CA Nasofaring
January 26, 2019 | Author: Nahla Zaimah jainuddin | Category: N/A
Short Description
karsinoma nasofaring...
Description
1.1.
Latar Belakang
Karsinoma nasofaring berkembang di nasofaring, suatu area di belakang hidung menuju dasar tengkorak. Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia (American Cancer Society, 2011 dan Roezin, 2010). Karsinoma nasofaring jarang sekali ditemukan di benua Eropa, Amerika, ataupun Oseania. Insidennya umumnya kurang dari 1/100.000. Insiden di beberapa negara Afrika agak tinggi, sekitar 5-10/100.000 penduduk. Tapi, relatif sering ditemukan di berbagai Asia Tenggara dan China. Di RRC, walaupun karsinoma nasofaring jauh lebih sering ditemukan daripada di berbagai daerah lain di dunia, mortalitas rata-rata nasional hanya 1,88/100.000 pada laki-laki 2,49/100.000, dan 1,27/100.000 pada perempuan (Desen, 2008). Di Amerika Utara, karsinoma nasofaring terjadi pada 7 dari 1.000.000 penduduk. Pada tahun 2011, ada sekitar 2,750 kasus di Amerika Serikat (American Cancer Society, 2011). Di Indonesia, didapatkan di bagian THT RSUD Dr. Sutomo (selama tahun 2000-2001), poliklinik onkologi melaporkan penderita baru karsinoma nasofaring berjumlah 623 orang. Di bagian THT RSUP RS UP H.Adam Malik, selama 1991-1996 1991- 1996 terdapat kasus k asus 160 tumor ganas, 94 kasus (58,81%) merupakan karsinoma nasofaring (Rusdiana, 2006). Karsinoma nasofaring dapat terjadi pada segala usia, tapi umumnya menyerang usia 3060 tahun, hingga 75-90%. Proporsi laki-laki dan perempuan adalah 2-2,8-1 (Desen, 2008). Latar belakang etnis dan paparan kepada ( Epstein-Barr Epstein-Barr Virus) Virus) EBV bisa mempengaruhi faktor risiko perkembangan karsinoma nasofaring. Faktor risiko yang termasuk ke dalam halayak yang berisiko ini adalah: Orang Cina atau keturunan Asia, Paparan EBV telah berkaitan dengan karsinoma tertentu, termasuk karsinoma nasofaring dan beberapa lymphoma, lymphoma, dan terlalu banyak minum alkohol (National Cancer Institute, 2011). Telah banyak ditemukan kasus herediter atau familier faktor genetik dari pasien karsinoma nasofaring dengan keganasan pada organ tubuh lain. Pengaruh genetik terhadap karsinoma nasofaring sedang dalam penelitian dengan mempelajari cell mediated immunity dari EBV dan tumor assosiated antigens pada karsinoma nasofaring. Sebagian besar pasien adalah golongan sosial ekonomi rendah dan hal ini menyangkut pula dengan keadaan lingkungan dan kebiasaan hidup (Roezin, 2010).
Hampir semua sel karsinoma nasofaring mengandung virus EBV, dan kebanyakan orang dengan karsinoma nasofaring memiliki bukti infeksi oleh virus ini di dalam darah. Infeksi EBV sangat umum di suluruh dunia, dan sering terjadi pada masa kanak-kanak. Infeksi EBV sendiri belum cukup untuk menyebabkan karsinoma nasofaring karena infeksi ini sangat umum dan kanker ini jarang terjadi. Faktor-faktor lain, seperti genetik seseorang, mungkin mempengaruhi bagaimana tubuh berespon terhadap EBV, yang pada gilirannya mempengaruhi bagaimana EBV memberikan kontribusi terhadap perkembangan karsinoma nasofaring (American Cancer Society, 2011). Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dan kebiasaan makan makanan terlalu panas serta memakan makanan yang diawetkan dalam musim dingin dengan menggunakan bahan pengawet nitrosamine. nitrosamine. Terdapat hubungan antara kadar nikel dalam air minum dan makanan dengan mortalitas karsinoma nasofaring, sedangkan adanya hubungan dengan keganasan lain tidak jelas (Roezin, 2010). Selain iu juga debu kayu (Herza, 2010), serta asap dupa (kemenyan) bisa merupaka faktor lingkungan (Rusdiana, 2006). Tembakau adalah penyebab yang paling sering disebut dalam perkembangan karsinoma sel skuamosa. Bahkan, perokok berat dan hygiene mulut yang buruk telah dituduh sebagai faktor penyebab (Adams, 1997). Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit untuk dilakukan , karena nasofaring tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan terletak di bawah dasar tengkorak. Oleh karena itu, tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahli. Sering kali, tumor ditemukan terlambat dan menyebabkan metastasis ke leher lebih sering ditemukan sebagai gejala pertama. Sangat mencolok perbedaan (angka bertahan hidup 5 tahun), antara stadium awal dan stadium lanjut, yaitu 76.9% untuk stadium I, 56.0% untuk stadium II, 38.4% untuk stadium III dan hanya 16.4% untuk stadium IV (Roezin, 2010). Dari hasil survei pendahuluan yang telah dilakukan di RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN, didapatkan data dari tahun 2008-2010 jumlah keseluruhan pasien penderita penyakit karsinoma nasofaring yang dirawat inap berjumlah 141 pasien. Dengan perincian pada tahun 2008 berjumlah 82 pasien, 2009 berjumlah 32 pasien, dan 2010 berjumlah 27 pasien.
Hampir semua sel karsinoma nasofaring mengandung virus EBV, dan kebanyakan orang dengan karsinoma nasofaring memiliki bukti infeksi oleh virus ini di dalam darah. Infeksi EBV sangat umum di suluruh dunia, dan sering terjadi pada masa kanak-kanak. Infeksi EBV sendiri belum cukup untuk menyebabkan karsinoma nasofaring karena infeksi ini sangat umum dan kanker ini jarang terjadi. Faktor-faktor lain, seperti genetik seseorang, mungkin mempengaruhi bagaimana tubuh berespon terhadap EBV, yang pada gilirannya mempengaruhi bagaimana EBV memberikan kontribusi terhadap perkembangan karsinoma nasofaring (American Cancer Society, 2011). Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dan kebiasaan makan makanan terlalu panas serta memakan makanan yang diawetkan dalam musim dingin dengan menggunakan bahan pengawet nitrosamine. nitrosamine. Terdapat hubungan antara kadar nikel dalam air minum dan makanan dengan mortalitas karsinoma nasofaring, sedangkan adanya hubungan dengan keganasan lain tidak jelas (Roezin, 2010). Selain iu juga debu kayu (Herza, 2010), serta asap dupa (kemenyan) bisa merupaka faktor lingkungan (Rusdiana, 2006). Tembakau adalah penyebab yang paling sering disebut dalam perkembangan karsinoma sel skuamosa. Bahkan, perokok berat dan hygiene mulut yang buruk telah dituduh sebagai faktor penyebab (Adams, 1997). Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit untuk dilakukan , karena nasofaring tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan terletak di bawah dasar tengkorak. Oleh karena itu, tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahli. Sering kali, tumor ditemukan terlambat dan menyebabkan metastasis ke leher lebih sering ditemukan sebagai gejala pertama. Sangat mencolok perbedaan (angka bertahan hidup 5 tahun), antara stadium awal dan stadium lanjut, yaitu 76.9% untuk stadium I, 56.0% untuk stadium II, 38.4% untuk stadium III dan hanya 16.4% untuk stadium IV (Roezin, 2010). Dari hasil survei pendahuluan yang telah dilakukan di RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN, didapatkan data dari tahun 2008-2010 jumlah keseluruhan pasien penderita penyakit karsinoma nasofaring yang dirawat inap berjumlah 141 pasien. Dengan perincian pada tahun 2008 berjumlah 82 pasien, 2009 berjumlah 32 pasien, dan 2010 berjumlah 27 pasien.
1.2.
Rumusan Masalah
Bagimanakah gambaran klinis pasien karsinoma nasofaring?
1.3.
Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran klinis pasien karsinoma nasofaring.
1.3.2. Tujuan Khusus
a.
Mengetahui distribusi proporsi sosiodemografi pada pasien karsinoma nasofaring: umur, jenis kelamin, suku, dan pekerjaan.
b. Mengetahui distribusi proporsi keluhan utama pada pasien karsinoma nasofaring. c.
Mengetahui distribusi proporsi keluhan tambahan pada pasien k arsinoma nasofaring.
d. Mengetahui distribusi proporsi tipe histopatologis pada pasien karsinoma nasofaring.
1.4.
a.
Manfaat Penelitian
Membantu menegakkan diagnosis karsinoma nasofaring.
b. Mengetahui gambaran klinis pasien karsinoma nasofaring
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Karsinoma Nasofaring
2.1.1. Definisi Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring merupakan sebuah kanker yang bermula tumbuh pada sel epitelial batas permukaan badan internal dan external sel di daerah nasofaring. Ada tiga tipe karsinoma nasofaring (American Cancer Society, 2011): a.
Karsinoma sel skuamos keratinisasi.
b. Karsinoma berdiferensiasi non-keratinisasi. c.
Karsinoma tidak berdiferensiasi. Karsinoma nasofaring merupakan penyakit keganasan (kanker) sel yang terbentuk di jaringan nasofaring, yang merupakan bagian atas pharynx (tengorokan), di belakang hidung. Pharynx merupakan sebuah lembah yang berbentuk tabung dengan panjang 5 inchi dimulai dari belakang hidung dan berakhir di atas trakea dan esofagus. Udara dan makanan melawati pharynx. pharynx. Karsinoma nasofaring paling sering bermula pada sel skuamos yang melapisi nasofaring (National Cancer Institute, 2011).
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas karsinoma berasal dari epitel nasofaring. Biasanya tumor ganas ini tumbuh dari fossa dari fossa rosenmuller dan rosenmuller dan dapat meluas ke hidung, tenggorok, serta dasar tengkorak (Munir, 2010).
2.1.2. Epidemiologi
Seperti telah disebutkan dalam Bab Pendahuluan, karsinoma nasofaring jarang sekali ditemukan di benua Eropa, Amerika, ataupun Oseania, insidennya umumnya kurang dari 1/100.000 penduduk. Insiden di beberapa negara Afrika agak tinggi, sekitar 5-10/100.000 penduduk. Namun relatif sering ditemukan di berbagai Asia Tenggara dan China. Di RRC, walaupun karsinoma nasofaring jauh lebih sering ditemukan daripada berbagai daerah lain di dunia, mortalitas rata-rata nasional hanya 1,88/100.000, pada pria 2,49/100.000, dan pada wanita 1,27/100.000 (Desen, 2008). Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), larynx (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam presentase rendah (Roezin, 2010). Karsinoma nasofaring dapat terjadi pada segala usia, tapi umumnya menyerang usia 3060 tahun (menduduki 75-90%). Perbandingan proporsi pria dan wanita adalah 2-3,8:1 (Desen, 2008). Sebagian besar penderita karsinoma nasofaring berumur diatas 20 tahun, dengan umur paling banyak ban yak antara 50-70 tahun. Penelitian di Taipe menjumpai umur rata-rata ra ta-rata penderita lebih muda yaitu 25 tahun. Insiden karsinoma nasofaring meningkat setelah umur 20 tahun dan tidak ada lagi peningkatan insiden setelah umur 60 tahun. Sebesar 2% dari kasus. karsinoma nasofaring adalah penderita anak dan di Guangzhou ditemukan 1% karsinoma nasofaring dibawah 14 tahun. Pada penelitian yang dilakukan di medan (2008), kelompok umur penderita karsinoma nasofaring terbanyak adalah 50-59 tahun (29,1%). Umur penderita yang paling muda adalah 21- tahun dan yang paling tua 77 tahun. Ratarata umur penderita pada penelitian ini adalah 48,8 tahun (Munir, 2010).
Karsinoma nasofaring paling sering ditemukan pada laki-laki dengan penyebab yang masih belum dapat diungkap secara pasti dan mungkin berhubungan dengan adanya faktor genetika, kebiasaan hidup, pekerjaan, dan lain-lain (Roezin, 2010).
2.1.3. Etiologi
Terjadinya karsinoma nasofaring mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya mencakup banyak tahap. Faktor yang diduga terkait dengan timbulnya karsinoma nasofaring adalah: a.
Kerentanan genetik Walaupun karsinoma nasofaring bukan tumor genetik, kerentanan terhadap kanker nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol ras yang banyak sekali menderitanya adalah bangsa China dan memiliki fenomena agregasi familial ( Desen, 2008), Anggota keluarga yang menderita karsinoma nasofaring cendrung juga menderita karsinoma nasofaring. Penyebab karsinoma nasofaring ini belum diketahui apakah karsinoma nasofaring dikarenakan oleh gen yang diwariskan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi ( seperti diet makanan yang sama atau tinggal di lingkungan yang sama), atau beberapa kombinasi diantarnya juga ikut mendukung timbulnya karsinoma nasofaring (American cancer society, 2011). Analisis korelasi menunjukkan gen ( Human Leukocyte Antigen) HLA dan gen pengode enzime sitokorm p4502E (CYP2EI) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap kanker nasofaring, Mereka berkaitan dengan timbulnya sebagian besar kanker nasofaring. Tahun 2002, RS Kanker Universitas Zhongshan memakai 382 buah petanda mikrosatelit polimorfisme 22 helai autosom genom manusia. Dengan melakukan pemeriksaan genom total terhadap keluarga insiden tinggi kanker nasofaring berdialek Guangzhou di propinsi Guangdong, gen kerentanan nasofaring ditetapkan berlokasi di 4p1511-q12 (Desen, 2008).
b. Epstein-Barr Virus EBV adalah suatu virus yang sangat erat kaitannya dengan timbulnya karsinoma nasofaring. Virus ini memiliki protein, yang diperkirakan memengaruhi DNA sel sehingga
mengalami mutasi, khususnya protooncogen menjadi oncogen (American Cancer Society, 2011 dan Sudiana, 2008). c.
Faktor ligkungan dan diet Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, termasuk asap sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dan kebiasaan makan makanan terlalu panas. Terdapat hubungan antara kadar nikel dalam air minum dan makanan dengan mortalitas karsinoma nasofaring, sedangkan adanya hubungan dengan keganasan lain tidak jelas (Roezin, 2010). Tingginya kadar nitrosamin diantaranya dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin yang ada di dalam kandungan ikan asin Guangzhou juga berhubungan (Desen, 2008). Orang-orang yang tinggal di Asia, Afrika bagian Utara, dan wilayah Artik dengan karsinoma nasofairng mempunyai kebiasaan makan makanan seperti ikan dan daging yang tinggi kadar garamnya. Sebaliknya, beberapa studi menyatakan bahwa diet tinggi buah dan sayur mungkin menurunkan resiko karsinoma nasofaring (American Cancer So ciety, 2011).
d. Faktor pekerjaan Faktor yang juga ikut berpengaruh adalah pekerjaan yang banyak berhubungan dengan debu nikel, debu kayu (pada industri mebel atau penggergajian kayu), atau pekerjaan pembuat sepatu. Atau zat yang sering kontak dengan zat yang dianggap karsinogen adalah antara lain: Benzopyrene, Bensoanthracene, gas kimia, asap industri, dan asap kayu (Soetjipto, 1989). e.
Radang kronis daerah nasofaring Dianggap dengan adanya peradangan, mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadap karsinogen lingkungan (Soetjipto, 1989 dan Herawati, 2002).
2.1.4. Patologi
Rongga nasofaring diselaputi lapisan mukosa epitel tipis , terutama berupa epitel skuamosa, epitel torak bersilia berlapis semu dan epitel transisional. Di dalam lamina propria mukosa sering terdapat limfosit, di submukosa terdapat kelenjar serosa dan musinosa. Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari epitel yang melapisi nasofaring.
A.
Tipe Patologik
Sel karsinoma nasofaring 95% ke atas berdiferensiasi buruk, tingkat keganasan tinggi. Para ahli di RRC menganjurkan penggunaan serentak klasifikasi histologik yang ditetapkan WHO tahun 1991 dan klasifikasi „standar diagnosis terapi kanker nasofaring‟ dari China (tabel 2.1).
Tabel 2.1. Perbandingan Klasifikasi „Standar Diagnosis Dan Terapi Karsinoma Nasofaring‟ China Dan Klasifikasi Histologik Karsinoma Nasofaring WHO
Standar diagnosis dan terapi
Kalsifikasi WHO
Karsinoma sel skuamosa
Karsinoma sel skuamosa
berdiferensiasi baik
keratinisasi
Karsinoma sel skuamosa
Karsinoma nonkeratinisasi
berdiferensiasi sedang
berdiferensiasi
Karsinoma sel skuamosa
Karsinoma tak berdiferensiasi
berdiferensiasi buruk Karsinoma sel intivaskular Karsinoma tak berdiferensiasi (Desen, 2008).
B.
Pertumbuhan Dan Ekspansi
Lokasi predileksi karsinoma nasofaring adalah dinding lateral nasofaring (terutama di recessus pharyngeus) dan dinding supero-posterior. Tingkat kegananasan karsinoma nasofaring tinggi, tumbuh infiltratif, dapat langsung berekspansi hingga menginfiltrasi ke struktur yang berbatasan. Ke atas, dapat langsung merusak
basis kranial. Juga dapat melalui foramen spinosum, kanalis karotis internal atau sinus sfenoid dan selula etmoidal posterior dll. Lubang saluran atau retakan alamiah menginfiltrasi kranial, mengenai saraf kranial; ke anterior menyerang rongga nasal, sinus maksilaris, selula etmoidalis anterior, kemudian ke dalam orbita, juga dapat melalui intrakranium, fisura orbitalis superior atau kanalis pterigoideus, resesus pterigopalatina lalu ke orbita. Ke lateral tumor dapat menginfiltrasi celah parafaring, fosa intratemporal dan kelompok otot kunyah dll. Ke posterior menginfiltrasi jaringan lunak prevertebra servikal, vertebra servikal. Ke inferior mengenai orofaring bahkan laringofaring.
C.
Metastasis
Submukosa nasofaring kaya akan jaringan limfatik, drainase limfatik dapat melintasi garasi tengah ke sisi leher kontra-lateral. Penyebaran limfogen ke kelenjar limfe leher dari kanker nasofaring terjadi secara dini. Lokasi metastasis kelenjar limfe tersering ditemukan pada kelenjar limfe profunda leher atas di bawah otot digastrik, yang kedua adalah kelenjar limfe leher profunda kelompok tengah dan kelenjar limfe rantai nervus aksesorius di trigonum servikal posterior. Metasasis jauh kanker nasofaring berkaitan erat dengan metastasis ke kelenjar leher, menyusul limfadenopati servikal, jumlahnya bertambah, peluang metastasis juga meningkat jelas. Lokasi metastasis jauh tersering adalah ke tulang, lalu ke paru, dan sering terjadi metastais ke banyak organ sekaligus (Desen, 2008 ) tetapi, jarang ke hati (Brennan, 2006) 2.1.5. Manifestasi Klinis
Sekitar 3 dari 4 pasien mengeluh benjolan atau massa di leher ketika pertama kali datang ke dokter. Hal ini di sebabkan oleh karena kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening di leher, menyebabkan mereka menjadi lebih besar dari normal (kelenjar getah bening yang seukuran kacang mengumpuli sel sistem imun di seluruh tubuh). Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi atas 4 kelompok (Roezin, 2010, American Cancer Society, 2011, Mansjoer, 2003, Herawati, 2002, dan Soetjipto, 1989) yaitu : 1. Gejala nasofaring: berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung, dan pilek.
2.
Gejala telinga: gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat dengan muara tuba eustachius ( fossa roodden muller ). Gangguan dapat berupa tinitus, rasa tidak nyaman di telinga (otalgia) hingga nyeri dan infeksi telinga yang berulang.
3.
Gejala mata dan saraf: gangguan saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini. Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, 1V,VI dan dapat pula ke V, sehingga tidak jarang diplopialah yang membawa pasien dahulu ke dokter mata. Neuralgia merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang berarti. Proses karsinoma yang lanjut dapat mengenai saraf ke IX, X, XI, dan XII manifestasi kerusakannya ialah: N IX: gangguan pengecapan yang terjadi pada sepertiga belakang lidah dan terjadi kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior. N X: hiper/hipo/anastesi pada mukosa palatum mole, faring dan laring diikuti gangguan respirasi dan salivasi. N XI: kelumpuhan dan atrofi pada otot-otot trapezius, sternokleidomastoideus, serta hemiparesis palatum mole. N XII: terjadi hemiparalisis dan atrofi pada sebelah lidah. Jika penjalaran melewati foramen jugulare yang disebut sindrom jackson, dan jika mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral serta dapat terjadi destruksi tulang tengkorak dengan prognosis yang buruk.
4.
Gejala atau metastasis di leher: dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong pasien untuk berobat, karena sebelumnya tidak ada keluhan lain.
5. Gejala metastasis jauh: ke hati, paru, ginjal, limpa, tulang, dsb.
2.1.6. Stadium
Untuk penentuan stadium dipakai sistem TIM menurut UICC (2002) dikutip dari buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher Roezin, (lihat Roezin, 2010).
Stadium 0
T1s
N0
M0
Stadium I
T1
N0
M0
Stadium IIA
T2a
N0
M0
Stadium IIB
T1
N2
M0
T2a
N1
M0
T2b
N0,N1
M0
T1
N2
M0
T2a,T2b
N2
M0
T3
N2
M0
Stadium IVa
T4
N0,N1,N2
M0
Stadium IVb
semua T
N3
M0
Stadium IVc
semua T
semua N
M1
Stadium III
T
= Tumor
T0
= Tidak tampak tumor.
T1
= Tumor terbatas di nasofaring.
T2
= Tumor meluas kejaringan lunak.
T2a: Perluasan tumor ke orofaring dan/atau rongga hidung tanpa perluasan
ke parafaring
(perluasan parafaring menunjukkan infiltrasi tumor kearah postero-lateral melebihi fasia faring basiler. T2b: Disertai perluasan ke parafaring. T3
= Tumor menginvasi struktur tulang dan/ atau sinus p aranasal.
T4
= Tumor dengan perluasan intracranial dan/atau terdapat keterlibatan saraf cranial, fossa
infratemporal , hipofaring, orbita atau ruang masticator.
N1
N
= Pembesaran kelenjar getah bening.
NX
= Pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai.
N0
= Tidak ada pembesaran.
= Metastasis kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, di atas fossa supraclavicular.
N2
= Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm, di atas fossa supraclavicular.
N3
= Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran lebih besar, atau terletak dalam fossa supraclavikular . N3a: Ukuran lebih dari 6 cm.
N3b: Di dalam fossa supraclavicular. Catatan: kelenjar yang terletak di daerah midline dianggap sebagai kelenjar ipsilateral. M
= Metastasis.
MX
= Metastasis jauh tidak dapat dinilai.
M0
= Tidak ada metastasis jauh.
M1
= Terdapat metastasis jauh.
2.1.7. Diagnosis Dan Prognosa
Diagnosis
Karsinoma nasofaring dapat ditegakkan diagnosisnya secara dini, untuk itu harus melakukan hal-hal berikut ini: a.
Tingkat kewaspadaan, perhatikan keluhan utama pasien Pasien dengan epistaksis aspirasi balik, hidung tersumbat menetap, tuli unilateral, lymphadenopathy leher tak nyeri, cephalgia, ruda paksa saraf kranial dengan kausa tak jelas, dengan keluhan lain harus diperiksa teliti rongga nasofaringnya dengan nasofaringoskop indirek atau elektrik (Desen, 2008).
b. Pemeriksaan kelenar limfe leher Perhatikan pemeriksaan kelenjar limfe rantai jugularis interna, rantai nervus aksesorius dan rantai arteri vena transversalis koli apakah terdapat pembesaran (Desen, 2008 dan National Cancer Institute, 2011). c.
Pemeriksaan nasofaring Nasofaring diperiksa dengan cara rinoskopi posterior, dengan atau tanpa menggunakan kateter (American Cancer Society, National Cancer Institute, 2011 dan Soetjipto, 1989).
Rinoskopi posterior tanpa menggunakan kateter
Nasofaringoskopi indirek menggunakan kaca dan lampu khusus untuk menilai nasofaring dan area yang dekat sekitarnya. Pada pasien dewasa yang tidak sensitif, pemeriksaan ini dapat dilakukan. Tumor yang tumbuh eksofitik dan sudah agak besar akan dapat tampak dengan mudah.
Rinoskop posterior menggunakan kateter Nasofaringoskopi direk, dokter menggunakan sebuah fibreoptic scope ( lentur, menerangi, tabung sempit yang dimasukkan ke rongga hidung atau mulut) untuk menilai secara langsung lapisan nasofaring. Dua buah kateter dimasukkan masing-masing kedalam rongga hidung kanan dan kiri, setelah tampak di orofaring, uung katater tersebut dijepit dengan pinset dan ditarik keluar selanjutnya disatukan dengan masing-masing ujung kateter yang lainnya.
d. Pemeriksaan saraf kranial Ditujukan pada kecurigaan paralisis otot mata, kelompok otot kunyah dan lidah kadang perlu diperiksa berulang kali barulah ditemukan hasil positif (Desen, 2008). e.
Pencitraan
Computed tomography (CT) scan nasofaring Makna klinis aplikasinya adalah: (1) membantu diagnosis; (2) memastikan luas lesi, penetapan stadium secara akurat; (3) secara tepat menetapkan zona target terapi; merancang medan radiasi; (4) memonitor kondisi remisi tumor pasca terapi dan pemeriksaan tindak lanjut (Desen, 2008, National Cancer Institute 2011, dan Soetjipto, 1989).
Chest x-ray Jika pasien telah didiagnosa karsinoma nasofaring, foto polos x-ray dada mungkin dilakukan untuk menilai penyebaran kanker ke paru (National Cancer Institute, American Cancer Society, 2011 dan Soetjipto, 1989) .
Magnetic resonance imaging (MRI) scan MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan lunak, dapat serentak membuat potongan melintang, sagital koronal, sehingga lebih baik dari CT. MRI selain dengan jelas memperlihatkan lapisan struktur nasofaring dan luas lesi, juga dapat secara lebih dini menunjukkan infiltrasi ke tulang. Dalam membedakan antara pasca fibrosis pasca radioterapi dan rekurensi tumor, MRI juga lebih bermanfaat (Desen, 2008 dan American Cancer Society, National Cancer Institute, 2011) .
Foto tengkorak (AP, lateral, dasar tengkorak dan waters) Untuk memastikan adanya destruksi pada tulang dasar tengkorak serta adanya metastasis jauh (National Cancer Institute, 2011 dan, Soetjipto, 1989).
Pencitraan tulang seluruh tubuh Berguna untuk diagnosis kanker nasofaring dengan metastasis ke tulang, lebih sensitif dibandingkan ronsen biasa atau CT, umumnya lebih dini 3-6 bulan dibandingkan ronsen. Setelah dilakukan bone-scan, lesi umumnya tampak tampak sebagai akumulasi radioaktivitas; sebagian kecil tampak sebagai area defek radioaktivitas (Desen, 2008 dan Soetjipto, 1989).
( Positron emission tomography) PET Disebut juga pencitraan biokimia molekular metabolik in vivo. Pasien akan menerima injeksi glukosa yang terdiri dari atom radioaktif. Jumlah radioaktif yang digunakan sangat rendah. Karena sel kanker di dalam tubuh bertumbuh dengan cepat, kanker mengabsorpsi sejumlah besar gula radioaktif (Desen, 2008 dan National Cancer Institute 2011).
f.
Biopsy nasofaring Penghapusan sel atau jaringan sehingga dapat dilihat dibawah mikroskop oleh patologi untuk memastiakan tanda-tanda kanker (National Cancer Institute, 2011).
g. Pemeriksaan histopatologi Telah disetujui oleh WHO bahwa hanya ada 3 bentuk karsinoma (epidermoid) pada nasofaring yaitu karsinoma sel skuamosa (berkeratinisasi), karsinoma tidak berkeratinisasi dan karsinoma tidak berdiferensiasi ( Roezin, 2010 dan Brennan 2006).
h. Pemeriksaan serologis EBV Bagi salah satu kondisi berikut ini dapat dianggap memiliki risiko tinggi kanker nasofaring (Desen, 2008):
Titer antibodi (Viral Capsid Antigens-Imunoglobulin A) VCA-IgA >= 1:80; Dari penelitian pemeriksaan VCA-IgA, ( Early Antigen-Imunoglobulin) EA-IgA dan EBVDNAseAb, dua diantara tiga indikator tersebut positif.
Dari tiga indikator pemeriksaan diatas, salah satu menunjukkan titer yang tinggi kontinu atau terus meningkat.
Prognosa
Gambaran dengan lymphadenomegali menyiratkan bahwa penyakit telah meyebar luas keluar dari bagian primer. Beberapa penelitian melaporkan bahwa angka bertahan hidup 5 tahun setelah mendapatkan terapi radiasi adalah 85-95% untuk KNF stadium I dan 70-80% untuk KNF stadium II. Stadium III dan stadium IV yang cuma mendapat terapi radiasi, angka bertahan hidup 5 tahun berkisar antara 24-80%. Kira-kira sepertiga penderita meninggal dunia karena metastasis jauh yang dapat ditemukan di tulang, paru, dan ha ti ( Lin HS, 2009, Gardjito, 2005, dan Brennan, 2006).
2.1.8. Diagnosis Banding
a.
Kelainan hiperplastik nasofaring Dalam keadaan normal korpus adenoid di atap nasofaring umumnya pada usia sebelum 30 tahun sudah mengalami atrofi. Tapi pada sebagian orang dalam proses atrofi itu terjadi infeksi serius yang menimbulkan nodul-nodul gelombang asimetris di tempat itu.
b. TB nasofaring Umumnya pada orang muda, dapat timbul erosi, ulserasi dangakal atau benjol granulomatoid, eksudat permukaan banyak dan kotor, bahkan mengenai seluruh nasofaring. c.
TB kelenjar limfe leher Lebih banyak pada pemuda dan remaja, konsistensi agak keras, dapat melekat dengan jaringan sekitarnya membentuk massa, kadang terdapat nyeri tekan atau undulasi (Desen, 2008).
2.1.9. Terapi Karsinoma Nasofaring
a.
Stadium I
b. Stadium II&III c.
: Radioterapi. : Kemoradiasi (Roezin, 2010 dan National Cancer Institute 2011).
Stadium IV dengan N6cm: kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi (Roezin, 2010).
a.
Radioterapi Radioterapi adalah pengobatan kanker yang menggunakan X-ray energi atau radiasi tipe lain untuk memusnahkan sel kanker atau menghambat pertumbuhan sel kanker. Ada dua tipe terapi radiasi. Terapi radiasi external menggunakan mesin yang berada di luar tubuh untuk memberikan radiasi kepada kanker. Terapi radiasi internal menggunakan zat radioaktif yang dimasukkan melalui jarum, radioaktive seeds, wires atau kateter yang ditempatkan secara langsung kedalam atau di dekat kanker. Cara pemberian terapi radiasi tergantung pada tipe dan satdium kanker yang diobati. Sumber radiasi menggunakan radiasi γ Co-60, radiasi β energi tinggi atau radiasi X energi tinggi dari akselerator linier, terutama dengan radiasi luar isosentrum, dibantu brakiterapi intrakavital, bila perlu ditambah radioterapi stereotaktik (Desen, 2008).
b. Kemoterapi Pemberian kemoterapi diberikan dalam banyak siklus, dengan setiap periode diikuti dengan adanya waktu istirahat untuk memberikan kesempatan tubuh melakukan recover . Siklussiklus kemoterapi umumnya berakhir hingga 3 sampai 4 minggu. Kemoterapi sering tidak dianjurkan bagi pasien yang kesehatannya memburuk. Tetapi umur yang lanjut bukanlah penghalang mendapatkan kemoterapi. Cisplatin merupakan obat yang paling sering digunakan untuk mengobati karsinoma nasofaring. Cisplatin telah digunakan secara tunggal sebagai bagian dari kemoradiasi, tetapi boleh dikombinasikan dengan obat lain, 5-fluorourasil (5-FU) jika diberikan setelah terapi radiasi. Beberapa obat lain boleh juga berguna untuk mengobati kanker yang telah menyebar. Obat-obat ini termasuk: Carboplatin, Oxaliplatin, Bleomycin, Methotrexate, Doxorubicin, Epirubicin, Docetaxel, dan Gemcitabine. Sering, pengkombinasian 2 atau lebih obat-obat ini yang digunakan (American Cancer Society, 2011). Tetapi berbagai macam kombinasi dikembangkan, yang terbaik sampai saat ini adalah kombinasi dengan Cis-platinum sebagai inti (Roezin, 2010). Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitocyn C dan 5-fluorouracil oral setiap hari sebelum diberikan radiasi yang bersifat “radiosensitizer” memperlihatkan hasil yang memberi harapan akan kesembuhan total pasien karsinoma nasofaring. c.
Terapi bedah
Pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi, serta tidak adanya ditemukan metastsis jauh. Juga dilakukan pada karsinoma nasofaring dengan diferensiasi agak tinggi seperti karsinoma skuamosa grade I, II, adenokarsinoma, komplikasi radiasi (parasinusitis radiasi, dll) (Desen, 2008 dan Roezin, 2010). d. Terapi paliatif Terapi paliatif adalah terapi atau tindakan aktif untuk meringankan beban penderita kanker dan memperbaiki kualitas hidupnya, terutama yang tidak dapat disembuhakn lagi. Tujuan terapi paliatif adalah:
Meningkatkan kualitas hidup penderita
Menghilangkan nyeri dan keluhan berat lainnya
Menjaga keseimbangan fisik, psikologik, dan sosial penderita
Membantu penderita agar dapat aktif sampai akhir hayatnya
Membantu keluarga mengatasi kesulitan penderita dan ikut berduka cita atas kematian penderita. Perhatian pertama harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi. rasa kering disebabkan oleh kelenjar liur mayor maupun minor sewaktu dapat banyak dilakukan selain menasihatkan penderita
penyinaran.
Mulut Tidak
untuk makan dengan banyak kuah,
membawa minuman kemana pun pergi dan mencoba memakan dan mengunyah bahan yang rasa asam sehingga
merangsang keluarnya liur (Roezin, 2010 dan Sukardja, 2002).
2.1.10. Pencegahan
a.
Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan risiko tinggi (Roezin, 2010).
b.
Mengurangi konsumsi ikan asin ternyata dapat menurunkan insidens secara nyata (Soetjipto, 1989).
c.
Mengurangi konsumsi alkohol atau berhenti merokok.
d. Makan makanan yang bernutrisi dan mengurangi serta mengeontrol stress e.
Berolahraga secara teratur (American Cancer Society, 2011).
2.1.11. Komplikasi
Metastasis jauh ke tulang, hati dan paru dengan gejala khas nyeri pada tulang, batuk batuk, dan gangguan fungsi hati serta gangguan fungsi organ lain (Sudiana, 2008).
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1.
Kerangka Konsep
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian adalah : Pasien Karsinoma Nasofaring Anamnesis Sosiodemografi: umur, jenis kelmin, suku, pekerjaan Keluhan utama Keluhan tambahan
Etiologi Kerentanan genetik: rasial dan agregasi familial. EBV Faktor lingkungan dan diet: konsumsi ikan asin yang mengandung nitrosamin, alkohol asap dupa,makan makanan panas, kurang makan sayur dan buah, diet tinggi garam, dll. Faktor pekerjaan: Benzopyrene, asap industri, debu kayu, asap kayu, debu nikel, dan gas kimia lainnya. Radang kronis daerah nasofaring. Rekam medik Diagnosis Diagnosis laboratorium: Tipe histopatologis
= objek yang diteliti
Penelitian ini dilakukan dengan melihat dan mencatat rekam medis yang ada di RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN. Dari rekam medis, dilihat status pasien yang telah terdiagnosis oleh do kter menderita karsinoma nasofaring pada tahun 2008-2010. Kemudian peneliti melihat umur, jenis kelamin, etnis, pekerjaan, keluhan utama, keluhan tambahan, agregasi familial, tipe histopatologis, stadium, dan komplikasi. 3.2.
Variabel dan Definisi Operasional
Variabel
Pasien Karsinoma nasofaring
Umur Jenis Kelamin Pekerjaan
Etnis
Keluhan Utama
Definisi Operasional
Alat Ukur
Seseorang Rekam yang telah Medis didiagnosis oleh dokter menderita karsinoma nasofaring Rekam Medis Rekam Medis Rekam Medis
Rekam Medis
Dasar utama Rekam untuk Medis mengevaluasi masalah
Hasil Ukur
Skala Umur
-
Nominal
Tahun
Ordinal
1. Laki-laki 2. Perempuan 1.Wiraswasta 2. PNS 3. IRT 4. Pelajar 5. Petani 6. Mahasiswa 7. Supir 1. Batak 2. Jawa 3. Aceh 4. Melayu 5. Minang Benjolan di leher Pandangan ganda Apatis Benjolan di rongga nasofaring
Nominal Nominal
Nominal
Nominal
pasien (Lukmanto, 1995)
Keluhan Tambahan
Gejala yang Rekam menyertai Medis gejala utama penyakit karsinoma nasofaring
Tipe Gambaran Rekam Histopatolog mikroskopik Medis is secara hisologi dan patologi (Hartanto, 2002).
Batuk berdarah Susah menelan Telinga berdengung Nyeri mata Nyeri ulu hati . Suara serak . Benjolan di hidung . Nyeri diafragma . Mimisan . Sesak nafas . Hidung tersumbat . Luka di leher . Sakit menelan . Sakit kepala Benjolan di leher Sakit menelan Susah menelan Mimisan Hidung tersumbat Pilek Telinga berdengung Tuli Batuk berdarah . Nyeri di leher . Sakit kepala . Sesak nafas . Batuk . Pandangan mata menurun . Mual . Muntah . Suara serak . Badan lemas . Benjolan di mata . Mata kabur . Susah tidur . Pandangan ganda . Benjolan di telinga . Benjolan di hidung Karsinoma tak berdiferensiasi Karsinoma sel skuamos Non keratinaizing skuamos Ca cell Karsinoma sel skuamos diferensiasi buruk Malignant smear Karsinoma sel skuamos
Nominal
Nominal
keratinisasi diferensiasi baik Adeno karsinoma keratinaizing skuamos diferensiasi baik
BAB 4 METODE PENELITIAN
4.1.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan desain studi kasus dilanjutkan dengan analisis statistika.
4.2.
Waktu dan Tempat Penelitian
4.2.1. Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilakukan pada 13 Desember-13 Januari 2011.
4.2.2. Tempat Penelitian
Tempat penelitian dilakukan di Ruang Rekam Medik RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN.
4.3.
Populasi dan Sampel
4.3.1. Populasi
Seluruh data penderita karsinoma nasofaring rawat inap di RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN tahun 2008-2011.
4.3.2. Sampel
Besarnya Subjek yang diambil 100 data penelitian. Data diambilkan oleh petugas rekam medis sebanyak 100.
4.4.
Teknik Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dengan cara mencatat data rekam medis yang terdapat pada RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN Tahun 2008-2010.
4.5.
Pengolahan dan Analisa Data
Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini menghitung distribusi proporsi untuk analisis deskriptif menggunakan komputer program SPSS. Hasil disajikan dalam bentuk tabel distribusi proporsi, gambar (bar)
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1
Hasil Penelitian
5.1.1
Deskripsi Lokasi Penelitian
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. PIRNGADI MEDAN terletak di jalan prof. H. M. Yamin SH No. 47 Medan. Penelitian dilakukan di Gedung Ruang Rekam Medis lantai 2.
5.1.2
Deskripsi umur Pasien Karsinoma Nasofaring
Deskripsi umur pasien karsinoma nasofaring rawat inap di RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN tahun 2008-2010 dapat dilihat pada Tabel di bawah ini:
Tabel 5.1.2 Deskripsi Umur Pasien Karsinoma Nasofaring Rawat Inap Di RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN Tahun 2008-2010
Jumlah
Umur
100
Interval
78
Umur
Umur
Nilai rata-
Termuda
Tertua
rata
9
87
47.72
Dari Tabel 5.1.2 dapat diketahui umur tertua pasien karsinoma nasofaring adalah 87 tahun dan umur termuda adalah 9 tahun. Dengan jarak interval umur pasien dari umur yang paling tua sampai umur yang paling muda adalah 78 tahun, dan dengan rata-rata 47,72.
5.1.3
Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Rincian Tahun
Proporsi pasien karsinoma nasofaring rawat inap di RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN berdasarkan rincian tahun dapat dilihat pada Tabel dibawah ini:
Tabel 5.1.3 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Rawat Inap Di RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN Tahun 2008-2010
No
Tahun
Jumlah Pasien
Proporsi (%)
1
2008
82
58
2
2009
32
23
3
2010
27
19
141
100
Total
Pada Tabel 5.1.3 dapat dilihat tahun 2008 proporsi pasien karsinoma nasofaring 82 pasien (52%), sedangkan pada tahun 2009 berjumlah 32 pasien (23%) dan tahun 2010 jumlah pasien menurun menjadi 27 pasien (19%).
5.1.4
Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Umur Dan Jenis
Kelamin
Proporsi pasien karsinoma nasofairng berdasarkan umur dan jenis kelamin yang rawat inap di RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN tahun 2008-2010 dapat dilihat pada Tabel dibawah ini:
Tabel 5.1.4 Distribusi Proporsi Menurut Umur Dan Jenis Kelamin Pasien Karsinoma Nasofaring Rawat Inap Di RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN Tahun 2008-2010 Jenis Kelamin
Total
Kelompok Umur
Laki-laki
Perempuan
9-18
6
0
6
19-28
2
0
2
29-38
7
5
12
39-48
19
10
29
49-58
26
6
32
59-68
7
6
13
69-78
2
1
3
79-88
2
1
3
Total
71
29
100
Pada Tabel 5.1.4 didapatkan proporsi pasien terbanyak adalah antara umur 49-58 tahun berjumlah 32 pasien. Sedangkan proporsi pasien yang paling sedikit adalah antara umur 19-28 tahun berjumlah 2 pasien. Jenis kelamin laki-laki lebih banyak daripada perempuan, dengan pasien laki-laki berjumlah 71 pasien dan perempuan berjumlah 29 pasien.
5.1.5
Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Suku
Proporsi pasien karsinoma nasofaring berdasarkan suku yang rawat inap di RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN tahun 2008-2010 dapat dilihat pada Gambar dibawah ini:
Gambar 5.1.5 Distribusi Proporsi Menurut Suku Pasien Karsinoma Nasofaring Rawat Inap Di RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN Tahun 2008-2010
Pada Gambar 5.1.5 proporsi pasien yang bersuku batak merupakan pasien terbanyak berjumlah 65 pasien, disusul dengan pasien yang bersuku jawa berjumlah 22 pasien, aceh berjumlah 6 pasien, melayu berjumlah 4 pasien, dan proporsi pasien yang bersuku minang merupakan pasien yang paling sedikit berjumlah 2 pasien.
5.1.6
Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Pekerjaan
Proporsi pasien karsinoma nasofaring berdasarkan pekerjaan yang rawat inap di RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN tahun 2008-2010 dap at dilihat pada Gambar dibawah ini:
Gambar 5.1.6 Distribusi Proporsi Menurut Pekerjaan Pasien Karsinoma Nasofaring Rawat Inap Di RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN Tahun 2008-2010
Dari Gambar 5.1.6 dapat dilihat proporsi pasien yang berprofesi sebagai wiraswasta merupakan pasien terbanyak berjumlah 38 pasien, disusul dengan pasien yang berfropesi sebagai PNS berjumlah 27 pasien, IRT berjumlah 21 pasien, pelajar berjumlah 6 pasien, petani berjumlah 5 pasien, mahasiswa berjumlah 2 pasien, dan pasien yang berprofesi sebagai supir merupakan pasien yang paling sedikit berjumlah 1 pasien. 5.1.7
Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Keluhan Utama
Proporsi pasien karsinoma nasofaring berdasarkan keluhan utama yang rawat inap di RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN tahun 2008-2010 dapat dilihat pada Tabel dibawah ini:
Tabel 5.1.7 Distribusi Proporsi Menurut Keluhan Utama Pasien Pasien Karsinoma Nasofaring Rawat Inap Di RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN Tahun 2008-2010
No 1
Keluhan utama Benjolan di leher
f 51
Proporsi (%) 51
2 3
Pandangan ganda Apatis
1 1
1 1
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Benjolan di rongga nasofaring Batuk berdarah Susah menelan Telinga berdengung Nyeri mata Nyeri ulu hati Suara serak Benjolan di hidung Nyeri diafragma Mimisan Sesak nafas Hidung tersumbat Luka di leher Sakit menelan Sakit kepala
1 1 6 1 1 1 1 1 1 10 3 8 1 3 8
1 1 6 1 1 1 1 1 1 10 3 8 1 3 8
100
100
Total
Pada Tabel 5.1.7 keluhan yang paling banyak dikeluhkan pasien merupakan benjolan di leher berjumlah 51 pasien, disusul dengan keluhan mimisan berjumlah 10 pasien, hidung tersumbat dan sakit kepala masing-masing berjumlah 8 pasien, sesak nafas dan sakit menelan masing-masing berjumlah 3 pasien, dan keluhan yang paling sedikit dikeluhkan pasien ada beberapa keluhan diantaranya merupakan keluhan pandangan ganda, apatis, benjolan di rongga nasofaring, batuk berdarah, telinga berdengung, nyeri di mata, nyeri ulu hati, suara serak, susah menelan, benjolan di hidung, nyeri diafragma, dan luka di leher masing di keluhkan oleh berjumlah 1 pasien.
5.1.8
Distribusi
Proporsi
Pasien
Karsinoma
Nasofaring
Berdasarkan
Keluhan
Tambahan
Proporsi pasien karsinoma nasofaring berdasarkan keluhan utama yang rawat inap di RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN tahun 2008-2010 dapat dilihat pada Gambar dibawah ini:
Gambar 5.1.8 Distribusi Proporsi Pasien Yang Memiliki Keluhan Tambahan Karsinoma Nasofaring Rawat Inap Di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2008-2010
Pada Gambar 5.1.8 dapat diketahui pasien yang mengeluhkan keluhan tambahan yang terbanyak adalah keluhan susah menelan dan mimisan yang masing-masing berjumlah 16 pasien, disusul dengan keluhan hidung tersumbat berjumlah 14 pasien, sakit kepala berjumlah 11 pasien, benjolan di leher dan sakit menelan masing-masing berjumlah 10 pasien, telinga berdengung dan tuli berjumlah 8 pasien, nyeri di leher berjumlah 6 pasien, muntah, mual, batuk, dan sesak nafas masing-masing berjumlah 4 pasien, pandangan ganda berjumlah 3 pasien, benjolan di hidung, batuk berdarah, dan pilek masing-masing berjumlah 2 pasein, dan pasien yang mengeluhkan
keluhan tambahan yang paling sedikit adalah keluhan pandangan mata menurun, suara serak, badan lemas, benjolan di mata, mata kabur, susah tidur, dan benjolan di telinga yang masingmasing berjumlah 1 pasien.
5.1.9
Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Menurut Hasil
Pemeriksaan Histopatologis
Proporsi pasien karsinoma nasofaring berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologis yang rawat inap di RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN tahun 2008-2010 dapat dilihat pada Diagram dibawah ini:
Gambar
5.1.9
Distribusi
Proporsi
Menurut
Hasil
Pemeriksaan
Laboratorium
Histopatologis Pasien Karsinoma Nasofaring Rawat Inap Di RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN Tahun 2008-2010
Pada Gambar 5.1.9 dapat diketahui bahwa hasil pemeriksaan laboratorium histopatologis yang terbanyak adalah karsinoma tak berdiferensiasi yang berjumlah 43 pasien, disusul dengan karsinoma sel skuamos berjumlah 23 pasien, karsinoma sel skuamos diferensiasi buruk dan malignant smear masing-masing berjumlah 9 pasien, non keratinaizing kuamos, ca cell, dan karsinoma sel skuamos keratinisasi diferensiasi baik masing-masing berjumlah pasien, dan hasil pemeriksaan histopatologis yang paling sedikit adalah adeno karsinoma keratinaizing skuamos diferensiasi baik berjumlah 1 pasien.
5.2
Pembahasan
Umur yang tertua berumur 87 tahun, yang termuda berumur 9 tahun, dan umur rata-rata pasien karsinoma nasofaring berumur 47,72 tahun. Sementara hasil penelitian Dharishini umur tertua diatas 80 tahun, umur termuda dibawah 30 tahun (Dharishini, 2011). Dari hasil penelitian Munir umur termuda adalah 21 tahun, umur tertua berumur 77 tahun dan hasil penelitian Ratarata umur penderita adalah 48,8 tahun (Munir, 2008). Desen menyebutkan dalam bukunya yang berjudul Buku Ajar Onkologi Klinis Edisi Dua bahwa karsinoma nasofaring dapat terjadi pada segala usia (Desen, 2008). Didapatkan pasien karsinoma nasofaring tiap tahunya mengalami penurunan jumlah, ini dikarenakan tidak tersediannya alat radioterapi yang dibutuhkan oleh pasien karsinoma nasofaring. Diketahui rata-rata umur pasien karsinoma nasofaring yang paling banyak adalah antara umur 49-58 tahun. sementara itu, dari hasil penelitian Dharishini didapatkan umur yang paling banyak jumlah pasiennya adalah antara umur 40-49 tahun (Dharishini, 2011) dan penelitian Munir didapatkan umur yang paling banyak antara umur 50-59 tahun. Pasien laki-laki lebih banyak daripada pasien perempuan, dari teori American Cancer Society menyebutkan laki-laki 2 kali lebih rentan daripada wanita ini kemungkinan lamanya terpapar zat-zat karsinogen yang menimbulkan karsinoma nasofaring (American Cancer Society, 2011).
Didapatkan jumlah pasien karsinoma nasofaring yang terbanyak ialah bersuku batak, ini dikarenakan ada suku-suku tertentu yang memiliki faktor resiko kerentanan genetik, memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA ( Human Leukocyte Antigen), kromosom pasien karsinoma nasofaring menunjukkan keidaksetabilan, hingga lebih rentan terhadap serangan berbagai faktor berbahaya dari lingkungan dan timbulnya penyakit (Desen, 2008), dan gen pengode enzim sitokrom p4502E (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap kanker nasofaring dan memiliki perbedaan jaringan pada keturunan tertentu juga ikut mempengaruhi imun respon, jadi mungkin berhubungan dengan bagaimana tubuh seseorang merespon infeksi EBV (American Cancer Society, 2011). Selain itu juga kebiasaan makan makanan yang bisa menimbulkan karsinoma nasofaring ikut serta memicu timbulnya karsinoma nasofaring (Roezin, 2010) Pasien karsinoma nasofaring yang paling banyak adalah wiraswasta, sementara hasil penelitian Munir didapatkan pasien karsinoma nasofaring yang paling banyak berfropesi sebagai petani (Munir, 2006). Dari penelitian ini pekerjaan juga ikut berpengaruh untuk memicu timbulnya karsinoma nasofaring, karena pekerjaan yang banyak berhubungan dengan debu nikel, debu kayu, atau pekerjaan pembuat sepatu, dan terpapar zat-zat kimia juga ikut merangsang sel untuk menjadi mutagenik(Soetjipto, 1989 dan Desen, 2008) Dapat diketahui bahwa pasien karsinoma nasofaring paling banyak mengeluhkan benjolan di leher sebagai keluhan utama. Dikarenakan banyak pasien datang berobat pertama kali saat sudah terjadi penyebaran limfogen atau sudah stadium lanjut. Selain itu, pada daerah nasofaring juga kaya akan jaringan limfaik, drainase limfatik dapat melintasi garis tengah ke sisi leher kontralateral (Desen, 2008). Sedangkan pada stadium awal pasien belum menunjukkan gejala klinis yang menurutnya belum merasa mengganggu dirinya. Sakit kepala pada pasien karsinoma nasofaring disebabkan karena tumor sudah mengalami perluasan ke intra-kranial menjalar sepanjang fossa medialis, disebut penjalaran petrosfenoid. Biasanya melalui foramen laserum dan mengenai grup anterior saraf otak yaitu n II s.d nIV. Jika semua saraf grup anterior terkena serta mengalami penekanan tumor pada duramater. Perluasan ke atas mengenai n VI menimbulkan gejala pandangan ganda (Soetjipto, 1989). Nyeri dimata diduga tumor sudah menginvasi jaringan mata. Benjolan di rongga nasofaring diduga tumor sudah membesar dan menyumbat tengggorokan. Batuk berdarah, nyeri diafragma, dan sesak nafas dikarenakan tumor sudah metastase ke paru. Telinga berdengung karena tumor di resesus faringeus dan dinding
lateral nasofaring menginfiltrasi, menekan tuba eustachi, menyebabkan tekanan negatif di dalam kavum timpani. Nyeri ulu hati kemungkinan efek samping dari pengobatan radioterapi pada karsinoma nasofaring, suara serak kemungkinan tumor telah menginvasi vokal cord. Benjolan dihidung mungkin karena tumor telah menjalar dan membesar ke cavum nasi, tumor tumbuh dari nasofaring melewati koana dan sampai ke cavum nasi dan dapat menimbulkan keluhan hidung tersumbat (Sukardja, 2002). Keluhan tambahan pasien karsinoma nasofaring yang paling banyak adalah susah menelan dan mimisan. Susah menelan terjadi karena kemungkinan adanya sumbatan lumen esofagus oleh massa tumor dan pembesaran kelenjar getah bening, pada tumor terdapat luka yang apabila menelan makanan dan terjadi gesekan akan menimbulkan rasa sakit menelan akhirnya menjadi sulit menelan, atau metastasis tumor ke batang otak yang merusak n V, n VII, n IX, n X, dan n XII sehingga sulit menelan ( Soepardi, 2010). Sedangkan mimisan dikarenakan sewaktu menghisap dengan kuat sekret dari rongga hidung atau nasofaring, bagian dorsal palatum mole bergesekan dengan permukaan tumor, sehingga pembuluh darah dipermukaan tumor robek dan menimbulkan perdarahan di hidung. Tuli dikarenakan hambatan konduksi karena adanya desakan dari tumor dan mudah terjadinya otitis media transudatif (Desen, 2008). Mual dan muntah merupakan efek samping dari radioterapi (Sukardja, 2002). Pilek karena sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga nasofaring dan menutupi koana. Badan lemas ini dikarenakan pada status rekam medis pasien didapatkan pada pasien karsinoma nasofaring juga terkena diabetes melitus. Pandangan mata menurun dan mata kabur dikarenakan tumor telah menjalar ke atas dan merusak seluru saraf grup anterior yaitu n II s.d n VI. Didapatkan karsinoma tak berdiferensiasi merupakan hasil pemeriksaan histopatologis yang paling banyak ditemukan pada pasien karsinoma nasofaring. Sementara itu hasil penelitian Herza dan Munir didapatkan subtipe yang paling banyak adalah karsinoma tak berdiferensiasi (Munir, 2006, Munir, 2008, dan Herza, 2010). Pada teori American Cancer Society menyebutkan, di Asia Tenggara. Karsinoma nasofaring yang paling banyak tipe karsinoma tak berdiferensiasi (American Cancer Society, 2011). Ini tergantung dari bagaimana karakteristik selnya, makin jelek diferensiasinya maka makin ganas sifat selnya. Tetapi, sebenarnya dari kesemua tipe berasal dari satu sel yang sama.
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
Kesimpulan
Dari hasil data yang dikumpulkan, dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2008 jumlah pasien karsinoma nasofaring rawat inap RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN berjumlah 82, sedangkan pada tahun 2009 berjumlah 32, dan tahun 2010 berjumlah 27, data ini menunjukkan penurunan jumlah pasien karsinoma nasofaring tiap tahun cendrung turun.
Pasien yang paling banyak ialah antara umur 49-58 tahun yaitu 32 orang. Umur yang paling tua adalah 87 tahun, yang paling muda 9 tahun, dengan umur rata-rata 47,72. Dilihat dari jenis kelamin, pasien laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Yang bersuku Batak merupakan pasien paling banyak. Ini mungkin karena penelitian yang dilakukan dalam ruang lingkup kecil saja hanya pasien yang datang berobat ke RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN. Dari hasil penelitian yang dilakukan didapatkan pasien yang berprofesi sebagai wiraswasta paling banyak terkena karsinoma nasofaring. Keluhan utama yang paling banyak ialah benjolan di leher, serta susah menelan dan mimisan merupakan keluahan tambahan yang paling banyak dikeluhakan. Dari hasil pemeriksaan histopatologi Karsinoma tak-berdiferensiasi adalah yang paling banyak.
6.2
Saran
Masih diperlukan penelitian lanjutan dengan penambahan variabel yang diteliti yaitu variabel stadium, dan komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, G L., 1997. Tumor-Tumor Ganas Kepala Dan Leher. Dalam: Adam, Gorge L., Lawrence R., Boies, Jr., Dan Peter A. Higler. BOIES Buku Ajar Penyakit THT (BOIES Fundamentals Of Otolaryngology). Terjemahan. EGC. Jakarta.
430-431.
American cancer society, 2011. Nasopharingeal cancer. USA: American Cancer Society. Diunduh: http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003124-pdf.pdf (pada tanggal 12 juli 2011) Brennan, B., 2006. Nasopharyngeal Carcinoma. BioMed Central Ltd. USA.
Diunduh:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1559589/ (pada
agustus 2011).
tanggal 1
Desen, W., 2008. Buku ajar onkologi klinis edisi kedua. Fakultas Kedokteran Indonesia. Jakarta. 263-278.
Universitas
Dharishini, P., 2011. Gambaran Karateristik Penderita Karsinoma Nasofaring Di Sakit Umum Haji Adam Malik Dari Januari Sa mpai Desember 2009.
Rumah
USU Digital Library.
Medan. Diunduh: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/21527 (pada 19 januari 2012) Gardjito, W., 2005. Kepala dan Leher. Dalam: Sjamsuhidjarat. R., dan Wim de jong.
Buku
Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC. Jakarta. 351-352. Hartanto, H., Dkk. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. EGC. Jakarta. 44, 47,
478,
770, 1014, 1832, 1978, 2051. Herawati, S., Dan Sri R. 2002. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorok
Untuk Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi. EGC. Jakarta. 40-42. Herza, P., 2010. Profil Penderita Karsinoma Nasofaring Di Laboratorium Patologi Anatomi Kota Medan Tahun 2009. USU Digital Library. Medan. Diunduh: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16912/4/Chapter%20II.pdf
(pada
tanggal 11 july 2011). Lin HS, Fee WS., 2009. Malignant Nasopharyngeal Tumors. Medscape Referernse
Drugs,
Disease, & Procedures. Diunduh: http://emedicine.medscape.com/article/848163-overview (pada tanggal 2 agustus 2011). Lukmanto, H., 1995. Adams Diagnosis Fisik Edisi 17. EGC. Jakarta. 11-38. Mansjoer, A., Kuspaji T., Rakhmi S., Dkk. 2003. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Ketiga.
Jakarta. 110-111.
Munir, D., 2006. Beberapa Aspek Karsinoma Nasofaring pada Suku Batak di Medan
dan
Sekitarnya. USU Digital Library. Medan. Diunduh: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/20661 (pada tanggal 19 januari
2012).
Munir, D., 2008. Peran Gen HLA-DQB1 pada Penyebab Kerentanan Karsinoma Nasofaring Suku Batak . USU Digital Library. Medan. Diunduh : http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/18625 (19 januari 2012). Munir, D., 2010. Karsinoma Nasofaring Kangker Tenggorok; Edisi Revisi. USU Press. Medan. Diunduh: http://usupress.usu.ac.id/terbitan-2010/366-
karsinoma-nasofaring-kangker-
tenggorok-edisi-revisi.html (pada tangal juli 2011). National Cancer Institute at the national institutes of health, 2011. Nasopharyngeal Treatment
(PDQ®).
USA:
National
Cancer
Institute.
Cancer Diunduh:
http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treatment/nasopharyngeal/Patient/All Pages/Print (pada tanggal 12 juli 2011). Roezin, A., dan Marlinda A. 2010. Karsinoma Nasofaring. dalam: Soepardi, Efianty Nurbaiti I., Jenny B., dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Kepala Leher edisi keenam. Fakultas Kedokteran
A.,
Hidung-Tenggorok
Universitas Indonesia. Jakarta. 182-187.
Rusdiana., Delfitri M., Dan Yahwardiah S. 2006. Hubungan Antibodi Anti Epstein
Barr
Virus dengan Karsinoma Nasofaring pada Pasien Etnis Batak di Medan. Usu Digital Library. Medan. Diunduh: http://www.usu.ac.id/id/files/artikel/rusdiana.pdf (pada tanggal 11 juli 2011). Soetjipto, D., 1989. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Iskandar, N., Masrin M., Dan Damayanti S. Tumor-hidung-tenggorok diagnose & penatalaksanaan.
Fakultas
kedokteran
universitas
Indonesia. 71-83. Soepardi, Efianty A., 2010. Disfagia. Dalam: Soepardi, Efianty A., Nurbaiti I., Jenny
B.,
dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok Kepala Leher edisi keenam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 276-
280.
Sudiana, I., 2008. Patobiologi Molekuler Kanker . Salemba Medika. Jakarta. 41-42. Sukardja, I., 2002. Onkologi klinik edisi 2. Airlangga University Press. Surabaya. 229-237. Susworo, R. 2001. Kanker Nasofaring Epidemiologi Dan Pengobatan Mutakhir . Cermin Dunia Kedokteran. Diunduh: http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/144_09KankerNasofaring.pdf/144_09K ankerNasofaring.pdf (pada tanggal 12 juli 2001).
Peta kelenjar getah bening (KGB) leher
Gb1. Kelenjer getah bening di leher Peta adalah suatu gambar yang digunakan untuk menunjukkan tempat, gunung, sungai dlsb di muka bumi. Untuk peta detail atau topografi diperlukan juga landmark atau tanda khusus untuk suatu tempat yang spesifik misalnya Monas bagi Jakarta. Kelenjar getah bening (KGB) leher juga dipetakan. Sebagai muara dari pembuluh getah bening, KGB memberikan petunjuk atas keadaan hulu yaitu alat tubuh. Hak ini terjadi karena KGB adalah garis pertahanan regional terhadap semua keadaan yang mengganggu alat tubuh di hulu. Gangguan itu dapat disebabkan oleh infeksi, benda asing, alergi ataupun kanker. Kegagalan pertahanan akan membuat mereka membesar karena aktivitas yang bertambah. Karena itu lokasi pembesaran KGB akan menunjukkan alat tubuh yang bermasalah. Gambar 1 memperlihatkan betapa sibuknya aliran pembuluh limfe leher sebagaimana banyaknya KGB . KGB leher berjumlah +/- tigaratus yang merupakan setengah dari keselurihan KGB tubuh. Gambar 2, memperlihatkan peta kelenjar getah bening leher yang terbagi atas dua sisi
Gb 2. Leher kanan dan kiri yaitu kanan dan kiri. Landmarknya adalah garis lurus antara dagu (1), tulang hyoid (2) dan takik jugularis atau jugular notches (3) Selanjutnya bagian kanan atau kiri dibagi oleh otot leher menjadi segitiga depan (a) dan belakang (b), gambar 3. Landmark otot leher ini disebut otot sternocleidomastoideus yang jelas teraba bila kepala ditolehkan kesisi. KGB di depan adalah muara dari pembuluh limfe daerah tenggorokan sedangkan bagian belakang saluran pernapasan atas. Berbagai otot membagi segitiga depan / belakang menjadi beberapa segitiga. Di depan mereka adalah (gambar 4) a1, segitiga suprahioid, yang terletak diatas tulang hyoid; a2, submaksila yang juga dikenal sebagai submandibula, dibawah rahang bawah; a3, karotis superior, diatas otot omohioid; dan a4. karotis inferior, dibawah otot omo hioid. Dibelakang mereka adalah: b1, segitiga oksipital, diatas otot omohioid; dan b2,
Gb 4. Segitiga lainnya
Gb 3. Segitiga depan dan belakang subklavia yang dikenal juga sebagai supraklavikula, dibawah otot omohioid dan diatas tulang klavikula.
Refarat Karsinoma Nasofaring Labels: refarat, THT KARSINOMA NASOFARING Indira Pratiwi
I. PENDAHULUAN Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor yang berasal dari sel epitel yang me nutupi permukaan nasofaring, disebut juga sebagai tumor Kanton (Canton Tumor).1,2 Menurut estimasi WHO, sekitar 80% dari kasus KNF di dunia terjadi di China.2 Di Indonesia, KNF merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan KNF, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut; tonsil, hipofaring dalam presentase rendah. Berdasarkan data Laboratorium Patologi Anatomik, tumor ganas nasofaring sendiri selalu berada dalam kedudukan lima besar dari tumor ganas tubuh manusia bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor get ah bening dan tumor kulit.3
II.
EPIDEMIOLOGI
KNF merupakan penyakit multifaktorial. Insidens dan distribusi geografi keganasan ini tergantung pada
beberapa faktor seperti genetik, lingkungan, diet, dan pola hidup.4, 5 KNF jarang ditemukan di negara-negara barat, tetapi endemik di China. Insidens tertinggi dilaporkan dari Provinsi Guangdong, Cina Selatan, di mana KNF merupakan keganasan ketiga yang paling sering terjadi, dengan angka insidens 15-50 per 100000. I nsidens yang tinggi juga ditemukan di Hong Kong dan Singapura, dengan insiden intermediat ditemukan pada orang-orang Eskimo Alaska dan daerah Mediterania. 3, 5 Insidens KNF di Amerika Utara adalah 0.25%, di mana 18% di dalamnya adalah ras China-Amerika. Keturunan China yang hidup di Amerika mempunyai insidens yang lebih ke cil dibanding yang hidup di China. KNF jarang di India dan negara sekitarnya, kecuali negara-negara Asia Tenggara di mana didominasi oleh orang-orang Mongoloid. Orang-orang Indonesia ce nderung rentan mengalami KNF, terbukti dengan meratanya frekuensi pasien KNF di t iap daerah, dengan pasien dari ras Cina relatif lebih banyak dari suku bangsa lainnya.4 Untuk negara-negara lain, insidens KNF sangat rendah, yaitu kurang dari 1 per 100000.5,6 KNF dapat terjadi pada segala usia, t api umumnya menyerang usia 30-60 tahun, menduduki 75-90%.2 Pada anak-anak dan orang dewasa usia kurang dari 30 tahun, KNF lebih sering ditemukan daripada tumor ganas lain pada saluran nafas.7 KNF lebih sering ditemukan pada laki-laki dengan proporsi laki-laki dan perempuan adalah 2-3,8 : 1. 2,3,7 III.
ANATOMI DAN FISOLOGI
Faring merupakan tabung/pipa fibromuskular yang mengerucut membentuk saluran nafas dan saluran pencernaan bagian atas. Secara anatomis, faring dibedakan menjadi tiga bagian yaitu nasofaring, orofaring, dan hipofaring/laringofaring. 2,4 Nasofaring merupakan bagian teratas dari faring, sehingga sering juga disebut epifaring, terletak di antara basis cranial dan palatum molle, membuka ke arah depan hidung melalui koana posterior, menghubungkan rongga hidung dan orofaring. 2,4,8 Diameter atas-bawah dan kiri-kanan masing-masing sekitar 3 cm, diameter depan-belakang sekitar 2-3 cm.2
Gambar 1 (dikutip dari kepustakaan 9) Anatomi hidung dan nasofaring
Bagian atas nasofaring dibentuk oleh bassiphenoid dan basiocciput. Dinding posterior dibentuk oleh arkus atlas yang dilapisi otot-otot dan fascia prevertebral. Dasar nasofaring dibentuk oleh palatum molle anterior dan ismus orofaring. Dinding anterior dibentuk oleh ostium posterior nasal atau choanae dan margin posterior septum nasalis. Pada dinding lateral nasofaring terdapat orifisium tuba eustakius, orifisium ini dibatasi oleh torus tubarius pada bagian posterior. Ke arah postero-superior dari torus tubarius terdapat Fossa Rosenmuller yang merupakan lokasi tersering KNF.2,4,7,10 Area nasofaring sangat kaya akan saluran limfatik, terutama drainase ke kelenjar limfe faringeal posterior paravertebral servikal (disebut juga kelenjar limfe Rouviere, sebagai kelenjar limfe terminal pertama drainase KNF), kemudian masuk ke kelenjar limfe kelompok profunda servikal, terutama meliputi: rantai kelenjar limfe jugularis interna, rantai kelenjar limfe nervi asesorius (terletak dalam segitiga posterior leher), rantai kelenjar limfe arteri dan vena transversalis koli (di fosa supraklavikular). 2 Vaskularisasi nasofaring berasal dari percabangan level I atau II arteri karotis eksterna, masing-masng adalah: 2 -
Arteri faringeal asendens, cabang terkecil arteri karotis eksterna
-
Arteri palatina asendens
-
Arteri faringea, salah satu cabang terminal dari arteri maksilaris interna
-
Arteri pterigoideus, juga salah satu cabang akhir arteri maksilaris interna.
Untuk persarafan nasofaring, saraf sensorik berasal dari nervi glossofaringeal dan vagus. Saraf motorik dar nervus vagus, mempersarafi sebagian otot faring dan palatum mole. 2 Adapun fungsi nasofaring sebagai berikut:4 -
Sebagai saluran udara yang berperan menghangatkan dan melembabkan udara di hidung yang
menuju ke laring dan trakea -
Melalui tuba eustachii, nasofaring berperan sebagai ventilasi dari telinga tengah dan
menyeimbangkan tekanan udara antara kedua sisi membran timpani. Fungsi ini penting untuk proses pendengaran. -
Nasofaring berperan dalam proses menelan, refleks muntah, dan berbicara
-
Sebagai ruang resonansi dalam proses bersuara dan berbicara.
-
Sebagai drainase untuk mukus yang disekresikan oleh hidung dan kelenjar nasofaring.
IV.
ETIOLOGI
Terjadinya KNF mungkin multifaktorial dan proses karsinogenesisnya mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya KNF adalah: 1.
Genetik 1,2,3,4,5,6
Walaupun KNF tidak termasuk tumor genetik, tetapi ker entanan terhadap KNF pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol dan memiliki fenomena agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p4502E (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap KNF, mereka berkaitan dengan timbulnya sebagian besar KNF. Tahun 2002, RS Kanker U niversitas Zhongshan memakai 382 buah petanda mikrosatelit polimorfisme 22 helai autosom genom manusia melakukan pemeriksaan genom total terhadap keluarga insidens tinggi KNF berdialek Guangzhao di propinsi Guangdong, gen kerentanan KNF ditetapkan berlokasi di p41511-q12.
Penelitian geneteika molecular dan biologi molecular mutakhir menemukan KNF menunjukkan frekuensi tinggi kehilangan heterozigositas (LOH) kromosom terutama paa 1p, 3p, 9p, 9 q, 11q, 13q, 14q, 16q, dan 19p, dan telah mengidentifikasikan region delesi minimal LOH yang berkaitan, terkesan di dalam region dengan frekuensi LOH tinggi mungkin terdapat gen supresor tumor yang berpearan penting dalam pathogenesis KNF. Penelitian di atas menunjukkan k romosom pasien KNF menunjukkan ketidakstabilan, hingga lebih rentan terhadap serangan berbagai faktor berbahaya dari lingkungan dan timbulnya penyakit. 2.
Virus 1,2,3,4,5,6
Virus Eipstein-Barr (EBV) merupakan virus herpes yang dikaitkan dengan KNF. Metode imunologi membuktikan EBV membawa antigen spesifik seperti antigen capsid virus (VCA), antigen membrane (MA), antigen dini (EA), antigen nuklir (EBNA) dan lain-lain. EBV dikaitkan dengan KNF dengan alasan sebagai berikut: -
Di dalam serum pasien KNF ditemukan antibodi terkait EBV (termasuk VCA-IgA, EA-IgA, EBNA, dll)
dengan frekuensi postif maupun rataa-rata titer geometriknya jelas lebih tinggi dibandingkan orang normal dan penerita kanker jenis lain (termasuk kanker ke pala leher) dan titernya berkaitan positif dengan beban tumor. Selain itu titer antibody dapat meurun be rtahap sesuai pulihnya kondisi pasien dan kembali meningkat bila penyakitnya rekuren atau memburuk. -
Di dalam sel KNF dapat dideteksi zat petanda EBV seperti DNA virus dan EBNA
-
Epitel nasofaring di luar tubuh bila diinfeksi dengan galur sel mengandung EBV, ditemukan epitel
yang terinfeksi tersebut tumbuh lebih cepat, gambaran pembelahan inti juga banyak. -
Dilaporkan EBV di bawah pengaruh zat karsinogen tertentu dapat menimbulkan karsinoma tak
berdiferensiasi pada jaringan mukosa nasofaring fetus manusia. 3.
Lingkungan 1,2,3,4,5,6
Menurut laporan luar negeri, orang Cina generasi pertama yang bermigrasi ke Amerika Serikat, m emilik angka kematian akibat KNF 30 kali lebih tinggi dari penduduk kulit putih setempat, sedangkan pada generasi kedua turun menjadi 15 kali, pada generasi ketiga belum ada angka pasti, tapi secara keseluruhan cenderung menurun. Sedangkan orang kulit putih yang lahir di Asia Tenggara, angka kejadian KNF meningkat. Sebabnya selain pada sebagian orang terjadi perubahan pada hubungan darah, jelas faktor lingkuna=gan juga berperan penting. Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dan kebiasaan makan makanan terlalu panas. Nikel sulfat dalam air minum atau makanan dapat memacu efek karsinogenesis pada proses timbulnya 4.
KNF.
Diet 1,3,4,5,6
Ho dari Hong Kong pertama kali melaporkan bahwa ikan asing Cina, makanan yang ter kenal di Cina Selatan, utamanya yang berasal dari Kanton, merupakan salah satu faktor etiologi KNF. Teori ini didasarkan fakta bahwa insidens tertinggi KNF terjadi pada nelayan Hong Kong yang dietnya t erdiri dari ikan asin yang banyak dam mengalami defisiensi vitamin yang berasal dari sayuran dan buah. Ikan asin ini juga terkenal di kalangan emigran Cina, dan b eberapa negara Asia Tenggara. Nitrosamin yang dikandung oleh ikan asin kemudian diketahui menginduksi kar sinoma squamosa, adenokarsinoma dan tumor lain di nasal dan kavum paranasal atau nasofaring.
V.
PATOFISIOLOGI
Rongga nasofaring diselaputi selapis mukosa epitel tipis, terutama berupa epitel skuamosa, epitel torak besilia berlapis semu dan epitel transisional. Di dalam lamina propria mukosa sering terdapat sebukan limfosit, di submukosa terdapat kelenjar serosa dan musinosa. KNF adalah tumor ganas yang ber asal dari epitel yang melapisi nasofaring. 2 Infeksi virus Epstein-Barr dapat menyebabkan KNF. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten pada penderita KNF. Pada penderita ini sel yang t erinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus di dalam sel host. Protein laten ini dapat dipakai sebagai petanda (marker) dalam mendiagnosa KNF, yaitu EBNA-1 dan LMP-1, LMP- 2A dan LMP-2B. Dari semua antigen yang diekspresikan oleh EBV pada KNF, latent membrane protein-1 (LMP-1) merupakan faktor penting yang berkontribusi dalam pathogenesis KNF sebab LMP-1 ini menginduksi pertumbuhan selular dan mempengaruhi mekanisme pengontrolan pertumbuhan seluler. LMP-1 merupakan onkogen viral dari EBV yang mengubah sel fibroblast embrio tikus. LMP-1 juga diketahui menginduksi reseptor faktor pertumbuhan epidermis dan gen A20 yang berperan dalam menghentikan apopotosis pada sel epitel yang dimediasi oleh p-53.6 Lokasi predileksi KNF adalah dinding lateral nasofaring (terutama di resesu faringeus) dan dinding superoposterior. Tingkat keganasan KNF t inggi, tumbuh infiltratif, dapat langsung menginfiltrasi berekspansi ke struktur yang berbatasan: ke atas dapat langsung merusak basis cranial, juga dapat melalui foramen sfenotik, foramen ovale, foramen spinosum, kanalis karotis internal atau sinus sphenoid dan selula etmoidal posterior, lubang saluran atau retakan alamiah menginfiltrasi intracranial, mengenai saraf cranial; ke anterior menyerang ro ngga nasal, sinus maksilaris, selula etmoidales anterior, kemudian ke dalam orbita, juga dapat melalui intrakranium, fisura orbitalis superior atau kanalis pterigoideus, resesus pterigopalatina lalu ke orbita; ke lateral t umor dapat menginfiltrasi celah parafaring, fossa intratemporal dan kelompok otot mengunyah; ke posterior menginfiltrasi jaringan lunak prevertebra servikal, vertebra servikal; ke inferior mengenai orofaring, bahkan laringofaring. 2 VI.
GAMBARAN KLINIS
Gejala nasofaring dibagi dalam 4 kelompok utama: 3,4 -
Gejala pada hidung dan nasofaring, berupa obstruksi nasal, sekret, dan epistaksis.
-
Gangguan pada telinga terjadi akibat tempat asal tumor dekat dengan muara tuba eustachi (Fossa
Rosenmuller) dan menimbulkan obstruksi sehingga dpat terjadi penurunan pendengaran, otitis media serous maupun supuratif, tinnitus, gangguan keseimbangan, rasa tidak nyaman dan rasa nyeri di telinga. Adanya otitis media serosa yang unilateral pada orang dewasa meningkatkan kecurigaan akan t erjadinya KNF. -
Gangguan oftalmoneurologik terjadi karena nasofaring behubungan dekat dengan rongga tengkorak
melalui beberapa lubang, sehingga gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut KNF. Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI, dan dapat pula ke V, sehingga tidak jarang gejala diplopialah yang membawa pasien lebih dulu ke dokter mata. Gej ala mata lain berupa penurunan reflex kornea, eksoftalmus dan kebutaan (berkaitan dengan saraf otak II). Neuralgia terminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum te rdapat keluhan lain yang berarti. Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan XII jika
penjalaran melalui foremen jugulare yang relatif jauh dari nasofaring, sering disebut sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral. Ada juga yang dikenal dengan tr ias Trotter yaitu tuli konduktif, neuralgia temporoparietal ipsilateral dan paralisis palatal terjadi secara kolektif akibat KNF. -
Metastasis di leher, merupakan gejala yang paling jelas manifestasinya berupa benjolan di leher yang
kemudian mendorong pasien berobat. Be njolan biasanya ditemukan antara mandibula dan mastoid. Untuk metastasis lanjutan, gejala melibatkan tulang, paru-paru, hepar dan lain-lain. Berdasarkan frekuensi sering ditemukannya pada pasien, gejala dan tanda KNF berturut -turut sebagai berikut:4 -
Limfadenopati pada leher (60-90%)
-
Hilangnya pendengaran
-
Obstruksi nasal
- Epistaksis -
Kelumpuhan N.Kranialis
-
Nyeri kepala
-
Otalgia
-
Nyeri pada leher
-
Penurunan berat badan
VII.
DIAGNOSIS
Anamnesis dan pemeriksaan fisis lengkap harus dilakukan, dan meskipun keluhan yang diungkapkan pasien tampak tidak bermakna, namun tetap dicurigai sebagai KNF jika lokasi geografis mer upakan lokasi yang endemik. Pasien KNF jarang mencari pengobatan hingga terjadi metastasis ke limfe regional. Pembesaran tumor yang terjadi muncul sebagai gejala berupa obstruksi nasal, gangguan pendengaran dan kelumpuhan saraf kranialis. 5,11 Pada pemeriksaan fisis, tanda yang paling sering ditemukan adalah benjolan pada leher (80%), umumnya bersifat bilateral, di mana kelenjar limfe yang terlibat paling sering adalah nodus limfe jugulodigastrik, atas dan tengah pada rantai servikal anterior. Selain itu, kelumpuhan saraf kranial ditemukan pada 25% pasien KNF.1,5,11 Indirect nasopharyngoscopy perlu dilakukan untuk menilai tumor primer. Dapat juga digunakan nasopharyngoscopy direct berupa endoskopi.1,5,11 CT Scan kepala dan leher dilakukan untuk menilai besarnya tumor, ada tidaknya erosi dari basis cranial,dan limfodenopati servikal yang terjadi. Potongan k oronal memperlihatkan persebaran tumor dari fissura petroclinoid atau foramen laceru ke sinus caver nosus. Potongan axial menunjukkan persebaran ke retrofaringeal, paranasofaringeal, dan fossa intratempolar. 1,3,5,11
Gambar 2 (dikutip dari kepustakaan 5) Potongan Axial CT Scan menunjukkan KNF: A.Sebelum Nasofaringektomi B. Setelah Nasofaringektomi
Foto thoraks posisi AP dan lateral berfungsi untuk menilai adanya metastasis ke paru-paru.1 Pemeriksaan darah rutin, termasuk hitung darah lengkap (CBC) serta ureum, kreatinin, elektrolit, fungsi hepar, Ca, PO4, alkalin fosfat. Fungsi liver m ungkin abnormal pada kasus metastasis hepar. Asam urat mungkin meningkat pada pasien dengan pertumbuhan tumor yang cepat.1,11 Pemeriksaan titer EBV termasuk antibodi IgA dan IgG terhadap antigen kapsid viral (VCA), antigen dini (EA), dan antigen nuklir sebaiknya dilakukan. Titer ini berhubungan dengan beratnya penyakit dan berkurang dengan pengobatan. Sedangkan titer DNA EBV penting dalam prognosis penyakit. Lo dalam
beberapa tulisan menyebutkan bahwa titer DNA EBV berkaitan erat dengan stadium, respon pengobatan, relaps dan survival dari pasien KNF. 1,5,11 Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring. Biopsi dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu di hidung dan di mulut. Biopsi di hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya. Biopsi mulut dilakukan dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar.3 Sesuai dengan klasifikasi WHO, KNF dibedakan menjadi 3 jenis berdasarkan gambaran histopatologiknya:3,7,11,12 1.
Karsinoma sel squamosa (berkeratinisasi), terdapat jembatan interseluler dan keratin, dapat dilihat
dengan mikroskop cahaya 2.
Karsinoma nonkeratinisasi, pada pemeriksaan dengan mikroskop cahaya, terdapat tanda
differensiasi, tetapi tidak ada differensiasi skuamosa. 3.
Karsinoma tidak berdiferensiasi, sel mempunyai inti vesikuler, nukleo;us yang menonjol, dan dinding
sel tidak tegas, tumor tampak lebih berbentuk sinsitium daripada bentuk susunan batu bata. Untuk penentuan stadium digunakan sistem TNM menurut UICC dan AJCC (2002, Edisi VI). Tumor Primer (T) •
Tx
= Tumor primer yang belum dapat dipastikan
•
T0
= Tidak tampak tumor
•
Tis
= Karsinoma in situ
•
T1
= Tumor berada di nasofaring
•
T2
= Tumor meluas ke jaringan lunak di orofaring dan/atau fossa nasal.
•
T2a
= Tanpa perluasan parafaringeal
•
T2b
= Dengan perluasan parafaringeal
•
T3
= Tumor menyerang struktur tulang dan/atau sinus paranasal
•
T4
= Tumor dengan extensi intracranial dan/atau keterlibatan CNs, fossa infratemporal, hipofaring,
atau orbit. Nodul (N) •
N0 = Nodul regional tidak ada
•
N1 = Nodul regional ada, tapi belum ada perlekatan
•
N2 = Nodul regional ada, sudah ada perlekatan
•
N3 = Metastasis di kelenjar getah bening (s)
•
N3a = Lebih besar dari 6 cm
•
N3b = Ekstensi untuk fosa supraklavikula
Metastase (M) •
Mx
= Metastatis jauh tidak dapat dinilai
•
M0
= Tidak ada metastasis jauh
•
M1
= Terdapat metastasis jauh
Tabel 1 Stadium KNF (Dikutip dari kepustaaan 11,12) Stadium 0
T
Tx N0
N M M0
I
T1
N0
M0
II
T1
N1
M0
T2
N0
M0
T2
N1
M0
III
T1
N2
M0
T2
N2
M0
T3
N0
M0
T3
N1
M0
T3
N2
M0
IV A
T4
N0 M0
T4
N1
M0
T4
N2
M0
IV B
T1-4
N3 M0
IV C
T1-4
N0-3
VIII.
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
1.
M1
Polip Nasal
Polip nasal merupakan lesi abnormal yang berasal dari mukosa nasal atau sinus paranasal. Polip merupakan hasil akhir dari berbagai proses penyakit di kavum nasi. Polip hidung mengandung banyak cairan, berwarna putih keabu-abuan. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan.3,11 2.
Limfoma Non-Hodgkin
Sering pada pemuda dan remaja, pembesaran ke lenjar limfe leher, dapat mengenai banyak lokasi, secara bersamaan dapat terjadi pembesaran kelenjar limfe naksila, inguinal, mediastinum, dll. Konsistensi tumor agak lunak dan mudah digerakkan. 2,11 3.
TB Nasofaring
Umumnya pada orang muda, dapat timbul erosi, ulserasi dangkal atau benjolan granulomatoid, eksudat permukaan banyak dan kotor, bahkan mengenai seluruh nasofaring. Khususnya perlu ditegaskan apakah terdapat TB dan kanker bersama-sama, atau apakah terj adi reaksi tuberkuloid akibat KNF. 2 4.
TB Kelenjar Limfe Leher
Lebih banayak pada pemuda dan remaja. Konsistensi agak keras, dapat melekat dengan jaringan sekitarnya membentuk massa, kadang terdapat nyeri tekan atau undulasi, pungsi aspirasi jarum menemukan materi mirip keju. 2 5.
Angiofibroma Nasofaring
Sering ditemukan pada orang muda, pria jauh lebih banyak dari wanita. Dengan nasofaringoskop tampak permukaan timor licin, warna mukosa menyerupai jaringan normal, kadang tampak vasodilatasi di permukaannya, konsistensi kenyal padat. Bila secara klinis dicurigai penyakit ini, biopsi tidak dianjurkan karena mudah terjadi perdarahan masif. 2 IX. PENATALAKSANAAN Terapi KNF unik karena dua alasan, pertama lokasi tumornya yang sulit dijangkau mengakibatkan tindakan bedah menjadi lebih sulit dan dilakukan. Alasan berikutnya yaitu bahwa KNF ini lebih
radiosensitif. 5 Terapi terhadap KNF berprinsip pada individiualisasi dan tingkat keparahan: pasien stadium I/II dengan radioterapi eksternal sederhana atau radioterapi eksteral ditambah brakiterapi kevum nasofaring; pasien stadium III/IV dengan kombinasi radioterapi dan kemoterapi; pasien dengan metastasi jauh harus bertumpu pada kemoterapi dan radioterapi paliatof.2 Radioterapi hingga sekarang masih merupakan terapi utama dan pengobatan tambahan yang dapat diberikan berupa bedah diseksi leher, pemberian tetrasiklin, interferon, kemoterapi, dan vaksin antivirus.3 Sumber radiasi menggunakan radiasi Ɣ Co-60, radiasi β energy tinggi atau radias i X energi tinggi dari akselerator linier, terutama dengan radiasi luar isosentrum, dibantu brakiterapi intrkavital, bila perlu ditambahi radioterapi stereotaktik. Wang melakukan penyinaran sebanyak 4500 rad pada tumor primer dan leher bagian atas, kemudian dilanjutkan dengan tambahan 1500 rad teroisah untuk tumor primer dan kelenjar leher bagian atas. Akhirnya untuk kelenjar leher bagian bawah yang tidak terkena tumor diberikan dosis 5000 rad.2,7 Kemoterapi masih tetap terbaik sebagai terapi adjuvant (tambahan). Berbagai macam kombinasi dikembagkan, yang terbaik sampai saat iniadalah kombinasi dengan Cis-platinum.3 Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhada benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah penyinaran selesai, tapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan serologi seta tidak ditemukan adanya metastasis jauh. 3 X.
PROGNOSIS
Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit dilakukan, karena nasofaring tersembunyi di belakang langit-langit dan terletak di bawah dasar tengkorak serta berhubungan dengan banyak daerah penting di dalam tengkorak dan ke lateral m aupun ke posterior leher. Oleh karena letak nasofaring tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahli, seringkali tumor ditemukan terlambat dan menyebabkan metastasis ke leher lebih sering ditemukan sebagai ge jala pertama.3 Perbedaan prognosis (angka bertahan hidup 5 tahun) dari stadium awal dengan stadium lanjut sangat mencolok, yaitu 76,9% untuk stadium I, 56 % untuk stadium II, 38,4% untuk stadium III, dan hanya 16,4% untuk stadium IV. 3 Tidak seperti keganasan kepala leher yang lainnya, KNF mempunyai risiko terjadinya rek urensi sehingga follow up jangka panjang diperlukan. Kekambuhan tersering terjadi kurang dari 5 tahun, 5 -15% kekambuhan seringkali terjadi antara 5-10 tahun. Sehigga pasien KNF perlu difollow-up setidaknya 10 tahun setelah terapi. 3
DAFTAR PUSTAKA 1.
Brennan B. Review Nasopgaryngeal Carcinoma. Orphanet Journal of Rare Disease [serial on line].
2006 [cited 1 November 2011]. Available from URL: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1559589/pdf/1750-1172-1-23.pdf
2.
Desen W. Tumor kepala dan leher. Dalam: Desen W, editor. Buku ajar onkologi klinis Edisi II. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI, 2007; 263-78. 3.
Efiaty A. Karsinoma nasofaring. Dalam: Nurbaiti,Jenny,Ratna, editor. Buku ajar ilmu kesehatan THT
kepala & leher Edisi VI. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007; 182-87. 4.
Dhingra PL. Disease of Pharynx. Disease of Ear, Nose and Throat 4th edition. New Delhi: Elsevier,
2007; 223-7, 232-5. 5.
Cummings CW et al. Nasopharyngeal Carcinoma. Cummings Otolaryngology Head and Neck Surgery
4th edition. USA: Mosby, 2005; 1-13 6.
Huang DP, Lo KW. Aetilogical Factors and Pathogenesis. Dalam: van Hasselt CA, Gibb AG, editors.
Nasopharyngeal Carcinoma. Hongkong: The Chinese University of Hong Kong, 1999; 31-51. 7.
Ballenger JJ. Tumor dan Kista di Muka, Faring, dan Nasofaring. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala dan Leher Edisi 13 Jilid 1.Jakarta: Binarupa Aksara, 1994; 391-6. 8.
Adams GL. Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Adams, Boies, Higler, editors. Boies:
Buku ajar penyakit THT Edisi VI. Jakarta: EGC, 19 97; 320-55 9.
Probst R, Grevers G, Iro H. Nose, Paranasal Sinuses and Face. Basic Otorhinolaryngology. New York:
Thieme, 2005; 18. 10.
Kalwani AK. Benign and Malignant Lesions of the Nasopharynx. Current Diagnosis and Treatment:
Otolaryngology Head and Neck Surgery. USA: Mc Graw Hill, 2007; 1-7. 11.
Paulino AC et al. Nasopharyngeal Cancer. [Online]. 2010 [Cited 1 November 2011]. Available from
URL: http://emedicine.medscape.com/article/988165-overview. 12.
Chan ATC, Teo PML, Johnson PJ. Review Nasopharyngeal Carcinoma. Annals of Oncology [serial
online]. 2002 [Cited 1 November 2011]. Available from URL: http://www.entjournal.com/Media/PublicationsArticle/JEYAKUMAR-03_06.pdf
Nasopharyngeal Cancer
+ -Text Size Download Printable Version [PDF]» EARLY DETECTION, DIAGNOSIS, AND STAGING TOPICS
Document Topics GO » SEE A LIST »
Previous Topic
Can nasopharyngeal cancer be found early? Next Topic
How is nasopharyngeal cancer staged?
How is nasopharyngeal cancer diagnosed? Nasopharyngeal cancer (NPC) is most often diagnosed when a person goes to a doctor because of symptoms such as a lump in the neck.
Signs and symptoms of nasopharyngeal cancer About 3 out of 4 people with NPC complain of a lump or mass in the neck when they first see their doctor. This is caused by the cancer spreading to lymph nodes in the neck, causing them to become larger than normal. (Lymph nodes are bean-sized collections of immune system cells found throughout the body). Other possible symptoms of NPC include:
Hearing loss, ringing in the ear, or feeling of fullness in the ear (especially on one side only) Ear infections that keep coming back Nasal blockage or stuffiness Nosebleeds Headache Facial pain or numbness Trouble opening the mouth Blurred or double vision
These are possible symptoms and signs of NPC , but they are more often caused by other, less serious diseases. Still, if you have any of these problems, it's important to see your doctor right away so the cause can be found and treated, if needed.
Ear infections are common in children, but not in adults. If you develop an infection in one ear and you have not had ear infections in the past, it is important that a specialist examine your nasopharynx. This is especially true if you don't have an upper respiratory tract infection (like a “cold”) along with the ear infection.
Medical history and physical exam If you have any signs or symptoms that suggest you might have nasopharyngeal cancer, your doctor will want to get your complete medical history to learn about your symptoms and any possible risk factors, including your family history. A physical exam will be done to look for signs of NPC or other health problems. During the exam, the doctor will pay special attention to the head and neck area, including the nose, mouth, and throat; the facial muscles, and the lymph nodes in the neck. If your doctor suspects you may have a tumor or other problem in the nose or throat, he or she may order imaging tests (such as CT or MRI) to look at the head and neck area more closely. Your doctor may also refer you to an otolaryngologist (a doctor specializing in ear, nose, and throat problems, also sometimes called an ENT doctor), who will do a more thorough exam of the nasopharynx. The nasopharynx is a difficult area to examine. Most doctors do not have the specialized training or equipment to do a thorough exam of this part of the body.
Exams of the nasopharynx The nasopharynx is located deep inside the head and is not easily seen, so special techniques are needed to examine this area. There are 2 main types of exams used to look inside the nasopharynx for abnormal growths, bleeding, or other signs of disease. Both types of exams are usually done in the doctor's office.
For indirect nasopharyngoscopy , the doctor uses special small mirrors and lights placed at the back of your throat to look at the nasopharynx and nearby areas. For direct nasopharyngoscopy , the doctor uses a fiber-optic scope known as a nasopharyngoscope (a flexible, lighted, narrow tube inserted through the nose) to look directly at the lining of the nasopharynx. You will have numbing medicine sprayed into your nose before the exam to make it easier.
If a tumor starts under the lining of the nasopharynx (in the tissue called the submucosa), it may not be possible to see it directly on physical exam, which is why imaging tests such as CT scans (see below) may be needed as well.
Biopsy Symptoms and the results of exams can suggest that a person might have NPC, but the actual diagnosis is made by removing cells from an abnormal area and looking at them under a microscope. This is known as a biopsy. Different types of biopsies may be done, depending on where the abnormal area is.
Endoscopic biopsy If a suspicious growth is found in the nasopharynx during an exam, the doctor may remove a biopsy sample with small instruments and the aid of a fiber-optic scope. Often, biopsies of the nasopharynx are done in the operating room as an outpatient procedure. The sample is then sent to a lab, where a doctor called a pathologist
looks at it under a microscope. If the biopsy sample contains cancer cells, the pathologist sends back a report describing the type of the cancer. If the cancer is hidden beneath the surface of the nasopharynx, NPC may not be visible during an exam. If a person has symptoms suggesting NPC but nothing abnormal is seen on exam, the doctor may take several samples of normal-looking tissue, which may be found to contain cancer cells when looked at under the microscope.
Fine needle aspiration (FNA) biopsy An FNA biopsy may be used if you have a suspicious lump in or near your neck. For this procedure, the doctor uses a thin, hollow needle attached to a syringe to aspirate (withdraw) a few drops of fluid containing cells and tiny fragments of tissue. A local anesthetic (numbing medicine) may be used on the skin where the needle will be inserted. In some cases, no anesthetic is needed. The doctor places the needle directly into the mass for about 10 seconds and withdraws cells and a few drops of fluid. The cells are then looked at under a microscope to see if they are cancerous. In patients with an enlarged lymph node in the neck area, an FNA biopsy can help determine if the enlargement is caused by a response to an infection, the spread of cancer from somewhere else (such as the nasopharynx), or a cancer that begins in lymph nodes – called a lymphoma. If the cancer started somewhere else, the FNA biopsy alone might not be able to tell where it started. But if a patient already known to have NPC has enlarged neck lymph nodes, FNA can help determine if the spread of NPC caused the lymph node swelling.
Imaging tests Imaging tests use x-rays, magnetic fields, sound waves, or radioactive particles to create pictures of the inside of your body. Imaging tests may be done for a number of reasons, including to help find a suspicious area that might be cancerous, to learn how far cancer may have spread, and to help determine if treatment has been effective.
Chest x-ray If you have been diagnosed with NPC, a plain x-ray of your chest may be done to see if the cancer has spread to your lungs. This is very unlikely unless your cancer is far advanced. This x-ray can be done in any outpatient setting. If the results are normal, you probably don‟t have cancer in your lungs.
Computed tomography (CT) scan The CT scan is an x-ray test that produces detailed cross-sectional images of your body. Instead of taking one x-ray, a CT scanner takes many pictures as it rotates around you. A computer then combines these into images of slices of the part of your body that is being studied. Before the pictures are taken, you may get an IV (intravenous) line through which a kind of contrast dye (IV contrast) is injected. This helps better outline structures in your body. You may also be asked to drink 1 to 2 pints of a liquid called oral contrast . This helps outline the intestine so that certain areas are not mistaken for tumors. It may not be needed for CT scans of the nasopharynx.
The injection can cause some flushing (redness and warm feeling). Some people are allergic and get hives or, rarely, more serious reactions like trouble breathing and low blood pressure. Be sure to tell the doctor if you have any allergies or have ever had a reaction to a contrast material used for x-rays. You need to lie still on a table while the scan is being done. During the test, the table slides in and out of the scanner, a ring-shaped machine that completely surrounds the table. You might feel a bit confined by the ring you have to lie in while the pictures are being taken. A CT scan of the head and neck can provide information about the size, shape, and position of a tumor and can help find enlarged lymph nodes that might contain cancer. CT scans or MRIs are important in looking for cancer that may have grown into the bones at the base of the skull. This is a common place for nasopharyngeal cancer to grow. CT scans can also be used to look for tumors in other parts of the body.
Magnetic resonance imaging (MRI) scan Like CT scans, MRI scans provide detailed images of s oft tissues in the body. But MRI scans use radio waves and strong magnets instead of x-rays. The energy from the radio waves is absorbed and then released in a pattern formed by the type of body tissue and by certain diseases. A computer translates the pattern into very detailed images of parts of the body. A contrast material called gadolinium is often injected into a vein before the scan to better see details. MRI scans may be a little more uncomfortable than CT scans. They take longer – often up to an hour. You may be asked to lie on a table that slides inside a large tube, which is confining and can upset people with a fear of enclosed spaces. Special, “open” MRI machines can sometimes help with this if needed. The MRI machine makes buzzing and clicking noises that you may find disturbing. Some places will provide earplugs to help block this noise out. Like CT scans, MRIs can be used to try to determine if the cancer has grown into structures near the nasopharynx. MRIs are a little better than CT scans at showing the soft tissues in the nose and throat, but they‟re not quite as good for looking at the bones at the base of the skull, a common place for nasopharyngeal cancer to grow.
Positron emission tomography (PET) scan For a PET scan, you receive an injection of a form of radioactive sugar (known as fluorodeoxyglucose or FDG). The amount of radioactivity used is very low. Because cancer cells in the body are growing rapidly, they absorb large amounts of the sugar. After about an hour, you are moved onto a table in the PET scanner. You lie on the table for about 30 minutes while a special camera creates a picture of areas of radioactivity in the body. The picture is not finely detailed like a CT or MRI scan, but it provides helpful information about your whole body. Your doctor may use this test to see if the cancer has spread to your lymph nodes. It can also help give the doctor a better idea of whether an abnormal area on a chest x-ray may be cancer. A PET scan can also be useful if your doctor thinks the cancer may have spread but doesn‟t know where. Some machines are able to do both a PET and CT scan at the same time (PET/CT scan). This lets the doctor compare areas of higher radioactivity on the PET with the more detailed appearance of that area on the CT.
View more...
Comments