buku-pornografi

June 17, 2019 | Author: Al_Mahdie | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download buku-pornografi...

Description

MENIMBANG HUKUM PORNOGRAFI, PORNOAKSI DAN ABORSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

OLEH  PROF.DR. HJ. ISTIBSJAROH, SH, MAg 

DAFTAR ISI

MENIMBANG HUKUM PORNOGRAFI, PORNOAKSI DAN ABORSI PERSPEKTIF ISLAM Kata Pengantar Paradigma Pornografi, Pornografi, Pornoaksi dan Aborsi di Indonesia Indonesia Prof. Dr. H. Ridlwan Natsir, Mag I PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI Bagian Pertama

Ruang Lingkup Pornografi dan Pornoaksi A. Hakekat Pornografi dan Ponoaksi B. Sejarah Sejarah Pornograf Pornografii dan dan Pornoa Pornoaksi ksi C. Kreter Kreteria ia dan Batas Batasan an Porno Pornogra grafi fi D. Media dan Akses Akses Pornogr Pornografi afi dan dan Pornoaks Pornoaksii

Bagian Ke-Dua

Pornografi dan Pornoaksi dalam Perspektif Hukum Islam A. Teks Teks al-Q al-Qur ur’a ’ann B. Tinjauan Tinjauan dari Berbagai Berbagai Tafsir Tafsir al-Qur'an al-Qur'an 1. Ta Tafs fsir ir al-M al-Mun unir  ir  2. Ta Tafs fsir ir al-T al-Tha haba bary ry 3. Ta Tafs fsir ir alal-Ma Mara ragh ghii 4. Taf Tafsi sirr al-Ta al-Tahr hrir ir wa al-T al-Tanw anwir  ir  5. Taf Tafsi sirr al-A al-Alus lusii SSur urat at al-Nur  al-Nur  C. Tinjauan Tinjauan As-Sunnah As-Sunnah dan Kaidah Kaidah Ishul Fiqh. Fiqh.

Bagian Ke-Tiga

Pornografi dan Pornoaksi dalam Kehidupan Sosial Masyarakat A. Pornografi Pornografi dan Pornoaksi Pornoaksi dalam Masyara Masyarakat kat Globa Globall B. Pornografi Pornografi dan dan pornoaks pornoaksii dalam Masyar Masyarakat akat Lokal Lokal C. Kontraversi Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi Pornoaksi Dalam Dalam Sosial Kemasyarakatan Kemasyarakatan

Lampiran Fatwa MUI Tentang Pornografi dan Pornoaksi II ABORSI Bagian Pertama

Fenomena Aborsi

Bagian Ke-Dua

Desain Aborsi

 A. Definisi dan Hakekat Aborsi

B. Maca Macamm-Ma Maca cam m Abors Aborsii C. Faktis Faktisita itass Aborsi Aborsi di Indon Indones esia ia

Bagian Ke-Tiga

Aborsi Dalam Hukum Islam A. Hukum Hukum Abor Aborsi si Dala Dalam m Islam Islam B. Akib Akibat at Huk Hukum um Abo Abors rsii C. Aborsi Aborsi dalam Spekt Spektrum rum Hukum Hukum Positif Positif dan Hukum Hukum Islam Bagian Ke-empat

Telaah Hukum Aborsi Daftar Pustaka Biografi Penulis

PENGANTAR  PARADIGMA PORNOGRAFI, PORNOAKSI DAN ABORSI DI INDONESIA

Prof. Dr. H.M. Ridlwan Nasir, MA

"Persoalan media dan pornografi, pornoaksi adalah persoalan yang sangat delematis,

terutama delima antara kebebasan dan moralitas, pertumbuhan dan tradisi, kreatifitas dan norma. Sementara dimasa depan, peran negara tidak lagi diharapkan dalam mengatur dan mengendalikan sebagai aspek-aspek kehidupan sosial, termasuk media [internet, telivisi  global, ataupun pengintaian satelit] ". [Yastraf Amir Peiling ]

Menjamurnya pose seronok, aksi sensual, dan film-film porno di berbagai media [cetak atau elektronik], seakan menyentak kesadaran kita bahwa kebebasan pers yang telah digulirkan oleh pemerintah, telah membawa dampak kebebasan yang lain yakni prilaku yang sangat mengabaikan budaya malu, norma agama, dan nilai moral bangsa. Munculnya era reformasi, ternyata sebahagian besar tidak ditanggapi dengan positif oleh banyak media, tapi  justru ditanggapi dengan kebebasan tanpa batas. Realitas tersebut berakses pada kebebasan dalam etika dan norma. Media lebih mengedepankan " profit orientied" , sebagai dampaknya  banyak literatur, film, gambar atau pose yang " panas dalam adegan" tetapi "tidak panas dalam ide, tema dan kritik" . Boleh jadi ini yang merupakan salah satu bentuk penyesatan umat dan sekaligus dapat dibilang masuk dalam kategori " kekerasan informasi". Pada tataran tersebut kondisi Indonesia sudah dalam keadaan memprihatinkan dan dalam taraf membahayakan, khususnya pada anak-anak dan generasi mudanya. Sebagai bahan acuan hasil survay Ely Risman [Psikolog] menunjukkan sekitar 98 persen anak-anak  Indonesia terbiasa mengakses media-media yang menampilkan pornografi [ Republika 8 Maret 2006 ]. Fakta ini juga diperkuat oleh "Jejak Kaki Internet Protection" yang mencatat 97  persen anak usia 9-14 tahun ternyata pernah mengakses situs porno [ Republika 8 Maret  2006 ]. Sekedar pengingat, mungkin memori di otak kita belum hilang dengan kasus-kasus pose seronoknya artis-artis kita mulai Shopia Latcuba, Nafa Urbah, Dewi Rezer, Sarah Azhari, Anjasmara, dan sederet artis lainnya yang diabadikan oleh majalah RHA yang konon juga telah beredar di manca negara [prestasi atau bencana!]. Dan kalau ditanya pasti alasan yang disampaikan dan digulirkan oleh mereka tetap sama sebagai sebuah "prodak seni" yang harus dinikmati dan disyukuri. Dan mungkin akan ditambah semarak lagi dengan munculnya majalah "Play Boy" di negeri ini yang akan menambah daftar panjang parade pornografi dan  pornoaksi. Itulah sisi lain wajah moral yang sama-sama dapat kita saksikan setiap saat di negeri kita tercinta ini, yang konon merupakan negeri yang sangat agamis dan selalu menjunjung tinggi norma, etika, unggah-ungguh [sopan santun] dan seterusnya. Ironis memang, ketika sebagian masyarakat Muslim menentang dan mengutuk polah aksi pornografi, pornoaksi dan hal sejenisnya adalah "haram", justru mendapat kecaman yang luarbiasa dari masyarakat lainnya yang mendukung polah tersebut sebagai produk seni tinggi [upaya membelenggu kreatifitas]. Tidak main-main kasus-kasus tersebut sempat juga sampai kemeja para anggota MPR RI sebagai materi rapat dan acuan kebijakan pemerintah dalam upaya membuat RUU anti

 pornografi dan pornoaksi atau yang ramai diberdebatkan RUU APP [Anti Pornografi dan Pornoaksi], tetapi ternyata faktanya sampai sekarang masih dalam wacana yang terus bergulir  tampa adanya penyelesaian. MUI [Majelis Ulama' Indonesia] sendiri sebagai kontrol masyarakat yang sudah mengelurkan fatwa "haram" terhadap hal-hal yang berbau pornografi, dan pornoaksi tidak  terkecuali kasus-kasus sejenis yang mencuat tersebut sama sekali tidak diperhatikan. Faktanya hingga saat ini, pornografisasi dan pornoaksisasi telah banyak melahirkan kader-kader baru  bahkan lebih panas dari sebelumnya dan ironisnya mendapatkan tempat tersendiri dalam masyarakat dan media kita. Mengapa Fenomena tersebut dapat berlarut-larut dan bahkan akan selalu menjadi fenomena "gunung es" di negeri ini? Bisa jadi karena selama ini, batasan mengenai pornografi dan pornoaksi di negeri Indonesia semakin tidak jelas, tidak menentu, bahkan menjadi kabur  disebabkan pandangan masyarakat yang dipengaruhi oleh derasnya arus sekularisasi dan globalisasi. Kreterianya pun belum jelas–apakah melanggar bartasan kesopanan, merangsang ataupun melanggar budaya Timur--tampak kabur dan bisa berubah-ubah. Semuanya mengandung interpretasi yang sangat mudah diperdebatkan bahkan disangkal. Bagi yang menganggap bikini itu sopan, maka pose artis tersebut dianggap "masih sopan dan wajar', dan kireteria merangsang yang menjadi tolak ukur pornografi dan pornoaksi dari berbagai  pendapat juga masih mengandung kontroversi. Sebab bagi para phothografer atau pekerja seni yang sejenis yang akrab dengan para artis dan dunia entertaiment, tontonan tersebut bukan merupakan sesuatu yang merangsang akan tetapi dianggap sebagai produk "seni". Bila pornografi dan pornoaksi diserahkan batasan dan kreterianya kepada kita terutama  pada kalangan pendidik, politisi, budayawan, dan seniman, semuanya akan memberikan rumusan yang berbeda bahkan bertolak belakang. Dalam hal ini, Islam telah memberikan arahan untuk memecahkan masalah-masalah manusia, termasuk masalah yang terkait dengan seksualitas manusia. Yaitu Islam memberikan syariat kehidupan khusus [kehidupan keluarga] dan kehidupan umum [kehidupan sosial]. Di dalam kehidupan khusus tersebut, Islam membolehkan bagi wanita menampakkan anggota bagian tubuhnya dihadapan anggota keluarga [muhrim]. Dalam hal ini seorang wanita muslimah dibolehkan membuka jilbab dan kerudungnya dihadapan para muhrimnya dan orang-orang yang diberi hak oleh syariat untuk melihat aurat yang biasa terlihat manakala wanita tersebut berada dalam rumahnya [ QS. An-Nûr ayat 31 ]. Sementara itu seorang perempuan diperbolehkan memperlihatkan sebagian aurat-nya kepada para medis dalam hal ini dokter, perawat dan penyelidik. Melalui muhrimnya, gambaran tentang sebahagian "aurat " perempuan, seperti rambutnya, tangannya, dan kakinya, dapat diinformasikan kepada seorang pria yang melamarnya untuk dijadikan istrinya. Hal yang berkaitan dengan seksualitas, Islam membolehkannya melalui apa yang dinamakan pintu "pernikahan". Artinya hanya kepada orang yang terikat dengan tali pernikahan yang sah saja diperkenankan melakukan aktifitas seksual. Akan halnya dalam kehidupan umum, seorang tidak dibenarkan menampakkan aurat nya. Dan bagi seorang wanita bagian tubuh yang terbilang sebagai ”aurat" adalah seluruh tubuh kecuali muka dan kedua telapak tangan. Oleh karena itu seorang wanita yang sudah  baligh manakala keluar [masuk dalam kehidupan umum] dari rumah harus mengenakan jilbab yakni pakaian luar yang menutup tubuhnya hingga sejengkal dibawah mata kaki [ QS. alAhzâb 59], dan mengenakan kerudung yang menutupi kepala, leher dan dadanya [ QS. AnNûr 31].

Dengan batasan yang jelas tersebut, maka seorang wanita muslimah secara jelas mengetahui bahwa mengumbar aurat tubuhnya dihadapan orang yang tidak berhak dan ditempat yang tidak tepat adalah dosa yang harus dijauhi. Sehingga dengan demikian  pornografi dan pornoaksi tergolong dengan tindakan yang kriminial dan pelakukanya patut dijatuhi hukuman. Zakiah Daradjat mengatakan pornografi termasuk pekerjaan mungkar, tidak diridhai oleh Allah SWT dan dilarang dengan sangsi dunia dan akhirat bagi  pelanggarnya. "….. pornografi itu setara kejinya dengan judi, minuman keras, merampok, dan  pekerjaan mungkar lainnya. Karena pornografi yang sifatnya dapat menggoda, mendorong  orang untuk mendekati zina". Sebaliknya Islam melarang kehidupan seksual diluar nikah dan berbagai bentuk seks  bebas [ free sexs] untuk menjaga kejelasan jalur keturunan manusia dan mencegah terjadinya konflik serta tindak anarki akibat hubungan lawan jenis yang tidak teratur. Hubungan seks diluar nikah dalam pandangan Islam disebut dengan "zina" dan merupakan salah satu tindak  kriminal [ jarimah]. Secara tegas menghukum pelakunya bila masih gadis atau bujang, dengan 100 kali pukulan atau cambukan [ an-Nûr ayat 2]. Tidak dapat dikesampingkan juga salah satu tindakan yang terkait dengan akses  pornografi dan pornoaksi terkait dengan seksualitas manusia adalah tindak aborsi. Walaupun secara makna antara pornografi, pornoaksi dan aborsi memiliki arti yang jauh berbeda akan tetapi jika ditelisik akan menemukan sebuah benang merah. Yaitu sama-sama terkait dengan seksualitas manusia dan normasusila. Kasus-kasus aborsi yang mencuat, dalam publik juga tak kalah ramai dengan kasus pornografi dan pornoaksi. Bisa dicatat dalam sebulan pasti ada dua sampai tiga kali dalam seminggu kasus yang muncul dan tragisnya lagi pasti akan menimbulkan korban baik dari pihak ibu maupun anak. Dalam setahun saja aborsi telah menewaskan 100.000 ibu di seluruh dunia sebuah angka yang cukup fantastis sebagai mesin  pembunuh. [ Jawa Pos 6 November 2006 ] Walaupun dalam berbagi kasus aborsi tersebut memiliki latar belakang yang berbeda, akan tetapi yang sering mencuat adalah akibat tindakan amoral. Dan parahnya para korban tidak menyadari akan perbuatan dan konsekwensi hukumnya baik secara duniawi maupun akhirat. Terkait dengan aborsi, berdasarkan latar belakang yang terjadi dalam pandangan Islam terdapat ketentuan dan hukum tersendiri. Untuk itulah buku ini hadir untuk anda para  pembaca. Buku ini merupakan salah satu buku yang akan membongkar hal-hal yang terkait dengan aborsi yang sebelumnya didahului dengan memperbincangkan tentang pornografi dan  pornokasi tentunya dalam perspektif Islam. Pada bagian pertama, sebagai pembuka anda akan digiring pada hal-hal yang terkait dengan pornografi dan pornoakasi [sebuah disain yang lengkap] yang kemudian sebagai  puncaknya masalah hukum yang terkait dengannya. Agar lebih hidup pembaca juga akan disuguhi dengan beberapa kontroversi mengenai kententuan hukum pornografi dan pornoaksi dalam mayarakat, lengkap dengan paparan-paparan data yang mendukung. Sementara itu  pada bagian kedua, adalah menggali dan memperbincangkan tentang ruang lingkup aborsi, yang kemudian diteruskan dengan hukum-hukum dan ketentuan yang terkait dengan aborsi. Dan sebagai pengantar buku "Menimbang Hukum Pornografi, Pornoaksi dan Aborsi  Dalam Perspektif Islam" saya ucapkan selamat kepada penulis; Prof. Dr Hj.. Istibsjaroh, SH, MA, semoga karya anda menjadi karya yang selalu bermanfaat bagi kebeningan umat. Dan untuk pembaca budiman, selamat membaca! semoga buku ini dapat memberi pencerahan dan inspirasi bagi anda.[]

Surabaya, Maret, 2007 Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya

Prof. Dr. H.M. Ridlwan Nasir, MA NIP. 150203743

I

PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI BAGIAN PERTAMA RUANG LINGKUP PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI A. Hakekat Pornografi dan Pornoaksi Konsep mengenai porno pada dasarnya bersifat intra subyektif dan bahkan inter  subyektif dimana subyektifitas individu satu dengan lainnya membentuk seks normatif, walaupun akhirnya konsep ini selalu berubah berdasarkan perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Gambaran mengenai pornografi dan pornoaksi pada masyarakat secara luas  bukan merupakan sesuatu yang menetap, khususnya ketika ia berhadapan dengan petumbuhan yang terjadi dalam bidang, budaya, sosial, ekonomi dan politik. Dalam kondisi seperti ini  batasan mengenai pornografi dan pornoaksi menjadi suatu entitas yang dapat mengalami  perubahan, sesuai dengan latar belakang sosial cultural yang ada. Secara umum pengertian pornografi dan pornoaksi di Indonesia dapat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi sebagai berikut; Pertama, Pembagian penduduk berdasarkan tempat tinggal  perkotaan dan pedesaan,  Kedua, Pembagian penduduk berdasarkan agama yang dianut, dan

 Ketiga, pembagian penduduk berdasarkan masyarakat adat yang berada antara satu dan lainnya. 1 Jika ditelusuri pornografi dari bahasa Yunani "πορνογραφία" pornographia — secara harafiah tulisan tentang atau gambar tentang pelacur  kadang kala juga disingkat menjadi "porn," "pron," atau "porno" adalah penggambaran tubuh manusia atau perilaku seksual manusia dengan tujuan membangkitkan rangsangan seksual, mirip, namun berbeda dengan erotika, meskipun kedua istilah ini sering digunakan secara bergantian. Kata " porne" yaitu "perempuan jalang" dan graphein "menulis atau ungkapan". Pornographos; diartikan sebagai writing abaut prostitutes tulisan atau gambaran mengenai pelacur.2 Sementara itu dalam kamus Ilmu Popular pornografi diartikan sebagai bacaan atau gambar cabul. 3 Dalam pengertian aslinya, pornografi secara harafiah berarti "tulisan tentang pelacur ", dari akar kata Yunani klasik πορνη dan γραφειν. mulanya adalah sebuah eufemisme dan secara harafiah berarti 'sesuatu yang dijual.' Kata ini berkaitan dengan kata kerja yang artinya menjual . Kata ini berasal dari dari istilah Yunani untuk orang-orang yang mencatat "pornoai", atau pelacur-pelacur terkenal atau yang mempunyai kecakapan tertentu dari Yunani kuno. Pada masa modern, istilah ini diambil oleh para ilmuwan sosial untuk menggambarkan  pekerjaan orang-orang seperti Nicholas Restif dan William Acton, yang pada abad ke-18 dan 19 menerbitkan risalat-risalat yang mempelajari pelacuran dan mengajukan usul-usul untuk  mengaturnya. Istilah ini tetap digunakan dengan makna ini dalam "Oxford English Dictionary" hingga 1905. Akan tetapi, belakangan istilah pornografi dan pornoaksi digunakan untuk publikasi segala sesuatu yang bersifat seksual, khususnya yang dianggap berselera rendah atau tidak   bermoral, apabila pembuatan, penyajian atau konsumsi bahan tersebut dimaksudkan hanya untuk membangkitkan rangsangan seksual. Sekarang istilah ini digunakan untuk merujuk  secara seksual segala jenis bahan tertulis maupun grafis. Istilah "pornografi" seringkali mengandung konotasi negatif dan bernilai seni yang rendahan, dibandingkan dengan erotika yang sifatnya lebih terhormat. Istilah eufemistis seperti misalnya film dewasa dan video dewasa biasanya lebih disukai oleh kalangan yang memproduksi materi-materi ini. Sementara itu menurut istilah beberapa para ahli pornografi dapat didefinisikan sebagai berikut; 

Abu Al-Ghifari; Pornografi adalah tulisan, gambar, lukisan, tayangan audiovisual,  pembicaraan, dan gerakan-gerakan tubuh yang membuka tubuh tertentu secara vulgar yang semata-mata untuk menarik perghatian lawan jenis. 4

1

Neng Djubaidah, Pornografi Pornoaksi Ditinjau Dari Hukum Islam, [Jakarta; Prenada Media, 2003]

h. 137 2

Tjipta Lesmana, Pornografi Dalam Media Massa, [Jakarta; Puspa Swara, 1995], Cet ke I, h. 69. Lih. A. Hamzah, Pornografi dalam Hukum Pidana, Studi Dalam Hukum Perbandingan, Cet ke I, [Jakarta; Bina Mulia 1987], h. 7. 3

Tim Penyusun Kamus Besar Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, [Jakarta; Balai Pustaka, 1988]. h. 354. 4

Abu Al-Ghifari, Gelombang Kejahatan Seks Remaja Modern, [Bandung; Mujahid, 2002], h. 30.

Feminis dan Moralis Konservatif mendefinisikan pornografi sebagai " Penggambaran material seksual yang mendorong pelecehan seksual dengan kekerasan dan  pemaksaan".5  Menurut RUU Anti Pornografi, " Pornografi adalah bentuk ekspresi visual berupa  gambar, lukisan, tulisan, foto, film atau yang dipersamakan dengan film, video, terawang, tayangan atau media komunikasi lainnya yang sengaja dibuat untuk  memperlihatkan secara terang-terangan atau tersamar kepada publik alat vital dan bagian-bagian tubuh serta gerakan-gerakan erotis yang menonjolkan sensualitas dan atau seksualitas, serta segala bentuk perilaku seksual dan hubungan seks manusia  yang patut diduga menimbulkan rangsangan nafsu berahi pada orang lain. "6  MUI atau Departemen Agama; " Pornografi adalah ungkapan visualisasi dan verbalisasi melalui media komunikasi massa tentang perlakuan/perbuatan laki-laki dan/atau perempuan dalam keadaan memberi kesan telanjang bulat, dilihat dari depan, samping, atau belakang. Penonjolan close up alat-alat vital, payudara atau  pinggul, baik dengan atau tanpa penutup, ciuman merangsang antara pasangan  sejenis ataupun berlainan jenis, gerakan atau bunyi suara dan/atau desah yang  memberi kesan persenggamaan, gerakan masturbasi, lesbian, homo, atau oral seks  yang bertujuan untuk membangkitkan nafsu seksual". Beralih ke pengertian pornoaksi itu sebenarnya tidak jauh dengen pengertiannya dengan pornografi yaitu penekanannya pada pornoaksi lebih pada penggambaran aksi gerakan lenggokan dan liukan tubuh yang disengaja atau tidak sengaja untuk memancing bangkitnya nafsu seksual laki-laki. Dengan demikian secara garis besar dalam wacana pornografi atau dalam tindak pencabulan konteporer dan beberapa bentuk porno, yaitu meliputi porno teks,  pornografi, pornosuara dan pornoaksi. Dalam kasus tertentu semua katogori ini dapat menjadi sajian dalam satu media, sehingga konsepnya menjadi pornomedia.7 

B. Sejarah Pornografi dan Pornoaksi Pornografi dan pornoaksi mempunyai sejarah yang panjang. Karya seni yang secara seksual bersifat sugestif dan eksplisit sama tuanya dengan karya seni yang menampilkan gambar-gambar yang lainnya. Foto-foto yang eksplisit muncul tak lama setelah ditemukannya fotografi. Karya-karya film yang paling tuapun sudah menampilkan gambar-gambar telanjang maupun gambaran lainnya yang secara seksual bersifat eksplisit. Sementara itu, sejarah munculnya pornografi da pornoaksi ini bermula dari keberadaan seorang perempuan cantik jelita, yang hidup di Negara Yunani yaitu sekitar abad ke-empat sebelum Masehi. Wanita tersebut bernama Phyerne dari Thespie. Ia seorang hitaerai yaitu  perempuan yang hidupnya hanya untuk bersenang-senang dengan laki-laki.  Hitearai berbeda 5 6

7

Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, [Jakarta; ----, 1998], h. 231. Pikiran Rakyat Cyber Media, Kaburnya Batasan Pornografi., htm, Kamis, 01 Mei 2003.

Burhan Bungin, Pornomedia Kontruksi Sosial Tehnologi Telematika dan Perayaan Seks di Media Massa, Ibid ., h. 152. Pornoteks yaitu karya pencabulan yang mengangkat cerita berbagai fersi hubungan seksual dalam bentuk narasi, testimonial, atau pengalaman pribadi secara detail dan vulgar, sehingga pembaca merasa ia merasa menyaksikan sendiri, mengalami atau mengalami sendiri peristiwa atau hubungan seks itu. Penggambaran yang detail secara narasi terhadap hubungan seks itu kemudian menimbulkan terciptanya teatre of mind pembaca, sehingga fantasi seksual pembaca menjadi menggebu-gebu terhadap hubungan seks yang digambarkan tersebut. Pornosuara yaitu tuturan atau kalimat-kalimat yang diucapkan seoarang yang langsung atau tidak langsung bahkan secara halus atau vulgar tentang aktivitas seksual atau obyek sekual.

dengan porne, yaitu perempuan pelacur yang digunakan dan dibayar setiap hari dan berbeda  pula dengan istri yang dipercayakan untuk memelihara rumah tangga dan keturunan yang dapat dipercaya. 8  Pheyrne pernah dituduh sebagai perempuan yang mengkorupsi para jejaka Athena. Ketika hukum hendak menjatuhkan hukuman terhadap  Phryne pembela Phryne yang bernama  Hyperdes mengajukan pembelaan dengan cara meminta  Phryne berdiri disuatu tempat di depan sidang dengan posisi yang dapat dilihat oleh semua hadirin.  Phryne menampakkan  pakaiannya satu persatu hingga tubuh indahnya tampak oleh hakim dan seluruh yang hadir  dan hasilnya Phryne dibebasakan dari tuduhan dan hukuman. Dan pertunjukan Phryne itulah kemudian merupakan awal dari adegan pornografi yang kemudian berkembang menjadi  striptease show. Strip-tease show yang dilakukan oleh seorang Hetaerai tersebut tidak berkaitan dengan  porne yang berarti pelacur. Namun pada perkembangan selanjutnya seperti yang terdapat dalam Kamus Bahasa Indonesia kata porne yang berasal dari kata porne yang berarti cabul. 9 Sedangkan kata pornografi menurut kamus tersebut adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan tujuan untuk membangkitkan nafsu birahi, sedangkan kata  strip-tease menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pertunjukan tarian yang dilakukan oleh perempuan dengan gerakan antara lain dengan menanggalkan pakaiannya satu persatu dihadapan  penonton, atau dapat juga berarti tarian telanjang. 10 Meskipun rumusan strip-tease tersebut tidak disertakan tujuan tarian telanjang adalah untuk merangsang nafsu birahi seperti halnya dengan rumusan pornografi namun akibat dari stip-tease ini juga sama-sama dapat membangkitkan nafsu birahi. Berdasarkan pengertian diatas sebenarnya akibat dari  striptease dan pornografi sebenarnya tidak berbeda baik yang ditampilkan secara langsung atau melalui media komunikasi yaitu sama-sama membangkitkan nafsu birahi bagi orang yang melihat atau menontonnya. Dalam perkembangan selanjutnya strip-tease baik yang dilakukan secara langsung disebut dengan pornoaksi, sementara  strip-tease yang ditampilkan melalui lewat media maka dikatagorikan sebagai pornografi. 11  strip-tease yang dilakkan secara langsung, atau tampa melalui media komunikasi, saat ini bias disebut pornoaksi. Sementara itu jika strip-tease ditampilkan melalui media dikategorikan sebagai pornografi. C. Kreteria dan Batasan Pornografi dan Pornoaksi Berdasarkan kedudukannya pornografi dan pornoaksi dapat kita tinjau dari dua sudut yaitu pertama; sudut social cultural bahwa ketika membahas mengenai pornografi maka yang harus diperhatikan adalah masalah perbedaan sosio budaya, kurun waktu dan tahapan kedewasaan etis dari orang-orang secara individual dan seluruh masyarakat. Sementara itu dalam realitasnya terjadi perbedaan yang sangat mencolok antara belahan Barat dan Timur. Perbedaan yang mencolok tersebut antara Barat dan Timur dari segi kehidupan sosial adalah Barat khususnya Benua Eropa mengalami kemajuan yang sangat menonjol. Sementara Timur  masyarakatnya identik dengan memegang teguh tradisi, adat istiadat, dan kultur masingmasing, terutama yang diwarisi dari para leluhurnya.  Kedua, adalah penilaian yang lebih menyoroti pada aspek etika. Untuk itu perlu adanya kreteria mengenai indah, kreteria baik  8

Alex A. Rachim, Pornografi Dalam Pers Sebuah Orentasi, [Jakarta; Dewan Pers 1987], h. 10-11.

9

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ibid .,

h. 696. 10

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ibid ., h. 696. 11

Neng Dzubaidah , Pornografi Pornoaksi Ditinjau Dari Hukum Islam, Ibid ., h. 140.

yang lebih mencakup pada masalah etis walaupun tekanannya bisa berbeda. Dalam ilmu  penghetahuan tekanan yang benar, dalam arti seni tekanannya pada arti yang indah estetika, dan dalam bidang etis tekannanya pada yang baik. Penilaian yang bijaksana mengenai masalah seksualitas, kreteria benar dan indah harus diikutsertakan sebagai landasan dasar  untuk menggapai suatu penilaian yang bijaksana. Pengalaman manusia dan kebenaran agama, ilmu pengetahuan dapat sangat membantu manusia dalam membuat penilaian etis yang  bertanggung-jawab tampa terjebak membuat larangan-larangan moral yang irrasional. Sementara itu berdasarkan tingkatan elsistensi dan pengaruh yang ditimbulkannya secara umum pornografi dan pornoaksi dibedakan menjadi dua yaitu pornografi dan  pornoaksi normal, pornografi dan pornoaksi biasa dan pornografi dan pornoaksi keras sadistis.12 Secara garis besar perbedaan tersebut lebih mengacu pada pengaruh yang diakibatakan dua macam katogari pornografi tersebut. Pornografi dan pornoaksi keras dapat merangsang orang bersangkutan untuk sampai melampiaskan dorongan seksualnya secara  brutal kepada orang lain. Pornografi dan pornoaksi ringan umumnya merujuk kepada bahan bahan yang menampilkan ketelanjangan, adegan-adegan yang secara sugestif bersifat seksual, atau menirukan adegan seks, sementara pornografi dan pornoaksi berat mengandung gambargambar alat kelamin dalam keadaan terangsang dan kegiatan seksual termasuk  penetrasi. Di dalam industrinya sendiri dilakukan klasifikasi lebih jauh secara informal. Pembedaan pembedaan ini mungkin tampaknya tidak berarti bagi banyak orang, namun definisi hukum yang tidak pasti dan standar yang berbeda-beda pada penyalur-penyalur yang berbeda pula menyebabkan produser membuat pengambilan gambar dan penyuntingannya dengan cara yang berbeda-beda pula. Mereka pun terlebih dulu mengkonsultasikan film-film mereka dalam versi yang berbeda-beda kepada tim hukum mereka. Dalam kreteria pornografi dan pornoaksi ada keterkaitan dengan teori yang dikemukakan oleh Talcott Person melalui konsep sibernetik bahwa ada keterkaitan sistem  budaya, sistem sosial, sistem kepribadian, dan sistem organis. 13 Dengan demikian perubahan  pada nilai atau sistem budaya akan berakibat pada perubahan sistem sosial. Perubahan pada tingkat ini akan berakibat tingkatnya sistem kepribadian dan organisme aksi masyarakat. Melihat pergeseran tersebut terjadi perbedaan yang sangat signifikan antara masyarakat Barat dan masyarkat Timur dalam memandang konsep seks dan pornografi dan pornoaksi. Menurut Johan Suban sesuatu dinilai porno jika;   Isolasi seks,14 seksualitas diciutkan pada, hanya alat kelamin genital untuk merangsang nafsu birahi terlepas dari nilai personal seperti cinta kasih dan kemesraan. Daya-daya seksual yang menyeluruh tidak diceritakan sebagai sarana ungkapan cinta dalam  perkawinan dan cara untuk melanjutkan keturunan dalam keluarga. Seks dilepaskan dari aspek yang lain seperti aspek psikologis, sosial dan moral.   Perangsangan nafsu birahi,15 pornografi dan pornoaksi menonjolkan kelamin genital untuk merangsang nafsu birahi yang brutal dan menunjukkan kelemahlembutan

12

Johan Suban Tukau, Etika Seksual dan Perkawinan, Ibid ., h. 75-76.

13

Burhan Bungin, Kontruksi Sosial Teknologi Telematika dan Perayaan Seks Di Media Massa, [Jakarta; Prenada, 2003], h. 99. 14

Johan Suban Tukau, Etika Seksual Dan Perkawinan , Ibid ., h. 76.

Tim Kajian LBH APIK Jakarta, Tanggapan atas RUU Anti Pornografi dan Anti Pornoaksi Sebuah  Draf Kajian, [Jakarta; APIK, tt], h. 12. 15





emosional yang psikis dan seksualitas. Seolah-olah pria dan wanita adalah obyek yang harus dinikmati. Orang lain adalah alat untuk melampiaskan nafsu birahi yang irasional. Tidak dilihat bahwa dorongan seksual dapat dibudidayakan dan disumblimasi. Bahwa manusia juga memiliki akal budi, kehendak dan cita-cita yang luhur. Tiadanya hormat terhadap lingkungan intim 16 , manusia membutuhkan lingkungan intim, khususnya dalam perkawinan. Hubungan seksual personal yang intim antara suami istri dalam keseluruhan hidup berkeluarga disajikan secara terbuka dalam  pornografi dan pornoaksi tampa hormat sama sekali. Itu berarti perendahan atau  pelecehan nilai suci perkawinan dan keluarga. Pornografi dan pornoaksi tidak  menghargai privacy dibidang seksualitas manusiawi. Membangkitkan dunia khayalan,17 pornografi dan pornoaksi mempertontonkan gambar telanjang bagi remaja dan kalangan lainnya dengan tujuan tidak menjelaskan secara benar fungsi alat kelamin, tetapi lebih untuk membuat mereka berkhayal, bagi remaja akan menjerumuskan mereka ke dunia fantasi dan bukan pada dunia nyata. Adegan seks dipertontonkan secara berlebihan, sehingga orang akan cenderung melupakan adat mengabaikan nilai persahabatan dan pergaulan.

D. Media dan Akses Pornografi dan Pornoaksi Perkembangan media dalam balutan pornografi dan pornoaksi bekembang dengan  pesat. Mencari media kategori 'X' ini bukan pekerjaan sulit. Hampir di setiap sudut kota, di agen-agen koran, kios, dan berbagai tempat lain, cukup mudah untuk menemukan media kategori ini. Media dengan tema seksualitas memang tumbuh dan berkembang luar biasa. Daya tarik media kategori ini di mata konsumen barangkali terletak pada tampilan gambarnya yang vulgar dan memancing birahi, serta isi pemberitaannya yang berputar pada wilayah seksualitas. Sehingga wajar, bila dibandingkan dengan media lainnya, media jenis 'X' ini sangat laris manis di pasaran. Jika media dengan tema politik, atau sosial, atau tema lain sudah banyak yang gulung tikar, media berlabel 'X' ini ternyata masih berjaya di pasaran.

1. Perkembangan Pornografi dan pornoaksi dalam Bentuk Media Pornografi dan pornoaksi dapat menggunakan berbagai media — teks tertulis maupun lisan, foto-foto, ukiran, gambar , gambar bergerak termasuk animasi, dan suara seperti misalnya suara orang yang bernapas tersengal-sengal. Film porno menggabungkan gambar  yang bergerak, teks erotik yang diucapkan dan/atau suara-suara erotik lainnya, sementara majalah seringkali menggabungkan foto dan teks tertulis. Novel dan cerita pendek  menyajikan teks tertulis, kadang-kadang dengan ilustrasi. Suatu  pertunjukan hidup pun dapat disebut porno. a. Relief Klasik  Sementara itu pada manusia telanjang dan aktivitas-aktivitas seksual ditampilkan dalam sejumlah karya seni paleolitik misalnya pada patung Venus, namun tidak jelas apakah tujuannya adalah membangkitkan rangsangan seksual. Sebaliknya, gambar-gambar itu mungkin mempunyai makna spiritual. Ada sejumlah lukisan porno di tembok-tembok  reruntuhan bangunan Romawi di Pompeii. Salah satu contoh yang menonjol adalah gambar  tentang sebuah bordil yang mengiklankan berbagai pelayanan seksual di dinding di atas 16 17

Johan Suban Tukau, Etika Seksual Dan Perkawinan, Ibid., h. 76. Johan Suban Tukau, Etika Seksual Dan Perkawinan Ibid., h. 76.

masing-masing pintu. Di Pompeii orang pun dapat menjumpai gambaran zakar dan buah zakar yang ditoreh di sisi jalan, menunjukkan jalan ke wilayah pelacuran dan hiburan, untuk  menunjukkan jalan kepada para pengunjung. Para arkeolog di Jerman melaporkan pada April 2005 bahwa mereka telah menemukan apa yang mereka yakini sebagai sebuah gambaran tentang adegan porno yang berusia 7.200 tahun yang melukiskan "seorang laki-laki yang sedang membungkuk di atas seorang perempuan" dalam cara yang memberikan kesan suatu hubungan seksual. Gambaran laki-laki itu kemudian diberi nama " Adonis von Zschernitz". 2. Media Cetak  Pornografi dan pornoaksi yang diedarkan secara massal sama tuanya dengan mesin cetak sendiri. Hampir bersamaan dengan penemuan fotografi, teknik ini pun digunakan untuk  membuat foto-foto porno. Bahkan sebagian orang mengatakan bahwa pornografi dan  pornoaksi telah menjadi kekuatan yang mendorong yang mendorong teknologi dari mesin cetak, melalui fotografi foto dan gambar hidup hingga video, TV satelit dan internet. Seruanseruan untuk mengatur atau melarang teknologi-teknologi ini telah sering menyebutkan  pornografi dan pornoaksi sebagai dasar keprihatinannya. Buku-buku komik porno yang dikenal sebagai kitab suci Tijuana mulai muncul di AS  pada tahun 1920-an. Pada paruhan kedua abad ke-20, pornografi dan pornoaksi di Amerika Serikat berkembang dari apa yang disebut "majalah pria" seperti Playboy dan Modern Man  pada 1950-an. Majalah-majalah ini menampilkan perempuan yang telanjang atau setengah telanjang perempuan, kadang-kadang seolah-olah sedang melakukan masturbasi, meskipun alat kelamin mereka ataupun bagian-bagiannya tidak benar-benar diperlihatkan. Namun pada akhir 1960-an, majalah-majalah ini, yang pada masa itu juga termasuk majalah  Penthouse, mulai menampilkan gambar-gambar yang lebih eksplisit, dan pada akhirnya pada 1990-an, menampilkan penetrasi seksual, lesbianisme dan homoseksualitas, seks kelompok, masturbasi, dan fetishes. 3. Audio Visual Film Film-film porno juga hampir sama usianya dengan media itu sendiri. Menurut buku Patrick  Robertson, Film Facts, "film porno yang paling awal, yang dapat diketahui tanggal  pembuatannya adalah  A L'Ecu d'Or ou la bonne auberge", yang dibuat di Prancis pada 1908. Jalan ceritanya menggambarkan seorang tentara yang kelelahan yang menjalin hubungan dengan seorang perempuan pelayan di sebuah penginapan.  El Satario dari Argentina mungkin malah lebih tua lagi. Film ini kemungkinan dibuat antara 1907 dan 1912. Robertson mencatat  bahwa "film-film porno tertua yang masih ada tersimpan dalam Kinsey Collection di Amerika. Sebuah film menunjukkan bagaimana konvensi-konvensi porno mula-mula ditetapkan. Film Jerman Am Abend sekitar 1910 adalah, demikian tulis Robertson, "sebuah film pendek sepuluh menit yang dimulai dengan seorang perempuan yang memuaskan dirinya sendiri di kamarnya dan kemudian beralih dengan menampilkan dirinya sedang berhubungan seks dengan seorang laki-laki, melakukan fellatio dan penetrasi anal." Robertson, hlm. 66 Banyak film porno seperti itu yang dibuat dalam dasawarsa-dasawarsa berikutnya, namun karena sifat pembuatannya dan distribusinya yang biasanya sembunyi-sembunyi, keterangan dari film-film seperti itu seringkali sulit diperoleh. 18 Sementara itu, pornografi dan 18

Mona [juga dikenal sebagai Mona the Virgin Nymph], sebuah film 59-menit 1970 umumnya diakui sebagai film porno pertama yang eksplisit dan mempunyai plot, yang diedarkan di bioskop-bioskop di AS. Film ini dibintangi oleh Bill Osco dan Howard Ziehm, yang kemudian membuat film porno berat (atau ringan, tergantung versi yang diedarkan],

 pornoaksi, pornoaksi, dunia Sex telah menjadi bahan pembicaraan dan sudah ada selama  bertahun-tahun lalu. Siapakah yg mem-populerkan hal ini, lalu siapa pula yg mulai menyebarkanya dan membuat pornografi dan pornoaksi menjadi komersil dan bahkan ditentang seperti sekarang? Ide tentang penyebaran pornografi dan pornoaksi dimulai dari banyak hal. Seperti Majalah, Film Porno, dll. Internet telah membuka mata dunia dan menjadikannya dunia tanpa  batas yang bisa dijangkau dengan mudah. Siapa pula yang pertama kali membuat situs xxx dewasa? Siapa pula yang memulai membayar dan menjadikan pornografi dan pornoaksi ini ajang bisnis luar biasa. Keterangan dan beberapa catatan berikut mungkin untuk melihat sejarah pornografi dan pornoaksi yang ada di dunia, meski kita semua tahu bahwa Manusia pasti tak luput dari Dunia Sex sejak jaman Adam dan Hawa. Sejak jaman Video Betamax sampai Internet tanpa  batas ini. Berikut ini adalah catatan sejarah singkat pornografi dan pornoaksi yg dimulai pada abad pertama sebelum Masehi:              

Abad pertama sebelum masehi - Kama Sutra diciptakan 1440 - Surat Kabar Gutenberg ditemukan 1928 - Dr. Ruth lahir. 1953 - Hugh Hefner memulai majalah Playboy 1965 - Bob Guccione membuat Penthouse 1968 - Al Goldstein mendirikan Screw 1969- Film mainstream pertama kali menampilkan gaya Swinger pertukaran pasangan - Bob & Carol & Ted & Alice, yg disutradarai oleh Paul Mazursky 1970 - Penthouse memperkenalkan ke publik untuk pertama kali. 1970 - Catatan Film Porno - Cycle Studs - Le Salon Gay 1971 - Catatan Film Porno - The Boys in the Sand - Wakefield Poole Gay 1971 - Kondom pertama kali muncul dalam sebuah film - Carnal Knowledge, disutradarai oleh Mike Nichols 1972 - Film Porno tercatat - Deep Throat - Gerard Damiano Straight 1972 - Film Porno tercatat - Behind the Green Door - The Mitchell Brothers Straight 1972 - Film Porno tercatat - Fritz the Cat - Ralph Bakshi Anime dengan anggaran yang relatif tinggi, yaitu film Flesh Gordon. Film tahun 1971 The Boys in the Sand dapat disebutkan sebagai yang "pertama" dalam sejumlah hal yang menyangkut  pornografi. Film ini umumnya dianggap sebagai film pertama yang menggambarkan adegan  porno homoseksual. Film ini juga merupakan film porno pertama yang mencantumkan namanama pemain dan krunya di layar (meskipun umumnya menggunakan nama samaran). Ini  juga film porno pertama yang membuat parodi terhadap judul film biasa [judul film ini The  Boys in the Band ]. Dan ini adalah film porno kelas X pertama yang dibuat tinjauannya oleh  New York Time

                               

1974 - Larry Flynt starts Hustler. 1975 - Betamax Video diperkenalkan 1975 - Iklan Kondom pertama kali tampil di TV 1976 - VHS Video diperkenalkan 1981 - HIV/AIDS menjadi topik hangat 1983 - Name server Domain Host dikembangkan di University of Wisconsin 1984 - Majalah Penthouse menampilkan gambar Vanessa Williams telanjang. Dia lalu mundur dari Miss Amerika. 1984 - Domain Name Systems DNS diperkenalkan 1985 - Symbolics.com adalah domain yang pertama kali didaftarkan 1985 - Domain yang bisa didaftarkan pada mulanya - cmu.edu, purdue.edu, rice.edu,  berkeley.edu, ucla.edu, rutgers.edu, bbn.com, mit.edu, think.com, css.gov, mitre.org 1986 - Pengacara Amerika Jendral Edwin Meese publish 1,960 halaman reportase dan interogasi pornografi dan pornoaksi atas perintah President Ronald Reagan. 1990 - Ikln komersial pertama tentang provider Internet dial-up - world.std.com 1992 - Arti dari “Surfing the Internet” pertama kali kita dengar browsing 1993 - World Wide Web www tercipta 1994 - Sex.com didaftarkan oleh Gary Kremen 1995 - Konfirmasi pertama blowjob di White House. 1995 - Sex.com dicuri oleh Stephen Cohen 1996 - Domain name tv.com dijual seharga $15,000 1997 - DVD diperkenalkan 1997 - Domain name business.com dijual $150,000 1997 - Pamela Anderson dan Tommy Lee video porno bocor  1998 - Viagra diperkenalkan 1998 - Al Goldstein memasang “Fuck You Finger” jari tengah dihalaman belakang rumahnya di Florida. 1999 - Domain name business.com dijual $7,500,000 2000 - Sex.com dikembalikan ke Gary Kremen setelah melalui proses hukum. 2000 - AEBN meluncurkan situs VOD Video On Demand - Video atas permintaan 2000 - American Express menghentikan transaksi pornografi dan pornoaksi 2001 - Yahoo membuang iklan pornografi dan pornoaksi dari mesin pencarinya 2003 - Paypal menolak transaksi dewasa 2003 - Penthouse bangkrut 2005 - Pencuri Sex.com, Stephen Cohen ditahan 2005 - Video iPod diperkenalkan

 

2006 - Sex.com dijual $12,000,000 2006 - Google berurusan dengan pengadilan gara-gara hasil pencarian porno 19 Oleh karena itu, besarnya pengaruh media massa menjadi tantangan terbesar yang harus dihadapi oleh dunia pendidikan saat ini. Media massa dalam berbagai bentuknya, merupakan pilar keempat dalam proses pendidikan. Kehadirannya telah membentuk perilaku, sikap, dan pola pikir anak didik. Inilah yang belakangan dikenal sebagai hidden curriculum kurikulum yang tersembunyi, yakni beragam bentuk media yang mempengaruhi berjalannya  proses pendidikan dan perkembangan psikologis anak didik. Ada beberapa paham yang ikut serta dalam media-media yang ditonton oleh anakanak, yaitu paganisme, hedonisme, brutalisme, dan pornografi dan pornoaksi. Paham-paham tersebut secara nyata berbahaya terhadap berjalannya pendidikan dan pengajaran di sekolah, karena adanya nilai-nilai yang saling bertubrukan. Dari sini jelas betapa berbahayanya  pornografi dan pornoaksi di tinjau dari dimensi pendidikan. Perkembangan pesat pornografi dan pornoaksi terjadi seiring reformasi. Kalau kita cermati, media-media berkategori 'X' tersebut sebenarnya sama sekali tidak memenuhi kriteria sebuah media. Selain penuh dengan gambar-gambar seronok dan merangsang, isi tulisannya  pun jauh dari kaidah-kaidah jurnalistik. Apa yang dipaparkan tidak lebih dari cerita-cerita  perangsang nafsu seksual. Kehadiran media-media semacam ini telah memberikan dampak destruktif dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, terutama di kalangan anak-anak. Merebaknya kasus-kasus amoral sebagian besar dipengaruhi oleh media bernuansa pornografi dan pornoaksi. Protes terhadap persoalan pornografi dan pornoaksi sebenarnya sudah banyak disuarakan oleh  berbagai elemen masyarakat. Namun sayang, tidak banyak tindakan nyata yang dilakukan oleh pemerintah. Bahkan, setiap kali protes dilakukan, yang berkembang justru perdebatan antara moralitas, seni, dan kebebasan. Mereka yang bergerak dalam industri media semacam ini tampaknya kurang menyadari bahwa produk pers memiliki tangung jawab sosial. Ketika ekspose produk pers telah melampaui batas moralitas, maka kita harus melakukan tindakan secara nyata untuk menggugat dan mencegahnya. Karena media memiliki pengaruh secara signifikan terhadap realitas sosial. Dampak dari kehadiran media bisa berwujud dampak kognitif dan dampak emosional. Dampak kognitif berhubungan dengan pemikiran, sedangkan dampak emosional berhubungan dengan perasaan. Dampak kognitif juga mencakup aspek niat, tekad, upaya, dan usaha yang  berkecenderungan untuk diwujudkan menjadi kegiatan. Jika pengaruh negatif berdampak   pada taraf kognitif dari kesadaran masyarakat, maka pada titik inilah perilaku dan moralitas  permisif akan semakin meluas dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. 4. Video: Betamax, VHS, DVD, dan Format-Format Depan

Masa

Selama sejarahnya, kamera film juga telah digunakan untuk membuat pornografi dan  pornoaksi, dan dengan munculnya  perekam kaset video rumahan, industri film porno pun mengalami perkembangan besar-besaran dan melahirkan bintang-bintang "film dewasa" seperti Ginger Lynn, Christy Canyon, dan Traci Lords belakangan diketahui usianya di bawah usia legal, yaitu 18 tahun, pada saat membuat sebagian besar dari film-filmnya. Orang kini 19

Kesetrum, Sejarah Pornografi Dunia- Tercatat, htm

dapat menonton film porno dengan leluasa dalam privasi rumahnya sendiri, ditambah dengan  pilihan yang lebih banyak untuk memuaskan fantasi dan fetishnya. Ditambah dengan hadirnya kamera video yang murah, orang kini mempunyai sarana untuk membuat filmnya sendiri, untuk dinikmati sendiri atau bahkan untuk dijual dan memperoleh keuntungan. Ada yang berpendapat bahwa Sony Betamax kalah dalam perang format dari VHS dalam menjadi sistem rekam/tonton video di rumah karena industri video film biru memilih VHS ketimbang sistem Sony yang secara teknis lebih unggul. Upaya-upaya inovasi lainnya muncul dalam bentuk video interaktif yang memungkinkan pengguna memilih variabelvariabel seperti sudut kamera berganda, penutup berganda mis. "Devil in the Flesh", 1999, dan isi DVD untuk komputer saja. Para produsen film erotik diramalkan akan memainkan peranan penting dalam menentukan standar DVD yang akan dating. Kelengkapan outfit yang besar cenderung mendukung Cakram cahaya biru yang memiliki kapasitas tinggi, sementara kelengkapan yang kecil umumnya lebih mendukung HD-DVD yang tidak begitu mahal. Menurut sebuah artikel Reuter 2004 "Industri bermilyar-milyar dolar ini menerbitkan sekitar 11.000 judul dalam  bentuk DVD setiap tahunnya, memberikannya kekuatan yang sangat besar untuk  mempengaruhi pertempuran antara kedua kelompok studio dan perusahaan teknologi yang saling bersaing untuk menetapkan standar untuk generasi berikutnya" 5. Sementara itu banyak juga, sejumlah pornografi dan pornoaksi dihasilkan melalui manipulasi digital dalam program-program editor gambar seperti Adobe Photoshop. Praktik  ini dilakukan dengan membuat perubahan-perubahan kecil terhadap foto-foto untuk  memperbiaki penampilan para modelnya, seperti misalnya menyingkirkan cacat pada kulit, memperbaiki cahaya dan kontras fotonya, hingga perubahan-perubahan besar dalam bentuk  membuat photomorph dari makhluk-makhluk yang tidak pernah ada seperti misalnya gadis kucing atau gambar-gambar dari para selebriti yang bahkan mungkin tidak pernah memberikan persetujuannya untuk ditampilkan menjadi film porno. Manipulasi digital membutuhkan foto-foto sumber, tetapi sejumlah pornografi dan  pornoaksi dihasilkan tanpa aktor manusia sama sekali. Gagasan tentang pornografi dan  pornoaksi yang sepenuhnya dihasilkan oleh komputer sudah dipikirkan sejak dini sebagai salah satu daerah aplikasi yang paling jelas untuk grafik komputer dan pembuatan gambar tiga dimensi. Pembuatan gambar-gambar lewat komputer yang sangat realistik menciptakan dilemadilema etika baru. Ketika gambar-gambar khayal tentang penyiksaan atau pemerkosaan disebarkan secara luas, para penegak hukum menghadapi kesulitan-kesulitan tambahan untuk  menuntut gambar-gambar otentik yang menampilkan perbuatan kriminal, karena kemungkinan gambar-gambar itu hanyalah gambar sintetik. Keberadaan foto-foto porno palsu dari para selebriti memperlihatkan kemungkinan untuk menggunakan gambar-gambar palsu untuk melakukan pemerasan atau mempermalukan siapapun yang difoto atau difilmkan, meskipun ketika kasus-kasus itu menjadi semakin lazim, pengaruhnya kemungkinan akan  berkurang. Akhirnya, generasi gambar-gambar yang sama sekali bersifat sintetik, yang tidak  merekam peristiwa-peristiwa yang sesungguhnya, menantang kritik-kritik konvensional terhadap pornografi dan pornoaksi.

Hingga akhir 1990-an pornografi dan pornoaksi yang dihasilkan melalui manipulasi digital belum dapat dihasilkan dengan murah. Pada awal 2000-an kegiatan ini semakin  berkembang, ketika perangkat lunak untuk pembuatan model dan animasi semakin maju dan menghasilkan kemampuan-kemampuan yang semakin tinggi pada komputer. Pada tahun 2004, pornografi dan pornoaksi yang dihasilkan lewat komputer gambarnya melibatkan anakanak dan hubungan seks dengan tokoh fiksi seperti misalnya Lara Croft sudah dihasilkan pada tingkat yang terbatas. Terbitan Playboy pada Oktober 2004 menampilkan foto-foto telanjang dada dari tokoh permainan video BloodRayne. 5. Internet

Dengan munculnya internet, pornografi dan pornoaksi pun semakin mudah didapat. Sebagian dari pengusaha wiraswasta internet yang paling berhasil adalah mereka yang mengoperasikan situs-situs porno di internet. Demikian pula foto-foto konvensional ataupun video porno, sebagian situs hiburan permainan video "interaktif". Karena sifatnya internasional, internet memberikan sarana yang mudah kepada konsumen yang tinggal di negara-negara di mana keberadaan pornografi dan pornoaksi dilarang sama sekali oleh hukum, atau setidak-tidaknya mereka yang tidak perlu memperlihatkan bukti usia, dapat dengan mudah mendapatkan bahan-bahan seperti itu dari negara-negara lain di mana  pornografi dan pornoaksi legal atau tidak mengakibatkan tuntutan hukum. Lihat  pornografi dan pornoaksi internet. Biaya yang murah dalam penggandaan dan penyebaran data digital meningkatkan terbentuknya kalangan pribadi orang-orang yang tukar-menukar pornografi dan pornoaksi. Dengan munculnya aplikasi berbagi file peer-to-peer seperti Kazaa, tukar-menukar pornografi dan pornoaksi telah mencapai rekor yang baru. Pornografi dan pornoaksi gratis tersedia secara  besar-besaran dari para pengguna lainnya dan tidak lagi terbatas pada kelompok-kelompok   pribadi. Pornografi dan pornoaksi gratis dalam jumlah besar di internet juga disebarkan dengan tujuan-tujuan pemasaran, untuk menggalakkan para pelanggan yang membeli program  bayaran. Sejak akhir tahun 1990-an, "porno dari masyarakat untuk masyarakat" tampaknya telah menjadi kecenderungan baru. Kamera digital yang murah, perangkat lunak yang kian  berdaya dan mudah digunakan, serta akses yang mudah ke sumber-sumber bahan porno telah memungkinkan pribadi-pribadi untuk membuat dan menyebarkan bahan-bahan porno yang dibuat sendiri atau dimodifikasi dengan biaya yang sangat murah dan bahkan gratis. []

BAGIAN KE-DUA PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI PERPEKTIF HUKUM ISLAM A. Teks Al-Qur'an Islam memberikan definisi yang jelas dan tidak mengambang tentang pornografi dan  pornoaksi. Berkaitan dengan pornografi dan pornoaksi, laki-laki dan perempuan dalam agama Islam terdapat aturan tentang cara berpakaian dan kode tingkah laku yang Islami, yang secara umum berlandasakan pada surah al-Nûr ayat 30-31 dan al-Ahzâb 59 yaitu;

‫ك‬‫ل‬‫ذ‬‫ن‬‫ه‬‫يب‬‫ا‬‫ن‬‫ج‬ ‫م‬‫ن‬‫ه‬‫ع‬‫ي‬ ‫ين‬‫د‬ ‫ين‬‫م‬‫ؤ‬‫ل‬ ‫اء‬‫س‬‫و‬‫ك‬‫و‬‫ات‬  ‫ك‬‫ج‬‫و‬‫ز‬‫أ‬‫ل‬‫ق‬‚‫ب‬‫ل‬‫ا‬‫ه‬‚‫ا‬  59 ‫ا‬‫ي‬‫ح‬‫ر‬‫ر‬‫ف‬‫غ‬‫ل‬‫و‬ ‫ا‬ ‫ن‬‫ذ‬  ‫ؤ‬‫ا‬‫ن‬ ‫ى‬ "Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak  diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang." 20  An Nûr 30-31

‫ل‬‫إ‬‫ه‬‫ز‬ ‫ى ل‬‫ك‬  ‫ذ‬‫ ل‬‫ه‬‫وج‬‫ظ‬‫و‬‫ف‬‫ار‬   ‫ص‬‫ن‬‫م‬‚‫ض‬ ‫ين‬‫م‬ ‫ؤ‬‫ل‬‫ق‬ ‫ا م‬‫م‬‫و‬‫ن‬‫ه‬‫ائ‬‫س‬‫و‬ ‫ن‬‫ه‬‫ت‬‫خ‬‫و‬ ‫ن‬‫ه‬‫خ‬  ‫إ‬‫و‬ 30‫ص‬  ‫ا‬›‫ي‬‫ب‬‫خ‬ ‫ى‬‫ع‬   ‫و‬‫ه‬‫ل‬ ‫ ظ‬‫ن‬‫ل‬‫ف‬¡‫لط‬‫ا‬‫و‬ ‫ج‬¡‫ل‬‫ن‬  ‫م‬‫ة‬‫ر‬‫ل‬‫ول‬‫غ‬‫ي‬ ‫ين‬‫ا‬‫ل‬‫و‬‫ن‬‫ه‬‫ا‬ ‫ل‬‫ى‬‫ل‬‫إ‬‫ت‬ ‫و‬‫ن‬‫ه‬‫ز‬   ‫ن‬‫م‬‫ين‬‫ف‬‫ا‬   ‫م‬‫ي‬‫ل‬ ‫ن‬‫ه‬‫ج‬‫ر‬‫أ‬ ‫ن‬ ‫ا‬‫ل‬‫ض‬ ‫و‬‫اء‬ ‫س‬¡‫ل‬‫ر‬‫ع‬ 31‫ف‬‫ت‬‫ل‬ ‫م‬  ‫ؤ‬‫ل‬‫ا‬‫ا‬‫ه‬‫ي‬ ‚‫ج‬ "Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain 20

al-Ahzâb; 59

kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau  putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera  saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanitawanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang  tidak mempunyai keinginan terhadap wanita atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui  perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. " 21 Dari ayat diatas terlihat dengan jelas bahwa Islam menghubungkan prilaku sosiomoral, ruang sakral dan ajaran tentang pakaian. 22 Dua poin yang dapat diambil dari teks diatas adalah: Pertama, konsep ghadhdh al-bashâr  menundukkan pandangan dan hifzh al-furûj menjaga atau menutupi organ genital merupakan sesuatu yang sentral dalam kode tersebut .  Kedua, laki-laki disebut terlebih dahulu agar mematuhi perintah-perintah ini yaitu mengendalikan tatapan mereka pada wanita dan menekan hasrat mereka pada saat berinteraksi dengan wanita yang bukan muhrimnya. Selanjutnya dalam teks tersebut juga memerintahkan hal yang sama pada wanita untuk menundukkan pandangan mereka dan menyembunyikan genital mereka. Dalam ayat tersebut signifikasi ajaran khusus yang disampaikan dalam teks diatas terdapat pada konteks rasionalnya yang ditunjukkan pada laki-laki dan perempuan. Dimana dalam hal ini konsep seksualitas merupakan suatu aspek yang normatif baik dalam kehidupan  biasa dan dalam kehidupan religius. 23 Disitu dengan jelas tidak kontradiksi antara menjadi makhluk religius sekaligus menjadi makhluk sosial. Atau dalam pengertian lain mengakomodasi dua kualitas manusia yaitu secara seksualitas dan religius sebagai suatu yang normatif sementara disisi lain berusaha untuk memenuhi ideal tertinggi dari prilaku sesiomoral.24 Aspek lainnya dalam ayat diatas adalah berkaitan dengan konteks heteroseksualitas,  privasi, dan erotisme. Dalam ayat tersebut memerintahkan agar wanita untuk tidak  menampakkan kecantikan dan perhiasan mereka, kecuali dengan orang-orang yang telah sah untuk berhubungan seksual dengannya suami, atau pada orang yang dilarang untuk itu famili yang telah ditentukan, atau yang tidak mungkin untuk itu.

21

 An Nûr; 30-1

22

Al-Qur'an paling tidak menggunakan tiga istilah untuk pakaian yaitu libâs, tsiyâb, dan sarabîl . Kata libâs ditemukan sebanyak sepuluh kali, tsiyâb ditemukan sebanyak delapan kali, sedangkan sarabîl ditemukan sebanyak tiga kali dalam dua ayat. Kata libâs merujuk pada fungsi pakaian sebagai penutup. Sementara itu katakata tsiyâb ide dasar adanya pakaian adalah untuk dipakai, yang terdapat dalam diri manusia yaitu tertutupnya aurata. Lihat. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an; Tafsir Maudhu'i atas Palbagai Persoalan Umat , [Bandung; Mizan, 2000], h. 155-156. 23

Fedwa El Guindi, Jilbab; Antara Kesalehan, Kesopanan Dan Perlawanan, [Jakarta; Serambi Ilmu Semesta, 2003], h. 221. 24 Fedwa El Guindi, Jilbab; Antara Kesalehan, Kesopanan Dan Perlawanan, Ibid ., h. 222.

Terkait hal tersebut kata-kata jilbab25 diatas merujuk pada pakaian yang panjang dan longgar. Yaitu pakaian yang tidak menonjolkan bentuk lekuk tubuh dari si pemakai. Dan pada  perkembangan selanjutnya,  jilbab ini kemudian memiliki posisi yang penting yaitu sebagai simbul identitas sekaligus resistensi. 26 Sementara itu istilah jilbab diterjemahkan untuk wanita muslimah di Indonesia lebih umum digunakan untuk corak pakaian Islam tertentu, walaupun maknanya tidak konsisten ada yang mengatakan sebagai tutup kepala .27 Brenner menemukan  bahwa " pakaian ini sudah umum diketahui sebagai corak baru pakaian Islam yang di Impor  dari Timur Tengah dan dikenakan oleh wanita muda sebagai kebalikan dari pakaian tradisional sarung, kebaya, dan selendang kepala longgar yang dipakai oleh wanita tua di  Indonesia" .28 Hal yang terpenting dalam menyoroti tentang pornografi dan pornoaksi dan menjadi intinya dalam dunia Islam adalah mengenai konsep aurat . Dan inilah yang kemudian menjadi titi sentral dalam pembahasan tentang pornografi dan pornoaksi dalam perspektif Islam. Aurat   berasal dari bahasa Arab yang secara literal berarti celah, kekurangan, sesuatu yang memalukan atau sesuatu yang dipandang buruk dari anggota tubuh manusia dan yang membuat malu jika dipandang.29 Dalam al-Qur'an lafal aurat disebut empat kali, dua kali dalam bentuk tunggal mufrad dan dua kali dalam bentuk plural jama'. Bentuk tunggal disebut dalam surah QS. al-Ahzâb 13;

‫ب‬‫ل‬‫ه‬  ‫م‬› ‫ذ‬‫س‬ ‫أ‬ ‫و‬‫ج‬‫ار‬‫ل‬‫ا‬‫ا م‬‫ا‬ ‫ل‬‫ث‬ ‫ه‬‫م‬ ›‫ة‬‫ف‬‫ائ‬‫ال‬  ‫ذق‬‫إ‬‫و‬ 13 ‫ر‬‫ا‬‫ل‬‫إ‬‫د‬‫و‬ ‫إ‬ ¯‫ر‬‫ا‬›‫ر‬ ‫م‬‫و‬‫ع‬  ‫ا‬‫ت‬‫ي‬‫إ‬  ‫ل‬  " Dan ingatlah ketika segolongan di antara mereka berkata : "Hai penduduk Yatsrib Madinah, tidak ada tempat bagimu, maka kembalilah kamu". Dan sebahagian dari mereka minta izin kepada Nabi untuk kembali pulang dengan berkata: "Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka tidak ada penjaga". Dan rumah-rumah itu sekali-kali tidak  terbuka, mereka tidak lain hanyalah hendak lari ." 30 Dan dalam bentuk jamak disebut dalam surat QS. an-Nûr 31 dan 58;

25

Kata "jilbab" yang secara leksikal diartikan sebagai "penutup" dalam arti menutupi" atau menyembunyikan atau menyamarkan. Sebagai kata benda, kata ini digunakan untuk empat ungkapan, Pertama, kain panjang yang dipakai wanita untuk menutup kepala, bahu dan kadang-kadang muka; Kedua, rajutan  panjang yang ditempelkan pada topi atau tutup kepala wanita, yang dipakai untuk memperindah atau untuk  menutupi kepala; Ketiga, bagian tutup kepala yang melingkari wajah terus sampai kebahu, Keempat , secarik  testil tipis yang digantung untuk memisahkan atau menyembunyikan sesuatu yang ada di baliknya; sebuah gorden. 26

Echols dan Shadily, Kamus Indonesia-Inggris, Cet II, [Jakarta; Gramedia Pustaka, 1994], h. 692.

27

Lih. Kamus Indonesia Ingrris, [Cet ke-3], ed Echols dan Shadily, 1988, h. 24.

28

Brenner, Suzanne, Reconstructing Self and Society, Javanese Muslim Women and "The Veil", [Amirican Ethnologis, 1996], h. 97. 29

Muhammad bin Abi Bakar ar-Râzi, Muhtar ash-shilhah, [Homes, Al-Irsyad, 1989], h. 345, Lihat pula Ibrahim Anis dkk, Al-Mu'jam al Wasith, Juz II, h. 636. 30

QS. al-Ahzâb 13

 030. Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan  pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". 031. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan  pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan  perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau  putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui  perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung Surat QS. Nûr ayat 58;

‫م‬‫ل‬ ‫ب‬  ‫ل‬ ‫ن‬‫ل‬‫و‬‫ا‬‫م‬ ‫ن‬‫ل‬  ‫ذ‬‫أ‬‫س‬‫ي‬‫ل‬‫م‬‫ل‬ ‫ء‬‫ا‬‫ن‬ ‫ه‬‚ ‫ا‬  ‫د‬‫ن‬‫و‬‫م‬‫ي‬‫ه‬‫لظ‬ ‫ن‬‫م‬‫ا‬‫ض‬ ‫ي‬ ‫ت‬‫ين‬‫و‬‫ح‬‫ف‬‫ل‬‫ا‬ ‫ب‬‫ق‬‫ن‬‫م‬¯‫م‬ ‫ا‬   ‫ن‬‫د‬›‫ا‬   ‫ج‬‫ه‬‫ع‬‫ي‬‫ا‬ ‫ل‬‫و‬‫ي‬‫ع‬ ‫ي‬‫ل‬‫ل‬¯‫ر‬‫ع‬‫اء‬‫ا‬ ‫ش‬‫ل‬ ‫ا‬    ‫ع‬ ‫ل‬‫و‬ ‫ا‬‫آ‬‫ل‬‫ل‬‫ل‬‫ك‬ ‫ن‬¯  ¡‫ل‬‫ي‬ ‫ب‬  ‫ى‬‫ع‬‫ض‬‫ي‬ ‫ع‬ 58‫ي‬‫ح‬›‫ي‬ "Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak lelaki dan wanita yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali dalam satu hari yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan  pakaian luar mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya'. Itulah tiga `aurat bagi

kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak pula atas mereka selain dari tiga waktu itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu ada keperluan kepada sebahagian yang lain.  Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." 31 Kata aurat dalam aurat dalam surah al-Ahzâb ayat 13 32 diartikan oleh mayoritas ulama' tafsir dengan celah yang terbuka terhadap musuh, atau celah yang memungkinkan orang lain untuk  menyerang. 33 Sedangkan aurat dalam aurat dalam surah an-Nûr 31 dan 58 diartikan sebagai sesuatu anggota tubuh manusia yang membuat malu jika dipandang, atau dipandang buruk untuk  diperlihatkan.34 Untuk itu syariat Islam mewajibkan perempuan perempuan agar menutup aurat al-sitr  aurat  al-sitr dan dan melarang al-tabarruj dan memperlihatakan perhisan didepan laki-laki yang bukan muihrim. Sebagaimana menutup aurat merupakan aurat merupakan kuawajiban yang di khususkan bagi perempuan, maka juga dijadikan prilaku menundukkan pandangan pandangan sebagai tanggung jawab kolektif  diantara perempuan dan laki-laki. Namun tanggung jawab laki-laki dalam menutup aurat  lebih kecil daripada tanggung jawab perempuan. Sementara itu tanggung jawab laki-laki dalam menundukkan pandangan lebih besar daripada tanggung jawab perempuan. Manusia sebagaimana dibuktikan oleh fakta sejarah, terlebih dahulu untuk mencari  pakaian untuk menutup aurat dan aurat dan tubuh. Kemudian ia mengambil peralatan untuk berhias setelah melampoi masa yang panjang dalam peradabannya peradabannya terutama t erutama di lingkungan masyarakat moderen-matrealistik yang mengarahkan pakaian perempuan pada tujuan lain hingga menjadikan senjata yang dapat merobohkan pagar-pagar kehidupan dan kesopanan. Berpakaian memiliki dua fungsi dalam kehidupan manusia yaitu, menutup aurat dan aurat dan sebagai perhiasan. Al-Qur'an telah menunjukkan arti penting dalam berpakaian dalam mewujudkan dua fungsi tersebut. Hal itu dapat kita temukan dalam teks surah QS. Thahâ ayat 118;

 ‫ا ت‬‫ل‬‫و‬‫ا‬‫ يه‬    ‫ت‬ ‫ا‬  ‫ل‬ ‫ك‬ ‫ك‬‫إ‬   ‫ل‬ ‫إ إ‬ "Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang" . telanjang" .35 Menutup aurat dan aurat dan memperlihatkan aurat memilki aurat memilki sisi psikologis yang mempengaruhi kepribadian laki-laki yang memandang dan perempuan yang dipandang. Dengan menutup aurat dapat aurat  dapat menumbuhkan kondisi yang harmonis keselarasan diantara aspek-aspek  kepribadian. Sementara itu, al-tabrruj adalah keadaan yang disertai berbagai gejala prilaku yang neurosis al-sulûk al'ishãbî .36 Sementara itu menutup tubuh t ubuh perempuan Muslim bukan hanya merupakan gerakan eksoteris yang tidak bermakna. Melainkan, pada hakikatnya adalah simbul kecintaan batin 31

QS. Nûr ayat; 58

32

Ayat tersebut berbicara mengenai beberapa orang yang enggan meninggalkan tempat tinggal untuk   berperang, karena merasa tempat tinggalmereka tidak aman untuk ditinggalkan. Kata mereka adalah celah [aurat] yang memungkinkan musuh untuk menyerang orang-orang yang tinggal ditempat itu, sehingga mereka untuk  tinggal disitu untuk menjaga celah tersebut, sehingga mereka perlu tinggal disitu untuk menjaga celah itu dan tidak perlu pergi berperang. 33

Al-Quthubi, Al-Jami'li-ahkâm Al-Quthubi, Al-Jami'li-ahkâm al-Qur'ân, al-Qur'ân, [Bairut; Dar al-Kutub al-"Ilmiyah, 1993], Juz XIV, h. 97-98. Lihat, Al-Quthubi, Al-Jami'li-ahkâm Al-Quthubi, Al-Jami'li-ahkâm al-Qur'ân, al-Qur'ân, Juz XII, h. 157 dan 201. 35 QS. Thahâ ayat 118 36 Yusuf Madan, Sex Edication Teens; Pendidikan Sex Remaja Dalam Islam, Islam, [Jakarta; Hikmah, 2004], h. 34

103.

 pada kesucian dan wujud kemampuan perempuan-perempuan Muslimah untuk  mengendalikan mengendalikan diri dan menguasai sejumlah motif yang berkaitan dengan seks pornografi dan  pornoaksi, perhatian diri sendiri, bentuk-bentuk pornografi dan pornoaksi, erotisme,  pornoaksi, dan berhias secara berlebihan. Aturan ini menghasilkan dampak positif yang pada akhirnya ditujukan untuk kebaikan  proses adaptasi perempuan Muslim dengan dirinya, seperti menambah keyakinan diri sendiri,  berusaha mendapatkan kehormatan dari orang lain, dan menghindarkan dari pandangan lakilaki seperti pada perempuaan yang tidak menutup aurat .37 Sebuah pengendalian diri yang diperoleh dari menutup aurat dapat aurat dapat membuahkan kemampuan menghindar dari " pergualatan " pergualatan tajam" tajam" dari kelebihan sahwat yang berbahaya berbahaya dan " pranata " pranata nilai" nilai" yang menata nilai 38 kepribadian dan prilaku kaum perempuan. Syariat menuntut perempuan secara keseluruhan dan secara khusus perempuan muslim agar menjaga kesucian diri diatas segala-galanya. Syariat menuntut untuk mengekspresikan dalam prilaku lahir dengan menutup tubuh, cara berbicara, berjalan, dan isyarat secara umum. Apalah arti sepotong kain apabila bertentangan dengan al-Qur'an Q.S. al Ahzâb 32;

‫ل‬ ‫ل‬  ‫ط‬‫ي‬‫ل‬ ‫ال‬‫ن‬ ‫ن‬‫ض‬ ‫ا‬‫ض‬ ‫ن‬‫ت‬ ‫ي‬ ‫ي ت‬‫ت‬ ‫ت‬‫إ‬ ‫إ‬‫ء‬ ‫اء‬‫س‬¡‫ل‬‫ل‬‫ن‬ ‫ن‬‫نم‬¯‫¯د‬‫د‬‫س‬ ‫لحس‬¡‫ب‬ ¡ ‫أ‬‫ب‬‫ل‬‫لء‬‫ا‬‫س‬‫ ا‬  ‫و‬ ‫م‬ ‫ام‬ ‫ل‬ ‫ق‬ ‫ق‬ ‫ن‬ ‫ن‬ ‫ق‬ ‫ق‬ ‫و‬ ›  ‫م‬ ‫م‬‫ب‬ ‫ب‬‫ق‬ ‫ق‬ 32 ‫ا‬ ‫و‬ " Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik." 39 Menutup aurat jika aurat jika diakaitkan dengan kebebasan dalam berekspresi aurat bukanlah aurat bukanlah  penghalang untuk berkreatifitas, karena Islam menghargai kebebasan kebebasan seseorang untuk   berekspresi, namun dalam koridor syariat. Islam juga mengakui bahwa setiap manusia memiliki naluri seksual, namun mengarahkannya supaya supaya disalurkan dalam cara-cara sesuai syariat. Islam sebagai mabda' ideologi mabda'  ideologi memiliki cara-cara yang khas, untuk menyelesaikan  permasalahan yang dihadapi manusia tanpa menelantarkan kebutuhannya yang lain, dan juga tanpa mengabaikan kebutuhan manusia lainnya dalam masyarakat. Oleh karena itu, Islam tidak sekadar menetapkan agar tak ada seorang pun dalam wilayah Islam yang mengumbar aurat  mengumbar aurat , kecuali dalam hal-hal yang dibenarkan syariat; namun Islam juga memberikan satu perangkat agar ekonomi berjalan dengan benar, sehingga tak   perlu ada orang yang harus mencari nafkah dalam bisnis pornografi dan pornoaksi atau  pornoaksi. Islam juga memberikan tuntunan hidup dan aturan bermasyarakat yang akan menjaga agar setiap orang memahami tujuan hidup yang sahih serta tolok t olok ukur kebahagiaan yang hakiki sehingga demand  permintaan  permintaan pada bisnis pornografi dan pornoaksi pun akan merosot tajam. Bagaimanapun, Bagaimanapun, setiap bisnis hanya akan berputar kalau ada supply ada  supply penawaran  penawaran dan demand permintaan. demand permintaan. Karena itu, keduanya harus dihancurkan. Untuk itu kerja dakwah dan  pemerintah mendidik umat untuk berpola sikap dan perilaku Islami. Media massa akan 37

Majalah " Affaf, Edisi 32, Tahun ke-3, Bulan Mei, 1990.

38

Majalah " Affaf , Ibid .,.,

39

Q.S. al Ahzâb; 32

diarahkan agar tidak lagi memprovokasi umat dengan stimulasi-stimulasi yang merangsang kebutuhan pornografi dan pornoaksi atau pornoaksi. Demikian juga keberadaan berbagai sarana hiburan yang selama ini menjadi ajang pertemuan pelaku kemaksiatan akan dibersihkan, tanpa harus merusak fisiknya. Setelah langkah-langkah tersebut dilakukan, setelah negara mengatasi masalah di sisi  supply penawaran dengan perbaikan pendidikan dan ekonomi, kemudian mengatasi masalah di sisi demand  permintaan  permintaan dengan menghilangkan "para provokator"-nya, tetap ada yang nekad melanggar hukum, maka negara tak akan ragu-ragu lagi menerapkan sanksi represif. Hukuman jilid atau rajam akan diterapkan kepada pezina. Hukuman ta'zir akan ta'zir  akan diterapkan  bagi para pengelola dan pendukung bisnis ini. Secara spesifik berikut beberapa pendapat dari para mufasir mengenai aurat   perempuan terkait dengan pandangan pornografi dan pornoaksi yang terkait dengan Surrat an Nur 30-31;

1. Tafsi Tafsirr al-Mu al-Munir nir ; Sur Surat at al-Nu al-Nurr 30-31 30-31 An-Nur 30 Afirmasi ayat diatas dengan kata “min” mengerucut pada fenomena  ghadul bashar  menundukkan pandangan dalam realita yang cakupannya cenderung lebih luas, dalam arti  praktek    praktek   ghadul bashar mengalami bashar  mengalami kelonggaran, karena melihat individu yang terkualifisir  dengan muhrim dengan batasan tertentu yaitu selain daerah pusar hingga lutut dibolehkan, demikian halnya dengan memandang wajah seorang perempuan dan telapak tangannya, serta kedu keduaa tela telapa pakk kaki kaki dala dalam m sala salahh satu satu riway riwayat at.. Seda Sedang ngka kann prih prihal al  farj sangat sangat terbatas terbatas sebaga sebagaima imana na yang yang disiny disinyali alirr dalam dalam kit kitab ab al-Ka al-Kasya syaf. f. Dengan Dengan demiki demikian an meliha melihatt sesua sesuatu tu tidaklah dilarang kecuali pada hal-hal tertentu, sebaiknya jima’ dilarang dengan pengecualian, dengan bahasa lugas asal hukum prihal  farj adalah haram, adapun hukum asal memandang sesuatu adalah adalah mubah boleh. Adapun instruksi menundukkan menundukkan pandangan pandangan didahulukan didahulukan dari  perintah menjaga farj menjaga  farj adalah karena pandangan merupakan merupakan starting point dari penyakit zina. Islam adalah agama yang solutif yang memberikan tuntutan dalam segenap segmen kehidupan manusia. Islam menawarkan sulusi alternatif jika seseorang tidak sengaja melihat hal-hal yang diharamkan, maka ia diwajibkan menundukkan pandangan dan mengalihkan dengan cepat. Muslim meriwayatkan dalam kitab Sakhihnya, Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmizi dan Nasa’idari Jarir bin ‘Abdillah al-Bajaly ra berkata: “Aku bertanya pada Nabi saw prihal   pan panda dang ngan an mata mata yang yang terj terjad adii seca secara ra spon sponta tani nita tas, s, beli beliau au meme memerin rinta tahk hkan an aku aku untu untuk  k  mengalihkan mataku”. Abu Dawud juga meriwayatkan dari Buraidah berkata; Rasulullah saw  bersabda; “Wahai Ali, jangan engkau ikuti satu pandangan dengan pandangan lain, kamu  boleh memandangnya memandangnya untuk kali pertama, yang kedua adalah keharaman bagimu”. Hal yang yang demik demikian ian dim dimak aksud sudka kann untuk untuk mengij mengijauw auwan antah tahkan kan benih benih kebaik kebaikan an dan memi memini nima malis lisir ir deka dekade dens nsii mo mora rall serta serta memb memben ente teng ngii dari dari kawa kawahh keni kenist staa aann dan dan dosa dosa Sebahagian orang salaf bertutur pandangan merupakan merupakan panah yang langsung menusuk kehati. Oleh karenanya Allah mensinergikan dengan dua instruksi menjaga kemaluan dan pandangan dalam satu  fremewark  al-Nur ayat 30. Riwayat dari Abi Ummamah ra. Dari Nabi saw juga mengafirmasikan bahwa tuntutan yang demikian menumbuh suburkan nilai-nilai kebaikan,  Nabi bersabda; “Seseorang muslim ketika melihat keindahan dari kaum Hawa, dan kemudian menundukkan pandangannya, niscaya Allah akan menumbuh kembangkan prosesi ibadah yang penuh dengan kenikmatan baginya”.

Surat An-Nur : 31

“Tunduklah pandanganmu dari selain suamimu, dan jagalah kemaluanmu dari zina seperti  sihaq”. Implikasi dari perintah tersebut adalah keharaman bagi perempuan untuk  memandang laki-laki asing dibarengi getara syahwat atau tidak, menurut pendapat mayoritas ulama’. Hal ini dilandasi dengan dalih riwayat Abu Dawud dan al-Tirmidzi dan Ummu Salamah, “Bahwasanya ia sedang berada di rumah Rasulullah saw dan maimunnah dan kemudiaan ibn Ummi Maktum juga mendatangi rumah Nabi tersebut. Kisah ini terjadi pasca   perintah hijab Rasulullah saw bersabda: “Berhijablah darinya, akupun bertanya, “Wahai Rasululah bukankah ia orang tua yang tidak bisa melihat dan mengetahui kami?” Kitab alMuwatho’ meriwayatkan dari Aisyah bahwasanya ia menghijabi dirinya dari orang buta, dikatakannya padanya “Sesungguhnya ia tidak bisa melihatmu?” Aisyah menjawab : “ akan tetapi aku bisa melihatnya”. Sebagian ulama’ lain membolehkan kaum perempuan memandang laki-laki asing tampa syahwat kecuali daerah pusar hingga lutut dengan dasar argumentative riwayat dan sakhih Bukhari dan muslim bahwa Rasululah saw memandang orang-orang Habsy bermain  pada hari raya di masjid, adapun Aisyah melihat mereka dibelakang Nabi, Nabi menutupinya dari mereka hingga Aisyah merasa bosan dan pulang. Pendapat ini lebih memberikan kemudahan dimasa kita. Menyoroti perintah hijab, kaum cendekiawan yang mengusung   pendapat ke dua ini kebolehan perempuan melihat laki-laki lain tampa syahwat mengintepretasikan intruksi berhijab dari ibn Ummi Maktum dalam koridor nadb sah/boleh. Adapun tindakan Aiysah sebagaimana yang tergambar dalam riwayat diatas lebih digambarkan karena sifat wara’ yang terpatri dalam dirinya. Interpretasi ini dikuatkan oleh fenomena keseharian kaum Hawa yang berpergian ke pasar dan masjid serta dalam perjalanan yang mengenakan cadar sehingga kaum Adam tidak melihatnya, disisi lain kaum lelaki tidak  diperintahkan mengenakan cadar sehingga kaum perempuan tidak melihatnya, maka hal yang demikian menunjukkan adanya perbedaan hukum antara kaum Hawa dan Adam. Berikut beberapa hukum-hukum tertentu bagi kaum Hawa : a. Tidak memperlihatkan zinah atau perhiasan diasaat ia memakai pada orang asing. Zinah adalah semua entitas yang dipergunakan untuk memperindah dan mempercantik  diri. Konsekuensi logisnya adalah keharaman membuka pos-pos zinah, yaitu dengan menggunakan kata zinah secara mutlak namun dengan stresing penafsiran pada ‘tempat-tempat zinah’. Dalih yang mendukung adalah ayat sesudahya yaitu----Interpretasi yang kedua penafsiran lafadz zinah dengan bagian-bagian zinah perhiasan- merupakan penafsiran yang lebih tepat, karena zinah secara literal dengan kandungan yang terangkum secara metaforis yaitu “daerah-daerah zinah” dapat didapati kerangka ayat ini, karena sasaran larangan tersebut terfokus pada larangan menampakkan bagian-bagian tubuh yang merupakan pos-pos bertenggernya perhiasan seperti dada, leher, lengan dan betis. Adapun stetemen ---terporos pada wajah, dua telapak tangan dan cincin sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibn Abbas dan ulama’ lain. Hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya dari Aisyah ra. Bahwasanya Asma’ binti Abi Bakar menemui Nabi saw, dan dalam saat itu Aisyah memakai pakaian yang ringan riqa’ kemudian Nabi memalingkan muka dan bersabda: “Wahai Asma’, “Sesungguhnya seorang wanita itu mengalami masa haidh, maka tidak dibolehkan menampakkan bagian tubuhnya kecuali ini” Nabi menujuk wajah dan telapak tangan. Hadits Mursal. Bertolak dari hadits di atas, Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat demikian, sama halnya dengan Iman Syafi’i dalam suatu qaulnya bahwa wajah dan kedua telapak  tangan bukan aurat. Akhirnya makna ayat---adalah bagian tubuh yang biasa nampak   pada tataran realities.

Diriwayatkan dari Abu Hanifah ra bahwa kedua telapak kaki tidak terkualifisir sebagai aurat juga, karena menutupi keduanya lebih berat dari kedua telapak tangan terutama  bagi orang-orang desa. Sementara itu Ahmad Imam Syafi’i dalam salah satu qaulnya menyatakan bahwa seluruh tubuh manusia adalah aurat berdasarkan hadits “pandangan yang terjadi secara spontanitas” dan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibn ‘Abbas bahwa Nabi saw meninggalkan al-Abbas pada pada hari  Nahr  di belakangnya, al-Fadhl memandangi seorang perempuan ketika ia bertanya  padanya, kemudian Nabi saw memegang dagu al-Fadhl dan memalingkan wajahnya dari melihat perempuan tersebut. Berdasarkan hadits ini, intepretasi ayat adalah yang nampak dari tubuh dengan tampa sengaja. Adapun pendapat yang rajih dalam perspektif ilmu fiqih dan syariat adalah bahwa wajah dan kedua telapak tangan tangan tidak terklasifikasi dalam aurat jika tidak  menimbulkan fitnah, namun jika terciptakan kebobrokan maka menutupinya merupakan kewajiban. Adapun argumentasi pendapat golongan kedua seluruh badan merupakan aurat lebih dimobilisasi oleh sifat wara’ dan sifat berhati-hati dari godaan setan. Kendati demikian memandang orang asing dalam berbagi momen dibolehkan seperti dalam prose khitbah, persaksian, mu’malah, pengobatan dan kegiatan belajar  mengajar. Dalam kesempatan tersebut, kebolehan melihat hanya terbatas pada wajah dan kedua telapak tangan saja, demikian halnya dengan seorang dokter lelaki diperkenankan melihat bagian-bagian tubuh yang harus diobati jika tidak terdapat dokter perempuan.  b. Menghamparkan kain kerudung ke dadanya untuk menutupi rambut kepala, leher dan dada. Perintah ini merupakan tuntutan untuk menutup bagian tubuh yang tergolong  perhiasan batiniyah bagi kaum hawa, Bukhari menyatkan dari Aisyah ra berkata : “Allah menyayangi perempuan dari kaum Muhajirin yang awal karena ketika turun ayat dengan serta merta mereka menyobek kain sarungnya dan menutupi dengan sobekan kain tersebut”. c. Tidak memperhatiakan perhiasan yang tersembunyi kecuali pada suami mereka. Sudah barang tentu, perhiasan yang diklaim tersebut adalah perhiasan yang dimaksudkan untuk bersenang-senang. Menampakkan perhiasan tersebut juga diperkenalkan pada mereka yang tersurat dalam ayat yang dikenal dengan istilah muhrim, namun demikian kebolehannya ini tidak boleh di jugde secara berlebihan. Muhrim terbagi menjadi dua macam yaitu muhrim yang didasarkan pada hubungan nasab dan muhrim yang dijalin atas perkawinan, yaitu mertua pihak laki-laki dan anak  suami. Ayat diatas tidak menyebutkan saudara susuan, namun sunnah mengambaikan status saudara susuan sebagai muhrim sebagaimana yang disinyalir dalam riwayat Ahmad, al-Shaykhani Bukhari dan Muslim, Abu dawud, al-Nasai, dan Ibnu Majah dari Aisyah; “ Diharamkan bagi hubungan yang dilandasi atas susuan seperti halnya  yang didasari atas hubungan kekrabatan”. Kelanjutan dari ayat di atas merupakan dengan pengertian memperbolehkan empat golongan yang disiyalir memiliki status kesamaan status sebagai muhrim dalam hal kebolehan bagi wanita untuk memperlihatkan zinah selain daerah pusar hingga lutut. Keempat golongan ini adalah wanita, budak, dan pengikut yang tidak memiliki hasrat  pada perempuan seperti pengikut yang tidak memiliki syahwat ketertarikan pada kaum hawa serta anak yang tidak memahami kondisi kaum perempuan, batasan aurat dan hubungan biologis.

Kendati demikian konsep-konsep diatas menyalut friksi yang signifikan dikalangan ulama’. Yaitu yang terurai dalam penjelasan:  Wanita Mayoritas ulama’ mengintepretasikan lafadz “al-nisa’ dengan kaum wanita dalam agama seagama dan bukan mereka yang tergolong sebagai ahli dzimah, oleh karenanya seorang muslimah tidak dibolehkan menunjukkan bagian tubuhnya selain wajah dan dedua telapak tangan didepan perempuan kafir. Hal ini dimaksudkan untuk  menghindari perempuan kafir memiliki status yang akuivelen dengan lelaki asing bagi seorang muslim. Said bin Mansur, Ibnu Munzir dan al-Baihaqi dalam kitab Sunan-nya dari Umar bin Khatab ra. Bahwasanya ia menulis surat pada Abi ‘Ubaidah bin al-Jarrah ra. : “Amma Ba’d, sesungguhnya telah sampai kabar bahwasanya kaum muslimah memasuki kamar  mandi bersamaan dengan perempuan musyrik, maka laranglah olehmu, karena tidak  dihalalkan bagi seorang muslimah yang beriman kepada Allah dan hari akhir melihat auratnya kecuali yang seagama dengannya”. Adapun mayoritas madzhab Hambaliyah menyatakan bahwasanya wanita yang termaktub dalam ayat tersebut adalah wanita secara umum baik dari kalangan muslim dan kafir, dengan demikian penyandaran ayat yang tertulis dalam ayat ---menunjukkan musyabahah keserupaan/kemiripan yaitu perempuan yang semisalnya, akhirnya bisa disimpulkan bahwa aurat perempuan pada sesamanya adalah antara  pusar dan lutut saja.   Budak  Sedangkan budak yang terangkum dalam ayat tercakup kaum Adam dan Hawa sebagaimana pendapat mayoritas ulama’. Riwayat Ahmad, Abi Dawud, Ibn Mardawaih, dan al-Baihaqi dari Anas ra menguatkan statemen diatas. Dari Anas ra. Bahwasanya Nabi membawa seorang budak yang akan diberikan pada Fatimah memakai kain yang jika ia menutupi bagian kepalanya kain tersebut tidak menutupi kakinya, dan sebaliknya apabila ia mengenakan untuk menutupi kakainya, kain itu tidak menutupi kakinya, ketika Nabi saw melihat kejadian tersebut beliau bersabda: “ Hal itu dibolehkan bagimu, karena sesungguhnya ia adalah layaknya ayahmu dan anakmu". Ulama’ lain mengafirmasikan bahwa kebolehan tersebut dikhususkan bagi hamba sahaya perempuan, karena seorang budak samahalnya dengan laki-laki asing yang merdeka dalam konsepsi keharamannya.   Perempuan pengikut yang tidak memiliki syahwat  mereka adalah pengikut /pembantu yang bertujuan mencari sesuap nasi tampa indikator lain yaitu ketertarikan pada kaum perempuan. Dengan kaitan kelompok ini terjadi silang pendapat dalam mengidentifikasi secara spesifik. Sebagian ulama’   berpendapat bahwa mereka adalah orang yang telah mencapai usia lanjut dan mengalami masa manpouse. Dalam artian lain juga ditafsirkan sebagai setiap person yang tidak memiliki kepentikan pada kaum hawa, dan tidak dikhawatirkan menyulut fitnah dan mentranformasi karekteristik perempuan pada orang-orang laki red asing. Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan al-Nasa’i meriwayatkan Aisyah ra berkata: “Seorang laki-laki yang sudah impoten menemuai istri-istri Nabi saw, adapun mereka sahabat red mengkualifisirnya bagian dari kelompok yang tidak berhasrat pada  perempuan, kemudian Nabi saw masuk ketika laki-laki tersebut sedang menyebutkan sifat-ifat perempuan jika seorang perempuan datang, ia datang

 Anak Kecil  Anak kecil yang tidak mengetahui prihal kewaniataan dan batasan aurat dengan detail, dan tidak memiliki naluri biologis seksualitas akibat usia yang masih muda. Sedangkan anak yang terkualifisir sebagai remaja dan belum memasuki fase baligh, namun mampu bercerita hal-hal yang bermuasal dari daya penglihatan dan mampu mengidentifikasi orang buruk rupa, cantik, maka bisa dipastikan ia tidak  diperkenankan memasuki kawasan perempuan. Ulama’ lain berpendapat: “Seorang wanita dibolehkan menampakkan zinah perhiasannya dihadapan anak kecil kecuali jika anak tersebut memiliki naluri sensualitas pada   perempuan terlepas dari pencapaian usia remaja atau tidak pada sang anak. Patut diketahui kebolehan disini lebih longgar dari stetemen yang dimotori oleh pihak   pertama pengusung identifikasi yang pertama diatas Faktor-faktor yang melatarbelakangi tumbuh suburnya fitnah : “Perempuan dilarang menghentakkan kakinya ketika berjalan dengan harapan orang mengetahui detingan suara kaki, karena hal tersebut berpotensi memicu  fitnah, menarik perhatian, dan membangkitkan syahwat serta menyulut praduka keterkaitan perempuan tersebut dengan kefasikan. Dengan demikian, memperdengarkan gemrincing zinah perhiasan sama halnya mempertontonkan  zinah terseut dan bahkan menempati titik yang utama dari memperlihatkannya dari khalayak ramai. Sedangkan tujuan larangan ini tak lain adalah istruksi untuk   senantiasa menutupi perhiasan wanita.” 

2. Tafsir al-Thabary Al-Nur 30-31 Surah al-Nur 30 dan Surat al-Nur 31 19644. Ibnu Hamid bercerita kepada kami, dia berkata : Aahurn al-Mughairah  bercerita pada kami dari al-Hajj dari Ishaq, dari Ibn Mas’ud dia berkata: “Perhiasan terbagi atas dua macam perhiasan yaitu perhiasan yang dhahir seperti pakaian dan perhiasan yang tersembunyi samar yaitu gelang kaki, anting dan gelangtangan”. Terdapat interpretasi ayat yang sangat beragam, namun kandungan ayat yang lebih mengena adalah penafsiran dengan wajah dan kedua telapak tangan, kendati demikian  perhiasan lain seperti celak mata, cincin, gelang tangan dan kutek terangkum didalamnya. Patut diketahui, kami mengklaim bahwa pendapat diatas merupakan penafsiran yang utama dimaksudkan untuk mengkonvergensikan berbagai interpretasi ulama’ bahwasanya setiap individu yang melaksanakan sholat diwajibkan menutup aurat, dan seorang wanita diperkenankan membuka wajah dan telapak tangan diwaktu sholat, serta diharuskan baginya menutup seluruh bagian tubuhnya selain wajah dan kedua telepak tangan kecuali setengah lengannya sebagaiman dalam riwayat Nabi yang membolehkan memperlihatkan sebagian lengan tangannya. Pendapat yang demikin perupakan perpaduan dari interpretasi atas ayat, sehingga dapat dipahami bahwa seorang perempuan dan lelaki tidak dilarang memperlihatkan  bagian tubuhnya selama tidak terkualifir sebagai aurat tidak diharamkan. Akhirnya apabila diperhatikan bagian badan tertentu dibolehkan, maka bisa dipastikan bahwa bagian tubuh tersebut merupakan pemaparan diskriptif atas ayat illa ma dlhoharo minha. 19671. Al-Qasim bercerita kepada kami , dia berkata : al-Husain bercerita kepada kami , dia berkata; Hajjaj bercerita kepadaku, dari ibnu Juraij prihal firman Allah “’ aw nisa’akum” dia berkata: “Telah sampai padaku bahwa ayat ini terlokalisasi pada perempuan muslim: “Tidak dihalalkan bagi perempuan musyrik melihat aurat muslimah kecuali jika

 perempuan musryik melihat aurat muslimah kecuali jika perempuan musryik tersebut budak  sahayanya yang perempuan, hal ii terangkum dalam ayat ‘aw ma malakat ‘aymanukum”.

3. Tafsir al-Maraghi Surat al-Nur 30-31 Surat al-Nur 30-31 Intepretasi ayat diatas memiliki kesamaan dengan penafsiran yang tertulis dalam tafsir alMunir, kecuali ayat 31 dalam kalimat----yaitu yang sejatinya dipersiapkan menjadi pembantu.

4. Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir Surat al-Nur 30-31 a. Surat al-Nur: 30 Ayat ini mengupas tuntas kehalalan dan keharaman mata bagi komunitas kaum muslim. Seperti diketahui, surat an-Nur ayat 30 ini menyebutkan secara eksplisit   penggambaran istruksi menundukkan pandangan dengan afirmasi pada kebolehan memandang obyek obyek tertentu hal ini diafirmasikan dengan penulisan huruf “min” dalam konstruksi ayat yang mengindikasikan ketidakharaman melihat dengan intensitas material tertentu, mak bisadiptikan bahwa konsepsi  gadhul bashar  terbagi atas berbagi strata yaitu  ghadul bashar yang mencapai pada tingkatan wajib dan tidak wajib. Dengan demikian konsep  ghadul bashar mencakup praktek memalingkan pandangan dari hal-hal yang sejatinya dibenci oleh khalayak umum karena menyalahi norma, seperti melihat seluruh sudut rumah beda halnya dengan melihat sesuatu yang disinyalir sebagai tindakan amoral. Hadits Umar bin Hatab memaparkan kisah seorang ---- Nabi saw memasuki ruangan, maka aku menggerakkan mataku keatap rumah, kemudian aku melihat pakaian yang tergantung.  b. Surat an-Nur 31 Zinah bibagi menjadi dua macam yaitu khalqiyah natural sesuai dengan fenomena  pembawaan asal dan muktasabah non natural. Kategori pertama sebagai wajah, kedua telapak  tangan, sebagian setengah lengan tangan, sedangkan perhiasan yang non natural ialah entitasentitas yang sejatinya ditujukan untuk mempercantik diri seperti pakaian yang glamour,  permata, celak dan kutak dari tumbuhan inai. Zinah diartikan sebagai pakaian dalam surah alA’raf. Perhiasan tersebut juga dimaksudkan sebagaimana firman Allah. Adapun tazin mempercantik diri menambah aura keelokan perempuan, dan bisa dipastikan akan menarik   perhatian indra penglihatan, kareana memperindah diri merupakan suatu kondisi yang sengaja dilakukan untuk menampilkan fenomena yang lebih indah, oleh karenanya kaum hawa dilarang mempertontonkan perhiasannya kecuali dalam komunitas kaum adam yang tidak  mempunyai ketertarikan pada kaum hawa akibat kedekatannya sebagai muhrim karena nasab dan perkawinan. Kendati demikian keharaman memaperlihatkan perhiasan dihukumi secara mutlak, yaitu kebolehan memperlihatkan perhiasan yang sejatinya terlihat, yakni bagian-bagian yang  jika diwajibkan menutupinya akan memberatkan perempuan atau bagian tersebut jika tidak  ditutupi menimbulkan konsekuensi yang sulit, yaitu perhiasan yang tidak wajib di tutupi ditempat kerja seperti celak, kutek dan cincin. Ibnu al-Araby berkata :

“Perhiasan terbagi menjadi dua, khalqiyah sesuai dengan asal penciptaan dan mushtona’ah yang mengalami sebuah proses perubahan. Adapun perhiasan yang tegolong dalam kholqiyah secara global adalah sebagian besar anggota badan perempuan. Sedangkan bagiantubuh secara spesifik seperti wajah, pergelangan tangan, lengan, bagian atas, punting susu, paha dan rambut. Adapun kategori perhiasan yang kedua musthona’ah adalah perhiasan yang lazim dipakai oleh kaum Hawa seperti pakaian yang modis warna warni, permata, celak kutek dari tumbuhan Inay dan siwak. Perhiasan kholqiayah sebagai---adalah perhiasan yang berpotensi  pada tumbuh suburnya titik kesulitan jika perempuan menutupinya dihukumi wajib seperti wajah, kedua telapak tangan dan kaki. Sedangkan perhiasan yang khofi tersembunyi merupakan a contrario dari perhiasan yang dhahir, seperti paha bagian atas, pergelamgan tangan, lengan bagian atas, leher dan kedua telinga. Adapun perhiasan mushthana’ah yang dhahir adalah perhiasan yang apabila dibiarkan terbuka berimplikasi pada titik  “memberatkan” bagi perempuan terhadap suami dan pasangannya, dan berpotensi pada strata kesulitan untuk menghilangkan perhisan tersebut disaat dia berinteraksi dengan laki-laki lain dan mengkonstruksinya seperti semula ketika ia berada di dalam rumah. Demikian halnya dengan bagian-bagian yang tidak diperintahkan untuk di tutup seperti cincin berbeda dengan anting dan gelang. Kendati demikian ulama’ berbeda pendapat dalam hukum menampakkan gelang tangan dan kaki, adapun pendapat yang benar adalah kedua benda tersebut diidentifikasi dalam kategori perhiasan yang dhahir. Al-Qur’an mengafirmasi kategori gelang kaki ini dengan firman Allah. Ibnu Arabi berkata : ibnu al-Qasim meriwayatkan dari Malik : Kutek bukan perhiasan. Dalam kaitannya dengan hal ini, ia tidak membatasi dengan kutek  tangan. Ibn’Arabi juga berkata kutek merupakan perhiasan batiniah yang sejatinya tidak  diperlihatkan jika dilekatkan pada kaki. Dengan demikian, makna ayat---adalah bagian tubuh yang tidak ditutupi oleh kaum  perempuan seperti wajah, kedua telapak tangan dan kedua telapak kaki”. Kelompok ahli tafsir mengintepretasikan zinah dengan jast ---dengan wajah dan kedua telapak tangan dalam riwayat lain kedua kaki dan rambut. Bertolak dari interpretasi ini--adalah perhisan yang dijadikan Allah nampak berdasarkan hukum fitrah yang jika dipaksakan menutupnya sama halnya menanam benih-benih kesia-siaan dan memberatkan bagi  pemiliknya. Perhiasan tersebut adalah wajah dan kedua telapak tangan, lain halnya dengan kdua kaki tidak mencapai tingkatan ksia-siaan, namun hanya sampai taraf menyulitkan karena seperti diketehaui bertelanjang kaki merupakan sesuatu yang lumrah dikalangan  perempuan pedesaaan oleh karenanya para praktisi ilmu fiqih berpendapat dalam kewajiban menutupinya. Madzhab Maliki menelorkan dua statemen dalam hal ini yaitu wajib dan tidak  wajib. Abu Hanifah berkata : “Menutup kedua kaki bukan sebuah keharusan, sedangkan  prihal keidahan tubuh perempuan yang jika diperintah untuk menutupinya tidak menimbulkan kesukaran, maka yang demikian tidak terkualifisir dalam firman Allah “maa dhoharo minhaa”  perhiasan yang sejatinya nampak, seperti leher, punting susu, lengan bagian atas, pergelangan tangan, dan betis sama halnya dengan perempuan yang memiliki bagian tubuh tertentu yang elok kendati tertutup rapat, seperti pantat dan paha, dan menggunakan gaun yang tidak ketat  bukan merupakan hal yang susah baginya, maka bagian tersebut juga tidak dapat dijastifikasi dalam rrangkaian firman Allah perhiasan yang sejatinya nampak. Malik meriwayatkannya dalam kitab al-Muwatho’ dari Nabi saw bersabda : “Perempuan yang menenakan pakaian  yang hamper tidak menutupi lekuk tubuh yang menarik perhatian tidak akan masuk surga” . Ibnu’Addilbarr berkata : "Makna riwayat hadits tersebut adalah wanita yang memakai gaun transparan hingga memperlihatkan lekuk tubuh dan nyaris tidak menutupi bagian tubuhnya, dalam arti benar mereka mengenakan kostum namun gaun tersebut tidak menutupi tubuhnya akibat transparasi bahan pakaian" . Selain naskah Ibnu Baskawal dalam kitab al-Muwatho’; dari al-Qanaazi’i berkata, "Malik mengintepretasikan hadits diatas sesungguhnya kaum

 perempuan memakai gaun yang tipis yang nyaris tidak menutupi bagian tubuhnya" . Dalam   perspektif pendengaran Ibnu al-Qasimi dari Jami’ al-’Atabiyah Malik berkata : “Sampai  padaku kabar bahwa Umar bin al-Khatab melarang perempuan mengenakan pakaian ala Qibti" . Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa pakaian yang dimaksud adalah gaun yang sempit dan melekat pada bagian tubuh hingga nyaris mempertontonkan bagian tubuhnya yang seksi. Hal ini merupakan langkah yang aplikatif . Larangan ini mengandung konsekuwensi pada semua tindakan yang menarik perhatian laki-laki pada pemainan wanita, dan yang menggerakkan ketertarikan kaum Adam pada lawan  jenis baik yang berhasal dari hasil penglihatan pada obyek tertentu atau pendengaran pada hiburan yang disodorkan kaum Hawa seperti nyayian dan berbicara dengan suara yang mendayu-dayu. Dalam ranah realitasnya layaknya tarian dan goyangan perempuan dihadapan laki-laki, semprotan parfum yang berlebihan juga dilarang. Dalih yang membenarkan larangan tersebut terrangkum dalam firman Allah …..

5. Tafsir al-Alusi Surat al-Nur 30-31 Surat al-Nur 30 - 31 Kitab al Zawajir karangan ibn Hajar al-Makky menegaskan keharaman bagi kaum hawa memandang lelaki kendati tidak dibarengi dengan hasrat padanya dan sertai rasa takut dan fitnah seperti halnya ketidakbolehan laki-laki melihat perempuan habnya hubungan nasab atau susunan atau perkawinan membolehkan memandang sesamanya kecuali daerah antara  pusar dan lutut. Perhiasan yang dhahir nampak sejatinya terapresiasikan pada entitas material seperti; cincin celak, dan kutek sehingga memperlihatkan ini pada orang asing bukan merupakan tindakan yang dikencam, namun celaan tersentralisasi pada mengumbar perhiasan khofy tersembunyi seperti gelang tangan, gelang kaki, mahkota, ikat pinggang dan anting. Ayat diatas menyebutkan stetemen zinah secara eksplisit dan bukan daerah daerah yang lazimnya merupakan obyek sentral pemakaian perhiasan dimaksudkan sebagai afirmasi  pada instruksi menutup bagian-bagian tersebut, karena perhiasan bisa dipastikan dikenakan dibagian tubuh tertentu yang sudah barang tentu tidak boleh dipandang kecuali oleh golongan yang dikemukakan dalam konstruksi ayat sesudahnya. Bagian tubuh ini adalah bagian lengan  bawah, betis, lengan atas, leher, kepala, dada dan telinga. Oleh akarenanya Allah melarang memperlihatkan perhiasan yang dimiliki untuk diinformasikan secara aksioma bahwa memandang perhiasan tidak diperkenalkan karena mengisyaratkan pada bagian badan  perempuan dengan dalih bahwa kehalalan memperlihatkan perhiasan yang tidak menempel  pada tubuh seperti gelang tangan yang diperjual belikan di pasar tidak patut didiskusikan lagi. Ahli tafsir lainnya menekankan intepretasi ayat-ayat diatas sejatinya tempat  bermuaranya perhiasan, adapun Ibnu al-Munir menyatakan bahwa makna ayat ini adalah  perhiasan secara literal. Ayat sesudahnya mengafirmasikan bahwa memperlihatkan perhiasan merupakan tindakan yang terlarang, dan jika ziinah diartikan sebagai pos bertenggernya  perhiasan, bisa dipastikan memandang bagian tubuh yang dhahir nampak dan lajimnya merupakan daerah yang dikenakannya perhiasan dhahir bagi orang asing dihalalkan, namun konsekuensi logis yang demikian tidak dibenarkan karena setiap bagian tubuh merdeka adalah aurat. Seperti diketahui melihat bagian tubuh hanya dbolehkan oleh pasangan hidup suami istri kecuali dalam keadaan terpaksa seperti pengobatan dan persaksian. Adapun pendapat Ibnu Munir al-Maliki didasarkan pada madzhab yang dianutnya, demikian halnya dengan statemen al-Zamakhsyari dilandaskan pada pendapat masyur dari madzhab imam Abi Hanifah  bahwasanya badan yang disinyalir sebagai tempat perhiasan dhahir adalah wajah dan kedua telapak tangan, sedangkan kedua kaki bukan terkualifikasi sebagai aurat secara mutlak 

sehingga tidak ada larangan melihatnya. Ibnu Abi Syaibah Abu bin Hamid dari Ibn’Abbas   berkata maka firman Allah ---adalah wajah dan telapak bagian dalam. Adapun madzhab Syafi’i sebagaimana yang tersurat dalam kitab al-Zawaajir mengurai bahwa wajah dan telapak  tangan baik bagian dalam maupun luar hingga siku merupakan aurat dalam paradigma “memandang perempuan” kendati ia adalah hamba sahaya perempuan dan bukan aurat bagi orang merdeka dalam shalat. Kitab al-Zawaajir juga menyatakan keharaman melihat bagian tubuh perempuan yang terlepas, karena dapat memotivasi keingintahuaan yang mendasar untuk melihat bagian tubuhnya secara utuh. Oleh karenanya mengharamkannya adalah sikap yang tepat, bahkan ulama’ mengungkapakan ketidakbolehan memandang kuku kaum Hawa yang tidak menempel lagi ditangannya. Sebahagian penganut madzhab Syafi’i berpendapat keahalalanmelihat wajah dan telapak tangan jika tidak menyulut fitnah, namun stetemen ini tidak menempati urutan pertama dalam pendapat mereka. Sebahagian madzhab ini juga menginterpretasikan   perhiasan yang nampak itu adalah wajah dan kedua telapak tangan setelah menelaah  parameter bahwa aurat orang merdeka selain dua bagian tersebut mereka berdalih keharaman melihatnya karena berpotensi menyulut fitnah. Sehingga konsekuensi logisnya adalah tidak  semua hal yang dilarang memandangnya dikualifisir sebagai aurat. Anda mengetahui bahwa kebolehan memperlihatkan wajah dan kedua telapak tangan seperti yang disinyalir dalam ayat dan keharaman memandang dua bagian tersebut secara mutlak dalam madzhab mereka madzhab Syafi’i secara bersamaan sangat tidak masuk akal. Dan ketahuilah jika maksud larangan mengumbar daerah-daerah notabene tempat  bertenggernya. red pehiasan, dan dikatakan secara global wajah dan dua telapak tangan, dan   pendapat yang mengkualifikasi dua bagian badan tersebut sebagai aurat serta larangan memperlihatkan pada individu selain yang dirangkum dalam  freme pengecualian pada ayat sesudahnya, maka pengecualian yang tersurat dalam firman Allah bisa jadi merupakan hukum yang paten dalam perspektif metode isyarah tanda, yaitu mempertanggung-jawabkan dihari   pembalasan, sehingga makna yang terkandung adalah apa yang nampak tampa indikasi memperlihatkan seperti tersikap akibat hembusan angina maka kaum Hawa tidak dimintai  petanggungjawaban kelak dihari pembalasan. Ibnu Aabi Syaibah dari ‘Ikrimah bahwa maksud ayat diatas adalah telapak tangan dan tengkuk, dan dari riwayat al-Hasan adalah cincin dan gelang tangan dari riwayat lain menyebutkan lainnya. Secara aksioma, sebagian kabar dan riwayat menginterpretasikan zinah  perhiasan pada makna yang terlintas dengan cepat dan lainnya di daerah daerah dikenakannya  perhiasan. Adapun Ibnu Bahar berkata : “Perhiasan sejatinya terletak pada keindahan cipataan yang dibentuk oleh Allah dan pakaian yang berlebihan yang ditunjuk untuk mempercantik  diri, sedangkan makna ayat tersebut adalah larangan mengumbar dua komponen dari hasil intepretasi diatas pada bukan muhrim dan mengecualikan hal-hal yang sejatinya tidak dapat disembunyikan ditutupi dalam berbagai momentum seperti wajah ujung tangan dan kaki”.  Namun demikian sebagian ulama’ lain tidak mengamini penafsiran zinah perhiasan dengan ciptaan Allah perhiasan yang merupakan ciptaan Allah, ia menyatakan dalam kitab al-Bahar    pendapat yang mendekati kebenaran adalah mengklasifikasinya dalam konsep zinah dan mengairmasikan dengan stetemen “Perhiasan manakah yang lebih indah dari penciptaan yang ideal” Maksud ayat ini sebagaimana riwayat Ibn Hatim dan Ibn Jubair, Allah menginstruksikan perempuan mukmin menutupi leher dan dada dengan kain sehingga bagian tersebut tidak nampak, perempuan pada masa dahulu menutup kepalanya dengan kain dan mengantungkan menurunkan kainnya dari belakang punggung seperti kebiasaan jahiliyah sehingga leher dan sebagian dadanya terlihat.

Secara literalis, teks ayat menyatakan ketiadaan perbedaan gender laki-laki dan   perempuan akibat keumuman huruf ---dan karena jika ayat tersentralisasikan pada kaum Hawa saja maka yang tertulis dalam konstruksi ayat seharusnya karena penegasan yang demikian lebih spesifik dan mengena pada maksud ayat. Kaum perempuan sekarang mengenakan perhiasan seperti dari mutiara atau semisalnya sebagai aksesoris dirangkaian gelang kaki sehingga gemercing suara gelang tersebut terdengar meski mereka berjalan dengan pelan. Demikan halnya seperti perhiasan lain pada gelang kaki yang menimbulkan suara jika kaki melangkah terlebih jika dihentakkan. Sebahagian khalayak umum didapat lebih banyak tergetar syahwatnya akibat gemrincing suara perhiasan daripada melihat perhiasan yang berpotensi menimbulkan suara. Larangan memperdengarkan gemrincing suara tersebut pasca larangan memperlihatkan perhiasan sendiri bisa dipastikan adalah larangan memperlihatkan bagian tubuh yang lajimnya tempat obyek pemakaian perhiasan. Stetemen dalam kitab Syafi’iyah dan yang aku al-Alusi. red anut bahwa gemercing suara sejatinya bukan aurat, dengan demikian mendengarkan tidak dilarang jika tidak disertai ketakutan akan fitnah dan menikmatinya sebagaimana ulasan al-Zarkasy. Sedangkan Hanafiyah seperti pernyataan Ibn al-Hamman: Beliau menyatakan secara gamblang dalam kitab al-Nawazil bahwa lantuanan suara perempuan adalah aurat, oleh karenaya Nabi saw  bersabda: “Takbir bagi laki-laki dan tepuk bagi kaum perempuan”, akhirnya memperdengarkan di depan kaum Adam dianggap tindakan yang tidak bagus.

C. Al-Sunnah Dan Qaidah Ushul Fiqih Pornografi dan pornoaksi yang terkait dengan aurat ada beberapa hadits Rasulullah yang melarang memakai pakaian yang tembus pandang, erotis, sensual, dan sejenisnya larangan bagi laki-laki berkhalawat berdua dua-an ditempat yang sunyi tampa orang ke tiga dengan perempuan yang bukan muhrimnya 40, ataupun antara laki-laki dengan laki-laki homoseksual , perempuan dengan perempuan lesbian. Tidak diragukan lagi secara psikologis bahwa menguatnya perasaan wanita melalui kebebasan memilih pakaian yang sesuai dengan standar syariat, menumbuhkan perasaan  positif berupa persamaan perempuan ditengah masyarakat Muslim dengan corak tertentu dalam menutup aurat dan semakin dalamnya perasaan terhadap kemuliaan. Sementara itu, mengenai hukum tabarruj atau pakaian dan gerak tubuh yang menimbulkan rangsangan seksual , ini adalah jelas haram. Menurut Syekh Abu 'Ala Al-Maududi kata tabarruj bila dikaitkan dengan wanita memiliki arti sebagai berikut; Pertama, menampakkan keelokan wajah dan bagian tubuh yang dapat membangkitkan birahi dihadapan kaum laki-laki yang bukan muhrimnya. 41 Kedua, memamerkan pakaian dan perhisan yang indah serta memamerkan diri didepan laki-laki yang  bukan muhrimnya.  Ketiga, bersolek dan menggunakan parfum secara berlebihan ketika keluar  rumah. Ke-empat , melantunkan suara-suara yang menggoda.42 Rasulullah saw bersabda; 40

Fatwa Majelis Ulama Indonesia no 287 tahun 2001 , Ibid ., h. 10. Abu al-Ghifari , Pernikahan Dini Dilema Generasi Ekstravaganza, [Jakarta; Mujtahid, 2002], h. 28. 42 Abu al-Ghifari , Pernikahan Dini Dilema Generasi Ekstravaganza, [Jakarta; Mujtahid, 2002], h. 29. Lih. Luqman Haqani, Musuh Yang Menjadi Idola, [Jakarta; Mujahid, 2003], h. 69. 41

‫ا‬‫ل‬‫ها‬‫ض‬‫لب‬‫ا‬‫أذ‬‫يا‬‫ه‬‫م‬‫ا ق‬‫ر‬‫ار ل‬‫ل‬‫من‬‫فا‬  ‫ن‬‫دخ‬‫ة‬‫ائ‬‫ل‬‫لب‬‫ة‬‫أ‬‫هن‬‫رءو‬‫مائ‬‫ي‬‫م‬‫ا‬‫عار‬‫يا‬‫ا‬‫ساء‬‫و‬ ‫مس‬‫رو‬‫و‬‫جد من مسي‬‫ها لي‬‫ر‬‫ها وإ‬‫ر‬‫د‬‫ة و‬‫ل‬ " Ada dua golongan dari ahli neraka yang siksanya belum pernah aku lihat sebelumnya  pertama adalah kaum yang membawa ekor cambuk seperti ekor sapi yang digunakan memukul orang. ialah pengusa yang dzalim. Kedua adalah wanita yang berpakaian tapi telanjang, yang selalu maksiat. Rambutnya sebesar punuk unta, mereka tidak akan masuk  surga, bahkan tidak akan mencium wanginya padahal bau surga itu tercium sejauh  perjalanan yang amat panjangnya." HR. Muslim Dalam Fiqh pembahasan mengenai aurat didasarkan pada wacana tubuh dengan  berbagai dimensi sensualnya. Fiqh menganggap ada beberpa tubuh yang tidak pantas untuk  diperlihatkan, tidak layak bahkan memalukan. Pada awal inilah difinisi aurat. Orang menyebut aurat untuk hal-hal yang tidak pantas untuk diperlihatkan, tidak layak bahkan memalukan. Kemudian sesuatu yang memalukan itu justru bisa membangkitkan gairah orang lain yang melihatnya untuk melakukan sesuatu yang tidak dikehendakinya. Memalukan dan menggairahkan adalah sesuatu yang kontekstual, karena itu fiqh membedakan antara aurat laki-laki dan perempuan. 43 Dari dua kata kunci tentang aurat, yaitu 'memalukan' dan 'menggairahkan', fiqh memnbangun wacana tentang tubuh dan norma-norma yang terkait dengannya. Dalam disiplin ilmu fiqih lafal aurat diartikan sebagai yang memiliki muatan arti dalam ayat an-Nûr  ayat 31 dan 58 yaitu yang berarti sebahagian anggota tubuh manusia yang didalam pandangan umum buruk atau malu bila diperlihatkan dan bila dibiarkan terbuka mungkin bisa menimbulkan fitnah seksual. 44 Oleh karena itu, kesepakatan pendapat ulama' fiqih menyatakan bahwa harus ditutup dari pandangan orang dengan pakaian yang tidak tembus  pandang dan tidak membentuk lekukan tubuh. Mengenai batas anggota tubuh yang dianggab aurat , pandangan fiqih membedakan antara perempuan dan laki-laki. Untuk aurat laki-laki walaupun ada perbedaan, tetapi secara umum mayoritas ulama' berpendapat bahwa laki-laki seharusnya menutup anggota tubuh antara pusar dan kedua lutut kaki.45 Sementara aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. 46 Perintah menutup aurat adalah dari agama teks syara' , tetapi batasan mengenai aurat  adalah ditentukan pertimbangan pertimbangan kemanusiaan segala aspek. Untuk itu, dalam menentukan batasan aurat , baik laki-laki maupun perempuan dibutuhkan mekanisme yang 43 44

Faqihuddin Abdul Kadir,  Bergerak Menuju Keadilan….., hal.219 Lihat,  An-Nawawi, Al-Majmu, juz III, h. 168.

45

Mengenai batas aurat laki-laki. Ibnu Rushd dan Asy-Syaukani mengatakan bahwa ulama' Fiqih  berada dalam tiga pendapat. Pendapat pertama adalah yang dinyatakan oleh Imam Asy-Syafi'I, Malik, dan Abu Hanifah, bahwa aurat laki-laki adalah antara pusat dan kedua lutut. Pendapat kedua menyatakan bahwa aurat laki-laki adalah alat kelamin [qubul], sekitar lubang anus dan paha saja. Pendapat ketiga yang dinyatakan oleh adh-Dhahiri, Ibnu Jarir, al-Isthakhiri, salah satu riwayat dari Imam Malik dan Ibnu Hambal adalah bahwa aurat laki-laki hanya qubul dan dubur saja, selebihnya bukan aurat. Lih. Ibnu Rushd, Bidâyah al-Mujtahid , Juz I h. 83, Asy-Syaukani , Nail al-Authar , Juz II, h. 49. 46

III.210.

Abu Muhammad Ali bin Muhammad ibn Hazm, Al-Muhalla, [Bairut; Dar al-Afaq al-Jadidah, tt], Juz

akomodatif dan responsif terhadap gejala nilai yang berkembang di masyarakat sehingga dalam tingkat tertentu nilai dan batasan tersebut dapat diterima oleh masyarakat. Dalam hal ini pertimbangan khsuf al-fitnsh yang sudah dikembangkan oleh ulama' fiqih  juga harus menjadi salah satu penentu pertimbangan, agar tubuh manusia tidak dieksploitasi terutama tindak pornografi dan pornoaksi yang dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat.47 Tentu saja, dalam konteks pornografi dan pornoaksi yang mengumbar  aurat , yang dimaksud adalah aurat menurut syariat Islam. Aurat adalah bagian-bagian tubuh yang  berpotensi menimbulkan rangsangan-rangsangan seksual bila terlihat .48 Seorang wanita yang memperlihatkan sekadar rambut atau bagian bawah kakinya, misalnya, jelas termasuk orang yang mengumbar aurat. Sebab, aurat wanita dalam pandangan Islam adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan. 49 Secara fiqih, menyaksikan secara langsung aurat seseorang yang bukan haknya  pornoaksi, pornografi dan pornoaksi adalah haram, kecuali untuk tujuan yang dibolehkan oleh syara', misalnya memberi pertolongan medis. Ini akan berlaku juga pada para pembuat  pornografi dan pornoaksi kamerawan, pengarah gaya, sutradara, dan lain sebagainya. Sedangkan menurut definisi agama Islam, segala sesuatu yang mengakibatkan seseorang cenderung melakukan perbuatan asusila fakhisyah adalah berdosa. Sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Isra' 32:

‫ا‬‫ي‬‫اء‬ ‫ ب‬‫ و‬‫ة‬‫ش‬  ‫اح‬‫ا‬‫ إ‬‫ت‬ ‫ا‬¡‫ل‬ ‫ا‬‫ل‬‫و‬ "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan  yang keji. dan suatu jalan yang buruk" .50 Pornografi dan pornoaksi dianggap mendekati perbuatan zina sehingga harus dilarang, dan jika dilakukan maka pelakunya harus bertobat karena dianggap berdosa. Apalagi sampai  berbuat zina maka dianggap telah melakukan dosa besar. Jika pelakunya masih bujangan maka harus dicambuk sebanyak seratus kali mi'ata jaldah, dan jika pelakunya dalam status sudah menikah maka harus dihukum dengan dilempar batu sampai meninggal rajam. 51 Sementara itu menurut hukum Islam seperti yang telah difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia no 287 tahun 2001 tentang pornografi dan pornoaksi tanggal 22 Agustus 2001, yaitu berdasarkan surah Âl-Isra' kita dilarang mendekati zina dan an-Nûr 30-31 yang mengatur tentang cara bergaul 52, memelihara kehormatan, dan batas aurat al-Ahzâb ayat 59 yang mengatur tentang aurat kaum perempuan Mu'minah 53, dan al-Maidah ayat 2 tentang kewajiban saling tolong menolong dalam mengerjakan kebaikan dan takwa dan larangan melakukan tolong menolong dalam melakukan dosa dan pelanggaran, maka batasan  pornografi dan pornoaksi menurut hukum Islam telah jelas 54. 47

Husain Muhammad, Fiqih Perempuan Refleksi Kyai Atas Wacana Agama dan Gender , [Yokyakarta; Rahima, 2001], h. 64. 48

Hasan Hathaut , Panduan Seks Islami, [Jakarta; Pustaka Zahra, 2004], h. 25.

49

Husain Muhamad, Fiqih Perempuan Refleksi Kiyai Atas Wacana Agama dan Gender, Ibid ., h. 62.

50

QS. Al-Isra' 32

51

Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, [Bandung; Sinar Baru, 1990], h. 402

52

Fatwa Majelis Ulama Indonesia no 287 tahun 2001 Tentang Pornografi dan Pornoaksi tanggal 22 Agustus 2001 atau Jumadil Akhir 1422 Hijriyah, h. 2. 53

Fatwa Majelis Ulama Indonesia no 287 tahun 2001,  Ibid., h. 4.

Sementara itu, sebuah benda dengan muatan pornografi dan pornoaksi dihukumi sebagai benda yaitu mubah.55 Namun demikian, kemubahan ini bisa berubah menjadi haram ketika benda wasilah itu dipastikan dapat menjerumuskan pada tindakan keharaman. Sebab, kaidah "ushul fiqih" yang mu'tabar menyebutkan: "Sarana yang menjerumuskan pada tindakan keharaman adalah haram". Karena itu, kemubahan ini juga tidak berlaku untuk   penyebarluasan dan propaganda pornografi dan pornoaksi atau pornoaksi yang akan memiliki dampak serius di masyarakat. Seseorang yang dihadapkan pada suatu media porno, misalnya, memang dipandang belum melakukan aktivitas haram karena media sebagai benda adalah mubah. Akan tetapi, bila orang itu ikut dalam usaha membuat dan atau menyebarluaskan media porno, maka menurut syariat, dia dianggap telah melakukan aktivitas yang haram. Mengenai batasan aurat menurut pandangan ulama' Fiqh dapat disimpulkan pada:  Pertama, Bahwa perempuan hanya diperkenankan membuka wajah dan kedua  pergelangan tangan, kecuali dalam keadaan diperlukan Abu Hanifah memperkenankan kedua lengan tangan dan kedua setengah betis kaki dibiarkan terbuka.  Kedua, alasan utama penutupan tubuh perempuan adalah untuk menghindari gangguan fitnah dan malapetaka dharar yang menempa diri perempuan, dan alasan utama  beberapa anggota tubuh dibiarkan terbuka adalah alasan keterpaksaan darurah atau keperluan hujjah. Dengan demikian, berdasarkan berbagai nas dan dan kaidah ushul fiqih Secara umum Majelis Ulama indonesia MUI pada tahun 2001 mengeluarkan fatwa tentang pornografi dan  pornoaksi menetapkan beberapa hal sebagai berikut; Menggabarkan secara langsung atau tidak langsung, tingkah laku secara erotis, baik  dengan lukisan gambar, tulisan reklame, suara, maupun ucapan baik melalui media cetak maupun elektronik yang dapat membangkitkan nafsu birahi adalah haram. Membiarkan aurat terbuka dan atau berpakaian ketat atau tembus pandang dengan maksud untuk diambil gambarnya, baik untuk dicetak maupun divisualisasikan adalah haram. Melakukan pengambilan gambar sebagaimna angka 2 adalah haram. Melakukan hubungan sksual atau adegan seksual didepan orang, melakukan gambar  hubungan seksual, baik terhadap diri sendiri ataupun orang lain dan melihat hubungan seksual ataupun adegan seksual adalah haram. Menperbanyak, mengedarkan, menjual, membeli dan melihat atau memperlihatkan gambar orang, baik cetak atau visual, yang terbuka auratnya atau berpakaian ketat atau tembus pandang yang dapat membangkitkan nafsu birahi, atau gambar hubungan seksual atau adegan seksual adalah haram. Berbuat intim atau berdua-duaan khalwat antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram-nya dan perbuatan sejenis lainhya yang mendekati dan atau mendorong melakukan hubungan seksual diluar pernikahan adalah haram. Memperlihatkan aurat, yakni bagian tubuh antara pusar dan lutut bagi laki-laki dan  bagian tubuh selain muka, telapak tangan dan telapak kaki bagi perempuan adalah haram kecuali dalam hal-hal yang dibenarkan secara syar'i.

54

Fatwa Majelis Ulama Indonesia no 287 tahun 2001, Ibid., h. 5.

55

Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Ibid,. h. 404

Memakai pakaian tembus pandang atau ketat yang dapat memperlihatkan lekuk tubuh adalah haram. Melakukan suatu perbuatan dan atau suatu ucapan yang dapat mendorong terjadinya hubungan seksual diluar pernikahan atau perbuatan sebagaimana dimaksud angka 6 adalah haram. Membantu dengan segala bentuknya dan atau membiarkan tampa pengingkaran  perbuatan-perbuatan yang diharamkan diatas adalah haram. Memperoleh uang, manfaat, dan atau fasilitas dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan diatas adalah haram.[]

BAGIAN KE-TIGA PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT GLOBAL

A. Pornografi dan Pornoaksi dalam Masyarakat Global Status hukum pornografi dan pornoaksi sangat berbeda-beda. Kebanyakan negara mengizinkan paling kurang salah satu bentuk pornografi dan pornoaksi. Di beberapa negara,  pornografi dan pornoaksi ringan dianggap tidak terlalu mengganggu hingga dapat dijual di toko-toko umum atau disajikan di televisi. Sebaliknya, pornografi dan pornoaksi berat  biasanya diatur ketat. Pornografi dan pornoaksi anak dianggap melanggar hukum di kebanyakan negara, dan pada umumnya negara-negara mempunyai pembatasan menyangkut  pornografi dan pornoaksi yang melibatkan kekerasan atau binatang. Sebagian orang, termasuk produser pornografi dan pornoaksi Larry Flynt dan penulis Salman Rushdie, mengatakan bahwa pornografi dan pornoaksi itu penting bagi kebebasan dan  bahwa suatu masyarakat yang bebas dan beradab harus dinilai dari seberapa jauh mereka  bersedia menerima pornografi dan pornoaksi. Kebanyakan negara berusaha membatasi akses anak-anak di bawah umur terhadap  bahan-bahan porno berat, misalnya dengan membatasi ketersediaannya hanya pada toko buku dewasa, hanya melalui pesanan lewat pos, lewat saluran-saluran televisi yang dapat dibatasi

orangtua, dll. Biasanya toko-toko porno membatasi usia orang-orang yang masuk ke situ, atau kadang-kadang barang-barang yang disajikan ditutupi sebagian atau sama sekali tidak  terpampang. Yang lebih lazim lagi, penyebaran pornografi dan pornoaksi kepada anak-anak di  bawah umur dianggap melanggar hukum. Namun banyak dari usaha-usaha ini ternyata tidak  mampu membatasi ketersediaan pornografi dan pornoaksi karena akses yang cukup terbuka terhadap pornografi dan pornoaksi internet. Berikut ini status dan pemberlakuan pornografi dan pornoaksi diberbagai negaranegara dibelahan Dunia: •











Bahan-bahan porno berat legal pada tingkat Federal kecuali bila memenuhi uji Miller tentang ketidakpantasan, yang sangat jarang. Pornografi dan  pornoaksi anak yang menyajikan gambaran tentang anak-anak yang benar-benar  terlibat dalam tindakan-tindakan seks atau yang berpose dalam penampilan yang  porno adalah kejahatan. Tuntutan terhadap pornografi dan pornoaksi maupun toleransinya sangat berbeda-beda dari satu negara bagian ke negara bagian lainnya dan dari kota ke kota. Materi-materi/tindakan-tindakan tertentu dikeluarkan sendiri dari  bahan porno biasa. Bahan-bahan porno tidak boleh diberikan kepada orang yang  berusia kurang dari 18 tahun atau di beberapa daerah, 21 tahun. Beberapa upaya untuk  membatasi pornografi dan pornoaksi di internet telah dibatalkan oleh pengadilan; lihat: Pornografi dan pornoaksi internet. Australia : Peraturan diperketat di bawah pemerintahan John Howard, namun  pornografi dan pornoaksi masih cukup mudah diperoleh. Lihat Sensor di Australia. Bahan-bahan porno dapat dibeli dan disewa di Northern Territory dan ACT, dan tidak   boleh mengandung kekerasan, menyalahgunakan anak atau menampilkan gambaran yang merendahkan martabat. Berbagai negara bagian mempunyai undang-undang tentang pornografi dan pornoaksi, tetapi dengan catatan bahwa ada banyak toko dewasa di masing-masing negara bagian dan wilayah yang boleh menjual atau menyewakan bahan-bahan yang bersifat porno. Secara teknis menjual bahan-bahan  porno illegal di Queensland, tetapi memilikinya tidak dianggap ilegal. Austria: Bahan-bahan yang "membahayakan remaja" atau bahan-bahan yang merendahkan martabat manusia tidak boleh dipamerkan atau dijual kepada orangorang yang berusia kurang dari 18 tahun. Telanjang tidak dianggap termasuk bahan seperti ini. Belanda: Undang-undang yang sangat liberal. Dijual secara terbuka di tempat-tempat  penjualan koran dan majalah. Bestiality dinyatakan ilegal setelah dikeluarkannya undang-undang kesejahteraan binatang yang baru. Brasil: Pornografi dan pornoaksi anak adalah kejahatan. Pornografi dan pornoaksi  biasa tidak termasuk hubungan seksual dengan binatang legal. Para aktor laki-laki di film-film lokal harus mengenakan kondom dalam adegan-adegan penetrasi. Semua  pemain harus berusia minimum 18 tahun. Bila dijual di tempat-tempat umum, majalah dan sampul DVD yang menampilkan alat kelamin harus disembunyikan dari  pemandangan umum. Bahan pornografi dan pornoaksi manapun hanya boleh dijual kepada orang yang berusia minimal 18 tahun. Britania Raya: Bahan-bahan porno berat dilarang hingga 1999, ketika kesulitankesulitan halangan perdagangan sehubungan dengan keanggotaan Komunitas Eropa menjamin arus yang relatif bebas dari barang-barang seperti itu untuk kebutuhan  pribadi saja. Video R18 hanya tersedia dalam toko-toko seks yang mempunyai izin Amerika Serikat:



















khusus, tetapi majalah-majalah porno berat tersedia di penjual-penjual suratkabar dan majalah di beberapa tempat. Pornografi dan pornoaksi dalam bentuk tulisan saja tidak   pernah dituntut sejak pengadilan  Inside Linda Lovelace pada 1976. Departemen Dalam Negeri berencana untuk memperkenalkan undang-undang yang melarang  pornografi dan pornoaksi dengan kekerasan. Bulgaria: Bahan porno berat "tidak dianjurkan" untuk diedarkan kepada orang-orang yang berusia di bawah 18 tahun. Bahan porno ringan jarang disensor, bahkan oleh stasiun-stasiun TV pemerintah. Majalah-majalah dan koran-koran porno semakin  banyak beredar sejak jatuhnya komunisme pada awal 1990-an. Karena ekonomi yang tidak stabil, pada akhir 1990-an hanya segelintir penerbit yang bertahan. Denmark: Larangan terhadap literatur porno dicabut pada 1966. Pada 1969 Denmark  menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasikan porno berat. Jerman: Pornografi dan pornoaksi anak dilarang. Meskipun hukum mendefinisikan anak sebagai orang yang berusia di bawah 14 tahun, bahan porno tidak boleh melibatkan orang yang berusia di bawah umur 18 tahun. Pornografi dan pornoaksi  berat yang terkait dengan kekerasan dan binatang tidak boleh dibuat atau didistribusikan; pemilikannya diizinkan. Porno berat dibatasi kepada pembeli berusia 18 tahun atau lebih. Bila sebuah toko bisa dimasuki anak kecil, bahannya tidak boleh dipampangkan dan hanya boleh dijual dengan diam-diam dan dengan permintaan khusus. Izin orangtua khusus dibutuhkan untuk memperlhiatkan materi porno berat kepada anak-anak mereka dengan tujuan pendidikan. Hukum mendefinisikan  pornografi dan pornoaksi sebagai porno berat, jadi segala sesuatu yang lainnya tidak  dibatasi. Hong Kong : Ilegal bila dijual atau diperlihatkan to anak-anak under 18 of umur, atau  bila dipamerkan kepada umum kecuali dalam tempat terbatas dan hanya terlihat di dalam "sebuah galeri seni atau museum yang bonafide", atau bila diterbitkan tanpa sepenuhnya dibungkus tanpa peringatan yang “dengan mudah kelihatan” yang menyatakan bahwa bahan yang terkandung mungkin bisa membuat orang tersinggung dan tidak boleh diberikan kepada mereka yang di bawah umur. 9 Hongaria: Ilegal bila dijual atau diperlihatkan to anak-anak under 18 of umur. Mempertontonkan alat kelamin pada sampul majalah dilarang kecuali bila dikaburkan. Irlandia : Ilegal hingga pertengahan tahun 1990-an. India: Pornografi dan pornoaksi ilegal dan mendapatkan sanksi hukuman. Namun,  penegakan hukum sangat lemah dan bahan-bahan porno mudah tersedia. Israel: Ilegal untuk orang-orang berusia di bawah 18 tahun, meskipun hukum jarang diberlakukan. Pornografi dan pornoaksi dalam segala bentuknya dapat ditemukan di tempat-tempat penyewaan video termasuk mesin penjual video. Ada toko-toko Israel yang khusus menjual pornografi dan pornoaksi, serta sejumlah perusahaan yang memproduksi porno Israel. Karena pornografi dan pornoaksi anak hampir-hampir  tidak mendapatkan perhatian masyarakat ataupun pemerintah masalah ini dapat dikatakan sebagai bentuk porno satu-satunya yang ilegal. Satuan polisi Israel untuk  kejahatan komputer mengambil langkah-langkah ekstrem terhadap hal itu, termasuk   penggunaan pengawasan internet dan pembobolan sistem. Jepang: Seperti di Eropa, foto telanjang biasa ditampilkan dalam media umum. Pada tahun 1970-an dan 1980-an, dilarang keras memperlihatkan rambut kemaluan ataupun alat kelamin orang dewasa. Gambar-gambar rambut kemaluan pada majalah-majalah













impor biasanya akan dirobek, dan bahkan video-video yang paling eksplisit pun tidak  akan memperlihatkannya. Sejak sekitar 1991, para penerbit buku foto mulai menantang larangan ini sehingga rambut kemaluan kini cukup diterima umum. Gambar-gambar dari jarak dekat close-up terhadap alat kelamin tetap dilarang. Pada 1999, pemerintah memberlakukan undang-undang yang melarang foto-foto dan video anak-anak yang telanjang, yang sebelumnya cukup biasa ditampilkan di media umum. Manga dan anime pada umumnya tetap tidak diatur, meskipun penerbit-penerbit besar  cenderung melakukan sensor diri untuk menghindari lobi kelompok-kelompok  orangtua. Kanada: Undang-undang berbeda-beda dari provinsi ke provinsi, namun penjualan kepada orang berusia di bawah 18 tahun batas usia berbeda-beda menurut provinsi umumya dilarang. Kebanyakan bahan dijual di toko-toko dewasa, meskipun tidak ada undang-undang spesifik yang mengatur distribusinya. Bea cukai Kanada diberikan wewenang untuk menghentikan pemasukan bahan-bahan yang dilarang menurut undang-undang ketidakpantasan; banyak toko buku homoseksual dan lesbian menuntut bahwa peraturan ini diberlakukan secara diskriminatif terhadap barang barang porno untuk seks sejenis. Beberapa stasiun TV juga telah menyiarkan film-film  porno ringan setelah lewat tengah malam. Pornografi dan pornoaksi anak ilegal, meskipun sebuah keputusan Mahkamah Agung Kanada yang kontroversial baru-baru ini tentang hak privasi sangat mempengaruhi usaha pemerintah untuk melacak dan menyitanya. Lihat pula Sensor di Kanada. Kolombia: Pornografi dan pornoaksi anak dilarang di bawah konstitusi baru. Pemasarannya diatur dengan ketat. Kebanyakan bahan dijual di pasar gelap. Bogota mempunyai sekurang-kurangnya 300 tempat di mana pornografi dan pornoaksi porno  berat dapat diperoleh secara legal. Malaysia: Ilegal, namun penegakan hukum sangat lemah. Meksiko: Ilegal bila dijual atau diperlihatkan kepada anak-anak di bawah usia 18, namun penegakan hukum lemah. Norwegia: Bahan-bahan porno berat sudah lama secara de jure ilegal, tetapi pada  praktiknya legal, artinya, ilegal untuk membuat, mendistribusikan dan menjual, tetapi legal untuk memilikinya. Orang dapat membelinya misalnya di luar negeri, lewat internet, atau melalui TV satelit. Ada juga sejumlah toko porno yang ilegal, khususnya kota-kota yang lebih besar. Untuk memenuhi tuntutan-tuntutan hukum, para editor  majalah-majalah, saluran TV domestik dan TV kabel erotik mengaburkan organorgan seksual yang melakukan aktivitas biasanya dengan menggunakan segi empat hitam, dll. Tetapi, setelah Mahkamah Agung pada 7 Desember 2005 secara bulat membebaskan seorang bekas editor majalah karena menerbitkan porno berat yang tidak ditutupi pada 2002, dipahami bahwa porno berat tercetak tidak lagi ilegal, dan diharapkan bahwa majalah-majalah porno akan dapat dijual secara terbuka di tokotoko umum. Belum jelas apakah keputusan Mahkamah Agung akan mempengaruhi film atau TV. Namun perlu dicatat bahwa menggambarkan kegiatan-kegiatan seksual yang melibatkan anak-anak, binatang, nekrofilia, pemerkosaan, atau dengan menggunakan kekerasan tetap ilegal. Prancis: Pornografi dan pornoaksi yang sangat penuh kekerasan atau sangat grafis sangat jelas diberi peringkat X, dan hanya boleh diperlihatkan di bioskop-bioskop tertentu. Bahan-bahan ini tidak boleh dipampangkan kepada anak-anak. Pornografi dan pornoaksi dikenai pajak khusus 33% untuk film-film peringkat X, 50% untuk   pelayanan porno online. Sistem peringkatnya kontroversial; misalnya, pada 2000, film





















 Baise-moi yang secara seksual eksplisit dan penuh kekerasan mula-mula diberi  peringkat hanya "terbatas" oleh pemerintah Prancis, tetapi klasifikasi ini dibatalkan oleh keputusan Conseil d'État Dewan Negara berdasarkan tuntutan yang diajukan oleh  perhimpunan-perhimpunan yang mendukung agama Kristen dan nilai-nilai keluarga. RRT: Baru-baru ini melegalkannya, majalah-majalah dewasa dijual kepada umum, meskipun isi aturannya secara spesifik tidak diketahui. Rusia: Produksi dan distribusi secara eksplisit dilarang, tetapi Duma negara bagian telah berkali-kali gagal untuk mengesahkan undang-undang yang mengatur bahan bahan porno, sehingga status dari kebanyakan materi tidak jelas.  De jure semua  pornografi dan pornoaksi diizinkan termasuk porno anak-anak, tetapi de facto ada sejumlah batasan tentang di mana bahan-bahan itu dapat dijual. Hubungan seksual dengan binatang dan pornografi dan pornoaksi anak-anak de facto dilarang. Majalahmajalah erotik dijual secara terbuka, biasanya tidak menampilkan puting susu dan daerah rambut kemaluan di sampulnya. Kebanyakan materi difilmkan di SaintPetersburg; di sana hukum mendefinisikan pornografi dan pornoaksi sebagai materimateri termasuk pemerkosaan, bestiality, nekrofilia atau pornografi dan pornoaksi anak, sehingga semua bahan lainnya tergolong erotika legal. Singapura: Ilegal, termasuk penerbitan ringan seperti Playboy. Slovenia: Ilegal bila dijual atau diperlihatkan kepada anak-anak yang berumur kurang dari 18 tahun. Mempertontonkan alat kelamin pada sampul majalah dilarang kecuali  bila dikaburkan. Swedia : Bahan yang melibatkan binatang de-facto legal tetapi dikenai undang-undang kesejahteraan binatang. Boleh ditonton oleh mereka yang berusia minimal 18 tahun, tidak ada batas untuk majalah. Orang berusia di bawah 18 tahun dilarang berperan dalam film-film buatan Swedia. Swiss: Legal, dikenai sejumlah perkecualian: penjualan atau memperlihatkan kepada orang-orang berusia di bawah 16 tahun atau kepada penonton yang tidak  menyetujuinya dapat dikenai hukuman denda atau penjara hingga tiga tahun. Hukuman yang sama dapat dikenakan untuk pemilikan, penjualan, impor, dll. terhadap materi pornografi dan pornoaksi anak, bestiality, pengeluaran hajat atau tindakantindakan kekerasan. Ada perkecualian untuk pornografi dan pornoaksi apabila mengandung nilai-nilai budaya atau ilmiah. Lihat Ayat 197 Undang-undang Pidana. Taiwan: Ilegal bila dijual atau diperlihatkan kepada anak-anak di bawah usia 18 tahun. Memampangkan alat kelamin pada sampul majalah dilarang kecuali bila dikaburkan. Turki : menjual kepada anak-anak di bawah 18 tahun ilegal. Vietnam: Ilegal. Penegakan hukum ketat. Menurut undang-undang, pornografi dan  pornoaksi merusakkan nilai-nilai standar Vietnam. 13 Yunani: Majalah-majalah ringan, kalender, dan kartu permainan dijual secara terbuka di kios-kios tepi jalan dan di toko-toko wisata. Pornografi dan pornoaksi yang ekstrem atau sangat jelas umumnya dibatasi hanya dijual di toko-toko dewasa. Kini kebanyakan kios di Athena memampangkan majalah-majalah dan DVD porno berat.

B. Pornografi dan Pornoaksi dalam Masyarakat Lokal 1. Fenomena Pornografi dan pornoaksi

Di Indonesia pornografi dan pornoaksi sebagai ladang yang subur. Fenomena yang munculpun bagaiakan fenomena "gunung es". Oleh karenanya hampir tiap tahun dapat dipastikan akan muncul kasus-kasus pornogarafi walaupun dalam wajah yang berbeda, dan  penegakan hukumnya pun juga boleh dibilang hanya isapan jempol. Resminya pornografi dan  pornoaksi di Indonesia ilegal, namun penegakan hukum sangat lemah dan interpretasinya pun tidak sama dari zaman ke zaman. Perhatikan kasus yang mencuat dari tahun-ketahun tentang kasus pornografi dan pornoaksi yang semakin beragam dan meningkat;

1929-an Pada 1929 diputar di Jakarta film Resia Boroboedoer yang menampilkan untuk pertama kalinya adegan ciuman dan kostum renang.

1950-an Pada 1954 Nurnaningsih menimbulkan kehebohan di masyarakat umum karena berani tampil  berani dalam beberapa filmnya yang antara lain disutradarai oleh Usmar Ismail Krisis dan Djadug Djayakusuma Harimau Tjampa. Di beberapa majalah dimuat fotonya yang seronok. Bahkan kemudian foto bugilnya tersebar luas di masyarakat. Belakangan baru diketahui  bahwa foto-foto itu adalah hasil teknik montage, sementara Nurnaningsih sendiri tidak pernah tahu-menahu tentang pembuatannya. Tujuh Aktris tenar lainnya yang pernah menjadi korban serupa adalah Titien Sumarni dan Netty Herawati. Pada 1955, adegan ciuman antara Frieda dan S. Bono dalam film Antara Bumi dengan Langit disensor karena reaksi berat dari masyarakat.

1960-an Sesuai dengan semangat zamannya, film Indonesia pada periode ini banyak didominasi oleh film-film revolusi, seperti Pejuang 1960, Toha Pahlawan Bandung Selatan 1961, Anak-anak  Revolusi 1964, dll. Semangat anti nekolim pada tahun 1963-1965 diterjemahkan ke dalam gerakan anti film-film asing yang kebanyakan diimpor dari Amerika Serikat.

1970-1980-an Pada awal 1970-an, perfilman Indonesia berhasil untuk pertama kalinya menggunakan teknik  film berwarna. Dunia film Indonesia bangkit dari kelesuan yang panjang. Pada 1974, Rahayu Effendy menjadi simbol seks ketika tampil bugil dengan Dicky Soeprapto dalam Tante Girang. Suzanna tampil sebagai bintang film berani dalam adegan ranjang seperti misalnya dalam film “Bernapas Dalam Lumpur” 1970 yang diarahkan oleh Turino Djunaedy dan “Bumi Makin Panas” karya Ali Shahab. Meskipun demikian penampilan adegan bugil dalam sebagian dari film-film yang bertema panas itu bukan sekadar eksploitasi murahan. Suzanna, misalnya, meraih penghargaan sebagai Aktris Terbaik se-Asia pada Festival Film Asia Pasifik  di Seoul 1972. Di pihak lain, pada tahun 1980-an ini juga muncul film-film yang menampilkan aktris-aktris cantik dan seksi, dengan pakaian minim, seperti yang terdapat dalam film-film Warkop, namun semuanya lolos sensor, meskipun muncul berbagai protes dari masyarakat. Sejumlah film muncul dengan judul-judul yang menjurus ke pornografi dan pornoaksi, juga merajalela pada masa, seperti “Bernafas di Atas Ranjang, Satu Ranjang Dua Cinta”, Wanita Simpanan, Nafsu Birahi, Nafsu Liar , dll. Sejumlah pemain yang muncul dalam film seperti

itu, antara lain Inneke Koesherawaty, Ibra Azhari, Lisa Chaniago, Febby Lawrence, Teguh Yulianto, Reynaldi, Kiki Fatmala, dll. Pada periode yang sama, masyarakat dihebohkan dengan beredarnya kalender bugil dengan model Indonesia. Para model dan juru fotonya diajukan ke pengadilan dan dikenai tuntutan hukum. TVRI yang merupakan satu-satunya saluran televisi hingga akhir 1980-an, menampilkan sensor yang sangat ketat terhadap film-film yang disiarkannya. Misalnya, adegan ciuman sama sekali diharamkan sehingga seringkali muncul adegan yang menggelikan, ketika -karena gunting sensor -- sebuah pasangan ditampilkan seolah-olah menghindari tabrakan  bibir. Sementara itu, kehadiran teknologi video telah semakin mempermudah akses terhadap film-film asing yang tidak disensor. Acapkali diberitakan di surat kabar tentang masyarakat  pedesaan yang menayangkan film-film biru pada acara-acara perhelatannya dengan menyewa video. Begitu pula bus-bus malam dan hotel-hotel seringkali menyiarkan video-video panas, sementara Badan Sensor Film tampak tidak berdaya.

1990-2000-an Pada periode ini pengaruh kemajuan teknologi informasi semakin terasa dan sukar dihindari. Kehadiran parabola televisi, VCD, laser discs, DVD dan internet, semuanya membuat film dan gambar panas semakin mudah ditemukan, baik di kota besar maupun kecil, bahkan sampai ke pedesaan sekalipun. Pada 1996 Ayu Azhari muncul dalam adegan panas dalam sebuah film Amerika, The Outraged Fugitive. Tersedianya kamera video dan videophone dengan harga relatif murah telah memungkinkan orang merekam adegan-adegan panas, yang pada mulanya dimaksudkan hanya untuk koleksi  pribadinya. Pada periode inilah muncul sejumlah kasus seperti sepasang mahasiswa dari kota Bandung, atau peredaran klip video yang dibuat dengan videophone oleh seorang pejabat di Kalimantan. Terahir yang tak kalah heboh adalah kasus "Adegan Mesum anggota DPR  dengan Artis dangdut". Awal April 2006 majalah Playboy edisi Indonesia beredar pertama kali dalam versi yang jauh  berbeda dengan aslinya, meskipun rencana peredarannya jauh-jauh hari telah banyak  ditentang oleh berbagai unsur masyarakat dan pemerintah. Sebagian kalangan di masyarakat berusaha menangkal perubahan-perubahan dahsyat ini melalui Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan pornoaksi. Sebagian lagi merasa  bahwa RUU APP ini hanya akan memasung kreativitas seni dan mengabaikan kemajemukan di dalam masyarakat.

2. Pandangan KUHP Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memang tidak ditemukan pasal-pasal yang secara tegas mengatur masalah pornografi dan pornoaksi ini. Namun demikian bukan  berarti sama sekali tidak ada pasal-pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku  pornografi dan pornoaksi ini. Sebagai contoh dapat digunakan pasal 533 KUHP yang selama ini dikenal dengan pasal pelanggaran kesopanan.

Meskipun pada pasal tersebut yang menjadi ukurannya adalah kesopanan, maka secara umum pornografi dan pornoaksi yang ditunjukkan di depan umum maupun pornoaksi di depan publik merupakan pelanggaran kesopanan bagi bagian terbesar masyarakat Indonesia yang religius. Atas dasar analisa yang demikian maka sebenarnya pasal 533 KUHP ini sudah dapat dijadikan jerat hukum menindak pelaku pornografi dan pornoaksi. Sayangnya belum semua Hakim memiliki keberanian moral untuk memposisikan pasal tersebut untuk menghukum  pelaku pornografi dan pornoaksi sehingga mereka seolah-olah mendapat kebebasan menebar   pornografi dan pornoaksi ini di tengah-tengah masyarakat. Kita dapat merasakan akibat menjamurnya pornografi dan pornoaksi ini, contoh: Menjamurnya keyboard porno, maka yang menjadi sasarannya adalah moral bangsa. Tidak  hanya para remaja tetapi juga para orang tua sudah banyak yang menjadi korban kerusakan moral. Bukankah sudah sering kita baca berita seorang ayah tega memperkosa putri kandungnya, seorang kakek mencabuli cucunya yang masih balita, dan lain-lain lagi. Kalau ditelusuri maka faktor penyebab utamanya adalah karena sudah terlalu menjamur dan merajalela pornografi dan pornoaksi. Semetara kita tidak memiliki keberanian menjerat dan menghukum pelaku pornografi dan pornoaksi, semata-mata karena tidak adanya pasal-pasal yang secara tegas mengatur  tentang hal itu. Sebenarnya kita tidak harus terpaku dengan bunyi suatu pasal perundangundangan yang mengakibatkan kekakuan dalam penerapan hukum. Hakim secara moral diberi kewenangan untuk berijtihad mengembangkan dan menginterpertasi peraturan perundangundangan atau dalil hukum guna menegakkan keadilan. Bahkan dalam keyakinan Islam, andaikata seorang hakim tersalah dalam ijtihadnya, ia masih berhak untuk mendapatkan satu pahala. Sehingga dengan demikian meskipun pasal pasal KUHP tidak secara tegas menyebutkan kejahatan atau pelanggaran pornografi dan  pornoaksi, maka pelaku pornografi dan pornoaksi ini masih dapat dijerat dengan alasan  pelanggaran tentang kesopanan. Disamping kita harus memiliki keberanian berijtihad sebagaimana dikemukakan di atas, kita juga dituntut mereformasi sanksi hukum yang terlalu ringan untuk pelanggaran kesopanan ini yakni hukuman kurungan selama-lamanya dua bulan atau denda sebanyak banyaknya Rp. 3.000,-. Sanksi hukum yang demikian terlalu ringan bagi pelaku pornografi dan pornoaksi yang telah menghancurkan moral masyarakat dan bangsa sedemikian dahsyat. Dalam hal ini Hakim tidak salah menempuh "contra legen" tentunya dengan pertimbangan hukum yang akurat guna menjatuhkan sanksi hukum yang benar-benar memenuhi rasa keadilan. Tanpa adanya keberanian kita melakukan terobosan-terobosan seperti ini, maka Indonesia baru yang kita cita-citakan bersama hanya merupakan utopia, atau bagaikan fatamorgana di tengahtengah kegersangan padang pasir.

B. Kontraversi RUU APP Dalam Masyarakat Sejak diluncurkan, Rancangan Undang-undang Antipornografi dan Pornoaksi RUU APP telah memancing polemik luas dalam masyarakat Indonesia. Masyarakat terbelah antara kubu pro dan kontra. Tidak hanya di masyarakat, di lembaga legislatif DPR pun terjadi  pedebatan keras. Dua fraksi yang menentang RUU APP adalah FPDI Perjuangan dan Fraksi

Partai Damai Sejahtera. Fraksi-fraksi lain, termasuk Fraksi Partai Golkar dan Fraksi Demokrat, mendukung RUU ini. Fraksi partai-partai Islam tentu menjadi kelompok   pendukung utama RUU APP. Kalau dicermati dengan seksama, RUU APP merupakan kebutuhan fundamental bagi  bangsa Indonesia ke depan. Sekalipun sebagaian sudah diatur dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP, akan tetapi terbukti regulasi ini tidak cukup untuk mengurangi tingkat dekadensi moral yang terjadi dalam masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan pornografi dan pornoaksi. Melihat beberapa indikator, dekadensi moral dan akhlak masyarakat Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Harus diakui, persoalan dekadensi moral tidak cukup dengan diseminasi regulasiregulasi baru, tetapi setidak-tidaknya hal itu menjadi ikhtiar untuk mengurangi gejala dekadensi moral dalam masyarakat yang sedang berubah. Secara filosofis, RUU APP merupakan "jawaban" atas kebutuhan masyarakat transisi, seperti Indonesia. Di manapun, masyarakat transisi selalu rentan terhadap pelbagai perubahan dan gejala sosial dan budaya  baru, sehingga perlu dibentengi dan dipagari dengan regulasi yang lebih kokoh. Sesungguhnya tidak ada alasan kuat menolak RUU APP, kecuali jika belum ada revisi, sebagaimana tadinya dimasalahkan kelompok-kelompok penentang. Apa yang dikhawatirkan masyarakat Sulawesi Utara, Papua, Bali dan kelompok-kelompok ''minorias'' lainnya hanyalah ketakutan yang absurd. Jika dicermati pasal per pasal, RUU APP sebenarnya tetap mengakomodasi pluralisme atau keanekaragaman budaya dan masyarakat Indonesia. Alasannya, hampir tidak mungkin negara kemudian melarang masyarakat Papua mamakai koteka karena dinilai ''porno'' menurut negara, karena koteka adalah pakaian tradisional masyarakat lokal yang diwariskan secara temurun. Kalau hal itu terjadi, RUU APP bisa dinilai melanggar hak asasi manusia HAM dan UUD 1945. Bukankah konstitusi kita sangat menghormati keanekaragaman dan keunikan kultural masyarakatnya? Ketika kontroversi meluas, muncul pula gugatan dari beberapa kalangan bahwa semestinya pemerintah menanggulangi akar permasalahan maraknya pornografi dan  pornoaksi di tengah masyarakat. Sekalipun mempunyai pasal-pasal yang bagus, RUU APP  belum tentu akan bisa memerangi pornografi dan pornoaksi, ketika akar permasalahannya tidak dipahami dan ditanggulangi terlebih dahulu. Analoginya hampir sama dengan masalah keterkaitan antara pelacuran dan kesulitan ekonomi masyarakat. Banyaknya perempuan yang terjun ke dunia prostitusi umumnya karena terdesak oleh persoalan ekonomi. Apakah pemerintah atau negara sudah memikirkan masalah  perbaikan ekonomi para perempuan dan masyarakat pada umumnya, ketika di sisi lain harus ada regulasi yang melarang prostitusi? Intinya, persoalan pornografi dan pornoaksi bukanlah persoalan sederhana, tapi butuh  pengkajian komprehensif. DPR yang menjadi inisiator RUU APP mengaku telah melakukan  pengkajian mendalam. Bertahun-tahun mereka melakukan pendalaman atas persoalan  pornografi dan pornoaksi, termasuk pelbagai implikasi hukum, sosial, politik, budaya dst yang bakal muncul ketika RUU APP kelak diundangkan. Tidak sedikit pula biaya yang terpakai untuk menggodok RUU. Tentu sayang sekali, jika RUU yang berbiaya besar tersebut  pada akhirnya hanya akan menjadi RUU yang tidak ada implikasi dan dampaknya bagi  perbaikan kehidupan masyarakat dan bangsa secara keseluruhan.

Pornografi dan pornoaksi memang membutuhkan sebuah pengaturan yang tegas dari negara. Persoalannya tak bisa diselesaikan di tingkat masyarakat, sekalipun mekanisme kontrol masyarakat sangat penting sebagai tindakan preemptive. Tindakan berbau pornografi dan pornoaksi tak bisa dibiarkan begitu saja, karena bisa berdampak jauh kepada moralitas generasi masa depan. Jangankan di Indonesia atau negara-negara Arab Timur Tengah, di negara Barat saja masalah pornografi dan pornoaksi. Untuk itu ada beberapa kalangan yang menganggap bahwa sangat urgensi tentang munculnya Undang-Undang APP. Diantara  pentingnya undang-undang tersebut dengan berbagai alasan: 1. KUHP terbukti tidak cukup untuk mengurangi tingkat dekadensi moral yang terjadi dalam masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan pornografi dan pornoaksi danpornoaksi. 2. RUU APP merupakan kebutuhan fundamental bagi bangsa Indonesia ke depan, yang secara filosofis merupakan ''jawaban'' atas kebutuhan masyarakat transisi, seperti Indonesia. 3. Di manapun, masyarakat transisi selalu rentan terhadap pelbagai perubahan dan gejala sosial dan budaya baru, sehingga perlu dibentengi dan dipagari dengan regulasi yang lebih kokoh. 4. Tidak ada alasan kuat menolak RUU APP, kecuali jika belum ada revisi, sebagaimana tadinya dimasalahkan kelompok-kelompok penentang. 5. Yang dikhawatirkan masyarakat Sulawesi Utara, Papua, Bali, dan kelompokkelompok ''minorias'' lain hanyalah ketakutan yang absurd. 6. Jika dicermati pasal per pasal, RUU APP sebenarnya tetap mengakomodasi pluralisme atau keanekaragaman budaya dan masyarakat Indonesia. 7. Di negara Barat saja masalah pornografi dan pornoaksi diatur secara ketat. Sementara itu, juga perlu diangat selain ada yang pro juga ada yang kotra dalam menaggapi tentang Rancana Saat ini, pornografi dan pornoaksi telah menjadi bisnis besar  dengan keuntungan yang menggiurkan. Perdagangan majalah, tabloid, vcd, program televisi, serta situs porno di internet, telah menjadi 'tambang uang'. Bisnis ini jelas terancam jika RUU APP disahkan. Karenanya, tidak tertutup kemungkinan kepentingan bisnis ikut melatari  penolakan ini. Pornografi dan pornoaksi juga telah menjadi simbol aliran budaya Barat bisa  juga dibaca liberal. Belakangan, westernisasi menjadi dinamika yang tak terbendung alirannya. Di bidang ekonomi, westernisasi terus dikampanyekan. Hal serupa juga terjadi  pada aspek seni dan budaya, kehidupan sosial, juga agama. Motif westernisasi ini juga punya  peluang ikut bermain dalam aksi menolak RUU APP. Unsur ideologi penolakan RUU APP ini bisa terlihat dengan munculnya tuduhan  bahwa pembuatan RUU APP merupakan langkah awal untuk menerapkan syariat Islam. Dalam artikelnya, Goenawan Mohamad, juga menganggap upaya untuk menyusun RUU APP sebagai langkah untuk 'mengarabkan' Indonesia. Dalam banyak kasus, dunia Arab disimbolkan sebagai Islam. 56

56

Jumat 10 maret 2006 , Republika, Paranonia Menolak RUU APP, Irfan Junaidi

Terkait dengan Undang-Undang tentang Anti pornografi dan pornoaksi tersebut, dari hasil pengamatan penulis sedikitnya ada enam jenis alasan yang kerap dikemukakan para  penolak RUU APP yaitu;  Pertama, mereka menganggap aturan tersebut sebagai alat mengekang kebebasan kaum perempuan dan menjadikan perempuan sebagai korban. Larangan membuka segala hal sensual, seolah-olah hanya disasarkan kepada perempuan. Padahal, jika diamati pasal demi  pasal, jelas sekali kata yang dipilih tidak menunjuk pada jenis kelamin tertentu. Mulai dari Pasal 4 hingga Pasal 33, hampir semuanya diawali dengan kata ''setiap orang''. Artinya, lakilaki maupun perempuan bisa terkena implikasi. Substansi pasal-pasal itu juga tidak menunjuk  kelompok gender tertentu. Rancu jika aturan itu disebut merugikan perempuan. Alasan kedua, aturan itu bertentangan dengan adat istiadat di sebagian wilayah. Bali dan Papua kerap dijadikan modelnya, karena pakaian adatnya memang tidak menutup aurat secara sempurna. Mereka khawatir, warga di kedua wilayah tersebut bakal dijerat hukum jika RUU APP disahkan menjadi UU. Sungguh logika ini sangat dipaksakan. Logika yang sangat awam pun mengetahui bahwa aturan itu disiapkan bukan untuk menjerat masyarakat adat Bali yang hanya mengenakan kemben, maupun warga Papua yang hanya berkoteka. Lagi pula, dalam diskursus soal pornografi dan pornoaksi yang berjalan selama ini, masyarakat dari kedua wilayah tersebut tidak pernah ikut dihitung. Mengapa tiba-tiba mereka dijadikan 'tameng'? Dasar penolakan ketiga menyebutkan bahwa urusan pornografi dan pornoaksi cukup diatur Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP. Jika KUHP memang mencukupi, tentulah fenomena pornografi dan pornoaksi tidak akan marak seperti sekarang. Karena itulah  perlu aturan yang menyempurnakannya. Alasan keempat menuding RUU APP sebagai bentuk intervensi negara terhadap ruang  privat warga negaranya. Alasan ini kerap sekali terdengar. RUU APP seolah-olah dianggap hanya mengatur masalah pakaian dan tubuh perempuan an sich. Sensualitas yang dibatasi RUU APP adalah sensualitas yang memasuki ruang publik. Karena itu, istilah ''dipertontonkan di muka umum'', ''disiarkan/menyiarkan'', ''menyebarkan'', bertebaran dalam draf RUU tersebut. Sensualitas yang berada di ruang privat, memang tidak boleh dijangkau negara. Urusannya menjadi lain jika sensualitas itu memasuki ruang publik. Yang kelima adalah alasan yang sangat klasik: membuat kreasi seni dan budaya menjadi kering. Dalam persepsi saya, argumentasi ini sungguh merendahkan derajat para seniman dan budayawan. Secara tidak langsung, argumentasi ini menganggap kreativitas seniman dan budayawan hanya mampu berada di area sensual. Karenanya, hasil karya mereka menjadi kering ketika area itu dibatasi. Seniman dan budayawan yang menjadikan sensualitas sebagai 'tumpuan hidupnya' memang pantas risau dengan adanya RUU APP. Sebaliknya, mereka yang ruang kreasinya lebih luas dari sekadar sensualitas, tentu tidak perlu khawatir. Bukan baru kali ini pornografi dan pornoaksi dan seni dibentur-benturkan. Ini adalah alasan yang sangat klasik. Atas nama seni, orang boleh telanjang di muka umum. Mereka yang mempersepsi ketelanjangan itu sebagai pornografi dan pornoaksi kemudian dianggap  berpikiran ngeres kotor dan disalahkan. Sebaliknya, orang yang tampil tanpa busana malah dibela karena dianggap berani memperjuangkan kebebasan berekspresi. Semoga Allah memberikan hidayah pada mereka! []

II ABORSI

BAGIAN PERTAMA FENOMENA ABORSI Aborsi merupakan realitas sosial yang menggejala di kalangan masyarakat. Maraknya  praktek aborsi dalam masyarakat memasukkan fenomena tersebut dalam tingkat yang lumrah. Ironisnya, aborsi mendapatkan justifikasinya oleh beberapa kalangan. Bahwa aborsi dipandang sebagai salah satu bentuk otonomi perempuan atas tubuhnya. Aborsi merupakan  bagian dari hak reproduksi, dan hal ini berarti perempuan memiliki hak untuk mendapatkan   pelayanan aborsi yang aman. Lebih dari itu, hak reproduksi yang terkualifisir dalam instrumen Hak Asasi Manusia semakin memuluskan praktek aborsi dan memperuncing kompleksitas dampak-dampaknya.  Namun di ujung spektrum lainnya, banyak kalangan terutama agamawan memandang aborsi sebagai yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan keagamaan. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa aborsi nyaris serupa dengan praktek pembunuhan. Secara afirmatif, hukum Positif Indonesia seperti KUHP juga memetakan aborsi dalam tindak pidana. Tarik ulur tentang kebolehan aborsi dan tidaknya menempatkan praktek tersebut sebagai sesuatu yang sulit diketahui dan dilacak secara numerikal dengan pasti. Kendati demikian, aborsi di kalangan masyarakat benar-benar terjadi dan ada. Kesulitan mengestimasi angka praktek aborsi di lapangan secara akurat lebih dihadapkan pada kendala hukum dan norma-norma sosial. Atas dasar itu, angka-angka yang diperoleh, pada dasarnya, belum menunjukkan jumlah kejadian yang sebenarnya. Sebagai ilustrasi banyaknya praktek aborsi, pada tahun 1994 diperkirakan terjadi 1.000.000 aborsi setiap tahun di Indonesia. 50% diantaranya dilakukan oleh mereka yang   belum menikah, dan dari jumlah ini kurang lebih 10-25% adalah remaja [Jayakarta, 3/10/1994]. Tahun berikutnya, Bali setiap hari ada 100 remaja di Denpasar dan Bandung yang ingin dipulihkan dari kehamilan yang tidak mereka inginkan [Matra, November 1995]. 57 Secara spesifik, Sumapraja [Kompas, 30/11/1997] menyatakan 99,7% perempuan yang melakukan aborsi adalah ibu-ibu yang sudah menikah. Sementara itu, penelitian lapangan yang dilakukan oleh Indraswari dari FISIP Unpad pada tahun 1997 menyimpulkan 85% pelaku aborsi berstatus menikah. Penelitian ini juga mengungkapkan faktor-faktor yang mendorong perempuan mengambil langkah abortus spontan ialah kelelahan, beban kerja   berlebihan dan kondisi kesehatan mencapai angka 20%. Selebihnya, 10% responden melakukan abortus provokatus terapikus [APT], dan 65% responden melakukan abortus  provokatus kriminalis [APK]. 58 Akhirnya, persoalan aborsi tidak dapat dipandang secara sederhana. Dari sudut  pandang agama, aborsi secara tegas dinyatakan sebagai praktek yang dilarang. Tidak jauh 57

Adrina dkk, Hak-Hak Reproduksi Perempuan yang Terpasung , [Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998], h.117-118 58

Syafiq Hasyim [Ed], Menakar “Harga” Perempuan, [Bandung: Mizan, 1999], Cet. ke-1, h.152-154

 berbeda dengan perspektif agama, aborsi dari segi moral juga dinilai sebagai tindakan asusila, karena secara substansial aborsi tidak lebih dari bentuk pembunuhan janin yang tidak berdosa. Sementara itu, dari aspek kesehatan, aborsi dipandang sebagai langkah untuk menekan dan  bahkan mencegah angka kematian ibu yang masih relatif tinggi terutama di Indonesia. Dalam Lokakarya Nasional "Amandemen UU Kesehatan No.23 Tahun 1992" yang diselenggarakan oleh Komisi VII DPR dan Koalisi untuk Indonesia Sehat di Gedung DPR  [hukumonline, 27 Desember 2006], koordinator Sub Komisi Kesehatan Komisi VII DPR-RI dr. H.A. Sanoesi Tambunan menyatakan bahwa sekitar 30% dari kematian ibu di Indonesia terjadi akibat abortus yang tidak aman dan tidak bertanggung jawab. Karena itu, amandemen Pasal 60 UU No.23/1992 harus dilakukan. Secara khusus, dalam Pasal 60 ayat [1] RUU Kesehatan disebutkan bahwa pemerintah berkewajiban melindungi kaum perempuan dari praktik pengguguran kandungan yang tidak bermutu, tidak  aman, dan tidak bertanggung jawab, melalui peraturan perundang-undangan. Secara sepintas, RUU tersebut melegalkan praktek aborsi, namun tidak demikian jika ditelisik secara mendalam. RUU Kesehatan dimaksudkan untuk mengatur praktek-praktek  aborsi illegal dan tidak aman yang justeru menimbulkan komplikasi buruk bagi ibu akibat  pengguguran kandungan. Lebih lanjut, RUU Kesehatan disketsakan guna melindungi kaum ibu dari kematian yang seharusnya dapat dicegah. Konsekuensi logis dari itu adalah masalah aborsi dapat dinyatakan lebih merupakan masalah kesehatan, dan bukan masalah moral ataupun agama. Alasannya, dampak dari aborsi yang tidak aman sangat berbahaya bagi jiwa dan kesehatan ibu. Kehamilan yang tidak  diinginkan, secara psikologis, mengakibatkan kondisi keterpurukan dan desperate. Instabilitas  psikologis dalam tingkat-tingkat tertentu, mengimplikasikan tindakan yang pada mulanya tidak terpikirkan namun pada akhirnya dianggap sebagai solusi final. Dalam konteks kasuistis seorang ibu yang tengah mengandung dan yang dalam kondisi desperate, pengguguran janin   bukan tidak mungkin merupakan solusi untuk menghilangkan beban. Akibat illegalitas abortus dalam hukum Indonesia dan kualifikasinya sebagai tindakan kriminal, maka calon ibu mencari pelaku pengguguran yang illegal dan tidak aman, dan akhirnya menyebabkan kematian. Lebih dari itu, pengaturan abortus tidak hanya untuk melindungi jiwa dan kesehatan ibu, tetapi juga kesehatan bayi yang akan dilahirkan. Upaya percobaan penguguran janin   bukan tidak mungkin melahirkan bayi yang justru mempunyai kualitas kesehatan dan intelegensia yang buruk. Dengan demikian aborsi dan pengaturannya dari sudut pandang kesehatan dimaksudkan untuk melindungi kesehatan ibu dan bayi. Lebih lanjut, pengaturan aborsi dilakukan dengan persyaratan tertentu. Bahwa aborsi tidak dilakukan terhadap janin yang telah berusia tiga bulan. Namun dari sudut hukum, aborsi dinilai sebagai tindak kriminal, dan  pencabangan [bifurcation] dari itu ialah pelaku aborsi dan penolong dari pelaku aborsi dapat dijerat hukuman.  Namun kenyataan banyaknya pelaku aborsi, dalam perspektif hukum setidaknya menunjukkan bahwa hukum belum mampu menampakkan efekfitifitasnya dalam memberi efek jera. Lalu bagaimana dengan Islam yang melarang pembunuhan nyawa tidak berdosa dan   juga menuntut peningkatan kualitas generasi. Sementara penurunan angka dan bahkan stagnasi pada titik nadir dalam fluktuatifitas kualitas intelegensia banyak diakibatkan oleh upaya pengguguran janin yang illegal dan tidak aman.

Islam, salah satu agama dunia 59 yang berkembang pesat di Indonesia, dalam menghadapi agama-agama lain dan elemen-elemen dalam kehidupan sosial seperti hukum dan kedokteran mempunyai sikap dasar ‘agree in disagrement ’ dan ‘competition in good .60 Kedua sikap tersebut akan mewujudkan kehidupan sosial yang tidak sekedar penuh harmonisasi, tetapi juga kerjasama yang produktif dan dinamis. Namun dalam tataran realistisnya, truth claims [klaim-klaim kebenaran] seringkali dihadapkan dengan  stereotpyng  negatif bahwa agama tidak mencerminkan keadilan dan kurang memperhatikan asas kemanusiaan. Terkait dengan aborsi, Islam yang tidak membolehkan penghilangan paksa nyawa dapat dianggap sebagai agama yang ahumanis, karena mengesampingkan kesehatan sang ibu dan bayi. Atas dasar itu, dipandang perlu untuk melakukan penelusuran aborsi dalam hukum Islam terkait dengan kompleksitas kasus aborsi dalam tataran praktisnya di Indonesia. Penelitian ini sangat penting dilakukan, karena akan berpengaruh pada proses perubahan kehidupan sosial keagamaan masyarakat yang oleh Kung dilukiskan sebagai pergeseran  paradigma [ paradigm shift ] dan atau perubahan paradigma [ paradigm change] terhadap unsur  instrinsik dan unsur ekstrinsik 61 yang sudah tentu akan memunculkan pula implikasi signifikan pada hubungan yang integral dan dinamis antara agama Islam dan pilar-pilar  kehidupan sosial lain, yaitu sisi hukum dan kedokteran.

BAGIAN KEDUA ABORSI DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF A. Dasar Hukum Islam Hukum Islam merupakan sistem hukum yang dinilai penting di dunia selain sistem hukum Romawi Jerman, sistem hukum sosialis dan common law di dunia. Menurut David 62  jika urgensitas ketiga sistem terakhir lebih disebabkan oleh perkembangannya yang pesat dan sekaligus pengaruhnya yang signifikan terhadap perkembangan peradaban Barat, namun hukum Islam lebih dilatarbelakangi oleh kaitannya yang amat erat dengan agama semit di samping oleh sumber-sumber hukumnya yang orisinil.

59

Roland Robertson, ed.,   Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis terj. dari Sociology of  Religion oleh Ahmad Fedyani Saifuddin, [ Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995], h. 9 60

W. Mongomery Watt, Islamic Political Thought , [Edindurgh: Edinburgh University, 1987], h. 51

61

Hans Kung, Theology of The Third Millenium, [New York: Doubleday, 1988] Brierly J. E. C. R. David, Major Legal Systems in The World Today, [London: 1968], h. 19

62

Islam menurut Lewis63 memiliki dua pengertian yang saling berhubungan, namun dalam beberapa kasus justeru menghasilkan serangkaian paradoks yang pada akhirnya mengaburkan makna Islam itu sendiri. Dalam satu pengertian, Islam menunjukkan sebuah agama, sistem keyakinan, ibadah, pemikiran dan etika, dan dalam pengertian lain Islam  berarti peradaban yang tumbuh dan berkembang di bawah pengawasan agama Islam [Islam secara sejarah]. Dalam suatu ceramahnya, Lewis 64 memaparkan lebih lanjut, bahwa Islam mempunyai tiga persepsi,  pertama, Islam sebagai konsep terwujud dalam al-Qur’an dan Sunnah, karena itu Islam secara konsepsional dinilai sebagai yang tidak berubah, kedua, Islam sebagai yang disistematisasikan melalui interpretasi oleh para ulama berdasarkan konteks sosial budaya masyarakat, dan atas dasar itu interpretasi Islam selalu berkembang dan dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman, dan ketiga, Islam sebagai Islam sejarah yang diimplementasi dan diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat, hukum, negara dan kebudayaan. Islam as such sebagai sistem kepercayaan, dengan demikian, merupakan agama Tuhan yang bersifat transenden, abadi, samawi dan mutlak. Sakralitas Islam disebabkan oleh transendensitas sumber-sumber agama yang berbasis wahyu divinitas al-Qur’an dan Sunnah [revealed religion] dan yang tidak dapat diamandemen. Kendati demikian, sakralitas Islam tersebut tidak lantas menjadikan Islam sebagai agama yang tidak berdimensi sosial, karena Islam merupakan agama yang disampaikan oleh [Nabi] Muhammad dan untuk umat manusia. Wahyu dari Allah sebagaimana yang tersurat dalam al-Qur’an dan Sunnah selalu   bersinggungan dengan berbagai aspek sosial, seperti toleransi, pendidikan dan lain-lain. Konsepsi al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman manusia untuk mencapai kesalehan individual dan sosial dipastikan selalu bersinergi dengan realitas sosial. Dalam hal ini, legal rulings [hukum-hukum] menjadi  pointer  penting dalam konstruksi teks-teks keagamaan karena objek hukum menyambung mata rantai keterkaitan manusia secara vertikal dengan Tuhan, dan secara horisontal dengan sesama manusia dan makhluk lainnya. Al-Qur’an, menurut Syalthut,65 menegaskan bahwa Islam memiliki dua pilar  fundamental yang harus diobyektivasi dan lantas diinternalisasi dalam akal, hati dan hidup, yaitu  pertama, aqidah dan kedua, syariah. Al-Qur’an melekatkan ‘lem’ terminologi iman untuk menjelaskan aqidah dan amal shalih untuk syariah. 66 Lebih lanjut, aqidah merupakan teoritasi yang menuntut individu meyakininya lebih dahulu secara holistik dan tanpa ragu. Syariah adalah peraturan-peraturan yang dilegislasikan oleh Allah untuk diimplementasikan dalam kerangka menciptakan harmoni dalam hubungan manusia secara vertikal dengan Allah dan horizontal dengan manusia dan alam. 67 Bertolak dari struktur ayat qur’aniyah, Syalthut

63

Bernard Lewis, Islam dalam Krisis: Antara Perang Suci dan Teror Kotor , terj. Dari The Crisis of Islam: Holy War and Unholy Terror, CET. 1, [Surabaya, Jawa Pos Press: 2004]. 64

Dawam Rahardjo,   Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Suci, CET. 2, [Jakarta: Penerbit PARAMADINA, 2002]. 65

Mahmud Syalthut, Al-Islâm: ‘Aqîdah wa Syarîah, [Kairo: Dâr al-Syurûq, 2001].

66

Konstruksi aqidah dan amal shaleh dalam bingkai unifikasi dalam al-Qur’an dapat dilihat dalam surat al Kahfi/18: 107-108, dan an-Nahl /16: 97. 67

 Ibid., h. 10

menyatakan bahwa aqidah menjadi basis fundamental dan poros dari syariat, dan syariat merupakan implikasi dan konsekuensi serta pencabangan dari aqidah. Syariah, dengan demikian, merupakan seluruh peraturan [ syara’ ] yang bersumber dari Allah [ syâri’ ] dan disampaikan oleh Rasul kepada manusia, Syariat merupakan program implementasi dari aqidah. Konsekuensi logisnya adalah aqidah hanya satu dan seragam, dan sementara itu, implementasinya dapat berbeda-beda sepanjang sejarah kemanusiaan. Sejarah menuliskan bahwa setiap rasul membawa syariatnya masing-masing. Karena aqidah menjadi sentral dari dan [serba] meliputi seluruh segi kehidupan, maka ramifikasi dari itu ialah syariat sebagai program pelaksanaannya juga meliputi seluruh segi kehidupan meski dalam berbagai paparan dan penyelesaian terhadap problematika kemanusiannnya tidak disebutkan dalam preseden terperinci. Salah satu di antaranya adalah segi hukum, segi peraturan-peraturan hidup dalam masyarakat yang mengatur perbuatan manusia terhadap manusia lain dalam masyarakat. Substansi al-Qur’an dan Sunnah yang ditujukan bagi manusia paripurna di seluruh alam dan merupakan reaksi aktif dari serangkaian persoalan masyarakat menuntut sistematisasi interpretasi terstruktur sebagai upaya aktualisasi teks sekaligus hukumnya dalam dialektika hubungan teks dan realitas. Paradigma ini memunculkan persepsi Islam sebagai yang ditafsirkan oleh ulama namun tetap berporos pada syariah. Dalam hal ini, Islam sebagai hasil interpretasi ini disebut dengan fiqh. Dengan demikian, Syariah merupakan wahyu Tuhan yang mengatur kehidupan manusia secara universal, mencakup hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam. Syariah menjadi sumber primer seluruh akitivitas manusia dan hanya berasal dari Tuhan. Sedangkan fiqh merupakan keputusankeputusan-keputusan yang disimplifikasikan dari syariah oleh ulama. Atas dasar itu, fiqh yang merupakan ciptaan manusia bersifat temporal dan tunduk pada determinan sosiologis. Sebaliknya syariah bersifat absolut dan tidak dapat dirubah. Akhirnya, syariah, secara umum, mencakup konsep-konsep dasar yang transenden dan eternal karena bersumber secara ontologis dari legislator tertinggi, sedangkan fiqh lebih mengkristal pada hasil pemahaman manusia yang cenderung bersifat temporal sesuai dengan dan mengikuti perkembangan budaya manusia dan perubahan sosial masyarakat. Dengan demikian, dari sudut historisnya, syariah mendahului fiqh, karena syariah merupakan  pelembagaan kehendak Tuhan yang belum dimasuki oleh aktivitas akal interpreter, sedangkan fiqh merupakan hasil analisa manusia terhadap syariah. Di Indonesia, pengertian hukum Islam jika dialihbahasakan dengan menselaraskan  pengalihbahasaan dari bahasa Inggris [ Islam law dan Islamic yurisprudence] yang lumrah di kalangan muslim di atas menciptakan ambiguitas. Ambivalensi ini terjadi apabila ditelusuri dari dan dikaitkan dengan pandangan bahwa atom dari syariah terkandung dalam al-Qur’an, Sunnah, ijma [konsensus masyarakat Islam] dan qiyas [analogi]. Bahwa sinonimitas terdapat  pada term  Islamic law dengan syariah [obyek analisa manusia] dan  Islamic yurisprudence dengan fiqh [hasil analisa manusia] berdampak pada ambiguitas tentang lahan syariah dan fiqh. Banyak pakar Islam mengafirmasikan bahwa syariah ialah fiqh, dan fiqh ialah syariah. Bahkan mayoritas cendekiawan muslim, seperti Zahrah 68 mendefinisikan hukum Islam sebagai seperangkat peraturan berbasis al-Qur’an dan Sunnah Rasul mengenai tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat semua umat yang 68

Muhammad Abu Zahrah, Ushûl al-Fiqh, [Beirut: Dâr al-Fikr, 1958].

 beragama Islam. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas ulama muslim berpendapat bahwa hukum Islam mencakup hukum syariah dan hukum fiqh. Ambiguitas mengenai term hukum Islam ini dapat dipahami, karena istilah hukum Islam tidak termuat dan ditemukan dalam al-Qur’an, Sunnah dan literatur fiqh klasik. AlQur’an, Sunnah dan literatur fiqh klasik menggunakan istilah syariah, fiqh dan derivasinya untuk menyebut hukum Islam. Lebih lanjut, Al-Qur’an hanya menyebutkan hukum Allah dan tidak hukum Islam. Di kalangan masyarakat Indonesia berkembang berbagai macam istilah hukum Islam yang satu dengan yang lain mempunyai persamaan dan sekaligus juga perbedaan. Istilahistilah tersebut adalah syariat, syariat Islam, fiqh, fiqh Islam dan hukum Islam. Kendati istilah-istilah tersebut memiliki pengertian beragam, tetapi secara subtansial merujuk pada sistem hukum yang terdiri atas dan bersumber dari kaedah hukum berbasis divinitas [alQur’an dan Sunnah] dan kaedah hukum bersumber dari al-ra’yu. Tidak jauh berbeda dengan itu, hukum Islam menurut teori ulama muslim zaman  pertengahan Islam ialah hukum yang terstruktur dari dan dibangun secara hiraerkis di atas empat komponen sumber hukum,  pertama, al-Qur’an, kedua, Sunnah, ketiga, ijma’ [konsensus], dan keempat , qiyas [penalaran analogis]. Menurut Muslehuddin69 sebagaimana yang dikutip dari Oxford English Dictionary  bahwa hukum adalah kumpulan aturan, baik dari produk atauran formal maupun adat, yang diakui oleh masyarakat atau bangsa tertentu sehingga mengikat [individu]nya sebagai anggota atau subyeknya. Dengan demikian, hukum Islam adalah suatu kaedah hukum yang bersifat konkrit, dan yang terkait dengan proses turunnya wahyu dari Tuhan, serta yang merupakan jawaban atas  persoalan yang terjadi masa [Nabi] Muhammad. Bahwa hukum Islam yang bersumber dari wahyu merupakan suatu sistem yang mengandung norma hukum baik yang bersifat haram, wâjib, sunnah, makrûh, dan mubâh, dapat disebut sebagai norma hukum atau dalam bahasa Islam al-ahkâm yang pada tahap selanjutnya disebut dengan hukum Islam. Hukum Islam itu   juga dapat dikaitkan dengan aturan formal atau nonformal dari pemahaman berbasis sosiologis empiris dan normatif terhadap teks-teks divinitas pasca masa hayat [Nabi] Muhammad. Kendati tidak sedikit materi hukum Islam yang merupakan hasil ijtihad, tetapi karena secara konseptual membentuk garis hirarki dari ideal makna hukum Islam yang   pertama, maka hasil ijtihad tersebut juga dinilai sebagai hukum yang memiliki nilai religiusitas dan sanksi keagamaan. Eksistensi hukum Islam yang pada prinsipnya mencakup dimensi sosial menjadikan  pelaksanaan hukumnya selain sebagai kewajiban religius juga menjadi rujukan pengambilan kebijakan utama terhadap kepentingan umum [  good public] masyarakat dan parameter  etikanya. Konsep bahwa teks ilahiyah mempunyai permanensi mutlak dan pelaksanaannya memiliki fleksibilitas sejalan dengan  good public menunjukkan bahwa hukum Islam selain merupakan instrumen yang konstan juga meliputi prinsip dasar hukum yaitu kebebasan. Kebebasan ini terartikulasikan dalam aktivitas para pakar hukum. Secara spesifik, akitivitas ini menampakkan adanya variasi-variasi, seperti istishlâh dengan tetap merujuk pada satu sumber primer yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Akhirnya, hukum Islam merupakan hukum agama dan hukum moralitas. Hal ini pada tataran implementasinya mengkonsekuensikan balasan di dunia dan di akherat. Oleh karena 69

Muslehuddin, Muhammad,  Philosophy of Islamic Law and The Orientalist: A Comparative Study of   Islamic Legal System, [Lahore: Islamic Publications Ltd, 1980], h. 17

itu, hukum Islam melembaga dan menginternalisasi menjadi kebiasaan dalam kehidupan setiap muslim guna meraih ketertiban, kedamaian, kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akherat.

 BAGIAN KE-TIGA DESAIN ABORSI A. Pengertian Aborsi Kata aborsi berasal dari bahasa Inggris yaitu abortion dan bahasa Latin abortus. secara etimologis berarti, gugur kandungan atau keguguran. 70 Dalam bahasa Arab, aborsi disebut dengan al-ijhâdh atau isqâth al-haml .71 Adapun aborsi [isqâth al-haml] dalam pengertian terminologis sebagaimana yang didefinisikan oleh para adalah pengguguran janin yang dikandung perempuan dengan tindakan tertentu sebelum sempurna masa kehamilannya, baik dalam keadaan hidup atau mati

70M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Haditsah pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam , [Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998], h. 44 71

Banyak f uqaha kontemporer yang menggunakan istilah al-ijhadh. Misalnya Dr. Wahbah Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islamy wa adillatuhu, Dr. Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam Mas’alah Tahd  d an-Nasl , Wiqâyatan wa ‘Ilâjan, Syaikh al-Azhar [mantan] Jaad al-Haq ‘Ali Jaad al-Haq dalam  Ahkâm as-Syarî’ah al-Islâmiyyah fî Mâsa’il Thibbiyyah ‘an al-Amrâdh anî   Nisâ’iyyah wa Shihhah al-Injâbiyah. Namun demikian, beberapa fuqaha juga membedakan kedua istilah ini.  Isqâth al-Haml  , misalnya, digunakan oleh dokter Arab untuk pengguguran kandungan yang sudah tua, sementara al-Ijhâdh digunakan untuk pengguguran kandungan yang masih muda. Lihat KH.A.Aziz Masyhuri, Abortus Menurut Hukum Islam, [Makalah pada acara Bathsul Masail NU Wilayah Jawa Timur, Oktober 1992, tidak diterbitkan]

sebelum si janin bisa hidup di luar kandungan namun telah terbentuk sebagian anggota tubuhnya. 72 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia aborsi adalah: 1. Terpancarnya embrio yang tidak mungkin lagi hidup [sebelum hasil bulan keem pat dari kehamilan]; keguguran atau keluron; 2. Keadaan terhentinya pertumbuhan yang normal [untuk makhluk hidup]; 3. Guguran [janin]. 73 Dalam istilah kedokteran, aborsi adalah pengakhiran kehamilan sebelum masa gestasi [kehamilan] 28 minggu atau sebelum janin mencapai berat 1.000 gram. 74 Sardikin Ginaputra dari Fakultas Kedokteran UI mendefinisikan aborsi sebagai  pengakhiran kehamilan atau hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sedangkan Maryono Reksodipura dari Fakultas Hukum UI mendefinisikan aborsi dengan   pengeluaran hasil konsepsi dari rahim sebelum waktunya [sebelum dapat lahir secara alamiyah].75 Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa aborsi adalah tindakan yang dimaksudkan secara sengaja untuk menggugurkan kandungan yang belum cukup waktu untuk  hidup

B. Macam-macam Aborsi

1. 2. 3. 4.

Selaras dengan definisi yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka dikenal dua macam bentuk aborsi yakni:  Abortus Spontaneous [aborsi spontan] yakni aborsi yang terjadi dengan sendirinya, tidak disengaja dan tanpa pengaruh dari luar atau tanpa tindakan. Abortus spontan bisa terjadi karena kecelakaan, penyakit syphilis, dan sebagainya.  Abortus Provocatus atau abortus arteficiallis, yakni aborsi yang dilakukan dengan sengaja. Tindakan semacam ini dibagi dua:   Abortus provocatus thorapeuticus, yakni yang dilakukan atas dasar pertimbangan medis yang sungguh-sungguh dan pada umumnya untuk menyelamatkan jiwa si ibu.  Abortus provocatus criminalis, yakni yang dilakukan tanpa indikasi medis apapun, dan dianggap sebagai tindak pidana. 76 Aborsi yang tersebut terakhir inilah yang sering disebut dengan aborsi illegal dan diancam hukuman, baik pidana maupun hukum Islam. Sedangkan untuk dua macam aborsi yang lain [abortus spontaneous dan abortus provocatus therapeuticus ] hukum pidana dan 72

Jaad al-Haqq ‘Ali Jaad al-Haq, Ahkâm al-Syarî’ah al-Islâmiyyah fî Masâ’il al-Thibbiyah ‘an Amrâdh al Nisâiyyah wa Shihhah al-Injâbiyyah, [Kairo, Universitas al-Azhar, 1997], h. 135 73

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, [Jakarta: Balai Pustaka, 1995], CET. 2, h. 2 74

Ensiklopedi Islam [Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994], h. 33

75

Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, [Jakarta: CV. Haji Masagung, 1989], CET. 3, h. 77 76

Harkristuti Harkrisnowo,   Aborsi ditinjau dari Perspektif Hukum, [Makalah Seminar dan Lokakarya Aborsi Ditinjau dari Perspektif Fiqh yang diselenggarakan oleh PP Fatayat NU, Jakarta, 2000], h. 4. Lihat juga Masyfuk Zuhdi, Islam dan Keluarga Berencana di Indonesia, [Surabaya: Bina Ilmu, 1986], h. 38-39

hukum Islam memberikan kualifikasi dan ketentuan yang berbeda-beda menurut faktor   penyebabnya, ringan dan beratnya serta jenis dan sifatnya.

C. Faktisitas Aborsi di Indonesia Sebagaimana tersebut di atas bahwa aborsi di lapangan benar-benar merupakan fakta sosial. Dan bahwa angka-angka aborsi belum cukup merepresentasi angka praktek aborsi yang faktual dan karena itu, data tersebut sulit untuk dijadikan pedoman karena penelitian yang akurat terbentur kendala hukum dan norma-norma sosial. Lebih lanjut, data menyebutkan bahwa pada tahun 1994 diperkirakan terjadi 1.000.000 aborsi setiap tahun di Indonesia. 50% diantaranya dilakukan oleh mereka yang belum menikah, dan dari jumlah ini kurang lebih 10-25% adalah remaja [Jayakarta, 3/10/1994]. Tahun berikutnya, Bali setiap hari ada 100 remaja di Denpasar dan Bandung yang ingin dipulihkan dari kehamilan yang tidak mereka inginkan [Matra, November 1995]. 77 Sedangkan angka yang disodorkan oleh Prof. Sudraji Sumapraja, sebagaimana yang tersebut dalam catatannya bahwa 99,7% perempuan yang melakukan aborsi adalah ibu-ibu yang sudah menikah [Kompas, 30/11/1997]. Penelitian lapangan yang dilakukan oleh Indraswari dari FISIP Unpad tahun 1997 menyimpulkan 85% pelaku aborsi berstatus menikah. Penelitian ini juga mengungkapkan abortus spontan karena kelelahan, beban kerja   berlebihan dan kondisi kesehatan mencapai angka 20%. Selebihnya, 10% responden melakukan abortus provokatus terapikus [APT] , dan 65% responden melakukan abortus  provokatus kriminalis [APK].78 Sementara itu, Held dan Adriananz yang melakukan meta analisis tentang kelompok resiko tinggi terhadap kehamilan yang tidak diinginkan mengemukakan bahwa ada 4 kelompok resiko: 1] kelompok kegagalan kontrasepsi [48%]; 2] kelompok remaja [27%]; 3] kelompok praktisi seks komersial [14%]; dan 4] kelompok  korban perkosaan, incest, perbudakan seksual [9%]. 79 Sedangkan menurut penelitian tahun 2001 jumlah aborsi sekitar 2.3 juta, dan 15-20% dilakukan remaja. Hal ini pula yang menjadikan tingginya angka kematian ibu di Indonesia, menjadikan Indonesia sebagai negara yang angka kematian ibunya tertinggi di seluruh Asia Tenggara [Majalah Gemari September 2001] Angka-angka di atas, sekali lagi belum menggambarkan keadaan yang sesungguhnya. Apalagi pada umumnya penelitian dilakukan dengan responden yang tidak banyak dan tidak  luas sebaran wilayahnya. Responden juga kurang jujur dalam menjawab pertanyaan karena ada stigma-stigma tertentu mengenai aborsi. Dari alasan-alasan yang dikemukakan, tampak bahwa sebagian besar aborsi bukan hanya disebabkan oleh kemauan murni perempuan. Aborsi dapat dilakukan akibat kekhawatiran dengan resiko sosial, ketakutan kepada orang lain [suami atau orang tua dan keluarga], adanya paksaan dari keluarga, adanya kondisi keluarga yang membuatnya tidak   berani mempunyai anak lagi. Namun demikian, aborsi yang semata-mata dilakukan karena   perempuan tidak mau punya anak, tampaknya sulit ditemukan datanya, Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, dari perspektif agama, apakah kondisi-kondisi seperti itu bisa 77

Adrina, dkk, Hak-hak Reproduksi Perempuan yang Terpasung , [Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998], h. 117-118 78

Syafiq Hasyim, ed., Menakar “Harga” Perempuan, [Bandung: Mizan, 1999], CET. 1, h. 152-154

Attashendartini Habsjah,   Fakta-fakta Aborsi, [Makalah Semi-Loka Aborsi Dalam Perspektif Fiqh Kontemporer, PPFNU, 2001], H. 4 79

disebut “ikrâh” yang konsekuensinya menempatkan perempuan pada posisi “ghairu mukallaf”?

BAGIAN KE-EMPAT ABORSI DALAM HUKUM ISLAM A. Hukum Aborsi Dalam Islam

   

Perdebatan mengenai aborsi dalam Islam paling tidak mencakup tiga persoalan  penting yakni: Kapan seorang manusia dianggap mulai hidup, apakah sejak terjadinya konsepsi atau ketika sudah mencapai usia tertentu; Bagaimana hukum aborsi, apakah semua aborsi dilarang atau ada aborsi tertentu yang diperbolehkan; Bagaimana halnya dengan aborsi di luar perkawinan baik karena diperkosa maupun karena zina; Apa akibat hukum aborsi dan sanksi yang dikenakan terhadap pelaku. Persoalan pertama berkaitan erat dengan pertanyaan kapan aborsi dianggap sebagai  pembunuhan manusia berakibat hukum bagi pelakunya. Persoalan kedua terkait dengan fakta  bahwa aborsi bisa terjadi karena berbagai sebab, ada yang disengaja dan ada yang tidak. Terhadap aborsi yang disengaja pun perlu dilakukan pemilahan lebih lanjut, apakah karena alasan medis yang serius atau karena tekanan ekonomi, tekanan sosial dan sebagainya. Di sinilah para ulama merasa perlu mendiskusikan “dharurat” yang menjadi alasan kebolehan aborsi. Sedangkan persoalan ketiga menyangkut ketentuan-ketentuan yang lebih rinci mengenai akibat hukum aborsi dalam berbagai bentuknya, yang semuanya itu dimaksudkan untuk mencegah meluasnya aborsi, memberikan efek jera bagi pelaku, serta melindungi kehidupan dan moralitas masyarakat dalam kerangka menjamin terealisasinya maqashid al syari’ah. Terkait dengan penciptaan janin dan penyebutannya sebagai manusia, secara eksplisit al-Qur’an tidak menyatakan kapan janin atau embrio disebut sebagai “manusia”. Namun demikian al-Qur’an banyak menjelaskan proses perkembangan janin dalam kandungan ibu  baik secara sekilas maupun secara rinci. Ayat-ayat yang menjelaskan proses perkembangan  janin secara rinci adalah:

1. Q.S. al-Hajj : 5

‫ن‬‫م‬‫ث‬‫ة‬‫ق‬‫ل‬‫عن‬‫م‬‫ث‬‫ة‬‫ف‬‫ط‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ث‬ ‫اب‬‫ر‬ ‫ت‬‫ن‬‫م‬‫ك‬‫ق‬‫ل‬‫خ‬‫إ‬  ‫ا‬‫ن‬  ‫م‬ ‫ي‬ ‫ك‬‫س‬  ‫ا‬‫ه‬‫ي‬‫أ‬‫ي‬  ‫ل‬‫ف‬‫ج‬‫ ر‬ ‫ى ث‬ ‫م‬ ‫ج‬‫ى أ‬ ‫ء‬‫ش‬  ‫م‬‫ح‬‫ا‬‫ر‬   ‫ق‬‫و‬  ‫ن‬~ ‫ة‬‫ق‬‫ل‬‫م‬‫غ‬ ‫ر‬‫و‬‫ة‬   ‫ق‬‫ل‬‫م‬ ‫ة‬‫ض‬‫م‬ ‫ئ‬‫ل‬‫ع‬‫د‬‫ن‬‫م‬‫ل‬‫ي‬‫ل‬‫ر‬‫ا‬‫ذ‬‫أ‬‫ن‬‫ى‬‫م‬‫ر‬ ‫م‬‫ي‬‫و‬‫ي‬ ‫ى‬  ‫ن‬ ‫م‬‫م‬‫و‬‫ك‬  ‫د‬‫أ‬‫ا‬‫ل‬ ‫ث‬  ]5[‫ه‬‫و‬~‫ك‬ ‫ ز‬‫ن‬‫م‬‫أ‬‫و‬‫و‬ ‫ا‬  ‫ء‬‫ا‬‫ع‬ ‫ه‬‫أ‬ ‫ل‬ ‫ا‬‫ذ‬‫إ‬‫د‬ ‫ا‬ ‫م‬  ‫ر‬‫ت‬‫و‬ “Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan [dari kubur], maka ketahuilah sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari  setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang   sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi …”. [Q.S. al-Hajj : 5] 2. Q.S. al-Mu’minun : 12 – 14

‫ة‬‫ف‬‫ط‬‫ا‬‫ق‬‫ل‬‫خ‬‫ث‬ 13[‫ن‬‫م‬‫ا‬‫ر‬  ‫ة‬‫ف‬‫ط‬‫ل‬  ‫ج‬‫ث‬ 12[‫ن‬‫ن‬ ‫م‬‫ة‬‫ل‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫إ‬‫ا‬‫ق‬  ‫ل‬‫خ‬‫د‬ ‫ق‬‫و‬ ‫ر‬‫اخ‬‫ء‬‫ق‬‫ل‬ ‫خ‬‫ش‬‫أ‬‫ث‬ ‫ظ‬‫ا‬   ‫م‬‫ظ‬‫ع‬‫ة‬‫ض‬‫ا‬‫ق‬ ‫ل‬ ‫ة‬‫ض‬‫ةم‬‫ق‬‫ل‬‫ا‬‫ق‬ ‫ل‬‫ة‬‫ق‬‫ل‬‫ع‬ ]14[‫ن‬‫ق‬‫ا‬‫ن‬‫ح‬‫أ‬‫ل‬  ‫ا‬  “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati [berasal] dari tanah. [12] Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani [yang disimpan] dalam tempat yang kokoh [rahim]. [13] Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal  darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging  daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang [berbentuk] lain. Maha Suci Allah Pencipta Yang Paling Baik”. [14 ] Di samping penjelasan secara terinci, dalam beberapa ayat Allah juga menyinggung  proses penciptaan manusia, misalnya: 1. Q.S. al-Qiyamah : 37 - 38

]38[‫ل‬‫ة‬‫ق‬‫ل‬‫ع‬‫ك‬ 37[‫ى‬‫ث‬ ‫ي‬Ÿ‫م‬‫ن‬‫م‬‫ة‬‫ف‬‫أ‬ ‫ط‬‫ي‬ “Bukankan dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan [ke dalam rahim]. [37]   Kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya”. [38] 2. Q.S. as-Sajdah : 7 -9

‫ء‬‫م‬‫ن‬‫م‬‫ة‬  ‫ل‬‫ن‬‫م‬‫ل‬‫ج‬   ‫ث‬ 7[‫ن‬‫ن‬‫م‬ ‫إ‬‫ا‬‫ل‬  ‫خ‬‫أ‬‫د‬‫و‬‫ق‬‫ل‬‫خ‬‫ء‬‫ك‬ ‫ن‬‫ح‬ ‫أ‬‫ا‬ ]9[‫و‬‫ر‬‫ش‬‫ت‬‫م‬ ‫ل‬‫ل‬ ‫د‬‫ئ‬‫ا‬ ‫ص‬ ‫ و‬‫ا‬‫و‬‫ا‬  ‫ج‬‫و‬‫وح‬‫ن‬‫م‬ ‫ف‬‫و‬‫ا‬ ‫ث‬8[‫ن‬‫ه‬‫م‬

“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai  penciptaan manusia dari tanah.[7] Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari   saripati air yang hina [air mani].[8] Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam [tubuh] nya roh [ciptaan] -Nya dan Dia menjadikan bagi kamu  pendengaran, penglihatan dan hati; [tetapi] kamu sedikit sekali bersyukur.[9]” Dalam ayat-ayat di atas, khususnya dua ayat yang pertama, secara rinci Allah SWT menjelaskan proses penciptaan manusia dan perkembangan janin. Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa pada awal kejadiannya manusia diciptakan dari tanah [Adam as], selanjutnya anak cucu Adam diciptakan dari “ nuthfah” [air mani] yang mengandung beriburibu sperma yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Setelah salah satu sel itu bertemu dengan ovum lalu menyatu dan bergantung pada dinding rahim, selang beberapa waktu “nuthfah” itu berubah menjadi “’alaqah” [segumpah darah]. Selanjutnya ia akan berubah menjadi “mudghah” [segumpal daging]. Kemudian Allah menciptakan tulang belulang dari “mudghah” itu dan membungkusnya dengan daging. Selang beberapa waktu, ia akan menjadi makhluk yang memiliki bentuk yang indah sampai dilahirkan ke dunia menjadi bayi. Demikianlah, al-Qur’an menjelaskan tahapan-tahapan kejadian manusia di dalam rahim. Namun demikian ayat-ayat di atas tidak menyebut kapan janin mempunyai jiwa/ruh. Informasi mengenai hal ini terdapat dalam hadits Nabi. Paling tidak dua hadits Nabi yang mengungkap peniupan ruh ke dalam janin, yakni:

1. HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud: 80

‫ذ‬‫ى‬‫ي‬‫ث‬‫ذ‬‫م‬‫علقة‬‫ذ‬‫ى‬‫ي‬‫ث‬‫م‬‫ي‬‫ن‬‫أ‬‫أمة‬‫طن‬‫ى‬‫خلق‬‫ي‬‫أحدك‬ ‫ل‬‫وع‬‫وأجل‬‫ز‬‫كل‬‫ويؤمر‬‫رو‬‫ا‬‫ف‬‫ل‬‫ا‬‫ير‬‫ث‬‫ذ‬‫ة م‬‫مض‬ …‫د‬‫أو‬‫ق‬‫و‬ “Sesungguhnya kamu berada di rahim ibumu selama 40 hari sebagai nuthfah, kemudian menjadi ‘alaqah selama masa yang sama, lalu menjadi mudghah pada masa yang sama pula. Lalu Allah mengutus seorang malaikat dan meniupkan ruh ke dalam tubuhnya. Malaikat itu kemudian diperintahkanNya menulis empat kalimat, lalu malaikat itu menulis rizkinya, ajalnya, amalnya, kebahagiaan dan kesengsaraannya…”.

2. HR. Muslim dari Huzaifah bin Asid: 81

‫وجلد‬‫صر‬‫و‬‫ه‬‫وخل‬‫ص‬‫مل‬‫ه‬‫ا‬‫لة‬‫وأ‬‫ث‬‫طفة‬‫مر‬‫ذا‬ …‫ل‬‫ا‬‫ء وي‬‫م‬‫قضى‬‫ى؟‬‫أ‬‫ب أذكر أ‬‫ي‬‫ث‬‫مه‬‫وعظ‬‫ه‬‫و‬ 80

Hadits ini disebut Bukhari dalam kitabnya sebanyak 4 kali.Lihat al-Bukhari, Shahih Bukhari, CD.Rom, Kitab Bad’I al-Khalqi bab Zikru al-Malaikat, hadits ke-2969, Kitab Ahadits al-Anbiya’ bab Khalqu Adam wa Dzurriyyatuhu hadits ke-3085, Kitab al-Qadar bab Ma Jaa’a fi al-Qadar hadits ke-6105, Kitab at-Tauhid bab Qawluhu Ta’ala Walaqad Sabaqat Kalimatuna hadits ke-6900.Muslim menyebutkan hadits ini dengan 6 sanad.Lihat Muslim, Sahih Muslim, [Beirut: Dar al-Fikr, 1992], juz II kitab al-Qadar bab Kayfiyyah al-Khalq aladami, hadits ke-2643. Redaksi di atas adalah redaksi Muslim 81 Muslim bin Hajjaj, Ibid ., Kitab al-Qadar, hadits ke-2644. Dalam bab yang sama Muslim juga meriwayatkan 4 buah hadits dari sahabat yang sama, namun dengan redaksi yang sedikit berbeda dan jumlah hari yang berbeda  pula. Dalam salah satu riwayat dikatakan 40 atau 45 hari, dalam riwayat lain disebutkan 40 hari, dan ada juga riwayat yang menyebut secara terssamar, yakni emapat puluh hari lebih [bidh’un wa arba’in]

“Jika nuthfah melewati 42 malam, maka Tuhan mengutus malaikat untuk membentuk  rupa, pendengaran, penglihatan, kulit, daging dan tulangnya. Malaikat bertanya, “Ya Tuhan, lelaki atau perempuan?” Allah pun memutuskan sesuai kehendakNya dan malaikat mencatatnya…”. Dari hadits-hadits di atas, ada dua informasi mengenai kapan ruh ditiupkan. Hadits  pertama menyatakan ruh ditiupkan setelah embrio melewati masa 120 hari yang terdiri dari tiga tahap: 40 hari menjadi nuthfah, 40 hari menjadi ‘alaqah dan 40 hari menajadi mudghah. Sedangkan hadits kedua mengatakan ruh ditiupkan setelah embrio melewati masa 42 hari. Riwayat lain ada yang menyebutkan 40 hari dan 45 hari. Pemberian ruh kepada janin inilah yang kemudian menjadi sumber ikhtilaf mengenai hukum aborsi karena keberadaan ruh dianggap sebagian fuqaha sebagai tanda awal kehidupan manusia dalam arti yang sesungguhnya, yakni manusia yang memiliki raga dan jiwa. Sebagai konsekuensi dari pemahaman ayat dan hadits sebagaimana dijelaskan di atas,  para fuqaha membuat formulasi hukum yang berbeda-beda mengenai aborsi. Perlu untuk  dikemukakan di sini, para fuqaha [klasik] memberlakukan hukum ini secara umum, yakni mencakup aborsi di dalam dan di luar perkawinan [kehamilan karena seks di luar nikah]. Hanya saja, perkembangan terakhir menunjukkan adanya formulasi hukum tersendiri bagi aborsi yang disebabkan oleh hamil di luar nikah dengan alasan-alasan yang tidak semata-mata  bersifat fiqhi, melainkan juga menyertakan alasan-alasan yang sifatnya moral dan sosial. Secara garis besar pemikiran hukum yang berkembang di seputar aborsi adalah: 1. Haram mutlak [‘ala al-ittifaq], kecuali ada uzur yang bersifat “dharuri” Seluruh ulama dari semua madzhab sepakat bahwa aborsi setelah kehamilan melewati masa 120 hari adalah haram, karena pada saat itu janin telah bernyawa. Dasar dari hukum ini adalah hadits pertama sebagaimana yang telah dijelaskan. Karena pada usia tersebut  janin telah bernyawa, maka menggugurkannya sama dengan membunuh manusia [anak] yang secara jelas diharamkan oleh Allah SWT, seperti yang tertera dalam Q.S. al-An’am : 151,

‫ن‬‫م‬‫ك‬‫و‬‫ا‬‫أ‬‫ل‬‫ق‬‫ت‬‫و‬   ‫ح‬ ‫ن‬‫ي‬‫د‬‫ا‬‫و‬‫ئ‬‫ا‬ ‫ك‬‫ر‬‫ش‬‫ت‬‫أ‬   ‫ل‬‫ع‬‫ر‬‫ح‬‫م‬ ‫ت‬‫ا‬‫أ‬‫ت‬  ‫ا‬‫ف‬ ‫ا‬‫ا‬‫ل‬‫ق‬‫ت‬‫و‬ ‫ن‬‫ط‬ ‫م‬‫و‬‫ه‬‫م‬‫ر‬‫ه‬  ‫م‬‫اح‬‫ف‬‫ا‬‫ا‬‫ر‬‫ق‬‫ت‬‫و‬ ‫ي‬‫و‬   ‫ز‬‫ر‬‫ن‬  ‫ل‬‫م‬ ‫ل‬ ‫ك‬‫و‬‫ذ‬~  ‫ل‬‫ر‬ ‫ ا‬‫ح‬ ]151‫ل‬‫ق‬‫ت‬  Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu,  yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak  di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa  yang diharamkan Allah [membunuhnya] melainkan dengan sesuatu [sebab] yang  benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami [nya]. [QS. Al-An’am : 151]

Dan Q.S. al-Isra’ : 33,

‫ر‬‫ي‬‫ل‬‫ط‬~‫ل‬ ‫ل‬ ‫د‬‫ج‬ ‫ق‬‫م‬‫ل‬‫ظ‬‫م‬‫ن‬  ‫م‬‫و‬~‫ل‬ ‫ر‬‫ح‬‫ا‬‫ا‬   ‫ف‬‫ا ا‬‫ل‬‫ق‬‫ت‬‫و‬ ‫ق‬‫ا‬   ]33[‫ا‬ ‫ص‬‫م‬‫ك‬  Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah [membunuhnya], melainkan dengan suatu [alasan] yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara  zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. [QS. Al-Isra’ : 33] Setelah janin memiliki ruh, ia menjadi “manusia” dengan hak-hak primernya [ huquq al-insan ad-dharuriyah]. Konsekuensinya, ia boleh menerima wasiat dan waqaf, berhak  menerima warisan dari ahli waris jika ia lahir dan hidup, serta memiliki hubungan nasab dengan kedua orang tuanya. Para fuqaha menyatakan janin setelah 120 hari memiliki ahliyyah wujub naqishah.82 Aborsi pada usia di atas 120 hari hanya boleh dilakukan jika terjadi kondisi “dharurat” 83 seperti ketika si ibu mengalami problem persalinan dan dokter spesialis menyatakan bahwa mempertahankan kehamilan akan membahayakan jiwa si ibu. 84 Dalam kondisi seperti ini menyelamatkan jiwa si ibu dinilai lebih penting daripada mempertahankan janin, karena ibu adalah induk dari mana janin berasal. Meski demikian, friksi seputar aborsi tidak dapat dielakkan. Secara lebih khusus, ikhtilaf hukum terjadi untuk aborsi di bawah usia 120 hari. Kontroversi ulama dalam hal ini tidak hanya terjadi antar mazhab, tetapi juga pada internal mazhab. Berikut ini uraiannya: 1. Mazhab Syafi’i Fuqaha Syafi’iyah berpendapat aborsi pada usia kehamilan di bawah 40 hari hukumnya makruh. Inipun dengan syarat adanya keridhaan dari suami dan istri serta adanya rekomendasi dari dua orang dokter spesialis bahwa aborsi itu tidak menyebabkan kemudharatan bagi si ibu. Jika masa kehamilan telah lewat 40 hari, aborsi haram mutlak, baik janin sudah  bergerak maupun belum. Pendapat ini didasarkan pada hadits kedua sebagaimana disebutkan di atas.85

82

Jaad al-Haq ‘Ali Jaad al-Haq,  Ahkam al-Syari’ah al-Islamiyah fi Masa’il Thibbiyah ‘an al-Amradh an Nisa’iyyah wa Shihhah al-Injabiyah,h.148-149.Dalam Ushul al-Fiqh, dikenal istilah ahliyyah [kepatutan dan keharusan seseorang untuk menerima hak dan menjalankan kewajiban]. Keharusan menerima hak dari orang lain disebut ahliyyah al-wujub dan keharusan menjalankan kewajiban disebut ahliyyah al-ada’. Janin hanya mempunyai ahliyyah al-wujub. Namun karena ia belum sempurna sebagai manusia, maka hak-haknya pun terbatas. Inilah yang disebut ahliyyah al-wujub al-qashirah atau ahliyyah al-wujub an-naqishah. Lihat Abdul Jalil al-Qaransyawi, dkk.,  Al-Mujaz fi Ushul al-Fiqh, [Cairo: Fakultas Syari’ah Universitas al-Azhar, 1965], cet.ke-2, h.34-35 83 Definisi “dharurat” secara sederhana ialah suatu keadaan yang sampai suatu batas, kalau ia tidak  mengerjakan yang terlarang akan membinasakan jiwanya atau hampir binasa. Dalam keadaan dharurat semacam ini diperbolehkan mengerjakan yang haram, bahkan bisa diwajibkan. 84 Jaad al-Haq,  Ahkam al-Syari’ah al-Islamiyah fi Masa’il Thibbiyyah ‘an al-Amradh an-Nisa’iyyah wa Shihhah al-Injabiyah, h.148-149 85 Sa’id Ramadhan al-Buthi, Mas’alah Tahdid al-Nasl, Wiqayatan wa ‘Ilajan, [Syiria, Maktabah al-Farabi, 2000], h.72-73

Mengutip pendapat Imam al-Zarkasyi al-Imam al-Ramli dalam   Nihayah al-Muhtaj mengemukakan aborsi diperbolehkan pada saat janin masih berupa nuthfah atau ‘alaqah. Pendapat ini disandarkan pada pernyataan Abu Bakar bin Abu Sa’id al-Furati ketika ditanya oleh al-Karabisi tentang seorang laki-laki yang memberi minuman peluntur kepada  jariyahnya. Al-Furati menjawab hal itu boleh selagi masih berupa nuthfah atau ‘alaqah. Lebih lanjut al-Ramli menjelaskan bahwa sebelum nafhi’r ruh, semakin kuat pula makruh tahrimnya. Dan jika sudah ada ruh, aborsi adalah tindakan kriminal [jarimah].86 Seperti halnya pendapat yang berkembang di kalangan Syafi’iyah, Ibnu Hajar dalam Tuhfah al-Muhtaj  juga berpendapat serupa, yakni peniupan ruh terjadi setelah embrio berusia 40 atau 42 hari. Mulai saat inilah aborsi diharamkan. 87 Berbeda dengan ulama Syafi’iyah yang lain, al-Imam al-Ghazali dalam  Ihya ’Ulum al-Din, berpendapat bahwa aborsi adalah tindakan pidana yang haram tanpa melihat apakah sudah ada ruh atau belum. Al-Ghazali mengatakan bahwa kehidupan telah dimulai sejak   pertemuan antara air sperma dengan ovum di dalam rahim perempuan. Jika telah ditiupkan ruh kepada janin, maka itu merupakan tindak pidana yang sangat keji, setingkat di bawah  pembunuhan bayi hidup-hidup .88 Ada yang menarik dari pendapat al-Ghazali mengenai keharaman aborsi. Pelenyapan nuthfah yang telah bertemu dengan ovum dianalogikan dengan sebuah akad atau perjanjian yang sudah disepakati. Sperma laki-laki seperti ijab dan ovum perempuan seperti qabul. Jika keduanya bertemu, maka akad tidak boleh dan tidak bisa dibatalakan. Analogi ini termasuk  qiyas jali. Aborsi, lanjut al-Ghazali tidak bisa disamakan dengan ‘azl/coitus interuptus.89 Demikianlah, dalam fuqaha Syafi’iyah sendiri terjadi ikhtilaf. Mayoritas mengharamkan aborsi pasca 40 hari usia embrio, al-Ramli membuat batasan yang lebih longgar, sementara al-Ghazali justru mengharamkannya sejak terjadi konsepsi. 2. Mazhab Hanafi Sama dengan yang terjadi dalam mazhab Syafi’i, dalam mazhab Hanafi juga terdapat ikhtilaf. Namun jika fuqaha Syafi’iyah sebagian besar sepakat bahwa aborsi haram sebelum usia kehamilan 40 atau 42 hari, sebagian besar fuqaha Hanafiyah berpendapat bahwa aborsi diperbolehkan sebelum janin terbentuk. Kapan janin terbentuk, masih terjadi ikhtilaf juga. Sebagian besar berpendapat janin terbentuk setelah usia kehamilan 120 hari. Pendapat yang demikian disampaikan oleh, antara lain, al-Hashkafi, penulis kitab al-Durr al-Mukhtar . Menurutnya, aborsi boleh sepanjang belum terjadi penciptaan, dan itu hanya terjadi sesudah 120 hari kehamilan.90 Sebagian besar ulama Hanafiyah juga berpendapat demikian. Pendapat lain dikemukakan oleh Ibnu Abidin, penulis kitab al-Radd al-Mukhtar , yakni aborsi makruh mutlak, baik sebelum maupun sesudah terjadinya pembentukan janin. Hanya saja dosanya tidak sama dengan dosa membunuh. 91 Pendapat ini mengandung  pengertian haramnya aborsi secara mutlak karena istilah makruh dalam fiqh Hanafi berarti karahiyah at-tahrim [makruh yang lebih dekat kepada haram].

86

Al-Imam al-Ramli, Juz VIII, Nihayah al-Muhtaj, [Cairo: Dar al-Syuruq, t.th], h.416 Sa’id Ramadhan al-Buthi, Mas’alah Tahdid al-Nasl, Wiqayatan wa ‘Ilajan, h.72-73 88 Al-Imam al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, Juz II, [Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1983], h.51 89  Ibid  90 Ibnu Abidin, al-Radd al-Mukhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar , Juz II, [Beirut: Dar al-Fikr, 1979], h.411 87

91

 Ibid 

3.

4.

a.

b. c.

Sebagian fuqaha Hanafiyah berpendapat bahwa aborsi diperbolehkan sebelum janin melewati usia 45 hari. Pendapat ini dinyatakan oleh Abdullah bin Mahmud al-Mushili.  Namun pendapat ini tidak begitu populer dalam mazhab Hanafi. 92 Mazhab Hambali Dalam memandang hukum aborsi, sebagian fuqaha Hanabilah sama dengan fuqaha Syafi’iyah, yakni bahwa aborsi diperbolehkan sebelum terjadinya penciptaan, yakni sebelum  janin berusia 40 hari. Dalam kitab al-Inshaf  karya ‘Alauddin ‘Ali bin Sulaiman al-Mardayi terdapat keterangan bolehnya minum obat-obatan peluntur untuk menggugurkan nuthfah. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Ibnu an-Najjar dalam Muntaha al-Iradat. Ia mengatakan lakilaki boleh meminum obat yang mencegah terjadinya coitus, sedangkan perempuan boleh meminum obat peluntur untuk menggugurkan nuthfah dan mendapatkan haid. Pendapat yang paling ketat datang dari Ibnu al-Jauzi, dalam kitab  Ahkam an-Nisaa’ , ia menyebutkan bahwa aborsi hukumnya haram mutlak, baik sebelum maupun sesudah  penciptaan [40 hari]. 93 Mazhab Maliki Mayoritas fuqaha Malikiyah berpendapat keras mengenai aborsi, yakni haram sejak  terjadinya konsepsi.94 Pendapat mereka ini sejalan dengan Imam al-Ghazali dari mazhab Syafi’i dan Ibnu al-Jauzi dari mazhab Hambali. Ibnu Hazm dari mazhab Dhahiri juga menyetujui pendapat ini. 95 Demikian pula pandangan sejumlah fuqaha Syi’ah Imamiyah dan Ibadhiyah.96 Ibnu al-Jauzi dalam al-Qawanin al-Fiqhiyah mengatakan bahwa jika sperma telah  bertemu ovum dan berada dalam rahim, pengguguran tidak boleh dilakukan. Keharaman itu menjadi lebih berat jika sudah terjadi masa penciptaan [40 hari], dan menjadi sangat berat   jika sudah diberikan nyawa, karena hal itu sama dengan membunuh nyawa manusia. Pendapat ini sejalan dengan al-Ghazali yang mengenal tahapan-tahapan dosa dalam aborsi. 97 Dari ikhtilaf yang berkembang sebagaimana dijelaskan di atas, dapat disimpulkan  bahwa hukum aborsi pada janin di bawah usia 120 hari adalah sebagai berikut: Boleh sebelum 120 hari. Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian besar ulama Hanafiyah dan sebagian kecil ulama Syafi’iyah. Boleh sebelum 40 - 45 hari [takhalluq]. Pendapat ini dinyatakan oleh sebagian besar fuqaha Syafi’iyah, sebagian besar fuqaha Hanabilah dan sebagian kecil fuqaha Hanafiyah. Makruh cenderung haram, baik sebelum maupun sesudah 40 hari. Pendapat ini dikemukakan sebagian kecil fuqaha Hanafiyah.

92

Sa’id Ramadhan al-Buthi, Mas’alah Tahdid al-Nasl, Wiqayatan wa ‘Ilajan, h.77

93

 Ibid .,h.79

94

Jaad al-Haq ‘Ali Jaad al-Haq,  Ahkam al-Syari’ah al-Islamiyah fi Masa’il Thibbiyyah ‘an al-Amradh an Nisa’iyyah wa Shihhah al-Injabiyah, h.136.Lihat juga al-Buthi, Ibid .,h.80 95

Ibnu Hazm, al-Muhalla, Juz XI, [Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, t.th], h.35-40

96

Jaad al-Haq ‘Ali Jaad al-Haq,  Ahkam al-Syari’ah al-Islamiyah fi Masa’il Thibbiyyah ‘an al-Amradh an Nisa’iyyah wa Shihhah al-Injabiyah, h.13 97

Sa’id Ramadhan al-Buthi, Mas’alah Tahdid al-Nasl, Wiqayatan wa ‘Ilajan, h.80

d. Haram mutlak. Pendapat ini dinyatakan oleh sebagian besar fuqaha Malikiyah, Imam alGhazali, Ibnu al-Jauzi, dan Ibnu Hazm ad-Dhahiri. Dengan kata lain di luar fuqaha Malikiyah, dalam semua mazhab terdapat ulama yang mengharamkan aborsi secara mutlak.  Namun demikian, fiqh selalu mengenal pengecualian. Demikian pula halnya dengan aborsi. Hukum aborsi yang telah diformulasikan para fuqaha di atas berlaku dalam kondisi normal. Dalam ranah pengecualian, para fuqaha memperbolehkan bahkan mewajibkan aborsi,   jika terjadi sebuah kondisi yang dianggap “dharurat”. Banyak kaedah fiqh yang menjadi sandaran hukum hal ini, seperti Q.S. al-Baqarah : 173;

‫ع‬‫و‬‫ر‬‫غ‬‫ر‬‫ط‬‫ن‬ ‫ا‬‫ل‬  ‫ا‬‫ر‬ ‫أ‬‫م‬ ‫و‬‫ير‬‫ا‬ ‫و‬  ‫د‬  ‫ا‬‫و‬‫ة‬‫ا‬  ‫ل‬‫ع‬‫ر‬‫ح‬  ]173[¸‫ح‬¸‫ف‬‫غ‬‫ل‬‫ا‬‫ل‬‫ع‬‫ث‬‫ل‬  Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang [ketika disembelih] disebut [nama] selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa [memakannya] sedang ia tidak  menginginkannya dan tidak [pula] melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[QS. al-Baqarah : 173] Q.S. al-Maidah : 3,

‫ة‬‫ي‬~‫ر‬‫ا‬‫ذ‬‫و‬‫ا‬‫ة‬‫قو‬‫ا‬  ‫و‬‫ل‬‫ا‬‫ر‬‫أ‬ ‫م‬‫و‬‫ير‬   ‫ا‬ ‫و‬‫د‬‫ا‬‫و‬‫ة‬‫ا‬ ‫ل‬  ‫ع‬‫م‬~‫ر‬‫ح‬ ‫ذ‬‫ز‬    ‫ا‬‫ق‬ ‫ ت‬‫أ‬‫ و‬‫ص‬  ‫ى ا‬‫ل‬‫ع‬‫ذ‬‫م‬‫و‬‫ك‬‫ذ‬‫م‬   ‫ا‬‫ك‬‫أ‬‫م‬ ‫و‬‫ة‬‫ط‬‫ا‬‫و‬  ‫ل‬‫ع‬‫ت‬ ‫أ‬‫ي‬ ‫و‬ ‫ل‬‫ك‬‫ا‬ ‫أ‬ ‫ش‬  ‫اخ‬‫و‬‫ش‬  ‫ت‬‫ل‬ ‫ي‬‫ن‬‫م‬‫وا‬‫ر‬‫ف‬‫ك‬‫ين‬  ‫ا‬‫ئ‬  ‫ي‬‫ا‬ ‫ف‬‫غ‬‫ل‬‫ا‬‫إ‬‫ث‬‫إ‬‫م‬‫غ‬ ‫ر‬ ‫ة‬‫ص‬ ‫م‬ ‫ ر‬‫ ط‬‫ا‬‫ن‬ ‫ي‬‫ل‬‫إ‬   ‫ا‬‫و‬   ]3[‫ح‬   Diharamkan bagimu [memakan] bangkai, darah, daging babi, [daging hewan] yang  disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang  ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan [diharamkan bagimu] yang disembelih untuk berhala. Dan [diharamkan juga] mengundi nasib dengan anak panah, [mengundi nasib dengan anak panah itu] adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk [mengalahkan] agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[QS.  Al-Maidah : 3]

Hadits Nabi “laa dharara wa laa dhiraara”, dan kaedah fiqhiyah “ad-dharurat tubihu al-mahdhuraat”.98 Diantara alasan yang sering dikemukakan fuqaha untuk membolehkan aborsi adalah keringnya air susu ibu yang disebabkan kehamilan, sementara ia sendiri sedang menyusui  bayinya. Dalam keadaan demkian ia atau suaminya tidak mampu membayar air susu yang lain. Alasan lain adalah ketidakmampuan ibu menanggung beban hamil, karena tubuhnya yang kurus dan rapuh. Dalam kasus-kasus seperti ini aborsi tanpa memandang usia kehamilan, dapat dilakukan sepanjang menurut penelitian medis yang dapat dipercaya, kelahirannya dipastikan akan membahayakan jiwa ibu. Dilema kematian antara ibu dan janin dalam pandangan fuqaha dipecahkan melalui  pengorbanan janin berdasarkan kaedah:

‫ين‬‫ضر‬‫ا‬‫ب اخف‬‫ت‬‫إ‬‫ا‬‫ر‬‫ه‬‫أعظ‬‫ع‬‫دت‬‫ف‬‫ا‬‫ر‬‫اذا ت‬ “Jika terjadi pergulatan antara dua hal yang sama-sama merugikan, maka yang harus dipertahankan adalah hal yang menimbulkan kerugian paling berat dengan mengorbankan kerugian yang lebih ringan”. Dalam pandangan fuqaha, kematian ibu lebih berat daripada janin, karena ibu adalah induk darimana janin berasal. Ia sudah memiliki eksistensi yang pasti, memiliki kewajiban dan hak, sementara janin belum. Karena itu ia tidak boleh dikorbankan demi menyelamatkan  janin yang eksistensinya belum pasti dan belum memiliki kewajiban. 99 Adapun terkait dengan aborsi di luar nikah lazimnya mempunyai mata rantai pada seks bebas. Tidak sedikit seks bebas mengakibatkan terjadinya kehamilan di luar nikah.  Namun sangat disayangkan, bahwa kehamilan pra nikah akibat seks bebas tampaknya tidak  terlalu menarik perhatian fuqaha klasik, tetapi menarik perhatian tersendiri bagi fuqaha kontemporer. Dalam hal ini, Sa’id Ramadhan al-Buthi dengan tegas mengatakan bahwa aborsi untuk kasus yang demikian adalah haram mutlak. Ia mengemukakan tiga dalil sebagai berikut: 1. Q.S. al-Isra : 16

]16[‫ا‬‫ر‬‫م‬‫د‬‫ت‬  ‫ر‬‫م‬‫د‬‫ق‬  ‫ا‬‫ه‬‫ع‬‫ل‬‫ه‬‫ا‬‫ق‬‫ف‬‫ه‬ ‫ر‬ ‫م‬‫ر‬‫م‬‫أ‬‫ل‬ ‫ة‬‫ي‬‫ر‬‫ه‬‫أ‬‫أ‬ ‫ا‬‫ذ‬‫و‬ “ Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu [supaya menta`ati Allah] tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan [ketentuan Kami], kemudian Kami hancurkan negeri itu  sehancur-hancurnya”. [QS. Al-Isra’: 16] Berdasarkan ayat ini seorang janin tidak menanggung dosa ibunya. Ia tidak bersalah, karena itu tidak boleh digugurkan baik sebelum maupun sesudah takhalluq. Sementara itu, 98

Mengenai rincian dan contoh-contoh kasus yang masuk dalam kaedah ini, lihat al-Suyuthi dalam al Asybah wa an-Nazhair dalam pembahasan mengenai kaedah keempat “ad-Dharar Yuzal”. Husein Muhammad,  Aborsi dalam Perspektif Fiqh Kontemporer , [Jakarta: Makalah Semi-Loka Aborsi dalam Perspektif Fiqh Kontemporer, PPFNU,2001], h.6-7 99







hadits mengenai perempuan Ghamidiyah yang diriwayatkan Muslim dari Buraidah ra. yang datang kepada Rasulullah dengan membawa pengakuan ia telah berzina dengan Ma’iz bin Malik dan sedang hamil karenanya. Ma’iz dirajam lebih dulu setelah empat kali membuat   pengakuan zina dan meminta Rasulullah mensucikannya. Namun terhadap perempuan Ghamidiyah itu Rasul menangguhkan hukuman rajam sampai ia melahirkan anaknya dan menyapihnya. Setelah si anak disapih dan diserahkan kepada orang lain, barulah ia dirajam. 100 Hadits ini menunjukkan bahwa anak yang dikandung akibat zina tidak boleh digugurkan. Bahkan Imam Nawawi dalam syarah atas hadits ini menyatakan bahwa semua had, termasuk hukuman  jilid, harus ditangguhkan ketika perempuan sedang hamil demi menjaga kehidupan janin. 101 Bahwa hukum yang memperbolehkan aborsi di bawah 40 hari usia kehamilan berlaku untuk nikah yang sahih dan bahwa kebolehan aborsi adalah bersifat rukhsah. Padahal ada kaedah fiqhiyah yang mengatakan “al-rukhas laa tunaathu bi al-ma’ashi”. [rukhsah tidak    berlaku untuk perbuatan-perbuatan maksiat]. Oleh karena kehamilan itu sendiri disebabkan oleh perbuatan haram, maka aborsi dengan sendirinya tidak diperbolehkan. Adanya kaedah fiqhiyah yang menyatakan “tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyah manuthun bi al-maslahah”. Berdasarkan kaedah ini ibu dari si bayi tidak boleh menggugurkan kandungannya, karena ia secara syar’i tidak berhak atas janin tersebut. Berbeda dengan aborsi dalam perkawinan di mana kedua orang tua punya hak atas janin, aborsi karena  perzinaan tidak demikian. Si ibu tidak memiliki hak syar’i atas anaknya, demikian pula lelaki yang menghamilinya. Hak perwalian ada di tangan hakim, sementara hakim harus mengambil tindakan yang melindungi hak janin yang ada dalam perwaliannya sekaligus hak-hak masyarakat. Oleh karena itu aborsi tidak diperbolehkan karena akan membawa dampak negatif bagi masyarakat secara luas, yakni dengan munculnya sikap permisif  terhadap pergaulan bebas. Aborsi terhadap janin hasil hubungan di luar nikah juga bertentangan dengan kaedah “sadd adz-dzari’ah”.102 Demikianlah, aborsi akibat perzinahan dipandang oleh fiqh kontemporer sebagai tindak kriminal yang berkaitan erat dengan moralitas sosial [  jarimah ijtima’iyah]. Pengecualian hanya berlaku jika si perempuan diancam dibunuh jika tidak melakukan aborsi. Dalam kasus seperti ini aborsi diperbolehkan karena untuk menyelamatkan jiwa si ibu.103 Berbeda dengan aborsi yang disebabkan oleh perzinahan, aborsi yang disebabkan karena perkosaan diperbolehkan jika kelahiran anak tersebut dipastikan akan membawa dampak buruk bagi jiwa dan raga si ibu di kemudian hari. Aborsi untuk kasus seperti ini  boleh, karena perempuan diperkosa bukan pelaku tindak pidana sehingga rukhsah aborsi  berlaku.104 Apalagi perempuan tersebut hamil bukan atas kemauannya sendiri melainkan dipaksa. Dalam kondisi seperti ini berlaku hadits Nabi yang menyatakan: “umatku dibebaskan dari kekeliruan, kealpaan dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya” .[HR. Thabrani, Ahmad, Abu Dawud an-Nasa’i dan al-Hakim]. Formulasi hukum di atas mencerminkan ketegasan fiqh sekaligus elastisitasnya. Ketentuan hukum yang keras namun tetap ada celah untuk menempuh apa yang aslinya 100

Muslim, Shahih Muslim, Juz II, Kitab al-Hudud  bab Man I’tarafa ‘ala Nafsihi bi al-Zina, hadits ke-1695

101

Al-Imam an-Nawawi, Syarah an-Nawawi ‘ala Sahih Muslim, Juz XI, h.201 102

Sa’id Ramadhan al-Buthi, Mas’alah Tahdid al-Nasl, Wiqayatan wa ‘Ilajan, h.127-139  Ibid .,h.143

103 104

 Ibid .,h.159-160

diharamkan ketika terjadi benturan dua kemudharatan merupakan salah satu pola pemikiran yang khas dalam fiqh. Itu bisa dimengerti karena fiqh diformulasikan untuk menjamin tercapainya maqashid al-Syari’ah yang dalam konteks ini adalah hifdz al-nafs dan hifdz al-‘irdh. Dengan demikian pemikiran yang dikembangkan oleh al-Buthi di atas sebetulnya merupakan representasi dari pendirian sebagian besar fuqaha kontemporer. Satu hal yang perlu dicatat di sini, dalam kasus perzinahan, pendekatan hukum aborsi dalam fiqh dilakukan dengan mengedepankan hak janin dan hak masyarakat. Hak ibu yang mengandung justru tidak mendapatkan tempat sama sekali. Pada titik inilah antara lain, kontroversi dengan kalangan aktivis “pro-choice” terjadi. []

B. Akibat Hukum Aborsi Pelaku aborsi atau penyebab keguguran dalam fiqh Islam dikenakan hukuman. Orang yang terkena hukuman itu bisa ibu si janin sendiri dan bisa juga orang lain. Ada beberapa macam sanksi bagi pelaku atau penyebab aborsi sesuai dengan akibat yang ditimbulkannya:  ghurrah [denda yang nilainya 5% dari diyat penuh atau senilai lima ekor unta], kifarah [ganti rugi], diyat [tebusan], dan ta’zir [hukuman atas pertimbangan hakim]. Ghurrah  berlaku jika aborsi telah memenuhi lima syarat yakni: adanya tindakan tertentu yang menyebabkan janin gugur, janin gugur setelah terjadinya tindakan tertentu, janin keluar dalam keadaan meninggal, janin sudah melewati masa mudghah [sudah terbentuk], dan orang tua janin bukan kafir harbi kedua-duanya. 105 Yang dimaksud tindakan di sini adalah semua hal yang bisa menjadi penyebab keguguran, termasuk ucapan. Misalnya, mengancam, menakut-nakuti, menghina, mengejutkan, berteriak keras, membiarkan kelaparan, menyebarkan bau busuk, bahkan membuat si hamil terpesona. Jika hal-hal tersebut membuat si perempuan keguguran, maka  pelaku atau penyebab keguguran mesti membayar  ghurrah tanpa melihat apokah tindakan itu disengaja atau tidak. 106 Para ulama berbeda pendapat mengenai kapan usia janin yang gugur mewajibkan  ghurrah. Jumhur ulama mengatakan ghurrah wajib tanpa memandang usia janin, asalkan   janin sudah melewati masa mudghah. Namun Imam Malik mewajibkan  ghurrah tanpa memandang apakah janin sudah berbentuk atau belum. 107 Ulama Hanabilah memberikan tafshil, ghurrah wajib pada usia kehamilan di bawah 6 bulan. Setelah itu, pelaku atau  penyebab aborsi dikenakan diyat penuh.108  Diyat   penuh juga berlaku jika janin yang sudah diketahui hidup di rahim ibunya terbunuh karena tindak kriminal terhadap ibunya dan bukan dimaksudkan untuk membunuh  janin itu sendiri. Ini adalah pendapat jumhur. Namun jika tindakan itu memang dimaksudkan

105

Sa’id Ramadhan al-Buthi, Mas’alah Tahdid al-Nasl, Wiqayatan wa ‘Ilajan, h.180-186

106

Lihat Ibnu Hajar, Tuhfah al-Muhtaj, Juz IX, [Cairo: Musthafa Muhammad, t.th], h.39, al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Juz IV, [Beirut: Ihya al-Turast al-Arabi], h.103, Ibnu Qudamah, al-Mughni, Juz VIII, [Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, t.th], h. 391 107

Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid , Juz II, [Beirut: Dar al-Fikr, t.th], h. 312

108

Ibnu Qudamah, al-Mughni, Juz VIII, h.41

untuk mencelakai si janin itu sendiri, maka pelakukanya wajib membayar  kifarat . Demikian  pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanabilah. 109

C. Aborsi dalam Spektrum Hukum Positif dann Hukum Islam Masalah aborsi dibahas dalam KUHP dan UU no. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Dalam KUHP, pasal mengenai pengguguran kandungan dimasukkan ke dalam bab menangani “kejahatan terhadap nyawa”. Dengan demikian secara implisit berarti tindak   pidana ini dilakukan terhadap korban yang berada “in rerum natura” atau berada dalam keadaan “in being” yang berarti pula bahwa ia harus berada dalam keadaan hidup. 110 Di sini  persoalan menjadi terkait dengan kapan janin mulai dianggap sebagai makhluk bernyawa. Dari sudut agama, kontroversi mengenai hal ini telah dijelaskan. Dalam dunia kedokteran hal yang sama juga terjadi. Dalam lafal sumpah dokter yang disusun oleh World Medical Association tahun 1948, disebutkan bahwa dokter harus menghormati kehidupan insani sejak saat pembuahan sel sperma. Ini dipengaruhi oleh pandangan Kristiani yang  berkembang di Barat saat itu. Ketika tekhnologi bayi tabung ditemukan tahun 1979, sumpah dokter di atas menimbulkan dilema, karena bayi tabung diproses melalui pengambilan beberapa [7-10] sel telur yang kemudian dibuahi oleh sperma suaminya di laboratorium. Setelah pembuahan, hanya beberapa yang dikembalikan ke rahim ibunya, sedang yang lain disimpan atau dimusnahkan. Jika kehidupan dimulai dari saat pembuahan, maka memusnahkan sel-sel yang tersisa adalah pembunuhan. Sebaliknya mengembalikan seluruh sel yang dibuahi ke rahim ibu  juga tidak mungkin dan memperbesar resiko kegagalan. Dilema ini kemudian dipecahkan oleh sebuah keputusan di Venesia tahun 1983 yang intinya dokter menghormati kehidupan sejak kehidupan itu dimulai. Persatuan Dokter  Spesialis Kebidanan se-Dunia dalam perkembangannya menetapkan bahwa kehidupan dimulai sejak sel telur yang dibuahi menempel di dinding rahim. Dilema bayi tabung terselesaikan.   Namun hasil penelitian Norman F. Ford kemudian menunjukkan bahwa kehidupan dimulai setelah pembentukan  primitive streak , yaitu lipatan ke dalam yang terbentuk pada  zygote [hasil pertautan sel telur dan sperma] saat berusia empat minggu. Pada saat itulah menurut Ford, embrio baru bisa disebut sebagai person atau makhluk insani. 111 Perbedaan pandangan mengenai kapan kehidupan di mulai ini berakibat pada  perbedaan tafsir mengenai ketentuan yang diatur dalam KUHP dan UU Kesehatan. Jika melihat KUHP itu sendiri, usia kandungan tidak menjadi persoalan hukum. Satu hari, satu bulan, maupun empat bulan sama saja, karena ada janin yang dikeluarkan secara  paksa. Namun tidak termasuk dalam hal ini jika sang janin sudah tidak hidup ketika masih dalam rahim ibu. Dalam KUHP ada beberapa ketentuan yang mengatur aborsi yakni pasal 346, 347, 348, 349 dan 350 109 110 111

Ibnu Qudamah, Ibid., h.403, lihat juga al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Juz IV, h.105 Harkristuti Harkrisnowo, Aborsi ditinjau dari Perspektif Hukum, h.5

Kartono Muhammad, Kontradiksi dalam Kesehatan Reproduksi, [Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998], Cet.ke-1, h.130-131

1. Pasal 346 KUHP berunsurkan sebagai berikut: a] perempuan b] dengan sengaja c]

 





menyebabkan gugur atau mati kandungannya d] menyuruh orang lain untuk itu e] dihukum penjara selama-lamanya empat tahun. Perempuan yang sengaja menggugurkan atau membunuh kandungannya atau suruhan orang lain untuk itu, dikenakan pasal ini. Orang yang sengaja menggugurkan atau membunuh kandungan seorang perempuan dengan tidak  izin perempuan itu dihukum menurut pasal 347, apabila dilakukan dengan izin perempuan itu, dikenakan pasal 348. Cara menggugurkan atau membunuh kandungan itu rupa-rupa, baik dengan obat yang diminum, maupun dengan alat-alat yang dimasukkan melalui anggota kemaluan. Menggugurkan kandungan yang sudah mati, tidak dihukum, demikian pula tidak dihukum orang yang untuk membatasi kelahiran anak mencegah terjadinya hamil [Maltthusianisme]. Jika seorang tabib, bidan atau ahli obat membantu kejahatan dalam pasal 347 dan 348, maka bagi mereka hukumannya ditambah dengan sepertiganya dan dapat dipecat dari  jabatannya [pasal 349]. 2. Pasal 347 berunsurkan: a] barang siapa b] dengan sengaja c] menyebabkan gugur  atau mati kandungannya seorang perempuan d] tidak diizinkan oleh perempuan itu e] dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun. Ditambahkan dalam ayat 2,   jika karena perbuatan itu perempuan mati maka dia dihukum penjara selamalamanya lima belas tahun. 3. Pasal 348 berunsurkan: a] barang siapa b] dengan sengaja c] menyebabkan gugur  atau mati kandungannya seorang perempuan d] dengan izin perempuan itu e] dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan. Ditambahkan dalam ayat 2, jika karena itu perempuan mati, maka dia dihukum penjara selamalamanya tujuh tahun. 4. Pasal 349 secara spesifik menentukan sanksi pidana bagi mereka yang melakukan aborsi dalam kerangka profesi mereka yakni membantu salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal 346, 347, dan 348, maka hukumannya dapat ditambah sepertiga dari yang terdapat dalam ketentuan yang dilanggar dan dapat dipecat dari jabatannya yang digunakan untuk melakukan kejahatan tersebut. Sebaliknya apabila dokter dan sebagainya itu menggugurkan atau membunuh kandungan untuk menolong jiwa perempuan, atau menjaga kesehatannya, tidak dihukum. 5. Pasal 350: pada waktu menjatuhkan hukuman karena makar mati, [doodslag]   pembunuhan direncanakan [moord] atau karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 344, 347 dan 348, dapat dijatuhkan hukuman mencabut hak yang tersabut dalam pasal 35 No.1-5 Dari rumusan yang ada, yang disebut tindak pidana hanyalah yang berupa “menyebabkan gugur atau mati kandungan” yang berarti: 1. tidak mempermasalahkan usia kandungan; 2. tidak mempermasalahkan cara melakukannya Dalam praktek yang diajukan ke pengadilan pada umumnya adalah orang yang menggugurkan kandungan, sedangkan si perempuan sendiri lolos dari jeratan hukum. Hal ini karena ketidakjelasan identitas mereka di samping para terdakwa tidak mau

memberikan kesaksian yang justru memberatkan mereka jika ia mengungkap identitas orang yang digugurkan kandungannya. 112 Selain KUHP, ketentuan mengenai aborsi juga terdapat dalam UU Kesehatan No. 23 tahun 1992. Namun UU ini juga menimbulkan kebingungan penafsiran. Dalam pasal 15 dinyatakan: (1) Dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang dikandungnya dapat dilakukan tindakan medis tertentu. (2) Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat [1] hanya dapat dilakukan: 1. berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut. 2. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli. 3. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya. 4. Pada sarana kesehatan tertentu. 113 Dari Pasal di atas seakan-akan UU ini memperbolehkan pengguguran kandungan dengan alasan tertentu. Akan tetapi penjelasan pasal ini merumuskan suatu hal yang membingungkan, yakni: ”Tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alasan apapun dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan dan norma kesopanan. Namun keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang dikandungnya dapat  dilakukan tindakan medis tertentu.” Bagi beberapa orang, “tindakan medis tertentu” diartikan sebagai aborsi, tetapi di sisi lain pemerintah atau pengadilan bisa saja menafsirkannya sebagai tindakan selain aborsi, sebab pada kalimat awal ditegaskan bahwa pengguguran kandungan atas alasan apapun dilarang. Yang boleh diambil adalah “tindakan medis tertentu”. Apalagi kalimat terakhir  menyebutkan “untuk menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin” yang sudah pasti bukan tindakan aborsi, karena aborsi tidak pernah menyelamatkan jiwa janin. 114 Di sini terasa ada keragu-raguan pemerintah Indonesia dalam menghadapi masalah aborsi. Alasan medis memang dikemukakan dalam konteks menjaga nilai-nilai moral, namun tidak jelas apakah aborsi termasuk salah satu tindakan yang diperbolehkan. Lebih dari itu dalam perundang-undangan yang ada tidak tercantum dictum yang menyatakan persyaratan aborsi, jika itu dipandang sebagai tindakan darurat, apalagi memberi ruang bagi ibu untuk  melakukan aborsi karena mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Ini semua menyebabkan aborsi menjadi “dark number of crime” sampai sekarang.[]

112

Harkristuti Harkrisnowo, Aborsi ditinjau dari Perspektif Hukum, h.6-8

113

Syafiq Hasyim [ed], Menakar “Harga” Perempuan, h.276-277

114

Dr. Kartono Muhammad, Kontradiksi dalam Kesehatan Reproduksi, h.65-66

BAGIAN KE-LIMA TELA’AH TENTANG ABORSI Bertitik tolak dari data pada paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa banyak alasan yang mengakibatkan perempuan melakukan aborsi. Alasan tersebut ialah:  Pada perempuan yang belum atau tidak menikah, alasan melakukan aborsi di antaranya karena masih berusia remaja, pacar tidak mau  bertanggung jawab, takut pada orang tua, berstatus janda yang hamil di luar nikah, dan berstatus sebagai simpanan seseorang dan dilarang hamil oleh pasangannya;  Pada perempuan yang sudah menikah, alasannya antara lain karena kegagalan alat kontrasepsi, jarak kelahiran yang terlalu rapat, jumlah anak yang terlalu banyak, terlalu tua untuk melahirkan, faktor sosial ekonomi [tidak sanggup lagi membiayai anak-anaknya dan khawatir  masa depan anak tidak terjamin], alasan medis, sedang dalam proses  perceraian dengan suami, atau karena berstatus sebagai isteri kedua dan suaminya tidak menginginkan kehadiran anak dari dia. 115 Sementara itu, dari uraian di atas mendorong penulis untuk menyatakan beberapa hal  berikut ini: 1. Dari perspektif agama-agama samawai, khususnya Islam, aborsi pada dasarnya adalah tindakan yang dilarang. Namun demikian Islam mempunyai corak hukum yang lebih fleksibel, sehingga banyak variable yang dipertimbangkan dalam proses  penentuan hukum aborsi. 2. Melihat perdebatan yang terjadi, baik dalam Islam maupun dalam hukum positif, tampak bahwa dasar pelarangan aborsi adalah penghormatan kepada kehidupan, khususnya kepada yang bernyawa. Berbagai perangkat hukum, termasuk sanksisanksi hukum dirumuskan untuk melindungi kehidupan makhluk bernyawa yang  bernama janin ini. Sayangnya sampai kini persoalan kapan kehidupan dimulai masih menjadi sesuatu yang diperdebatkan oleh para ahli, baik dari kalangan agama maupun medis. 3. Satu hal yang penting untuk dicatat adalah bahwa nilai-nilai moral yang mendasari seluruh bangunan hukum tentang aborsi –baik hukum agama maupun hukum negaraternyata mengalami kesulitan penerapan dan perbenturan di tingkat lapangan. Sekalipun secara moral-ideal dan legal-formal aborsi dilarang, toh praktek aborsi 115

 Ibid., h. 5

menunjukkan angka yang cukup tinggi. Aborsi juga signifikan menyumbang angka kematian ibu akibat proses reproduksi yang tidak aman. Ini semua menunjukkan  bahwa pendekatan terhadap masalah aborsi semata-mata dari sudut moral dan hukum tidak cukup. 4. Kenyataannya, baik hukum positif maupun –terutama- fiqh Islam tidak memasukkan agenda hak-hak reproduksi perempuan –dalam hal ini hak untuk memutuskan hamil atau tidak dan hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi yang amandalam konsideran hukumnya. Dalam kasus tertentu bahkan hak perempuan ini dinafikan sama sekali. Oleh karen itu menjadi bisa dimengerti jika suara yang menginginkan diberikannya hak ini kepada perempuan kian hari kian nyaring terdengar. 5. Di tengah dilema antara nilai moral dan tuntutan kebebasan perempuan untuk  menjalankan hak-hak reproduksinya [pro-choice] seperti yang terjadi sekarang, sudah saatnya agama Islam menyatakan pendirian yang tegas dengan segala konsekuensinya. Bila pilihan “pro-life” merupakan pilihan terbaik, atau bahkan satusatunya, maka Islam juga perlu mempersiapkan berbagai perangkat yang mendukung tersosialisasikannya pilihan itu di tengah masyarakat. Misalnya, menyiapkan sikap mental dan sosial masyarakat agar tidak mau melakukan aborsi, mensosialisasikan sikap bisa menerima anak yang lahir dari kehamilan yang tidak dikehendaki, dan membuat sistem sosial yang siap dengan segala resiko pilihan sikap “pro-life”. Agama dan hukum tidak boleh ambigu, sebab ambiguitas seperti ini terbukti tidak  menyelesaikan persoalan. 6. Dari semua ketentan diatas, bahwa aborsi yang dilakukan oleh pasangan yang diluar  nikah dalam Islam menurut pendapat para Imam adalah "haram mutlak". Sementara itu dalam kasus yang sudah pasangan yang sudah menikah hukum yang berlaku adalah "kondisional" dalam artian tergantung situasi yang berlaku tersebut. []

DAFTAR PUSTAKA  Al-Qur’an al-Karim Abidin, Ibnu, al-Radd al-Mukhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar , Juz II, Beirut: Dar al-Fikr, 1979 Adrina dkk, Hak-Hak Reproduksi Perempuan yang Terpasung , Jakarta: Pustaka Sinar  Harapan, 1998 al-Bukhari, Shahih Bukhari, CD.Rom al-Buthi, Sa’id Ramadhan, Mas’alah Tahdid al-Nasl, Wiqayatan wa ‘Ilajan, Syiria, Maktabah al-Farabi, 2000 David, J. E. C. R., Brierly, Major Legal Systems in The World Today, (London: 1968), h. 19  Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ikhtiyar Baru Van Hoeve, 1994 al-Ghazali, al-Imam, Ihya ‘Ulum al-Din, Juz II, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1983

Hasyim, Syafiq, (ed)., Menakar “Harga” Perempuan, Bandung: Mizan, 1999, Cet. ke-1 Habsjah, Attashendartini, “Fakta-Fakta Aborsi”, Makalah, Jakarta: PPFNU, 2001 Hasan, M. Ali, Masail Fiqhiyah al-Haditsah pada Masalah-Masalah Kontemporer   Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998 al-Haq, Jaad al-Haq ‘Ali Jaad, Ahkam al-Syari’ah al-Islamiyah fi Masa’il Thibbiyyah ‘an al-Amradh al-Nisa’iyyah wa Shihhah al-Injabiyyah, Cairo: Universitas alAzhar, 1997 Hajar, Ibnu, Tuhfah al-Muhtaj, Juz IX, Cairo: Musthafa Muhammad, t.th Harkrisnowo, Harkristuti, “Aborsi ditinjau dari Perspektif Hukum”, Makalah, Jakarta: PPFNU, 2000 Hazm, Ibnu, al-Muhalla, Juz XI, Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, t.th Kung, Hans, Theology of The Third Millenium, New York: Doubleday, 1988 Lewis,Bernard,  Islam dalam Krisis: Antara Perang Suci dan Teror Kotor , terj. Dari The Crisis of Islam: Holy War and Unholy Terror, CET. 1, Surabaya, Jawa Pos Press: 2004. Masyhuri, A. Aziz, “Abortus Menurut Hukum Islam”, Makalah, Surabaya: PWNU, 1992 Muslim, Sahih Muslim, Juz II, Beirut: Dar al-Fikr, 1992 Muhammad, Kartono,  Kontradiksi dalam Kesehatan Reproduksi, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998, Cet.ke-1 Muhammad, Husein, “Aborsi dalam Perspektif Fiqh Kontemporer”, Makalah, Jakarta:, PPFNU, 2001 al-Nawawi, al-Imam, Syarah an-Nawawi ‘ala Sahih Muslim, Juz XI Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia Depdikbud RI,  Kamus Besar   Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995, Cet. ke-2 Qudamah, Ibnu, al-Mughni, Juz VIII, Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, t.th al-Qaransyawi, Abdul Jalil, dkk.,  Al-Mujaz fi Ushul al-Fiqh, Cairo: Fakultas Syari’ah Universitas al-Azhar, 1965, Cet.ke-2 Rahardjo,Dawam,   Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Suci, .(CET. 2, (Jakarta: Penerbit PARAMADINA, 2002

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF