Buku Strabismus Dr.muslim
August 9, 2017 | Author: Miftahul Khairat Musmar Elbama | Category: N/A
Short Description
Download Buku Strabismus Dr.muslim...
Description
KATA PENGANTAR Buku tentang strabismus dalam bahasa asing bisa ditemukan ditoko buku atau perpustakaan , tetapi dalam bahasa Indonesia masih jarang kita temukan. Mahasiswa maupun residen yang sedang pendidikan sering mengalami kesulitan dalam memahami strabismus karena banyaknya istilah-istilah yang sulit dimengerti. Penulis berusaha membuat buku strabismus ini sebagai panduan bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran dan juga bagi dokter residen yang sedang dalam pendidikan I.P. mata sehingga bisa lebih memudahkan memahaminya. Dalam buku ini dibahas mengenai anatomi, fisiologi, gambaran klinik, pemeriksaan, pengobatan, operasi serta komplikasi operasi pada strabismus. Istilah-istilah asing masih digunakan dalam buku ini disamping istilah dalam bahasa Indonesia untuk menghindari salah tafsir karena ada istilah –istilah asing yang sukar diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Penulis mengucapkan terima kasih kepada kepala bagian I.P. Mata F.K. Unand/RS.M. Jamil Padang yang memberikan dorongan kepada penulis untuk menerbitkan buku ini. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada sejawat di bagian I.P. Mata yang telah membantu dan memberi masukan penulis dalam menyelesaikan buku ini. Penulis menyadari bahwa buku ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapakan saran dan kritik dari sejawat untuk perbaikan buku ini selanjutnya.
Dr. Muslim Ridwan
1
ISI BUKU: 1. KATA PENGANTAR 2. PENDAHULUAN 3. PENGLIHATAN BINOKULER DAN KESAN RUANG 4. POSISI, GERAKAN DAN DEVIASI MATA 5. ANATOMI DAN FUNGSI OTOT EKSTRA OKULER & HUBUNGAN FASIA DENGAN ORBITA 6. PERSARAFAN YANG MENGENDALIKAN BOLA MATA. 7. KELUHAN,GEJALA SENSORIS, DAN ADAPTASI PADA STRABISMUS 8. AKOMODASI DAN KONVERGENSI 9. ESOTROPIA 10. EKSOTROPIA 11. AV PATTERN 12. DISSOCIATED VERTICAL DEVIATION 13. PRIMARY INFERIOR OBLIQ OVERACTION 14. PRIMARY SOPERIOR OBLIQ OVERACTION 15. SUPERIOR OBLIQ PARALYTIC 16. INFERIOR OBLIQ PARALYTIC 17. DUANE RETRACTION SYNDROM 18. BROWN SYNDROME 19. STRABISMUS FIXUS 20. ADHEREN SYNDROM (JOHNSON) 21. CYCLIC STRABISMUS 22. MIKROTROPIA 23. NYSTAGMUS 24. OPERASI OCULER TORTIKOLIS DENGAN TRANSPOSISI HORIZONTAL DARI REKTUS VERTIKAL 25. KOMPLIKASI OPERASI STRABISMUS 26. PEMAKAIAN PRISMA 27.TERAPI BOTULINUM 28. PEMERIKSAAN STRABISMUS 29. AMBLIOSKOP 30. MERENCANAKAN OPERASI PADA STRABISMUS 31. KEPUSTAKAAN 2
I. PENDAHULUAN Pada zaman primitif kelainan ini dianggap pertanda kemarahan dari Tuhan. Istilah strabismus baru muncul pada zaman Romawi lebih kurang 2000 tahun yang lalu, waktu itu ada seorang ahli ilmu bumi di Alexandria Mesir yang bernama Strabo yang terkenal karena ia membuat peta dan tulisan mengenai istana Cleopatra. Ia mempunyai kelainan mata dengan posisi tidak lurus/ juling, sejak itu orang dengan mata juling disebut Strabo dan kemudian berobah jadi Strabismos yang berarti membelok dan kemudian berobah lagi menjadi Strabismus. Strabismus ini didapatkan lebih kurang 2 – 4 % pada anak-anak. Kelainan ini akan menyebabkan gangguan pada penglihatan binokuler normal sehingga pasien tidak bisa melihat secara stereoskopik. Ini akan menyebabkan keterbatasan pasien dalam bidang bidang pekerjaan tertentu yang memerlukan presisi yang tinggi, seperti pilot pesawat terbang, bidang pertanahan, mesin yang berputar cepat, olah raga dengan objek yang berputar cepat dan lain-lain. Disamping itu juga bisa mengakibatkan gangguan kepribadian dimana anak tersebut akan merasa rendah diri dan menarik diri dari pergaulan karena cacat tersebut. Kedua akibat yang merugikan ini sering tidak disadari oleh penderita maupun keluarganya. Di Indonesia kelainan ini sering diabaikan dan tidak dibawa berobat karena menganggap kelainan ini sudah merupakan takdir dan tidak bisa diperbaiki/diobati, sehingga strabismus ini sering juga dijumpai pada orang dewasa yang kadang-kadang dengan deviasi yang cukup besar. Dinegara maju kelainan ini sudah jarang dijumapai pada orang dewasa karena umumnya sudah dideteksi dan ditanggulangi pada usia anak-anak.
3
II. PENGLIHATAN BINOKULER DAN KESAN RUANG Posisi objek yang menyenangkan untuk dilihat adalah pada posisi objek tersebut terletak didepan dan selevel dengan mata. Pada orang dengan mata lurus dan berfiksasi pada satu objek dengan kedua mata maka akan menerima bayangan pada kedua retina yang bersamaan posisinya (koresponden). Jika fungsi kedua matanya normal dan sama maka ia akan melihat kedua bayangan tersebut sama dan menyatu baik ukuran, pencahayaan maupun warna objek tsb. Masing-masing elemen retina yang sama yang menerima rangsangan tersebut merupakan visual direction, dan fovea merupakan principal visual direction dengan tajam penglihatan terbaik. Daerah retina lainnya merupakan secondary visual direction dan merupakan relative visual direction. Retinomotor values Setiap objek yang terlihat oleh retina perifer ( relative visual direction”) akan memberikan informasi keotak akan adanya suatu objek. Dengan adanya informasi ini maka otak akan mengirimkan impuls ke otot ekstra okuler dan menggerakkan bola mata sehingga bayangan jatuh ke fovea, gerakan yang terjadi sehingga bayangan jatuh di fovea dinamakan motor fusion. Keadaan yang menimbulkan motor fusion ini dinamakan retinomotor value. Retinomotor value ini makin keperifer makin meningkat dan difovea retinomotor ini adalah nol dan disebut juga retinomotorcenter atau retinomotor zero point Fusi Sensoris Adalah penyatuan bayangan dari dua bayangan yang koresponden menjadi satu bayangan. Retinal rivalry Bila dua bayangan objek yang tidak sama jatuh pada daerah retina yang koresponden maka fusi tak mungkin terjadi, dan yang timbul adalah “retinal rivalry” dimana bayangan bergantian di supresi.
Gambar 1. Retinal Rivalry
4
Horopter Theoretical horopter adalah titik-titik yang koresponden secara teoritis geometris, yaitu bila titik-titik tersebut dihubungkan ke kedua pusat bola mata, maka sudut yang sama besar terletak pada suatu lingkaran yang melalui pusat optik kedua mata dan lingkaran ini disebut Vieth Muller circle. Tetapi secara eksperimental semua titik-titik tersebut tidak jatuh pada lingkaran tersebut tetapi pada suatu kurva yang disebut empirical horopter. Empirical horopter adalah tempat (geometri) dari semua titik objek yang bayangannya jauh pada titik-titik diretina yang koresponden pada suatu jarak tertentu. Panum area Adalah titik-titik yang berada diluar horopter yang masih memberikan penglihatan binokuler tunggal. Panum area tidak hanya memberikan penglihatan binokuler tunggal tetapi juga memberikan kesan tiga dimensi dari objek yang dilihat.
Gambar 2. Horopter
5
Stereopsis Adalah penglihatan dengan kedua mata yang memberikan kesan ruang/kedalaman (tiga dimensi)
Gambar 3. Stereopsis
Dasar fisiologi dari stereopsis Stereopsis terjadi bila terdapat rangsangan secara bersamaan pada kedua retina yang berbeda secara horizontal ( horizontally disparate retinal element ) yang masih terdapat dalam panum area. Vertical displacement/vertical disparity tidak memberikan kesan ruang. Luasnya daerah horizontal daerah panum disentral adalah kecil 6 – 10 menit busur dan meningkat kearah perifir menjadi sekitar 30 – 40 menit pada 12 derajat dari fovea. Pada random dot stereogram disparitas sebesar 2 – 3 derajat masih dapat difusikan. Fusi sensoris dari dua bayangan yang tidak sama ini akan memberikan kesan tiga dimensi, bila bayangan tersebut masih terdapat dalam area panum. Kesan ini bisa dibuat secara artifisial : • Dengan stereogram yaitu dengan membuat 2 buah eccentric circle yang dilihat oleh masing-masing mata akan memberikan kesan kedalaman. • Dengan membuat disparitas horizontal pada random dot stereogram juga akan memberikan kesan kedalaman/tiga dimensi. Makin besar disparitas retina horizontal makin besar kesan kedalaman dan makin kecil disparitasnya makin kecil kesan kedalamannya. Disparitas terkecil yang masih memberikan kesan ruang, besarnya tergantung dari alat yang dipakai mengukurnya. Secara laboratoris disparitas terkecil yang bisa diukur besarnya adalah 2 – 7 detik busur dan secara klinis 15 – 30 detik busur.
6
Pemeriksaan Stereoskopik Stereogram Lingkaran yang eccentric, dimana lingkaran yang sebelah dalam akan terlihat lebih dekat dan lingkaran sebelah luar terlihat lebih jauh. Pada gambar lingkaran tengah menjauh /bergeser ketemporal ( nasal disparity ). Terlihat lingkaran paling kecil terletak didepan lingkaran tengah, lingkaran tengah dibelakang nasal disparity menimbulkan kesan objek jadi jauh, temporal disparity menimbulkan kesan objek jadi dekat.
Gambar 4. Stereogram
Two pencil test (kualitatif) Dipopulerkan oleh Lang. Caranya: pemeriksa memegang pensil secara vertikal didepan pasien, pasien juga memegang pensil yang berada diatas pensil pemeriksa. Kemudian pasien disuruh mempertemukan ujung kedua pensil tersebut. Dengan kedua mata terbuka maka pasien bisa mempertemukan kedua pensil tersebut (lolos test), tetapi dengan menutup salah satu matanya maka pasien tidak berhasil/gagal dengan test ini.
Gambar 5. Two Pencil Test
7
Titmus stereo test Alat ini terdiri dari lalat untuk stereoskopik kasar , dan 9 lingkaran untuk ketajaman yang lebih halus. Alat ini berupa kartu yang memisahkan mata secara optik, kartu ini merupakan “vectograf”yang terdiri dari material polaroid dari 2 target yang dilukis/dibuat dengan masing –masing target yang dipolarisasi 90 derajat. Yang bila dilihat oleh pasien dengan kaca polaroid akan kelihatan lalat dalam tiga dimensi. Dengan polaroid, efek ini dapat dibuat deretan binatang dengan ketajaman stereoskopik yang berbeda-beda antara 40 – 800 dan stereoskopik kasar dengan ketajaman 3000 detik busur.
Gambar 6. Titmus Stereo Test
Random dot stereogram Pada prinsipnya melihat gambar E dengan distribusi titik-titk yang dapat dilihat oleh mata kanan dan mata kiri secara identik kecuali bagian tengahnya dibuat demikian rupa sehingga terjadi sedikit pergeseran/perbedaan letak secara horizontal antara yang dilihat mata kanan dan mata kiri, sehingga perbedaan ini menimbulkan disparitas retina horizontal yang memberikan kesan 3 dimensi.
Gambar 7. Random Dot Stereogram
8
TNO test Prinsipnya sama dengan random dot stereogram. Alat ini berupa buku yang tiap lembarnya ada gambar yang dibentuk oleh titik-titik merah dan hijau yang tersusun demikian rupa yang memberikan kesan tiga dimensi, bila dilihat dengan kaca mata merah-hijau . Pada lembar permulaan terdapat gambar kupu-kupu yang merupakan objek dengan stereoskopik kasar (2000 detik busur) yang bisa dilihat dengan satu mata ( tanpa kesan ruang/3 dimensi), dan lembar selanjutnya terdapat gambar yang hanya dapat dilihat dengan 2 mata ( yang mempunyai ketajaman stereoskopik ). Tiap lembar mempunyai tajam penglihatan stereoskopik dengan disparitas yang berbeda-beda mulai dari yang halus (15 derajat busur ) sampai yang kasar ( 480 derajat busur). Pemeriksaan dilakukan dengan memakai kaca mata merah dan hijau (hijau pada mata kanan) pada jarak 40 cm dari mata pasien . Test ini cukup menarik karena anak disuruh melihat gambar. Anak yang normal akan dapat melihat gambar dengan ketajaman stereoskopik 60 detik busur atau lebih baik. Anak dengan tajam penglihatan stereoskopik lebih jelek dari 40 detik busur akan terseleksi dan diperiksa lebih lanjut untuk menentukan kelainannya ( kelainan refraksi, strabismus, deprivasi atau terdapat kelainan organik). Test ini berguna untuk anak usia 2 ½ - 3 tahun.
Gambar 8. TNO Test
Lang test Cara ini didasarkan gambar panografik dari suatu gambar dengan “9ampak9i 9ampak9ical strip” yang dapat dilihat oleh masing-masing mata secara bergantian yang memberikan “lateral displacement” dari bayangan pada retina sehingga menimbulkan kesan tiga dimensi dan gambar ini ditempat kan pada kartu dengan random dot, dan anak disuruh melihat gambar apa yang 9ampak pada lembar kartu tsb.(anak preferbal akan berusaha mengambil objek gambar tsb.) Alat ini terdiri dari 2 kartu, kartu I dapat mengukur tajam penglihatan stereoskopik dari 1200 s/d 550 detik busur dan kartu II dapat mengukur 600 s/d 200 detik busur.
9
Gambar 9 . Lang Test
Frisby test Test ini merupakan test stereoskopik secara umum yang tidak membutuhkan kaca mata khusus (“dissociated glass”).Ini merupakan test klinik yang didasarkan kedalaman yang sebenarnya. Test ini terdiri dari 3 kertas plastik bening (plate) dengan ketebalan yang berbeda (6, 3 dan 1 mm), masing-masing plate terdiri dari 4 petak “random shape”. Satu petak random mengandung satu bundaran (pola circle) yang terletak/tersembunyi disisi lainnya/sisi berlawanan yang harus dideteksi/diketahui oleh pasien. Plate yang paling tebal (ketebalan 6 mm) dengan disparitas yang paling besar diperiksa lebih dulu dengan menempatkannya didepan latar belakang putih, dan pasien ditanya dimana letak bundaran tersembunyi tersebut. (plate ini dapat diputar/dibalikkan untuk merobah posisi dari bundaran). Jika plate I sudah dikenal dilanjutkan dengan plate II dst. nya. Disparitas dapat ditingkatkan dengan cara mengganti plate dengan yang lebih tebal atau mengurangi jarak test.
Gambar 10. Frisby Test
Bila test dilakukan pada jarak 40 cm maka disparitas akan berkisar antara 480 sampai 15 detik busur. Stereopsis normal adalah 50 detik busur, ini didapat bila pada pemeriksaan, pasien mengenal plate dengan ketebalan 3 mm pada jarak 70 mm atau bisa mengenal plate dengan ketebalan 1 mm pada jarak 40 cm. Waktu melakukan test, refleksi harus diminimalisir dengan meletakkan plate tegak lurus dengan aksis visual pasien. Pasien tidak boleh melakukan gerakan kepala yang berlebihan karena akan menimbulkan efek paralak. 10
Tajam penglihatan stereopskopik diperoleh dari jawaban yang benar dari hasil pemeriksaan dari ke 3 lembaran tersebut. Alat ini dapat mendeteksi 65% anak dengan usia dibawah 3 tahun. Mayor amblioskop Pada alat ini objek yang dilihat berupa gambar pada transparan yang ditempatkan pada kedua tangan/tabung dari amblioskop, kedua tabung ini dapat diatur demikian rupa sehingga objek dapat jatuh di kedua retina yang koresponden.
Gambar 11. Mayor Amblioskop
Objek ini bisa dilihat dengan kedua mata dan dapat memeriksa adanya: • Persepsi Simultan kesanggupan untuk menerima rangsangan penglihatan yang berasal dari 2 benda yang berbeda diretina kedua mata secara serentak. • Fusi yaitu suatu proses penggabungan secara mental berdasarkan kemampuan otak untuk mendapatkan suatu penglihatan tunggal yang berasal dari dua sensasi masing-masing mata. • Stereopsis penglihatan dengan kedua mata yang memberikan kesan ruang/kedalaman/tiga dimensi
11
III.
POSISI DAN GERAKAN MATA
Ortoforia Adalah kedudukan bola mata dimana kerja otot-otot mata dalam keadaan seimbang sehingga memungkinkanterjadinya fusi tanpa usaha apapun dan penyimpangan ini tidak berubah walaupun reflek fusi diganggu. Ortoforia ideal tak pernah ada (ajaib), pada umumnya selalu ada foria (fisiologis). Foria fisiologis: • esoforia 1 – 2 prisma • eksophoria 1 – 4 prisma • hiperforia 0. 5 – 1 prisma Dengan cover test : deviasi terkecil yang masih dapat diketahui 1 derajat. Deviasi terkecil yang tampak secara inspeksi adalah 7 derajat.
Gambar 12. Cover Test
Heteroforia Adalah penyimpangan sumbu penglihatan yang tersembunyi yang masih dapat diatasi dengan reflek fusi dan penyimpangan ini menjadi nyata bila reflek fusi diganggu. Pemeriksaan dengan Cover-Uncover test (diperhatikan pergerakan mata yang ditutup) : - Mata beregerak kedalam (setelah tutup dibuka) Eksoforia - Mata bergerak keluar Esoforia - Mata bergerak keatas Hipoforia - Mata bergerak kebawah Hiperforia
12
Gambar 13. Cover – Uncover Test
Heterotropia Adalah suatu keadaan penyimpangan sumbu bola mata yang nyata dimana kedua sumbu penglihatan tidak berpotongan pada titik fiksasi dan penyimpangan ini tidak adapat diatasi dengan tenaga fusi. Pemeriksaan dengan Cover test (diperhatikan mata yang tidak ditutup) : - Mata bergerak kedalam (setelah satu mata ditutup) Eksotropia - Mata bergerak keluar Esotropia - Mata bergerak keatas Hipotropia - Mata bergerak kebawah Hipertropia
Kedudukan primer Adalah kedudukan bola mata pada waktu melihat lurus kedepan pada jarak minimal 6 meter dengan posisi badan dan kepala tegak. Duksi • • • • • •
Abduksi
Peregerakan satu mata keluar/temporal
Adduksi
Pergerakan satu mata kedalam/nasal
Supraduksi/elevasi
Pergerakan satu mata keatas
Infraduksi/depresi
Pergerakan satu mata kebawah
Insikloduksi/intorsi
Pergerakan satu mata memutar kedalam
Eksikloduksi/ekstorsi
Pergerakan satu mata memutar keluar
13
Gambar 14. Duksi
Versi Adalah pergerakan kedua bola mata kearah yang sama secara bersamaan - Dekstroversi Pergerakan kedua mata kearah kanan - Levoversi Pergerakan kedua mata kearah kiri - Supraversi Pergerakan kedua mata keatas - Infraversi Pergerakan kedua mata kebawah
Gambar 15. Versi
Torsi Adalah pergerakan bola mata dalam bidang sagital dengan sumbu antero-posterior. - Dekstrosikloversi Gerakan kedua mata pada sumbu sagital kekanan - Levosikloversi Gerakan kedua mata pada sumbu sagital kekiri
14
Gambar 16. Torsi
Vergen Adalah pergerakan kedua mata secara bersamaan dimana sumbu penglihatan bergerak kearah yang berlawanan. Konvergen Kedua mata bergerak secara bersamaan kedalam/nasal. Divergen Kedua mata bergerak secara bersamaan keluar/temporal Positif vertical divergen Mata kanan bergerak keatas dan mata kiri bergerak kebawah Negatif vertical divergen Mata kanan bergerak kebawah dan mata kiri bergerak keatas Insiklovergen Kedua mata berputar pada sumbu anteroposterior kearah dalam/nasal Eksiklovergen Kedua mata berputar pada sumbu anteroposterior kearah luar/temporal
Gambar 16. Vergen
Menetukan Besar Deviasi Test Hirschbergh (Corneal Light Reflex) Pemeriksaan dilakukan dengan menyinari (dengan senter) mata penderita pada jarak 33 cm. Diperhatikan pantulan sinar pada kornea. - Normal/tak ada deviasi Pantulan sinar ditengah pupil kedua mata 15
-
Deviasi 15 derajat Deviasi 30 derajat
Deviasi 45 derajat
Pantulan sinar dipinggir pupil mata deviasi dan ditengah pupil mata yang fiksasi Pantulan sinar pertengahan pupil dan limbus pada mata deviasi dan ditengah pupil mata yang fiksasi. Pantulan sinar dipinggir limbus mata yang deviasi dan ditengah pupil mata yang fiksasi.
Gambar 17. Pada gambar 17. A : normal/ortoforia B : Esotropia OS 15 derajat C : Esotropia OS 30 derajat D : Esotropia OS 45 derajat
Test Refleks Prisma Kirmsky Prisma diletakkan pada mata yang fiksasi dengan basisnya berlawanan dengan deviasi (base out untuk esotropia dan base in untuk eksotropia). Kekuatan prisma dinaikkan sampai pantulan sinar pada kornea mata yang deviasi kembali ditengah pupil. Kekuatan prisma tersebut merupakan besarnya deviasi mata.
16
Gambar 18. Test Refleks Prisma Kirmsky
Test Prisma Cover Syaratnya fovea kedua mata masih berfungsi baik, pemeriksaan ini bisa untuk menentukan besar foria dan tropia.Prisma diletakkan pada salah satu mata sesuai dengan arah deviasi (base in untuk eksotropia/ eksoforia dan base out untuk esotropia/esoforia), kemudian dilakukan penutupan mata secara bergantian. Kekuatan prisma dinaikkan sampai tidak ada lagi pergerakan mata dengan penutupan secara bergantian tersebut. Besar kekuatan prisma tersebut merupakan besar deviasi mata.
Gambar 19. Test Prisma Cover
Pemeriksaan dengan Amblioskop Dengan mengatur tangan amblioskop sesuai dengan pantulan sinar dikornea (dengan penyinaran bergantian dari amblioskop sehingga pantulan sinar tepat ditengah kornea pada kedua mata) bisa dilihat besarnya deviasi pada skala yang ditunjuk pada amblioskop.
17
IV.
ANATOMI DAN FUNGSI OTOT EKSTRA OKULER SERTA HUBUNGAN FASCIA DENGAN ORBITA
Hubungan fascia dengan orbita
Gambar 20.
Dalam orbita terdapat struktur “musculofibroelastic” yang komplek disamping otot mata yang berfungsi menggantung bola mata pada orbita dan juga disupport oleh bantalanbantalan lemak. Kapsula tenon (fascia bulbi) Merupakan bagian terbesar dari sistem fasial yang merupakan rongga tempat bola mata leluasa bergerak. Kapsula tenon membungkus bola mata yang kebelakang menyatu dengan sarung N.Optikus dan kedepan menyatu dengan membrana intermuskuler 3 mm dari limbus. Kapsula tenon juga memisahkan lemak orbita dalam “muscle cone” dengan sklera. Otot-otot ekstra okuler menembus kapsula tenon pada lebih kurang 10 mm posterior dari insersinya. Otot oblik menembus kapsula tenon di anterior. Muscle cone 18
Muscle cone terletak posterior dari ekuator, dibatasi oleh otot rektus beserta sarungnya dan membran intermuskuler dengan puncaknya pada annulus Zinni dan dasarnya setengah bagian belakang bola mata. Dalam muscle cone terdapat otot-otot ekstra okuler, sarung otot, n.optikus, ggl.silier, pembuluh darah silier dan membrane intermuskular. Sarung otot Masing-masing otot rektus dibungkus oleh sarung otot mulai dari origo sampai insersinya. Membrana Intermuskuler (septum) Keempat otot rektus dihubungkan oleh jaringan tipis yang disebut membrana intermuskuler. Membrana intermuskuler kedepan menyatu dengan konjungtiva pada lebih kurang 3 mm dari limbus. Bagian posterior dari membrana intermuskuler memisahkan jaringan lemak intra konal dan jaringan lemak ekstra konal. Ligamen of Lockwood Sarung otot dari otot oblik inferior berikatan dengan sarung otot rektus inferior, penyatuan ini disebut ligament of Lockwood. Ligament ini juga berhubungan dengan kelopak mata bawah. Jaringan lemak (adipose tissue) Mata pada rongga orbita juga disupport oleh jaringan lemak. Jaringan lemak diluar muscle cone meluas kedepan sampai lebih kurang 10 mm dari limbus. Sklera dilindungi dari jaringan lemak dalam muscle cone oleh kapsula tenon. Check ligament Adalah jaringan elastis yang mirip kipas yang menghubungkan kapsul otot dengan kapsula Tenon
Otot – Otot Ekstraokuler Terdapat 7 pasang otot ekstra okuler ( 4 otot rektus, 2 otot oblik dan 1 otot levator palpebra).
Otot Rektus Medial Otot rektus medial berasal dari bagian medial annulus zinni dan berjalan sepanjang dinding medial orbita dan berinsersi disklera 5.5 mm dari limbus. Panjang lebih kurang 40 mm, arkus kontak 7 mm, panjang bagian tendon 4.5 mm, luas insersi 10.3 mm, menembus kapsula tenon pada 12 mm dari insersi. Otot ini merupakan otot ekstra okuler terbesar. Didarahi oleh cabang a. oftalmika dan persarafan oleh divisi inferior N III. Fungsi : murni adduksi
19
Gambar 20. Otot Rektus Medial
Otot rektus Inferior Berasal dari bgn bawah annulus zinni (dibawah foramen optikum) dan berjalan kebawah dan lateral sepanjang lantai orbita dan membentuk sudut 23 derajat dengan aksis visual dan berinsersi pada sklera dibagian bawah depan bola mata lebih kurang 6.5 mm dari limbus. Otot ini melekat dengan palpebra inferior melalui“fascial conection” dari sarung otot dan bisa menyebabkan palpebra berobah pada operasi otot ini. Sarung otot ini juga melekat dengan sarung otot oblik inferior melalui ligamen of Lockwood. Panjang otot lebih kurang 40 mm, arkus kontak 6.5 mm. Fungsi : • Dalam posisi primer : fungsi utama : depresi fungsi sekunder : ekstorsi dan adduksi • Dalam posisi adduksi 67 derajat : fungsi utama : ekstorsi fungsi sekunder : adduksi • Dalam posisi abduksi abduksi 23 derajat: fungsi : (murni) depresi
20
Gambar 21. Otot Rektus Inferior
Otot rektus lateral Mempunyai 2 tempat asal dari annulus zinnia yang merentang dari bagian medial fissure orbitalis superior dan juga dari bagian akhir tendon orbital superior dan inferior kemudian berjalan bersamaan dengan dinding lateral orbita kedepan dan berinsersi pada sklera 6.9 mm dari limbus. Panjang lebih kurang 40 mm , arkus kontak 12 mm, panjang bgn tendon 7 mm. Luas insersi 9.2 mm dan menembus kapsula tenon pada 15 mm dari insersi. Didarahi oleh cabang a. oftalmika, persarafan dari N VI. Fungsi: menarik bola mata kelateral (abduksi).
Gambar 22. Otot Rektus Lateral
Otot Rektus Superior Berasal dari bagian atas annulus zinni tepat dibawah asal m.levator palpebra. Otot ini berjalan kedepan, atas dan lateral dan membentuk sudut 23 derajat dengan aksis visual dan berinsersi pada sklera 7.7 mm dari limbus. Panjang otot 40 mm, arkus kontak 6.5 mm, bgn tendon 6 mm, luas insersi 10.6 mm dan menembus kapsula Tenon pada 15 mm dari insersi. Persarafan dari cabang superior N III. Perdarahan dari cabang a. oftalmika. Fungsi : • Pada posisi primer Fungsi utama : elevasi Fungsi sekunder : intorsi dan adduksi • Pada posisi adduksi 67 derajat Fungsi utama : intorsi (maksimal) Fungsi sekunder : adduksi (minimal) 21
•
Pada posisi abduksi 23 derajat Fungsi : hanya elevasi
Gambar 23. Otot Rektus Superior
Otot Oblik superior Berasal dari apek orbita dari periosteum yang menutupi os sphenoid tepat medial dan atas dari foramen optikum. Ini merupakan otot yang terpanjang dan terbagi dalam 2 bagian : • Bagian aktif panjangnya 32 mm, • Panjang tendon 26 mm, arkus kontak 7 – 8 mm. Dari origo otot ini berjalan kedepan dan atas sepanjang dinding medial orbita. Setelah melewati trochlea ia berjalan kebawah belakang dan lateral dan membentuk sudut 51 derajat dengan aksis visual. Tendonnya bersinsersi pada kuadran “postero supero lateral” dibelakang ekuator. Luas insersi 10-12 mm, disarafi N IV dan masuk ke otot pada 14 mm dari origo. Perdaran dari cabang lateral a. oftalmika. Fungsi : • Dalam posisi primer - Fungsi utama : intorsi - Fungsi sekunder : abduksi dan depresi • Dalam posisi adduksi 51 derajat - Fungsi utama : depresi (maksimal) - Fungsi sekunder : intorsi (sedikit) 22
•
Dalam posisi abduksi 39 derajat - Fungsi utama : intorsi - Fungsi sekunder : abduksi
Gambar 24. Otot Oblik Superior
Otot Oblik inferior Berasal anterior nasal lantai orbita (periosteum os maxilla) beberapa mm dibelakang orbital rim dan beberapa mm lateral dari lobang duktus nasolakrimalis. Dari sini berjalan kelateral, atas dan posterior dan membuat sudut 51 derajat dengan aksis membuat sudut 51 derajat dengan aksis visual. Ia lewat dibawah rektus inferior dan bersatu dengan perantaraan sarung otot dalam Ligamentum of Lockwood. Ligamentum ini penting karena menopang mata dalam orbita, bila ini terjepit pada fraktur lantai orbita akan menyebabkan gangguan pada oblik inferior. Otot ini lewat dibawah rektus lateral dan berinsersi pada kuadran “postero infero lateral” posterior dari ekuator.Panjang otot 37 mm, panjang tendon 1 mm, arkus kontak 15 mm. Luas insersi 4-15 mm, saraf masuk keotot pada 15 mm dari insersi. Disarafi oleh N III, pendarahan dari a. infra orbitalis dan cabang a.oftalmika. Fungsi : • Dalam posisi primer - Fungsi utama : ekstorsi - Fungsi sekunder : abduksi dan elevasi 23
•
•
Dalam posisi adduksi 51 derajat - Fungsi utama : elevasi (maksimal) - Fungsi sekunder : ekstorsi (sedikit) Dalam posisi abduksi 39 derajat - Fungsi utama : ekstorsi - Fungsi sekunder : abduksi
Gambar 25. Otot Oblik Inferior
Sifat-sifat gerakan otot mata Otot penggerak mata mempunyai sifat yang unik, yaitu gerakan yang cepat (twitch) oleh otot yang berstruktur fibriler dan gerakan yang lambat felder struktur. Felder struktur merupakan serat otot yang slow, tonic and stamina oriented dan cenderung disuperfisial dekat kedinding orbita dan serat lebih kecil. Metabolisme aerobik, banyak mitikondria, banyak kapiler, enzim oksidatif, innervasi dengan multiple grapelike (endgrape) ending . Kontraksi lambat, halus dengan tingkat respon tergantung atas rangsangan berulang. Fibriller struktur dari serat otot merupakan tipe otot skeletal yang sama dengan otot striata dari badan. Gerakan cepat, serat otot lebih lebih besar dengan myelin dan letaknya lebih dalam disentral dari otot. Biasanya mempunyai platelike (en plaque) nerve ending, enzim glikolitik dan mitokondria sedikit. Serat otot berkontraksi cepat sebagai twitch respon terhadap rangsangan tunggal dan berfungsi pada gerakan sakadik. 1 serat saraf mensarafi 3 serat otot mata (1:3) NIII: 1:2.7; NVI: 1:1.8; NIV: 1:1. 1 serat saraf mensarafi 140 serat otot rangka (1:140) 24
• • •
Contraction time dari otot: Otot rektus medial 8 m sec. Gastroknemius 40 m sec Soleus 100 m sec
Kekhususan otot mata Kekhususan otot mata antara lain : 1. Semua otot ekstra okuler mempunyai insersi yang konvek 2. Semua otot ekstra okuler mempunyai lebar insersi lebih kurang 9 – 10 mm 3. Otot hampir persis dibagi dua pada “center of rotation” 4. insersi ini semuanya lebih kurang 5 – 6 mm didepan “center of rotation” (kecuali otot oblik) 5. Otot antagonis hampir sama besar 6. Besar otot : - otot horizontal adalah yang terbesar - otot vertikal lebih kurang 75% dari otot horizontal - otot oblik lebih kurang 50% dari horizontal 7. Saraf masuk otot pada lebih kurang 1/3 dari origonya 8. Saraf oblik inferior masuk pada lateral persilangan dengan rektus inferior bila kena waktu operasi gangguan pupil karena saraf simpatis melalui ini. 9. Resek rektus inferior menyebabkan fisura palpebra menyempit. 10. Reses rektus inferior menyebabkan fisura palpebra melebar. 11. Resek Rektus superior menyebabkan palpebra tertarik kedepan fisura palpebra menyempit, dan pada reses rektus superior akan mengakibatkan palpebra tertarik keatas fissure palpebra melebar. Efek reses/resek pada rektus superior terhadap palpebra lebih kecil dari pada rektus inferior. 12. Operasi > 10 mm dari limbus hati2 lemak ekstra konal 13. Hati-hati vena vortikosa pada operasi rektus vertikal 14. Hati-hati sklera tipis dibelakang insersi otot. 15. Bila terjadi “cocontraction” dari otot mata pada “Duane Syndrome” terjadi “backward displacement” 1 – 2 mm. 16. Bila terjadi paralise semua otot maka akan terjadi “forward displacement” eksoftalmus 2 – 3 mm. 17. Pada anak normal mata dapat berotasi keatas sejauh 45 – 50 derajat dan ini membutuhkan kontraksi otot sepanjang 10 mm ( 1 mm kontraksi untuk 4.8 derajat)
25
V. PERSARAFAN YANG MENGENDALIKAN GERAKAN BOLA MATA Kontrol okulomotor pada supra nuklear adalah di kortek kontralateral lobus frontalis kemudian serat saraf turun kebawah dan menyilang pada midbrain bagian kaudal dan berakhir pada “pontin horizontal gaze complex” (“PPRF= Paramedian Pontine Reticular Formation”, yang mengatur koordinasi gerakan gaze ipsilateral) dan terus ke: •
-
Nc N III yang terdapat dikedua sisi garis tengah dibawah aqueductus Sylvii dan rostral dari midbrain pada tingkat/setinggi kolikulus superior dari Nc N III serat saraf N III melewati “red nucleus” dan aspek medial dari pedunkulus serebri kemudian keluar dibagian ventral mesensefalon/midbrain, daerah ini dikenal dengan fosa interpendunkularis dan lewat dibawah arteri serebralis posterior dan lateral dari komunikan posterior selanjutnya berjalan antara pinggir bebas tentorium dan aspek lateral klinoid kemudian menembus dura didekat prosesus klinoideus posterior masuk kesinus kavernosus melanjutkan perjalanan kerostral didalam bagian atas dinding lateral sinus kavernosus. dan disini terbagi menjadi dua divisi yaitu divisi superior dan inferior dan masuk ke orbita melalui fisura orbitalis superior terus ke : Cabang inferior mensarafi rektus medial, rektus inferior, oblik inferior dan parasimpatik ggl siliare (spinkter pupil) - Cabang superior mensarafi rektus superior,dan levator palpebra
26
Gambar 26. Nervus III
•
Nc. N IV terletak di substansia grisea mesensefalon sedikit lebih kaudal dari inti N III. Dari inti ini serat N IV keluar dari mid brain melengkung ke dorsal dan selanjutnya kemedial lagi untuk menyilang garis tengah di velum medulare anterior. Ia muncul pada permukaan dorsal sisi kontra lateral. Tepat dibelakang kedua kollikuli. kemudian ia berjalan ke ventral melalui tepi bebas pedunkulus serebri untuk kemudian tiba pada tempat diantara pedunkulus serebri dan lobus temporalis. Disini ia menembus daun bebas tentorium serebeli untuk selanjutnya berjalan kedepan melalui dinding lateral sinus kavernosus. Ia meninggalkan dinding tersebut untuyk menuju ke rongga orbita melalui fisure orbitalis superior dan mengakhiri perjalanan pada m.oblikus superior. (N IV merupakan satu-satunya dari nervus kranial yang keluar dari dorsal. selanjutnya saraf ini berjalan kelateral mengitari tektum midbrain dan menyilang arteri serebellaris superior dan mencapai pinggir tentorium dimana ia menembus dura dan masuk ke sinus kavernosus. N IV masuk ke orbita melalui fisura orbitalis superior diatas annulus dan mensarafi m.oblik superior).
27
Gambar 27. Nervus VI
•
Nc N VI terletak bagian kaudal dari “paramedian pontin tegmentum” (PPRF) dibawah lantai ventrikel IV, serat efferent N VI berjalan ke ventral dan keluar pada “ponto medullari junction” dan muncul di batang otak pada batas bawah dari pons dan menyilang arteri sebellaris inferior dan menembus dura pada klivus lebih kurang 2 cm dibawah klinoid posterior kemudian N VI melintas diatas sinus petrosus inferior dan masuk sinus kavernosus dan masuk orbita melalui fissure orbitalis superior mensarafi m. rektus lateral.
VI.
KELUHAN, GEJALA SENSORIS, DAN ADAPTASI PADA STRABISMUS
Bila terjadi deviasi dari aksis visual maka akan terjadi perpindahan bayangan objek pada retina mata yang berdeviasi. Keadaan ini menyebabkan fusi sensoris tidak mungkin terjadi dan keadaan ini akan mengakibatkan: 1. Bayangan objek yang berbeda akan jatuh pada dua fovea (“visual direction yang sama”) dan bayangan tersebut berdempet ”confusion” 2. Bayangan yang sama jatuh pada daerah retina yang berbeda (pada fovea pada satu mata dan ekstra fovea pada mata lainnya dan akan terlihat objek ganda diplopia 3. Kedua hal ini merupakan koreksi fisiologis dari sensoris terhadap aksis visual yang tidak sejajar, tetapi keadaan ini akan menimbulkan gangguan pada sistem visual dan mata akan mengatasinya dengan 2 mekanisme (“adaptive sensory mechanism”) yaitu supresi dan “anomalous correspondence”. Adaptasi sensoris ini terjadi bila deviasi terjadi pada usia “immatur visual system” (periode sensitif) yaitu usia sebelum 8-9 tahun (pada usia ini perkembangan fisiologis visual sistem sudah sempurna) RETINAL CORRESPONDENCE Adalah element-element pada kedua retina mempunyai arah penglihatan yang sama. Elemen-elemen retina yang koresponden adalah elemen-elemen dari kedua retina yang memberikan penglihatan binokuler tunggal terhadap suatu objek penglihatan. Elemen-elemen retina yang tidak koresponden akan menimbulkan penglihatan ganda/diplopia. ABNORMAL RETINAL CORRESPONDENCE Adalah keadaan dimana kedua fovea tidak lagi mempunyai arah penglihatan yang sama. Artinya kedua fovea mempunyai arah penglihatan yang berbeda, dimana fovea dari 28
mata yang berfiksasi mempunyai arah penglihatan yang sama dengan elemen retina perifir pada mata yang deviasi. ARC ini merupakan defence mechanism untuk mengatasi diplopia akibat deviasi mata. Ada 2 tipe abnormal retinal correspondence: Harmonius abnormal retinal correspondence (full adaptation), Pada keadaan ini retina mata yang non fiksasi berfungsi sebagai fovea baru/pseudo fovea (zero point). Pseudo fovea/zero point (fiksasi eksentrik) ini terjadi bila deviasi sudah berlangsung lebih kurang 1 tahun (Moody). Disini subjective angle sama dengan nol dan angle anomaly sama dengan deviasi. Unharmonius abnormal retinal correspondence Pada keadaan ini belum sampai terjadi full adaptation dan retina tersebut belum menjadi zero point. Disini angle anomali lebih kecil dari deviasi. PemeriksaanRetinal koresponden 1. “Red Glass Test” untuk ARC : Bila pada pasien dengan aksis visual tidak sejajar/deviasi (heterotropia) diletakkan filter merah pada mata yang fiksasi dan mata lainnya melihat kesumber sinar putih maka akan terjadi beberapa respon yang didapatkan • Pasien melihat 2 sinar (merah dan putih) dan jarak kedua sinar sama dengan besar deviasi berarti terdapat deviasi dengan NRC, “cross diplopia” pada eksotropia dan “uncross diplopia” pada esotropia. (gambar A dan B) •
Pasien hanya melihat 1 sinar (merah) maka terjadi supresi pada mata yang deviasi (OD, gambar C). Dalamnya supresi bisa diukur dengan meningkatkan densitas dari filter merah tsb. akan muncul kembali diplopia. Untuk menentukan apakah pada supresi ini terjadi NRC atau ARC, dapat diketahui dengan menimbulkan diplopia dengan prisma base up pada mata deviasi dengan pemasangan “red glass test for supression “. Bila sinar putih akan terlihat dibagian bawah kanan NRC Bila sinar putih terlihat vertikal dibawah sinar merah ARC (gambar D)
29
Gambar 28.
-
2. Test After image Pasien melihat kealat after image dikamar gelap. Mata normal disinari dengan sinar horizontal dan mata yang deviasi disinari dengan sinar vertikal selama 20 detik: - NRC : after image bersilangan ditengah karena mempunyai arah visual yang sama/normal (B). ARC pada Esotropia OD: kedua fovea tidak mempunyai arah visual yang sama, “vertical after image” bergeser kekiri. (C). ARC pada Eksotropia OD: “vertical after image” bergeser kekanan (D)
Gambar 29.
3. Test Cupper (bifoveal) Pasien berfiksasi dengan mata yang baik pada sentral skala Maddox melalui cermin yang bisa diputar sehingga mata yang ambliop bisa melihat lurus kedepan. Kemudian bintang dari visuskop diproyeksikan ke fovea mata ambliop. Letak bintang pada pada skala Maddox merupakan besarnya “angle of anomaly”.
30
Gambar 29. Gambar 30
4. “Bagollini striated glass test” Lensa Bagollini adalah lensa yang mempunyai alur-alur /strip-strip sehingga sinar yang melalui lensa ini terlihat sebagai garis. Lensa dengan strip-strip ini ditempatkan demikian rupa sehingga strip itu pada posisi 45 derajat pada mata kiri dan 135 derajat pada mata kanan. (A) Pemeriksaan dilakukan pada jarak 33 cm atau 6 meter. Bila pada cover test tidak ada pergeseran dan fiksasi sentral maka pasien tersebut NRC. (B) Pada gambar C terdapat supresi foveal OD Pada gambar D terdapat supresi foveal dan peripheral OD
Gambar 31.
5.
Amblioskop
DIPLOPIA
Diplopia terjadi bila pasien melihat dua bayangan dari satu objek.
31
Apabila suatu objek merangsang elemen retina yang “noncorresponding” menyebabkan objek terlihat pada dua lokasi/tempat yang berbeda dan ini akan menimbulkan penglihatan ganda atau diplopia. Diplopia fisiologis • “Crossed (heteronymous diplopia)” • “Uncrossed (homohymous diplopia)”
Gambar 32.
Semua objek yang terletak diluar horopter akan terlihat double/ganda (diplopia). Diplopia yang timbul karena objek terletak diluar horoper disebut diplopia fisiologis Objek yang terletak lebih dekat (didepan)dari titik fiksasi akan terlihat sebagai “Crossed Diplopia” karena titik objek akan jatuh pada “noncorresponding point” retina bagian temporal. Dan objek yang terletak dibelakang lebih jauh (dibelakang) titik fiksasi akan terlihat sebagai “Uncrossed Diplopia”, karena titik akan jatuh pada “noncorresponding point” bagian nasal retina.Diplopia pada heteroforia dan heterotropiaSebagian orang dengan heteroforia masih dapat mempertahankan fusi dengan mempertahankan aksis visual tetap paralel dengan adanya tonus otot. Bila aksis visual tidak bisa lagi dipertahankan tetap paralel maka objek bayangan jatuh pada titik yang “noncorresponding” maka akan menimbulkan diplopia Pada esotropia/esoforia akan terjadi “Uncrossed Diplopia” karena bayangan objek jatuh pada bagian nasal retina dan pada eksotropia terjadi “Crossed Diplopia” Test untuk diplopia:
1. “Red glass test” Pada esotropia, satu mata (kanan) diberi kaca merah dan mata lainnya tidak, kemudian pasien disuruh melihat suatu objek. Maka pasien akan melihat objek merah disebelah 32
kanan (uncrossed diplopia), karena bayangan objek jatuh dibagian nasal tina. Pada eksotropia akan terjadi “crossed diplopia” karena bayangan objek jatuh ditemporal retina.
Gambar 33.
2. “Maddox cross/Maddox scale” Digunakan untuk mengukur deviasi (kwantitatif). Filter merah diletakkan pada salah satu mata (pada mata kiri) Pengujian dilakukan pada jarak 5 m dan bisa juga pada jarak 1 m dengan angka skala lebih kecil. Pada gambar terlihat titik merah pada skala 4 (uncross) berarti esotropia 4 derajat.
Gambar 34. 3. “Single maddox rod” Satu mata (kanan) diberi maddox rod dan pasien disuruh melihat sinar lampu, pasien akan melihat lampu dan garis. (Gambar A,B) Pada eksoforia pasien akan melihat garis sebelah kiri lampu (“crossed diplopia”) Pada esoforia pasien akan melihat garis sebelah kanan lampu (uncrossed diplopia). Pada hipoforia garis sebelah atas lampu Pada Hiperforia garis dibawah lampu.
33
Gambar 35.
4. “Maddox double rod” (untuk test siklodeviasi)Gambar: Untuk mengukur besar deviasi pada siklodeviasi Batang Maddox (merah dan putih) dipasang pada kedua Mata (merah dikanan) dengan sudut 90 derajat, dan prisma Dengan power 6 prisma diletakkan pada salah satu mata dengan posisi base down untuk memisahkan garis merah dan putih. Kalau ada paralise otot oblik (SO kanan) maka garis merah terlihat miring. Kemudian batang Maddox diputar oleh pemeriksa sehingga kedua garis sejajar. Angka yang didapat pada trial frame menunjukkan besarnya siklo deviasi.
Gambar 36.
34
• • • •
5. WFDT WFDT terdiri dari empat titik sinar, dua sinar hijau, satu merah dan satu sinar putih. Pasien memakai kaca mata merah dan hijau, biasanya kaca mata merah di mata kanan. Pemeriksaan dilakukan pada jarak 1/3 meter dengan senter dan jarak 6 meter dengan kotak yang mempunyai empat titik sinar. Pemeriksaan pada jarak: 1/6 meter (proyeksinya di fovea 12 derajat). 1/3 meter (proyeksi 6 derajat). ½ meter (proyeksi 4 derajat) 1 meter (proyeksi 2 derajat) • Pemeriksaan pada jarak 6 meter dengan m emakai kotak WFDT diproyeksikan 1.25 derajat pada fovea. Mata kanan akan melihat titik merah, mata kiri akan melihat titik hijau dan titik putih akan dilihat oleh mata kanan maupun kiri. Pasien dengan fusi normal akan melihat 4 titik. Pasien dengan supresi/ambliopia satu mata akan melihat 2 titik merah atau 3 titik hijau. Pasien parese otot (diplopia) akan melihat 5 titik dengan memakai kaca mata merah dan hijau Pemeriksaan ini juga berguna untuk menentukan kekuatan fusi motorik. Pada pemeriksaan dengan mengurangi sinar/mematikan lampu dikamar pemeriksaan kita perhatikan pemeriksaan WFDT (pada kamar digelapkan), jika pada pemeriksaan masih terdapat fusi berarti fusi motoriknya baik dan bila terjadi diplopia menunjukkan fusi motoriknya kurang.
Gambar 37.
6. Test Bagollini Gambar:
35
Gambar 38.
Pada esotropia akan terlihat V (kaki V sebelah kiri dilihat oleh mata kiri (OS) dan kaki V sebelah kanan dilihat oleh mata kanan (OD) karena terjadi “Uncrossed diplopia”. Sebaliknya pada eksotropia akan terlihat A dengan kaki A sebelah kiri dilihat oleh mata kanan dan kaki A sebelah kanan dilihat oleh mata kiri karena terjadi “Crossed diplopia”
AMBLIOPIA Ambliopia merupakan kelanjutan dari supresi yang terjadi dalam masa perkembangan fungsi penglihatan (dari lahir sampai usia antara 5 – 6 tahun). Istilah ambliopia berasal dari bahasa Yunani yaitu “ Amblyos “ yang berarti redup, pudar atau suram, dan “ Ops “ berarti mata. Ambliopia (fungsional) adalah tajam penglihatan (setelah koreksi) kurang atau sama dengan 20/30 pada satu atau kedua mata atau perbedaan dua baris antara kedua mata tanpa adanya kelainan patologis. 10% dari amblopia fungsional merupakan kelainan organik yang sulit dideteksi kelainan patologis maupun strukturnya. Berdasarkan tajam penglihatan, ambliop dapat dikelompokkan sbb: • Ambliopia ringan: bila visus antara 20/30 – 20/70 • ,, sedang : bila visus 20/80 – 20/120 • ,, berat : bila visus 20/120 – lebih jelek Orang normal dapat mempergunakan kedua matanya secara serentak dan memfokuskan bayangan diretina serta menyatukan kedua bayangan tersebut dipusat penglihatan. Pada orang ambliop terdapat gangguan proses tersebut yang mengakibatkan penglihatan jadi kabur dan pada keadaan berat dapat menimbulkan kebutaan. Insidens kelainan ini 2 – 2. 5% dari jumlah penduduk dan 0. 5 – 3. 5% dari anak usia sekolah dan prasekolah. Mekanisme dasar terjadinya ambliopia adalah. 1. Adanya gangguan penglihatan binokuler 2. Kurang tegasnya bayangan yang jatuh di fovea 36
3. Gabungan kedua faktor diatas Gangguan pada mekanisme tersebut dapat disebabkan antara adalah: 1. Strabismus ( Ambliopia strabismik ) Mata bayi yang baru lahir jarang yang lurus, tetapi sering berobah – obah antara orto, eso atau eksoforia. Posisi mata ini menjadi lurus pada usia 3 – 4 bulan, karena pada waktu ini sistem vergen mulai berfungsi. Pada strabismus yang timbul pada anak yang berusia muda menyebabkan bayangan pada mata tersebut akan ditekan ( supresi), dan yang berfungsi hanya mata yang lurus saja. Supresi yang berlangsung lama akan menimbulkan ambliopia.
Gambar 39.
Supresi yang terjadi merupakan mekanisme kompensasi untuk mencegah timbulnya “diplopia” (objek yang sama terihat pada dua lokasi ruang) dan “confusion” (dua bayangan dari objek yang berbeda jatuh diretina (fovea) kedua mata tidak bisa disatukan oleh otak. Penurunan tajam penglihatan umumnya makin berat bila deviasinya makin besar. Sebagian ahli mengatakan penurunan tersebut tidak selalu berhubungan dengan besarnya deviasi. Ambliopia strabismik lebih sering ditemui pada esotropia dibandingkan eksotropia. Pollard mendapatkan pada 100 pasien ambliopia 53% dengan esotropia, 9% eksotropia dan 38% dengan mata lurus.Helveston mendapatkan ambliopia lebih banyak pada esotropia (80%) dibandingkan eksotropia(17%). Ini kemungkinan disebabkan pada esotropia 37
deviasinya konstant sedangkan eksotropia sering intermitten. Strabismus yang timbul sesudah usia 4 tahun visus biasanya lebih baik dari 20/50 Bila timbul pada usia kurang dari 2 tahun tajam penglihatan 20/100 – 20/200 (Moody)
Gambar 40.
a.
2. Kelainan refraksi (ambliopia refraktif) Anisometropia ( kelainan refraksi yang berbeda antara kedua mata ). Disini ambliopia terjadi karena bayangan yang berbeda pada kedua mata ( aniseikonia ) tidak bisa disatukan (fusi) oleh otak, sehingga satu bayangan (yang lebih kabur) disupresi. Perbedaan kelainan refraksi yang dapat menimbulkan ambliopia tersebut adalah Sferis1 1.25 D , astigmat 1.50 D Tanlamai dan Goss mendapatkan: • 50% ambliopia pada “hypermetropic anisometropes” 2D dan 100% ambliop pada “anisometropic hypermetropes” 3. 5D Ia juga mendapatkan 50% ambliopia pada “myopic anisometropes” 5D dan 100% pada “myopic anisometropes” 6. 5D.
38
Gambar 41.
b.
Iso ametropik (kelainan refraksi sama pada kedua mata) Ambliopia isoametropia relatif jarang, biasanya terjadi pada hipermetropia, tetapi bisa juga terjadi pada myopia dan astigmat. Kelainan ini biasanya disebabkan kelainan refraksi yang tinggi dan simetris pada kedua mata. Pada keadaan ini terjadi bayangan yang kabur pada kedua fovea dan mengakibatkan ambliop pada kedua mata. Ambliop pada iso ametropik tidak seberat pada anisometropia karena supresinya lebih ringan dan hasil pengobatan biasanya lebih baik. 3.Deprivasi ( adanya hambatan dari sinar yang masuk kedalam mata ) Keadaan ini bisa disebabkan oleh blefaroptosis kongenital, kekeruhan kornea, katarak kongenital. Pada ambliopia deprivasi ada 3 faktor yang mempengaruhi beratnya penurunan tajam penglihatan yaitu: - Usia timbulnya hambatan sinar masuk kedalam mata. Makin dini timbulnya hambatan makin berat ambliopianya. - bila timbul pada usia diatas 30 bulan visus baik - bila timbul usia dibawah 30 bulan visus jelek Deprivasi yang timbul pada usia dibawah satu tahun, baik terjadi satu atau kedua mata akan menimbulkan ambliopia yang berat. Pada kasus ini pengobatan harus segera dilakukan pada pasien ini, kalau terlambat akan terjadi ambliopia yang permanen. - Lamanya hambatan berlangsung Makin lama serangan berlangsung makin berat ambliopianya - Beratnya hambatan, apakah hambatan total atau sebagian. Hambatan total lebih berat dari sebagian.
Gambar 42.
39
Visus pada ambliop deprivasi yang terjadi pada satu mata biasanya lebih berat , karena adanya faktor bayangan kabur pada fovea dan faktor gangguan penglihatan binokuler. Gambaran klinik / diagnosa 1. Tajam penglihatan Tajam penglihatan pada mata ambliop yaitu bila visus 20/30/lebih jelek atau bila terdapat perbedaan tajam penglihatan berkurang 2 baris snellen. 2. “ Crowding phenomen” Pasien dengan ambliopia akan lebih jelas melihat huruf yang “single” dari pada baris ( dengan baris visus 6/30 tapi dengan “single “ bisa 6/6 3. “ Neutral density filters” Pemasangan “ neutral density filter” pada mata dengan kelainan organik akan menurunkan tajam penglihatan sedangkan pada mata ambliop tidak menurunkan tajam penglihatan, kadang kadang penglihatan bertambah baik.
4.
Pola fiksasi Fiksasi biasanya diluar foveola, bisa “eccentric fixation” (“fully adapted”) dan bisa “eccentrc viewing”( “not fully adapted”)
Karena kelainan ini timbulnya pada usia prasekolah maka agar penanggulangan lebih berhasil sangat diperlukan deteksi dini secara masal. Beberapa cara deteksi secara masal untuk anak usia dibawah 7 tahun . 1. “TNO stereoscopic test” ( random dot stereograms) Alat ini dapat memeriksa anak usia 2 1/2 – 3 tahun. Anak yang normal akan dapat melihat gambar dengan ketajaman stereoskopik 60 detik busur atau lebih baik. Anak dengan tajam penglihatan stereoskopik lebih jelek dari 40 detik busur akan terseleksi dan diperiksa lebih lanjut untuk menentukan kelainannya, apakah ada kelainan refraksi, strabismus, deprivasi atau terdapat kelainan organik. 2. “Photo screening” Cara ini mendeteksi adanya faktor penyebab ambliopia, strabismus,anisometropia, kekeruhan mediadan kelainan refraksi . Pemeriksaan dilakukan dengan mendudukkan anak pada pangkuan ibunya pada jarak 1 meter dari kamera. Kemudian diambil fotonya. Hasil foto dianalisa secara komputerisasi. Cara ini cepat, mudah, “portable” dan tidak infasif. 1. Mata normal (kiri atas) 40
2. 3. 4. 5. 6. 7.
“gray retinal reflex” uniform dan simetris, “corneal light reflex asimetris” Hiperopia (kanan atas) Terdapat kresen pada bagian bawah atau bagian kanan Anisometropia (tengah kiri) Adanya kresen yang tidak sama bentuknya antara mata kanan dan mata kiri. Miopia (tengah kanan) Terdapat kresen pada bagian atas atau bagian kiri. Kekeruhan media (kiri bawah) Adanya “dark spot” pada “gray raflex” Astigmat (kanan bawah) Besar kresen yang tidak sama antara mata kanan dan kiri Strabismus ( bawah sekali) Terdapat perbedaan terang dari “gray reflex” dan “corneal light reflex” asimetris.
Gambar 43.
Pengobatan Tujuan pengobatan pada ambliopia adalah mengusahakan fungsi penglihatan mata yang ambliop baik kembali pada usia sedini mungkin. 1. Koreksi kelainan refraksi Pada ambliop ringan yang disebabkan anisometropia dan meridional ambliopia bisa sembuh dalam beberapa bulan tanpa oklusi. Pickwell, melaporkan penyembuhan 7 dari 14 pasien ambliopia anisometropik pada anak usia 8 tahun dengan pemberian kaca mata (full koreksi). 41
2.Oklusi ( menutup mata ) Cara ini merupakan yang terbaik dan mudah. Mata yang baik ditutup untuk memaksa mata yang ambliop berfungsi kembali. Penutupan dapat dilakukan dengan : - elastoplast - “ opaque contact lens “ - “ classic black patch occluder “ - kaca mata yang sebelahnya ditutup Penutupan yang terlalu lama pada usia dini dapat menimbulkan dapat menimbulkan ambliopia pada mata yang baik/normal sebelumnya ( “ reverse ambliopia “/ ”occlusion amblyopia”) Untuk mencegah reverse/occlusion amblyopia dilakukan “alternate occlusion” sbb: (Von Noorden) Anak usia 1 tahun: tutup mata yang sehat 3 hari diikuti penutupan mata yang ambliop 1 hari ( 3:1). Anak usia 2 tahun tutup mata sehat 4 hari mata ambliop 1 hari (4:1) Untuk anak usia 3 – 4 tahun penutupan mata ambliop lebih lama. Bila oklusi 3:1 atau 4:1 gagal memperbaiki visus maka penutupan mata ambliop diperpanjang dan dikontrol ulang dengan interval paling lama 4 minggu. Pengobatan dilakukan sampai visus mata ambliop sama dengan mata lainnya atau pengobatan gagal setelah oklusi selama 3 bulan tak ada perbaikan.Ambliopia cenderung kambuh kembali sebelum anak berusia 8 – 10 tahun, untuk mencegahnya dilakukan dengan penalisasi. Park & Friendly mengobati 117 pasien dengan cara ini dan mendapatkan hasil 86% pasien tajam penglihatan menjadi baik. Elmer, Fahmy dan Nyholen mengobati 17 pasien dengan menggunakan lensa plus tinggi sebagai oklusi dan mendapatkan tajam penglihatan menjadi baik pada 16 pasien. 3. Pleoptik Cara ini berfungsi untuk merangsang fovea dengan sinar khusus.melalui amblioskop. Pengobatan dengan cara ini mulanya dianggap lebih baik, tetapi belakangan ternyata kurang berhasil dibandingkan dengan oklusi. 4. Penalisasi Dengan cara ini prinsipnya salah satu mata dikaburkan dan mata lainnya diusahakan melihat dengan jelas untuk melihat dekat, dan dengan cara yang sama dapat juga dilakukan waktu melihat jauh. a. Pemberian atropin tetes Mata yang baik diberi atropin tetes sehingga kabur melihat dekat dan memaksa mata ambliop untuk fiksasi dekat. Knapp & Capobianco memberikan atropin pada mata yang baik dan pilokarpin pada mata ambliop. Cara ini berguna pada pasien dengan ambliopia ringan. b. Pemberian kaca mata 42
Prinsipnya dengan pemberian kaca mata, mata ambliop dijadikan terang untuk melihat dekat dan mata lainnya untuk melihat jauh. Bila penglihatan jadi baik dan visus seimbang maka diberi dua kaca mata dengan lensa +3 untuk masing-masing kiri dan kanan dan dipakai bergantian untuk mencegah kambuhnya ambliopia. 5.
Kombinasi atropin dan kaca mata
6.
CAM vision stimulator Ini merupakan suatu alat baru yang berfungsi merangsang mata anak yang ambliop dengan cara khusus. Prinsip caranya adalah anak disuruh mengikuti/mengulang gambar yang ada pada suatu transparan yang dibawahnya terdapat cakram beruji hitam putih yang berputar dengan sumber cahaya dibawahnya. Cakram tersebut dapat ditukar dengan cakram lainnya yang ukuran jerujinya berbeda/ ukuran yang lebih kecil/halus bila ada perbaikan. Selama pengobatan mata yang baik ditutup. (jadi merupakan gabungan dengan oklusi).
7.
Pemberian obat levodopa/carbidopa (L-dopa) Levodopa merupakan prekursor dopamine yang berfungsi sebagai neurotransmitter yang terdapat pada otak dan retina, dan carbidopa adalah “periferal dekarbxylase inhibitor” yang mencegah penghancuran levodopa diperifir sehingga memungkinkan lebih banyak levodopa melewati blood-brain barrier. Leguire R.E dengan pemberian L-dopa terjadi perbaikan tajam penglihatan sementara, dengan pemberian L-dopa dan oklusi akan mempermudah/mempercepat perbaikan tajam penglihatan. Dosis Levodopa/Carbidova antara 100 mg/25 mg dan 400 mg/ 100 mg. Maksimum “serum level” setelah 30 menit – 1 jam, dan menurun jadi 50% setelah 2 – 4 jam. ] 1 jam setelah pemberian obat, visus membaik dari 20/159 20/83, dan perbaikan visus ini menurun 5 jam setelah pemberian obat.
43
VII. AKOMODASI DAN KONVERGENSI Tenaga akomodasi yg biasa digunakan adalah 2/3 dari seluruh kemampuan, sedang 1/3 lagi sebagai tenaga cadangan. AC/A RATIO Setiap terjadi akomodasi akan menimbulkan konvergensi Jika deviasi jauh dan deviasi dekat sama atau lebih kecil dari 10 prisma maka AC normal Jika deviasi dekat lebih besar dari deviasi jauh sama kecil atau lebih besar dari 10 prisma maka AC/A abnormal tinggi. Cara mengukur AC/A ratio: 1. Metode Heteroforia. AC/A = PD + n o PD = jarak pupil D n = deviasi dekat 0 = deviasi jauh D = jarak fiksasi dekat dengan dioptri Eso diberi tanda (+) Exo diberi tanda (-)
2. Metode Gradien . (lebih baik dari cara heteroforia) AC/A = 1 0 D 0 = deviasi asli l = deviasi dengan lensa D = kekuatan lensa 3. “Fixation disparity” (oleh Ogle), disini AC/A langsung didapat 4. Metode Haploskopik.
44
AC/A: - normal 3 – 5 prisma - > 5 eksessif - < 3 insufisiensi Helmhotz: mengataka bahwa AC/A didapat dari pengalaman, oleh karena itu dalam derajat tertentu ada saling ketidak ketergantunga/terkaitan antara keduanya. Hubungan AC/A ratio dan umur (beberapa pendapat) • AC/A ratio cukup stabil sampai usia mulai presbiop • AC/A sedikit menurun dengan bertambahnya umur (Alpen) • AC/A meningkat salama 20 tahun (dari usia 30 – 50 tahun), ini disebabkan peningkatan impuls untuk akomodasi. (Fry). • AC/A ratio tetap tak berobah dari usia 16-52 th dan meningkat secara nyata pada usia pre presbiop sampai permulaan presbiop.(Breinin&Chin) Mekanismenya terdapat di sentral maupun perifir, mekanisme sentral merupakan usaha impuls untuk akomodasi. Pengaruh obat pada AC/A ratio: • Pada pemberian obat miotik terjadi akomodasi dan ini akan menyebabkan impuls dari sentral berkurang dan akibatnya AC/A berkurang, jadi disini terdapat pengaruh di perifir. Sebaliknya sikloplegi terjadi meningkatkan AC/A ratio. • Metanol dan barbiturat meningkatkan tonik konvergen dan mengurangi AC/A ratio. Pengaruh ortoptik pada AC/A ratio: • Latihan ortoptik sedikit meningkatkan AC/A sementara dan setelah 1 tahun kembali ke nilai asli. “Proximal convergence” adalah konvergensi yang ditimbulkan oleh kesadaran akan objek dekat. Susunan saraf pusat yang mengatur “proximal convergence” ini diduga terletak pada mid brain, dan terdapat juga sejumlah hubungan ke kortikal, subkortikal dan daerah retina perifir. Hubungan antara miosis terhadap akomodasi dan konvergen Perobahan fiksasi dari jauh kedekat akan menimbulkan akomodasi, konvergensi dan kontriksi pupil (miosis). Burian&Schubel mendapatkan miosis terjadi/berhubungan dengan konvergensi dan tidak dengan akomodasi. Batas jumlah konvergensi yang menimbulkan miosis adalah 3 – 3. 5 derajat. “CONVERGENCE INSUFFICIENCY” 45
Ini merupakan penyebab terbanyak dari “ocular discomfort/musculer astenopia”. Kelainan ini merupakan kekurang mampuan mata untuk konvergensi untuk melihat dekat, sehingga deviasi divergen lebih besar waktu melihat dekat dari pada melihat jauh. Keadaan ini sering berhubungan dengan kesulitan akomodasi, yang mungkin disebabkan oleh hipermetrop tinggi (S+5/lebih) yang tidak dikoreksi, sehingga tidak ada usaha untuk akomodasi dan juga miop tinggi yang memang tidak membutuhkan akomodasi untuk melihat dekat. Disamping itu juga bisa timbul pada pula permulaan presbiopia dan setelah permulaan memakai kaca mata bifokal, karena menurunnya “accomodative convergensi”.
VIII. ESODEVIASI
Gambar 44.
Klassifikasi esotropia berdasar besar deviasi (J.Lang) 1. 0 - 1 derajat “Anomali of ortho position” - “true fixation disparity” - “supression from anisometropia” - “fusion disturbances” 2. 1 – 5 ,, “Microstrabismus” 3. 5 – 12 ,, “Small angle tropia’s” 4. 12 – 18 ,, “Blind spot mechanism” 5. > 18 ,, “Large angle esotropia”
1. • • • • 2.
ESOTROPIA: ESOTROPIA AKOMODATIF: Esotropia akomodatif refraktif Esotropia akomodatof non refraktif Esotropia akomodatif partial Esotropia hipoakomodatif ESOTROPIA NON AKOMODATIF 46
3.
ESOTROPIA INFANTIL/KONGENITAL ESOTROPIA DIDAPAT: • “Basic esotropia” • Non akomodatif konvergen ekses • Esotropia pada myopia • Esotropia non paralitik akut yang didapat ESOTROPIA INSUFISIENSI DIVERGEN ESOTROPIA AKOMODATIF Kebanyakan pasien esotropia didapat terjadi akibat gangguan hubungan normal antara akomodasi dan konvergen. Karena hubungan ini belum ada pada bayi dan baru berkembang pada usia 2 tahun bersamaan dengan maturasi fovea secara anatomis dan juga berhubungan dengan kemampuan retina melihat bayangan kabur), maka kebanyakan esotropia ini timbul pada usia 18 – 36 bulan. Walau demikian ditemukan esotropia akomodatif pada usia 5 bln (Baker,Park) dan terlama usia 6 tahun (Costembader) Anak dengan hipermetrop S+3D akan menimbulkan konvergensi 15 prisma (AC/A normal 1-5 PD tiap akomodasi 1D), konvergensi 15 prisma masih dapat diatasi oleh tenaga fusi divergen ( Baker&Hoyt). Timbul (refractif dan non refractif) biasanya pada usia 2 – 3 tahun (bisa timbul pada usia lebih muda. Terjadi/timbul biasanya gradual/pelan dan biasanya melalui stadium intermitten Esotropia akomodatif refraktif (Normal AC/A ratio) Adalah esotropia yg disebabkan oleh konvergensi yang berlebihan yg timbul akibat akomodasi untuk mengatasi hipermetrop (biasanya +2 D atau lebih) Gambaran klinik: Umumnya timbul pada usia 2 – 3 tahun. Pada tahun I mata masih lurus karena kemampuan akomodasi belum sempurna. Pada usia 2-3 tahun kemampuan akomodasi meningkat untuk mendapatkan penglihatan yang lebih jelas. Anak hipermetrop +2D bisa jelas melihat jauh tetapi perlu akomodasi 5D untuk melihat dekat. Gambaran klinik dimulai dengan fase intermitten 1 – 3 tahun (ambliopia biasanya blm ada) dan kemudian menjadi esotropia konstan (terdapat ambliopia). Baker& Park, mengatakan 50% dari pasien yang mulanya terko ntrol dengan kaca mata kemudian berkembang menjadi esotropia non akomodatif. Etiology : Terjadinya deviasi karena adanya hubungan antara akomodasi dan konvergansi akibat hipermetropia. 47
Pada pasien dengan hipermetropia yang tidak dikoreksi akan terjadi akomodasi untuk mendapatkan bayangan yang jelas, dan akomodasi ini akan menimbulkan konvergensi. Jika fusional divergen tidak mencukupi maka akan terjadi esodeviasi. Esotropia akomodatif non refraktif (High AC/A ratio) Merupakan bentuk esotropia dengan akomodatif yang berlebihan terhadap akomodasi yang terjadi (high AC/A) Jika AC/A =6, maka akan terjadi esotropia 12 D untuk jauh dan 30D untuk dekat.
• •
Gambaran klinik: Ditandai khas dengan esotropia lebih besar waktu melihat dekat dari melihat jauh. Pasien ini bisa dengan emetropia, hipermetropia maupun miopia. Diagnosa : Ditegakkan dengan adanya esodeviasi waktu melihat dekat setelah kelainan refraksinya dikoreksi. Esotropia akomodatif parsial Etiologi: campuran akomodatif dan non akomodatif. Gambaran klinik’ Masih terdapat esotropia setelah diberikan kaca mata untuk koreksi hipermetropnya atau setelah diberikan kaca mata bifokal maupun miotik untuk melihat dekat. Terapi : Setelah faktor akomodatifnya dikoreksi, sisanya dilakukan operasi.Von Noorden melakukan operasi untuk komponen non akommodatif nya saja. “hypo accomodative esotropia” Esotropia ini terjadi karena tenaga akomodasi yang kurang, sehingga terjadi usaha untuk akomodasi yang berlebih untuk mengatasi kelemahan akomodasi ini, ini mengakibatkan terjadi konvergensi yang berlebihan. Gambaran klinik - Kelainan refraksi kecil - NPC menjauh (lebih besar) - Deviasi dekat >deviasi jauh Pengobatan esotropia akomodatif: Goal untuk pengobatan adalah mengurangi esotropia menjadi 8 PD atau lebih kecil (dengan deviasi ini masih bisa terjadi fusi sekurang-kurangnya peripheral fusion) 1. Segera memberikan full koreksi untuk hipermetropnya 48
“Residual esotropia” 15 prisma dilakukan operasi, “Full correction” diberikan untuk anak usia kurang dari 6 tahun, tetapi bila diberikan pada anak usia diatas 6 tahun akan menyebabkan penurunan visus untuk jauh dan jarang bisa ditolerir, tetapi karena dengan koreksi kurang dari total hipermetropnya mata biasanya bisa lurus karena visusnya sudah tajam/jelas. Meskipun memakai kaca mata dengan “full correction” dengan “fulltime” direkomendasikan untuk pengobatan esotropia akomodatif refraktif baik yang full maupun yang partial, ada pendapat yang mengatakan pengobatan seperti itu mengancam emetropisasi seperti pada binatang percobaan. Lowery et al mengemukakan terdapat hubungan antara normal “emetropization and accommodative esotropia”. Esotropia akomodatif memperlihatkan sedikit pengurangan dari hipermetrop spherisnya sampai usia 7 tahun, dimana setelah itu terjadi sedikit pergeseran/perobahan menjadi myopic. Efek pemakaian kaca mata fulltime pada pasien ini sulit ditentukan. Namun sebagian ahli mata punya goal, yang paling penting untuk pengobatan anak adalah perbaikan dan mempertahankan tajam penglihatan, kelurusan mata dan stereopsis yang “excellent”. Pengurangan kaca mata koreksi pada hipermetrop sedang dapat meningkatkan fusinonal divergen yang akan mempertahankan kelurusan mata ntanpa kaca mata. Pengurangan refraksi yang cepat akan mengembalikan esotropianya yang bisa pula menimbulkan ambliopia. 2. Untuk highAC/A rasio Diberikan kaca mata bifocal (Rosenbaum, Bifokal diberikan bila deviasi dekat lebih =/> 10 prisma dioptri) 3. Miotika: Phospholin (0.125%, anak 50 prisma dioptri/“large angle esotropia”(Scott W.E. et al) Melakukan operasi pada 3 atau 4 otot Deviasi pre “Bimed recess” “lateral resect” “bilateral rescet” Operative (mm) dr limbus (mm) (mm) 55 PD 11 4–5 60 ,, 11 6 65 ,, 11 7 70 ,, 11 5 75 ,, 11 6 80 ,, 11 7 90 – 100 ,, 11 8 Dengan cara ini angka keberhasilan pada deviasi rata-rata 65 PD adalah 64.5%
52
“Bimedial recess” (Hess & Calhoun): - 6 mm efek koreksi 58 PD - 7 mm ,, ,, 72 ,, - 8 mm ,, ,, 90 ,, Recess conjunctiva sampai ke insersi otot akan menambah efek recess 1 -1.5 PD per mm recess otot HASIL OPERASI Von Noorden tak sependapat bahwa tujuan operasi pada esotropia kongenital hanya untuk kosmetik, kita harus berusaha untuk menjadikan mata lurus setelah visus menjadi sama. Operasi dikatakan berhasil bila posisi mata jadi ortoforia +/- 10 PD.
Hasil yang ideal esotropia kongenital adalah: • Ortoforia/heteroforia asimptomatik untuk jauh dan dekat. • Visus kembali normal pada kedua mata • Fusi perifir dengan amplitudo normal • “Gross stereopsis” Sayangnya hasil tersebut jarang didapat, hasil yang banyak diperoleh adalah: • Secara kosmetik baik/dengan “small residual esotropia” • Adanya fusi perifir • Dengan ARC • Terdapat “small foveal supression “ • Besarnya foveal supression kurang atau sama dengan 2 derajat (pada mata deviasi)
Hasil terhadap “binocularity”: - 0 - 6 bulan dari 20 pasien binocularity 20 (100%) - 7 – 12 bulan ,, 46 ,, ,, 46 (100%) - 13 - 24 bulan ,, 24 ,, ,, 23 (96%) - 25 – 79 bulan ,, 17 ,, ,, 7 (48%) Operasi < 2 tahun banyak memperoleh hasil stereopsis dan fusi Operasi > 2 tahun kurang ,, ,, ,, dan ,, Operasi usia 6 bulan, 12 bulan, 24 bulan hasilnya hampir sama. • Anak-anak yang matanya lurus setelah operasi esotropia pada usia dini sering dengan fusi perifir dengan NRC, tapi tak pernah dengan fusi sentral
53
• •
• Pasien yang hanya memperoleh perbaikan kosmetik dengan operasi tanpa fusi perifir kemudian akan timbul lagi deviasi dengan bertambahnya umur dan biasanya timbul eksotropia sekunder. “Single binokuler vision” tidak akan diperoleh bila hasil operasi deviasi tidak menjadi orto +/-10 prisma. Fusi tidak diperoleh bila operasi dilakukan pada usia > 4 tahun. Ing M.R. dalam penelitiannya pada 34 pasien esotropia kongenital dengan operasi yang berhasil (posisi mata setelah operasi ortho +/- 10 PD). • Hasil stereoskopik post op esotropia kongenital 40 detik busur sangat jarang diperoleh, kebanyakan hasil stereoskopik 200 – 3000 sec arc. • Pasien yang dioperasi usia 6 bulan semuanya memberikan hasil penglihatan binokuler. • Operasi pada usia 12 atau 24 bulan memberikan hasil binokuler yang tinggi dan secara statistik hasil keduanya tidak ada perbedaan. ESOTROPIA INSUFISIENSI DIVERGEN Adalah esodeviasi lebih besar waktu melihat jauh dan lebih kecil waktu melihat dekat. Esotropia insufisiensi divergen ditandai dengan esotropia dengan deviasi kecil waktu melihat jauh yang disertai diplopia (esotropia ini bisa konstan atau intermitten) dan waktu melihat dekat mata lurus dengan fungsi binokuler normal. Klinis : • Intermitten /konstan esotropia • Low AC/A • Karakteritik: - Umumnya terdapat pada usia muda atau dewasa - Timbul secara pelan/gradual - Diplopia waktu melihat jauh dan normal waktu melihat dekat. - Esodeviasi jauh (8 - 30 PD, rata2, 16 PD) > esodeviasi dekat (4-18 prisma) - Dekat bisa ortoforia/normal heteroforia atau esodevisi sudut kecil - Deviasi sama besar kesemua arah - Duksi dan versi normal - Amplitudo fusi divergen menurun untuk jauh maupun dekat. • Tidak ditemui kelainan neurologis Etiologi : - Idiopatik - Secara hipotesis diduga terdapat kerusakan pada pusat divergen yang berhubungan dengan lesi fokal pada Pons dan Midbrain atau “cranio vertebral junction”. - Meskipun etiologi belum diketahui, pada pasien usia tua diduga disebabkan oleh kelainan vascular. 54
-
Kelainan ini bisa juga disebabkan sekunder karena kelainan neurologis.
DD “Insufisiensi divergen” dan Paralise divergen • Pada insufisiensi divergen tidak dapat kelainan neorologis, pada paralise divergen ditemukan kelainan neurologist/riwayat trauma, tumor pontin atau tumor intra kranial. • Pada insufisiensi divergen didahului dengan esoforia waktu melihat jauh (mungkin disebabkan suatu anomali posisi waktu istirahat yang kemudian jadi manifest. • Pada paralise divergen terdapat lesi organik pada pusat divergen atau pada jalur persarafan divergennya. Terapi: Relatif sederhana dan efektif. 1. Karena insufisiensi divergen merupakan kelainan yang “self-limited”, 40% sembuh dalam beberapa bulan. 2. Dengan memakai kaca mata prisma base out dengan power sesuai deviasi jauh untuk mendapatkan penglihatan tunggal untuk melihat jauh, (dengan memakai kaca ini tidak mempengaruhi single vision untuk dekat). Kemudian power prisma diturunkan secara bertahap secukupnya dengan tetap menjaga penglihatan binokuler yang nyaman tanpa diplopia, sampai posisi normal kembali. 3. Pada pasien yang tidak memberikan respon dengan prisma dilakukan reseksi kedua otot lateral. biasanya diperlukan reseksi kecil (4 mm) kedua rectus lateral.
55
IX. EKSODEVIASI
Gambar 45.
Faktor penyebab dari kelainan ini: • Faktor “Innervasional imbalance” yang menyebabkan gangguan hubungan bolak balik antara mekanisme konvergen dan divergen, dimana divergen lebih merupakan proses aktif dari pada proses relaksasi dari konvergen.(Duane) • Faktor orbita (Weiss 1896) Dengan berkembangnya orbita maka orbita menjadi lebih dalam dan ini mempengaruhi panjang insersi dari otot horizontal sehingga mempengaruhi keseimbangan antara aksi rektus medial dan rektus lateral. • Faktor mekanik dan anatomis/statik(Burian) • Kombinasi factor mekanis dan inervasional Pendapat yang banyak diterima adalah merupakan kombinasi factor mekanis dan inervasional ini. (Duane &Bielschowsky) EKSOTROPIA INTERMITTEN
56
Eksotropia intermitten biasanya timbul pada usia bayi dan anak-anak, dan bisa timbul pada usia beberapa bulan. Pada eksotropia ini disebabkan kelainan “motor innervasional” yang terjadi pada masa bayi, dan pada sebagian pasien membaik dengan bertambahnya umur. Eksodeviasi pada pasien ini dikontrol secara intermitten oleh mekanisme fusi, sehingga deviasinya terjadi secara intermitten dan orang tua bayi sering menyadari kelainan ini setelah bayi berusia 6 bulan. Deviasi tipe ini merupakan eksotropia yang terbanyak ditemukan secara klinis dan lebih kurang 50% dari pasien.,wanita lebih banyak dikenai dari laki-laki Eksotropia intermitten merupakan kelanjutan dari eksoforia dan selanjutnya menjadi eksotropia konstan. Faktor-faktor yang membantu perobahan ini: a. Supresi hemiretinal bilateral. Teori ini beranggapan bahwa kemampuan untuk mensupresi temporal vision menyebabkan terjadi divergen. b. Teori lain mengemukakan bahwa kelainan ini disebabkan karena “innervasional imbalance” hubungan bolak balik yang kacau antara mekanisme konvergen dan divergen. c. Menurunnya tonik konvergen dengan bertambahnya usia, dan hilangnya kekuatan akomodatif, serta terjadinya divergen orbita secara gradual pada perkembangan anak menyebabkan rusaknya fusi konvergen pada pasien intermitten eksotropia. d. Faktor perobahan mekanis dan anatomis seperti orientasi, bentuk dan besar dari orbita, besar dan bentuk bola mata, volume dan kepadatan dari jaringan retrobulber serta fungsi otot mata yang dipengaruhi oleh insersi, panjang, elastisitas, susunan anantomis dan struktural serta kondisi dari fasia dan ligament dari orbita juga diduga merupakan faktor penyebab bersama dengan faktor innervasional dan mekanikal. e. Faktor keturunan juga berperan f. Faktor lain yang juga mungkin ikut berperan adalah ibu yang merokok waktu hamil, berat waktu lahir yang kurang dan kelainan kraniofasial. Berbeda dengan eksoforia murni yang timbul bila fusi diganggu, pada eksotropia intermitten deviasi bisa terjadi secara spontan menjadi manifest. Dalam fase foria mata akan lurus dengan fusi yang baik dan stereoskopik yang normal. Pada fase tropia mula-mula timbul diploipa dan sering terjadi adaptasi kortikal berupa supresi dan korespondensi retina yang abnormal dan ambliopia terutama pada anak usia dibawah 10 tahun. Deviasi terjadi karena pada fase tropia ini akibat fusi yang jelek yang timbul karena lelah, ngelamun pada keadaan sakit/flu, dan pada orang dewasa/tua sering manifest akibat minum alkohol atau minum obat penenang. Pada follow up selama 3 ½ tahun, penyakit ini yang tidak diobati didapatkan menjadi progresif 75% dari 51 pasien , 9% menjadi lebih buruk dan 16% membaik.(Von Noorden) Hill’s et al mendapatkan dari 48 pasien tidak memperlihatkan perobahan deviasi yang signifikan dalam follow up selama 11 tahun ( 2 pasien menjadi eksotropia konstan) Gambaran klinik 57
• Serangan biasanya pada usia 2 – 3 tahun; • Penglihatan kabur, astenopia, kelelahan waktu membaca dan kadang-kadang ada diplopia. • Pada anak yang lebih besar dan dewasa, juga didapatkan foto phobia dan juling waktu kena sinar matahari yang disebabkan oleh usaha menghilangkan diplopia dan “confusion”. • Kelurusan mata masih bisa dipertahankan oleh masih adanya fusi. • Deviasi biasanya manifest pada waktu “visual inatension” seperti: lemah, selama sakit, ngelamun, bangun dari tidur, anak yang sedang dimarahi. • Pada usia anak-anak deviasi mata biasanya lebih besar waktu melihat jauh dari pada melihat dekat/deviasi menjadi manifest bila objek penglihatan dijauhkan • Pada orang dewasa, besar deviasi jauh dan dekat biasanya sama meskipun kontrol fusi masih baik • Pada beberapa pasien intermitten eksotropia berlanjut menjadi eksotropia konstan. • Pada anak berusia < 10 tahun bisa terjadi supresi dan ARC. • Namun pada waktu mata lurus terdapat NRC dan stereoskopik derajat tinggi atau menurun. • Ambliuopia jarang terjadi jika eksotropia intermitten tidak berkembang menjadi eksotropia konstan Pemeriksaan klinik Anamnesa mengenai riwayat penyakit yang lengkap tentang: • usia serangan mulai, • apakah eksotropia berkembang menjadi konstan • berapa sering ekstropia terjadi Pemeriksaan Pemeriksaan dengan prisma dan “alternate cover test” untuk jarak 6 meter dan 30 cm, juga perlu dilakukan pada jarak 100feet (30m) - 200 feet( 60m). Kategori dari pemeriksaan eksotropia sbb: • “Good control”: Eksotropia manifes hanya setelah dilakukan “cover test” dan segera terjadi fusi kembali tanpa mengedip atau refixasi • “Fair control”: Eksotropia manifest setelah fusi diputus dengan cover test dan pasien kembali fusi hanya setelah mengedip atau refiksasi • “Poor control”: Eksotropia manifest secara spontan dan tetap manifest untuk waktu lebih lama. KLASIFIKASI: 58
1.
2. • •
3.
“Basic Intermitten Exotropia” Bila deviasi jauh dan dekat lebih kurang sama dalam batas 10 PD dioptri dan AC/A normal. “Divergence excess” “True divergence excess” Eksodeviasi jauh lebih besar dari deviasi dekat (> 10PD) “Simulated divergence excess” Pada tipe ini mulanya deviasi jauh lebih besar dari deviasi dekat, tetapi setelah dilakukan test oklusi selama 30 – 60 menit deviasi dekat bertambah (lebih 10 PD) dari jauh. Contoh, deviasi jauh 30 PD ekso dan deviasi dekat 10 PD. Setelah dilakukan patch test 30 menit deviasi jauh 30 PD dan deviasi dekat menjadi 25 PD. Ini terjadi karena fusional tonic convergence dihilangkan secara pelan dengan oklusi monokuler sehingga deviasi jauh dan dekat menjadi sama.
“Convergence insufficiensi” Pada tipe ini eksodeviasi dekat lebih besar dari deviasi jauh (lebih dari 10 PD) dan pasien mempunyai AC/A dan amplitudo fusi yang rendah Pengobatan Non bedah (biasanya tidak efektif kecuali untuk “convergence insufficiency”) • Koreksi kelainan refraksi, overkoreksi untuk myopia ((biasanya 2 – 4D). Pemberian lensa minus atau kaca bifokal dapat mengontrol deviasi secara efektif dan tidak memerlukan terapi operasi pada sebagian kecil pasien. Pada hipermetrop ringan sampai sedang tidak rutin dikoreksi karena akan menambah deviasi , sedang hipermetrop > 4D diberikan koreksi (dengan koreksi menjadikan bayangan jadi jelas dan ini akan merangsang akomodasi) • Terapi ambliopia. “Part time occlusion” pada mata non deviasi berguna pada pasien usia muda sebagai anti supresi terutama pada anak usia < 4 tahun. • Ortoptik untuk “convergence insufficiensy” Untuk deviasi < 20 PD terapi ortoptik memberikan hasil baik/sukses dibandingkan dengan operasi. “Fusional convergence training” merupakan terapi terbaik pada pasien dengan convergence insuffisiensi. Pengobatan dengan ortoptik yang terdiri dari terapi anti supresi/ dan latihan fusi konvergen dapat digunakan secara tersendiri dan dapat di kombinasi dengan “patching”, lensa minus atau operasi. • Prisma base out untuk “exerise” dan prisma base in untuk “relaxacing prisma” Terapi dengan prisma base in dapat mengembangkan fusi tetapi terapi ini jarang dipakai karena akan mengurangi amplitudo fusi konvergen. 59
•
o o o
Chemodenervasi dengan botulinum toksin
EKSOTROPIA KONSTAN Etiologi • Dari eksotropia intermitten berkembang menjadi konstan, biasanya deviasinya besar. • Eksotropia congenital o Biasanya timbul sebelum usia 6 bulan, biasanya pada eksotropia ini sudut deviasi besar. Sering berhubungan dengan kerusakan pada saraf atau kelainan kraniofasial. Sering disertai kelainan sistemik dan kelainan mata lainnya Fiksasi bifoveal dan stereopsis biasanya jelek. • Eksotropia akibat kelainan sensoris Penurunan tajam penglihatan pada satu mata dapat menyebabkan eksotropia sensoris seperti: kekeruhan kornea, kekeruhan lensa, atropi atau hipoplasi n. optikus, lesi makula. Eksotropia ini lebih sering terjadi pada anak yang lebih tua atau dewasa. • Konsekutif eksotropia, eksotropia yang terjadi setelah operasi esotropia. Terapi operasi Kebanyakan pasien dengan eksotropia akhirnya memerlukan operasi. Operasi dilakukan pada deviasi 15 PD atau lebih.Untuk memperoleh hasil sensoris yang baik sebaiknya operasi dilakukan pada usia sebelum 5 – 7 tahun. Pada eksotropia intermiten reses bilateral dari rektus lateral merupakan terapi yang terbanyak.. Pada “basic intermitten exotropia” lebih sering dilakukan terapi reses rektus lateral dikombinasi resek rektus medial ipsilateral. EKSOTROPIA INTERMITEN/KONSTAN EKSOTROPIA (AAO) Deviasi Reses LROU 15 PD 4 mm 20 ,, 5 mm 25 ,, 6 mm 30 ,, 7 mm 40 ,, 8 mm Deviasi 15 PD 20 ,, 25 ,, 30 ,,
Resesss LR 4 mm 5 mm 6 mm 7 mm
dan
60
Resek MROU 3 mm 4 mm 5 mm 6 mm 6 mm Resek MR 3 mm 4 mm 5 mm 6 mm
40 50 60 70 80
,, ,, ,, ,, ,,
8 mm 9 mm 10 mm 10 mm 10 mm
6 mm 7 mm 8 mm 9 mm 10 mm
Untuk deviasi besar: Terapi operasi tradisional - 45 - 80 PD Reses LR 6 – 8 mm dan resek MR 6 mm pada satu mata dan Reses LR 6 – 8 mm pada mata lainnya - 85 PD/lebih Reses LR 8 mm dan resek MR 6 mm pada kedua mata
• • •
Terapi operatif alternatif - 45 – 85 PD Reses LR 8 mm dan Tuck MR 10 mm pada mata satu mata dan Reses LR 8 mm pada mata lainnya. - 85 PD/lebih Reses LR 8 mm dan Tuck MR 10 mm pada kedua mata. Pada kasus overkoreksi Deviasi 10 – 15 PD yang menetap selama 3 – 4 minggu diterapi dengan: Prisma base out atau alternating patching untuk mencegah ambliopia dan diplopia. Miotik atau kaca mata bifocal pada pasien dengan high AC/A ratio. Toksin botulinum. Kasus under koreksi • Ringan sampai sedang diawasi saja kalau masih bisa diatasi oleh fusi, tetapi eksotropia sering akan manifest kembali. • Pemberian koreksi prisma base in yang progresif dan secara pelan power prisma dikurangi. • Terapi botulinum toksin • Terapi operasi dilakukan dengan resek m. rektus medial dan reses rektus lateral serta resek rektus medial pada mata sebelahnya. “HANG - BACK RECESSION” “Hang back” merupakan cara yang sederhana dan aman sebagai alternative dari reses konvensional. Cara ini kurang lebih menghindarkan terjadinya perforasi sklera dan lebih dianjurkan pada sklera tipis/mudah terjadi perforasi dan juga pada kasus-kasus yang sulit melakukan insersi pada sklera bagian posterior. Sering juga dilakukan pada strabismus dengan ablasio retina untuk menghindari jahitan pada “scleral buckle”. Benang yang dipakai adalah yang “non absorbable”. Hasilnya dilaporkan hampir sama dengan reses konvensional. 61
A. B. C. D.
Hang back pada Rektus Lateral Cara mengukur besarnya reses Cara hang back dengan jahitan selebar otot Reses rektus superior dengan cara hang back
Gambar 46.
ADJUSTABLE SUTURE Cara ini dapat dilakukan pada semua otot rektus Indikasi: 1. Pasien dengan strabismus restriktif dengan potensial bisa trerjadi perbaikan fusi (pada pasien dengan “thyroid ophthalmopathy”) 2. Pasien strabismus yang hasilnya sulit diprediksi (termasuk pasien yang operasinya tidak berhasil). 3. Strabismus paralitik. 62
4. Strabismus dengan deviasi besar. 5. Bila dari pengalaman operator cara ini merupakan cara yang lebih berhasil Tehnik operasi
Gambar 47.
Dengan insisi limbal otot dicari dengan muscle hook kemudian otot dijahit dekat limbus, kemudian otot dipotong dekat insersinya.
Gambar 48.
Otot dijahitkan dengan menyilang pada insersinya dan dibuat ikatan/simpul penariknya (cukup panjang yang dibunakan untuk menambah atau mengurangi reses)
Gambar 49.
63
Dibuat ikatan tambahan sebagai pemegang/penjerat dengan benang lainnya pada jahitan sclera setelah diukur panjang reses yang dibutuhkan, kemudian ikatan tersebut dikencangkan agar otot jadi terfiksasi pada ukuran tersebut. Setelah selesai dan pasien sadar dilakukan penyesuaian (menambah/mengurangi reses) dengan menarik atau melomba simpul tambahan dengan cara menggeser simpula tambahan tersebut kearah otot (mengurangi reses) atau menjauhi otot (menambah reses) dengan menggeser simpul tambahan dengan pinset, kemudian baru simpul yang pertama diptong/dibuka dan benang (yang dari otot) disimpulkan dengan kuat. “CONVERGENCE INSUFFICIENCY” “Confergence insufficiency” adalah kurangnya kemampuan kedua mata untuk konvergensi waktu melihat dekat. Kelainan ini pertama kali dikemukakan oleh Von Graefe 1862, dan Stuterheim 1931 menamakannya “astenovergence”. “Convergence insufficiency” merupakan salah satu penyebab yang paling banyak dari “ocular discomfort” dan sekaligus merupakan penyebab terbanyak dari astenopia muskuler. Pasien biasanya mengeluh dengan “eye strain” seperti rasa tegang atau tidak enak/nyeri disekitar mata, mata berair, tidak tahan membaca lama,sakit kepala, kalau membaca lama huruf terlihat kabur dan kemudian menyatu. Bisa juga timbul diplopia waktu melihat dekat. Kelainan ini sering ditemukan pada pasien eksoforia, tapi bisa juga pada ortoforia dan esoforia. Keluhan ini biasanya timbul pada usia muda/sekolah menengah, karena pada saat itu pasien banyak menggunakan matanya untuk melihat dekat (belajar/membaca) dalam jangka waktu agak lama. Sebagian ahli mata menganggap ini sebagai suatu kelainan neurosis dan mengirimkannya ke psikiater. Tapi ini sebetulnya pendapat yang kurang tepat karena terapi yang adekuat akan memberikan hasil yang memuaskan. Kelainan ini ditandai dengan “near point of convergency” (NPC) yang lebih besar dari normal ( ≥11cm). Disamping itu juga dihubungkan dengan menurunnya amplitudo akomodasi dekat ( < 20 PD ).Tetapi NPC dan amplitudo fusi tak selalu parallel (Atzmon). Penyebab dari kelainan ini adalah: 1. "Disuse of accommodative convergence” Pada hipermetrop tinggi dan yang pakai kaca mata presbiop tidak ada usaha untuk akomodasi dan juga myop tinggi yang memang tidak membutuhkan akomodasi untuk melihat dekat. 2. Insufisiensi akomodatif Lebih kurang separoh dari akomodatif insufisiensi juga dengan konvergen insufisiensi (Fransis et al 1979). Tidak jelas apakah akomodatif atau kelainan konvergen sebagai disfungsi primernya. 3. Bekerja didepan komputer dalam jangka lama menyebabkan NPC dan NPA menjadi jauh (Gus et al 1994) 4. Faktor anatomis, seperti pada jarak pupil yang lebar hingga konvergensi lebih sulit. 64
5. Hiperforia atau hipertropia juga dapat menimbulkan “convergen insufficiency” 6. Bersamaan dengan strabismus divergen. 7. Kelelahan umum karena penyakit, toksik, kelainan metabolik atau endokrin 8. Psikogenik instability 9. Parese atau kelemahan dari otot rektus medial. 10. Bisa juga timbul tanpa sebab yang jelas Gambaran klinik: Keluhan: • Biasanya terasa tegang didaerah mata setelah membaca dalam waktu yang tidak lama. • Kadang – kadang terjadi diplopia waktu melihat dekat • Gambaran yang khas ialah pasien menutup satu mata waktu membaca untuk menghilangkan rasa letih • Gejala lainnya adalah sakit kepala. • Keluhan dapat terjadi pada semua usia tapi jarang menjadi masalah klinik sampai mencapai usia belasan tahun karena meningkatnya waktu membaca. Pemeriksaan: • NPC yang jauh (>10 mm) • Menurunnya fusi konvergen waktu fiksasi dekat (amplitude fusi konvergen < 20 prisma untuk break (normal 30/35) • NPA normal sesuai usia pasien Pemeriksaan NPC: Pemeriksaan secara objektif Rol dengan ujung lengkung ditempatkan pada hidung (nasal bridge), objek fiksasi ditempatkan Pada rol lebih kurang 30 – 40 cm didepan pasien pada “mid plane”. Pasien diinstruksikan agar melihat ke objek fiksasi, kemudian objek fiksasi digerakkan pelan-pelan kearah mata pasien sampai hilang fiksasinya dan bergerak/deviasi keluar. Jarak objek pada saat kejadian tersebut merupakan NPC yang diukur dengan rol yang ditempatkan pada pinggir tulang orbita dekat kantus eksternus. Pemeriksaan secara subjektif. Filter merah dengan densitas moderat ditempatkan pada trial frame didepan salah satu mata (lebih baik pada mata yang dominan). Penlight ditempatkan didepan mata pasien pada jarak 40 cm dimana pasien dapat memfusikan kedua bayangan (pasien akan melihat “pinkis light”)
65
Gambar 50.
Kemudian penlight didekatkan secara berangsur-angsur kemata pasien pada midline. Pasien ditanya kapan melihat sinar senter menjadi dua satu merah dan satu lagi putih (timbulnya diplopia). Jarak tersebut dicatat, kemudian diukur jarak antara margo orbita lateral dan permukaan hidung. Jumlah dari kedua jarak tersebut adalah merupakan “near point of convergency”. Test ini akan mengganggu fusi , efek “voluntary convergen” sedikit dan memberikan hasil bernilai diagnostik dan prosnogtik. NPC : - 5 – 10 cm, normal - < 5 cm “eksesive” (sering pada anak) - > 10 cm insuffisiensi Pada pasien dengan “convergence insufficiency” jarak ini 10 – 30 cm atau lebih. Dengan melakukan kedua test ini dapat dilakukan observasi sbb: 1. Pada pasien dengan fungsi konvergen yang baik, NPC yang didapat dengan ke 2 test ini “coinsidens” dan keduanya dalam batas normal. 2. Pasien dengan “convergen insufficiency” NPC subjektif > NPC objektif dan perbedaan ini dapat agak besar/cukup besar. 3. Pada pasien dengan “convergen insufficiensi” yang NPC nya jauh tetapi NPC subjektif “coinsidens” dengan NPC objektif, prognosa lebih baik. 4. Selama pengobatan NPC yang diukur secara objektif lebih cepat jadi normal dari pada NPC objektif 5. Akhir dari keberhasilan terapi, NPC tidak hanya normal tetapi nilai yang diperoleh dengan objektif dan subjektrif menjadi “coinsidens”.
•
•
Diagnosa ditegakkan dengan: NPC yang jauh (>10) • Menurunnya fusi konvergen waktu fiksasi dekat (amplitude fusi konvergen < 20 prisma untuk break (normal 30/35) NPA normal sesuai usia pasien Pengobatan: 66
1. Ortoptik Ini merupakan pengobatan yang utama pada ‘‘convergence insufficiency ’’. Von Noorden mengemukakan bahwa pengobatan dengan cara ini paling berhasil dan umumnya dapat menghilangkan keluhan pasien. Terapi ini kurang berhasil pada convergence insufficiency dengan eksoforia besar atau yang disertai dengan insuffisiensi akomodatif. 2. “Pencil push up” 3. Prisma Prisma base in diberikan bila pengobatan dengan ortoptik tidak berhasil. Prisma base out bisa dipakai untuk melatih atau meningkatkan tenaga fusi konvergen. 4. ”Wild field fusional stimulation “ Kertez A.E. menggunakan “wield fusional stimulation” untuk pengobatan strabismus dengan deviasi kecil ( 40PD) Reses MR + infra placement mengoreksi 15 PD V Pattern A EKSO Infraplacement LR (1/2 lebar otot) mengoreksi A Ekso 12-15 PD. Infraplacement LR (3/4 lebar otot dikombinasi dengan memiringkan insersi (slanting) serat inferior mengoreksi 18-20 PD A Ekso Reses LR + infraplacement mengoreksi 15-20 PD. Kombinasi tenotomi SO dan infra placement LR mengoreksi A Pattern 60 PD Ekso A > 40 PD, bila dg overksi SO tenotomi superior oblik bilateral + operasi horizontal secukupnya utk sisa deviasi horizontal Ekso A < 40 prisma - resesi bilateral LR + infra placement LR - Reses- resek dg transposisi secukupnya. V EKSO V Ekso tanpa kelainan oblik: Infraplacement MR mengoreksi 15-20 PD Reses LR + supraplacement mengoreksi 15-20 PD Reses LR dan supra placement dikombinasi dg memiringkan serat inferior ke posterior memberikan efek koreksi 10-15 PD. Operasi ini dilakukan biasanya bila disertai dengan deviasi horizontal Bila dg overaksi IO Reses IO+Reses LR mengoreksi V Pattern 15 – 25 PD OPERASI PADA OTOT VERTIKAL
70
Operasi pada otot vertical jarang dilakukan, dan hanya terbatas pada V Ekso tanpa overaksi IO IR digeser kelateral 5 – 7 mm Horizontal transposisi otot vertical, pada A Esotropia dilakukan SR ditransposisi 7 mm ke temporal dan pada V Eso IR ditransposisi ke temporal utk menambah abduksi pada down gaze OPERASI PADA OTOT OBLIK Operasi pada otot obliq dilakukan bila nyata terdapat over/under action dari otot Oblik. a. Melemahkan otot - Miektomi/ Tenotomi/tenektomi - Resesi - slenting/memiringkan insersi otot - “silicon expander“ b. Memperkuat otot Reseksi Tucking
MELEMAHKAN OTOT OBLIK OBLIK SUPERIOR: 1. Tenotomi:
-
Tenotomi SO mengoreksi 40 - 55 PD A Pattern dan menambah eso/mengurangi ekso 15 PD Deviasi > 40 PD operasi pilihan : Tenotomi SO bilateral + operasi otot horizontal untuk sisa eso nya “Bilateral weakening” SO mengurangi ekso pada deviasi horizontal 20 PD dan 30 – 40 PD pada downgaze dan tak ada efek pada up gaze. - Pada A Eksotropia operasi pada otot S.O lebih efektif. - Pada A Eso operasi harus dikombinasi dengan otot horizontal. Efek operasi ini akan mengurangi esotropia pada down gaze sebanyak 25-35 PD Efek tenotomi pada nasal dari pinggir lateral SR lebih besar dari tenotomi temporal batas tsb. (tenotomi ditemporalnya memberikan efak rata2 30 PD dan dinasalnya 25- 45 PD). Tenotomi temporal batas RS memberikan efek mengurangi deviasi horizontal 8 PD 2. Tucking Tucking SO mengoreksi V Pattern 15 – 25 PD Tenotomi bilateral SO mengoreksi A Pattern 35 – 45 PD 3. Resesi Resesi SO, dengan ini lebih bisa mengontrol besar deviasi dengan besarnya reses. Reses 4 mm dari insersi tidak ada efek Reses selanjutnya memberikan efek koreksi 2 PD tiap mm reses. Reses 12 mm memberikan efek koreksi masing-masing satu otot: (12mm – 4 mm) x 2 PD = 16 PD, Reses kedua otot 12 mm maka efek koreksi 2 x 16 PD = 32 PD.
71
Komplikasi: “Residual SO overaction” “SO palsy” OBLIK INFERIOR Tenotomi Pada V Esotropia dilakukan pelemahan I.O (sering dilakukan) dengan miektomi dari otot dekat insersinya. Operasi pelemahan kedua otot I.O akan meningkatkan esotropia/mengurangi eksotropia sebanyak 15-25 PD pada upward gaze. Melemahkan kedua m.oblikus inferior mengoreksi V Pattern 15-25 PD. Pelemahan bilateral IO mengoreksi deviasi vertikal sampai 15 PD, hampir tanpa ada efek pada deviasi horizontal. Tenotomi/tenektomi kedua otot oblik superior mengoreksi A Pattern 40-45PD dan mengoreksi ekso (menjadi eso) 15-20PD. Reses/tenotomi IO mengoreksi V Pattern 15PD dan mengurangi ekso 15PD pada V Ekso dengan pelemahan kedua otot oblik
XI.“DI SSOCIATED VERTICAL DEVIATION” (DVD)
Gambar 53.
Stevens (1895) yang pertama kali memperkenalkan DVD, kemudian selanjutnya Bielschowsky (1940), Verhoef (1941), Brown (1966) dan Halveston (1980) memberikan deskripsi/uraian yang lebih lengkap dari kelainan ini. DVD adalah kondisi mata dengan terjadinya elevasi yang nyata disertai dengan abduksi dan ekstorsi dan sering berhubungan dengan esotropia kongenital atau keadaan lain yang menyebabkan terganggunya penglihatan binokuler pada usia dini (Egbert E et al).
72
Gerakan mata keatas ini terjadi, bila pasien dalam keadaan letih atau ngelamun, atau bila fusi diganggu dengan menutup satu mata. bila tutup mata dibuka maka mata yang elevasi akan bergerak kebawah secara pelan dan berhenti pada posisi primer. Pemulihan bisa terjadi spontan atau dengan menutup mata sebelahnya. Besarnya deviasi pada mata yang ditutup bervariasi dan cenderung meningkat dengan penutupan yang lama. Crone menamakan “alternating hyperphoria”. 23% dari pasien ditemukan adanya “head tilt” yang umumnya kearah mata yang fiksasi, head tilt ipsilateral/kontralateral bisa ditemui pada DVD. Umumnya pada pasien DVD terjadi peningkatan ukuran DVD dengan memiringkan kepala kearah kontra lateral, tetapi sebagian terjadi sebaliknya.(Taylor&Hoyt) Penyakit ini biasanya bilateral tetapi bisa unilateral. Kebanyakan pasien DVD bersamaan dengan strabismus tipe lainnya, 59% bersamaan dengan esotropia kongenital, bisa juga bersamaan dg eksotropia ( 8%) Kelainan ini biasanya timbul pada usia 2 – 5 tahun,lebih kurang 1/3 pasien disertai dengan “abnormal head posture”. Insidens 60 -80% dari pasien esotropia kongenital. Helveston mendapatkan 11.1% dari 1000 pasien strabismus atau nistagmus. Wright K.W: mendapatkan DVD 14% dari pasien esotropia dan 8.7% dari pasien eksotropia dan 7.2% dari pasien hipertropia. Etiologi Etiologi yang pasti dari kelainan ini tidak diketahui. bberapa teori tentang ini diantaranya adalah: • Hiperfungsi dari m,rektus superior (White 1933) • “alternating paretic dari depressor”.(Scobee 1974) • Impuls aberan dari pusat batang otak yang mengatur divergen vertical (Bielschowsky 1938) • “deficient optomotor impuls” dari retina inferonasal (Crone 1954) • Hipofungsi dari oblik superior sebagai penyebab DVD.(Helveston 1969)DVD disebabkan oleh kelainan supra nuklear, dan ia menyimpulkan bahwa DVD akibat ketidak seimbangan neurologis yang diduga akibat kelainan pada “vertical vergence center/centers”. (Helveston 1991) Mekanisme dari kelainan ini: 1. Elastisitas yang berlebihan dari otot elevator atau depresor 2. Factor paretik terutama bilateral parese dari otot depresor 3. Ketidak seimbangan antara jumlah inervasi dari masing-masing organ vestibuler 4. Perjalanan jalur visual yang abnormal yang mirip pada pasien albino
73
5. Bielschowsky mengemukakan bahwa DVD disebabkan oleh perangsangan bergantian dan intermiten dari kedua pusat subkortikal yang mengendalikan gerakan vertical divergen mata. 6. Spielman menduga bahwa DVD disebabkan oleh ketidak seimbangan dari stimulasi binokular. Gambaran klinik: • Keluhan, hampir tak pernah menyebabkan keluhan, biasanya teman/orang tuanya melihat matanya yang kelihatan aneh bila ia kelelahan atau ngelamun. • Yang khas adalah mata yang ditutup bergerak keatas secara spontan yang disertai dengan ekstorsi dan abduksi, dan bila mata yang deviasi tsb. kembali ke horizontal tidak disertai oleh gerakan kompensasi dengan arah yang berlawanan dari mata sebelahnya seperti pada tropia vertikal, jadi DVD tidak mengikuti “Hering’s low”. • 50% dari DVD dengan “Bielschosky phenomen”, yaitu mata yang elevasi akan menurun bila sinar pada mata sebelahnya dikurangi, dan sebaliknya bila illuminasi pada mata tsb. dinaikkan maka mata DVD akan bergerak lagi vertikal ( Wood et al). • Bila mata “in attension” ditutup maka mata yang non fiksasi tersebut bergerak pelan keatas, ekstorsi dan abduksi, kemudian akan terjadi “recovery” dengan gerakan refiksasi dg intorsi dan adduksi (Wright). Diferensial diagnosa dengan overaksi dari otot oblik inferior: DVD mesti dibedakan dengan IOOA (“inferior obliq over action”), 1. - Pada DVD mata yang ditutup terjadi elevasi pada posisi primer, pada posisi abduksi maupun adduksi. - Sebaliknya pada IOOA masing-masing mata terjadi elevasi terutama pada adduksi dan tidak pernah pada abduksi, jika tidak bersamaan dengan kontraktur ipsilateral rektus superior. 2. - Pada DVD ditemukan juga pada pasien tanpa overaksi oblik inferior , disamping itu dapat juga pada pasien dengan underaksi oblik inferior dan overaksi oblik superior. 3. - Adanya hipotropia merupakan petunjuk untuk IOOA; 40% pasien DVD bersamaan dengan over aksi oblik inferior. 4. - IOOA sering menyebabkan V pattern - Tidak ada A atau V pattern pada DVD; 5. Efek torsi sering terjadi pada DVD dan pada IOOA tidak terjadi. 6. Bila pasien dengan IOOA berfiksasi dengan mata yang dikenai pada “field action” dari otot tsb.(elevasi dan adduksi) maka maka rektus superior kontra lateral akan under aksi. Sebaliknya pada pasien DVD yang diperiksa dengan cara yang sama underaksi dari yoke muscle kontra lateral tidak terjadi. 7. Pasien dengan overaksi oblik inferior kecepatan fiksasi mata setelah mata sebelahnya ditutup lebih cepat (200 s/d 400 derajat/detik) sedangkan pada DVD lambat (10 s/d 200 derajat/detik) 74
8. Karakteristik dari tonus intorsi dari mata waktu kembali ke posisi primer dari mata DVD waktu kembali dari posisi disosiasi ke posisi primer tidak terjadi pada IOOA. 9. Pada hiper/hipotropia, mata akan bergerak keatas bila mata kiri fiksasi dan mata kiri akan bergerak kebawah bila mata kanan fiksasi, pada DVD kedua mata akan bergerak keatas bila salah saytu mata ditutup. 10. Posisi kepala pada DVD berbeda/berlawanan dg IOOA dimana pada IOOA “head tilt” terjadi kearah/kepihak mata yang overaksi, sedangkan pada DVD kearah berlawanan dari mata yang DVD untuk mengurangi besar DVDnya (Santiago A) Diagnosa DVD akan lebih sulit jika bersamaan dengan kelainan siklo vertical.
2.
Terapi Pada pasien tanpa keluhan/diplopia umumnya pengobatan cenderung bersikap pasif. 1. Koreksi kelainan refraksi, karena penglihatan yang kabur akan memunculkan/eksaserbasi DVD, sebaliknya dengan mengaburkan “fellow eye” bisa mengurangi DVD(Guyton 1988, ) Terapi operasi ditujukan terutama untuk alasan kosmetik: Prosedur yang dipakai bervariasi dari masing-masing ahli antaranya adalah: 1. “Unconvensional large recess” (7 – 10 mm) , dari rektus superior 2. Reses rektus superior dikombinasi dengan resek rektus inferior “Recurren” jarang terjadi bila dilakukan “unconvensional large recession” kedua rektus superior dengan resek rektus inferior 4 – 5 mm. Angka keberhasilan dengan cara ini mencapai 92% Pada DVD tanpa overaksi oblik inferior, reses rektus superior merupakan operasi pilihan. (Taylor&Hoyt) 3. Resek kedua inferior rektus Von Noorden melakukan reses kedua superior rektus 7 – 9 mm . Cara ini berhasil mengobati secara kosmetik pada 72% pasien dengan waktu follow up 3 tahun. Biasanya kalau kelainan satu mata dioperasi juga pada satu mata (ada yang melakukan operasi pada kedua mata walau kelainan pada satu mata) 4. “Retroequatorial myopexi (posterior fixation)” dari kedua rektus superior dikombinasi/tanapa kombinasi dengan recess otot tsb. Dilakukan reses 4 – 5 mm rektus superior dikombinasi dengan “retroequatorial myopexy” 12 – 15 mm dibelakang insersi. 5. ”Anterior displacement” dari insersi oblik inferior (sampai level insersi rektus inferior, dipinggir/batas temporal dari insersi rektus inferior tsb.( Egber JE) 6. Wood’s: melakukan Faden suture dengan / tanpa reses rektus superior, “large recess” kedua rektus superior 7 – 9 mm walaupun kelainannya unilateral. (Wright KW) Operasi pada oblik superior : reseksi tendon oblik superior dikombinasi dengan reses oblik inferior , atau tucking oblik superior (Kushner). 75
7. Snir et al, melakukan operasi resek dan “anterior transposition” dari oblik inferior 1 mm dari pinggir/batas temporal rektus inferior disertai dengan “anterior transposition” saja pada mata sebelahnya. Besar resek adalah 3 mm untuk hipertropia 0-10 prisma, 5 mm untuk deviasi 11-20 prisma, hasil: 67% hsl baik/ residual DVD 2 -4 prisma dalam kontrol 14-20 bulan, alasan dilakukan resek oblik inferior karena IO akan berobah fungsinya dari elevator menjadi depresor karena ligament Lockwood menjadi titik fungsional baru dari IO, sehingga kontraksi dari IO distal dari tempat melekat dg inferior rektus melalui Lig. Lockwood akan menyebabkan efek depresor.
XII.“PRIMARY INFERIOR OBLIQ OVERACTION“ “UPSHOOT IN ADDUCTION (STRABISMUS SURSOADDUCTORIUS)” Overaksi IO primer umumnya timbul pada usia 1 – 6 tahun, sering berhubungan dengan esotropia kongenital. Tapi bisa juga bersamaan dengan eksotropia ataupun tanpa strabismus. Pada pasien dengan IOOA primer, “head tilt test” negatif. Etiologi Penyebab pasti kelainan ini tidak diketahui, pada tipe ini over aksi ini mungkin berupa mekanikal, innervasional atau keduanya. Duane mengemukakan bahwa upshoot dalam adduksi ini normal karena aksi IO lebih besar dari aksi SO dalam keadaan adduksi. Guibor, mengemukakan bahwa IOOA disebabkan sinkinesis antara impuls pada IO dan MR dari saraf pusat. Pada beberapa kasus ditemukan paresis yang amat ringan dari SO. 30% dari kelainan ini merupakan bagian dari “congenital esotropia syndrome”. Gejala klinik 1. Terdapat upshoot yang nyata pada mata yang adduksi pada waktu gerakan versi. 2. Terdapat V Pattern (terjadi abduksi waktu up gaze) 3. Pada pemeriksaan funduskopi terlihat adanya eksikloduksi. 4. Kelainan ini kebanyakan bilateral, tetapi dapat juga terjadi unilateral. Pada yang bilateral terjadi hipertropia mata kiri waktu dekstroversi dan sebaliknya waktu levoversi terjadi hipertropia mata kanan. 76
Bielshowsky test negatif, sedangkan pada overaksi sekunder akibat paralisis otot SO ipsilateral maka Bielskowsky head tilt akan positif . DD Gejala klinik IOOA V Pattern Head tilt test Torsi subjektif
Overaksi IO primer ada ada Negatif Tidak ada
Ekstorsi objektif (pemeriksaan fundus) Underaksi SO ipsilateral
ada Tidak ada/minimal
DD Elevasi
IOOA Terjadi waktu adduksi
V Pattern Hipertropia Aksi SO Hering’s low Nistagmus laten Pseudo paresis kontralateral. Torsion efek Gerakan refiksasi “Alternate cover test” Miring kepala Bielschowsky phenomen
Ada V Pattern Terlihat waktu adduksi Biasanya under aksi Mengikuti Hering’s low Biasanya (-) Ada Tidak ada Cepat (200-400 derjt/sec Mata sebelah turun Kearah mata yg fiksasi Negatif
Overaksi IO sekunder ada ada Positif Ada (kecuali pada parese sekunder SO kongenital) ada ada
DVD Elevasi terjadi juga waktu abduksi (terjadi pada mata yg ditutup) Tidak ada Biasanya tidak ada Bisa over aksi Tidak mengikuti Sering (+) Tidak ada Sering terjadi torsion efek Lambat (10 -200 drjt/sec) Tidak turun Kearah mata yg DVD (ditutup) Biasanya positif
Kadang-kadang DVD bersamaan dengan IOOA, kalau ini terjadi maka akan sulit untuk membedakannya. Seleksi pasien untuk operasi Dalam melakukan operasi pasien dengan overaksi IO diklassifikasi atas grade 1 – 4: Grade I: 1 mm elevasi mata yang adduksi (A) Grade II; 2 mm ,, ,, ,, (B) Grade III: 3 mm ,, ,, ,, (C) Grade IV : 4 mm ,, ,, ,, (D) 77
Gambar 54.
Penatalaksanaan Pengobatan dengan melemahkan IO: • Reses, disinsersi atau miektomi. • “Anteriorization/ anterior displacement” . Tehnik operasi pada IOOA dilakukan sesuai dengan derajat overaksinya: Derajat overaksi Tehnik operasi _________________________________________________________________
+1 +2
- Resesi (kecil) - Resesi (besar) - Miektomi +3 - Resesi dengan “partial anteriorization” - Miektomi +4 - “Full anteriorization” ( operasi bilateral ) - Eksterpasi/denervasi - Miektomi Reses + “anteriorization” IO merupakan cara yang efektif untuk operasi IOOA. Dasar dari operasi ini adalah dengan “anteriorization” insersi IO akan memperbesar efek dari reses. I.
Cara Operasi pada overaksi Oblik Inferior Grade I: 1 mm elevasi mata yang adduksi operasi, reses IO, 8 – 10 mm (reses 10 mm adalah reinsersi IO pada 2 mm temporal dan 3 mm posterior dari pinggir lateral IR) Grade II; 2 mm elevasi mata yang adduksi operasi, miektomi IO Miektomi dilakukan dengan Memotong sepanjang 8 mm, Dipotong pada dekat insersi IO Dan satu lagi dekat pinggir temporal IR.
78
Gambar 55.
Grade III: 3 mm elevasi mata yang adduksi operasi, Eksterpasi IO + miektomi dari IO sampai pada tempat saraf masuk otot . IO dipotong kearah origo sampai tempat saraf masuk ke otot dan sampai di insersi.
Gambar 56.
Grade IV : 4 mm elevasi mata yang adduksi
melakukan denervasi s.d.a + “anteropositioning” tendon IO. Dengan “guide line” ini hasil operasi lebih bisa diperkirakan. II.
“Graded Recession – Anteriorization” Overaksi “IO placement” +1 4 mm posterior dan 2 mm lateral dari insersi IR +2 3 – 4 mm posterior dari insersi IR +3 1 – 2 mm posterior dari insersi IR +4 di insersi IR GAMBAR :
79
Gambar 57.
III. Exterpasi/Denervasi Inferior Oblik Dilakukan pada keadaan overaksi yang ektrim atau operasi dengan miektomi atau anteriorization tidak berhasil. Komplikasi operasi IO: • “Residual overaction/ recuren overaction”. • “Fat adheren syndrome”, terjadi karena kerusakan kapsula Tenon • “Anterior orbital hemorrhage”, kerusakan macula, dll.
80
XIII.“PRIMARY SUPERIOR OBLIQ OVERACTION” Etiologi Etiologi dari “primary SO overaction” tidak diketahui Mungkin berhubungan dengan parese inferior oblik, atau bisa disebabkan parese rektus Inferior kontra lateral yang menyebabkan “yoke muscle” nya oblik superior jadi overaksi. Gambaran klinik • “Downshoot” dari mata yang adduksi pada waktu melakukan versi • A-Pattern (divergen waktu down gaze) . • Hypotropia pada posisi primer (sering terjadi pada over aksi SO unilateral.) • Bila berhubungan dengan strabismus horizontal sering bersamaan dengan eksotropia. Differensial Diagnosa • Brown Syndrom, - Pada over aksi SO hipertropia lebih besar waktu down gaze sedang pada Brown syndrome hipertropia lebih besar waktu up gaze (karena mata dengan Brown syndrome terjadi restriksi) - Pada Brown syndrome terdapat Y Pattern dan SO overaction Lambda Pattern • Parese oblik Inferior - Pada parese oblik inferior (jarang terjadi), head tilt test positif. Management 81
A. •
•
Operasi dilakukan bila: • Overaksi +2 atau lebih • A Pattern yang nyata • Bila bersamaan dengan strabismus horizontal dilakukan operasi bersama dengan operasi horizontalnya. • Unilateral SO dengan deviasi vertikal yang nyata: Dengan deviasi kurang 8 PD dilakukan pelemahan SO dengan tenotomi, tenektomi atau silikon ekspander • Management over aksi SO : Over aksi SO unilateral Opsi 1: Tenotomi SO ipsilateral dengan silikon expander (lebih disukai) Patokan untuk silikon expander: Over aksi SO Panjang silikon +1 4 mm +2 5 mm +3 6 mm +4 7 mm Opsi 2: Tenotomi SO ipsilateral saja. Tenotomi SO memberikan koreksi terhadap deviasi horizontal lebih kurang 15 – 20 PD dan mengoreksi Pattern lebih kurang 40 – 45 PD.
Gambar 58.
B.
Overaksi SO bilateral • Opsi 1: tenotomi SO bilateral dengan silikon expander 82
Dilakukan pada pasien dengan fusi dan stereoskopik yang baik. - Keuntungannya: integritas fungsi tendon tetap terpelihara - Operasi ulangan mudah dilakukan karena kedua ujung tendon telah terpotang (cara ini dianggap lebih baik) • Opsi 2: Tenotomi SO bilateral saja. Ini harus dilakukan hati-hati pada pasien dengan fusi dan stereoskopik yang baik, karena bisa menyebabkan parese SO bilateral yang menimbulkan diplopia siklovertikal dan horizontal dan gangguan pada downgaze. Tenotomi dilakukan nasal dari SR, karena tenotomi pada bagian temporal efeknya minimal, karena tendon SO terselip antara SR dan sklera. C.
Resesi SO, dengan ini lebih bisa mengontrol besar deviasi dengan besarnya reses. Ukuran reses sesuai dengan besarnya deviasi berdasarkan standard dari Caldeira J.A.F. Reses 4 mm dari insersi tidak ada efek Reses selanjutnya memberikan efek koreksi 2 PD tiap mm reses. Reses 12 mm memberikan efek koreksi masing-masing satu otot: (12mm – 4 mm) x 2 PD = 16 PD, Reses kedua otot 12 mm maka efek koreksi 2 x 16 PD = 32 PD. Komplikasi: • “Residual SO overaction” • “SO palsy”
Gambar 59.
83
Caldeira C.A.F melakukan operasi dengan cara ini dan mendapatkan hasil, overkoreksi 13 pasien dan underkoreksi 5 pasien.
Komplikasi: “Residual SO overaction” “SO palsy”
XIV.“SUPERIOR OBLIQ PARALYTIC“ (SOP) Paralise SO merupakan strabismus paralitik yang terbanyak ditemukan akibat “isolated cranial nerve palsy) Etiologi: Dari satu studi dengan 270 pasien paralise SO didapatkan: • Kongenital 39.5% • Trauma 34% • Idiopatik 23.2% • Neurologis 2.9% Penyebab lain adalah iskemia yang dapat terjadi akibat hipertensi dan diabetes, dan bisa juga disertai dengan penyebab dasar dari aneurisma intra sinus kavernsus . Tetapi dari praktek neuro oftalmologi didapatkan laporan bahwa trauma dan kelainan vaskular merupakan penyebab terbanyak terutama trauma tumpul ringan pada kepala tanpa kehilangan kesadaran yang mengenai langsung trochlea, dan kelainan kongenital jarang dilaporkan. Helveston dkk, mengemukakan terdapat perbedaan antara tendon SO pada paralitik kongenital dan paralitik yang didapat, dimana pada paralise SO kongenital tendonnya berlebihan atau insersi posteriornya abnormal, dan tendonnya lebih kenyal dan mudah dilakukan operasi, sedangkan pada yang didapat tendon lebih kaku sehingga tuck sepanjang 6 – 8 mm sulit dilakukan. Oleh karena itu dia menyimpulkan paralise SO kongenital lebih disebabkan kelainan strukturan dari pada kelainan neurologist. 84
Gambaran klinis • Keluhan biasanya berupa astenopia, diplopia vertikal , objek yang dilihat terlihat miring dan bisa terdapat kelainan posisi kepala. • Terdapat hipertropia yang biasanya meningkat bila mata yang dikenai melihat kenasal. (karena adanya overaksi IO). • Pemeriksaan “head tilt test” penting untuk membedakan dengan paralise rektus inferior (IR) mata lainnya Dengan memiringkan kepala kekanan, deviasi vertikal oleh gerakan elevasi oleh SR kanan tidak ada halangan oleh SO kanan. • Kepala miring kearah bahu yang berlawanan dengan sisi yang non paralise • Terdapat "hin depression” • Pada “cardinal gaze” akan terlihat gerakan kearah cardinal gazenya berkurang/hilang. • Terdapat V Pattern. • Pada paralise bilateral , ditemukan hipertropia kanan waktu gaze kekiri dan hipertropia kiri waktu gaze kekanan disertai dengan “positif head tilt test”, dan disertai V pattern yang signifikan (>15 prisma). • SOP kongenital dibedakan dengan SOP yang didapat sbb: - Pada yang kongenital biasanya tak ada riwayat trauma, yang didapat sering didahului trauma. - Head tiltnya lebih besar dari yang didapat dan juga terjadi sejak kecil (“long standing”). - Pada SOP kongenital sering terdapat asimetri dari muka (muka yang dikenai lebih penuh/berisi) - Pada yang kongenital jarang ada keluhan diplopia - Pada SOP dengan tanpa tendon SO sering disertai dengan strabismus horizontal dan ambliopia. Posisi mata pada foto 9 posisi, pada Parese SO kanan
85
Gambar 60.
Pada posisi primer (661,662): Fiksasi – dengan mata baik/kiri (661): - mata yang dikenai up ward/hipertropia - mata parese/kanan (deviasi sekunder/662) - mata non parese downward/hipotropia
Posisi melihat keatas dan kebawah (658,665): juga terdapat upward mata parese Posisi kanan atas(657) normal Posisi kekanan(660) normal Posisi kanan bawah(664) normal, sedikit overaksi IR ipsilateral Posisi kiri atas (659): - hipertropia mata kanan (parese lebih menonjol) Posisi kekiri (663) Hipertropia mata parese Posisi kiri bawah (666) Gerakan mata parese sangat terbatas kekiri dan bawah
`Possi kepala pada parese SO Otot parese Kepala mutar (turn) • A R.S.O KIRI KIRI • B L.S.O KANAN KANAN
Kepala miring(tilt) Posisi dagu (Chin) CHIN DOWN CHIN DOWN
Gambar 61.
Penatalaksanaan: • Reseksi SO Otot SO yang di resek lebih baik pada tendon bagian proksimal Rektus superior ditarik kemedial kemudian tendon diisolasi melalui insersinya kemudian otot ditarik dan dipasang jahitan pada 6 – 10 mm dari insersinya kemudian pasang hemostat beberapa mm dari jahitan, kemudian otot dipotong antara hemostat dan jahitan. Kemudian ujung proksimal otot dijahitkan keinsersinya. Kemudian otot yang bagian distal dipotaong lebih kurang 6 – 10 mm(tergantung kebutuhan).
86
Gambar 62
•
SO Tuck Incisi dibuat dari pinggir lateral insersi SR Kearah lateral parallel dengan limbus. Kemudian otot SO diidetifikasi, kemudian tendon ditarik dengan hook kedalam tucker Kemudian otot dijepit melalui tucker (otot yang di tuck dijahit sepanjang yang dibutuhkan, biasanya antara 6 – 15 mm tergantung dari laksiti dari otot). Kemudian jahitan kedua dipasang pada ujung lipatan otot untuk mengamankan tuck.
Gambar 63.
•
Harada Ito Procedure Managemen dari parese SO
Gambaran Klinik
l
Prosedur
87
Overaksi IO Unilateral
• •
l
Hiperdeviasi pada posisi primer 12 PD
l
Bilateral asimetris (“masked bilateral)
“Melemahkan IO (“graded anteriorization”). “Melemahkan IO ipsilateral dengan reses IR kontra l lateral. l
•
Hiperdeviasi pada posisi primer < 8 PD dengan overaksi IO asimetri
l
•
Hiperdeviasi pada posisi primer > 8 PD dengan overaksi IO asimetris
l
•
Ekstorsi > 8 derajat bertambah waktu l Bilateral Harada –Ito. Bila terdapat hiperde down gaze, l viasi kecil, dilakukan Harada Ito asimetri pada Minimal hipertropia, < 5 PD dengan l tendon SO dari sisi yang hipertropia V Pattern kecil, minimal overaksi IO l dan underaksi SO l _________________________________________________________________________________________ _
“Graded – recessions” dengan anteriorisasi yang lebih l besar dari IO pada sisi yang hiperdeviasi. l Ditambah l “Harada-Ito pada sisi yang hper deviasi (jika terdapat l head tilt yang besar), atau reses IR pada sisi yang l berlawanan dengan hiperdeviasi) _________________________________________________________________________________________ _ “Recovered Bilateral” (“pure exyclodiplopia” > 8 derajat
“Bilateral severe (no significan hypertropia)”
•
“Graded – Recessions” IO asimetris l (1mm dibelakang IR yang dikenai 4 mm dibelakang sisi l yang tersembunyi)
l
Arrow pattern (>15PD of esotropia in down l Tucking tendon SO bilateral, pada parese Yng berat Gaze), > 15 derajat of extorsion in primary l dan bilateral Harada-Ito pada parese yang ringan) Position increasing in downgaze. Reversing l ditambah Hypertropia in side gaze and SO l Transposisi inferior rektus medial bilateral ½ lebar Underaction l tendon. Dikutip dari Wright K.W. (Atlas Strabismus surgery)
Prinisp prosedur Harada-Ito Dasar pemikiran, secara fungsional SO dibagi atas 1/3 anterior yang berfungsi sebagai intorsi dan 2/3 posterior berfungsi sebagai depresi dan abduksi. Cara ini terdiri dari mengencangkan 1/4 - 1/3 nya tendon SO. Dengan ini akan menyebabkan terjadi intorsi, sedikit depresi dan abduksi dari mata. Cara ini terutama ditujukan untuk mengoreksi ekstorsi dan mengoreksi hipertropia lebih kurang 5 PD. Bilateral Harada – Ito mengoreksi 5 – 10 PD dari V Pattern. Tehnik: SO diisolasi melalui insisi forniks. Serat anterior diisolasi muscle hook, kemudian lebih kurang seperempat lebar tendon (lebih kurang 4 mm) dipisahkan dan dipotong kemudian 88
diinsersikan keanterior dan lateral lebih kurang 8 mm posterior batas atas insersi lateral rektus. (lateralisasi ini menyebakan efek intorsi dan mengoreksi ekstorsi).
Gambar 63.
XV.“INFERIOR OBLIQ PARALYTIC” Etiologi: Kelainan ini jarang ditemui dan penyebab pasti tidak diketahui: • Kongenital. Pada yang kongenital berhubungan dengan “large hypotropia” pada posisi primer. • Didapat, - Kerusakan pada cabang inferior NIII yang mensarafi IO (jarang terjadi), bisa akibat trauma dan infeksi virus. - Parese IO sekunder dari kelainan CNS labih jarang lagi, ada laporan parese IO akibat lesi pada midbrain. 89
Gambaran klinik: • Keluhan adanya diplopia • Terbatasnya elevasi waktu adduksi (seperti Brown Syndrom) • Over aksi SO A Pattern • Hipotropia pada sisi yang parese/hipertropia sekunder mata kanan • “Force duction test” negatif • “ Positif head tilt test”. • Kepala miring ke sisi yang berlawanan otot yang parese Diagnosa: • “Three step test” Deviasi vertikal mata kanan bertambah dengan memiringkan kepala kekiri dan gerakan mata kanan kebawah oleh IR kanan tidak ada hambatan oleh IO kanan. • Tidak mampu elevasi waktu adduksi (mirip Brown syndrome) • Kepala miring menjauhi mata parese • “Maddox rod test”, terdapat intorsi Posisi mata pada foto 9 posisi, pada Parese IO kanan
Gambar 65.
Pada posisi primer (676,677): Fiksasi – dengan mata baik /kiri (676): - mata yang dikenai downward/hipotropia - mata parese/kanan (deviasi sekunder 677) - mata non parese upward/hipertropia Posisi melihat keatas dan kebawah (673,680): juga terdapat downward mata parese Posisi kanan atas(672) normal, dengan sedikit overaksi SR ipsilateral Posisi kekanan(675) normal Posisi kanan bawah(679) normal Posisi kiri atas (674):
hipotropia mata kanan lebih menonjol/upshoot mata kiri karena overaksi SR kontra lateral 90
Posisi kekiri (678) Hipertropia mata kiri (non parese) Posisi kiri bawah (681) Gerakan mata non parese sangat terbatas kekiri dan bawah karena kelemahan IR kontralateral (=overksi SO ipsilateral). Possi kepala pada parese IO Otot parese Kepala mutar(turn) (Chin) • A R.I.O KIRI • B L.I.O KANAN
Kepala miring(tilt) KANAN KIRI
Gambar 66.
DD: • • • • •
Over aksi SO disini “three step test” negatif Brown syndrome Graves desease Orbital blow out fracture Double elevator palsy
Penatalaksanaan: Non operatif : Dilakukan untuk mengatasi diplopia deviasi vertical pada posisi primer. Setelah parese lebih 6 bulan dilakukan operasi. Terapi operatif Indikasi operasi ialah bila: • Terdapat kelainan posisi kepala • Terdapat deviasi vertical pada posisi primer • Diplopia 91
Posisi dagu CHIN UP CHIN UP
Jenis operasi pada parese IO: • Pelemahan SO ipsilateral (biasanya bersamaan dengan over aksi SO) dengan silikon expander • Reses SR kontra lateral • Reseksi IR kontra lateral Hipotropia < 8 – 10 PD pada posisi primer: • Ipsilateral SO “silicone tendon expander” 5 – 6 mm atau • SO tenotomi Hipotropia > 10 PD pada posisi primer: • “Ipsilateral SO silicon tendon expander” (6 – 7 mm) dengan reses SR kontra lateral atau • Tenotomi SO dengan reses SR kontra lateral DIAGNOSA DEVIASI VERTIKAL Hubungan parese otot dengan posisi kepala: Otot parese Turn/mutar Tilit/miring Posisi dagu ______________________________________________________________
• • • • • • • • • • • • • • •
R.S.R R.I.R L.S.R LI.R R.S.R R.I.R L.S.R LI.R R.S.O R.I.O L.S.O L.I.O R.I.O L.S.O L.I.O
keKANAN keKANAN KIRI KIRI keKANAN keKANAN KIRI KIRI KIRI KIRI KANAN KANAN KIRI KANAN KANAN
KIRI KANAN KANAN KIRI KIRI KANAN KANAN KIRI KIRI KANAN KANAN KIRI KANAN KANAN KIRI
CHIN UP CHIN DOWN CHIN UP CHIN DOWN CHIN UP CHIN DOWN CHIN UP CHIN DOWN CHIN DOWN CHIN UP CHIN DOWN CHIN UP CHIN UP CHIN DOWN CHIN UP
KELUMPUHAN KEDUA OTOT ELEVATOR (“DOUBLE ELEVATOR PALSY”) 92
Istilah double “elevator palsy” berarti parese otot oblik inferior dan rektus superior dengan gambaran/manifestasi ketidak mampuan untuk elevasi pada segala posisi dari gaze. Belakangan kelainan ini dinamakan Defisiensi Elevasi Monokulre (Monocular Elevator Defisiency = MED”) karena otot rektus superior mempunyai tugas utama terhadap rotasi bola mata keatas dan kegagalan ini dihasilkan hanya oleh factor rektus superior saja tanpa melibatkan otot oblik inferior. Kegagalan gerakan up gaze secara unilateral juga bisa disebabkan oleh restriksi pada rektus inferior. Kelainan ini biasanya bersifat kongenital, tetapi dilaporkan adanya kasus didapat yang disebabkan oleh lesi didaerah pretektal dari midbrain. Insidens yang pasti tidak diketahui. Scott dan Jackson melaporkan 15 kasus selama 5 tahun dan Wright melaporkan 34 kasus selama 10 tahun. Kelainan ini sering bersamaan dengan ptosis kiongenital, Sevel mendapatkan 25% kelainan ini dari 100 kasus ptosis kongenial. Pratt et al mendapatkan 48% dari 71 kasus ptosis kongenital.
Gambaran klinik: • Ketidak mampuan untuk elevasi dari mata yang parese pada semua posisi (posisi primer, posisi abduksi maupun pada posisi adduksi). Namun elevasi waktu posisi abduksi sering lebih berat dari dari pada elevasi pada posisi primer, dan gangguan elevasi ini berkurang pada posisi adduksi (berlawanan dengan Brown’s sindrom), tetapi Scott mengatakan elevasi waktu adduksi lebih berat. • Duksi pada posis lainnya biasanya normal. • Hipotropia ipsilateral sampai 35 PD dijumpai pada 60 – 100% kasus. • Pada keadaan yang jarang terjadi, mata berfiksasi dengan mata yang parese maka akan terjadi hipertropia yang berlebihan dari mata yang sehat. 93
• • • • •
Posisi kepala biasanya tengadah (Chin elevasion). Ptosis 50 – 60% (disertai penomena Marcus Gunn Jaw-Winking pada 1/3 dari kasus dengan ptosis ini) Terdapat strabismus horizontal pada 50 60% kasus. Ambliopia ditemukan 33 – 50% “Bell’s Phenomen” 73% (Scott)
Etiologi (dibagi 3 berdasar tipe dasar penyebab): • Tipe I: - Defisiensi elevasi sekunder dari parese otot elevator. - “Force duction test” : tidak ada restriksi - “Force generation” dan “saccadic velocity” paralel dengan parese rektus superior. - Ptosis dan hipotropia ipsilateral - Bell’s phenomen (bila terdapat lesi supra nuclear). - Bisa terdapat tidak adanya m.rektus superior yang ditandai tidak bisa up gaze pada seluruh posisi horizontal (posisi abduksi, primer dan adduksi, karena rektus superior merupakan major velevator), sedangkan pada parese oblik inferior tidak terjadi parese elevasi pada seluruh gaze • Tipe II: Disebabkan restriksi dari rektus inferior, ini merupakan yang lebih sering ditemui. Metz mendapatkan bukti adanya restriksi ini tanpa kelemahan elevator pada 73% kasus yang bisa merupakan satu bentuk dari sindroma fibrosis umum. Force duction test: terdapat restriksi Sccadic velocity test : normal Hipotropia bisa ada dan mungkin tidak ada. Ptosis: biasanya tidak ada. • Tipe III Penyakit yang menyebabkan parese lama dengan kontraktur rektus inferior ipsilateral sekunder. Force duction test: restriksi positif Saccadic velocity waktu up gaze: lambat. Ptosis mungkin ada. Fiksasi dengan mata dengan mata sehat Chin up (kompensasi) Terapi: Operasi tidak dilakukan bila tidak terdapat vertical strabismus. • Hipotropia ipsilateral dan restriksi rektus inferior yang menyebabkan terbatasnya elevasi dilakukan reses, bila terdapat elevasi pasif 20 – 25 derajat. Reses rektus inferior sebanyak 6, 7 atau 8 mm tergantung besar deviasinya. • Hipotropia karena parese rektus superior (force duction tes negative) Reses ipsilateral rektus inferior + memisahkan ½ tendon rektus medial dan rektus lateral ke rektus superior (Hummelscheim vertical)
94
XVI.“DUANE RETRACTION SYNDROM”
95
Gambar 67. Karakterisrik • Retraksi global primer dari orbita • Defisiensi kongenital dari gerakan otot horizontal • Penyempitan fissura palpebra Dilaporkan oleh Stilling 1887; Turk 1896; Duane 1905. Lebih sering ditemui pada wanita Sering unilateral (kiri dikenai 79.9%) dan pada kasus bilateral mungkin ikut dikenai N VII. Insidens DRS, Kirkhan (Park): • 1% dari pasien strabismus • Mata kiri 60% • Mata kanan 22% • Bilateral 18% • Wanita : laki2 = 3 : 2 Gambaran klinis: • Pengurangan atau tak ada sama sekali abduksi • Adduksi yang terbatas dengan kelemahan konvergensi • Retraksi bola mata waktu adduksi • Penyempitan fissura palpebra waktu adduksi dan melebar waktu abduksi • Upshoot mata yang dikenai waktu adduksi • Sering ada esotropia pada posisi primer • Kelainan ini sering berhubungan dengan kelainan mata lain spt: - Anisometropia, nystagmus, ptosis, keratokonus - persisten hyaloid arteri, koloboma choroid, distichiais, - crocodail ears, displasia stroma iris, pupillary anomali, - cataract, heterochromia, microphthalmus, optic nerve hipoplasia, - morning glory syndrom, Marcus Gunn phenomen. • Sering pula berhubungan dengan kelainan sistemik spt: - Goldenhar’s syndrom, Klippel Feil syndrom 96
-
Vertebral collum anomali, Fascial anomali, Rib anomali Sensory neural hearing loss, malformation of external ear, CNS disorder, genito urinary anomali, Anomali of the limbs, feet, and hands.
Upshoot dan down shoot • Terjadinya “bridle efek” (terjadinya deviasi vertikal akibat kontraksi otot horizontal) menyebabkan “center of rotation” sedikit tergeser kearah vertikal pada waktu kontraksi otot horizontal, otot oblik menggantikan efek abduksi dari rectus lateral sebagai kompensasi. (VonNoorden) • Over aksi dari otot vertikal yang berfungsi untuk kompensasi rektus medial sebagai adduktor (Parker) • Karena adanya perlekatan pada N.Optikus yang berfungsi sebagai dataran yang menahan waktu retraksi akan mendorong bola mata vertikal.(Wolf) Retraksi bola mata pada DRS • Terjadi karena fikasi bola mata pada jaringan non elastik rektus lateral. (Turk) • Ahli lain, mendapatkan adanya jaringan fibro non elastis pada rektus lateral atau “fibrous band” dibawah insersi otot. • Karena terjadinya kokontraksi dari otot rektus horizontal (Breinin) Teori penyebab: • “Congenital aplasia” atau “fibrous degeneration” dari otot rektus • Insersi abnormal/kekakuan dari otot rektus internus atau defisiensi ligament pada pipi. • Mengenai Nucleus dari saraf otak, baik struktural maupun innervasional akibat suatu kelainan innervasional dari brain stem dimana m. rektus laterat sebagian disarafi oleh cabang N.III. • Disamping itu juga diduga DRS disebabkan oleh “ocular miswiring”. Pada pemeriksaan EMG memperlihatkan aktifasi dari kedua otot horizontal (medial dan lateral) pada waktu adduksi.. • Pendapat lain mengatakan mungkin ada nya serat saraf rektus medial aberant yang mensarafi rektus lateral dan sebaliknya • Rektus medial mungkin menerima aberant innervation, tetapi kelainan inervasi perifir mungkin sekunder atau bersamaan dengan kelainan brainstem • Kelainan innervasi rektus lateral dengan cabang N III kemungkinan yang menyebabkan duksi • horizontal abnormal pada ke 3 subgrup DRS.
97
•
-
-
Pada DRS tipe I abduksi terbatas disebabkan karena rektus lateral menerima persarafan dari N III dan “defisien inerfasi” dari N VI. yang menyebabkab pembatasan/tidak ada abduksi - Limitasi adduksi dan aktifitas EMG paradoxal pada rektus lateral pada DRS tipe II juga dapat diterangkan dengan “dual innervasion” dari otot ini. Pada DRS tipe III (kegagalan abduksi dan adduksi) disebabkan karena tidak ada inervasi dari N VI dan N III mensuplai kedua otot rektus medial dan lateral.
Duane tipe I • Tidak ada abduksi • Normal/retriksi adduksi yang berhubungan dengan retraksi bola mata • Penyempitan fissura palpebra dan retraksi waktu adduksi dan pelebaran fissura waktu abduksi. • EMG:tidak ada aktifitas listrik pada rektus lateral waktu abduksi dan paradoks aktifitas listrik waktu adduksi. Duane tipe II • Terbatas/absen adduksi dengan eksotropia dan abduksi normal/sedikit terbatas • Penyempitan fissura/retraksi bola mata waktu adduksi • EMG: aktifitas listrik dengan kontraksi rektus lateral waktu abduksi dan adduksi Duane tipe III • Pembatasan yang hebat baik abduksi maupun adduksi • Retraksi waktu adduksi • Dengan ekso atau esotropia minimal atau hampir ortoforia • Pelebaran fissura palpebra waktu abduksi • EMG: kokontraksi otot rektus horizontal waktu abduksi da adduksi Terapi : • Tidak ada, jika tidak ada kelainan posisi kepala, karena tidak mengoreksi kelainan innervasi • Indikasi operasi pada DRS: (Kwan et al) - Untuk mengoreksi “face turn” - “Secunder upshoot/downshoot” - Deviasi yang cukup besar (secara kosmetik) Dengan reses rektus medial (minimal 2-4 mm) untuk menghilangkan “face turn”. Patokan jumlah reses ditentukan secara klinis oleh rotasinya, makin banyak adduksi berkurang, makin nyata kokontraksi rektus lateral waktu adduksi makin sedikit reses rektus medial dilakukan dan sebaliknya. 98
• • •
Makin terbatas abduksi, m.rektus lateral tidak menarik bola mata waktu abduksi makin banyak reses rektus medial dilakukan dan sebaliknya. Reses rektus lateral pada Duane dengan Ekso dilakukan sebanyak 6-8 mm Pada upshoot/downshoot reses mungkin dilakukan pada satu atau kedua mata. Kalau ada overshoot dilakukan “posterior fixation suture” pada rektus lateral 16 mm posterior dari insersi. Pada tipe III: dilakukan reses rektus lateral 8mm dan reses rektus medial 6 mm (Faden tidak dilakukan karena ada retraksi waktu “forced duction test” (dilakukan pada yang neurogenik) (Von Noorden)
99
XVII.SINDROMA BROWN
Gambar 68.
Kelainan dasar pada Sindroma Brown adalah ketidak mampuan m. oblik superior untuk memanjang (meningkatkan jarak) antara trochlea dan insersi dari m. oblik superior. Dalam keadaan normal pada waktu mata adduksi jarak antara trochlea dan insersi m.oblik superior bertambah dan mata akan bisa bergerak keatas waktu adduksi, tetapi pada keadaan tendon m.oblik superior tegang/inslastis jarak ini tidak bisa bertambah dan akan menyebabkan restriksi elevasi pada waktu adduksi. Insidens : 1 : 430 – 450 kasus strabismus (1 : 20.000 kelahiran) Bilaterat 10% Etiologi : Dulu diduga hanya karena “tendon sheath” SO yang pendek Belakangan ternyata juga ditemukan kelainan pada tendon, trochlea dan jaringan sekitarnya. Sindroma Brown kongenital: Penyebab pasti tak diketahui, jelas terdapat : • Kelainan dari tendon SO (termasuk tendon yang pendek, elastisitas tendon yang berkurang, penebalan dari tendon, atau adhesi fibrous dari tendon). • Kelainan dari “tendon sheath” (sarung otot yang pendek atau kencang) • Kelainan pada trochlea atau “Tendon-Trochlea Complex Abnormalities” Kelainan pada tendon dan trochlea yang menyebabkan /hambatan lewatnya tendon melalui trochlea. Sindroma Brown yang didapat disebabkan : • “Iatrogenic” (tuck SO, scleral buckling, glaucoma valve surgery, sinus surgery) • Proses peradangan atau infeksi daerah trochlea (Rheumatoid, SLE, Sjogren Syndrome,Graves ophthalmopathy,sinusitis), dapat menimbulkan Syndroma Brown yang didapat, terutama intermitten atau “click syndrome” • Trauma
100
Gambaran klinis : Gambaran klinis yang harus ada: 1. Kekurang mampuan elevasi waktu adduksi.. 2. Elevasi juga berkurang pada “midline”. 3. Elevasi sedikit atau tidak ada pada posisi abduksi. 4. Overaksi SO tidak ada atau minimal. 5. V-pattern dengan divergen waktu up gaze. 6. Terdapat restriksi pada :forced ductions test” Gambaran klinis tambahan: 7. Down shoot or hypotropia waktu adduction 8. Pelebaran fissure palpebra waktu adduksi. 9. Kelainan posisi kepala. 10. Hipotropia pada psosisi primer. Derajat berat Sindroma Brown : Ringan: • Elevasi terbatas waktu adduksi • Tidak terdapat hipotropia atau “downshoot” waktu adduksi Sedang: • Terbatasnya elevasi + adanya “downshoot” waktu adduksi • Tidak terdapat hipotropia pada posisi primer Berat: • Terbatasnya elevasi + “downshoot “ yang nyata waktu adduksi • Terdapat hipotropia pada posisi posisi primer DD: -
-
: - dibedakan dengan “force duction test “ - dan juga pada Sindroma Brown ditemukan V waktu up gaze - “chin elevation” lebih menonjol - aksi dari RS kontra lateral normal “Graeve ophthalmopathy” : elevasi juga terbatas waktu abduksi + riwayat tiroid
-
Fraktur lantai orbita
-
Paralise inferior oblik
: elevasi juga terbatas waktu abduksi, juga disertai riwayat trauma. “Duble elevator palsy” : disini elevasi juga terbatas waktu abduksi dan bahkan bisa lebih hebat dari waktu adduksi “Congenital fibrosis syndrome” : gerakan mata terbatas kesegala arah termasuk levator Over aksi oblik superior : “force duction test” negatif
101
Terapi: • Sembuh spontan (jarang) • Non operatif: Terapi penyebab dasar (sinusitis, rheumatoid dll) dan terapi imflamasi dengan kortiko steroid. • Operasi Dilakukan bila terdapat: - hipotropia pada posisi primer - kelainan posisi kepala (chin up; face turn) - dan elevasi yang sangat terbatas waktu adduksi (terbatas waktu abduksi juga bisa terjadi tetapi terbatasnya elevasi waktu adduksi lebih berat). 3 pilhan operasi: 1. Tenotomi SO ipsilateral dengan insersi silikon ekspander (biasanya 6mm) terbanyak dipakai 2. Tenotomi SO ipsilateral dan reses IO ipsilateral, sering menyebabkan “underaction” 3. Tenotomi SO ipsilateral sering menyebabkan komplikasi paralise SO. Cara yang lain: “Sheatectomy” (kurang berhasil dan sdh ditinggalkan) Freeing fascial restrictions (juga kurang berhasil) “Tendon elongation” (tendon dibelah secara Z dan masing-masing potongan disambungkan) diperpanjang jadi 9 mm Reses SO, sering menyebabkan “under correction”
102
XVIII.
STRABISMUS FIKSUS
Gambar 69.
Strabismus Fiksus adalah suatu kondisi yang jarang dimana satu / kedua mata menetap pada posisi adduksi/ abduksi yang ekstrim. Mata yang dikenai terfiksasi pada posisi ini dan tidak dapat bergerak dan padea “forced duction test “ bola mata tidak bisa digerakkan. Etiologi : • Diduga kelainan kongenital karena adanya fibrosis m. rektus medial yang menyebabkan hilangnya elastisitas dari rektus medial, dan adanya “cord like material” yg menarik ke pole posterior. • Yang didapat bisa terjadi : Akibat kontraktur m. rektus medial akibat paralisis m. rektus lateral. Posterior extension dari axis geometric karena myopia tinggi Kelainan ini biasanya dengan deviasi konvergen dengan deviasi > 100 P.D Strabismus fixus divergen tidak disertai ptosis atau fibrosis otot ekstra okuler secara umum dan kelainan ini sangat jarang. Biasanya terjadi “head turn” karena satu mata biasanya lebih dominan dari mata lainnya. Terapi: Pada bentuk konvergen: • Dilakukan operasi dengan disinsersi komplit atau resesi kedua otot rektus medial minimal 6 mm, dikombinasi dengan resesi konjuntiva dan kapsula tenon dan dilakukan reseksi m.rektus lateral 10 mm serta dilakukan traksi sementara bola mata pada posisi over abduksi dengan jahitan fiksasi. • Reses (kedua rektus medial 8 mm – resek bilateral 9 mm) pada strabismus fiksus yang didapat yang berhubungan dengan miop tinggi . (Bagheri et al) • Tenotomi pada 2 pasien dengan hasil yang baik. (Bagollini) • Disinsersi dan miektomi 5 mm dari masing2 m. rektus medial dikombinasi dg reseksi 8 mm rektus lateral. Akibatnya adduksi sangat terbatas dan akan kesulitan dalam membaca. (Remon) • Jensen’s, melakukan “Partial Jensen Procedure/super arm only” pada strabismus fiksus karena miop tinggi.. Pasien ini dengan esotropia 50 PD dan hypotropia mata kanan (OD miop 21.5D dan OS miop 11D). Dilakukan half Jensen prosedur dengan 103
setengah m.rektus lateral dan rectus superior dan diikatkan 14 mm dari limbus dan setelah 9 bl hasilnya baik walau permulaan abduksi dan elevasi berkurang. Yokohama et al mengatakan bahwa terdapat herniasi bola mata superotemporal pada miop tinggi yang mengakibatkan bola mata terjadi adduksi dan depresi. Pada strabismus fiksus kongenital, m.rektus medial terlihat seperti “fibrous band” dan pada yang didapat m. rektus lateral secara histo patologik ditemukan amiloidasis (baik pada yang paralise m.recrus lateral maupun pada yang miop tinggi).
XIX. “ADHEREN SYNDROM” (JOHNSON) 104
Johnson mengemukakan “adherent syndrome” suatu kelainan berupa restriksi dari gerakan otot. Penyebabnya biasanya: Kongenital, ini jarang ditemukan Pada masa perkembangan otot ekstra okuler terjadi perlengketan antara sarung otot rektus lateral dan oblik inferior disamping itu juga bisa terjadi perlengketan antara rektus superior dan oblik superior. - “Lateral adherent syndrome” yaitu terjadi perlengketan antara sarung otot LR dan IO akibat perlengketan jaringan fasia yang abnormal, yang menyebabkan gangguan pada arah gerakan LR (pseudo paralysis LR). Pada “Force duction test” terdapat restriksi. - “Superior adherent syndrome”, disini terjadi perlengketan antara sarung otot SR dan SO yang menyebabkan gangguan gerakan pada aksi SR( Pseudo paralysis SR). Diagnosa juga dengan “Force duction test” Kedua kelainan ini sering membingungkan diagnosa strabismus. Acquiered, biasanya akibat operasi sebelumnya. Johnson, mendapatkan pasien sesudah operasi pada LR terjadi pembentukan jaringan sikatrik yang pasif yang mengenai IO. akan menyebabkan pseudoparalisis dari LR. Setelah insersi LR pada sklera dipotong, tahanan terhadap abduksi pasif akan muncul waktu forced duction test. Hal yang sama terjadi pada perlengketan antara SR dan tendon SO akan menyebabkan pseudo paralisis dari rektus superior. Park menggunakan istilah adherent syndrome pada hipotropia pada posisi primer dengan elevasi yang terbatas akibat terjadinya proliferasi dari jaringan “fibro fatty” yang menyebabkan perlengketan ujung proximal otot pada kapsula tenon . Ini terjadi akibat komplikasi miektomi dari IO (13%) dan disinsersi IO (26%) Terapi: Dengan melepaskan perlengketan antara LR dengan IO atau SR dengan SO
SINDROMA FIBROSIS KONGENITAL (SFK) Pertama kali dikemukakan oleh Baumgarten pada seorang pasien dengan mata berfiksasi kebawah, ptosis bilateral dan “chin elevation”. Sindroma fibrosis kongenital merupakan kelainan kongenital yang jarang ditemui. Keadaan ini bisa disebabkan oleh restriksi otot ektra okuler dan bisa pula karena otot digantikan oleh jaringan fibrosis. Wang S.M et al mengemukakan SFK diakibatkan oleh disfungsi dari nervus okulomotorius, trochlearis dan abdusen dan atau otot yang disarafinya, Kemudian Brown memperkenalkan istilah “general fibrosis syndrome”.
105
Kelainan ini sangat bervariasi mulai dari mengenai hanya satu otot sampai mengenai kesemua otot ektra okuler bilateral. Penyebab kelainan ini tidak diketahui, biasanya heriditer autosomal dominan tapi mungkin pula bersifat autosomal resesif. Bentuk klasik SFK ini berupa fibrosis kongenial individual dan dikenal dengan “congenital fibrosis of extra ocular muscle” (CFEOM), yang ditandai dengan: • Ptosis bilateral. • Infraduksi partial/komplit (bola mata tidak bisa diangkat melewati midline) • “restrictive ophthalmoplegi”. CFEOM 1 (bila mengenai seluruh anggota famili) Superior division dari nervus ocolomotor yang mensarafi rektus superior dan levator palpebra tidak ada. Karena otot ini berfungsi mengangkat palpebra dan bola mata, akibatnya pada bola mata akan terjadi infraduksi dan tidak bisa mengangkat bola mata melewati midline dan palpebra terjadi ptosis, bersifat autosomal dominant. Kelainannya pada chromosom 12 Gambaran klinik. • Ptosis bilateral • Ophthalmoplegi restriktif • Partial/komplit infraduksi • Mengenai seluruh anggota famili Kelainan ini akbat maldevelopment dari Nc. N. Okulomotorius dan atau Nc. N.Trokhlearis. CFEOM 2 Eagle et al (1997) mendapatkan varian dari kelainan ini yang dikenal dengan CFEOM 2 dengan kelainannya di chromosom 11q13, bersifat autosomal resesif. Gambaran klinik: • Ptosis bilateral (berat) • Oftalmoplegia restriktif • Rx pupil dan Rx dekat tidak ada. • Eksotropia yang ekstrim (strabismus fiksus eksotropia), Pada keadaan ini tidak ditemukan nc NIII/IV. FEOM3 Kelainan pada chromosom 16q24, kelainan merupakan varian dari FEOM 1 dan biasanya lebih ringan , ini bisa terjadi pada satu individu atau lebih dan tidak ditemui gambaran klasik dan bersifat autosomal dominan. Gambaran klinik: • Mungkin tidak terdapat infra duksi melainkan mungkin elevasi diatas midline. • Bisa juga pada orang tertentu mengenai unilateral. • Bisa juga tidak ditemukan ptosis.
106
Diagnosis tergantung dari hambatan gerakan otot, dan restriksi diketahui dengan test forced duction test. Diagnosa: • Force duction test, terdapat restriksi yang ekstrim dari otot (karena ketegangan otot akibat digantikan jaringan fibrous. • CT Scan terdapat gambaran atrofi dari otot. • Histologis, jaringan otot digantikan oleh jaringan fibrosis. Differensial Diagnosa • Fraktur lantai orbita, biasanya didahului oleh trauma, dengan edem kelopak mata, sering dengan proptosis, gerakan elevasi sangat terbatas. • “Endocrine myopathy”, disini dibedakan dengan gejala Graeve ophthalmophathy lainnya seprti eksoftalmus, retraksi palpebra dan biasanya ditemukan setelah dewasa. • Sindroma Brown Mata yang dikenai tidak bisa elevasi waktu adduksi/downshoot waktu adduksi. San hipotropia pada posisi primer. • “double elevator palsy” “Chronic progressive external ophthalmoplegia” Terapi Bertujuan untuk meluruskan dalam posisi primer dan memperbaiki posisi kepala, dengan membebaskan restriksi otot, tetapi rotasi mata tetap tidak bisa diperbaiki dan hasilnya juga sulit diramalkan dan tidak memuaskan. • Reses • Tenotomi • Hang back • Terapi ptosis.
TIROID OFTALMOPATI (GRAVES’ DESEASE)
Tiroid oftalmopati adalah kelainan berupa peradangan autoimun yang meliputi orbita dan jaringan sekitarnya yang menyebabkan: 107
• • • • • • •
Edema peri orbital Pembesaran otot ektra okuler Proptosis Retraksi palpebra Neuropati optic Peningkatan tekanan intra okuler sekunder. Retriksi dari elevasi baik pada satu atau kedua mata merupakan gambaran yang menonjol.
Nama lain: • “Exophthalmic ophthalmoplegia” • “Endocrine ophthalmopathy” • “Endocrine otbitopathy” • “Endocrine myopathy” • “Dysthyroid eye desease” • “Infiltrative ophthalmopathy” • “Dysthyroid myositis” • “Exophthalmic goiter” Gambaran klinik dan diagnosa • Lebih sering terjadi pada wanita dan biasanya pada usia pertengahan • Diplopia terjadi secara pelan dan berhubungan dengan terjadinya eksoftalmus. (beberapa pasien terjadi eksoftalmus belakangan setelah gangguan gerakan mata) • Keterbatasan/restriksi dari elevasi merupakan kelainan yang paling sering ditemui. Restriksi dari gerakan bola mata dan strabismus ini disebabkan terjadinya infiltrasi peradangan dan diikuti fibrosis dari otot ektra okuler. Otot rektus inferior merupakan otot yang paling banyak dikenai diikuti medial, superior dan rektus lateral, ini mungkin berhubungan dengan anatomi bagian bawah orbita, karena rektus inferior dan oblik inferior merupakan satu-satunya otot yang mempunyai kontak langsung dan setiap proses inflamasi cenderung terjadi fibrosis yang menyatukan kedua otot ini dengan ligament of Lockwood (J.E. Miller dkk). • Periorbital edem biasanya bersamaan dengan terbatasnya gerakan elevasi mata, baru diikuti oleh hambatan pada gerakan horizontal dan vertical akibat ganggua pada rektus medial dan superior. Rektus lateral yang paling sedikit dikenai. Hambatan gerakan bisa unilateral atau asimetris bila mengenai kedua mata. • Kompresi dari apek orbita karena pembesaran dari rektus medial menyebabkan kongesti dari n.Optikus dan kematian dari akson sehingga mengakibatkan penurunan visus, tapi akadang-kadang terjadi atrofi N.Optikus tanpa pembesaran otot. • Retraksi palpebra superior merupakan salah satu manisfestasi penyakit ini, biasanya disebabkan oleh peningkatan saraf simpatis, dan juga karena pemendekan aponeurosis levator palpebra. Usaha elevasi dari mata karena retriksi rektus inferior menambah terjadinya retraksi palpebra. • Diagnosa dipastikan dengan “forced duction test”.
108
Terapi • Normalisasi dari “endocrine imbalance” dengan terapi medikamentosa, bisa terjadi perbaikan dari restriksi otot secara spontan, tapi sering tidak memuaskan. Pasien diamati selama 6 bulan dan bila perlu diberikan terapi prisma untuk deviasi vertikalnya, dan kalau deviasinya besar dan tidak bisa dikoreksi dengan prisma maka matanya ditutup. • High dose kortikosteroid bisa memperbaiki restriksi pada beberapa pasien (Brown dkk), Nakayama dkk melaporkan hasil yang dramatis dan regresi komplit pada pasien dengan pembesaran otot dengan pemberian methyl prednisolon dosis tinggi intra vena yang dibuktikan dengan CT Scan. • Orbital radiation • “Surgical decompression” dilakukan sebelum operasi strabismus, karena 80% pasien setelah dekompresi memperoleh kembali penglihatan binokuler, juga untuk mencegah keratitis eksposure, karena tiap operasi reses akan memperberat keratitis ekposure (reses 2 otot pada mata yang sama akan menimbulkan proptosis 3 – 4 mm). • Terapi untuk strabismus yang diakibatkan miopati dilakukan setelah deviasi stabil, dan imflamasi sudah teratasi biasanya tunggu 4 – 6 bulan baru dilakukan operasi dengan: - Reses rektus inferior 4 – 7 mm. (komplikasi bisa terjadi hipertropia dengan diplopia waktu down gaze), dan pada kasus yang sudah berlangsung lama (long standing) dilakukan juga reses konjunctiva dan kapsula tenon. (Reses 1 mm otot akan mengoreksi deviasi vertical 3 PD) Hipotropia < 15 PD dilakukan reses ipsilateral rektus inferior, adjustable suture. Hipotropia > 15 PD dilakukan reses ipsilateral rektus inferior dan adjustable suture ditambah rektus superior kontra lateral. - Adjustable suture, sebagian ahli lebih menganjurkan cara ini karena cara standard hasilnya tidak bisa diprediksi. Hyun Kim S, et al. lebih setuju dengan cara standard karena pasien dengan tiroid oftalmopati sering mempunyai ketegangan otot yang antagonis dan juga sering terjadi slip dai otot pada waktu penyembuhan pada fase awal, sehingga fiksasi post operasi dengan cara adjustable suture cenderung terjadi overkoreksi dan juga mual, rasa tidak nyaman dan okulo kardiak reflek lebih sering terjadi denga cara ini. Operasi dengan cara adjustable suture hanya dilakukan untuk pasien reoperatif. - Botulinum toxin , biasanya efektif sementara Hasil operasi sering hanya bersifat sementara karena kemudian bisa terjadi pula pada otot lainnya yang juga perlu dilakukan dioperasi.
109
XX. “CYCLIC STRABISMUS” Nama lain: “Cyclic heterotropia”, “Circadian, periodic, alternate day atau clock mechanism esotropia”. (bisa juga terjadi exo/hypertropia). Kelainan ini pertama kali ditemukan oleh Bohm 1845, pada anak usia 3 tahun dengan esotropia berganti hari. Kelainan ini jarang ditemukan: 1 dari 3000 – 5000 pasien strabismus 3 kasus dari 3500 strabismus (Costenbader dan Mausel) Karakteristik: • Ditandai dengan terjadinya periode heterotropia yang biasanya berganti hari, satu hari matanya lurus dan satu hari lagi dengan strabismus manifest. Siklus ini bisa juga terjadi dalam 48 , 72 atau 96 jam. • Strabismus ini Non akommodatif dan non paretik dan terjadi biasanya pada anak usia muda. • Kelainan ini biasanya timbul pada usia anak2 (3-4 th) dan menjadi lebih nyata pada usia sekolah. • Pada waktu posisi mata lurus tidak ditemukan kelainan fungsi binokuler, dan pada waktu terjadi deviasi (sudut deviasi bisa 4o s/d 50 PD) maka terdapat gangguan penglihatan binokuler berupa gangguan fusi, stereoskopik dan diplopia (biasanya pada usia lebih besar/dewasa). • Keadaan cyclic ini biasanya berlangsung selama 4 bulan sampai beberapa tahun hingga akhirnya deviasi menetap.
•
•
Etiologi Yang pasti tidak diketahui. Diduga sebagai penyebab adalah kerusakan pada system saraf pusat Disini terjadi disfungsi minimal dari otak yang bermanfestasi sebagai, Hiperkinesis, Pergantian perhatian yang cepat (“short attension span”), kurangnya kemampuan integrasi gerak. Bisa juga karena kerusakan intra kranial akibat trauma, demam tinggi, “cerebrovasculer accident”, lues atau ensefalitis tumor dll. “Locus cicardian mechanism” terletak pada hipothalamus bagian ventral(Richter) Mekanisme kelainan ini adalah terjadinya “rivalry” antara dua hemisfer pada “incomplete cerebral domin (Hall dan Yap). • Disamping “cyclic strabismus” yang klasik, dikenal juga “cyclic strabismus” dengan deviasi dan juga vertical yang biasanya terjadi pada orang dewasa. Ini biasanya disebabkan oleh trauma maupun post operatif ( operasi otak, operasi katarak 110
bilateral. Ablasio retina, operasi strabismus).Mekanisme terjadinya “cyclic strabismus” disini tidak diketahui Terapi: Terapi ditujukan pada deviasinya waktu periode “cyclic strabismus”nya muncul Terapi bisa dengan operasi dan bisa juga dengan botulinum.
111
XXI. MIKROTROPIA Mikrotropia merupakan strabismus dengan deviasi kecil dan secara kosmetik tidak mengganggu. Keluhan pada umumnya tidak ada, tapi sebagian kecil pasien mengeluh astenopia karena adanya gangguan penggunaan kedua matanya secara bersamaan. Kelainan ini mulanya ditemukan pada pasien strabismus deviasi besar dengan operasi yang sukses, tapi pada evaluasi ditemukan mikrostrabismus dan supresi fovea sedangkan amplitudo fusi vergen yang baik. Kemudian ternyata strabimus ini bisa berupa kelainan primer, dapat pula sekunder dari pengobatan strabismus non operatif, anisometropia, deviasi vertikal dan lesi fovea. Kelainan primer pada umumnya menetap selama hidup, tetapi 26% berobah jadi deviasi besar dalam waktu rata-rata 17.4 tahun. Karena gambaran klinik yang membingungkan maka banyak nama yang digunakan untuk ini antara lain, “retinal slip”, “fixation disparity”, “fusion disparity”, “retinal flicker”, “monofixational esophoria”, “monofixational syndrome”, “strabismus spurious”, “microtropia”, “microstrabismus” dll. Strabismus ini sering tak terdeteksi dengan cara pemeriksaan “cover test” karena tak ada/sangat sedikit gerakan mata yang deviasi waktu menutup mata yang sehat. Lang.J 1966 pertama kali menggunakan nama mikrotropia untuk kelainan dengan deviasi kecil ( 100/menit
1.
NISTAGMUS DIBAGI 3 KATEGORI; Nystagmus fisiologis 2. Nystagmus Congenital/Infantil, yang timbul sejak lahir atau segera sesudah lahir. 121
3.
Nystagmus yang didapat/acquired (kelainan neurologis/toxic.
NISTAGMUS FISIOLOGIS Physiologic/ end –Point nystagmus) : “True fisiologis nystagmus” bisa ditimbulkan secara laboratories berupa “end point nystagmus” dan nistagmus yang diinduksi dengan “coloric testing” Amplitudo fisiologic nistagmus kurang atau sama dengan 3 derajat Ada 3 type dasar: • “Fatiq nystagmus” Timbul selama mempertahankan mata pada posisi gaze yang ekstrim Didapatkan pada 60% orang normal bila terdapat gaze maksimal yang melebihi 30 detik. • “Sustained end – point” Mulai segera/dalam beberapa detik setelah mencapai suatu posisi “eccentric lateral gaze”. Didapatkan pada 60% orang normal dengan mempertahankan horizontal gaze > 40 derajat • “Unsustained end – point nystagmus” (merupakan nystagmus fisiologis terbanyak) Pengalaman klinik menemukan terjadi beberapa tarikan nistagmus dalam batas normal pada deviasi gaze 30 derajat/lebih. 1. NISTAGMUS KONGENITAL/NISTAGMUS INFANTIL DAN NISTAGMUS PADA ANAK Gerakan pada nistagmus kongenital adalah “involuntary”, “rhythmic”, “pendular/jerky conjugate oscillation” dari mata yang dapat berupa laten atau manifes. Istilah nistagmus kongenital digunakan untuk “sensory nistagmus” dan “motor nystagmus” yang muncul dalam beberapa bulan awal kehidupan. Istilah “congenital nystagmus” ini masih kontroversi karena anak dengan “motor nystagmus” berkembang sejak lahir atau dalam beberapa hari setelah lahir, sedangkan “congenital sensoris nystagmus” berkembang setelah usia dua bulan. Pada nistagmus ini makin cepat ossillasi maka visus pasien makin jelek. Insidence 1 : 6550, dan laki-laki lebih banyak dari wanita a.
“Congenital Sensory Nystagmus” (timbul setelah usia 2 bulan) Disebabkan bayangan yang inadequat yang terbentuk pada fovea, nistagmus tipe ini biasanya bilateral dan horizontal dan tipe pendular , ossillasi mata dengan kecepatan yang sama pada kedua arah gerakan. Pada keadaan visus yang kurang, impuls visual yang kurang ini diteruskan keotak dan ini mencegah berkembangnya reflex fiksasi Nystagmus. Bila penurunan tajam penglihatan terjadi setelah usia 2 tahun maka nistagmus okulernya berkembang sebagian dan bila penurunan visus terjadi setelah dewasa tidak terjadi lagi nistagmus karena mata sudah 122
stabil. Nistagmus sensoris ini disebabkan oleh kelainan organik dari media, makula, retina dan n.optikus. • Atrofi n. Optikus/ kelainan kongenital papil n. optikus (coloboma) • Lesi macula bilateral . • Katarak kongenital • Astigmat tinggi/ Myop tinggi patologis • Kekeruhan kornea • Aniridia • Buta warna total • Hipoplasi fovea yang berhubungan dengan albinisme. • “Leber’s congenital amaurosis” Beratnya nistagmus biasanya berhubungan dengan berkurangnya tajam penglihatan. Nistagmus pendular terjadi bila tajam penglihatan lebih kurang 20/200 (sekurang kurangnya pada satu mata). Tajam penglihatan pada pasien dengan “searching” (roving and drifting) nystagmus” tanpa fiksasi adalah 20/200 atau lebih jelek. b.
“ Congenital Motor Nystagmus” (timbul sejak lahir sampai usia 2 bulan) Istilah ini digunakan bila kelainan sensoris yang menimbulkan nistagmus tidak ditemukan. Merupakan nistagmus kongenital dengan defek primer pada mekanisme eferen. Kemungkinan meliputi pusat atau pada perjalanan okulomotor yang mengontrol “conjugate”. Tidak ditemukan adanya kelainan okular. Amplitudo maupun frekuensi menurun atau nistagmus hilang dan tajam penglihatan membaik pada satu posisi dari gaze (null point atau neural zone). Disini terjadi perobahan posisi kepala yang berguna untuk memperbaiki tajam penglihatan. • Tipe ossillasi, frekuensi bervariasi dari lambat sampai cepat dan amplitudo bervariasi dari kecil sampai besar, arah nistagmus bisa horizontal, vertikal, rotatori, sirkuler atau elips atau kombinasi. Karakteristik gerakannya adalah pola jerk dengan adanya komponen cepat dan lambat ataupun bisa juga penduler (pada beberapa pasien kadang-kadang pada satu waktu ditemukan jerk dan pada waktu lainnya penduler • Karena fovea biasanya tidak ada kelainan organik, tajam penglihatan cenderung lebih baik dari nistagmus sensoris , bahkan pada beberapa pasien tajam penglihatan bisa 6/6. Pada kedua matanya terbuka tajam penglihatan biasanya 6/6 s/d 6/24. • Pada “null zone” nistagmusnya sedikit dan visus lebih baik. Biasanya ditemukan juga kelainan posisi kepala. c. Nistagmus laten/ ”true latent Nystagmus” Terminologi ini membingungkan dengan nistagmus kongenital karena juga ditemukan pada usia sebelum 6 bulan. Ini merupakan “congenital motor nystagmus” yang 123
timbul bila satu mata ditutup dan hilang bila kedua mata dibuka. Gerakan selalu berupa jerk dengan fase cepat dan “beat”nya selalu menjauh dari mata yang ditutup. Pada nistagmus ini sering ditemukan strabismus kongenital/infantile esotropia Pada pasien dengan nistagmus laten ini biasanya amplitudonya kecil (micro nystagmus) pada keadaan kedua mata terbuka, dan juga ditemukan head tilt (sebagai kompensasi menggunakan nul zone) dan ini juga merupakan bukti adanya nistagmus. Bila nistagmusnya tetap ada bila kedua matanya maka dinamakan nistagmus manifes laten. Beda nistagmus manifest dan laten/manifes laten nistagmus kongenital: Manifes Bifasic, umumnya pendular “Increasing- velocity slow phase” Nistagmus tak ada perobahan dengan satu mata Gerakan bebas/sama pada fiksasi mata Jarang berhubungan dengan esotropia kongenital Tajam penglihatan binokuler sama dengan tajam penglihatan monokuler
Laten/manifes laten Jerk “Decreasing- velocity slow phase” Meningkat dengan menutup satu salah menutup mata. Fase cepat kearah mata yang fiksasi Hampir selalu berhubungan dengan esotropia kongenital Tajam penglihatan binokuler lebih baiknya dari tajam penglihatan monokuler
d. Spasmus Nutan, Kelainan ini ditandai adanya “Head Nodding” bersamaan dengan Nystagmus, sindroma ini didapatkan pada “motor nystagmus” dengan adanya “trias, nistagmus, “head nodding” dan kelainan posisi kepala, gerakan berupa pendular dijumpai biasanya pada usia tahun pertama kehidupan dan berakhir pada usia 1 atau 2 tahun. Kelainan ini kadang-kadang juga ditemukan pada neoplasma intra cranial. Gambaran klinik: • Timbul biasanya pada anak usia 6 bulan – 2 atau 3 tahun dengan nistagmus pendular yang cepat dan halus/kecil • Pada postur lengkapnya disertai dengan “head nodding” yang kadang –kadang disertai dengan kelainan posisi kepala/tortikolis. • Gerakan mata biasanya tidak sama besar dan sering asimetri antara ke dua mata, kadang-kadang hanya satu mata yang bergerak. • Bervariasi sesuai arah gaze • Penyebabnya tak diketahui dan tidak ada kelainan patologis yang jelas dan biasanya hilang setelah 2 tahun • Tidak ditemukan kelainan organik yang jelas e. “Periodic alternating nystagmus” Adalah bentuk “congenital motor jerk” nistagmus yang secara periodik berubah arah. Yang khas gerakan dimulai dengan suatu “jerk nystagmus” pada satu arah dan berakhir setelah 60 s/d 90 detik dan kemudian melambat dan mengecil. Suatu periode tanpa 124
nystagmus selama 10-20 detik dan kemudian mulai lagi “jerk nystagmus” kearah yang berlawanan untuk 60 s/d 90 detik dan kemudian proses berulang lagi seperti semula. Nistagmus “Blokage Syndrome “ Adalah suatu bentuk “congenital jerk nystagmus” yang berhubungan dengan esotropia, dimana amplitudo nistagmus akan berkurang atau hilang dengan adanya konvergensi. Bila mata yang berfiksasi adduksi. maka m. rektus medial dari mata yang fiksasi tersebut akan berkontraksi dan menjadi hipertonik, ini akan memblok nistagmus sehingga menimbulkan esotropia. Mekanisme ini tidak diketahui, tetapi hubungan antara nistagmus kongenital dan esotropia ini dikenal dengan “nystagmus blockage syndrome”. Sering ditemukan pada nistagmus laten dengan adanya elemen akomodatif (pupil kecil) Gambaran utama dari sindroma: • Kelainan muncul waktu bayi, esotropia didahului oleh “jerk nystagmus” dan sering didapatkan ambliopia. • Terdapat kelainan posisi kepala, dimana kepala mengarah ke mata yang adduksi / mata yang fiksasi (contoh, kepala berputar kearah kiri jika mata kiri yang berfiksasi). • Mata yang berfiksasi tetap adduksi walaupun mata sebelahnya ditutup/oklusi (ini seolah-olah pseudo paralisis m. rektus lateral) yang bisa dibuktikan dengan pemeriksaan parese m. rektus lateral. • Dengan adduksi mata yang fiksasi, maka nistagmus akan berkurang atau hilang, tapi intensitas nistagmus meningkat. “Nystagmus blockage syndrome” dapat diinduksi dengan memakai prisma base out pada mata yang fiksasi.
III. NISTAGMUS YANG DIDAPAT Pada nistagmus yang didapat tidak ditemukan adanya “null zone”. Mungkin ditemukan: • “SEE SAW NYSTAGMUS” yaitu “pendular dissociated type” tanpa ada komponen cepat dan kedua mata bergerak berlawanan dimana satu mata bergerak keatas dan satu mata bergerak ke bawah dan ekstorsi, biasanya berhubungan dengan tumor para seller dan bitemporal hemi anopsia. • “DOWNBEAT NYSTAGMUS” yaitu nistagmus dengan fase cepat (fast fase beating)
125
kearah bawah. Intensitas maximal dari nistagmus terjadi bila mata berdeviasi ketemporal dan sedikit inferior. Dengan posisi ini maka gerakan nistagmus kearah oblik dan bawah. • “UPBEAT NYASTAGMUS” adalah nistagmus dengan fase cepat kearah atas. Bisanya ditemukan pada lesi medulla • “OPSOCLONUS“ Adalah suatu kelainan gerakan mata yang sangat jarang dan bukan suatu “true nystagmus” tetapi suatu gerakan ossilasi mata yang aneh, berupa gerakan mata yang cepat, diluar kemauan dan multivectorial. Kelainan ini bisa intermitten dan sering dengan frequensi yang sangat cepat amplitudo yang rendah. Kelainan ini sering ditemukan pada “acut cerebellar ataxia” pada masa anak-anak. • “MONOCULAR NYSTAGMUS” Terjadi pada ambliopia berat atau mata buta keduanya. Ossilasi biasanya pendular terutama vertical, pelan dan amplitudo kecil dan frekuensi irregular. “Monocular nystagmus” kadang-kadang sulit dideteksi biasanya jarang pada bayi dan anak yang masih kecil’ • “DISSOCIATED NYSTAGMUS” “Dissociated nystagmus” (“nystagmus in abducting”) ini umumnya ditemukan pada “internuclear ophthalmoplegia” • “NYSTAGMUS RETRACTORIUS” (“Dorsal midbrain syndrome”) “Convergen-retraction nystagmus” merupakan bagian dari “dorsal midbrain syndrome” yang berhubungan dengan paralisis “up ward gaze”, “defective convergen” dan “lightnear dissociation”. Bentuk nistagmus ini timbul dalam keadaan tertentu, seperti waktu suatu usaha up gaze yang cepat dimana terjadi kokontraksi semua otot ekstra ocular dan menarik bola mata kedalam orbita. Ini biasanya terjadi sekunder terhadap stenosis akueduktus kongenital atau pinealoma. • “VESTIBULER NYSTAGMUS”, - Nistagmus perifir, yaitu bila gerakan satu arah dengan fase cepat berlawanan dengan arah lesi - Nistagmus sentral, terdapat gerakan satu maupun dua arah , biasanya ditemui pada multiple sklerosis, “vascular desease”, ensefalitis, lesi sekunder yang mengenai nukleus vestibuler (tumor cerebellopontin) PENGOBATAN Tujuan terapi pada nistagmus adalah • Memperbaiki tajam penglihatan • Memperbaiki secara kosmetik terhadap ossilasi okuler • Memperbaiki kelainan posisi kepala • Pada nistagmus yang didapat, untuk mengurangi “oscillopsia” TERAPI NON OPERATIF 126
Terapi ambliopia Dilakukan dengan penalisasi atau atropine karena dengan oklusi akan memperhebat nistagmus. Namun ada juga yang melakukan oklusi dengan dasar bahwa bila pasien berfiksasi dengan mata yang ambliop maka nistagmus akan tetap berkurang. Partial field occlusion /Porthole (Sasso) Dengan kaca mata Porthole (dengan hole 10 derajat dibagian sentral) dan oklusi bagian perifir), dengan cara ini didapatkan perbaikan ringan tajam penglihatan dan juga dilaporkan terdapat perbaikan dari tortikolisnya, cara ini tidak banyak dipakai. Terapi Obat Terapi dengan obat sistemik seperti alkohol, tranquilizer, Phenobarbital dan Baclofen dulu dianjurkan dan bisa memperbaiki tajam penglihatan, tetapi karena banyak efek samping dari obat ini maka tidak dipakai lagi. Helveston dan Pogrebniak memakai botulinum A toxin (oculinum) retrobulber pada dua pasien dengan nistagmus didapat dan oscillopsia yang berat dan tajam penglihatan yang menurun, tajam penglihatan membaik dan nistagmus berkurang, tetapi injeksi perlu diulangi dengan interval satu sampai 3 bulan, sebagian ahli mengatakan bahwa efek ini sifatnya sementara. Kaca mata dan lensa kontak Perlu dilakukan koreksi kelainan refraksi. Pada kebanyakan pasien dengan koreksi kelainan refraksi terdapat pengurangan yang dramatis dari nistagmus . Lensa kontak sangat membantu pada myop tinggi, dan lensa kontak memberi keuntungan tersendiri karena bisa mengikuti goyangan mata sehingga aksis visual selalu sama dengan pusat optic mata. Lensa minus Overkoreksi dengan lensa minus menyebabkan konvergensi dan ini akan memperbaiki tajam penglihatan untuk jauh dan sekalian mengurangi nistagmus. Prisma Prisma digunakan untuk dua tujuan: • Untuk memperbaiki tajam penglihatan. Prisma base out digunakan untuk menstimulasi konvergen dan ini akan mengurangi amplitudo nistagmus dan memperbaiki tajam penglihatan, dengan syarat penglihatan binokuler baik/normal, karena fusi konvergen merupakan respon terhadap disparitas retina temporal yang ditimbulkan oleh pemasangan prisma tsb.
127
Meskipun beberapa ahli menganjurkan cara ini , tetapi masih terdapat kontroversi dari penggunaannya. • Menghilangkan kelainan posisi kepala Pemakaian prisma selanjutnya adalah untuk evaluasi atau terapi non operatif pada pasien dengan kelainan posisi kepala. Pada pasien dipasang prisma dengan basis berlawanan dengan arah gaze yang disenangi/ disukai. (contoh, bila bila kepala memutar kekiri berarti “null zone” di dekstroversi, maka dipasang prisma base in pada mata kanan dan base out pada mata kiri, pada infra versi maka prisma dipasang base up pada kedua mata,. Godde-Jolly &Larmande menganjurkan pemakaian prisma kombinasi horizontal dan vertikal bila null zone nya oblik. Prisma bisa mengoreksi “head turn” bila “head turn”nya sampai 20 derajat. Terapi jangka lama dengan prisma untuk koreksi “head turn” sering mengecewakan dan pada kasus ini terapi operasi lebih efektif. TERAPI OPERATIF Terapi operasi dilakukan untuk dua alasan/tujuan: • Untuk menghilangkan kelainan posisi kepala (kosmetik) • Mengurangi amplitudo nistagmus atau keduanya • Juga untuk memperbaiki tajam penglihatan Memindahkan (shifting) null point kearah posisi primer. Memindahkan null point harus selalu diingat bahwa mata selalu digeser kearah posisi kepala uang tidak normal (bila posisi kepala kekiri maka mata digeser kekiri, pada “chin depression” maka mata digeser kebawah dan bila memutar kekiri bahu maka mata digeser memutar kekiri dari aksis visual. Pasien dengan” chin elevation” atau” depression” Kelainan posisi kepala tipe ini lebih jarang terjadi dari pada head turn. Pada “chin elevation” 25 derajat atau lebih Park menganjurkan resek kedua otot rektus superior dan reses kedua rektus inferior 4 mm dan pada “chin depression” dilakukan sebaliknya. Pasien dengan “chin depression” atau “elevation” yang kurang dari 25 derajat maka dilakukan operasi hanya untuk reses otot elevator atau depresor saja tanpa resek dari otot antagonisnya, tetapi jumlah resesnya dianjurkan 5 mm (bukan 4 mm) Kelainan Posisi Kepala Horizontal Operasi reses- resek Bila kepala memutar kekiri atau digeser/dipindahkan ke posisi primer.
kekanan
128
akibat
nistagmus
maka
null
zone
Kestenbaum pertamakali melakukan operasi ini (bila kepala memutar kekiri, dilakukan reses rektus lateral kanan dan resek rektus medial kanan, dan kemudian dilakukan resek rektus lateral kiri dan resesrektus medial kiri). Dia menganjurkan jumlah yang sama (5 mm) untuk semua otot. Modifikasi dari prosedur Anderson-Kestenbaum. Kebanyakan ahli mengoperasi ke empat otot rektus secara simultan pada yang tidak ada strabismus. Operasi umumnya adalah reses dari LR pada mata yang abduksi dikombinasi dengan resek MR ipsilateral dan reses MR pada mata yang adduksi disertai dengan resek LR ipsilateral. Kestenbaum-Anderson Procedure (Clasic Maximum) Adalah modifikasi dari Park yang paling banyak digunakan dengan “dosis Guideline ““5-67-8” yang bisa mengoreksi head turn sampai sekitar 20 derajat. Cara Kestenbaum-Anderson untuk Nistagmus dengan “face turn” ke kanan ( “eye shift to left”) Mata kiri _____________________________________ “Face turn” Reses LR Resek MR (derajat) < 20 30 45 >50
7 mm 9 mm 10 mm 11 mm
6 mm 8 mm 8.5 mm 9.5 mm
Mata kanan _______________________________________ Reses MR Resek LR 5 mm 6.5 mm 7 mm 8 mm
8 mm 10 mm 11 mm 12.5 mm
Cara Kestenbaum-Anderson untuk Nistagmus dengan “face turn” kekiri (“eye shift to right”) Mata kanan _____________________________________ “Face turn” Reses LR Resek MR (derajat) < 20 30 45 >50
7 mm 9 mm 10 mm 11 mm
6 mm 8 mm 8.5 mm 9.5 mm
Mata kiri _______________________________________ Reses MR Resek LR 5 mm 6.5 mm 7 mm 8 mm
8 mm 10 mm 11 mm 12.5 mm
Park melakukan reses rektus medial 5 mm dan resek ipsilateral rektus lateral 8 mm ditambah dengan reses rektus lateral 7 mm dan resek rektus medial mata yang sama 6 mm, (jadi masing-masing mata menerima 13 mm). Pasien dengan “head turn” kekiri dan “conjugate deviation” mata kekanan maka operasi yang dilakukan sbb: - reses 7 mm rektus lateral kanan, 6 mm resek medial kanan dan 5 mm reses rektus medial kiri , 8 mm resek rektus lateral kiri.
129
Untuk operasi pada “head turn” yang lebih besar dilakukan: “Augmented Modification of the Kestenbaum-Anderson Procedure”, - Scott dan Craft menganjurkan: Untuk head turn 45 derajat yaitu cara klasik plus 40% - Nelson dkk menganjurkan : - Head turn 30 derajat, cara klasik plus 40% dan - Head turn 45 derajat, cara klasik plus 60% Cara modofikasi dari Kestenbaum – Anderson _______________________________________________________________________________ Cara operasi Kestenbaum Tambahan 40% Tambahan 60% Reses MR Resek MR Reses LR Resek LR Total R+R
5 mm 6 mm 7 mm 8 mm 13 mm (5+8) = (6+7)
7 mm 8. 4 mm 9. 8 mm 11. 2 mm 18. 2 mm (7+11. 2)) = (8. 4+9. 8)
8 mm 9. 6 mm 11. 2 mm 12. 8 mm 20. 8 mm (8+12. 8)=(9. 6+11. 2)
Variasi lain dari cara Kestenbaum-Anderson Pratt-Johnson (operasi simetris) Menyarankan operasi 10 mm pada tiap otot horizontal untuk pasien dengan fusi sensoris dan face turn 35 derajat atau lebih. “Posterior Fixation Suture” Spielman menganjurkan tambahan aaaa’posterior fixation sutureaaaa’ pada otot rektus yang di reses untuk memaksimalkan efek pada tortikolis horizontal yang lebih dari 20 derajat. Cara ini juga berhasil baik pada “sensory congenital nystagmus”. “Modified Anderson procedure dari Von Noorden” Von Noorden memakai cara Anderson, tetapi melakukan hanya reses pada 2 otot, ia menyarankan reses 12 mm pada otot rektus lateral dari mata yang abduksi dan 10 mm reses pada otot rektus medial mata lainnya. Cara ini memungkinkan operasi tambahan pada otot yang belum dioperasi dan juga mengurangi ischemic segmen anterior. Operasi pada “Vertical Anomalous Head Posture” “Vertikal head turn” lebih jarang terjadi dari “horizontal head turn”. Park menyarankan reses 4 mm kedua otot vertical dan resek 4 mm kedua otot antagonis nya untuk kelainan “head posture” 25 derajat. Operasi dengan cara ini sering underkoreksi, sehingga cenderung dianjurkan operasi reses 8 mm otot vertical dan resek 8 mm untuk torticollis yang besar.
130
Chin up Chin up 10 - 15 derajat Reses kedua IR 7 mm ,, > 15 derajat Reses kedua IR 7mm+tucking/resek SR 5mm OU Robert dkk menganjurkan pada Chin Up kombinasi reses IR 5 mm dan resek SR 7 mm. Dengan cara ini terdapat underkoreksi 2 dari 7 pasien. Mereka juga setuju dilakukan reses 8 mm dan resek 8 mm. Chin Down Chin Down 10 -15 derajat Reses kedua SR 8 mm ,, > 15 derajat Reses kedua SR 8mm + Tucking/resek IR 5m OU. “Large” reses SR (8-9 mm) dikombinasi dengan reses IO dan anteriorisasi terhadap IR tidak memperbaiki head position tetapi memperbaiki tajam penglihatan pada semua dari tujuh pasien. Rekomendasi (Rosenbaum): Operasi untuk tortikolis vertical dianjurkan “large” reses dari IR: Tortikolis 25 derajat: Reses 6 mm Tortikolis yang lebih 25 derajat reses 8 mm. Operasi untuk memperbaiki tajam penglihatan • Menghilangkan kelainan posisi kepala • Operasi pada ke empat otot horizontal untuk menempatkan ke empat otot rektus dibelakang ekuator akan mengurangi efek rotasi dari mata. Nistagmus akan menurun dan “foveation” akan meningkat dan ini akan memperbaiki tajam penglihatan.(Beiti) • Von Noorden dan Sprunger melakukan reses 8 – 12 mm pada ke empat otot rektus. • Helveston dkk. memindahkan MR 11.5 mm dari limbus dan LR 13 mm dari temporal limbus Rekomendasi: Reses LR 10 mm dari insersi dan MR reses 7.5 mm dari insersi. Pasien dengan “head tilt” Operasi pada pasien dengan “head tilt” kearah salah satu bahu tanpa adanya paralisis otot oblik merupakan suatu tantangan. Pada pasien-pasien ini “head tilt” tidak selalu berhubungan dengan nistagmus dan “null zone” • Menghilangkan kelainan posisi kepala 131
• Conrad & Decker melakukan operasi dengan prinsip Kestenbaum yaitu memutar mata pada aksis sagital kearah bahu sesuai dengan “head tilt”nya. (contoh pasien dengan head tilt kebahu kanan maka mata kanan dioperasi memutar keluar (eksotorsi) dan mata kiri diputar kedalam (intorsi). Kemudian ditambah/dilengkapi dengan reses dan retroposisi aspek posterior dari SO dan anteroposisi dari posterior aspek IO. Operasi ini rumit dan dapat mengoreksi 10 - 15 derajat. • Decker melakukan cara yang lebih mudah yaitu dengan vertical transposisi dari rectus horizontal (contoh, ekstorsi mata kanan dengan rektus medial kanan ditransposisi kebawah dan rektus lateral transposisi keatas. • Von Noorden melakukan transposisi otot rektus vertical kehorizontal (contoh, pada “head tilt” kekanan maka mata kanan di ekstorsi dan mata kiri di intorsi dengan melakukan transposisi rektus superior kanan kenasal dan rektus inferior kanan ketemporal, serta rektus superior kiri ketemporal dan rektus inferior kiri kenasal, transposisi ini dilakukan selebar insersi dan dinsersikan dengan jarak sama dengan insersi awalnya kelimbus. Von Noorden menunda operasi pada pasien dengan kelainan posisi kepala dan nistagmus sampai anak berusia 4 tahun. • Bisa juga dilakukan supra dan infra placement rektus horizontal. Untuk “Right Head Tilt” dilakukan supraplacement LR kanan dan infra placement MR kanan dan LR kiri ditambah dengan supra placement MR kiri dengan menggeser selebar insersi otot tsb. “Nystagmus dampening (Blockage) syndrome” Operasi dilakukan bila esodeviasinya menetap. Operasi dilakukan dengan reses kedua rektus medial, dan akan lebih efektif bila ditambah dengan posterior fixation, dari pada dilakukan recess – resect.
132
XXIII. OPERASI OKULER TORTIKOLIS DENGAN TRANSPOSISI HORIZONTAL DARI REKTUS VERTIKAL Umumnya kepala yang miring kerah salah satu bahu disebabkan oleh hipertropia atau siklotropia dan bisa menjadi baik dengan cara operasi convensional dengan memperkuat/memperlemah otot-otot siklovertical. Namun kadang-kadang miring kepala ini terjadi tanpa kelainan otot siklovertikal, nistagmus atau tanpa sebab yang jelas. Pada kasus ini Von Noorden et al, melakukan operasi yang berhasil pada 4 dari 5 kasus, ia melakukan operasi memutar mata (satu/keduanya) sekitar aksis sagital dengan transposisi horizontal dari rektus vertical dan tidak ada komplikasi. Dasar operasi ini dilakukan ialah karena sikloduksi dapat ditimbulkan dengan melakukan “horizontal displacing” dari otot rektus vertikal. Cara operasi (contoh kasus: kepala miring kekanan )
Gambar 78.
Dilakukan horizontal transposisi dari rektus vertikal selebar otot (rektus superiorse ditransposisi kenasal selebar otot dan rektus inferior ditransposisi kelateral selebar otot) hingga mata terputar kearah head tilit, sehingga mata kanan menjadi eekskloduksi dan mata kiri insikloduksi “Nasal/temporal aspek” dari tendon diinsersikan sama jarak dari limbus dan dari insersi semula. Ke 5 pasien ini dengan usia < 10 tahun dengan head tilt 20 -25 derajat. 4 pasien berhasil head tilt jadi negatif 1 pasien tidak datang kontrol 133
XXIV. KOMPLIKASI OPERASI STRABISMUS Komplikasi waktu operasi 1. Perdarahan selama operasi Terjadi akibat terpotongnya pembuluh darah konjunctiva waktu operasi, atau waktu memotong otot diinsersinya. 2. “Lost of the muscle”, karena memotong kurang hati-hati atau karena jahitan yang lepas, atau karena slip (tergelinir dari “muscle clamp”). Biasanya dengan memegang ujung kapsula tenon, ujung otot bisa didapatkan dengan menariknya ke luar/kedepan. Tetapi bila komplikasi ini tidak bisa segera ditemukan maka harus segera diekplorasi, karena bila dilakukan lebih lama akan lebih sulit. 3. Perforasi ke choroids dan retina bisa terjadi karena kurang hati-hati waktu memasukkan jarum. 4. Luka pada sklera waktu memotong otot di insersinya, bisa dijahit atau kouterisasi 5. Ablasio retina dan endophthalmitis Komplikasi waktu anastesi 1. Kardiak ares (jarang), bisa timbul karena terjadi “oculo cardiac reflex” waktu menarik otot, terutama rektus medial. Komplikasi post operatif 1. Infeksi. (endoftalmitis, selulitis orbita, abses pada jahitan) 2. Reaksi dari jahitan, lebih sering dari infeksi Biasanya terjadi reaksi alergi akut dalam 24 jam- 7 hari post operatif, “delayed reaction” 6 8 minggu, dengan keluhan gatal, rasa tak enak pada mata kemosis konjuntiva dan edem palpebra. 3. Granuloma terjadi dalam 2 – 4 minggu setelah operasi (“non allergig foreign body reactions”). 4. Iskemi segmen anterior karena memotong 3 – 4 otot di insersinya, yang mengakibatkan suplai darah ke segmen anterior dari a. siliaris terputus 5. “Amputation neuroma”, yang terjadi pada tempat insersi yang lama setelah tenotomi. 6. Kista konjungtiva, terjadi bila bagian konjunctiva (dengan epitel) yang terpotong terbenam dalam luka yang telah ditutup, ini perlu dilakukan eksisi 7. “Corneal dellen” akibat terputusnya “corneal tear film” dan dehidrasi lokal dari kornea diobati dengan menutup mata (bandage) 24-48 jam atau dicegah dengan menutup luka dilimbus dengan baik dan memotong kinjunctiva yang berlebih untuk mencegah elevasi yang berlebih di dekat limbus 8. Diplopia, terjadi karena bayangan tidak lagi jatuh pada daerah scotoma 134
XXV. PEMAKAIAN PRISMA PADA STRABISMUS
Gambar 79.
Prisma adalah lensa berbentuk baji yang membiaskan sinar secara melintang kearah basisnya Ekuatan 1 prisma dioptri adalah bila visual axis berobah dengan berpindah benda sejauh 1 cm pada jarak 1 meter. 1 prisma dioptri = 0.57 derajat (Von Noorden) Conversion Prisma Diopters and Degrees (Griffin&Grisham)
Prisma dioptri 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 15 20
Derajat Derajat 0 drjt, 0,34 mnt 1 0 ,, 0.9 ,, 2 1 ,, 0.43 ,, 3 2 ,, 0.17 ,, 4 2 ,, 0.51 ,, 5 3 ,, 0.26 ,, 6 4 ,, ,, 7 4 ,, 0.34 ,, 8 5 ,, 0.9 ,, 9 5 ,, 0.43 ,, 10 8 ,, 0.32 ,, 15 11 ,, 0.19 ,, 20
Prisma dioptri 1.75 3.49 5.24 6.99 8.75 10.51 12.29 14.05 15.84 17.63 26.80 36.40
Fresnel press on prisma adalah satu seri dari prisma plastic kecil yang diletakkan berdekatan satu sama lain pada tempat dari plastic yang tipis. Prisma fresnel dengan power 25 prisma sama kekuatannya dengan 25 prisma biasa, tetapi tebalnya hanya 1/10 tebal prisma biasa. Prisma Fresnel diperkenalkan oleh Wood Ward 1965 Indikasi pemakaian prisma (3 kategori): 1. Medical, bila tidak ada indikasi operasi 2. Pre operatif, untuk menentukan tipe dan jumlah operasi dan prognosa hasil operasi. 3. Post operatif, pada kasus over dan underkoreksi 135
Power prisma: - Prisma yang tersedia : 0.5 – 30 prisma - Power ini dapat diterima secara kosmetik - Yang sering dipakai adalah press on prism. Posisi prisma: Posisi prisma memberikan efek yang berbeda terhadap deviasi: Prentice position Posisi prisma yang memberikan efek koreksi lebih besar (prisma 40 dioptri dapat memberikan efek koreksi 72 prisma dioptri dengan posisi prentice, prisma 32 dioptri memberikan efek koreksi 40 prisma dioptri dengan posisi prentice.
Gambar 80.
Posisi minimum deviation Posisi prisma yang memberikan efek koreksi lebih kecil dari ukuran prismanya (kebalikan posisi prentice)
Gambar 81.
136
Posisi frontal plane Posisi prisma yang sejajar dengan posisi kedua mata. Prisma menyebabkan pengurangan dan distorsi pada tajam penglihatan - Jumlah pengurangan dan distorsi pada tajam penglihatan berhubungan langsung dengan power prisma. - Power prisma sampai 10 prisma umumnya ditoleransi dengan baik dan penurunan tajam penglihatan yang diakibatkannya tidak lebih dari satu baris. Kekuatan yang lebih tinggi akan merusak tajam penglihatan yang lebih besar. - Anak-anak lebih toleran terhadap prisma dari pada orang dewasa - Kekuatan prisma ditentukan dengan menetukan deviasi dengan cara prisma biasa , hingga terdapat fusi atau hingga tak ada gerakan dengan cover test. - Jika strabismus < 4 prisma, dipakai prisma pada mata yang baik - Jika strabismus > 4 prisma, kekuatan prisma dibagi dalam jumlah yang sama pada kedua mata. - Jika terdapat deviasi horizontal dan vertikal bersamaan maka prisma dirotasi sesuai dengan gambaran yang diberkan dan axis prisma diperhitungkan untuk mengkompensasi deviasi horizontal dan vertikal. - Untuk deviasi yang berbeda jauh dan dekat maka prisma dapat dibuat bifokal dengan bagian atas untuk deviasi jauh dan bagian bawah untuk deviasi dekat.
Gambar 82.
Kegunaan prisma pada strabismus I. Untuk diagnostic Prisma dapat digunakan untuk mengukur deviasi pada - jarak 20 feet dan 13 inches - semua posisi dari cardinal gaze Prisma base in digunakan untuk menetralisir eksodeviasi dan prisma base out untuk menetralisir esodeviasi • Prisma Cover test 137
• Prisma Krimsky test • Prisma alternate cover test • Maddox double prisma test untuk cyclodeviasi. • 4 Prisma base out test unutu supresi • Mengukur besarnya supresision scotoma • Prisma adaptation test Diperkenalkan oleh Jampolsky untuk membantu memprediksi hasil operasi pada esotropia. Prisma dengan power yang sama atau sedikit lebih dari jumlah esotropianya pada jarak jauh dipakai selama 1 bulan. Ini berguna untuk “prognostic sign” bila pasien kembali dengan deviasi esotropic. Overconvergen pada respon terhadap sedikit overkoreksi dengan prisma umumnya terjadi pada ARC dengan peripheral fusion. Pada pasien seperti ini dilakukan operasi sesuai dengan besar deviasi (sesuai besar prismanya). Pada power prisma yang ditingkatkan untuk mengatasi respon ini terjadi lagi eksotropia. Prisma yang menimbulkan eksotropia dengan diplopia prognosanya lebih baik dari pada yang dengan supresi. Prisma adaptation test Digunakan untuk pasien dengan esotropia akomodatif. Prisma adaptation terdiri dari pemasangan press on prisma base out untuk residual esotropia sesudah dilakukan koreksi hipermetropianya. Pasien disuruh datang lagi sesudah dua minggu, bila esotropianya bertambah, maka prismanya dinaikkan lagi dikontrol lagi 1-2 minggu, tindakan seperti ini dilakukan sampai deviasi menetap/stabil. Operasi dilakukan sesuai dengan ukuran “full prisma adapted angle” dengan prisma press on tsb. Ini akan mengurangi underkoreksi post operatif. Hasil operasi dengan cara ini berhasil lebih 10% dari pada tanpa dilakukan prisma adaptation test. (85%:75%). Kekurangan/kerugian dengan memakai cara ini adalah waktu yang lebih lama dan biaya yang lebih besar (prisma press on) Prisma adaptation test dipakai juga untuk pasien dengan esotopia yang didapat. II. Terapetik Tujuan pemakaian prisma dalam pengobatan adalah untuk mempertahankan penglihatan binokuler yang nyaman. • Tropia yang didapat setalah dewasa karena menimbulkan diplopia • Pada deviasi kecil (< 10) prisma dapat dikontrol dengan prisma secara permanen dan enak. (Pada umumnya ahli mata menolak operasi pada deviasi kecil, karena sukar mengoreksi secara tepat). • Latihan dengan prisma digunakan pada foria untuk memperbaiki fusi konvergence. Prisma base out memperbaiki fusi konvergen dan prisma base in untuk memperbaiki fusi divergen.. • Pengobatan untuk foria (eksoforia dengan prisma base in dan esoforia dengan base out) biasanya pada eksoforia diberikan sepertiga dari deviasi forianya. 138
Pada esoforia lebih besar dari eksoforia. Dan besarnya prisma ini dibagi dua pada mata. • Meningkatkan amplitudo fusi konvergen pada “convergence Insufficiency”. Mula-objek ditentukan berapa prisma base out kemampuan konvergensi untuk melihat jauh dan dekat, kemudian secara pelan-pelan kekuatan prisma base out ditingkatkan (sambil melihat objek) sampai terjadi diplopia (batas kemampuan fusi), ini dilakukan untuk jauh dan dekat, kemudian dicatat. Misalnya untuk jauh 2 prisma base out dan untuk dekat 10 prisma base out. Kemudian ia dilatih untuk bekerja (melihat dekat/13 inches) dengan 10 prisma base out tsb. dan ini dilakukan berulang. Bila telah tejadi fusi dengan mudah maka dilakukan fusi untuk jauh tanpa prisma. Kemudian dengan cara mengurangi jarak secara pelan-pelan 6-8 inches sampai akhirnya pada jarak 20 feet. Setelah fusi dapat diatasi dengan mudah dengan 10 prisma base out kemudian untuk jauh sampai kekuatan prisma 50 prisma. • Pengobatan over dan under koreksi post operatif. • Pengobatan preoperatif, untuk meningkatkan hasil fungsional sesudah operasi. • Banyak ahli mengemukakan terjadi perobahan dari esotropia dan eksotropia secara spontan dan juga koresponden menjadi normal. • Pada nistagmus penggunaan prisma mempunyai dua tujuan: - Pertama untuk memperbaiki tajam penglihatan, prisma base out akan merangsang fusi konvergen, dengan konvergensi ini waktu melihat dekat kadang-kadang nistagmusnya berkurang. - Kedua untuk memperbaiki posisi kepala, prisma diletakkan dengan base berlawanan dari gaze (yg lebih disukai). • Pengobatan ARC, dengan pemberian koreksi full prisma bisa merangsang titik yang koresponden dan bisa kembali NRC
XXVI. TERAPI BOTULINUM Alan B. Scott adalah orang pertama yang menggunakan botulinum toxin A dosis kecil pada otot extra okuler. Botulinum toxin adalah suatu “complex protein” yang dihasilkan oleh anaerob bacterium Clostridium botulinum yang dikenal sebagai suatu penyebab paralysis yang sering fatal melalui makanan. Toxin ini menyebabkan paralysis dengan memblock release acetyl choline presinaps pada neuromuscular junction. Dalam pengobatan, botulinum neurotoxin tipe A dalam dosis kecil dapat digunakan untuk memparesekan otot dengan injeksi langsung ke otot tersebut. 139
Hanya Botulinum neurotoxin tipe A yang digunakan dalam pengobatan.
Kerja botulinum toxin pada otot ada 3 step: Protein toxic melekat pada membrane saraf presinaps Toxin melewati membrane plasma presinaps Toxin menghambat release dari vesicle-bound acetyl cholin Indikasi : Strabismus Parese N VI Sensory strabismus Infantil esotropia Disthyroid myopathy Vertical strabismus Blepharospasme Hemifasial spasm Muscle tremor dan dystonia Kontra indikasi: Allergi Infeksi dan inflamasi pada tempat yang akan di injeksi Myastenia gravis (relative) Efek samping dan komplikasi: Dengan dosis yang aman jarang terjadi efek samping/komplikasi Efek samping atau komplikasi yang mungkin terjadi: Lemah Gejala seperti flu Dosis pada operasi strabismus: Dosis botulinum: 1.5 – 7.5 U ( kebanyakan 5U) Dosis initial: Untuk strabismus vertical da n strabismus horizontal < 20 PD : 1.25 – 2.5U Untuk strabismus horizontal dengan deviasi 20 – 50 PD 2.5 - 5U Untuk persistent VI nerve palsy ( 1 bl atau lebih) 1.25 – 2.5U pada rektus medial. Kemudian pasien dikontrol 7 – 14 hari, bila masih terdapat sisa maka dosis selanjutnya dapat ditingkatkan 2 x dosis pertama dan dosis maximum adalah 25U
140
Scot (2002) melaporkan angka keberhasilan dengan Botox A ini sebanyak 60 – 80% pada infantile esotropia dengan dosis 2.5 U per otot pada kedua otot rektus medial secara simultan. Carruthers J.D.A. et al, membandingkan hasil operasi adjustable suture dengan Botox mendapatkan hasil operasi lebih baik dari Botox (92.7% : 50.59%).
XXVII. PEMERIKSAAN STRABISMUS ANAMNESA: Keluhan: • Diplopia dan confusion • Astenopia • Posisi/gerakan mata abnormal • Silau bila cahaya terang Riwayat penyakit • Apakah ada famili (ortu, nenek, paman,bibi, sdr) dg kelainan ini • Apakah ada yang memakai kaca mata tebal • Apakah ada mata yang malas/kurang dipakai • Apakah mengalami operasi mata sebelumnya (ablasio, fraktur lantai orbita, glaukoma implan, katarak, operasi sinus, orbital dekompresi, neuro surgery) • Riwayat trauma • Bagaimana proses kehamilan, persalinan, apakah normal atau tidak. • Tipe/jenis deviasi • Apakah deviasi menetap atau intermitten • Apakah ada perbedaan deviasi jauh/dekat • Apakah anak menutup matanya bila cahaya terang (intermitten exo) • Bagaimana perkembangan anak (bicara, motorik), apa ada kelainan lahir umum yang lain. • Pada orang dewasa apakah serangan strabismus timbul mendadak • Apakah diplopia menetap, apakah diplopia dipengaruhi melihat dekat/jauh. • Sistem lainnya (keluhan neurologi, kelainan sistemik lain. PEMERIKSAAN Pengamatan : - posisi mata - posisi kepala - palpebra 141
-
fissura palpebra
Pemeriksaan visus - perkembangan visus - pemeriksaan/perkiraan visus bayi (pola fiksasi, OKN, VEP, Preferensial looking) ,, / ,, anak prasekolah (Sheridan Gadener atau HOTV, ileterate E, Allen picture, E game, BVAT sistem/simbol) - Pemeriksan visus anak sekolah/dewasa ( Huruf Snellen) - Pemeriksaan refraksi (memahami perobahan refraksi sesuai umur) PEMERIKSAAN MOTORIK Pemeriksaan kualitatif: - cover-uncover test untuk heteroforia - cover test untuk tropia - Alternate cover test (untuk foria dan tropia) - Angle Kappa Pemeriksaan kuantitatif: - Hirschberg test - Bruckner test - Prisma Krimsky test - Prisma cover test - Red glass test - Maddox rod test untuk heteroforia (horizontal/vertrikal) - Maddox double prisma test untuk cyclodeviasi - Maddox double-rod prisma test untuk cyclodeviasi - Diplopia test untuk mengukur deviasi - Unilateral/aternating strabismus Pemeriksaan/menilai( gerakan) otot mata - Duction - Version - Pemeriksaan 9 posisi - Forced duction test - Genereted muscle forced - Membedakan abduscen palsy (cross fixation, patch test, Doll’s head phenomen, nystagmus blokage syndrom - Divergence dan simulated divergence excess - Bielschowsky head tilt test 142
-
Mengukur AV pattern Foto 9 posisi Mendifferential diagnosa limitation of elevation: • double elevator palsy • orbital floor fracture • Brown superior obliq tendon sheath syndrom • Endocrine myopathy • Paralysis of vertical gaze • Skew deviation
PEMERIKSAAN SENSORIS: - Supresi (WFDT, 4 prisma base out, red glass test utk supresi, mengkur supresi skotom, blind spot mekanism) - Ambliopia (netral density filter, pola fiksasi, accentrc viewing/eccentric fixation, microstrabismus) - Retinal correspondence (Bagollini, after image, cupper test, monocular after image, mayor amblioskop) - Pola fiksasi - Stereoskopik ( amblioskop; two dimensional test: TNO,Titmus, Lang test; three dimentional test: Verhoof, Howard Dolman, AO vectograf untuk jauh). PEMERIKSAAN PADA STRABISMUS PARALITIK Duksi dan versi Dengan pemeriksaan duksi dan versi akan terlihat otot yang mana yang paralise, dimana otot yang paralise tidak bisa bergerak/tertinggal dari gerakan otot sinergisnya waktu dilakukan duksi kearah otot yang paralise. Mengukur deviasi primer dan deviasi sekunder Deviasi primer adalah deviasi mata yang terjadi waktu pemeriksaan versi dengan fiksasi pada mata yang sehat. Deviasi sekunder adalah deviasi yang terjadi pada waktu pemeriksaan versi dengan fiksasi pada mata yang paralise. Deviasi sekunder lebih besar dari deviasi primer. Posisi kardinal gaze Foto 9 posisi Head tilt test (Bielschowskyhead tilt test) Dasar fisiologisnya: Bila kepala dimiringkan maka akan terjadi kompensasi posisi mata pada axis antero posterior (walaupun tidak lengkap/full), akibat inervasi yang berasal dari aparatus otolit.
143
Bila kepala dimiringkan kekanan maka akan terjadi kompensasi gerakan rotasi mata kanan kekiri (intorsi) oleh kerja sama SR dan SO kanan, sedangkan mata kiri terjadi ekstorsi oleh kerja sama IR dan IO. Waktu kepala miring kanan: Mata kanan Kerjasama SR dan SO kanan Mata kiri kerjasama IR dan IO Waktu kepala miring kiri: Mata kanan kerjasama IR dan IO Mata kiri kerjasama SR dan SO
Gambar 82.
Pada hal pada posisi primer kerja kedua otot ini berlawanan, (IO menyebabkan elevasi dan IR menyebabkan depresi, SO menyebabkan depresi dan SR menyebabkan elevasi) Pada elevasi, otot yang bekerja sama adalah SR dan IO dan waktu depresi oleh IR dan SO
Gambar 83.
Pada parese SO kanan bila kepala dimiringkan kearah otot parese (kanan) gerakan elevasi dan adduksi dari SR tak ada hambatan sehingga mata kanan terjadi elevasi (up ward) positif Bielschowsky head tilt test Three step test dari Bielschowsky: 1. Tentukan tipe hipertropianya apakah hipertropia kanan (RHT) atau kiri (LHT) 2. Tentukan apakah deviasi vertical bertambaha waktu dextro dan levoversi 3. Tentukan apakah deviasi vertical nbertambah waktu kepala dimiringkan kearah kanan atau Kiri 144
Hipertropia kanan (RHT)
Hipertropia kiri (LHT)
Gambar 84.
6. Perobahan pada posisi kepala Perobahan posisi kepala terjadi sebagai kompensasi dari parese otot extra okuler untuk mencegah terjadinya diplopia/kebingungan penglihatan binokuler. Perobahan posisi kepala ini tergantung pada otot yang parese, jadi parese dari masing-masing otot extra okuler akan mengakibatkan posisi kepala yang berbeda-beda. Posisi kepala menuju kearah aksi otot yang underaction. Dengan melihat posisi kepala kita dapat menentukan otot yang parese. Posisi kepala pada parese otot:
Otot parese • R.L.R
• R.M.R •
L.L.R
• L.M.R • R.S.R • R.I.R •
L.S.R
• LI.R • •
R.S.O R.I.O
• L.S.O •
L.I.O
Turn/mutar keKANAN
Tilt/miring -
Chin up/down -
keKIRI keKIRI
-
-
keKANAN
-
-
keKANAN
KIRI
CHIN UP
keKANAN KIRI
KANAN KANAN
CHIN DOWN CHIN UP
KIRI KIRI KIRI
KIRI KIRI KANAN
CHIN DOWN CHIN DOWN CHIN UP
KANAN KIRI
CHIN DOWN CHIN UP
KANAN KANAN
145
Posisi kepala pada AV Pattern • A Eso dan V Ekso CHIN ELEVATION untuk mendapatkan fusi pada posisi downward gaze • A Ekso dan V Eso CHIN DEPRESSION untuk mendapatkan fusi pada posisi upward gaze DD posisi kepala pada parese otot ekstra ocular dan non parese otot ekstra okular: Pada parese otot ekstra ocular dengan menutup mata otot yg parese posisi kepala jadi normal, sedang pada non parese otot ekstra ocular tetap. Posisi kepala pada parese otot ekstra okuler bisa diluruskan secara pasif dan pada non parese tidak. 7. Past pointing tes 8. Electromyografi
XXVIII. AMBLIOSKOP Alat ini terdiri dari 2 tabung yang dapat digerakkan horizontal dan vertikal, dan pada masing-masing tabung diletakkan slide sebagai visual target transparan dengan ukuran dan bentuk yang bervariasi yang diterangi oleh lampu untuk melihat slide tsb. Pada ujung okuler tabung terletak lensa S +6.5D. Jarak dari slide kemata 15 cm sehingga mata tidak memerlukan akomodasi untuk melihat slide. Pergerakan tabung dapat dilihat pada skala yang mempunya ukuran dalam derajat dan prisma dioiptri. Kedua tabung dapat digerakkan baik secara terpisah atau bersamaan, dan penyinaran dapat dilakukan secara simultan maupun alternating. (gambar skema alat: arah sinar, letak slide, cermin miring, lensa, skala dan gambar lengkap alat
Gambar 85.
146
Kegunaan : Diagnosa kelainan penglihatan binokuler Kegunaan untuk diagnostik meliputi: • Mengukur besarnya angle kappa • Mengukur besarnya sudut deviasi (objektif dan subjektif dan angle deviasi) • Mengetahui keadaan/status penglihatan binokuler: - Persepsi simultan - Fusi - Stereopsis • Mengukur amplitudo fusi konvergen dan divergen • Menentukan korespondensi retina normal atau abnormal (NRC&ARC) dan supresi Terapi Pleoptik untuk terapi: • Ambliop • ARC dan fiksasi eksentrik Ortoptik: • Memperbaiki amplitudo fusi Cara pemakaian: Sebelum pemeriksaan atur jarak pupil sesuai dengan “pupil distance” pasien. Pemeriksaan Simultan perception, fusi dan stereopsis Persepsi simultan (slide merah) Pasien bisa melihat objek secara bersamaan dengan kedua mata (objek yang berbeda terlihat oleh mata kanan dan mata kiri secara bersamaan) Fusi (slide hijau) Pasien bisa menyatukan kedua objek ( harimau akan terlihat dengan ekor dan kupu-kupu didepannya) Stereopsis (slide kuning) Pasien akan bisa membedakan mana benda yang berada didepan dan dibelakang. Pemeriksaan” objective angle”,” subjective angle” dan “angle of deviation” 1. Kedua tangan amblioskop digerakkan oleh pemeriksa, dengan penyinaran bergantian/ alternating dari “flash light”: • Sampai tidak ada lagi gerakan fiksasi dari mata pasien (= alternate cover test), ini pada NRC • Atau kita lihat pantulan sinar sudah di tengah pupil kedua mata (pada ARC). 147
Kita lihat angka deviasi pada amblioskop (derajat dan prisma dioptri), maka angka itu menunjukkan “objective angle” (mis: 20 derajat). 2. Pasien disuruh melihat visual target (singa dan kandang), pasien mengatur/menggerakkan tangan amblioskop/bisa juga dibantu/digerakkan oleh pemeriksa maka akan didapat “subjective visual angle” dan beberapa hasil yang mungkin didapat: • Pasien melihat kedua objek (singa masuk dalam kandang) pada sudut yang sama dengan besar “objective angle” subjective angle = objective angle (NRC) • Pasien melihat objek (singa masuk kandang), pada posisi amblioskop tidak sama dengan “objective angle” ARC • Bila dua bayangan menyatu (singa dalam kandang) pada deviasi 10 derajat (kecil dari objective angle) “unharmonious ARC” “(incomplete adaptation”) • Bila kedua bayangan menyatu (singa dalam kandang) pada angka nol berarti “complete adaptation” “Harmonious adaptation” ARC. • Singa tidak bisa masuk kandang, ini terjadi pada supresi yang dalam, pemeriksaan “subjective angle” dengan amblioskop sering sulit karena karena pasien tidak bisa menyatukan kedua bayangan, pada keadaan kedua bayangan tidak mau disatukan ini kedua tangan amblioskop tetap digerakkan sehingga singa dan kandang makin mendekat dan pada satu saat bayangan singa dan kandang menyeberang (terjadi cross dari bayangan), maka pada titik menyeberang inilah merupakan “subjektif angle” .
XXIX. PERENCANAAN OPERASI PADA STRABISMUS Operasi strabismus pertamakali dilakukan oleh JohnTaylor (1703-1772), tetapi operasinya tidak dicatat/dilaporkan. Diffenbach (1792 – 1847) yang pertama kali memperkenalkan operasi strabismus dengan melakukan myotomi rectus medial. Von Graef 1861, melakukan partial tenotomy sebagai ganti myotomy. Prince (1887) melakukan recession. Goal pada operasi strabismus adalah meluruskan mata dengan prosedur sesedikit mungkin. .Multiple operation tidak hanya lebih mahal tetapi juga bertambah/meningkatnya resiko operasi. MERENCANAKAN OPERASI STRABISMUS Dalam merencanakan operasi strabismus perlu jawaban 5 pertanyaan sbb: 1. Kapan waktu yang terbaik untuk dilakukan operasi: 148
• • 2. Prinsip: • •
Fungsional < 18 bulan Kosmetik > 18 bulan Apakah operasi akan dilakukan pada satu atau dua mata
Kelainan symetris cenderung operasi symetris (2 mata) Kelainan dominan operasi pada satu mata (resect-recess satu mata) • Deviasi < 50 prisma 2 otot ,, 50 – 70 ,, 3 otot ,, > 70 ,, 4 otot 3. Otot yang mana yang akan dioperasi: • Horizontal deviasi otot horizontal • Otot yang lebih over action (+, ++, +++, ++++) • Eso simetris bilateral reses asimetris reses-resek 4. Prosedur apa yang akan dipakai Memilih otot yang akan dioperasi • Lebih mengutamakan otot yang over aksi • Kelainan simetris maka operasi kedua mata secara simetris • Kelainan yang tidak simetris operasi pada satu mata kecuali bila deviasi > 50 prisma Tipe operasi yang dipilih • Reses otot yang over aksi • Resek otot yang under aksi • Hangback (proksimal otot dijahitkan keinsersi secara tidak langsung tetapi digantung dengan benang), ini sering dilakukan pada deviasi besar. • Pada otot oblik reses bisa diganti dengan tenotomi • Faden diolakukan biasanya dilakukan pada otot yang over aksi pada satu arah tetapi pada arah yang berlawanan normal • Jensen biasanya dilakukan pada strabismus paralitik • Jumlah reses/resek yang diperlukan (lihat daftar) • Pada AV pattern dilakukan pergeseran insersi keatas/kebawah (tergantung tipe A/V) • Operasi “adjustable suture” dilakukan untuk lebih bisa menghasilkan hasil operasi yang lebih baik/mengurangi over atau under action. Pada esotropia kongenital 1. Waktu terbaik dilakukan operasi 149
Pada dasarnya pasien dengan fiksasi bifoveal operasi dilakukan sesegera mungkin, sedangkan untuk fiksasi yang tidak bifoveal waktu tidak begitu penting. Pada esotropia kongenital: Waktu operasi sebaiknya dilakukan pada usia sebelum atau pada usia 2 tahun (kalau bisa pada usia 1 tahun) Alasan: • Lebih banyak kemungkinan perbaikan fungsional • Bila dioperasi pada usia > 2 tahun akan terjadi “long standing congenital strabismus” yang akan menimbulkan perobahan pada otot ekstra okuler, konjungtiva dan kapsula tenon sehingga menyulitkan operasi. • Tujuan utama dari operasi strabismus adalah untuk penglihatan binokuler tunggal. Walaupun kemungkinan terdapat suatu defek sentral kongenital yang mencegah perbaikan fungsi binokuler yang komplit, Von Noorden tidak menganjurkan “late operation” bila ditemui kriteria sbb: 1. Deviasi yang cukup besar dan stabil 2. Tidak adanya faktor akomodatif 3. Terdapat pola alternating setelah pengobatan ambliopia 4. Mengidentifikasi adanya hubungan dengan deviasi vertikal 5. Operasi disamping tujuan binokuler juga untuk mencegah terjadinya kontraktur dari rektus medial, konjungtiva dan kapsula tenon dan juga mengurangi stres orang tua karena mata anaknya juling. 6. Sebagian ahli melakukan operasi pada usia diatas 2 tahun dengan alasan: • Operasi pada usia bayi dihindari/tidak boleh dilakukan.(Arruga & Downey) • Hasil operasi pada usia bayi (4-18 bulan) sering menyebabkan over dan underkoreksi juga hasil kosmetik tidak lebih baik dari pada bila dioperasi pada usia lebih (Fletcher&Leahey) • Fungsi binokuler normal jarang diperoleh bila deviasi timbul sejak lahir (Low, Berkey & Leahey) • Penyebab terjadinya deviasi karena bawaan fusi akibat adanya defek congenital. (Worth) • Pemeriksaan pada bayi sulit dan tidak bisa lengkap dalam merencanakan suatu operasi. AV Pattern tak terdeteksi dan fiksasi jauh belum bisa diperiksa (Kapan operasisaat yang ideal dilakukan segera sesudah diagnosa lengkap)
•
Apakah operasi pada satu atau dua mata: Prinsip operasi adalah simetris karena visual sistem manusia secara anatomis dan fisiologis adalah simetris pada kedua mata. Memilih tipe operasi pada esotropia kongenital Pada kelainan yang simetris dilakukan operasi simetris (bilateral reses) • Tetapi pada kelainan gerakan dan sensoris yang dominan pada satu mata maka operasi dilakukan pada satu mata (reses resek). 150
Von Noorden lebih menyukai operasi pada satu mata karena lebih mudah mengukur jumlah operasi dan umumnya lebih sesuai dengan perkiraan, disamping itu juga mudah mengukur jumlah operasi pada mata ke dua berdasar operasi yang pertama. Otot mata mana yang dioperasi Pada dasarnya otot yang dioperasi adalah otot yang geraknya patologik (eksesif dan insufisiensi), sebaiknya dibagi pada dua otot tetapi lebih diutamakan pada otot yang eksesif dari pada otot yang insufisiensi. Cara operasi: • Reses –resek • Reses bilateral • Tenotomi • Tenektomi • Miotomi • Miektomi • Tucking • Adjustable suture • Hang back • Fiksasi posterior(Jensen) • Cara Hummelscheim’s • Dan lain-lain. Jumlah operasi Walau jumlah operasi didasarkan pada besar deviasi tetapi pada mata dengan fiksasi bifoveal hubungan antara besar deviasi dan millimeter operasi tidak spesifik/tidak berkolerasi, dimana operasi dengan cara simetri hasilnya hampir sama untuk/pada deviasi 10 – 45 derajat. Untuk mata yang tidak mempunyai fiksasi bifoveal ada hubungan antara besar deviasi dan jumlah mm operasi. (Recess conjunctiva sampai ke insersi otot akan menambah efek reses 1 -1.5 prisma per mm reses otot) . Benang operasi: Cat gut : Keuntungannya : - Bahan dari hewan (usus binatang) - Mudah diabsorbsi Kerugiannya : - Kurang kuat dan kurang uniform - Rx imflamasi - Kemungkina ada yang jahitan lepas 151
Collagen: Keuntungan
: - Bahan dari hewan (dari fascia) - Mudah diabsorbsi - lebih halus/licin - Lebih mudah diikat dan simpulnya kuat Kerugian : - Rx imflamasi dan granuloma. - Kemungkinan ada jahitan yang lepas Vicryl (lebih banyak dipakai) : Keuntungan : - Bahan sintetis (polyglactin) - Lebih uniform dan mudah melewati jaringan - Untuk reses dan resek otot dengan ukuran 6 – 0 dan konjungtiva dengan 8 – 0 - Rx imflamasi jarang - Benang bisa bertahan selama 14 s/d 21 hari (waktu yang cukup untuk penyembuhan jaringan otot dan sklera (habis diserap setelah 3 bulan) Nylon atau Dacron (non absorbable): Keuntungan : - Rx imflamasi minimal - Lebih baik dari Silk - Digunakan untuk Tucking tendon SO atau otot rektus; Jensen; Faden
XXX.
SINGKATAN DAN BEBERAPA NILAI NORMAL DALAM STRABISMUS SINGKATAN-SINGKATAN PADA STRABISMUS
E=Esophoria; X=Exophoria; LH=Left hyperphoria; RH=Right hyperphoria ET=Esotropia; XT=Exsotropia; RHT=Right hypertropia; LHT=Left hypertropia; RHoT=Right hypotropia; LHoT=Left hypotropia E(T)=Intermitten esotropia; X(T)=Intermitten exotropia RH(T)=Intermitten right hypertropia; LH(T)=Intermitten left hypertropia BEBERAPA NILAI-NILAI (NORMAL) YANG PENTING DALAM STRABISMUS Gambar: makula dengan bagian dan ukuran-ukurannya 1 mm = 3. 35 derajat 1 prisma = 0. 57 derajat = 0.17 mm 1 derajat = 1. 67 prisma = +/- 0.3 mm 1 derajat = 60 menit busur = 3600 detik busur 152
Area Panum = 0. 25 derajat = 15 menit busur = 900 detik busur Foveola : 1. 2 derajat = 1. 2/3. 35 (1/3) mm = 0. 35 mm Fovea : - 5 derajat = 5/3. 35 mm = 1.5 mm - ukuran fovea = ½ tebal normal Makula : 18. 4 derajat = 18. 4/3. 35 mm = 5. 5 mm Jarak fovea – papil: 13. 5 derajat = +/- 4 mm Sensasi visual yang disadari : dalam batas 5 derajat (aktifitas cone)
Gambar 86.
Tajam penglihatan Stereoskopik: - Secara laboratoriss dapat dideteksi 2 -7detik busur - Secara klinis yang baik 15 – 30 detik busur Kesan penglihatan stereoskopik: Hanya sampai jarak 2000 feet (650 meter)= 7000 x PD Menurut Von Noorden jarak tersebut 125-200 meter) Pemeriksaan dengan TNO: - “Periferal stereopsis” : - “Macular” : - “Foveal” :
400 – 3000 detik busur` 60 – 200 detik busur 60 detik busur/lebih baik
WFDT: Proyeksi pada jarak 6 meter
1.25 derajat 153
Proyeksi
,,
,,
0. 33 meter 6
,,
Perkembangan mata: (Hoyt) - Mata lurus : ,, 3 – 4 minggu - Gaze vertikal : ,, 3 – 4 ,, - Binokularitas mulai : ,, 8 ,, (2 bl) - Sistem vergen berfungsi : ,, 8 – 12 ,, (2 – 3 bl) - Akomodasi ,, ,, : ,, 3 – 4 bulan - Sel cone seperti dewasa : usia 4 bulan - Deviasi jauh belum bisa dinilai sebelum usia 2 tahun Tajam penglihatan: 1.0 = 20/20 = 5/5 0.7 = 20/30 = 5/7.5 0.5 = 20/40 = 5/10 0.4 = 20/50 = 5/12.5 0.3 = 20/70 = 5/17.5 0.2 = 20/100 = 5/25 0.1 = 20/200 = 5/50 Tajam penglihatan berdasar usia: • Usia beberapa hari : Rx pupil • ,, 5 – 6 minggu : reflek fiksasi (bisa mengikuti cahaya sampai bbrp derajat) • ,, 3 bulan : mengikuti cahaya (“following reflex”) kesegala arah. • ,, 4 bulan : menjangkau objek (gabungan fiksasi dan gerakan mencapai) • ,, 6 ,, : 20/200 = 6/60 • ,, 1 tahun : 20/100 = 6/30 • ,, 2 ,, : 20/60 = 6/18 • ,, 3 ,, : 20/30 = 6/9 • ,, 4 – 5 ,, : 20/20 = 6/6; Perkiraan tajam penglihatan berdasar pola fiksasi: 2. “Gross fixasi”/afiksasi 3. Fiksasi tidak sentral 4. Fiksasi sentral tapi fiksasi tak menetap 5. Fiksasi sentral dan menetap tapi lebih menyukai mata lainnya 6. Alternating spontan
: 5/200 : 20/300 : 20/100 – 20/200 : 20/30 – 20/70 : 20/20
Sinar matahari yang bisa dilihat : sinar dengan panjang gelombang 400 – 800 u. 154
Pembesaran bayangan pada koreksi afakia : 7. Dengan lensa S + 10 : bayangan diperbesar 25% 8. Dengan lensa kontak : ,, ,, 7% 9. Dengan IOL : ,, ,, 1.9% Beda bayangan yang masih ditolerir untuk fusi 5 – 8%
Fusi • •
Tenaga fusi meningkat sampai usia 9 bulan 9 bl – 3 th menurun dan setelah usia 3 tahun sangat berkurang. Operasi strabismus pada usia > 4 tahun binokularitas jelas tidak ada.
Amplitudo fusi konvergen :
- 6m : 14 prisma. - 25 cm : 38 ,, Amplitudo fusi divergen : - 6 m : 6 prisma - 25 cm : 16 prisma Amplitudo fusi vertikal : - 6 m : 2. 5 prisma - 25 m : 2. 6 prisma AC/A ratio (normal): 3. 5 – 4 prisma. Kemampuan gerakan otot mata: • Adduksi : 40 derajat • Abduksi : 42 derajat • Elevasi : 34 derajat • Depresi : 54 derajat Dalam keadaan normal mata hanya bergerak 15 – 20 derajat dari posisi primer. Deviasi terkecil yang nampak secara inspeksi lebih kurang 7 derajat Rotasi okuler: 6-8 derajat (max 12 derajat). Bila kepala dimiringkan terjadi kompensasi: - intorsi 7 +/- 3.10 derajat. - ekstorsi kontra lateral : 8 +/-2.5 derajat.
155
XXX. KEPUSTAKAAN: 1.
4.
Abadi R.V. Mekanisme underlying nystagmus. Journal of the Royal Society Medicine. 2002; 231-234. 2. Alan Scot. Botulinum treatment of strabismus following retinal surgery. Arch Ophthalmol. 1990;108 3. Atzmon et al. A Randomized Prospective Masked And Matched Comparative Study of Orthoptic versus Convensional Reading Disabilities In 62 Children. Binocular Vision. 1993; 8: 91 – 103. Bartiss M.J. Convergence Insufficiency. in E- Medicine. 2001; 1-8. 5. Bosley T.M, et al. Neurological feature of congenital fibrosis of the extraocular muscles type 2 with mutations in PHOX2A. Oxford University Press on behalf of the Guarantors of Brain. 2006: 2363 -2374. 6. Caldeira J.A.F, Bilateral Recession of the Superior Oblique Graded According to the A Pttern: A Prospective Study of 21 Consecutive Patients. Binocular Vision & Eye Muscle Surgery Qtrly. 1995; 10: 167 – 174. 7. Carruthers J.D.A, et al. Botulinum vs Adjustable Suture Surgery in the Treatment of Horizontal Misalignment in Adult Patients Lacking Fusion. Arch Ophthalmol. 1990; 108: 1432 – 1435. 8. Chauduri Zia, Step by Step Clinical management Strabismus. Yaypee, New Delhi, Jaypee 2008. 9. Clinical neuro ophthology. 4th ed. Williams & Wilkins, Baltimore 1982; 33-40. 10. Clinical use of botulinum toxin. National Institutes of Health Concensus development Conference Statement, http://text.nlm.nih.gov/nih/cdc/www/83txt.html 1990; 1 – 18. 11. Doberty E.J, et al. CFEOM3: A New Extraocular Congenital Fibrosis Syndrome that Maps to 6q24.2-q24.3. IOVS. 1999; 40: 1687 – 1694. 12. Duckman. R.H. Visual Developmen, Diagnosisi and treatment of Pediatric Patient. Lippincott, William Wilkins. 2006. 13. Duke – Elder S.S, Ocular Motility and Strabismus ed. System of Ophthalmology. Henry Kimpton, London 1976; VI. 14. Engman J.H, et al. Efficacy of inferior oblique anterior transposition placement grading for dissociated vertival deviation. Ophthalmol. 2001; 108: 2045-2050. 15. Elmer J, Fahmy Y.A, Nyholm M. Extended wear soft contact lenses in treatment of strabismic amblyopia. Acta ophthalmologica. 1981; 59 : 546 -551. 16. Engle E.C, et al. CFEOM I, the classic familial form of congenital fibrosis of the extraocular muscles, is genetically heterogeneous but does not resuly from mutatrion in ARIX. Licensee BioMed Central, http://www.biomedcentral.com/1471-2156/3/3: 1 – 8. 17. Eustis H.S and MacPhee A. Screening for “Absen bifixation” (Monofixation Syndrom): The Superiority of the distance Polaroid Vegtograf test for Supression Over Near Stereotest, in 246 children. Binocular Vision. 1993; 8: 83 – 88.
156
18.
Evans B & Doshi S. Binoculaar Vision and Orthoptics. Investigation and Management. Butterworth, Oxford 2001. 19. Evans B.J.W. Binocular Vision Anomalies. 5th ed. ButterworthHeinemann, London 2007. 20. Gamio.S. Surgical alternative for DVD Based on New Pathologic concept: weakening all Four Obliq Eye Muscle, outcome and result in 9 cases. Binocular vision. 2002; 17: 15-24 21. Griffin & Grisham, Binocular Anomalies, diagnosis and vision teraphy. 4 th ed. Butterworth & Heinemann, New York 2002. 22. Good WV& Hoyt C. Strabismus Management. Butterworth-Heinemann, Boston 1996. 23. Haldi B.A & Mets M.B. Non Surgical Treatment of Strabismus. Focal Points, A.A.O. 1997; 1-12. 24. Houston C.A et al. Clinical characteristics of microtropia – is microtropia a fixed phenomenon? Br.J Ophthalmol. 1998; 82: 219 – 224. 25. Ing. M.R. Early surgical alignment for congenital esotropia. J Pediatr Ophthalmol Strabismus. 1983; 20: 11- 18. 26. Jacobson DM. Divergence Insufficiency Revisit. Arch Ophthalmol. 2000; 118: 12371241. 27. Lang J. Amblyopia of Microstrabismus. Transaction of European congress in London. 1969; 160-164 28. Johnson J.A.P& Tillson. Can. J. Ophthalmol. 1983; 18: hal dan judul? 29. Harley’s Pediatric Ophthalmology. 5th ed. Lippincott, William& Wilkins. 2005. 30. Helveston E.M. Surgical Management of Strabismus. 5th ed. Department of Ophthalmology Section of Pediatric Ophthalmology and Strabismus Indianapolis. Indiana. 2005.
113
31.
Holmes J.M, et al. Duane Syndrome Associated With Oculocutaneus Albinism. J Pediatr Ophthalmol Strabismus. 1991; 28: 32-34. 32. Hupp S.L, et al. Computerized Tomography in the diagnosis of the Congenital Fibrosis syndrome. J Clin Neuro-ophthmol. 1990: 10: 135 – 139. 33. Hyun Kim S, et al. Standard strabismus surgery in Thyroid Ophthakmopathy. Binoculvis Q. 2009; 24: 86 – 92. 34. Kertesz A.E. & Kertesz J. Wield Field Fusional Stimulation in Strabismus. American J of Optometri and Phisiology Optic. 1986; 63: 217-222. 35. Kuang Lin L, et al. KIF21A gene c.2860C>T mutation in congenital fibrosis of extraocular muscles type 1 dan 3. Molecular Vision 2005; 11: 245-248. 36. Lang J. Microstrabismus. Ferdinand Enke Verlag Stutgard. 1973; 34 – 37. 37. Lang J. Amblyopia of Microtropia. Transaction of European Congres in London. 1969; 160 – 164. 38. Leguire L.E. et al. Long-Term Follow- Up of L-dopa Treatment in Children With Ambyopia. J.Pediatr. Ophthalmol Strabismus. 2002; 39: 326-330. 39. Ludwig, I.H &Park M.M. Long-term study of accommodative esotropia in Trans Am Ophthalmol Soc. 2003; 101: 155 – 160. 40. Mazow M.L. Discussion: Early Surgery for Essential Infantil Esotropia. J Pediatr Ophthalmol Strabismus. 1990; 27: 119
157
41.
45.
Merriam M.W, et al. Congenital Blepharoptosis, anisometropia, and ambyopia. Am. J Ophthalmol. 1980; 89 : 401 – 407. 42. Moralte A.B. & Rosenbaum A.L. Vertical Rectus Muscle Transposition Surgery for Duane’s Syndrome. J. Pediatr Ophthlmol Strabismus. 1990; 27: 171-177. 43. Moses R.A, Adler’s Phisiology of the eye. 7th ed. CV Mosby, St. Louis 1981. 44. Nelson B.L. et all. Congenital Esotropia. Surv. Ophthalmol. 1987; 31: 363-383 Park M.M. Ocular motility and Strabismus. Harper & Row, New York 1975; 123 – 131. 46. Pavan D – Langston. Manual of Ocular diagnosis and Therapy. Little Brown and Company, Boston 1980. 47. Pediatric Ophthalmology and Strabismus. American Academic of Ophthalmology. San Fransisco 2005-2006. 48. Pillai P &Dhand U.K. Cyclic Esotropia With Central Nervous System Desease: Report of Two Cases. J. Pediatr. Ophthalmol Strabsmus. 1987; 24: 237 – 241. 49. Pollard Z.F. Are We Missing Amblyopia ? The Answer : Preschool Screening. J. Pediatr. Ophthalmol Strabismus 1977; 60 : 603 – 605. 50. Pratt-Johnson J.A & Tillson G. Management of strabismus and Amblyopia. Thieme Medical Publishers. New York 1994. 51. Romano P.E, Ross N.L. Augmentation of Lateral Rectus Recession by Cunjunctival Recession. Annals of Ophthology 1982; 1144-1146. 52. Romano P.&Rohot P. Measured Graduated of the Superior Obliq. J Pediatr Ophthalmol strabismus. 1983; 20: 134 – 140. 53. Rosenbaum A.L & Santiago A.P. Clinical Strabismus Management. W.B Sounders, Philadelphia 1999. 54. Rosner. J. Pediatric Optometry. Sec. ed. Butterworths, Boston 1990. 55. Santiago A.P et al. Journal of AAPOS. 1998; 2: 5-11. 56. Scheiman M& Wick B. Clinical Management of Binocular Vision. Third ed. Wolters Kluwers/ Lippicott William&Wilkins, Philadelphia 2008. 57. Scott A.B. Botulinum Neurotoxins in the Management of Strabismus. Strabismus, USF, Neurotoxin Institut 2002-2007. 58. Scot W.E. Office use of prisms. Simposium strabismus. New Orleans, Mosby, St. Louis 1978. 59. Scot. A.B. Botulinum treatment of strabismus following retinal surgery. Arch.Ophthalmol. 1990; 108: 509 – 510. 60. Scott W.E et al, Surgery for Large Angle Congenital Esotropia. Arch Ophthalmol. 1986; 104: 374- 377. 61. Skuta GL et al. Basic and clinical Sciense course. Pediatric Ophthalmology and Strabismus. AAO 2008. 62. Snell. R.S, (Alih Bahasa, Maulany R.F). Neuroanatomi Klinik (clinical Neuroanatomy for Medical Studens). Sec. ed. Little Brown & Co, Washington 1997. 63. Snir M et al. Combine resection and anterior transposition of inferior obliq muscle for asymmetric double dissociated vertical deviation. Ophthalmol. 1999; 106: 2372-2376. 64. Stein H.A. Slatt B.J. Manual Terminology. Mosby, St Louis 1982. 114
65.
Stass-Issen.M, Olitsky.S. Emmetropization in Accomodative Esotropia: An Update and Review, in Comprehensive Ophthalmology Update, LLC 2006. 66. Tommila V, Tarkanen A. Incidence of loss of vision in healthy eye in amblyopia. British J.ophth. 1981; 65: 575 – 577.
158
67.
Verlee D.L. Pleoptic versus occlution of the sound Eye. Am. J. Ophthalmol. 1967; 63 :
244 .250,.
68.
Von Noorden G.K. Factors involve in the production of ambliopia. Brit .J.Ophthalmol.
1974; 56: 158 – 164.
69.
Von Noorden G.K. Binocular vision and Ocular motility. 5th ed. C.V Mosby. St Louis
1996.
70.
Von Noorden G.K, et al. Horizontal Tansposition of the Vertical Rectus Muscles for treatment of Ocular Torticollis. J Pediatr Ophthalmol Strabismus. 1993; 30: 8 – 14. 71. Von Noorden G.K. Atlas of Strabismus, 3rd ed. Mosby, St Louis 1977 72. Von Noorden GK and Helveston E.M. Strabismus A Decision Making Aproach. Mosby, St. Louis 1994. 73. Von Noorden et al. Horizontal Transposition of the Vertical Rectus Muscles for treatment of Ocular Torticollis. J. Pediatr Ophthalmol Strabismus. 1993; 30: 8 -18. 74. Wright K.W et al. Handbook of Pediatric Neuro-Ophthalmology, Springer. Los Angeles 2006. 75. Wright KW. Atlas of Strabismus Surgery. Sec. ed. Lippincott, California 2000. 76. Wright KW, et al. Pediatric Ophthalmology and Strabismus. Sec. ed. Mosby, St Louis. 1995. 77. Yaffe N.S, Cataract Surgery and its complications, 2th ed. CV Mosby, St Louis. 1976. 78. Khawan et, all. Abnormal Ocular Head Posture Part II (Duane Retraction Syndrom). Annals of ophthal. 1987; 19: 393-395. 79. Obha M, et al. An Unusual Case of Congenital Convergent Strabismus Fixus. Binocul Vis Strabismus Q. 2005; 20: 89-92. 80. Larsen P.C et al. Partial Jensen’s Procedure for the Treatment of Myopic Strabismus Fixus. Journal of AAPOS. 2004; 8: 393 – 395.
PEMERIKSAAN MATA UNTUK LISENSI/SIM American medical association UNTUK UNLIMITED LICENSE 159
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Visus dengan/tanpa kaca mata 20/40 pada satu mata dan 20/100 pada mata lainnya. Lapangan penglihatan >/= 45 derajat pada seluruh meridian Adanya single binoculer vision Bisa mengenal warna merah, hijau dan kuning Tidak buta senja Kaca mata kalau ada kelainan refraksi harus dipakai
UNTUK LIMITED LICENSE 1. Visus >/= 20/65 (lebih baik dari 20/65) untuk mata yang baik. 2. Lapangan pandang >/= 60 derajat 3. Tidak diplopia 4. Gerakan baik 5. Tidak untuk transport umum Pemeriksaan untuk SIM sebaiknya tiap 3 tahun Pemeriksaan ulang visus sebaiknya tiap 6 bulan (tahun?) Bila terjadi perkembangan defek visual perlu diperiksa doktermata kembali Perlu pembatasan khusus untuk pengemudi terhadap keadaan SIM
KEPUSTAKAAN YANG KURANG LENGKAP
160
81. Chun B.Y et al. Reduction of angle Deviation Angle During Occlusion Therapy: In Partially Accomodative Esotropia with Moderate Ambliopia. Kor. J. Ophthalmol. 2007; 21: hal? 1 82. Dong G.C. Rosenbaum A.L. Medical Rectus Resection with Adjustable suture for intermitten Exotropia of The Convergence Insufficiency Tipe. J. of American Association of Ped Ophthalmol and Strab. 2001; 1-9. vol?2 83. Swets & zeitlinger. Strabismus . 2001; 9: 225-230 nama jurnal? 3 84. Taylor & Hoyt. Ophthalmol Strab. 2005; 1916-1918. vol? 4 85. Von Noorden. Am J Ophthalmol. 1992; 114: 311-313. judul? 5
XXIV. TERAPI BOTULINUM
161
Alan B. Scott (1979) adalah orang pertama yang menggunakan botulinum toxin A dosis kecil pada otot ekstra okuler manusia. Botulinum toksin adalah suatu “complex protein” yang dihasilkan oleh “anaerob bacterium Clostridium botulinum” yang dikenal sebagai suatu penyebab paralisis yang sering fatal melalui makanan. Toksin ini menyebabkan paralisis dengan memblok release acetyl choline presinaps pada “neuromuscular junction”. Dalam pengobatan, neurotoksin botulinum tipe A dalam dosis kecil dapat digunakan untuk memparesekan otot dengan injeksi langsung ke otot tersebut. Hanya Botulinum neurotoxin tipe A yang digunakan dalam pengobatan. Kerja botulinum toksin pada otot ada 3 step: Protein toksik melekat pada membrane saraf presinaps Toksin melewati membrane plasma presinaps Toksin menghambat release dari “vesicle-bound acetyl cholin” Indikasi : Strabismus Parese N VI Sensory strabismus Infantil esotropia Disthyroid myopathy Vertical strabismus Blepharospasme Hemifasial spasm Muscle tremor dan dystonia Kontra indikasi: Allergi Infeksi dan inflamasi pada tempat yang akan di injeksi Myastenia gravis (relative) Efek samping dan komplikasi: Dengan dosis yang aman jarang terjadi efek samping/komplikasi Efek samping atau komplikasi yang mungkin terjadi: Lemah Gejala seperti flu Dosis pada operasi strabismus: Dosis botulinum: 1.5 – 7.5 U ( kebanyakan 5U) Dosis initial: Untuk strabismus vertical da n strabismus horizontal < 20 PD : 1.25 – 2.5U Untuk strabismus horizontal dengan deviasi 20 – 50 PD: 2.5 - 5U Untuk persistent VI nerve palsy ( 1 bl atau lebih) 1.25 – 2.5U pada rektus medial. 162
Kemudian pasien dikontrol 7 – 14 hari, bila masih terdapat sisa maka dosis selanjutnya dapat ditingkatkan 2 x dosis pertama dan dosis maximum adalah 25U Scot (2002) melaporkan angka keberhasilan dengan Botox A ini sebanyak 60 – 80% pada infantile esotropia dengan dosis 2.5 U per otot pada kedua otot rektus medial secara simultan. Carruthers J.D.A. et al, membandingkan hasil operasi adjustable suture dengan Botox mendapatkan hasil operasi lebih baik dari Botox (92.7% : 50.59%).
Kepustakaan yang perlu diklarifikasi lagi
163
86. Kwan et, all. Annals of ophthal. 1987; 19: 393-395. judul? 15 87. Von Noorden. Am J Ophthalmol. 1992; 114: 311-313. judul? 16 88. Obha. et al. Bin.Vis 2005; 20: 89-92. judul 17 89. Larsen P.C et al. journal of AAPOS. 2004; 8: judul, halaman? 18 90. Jurnal Oftalmologi Indonesia. 2003; 1: 21-24. judul, pengarang? 19 91. William Clark et al, ……. judul, jurnal,th? 13 92. Wood et al. strab.management. Judul buku, th penerbit ? 14 93. Swets & zeitlinger. Strabismus . 2001; 9: 225-230. nama jurnal? 11 94. Taylor & Hoyt. Ophthalmol Strab. 2005; 1916-1918. vol? 12 95. Squint Master. Com, http://www.squintmaster.com/index.htm. judul? 10 96. Sight saving review vol 41 No.2 1971 judul, hal? 9 97. J.Lang. Transaction of European congress in London. 1969; 160-164 judul? 7 98. Ing M.R. in Alan Scot. Botulinum treatment ? Tahun dan halaman? 6 99. Encyclopedi of medical syndrome th?// 5 100. Engman J.H, et al. Efficacy of inferior oblique anterior transposition placement grading for dissociated vertical deviation. Ophthalmol. 2001; 108: 2040-2050. 101. Dong G.C. Rosenbaum A.L. Medical Rectus Resection with Adjustable suture for intermitten Exotropia of The Convergence Insufficiency Tipe. J. of American Association of Ped Ophthalmol and Strab. 2001; 1-9. vol? 3 102. Chun B.Y et al. Reduction of angle Deviation Angle During Occlusion Therapy: In Partially Accomodative Esotropia with Moderate Ambliopia. Kor. J. Ophthalmol. 2007; 21: hal? 2 164
103.
Cattford&Oliverd penerbit? 1
judul, tahun,
Catatan: koreksi penulisan kepustakaan mengenai(titik, koma, titik koma, titik dua, letak halaman dan tahun)
SOAL 1. Bagaimana diagnosa dan pengobatan Duane Retraction syndrome? 2. Bagaimana diagnosa dan pengobatan Accomodative Esotropia? 3. Bagaimana diagnosa dan pengobatan Dissociated Vertical Divergence? SOAL STRABISMUS Seorang pasien usia 10 th dibawa orang tuanya ke poli mata dengan keluhan mata kanan juling keluar terutama bila pasien melihat jauh. Juling mulai terlihat oleh orang tuanya sejak pasien berusia 4 tahun. Mulanya juling terlihat kadang kadang terutama waktu ngelamun. Akhir akhir ini juling makin nyata dan bila pasien konsentrasi melihat matanya bisa lurus. Bagaimana/apa saja pemeriksaan yang dilakukan, apa diagnosa dan bagaimana penatalaksanaan pasien ini. Data-data pasien (diarahkan untuk intermitten exotropia 165
Anamnesa: 1. Timbul keluhan sejak usia 4 tahun 2. Nenek pasien juga ada juling 3. Trauma lahir tidak ada/lahir normal Pemeriksaan 1. visus OD 6/6 dan OS 6/6 2. Deviasi jauh OD exo 30 derajat dan deviasi dekat 15 derajat. 3. WFDT : melihat 3 titik hijau (supresi OD) 4. Red filter test : henya melihat sinar merah (supresi OD) 5. Oklusi test (1 jam) deviasi dekat menjadi 30 derajat 6. Amblioskop: • SP (+) • Fusi (–) • Stereoskopik (-) • Objektive angle : 60 prisma • Subjective angle: 40 prisma 7. Visuscop : • Mulanya proyeksi bintang di fovea kemudian bergeser keperifir (Eccentric viewing) SOAL STRABISMUS 1. Bagaimana diagnosa dan pengobatan AV Pattern 2. Bagaimana penatalaksanaan esotropia congenital dan bagaimana hasil pengobatan dianggap berhasil. 3. Bagaimana gambaran klinik nystagmus blockage syndrome dan bagaimana pengobatan nystagmus congenital pada umumnya. CARA SCANNING GAMBAR 1. Buka file word yang ingin diisi gambar 2. Pilih ‘insert’ klik kiri “picture” keluar pilihan , pilih “from scanner or camera” klik kiri keluar menu scan, pilih custom insert klik kiri, tunggu scan preview selesai blok gambar yang akan di scan (gambar kalau terbalik bisa diputar) klik scan
MOHON BANTUAN KOREKSI DAN MASUKAN UNTUK PERBAIKAN 166
Terima kasih Dr. Muslim
MOHON BANTUAN KOREKSI DAN MASUKAN UNTUK PERBAIKAN Terima kasih Dr. Muslim
MOHON BANTUAN KOREKSI DAN MASUKAN UNTUK PERBAIKAN Terima kasih Dr. Muslim
MOHON BANTUAN KOREKSI DAN MASUKAN UNTUK PERBAIKAN Terima kasih 167
Dr. Muslim MOHON BANTUAN KOREKSI DAN MASUKAN UNTUK PERBAIKAN Terima kasih Dr. Muslim
MOHON BANTUAN KOREKSI DAN MASUKAN UNTUK PERBAIKAN Terima kasih Dr. Muslim
MOHON BANTUAN KOREKSI DAN MASUKAN UNTUK PERBAIKAN Terima kasih Dr. Muslim MOHON BANTUAN KOREKSI DAN MASUKAN UNTUK PERBAIKAN 168
Terima kasih Dr. Muslim
169
View more...
Comments