Buku Sosiologi Pedesaan

February 11, 2018 | Author: budi.mahe1981 | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

ok...

Description

Pengertian Sosiologi Pedesaan Menurut Para Ahli Sebelum lebih jauh memahami pengertian sosiologi pedesaan menurut para ahli, mengetahui pengertian desa sangatlah penting karena merupakan obyek dari sosiologi pedesaan itu sendiri. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan daerah, desa didefinisikan sebagai suatu wilayah yang ditempati sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum, yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah, langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Cermati juga pengertian sosiologi menurut para ahli. Perkembangan sosiologi pedesaan sebagai salah satu cabang dari sosiologi, tidak lepas dari peranan para akademisi di Amerika Serikat saat itu yang kurang lebih setengah abad telah mengembangkannya dan menjadi bidang akademik yang terpandang dan professional, seperti pada tulisan Smith dan Zopf (1970), Galeski (1972).Sosiologi pedesaan tumbuh dan berkembang untuk pertama kalinya di Amerika Serikat, bermula dari para pendeta Kristen yang hidup di daerah pedesaan, yang kemudian aktif menuliskan bagaimana kondisi sosial ekonomi masyarakat pedesaan yang hidup di bagian utara Amerika. Mari kita simak dan telaah pengertian sosiologi pedesaan menurut para ahli : 

Menurut T. Lynn Smith dan Paul E. Zapt menguraikan bahwa sosiologi pedesaan adalah kumpulan pengetahuan yang telah disistematisasi yang dihasilkan lewat penerapan metode ilmiah ke dalam studi tentang masyarakat pedesaan, struktur organisasinya, proses-prosesnya, sistem sosialnya yang pokok dan perubahan-perubahannya (Rahardjo, 1999).



Menurut Jhon M. Gillette (1922:6) Sosiologi pedesaaan adalah cabang sosiologi yang secara sistematis mempelajari komunitas-komunitas pedesaan untuk mengungkapkan kondisi-kondisi serta kecenderungan-kecenderungannya dan merumuskan prinsipprinsip kemajuan.



Sosiologi pedesaan merupakan studi yang melukiskan hubungan manusia di dalam dan antar kelompok yang ada di lingkungan pedesaan (Priyotamtomo, 2001)



Sosiologi pedesaan didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari fenomena masyarakat dalam setting pedesaan (Rogers)



Sosiologi pedesaan adalah studi tentang hubungan manusia dalam lingkungan pedesaan (Bertand)



Sosiologi pedesaan adalah studi tentang penduduk pedesaan, organisasi sosial pedesaan dan proses-proses sosial komparatif, dalam masyarakat pedesaan (F. Stuard Chapin)



Sosiologi pedesaan adalah ilmu masyarakat pedesaan. Dikemukakan pula bahwa sosiologi pedesaan merupakan ilmu tentang hukum perkembangan masyarakat pedesaan (AR Desai)



Sosiologi pedesaan adalah ilmu kemasyarakatan yang mempelajari kehidupan di lingkungan pedesaan (D. Samderson).



NL. Sims (dalam Rahardjo, 1999), mengemukakan bahwa sosiologi pedesaan adalah studi tentang asosiasi persekutuan antara orang-orang yang hidupnya lebih kurang tergantung pada pertanian

Hakekatnya ada dua versi sosiologi pedesaan, yang lama (klasik) dan yang baru (modern). Semua definisi atau pengertian sosiologi pedesaan menurut para ahli di atas adalah definisi sosiologi pedesaan yang lama atau klasik yakni menggambarkan keadaan Barat secara umum memperlihatkan perbedaan yang jelas dan bahkan dikotomis antar kawasan pedesaan dan perkotaan. Di era globalisasi ini, perbedaan antara kota dan desa makin kabur terutama disebabkan makin majunya teknologi transportasi dan komunikasi sehingga sosiologi pedesaan memiliki pemahaman berbeda dengan yang lama. Karl Kautsky dalam karyanya “The Agrarian Question” mengutarakan bahwa kita harus mencari perubahan-perubahan yang dialami pertanian di bawah dominasi produksi kapitalis. Sosiologi pedesaan yang baru seyogyanya merupakan studi berkaitan dengan bagaimana masyarakat desa (bukan hanya desa pertanian) dapat menyesuaikan diri terhadap masuknya kapitalisme modern di tengah kehidupan mereka (Rahardjo, 1999).

Sosiologi Pedesaan Sosiologi Pedesaan merupakan suatu cabang sosiologi yang mempelajari gejala sosial di pedesaan, berawal dari kata desa maka pengertian desa harus terlebih dahulu di pahami karena objek bagian dari ilmu sosiologi pedesaan adalah desa. Menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1979 Tentang pemerintah daerah Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum, yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah, langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia. Pengertian desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri (Sutardjo Kartohadikusumo).

C.S. Kansil, Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerntahan terendah langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sedangkan sosiologi pedesaan, banyak sekali ahli mengemukakan definisi sosiologi pedesaan dengan segala kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Merupakan suatu cabang sosiologi yang mempelajari gejala sosial di pedesaan sedangkan menurut beberapa ahli, Menurut T. Lynn Smith dan Paul E. Zapt sosiologi pedesaan adalah kumpulan pengetahuan yang telah disistematisasi yang dihasilkan lewat penerapan metode ilmiah ke dalam studi tentang masyarakat pedesaan, struktur organisasinya, proses-prosesnya, sistem sosialnya yang pokok dan perubahan-perubahannya (Rahardjo, 1999).

Priyotamtomo (2001) sosiologi pedesaan merupakan suatu studi yang melukiskan hubungan manusia di dalam dan antar kelompok yang ada di lingkungan pedesaan. Pengertian “pedesaan” mencakup wilayah yang disebut “rural” dibedakan dengan “urban”. Secara lengkap pedesaan diartikan sebagai kawasan tempat tinggal dan kerja yang secara jelas dapat dipisahkan dari kawasan yang lain yang disebut “kota".

Smith dan Zopt (1970) melahirkan Sosiologi Pedesaan dan melahirkan definisi ilmu yang mengkaji hubungan anggota masyarakat di dalam dan antara kelompok kelompokdilingkungan pedesaan Rogers Ilmu yang mempelajari fenomena masyarakat dalam setting pedesaan. Berbeda sosiolog telah mendefinisikan sosiologi pedesaan dalam berbagai cara. Beberapa definisi dapat dipelajari di sini. 1. Sanderson mengatakan bahwa "adalah sosiologi pedesaan sosiologi pedesaan hidup di lingkungan pedesaan". 2. Bertand mengatakan bahwa dalam arti luas, "sosiologi pedesaan adalah studi tentang hubungan manusia dalam lingkungan pedesaan". 3. F. Stuard Chapin mendefinisikan sosiologi pedesaan sebagai berikut: "sosiologi pedesaan yang hidup adalah studi tentang penduduk pedesaan, organisasi sosial pedesaan dan prosesproses sosial komparatif, dalam masyarakat pedesaan". 4. AR Desai mengatakan bahwa " sosiologi pedesaan adalah ilmu masyarakat pedesaan ... Ini adalah ilmu tentang hukum perkembangan masyarakat pedesaan".

Hal ini jelas dari definisi yang disebutkan di atas bahwa studi sosiologi pedesaan interaksi sosial, aktivitas dan lembaga-lembaga dan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat pedesaan. Ini studi pedesaan organisasi sosial, struktur dan mensetup. Memberikan kita bahwa pengetahuan tentang fenomena sosial pedesaan.

"Sosiologi adalah studi tentang kehidupan sosial manusia, kelompok dan masyarakat. Hal ini yang memukau dan menarik perusahaan, karena sebagai subyek perilaku kita sendiri sebagai makhluk sosial. Ruang lingkup sosiologi sangat luas, mulai dari analisis lewat pertemuan antara individu di jalan sampai penyelidikan di seluruh dunia proses sosial ". Anthony Giddens ( "Sosiologi", 1989).

Ada pendapat yang selalu menekankan bahwa desa dianggap sebagai desa pertanian, padahal pada kenyataan ada juga desa yang nonpertanian.

Definisi lain masih menggambarkan desa dengan ideal yang artinya desa secara eksplisit berbeda dengan kota. Dengan banyaknya faktor-faktor eksternal yang masuk dan mempengaruhi kehidupan desa maka dapat dikatakan bahwa komunitas desa mulai berkembang

ke arah komunitas kota, di mana adat-istiadat, tradisi atau pola kebudayaan tradisional desa mengalami proses perubahan.

Howard Newby mengatakan bahwa dalam mempelajari sosiologi pedesaan hendaknya diarahkan pada studi tentang adaptasi masyarakat desa terhadap pengaruh-pengaruh kapitalisme modern yang masuk ke desa.

CIRI-CIRI MASYARAKAT DESA Seorang ahli sosiologi yang bernama Talcott Persons menggambarkan masyarakat desa sebagai masyarakat tradisional yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a. Afektivitas, yaitu merupakan perasaan kasih sayang, cinta, kesetiaan, dan kemesraan, yang ditunjukkan dalam sikap kehidupan sehari-hari yang saling tolong menolong, perasaan simpati terhadap musibah yang diderita orang lain, menolong orang lain tanpa pamrih. b. Orientasi kolektif, sifat ini mewujudkan konsekuensi dari sifat efektivitas, yaitu meningkatkan kebersamaan tidak suka memanjakan diri, tidak suka berbeda pendapat dengan sesama warga desa. c. Partikularisme, yaitu semua hal yang ada hubungannya dengan apa yang khusus berlaku untuk tempat atau daerah tertentu saja, ada hubungannya dengan perasaan subyektif dan rasa kebersamaan. d. Kekaburan, yaitu sesuatu yang tidak jelas terutama dalam hubungan antara pribadi tanpa ketegasan yang dinyatakan secara eksplisit (penggunaan bahasa yang tidak langsung). e. Askripsi, yaitu berhubungan dengan berdasarkan usaha yang disengaja (direncanakan), tetapi lebih merupakan suatu keadaan yang sudah merupakan kebiasaan atau keharusan. Dari sifat ini masyarakat desa sukar berubah sesuatu diterima sebagaimana adanya dan berkembang secara tradisionalisme dan konservalisme.

Ciri-Ciri/Karakteristik Masyarakat Desa 1. 2. 3. 4.

Jumlah penduduk tidak terlalu padat dan bersifat homogeny Kontrol sosial masih tinggi Sifat gotong royong masih kuat Sifat kekeluargaannya masih ada

ASPEK-ASPEK KULTURAL MASYARAKAT DESA 1. KEBUDAYAAN Obyek studi pokok sosiologi adalah masyarakat, dan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan. Defenisi kebudayaan menurut ahli : 1.

Horton dan Hunt mendefinisikan masyarakat adalah suatu organisasi manusia yang saling

berhubungan satu sama lain, sedangkan kebudayaan adalah sistem norma dan nilai yang terorganisasi yang menjadi pegangan masyarakat itu. 2.

Ralph Linton, kebudayaan diartikan sebagai way of life suatu masyarakat. Meliputi way of

thinking (cara berpikir, mencipta), way of feling (cara mengekspresikan rasa), way of doing (cara berbuat, berkarya). 3.

Selo Soemardjan dan Soelaeman Sumardi, kebudayaan sebagai semua hasil karya, cipta

dan karya masyarakat. Jadi kebudayaan adalah suatu yang berwujud berupa alat dan berbagai teknologi untuk keperluan hidup manusia, tata nilai dan berbagai aturan tertib sosial untuk menjaga keberlangsungan sistem yang ada baik ekonomi, sistem sosial dan berbagai sisi kehidupan manusia lainnya. Menurut Koentjaraningrat, unsur-unsur kebudayaan terdiri dari : 1.

Sistem kepercayaan

2.

Sistem organiasi kemasyarakatan

3.

Sistem pengetahuan

4.

Bahasa

5.

Kesenian

6.

Sistem mata pencaharian hidup

7.

Sistem teknologi Mayor Polak = aspek kultural masyarakat adalah analog dengan aspek rohani sedangkan

aspek strukturalnya adalah analog dengan aspek jasmani suatu makhluk Aspek kultural masyarakat desa terorientasi pada jangkauan mengenai gambarangambaran asli masyarakat desa, yaitu masyarakat pertanian. Masyarakat petani secara umum sering dipahami sebagai suatu kategori sosial yang seragam dan bersifat umum, artinya sering tidak disadari adanya diferensiasi atau perbedaanperbedaan dalam berbagai aspek yang terkandung dalam komunitas petani. Contoh, diferensiasi dalam komunitas petani itu akan terlhat berdasar perbedaan dalam tingkat perkembangan

masyarakatnya, jenis tanaman yang mereka tanam, teknologi atau alat-alat yang mereka gunakan, sistem pertanian yang mereka pakai, topografi atau kondisi fisik-geografik lainnya. Gambaran umum betuk deferensiasi msyarakat petani terbagi menjadi dua : a.

Petani bersahaja yang disebut juga petani tradisional golongan peasant Kaum petani yang masih tergantung dan dikuasai alam karena rendahnya tingkat

pengetahuan dan teknologi mereka, produksi mereka ditujukan pada suatu usaha untuk menghidupi keluarga. b.

Petani modern atau agricultural enterpreneur Kaum petani yang menggunakan teknologi dan sistem pengelolaan modern dan

menanam tanaman yang laku dipasaran. Sistem pengelolaanpertanian mereka dalam bentuk agribisnis, agroindustri dan berusaha mengejar keuntungan. 2. KEBUDAYAAN TRADISIONAL MASYARAKAT DESA Konsep tradisional masyarakat desa mengacu pada gambaran tentang cara hidup (way of Life) masyarakat desa yang hidupnya masih tergantung pada alam. Paul H.Landis mengemukakan bahwa besar kecilnya pengaruh alam terhadap pola kebudayaan masyarakat desa ditentukan oleh tiga faktor : 1.

Sejauh mana ketergantungan mereka terhadap pertanian

2. Tingkat teknologi mereka 3.

Sistem produksi yang diharapkan Dari faktor di atas, maka terciptanya kebudayaan tradisional apabila masyarakat amat

tergantung kepada pertanian , tingkat teknologinya rendah dan produksinya hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ciri-ciri Kebudayaan Tradisional : 1.

Pengembangan adaptasi yang kaut terhadap lingkunagn alam.

Masyarakat desa (petani) mengembangkan tingkat dan bentuk adaptasi terhadap pelbagai kekhususan lingkungan alam, sehingga dalam kaitan ini dapat dipahami bahwa pola kebudayaan masyarakat desa terikat dan mengikuti karakteristik khas lingkungan (alam). 2.

Rendahnya tingkat inovasi masyarakat karena adaptasi pasif terhadap alam.

Tingkat kepastian terhadap elemen alam (jenis tanah, tingkat kelembaban, ketinggian tanah, pola geografis, dll) cukup tinggi sehingga merek tidak terlalu memerlukan hal-hal yang baru karena terasa telah diatur dan ditentukan oleh alam. 3.

Faktor alam juga mempengaruhi kepribadian masyarakatnya.

Sebagai akibat dari kedekatannya dengan alam, orang desa umumnya mengembangkan filsafat hidup yang organis. Artinya mereka cenderung memandang segala sesuatu sebagai suatu kesatuan dan tebalnya rasa kekeluargaan. 4.

Pola kebiasaan hidup yang lamban.

Hal ini disebabkan oleh kebiasaan yang dipengaruhi oleh irama alam yang tetap dan lamban. Tanaman yang tumbuh secara alami, semenjak tumbuh hingga berbuah selalu melewati prosesproses serta tahapan tertentu yang tetap. 5. Tebalnya kepercayaah terhadap takhayyul. Konsepsi takhayyul merupakan proyeksi dari ketakutan atau ketundukan mereka terhadap alam disebabkan karena tidak dapat memahami dan menguasai alam secara alam. 6.

Sikap yang pasif dan adaptif masyarakat desa terhadap alam juga nampak dalam aspek

kebudayaan material mereka yang bersahaja. Kebersahajaan itu nampak misalnya pada arsitetktur rumah dan alat-alat pertanian. 7.

Rendahnya kesadaran akan waktu.

Faktor ini didasari oleh keterikatan mereka terhadap alam yang memliki irama sendiri yang tidak terikat oleh waktu. Tanamam memiliki proses alami dengan peket waktu tersendiri terlepas dari pengaturan dan campur tangan manusia. Orang tinggal menanti proses yang alami itu. Akibatnya mereka tidak memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya waktu. 8.

Kecenderungan masyarakat yang serba praktis.

Dalam segala hal mereka tidak terbebani ahl-hal yang kompleks, mereka tidak perlu berbicara panjang lebar dan berbasa basi satu sama lain. Hal ini mendorong tumbuh dan berkembangnya sifat-sifat jujur, terus terang, dan suka bersahabat. 9. Terciptanya standar moral yang kaku dikalangan masyarakat desa. Moralitas dalam pandangan masyarakat desa adalah sesuatu yang absolut, tidak ada kompromi antara baik dan buruk serta cenderung pada pemahaman clear-cut definition (pemahaman hitam putih). 3.

Aspek-Aspek Kultural Lainnya Untuk sebagian, pola kebudayaan dari suatu kelompok masyarakat tidak terlepas ( dan

bahkan merupakan refleksi) dari cara hidup atau sistem mata pencaharian masyarakat itu. untuk sebagian lain, agama atau kepercayaan sering merupakan elemen pokok yang menjadi cultural focus pola kebudayaan suatu masyarakat, lebih-lebih untuk masyarakat yang relatif masih bersahaja. Bersumber atau terkait pada agama/kepercayaan ini terciptalah adat-istiadat atau berbagai bentuk tradisi (termasuk sistem kekerabatan) yang mengatur seluruh kehidupan masyarakatnya. Bagi masyarakat desa yang secara umum pengelompokannya relatif kecil, adat-istiadat atau tradisi adalah identik dengan kebudayaan. Sebab, dalam adat-istiadat atau tradisi tersebut telah terkandung sistem nilai, norma, sistem kepercayaan, sistem ekonomi dan lainnya, yang cukup lengkap menjadi pedoman perilaku kehidupan mereka. Untuk sbagian lainnya lagi, pola kehidupan masyarakat Indonesia umunya, dan desa khususnya, harus dirunut asal-muasal nenek

moyang kita yang ternyata berasal dari tempat dan suku bangsa yang berbeda-beda. Denagn sendirinya pula dengan pola kebudayaan yang beragam. Mengacu pada keadaan masa lampau, dengan berorientasi pada pola dasar mata pencaharian masyarakat, W.F Wertheim (dalam Rahardjo, 1999), membedakan adanya tiga daerah peradaban di Indonesia. Pertama, sebagian besar Jawa Tengah dan Jawa Timur yang telah sekian lamanya memiliki teknik dan system pertanian sawah. Kedua sepanjang pantai Jawa, Sumatera dan Malaya, Kalimantan (di muara-muara sungai) yang merupakan daerah-daerah tempat berkembangnya kota-kota pelabuhan. Kota-kota pelabuhan ini mengadakan hubungan dengan India, Cina, dan bahkan Jepang. Kegiatan perdagangan laut inilah yang merupaka unsur penentu corak peradaban daerah-daerah ini. Ketiga, daerah-daerah pedalaman dari kota-kota pelabuhan. Daerah-daerah ini pendudukya jarang.Desa-desa pertanian sawah yang berada di Jawa Tengah dan Timur, yang umumnya disebut daerah pedalaman (hinterland), dapat diperkirakan lebih bersifat tertutup, statis dan kurang berorientasi kepada keuntungan dibanding dengan masyarakat desa-desa di daerah peradaban ke dua. Desa-desa di sekitar daerah peradaban kedua karena terbiasa pada situasi yang tercipta oleh hubungan (dagang) dengan luar, dapat diperkirakan cenderung mengembangkan sikap yang tebuka dan berorientasi pada keuntungan. Orientasi pada keuntungan ini juga dapat diperkirakan terdpat dalam masyarakat desa-desa sekitar daerah peradaban ketiga, sekalipun daerah ini dilekati oleh adat-istiadat lokal yang cukup kuat. Pada desa-desa sekitar dua peradaban terakhir ini “derajat ketundukannya” terhadap kekuatan supra desa kurang besar disbanding dengan masyarakat desa-desa sekitar daerah peradaban pertama. Maka pada era diterapkannya program-program pembangunan desa yang pendekatannya bersifat top-down, desa-desa di daerah tersebut kurang dapat mengadopsi program-program itu dengan baik

A.

STRUKTUR Struktur sosial ialah konsep perumusan asas-asas hubungan antar individu dalam kehidupan

masyarakat yang merupakan pedoman bagi tingkah laku individu.pengertian ini tidak jauh berbeda dengan dalam sosiologi dalam dictionary of sociologi an related sciences (h.p, 1975), stuktur sosial diartikan sebagai pala yang mapan dari organisasi internal setiap kelompok sosial. Dalam rumusan ini telah mencakup pengertian mengenai karakter atau pola dari semua hubungan yang ada antara nanggota dalam suatu kelompok maupun antara kelompok. Stuktur sosial sangat erat kaitannya dengan kebudayaan. J. B. A. F. Mayor polak lewat pendapat bahwa antara kebudayaan dan struktur terdapat kolerasi fungsional. Artinya, antara kebudaan dan struktur dalam suatu masyarakat terjadi keadaan saling mendukung dan membenarkan.

Stuktur sosial di bagi menjadi dua yakni stuktur sosial vertikal dan horisontal. Struktur sosial vertikal atau stratifikasi sosial, atau pelapisan sosial menggambarkan kelompokkelompok sosial dalam dalam susunan yang bersifat hirarkis, berjenjang. Sehingga dalam dimensi struktur terdapat kelompok masyarakat yang berkedudukan tinggi (lapisan ata), sedang (lapisan menengah), dan rendah(lapisan bawah). Struktur sosial horisontal atau diferensiasi sosial, menggambarkan kelompok –kelompok sosial tidak di lihat dari tinggi rendahnya kedudukan kelompok satu sama lain, melainkan lebih tertuju kepada variasi atau kekayaan pengolompokan yang ada dalam suatu masyarakat. Semakin maju atau berkembangnta masyarakat semakin bervariasi dan komples pengelompokannya, bukan saja secara kuantitatif tetapi juga kualitatif. B.

STRUKTUR PHISIK DESA Struktur phisik suatu desa berkaitan erat dengan lingkungan phisik desa itu dalam pelbagai

aspeknya. Seecara agak lebih khusus ia berkaitan dengan lingkungan geografisdengan segala ciri-cirnya seperti : iklim, curah hujan, keadaan atau jenis tanah, ketinggian tanah, tingkat kelembaban udara, topografi, dan lainnya. Variasi dalam perbedaan ciri-ciri fisik akan menciptakan pula perbedaan dalam jenis tanaman yang di tanam, sistem pertanian yang di terapkan, dan lebih lanjut pola kehidupan dari masing-masing kelompok masyarakatnya. Lingkungan geografis yang memberi kemungkinan untuk budi daya tanaman padi akan menciptakan masyarakat petani sawah yang berbeda dengan lingkungan geografis yang cocok untuk budi daya tanaman gandum dengan petani gandungmnya. Tanah-tanah yang kurang subur akan cenderung menciptakan desa-desa kecil yang terpencar, berjauhan satu sama lain, dengan penduduk yang jarang titik. Sebaliknya, tanah-tanah yang subur akan cenderung menciptakan desa-desa yang besar, berdekatan satu sama lain, dan berpenduduk padat. Pola pemukiman tersebut merupakan salah satu aspek yang dapat mengambarkan dengan jelas keterkaitan antara struktur fisik desa dengan pola kehidupan internal masyarakatnya. Pola pemukiman menurut smith dan zopf adalah berkaitan dengan hubungan-hubungan keruangan antara pemukiman yang satu dengan yang lain dan dengan lahan pertanian mereka. Dalam bentuknya terdapat 2 pola pemukiman yakni : 1. Yang pemukiman penduduknya berdekatan satu sama lain dengan lahan pertanian berada di 2.

luar dan terpisah dari lokasi pemukiman. Yang pemukiman penduduknya terpencar dan terpisah satu sama lain, dan masing-masing berada di dalam atau di tengah lahan pemukiman mereka. Pola pemukiman menurut paul H. Landis iya memperkirakan empat pola pemukiman yang

terdapat di dunia, yakni : 1. The farm village type atau yang menurut smith dan Zopf (FVT) ialah pola pemukiman dalam mana penduduk (petani) tinggal bersama-sama dan berdekatan di suatu tempat dengan lahan pertanian berada di luar lokasi pemukiman.

2.

The nebulous farm type (NFT) hampir sama dengan pola FVT DI atas. Bedanya, di samping yang tinggal bersama-sama di suatu tempat , terdapat penduduk yang tinggal

tersebar di luar pemukiman, kecuali bagi penduduk yang tinggal di luar pemukiman itu. 3. The arranged isolated farm type (AIFT) adalah pola pemukiman dalam mana penduduk tinggal di sekitar jalan dan masing-masing berada di lahan pertanian mereka, dengan suatu trde center di antara mereka. 4. The pure isolated farm type (PIFT) adalah pola pemkiman yang penduduknya tinggal dalam lahan pertanian mereka masing-masing, terpisah dan berjahuan satu sama lain dengan suatu trade center. C.

STRATIFIKASI SOSIAL Stratifikasi sosial, pelapisan sosial, atau struktur sosial vertikal adalah penggambaran kelompok-kolompok sosial dalam susunan yang hirarkis, berjenjang. Dalam masyarakat terjadi pelapisan-pelapisan karna kehidupan manusia di dekati oleh nilai. Keberadaan nilai selalu mengandung kelangkaan, tidak mudah di dapat, dan oleh karnanya memberi harga pada penyandangnya. Secara umum hal-hal yang mengandung nilai berkaitan dengan harta/kekayaan, jenis mata pencaharian, pengetahuan atau pendidikan, keturunan, keagamaan, dan dalam masyarakat yang masih bersahaja juga unsur-unsur biologis (usia, jenis kelamin). Bagi masyarakat desa yang di pandang bernilai adalah lahan pertanian. Maka seberapa besar pemilikan atau penguasaan seseorang terhadap lahan pertanian akan menentukan seberapa tinggi kedudukannya di tengah masyarakat mereka keberadaan pelapisan sosial ini juga tidak terlepas dari tingkat diferensiasi masyarakatnya. Apabila tingkat diferensiasinya rendah maka pelapisan sosialnya juga kurang terlihat. Kalau adapun jarak sosialnya tidak terlalu tajam. 1.

Struktur biososial Di antara sejumlah faktor yang menciptakan stratifikasi sosial (struktur sosial vertikal) adalah faktor biologis. Faktor biologis tidak hanya berkaitan dengan struktur vertikal melainkan juga dengan struktur sosial horisontal. Yang berkaitan dengan faktorfaktor biologisseperti jenis kelamin, usia, perkawinan, suku bangsa dan lainnya. Keterkaitan antara faktor biologis dan struktur sosial vertikal (stratifikasi sosial) dapat di tunjukan lewat sifat mata pencaharian masyarakat bersangkutan. Dalam masyarakat yang masih bersahaja yakni dari ketika masyarkat masih dalam tingkat food gathering economics (hunting, fishing, meramu ) sampai pada ketika mereka telah mengalami era pertanian ( tradisional ), masyarakat manusia masih mengandal kepada kekuatan fisik dan pengalaman. Dalam hal kekuatan fisik kaum laki-laki tergolong lebih kuat di banding dengan wanita. Keterampilan dan kekuatan fisik yang di butuhkan untuk perburuan secara dominan di miliki kaum laki-laki. Kaum wanita yang memiliki kemampuan tersebut

merupakan perkecualian seklipun juga ada yang berpendapat bahwa kelemahan kaum wanita di sebabkan oleh kebudayaan yang menciptakan kaum wanita sebagai kaum lemah (peminim). Maka menurut pendapat ini kaum wanita menjadi lemah krena penyesuaian dengan tuntutan budaya. Akibatnya, kaum laki-laki lebih banyak berperang dan dominan dalam kehidupan masyarakatnya. Dalam eknologi terdapat konsep potlach, yakni semacam prinsip bahwa siapa yang berada di pihak memberi akan berkedudukan lebih tinggi di banding dengan pihak yang menerima pemberian itu.dengan demikian di sebabkan oleh peranannya yang besar dan berada dalam kedudukan memberi, maka kaum laki-laki memiliki ke dudukan yang lebih tinggi dari pada kaum wanita. Kedudukan sosial yang tinggi dari kaum pria tidak semata-mata di sebebkan oleh keunggulan fisiknya. Foktor lain yang ikut menonjol adalah keterkaitan dengan komposisi jenis kelamin penduduk desa yang dalam hal ini merupakan salah satu aspek struktur horisontal masyarakat desa. Struktur sosial masyarakat desa di indonesia juga di pengaruhi faktor biologis. Kedudukan sosial yang tinggi dari kaum laki-laki sering kali di topan dan di perkuat dengan ketentuan-ketentuan adat istiadat ataupun sistem kekerabatan. 2.

Desa satu kelas dan dua kelas Berkaitan dengan sistem pemilikan atau penguasan tanah pertaniannya, maka ada desa-desa yang tidak atau kurang memperlihatkan adanya pelapisan sosial. Dalam hal ini smith dan zopf mengegemukakan adanya dua tipe desa, yakni apa yang dia sebut one-class system (tipe satu kelas) dan two-class system (tipe dua kelas) secara garis besarnya desa tipe satu kelas dapat digambarkan sebagai tipe desa yang pemilikan lahan pertanian warganya rata-rata sama. Sedangkan desa tipe dua kelas secera garis besarnya digambarkan sebagai desa yang di dalamnya terdapat sejumlah kecil warga yang memiliki lahan yang amat luas, dan selebihnya dalam jumlah besar merupakan warga yang tidak memiliki lahan pertanian. Dengan lain perkataan, dalam desa tipe dua kelas ini terdapet pemilik tanah yang amat luas atau tuang tanah.

3.

Dimensi-dimensi pelapisan sosial Stratifikasi sosal merupakan bagian dari proses perubahan dan perkembangan sosial. Namun terdapat perbedaan mendasar antara stratifikasi yang terdapat dalam desa tipe satu-kelas dan desa tipedua kelas. Apabila di lihat dari kesenjangan yang ada serta kecenderungan yang antagonostik antara dua kelompok ini, maka plorisasi sosial lebih mengena untuk menandai situasi yang demikian itu. Smith dan Zopfdalam kaitan ini mengunakan istilah kasta (caste) untuk mengambarkan kekakuan hubungan antara dua kelompok tersebut. Di sebut kasta karena antara kedua kelas itu, di samping jarak sosialnya tajam dan jauh juga tidak terjdi mobilita sosial vertikal. Sedangkan konsep stratifikasi yang dilihat sebagai suatu piramida sosial lebih memperlihatkan perbedaan

gradual, tidak hanya terpilah dalam dua lapisan sosial, ada interseksi antara lapisan yang satu dengan yang lain, dan ada kemungkinan terjadinya mobilita sosial vertikal dalam strata itu. Stratifikasi sosial sebagai suatu piramida sosial akan lebih terlihat dalam desa tipe satu-kelas, yakni apabila setidaknya memenuhi dua persyarakatan. a) Apabila kesamaan dalam pemilikan tanah warganya tidak berifat mutlak ( sepenuhnya sama ). Keseragaman dan kesamaan penguasaan tanah yang jelas di antara petani, umumnya lebih terlihat di negara-negara sosialis. b) Apabila tidak ada okupasi-okupasi lain di luar sektor pertanian yang dapat menjadi alternatif bebas warganya. Sebab apabila demikian, tanah pertanian tidak lagi menjadi faktor determinan bagi sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Luas sempitnya pemilikan tanah pertanian memang merupakan faktor yang sangat menentukan dalam sistem pelapisan sosial masyarakat desa pertanian. Dalam kaitan ini, Smith dan Zopf mengetengahkan adanya lima faktor yang determinan terhadap sistem pelapisan sosial masyarakat desa. a) Luas pemilikan tanah dan sejauh mana pemilikan itu terkonsentrasi di tangan b) c) d) e)

sejumlah kecil orang atau sebaliknya terbagi merata pada warga desa. Pertautan antara sektor pertanian dan industri. Bentuk-bentuk pemilikan atau penguasaan tanah. Frekuensi perpindahan petani dari lahan pertanian satu ke lainnya. Komposisi rasial penduduk. Faktor pemilikan tanah merupakan faktor yang sangat determinan terhadap

sistem pelapisan masyarakat desa pertanian. Menegaskan apa yang telah di jelaskan di atas, faktor pemilikan tanah ini mengandung dua kemungkinan yang berbeda pengaruhnya terhadap sistem stratifikasi sosial masyarakatnya. Ø Apabila pemilikan tanah ( sangat luas ) berada di satu atau sejumlah kecil orang ( tuang tanah ), sedangkan lainnya berada dalam kedudukan sebagai petani penggarap ( buruh ) yang tidak memiliki tanah (desa tipe dua-kelas). Muncul fenomena kekastaan. Struktur sosial vertikal tertutup pintunya untuk proses mobilita vertikal. Sekali menjadi petani penggarap, tidak ada harapan baginya untuk menjadi tuan tanah. Antara kelompok tuan tanah dan petani penggarap hakekatnya merupakan dua kelompok masyarakat yang berbeda secara kategoris. Ø Apabila pemilik tanah secara umum rata-rata sama ( desa tipe satu-kelas ). Perbedaan dalam pemilikan, kalaupun ada hanya bersifat gradual, tidak kontras seperti di atas. Perbedaan yang ada di sini justru menciptakan lapisan-lapisan sosial yang mengindikasikan dinamika masyarakat karena di dalamnya terjadi proses mobilita vertikal. Bagaimana pertautan antara sektor pertanian dan industri dapat berpengaruh sekali terhadap stratifikasi sosial masyarakat desa ? apabila suatu desa tergantung sepenehunya terhadap sektor pertanian, maka faktor tanah memang sangat menentukan

sistem stratifikasi sosial masyarakatnya. Terlebih apabila situasi ini terdapat dalam tipe desa dua-kelas. Namun apabila di desa itu (atau di tempat lain dalam mana desa itu memiliki akses terhadapnya) terdapat industri atau lapangan kerj lain yang memberikan alternatif bagi mereka, maka keadaan ini akan berpengaruh terhadap pola stratifikasi sosial masyarakatnya. Stratifikasi sosialnya tidak lagi didasarkan atas luas-sempitnya pemilikan tanah, melaingkan juga oleh kedudukan sosial-ekonomis mereka selalu pekerja industri atau jenis pekerja lainnya. Dengan demikian garis-garis batas demarkasi antara lapisan-lapisan sosial yang semula kaku dan eksklusif menjadi semakin tidak jelas dan transparan. Bagaimana bentuk-bentuk hak milik atas tanah (land tenure) berpengaruh terhadap stratifikasi sosial masyarakatnya? Hak milik atas tanah (land tenure) yang dimaksud di sini adalab berkaitan dengan hak-hak yang dimiliki seseorang atas tanah, yakni hak yang sah untuk mengunakannya, mengolahnya, menjualnya, dan memanfatkan bagian-bagian tertentu dari permukaan tanah itu (smith dan Zopf). Dengan batasan pengertian semacam ini maka land tenure tidak hanya mengenai hak-milik (eigendom) melaingkan juga termasuk hak-guna atas tanah. Hak –guna atas tanah adalah hak untuk memperoleh hasil dari tanah bukan miliknya dengan cara menyewa, menyakap, dan lainnya. Aturan atau pengaturan mengenai bentuk-bentuk pemilikan serta penguasaan tanah inilah status-status sosial petani dapat dinilai tinggi-rendahnya dalam sistem pelapisan sosial yang ada. Bagaiman frekuensi perpindahan dari petak lahan pertanian satu ke lainnya dapat mempengaruhi pelapisan sosial masyarakatnya? Menurut Smith dan Zopf, frekuensi perpindahan lahan pertanian ini tidak jarang memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap stratifikasi sosial daripada yang tercipta oleh luas sempitnya pemilikan atas tanah. Seorang petani penggarap (bukan tanah miliknya) atau petani penyewa yang mapan dapat memiliki kedudukan yang (hampir) sama dengan pemilik tanah (luas). Namun petani penggarap atau penyewa yang sering berpindah-pindah memiliki kedudukan yang lebih rendah, yang di pandang hanya sebagai petani penggarap sambilan (sementara). Bagaimana komposisi rasial penduduk dapat menpengaruhi stratifikasi sosial masyarakat desa? Stratifikasi sosial akan cenderung bersifat eksklusif terhadap yang lain. Stratifikasi sosial akan cenderung terjadi dalam masin-masing kelompok rasial. Kecuali apabila di antara ras-ras itu terdapat hubungan superioritas-inferioritas, seperti misalnya antara orang kulit putih dan kulit hitam (negro). Dalam situasi terakhir ini satu piramida sosial yang terbentuk dari kelompok-kelompok rasial yang berbeda, dapat terjadi.

Sutardjo

Kartohadikoesoemo

(1965)

memberikan

gambaran

tentang

penggolongan masyarakat desa di Jawa yang berlandaskan pemilikan tanah ini sebagai berikut. Ø Warga baku, adalah warga desa yang memiliki tanah pertanian, rumah, dan tanah pengarangan (orang baku, sikep, gogol kenceng, kuli/wong kenceng). Ø Warga desa yang mempunyai rumah dan tanah pekarangan (lindung, angguran kampung, kuli, sikep, buri/sikep nomor dua, wong setengah kenceng) Ø Warga desa yang mempunyai rumah di atas pekarangan orang lain (wong dempel, menumpamg, numpang karang) Ø Warga desa yang kawin dan mendok di rumah orang lain, orang tua, penganten baru, orang baru (rangkepan, kumpulan, nusup, kempitan). Pelapisan sosial masyarakat desa (jawa) yang didasarkan atas pemilikan atau penguasaan tanah sebagaimana digambarkan sutardjo Kartohadikoesoemo itu juga dikemukakan oleh sejumlah pakar lainnya. M. Jaspan mengambarkan adanya empat pelapisan sosial yang terdapat di kalangan masyarakat desa di daerah yogyakarta. Ø Kuli kenceng, yakni mereka yang memiliki tanah pekarangan dan sawah, Ø Kuli gundul, yakni mereka yang hanya memiliki sawah Ø Kuli karangkopek, yakni mereka yang memiliki pekarangan saja, dan Ø Indung tlosor, yakni mereka yang memiliki rumah saja di atas tanah orang lain. Sedangkan menurut Koentjaraningrat (1964) pelapisan sosial masyarakat desa digambarkan sebagai berikut : Ø Keturunan cikal bakal desa dan pemilik tanah (kentol) Ø Pemilik tanah di luar golongan kentol (kuli) Ø Yang tidak memiliki tanah. Sebagaimana telah dijelaskan diatas, masih sangat luasnya tanah dalam perbandingan dengan masih sangat jarangnya penduduk, telah menyebabkan tanah kurang cukup bernilai untuk menjadi basis terciptanya pelapisan sosial. Di samping itu, kuatnya adat-istiadat dan tradisi mencegah atau paling tidak menahan lajunya proses pemilikan tanah secara perorangan. Di kalangan suku masyarakat ( khususnya desa Bontoramba) yang secara umum memilki susunan kelas sosial yang tajam, namun basis pengelompokannya bukan terutama pemilikan tanah melainkan kekerabatan. Mengenai pengaruh pertautan antara sektor pertautan antara sektor pertanian dan industri terhadap stratifikasi sosial masyarakat desa dapat di simpulkan memiliki relevansi yang cukup tinggi di indonesia, terutama untuk daerah-daerah yang telah memiliki akses bagi bagi mobilita penduduknya, melainkan juga di tunjang oleh tekanan penduduk dan semakin sempitnya lahan pertanian. Semakin banyaknya jumlah buruh tani dari tahun ke tahun merupakan salah satu indikasi tentang bertambah beratnya tekanan penduduk di pedesaan jawa. Ikatan daerah yang kuat di satu pihak, dan kekurang pastian kelestarian kerja di sektor industri di lain pihak, menyebabkan banyak dari mereka yang melakukan migrasi musiman. Sudah barang tentu gambaran-gambaran stratifikasi sosial yang banyak berkaitan dengan keadaan-keadaan masa lalu ini, kini telah mengalami sejumlah perubahan.

Modernisasi pertanian dengan mekanisasi dan pola produksinya, proses urbanisasi yang terjadi, semakin transparanya desa-desa baik oleh semakin merebaknya pengaruhpengaruh luar lewat media massa ataupun oleh semakin tingginya mobilita horisontal penduduknya, adalah merupakan sekian faktor yang merubah pelbagai aspek kehidupan masyarakat desa termasuk sistem stratifikasi sosialnya. Mengenai hal-hal yang berkaitan dengan perubahan-perubahan ini, akan dibahas dalam Bab kemudian. D.

DIFERENSIASI SOSIAL Diferensiasi sosial atau struktur sosial horisontal suatu masyarakat adalah berkaitan dengan banyaknya pengelompokan-pengelompokan sosial yang ada dalam masyarakat itu tanpa menempatkannya dalam jenjang hierar-khis. Maka dapat disimpulkan bahwa struktur sosial horisontal suatu masyarakat adalah gambaran dari heteroginitas sosial masyarakatnya. Bagaimana memahami pola dasar pengelompokan-pengelompokan sosial (social groupings) masyarakat desa ini ? langkah awal untuk memahaminya adalah dengan menegaskan terlebih dulu : apakah yang dimaksud dengan kelompok sosial itu. Menurut Smith dan Zopf pengertian kelompok sosial harus mencakup tiga elemen : (1) pluralitas subyek; (2) interaksi antara subyek-subyek itu; dan (3) solidarita atau kohesi sosial mereka. Pluralitas subyek artinya, eksistensi pengelompokan mensyaratkan adanya pluralitas dalam elemen-elemen pembentukannya. Diman plualitas subyek menjadi salah satu faktor determinan terhadap tingkat diferensiasi masyarakat. Interaksi di samping pluralitas adalah sangat penting untuk eksistensi kelompok sosial. Kelompok tanpa adanya interaksi antar anggota-anggotanya bukanlah merupakan kesatuan yang fungsional dan karenanya bukan kelompok sosial yang sebenarnya. Solidarita atau kohesi sosial ialah solidarita yang menciptakan apa yang dalam sosiologi di sebut “we feeling group”, perasaan “kekitaan”, perasaan yang membawa seseorang menjadi bagian dari suatu kelompok.Emile Durkheim mengetengahkan dua tipe solidarita sosial, yakni Ø Solidarita mekanik, sosial yang pertama dilandasi oleh solidarita yang terbentuk oleh kesamaan-kesamaan para anggota kelompok Ø Solidarita organik, sosial yang kedua dilandasi oleh solidarita yang terbentuk justru oleh perbedaan namun saling tergantung di antara para anggota kelompok. Khusus mengenai solidarita mekanik ini, Sorokin, Zimmerman, dan Galpin telah mengadakan invetarisasi 14 (variabel) kesamaan yang membentuk solidarita mekanik, yakni : 1. Kekerabatan dan hubungan darah 2. Perkawinan 3. Kesamaan dalam agama atau kepercayaan 4. Kesamaan dalam bahasa dan adat setempat 5. Pemilikan dan penggunaan tanah bersama 6. Proksimitas atau kedekatan dalam suatu daerah 7. Adanya rasa tanggung jawab bersama 8. Kebersamaan dalam kepentungan okupasi

9. 10. 11. 12. 13. 14.

Kebersamaandalam kepentingan ekonomi Sama –sama menjadi bawahan dari seorang tuan (tanah) Kesamaan dalam akses terhadap suatu lembaga atau keagenan Pertahanan dan keamanan bersama Saling tolong-menolong Hidup dan pengalaman bersama-sama.

Pengertian Stratifikasi Sosial Di dalam setiap masyarakat pasti memiliki sesuatu yang dianggap memiliki penghargaan lebih tinggi mengenai hal-hal tertentu. Penghargaan lebih mengenai sesuatu tersebut bisa dalam wujud material maupun yang on-material. Dalam konsep stratifikasi sosial, penghargaan nilai material bisa berwujud sebuah materi. Misalnya saja orang akan dihargai lebih ketika memiliki uang yang jumlahnya lebih banyak dari warga yang ada disekitarnya, memiliki rumah mewah, mobil mewah dan barang-barang lainnya yang berwujud materi yang mana itu dihargai lebih tinggi oleh masyarakat yang ada disekitarnya. Sedangkan dalam konsep stratifikasi sosial yang terbentuk bukan karena kepemilikan benda material dapat berupa prestise maupun kewibawaan yang dimiliki oleh seseorang yang berada didalam masyarakat. Misalnya saja, ada seseorang yang dihargai lebih tinggi oleh warga yang ada disekitarnya karena dia merupakan tokoh masyarakat, misalnya kyai, guru ngaji, ustad dan lain-lain. Dalam konteks ini, mereka mendapat penghargaan lebih tinggi oleh masyarakat bukan karena mereka memiliki kekayaan material yang lebih banyak dari warga yang lain. Akan tetapi mereka mendapat penghargaan tinggi karena ilmu yang dimiliki, sikap sopan santunnya dan kewibawaanya di dalam masyarakat. Setiap masyarakat memiliki stratifikasi yang berbeda dengan masyarakat yang ada di daerah lainnya. Dikatakan oleh sosiolog Pitirim A. Sorokin dalam buku Sosiologi Suatu Pegantar karangan Soerjono Soekanto, dia mengatakan bahwa sistem lapisan merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur. Barang siapa yang memiliki sesuatu yang berharga dalam jumlah yang sangat banyak dianggap masyarakat berkedudukan dalam lapisan atas. Mereka yang hanya sedikit sekali atau tidak memiliki sesuatu yang berharga dalam pandangan masyarakat memiliki kedudukan yang rendah.[1] Dalam aspek ini, individu yang ada didalam masyarakat dapat dihargai lebih atau tidak tergantung atas kepemilikan sesuatu yang dianggap berharga dalam masyarakat. Kepemilikan

sesuatu yang berharga itu dapat berupa kepemilikan benda material. Namun sesuatu yang dianggap berharga oleh masyarakat tidak hanya berkutat pada seberapa banyak jumlah material yang dimiliki oleh masyarakat, akan tetapi jabatan, gengsi dan prestise juga merupakan basis yang dihargai dalam masyarakat. Dengan adanya kepemilikan sesuatu yang dianggap berharga dalam masyarakat dengan jumlah yang berbeda-beda. Maka terciptalah stratifikasi atau pelapisan sosial dalam masyarakat. Menurut ter Har dalam buku Pengantar sosilogi pedesaan dan pertanian karangan rahardjo. Pelapisan Sosial masyarakat yang ada di desa dapat dibedakan atas golongan pribumi pemilik tanah, golongan yang hanya memiliki rumah dan pekarangan saja atau tanah pertanian saja, golongan yang hanya memiliki rumah saja diatas tanah orang lain. Sedangkan menurut Koentjaraningrat pelapisan sosial masyarakat desa dapat digambarkan melalui keturunan atau cikal bakal desa dan pemilik tanah (kentol), pemilik tanah diluar golongan kentol, dan yang tidak memiliki tanah.[2] Dalam aspek ini, terlihat bahwa stratifikasi sosial pada masyarakat desa terbentuk karena adanya kepemilikan tanah. Seseorang yang memiliki tanah dalam jumlah banyak akan memperoleh strata atas dalam masyarakat desa. Sedangkan seseorang yang tinggalnya numpang di atas tanah orang lain atau tidak memiliki tanah memiliki strata sosial bawah. Dasar Lapisan dalam Masyarakat Untuk menentukan ukuran atau kriteria dalam menggolongkan masyarakat kedalam suatu pelapisan masyarakat. Ada beberapa cara yang digunakan dalam menggolongkannya. Misalnya saja stratatifikasi sosial masyarakat berdasarkan pada ukuran kekayaan yang dimiliki. Dalam konteks ini, seseorang yang memiliki ukuran kekayaan yang lebih banyak dibandingkan dengan orang yang ada disekitarnya, dalam hal ini basis material sangat dominan untuk menentukan status sosial individu di dalam masyarakat. Ukuran kekayaan material menjadi komoditas yang berharga di dalam masyarakat. Seseorang yang memiliki basis material yang lebih banyak akan masuk kedalam strata sosial tingkat atas. Ukuran kekayaan yang berbasis komoditas material itu dapat berupa rumah, mobil, uang dan lain sebagainya. Ada juga cara yang digunakan untuk menggolongkan seseorang berada dalam strata tertentu berdasarkan atas ukuran kekuasaan. Seseorang yang memiliki kekuasaan tertentu akan memperoleh strata sosial atas, karena dengan kekuasaan tersebut seseorang akan memperoleh wewenang. Cara lain untuk menggolongkan seseorang kedalam strata sosial tertentu yaitu dengan ukuran kehormatan. Orang yang paling disegani dan dihormati dalam masyarakat akan memperoleh strata sosial atas. Biasanya orang-orang ini merupakan sesepuh desa atau orangorang tua yang dahulunya pernah berjasa dalam masyarakat. Misanya saja tokoh agama atau

kyai dan ustad, guru ngaji atau sesepuh desa. Orang- orang tersebut mendapat strata sosial atas bukan karena komoditas material yang dimilikinya. Akan tetapi mereka mendapat posisi strata atas dalam masyarakat karena kebijaksanaannya. Ini berbeda dengan penggolongan strata sosial berdasarkan ukuran kekayaan seperti yang ada pada penggolongan strata sosial berdasarkan jumlah kepemilikan atas basis materialnya. Cara yang terakhir untuk menggolongkan seseorang kedalam strata tertentu dalam masyarakat adalah dengan ukuran ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat. Seseorang menjadi dihargai dalam masyarakat karena tingkatan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Misalnya saja seseorang akan lebih dihormati ketika seseorang itu telah berhasil menempuh pedidikan tinggi[3]

DAFTAR PUSTAKA Soekanto, Soerjono. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. Rahardjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.

[1] Lihat dalam buku Sosiologi Suatu Pegantar karangan Soerjono Soekanto hal. 197 [2] Lihat dalam buku Pengantar sosilogi pedesaan dan pertanian karangan rahardjo hal. 117 [3] Dalam buku Sosiologi Suatu Pegantar karangan Soerjono Soekanto hal.237-238

STRATIFIKASI SOSIAL DALAM MASYARAKAT PEDESAAN Desa dan Masyarakat Desa Pengertian tentang desa cukup beragam, beberapa tokoh sosiologi pedesaan dan antropologi memberikan pandangan tentang desa. Menurut Koentjaraningrat (1984), bahwa desa dimaknai sebagai suatu komunitas kecil yang menetap tetap di suatu tempat. Pemaknaan tentang desa menurut pandangan ini menekankan pada cakupan, ukuran atau luasan dari sebuah komunitas, yaitu cakupan dan ukuran atau luasan yang kecil. Pengertian lain tentang desa dikemukakan oleh Hayami dan Kikuchi (1987) bahwa desa sebagai unit dasar kehidupan kelompok terkecil di Asia, dalam konteks ini “desa” dimaknai sebagai suatu “desa alamiah” atau dukuh tempat orang hidup dalam ikatan keluarga dalam suatu kelompok perumahan dengan saling ketergantungan yang besar di bidang sosial dan ekonomi. Pemaknaan terhadap desa dalam konteks ini ditekankan pada aspek ketergantungan sosial dan ekonomi di masyarakat yang direpresentasikan oleh konsep-konsep penting pada masyarakat desa, yaitu cakupan yang bersifat kecil[3]dan ketergantungan dalam bidang sosial dan ekonomi (ikatanikatan komunal). Desa mempunyai ciri atau karakteristik yang berbeda satu sama lain, tergantung pada konteks ekologinya. Pengkajian masyarakat pedesaan memberikan ciri atau karakteristik yang cenderung sama tentang desa. Pada aspek politik, masyarakat desa cenderung berorientasi “ketokohan”, artinya peran-peran politik desa pada umumnya ditanggungjawabkan atau dipercayakan pada orang-orang yang ditokohkan dalam masyarakat. Secara ekonomi, mata pencaharian masyarakat desa berorientasi pada pertanian artinya sebagian besar masyarakat desa adalah petani. Sedangkan dalam konteks religi-kultural masyarakat desa memiliki ciri nilai komunal yang masih kuat dengan adanya guyub rukun, gotong royong dan nilai agama atau religi yang masih kuat dengan adanya ajengan atau Kyai sebagai pemuka agama. Secara historis, desa memerankan fungsi yang penting dalam politik, ekonomi dan sosial-budaya di Indonesia. Di sisi lain, pedesaan merupakan daerah yang dominan jumlahnya di Indonesia, dimana sebagian besar masyarakat Indonesia hidup di daerah pedesaan. Hal ini memberikan implikasi pada banyaknya program pembangunan yang diorientasikan pada masyarakat pedesaan. Dengan demikian, maka kajian mengenai masyarakat desa menjadi suatu hal yang sangat penting dilakukan sebagai kerangka dasar pembangunan nasional. Dua hal penting yang akan menjadi fokus kajian tentang pedesaan dalam kegiatan turun lapang ini yaitu struktur sosial dan dinamika masyarakat pedesaan. Struktur sosial yang dimaksudkan adalah hubungan antar status/peranan yang relatif mantap. Sementara itu, dinamika masyarakat dimaknai sebagai proses gerak masyarakat dalam keseharian, dalam konteks ruang dan waktu. Sastramihardja (1999) menyatakan bahwa desa merupakan suatu sistem sosial yang melakukan fungsi internal yaitu mengarah pada pengintegrasian komponen-komponennya sehingga keseluruhannya merupakan satu sistem yang bulat dan mantap. Disamping itu, fungsi eksternal dari sistem sosial antara lain proses-proses sosial dan tindakan-tindakan sistem tersebut akan menyesuaikan diri atau menanggulangi suatu situasi yang dihadapinya. Sistem sosial tersebut mempunyai elemen-elemen yaitu tujuan, kepercayaan, perasaan, norma, status peranan, kekuasan, derajat atau lapisan sosial, fasilitas dan wilayah.

Masyarakat selalu dikaitkan dengan gambaran sekelompok manusia yang berada atau bertempat tinggal pada suatu kurun waktu tertentu. Pengertian ini menggambarkan adanya anggapan bahwa manusia tidak dapat dilepaskan dari faktor lingkungannya, baik yang bersifat fisik maupun sosial. Berdasarkan pandangan dari segi sosiologi, hal ini memperlihatkan adanya interaksi sosial antara manusia secara kelompok maupun pribadi. Masyarakat mengutamakan hubungan pribadi antara warganya, dalam arti bahwa masyarakat desa cenderung saling mengenal bahkan seringkali merupakan ikatan kekerabatan yang berasal dari suatu keluarga ”pembuka desa” tertentu yang merintis terbentuknya suatu masyarakat guyub. Pada masyarakat desa terdapat ikatan solidaritas yang bersifat mekanistik dalam arti bahwa hubungan antar warga seakan telah ada aturan semacam tata krama atau tata tertib yang tidak boleh dilanggar jika tidak ingin mendapat sanksi. Adanya tata tertib tersebut sesungguhnya ingin menjaga suatu comformity di kalangan masyarakat desa itu sendiri. Menurut Geertz (1963) masyarakat desa di Indonesia identik dengan masyarakat agraris dengan mata pencaharian sektor pertanian, baik petani padi sawah (Jawa) maupun ladang berpindah (Luar Jawa). Selain itu, sejumlah karakteristik masyarakat desa yang terkait dengan etika dan budaya mereka, yang bersifat umum yang selama ini masih sering ditemui yaitu: sederhana, mudah curigai, menjunjung tinggi kekeluargaan, lugas, tertutup dalam hal keuangan, perasaan minder terhadap orang kota, menghargai orang lain, jika diberi janji akan selalu diingat, suka gotong royong, demokratis, religius. Kedudukan seorang dilihat dari berapa luasan tanah yang dimiliki. Stratifikasi Sosial Stratifikasi sosial merupakan pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status (Susanto, 1993). Definisi yang lebih spesifik mengenai stratifikasi sosial antara lain dikemukakan oleh Sorokin (1959) dalam Soekanto (1990) bahwa pelapisan sosial merupakan pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah adanya kelas tinggi dan kelas rendah. Sedangkan dasar dan inti lapisan masyarakat itu adalah tidak adanya keseimbangan atau ketidaksamaan dalam pembagian hak, kewajiban, tanggung jawab, nilai-nilai sosial, dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat. Teori Pembentukan Pelapisan Sosial Diferensiasi dan ketidaksamaan sosial mempunyai potensi untuk menimbulkan stratifikasi sosial dalam masyarakat. Diferensiasi sosial merupakan pengelompokan masyarakat secara horizontal berdasarkan pada ciri-ciri tertentu. Berbeda dengan ketidaksamaan sosial yang lebih menekankan pada kemampuan untuk mengakses sumberdaya, diferensiasi lebih menekankan pada kedudukan dan peranan. Tabel 1. Perbedaan antara Diferensiasi dan Ketidaksamaan Sosial:

Diferensiasi Sosial

Ketidaksamaan Sosial

Pengelompokan secara horizontal

Pengelompokan

secara

vertikal Berdasarkan ciri dan fungsi

Berdasarkan posisi, status,

Distribusi kelompok

kelebihan sesuatu

yang

dimiliki,

Kriteria biologis/fisik sosiokultural yang dihargai. Distribusi hak dan wewenang Stereotipe Kriteria ekonomi, pendidikan, kekuasaan, dan kehormatan.

Stratifikasi sosial dapat terjadi sejalan dengan proses pertumbuhan atau dibentuk secara sengaja dibuat untuk mencapai tujuan bersama. Seperti apa yang dikemukakan Karl Marx yaitu karena adanya pembagian kerja dalam masyarakat, konflik sosial, dan hak kepemilikan. Pembagian Kerja Jika dalam sebuah masyarakat terdapat pembagian kerja, maka akan terjadi ketergantungan antar individu yang satu dengan yang lain. Seorang yang sukses dalam mengumpulkan semua sumber daya yang ada dan berhasil dalam kedudukannya dalam sebuah masyarakat akan semakin banyak yang akan diraihnya. Sedangkan yang bernasib buruk berada di posisi yang amat tidak menguntungkan. Semua itu adalah penyebab terjadinya stratifikasi sosial yang berawal dari ketidaksamaan dalam kekuasaan dalam mengakses sumber daya. Menurut Bierstedt (1970) pembagian kerja adalah fungsi dari ukuran masyarakat a) Merupakan syarat perlu terbentuknya kelas. b) Menghasilkan ragam posisi dan peranan yang membawa pada ketidaksamaan sosial yang berakhir pada stratifikasi sosial. 2) Konflik Sosial Konflik sosial di sini dianggap sebagai suatu usaha oleh pelaku-pelaku untuk memperebutkan sesuatu yang dianggap langka dan berharga dalam masyarakat. Pemenangnya adalah yang mendapatkan kekuasaan yang lebih dibanding yang lain. Dari sinilah stratifikasi sosial lahir. Hal ini terjadi karena terdapat perbedaan dalam pengaksesan suatu kekuasaan. Hak Kepemilikan Hak kepemilikan adalah lanjutan dari konflik sosial yang terjadi karena kelangkaan pada sumber daya. Maka yang memenangkan konflik sosial akan mendapat akses dan kontrol lebih lebih dan terjadi kelangkaan pada hak kepemilikan terhadap sumber daya tersebut.

Setelah semua akses yang ada mereka dapatkan, maka mereka akan mendapatkan kesempatan hidup (life change) dari yang lain. Lalu, mereka akan memiliki gaya hidup (life style) yang berbeda dari yang lain serta menunjukannya dalam simbol-simbol sosial tertentu. Dasar Pelapisan Sosial Ukuran atau kriteria yang biasa dipakai untuk menggolong-golongkan anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan. (Calhoun dalam Soekanto, 1990) adalah sebagai berikut : 1) Ukuran kekayaan, barang siapa yang memiliki kekayaan paling banyak, termasuk dalam lapisan teratas. Kekayaan tersebut, misalnya : rumah, kerbau, sawah, dan tanah. 2) Ukuran kekuasaan, barang siapa yang memiliki kekuasaan atau yang mempunyai wewenang terbesar menempati lapisan atas. Contoh: Pak Kades, Pak Carik, Tokoh masyarakat (Tomas). 3) Ukuran kehormatan, orang yang paling disegani dan dihormati, mendapat tempat yang teratas. Ukuran semacam ini banyak dijumpai pada maysarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa. 4) Ukuran pengetahuan, pengetahuan sebagai ukuran, dipakai oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Barang siapa yang berilmu maka dianggap sebagai orang pintar. Sifat Sistem Pelapisan Masyarakat Sifat sistem pelapisan di dalam suatu masyarakat menurut Soekanto (1990) dapat bersifat tertutup (closed social stratification) dan terbuka (open social stratification). Sistem tertutup membatasi kemungkinan pindahnya seseorang dalam suatu lapisan ke lapisan yang lain, baik yang merupakan gerak ke atas maupun ke bawah. Di dalam sistem yang demikian, satu-satunya jalan untuk menjadi anggota suatu lapisan dalam masyarakat adalah kelahiran (mobilitas yang demikian sangat terbatas atau bahkan mungkin tidak ada). Contoh masyarakat dengan sistem stratifikasi sosial tertutup adalah masyarakat berkasta, sebagian masyarakat feodal atau masyarakat yang dasar stratifikasinya tergantung pada perbedaan rasial. Sistem terbuka, masyarakat di dalamnya memiliki kesempatan untuk berusaha dengan kecakapan sendiri untuk naik lapisan, atau bagi mereka yang tidak beruntung, untuk jatuh dari lapisan yang atas ke lapisan yang di bawahnya (kemungkinan mobilitas sangat besar). Contohnya adalah dalam masyarakat demokratis.

Unsur-Unsur Lapisan Masyarakat Hal yang mewujudkan unsur dalam teori sosiologi tentang sistem lapisan masyarakat menurut Soekanto (1990) adalah kedudukan (status) dan peranan (role).

Kedudukan (status) diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial. Kedudukan sosial artinya tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestise-nya, dan hak-hak serta kewajibannya. Masyarakat pada umumnya mengembangkan dua macam kedudukan, yaitu : 1) Ascribed-status, yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan. Pada umumnya ascribed status dijumpai pada masyarakat dengan sistem lapisan yang tertutup, misalnya masyarakat feodal (bangsawan, kasta) 2) Achieved-status, yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja. Kedudukan ini bersifat terbuka bagi siapa saja, tergantung dari kemampuan masing-masing dalam mengejar serta mencapai tujuan-tujuannya. Misalnya, setiap orang dapat menjadi hakim asalkan memenuhi persyaratan tertentu. Kadang-kadang dibedakan lagi satu macam kedudukan, yaitu Assigned status yang merupakan kedudukan yang diberikan. Assigned status sering memiliki hubungan erat dengan achieved stastus. Peranan (role) merupakan aspek dinamis kedudukan. Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia menjalankan suatu peranan. Peranan melekat pada diri seseorang harus dibedakan dengan posisi dalam pergaulan kemasyarakatan. Posisi seseorang dalam masyarakat merupakan unsur statis yang menunjukkan tempat individu pada organisasi masyarakat. Mobilitas Sosial Soekanto (1990) mendefinisikan gerak sosial sebagai suatu gerak dalam struktur sosial yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Sorokin (1959) dalam Soekanto (1990) menyebutkan ada dua gerak sosial yang mendasar yaitu; pertama, gerak sosial horisontal yaitu peralihan status individu atau kelompok dari suatu kelompok sosial lainnya yang sederajat. Misalnya seorang petani kecil beralih menjadi pedagang kecil. Status sosial tetap sama dan relatif bersifat stabil. Kedua, gerak sosial vertikal yaitu peralihan individu atau kelompok dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan lainnya yang tidak sederajat. Sorokin (1959) dalam Soekanto (1990) menyebutkan bahwa sesuai dengan arahnya gerak sosial vertikal secara khusus dapat dibedakan menjadi dua yaitu: 1) Gerak sosial vertikal naik (sosial climbing), berupa: masuknya individu-individu yang mempunyai kedudukan rendah ke dalam kedudukan yang lebih tinggi yang telah ada sebelumnya atau pembentukan suatu kelompok baru yang kemudian ditempatkan pada derajat yang lebih tinggi dari kedudukan individu-individu pembentuk kelompok itu. 2) Gerak sosial vertikal turun (sosial sinking), berupa: turunnya kedudukan individu ke kedudukan yang lebih rendah derajatnya atau turunnya derajat sekelompok individu yang dapat berupa suatu disintegrasi dalam kelompok sebagai kesatuan. Menurut Sorokin (1959) dalam Soekanto (1990) mobilitas sosial vertikal mempunyai saluransalurannya dalam masyarakat. Proses mobilitas sosial vertikal yang melalui saluran tertentu

dinamakan sirkulasi sosial. Saluran yang terpenting di antaranya adalah angkatan bersenjata, lembaga keagamaan (menaikkan kedudukan oarang-orang dari lapisan rendah), sekolah (menjadi saluran gerak sosial vertikal bagi orang-orang dari lapisan rendah yang berhasil masuk dari sekolah untuk orang-orang lapisan atas), organisasi politik, ekonomi, keahlian, dan perkawinan.

PROSES DAN INTERAKSI SOSIAL MASYARAKAT DESA A.

Pengertian Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan antara orang-perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, dan antara orang dengan kelompok-kelompok masyarakat. Interaksi sosial terjadi apabila dalam masyarakat terjadi kontak sosial dan komunikasi. Interaksi terjadi apabila dua orang atau dua kelompok saling bertemu atau pertemuan antara individu dengan kelompok dimana komunikasi terjadi di antara kedua belah pihak. Karena keduanya yakni kontak sosial dan interaksi merupakan syarat dari proses sosial dan untuk kebutuhan pemahaman sosiologis kedepan definisi tersebut perlu untuk diperhatikan. Tanpa kedua kegiatan itu sangatlah mustahil interaksi sosial dapat terjadi (Soedjono Soekanto, 1990).

Interaksi sosial merupakan dasar dari proses sosial dimana proses sosial hanya akan terjadi apabila ada interaksi sosial. Interaksi sosial apabila tidak dilanjutkan dengan hubungan timbal balik antara kedua belah pihak tidak akan terjadi proses sosial. Oleh para ahli sosiologi, interaksi sosial dibedakan dalam beberapa bentuk yakni proses yang dissosiatif dan ossosiatif menurut Gillin dan Gillin (1954), oposisi (opposition), kerjasama (co-operation), dan deferensiasi (defferensiutton). B.

Proses dan Interaksi Sosial Masyarakat di Pedesaan Proses dan interaksi di pedesaan dapat kita lihat dari kegiatan keija atau mata pencaharian mereka, sistem tolong menolong, jiwa gotong royong, musyawarah dan jiwa musyawarah (Koentjoroningrat, 1979). Orang kota menganggap ketenangan dan ketentraman desa sebagai sebuah kondisi santai dan tidak menanggung beban yang berat atas kehidupan. Pandangan ini terpatahkan manakala kita mengamati bentuk besar beban yang harus ditanggung penduduk desa dan bagaimana mereka bekerja keras walau dengan kembalian yang tidak sebanding dengan pengorbanannya. Di pedesaan kita mengenal sistem tolong-menolong yang menjadi ciri khas utama penduduknya. Tolong menolong sendiri dibedakan antara tolong menolong yang kompensasinya mengharapkan suatu saat akan ditoiong, dengan tolong-menolong yang benar-banar ikhlas tanpa harapan hai sempa dimasa datang. Aktifitas masyarakat pedesaan lainnya yang masih kita lihat adalah gotong-royong. Kegiatan ini dilakukan terkait dengan keperiuan umum seperti perbaikan jalan, irigasi, perbaikan pemakaman dan kegiatan lain daiam lingkup kepentingan bersama. Kebiasaan lain yang ada di pedesaan adalah kebiasaan musyawarah dan jiwa musyawarah yang melekat pada pikiran setiap hati penduduknya. Telah lama kebiasaan rembuk desa dilakukan untuk mengambil keputusan tentang pembangunan desa. Kebiasaan itu saat ini telah dilembagakan melalui Lembaga Musyawarah Desa, Lembaga Ketahanan Masyarakat. Untuk melihat proses sosial yang ada di pedesaan kita juga harus melihat pada kategori apa proses sosial tersebut terjadi. Di bawah ini akan coba diungkapkan bentuk interaksi sosial asosiatif dan disosiatif dengan berbagai bentuknya di pedesaan. Asosiatif terdiri dari kerja sarna, akomodasi dan asimilasi, sementara dissosiatif terdiri dari persaingan, kontraversi dan konflik. Proses assosiatif pertama adalah kerjasama dan merupakan proses sosial yang selalu ada di masyarakat termasuk masyarakat pedesaan. Dalam masyarakat pedesaan kita banyak

mengenal istilah sambatan, gugur gunung, soyo, dan masih banyak lagi sesuai dengan istilah setempat. Kerjasama merupakan proses yang telah dipelajari dan dilakukan manusia sepanjang hidupnya. Bentuk kerjasama mulai dari pemenuhan kebutuhan fisik, keamanan dan kebutuhan lain termasuk kasih sayang. Dalam sebuah masyarakat yang kompleks bentukbentuk kerjasama itu setidaknya menurut Soedjono Soekanto (1999) terdiri atas kerjasama spontan fsonfaneous cooperation), kerjasama langsung (directed cooperation), kerjasama kontrak (contractual cooperation), dan kerjasama tradisional (traditional cooperation). Kerjasama spontan merupakan bentuk kerjasama yang terjadi secara spontan dan serta merta di masyarakat. Kerjasama ini biasanya tidak terkoordinasi dengan baik dan merupakan hasil dari kepedulian atau keadaan yang menuntut kerjasama dengan mendadak. Di pedesaan kita mengenal tetulung kematian, tetulung sakit, kerjasama yang spontan terjadi pada saat suatu peristiwa teijadi atau sebuah kerjasama yang secara cepat menuntut orang untuk bekerjasama. Kerjasama kedua yakni kerjasama langsung merupakan kerjasama yang terjadi karena sebuah perintah atau aturan tertentu. Sekelompok buruh pabrik atau buruh tani di pedesaan akan cendemng bekerjasama untuk dengan cepat menyelesaikan pekerjaannya. Bentuk kerjasama karena perintah inilah yang dinamakan kerjasama langsung. Selanjutnya merupakan kerjasama kontrak yang mana kerjasama ini terjadi karena adanya perjanjian untuk melakukan sesuatu dengan bersama-sama. Biasanya bentuk kerjasama ini sangat rinci antara kewajiban dan tanggung jawab masing-masing. Sebagai contoh petani akan melakukan kerjasama kontrak dengan pabrik bajak untuk membuatkan bajak atau dengan pabrik peralatan lainnya. Kerjasama yang didasari oleh hal-hal semacan inilah yang dinamakan kerjasama kontrak yang mana kerjasama ini sangat mengikat antara satu dengan yang lainnya dan cenderung mempunyai konsekwensi yang jelas pada masingmasing. Hubungan buruh tani dan majikan adalah contoh bentuk kerjasama ini meski tidak ditulis secara langsung akan tetapi secara otomatis hak dan kewajiban antara keduannya masing-masing akan memenuhi untuk memperoleh kepuasan yang diinginkan. Kerjasama tradisional merupakan bentuk kerjasama sebagai hasil dari sebuah sistem sosial. Bentuk kerjasama ini biasanya dikemas dalam aturan adat istiadat dan mempunyai konsekwensi secara adat pula. Tolong-menolong dalam menyelesaikan kepentingan bersama seperti jalan, mata air, dan sarana umum lainnya termasuk dalam bentuk kerjasama ini. Gotong-royong dan kerukunan lainnya merupakan bentuk dari kerjasama yang lahir dari sebuah sistem sosial dan terikat secara sosial pula. Bentuk kerjasama yang lain adalah : 1. Kerukunan yang mencakup gotong-royong dan tolong-menolong

2. Bargainmg yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang-barang atau jasajasa antara dua organisasi atau lebih. 3. Kooptasl suatu penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi, sebagai salah satu cara dalam menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas organisasi yang bersangkutan. 4. Koalisi yaitu kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama. Koalisi akan menghasilkan keadaan yang tidak stabil dalam sementara waktu, hal itu disebabkan oieh perbedaan struktur dan kebiasaannya akan tetapi karena tujuannya adalah untuk mencapai tujuan bersama maka sifatnya adalah kooperatif. 5. Joint uenture yakni kerjasama dalam mengerjakan proyek-proyek tertentu seperti pengeboran minyak, perfileman, perhotelan, properti dan lain-lain. Dalam masyarakat pedesaan bentuk kerja sama banyak dilakukan sebagai contoh adalah contract farming dan berbagai kerja sama penyakapan lainnya. Kerjasama dalam bidang pertanian ini telah iama ada dan hampir ditemukan di selumh wilayah Indonesia dengan berbagai bentuk. Pada daerah yang berbeda akan diistilahkan berbeda juga model kerjasamanya. Bentuk proses assosiatif kedua adalah akomodasi. Sebenarnya akomodasi merupakan teori yang didasari oleh analogi kehidupan biologis. Akomodasi merupakan proses dari individu untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Akomodasi sendiri menurut Soedjono Soekanto (1999) mempunyai tujuan untuk mengurangi pertentangan antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia sebagai akibat dari perbedaan faham. Akomodasi disini bertujuan untuk nnenghasilkan sebuah sintesa antara kedua faham tersebut sehingga teijadi pola yang baru. Selain itu akomodasi juga bertujuan untuk mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara waktu atau secara temporer. Akomodasi juga dapat menjadi kondisi agar memungkinkan terjadinya kerjasama antara kelompok yang hidupnya terpisah sebagai akibat faktor-faktor sosial psikologis dan kebudayaan, seperti yang dijumpai pada masyarakat yang mengenal sistem kasta. Akomodasijuga dapat menjadi media peleburan antara kelornpok-kelompok sosial yang terpisah, misalnya lewat perkawinan campuran atau asimiiasi dalam arti luas. Akomodasi terdiri dari berbagai bentuk yakni coersy atau bentuk akomodasi secara paksaan, compromise atau bentuk akomodasi yang mana pihak yang terlibat menurunkan tuntutannya agar tercapai penyelesaian terhadap pertentangan yang ada. Arbntcse merupakan cara untuk mencapai kompromise apabila pihak yang bertentangan tidak sanggup untuk menyelesaikan sendiri. Mediation juga bentuk akomodasi dimana berperannya pihak ketiga yang netral untuk menjembatani dan memfasilitasi pertentangan. Conciliation adalah usaha untuk mempertemukan keinginan-keinginan pihak yang bersengketa demi tercapas tujuan bersama. Toleransion merupakan bentuk akomodasi tanpa

persetujuan yang formal bentuknya. Toleransi lebih merupakan mekanisme kearifan manusia yang kadang tidak ingin selalu mempertentangkan sesuatu hal itu mendorong adanya toleransi yang tinggi di masyarakat. Stalematte mempakan sebuah bentuk akomodasi yang terjadi apabila kedua belah pihak mengalami kebuntuan dalam melanjutkan keinginannya masing-masing. Biasanya hal ini terjadi akibat kekuatan yang seimbang di antara keduanya sehingga pertentangan menjadi terhenti akan tetapi juga tidak terjadi sebuah bentuk penyelesaian. Dan yang terakhir adalah adjudcation yaitu penyelesaian perkara di pengadilan. Secara panjang lebar Gillin dan Gillin menguraikan hasil-hasil suatu proses akomodasi dengan mengambil contoh-contoh dalam sejarah. Antara lain hasilhasilnya sebagai berikut: 1. Akomodasi, dan integrasi masyarakat telah berbuat banyak untuk menghindarkan masyarakat dari benih-benih pertentangan latent yang akan melahirkan benih pertentangan baru. Ketika orang-orang Normandia menaklukan Inggris pada 1066, mereka telah memaksakan suatu kebudayaan baru terhadap masyarakat taklukannya. Bahasa, sistem feodalisme, hukum dan seterusnya diubah dan diganti. Dalam proses tersebut terjadi perkawinan campuran dan banyak orang Inggris yang mendapat kedudukan baru yang tinggi. Keadaan tersebut mengurangi jarak sosial (social distance) antara penjajah dengan yang dijajah. Kecuali itu akomodasi juga menahan keinginankeinginan untuk bersaing yang hanya akan membuang biaya dan tenaga saja. 2. Menekan oposisi. Seringkali suatu persaingan dilaksanakan demi keuntungan suatu kelompok tertentu (misalnya golongan produsen) demi kerugian pihaklain (misalnya golongan konsumen). Akomodasi antara golongan produsen yang mula-mula bersaing akan dapat menyebabkan turunya harga, oleh karena barang dan jasa akan lebih mudah sampai kepada konsumen. 3. Koordinasi berbagai kepribadian yang berbeda. Hal ini tampak dengan jelas apabila dua orang misalnya bersaing untuk menduduki jabatan pimpinan suatu partai politik. Di dalam kampanye pemilihan, persaingan dilakukan dengan sengit, akan tetapi setelah salah satu terpilih biasanya yang kalah akan.diajak bekerja sama demi keutuhan dan integrasi partai politik yang bersangkutan. 4. Perubahan lembaga kemasyarakatan agar sesuai dengan keadaan baru atau keadaan yang berubah. 5. Perubahan-perubahan

dalam

kedudukan.

Sebetulnya

akomodasi

menimbulkan

penetapan baru terhadap kedudukan orang perorangan dan kelompok-kelompok manusia. Pertentangan telah menyebabkan kedudukan-kedudukan tersebut goyah dan akomodasi akan mengukuhkan kembali kedudukan-kedudukan tersebut. 6. Akomodasi membuka jalan untuk ke arah asimilasi.

Dengan adanya proses asimilasi para pihak lebih saling mengenal dan dengan timbulnya benih-benih toleransi mereka akan lebih mudah untuk saling mendekati. Keadaan demikian mungkin saja terjadi pada masyarakat berkasta seperti di India. Di India walupun gerak sosial yang vertikal hampir-hampir tidak ada yang terjadi suatu proses yang bernama Sankritization yaitu suatu proses dimana kasta-kasta yang lebih rendah mengambil sistem kepercayaan, upacara tingkah laku dalam pergaulan, dan lain-lain unsur kebudayaan dari kasta yang lebih tinggi, khususnya kasta Brahmana, untuk dijadikan unsur-unsur kebudayaan sendiri. Proses tersebut menunjuk pada adanya usaha-usaha untuk mengadakan akomodasi antara kasta-kasta yang semula dipisahkan dengan tegas dan kaku. Proses sosial assosiatif ketiga adalah asimi/osi yang mempakan proses sosial dalam taraf lanjut. la ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan asimilasi dan tujuan-tujuan bersama. Proses asimilasi timbul bila ada : 1. Kelompok-kelompok manusia yang berbeda kebudayaannya. 2. Orang perorangan sebagai warga kelompok saling bergaul secara langsung dan intensif untuk waktu yang lama, sehingga. 3. Kebudayaan-kebudayaan dari kelompok manusia tersebut masing-masing berubah dan saling menyesuaikan diri. Asimilasi sendiri akan terjadi apabila ada suatu pendekatan antara kedua pihak, interaksi sosial tersebut tidak mengalami hambatan atau pembatasan, interaksinya bersifat primerjuga dilakukan dalam frekuensi yang tinggi. Selain itu juga didukung oleh sikap toleransi antar kedua belah pihak, kesempatan-kesempatan yang seimbang dalam bidang ekonomi, sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya. Selain itu sikap yang terbuka dari golongan yang berkuasa di masyarakat juga akan nnempercepat terjadinya asimilasi juga persamaan unsur kebudayaan, perkawinan campuran dan adanya musuh dari luar atau ancaman perang. Sementara itu asimilasi juga akan mendapatkan penghalang yakni adanya isolasi golongan tertentu di masyarakat, kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan yang dihadapi, perasaan takut pada kebudayaan yang dihadapinya serta rasa rendah diri atau lebih tinggi terhadap budaya lainnya. Selain itu perbedaan warna kulit dan ras pada masyarakat tertentu juga menjadi penghalang asimilasi. Group feelling juga menjadi penghaiang asimilasi apabila berlebihan demikian pula sikap menindas penguasa terhadap kelompok niinoritas juga pertentangan kepentingan dan pertentangan antar pribadi. Proses sosial selanjutnya adalah proses yang dissosiafif atau opposisitional processes. Oposisi ini terdiri dari persaingan atau competition, kontrauersi atau contravention, dan pertentangan atau conffict. Persaingan dalam masyarakat terdiri dari

persaingan ekonomi, kebudayaan, kedudukan dan peranan serta persaingan ras. Persaingan akan berfungsi sebagai tempat menyalurkan keinginan-keinginan individu atau kelompok yang bersifat kompetitif. Selain itu persaingan juga akan menjadi jalan untuk mendapatkan keinginan yang dihargai saat itu, juga sebagai penyaring dalam pembagian pekerjaan. Kontraversi merupakan proses disosiatif kedua yang berada diantara persaingan dan pertentangan. Kontraversi ditandai dengan gejala-gejala adanya ketidakpastian mengenai diri seseorang atau suatu rencana dan perasaan tidak suka yang disembunyikan. Kontravensi berbentuk penolakan, perlawanan, perbuatan menghalang-halangi, protes, gangguangangguan, perbuatan kekerasan dan mengacaukan pihak lain untuk bentuk yang umum. Sementara itu memaki, menyangkal pernyataan orang didepan umum, memfitnah, mengkambing hitamkan orang lain adalah bentuk sederhananya. Kontraversi yang intensif terdiri dari penghasutan, menyebarkan desas-desus, mengecewakan pihak-pihak lain dan sebagainya. Selain itu yang rahasia terdiri dari pengkianatan dan menyebarkan rahasia orang lain sementara yang taktis adalah mengejutkan lawan, mengganggu atau atau membingungkan pihak lain dan lain sebagainya (Leopold Von Wiese dan Howard Becker dalam Soedjono Soekanto, 1997). Proses dissosiatif ketiga adalah konflik yang mempakan kondisi atau proses dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuanya dengan jalan menentang pihak lain yang disertai dengan ancaman dan/atau kekerasan. Konflik disebabkan oleh perbedaan individu, perbedaan kebudayaan, perbedaan kepentingan dan perbedaan sosial. Pertentangan :

itu sendiri berbentuk pertentangan pribadi, rasial, pertentang,an antar kelas sosial,

pertentangan politik, dan pertentangan yang bersifat internasional. Pertentangan sendiri akan dapat menyebabkan solidaritas daiam kelompok, kehancuran atau keretakan kelompok, perubahan kepribadian individu, hancurnya harta benda dan jiwa, serta akomodasi atau tunduknya pihak lawan (Soekanto,1997). C.

Proses dan Interaksi Sosial Masyarakat di Pedesaan Indonesia Proses sosial merupakan cara-cara berhubungan yang dapat dilihat apabila perorangan dan kelompok-kelompok sosial saling bertemu, dan menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan tersebut. Atau apa yang akan terjadi bila terjadi perubahanperubahan yang menggoyahkan pola-pola kehidupan yang ada. Dalam masyarakat, interaksi ini berarti merupakan hubungan timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama, misalnya saling mempengaruhi antara persoalan sosial dan ekonomi, sosial dan politik, ekonomi dan hukum, hukum dan politik dan seterusnya. Dalam proses interaksi di pedesaan ada beberapa faktor yang mempengaruhi. Faktor tersebut adalah faktor inutasi, sugesti, identifikasi, dan simpati, imitasi akan mendorong

seseorang untuk selaiu mematuhi peraiwan dan niiai yang ada. Faktor sugesti mempakan proses seseorang yang akan mengikuti pandangan yang disampaikan oleh seseorang. Ia akan mengikuti pandangan tersebut dan cenderung emosional Sementara pertimbangan rasionai kurang diperhatikan. Identifikasi merupakan kecenderungan seseorang untuk berperlilaku sama dengan orang iain yang dianggap iebih atau digemari. Proses ini akan membentuk kepribadian seseorang hal ini teijadi karena identifikasi lebih mendalam dari pada imitasi. Dalam proses identifikasi seseorang akan berusaha belajar untuk mengetahui kelebihan orang yang akan dicontohnya. Ada dua macam bentuk interaksi sosial yang ada di desa proses yang pertama adalah asosiatif dan kedua proses disosiatif. Proses asosiasi terdiri dari kerja sama dan akomodasi. Kerjasama yang ada di sana terjadi antar individu dan antar kelompok masyarakat. Akomodasi yang ada di sana terjadi untuk mestabilkan apabila terjadi pertentangan. Kerjasama yang ada merupakan kerjasama yang dilakukan antar individu karena kekerabatan, rumah dekat, juga perkawanan. Kerjasama juga dilakukan bersama-sama berupa perbaikan fasilitas umum, penjagaan keamanan, pembangunan masjid dan pelaksanaan acara desa. Selain itu kelompok-kelompok masyarakat dalam satu jama'ah masjid atau langgar juga mempunyai kebiasaan kerja sama. Mulai dari pengelolaan mushola, arisan, tahlilan dan perkumpulan selamatan. Meski pada acara tertentu mereka akan mengundang kyai atau tokoh masyarakat di sana. Sebagai contoh beberapa bentuk kerjasama di pedesaan. Proses dissosiatif mempakan proses dimana antar orang dan antar kelompok tidak melakukan kerjasama yang mengikat namun akan menentukan sekali gerak dari mereka. Dissosiatif ini dapat berupa persaingan (competition), kontravensi (contravention), pertentangan atau pertikaian (conflict). Persaingan dalam ekonomi terlihat dari berlombanya masyarakat membangun dan berbeSanja barang yang berharga di rumahnya. Persaingan lain yang terlihat juga terjadi di antara tokoh masyarakat tentang eksistensi dan ekonomi. Kemunculan Kopontren dan lembaga ekonomi lain yang hadir adalah bentuk dari persaingan setelah pemain di sektor yang sama sedikit. Persaingan pengaruh juga terjadi antar pesantren dengan memperlihatkan pembangunan yang pesat secara fisik dan berlombanya tiap pondok untuk memanggil pejabat. Bentuk disosiatif kedua yakni kontravensi yakni keadaan antara kerjasama dan konflik. Dalam masyarakat desa dapat kita temui dalam berbagai bentuk seperti penolakan terhadap bibit PB-5 saat awal revolusi hijau, keengganan masyarakat Samin untuk rnembayar pajak pada pemerintah. Sementara itu konflik di pedesaan sering kita lihat dalam berbagai macam kehidupan. Proses pennilihan kepala desa dan perangkat desa kerapkali menimbulkan pertentangan antar Botoh (Pendukung), demikian pula pembagian jatah air yang tidak adil

juga menjadi sumber konflik (Venansius, 2000). Sebagai sebuah kenyataan konflik merupakan suatu yang abadi, selama masyarakat masih ada dan berkembang.

PROSES DAN INTERAKSI SOSIAL MASYARAKAT DESA A. Pengertian Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan antara orang-perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, dan antara orang dengan kelompok-kelompok masyarakat. Interaksi sosial terjadi apabila dalam masyarakat terjadi kontak sosial dan komunikasi. Interaksi terjadi apabila dua orang atau dua kelompok saling bertemu atau pertemuan antara individu dengan kelompok dimana komunikasi terjadi di antara kedua belah pihak. Karena keduanya yakni kontak sosial dan interaksi merupakan syarat dari proses sosial dan untuk kebutuhan pemahaman sosiologis kedepan definisi tersebut perlu untuk diperhatikan. Tanpa kedua kegiatan itu sangatlah mustahil interaksi sosial dapat terjadi (Soedjono Soekanto, 1990). Interaksi sosial merupakan dasar dari proses sosial dimana proses sosial hanya akan terjadi apabila ada interaksi sosial. Interaksi sosial apabila tidak dilanjutkan dengan hubungan timbal balik antara kedua belah pihak tidak akan terjadi proses sosial. Oleh para ahli sosiologi, interaksi sosial dibedakan dalam beberapa bentuk yakni proses yang dissosiatif dan ossosiatif menurut Gillin dan Gillin (1954), oposisi (opposition), kerjasama (co-operation), dan deferensiasi (defferensiutton) B. Proses dan Interaksi Sosial Masyarakat di Pedesaan Proses dan interaksi di pedesaan dapat kita lihat dari kegiatan keija atau mata pencaharian mereka, sistem tolong menolong, jiwa gotong royong, musyawarah dan jiwa musyawarah (Koentjoroningrat, 1979). Orang kota menganggap ketenangan dan ketentraman desa sebagai sebuah kondisi santai dan tidak menanggung beban yang berat atas kehidupan. Pandangan ini terpatahkan manakala kita mengamati bentuk besar beban yang harus ditanggung penduduk desa dan bagaimana mereka bekerja keras walau dengan kembalian yang tidak sebanding dengan pengorbanannya. Di pedesaan kita mengenal sistem tolong-menolong yang menjadi ciri khas utama penduduknya. Tolong menolong sendiri dibedakan antara tolong menolong yang kompensasinya mengharapkan suatu saat akan ditoiong, dengan tolong-menolong yang benar-banar ikhlas tanpa harapan hai sempa dimasa datang.

Aktifitas masyarakat pedesaan lainnya yang masih kita lihat adalah gotong-royong. Kegiatan ini dilakukan terkait dengan keperiuan umum seperti perbaikan jalan, irigasi, perbaikan pemakaman dan kegiatan lain daiam lingkup kepentingan bersama. Kebiasaan lain yang ada di pedesaan adalah kebiasaan musyawarah dan jiwa musyawarah yang melekat pada pikiran setiap hati penduduknya. Telah lama kebiasaan rembuk desa dilakukan untuk mengambil keputusan tentang pembangunan desa. Kebiasaan itu saat ini telah dilembagakan melalui Lembaga Musyawarah Desa, Lembaga Ketahanan Masyarakat Untuk melihat proses sosial yang ada di pedesaan kita juga harus melihat pada kategori apa proses sosial tersebut terjadi. Di bawah ini akan coba diungkapkan bentuk interaksi sosial asosiatif dan disosiatif dengan berbagai bentuknya di pedesaan. Asosiatif terdiri dari kerja sarna, akomodasi dan asimilasi, sementara dissosiatif terdiri dari persaingan, kontraversi dan konflik. Proses assosiatif pertama adalah kerjasama dan merupakan proses sosial yang selalu ada di masyarakat termasuk masyarakat pedesaan. Dalam masyarakat pedesaan kita banyak mengenal istilah sambatan, gugur gunung, soyo, dan masih banyak lagi sesuai dengan istilah setempat. Kerjasama merupakan proses yang telah dipelajari dan dilakukan manusia sepanjang hidupnya. Bentuk kerjasama mulai dari pemenuhan kebutuhan fisik, keamanan dan kebutuhan lain termasuk kasih sayang. Dalam sebuah masyarakat yang kompleks bentukbentuk kerjasama itu setidaknya menurut Soedjono Soekanto (1999) terdiri atas kerjasama spontan fsonfaneous cooperation), kerjasama langsung (directed cooperation), kerjasama kontrak (contractual cooperation), dan kerjasama tradisional (traditional cooperation). Kerjasama spontan merupakan bentuk kerjasama yang terjadi secara spontan dan serta merta di masyarakat. Kerjasama ini biasanya tidak terkoordinasi dengan baik dan merupakan hasil dari kepedulian atau keadaan yang menuntut kerjasama dengan mendadak. Di pedesaan kita mengenal tetulung kematian, tetulung sakit, kerjasama yang spontan terjadi pada saat suatu peristiwa teijadi atau sebuah kerjasama yang secara cepat menuntut orang untuk bekerjasama. Kerjasama kedua yakni kerjasama langsung merupakan kerjasama yang terjadi karena sebuah perintah atau aturan tertentu. Sekelompok buruh pabrik atau buruh tani di pedesaan akan cendemng bekerjasama untuk dengan cepat menyelesaikan pekerjaannya. Bentuk kerjasama karena perintah inilah yang dinamakan kerjasama langsung. Selanjutnya merupakan kerjasama kontrak yang mana kerjasama ini terjadi karena adanya perjanjian untuk melakukan sesuatu dengan bersama-sama. Biasanya bentuk kerjasama ini sangat rinci antara kewajiban dan tanggung jawab masing-masing. Sebagai contoh petani akan melakukan kerjasama kontrak dengan pabrik bajak untuk membuatkan

bajak atau dengan pabrik peralatan lainnya. Kerjasama yang didasari oleh hal-hal semacan inilah yang dinamakan kerjasama kontrak yang mana kerjasama ini sangat mengikat antara satu dengan yang lainnya dan cenderung mempunyai konsekwensi yang jelas pada masingmasing. Hubungan buruh tani dan majikan adalah contoh bentuk kerjasama ini meski tidak ditulis secara langsung akan tetapi secara otomatis hak dan kewajiban antara keduannya masing-masing akan memenuhi untuk memperoleh kepuasan yang diinginkan. Kerjasama tradisional merupakan bentuk kerjasama sebagai hasil dari sebuah sistem sosial. Bentuk kerjasama ini biasanya dikemas dalam aturan adat istiadat dan mempunyai konsekwensi secara adat pula. Tolong-menolong dalam menyelesaikan kepentingan bersama seperti jalan, mata air, dan sarana umum lainnya termasuk dalam bentuk kerjasama ini. Gotong-royong dan kerukunan lainnya merupakan bentuk dari kerjasama yang lahir dari sebuah sistem sosial dan terikat secara sosial pula. Bentuk kerjasama yang lain adalah : 1. Kerukunan yang mencakup gotong-royong dan tolong-menolong 2. Bargainmg yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang-barang atau jasajasa antara dua organisasi atau lebih. 3. Kooptasl suatu penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi, sebagai salah satu cara dalam menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas organisasi yang bersangkutan. 4. Koalisi yaitu kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama. Koalisi akan menghasilkan keadaan yang tidak stabil dalam sementara waktu, hal itu disebabkan oieh perbedaan struktur dan kebiasaannya akan tetapi karena tujuannya adalah untuk mencapai tujuan bersama maka sifatnya adalah kooperatif. 5. Joint uenture yakni kerjasama dalam mengerjakan proyek-proyek tertentu seperti pengeboran minyak, perfileman, perhotelan, properti dan lain-lain. Dalam masyarakat pedesaan bentuk kerja sama banyak dilakukan sebagai contoh adalah contract farming dan berbagai kerja sama penyakapan lainnya. Kerjasama dalam bidang pertanian ini telah iama ada dan hampir ditemukan di selumh wilayah Indonesia dengan berbagai bentuk. Pada daerah yang berbeda akan diistilahkan berbeda juga model kerjasamanya. Bentuk proses assosiatif kedua adalah akomodasi. Sebenarnya akomodasi merupakan teori yang didasari oleh analogi kehidupan biologis. Akomodasi merupakan proses dari individu untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Akomodasi sendiri menurut Soedjono Soekanto (1999) mempunyai tujuan untuk mengurangi pertentangan antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia sebagai akibat dari perbedaan faham. Akomodasi disini bertujuan untuk nnenghasilkan sebuah sintesa antara kedua faham tersebut sehingga teijadi pola yang baru. Selain itu

akomodasi juga bertujuan untuk mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara waktu atau secara temporer. Akomodasi juga dapat menjadi kondisi agar memungkinkan terjadinya kerjasama antara kelompok yang hidupnya terpisah sebagai akibat faktor-faktor sosial psikologis dan kebudayaan, seperti yang dijumpai pada masyarakat yang mengenal sistem kasta. Akomodasijuga dapat menjadi media peleburan antara kelornpok-kelompok sosial yang terpisah, misalnya lewat perkawinan campuran atau asimiiasi dalam arti luas. Akomodasi terdiri dari berbagai bentuk yakni coersy atau bentuk akomodasi secara paksaan, compromise atau bentuk akomodasi yang mana pihak yang terlibat menurunkan tuntutannya agar tercapai penyelesaian terhadap pertentangan yang ada. Arbntcse merupakan cara untuk mencapai kompromise apabila pihak yang bertentangan tidak sanggup untuk menyelesaikan sendiri. Mediation juga bentuk akomodasi dimana berperannya pihak ketiga yang netral untuk menjembatani dan memfasilitasi pertentangan. Conciliation adalah usaha untuk mempertemukan keinginan-keinginan pihak yang bersengketa demi tercapas tujuan bersama. Toleransion merupakan bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formal bentuknya. Toleransi lebih merupakan mekanisme kearifan manusia yang kadang tidak ingin selalu mempertentangkan sesuatu hal itu mendorong adanya toleransi yang tinggi di masyarakat. Stalematte mempakan sebuah bentuk akomodasi yang terjadi apabila kedua belah pihak mengalami kebuntuan dalam melanjutkan keinginannya masing-masing. Biasanya hal ini terjadi akibat kekuatan yang seimbang di antara keduanya sehingga pertentangan menjadi terhenti akan tetapi juga tidak terjadi sebuah bentuk penyelesaian. Dan yang terakhir adalah adjudcation yaitu penyelesaian perkara di pengadilan. Secara panjang lebar Gillin dan Gillin menguraikan hasil-hasil suatu proses akomodasi dengan mengambil contoh-contoh dalam sejarah. Antara lain hasilhasilnya sebagai berikut: 1. Akomodasi, dan integrasi masyarakat telah berbuat banyak untuk menghindarkan masyarakat dari benih-benih pertentangan latent yang akan melahirkan benih pertentangan baru. Ketika orang-orang Normandia menaklukan Inggris pada 1066, mereka telah memaksakan suatu kebudayaan baru terhadap masyarakat taklukannya. Bahasa, sistem feodalisme, hukum dan seterusnya diubah dan diganti. Dalam proses tersebut terjadi perkawinan campuran dan banyak orang Inggris yang mendapat kedudukan baru yang tinggi. Keadaan tersebut mengurangi jarak sosial (social distance) antara penjajah dengan yang dijajah. Kecuali itu akomodasi juga menahan keinginan-keinginan untuk bersaing yang hanya akan membuang biaya dan tenaga saja. 2. Menekan oposisi. Seringkali suatu persaingan dilaksanakan demi keuntungan suatu kelompok tertentu (misalnya golongan produsen) demi kerugian pihaklain (misalnya golongan konsumen). Akomodasi antara golongan produsen yang mula-mula

bersaing akan dapat menyebabkan turunya harga, oleh karena barang dan jasa akan lebih mudah sampai kepada konsumen. 3. Koordinasi berbagai kepribadian yang berbeda. Hal ini tampak dengan jelas apabila dua orang misalnya bersaing untuk menduduki jabatan pimpinan suatu partai politik. Di dalam kampanye pemilihan, persaingan dilakukan dengan sengit, akan tetapi setelah salah satu terpilih biasanya yang kalah akan.diajak bekerja sama demi keutuhan dan integrasi partai politik yang bersangkutan. 4. Perubahan lembaga kemasyarakatan agar sesuai dengan keadaan baru atau keadaan yang berubah. 5. Perubahan-perubahan dalam kedudukan. Sebetulnya akomodasi menimbulkan penetapan baru terhadap kedudukan orang perorangan dan kelompok-kelompok manusia. Pertentangan telah menyebabkan kedudukan-kedudukan tersebut goyah dan akomodasi akan mengukuhkan kembali kedudukan-kedudukan tersebut. 6. Akomodasi membuka jalan untuk ke arah asimilasi. Dengan adanya proses asimilasi para pihak lebih saling mengenal dan dengan timbulnya benih-benih toleransi mereka akan lebih mudah untuk saling mendekati. Keadaan demikian mungkin saja terjadi pada masyarakat berkasta seperti di India. Di India walupun gerak sosial yang vertikal hampir-hampir tidak ada yang terjadi suatu proses yang bernama Sankritization yaitu suatu proses dimana kasta-kasta yang lebih rendah mengambil sistem kepercayaan, upacara tingkah laku dalam pergaulan, dan lain-lain unsur kebudayaan dari kasta yang lebih tinggi, khususnya kasta Brahmana, untuk dijadikan unsur-unsur kebudayaan sendiri. Proses tersebut menunjuk pada adanya usaha-usaha untuk mengadakan akomodasi antara kasta-kasta yang semula dipisahkan dengan tegas dan kaku. Proses sosial assosiatif ketiga adalah asimi/osi yang mempakan proses sosial dalam taraf lanjut. la ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan asimilasi dan tujuan-tujuan bersama. Proses asimilasi timbul bila ada : 1. Kelompok-kelompok manusia yang berbeda kebudayaannya. 2. Orang perorangan sebagai warga kelompok saling bergaul secara langsung dan intensif untuk waktu yang lama, sehingga. 3. Kebudayaan-kebudayaan dari kelompok manusia tersebut masing-masing berubah dan saling menyesuaikan diri. Asimilasi sendiri akan terjadi apabila ada suatu pendekatan antara kedua pihak, interaksi sosial tersebut tidak mengalami hambatan atau pembatasan, interaksinya bersifat primerjuga dilakukan dalam frekuensi yang tinggi. Selain itu juga didukung oleh sikap

toleransi antar kedua belah pihak, kesempatan-kesempatan yang seimbang dalam bidang ekonomi, sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya. Selain itu sikap yang terbuka dari golongan yang berkuasa di masyarakat juga akan nnempercepat terjadinya asimilasi juga persamaan unsur kebudayaan, perkawinan campuran dan adanya musuh dari luar atau ancaman perang. Sementara itu asimilasi juga akan mendapatkan penghalang yakni adanya isolasi golongan tertentu di masyarakat, kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan yang dihadapi, perasaan takut pada kebudayaan yang dihadapinya serta rasa rendah diri atau lebih tinggi terhadap budaya lainnya. Selain itu perbedaan warna kulit dan ras pada masyarakat tertentu juga menjadi penghalang asimilasi. Group feelling juga menjadi penghaiang asimilasi apabila berlebihan demikian pula sikap menindas penguasa terhadap kelompok niinoritas juga pertentangan kepentingan dan pertentangan antar pribadi. Proses sosial selanjutnya adalah proses yang dissosiafif atau opposisitional processes. Oposisi ini terdiri dari persaingan atau competition, kontrauersi atau contravention, dan pertentangan atau conffict. Persaingan dalam masyarakat terdiri dari persaingan ekonomi, kebudayaan, kedudukan dan peranan serta persaingan ras. Persaingan akan berfungsi sebagai tempat menyalurkan keinginan-keinginan individu atau kelompok yang bersifat kompetitif. Selain itu persaingan juga akan menjadi jalan untuk mendapatkan keinginan yang dihargai saat itu, juga sebagai penyaring dalam pembagian pekerjaan. Kontraversi merupakan proses disosiatif kedua yang berada diantara persaingan dan pertentangan. Kontraversi ditandai dengan gejala-gejala adanya ketidakpastian mengenai diri seseorang atau suatu rencana dan perasaan tidak suka yang disembunyikan. Kontravensi berbentuk penolakan, perlawanan, perbuatan menghalang-halangi, protes, gangguangangguan, perbuatan kekerasan dan mengacaukan pihak lain untuk bentuk yang umum. Sementara itu memaki, menyangkal pernyataan orang didepan umum, memfitnah, mengkambing hitamkan orang lain adalah bentuk sederhananya. Kontraversi yang intensif terdiri dari penghasutan, menyebarkan desas-desus, mengecewakan pihak-pihak lain dan sebagainya. Selain itu yang rahasia terdiri dari pengkianatan dan menyebarkan rahasia orang lain sementara yang taktis adalah mengejutkan lawan, mengganggu atau atau membingungkan pihak lain dan lain sebagainya (Leopold Von Wiese dan Howard Becker dalam Soedjono Soekanto, 1997). Proses dissosiatif ketiga adalah konflik yang mempakan kondisi atau proses dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuanya dengan jalan menentang pihak lain yang disertai dengan ancaman dan/atau kekerasan. Konflik disebabkan oleh perbedaan individu, perbedaan kebudayaan, perbedaan kepentingan dan perbedaan sosial. Pertentangan :

itu sendiri berbentuk pertentangan pribadi, rasial, pertentang,an antar kelas sosial,

pertentangan politik, dan pertentangan yang bersifat internasional. Pertentangan sendiri akan dapat menyebabkan solidaritas daiam kelompok, kehancuran atau keretakan kelompok,

perubahan kepribadian individu, hancurnya harta benda dan jiwa, serta akomodasi atau tunduknya pihak lawan (Soekanto,1997).

C. Proses dan Interaksi Sosial Masyarakat di Pedesaan Indonesia Proses sosial merupakan cara-cara berhubungan yang dapat dilihat apabila perorangan dan kelompok-kelompok sosial saling bertemu, dan menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan tersebut. Atau apa yang akan terjadi bila terjadi perubahanperubahan yang menggoyahkan pola-pola kehidupan yang ada. Dalam masyarakat, interaksi ini berarti merupakan hubungan timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama, misalnya saling mempengaruhi antara persoalan sosial dan ekonomi, sosial dan politik, ekonomi dan hukum, hukum dan politik dan seterusnya. Dalam proses interaksi di pedesaan ada beberapa faktor yang mempengaruhi. Faktor tersebut adalah faktor inutasi, sugesti, identifikasi, dan simpati, imitasi akan mendorong seseorang untuk selaiu mematuhi peraiwan dan niiai yang ada. Faktor sugesti mempakan proses seseorang yang akan mengikuti pandangan yang disampaikan oleh seseorang. Ia akan mengikuti pandangan tersebut dan cenderung emosional Sementara pertimbangan rasionai kurang diperhatikan. Identifikasi merupakan kecenderungan seseorang untuk berperlilaku sama dengan orang iain yang dianggap iebih atau digemari. Proses ini akan membentuk kepribadian seseorang hal ini teijadi karena identifikasi lebih mendalam dari pada imitasi. Dalam proses identifikasi seseorang akan berusaha belajar untuk mengetahui kelebihan orang yang akan dicontohnya. Ada dua macam bentuk interaksi sosial yang ada di desa proses yang pertama adalah asosiatif dan kedua proses disosiatif. Proses asosiasi terdiri dari kerja sama dan akomodasi. Kerjasama yang ada di sana terjadi antar individu dan antar kelompok masyarakat. Akomodasi yang ada di sana terjadi untuk mestabilkan apabila terjadi pertentangan. Kerjasama yang ada merupakan kerjasama yang dilakukan antar individu karena kekerabatan, rumah dekat, juga perkawanan. Kerjasama juga dilakukan bersama-sama berupa perbaikan fasilitas umum, penjagaan keamanan, pembangunan masjid dan pelaksanaan acara desa. Selain itu kelompok-kelompok masyarakat dalam satu jama'ah masjid atau langgar juga mempunyai kebiasaan kerja sama. Mulai dari pengelolaan mushola, arisan, tahlilan dan perkumpulan selamatan. Meski pada acara tertentu mereka akan mengundang kyai atau tokoh masyarakat di sana. Sebagai contoh beberapa bentuk kerjasama di pedesaan. Proses dissosiatif mempakan proses dimana antar orang dan antar kelompok tidak melakukan kerjasama yang mengikat namun akan menentukan sekali gerak dari mereka.

Dissosiatif ini dapat berupa persaingan (competition), kontravensi (contravention), pertentangan atau pertikaian (conflict). Persaingan dalam ekonomi terlihat dari berlombanya masyarakat membangun dan berbeSanja barang yang berharga di rumahnya. Persaingan lain yang terlihat juga terjadi di antara tokoh masyarakat tentang eksistensi dan ekonomi. Kemunculan Kopontren dan lembaga ekonomi lain yang hadir adalah bentuk dari persaingan setelah pemain di sektor yang sama sedikit. Persaingan pengaruh juga terjadi antar pesantren dengan memperlihatkan pembangunan yang pesat secara fisik dan berlombanya tiap pondok untuk memanggil pejabat. Bentuk disosiatif kedua yakni kontravensi yakni keadaan antara kerjasama dan konflik. Dalam masyarakat desa dapat kita temui dalam berbagai bentuk seperti penolakan terhadap bibit PB-5 saat awal revolusi hijau, keengganan masyarakat Samin untuk rnembayar pajak pada pemerintah. Sementara itu konflik di pedesaan sering kita lihat dalam berbagai macam kehidupan. Proses pennilihan kepala desa dan perangkat desa kerapkali menimbulkan pertentangan antar Botoh (Pendukung), demikian pula pembagian jatah air yang tidak adil juga menjadi sumber konflik (Venansius, 2000). Sebagai sebuah kenyataan konflik merupakan suatu yang abadi, selama masyarakat masih ada dan berkembang. Buku Acuan : 1. Djiwandi, 1991, Sosiologi Pedesaan, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Hal : 56-68 2. Ibrahim J. T., 2003, Sosiologi Pedesaan, UMM, Malang. Hal : 9-23

PERUBAHAN SOSIAL PADA MASYARAKAT DESA Perubahan adalah sebuah kondisi yang berbeda dari sebelumnya. Perubahan itu bisa berupa kemajuan maupun kemunduran. Bila dilihat dari sisi maju dan mundurnya, maka bentuk perubahan sosial dapat dibedakan menjadi : 1.

Perubahan sebagai suatu kemajuan (progress)

Perubahan sebagai suatu kemajuan merupakan perubahan yang memberi dan membawa kemajuan pada masyarakat. Hal ini tentu sangat diharapkan karena kemajuan itu bisa memberikan keuntungan dan berbagai kemudahan pada manusia. Perubahan kondisi masyarakat tradisional, dengan kehidupan teknologi yang masih sederhana, menjadi masyarakat maju dengan berbagai kemajuan teknologi yang memberikan berbagai kemudahan merupakan sebuah perkembangan dan pembangunan yang membawa kemajuan. Jadi, pembangunan dalam masyarakat merupakan bentuk perubahan ke arah kemajuan (progress). Perubahan dalam arti progress misalnya listrik masuk desa, penemuan alat-alat transportasi, dan penemuan alat-alat komunikasi. Masuknya jaringan listrik membuat kebutuhan manusia akan penerangan terpenuhi; penggunaan alat-alat elektronik meringankan pekerjaan dan memudahkan manusia memperoleh hiburan dan informasi; penemuan alat-alat transportasi memudahkan dan mempercepat mobilitas manusia proses pengangkutan; dan penemuan alat-alat komunikasi modern seperti telepon dan internet, memperlancar komunikasi jarak jauh. 2.

Perubahan sebagai suatu kemunduran (regress) Tidak semua perubahan yang tujuannya ke arah kemajuan selalu berjalan sesuai rencana. Terkadang dampak negatif yang tidak direncanakan pun muncul dan bisa menimbulkan masalah baru. Jika perubahan itu ternyata tidak menguntungkan bagi masyarakat, maka perubahan itu dianggap sebagai sebuah kemunduran. Misalnya, penggunaan HP sebagai alat komunikasi. HP telah memberikan kemudahan dalam komunikasi manusia, karena meskipun dalam jarak jauh pun masih bisa komunikasi langsung dengan telepon atau SMS. Disatu sisi HP telah mempermudah dan mempersingkat jarak, tetapi disisi lain telah mengurangi komunikasi fisik dan sosialisasi secara langsung. Sehingga teknologi telah menimbulkan dampak berkurangnya kontak langsung dan sosialisasi antar manusia atau individu.

Jika dilihat dari proses berlangsungnya, menurut Soerjono Soekamto perubahan dapat dibedakan menjadi Evolusi dan Revolusi (perubahan lambat dan perubahan cepat). 1.

Evolusi Evolusi adalah perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam proses lambat, dalam waktu yang cukup lama dan tanpa ada kehendak tertentu dari masyarakat yang bersangkutan. Perubahan-perubahan ini berlangsung mengikuti kondisi perkembangan masyarakat, yaitu sejalan dengan usaha-usaha masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Dengan kata lain, perubahan sosial terjadi karena dorongan dari usaha-usaha masyarakat guna menyesuaikan diri terhadap kebutuhan-kebutuhan hidupnya dengan perkembangan masyarakat pada waktu tertentu. Contoh, perubahan sosial dari masyarakat berburu menuju ke masyarakat meramu.

2.

Revolusi Revolusi, yaitu perubahan sosial mengenai unsur-unsur kehidupan atau lembagalembaga kemasyarakatan yang berlangsung relatif cepat. Seringkali perubahan revolusi diawali oleh munculnya konflik atau ketegangan dalam masyarakat, keteganganketegangan tersebut sulit dihindari bahkan semakin berkembang dan tidak dapat dikendalikan. Terjadinya proses revolusi memerlukan persyaratan tertentu, antara lain : a. Ada keinginan umum untuk mengadakan suatu perubahan. b. Adanya pemimpin/kelompok yang mampu memimpin masyarakat tersebut. c. Harus bisa memanfaatkan momentum untuk melaksanakan revolusi. d. Harus ada tujuan gerakan yang jelas dan dapat ditunjukkan kepada rakyat. e. Kemampuan pemimpin dalam menampung, merumuskan, serta menegaskan rasa tidak puas masyarakat dan keinginan-keinginan yang diharapkan untuk dijadikan program dan arah gerakan revolusi. Contoh perubahan secara revolusi adalah peristiwa reformasi (runtuhnya rezim Soeharto), peristiwa Tsunami di Aceh, semburan lumpur Lapindo (Sidoarjo).

Jika dilihat dari ruang lingkupnya, perubahan sosial dibagi menjadi dua, yaitu perubahan social yang berpengaruh besar dan perubahan sosial yang berpengaruh kecil. 1.

Perubahan Kecil Perubahan kecil adalah perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung atau pengaruh yang berarti bagi masyarakat. Contoh perubahan kecil adalah perubahan mode rambut atau perubahan mode pakaian dan lain sebagainya.

2.

Perubahan besar Perubahan besar adalah perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang membawa pengaruh langsung atau pengaruh berarti bagi masyarakat. Contoh perubahan besar adalah dampak ledakan penduduk dan dampak industrialisasi bagi pola kehidupan masyarakat.

Jika dilihat dari keadaannya, perubahan sosial dibagi menjadi dua yaitu, perubahan yang Direncanakan dan Tidak Direncanakan. 1.

Perubahan yang dikehendaki atau direncanakan Perubahan yang dikehendaki atau yang direncanakan merupakan perubahan yang telah diperkirakan atau direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-pihak yang hendak melakukan perubahan di masyarakat. Pihak-pihak tersebut dinamakan agent of change, yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapat kepercayaan masyarakat untuk memimpin satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan yang bertujuan untuk mengubah suatu sistem sosial. Contoh perubahan yang dikehendaki adalah pelaksanaan pembangunan atau perubahan tatanan pemerintahan, misalnya perubahan tata pemerintahan Orde Baru menjadi tata pemerintahan Orde Reformasi.

2.

Perubahan yang tidak dikehendaki atau yang tidak direncanakan Perubahan yang tidak dikehendaki atau yang tidak direncanakan merupakan perubahan yang terjadi di luar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan. Contoh perubahan yang tidak dikehendaki atau tidak direncanakan adalah munculnya berbagai peristiwa kerusuhan menjelang masa peralihan tatanan Orde Lama ke Orde Baru dan peralihan tatanan Orde Baru ke Orde Reformasi.

Disini yang dimaksud dengan aspek-aspek perubahan yaitu menyangkut tentang perubahan khusus dalam masyarakat desa yang diperkirakan penting untuk memahami kehidupan masyarakat desa. Hal ini dapat memperdalam pemahaman tentang dinamika kehidupan desa. a.

Urbanisasi dan Perkembangan Masyarakat Desa Urbanisasi, terlebih dalam artinya sebagai proses pengotaan, adalah suatu bentuk khusus modernisasi. Dengan kata lain, konsep modernisasi yang sangat luas cakupan pengertiannya itu mendapatkan bentuknya yang khusus di pedesaan dalam konsep urbanisasi. Sebagaimana diketahui urbanisasi adalah proses pengotaan (proses

mengotanya suatu desa), proporsi penduduk yang tinggal di desa dan di kota, dan perpindahan penduduk dari desa ke kota (urbanward migration). Urbanisasi

dalam

arti

proses

pengkotaan

hakekatn ya

meng

gambarkan proses perubahan dari suatu wila yah dengan masyara katnya yang semula adalah desa atau bersifat pedesaan kemudian berubah dan berkembang menjadi kota atau bersifat kekotaan. Dalam ken yataann ya secara umum desa memang atau

selalu mengalami peru bahan dan perkembangan. Cepat -lambatnya

besar-kecilnya perubahan dan perkembangan yang terjadi tergantung pada

banyak faktor, antara lain tergantung- kepada potensi wilayah yang bersang kutan. P e r ub a h an it u s e c a r a u m um c e n d e r u n g me n ga r a h k e s i f a t - si fa t

perkotaan. Namun, tidak semua perubahan dan perkembangan yang

terjadi di desa itu dapat disimpulkan sebagai proses pengkotaan (proses perubahan desa menjadi kota). Proses perubahan itu seringkali han ya

merupakan

proses perubahan biasa saja, yang hakekatn ya secara umum terjadi di semua kelompok masyarakat. b.

Perubahan Kultural Perubahan kultural (kebudayaan) adalah perubahan kebudayaan masyarakat desa dari pola tradisional menjadi bersifat modern. Dalam hal ini yang dimaksud adalah kebudayaan desa yang awalnya bersifat tradisional mulai dari alat yang digunakan, ideologi, pendidikan, sedikit demi sedikit menjadi berkembang ke arah yang lebih modern. Yang menjadi titik tolak utama pengertian pola kebudayaan tradisional adalah yang dikemukakan oleh Paul H. Landis an Everett M. Rogers. Seperti telah diuraikan dalam bab tersebut, nurut Paul H. Landis keberadaan pola kebudayaan tradisional tentukan oleh tiga faktor. Ketiga faktor itu adalah: a. Sejauh mana ketergantungan masyarakat terhadap alam. b. Bagaimana tingkat teknologi nya. c. Bagaimana sistem produksinya. Pola kebudayaan tradisional akan tetap eksis apabila masyarakat desa memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap alam, namun dengan tingkat teknologi yang tinggi, dan produksi yang hanya ditujukan untuk memenuhi kebu tuhan keluarga. Ini berarti bahwa apabila ketergantungan terhadap alam berkurang atau bahkan hilang, tingkat teknologinya tinggi, dan pr oduksi ditujukan untuk mengejar keuntungan (profit orientecl), maka kebudayaan tradisional menjadi kehilangan dasar eksistensinya. Dan hal tersebut menunjukkan perubahan cultural pada masyarakat desa

yang sudah terlihat. Selain hal tersebut meningkatnya teknologi pada masyarakat desa juga menunjukkan semakin berubahnya kebudayaan di desa. Akan tetapi masih ada kendala dalam memajukan desa kearah modern. Hal ini disebabkan k a r e n a c a ra hidupmodern hidup

tradisional

karena

itu,

menuntut

b i a ya

t i n g gi .

Sebaliknya, cara

adalah merupakan cara hidup yang relatif murah. Oleh

sekalipun

misalnya penduduk telah mendapatkan dan menyerap

pengetahuan baru dan budaya modern, namun pengaruhnya hanya sebatas sikap dan pandangan hidup saja. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk menerapkan gagasan hidup modern karena masalah struktural,

yakni

karena

mereka

termasuk golongan miskin yang rendah tingkat keberdayaannya. 3.

Perubahan Struktural Senada dengan uraian tentang perubahan kebudayaan di atas, bagian ini juga mencoba

mengungkapkan

perubahan

struktur

masya rakat

desa

yang

menjadi semakin bersifat kompleks. Struktur adalah bagaimana bagian-bagian dari sesuatu berhubungan satu dengan lain atau bagaimana sesuatu tersebut disatukan. Struktur adalah sifat fundamental bagi setiap sistem. Identifikasi suatu struktur adalah suatu tugas subjektif, karena tergantung pada asumsi kriteria bagi pengenalan bagian-bagiannya dan hubungan mereka. Karenanya, identifikasi kognitif suatu struktur berorientasi tujuan dan tergantung pada pengetahuan yang ada. 4.

Perubahan Lembaga dan Kelembagaan Lembaga adalah sebagai wahana untuk memenuhi kebutuhan dalam suatu masyarakat. Dalam kaitan ini kelembagaan adalah sebagai wujud dari suatu tindakan bersama (Collective action). Jadi jika suatu masyarakat menginginkan suatu kebutuhan baru dan beragam maka secara otomatis lembaga lama akan tidak berfungsi lagi. Secara umum lembaga diartikan sebagai wahana untuk memenuhi kebutuhan yang ada dalam suatu mas yarakat.

5.

Perubahan dan Pembangunan dalam Bidang Pertanian Perubahan dan pembangunan di bidang pertanian tidak lepas dari perubahan yang ada di dunia ini khususya dalam IPTEK dan teknologi yang menunjang peningkatan dalam sektor pertanian.

PEMBANGUNAN MASYARAKAT DESA Didalam pembangunan masyarakat desa masih terdapat permasalahan yang sangat relevan dibahas, alasannya. Pertama, dalam dua dasawarsa terakhir, perkembangan pembangunan hanya berkecimpung di daerah perkotaan sementara secara umum Negara kita Indonesia masih didominasi oleh pedesaan. Kedua, kendati pada masa pemerintahan Orde Baru telah mencanangkan berbagai upaya kebijaksanaan dan program pembangunan pedesaan, tetapi secara riil dapat kita lihat bahwa kondisi social ekonomi masyarakat pedesaan masih sangat jauh dari yang diharapkan (memprihatinkan). Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat desa sangat perlu diperhatikan oleh pemerintah dan perkembangan pembangunan masyarakat pedesaann tidak hanya semata-mata pada sector pertanian, distribusi barang dan jasa tetapi lebih kepada spectrum kegiatan yang menyentuh pemenuhan berbagai macam kebutuhan segenap anggota masyarakat sehingga mereka lebih bisa mandiri, percaya diri, tidak bergantung dan terlepas dari belenggu structural yang membuat hidup sengsara. Sementara itu, pembangunan juga perlu diarahkan untuk merubah kehidupan masyarakat menjadi lebih baik sehingga dapat tercapai tujuan dari ruang lingkup pembangunan pedesaan yang sangat luas. Dari perkembangannya, cukup beragam strategi-strategi yang dilakukan oleh Negaranegara berkembang (termasuk Indonesia) dalam upaya pembangunan pedesaan. Tetapi dalam bacaan ini hanya membahas beberapa saja. Sebagaimana dikemukakan diatas, pembangunan adalah Merupakan proses perubanan yang disengaja dan direncanakan lebih Lengkap lagi, pembangunan berarti perubahan yang disengaja atau Direncanakan dengan tujuan untuk mengubah keadaan yang tidak dikehandaki ke arah yang dikehendaki. Istilah pembangunan umum- nya dipadamkan dengan istilah developmen, sekalipun istilah developmen sebenarnya berarti perkembangan tanpa perencanaan. Maka pcmbangunan masyarakat desa juga disebut

rurar development.

Demikian pula istilah modemisasi juga sering diartikan identik dengan pembangunan, yakni mengingat artinya sebagai proses penerapan pungetahnan dan teknologi modem pada berbagai segi atau bidang kchidupan masyarakat. Sehingga, ada pula yang mendefinisikan pcm- bnngunan sebagai usaha yang dilakukan secara sadar untuk menciptakan. perubahan sosial melalui modemisasi. Di negara-negara berkembang, proses perubahan dan perkem- bangan yang terjadi padu ntasyarakat --termasuk masyarakat desa-- tidak lepas dari campur tangan Pemerintah. Dengan demikian jelas bahwa yang merencanakan dan merekayasa prubahan adalah Negara

(cq. pemerintah), Campur tangan Negara ini dilakukan dengan tujuan untnk mempercepat akselerasi pembangunan agar bangsanya tidak tertinggal dari dunia Barat. Istilah dan pengertian pembangunan tersebut di atas tidak lazim bagi negara-negara industri Barat yang telah maju dan modern. Hal ini dapat dimengerti karena proses modemisasi di Barat merupakan peroses perkembangan (developmen) intemal dan wajar lewat industri dungan sistem kapitalisasinya. Proses ini bersifat wajar dalam arti tidak ada perencanaan, pengendalian, atau kesengajaan terhadap jalannya proses tcrsebut. Peran Pemerintah bersifat pasif. Kalaulah ada yang dapat diperhitungkan sebagai kekuatan pengendali yang aktif, adalah kekuatan pasar. Modernisasi ini, dengan industri dan system. Kapitalisme yang melandasainya, telah mengantarkan negara- ncgara. Barat tersebut ke tingkat kemajuan yang telah dicapainya sejauh ini. Bagaimana dengan dunia Ke tiga, terasuk Indonesia? Mengapa pembangunan diperlukan? Hal ini mudah dimengerti. Sebab, Negara negara berkembang (dunia ke tiga) semenjak memperoleh kemerdekaannya; merasa bebas untuk menentukan-nasibnya sendiri. Hal yang segera dirasakan adalah keterbelakangan dan ketertinggalan- nya dari dunia Barat. Maka untuk memajukan Negara dan sekaligus untuk mengejar ketertinggalan itu; proses modemisasi (dengan atau tanpa industrialisasi) yang biasa tidaklah cukup. Moderenisasi itu harus direncanakan, dipacu, dan diakselerasikan, sedemikian rupa sehingga ibarat kendaraan segcra bisa mengantar negara-negara berkembang_tersebut menjadi negara yang maju dan sejahtera setara dengan dunia`Barat. Pembangunan secara umum mengandung penger- tian secaman ini. Bagaimana kegiatan pembangunan nasional di Indonesia? Scbagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa pembangunan adalah mcrupakan kegiatan yang direncanakan. Oleh negara atau khususnya pemerintahu Di Indonesia kegiatan pernbangunan nasiona1 secara berencana telah dilancarkan semenjak tahun 1950-an, khususnya lewat pcran Dewan Perancang Nasional (DEPPERNAS) yang memprioritas- kan pembangunan di bidang ekonomi. Dengan diemikian, pemba~ nggunan nasional telah dilancarkan semenjak jaman Orda, Orba, hingga sekarang. Bagaimana rumusan pengertian pembangungm nasional kita? Diawali dengana penugasan Deppernas oleh Presiden untuk "meran- cangkan pola masyarakat 'adil' dan makmur sebagaimana dfnuaksudkan o1ch Pembukaan_UUD 1945”, maka Undang-undang Nomor ; 85,Tabun 1958 menyiratkan pengcrtian pembangunan nasional kita sebagai usaha untuk mempertinggi tingkat kehidupan bangsa Indonesia dengan jalan peningkatan produksi dan pengubahm: struktur pereko- nomian yang ada-menjadi struktur perekonomian nasional.

Rurnusan semacam ini ditegaskan kembali dalam Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 Lentang-Garis-garis Besar Pola Pembanggunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969. Rencana ini tidak berjalan seperti yang diharapkan. karena pecahnya pemberontakan G30S PKI tahun l965. Kemudian, tahun.1966 Badan Perancang Pembangunan Naaional (BAPPENAS) yang dibentuk tahun l967 mulai mengambil peran dalam rancangan pembangunan nasional. Program-program pembangunan memperoleh landasannya lewat pelbagai keputusan politik seperti tertera dalam Kepres Nomor 319 Tahun 1968 tentang Repelita I, Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973 tentang GBHN 1973, Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 tentang GBHN 1978, dan lainnya. Tap MPR Nomor II/MPR/1983 menegas- kan hakekat pembnngunan nasional sebagai pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indo- nesia. Bagaimana dengan pembangunan masyarakat desa? Dalam rumusan pembangunan nasional tersebut ditetapkan bahwa pembangunan masyarakat desa merupakan bagian integral dari pemba- ngangunan nasional. Secara lebih khusus pembangunan masyarakat dcsa memiliki beberapa pengertian, antara lain: § Pembangunan "masyarakat delsa berarti pembangunan masyarakat tradisional rnenjadi manusia modern (Horton dan Hunt, 1976, Alex Inkeles, 1765) § Pembangunan masyarakat desa berarti membangun swadaya masyarakat dan rasa percaya pada diri sendiri (Mukerjee dalam Bhattacharyya, 1972). § Pembangunan pcdesaan tidak lain dari pembangunan usaha tani atau membangun pertanian (Mosher, 1974, Bertrand, 1958). Di samping batasan-batasan tersebut, pembangunan desa di Indonesia memiliki arti: pembangunan nasional yang ditujukan pada usaha peningkamn taraf hidup masyarakat pedesaan, menumbuhkan partisipasi aktif setiap anggota masyarakat terhadap pembangunan, dan menciptakan hubungan yang selaras antara masyarakat dengan lingkungannya (berdasarkan GBHN dan Repelita-repelita). * Dalam pada itu, istilah asing untuk pcmbangunan desa bukan hanya rural development (RD), rnelainkan juga community development (CD).`Dua istilah ini sering muncul dalam berbagai wacama tentang pembangunan masyarakat desa. Sekalipun ada yang Cenda- rung tidak memperlihatkan perbedaannya, namun sebcnamya tcrdapat perbedaan antara dua konsep itu. CD merupakan pendekatan pemba- ngunan yang mengutamakan panisipasi aktif masyarakat. CD berlaku baik di desa maupun di perkotaan. RD di lain pihak hanya berlaku di pedesaan, dan mengutamakan keserasian masyarakat dengan Iing- kungannya. Sejak tahun

1977 Indonesia mengembangkan konsep Integrated Rural Development (IRD). IRD menekankan keterpaduan program-program pembangunan yang ada di desa, yang kalau tidak dipadukan akan bersifat fragmentaristik, terikat pada berbagai depanernen yang ada (Penanian, Sosial, Perindustrian, dan lainnya) Berlandaskan Undang-undang'Nomor 5 'Tahun 1974, pemba- ngunan desa yang diIaksanakan oleh Pemerintah terutama bertumpu pada Departemen Dalam Negeri. Pasal 80 Undang-undang itu menyai takan bahwa Kepala Wilayah (Gubernur, Bupatit,.Camat) adalah pcnguasa tunggal di bidang pemerintahan dan berkewajiban untuk mengkoordinasikan pembangunan dan membina kehidupan masyara- kat di segala bidang. Departemen Dalam Negeri rnemiliki program program pembangunan jangka pendek dan panjang. Progranm-program jangka pendek bertujuan untuk mensukses- kan sector-sektor yang diprioritaskan dalam skala nasional seperti: menggerakkan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalarn pembangunan, penggunaan teknologi dan ilmu pengetahuan, peningkatan produksi pangan (pertanian); perluasan .kesempatan kerja, pemerataan pendapatan dan kegiatan

pembangunan,

menggcrakan

dan

meningkatkan

kegiatan

perkoperasian,

menggalakkan dan meningkatkan Keluarga Berencana, Serta meningkatkan kesehatan' masyarakat. Program-program jangka panjang dalam' garis besamya bertujuan untuk memajukan dan mengembangkan selumh dcsa di Indonesia. Ukuran kemajuan didasarkan atas tipologi desa yang dikembangkan oleh Departemen Dalam Negeri; khususnya Ditjen Pembangunan Desa (BANGDES), yakni tipe desa swadaya, swakarya, dan swasembada. Péngembangan ini tidak terlepas dari kerangka Pembangunan Regional dan Nasional. Langkah-langkah yang ditempuh Departemen Dalam Negeri dalam kaitannya dengan program-program jangka pendek dan panjang tersebut rantara lain adalah memperluas dan menyernpurnakan jaringan prasarana desa, meningkatkan pengetahuan dan kcterampilan masyarakat desa, memper1uas fasilitas serta pelayanan keehatan dan perbaikan sanitasi, pengembangan dan perbaikan pernukiman, perlu- asan lapamgan kerja, pengembangan dan pcningkatan perkoperasian, perbaikan dalam penggunaan dan peruntukan tanah, dam lainnya. PERUBAHAN-PERUBAHAN KHUSUS Yang dimaksud dengan perubahan-perubahan khusus adalah perubahan-perubahan yang menyangkut aspek-aspek tenentu yang diperkirakan sangat penting dalam memahami kehidupan masyarakat desa. Dengan demikian, analisa terhadap perubahan tentang atau yang

berkait dengan aspek-aspek ini akan dapat memperdalam pemahaman kita tentang dinamika kehidupan masyarakat desa. Aspek-aspek yang akan dibahas dalam bab ini adalah: urbanisasi, kultur, struktur,1ern- baga, dan pertanian. ‘ I. Urhanisasi dan perkembangan masyarakat desa Urbanisasi, terlebih dalam artinya sebagi proses pengkotaan, adalah suatu bentuk khusus proses modemisasi. Dengan kata lain, konsep modemisasi yang sangat Iuas cakupan pengeniannya itu men- dapatkan bentuknya yang khusus di pedesaan dalam konsep urbamisasi. Sebagaimana diketahui, urbanisasi kecuali berarti (1) 'proses péngkotaan (proscs mengkotanya suatu daerah/desa) juga berarti: (2) proporsi penduduk yang tinggal di kota dibanding dengan yang tinggal di desa, dan (3) perpindahan utau pergeseran penduduk dari desa ke Kota (urbanward migration). " Pengertian pertama dan ke dua umunya dinilai sebagai bersifat posltip, karena proses' ini menunjukkan perkernbangan dan kemajuan desa. Dengan demikian, proses ini sesuai dengan perspektif evolusioner. Dalam beberapa model khusus teori evolusi diwacanakan bahwa desa yang masih terbelakang dan bersifat tradisional menjadi berkcmbang dan maju setelah mendapatkan pengaruh kota. Model teori ini lazim disebut teori dfusi kultural, ' Urbanisasi dalam arti proses pengkotaan hakekatnya menggam- barkan proses perubahan dan suatu wilayah dengan masyarakatnya yang semula adalah desa atau bersifat pedesaan kemudian berubah dan berkembang menjadi kota atau bersifat kekotaan. Dalam kenyataannya secara urnum desa memang se1a1u mengalami perubahan dan perkembangan. Cepat-1ambatnya atau besar-kecilnya perubahan dan perkembangan yang terjadi tergantung pada banyak; faktor, antara-lain tergantung kepada potensi wilayah yang bersangkutatan.) Perubahan itu secara umum cenderung mengarah ke sifat-sifai perkotaa namun, tidak semua pembahan dan perkernbangan yang terjadi di desa itu dapat disimpulkan sebagai proses pengkotaan (proses perubahan desa menjadi kota). Proses perubahan itu seringkali hanya merupakan proses perubahan. biasa-saja, yang hakekatnya secara umum, terjadi-di semua kelompok masyarakat. Mcnurut Ro1and L Warren, proses perubahan yang menunjukkan terjadinya rnetamorpose, dari; desa rnenjadi kota hanya dapat disimak lewat adanya gejala yang Olehnya disebut great change. Indikator dan adanya great change ini adalah: (1) division of labor, yakni bila desa itu telah menunjukkan tumbuh dan.berkernbangnya kelompokkelompok kerja yang berbeda-beda tetapi saling ada ketergantungan atau jalinan; (2) munculnya diferensiasi kepentingan dan asosiasi; (3) semakin bertambahnya hubungana yang

sistemik déngan masyarakat yang lebih luas; (4) muncul dan berkembangnya fenomena birokratisasi dan impersonali- sasi dalam kegiatan usaha; (5) pengalihan fungsi-fungsi ke lembaga pémerintahan dan ke bidang-bidang usaha yang menguntungkan; (6) adanya proses penyerapan gaya hidup perkotaan dan (7) adanya proses perubahan nilai-ni1ai.(RoIand L Warren, 1963: 54). Yang sering, diu1as, da1am berbagai; pembahasan adalah konsep urbanasasi dalam artian pergeseran penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi dalam artian ini banyak diulas berkaitan dengan kerugian- Kerugian yang dialarni desa. Dari sekian banyak penelitian yang ada' di Amerika Serikat misalnya, kebanyakan mengungkapkan betapa besar kerugian yang diderita desa; akibat adanya urbanisasi ini. Beberapa penelitian itu berkesimpulamsani, yakni bahwa urbanisasi meng- akibatkan desa-desa kehilangan tenaga-tenaga terbaik' (kaum muda) dan terpandainyaa.

Definisi Urabanisasi Urbanisasi merupakan proses dimana adanya peningkatan proporsi penduduk yang tinggal diperkotaan.Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa kekota. Urbanisasi merupakan masalah yang cukup serius bagi kita semua.persebaran penduduk yang tidak merata antara desa dengan kota akan menimbulkan berbagai permasalahan kehidupan sosial kemasyarakatan. Jumlah peningkatan penduduk kota yang signifikan tanpa didukung dan diimbangi dengan jumlah lapangan pekerjaan, fasilitas umum, aparat penegak hukum, perumahan, penyediaan pangan dan lain sebagainya tentu adalah sesuatu masalah yang harus segera dicari jalan keluarnya. Berbeda dengan perspektif ilmu kependudukan, definisi urbanisasi berarti persentase penduduk yang tinggal didaerah perkotaan. Perpindahan manusia dari desa kekota hanya salah satu penyebab urbanisasi. Perpindahan itu sendiri dikatagorikan menjadi dua macam: 1. Migrasi penduduk yaitu perpindahan penduduk dari desa kekota dengan tujuan untuk tinggal menetap dikota 2. Mobilitas penduduk yaitu perpindahan penduduk yang bersifat sementara atau tidak menetap. Untuk mendapatkan suatu niat untuk hijrah/ pergi kekota dari desa seorang biasanya harus mendapatkan pengaruh kuat dalam bentuk ajakan informasi media massa impian pribadi,terdesak kebutuhan ekonomi dan lain sebagainya. Pengaruh-pengaruh tersebut bisa dalam bentuk sesuatu yang mendorong memaksa atau faktor mendorong seseorang untuk urbanisasi maupun dalam bentuk menarik perhatian atau penarik

Menurut tokoh sosiologi Prof. Dr. Herlianto, ahli sosiologi Indonesia, mengatakan bahwa urbanisasi adalah suatu proses pertumbuhan daerah pertanian atau pedesaan menjadi perkotaan, bertumbuh dalam berbagai macam segi, misalnya, dalam segi keterampilan, gaya atau style, ekonomi, sehingga desa pun tumbuh menjadi perkotaan. De GOEDE, ahli sosiologi Belanda, menyatakan bahwa pengertian urbanisasi dibagi menjadi empat yakni : 1. Arus perpindahan penduduk dari desa ke kota. Pindahnya penduduk desa dari desa ke kota dengan berbagai macam masalah yang dihadapi 2. Bertambah besarnya jumlah tenaga kerja di sektor pertanian. Semakin banyaknya jumlah tenaga kerja yang bekerja di sekto pertanian

3. Tumbuhnya pemukiman-pemukiman menjadi kota. Pemukiman-pemukiman yang dibuat oleh masyarakat, semakin bertumbuh juga bisa disebut urbanisasi 4. Pengaruh kota dipedesaan sangat besar pada bidang sosial, politik, dan budaya. Pengaruh pada bidang politik, sosial, dan budaya yang sangat besar di pedesaan bisa kita sebut juga sebagai urbanisasi.

Faktor-faktor penyebab terjadinya urbanisasi Faktor penyebab adanya urbanisasi adalah karena adanya faktor utama yang klasik yaitu kemiskinan di daerah pedesaan. Faktor utama ini melahirkan dua faktor penyebab adanya urbanisasi yaitu: 1.

Faktor Penarik (Pull Factors) Alasan orang desa melakukan migrasi atau pindah ke kota didasarkan atas beberapa alasan, yaitu: 

Lahan pertanian yang semakin sempit.



Merasa tidak cocok dengan budaya tempat asalnya. Rasa jenuh atau merasa tertekan dengan peraturan-peraturan budaya di daerah membuat imigran memutuskan pindah ke jakarta mengharapkan adanya keleluasaan dalam menjalani kehidupannya.



Menganggur karena tidak banyak lapangan pekerjaan di desa. Minimnya lapangan pekerjaan di desa membuat para



Terbatasnya sarana dan prasarana di desa. Kurang tersedianya sarana dan prasana di pedasaan memaksa orang desa untuk berpindah ke kota agar mudah mendapakat fasilitas sarana dan prasana yang lebih mudah di dapat dan lebih lengkap dari pada di desa. Misalnya sarana hiburan yang belum memadai di desa sedangkan kan di Jakarta banyak Mall dan tempat hiburan yang dapat di jangkau dengan mudah.



Diusir dari desa asal, sehingga ke kota menjadi tujuan. Diusir dari desa hal ini biasanya jarang terjadi, walaupun ada tapi hanya sedikit yang menjadikan alasan urbanisasi karena diusir dari asalnya. Apabila seseorang/ keluarga di usir biasanya seseorang/keluarge tersebut melakukan kesalahan yang menyeabkan kerugian terhadap penduduk desa.



Memiliki impian kuat menjadi orang kaya, karena tingkat upah di kota lebih tinggi. Penduduk pedesaan selalu dibombardir dengan kehidupan serba wah yang ada di kota besar sehingga semakin mendorong mereka meninggalkan kampungnya Ketimpangan pembangunan daerah perdesaan dengan daerah perkotaan sangat tidak berimbang yang mengakitbatkan kurangnya peralatan dan perkembangan teknologi di desa.



Melanjutkan sekolah, karena di desa fasilitas atau mutunya kurang. Keadaan pembangunan pendidikan di desa yang kurang memadai membuat para orang tua murid memutuskan untuk mensekolahkan anak mereka ke kota dengan harapan dapat mendapatkan ilmu dan fasilitas yang memadai bagi proses belajar pembelajaran anak mereka.



Pengaruh cerita orang atau keluarga bahwa hidup di kota Jakarta mudah untuk mencari pekerjaan, atau mudahnya membuka usaha kecil-kecilan. Jakarta sebagai kota besar dan berpenduduk banyak tentunya sangat menjanjikan untuk orang-orang kecil yang berniat untuk mencari sesuap nasi dikota ini mulai dari pedagang kaki lima (PKL), pedagang asongan, tukang ojek, tukang sngat menjanjikan untuk hidup. Padahal tidak semuanya yang datang ke Jakarta mendapatkan pekerjaan. Para peruraban harus mempunyai keahlian khusus agar dapat diterima bekerja di jakarta.



Kebebasan pribadi lebih luas. Kebebasan disini bukannya bebas melakukan apa saja akan tetapi bebas dalam konteks ini adalah dapat melakukan aktivitas sesuai dengan keinginan kita tanpa harus manaati pertaturan-peraturan yang ada di desa. Tetapi masih dalam hal yang wajar dan mengikuti dari peraturan dari pemerintah.



Adat atau adanya tolenransi antar agama . Jakarta menjadi tempat berkumpulan para migran yang berpindah dari berbagai daerah, agama, suku. Karena itu budaya adat dari daerah tersebut tidak begitu kental lagi di jakarta. Saling menghormati agama orang lain tidak menggangu satu sama lain merupakan kunci dari toleransi itu sendiri.

2.

Faktor Pendorong (Push Factors) Di sisi lain kota mempunyai daya tarik, di pihak lain keadaan tingkat hidup di desa umumnya mempercepat proses urbanisasi tersebut, hal ini menjadi faktor pendorong timbulnya urbanisasi. Faktor pendorong yang dimaksud diantaranya adalah: 

Keadaan desa yang umumnya mempunyai kehidupan yang statis (tidak mengalami perubahan yang sangat lambat). Hal ini bisa terjadi karena adat istiadat yang masih kuat atau pun pengaruh agama.



Makin berkurangnya sumber-sumber kehidupan seperti menurunnya daya dukung lingkungan, menurunnya permintaan atas barang-barang tertentu yang bahan bakunya makin susah diperoleh seperti hasil tambang, kayu, atau bahan dari pertanian.



lapangan kerja yang hampir tidak ada karena sebagian besar hidup penduduknya hanya bergantung dari hasil pertanian pendapatan yang rendah yang di desa



keamanan yang kurang



Fasilitas pendidikan sekolah atau pun perguruan tinggi yang kurang berkualitas.

Kebanyakan dari pelajar di desa berpindah sekolah/ kuliah di jakarta karena fasilitas sarana dan prasarana pendidikan di jakarta lebih baik dan menggunakan teknologi yang memadai di bandingkan dengan di desa asal mereka.

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa faktor utama penyebab timbulnya urbanisasi yang paling kuat adalah faktor ekonomi (menjadi motif utama para migran), selain itu disusul dengan faktor tingkat pendidikan. Penyebab lain dari terjadinya urbanisasi adalah karena terjadinya “overruralisasi” yaitu tingkat dan cara produksi di pedesaan terdapat terlalu banyak orang Keuntungan Urbanisasi Segala sesuatu, memiliki keuntungan yang banyak maupun kekurangan yang banyak pula, akan tetapi keuntungan dapat menutupi kekurangan. Begitu juga urbanisasi, urbanisasi memiliki keuntungan yang dapat dirasakan oleh masyarakat desa maupun masyarakat kota. Keuntungannya sebagai berikut : 1.

Memodernisasikan Warga Desa. Keidentikan warga desa sebagai masyarakat tradisional yang gagap akan teknologi dapat di hilangkan dengan melakukan urbanisasi, modern dalam ilmu pengetahuan, dan kebiasaan masyarakat dikota. Urbanisasi dikatakan dapat memodernkan warga desa, karena masyarakat desa tidak ingin ketinggalan zaman di kota besar. Pengertian modernisasi warga pedesaan tidak semata-mata dalam arti fisik, seperti misalnya membangun fasilitas perkotaan, namun membangun penduduk pedesaan sehingga memiliki ciri-ciri modern penduduk perkotaan. Dalam hubungan inilah lahir konsep urbanisasi pedesaan Konsep urbanisasi pedesaan mengacu pada kondisi di mana suatu daerah secara fisik masih memiliki ciri-ciri pedesaan yang kental, namun karena ciri penduduk” yang hidup didalamnya sudah menampakkan sikap maju dan mandiri, seperti antara lain mata pencaharian lebih besar di nonpertanian, sudah mengenal dan memanfaatkan lembaga keuangan, memiliki aspirasi yang tinggi terhadap dunia pendidikan, dan sebagainya, sehingga daerah tersebut dapat dikategorikan sebagai daerah perkotaan.

2.

Menambah Pengetahuan Warga Kota Menambah pengetahuan akan sesuatu yang belum pernah diketahui, seperti cara mengobati tradisional, misalnya warga kota yang tidak punya uang untuk berobat, dapat meminta tolong kepada warga desa untuk membuatkan obat-obat tradisional, yang dapat menyembuhkan penyakitnya tanpa biaya yang lebih.

3.

Menjalin kerja sama yang baik antar warga suatu daerah. Rata-rata penduduk di jakarta adalah imigran dari seluruh daerah di Indonesia sehingga warga asli jakarta pun tidak terlalu banyak. Biasanya dalam suatu perkumpulan masyarakat daerah atau paguyuban daerah tertentu mengadakan acra yang bersifat silahturahmi dan mempererat kerjasama antar sesama daerah asal mereka ataupun dengan masyarakat daerah lain.

4.

Menyeimbangkan masyarakat kota dengan masyarakat desa

Dampak-dampak Urbanisasi Dibawah ini ada beberapa dampak dari terjadinya urbanisasi. Ada beberapa dampak positif yang dihasilkan oleh Urbanisasi, yaitu: 

Terpenuhinya kebutuhan tenaga kerja di kota. Kota memerlukan banyak sekali tenaga kerja di bidang industri, transportasi, perdagangan jasa, dan lain-lain. Dengan adanya urbanisasi kebutuhan tenaga kerja dengan sendirinya dapat terpenuhi.



Meningkatnya aktifitas perekonomian kota. Kota bertambah ramai, perdagangan semakin meningkat, kehidupan di kota semakin berkembang dengan banyaknya pendatang-pendatang baru dari luar kota.



Meluasnya kesempatan membuka usaha-usaha baru. Dengan meningkatnya jumlah penduduk kota, diperlukan banyak fasilitas untuk melayani kebutuhan masyarakat sehingga kesempatan membuka usaha baru terbuka lebar seperti usaha bengkel, transportasi, warung, tukang pangkas rumput, dan sebagainya.



Meningkatnya tingkat kesejahteraan penduduk desa yang berurbanisasi ke kota. Orang-orang desa yang telah berhasil di kota, banyak di antara mereka yang mengirimkan sebagian dari penghasilannya ke desa untuk inventasi maupun untuk membangun desanya. Hal ini berarti urbanisasi dapat membawa dampak positif bagi pembangunan desa.



Dapat meningkatkan taraf hidup keluarga yang ditinggalkan di desa. Jumalah penduduk desa yang sebelumnya tidak sebanding dengan lapangan kerja yang ada, dengan urbanisasi jumalah penduduk desa semakin berkurang. Denagn demikian penduduk yang tinggal di desa, dapat lebih mudah bekerja, misalnya dengan mengelolah lahan yang ada.



Terjadinya percampran antara budaya desa dan kota sehingga antara orang desa dan orang kota akan saling menyerap kebudayaan yang baik di antara keduanya.



Terjadinya hubungan kekeluargaan yang lebih erat antara orang desa dengan orang kota.



Kota mendapatkan pasokan tenaga kerja yang murah untuk pembangunan, teutama untuk tenaga kasar yang biasanya enggan dikerjakan penduduk kota.



Mengurangi pengangguran dan kepadatan penduduk di desa.

Pasti ada dampak dari suatu hal yang berlebihan begitu pula overloadnya Jakarta. Kesesakan yang diakibatkan oleh berlebihannya penduduk Jakarta mengakibatkan;

1.

Sifat Konsumtif. Sifat manusia cenderung konsumtif, yang berarti bahwa konsumen selalu mengkonsumsi produk atau jasa sepanjang waktu. Perilaku konsumtif ini muncul selain dikarenakan untuk pemenuhan kebutuhan yang sangat beragam, tetapi juga untuk mengikuti trend yang berkembang di pasar.

2.

Kekumuhan kota. Hal ini bisa terjadi karena terlalu banyaknya imigran yang datang ke jakarta tidak dapat membangun rumah yang layak yang pada akhirnya mereka membuat tempat tinggal di tanah-tanah milik negara misalnya di bantaran kali, dipinggiran rel, dibawah kolong jembatan yang sebernarnya hal tersebut hanya memperburuk tata kota di jakarta. Tata kota suatu daerah tujuan urban bisa mengalami perubahan dengan banyaknya urbanisasi. Urban yang mendirikan pemukiman liar di pusat kota serta gelandangangelandangan di jalan-jalan bisa merusak sarana dan prasarana yang telah ada, misalnya trotoar yang seharusnya digunakan oleh pedestrian justru digunakan sebagai tempat tinggal oleh para urban. Hal ini menyebabkan trotoar tersebut menjadi kotor dan rusak sehingga tidak berfungsi lagi.

3.

Kemacetan lalu lintas. Padatnya penduduk di kota menyebabkan kemacetan dimana-mana, ditambah lagi arus urbanisasi yang makin bertambah. Para urban yang tidak memiliki tempat tinggal maupun pekerjaan banyak mendirikan pemukiman liar di sekitar jalan, sehingga kota yang awalnya sudah macet bertambah macet. Selain itu tidak sedikit para urban memiliki kendaraan sehingga menambah volum kendaraan di setiap ruas jalan di kota..

4.

Kriminalitas yang tinggi. Kepergian penduduk desa ke kota untuk mengadu nasib tidaklah menjadi masalah apabila masyarakat mempunyai keterampilan tertentu yang dibutuhkan di kota. Namun, kenyataanya banyak diantara mereka yang datang ke kota tanpa memiliki keterampilan kecuali bertani. Oleh karena itu, sulit bagi mereka untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Mereka terpaksa bekerja sebagai buruh harian, penjaga malam, pembantu rumah tangga, tukang becak, masalah pedagang kaki lima dan pekerjaan lain yang sejenis. Hal ini akhrtnya akan meningkatkan jumlah pengangguran di kota yang menimbulkan kemiskinan dan pada akhirnya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, orang orang akan nekat melakukan tindak kejahatan seperti mencuri, merampok bahkan membunuh. Ada juga masyarakat yang gagal memperoleh pekerjaan sejenis itu menjadi tunakarya, tunawisma, dan tunasusila.

5.

Struktur kota yang berantakan. Membeludaknya penduduk yang migrasi ke jakarta membuat struktur kota yang telah disusun secara rapih menjadi berantakan akibat tidak seimbangnya antara struktur yang ada dengan penduduk yang bertambah.

6.

Menambah polusi di daerah perkotaan. Masyarakat yang melakukan urbanisasi baik dengan tujuan mencari pekerjaan maupun untuk memperoleh pendidikan, umumnya memiliki kendaraan. Pertambahan kendaraan bermotor roda dua dan roda empat yang membanjiri kota yang terus menerus, menimbulkan berbagai polusi atau pemcemaran seperti polusi udara dan kebisingan atau polusi suara bagi telinga manusia. Ekologi di daerah kota tidak lagi terdapat keseimbangan yang dapat menjaga keharmonisan lingkungan perkotaan.

7.

Isu Jakarta tenggelam. Banyaknya penduduk dan bangunan bertingkat yang menimbulkan isu bahwa kota jakarta akan teggelam karena tidak dapat lagi menanpung beban yang melebihi kapasistas d. Isu ini masi belum di ketahui kebenarannya tapi hal ini bisa terjadi bila tidak adanya pembenahan yang dilakukan pemerintah secar serius.

8.

Banjir atau bencana alam. Para urban yang tidak memiliki pekerjaan dan tempat tinggal biasanya menggunakan lahan kosong di pusat kota maupun di daerah pinggiran Daerah Aliran Sungai atau kali untuk mendirikan bangunan liar baik untuk pemukiman maupun lahan berdagang mereka. Hal ini tentunya akan membuat lingkungan tersebut yang seharusnya bermanfaat untuk menyerap air hujan justru menjadi penyebab terjadinya banjir. Daerah Aliran Sungai sudah tidak bisa menampung air hujan lagi.

9.

Pelebaran kota dengan tata kota yang tidak baik. Daya tampung penduduk dengan luas kota jakarta tidak berimbang sehingga mmbuat perluasan kota yang tidak terorganisir dengan baik.

10.

Melonjaknya sector informal.

11.

Terjadinya kemerosotan kota.

12.

Pengembangan industry yang menghasilkan limbah. Pengembangan industri di ibukota dapat membuka lapangan pekerjaan baru untuk para imigran namun di lain pihak pembangunan pabrik industri dapat mengahasilkan limbah

yang berlebih. Seharusnya pihak dari pabrik dan pemerintah dapat merundingkan bagaimana cara agar limbah pabrik atau industri tersbut tidak mencemarkan lingkungan di sekitar pabrik. dampak negatif terhadap desa yang di tinggal : 

Terhambatnya pembangunan desa karena desa kekurangan tenaga kerja sumber daya manusia . Biasanya, orang-orang muda yang pindah ke kota merupakan orang-orang muda yang berpendidikan yang mencari pekerjaan di Jakarta padahal sangat dibutuhkan potensinya untuk membangun desa menjadi lebih baik. Contohnya saja seorang sarjana pendidikan mereka lebih memilih menjadi guru dijakarta karena tunjangan dan fasilitas yang diberikan dijakarta lebih lengkap dari pada di desa. Akan tetapi hal tersebut membuat perkembangan pendiidkna di desa tidak dapat berjalan dengan baik.



Akibat dari yang pertama di atas akan berdampak lebih lanju tterhadap menurunnya produktifitas sector pertanian yang menjadi tumpuan hidup sebagian besar masyarakat desa. Kekuranggan sumber daya yang berkualitas membuat para petani hanya menggunakan sumber daya dan teknologi seadaya dalam sektor pertanian dan produksinya tidak sebanyak bila menggunakan orang-orang yang berkompeten dalam bidang pertanian.



Masuknya budaya kota yang kurang baik ke desa, seperti mabuk-mabukan, pergaulan bebas, dan lain-lain

Cara mengatasi agar tidak terjadi urbanisasi Masalah urbanisasi ini dapat ditangani dengan memperlambat laju pertumbuhan populasi kota yaitu diantaranya dengan membangun desa , adapun program-program yang dikembangkan diantaranya: 

intensifikasi pertanian



mengurangi/ membatasi tingkat pertambahan penduduk lewat pembatasan kelahiran, yaitu program Keluarga Berencan



memperluas dan mengembangkan lapangan kerja dan tingkat pendapatan di pedesaan



program pelaksanaan transmigrasi.



penyebaran pembangunan fungsional di seluruh wilayah



pengembangan teknologi menengah bagi masyarakat desa



pemberdayaan potensi utama desa perlu dukungan politik dari pemerintah, diantaranya adanya kebijakan seperti reformasi tanah Berdasarkan kebijakan tersebut, maka yang yang berperan adalah pemerintah

setempat dalam penerapannya. Pemerintah daerah perlu berbenah diri dan perlu mengoptimalkan seluruh potensi ekonomi yang ada di daerah, sehingga terjadi kegiatan ekonomi dan bisnis yang benarbenar berorientasi pada kepentingan warganya. Tapi bukan berarti pemerintah daerah saja yang berperan, di tingkat pusat, pemerintah juga perlu membuat kebijakan lebih adil dan tegas terkait pemerataan distribusi sumber daya ekonomi. Arus balik ialah fenomena tahunan. Banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik untuk mengantisipasi meledaknya jumlah penduduk perkotaan dengan segala macam persoalannya.

Pengertian Nilai Sosial dan Norma Sosial di Masyarakat, Macam-macam, Ciri-ciri, Klasifikasi, Contoh, Fungsi, Jenis-jenis, Sosiologi - Setiap masyarakat akan menjunjung

tinggi nilai dan norma yang berlaku dan yang telah disepakati bersama. Nilai dan norma menjadi suatu hal yang melekat di dalam masyarakat secara turun temurun, serta dianggap sebagai kebaikan dan kebenaran itu sendiri. Nilai adalah suatu bentuk abstrak dari hal-hal yang bersifat ideal dan disepakati bersama dalam masyarakat. Norma lebih bersifat aturan umum yang ada di masyarakat. Antara nilai dan norma tersebut terwujud dalam kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat tertentu.

Nilai adalah sesuatu yang dianggap tinggi dan menjadi landasan dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai sosial adalah hasil dari anggapan-anggapan masyarakat terhadap perilaku individu.

Dalam bab ini Anda akan mempelajari konsep-konsep nilai dan norma sosial. Jika dianalogikan, nilai adalah aroma yang muncul dari harumnya bunga, sedangkan norma diibaratkan sebagai cara kita menumbuhkan bunga tersebut, memelihara, dan menjaganya. Dengan demikian, nilai dan norma bergabung menjadi satu dalam sebuah kebudayaan yang ada di masyarakat. Kebudayaan memiliki berbagai macam unsur di dalamnya, termasuk nilai dan norma tersebut.

A. Nilai dan Nilai Sosial 1.1. Pengertian Nilai dan Nilai Sosial Apa yang dimaksud dengan nilai? Secara sederhana, nilai merupakan suatu hal yang dianggap baik atau buruk bagi kehidupan. Nilai merupakan sesuatu yang abstrak, namun hal tersebut menjadi pedoman bagi kehidupan masyarakat. Contohnya, orang menganggap menolong bernilai baik dan mencuri bernilai buruk. Adapun nilai sosial adalah penghargaan yang diberikan masyarakat kepada segala sesuatu yang terbukti memiliki daya guna fungsional bagi kehidupan bersama. Woods mendefinisikan nilai sosial sebagai petunjuk umum yang telah berlangsung lama, yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari.

Setiap penghargaan akan berbeda, bergantung pada besar atau kecilnya fungsi seseorang, misalnya presiden mendapat nilai sosial yang lebih luas dibandingkan dengan bupati karena fungsi presiden lebih luas dibandingkan dengan bupati. Pesawat terbang akan memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan bus atau kereta api karena fungsinya yang memberikan ketepatan waktu dan jasa pelayanannya. Demikian juga untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas, harus melalui proses menimbang. Hal tersebut tentunya

sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut masyarakat. Akibatnya, antara masyarakat yang satu dan yang lain terdapat perbedaan tata nilai.

Masyarakat perkotaan umumnya lebih menyukai nilai persaingan, karena dalam persaingan akan muncul pembaruan-pembaruan. Pada masyarakat pedesaan atau masyarakat tradisional, persaingan cenderung dihindari karena dalam persaingan dapat mengganggu keharmonisan dan tradisi yang sifatnya turun-temurun.

Nilai sosial dapat pula berupa gagasan dari pengalaman yang berarti ataupun tidak, bergantung pada penafsiran setiap individu atau masyarakat yang memberikan atau menerimanya. Pengalaman baik akan menghasilkan nilai positif sehingga nilai yang bersangkutan dijadikan pegangan, seperti menepati janji, tepat waktu, dan disiplin.

Adapun pengalaman buruk akan menghasilkan nilai negatif sehingga nilai yang demikian akan dihindari. Misalnya, seseorang mengalami pengalaman buruk, karena dibohongi orang lain, akan menghindari orang tersebut. Hal ini disebabkan oleh pengalaman negatif akan menghasilkan nilai negatif. Dengan demikian, nilai akan menjadi kaidah yang mengatur kepentingan hidup pribadi ataupun kepentingan hidup bersama sehingga nilai dapat dijadikan etika.

1.2. Klasifikasi atau Macam-macam Nilai 1. Nilai Sosial adalah sesuatu yang sudah melekat di masyarakat yang berhubungan dengan sikap dan tindakan manusia. Contohnya, setiap tindakan dan perilaku individu di masyarakat, selalu mendapat perhatian dan berbagai macam penilaian. 2. Nilai kebenaran adalah nilai yang bersumber pada unsur akal manusia (rasio, budi, dan cipta). Nilai ini merupakan nilai yang mutlak sebagai suatu hal yang kodrati. Tuhan memberikan nilai kebenaran melalui akal pikiran manusia. Contohnya, seorang hakim yang bertugas memberi sangsi kepada orang yang diadili. 3. Nilai keindahan adalah nilai yang bersumber pada unsur rasa manusia (estetika). Keindahan bersifat universal. Semua orang memerlukan keindahan. Namun, setiap orang berbeda-beda dalam menilai sebuah keindahan. Contohnya, sebuah karya seni tari merupakan suatu keindahan. Akan tetapi, tarian yang berasal dari suatu daerah dengan daerah lainnya memiliki keindahan yang berbeda, bergantung pada perasaan orang yang memandangnya. 4. Nilai kebaikan atau nilai moral adalah nilai yang bersumber pada kehendak atau kemauan (karsa, etik). Dengan moral, manusia dapat bergaul dengan baik antar

sesamanya. Contohnya, berbicara dengan orang yang lebih tua dengan tutur bahasa yang halus, merupakan etika yang tinggi nilainya. 5. Nilai religius adalah nilai ketuhanan yang tertinggi dan mutlak. Nilai ini bersumber pada hidayah dari Tuhan Yang Mahakuasa. Melalui nilai religius, manusia mendapat petunjuk dari Tuhan tentang cara menjalani kehidupan. Contohnya, untuk dapat berhubungan dengan Tuhan, seseorang harus beribadah menurut agamanya masingmasing. Semua agama menjunjung tinggi nilai religius. Namun, tata caranya berbedabeda. Hal ini karena setiap agama memiliki keyakinan yang berbeda-beda. Nilai-nilai tersebut menjadi kaidah atau patokan bagi manusia dalam melakukan tindakannya. Misalnya, untuk menentukan makanan yang baik bagi kesehatan tubuh, kita harus berdasar pada nilai gizi dan bersih dari kuman. Namun, ada nilai lain yang masih harus dipertimbangkan seperti halal tidaknya suatu makanan tertentu. Dengan demikian, nilai berperan dalam kehidupan sosial sehari-hari, sehingga dapat mengatur pola perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat.

1.3. Ciri-Ciri Nilai Sosial Sesuai dengan keberadaannya, nilai-nilai sosial memiliki ciri-ciri sebagai berikut. 1. Hasil dari proses interaksi antar manusia secara intensif dan bukan bawaan sejak lahir. Contohnya, seorang anak yang bisa menerima “nilai” menghargai waktu karena didikan orangtuanya yang mengajarkan disiplin sejak kecil. 2. Ditransformasikan melalui proses belajar meliputi sosialisasi, akulturasi, dan difusi. Contohnya, nilai “menghargai kerja sama” dipelajari anak dari sosialisasi dengan teman-teman sekolahnya. 3. Berupa ukuran atau peraturan sosial yang turut memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial. Contohnya, nilai memelihara ketertiban lingkungan menjadi ukuran tertib tidaknya seseorang, sekaligus menjadi aturan yang wajib diikuti. 4. Berbeda-beda pada tiap kelompok manusia atau bervariasi antara kebudayaan yang satu dan yang lain. Contohnya, di negara-negara maju manusianya sangat menghargai waktu, keterlambatan sulit ditoleransi. Sebaliknya di Indonesia, keterlambatan dalam jangka waktu tertentu masih dapat dimaklumi. 5. Setiap nilai memiliki pengaruh yang berbeda-beda bagi tindakan manusia. Contohnya, nilai mengutamakan uang di atas segalanya membuat orang berusaha mencari uang sebanyak-banyaknya. Sebaliknya, jika nilai kebahagiaan dipandang lebih penting daripada uang, orang akan lebih mengutamakan hubungan baik dengan sesama. 6. Mempengaruhi perkembangan kepribadian individu sebagai anggota masyarakat, baik positif maupun negatif. Contohnya, nilai yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi akan melahirkan individu yang egois. Adapun nilai yang lebih mengutamakan kepentingan bersama akan membuat individu tersebut lebih peka secara sosial.

Dari ciri-ciri tersebut, nilai merupakan suatu kebutuhan manusia yang digunakan untuk pedoman hidup tentang suatu perbuatan yang seharusnya dilakukan atau suatu perbuatan yang seharusnya dihindari. Pengalaman seseorang akan menjadi sebuah nilai yang dapat bersifat positif dan negatif bagi dirinya. Berdasarkan ciri-ciri nilai tersebut, nilai sosial dapat diklasifikasikan lagi menjadi nilai dominan dan nilai yang mendarah daging (internalized value). Adapun pengertian dari nilai dominan adalah nilai yang dianggap lebih penting dibandingkan nilai-nilai lainnya.

Suatu masyarakat yang menganggap suatu nilai dominan atau tidak, didasarkan pada berbagai pertimbangan, yaitu sebagai berikut. 1. Banyaknya orang yang menganut suatu nilai. Contohnya di zaman reformasi saat ini, sebagian besar anggota masyarakat menghendaki adanya perubahan ke arah yang lebih baik di segala bidang, seperti ekonomi, politik, hukum, dan sosial. 2. Masyarakat telah memegang nilai tersebut dalam waktu yang lama. Contohnya, sejak dulu masyarakat Yogyakarta melaksanakan tradisi “sekatenan” untuk memperingati maulid Nabi Muhammad saw. 3. Tinggi rendahnya usaha orang untuk melaksanakan suatu nilai. Contohnya, “pulang kampung” sudah menjadi tradisi masyarakat di Indonesia saat menjelang hari lebaran dan natal. 4. Adanya kebanggaan dari orang yang melaksanakan suatu nilai. Contohnya memiliki mobil mewah dapat memberikan kebanggaan tersendiri. Adapun “nilai yang mendarah daging” adalah nilai yang telah menjadi kepribadian dan kebiasaan sehingga ketika seseorang melakukannya kadang tidak melalui proses berpikir atau pertimbangan lagi (bawah sadar). Biasanya nilai demikian telah tersosialisasi dan terbentuk sejak kecil. Jika nilai ini tidak dilakukan, akan muncul rasa malu atau rasa bersalah. Contohnya, seorang siswa yang memiliki kebiasaan rajin belajar akan merasa malu dan bersalah apabila dia gagal dalam mengikuti ujian. Berbeda halnya dengan siswa yang malas, dia tidak akan malu atau merasa bersalah jika gagal ujian.

1.4. Fungsi Nilai Bagi manusia, nilai berfungsi sebagai landasan, alasan, atau motivasi dalam segala tingkah laku, dan perbuatannya. Nilai mencerminkan kualitas pilihan tindakan dan pandangan hidup seseorang dalam masyarakat. Kehidupan bersama di masyarakat memerlukan pengertian yang harus diperhatikan, yaitu pembentukan pribadi manusia sebagai warga masyarakat.

Dengan demikian kemajuan masyarakat dan perkembangan sosial budaya dapat tercapai. Dari ketiga hal tersebut, ditetapkan fungsi nilai sosial sebagai berikut. a. Sebagai Faktor Pendorong Tinggi rendahnya individu dan satuan manusia dalam masyarakat bergantung pada tinggi rendahnya nilai sosial yang menjiwai mereka. Apabila nilai sosial dijunjung tinggi oleh sebagian besar masyarakat, maka harapan ke arah kemajuan bangsa bisa terencana. Hal ini merupakan cita-cita untuk menjadi manusia yang berbudi luhur dan beradab sehingga nilai sosial ini memiliki daya perangsang sebagai pendorong untuk menjadi masyarakat yang ideal. b. Sebagai Petunjuk Arah Nilai sosial menunjukkan cita-cita masyarakat atau bangsa. Adapun nilai sosial sebagai petunjuk arah tergambar dalam contoh berikut ini. 1. Cara berpikir dan bertindak warga masyarakat secara umum diarahkan oleh nilai-nilai sosial yang berlaku. Setiap pendatang baru harus dapat menyesuaikan diri dan menjunjung tinggi nilai sosial masyarakat yang didatanginya agar tidak tercela, yang menyebabkan pandangan masyarakat menjadi kurang simpati terhadap dirinya. Dengan demikian, pendatang baru dapat menghindari hal yang dilarang atau tidak disenangi masyarakat dan mengikuti pola pikir serta pola tindakan yang diinginkan. 2. Nilai sosial suatu masyarakat berfungsi pula sebagai petunjuk bagi setiap warganya untuk menentukan pilihan terhadap jabatan dan peranan yang akan diambil. Misalnya dalam memilih seorang pemimpin yang cocok bukan saja berdasarkan kedudukan seseorang, melainkan juga berdasarkan kualitas yang dimiliki, atau menentukan posisi seseorang sesuai dengan kemampuannya. 3. Nilai sosial berfungsi sebagai sarana untuk mengukur dan menimbang penghargaan sosial yang patut diberikan kepada seseorang atau golongan. 4. Nilai sosial berfungsi sebagai alat untuk mengumpulkan orang banyak dalam kesatuan atau kelompok tertentu. c. Sebagai Benteng Perlindungan Pengertian benteng di sini berarti tempat yang kokoh karena nilai sosial merupakan tempat perlindungan yang kuat dan aman terhadap rongrongan dari luar sehingga masyarakat akan senantiasa menjaga dan mempertahankan nilai sosialnya. Misalnya, nilai-nilai keagamaan, dan nilai-nilai Pancasila. Pengkhianatan G 30 S/PKI terhadap Pancasila sebagai dasar negara merupakan bukti sejarah bangsa Indonesia, tetapi dengan keyakinan bahwa Pancasila harus tegak dari setiap usaha yang akan meruntuhkannya maka pengkhianatan tersebut dapat dipatahkan.

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF