Buku Simposium Geriatri-Revisited 2011

February 20, 2017 | Author: Nathania Komalasari Wijaya | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Buku Simposium Geriatri-Revisited 2011...

Description

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Tinjauan Umum Sindroma Geriatri Kris Pranarka

Pendahuluan Istilah geriatri (geros = usia lanjut, iatreia = merawat/merumat), pertama kali digunakan oleh Ignas Leo Vascher, seorang dokter Amerika pada tahun 1909. Tetapi ilmu geriatri ini baru dikatakan berkembang dengan nyata pada tahun 1935 di Inggris oleh seorang dokter wanita, Marjorie Warren dari West-Middlesex Hospital yang dianggap sebagai pelopornya. Dokter ini mulai menerapkan pelaksanaan pengobatan terpadu yang lebih aktif terhadap penderita-penderita lanjut usia dilengkapi dengan latihan fisik dan rehabilitatif dengan sistematik, yang ternyata banyak berhasil baik. Salah satu tolok ukur kemajuan suatu bangsa seringkali dilihat dari harapan hidup penduduknya. Demikian juga Indonesia sebagai suatu negara berkembang, dengan perkembangan yang cukup baik, makin tinggi harapan hidupnya, diproyeksikan dapat mencapai lebih dari 70 tahun pada tahun 2010. Pada tahun 2000 jumlah orang lanjut usia sebesar 7,28% dan pada tahun 2020 diperkirakan mencapai 11,34%. Dari data USA-Bureau of the Census, bahkan Indonesia diperkirakan akan mengalami pertambahan warga lansia terbesar di seluruh dunia, antara tahun 1990-2025, yaitu sebesar 414%. Menua (menjadi tua = aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahanlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang terjadi. Dengan begitu secara progresif akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi dan akan makin banyak terjadi distorsi metabolik dan struktural yang disebut sebagai “penyakit degeneratif” (seperti hipertensi, aterosklerosis, diabetes melitus dan kanker). Sifat penyakit pada usia lanjut tidaklah sama dengan penyakit dan kesehatan pada golongan populasi usia lainnya, yaitu dalam hal: O

Penyakit pada usia lanjut cenderung bersifat multipel, merupakan gabungan antara penurunan fisiologik/alamiah dan berbagai proses patologik/penyakit.

O

Penyakit biasanya berjalan kronis, menimbulkan kecacatan dan secara lambat laun akan menyebabkan kematian.

O

Usia lanjut juga sangat rentan terhadap berbagai penyakit akut, yang diperberat dengan kondisi daya tahan yang menurun.

O

Kesehatan usia lanjut juga sangat dipengaruhi oleh faktor psikis, sosial dan ekonomi.

1

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

O

Pada usia lanjut seringkali terjadi penyakit iatrogenik, akibat banyak obat-obatan yang dikonsumsi (polifarmasi).

Sindroma geriatri Dalam bidang geriatri dikenal beberapa masalah kesehatan yang sering dijumpai baik mengenai fisik atau psikis penderita usia lanjut. Masalah-masalah kesehatan ini tergantung dari sudut pandang berbagai ahli geriatri diberi nama (istilah) sendiri-sendiri, misalnya: Y

Menurut Cape dkk: The “O” complex, yang terdiri dari 9 Fall 9 Incontinence 9 Impaired homeostasis 9 Confusion 9 Iatrogenic disorders

Y

Menurut Coni dkk: The “Big Three” yang terdiri dari 9 Intelectual failure 9 Instability / immobility 9 Incontinence

Y

Menurut Solomon dkk: The “13 i” yang terdiri dari 9 Immobility 9 Instability 9 Intelectual impairement 9 Incontinence 9 Isolation 9 Impotence 9 Immuno-deficiency 9 Infection 9 Inanition 9 Impaction 9 Insomnia 9 Iatrogenic disorder 9 Impairement of hearing, vision and smell

2

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Y

Menurut Brocklehurst dkk: The “Geriatric’s Giants” yang terdiri dari 9 Cerebral syndromes 9 Autonomics disorders 9 Falls 9 Mental confusion 9 Incontinence 9 Bone disease and fractures 9 Pressure sores

Semua ini merupakan sindroma (kumpulan gejala) yang sering ditemukan dalam bidang ilmu penyakit lanjut usia, sehingga disebut sebagai sindroma geriatrik. Dalam kesempatan yang terbatas ini, akan sekilas disampaikan beberapa sindroma geriatri dalam buku Brocklehurst’s text book of geriatric medicine and gerontology edisi ke VII, Volume 1, 2010. Walaupun demikian, pendapat para ahli geriatri lainnya di luar para pengarang dalam buku ajar tersebut, tetap disertakan sesuai topik yang dibahas.

1. Sindroma serebral Pada usia lanjut banyak terjadi perubahan-perubahan pada sistim pembuluh darah otak yang akan berpengaruh pada sirkulasi darah otak. Pembentukan plak ateroma banyak dijumpai pada sistim karotis yaitu di daerah bifurkasio, khususnya pada pangkal a.carotis interna. Circulus Willisii fungsinya dapat pula terganggu oleh plak ateroma yang berakibat penyempitan pembuluh darah secara menyeluruh. Di samping itu semua pembuluh darah arteri yang kecil juga mengalami perubahan ateromatus. Sejak Lobstein (1933) menggunakan istilah arteriosklerosis untuk semua kondisi yang berhubungan dengan penebalan dan pengerasan dinding arteri, sudah dikenal juga bentuk yang paling sering dijumpai yaitu aterosklerosis. Demikian juga dapat dimengerti aterosklerosis adalah suatu penyakit berkenaan dengan bertambahnya usia. Dimulai dini sejak kanak-kanak dan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menimbulkan keluhan. Patogenesis aterosklerosis meningkat berkaitan dengan usia. Dari hipotesis tentang aterogenesis, sifat aterogenik dari LDI memegang peran penting. Bersama dengan proteoglikan menjadi ikatan lipoprotein pada tempat lesi yang aterogenik, selanjutnya terjadi retensi dan oksidasi membentuk lipidhidroksiperoksid. Lipid-hidroksiperoksid ini akan diambil oleh makrofag untuk dibersihkan, tetapi bila berlebihan akan terjadi akumulasi lemak dan terbentuk sel busa. Akumulasi lemak dan sel busa ini merupakan dua hal yang penting untuk terjadinya aterosklerosis.

3

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Pada usia lanjut terjadi kemunduran kemampuan untuk memperbaiki kerusakan/ jejas akibat proses oksidatif. Berbagai stimulus telah diidentifikasikan sebagai faktor yang menyebabkan jejas (injury) endotel inisial yang mengakibatkan rentetan kejadian (cascade) yang menghasilkan deposisi lipid dan migrasi sel inflamasi ke ruang subintimal pembuluh darah. Stimulus inisial dapat berupa antara lain hipertensi, oxidized LDL, hiperhomosisteinemia, merokok, hiperglikemia, infeksi. Infeksi telah diimplikasikan sebagai salah satu penyebab aterosklerosis sejak permulaan abad ke sembilan belas, namun publikasi mengenai topik ini meningkat secara mencolok pada dasawarsa terakhir ini. Banyak patogen berasosiasi dengan aterosklerosis. Fakta ini menunjukkan bahwa terdapat banyak patogen yang aterogenik. Risiko mengalami aterosklerosis yang ditimbulkan oleh infeksi berkaitan dengan jumlah patogen aterogenik yang menginfeksi seorang individu. Pemaparan endotel terhadap faktor-faktor jejas ini mengakibatkan keadaan inflamasi dari pembuluh darah, migrasi monosit dan T-limposit. Juga jejas pada endotel meningkatkan deposisi lipid di jaringan pembuluh darah. Interaksi makrofag dan akumulasi lipid menyebabkan pembentukan foam cells dan respons sekunder poliferasi otot polos dan pelepasan cytokin pro-inflamatori dan pro-trombotik. Pembuluh darah yang aterosklerotik, di samping morfologinya yang abnormal, juga didapatkan defek fungsional, yang mempredisposisi bagi terbentuknya trombosis dan vasokonstriksi yang berlebihan. Endotel yang melapisi lesi aterosklerotik mensintesa dalam jumlah yang berkurang prostasiklin (yang menginhibisi fungsi trombosit dan berperan dalam vasodilatasi), tissue type plasminogen activator (t-PA, meng-inisiasi fibrinolisis), dan nitrogen oksida (faktor relaksasi yang dibentuk di endotel). Aterosklerosis umumnya asimptomatik bahkan sampai stadium yang lanjut, sehingga diagnosis sering ditegakkan setelah terjadi gejala klinis berupa infark miokard atau stroke. Beberapa penyakit yang mempercepat terjadinya aterosklerosis adalah antara lain diabetes melitus dan hipertensi. Perubahan degeneratif yang dapat mempengaruhi fungsi sistim vertebrobasiler adalah degenerasi diskus vertebralis (kadar air sangat menurun, fibrokartilago meningkat dan perubahan pada mukopolisakarid). Akibatnya diskus ini menonjol ke perifer mendorong periost yang meliputinya dan lig. intervertebrale menjauh dari corpus vertebrae. Bagian periost yang terdorong ini akan mengalami kalsifikasi dan membentuk osteofit. Keadaan seperti ini dikenal dengan nama spondilosis servikalis. Discus vertebralis total merupakan 25% dari seluruh columna vertebralis sehingga degenerasi diskus dapat mengakibatkan pengurangan tinggi badan pada usia lanjut.

4

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Spondilosis servikalis berakibat 2 hal pada a. vertebralis, yaitu: 1.

Osteofit sepanjang pinggir corpus vertebrale dapat menekan aa. vertebrales, dan pada posisi tertentu bahkan dapat berakibat oklusi pembuluh arteri ini.

2.

Berkurangnya panjang kolum servikal berakibat aa. vertebrales menjadi berkelokkelok. Pada posisi tertentu pembuluh ini dapat tertekuk sehingga terjadi oklusi.

Dari uraian di atas dapat dimengerti bahwa perubahan-perubahan pembuluh darah arteri yang meluas berkaitan erat dengan munculnya gangguan pada fungsi otak usia lanjut. Gangguan fungsi ini sendiri dapat meliputi spektrum sindroma klinis yang luas dan sebagian bahkan tumpang tindih. Sindroma klinis otak dapat dibagi 3 kelompok: 1.

Sindroma klinis berkaitan dengan seluruh otak.

3.

Sindroma klinis berkaitan dengan teritorial pembuluh karotis.

4.

Sindroma klinis berkaitan dengan teritorial pembuluh vertebrobasiler.

Ad. 1. Sindroma klinis berkaitan dengan seluruh otak Sindroma klinis kategori ini terdiri atas gejala berikut : O

Apraxia, dengan kaku otot, refleks meningkat dan tendensi untuk condong ke belakang.

O

Gangguan jalan (gait).

O

Demensia vaskular.

O

Inkontinensia.

Demensia vaskular adalah kumpulan gejala klinik yang disebabkan oleh berbagai latar belakang penyakit yang mengganggu peredaran darah otak dan ditandai oleh hilangnya memori jangka pendek, gangguan global fungsi mental, termasuk fungsi bahasa, mundurnya kemampuan berfikir abstrak, kesulitan merawat diri sendiri, perubahan perilaku, emosi labil dan hilangnya pengenalan waktu dan tempat tanpa adanya gangguan tingkat kesadaran, sehingga menimbulkan gangguan dalam pekerjaan, aktifitas harian dan sosial. Gangguan fungsi kognitif yang belum mengganggu aktivitas hidup sehari-hari, sebenarnya merupakan bagian dari proses penuaan. Namun sejauh mana gangguan ini dalam proses penuaan masih dianggap normal atau sudah patologis membutuhkan penilaian yang cermat. Gangguan fungsi kognitif yang ringan pada usia lanjut seringkali tidak terdiagnosis, karena baik pasien maupun keluarga terdekat umumnya tidak memperhatikan adanya penurunan fungsi ini atau menganggap penurunan fungsi kognitif yang terjadi merupakan hal yang wajar dialami pada usia lanjut. Di sisi lain, adanya kewaspadaan

5

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

(awareness) yang kurang di pihak dokter dan tenaga kesehatan untuk mengenali gejala dan tampilan klinis pasien dengan gangguan kognitif ringan serta tidak mengetahui pada populasi dengan faktor risiko apa saja yang sering mengalami gangguan ini. Secara garis besar faktor-faktor risiko timbulnya gangguan kognitif ringan dan demensia dapat dibagi atas faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi sebagian besar tampaknya faktor risiko vaskular, yang merupakan faktor risiko demensia vaskular, antara lain: 1. Tekanan darah tinggi. 2. Resistensi insulin dan diabetes melitus 3. Dislipidemia. 4. Obesitas. 5. Fibrilasi atrium. 6. Gagal jantung. 7. Merokok. 8. Penyakit paru obstruktif kronis. 9.

Hiperkoagulasi dan hiperagregasi trombosit.

Ad. 2. Sindroma klinis berkaitan dengan teritorial pembuluh karotis Sindroma klinis yang utamanya berkaitan dengan teritorial pembuluh karotis dapat dikategorikan menjadi tiga kelainan utama, yaitu serangan otak sepintas (transient ischemic attack), stroke dan arteritis. Prevalensi stroke meningkat terutama pada populasi lanjut usia, sehingga wajar kalau setiap dokter yang mempelajari masalah kesehatan pada usia lanjut, harus trampil dalam pengelolaan stroke secara komprehensif. Gangguan pembuluh darah otak atau stroke atas dasar patologisnya dapat dibagi atas dasar infark (akibat trombus atau emboli) dan perdarahan otak (akibat pecahnya pembuluh darah otak). Sedangkan atas dasar perkembangan gejala klinisnya dapat dibagi menjadi stroke in evolution dan completed stroke. Stroke in evolution yang gejalanya berkembang dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari, terjadinya dapat diakibatkan ketiga kejadian patologis seperti telah disebutkan di atas. Emboli yang terjadi tiba-tiba seringkali masih diikuti pembentukan trombus lebih lanjut disebelah proksimalnya, sehingga defisit neurologik yang terjadi masih terus akan berkembang akibat meluasnya infark. Demikian juga perdarahan otak yang kejadiannya mendadak, perembesan darah yang masih terjadi kemudian akan menimbulkan iskemia lebih lanjut selama periode tertentu sehingga defisit neurologik juga akan berkembang dalam waktu beberapa jam bahkan beberapa hari. Demikian pula edema yang muncul beberapa jam kemudian baik pada infark ataupun perdarahan otak, dapat mengakibatkan progresi gejala-gejala neurologik yang muncul.

6

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Pada usia lanjut perlu untuk memikirkan diagnosa diferensial untuk stroke, yaitu hematoma subdural (subdural hematoma atau SDH) dan perdarahan subarachnoid (subarachnoid hemorrhage atau SAH). Riwayat trauma kepala umumnya menyertai SDH. Pada stroke, hal ini seringkali terjadi karena penderita jatuh. Pada usia lanjut dimana otak sudah mengalami atrofi serta ruang antar selaput otak relatif luas, akselerasi otak karena trauma kepala, mudah berakibat robeknya pembuluh darah di daerah subdural ataupun subarachnoid. Pada hemiparesis dimana kesadaran berfluktuasi dalam waktu beberapa hari, selalu harus dicurigai adanya SDH. Pada SAH umumnya pasien mengeluh nyeri kepala yang hebat dan kebanyakan disertai asimetri diameter pupil kiri kanan.

Ad. 3. Sindroma klinis berkaitan dengan teritorial pembuluh vertebrobasiler Spondilosis servikalis adalah keadaan yang mengikuti proses degenerasi discus intervertebralis dan sering dihubungkan dengan sindroma klinis akibat iskemia vertebrobasiler. Salah satu gejala yang diutarakan pada spondilosis servikalis adalah nistagmus dan ini menunjuk pada kemungkinan adanya insufisiensi vertebrobasiler. Karena osteofit yang menekan radiks spinalis servikal. Gejala lain dari spondilosis servikalis adalah parestesi dan atrofi otot tangan atau nyeri kepala oksipital. Pada kasus dengan kanalis spinalis sempit bahkan dapat terjadi paraparesis atau tetraparesis karena penekanan medula spinalis. Yang penting dari sindroma yang berhubungan dengan sistim vertebrobasiler ini adalah TIA dan drop attack (serangan roboh). Drop attack adalah suatu keadaan dimana seseorang jatuh mendadak tanpa diduga, tanpa kehilangan kesadaran dan begitu terbaring di lantai, yang bersangkutan tak mampu untuk bangun sendiri. Sering juga pasien mengalami vertigo atau pusing sebelum jatuh dan dapat bangun sendiri dengan berpegangan pada meja atau tempat tidur di dekatnya. Jatuh dengan drop attack umumnya tidak menimbulkan cedera oleh karena jatuhnya tidak keras berdebum melainkan pelan-pelan. Tetapi, 22% kasus fraktur femur pada usia lanjut diakibatkan oleh serangan jatuh ini. Diduga bahwa drop attack disebabkan oleh oklusi mendadak kedua arteria vertebralis akibat tertekuk atau tertekan oleh osteofit. Penyebab langsung adalah posisi gerakan leher tertentu, di mana mendadak aliran darah ke otak bagian belakang dan cerrebelum terganggu, menimbulkan hilangnya tiba-tiba mekanisme refleks untuk mempertahankan postur sehingga pasien jatuh. Yang bersangkutan tak dapat segera bangun diduga karena refleks postur tak akan pulih sebelum ada impuls proprioseptif yang masuk. Misalnya suatu tekanan pada telapak kaki dan transmisi berat badan melalui tungkai. Umumnya bila pasien dibantu berdiri pada kedua kakinya ia akan segera dapat berjalan.

7

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

2. Gangguan fungsi otonom Suatu ciri dari proses menua adalah kemunduran homeostatis yang berakibat penurunan kemampuan penyesuaian terhadap pengaruh lingkungan dan terhadap macam-macam bentuk dari stres lainnya. Sebenarnya daya homeostatis tetap dipertahankan sampai lanjut usia, tetapi bila terpapar pada suatu keadaan stres, terjadi gangguan keseimbangan fisiologik dan waktu yang dibutuhkan untuk pulih setelah faktor stres berlalu, menjadi lebih panjang. Sistima syaraf dan endokrin mempunyai peran penting dan khususnya gangguan fungsi syaraf otonom berpengaruh besar terhadap penurunan kapasitas homeostatis. Iskemia otak bagian posterior akibat gangguan pembuluh darah vertebrobasiler akan mengganggu serebelum dan korteks oksipital. Di antara gejalanya adalah gangguan termoregulasi dan episode hipotensi. Hipotensi postural atau hipotensi ortostatik didefinisikan sebagai penurunan tekanan sistolik atau diastolik sebanyak 20 mmHg pada saat penderita berubah posisi dari tidur ke posisi tegak. Pengarang lain menambahkan batasan tersebut dengan catatan bahwa penurunan tekanan darah harus berlangsung setelah 1-2 menit perubahan posisi ke posisi tegak (Van der Cammen, 1991). Mekanisme mempertahankan tekanan darah merupakan refleks, dimana serabut aferen berasal dari baro-reseptor di sinus karotikus. Serabut ini berjalan menuju ke pusat vasomotor di batang otak melalui saraf glosofaringeus. Serabut eferen berjalan melalui medula spinalis dan serabut preganglionik ke rantai simpatis, kemudian melalui serabut postganglionik ke pembuluh darah. Pada perubahan dari posisi baring ke posisi tegak terjadi perpindahan hampir 700 cc darah meninggalkan rongga dada menuju ke pool cadangan vena di daerah perut dan kaki. Tekanan di atrium kanan turun lebih rendah dari tekanan dalam rongga dada, menyebabkan venous return ke jantung kanan menurun. Isi sekuncup menurun, dengan akibat penurunan tekanan darah. Reaksi kompensasi berupa efek simpatis dengan terjadinya vasokonstriksi arteriole dan vena disertai dengan reaksi parasimpatis berupa percepatan denyut jantung. Pada penderita muda, keadaan seperti ini seringkali disertai gejala light-headed (rasa melayang/nggliyeng) ringan dalam waktu yang tidak terlalu lama, oleh karena mekanisme pengaturan vasomotor dengan segera mengadakan kompensasi. Pada penderita lansia, mekanisme kompensasi tersebut sering tidak efektif, sehingga tetap terjadi hipotensi dengan segala gejalanya selama beberapa jam. Bahkan seringkali penderita mengalami penurunan kesadaran, yang baru membaik bila penderita diletakkan pada posisi berbaring lagi. Hipotensi postural ini juga merupakan salah satu penyebab terjadinya jatuh pada usia lanjut yang seringkali mendadak bangun dari tempat tidur di malam hari karena ingin buang air ke kamar mandi.

8

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Pada penelitian terhadap 100 orang penderita lansia berusia di atas 70 tahun yang dirawat di bangsal geriatri, prevalensi hipotensi postural didapatkan pada 17% penderita. Angka pada lansia di atas usia 65 tahun yang ada di rumah di Glasgow didapatkan 24% penderita mengalami penurunan tekanan darah 20 mmHg, 9% turun sekitar 30 mmHg, dan 5% mengalami penurunan tekanan darah lebih/sama dengan 40 mmHg (Van der Cammen, 1991). Hanya sedikit perbedaan insidens antara wanita dan pria. Insidensi meningkat dengan bertambahnya umur.

3. Konfusio Konfusio diberi batasan sebagai suatu keadaan status mental di mana reaksi terhadap rangsang lingkungan tidak tepat, disertai disorientasi dan ditandai dengan memburuknya secara mendadak derajat kesadaran dan kewaspadaan serta terganggunya proses berpikir. Konfusio merupakan masalah yang penting di bidang geriatri. Diagnosis yang tepat diikuti pengelolaan yang sesuai dapat memperbaiki status kesehatan penderita usia lanjut dan meningkatkan kemampuannya untuk mandiri. Antara sepertiga sampai setengah dari penderita usia lanjut yang dirawat menunjukkan berbagai tingkatan dari konfusio.

Penyebab umum dari konfusio Metabolisme otak terutama tergantung pada glukosa dan oksigen yang mencapai otak dan berbeda dengan organ lain, tidak mempunyai tempat penyimpanan yang cukup dan oleh karenanya tergantung pada pasokan dari sirkulasi darah. Penurunan mendadak dari pasokan tersebut akan mengganggu jalur metabolik otak dan menyebabkan terjadinya konfusio. Hal ini sangat mencolok pada usia lanjut, dimana berbagai mekanisme cadangan homeostatik sudah sangat buruk. Tiga kelompok penyebab bisa dikatakan sebagai penyebab utama konfusio akut, yaitu keadaan patologik intraserebral, keadaan patologik ekstraserebral dan penyebab iatrogenik. Kehilangan/gangguan sensorik dan depresi juga dapat memicu terjadinya konfusio akut.

Gambaran klinis Gambaran klasik penderita berupa kesadaran menurun disertai dengan derajat kewaspadaan yang berfluktuasi. Gangguan pada memori jangka pendek dan mungkin disertai dengan gangguan mengingat memori jangka panjang serta halusinasi atau mis-interprestasi visual. DSM-III R memberikan kriteria untuk keadaan konfusio akut, termasuk adanya penurunan mendadak dari kemampuan untuk mempertahankan perhatian terhadap rangsangan luar (antara lain pertanyaan harus diulang karena perhatiannya mengembara) atau perhatian penderita mudah teralihkan oleh rangsangan luar yang baru.

9

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Penatalaksanaan Seperti dikemukakan, konfusio akut adalah suatu masalah kesehatan dan bukan diagnosis, dan diagnosis bisa dari berbagai penyebab, sehingga tindakan pertama adalah penegakan diagnosis. Cara penegakan diagnosis pada penderita lanjut usia yang dapat menapis berbagai penyebab tadi adalah dengan tata cara asesmen geriatri. Tata cara ini dengan anamnesis dan pemeriksaan secara sistematis terhadap semua aspek sosial ekonomi, lingkungan, psikis dan fisik secara menyeluruh akan dapat menemukan penyebab konfusio akut tersebut.

4. Inkontinensia urin Inkontinensia urin bukan merupakan konsekuensi normal dari bertambahnya usia. Usia yang lanjut tidak menyebabkan inkontinensia. Walaupun begitu, beberapa perubahan berkaitan dengan bertambahnya usia, misalnya penurunan panca indera, kemunduran sistim lokomosi, dapat mendukung terjadinya inkontinensia. Demikian juga kondisi-kondisi medik yang patologik misalnya gagal jantung kongestif, diabetes melitus, dapat mencetuskan kejadian inkontinensia. Secara umum, dengan bertambahnya usia, kapasitas kandung kemih menurun. Sisa urin dalam kandung kemih, setiap selesai berkemih, cenderung meningkat dan kontraksi otot-otot kandung kemih yang tidak teratur makin sering terjadi. Kontraksikontraksi involunter ini ditemukan pada 40-75% lanjut usia yang mengalami inkontinensia. Penurunan kapasitas kandung kemih dapat menimbulkan lima macam keluhan yang sering saling tumpang tindih: 1.

Sering berkemih.

2.

Tidak dapat menahan kencing.

3.

Kencing malam hari meningkat.

4.

Gangguan pancaran kencing (sering pada pria dengan gangguan kelenjar prostat).

5.

Inkontinensia yang terjadi akibat peninggian tekanan intra-abdominal, misalnya saat bersin, tertawa keras atau mengangkat beban.

Untuk memudahkan mengingat, dapat dipakai kependekan kata DRIP, untuk kausa inkontinensia akut: D : Delirium (konfusio). R : Retriksi mobilitas. I : Infeksi, inflamasi, impaksi faeces. P : Pharmasi (Iatrogenik), poliuri.

10

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Oleh karena sifatnya yang akut dan sementara, dengan penyebab spesifik yang diharapkan dapat di obati, inkontinensia akut juga disebut inkontinensia transien atau inkontinensia sementara. Inkontinensia yang persisten atau kronik/menetap, dapat dibagi menjadi empat tipe yaitu: 1.

Tipe stres (tekanan).

2.

Tipe urgensi.

3.

Tipe luapan

4.

Tipe fungsional.

ad. 1. Tipe stres Inkontinensia urin tipe stres ditandai dengan keluarnya urin di luar pengaturan berkemih, biasanya dalam jumlah sedikit, akibat peningkatan tekanan intraabdominal misalnya saat bersin, tertawa atau olahraga. Inkontinensia ini banyak didapatkan pada wanita lanjut usia. Dan urin yang keluar biasanya sedikit dan tidak terlalu berpengaruh pada kualitas hidup penderita serta tidak membutuhkan pengobatan khusus. Tetapi juga dapat sedemikian banyak dan mengganggu, sampai dibutuhkan tindakan pembedahan untuk mengatasinya. Peristiwa seperti ini seringkali berkenaan dengan kelemahan jaringan sekitar muara kandung kemih dan uretra. Hilangnya pengaruh estrogen dan sering melahirkan dengan disertai tindakan pembedahan merupakan faktor predisposisi. Obesitas dan batuk kronik juga sering memegang peranan. Inkontinensia tipe stres jarang pada pria. Dapat terjadi setelah mengalami operasi lewat uretra (trans-urethral) atau misalnya akibat terapi radiasi yang merusak struktur jaringan dari sfingter.

ad. 2. Tipe urgensi Inkontinensia tipe urgensi ditandai dengan pengeluaran urin di luar pengaturan berkemih yang normal, biasanya dalam jumlah banyak, karena ketidakmampuan menunda berkemih, begitu sensasi penuhnya kandung kemih diterima oleh pusat yang mengatur. Terdapat gangguan pengaturan rangsang dan instabilitas dari otot-otot detrusor kandung kemih. Inkontinensia ini didapatkan pada gangguan sistim syaraf pusat misalnya pada stroke, demensia, sindroma Parkinson dan kerusakan medula spinalis. Gangguan lokal dari saluran urogenital misalnya sistitis, batu dan divertikulum dari kandung kemih juga dapat mencetuskan inkontinensia tipe urgensi.

11

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

ad. 3. Tipe luapan Inkontinensia tipe luapan (overflow) ditandai dengan kebocoran/keluarnya urin biasanya dalam jumlah sedikit, karena desakan mekanik akibat kandung kemih yang sudah sangat regang. Penyebab umum dari inkontinensia ini adalah antara lain: 9

Sumbatan akibat kelenjar prostat yang membesar atau adanya kistokel dan penyempitan jalan keluar urin.

9

Gangguan kontraksi kandung kemih akibat gangguan dari persyarafan, misalnya pada penyakit diabetes melitus.

ad. 4. Tipe fungsional Inkontinensia tipe fungsional ditandai dengan keluarnya urin secara dini, akibat ketidakmampuan mencapai tempat berkemih karena gangguan fisik atau kognitif maupun macam-macam hambatan situasi/lingkungan yang lain, sebelum siap untuk berkemih. Faktor-faktor psikologik seperti marah, depresi juga dapat menyebabkan inkontinensia tipe fungsional ini. Macam-macam tipe dari inkontinensia ini dapat terjadi pada satu penderita secara bersamaan (inkontinensia kompleks), sehingga membawa dampak juga pada strategi pengelolaannya.

Pengelolaan inkontinensia urin Mengetahui penyebab dari inkontinensia urin sangat penting untuk strategi pengelolaan yang tepat. Pengelolaan inkontinensia urin diharapkan akan cukup baik hasilnya bila kausa dan tipe inkontinensia dapat diketahui. Pengelolaan inkontinensia urin pada penderita usia lanjut, secara garis besar dapat dikerjakan sebagai berikut: 9

12

Program rehabilitasi, antara lain: O

Melatih perilaku berkemih.

O

Modifikasi tempat berkemih (komodo, urinal).

O

Melatih respons kandung kemih.

O

Latihan otot-otot dasar panggul.

9

Katerisasi, baik secara berkala (intermitten) atau menetap (indweling).

9

Obat-obatan, antara lain untuk relaksasi kandung kemih, estrogen.

9

Pembedahan, misalnya: untuk mengangkat penyebab sumbatan atau keadaan patologik lain, pembuatan sfingter artefisiil dan lain-lain.

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

9

Lain-lain, misalnya penyesuaian lingkungan yang mendukung untuk kemudahan berkemih, penggunaan pakaian dalam dan bahan-bahan penyerap khusus untuk mengurangi dampak inkontinensia.

Untuk kasus-kasus tertentu, dibutuhkan konsultasi dengan bidang ilmu lain misalnya Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan, Bagian Bedah Urologi dan sebagainya.

Inkontinensia alvi Inkontinensia alvi sering digambarkan sebagai peristiwa yang tidak menyenangkan tetapi tidak terelakkan, berkaitan dengan usia lanjut. Sebenarnya, seperti halnya dengan ulkus dekubitus, inkontinensia alvi seringkali terjadi akibat sikap dokter dan tindakan keperawatan yang kurang tepat. Karena dengan diagnosis dan pengobatan yang sesuai, inkontinensia alvi pada lanjut usia hampir seluruhnya dapat dicegah. Inkontinensia alvi lebih jarang ditemukan, dibandingkan inkontinensia urin, apalagi bila penderita tidak menderita inkontinensia urin. 30-50% penderita dengan inkontinensia urin, juga menderita inkontinensia alvi. Keadaan ini menunjukkan mekanisme patofisiologik yang sama antara inkontinensia urin dengan inkontinensia alvi.

5. Jatuh Perdefinisi, jatuh adalah suatu kejadian yang di laporkan penderita atau saksi mata, dimana seseorang mendadak terbaring/terduduk di lantai/tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka. Jatuh sering terjadi dan dialami oleh usia lanjut. Banyak faktor berperan di dalamnya, baik faktor intrinsik dalam diri lansia tersebut seperti gangguan gaya berjalan, kelemahan otot ekstremitas bawah, kekakuan sendi, sinkop dan dizziness, serta faktor ekstrinstik seperti lantai yang licin dan kurang rata, terantuk benda-benda yang menghalangi, penglihatan kurang karena cahaya kurang terang dan sebagainya. Untuk dapat memahami faktor risiko jatuh, maka harus dimengerti bahwa stabilitas badan ditentukan atau dibentuk oleh: a.

Sistem sensorik Yang berperan di dalamnya adalah: visus, pendengaran, fungsi vestibuler, dan proprioseptif. Vertigo tipe perifer sering terjadi pada lansia, diduga karena perubahan fungsi vestibuler akibat proses menua. Neuropati perifer dan penyakit degeneratif leher dapat menganggu fungsi proprioseptif.

b.

Sistem saraf pusat (SSP) SSP akan memberikan respon motorik untuk mengantisipasi input sensorik. Penyakit SSP seperti stroke, parkinson, hidrosefalus dengan tekanan normal, yang diderita oleh lansia akan menyebabkan gangguan fungsi SSP sehingga

13

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

berespon tidak baik terhadap input sensorik. c.

Kognitif Pada beberapa penelitian, demensia diasosiasikan dengan meningkatnya risiko jatuh.

d.

Muskuloskeletal Faktor ini disebutkan oleh beberapa peneliti merupakan faktor yang spesifik milik lansia, dan berperan besar terhadap terjadinya jatuh. Gangguan muskuloskeletal menyebabkan gangguan gaya berjalan (gait) dan ini berhubungan dengan proses menua yang fisiologis. Gangguan gait yang terjadi akibat proses menua tersebut antara lain di sebabkan oleh: 9

Kekakuan jaringan penghubung.

9

Berkurangnya massa otot.

9

Perlambatan konduksi saraf.

9

Penurunan visus/lapang padang.

9

Kerusakan proprioseptif.

yang semuanya menyebabkan: 9

Penurunan range of motion (ROM) sendi.

9

Penurunan kekuatan otot, terutama menyebabkan kelemahan ekstremitas bawah.

9

Perpanjangan waktu reaksi otot/refleks.

9

Kerusakan persepsi dalam.

9

Peningkatan postural sway (goyangan badan).

Semua perubahan tersebut mengakibatkan kelambanan gerak, langkah yang pendek, penurunan irama dan pelebaran langkah kaki tidak dapat menapak dengan kuat dan lebih cenderung gampang goyah. Perlambatan reaksi mengakibatkan seseorang susah/terlambat mengantisipasi bila terjadi gangguan seperti terpeleset, tersandung atau kejadian mendadak, sehingga memudahkan jatuh. Secara singkat faktor risiko jatuh pada lansia di bagi dalam dua golongan besar, yaitu: 1.

Faktor-faktor intrinsik (faktor dari dalam).

2.

Faktor-faktor ekstrinsik (faktor dari luar),

14

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Seperti tampak pada skema di bawah ini: Faktor intrinsik

Faktor ekstrinsik

Kondisi fisik dan neuropsikiatrik

Obat-obatan yang diminum

Penurunan visus dan pendengaran

Falls (Jatuh)

Perubahan neuro muskuler, gaya berjalan dan reflek postural karena proses menua

Alat-alat bantu

Lingkungan yang tidak mendukung (berbahaya)

(Rejeki Andayani, Buku Ajar Geriatri, edisi IV, 2009).

Penatalaksanaan Tujuan penatalaksanaan ini untuk mencegah terjadinya jatuh berulang dan mengobati komplikasi yang terjadi, mengembalikan fungsi AKS terbaik, serta mengembalikan kepercayaan diri penderita yang biasanya mengalami trauma, takut jatuh lagi. Anxiety of falling akan menyebabkan imobilitas dan ketergantungan bertambah serta menambah risiko untuk jatuh lagi. Penatalaksanaan penderita jatuh dengan mengatasi atau mengeliminasi faktor risiko, penyebab jatuh dan menangani komplikasinya. Penatalaksanaan ini harus terpadu dan membutuhkan kerja tim yang terdiri dari dokter (geriatrik, neurologik, bedah ortopedi, rehabilitasi medik, psikiatrik dan lain-lain), sosiomedik dan ahli lain yang terkait serta keluarga penderita. Penatalaksanaan bersifat individual, artinya berbeda untuk setiap kasus karena perbedaan faktor-faktor yang mengakibatkan jatuh. Bila penyebab merupakan penyakit akut penanganannya menjadi lebih mudah, dan langsung menghilangkan penyebab jatuh serta efektif. Tetapi lebih banyak pasien jatuh karena kondisi kronik, multifaktoral sehingga diperlukan terapi gabungan antara obat, rehabilitasi dan perbaikan lingkungan. Pada kasus lain intervensi diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh ulangan, misalnya pembatasan bepergian, penggunaan alat bantu gerak dan sebagainya.

15

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

1. Penyakit tulang dan patah tulang Tulang manusia terdiri atas tulang trabekuler 20% dan tulang kortikal 80%. Tulang mengalami proses resorpsi (penyerapan) dan formasi (pembentukan) secara terusmenerus yang disebut remodelling tulang. Kira-kira 10% tulang manusia dewasa mengalami remodeling setiap tahunnya. Pembaharuan ini akan mencegah kelelahan tulang dan penting bagi keseimbangan/homeostasis kalsium. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara kecepatan resorpsi dengan formasi terjadilah kehilangan massa tulang. Pembentukan sel tulang diawali oleh adanya sel pembentuk tulang yang dinamakan sel osteogenik. Melalui proses mineralisasi, sel ini membentuk osteid yang berkembang menjadi osteosit padat, keras dan kompak. Jadi, tulang terbentuk dari perkembangan sejumlah osteosit yang telah matang. Ada dua proses utama yang bekerja pada siklus tulang. Pertama, bone formation yaitu pembentukan sel-sel tulang melalui aktivitas sel osteoblast. Kedua, bone resorption yakni pengurangan sel-sel tulang melalui aktivitas sel osteoklas. Proses pembentukan dan penimbunan sel-sel tulang berjalan paling efisien sampai umur mencapai 30 tahun. Setelahnya, seperti proses alamiah tubuh, jumlah sel-sel tulang yang luruh menjadi lebih banyak daripada sel-sel baru yang terbentuk. Selanjutnya dalam makalah ini akan dibahas secara singkat osteoporosis sebagai penyakit tulang dan keterkaitannya sebagai penyebab patah tulang pada usia lanjut. Dengan bertambahnya usia terdapat peningkatan hilang tulang secara linear. Hilang tulang ini lebih nyata pada wanita dibanding pria. Tingkat hilang tulang ini sekitar 0,5-1% pertahun dari berat tulang pada wanita pasca menopause dan pada pria >80 tahun. Hilang tulang ini lebih mengenai bagian trabekula dibanding bagian korteks. Pada pemeriksaan histologik wanita dengan osteporosis spinal pasca menopause tinggal mempunyai tulang trabekula 2,5 kali standard deviasi massa tulang rata-rata dari populasi usia muda. Penurunan antara 1-2,5 standard deviasi dari rata-rata usia muda disebut osteopenia. Menurut hasil analisa data yang dilakukan oleh Puslitbang Gizi Depkes pada 14 provinsi menunjukkan bahwa masalah osteoporosis di Indonesia telah mencapai pada tingkat yang perlu diwaspadai yaitu 19,7%. Lima provinsi dengan risiko osteoporosis lebih tinggi adalah Sumatera Selatan (27,7%), Jawa Tengah (24,02%), DI

16

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Yogyakarta (23,5%), Sumatera Utara (22,82%), Jawa Timur (21,42%) dan Kalimantan Timur (10,5%). Penelitian lain di kota Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya dan Medan tahun 2002 juga makin menunjukkan bahwa osteoporosis di Indonesia sudah seharusnya diwaspadai. Dari 101.161 responden, ternyata 29% diantaranya telah menderita osteoporosis (sumber: DepKes RI). Insidens (angka kejadian) osteoporosis pada wanita lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Satu dari tiga wanita mempunyai kecenderungan terkena osteoporosis, sedangkan pada pria insidensnya lebih kecil yaitu 1 dari 7 pria. Penatalaksanaan osteoporosis meliputi: pencegahan dan terapi.

I. Pencegahan Pencegahan osteoporosis meliputi optimalisasi puncak massa tulang pada pertumbuhan dan mencegah/modifikasi faktor risiko, pencegahan kehilangan tulang pasca menopause dan pencegahan sekunder kehilangan massa tulang lebih lanjut pada keadaan osteoporosis sudah terjadi. Sasaran yang ingin dicapai adalah: 1. Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kelainan tulang. 2. Meningkatkan kemandirian pasien mengurus diri sendiri. 3. Promosi terhadap efektifitas pembiayaan pencegahan dan pengobatan. Pencegahan mencakup: Y

Pencegahan primer

Adalah upaya yang dapat dipergunakan secara luas dan dimulai sejak dini dengan makanan yang bergizi, protein, mineral yang dibutuhkan seperti kalsium dan aktivitas fisik yang memadai untuk mencapai maksimum puncak massa tulang, menghindari faktor risiko seperti gaya hidup atau obat-obatan yang merugikan. Perubahan gaya hidup sangat penting dalam penatalaksanaan osteoporosis, meliputi antara lain diet yang cukup kalsium, cukup gerak dan menghindari kebiasaan merokok dan alkohol. Tak ada istilah terlalu dini untuk pencegahan, kalau tidak ingin menyesal karena terlambat. Terlebih untuk osteoporosis, dengan sedikit upaya pencegahan yang relatif mudah, sudah akan diperoleh manfaat. Pencegahan osteoporosis mencakup faktor nutrisi, latihan fisik, pola hidup aktif, kurangi faktor risiko osteoporosis, melakukan tes untuk deteksi dini, terapi hormonal bagi wanita, serta beberapa upaya khusus untuk kondisi penyakit tertentu yang cenderung menimbulkan osteoporosis.

17

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Masalah yang berkaitan dengan kehilangan massa tulang ini, tidaklah melulu masalah medis, tetapi berkaitan juga masalah sosial, kultur, ekonomi, yang berdampak terhadap kehidupan masyarakat luas. Kondisi faktor nutrisi yang mempunyai peran untuk terjadinya osteoporosis adalah intake kalsium rendah, vitamin D rendah, protein tinggi, fosfat tinggi dan kafein tinggi. Kondisi tersebut memberikan pengaruh negatif terhadap pembentukan puncak massa tulang dan mempercepat kehilangan massa tulang. Y

Pencegahan sekunder

Seperti pencegahan primer ditambah pemberian obat pembentuk tulang seperti HRT (Hormon Replacement Therapy) pada wanita pasca menopause yang kehilangan massa tulang signifikan dan belum ada patah tulang. Penatalaksanaan penderita yang hanya dengan osteoporosis tanpa disertai patah tulang lebih sederhana dibanding bila penderita sudah datang dengan patah tulang. Alur terapi osteoporosis Kelompok resiko tinggi atau faktor resiko

Patah tulang dengan rudapaksa minimal atau kekurangan massa tulang

Merubah gaya hidup diet, latihan fisik, merokok

Pengukuran Kepadatan Tulang (Bone Densitometri)

Di atas +1 SD

+1 SD to - 1 SD

- 1 SD to -2.5 SD

Ulang 5 th lagi

Ulang 1 th lagi

Estrogen

Estrogen

Bisfosfonat

Kalsitriol

(sumber: Harry Isbagio, IRA, 2005)

18

Di bawah - 2.5 SD

Kalsitonin

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Pada kasus-kasus penderita geriatri dengan fraktur, maka penatalaksanaannya terdiri atas: 9

Tindakan terhadap fraktur. Apakah penderita memerlukan tindakan operatif, ataukah oleh karena suatu sebab tidak bisa dioperasi dan hanya akan dilakukan tindakan konvensional. Untuk itu diperlukan kerjasama yang erat dengan bagian ortopedi. Dengan makin meningkatnya populasi usia lanjut dan dengan sendirinya kasus fraktur, dalam disiplin ilmu bedah timbul suatu sub disiplin orto-geriatri.

9

Tindakan terhadap jatuh. Mengapa penderita sampai jatuh, apa penyebabnya, bagaimana agar tidak terjadi jatuh yang berulang dan lain sebagainya.

9

Tindakan terhadap kerapuhan tulang. Apa penyebabnya, bagaimana memperkuat kerapuhan tulang yang sudah terjadi. Tindakan terhadap hal ini biasanya tidak bisa mengembalikan tulang seperti semula, tetapi bisa membantu mengurangi nyeri dan mempercepat penyembuhan fraktur.

9

Keperawatan dan rehabilitasi saat penderita imobil. Pencegahan komplikasi imobilitas (infeksi, dekubitus, konfusio), upaya agar penderita secepat mungkin bisa mandiri lagi. (Hadi Martono, Buku Ajar Geriatri, edisi 4, 2009)

7. Dekubitus Dekubitus adalah kerusakan/kematian kulit sampai jaringan di bawah kulit, bahkan menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan pada suatu area secara terus menerus sehingga mengakibatkan gangguan sirkulasi darah setempat. Walaupun semua bagian tubuh dapat mengalami dekubitus, bagian bawah dari tubuhlah yang terutama beresiko tinggi dan membutuhkan perhatian khusus. Area yang biasa terjadi dekubitus adalah tempat di atas tonjolan tulang dan tidak dilindungi cukup dengan lemak subkutan, misalnya daerah sakrum, daerah trokanter mayor dan spina ischiadica superior anterior, daerah tumit dan siku. Usia lanjut mempunyai potensi besar untuk terjadi dekubitus karena perubahan kuit berkaitan dengan bertambahnya usia antara lain: 9

Berkurangnya jaringan lemak subkutan

9

Berkurangnya jaringan kolagen dan elastik

9

Menurunnya efisiensi kolateral kapiler pada kulit sehingga kulit menjadi lebih tipis dan rapuh.

19

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Ulkus dekubitus dapat terjadi pada setiap tahap umur, tetapi hal ini merupakan masalah yang khusus pada lanjut usia. Kekhususannya terletak pada insidens kejadiannya yang erat kaitannya dengan imobilitas. Seseorang yang tidak immobil dapat berbaring di tempat tidur sampai bermingguminggu tanpa terjadi dekubitus karena dapat berganti posisi beberapa kali dalam satu jam. Pergantian posisi ini, biarpun hanya bergeser, sudah cukup untuk mengganti bagian tubuh yang kontak dengan alas tempat tidur. Sedangkan immobilitas hampir pasti menyebabkan dekubitus bila berlangsung lama. Terjadinya ulkus disebabkan gangguan aliran darah setempat dan juga keadaan umum dari penderita. Tekanan darah pada kapiler berkisar antara 16-33 mmHg. Kulit akan tetap utuh karena sirkulasi darah terjaga, bila tekanan padanya masih berkisar pada batasbatas tersebut. Tetapi sebagai contoh bila seorang penderita immobil/terpancang pada tempat tidurnya secara pasif dan berbaring di atas kasur busa biasa maka tekanan daerah sakrum akan mencapai 60-70 mmHg dan daerah tumit mencapai 30-45 mmHg. Tekanan ini akan menimbulkan daerah iskemik dan bila berlanjut terjadi nekrosis jaringan kulit. Percobaan pada binatang didapatkan bahwa sumbatan total pada kapiler masih bersifat reversibel bila kurang dari 2 jam. Empat faktor yang berpengaruh pada patogenesis timbulnya ulkus dekubitus adalah tekanan, daya regang, friksi/gesekan dan kelembaban. Penampilan klinis dari dekubitus dapat dibagi sebagai berikut: Derajad I

: Reaksi peradangan masih terbatas pada epidermis. Tampak sebagai daerah kemerahan/eritema indurasi atau lecet.

Derajad II

: Reaksi yang lebih dalam lagi sampai mencapai seluruh dermis hingga lapisan lemak subkutan. Tampak sebagai ulkus yang dangkal, dengan tepi yang jelas dan perubahan warna pigmen kulit.

Derajad III

: Ulkus menjadi lebih dalam, meliputi jaringan lemak subkutan dan menggaung, berbatasan dengan fascia dari otot-otot. Sudah mulai didapat infeksi dengan jaringan nekrotik yang berbau.

Derajad IV : Perluasan ulkus menembus otot, sehingga tampak tulang di dasar ulkus yang dapat mengakibatkan infeksi pada tulang atau sendi.

Pengelolaan dekubitus Pengelolaan dekubitus diawali dengan kewaspadaan untuk mencegah terjadinya dekubitus dengan mengenal penderita dengan risiko tinggi terjadinya dekubitus, misalnya pada penderita yang immobil dan konfusio.

20

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Usaha untuk meramalkan akan terjadinya dekubitus ini antara lain dengan memakai sistim skor dari Norton. Skor di bawah 12 menunjukkan adanya risiko tinggi untuk terjadinya dekubitus. Dengan evaluasi skor ini dapat dilihat perkembangan penderita. Tindakan selanjutnya yang berguna baik untuk pencegahan maupun setelah terjadinya dekubitus adalah: a.

b.

Meningkatkan status kesehatan penderita: 9

Umum: memperbaiki dan menjaga keadaan umum penderita, misalnya anemia diatasi, hipoalbuminemi dikoreksi, nutrisi dan hidrasi yang cukup, vitamin (vitamin C) dan mineral (Zn) ditambahkan.

9

Khusus: coba mengatasi/mengobati penyakit-penyakit yang ada pada penderita, misalnya diabetes yang belum terkontrol baik, penyakit paru dan sebagainya.

Mengurangi/meratakan faktor tekanan yang mengganggu aliran darah. 9

Alih posisi/alih baring/tidur selang-seling, paling lama tiap dua jam. Keberatan cara ini adalah ketergantungan pada tenaga perawat yang kadang-kadang sudah sangat kurang dan dapat mengganggu istirahat penderita bahkan menyakitkan.

9

Kasur khusus untuk lebih membagi rata tekanan yang terjadi pada tubuh penderita, misalnya: O

Kasur dengan gelombang tekanan naik-turun.

O

Kasur air.

Keberatan perlengkapan canggih ini adalah harganya mahal, perawatannya sendiri harus baik dan dapat rusak. Bila sudah terjadi dekubitus, tentukan stadium atau derajatnya dan tindakan medik menyesuaikan apa yang dihadapi. Pada umumnya penatalaksanaan derajat I dan II adalah secara non bedah sedangkan derajat III dan IV secara bedah.

Penutup Penurunan kemampuan daya homeostatik untuk menyesuaikan diri terhadap macam-macam stresor baik dari dalam badan sendiri maupun dari luar, menyebabkan kemunduran yang menandai proses menua. Hal ini berakibat juga pada kekhususan penampilan macam-macam penyakit pada populasi lanjut usia.

21

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Perubahan-perubahan faktor psiko-sosial-ekonomi juga mempunyai dampak yang penting. Semuanya ini berakibat perbedaan masalah penyakit pada usia lanjut di bandingkan usia dewasa saja. Beberapa sindroma tampak lebih sering dijumpai, sehingga sering disebut sebagai sindroma geriatri. Para penulis memberi beberapa istilah khusus pada kumpulan gejala ini agar lebih mudah diingat. Contohnya pada buku ajar, dengan editor Brocklehurst, J. C. Et. Al., disebut dengan Geriatrc’s Giants (Geriatric’s Dragons), karena hampir selalu dijumpai dan menjadi masalah pada penderita-penderita Lanjut Usia. Geriatric Giant bukanlah suatu diagnosis, tetapi merupakan suatu gejala dari macam-macam variasi penyakit yang menyebabkannya. Dengan tata cara khusus, yaitu Asesmen Geriatrik Komprehensip, diharapkan dapat ditemukan penyebab terjadinya Sindrom Geriatrik ini.

Daftar pustaka 1.

Broclehurst J. C., Allen, S. C. Major Geriatric Problems. Geriatric Medicine For Student. Churchill-Livingstone, 3 RD, Ed, 35-117, 1987.

2.

Rosens., Reuben D. B. Presentation Of Disease In Old Age. In Broclehurst’s Text Book Of Geriatric Medicine And Gerontology, 7th ed, 2010.

3.

Kuchel, G. A., Lach, M. S. et al: Geriatric Syndromes. In Hazzard’s Geriatric Medicine And Gerontology, 6th Ed., 621-731, 2009.

4.

Kris Pranarka, Widiastuti Samekto, Abdul Wahib, Rejeki Andayani, Hadi Martono. Sindroma Geriatri. Dalam Boedhi-Darmojo. Buku Antar Geriatri, Edisi IV, 2009.

5.

Kris Pranarka. Geriatric’s Giants. Simposium Geriatri, F. K. Univ. Sam Ratulangi, Manado, 1999.

6.

Kris Pranarka. Geriatric’s Giants. Temu Ilmiah Nasional I PERGEMI., Semarang 2002.

22

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Patofisiologi Stroke Endang Kustiowati

Pendahuluan Stroke adalah hilangnya fungsi neurologis yang terjadi secara mendadak akibat adanya gangguan fokal dari aliran darah cerebral yang disebabkan oleh proses iskemik atau perdarahan. Bergantung pada durasi dari gangguan serebrovaskular, dapat menyebabkan kelainan neurologis permanen, kecacatan maupun kematian. TIA (transient ischemic attack), yang gejalanya berlangsung kurang dari 1 jam, dapat tidak menyebabkan kelainan neurologis namun ini berhubungan kuat dengan resiko untuk terjadinya stroke dalam waktu 90 hari ke depan. Stroke merupakan posisi ketiga yang menyebabkan kematian di US. Stroke iskemik mencapai 87% dari seluruh stroke. Populasi pada usia 45-65 tahun dan 8-12% dari stroke iskemik menyebabkan kematian dalam waktu 30 hari. Penyebab kematian tertinggi di Indonesia adalah stroke sebesar 15,4%, serta prevalensi faktor risiko penyebab kematian tertinggi meliputi penyakit hipertensi, penyakit jantung serta stroke. Meskipun stroke merupakan kondisi yang mengancam kehidupan, stroke merupakan kondisi yang dapat diterapi, dan derajat kecacatannya dihubungkan dari respon terapi.

Patofisiologi stroke iskemik Mekanisme dari iskemik Meskipun terdapat banyak mekanisme etiologi, jalur yang umum dari stroke iskemik adalah berkurangnya jumlah aliran darah yang menyuplai jaringan cerebral. Terhentinya dari aliran darah pada setiap tempat dapat memicu kerusakan neuronal irreversibel. Mekanisme dari iskemik dapat secara umum dibagi menjadi 5 kategori: trombosis, emboli, hipoperfusi sistemik, obliterasi lumen arterial dan kongesti vena. Yang akan dibahas adalah 4 kategori pertama seperti pada tabel berikut.

23

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Atherosclerosis merupakan gangguan sistemik yang tersebar luas dan dapat menimbulkan kematian serta morbiditas yang serius mencakup stroke. Lesi patologis dasar adalah atheromatous plaque dan dimana sisi tersering yang terkena adalah Aorta, arteri coronaria, arteri carotis pada bifurcatio dan arteri basilaris. Arteriosklerosis, merupakan suatu istilah kondisi yang lebih umum menunjukkan mengeras dan kekakuan pembuluh darah arteri dan ditandai dengan kalsifikasi pada tunika media dan arteriolosclerosis dengan proliferasi dan perubahan hyalin yang mengenai arterioles. Atherosclerosis dimulai pada usia muda dan akumulasi lesi dan berkembang selama kehidupan dan menjadi simptomatik serta kejadian klinis saat target organ terkena. Lesi awal dari atherosclerosis berhubungan dengan fatty streaks dan intimal cell mass. Berbagai konsep telah dikemukakan untuk menerangkan progresifitas dari beberapa prekursor lesi tertentu dalam terbentuknya atherosclerosis, yang paling sering dijumpai dan luar biasa adalah hipotesis respon terhadap injury yang menerangkan respon cellular dan molecular terhadap berbagai stimulus atherogenic dalam proses inflamasi.

24

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Proses inflamasi terjadi secara bersamaan dengan akumulasi dari LDL yang teroksidasi dan stimulasi dari sel-sel otot polos vascular (VSMCs). Sel endotel dan makrofag dan sebagai hasil dari agregasi sel busa dengan akumulasi sari LDL oksidasi. Proses selanjutnya perkembangan plaque aterosklerosis, VSMCs migrasi, proliferasi dan membentuk komponen matrix extracelluler pada sisi lumen dari dinding pembuluh darah yang membentuk fibrous cap dari lesi atherosclerosis. Pada proses yang kompleks ini pertumbuhan, progresifitas dan akhirnya ruptur dari plaques atherosclerosis yang melibatkan dalam jumlah besar dari matriks modulator, mediator inflamasi, growth factor dan substansi vasoactif. Fibrous cap membungkus inti lipid dengan akumulasi yang besar sari extracelluler lipid (atheromatous plaque) atau fibroblast dan kalsifikasi ekstraseluler akan membentuk lesi fibrokalsifikasi.

Trombosis Trombosis adalah pembentukan dari bekuan darah (clot) pada suatu arteri yang menetap dalam waktu lama dapat menyebabkan terjadinya iskemik pada jaringan cerebral yang disuplai oleh pembuluh darah tersebut. Plaques atherosclerosis sering ditimbulkan dari kelainan patologis pada endhotelium setempat. Plaques atherosclerosis berkaitan dengan prothrombotic, plasminogen activator inhibitor-1 yang berlebihan dan faktor jaringan. Chlamydia pneumoniae juga berhubungan dengan plaques atherosclerosis dan selanjutnya terjadi aktivitas inflamasi yang ditandai dengan teraktivasi makrofag dan sel T yang berkumpul pada daerah tersebut. Pada trombosis pembuluh darah besar, aspek luminal dari palques atherosclerosis dapat dipecah oleh metalloproteinases, memicu terjadinya ruptur dan menimbulkan lesi elserasi dengan sifat-sifat trombogenic yang tinggi. Ulserasi memicu terjadinya trombosis in situ atau embolisasi dari material trombotic pada bagian ulserasi. Pada pembuluh darah yang lebih kecil (diameter 400-900µm), microateromatosis menyebabkan infark

25

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

lakunar. Pembuluh darah kurang dari 200µm terjadi deposisi lipohyaline pada dinding media menyerupai proliferasi fibrous intima akibat paparan yang lama dari hipertensi atau hiperglikemia, yang menimbulkan infark lakunar yang kecil sering tidak menimbulkan gejala.

Emboli Tabel di bawah ini menunjukkan sumber dari emboli serebral.

Meskipun jantung merupakan sumber yang sangat umum dalam tromboembolus, beberapa tipe dari material dapat dibawa menuju otak melalui sirkulasi serebral dan menyumbat pada pembuluh darah, sehingga menimbulkan stroke. Stasis dari posterior atrium yang berhubungan dengan atrial fibrilasi atau flutter, menimbulkan suatu kondisi resiko tinggi untuk terjadinya formasi trombus. Pada kasus infeksi seperti endokarditis, menimbulkan kumpulan dari platelet, fibrin dan fragmen bakteri, yang mengirimkan emboli pada sirkulasi serebral. Sedangkan trombotic endokarditis non bakterial dapat terjadi pada keadaan malignansi atau kondisi inflamasi lain. Atheromatous plaques pada aorta dan arteri carotis dapat terjadi ulserasi atau menjadi gangguan mekanik, yang memicu terbentuknya embolisasi dari cholesterol dan trombus. Ini diketahui sebagai embolisasi artery-to-artery embolization.

26

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Sistemik hipoperfusi Mekanisme ketiga dari stroke iskemik adalah sitemik hipoperfusi akibat dari kehilangan tekanan arterial secara general (umum). Beberapa proses dapat menimbulkan hipoperfusi, dan yang sangat dikenal adalah cardiac arrest akibat infark myocard atau aritmia. Daerah-daerah otak bagian yang paling distal ditempat perbatasan dari sistem arteri, disebut dengan regio watershed merupakan daerah yang terutama terkena. Hipotensi yang berat dapat menyerupai pola iskemik ini, bila terjadi stenosis pada arteri carotis komunis atau interna dapat menimbulkan watershed ischemic unilateral.

Obliterasi pada arterial lumen Penyempitan lumen yang ditimbulkan oleh vasculopathy non inflammatory, vasculitis inflamasi atau infeksi, vasospasme atau kompresi oleh masa ekstrinsik.

Type dari kelainan acute cerebrovascular Framingham study menunjukkan frekuensi dari complete stroke: 60% disebabkan oleh atherothrombotic infark otak, 25.1% dengan cerebral emboli, 5.4% dengan subarachnoid hemorrhage, 8.3% dengan intracerebral hemorrhage dan 1.2% tidak diketahui. TIA mencapai 14,8% dari total kejadian cerebrovascular. Ischemic stroke disebabkan oleh reduksi critical dari aliran darah cerebral regional dan, bila pengurangan aliran darah melebihi waktu kritis berlangung lama, yang disebabkan oleh perubahan-perubahan atherothrombotic pada arteri yang menyuplai otak atau emboli yang berasal dari jantung, pada aorta atau arteri yang lebih besar. Substrat pathological dari stroke ischemic adalah ischemic infark dari jaringan otak. Lokasi, luas dan bentuk dari infark tergantung pada ukuran dari pembuluh darah yang mengalami oklusi, mekanisme dari obstruksi arterial dan kemampuan kompensasi dari vascular. Oklusi dari arteri yang menyuplai daerah otak tertentu oleh atherothrombosis atau embolisasi menimbulkan infark territorial dengan berbagai ukuran, ukuran besar berasal dari middle cerebral artery (MCA) atau kecil bila cabang dari arteri besar yang mengalami oklusi atau bila mendapatkan kompensasi dari collateral perfusion, melalui sirkulus wilisi atau leptomeningeal anastomoses. Infark lacunar menunjukkan bahwa kelainan pada pembuluh darah penetrasi yang memperdarahi otak pada bagian capsula, basal ganglia, thalamus dan regio paramedian dari brain stem. Yang sangat sering disebabkan oleh lipohyalinosis dari arterie yang dalam (smallvessel disease); dan lebih jarang disebabkan oleh stenosis MCA dan microembolisasi pada daerah arterial penetrasi. Patologi dari infark lakunar adalah adanya scar trabekulasi cystic yang kecil yang berukuran diameter 5-15mm, yang lebih sering terlihat pada MRI.

27

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Pathofisiologi stroke hemorrhage Perdarahan intracerebral (PIS) terjadi sebagai hasil perdarahan langsung dari arterial dalam brain parenchyma dan jumlahnya sekitar 5-15% dari seluruh stroke. Hipertensi merupakan faktor risiko terbanyak, di samping merokok, konsumsi alkohol dan tingginya serum kolesterol, telah diketahui. Dalam keadaan tertentu, perdarahan intracerebral dapat terjadi tanpa hipertensi dengan lokasi atipikal. Penyebab yang lain mencakup small vascular malformation, vasculitis, tumor otak dan obat-obat sympathomimetic (seperti cocaine). PIS juga dapat disebabkan oleh cerebral amyloid angiopathy dan jarang disebabkan oleh perubahan akut pada tekanan darah. Kejadian PIS juga dipengaruhi oleh penggunaan yang tinggi dari terapi antithrombotic dan thrombolytic pada ischemic brain, jantung dan organ lain. PIS yang spontan terjadi predominan pada daerah dominan cerebral hemispheres (typical PIS). Tempat yang sering dijumpai adalah putamen (35-50% dari kasus). Subcortical substansia alba terjadi sekitar 30%. Selanjutnya perdarahan pada thalamus dijumpai sekitar 10-15%, pons 5-12% dan cerebellum 7%. Sebagian besar PIS berasal dari ruptur pembuluh darah arteries kecil, dengan diameter 50-200 mm, akibat kelainan lipohyalinosis yang mengarah pada hipertensi kronik. Perubahan dari small-vessel memicu kelemahan dari dinding pembuluh darah dan miliary microaneurysm dan diikuti perdarahan lokal kecil, yang mana dapat diikuti oleh ruptur sekunder. Setelah dimulai, perdarahan aktif dapat berlanjut selama beberapa jam dengan perluasan dari hematoma yang sering berhubungan dengan kelainan klinik.

28

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Pada PIS, akumulasi lokal dari darah merusak parenkim otak yang menggantikan struktur saraf dan merusak jaringan otak. Setelah beberapa jam atau hari terjadi extracellular edema pada sekitar hematoma. Setelah 4-10 hari sel darah merah mulai lisis, kemudian granulocytes dan microglial cells muncul serta terbentuk foamy macrophages, yang menghancurkan debris dan hemosiderin. Pada akhirnya astrocytes berada pada sekitar dari hematoma dan mengalami proliferasi dan berubah menjadi gemistocytes dengan eosinophilic cytoplasm. Saat hematoma menghilang, astrocytes akan digantikan oleh fibril-fibril glial.

Ringkasan Penyebab kematian tertinggi di Indonesia adalah stroke, sedangkan merupakan posisi ketiga yang menyebabkan kematian di US. Mekanisme dari iskemik dapat secara umum dibagi menjadi 5 kategori: trombosis, emboli, hipoperfusi sistemik, obliterasi lumen arterial dan kongesti vena. Dan pada perdarahan intracerebral, hipertensi merupakan faktor risiko terbanyak, di samping merokok, konsumsi alkohol dan tingginya serum kolesterol.

Daftar pustaka 1.

Rosamond W, Flegal K, Furie K, et al. Heart disease and stroke statistics-2008 update: a report from the American Heart Association Statistics Committee and Stroke Statistics Subcommittee.Circulation 2008;117:e25–146.

2.

Adams HP Jr, Bendixen BH, Kappelle LJ, et al. Classification of subtype of acute ischemic stroke. Definitions for use in a multicenter clinical trial. TOAST. Trial of Org 10172 in Acute Stroke Treatment. Stroke 1993;24:35–41.

3.

Ay H, Furie KL, Singhal A, et al. An evidence-based causative classification system for acute ischemic stroke. Ann Neurol 2005;58:688–97.

4.

Labovitz DL, Boden-Albala B, Hauser WA, Sacco RL. Lacunar infarct or deep intracerebral hemorrhage: who gets which? The Northern Manhattan Study. Neurology 2007;68:606-8.

5.

Rajamani K, Fisher M, Fisher M. Atherosclerosis-pathogenesis and pathophysiology. In: Ginsberg MD, Bogousslavsky J, eds. Cerebrovascular Disease: Pathophysiology, Diagnosis and Management, Vol. 2. London: Blackwell Science; 1998:308-18.

6.

Willeit J, Kiechl S. Biology of arterial atheroma. Cerebrovasc Dis (Basel) 2000;10 Suppl 5:1-8

7.

Aikawa M, Libby P. The vulnerable atherosclerotic plaque: pathogenesis and therapeutic approach. Cardiovasc Pathol 2004; 13:125–38.

8.

Faxon DP, Fuster V, Libby P, Beckman JA, Hiatt WR, Thompson RW, et al. Atherosclerotic Vascular Disease Conference: Writing Group III: pathophysiology. Circulation 2004; 109:2617-25.

29

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

9.

Mohr JP, Choi DW, Grotta JC, Weir B, Wolf PA. Stroke-Pathophysiology, Diagnosis, and Management. 4th ed. Philadelphia: Churchill Livingstone; 2004.

10. Wolf PA. Epidemiology of stroke. In: Mohr JP, Choi DW, Grotta JC, Weir B, Wolf PA, eds. Stroke-Pathophysiology, Diagnosis, and Management. Philadelphia: Churchill Livingstone; 2004: 13–34.

30

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Penatalaksanaan Stroke Berdasarkan Bukti Medis (EBM) H. Hadi Martono

Pendahuluan Stroke didefinisikan sebagai suatu manifestasi klinik gangguan peredaran darah otak yang menyebabkan defisit neurologik (WHO, 1971). Definisi lain lebih mementingkan defisit neurologik yang terjadi sehingga batasannya adalah sebagai berikut: ”adalah suatu defisit neurologik mendadak sebagai akibat dari iskemia atau hemorhagik sirkulasi syaraf otak”. Dari definisi tersebut jelas bahwa kelainan utama stroke adalah kelainan dari pembuluh darahnya, yang tentu saja, merupakan bagian dari pembuluh darah sistemik. Penyebab dan kelainan dari pembuluh darah tersebut secara patologik bisa didapati pada pembuluh darah di bagian lain tubuh. Oleh karenanya stroke harus dianggap merupakan akibat dari penyakit sistemik. Komplikasi yang terjadi, seperti akan dapat dilihat dalam pembicaraan nanti, adalah lebih banyak diakibatkan karena pembuluh darah di otak masih merupakan bagian dari pembuluh darah sistemik. Di samping itu kematian otak yang sudah terjadi tidak akan dapat di obati dengan cara apapun. Dalam era evidence based medicine maka semua tindakan medis oleh IDI diharuskan pada penyakit apapun berdasarkan pada EBM tersebut, termasuk stroke (Helsingborg declaration, 2006, ESO 2008, Gofur, 2010). Obat-obat neuroprotektor yang sering digunakan oleh dokter-dokter kita ternyata tidak terbukti bermanfaat secara evidence based (ESO 2008, Gofir, 2010, Cadogan, 2010), walaupun penelitian pada hewan memberikan harapan, itupun hanya kalau diberikan bersama rTPA. Oleh karena itulah penatalaksanaan utama stroke adalah terutama berupa perawatan umum dan mengatasi komplikasi sistemik, yang pada giliran selanjutnya akan mencegah perluasan kerusakan jaringan otak. Karena itulah kami menganggap bahwa semua spesialis penyakit dalam harus berperan, bahkan berperan utama dalam penatalaksanaan stroke. Demikian pula bahwa dokter yang berkecimpung dalam bidang geriatri, sebagai sub bagian ilmu penyakit dalam harus menguasai penatalaksanaan penderita stroke, terutama pada usia lanjut, mengingat bahwa pada populasi ini insidensi kelainan ini sangat tinggi dan komorbiditas berbagai organ dan sistem merupakan hal yang sangat penting

Jenis dan epidemiologi Di seluruh bagian dunia stroke merupakan penyakit yang terutama mengenai populasi usia lanjut. Insidens pada usia 75-84 tahun sekitar 10x dari populasi 55-64 tahun. Di Inggris stroke merupakan penyakit ke-2 setelah infark miokard akut (AMI) sebagai penyebab kematian utama, sedangkan di Amerika stroke masih merupakan

31

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

penyebab kematian ke-3. Total biaya yang diperlukan untuk penatalaksanaan 1 kasus stroke diperkirakan sekitar US $ 80.000-100.000. Stroke juga merupakan penyebab utama terjadinya kecacatan (disabilitas) di negara negara barat. Dengan makin meningkatnya upaya pencegahan terhadap penyakit hipertensi, diabetes melitus dan gangguan lipid, insidensi stroke di negara-negara maju makin menurun. Di Perancis stroke disebut sebagai “serangan otak (attaque cerebrale)” yang menunjukkan analogi kedekatan stroke dengan serangan jantung. Berdasar atas jenisnya, stroke terbagi atas: O

Stroke non hemorhagik: jenis stroke ini pada dasarnya disebabkan oleh oklusi pembuluh darah otak, yang kemudian menyebabkan terhentinya pasokan oksigen dan glukosa ke otak. Tersering diakibatkan oleh trombosis akibat plak aterosklerosis dari arteri otak/atau yang memberi vaskularisasi pada otak atau suatu emboli dari pembuluh darah diluar otak yang tersangkut di arteri otak. Jenis stroke ini merupakan stroke yang tersering didapatkan, sekitar 80-85% dari semua stroke (Cadogan, 2010). Stroke jenis ini juga bisa disebabkan akibat berbagai hal yang menyebabkan terhentinya aliran darah otak, antara lain syok atau hipovolemia dan berbagai penyakit lain.

O

Stroke hemorhagik: yang merupakan sekitar 15-20% dari semua stroke. Diakibatkan karena pecahnya suatu mikroaneurisma dari Charcot atau etat crible di otak. Dibedakan antara: perdarahan intraserebral, subdural dan subarakhnoid. Mortalitas lebih tinggi dibanding jenis iskemik (sekitar 50% meninggal dalam waktu 1 bulan setelah serangan-Cadogan, 2010)

Secara patologik pada stroke non hemorhagik, yang merupakan jenis terbanyak dari seluruh stroke, apa yang terjadi pada pembuluh darah di otak serupa dengan apa yang terjadi di jantung, terutama jenis emboli dan trombosis. Oleh karena itu faktor risiko terjadinya stroke serupa dengan faktor risiko penyakit jantung iskemik.

Gejala dan tanda Gejala stroke bisa dibedakan atas gejala/tanda akibat lesi dan gejala/tanda yang diakibatkan oleh komplikasinya. Gejala akibat lesi bisa sangat jelas dan mudah untuk didiagnosis, akan tetapi bisa sedemikian tidak jelas sehingga diperlukan kecermatan tinggi untuk mengenalinya. Penderita bisa datang sadar dengan keluhan lemah separuh badan pada saat bangun tidur atau sedang bekerja, akan tetapi tidak jarang penderita datang dalam keadaan koma dalam sehingga memerlukan penyingkiran diagnosis banding sebelum mengarah ke stroke. Secara umum gejala tergantung dari besar dan letak lesi di otak, yang menyebabkan gejala dan tanda dari organ yang dipersyarafi oleh bagian tersebut. Jenis patologi (hemorhagik atau non hemorhagik) secara umum tidak menyebabkan perbedaan dari tampilan gejala, kecuali bahwa pada jenis hemorhagik seringkali ditandai dengan nyeri kepala hebat, terjadi terutama saat bekerja.

32

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Beberapa perbedaan yang terdapat akibat stroke hemisfer kiri dan kanan dapat dilihat dari tanda-tanda yang terdapat dan dengan pemeriksaan neurologik sederhana dapat diketahui kira-kira letak lesi, seperti yang terlihat di bawah ini.

Gejala akibat komplikasi akut menyebabkan kematian 5x lebih banyak dibanding akibat lesi dan bersama-sama keduanya menyebabkan sekitar 20% kematian pada hari I. Komplikasi akut yang terjadi adalah: -

Kenaikan tekanan darah. Keadaan ini biasanya merupakan mekanisme kompensasi dalam upaya mengejar kekurangan pasokan darah di tempat lesi. Oleh karena itu kecuali bila menunjukkan nilai yang sangat tinggi (sistol >220/ diastol>130) tekanan darah tidak perlu diturunkan, karena akan turun sendiri setelah 48 jam. Pada penderita hipertensi kronis tekanan darah juga tidak perlu diturunkan segera.

-

Kadar gula darah. Penderita stroke seringkali merupakan penderita DM sehingga kadar gula darah pasca stroke tinggi. Akan tetapi seringkali terjadi kenaikan gula darah penderita sebagai reaksi kompensasi atau akibat mekanisme stress. Akan tetapi tindakan yang terlalu antusias dapat menyebabkan gula darah menjadi terlalu rendah juga

-

Gangguan jantung baik sebagai penyebab maupun sebagai komplikasi. Sebagai penyebab terutama adalah fibrilasi atrium dan keadaan jantung yang menyebabkan

33

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

terjadinya thrombus, antara lain MIA, endokarditis bakterialis. Keadaan ini memerlukan perhatian yang khusus, karena seringkali memperburuk keadaan stroke bahkan sering merupakan penyebab kematian. -

Gangguan respirasi, baik akibat infeksi maupun akibat penekanan di pusat nafas.

-

Infeksi dan sepsis merupakan komplikasi stroke yang serius.

-

Gangguan ginjal dan hati.

-

Gangguan cairan, elektrolit, asam dan basa. Antara lain pada keadaan syok hipovolemik sebagai penyebab stroke.

-

Stress ulcer, yang sering menyebabkan terjadinya hematemesis dan melena.

Penelitian Clifford Rose, 1990 di Inggris tentang kematian akibat stroke akut dapat dilihat pada tabel berikut: Penyebab kematian

Infark iskemik

Hemorhagia serebral Keterangan

Kematian otak primer Pneumonia Emboli paru Insufisiensi ginjal Insufisiensi jantung Infark jantung Rekurensi stroke

9% 40% 20% 8% 13% 60menit 10-59 menit Diabetes

1 -

1 1

1 1

1 1 1 1 1

2 1 2 1 1

2 1 2 1 1

Skor Total

0-5

0-6

0-7

Bila memang ke arah stroke, letak, jenis dan luas lesi, faktor risiko, penyakit komorbid? Penderita dengan TIA dengan skor ABCD2 >3, lebih baik dirawat inap (Class IIa,

35

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

LOE C), kemudian di RS dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan baku emas adalah pemeriksaan dengan skan tomografi terkomputer (CT-scan), (rekomendasi A) walaupun pada beberapa keadaan, antara lain stroke di batang otak pada hari-hari pertama sering kali tidak didapatkan abnormalitas, sehingga harus diulang setelah 24 jam kemudian. CT scan tersebut idealnya harus dilakukan dalam waktu 1 jam setelah kedatangan penderita di RS (atau sebelum 3½ jam setelah awitan stroke). Dengan MRI (magnetic resonance imaging=pencitraan dengan resonansi magnetik) diagnosis letak dan jenis lesi dapat lebih diketahui dengan pasti. Lesi kecil di batang otak yang tidak terlihat dengan skan TK tersebut, akan dapat terdeteksi dengan MRI (rekomendasi B). Kesemua data ABCD2 ini untuk penderita usia lanjut sudah diintegrasikan dalam asesmen geriatri. -

Terdapat beberapa scoring system untuk mendiagnosis jenis,letak dan besarnya lesi, antara lain skor Siriraj, skor Gajah Mada dan lain-lain, akan tetapi ketepatannya masih tidak bisa diandalkan. Hubungan diagnosis dengan waktu sangat penting sehingga timbul adagium time is brain, terutama untuk stroke jenis iskemik karena dalam waktu kurang dari 3 jam berhubungann dengan kemungkinan dapat dilakukannya terapi spesifik trombolisis dengan rTPA. Demikian pula untuk jenis stroke perdarahan yang masih mungkin dilakukan tindakan bedah, lebih cepat penatalaksanaan akan lebih baik hasilnya. Sehubungan dengan masalah waktu ini dianjurkan dibuat suatu PROTAP untuk pendidikan/edukasi kepada masyarakat dan tenaga RS sehingga upaya pengenalan stroke dini dan transportasi yang cepat dan efektif ke pusat stroke dapat dilaksanakan (Helsingborg decl, 2007). Hal-hal lain yang perlu pada diagnosis adalah: -

Status penderita. secara keseluruhan, termasuk di sini adalah kesadaran (GCS?) tekanan darah, kadar gula darah, keadaan kardiorespirasi, keadaan hidrasi, elektrolit, asam-basa, keadaan ginjal, apakah penderita masih dalam pemberian warfarin, adanya tendensi perdarahan, GCS rendah (3 atau kurang dari 3 tetapi terdapat hal lain yang mengindikasikan gangguan fokal (klas IIa, tingkat bukti C). Perawatan umum, diarahkan untuk memberikan perawatan yang optimal pada penderita. Memberikan posisi yang tepat, alih baring untuk penderita dengan kesadaran menurun, pemberian hidrasi yang cukup merupakan beberapa aspek perawatan yang penting. Termasuk disini adalah asesmen gangguan menelan dan tata cara pemberian nutrisi bila terdapat gangguan menelan. Seringkali pemberian makanan peroral (aktif atau dengan sonde) diberikan pada penderita yang berbaring. Pada usia lanjut hal ini sangat berbahaya, karena sering menyebabkan pneumonia aspirasi.

36

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Perbaikan gangguan/komplikasi sistemik: seperti dikemukakan di atas, berbagai komplikasi sistemik sering lebih berbahaya dibanding strokenya sendiri. Oleh karena itu keadaan tersebut harus selalu dipantau. Beberapa diantaranya akan dibicarakan berikut ini. Airway: perhatikan gangguan jalan nafas, mungkin pada keadaan berat perlu ventilator mekanis (kelas I, LOE C). Keadaan hipoksia harus segera dicari penyebab dan perlu mendapat terapi oksigen (Kelas I, LOE C). Blood Pressure (Tekanan darah)/Breathing. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pada stroke akut, biasanya tekanan darah akan meningkat sebagai mekanisme kompensasi, untuk kemudian kembali menjadi normal setelah 2-3 hari. Oleh karena itu, peningkatan tekanan darah pada hari-hari pertama stroke tidak perlu dikoreksi, kecuali bila mencapai nilai yang sangat tinggi (sistolik >220 mmHg/diastolik >120mmHg) atau merupakan tekanan darah yang emergency. Pada keadaan inipun penurunan tekanan darah harus secara perlahan, tidak sampai normal, hanya sekitar 10-20%. (kelas I, LOE, C). Pada penderita usia lanjut kehati-hatian dalam menurunkan tekanan darah tersebut sangat penting, karena pada penderita sudah terjadi gangguan otoregulasi, artinya otak penderita seolah menjadi terbiasa dengan keadaan tekanan darah yang meninggi, sehingga bila mendadak tekanan darah diturunkan, akan terjadi gangguan metabolik otak yang sering justru memperburuk keadaan. Pada hari-hari pertama ini penurunan tekanan darah juga dibedakan apakah penderita memang penderita tekanan darah tinggi kronis, yang penurunan tekanan darahnya sebaiknya sampai 180/100-105 mmHg. Apabila belum pernah menderita hipertensi maka sasaran penurunan tekanan darah bisa sampai 160-180/100-110 mmHg. (EUSI, 2003, Cadogan 2010). Apabila direncanakan tindakan trombolisis dengan rTPA, tekanan darah sistolik tidak boleh melebihi 180 mmHg. Agar penurunan darah bisa dilaksanakan secara titrasi maka dianjurkan pemakaian obat Labetalol/ urapidil/nitroprusid atau nitrogliserin I.V, kalsium antagonis IV titrasi atau captopril oral. Penggunaan nifedipin oral/SL atau penurunan tekanan darah yang terlalu drastis atau hipotensi perlu dihindari. Keadaan kardiak(jantung) telah dikemukakan diatas sering menyebabkan kematian oleh karena itu perlu pemantauan yang baik dengan EKG monitoring 24 jam I (kelas I, LOE B) dan diberikan tindakan pengobatan dimana perlu. -

Gula darah. Seperti dengan tekanan darah, gula darah seringkali meningkat pada hari-hari pertama stroke, akan tetapi penelitian menunjukkan bahwa gula darah yang tinggi (>40mg%) akan memperburuk kerusakan otak, sehingga peninggian kadar gula darah pada hari-hari I stroke harus diturunkan senormal mungkin, kalau perlu dengan pemberian insulin melalui pompa-siring (kelas II, LOE C).

37

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Ulkus stres, infeksi, gangguan ginjal atau hati juga merupakan berbagai keadaan yang perlu diperhatikan pada penderita stroke, karena keadaan tersebut seringkali terjadi dan sering menentukan kelangsungan hidup penderita. Emboli paru dan/atau trombosis vena dalam: sering merupakan komplikasi stroke. Keadaan ini bisa dihindari dengan pemberian hidrasi yang cukup dan mobilisasi dini, baik secara pasif maupun aktif. Terhadap lesi: Perlakuan terhadap lesi tergantung jenis, besar dan letak lesi, serta berapa lama lesi sudah terjadi. Lesi hemorhagik, terutama subarakhnoid dan subdural bisa segera dilaksanakan operasi, akan tetapi jenis intra-serebral hanya yang terletak superficial, dengan volume darah >30cc atau diameter >3 cm, dengan tanda peninggian tekanan intracranial dan ancaman herniasi otak. Bisa dilaksanakan operasi, walaupun hal ini masih kontroversial. Pemberian obat hemostatik menurut kepustakaan barat tidak banyak berbeda hasilnya dengan tanpa pemberian obat tersebut. Tetapi beberapa penelitian dengan recombinant activated Factor VII a (rFVIIa) ternyata mempunyai kemampuan membatasi pembesaran hematom. Pada beberapa keadaan stroke non hemorhagik intra serebral, tindakan operatif kadang diperlukan untuk melakukan dekompresi dan menghilangkan efek massa pada otak (EUSI,2003). Tindakan ini perlu dikerjakan oleh dokter bedah syaraf yang berpengalaman. Lesi iskemik, pada dasarnya harus dibedakan antara pusat infark dan jaringan sekitarnya, yang disebut jaringan penumbra. Di pusat infark sudah terjadi kematian jaringan otak, sehingga tidak dapat dikerjakan sesuatu. Penumbra merupakan jaringan iskemik yang tanpa dilakukan upaya pengobatan akan memberat menjadi infark. Di daerah ini akan terjadi suatu rantai reaksi metabolik, antara lain masuknya ion kalsium dan laktat ke intraseluler, menyebabkan terjadinya oedem sel dan akhirnya nekrosis. Berbagai tindakan terapetik secara antara lain: -

Upaya perbaikan status umum (tekanan darah, gula darah, hidrasi, keseimbangan cairan dan asam basa, kardiorespirasi dan lain-lain).

-

Pemberian antikoagulasi dengan menggunakan antikoagulan (heparin, warfarin) berdasarkan penelitian di Eropa (ESO 2008 dan tempat lain) tidak direkomendasikan. Trombolisis hanya dilakukan dengan aktivator plasminogen jaringan rekombinan (rtPA), itupun dengan syarat yang sangat ketat, yaitu waktu pengerjaan tidak boleh lebih dari 3½ jam dari saat awitan stroke (saat ini beberapa senter memperpanjang waktu). Penggunaan sampai dengan 4½ jam pasca awitan (Cadogan, 2010). Penggunaan streptokinase, heparin atau heparinoid walaupun beberapa laporan tak terkontrol menunjukkan hasil, akan tetapi terkendala dengan kemungkinan besar terjadinya komplikasi hemorhagik di daerah infark atau daerah lain, sehingga tidak direkomendasikan (rekom. A).

38

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Pemberian anti-trombosit (aspirin) 100-300 mg diberikan dalam waktu 24 jam setelah terjadinya stroke akan menurunkan mortalitas dan mencegah stroke ulangan secara signifikan.Aspirin tidak boleh diberikan apabila akan dilakukan trombolisis atau dalam waktu 24 jam setelah trombolisis. -

Perbaikan metabolik sekitar lesi, antara lain pemberian vasokonstriktor umum yang diharapkan memberikan vasodilatasi lokal ditempat lesi (reverse steal phenomenon) calsium entry blocker dan berbagai zat neuroprotective walaupun dari segi teoretik hal ini sangat menarik, akan tetapi hasil dari berbagai penelitian dengan derajat bukti tingkat I (level of evidence I) ternyata tidak ada gunanya sama sekali. Upaya untuk menurunkan viskositas darah bila Ht >54% (terapi hemodilusi) menurut EUSI 2003 juga tidak direkomendasikan pada stroke iskemik.

Rehabilitasi dini: upaya rehabilitasi harus segera dikerjakan sedini mungkin apabila keadaan penderita sudah stabil. Fisioterapi pasif perlu diberikan bahkan saat penderita masih di ruang intensif yang segera dilanjutkan dengan fisioterapi aktif bila memungkinkan. Apabila terdapat gangguan bicara atau menelan, upaya terapi wicara bisa diberikan. Setelah penderita bisa berjalan sendiri, terapi fisik dan okupasi perlu diberikan, agar penderita bisa kembali mandiri. Pendekatan psikologik terutama berguna untuk memulihkan kepercayaan diri penderita yang biasanya sangat menurun setelah terjadinya stroke. Kalau perlu dapat diberikan antidepresan ringan. Tindakan pengawasan lanjutan (follow-up): tindakan untuk mencegah stroke berulang dan upaya rehabilitasi kronis harus terus dikerjakan. Hal ini sebaiknya dilakukan oleh spesialis penyakit dalam yang mengetahui penatalaksanaan berbagai faktor risiko terjadinya stroke ulangan.

ABC penatalaksanaan stroke oleh spesialis penyakit dalam Dengan melihat tinjauan di atas, maka penatalaksanaan pada stroke akut setelah diagnosis ditegakkan (terutama dengan CT-Scan/MRI), terutama harus dilakukan oleh spesialis penyakit dalam dan meliputi ABC seperti juga dalam menghadapi kegawatan lain sebagai berikut: A : Airway, artinya mengusahakan agar jalan nafas terbebas dari segala hambatan, baik akibat hambatan yang terjadi akibat benda asing maupun sebagai akibat strokenya sendiri. B : Blood pressure atau breathing atau tekanan darah dan fungsi bernafas yang mungkin terjadi akibat gangguan di pusat nafas (akibat stroke) atau oleh karena komplikasi infeksi di saluran nafas. C : Cardiovascular function, yaitu fungsi jantung dan pembuluh darah. Seringkali terdapat gangguan irama, adanya trombus yang harus ditangani secara tepat.

39

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Gangguan jantung seringkali merupakan penyebab stroke, akan tetapi juga bisa merupakan komplikasi dari stroke tersebut. Dalam huruf “C” ini bisa dimasukkan pula aspek coagulation. Status koagulasi menyeluruh termasuk kadar fibrinogen perlu diperiksa dan kalau mungkin dikoreksi. Keadaan hiperviskositas (hematokrit yang terlalu tinggi, misalnya pada keadaan PPOM) perlu diturunkan secara moderat, sedangkan keadaan obstruksi parunya perlu diperbaiki. D : Drug/medication harus dievaluasi tentang obat-obatan yang sudah/sedang atau akan diberikan, jangan mengganggu fungsi homeostasis yang pada saat ini sedang dalam keadaan terkompromi. E : Electrolyte terutama natrium, kalium, kalsium yang akan mengganggu memperberat berbagai fungsi organ. F : Fluid status/balance. Keadaan gangguan cairan kemudian akan memberi pengaruh pada fungsi ginjal, jantung dan fungsi organ yang lain, oleh karenanya pantau dengan baik dan kalau perlu di koreksi bila ternyata terdapat gangguan balans cairan. G : Glucose level yang terlalu tinggi atau terlalu rendah. Kadar glukosa yang terlalu rendah sering kali memberikan gejala-gejala neurologik fokal serupa dengan stroke, sedangkan kadar gula darah yang terlalu tinggi dikatakan akan memperburuk lesi sehingga akan memperburuk status neurologik. “G” di sini juga bisa dikenakan pada gastric bleeding sebagai akibat stress ulcer yang kemudian memerlukan penanganan tersendiri termasuk perubahan jalur pemberian nutrisi. Apabila pada pemasangan pipa nasogastrik ternyata teralirkan cairan hitam tanda terdapat perdarahan gastrik, maka semua tindakan konvensional untuk menghentikan perdarahan lambung ini harus dijalankan. H : Hypertension sebagai akibat dari penyakit hipertensi kronis akan tetapi bisa sebagai akibat kompensasi akut akibat stroke (sudah dibahas dimuka). ”H” juga bisa diartikan sebagai “hidrasi”. Pemberian hidrasi yang kurang baik akan berakibat pada terjadinya berbagai gangguan homeostasis organ-organ, akan tetapi juga harus diperhatikan kemungkinan overhidrasi (terutama apabila keadaan ginjal atau jantung kurang baik). I:

Intake diperlukan guna mempertahankan fungsi metabolisme tubuh. Walaupun dalam keadaan kesadaran menurun, masalah intake harus diperhatikan, karena nutrisi yang baik akan membantu penyembuhan keadaan penderita. Nutrisi yang baik juga akan membantu daya tahan tubuh terutama dari keadaan infeksi. “I” juga bisa dikenakan pada kedaan INFEKSI, yang selalu harus dicegah dan kemudian diatasi seefektif mungkin karena akan mempengaruhi prognosis dari penderita stroke. Bronkopneumonia dan infeksi saluran kemih, yang kemudian bisa berlanjut ke keadaan sepsis merupakan infeksi tersering yang harus selalu dipantau kemungkinan terjadinya. Pada keadaan perawatan yang kurang baik, dekubitus merupakan penyebab infeksi lain yang harus diperhatikan.

40

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Upaya pencegahan Upaya pencegahan primer dan sekunder berupa perbaikan dari berbagai faktor risiko seperti yang telah disebutkan di muka. Salah satu yang menjadi bahan perdebatan adalah pelaksanaan end-arterectomy pada arteri karotis. Kesepakatan saat ini adalah anjuran untuk end-arterectomy pada penderita TIA bila terdapat stenosis arteri karotis >70% (Bogosslavsky, 1997). Pada individu yang belum terserang TIA/ stroke endarterectomy juga bisa dianjurkan apabila stenosis >90%, terutama bila bersifat progresif dan risiko perioperatif 75 tahun atau >60 tahun+risiko tinggi/menderita tekanan darah tinggi, disfungsi ventrikuler kiri, diabetes melitus) diberikan terapi antikoagulasi jangka panjang dengan warfarin dengan target INR 2,0-3,0.

Unit stroke Dari pengalaman berbagai senter dapat diambil kesimpulan bahwa perawatan penderita stroke dalam suatu unit stroke secara signifikan akan menurunkan angka kematian, angka disabilitas dan perawatan institusional katimbang perawatan di bangsal rawat umum. Suatu unit stroke adalah suatu unit rumah sakit atau bagian di rumah sakit yang secara khusus ditujukan untuk menangani penderita stroke. Dalam unit ini para staf yang bersifat multi disipliner sudah terlatih secara khusus dalam pengobatan dan perumatan penderita stroke. Disiplin inti yang terikut dalam unit stroke ini adalah tenaga medis (penyakit dalam, jantung, intensivist dan neurologis) perawat dan berbagai modalitas rahabilitasi. Berbagai jenis unit stroke antara lain adalah: unit stroke akut, unit kombinasi stroke dan rehabilitasi, unit rehabilitasi stroke dan tim stroke mobil. Akan tetapi mengingat dasar pendidikan yang agak berbeda antara berbagai spesialis di Indonesia dan di berbagai tempat di Eropa maupun di Amerika, pendirian suatu unit stroke tetap diperlukan akan tetapi dengan penekanan tugas setiap komponen yang sedikit berbeda. Di negara-negara Eropa atau Amerika, seorang spesialis syaraf/ neurologis dalam pendidikannya telah mengalami pendidikan penyakit dalam dalam waktu yang cukup, biasanya antara 2-3 tahun, sebelum kemudian mengambil spesialisasinya di bidang penyakit syaraf, sehingga pengetahuan mereka di bidang penyakit dalam sudah cukup memadai untuk menatalaksanai penderita stroke. Di Indonesia, pendidikan neurologi di bagian penyakit dalam hanya berlangsung antara 23 bulan, sehingga petalaksanaan stroke di unit stroke seperti yang telah dikemukakan di atas seharusnya menjadi tugas spesialis penyakit dalam sebagai dokter utama. Dokter spesialis syaraf bisa ikut dalam tim unit stroke untuk memberi bantuan pendapat (second opinion) tentang penatalaksanaan gangguan syaraf sebagai akibat stroke.

41

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Neuroprotektan Seperti dikatakan di atas, berbagai penelitian mengenai penggunaan neuroprotektan gagal untuk membuktikan kegunaannya pada terapi stroke akut. Penelitian penggunaan Citikolin pada tikus, memberikan hasil baik hanya kalau obat ini diberikan bersama dengan rTPA (Caplan, 2009). Oleh karenanya pada sebagian besar guidelines penggunaan obat ini sama sekali tidak disebut (ESO, stroke AHA, Gofir, Cadogan). Helsingborg declaration yang dibuat oleh International Society of Internal Medicine dan WHO regional Eropa hanya memperbolehkan penggunaan neuroprotektor ini dalam rangka penelitian ilmiah.

Kesimpulan dan penutup Telah dibicarakan pengelolaan stroke dipandang dari aspeknya sebagai penyakit sistemik. Dari pembicaraan di atas jelas bahwa sebagian besar pengelolaan stroke memerlukan pengetahuan yang mendalam dari segi penyakit dalam (general medicine), sehingga siapapun yang mengelola penyakit ini harus mempunyai pengetahuan tentang penyakit dalam yang cukup, disertai pengetahuan pemeriksaan dasar neurologik sederhana. Di Indonesia, spesialis penyakit dalam dan geriatrislah dan bukannya spesialis syaraf yang merupakan spesialis yang memenuhi syarat untuk bertindak sebagai pengelola utama stroke. Oleh karena itulah pembentukan suatu unit stroke, yang tetap merupakan suatu unit penting dalam suatu rumah sakit, tetap merupakan suatu keharusan dalam suatu rumah sakit besar, tetapi dengan tetap meletakkan spesialis penyakit dalam dan/atau geriatris sebagai dokter utama pengelola penderita stroke.

Tinjauan kepustakaan 1.

Brocklehurst, JC and Allen, SC: ”Cerebral syndrome” in Geriatric Medicine for Students 3rd edt, Churchil Livingstone, 1987.

2.

Bogousslavsky, J: ”Meeting the challenge of stroke: on the Attack”, Oddyssey, 3/3:1996.

3.

Clifford Rose: ”Clinical Diagnosis and Therapy of Strokee” in Meier Ruge, W (ed) Vascular Brain Disease in old age, Teaching and training in Geriatric Medicine pp135176, Karger, AG Switzerland, 1990.

4.

Caplan, LR: ”Intracerebral Hemorrhage” in STROKE OCTET, Lancet 339/8794 656658, 1992.

5.

Caplan, LR: “Caplan’s stroke, a clinical Aopproac” IVth edit, Saunders, Elsevier, 2009.

6.

Cadogan, M: “EBM Acute stroke”, Life in the fast lane. Education. AFTB lecture, 2010.

7.

Editor: ”Rehabilitation Congress in Berlin: Brain plasticity greater than had expected” the News, 36/1993.

8.

European Stroke Initiative, recommendation 2003 ”EUSI, Ischaemic Stroke. Prophylaxis and treatment, Information for doctors in hospitals and practice, 2003.

42

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

9.

European Stroke Organization Executive Committee, ESO Writing Committee: ”Guidelines for Management of Ischaemic Stroke and Transient Ischaemic Attack” 2008.

10. American Heart Association (AHA, American Stroke Association (ASA): ”Guidelines for the Early Management of Adults with Ischemic Stroke, 2007. 11. Gofir, A: ”Manajemen Stroke, Evidence Based Medicine ”Pustaka Cendekia Press, Cetakan Pertama 2009. 12. Hacke, W: ”What’s right for MI is right for stroke as well” the News, 36/1993. 13. Hadi-Martono: ”Stroke, who in Indonesia is supposed to manage it?” (unpublished). 1993. 14. Hadi-Martono: ”Stroke pada usia lanjut ”Pertemuan Ilmiah Ilmu Penyakit Dalam, FK UNDIP-RS Dr. Kariadi. 1990. 15. Kejellstrom, T, Norrving., Shatzkutte, A: ”Helsingborg Declaration 2006 on European Stroke Strategies” WHO Regional Office For Europe. 2006. 16. Meier-Ruge, W: ”The Pathophysiology of Stroke, Causes and mecahnism of Cerebral Infarction” in Meier Ruge W(ed) Vascular Brain Disease in old age, Teaching and training in Geriatric Medicine. pp 43-85, Karger AG Switzerland, 1990. 17. Oppenheimer, S and Hachinsky, V: ”Complication of acute stroke” in STROKE OCTET, Lancet. 339/8795, 721-724, 1992. 18. Paulson,OB and Strandgaard, S: ”The old brain’s Blood flow. Its mechanism of cerebral infarction” in Meier-Ruge, W (ed) Vascular Brain Disease in old age, Training and teaching in Geriatric Medicine, pp1-42, Karger AG Switzerland. 1990. 19. Van der Cammeln TJM: ”Strokee” in Van der Cammeln, Rai, GS and Exton-Smith, AN (eds) Manual of Geriat. Medicine pp 1-8, Churchil-Livingstone, Edinburgh. 1991 20. Van Gijn, J: ”Subarachnoid Hemorrhage” in STROKE OCTET, Lancet, 339/8794, 653656. 1992. 21. Warlow, C: ”Secondary prevention of stroke” in STROKE OCTET, Lancet 339/8795,724727. 1992 22. Wade, DT: ”Strokee:rehabilitation and long-term care” in STROKE OCTET, Lancet 339/8796, pp.791-793. 1992.

43

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

44

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Penatalaksanaan Diet untuk Hipertensi (DASH=Dietary Approach to Stop Hypertension) Siti Fatimah Muis, Etisa Murbawani

Pendahuluan Hipertensi atau tekanan darah tinggi bersama dengan Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah (Cardiovascular Disease=CVD) merupakan penyebab kematian teratas di negara maju maupun berkembang termasuk Indonesia. Hipertensi tak hanya terjadi pada golongan ekonomi tinggi tapi dapat terjadi pada semua golongan sosial ekonomi baik di negara maju maupun berkembang. Prevalensi/kejadian hipertensi meningkat dari waktu ke waktu baik di negara maju maupun berkembang. Di Amerika Serikat, saat ini ada 50 juta penderita hipertensi atau 1 di antara 4 orang, dengan jumlah lebih tinggi pada kelompok African American. Selain jumlah penderita yang meningkat, terjadi pula pergeseran umur penderita ke arah yang lebih muda. Bila beberapa dekade yang lalu hipertensi dianggap sebagai penyakit para lansia, maka saat ini gambaran tersebut telah berubah. Di Indonesia, prevalensi hipertensi juga meningkat baik sebagai perubahan gaya hidup, termasuk di dalamnya pola makan sebagai dampak dari affluency maupun pengaruh globalisasi. Beberapa studi di Indonesia a.l. mendapatkan angka 41,9% untuk pulau Jawa, dengan rincian kota 39% dan desa 44,1% dari data SKRT 2004,1 serta ditemukan 37,3% pada kelompok usia 40 tahun dengan hipertensi tanpa pengobatan.2 Lebih memprihatinkan, di Jakarta Timur pada pekerja industri dengan umur 20 tahun ke atas, didapatkan 22,3% yang mengidap hipertensi.3 Penyebab kejadian hipertensi bersifat multifaktor, meliputi genetik, gangguan fungsi organ dan faktor lingkungan termasuk di dalamnya peran beberapa nutrient/zat gizi. Berkaitan dengan peran genetik, kita mengenal individu yang bersifat salt sensitive dan salt insensitive dengan lebih banyak African American yang sensitif terhadap garam dibanding Caucasian American. Studi pada tikus Dahl yang sensitif terhadap garam menunjukkan bahwa ada penurunan produksi NO yang bersifat vasodilatator yang diperkirakan karena gangguan aktifitas NOsynthase. 4 Hipertensi harus dikendalikan baik melalui pengobatan yang bersifat medikamentosa maupun non medikamentosa. Salah satu pendekatan non medikamentosa adalah pengelolaan diet atau makanan sehari-sehari sebagai upaya pengendalian hipertensi. Pada beberapa dekade terakhir terungkap bahwa pendekatan atau perubahan pola makan dalam arti pemilihan bahan makan sehari-hari, mampu mengendalikan ataupun menghentikan kemunculan hipertensi. Dalam hal yang berkaitan dengan makanan, berbagai bahan makanan ditengarai berperan terhadap kejadian hipertensi meliputi makro maupun mikro nutrien. baik secara langsung maupun tidak langsung. Nutrien tersebut adalah lemak jenuh, lemak trans, kolesterol, kalium kalsium dan natrium.

45

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Peran beberapa zat gizi Studi epidemiologi beberapa dekade yang lalu mendapatkan bahwa insidens hipertensi tertinggi ada di Jepang Utara dimana penduduknya mengkonsumsi natrium di atas 400 mmol/hari (=20-30 g NaCl/hari).5 Pada saat yang sama di Amerika Serikat asupan natrium berkisar 100-200mmol/hari dengan insidensi hipertensi yang moderat. Pada masyarakat tradisional, dimana penduduknya tidak menggunakan garam dalam makanan sehari-hari (Papua, New Guinea dan Eskimo) dengan sumber natrium hanya bersala dari bahan makanan alami dan berkisar 10-60 mmol/hari, kejadian hipertensi sangat rendah. Studi pada hewan coba menunjukkan bahwa peningkatan asupan natrium akan meningkatkan tekanan arterial yang akan kembali normal 6 bulan sesudah asupan natrium diturunkan.6 Studi pada individu yang sensitif terhadap natrium, asupan natrium sebesar 125-250 mmol/hari sudah menimbulkan hipertensi, sedang pada yang non sensitif, asupan sampai 300mmol/hari belum memberikan dampak kenaikan tekanan darah.5 Asupan natrium yang sangat tinggi yakni sekitar 800 mmol/ hari akan menyebabkan kenaikan tekanan darah pada kelompok yang sensitif maupun tak sensitif terhadap natrium. Selain natrium, kalium dan kalsium juga berasosiasi dengan tekanan darah. Asupan yang rendah dua nutrien tersebut pada kelompok individu yang salt sensitive akan mempotensiasi kesensitifan mereka terhadap garam hingga memunculkan kenaikan tekanan darah.4 Asupan kalium yang dianggap adekwat adalah 2.000 g/hari dan kalsium sebesar 500-1200 mg. Asupan kalium dan kalsium yang tinggi pada hewan coba mencegah kemunculan NaCl induced hypertension.4,6 Pada individu normotensi, peningkatan asupan kalium tidak berdampak terhadap tekanan darah. Peningkatan asupan kalium biasanya dilewatkan peningkatan asupan bahan makanan sumber kalium bukan suplementasi kalium anorganik yang pahit dan memberikan dampak rasa mual. Asupan lemak jenuh, lemak trans dan kolesterol dan hidrat arang yang berlebihan selama ini telah dipahami sebagai faktor risiko hipertensi lewat jalur dislipidemia yang kemudian berlanjut ke perubahan anatomi pembuluh darah maupun lewat jalur terjadinya obesitas. Obesitas berkorelasi dengan kemunculan berbagai senyawa yang diproduksi jaringan adiposa yang bersifat vasokonstriktor. Penurunan berat badan pada obes individu akan disertai penurunan tekanan darah. Natrium dapat berasal dari berbagai bahan makanan dan dari bahan yang ditemukan manusia untuk memberikan rasa enak pada makanan olahan yakni garam NaCl. Namun dengan berkembangnya teknologi pangan dan tuntutan untuk memperoleh makanan dengan citarasa tinggi, maka abad ke 20 natrium menjadi bagian bumbu/condiment dan sebagai zat aditif dalam proses pengolahan makanan. Zat aditif adalah senyawa yang dengan sengaja ditambahkan pada makanan olahan dengan berbagai tujuan. Seperti penyedap (monosodium glutamat), pengawet daging (natrium nitrit), skuestran (sodium tripolyphosphate) pengawet minuman (garam benzoate dengan natrium atau kalsium).

46

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Pada tahun 1988 SACKS melaporkan hasil studi adanya tekanan darah yang rendah pada vegetarian.7 Meta analisis terhadap hasil studi suplementasi asam lemak omega-3 sebesar 3 g/hari memberikan penurunan tekanan darah pada mereka yang menderita hipertensi tanpa pengobatan.8 Pada berbagai studi observasional, terlihat adanya dampak positif dalam bentuk penurunan risiko relatif terhadap kemunculan hipertensi pada asupan kalsium, magnesium, kalium dan serat yang cukup.9 Namun suplementasi yang diberikan secara berdiri sendiri tunggal atau ganda memberikan hasil yang tak konsisten.8,9 Studi The Multiple Risk Factors Intervention Trial (MRFIT) menunjukkan adanya asosiasi antara asupan protein dengan penurunan tekanan darah (22% vs 12 % energi berasal dari protein).10 Adanya inkonsistensi antara hasil studi epidemiologi dan uji klinik dihipotesiskan oleh karena interaksi berbagai nutrien di dalam satu atau beberapa bahan makanan yang dimakan secara bersama-sama yang mampu menurunkan tekanan darah dibandingkan efek dari satu atau beberapa jenis nutrien yang diberikan sebagai suplemen anorganik.

DASH diet Sebelum DASH diet di introduksi, di Amerika Serikat sudah ada common dietary prescription yang diberikan kepada penderita hipertensi secara umum yakni penurunan berat badan dan restriksi natrium. The Trials of Hypertension Prevention, Phase I (TOHP I)11 menilai efektifitas pedoman umum tersebut dengan mengumpulkan data selama 7 tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa 40,5% subyek pada kelompok kontrol menjadi hipertensi dibandingkan 18,9 % yang menjadi hipertensi pada kelompok yang mengikuti program penurunan berat badan. Pada kelompok restriksi natrium 22,4% menjadi hipertensi dibanding 32,9 % pada kelompok kontrol.10 Menyadari bahwa hipertensi telah menjadi masalah kesehatan masyarakat dengan tingginya prevalensi hipertensi, National Institute of Health (USA)12 pada tahun 1997 mengembangkan pendekatan pola makan dalam mengendalikan atau menurunkan prevalensi hipertensi berdasar hasil studi multisenter DASH diet,13 TOHPI11 dan uji klinik Appel.14 Pendekatan dietetik ini diharapkan dapat sejajar dengan rekomendasi diet untuk menurunkan risiko penyakit kardiovaskular, osteoporosis dan kanker yang sudah menjadi bagian dari promosi kesehatan yang dapat diterima masyarakat. Setelah melihat hasil DASH diet terhadap hipertensi, pada 1999 dilanjutkan dengan studi DASH sodium diet dengan beberapa kategori kandungan natrium. DASH diet ini kemudian menjadi rekomendasi pada 7th Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC-7).15 Sebelumnya JNC-6 hanya merekomendasi lifestyle modification berupa penurunan berat badan, aktifitas fisik, pengurangan natrium dalam makanan dan konsumsi alkohol yang moderat. Modifikasi gaya hidup (JNC-6) ditambah dengan DSH Diet (JNC-7) memberikan penurunan tekanan darah yang lebih besar. Komposisi yang dipilih dalam menyusun DASH diet adalah (a) peningkatan asupan buah, sayur, whole grain/serealia berkulit atau serealia yang diolah bukan

47

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

dengan penggilingan, rendah lemak dari dairy products, (b) cukup kalsium, kalium dan magnesium, (c) rendah daging merah, gula/sweets, minuman bergula/beverages.15 Bila dirinci lebih lanjut, tujuan yang ingin dicapai para penyusun DASH diet ini adalah (a) asupan lemak jenuh tidak lebih dari 6% dari keseluruhan asupan energi, (b) natrium tak melebihi 2300 mg, (c) asupan lemak tak melebihi 27% energi total, (d) asupan hidrat arang tak melebihi 55% energi total. Tabel 1dan 2 memberikan gambaran bukti ilmiah yang dipakai sebagai dasar penyusunan DASH diet.16 US Department of Health and Human Service menyusun DASH diet dengan nilai 200 kkal dengan komposisi sebagai terlihat pada Tabel 3. Nampak bahwa pada DASH diet bersifat what to include bukan what to avoid. Di samping itu, pola ini ditujukan juga untuk melihat efek suatu pola makan yang kaya kalium, magnesium dan kalsium, bukan menilai hasil suplementasi satu nutrient. Baru pada studi lebih lanjut DASH diet ini di kombinasikan dengan restriksi natrium, hingga dikenal DASH diet dan DASH-Low Sodium dengan kategori kandungan natrium tinggi, menengah dan rendah. Tabel 3. DASH eating plan (2000 Kkal) Kelompok bahan makanan

Porsi harian anjuran DASH

Whole Grains/serealia berkul Sayu mayur Buah-buahan Hasil produk susu (rendah/tanpa lemak) Daging, ayam, ikan Kacang-kacangan, biji-bijian Minyak/lemak Jajanan manis (sweets) Kalsium dalam makanan Natrium

6-8 4-6 4-5 2-3 1 drink/day

5-20 mmHg/10kg 8-14 mmHg 2-8 mmHg 4-9 mmHg

2-4 mmHg

*DASH--Dietary Approaches to Stop Hypertension. University of Washington Department of Medicine. Source: Appel IJ, et al. A clinical trial of the effects of dietary patterns on blood pressure. (N Engl J Med 1997; 336: 1117-1124). Sacks FM, et al Effects on blood pressure of reduced dietary sodium and the dietary approaches to stop hypertension (DASH) diet. (N Engl J Med 2001; 3443-10). JNC7 USDHHS, 2003.

51

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Daftar pustaka 1.

Zamhir Setiawan. Prevalensi dan determinan hipertensi di Pulau Jawa. Jurnal Kesmas. 2004. Abstrak diunduh dari Portal Garuda Dikti www.digilib.ui.ac.id, 25 Maret 2011.

2.

Setati S, Sutrisna B. Prevalence of hypertension without anti-hypertensive medications and itsassociation with sociodemographic characteristics among 40 years and above adult population in Indonesia. Acta Med Indones. 2005; 37(1): 20-5.

3.

Dinie Zakiah. Faktor-faktor risiko yang berhubungandengan hipertensi dan hiperlipidemia sebagai factor risiko PJK diantara pekerja di Kawasan Industri Pulo Gadung, Jakarta Timur. Diunduh lewat Portal garuda 23 Maret 2011.

4.

Shils ME, Olson JA, Shike M, Ross C. Modern Nutrition in Health and Disease. 9th ed, vol 2. Lippincott Williams & Wilkins. 1998; 1217-9.

5.

Brody T. Nutritional Biochemistry. Academic Press. 1994; 503-72.

6.

Berdanier CD. Advanced Nutrition: Micronutrient. CRC Press. 1998; 152-72.

7.

Sacks FM, Kass EH. Low blood pressure in vegetarians: Effect of specific foods and nutrients. Am J Clin Nutr. 1988; 48 (supp): 795-800.

8.

Hermansen K. Diet, blood pressure and hypertension . Br J Nutr. 2000;83 (Suppl I):S113-S119.

9.

Sacks FM, Brown LE, Apple L, et al. Combination of potassium,calcium and magnesium supplements in hypertension. Hypertension. 1995; 26: 950-6.

10. Reimer RA. The DASH Diet: Implementation for people with diabetes. Can J Diab. 2002; 26 (4): 369-77. 11. Trials of Hypertension Prevention Collaborative Research Group. The effect of non pharmacologic intervention on blood pressure of persons with high normal level. Result of the Trials in Hypertension Prevention Phase I. JAMA. 1992; 262: 1213-20. 12. US Department of Health and Human Service. Your Guide to Lowering Your Blood Pressure with DASH Diet. Rockville MD: National Heart, Lung, and Blood Institute. National Institute of Health, 2006. 13. Sacks FM, Obarzanek E, Windhauser MM, et al. Rationale and Design of the Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH). A multi center controlled feeding study of dietary pattern to lower blood pressure.Ann Epidemiol. 1995; 5: 108-18. 14. Apple LJ, Moore TJ, Obarzanek E, et al. A clinical trial of the effects of dietary patterns on blood pressure. N Engl J Med. 1997; 336: 1117-24. 15. Blumenthal JA, Babyak MA, Hinderliter A, Wathins LL, Craighead L, Poa-Hwa Lin. Effects of DASH Diet alone and in combination with exercise and weight loss on blood pressure and cardiovascular biomarkersin men and women with high blood pressure. The Encore Study. Arch Intern Med. 2010;170(2):126-35. Diunduh dari www.archiinternmed.com pada 6 Februari 2011.

52

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

16. Pujol T, Tucker MS. Disease of the cardiovascular system. In Nelms M, Sucker K, Long S: Nutrition Therapy and Pathophysiology. International Student Edition. Thomson & Wadsworth. 2007; 371-86. 17. Obarzanek E, Sacks FM, Vollmer WM, Bray GA, Miller III ER, Pao-Hwa Lin. Effects on blood lipids of blood pressure-lowering diet:the Diatery Approaches to Stop Hypertension (DASH) trial. Am J Clin Nutr. 2001; 74: 80-9. 18. Fung TT, Chiuve SE, McCullough MJ, Rexrode KM, Logroscino G, Hu FB. Adherence to a DASH-Style Diet and risk of coronary heart and stroke in women. Arch Intern Med. 2008; 168 (7): 713-20. 19. Taylor EN, Fung TT, Curhan GC. DASH Style Diet associates with reduced risk of kidney stones. J Am Soc Nephrol. 2009; 20: 2253-59. 20. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Umum Gizi Seimbang. 1995. 21. Yayasan Institute DANONE. Sehat dan Bugar Berkat Gizi Seimbang. PT Gramedia. 2010; 45, 109, 110, 131.

53

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

54

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Penatalaksanaan Hipertensi pada Usia Lanjut Lestariningsih

Pada tahun 2010 populasi penduduk Indonesia yang berusia lebih dari 60 tahun diperkirakan akan mengalami peningkatan sebesar 400%, jauh lebih besar dibandingkan prediksi populasi balita. Prevalensi hipertensi pada usia >60 tahun sangat tinggi, bila disertai faktor risiko penyakit kardiovaskular yang lain (misalnya obesitas, hipertrofi ventrikel kiri, kurangnya aktifitas fisik/ olahraga, hiperlipidemia, penyakit ginjal kronik dan diabetes) akan menyebabkan risiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Makin meningkatnya harapan hidup makin kompleks penyakit yang diderita oleh orang lanjut usia, termasuk lebih sering terserang hipertensi. TDS (Tekanan darah sistolik) akan terus meningkat seiring pertambahan usia, akan tetapi peningkatan TDD (Tekanan Darah Diastolik) seiring pertambahan usia hanya terjadi sampai sekitar usia 55 tahun, yang kemudian menurun oleh karena terjadinya proses kekakuan arteri akibat aterosklerosis. Hipertensi pada lanjut usia sebagian besar merupakan hipertensi sistolik terisolasi (HST) dimana terjadi pada 2/3 pasien berusia 60 tahun, 3/4 pasien usia >75 tahun dan pada umumnya merupakan hipertensi primer. Adanya hipertensi, baik HST maupun kombinasi sistolik dan diastolik merupakan faktor risiko morbiditas dan mortalitas untuk orang lanjut usia. Hipertensi masih merupakan faktor risiko utama untuk stroke, gagal jantung dan penyakit koroner, dimana peranannya diperkirakan lebih besar dibandingkan pada orang yang lebih muda. Pemberian obat anti hipertensi pada usia lanjut dengan TDS atau TDD yang tinggi telah menunjukkan keberhasilan dalam menurunkan angka morbiditas dan mortalitas. Dari hasil penelitian yang terakhir, HYVET (2008), pada penderita populasi usia sangat lanjut yang berusia lebih dari 80 tahun, pengobatan hipertensi berhasil mengurangi morbiditas dan mortalitas. Definisi hipertensi tidak berubah sesuai dengan umur: tekanan darah sistolik (TDS) >140 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik (TDD) >90 mmHg. The joint National Committee on Prevention, detection,Evaluation, and treatment of High Blood pressure (JNC VI) dan WHO/lnternational Society of Hypertension guidelines subcommittees setuju bahwa TDS & keduanya digunakan untuk klasifikasi hipertensi.

Klasifikasi dan definisi hipertensi pada usia lanjut Dalam rekomendasi penatalaksanaan hipertensi yang dikeluarkan oleh The Seventh of Joint national Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC-7) 2003, WHO-ISH 1999, British Hypertension

55

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Society 2006, European Society of Hypertension/ European Society of cardiology (ESH/ESC) 2007, definisi hipertensi sama utnuk semua golongan umur di atas 18 tahun. Pengobatan juga bukan berdasarkan penggolongan umur, melainkan berdasarkan tingkat tekanan darah dan adanya risiko kardiovaskular pada pasien. Tabel 1. Definisi Hipertensi dari JNC-7 Klasifikasi Normal Prehypertension Stage 1 Hypertension Stage 2 Hypertension Isolated Systolic Hypertension

TD Sistolik (mmHg) TD Diastolik (mmHg) 160 37.70C T> 37.30C

40.0 70.0 82.4

99.7 98.3 89.9

Data from Castle SC, Yeh M, Toledo S, et al. Lowering temperature criterion improves detection of infection in nursing home residents. Aging Immunol Infect Dis. 1993; 4:67-76.

Sebagian besar panas tubuh bersumber dari produk sampingan metabolisme pada organ inti dan otot rangka. Dengan bertambahnya usia terjadi penurunan aktivitas otot. Pada usia tujuh puluh, 30% massa otot hilang dan aktivitas fisik berkurang hingga 50% atau lebih. Sumber kedua produksi energi adalah melalui Sympathetic Autonomic Nervous System (SANS) dengan pelepasan epinefrin dan norepinefrin yang meningkatkan metabolisme. Penurunan terus menerus dalam metabolisme normal adalah kejadian normal pada proses penuaan.7

117

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Sementara komponen dasar homeostasis tetap utuh, kemampuan untuk mendeteksi perubahan dalam lingkungan eksternal dan internal, kecepatan dan efektivitas respon terhadap perubahan tersebut sering mengalami penurunan atau bahkan hilang pada orang yang sudah sangat tua atau dalam keadaaan lemah.

Suhu tubuh, zat kimia tubuh dan sensitivitas reseptor tubuh menurun seiring perubahan usia. Oleh karena itu orang tua mempunyai persepsi yang lambat pada perubahan suhu dingin atau panas, hal ini dikarenakan mereka kehilangan reseptor kulit atau terjadi penurunan sensitivitas, pusat-pusat kontrol suhu tubuh (hipotalamus dan batang otak) yang lambat atau tidak efektif dalam merespon perubahan suhu.8 Selain itu, kulit menjadi lebih tipis dan lemak subkutan berkurang, sehingga tubuh tidak dapat mengkompensasi dingin.

Hipotermia Hipotermia adalah kondisi di mana tubuh kita mengalami penurunanan suhu inti (suhu organ dalam), yakni kurang dari 350C. Hipotermia bisa menyebabkan terjadinya pembengkakan di seluruh tubuh (Edema Generalisata), menghilangnya refleks tubuh (areflexia), koma, hingga menghilangnya reaksi pupil mata; disebut hipotermia berat bila suhu tubuh 40,6°C disertai disfungsi sistem saraf pusat yang berat (psikosis, delirium, koma) dan anhidrosis. Manifestasi dini pada hipertermia yakni terjadinya heat exhaustion, disertai rasa pusing, kelemahan, sensasi panas, anoreksia, mual, muntah, sakit kepala dan sesak napas. Selain itu dapat juga terjadi komplikasi serangan panas mencakup gagal jantung, aritmia, edema serebral dan kejang serta defisit neurologis difus dan fokal, nekrosis hepatoseluler dan syok. Sebagai contoh, bila suhu di luar lebih dari 32°C dengan kelembaban yang tinggi, ruangan dalam gedung dapat mencapai suhu lebih dari 41,6°C. Seperti yang terjadi di Chicago pada tahun 1995 di mana 733 orang meninggal, sebagian besar dikarenakan heat stroke. 6 Mereka sebaiknya bekerja di dalam ruangan yang masih bisa mendapatkan udara melalui kipas angin atau pendingin ruangan. Mereka juga sebaiknya dianjurkan minum banyak untuk menambah jumlah air dalam tubuh. Upaya menjaga kestabilan suhu tubuh, dapat dilakukan melalui dua cara, cara pertama dengan memertahankan agar tubuh tetap hangat dengan cara peningkatan insulasi, penurunan keringat-evaporasi dan menggigil. Cara kedua dengan

119

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

mempertahankan agar tubuh tetap sejuk dengan cara meningkatkan aliran darah ke kulit, peningkatan sekresi keringat dan penurunan aktivitas tubuh.6 Nutrisi adalah kebutuhan penting untuk membantu pengaturan suhu tubuh pada setiap orang, terutama pada orang usia lanjut. Banyak orang beranggapan bahwa mengonsumsi karbohidrat dalam jumlah banyak dapat memberikan panas dengan cepat, tetapi ternyata upaya ini hanya akan meningkatkan 4% laju metabolisme. Sedangkan makan protein dalam jumlah banyak dapat meningkatkan tingkat metabolisme 30% dan dapat berlangsung selama berjam-jam.5

Penatalaksanaan Tatalaksana Hipotermia Penatalaksanaan keadaan seperti ini tergantung pada kondisi pasien tersebut, jika dalam keadaan Gawat Darurat, maka hal-hal di bawah ini dapat kita lakukan: -

Pindahkan dari lingkungan dingin, kontak dengan obyek dingin.

-

Singkirkan pakaian basah, berikan beberapa lapis selimut.

-

Monitor jantung: bradikardia atau fibrilasi ventrikel atau asistol.

-

Cairan intravena: dekstrose 5%, NaCl tanpa kalium (hangatkan sebelum diberikan).

Jika dalam keadaan tenang, maka perawatan yang dapat dilakukan adalah: -

Evaluasi dan atasi penyebab.

-

Ditatalaksana sebagai sepsis sampai terbukti tidak ada.

-

Aritmia biasanya resisten terhadap kardioversi dan terapi obat.

-

Hipotermia kronik (>12 jam): perlu penggantian cairan.

-

Observasi gas darah.

Tatalaksana hipertermia Penatalaksanaan utama pada kondisi seperti ini adalah PENDINGINAN. Setelah itu suhu tubuh inti harus diturunkan mencapai 39OC dalam jam pertama. Lamanya hipertermia adalah yang paling menentukan hasil akhir. Berendam dalam es lebih baik dari pada menggunakan alkohol maupun kipas angin. Metode pendinginan meliputi dua cara, yakni : -

Konduksi: dengan cara eksternal; berendam dalam air dingin, kompes es, selimut pendingin dan cara internal; lavase lambung dan peritoneal dengan es.

-

Evaporasi: Berikan kipas angin pada pasien yang sudah dibuka bajunya, basahi permukaan tubuh dengan kasa halus dan gunakan unit pendinginan tubuh (tempat tidur khusus).

120

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Komplikasi Tatalaksana bila terjadi komplikasi dengan keadaan sebagai berikut: -

Kejang dapat diberikan benzodiazepin.

-

Gagal nafas dapat dilakukan intubasi elektif.

-

Hipotensi dapat diberika cairan untuk ekspansi volum, vasopresor, monitor tekanan vena sentral.

-

Rhabdomiolisis lakukan monitoring kalium dan kalsium serum, atasi hiperkalemia.

Kesimpulan Gangguan termoregulasi pada orang usia lanjut menunjukkan penurunan mekanisme homeostasis yang terjadi seiring dengan proses menua. Individu berusia lanjut menjadi rentan terhadap suhu lingkungan yang ekstrim. Hipotermia dan hipertermia merupakan keadaan yang sering terjadi dan dapat berakibat fatal sehingga tatalaksana yang cepat dan tepat merupakan kunci penting untuk menurunkan mortalitas. Pendidikan dan penyuluhan pada orang berusia lanjut tentang kerentanan terhadap suhu/termoregulasi merupakan hal yang sangat penting. Serta jangan lupa untuk melakukan pengawasan ketat terhadap pasien yang rentan oleh dokter dan pelaku rawat.

Daftar pustaka Robert K, Trimble T. Research Applied to Clinical Practice: Geriatric Thermoregulation. 1996. Sumarmo S Poorwo Soedarmo, Garna H, Hadinegoro Sri Rezeki S, Satari H I. Demam:Petogenesis dan Pengobatan. Dalam Buku Ajar Infeksi & Pediatrik Tropis. Edisi ke-2. Badan Penerbit IDAI, Jakarta, 2010. 27-29. Schifano P, Cappai G, Sario MD, Michelozzi P, Marino C, Bargagli AM, Perucci CA. Susceptibility to heat wave-related mortality: a follow-up study of a cohort of elderly in Rome. Environmental Health 8:50, 2009 Vogelaere P, Pereira C. Thermoregulation and aging. Rev Port Cardiol 24(5):747-61, 2005. Kenney WL, Munce TA. Invited review: Aging and human termperature regulation. J Appl Physiol 95:2598-603, 2003. Sharma Keerti. Atypical presentation of disease in the older adult. Dalam Case-Based Geriatrics A Global Approach. Edisi ke-1. McGraw Hill, San Francisco, 2011:115. Guyton, AC. Textbook of Medical Physiology 8th ed. Philadelphia: Saunders. 1998. Sanders AB. Emergency Care of The Elder Persons, Saunders ed. St Louis: Beverly Publikasi Cracom. 1996.

121

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

122

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Osteoporosis pada Usia Lanjut Suyanto Hadi

Pendahuluan Osteoporosis merupakan kelainan sistemik yang ditandai dengan massa tulang yang rendah, berkurangnya mikroarsitektur jaringan tulang sehingga menaikkan risiko fragilitas dan fraktur tulang.1,2,3,4 Kelainan ini sering dijumpai pada penderita usia lanjut, sehingga menyebabkan masalah medis dan sosial di negara maju. Pada populasi usia lanjut dilaporkan kejadian osteoporosis dan komplikasi fraktur tulang akan meningkat.5 Bila mengacu pada kriteria osteoporosis WHO, maka pada wanita dewasa muda kulit putih Hispanik Amerika akan menderita osteopenia 15%, sedangkan 0,6% diantaranya akan menderita osteoporosis. Pada peningkatan usia yaitu usia 60-70 osteoporosis akan terjadi pada 1 diantara 3 wanita kulit putih. Wanita lebih banyak menderita osteoporosis dibandingkan pria (3:1), sepertiga wanita usia lebih dari 65 tahun akan mendapat fraktur vertebra dan risiko fraktura panggul.6 Fraktur akibat osteoporosis seringkali disebabkan oleh trauma yang relatif ringan (fraktur patologis) contohnya jatuh akibat terpeleset yang ringan, dimana bila keadaan jatuh tersebut terjadi pada usia muda tidak akan menyebabkan fraktur.5,6 Meskipun osteoporosis merupakan penyakit dengan perjalanan klinik yang progresif, tetapi kelainan ini sering tidak menimbulkan gejala klinik yang nyata (silent diseases), artinya penderita sering tidak merasakan gejala klinik (nyeri) sampai terjadi fraktur tulang.

Fraktur akibat osteoporosis Fraktura panggul Kejadian fraktur panggul bertambah secara dramatik pada usia lanjut. Pada tahun 1991 dilaporkan terjadi 300.000 fraktura panggul di Amerika Serikat, dimana 94% penderita fraktur panggul tersebut berusia lebih dari 50 tahun. Diperkirakan angka kejadian fraktur panggul sebesar 8 penderita setiap 1.000 wanita kulit putih, 4 penderita setiap 1.000 pria kulit putih dan 2 penderita setiap 1.000 pria negro.5

Fraktur vertebra Meskipun fraktura tulang vertebra paling sering dijumpai pada penderita osteoporosis usia lanjut, tetapi angka kejadian fraktur vertebra pada usia lanjut yang dilaporkan lebih rendah dibandingkan fraktur panggul. Angka kejadian fraktur vertebra yang rendah ini disebabkan tidak menyebabkan gejala klinik yang nyata (silent) dibandingkan fraktur panggul. Laporan dari Eropa menunjukkan kejadian fraktur vertebra

123

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

pada pria usia 50 tahun lebih sekitar 10%, dan akan bertambah menjadi 18% pada populasi usia 75 tahun. Pada wanita usia 50 tahun lebih dilaporkan sebesar 5%, akan bertambah menjadi 24% pada populasi 74 tahun atau lebih.5

Fraktur sendi perifer Fraktur lengan bawah sering diakibatkan jatuh dengan posisi tangan menahan beban tubuh. Pada pria angka kejadian fraktur lengan bawah relatif konstan pada usia 20 tahun dibandingkan usia 70 tahun. 5

Etiologik/patogenesis Tulang diproduksi oleh suatu sel yang dinamakan osteoblast, sebaliknya akan dihancurkan atau degradasi oleh osteoklast. Pembentukan tulang oleh osteoblast berlangsung lebih tinggi dibandingkan penghancurannya, sehingga tercapai pembentukan puncak massa tulang tulang maksimal pada usia 20-30 tahun.6,8 Periode sesudah 30 tahun proses pembentukan dan penghancuran tulang berjalan seimbang, sampai akhirnya pada usia 50 tahun (dekade ke-5) atau lebih proses penghancuran akan lebih besar dibandingkan pembentukannya. Pada usia 80 tahun atau lebih akan kehilangan massa tulang pada wanita sebesar 40%, dan pria 25%.6 Pada wanita menopause penghancuran massa tulang bertambah tergantung dari tingkat defisiensi estrogen (fungsi ovarium) yang terjadi. Defisiensi estrogen akan mentriger pembentukan sitokin lokal yang kemudian akan menyebabkan fungsi osteoklast untuk meresobsi tulang bertambah. Terjadi bone turnover yang bertambah dan keseimbangan remodeling tulang terganggu. Faktor lokal yang dapat mempengaruhi pembentukan metabolisme tulang belum diketahui, saat ini telah dapat diisolasi protein dari tulang yang dapat menstimulasi pre osteoblast menjadi osteoblast mature. Protein ini di-release saat terjadi resorpsi tulang oleh osteoklast.9,10

Faktor risiko osteoporosis dan fraktur Faktor risiko osteoporosis Faktor risiko osteoporosis dibedakan menjadi faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi.5 Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah faktor usia, jenis kelamin, genetik/ras, menopause awal dan riwayat keluarga pernah mengalami fraktur. Ras Negro ternyata mempunyai tulang lebih kuat dibandingkan kulit putih, pria negro tidak pernah atau minimal menderita osteoporosis.10 Faktor risiko yang dapat dimodifikasi adalah; kurang gerak/olah raga (in adequate exercise), nutrisi kurang (inadequate nutrition), kalsium/vitamin D, merokok, alkohol, body weight dan pengguna obat-obatan tertentu (kortikosteroid, anti konvulsan, benzodiasepam dan berbagai hormon antara lain insulin dan tiroid).

124

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Rendahnya body weight seseorang dihubungkan dengan rendahnya BMD dan dihubungkan dengan kenaikan kejadian fraktur tulang patologis..9,10 Tekanan fisik pada tulang secara langsung yaitu bekerja dengan beban, ternyata dapat mempengaruhi faktor remodeling tulang, sehingga menaikkan jumlah massa tulang lewat efek yang disebut piezoelectric effect. Edukasi terhadap aktivitas sehari-hari sangat diperlukan untuk menaikkan massa tulang. Diperlukan kerjasama dengan fisioterapis, perawat, ahli gizi, ahli tulang/reumatik (health professional).9,10 Kehidupan life style yang aktif termasuk reguler weight bearing exercise, menghindari rokok, konsumsi kalsium dan vitamin D sangat berpengaruh terhadap pembentukan massa tulang dan mempengaruhi BMD. Hormon insulin dapat menstimulasi pembentukan dan aktivitas osteoklast. Secara tidak langsung menstimulasi vitamin D.9,10 Hormon tiroid menstimulasi aktivitas osteoklast sehingga terjadi resorpsi tulang. Kenaikan kalsium darah akan menyebabkan penurunan produksi hormon paratiroid, penurunan sintesis vitamin D, sehingga absorpsi kalsium usus menurun.9,10 Efek pemberian kortikosteroid pada tulang berlawanan dengan efek vitamin D dalam metabolisme atau resorpsi kalsium. Studi pengukuran bone mineral density (BMD) dengan photon absorbsiometric kehilangan massa tulang tertinggi di vertebra lumbal, sedikit di kaput femoral dan lengan bawah. Kehilangan massa tulang yang konsisten terjadi bila dosis kortikosteroid 7,5 mg sehari.11

Gambaran klinik/diagnosis osteoporosis Osteoporosis sering mengakibatkan komplikasi fraktur. Fraktur akibat osteoporosis biasanya berlokasi di vertebra lumbal, panggul dan pergelangan tangan. Tingginya fraktur tulang penderita usia lanjut akibat osteoporosis menyebabkan beban sosio ekonomik yang tinggi, di samping menyebabkan komplikasi kematian yang tinggi. Lokasi terbanyak fraktur akibat osteoporosis adalah vertebra, panggul (kolum femoris), dan pergelangan tangan (wrists). Di antara kesemuanya vertebra merupakan tulang yang paling banyak menderita fraktura osteoporosis. Hampir semua fraktur akibat osteoporosis adalah akibat trauma yang ringan (fraktura patologis). Rasa nyeri pada fraktur vertebra seringkali tidak dikeluhkan oleh penderita. Bila timbul nyeri pada fraktur vertebra sifatnya terlokalisir disertai keterbatasan lingkup gerak sendi. Intervensi dibutuhkan untuk mengurangi rasa nyeri dan menaikkan aktivitas. Nyeri akibat osteoporosis timbul sampai 4-6 minggu. Bila rasa nyeri berkepanjangan maka perlu dipikirkan penyebab nyeri akibat metastasis tumor, mieloma multipel. Bila timbul nyeri yang bersifat radikuler, perlu dipertimbangkan adanya hernia nucleus purposus (HNP). Semua fraktur vertebra akibat osteoporosis dihubungkan dengan kurangnya tinggi badan penderita. Pada vertebra torakalis fraktur yang terjadi akan menyebabkan kiposis, sebaliknya fraktur vertebra lumbalis akan menyebabkan lordosis berkurang sehingga

125

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

vertebra menjadi lurus dan skoliosis. Bila jumlah vertebra yang mengalami fraktur bertambah maka kiposis dan berkurangnya lordosis akan bertambah pula. Kurangnya tinggi badan akan menyebabkan pemendekan otot para vertebra. Pemendekan otot ini akan menyebabkan fase kontraksi otot menjadi makin panjang sehingga penderita akan mengeluh nyeri pinggang akibat spasme otot. Nyeri otot para vertebra akan bertambah bila penderita banyak melakukan aktivitas berdiri dan berkurang bila berjalan. Seringkali emosi penderita bertambah karena bentuk kosmetika yang jelek akibat pemendekan tubuh tersebut. Bila deformitas bertambah penderita mengeluh nyeri abdominal sesudah makan, nyeri ini dapat dikurangi bila porsi konsumsi makan dikurangi.1,3

Pemeriksaan BMD Osteoporosis saat ini dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan non in vasif yaitu bone densitometri (BMD). Pada tahun 1994, World Health Organization (WHO) membuat kriteria untuk massa tulang normal, massa tulang rendah atau osteopenia dan osteoporosis. Diagnosis osteoporosis berbasis pada perbandingan puncak massa tulang penderita dewasa (peak adult bone mass/PABM) dari populasi wanita Caucasian pasca menopause menggunakan ukuran 2,5 SD standard deviasi (SD) PABM. Terdapat 30% prevalensi osteoporosis pada wanita Caucasian pasca menopause. Kriteria WHO Osteopenia adalah ukuran +1 sampai -2,5 PABM. Meskipun risiko fraktur patologis penderita osteopenia lebih rendah dibandingkan osteoporosis, penderita dengan osteopenia tetap memerlukan evaluasi dan pengobatan. Penderita osteopenia yang mendapat pengobatan osteoporosis memerlukan terapi untuk mencegah fraktur tulang. BMD menggambarkan kekerasan tulang, tetapi tidak menggambarkan mikroarsitektur tulang secara keseluruhan yang ikut mempengaruhi kekuatan tulang (bone strength), dan risiko terjadinya fraktur. Pemeriksaan BMD standard mempergunakan dual-energy x-ray absorbtiometer (DEXA). Apabila pemeriksaan BMD untuk menetapkan osteoporosis mempergunakan sistem skor dengan usia yang sama (Z score), maka osteoporosis tidak akan lebih tinggi dibandingkan usia yang sama dan kejadian osteoporosis yang sebenarnya akan di bawah estimasi.1,3 Indikasi pemeriksaan BMD adalah; 1) wanita dengan defisiensi estrogen, 2) diagnosis osteoporosis pada penderita dengan vertebra abnormal atau radiologik osteopenia untuk menentukan diagnosis dan evaluasi lebih lanjut 3) penderita pengguna steroid jangka panjang 4) penderita hiperparatiroid untuk mendeteksi massa tulang yang rendah.9,10

Pemeriksaan laboratorik Sampai saat ini belum ada guideline definitif tentang marker biokimiawi untuk mendiagnosis penderita osteoporosis. Meskipun demikian telah diketahui marker yang menggambarkan aktivitas pembentukan atau resorpsi tulang. Aktivitas pembentukan tulang (bone formation) diwakili marker biokimiawi alkali fosfatase tulang

126

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

(bone spesific alkaline phosphatase), sebaliknya aktivitas resorpsi tulang oleh osteoklast diwakili marker biokimiawi kolagen cross link yaitu: N telopeptide (Ntx) dan C telopeptide (CTx). Material marker resopsi tulang diperoleh dari urine, sedangkan material marker pembentukan tulang diperoleh dari darah. Wanita dengan BMD yang rendah disertai kenaikan marker resorpsi tulang akan mengalami resopsi tulang dikemudian hari dan merupakan kandidat untuk diberikan terapi.5

Manajemen osteoporosis pada usia lanjut Manajemen osteoporosis pada usia lanjut dibedakan menjadi manajemen “non” farmakologik dan farmakologik. Manajemen “non” farmakologik dilakukan dengan latihan (exercise), suplemen vitamin D dan pemberian kalsium. Latihan dapat mengurangi risiko fraktur sebanyak dua kali. Dengan latihan maka akan menambah BMD (kekuatan) dan kualitas tulang. Keuntungan latihan yang lain adalah menambah kekuatan otot sehingga dapat mengurangi risiko jatuh. Kebutuhan kalsium sehari adalah 1.200 mg pada wanita dan pria dengan usia lebih 50 tahun. Dari diet sehari-hari kalsium yang diperoleh sebesar 500-600 mg, sehingga kebutuhan kalsium dari suplemen adalah 600-700 mg sehari. Kalsium karbonat lebih murah dibandingkan kalsium yang lainnya. Untuk reliabilitas absorbsi, maka secara teoritis dibutuhkan suplemen tablet kalsium karbonat 600-700 mg sehari. Berkurangnya kadar vitamin D akan menyebabkan metabolisme kalsium terganggu, reabsorpsi kalsium usus berkurang, terjadi stimulasi fungsi kelenjar paratiroid (hiperparatiroid) yang kemudian akan menyebabkan stimulasi resorpsi tulang dan hambatan fungsi osteoblast dalam pembentukan tulang.9,10

Manajemen farmakologik Tujuan utama manajemen farmakologik pada penderita osteoporosis adalah untuk mengurangi risiko fraktur tulang. Beberapa obat yang dipergunakan adalah derivat bifosfonat yaitu alendronat dan risedronat. Obat yang lain adalah raloxifen dan kalsitonin. Bifosfonat dapat mengikat hidrotoksiapatit pada permukaan tulang sehingga dapat menghambat resorpsi tulang.5 Alendronat merupakan bifosfonat pertama yang disetujui FDA tahun 1995. Dibandingkan plasebo maka pemberian alendronat selama 3 tahun dapat menaikkan BMD sebesar 5,9% pada kolum femoris. Risiko fraktura vertebra dapat diturunan srebesar 47%.5 Pemberian risedronat 5 mg/hari selama 24 bulan dapat menaikan BMD vertebra lumbal sebesar 4% dibandingkan pemberian plasebo. Pemberian risedronat juga dapat menurunkan fraktur vertebra dan non vertebra sebesar 41% dan 39%. Efek samping preparat bifosfonat minimal, efek samping tersebut berupa esofagitis. Anjuran obat diminum saat perut kosong ditambah segelas air untuk menambah absorbsi obat dan mengurangi komplikasi esofagitis. Berapa lama preparat bifosfonat diberikan masih kontroversial. Pemberian preparat bifosfonat selama lima tahun dan dihentikan 2 tahun, nilai BMD ternyata dilaporkan tidak mengalami perubahan.5

127

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Hormon estrogen efektif untuk mencegah kehilangan massa tulang pada wanita menopause awal. Estrogen konyugasi oral dapat mencegah osteoporosis bila diberikan saat menopause. Estrogen dapat menaikan sensitivitas sel C tiroid untuk memproduksi kalsitonin. Kalsitonin dapat menghambat pembentukan dan fungsi osteoklast (lewat reseptor spesifik osteoklast). Estrogen juga menstimulasi absorbsi kalsium di intestinal secara langsung atau tidak langsung dengan membentuk vitamin D.10 Studi randomized controlled trial pada wanita osteoporosis usia sebelum 60 tahun menunjukkan pemberian estrogen dapat menurunkan risiko fraktur vertebra. Efek samping pemberian HRD adalah perdarahan uterus, perdarahan tersebut rendah pada dosis pemberian estrogen rendah. Secara teoritis efek samping yang ditakutkan terjadi selain perdarahan pada pemberian terapi estrogen adalah keganasan payudara dan endometrium.5

Ringkasan Osteoporosis pada usia lanjut mempunyai angka kejadian tinggi, di samping mempunyai risiko fraktur baik pada panggul, vertebra dijumpai hampir pada sepertiga penderita osteoporosis. Life style merokok, kurang olah raga, konsumsi kalsium dan vitamin D kurang sangat mempengaruhi kejadian osteoporosis. Terapi bifosfonat pada penderita osteoporosis usia lanjut dapat menaikan BMD dan menurunkan risiko fraktura. Demikian pula pemberian estrogen pada penderita osteoporosis menopause dengan usia kurang dari usia 60 tahun bermanfaat menurunkan risiko fraktur vertebra.

Daftar pustaka 1.

Raspr HH, Sambrook P and Dequeker J. Osteoporosis. In: Dieppe PA, and Klippel JH. Rheumatology. Bristol; Mosby Year Book, 1994: 732.1-9.

2.

Ashok K. Bhalla. Osteoporosis and Osteomalacia. In: Maddison FJ, Isenberg DA, Woo PA, and Glass DN. Oxford Text Book of Rheumatology. Oxford: Oxford Medical Press, 2003: 1005-30.

3.

Miller P and Lane NE. Osteoporosis. Clinical and Laboratory Feature. In: Klipel JH. Primer on The Rheumatic Diseases. Atlanta: Arthritis Foundation, 2001:5; 18-22.

4.

Morgan SL. Saag KG, Julian BA, and Blair H. Osteopenic Bone Diseases. In: Koopman WJ. Arthritis and Allied Conditions. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2001: 2449-95.

5.

Srivasta M, and Deal C. Osteoporosis in elderly; prevention and treatment. Clin Geriatri Med 18, 2002: 529-55

6.

Nevitt MC. Osteoporosis. Epidemiology, Pathology, and Pathogenesis. In: Klippel JH. Primer on The Rheumatic Diseases. Atlanta: Arthritis Foundation, 2001: 511-7.

7.

Nelson B and Watts. Osteoporosis Treatment. In: Klippel JH. Primer on The Rheumatic Diseases.Atlanta: Arthritis Foundation, 2001: 523-6.

128

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

8.

Witham B and Davidson J. The Osteoporosis Hand Book. Victoria: Arthritis Foundation, 1994: 3-9.

9.

Poole K.F.S. Compston J. Osteoporosis and Its Management. BMJ, 2006: 333: 12519.

10. Remagen W. Osteoporosis.Switzerland: Sandoz Ltd, 1989: 3-11. 11. Kirwan JR. Systemic Corticosteroid in Rheumatology. In: Klippel JH. And Dieppe P. Rheumatology. St Louis: Mosby-Year Book Europe, 1994: 8.11. 1-6.

129

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

130

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Jatuh pada Usia Lanjut Nina Kemala Sari

Pendahuluan Jatuh pada usia lanjut merupakan masalah utama kesehatan masyarakat yang masih sering tidak terperhatikan. Jatuh dan komplikasinya merupakan penyebab kematian kelima di negara maju, dan lebih dari 30% mereka yang berusia 65 tahun ke atas akan jatuh minimalnya satu kali setahun. Jatuh juga merupakan alasan utama perawatan pada 85% cedera. Biaya perawatan terkait jatuh dan komplikasinya diperkirakan jutaan dolar di seluruh dunia. Karena itu faktor-faktor risiko jatuh pada usia lanjut perlu mendapat perhatian serius.

Perubahan akibat proses menua terkait instabilitas dan jatuh Proses menua menyebabkan beberapa perubahan yang menyebabkan gangguan keseimbangan dan jatuh seperti terlihat dalam tabel berikut: Tabel 1. Proses menua yang berperan terhadap instabilitas dan jatuh Faktor yang berkontribusi

Perubahan

Perubahan kontrol postural

Menurunnya proprioseptif Melambatnya refleks Menurunnya tonus otot Meningkatnya ayunan postural Hipotensi ortostatik Perubahan gaya berjalan Kaki tidak terangkat cukup tinggi postur tubuh membungkuk, kedua kaki melebar dan langkah pendekpendek. kedua kaki menyempit dan gaya jalan bergoyang-goyang. Peningkatan kondisi patologis Penyakit sendi degeneratif Patah tulang panggul dan femur Strok dengan gejala sisa Kelemahan otot karena lama tidak digunakan dan deconditioning Neuropati perifer Penyakit atau deformitas kaki Gangguan penglihatan Gangguan pendengaran Pelupa dan demensia Penyakit lain: penyakit kardiovaskular, parkinsonism Peningkatan kondisi Penyakit jantung kongestif yang menyebabkan nokturia Insufisiensi vena, dll Peningkatan prevalensi Gangguan fungsi kognitif. demensia

131

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Faktor risiko jatuh Risiko jatuh bersifat multi faktor, yang dapat dikelompokkan menjadi faktor risiko intrinsik dan ekstrinsik. Pada populasi usia lanjut umum, faktor-faktor yang terkait erat dengan risiko jatuh adalah riwayat jatuh sebelumnya, kelemahan otot, gangguan gaya berjalan atau keseimbangan, gangguan penglihatan, artritis, keterbatasan fungsional, depresi dan penggunaan obat-obat psikotropik. Makin banyak faktor risiko, kemungkinan jatuh makin besar.

Faktor risiko intrinsik Faktor risiko intrinsik terdiri dari faktor lokal dan faktor sistemik. Faktor intrinsik lokal adalah osteoartritis genu/ vertebra/ lumbal, gangguan pendengaran/ penglihatan, gangguan sistem keseimbangan seperti vertigo yang dapat ditimbulkan oleh gangguan aliran darah ke otak akibat hiperkoagulasi, hiperagregasi atau osteoartritis servikal. Kelemahan otot kuadrisep femoris turut berperan menyebabkan terjadinya jatuh karena tidak mampu mengangkat tungkai secara optimal saat berjalan dan mengangkat tubuh saat bangun dari duduk. Faktor intrinsik sistemik dapat berupa berbagai penyakit yang memicu timbulnya gangguan keseimbangan dan jatuh seperti penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), pneumonia, infark miokard akut, gagal jantung, infeksi saluran kemih, atau gangguan metabolik seperti hiponatremia, hipoglikemia, hiperglikemia, ataupun hipoksia, atau adanya gangguan aliran darah ke otak seperti pada keadaan hiperkoagulasi, stroke dan transient ischemic attack (TIA). Obat-obatan juga merupakan faktor tersering yang menyebabkan jatuh pada usia lanjut seperti diuretik, hipnotiksedatif dan antidepresan.

Faktor risiko ekstrinsik Faktor risiko ekstrinsik merupakan faktor-faktor yang berada di lingkungan yang memudahkan orang usia lanjut mengalami jatuh. Contoh faktor ekstrinsik adalah kurangnya pencahayaan ruangan, lantai licin, basah atau tidak rata, furnitur terlalu rendah atau terlalu tinggi, tangga tidak aman, kamar mandi dengan bak terlalu rendah/ kloset terlalu rendah atau terlalu tinggi tanpa pegangan, kabel berserakan di lantai, karpet terlalu tebal hingga kaki mudah tersandung dan benda-benda di lantai yang membuat tersandung.

Penilaian risiko jatuh/pemeriksaan keseimbangan Terdapat berbagai instrumen penilaian mobilitas fungsional terhadap risiko jatuh. Kriteria gold standard untuk instrumen penilaian mutu risiko selayaknya mengacu pada terpenuhinya hal-hal berikut ini: z Telah divalidasi pada studi prospektif. z Menggunakan analisis spesifisitas dan sensitifitas. z Teruji pada lebih dari satu populasi.

132

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

z z z z

Menunjukkan validitas face yang baik. Menunjukkan inter-rater reliability yang baik. Kepatuhan yang baik oleh staf. Kejelasan dan kemudahan menghitung skor.

Sebuah studi melakukan evaluasi sistematik dari 34 penelitian yang telah diterbitkan yang menguji validitas dan reliabilitas instrumen penilaian risiko jatuh pada usia lanjut di masyarakat, perawatan rumah, perawatan kronik, dan perawatan akut di rumah sakit. Terdapat 38 instrumen yang digunakan. Jika memakai kriteria nilai prediktif tinggi menurut Oliver dkk yang mensyaratkan titik potong sensitifitas dan spesifisitas 70% sebagai nilai prediktif tinggi, maka terdapat 6 instrumen dari 4 penelitian yang memenuhi kriteria tersebut. Tidak ada instrumen yang memenuhi syarat untuk perawatan rumah (tabel 2).Tiga instrumen,The 5 Min Walk, The Five-StepTest, dan The Functional Reach berasal dari komunitas masyarakat (tabel 3). Instrumen yang masuk kriteria dari perawatan kronik adalah The Mobility Fall Chart (tabel 4 ) dan 2 instrumen, The Fall-Risk Assessment dan STRATIFY dari perawatan akut di rumah sakit (tabel 5). Tabel 2. Evaluasi instrumen penilaian risiko jatuh di perawatan rumah Instrumen

Penulis

Waktu yang dibutuhkan (menit)

Jumlah sample (orang)

Usia rata-rata (tahun)

Sensitivitas

Spesifisitas

IRR

Activity-based balance & gait Berg balance Physiological & clinical predictors Postural balance testing

Topper

40-55

100

83

72

57

NS

Berg Lord

10-15 NS

113 66

72 86

NS NS

NS NS

NS NS

Maki

45-60

96

83

80

43

NS

Tabel 3. Evaluasi instrumen penilaian risiko jatuh di komunitas Instrumen

Penulis

Waktu yang dibutuhkan

Jumlah sample (orang)

Usia ratarata (tahun)

Sensitivitas

Spesifisitas

IRR

Balance self efficacy Berg balance CTSIB Dynamic gait index Elderly fall screening Fall-risk screen test 5 min Walk Five-step test Floor transfer Functional reach GPSS

Gunter Thorbahn Boulgarides Boulgarides Cwikel Tromp Murphy Murphy Murphy Murphy Alessi

NS 15-20 mnt 7.30). Di samping itu didapatkan pula gejala-gejala (e) takikardia, (f) subfebril, (g) dilatasi gaster dengan keluhan nausea, vomitus, distensi, nyeri, disertai (h) gejala neurologik berupa afasia, hemiparesis, hemianopsi, hiper-refleksi unilateral, tanda Babinski positif, miokloni. Adapun gejala laboratorium dapat dilihat pada tabel-2. Beberapa aspek patofisiologi pada HONK yang berkaitan dengan hiperglikemi, hiperosmolalitas, dan nonketotik, antara lain adalah (a) sekresi insulin meningkat namun tidak adekwat mengatasi hiperglikemi, (b) Counterregulatory hormones (growth hormone, glukagon, epinefrin, kortisol) kadarnya meningkat tetapi tidak setinggi pada KAD, (c) hiperosmolalitas menekan lipolisis yang merupakan sumber dari pembentukan keton bodies. Faktor presipitasi yang sering dijumpai dalam klinik antara lain adalah infeksi akut, infark miokard, stroke, pankreatitis. Faktor iatrogenik dapat pula berpengaruh misalnya peningkatan tekanan osmose plasma akibat nutrisi enteral maupun parenteral, kekurangan cairan tubuh akibat diuretika atau dialisis peritoneal, dan obat-obatan yang menghambat sekresi maupun kerja insulin, sebagai contoh kortikosteroid, beta bloker, cimetidine.5 Tujuan terapi HONK pada dasarnya adalah menormalkan kembali keseimbangan cairan, elektrolit, asam-basa dan osmolalitas plasma, serta menghilangkan faktor presipitasi. Walaupun diuresis pada HONK mengakibatkan tubuh kehilangan natrium, kalium, magnesium, kalsium, dan fosfat, namun dalam program terapi tidak semua elektrolit tersebut harus diganti. Kehilangan natrium dan kalium yang merupakan prioritas harus segera diganti, adapun preparat magnesium, fosfat, dan kalsium tidak diberikan kepada penderita HONK tanpa gejala yang ditimbulkan oleh kehilangan elektrolit-elektrolit tersebut. Harus ditegaskan bahwa pemberian insulin (dengan protokol sama dengan KAD), harus disertai koreksi keseimbangan cairan yang adekwat, oleh karena bila kebutuhan cairan tersebut tidak terpenuhi, pemberian insulin justru memacu bertambah hilangnya cairan ekstra sel keluar tubuh dan memperberat hipovolemi, syok dan tromboemboli.5 Mengenai terapi antibiotika ada dua pendapat di kalangan para pakar diabetes, satu pihak menganjurkan segera memberikan antibiotika dengan alasan sebagian besar faktor presipitasi adalah infeksi, lain pihak menganjurkan menunggu sampai ada kepastian adanya infeksi, walaupun ada gejala sub febril dan lekositosis. Pemberian dosis kecil antikoagulan

162

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

misalnya heparin juga ada dua pendapat, ada yang menganjurkan perlu diberikan dengan alasan sering terjadi tromboemboli pada HONK, ada pula yang tidak setuju dengan pertimbangan meningkatnya risiko perdarahan gastrointestinal pada HONK yang disebabkan oleh hypertonicity-induced gastroparesis.5 Sangat dibutuhkan monitoring kondisi fisik penderita selama program rehidrasi antara lain tensi, nadi, jumlah urin, gejala fluid overload (tekanan vena jugularis, auskultasi jantung dan paru). Intubasi nasogastrik diperlukan bagi penderita dengan gastroparesis yang disertai vomitus, adapun kateterisasi saluran kencing sebaiknya tidak dilakukan untuk memperkecil risiko infeksi, atau bila terpaksa diusahakan tidak terlalu lama. Setelah kondisi akut dapat diatasi, masih dibutuhkan insulin dengan protokol programnya seperti pada KAD. Dengan membaiknya kondisi Selanjutnya dapat diberikan hipoglikemik oral dengan dosis diatur kembali sesuai respons penurunan kadar glukosa darah.5 Pencegahan KAD dan HONK tidak kalah pentingnya dibandingkan terapi yang harus diberikan apabila gejala klinik sudah timbul. Dokter maupun paramedik yang merawat penderita harus mulai waspada apabila timbul gejala-gejala dari faktor-faktor presipitasi KAD maupun HONK. Pemeriksaan kadar glukosa darah dan ketonuri harus segera dilakukan, dan program terapi harus segera disiapkan bagi penderita DM dengan vomitus disertai hiperglikemi berat (kadar glukosa darah >500 mg/dl atau >28 mmol/L), atau kadar glukosa darah >250 mg/dl disertai ketonuri sedang sampai berat dan sebaiknya penderita segera dirawat di rumah sakit untuk pengelolaan dan pengawasan yang lebih intensif.9 Penderita DM dicurigai mengalami LAD bila didapatkan gejala klinik dari faktorfaktor presipitasi seperti yang telah diuraikan di atas, adapun diagnosis ditegakkan berdasarkan data laboratorium kadar laktat darah >5 meq/L dan pH 5/LPB)Jadanya kondisi patologik saluran kemih harus disingkirkan Proteinuria persisten yang bermakna Volume PVR yang abnormal (>200 ml)Jkemungkinan adanya obstruksi anatomik atau neurogenik atau kontraktilitas kandung kemih yang buruk Kesulitan untuk memasang kateter no. 14Jkemungkinan adanya sumbatan anatomik terhadap uretra atau leher kandung kemih Ketidakmampuan untuk datang saat diagnosis presumtif atau rencana terapi Gagal memberikan respons terhadap terapi berdasarkan diagnosis presumtifJevaluasi urodinamik dapat membantu dalam memandu/menentukan terapi spesifik Pertimbangan untuk intervensi bedah

Tatalaksana inkontinensia urin Keberhasilan tatalaksana inkontinensia urin bukan saja tergantung pada pilihanpilihan modalitas terapi yang didukung oleh bukti ilmiah yang sahih dan status rekomendasinya tetapi tergantung juga pada kondisi medis pasien, fungsi kognitif pasien, pengalaman dokter dan pilihan pasien. Modalitas tatalaksananya dapat dibagi 2 yaitu: tatalaksana non farmakologik dan farmakologik. Dikatakan bahwa tatalaksana non farmakologik berupa terapi perilaku merupakan terapi utama.4 Terapi inkontinensia urin berdasar tipenya dapat dilihat pada tabel 3.

171

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Tabel 3. Terapi inkontinensia urin berdasar tipenya.4 Tipe

IU

Terapi

IU

Tipe Urgensi

IU

Tipe Stres

IU

Tipe Overflow

IU

Tipe Fungsional

Lini pertama Lini kedua Lini ketiga Lini pertama Lini kedua Lini ketiga Lini pertama Lini kedua Lini ketiga Lini pertama Lini kedua Lini ketiga

Intervensi perilaku : bladder training, bladder drill Obat-obatan: tolterodine, solifenacin, oxybutynin, dan lain-lain Pembedahan (sangat jarang dilakukan) Intervensi perilaku: Kegel’s exercise, bladder training Obat-obatan: agonis adrenergik alfa dan / atau estrogen Injeksi periuretra; Pembedahan (bladder neck suspension) Pembedahan menghilangkan obstruksi; Katerisasi intermiten Katerisasi menetap jangka panjang Katerisasi suprapubik Intervensi perilaku (tergantung pada pramurawat) Manipulasi lingkungan Pemakaian alas ompol

Bukti ilmiah terapi non-farmakologik dengan status rekomendasinya sebagai berikut: 1.

Penurunan berat badan dengan status rekomendasi B/C.

2.

Diet dengan status rekomendasi B.

3.

Latihan otot dasar panggul dengan status rekomendasi A.

4.

Regimen berkemih terjadwal menunjukkan status rekomendasi bervariasi dari A untuk bladder training dan D untuk habit training.

5.

Terapi komplementer seperti akupunktur belum direkomendasikan walaupun penelitian tanpa kontrol dengan jumlah sampel kecil menunjukkan perbaikan pada kelompok pasien dengan gejala OAB (over active bladder).

Bukti ilmiah terapi farmakologik untuk OAB, inkontinensia tipe stres dan tipe overflow dapat dilihat pada tabel 4, 5 dan 6. Tabel 4.Bukti ilmiah dan status rekomendasi terapi farmakologik untuk inkontinensia tipe stres.4 Golongan obat Duloxetine Imipramine Methoxamine Midodrine Ephedrine Norephedrine (phenylpropanolamine) Estrogen

172

Tingkat bukti ilmiah (Level of evidence)

Status rekomendasi (Grade of recomendation)

1 3 2 2 3 3

A D D C D D

2

D

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Tabel 5. Bukti ilmiah dan status rekomendasi terapi farmakologik untuk OAB. 4 Golongan obat

Tingkat bukti ilmiah (Level of evidence)

Status rekomendasi (Grade of recomendation)

Antimuskarinik Tolterodine Trospium Solifenacin Darifenacin Propantheline Atropin, Hyoscyamine

1 1 1 1 2 3

A A A A B C

Obat kerja ganda Oxybutynin Dicyclomine Propiverine Flavoxate

1 3 1 2

A C A D

Penghambat adrenergik Doxazosin Prazosin Terazosin Tamsulosin Alfuzosin

3 3 3 3 3

C C C C C

Antidepresi Imipramine

3

C

Agonis adrenergik Terbutalin Salbutamol

3 3

C C

Penghambat COX Indometasin Flurbiprofen

2 2

C C

Obat lain Estrogen Baclofen* Capsaicin** Resiniferatoxin** Botulinum Toxin*** Desmopressin****

2 3 2 2 2 1

C C C C B A

173

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Tabel 6. Bukti ilmiah dan status rekomendasi terapi farmakologik untuk inkontinensia tipe overflow.4 Golongan obat

Tingkat bukti ilmiah (Level of evidence)

Status rekomendasi (Grade of recomendation)

Antagonis adrenergik alfa Alfuzosin Doxazosin Prazosin Terazosin Tamsulosin

4 4 4 4 4

C C C C C

Antagonis reseptor muskarinik Bethanechol Carbachol

4 4

D D

Penghambat kolinesterase Distigmine

4

D

Obat-obat lain Baclofen Benzodiazepine Dantrolene

4 4 4

C C C

Kesimpulan 1.

Inkontinensia urin merupakan salah satu sindroma geriatrik yang sering dijumpai.

2.

Tipe-tipe inkontinensia urin sangat terkait dengan faktor-faktor penyebab yang kadang-kadang saling tumpang tindih.

3.

Evaluasi yang dituntun dengan algoritme akan dapat menentukan faktor penyebab baik yang bersifat sementara maupun tetap.

4.

Tatalaksana inkontinensia urin meliputi farmakologik maupun non-farmakologik serta memperhatikan faktor medis, kognitif pasien dan keinginan pasien.

Daftar pustaka 1.

Pramantara, D. P. 2010. Sindroma Geriatrik pada Diabetes Melitus Usia Lanjut. Seminar Penatalaksanaan Medis Penderita Diabetes Pada Lansia, Yogyakarta.

2.

Kane, R. L., Ouslander, J. G., Abrass, I. B. & Resnick, B. 2009. Essentials Geriatrics. 6th Ed. McGraw Hill, New York, pp. 213-56.

of

Clinical

3.

Cefalu, C. A. 2007. Urinary Incontinence dalam R. J. Ham, P. D. Sloane, Warshaw, M. A. Bernard & E. Flaherty (Eds.) : Primary Care Geriatrics. Mosby-Elsevier, Philadelphia. pp: 306-323.

G. A. 5 th Ed.

4.

Pergemi, 2007. Penatalaksanaan Inkontinensia Urin Pada Usia Lanjut, Konsensus Nasional, Jakarta.

5.

Forciea, M.A. & Cordts,G. 2004. Urinary Incontinence dalam M. A. Forciea, E. P. Schwab, D. B. Raziano & R. Lavizzo-Mourey (Eds): Geriatric Secrets. 3rd Ed. Mosby, Philadelphia. pp: 209-14.

174

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

6.

Adelman, A. M., Daly, M. P. & Weiss, B. D. 2001. 20 Common Problems in Geriatrics. McGraw-Hill, Boston, pp. 85-115.

7.

Cohan, M. E., Pikna, J. K. & Duecy, E. 2007. Urinary Incontinence dalam E. H. Duthie, P. R. Katz & M. L. Malone (Eds): Practice of Geriatrics. 4 th Ed. Saunders Elsevier, Philadelphia, pp. 187-194.

8.

Johnson, T. M. & Ouslander, J. G. 2009. Incontinence dalam J. B. Halter, J. G. Ouslander, M. E. Tinetti, S. Studenski, K. P. High, & S. Asthana (Eds): Hazzard’s Geriatric Medicine and Gerontology. 6th Ed. McGraw-Hill, New York. pp. 717-730.

175

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

176

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Inkontinensia Alvi/Fekal Bambang Joni Karjono

Pendahuluan International Consultation on Incontinence WHO mendefinisikan FI sebagai “hilangnya tak sadar feses cair atau padat yang merupakan masalah sosial atau higienis.1 Definisi lain menyatakan, Inkontinensia alvi / fekal sebagai perjalanan spontan atau ketidakmampuan untuk mengendalikan pembuangan feses melalui anus.2 Kejadian inkontinensia alvi / fekal lebih jarang dibandingkan inkontinensia urin.3 Inkontinensia alvi / fekal sering tidak terdiagnosis dan tidak diobati pada pasien lanjut usia karena stigma sosial yang melekat pada gangguan ini membuat banyak pasien enggan untuk mengakuinya. Selain itu, dokter cenderung untuk tidak bertanya tentang hal itu, mungkin karena sama-sama malu atau karena mereka tidak melihatnya sebagai “penting”.4 Tetapi inkontinensia alvi / fekal pada geriatri adalah penting, karena beberapa alasan.4, 5 : ƒ Survei dengan populasi besar mengungkapkan prevalensi 3% sampai 7% antara umur 65 orang dan lebih. Pada pasien lanjut usia di rumah perawatan, prevalensi setinggi 50%. ƒ Memiliki dampak finansial yang signifikan pada pasien, keluarga, dan sistem perawatan kesehatan. Ini melampaui biaya popok dewasa: inkontinensia adalah salah satu penyebab paling umum dari pelembagaan lansia, dan beban mahal bagi pasien dan keluarga. ƒ Memiliki dampak sosial sangat buruk pada pasien lanjut usia, mulai dari malu dan menyebabkan perubahan gaya hidup yang menyusahkan secara signifikan dan isolasi sosial. ƒ Berkontribusi banyak terhadap masalah psikologis lansia, termasuk depresi dan menyebabkan penurunan kognitif. ƒ Bahkan mungkin dikaitkan dengan kematian, seperti yang ditunjukkan pada studi prospektif pasien lanjut usia yang bertempat tinggal di masyarakat dengan berbagai tingkat inkontinensia fekal. ƒ Hal ini sering dapat diobati secara efektif. Impaksi fekal pada pasien rumah keperawatan dan disfungsi rectosphincter karena kelemahan otot atau neuropati diabetes adalah dua penyebab utama fecal incontinence pada lanjut usia, dan perawatan efektif ada untuk kedua kondisi.

177

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Prevalensi inkontinensia alvi / fekal pada lanjut usia lebih tinggi daripada penduduk dewasa dan umumnya sama antara pria dan wanita (Tabel 1).6 Table 1. Prevalensi inkontinensia fecal pada populasi lansia.6

Porulasi

Prevalensi

Wmur =65 tahun (masyarakat)

3,7-27%

Pasien dirawat di rumah sakit

10-25%

Rumah sakit swasta

@ 50%

Rawat Inap dengan demensia

@ 80%

Hasil survey pada penduduk Amerika Serikat didapatkan bahwa prevalensi inkontinensia alvi / fekal meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan mengenai 18 juta orang dewasa non-institusional di Amerika Serikat dari seluruh umur dewasa.7 Females

Males

Fecal Incontinence Percent

24 20 16 12 8 4 0 20-29 30-39

40-54 55-69

>70

20-29

30-39 40-54

55-69

>70

‘ Age (years) Gambar 1. Prevalensi inkontinensia alvi / fekal menurut kelompok umur pada wanita dan pria.(7)

Inkontinensia alvi / fekal bukanlah konsekuensi normal dari proses penuaan tetapi sering terjadi sebagai akibat dari kerusakan struktural atau fungsional mekanisme kontinensia dan atau perubahan konsistensi feses dan pelepasannya.

178

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Setiap upaya mengelola gangguan anorectal memerlukan pemahaman yang jelas tentang anatomi dan mekanisme fisiologis terintegrasi yang bertanggung jawab untuk menjaga kontinensia.

Fungsional anatomi dan fisiologi anorectum8 Dasar Panggul Dasar panggul adalah lembaran, berbentuk kubah otot lurik yang membungkus kandung kemih, rahim, dan rektum. Bersama dengan sfingter anal, memiliki peranan penting dalam penyimpanan, regulasi, dan evakuasi urin dan feses. Integritas neuromuskuler dari rectum dan anus secara bersama-sama membantu otot-otot dasar panggul untuk menjaga kontinensia normal. Levator ani, yang membentuk diafragma panggul, terdiri dari empat otot yang berdampingan, yaitu, pubococcygeus, ileococcygeus, coccygeus, dan puborectalis. Otot-otot ini melekat dari perifer ke badan pubis, tulang belakang iskiadika, dan arcus.9

Rektum dan Kanal Anal Rektum adalah otot berwujud tabung panjang 15 - 20 cm mulai dari perbatasan rektosigmoid pada vertebra sakral ketiga (Gambar. 2). Terdiri dari lapisan otot memanjang berkesinambungan yang interface dengan otot melingkar yang mendasarinya. Pengaturan unik ini memungkinkan otot rektum berfungsi baik sebagai reservoir untuk feses dan sebagai pompa untuk mengosongkan feses.

Gambar 2. Diagram dubur, lubang anus, dan struktur yang berdekatan. Pembatas panggul termasuk sphincters anal dan panggul lantai otot.6

179

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Saluran anal adalah tabung berotot 2 - 4,5 cm panjang, yang pada istirahat membentuk sudut dengan poros rektum. Saat istirahat, sudut anorectal adalah sebesar 90°. Selama meremas sukarela, sudut menjadi lebih akut, sekitar 70°, dan saat buang air besar, menjadi tumpul lebih, sekitar 110-130°. Yang proksimal 10 mm dari saluran anal dibatasi oleh mukosa kolumnar. 15 mm selanjutnya (termasuk katup) dibatasi oleh epitel kolumnar bertingkat. Distal sekitar 10 mm adalah epitel tebal, tidak berambut disebut Pecten. Yang paling distal 5-10 mm dilapisi oleh kulit berambut. Sphincter anal terdiri dari sphincter anal internal, yang merupakan ekspansi 0,3 hingga 0,5 cm tebal lapisan otot polos sirkuler rektum, dan sphincter anal eksternal, yang merupakan ekspansi 0,6 hingga 1 cm dari otot levator ani lurik. Secara morfologi, baik sphincters terpisah dan heterogen. Anus biasanya tertutup oleh kegiatan tonik dari sphincter anal internal, dan penghalang ini diperkuat dengan sukarela menekan sphincter anal eksternal. Yang mukosa lipatan dubur bersama dengan meluas, dan bantal vaskular menyediakan segel ketat. Hambatan mekanik yang ditambah dengan otot puborectalis, yang membentuk katup penutup seperti yang menciptakan maju tarik dan memperkuat sudut anorectal untuk mencegah inkontinensia. Dasar panggul dan anorectum yang diinervasi oleh jaras simpatik, parasimpatis, dan somatik. Pasokan syaraf ke rektum dan kanal anal berasal dari pleksus anus superior, tengah, dan inferior. Serat parasimpatis dalam sinapsis pleksus superior dan tengah anus dengan neuron postganglionik dalam pleksus myenteric dari dinding anus. Yang persarafan somatis pokok anorectum yang adalah dari saraf pudenda, yang berasal dari saraf sakral kedua, ketiga, dan keempat (S2, S3, S4), dan innervates sphincter anal eksternal, mukosa anal, dan dinding anus. Ini adalah saraf campuran dan subserves baik fungsi sensor dan motor, dan tentu saja melalui panggul membuatnya rentan terhadap peregangan cedera, terutama pada saat melahirkan vagina. Faktor-faktor fisiologis yang mencegah fecal incontinence termasuk penghalang panggul, kepatuhan anus dan sensasi, dan faktor-faktor lain seperti konsistensi feses, mobilitas, dan lain-lain Pada bagian ini, kita membahas faktor-faktor ini.

Penghalang ranggul Sphincter anal internal bertanggung jawab untuk menjaga sekitar 70% dari tone anal istirahat, dan ini terutama disebabkan eksitasi tonik simpatik. Sphincter anal eksternal, yang sebagian besar terdiri dari otot lurik, memberikan kontribusi dalam komponen sisa nada beristirahat. Sphincter anal eksternal, puborectalis, dan kontrak levator ani selanjutnya jika diperlukan untuk mempertahankan kontinensia tapi rileks hampir sepenuhnya selama evakuasi. Kontraksi sfingter eksternal mungkin bersifat sukarela atau refleksif (misalnya, ketika meningkatkan tekanan intra-abdomen). Anal beristirahat dan / atau tekanan meremas umumnya berkurang pada pasien dengan inkontinensia fekal, menunjukkan kelemahan sfingter. Ke dalam traksi yang diberikan oleh puborectalis sudah berkurang inkontinensia fekal dan berkorelasi lebih erat dengan gejala dibandingkan dengan tekanan meremas, dan meningkatkan setelah biofeedback.

180

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Penyebab Inkontinensia Alvi / Fekal Penyebab umum kelemahan sfingter anal termasuk kerusakan sfingter, neuropati, atau masukan berkurang dari korteks atau sumsum tulang belakang. Berikut ini adalah daftar etiologi inkontinensia fekal : -

Kelemahan sphincter anal

-

Cedera : trauma obstetri berhubungan dengan prosedur pembedahan (misalnya, hemorrhoidectomy, sfingterotomi internal, fistulotomy, infeksi anorektal)

-

Nontraumatic: skleroderma sfingter, internal penipisan etiologi tidak diketahui

-

Neuropati

-

Stretch cedera, trauma obstetri, diabetes melitus

-

Gangguan anatomi lantai panggul

-

Fistula, prolaps anus, turun sindrom perineum

-

inflamasi kondisi

-

Crohn’s disease, ulcerative colitis, proctitis radiasi

-

Penyakit sistem saraf pusat

-

Dementia, stroke, tumor otak, sumsum tulang belakang lesi, sistem atropi ganda (Shy-Drager syndrome), multiple sclerosis

-

Diare

-

Irritable bowel syndrome, postcholecystectomy diare

Inkontinensia alvi / fekal pada lanjut usia memiliki beberapa etiologi dan membutuhkan penilaian hati-hati pada setiap pasien. Berikut ini adalah sebagian daftar penyebab inkontinensia alvi / fekal pada orang tua6: -

Penurunan sensasi rectum o Fecal impactions o Megarectum o Diabetes melitus

-

Penurunan kapasitas reservoir o Radiasi o Reseksi bedah o Iskemia o Peradangan

181

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

-

Gangguan fungsi sfingter anal / puborectalis o Lesi saraf tulang belakang o Neuropati pudenda o Trauma, operasi

-

Penurunan fungsional o Dementia, delirium, konfusio o Kelemahan, imobilitas, ketidakstabilan o Depresi, psikosis

-

Lainnya o Diare o Pengaturan toilet yang tidak memadai

Pada rawat jalan pasien lansia intak, penyebab inkontinensia alvi / fekal mirip pada populasi dewasa dan membutuhkan penilaian yang sama dengan orang dewasa muda.

Pengelolaan Inkontinensia Alvi / Fekal Penilaian Inkontinensia fekal Penilaian klinis Keengganan untuk melaporkan gejala dan hubungan yang signifikan antara inkontinensia fekal dan gejala kecemasan, depresi dan disabilitas menunjukkan bahwa orang tua harus ditanya tentang inkontinensia fekal. Meningkatnya kesadaran dari skala masalah antara profesional kesehatan dan kepedulian sosial, orang tua dan pengasuh mereka dapat menyebabkan manajemen yang lebih tepat dan efektif pemberian perawatan.10 Dokter harus menyadari bahwa keluhan “diare,” mungkin adalah eufemisme dari inkontinensia alvi / fekal.6 Pada pasien inkontinensia fekal, anamnesis rinci dapat memberikan indikasi kearah etiologi, keparahan, dan patofisiologinya, sehingga dapat dijalin hubungan yang baik dengan pasien, dan rencana tes diagnostik dan pengobatan.(11) Secara klinis ada tiga subtipe (a) inkontinensia pasif - pembuangan spontan dari tinja atau gas tanpa sadar, (b) inkontinensia mendesak - pembuangan feses disamping usaha yang aktif untuk mempertahankan isi usus, dan (c) rembesan kotoran - kebocoran feses dengan evakuasi dinyatakan normal.2

182

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Berat ringannya gejala inkontinensi alvi / fekal dapat dinilai dengan menggunaan skor. (Tabel 3). Beratnya inkontinensi alvi / fekal sangat berkorelasi dengan dampak kondisi ini terhadap kualitas hidup. Kebocoran dari feses padat mencerminkan kelemahan dubur yang lebih parah dari kebocoran feses cair saja. Namun, pasien biasanya lebih terganggu dengan kebocoran cairan dari feses padat. 11 Setelah anamnesis diperoleh kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik inspeksi dubur dilanjutkan dengan pemeriksaan rektal secara digital untuk menilai fungsi otot sfingter dan puborektalis. Tabel 3. Skala keparahan gejala Inkontinensia fekal11 Skor beratnya gejala

Gejala

1

2

3

Frek uens i

>1 / bulan

tiap hari

Komposisi

fes es lendir / cairan s edik it (pew arnaan saja)

@ 1 / bulan sampai beberapa k ali / minggu fes es padat

Lumlah

Wrgensi atau inkontinensia pasif

tidak

Sedang (membutuhkan ganti pakaian dalam) inkontinens ia pas if

feses padat dan cair Berat (membutuhk an ganti s emua pakaian) ink ontinens ia mendes ak

4

Kom binas i (pasif dan mendesak) ink ontinens ia

Skor dari 1-6, 7-10, dan 11-13 dikategorikan sebagai fecal incontinence ringan, sedang dan berat.

Tes Diagnostik11 Tes diagnostik disesuaikan dengan umur pasien, faktor kemungkinan etiologi, beratnya gejala, dampak terhadap kualitas hidup, respon dengan manajemen medis konservatif seperti loperamide atau pelembut feses, dan ketersediaan tes. Diagnosa dapat diperoleh dengan pemeriksaan endoskopi, manometry anal, sensasi rektum, compliance rektum, WSG endoanal, dynamic proctography (defecography), magnetic resonance imaging panggul, pudendal nerve terminal motor latency, needle electromyography spingter eksternal.

Pengelolan11 Pengelolaan inkontinensi alvi / fekal harus disesuaikan dengan manifestasi klinis, pengobatan penyakit yang mendasari, dan dipandu oleh tes diagnostik. (Gambar 3) Pengelolaan dapat dengan pendekatan Diet dan farmakologis, Latihan otot asar panggul dan terapi biofeedback sampai dengan pembedahan.

183

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Ringkasan Inkontinensia alvi/fekal sering tidak terdiagnosis dan tidak diobati pada pasien lanjut usia karena stigma sosial yang melekat pada gangguan ini membuat banyak pasien enggan untuk mengakuinya. Prevalensi inkontinensia alvi/fekal pada lanjut usia lebih tinggi daripada penduduk dewasa dan umumnya sama antara pria dan wanita. Pengelolaan inkontinensia alvi/fekal dimulai dengan mengenali keluhan klinis secara rinci dilanjutkan dengan pemeriksaan colok dubur dan diteruskan dengan pemeriksaan dengan tes diagnostik untuk mencari penyebabnya. Pengobatan dapat dengan pendekatan diet dan farmakologis, latihan otot dasar panggul dan terapi biofeedback sampai dengan pembedahan.

Gambar 3. Algoritma sederhana pengelolaan inkontinensi alvi/fekal.11

184

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Daftar rustaka 1.

Harari D. Constipation and Fecal Incontinence in Old Age. In: Howard M. Fillit KR, Kenneth Woodhouse, editors. Brocklehurst’s Textbook of Geriatric Medicine and Gerontology. Philadelphia: Saunders, Elsevier Inc.; 2010. p. 909-25.

2.

Rao SS. Diagnosis and management of fecal incontinence. American Lournal of Gastroenterology. 2004:1585-604.

3.

Theodore M. Lohnson II LGO. Incontinence. Geriatric Medicine And Gerontology. Sixth ed. New York The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2009. p. 717-30.

4.

Tyler K. Stevens Ees, Robert M. Palmer. Fecal incontinence in elderly patients: Common, treatable, yet often undiagnosed. Cleveland Clinic Lournal of Medicine 2003;70(5):441-8.

5.

Nyam DCNK. Fecal Incontinence: Hope for an Wnderdiagnosed Condition. Singapore Med L 2000; 41 (4):188-92.

6.

Wald A. Fecal Incontinence in Elderly and Institutionalized Patients. In: Carlo Ratto GBD, editor. Fecal Incontinence, Diagnosis and Treatment. Milan: Springer-Verlag; 2007.

7.

William E. Whitehead LB, Patricia S. Goode, Susan meikle, , Elizabeth R. MWELLER AT, Alison WEIDNER, Milena WEINSTEIN, Wen Ye. Fecal Incontinence in W.S. Adults: Epidemiology and Risk Factors. Gastroenterology. 2009;137 (2):512–7.

8.

Satish S. Rao LS. Diagnosis of Fecal Incontinence. In: Carlo Ratto GBD, editor. Fecal Incontinence, Diagnosis and Treatment. Milan: Springer-Verlag; 2007. p. 95-105.

9.

Adil E. Bharucha REB. Anatomy and Physiology of Continence. In: Carlo Ratto GBD, editor. Fecal Incontinence, Diagnosis and Treatment. Milan: Springer-Verlag; 2007.

10. Nia I. Edwards DL. The prevalence of faecal incontinence in older people living at home. Age and Ageing. 2001;30:503-7. 11. Bharucha AE. Management of Fecal Incontinence. Gastroenterology & Hepatology 2008;4(11):807-17.

185

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

186

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Complementary Medicine in Elderly Wasilah Rochmah

Abstrak Pengobatan komplementer saat ini telah banyak digunakan oleh masyarakat dimana saja diseluruh dunia. Di Amerika lebih dari 50% menggunakan pengobatan ini di samping pengobatan kedokteran pada umumnya. Justru di pendidikan resmi kedokteran ada bagian tersendiri mengenai pengobatan komplementer tersebut yang sering disebut sebagai CAM UNIT (Complementary and Alternative Medicine Unit). Kalau ditinjau dasarnya pengobatan CAM banyak berasal dari Cina dan India. Masing-masing negara mengembangkannya sesuai dengan kultur serta keadaan alamnya. Usia lanjut merupakan periode akhir kehidupan yang keadaan baik jasmani maupun rohani telah berubah dari seorang dewasa sehat menjadi seorang tua yang bersifat rapuh. Tanpa penyakit yang bersifat kronis, seorang usia lanjut seringkali telah menderita gangguan, ketidakmampuan sampai adanya hendaya (keterbatasan) bahkan bisa suatu penyakit karena akibat perubahan-perubahan fisik dan psikologik. Dikatakan bahwa Allah SWT tidak akan menurunkan penyakit kecuali bersama obatnya, selain tua. Dari dasar ini, apakah perubahan-perubahan karena proses menua dan belum menimbulkan penyakit tidak perlu diobati? Namun sejak beribu tahun yang lalu manusia telah berfikir, berusaha mencoba, mencatat pengalaman yang ada sehingga tumbuh ilmu kedokteran kuno yang berasal dari Yunani, ilmu-ilmu pengobatan yang berasal dari Cina dan Hindia yang keduanya terus berkembang menjadi berbagai disiplin ilmu. Definisi masingmasing disiplin semakin jelas, namun aplikasinya sering kurang jelas dan tumpang tindih. Apakah yang disebut pengobatan komplementer mempunyai peran tambahan dalam pengelolaan usia lanjut, mengingat pengobatan tersebut berupa upaya tambahan yang dapat saling memperbaiki antar fisik, psikis dan spirit sehingga dapat mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Kata kunci: medicine - CAM - aged and ageing - complementary medicine.

187

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

188

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Depresi pada Lanjut Usia Martina W. S. Nasrun

Abstrak Tingginya prevalensi gangguan depresi berat pada pasien usia lanjut dengan penyakit fisik kronik menuntut keterlibatan dokter umum dan dokter spesialis lain (khususnya spesialis usia lanjut) untuk mampu mendeteksi dan mengelola gejala-gejala depresi agar target pengobatannya dapat dicapai. Depresi yang tidak ditatalaksana akan memperpanjang masa rawat, meningkatkan mortalitas dan menghambat proses rehabilitasi yang penting bagi pemulihan kesehatan usia lanjut. Sampai kini, gangguan depresi masih under-diagnosis dan under-treatment. Penghalang utama misdiagnosis adalah pandangan bahwa reaksi depresi tidak patologis dan terapi tidak diperlukan karena dapat diatasi sendiri. Keengganan untuk memberikan diagnosis psikiatrik pada pasien masih cukup berperan di kalangan kesehatan. Padahal jika depresi diterapi dengan tepat dan adekuat maka kualitas hidup pasien akan menjadi lebih baik sekalipun penyakit fisiknya tak dapat disembuhkan lagi. Mengapa orang dengan depresi jarang berobat? Karena depresi dianggap normal, dan depresi sering terjadi bersamaan penyakit lain. Gejala-gejala depresi sering dianggap sebagai akibat dari penyakit fisik yang sudah lama diderita (kronik). Banyak orang merasa bahwa depresi merupakan kelemahan dari kepribadian/keimanan. Pandangan ini keliru, karena depresi merupakan suatu penyakit medis yang dapat diobati. Tatalaksana gangguan depresi meliputi berbagai aspek dan modalitas tergantung ketersediaan sarana dan prasarana yang ada, yakni meliputi aspek biologis (obat anti depresi, ECT, operasi otak), aspek psikologis (problem solving, psikoterapi, CBT) dan aspek sosial (aktivitas kelompok, reminiscence, dukungan keluarga dan lain-lain). Kata kunci: depresi, usia lanjut.

Epidemiologi dan klasifikasi Prevalensi depresi pada orang berusia lebih dari 65 tahun di komunitas dilaporkan mencapai 15%.1,2 Studi epidemiologi pada usia lanjut di populasi mendapatkan gangguan depresi berat 1%, dystimia 3% dan gejala depresi klinis 8-15%.3 Rendahnya angka prevalensi depresi pada usia lanjut dibandingkan usia lebih muda disebabkan tidak dilaporkannya mood depresi oleh usia lanjut atau terlupakan. Beberapa penelitian

189

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

menunjukkan depresi pada usia lanjut jauh lebih tinggi di lingkungan rumah sakit dibandingkan di komunitas, Alexopoulos mendapatkan gejala depresi 17-37% di pelayanan primer (sepertiganya mengalami depresi berat); sedangkan untuk pasien yang dirawat di rumah sakit depresi berat mencapai 11%.3 Usia menua bukanlah faktor risiko untuk terjadinya depresi, namun kehilangan pasangan hidup dan menderita penyakit kronis merupakan kerentanan yang berhubungan dengan gangguan depresi. Depresi pada usia lanjut cenderung untuk mengalami kekambuhan. Gambaran depresi pada lanjut usia tampilan gejalanya tidak khas, jarang sekali tampak mood depresi. Yang menonjol adalah gejala ansietas, keluhan somatik, dan perasaan bersalah. Rasa letih, lesu, pesimistik, tidak nafsu makan, insomnia, sulit konsentrasi sering ada namun dapat disalahtafsirkan sebagai gejala biasa pada lanjut usia. Ide bunuh diri (perasaan hidup tak berguna, ingin mati) juga sering tidak ditanggapi serius padahal seharusnya di eksplorasi lebih lanjut. Umumnya usia lanjut dengan depresi yang mempunyai keinginan mati akan menolak pengobatan dan menolak makan minum (passive suicide). Kriteria diagnostik gangguan depresi pada lanjut usia sama dengan kriteria diagnostik gangguan depresi pada dewasa muda (PPDGJ III/ICD 10), namun tidak selalu dapat dipenuhi meskipun secara klinis jelas pasien mengalami depresi. Untuk gangguan depresi berat biasanya dapat dijumpai gejala utama dan gejala tambahan depresi sesuai kriteria diagnosis. Diagnosis gangguan penyesuaian dengan afek depresi sering dijumpai pada komorbiditas pasien rawat dengan penyakit kronis. Kriteria diagnostik untuk gangguan penyesuaian dengan mood depresi mensyaratkan timbulnya gejala depresi dalam kurun waktu 3 bulan setelah onset stresor (kematian, diagnosis penyakit kronis/ terminal, pensiun dan lain-lain). Depresi pada usia lanjut bervariasi dari derajat ringan sampai berat. Instrumen untuk skrining biasanya dipakai Geriatric Depression Scale (GDS) 30 butir dengan cut off 11 sebagai indikator gangguan depresi atau GDS 15 butir dengan kemungkinan depresi bila skor lebih dari 5. Instrumen ini dapat diisi sendiri oleh pasien atau diukur oleh pemeriksa. Pemeriksa memberi skor sesuai dengan pedoman penilaian. Ada 4 pertanyaan kunci dari GDS untuk mendeteksi atau membuka percakapan ke arah depresi yaitu: 1. 2. 3. 4.

Anda puas dengan kehidupan anda? Anda merasakan hidup ini kosong? Anda takut sesuatu yang buruk akan menimpa diri anda? Anda merasa bahagia untuk sebagian besar waktu anda?

Dari jawaban terhadap pertanyaan tsb di atas (ya pada no 1-3 dan tidak pada no 4), dapat dieksplorasi lebih lanjut kemungkinan depresi.

190

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Gambaran klinis depresi pada usia lanjut Umumnya gejala-gejala gangguan depresi adalah sebagai berikut: · Rasa letih, lesu yang terus menerus. · Tak ada gairah/semangat. · Perasaan sedih/tertekan/menangis. · Merasa “lebih lamban”. · Khawatir tentang kesehatan/keuangan. · Keluhan fisik (nyeri atau lainnya). · Merasa putus asa/tak berarti. · Perubahan berat badan. · Sulit tidur. · Sulit konsentrasi. Gejala depresi pada usia lanjut tidak selalu mudah untuk dikenali karena mood depresi yang disangkal, keluhan somatik/fisik yang menonjol sementara minat yang berkurang, rasa letih, berat badan menurun dan keluhan gangguan tidur dapat bertumpang tindih dengan penyakit fisik yang dialaminya. Usia lanjut cenderung rentan mengalami depresi berat melankolik yang ditandai oleh afek depresi, hipokondriasis, rendah diri, merasa tak berharga dan cenderung menyalahkan diri sendiri (merasa berdosa) dengan ide paranoid dan ide bunuh diri. Hendaya kognitif pada usia lanjut dengan depresi dikenal sebagai sindrom demensia dari depresi atau pseudodementia, yang dapat rancu dengan demensia yang sebenarnya (Alzheimer misalnya). Pada demensia, penurunan hendaya kognitif biasanya menyeluruh (global) dan konsisten progresif memburuk sementara pada pseudodemensia defisit atensi dan konsentrasi bervariasi dan kurang stabil. Dibandingkan pasien dengan demensia, pada pseudodemensia jarang dijumpai hendaya berbahasa dan konfabulasi; cenderung menjawab “saya tidak tahu” serta kesulitan mengingatnya terbatas pada free recall dari pada recognition. Pseudodementia terjadi pada sekitar 15% pasien depresi usia lanjut.3 Sindrom klinis yang dapat muncul pada usia lanjut yaitu: a.

Depresi agitatif: ditandai dengan gambaran aktivitas yang meningkat, mondarmandir mengejar-ngejar orang (relentless pacing), terus-menerus meremas-remas tangan dan lain-lain yang sering menyulitkan dan melelahkan keluarga atau pasangannya.

b.

Depresi dan ansietas: baik gejala psikik maupun somatik dari ansietas yang menyertai depresi dapat mendominasi gambaran klinis. Gangguan cemas menyeluruh atau phobia dapat terjadi bersama-sama dengan depresi. Penelitian menyatakan bahwa bahwa ansietas 15-20 kali lebih sering dijumpai pada usia

191

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

lanjut dengan depresi. Hubungan penyakit fisik dengan ansietas pada depresi cukup kompleks. Ansietas dapat menyebabkan gejala fisik yang sering dikira sebagai penyakit fisik semata. Ansietas hebat juga dapat menyebabkan kelelahan dan dehidrasi. Sementara penyakit fisik yang mengancam kehidupan atau hilangnya kemandirian seringkali merupakan sumber dari ansietas. c.

Depresi terselubung: tidak munculnya gejala mood yang menurun bukanlah suatu halangan untuk mendiagnosis depresi. Apakah terselubunginya gejala depresi ini karena para lanjut usia takut menjadi beban ataukah karena trend bahwa ‘harus punya keberanian menghadapi hari tua’. Dalam hal ini harus dieksplorasi tanda-tanda dan gejala-gejala lainnya dari depresi secara lebih teliti.

d.

Somatisasi: gejala somatik dapat menyembunyikan gejala yang sesungguhnya dari gangguan depresi, namun dapat pula diperberat dengan adanya depresi.

e.

Pseudodemensia: istilah ini diperuntukkan bagi pasien depresi yang menunjukkan gangguan memori yang bermakna seperti yang terjadi pada pasien demensia.

f.

Depresi sekunder pada demensia: pada stadium awal demensia sering dijumpai depresi, mungkin sebagai dampak dari insight akan deteriorasi fungsi dan menurunnya kemampuan secara progresif. Depresi yang terjadi pada stadium akhir mungkin lebih banyak berhubungan dengan hilangnya fungsi neurotransmiter. Depresi dan gangguan perilaku pada demensia disebabkan oleh berkurangnya fungsi serotonergik, sehingga pengaktifan fungsi serotonergik akan memperbaiki gejala-gejala tersebut.

Mekanisme terjadinya gangguan depresi

2

Psikodinamika terjadinya depresi adalah adanya agresivitas yang ditujukan pada diri sendiri (introjeksi). Agresivitas bermanifestasi sebagai menghukum diri, menyalahkan diri, berpenyakitan dan sebagainya. Individu merasa dirinya tak berarti lagi hidup dan tidak percaya diri sanggup bangkit dari keadaan depresinya. Berbagai peristiwa psikososial seperti kehilangan nyata ataupun ancaman kehilangan akan menyebabkan seseorang merasa tak berdaya (helplessness) dan mempengaruhi cara berpikir yang cenderung pesimis atau pikiran negatif yang disertai perasaan kuatir (was-was). Secara biologik, penurunan neurotransmiter di celah sinaps terutama serotonin menimbulkan berbagai gejala depresi. Demikian juga gangguan fisiologis pada lobus frontalis menimbulkan gejala depresi. Beberapa penyakit sistemik mempengaruhi psiko-neuro-endokrin khususnya pada jaras hipotalamik-pituatri.

192

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Depresi

Perubahan neurotransmiter Penyakit sistemik Penyakit degeneratif

Kehilangan: Harga diri/martabat Kekuatan fisik Orang/benda disayangi

Isolasi sosial Kesulitan ekonomi Tak punya rumah dan lain-lain

Biologik

Psikologik

Sosial

Bagan peran bio-psiko-sosial pada gangguan depresi.

Tujuan tatalaksana pada gangguan depresi adalah mengatasi gejala depresi sehingga pasien dapat hidup normal lagi dalam kehangatan keluarga, teman-teman, dan komunitasnya. Terapi depresi yang lebih dini dan relatif cepat, akan mencegah gejala-gejala depresi menjadi lebih parah dan menetap, mengurangi risiko kekambuhan dan menghilangkan pikiran yang dapat membahayakan diri sendiri (suicide).

Pendekatan multidisiplin Dalam menangani pasien depresi dengan komorbiditas tidaklah mungkin berhasil jika hanya berpijak pada satu disiplin ilmu saja. Kondisi yang demikian kompleks dapat diatasi secara optimal hanya jika ada kerja sama yang baik antar berbagai disiplin ilmu yang terpadu dan menyeluruh dengan fokus pada kepentingan pasien. Peran dari tim multidisiplin ini mulai dari pemeriksaan sampai penatalaksanaan, maintenance maupun pencegahan/prevensi. Siapa saja dapat masuk dalam tim multidisiplin yakni dokter umum, perawat, pekerja sosial, terapis okupasional, psikolog, psikiater, neurolog, internist/geriatrician, kardiolog dan lain-lain sesuai dengan kebutuhan pasien. Peran dari perawat psikiatri komunitas dan day care hospital sangat penting untuk memonitor kesembuhan pasien dan mencegah relaps. Deteksi dini depresi pada pasien dengan gangguan/penyakit fisik yang disertai dengan intervensi optimal akan memperbaiki prognosis pasien dan mencegah terjadinya disabilitas yang akan membuat pasien menderita berkelanjutan. Depresi dapat dan bisa diobati, apakah itu terjadi bersama-sama penyakit lain atau tersendiri. Pendekatan multidisiplin dengan fokus pada kepentingan pasien harus menjadi perhatian bagi seluruh anggota tim. Kesejahteraan jiwa pasien, harapan-harapan pasien dan kehidupan sosialnya sebaiknya juga diupayakan terpenuhi di samping upaya penyembuhan penyakitnya. Meskipun gangguan depresi dengan komorbiditas tidak mudah untuk dikenali dan diterapi, namun melalui pendidikan dan penyampaian informasi yang berkelanjutan tentang penyakit serta kerja sama tim multidisiplin yang baik akan memberikan manfaat bagi pasien, terutama kualitas hidupnya akan membaik dan paling tidak

193

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

pasien usia lanjut dapat bebas dari depresi jika penyakit fisiknya memang sudah tidak dapat disembuhkan lagi.

Daftar pustaka 1.

Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition, 2007 Lippincott Williams & Wilkins, p 1354.

2.

Lovestone S., Howard R. Depression in Elderly People. London, Martin Dunitz Ltd. 1997.

3.

Alexopoulos G.S. Late-life Mood Disorders in Comprehensive textbook of Geriatric Psychiatry edited by Sadavoy J.et al. W.W. Norton & company, 2004, p. 609-53.

194

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Penatalaksanaan Depresi Lanjut Usia Aris Sudiyanto

Depresi lanjut usia merupakan gangguan afek pada pasien lanjut usia. Gangguan ini seringkali tidak dideteksi dokter oleh karena berbagai hal, pada hal gangguan tersebut sering dijumpai di masyarakat. Oleh karena itu pemahaman untuk deteksi dini dan penetalaksanaannya menjadi suatu hal yang perlu diketahui para dokter. Deteksi dini depresi lansia dapat dilakukan dengan mengenal secara lebih baik tanda dan gejala depresi yang dialami pasien lanjut usia, terutama tanda dan gejala awal depresi. Penatalaksanaan depresi lansia meliputi psikoterapi, psikofarmaka, dan terapi fisik. Psikoterapi untuk pasien lansia yang mengalami depresi di antaranya konseling eklektik, logoterapi, terapi perilaku kognitif, dan psikoterapi dinamik singkat. Psikofarmaka untuk depresi lansia dapat diberikan obat antidepresan dengan dosis rendah dan dipilih yang aman, diantaranya fluoxetin, venlafaksin, dan esitalopram. Terapi fisik untuk depresi lansia dapat diberikan terapi kejang listrik dengan pengawasan dan syarat yang ketat.

195

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

196

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Pathophysiology of Sepsis in the Elderly Muhammad Hussein Gasem

The incidence of sepsis is relatively higher in the elderly. Severe sepsis in the elderly older is a major public health problem especially in countries with larger portion of aging population. Clinical studies have shown that many factors influence the increasing risk of infection and sepsis in older patients. Immunosenescence is widely described as important cause of altered pathophysiology of sepsis in the elderly. Immunosenescence that reduces the capacity of innate as well as adaptive immune system could change immune responses like pro and anti-inflammatory responses, lymphocytes functions and cytokines production. The adaptive immune system is coordinated by T-lymphocyte cells, the activation that is required for the initiation, maintenance and termination of responses against microbial pathogens. Changes in the expression and functions of the T-cell receptor for antigen and its co-receptors are closely associated with susceptibility to infection and with severity of sepsis, as well. Low grade inflammation caused by disparities in response to stimulation in human aging like blunted fever response, augmented by underlying diseases and (multi) drug therapy may cause difficulty in clinical diagnosis of sepsis and late of treatment in the septic elderly. Therefore, diagnostic criteria of sepsis based on the recent guidelines is sometimes difficult to be implemented in the older patients.

197

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

198

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Sepsis in Elderly A. Guntur H

Abstract The aging world population will increase the incidence and mortality of severe sepsis. The impact of immunosenescence on innate and acquired immunity is associated with relative immunologic depression that may favor the spreading of inflammation. Severe sepsis is a common problem associated with substantial mortality and a significant consumption of healthcare resources. The number of cases per year, currently estimated at 750 000 in the US alone, is expected to increase at a rate of 1.5% per year, and an increasingly significant proportion of these patients will be elderly. Incidence of sepsis in adult patients in Dr. Moewardi hospital (2009), is 384 and 37.8% is the old age. The majority of patients were male (52.6%) with the most underlying diseases is Pneumonia (24.5%). Older persons are more prone to infections due to the effects of aging, comorbidities, use of invasive devices, and problems associated with institutionalization. The diagnosis of sepsis in this population can be difficult, as older patients may have atypical responses to sepsis and may present with delirium or falls, thus delaying therapeutic interventions that may influence their outcome. There is a tendency to treat older persons less aggressively; however, it is important to consider criteria other than just chronological age, such as recent performance level, quality of life, comorbidities, and patient preference, when determining the aggressiveness of care. Future studies should focus on both short- and long-term outcomes of older patients, such as their ability to achieve previous physiological status and social independence, in addition to their risk of mortality after an event of severe sepsis. Key words: sepsis, elderly.

Pendahuluan Pertumbuhan manusia berkembang menjadi tua ternyata diikuti pula oleh organ di dalam tubuh. Organ dalam tubuh berkembang fungsi dan efisiensinya dibandingkan pada saat muda, sebagai contoh glandula timus yang mengsekresikan hormon-hormon penting pada saat pertumbuhan. Pada lanjut usia glandula timus mengsekresikan thimik hormon yang makin lama makin menurun (Muszkat et al, 2003). Dampak immunosenescence tentang kekebalan bawaan dan yang diperoleh berhubungan dengan depresi imunologi relatif yang dapat mendukung penyebaran peradangan. Pasien lansia juga telah meningkatkan jalur apoptosis yang dapat berkontribusi terhadap kejadian kematian akibat sepsis. Jaringan peradangan-koagulasi diaktifkan oleh usia, menjelaskan keberhasilan beberapa terapi tertentu. Gambaran klinis awal sepsis di

199

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

usia lanjut dapat tidak khas tetapi perubahan patofisiologikal spesifik penuaan meningkatkan risiko kemerosotan mendadak untuk sepsis berat dengan pengembangan disfungsi kardiovaskular. Toleransi karakteristik tegangan berkurang dari jaringan berusia menjelaskan tingginya insiden kegagalan multi-organ dalam pasien tersebut. Gambaran patofisiologi dan klinis spesifik sepsis mendasari kematian meningkat pada pasien tersebut dan mendorong penelitian tentang strategi terapi dengan manfaat khusus untuk pasien usia lanjut dengan sepsis.

Angka kejadian Sepsis berat adalah masalah umum yang terkait dengan kematian yang tinggi dan konsumsi sumber daya kesehatan yang signifikan. Jumlah kasus per tahun, saat ini diperkirakan sebesar 750.000 di Amerika Serikat saja, diperkirakan akan meningkat pada tingkat 1,5% per tahun, dan proporsi yang semakin signifikan pasien ini akan menjadi tua. Usia lanjut lebih rentan terhadap infeksi karena efek penuaan, penyakit penyerta, penggunaan alat invasif dan masalah yang terkait dengan pelembagaan. Tabel 1. Distribusi Jumlah Pasien Sepsis dan Pengunjung Rawat Inap RSUD DR. Moewardi Pasien Hidup Penderita sepsis

188

Pengunjung Rawat Inap

26,097

Pasien Meninggal Dewasa 384

Anak 25

2,288

28,385

Total 597

Jumlah pasien rawat inap di RSUD Dr. Moewardi tahun 2009 sebanyak 28.385 orang. Jumlah penderita sepsis 597, angka kejadian sepsis di RSUD Dr. Moewardi 2,1%. Jumlah total pasien yang meninggal 2.288 orang atau 8,06% dari jumlah total pasien rawat inap. Jumlah pasien menderita sepsis 597 orang dan yang meninggal karena sepsis sebanyak 409 dengan rincian pasien dewasa 384 orang dan anak 25 orang. Dari kematian total di rumah sakit sebanyak 2.288, angka kematian karena sepsis berjumlah 409 orang (17,87%). Jumlah penderita sepsis sebanyak 597, dan yang meninggal karena syok septik sebanyak 409 (68,5%). Angka kejadian sepsis pasien umur >60 tahun sebanyak 37,8%, dengan pasien laki-laki 52,6% dan dengan underlying diseases terbanyak adalah Pneumonia (24,5%). Kejadian sepsis banyak terjadi pada umur >60 tahun (37,8%), distribusi pasien berdasarkan usia selengkapnya disajikan pada Tabel 2. Dengan mayoritas jenis kelamin laki-laki (52,6%) (Tabel 3)20

200

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Tabel 2. Pembagian umur pasien sepsis di RSUD Dr. Moewardi n

%

Umur (tahun) 60 tahun

117 122 145

30,5 31,7 37,8

Jumlah

100%

384

Tabel 3. Pembagian jenis kelamin pasien sepsis di RSUD Dr. Moewardi n

%

Jenis kelamin

Laki-laki Perempuan

202 182

52,6 47,4

Jumlah

384

100%

Immunosenescence Sistem kekebalan tubuh pada lansia berbeda dari pasien dewasa muda. Semua komponen sistem kekebalan tampaknya bagaimanapun berubah pada usia lanjut. Kekebalan bawaan sebelumnya dianggap terawat dengan baik usia lanjut, namun studi terbaru menunjukkan perubahan signifikan dalam komponen ini.28 Pada lanjut usia terjadi penurunan kapabilitas produksi limfosit yang berfungsi sebagai Immune Surveilance. Dengan menurunnya fungsi dan jumlah limfosit tersebut maka terjadi penurunan pula reaksi terhadap antigen baik yang berada dalam tubuh atau yang masuk ke dalam tubuh manusia termasuk kuman-kuman yang masuk ke dalam tubuh yang lebih mudah menyebabkan terjadinya penyakit infeksi. Terhadap infeksi responnya juga berkurang, kenyataannya pada lanjut usia apabila mengalami infeksi bakteri 20% tidak disertai panas tetapi pada saraf sentral sangat sensitif terhadap rangsangan sinyal bakteri. Pada kenyataannya bahwa kurang efektifnya sistem imun memudahkan terjadinya infeksi dan menyebabkan kematian pada lanjut usia, dan juga penderita lanjut usia sering mengalami infeksi yang berat (kritis) bila mengalami infeksi dibandingkan dengan usia dewasa atau usia muda. Atrofi timus yang berhubungan dengan usia menentukan pergeseran dari sel T naif untuk sel memori T yang dapat dikaitkan dengan pergeseran di lingkungan sitokin dan peningkatan karakteristik sitokin sel Th2.16

201

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

Table 1. Immunosenescence Innate Immunity

L L L L K L

function of macrophages expression of TLRs function of mitogen-activated protein kinases production of TNF-alpha and IL-6 production of IL-10 bactericidal activity

T-cells

L K L L K

naive cells memory cells CD45Ro+ function of mitogen-activated protein kinases type 1 cytokine response (IL-2, TNF-alpha) type 2 cytokine response (IL-4, IL-10)

B-cells

L number of B-cells and plasma cells K polyspecific immunoglobulins with low affinity produced by B1-cells L response to neoantigens

Manifestasi klinis dan diagnosis Proses septik dicirikan oleh serangkaian tanda-tanda dan gejala yang meliputi: -

Demam atau hipotermia.

-

Leukositosis atau leukopenia.

-

Takikardia.

-

Takipnea.

SIRS, jika tidak diketahui sedini mungkin dan diobati secara kurang agresif, dapat berkembang dengan cepat yang mengarah ke cedera endovaskular, trombosis mikrovaskular, iskemia organ dan kematian.1,33,5,31,37,25 Pasien yang usia lanjut menimbulkan tantangan tertentu dalam diagnosis dan manajemen awal sepsis. Pertama, memperoleh spesimen diagnostik yang memerlukan kerjasama pasien dengan dokter sebab keadaan pasien lemah dengan gangguan kognitif atau pasien tua yang sakit parah. Lebih penting lagi, manifestasi klasik SIRS terkadang tidak jelas, seperti digambarkan dalam kasus klinis di atas. Apabila dokter kurang teliti dalam mengenali variasi ini dapat menunda intervensi penting yang akan mempengaruhi hasil akhir dari pasien tersebut. Manifestasi klinis infeksi pada pasien yang lebih tua mungkin tidak biasa, spesifik atau tidak ada dan dapat termasuk kelemahan, malaise, delirium, kebingungan, kehilangan nafsu makan, jatuh atau inkontinensia.30 Demam, ciri infeksi, juga bisa tidak jelas atau tidak ditemukan pada pasien usia lanjut yang terinfeksi. Meskipun peningkatan suhu tubuh pada orang lanjut usia merupakan indikator adanya infeksi serius, penurunan suhu tubuh (hipotermia) adalah tanda yang lebih sering didapatkan. Kejadian infeksi umum pada usia lanjut sama dengan pasien kelompok usia lainnya, diantaranya, sistem saluran kencing, gastrointestinal, pernapasan, kulit

202

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

dan jaringan lunak.37 Organisme yang paling sering ditemukan adalah bakteri Gramnegatif, tetapi telah terjadi peningkatan pesat dalam kejadian infeksi cocci Gram positif.26 Peningkatan prevalensi mungkin karena institusionalisasi pasien menua dan penggunaan awal antibiotik spektrum yang luas, yang dipilih untuk mematikan dan strain yang lebih tahan.

Terapi Goal directed therapy (Terapi cairan) Sebuah studi acak baru-baru ini menunjukkan penurunan kematian yang signifikan jika resusitasi awal dimulai segera setelah sepsis berat terdiagnosis, dengan target tekanan vena sentral antara 8-12 mmHg, mean arterial pressure >65 and 0.5mL/kg/h dan Central venous oxygen saturation (ScvO2) >70%.32,18 Sasaran ini dicapai dengan terapi cairan, agresif dan hemotransfusi. Sasaran ini mungkin harus tetap sama pada pasien lanjut usia dan ada beberapa pertimbangan tentang cara-cara untuk mencapai target ini. Output jantung meningkat diperlukan selama sepsis dapat diperoleh pada pasien lansia terutama dengan meningkatkan output sistolik, karena denyut jantung meningkat kurang dari pada yang muda; takikardia mungkin tidak menghasilkan peningkatan yang signifikan pada output jantung karena disfungsi diastolik berkaitan dengan penuaan.29 Mekanisme utama yang tersedia pada pasien lansia untuk meningkatkan output sistolik efek Starling yang dihasilkan oleh peningkatan preload ventrikel kiri.29 Oleh karena itu penting untuk menjaga pengisian jantung yang memadai ketika pasien lansia perlu meningkatkan cardiac output-nya, selama sepsis. Meskipun kelebihan pemberian cairan harus dihindari, tetapi kekurangan cairan juga harus dihindari, oleh karena itu jumlah cairan bebas intravena harus dilakukan pemantauan tekanan vena sentral selama resusitasi awal untuk mempertahankan perfusi organ dan mengingat bahwa pasien yang lebih tua sering mengalami dehidrasi. Target level hemoglobin apabila belum terdapat hipoperfusi jaringan, pendarahan aktif dan penyakit arteri koroner harus 7-9 g/dL sesuai dengan konsensus yang dipublikasikan pada tahun 1999.22 Jika hipoperfusi sedang berlangsung target hemoglobin akan menjadi sekitar 10 g/dL.32 Pada keadaan infark miokard kadar hemoglobin sebaiknya 10-11g/dL dikaitkan dengan tingkat kelangsungan hidup yang tinggi.38 Usia lanjut memiliki prevalensi tinggi penyakit arteri koroner yang sering tidak diketahui, pertimbangan ini harus bertujuan pada target hemoglobin yang tepat.

Antibiotic therapy Pada pasien lanjut usia seringkali sulit untuk mengidentifikasi sumber infeksi karena kurangnya gejala terkait dengan beberapa jenis infeksi seperti yang melibatkan saluran kemih. Terapi antibiotik empiris pada sepsis harus dimulai dalam waktu satu jam setelah sampling kultur. Karena terapi awal antibiotik yang tidak memadai dikaitkan

203

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

dengan hasil yang buruk di segala usia, terapi awal antibiotik harus memiliki spektrum yang luas terhadap semua kemungkinan patogen.21 Tingginya angka kejadian sepsis karena mikroorganisme multiresisten pada pasien usia harus menuntun pilihan terapi empiris awal terhadap terapi kombinasi dengan menggunakan antibiotik yang aktif melawan mikroorganisme tersebut. Seringkali sepsis disebabkan oleh mikroorganisme multiresisten pada pasien lanjut usia.15 Mereka merupakan flora mikroba pada pasien lanjut usia setelah mendapat paparan antibiotik berulang karena kondisi komorbid, keadaan immunocompromised, tinggal di rumah jompo, masuk rumah sakit berulang dan penggunaan perangkat invasif. Apabila sudah terdapat hasil kultur dan sensitivitas dilakukan deeskalasi dan disesuaikan dengan hasil kultur dan sensitivitas (antibiotika yang rasional). Komunitas medis membutuhkan pemahaman peningkatan penyerapan obat, metabolisme hati dan variasi respon obat pada usia lanjut. Hal ini jelas bahwa obat diekskresikan dari tubuh, khususnya melalui ginjal, berubah pada usia lanjut [Rajagopalan], yang berhubungan dengan penurunan fungsi ginjal, yang didominasi usia mendasari penurunan klirens obat. Table 1. Antibiotics associated with increased side effects in older patients Antibiotic

Side effect

Aminoglycosides

Renal dysfunction Auditory nerve dysfunction

β-lactams

Seizures Skin rash

Macrolides

Nausea Abdominal cramps

Quinolones

Seizures Hallucinations

Vancomycin

Renal dysfunction

Karena ginjal sebagian besar bertanggung jawab atas ekskresi beberapa antibiotik, penyesuaian dosis dan pemantauan kadar obat dalam serum mungkin diperlukan untuk obat-obatan tertentu pada pasien usia lanjut. Pengujian tingkat kreatinin darah hanya bisa meremehkan atau melebih-lebihkan fungsi ginjal pasien dan kreatinin clearance karena itu akan menjadi penilaian fungsional yang lebih baik kapasitas ginjal mereka. Antibiotik tertentu yang berhubungan dengan peningkatan efek samping pada pasien usia lanjut (Tabel 1).30 Interaksi obat juga meningkat pada usia lanjut, namun hal ini merupakan konsekuensi dari sejumlah besar obat yang digunakan, bukan usia.

Nutrisi Salah satu perubahan fisiologis penuaan salah satunya adalah penurunan tajam dalam hal penciuman pada usia 70 tahun, kemampuan untuk merasakan asam, pahit,

204

Simposium “Geriatric Syndromes: Revisited” 2011

asin dan manis juga mengalami penurunan,23 yang berpengaruh pada penurunan kenikmatan saat makan, sehingga memperparah anoreksia penuaan. Nutrisi pada prinsipnya diberikan untuk meningkatkan kondisi tubuh dan respon imun secara umum. Terdiri dari glutamine, nukleutida lemak, omega-3 dapat diberikan melalui enteral dan parenteral ditambah dengan mikronutrien yang terdiri dari vitamin terutama yang mempunyai peran ganda juga sebagai antioksidan.

Activated protein C Sebuah uji coba secara acak yang diterbitkan pada tahun 2001 menunjukkan penurunan yang signifikan pada mortalitas ketika activated protein C digunakan dalam pengobatan sepsis berat dan syok septik. Manfaat tersebut melibatkan pasien usia lanjut sebagai akibat dari sepsis berat terkait kelainan koagulasi. Pedoman internasional menyarankan mengobati pasien sepsis berisiko tinggi untuk kematian (APACHE skor >25), dengan syok septik, disfungsi minimal dua organ dan sepsisinduced ARDS dengan activated protein C.11 Farmakodinamika activated protein C termasuk efek antikoagulan, profibrinolytic, anti-inflamasi dan anti-apoptosis. Mekanisme ini mungkin sangat bermanfaat mengingat patofisiologi sepsis pada usia lanjut yang berhubungan dengan perubahan dari koagulan dan apoptosis sistem fibrinolitik, sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

Glucose control Pedoman internasional merekomendasikan untuk menjaga kadar glukosa darah
View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF