Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012; Etnik Bali, Banjar Banda, Desa Saba, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

March 12, 2018 | Author: Puslitbang Humaniora dan Manajemen Kesehatan | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Mengapa Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 perlu dilakukan? Penyelesaian masalah dan situasi status kesehata...

Description

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

Etnik Bali Banjar Banda Desa Saba Kecamatan Blahbatuh Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali



Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Etnik Bali2012 , Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

i

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 Etnik Bali Banjar Banda Desa Saba Kecamatan Blahbatuh Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

Penulis : 1. Riswati 2. Septa Agung Kurniawan 3. I Wayan Gede Lamopia 4. Ni Wayan Emik Setyawati 5. A.A. Anom Kumbara 6. Made Asri Budisuari Editor : 1. A.A. Anom kumbara 2. Made Asri Budisuari Disain sampul : Setting dan layout isi :

Agung Dwi Laksono Sutopo (Kanisius) Indah Sri Utami (Kanisius) Erni Setiyowati (Kanisius)

ISBN : 978-602-235-224-2 Katalog : No. Publikasi : Ukuran Buku : 155 x 235 Diterbitkan oleh : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI

Dicetak oleh

: Percetakan Kanisius

Isi diluar tanggungjawab Percetakan

ii

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

Buku seri ini merupakan satu dari dua belas buku hasil kegiatan Riset Etnografi Kesehatan ibu dan Anak tahun 2012 di 12 etnik. Pelaksanaan riset dilakukan oleh tim sesuai Surat Keputusan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.03.05/2/1376/2012, tanggal 21 Februari 2012, dengan susunan tim sebagai berikut: Ketua Pengarah

: Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kese­ hatan Kemkes RI Penanggung Jawab : Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Wakil Penanggung Jawab : Dr. dr. Lestari Handayani, MMed (PH) Ketua Pelaksana : dr. Tri Juni Angkasawati, MSc Sekretariat : dr. Trisa Wahyuni Putri, MKes Anggota Mardiyah SE, MM Drie Subianto, SE Mabaroch, SSos Ketua Tim Pembina : Prof. Dr. Herman Sudiman, SKM, MKes Anggota : Prof. A.A.Ngr. Anom Kumbara, MA Prof. Dr. dr. Rika Subarniati, SKM Dr. drg. Niniek Lely Pratiwi, MKes Sugeng Rahanto, MPH, MPHM Ketua tim teknis : Drs. Setia Pranata, MSi Anggota Moch. Setyo Pramono, SSi, MSi Drs. Nurcahyo Tri Arianto, MHum Drs. FX Sri Sadewo, MSi Koordinator wilayah 1. Aceh, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah : Dra. Rachmalina S Prasodjo, MScPH 2. Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Gorontalo : dr. Betty Rooshermiatie, MSPH, PhD 3. Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua : Agung Dwi Laksono, SKM, MKes 4. Daerah Istimewa Yogjakarta, Jawa Timur, Bali : Drs. Kasnodihardjo



Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

iii

iv

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

KATA PENGANTAR

Mengapa Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 perlu dila­ kukan ? Penyelesaian masalah dan situasi status kesehatan masyarakat di Indo­nesia saat ini masih dilandasi dengan pendekatan logika dan rasional, sehingga masalah kesehatan menjadi semakin komplek. Disaat pendekatan rasional yang sudah mentok dalam menangani masalah kesehatan, ma­ ka dirasa perlu dan penting untuk mengangkat kearifan lokal menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat. Un­tuk itulah maka dilakukan Riset Etnografi sebagai salah satu alternatif mengungkap fakta untuk membantu penyelesaian masalah kesehatan berbasis budaya kearifan lokal. Kegiatan ini menjadi salah satu fungsi dari Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat. Dengan mempertemukan pandangan rasional dan indigenous knowledge (kaum humanis) diharapkan akan menimbulkan kreatifitas dan inovasi untuk mengembangkan cara-cara pemecahan masalah kesehatan masyarakat dengan kearifan lokal masing-masing daerah. Dengan demi­ kian akan menimbulkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa kebersamaan (sense of togetherness) dalam menyelesaikan masalah dan meningkatkan status kesehatan di Indonesia. Tulisan dalam buku seri ini merupakan bagian dari 12 buku seri hasil Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 yang dilaksanakan di berbagai provinsi di Indonesia. Buku seri ini sangat penting guna menyingkap kembali dan menggali nilai-nilai yang sudah tertimbun agar dapat diuji dan dimanfaatkan bagi peningkatan kesehatan ibu dan anak dengan memperhatikan kearifan lokal. Sentuhan budaya dalam upaya kesehatan tidak banyak dilakukan. Dengan terbitnya buku hasil penelitian Riset Etnografi ini akan menambah pustaka budaya kesehatan di Indonesia. Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan, partisipan dan penulis yang berkontribusi dalam

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

v

penyelesaian buku seri ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan-Kementerian Kesehatan RI yang telah memberikan kesempatan pada Pusat Humaniora untuk melaksanakan Riset Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012, sehingga dapat tersusun beberapa buku seri dari hasil riset ini. Surabaya, Desember 2012 Kepala Pusat Humaniora, Kebijakan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI

Drg. Agus Suprapto, M.Kes

vi

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

SAMBUTAN kepala Badan Litbang Kesehatan

Assalamualaikum Wr.Wb. Puji syukur kepada Allah SWT kami panjatkan, karena hanya dengan rahmat dan karuniaNya Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012 ini dapat diselesaikan. Buku seri merupakan hasil paparan dari penelitian etnografi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang merupakan langkah konkrit untuk memberikan gambaran unsur budaya terkait KIA yang berbasis ilmiah. Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) menjadi prioritas utama Program pembangunan Kesehatan Masyarakat Indonesia. Penyelesaian masalah KIA belum menunjukkan hasil sesuai harapan yaitu mencapai target MDGs berupa penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) menjadi 102/100.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi (AKB) 23/1000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Upaya medis sudah banyak dilakukan, sedangkan sisi non medis diketahui juga berperan cukup kuat terhadap status Kesehatan Ibu dan Anak. Faktor non medis tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan dimana mereka berada. Melalui penelitian etnografi ini, diharapkan mampu menguak sisi budaya yang selama ini terabaikan. Budaya memiliki kekhasan tertentu, sehingga pemanfaatan hasil penelitian ini memerlukan kejelian pelaksana atau pengambil keputusan program kesehatan agar dapat berdaya guna sesuai dengan etnik yang dipelajari. Kekhasan masing-masing etnik merupakan gambaran keragaman budaya di Indonesia dengan berbagai permasalahan KIA yang juga spesifik dan perlu penanganan spesifik pula. Harapan saya, buku ini dapat dimanfaatkan berbagai pihak untuk memahami budaya setempat dan selanjutnya dimanfaatkan untuk mengurai dan memecahkan permasalahan KIA pada etnik tertentu. Ucapan terimakasih khususnya kepada tim peneliti dan seluruh pihak terkait merupakan hal yang sudah selayaknya. Kerja keras dan cerdas,

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

vii

tanpa kenal lelah, merupakan bukti integritasnya sebagai peneliti Badan Litbangkes. Akhir kata, bagi tim peneliti, selamat berkarya untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan keejahteraan masyarakat. Semoga buku ini bermanfaat bagi seluruh masyarakat Indonesia. Wabillahitaufik wal hidayah, wassalamu’alaikum wr. wb. Jakarta, Desember 2012



Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI

DR. dr. Trihono, MSc.

viii

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

Daftar Isi

Kata Pengantar .............................................................................................................................................. v SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG KESEHATAN . ........................................... vii Daftar Isi .................................................................................................................................................................... ix Daftar Gambar ............................................................................................................................................... xi Daftar Tabel ......................................................................................................................................................... xiii BAB I Pendahuluan . .................................................................................................................................

1



1 4 5 6 8

1.1 Latar Belakang .............................................................................................................................. 1.2 Pentingnya Penelitian Ini Dilakukan . ................................................................. 1.3 Manfaat Penelitian . ................................................................................................................ 1.4 Tinjauan Pustaka . ...................................................................................................................... 1.5 Metode Penelitian ...................................................................................................................

BAB II Gambaran Daerah Penelitian: Potret Etnis Bali dari Jendela Banjar Banda ................... 11

2.1 Sejarah Banjar Banda ........................................................................................................... 2.2 Geografi dan Kependudukan ...................................................................................... 2.3 Sistem Religi .................................................................................................................................... 2.4 Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan .......................................................... 2.5 Sistem Pengetahuan . ............................................................................................................ 2.6 Bahasa ................................................................................................................................................... 2.7 Sitem Kesenian............................................................................................................................. 2.8. Mata Pencaharian .................................................................................................................... 2.9 Teknologi dan Peralatan ...................................................................................................

11 18 29 46 53 57 59 65 70

BAB III Kesehatan Ibu dan Anak ........................................................................................... 73

3.1 Kosep Sehat-Sakit Etnik Bali . ....................................................................................... 3.2 Klasifikasi dan Jenis Penyakit yang Dikenal ............................................. 3.3 Balian dan Keahliannya ..................................................................................................... 3.4 Permasalahan Sosial di Bidang Kesehatan ................................................

73 75 78 82

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

ix



3.5 Gambaran Kondisi KIA ........................................................................................................ 85 3.6 Menyusui dan Masa Balita ............................................................................................ 105

BAB IV Kepercayaan terhadap Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak . ................................................................................................................................ 115 4.1 Health Seeking Behaviour .............................................................................................. 115 4.2 Peran Puskesmas dalam Peningkatan Kesehatan Ibu Dan Anak ................................................................................................................................ 118 BAB V Potensi dan Kendala Budaya dalam Pembangunan Kesehatan Ibu dan Anak ....................................... 127 BAB VI Penutup ............................................................................................................................................... 133

6.1 Simpulan .............................................................................................................................................. 133 6.2 Saran ......................................................................................................................................................... 134

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................................... 137

x

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

Daftar Gambar

Gambar 2.1 Patung bayi Kebo Iwa............................................................................................... Gambar 2.2 Patung Kebo Iwa saat dewasa....................................................................... Gambar 2.3 Peta Bali, Kabupaten Gianyar merupkan lokasi penelitian.............................................................................................................. Gambar 2.4 Batas wilayah penelitian....................................................................................... Gambar 2.5 Pancuran air di Banjar Banda ........................................................................ Gambar 2.6 Pancuran di Pura Musen ..................................................................................... Gambar 2.7 Seorang penduduk Banjar Banda sedang membuang sampah.................................................................................................... Gambar 2.8 Lubang galian sampah di belakang rumah. ................................... Gambar 2.9 Tempat pembuangan sampah penduduk Banjar Banda....................................................................................................................... Gambar 2.11 Parit di Banjar Banda................................................................................................ Gambar 2.12 Sawah di Banjar Banda........................................................................................... Gambar 2.13 Ladang penduduk Banjar Banda................................................................ Gambar 2.14 Lidah buaya, komoditas yang dibudidayakan penduduk Banjar Banda. ...................................................................................... Gambar 2.15 Pola bangunan rumah tradisional Bali............................................... Gambar 2.16 Kuil keluarga (merajan).......................................................................................... Gambar 2.17 Tempat yang dipercaya untuk memohon keselamatan balita....................................................................................................... Gambar 2.18 Pura Musen di Banjar Belangsinga, Desa Saba......................... Gambar 2.19 Batu besar di Sungai Petanu diyakini memiliki kekuatan gaib/keramat.. ....................................................................................... Gambar 2.20 Skema organisasi sosial Desa Saba Di Bali dikenal dua pengertian desa, yaitu: ................................. Gambar 2.21 Vila di Desa Saba............................................................................................................ Gambar 2.22 Tanaman komoditas penduduk Banjar Banda........................... Gambar 2.23 Pekerja mengangkut batu .................................................................................

13 13 19 20 21 21 22 22 23 29 25 25 25 28 28 41 42 44 47 66 66 68

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

xi

Gambar 2.24 Tumpukan batu padas............................................................................................. 68 Gambar 2.25 Ibu yang sudah berusia ......................................................................................... 69 Gambar 2.26 Canang lanjut sedang membuat canang.. ...................................... 69 Gambar 2.27 Penjual babi sedang .................................................................................................. 70 Gambar 2.28 Hasil home industry menimbang babi berupa pia kacang hijau............................................................................................................... 70 Gambar 2.29 dan Gambar 2.30 Lesung, alat untuk membuat jamu ... 71 Gambar 3.1 Upacara inisiasi (nutug kelih) pada remaja................................... 87 Gambar 3.2 Ibu hamil selesai mandi di pantai.............................................................. 96 Gambar 3.3 Ibu hamil selesai mandi di pantai ditemani suaminya.... 96 Gambar 3.4 Tempat menanam ari-ari bayi yang baru lahir ........................ 100 Gambar 3.5 Gelang hitam pada bayi ....................................................................................... 102 Gambar 3.6 Bobok berupa beras yang ditumbuk dibalurkan di atas kepala bayi.. ..................................................................................................... 102 Gambar 3.7 dan gambar 3.8 Upacara tutug kambuhan................................... 105 Gambar 3.9 Daun sage, bahan untuk membuat jamu guna melancarkan air susu ibu.................................................................................... 107 Gambar 3.10 dan 3.11 Kegiatan posyandu yang dikoordinasi oleh kelian Banjar Banda.. .................................................................................. 109 Gambar 3.12 Pengobatan tradisional flu dengan menggunakan beras kencur (meboreh)........................................................................................ 110 Gambar 3.13 Banten/sesaji untuk upacara natab nelubulanin . ................ 111 Gambar 3.14 Salah satu prosesi upacara natab nelubulanin untuk memanggil catur sanak (empat saudara)..................... 111 Gambar 3.15 Rangkaian prosesi upacara natab nelubulanin ....................... 112 Gambar 3.16 Prosesi potong rambut bayi.. .......................................................................... 113 Gambar 4.1 Kegiatan posyandu di Banjar Banda.v.................................................. 124 Gambar 4.2 Seorang balita hendak ditimbang di posyandu di Banjar Banda............................................................................................................... 125

xii

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

Daftar Tabel

Tabel 4.1 Model Alternatif Perilaku Kesehatan Fred L. Duun (1976)................................................................................................................. 128



Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

xiii

xiv

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih cukup tinggi dibandingkan negara ASEAN lainnya. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 memberikan data bahwa AKI 228 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB 34 per 1.000 kelahiran hidup. Ber­ dasar kesepakatan global MDGs (Millenium Development Goals) tahun 2000 diharapkan tahun 2015 terjadi penurunan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB menjadi 23 per 1.000 kelahiran hidup. Berbagai upaya Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dilakukan untuk mengatasi perbedaan yang sangat besar antara AKI dan AKB di negara maju dan di negara berkembang seperti Indonesia. Upaya KIA dilakukan untuk menyelamatkan perempuan agar kehamilan dan persalinan dapat dilalui dengan sehat, aman, dan dihasilkan bayi yang sehat. Data Susenas 2007 menunjukkan bahwa hanya sekitar 35% penduduk sakit yang mencari pertolongan ke fasilitas pelayanan kesehatan. Tampak­ nya cukup banyak penduduk yang tidak memanfaatkan fasilitas kesehatan, terbukti 55,4% persalinan terjadi di fasilitas kesehatan dan 43,2% mela­ hirkan di rumah. Dari jumlah ibu yang melahirkan di rumah, 51,9% di­ tolong oleh bidan dan masih ada 40,2% yang ditolong dukun bersalin (Riskesdas 2010). Data Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa setahun sebelum survei, 82,2% persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan, namun masih ada kesenjangan antara pedesaan (72,5%) dan perkotaan (91,4%). Masih tingginya pemanfaatan dukun bersalin serta keinginan masyarakat untuk melahirkan di rumah, terkait dengan faktor-faktor sosial budaya. Masalah kesehatan ibu dan anak tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam masyarakat tempat mereka berada. Disadari atau tidak, faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan tradisional

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

1

seperti konsepsi-konsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab akibat antara makanan dan kondisi sehat-sakit, dan kebiasaan, sering kali membawa dampak positif atau negatif terhadap kesehatan ibu dan anak. Salah satu sebab mendasar masih tingginya kematian ibu dan anak adalah budaya, selain faktor-faktor yang lain seperti kondisi geografi, penyebaran penduduk, atau kondisi sosial ekonomi. Pola dasar kesehatan masyarakat tidak terlepas dari masalah sosial budaya. Rencana strategi Kementerian Kesehatan tahun 2010-2014 ten­ tang program Gizi dan KIA menyebutkan indikator tercapainya sasaran ha­sil tahun 2014, yaitu persentase pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih sebesar 90% dan kunjungan neonatal pertama (KN1) sebesar 90% serta persentase balita yang ditimbang berat badannya (jumlah balita ditimbang/balita seluruhnya atau D/S) sebesar 85% (Kemenkes, 2010). Luaran yang diharapkan adalah meningkatnya kualitas pelayanan ibu dan anak serta pelayanan reproduksi. Untuk mencapai hal tersebut bu­kanlah hal mudah. Strategi pembangunan kesehatan seperti yang tertuang dalam Rencana Pengembangan Jangka Panjang Bidang Kesehat­ an tahun 2005-2025 antara lain menyebutkan tentang pemberdayaan masyarakat. Peran masyarakat dalam pembangunan kesehatan semakin penting. Masalah kesehatan perlu diatasi oleh masyarakat sendiri dan pemerintah. Keberhasilan pembangunan kesehatan dan penyelenggara­ an berbagai upaya kesehatan harus berangkat dari masalah dan potensi spesifik daerah, termasuk di dalamnya sosial dan budaya setempat. Pemberdayaan masyarakat berbasis masyarakat, artinya pembangunan ke­ sehatan berbasis pada tata nilai perorangan, keluarga, dan masyarakat sesuai dengan keragaman sosial budaya, kebutuhan permasalahan, serta potensi masyarakat (modal sosial) (Depkes RI, 2009, SKN). Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau besar dan kecil yang di­huni ratusan suku bangsa dengan berbagai ragam budaya telah membe­rikan suatu kekhasan tersendiri. Perilaku masyarakat, khususnya ma­sya­rakat tradisional, tercermin dari perilaku mereka memanfaatkan ke­kayaan intelektual masyarakat lokal berupa pengetahuan tradisional mereka dan keanekaragaman hayati di lingkungannya. Praktik budaya terkait kesehat­ an tersebut, sebagian diklaim oleh orang-orang sebagai pengetahuan “mo­dern”, menjadi salah satu penyebab buruknya status kesehatan masyarakat setempat. Sebagai contoh, dalam budaya sei, yaitu bayi yang baru lahir ditempatkan di dalam rumah yang dibawahnya diberi pengasa-

2

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

pan telah menyebabkan tingginya angka kesakitan gangguan pernapasan pada bayi baru lahir. Beberapa kelompok masyarakat di Jawa masih mempunyai kebiasaan memberikan makanan pisang dilumat dengan nasi untuk diberikan kepada bayi usia dini (kurang 4 bulan) sehingga bayi mempunyai risiko terganggu saluran pencernaannya. Kekayaan budaya Indonesia dari berbagai suku bangsa yang tersebar di seluruh Indonesia telah mewarnai upaya kesehatan. Upaya kesehatan bisa berupa pelayanan konvensional maupun tradisional dan komplementer yang berupa kegiatan preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif. Upaya kesehatan diselenggarakan guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya. Dalam hal pelayanan kesehatan meliputi pula pelayanan kesehatan berbasis masyarakat. Di dalamnya termasuk pengobatan dan cara-cara tradisional yang terjamin keamanan dan khasiatnya. Masalah KIA di Indonesia yang terkait dengan sosial budaya menjadi permasalahan penting yang perlu dikaji secara lebih mendalam dan spesifik sesuai dengan latar belakang daerah dan budaya etnis bersangkutan. Wujud budaya dapat berupa suatu ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan lain sebagainya yang sering diistilahkan sebagai adat istiadat. Wujud budaya yang lain berupa sistem sosial, yaitu aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud budaya bisa pula berupa bentuk benda atau hal-hal yang dapat dilihat, diraba, dan difoto, yaitu hasil fisik dari aktivitas, perbuatan dan karya seperti alat sunat, alat penumbuk jamu, dan lain sebagainya. Wujud budaya tersebut merefleksikan budaya dan identitas sosial masyarakatnya. Pengembangan atau inovasi dengan melibatkan sosial budaya lokal yang bermanfaat bagi upaya KIA sangat dibutuhkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat tersebut melalui suatu intervensi yang dapat diterima oleh masyarakat pelakunya. Mempersiapkan generasi penerus yang tangguh demi kesejahteraan bangsa Indonesia adalah tanggung jawab bersama, maka harus diprio­ ritaskan pemeliharaan kesehatan sejak dalam kandungan sampai remaja. Permasalahan KIA sering kali merupakan masalah kesehatan yang lokal spesifik terkait dengan sosial budaya setempat. Hal ini perlu digali guna mengetahui permasalahan mendasar sehingga dapat segera dilakukan perbaikan dan pemberdayaan budaya yang akan berdampak positif bagi kesehatan. Dengan demikian, kekayaan budaya Indonesia yang baik dapat terus dikembangkan, dilestarikan, dan dimanfaatkan secara lokal, bahkan bila memungkinkan secara nasional.

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

3

Pola dasar kesehatan masyarakat tidak terlepas dari masalah sosial, budaya, maupun lingkungan setempat. Orientasi budaya menggambarkan sikap, pandangan, dan persepsi mengenai masalah kehidupan, termasuk kesehatan yang dapat memberikan dampak positif maupun negatif ter­ hadap status kesehatan masyarakat secara umum. Pemahaman tentang budaya masyarakat terkait masalah kesehatan sangat penting untuk diperhatikan sebagai faktor penentu menuju keberhasilan programprogram kesehatan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup individu maupun masyarakat. Gambaran tersebut dapat dimanfaatkan para petugas kesehatan untuk mengetahui, mempelajari, dan memahami apa yang berlaku di masyarakat. Berdasar budaya yang sudah terpantau tersebut, program kesehatan dapat dirancang untuk meningkatkan status kesehatan ibu dan anak sesuai dengan permasalahan lokal spesifik. Dalam proses ini pendekatan budaya merupakan salah satu cara yang penting dan tidak bisa diabaikan. Dalam hubungan dengan IPKM sebagai salah satu indikator keber­ hasilan pelayanan kesehatan di Bali, Kabupaten Gianyar merupakan salah satu kabupaten yang dinilai berhasil mencapai Indeks Pelayanan Kesehatan Masyarakat (IPKM) yang tinggi. Atas dasar itu maka Kabupaten Gianyar dipilih sebagai salah satu lokasi penelitian entografi budaya KIA di Indonesia. Dari uraian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai ber­ ikut: 1. Mendapat gambaran holistik aspek sejarah, geografi, dan sosial budaya masyarakat yang terkait dengan kesehatan ibu dan anak di beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Kabupaten Gianyar. 2. Mendapat gambaran tingkat kepercayaan masyarakat setempat terhadap pelayanan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Gianyar. 3. Mendapat gambaran tentang potensi dan kendala yang diha­ dapi masyarakat dalam peningkatan kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Gianyar. 1.2 Pentingnya Penelitian Ini Dilakukan Semakin disadari bahwa budaya tidak bisa diabaikan pengaruhnya terhadap status kesehatan masyarakat. Karena itu, riset tentang budaya

4

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

kesehatan masyarakat dalam upaya meningkatkan status kesehatan sangatlah penting untuk dilakukan. Konsekuensi logisnaya adalah beraneka ragam budaya yang ada di wilayah Indonesia memerlukan pemahaman yang cermat sesuai dengan potensi dan karakteristik etnis di masingmasing daerah atau wilayah. Penggalian dan pemahaman potensi kearifan budaya lokal atau spesifik akan dapat digunakan sebagai upaya strategis untuk membuat kebijakan kesehatan secara tepat sesuai dengan kondisi dan kebutuhan lokal yang spesifik pula. Secara objektif, setiap kelompok masyarakat mempunyai konsepsi sehat-sakit dan persepsi yang berbeda-beda terhadap kondisi kesehatan yang dialami. Hal ini sangat ditentukan oleh kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Self treatment maupun upaya mencari tenaga kesehatan merupakan upaya manusia mengatasi permasalahannya. Dalam health seeking behavior diketahui bahwa setiap orang yang terganggu kese­ hatannya akan mencari jalan untuk menyembuhkan diri dari gangguan kesehatan atau penyakit yang dideritanya. Budaya masyarakat yang menjadi ciri khas pola kehidupan yang telah menjadi tradisi turun te­ murun, memiliki potensi yang besar untuk mempengaruhi derajat kese­ hatan, baik yang bersifat negatif maupun positif. Memahami status kesehatan masyarakat dari perspektif budaya kesehatan merupakan upaya yang mendasar dan strategis dalam pembangunan kesehatan nasional pada umumnya dan meningkatkan status kesehatan ibu dan anak pada khususnya. Permasalahan KIA yang ada di berbagai wilayah di Indonesia perlu digali dalam kerangka siklus hidup ibu dan anak mulai dari remaja, pranikah, pasangan usia subur, hamil, menyusui bayi, dan anak bawah lima tahun (balita). Penggalian budaya yang berkembang di masyarakat yang bertalian dengan permasalahan KIA tersebut akan ditelusuri secara detail dan mendalam dengan cara memetakan atau memotret gambaran a) kondisi alam, kependudukan, dan pola tempat tinggal, b) sejarah, dan c) unsur-unsur kebudayaan universal yang meliputi 1) organisasi sosial dan sistem kekerabatan, 2) sistem teknologi, 3) sistem pengetahuan, 4) sistem mata pencaharian, 5) sistem religi, dan 6) kesenian. 1.3 Manfaat Penelitian Hasil riset ini akan sangat bermanfaat untuk menentukan strategi pem­bangunan kesehatan di berbagai sektor pemerintahan, antara lain untuk pengelola program Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kese­

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

5

hatan RI, Pemerintah Daerah/Provinsi/Kabupaten/Kota, dan Dinas Kese­ hatan Daerah. Sementara itu, sebagai pembekalan pengetahuan sangat bermanfaat bagi institusi pendidikan terutama, perguruan tinggi dan lembaga pendidikan tenaga kesehatan lainnya. Dengan demikian, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, baik secara teoretis maupun praktis. 1.3.1 Manfaat Teoretis Penelitian ini mempunyai manfaat teoretis sebagai berikut. 1. Dapat menambah wawasan dan memberi motivasi untuk me­ nin­daklanjuti kajian ilmiah tentang etnografi kesehatan ibu dan anak. 2. Dapat memperkaya khazanah pengetahuan tentang budaya kesehatan di Indonesia pada umumnya dan KIA khusunya pada masyarakat Bali. 1.3.2 Manfaat Praktis Penelitian ini mempunyai manfaat praktis sebagai berikut. 1. Sebagai salah satu bahan informasi yang dapat dirujuk oleh akademisi dan praktisi kesehatan, khususnya tentang KIA, da­ lam melaksanakan Tupoksinya. 2. Diperolehnya data-data enografi yang mendalam mengenai kesehatan ibu dan anak di masyarakat Bali pada umumnya dan Banjar Banda pada khususnya. 3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai rujukan para penentu kebijakan tentang program kesehatan ibu dan anak (KIA) di Indonesia maupun suatu daerah yang spesifik. 1.4 Tinjauan Pustaka Kesehatan merupakan bagian integral dari kebudayaan. Manusia mampu melakukan aktivitas kebudayaan jika dalam keadaan sehat, se­ hingga dapat dipahami bahwa kesehatan merupakan elemen penting bagi kebudayaan. Begitu pula sebaliknya, kebudayaan juga bisa menjadi pedoman masyarakat dalam memahami kesehatan. Untuk itu, memahami masalah kesehatan yang ada di masyarakat melalui kebudayaan sangat penting dilakukan karena masalah kesehatan tidak pernah lepas dari situasi dan kondisi masyarakat dan budayanya (Ahimsa, 2005:16). Sebagai contoh, dalam penelitian “Hambatan Budaya dalam Interaksi Bidan-Ibu

6

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

Hamil: Studi Ketaatan untuk Meningkatkan Suplemen dan Status Besi di Puskesmas Banyuurip, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah” yang di­ lakukan oleh Emiliana Mariyah dan Mohammad Hakimi (2005:105), Emiliana dan Hakimi (2005:132) menyimpulkan bahwa masih kuat sistem kepercayaan dan praktik pantangan yang dilakukan ibu hamil berkaitan dengan demensi budaya setempat. Pada saat hamil, secara medis ibu dan bayi memerlukan makanan yang bergizi dan zat besi lebih banyak, namun dalam praktiknya, yang terjadi justru ibu-ibu melakukan hal sebaliknya. Ibu menghindari, bahkan mengurangi, jumlah dan jenis makanan tertentu yang mengandung gizi tinggi, serta mengabaikan zat besi yang sangat dibutuhkan selama kehamilan, karena berbagai alasan yang berkaitan dengan kepercayaan dan nilai budaya setempat. Selain faktor budaya, tersedianya pelayanan kesehatan medis, keterjangkauan secara ekonomi dan jarak, mutu pelayanan kesehatan, serta persepsi dan tingkat keparahan penyakit juga berpengaruh kuat terhadap pemilihan pelayanan kesehatan yang tersedia. Menurut kerangka H.L Blum (1969), derajat kesehatan dapat di­pe­ ngaruhi oleh empat faktor yang saling berhubungan, yaitu faktor pem­ bawaan/keturunan, lingkungan fisik dan sosial budaya, tingkah laku, dan pelayanan kesehatan (Roekmono dan Setiady,1984). Dari keempat faktor tersebut, faktor lingkungan fisik dan sosial budaya, dan tingkah laku menjadi faktor yang dominan. Berdasarkan penjelasan sekilas mengenai penelitian dan konsepsi tersebut dapat dipahami bahwa kesehatan mempunyai korelasi yang sangat erat dengan kebudayaan. Untuk itu, perlu ada pemahaman se­ cara holistik mengenai budaya masyarakat yang berkaitan dengan peri­ laku kesehatan, khususnya kesehatan ibu dan anak (KIA). Mengutip pandangan Heddy Shri Ahimsa-Putra (2005:16), bahwa dalam pandangan para ilmuwan sosial budaya, masalah kesehatan dalam suatu masyarakat sangat erat kaitannya dengan fasilitas kesehatan, sarana transportasi dan komunikasi yang ada dalam suatu masyarakat, kepercayaan, jenis mata pencaharian serta lingkungan fisik tempat masyarakat tersebut berada. Dilihat dari perspektif ini masalah kesehatan tidak lagi dapat dipahami dan diatasi hanya dengan memusatkan perhatian pada kesehatan tubuh. Kesehatan tubuh adalah hasil dari proses interaksi antara unsur-unsur internal tubuh dengan unsur eksternalnya. Jika para dokter acap kali lebih banyak memperhatikan unsur-unsur internal atau melihatnya secara etik, maka para ilmuwan sosial budaya lebih memperhatikan unsur-unsur

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

7

eksternal atau secara emik. Dengan demikian, dalam rangka memahami secara holistik budaya kesehatan ibu dan anak (KIA), maka konsepsi budaya etik dan emik akan dijadikan sebagai landasan analisis. 1.5 Metode Penelitian 1.5.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Gianyar, yang lebih ter­ fokus pada etnis Bali yang bermukim di wilayah Banjar Banda, Desa Saba, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali. Diplihnya Kabupaten Gianyar dan Banjar Banda sebagai setting penelitian didasarkan atas pertimbangan bahwa Kabupaten Gianyar merupakan satu kabupaten yang mencapai IPKM tertinggi di Bali. 1.5.2 Jenis Penelitian, Sumber data, dan Teknik Pengumpulan Data Jenis penelitian ini adalah kualitatif sehingga penelitian ini meng­ gunakan dua sumber data, yaitu sumber data primer dan sumber data skunder. Data primer adalah data atau informasi yang di peroleh secara langsung dari sumber-sumber utama, yakni para informan dan hasil observasi langsung peneliti terhadap berbagai peristiwa, kejadian, dan perilaku masyarakat yang berkaitan dengan kesehatan ibu dan anak (KIA). Sementara data sekunder adalah data atau informasi yang diperoleh secara tidak langsung melalui telaah atau kajian terhadap dokumendokumen yang terkait dengan KIA. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu observasi partisipasi, wawancara mendalam, dan analisis dokumen serta kepustakaan terkait. Observasi partisipasi yang dilakukan adalah peneliti ikut terlibat dalam berbagai kegiatan yang dilakukan masyarakat, baik yang berkaitan langsung dengan KIA maupun tidak berkaitan langsung dengan KIA, seperti kegiatan sosial dan keagamaan. Hal ini memungkinkan untuk dilakukan karena peneliti tinggal bersama masyarakat di wilayah penelitian selama hampir tiga bulan penuh. Namun, perlu dikemukakan di sini bahwa selama berlangsungnya pengamatan, secara bersamaan juga dilakukan wawancara berkenaan dengan sesuatu yang dilihat dan didengar terkait masalah yang dikaji guna memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang lebih dalam dan komprehensif. Aspek-aspek yang dicermati dalam pengamatan adalah (1) keadaan/situasi di tempat kegiatan kelompok yang diteliti; (2) orang-orang yang ikut serta dalam situasi tersebut, termasuk

8

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

jenis kelamin, usia, profesi, tempat asal, dan lain-lain; (3) kegiatan yang dilakukan orang dalam situasi tersebut; (4) benda-benda atau alat yang digunakan; (5) perbuatan, yaitu tindakan para pelaku dan ekspresi wajah sebagai cerminan perasaan dan emosi mereka. Teknik wawancara mendalam digunakan dalam penelitian ini ter­ utama untuk menggali informasi mengenai pengalaman individu yang biasanya disebut sebagai metode penggunaan data pengalaman individu (individual life history) atau dokumen manusia (human document) (Koen­ tjaraningrat, 1989:158). Dalam hal ini peneliti mengajukan pertanyaanpertanyaan secara bebas dan leluasa, namun tetap dipandu dengan pedoman terhadap pokok-pokok masalah yang ingin dipahami. Dengan cara ini wawancara dapat berlangsung luwes, bisa lebih terbuka sehingga diperoleh informasi yang lebih kaya, pembicaraan tidak terlampau formal dan lebih mudah mengalihkan satu topik ke topik yang lain sehingga suasana wawancara tidak membosankan, baik bagi peneliti maupun bagi in­ forman. Teknik analisis dokumen dilakukan dengan menganalisis berbagai dokumen yang ada dan terkait dengan permasalah KIA di lokasi penelitian. Di samping menggunakan dokumen terkait, analisis penelitian ini juga menggunakan dukungan buku kepustakaan terkait. 1.1.3 Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini teknik analisis yang digunakan adalah deskriptif interpretatif dengan berdasarkan pada perspektif atau konsepsi secara emik dan etik. Proses analisis secara emik dan etik dilakukan secara bergantian dalam satu rentang situasi waktu, tempat, dan aktor. Secara konkret mekanismenya bahwa setiap informasi penting yang diperoleh dari informan langsung dianalisis untuk membuat hipotesis-hipotesis kecil yang kemudian digunakan untuk membuat pertanyaan berikutnya. Dengan demikian, teknik analisis dan wawancara tersebut mengacu kepada apa yang oleh Taylor dan Bogdan (1984:128) disebut dengan istilah go handin-hand. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini sebagian besar berwujud data kualitatif. Data ini kemudian dianalisis dengan mengikuti prosedur analisis data kualitatif sebagaimana dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992) dan Hikmat (2000), yaitu reduksi data, menyajikan data, menafsirkan data, dan menarik simpulan. Proses reduksi data meli­ puti berbagai kegiatan, yakni penyeleksian, pemfokusan, simplifikasi, peng­kodean, penggolongan, pembuatan pola, foto dokumentasi untuk

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

9

situasi atau kondisi yang memiliki makna subjektif, kutipan wawancara yang memiliki makna subjektif, dan catatan reflektif. Penyajian data dan penafsiran berkaitan dengan penyusunan teks naratif dalam kesatuan bentuk, keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi, alur sebab akibat, dan proposisi, sedangkan penarikan simpulan atau verifikasi antara lain mencakup hal-hal yang hakiki, yakni makna subjektif, temuan konsepsi, dan proses universal. Kesemuanya ini tidak terlepas dari masalah yang ditelaah. Kegiatan pengumpulan data, reduksi data, penarikan simpulan dan penyajian data, merupakan rangkaian kegiatan yang terkait dan berlangsung secara siklik ulang-alik sampai mendapatkan hasil penelitian akhir, yakni etnografi yang bersifat holistik dan sarat makna dalam konteks pemberian jawaban terhadap masalah yang dikaji dalam penelitian ini. Jadi, dengan memadukan dua teknik pengumpulan data dan analisis tersebut diharapkan hasil penelitian ini dapat menggambarkan kedalaman, dan keluasan aspek-aspek yang dikaji dapat diwujudkan.

10

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

BAB II Gambaran Daerah Penelitian: Potret Etnis Bali dari Jendela Banjar Banda

2.1 Sejarah Banjar Banda Pada zaman kerajaan tersebutlah sebuah hutan yang diberi nama I Rengked, tempat itu dihuni oleh 18 orang dan pada saat itu yang menjadi pemimpinnya adalah I Rengked. Sebenarnya, hutan Rengked merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Blahbatuh, namun hutan itu dikuasai oleh Kerajaan Sukawati. Raja Sukawati pada saat itu adalah Dewa Agung Anom Kalang yang merupakan Putra Dewa Agung Jambe. Karena hutan Rengked merupakan jajahan Sukawati, maka I Gusti Ngurah Jelantik yang menjadi raja di Kerajaan Blahbatuh merasa kecewa karena daerah kekuasaannya dikuasai oleh Raja Sukawati. Berkali-kali Raja Blahbatuh bersama prajuritnya menyerang Raja Sukawati untuk merebut kekuasaannya kembali, tetapi serangan Raja Blahbatuh selalu menemui kegagalan. Saat itu kedudukan Raja Sukawati sangat kuat. Melihat kedudukan Raja Sukawati yang sangat kuat, maka Raja Blah­ batuh memerintahkan I Gusti Ngurah Padang dari Bona untuk menyerang Kerajaan Sukawati. I Gusti Ngurah Padang merupakan putra I Gusti Gede Angkatan. I Gusti Ngurah Padang bersama-sama I Rengked bersatu melawan Raja Sukawati, dan pada akhirnya Raja Sukawati dapat dikalahkan. Maka, Raja Sukawati menyerah dan hutan Rengked kembali menjadi wilayah Kerajaan Blahbatuh. Hak I Dewa Anom Kalang berupa keris dikuasai oleh I Gusti Gede Padang, dan keris yang didapatnya itu lalu diberi nama Keris Pusaka Rengked, karena pusaka itu didapat pada waktu merebut hutan Rengked. Keris pusaka tersebut masih disimpan di Puri Blahbatuh sampai sekarang. Raja Blahbatuh pada saat itu merasa gembira atas kemenangan

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

11

yang diperoleh I Gusti Gede Padang dan I Rengked beserta pengikutnya. Pada saat itulah nama hutan Rengked diubah namanya menjadi Toh Jiwa, sebab tempat itu direbut dengan pertaruhan jiwa. Setelah keadaan cukup aman dan tidak mungkin terjadi pertumpahan darah lagi antara Blahbatuh dan Sukawati, seluruh raja di Bali berkunjung ke Toh Jiwa untuk menyaksikan upacara kemenangan Raja Blahbatuh terhadap Raja Sukawati. Jumlah penghuni hutan Rengked pada saat itu hanya 18 orang dan dianggap sedikit sekali. Maka, I Gusti Gede Padang berusaha memperbanyak jumlah penghuni Toh Jiwa dengan cara menghu­ bungi seluruh raja di seluruh Bali. Barangsiapa pada masa itu dianggap bersalah dan dikenai hukuman mati, maka orang tersebut diminta dan dibawa ke Toh Jiwa untuk memperbanyak penghuni/penduduk Toh Jiwa. Oleh sebab itu, penduduk Toh Jiwa menjadi semakin banyak. Orang-orang yang bersalah bertemu di Toh Jiwa dan akhirnya tempat pertemuan itu diberi nama Pesaban. Lama-kelamaan Pesaban berubah nama menjadi Saba. Karena ada ikatan historis seperti itu, maka para Agung (keluarga kerajaan) sampai sekarang masih datang ke Saba untuk membicarakan suatu masalah yang dihadapi, di samping untuk menyaksikan kemajuan kesenian yang ada di Desa Saba. Salah satu kesenian yang sangat me­ nonjol adalah Legong Kraton Saba di samping kemajuan seni Tabuh Ging Pinda yang telah mendapat Predikat Juara di Tingkat Provinsi (Profil Pembangunan Desa Saba, 2004-2005). Berdasarkan dongeng masyarakat Saba yang termasuk wilayah Kera­ jaan Blahbatuh, Saba memiliki tokoh yang terkenal di seluruh Nusantara, yaitu Patih Kebo Iwa. Kebo Iwa merupakan salah satu ikon Gianyar. Kebo Iwa dianggap sebagai pahlawan pada masa itu karena dulu selama Kebo Iwa masih hidup, upaya penaklukan Bali oleh Majapahit tidak pernah berhasil. Berikut dongeng tersebut. 2.1.1 Legenda Kebo Iwa Konon menurut yang empunya cerita, di Desa Bedehe Tabanan per­ nah hidup sepasang suami istri. Mereka rukun dan mempunyai kekayaan yang melimpah ruah. Sayang mereka belum dikaruniai anak oleh Ida Sang Hyang Widi Wasa atau Allah Yang Mahakuasa. Keadaan ini membuat mereka sangat risau karena mereka telah men­jadi suami istri selama beberapa tahun lamanya. Orang yang tanpa keturunan, menurut orang Bali, sia-sialah hidupnya. Oleh karena itu, pa­da suatu hari yang baik menurut hitungan pasaran, suami istri itu

12

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

bersama-sama pergi ke pura Desa Bedehe untuk memohon kepada Yang Mahakuasa agar mereka dikaruniai seorang putra. Bila permohonan itu terkabul, mereka berjanji akan mengusahakan agar putranya itu menjadi hamba Allah yang baik. Beberapa bulan berlalu, mulailah tampak tanda-tanda bahwa sang istri mulai mengandung. Betapa girangnya mereka berdua. Setelah genap masa kandungannya, lahirlah seorang bayi laki-laki bertubuh besar yang diberi nama Kebo Iwa. Bayi laki-laki ini diceritakan dan diyakini masyarakat memiliki kesaktian dan kepintaran dalam asiktektur khas Bali. Bahkan, sistem irigasi dalam aktivitas pertanian yang terkenal dengan istilah subak diyakini masyarakat diciptakan oleh Kebo Iwa. Atas kehebatan Kebo Iwa dan sebagai bentuk penghormatan masyarakat Gianyar terhadap Kebo Iwa, maka dibuatlah satu patung Kebo Iwa yang dibangun di salah satu persimpangan jalan menuju objek wisata Ubud , tepatnya di wilayah Desa Sakah. Bentuk patung Kebo Iwa ketika masih bayi dan setelah dewasa secara lebih jelas dapat dilihat pada gambar 2.1 dan 2.2 sebagai berikut.

Gambar 2.1 Patung bayi Kebo Iwa.

Gambar 2.2 Patung Kebo Iwa saat dewasa.

Menurut mitos setempat, bayi itu sangat luar biasa tingkah lakunya. Ketika lahir, ia sudah dapat makan ketupat. Makannya pun bukan main banyaknya. Setiap hari makanannya bertambah sebuah ketupat lagi. Pertumbuhan bayi itu pun amat pesat. Untuk sekali makan ia dapat menghabiskan satu bakul besar (kukusan) nasi. Demikianlah seterusnya,

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

13

jumlah makanannya makin bertambah sehingga setelah dewasa makannya pun sudah tidak dapat dibatasi lagi. Karena tubuhnya sangat tinggi besar, anak itu diberi nama Kebo Iwa yang berarti “Paman Kerbau” .Karena ma­kannya amat berlebihan, lama-kelamaan habislah harta kekayaan orang tuanya sehingga orang tua Kebo Iwa tidak sanggup lagi memberi makan anaknya. Mereka terpaksa minta bantuan desa. Sejak itu Kebo Iwa menjadi tanggungan desa. Segala keperluannya ditanggung dan dijamin oleh desa. Untuk tempat tinggal Kebo Iwa, desa membuatkan sebuah rumah yang sangat panjang, membujur dari timur ke barat. Panjang balaibalainya saja membentang sampai melewati Sungai Yeh Empas, sekitar 300 meter. “Kami tidak sanggup memasakkan makanan Kebo Iwa,” keluh penduduk desa. “Terlalu banyak yang harus kami masak.” “Lalu, bagaimana caranya?” tanya yang lain. “Suruh saja Kebo Iwa masak sendiri,” jawab se­tengah yang lain. “Begitu juga bagus.” Sejak saat itu penduduk desa hanya menyediakan bahan mentahnya. Kebo Iwa memasak sendiri. Un­ tuk keperluan memasak dibangunlah sebuah dapur raksasa di batu karang yang terletak di Pantai Soka, Selemadeg, Tabanan. Jika hendak mandi, Kebo Iwa pergi ke Sungai Yeh Leh atau ke Danau Beratan. Karena jangkauan kakinya lebar, ia dapat menempuh perjalanan dari rumahnya di Bedehe ke tempat pemandian dalam sekejap saja. Kalau Kebo Iwa haus, ia hanya menusukkan jari telunjuknya ke dalam tanah dan munculla sebuah sumur kecil yang mengeluarkan air. Karena kesaktian atau keistimewaan Kebo Iwa ini, beberapa waktu lamanya Gajah Mada dari Majapahit tidak mampu menundukkan Pulau Bali. Kebo Iwa selalu dapat menangkal setiap serangan tentara Majapahit. Akhirnya Patih Gajah Mada mendapat siasat. Kebo Iwa diajak berdamai. Ia mendapat kehormatan diundang ke Majapahit. Karena Kebo Iwa sangat terkenal akan kepandaiannya membuat sumur, sedangkan Majapahit waktu itu kekurangan air minum, Majapahit mengajukan permintaan agar Kebo Iwa bersedia menggali beberapa su­ mur. Karena Kebo Iwa seorang yang polos, tanpa curiga sedikit pun ia memenuhi permintaan itu. Walaupun sangat tergesa-gesa berangkat ke Jawa Timur, Kebo Iwa masih sempat menelungkupkan periuknya. Setiba di Majapahit, Kebo Iwa segera menggali beberapa sumur. Pekerjaan ini cukup sukar sebab untuk mencapai air, ia harus menggali dalam sekali. Ketika ia sedang asyik bekerja di dasar lubang sumur yang sangat dalam, tiba-tiba Patih Gajah Mada menimbuninya dengan kapur sehingga Kebo Iwa sesak napas dan akhirnya meninggal di dalam sumur yang digalinya sendiri dalam keadaan yang sangat menyedihkan. Dengan matinya pah­

14

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

lawan Bali ini, dengan sangat mudah Pulau Bali dapat ditaklukkan oleh Majapahit. Periuk Kebo Iwa akhirnya menjadi batu dan ditumbuhi alangalang. Dapurnya mengalami kerusakan akibat dilanda ombak laut. Demi­ kian hikayat singkat tentang manusia serbabesar. Bukan saja besar tubuh dan tenaganya, melainkan juga besar jiwanya (James Danandjaja, 1992). Figur Kebo Iwa inilah yang dijadikan sosok pahlawan dan ikon perju­ angan masyarakat Gianyar. Kebo Iwa digambarkan sebagai orang yang tulus dan lugu, namun menjunjung tinggi nilai moralitas berdasarkan ajaran agama Hindu. Dari cerita tersebut tampak bahwa antara Bali dan Jawa memiliki sejarah panjang yang saling ingin mendominasi. Dampak politis dari sejarah tersebut membuat Bali mengambil sikap hati-hati terhadap Jawa dan budaya luar. Dalam dokumen monografi Desa Saba tidak disebutkan sejarah terbentuknya Banjar Banda yang merupakan bagian wilayah Blahbatuh, Desa Saba. Menurut keterangan Pak Kelian (Ketua Dusun), yang paling paham tentang sejarah dusun adalah I Wayan GY yang juga menjabat sebagai Ketua Kertasaba (Ketua Adat). Meskipun termasuk orang baru di Dusun Banda, Pak GY dahulunya tinggal di Blahbatuh dan mempelajari sastra Bali, termasuk Kitab Babad Blahbatuh. Karena Dusun Banda termasuk wilayah Kerajaan Blahbatuh, maka sejarah dusun ini juga dipelajari oleh Pak GY seperti yang diceritakan berikut ini: “Banda ini masuk wilayah Blahbatuh, maka menurut Babad Blahbatuh, tempat ini dulu namanya Sumepe. Sumepe adalah tempat buangan orang-orang zaman Kerajaan Blahbatuh. Orang-orang buangan di sini beraneka ragam karena berbeda soroh [klan]. Artinya banyak sesorohan [klan] yang terbuang di sini. Maka karena banyak sesorohan yang dibuang di sini maka disebut mengande-ande, maka dengan adanya pembuangan itu disebut Bande. Lambat laun dinamai Banda. Banda itu bisa diartikan dalam Bahasa Bali, yaitu bande. Kata banda memiliki arti orang yang terikat (terpenjara) oleh suatu kerajaan disebut bande. Bande itu sama dengan tali. Babad ini ditulis pada abad ke-11. Penguasa yang menciptakan pembuangan ini di daerah Blahbatuh bernama Sri Karang Buncing. Blahbatuh beberapa periode masa kekuasaan yang masing-masing memilki pengikut yang setia, Daerah Raja Blahbatuh ada tiga periode penguasa. Yang pertama Sri Karang Buncing, yang kedua Tjocorda Pembayun, yang ketiga adalah Gusti Ngurah

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

15

Jelantik, kekuasaan Blahbatuh itu sampai saat ini. Daerah ini dimilik oleh Puri Blahbatuh meskipun tempat buangan yang juga dimiliki Puri Blahbatuh yang merupakan suatu daerah peninggalan yang dulu daerah kekuasaan Raja Blahbatuh. Pemimpin pertama yang disuruh raja memimpin dusun ini itu soroh namanya. Soroh [klan] yang pertama namanya Pasek Kelagi dan yang kedua Soroh Manikan. Yang pertama kan tidak ada ikatan, istilahnya liberalisme baru, yang kedua dan ketiga yang ada ikatan dengan raja. Makanya yang dinamai Bande itu yang kedua. Orang-orang di buang di sini adalah orang-orang yang dianggap melawan atau menghalangi kepemerintahan Sang Raja, jadi orang-orang buangan ini adalah orang-orang yang sangat vokal dan pintar sehingga perlu dijauhkan dari Kerajaan Blahbatuh.” Dari penuturan informan tersebut, nama Banda diberikan pada zaman Raja Sri Karang Buncing yang memerintah di Kerajaan Blahbatuh. Dalam perkembangannya, dari zaman kerajaan terdahulu terdapat banyak orang buangan yang merupakan lawan politik Raja Blahbatuh. Orangorang buangan ini terdiri atas soroh-soroh yang semakin bertambah dan hidup berdampingan dalam berbagai kegiatan di Banjar Banda. Dari sejarah-sejarah tutur yang diceritakan beberapa informan tampak bahwa soroh-soroh yang pertama kali datang di Banda mempunyai pengaruh politis yang kuat dan mereka punya kaplingan tanah yang paling luas di Dusun Banda. Pada waktu dulu, ketika kerajaan akan membangun desa adat, biasanya yang pertama kali dibangun adalah pura. Tanah yang dipilih untuk pura dianggap memiliki energi spiritual yang kuat daripada di tempat lainnya sehingga tanah pura secara spiritual akan mengandung energi yang berbeda dibandingkan tanah-tanah lain di sekitarnya. Setelah dibangun pura baru diikuti pembangunan rumah warga yang mengikuti aturan asta kosala kosali1. 2.1.2 Perkembangan Banjar Banda Dulu Banjar Banda adalah hutan. Terjadinya perebutan wilayah Saba antara Kerajaan Blahbatuh dan Sukawati karena alasan berikut: Blahbatuh menginginkan wilayah Saba karena terletak di sebelah timur 1

16

Sebuah lontar suci yang digunakan untuk pedoman membangun rumah yang ideal menurut arsitektur Bali.

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

Sungai Petanu, sedangkan Sukawati menginginkan Saba karena dekat dengan wilayahnya. Dalam ritual untuk pembuangan Banten dan sisa bekas upacara memang sebaiknya dibuang ke sungai. Namun, karena pada saat itu hutan dan akses jalan menuju Sungai Petanu sangat sulit, maka tempat untuk pembuangan bekas upacara ada sebelah timur Pura Puseh yang menyalurkan air dari anak sungai, dengan filosofi bahwa anak sungai ini nantinya juga sampai di Ssungai Petanu dan akhirnya sampai ke laut [Wawancara dengan I Wayan GY]. Dahulu banyak warga banjar mandi di Sungai Petanu dan juga di pancuran di samping Pura Puseh. Namun, setelah PAM masuk sekitar tahun 1992, warga lebih memilih menggunakan air PAM, meskipun masih ada warga yang mandi di tempat pemandian umum tersebut dan di sungai walau tidak sebanyak dulu. Menurut penuturan salah seorang informan yang juga seorang tokoh masyarakat, Pak Wayan, dahulu wanita Bali terbiasa mengangkut air di kepalanya dari mata air ke rumah atau membawa banten dari rumah ke pura, namun sekarang istrinya saja sudah tidak bisa. Adanya pura-pura dan sanggah di dusun ini juga tidak bisa lepas dari masuknya para soroh [klan], baik yang merupakan orang buangan pada zaman Kerajaan Blahbatuh maupun pendatang yang masuk dusun tersebut. Soroh-soroh yang ada di dusun ini adalah Soroh Pasek Kelagi, Soroh Pasek Bendeso, Soroh Pasek Kayu­selem, Soroh Pande Besi, Soroh Pande Bratan, Soroh Tubuane, Soroh Pasek Pulosari, Soroh Meranggi, Soroh Pasek Manikan, dan Soroh Pasek Dangke. Para soroh2 ini memelihara empat Pura Kahyangan yang menjadi tanggung jawab bersama atau tanggung jawab Banjar Banda. Pura tersebut, yaitu Pura Puseh, Pura Dalem, Pura Desa, dan Pura Tumpek. Sementara pura-pura yang lain menjadi tanggung jawab soroh masingmasing, seperti Pura Budha Cemeng, Pura Tegeuh, Pura Tanroh, Pura Tambun, Pura Pasek, dan Pura Ulun Carik Banda. Biasanya ada tiga profesi yang punya pura tersendiri, yaitu nelayan, pedagang, dan petani. Karena Dusun Banda terletak di daerah pertanian, maka hanya ada satu pura petani di dusun itu, namanya Pura Ulen Sui, sedangkan pura nelayan di Desa Saba terletak di tepi Pantai Saba, namanya Pura Sekeluih Suunkidul. Masuknya perusahaan kosmetik ke Bonbiu atau dusun tetangga pada tahun 2002 juga berpengaruh terhadap pola tanam pertanian di dusun ini. Jika dulu mayoritas masyarakat Banda menanam padi, maka setelah 2

Soroh: garis keturunan.



Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

17

ada pabrik kosmetik, sekitar tiga tahun terakhir ini beberapa petani mulai menanam tanaman aloeverra [lidah buaya] sebagai bahan kosmetik. Pada awalnya perusahaan hanya mengontrak beberapa lahan, namun akhirnya juga menerima atau membeli aloeverra yang ditanam oleh penduduk di luar area kontrak dengan harga Rp1.500,00 per kilogram. Di Banjar Banda ada vila yang menurut penduduk desa, pemilik vila sering membantu kegiatan ritual pura di Banjar Banda. Pemilik vila dan pabrik kosmetik adalah orang yang sama, yaitu orang Belanda, yang menurut masyarakat di bajar itu, adalah orang terkaya keempat di Belanda, namun untuk pengelolaannya dipercayakan kepada salah seorang penduduk Banda yang berprofesi sebagai polisi. Masuknya perusahaan ini membawa perubahan dalam pola pe­mu­ kiman dan pemilihan tanaman di lahan baik sawah maupun pekarangan. Tidak hanya itu, ibu-ibu yang berprofesi sebagai pegawai, baik di perusahaan itu maupun di perusahaan di luar Banda, membawa perubahan pola pengaturan dan perawatan anak seperti yang diceritakan salah seorang informan penjual lawar sapi di dekat balai banjar. Ibu ini hanya berjualan pada malam hari, padahal dulu ia juga berjualan buka pada siang hari. Hal ini disebabkan karena anak perempuannya sudah mempunyai anak dan dititipkan kepadanya (neneknya) karena ibu si anak tersebut bekerja dan baru pulang ke rumah pukul 17.00. Maka, neneknya baru bisa menyelesaikan pekrjaannya setelah ibu si anak pulang. 2.2 Geografi dan Kependudukan Secara geografis Banjar Banda masuk wilayah Desa Saba yang terletak di sebelah selatan Desa Blahbatuh, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar. Kabupaten Gianyar adalah salah satu dari 8 kabupaten yang ada di provinsi Bali, yang terletak di bagian tengah dan selatan Pulau Bali seperti tampak dalam lingkaran merah pada peta 2.3 berikut. Untuk mencapai Banjar Banda dapat ditempuh dari utara Jalan Raya Blahbatuh, sedangkan dari timur taut dapat ditempuh melalui Ban­jar Dinas Perangsada. Sementara, dari arah timur dapat ditempuh me­lalui Desa Pering dengan jalan raya sepanjang 2,1 km. Perjalanan ke Banjar Banda juga dapat ditempuh melalui Banjar Dinas Gelumpang, Desa Sukawati yang berjarak 1,5 km. Sejak pembangunan jalan by pass Kusamba [Jalan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra] Banjar Banda dapat ditempuh dalam waktu relatif singkat dari arah Bandara Ngurah Rai melewati jalan by pass Ngurah Rai dan Jalan Prof. Ida Bagus Mantra. Pembangunan jalan

18

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

Gambar 2.3 Peta Bali, Kabupaten Gianyar merupkan lokasi penelitian.

ini dapat menguntungkan perkembangan pariwisata dan perekonomian Banjar Banda. Banjar Banda merupakan desa pantai yang mempunyai luas wilayah 600,60 Ha yang membentang dari utara ke selatan dengan ketinggian 0-500 m di atas permukaan air laut. Dengan kondisi gografi seperti ini, maka pengembangan wisata serta industri penunjang pariwisata akan memberikan kontribusi yang besar terhadap pembangunan desa. Banjar Banda memiliki batas-batas wilayah seperti tampak dalam peta Banjar Banda, yaitu di sebelah utara berbatasan dengan Banjar Belangsinga, di sebelah timur dengan Desa Pering, di sebelah selatan dengan Banjar Saba, dan sebelah Barat dengan Kecamatan Sukawati. Adapun batas wilayah penelitian tampak pada gambar 2.4 berikut. Ditinjau dari sisi klimatologis, Banjar Banda mempunyai iklim yang tidak berbeda dengan wilayah lain di Bali, yakni beriklim tropis dengan dua musim, yaitu musim penghujan dan kemarau. Musim penghujan biasanya terjadi pada bulan Oktober-April, sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan April-Oktober. Namun, musim tersebut tidaklah mutlak terjadi pada bulan-bulan tersebut karena hal ini sangat dipengaruhi oleh

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

19

Gambar 2.4 Batas wilayah penelitian. Gambar 2.2.2 batas wilayah penelitian. Ditinjau dari Klimatologisnya Banjar Banda mempunyai iklim yang tidak berbeda dengan wilayah lain di Bali, yakni beriklim tropis dengan dua musim yaitu: musim penghujan dan kemarau.

letak geografis maupun keadaan cuaca setempat sehingga sering terjadi musim kemarau yang lebih panjang daripada musim penghujan. Keadaan seperti ini sangat merugikan para petani mengingat di Banjar Banda sektor pertanian menjadi sumber utama pendapatan keluarga selain budidaya udang. Pertanian menjadi sektor utama karena tanah pertanian di Banjar Banda seluas 65 hektar dan terdiri atas 210 anggota subak.3 Curah hujan tahunan di Banjar Banda tergantung pada musim dan keadaan topografis Desa Saba yang membentang dari utara ke selatan. Curah hujan yang mengguyur Banjar Banda sangat membantu petani menjaga kesuburan tanah pertanian. Dilihat dari segi administratif dan kewilayahan, Banjar Banda terletak membujur dari utara ke selatan dan terdiri atas satu Banjar Dinas Banda dan satu Desa Pakraman Banda, meliputi banjar penyarikan yang membawahi 3

20

Subak adalah sistem pengairan di Bali.

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

Tempekan I dan Tempekan II. Tempekan I adalah kelompok rumah yang berada di sebelah utara Balai Banjar Banda, sedangkan Tempekan II adalah kelompok rumah yang ada di sebelah selatan Balai Banjar. Banjar Banda dahulu adalah hutan. Banjar Banda ini diapit oleh dua sungai, yaitu Sungai Petanu dan Sungai Subak Saba. Namun, seiring de­ ngan perkembangan penduduk, sekarang ini hutan sudah tidak ada lagi di wilayah ini karena sudah menjadi pemukiman penduduk. Dulu penduduk mengambil air di sumber air yang ada di sepanjang Sungai Petanu, sebagian lagi mengambil air di pancuran di dekat Pura Puseh, seperti tampak pada gambar 2. 5 dan 2.6 berikut. Menurut cerita salah seorang ibu, ketika ia masih kecil dulu, air di pancuran itu untuk minum dan masak, juga untuk mandi dan mencuci. Tetapi, ketika PAM masuk, sekarang semua orang menggunakan PAM, mungkin karena lebih praktis. Namun, orang harus membayar setiap bulan dan untuk membayarnya kadang tidak cukup sehingga orang harus bekerja keras. Kadang, meskipun sudah bekerja keras, hasilnya belum tentu cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehingga kadang untuk biaya renovasi rumah atau membangun rumah, orang harus pinjam di bank dan mencicil sedikit demi sedikit.

Gambar 2.5 Pancuran air di Banjar Banda dan Gambar 2.6 Pancuran di Pura Musen Dokumen Tim Peneliti Gianyar, 2012.

Gambar di sebelah kiri adalah pancuran yang ada di bawah Pura Puseh Banda, sedangkan gambar di sebelah kanan adalah pancuran air di Pura Musen di tepi Sungai Petanu yang berada di wilayah Banjar Blang­ singa. Banyak penduduk mengambil air dii Pura Musen meskipun harus

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

21

naik turun tangga sebanyak kurang lebih 120-an anak tangga. Mereka tetap menempuh anak tangga tersebut sebab sudah sejak dulu mereka mengambil air di pancuran tersebut. Ada tiga buah pancuran di bawah Pura Musen yang juga dibagi untuk tiga peruntukan. Satu pancuran khu­ sus untuk upacara di pura atau Dewa Yadnya. Pancuran ini tidak boleh digu­nakan sembarang orang, hanya mangku4 yang boleh mengambil air di pancuran ini. Sementara, dua pancuran lainnya untuk Manusia Yadnya sehingga semua orang boleh mengambil airnya. Di Banjar Banda pembuangan sampah rumah tangga masih dikelola oleh masing-masing keluarga. Masing-masing rumah membuat lubang galian di tanah untuk manaruh sampah, dan kalau sudah kering sampah akan dibakar. Namun, untuk sampah-sampah besar seperti sisa upacara, dulu masyarakat Banda membuangnya ke jurang. Meski Pak Irawan sudah membangun rumah di dekat jurang itu, kebiasaan masyarakat untuk membuang sampah di sekitar rumah Pak Irawan masih saja terjadi. Perilaku penduduk membuang sampah tampak dalam gambar 2.7 dan 2.8 berikut ini.

Gambar 2.7 Seorang penduduk Banjar Banda sedang membuang sampah.

Gambar 2.8 Lubang galian sampah di belakang rumah.

Pada gambar 2.7 tampak pada pagi hari seorang ibu membuang sampah di tepi jalan menuju Pura Dalem. Beberapa penduduk juga masih membuang sampah di parit/saluran air atau di tepi jalan yang jarang dilewati banyak orang. Pada gambar 2.8 tampak lubang galian sampah di belakang rumah untuk membuang sampah berpa daun-daunan dan pohon. Bagi masyarakat, sampah seperti daun dan pohon tidak menjadi masalah. Mereka akan membiarkannya sampai kering, lalu akan mereka 4

22

Orang suci dalam agama Hindu.

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

bakar. Tetapi, berbeda dengan sampah plastik, sebab sampah jenis ini sulit diurai oleh tanah dan mengurangi kesuburan tanah sehingga banyak orang membuangnya ke sungai hingga menyebabkan parit penuh dengan sampahsampah plastik seperti dalam gambar 2.9 dan gambar 2.10 ber­ikut.



Gambar 2.9 Tempat pembuangan sampah penduduk Banjar Banda.

2.10 Parit penuh dengan sampah.

Suatu hari kami mengobrol dengan salah seorang informan yang sebelah rumahnya digunakan oleh beberapa penduduk untuk membuang sampah. Dia bercerita bahwa pada tahun 2013 Desa Saba akan menge­ luarkan uang Rp175 juta untuk membeli truk sampah. Hal ini sudah direncanakan, tetapi masih perlu mematangkan manajemen pengelolaannya. Perlu di­rencanakan berapa biaya untuk sopir, perawatan mobil, dan sebagainya. Warga di banajar ini hanya paham cara mengelola sampah. Mereka hanya membakarnya, belum paham tentang pengomposan dan daur ulang sampah plastik. Dulu sebelum gas elpiji masuk, para warga terbiasa menggunakan kayu bakar, jadi sisa-sisa upacara seperti daun kelapa dan bunga akan dikeringkan, lalu dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk memasak sehingga yang tersisa hanya abu untuk mencuci piring atau pemupukan lahan. Namun, sekarang semua orang sudah menggunakan gas sehingga mereka membuang sisa perlengkapan upacara mereka. Pernah terjadi kasus tersumbatnya saluran irigasi di sebelah timur Balai Banjar, karena banyaknya sampah. Orang membuang sampah keluar dari rumahnya dan menganggap masalahnya sudah selesai, padahal orang-orang di hulu inilah yang menjadi penyebab penumpukan sampah di hilir. Jalan keluar permasalahan ini adalah perlu adanya aturan adat yang menguatkan mereka agar mau membuang sampah di halaman rumah masing-masing, dan jika warga membuang sampah keluar dari halaman

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

23

rumah akan dikenakan sanksi adat. Hal ini akan menguatkan penerapan pengaturan sampah di Banjar Banda. Air sungai di Banjar Banda dibagi menjadi tiga kategori, yaitu air sungai untuk mengairi sawah, air sungai yang disalurkan ke selokan pinggir jalan, dan air sungai besar seperti di Sungai Petanu. Air sungai untuk meng­airi sawah diatur oleh subak, sedangkan air yang mengalir lewat se­ lokan di tepi jalan dimanfaatkan oleh beberapa penduduk untuk mencuci pakaian dan mencuci sepeda motor. Air ini juga dipakai untuk mengairi kolam-kolam ikan yang ada di tempat pemancingan di Jalan Saba. Air Su­ ngai Petanu digunakan warga untuk mandi dan melabuh kotoran sekala, misalnya ketika warga mengadakan ritual potong rambut di Pura Musen, rambut sebagai simbol kotoran akan dihanyutkan ke Sungai Petanu supaya kotoran yang ada pada anak tersebut hanyut terbawa aliran air sungai. Ada pantangan untuk mereka yang ingin mengambil atau menggu­ nakan mata air, yaitu wanita yang sedang menstruasi tidak boleh meng­ ambil air di Pura Musen, juga ke mata air yang lain. Wanita yang sedang menstruasi dianggap kotor karena mengeluarkan sesuatu dari dalam tubuhnya. Segala sesuatu yang keluar dari tubuh manusia dianggap kotor. Orang juga tidak boleh kencing di tempat suci karena air kencing adalah sesuatu yang dianggap kotor, jadi harus dibuang pada tempatnya. Banjir yang terjadi akibat saluran air yang tersumbat sampah menye­ babkan warga bersepakat untuk tidak membuang sampah sembarangan. Hal ini sudah direalisasikan dalam rencana desa yang akan membeli dan mengelola truk sampah agar kondisi sungai dan mata air tidak tercemar. Gambaran kondisi parit yang ada di Banjar Beda yang kondisinya relatif masih baik tampak pada gambar berikut. Sistem pertanian di Banjar Banda ada tiga jenis, yaitu sistem pertanian sawah yang diatur oleh sistem subak dan ada pengurusnya, sistem pertanian ladang yang ditanamai tanaman lidah buaya, kacang tanah, dan singkong. Sistem pertanian di halaman rumah sendiri, biasanya ditanami sayuran dan buah-buhan untuk dikonsumsi sendiri. Sistem pembagian air untuk mengairi sawah penduduk diatur oleh subak dengan membuat saluran besar maupun kecil. Saluran air besar adalah milik bersama, sedangkan aliran kecil untuk sawah milik pribadi. Lahan pertanian yang tidak mendapatkan air (ladang) biasanya dimanfaatkan warga untuk menanam tanaman tertentu. Ladang di Banjar Banda umumnya ditanami lidah buaya untuk memenuhi kebutuhan per­usahaan yang memproduksi lidah buaya menjadi bahan kosmetik dan pupuk. Se-

24

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

lain lidah buata, ladang penduduk juga ditanami pisang dan singkong se­ perti tampak dalam gambar berikut.

Gambar 2.11 Parit di Banjar Banda.

Gambar 2.12 sawah di Banjar Banda.

Menurut keterangan Klian Subak, lahan di Banjar Banda yang dapat digunakan untuk persawahan masih luas, namun warga hanya meman­ faatkannya pada saat musim tanam padi, yaitu pada musim penghujan. Pada musim kemarau biasanya disewakan kepada orang luar. Ada yang disewa untuk ditanami melon dan ada yang disewa untuk kandang ayam. Pembagian musim tanam oleh petani juga dibagi dua, yaitu tanaman musim basah (padi) dan tanaman musim kering (palawija).

Gambar 2.13 Ladang penduduk Banjar Banda.



2.14 Lidah buaya, komoditas yang dibudidayakan penduduk Banjar Banda.

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

25

2.2.1 Kependudukan Dalam buku “Gianyar dalam Angka 2010” disebutkan bahwa jumlah penduduk Kabupaten Gianyar pada tahun 2010 adalah laki-laki berjumlah 237.493 jiwa dan perempuan berjumlah 232.284 jiwa sehingga jumlah seluruh penduduk Gianyar adalah 469.777 jiwa. Untuk Kecamatan Blahbatuh, pada tahun 2010 jumlah penduduk laki-laki 33.245 jiwa dan perempuan 32.630 jiwa. Jumlah seluruh penduduk Kecamatan Blahbatuh 65.875 jiwa. Perkawinan di Banda merupakan peristiwa penting yang sarat akan makna dan adat istiadat. Para orang tua mempunyai nilai ideal yang me­ reka harapkan dari anaknya. Seperti mislanya keluarga pendeta menginginkan calon menantunya juga berasal dari keluarga Brahmana. Begitu juga anggota soroh atau klan Pande, mereka menginginkan anaknya menikah dengan keluarga satu soroh. Pernikahan satu soroh dianggap ideal di daerah ini. Menurut keterangan Pak GY, dalam ritual perkawinan, perlengkapan banten pokok yang digunakan di desa-desa di Bali umumnya sama. Yang membedakan hanya tambahan nilai seni yang ada pada masingmasing desa, tetapi banten pokoknya sama. Namun, dalam kenyataan di masyarakat saat ini, nilai perkawinan yang ideal tidak selamanya seperti itu. Menurut cerita anak-anak muda yang masih duduk di bangku SMA, mereka kadang sudah tidak melihat soroh lagi. Asalkan mereka cinta, mereka mau menikah dengan laki-laki yang dipilihnya meskipun berbeda soroh. Seperti contoh, beberapa warga menikah dengan orang Jawa, bahkan berganti agama menjadi Islam. Ketika mereka kumpul untuk meng­ikuti acara keluarga besar, hal itu tidak menjadi masalah. Dalam acar tersebut, mereka yang Muslim tidak makan babi. 2.2.2 Interaksi dan Kontrol Sosial dalam Masyarakat Banda Meskipun rumah orang Bali selalu dikelilingi tembok yang tinggi, namun ada istilah menarik yang diucapkan Pak Gusti ketika kami sedang membicarakan bangunan di rumah Pak GY, ”Orang Bali itu mes­ kipun temboknya tinggi, tetapi tetangga tahu apa yang ada di dapur tetangganya.” Ada banyak tempat untuk berinteraksi. Ruang publik yang ada seperti balai banjar dan plangkan di warung-warung memungkinkan warga berinteraksi dan berdemokrasi. Pertemuan mereka dalam acaraacara atau upacara seperti otonan, odalan, dan upacara lainnya menjadi ajang untuk bertemu dan saling bertukar informasi.

26

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

Karena sudah diatur oleh banjar, maka pengurus banjar membuat aturan yang disepakati bersama oleh para anggota banjar, yaitu awigawig desa adat. Awig-awig wajib dituruti oleh anggota banjar dan jika ada yang melanggar akan dikenakan sanksi oleh masyarakat. Mereka yang mengawal awig-awig ini adalah Pak Kelian dan Pecalang. 2.2.3. Pola Tempat Tinggal Ditinjau dari aspek arsitektur tradisional Bali, pola tempat tinggal penduduk Bali umumnya terbagi menjadi dua berdasarkan karakteristik topografi wilayah, yakni dataran tinggi (daerah pegunungan) dan dataran rendah. Arsitektur tradisional Bali untuk daerah dataran tinggi pada umumnya berupa bangunan kecil-kecil dan tertutup untuk menyesuaikan dengan keadaan lingkungannya yang cenderung dingin. Dinding relatif pendek untuk mengurangi sirkulasi udara yang terlalu dingin. Satu ba­ ngunan bisa digunakan untuk berbagai aktivitas, baik aktivitas seharihari seperti tidur dan memasak, maupun untuk upacara pada hari-hari tertentu. Luas dan bentuk pekarangan relatif sempit dan tidak beraturan yang disesuaikan dengan topografi tempat tinggalnya. Untuk daerah dataran rendah, pekarangannya relatif luas dan datar sehingga bisa menampung beberapa massa dengan pola komunikatif. Umumnya berdinding terbuka dan masing-masing mempunyai fungsi tersendiri. Seperti bale daja untuk ruang tidur dan menerima tamu penting, bale dauh untuk ruang tidur dan menerima tamu dari kalangan biasa, bale dangin untuk upacara, dapur untuk memasak, jineng untuk lumbung padi, dan tempat suci untuk pemujaan. Untuk keluarga raja dan Brahmana, pe­karangannya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu jaba sisi (pekarangan depan), jaba tengah (pekarangan tengah) dan jero (pekarangan untuk tempat tinggal). Bahan bangungan juga mencerminkan status sosial pemiliknya. Masyarakat biasa menggunakan popolan (speci yang terbuat dari lumpur tanah liat) untuk dinding bangunan, sedangkan golongan raja dan Brahmana menggunakan tumpukan bata. Untuk tempat suci/tempat pemujaan, baik milik satu keluarga mau­pun milik suatu kumpulan kekerabatan, mereka menggunakan ba­ han sesuai kemampuan ekonomi masing-masing. Untuk bahan atap, me­reka yang mampu akan menggunakan ijuk, sedangkan bagi mereka yang ekonominya kurang mampu akan menggunakan alang-alang atau genteng. Pola pemukiman dan bangunan kuil tersebut tampak dalam gambar berikut.

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

27

Gambar 2.15 Pola bangunan rumah tradisional Bali.

Gambar 2.16 Kuil keluarga (merajan5)

Dalam proses pembangunan rumah, masyarakat Bali mengawalinya dengan pengukuran luas areal bangunan yang disebut dengan nyikut karang. Dilanjutkan dengan caru pengeruak karang, yaitu ritual persem­ bahan kurban dan mohon izin untuk membangun. Setelah izin didapat barulah dilakukan peletakan batu pertama yang disebut nasarin. Ini bertujuan untuk mohon kekuatan kepada ibu pertiwi agar kelak bangunan menjadi kuat dan kokoh. Untuk pekerjanya, termasuk ahli bangunannya, dilakukan upacara prayascita, yaitu upacara untuk memohon bimbingan dan keselamatan dalam bekerja. Jika semua ritual sudah dilaksanakan, barulah pembangunan dimulai. Setelah bangunan berdiri, sebelum digu­ nakan, dilakukan upacara syukuran yang disebut melaspas dan pe­ngurip. Ini bertujuan membersihkan bangunan dari energi-energi negatif dan menghidupkan aura bangunan tersebut. Masyarakat Bali selalu mengawali dan mengakhiri suatu pemba­ ngunan dengan upacara atau ritual. Semua ritual tersebut pada intinya bertujuan memberi kharisma pada bangunan yang akan dibangun dan untuk menjaga keselarasan hubungan manusia dengan Penciptanya, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya. Dalam perkembangannya, arsitektur tradisional Bali mengalami perubahan dan pergeseran fungsi yang berpengaruh pada bentuk, struktur, konstruksi, bahan, dan cerminan sosial pemiliknya. Sebagai contoh, wantilan, yang dulunya dipakai untuk balai pertemuan dan kegiatan adat, kini mengalami perkembangan fungsi, yaitu sebagai tempat pendidikan Taman Kanakkanak, tempat usaha, arena olahraga, dan lain-lain. Kemajuan pariwisata 5

28

Tempat suci keluarga.

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

juga berdampak pada peningkatan taraf hidup masyarakat Bali sehingga sekarang sulit dibedakan mana puri dan rumah masyarakat biasa karena masyarakat biasa yang ekonominya mapan akan membangun tempat tinggal layaknya sebuah puri. Begitu juga puri yang dulunya merupakan tempat tinggal raja dan keluarganya, yang penjagaannya sangat ketat dan penuh aturan, sekarang ada yang difungsikan sebagai tempat kunjungan wisatawan. Bahkan, kini Justru keluarga puri keluar untuk mencari tempat tinggal yang baru. Pesatnya perkembangan teknologi tidak bisa dimungkiri juga berpe­ ngaruh pada arsitektur tradisional Bali. Arsitektur tradisional yang didasari tradisi juga akan selalu mengalami perkembangan dan selalu mengikuti perkembangan zaman. (Shintaningrum KP, ST.) [Sumber: http://aryaoka. wordpress.com/arsitektur/] Kontur tanah Desa Saba menurun mendekati Pantai Saba, maka Banjar Banda di Desa Saba memiliki kontur pantai atau dataran rendah. Pura Puseh berada di dataran tinggi, sejajar dengan Pura Desa dan Pura Dalem yang terletak di dataran yang lebih rendah. Satu desa pakraman harus memiliki kahyangan tiga ini. Untuk pola pemukiman, para warga mengikuti asta kosala kosali. Seperti dituturkan salah satu informan, rumah orang Bali selalu dikelilingi tembok yang terbuat dari batu bata atau batako. Dapur dan bagian rumah lain harus dipisah. Di Bali tanah yang dipakai untuk rumah sudah ada ukuran-ukuran tertentu, meskipun tertutup rapat, tembok itu tidak berhubungan. Dapur dan kamar tidur harus terpisah. Karena di Bali ada pajak atas bangunan, maka semua dihitung dan diatur. Merajan tidak dikenai pajak, tetapi kamar tidur dikenai pajak. Untuk sanggah tugu yang dibuat, harus/wajib ada sebanyak tiga buah, yang lainnya tambahan sesuai keyakinan orang. Sebenarnya dulu hanya ada satu, tetapi karena ada banyak sekte Hindu di Bali, maka dibangunlah pura samuan tiga untuk menyatukan sekte-sekte tersebut. Itu terjadi sebelum zaman Majapahit. Kala itu umat Hindu hanya membangun padmasana dan kemudian kemu­ lan (tempat pemujaan) yang merupakan penyatuan Budha dan Hindu oleh raja yang bernama Raja Jayanihong sesuai lontar Ajijayasunu. Upacaranya bermana Lihong yang sekarang menjadi Legong di Bali. 2.3 Sistem Religi Sistem kepercayaan atau religi yang dianut oleh masyarakat Banjar Banda sebagian besar berdasarkan ajaran agama Hindu, seperti halnya

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

29

kepercayaan yang dianut oleh orang Bali pada umumnya. Oleh sebab itu, dasar sistem kepercayaan yang melandasi kehidupan masyarakat Banjar Banda bersumber pada ajaran agama Hindu. Dasar pokok kepercayaan ini lebih dikenal dengan ajaran Panca Sradha/lima keyakinan dalam agama Hindu, yaitu (1) percaya dengan adanya Tuhan Yang Mahaesa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) sebagai pencipta kehidupan di dunia ini, (2) percaya dengan adanya atma/roh-roh yang menjiwai atau memberikan kehidupan bagi makhluk hidup di dunia ini, (3) percaya dengan adanya hukum karma phala, yaitu setiap perbuatan yang dilakukan oleh makhluk hidup akan mendapatkan hasil yang setimpal sesuai dengan perbuatannya, (4) percaya dengan adanya reinkarnasi, yaitu setiap makhluk hidup yang meninggal akan terlahir kembali untuk menebus dosa-dosa semasa hidupnya, dan (5) percaya dengan adanya moksha, yaitu kebebasan yang abadi (terbebas dari kelahiran berulang-ulang). Ajaran Hindu yang berkembang di Bali maupun di Banjar Banda adalah ajaran Ciwa-Sidhanta, yaitu ajaran yang menekan­ kan pada pemujaan lingga6 dengan tokohnya Tri Murti, yaitu Dewa Brahma sebagai dewa pencipta alam beserta isinya, Dewa Wisnu sebagai dewa pemelihara alam beserta isinya, dan Dewa Siwa sebagai dewa pelebur. Selanjutnya, ada konsepsi Tri Purusa, yaitu Parama Siwa, Sada Siwa, dan Siwa. Konsepsi Tri Purusa ini merupakan manifestasi Tuhan Yang Maha Esa sebagai penguasa alam atas, alam tengah, dan alam bawah. Hal tersebut dilukiskan sebagai Parama-Siwa (penguasa alam atas atau alam para dewa), Sada-Siwa (penguasa alam tengah atau alam tempat tinggal manusia) ,dan Siwa (penguasa alam bawah atau alam bagi makhlukmakhluk alus yang tidak terlihat). Kemudian, Tuhan sebagai penguasa arah laut (kelod/selatan), tengah (madya), dan arah gunung (kaja/utara) disebut Tri Murti, yaitu Brahma (arah laut/kelod/selatan), Siwa (tengah/ madya), dan Wisnu (arah gunung/kaja/utara). Ajaran Siwa-Sidhanta di Bali yang ada sampai saat ini dibawa dan dikembangkan oleh Mpu Kuturan dan Dang Hyang Nirarta. Mpu Kuturan membawa dan mengembangkan konsepsi pemujaan pada Tri Murti dengan mendirikan pura Kahyangan Tiga (Pura Teritorial), yaitu Pura Puseh (pemujaan kepada Dewa Wisnu), Bale-Agung/Pura Desa (pemujaan kepada Dewa Brahma), dan Pura Dalem (pemujaan kepada Dewa Siwa). Sementara Dang Hyang Nirarta me­ngembangkan konsepsi Tri-Purusa, bangunan Padmasana, ajaran Panca-Yadnya, dan sebagainya. 6

30

Simbol kemakmuran.

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

Secara kultural kehidupan masyarakat Bali pada umumnya, dan Banjar Banda pada khususnya, bersifat religius dengan seringnya melakukan yadnya, yaitu korban suci yang bersifat tulus iklas. Yadnya Dalam ajaran Agama Hindu ada lima jenis korban yang harus dilaksanakan oleh manusia, yang disebut dengan Panca Yadnya, yaitu (1) Dewa Yadnya, (2) Rsi Yadnya, (3) Manusia Yadnya, (4) Pitra Yadnya, dan (5) Bhuta Yadnya. Panca Yadnya yaitu korban suci yang dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan) berupa hasil alam. Umat memujaan para dewa karena para dewalah yang menciptakan, mempengaruhi, dan mengatur gerak kehidupan di dunia ini. Sementara Rsi Yadnya, yaitu korban suci yang dipersembahkan ke hadapan para rsi/orang suci yang telah memberi tuntunan hidup berupa pengetahuan untuk menuju kebahagiaan lahir batin di dunia dan akhirat. Manusia Yadnya yaitu korban suci yang dipersembahkan ke hadapan manusia, dari sejak dalam kandungan sampai akhir hidupnya. Dalam fasefase perkembangan kehidupan manusia ada berbagai upacara penyucian diri yang harus dilaksanakan agar manusia selamat dari bahaya yang mengancam kehidupannya. Tingkatan upacara ini secara keseluruhan dapat dibedakan menjadi beberapa prosesi, yaitu bayi dalam kandungan (upacara pagedong-gedongan atau 7 bulan kandungan), dilanjutkan de­ ngan masa bayi meliputi upacara penanaman ari-ari, upacara kepus-pung­ sed (tali plasenta bayi putus), upacara bajangin/ngelepas hawon (bayi berusia 12 hari), upacara tutug kambuhan (bayi berusia 42 hari), upacara nelu-bulanin/nyambutin (bayi berusia 105 hari), dan upacara otonan (bayi berusia 210 hari). Setelah dewasa akan dilaksanakan upacara raja sewala (menek kelih/meningkat dewasa), upacara mepandes (potong gigi), dan upacara mesakapan (pernikahan). Pitra Yadnya yaitu korban suci yang ditujukan kepada roh leluhur yang telah meninggal. Upacara penyucian atau meralina serta penghormatan kepada leluhur yang telah meninggal dilakukan dengan prosesi upacara ngaben, ngeroras, dan meligia untuk menyatukan atma dengan paramaatma (sumber kehidupan dalam Agama Hindu). Bhuta Yadnya yaitu korban suci yang dipersembahkan kepada para bhuta-kala (waktu atau energi) yang sering mengganggu kehidupan ma­ nusia. Oleh karena bhuta-kala meliputi unsur alam semesta dengan ke­ kuatan yang dimilikinya, maka tujuan upacara ini untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan bhuta-kala7 dan memanfaatkan daya gunanya. 7

Ruang dan waktu.



Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

31

Sistem religi yang berhubungan dengan kesehatan ibu dan anak dalam masyarakat Banda dipaparkan oleh Pak GY sebagai berikut. “Dalam kehidupan, manusia memiliki fase-fase atau mengalami proses kehidupan yang selalu akan mempengaruhi perjalanan hidup manusia. Manusia akan memperingati hal tersebut dengan menjalin hubungan yang baik dengan alam serta Sang Pencipta dengan menghaturkan banten8. Dalam maknanya adalah sebagai pemberi tahu atau kesadaran atas diri manusia mengalami fase atau tingkatan perjalanan kehidupan.” Berdasarkan informasi dari Pak GY, masyarakat Banda memiliki ke­ sadaran akan alam serta fase-fase dalam kehidupan yang diwujudkan dengan upacara. Upacara ini disebut dengan upacara manusia yadnya (upacara yang diperuntukkan kepada manusia) yang merupakan fase-fase kehidupan manusia dari dalam kandungan hingga mati. Beberapa upacara dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Magedong-gedongan (garbhadhana samskara) Upacara ini dilakukan ketika kandungan berusia 7 bulan. Upacara ini bertujuan untuk memohon keselamatan agar pada waktu persalinan, bayi dan ibu sehat tanpa kekurangan apa pun. Dengan mengadakan upacara ini diharapkan bayi terlahir menjadi anak yang sehat dan cerdas, berbakti kepada orang tua, dan berguna bagi banyak orang. a.

Sarana/upakara 1) Pamarisuda, terdiri atas tataban dan prasyascita. 2) Tataban, terdiri atas sesayut, pengambean, peras penyeneng, dan sesayut pamahayu tuwuh. 3) Di depan sanggah9: benang hitam satu gulung (kedua ujung dikaitkan pada dua dahan dadap), bambu, daun talas, ikan air tawar, ceraken (tempat rempah-rempah).

b. Waktu pelaksanaan Upacara garbhadhana dilaksanakan pada saat kandungan berusia kurang lebih 210 hari (7 bulan) dengan memilih hari yang dianggap baik. Sesajen yang dilengkapai dengan hasil bumi. Tempat suci yang bersifat tidak permanen.

8 9

32

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

Ini dikarenakan, menurut kepercayaan masyarakat Hindu, segala kegiatan yang dilaksanakan, baik upacara untuk manusia maupun upacara lainnya harus menggunakan hari baik. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan hasil yang terbaik dan sesuai dengan harapan. c. Tempat upacara Upacara garbhadhana dilaksanakan di dalam rumah, pekarangan, halaman rumah, di tempat permandian darurat yang khusus dibuat untuk itu, dan dilanjutkan di depan sanggah pemujaan (sanggah kemulan). d. Pelaksana upacara Upacara ini dipimpin oleh pinandita/pemangku (pendeta dalam agama Hindu) atau salah seorang yang tertua dalam keluarga tersebut (pinisepuh). e. Tata cara upacara 1) Ibu yang sedang hamil terlebih dahulu dimandikan (siraman), di-parisuda, lalu dilanjutkan dengan mataban dan prayascita. 2) Ibu menjunjung tempat rempah-rempah, sedangkan tangan kanan menjinjing daun talas berisi air dan ikan yang masih hidup. 3) Tangan kiri suami memegang benang, sementara tangan ka­ nannya memegang bambu runcing. 4) Suami sambil menggeser benang langsung menusuk daun talas yang dijinjing istri sampai air dan ikannya tumpah. 5) Selanjutnya, mereka melakukan persembahyangan untuk memohon keselamatan. 6) Ditutup dengan nglukat dan terakhir natab. 2. Upacara kelahiran (jatakarma samskara) Upacara ini ditujukan bagi bayi yang baru lahir. Upacara ini me­ ngandung makna sebagai ucapan angayubagia/rasa syukur atas kehadiran bayi di dunia. a.

Sarana/upakara 1) Dapetan, terdiri atas nasi berbentuk tumpeng dengan lauk pauk­nya (rerasmen) dan buah-buahan. 2) Canangsari/canang genten, sampiyan jet, dan penyeneng.



Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

33

3) Untuk menanam ari-ari (mendem ari-ari) diperlukan sebuah kendil (periuk kecil) dengan tutupnya atau sebutir buah kelapa yang airnya telah dibuang. b. Waktu pelaksanaan Upacara jatakarma dilaksanakan bagi bayi yang baru lahir dan telah mendapat perawatan pertama. c. Tempat upacara Upacara jatakarma dilaksanakan di dalam dan di depan pintu rumah. d. Pelaksana upacara Upacara ini dilaksanakan atau dipimpin oleh salah seorang keluarga yang tertua, demikian juga untuk menanam (mendem) ari-arinya. e. Tata cara upacara 1) Bayi yang baru lahir diupacarai dengan banten dapetan, canang sari, canang genten, sampiyan, dan penyeneng. tujuannya agar atma/roh yang menjelma pada si bayi mendapatkan kese­ lamatan. 2) Setelah ari-ari dibersihkan, lalu dimasukkan ke dalam kendil ke­mudian ditutup. Apabila mempergunakan kelapa, terlebih dahulu kelapa dibelah menjadi dua bagian, selanjutnya ditutup kembali. Perlu diingat, sebelum kendil atau kelapa ditutup, pada dasar atau bagian dalam kendil/kelapa diberi tulisan dengan aksara suci Om Kara (Om) dan aksara Ah kara (Ah). 3) Kendil atau kelapa tersebut kemudian dibungkus kain putih dan yang di dalamnya diisi bunga. 4) Proses selanjutnya, kendil atau kelapa ditanam di halaman rumah, tepatnya di bagian kanan pintu rumah untuk laki-laki, dan bagian kiri untuk wanita (di lihat dari dalam rumah). 3. Upacara kepus puser Upacara kepus puser atau pupus puser adalah upacara yang dilakukan pada saat pusar bayi lepas (kepus). Ini merupakan simbol lepasnya keter­ ikatan bayi dengan kandungan si ibu.

34

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

a. Sarana/upakara 1) Banten penelahan beras kuning, daun dadap. 2) Banten kumara: hidangan berupa ajuman putih kuning, beberapa jenis kue, buah-buahan (pisang emas), canang, lengawangi, buratwangi, canangsari. banten labaan: hidangan/ nasi dengan lauk pauknya. segehan catur warna: empat buah dengan warna merah, putih, kuning, dan hitam masing-masing berisi bawang, jahe, dan garam. b. Waktu pelaksanaan Upacara kepus puser dilaksanakan pada saat pusar bayi sudah pupus/ lepas, umumnya pada saat bayi berumur tiga hari. c. Tempat upacara Upacara ini dilaksanakan di dalam rumah terutama di sekitar tempat tidur si bayi. d. Pelaksana upacara Untuk melaksanakan upacara ini cukup dipimpin oleh keluarga yang tertua (sesepuh). e. Tata cara upacara 1) Pusar bayi yang telah lepas dibungkus dengan kain putih, lalu dimasukkan ke dalam ”ketupat kukur” (ketupat yang berbentuk burung tekukur) disertai rempah-rempah seperti cengkeh, pala, lada, dan lain-lain, lalu digatung pada kaki tempat tidur si bayi. 2) Dibuatkan kumara tempat menaruh sesajian. 3) Di tempat ari-ari ditanam, dibuat sanggah cucuk yang diisi banten kumara, lalu di bawahnya ditaruh sajen segehan berupa nasi empat warna. 4. Upacara 12 hari (namadheya samskara) Setelah bayi berumur 12 hari dilaksanakan upacara yang disebut upacara ngelepas hawon. Anak biasanya baru diberi nama (namadheya), demikian pula Sang Catur Sanak atau saudara empat kita setelah dilukat akan berganti nama, di antaranya Banaspati Rraja, Sang Anggapati, Banaspati, dan Prajapati.

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

35

a. Sarana/upakara 1) Upakara yang kecil terdiri atas peras, penyeneng, jerimpen tunggal, dan kelengkapan lain semampunya. 2) Upacara yang sedang (madya) terdiri atas peras, penyeneng, jerimpen tunggal ditambah dengan penembusan. 3) Upacara yang besar (utama) terdiri atas sarana upacara madya dengan menggunakan jerimpen tegeh dan diikuti ilan-ilan joged atau wayang lemah. b. Waktu pelaksanaan hari.

Upacara ini dilaksanakan pada saat si bayi sudah berumur genap 12

c. Tempat upacara Upacara ini dilaksanakan di dalam rumah dan pekarangan, yaitu di sumur (permandian), di dapur, dan di sanggah kemulan (bila ada). d. Pelaksana upacara Upacara ini dipimpin oleh keluarganya yang paling dituakan dan mampu mengemban tugas itu. e. Tata cara upacara Upacara ini ditujukan kepada si ibu dan si anak. Upacaranya dila­ ku­kan di dapur, di permandian, dan di sanggah kemulan (berfungsi memohon pengelukatan ke hadapan Bhatara Brahma, Wisnu, dan Siwa). Jenis upakara yang ditujukan kepada si ibu adalah banten byakaonan dan prayascita disertai dengan tirta pembersihan dan pengelukatan. Sementara jenis banten inti untuk si bayi adalah banten pasuwungan yang terdiri atas pras, ajuman, daksina, suci, sorohan alit pengelukatan, dan lain-lain. Banten pengelukatan di dapur, permandian, dan kemulan pada pokoknya sama, hanya saja warna tumpengnya berbeda, yaitu merah untuk di dapur, hitam untuk di permandian, dan putih untuk di kemulan. 5. Upacara tutug kambuhan (42 hari) Upacara ini dilakukan ketika bayi berumur 42 hari, bertujuan untuk pembersihan lahir batin bayi dan ibunya, dan untuk membebaskan si bayi dari pengaruh-pengaruh negatif (mala). Dari hasil wawancara dengan Pak GY, dijelaskan bawa:

36

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

“Upacara tungtung kambuhan adalah upacara pembersihan sang ibu yang dalam proses kehudidupannya sebagai seorang ibu sudah selelsai atau sudah bersih yang dalam dunia kesehatan sudah sehat kembali setelah melahirkan.” Dari uraian di atas dapat dianalisis bahwa seorang ibu selesai se­ lesainya masa nifas akan diperingati dengan upacara tutug kambuhan yang berfungsi sebagai pembersihan dari segala kotoran. b. Waktu pelaksanaan hari.

Upacara tutug kambuhan dilaksanakan pada saat bayi berusia 42

c. Tempat upacara Keseluruhan rangkaian upacara tutug kambuhan dilaksanakan di da­ lam lingkungan rumah (di dapur, di halaman rumah, dan di sanggah kemulan). d. Pelaksana upacara Upacara ini dipimpin oleh seorang pandita atau pinandita. e. Tata cara upacara 1) Dalam upacara kecil a) Kedua orang tua si bayi matataban dan maprayascita. b) Si bayi beserta kedua orang tua diantar ke sanggah kemulan untuk natap. 2) Dalam upacara yang lebih besar a) Si bayi di-lukat di dapur, di permandian, dan terakhir di sanggah kemulan. b) Kedua orang tua si bayi matataban dan maprayascita. f.

Si bayi beserta kedua orang tuanya natab di sanggah kemulan.

6. Upacara bayi umur 3 bulan (niskramana samskara) Upacara ini dilakukan pada saat bayi berumur 105 hari. a. Sarana/upakara. 1) Upakara kecil: panglepasaon, penyambutan, jejanganan, ban­ ten kumara, dan taledan.

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

37

2) Upakara besar: panglepasaon, penyambutan, jejanganan, ban­ ten kumara, tataban, pula gembal, banten panglukatan, banten turun tanah/tedak sithi. b. Waktu pelaksanaan Upacara ini dilakukan pada saat bayi berusia 105 hari. Bila tidak memungkinkan hendaknya disesuaikan dengan kondisi yang ada. c. Tempat upacara Seluruh rangkaian upacara bayi tiga bulanan ini dilaksanakan di ling­ kungan rumah. d. Pelaksana upacara Upacara ini dipimpin oleh pandita atau pinandita. e. Tata cara upacara 1) Pandita/pinandita memohon tirtha panglukatan. 2) Pandita/Pinandita melakukan pemujaan, menghaturkan upa­ kara dan memerciki tirtha pada sajen dan pada si bayi. 3) Bila si bayi akan memakai perhiasan-perhiasan seperti gelang, kalung (badong) dan lain-lain, terlebih dahulu benda tersebut di-parisudha dengan diperciki tirtha. 4) Doa dan persembahyangan untuk si bayi dilakukan oleh ibu dan bapaknya, diantar puja/mantra pandita/pinandita. 5) Si bayi diberikan tirtha puja mantra pangening (tirtha amertha), kemudian ngayab jejanganan. 6) Terakhir si bayi diberi natab sajen ayaban, yang bermakna memohon keselamatan. 7. Upacara satu oton (wetonan) Upacara ini dilakukan setelah bayi berumur 210 hari. Upacara ini ber­ tujuan untuk menebus kesalahan-kesalahan dan keburukan-keburukan yang terdahulu, sehingga dalam kehidupan sekarang mencapai kehidupan yang lebih sempurna.

38

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

a. Sarana/upakara 1) Upakara kecil: prayascita, parurubayan, jejanganan, tataban, peras, banten pesaksi bale agung (ajuman) sajen turun tanah dan sajen kumara. 2) Upakara yang lebih besar: prayascita, parurubayan, jejanganan, tataban, peras, banten pesaksi bale agung (ajuman) sajen turun tanah, sajen kumara, pula gembal bebangkit. b. Waktu pelaksanaan Upacara wetonan dilaksanakan pada saat bayi berusia 210 hari. Pada saat itu kita akan bertemu dengan hari yang sama seperti saat lahirnya si bayi (hari dan pasaran sama). Selanjutnya boleh dilaksanakan setiap 210 hari. c. Tempat upacara Seluruh rangkaian upacara ini dilaksanakan di rumah. d. Pelaksana upacara Upacara dipimpin oleh pandita/pinandita atau oleh keluarga tertua. e. Tata cara upacara 1) Pandita/pinandita sebagai pemimpin upacara melakukan pe­ mu­jaan untuk memohon persaksian terhadap Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya. 2) Pemujaan terhadap Siwa Raditya (Surya stawa). 3) Penghormatan terhadap leluhur. 4) Pemujaan saat pengguntingan rambut (potong rambut). 5) Pemujaan saat pawetonan dan persembahyangan. 8. Upacara tumbuh gigi (ngempugin). Upacara ini dilakukan pada saat anak tumbuh gigi yang pertama. Upacara ini bertujuan untuk memohon agar gigi si anak tumbuh dengan baik. a.

Sarana/upacara (1) Upacara kecil: petinjo kukus dengan telur. (2) Upacara besar: petinjo kukus dengan ayam atau itik, dilengkapi dengan tataban.



Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

39

b. Waktu pelaksanaan Upacara ini dilaksanakan pada saat bayi tumbuh gigi yang pertama dan sedapat mungkin tepat pada waktu matahari terbit. c.

Tempat upacara Keseluruhan rangkaian upacara ini dilaksanakan di rumah.

d. Pelaksanaan upacara Upacara ini dipimpin oleh seorang pandita/pinandita atau salah seorang anggota keluarga tertua. e. Tata cara upacara 1) Pemujaan ke hadapan Sang Hyang Widhi Wasa dengan mem­ persembahkan segala sesajen yang tersedia. 2) Si bayi natab mohon keselamatan. 3) Selesai upacara, si bayi diberi sesajen untuk dinikmati dan selan­ jutnya gusinya di gosok-gosok dengan daging dari sesajen. 9. Upacara tanggal gigi pertama (makupak) Upacara ini bertujuan mempersiapkan si anak untuk mempelajari ilmu pengetahuan. a. Sarana/upakara (1) Banten tataban dan sesayut tatebasan. (2) Canang Sari b. Waktu pelaksanaan Upacara tanggal gigi pertama dilaksanakan pada saat si anak untuk pertama kalinya mengalami tanggal gigi. Upacara ini dapat pula disatukan dengan wetonan berikutnya. c. Tempat upacara Keseluruhan rangkaian upacara ini dilaksanakan di rumah. d. Pelaksana upacara Upacara dipimpin oleh keluarga tertentu.

40

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

e. Tata cara upacara (1) Pemuja mempersembahan sesajen ke hadapan Sang Hyang Widhi Wasa. (2) Si anak dipersembahyangkan. (3) Setelah selesai sembahyang, dilanjutkan dengan natab sesayut/ tetebasan. (4) Dipercikan tirtha. Dari rangkaian upacara yang dipaparkan di atas tampak bahwa tradisi yang amat kuat masih dilaksanakan oleh masyarakat Banda, dan sistem kepercayaan masyarakat di Banda sangat kompleks seperti dipaparkan oleh Wayan BK berikut ini. “Di masyarakat Banda juga dikenal Lingih Ratu Bajang (tugu) di mana diperuntukan untuk memohon bayi biar dijaga dan diempu (diasuh) yang bertempat di sebelah tempat permandian umum Banjar Banda.” Setelah pemaparan dari Wayan BK dapat kami peroleh gambar yang menunjukan tempat sakral yang dipercaya memiliki kekuatan memelihara keselamatan balita. Gambar berikut adalah salah satu tempat keramat untuk memohon keselamatan bayi/balita.

Gambar 2.17 Tempat yang dipercaya untuk memohon keselamatan balita.

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

41

Tempat suci yang memiliki hubungan dengan kepercayaan masyarakat Banda untuk menjaga kesehatan dan keselamatan balita di Banjar Banda adalah Pura Musen, yang tempatnya di Banjar Belangsinga, Desa Saba, tepatnya di sebelah utara Banjar Banda. Warga mempercayai hal ini dari warisan atau kebiasaan/leluhur pendahulu mereka. Pura Musen adalah tempat pembersihan balita dengan simbol memotong rambut balita yang dibawa sejak lahir. Adapun Pura Musen yang dimaksud adalah seperti tampak pada gambar 2.18 berikut ini.

Gambar 2.18 Pura Musen di Banjar Belangsinga, Desa Saba.

Dari hasil wawancara dengan Jero Mangku Pura Musen, Jero MKB menjelaskan arti dan fungsi pura ini sebagai berikut. ”Pura Musen diartikan musen=embuse (dilepas). Dalam cerita para pendahulu atau lelulurnya bahwa Pura Musen diceritakan Dang Hyang Niratha dalam perjalan dari Jawa ke Bali. Salah satu tempat yang beliau lewati adalah mata air pura ini. Di tempat ini Dang Hyang Niratha melakukan pembersihan diri dengan melepas kerucut/makhkota beliau. Kata melepas ini dalam bahasa Bali adalah embus. Lama-lama kata embus menjadi musen. Dari pelepasan rambut beliau yang disanggul atau dikerut menjadi terurai. Dang Hyang Nirata juga dikenal dengan penyatuan Hindu Buddha, Buddha=botak=kepala bersih. Di Pura Musen tempat pembersihan kotoran secara

42

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

rohani dan jasmani. Jadi dulu yang memotong rambut di pura ini adalah bayi yang rambutnya sakit, sakit ini adalah rambut bayi gimbal, yang bila dipotong akan menyebabkan bayi ini sakit, nah bila ingin memotong rambut ini harus dilakukan upacara memotong rambut. Hubungan rambut gimbal/gempel ini dengan bayi/balita adalah orang-orang yang leluhurnya dulu sebagai pengikut dari Dang Hyang Niratha. Oleh karena lupa akan silsilah leluhur, maka beliau mengigatkan bahwa generasi yang baru lahir dengan rambut gimbal/gempel. Masyarakat Banda yang sejak dulu sudah melaksanakan prosesi ritual potong rambut di Pura Musen akan melaksanakan potong prosesi potong rambut tersebut untuk keturunan selanjutnya.” Berdasarkan informasi yang diporoleh dari mangku Pura Musen dan dari hasil observasi dapat dijelaskan bahwa Pura Musen adalah tempat suci yang memiliki aura kesunyian. Kesucian sangat terasa ketika kami datang dan melihat situasi di sana. Kami datang ke Pura Musen untuk meliput prosesi makayehan (prosesi potong rambut bayi berumur 21 bulan). Kami menempuh medan perjalanan menuruni anak tangga kira-kira 127 anak tangga. Beberapa anak remaja dan orang dewasa membawa air dalam galon yang diambil dari bawah yang ditaruh di atas kepala sambil menaiki anak tangga Pura Musen. Air dalam galon ini digunakan untuk minum. Kami bertemu dengan warga sekitar, salah satunya Pak UP yang hendak mandi di Sugai Petanu di dekat mata air Pura Musen. Pak UP sering mandi di sungai karena segar dan mengilangkan panas dalam. Pak UP juga menceritakan bahwa di bawah dekat sugai banyak ada moyet liar hidup di hutan sekitar tempat itu. Sambil menunggu rombongan yang mau melakukan upacara maka­ yehan, kami turun ke mata air dengan menuruni anak tangga. Di sisi kanan dan kiri anak tangga penuh dengan lumut dan beberapa ukiran arca macan, Ganesha, pendeta, ibu-ibu, yang dihiasi kain poleng (kain hitam putih). Kanan kiri diterangi dengan lampu hias lampu kapal dan di sekitarnya penuh dengan pohon-pohon besar. Setelah selesai menuruni tangga tampak Pura Ratu Ayu di samping kiri dengan arca ibu. Tampak pula beberapa bagunan suci di bawah tebing. Terdapat dua buah pancuran air disebelah timur, 2 buah di sebelah utara, serta beberapa arca raksasa dan patung naga di sebelah timur serta arca pendeta di sebelah utara.

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

43

Pancuran sebelah timur digunakan untuk mengambil air minum dan mandi masyarakat. Pancuran sebelah utara digunakan sebagai saranan upacara Dewa Yadnya. Di samping Pura Musen terdapat sungai besar, yaitu Sungai Petanu dengan batu-batu besar yang dipercaya memiliki kekuatan. Batu itu disebut batu pangijeng, batu jaran, batu tempeh, seperti tampak pada gambar 2.19 berikut.

Gambar 2.19 Batu besar di Sungai Petanu diyakini memiliki kekuatan gaib/keramat.

Dari hasil pengamatan dapat dijelaskan bahwa upacara potong rambut dipercaya oleh masyarakat Banda sebagai salah satu kepercayaan akan kesehatan balita. Tata cara upacara tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Ngaturang piuning (upacara pemberitahuan) di Pura Muteran yang berada di atas Pura Musen. 2. Menggimpit (memotong rambut) Tata aturan memotong rambut balita baik laki-laki maupun perem­ puan dibagi menjadi lima seperti lima penjuru mata angin. a. Rambut di bagian utara dipotong dengan sarana gunting dan bunga berwarna hitam (hitam dan utara berarti Dewa Wisnu)

44

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

b.

3. 4. 5.

6.

Rambut di bagian timur dipotong dengan sarana gunting dan bunga putih (putih dan timur berarti Dewa Iswara) c. Rambut di bagian selatan dipotong dengan sarana gunting dan bunga merah (merah dan selatan berarti Dewa Brahma) d. Rambut di bagian barat dipotong dengan sarana gunting dan bunga kuning (kuning dan barat berarti Dewa Sahadewa) e. Rambut yang ada di bagian tengah dipotong dengan sarana gunting dan bunga pancawarna (lima warna), hitam, putih, kuning, merah (pancawarna adalah Dewa Siwa) Setelah rambut balita dipotong secara simbolis seperti dijelaskan di atas, rambut balita dicukur habis. Potongan rambut tersebut dibungkus dengan gulungan janur yang diikat dengan batu dan di atasnya diberi canang. Bungkusan rambut itu dilempar ke sugai di depan batu besar yang disebut batu pajenangan, batu jaran, batu tempeh. Dan sebelum melempar didoakan lebih dulu agar selamat dan rambut yang gimbal dan gempel tidak datang lagi. Terakhir sembahyang, lalu upacara selesai.

Ada juga kepercayaan masyarakat Bali pada umumnya dan masyarakat Banda pada khususnya, yang dijelaskan oleh salah satu informan pemuka agama. Informan itu menjelaskan konsepsi kekuatan magis yang mempengaruhi generasi ke kegenerasi untuk melakukan prosesi yang berhubungan dengan kesehatan, yaitu untuk bayi yang sering sakit dan sering menangis. ”Nyame (tempat menanam ari-ari), tempat ini harus dipelihara dan dirawat seperti merawat bayi karena keempat saudara yang melindungi si bayi tempatnya adalah di ari-ari. Dalam masyarakat Banda ari-ari sangat diperhatikan karena ari-ari adalah saudara si bayi. Yang dimaksud saudara bayi menurut ratu peranda adalah empat saudara dari bayi yaitu: 1. Angga pati: yeh yom (lendir) 2. Maraja pati: darah 3. Banas pati: banah (langlang) 4. Banas pati raja: buah pinggang = ari ari Karena keempat saudara manusia ini akan menjadi penyelamat dan dari semuanya itu menjadi tri premana (bayu=tenaga, sab­ da=hidup, idep=berpikir). Jadi dasar dari keempat itu menjadi

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

45

obat, dan sebaliknya pula menjadi penyebab kesakitan. Ma­ nusia adalah sama dengan alam, semua unsur alam ada di da­lam manusia ini disebut dengan Bhuana Agung dan Buana Alit. Bhuwana Alit berarti alam kecil,tubuh manusia, Bhuana Alit juga disebut mikrokosmos. Tubuh manusia selalu mengalami perubahan (yang tidak kekal), tetapi atma yang menempati tubuh itu kekal.Bhuwana Alit atau tubuh manusia, tumbuhan dan binatang ini terbentuknya sama seperti Bhuwana Agung yang pertemuan purusa dan prakerti. Purusa adalah unsur dasar yang bersifat kejiwaan. Prakerti adalah dasar yang bersifat kebendaan.” Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa pengaruh kesehatan secara spiritual adalah dari saudara sang bayi yang diajak lahir dan kelahiran adalah reinkarnasi ke dunia. Masyarakat dikatakan sehat apabila meraka mampu menyeimbangkan kesehatan ini, yaitu antara niskala dan sekala. Hal ini juga dijelaskan oleh Ratu Peranda Lanang Gria Banda sebagai pro­ ses perjalanan atma untuk menebus dosa dengan lahir kembali ke dunia. Dalam pandangan dan kepercayaan masyarakat Desa Banda, kelahiran bayi adalah leluhur yang pulang ngidih nasi (meminta makanan), yang bertujuan untuk menebus karma. Jika tidak ada yang reinkarnasi, ma­ka leluhurnya sudah menyatu dengan Tuhan. Kelahiran anak dalam pan­ dangan masyarakat adalah supaya kelak ada yang memperhatikan orang tua di hari tuanya. Bayi yang mati setelah dilahirkan dianggap karma yang ditebus hanya sebatas lahir saja. Jadi, kelahiran dan kematian selalu berhubungan dengan karma manusia. Masyarakat percaya bahwa segala kehidupan di dunia ini adalah untuk membayar utang kepada Tuhan, utang kepada leluhur, utang kepada rsi/guru. Maka, memelihara kesehatan dan keselamatan merupakan wujud membalas budi kita kepada Tuhan, leluhur, dan rsi/guru. 2.4 Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan 2.4.1 Struktur Organisasi Sosial Struktur organisasi Desa Saba dan hubungan hierarki dengan banjar adat dan banjar dinas adalah sebagai berikut.

46

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

2.4 Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan 2.4.1 Struktur Organisasi Sosial Struktur organisasi Desa Saba dan hubungan hierarki dengan banjar adat dan banjar dinas adalah sebagai berikut. Perbekel Desa Saba

BPD

Bendesa Adat

Koordinasi

B t Wakil Bendesa

Sekretaris Desa

Petengen

KAUR. Pemerintahan

Penyarikan

KAUR. Pembangunan KAUR. Kemasyarakatan KAUR. Keuangan KAUR. Umum

yaitu :

Kelian Banjar Dinas

Kelian Banjar Dinas

Kelian Banjar Dinas

Gambar 2.20 Skema organisasi sosial Desa Saba. Di Bali dikenal dua pengertian desa, yaitu: 1. social Desa dinas Gambar 2.4.1 Skema organisasi Desa (desa Saba administratif) 2. Desa Desa Banda pakraman (desa adat) Di Bali pada umumnya dan di khususnya mengenal adanya dua pengertian Desa

1. Desa dinas (Desa administratif) Desa dinas (desa administratif) merupakan kesatuan wilayah di bawah 2. Desa Pakraman (Desa Adat) Kecamatan yang dikepalai oleh seorang kepala yangKecamatan disebut perbekel. DesaDinas(DesaAdministratif)sebagai kesatuan wilayahdesa di bawah di kepalai oleh seorang kepala Desa yang disebut Perbekel ini diangkat danyang diberhentikan oleh Camat yang Perbekel diangkat dan Perbekel. diberhentikan oleh Camat mengepalai suatu mengepalai suatu wilayah Kecamatan, tetapi calon perbekel ini dipilih secara langsung oleh masyarakat wilayah kecamatan, tetapi calon perbekel ini dipilih secara langsung oleh dan dilantik oleh Bupati. Perbekel ini dapat memilih kaur (seorang pembantu untuk melakukan tugasmasyarakat dan dilantik olehsurat Bupati. Perbekel ini dapat kaur (se­ tugas keluar, seperti misalnya membawa ke masing-masing banjar yangmemilih juga merangkap sebagai petugas untuk membuka, membersihkan dan menutup kantoran. Akan tetapi Badan Pemberdayaan orang pembantu untuk melakukan tugas-tugas keluar, seperti misalnya Desa merupakan suatu lembaga yang terdiri atas orang-orang terkemuka di desanya, seperti, membawa surat ke masing-masing banjar yang juga merangkap sebagaipara pekaseh (pengurus subak), kepemudaan, olah raga, dan lain sebagainya yang diangkat oleh Kepala Desa untuk membuka, tugas-tugas membersihkan, dan menutup kantor. Badan untuk petugas mendampingi dan melaksanakan dalam pembangunan Desa. Untuk Kelihan Banjar dipilih Pemberdayaan langsung oleh anggota banjarnya danmerupakan mendapat persetujuan dari Kepala yang Desa (Prebekel). Desa (BPD) suatu lembaga terdiri atas Desa Pakraman terbentuk sebagai komunitas yang merupakan suatu kesatuan orang-orang terkemuka di desa, sepertikeagamaan para pekaseh (pengurus subak), wilayah di mana para warganya secara bersama-sama atas tanggungan bersama mengkonsepsikan dan para pemuda, pengurus olahraga, dankesucian lain sebagainya yangpengertian diangkatinioleh mengaktifkan upacara keagamaan untuk memelihara desa. Desa dalam disebut desa Adat karenaDesa adanya rasa kesatuan sebagai komunitas keagamaan yang diikat oleh faktordalam pura yang Kepala untuk mendampingi dan melaksanakan tugas-tugas disebutpembangunan pura Kahyangan Tiga, yaitu Pura Puseh, Desa dan Puralangsung Dalem. Pimpinan desa. Untuk kelianPura banjar dipilih oleh dipegang anggotaoleh seorang Bendesa dan wakil. Banjar di samping bagian dari Desa dinas, juga merupakan bagian dari desa banjarnya dantugas-tugas mendapat persetujuan Desa (Perbekel). Adat yang menjalankan yang berhubungan Kepala dengan adat dan agama. Oleh karena itu desa Dinas denganDesa desa Adat akan terjadi terbentuk hubungan koodinasi dalamkomunitas kegiatannya. keagamaan yang pakraman sebagai Interview Bendesa Adat Banda : Bapak Made tempat RK 2 Desapara Bandawarga yang memiliki Pakraman merupakan suatu kesatuan wilayah secara1 Desa bersamayang memiliki awig-awig Desa Pakramannya masing – masing, diantaranya : sama dan atasBanda, tanggungan bersama mengonsepsikan dan mengaktifkan Desa Pakraman meliputi : Banjar penyarikan ini membawahi Tempekan I dan tempekan upacara keagamaan memelihara kesucian desa. Desa dalam pe­ II II. Tempekan I ini adalah untuk Kelompok yang rumahnya di utara Balai Banjar Banda, Tempekan adalah Kelompok rumahnya berada disebelah selatan Balai banjar. ngertian ini disebut desa adat karena adanya rasa kesatuan sebagai komu­ nitas keagamaan yang diikat oleh faktor pura yang disebut pura kahyangan tiga, yaitu Pura Puseh, Pura Desa, dan Pura Dalem. Pimpinan dipegang

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

47

oleh seorang bendesa dan wakil. Banjar, di samping bagian dari desa dinas, juga merupakan bagian dari desa adat yang menjalankan tugas-tugas yang berhubungan dengan adat dan agama. Oleh karena itu, antara desa dinas dan desa adat terjadi hubungan koodinasi dalam kegiatannya. Berdasarkan wawancara dengan bendesa adat Banda, Bapak Made RK, Desa Banda memiliki satu desa pakraman yang memiliki awig-awig masing-masing, yaitu: ”Desa pakraman Banda meliputi: Banjar penyarikan ini mem­ bawahi Tempekan I dan Tempekan II. Tempekan I adalah ke­ lompok yang rumahnya di utara balai Banjar Banda, Tempekan II adalah kelompok yang rumahnya berada di sebelah selatan balai banjar.” Kehidupan masyarakat desa adat sepenuhnya dikoordinasi oleh pe­ mimpin desa adat dengan perangkatnya yang diatur dalam peraturan desa adat, baik tertulis maupun tidak tertulis yang disebut dengan awigawig (semacam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dalam suatu organisasi). Seperti dikatakan oleh Pitana (1994:56), bahwa dalam usaha mengatur kehidupan desa pakraman bagi aktivitasnya terdapat anggaran rumah tangga yang disebut dengan awig-awig, baik tertulis maupun lidak tertulis. Tujuannya untuk lebih menertibkan kehidupan desa adat serta memberikan pedoman lebih pasti. Pemerintah Daerah Tk. I Bali lewat Perda No. VI/1986 (pasal 7), dengan tegas menyatakan bahwa setiap desa pakraman di Bali harus memiliki awig-awig tertulis. Desa adat terdiri atas beberapa banjar pakraman atau ada kalanya satu desa pakraman memiliki satu banjar adat. Banjar adat adalah subdesa adat di mana di banjar adat itulah diatur secara detail kehidupan kekerabatan desa baik berhubungan dengan parhyangan, pawongan, maupun dan palemahan. Banjar merupakan administrasi terkecil dari pemerintahan dinas karena pimpinan banjar yang disebut kelian banjar dinas mendapat gaji dari pemerintah. Dalam hal pemilikan/perlengkapan, masing-masing banjar mempu­ nyai hak milik tersendiri, misalnya balai banjar dan pura banjar. Juga kadang-kadang beberapa banjar memiliki pakaian tari, gong, dan alatalat kesenian lainnya. Sebagai suatu kesatuan, banjar juga merupakan kesa­tuan ekonomis, politik, agama, pendidikan, dan kesatuan yang me­ ngadakan pengawasan sosial terhadap anggota-anggotanya. Banjar mem­ punyai tugas-tugas seperti pelaksanaan pesuka-duka, gotong-royong,

48

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

melaksanakan tugas-tugas yang lebih suci dalam hubungan dengan upa­ cara-upacara keagamaan (ngayah). Di luar organisasi tradisional, terdapat pula perkumpulan-perkum­ pulan yang dalam bahasa Bali disebut seka, yang bertujuan untuk me­ menuhi beberapa kepentingan. Berlainan dengan keanggotaan banjar, keanggotaan seka adalah sukarela. Seseorang boleh ikut dan boleh tidak dalam memasuki sebuah perkumpulan atau seka tanpa mengurangi arti keanggotaan banjarnya. Bila seseorang yang bukan anggota seka mem­ butuhkan bantuan seka, misalnya seka (manyi10), orang bisa memakai tenaga seka dengan memakai sistem upah. Ada seka yang berorentasi pada seni dengan tujuan melatih pemuda-pemudi untuk meningkatkan keterampilan dalam bidang seni tari dan tabuh, melestarikan seni tradisi, seperti baris gede, wayang, dan lain-lain. Selain organisasi sosial, ada banyak tempat untuk berinteraksi orang Bali. Ruang publik yang ada seperti balai banjar dan plangkan di warungwarung memungkinkan para warga berinteraksi dan berdemokrasi. Per­ temuan mereka di acara-acara upacara seperti otonan, odalan, dan upacara lainnya menjadi ajang untuk bertemu dan saling bertukar informasi. Karena sudah diatur oleh lembaga masyarakat yang disebut banjar, maka pengurus banjar membuat aturan yang disepakati bersama oleh anggota banjar, yaitu awig-awig desa adat. Awig-awig wajib dituruti oleh anggota banjar dan jika ada yang melanggar akan dikenakan sanksi oleh masyarakat. Mereka yang mengawal awig-awig ini adalah kelian dan pecalang. 2.4.2 Sistem Kekerabatan Suatu rumah tangga di Banda terdiri atas satu keluarga batih/inti yang bersifat monogami, sering ditambah dengan anak laki-laki yang sudah kawin tinggal bersama keluarga batih mereka. Beberapa waktu kemudian, ketika anak laki-laki sudah cukup mampu untuk berdiri sendiri, ia akan memisahkan diri dari orang tuanya dan mendirikan rumah sendiri. Salah satu anak laki-laki biasanya tetap tinggal di kompleks perumahan orang tua (ngerob), untuk nanti dapat membantu orang tua saat mereka sudah tidak berdaya lagi dan selanjutnya menggantikan dan melanjutkan rumah tangga orang tua. Tiap-tiap keluarga batih maupun keluarga luas harus memelihara hubungan dengan kelompok kerabat yang lebih luas, yaitu klan (tunggal panen padi.

10



Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

49

dadia). Struktur orang-orang dari tunggal dadia yang hidup neolokal wajib mendirikan tempat pemujaan sendiri yang disebut kemulan taksu. Di samping itu, keluarga batih yang hidup neolokal masih mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap kuil asal (dadia atau sanggah) di rumah orang tua mereka. Suatu pura di tingkat dadia merayakan upacara-upacara dalam lingkaran hidup semua warganya, dan dengan demikian pura/kuil tersebut mempersatukan dan mengintensifkan rasa solidaritas anggotaanggota klan kecil. Kelompok kerabat yang lebih besar, yang melengkapi beberapa ke­ rabat tunggal dadia (sanggah) yang memuja kuil leluhur yang sama disebut kuil (pura) paibon atau panti. Dalam praktiknya, suatu tempat pemujaan di tingkat paibon juga hanya mempersatukan lingkaran terbatas kaum kerabat yang masih dikenal hubungannya. Keluarga inti di masyarakat Bali pada umumnya adalah ayah, ibu, dan anak. Masing-masing rumah ditempati oleh satu keluarga inti. Dalam satu keluarga inti, yang bertugas mencari nafkah tidak hanya suami, tetapi dapat juga istri, meskipun tugas pokoknya adalah mengasuh anak. Hal ini seperti terlihat pada dua keluarga yang ada di desa itu. Bu MR tinggal di rumah sebagai istri dan ibu yang mengasuh dua orang anak laki-laki. Sebagai seorang ibu, kegiatan utamanya adalah mengasuh anak, sedangkan jika ada waktu luang dia juga menjahit baju seperti kebaya untuk menambah penghasilan rumah tangganya. Suaminya yang juga seorang mangku di Soroh Pande adalah seorang PNS di Dinas Pendidikan bagian Pendidikan Nonformal. Setiap hari suaminya berangkat pagi-pagi dan pulang sore hari. Pada hari-hari tertentu jika suami lembur, khususnya pada akhir tahun, ia bisa pulang pukul 21.00 atau 22.00. Berbeda halnya dengan keluarga Pak Irawan yang mempunyai tiga anak perempuan. Pak Irawan adalah seorang guru SMA dan istrinya seorang guru SD. Masing-masing sibuk bekerja, namun yang berkewajiban mencari uang adalah suami. Pada masa-masa awal pernikahan Pak Ira­ wan selalu ditempatkan di luar pulau, bahkan ketika sang istri hampir melahirkan, suami tidak di rumah. Untuk mendidik anak-anak, Pak Irawan mempercayakan secara penuh kepada istrinya sehingga istrinya sangat keras kepada anak. Pak Irawan harus mengimbanginya dengan perilaku lembut sehingga anak-anak lebih manja kepada ayahnya. Dalam sistem kekerabatan masyarakat Banda, perkawinan merupakan saat yang amat penting karena pada saat itulah ia dianggap sebagai warga masyarakat, dan sesudah menikah ia memperoleh hak dan kewajiban seorang warga komunitas dan kelompok kerabat.

50

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

Berdasarkan observasi kami tampak bahwa masyarakat Banjar Banda melakukan pembinaan kekerabatan secara lahir dan batin. Masyarakat Banda tetap ingat dengan asal muasal dirinya yang dengan kawitan. Kawitan ini dikenal dengan wangsa atau soroh. Begitu banyak soroh – biasanya mereka memiliki tempat pemujaan keluarga secara tersendiri – dan keluarga besar yang berkembang di lingkungan masyarakat Banda. Tatanan masyarakat berdasarkan soroh ini begitu kuat menyelimuti aktivitas kehidupan manusia Banda. Mereka tetap mempertahankan un­ tuk melestarikan silsilah yang mereka miliki. Beberapa tulisan dalam ben­ tuk berbagai prasasti yang berisi silsilah sebuah keluarga soroh mereka dibingkai dengan kayu yang dilapisi oleh kaca. Beberapa soroh yang ada di Banjar Banda dikenal dengan nama: 1. Soroh Tangkas Kori Agung 2. Soroh Pande Beratan 3. Soroh Pande Besi 4. Soroh Pande Kubayan 5. Soroh Meranggi 6. Soroh Pasek Gede Bandesa 7. Soroh Bendesa Manik Mas 8. Soroh Pasek Pretekan 9. Soroh Pasek Gelgel 10. Soroh Pasek Pulasari 11. Soroh Pasek Segeni 12. Soroh Karang 13. Soroh Gaduh 14. Soroh Arya Kenceng 15. Soroh Arya Tanmundur 16. Soroh Pasek Salihin 17. Soroh Pasek Kelagi 18. Soroh Manik Angkeran 19. Soroh Tebuana 20. Soroh Entebuana 21. Soroh Brahmana Semuanya memiliki sejarah turun-temurun yang berbeda. Sebagian kehidupan ritual mereka juga diabdikan untuk kepentingan pemujaan terhadap leluhur/kawitan mereka. Mereka memiliki tempat pemujaan yang disebut dengan pura maksan, pura panti, pura dadia. Beberapa soroh yang ada di Banjar Banda memliki pura yang dikenal dengan nama:

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

51

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Pura Tambun Pura Tandruh Pura Buda Cemeng Pura Tegeha Pura Satra Pura Anggarkasih

Kebiasaan yang dianggap bagus dalam perkawinan dipengaruhi oleh sistem klan-klan (dadia) dan sistem kasta (wangsa). Maka, perkawinan sebaiknya dengan nyame11 atau sedapat mungkin dilakukan di antara warga se-klen, atau setidak-tidaknya antara orang yang dianggap sederajat dalam kasta. Dengan demikian, perkawinan adat di Banda bersifat endogami klan. Perjodohan juga masih terjadi dalam masyarakat Banda yang biasanya antara anak dari dua orang saudara laki-laki. Namun, perkawinan yang dipengaruhi oleh klan ini hanya sebagai imbaun dalam keluarga. Yang terjadi adalah anak bebas memilih jodoh untuk menjalani kehidupan berumah tangga. Yang menarik adalah ketika seorang laki-laki/ perempuan mengambil istri/suami dari wangsa yang lebih tinggi dibandi dirinya, maka dalam bisama (adat yang tidak tertulis) keluarga laki-laki/perempuan ini akan melaksanakan upacara petiwangi yang diadakan di Bale Agung, Pura Desa, Desa Adat Banda. Prosesi ini diperuntukan bagi orang-orang yang turun kasta, yaitu orang yang berkasta tinggi (misalnya Brahmana, Kesatria) menikah dengan orang yang berkasta sudra. Maka, kasta yang lebih tinggi ini dihilangkan dengan prosesi petiwangi, yaitu mengelilingi Bale Agung sebanyak tiga kali, dihadiri saksi sekala (para pengurus/pejabat desa) dan niskala (yang tidak kelihatan). Dalam kepercayaan masyarakat Banda, bila seseorang hendak memasuki kehidupan rumah tangga harus setara dengan wangsa dalam keluarganya. Pada umumnya, seorang pemuda Banda memperoleh seorang istri dengan dua cara, yaitu dengan meminang (memadik, ngidih) kepada keluarga gadis, atau dengan cara melarikan seorang gadis (mrangkat, ngrorod). Sesudah menikah, suami-istri yang baru biasanya menetap secara virilokal di kompleks perumahan orang tua suami, walaupun tidak sedikit suami istri yang menetap secara neolokal dengan mencari atau membangun rumah baru. Sebaliknya, ada pula suami istri baru menetap secara uxorilokal di kompleks perumahan keluarga istri (nyeburin). Kalau keluarga.

11

52

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

suami istri menetap secara virilokal, maka anak-anak keturunan mereka selanjutnya akan diperhitungkan secara patrilineal (purusa), dan menjadi warga dadia si suami dan berhak atas warisan harta dan sanggah klan tersebut. Sebaliknya, keturunan dari suami istri yang menetap secara uxorilokal akan diperhitungkan secara matrilineal menjadi warga dadia si istri, dan mewarisi harta dan sanggah klan itu. Dalam hal ini kedudukan si istri adalah sebagai sentana (penerus keturunan). 2.5 Sistem Pengetahuan Masyarakat Banjar Banda memiliki pengetahunan yang berbeda da­ lam memberikan definisi tentang gejala-gejala yang diterima sebagai suatu penyakit dan pengetahuan tentang kesehatan. Ada warga masyarakat Banjar Banda yang mempercayai sakit sebagai gejala naturalistic, tetapi ada juga yang meyakini sebagai gangguan personalistis. Gejala naturalistic ini percaya terjadinya suatu penyakit disebabkan oleh gangguan metabolisme biologis, sedangkan masyarakat yang mengganggap penyakit disebabkan gangguan personalistik percaya bahwa datangnya penyakit disebabkan oleh makhluk halus (roh, leluhur, setan), atau makhluk manusia yang memiliki ilmu hitam. Dari uraian tersebut tampak bahwa kebudayaan masyarakat Ban­jar Banda cukup memiliki peran yang sangat penting dalam tingkat penge­ tahuan kesehatan masyarakat. Penanganan sebuah penyakit di suatu masyarakat bukan hanya ditentukan oleh cara-cara medis, tetapi juga ditentukan oleh cara-cara kebudayaan berdasarakan kosmologi. Dalam masyarakat Banjar Banda tampak bahwa penyembuhan suatu penyakit tidak cukup bila hanya diobati aspek biologisnya, tetapi diperlukan pula pengobatan aspek sosial budaya. Meskipun sudah mendapat obat dari dokter, mereka akan menempuh jalan kosmologi atau dalam bahasa lokalnya adalah mebayuh (pembersihan secara spiritual). Masyarakat Banda sudah mengenal pengetahuan tradisional tentang kesehatan dan obat-obatan yang menyentuh aspek sosial budaya yang disebut dengan usada. Usada adalah pengobatan tradisional dengan menggunakan ra­ muan tumbuh-tumbuhan dan sarana sastra yang merupakan salah satu sarana ritual dalam proses penyembuhan penyakit. Dengan cara ini as­ pek sosial budaya penderita bisa disentuh, juga kepuasan emosional masyarakat pendukungnya. Keputusan masyarakat untuk memilih cara pengobatan melalui dua cara pengobatan tersebut pada prinsipnya tidak terlepas dari perkem­

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

53

bangan sistem kosmologi penyakit dalam masyarakat Banda, dalam arti pengobatan secara medis dan pengobatan secara nonmedis. Pengetahuan akan keseimbangan alam berpengaruh terhadap kese­ hatan sangat dipercaya masyarakat Banjar Banda. Keseimbangan alam yang dimaksud adalah alam Bhuana Agung (makrokosmos) dan alam Bhuana Alit (mikrokosmos). Bhuana Agung yang disebut alam semesta, dan Bhuana Alit atau tubuh manusia yang memiliki hubungan yang sangat erat. Dalam alam Bhuana Agung maupun Bhuana Alit terdapat unsur kehidupan manusia yang sangat penting, yang disebut dengan pancamahabutha (lima unsur badan penyebab). Kelima unsur tersebut adalah akasa (ruang hampa), apah (unsur cair), pertiwi (unsur padat), teja (unsur panas), dan bayu (unsur udara). Unsur panas, cair dan udara merupakan tiga unsur utama panca mahabutha yang dipercayai mempengaruhi timbulnya suatu penyakit di kedua alam tersebut. Oleh karena itu, keberadaan unsur-unsur itu harus senantiasa dijaga keseimbangannya, baik di Bhuana Agung maupun di alam Bhuana Alit. Apabila salah satu unsur tersebut berubah (meningkat disebut kala dan menurun disebut bhuta), maka akan menimbulkan rasa sakit dalam tubuh manusia. Menurut kepercayaan ma­syarakat Banda, kelebihan unsur panas di salah alam tersebut akan dapat menimbulkan sakit panes (panas), kemudian kelebihan unsur cair akan mengakibatkan sakit nyem (dingin), dan kelebihan unsur angin akan menimbulkan sebaha (meriang, atau antara panas dan dingin). Menurut kepercayaan masyarakat Banda, perubahan atau ketidak­ seimbangan unsur-unsur di kedua alam tersebut dapat disebabkan oleh siklus alam, seperti pergantian iklim, cuaca, bencana, karena kemurkaan dan kemurahan para dewa. Siklus alam akan menimbulkan sakit yang datang dari penyebab luar, seperti ketidakseimbangan biologis, sedangkan kemurkaan atau kemurahan dewa akan menyebabkan penyakit niskala, panes, nyem, dan sebaha. Penyakit niskala ini diyakini warga masyarakat bukan karena gangguan fungsi biologis, namun karena adanya keyakinan bahwa penyakit tersebut timbul akibat perilaku mereka sendiri yang telah menyalahi aturan dharma agama (Hindu). Aturan dharma tersebut di antaranya tidak pernah bersembahyang ke merajan/tempat suci yang ada di rumah, tidak pernah membersihkan merajan/tempat suci, se­ ring mencelakai orang lain, membangun rumah tidak sesuai dengan kon­sepsi asta kosala kosali/aturan mendirikan bangunan dalam agama Hindu. Kelalaian terhadap aturan dharma ini membuat mereka percaya bahwa penyakit yang diterima tersebut adalah hukum para dewa. Bentuk

54

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

kosmologi seperti itulah yang membuat keluarga-keluarga di Banjar Banda ini percaya bahwa kesalahan arah tidur, letak tempat tidur, atau letak bangunan rumah dapat menimbulkan datangnya penyakit. Pengetahuan lokal masyarakat juga mendukung terjaganya kese­hat­ an ibu dan anak yang termuat dalam usada beling (ilmu pengobatan orang hamil). Berikut ini beberapa kebiasaan yang harus dihindari. 1. Jangan membangunkan istri hamil yang sedang tidur terlelap. 2. Jangan melangkahi bagian badan mana pun istri atau orang lain yang sedang hamil. Penjelasannya: orang yang sedang hamil, pada saat tidur ia sedang didoarestui oleh Sang Hyang Suksma, berserta roh nenek moyang/leluhur dari pihak suami dan istri. Intinya, semua itu adalah pembentukan jiwa sang Bayi dalam perut ibu yang mengandungnya. Dewa Kala Mertiyu dan Sang Hyang Prama Wisasa juga turut memberikan doa restu. 3. Jangan membayangi ibu hamil yang sedang makan, baik nasi yang dimakannya maupun ibu yang sedang makan, sama sekali tidak boleh kena bayangan. Penjelasannya: akan mengakibatkan kita kena sumpah serapah Sang Hyang Suksma, Dewa Kala, berserta roh leluhur sehingga akan menye­ babkan terjadinya benacana, seperti bayi mati dalam kandungan, bayi sukar keluar dari rahim ibunya, atau bayi lahir muda. 4. Jangan mengatakan atau memperdengarkan kata-kata tidak baik, menyakiti hati, atau bersifat tidak sopan termasuk hal porno kepada istri yang sedang hamil. Penjelasannya: pada saat ibu makan, sang bayi dalam kandungan sedang bersemedi, karena itu sangat berbahaya jika hal itu dilakukan. Hal itu bisa menjadi asal pangkal penyakit berat bagi si bayi di kemudian hari. Lagi pula berakibat tidak bertemunya kembali (tidak kekal) suami, istri, dan sanak keluarga pada penjelmaan yang akan datang. Selain hal-hal tersebut, terdapat pula langkah-langkah yang disebut darma berata, yaitu sebagai berikut. 1. Jika seorang istri sedang hamil, usahakan pada setiap hari Jumat Wage, hari purnama dan tilem (bulan mati), kedua suami istri mandi bersama di tempat yang ada air bersih atau mandi bersama di pantai, dengan disertai sesajen berupa tepung tawar

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

55

2. 3.

yang bertujuan mengheningkan cipta untuk membersihkan diri. Mohonlah air suci untuk peruatan di sanggah kemulan (tempat suci keluarga). Usahakanlah kata-kata atau basa-basi sehari-hari selalu lemah lembut yang mencerminkan hubungan keluarga yang sangat harmonis.

Karena memang demikianlah proses terjadinya bayi dalam kan­dung­ an, yaitu karena adanya hubungan mesra antara benih pihak laki-laki dan benih pihak perempuan, lalu terjadilah bayi. Kedua jenis benih itu diberi doa restu oleh Sang Hyang Suksma untuk dijadikan makhluk manusia yang disertai oleh saudaranya yang berjumlah empat, yaitu dua dari pihak ibu dan dua lagi dari pihak ayah. Akan tetapi, keempat saudara itu bisa menyebabkan penyakit (menyakiti) dan bisa pula mengasihani dalam arti memberikan keselamatan, tergantung bagaimana kita merawat keempat saudara bayi ini. Ada pula pantangan bagi suami istri dan akan sangat berbahaya jika berani melanggar pantangan ini. Pantangan tersebut antara lain: 1. Tidak boleh mengadakan hubungan suami istri pada saat istri menstruasi. 2. Tidak boleh mengadakan hubungan suami istri pada saat salah satu atau kedua belah pihak dalam keadaan marah (marah kepada orang lain atau antara suami istri itu sendiri). 3. Tidak boleh mengenang/membayangkan mantan pacar pada waktu sebelum atau saat berhubungan suami istri. Ketiga hal tersebut berakibat buruk bagi kandungan maupun bagi anak di kemudian hari bila pantangan ini dilanggar. Misalnya, si anak kelak menjadi bandel, nakal, sering sakit, dan buruk sifatnya. Pantangan berupa kebiasaan hidup sehari-hari atau pantangan be­ rupa makanan dikenakan bagi suami istri, terutama bagi istri yang sedang hamil. Pantangan makanan bagi ibu hamil secara umum adalah tidak boleh makan daging babi guling beserta lawarnya, tidak boleh makan daging kerbau, dan tidak boleh makan makanan yang pedas. Sementara tindakan yang dilarang pada waktu istri hamil adalah tidak boleh menjual binatang ternak milik sendiri. Semua ketentuan tersebut akan berakibat buruk jika dilanggar, kare­ na dapat mengakibatkan si bayi sakit-sakitan. Siapa pun boleh mengikuti

56

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

ketentuan ini karena bertujuan untuk ketenteraman, ketenangan, dan kebahagian manusia. 2.6 Bahasa Bahasa yang digunakan masyarakat Banjar Banda sehari-hari adalah bahasa Bali. Untuk kaum muda dan generasi orang tua di bawah 50 tahun masih bisa menggunakan bahasa Indonesia. Namun, mereka yang berusia 60 tahun ke atas hanya bisa berkomunikasi dengan bahasa Bali. Mereka yang menggunakan bahasa Indonesia oleh orang Banda akan disebut orang Jawa. Dalam pengertian beberapa orang, orang dari luar Bali disebut orang Jawa. Misalnya saja ada orang dari Sumatra, beberapa orang tua atau lanjut usia akan menyebut mereka Mas orang Jawa Sumatra atau yang dari Jakarta akan disebut Mas orang Jawa Jakarta, kecuali bagi turisturis yang menggunakan bahasa Inggris dan berkulit putih. Mereka paham bahwa itu turis asing dari luar negeri, seperti orang Belanda yang memiliki vila dan pabrik pengolahan lidah buaya di Banda. Bahasa Bali sendiri juga punya struktur tingkatan. Kepada orang de­ngan kasta yang sama, mereka akan menggunakan bahasa seharihari. Namun, jika kasta Sudra berbicara dengan Brahmana mereka harus menggunakan bahasa yang halus sebagai simbol penghormatan. Ting­ katan bahasa tersebut adalah (1) bahasa Alus Singgih Sor, (2) bahasa Alus Madya, dan (3) bahasa Lumrah (sesama). Awig-awig [aturan adat] ditulis dengan bahasa Bali. Selain bahasabahasa yang ada di masyarakat, ada juga tulisan hanacaraka bahasa Jawa kuno yang dibawa dari Majapahit, Tulisan ini masih digunakan dalam awig-awig subak Banda. Bahasa atau huruf hanacaraka juga digunakan dalam rajah-rajah (ulap-ulap) untuk menghidupkan benda-benda seperti ulap-ulap bagunan. Para ibu yang mengasuh anaknya mempunyai pengalaman tersendiri dalam berinteraksi dengan anaknya. Berbagai perilaku anak dan tandatanda anak hanya dimengerti oleh ibunya, seperti hanya perikalu yang membahayakan fisik balita atau gerakan-gerakan bayi yang kurang menguntungan bagi kesehatan bayi. Perilaku menyimpang pada anak harus disikapi dengan cara yang bijak, salah satunya melalui bahasa si ibu. Tentu saja hal ini disesuaikan dengan tahapan usia dan karakter si anak. Tiap anak pastilah memiliki “keistimewaan” tersendiri dalam hal keanehan atau perilaku menyimpangnya.



Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

57

Ibu adalah orang yang pertama kali bertanggung jawab meluruskan penyimpangan perilaku buah hatinya. Bagaimanapun juga pertalian darah dan batin mereka tidak terbantahkan oleh apa pun. Setiap pasangan ibu dan anak mempunyai hubungan yang unik. Oleh karenanya, ibu haruslah cermat mengikuti perkembangan anak dan taktis menghadapi gejala-gejala aneh si anak. Bahasa seorang ibu sangat diperlukan untuk mengolah pribadi buah hati. Setidaknya, ada tiga macam bahasa yang dapat digunakan ibu untuk melancarkan jurus jitu guna meluruskan penyimpangan perilaku anak. 2.6.1 Bahasa Lisan Bahasa ini benar-benar diucapkan oleh mulut ibu untuk didengarkan anak. Ibu berbicara dengan naknya dari hati ke hati. Dalam pengamatan kami, bahasa lisan yang disampaikan ibu kepada anak di masyarakat Banda adalah bahasa lisan yang halus, misalnya kata inggih (ya), ten (tidak), kata-kata pujian yang halus seperti sire niki (siapa ini)?, atau jika balita menangis, ibu akan bertanya dengan bahasa yang lembut dados nangis (kenapa nagis)? Bahasan lisan yang sering digunakan oleh ibu-ibu di Banda adalah nyanyian lagu Bali yang lembut yang bertujuan untuk membantu anak tidur. Nyanyian yang sangat lumrah di kalangan masyarakat Banda adalah nyanyian Cening Putri Ayu. Lagu ini mempunyai lirik sebagai berikut. Putri cening ayu (anakku yang ayu) Ngijeng cening jumah (diamlah engkau di rumah) Meme luas malu (ibu pergi dulu) Ke peken meblanja (ke pasar berbelanja) Dimulihne kegagapin.(nanti kalau pulang akan ibu beri oleh-oleh) Lagu tersebut adalah salah satu lagu pengantar tidur bayi. Beberapa ibu melantukan tembangnya atau nadanya saja. 2.6.2 Bahasa Gerak Tubuh Tidaklah bijaksana apabila seorang ibu serta merta memukul, men­ cubit, dan menjewer anak ketika anak berbuat salah. Bisa jadi ibu akan mendapat julukan kejam atau galak. Ibu dapat menghaluskannya dengan mengacungkan telunjuk tangan, menggelengkan kepala, atau gerakan lain seperti melambaikan tangan untuk memperingatkan anak. Bahasa tubuh ibu di masyarakat Banda adalah dengan menarikan tangan dengan gemulai

58

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

hingga membuat anak balita memperhatikan gerakan tangan ibunya. Ge­ rakan tubuh sang ibu dalam menyampaikan suatu pesan kepada anak balita menggunakan perasaan. Perasaan inilah yang menjiwai gerak tubuh sang ibu maupun gerakan tubuh sang ayah. Sebaliknya, mimik atau ekspresi wajah seorang ibu dapat juga digunakan untuk memberi sinyal ketidaksenangan terhadap perilaku menyimpang si anak. Jika seorang ibu mendapati anaknya berbuat menyimpang, ia akan menatap anak itu. Ibu tidak akan ragu mengekspresikan ketidaksukaannya atas perilaku anak. Ibu akan tetap diam, tidak menambahinya dengan kecerewetan atau omelan, terlebih di depan umum. Ibu tahu bahwa anak juga butuh dihargai. Dari penjelasan tersebut tampak mimik ibu sangat jelas kelihatan sebagai penyampai pesan ibu kepada sang anak. Lewat mimik ibu, anak akan senantiasa menurutinya. Misalnya, mimik marah yang digunakan oleh masyarakat Banda adalah raut muka mendelik. Atau saat ibu melarang anak adalah dengan mengigit bibir bagian bawah dengan gigi bagian atas sang ibu, dan mimik mengasihi atau menyayangi anak adalah lewat mimik yang menghibur anak. Ketiga bahasa di atas saling melengkapi. Pemakaiannya pun saling menggantikan. 2.7 Sistem Kesenian Menurut fungsinya, jenis-jenis kesenian yang ada di masyarakat Bali pada umumnya dan di Desa Banda pada khususnya dapat dipilah ke dalam tiga kategori, yaitu (1) seni wali, sebagai bagian dari upacara keagamaan, (2) seni bebali, sebagai seni pengiring upacara keagamaan, dan (3) seni bali-balian, sebagai seni untuk memberikan hiburan kepada masyarakat (Geriya, 2000:64). Pada sisi yang lain, kesenian juga dibedakan menjadi seni sakral dan seni profan. Oleh karena itu, seni wali dan seni bebali disebut atau digolongkan sebagai seni sakral, sedangkan seni bali-balian yang berfungsi sebagai hiburan digolongkan sebagai seni profan. Kesakralan kesenian dalam kehidupan masyarakat Bali, khususnya Desa Banda, sangat terkait dengan berbagai bentuk mitologi yang melatar­ belakangi kepercayaan masyarakat. Atas dasar latar bela­kang kepercayaan tersebut, masyarakat dapat memahami proses perkem­bangan ideologi kepercayaan berlandaskan atas “rasa”, bukan rasio semata. Keberadaan kesenian ini sangat dikeramatkan melalui berbagai prosesi ritual yang bersifat religius sehingga bentuk kesenian ini tetap memancarkan aroma magis (kekuatan gaib) yang memberi perlindungan terhadap marabahaya,

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

59

baik yang kelihatan (sekala) maupun yang tidak kelihatan (niskala), bagi warga masyarakatnya. Berdasarkan nilai kesakralan, kesenian mempunyai kaitan yang erat dengan sistem kepercayaan masyarakat pemilik kesenian ter­sebut. Sistem kepercayaan itu sering berhubungan dengan aspekaspek kejiwaan, di antaranya tentang dunia gaib, dewa-dewa, makhluk halus, roh leluhur, dan kekuatan sakti. Selain itu, sistem kepercayaan juga berhubungan dengan penyakit dan kematian. Namun, hal ini sangat berbeda dengan seni sakral yang dimiliki atau didukung oleh kelompok kekerabatan dan komunitas (banjar adat dan desa adat). Hampir semua kelompok kekerabatan dan desa pakraman di Bali memiliki atau mendukung salah satu seni sakral yang dikeramatkan. Walaupun bentuk-bentuk seni sakral yang disucikan itu menampilkan wajah yang beraneka ragam antara desa pakraman yang satu dengan yang lain, namun hal itu tetap dilandasi konsepsi desa-kala-patra (tempat, waktu, keadaan) dan desa-mawa-cara (menurut aturan atau ketentuan yang berlaku di masing-masing desa), namun memiliki tujuan yang sama, yaitu memohon keselamatan dan kesejahteraan bagi umat manusia ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Mahakuasa) penguasa jagat raya ini. Komunitas di Bali dikenal dengan desa pakraman (desa adat) yang didukung oleh banjar adat sebagai bagian desa pakraman. Desa pakraman ini kedudukannya bersifat otonom dan mengurusi adat dan agama di wilayah desa tersebut. Desa pakraman mempunyai tugas dan kewajiban untuk memelihara maupun menyelenggarakan upacara Pura Kahyangan tiga desa, meliputi Puseh, Bale Agung (Desa), dan Dalem. Selain upacara tersebut, Bali juga memiliki kesenian yang sangat disakralkan (disucikan), di antaranya kesenian Calon-Arang yang ditampilkan dalam bentuk tarian Barong dan Rangda (Barong and Rangda dance). Kesenian profan merupakan bentuk kesenian yang diciptakan oleh para seniman dengan tujuan untuk memberikan hiburan bagi seluruh lapisan masyarakat. Bentuk maupun jenis kesenian profan hampir sama kesenian sakral, yaitu meliputi seni tari, seni suara, seni sastra, dan seni rupa. Mengingat bentuk dan jenis kesenian ini bertujuan untuk memberi hiburan kepada manusia, bukan untuk persembahan kepada dewa-dewa, maka tidak dilakukan proses sakralisasi (penyucian) maupun pengeramatan. Seni yang bersifat profan ini lebih cepat mengadopsi perubahanperubahan sesuai tuntutan zaman. Di sinilah para seniman yang menggeluti bidang kesenian seperti seni tari, seni suara, seni sastra, dan seni rupa dituntut memiliki daya kreativitas yang tinggi untuk memenuhi gaya

60

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

hidup manusia yang terus berubah. Sebagai contoh, dalam bidang seni tari sudah terjadi kemajuan maupun perkembangan dengan melahirkan berbagai bentuk tari yang telah dimodifikasi dengan mengambil lakon kehidupan sekitar, misalnya tari manuk-rawa, tari belibis, tari jalak putih, tari legong kraton, margapati kebyar duduk, dan lain sebagainya. Begitu pula dengan seni suara, dewasa ini muncul banyak seniman penyanyi pop lagu-lagu Bali yang mengambil tema lagu tentang perikehidupan dan kultur masyarakat Bali. Di bidang seni rupa para seniman seperti pelukis, pemahat, dan designer) sudah mengarah kepada seni kontemporer, dari bentuk gaya klasik tradisional ke arah modern. Seni sakral dan profan yang berkembang di Banjar Banda diorgani­sasi dalam kelompok atau perkumpulan kesenian yang diberi nama sekaha. Sekaha kesenian ini ada dua bentuk. Pertama, bersifat permanen, artinya keberadaannya tetap eksis dari generasi ke generasi. Yang menjadi anggota dalam sekaha kesenian itu adalah krama banjar pada desa pakraman. Dalam hal ini, sekaha merupakan subdesa adat/banjar adat yang diberi tanggung jawab terhadap penyelenggaraan kesenian tersebut, terutama kegiatan kesenian yang berkaitan dengan upacara adat/agama dalam lingkungan desa pakraman. Anggota krama banjar yang ditunjuk kelian adat banjar memang diberi tugas mengemban misi kesenian yang disakralkan oleh desa pakraman yang berhubungan dengan pementasan tari wali (kesenian sakral). Dari wawancara dengan Jero Mangku Pasek Dalang, jenis kesenian yang ada di Banda adalah: • Sekeha gong/kelompok yang menabuh: 1. Sekeha Gong Banjar 2. Sekeha Gong Penataran • Tari wali/sakral 1. Tari Baris Tumbak 2. Tari Rejang Dewa Kesenian ini ditampilakn pada penyelenggaraan Pura Kahyangan tiga desa (Puseh, Bale Agung, dan Dalem). Bagi krama (anggota) Banjar Banda yang terlibat dalam kegiatan sekaha kesenian itu, yang pada dasarnya dimiliki oleh desa pakraman, diberikan hak bebas dari ayahan (kewajiban) banjar adat, hal ini senada dengan penjelasan kelian Banjar Banda, I Wayan Balik. Kesenian yang memiliki nilai pendidikan tentang pentingnya kese­ hatan ibu dan anak adalah kesenian yang memiliki cerita dan kisah yang

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

61

berhubungan dengan kepercayaan kesembuhan anak lewat kesenian, seperti dijelaskana oleh Jero Mangku Pasek Dalang yang merupakan seorang dalang wayang lemah. Ia menjelaskan hubungan wayang dengan kesehatan bayi sebagai berikut. “Apabila anak lahir pada hari yang sama waktu wuku wayang, maka dianggap keramat. Umat Hindu meyakini bahwa anak yang dilahirkan pada hari tersebut patut diselenggarakan upacara lukatan besar yang disebut sapuh leger, agar anak yang baru dilahirkan itu terhindar dari gangguan (buruan) Dewa Kala”. “Dalam lontar Sapuh Leger dan Dewa Kala, Batara Siwa memberi izin kepada Dewa Kala untuk memangsa anak/orang yang dilahirkan pada wuku wayang. Atas dasar isi lontar ter­ sebut, maka anak yang lahir bertepatan dengan hari ini harus melaksanakan kegiatan upacara pementasan wayang sapuh leger dengan peralatan yang lengkap berikut sesajennya”. “Anak yang lahir pada tumpek wayang memiliki sifat-sifat negatif karena hari itu dianggap memiliki nilai cemer (kotor) yang membawa sial. Anak tersebut dikhawatirkan dirundung malapetaka, akibat dikejar-kejar Dewa Kala. Dengan upacara mementaskan wayang sapuh leger ini si anak yang baru lahir tersebut diyakini dapat terhindar dari kejaran Dewa Kala dan juga dapat memusnahkan sifat-sifat negatif pada anak tersebut.” Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa kesehatan anak berhu­ bungan erat dengan sang kala, sehingga masyarakat mengupayakan ke­ se­hatan anaknya dengan memohon ke hadapan Tuhan agar diberikan kesehatan kepada anaknya dengan melaksanakan pertunjukan wayang sapuh leeger serta nunas tirtha wayang/meminta air suci yang telah didoakan oleh Mangku Dalang dengan harapan agar terhindar dari mala­ petaka. Kesenian lain yang sangat mendasar bagi pemahaman pentingnya pemberian ASI kepada anak dijelaskan lewat kesenian megeguritan (seni sastra) yang diselenggarakan sebagai pelengkap upacara. Cerita yang berhubungan dengan pentingnya ASI bagi anak adalah cerita Bhima Swarga. Informasi ini disampaikan oleh informan bernama I Wayan Balik selaku pelaku seni megeguritan/seka santhi yang menjelaskan cerita ini.

62

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

Cerita ini mengisahkan Dewi Kunti mimpi didatangi atma Pandu dan Dewi Madri yang meminta tolong agar dibebaskan dari neraka. Dewi Kunti pun menyampaikan mimpinya kepada Panca Pandawa. Diputuskan bahwa Bimalah yang akan menyampaikannya ke swarga loka. Dalam suatu prosesi yang hening, Bhima Swarga pun dimulai. Diiringi Merdah dan Twalen, mereka sampai di marga sanga tempat swarga loka berada, di bumi antah karana, di bumi yang menyebabkan sebab segala sebab. Sampai di tegal penangsaran, tempat para roh menunggu giliran menghadap Bhatara Yama untuk ditentukan apakah roh masuk surga atau neraka. Dalam penantian itu para roh menerima hukuman sesuai karmanya. Ada yang disebut atma lara (atma yang sengsara), atma drwaka (atma yang serakah), atma sengsaya (atma yang senantiasa curiga), dan atma bebotoh (atma penjudi). Inilah perjalanan spritual Bhima yang memberi pengalaman batin tentang pelaksanaan para atma setelah lepas ke alam niskala, sesuai karma atau perbuatan yang dilakukan saat menghuni raga manusia di mayapada. Pertama-tama mereka melihat atma tattwa (atma yang menyalahgunakan pengetahuan tattwa) dan atma curiga (atma yang penuh curiga) dihukum oleh Bhuta Tot-tog Sil, yaitu babutan (makhluk angkara) dengan wujud mata yang besar. Di sebelahnya ada Bhuta Naya (raksasa yang kadang tampak, kadang tak tampak) bersama Bhuta Celeng, babutan berbentuk babi yang menghukum atma yang berprilaku buruk. Beranjak tidak jauh dari itu, tampak Bhuta Abang, babutan yang berwujud raksasa berkulit merah menyala sedang menggotong atma lengit (malas). Atma yang semasa hidupnya malas bekerja akan dicemplungkan (dimasukkan) ke bejana besar berisi air mendidih yang disebut kawah Gomuka. Di sebelah kanan bejana itu tampak Bhuta Ireng, babutan berwujud raksasa berkulit hitam bersama sang Bhuta Prungut, babutan besar, berkulit hitam dan berwajah angker sedang menggotong atma12 Corah, atma yang semasa hidupnya senantiasa berprilaku buruk, untuk dicemplungkan ke kawah Gomuka. Sementara itu, Bhuta Ode-Ode, babutan yang bertubuh gemuk dengan kepala plontos meniup api di bawah jambangan kawah Gomuka sehingga airnya terus mendidih. Tidak jauh dari kawah Gomuka, Sang Suratma dengan wujud raksasa yang penuh wibawa, penguasa para atma 12

Roh



Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

63

sedang menghukum atmaning usadha, atma dukun atau dokter yang menguasai ilmu pengobatan namun pernah lalai menyembuhkan orang sakit, melakukan malpraktik, dan selalu menerima imbalan yang tinggi kepada orang yang diobatinya. Di sebelahnya lagi tampak Bhuta Mandar dan Bhuta Mandir, dua raksasa bengis bersaudara kembar yang sedang menggergaji kepala atma wong alpaka guru (tidak pernah taat kepada guru), atma yang tidak melakukan kewajiban sebagai putra yang baik karena melalaikan kedua orang tuanya. Di sebelahnya tamopak Bhuta Wirosa yang berwujud raksasa maha­ sakti sedang menghukum atma memaling (mencuri) nasi, ini terjadi karena saat di marcapada ia suka mencuri makanan, karena itu sebaiknya jangan sekali-kali mencuri nasi, seberapa pun laparnya. Tidak jauh di tempat itu, Bhuta Wingkara yang bengis bersama Bhuta Lilipan yang berwujud aneh, yaitu memiliki belalai seperti gajah dan tubuhnya seperti tubuh singa, mulutnya penuh bisa seperti ular, sedang menyiksa atmaning wong aboros, atma yang suka berburu dan membunuh binatang yang tidak patut dibunuh. Saat melihat itu semua, Mredah dan Twalen miris hatinya teringat akan kewajiban kepada orang tuanya yang belum sepenuhnya dilakukan dengan baik. Mredah dan Twalen terkejut karena setelah beranjak sedikit saja dari tempat yang satu, dia menemukan kembali Sang Jogor Manik ada di tempat lain sedang mengadili dua atma, yaitu satu atma kedi dan yang satu atma keliru, yang satu laki-laki seperti perempuan, yang satu lagi perempuan seperti laki-laki. Sementara di sebelahnya, Bhuta Tog-tog Sil yang matanya besar sedang menyiksa atma angadol prasasti (atma yang berani memperjualbelikan prasasti). Tak jauh dari tempat itu, banyak atma yang disebut atma prasentana, atma yang tidak memiliki keturunan, sedang digantung di pohon bambu. Sementara itu, atma nora matatah, atma yang belum melaksanakan upacara potong gigi, sedang menggigit pohon bambu sambil disiksa oleh Bhuta Prungut yang menyeramkan dan menghunus pedang. Beranjak sedikit dari tempat itu, lagi-lagi ditemukan Sang Jogor Manik sedang berhadapan dengan atma aniti krama, atma yang semasa hidupnya sangat tidak ramah tamah dan membanding-bandingkan tamu yang datang kepadanya. Di sebelahnya ada atma angrawun yang semasa hidupnya meracuni banyak orang, sedang diberi makan medang (bulu halus bambu) oleh Bhuta Ramya yang suaranya bergemuruh. Berdekatan dengan itu, Bhuta Edan yang suka mengamuk sedang menyiksa atmaning wong andesti, atma yang semasa hidupnya menggu­

64

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

nakan ilmu hitam untuk menyakiti orang. Di sebelahnya lagi, atma wong bengkung, atma yang tidak mau menyusui bayinya, sedang disiksa dengan cara mematukkan ular tanah pada puting susunya oleh Bhuta Pretu. Setelah menyaksikan penghukuman para atma sesuai kesalahannya, Bhima menemukan kawah Gomuka. Secepat kilat Bhima membalikkan kawah untuk menyelamatkan atma Pandu dan Dewi Madri. Selanjutnya, ia mencari tirta amerta untuk membebaskan dosa yang membelenggu kedua orang tuanya. Setelah diperciki tirta amerta, Pandu dan Dewi Madri berhasil memperoleh kebahagiaan abdi di surga (sumber: Geguritan Bima Swarga) Geguritan tersebut sangat melekat dalam pikiran masyarakat. Dalam cerita ini tersirat betapa pentingnya menyusui anak sehingga bila tidak mau menyusui anak akan menerima hukuman seperti yang disebut di atas. Pentingnya pemberian air susu ibu (ASI) yang dibungkus dengan ce­rita sangat mempengaruhi masyarakat Bali dan ma syarakat Banda pada khususnya. Hal ini mendukung kesadaran para ibu akan pentingnya pemberian ASI kepada anak. ASI adalah anugerah yang sangat luar biasa. ASI bagi bayi sangat penting sehingga ASI tidak tergantikan oleh makanan lainnya. ASI mengandung banyak vitamin dan protein yang mudah diserap oleh tubuh. Selain itu, ASI juga mengandung garam yang baik untuk imunitas. Begitu pentingnya ASI bagi kehidupan ini, leluhur menciptakan cerita rakyat atau mitos yang sangat dipercaya oleh masyarakat Bali, khususnya masyarakat Banjar Banda. 2.8. Mata Pencaharian Pertumbuhan perekonomian daerah Kabupaten Gianyar secara umum dapat dilihat melalui indikator perkembangan PDRB dan PDRB per kapita. Berdasarkan data perkembangan PDRB dapat disimpulkan kondisi ekonomi makro Kabupaten Gianyar sebagai berikut. 1. Perekonomian Kabupaten Gianyar tahun 2009, berdasarkan nilai absolut PDRB Kabupaten atas dasar harga berlaku, diperkirakan sebesar Rp6.442,46 miliar, meningkat dibandingkan tahun 2008 yang mencapai Rp5.583,10 miliar. 2. Berdasarkan harga konstan, pertumbuhan ekonomi Kabupaten Gianyar tahun 2009 sebesar 5,93%, mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2008 yang mencapai 5,90%. 3. Kontribusi terbesar PDRB Kabupaten Gianyar berdasarkan harga berlaku bersumber dari sektor perdagangan, hotel, dan restoran

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

65

sebesar 28,33%, sektor industri pengolahan sebesar 18,82%, dan sektor pertanian sebesar 17,96% (Profil Dinas Kesehatan Gianyar 2012). Berdasarkan data tersebut perekonomian di Gianyar meningkat dari tahun sebelumnya dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran ada di peringkat pertama. Sektor industri pengolahan di peringkat kedua, dan sektor lain, termasuk pertanian, berada di peringkat ketiga. Hal ini tampak dengan banyaknya hotel dan restoran di Gianyar dan juga di daerah pintu masuk ke Banjar Banda. Pada gambar berikut tampak vila dan komoditas lidah buaya di Desa Saba.

Gambar 2.21 Vila di Desa Saba.

Gambar 2.22 Tanaman komoditas penduduk Banjar Banda.

Sebagai penunjang pertama sektor perekonomian, banyak hotel dan penginapan tersebar di Gianyar. Di Banjar Banda terdapat satu vila yang digunakan untuk menginap tamu-tamu orang asing atau turis manca­ negara. Beberapa penduduk di Banjar Banda juga bekerja di vila ini untuk menambah penghasilan. Ketika memasuki Desa Saba, subsektor pertanian lahan basah di Desa Saba tampak masih menonjol meskipun banyak lahan pertanian telah beralih fungsi sebagai pemukiman atau usaha produktif lainnya seperti pembuatan batako dan usaha peternakan. Di samping itu, banyak petani beralih ke usaha budidaya udang galah yang dilakukan hampir semua penduduk Desa Saba sejak tahun 90-an sampai sekarang dengan menggunakan cara yang sangat sederhana. Pada waktu itu hanya jenis ikan tertentu yang dipelihara, misalnya ikan mujair, ikan kaper, dan ikan gurami. Namun, sesuai dengan kemajuan teknologi di bidang perikanan dan kebutuhan pasar pada masa ini, mereka mulai membudidayakan udang galah di Desa

66

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

Saba yang dilakukan oleh kelompok perikanan. Perkembangan budidaya udang galah ini sangat pesat walaupun ada kendala yang dialami, seperti debit air kecil, harga pakan mahal, dan biaya pemeliharaan tinggi. Pada subsektor perkebunan dan pertanian, sebenarnya Desa Saba masih memiliki lahan yang cukup luas untuk bisa dikembangkan menjadi perkebunan secara makro. Oleh karena itu diperlukan pemikiran-pemikiran yang inovatif. Sampai tahun 2004 perkebunan di Desa Saba masih bersifat sederhana dan trafisional, seperti misalnya perkebunan pisang, kelapa, pepaya, dan lain sebagainya. Mayoritas penduduk Banjar Banda adalah petani dan itu merupakan pekerjaan pokok. Hal ini diungkapkan salah seorang informan, yaitu Pak Bendeso (ketua desa adat) sebegai berikut. “Kalau di sini kebanyakan petani, Mas, petani tanah basah, ada yang buruh, ada yang tukang, ada yang jualan, ada yang ke sawah juga, pegawainya bisa dihitung, mayoritas petani!” Mayoritas pekerjaan utama penduduk Banjar Banda adalah petani yang tergabung dalam subak. Subak mengatur sistem pengairan untuk ke sawah. Salah seorang petani yang menanam padi menceritakan bahwa hanya pada musim penghujan saja sawahnya ditanami padi. Untuk me­ nanam padi dia mengeluarkan modal awal sebesar Rp1 juta dan nanti setelah tiga bulan dipanen dan mendapatkan penjualan kotor sebanyak Rp2 juta, sehingga petani bisa mendapatkan laba bersih Rp1 juta selama 3 bulan jadi. Maka, penghasilan rata-rata per bulan seorang petani adalah Rp350.000,00. Pada musim kering dan sulit air, kebanyakan lahan akan disewakan ke orang lain. Ada yang disewa untuk menanam lidah buaya dan ada yang digunakan untuk menanam semangka. Subsektor peternakan di Desa Saba mengalami perkembangan yang mengembirakan, terutama di bidang peternakan sapi karena pada tahun 2003 kelompok peternak sapi mendapat suntikan dana puluhan juta serta mendapat binaan dari pemerintah daerah. Selain ternak sapi, masyarakat Desa Saba juga bergerak di bidang peternakan ayam, itik, dan babi. Usaha ini merupakan hasil tambahan bagi penduduk Desa Saba. Subsektor transportasi merupakan subsektor yang sangat penting di Desa Saba karena jasa transportasi merupakan kebutuhan vital bagi ke­ giatan ekonomi masyarakat, seperti mengangkut para pedagang ke pasar, mengangkut hasil pertanian, dan sebagainya. Pentingnya jasa trans­portasi bagi masyarakat Desa Saba dapat diketahui dari peningkatan mobil yang ada di Desa Saba. Mengingat pentingnya transportasi tersebut, maka

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

67

ruas-ruas jalan atau jalur lalu lintas di Desa Saba meningkat. Salah seorang warga Banjar Banda yang berprofesi sebagai tukang antar menggunakan mobil pick-up dan sebagai pemilik warung di samping Balai Banjar menceritakan bahwa dulu dia bekerja di Denpasar, namun karena ia merupakan anak laki-laki tunggal, ia harus tinggal di rumah dan memulai lagi dari nol. Ia membuka usaha warung dan sesekali jika ada orang yang minta diantar menggunakan jasa mobil pick-up dia sanggup mengantar. Jika jaraknya dekat biasanya ongkos antar dan angkut antara Rp30.000,00Rp50.000,00. Sub sektor industri kecil/kerajinan di Desa Saba berkembang dengan pesat sehingga mampu mengubah wajah desa dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hasi industri kecil tersebut mampu menopang kehidupan masyarakat dan meningkatkan taraf hidup warga masyarakat desa. Kerajinan yang diproduksi di desan ini antara lain patung batu cadas, perak, anyaman, dan batu padas, seperti tampak pada gambar 2.23 dan 2.24.



Gambar 2.23 Pekerja mengangkut batu padas di tepi Sungai Petanu.

Gambar 2.24 Tumpukan batu padas.

Ada juga penduduk yang berprofesi sebagai pengrajin atau pembuat batu padas atau batu kali di dekat Sungai Petanu. Mereka menggali batu yang bisa dipakai sebagai bahan bangunan, lalu membentuknya menjadi kotak-kotak. Dari tepi sungai itu buruh wanita mengangkutnya ke atas. Untuk mengangkut batu padas dari tepi Sungai Petanu sampai di pinggir jalan utama, seorang ibu yang mengangkut tiga buah kotak batu dihargai Rp5000,00. Jika batu sudah jadi dan disusun ditepi jalan, oleh penjualnya akan dijual Rp12.000,00 per buah.

68

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

Dalam bidang perekonomian, Desa Saba tampaknya sudah mulai bangkit dari kemunduran, terbukti dengan lengkapnya sarana penunjang, misalnya adanya LPD di masing-masing desa pakraman, koperasai di setiap banjar, makin bertambahnya warung dan toko, kelompok pengrajin semakin menjamur jumlahnya, serta tingkat kreativitas penduduk semakin tinggi (Profil Pembangunan Desa Saba, 2004-2005). Dibandingkan dengan zaman dahulu, sekarang warga Banjar Banda mudah mencari mata pencaharian seperti yang diceritakan seorang istri pendeta berikut ini. “Kalau dulu hasilnya ndak seperti sekarang. Kalau sekarang banyak kerja, kerja apa saja diambil itu, buat canang aja bisa untuk kebutuhan sendiri, kalau dulu di mana dijual? Ndak ada orang beli kalau dulu. Ndak seperti sekarang bikin apa, ada yang beli makanya lebih gampang hidupnya sekarang. Kalau dulu ndak ada, paling-paling cari kayu bakar, ndak ada dulu kerja yang menghasilkan uang.” Dulu ketika istri pendeta ini masih muda ia sulit sekali mencari uang, apalagi pekerjaan yang mapan. Canang hanya digunakan untuk berdoa dan tidak laku dijual seperti sekarang. Sekarang waktu luang digunakan para wanita untuk membuat canang, sedangkan dulu waktu luang digunakan untuk mencari kayu bakar, dulu tidak ada canang yang laku dijual.



Gambar 2.25 Ibu yang sudah berusia lanjut sedang membuat canang.

Gambar 2.26 Canang.

Sekarang kita jumpai banyak ibu yang sudah lanjut usia tua membuat canang di sela-sela waktu luangnya. Aktivitas ini dilakukan rutin setiap siang, selain membuat untuk keperluan sesaji sendiri sebanyak 30 canang setiap hari. Canang ini juga dijual ke pasar. Canang dijual dengan harga

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

69

Rp4000,00 sebanyak 50 buah, namun jika musim odalan bisa laku sampai Rp8.000,00 untuk 50 buah canang.



Gambar 2.27 Penjual babi sedang menimbang babi.

Gambar 2.28 Hasil home industry berupa pia kacang hijau.

Beberapa warga di Banjar Banda juga memelihara babi untuk diter­ nakkan. Permintaan babi di desa ini tinggi karena selain untuk pelengkap ritual upacara, babi juga dimasak untuk memenuhi warung-warung yang menjual lawar babi dan babi guling. Harga dagig babi mentah adalah Rp20.000,00 per kg. Di Banjar Banda juga ada home industry berupa produksi pia kacang hijau. Di tepi jalan sepanjang jalan utama desa terdapat banyak warung. Hal ini menguntungkan produsen dan para peternak karena baik warung makan maupun warung kelontong menjadi tempat pemasaran para produsen dan peternak seperti menjual pia kacang hijau dan lawar babi. 2.9 Teknologi dan Peralatan Peralatan-peralatan yang digunakan ibu-ibu dalam persiapan mela­ hir­kan lebih pada menjalankan diet pola makan yang ketat seperti yang dianjurkan oleh bidan dan tidak boleh makan makanan pantangan. Tek­ nologi atau peralatan yang digunakan juga masih sederhana, misalnya alat pembuat loloh [jamu-jamuan]. Alat-alat tersebut berupa alu yang terbuat dari batu dan gilesan seperti tampak pada gambar berikut. Meskipun sederhana, alat ini mempunyai manfaat besar dalam membuat jamu sehari-hari. Misalnya, ketika bayi masih berumur 42 hari, pusarnya masih rawan terkena air saat dimandikan, maka sebelum diman­ dikan pusar bayi diberi bawah merah yang telah dibakar lalu ditumbuk dan dibakar lagi, kemudian dicampur dengan minyak kelapa, lalu dioleskan pada pusar bayi agar pusarnya tidak terkena air.

70

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

Gambar 2.29 dan Gambar 2.30 Lesung, alat untuk membuat jamu.

Selain itu, jika anak batuk atau pusing, maka kepalanya diboreh beras kencur yang telah ditumbuk. Alat penumbuknya juga alat ini. Memang alat ini sangat berguna dan pada umumnya digunakan kaum perempuan untuk membuat segala macam jamu. Namun, lain dengan Pak GY. Hampir setiap hari ia dikunjungi oleh orang tua anak yang mempunyai keluhan, mulai dari sakit fisik maupun gangguan makhluk-makhluk yang tidak tampak. Biasanya Pak GY menggunakan media daun sirih yang kedua sisi tulang daunnya sama dan seimbang. Salah seorang informan yang anaknya pernah diganggu roh halus bercerita bahwa sejak pulang sekolah anaknya marah-marah dan berteriak-teriak terus, maka ia memanggil Pak GY. Pak GY meminumkan air putih yang telah didoakan dan daun sirih untuk mengusir roh halus tersebut. Menurut Pak GY memang kadang ada makhluk mengganggu anak hingga mengakibatkan anak menjadi seperti itu.



Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

71

72

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

BAB III Kesehatan Ibu dan Anak

3.1 Konsep Sehat-Sakit Etnik Bali Secara komprehensif yang dimaksud dengan sehat yaitu suatu ke­ adaan seseorang dapat mempergunakan secara efektif keseluruhan fung­ si fisik, mental, dan sosial yang dia miliki dalam berhubungan dengan ling­kungannya, sehingga hidupnya berbahagia dan bermanfaat bagi masyarakat. Menurut definisi Word Health Organization (WHO) (Kumbara, 2010) sehat adalah suatu kondisi manusia yang bukan saja bebas dari penyakit dan kecacatan fisik, tetapi juga bebas dari gangguan mental, dan produktif secara ekonomi. Sebaliknya, secara mikro dan emik, oleh karena adanya perbedaan latar belakang budaya dan lingkungan masyarakat menyebabkan konsepsi tentang sehat sakit sangat bervariasi dan bersifat subjektif antara satu kebudayaan dan kebudayaan yang lain. Menurut Kumbara (2010) konsepsi orang Bali tentang sehat atau sakit mengacu pada prinsip keseimbangan dan ketidakseimbangan siste­ mik unsur-unsur pembentuk tubuh dan unsur-unsur yang ada di dalam tubuh manusia, serta keseimbangan hubungan dengan lingkungan yang lebih luas. Keseimbangan dan berfungsinya unsur-unsur sistemik da­ lam tubuh, serta terpeliharanya keharmonisan hubungan dengan ling­ kung­an, baik fisik, sosial budaya, maupun psikis menjadi penyebab uta­­ma terbentuknya kondisi sehat. Sebaliknya, ketidakseimbangan un­ sur-unsur tersebut menjadi faktor utama gangguan kesehatan atau pe­ nyebab sakit. Dengan demikian, menurut konsepsi orang Bali, sehat tidak hanya menyangkut bebas dari sakit atau penyakit, tetapi juga dapat menikmati seterusnya tanpa terputus keadaan fisik, mental, dan spiritual yang bahagia dan utuh. Konsepsi keadaan keseimbangan yang benar dan hakiki itu tidak hanya menyangkut berfungsinya sistem dan organ tubuh manusia dengan baik dan lancar, psikis, dan spiritual, tetapi juga

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

73

menyangkut keseimbangan hubungan secara dinamis dengan lingkungan yang lebih luas, yakni hubungan harmonis dengan sesama ciptaan Tuhan (bhuana, makrokosmos), antaranggota keluarga, tetangga, teman dekat, dan anggota masyarakat secara lebih luas, dan antara manusia dengan Tuhan Sang Pencipta. Masyarakat Banda, di samping percaya bahwa mereka tidak berkuasa menolak kehendak-Nya, baik berkenaan dengan hal-hal yang dianggap buruk, seperti kematian, kesakitan, kecelakaan, kesengsaraan, dan lainlain, maupun hal-hal yang baik, seperti keselamatan, kebahagiaan, kese­ hatan, kemuliaan, rezeki, dan sebagainya, mereka juga percaya bahwa manusia akan bisa terhindar dari hal-hal yang dianggap buruk jika me­ reka senantiasa mampu menjaga dan menciptakan keseimbangan atau keharmonisan hubungan dengan alam, dengan manusia lain, dan dengan Tuhan. Prinsip keharmonisan hubungan antara manusia dengan alam, dengan sesama manusia, dan dengan Tuhan, oleh orang Bali sangat po­ puler disebut dengan Tri Hita Karana, yaitu tiga penyebab utama ke­ bahagian dan keselarasan hidup manusia, yang di antaranya membina hubungan baik dengan Tuhan/Ida Sang Hyang Widi Wasa (parhyangan), membina hubungan baik dengan sesama manusia (pawongan), membina hubungan baik dengan alam (palemahan). Kosmologi masyarakat Banda yang menekankan keseimbangan atau keteraturan hubungan dan ketidakseimbangan kosmos (mikrokosmosmakrokosmos) tersebut senantiasa dijadikan konsep dasar untuk men­ cegah dan sekaligus menanggulangi berbagai hal yang dianggap buruk, seperti terganggunya kesehatan atau sakit, kecelakaan, kesengsaraan, ketidakberuntungan, perceraian, dan bahkan kematian. Masyarakat Banda percaya bahwa sakit tidak hanya merupakan ge­jala biologis yang bersifat individual, tetapi berkaitan secara holistik dengan alam, masyarakat, dan Tuhan, maka setiap upaya kesehatan yang dilakukan tidak hanya menggunakan obat sebagai sarana pengobatan, te­ tapi juga menggunakan sarana ritus-ritus tertentu dan mantra-mantra yang termuat dalam aksara suci sebagai bagian dari proses tersebut. Dengan demikian, menyembuhkan atau menanggulangi suatu penyakit tertentu, umumnya digarap oleh baliyan usada di Bali, bukan hanya aspek biologis pasien yang disentuh, tetapi juga aspek sosial-budaya dan spiritualnya. Sehat bagi warga Banjar Banda tidak hanya sehat secara biomedis, tetapi sehat rohani dan sosial. Kedua hal ini menjadi penentu seseorang disebut sehat. Salah satu contoh, ada seorang anak remaja yang sehat

74

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

secara fisik, tetapi ia tidak pernah keluar rumah untuk bersosialisasi. Oleh beberapa warga anak remaja tersebut dikatakan sakit. Pengetahuan warga tentang beberapa jenis penyakit didapat melalui penyuluhan di balai banjar seperti ketika kami mengikuti penyuluhan tentang HIV Aids dan gula darah yang diadakan oleh STIKES. Berkaitan dengan pengetahuan akan penyakit dan pengobatannya, masyarakat menempatkan tenaga medis dan nonmedis pada taraf ke­ ahlian masing-masing. Untuk penyakit biomedis, warga memeriksakan diri ke dokter spesialis, puskesmas, atau dokter praktik. Untuk gang­gu­ an kesehatan yang diakibatkan gangguan roh halus, para warga memper­ cayakan penyembuhannya kepada penyembuh yang sudah dipercaya dan berpengalaman, termasuk kepada pemangku atau pendeta. Selain hal-hal yang berhubungan dengan biomedis, pengetahuan masyarakat tentang penanggulangan masalah kesehatan, baik yang tam­ pak maupun tak tampak, juga didapat dari budaya tutur nenek moyang atau warga lainnya. Pengetahuan pengobatan tradisional juga dibukukan dalam buku Usada yang berisi macam-macam penyembuhan penyakit secara tradisional. Misalnya, Usada Rare adalah cara-cara pengobatan untuk anak-anak. 3.2 Klasifikasi dan Jenis Penyakit yang Dikenal Secara praktis masyarakat Bali menggolongkan penyakit menjadi dua golongan besar, yaitu penyakit fisik (sekala) dan penyakit nonfisik (niskala). Menurut kebiasaan dan keterangan beberapa informan, baik dari baliyan maupun pasien, jenis penyakit fisik yang umum dikenal masyarakat Bali adalah sebagai berikut. 1. Penyakit dalem (dalam), yakni jenis penyakit atau gangguan yang menimpa seseorang dengan gejala-gejala tubuh terasa panas atau dingin berlebihan, atau perubahan unsur panasdingin dalam tubuh secara mendadak. 2. Barah (bengkak) yang terjadi di bagian-bagian tertentu anggota badan. 3. Mokan (badan bengkak dan terasa sakit). 4. Buh (perut bengkak dan berair). 5. Pemalinan (bagian tertentu badan, seperti punggung, perut, dan dada terasa sakit seperti ditusuk-tusuk). 6. Sula (sakit melilit di perut yang secara medis disebut gejala kolik).

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

75

Belahan atau puruh (sakit seperti ditusuk-tusuk di bagian kepala sampai ke mata} 8. Tilas naga dan tilas bunga (penyakit kulit yang biasanya me­ nyerang kulit di bagian pinggang, dengan tanda-tanda khas yang disebabkan oleh jamur. Tilas bunga penyakit kulit hampir sama dengan tilas naga, tetapi menyerang pada bagian tubuh lain, di luar bagian pinggang. 9. Tuju (bengkak-bengkak yang terasa ngilu pada persendian kaki dan tangan). 10. Tiwang (sakit ngilu atau kejang pada kaki atau tangan). 11. Upas (gatal-gatal pada tubuh yang disebabkan oleh bulu bi­ natang, jamur, atau getah/bulu pohon tertentu). 7.

Sementara itu, jenis penyakit niskala (nonfisik) antara lain adalah sebagai berikut. 1. Buduh atau gila/stres dengan tingkat keparahan tertentu, yaitu (1) uyang (gelisah), (2) suka mengigau, (3) suka lari dari rumah, (4) ngamuk atau melakukan tindakan kekerasan tanpa sadar atau melakukan tindakan abnormal lainnya. 2. Bebainan (sejenis gangguan jiwa yang dialami seseorang de­ ngan perilaku abnormal secara tiba-tiba, seperti menangis, ter­tawa, berteriak-teriak, memanggil-manggil nama seseorang atau orang yang sudah mati, dan tanda-tanda lainnya). 3. Beda, suatu jenis penyakit yang bisa menyerang, baik fisik mau­ pun jiwa (nonfisik) seseorang yang gejala-gejala dan penyebabnya secara medis, baik oleh dirinya maupun praktisi medis, tidak diketahui secara pasti, namun yang bersangkutan secara fisik dan mental tampak kurang sehat atau merasa kondisi kesehatannya terganggu secara tiba-tiba tanpa diketahui penyebabnya secara jelas. Secara umum jenis penyakit ini menunjukkan tanda-tanda antara lain tampak pucat dan lemah, kadang-kadang pinsan secara tiba-tiba, kepala terasa sakit sekali, gelisah, sering mimpi buruk, sukar tidur, cepat marah tanpa alasan, dan lain-lainnya. Atas ketiga jenis penyakit niskala ini, menurut konsepsi orang Bali disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat personalistik dan suprana­ turalistik. Faktor-faktor tersebut antara lain:

76

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

1. Leyak/desti, yaitu penyakit yang disebabkan oleh manusia jahat yang dengan kekuatan gaibnya telah berubah rupa menjadi binatang tertentu (kera, babi, anjing kurus, rangda, dan lainlain) yang dengan perubahan wujud itu mendatangi orang yang dituju dan akhirnya menyebabkan sasaran atau korban menjadi sakit. 2. Cetik, yaitu racun gaib yang telah masuk ke tubuh seseorang lewat makanan atau minuman, baik yang ditaburkan langsung pada minuman atau makanan maupun dikirim secara gaib atau dengan kekuatan supranatural, sehingga orang yang meminum atau memakan racun tersebut menjadi sakit, dan bahkan menyebabkan kematian. 4. Teluh, yaitu makhluk mirip manusia yang diciptakan dan te­lah memiliki kekuatan magis yang dikirim oleh seseorang untuk memasuki raga atau jiwa orang yang dituju sehingga menye­ babkan orang tersebut menjadi sakit, sedangkan papasangan adalah penyakit yang disebabkan oleh benda yang berkekuatan magis yang ditanam di tempat orang yang dituju. 5. Trangjana/acep-acepan, yaitu jenis penyakit yang diderita seseorang yang disebabkan oleh ulah orang sakti atau berilmu dengan cara ngacep (menghipnotis dari jarak jauh orang yang dituju) sehingga yang bersangkutan menjadi sakit. 6. Bebai, yaitu sejenis binatang yang diciptakan oleh baliyan sakti yang memiliki kekuatan magis, dan disuruh masuk ke dalam badan orang yang dituju sehingga menyebabkan orang yang bersangkutan terganggu jiwanya atau menderita bebainan. 7. Kepongor, yaitu gangguan jiwa yang diderita seseorang yang disebabkan oleh kemarahan roh-roh leluhur mereka akibat ke­ lu­arga bersangkutan telah melalaikan kewajiban agama atau adat yang menjadi tanggung jawabnya. Selain itu, dalam masyarakat Bali juga dikenal adanya jenis penyakit yang bersifat fisik, namun disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat fisik dan nonfisik sebagai berikut. 1. Mala, yaitu sakit/gangguan kesehatan pada mental/pikiran indi­ vidu yang disebabkan oleh adanya gangguan bio-psikologis dan karena faktor nonbiomedis berupa kekuatan supranatural.



Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

77

2.

Letuh, yakni gangguan fisik atau mental yang dialami sese­ orang karena faktor bawaan sejak lahir dan atau muncul ke­ mu­dian sebagai akibat faktor supranatural (hukum karma/ karma wesana), perbuatan yang dilakukan pada kehidupan terdahulu dan harus dijalani pada kehidupan sekarang sehingga seseorang mengalami jenis penyakit tertentu yang sulit untuk disembuhkan.

3.3 Balian dan Keahliannya Baliyan adalah sebutan yang paling populer bagi para pengobat tra­ disional (dukun) di masyarakat Bali. Baliyan adalah orang yang mem­punyai kemampuan menolong orang yang mengalami gangguan kesehatan dengan menggunakan cara-cara pengobatan yang diwarisi secara turun-temurun dari nenek moyangnya. Sistem pengetahuan pengobatan tradisional yang dipakai sebagai acuan, sumber, atau landasan yang digunakan baliyan untuk memecahkan masalah kesehatan disebut usada. Secara etimologis, kata usada berasal dari kata ausadhi (bahasa San­ sekerta) yang berarti tumbuh-tumbuhan yang mengandung khasiat obatobatan. Istilah usada ini tidaklah asing bagi masyarakat di Bali, karena kata usada sering dipergunakan dalam percakapan sehari-hari dalam kaitan pengobatan orang sakit. Berdasarkan sumber pengetahuan dan kemampuan baliyan dikenal beberapa kategori baliyan, yaitu (1) baliyan usada, (2) baliyan tason atau ketakson, (3) baliyan kepican, dan (4) baliyan campuran. Baliyan usada adalah baliyan yang dalam menjalankan profesinya mengobati orang sakit berpedoman pada dasar-dasar pengetahuan, teknik, dan keterampilan yang diperoleh atau dipelajari dari naskah-naskah kuno yang umumnya tertulis dalam lontar usada, di samping menggunakan pengetahuan dan teknik pengobatan yang berasal dari sumber lain. Baliyan katakson adalah baliyan yang dalam menjalankan profesinya menyandarkan diri pada kekuatan-kekuatan sakti yang ada dan dimiliki oleh makhluk-makhluk supranatural seperti, dewa-dewa, roh-roh, jin, dan kekuatan sakti lainnya. Kemampuan, kesaktian, dan keahlian yang dimiliki baliyan jenis ini umumnya diperoleh tidak melalui proses belajar, melainkan dengan cara yang tidak lazim atau orang tersebut tanpa di­ ketahuai sebabnya tiba-tiba memiliki taksu. Taksu adalah kekuatan gaib yang masuk ke dalam diri seorang baliyan sehingga dengan kekuatan gaib itulah ia mampu menolong dan menanggulangi berbagai persoalan

78

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

yang dihadapi orang-orang, bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga masalah sosial lain yang tidak terkait langsung dengan kesehatan. Karena praktik yang dilakukan oleh baliyan jenis ini bersandar pada kekuatan gaib, maka praktik persembahan dengan ritual berupa persembahan (banten) tertentu sebagai sarana untuk memohon kekuatan gaib menjadi sarana utama. Dalam menentukan jenis penyakit klien yang datang kepadanya, bailan ini tidak menggunakan teknik tetengerin gering sebagaimana yang lazim digunakan oleh baliyan usada. Baliyan kapican adalah baliyan yang mirip dan bahkan hampir sama dengan baliyan ketakson. Dalam menjalankan profesinya, ia menggunakan atau bersandar pada benda-benda bertuah yang diperoleh dari kekuatan supranatural yang disebut pica untuk menyembuhkan atau menolong pasien (orang sakit). Benda-benda bertuah ini pada umumnya berupa keris, batu permata, uang kepeng yang memiliki gambar dan bentuk spesifik, kayu dan atau akar jenis pohoh tertentu, dan kadang-kadang air suci yang disebut wangsuhan sebagai sarana obat. Dengan mempergunakan pica itulah baliyan ini menyembuhkan berbagai penyakit yang ditanganinya. Sementara baliyan campuran adalah baliyan yang dalam menjalankan profesinya, di samping bersandar pada pengetahuan, teknik, dan kete­ rampilan pengobatan yang dipelajari dari naskah-naskah kuno yang ter­ dapat dalam lontar usada, juga menggunakan benda-benda bertuah yang diperoleh secara gaib dan menggunakan kekuatan gaib melalui proses permohonan dengan ritual tertentu. Dengan kata lain, jenis baliyan ini, dalam menjalankan profesinya, ia menggunakan secara bersama-sama pengetahuan, teknik pengobatan usada, dan berbagai sumber daya lain yang dipandang memiliki kekuatan sakti. Sebaliknya, menurut spesialisasinya, masyarakat Bali mengenal bebe­rapa jenis kejuruan baliyan, yaitu (1) baliyan urut (dukun pijat) yang memiliki keahlian khusus menangani pasien yang mengalami pa­ tah tulang atau keseleo urat, (2) baliyan manak (dukun bayi) yang memi­liki keterampilan khusus menangani persalinan atau perawatan ke­hamilan secara tradisional, (3) baliyan tenung (dukun nujum) yang memiliki keahlian untuk meramal keadaan atau kejadian yang akan dan telah menimpa seseorang atau suatu keluarga, dan mampu menjelaskan faktor-faktor penyebabnya. Dalam menjalankan profesinya, baliyan ini umumnya menggunakan sumber pengetahuan yang dipelajari atau diper­oleh dari naskah-naskah kuno, lontar usada, dan dikombinasikan dengan penguasaan olah batin, dan (4) baliyan peluasan (dukun pemberi

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

79

informasi). Karakteristik baliyan peluasan ini hampir sama dengan bali­ yan ketakson, karena dalam menjalankan profesinya sebagai pemberi infor­masi ia sangat bergantung pada kekuatan gaib yang masuk ke dalam tubuh dan jiwanya. Keberhasilan baliyan menjawab masalah yang dihadapi, sesuai dengan persepsi dan harapan kilen, sangat tergantung pada terpenuhinya permohonan baliyan selaku perantara (mediator) kepada kekuatan gaib yang dipuja atau dimohonkan kekuatannya. Dalam proses permohonan kekuatan gaib ini, sarana ritual berupa banten (sesaji) yang dipersembahkan kepada kekuatan gaib yang dituju berserta mantramantra yang menyertainya menjadi sarana pokok. Sementara itu, berdasarkan konsepsi dualistik rwa bhineda (dua kekuatan yang berlawanan) dalam konteks fungsi dan peran baliyan, masya­rakat Bali mengenal dua kategori baliyan, yaitu penengen dan pengiwa. Baliyan penengen adalah sebutan untuk baliyan yang dalam mela­ ku­kan praktiknya ia menggunakan kemampuan/kesaktian yang dimiliki semata-mata untuk tujuan-tujuan positif, yakni menolong orang atau mengatasi masalah yang dihadapi anggota masyarakat, baik yang ber­ sifat medis (pengobatan) maupun nonmedis (masalah sosial dan spi­ ritual). Dalam menjankan profesinya, baliyan jenis ini secara konsisten menggunakan dan bersandar pada kode etik seorang baliyan. Artinya, dalam praktiknya, dukun jenis ini di samping berperan sebagai penolong, ia juga menjalankan profesinya selalu menggunakan ilmu-ilmu yang digolongkan sebagai ilmu beraliran putih. Sebaliknya, baliyan pengiwa adalah sebutan untuk baliyan yang da­ lam praktiknya melakukan peran ganda, dan dalam melakukan perannya itu, baliyan ini dianggap menggunakan dasar-dasar ilmu yang digolongkan oleh masyarakat sebagai ilmu beraliran hitam. Peran ganda yang dimaksud yaitu di samping menolong orang sakit atau sebagai penyembuh, ia juga berperan sebagai pembuat penyakit yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, baik demi kepentingan sendiri maupun atas suruhan orang lain. Karena peran ganda inilah dia disebut sebagai baliyan pengiwa. Sekalipun baliyan jenis ini melakukan praktik pengiwa (penyembuh dan sekaligus pembuat penyakit) bagi orang-orang tertentu, namun dalam kehidupan masyarakat Bali mereka tidak pernah dimusuhi, dibenci, atau pun diku­ cilkan oleh warga masyarakat atas peran ganda yang dilakoninya. Hal ini terjadi karena terkait erat dengan konsepsi atau pandangan orang Bali tentang segala sesuatu yang ada dan terjadi di muka bumi ini selalu atau

80

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

pasti mengandung sifat-sifat rwa bhineda, seperti baik buruk, hitam putih, gunung laut, laki-laki perempuan, sehat sakit, dan lain-lain. Satu dengan yang lain, sekalipun ada pada posisi biner, tetap tidak terpisahkan. Sementara itu, mengenai sumber pengetahuan kesehatan dan peng­obatan masyarakat Bali dapat digolongkan dalam dua golongan besar, yaitu pengetahuan yang diperoleh dari hasil budidaya individu dan masyarakat itu sendiri secara turun-temurun, dan pengetahuan yang diperoleh dari luar, yakni hasil akulturasi kebudayaan sebagai akibat dari adanya kontak dan saling pengaruh dengan kebudayaan lain. Unsur-unsur kebudayaan dari luar yang paling kuat dan tampak dominan dalam sistem pengobatan masyarakat Bali adalah unsur-unsur kebudayaan yang berasal dari India yang bersumber dari kitab Ayurveda, di samping juga pengaruh kebudayaan Tiongkok/Cina. Adanya kontak-kontak budaya dengan India yang telah berlangsung sangat lama dan intensif, khususnya berkaitan dengan penyebaran agama Hindu di Indonesia, termasuk Bali, dan hijrahnya para danghyang (intelektual Hindu dari Jawa) ke Bali untuk memantapkan paham Hindu-Buddha di Bali yang diperkirakan berlangsung sejak awal abad ke-7 hingga akhir abad ke-13 menyebabkan pengaruh agama dan nilai-nilai Hindu dalam kebudayaan Bali sangat kental. Masih kuat dan bertahannya hingga kini pengaruh agama Hindu terhadap kebudayaan Bali disebabkan oleh kondisi di mana pendukung kebudayaan Bali hampir seluruhnya beragama Hindu. Walaupun demikian, karena kontak kebudayaan itu berlangsung lama, maka nilai-nilai Hindu, khususnya praktik-praktik pengobatan Ayur­veda dari India dan pengobatan dari Jawa yang dibawa oleh para danghyang bercampur baur dengan tradisi yang ada sebelumnya, dan selanjutnya oleh orang Bali diakui sebagai pusaka turun-temurun hasil pemikiran nenek moyang mereka sendiri. Konsepsi-konsepsi dan praktik-praktik tradisi pengobatan itu oleh masyarakat Bali diwariskan dalam bentuk naskahnaskah kuno dan lontar-lontar, baik yang berwujud tutur/tatwa maupun lontar usada, yang ditulis dengan berbagai bahasa. Sebagian naskah dan lontar tersebut ada yang ditulis dengan huruf Pallawa India, huruf Jawa Kuno, Sansekerta, dan sebagian besar ditulis dengan huruf Bali. Sistem pengobatan yang merupakan warisan nenek-moyang yang ditulis dalam berbagai naskah kuno dan lontar tersebut di Bali disebut dengan peng­ obatan usada. Karena pengaruh budaya Hindu dari India sangat dominan, maka sistem pengobatan tradisional di Bali sekarang ini menyerupai sistem pengobatan Ayurveda (ilmu pengobatan dalam agama Hindu).

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

81

3.4 Permasalahan Sosial di Bidang Kesehatan Menurut keterangan bidan Puskesmas, angka kematian bayi dan ibu di Banjar Banda sangat rendah, bahkan bisa dikatakan tidak ada. Namun, ada beberapa orang gila, khususnya perempuan. Kemungkinan ibu ini gila karena tuntutan suaminya yang ingin memiliki anak perempuan. Namun, menurut salah seorang tokoh masyarakat, penyebab gila ibu tersebut bukan karena itu, tetapi karena dulu ibu itu memiliki tanah yang luas dan begitu pesatnya pariwisata masuk Gianyar membuat harga tanah mahal dan ia pun menjual tanah miliknya. Karena ia bergaya hidup mewah, akhirnya uang hasil penjualan tanah itu habis dan orang tersebut tidak punya tempat tinggal lagi untuk menetap sehingga jiwanya terganggu. Permasalahan sampah menjadi permasalahan serius di Banjar Banda, sebab dulu orang-orang membuang sampah di jurang yang ada di pojok dusun. Namun, sekarang di jurang tersebut sudah berdiri rumah milik Pak Ir. Meski demikian, para warga masih terbiasa membuang sampah di samping rumah Pak Ir, bahkan kadang membuang bangkai di tempat itu dan anjing-anjing yang memakan bangkai tersebut masuk ke halaman rumah Pak Ir yang tentu saja akan menimbulkan bau tak sedap. Kadang jika melihat warga masih membuang sampah di samping rumahnya, Pak Ir marah. Namun, karena itu sudah menjadi kebiasaan dan di rumah warga tersebut tidak ada tempat sampah, maka Pak Ir tidak bisa apaapa. Kini sudah dipikirkan bagaimana mengelola sampah di tingkat desa. Rencananya desa akan membeli truk untuk mengangkut sampah. Kebiasan warga masyarakat Banda yang bisa mempengaruhi kese­ hatan adalah pencemaran lingkungan karena banyaknya sampah yang menumpuk di banyak tempat di desa itu. Namun, kebiasaan ini kini sudah sedikit teratasi dengan gerakan gotong royong yang dilakukan oleh banjar adat Banda, bahkan menurut pimpinan Banjar Banda akan segara dibuat peraturan adat yang mengatur sanksi orang-orang yang membuang sam­ pah sembarang. Peran organisasi masyarakat di Banjar Banda sangat mendukung ke­ sehatan ibu dan anak. Wanita hamil memiliki keistimewaan. Bu MJ yang profesi sebagai tukang jahit baju kebaya menjelaskan keistimewaan itu sebagai berikut. “Wanita hamil sangat diistimewakan di dalam kegiatan sosial seperti gotong royong. Wanita hamil tidak diperkenankan untuk menjunjung ba­rang, wanita hamil tidak diperbolehkan ngayah

82

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

dalam prosesi upacara di pura, wanita hamil diberikan keringan dalam kegiatan adat atau di­sebut luput (dispensasi). Dalam masyarakat Banda, wanita hamil sangat diperhatikan sekali oleh masyarakat sekitar dan keluarga besarnya, jadi warga di sini akan selalu tahu akan kehadiran calon warganya. Wanita hamil sangat sensitif, oleh karena itu wanita hamil sangat hati-hati dalam bertingkah laku, seperti tidak keluar pada saat senja (sandikala). Kalau keluar malam harus didampingi oleh suami atau sanak keluarnya, serta memakai selendang yang menutupi perutnya yang hamil. Ini adalah tingkat kewaspadaan akan bahaya dari pengaruh negatif di sekitar.” Dari uraian tersebut tampak bahwa wanita hamil diberi perhatian khusus oleh masyarakat, terutama tentang keselamatan kadungannya. Tidak hanya dalam persoalan kehamilan, lembaga adat juga memiliki peran penting dalam mengatur kegiatan kesehatan seperti penyuluhan kesehatan dan kegiatan posyandu. Salah seorang informan menjelaskan mengenai organisasi sosial banjar sebagai pendukung kesehatan sebagai berikut. ”Organisasi sosial, yaitu Banjar Banda, memiliki peranan yang sa­ngat penting dalam menjaga kesehatan ibu dan anak, karena Banjar Ban­­da sebagai monitoring kegiatan posyandu dan segala sesuatu yang berhubungan dengan program posyandu, semisal menghadiri undangan penyuluhan kesehatan, banjar sebagai wadah pengerak pelayanan kesehatan bagi warga, jadi Banjar Banda memiliki jadwal untuk mengatur programprogram posyandu dan pendataan warga yang hamil dan balita. Program-program kesehatan dari Dinas Kesehat pasti akan melibatkan banjar dinas dan adat, karena warga patuh akan perintah dari pimpinan adat dan banjar sehingga penyampaian materi kesehatan diharapkan mengenai sasaran.” Dari uraian tersebut tampak bahwa peranan organisasi kemasya­ rakatan yang bernaung di bawah Banjar Banda dan desa adat Banda sa­ ngat memberi ruang dan kebijakan dalam hal kesehatan ibu dan anak, seperti terlihat dalam hasil observasi partisipasi kegiatan posyandu yang dilaksanakan di Bale Banjar Banda yang dapat diuraikan sebagai berikut. Kader posyandu sekaligus sebagai kelian Banjar Banda, yaitu Pak I Wayan BK telah bersiaga di depan warung Pak Sanur dengan menggunakan

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

83

pakaian berwarna merah terang. Beberapa menit setelah pukul 8.00, kader posyandu Ni Ketut Sulam datang mengendarai sepeda motor ber­ warna hitam sambil membawa PMT dalam tas plastik. Pak I Wayan BK pergi untuk mengambil pengeras suara. Setelah itu, Bu SL tiba di balai banjar, lalu mempersiapkan meja dan buku perlengkapan posyandu. Timbangan khusus untuk balita sudah dipersiapkan oleh kelian Banjar Banda. Kader Bu Nym datang dengan baju seragam posyandu dan mempersiapkan sesajen permen yang ditaruh di atas canang yang diletakan di atas meja kerja dan dihaturkan di padmasana (tempat suci) Banjar Banda. Bapak Wayan BK datang sambil membawa pengeras suara dan memasuki balai Banjar Banda. Salah satu anak buah kelian disuruh oleh kelian Banjar Banda untuk membunyikan kul-kul (kentongan) yang ada di balai. Kentongan dibunyikan dengan irama tertentu. Setelah kentongan dibunyikan, Pak Wayan menyetel alat pengeras suara untuk memberi ta­ hu seluruh ibu di Banjar Banda agar segera datang ke balai Banjar Banda untuk menimbangkan balitanya. Para warga pun mulai berdatangan sambil membawa balitanya. Warga yang datang ke posyandu terdiri atas (1) ibu-ibu dan balitanya, (2) nenek dan cucunya, (3) bapak dan balitanya, (4) kakak dan adik balitanya, (5) kakek dan cucunya, (6) suami istri dan anak belitanya, serta (7) remaja putri dan keponakan balitanya. Proses kegiatan posyandu berlangsung dengan lancar dan kesadaran para ibu dan bapak untuk menimbang balitanya sangat tinggi. Kami ber­ sama tim ikut serta dalam proses penimbangan balita. Tawa pun muncul ketika ada seorang balita perempuan tidak mau turun dari timbangan. Baju yang dipakai untuk menimbang balita memang sangat panjang sehingga anak yang ditimbang bisa terayun-ayun. Sepertinya hal inilah yang membuat balita tersebut suka dan ingin diayun-ayunkan terus. Saat ditimbang, beberapa balita menangis, senang, bengong, atau diam saja. Balita-balita tersebut sangat lucu. Mereka senang sekali ada pemberian makanan tambahan (PMT). Mereka terlihat senang membawa bungkusan telur. Kegiatan posyandu berangsur-angsur sepi digantikan oleh kegiatan sangkep (rapat) subak di balai Banjar Banda. Dari uraian tersebut tampak bahwa lembaga adat sangat berperan dalam menunjang kesehatan balita di masyarakat Banjar Banda. Kepa­ tuhan masyarakat untuk datang ke Posyandu yang diselenggarakan oleh lembaga adat Banjar Banda karena masyarakat memiliki keterikatan sosial yang tinggi terhadap banjar, sehingga secara tidak langsung memberikan

84

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

manfaat yang menguntungkan bagi kesehatan ibu dan anak di Banjar Banda. 3.5 Gambaran Kondisi KIA 3.5.1. Kelompok Remaja Remaja merupakan sebuah pribadi yang unik dalam masa perkem­ bangan fisik dan mental menuju kedewasaan. Dalam bahasa Latin, remaja adalah adolocere/adolescence, yang artinya tumbuh menjadi dewasa. WHO menetapkan bahwa remaja berusia 12 hingga 24 tahun dan belum menikah. Kelompok usia ini membutuhkan pendampingan yang penuh pengertian, bijaksana, dan sabar dari orang tua, guru, pemuka agama, dan lingkungan masyarakat. Mereka masih berada pada tahap perkembangan fisik dan mental yang masih labil menuju kedewasaan. Remaja dengan segala dinamika proses pertumbuhan dan perkembangannya hanya ingin dimengerti dan dicintai seperti tampak pada remaja Banjar Banda. Pada umumnya remaja di Bali sudah sangat modern, karena kemajuan pariwisata, sehingga sentuhan budaya Barat sudah cukup mendalam. Pergaulan antara pemuda pemudi di Banjar Banda ini tergolong sangat maju karena hampir semua remaja di sini sudah mengenal dan menggunakan alat komunikasi handphone untuk berkomunikasi antarmereka. Biasanya pada hari Sabtu malam, mereka akan berkumpul di depan warung-warung yang berada di sepanjang jalan menuju Banjar Banda. Terdapat sekitar 6 buah warung dengan jarak kurang lebih 50 meter antarwarung. Para gadis bergerombol di salah satu warung dan di warung lainnya terlihat para pemuda yang juga bergerombol sambil sesekali memegang handphone untuk membalas SMS atau hanya berpura pura mengecek handpone untuk mengatasi kegelisahan hatinya. Biasanya mereka akan saling bertukar nomor HP, lalu saling SMS dan dilanjutkan dengan pergi bersama atau naik motor berdua untuk jalan jalan ke Kota Gianyar. Tidak ada batas waktu yang ditetapkan bagi pasangan muda mu­ di yang berkunjung ke Banjar Banda. Namun, apabila ada pemuda ber­ kunjung melebihi batas waktu, kelian akan menegur tamu tersebut. Dan apabila terjadi suatu masalah, misalnya remaja hamil di luar nikah dan tidak diketahui siapa calon suaminya, maka kelian akan memanggil orang tua gadis tersebut untuk diajak bermusyawarah dan akan dinikahkan secara adat tanpa dikenakan sanksi adat apa pun. Gadis hamil tersebut akan dinikahkan dengan lesung (kayu besar panjang yang dpakai untuk

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

85

menumbuk padi) yang diberi pakaian lelaki dengan disaksikan oleh pemangku dan kelian banjar. Cara ini dilakukan agar bayi yang dilahirkan tidak disebut bayi haram. Remaja di wilayah ini, terutama perempuan, sudah sangat paham akan kesehatan reproduksi karena secara rutin setiap bulan petugas Dinas Kesehatan, melalui puskesmas, mengadakan tatap muka dengan seluruh pelajar SMA. Dalam acara tersebut terdapat sesi tanya jawab antara pelajar dan petugas. Pada umumnya mereka menanyakan sakit perut pada saat datang bulan, keterlambatan haid, keputihan, penyakit seperti HIV-Aids dan penyakit seksual lainya. Komunikasi yang baik antara petugas kesehatan dan para remaja membuat mereka tidak berjarak. Mereka bebas untuk bertanya tentang kesehatan remaja, bahkan remaja tersebut sering berkomunikasi lewat telepon untuk menyampaikan keluhan keluhan mereka tentang kesehatan reproduksi yang dialami para remaja. Para remaja di sini sudah sangat paham tentang kesehatan reproduksi. Ini terbukti dari pengetahuan mereka tentang penyakit HIV dan kegunaan alat kontrasepsi. Ketiga responden remaja di Banjar Banda tahu tentang aborsi atau menggugurkan kandungan karena salah satu teman responden melakukan hal tersebut sehingga anak tersebut dikeluarkan dari sekolah. Seorang remaja putri di Banjar Banda yang sudah mengalami menstruasi dan berumur kurang lebih 14-15 tahun biasanya akan dibuatkan upacara, yaitu upacara menginjak dewasa. Upacara ini bertujuan untuk memohon ke hadapan Sang Hyang Smara Ratih agar diberikan jalan yang baik dan tidak menyesatkan bagi yang bersangkutan. Selain itu, upacara ini juga bertujuan untuk memohon ke hadapan Hyang Widhi agar yang bersangkutan diberikan petunjuk atau bimbingan secara gaib sehingga dapat mengendalikan diri dalam menghadapi masa pancaroba. Upacara ini dilaksanakan untuk anak perempuan maupun lelaki, namun pada umumnya dititikberatkan pada anak perempuan, karena anak perempuan akan meninggalkan rumah untuk mengikuti suami setelah menikah. Pelaksanaan upacara ini merupakan pembayaran utang orang tua kepada anak anaknya. Lewat wawancara sambil lalu kami juga mengetahui bahwa wanita dianggap kaum yang lemah. Di samping itu, menurut ajaran agama Hindu, wanita dianggap sebagai barometer tinggi rendah atau baik buruknya martabat sebuah keluarga. Hal ini merupakan cerita pewayangan yang disampaikan saat upacara nutug kelih, seperti tampak pada gambar berikut.

86

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

Gambar 3.1 Upacara inisiasi (nutug kelih) pada remaja.

Menurut para remaja di banjar Banda, usia ideal bagi remaja untuk menikah, yaitu antara 18-20 untuk perempuan dan 20-25 untuk laki-laki. Namun dalam kenyataannya, beberapa remaja yang kami temui saat bermain di pantai pada dasarnya mereka tidak menetapkan usia menikah pada umur tersebut, yang penting mereka saling mencintai dan punya pekerjaan tetap. Kalau bisa dari kasta yang sama karena jika menikah dengan kasta yang berbeda, mereka akan mengalami kesulitan saat prosesi pernikahannya. Bagi yang terpaksa menikah dengan kasta yang berbeda, mereka akan kawin lari, dalam arti mereka akan menikah di banjar lain, lalu beberapa hari kemdian mereka akan kembali atau dijemput oleh keluarganya untuk kembali ke desa tersebut untuk dibuatkan upacara sederhana. 3.5.2 Istri Belum Pernah Hamil Di Banjar Banda untuk ibu yang belum pernah hamil, mereka akan berobat ke dokter untuk mendapatkan anak. Banyak fasilitas pelayanan kesehatan di dusun ini, bahkan dokter spesialis kandungan juga sudah tersedia. Namun, di samping berobat secara medis, pasangan suami istri juga berobat ke penyembuh tradisional dan mengunjungi Pura Dalem pada hari rerainan (hari suci bagi umat Hindu), khususnya hari Kajeng kliwon dengan membawa banten pesaksi (banten yang berisi beras,telur, kelapa, dan canang). Dengan dipandu oleh pemangku, mereka berdoa memohon agar diberi keturunan. Selain ke dokter, pasangan yang belum mempunyai

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

87

keturunan kadang juga mendatangi baliyan agar dikaruniai anak. Keluarga sangat berperan penting bagi pasangan yang belum mempunyai keturuan karena keluarga ikut mencari informasi atau ikut mendoakan, bahkan mengantar ke Pura Dalem untuk melakukan ritual tersebut. Pada masyarakat Bali anak lelaki adalah pewaris tunggal dan berhak atas warisan yang ada, maka dari itu pasangan akan melakukan berbagai cara agar mendapatkan keturunan anak laki-laki. Namun, seandainya anaknya perempuan juga tidak menjadi masalah. Yang penting anaknya sehat. Namun, pasangan tersebut tetap berusaha untuk mendapatkan anak lelaki. Pada masyarakat Bali umumnya pasangan suami istri mempunyai anak lebih dari 2 dengan catatan mereka belum mendapatkan anak lelaki. Memiliki anak perempuan, menurut orang Bali, lebih menguntungkan karena lebih bisa membantu orang tua membuat canang dan bersihbersih rumah, seperti dijelaskan informan NK sebagai berikut. “Penginnya sih anak lelaki dan perempuan biar sepasang, karena laki-laki bisa tinggal di rumah dan bisa mencari nafkah untuk ngehidupin keluarga. Kalau perempuan kan harus ikut suami, namun kalau anak perempuan bisa bantu untuk buat canang untuk dipakai, hari-hari juga bisa bersih-bersih rumah”. 3.5.3 Masa Hamil Data Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Desa Saba pada tahun 2011 adalah nol. Dengan demikian, tidak ada kematian ibu melahirkan atau kematian bayi. Data ini kami dapatkan dari laporan Profil Kesehatan Puskesmas 2011. Banjar Banda terletak di wilayah Puskesmas Blahbatuh II, Kabupaten Gianyar. Jumlah ibu hamil di Desa Saba sebanyak 177 orang yang tersebar di 8 Banjar. Untuk K1 sebanyak 177 ibu hamil, jadi pencapaian SPM tahun 2011 sebesar 99,3%, sedangkan ibu bersalin yang ditolong oleh tenaga kesehatan sebanyak 170 orang (Data Profil Kesehatan Puskesmas Blahbatu). Fokus penelitian Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) adalah di Banjar Banda, tempat puskesmas pembantu (pustu) Blahbatuh II berada. Di Banjar Banda terdapat 12 orang ibu hamil. Melalui tiga informan ibu hamil di Banjar Banda, kami mendapatkan informasi bahwa ibu hamil akan memeriksakan kehamilannya hanya pada tenaga kesehatan, baik ke pelayanan kesehatan swasta maupun ke Puskesmas. Kegiatan Posyandu Banjar Banda dilaksanakan setiap tanggal 13 setiap bulan dan dibantu oleh 5 orang kader, yang salah satunya adalah kelian Banjar Banda.

88

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

Ibu-ibu hamil di Banjar Banda mempunyai kesadaran tinggi untuk memeriksakan kehamilannya kepada petugas kesehatan di fasilitas pe­la­ yanan kesehatan, baik swasta maupun pemerintah, sejak tahun 2000 ka­ rena adanya bidan yang tersebar di desa-desa. Sejak tahun 2000 dukun bayi tidak lagi berpraktik. Ibu hamil lebih memilih memeriksakan kehamilannya pada tenaga kesehatan. Selain secara rutin memeriksakan kehamilannya, ibu-ibu di Banjar Banda juga memiliki kesadaran tinggi untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan bayinya. Masyarakat Banda adalah bagian dari wilayah Kabupaten Gianyar yang dihuni oleh etnik Bali. Gianyar pada masa lalu merupakan kerajaan sehingga sejak tahun 1350 telah lama mempunyai sistem sosial yang cukup kuat. Adat masih menjadi napas setiap anggota masyarakatnya mengingat sejarah panjang kerajaan yang ada di Gianyar. Otonomitas masyarakatnya telah melembaga dengan baik, terbukti telah banyak lembaga sosial dan adat yang masih bertahan. Sejarah kepemimpinan di Gianyar pun mencatat bahwa raja-raja di Gianyar, baik sebelum masa kolonial atau sesudahnya, memiliki gaya kepemimpinan yang cukup khas dan kuat. Gianyar dalam masa desentralisasi dan otonomi daerah mampu ber­kembang sangat baik dibandingkan daerah lain di Indonesia. Penda­ patan daerah Gianyar didapat dari DAU, tetapi juga mempunyai sumber pendapatan yang cukup besar dari sektor pariwisata sehingga kapasitas pembiayaan daerahnya cukup besar. Masyarakat di Kabupaten Gianyar masih memegang adat istiadat. Untuk menyelaraskan adat dan kehidupan modern dibentuklah desa adat yang biasa disebut desa pakraman. Selain itu, dibentuk pula kelembagaan adat yang mengurusi masalah-masalah tertentu. Daerah Gianyar termasuk daerah yang memiliki potensi konflik sosial cukup tinggi. Terbukti dari data yang ada di tingkat provinsi disebut­ kan bahwa Kabupaten Gianyar memiliki angka konflik sosial paling tinggi. Konflik tersebut bermacam-macam, baik yang bersifat horizontal (sesama masyarakat) maupun vertikal (dengan pemerintah daerah). Hal ini men­ jadi unik ketika potensi konflik yang cukup tinggi tidak mempengaruhi pelayanan kesehatan atau kesehatan masyarakatnya, terbukti pencapaian IPKM-nya tinggi. 3.5.4 Perilaku Kesehatan Ibu Dan Anak Kesehatan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia (basic hu­ man needs) yang sangat penting bagi manusia. Hal ini terkait erat de­ngan kenyataan bahwa manusia yang sehat jasmani dan rohani memungkin­

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

89

kannya untuk melakukan peran-peran sosial sesuai dengan statusnya di masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan mereka akan kesehatan, setiap masyarakat di dunia mengembangkan sistem medis yang berisi tentang seperangkat kepercayaan, pengetahuan, aturan, dan praktik-praktik sebagai satu kesatuan yang digunakan untuk memobilisasi berbagai sumber daya dalam rangka memelihara kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit, baik fisik maupun rohani. Dengan demikian, sistem medis pa­da hakikatnya adalah pranata sosial yang memberi pedoman atau petunjuk bagi kelakuan manusia untuk memenuhi kebutuhan mereka akan kesehatan dalam suatu sistem sosial (Kalangie, 1976:15) atau sistem ke­ sehatan sebagai sistem budaya (Kleinman, 1980). Secara hierarkis tindakan penyembuhan berkaitan erat dengan ide tentang penyebab sakit dan bentuk penggolongan penyakit, serta pemi­ lihan tindakan pengobatan yang dianggap tepat untuk penyakit tersebut. Kesatuan hierarki ini ditujukan terhadap masalah penanggulangan gang­ guan kesehatan secara tepat guna. Dengan demikian, dalam setiap sis­ tem perawatan kesehatan, kepercayaan tentang etimologi penyakit meru­ pakan hal yang sangat penting karena asas penyembuhan dalam semua sistem kesehatan selalu didasarkan pada kepercayaan tentang sebabsebab terjadinya penyakit tersebut (Rienks, 1988; Wellin, 1977; Foster dan Anderson, 1986). Menurut Kleiman (1980) sistem perawatan kesehatan dapat dipan­ dang sebagai sistem kebudayaan karena merupakan suatu kesatuan hierarkis yang tidak dapat dipisahkan yang menyangkut proses dan meka­ nisme pengambilan keputusan keluarga dalam pemilihan sektor-sektor pelayanan kesehatan (health seekking behaviour) yang tersedia untuk menanggulangi berbagai penyakit yang dihadapi. Secara komprehensif dapat dikatakan bahwa setiap masyarakat memiliki sistem kesehatan sendiri atau perilaku kesehatan sendiri. Masyarakat Banda secara turun-temurun juga telah mengembangkan sistem kesehatan atau pengobatan secara tradisional yang populer dengan sebutan pengobatan usada, dan praktisi medisnya disebut dengan baliyan, serta memadukannya dengan pengobatan modern/medis. Hing­ ga kini, walaupun ilmu dan teknologi kedokteran sudah mengalami kema­ juan pesat dan sudah sangat dikenal di Bali sejak lama, namun peran dan eksistensi pengobatan usada oleh baliyan sebagai alternatif masih cukup menonjol. Kondisi ini terjadi, menurut berbagai kalangan, karena pengobatan usada di samping dianggap masih fungsional secara sosial

90

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

dan lebih murah biayanya, juga cukup efektif untuk menyembuhkan jenis atau golongan penyakit tertentu. 3.5.6 Perawatan Kehamilan Setelah melakukan prosesi pernikahan dan telah hamil, ibu hamil di Banjar Banda sangat sadar untuk datang ke pelayanan kesehatan untuk memeriksakan kehamilanya hanya pada tenaga kesehatan, baik swasta maupun puskesmas. Data ini didukung oleh salah satu informan, yaitu Bu ST, yang merupakan koordinator bidang KIA di wilayah Puskesmas Blahbatuh. Ia menjelaskan bahwa: “Sudah sejak tahun 2000 dukun bayi tidak praktik kembali. Sekarang Ibu hamil di masyarakat Banda memiliki kesadaran memeriksakan kehamilannya ke Puskesmas, bahkan ke dokter spesialis.” Perilaku memeriksakan kehamilan ke bidan dan tenaga medis juga dituturkan oleh informan, Bu NV, sebagai berikut. “Pemeriksaan kehamilan saya dalam satu bulan satu kali, dan kadang-kadang satu bulan kurang. Saya memeriksakan kehamilan saya ke Bidan Putu yang memiliki tempat praktik swasta yang memadai, lengkap dengan fasilitas kesehatan, termasuk pelayanan ambulans pribadi. Alasannya me­milih bidan, dekat dengan tempat tinggal.” Selain Bu NV, perilaku untuk memeriksakan kehamilan secara ter­ atur juga dipaparkan oleh informan lain, Bu Ni Wayan RN yangg hamil 7 bulan. Ia menjelaskan alasananya kontrol kesehatan kandungan dengan menggunakan program jaminan kesehatan Provinsi Bali, seperti yang dituturkan berikut ini. “Saya selalu memeriksakan kehamilan saya ke bidan. Saya menggunakan layanan kesehatan gratis dari program kesehatan Provinsi Bali, JKBM (Jaminan Kesehatan Bali Mandara). JKBM ini membantu saya dalam masalah pembiayaan kesehatan. Ini kan gratis.” Hal senada juga disampaikan oleh informan Ni Komang JR yang sedang hamil 6 bulan. Ia memanfaatkan program ini untuk memeriksakan kandungannya ke puskesmas. Berikut ini penuturannya.

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

91

“Dalam memeriksakan kandungan, saya rutin ke Puskemas Blahbatuh II, karena kalau ke puskesmas dengan hanya mem­ bawa KTP saja akan mendapatkan pelayanan tanpa biaya, ini sangat meringankan sekali.” Perilaku ibu hamil di masyarakat Banda didukung oleh suami yang bersedia mengantarkan sang istri untuk memeriksakan kehamilannya ke dokter. Seorang informan, Bu IAIj yang baru beberapa minggu melak­ sanakan persalinan, menjelaskan bahwa: “Suami saya ikut, mulai dari memeriksakan kehamilan dan menemani saya dalam proses melahirkan. Suami saya meme­ nuhi masa ngidam dengan mencarikan makanan yang saya inginkan. Memang dari awal hasil USG sampai menentukan tempat persalinan suami saya sangat perhatian, selalu mem­ berikan saya asupan makanan seperti daging ayam dan ma­ kanan yang bervitamin” Dari penjelasan tersebut dapat dianalisis bahwa kesadaran warga untuk memeriksakan diri ke tenaga kesehatan sangat tinggi, bahkan ma­ syarakat Banjar Banda punya pandangan tertentu tentang ibu hamil, yaitu orang hamil dianggap suci. Hal ini tampak dalam penuturan seorang pemimpin agama di Banjar Banda berikut ini. “Pandangan masyarakat pada perempuan hamil adalah orang yang harus distimewakan karena wanita hamil sangat sensitif, baik perasaan atau pengaruh-pengaruh yang tidak baik pada dirinya, lingkungan keluarga atau lingkungan dimana ia tinggal. Pada dasarnya, menurut kepercayaan orang Bali pada umumnya, bahwa orang hamil selalu ingin menjalin kehar­ monisan dengan tiga dunia, yaitu alam bawah (roh-roh), alam tengah, yaitu hubungan manusia dengan manusia, dan alam atas, yaitu hubungan manusia dengan Sang Hyang Widhi.” Berdasarkan uraian diatas wanita hamil sangat riskan dan perlu diper­ hatikan secara khusus seperti halnya penjelasan informan Bu BK berikut ini. “Kebiasaan ibu hamil di sini, termasuk saya, mereka tidak akan memberi tahu siapa pun selain suami dan keluarga inti. Ini karena masyarakat setempat masih percaya kalau kehamilan

92

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

masih muda bisa hilang atau tidak jadi hamil. Kalau ini di­ langgar, masyarakat setempat menyebut tulah.” Setelah usia kehamilan menginjak 3 bulan, mulai ada beberapa per­ siapan yang secara tradisi dipercaya memperlancar perkembangan bayi dalam kandungan. Dalam agama Hindu upacara yang masih dilaksanakan berkaitan dengan masa kehamilan adalah upacara manusia yadnya yang bertujuan memohon keselamatan kehamilan dan persalinan, yang disebut dengan magedong-gedongan. Upacara ini bertujuan untuk memohon agar janin yang ada dalam kandungan ibu (Bhuana Alit) dapat tumbuh dengan sempurna. Upacara ini dilaksanakan ketika usia kehamilan menginjak 5-7 bulan. Rentang waktu ini dipilih dengan dasar perhitungan bahwa pada usia ini janin sudah mulai terbentuk sempurna. Inti upacara ini adalah mohon keselamatan agar kelak bayi dapat lahir dengan sehat. Hal ini juga didukung oleh pernyataan informan, Pak GY yang menjelaskan bahwa: “Makna melakukan proses upacara magedong-gedongan. Ge­ dong adalah rumah, jadi manusia berharap untuk memper­ siapkan janin atau bayi rumah, dengan harapan rumah yang bagus, yang sehat. Rumah ini adalah perut sang ibu. Kalau rumah sudah bagus dan sehat, harapannya bayi akan sehat.” Untuk menjaga kesehatan kandungannya, masyarakat juga mengenal pencegahan secara dini agar keseimbangan kandungannya terjaga. Hal ini didukung hasil wawancara Bu NV berikut ini. “Ada anjuran dari orang tua untuk minum jamu yang disebut dengan loloh, bahannya seperti daun waru. Manfaatnya biar tidak panas anaknya. Saya minum kadang-kadang waktu hamil, minum seminggu 3 kali. Pada waktu hamil ini bermafaat untuk meredakan panas dalam.” Uraian di atas menggambarkan perilaku menjaga kandungan dengan meminum ramuan loloh yang dikenal dengan ramuan zat hijau daun, yang dikomsumsi untuk meredakan panas dalam sang ibu dan janin dalam kandungan. Kebiasaan ini secara tidak langsung disampaikan oleh mertua dan orang tua mereka guna menjaga kesehatan pada masa kehamilan. Menjaga kehamilan juga diterapkan pada wanita hamil yang keluar rumah. Ia harus membawa handuk untuk menutupi perut dan payudara

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

93

agar terhindar dari kekuatan negatif dan ilmu hitam. Informasi ini diper­ kuat dengan hasil wawancara dengan informan, Ni Wayan RN, yang menjelaskan bahwa: “Imbauan bagi orang hamil yang diberi tahu oleh orang tua saya serta mertua saya adalah kalau mau pergi keluar rumah harus menggunakan sehelai handuk yang menutupi perut dan dada. Serta selalu membawa bawang merah yang diselipkan di sela-sela payudara, yang berfungsi untuk menolak ilmu hitam dan energi negatif.” Berdasarkan uraian tersebut dapat dianalisis bahwa perempuan hamil merupakan orang yang sangat sensitif dan berharga sehingga harus selalu ingat akan kesehatan kandungannya saat berada di mana pun. Dari segi nilai sosial hal ini merupakan sebuah indentitas sosial yang menjelaskan bahwa dirinnya adalah seorang perempuan yang sedang hamil yang perlu diberi perhatian lebih. Tidak hanya istri yang mempunyai perilaku menjaga kesehatan kandungan, sang suami pun senantiasa mengikuti perilakuperilaku yang diturunkan dari generasi sebelumnya seperti dijelaskan oleh Bu DY yang menceritakan perilaku suaminya ketika dirinya hamil. “Suami saya tidak boleh berburu, suami biasanya membiarkan rambutnya panjang dan tidak dipotong. Tidak berkata-kata kasar, tidak membagunkan istri pada saat tidur, yang dipercaya untuk kebaikan sang jabang bayi.” Dari uraian tersebut dapat dianalisis bahwa memotong rambut adalah tindakan dengan sengaja memotong pertumbuhan, dan berburu adalah tingkah laku yang bersifat membunuh, jadi suami diharapkan tidak melakukannya agar pertumbuhan bayi terus meningkat dan sifat membunuh tidak mempengaruhi janin. Suami harus setia mendampingi istri dan tidak boleh berpaling hati. Perilaku tidak memotong rambutnya akan tidak menimbulkan kecurigaan sang istri ketika suami berpenampilan rapi. Suami harus menjaga perasaan istri agar jangan sampai terluka oleh perbuatannya. 3.5.7 Menjelang Persalinan Persalinan dan kelahiran merupakan kejadian fisiologis yang normal. Persalinan adalah pelepasan dan pengeluaran produk konsepsi (janin, air ketuban, plasenta, dan selaput ketuban) dari uterus melalui vagina ke dunia

94

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

luar. Persalinan normal adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-40 minggu), lahir spontan dengan presentasi belakang kepala yang berlangsung kurang dari 24 jam tanpa komplikasi, baik bagi ibu maupun bagi janin (Prawirohardjo, S., 2005: 180). Pengetahuan akan persiapan menjelang kelahiran dalam masyarakat Banda sudah diturunkan dari generasi ke generari. Pengetahuan ini di­ dapat dari orang tua maupun dari informasi-informasi individu masyarakat melalui interaksi dalam ranah sosial, misalnya dari obrolan di warung, di pura, di balai Banjar, tempat bekerja, serta dari penyuluhan tenaga kesehatan. Hal ini diperoleh dari hasil observasi partisipasi peneliti saat bergaul atau berinteraksi dengan bapak-bapak yang duduk di warung dan dengan beberapa teman mereka yang secara tidak langsung saling menukar informasi yang akan bermanfaat bagi mereka. Pola makan ibu hamil menjelang persalinan adalah mereka me­ ngon­sumsi semua jenis makanan, namun menghindari makanan berasa pedas dan buah nanas. Saat usia kandungan 7 bulan, ibu hamil akan me­ ngonsumsi nasi yang dicampur minyak kelapa 1 sendok makan. Penjelasan ini didukung oleh hasil wawacara dengan informan, Bu Wayan RS, yang diuraikan sebagai berikut. “Biasanya setiap kali makan dicampur dengan minyak kelapa 1 sendok pada nasinya saat usia kandungan 7 bulan sampai saat menjelang kelahiran yang khasiatnya supaya licin saat melahirkan.” Selian memberikan minyak goreng menjelang proses persalinan kepada ibu hamil, masyarakat Banda juga memberikan minyak hasil peng­ gorengan ikan julit (ikan sidat) yang telah disaring kepada ibu yang akan melahirkan. Fenomena ini didukung oleh pemaparan seorang informan, Bu SL, yang menjelaskan sebagai berikut. ”Orang-orang di Banda memiliki kebiasaan yang unik untuk memperlancar proses persalinan, yaitu dengan meminum minyak goreng ikan julit, dan kalau tidak dapat ikan julit bisa diganti dengan minyak kelapa, yang dipercaya memperlancar persalinan dan dulu saya sebelum melahirkan, suami saya mencarikan ikan julit di sungai dan diambil minyaknya untuk saya.”



Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

95

Sebagai seorang ayah yang akan mempunyai seorang anak tentunya suami melakukan persiapan menjelang kelahiran. Ini adalah sesuatu yang menegangkan dan juga mengkhwatirkan. Beberapa persiapan yang secara tradisi dipercaya memperlancar proses persalinan tampak dari hasil wawancara di atas. Selain kebiasaan minum minyak goreng, para suami akan ikut serta memperhatikan kesehatan dan mengusahakan upaya-upa­ ya untuk memperlancar proses kelahiran sang anak, salah satunya adalah menemani istri jalan-jalan pagi. Ini dijelaskan dari hasil wawancara dengan Bu NV dan dari hasil observasi yang dilakukan pada pagi hari di Banjar. “Untuk mempercepat kelahiran bayi kami, pada pagi hari jam 5 kita jalan-jalan. Ke utara jalan raya, sampai di utara bidan, balik lagi. Dari jam 5 sampai setengah 6 pagi. Biar sehat serta cepat lahir. Yang nemeni saya, suami.” Tampak bahwa suami memiliki peranan penting menjelang kelahiran dengan langkah awal mengajak istri jalan-jalan pada pagi hari. Hal ini juga didukung dari hasil observasi suasana pagi hari di Banjar Banda. Beberapa pasangan suami istri melaksanakan olah raga jalan-jalan dari rumah mereka menuju batas desa yang paling utara, lalu berbalik lagi sampai batas desa sebelah selatan. Waktu yang dihabiskan untuk jalan-jalan ini kurang lebih satu jam, dari pukul 5.00 sampai pukul 6.00. Dari hasil observasi tim pada sore hari tampak para ibu hamil melakukan kebiasaan jalan-jalan di pinggir pantai dan mandi di pantai. Hal ini tampak pada gambar berikut.

ambar 3.2 Ibu hamil selesai mandi di pantai. G

96

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

Gambar 3.3 Ibu hamil selesai mandi di pantai ditemani suaminya.

Menurut kepercayaan masyarakat setempat, berbagai pantangan dilakukan oleh masyarakat untuk menjaga kehamilan dan memperlancar proses persalinan, seperti disampaikan oleh informan, Bu AY, sebagai berikut. “Menurut orang tua saya, saya tidak diperbolehkan makan daging atau mengonsumsi daging kerbau, krupuk kerbau, yang dipercaya bila mengkonsumsi daging kerbau akan menyebabkan proses persalinan lambat, ini dikarenakan kerbau memiliki masa kehamilan sangat lama.” Dari uraian tersebut dapat dianalisis bahwa ibu harus menghindai makanan pantangan dan bersama suami harus mempersiapkan fisik dan mental karena proses kelahiran merupakan sebuah proses yang cukup berat dan juga berisiko. Ibu hamil di masyarakat Banda, sebulan sebelum hari kelahiran bayinya, akan berhenti dari tempat kerjanya, namun pekerjaan rumah masih tetap dikerjakan seperti biasanya, seperti dipaparkan oleh Bu AS berikut ini. “Saya berhenti dari tempat bekerja setelah mendekati hari kelahiran. Di rumah saya bagun pagi, masak, habis itu jalanjalan, dan mengambil pekerjaan rumah yang ringan.” 3.5.8 Persalinan dan Masa Nifas Persalinan merupakan hal yang paling ditunggu oleh para ibu hamil, sebuah masa yang menyenangkan namun juga paling mengkhawatirkan. Persalinan terasa menyenangkan karena si kecil lahir ke dunia. Di sisi lain, persalinan juga mendebarkan, khususnya bagi calon ibu, karena ter­ bayang proses persalinan yang menyakitkan. Masyarakat Banda sangat sadar akan pentingnya persalinan yang aman. Mereka akan melakukan per­salinan di tempat yang direkomendasikan oleh bidan yang sejak awal mengurusi kesehatan kehamilan ibu, atau rekomendasi dokter spesialis yang menangani ibu sejak awal kehamilan. Ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya ke puskesmas akan segera menuju rumah sakit terdekat atau rumah sakit pemerintah terdekat untuk mencari pelayanan yang maksimal. Proses persalinan diserahkan sepenuhnya kepada tenaga kese­ hatan. Urian tersebut didukung oleh hasil wawancara dengan Bu SF yang menjelaskan sebagai berikut.



Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

97

“Saya dengan suami saya tidak mau mengambil risiko dalam kesehatan kandungan dan persalinannya. Saya cek kandungan ke dokter spesialis. Kata suami saya, ke spesialis saja biar aman dan saya melahirkan dari rujukan dokter spesialis kandungan ke rumah sakit ... tempat dia praktik. Anak saya yang kedua ini, melahirkan (lahir) secara operasi.” Hal ini juga didukung oleh Bu DY yang menjelaskan sebagai berikut. “Saya melahirkan di bidan ..., jam 4 bukaan satu dan jam 6 sudah lahir, saya ke bidan biar lebih cepet, padahal saya pe­ riksa ke klinik ..., itu karena saya dapat tanggungan dari tempat bekerja.” Proses persalinan ibu hamil di masyarakat Banjar Banda sudah tidak tergantung pada jasa dukun beranak, tetapi melibatkan cara-cara medis melalui bantuan bidan puskesmas di desa atau dibawa ke rumah sakit. Fenomena ini didukung oleh hasil wawancara dengan seorang informan, Bu ST, sebagai berikut. “Selama saya bertugas di sini sudah sejak tahun 2000, dukun bayi tidak praktik kembali. Sekarang ibu hamil di masyarakat Banda melakukan persalinan di bidan, rumah sakit, bahkan ke spesialis kandungan.” Meski proses persalinan dilakukan di pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, bidan praktik swasta, kilinik swasta, namun masyarakat Banda memiliki tradisi yang bertujuan untuk memohon keselamatan sang ibu saat melahirkan, yaitu keluarga menghaturkan beberapa upakara/ sesajen yang dihaturkan di sanggah (tempat suci keluarga dan di tempat suci tempat ibu melahirkan). Hal ini dijelaskan oleh informan, Bidan PT, yang menjelaskan sebagai berikut. “Bila ada ibu melahirkan di sini, dari pihak keluarga biasanya menghaturkan banten pejati di tempat suci di sini. Itu bertujuan agar ibu yang melahirkan selamat.” Setelah bayi lahir, selanjutnya dilakukan adat kebiasaan masyarakat Banda berupa kegiatan seperti penjelasan Pak GY berikut ini. “Setelah bayi lahir, orang yang bertugas mengupacarakan ariari tersebut adalah ayah dari anak yang baru lahir. Setelah

98

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

ari-ari tersebut keluar dari kandungan ibu, oleh ayah dari anak tersebut diambil dan dibersihkan di sebuah baskom baru dengan air yang bersih. Dalam membersihkan ini, digunakan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya hanya memegangi ari-ari tersebut. Selama membersihkan, ayah dari anak tidak boleh memiliki perasaan jijik, tetapi harus dengan penuh kegembiraan dan kasih sayang. Setelah ari-ari tersebut bersih dari selaput dan darah yang me­ nye­limuti, kemudian dimasukkan ke sebuah kelapa besar yang dipotong sepertiga dan telah dibuang airnya. Pada bagian atas kelapa atau di tutupnya diberikan tulisan ongkara dan dibagian bawahnya ditulisi ahkara, untuk maksud mendapat perlindungan dari Tuhan dan Ibu Pertiwi. Bersamaan dengan itu, dimasukkan upakara sejenis duri seperti duri terung dan duri mawar serta sebuah pinang sirih ke dalam kelapa tersebut. Setelah lengkap, kelapa tersebut ditutup dan dibungkus ijuk dan kain putih. Kelapa yang terbungkus kemu­ dian ditanam di sebelah kiri pintu masuk untuk bayi perempuan dan di sebelah kanan pintu untuk bayi laki-laki. Sewaktu menanam ari-ari tersebut, seorang ayah juga harus mendoakan dan memohon kesehatan ibu dan bayinya. Selesai mendoakan, ari-ari tersebut ditimbun dengan tanah yang di atasnya diletakkan sesaji dan tanda yang berupa sebuah pohon tertentu atau tanda lain untuk tujuan menolak gangguan rohroh jahat atau perusakan hewan seperti anjing atau kucing. Setelah itu, lokasi ari-ari tersebut ditanam dipagari dengan kurungan ayam dan setiap sore menjelang malam dinyalakan lampu serta diberi banten sesaji khusus untuk ari-ari. Menurut pemahaman warga Banda yang pernah menjalankan ritual ini, lampu tersebut merupakan simbol spirit yang menuntun catur sanak (ari-ari, lendir, darah, air ketuban) kembali kepada Sang Hyang Agni (dewa api) sebagai tempat segala sesuatu yang ada di dunia ini, sedangkan kelapa tempat ari-ari sebagai simbol akan datangnya kreativitas berpikir dari setiap manusia karena kelapa tersebut merupakan salah satu sempalan dari lima kepala Dewa Brahma yang konon dipercaya memiliki fungsi untuk berpikir dan mencipta.”

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

99

Berikut ini adalah gambar tradisi menanam ari-ari di Banjar Banda.



Gambar 3.4 Tempat menanam ari-ari bayi yang baru lahir.

Setelah bayi lahir di rumah sakit, selanjutnya bayi tersebut dibawa pulang. Sesampai di rumah, pihak keluarga umumnya melakukan upacara penyambutan bayi yang disebut upacara pemapag rare (menyongsong kedatangan bayi). Bapak GY menjelaskan: “Upacara pemapag rare merupakan upacara yang diseleng­ garakan sebelum tali pusar bayi terputus, dengan tujuan untuk menghaturkan rasa hormat kepada roh orang berein/karnasi kepada bayi yang baru lahir. Dalam pandangan keluarga ma­sya­­rakat Banda, upacara ini hanya untuk ungkapan rasa gembira dan bersyukur kepada Tuhan atas kehadiran anak dalam keluarganya.” Setelah bayi berumur 3 sampai 5 hari, tali pusar sang bayi akan lepas, kemudian masyarakat Banda melaksanakan upacara kepus puser (lepas tali pusar). Tujuan upacara ini dalam pandangan mereka adalah pembersihan secara spiritual sang bayi, tempat-tempat suci, dan bangunan yang ada di sekitar rumah dari segala hal yang dianggap kotor dan bisa mengganggu

100

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

keadaan si bayi. Hal ini juga didukung oleh uraian tokoh agama di masyarakat Banda yang menjelaskan sebagai berikut. “Selain itu, upacara ini juga dipahami sebagai masa berakhirnya catur sanak dalam menjaga dan melindungi bayi secara fisik, dan tugas penjagaan selanjutnya diambil alih oleh Sang Hyang Kumara (dewa penjaga bayi/putra Dewa Siwa) yang dipercaya sebagai manifestasi dari Tuhan yang memang ditugaskan untuk melindungi semua anak-anak yang giginya belum tanggal. Dalam kepercayaan Hindu Bali, Sang Hyang Kumara ini merupakan dewa yang selalu apabila seorang bayi tertawa sendiri, berbicara sendiri sewaktu tidur atau sewaktu ditinggal sendiri, dipercaya oleh keluarga-keluarga di Banda bayi ini sedang bermain atau bercerita dengan penjaganya, yaitu Sang Hyang Rare Kumara.” Dari hasil observasi dapat dijelaskan bahwa setelah pusar itu putus, maka pusar tersebut dibungkus dengan secarik kain, lalu dimasukkan ke dalam sebuah tipat kukur yang disertai dengan bumbu-bumbu dan kemudian tipat tersebut digantungkan di atas tempat tidur si bayi. Mulai saat inilah si bayi dibuatkan kumara, yaitu tempat memuja Dewa Kumara sebagai pelindung anak-anak. Setelah pusar itu kering, pusar akan dibungkus dengan kain putih yang diberi gambar dan aksara Bali, yang merupakan aksara bali yang ada dalam tubuh manusia, yang berfungsi melindungi bayi dari roh jahat dan ilmu hitam. Pusar bayi yang dibungkus akan dimasukan ke dalam kotak perak atau tembaga yang nantinya akan dikalungkan pada bayi. Selain kalung, juga ada tradisi mengenakan gelang benang hitam yang menurut informasi dari Pak GY mempunyai arti sebagai berikut. “Bayi menggunakan benang hitam untuk mengenalkan dia baru lahir, karena diambil dari gelap di kandungan si ibu sebagai penanda. Dan setelah itu diganti dengan benang kelaka dan tridatu.”



Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

101

Benang hitam yang dipakai bayi tampak pada gambar berikut.

Gambar 3.5 Gelang hitam pada bayi.

Untuk menjaga kesehatan bayi, masyarakat Banjar Banda memiliki keunikan, yakni menaruh bobok di atas ubun-ubun bayi dengan tujuan untuk mencegah penyakit atau menjaga keseimbangan suhu tubuh dan kesehatn sang bayi. Tradisi bobok ini tampak pada gambar 3.6 berikut.

Gambar 3.6 Bobok berupa beras yang ditumbuk dibalurkan di atas kepala bayi.

102

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

Sehubungan dengan perilaku tersebut, seorang informan, Pak GY, menjelaskan tujuan dan fungsi bobok tersebut sebagai berikut. “Bobok ini berfungsi menghangatkan dan menguatkan, karena di dalam bayi itu, otaknya yang terutama itu masih begitu lunak, perlu meminimalkan kelunakan tersebut, dikasih pupuk beras di atas ubun-ubunnya, sehingga sama-sama melakukan kekerasan di kepalanya dengan bobok, supaya keras, karena bayi itu di kepalanya lunak sekali, memperkuat pertumbuhan.” Pada beberapa keluarga di Banjar Banda, setelah upacara kepus puser biasanya dilanjutkan upacara ngelepas hawon/ngerorasin atau upacara ketika bayi telah berumur 12 hari sejak masa kelahirannya. Menurut penuturan salah seorang informan, Pak GY, upacara tersebut bertujuan sebagai berikut. “Tujuan dari upacara ini, menurut keluarga-keluarga di Ban­da adalah untuk memperkuat kedudukan atma atau roh suci dari bayi. Upacara ini juga bertujuan untuk memisahkan hubung­ an antara bayi dengan Catur Sanak dan Nyama Bajang. Sebagaimana yang terdapat dalam tradisi Hindu Bali, Sanak dan Nyama Bajang tersebut dipercaya bertugas membantu kelahiran bayi dari alam Bhuana Alit (kandungan ibu) ke alam Bhuana Agung. Akan tetapi, tugas Catur Sanak berbeda dengan Nyama Bajang. Catur Sanak bertugas melindungi si bayi sejak dalam kandungan sampai akhir hayat (meninggal), sedangkan Nyama Bajang hanya terbatas dari masa kelahiran sampai bayi berumur 12 hari. Setelah jangka waktu seperti itu tugas Nyama Bajang dianggap telah selesai dan harus dipisahkan dengan bayi. Hal ini didasarkan pada adanya kepercayaan bahwa apabila dalam jangka waktu tersebut si bayi tidak dilaksanakan upa­ cara ngerorasin, maka Nyama Bajang yang semula membantu kelahiran bayi akan berbalik mengganggu keselamatan dari bayi tersebut. Oleh karena itu, upacara ngerorasin ini pada dasarnya juga berfungsi untuk mengembalikan Nyama Bajang ke asalnya di alam Bhuana Agung agar tidak mengganggu tumbuh kembang bayi.”



Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

103

Selanjutnya, setelah hari ke-35 adalah masa nifas yang merupakan masa pembersihan rahim. Masa nifas biasanya berlangsung selama 40 hari setelah melahirkan. Pada masa ini darah akan keluar seperti pada masa haid. Darah nifas harus mengalir keluar dengan lancar untuk meng­ hindari infeksi rahim. Lama masa nifas bisa berbeda-beda pada setiap ibu. Darah akan cepat berhenti apabila jumlah yang keluar memang sedikit tetapi optimal, atau keluar sekaligus banyak dan berhenti sebelum 40 hari. Sementara itu, mungkin ada ibu yang darah nifasnya masih keluar melewati masa 40 hari. Meskipun darah sudah berhenti sebelum 40 hari, sebaiknya masa nifas dianggap selesai setelah 40 hari, karena perawatan masa nifas adalah masa pemulihan pascapersalinan sampai alat-alat kandungan kembali seperti sebelum hamil. Setelah masa nifas selesai, biasanya masyarakat Banjar Banda melan­ jutkannya dengan upacara tutug kambuhan. Ini dilakukan setelah 1 bulan 7 hari setelah melahirkan (dalam kalender Bali satu bulan sama dengan 35 hari). Upacara ini bertujuan untuk membersihan orang tua si bayi dan bayi itu sendiri. Upacara ini juga sebagai tanda berakhirnya masa nifas pada ibu dan perhatian terfokus kepada ibu dan bayi seperti diuraikan oleh pemuka agama di Banjar Banda: “Menurut kepercayaan, ibu dari bayi tersebut dinilai kotor secara kejiwaan (cuntaka) sejak melahirkan sampai 42 hari. Oleh karena itu, seorang ibu harus di-lukat (dibersihkan) se­ belum melakukan aktivitas spiritual atau aktivitas sehari-hari yang berhubungan dengan dapur. Selama menjalankan masa cuntaka tersebut, seorang ibu dalam konsepsi masyarakat di Banda harus dikarantina dan tidak diperbolehkan masuk tempattempat suci, seperti pura, sanggah keluarga, dapur, dan sumur. Lokasi dapur dan sumur tidak diperbolehkan dimasuki karena kedua tempat tersebut dalam kebanyakan rumah tangga di Bali juga dipercayai memiliki nilai suci walaupun derajat kesucian tersebut berbeda dengan tempat-tempat persembahyangan, seperti pura dan sanggah. Menurut pandangan masyarakat Banda, masa cuntaka itu akan berakhir (saat) ibu, ayah, dan bayi tersebut diupacarai tutug kambuhan yang dilengkapi dengan air suci pengelukatan (pembersihan). Setelah proses upacara ini, ibu, bayi, dan ayah bisa bersembahnyang ke tempat suci, masuk ke dapur, dan ke sumur.”

104

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

Prosesi upacara tutug kambuhan ditunjukan pada gambar 3.7 dan 3.8 berikut ini.

Gambar 3.7 dan gambar 3.8 Upacara tutug kambuhan.

Berdasarkan uraian tersebut dapat dianalisis bahwa, melalui ritual tersebut, masyarakat Banda memberi makna pada perkembangan bayi dari dalam kandungan sampai lahir, dan hingga berakhirnya masa nifas ibu. Masyarakat memandangnya sebagai fase-fase dalam perkembangan kehi­ dupan manusia yang harus dilewati dan berupaya semaksimal mungkin menjaga keselamatan dan kesehatan ibu dan bayinya. 3.6 Menyusui dan Masa Balita Menyusui adalah proses alami yang dilakukan oleh para ibu. Untuk menjaga kesehatan ibu dan balita pada saat menyusui, pengetahuan akan pentingnya memberikan ASI bagi balita sudah tertanam di benak masya­ rakat Banda. Hal ini dilihat dari cara dan bimbingan para orang tua dan mertua sang ibu untuk memperhatikan hal yang berhubungan dengan menyusui balita. Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dilaksanakan oleh masyarakat Banda. Para ibu di Banjar Banda selalu menyusui anak­ nya karena para ibu tersebut tahu manfaat kolostrum, namun dalam pan­ dangan orang tua terdahulu, air susu pertama harus dibuang lebih dahulu. Hal ini tampak dalam penuturan informan, Bu NV, berikut ini. “Kata orang tua saya, air susu yang pertama kali dibuang dahulu agar bayinya tidak sakit. Namun, saya juga diberi tahu oleh dokter agar memberikan air susu yang pertama agar bayi

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

105

kita kebal. Jadi saya percaya pada dokter, dan saya akhirnya memberikan air susu pertama pada anak saya. Buktinya anak saya sehat.” Dari uraian di atas tampak bahwa hal-hal yang dianggap masuk logika medis, secara terbuka diterima oleh masyarakat. Hal ini bukan sematamata pengetahuan yang didapat dari dokter, melainkan pengetahuan yang didapat secara tidak langsung dari tetangga dan orang yang sudah perpengalaman menjalani proses menyusui. Pendapat ini didukung dari hasli wawancara dengan Bu SF berikut ini. “Saya memberikan air susu pertama dari informasi di buku, serta tetangga saat kami ngobrol dan bertemu dalam kegiatankegiatan ke pura.” Ibu menyusui di Banjar Banda memiliki kebiasaan yang diturunkan oleh orang tuanya, yaitu minum loloh (ramuan tradisional) yang diyakini dapat memperlacar air susu ibu. Ramuan ini dijelaskan oleh informan, Pak GY, sebagai berikut. “Kalau kita bicara tentang usada, usada kecil namanya usada rare, kalau yang termuat di usada rare khusus usada rare saja. Sesudah usada rare itu ada usada kombinasi, yang namanya usada pangremon untuk rare bisa untuk orang dewasa bisa, dan masih banyak ada usada kalpo sehingga disatukan. Kita tidak boleh mempelajari satu saja. Tapi usada itu khasiatnya berdasarkan tanah yang dipijak. Yang pertama, kalau untuk yang menyusui, yang terutama mengandung vitamin A, da­ un paling besar mengandung vitramin A, loloh daun sage namanya, ditambah dengan bawang merah, baru ditumbuk. Minumnya satu kali sehari.” Daun yang dapat diolah menjadi jamu/loloh adalah daun sage seperti tampak pada gambar berikut ini.

106

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

Gambar 3.9 Daun sage, bahan untuk membuat jamu guna melancarkan air susu ibu.

Dalam pengetahuan tradisional masyarakat Banjar Banda berdasarkan usada rare dijelaskan bagaimana menurunkan demam bayi yang masih menyusu seperti dijelaskan oleh informan Pak GY berikut ini. “Kalau bayi itu panas, bagaimana kepanasannya? Biasanya yang sa­ngat-sangat bisa menurunkan kepanasan bayi adalah alkohol yang 75 atau 76 persen. Tanaman apa yang mengandung itu adalah bawang yang direbus, sudah jadi air hangat, lalu dilap ke tubuh bayi, serta kemiri dan bawang dioleskan ke seluruh tubuh, yang prinsip, alkohol 76 persen yang menurunkan kepanasan bayi.” Untuk memperlancar air susu ibu, para ibu di Banjar Banda me­ngon­ sumsi air tajin yang telah lama diyakini dapat memperlancar air susu ibu seperti yang dijelaskan oleh informan Bu SL sebagai berikut. “Saya, dalam menyusui anak, sering sampai membasahi baju karena air susu saya sangat deras. Ini karena saya minum air tajin, yang dipercaya sebagai pelancar air susu. Kebiasaan ini saya dapat dari ibu saya sejak dulu.”

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

107

Ada juga tradisi untuk menyembuhkan bayi yang demam dengan mempergunakan tali pusar seperti dijelaskan oleh Pak SN berikut ini. “Di sini masih mempercayai bahwa tali puser yang sudah putus itu bisa menjadi obat bagi deman sang bayi, yang juga terbukti bayi itu menjadi sehat.” Selain menggunakan obat tradisional, masyarakat juga menggunakan obat dari tenaga medis. Ibu-ibu di Banjar Banda menyadari pentingnya kesehatan sehingga mereka tidak akan ragu-ragu untuk memeriksakan anaknya ke dokter spesialis anak seperti penuturan salah seorang infor­ man, Bu NV, di Banjar Banda berikut ini. “Semua anak saya periksa ke dokter spesialis, dari anak per­ tama dan anak kedua, semua ke dokter spesialis. Ini kemauan saya dengan suami saya, bahkan suami saya harus ke dokter spesialis anak.” Kepada salah satu informan yang juga seorang ibu menyusui di Banjar Banda, kami bertanya apakah ibu tersebut memberikan asupan tambahan selain susu. Ternyata banyak ibu tidak memberikan makanan tambahan selain ASI sampai bayi berusia 6 bulan. Pengetahuan ibu-ibu tentang asi dan kolostrum sangat bagus. Mereka mendapatkan informasi dari tenaga kesehatan seperti keterangan informan, Wayan SJ, berikut ini. “Di samping masalah keuangan yang tidak mampu untuk mem­beli susu, di samping juga ekonomi, lagi pula cairan air susunya sudah gini banyak, terus karena susu formulanya juga di tivi ada yang kurang bagus.” Dalam uraian diatas tampak bahwa beberapa ibu, dengan alasan tidak mampu membeli susu formula, akhirnya menyusui sendiri anaknya. Biasanya para ibu sudah tahu bahwa ASI bagus untuk bayi, sedangkan susu formula kurang bagus dan harus mengeluarkan banyak biaya. Dari situasi dan pemberian ramuan tradisional yang berupa loloh ternyata bisa mempelancar ASI sehingga ibu bisa secara esklusif memberikan ASI selama 6 bulan. Masalah kesehatan ibu dan anak di Banjar Banda teroganisasi dengan baik oleh organisasi sosial masyarakat yang bernaung di bawah Banjar Dinas Banda dan Desa Pakraman Banda. Semua aturan dan kebijakan tentang kesehatan dari pemerintah, baik program KB, program posyandu,

108

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

dan program pemberdayaan masyarakat ditangani oleh pihak adat dan dinas Banda. Dari hasil observasi terlihat bahwa peranan organisasi kemasyarakatan yang bernaung di bawah Banjar Banda dan desa adat Banda sangat memberikan ruang untuk kesehatan ibu dan anak, seperti terlihat dalam observasi kegiatan posyandu yang dilaksanakan di Bale Banjar Banda berikut ini.

Gambar 3.10 dan 3.11 Kegiatan posyandu yang dikoordinasi oleh kelian Banjar Banda.

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

109

Selain merawat kesehatan balita secara medis di posyandu, masya­ rakat juga masih melaksanakan perawatan kesehatan balita secara tra­ disional, yakni dengan membalurkan boreh atau bobok beras kencur di atas kepala balita. Cara tradisional ini masih dilakukan oleh masyarakat Banda yang disebut meboreh atau meterek untuk mengobati sakit pilek pada anak seperti tampak pada gambar berikut.

Gambar 3.12 Pengobatan tradisional flu dengan menggunakan beras kencur (meboreh).

Dari uraian tersebut dapat dianalisis bahwa kegiatan yang diorganisasi oleh lembaga adat sangat berperan dalam menunjang kesehatan balita. Kepatuhan masyarakat untuk datang ke posyandu yang diselenggarakan oleh lembaga adat Banjar Banda sangat tinggi. Hal ini karena masyarakat memiliki keterikatan sosial yang tinggi terhadap banjar. Perilaku dan tindakan pemeliharaan bayi setelah masa kelahiran dilaksanakan secara aktif. Menurut tradisi, setelah bayi menginjak umur 105, dilaksanakan upa­ cara nelubulanin/nyambutin (bayi berumur 3 bulan) dan setelah berumur 6 bulan dilaksanakan upacara otonan. Upacara nelubulanin dilaksanakan pada saat bayi berumur 105 hari dengan hitungan kalender Bali. Seperti yang dituturkan seorang warga Banjar Banda, upacara ini dilaksanakan di rumah saja. Upacara ini dilaksanakan sekali seumur hidup, tidak bisa diulang seperti upacara otonan. Menurut pemahaman warga Banda, upacara nelubulanin bertujuan untuk memohon kekuatan, keselamatan,

110

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

dan perlindungan kepada Tuhan karena pada usia ini seorang anak sudah mulai diperkenalkan dengan lingkungan di luar rumah untuk mengenal isi alam dengan prosesi turun tanah dan pengenalan makanan secara simbolis, seperti tampak pada gambar berikut.

Gambar 3.13 Banten/sesaji untuk upacara natab nelubulanin.

Gambar 3.14 Salah satu prosesi upacara natab nelubulanin untuk memanggil catur sanak (empat saudara).

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

111

Gambar 3.15 Rangkaian prosesi upacara natab nelubulanin.

Setelah upacara nelubulanin selesai, tradisi pemuliaan anak pasca­ kelahiran adalah upacara otonan. Upacara ini dilaksanakan setelah bayi berusia enam bulan atau 210 hari dan dapat diulang setiap tahunnya. Upacara otonan pada prinsipnya juga hampir sama dengan upacara ne­ lu­bulanin, yaitu bertujuan untuk memohon kepada Tuhan agar bayi yang telah berusia enam bulan tersebut diberi keselamatan, penyucian, penghidupan yang panjang, dan perlindungan dalam menghadapi beban hidup pada masa mendatang. Dalam upacara ini biasanya dibarengi dengan potong rambut. Ini dimaksudkan sebagai simbol pembersihan diri dari kotoran-kotoran yang melekat pada kepala bayi yang dibawa semenjak lahir. Gambar 3.16 berikut ini menunjukkan upacara potong rambut pada bayi. Pada prinsipnya, semua otonan tersebut bertujuan untuk kesela­ matan, kesehatan, kekuatan, umur panjang, dan kebersihan diri si anak, seperti yang disimbolkan melalui banten tepung tawar berwujud tepung putih sebagai simbol kebersihan dan kesehatan, sedangkan banten se­ sarik berwujud daun dadap yang dilumatkan sebagai simbol panjang umur, murah rezeki, dan mendapat rahmat dari Tuhan. Selain itu, ada banten tetebus yang berwujud benang sebagai simbol kekuatan fisik dan

112

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

Gambar 3.16 Prosesi potong rambut bayi.

kemudahan dalam memperoleh rezeki. Sesuai dengan tradisi yang berlaku di Banda, setelah upacara otonan selesai, seorang anak akan mendapat pola pengasuhan dari lingkungan keluarga, adat, dan agama melalui proses internalisasi dan inkulturasi. Proses ini dapat berjalan secara kultural melalui institusi keluarga dan adat, tetapi juga dapat berjalan secara formal melalui institusi pendidikan formal.



Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

113

114

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

BAB IV Kepercayaan terhadap Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak

4.1 Health Seeking Behaviour Ketika sakit, secara umum manusia akan berusaha untuk mengobati penyakit yang diderita dengan berbagai macam cara. Perilaku health seeking pasti akan dilakukan, baik dengan tujuan meredakan sakit maupun untuk mengobati sakit. Pola perilaku health seeking dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi (1) mempercayakan pemeliharaan kesehatannya kepada ahli kesehatan profesional seperti dokter, (2) mempercayakan pengobatan sakitnya kepada ahli kesehatan non-profesional seperti ta­bib (3) mempercayakan kesehatannya kepada pengobatan dengan pen­de­ katan spiritual, (4) mempercayakan penyembuhan penyakitnya dengan pengobatan tradisional seperti jamu maupun pijat urat, dan (5) mempercayakan pengobatannya kepada pengobatan alternatif yang lain (Notoatmojo, 1993). Pola pengobatan di masyarakat Banjar Banda pada dasarnya su­ dah mengarah ke tenaga kesehatan dan fasilitas fesehatan yang ada di Kabupaten Gianyar. Kesadaran mereka untuk mendatangi tempat pela­ yanan kesehatan sudah tinggi, namun selain pergi ke fasilitas kesehatan, mereka juga masih berobat secara tradisional ke sesepuh banjar tersebut, mulai dari pengobatan untuk anak kecil dan balita, pengobatan untuk pasangan yang belum mempunyai keturunan, ibu hamil, sampai orang tua. Ketika pada malam hari anak sakit panas dan rewel, malam itu juga akan langsung dibawa ke sesepuh banjar dan apabila esok paginya belum juga sembuh, maka anak akan langsung dibawa ke bidan, dokter praktik swasta, puskesmas terdekat, atau rumah sakit. Mereka lebih suka datang ke fasilitas kesehatan swasta dibandingkan ke fasilitas kesehatan milik

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

115

pemerintah, karena pelayanan di tempat swasta lebih baik dan praktis. Ketika berobat ke fasilitas kesehatan milik pemerintah, mereka selalu direpotkan dengan adminstrasi, namun jika ke tempat swasta, begitu me­ reka datang langsung dilayani. Bahkan, mereka rela mengeluarkan biaya lebih karena bagi mereka kesehatan adalah hal yang paling utama. Dewasa ini pengetahuan orang Bali tentang penyembuhan (usada) yang bersumber pada ajaran agama Hindu masing eksis. Namun, hanya sedikit orang mau mempelajarinya secara saksama. Hal ini disebabkan masyarakat Bali mengalami hambatan sosio-psikologis untuk mempelajari lontar (usada dan tutur). Ada wacana yang ditafsirkan dan ditransformasikan secara keliru sehingga masyarakat merasa sungkan dan ragu serta takut untuk mempelajari teks lontar, misalnya ajawera (ilmu pengetahuan yang keramat dan tidak bisa disebarkan secara sembarangan). Masalah ini dijelaskan oleh informan, Bu SL, berikut ini. “Saya tahu bahwa kalau penyakit mana yang harus dibawa ke dok­ter dan yang mana harus dibawa ke orang pintar. Seperti pengalaman saya, anak saya selalu nangis malam-malam. Yang namanya bebainan (kerasukan roh halus), anak saya, NT, pernah kena bebainan. Gejalanya dia dulu datang dari lancong langsung dia nangis. Sampai rumah saya kan kaget. Itu dah jenis-jenis bebainan. Langsung dia nangis sampai tetangga (datang) semua, sampai pedanda juga datang, tapi gak mau diam. Dari jam 7 sampai jam 10 gak mau diem, nagis terus tapi matanya kering. Dia nangis keras sekali sampai kakak-kakaknya hadir semua itu, ngeliat dia gak mau dengar apa-apa. Nangis terus tapi matanya kering, gak mau keluar air mata. Wajahnya kelihatan, cara pandangnya itu jauh, sampai dia nangis, bilang: tungguin wayan, tungguin wayan, saya mau ikut. Kalau mbak sebagai orang tua kan takut, mau ikut ke mana gitu? Trus gitu aja wayan ngomong. Trus dicariin sama Pak GY Blahbatuh, dikasih tirta, daun sirih sama air kelapa gading aja, diminumin sama diraup. Habis itu baru dia sadar. Memang ada roh-roh yang kayak gitu dalam agama Hindu katanya Bapak.” Pada umumnya masyarakat setempat masih percaya adanya hal-hal yang berhubungan dengan mistik, gangguan roh atau makhluk jadi-jadian yang dapat menyebabkan sakit. Biasanya mereka melihat penyakitnya dari aspek kepercayaan dan apa yang dirasakan, apakah bersifat fisik atau

116

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

non-fisik. Apabila sakitnya dipandang bersifat non-fisik, umumnya me­ reka akan mendatangi dukun atau penyembuh tardisional. Sebaliknya, bila bersifat fisik, maka mereka akan pergi ke fasilitas kesehatan walaupun harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Dengan banyaknya petugas kesehatan yang ada di Kabupaten Gianyar, baik milik pemerintah maupun swasta, serta didukung akses yang mudah, penduduk tidak kesulitan mencari pengobatan secara medis seperti penuturan informan berikut ini. “Karena di samping juga dapat tunjangan kan misalnya, jadi kita gak susah-susah berobatnya, tinggal bawa kartu aja. Ntar langsung dapat obat. Gak susah ngurus administrasinya dan langsung masuk, terus dilayani, begitu dan gak ngurus apaapa. Tinggal tanda tangan aja udah dapat obat.” Warga lebih senang berobat ke fasilitas kesehatan milik swasta ka­ rena fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah, menurut mereka tidak layak. Mereka juga beranggapan bahwa jika berobat ke fasilitas ke­ sehatan milik pemerintah (puskesmas), obat yang diberikan tidak bagus, prasarana kurang memadai, serta administrasinya rumit. Jam buka pus­ kesmas juga sangat terbatas, hanya pada pagi dan siang hari padahal pada saat itu para warga mengurus rumah tangga, membuat banten, dan beberapa ibu membuat canang untuk dijual dan dipakai sendiri. Mereka lebih mengutamakan kegiatan rutinnya dibandingkan pergi berobat di puskesma. Selain itu, ada pula penyebab lain keengganan mereka, yaitu petugas kesehatan sering tidak ada di tempat karena ada keperluan atau sibuk kuliah. Memang ada bidan senior yang tugasnya berjaga di situ, namun jarang melakukan pengobatan apa pun karena bidan tersebut sudah berumur dan selalu panik jika ada kejadian gawat darurat. Bahkan, ada seorang anak diberikan imunisasi yang sama sebanyak dua kali dalam waktu yang berbeda. Tak heran jika banyak warga takut berobat ke fasilitas kesehatan tersebut. Untuk pasangan suami istri yang belum mempunyai anak, di samping berobat secara medis ke dokter spesialis, mereka juga mendatangi baliyan seperti dijelaskan oleh infoman, Ny. WS berikut ini. “Saya sudah berobat ke mana-mana, dari dokter spesialis kandungan yang ada di rumah sakit di Blahbatuh sampai ke baliyan yang ada di Kota Denpasar. Namun, sudah satu tahun ini saya berhenti berobat ke sana karena tidak ada hasilnya.”

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

117

Ketika merasa sakit pada saat menstruasi, para remaja perempuan akan mendatangi fasilitas kesehatan. Namun, jika mereka sakit karena gangguan roh-roh biasanya mereka akan diantar orang tua mereka ke orang pintar di desa tersebut. Ibu-ibu hamil di Banjar Banda akan memeriksakan kehamilannya ke fasilitas kesehatan yang ada di wilayah tersebut. Mereka sadar arti penting pemeriksaan kesehatan ibu hamil dan untuk mengetahui posisi kandungannya. Hal itulah yang menjadi alasan mereka memeriksakan kehamilannya ke tenaga kesehatan, apalagi pada umumnya ibu-ibu di banjar tersebut berprofesi sebagai pembuat canang yang mengharuskan mereka duduk terus. Dalam hal magis, ibu hamil akan mengoleskan bawang merah yang sudah dikupas ke payudaranya agar tidak diganggu oleh makhluk jahat. Ibu hamil juga akan melilitkan handuk atau kain ke perutnya agar bayinya terhindar dari pengaruh yang tidak baik. Persalinan ibu hamil di Banjar Banda hampir semuanya dilakukan di fasilitas kesehatan yang ada di Kabupaten Gianyar, baik di bidan praktik swasta maupun di tempat praktik dokter spesialis. Demikian juga dalam mencari pertolongan untuk persalinan, dengan persetujuan suami atau keluarga besarnya ibu hamil akan diantar ke fasilitas kesehatan yang ter­ sedia. Masyarakat Bali dikenal sangat rasional dalam menentukan ke mana mereka harus mencari pertolongan pengobatan. Mereka bisa tahu dan bisa merasakan apakah penyakit yang mereka alami ditimbulkan oleh makhluk halus atau penyakit yang murni yang disebabkan oleh virus. Oleh karena itu, tak heran jika masyarakat Banjar Banda pada umumnya akan mendatangi tenaga kesehatan yang ada di fasilitas kesehatan untuk membantu persalinan ibu hamil. 4.2 Peran Puskesmas dalam Peningkatan Kesehatan Ibu Dan Anak Di era otonomi daerah, pemerintah dituntut untuk memberikan kese­jahteraan kepada masyarakat daerah dengan penyediaan layanan publik yang dibutuhkan. Penyelenggaraan pelayanan publik yang baik akan sangat berpengaruh pada keberhasilan good governance. Penerapan good governance dapat meningkatkan good public service. Peningkatan pelayanan publik tersebut sangat berarti dalam mengembalikan keper­ cayaan masyarakat terhadap pemerintah. Selama ini masyarakat menilai bahwa kinerja birokrasi dirasa masih kurang baik, padahal di tengah krisis yang berkepanjangan ini masyarakat merindukan pelayanan yang baik, dalam arti proporsional dengan kepentingan, yaitu birokrasi yang

118

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

berorientasi pada kekuasaan dan bertanggung jawab terhadap masya­ rakat yang dilayani. Prinsip akuntabilitas sangat penting diterapkan pada birokrasi kita. Akuntabilitas merupakan salah satu alat ukur untuk meningkatkan keefektifan pengukuran kinerja instansi pemerintah di daerah dalam rang­ka implementasi otonomi daerah, demi terwujudnya konsep good governance. Salah satu bentuk pertanggungjawaban yang harus diberikan adalah pertanggungjawaban administratif, yaitu pertanggungjawaban atas tugas dan wewenang yang diberikan oleh atasan langsung atau badan yang lebih tinggi. Hubungan akuntabilitas administratif dengan pelayanan publik lebih menekankan pada kemampuan pemerintah atau organisasi untuk memberikan pelayanan dan menyediakan kebutuhan berupa ba­ rang dan jasa yang dapat dipertanggungjawabkan secara internal formal organisasi pemerintahan. Dalam kebijakan pembangunan kesehatan sekarang ini kepercayaan merupakan faktor penting dalam pengembangan hubungan pemasaran, yaitu salah satu pihak memiliki keyakinan terhadap integritas dan relia­ bilitas partner bisnis. Kepercayaan juga menjadi lebih kuat jika rekan ker­ja menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan mitra kerjanya dan ikut serta menegaskan pentingnya arti kebutuhan tersebut bagi mitra ker­ja. Kepercayaan terhadap individu atau organisasi diperoleh dengan mengamati atau mempelajari interaksi sebelumnya. Kepuasan dapat dikaitkan dengan loyalitas, tetapi belum tentu loya­ litas dapat dikaitkan dengan kepuasan. Loyalitas diukur dari maksud/minat yang dinyatakan konsumen dan hasilnya menunjukkan bahwa perpindahan konsumen ke tingkat kepuasan yang lebih tinggi dapat membangun loyalitas jangka panjang. Oleh karena itu, kepercayaan konsumen (pasien) dihubungkan secara langsung untuk memenuhi harapan. Sehubungan dengan itu, aparatur pemerintah sebagai perencana dan pelaksana suatu model kebijakan pelayanan publik, diharapkan mampu memberikan bentuk peningkatan pelayanan, khususnya peningkatan pela­yanan kesehatan masyarakat desa. Terdapat beberapa hal yang ha­ rus dilakukan oleh pemerintah sebagai pemberi kebijakan pelayanan ke­se­hatan bagi masyarakat, yaitu peningkatan manajemen pelayanan kepada masyarakat yang berbasis kemasyarakatan, memberikan jaminan kesehatan terpadu bagi masyarakat desa, dan penyediaan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam hal ini para tenaga medis yang dinilai mampu memberikan segala bentuk tindakan yang sesuai kemampuan mereka,

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

119

ser­ta menyediakan sarana dan prasarana yang mampu mendukung ter­ ciptanya suatu pelayanan kesehatan yang memadai bagi masyarakat desa. Sejak tahun 1970 puskesmas pembantu (pustu) sudah dibangun di Banjar Banda, Desa Saba, Kecamatan Blahbatuh. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat, sekaligus sebagai cabang pembantu Puskesmas Blahbatuh II. Distribusi dan kecakapan tenaga kese­ hatan, terutama tenaga medis, sangat menentukan terpenuhinya standar kesehatan masyarakat. Dari hasil wawancara, pada umumnya masyarakat Banda lebih me­ milih pelayanan kesehatan praktik swasta dibandingkan dengan pelayanan kesehatan di puskesmas maupun di pustu yang ada di desa mereka. Ini didukung hasil wawancara dengan seorang informan, Bu DYIK, berikut ini. “Saya memeriksakan kandungan ke dokter kandungan klinik swasta karena di sana lengkap, langsung di-USG. Kalau di pustu tidak pernah orang ke sana memeriksakan kehamilan, toh bidannya sering tidak ada.” Dari uraian di atas tampak bahwa situasi pelayanan kesehatan di pustu masih sangat kurang sehingga masyarakat memilih beobat untuk ke dokter swasta. Hal serupa juga dijelaskan oleh informan, Bu SL, berikut ini. “Saya tidak pernah ke puskesmas karena kurang cepat pena­ nga­nannya, meskipun sekarang puskesmas sudah bagus, na­ mun anak saya tetap tidak cocok ke puskesmas.” Dari hasil wawancara terungkap bahwa tenaga kesehatan yang ada di puskesmas atau pustu kurang sigap. Hal ini disampaikan oleh Bu RS berikut ini. “Saya tidak memeriksakan kandungan saya ke puskesmas. Saya memilih ke praktik bidannya, supaya dapat obat yang lebih bagus dan tahu bagaimana posisi kandungan saya. Saya takut terjadi sesuatu pada kandungan saya karena pekerjaan saya sering duduk.” Dari uraian tersebut mereka beranggapan bahwa pelayanan kese­ hatan praktik swasta lebih bagus, lebih terjamin mutu obatnya, dan lebih telaten melayani pasien walaupun dokter atau bidan yang praktik sama

120

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

dengan dokter dan bidan yang melayani di puskesmas atau di pustu. Demikian juga halnya dengan ibu hamil atau ibu-ibu yang mempunyai anak balita. Mereka lebih mempercayai pelayanan kesehatan di tempat praktik swasta daripada berobat ke puskesmas atau ke pustu. Padahal dari segi jarak, mereka lebih dekat ke pustu, dan dari segi biaya juga lebih ringan. Apalagi sekarang ada jaminan kesehatan yang memberikan pengobatan gratis bagi penduduk yang mempunyai KTP (Kartu Tanda Penduduk) Bali. Bagi masyarakat Banjar Banda, berobat ke tempat praktik swasta akan lebih cepat terasa manfaatnya, karena menurut mereka obat dan alat-alat medis di tempat praktik swasta lebih canggih seperti hasil wawancara dengan Bu Ketut SI berikut ini. “Saya sering memeriksakan kandungan ke klinik A S yang ada di Ubud. Saya memilih memeriksakan kandungannya ke klinik A S karena tenaga medis dan peralatan medisnya lengkap dan canggih. Walaupun jauh dan bayarnya mahal, saya tetap memilih periksa kandungannya ke klinik A S. Saya takut, karena kandungan saya dibilang lemah oleh dokter dan saya pernah keguguran sampai tiga kali.” Demikian juga dengan warga Banda lainnya, mereka tidak meman­ faatkan fasilitas kesehatan yang disediakan pustu karena mereka ber­ anggapan bahwa obat yang mereka dapatkan dari dokter praktik swasta lebih paten dan membuat orang cepat sembuh. Sementara obat yang mereka peroleh di pustu lebih lama reaksi penyembuhannya. Informasi yang sama datang dari informan Bu MK yang menjelaskan sebagai ber­ ikut. “Saya tidak pernah ke pustu, saya sering ke rumah bidannya. Di rumah bidannya lebih enak dan fasilitas lebih lengkap, dan ibu bidan pernah mengarahkan ke rumahnya saja. Memang di pustu gratis, namun orang-orang tidak pernah memeriksakan kehamilan ke sana, paling cuma luka-luka ringan saja.” Dari hasil observasi finansial masyarakat Banda, kebanyakan meru­ pakan kalangan menengah ke bawah. Tetapi, karena mereka ingin yang terbaik untuk kesehatannya, mereka rela mengeluarkan uang lebih. Masya­ rakat Banjar Banda memiliki banyak informasi tentang tenaga kesehatan yang mereka dapatkan dari interaksi sosial antarindividu seperti dijelaskan oleh seorang informan, Bu JR, berikut ini.

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

121

“ … memeriksakan kandungan saya ke bidan luar desa, ini berdasarkan saran teman yang sudah pernah ke bidan tersebut, jadi saya ikuti saran teman yang sudah melahirkan.” Demikian juga ketika anak-anak mereka sakit, jarang sekali orang tua mengajak anaknya ke puskesmas. Kenyataan ini dapat dibuktikan dari hasil wawancara dengan informan, Bu SF, berikut ini. “Saya memeriksakan kedua anak saya selalu ke dokter spe­ sialis anak karena suami saya tidak mau mengambil risiko memeriksakan anaknya ke sana ke sini, pokoknya ke dokter spesialis anak.” Dari uraian di atas tampak bahwa mereka lebih mempercayakan kesembuhan anaknya kepada dokter praktik swasta. Menurut mereka, tempat praktik swasta lebih bagus, baik dari segi pelayanan maupun obatobatnya. Hal ini sudah berlangsung sejak lama. Fenomena ini tampak dari observasi peneliti di Banjar Banda. Selain karena kurang bagusnya pelayanan di pustu Banda, tenaga medisnya juga jarang di tempat karena ada urusan dinas sehingga sering meninggalkan tempat kerjanya. Di pustu Banda ini ada dua tenaga medis, yaitu dua orang bidan perempuan yang salah satunya sudah menjelang pensiun dan tidak dapat memberikan pelayanan yang maksimal bagi pasiennya. Sementara bidan yang lebih muda terlalu sering pergi ke Dinkes untuk acara rapat rutin atau membawa laporan bulanan secara rutin. Kondisi seperti inilah yang membuat masyarakat semakin tidak percaya dengan kualitas pelayanan di pustu. Dari hasil pengamatan kami selama tinggal di Banjar Banda, kondisi pustu yang sering sepi membuat masyarakat enggan untuk berobat dan membawa anak-anaknya berobat ke sana. Untuk masalah imunisasi anak, masyarakat lebih memilih ke dokter spesialis atau praktik swasta daripada ke pustu karena menurut pengalaman seorang warga yang tidak mau disebutkan namanya, ter­ kadang bidan salah memberikan jenis imunisasi atau memberikan imu­ nisasi yang sama dalam waktu yang berbeda. Dari uraian tersebut tampak bahwa masyarakat memiliki rasa takut dan trauma akan peristiwa-peristiwa menyedihkan yang terjadi di pustu pada waktu dulu. Rasa takut ini membuat masyarakat tidak percaya de­ ngan kualitas pelayanan tenaga medis di pustu sehingga mereka tidak mau memeriksakan kesehatan anaknya ke pustu.

122

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

Informan lain menjelaskan ketidaksenangannya berobat ke puskes­ mas seperti yang disampaikan oleh informan AS berikut ini. “Saya lebih senang ke dokter spesialis dan ke praktik swasta dari bidan tersebut, karena langsung dapat pelayanan dari dok­ternya, sedangkan saya (kalau berobat) ke puskesmas, yang menangani orang-orang yang masih praktik (magang), jadi saya tidak senang dengan pelayanannya.” Menurut pemahaman peneliti, dokter atau perawat senior harus mendampingi mahasiswa atau junior tenaga kesehatan. Informasi yang didapat dari hasil wawancara secara umum dapat disimpulkan bahwa kualitas pelayanan kesehatan puskesmas di wilayah ini belum sesuai de­ngan semangat reformasi birokrasi dan otonomi daerah. Perilaku petugas dalam memberikan pelayanan dinilai oleh masyarakat acap kali kurang beretiket, dokter atau bidan jarang ada di tempat sehingga masya­rakat menjadi kecewa. Hal ini kurang sesuai dengan harapan masyarakat. Implikasinya, respons dan apresiasi masyarakat terhadap kinerja puskesmas rendah. Untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan, masyarakat terpaksa memanfaatkan pelayanan kesehatan praktik swasta (dokter umum atau spesialis). Dengan demikian, hal ini membuktikan bahwa pemberian pelayanan kesehatan puskesmas di wilayah ini belum maksimal. Berbeda halnya dengan kondisi posyandu dan Program Jaminan Kesehatan dari pemerintah Provinsi Bali, yang dikelola oleh lembaga lokal (banjar) di tingkat manajemen paling bawah, justru program ini mendapat respons dan apresiasi sangat baik dari masyarakat, misalnya untuk men­ dapatkan kartu rujukan jaminan kesehatan gratis bagi penduduk Bali. Program ini sudah berlangsung sejak empat tahun terakhir dan dirasakan sangat bermanfaat bagi masyarakat. Hal yang menarik dalam pengelolaan posyandu di Banjar Banda adalah respons dan partisipasi masyarakat terhadap pelayanan KIA di posyandu sangat tinggi. Posyandu di Banjar Banda ditangani oleh banjar dan diawasi oleh bidan pustu Banda. Kegiatan ini diadakan satu bulan sekali, yakni setiap tanggal 13 dan dilaksanakan di balai Banjar Banda. Hampir semua pengurus banjar ikut berperan aktif dalam mengelola pos­ yandu, misalnya kelian (ketua) Banjar Banda dan istrinya ikut menjadi kader posyandu.



Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

123

Pada saat kegiatan posyandu hendak dilaksanakan, pagi-pagi sekali kulkul (kentongan) banjar dibunyikan oleh kelian untuk mengingatkan atau memanggil ibu-ibu agar mengajak putra-putri mereka ke posyandu untuk menimbang berat badan mereka. Di Bali suara kulkul (kentongan) menandakan suatu kegiatan akan dimulai, demikian juga dengan kegiatan Posyandu. Jika semua kader sudah siap di balai banjar, maka kelian akan membunyikan kulkul sebagai tanda bahwa posyandu akan segera dimulai. Adapun kegiatan posyandu di Banjar Banda tampak dalam gambar ber­ ikut.

Gambar 4.1 Kegiatan posyandu di Banjar Banda.

Tidak hanya ibu-ibu yang datang sambil membawa putra-putri mereka ke posyandu, tetapi jika ibu tidak sempat, para bapak pun secara sadar akan mengantar anaknya ke posyandu. Hampir seluruh warga Banjar Banda sangat sadar untuk menimbang dan memeriksakan gizi anakanaknya ke posyandu. Hal ini terbukti dengan hasil observasi kami, banyak kakek dan nenek mengantar cucu mereka ke posyandu. Mereka sadar betapa pentingnya pergi ke posyandu, karena dengan pergi ke posyandu secara rutin, mereka dapat mengetahui keadaan gizi dan kesehatan putraputri atau cucu-cucunya.

124

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

Gambar 4.2 Seorang balita hendak ditimbang di posyandu di Banjar Banda.



Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

125

126

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

BAB V Potensi dan Kendala Budaya dalam Pembangunan Kesehatan Ibu dan Anak

Dalam bab berikut akan dibahas bagaimana budaya mempengaruhi kesehatan ibu dan anak. Pembahasan akan dilakukan dengan menggunakan model analisis yang dikemukakan oleh Fred L. Dunn (dalam Ka­ langie,1994:44). Analisis ini akan mengategorikan perilaku individu yang secara sadar atau tidak sadar dilakukan dengan tujuan tertentu. Tujuan akhir inilah yang nantinya akan menjelaskan apakah perilaku tersebut bisa dikategorikan ke dalam perilaku yang menguntungkan maupun kurang menguntungkan. Kondisi sehat dan sakit sangat dipengaruhi oleh faktor perilaku, di­ samping faktor eksogen (sumber penyakit di luar individu, seperti agenagen penyakit, bentuk transmisi penyakit, lubuk penyakit), faktor endogen (sumber penyakit dalam diri individu, seperti polimorfisme darah, resistensi, penyakit endemik, ketuaan), dan faktor penduduk (kepadatan dan struktur). Berikut ini dikemukakan model alternatif perilaku yang dikemu­kakan oleh Fred L. Dunn (1976), berkaitan dengan upaya inovasi kesehatan.



Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

127

penyakit endemik, ketuaan), dan faktor penduduk (kepadatan dan struktur). Berikut ini dikemukakan model alternatif perilaku yang dikemukakan oleh Fred L. Dunn (1976), berkaitan dengan upaya inovasi kesehatan.

Tabel 4.1 Model Alternatif Perilaku Kesehatan Fred L. Duun (1976) Tabel 4.1 Model Alternatif Perilaku Kesehatan Fred L. Duun (1976)

Menguntungkan ( U / -)

PERILAKU Sengaja/Sadar/ Tahu (S)

PERILAKU Tidak Sengaja/Tidak Sadar/Tidak Tahu (T)

1

4

- makan dengan komposisi gizi seimbang - berolahraga setiap hari

2

Merugikan (R/-)

- wanita dan anakanak hanya mau makan daging yang dimasak matang - larangan adat untuk tidak makan daging binatang buas atau liar

Potensi/Dorongan (Stimulan)

3

- pengabaian pola - praktik pemotongan makan yang sehat tali pusar bayi -ketidakteraturan - jamban yang dalam pemeriksaaan dibangun di atas kolam ikan

Kendala (Hambatan)

Empat alternatif (kotak 1-4) perilaku manusia dalam hubungannya dengan kesehatan: 1. Alternatif 1 atau kotak 1 (perilaku sengaja yang menguntungkan kese­hatan): menunjukkan adanya kegiatan individu, kelompok, atau masyarakat yang secara sengaja/sadar/tahu ditujukan untuk menjaga (preventif), meningkatkan (promotif), dan menyembuhkan (kuratif) diri dari penyakit atau gangguan kesehatan, baik secara tradisional maupun modern (formal, biomedis, atau kedokteran). Kebutuhan pelayanan dan perawatan medis dipenuhi dengan me­ man­faatkan fasilitas-fasilitas yang tersedia, yang mencakup sistem (1) perawatan rumah tangga, (2) perawatan tradisional yang dila­ kukan oleh praktisi medis tradisional (dukun atau sinshe), dan (3) perawatan medis formal (biomedis atau kedokteran). Dalam ke­ nyataannya, ketiga sistem perawatan kesehatan ini dipergunakan secara bergantian (multisistem perawatan kesehatan). Sistem mana yang lebih diutamakan, antara lain sangat tergantung pada faktorfaktor seperti pengetahuan budaya, persepsi etimologi penyakit,

128

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

persepsi derajat keparahan penyakit, pengalaman sebagai pasien, kepercayaan terhadap kesembuhan, serta kemampuan ekonomi. Contoh perilaku kotak 1 ini adalah makan dengan komposisi gizi yang seimbang dan berolahraga setiap hari. 2. Alternatif 2 atau kotak 2 (perilaku sengaja yang merugikan kesehatan): menunjukkan adanya kegiatan individu, kelompok, atau masyarakat yang secara sengaja/sadar/tahu akan merugikan kesehatannya, bahkan akan mengakibatkan kematiannya. Kenyataan menunjukkan bahwa perilaku yang dijalankan secara sadar dan diketahui tidak menguntungkan kesehatan juga dilakukan oleh penduduk yang berpendidikan atau profesional. Contoh perilaku semacam ini adalah kebiasaan merokok, penga­ baian pola makan yang sehat, ketidakteraturan dalam pemeriksaaan kehamilan, alkoholisme, pencemaran lingkungan, suisida, infantisida, aborsi, perkelahian, dan peperangan. Tindakan memberi pelayanan dan perawatan yang merugikan pasien juga termasuk dalam perilaku semacam ini. 3. Alternatif 3 atau kotak 3 (perilaku tidak sengaja yang merugikan kese­hatan): menunjukkan adanya perilaku yang tidak disadari yang dapat berakibat mengganggu kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat. Makin kurang atau sedikit pengetahuan seseorang mengenai kesehatan umum, makin besar kemungkinan perilakunya akan merugikan kesehatannya. Perilaku semacam ini sering terjadi pada golongan masyarakat yang kurang berpendidikan dan/atau terisolasi dari interaksi dan arus informasi. Perilaku individu, kelompok, atau masyarakat semacam ini paling banyak dipelajari, terutama karena penanggulangan perilakunya merupakan salah satu program/tujuan utama pembangunan kese­ hat­an masyarakat. Program yang dimaksud antara lain adalah pence­ gahan penyakit dan promosi kesehatan di kalangan pasangan suamiistri usia subur, ibu hamil, dan anak balita pada masyarakat pedesaan dan lapisan sosial bawah di perkotaaan. 4. Alternatif 4 atau kotak 4 (perilaku tidak sengaja yang menguntungkan kesehatan): menunjukkan adanya perilaku, kegiatan, atau gejala yang secara tidak disadari atau tidak disengaja membawa manfaat atau menguntungkan kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat. Per­hatian para peneliti tampaknya belum banyak diarahkan pada kenyataan sosial-budaya semacam ini.

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

129

Beberapa contoh perilaku semacam ini adalah detoksifikasi singkong dengan teknik tradisional serta kebiasaan mengecat tubuh untuk menolak vektor. Penjabaran teori Fred L. Dunn tersebut akan sangat berguna untuk menganalisis pola-pola perilaku informan dalam kesehatan ibu dan anak. Berikut akan kita kategorikan pola perilaku masyarakat yang berhubungan dengan kesehatan ibu dan anak. Tabel 4.2 Pengategorian Sesuai Teori Fred L. Dunn Aspek: Perilaku Sengaja, Sadar, Tahu, Menguntungkan 1. Berdoa ke pura memohon keturunan. 2. Mendatangi seorang baliyan dan diberi beras

130

Aspek: Perilaku Tidak Sengaja, Tidak Sadar, Tidak Tahu, Menguntungkan

1. Wanita hamil dianggap suci dan sensitif oleh masyarakat. dan bawang merah kemudian diuleg dan diberi 2. Saat kehamilan menginjak usia 7 bulan, ibu air suci lalu airnya diminum. hamil akan melaksanakan upacara magedong3. Mengharapkan anak laki-laki. gedongan. 4. Memeriksakan kandungan ke bidan. 3. Seorang suami yang istrinya hamil tidak boleh 5. Suami selalu menyempatkan diri mengantar potong rambut dan membunuh hewan. istrinya untuk periksa kehamilan. 4. Ibu hamil mengonsumsi minyak ikan julit atau 6. Ibu hamil tidak mengonsumsi makanan pedas minyak kelapa menjelang persalinan. dan minuman bersoda. 5. Ibu hamil dilarang mengonsumsi daging 7. Ibu hamil melilitkan kain di perut selama hamil. kerbau dan krupuk kerbau. 8. Ibu hamil mengoleskan kupasan bawang merah di payudara kalau mau bepergian ke luar rumah. 9. Suami mendampingi istri jalan pagi. 10. Suami mendampingi istri pada saat proses persalinan. 11. Setelah istri melahirkan, suami membungkus ariari dengan buah kelapa lalu dimasukkan ke dalam belanga tanah kemudian ditanam di depan rumah. 12. Memberikan colostrum pada bayi. 13. Memberikan gelang tangan warna merah putih dan hitam (tri datu) setelah bayi lahir. Warna merah putih hitam adalah simbol Brahma, Wisnu, Syiwa yang dianggap memiliki kekuatan untuk melindungi bayi. 14. Setelah bayi lahir, pulang ke rumah dan dibuatkan upacara pemapag rare (menyambut kedatangan bayi). 15. Setelah bayi berumur 12 hari diadakan upacara ngalepas hawon (memperkuat kedudukan atma bayi) 16. Setelah anak berusia 42 hari diadakan upacara tutug kambuhan. 17. Memberikan pupuk (beras dan kencur yang dikunyah) lalu ditempelkan di ubun-ubun bayi sehabis bayi mandi. 18. Memberikan loloh (jamu) pada ibu yang menyusui. 19. Membawa ke dokter spesialis ketika anak sakit, bagi yang merasa ekonominya mampu. 20. Memberikan ASI pada bayi selama 2 tahun, dengan secara ekonomi tidak mampu Buku Seri alasan Etnografi Kesehatan membeli susu, dan air susunya sudah banyak, dan Ibu dan Anak 2012 susu formula dianggap kurang bagus. 21. Mengadakan upacara 3 bulanan, simbol memperkenalkan lingkungan kepada bayi. 22. Mengadakan upacara otonan setelah bayi ber-

tutug kambuhan.

17. Memberikan pupuk (beras dan kencur yang

dikunyah) lalu ditempelkan di ubun-ubun bayi sehabis bayi mandi. 18. Memberikan loloh (jamu) pada ibu yang menyusui. 19. Membawa ke dokter spesialis ketika anak sakit, bagi yang merasa ekonominya mampu. 20. Memberikan ASI pada bayi selama 2 tahun, dengan alasan secara ekonomi tidak mampu membeli susu, dan air susunya sudah banyak, dan susu formula dianggap kurang bagus. 21. Mengadakan upacara 3 bulanan, simbol memperkenalkan lingkungan kepada bayi. 22. Mengadakan upacara otonan setelah bayi berumur 6 bulan dalam kalender Bali. 23. Mengadakan upacara potong rambut (magundul) pada bayi usia 3 oton (21 bulan). 24. Biaya pengobatan ditanggung oleh keluarga besar untuk perawatan kesehatan jika ada kesulitan keuangan dengan sistem gotong royong. 25. Peranan banjar sebagai pusat kegiatan sosial dan penyuluhan kesehatan. 26. Peran kelian (ketua banjar) sebagai kader posyandu. 27. Dalam setiap upacara keagamaan, ada pertunjukan wayang dan berfungsi sebagai media penyuluhan. 28. Warga Banda menganggap bahwa orang yang sehat tidak hanya sehat secara fisik, tetapi juga rohani dan sosial. 29. Pabuan (Kotak P3K tradisional) ditempatkan di samping bayi tidur.

Aspek: Perilaku Sengaja, Sadar, Tahu, Merugikan

Aspek: Perilaku Tidak Sengaja, Tidak Sadar Tidak Tahu, Merugikan

1. Sebelum usia kandungan 3 bulan, ibu hamil tidak Tidak ditemukan memeriksakan kandungannya ke tenaga kesehatan karena riskan jika ibu bilang ke orang lain bahwa dirinya hamil. Bayi tersebut dipercaya bisa hilang karena pengaruh ilmu hitam. 2. Masih ada beberapa warga membuang sampah di selokan, parit, atau pinggir jalan pojok desa. Dari tiga puluh enam (36) kategori yang dijabarkan dalam tabel tersebut, ternyata ada 29 aspek yang

Dari tiga puluh enam (36) kategori yang dijabarkan dalam tabel ter­ sebut, ternyata ada 29 aspek yang masuk di kolom 1, 5 aspek masuk di berdasarkan penjabaran potensi dan kendala tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar perilaku kolom 3, serta 2 aspek masuk ke kolom 2. Dengan demikian, berdasarkan budaya masyarakat Banjar Banda yang berkaitan dengan kesehatan ibu dan anak (KIA) baik yang sadar penjabaran potensi dan kendala tersebut dapat disimpulkan bahwa maupun tidak sadar sangat mendukung upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak di wilayah ini. sebagian besar perilaku budaya masyarakat Banjar Banda yang berkaitan Sebaliknya, perilaku baik sadar maupun tidak sadar yang merugikan kesehatan ibu dan anak dengan kesehatan ibu dan anak (KIA) baik yang sadar maupun tidak sadar hampir tidak ditemukan. sangat mendukung upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak di wilayah ini. Sebaliknya, perilaku baik sadar maupun tidak sadar yang merugikan kesehatan ibu dan anak hampir tidak ditemukan. masuk di kolom 1, 5 aspek masuk di kolom 3, serta 2 aspek masuk ke kolom 2. Dengan demikian,



Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

131

132

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

BAB VI Penutup

6.1 Simpulan Berdasarkan analisis terhadap penggambaran data etnografi aspek sejarah, geografi dan kependudukan, serta dimensi sosial budaya yang ber­kaitan dengan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di masyarakat Banjar Banda dapat dirumuskan simpulan sebagai berikut. 1. Perilaku kesehatan ibu dan anak (KIA) di Banjar Banda, Kabu­ paten Gianyar sangat positif, dalam arti tingkat kesadaran ma­ syarakat tinggi untuk melakukan perawatan kesehatan, baik secara medis de­ngan memanfaatkan pelayanan yang disediakan oleh puskesmas, praktik dokter, atau bidan swasta maupun menggunakan cara-cara tradisional berdasarkan tradisi turuntemurun yang diwarisinya. Perawatan kesehatan yang dilakukan masyarakat tidak hanya dalam upaya kuratif, tetapi juga un­tuk kepentingan preventif dan promotif. Tingginya tingkat kesa­ daran masyarakat Banda terhadap kesehatan ibu dan anak terbukti dari tingginya pencapaian angka IPKM di Kabupaten Gianyar. Tingginya IPKM ini, selain faktor tingginya kesa­daran masyarakat terhadap pentingnya perawatan kesehatan modern dan dukungan potensi sosial budaya setempat, juga didukung oleh faktor geografi yang sangat mudah untuk mengakses pelayanan kesehatan medis yang tersedia. 2. Tingkat kepercayaan masyarakat Banjar Banda, Kabupaten Gianyar terhadap pelayanan kesehatan medis yang disediakan oleh peme­rintah di puskesmas dan Rumah Sakit Umum (RSU) maupun terutama oleh dokter dan bidan praktik swasta sa­ ngat tinggi. Namun demikian, seringnya petugas puskesmas, terutama dokter dan bidan, tidak ada di tempat pada jam

Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

133

jam kerja dengan berbagai alasan, dan kurang ramahnya pe­ tugas dalam memberikan pelayanan kesehatan di pus­kesmas menjadi penilaian negatif atau indikasi terhadap masih kurang optimalnya kinerja puskesmas di wilayah ini. Implikasinya, ma­ sya­rakat Banjar Banda cenderung lebih suka memanfaatkan pe­layanan kesehatan praktik dokter spesialis swasta daripada pus­kes­mas, sekalipun periksa kesehatan KIA ke dokter spesialis praktik swasta sesungguhnya secara medis tidak terlalu men­ desak dilakukan, apalagi rata-rata tingkat ekonomi mereka re­ latif rendah. 3. Potensi sosial budaya yang berkaitan dengan perilaku kesehatan ibu dan anak (KIA), yang dilakukan oleh masyarakat Banjar Ban­da, baik yang dilakukan secara sadar maupun tidak sadar, yang menguntungkan kesehatan, meliputi hampir di seluruh tahapan kehidupan warga masyarakat, yakni dari masa remaja, nikah dan hamil, nifas, balita, hingga menjadi dewasa. Dalam setiap tahapan kehidupan itu, warga masyarakat secara budaya melakukan tindakan-tindakan yang bermakna preventif, kuratif, dan rehabilitatif bagi kesehatan ibu dan anak mereka. Di pihak lain, beberapa kendala budaya yang dilakukan, baik secara sadar maupun tidak sadar, yang merugikan kesehatan, yaitu masih rendahnya kesadaran ibu hamil untuk memeriksakan kehamilan pada tiga bulan pertama, padahal pemeriksaan kehamilan pada tiga bulan pertama sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang janin. Di samping itu, masih ada penduduk di Banjar Banda membuang sampah ke sungai dan di sembarangan lahan kosong yang ada. Ini merupakan perilaku yang secara tidak langsung dapat merugikan kesehatan, karena dapat me­ nyebabkan air sungai tercemar, saluran air sering tersumbat, sampah berserakan hingga membuat lingkungan kotor dan bahkan menyebarkan bau yang tidak sedap ke wilayah yang lebih luas. 6.2 Saran 1. Mengacu pada masih adanya ibu-ibu hamil yang tidak memerik­ sakan kehamilannya pada tiga bulan pertama karena alasan kepercayaan, maka disarankan agar petugas kesehatan dan tokoh adat setempat memberikan penjelasan lebih intensif

134

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

me­ngenai pentingnya ibu hamil memeriksakan kehamilannya pada tiga bulan pertama kehamilan secara medis agar bayi yang dikandungnya terjamin kesehatannya. 2. Masih ada kebiasaan penduduk membuang sampah ke sungai, selokan, parit, dan tempat-tempat kosong di pinggir jalan, maka disarankan kepada aparat desa untuk memberikan penyuluhan tentang cara pengelolaan sampah rumah tangga dan tidak membuang sampah sembarangan karena bisa mencemari air sungai, menyumbat saluran air sehingga menyebabkan banjir dan menimbulkan bau tidak sedap bagi lingkungannya. Cara sederhana yang bisa dilakukan adalah menyediakan tempat sampah baik di rumah maupun tempat sampah di desa. 3. Melihat masih adanya kesan negatif masyarakat terhadap ki­ nerja atau mutu pelayanan puskesmas di wilayah ini, maka disarankan kepada dinas kesehatan untuk memantau kinerja atau kehadiran petugas puskesmas (dokter dan bidan) di puskesmas wilayah ini, karena masyarakat menilai dokter dan bidan jarang ada di tempat dan pelayanan mereka juga dinilai kurang ramah, tidak seperti pelayanan praktik swasta.



Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

135

136

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

DAFTAR PUSTAKA

Ratnawati, Atik Tri, dkk. 2005. Masalah Kesehatan dalam Kajian Ilmu Sosial-Budaya. Yogyakarta: Kepel Press. Awig-Awig Banjar Banda. Awig-Awig Subak Banda. Ayurini, Made Intan. 2011. Profil UPT Kesmas Blahbatuh II. Dinas Kesehatan Gianyar.http://aryaoka.wordpress.com/arsitektur/Spradley, James P. Metode Etnografi. Jakarta: Tiara Wacana. Danandjaja, James.1992. Cerita Rakyat Bali. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Shaw, Judith dan Ian Charles Stewart. 1987. Indonesia Manusia dan Masyarakatnya. Koentjaraningrat dan A.A. Loedin (Ed.). 1984. Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembangunan Kesehatan. Jakarta: PT Gramedia. Kutanegara, Pande Made dan Rohman. 2006. Masyarakat Batukandik: Dinamika Dan Transformasi Komunitas Adat Terpencil di Bali. Yogyakarta: Kepel Press. Kumbara, A.A. Ngr Anom. 2010.”Sistem Pengobatan Usada Bali”, dalam Canang Sari Dharmasmerti: Mengenang Bhakti Prof Nala. I Wayan Sukarma, I Wayan Budi Utama (Penyunting). Denpasar: Widya Dharma Denpasar, hlm. 436-468. Prasetyawati, Arsita Eka. 2012. Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dalam Milenium Development Goals (MDGs). Yogyakarta: Nuha Medika. Profil Pembangunan Desa Saba, 2004-2005.



Etnik Bali, Banjar Banda, Desa, Saba, Kecamatan Blahbatu Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali

137

Roekmono,B dan Setiady, J.F. 1984. “Masalah Kesehatan di Indonesia”, dalam Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembangunan Kesehatan. Koentjara­ ningrat dan A.A. Loedin (eds). Jakarta: PT Gramedia,hlm. 1-14. Satya Manikgeni, Jero Mangku Gde. 1995. Doa Upacara Manusia Yad­nya: Sejak Kandungan sampai Perkawinan. Denpasar: Pustaka Ma­nikgeni.

138

Buku Seri Etnografi Kesehatan Ibu dan Anak 2012

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF