisri agaknya seperti dewa-dewa Yunani dalam Iliad: mereka ikut mengintervensi dan bertikai dalam hampir tiap babakan Perang Troya. Atau mungkin yang terjadi sebaliknya: dalam perang yang bengis itu, para pelakunya ingin memindahkan tanggung jawab dan kesalahan kepada kekuatan di luar diri mereka-kekuatan yang digambarkan sebagai mutlak dan bebas dan bisa berbuat tak semena-mena. Dan itulah dewa-dewa mitologi Yunani. Roberto Calasso, yang beberapa novelnya adalah tafsir baru atas mitologi, menulis dalam La letteratura e gli dèi (―Sastra dan Para Dewa‖) bahwa sastra dapat merupakan siasat halus untuk membawa dewa-dewa lepas dari tempat mereka yang aman, bersih, dan kekal-dari ―klinik universal‖ (clinica universale) mereka. Sastra ―mengembalikan mereka ke dunia, untuk diserakkan ke permukaan bumi, tempat mereka biasanya berdiam‖. Dengan kata lain, sastra, karena tak meletakkan diri sebagai Kitab Suci, bisa membuat yang sakral jadi Catatan Pinggir | 101

bagian hidup sehari-hari, bersentuhan dengan segala macam hal, termasuk yang terbuang, najis, dan kurang patut. Tapi biarpun terserak di seantero muka bumi, yang suci tetap tak jadi profan dan banal, selama ia tak dijadikan alat manusia seperti ―tuhan‖ dalam sajak Mustofa Bisri. Ada sebuah petuah agar kita membuat iman ibarat garam: sesuatu yang tak tampak namun meresap memberi corak, membubuhkan rasa tanpa berlebihan, dan sebab itu tak membuat berat atau heboh dalam perjalanan. Novel Ahmad Fuadi, Negeri Lima Menara, adalah contoh yang baik bagaimana iman selamanya hadir tak kurang dan tak berlebihan-dan sebab itu tak berbenturan dengan kehidupan, bahkan ketika kehidupan berpindah dan berubah. Novel ini sebuah rekaman rite of passage Alif Fikri, seorang anak muda Sumatera Barat. Ia selalu murid yang pintar sejak di madrasah tsanawiyah di Kabupaten Agam sampai dengan ketika ia belajar di Pondok Gontor, Jawa Timur. Ia sebenarnya ingin masuk SMA, tapi pesan amaknya yang ia cintai menahannya untuk tetap berada di jalur pendidikan agama. Sesekali ada kebimbangan, tapi Alif Fikri menyukai kehidupan di pesantren itu-yang sebenarnya tak terpisah dari Indonesia yang ―modern‖. Di sana ia juga bertemu dengan fragmen-fragmen dunia lain. Ia tak gentar mengalami beda dalam dirinya. Pesan Kiai

Catatan Pinggir | 102

Rais selalu dikenangnya: ―Jangan berharap dunia yang berubah, tapi diri kitalah yang harus berubah.‖ Maka dalam novel ini tak terasa ada guncangan dan krisis, ketika kesalihan kota kecil Indonesia bertaut dengan modernitas ―Barat‖. Awal cerita di dekat Gedung Capitol yang diselimuti salju di Washington, DC; akhir cerita: di bawah monumen Nelson di Trafalgar Square, London. Negeri Lima Menara dibuka dengan kata-kata Imam Syafi'i di abad ke-8 yang diajarkan kepada para murid Pondok Gontor: ―Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan. Jika mengalir menjadi jernih....‖ Yang dirayakan gerak dan perjalanan. Tuhan sudah dengan sendirinya menyertai, tanpa, dalam kata-kata Mustofa Bisri, ―mendominasi lalu lintas‖. Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 103

Catatan Pinggir | 104

Mandalika Senin, 09 Mei 2016

H

idup sama sekali tak mudah bagi Maryam—dan agama tak menolongnya. Bahkan sebaliknya. Dalam hidup tokoh novel Okky Madasari ini, agama menghimpun tiga anasir represif terhadap hidupnya: orang tua yang menekan anak-anaknya, laki-laki yang diutamakan di atas perempuan, dan doktrin yang membuat orang-orang terikat dan kemudian bermusuhan. Di bawah tekanan semua itu, kebaikan menjauh. Maryam mencoba melawan itu-dengan setengah diam. Menjelang akhir novel (―Maret 2006‖), seorang bayi perempuan lahir. Maryam dan suaminya yang baru, Umar, penuh harap. Mereka menamai anak itu ―Mandalika‖-nama yang diambil dari legenda lokal. Bukan nama Arab, kata Maryam. Bukan seperti ayah dan ibunya. Bagi Maryam, itu langkah awal sekaligus paling mudah untuk menjauhkan anaknya dari segala kepedihan yang dialami keluarganya. ―Biarlah anak ini jauh dari

Catatan Pinggir | 105

agama tapi dekat dengan kebaikan,‖ katanya, berulang kali. ―Jauh dari agama tapi dekat dengan kebaikan‖agaknya ini ungkapan penampikan yang bisa membuat orang terenyak (tapi tak terelakkan) dan membuat novel Maryam unik dalam karya sastra Indonesia terakhir, di masa ketika agama, khususnya Islam, hadir kuat di manamana. Maryam lahir dan dibesarkan di Desa Gerupuk, di pantai selatan Lombok. Ia generasi ketiga pengikut Ahmadiyah. Mula-mula Komunitas Ahmadi hidup berdampingan dengan penduduk muslim yang lain. Tapi bukannya tanpa ketegangan-dan sebagaimana dikisahkan novel ini, ada ketegangan membisu yang merayap ke dalam hidup Maryam. Sebagaimana dalam komunitas iman yang lain, di sini juga para penganut membentuk lingkaran tertutup, dengan tembok yang mudah mengeras. Sejak remaja Maryam berusaha hidup dalam lingkaran itu dengan tertib, atau lebih tepat: dengan ketakutan. Terutama dalam berhubungan dengan laki-laki: ketika cinta tumbuh antara orang Ahmadi dan bukan Ahmadi, hubungan lebih jauh akan terancam. Komunitas di kedua pihak akan merintangi itu, dan konflik terjadi. Maryam ikut menanggungkannya.

Catatan Pinggir | 106

Ia jatuh cinta kepada Gamal, sesama Ahmadi, tapi gagal: Gamal membelot dari keyakinan keluarganya. Maryam pindah ke Jakarta, bekerja di sebuah bank. Ia bertemu dengan Alam, yang bukan penganut Ahmadi. Mereka saling jatuh cinta dan siap menikah, tapi calon mertuanya berkata: ―Suami adalah imam seorang isteri. Ketika sudah menikah nanti, isteri harus mengikuti suaminya, menuruti suaminya, apalagi dalam soal beragama.‖ Sebaliknya ibu Maryam bertanya kepada Alam: ―Apa itu berarti Nak Alam sudah siap menjadi seorang Ahmadi?‖ Orang-orang tua melindungi, tapi juga menguasai dan menekan anak-anak mereka. Orang-orang tua dilindungi ajaran mereka, tapi sebenarnya dikuasai sepenuhnya. Maryam, mungkin karena ia seorang perempuan, merasakan tekanan yang lebih-maka lebih pula resistansinya. Ia letakkan pikirannya dalam semacam isolasi. Ia mencoba lupa. Kadang-kadang ia berpikir, ―Ia hanya Ahmadi ketika sedang berada di tengah-tengah pengajian Ahmadi.‖ Tapi pernikahan Alam dan Maryam tak sampai berumur lima tahun. Mereka tak kunjung punya anak. Orang tua Alam mendesak, dan dalam keadaan kesal, Maryam merasa bahwa orang tua itu menyalahkannya

Catatan Pinggir | 107

karena ia pernah ―sesat‖. Ia pun meninggalkan Alam, dan kembali ke Lombok, ke keluarganya sendiri. ―Sesat‖ adalah kata yang ganas. Itu pula yang menyebabkan masyarakat Islam di Gerupuk, yang menganggap Ahmadiyah ―sesat‖, pada suatu hari-setelah mendengar khotbah yang dulu tak pernah mereka dengarmengusir tetangga mereka. Mereka melempar batu ke genting dan kaca jendela orang Ahmadi, merusak pagar dengan parang dan cangkul. Akhirnya 17 rumah dibakar, dengan ultimatum: kaum Ahmadi harus meninggalkan iman mereka atau hengkang. Keluarga Maryam terusir. Bahkan ketika ayahnya meninggal karena kecelakaan lalu lintas, ia tak boleh dimakamkan di desanya sendiri. Apa yang dibawa agama: kebaikan? Atau ganasnya kata ―sesat‖? Apa yang dibawa iman bersama: ketenangan? Atau desakan yang menghilangkan kebebasan memilih? Maryam kembali ke komunitas Ahmadiyah yang harus hidup di pengungsian. Ia memprotes pejabat Negara yang tak melindungi orang-orang yang dianiaya itu, yang selama enam tahun terpaksa menempati kamar-kamar sempit di Gedung Transito. ―Kami hanya ingin pulang...‖

Catatan Pinggir | 108

Dalam arti tertentu, Maryam pulang: dari lupanya akan asal-usul. Tapi ia tak kembali. Ia diam-diam merestui adiknya, Fatimah, meninggalkan komunitasnya untuk menikah dengan ―orang luar‖. Dengan demikian, ia mengatasi demarkasi yang bernama agama, sambil menunggu kelahiran Mandalika. Mandalika, dalam legenda Lombok Selatan itu, putri raja yang mengorbankan diri untuk mencegah permusuhan. Ia, yang diperebutkan, menenggelamkan diri di laut. Tapi, kata sahibulhikayat, ia datang kembali setahun sekali saat purnama, dalam wujud cacing-cacinghewan yang dianggap menjijikkan-untuk menyuburkan tanah. Tanah siapa saja. Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 109

Catatan Pinggir | 110

Almansor Senin, 16 Mei 2016

―Betapa dalam kau terpuruk, wahai Granada!‖

D

alam Almansor, tragedi karya Heinrich Heine, Almansur bin Abdullah pulang ke Granada dari pengasingan. Ia kembali ke kastil masa kecilnya: bangunan itu masih tetap di atas tanah ―yang tua dan tercinta‖, dengan lantai yang dilapisi permadani berwarnawarni; pilar-pilar marmar itu setia bertahan. Almansur merasa betah kembali. Tapi ada yang membuatnya waswas. So heimisch ist mir hier, und doch so ängstlich. Kehidupan telah berubah. Kerajaan Islam Spanyol, terlena dalam kegemilangannya sendiri, jatuh, direbut kekuasaan Katolik di bawah Ratu Isabella dan Raja Ferdinand. Dan Granada terpuruk. Tak ada lagi kemerdekaan menjalankan agama seperti dulu, ketika orang Islam, Kristen, dan Yahudi hidup bersama dan bertukar peradaban. Di awal lakon, Almansur berjumpa kembali dengan Hassan, pelayan keluarga Abdullah yang dulu mengasuhnya. Mereka saling menceritakan keadaan yang muram.

Catatan Pinggir | 111

Ribuan muslim ―merundukkan kepala agar dibaptis‖ dalam ketakutan, kata Almansur. Di masa itu, seorang pejabat tinggi Gereja dan Kerajaan, ―Ximenes yang mengerikan‖ (der furchtbare Ximenes), dengan disaksikan khalayak di tengah pasar melemparkan Quran ke api unggun. Hassan mendengarkan semua itu dengan masygul, tapi ia tampak tak terkejut. Ia mengucapkan satu kalimat seperti meramal: ―Di mana mereka bakar kitab-kitab, di sana mereka akhirnya bakar manusia.‖ ―Ximenes‖ dalam tragedi Heine adalah Gonzalo Jimenez de Cisneros, pejabat tinggi Gereja dan kepercayaan Ratu Isabella. Tokoh sejarah Spanyol yang hidup antara 1436 dan 1517 ini adalah padri yang keras kepada dirinya sendiri dan kepada orang lain-apalagi orang lain dari iman yang lain. Ia tak tergoda kemewahan; pada usia di atas 40 tahun ia bergabung ke dalam Ordo Fransiskan dan membiasakan diri tidur di tanah tanpa alas, melipatgandakan puasa, dan mengenakan kain yang dianyam dari surai kuda. Tapi dengan kekuasaan dan keyakinan akan keunggulan imannya, ia memaksa para biarawan yang sudah ditahbiskan untuk hidup selibat, menetap di paroki, dan bekerja penuh. Ketika ketentuan ini dikenakan lebih ketat dan lebih luas, 400 rahib mengungsi ke Afrika-dan masuk Islam.

Catatan Pinggir | 112

Bagi Cisneros, Islam dan Yahudi iman yang sesat. Pada 1492, di awal ia jadi pastor Ratu Isabella, ―Maklumat Pengusiran‖ diumumkan. Sekitar 200 ribu orang Yahudi terpaksa jadi Kristen; puluhan ribu yang lain diusir. Tak berhenti di situ. Cisneros memaksa ribuan Mudéjares, muslim yang hidup di wilayah Kristen, berpindah agamameskipun dengan demikian ia melanggar perjanjian Alhambra ketika Ferdinand dan Isabella mengambil alih kekuasaan Islam. Ketika penduduk muslim berontak dan dikalahkan, Cisneros memberi mereka ultimatum: masuk Kristen atau diasingkan. Sebagian besar, seperti disebut Heine dalam Almansor, ―merundukkan kepala untuk dibaptis‖, ―menggenggam erat salib, dalam ketakutan akan mati‖. Dan seperti tersebut dalam tragedi itu, buku pun dibakar. Sekitar 5.000 judul karya penulis dan pemikir Islam dimusnahkan dalam api. Kemudian manusia. Tercatat, sejak 1481, Gereja Katolik Spanyol membakar hidup-hidup 31.912 orang yang dianggap sesat iman. Dalam jumlah itu, ada 3.564 yang dihanguskan dalam api auto-da-fé atas keputusan ―Ximenes yang mengerikan‖. Heine, sastrawan Jerman di abad ke-19, tentu saja menggubah Almansor dari petilan-petilan sejarah itu-dan dengan gambaran yang negatif tentang rezim ―Ximenes‖. Yang tak diduganya: kalimat yang diucapkan tokoh Hassan akan jadi semacam peringatan dari masa ke masaterutama setelah di abad ke-20, Jerman memunculkan Catatan Pinggir | 113

Hitler dan Gerakan Nazi dan ribuan buku dibumihanguskan. Pada 10 Mei 1933, misalnya, mahasiswa pendukung Nazi membakar habis 35 ribu jilid buku yang isinya dianggap ―tak bersifat Jerman‖: dari Marxisme sampai dengan buku seni rupa mutakhir, dari yang dianggap ―liberal‖ sampai dengan yang dianggap ―ilmu palsu‖, yaitu Darwinisme. Kemudian kamp konsentrasi didirikan dan ribuan orang Yahudi dan lainlain dimatikan. Di Indonesia juga pernah orang membakar buku dan membunuhi manusia. ―Demokrasi Terpimpin‖ Sukarno melarang risalah Bung Hatta Demokrasi Kita, semua novel Takdir Alisjahbana, Mochtar Lubis, dan lainlain, juga semua puisi para penulis yang menandatangani ―Manikebu‖. Di bawah ―Orde Baru‖ Soeharto, apa saja buku yang dianggap ―komunis‖ diberangus, bukan hanya novel Pramoedya Ananta Toer. Kekerasan dan supremasi kekuasaan jadi pola, makin lama makin menajam. Menarik bahwa kejahiliahan ini berulang, justru di bawah Republik yang berbeda-beda yang saling menyalahkan. Tampaknya belum juga disadari, bila kata tak bisa dipakai untuk berbicara, orang akan pelan-pelan saling mematikan dengan kedegilan. Hassan dalam Almansor benar. Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 114

Topeng Senin, 30 Mei 2016

L

aki-laki bertopi infanteri bertopeng ski hitam dengan pipa kecil yang menyembul dari mulutnya itu tak tampak lagi. Tak di San Cristobal de las Casas, tak di kota lain, tak juga di pedalaman Meksiko. Di sana ia pernah angkat senjata, bertempur, berbicara, menulis, dan bergabung dengan petani Chiapas miskin yang memperjuangkan hak mereka. Sepuluh tahun kemudian, Sub-komandante Marcos, tokoh paling menonjol dalam pembangkangan Zapatista itu, menghilang. Mungkin begitulah seharusnya: pejuang datang, pejuang menang, pejuang menghilang. Sepuluh tahun sebelumnya sekitar 3.000 anggota pasukan bersenjata Zapatista menyatakan perang kepada tentara Meksiko, menduduki beberapa kota, dan 150 orang tewas. Mereka kemudian terpukul, tapi akhirnya diakui sebagai satu kekuatan politik yang nyata yang berhasil membangun wilayah-wilayah otonomi tanpa pengakuan resmi. Selama 10 tahun itu Marcos, dengan penampilannya yang unik, jadi ikon perjuangan. Tapi kemudian sebuah statemen Zapatista diumumkan pada 24 Maret 2014: Marcos tak ada lagi. ―Ia sosok yang diciptakan, dan kini para penciptanya, kaum Zapatista, menghancurkan dia.‖

Catatan Pinggir | 115

Kata ―menghancurkan‖ tentu saja sebuah kiasan. Sebab Marcos menghilang bukan karena dibunuh atau disingkirkan, melainkan karena gerakan pembebasan itu menyimpulkan: perannya telah selesai. Kata orang yang bersangkutan, ―Suara Tentara Pembebasan Nasional Zapatista tak lagi datang dari saya.‖ Mungkin ini terjadi karena arus balik: ada yang mengatakan dukungan rakyat Chiapas semakin menipis. Usaha menegakkan ekonomi rakyat yang swadaya tak berhasil. Tapi Marcos (tentu saja bukan nama sebenarnya) sejak mula memang tampak mendua dalam menjalankan perannya. Ia tampil di tiap kejadian besar gerakan Zapatista, berpidato di depan massa, dan mengesankan sebagai ideolog gerakan itu; tapi ia tak pernah disebut "komandante"; ia cuma ―sub-komandante‖. Ia memang anggota gerakan pembebasan bangsa Maya, orang Indian di ujung selatan Meksiko, yang tanahnya diambil alih bisnis besar dan hidup miskin berabad-abad; tapi ia bukan ―pribumi‖. Dari celah topengnya, ia tampak berkulit putih, bermata biru. Dalam potret yang tersebar di seluruh dunia ia-kadang-kadang berkuda dan bersenjata-kelihatan jantan dengan postur seorang pemimpin yang karismatis; tapi jika kita dengarkan cara ia berpidato dan kita simak bahasa tubuhnya, ia lebih mirip seorang profesor desain, atau seorang penulis, yang tak kelihatan perkasa, tapi malah santun. Kalimat yang dipilihnya dengan baik tak diucapkan berapi-api. Kata-kata itu lebih menggugah orang berpikir-bukan bahasa politik kerakyatan yang

Catatan Pinggir | 116

lazim. Ia tak hendak mengkhotbahi audiens. Nadanya tak menganggap diri punya otoritas yang lebih. Ia tampaknya sadar: ia tak bisa mengklaim ia mewakili suara petani miskin di sekitar hutan Lacandona. Betapapun dalam simpatinya, betapapun erat hubungannya dengan para petani itu, benar-benar tahukah ia tentang harapan dan rasa cemas mereka? Dalam percakapannya dengan sastrawan García Márquez ia mengaku dibesarkan dalam keluarga guru dusun yang kemudian makmur, dengan ayah-ibu yang mengajarinya mencintai buku dan bahasa. Dari statemen-statemennya bisa ditebak ia penulis yang bagus; ia memang menulis sejumlah puisi, prosa, cerita. Tampaknya ia juga mempelajari filsafat dan tertarik pada Marx, Althusser, Foucault. Ia seorang Marxis. Dengan militan ia melawan penetrasi neoliberalisme dari Amerika ke wilayahnya; ia mengagumi Ché Guevara, pahlawan Partai Komunis Kuba. Tapi ia berhenti percaya ada partai yang bisa mewakili kelas proletar di Chiapas. Berada di kancah petani Maya, ia tak lagi melihat kelas proletar bisa jadi pelopor segmen rakyat yang luas. Bagi Marcos, yang jadi pedomannya adalah asas mandar obedeciendo, ―memimpin dengan mematuhi‖, adat orang Indian setempat.

Catatan Pinggir | 117

Dengan kata lain, ia percaya kaum miskin itu yang punya kearifan. Ia sendiri hanya berguru di sana, lebur di sana. Ia bukan ―aku‖ yang berpikir, bukan pemandu jalan, bukan pula pahlawan pembela yang jelata. Ia bukan siapasiapa. Di sini topeng-topeng yang dikenakannya bersama kaum Zapatista-adalah satu pernyataan. Topeng itu meneguhkan tak pentingnya nama-nama: tak ada yang pegang supremasi dan memonopoli perjuangan. Tapi topeng itu juga meneguhkan kemampuan memilih identitas ketika kekuasaan yang ada menghapusnya. ―Kami menutupi wajah kami, agar mereka melihat kami,‖ kata Marcos. ―Kami lepaskan nama kami, agar mereka memanggil nama kami.‖ Dengan kata lain, topeng membuat nama dan label hanya sebagai tanda perlawanan, bukan cap yang menetap. Maka ia bisa jadi lambang siapa saja. Marcos, dengan topengnya, ―adalah tiap minoritas yang tak diterima, ditekan, dan diisap-dan melawan dan berkata, ‗Cukup!‘‖ Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 118

Panggung Senin, 13 Juni 2016

ama samarannya ―Prapanca‖. Ia menggambarkan dirinya sebagai lelaki yang tak disukai para perempuan istana, tak fasih bicara, parasnya tak riang. Tapi ia penulis reportase pertama dalam sejarah Indonesia: Desawarnana, yang rampung ditulisnya pada 1365, adalah laporan kunjungan perjalanan darat Hayam Wuruk, Raja Majapahit, ke pelbagai wilayah kekuasaannya.

N

Sayangnya, Prapanca seorang pencatat yang terbatas. Kakawinnya lebih merupakan rekaman kesankesan tentang tamasya dan tontonan dari tempat ke tempat. Desawarnana adalah travelogue abad ke-14. Ia bukan catatan peristiwa-peristiwa. Mungkin karena Prapanca bukan sepenuhnya orang dalam istana. Kakawin yang hilang dan baru ditemukan lebih dari 500 tahun kemudian di Lombok ini ia tulis setelah ia tersingkir dari pusat kekuasaan. Diduga ia menyelesaikannya di sebuah desa di Bali. Deskripsi tentang dirinya di akhir kakawin menggambarkan profil seseorang yang tak merasa mampu bergabung dengan para penyair lain yang menulis seloka-seloka untuk memuja

Catatan Pinggir | 119

Raja. Bisa jadi ini menandai kepahitan dan kekecewaan yang dicoba disembunyikannya. Apa gerangan yang terjadi? Mengapa ia tersingkir? Harus saya katakan, kakawin yang juga disebut Negarakertagama ini bukan informasi yang memadai tentang kehidupan politik masa itu. Prapanca dengan memikat menggambarkan tembok kota dari batu merah yang tinggi, gapura berukir, pohon-pohon tanjung berbunga lebat, taman bertingkat, dan arsitektur candi dengan menara yang menjulang. Perhatiannya lebih ke hal estetis ketimbang politis. Tentang sakit dan wafatnya Gajah Mada dan perundingan rahasia di istana untuk mengatasi kehilangan perdana menteri yang tak tergantikan itu Prapanca hanya menyebutnya dalam beberapa kalimat. Penulis ini mungkin tak tahu. Kekuasaan dalam Negarakertagama-nya tak ditandai pangeran-pangeran yang berambisi atau para perwira yang siap dengan pasukan. Administrasi pemerintahan hanya kelihatan dalam klasifikasi pedesaan. Selebihnya, tanda hadirnya kekuasaan adalah kunjungan raja dan upacara meriah yang berulang kali. Tak ada konflik. Tak ada penaklukan. Satusatunya yang mirip itu terjadi dalam perburuan; para hewan hutan kalah menghadapi pasukan Hayam Wuruk. Tapi benarkah Majapahit hanya ibarat pesta yang berpindah-pindah?

Catatan Pinggir | 120

Clifford Geertz memperkenalkan istilah yang kemudian terkenal: negara sebagai ―theatre state‖, yang ia simpulkan dari pengamatannya tentang Bali abad ke-19. Di sana Negara memerintah dengan simbol dan ritual, bukan dengan kekuatan yang memaksa. Kerajaan berjalan bukan melalui administrasi yang efektif ataupun penaklukan, melainkan melalui ―spectacle‖ yang dipertunjukkan dengan memukau. Mungkin itu pula yang bisa dikatakan tentang Negarakertagama Prapanca: sebuah pentas. Upacara jadi tujuan utama. Kemegahan dan kemeriahan itu bukan buat melayani kekuasaan, melainkan kekuasaan itu yang justru untuk melayani kemegahan. Kata Geertz, ―Power served pomp, not pomp power.‖ Ada yang mencatat bahwa ―theatre state‖ itu tak hanya fenomena Bali dan Majapahit. Upacara dan peneguhan simbol bisa dilihat dalam tradisi Kerajaan Inggris dan mungkin di negara-negara di mana konstitusi belum dituliskan. Negara memerlukan panggung-dan ia jadi panggung. Tapi saya kira Geertz mengabaikan satu hal: di panggung itu sebenarnya kita tak tahu di mana pomp mulai dan power berakhir. Seperti umumnya dalam sejarah, kekuasaan, kekerasan, dan pemaksaan selalu tersembunyi dalam diri Negara. Setidak-tidaknya dalam genealoginya. Dengan mengagungkan seorang ratu dari Catatan Pinggir | 121

Singasari sebagai chattra ning rat wisesa (―pelindung bumi yang utama‖), Prapanca menunjukkan pertalian Kerajaan Singasari di abad ke-13 dengan Majapahit di abad ke-14. Dan kita tahu Singasari didirikan Ken Arok; ia tumbuh dari pembunuhan dan penaklukan. Dalam menafsirkan masa lalu sebagai bagian masa kini, dalam merangkai upacara Hayam Wuruk dari pentas ke pentas yang berbeda, Prapanca ingin menunjukkan Majapahit sebagai sebuah bangunan yang koheren dan konsisten. Seantero wilayahnya diibaratkan satu kota dalam telatah Raja: salwaning yawabhumi tulya nagari sasikhi ri panadeg. Tapi sejauh mana yang dianggap ―satu kota‖ itu bisa mengingkari multiplisitas yang tak tepermanai, yang tak bisa konsisten? Negara mana pun, juga negara modern, tak akan bisa. Pernah Desawarnana Prapanca menampilkan pentas sebagai karnival: Hayam Wuruk ikut membanyol, rakyat datang berduyun, terkadang mabuk, tanpa diarahkan. Dalam karnival, seperti kata Mikhail Bakhtin, struktur, hierarki, dan hukum ditangguhkan. Mungkin di situ tampak sisi Negara yang hendak disembunyikan, tapi yang malah membuatnya hidup: selalu akan ada politik yang tak mengekalkan struktur, melainkan mengingatkan bahwa manusia itu setara. Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 122

Attar Senin, 20 Juni 2016

A

ttar hidup di sebuah zaman yang tipis harapan dan tewas pada usia 76 tahun dalam pembantaian. Di Nishapur, di Provinsi Khorasan, Persia, tempat ia lahir sekitar 1145, ia sebenarnya tak kekurangan suatu apa. Sebelum menulis puisi dengan memakai nama Attar dan berkunjung ke pelbagai penjuru menjumpai sufi-sufi ternama, ia hidup cukup sebagai ahli obat-obatan. Banyak penderita sakit yang datang. Dari mereka Attar mendapat nafkah-dari mereka pula ia mengenal cerita-cerita muram manusia dan rapuhnya kepercayaan kepada hidup. Ia pun menulis Mosibatnmeh atau Kitab Kesengsaraan-sebuah puisi epik yang menggugat Tuhan. Tak jelas kapan karya itu selesai; buku itu jarang disebut dalam biografi Attar yang samar-samar. Dunia hanya mengenalnya sebagai penulis Mantiq-ut-Tair atau Persidangan Burung-burung, sebuah alegori perjalanan spiritual manusia dengan tokoh pelbagai burung yang mencari Simurgh, sesembahan mereka. Karya Attar konon berjumlah lebih dari 100 judul, tapi di masa hidupnya ia tak luas dikenal. Ia dikatakan dipancung pasukan Mongol yang membantai penduduk Nishapur. Orang hanya ingat

Catatan Pinggir | 123

yang dikatakan Rumi: ―Attar telah melintasi tujuh kota Cinta, sementara kita masih di satu tikungan jalan.‖ Beda antara Attar dan Rumi (lahir 1207) memang pengalaman hidup separuh abad. Tapi ada beda yang lebih radikal di antara karya kedua penyair Persia itu, jika kita baca Kitab Kesengsaraan. Puisi Rumi adalah litani tentang sentuhan Kasih Tuhan yang membahagiakan. Sebaliknya karya Attar yang satu itu, dalam kata-kata Navid Kermani, ―karya paling muram dalam sastra dunia‖. Kermani, penulis muslim Jerman yang terkemuka dewasa ini, membuat telaah yang mendalam tentang Kitab Kesengsaraan dalam Der Schrecken Gottes (versi Inggris: The Terror of God). Lewat lima bab yang menjalin khazanah Yahudi, Kristen, dan pemikiran Eropa modern, Kermani menampilkan Attar sebagai suara yang mendesah, sengit tapi tak berdaya, dalam ―pertengkaran dengan Tuhan‖. ―Pertengkaran‖ itu dimulai dengan perjalanan seorang ―pengembara pikiran‖. Sang pengembara penuh amarah. Baginya tak ada yang bisa dipercaya. Ia tak mampu lagi membedakan mana yang baik dan yang keji. Di sekitar, yang tampak hanya dusta dan tipuan. Penguasa menindas dan sejumlah penyair menjual bakat mereka di istana. Hukum agama hanya menuduh. Tak ada keyakinan apa pun yang bisa dipegang.

Catatan Pinggir | 124

Ia pun mencari. Mengikuti tradisi sufi, ia dibimbing seorang pir, seorang guru. Tapi akhirnya ia tahu: guru yang sebenarnya adalah penderitaannya. Dalam perjalanan itu-diceritakan kembali oleh Kermani dengan memukau-ia lihat 100.000 jalan menuju ke segala arah dan 100.000 lautan darah. Ia lihat duniadunia yang sesat dan kosmos yang membengkak. Ia lintasi 100.000 surga dan neraka, ia mengetuk, tapi tak ada pintu yang terbuka. Akhirnya ia hilang ingatan. Ia bicara kepada rasa sakit, dan rasa sakit jadi keyakinan dan kekufurannya. Ia pun membisu, menyerah, habis tenaga. Ia berjumpa dengan Malaikat Jibril . Ia bertanya tahukah sang malaikat obat apa yang baik bagi rasa sakitnya. Jibril tak tahu; ia sendiri dalam keadaan yang lebih buruk. Ada teror, heybat, yang dihadapinya-teror dari sesuatu yang bahkan Jibril tak berani sebut namanya. Demikian juga reaksi para malaikat lain, termasuk para penyangga Takhta Tuhan. Mereka semua sengsara. ―Berdiriku begitu guyah,‖ jawab salah satu dari mereka, ―hingga bila selembar serat tubuhku bergerak, aku akan jatuh ke dalam jurang yang dalam.‖ Kenapa demikian? Kenapa tak ada jawab? Dalam Kitab Kesengsaraan Tuhan adalah kesewenang-wenangan yang memperlakukan ciptaan-Nya sebagai obyek yang tak berarti. Sang pengembara pun menyimpulkan, dalam Catatan Pinggir | 125

sebaris kalimat Attar, bahwa sejak mula manusia memang ―bak bola permainan‖. Tentu, dalam kisah-kisah penjelajahan yang seperti siklus putus asa itu, sang guru selalu mengingatkan: dalam kesengsaraan manusia, Tuhan punya alasan tersembunyi yang baik. Tapi Kermani menunjukkan, puisi Attar kurang mengedepankan itu. Ia justru memberi tekanan pada gambaran ―kekalutan pikiran sang pengembara dan pemandangan mengerikan yang ditemuinya...‖. Jawaban sang guru tak memadai. Yang lebih nyaring adalah ―pertanyaan yang selalu datang dari sang musafir‖. Sampai hari ini, pelbagai risalah filsafat dan agama-Islam, Kristen, Yahudi-bergulat dengan pertanyaan itu: mengapa Yang Mahakuasa tak melepaskan manusia dari sengsara? Dan jika itu hukuman atas dosa, kenapa Ia tak mencegahnya? Benarkah Ia pengasih, benarkah Ia adil? Ada yang menjawab, Tuhan tak bisa dinilai dengan rasa keadilan dan belas kasih manusia. Tapi ada yang menambahkan: jika benar demikian, penilaian itu justru harus ditegaskan di dunia. Kitab Kesengsaraan menyesakkan karena kita tahu, ada yang seharusnya bukan kesengsaraan. Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 126

JPC Senin, 27 Juni 2016

P

ada batu marmer yang sudah kusam, di tembok ruang bawah Museum Wayang di Kota Tua Jakarta, terukir sebuah nama: DIE STICHTER VAN BATAVIA JAN PIETERSZOON COEN IN 1634 Sang pembangun Batavia‖ yang dikuburkan di sana juga seorang yang bersemboyan, tercatat pada 1618: ―Jangan patah harapan, jangan ampuni lawan, sebab kita bersama Tuhan.‖ Ia memang seorang Kristen yang keras, seorang administrator penegak disiplin, dan tentu saja seorang pelaksana hasrat VOC untuk menguasai persaingan dagang di Asia di abad ke-17. Empat tahun setelah mengucapkan kalimatnya itu, gubernur jenderal perhimpunan dagang Belanda itu menyerbu Banda. Dengan pasukannya ia bantai ribuan

Catatan Pinggir | 127

penduduk yang melawan dengan sengit; ia perintahkan satu regu samurai Jepang yang disewanya untuk memancung serentak penghulu-penghulu setempat yang tak mau menyerah. Di bawah ancaman senjata, orang Banda tak boleh menjual buah pala mereka kepada orang Inggris atau siapa pun. Rempah-rempah itu hanya untuk VOC yang kemudian menjualnya di pasar Eropa dengan laba berlipatlipat. Tak jelas bagaimana Tuhan ada dalam kebuasan dan keserakahan itu. Mungkin bagi Coen, Tuhan adalah Ia yang memegang pedang, menegaskan kesalehan, dan menyusun pembukuan. Suatu hari Coen mengetahui seorang gadis remaja asuhannya bermain cinta dengan seorang pemuda Indo-dan mereka melakukan perbuatan itu di ruang pribadinya. Sang gubernur jenderal murka. Wajahnya memucat dan meja yang dipeganginya bergetar. Ia perintahkan pemuda itu dipotong lehernya dan gadis itu ditenggelamkan. Agaknya ia merasa jadi penjaga moral di kota yang dibangunnya-moral ala kaum borjuis Belanda yang dibentuk Gereja Reformasi yang puritan, yang waspada kepada seks dan hemat dengan sensualitas, yang selalu menahan diri dari sikap yang berlebihan. Singkat kata: seperti tokoh makelar kopi dalam novel Max Havelaar,

Catatan Pinggir | 128

pedagang yang takut boros dan hanya berpikir tentang ―manfaat‖-atau laba. Tapi keketatan macam itu tak mudah buat kota yang dibangun Coen nun jauh di negeri tropis di abad ke17. Di awal hidup Batavia, mayoritas penghuni adalah laki-laki. Jean Gelman Taylor menggambarkannya dalam The Social World of Batavia sebagai ―serdadu dan kelasi yang telah tercerabut dari tanah asalnya‖, yang ditempatkan ―di barak-barak di pinggiran peradaban yang asing‖. Perempuan makhluk yang langka. Kalaupun ada, mereka wanita pribumi yang dianggap rendah, mudah berahi, gampang menyerah. Kebanyakan budak belian. Dalam satu catatan tahun 1618 dilaporkan: tiap malam berlangsung ―orgi‖ antara laki-laki bebas dan ―perempuanperempuan hitam‖. Benar atau tidak cerita itu, Coen tak jenak dengan kehidupan sosial Batavia. Ia pun mengeluarkan peraturan: barang siapa yang tinggal dalam ―republik Jacatra‖ dilarang memelihara satu atau dua budak perempuan, seorang gundik atau lebih. Tak boleh wanita Kristen berhubungan seks dengan pria yang tak beragama (heidense) atau Arab (Moor). Hasrat untuk kemurnian-yang kadang-kadang mirip kesucian-mendorong Coen, atau siapa pun, untuk menegakkan hidup yang eksklusif. Pada 1619 ia menghancurkan Jakarta (―Jacatra‖). Dimusnahkannya dua Catatan Pinggir | 129

bangunan yang jadi pusat kota: kabupaten dan masjid. Di atas puing-puingnya ia dirikan ―Kasteel Batavia‖-yang segera jadi sebuah ruang isolasi. Penduduk asli sudah meninggalkannya, orang Jawa dilarang tinggal, dan di sekitarnya hutan berisi binatang buas. Pada 1642 ada larangan bagi perempuan untuk ke luar gerbang ―Kastil‖. Para budak belian tak boleh dijual pemiliknya kepada orang Yahudi, Islam, atau yang tak bertuhan. Dalam The Social World of Batavia digambarkan bagaimana alimnya kehidupan di Kastil itu, yang dikuasai Gereja Reformasi, satu-satunya denominasi Kristen yang diperbolehkan. Kebaktian diselenggarakan di Balai Kota, doa pagi dan malam berlaku di Kastil, dan para pejabat dan pegawai VOC berpuasa menjelang kapal niaga mereka berangkat. ―Tak ada yang lebih mampu menyatukan hati orang ketimbang kesatuan iman dan dijalaninya agama secara benar,‖ tulis Coen dalam suratnya kepada para pembesar VOC di Amsterdam. Seperti lazimnya orang yang taat beragama, Coen menyangka Tuhan bersamanya dan kehendaknya akan jadi. Tapi sejarah menunjukkan, Batavia proyek yang gagal. Ia dibangun sebagai transplantasi kota Belanda, ia diharapkan akan memenangkan ajaran Calvinis yang lurus. Tapi kelembapan kota, berjangkitnya malaria, dan keinginan manusia untuk hidup tanpa merasa takut dosa membongkar desain itu. Kastil ditinggalkan. Kebudayaan Kristen Eropa lumer oleh pengaruh kebudayaan Indonesia

Catatan Pinggir | 130

yang beragam dan yang terus tumbuh. Yang murni hilang, yang campuran jadi-sebuah kebudayaan mestizo yang berlaku di Jakarta hingga hari ini. Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 131

Catatan Pinggir | 132

Terkutuk Senin, 04 Juli 2016

K

ITA terbiasa dengan gambaran ini, yang agaknya datang dari benua lain: penyair, terusir dari Kallipolis, lusuh, bau, kelayapan, insomniak, hidup tanpa jadwal, dan memproduksi hal-hal yang tak jelas fungsinya: sajak-sajak. Ia jarang mendapat tempat dalam sebuah struktur. Ia di luar. Kalaupun ia ingin, Kallipolis tak akan menerimanya kembali. Dalam kota ideal yang diangankan Plato itu, penyair adalah elemen yang hanya berperan buat memuja para pahlawan—dan kita tahu, itu tak akan cocok, sebab pahlawan adalah tokoh yang membeku dalam dongeng wajib. Maka ada benarnya, meskipun agak berlebihan, bila pada 1832 Alfred de Vigny menulis bahwa penyair adalah ―kaum yang akan selalu dikutuk mereka yang berkuasa di atas bumi‖. Waktu itu kota-kota Eropa, terutama Paris, mulai bergerak dengan desain modern yang lugas dan teratur. Di sana puisi, dengan sifatnya yang tak terduga-duga, makin terasing. Paul Verlaine menyusun kumpulan puisi, Les Poètes maudits, yang terbit pada 1884: karya-karya ―penyair terkutuk‖. Yang tergabung dalam rombongan ini Verlaine sendiri, juga Rimbaud dan Mallarmé untuk

Catatan Pinggir | 133

menyebut yang paling dikenal di luar Prancis. Di barisan depan: Baudelaire. Baudelaire dijatuhi hukuman setelah ia menerbitkan Les Fleurs du mal, 25 Juni 1857. Kumpulan puisi itu dianggap menampar ―moralitas masyarakat‖. Baudelaire tak dipenjara, namun didenda dan enam sajak dalam Les Fleurs du mal harus dicabut. Seperti berulang kali terjadi, sensor adalah ketakaburan yang bodoh: mengutuk buku berarti membuatnya ramai dicari. Pada umur 36 tahun, Baudelaire telah menghasilkan satu karya yang paling banyak dibicarakan dan dikagumi—meskipun ia semula datang untuk mencerca dan dicerca. Ia anak muda pesolek dan pemboros, pelanggan seorang pelacur botak yang buruk muka. Kata orang, dari sini ia terkena raja singa yang pelan-pelan membunuhnya. Mungkin tak hanya sifilis. Ia penikmat laudanum, candu yang dilarutkan dalam alkohol. Ia mengagumi Edgar Allan Poe, penyair Amerika pemabuk yang menurut Baudelaire menggambarkan ―kegemilangan‖ opium, yang muram, hitam, tapi menggugah. Sang penyair Les Fleurs du mal juga anggota tetap Club des Hashischins, sebuah perhimpunan sastra di Paris yang bertujuan menjelajahi kreativitas manusia saat kesadarannya berubah karena pengaruh hashish.

Catatan Pinggir | 134

Tak mengherankan bila ia ingin ada jarak, bahkan pertentangan, antara dirinya, juga puisinya, dan ukuranukuran akhlak yang lazim. ―Ibu tahu,‖ tulisnya di sepucuk surat kepada ibunya beberapa belas tahun sebelum ia meninggal di pangkuan perempuan belahan jiwanya itu, ―bahwa aku selalu menganggap sastra dan seni mengejar tujuan yang tak tergantung kepada moralitas.‖ Sajak-sajaknya memang anti-pesan-moral. Ia menyentuh dengan akrab seks, melankoli, kematian— dengan kata-kata yang menampar. Sajak pembuka Les Fleurs du mal, ―Au lecteur‖ (Kepada Pembaca), menyamakan sang pembaca seperti dirinya: hipokrit. Bila manusia berani, tulisnya, hidup yang datar seperti ―kanvas yang banal‖ ini seharusnya bisa dihiasi dengan ―perkosaan, racun, pisau, dan api yang membasmi‖. Sebab ada yang ―lebih buruk, lebih jahat, lebih jorok‖ ketimbang semua yang mengancam kehidupan, dan itu adalah ―Rasa Jemu‖, l'Ennui. ―Penyair terkutuk‖ yang memusuhi rasa jemu itu pada gilirannya jadi posisi tersendiri dalam hubungan sastra dengan masyarakat. Di mana-mana. Seandainya kumpulan Verlaine terbit di pertengahan abad ke-20, dan meliputi sastra seluruh dunia, ia mungkin akan memasukkan sajak Chairil Anwar, ―binatang jalang/dari kumpulannya terbuang‖.

Catatan Pinggir | 135

Tapi apa artinya bagi ―kumpulannya‖, bagi masyarakatnya? Baudelaire menyatakan karyanya tak mengejar ―tujuan yang tergantung kepada moralitas‖. Tapi itu tak berarti sajak-sajaknya tak berangkat dari konteks moral tertentu. ―Semua sajak, semua benda seni, sepenuhnya menyarankan secara wajar dan kukuh satu moral,‖ tulisnya. Keindahan tak cuma ―abadi‖. Ia juga terpaut kepada keadaan yang merupakan gabungan ―zaman, cara hidup, moral, dan gairah hati‖. Dengan kata lain, dalam sesuatu yang indah, ada yang tak tersentuh ruang dan waktu; tapi sesuatu yang indah harus hadir dalam ―sesuatu‖, dan ―sesuatu‖ hanya terwujud dalam dunia manusia di mana moral dan masyarakat saling membentuk. Tapi ia tetap mandiri: tak bisa ditaklukkan kutukan ―mereka yang berkuasa di dunia‖. Juga tak bisa digunakan melayani Negara, Partai, Modal, dan Pasar. Dalam posisi itu puisi justru menggugat. Ia menjadikan dirinya tak berguna, dan dengan itu, seperti dikatakan Adorno, ia melawan pemujaan kepada ―guna‖—sebuah pemujaan yang lupa bahwa ―guna‖ selalu ditentukan oleh imperialisme manusia atas benda-benda. Di tengah imperialisme itu, puisi terkutuk, tapi ia menunjukkan sesuatu yang lain: ada yang berarti dalam benda-benda tak berguna.

Catatan Pinggir | 136

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 137

Catatan Pinggir | 138

Bekisar Senin, 11 Juli 2016

P

ada suatu hari sekitar tahun 1650, Amangkurat I, yang bertakhta di Mataram, menerima sebuah persembahan yang unik: seekor bekisar, unggas keturunan ayam hutan. Yang mempersembahkan pamannya sendiri, Pangeran Surabaya. Bekisar ini bukan hanya cantik warna bulunya. Sebagaimana diuraikan Pangeran Surabaya di depan Raja, menurut catatan sejarah Babad Tanah Jawi, ...bakisar puniki pawèstri asalé kina sampun sawulan laminé lami-lami dados lanang warnanipun apelag dhatêng sagêd akaluruk mangké konjuka sang nata Unggas elok yang dipeliharanya itu, sembah Pangeran Surabaya dengan bangga, juga istimewa: dalam waktu sebulan ia berubah dari betina jadi jantan, dan pandai berkokok. Sang Pangeran merasa patut mempersembahkannya kepada Raja.

Catatan Pinggir | 139

Amangkurat mengucapkan terima kasih. ―Saya percaya akan rasa sayang Paman,‖ katanya. Tapi ia berdusta. Dalam hati ia marah. Ia melihat persembahan itu sebuah isyarat jahat. Amangkurat, raja yang bengis, adalah penguasa yang landhêp pasêmon, orang yang dengan tajam menilik tiap isyarat dan sindiran. Kita akan menyebutnya paranoia. Paranoia memang lazim berkembang ketika seorang penguasa makin terisolasi di singgasananya, terutama ketika takhta yang didudukinya berimpit dengan kekerasan—sebagaimana kisah kekuasaan Mataram. Maka esoknya Amangkurat berkata kepada para menterinya: ia curiga. Ia anggap pamannya menyindirnya agar turun takhta, untuk digantikan putra mahkota, yang juga cucu Pangeran Surabaya. Ketika seseorang menyampaikan kecurigaan Raja kepadanya, Pangeran Surabaya gemetar ketakutan. Didampingi istrinya, ia tergopoh-gopoh menghadap. Mereka menyatakan bersedia dihukum mati jika Raja menganggap bekisar itu hanya pasemon.... Pasemon: ungkapan semu, yang mengatakan sesuatu tapi sebenarnya lain. Tapi tentu saja ungkapan itu hanya berfungsi bila ia membentuk makna.

Catatan Pinggir | 140

Dalam cerita kita, Amangkurat mengampuni pamannya. Tapi bagaimanapun ia membentuk makna yang sama sekali berbeda dari yang ditawarkan Pangeran Surabaya. Raja secara sewenang-wenang menganggap si bekisar bukan hewan yang unik, melainkan sebuah tanda. Secara sewenang-wenang pula ia menafsirkan tanda itu sebagai oposisi politik. Memberi makna sebuah tanda memang umumnya dilakukan secara arbitrer, ―sewenang-wenang‖. Sebuah tanda bisa persis sama dengan yang ditandai: foto wajah kita di KTP menandai wajah kita. Atau sebuah tanda menjadi index dalam pengertian semiotika Pierce: menampilkan sesuatu yang lazim mewakili sebuah pengertian, seperti asap menandai api, jejak telapak menandai kaki. Atau, ia merupakan lambang: sesuatu yang maknanya sepenuhnya terbentuk dan dipaÂhami dalam proses kebudayaan, seperti bendera merah-putih, yang praktis tak mirip dengan benda apa pun, kecuali warnanya, namun ada makna tertentu yang diberikan kepadanya. Tapi bekisar itu? Apa yang membuatnya jadi tanda—tanda oposisi? Tak ada. Kelak, selama pemerintahannya yang penuh konflik, Amangkurat akan disindir dengan perumpamaan ―kalpika‖ (cincin) yang terlalu kecil atau ―kenaka‖ (kuku) yang patah. Tapi bekisar tak ada hubungannya dengan imaji negatif seperti itu. Tidak dari bentuknya. Tidak pula dari transformasinya dari betina jadi jantan; dalam dunia misoginis Catatan Pinggir | 141

Amangkurat, perubahan itu tak akan tampak sebagai penghinaan. Bekisar itu bukan juga nama hewan yang bunyi akhir suku katanya bisa jadi wangsalan, semacam pantun yang menyindir—sebuah permainan verbal Jawa yang secara berliku-liku mengasosiasikan, misalnya, pengertian ―tumben‖ (dalam bahasa Jawa, kadingarèn) dengan pohon nyiur gunung (dalam bahasa Jawa, arèn). Dengan kata lain, Amangkurat membentuk makna dengan kesewenang-wenangan yang ekstrem. Ia ciptakan sesuatu yang gawat dari yang praktis bukan apa-apa. Dari masa ke masa, orang memang merasa perlu menghindar dari ekspresi verbal. Kata bisa berbahaya. Mungkin karena bahasa dirasakan lebih terbatas maknanya ketimbang dunia di luarnya. Dalam keadaan itu, sebuah ungkapan bisa terjebak dalam makna yang terbatas pula. Maka ungkapan pikiran dan perasaan pun dinyatakan dengan benda-benda atau sikap tubuh. Makna terbentuk secara ―intersemiotik‖, yang verbal dan nonverbal susupmenyusupi. Sebenarnya itu satu bentuk perlawanan sosial terhadap kekuasaan yang antisosial. Ketika ia membentuk sendirian sebuah makna dari nol, dengan membuat seekor bekisar yang unik jadi tanda yang mengancam, Amangkurat menganggap mutlak kekuasaannya atas apa pun, juga atas makna. Ia mirip Tuhan.

Catatan Pinggir | 142

Tak mengherankan bila akhirnya, dengan alasan yang berbeda, ia bunuh Pangeran Surabaya beserta seluruh keluarganya. Seperti Tuhan, ia jarang berunding. Tapi cerita belum berhenti. Di hadapan itu manusia, bersamasama, bisa memperluas makna. Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 143

Catatan Pinggir | 144

Eropa Senin, 25 Juli 2016

D

i tepi jalan kereta api di stasiun Köln Messe/Deutz patung-patung raja berkuda jadi hijau oleh cuaca beratus tahun. Terselip di antara pepohonan dan kabelkabel yang terentang, mereka seperti barang logam bekas yang diletakkan di sana karena orang tak tahu ke mana harus dibuang. Yang saya lihat sebuah sosok yang seakanakan sedang menggerakkan kudanya maju, tapi jalan telah raib. Abad ke-21 meletakkan sisa-sisa raja ke ruang yang kehilangan arti. Tentu saja tak hanya sisa-sisa raja. Dan tak hanya di Jerman. Juga mimpi dan rasa cemas di Eropa yang membagi-bagi benua itu—sebelum ataupun sesudah Brexit. Dari jendela gerbong dari Frankfurt menuju Amsterdam—ini tahun 2012—saya menyadari, tapal batas antara Belanda dan Jerman kini hanya dikenang sebagai cerita absurd nasionalisme. Ribuan orang mati dalam dua perang besar abad ke-20 untuk mengubah letak tapal batas itu. Di abad ke-21, yang mati pura-pura dikenang, dan yang dipertengkarkan tak berbekas. Tapi benarkah? Peta telah jadi digital, ya—namun kemajuan tak dengan sendirinya disertai tumbuhnya

Catatan Pinggir | 145

sesuatu yang nyaman: ruang hidup yang akrab. Eropa telah jadi bangunan supranasional; pelbagai keputusan yang mengatur hidup orang ditentukan nun jauh di luar ibu kota negeri masing-masing, oleh orang-orang, terutama para teknokrat, yang duduk di markas besar Uni Eropa di Brussels. Tapi dengan demikian, ada sebuah proses yang terasa tak terjangkau, terasa tak hadir. Dalam sebuah wawancara dengan Die Zeit 12 Juli 2016—setelah Brexit—Habermas menyebut terjadinya ―pengosongan teknokratis‖ (technokratische Entleerung) dari kehidupan. Uni Eropa, kata Habermas, dibentuk sedemikian rupa hingga keputusan ekonomi yang paling elementer, yang akibatnya mengenai seluruh masyarakat, ―ditanggalkan dari pilihan demokratis‖. Brexit adalah gejala ―pasca-demokrasi‖, ketika orang banyak, para warga, merasa hak dan kendali mereka lepas, dan sebab itu mereka bangkit untuk merebutnya kembali dalam sebuah referendum. Dengan kata lain Brexit sebuah ungkapan antiteknokrasi. Ada keinginan kembali kepada ruang hidup yang lebih akrab. Ada keyakinan yang tumbuh bahwa dalam ruang hidup itu peran negara nasional, yang mengikutsertakan para warga, bisa lebih cocok dengan keinginan orang banyak. Yang dilupakan, suara orang banyak di Jerman, Prancis, Italia, dan lain-lain itulah yang pernah bersorak

Catatan Pinggir | 146

untuk nasionalisme dan perang. Maka tak mengherankan bila Persatuan Eropa—dengan tujuan mencegah perang baru—sejak mula dirintis dengan langkah yang mirip cara membentuk perusahaan besar ketimbang ramai-ramai mendirikan sebuah alternatif bagi nasionalisme. Jean Monnet, ―Bapak Eropa‖, tak memulainya dengan gerakan politik. Ia mendirikan ―Masyarakat Batu Bara dan Baja Eropa‖, yang mengintegrasikan industri Jerman dan Prancis, yang dikoordinasi sebuah ―otoritas tinggi‖. Separuh karena impian perdamaian, separuhnya lagi dengan pragmatisme, negeri-negeri Eropa lain bergabung (Inggris menolak—sebuah indikasi Brexit yang paling awal). Lembaga inilah yang setahap demi setahap jadi Uni Eropa, lewat diplomasi dan pengembangan organisasi yang rumit. Monnet cocok untuk proses itu. Ia orang Prancis kelahiran 1888, anak saudagar brendi yang sejak usia muda mewakili bisnis keluarganya di pelbagai negeri. Lahir di Cognac, ia menggambarkan tempat lahirnya sebagai ―kota brendi di mana orang mengerjakan sesuatu dengan perlahan-lahan dan penuh konsentrasi‖. Politik, baginya, berarti negosiasi yang sabar di tingkat atas, bukan kampanye untuk mendapat dukungan khalayak ramai. Monnet meninggal pada usia 91 tahun. Eropa yang bersatu mulai jalan dan membesar. Dimulai dengan enam, kini ia persatuan 28 negara, terutama bekas negara sosialis yang dengan cepat jadi kapitalis. Tak mengherankan bila Catatan Pinggir | 147

modal (bukan khalayak ramai) sangat berperan. Sebuah laporan Oxfam menyebutkan, dalam kelompok yang memberi masukan untuk reformasi pajak Eropa, 82 persen adalah wakil kepentingan swasta dan komersial. Kata seorang sosiolog: Uni Eropa adalah sebuah ―mesin deregulasi‖. Dan peran negara dalam menjaga keadilan jadi layu, dan kesepakatan untuk reformasi makin rumit, dan ketimpangan sosial menajam. Sekitar 123 juta orang Eropa terancam miskin ketika tak sampai 400 orang hidup dengan bermiliar euro. ―Pengosongan teknokratis‖ akhirnya juga pengosongan proyek Eropa dari antusiasme bersama. Rakyat banyak pun cari harapan di tempat lain—dengan kemarahan. ―Kami‖, underdogs yang tersingkir, berdiri melawan ―Mereka‖, siapa saja yang ―bukan-Kami‖. Suasana antagonistis seperti api dalam sekam. Kekerasan datang, kemarahan menjalar. Dan Eropa, seperti patung kuda para raja di tepi rel itu, belum tampak mau ke mana. Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 148

Batik... Senin, 15 Agustus 2016

D

i pakaian seragam para atlet untuk Olimpiade di Rio, di restoran Indonesia di Amsterdam, di ruang tamu para pejabat di Jakarta, di tas cendera mata konferensi internasional di Bali, ―Indonesia‖ adalah batik, ukiran garuda, kain songket.... Hiasan-hiasan yang tak lagi jadi pemanis, tapi penanda. Dalam sejarahnya, penanda itu lama-kelamaan mengeras, membeku, memberati. Perannya sebagai ornamen hilang; ia bisa ditampilkan dengan selera estetik yang minimal dan dorongan komunikatif yang maksimal. Dalam perkembangannya, gambar ―garuda‖ harus dibuat sesuai dengan standar, sesuai dengan kelaziman, agar mudah dipahami, meskipun bentuknya kaku. Ia bukan lagi karya desain. Ia pesan ideologis. Umumnya didukung kekuasaan, ia diulang-ulangi sebagai mantra visual. Ia kegemaran para pejabat yang cemas bila melihat apa saja yang baru dan tak biasa. Ia, penanda yang membeku itu, dijaga para birokrat, makhluk yang hidup dengan s.o.p. Bersama itu, apa yang disebut Indonesia terjerat. Ia mengalami osifikasi.

―identitas‖

Catatan Pinggir | 149

Gejala ini sudah lama sebenarnya. Sejak elite sosial-politik kita bertemu dengan manusia lain dan dunia lain, persoalan ―identitas‖ jadi kerepotan yang tak hentihentinya. Imperialisme Eropa, yang merengkuh pelbagai jenis manusia dari pelbagai sudut muka bumi, membuat pertemuan itu sebuah perubahan sejarah. Sering kali traumatis. Edward Said dengan tepat menguraikannya: ―Imperialisme berhasil mengkonsolidasikan campuran kebudayaan dan identitas dalam skala global,‖ tulisnya di akhir buku Culture and Imperialism. ―Tapi pemberiannya yang terburuk dan yang paradoksal adalah memungkinkan orang untuk yakin bahwa mereka hanyalah, semata-mata, Putih, atau Hitam, atau orang Barat, atau orang Timur.‖ ―Memungkinkan orang untuk yakin‖ butuh kekuasaan dan hegemoni. Membuat orang yakin bahwa dirinya ―hanyalah, semata-mata‖ Timur adalah membuat penanda identitas jauh dari percampuran: batik, garuda, dan lain-lain itu harus mengikuti tradisi; si bumiputra, si inlander, mesti ―asli‖. Syahdan, sejarah imperialisme mencatat sejumlah ―pameran kolonial‖, sejak abad ke-19 sampai dengan abad ke-20. Di Jerman pameran itu juga disebut Völkerschauen, tempat manusia dari tanah jajahan didatangkan dan dipertontonkan di kota-kota besar Eropa. Dari sini, yang ―eksotis‖ pada manusia non-Eropa dikukuhkan. Mulamula dengan sikap menghina, pada gilirannya ia jadi daya

Catatan Pinggir | 150

tarik. Tapi dengan itu pula stereotipe tentang Sang Lain diproduksi dan disebarluaskan. Dalam sepucuk surat bertanggal 9 Januari 1901, Kartini menceritakan sepasang tamu Eropa yang datang ke Jepara untuk menemuinya dan adik-adiknya: ―Aku yakin orang tidak akan memberikan seperempat perhatian mereka kepada kami [seandainya kami tidak] memakai sarung dan kebaya, melainkan gaun; [seandainya] selain nama Jawa kami, kami punya nama Belanda....‖ Ada nada sarkastis yang halus pada kalimat itu. Ada kepedihan merasakan ditatap dalam jerat ―identitas‖. Ada rasa geli yang getir karena dilekati label eksotis dan penanda yang keras, beku, memberati. Saya tak akan heran jika hal itu juga yang membuat para siswa STOVIA menyimpan bara pembangkangan kepada pemerintah kolonial dalam diri mereka: mereka harus mengenakan pakaian daerah, tak diizinkan berpakaian jas dan pantalon, sebagaimana mereka, ketika jadi dokter, hanya boleh naik kereta kelas dua, tak boleh kelas satu—meskipun orang Eropa yang lebih rendah jabatannya mendapat privilese itu. Saya bisa membayangkan bagaimana sedihnya Raden Saleh, sepulang kembali ke tanah kelahirannya, ditolak Ratu Belanda ketika ia memohon satu hal:

Catatan Pinggir | 151

diperkenankan mengenakan kostum marinir Belanda, meskipun seragam itu sudah tak dipergunakan lagi.... Pemerintah kolonial, kita tahu, memisah-misahkan manusia dalam apartheid agar bisa dikuasai. Tapi kadangkadang wajahnya manis: wajah pelindung ―identitas‖ pribumi, penganjur tradisi (yang tak jarang ―feodalistis‖), dan segala hal yang diberi label ―asliâ‖. Kemudian meledak Revolusi 1945. Dalam kebudayaan, semangat revolusi itu ditandai semangat menghancurkan penanda-penanda yang membeku. Merdeka juga berarti melepaskan diri dari osifikasi ―jati diri‖. Chairil Anwar dan teman-temannya disebut sebagai ―Angkatan 45‖, tapi tampak: elan perlawanan mereka tak diwujudkan dalam pekik ―nasionalisme‖ yang lazim, yang umumnya dikaitkan dengan tahun 1945. Kalimat terkenal dalam manifesto mereka, Surat Kepercayaan Gelanggang, yang terbit pada 1949: Kami tidak akan memberikan suatu kata-ikatan untuk kebudayaan Indonesia. Kalau kami berbicara tentang kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk

Catatan Pinggir | 152

dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan baru yang sehat. Dengan itulah generasi Chairil memerdekakan kita: menerjang kebekuan. Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 153

Catatan Pinggir | 154

Fobia Senin, 22 Agustus 2016

B

AGIAN yang menyedihkan dalam sejarah adalah ketika tak ada lagi orang-orang tak bersalah. Jika benar seorang ulama di wilayah Queens, New York, ditembak kepalanya dari jarak dekat, hanya karena ia muslim atau berpakaian seperti orang Timur Tengah, maka ia seseorang yang dianggap terlibat dengan kejahatan, bahkan kekejaman, di tempat lain, di waktu lain, yang dilakukan atas nama Islam. Maulama Akonjee seorang imam masjid yang halus budi, tapi orang yang menembaknya memastikan ia ikut dalam satuan politik orang-orang jahat. Label sudah dipasang. Dendam bisa dibalaskan kepadanya. Kini orang-orang berbicara tentang ―Islamofobia‖ yang berjangkit di Eropa dan Amerika. Kata ―fobia‖— sebagaimana halnya dalam ―komunistofobia‖, ―xenofobia‖, dan pelbagai bentuk penolakan kolektif—tak sepenuhnya tepat. Yang berkecamuk bukan cuma gejala kejiwaan sosial. Mungkin ini lebih berupa gema sejarah konflik politik yang panjang, yang melibatkan orang ramai secara luas, ketika agama dikibarkan dalam keyakinan dan kebencian.

Catatan Pinggir | 155

Tak mudah menemukan dari mana mulainya. Bisa disebut tahun 852, ketika sebuah armada ―Saracen‖ dengan 73 kapal mendarat di pulau Ostia dan menyerbu ke darat, menuju Roma. Gereja St. Petrus dan St. Paulus dibakar. Dengan segera, Paus yang baru, Leo IV, yang sudah membangun tembok melindungi bukit Vatikan, membentuk angkatan laut bersama penguasa kota Napoli, Amalfi, dan Gaeta. Perang pun berlangsung. Roma menang. Tujuh abad kemudian Rafaelle mengabadikannya dalam lukisan yang menghiasi salah satu istana Vatikan: di kanvas sebelah kanan, tampak sisa-sisa armada ―Saracen‖ yang kalah, dibelenggu dan dijambak rambutnya oleh tentara Kristen dengan pedang terhunus; di tengah, kapalkapal yang berantakan; di kanvas sebelah kiri, tampak Paus menatap ke langit, berterima kasih kepada Tuhan yang telah mengirim taufan yang memporak-porandakan armada ―Saracen‖. Tampaknya taufan yang datang hari itu dianggap pertolongan Ilahi kepada pasukan Kristen—memperkuat apa yang kemudian berulang: iman sangat penting dalam peperangan. Sebenarnya tak ada tanda bahwa orang ―Saracen‖ menyerbu atas nama Islam; umumnya mereka perompak

Catatan Pinggir | 156

yang menjarah harta. Kata ―Saracen‖ konon berasal dari Yunani, Sarakenos. Ada yang mengatakan, aslinya memang dari bahasa Arab, syarqiy, ―dari Timur‖, orangorang dengan warna kulit gelap. Dalam perkembangannya kemudian, sejak Perang Ostia, di masa Abad Pertengahan akhir, dikotomi ―Timur‖ dan ―bukan-Timur‖ beralih jadi ―Islam‖ dan ―Kristen‖. ―Saracen‖ juga sebutan bagi muslim di Albania dan Chechnya. Tiga abad setelah kemenangan Paus di Ostia, sebuah konflik yang kian mengukuhkan posisi agama sebagai motif utama berkecamuk: Perang Salib. Perang yang bermula di abad ke-11 ini dikobarkan oleh Paus Urbanus II untuk merebut Yerusalem. Tapi ada sejumlah perang yang disebut ―Perang Salib‖, dalam skala besar dan kecil, sampai dengan abad ke-13. Tak selamanya yang diperebutkan Tanah Suci, dan tak selamanya melawan Turki. Tapi ―Turki‖ tetap jadi sosok yang negatif. Tahun 1453, Sultan Muhammad II merebut Konstantinopel, mengakhiri imperium Byzantium. Tahun 1526, Sultan Sulaiman I (1520-1566) menaklukkan Hungaria. Suasana terancam menyebabkan Martin Luther sejak 1528 berbicara. Bapak Protestantisme ini menyatakan bangsa Turki ―perampok dan pembunuh‖. Catatan Pinggir | 157

Merasa bahwa mereka sudah di ambang pintu dunia Kristen, Luther melihatnya sebagai peringatan Tuhan tentang sudah dekatnya hari Kiamat, agar umat Kristen bertobat. Tapi Luther juga melihat bahaya sebaliknya: Islam bisa memikat. Dalam komentarnya atas sebuah risalah tentang agama dan adat-istiadat orang Turki, yang disiarkan pada 1830, Luther melihat kelebihan ―agama orang Turki dan Muhammad‖ dalam adat-istiadat. Ada kesederhanaan soal ―makanan, busana, tempat tinggal... juga dalam hal puasa, bersembahyang, dan berhimpun‖. Seraya menyerang kaum Katolik, Luther mengatakan ia ―sepenuhnya yakin, tak akan ada penganut Paus, rahib, dan padri yang mampu tetap dalam iman mereka andai mereka tinggal tiga hari saja bersama orang Turki‖. Ada selalu drama dan hiperbol dalam gambargambar besar sebuah konflik—drama yang menutup pelbagai hal yang di luar pola umum. Pada 1687, filosof Leibniz menyebut ―wabah Islam‖, la peste de mahometisme, di Eropa. Seperti dikatakan Ian Almond dalam History of Islam in German Thought, Leibniz memahami Islam pada hakikatnya sebuah satuan politik. Dalam hal itu, ia, yang menganggap Islam ―wabah‖, sama dengan kaum Islamis yang kini menganggap diri sebagai wakil Islam yang sah. Islam: sebuah satuan politik yang tak memungkinkan perbedaan,

Catatan Pinggir | 158

dalam satu label. Di sana, tiap orang terlibat. Tak ada yang tak bersalah. Tak ada yang bisa tak ikut, untuk membunuh atau dibunuh. Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 159

Catatan Pinggir | 160

Huesca Senin, 29 Agustus 2016

S

ejak 1948, puisi itu selalu menggetarkan. Kita, di Indonesia, akan mengenangnya—meskipun dari sebuah terjemahan—sebagai bagian dari pukau yang bernama Chairil Anwar. Jiwa di dunia yang hilang jiwa Jiwa sayang, kenangan padamu Adalah derita di sisiku Bayangan yang bikin tinjauan beku Chairil telah menunjukkan, menerjemahkan, khususnya puisi, bukanlah mengikuti sesuatu yang sudah ada, melainkan mencipta. Ia melintasi asal-usul. Dalam bentuk aslinya, ―Huesca‖ adalah empat bait yang akrab dengan hidup seorang John Cornford. Penyair Inggris itu menuliskannya sebelum ia tewas dalam Perang Saudara Spanyol pada hari ulang tahunnya, 27 Desember 1936. Umurnya baru 21 tahun. Sebelumnya, dalam pertempuran di Madrid melawan pasukan Fasis, ia terluka di kepala. Puisi itu lahir ketika ia dirawat: sebuah sajak cinta yang murung, di saat hidup akrab dengan kematian:

Catatan Pinggir | 161

Dan jika untung malang menghamparkan Aku dalam kuburan dangkal Ingatlah sebisamu segala yang baik Dan cintaku yang kekal Tapi kemurungan itu bukan segalanya—hanya melintas, mendorong, tak menenggelamkan. Sajak cinta itu bahkan melampaui dirinya sendiri sebagai sajak cinta. Sang penyair tahu ia sedang di ambang pertempuran yang menentukan dengan merebut Kota Huesca, sebuah wilayah yang jadi ―pagar penghabisan dari kebanggaan kita‖. Sang penyair tahu ia bisa dibunuh dan membunuh. Tapi bukan untuk dirinya sendiri. Ia ingin menemukan sesuatu yang berharga di dunia yang kehilangan harga. Di sini Chairil tak mengungkapkan apa yang tersirat dalam sajak penyair Inggris itu. ―Jiwa di dunia yang hilang jiwa‖ (dalam versi Chairil) berbeda dengan kalimat “the heart of the heartless world” (dalam sajak Cornford). Kata “heartless” sama dengan ―tak berperasaan‖ atau ―bengis‖. Kata ―hilang jiwa‖ bisa berarti ―mati‖. Cornford agaknya menulis dengan gaung kalimat Marx yang terkenal tentang "[einer] herzlosen Welt”, dunia yang tak punya hati dan perasaan. Cornford seorang komunis yang yakin, tapi ia juga penyair, bukan penghafal doktrin. Bagi Marx ―penghibur‖

Catatan Pinggir | 162

atau ―penawar‖, das Gemacht, dalam dunia yang bengis itu adalah agama, yang akhirnya jadi candu yang memperlemah manusia. Bagi Cornford, penawar itu cinta, kenangan tentang kebaikan, harga diri bersama (―kebanggaan kita‖), tekad untuk mengakhiri keadaan yang tak punya tempat bagi hal-hal yang tak ternilai itu. Sajak itu ditulisnya buat Margot Heinemann, kekasihnya yang ia tinggalkan di London. Tapi gadis ini juga kawan seperjuangan. Margot, mahasiswa Cambridge yang aktif dalam gerakan Kiri, sejak 1934 bergabung dengan Partai Komunis Inggris. ―Huesca‖ adalah sajak cinta dan sekaligus sajak politik. Paduan itu membuat empat bait itu begitu tulus hingga tak berteriak. Tak ada slogan. Suasananya menyentuh, melintasi batas. Cornford dan Heinemann tak datang dari kelas buruh. Ayah John guru besar sejarah kuno di Universitas Cambridge, ibunya penyair; ia keturunan Charles Darwin. Margot anak seorang bankir yang mendukung Partai Buruh. ―Kami semua... sekutu yang wajar kelas pekerja,‖ kata perempuan yang tak pernah meninggalkan Partai itu, biarpun ia pernah kecewa. Baginya, di hari-hari itu, yang mereka lakukan bukanlah melampaui latar belakang kelas borjuis mereka, melainkan mencoba menyatukan semua Catatan Pinggir | 163

golongan dengan kehendak yang sadar untuk ―menghadapi Fasisme dan perang‖. Ketika kaum Fasis mengambil alih kekuasaan di Spanyol dan kaum Republiken bangkit melawan, sebagian dunia bergerak. Menggetarkan hati bahwa ribuan orang— termasuk sederet sastrawan dan perupa terkenal—bersedia bertempur bersama di pelbagai tempat di Spanyol. W.H. Auden, Dos Passos, Hemingway, Malraux, Picasso, Orwell (yang juga terluka dalam pertempuran).... Di London, Margot aktif mengedarkan pamflet dan menghimpun rapat umum. John bergabung (bersama kaum kiri dari segala penjuru dunia) dalam Brigade Internasional. Ia berangkat ke Spanyol. Pertengahan Juni 1937, ia ada di antara 17 ribu orang yang mengepung Huesca, kota di timur laut yang dikuasai kaum Fasis itu. Tapi mereka tak sekuat semangat mereka. Setelah bertempur sepekan, mereka gagal. Sekitar 9.000 pejuang tewas. Jasad Cornford tak ditemukan—tak juga di kuburan dangkal. Agaknya ia tak menyesal. Ia tak pernah membayangkan kematian yang heroik. Sebuah sajaknya menggambarkan, dengan lugas, betapa tak agungnya seorang pejuang yang gugur: “Death was not dignified.” Heinemann yang menulis elegi untuk kekasihnya tahu: gugurnya John dan rekan-rekan yang terbaik dan paling

Catatan Pinggir | 164

berani adalah hal yang tak bisa ditebus, tapi bisa ditanggungkan. All this is not more than we can deal with. Spanyol, 1930-an: mungkin buat terakhir kalinya dalam sejarah, energi bangkit untuk mengukuhkan sesuatu yang universal dalam hidup manusia—dan ada orangorang siap mati untuk itu. Meskipun kalah. Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 165

Catatan Pinggir | 166

Molek Senin, 12 September 2016

A

DA apa dengan Picasso? Atau Sudjojono? Di sekitar 1950, sewaktu Sudjojono belum 40 tahun, ia memutuskan sesuatu yang tak biasa: bersama seniman lain naik sepeda dari Yogya ke Jakarta. Tujuan mereka mendesak Presiden Sukarno agar menyetujui ide Sticusa, sebuah lembaga kebudayaan Belanda di Jakarta, menyelenggarakan pameran besar karya-karya perupa Eropa abad ke-20: Picasso, Matisse, Braque. Cerita ini saya petik dari kesaksian Willem Mooijman, yang waktu itu bekerja di Sticusa. Saya menemukannya dalam buku yang menarik tentang sejarah seni dan kesenian Indonesia antara tahun 1950 dan 1960, Ahli Waris Budaya Dunia, yang disunting Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem. Sejauh mana Mooijman akurat, saya tak tahu. Yang jelas, sejarah Indonesia setelah kemerdekaan tak pernah mencatat adanya pameran besar kanvas Picasso. Sudjojono gagal. Bung Karno menolak. Mungkin Sudjojono tak tahu betapa rumitnya membuat pameran seperti itu. Mungkin juga selera seni

Catatan Pinggir | 167

rupa Bung Karno lain: bukan Picasso yang terpukau seorang perempuan dan membuat wajahnya seakan-akan retak. Bung Karno lebih menyukai perempuan dengan paras makin cantik dan tubuh menonjol. Baginya itulah yang ―indah‖, seperti lukisan kembang sumringah, gunung dan laut biru, sawah menguning. Sudjojono, kita tahu, mencemooh selera ―Mooi Indie‖ macam itu. Bagi penikmat ―Hindia yang molek,‖ kata Sudjojono, ―semua serba bagus dan serba romantis, semua serba enak, tenang, dan damai.‖ Ia menghendaki perupa Indonesia melukiskan pabrik gula dan petani lapar, mobil si kaya dan celana kumuh si miskin. Sudjojono, yang kemudian jadi wakil Partai Komunis di parlemen, ingin menunjukkan realitas Indonesia bukan sawah dan angin sepoi-sepoi basa. Realitas: pertentangan kelas. Tapi menarik bahwa Sudjojono lebih menginginkan pameran karya Picasso, Braque, dan Matisse dari Paris, bukan karya-karya Gerasimov dan Brodsky dari Moskow. Jika kita lihat lukisannya, Cap Go Meh, yang menghadirkan wajah-wajah ganjil, buruk, dan seram, Sudjojono tak akan cocok dengan formula Lunacharski, menteri kebudayaan Soviet yang diangkat Lenin; Lunacharski menghendaki representasi ―tubuh yang sehat, wajah yang ramah, dan senyum yang cerdas dan bersahabat‖.

Catatan Pinggir | 168

Dengan kata lain, Lunacharski juga menghendaki yang ―serba bagus‖, tenang, dan tertib. Stalin kemudian menegaskannya lebih jauh dengan mengharuskan optimisme—demi pembangunan. Mungkin bukan kebetulan jika di Jerman Hitler juga memaklumkan doktrin yang mirip. Nazi mengganyang seni rupa seperti karya Otto Dix sebagai Entartete Kunst, ―seni rupa bobrok‖, karena di kanvas itu wajah dan tubuh tampak peyot seperti sakit oleh hidup yang terluka. Dengan kata lain, penampilan tubuh harus sejalan dengan penertiban manusia: tata harus ditegakkan di atas hidup yang bergejolak—sesuatu yang juga tersirat dalam estetika ―Hindia Molek‖. Sebab ―Mooi Indie‖ adalah kanvas-kanvas yang mandul, bahkan mati. ―Hindia Molek‖ mengemuka karena sudut pandang kolonialisme. Kolonialisme tak ingin citra koloni adalah kehidupan yang resah, kegelisahan di bawah represi. Semua tenang, karena semua terkendali. Semua tampak statis, melalui ―tatapan kolonial‖: melalui fokus dan pigura yang dipegang erat sang penjaga Orde. Wajar jika estetika ―tatapan kolonial‖ tak menghendaki ―the shock of the new"—guncangan sesuatu yang baru, yang tak terduga-duga, yang menyeruak dalam karya-karya Picasso, Braque, Dali, dan lain-lain, seperti pernah diuraikan penulis sejarah seni rupa Robert Hughes. Guncangan itu disebut ―modernisme‖. Yang ―molek‖ Catatan Pinggir | 169

bukan lagi kembang dan perempuan mekar. Segala formula dan kategori dibabat. Duchamp memajang tempat kencing bikinan pabrik sebagai karya seni. Sebenarnya dengan semangat semacam itu juga Sudjojono membangkang. Seniman Indonesia harus melukis pabrik gula, katanya—tanda perubahan dari masyarakat lama. Namun, dengan begitu, perlawanan terhadap tatapan kolonial ini tak akan kembali ke dunia pra-pabrikgula. Sebab kehidupan yang sering dianggap sebagai dunia ―Timur‖ yang anteng itu diam-diam cocok dengan tatapan kolonial: mandek, dan karena itu eksotis. Itu sebabnya, bagi Sudjojono, kesenian Indonesia harus ―ke Barat, untuk menuju Timur‖. Maka ia ingin Picasso, bahkan siap bekerja sama dengan Sticusa yang Belanda. Sebab ada apa dengan "Barat"? Dengan "Timur"? Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 170

Angsa Senin, 19 September 2016

J

akarta punya sejarah yang panjang, tapi punyakah ia nostalgia? Kota bergerak kian cepat; pada saat yang sama kian sedikit penghuni yang memandang foto-foto lama sebagai bagian dari riwayat mereka. Di Jakarta generasi manusia, gedung, dan peta berganti berkali-kali. Kita punya Chairil Anwar (mungkin dia satusatunya), yang sekilas mencatat satu adegan Jakarta modern di ujung 1940-an—bioskop Capitol memutar film Amerika, anak-anak muda menunggu trem dari Kota— tapi tak ada yang melihat kembali bagian yang ditinggalkan. Dengan murung atau tidak. Transformasi tentu juga dialami kota lain. Paris di abad ke-19, misalnya, berganti rupa mirip ciptaan baru: pada 1853, Napoleon III menugasi Baron Georges-Eugène Haussmann untuk mengubah Paris. Kembali dari pembuangan selama 12 tahun di London, penguasa itu benci ibu kotanya sendiri. Selama ia absen, jumlah penduduk meningkat dari 759 ribu jadi sejuta lebih. Kolera dan tifus membunuh ribuan orang. Dibandingkan dengan London masa itu,

Catatan Pinggir | 171

Paris berantakan dan sesak napas. Napoleon, yang melanjutkan kekuasaannya melalui kudeta dan jadi diktator, ingin pusat kerajaannya punya lampu terang, udara bersih, air jernih, taman luas, dan avenue dengan deretan pohon. Haussmann dianggap pejabat yang tepat untuk transformasi itu. Birokrat bertubuh tinggi besar ini terkenal pintar di perguruan tinggi. Menteri Dalam Negeri menggambarkannya sebagai ―salah satu dari orang paling luar biasa di zaman kita‖. Dan Haussmann, yang bisa omong nonstop selama enam jam, bersedia menyimak ketika Napoleon III berkata: ―Ini yang saya mau.‖ Dibentangkannya peta Paris yang diberi tiga garis tebal, satu dari utara ke selatan dan dua dari timur ke barat. Artinya, sejumlah wilayah padat— yang juga bersejarah—harus dibongkar. Maka ―Haussmannisasi‖ pun dimulai. Sekitar 12 ribu bangunan dihancurkan, buat memperbaiki wilayah Opéra National de Paris dan akses ke pasar Les Halles. Stasiun-stasiun kereta api baru didirikan dan dihubungkan dengan jalan raya yang lempang dan lebar. Boulevard sepanjang 137 kilometer terentang. Tapi tak cuma itu. Juga deretan tiang lampu, kios surat kabar, dan pajangan di 27 taman dan lapangan. Di bawah tanah, Haussmann memasang jaringan saluran

Catatan Pinggir | 172

limbah kota; dibangunnya juga akuaduk dan cadangan air minum bersih. Tak semua orang menyaksikan transformasi itu dengan antusias. Baudelaire menuliskan sajak-sajaknya yang terkenal dari kegundahan menapak Paris dalam desain Haussmann. Penyair yang selama hidupnya berpindah dari tempat ke tempat di kota itu suatu hari lewat di Place du Carrousel, dekat Museum Louvre. Wilayah ini dulu jadi pusat penjual buku dan karya seni. Ketika Baudelaire menyaksikannya, para pedagang itu sudah dipindahkan. Rumah-rumah kecil yang jadi kedai sudah hilang. Di sajak ke-89 dalam kumpulannya Les Fleurs du mal, ia pun menulis: Paris lama tak lagi di situ! (Sebuah kota berubah bentuk lebih cepat ketimbang hatiku). Di bait berikutnya ia menyebut bagaimana ia, di suatu pagi, melihat seekor angsa lepas dari kandang, tapi tak menemukan air lagi. Bulunya yang putih menyusuri tanah. Di parit yang kering ia membuka paruhnya yang berlumur debu, bertanya: ―Air, kapankah kau turun dalam hujan?‖ Angsa itu sebuah alegori: makhluk elok bukanmanusia yang menanggungkan ambisi, kepentingan, dan kalkulasi manusia—seperti alam dan mereka yang di Catatan Pinggir | 173

pinggiran terancam perluasan kuasa teknologi dan modal. Baudelaire mempersembahkan Le cygne buat Victor Hugo yang waktu itu hidup di pengasingan. Kita tahu ke mana pengarang Les Miserables itu berpihak: bersama para nestapa. Tapi suara Baudelaire bukan nostalgia. Masa lalu tak semuanya indah. Bait pertama Le cygne menyebut nama dalam khazanah lama, Andromache, perempuan Troya yang suaminya gugur dan negerinya dibinasakan dengan bengis oleh yang lebih kuat dan ia jadi budak. Air matanya mengalir, membentuk sungai kecil yang dalam mithologi Yunani juga dewa, Simoeis. Dengan tak langsung, Le cygne mengingatkan ada yang kalah hari ini, tapi juga dulu dan nanti—dan itulah yang menyedihkan dalam sejarah manusia. Tentu saja bisa ditambahkan: air yang mengalir itu bisa jadi energi. Peradaban bisa terbangun. Kalimat Walter Benjamin yang sering dikutip itu rasanya benar: ―Kisah peradaban adalah juga kisah kebiadaban.‖ Saya tak tahu apakah dengan itu Benjamin bisa menjelaskan bahwa ―Haussmannisasi‖ yang brutal pada akhirnya menjadikan Paris menarik, dan seorang flaneur bisa kluyuran di celah-celahnya, memandang dengan rasa tertarik dan cerdas deretan komoditas di sekitarnya.

Catatan Pinggir | 174

Di Jakarta, kita tahu, tak mudah lagi kita kluyuran. Mungkin hanya jauh di malam hari: ketika jalan lengang, ketika terang dan gelap saling menyeling, dan kota— dalam ketenangan dinihari—jadi sebuah ilusi. Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 175

Catatan Pinggir | 176

Rakyat Senin, 26 September 2016

Setelah pembangkangan 17 Juni itu, Sekretaris Persatuan Pengarang membagikan selebaran di Jalan Raya Stalin. Dikatakannya bahwa rakyat telah melanggar kepercayaan Pemerintah, dan hanya bisa menebusnya kembali dengan usaha berlipat ganda. Tidakkah dalam hal ini sebenarnya lebih mudah bagi Pemerintah untuk membubarkan rakyat dan memilih rakyat yang baru? – Bertolt Brecht (1953)

P

agi hari di pertengahan Juni 1953, buruh bangunan di satu bagian timur Berlin memulai sesuatu yang semula tak terpikirkan di bawah kekuasaan Partai Komunis: mereka mogok. Mereka berontak. Sudah sejak musim semi ketakpuasan menjalar: upah dirasakan tak cukup dan penghasilan timpang. Kepada para pejabat Partai dan serikat pekerja Bolsyewik

Catatan Pinggir | 177

yang datang membujuk, seorang buruh berseru, ―Perut kalian buncit, tapi coba lihat kami; penghasilan kalian tak cuma 144 mark; kalian mendapat 1.200.‖ Dan ketika masih diulang anjuran agar buruh bekerja keras ―untuk masa depan yang lebih baik‖, mereka pun membuang semua alat kerja dan turun ke jalan. ―Kami bukan budak,‖ teriakan terdengar. Dengan segera buruh di tempat lain bergabung. Pemogokan jadi protes politik. Keberanian berkembang di pelbagai kota Jerman Timur. Penduduk melucuti polisi, mengepung kantor Partai Komunis, dan menyerbu penjara, membebaskan para tahanan. Tanggal 17 Juni 1953 jadi tanggal pembangkangan. Semua berakhir setelah tank-tank Uni Soviet datang memadamkannya dan korban jatuh. Dengan humor yang getir, Brecht (ia sudah dikenal sebagai pengarang Komunis terkemuka yang tinggal di Jerman Timur) menulis sajaknya yang saya kutip di atas. Dan kita pun berpikir: mungkinkah rakyat dibubarkan? Bisakah ―rakyat yang baru‖ dipilih Pemerintah? Brecht memakai kata das Volk. Dalam bahasa Jerman setelah runtuhnya Nazi, kata itu lebih terlepas dari pengertian etnis. Kita menerjemahkannya dengan ―rakyat‖. Kata ini sudah ada dalam naskah Nusantara lama, tapi maknanya berubah setelah bangkitnya gerakan politik untuk kemerdekaan di abad ke-20. Majalah Fikiran Ra'jat didirikan Bung Karno pada awal 1930-an misalnya.

Catatan Pinggir | 178

Di sampulnya ada kalimat: "Kaoem Marhaen! Inilah madjallah kamoe!" ―Rakyat‖, dengan kata lain, identik dengan ―marhaen‖, anggota lapisan sosial yang miskin. Namun ia bukan lagi orang bawahan yang hanya dihimpun untuk menuruti titah raja seperti dalam Sejarah Melayu. Rakyat di abad ke-20 telah jadi subyek yang menderita tapi ber―fikir‖. Ia dibayangkan homogen, padu, kuat—juga setengah misterius karena hanya bisa sedikit jelas definisinya bila dihadapkan dengan yang ―bukan-rakyat‖. Biasanya, yang ―bukan-rakyat‖ itu ―Pemerintah‖— yang dianggap ditentukan rakyat. Rakyat yang berdaulat mendasarinya. Saya bayangkan ―Pemerintah‖ seperti bahtera di atas laut dalam; laut itulah ―rakyat‖ yang terusmenerus ada dan dianggap perkasa dan utuh. Sajak Brecht di atas bermain-main dengan pintar: ia tahu tak mungkin ada Pemerintah yang memilih rakyat baru. Bahtera itu yang datang dan pergi. Laut tetap. Tapi analogi itu tak selamanya pas. Rakyat bisa terbentuk baru. Di Jerman Timur Juni 1953 itu, buruh di pelbagai tempat, berbareng dalam ketakpuasan yang setara dengan penduduk lain, jadi ―rakyat‖ hampir seketika. Dalam ―revolusi sosial‖ yang meletus di Sumatera Timur pada 1946—yang mencoba menumbangkan kekuasaan kaum bangsawan Melayu—rakyat terbentuk jadi baru sebagai suara amarah, menghadapi satu hal yang membuat Catatan Pinggir | 179

mereka terpadu dan jadi kekerasan. Sejumlah besar kerabat Kesultanan Melayu Asahan dibunuh. Di hari-hari yang ganas itu, ―rakyat‖ adalah suara yang menghendaki keadilan tapi juga kekuatan yang menggila. Di Berlin, pertengahan Juni 1953, rakyat terbentuk dan sekaligus berubah. Ia bukan lagi nama yang menggerakkan cita-cita sosialisme. Ia barometer sebuah defisit: ia menunjukkan kekurangan dan ketimpangan sosial. Tapi ia juga satu kekuatan yang tak-rasional, yang meledak tanpa menimbang kekuatannya sendiri. Maka ―rakyat‖, yang selama itu dikendalikan dan diwakili Partai, makin tak bisa diandalkan. Rakyat, kata Brecht, telah ―melanggar kepercayaan Pemerintah‖. Wajah ―rakyat‖ yang dua-sisi itu kembali setelah Republik Demokrasi Jerman roboh pada 1989. Kini tak ada partai yang legitimasinya tak bergantung pada rakyat. Tapi dalam suasana serba waswas akan terorisme, pendatang, dan Islam, tampak wajah irasionalitas lain. Kini orang berbicara tentang ―populisme‖, yang menganggap suara cemas adalah suara sah Jerman yang tak bisa diwakili elite politik mana pun. Di Indonesia, sesuatu yang lain berlangsung. Partai-partai dan parlemen (tanpa mengikuti Brecht) seakan-akan telah ―membubarkan rakyat dan memilih rakyat yang baru‖. Politik hanya transaksi di antara

Catatan Pinggir | 180

oligarki. Rakyat yang baru mereka bentuk: sebagai gema dari jauh. Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 181

Catatan Pinggir | 182

Aura Senin, 03 Oktober 2016

A

da suatu masa ketika raja dan kesatria menghilang. Para pangeran Pandawa lenyap ke dalam rimba selama 13 tahun; Rama menyingkir dari istana Ayudhya dan hidup dalam belantara hampir satu setengah dasawarsa. Dalam kedua wiracarita itu hutan meniadakan penampilan; tapi hidup jadi bagian ritus ke arah kemenangan. Dalam tradisi Veda, ritus itu disebut vanaprastha, ―menyingkir jauh ke dalam rimba‖. Di sana, meskipun tak selamanya diartikan harfiah, tak tampak di depan umum mengisyaratkan hidup yang tak lagi digoda kekenesan dan nafsu lain. Keadaan itu meruapkan sebuah aura tersendiri— satu hal yang juga terjadi dalam sejarah politik modern. Di Ekuador, Velasco Ibarra, presiden yang hidup dalam pengasingan, dikenal sebagai El Gran Ausente: ia absen dan ia hebat dalam ketidakhadirannya. Pada 1933 ia dipilih dengan 80 persen dari suara yang masuk, tapi kudeta militer menjatuhkannya. Velasco pun hidup sebagai eksil, tak tampak di tanah air, tapi kemudian muncul kembali dan berkuasa (meskipun kemudian

Catatan Pinggir | 183

dijatuhkan lagi). Velasco tak pernah sepenuhnya kalah. Pada 1968, ia menang buat kelima kalinya; usianya 75 waktu itu. Kali ini pun ia dikudeta, tapi Ekuador tak bisa menghapus El Gran Ausente dari ingatan. Absen dan aura juga terpaut dalam sejarah Iran abad ke-20. Ayatullah Khomeini menentang kebijakan Shah yang berkuasa. Ia pun ditangkap. Empat belas tahun setelah November 1964 itu ulama besar tersebut hidup dari tempat pengasingan yang satu ke yang lainnya: Bursa di Turki, Najaf di Irak, Neauphle-le-Château di Prancis. Selama itu, namanya semakin termasyhur, auranya membubung, dan pengaruh politiknya semakin menyebar. Aura—semacam daya yang bukan fisik yang memancar dari seseorang atau sebuah benda—terbit karena sifat unik orang atau benda itu. Tapi tak hanya itu. Juga karena ―di luar‖, karena jarak. Walter Benjamin, yang menulis satu esai yang terkenal tentang perubahan perspektif atas karya seni sesudah zaman mesin, mendefinisikan aura sebagai einmalige Erscheinung einer Ferne, penampilan unik dari sebuah jarak, betapapun dekatnya fenomena itu. ―Jarak‖ itu bisa berarti ruang dan waktu, tapi juga bisa berarti kondisi ketika ia terasa tak bisa didekati. Aura patung Durga di dalam satu ruang candi di Prambanan di Jawa Tengah terbentuk bukan saja karena kehadirannya yang remang-remang, tapi juga karena suasana yang

Catatan Pinggir | 184

tumbuh dari kemegahan kompleks pemujaan itu. Sebagaimana dibangun di abad ke-9, ada 240 candi yang tersusun dengan ukiran yang menakjubkan di wilayah yang luas itu. Aura itu kini punah. Tentu karena orang datang, dalam bus-bus yang gembira, bukan untuk menyembahnya. Benjamin menguraikan hilangnya aura pada karya seni karena dunia modern masuk dan kapitalisme dengan gampang mereproduksi karya itu: patung Rodin, ―sang pemikir‖, tak lagi menggetarkan setelah ia diperbanyak dalam pelbagai ukuran di gerai turisme. Tapi saya kira mudahnya reproduksi justru melahirkan efek sebaliknya. Aura malah tumbuh. Dalam sejarah politik modern, dalam ―pemujaan sosok pribadi‖ Stalin, Mao Zedong, Kim Il-sung, dan Bung Karno, aura justru diproduksi lewat bahasa dan gambar, slogan dan poster yang diulang-ulang mengumandangkan keagungan mereka. Di sini, aura dibentuk dalam rekayasa. Indoktrinasi diperkuat dengan kultus dan mantra ideologi. Semakin dilambungkan sang pemimpin, seperti ketika semakin banyak predikat ―agung‖ dikenakan kepada Bung Karno, semakin tak terjangkau ia oleh pemikiran dan imajinasi orang banyak. Karena posisinya, karena hierarki, seorang pemimpin mengandung enigma. Kultus mempertebal lapisan yang menutup enigma itu, Catatan Pinggir | 185

menghindari dari apa yang transparan dalam dirinya. Dengan begitu sang pemimpin seakan-akan berada di atas politik. Ia tak ikut siasat dan menunjang kepentingan diri. Ia bukan bagian politik sebagai antagonisme; ia seakanakan jadi panutan bersama. Dengan kata lain, ia tampil sebagai gema dari panggilan moral yang universal. Velasco Ibarra, misalnya, mengidentifikasikan dirinya dan pendukungnya bukan sebagai pengejar kebendaan. Yang layak diusahakan ialah ―keagungan moral‖, [la] grandeza moral, sesuatu yang abadi. Aura, jarak dari politik dan retorika moral—semua itu tak dengan sendirinya kabar baik. Dalam kultus, dalam melipatgandakan aura, seorang besar dibentuk atau membentuk diri, tapi pengalaman panjang sejarah Tiongkok telah mengajarkan sebuah pemeo: "orang besar adalah nasib malang masyarakat". Apalagi ketika antagonisme politik disikapi sebagai pergulatan moral. Publik pun akan terbelah dalam kubu-kubu yang melihat diri sebagai pembawa ―keagungan moral‖: argumenku jadi mutlak, bahkan suci sepenuhnya. Yang tak diakui ialah bahwa politik juga (yang nisbi dan terbatas) yang menentukan mana yang suci dan

Catatan Pinggir | 186

yang busuk. Tak jarang intoleransi bertaut dengan kemunafikan. Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 187

Catatan Pinggir | 188

Bhima Senin, 10 Oktober 2016

―I

A mencari air kehidupan, mungkin ia mencari kebenaran,‖ kata dalang yang semalam mengisahkan cerita Bhima yang menemui Dewa Ruci di tengah samudra. ―Mungkin kesatria itu tak tahu apa yang dicarinya dan yang akan diperolehnya,‖ katanya lagi. Saya terkesima. Semalam, di layar, saya menatap wujud kecil itu, Dewa Ruci, berkata kepada kesatria itu agar masuk ke dalam dirinya melalui telinganya. Bhima mesti meyakini yang mustahil sebagai yang mungkin. Dan ia menurut. Dan ia berhasil. Ia menerobos lubang kuping itu dan menemukan dirinya berada di dalam ruang yang tak terkira. Serat Dewa Ruci menggambarkannya sebagai ―samodragung, tanpa têpi nglangut lumaris/lêyêp adoh katingal”— samudra besar, tanpa tepi dan semua sayup tampak di kejauhan. Dalam adegan yang sering mengutip risalahrisalah kebatinan Jawa, di sanalah Bhima menyaksikan permainan empat warna: hitam, merah, kuning, putih. Warna-warna itu, menurut Dewa Ruci, merupakan imaji dari energi apa yang ada dalam diri sendiri—durmaganing tyas, terutama yang negatif, kecuali yang putih.

Catatan Pinggir | 189

Tampak benar fokus cerita ini adalah manusia dan kemampuannya mengendalikan diri dan mencapai sesuatu. Ketika di bagian berikutnya ada paparan tentang persamaan ―jagat besar‖ dengan ―jagat kecil‖, kita kembali bertemu dengan manusia sebagai penentu perspektif tentang semesta. Bahwa kemudian dikatakan tubuh hanyalah perkakas yang dikuasai yang memberi hidup, kang karya gesang, itu justru menunjukkan betapa yang kekal dekat sekali dengan kefanaan insan. Serat Dewa Ruci (yang saya baca teks yang digubah Mas Ngabehi Mangunwijaya dari Wanagiri sebagai tafsir dari karya Sunan Bonang di abad ke-15) berasal dari sebuah masa ketika manusia dianggap akan mampu mencapai kebenaran dengan puruhita, mencari dan berguru lewat jalan yang rumit—dan bisa bertemu dengan yang dicari. Belum ada kekecewaan ketika manusia, dengan kehendaknya untuk benar, ternyata melahirkan bencana. Namun ada yang perlu ditambahkan di sini. Serat Dewa Ruci, meskipun meletakkan manusia sebagai pengendali diri, tak bertolak dari norma yang sudah jadi. ―Ajaran‖ dalam teks ini bersifat pragmatis. Yang penting bukanlah kejelasan apa itu ―kebenaran‖ atau kepastian yang kita ketahui; yang penting bukanlah alasan yang logis, melainkan tindakan mengubah diri dan efeknya bagi dunia; yang utama adalah aksi, laku. Tak ada hukum ataupun aturan moral yang sudah dirumuskan.

Catatan Pinggir | 190

Sejak awal, Bhima dikatakan mencari ―air kehidupan‖. Dengan ―air‖ (tirta atau toya) sebagai perumpamaan, kita mendapat kesan betapa pentingnya apa yang dicari itu bagi hidup. Tapi sekaligus betapa tak kedap; air transparan, mengalir, luwes, selalu merespons sebuah lingkungan. Maka apabila yang dicari kesempurnaan—atau kebenaran yang membawa kesempurnaan—yang diperoleh bukan sesuatu yang mandek dalam aturan atau standar. Mungkin itu sebabnya ―kearifan lokal‖ seperti ini—berbeda dengan agama-agama yang berpegang kepada Kitab—tak menawarkan hukum. Filsafat, bagi teks ini, bukan metafisika, melainkan ―ethika‖: uraian dan penjelajahan keadaan yang memungkinkan terjadinya tindakan dan kehidupan yang ―baik‖. Tapi ―ethika‖ di sini terbatas. Dalam Dewa Ruci tak ada orang lain yang membuat semua itu berharga. Tak ada orang lain dengan siapa Bhima berbagi dalam proses pencarian dan penemuannya. Kesatria Pandawa itu meninggalkan saudara-saudaranya. Ia sendirian. Kesendirian itu lebih terasa ketika orang lain bisa berarti musuh yang tersembunyi. Bhima pergi karena Durna, guru dan juga sekutu Kurawa, hendak menjerumuskannya, dan ia pulang dari perjalanannya dengan kemampuan mengalahkan dirinya sendiri dan dunia. Selesai meresapkan ajaran Dewa Ruci ia (merasa) lebih unggul, seakan-akan seantero jagat raya bisa ia Catatan Pinggir | 191

rengkuh sekaligus, kawêngku.

sawêngkon

jagad

raya/sagung

Ada kecenderungan solipsisme yang kuat dalam Serat Dewa Ruci. Ada tendensi menganggap hanya kesadaran sendiri yang ada dalam proses pencarian kebenaran. Orang lain, liyan, hadir tanpa bekas. Mungkin karena naskah ini dilahirkan dalam ruang-ruang meditatif dan lingkungan di mana percakapan adalah percakapan hierarkis, antara guru dan murid atau orang yang berbeda tingkat keilmuan. Tak ada dialog. Maka dalam kalimat-kalimat tembang yang setengah gelap, naskah Dewa Ruci sering berakhir sebagai sesuatu yang esoterik: makin sedikit dipahami, makin mempesona. Hanya seorang dalang yang piawai yang berkata: mungkin Bhima (dan kita semua) tak tahu apa kebenaran yang dicari dan yang akan diperoleh. Dan dalang tua itu tersenyum kecil dan kita ingat: tirta adalah sesuatu yang mengalir, tak berhenti. Dengan itulah ada kearifan lain: sungguh berbahaya proses mencari kebenaran, tapi lebih berbahaya lagi setelah yang dicari ditemukan. Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 192

Dylan Senin, 17 Oktober 2016

S

aya tak mengerti Bob Dylan. Mungkin memang harus demikian: sesuatu yang memukau adalah sesuatu yang tak harus, atau bisa, dimengerti. Saya baca Tarantula, buku puisinya yang ia tulis pada umur 25 tahun atau pada 1966. Di dalamnya kata-kata bergerak bukan sebagai huruf, bukan sebagai wadah makna, melainkan sebagai bunyi: pengulangannya, konsonannya, tekanannya, panjang-pendek suku katanya: mother say go in That direction & please do the greatest deed of all time & say i say mother but it's already been done & she say well what else is there for you to do & i say i dont know mother, but i'm not going in That direction—i'm going in that direction & she say ok but where will you be & i say i dont know mother but i'm not tom joad & she say all right then i am not your mother

Catatan Pinggir | 193

Kita hidup di suatu masa ketika tak ada lagi hierarki antara makna dan bunyi, antara kata dan nada. Kita hidup di suatu masa ketika yang sastra dan yang bukan-sastra tak jelas terpisah—dan bahwa Dylan menerima Hadiah Nobel Kesusastraan menunjukkan runtuhnya struktur imajiner yang memisahkan itu. Tarantula sendiri memperlihatkan saat ketika khaos hadir di celah-celah bentuk. Yang kacau tak dijinakkan yang tertata, dan yang tertata tetap berada di dalam yang kacau. Ruang ini, dengan 4.800 karakter, terbatas untuk menghormati Dylan secara sepatutnya. Jika ada yang harus saya katakan: saya tak kagum kepada tiap kalimatnya; saya terpesona akan suaranya yang bergetar, lugu, dengan kesayuan yang tiap kali ditingkah patahan dan ironi. Tapi saya tak heran bahwa ia bergema kuat: ia bisa dibaca, atau didengarkan—rekaman suaranya yang bersahaja tapi menyentuh, dengan harmonika di mulut dan gitar di pelukan—tatkala kejadian-kejadian dilontarkan dalam headline atau dibaca keras di televisi. Tapi kita terpukau karena ada yang tak hilang dari sana: pertanyaan. How many seas must a white dove sail before she sleeps in the sand? Di tahun 1960-an, lagu ini dijadikan suara protes. Tapi kini mungkin protes itu tak lebih ketimbang sebuah sajak yang merundung kita terus-menerus.

Catatan Pinggir | 194

―Blowing in the Wind‖ pertama kali jadi termasyhur melalui suara Peter, Paul, dan Mary, trio penyanyi folk yang mewakili suasana Amerika tahun 1960-an, ketika Amerika mengirimkan anak-anak muda ke kancah Perang Vietnam, ketika kaum hitam mulai menggugat perlakuan masyarakat mayoritas putih, ketika sebuah generasi resah—antara cemas dan cinta, antara santai dan gemuruh, ketika begitu banyak pertanyaan tentang hidup tak terjawab. Perang, kematian, ketakadilan, kekejaman, tapi juga kesetiaan dan pengorbanan: pernahkah akan berakhir? Mengapa? The answer, my friend, is blowing in the wind.... Melodi itu datang ke kenangan Dylan dari sebuah negro spiritual yang lama, ―No More Auction Block‖— suara yang menusuk, ketika para budak mensyukuri kebebasan di sekitar Perang Saudara Amerika di abad ke19. ―Tak ada lagi tempat lelang, tak ada lagi lecutan, tak ada lagi garam yang disiramkan ke luka siksaan.‖ Tapi ―Blowing in the Wind‖ seakan-akan nyanyian yang lebih tua ketimbang itu, dengan kata-kata yang lebih langgeng. Dylan, yang nama masa kecilnya Bobby Zimmerman, dibesarkan dalam keluarga Yahudi pemilik toko mebel dan peralatan di Hibbing, Minnesota. Mungkin saja di kepalanya bergaung petilan Kitab Kejadian dan Ezekiel. Tapi tak berarti puisi dan nyanyi mematuhinya. Mereka menerobos peta dan mengelakkan genealogi.

Catatan Pinggir | 195

Citra Bob Dylan adalah citra anak muda yang menerobos. Ia tampil seperti penyanyi pujaannya, Woody Guthrie, yang menggubah lagu ketika mengunjungi daerah Amerika yang terpukul kemiskinan selama depresi ekonomi. Sejak ia pindah ke New York dan mengabadikan namanya di Greenwich Village, Dylan seperti berpindah bahkan dari asal-usulnya, mengaburkannya, dan muncul dalam persona yang berbeda dari saat ke saat. I'm Not There (2007) mencoba menangkap itu: film ini ―diilhami oleh musik dan pelbagai hidup Bob Dylan‖—dan enam aktor memerankan pelbagai sosok dirinya, termasuk aktor perempuan yang ulung itu, Cate Blanchett. Dengan parasnya yang feminin dan halus, rambutnya yang lebat tak tersisir, dengan suaranya yang seperti menutupi melankoli, dan puisinya yang tak linear, Dylan—seperti dalam albumnya, The Freewheelin' Bob Dylan—adalah penggubah dan pengubah: seperti ketika ia bertolak dari corak musik folk seraya menjadikannya sesuatu yang lain. Tapi ada yang tetap datang di dalam dirinya: kepekaan kepada hidup yang dicederai. Meskipun ia tak bisa jadi pembimbing. Ia menemukan yang lain. ―Aku menemukan sifat religius dan filsafat dalam musik.... Aku tak mengikuti rabi, pengkhotbah, evangelis, semua itu.‖ Anehnya, suaranya terasa lebih benar ketimbang khotbah:

Catatan Pinggir | 196

Yes, how many ears must one man have Before he can hear people cry? Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 197

Catatan Pinggir | 198

Komedie Senin, 31 Oktober 2016

D

I negeri ini, ada orang-orang yang tampil di atas podium, ada yang berjubel tampak dan tak tampak. Sebenarnya yang tampak-dan-tak-tampak itulah yang membuat sejarah. Saya ingin mengatakan: ―Indonesia‖ dimulai dari bawah; 28 Oktober 1928 bukanlah awalnya. Sebelum namanya ditetapkan, ―Indonesia‖ sudah terjadi di tempattempat yang dianggap remeh, di pinggir percaturan politik, di kehidupan yang tampaknya main-main, tapi sesungguhnya jerih-payah. Salah satunya: di dunia hiburan. Kita mulai di Surabaya. Sebelum 1928, di sini lahir sebuah usaha seni pertunjukan, Komedie Stamboel. Dalam The Komedie Stamboel: Popular Theater in Colonial Indonesia, 1891-1903, Matthew Isaac Cohen menceritakan kehidupan grup pertunjukan zaman itu dengan rinci, memikat, dan informatif. Membaca hasil penelitian sejarahnya kita akan mendapat gambaran tentang teater populer akhir abad ke-19, selera artistik produsen dan konsumennya, dengan latar sosial

Catatan Pinggir | 199

masyarakat kolonial di kota-kota. Kita akan dibawa ke tengah kehidupan orang-orang peranakan, jatuh-bangun mereka, peran artistik dan sosial mereka. Kita akan melihat dunia seni pertunjukan masa itu seakan-akan dunia burung-burung yang hinggap dari pohon ke pohon dan tanpa sengaja menebar benih. Dari situlah tumbuh sebuah kebudayaan baru yang disentuh dunia modern dan kosmopolitanisme, justru dari dunia orang ramai, orang kebanyakan, bukan dari sebuah elite yang berselera tinggi. Berangsur-angsur ini berpengaruh pada sebuah kesadaran yang terbuka. Dari situ ke-Indonesia-an terbentuk, tanpa diprogram, tanpa ideologi, dan tanpa dinding pemisah kelas, suku, dan etnis yang kedap. Sumpah Pemuda 1928 penting, tapi lebih sebagai upacara pembaptisan. Komedie Stamboel didirikan pada Januari 1891 ketika Surabaya tumbuh sebagai kota dengan penduduk hampir 130 ribu orang—sangat kecil jika dilihat sekarang, tapi sangat besar di masa itu. Mereka beragam: 90 persen ―pribumi‖, sisanya Tionghoa, Arab, Eropa, dan peranakan, dengan kekayaan dan status sosial yang tak setara. Yang menyatukan mereka: dunia urban yang baru. Matthew Isaac Cohen menyebut kota sebagai "arena of observation”, tempat saling memperhatikan, dan masyarakat di tempat-tempat padat di Indonesia sebagai "an open-gallery society”. Di masyarakat ini, apa yang

Catatan Pinggir | 200

dipamerkan, dipertunjukkan, dan disajikan di depan umum berpengaruh pada harkat sosial. Galeri terbuka adalah ruang bersama untuk mengungkapkan diri, coarticulation, dengan dinding pembatas yang mudah diterobos dan pembatasan yang tak ketat. Komedie Stamboel lahir dan tumbuh di situ. Rombongan teater ini sebuah bisnis kecil. Dalam kongsi yang memilikinya ada nama Yap Gwan Thay. Ia wiraswasta. Usahanya beragam dan manajemennya simpang-siur: firma obat tradisional ―Banyu Urip‖, pabrik limun, usaha dekorasi gedung. Ia, yang pernah dipenjara karena terlibat pemalsuan uang, oleh sebuah koran berbahasa Melayu di Surabaya pada 1899 disebut sebagai ―pujangga‖. Yap membangun beberapa gedung pertunjukan untuk Opera Cina berbahasa Tionghoa dan topeng Jawa, di samping membentuk rombongan sandiwara berbahasa Melayu. Dengan bahasa Melayu pula—yang sudah jadi i tanpa diperintahkan—Komedie Stamboel mementaskan cerita 1.001 Malam yang populer di masa itu dengan menampilkan fantasi dunia ―Arab‖. Juga lakon Nyai Dasima dan cerita Si Conat, kepala bandit dari Tangerang. Juga Pembunuhan Pangeran William van Oranye. Ada sifat gado-gado dalam sejarah sosial Komedie Stamboel, ada sifat eklektik pada pementasannya, ada campuran keragaman dalam penggemarnya. Dalam Pandji Catatan Pinggir | 201

Poestaka Armijn Pane mencatat: untuk beroleh laba, pilihan cerita Komedie Stamboel diolah untuk memenuhi selera kelompok etnis dan kelas sosial yang berbeda-beda. Tapi mungkin itu juga indikasi sebuah himpunan sedang terbentuk, melintasi pengelompokan etnis dan sosial. Pelbagai elemen—umumnya dari kalangan di luar tatanan kelas dan norma sosial yang ada—pelan-pelan mencari identitasnya sendiri. Tokoh sejarah teater masa itu, sosok utama yang dengan menarik ditampilkan Cohen, adalah Auguste Mahieu. Ia aktor, penulis lagu, manajer, sutradara—orang berdarah Jawa yang lahir di Bangkalan, Madura. Riwayatnya perlu tulisan tersendiri untuk ditampilkan. Sementara ini bisa dikatakan: ia, yang dikagumi tapi juga tak sepenuhnya diakui secara sosial karena seniman panggung dan ―Indo‖ tak pernah jadi bagian yang terhormat, adalah elemen sejarah yang nyaris tak tercatat dalam proses simbiosis dalam keanekaragaman yang kemudian bernama ―Indonesia‖. Bahasa, selera, dan posisi pinggiran yang sama mempertemukan itu. Komedie Stamboel menunjukkan bahwa bukan cuma surat kabar (―kapitalisme cetakan‖, kata Benedict Anderson), tapi juga bisnis hiburan populer berkeliling yang membangun pertemuan itu. Sungguh, Indonesia tak datang dari atas.

Catatan Pinggir | 202

Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 203

Catatan Pinggir | 204

Dusta Senin, 07 November 2016

K

ita, di negeri ini, hidup dengan politik yang sangat ramai tapi sepele. Tak ada hal-hal mendasar yang dipertarungkan—hal-hal yang mendasar karena menggetarkan hati, pikiran, dan kehidupan hampir semua orang. Pernah, dahulu, politik bisa gemuruh mirip gempa laut: politik adalah antagonisme yang membuat sebuah kekuasaan yang mapan guyah dalam tubuh dan jiwanya. Kini yang semacam itu absen. Kebenaran yang kukuh— hingga tak hanya bergaung secara partisan, tapi juga di dalam kesadaran kawan dan lawan—kini lapuk. Bahkan tidak bisa ada. Kini pertarungan bergerak semata-mata karena opini, dengan opini. Dalam situasi seperti ini saya bisa mengerti kenapa Badiou menyebut opini secara mutlak bertentangan dengan ―ethika kebenaran‖, l'éthique de la vérité. Badiou adalah salah satu dari sedikit pemikir di masa ini yang mempertahankan pandangan bahwa kebenaran bukanlah hasil bentukan sepihak; ia bersifat universal, tak tergantung posisi, waktu, dan tempat.

Catatan Pinggir | 205

Kebenaran ini muncul melintas bersama l'événement, kejadian yang mengguncang keadaan. Ketika pertempuran mati-matian terjadi pada 10 November 1945 di Surabaya, waktu itu tampak jelas keadilan dan kemerdekaan hendak direnggutkan lagi dari bangsa Indonesia. Makin tampak pula ada sesuatu yang jahat terungkap pada rezim kolonial yang hendak memaksakan kekuasaannya kembali. ―Keadilan‖ dan ―kemerdekaan‖ hari itu tak dirumuskan, tapi keduanya tetap kebenaran yang mengimbau, menggugah, dan menggetarkan saat itu, juga dalam kenangan hari ini. Ada sebuah cerita. Konon di Surabaya hari itu seorang opsir Inggris melihat seorang pejuang Indonesia muda tertidur di sebuah sudut, beristirahat dengan bedil di sampingnya ketika tembak-menembak berhenti sementara. Ia mengatakan—kalau tak salah kepada Bung Hatta yang dikawalnya—bahwa Indonesia tak akan bisa dikalahkan dalam perang di bulan November itu: di tubuh kecil itu ada suatu keyakinan yang besar. Saya kira sang opsir, di pihak seberang, tanpa banyak bicara mengakui sifat universal dari kebenaran yang mendasari keyakinan itu. Memang, selalu, di mana pun, ketika kebenaran dirumuskan jadi pengetahuan dan hukum, ketika ia dipaksakan sebagai sesuatu yang mutlak, ia tak lagi seperti ketika ia buat pertama kalinya mencekam dan menggugah; ia jadi pandangan sepihak, yakni yang sedang berkuasa.

Catatan Pinggir | 206

Hari ini politik adalah politik pandanganpandangan sepihak. Ia politik tak-peduli-kebenaran. Majalah The Economist menyebut keadaan ini, yang bercabul seperti wabah di mana-mana, sebagai politik post-truth, "pasca-kebenaran". Sebagaimana yang terjadi dalam pemilihan Presiden Amerika, dan pilkada di Jakarta, dusta, fitnah, dan manipulasi kata dan fakta berkecamuk. Para politikus dan aktivis tak lagi merasa perlu mengacu pada nilai yang universal. Berbeda dengan politik di zaman yang terdahulu. Dulu kebohongan juga disebar dan dikomunikasikan, namun dengan argumen yang mengacu pada kebenaran, meskipun kebenaran yang lemah dan hanya lamat-lamat. Dulu diam-diam masih ada pengharapan bahwa dusta yang diucapkan itu, melalui waktu dan adu pendapat, akhirnya akan bisa diterima siapa saja. Ketika para propagandis Nazi berpedoman bahwa ―kebohongan yang terus-menerus diulang akan jadi kebenaran‖, orang-orang Hitler itu sebenarnya masih mempedulikan kebenaran, meskipun dengan sikap kurang ajar dan sinis. Kini dusta dan manipulasi dilakukan tanpa peduli itu. Faktor yang baru dalam komunikasi politik yang sarat dusta kini adalah kecepatan. Teknologi, dengan Internet, membuat informasi dan disinformasi bertabrakan dengan langsung, dalam jumlah yang nyaris tak terhitung, menjangkau pendengar dan pembaca di ruang dan waktu

Catatan Pinggir | 207

yang nyaris tak terbatas. Bagaimana untuk membantah? Bagaimana memverifikasi? Pernah zaman ini mengharap Internet akan membawa pencerahan. Informasi makin sulit dimonopoli. Ketertutupan akan bocor. Dialog akan berlangsung seru. Yang salah diperhitungkan ialah bahwa media sosial yang hiruk-pikuk kini akhirnya hanya mempertemukan opiniopini yang saling mendukung. Yang salah diperkirakan ialah bahwa dalam banjir bandang informasi kini orang mudah bingung dan dengan cemas cenderung berpegang pada yang sudah siap: dogma, purbasangka yang menetap, dan takhayul modern, yaitu ―teori‖ tentang adanya komplotan di balik semua kejadian. Tak ada lagi Hakim dan Juri yang memutuskan dengan berwibawa mana yang benar dan yang tidak, mana yang fakta dan mana yang fantasi. Media, komunitas ilmu, peradilan: semua ikut kehilangan otoritas, semua layak diduga terlibat dalam orkestrasi dusta yang luas kini. Dan agama? Yang tak disadari kini: agama telah mengalami sekularisasi, ketika Tuhan jadi alat antagonisme politik, bukan lagi yang Mahasuci yang tak dapat dijangkau nalar dan kepentingan sepihak. Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 208

Yang Ditampik Senin, 28 November 2016

Y

ang ditampik, yang berdosa, yang sifilis, yang perempuan, yang tak punya apa-apa, adalah Maria Zaitun. Kita tak mudah melupakan tokoh dalam sajak Rendra itu. Dalam kesakitan ia memperkenalkan diri dengan lurus: “Maria Zaitun namaku/Pelacur yang sengsara/Kurang cantik dan agak tua”. Kita akan selalu teringat adegan dalam sajak ―Nyanyian Angsa‖ ketika pelacur lapuk itu diusir dari bordil. Sang germo menilai pekerja seks ini—komoditas ini—sudah tak akan menghasilkan uang lagi. Perempuan itu pun melangkah ke jalan, tak tahu akan ke mana: Jam dua-belas siang hari. Matahari terik di tengah langit. Tak ada angin. Tak ada mega. Maria Zaitun ke luar rumah pelacuran. Tanpa koper. Tak ada lagi miliknya. Teman-temannya membuang muka. Sempoyongan ia berjalan. Badannya demam.

Catatan Pinggir | 209

Sipilis membakar tubuhnya. Penuh borok di klangkang di leher, di ketiak, dan di susunya. Matanya merah. Bibirnya kering. Gusinya berdarah. Sakit jantungnya kambuh pula. Maria Zaitun tak hanya sakit parah; ia sampah. Ketika ia pergi ke dokter langganannya, ia hanya diinjeksi vitamin C. Tuan dokter tahu pasien itu tak bisa bayar, dan ―sudah jelas‖ hampir mati. Kemudian, ketika ia datang ke pastoran (“Saya perlu Tuhan atau apa saja/untuk menemani saya”), ia dihadapi seorang rohaniwan yang kenyang dan tak peduli. Dengan bau anggur di mulutnya sang pastor menyatakan tak bersedia menerimanya. Dan Maria Zaitun pun angkat kaki ketika bapa pastor memutuskan bahwa pendosa yang setengah sekarat itu adalah orang yang setengah gila. Ia perlu psikiater, ujarnya, bukan pastor. Sajak ―Nyanyian Angsa‖ memang menusuk di sini: kalkulasi laba-rugi dalam perdagangan seks dan ketabiban telah membuang Maria Zaitun; kini di tempat di mana kasih Tuhan dikutip dengan takzim ia juga persona non grata. Agama telah jadi tembok. Andai masih hidup hari ini, Rendra mungkin akan dihukum; ―Nyanyian Angsa‖ jelas ―melecehkan agama‖—

Catatan Pinggir | 210

meskipun dengan alasan yang adil. Sajak ini dengan lugas memperlihatkan bagaimana agama telah jadi Orde yang dijaga hakim-hakim, bukan lingkungan yang menemani yang daif dan luka. Para hakim inilah yang membagi siapa yang di dalam dan siapa yang harus di luar. Di sana vonis pastor (atau ulama) berkuasa: ―Kamu telah tergoda dosa‖. Dan keputusan itu didukung lambang-lambang keabadian. Ada sosok penting dalam ―Nyanyian Angsa‖, meskipun tak di pusat adegan: ―malaikat penjaga firdaus‖. Dalam tiga refrain sajak ini, makhluk surga itu kadangkadang tampak tampan, dingin, atau jahat. Tapi selamanya ―dengki‖. Dengki adalah sikap penuh cemburu, curiga, dan benci. ―Nyanyian Angsa‖ memperlihatkan bahwa firdaus—yang sering digambarkan secara hiperbolik sebagai karunia nikmat dan suci—adalah wilayah diskriminasi yang bengis. Malaikat, makhluk yang murni itu, akan mengusir mereka yang najis, yang tak murni. Siapa? Maria Zaitun, tentu. Tapi jika memang ada ukuran keadilan yang universal—jika ada keadilan Tuhan—si germo, si dokter, bahkan si pastor juga berdosa; mereka keji. Tapi dengki tak pernah adil.

Catatan Pinggir | 211

Dengki menyusun tembok, dan tembok dikukuhkan kekuasaan, dan kekuasaan jadi Sang Penampik. Dengan Kitab yang tak dibantah, dengan suara berwibawa atau memekik, Sang Penampik (ia bisa juga polisi, atau suara keras mayoritas) menyusun secara sepihak ukuran yang diberlakukan kepada siapa saja. Dengan itu seseorang atau sekelompok manusia diterima atau diusir—sebuah ―politik pengakuan‖, politics of recognition, yang selektif. Sasarannya bukan hanya seorang Maria Zaitun, tapi juga (tergantung di mana kebencian diletakkan): yang hitam, yang cina, yang arab, muslim, kristen, yahudi, syiah, ahmadiyah, liberal, komunis, LGBT.... Pendeknya ―yang-lain‖. Sekilas tampak, kezaliman Sang Penampik untuk meniadakan ―yang-lain‖ itu berbeda dengan ketakpedulian (bahkan pengisapan) si kaya terhadap si miskin. Sekilas tampak, tak adanya keadilan dalam ―politik pengakuan‖— dengan memberlakukan diskriminasi rasial, agama, atau gender—tak berkaitan dengan tak adanya keadilan sosial. Tapi lihat baik-baik: dalam hidup yang mengalir, perbedaan yang ditetapkan Sang Penampik, yang membuat seseorang atau sekelompok manusia dipojokkan, tak pernah jadi klasifikasi sosial yang beku. Maria Zaitun tak cuma pelacur yang diperas; ia juga si sifilis yang ingin ditemani Tuhan, ―pendosa‖ yang dianggap layak disumpahi laki-laki. Sang Penampik memproduksi si

Catatan Pinggir | 212

lemah, dan si lemah berakhir sebagai korban—dalam pelbagai versi. Dan pembebasan? ―Nyanyian Angsa‖ bercerita, akhirnya hanya korban lain yang mampu membebaskan— dengan menerima si najis sebagai sesama dan melepaskannya dari eksploitasi. Setidaknya dalam imajinasi. Sang pembebas, yang memeluknya dengan penuh cinta di saat ajal, adalah sebuah kehadiran yang pernah difitnah, dicerca, disalibkan. Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 213

Catatan Pinggir | 214

Amarah Senin, 12 Desember 2016

N

egeri ini didirikan dengan impian yang ramah. Tapi itu tiga perempat abad yang lalu.

Kita ingat: menjelang 17 Agustus 1945, ketika kemerdekaan didengungkan sebagai sesuatu yang aktual (―sekarang!‖ seru Bung Karno pada 1 Juni tahun itu), ada keyakinan: ―Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita!‖ seperti kata Bung Karno. Ada harapan rakyat Indonesia punya potensi penuh untuk jadi manusia yang tak terbelenggu, karena kemerdekaan politik adalah ―jembatan emas‖—gilang-gemilang, kukuh, dan aman untuk mencapai yang dituju. Tapi semenjak tiga perempat abad lalu, ―jembatan emas‖ itu ternyata impian yang terlalu manis atau retorika yang khilaf: Indonesia pasca-kolonialisme adalah juga sebuah negeri yang penuh kekerasan, ketidakadilan, konflik, kecurangan. Tampak pula bahwa sebagian besar ―rakyat‖ bukan pribadi-pribadi yang menentukan pilihan sendiri. Mereka yang miskin dicengkeram ketimpangan sosial. Mereka

Catatan Pinggir | 215

yang bersuara disumpal dogma. Mereka yang bersikap ternyata tak berani melepaskan diri dari panutan kolektif. Impian yang ramah juga terasa ketika dalam pidato 1 Juni itu Bung Karno menegaskan: negara Indonesia yang akan berdiri ―bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan‖, melainkan negara ―satu buat semua, semua buat satu‖. Bung Karno meyakini, dalam proses perpaduan antara ―satu‖ dan ―semua‖ itu akan efektif ―musyawarah‖, lewat suatu proses politik dengan perwakilan rakyat. Tiga perempat abad kemudian inilah yang sering dialami: ―musyawarah‖ bisa berarti pengekangan yang tersamar terhadap pendirian yang berbeda; ―perwakilan rakyat‖ jadi parlemen yang diangkat seorang diktator atau diseleksi para pendukung oligarki. Tak jarang dari sana berkuasa suara yang digerakkan hasutan, uang suap, atau kepicikan. Kemudian, mimpi yang ramah 1945 pun terguncang bersama sejarah dunia yang terguncang. Tiga kali, setidaknya. Yang pertama gagalnya ikhtiar besar untuk mendirikan masyarakat yang tumbuh dalam kesetaraan. Sosialisme bukan lagi janji masa depan yang pasti; sosialisme kini jadi petilasan masa silam—mungkin terasa indah atau sebaliknya grotesk, tapi tak bergerak.

Catatan Pinggir | 216

Yang kedua ketakaburan dan kesia-siaan ―globalisasi‖. Pernah ada janji, menyebarnya modal dan perdagangan bebas ke segala penjuru akan membuahkan rasa kenyang dan perdamaian. ―Tak ada dua negeri yang sama-sama punya McDonald's pernah bertempur satu sama lain, sebab masing-masing punya McDonald's-nya sendiri,‖ kata suara yang paling optimistis tentang globalisasi, diwakili Thomas L. Friedman. Tapi ternyata McDonald's bukan lambang dan jalan damai, melainkan, sebagai modal, penyebab kegendutan dan keretakan. Hanya sedikit yang bisa menikmati akumulasi modal global—dan bagi yang tak kebagian, McDonald's (atau mobil Ferrari, atau koper Louis Vuitton) menandai sesuatu yang mudah dicurigai: benda dari kebudayaan dan keserakahan asing. Globalisasi pun ditentang—juga di Amerika Serikat dan Eropa, dua wilayah ekonomi yang paling kuat berperan dalam penyebaran modal yang lepas dari perbatasan itu. Yang ketiga: kegalauan, amarah, dan kekerasan yang merundung orang-orang beragama. Yang paling nyaring, kita tahu, terdengar dari ―dunia Islam‖. Dalam sebuah esai yang baru-baru ini terbit di The Guardian, yang merekam dengan peka dan menilik dengan dalam hiruk-pikuk dewasa ini, Pankaj Mishra menyebut masa ini sebagai ―Zaman Kemarahan‖.

Catatan Pinggir | 217

Ia tak membatasi ―kemarahan‖ kolektif itu di dunia Islam tempat terorisme tumbuh. Amarah yang seperti api dalam sekam itu juga terdengar sebagai suara pelbagai kaum di pelbagai negeri. Tapi Indonesia hari-hari ini menyaksikan yang lebih khusus—sesuatu yang tak dikenal tiga perempat abad yang lalu, dalam mimpi ramah para pendiri Republik: kebencian yang diteriakkan, permusuhan yang menghalalkan fitnah dan dusta, demagogi ala Rizieq. Apa gerangan sebabnya? Mishra menyebut satu pengertian yang dulu antara lain dikemukakan Nietzsche ketika mengamati gejala psikologi kaum yang beragama: ressentiment. Dalam kata ini terkandung ―paduan yang intens rasa iri, rasa terhina, dan tak berdaya‖—seperti dahulu, ketika para ulama Yahudi dikungkung hegemoni Romawi. Kini di kalangan ulama Islam ressentiment itu juga menunjukkan sesuatu yang intens: sebuah frustrasi. Mereka sadar tapi tak mau mengakui bahwa apa yang disebut ―Barat‖, yang sebenarnya campuran yang hidup dari pelbagai anasir, tak henti-hentinya berada dalam hegemoni, sementara dunia Islam tak mampu lagi menghasilkan sesuatu yang berarti bagi peradaban. Frustrasi itu jadi suara amarah yang makin nyaring tapi tak beroleh jalan ke luar, kecuali penghancuran.

Catatan Pinggir | 218

Sampai kapan, kita tak tahu. Yang jelas, Indonesia bisa terbangun dari impian ramah 1945—atau cuma ketakutan. Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 219

Catatan Pinggir | 220

Calas Senin, 19 Desember 2016

I

a tak percaya kepada agama apa pun. Voltaire hanya percaya kepada Tuhan—dan ia selalu dikenang karena kecamannya yang keras dan mendasar. Dan bertalu-talu. Sastrawan, penulis lakon, esais, dan pemikir yang terkemuka di Eropa ini menggugah dalam menyampaikan pikiran, kocak dalam mengejek. Nada tulisannya ceria, baik dalam berkisah maupun dalam polemik. Tapi sejak awal 1760-an, Voltaire kehilangan sikap cerianya; dari penanya lahir pamflet-pamflet yang marah. Persisnya sejak Maret 1762, setelah seseorang bernama Jean Calas dijatuhi hukuman agar disiksa dan dibunuh. Syahdan, saudagar tekstil yang sukses di Toulouse ini di umur 68 tahun dihukum karena kematian anak sulungnya, Marc-Antoine. Bersama tiga anaknya yang lain dan seorang pelayan, Calas dituduh berkomplot membunuh pemuda itu. Dugaan, atau dakwaan, atau desas-desus: mereka, orang Protestan, melakukan kejahatan itu karena marah ketika tahu anak muda itu telah

Catatan Pinggir | 221

murtad dari agamanya dan siap memeluk keyakinan Katolik. Keluarga Calas membantah: Marc-Antoine mati karena gantung diri. Pemuda berumur 29 tahun itu masuk ke sekolah tinggi hukum, tapi tanpa harapan akan dapat bekerja. Undang-undang Prancis waktu itu melarang orang berpraktek sebagai dokter dan pakar hukum kecuali bila ia punya sertifikat yang menunjukkan ia seorang Katolik. Marc-Antoine menolak berpindah agama, tapi ia juga tak bisa cari nafkah lain dan tak menyukai bekerja di toko ayahnya, sementara utangnya menumpuk di meja judi. Agaknya pemuda pemurung ini jengkel dengan nasibnya, merasa hina-dina di antara keluarganya, atau putus asa— dan memilih mati. Seharusnya Calas mengungkapkan itu kepada polisi. Tapi ketika ia diinterogasi pertama kalinya, ia mencoba membuat cerita bahwa Marc-Antoine tewas terbunuh, dan si pembunuh raib. Agaknya ini caranya untuk mengelakkan sesuatu yang juga menakutkan: di masa itu, di Prancis, jasad seseorang yang bunuh diri akan ditelanjangi dan diseret sepanjang jalan. Tapi dengan cerita palsunya, Calas membuat penyebab kematian MarcAntoine makin kabur. Para dokter yang memeriksa mayatnya menyimpulkan: pemuda malang itu ―digantung hidup-hidup, oleh dirinya sendiri atau oleh orang-orang lain‖.

Catatan Pinggir | 222

Tiga puluh enam jam setelah disekap di dalam sel bawah tanah, barulah Calas mengatakan: Marc-Antoine ―digantung hidup-hidup oleh dirinya sendiri‖. Sistem peradilan Prancis di abad ke-19 tak punya asas ―praduga tak bersalah‖ atau cara lain untuk melindungi seorang tersangka dari prasangka dan fitnah. ―Satu bisikan dapat mematikan bagaikan sampar,‖ kata seorang penulis. Dan di hari-hari itu, sampar berkembang lewat desas-desus dan kabar angin, tatkala penyebab kematian anak muda itu serba meragukan. Pada akhirnya Calas dibawa ke depan mahkamah (―parlemen‖) dan para hakim yang mengadilinya memutuskan: si terdakwa harus dipaksa agar menunjuk nama-nama anggota komplotannya—lalu tubuhnya dipatahkan dengan roda, dan dibakar. Calas tak menyebut nama siapa pun, sebab memang tak ada. Maka siksaan dijalankan. Ada tahap ketika mulutnya dicagak dengan dua tongkat agar terbuka dan disentor air berkendi-kendi dan kemudian lubang hidungnya dipencet. Ketika tak ada juga pengakuan, ia dibawa ke depan umum, diarak ke alun-alun, diangkat ke perancah, dan diikat ke sebuah salib berbentuk X. Seorang algojo dengan besi panas menghancurkan tulang-tulang orang tua itu. Setelah tubuhnya patah, ia ditautkan dengan sebuah roda dan mukanya dihadapkan ke langit. Dua jam lamanya. Tapi ia tak juga mengakui kesalahannya, tak Catatan Pinggir | 223

mau melepaskan imannya. ―Aku mati tanpa salah,‖ katanya. Ia dicekik. Tubuhnya dilontarkan ke api.... Écrasez l'infame! Ganyang kekejian itu! Dengan dua kata itu, yang artinya tak pernah persis tapi semangatnya menggelegak, Voltaire pun menyatakan perangnya kepada kebencian yang dinyalakan fanatisme agama. ―Orang yang mengatakan kepadaku, ‗Berimanlah dengan imanku, kalau tidak, Tuhan akan mengutukmu,‘ kini akan mengatakan, ‗Berimanlah dengan imanku, kalau tidak, aku bunuh kau‘.‖ Voltaire sendiri beriman kepada ―wujud‖ yang maha-luhur, tapi ia ―tak bergabung dengan salah satu sekte yang akan saling bantah.‖ Agama seorang ―deist‖, katanya, adalah agama paling purba: semata-mata menjunjung satu Tuhan yang mendahului ―semua sistem di dunia‖. Ia telah menyaksikan bagaimana ―sistem‖ itu— sistem kepercayaan itu—tidak hanya mengikat, tapi juga membuat kecurigaan mudah dan paranoia gampang. Juga: permusuhan dan prosekusi. Risalah tentang Toleransi yang ditulisnya ia tutup dengan sebuah doa: ―Semoga semua variasi kecil ini yang membedakan tiap zarah yang bernama manusia tak akan memicu kebencian dan penindasan.‖

Catatan Pinggir | 224

Di tengah suasana yang menyesakkan seperti Prancis di abad ke-18 itu, Voltaire seakan-akan berdoa di samping kita, di Indonesia, kini. Goenawan Mohamad

Catatan Pinggir | 225

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF