Buku Penyakit Bakteri Pada Ikan Laut

February 26, 2017 | Author: Romi Novriadi | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Buku Penyakit Bakteri Pada Ikan Laut ...

Description

1

DAFTAR ISI

KATA SAMBUTAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAN GRAFIK DAFTAR GAMBAR

Halaman i ii iii iv v

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Kondisi Perikanan Dunia - Kondisi Perikanan Indonesia 1.2. Budidaya Ikan - Peluang dan Target - Bakteri sebagai Faktor Penghambat BAB II KARAKTERISTIK BAKTERI 2.1. Karakteristik bakteri Secara Umum 2.2. Faktor-faktor Pertumbuhan bakteri − Karakteristik Pertumbuhan − Pertumbuhan Bakteri Normal − Reproduksi Bakteri 2.3. Peranan bakteri BAB III JENIS PENYAKIT BAKTERI PADA BUDIDAYA IKAN LAUT 3.1. Vibriosis 3.2. Streptococcosis 3.3. Edwardsiellosis 3.4. Tuberkulosis 3.5 Bacterial Kidney Disease (BKD) 3.6 Columnaris 3.7 Nocardiosis BAB IV PENGENDALIAN PENYAKIT BAKTERI IV.1 Penggunaan benih berstatus SPF dan SPR IV.2 Menjaga kualitas air selalu baik IV.3 Menghindari atau mengurangi stress pada ikan IV.4 Memperbaiki nutrisi pakan IV.5 Pemberian suplemen - Vitamin - Probiotik - Immunostimulan - Vaksin IV.6 Biosekuriti IV.7 Manajemen pemeliharaan ikan yang baik. DAFTAR PUSTAKA 2

I.

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Indonesia memiliki potensi yang sangat menjanjikan di sektor kelautan dan perikanan, Berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, luas wilayah nasional adalah 5,0 juta km2; terdiri dari 3,1 juta km2 perairan nasional dan luas daratan 1,9 juta km2, dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) 3,0 juta km2. Dalam luasan tersebut terdapat panjang garis pantai lebih kurang 81.000 km dan jumlah pulau-pulau kurang lebih 17.000. Dengan perkataan lain 62% adalah perairan nasional sedangkan 38% adalah daratan. Kondisi ini menjadikan bangsa kita sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan negara maritim yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Lautan Indonesia juga begitu kaya dengan berbagai

keanekaragaman

hayati

di

dalamnya.

Sehingga

tidak

mengherankan jika Indonesia dikenal sebagai salah satu penyumbang ikan terbesar di dunia yang mampu menyuplai jutaan ton ikan dari produksi perikanan laut setiap tahunnya. Tingkat keanekaragaman hayati yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah yang tertinggi jika ditinjau dari segi Endemisnya. Khususnya di Pulau Sulawesi, Irian Jaya dan Mentawai. Dari segi keragaman ekosistem, Indonesia bahkan memiliki paling tidak 42 tipe ekosistem daratan dan lima tipe ekosistem lautan. Sedangkan pada tingkatan spesies, keanekeragaman hayati laut Indonesia terdiri atas 12 spesies lamun, 30 spesies mamalia, 38 spesies mangrove, 210 spesies karang lunak, 350 spesies karang batu, 350 spesies gorgonia, 745 spesies echinodermata, 782 spesies alga, > 850 sponge, 1.502 spesies krustasea, , > 2006 spesies ikan, dan 2,500 spesies moluska (Sugiarto dan Polunin,1981; Mossa dkk, 1996). Jumlah masingmasing spesies tersebut akan bertambah seiring dengan makin aktifnya kegiatan penelitian kelautan.

3

Secara prosentase keseluruhan, pada saat ini Indonesia memiliki 27,2% dari seluruh spesies flora dan fauna yang terdapat di dunia. Diperkirakan 12,0 % mamalia, 23,8% amfibi, 31,8% reptilia, 44,7% ikan, 40,0% moluska dan 8,6% rumput laut dari seluruh spesies yang telah ditemukan di dunia terdapat di Indonesia. Fakta ini memberikan bukti bahwa bila dikembangkan dengan baik, maka Indonesia dapat mendulang devisa dan pendapatan negara yang cukup besar. 1.1.1 Kondisi Perikanan Dunia Sejak pertengahan tahun 1990-an, sebagian ahli perikanan dunia memang telah melihat adanya kecenderungan hasil tangkapan perikanan global yang telah mencapai titik puncak. Bahkan di beberapa wilayah dunia, produksi perikanan telah menunjukkan gejala tangkap lebih (overfishing). Kondisi overfishing di beberapa bagian dunia dapat dibuktikan dengan membuat analisis rantai makanan (trophic level) terhadap ikan-ikan yang tertangkap. Hasil yang ada menunjukkan bahwa aktivitas perikanan oleh manusia menurunkan populasi ikan-ikan jenis predator utama, seperti tuna, marlin, cucut (Myers dan Worm, 2003). Dengan jumlah alat tangkap yang dimiliki armada perikanan dunia saat ini serta dibarengi kemajuan teknologi yang ada, nelayan modern tidak perlu terlalu lama mencari-cari daerah penangkapan seperti yang dilakukan oleh generasi terdahulu, di mana mereka harus berlayar berhari-hari untuk mencapai fishing ground atau daerah penangkapan ikan. Akibat dari berkurangnya populasi ikan pada trophic level tinggi, tingkat eksploitasi mulai merambah dan ditingkatkan kepada jenis ikan yang berada pada tingkat trophic level yang lebih rendah, seperti ikan-ikan pelagis kecil dan cumi-cumi. Kecenderungan demikian disebut Fishing Down Marine Food Web, yang pertama kali diperkenalkan Pauly et al (2002). Hal ini tidak bisa dibiarkan, karena pada akhirnya dikhawatirkan bahwa manusia hanya akan bisa menyantap sup ubur-ubur dan plankton.

4

Berdasarkan data dari Badan Pangan Dunia (FAO), konsumsi ikan dunia telah meningkat dua kali lipat sejak tahun 1973 dan negara-negara berkembang mengambil peran penting dalam masalah ini. China dengan dominasi dalam faktor pendapatan dan kependudukan, telah mendominasi konsumsi ikan dunia dan menggeser posisi jepang, dimana konsumsi ikannya sebanyak 36% dalam tahun 1997 dan dibandingkan hanya sekitar 11% di tahun 1973. Sementara jepang ditahun yang sama menurun dari 24% menjadi tinggal 11%.

Gambar 1. Gambaran perbandingan konsumsi perikanan dunia tahun 1973 dan 1997 (Sumber,FAO 1997) Laju konsumsi ikan oleh masyarakat dunia terus meningkat, sementara produk hasil tangkapan dari laut dan danau akan terus menurun disebabkan kondisi overfishing dan kerusakan lingkungan. Penurunan ini terjadi selama 10 tahun (1970 sampai 1980 an), dimana penangkapan ikan dilakukan secara besar-besaran sebagai hasil dari perluasan area penangkapan, penerapan teknologi penangkapan terbaru dan meningkatnya investasi pada sektor ini. Akibatnya produk ikan dari hasil penangkapan melonjak tajam dari 44 juta ton di tahun 1973 menjadi 65 juta ton di tahun 1997. Kondisi ini menyebabkan operasi penangkapan ikan telah menjadikan eksploitasi yang berlebih dilaut. Oleh karena itu harapan kedepan dari produksi perikanan dunia tertumpu pada aktivitas perikanan budidaya, baik budidaya ikan air tawar, payau maupun laut.

5

1.1.2 Kondisi Perikanan Indonesia Indonesia cenderung melakukan intensifikasi perikanan tangkap. Berdasarkan artikel yang diterbitkan Jakarta Post (14 Januari 2004) melaporkan bahwa terdapat investasi yang dilakukan oleh salah satu perusahaan perikanan tangkap Indonesia senilai Rp. 2 triliun (setara US$ 235 juta), yang bertujuan untuk memperluas armada perikanan di perairan Papua – dengan menyerahkan 5% saham dari projek tersebut kepada Pemerintah Papua. Artikel lain yang dimuat dalam Kompas 21 Januari 2004 (Hakim, 2004) menggambarkan beberapa wilayah perairan laut sudah mengalami tangkap lebih, sementara beberapa wilayah lainnya masih berada dalam kondisi tangkap kurang. Pemerintah mencoba untuk mengatasi masalah ini dengan cara memfasilitasi transmigrasi nelayan bahkan hingga kepada pembagian

daerah

perairan

Indonesia

menjadi

sembilan

Wilayah

Pengelolaan Perikanan (WPP). Pembagian wilayah ini didasarkan pada daerah tempat ikan hasil tangkapan didaratkan di pelabuhan. Pengelompokan tidak didasarkan pada kemiripan ekosistem yang ada, tetapi lebih kepada lokasi pendaratan ikan. Hal ini berpotensi misleading karena dapat terjadi bahwa WPP Laut Jawa dianggap memproduksi tuna tinggi, padahal tuna tersebut sebenarnya berasal dari Samudera Hindia. Tuna ini seolah-olah berasal dari Laut Jawa karena didaratkan di Pelabuhan Muara Baru Jakarta, yang masuk WPP Laut Jawa. Aspek pengelolaan wilayah ini erat kaitannya dengan kondisi stok ikan di perairan Indonesia dimana di beberapa wilayah perairan Indonesia sudah mengalami Over exploited. Untuk mengatasi permasalahan Over exploited ataupun Over fishing di beberapa wilayah perairan, maka pengembangan budidaya laut merupakan alternatif yang cukup memberikan harapan. Hal ini didukung oleh potensi alam Indonesia dan penduduk yang telah terbiasa dengan budaya pantai dengan segala pernik-perniknya. Kegiatan budidaya laut dan pantai berpeluang besar menjadi tumpuan bagi sumber pangan hewani di masa depan, karena peluang produksi perikanan tangkap yang terus menurun.

6

1.2 Perikanan Budidaya Perikanan

budidaya

merupakan

kegiatan

pemanfaatan

dan

pengelolaan lingkungan perairan untuk membesarkan biota air (hewan maupun nabati) secara optimal. Agar kegiatan perikanan budidaya dapat berkelanjutan maka pemilihan lokasi harus dilakukan secara benar dan kegiatan/proses produksi hendaknya dilakukan menurut kaidah-kaidah ekologis dan ekonomis. Secara garis besar informasi utama yang diperlukan pada saat pemilihan lokasi adalah tentang kondisi biofisik (dari mulai kuantitas dan kualitas air, topografi, jenis tanah), pemilihan benih dan kondisi iklim. Sementara pada proses produksi, selain aspek lain yang menyangkut nutrisi, hama dan penyekit, genetika, pertumbuhan, dan interaksi ekologis biota yang dibudidayakan serta kualitas air, juga konversi pakan yang ditambahkan menjadi limbah yang terbuang ke perairan umum. Honma (1993) mengklasifikasikan budidaya laut dan pantai menjadi tiga bagian, yaitu : budidaya di tambak atau bak beton, budidaya dalam karamba jaring apung dan budidaya di dalam teluk atau perairan semi tertutup. Budidaya ikan dalam karamba dibagi lagi atas budidaya ikan dengan pemberian pakan dan tanpa pemberian pakan. Diantara ketiga jenis budidaya laut dan pantai tersebut, budidaya yang telah berkembang dengan baik adalah budidaya ikan di tambak dan jaring.

Budidaya ikan yang

dilakukan di teluk atau perairan semi tertutup belum dapat dilakukan, dan masih dalam tahap penelitian dan pengembangan, antara lain karena terhambat oleh konflik kepemilikan lahan dan penguasaan teknologinya, disamping terkait dengan kebutuhan investasi yang sangat besar. 1.2.1 Sejarah Budidaya Ikan Laut Awal budidaya laut atau marikultur di Indonesia ditandai dengan adanya keberhasilan budidaya mutiara oleh perusahaan Jepang pada tahun 1928 di Buton- Sulawesi Tenggara. Selanjutnya, awal tahun 1970-an dilakukan percobaan dan pengembangan budidaya rumput laut (Euchema sp.) di Pulau Samaringa-Sulawesi Tengah, dengan adanya kerjasama antara Lembaga Penelitian Perikanan Laut dan perusahaan Denmark. Sementara itu, awal tahun 1980-an banyak pengusaha ekspor ikan kerapu 7

hidup di Kepulauan Riau membuat karamba jaring tancap serta keramba jaring apung sebagai tempat penampungan ikan kerapu hidup hasil tangkapan sebelum di ekspor ke Singapura dan Hongkong. Adapun perkembangan budidaya laut khususnya dalam karamba jaring apung (KJA) dipicu oleh keberhasilan pembenihan ikan bandeng dan ikan kerapu di hatchery secara massal pada tahun 1990-an di Loka Penelitian Budidaya Pantai di Gondol Bali. Saat ini perkembangan budidaya ikan laut semakin memberikan peluang yang besar bagi para pelaku industri perikanan. Berbagai komoditas

ikan

dikembangkan,

yang

memiliki

diantaranya

nilai

adalah

ekonomis :

Kerapu

cukup macan

tinggi

mulai

(Epinephelus

fuscoguttatus), Kerapu bebek (Cromileptes altivelis), Kakap putih (Lates calcarifer), Bawal Bintang (Trachinotus blochii), Kakap merah (Lutjanus sp), Bandeng (Chanos chanos), dan beberapa jenis ikan lainnya. Pemasaran hasil perikanan sangat terbuka lebar, data KKP (2010) menunjukkan bahwa saat ini untuk negara tujuan ekspor, Jepang masih menjadi pasar utama Indonesia dengan kenaikan volume dan nilai terbeser dibandingkan dengan tujuan lainnya yakni sebesar 12.91 persen dan 4 persen dibandingkan triwulan pertama tahun 2009. Peringkat teratas untuk benua Afrika adalah Ghana dengan kenaikan sebesar 8.27 persen untuk volume dan 105 persen untuk nilai. Benua Australia peringkat teratas adalah Selandia Baru, di Benua Amerika adalah Chile sebagai peringkat teratas, sementara Inggris merupakan tujuan ekspor terbesar di Benua Eropa. Namun demikian, peningkatan ekspor hasil perikanan juga diikuti peningkatan volume dan nilai impor komoditi perikanan pada triwulan pertama tahun 2010 dibandingkan dengan triwulan pertama tahun 2009. Meski secara umum impor komoditas perikanan mengalami peningkatan sebesar 3,83 ribu ton, tetapi komoditas makanan udang mengalami penurunan volume sebesar 80 persen dan 87 persen penurunan nilai . Walaupun begitu, target pemerintah Indonesia sudah jelas, bahwa kenaikan produksi perikanan budidaya hingga tahun 2015 diharapkan mencapai kenaikan sebesar 353 %. Jika kita berpatokan saat ini adalah tahun 2010, maka untuk mencapai target tersebut pada tahun 2015, produksi perikanan budidaya Indonesia harus mencapai kenaikan sebesar 8

50,4 persen setiap tahunnya. Cukup besar, namun kita harus optimis dan salah satu usaha untuk mewujudkan hal tersebut adalah pengembangan berbagai daerah di Indonesia untuk dapat dijadikan sebagai kawasan minapolitan. 1.2.2 Bakteri Sebagai Faktor Penghambat Produksi Untuk mencapai target produksi seperti yang disebutkan diatas, maka beberapa faktor penghambat/inhibitor produksi perikanan budidaya harus dapat ditindaklanjuti, salah satunya adalah kegagalan produksi akibat serangan wabah penyakit ikan yang bersifat patogenik baik dari golongan parasit, jamur, bakteri, dan virus. Di Indonesia, kegiatan budidaya ikan pernah mengalami permasalahan yang hebat di era 1980-an ketika terjadi wabah Aeromonas hydrophyla yang menyerang ikan. Sedangkan budidaya udang mengalami goncangan yang dahsyat di saat berbagai penyakit melanda tambak-tambak di Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Rangkaian kegagalan karena serangan penyakit di tahun 1995-an mengakibatkan sejumlah tambak di Jawa Tengah dan Jawa Timur tidak lagi dapat difungsikan untuk memelihara udang windu. Terakhir, serangan koi harves virus (KHV) yang menyerang golongan ikan mas pada tahun 2002 hingga 2004 lalu sempat menggoncangkan kegiatan perikanan Indonesia (Sunarto, 2005). Kerugian materi yang dialami oleh para pembudidaya ikan tawar tersebut sangat besar karena ikan mas termasuk ikan yang populer dan budidayanya tersebar luas di Indonesia (Taukhid dkk., 2005). Khusus bakteri, bahwa sebagian besar insiden wabah penyakit bakterial pada ikan terjadi akibat menurunnya kualitas lingkungan seperti kandungan bahan organik yang tinggi, kandungan oksigen yang rendah, penurunan atau peningkatan pH dan perubahan suhu. Faktor yang lain yaitu manajemen pengelolaan yang tidak baik, misalnya penyediaan bibit berkualitas rendah, padat penebaran yang terlalu tinggi, nutrien yang tidak tepat dan sanitasi yang buruk. Dari kenyataan tersebut maka umumnya wabah dapat dihindari atau dihentikan manakala menejemen budidaya perikanan diperbaiki dan faktor-faktor lingkungan dikendalikan.

9

Salah satu contoh kendala akibat infeksi penyakit bakteri pada optimalisasi produksi budidaya ikan laut, khususnya pada produksi ikan kerapu tikus di Indonesia adalah keterbatasan penyediaan benih karena adanya infeksi patogen bakteri Vibrio sp. Sehingga sulit untuk mendapatkan Benih ikan yang berstatus bebas dari pathogen atau dikenal dengan istilah Spesies Pathogen Free (SPF). Bakteri vibrio penyebab vibriosis masih merupakan masalah utama bagi industri budidaya ikan kerapu yang menyebabkan kematian sehingga mencapai 100 persen. Bakteri patogen yang

utama

adalah

penanggulangan

Vibrio

penyakit

alginolyticus.

tersebut

Kondisi

perlu

ini

mendapat

menyebabkan perhatian

dan

penanganan secara khusus. Komoditas Ikan dan udang menempati urutan kelima terbesar dalam deretan ekspor

non-

migas,

dan

merupakan

komoditas perikanan yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia, karena 50% dari total nilai ekspor perikanan Indonesia (sekitar 2,3 milyar US$ pada Gambar , Kematian ikan dalam satu unit produksi akibat bakteri

Tahun 2007). Jenis penyakit yang sering menyerang

ikan

dan

udang

serta

menimbulkan banyak kerugian selain penyakit vibriosis. yang disebabkan oleh bakteri dari jenis Vibrio sp. Juga dapat berupa penyakit Streptococcosis, Tuberkulosis, Bacterial Kidney Disease, dimana secara keseluruhan infeksi bakteri ini dapat menyebabkan kematian massal yang cepat dalam waktu yang kurang dari satu minggu. (Feliatra et. all, 2008).

II. KARAKTERISTIK BAKTERI 10

1.

Karakteristik Bakteri Secara Umum Bakteri, berasal dari kata Latin bacterium (jamak, bacteria), yang

berarti kelompok terbanyak dari organisme hidup. Mereka sangatlah kecil (mikroskopik) dan kebanyakan uniselular (bersel tunggal), dengan struktur sel yang relatif sederhana tanpa nukleus/inti sel, cytoskeleton, dan organel lain seperti mitokondria dan kloroplas. Bakteri merupakan makhluk prokariota, untuk membedakan mereka dengan organisme yang memiliki sel lebih kompleks, disebut eukariota. Bakteri tersebar di tanah, air, dan sebagai simbiosis dari organisme lain. Banyak patogen merupakan bakteri. Biasanya hanya berukuran 0,5-5 μm, meski ada jenis dapat menjangkau diameter 0,3 mm (Thiomargarita). Pada umumnya memiliki dinding sel, seperti sel tumbuhan

dan

jamur,

tetapi

dengan

komposisi

sangat

berbeda

(peptidoglikan). Banyak yang bergerak menggunakan flagela, yang berbeda dalam strukturnya dari flagela kelompok lain. Bakteri pertama ditemukan oleh Anthony van Leeuwenhoek pada 1674 dengan menggunakan mikroskop buatannya sendiri. Istilah bacterium dan diperkenalkan di kemudian hari oleh Ehrenberg pada tahun 1828. Ciri-ciri Bakteri Bakteri memiliki ciri-ciri yang membedakannnya dengan mahluk hidup lain yaitu : 1. Organisme multiselluler 2. Prokariot (tidak memiliki membran inti sel ) 3. Umumnya tidak memiliki klorofil 4. Memiliki ukuran tubuh yang bervariasi antara 0,12 s/d ratusan mikron umumnya memiliki ukuran rata-rata 1 s/d 5 mikron. 5. Memiliki bentuk tubuh yang beraneka ragam 6. Hidup bebas atau parasit 7. Yang hidup di lingkungan ekstrim seperti pada mata air panas,kawah atau gambut dinding selnya tidak mengandung peptidoglikan 8. Yang

hidupnya

kosmopolit

diberbagai

lingkungan

dinding

selnya

mengandung peptidoglikan. 1.1. Struktur Sel bakteri 11

Struktur bakteri terbagi menjadi dua yaitu: a.)

Struktur

dasar

(dimiliki

oleh

hampir

semua

jenis

bakteri)

Meliputi: dinding sel, membran plasma, sitoplasma, ribosom, DNA, dan granula penyimpanan. -

Dinding sel tersusun dari peptidoglikan yaitu gabungan protein dan polisakarida (ketebalan peptidoglikan membagi bakteri menjadi bakteri gram positif bila peptidoglikannya tebal dan bakteri gram negatif bila peptidoglikannya tipis).

-

Membran

plasma,

merupakan

membran

yang

menyelubungi

sitoplasma yang tersusun atas lapisan fosfolipid dan protein. -

Sitoplasma, adalah cairan sel.

-

Ribosom, adalah organel yang tersebar dalam sitoplasma, tersusun atas protein dan RNA.

-

Granula

penyimpanan,

karena

bakteri

menyimpan

cadangan

makanan yang dibutuhkan. b).

Struktur

tambahan

(dimiliki

oleh

jenis

bakteri

tertentu)

Meliputi kapsul, flagelum, pilus, fimbria, klorosom, Vakuola gas dan endospora. -

Kapsul atau lapisan lendir adalah lapisan di luar dinding sel pada jenis bakteri tertentu, bila lapisannya tebal disebut kapsul dan bila lapisannya tipis disebut lapisan lendir. Kapsul dan lapisan lendir tersusun atas polisakarida dan air.

-

Flagelum atau bulu cambuk adalah struktur berbentuk batang atau spiral yang menonjol dari dinding sel.

-

Pilus dan fimbria adalah struktur berbentuk seperti rambut halus yang menonjol dari dinding sel, pilus mirip dengan flagelum tetapi lebih pendek, kaku dan berdiameter lebih kecil dan tersusun dari protein dan hanya terdapat pada bakteri gram negatif. Fimbria adalah struktur sejenis pilus tetapi lebih pendek daripada pilus.

-

Klorosom adalah struktur yang berada tepat dibawah membran plasma dan mengandung pigmen klorofil dan pigmen lainnya untuk proses fotosintesis. Klorosom hanya terdapat pada bakteri yang melakukan fotosintesis.

12

-

Vakuola gas terdapat pada bakteri yang hidup di air dan berfotosintesis.

-

Endospora adalah bentuk istirahat (laten) dari beberapa jenis bakteri gram positif dan terbentuk didalam sel bakteri jika kondisi tidak

menguntungkan

bagi

kehidupan

bakteri.

Endospora

mengandung sedikit sitoplasma, materi genetik, dan ribosom. Dinding

endospora

yang

tebal

tersusun

atas

protein

dan

menyebabkan endospora tahan terhadap kekeringan, radiasi cahaya, suhu tinggi dan zat kimia. Jika kondisi lingkungan menguntungkan endospora akan tumbuh menjadi sel bakteri baru.

Gambar , Struktur Bakteri (Sumber : Wikipedia) Seperti prokariota (organisme yang tidak memiliki selaput inti) pada umumnya, semua bakteri memiliki struktur sel yang relatif sederhana. Struktur bakteri yang paling penting adalah dinding sel. Bakteri dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu Gram positif dan Gram negatif didasarkan pada perbedaan struktur dinding sel. Bakteri Gram positif memiliki dinding sel yang terdiri atas lapisan peptidoglikan yang tebal dan asam teichoic. Sementara bakteri Gram negatif memiliki lapisan luar, lipopolisakarida - terdiri atas membran dan lapisan peptidoglikan yang tipis terletak pada periplasma (di antara lapisan luar dan membran sitoplasmik). Banyak bakteri memiliki struktur di luar sel lainnya seperti flagela dan fimbria yang digunakan untuk bergerak, melekat dan konjugasi. Beberapa bakteri juga memiliki kapsul atau lapisan lendir yang membantu pelekatan bakteri pada suatu permukaan dan biofilm formation. Bakteri juga memiliki kromosom, ribosom dan beberapa spesies lainnya memiliki granula makanan, vakuola gas dan magnetosom. Beberapa bakteri mampu membentuk endospora yang membuat mereka mampu bertahan hidup pada lingkungan ekstrim. 13

1.2. Morfologi/ Bentuk Bakteri

Gambar : Morfologi Bakteri (Sumber : Wikipedia) Berdasarkan bentuknya, bakteri dibagi menjadi tiga golongan besar, yaitu: 1. Kokus (Coccus) dalah bakteri yang berbentuk bulat seperti bola, dan mempunyai beberapa variasi sebagai berikut: − Mikrococcus, jika kecil dan tunggal − Diplococcus, jka bergandanya dua-dua − Tetracoccus, jika bergandengan empat dan membentuk bujursangkar − Sarcina, jika bergerombol membentuk kubus − Staphylococcus, jika bergerombol − Streptococcus, jika bergandengan membentuk rantai 2. Basil (Bacillus) adalah kelompok bakteri yang berbentuk batang atau silinder, dan mempunyai variasi sebagai berikut: − Diplobacillus, jika bergandengan dua-dua 14

− Streptobacillus, jika bergandengan membentuk rantai 3. Spiril (Spirilum) adalah bakteri yang berbentuk lengkung dan mempunyai variasi sebagai berikut: − Vibrio, (bentuk koma), jika lengkung kurang dari setengah lingkaran − Spiral, jika lengkung lebih dari setengah lingkaran Bentuk tubuh / morfologi bakteri dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, medium dan usia. Oleh karena itu untuk membandingkan bentuk serta ukuran bakteri, kondisinya harus sama. Pada umumnya bakteri yang usianya lebih muda ukurannya relatif lebih besar daripada yang sudah tua. 1.3. Alat Gerak Bakteri Banyak spesies bakteri yang bergerak menggunakan flagel. Hampir semua bakteri yang berbentuk lengkung dan sebagian yang berbentuk batang ditemukan adanya flagel. Sedangkan bakteri kokus jarang sekali memiliki flagel. Ukuran flagel bakteri sangat kecil, tebalnya 0,02 – 0,1 mikro, dan panjangnya melebihi panjang sel bakteri. Berdasarkan tempat dan jumlah flagel yang dimiliki, bakteri dibagi menjadi lima golongan, yaitu: •

Atrik, tidak mempunyai flagel.



Monotrik, mempunyai satu flagel pada salah satu ujungnya.



Lofotrik, mempunyai sejumlah flagel pada salah satu ujungnya.



Amfitrik, mempunyai satu flagel pada kedua ujungnya.



Peritrik, mempunyai flagel pada seluruh permukaan tubuhnya.

15

Gambar alat gerak bakteri: A-Monotrik; B-Lofotrik; C-Amfitrik; D-Peritrik; 2. Faktor-Faktor Pertumbuhan Bakteri Faktor-faktor

yang

mempengaruhi

pertumbuhan

bakteri

adalah

penyediaaan nutrien yang sesuai untuk kultivasi bakteri, faktor fisika, dan faktor kimia. Meskipun medium yang digunakan amat beragam, namun sebagai makhluk hidup bakteri mempunyai kebutuhan dasar yang sama, yaitu meliputi air, karbon, dan mineral. Perlu disediakan kondisi fisik yang memungkinkan untuk pertumbuhan optimum. Bakteri tidak hanya amat bervariasi dalam persyaratan nutrisi, tetapi juga menunjukkan respon yang berbeda terhadap kondisi fisik dalam lingkungannya.

Adapun faktor fisika yang mempengaruhi pertumbuhan

bakteri adalah: a) Suhu Suhu

selain

mempengaruhi

pertumbuhan,

juga

mempengaruhi

perbanyakan, dan daya tahan. Suhu setiap jenis bakteri bervariasi. Berdasarkan suhu pertumbuhan dibedakan menjadi : −

Mesofil, terdapat pada tanah, air, dan tubuh vertebrata, suhu pertumbuhan 10-470C. Suhu pertumbuhan optimum 30-400C.



Termofil, ditemukan pada habitat yang bersuhu tinggi, pembuatan kompos, susu, tanah, dan air laut. Mampu tumbuh pada suhu 45-50 0C, dibedakan menjadi psikrodura yang mampu hidup dibawah 0 0C dan termodura yang tahan hidup pada suhu diatas 50 0C.

b) Tekanan osmosis Tekanan osmosis akan sangat mempengaruhi pertumbuhan bakteri, jika tekanan osmose lingkungan lebih besar (hipertonis) sel akan mengalami plasmolisis. Sebaliknya tekanan osmosis lingkungan yang hipotonis akan menyebabkan sel membengkak dan juga dapat mengakibatkan rusaknya sel. Olah karena itu dalam mempertahankan hidupnya, sel bakteri harus berada pada tingkat tekanan osmosis yang sesuai, walaupun sel bakteri memiliki

daya

adaptasi,

perbedaan

tekanan

osmosis

dengan

lingkugannya tidak boleh terlalu besar. 16

c) Kelembaban Pada umumnya bakteri memerlukan kelembapan yang cukup tinggi, kirakira 85%. Pengurangan kadar air dari protoplasma menyebabkan kegiatan metabolisme terhenti, misalnya pada proses pembekuan dan pengeringan. d) Cahaya Cahaya

sangat

berpengaruh

pada

proses

pertumbuhan

bakteri.

Umumnya cahaya merusak sel mikroorganisme yang tidak berklorofil. Sinar ultraviolet dapat menyebabkan terjadinya ionisasi komponen sel yang berakibat menghambat pertumbuhan atau menyebabkan kematian. Pengaruh cahaya terhadap bakteri dapat digunakan sebagai dasar sterilisasi atau pengawetan bahan makanan. Faktor Kimia yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri : a) pH, setiap jenis bakteri mempunyai pH lingkungan yang optimal (Neutrofil 6.0-8.0), minimal (Asidofil 2.0-5.0), dan maksimal (Alkalofil, 8.4-9.5) dalam kegiatan

fisiologisnya.

Kegiatan

fisiologis

bakteri

berguna

dalam

mempertahankan kelangsungan hidup dan melakukan proses biokimia yang berkelanjutan. Dimana proses ini dikatalisi oleh enzim-enzim. Kemudian adanya zat kimia, dapat berupa desinfektan dan antiseptik, seperti garam-garam logam, fenol, formaldehid, alkohol, yodium, zat-zat warna, detergen/sabun, dan antibiotik. b) Nitrogen Nitrogen adalah suatu komposisi organik dan dapat ditemukan pada organisme atau pada medium kultur (contoh : Ammonia ). Dimana terdapat hubungan berbanding lurus antara konsentrasi Nitrogen dalam air maupun tanah dengan keberadaan jumlah bakteri dalam suatu perairan. Jika keadaan lingkungan tidak menguntungkan seperti suhu tinggi, kekeringan atau dikarenakan adanya zat-zat kimia tertentu, beberapa spesies dari Bacillus yang aerob dan beberapa spesies dari Clostridium yang anaerob 17

dapat mempertahankan diri dengan membentuk spora. Spora tersebut dibentuk di dalam endospora. Endospora dibentuk oleh penggumpalan protoplasma yang sedikit sekali mengandung air. Oleh karena itu endospora lebih tahan terhadap keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan dibandingkan dengan bakteri aktif. Apabila keadaan lingkungan membaik kembali, endospora dapat tumbuh menjadi satu sel bakteri biasa. 2.1 Pertumbuhan Bakteri Pertumbuhan didefiniskkan sebagai penambahan jumlah sel atau biomassa yang berurutan dan teratur seiring dengan waktu. Pertumbuhan meliputi jumlah sel, berat kering, kandungan protein, kandungan asam nukleat, dan sebagainya. Bakteri biasanya melakukan pembiakan secara aseksual atau vegetatif. Pembiakan ini berlangsung cepat, jika faktor-faktor luar menguntungkan. Pelaksanaan pembiakan yaitu dengan pembelahan diri atau divisio. Jika faktor-faktor luar menguntungkan, maka setelah terjadi pembelahan, sel-sel baru membesar sampai masing-masing menjadi sebesar sel induk. Bakteri yang diinokulasikan dalam medium yang sesuai dan pada keadaan yang optimum bagi pertumbuhannya, maka terjadi kenaikan jumlah yang sangat tinggi dalam waktu yang relatif pendek. Pada beberapa spesies, populasi (panen sel terbanyak yang dapat diperoleh) tercapai dalam waktu 24 jam, populasinya dapat mencapai 10 sampai 15 milyar sel bakteri per mililiter. Perbanyakan ini disebabkan oleh pembelahan sel secara aseksual. 2.2 Fase Pertumbuhan Bakteri Normal Kita dapat membagi pertumbuhan bakteri dengan beberapa fase sebagai berikut : 1.

Fase lag adalah fase dimana bakteri beradapatasi dengan lingkungannya dan mulai bertambah sedikit demi sedikit.

2.

Fase logaritmik adalah fase dimana pembiakan bakteri berlangsung paling cepat. Jika ingin mengadakan piaraan yang cepat tumbuh, maka bakteri dalam fase ini baik sekali untuk dijadikan inokulum.

3.

Fase stationer adalah fase dimana jumlah bakteri yang berkembang biak sama dengan jumlah bakteri yang mengalami kematian. 18

4. Fase autolisis (kematian) adalah fase dimana jumlah bakteri yang mati semakin banyak, melebihi jumlah bakteri yang berkembang biak. 2.3 Reproduksi Bakteri Bakteri umumnya melakukan reproduksi atau berkembang biak secara aseksual (vegetatif = tak kawin) dengan membelah diri. Pembelahan sel pada bakteri adalah pembelahan biner yaitu setiap sel membelah menjadi dua. Reproduksi bakteri secara seksual yaitu dengan pertukaran materi genetik dengan bakteri lainnya. Pertukaran materi genetik disebut rekombinasi genetik atau rekombinasi DNA. Rekombinasi genetik dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu: a. Transformasi adalah pemindahan sedikit materi genetik, bahkan satu gen saja dari satu sel bakteri ke sel bakteri yang lainnya.

transformasi b. Transduksi adalah pemindahan materi genetik satu sel bakteri ke sel bakteri

lainnnya

dengan

perantaraan

organisme

yang

lain

yaitu

bakteriofage (virus bakteri).

transduksi 3. Konjugasi adalah pemindahan materi genetik berupa plasmid secara langsung melalui kontak sel dengan membentuk struktur seperti jembatan diantara dua sel bakteri yang berdekatan. Umumnya terjadi pada bakteri gram negatif. 19

3. Peranan Bakteri Bakteri mempunyai 2 sisi peranan

buat manusia yaitu bakteri

meguntungkan dan bakteri merugikan 3.1

Bakteri menguntungkan

a) Bakteri pengurai Bakteri saprofit menguraikan tumbuhan atau hewan yang mati, serta

sisa-sisa

atau

kotoran

organisme.

Bakteri

tersebut

menguraikan protein, karbohidrat dan senyawa organik lain menjadi CO2, gas amoniak, dan senyawa-senyawa lain yang lebih sederhana. Oleh karena itu keberadaan bakteri ini sangat berperan dalam

mineralisasi

di

alam

dan

dengan

cara

ini

bakteri

membersihkan dunia dari sampah-sampah organik. b) Bakteri nitrifikasi Bakteri nitrifikasi adalah bakteri-bakteri tertentu yang mampu menyusun senyawa nitrat dari amoniak yang berlangsung secara aerob di dalam tanah. Nitrifikasi terdiri atas dua tahap yaitu: a.

Oksidasi menjadi

amoniak nitrit

oleh

bakteri nitrit. (nitritasi).

b. Oksidasi senyawa nitrit menjadi nitrat oleh bakteri nitrat. Prosesnya dinamakan nitratasi.

20

Reaksi nitratasi. Dalam bidang pertanian, nitrifikasi sangat menguntungkan

karena

menghasilkan

senyawa

yang

diperlukan oleh tanaman yaitu nitrat. Tetapi sebaliknya di dalam air yang disediakan untuk sumber air minum, nitrat yang berlebihan tidak baik karena akan menyebabkan pertumbuhan ganggang di permukaan air menjadi berlimpah. c) Bakteri nitrogen Bakteri nitrogen adalah bakteri yang mampu mengikat nitrogen bebas dari udara dan mengubahnya menjadi suatu senyawa yang dapat diserap oleh tumbuhan. Karena kemampuannya mengikat nitrogen di udara, bakteri-bakteri tersebut berpengaruh terhadap nilai ekonomi tanah pertanian. Kelompok bakteri ini ada yang hidup bebas maupun simbiosis. Bakteri nitrogen yang hidup bebas yaitu Azotobacter

chroococcum,

Clostridium

pasteurianum,

dan

Rhodospirillum rubrum. Bakteri nitrogen yang hidup bersimbiosis dengan tanaman polong-polongan yaitu Rhizobium leguminosarum, yang hidup dalam akar membentuk nodul atau bintil-bintil akar. Tumbuhan yang bersimbiosis dengan Rhizobium banyak digunakan sebagai pupuk hijau seperti Crotalaria, Tephrosia, dan Indigofera. Akar tanaman polong-polongan tersebut menyediakan karbohidrat dan senyawa lain bagi bakteri melalui kemampuannya mengikat nitrogen bagi akar. Jika bakteri dipisahkan dari inangnya (akar), maka tidak dapat mengikat nitrogen sama sekali atau hanya dapat mengikat nitrogen sedikit sekali. Bintil-bintil akar melepaskan senyawa nitrogen organik ke dalam tanah tempat tanaman polong hidup. Dengan demikian terjadi penambahan nitrogen yang dapat menambah kesuburan tanah. d) Bakteri usus Bakteri Eschereria coli hidup di kolon (usus besar) manusia, berfungsi

membantu

membusukkan

sisa

pencernaan

juga

menghasilkan vitamin B12, dan vitamin K yang penting dalam proses pembekuan darah. Dalam organ pencernaan berbagai 21

hewan ternak dan kuda, bakteri anaerobik membantu mencernakan selusosa rumput menjadi zat yang lebih sederhana sehingga dapat diserap oleh dinding usus. e) Bakteri fermentasi Beberapa makanan hasil fermentasi dan mikroorganisme yang berperan: No.

Nama produk atau makanan

Bahan baku

Bakteri yang berperan Lactobacillus bulgaricus

1.

Yoghurt

susu

dan Streptococcus thermophilus

2.

Mentega

susu

Streptococcus lactis

3.

Terasi

ikan

Lactobacillus sp.

Asinan buah-

buah-

buahan

buahan

5.

Sosis

daging

6.

Kefir

susu

4.

Lactobacillus sp. Pediococcus cerevisiae Lactobacillus bulgaricus dan Srteptococcus lactis

f) Bakteri penghasil antibiotik Antibiotik merupakan zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan mempunyai daya hambat terhadap kegiatan mikroorganisme lain. Beberapa bakteri yang menghasilkan antibiotik adalah: 

Bacillus brevis, menghasilkan terotrisin



Bacillus subtilis, menghasilkan basitrasin



Bacillus polymyxa, menghasilkan polimixin

22

3.2. Bakteri merugikan −

Bakteri perusak makanan Beberapa spesies pengurai tumbuh di dalam makanan. Mereka mengubah makanan dan mengeluarkan hasil metabolisme yang berupa toksin (racun). Racun tersebut berbahaya bagi kesehatan manusia. Contohnya: Clostridium botulinum : menghasilkan racun botulinin, seringkali terdapat pada makanan kalengan Pseudomonas

cocovenenans

:menghasilkan

asam

bongkrek,

terdapat pada tempe bongkrek dan Leuconostoc mesenteroides, penyebab pelendiran makanan - Bakteri patogen Merupakan kelompok bakteri parasit yang menimbulkan penyakit pada manusia, hewan dan tumbuhan. Dampak Buruk Bakteri Yang Merugikan Bagi Kehidupan Makhluk hidup : −

Menyebabkan penyakit bagi makhluk hidup termasuk terhadap ikan dan manusia (bakteri parasit/patogen)



Membusukkan makanan yang kita miliki



Merusak tanaman dengan serangan penyakit yang merugikan (bakteri parasit/patogen)



Menimbulkan bau yang tidak sedap hasil aktivitas pembusukan

23

BAB III JENIS-JENIS PENYAKIT BAKTERI PADA BUDIDAYA IKAN LAUT Beberapa jenis penyebab penyakit ikan golongan bakteri yang sering menimbulkan kerugian dalam usaha budidaya ikan laut antara lain meliputi Vibrio sp, Streptococcus sp, Aeromonas salmonicida, Mycobacterium, Edwardsiella tarda, Edwardsiella ictaluri, Yersinia ruckeri, dan Flexibacter columnaris. menurut Amlacher (1961) dan Otte (1963) dalam Bullock (1971) tipe penyerangan bakteri dapat diklasifikasikan menjadi 4 yaitu : 1. Akut, Ikan-ikan yang mengalami septicaemia akan mati dengan cepat dengan tanda-tanda penyakit belum terlalu terlihat (penularan hingga timbul gejala penyakit antara 1 atau 2 hari); 2. Sub Akut, Gejala yang timbul adalah dropsi, bisul-bisul, abses,dan pendarahan pada pangkal sirip (mortalitas terjadi dalam beberapa hari); 3. Kronik, Ditandai dengan adanya ulser, yang disertai dengan furunkel, dan bisul-bisul bernanah (abses) yang berlanjut lama (dalam periode waktu yang relatif lama /bulan atau tahun); 4. Laten, Ikan tidak memperlihatkan gejala penyakit secara nyata, tetapi di dalam darah dan jaringan tubuhnya terdapat bakteria penyebab penyakit itu. Hal ini disebabkan karena ikan yang terserang penyakit ini memiliki kekebalan tubuh untuk melawan bakteri. Sebagian penyakit bakterial menunjukkan gejala yang sama pada ikan. Infeksi bisa terjadi pada kulit atau sirip ikan, dalam otot dan organ dalam. Tanda awal biasanya bercak merah atau rusaknya jaringan, adanya borok pada bagian tubuh, sirip yang busuk, terjadi pembengkakan perut (swollen abdomen), timbul bercak merah (haemorrhage) pada tubuh / organ, ascites (timbul semacam benjolan), nafsu makan berkurang, sirip geripis dan luka – luka. Berikut adalah beberapa jenis penyakit yang menginfeksi komoditas ikan laut, disertai dengan jenis bakteri penyebab penyakit, tipe serangan, gejala klinis bila ikan terinfeksi dan tekhnik pengendalian penyakit tersebut. 24

1. Vibriosis Di Indonesia penyakit Vibriosis yang disebabkan oleh bakteri Vibrio sp. saat ini telah dikenal sekitar 20 jenis yang menyerang berbagai komoditas perikanan seperti ikan, molusca, crustacea, Kepiting, Lobster dan berbagai jenis udang. Vibrio adalah salah satu jenis bakteri yang tergolong dalam kelompok marine bacteria. Bakteri ini umumnya memiliki habitat alami di laut. Secara umum, bakteri Vibrio bersifat aerob, tetapi ada pula yang bersifat anaerob fakultatif. Selain itu, Vibrio juga bersifat motil karena pergerakannya dikendalikan oleh flagela polar, tergolong bakteri gram negatif dan berbentuk batang pendek atau melengkung seperti tanda koma. Vibrio dapat berperan sebagai patogen primer ataupun patogen sekunder. Sebagai patogen primer, Vibrio masuk melalui kontak langsung dengan organisme; sedangkan sebagai patogen sekunder, Vibrio menginfeksi organisme yang telah terlebih dahulu terinfeksi penyakit lain. Vibriosis adalah penyakit oppurtunistik dari tahap larva dari banyak moluska bivalve. Itu juga dikenal menyerang pada tahap juvenil dari abalone, Holiostis rufescens. Bakteri penyebab penyakit ini, anggota dari kelompok Vibrio, ada diseluruh perairan laut dimana pembenihan dan budidaya dari moluska bivalve dilakukan. Penyakit ini disebabkan lebih banyak oleh manajemen penyakit dimana penyakit dapat dikontrol dengan prosedur hygienitas yang cocok dalam hatchery. Dalam kenyataannya, kehadiran penyakit diindikasikan oleh tidak diikutinya prosedur yang telah ditetapkan tersebut. Penyakit ini dilaporkan sejak permulaan dari perkembangan teknologi pembenihan. Banyak anggota dari kelompok bakteri Vibrio tidak mempunyai indetifikasi yang spesifik. Satu atau lebih anggota spesifik yang penting adalah sebagai organisme pathogen dari larva moluska bivalve. Flagella.

25

Vibrio adalah suatu jenis bakteri Gram-negatif yang mempunyai suatu tangkai yang bentuknya bengkok dan secara khas ditemukan pada air laut, Vibrio bersifat fakultatif anaerob positif test untuk oxidase dan tidak membentuk spora. Semua anggota jenis ini adalah motil (bergerak) dan mempunyai kutub flagella dengan sarung pelindung. Sejarah evolusi suatu ras terbaru telah dibangun didasarkan pada suatu deretan gen (analisa urutan multi-locus). 1.1 Cara Penulatan Bakteri Vibrio Jalur penyebaran infeksi Vibrio yang tepat belum jelas, tetapi transmisi dicurigai lewat mulut. Untuk mengisolasikan Vibrio spp. dari bagian tubuh yang berhubungan dengan usus secara klinis dari ikan normal. Di bawah kondisi-kondisi tertentu, bakteri mungkin mampu untuk memotong dinding usus, menghasilkan penyakit systemic. Pada saat serangan terjadi, banyaknya partikel yang cepat menyebar didalam lingkungan meningkat secara

dramatis,

sehingga

meningkatkan

kesempatan

Vibrio

yang

menyebabkan ikan akan terinfeksi. (Reed P. A and Floyd R.F., 1994) 1.2 Tanda Infeksi Tanda Vibriosis adalah serupa pada banyak penyakit bakterial ikan lainnya. Gejala umumnya dimulai dengan kelesuan dan hilangnya selera makan. Penyakit Vibriosis juga ditandai dengan kulit menjadi buram (discolored), merah dan necrotic (mati), sakit seperti melepuh dapat terlihat pada permukaan tubuh, adakalanya pecah pada permukaan kulit menghasilkan luka terbuka. Bintik-bintik darah (Erythema) umum terjadi di sekitar sirip dan mulut. Ketika penyakit menjadi systemic, dapat menyebabkan exopthalmia ("pop-eye"), dan saluran usus dan dubur menjadi berdarah dan terisi dengan cairan. semua gejala ini dapat disebabkan oleh penyakit bakterial lainnya, dan bukan hanya oleh Infeksi Vibrio. (Reed P. A and Floyd R.F., 1994). Penyakit 26

ini bersifat akut atau sub akut. Pada tingkat akut, rata-rata waktu kematian sekitar 4 hari dan dalam satu minggu dapat mencapai mortalitas hingga 90% atau lebih. Dan gejala eksternal sering tidak tampak jelas. Gejala klinis setelah dilakukan uji tantang dengan V. alginolyticus ikan terlihat kemerahan, terjadi peradangan, nekrosis dan ulser. Perlakuan dengan pemberian immunostimulan proses penyembuhan ulser lebih cepat. Total Lekosit 23,1-36,3 x106; Netrofil: 0,3-6,3%; Monosit : 25,0-27,0%; Limfosit: 58,3-67,7% dan Trombosit: 0,3-10,3%. Fagositik indek: 5,5 – 9,3. Kelangsungan hidup tertinggi pada perlakuan Bakterin : 75,0 %. Jenis Bakteri Vibrio Jenis Vibrio juga sangat beragam, ada sekitar 20 spesies Vibrio yang menyerang ikan laut dan payau. Vibrio pathogen yang dianggap penting pada ikan kerapu adalah V. anguillarum, V. alginolyticus, V. parahaemolyticus dan V. marinus (Wijayati & Hamid, 1997; Murdjani, 2002), V. anguillarum, V. metchnikovi, V. vulnificus, V. fluvialis, dan V. furnisii (Kamiso et al., 2005; Istiqomah et al., 2006). Serangan Vibrio terutama di pembenihan dapat menimbulkan kematian mencapai 80-90% bahkan 100% (Murdjani, 1997; Anonim, 1999; Yuasa, 2000). Vibrio merupakan bakteri oportunis yang selalu ada di dalam air sehingga selalu mengancam budidaya kerapu terutama pada saat kondisi lingkungan yang jelek dan kondisi ikan lemah −

Vibrio alginolyticus Vibrio alginolyticus dicirikan dengan pertumbuhannya yang bersifat swarm pada media padat non selektif. Ciri lain adalah gram negatif, motil, bentuk batang, fermentasi glukosa, laktosa, sukrosa dan maltosa, membentuk kolom berukuran 0.8 - 1.2 cm yang berwarna kuning pada media TCBS. Bakteri ini merupakan jenis bakteri yang paling patogen pada ikan kerapu tikus dibandingkan jenis bakteri lainnya. Nilai konsentrasi letal median (LC50) adalah sebesar 106.6 pada ikan dengan berat antara 5-10 gram. Kematian massal pada benih diduga disebabkan oleh infeksi bakteri V. alginolyticus. Pengendalian penyakit dapat dilakukan dengan penggunaan berbagai jenis antibiotika seperti 27

Chloramfenikol, eritromisina dan oksitetrasiklin. Sifat lain yang tidak kalah penting adalah sifat proteolitik yang berkaitan dengan mekanisme infeksi bakteri. Pada kelompok Vibrio alginolitycus, bakteri ini adalah lysine positif, pengurangan nitrat, lipase, gelatinase, oxidase-fermentation test tetapi negatif arginine, urease dan luminesensi. Sebanyak 10 jenis yang diisolasi berkembang dalam 1% peptone medium yang berisi 3, 6, 8, 10% klorid sodium tetapi tidak mengakar 0% Nacl. Jenis ini memproduksi asam dari glukosa, glycerol, mannitol, sucrose tetapi bukan dari lactose, salicin. Semua dari jenis ini tidak memproduksi gas dari glukosa. Didalam kasus dari tajin pangkat dengan diturunkan, ada hanya 10% reaksi positif dan VP reaksi mempunyai 20% reaksi positif (Larsen Dan Pedersen, 1999). −

Vibrio anguillarum Dibandingkan dengan V. alginolyticus, V. anguillarum merupakan spesies yang kurang patogen terhadap ikan air payau. Pada uji patogenisitas ikan kerapu tikus ukuran 5 gram yang diinfeksi bakteri dengan kepadatan tinggi hingga 108 CFU/ikan hanya mengakibatkan mortalitas 20%. Diagnosis penyakit dapat dilakukan dengan melakukan isolasi dan identifikasi bakteri. Penumbuhan bakteri pada media selektif TCBS akan didapatkan koloni yang kekuningan dengan ukuran yang hampir sama dengan koloni V. alginolyticus akan tetapi bakteri ini tidak tumbuh swarm pada media padat non-selektif seperti NA.

1.4 Jenis Bakteri Vibrio Pathogenik Menurut Austin dan Austin (1987) (dikutip oleh Hanna, 1991) menggolongkan tujuh Vibrio Pathogen utama pada ikan yaitu, V. alginolitycus, Vibrio Anguillarum, V. carchariae, V. cholerae, V. damsela, V. ordalii dan V. vulnificus. Beberapa jenis Vibrio secara klinis menjadi pathogens penting baik pada manusia ataupun pada ikan. Kebanyakan penyakit yang disebabkan jenis ini dihubungkan dengan gastroenteritis tetapi dapat juga terinfeksi luka terbuka dan penyebab keracunan darah. Penyakit ini dapat dibawa oleh 28

banyak hewan laut yang hidup, seperti ketam, ikan hingga kepada golongan atau udang-udangan,. Vibrio pathogenic meliputi V. cholerae (agen penyebab kolera), V. parahaemolyticus, dan V. vulnificus. Vibrio pathogenic dapat menyebabkan keracunan makanan, pada umumnya dihubungkan dengan makan makanan hasil laut yang belum dimasak. Vibrio spp mempunyai keanekaragaman phenotypic yang besar, oleh karena itu sangat kompleks untuk mengidentifikasinya. Jenis Vibrio adalah bakteri gram negatif, oxidase reaksi positif, mengakar TCBS agar, oxidativefementative menguji hal positif. Di samping karakteristik ini, bakteri ini juga bereaksi dengan arginine, lysine, orthinine, amylase, indole, sitrat, VogesProskauer,

urease,

gelatin,

pertumbuhan

pada

0,6

dan

8%

Nacl,

pertumbuhan pada temperatur 4,35 dan 40 OC, pembalasan dengan O/129 10 µg, hasil asam dari sebagian dari gula, dan lainnya (Larsen dan Pedersen, 1999). Semua anggota jenis Vibrio adalah bakteri Gram-negatif yang ukuran dan bentuk dari coccobacilli ke rod-shape sel, yaitu vibrioid. Di bawah kondisi kekurangan nutrirsi atau pada lingkungan alami, mencakup muara dan samudra, di mana kondisi-kondisi oligotrophic terjadi, vibrios akan terjadi seperti bentuk coccoid kecil, sebagai strategi agar dapat bertahan hidup (Singleton et al., 1982; Xu et al., 1982; Novitsky& Morita, 1976). Vibrio Spp bergerak (motil) atas bantuan sebuah kutub flagellum yang terbungkus, satu atau lebih kutub sel. Beberapa jenis juga membentuk flagella cabang samping tidak terbungkus, ketika media mengakar padat. Flagella cabang samping berperan dalam pemasangan pada permukaan (Belas and Colwell, 1982A; 1982B). Banyak bakteri Vibrio sp menyebabkan penyakit pada ikan dan shellfish, dan penyebab umum kematian antar kehidupan laut domestik. Vibrio fischeri, Photobacterium phosphoreum, dan Vibrio harveyi adalah jenis yang umum dimana tingkat keganasan yang sering dibahas. Keduanya, V. fischeri dan Photobacterium phosphoreum bersimbiosa dengan organisma laut yang lain seperti ubur-ubur, ikan, atau squid, dan menghasilkan cahaya dengan biopendar melalui mekanisme kuorum yang dimilikinya. Vibrio harveyi adalah suatu pathogen beberapa hewan air dan umumnya sebagai penyebab penyakit dengan gejala kulit “berkilauan/bercahaya” (vibriosis) pada udang. 29

Pada budidaya ikan kerapu masalah penyakit merupakan hal yang tidak bisa dihindari, pemeliharaan larva secara intensif sangat berpeluang untuk terserang penyakit. Salah satu jenis bakteri yang biasa menyerang baik pada pembenihan maupun pada budidaya ikan kerapu adalah bakteri V. alginolyticus. Bakteri ini diketahui dapat mennyebabkan kematian sehingga perlu dilakukan pencegahan, salah satu upaya untuk meningkatkan ketahanan tubuh adalah dengan penggunaan imunostimulan yang dapat meningkatkan respon imun non spesifik. 2. Streptococcosis Infeksi Streptococcus diyakini sebagai penyakit bakterial yang memiliki dampak cukup luas baik bagi ikan liar maupun ikan budidaya (Kitao, 1993, Bercovier et al., 1997; Romalde and Toranzo, 1999, 2002). Penyakit ini pertama sekali dilaporkan terjadi di jepang pada tahun 1957, yang berdampak pada budidaya ikan tuna di jepang. Penyakit ini muncul pertama sekali di benua Eropa pada tahun 1993, dan seiring dengan perkembangan budidaya ikan intensif, periode wabah untuk salah satu agen penyebab penyakit ini, yakni Lactococcus garvieae telah mewabah di seluruh dunia. Klasifikasi spesies Streptococcus merupakan sebuah klasifikasi yang kompleks dan kadang-kadang membingungkan. Banyak spesies baru telah dimasukkan ke dalam genus Streptococcus dan strain dari beberapa spesies telah diklasifikasikan kembali. Pada tahun 1980-an, beberapa spesies dari Streptococcus

dimasukkan

ke

dalam

genus

baru

Lactococcus

danEnterococcus. Saat ini, lebih dari enam genus baru - Abiotrophia, Granulicatella, Dolosicoccus, Facklamia, Globicatella and Ignavigranum telah ditetapkan, genus ini secara umum terdiri atas organisme yang sebelumnya dimasukkan ke dalam genus Streptococcus.

30

Klasifikasi terhadap bakteri gram positif-coccus berdasarkan kepada hibridisasi pasangan DNA dengan menggunakan rangkaian Sequencing 16S menunjukkan bahwa sedikitnya ada enam spesies berbeda dari bakteri gram positif-Coccus yang dapat digolongkan sebagai mikroorganisme patogen bagi ikan. Yaitu : a) Lactococcus garvieae (syn. Enterococcus seriolicida) b) Lactococcus piscium c) Streptococcus iniae (syn S. Shiloi) d) Streptococcus agalactiae (syn S. Difficile) e) Streptococcus parauberis f) Vagococcus salmoninarum Bila ditinjau dari sudut morfologi, bakteri Streptococcus memiliki bentuk : a) bulat atau oval, memanjang seperti rantai, b) bersifat gram positif, c) tidak bergerak, d) tidak membentuk spora atau kapsul dan e) Umumnya bersifat fakultatif anaerob, tanpa endospora f) diameter bakteri berukuran 0,7-1,4 µm. g) Non acid fast h) bakteri ini dapat hidup di air tawar dan air laut dengan kisaran suhu bagi pertumbuhannya antara 10-45oC. Bakteri Streptococcus dilaporkan telah menyerang jenis-jenis ikan air tawar dan laut antara lain rainbow trout (Onchorhynchus mykiss), sea trout (Cynoscionregalis),

silver

trout

(Cynoscion

nothus),

golden

shiner

(Notemigonus crysoleucas), yellow tail (Seriola quinquiradiata), menhaden (Brevoortia patronus), Sea Catfish (Arius felis), striped mullet (Mugil cephalus), pinfish (Lagodon rhomboides), Atlantic croaker (Macropogon undulatus), spot (Leiostomus exanthus), Sting ray (Dasyatis sp.), Dolphin air tawar (Iniageoffrensis), Sidat (Angulla japonica), Ayu (Leicoglossus altivelis), Amago

salmon

(Onchorhynchus

rhodurus),

Jacopever

(Paralichthys

olivaceus), Striped bass (Morone saxatilis), Blue fish (Pomatomous saltatic), 31

Siganids (Siganus cahaliculatus), Sea Bream (Pagrus major), tilapia (Oreochromis sp.) dan Channel catfish (Ictalurus punctatus). Penyebaran penyakit Streptococcosis Jalur utama penyebaran penyakit ini terjadi melalui

ikan

yang

terinfeksi,

air

yang

terkontaminasi dan pemberian pakan rucah yang tidak baik. Meskipun penyakit ini mengakibatkan kematian pada ikan dengan ukuran kecil dari 10 gr. Ikan diatas 100 gr juga rentan terinfeksi penyakit ini. wabah dapat muncul di sepanjang tahun, namun biasanya diawali dengan stres lingkungan pada ikan, sebagai contoh, dikarenakan padat tebar yang terlalu tinggi dan perubahan pada kualitas air. Serangan bakteri ini berkaitan erat dengan pertumbuhan cepat bakteri Streptococcus di

dalam saluran usus

dimana cairan toksin baik extracellular maupun intraselular dihasilkan (Kusuda et al., Kimura dan Kusuda, 1979,1982). Komoditas ikan budidaya di Asia yang rentan terhadap infeksi penyakit Streptococcosis ini adalah sebagai berikut : Nama Umum Ikan Kakap Putih Four-finger threadfin

Nama Latin Ikan Lates calcarifer Eleutheronema

Ikan Kerapu Japanese flounder Bawal

tetradactylum Epinephelus spp. Paralichthys olivaceus Trachinotus spp. Rhabdosargus spp.

Seabream

Sparus spp.

Kakap Merah Nila Yellow croaker ( Sumber : Intervet)

Plectorhynchus spp. Lutjanus spp. Oreochromis spp. Larimichthys polyactis

Pada ikan kakap putih gejala klinis ikan yang terserang penyakit Streptococcosis adalah operculum insang kemerahan, daerah sekitar anus 32

berwarna kemerahan, adanya penimbunan cairan pada rongga perut, perdarahan

pada

hati,

ginjal

bengkak

dan

exophtalmia.

Penyakit

Streptococcosis selain sangat potensial merugikan juga merupakan penyakit yang bersifat zoonosis. Penyakit ini telah banyak mengakibatkan kerugian berupa kematian baik pada ikan kakap putih ukuran benih maupun pada ukuran konsumsi. Gejala Klinis Ikan yang terinfeksi Streptococcosis adalah sebagai berikut : − Sikap berenang yang tidak normal, ikan yang terinfeksi akan menunjukkan sifat malas berenang, memperlihatkan gerenang memutar atau seperti memiliki arah renang yang tidak beraturan. − Luka di mata, dapat bersifat Unilateral atau bilateral exophthalmia (popeye), kornea mata buram, dan mata mengalami pendarahan − Luka di Kulit, Warna kulit yang menghitam merupakan gejala klinis umum pada ikan yang terinfeksi. Pendarahan yang mungkin ada di seluruh permukaan tubuh terutama di daerah sirip dan ekor. − Septicaemia di bagian dalam, limpa dan ginjal membesar serta hati mengalami pendarahan.

Gambar . Gejala klinis umum ikan terinfeksi penyakit Streptococcosis, yakni pop eye dan badan menghitam disertai dengan pembengkakan gelembung renang. Penegasan atas dugaan penyakit Streptococcus yang berdasarkan pada gejala klinis ini, membutuhkan media untuk tumbuh kembangnya bakteri, dan disarankan untuk menggunakan media darah. Keberadaan bakteri patogen ini 33

juga dapat ditegaskan melalui metode fluorescent antibody baik langsung ataupun tidak langsung (Kusuda dan kawahara, 1987). Menurut Alicia E. Toranzo (2004) Diantara genus Streptococcus tersebut diatas, yang diyakini sebagai penyebab utama terjadinya infeksi penyakit Streptococcosis adalah : a) Lactococcus garvieae Bakteri Lactococcus garvieae merupakan bakteri gram positif yang berbentuk bola atau bulat dengan diamter kurang dari 2 μ. kajian taksonomi telah menunjukkan bahwa bakteri coccus ini tergabung dengan agen penyebab penyakit yang sama yang disebut dengan penyakit Streptococcosis. Lactococcus garvieae adalah salah satu bakteri patogen yang paling penting yang mempengaruhi spesies ikan budidaya di banyak negara, walaupun dampak yang paling besar adalah pada industri peternakan ikan tuna. Selain ikan budidaya, mikroorganisme ini juga telah diisolasi dari berbagai spesies ikan liar, baik dari air tawar dan laut, Baru-baru ini, gangguan usus pada manusia telah dikaitkan dengan konsumsi ikan mentah

yang

terkontaminasi

dengan

bakteri

patogen

ini.

yang

menunjukkan bahwa Lactococcus garvi dapat dianggap sebagai bakteri yang berpotensi zoonosis Meskipun distribusi Lactococcus garvieae cukup luas dan muncul baik pada kajian veteriner ataupun pengobatan manusia, namun pengetahuan yang lengkap tentang genetik mikroorganisme patogen ini masih belum lengkap. b). Streptococcus iniae Streptococcus iniae adalah salah satu bakteri patogen dari kelompok Streptococcus yang dapat menginfeksi ikan air tawar maupun ikan laut. Patogen ini bersifat zoonosis, dapat menularkan penyakit dari ikan yang terserang kepada manusia yang menyentuh atau mengkonsumsinya. Atas dasar potensi patogenitasnya, sifat zoonosis dan resiko pengendaliannya maka pemerintah menetapkan S. iniae kedalam kelompok Hama Penyakit Ikan Karantina (HPIK) gol II, yaitu penyakit yang harus diwaspadai untuk dicegah penyebarannya. 34

Ikan Kakap Putih memiliki sensitivitas yang cukup tinggi terhadap serangan bakteri Streptococcus iniae. Infeksi bakteri S. iniae tidak hanya menyerang ikan kakap putih saja tetapi untuk komoditas ikan air tawar juga mampu menyerang ikan nila. Infeksi S. iniae pada ikan nila di wilayah Sumatera cukup meresahkan para pembudidaya, hal ini karena angka kematian yang terjadi berkisar antara 10-30 % (Panigoro, (2006). Selanjutnya Panigoro (2006) juga menyatakan gejala klinis yang tampak pada ikan nila yang terserang Streptococcus iniae adalah kumpulan cairan dalam rongga perut dan usus, mata bengkak, bercak hijau/kebiruan pada hati dan selaput hati menjadi tipis serta ginjal belakang mengalami pelebaran. Pada pembenihan ikan kakap putih kematian akibat serangan S. iniae berada pada kisaran 50-60 %. Faktor pemicu munculnya wabah penyakit tersebut diantaranya adalah kepadatan tinggi, kualitas air tidak bagus, pemberian pakan yang berlebihan dan kondisi kekebalan tubuh ikan yang rendah. Menurut Hari Maryadi (2009), Perubahan makroskopis atau patologi anatomi pada ikan Kerapu Macan yang diberi perlakuan infeksi S. iniae berupa lesi pada area injeksi, warna tubuh menjadi gelap, haemorhagi pada bagian bawah operkulum, perut bengkak, sisik rontok, gelembung renang relatif lebih besar, hati bengkak dan pucat, limpa bengkak dan empedu bengkak. Pada kelompok normal tidak terjadi perubahan. Perubahan histopatologi pada ikan Kerapu Macan yang diberi perlakuan infeksi S. iniae terjadi pada organ insang, otak, jantung, hati, ginjal, limpa dan usus. Perubahan histopatologi tersebut berupa degenerasi, nekrosis, kongesti, hemoragi, edema, dan radang. Saat ini, tekhnik molekular untuk diagnosa penyakit Streptococcus pada ikan

telah

diaplikasikan

Streptococcus,

yakni

L.

untuk

dua

Garvieae

spesies dan

penyebab

S.iniae

penyakit

(Romalde

dan

taranzo,2002). Dan panduan analisa berdasarkan metoda PCR telah dipublikasikan baik untuk L. Garvieae maupun S.iniae. Penyakit Streptococcus yang diakibatkan oleh S.iniae dapat ditanggulangi dengan penggunaan antibiotik, vaksinasi, pemberian imunostimulan., 35

serta dengan mengurangi stres pada ikan. Penggunaan antibiotik dalam kondisi yang terkendali akan efektif namun apabila penggunaannya terus menerus dan tidak terkendali dapat menimbulkan efek resisten dari agen patogen selain itu residu yang ditimbulkan dapat membahayakan kesehatan manusia. Penggunaan vaksin dan imunostimulan untuk pencegahan penyakit harus menjadi prioritas karena ketersediaan Vaksin dan Immunostimulan telah terdistribusikan dengan cukup baik.

Gambar. Peta distribusi S. iniae di seluruh dunia (Sumber : Intervet)

3. Edwardsiellosis

36

Penyakit ikan Edwardsiellosis disebabkan oleh bakteri dari genus Edwardsiella (Family : Enterobacteriaceae), dan merupakan penyakit bakteri yang bersifat sistemik. Dilaporkan terdapat pada ikan air tawar dan air laut. Sifat patogenitas bakteri ini pada ikan laut belum didokumentasikan dengan baik, namun secara umum melibatkan dua spesies, Edwardsiella tarda (menginfeksi berbagai jenis ikan air tawar dan ikan laut) dan Edwardsiella ictaluri. Edwardsiella tarda telah terdistribusi secara luas di seluruh dunia, terdapat pada lingkungan air tawar dan air laut. Dan telah menyebabkan berbagai masalah penyakit akut pada budidaya ikan laut, terutama di asia tenggara. Bakteri E. tarda dan E.ictaluri bisa bertahan hidup di air. Bahkan beberapa inang alamiah bisa bertahan sebagai Karier. Penularan penyakit ini dapat terjadi melalui air yang berasal dari sumber terinfeksi (feces ikan yang bersifat karier, air, Lumpur) atau kotoran sisa makanan burung juga dapat berperan sebagai sumber infeksi. Edwardsiella tarda dan E. ictaluri berbentuk (a) batang bengkok, dengan ukuran 1 x 2-3 µm, (b) bersifat gram negatif bergerak dengan bantuan flagella,(c). tidak membentuk spora atau kapsul dan bersifat fakultatif anaerob. (d). Bakteri ini dapat E. ictaluri Sumber : ib.noaa.gov

dijumpai di lingkungan air tawar dan air laut, dengan suhu optimal bagi pertumbuhannya sekitar 35 oC,

dan (e). sedangkan pada suhu di bawah 10 oC atau di atas 45oC tidak dapat tumbuh Edwardsiella tarda dilaporkan menyerang ikan-ikan air tawar dan laut antara

lain

channel

catfish

(Ictalurus

punctatus),

chinook

salmon

(Onchorhynchus tshawyscha). Common carp (Cyprinus carpio), crimson seabream (Evynnis japonicus), japanese flounder (Paralichthys olivaceus), japanese eel (Anguilla japonica), Largemouth bass (Mycropterus salmoides), mullet (Mugil cephalus), red sea bream (Chrysophrys major), striped bass (Morone

saxatilis),

Tilapia

(Tilapia

nilotica),

Yellow

tail

(Seriolla 37

quinquiradiata), ular, buaya dan singa laut, sedangkan Edwardseilla ictaluri dilaporkan menyerang channel catfish (Ictalurus furcatus), brown bullhead (Ictalurus nebulosus), blus catfish (Ictalurus furcatus), Danio (Danio devario), green knifefish (Eigemannia virens), Walking catfish (darias batrachus), White catfish (Ictalurus catus). Gejala

eksternal

Edwardsiellosis

ikan

pada

infeksi

yang

terserang

ringan,

hanya

menampakkan luka-luka kecil. Ukuran luka sebesar 3–5 mm. Luka tersebut berada disamping bagian belakang Sumber :microgen.ouhsc.edu

badan

(posterio-lateral).

Sebagai

perkembangan penyakit lebih lanjut, luka bernanah berkembang dalam otot rusuk dan lambung. Pada

kasus akut akan terlihat luka bernanah secara cepat bertambah dengan berbagai ukuran. Perkembangan lebih lanjut, luka-luka (rongga-rongga) berisi gas. Terlihat bentuk cembung, menyebar ke seluruh tubuh. Ikan tampak kehilangan warna, dan luka-luka kemudian merata di seluruh tubuh. Jika luka digores, bau busuk (H2S) tersebar da bekas jaringan mati bisa berisi 3 rongga. Untuk tindakan pengendalian dan pencegahan terhadap penyakit Edwardsiellosis, khususnya yang disebabkan oleh Edwardsiella tarda dapat dilakukan dengan pengelolaan lingkungan yang baik dan benar untuk menghindari terjadinya stres pada ikan. Tindakan yang lain dapat juga dilakukan dengan aplikasi antibiotik melalui pakan, namun hal ini tidak dianjurkan. Salati (1988) melaporkan bahwa obat yang paling efektif adalah Oxolinic acid, diikuti dengan Trimethoprim,

4. Tuberculosis

38

Tuberculosis atau Mycobacteriosis pada ikan merupakan jenis penyakit yang bersifat sub-akut sampai kronik dan penyakit ini dapat ditemukan pada jenis ikan air tawar, payau maupun ikan air laut. Tuberculosis pada ikan (Piscine tuberculosis) pertama kali ditemukan pada ikan-ikan mas (Cyprinus carpio) yang hidup di sebuah danau kecil di Perancis pada tahun 1987 dimana danau tersebut banyak menerima polutan yang berasal dari pusat perawatan pasien Tuberculosis (sanatorium) disekitarnya. Penyebab timbulnya penyakit dari Piscine tuberculosis ini adalah jenis bakteri Mycobacterium marinum pada ikan-ikan air laut dan Mycobacterium fortuitum pada ikan-ikan air tawar dan payau. Bakteri Mycobacterium ini telah diketahui menyerang 157 spesies ikan, 11 spesies amphibia, dan 27 spesies reptilia. Semua jenis salmon sangat mudah diserang. Mycobacterium fortuitum, M. marinum, M. chelonei ternyata memungkinkan menyerang tangan dan paru-paru manusia yang bekerja menangani ikan yang sakit Tuberkulosis. Bakteri ini tersebar di seluruh dunia.

Sumber infeksi utama

Mycobacterium adalah ikan sakit, tetapi dimungkinkan juga dari sumber bukan ikan (air dan alat-alat karena bakteri ini diduga bersifat oportunistik). Cara penularan dan penyebaran diduga melalui beberapa cara yang memungkinkan yaitu melalui pakan dan air serta transovarian. Ikan yang terserang Tuberkulosis akan mengalami kerusakan organ dalam, kurus dan kemudian mati. Apabila terjadi luka akan kehilangan protein plasma dan ikan sangat mudah terserang infeksi sekunder. M. marinum dan M. fortuitum memiliki bentuk batang dengan lebar 0,3 – 0,7 mikrometer dan panjang 1 – 4 mikrometer, bersifat Gram positif, tidak membentuk spora, non motil dan acid-fast. Bakteri ini relatif fastidious, dapat tumbuh pada Sumber : Laurentian University

media tertentu, dan pertumbuhannya sangat lambat

bahkan

pada

media

yang

sesuai.

Mycobacterium tidak memiliki pigmen kecuali apabila ditumbuhkan pada 39

media telur (egg medium) yang dipertebal dan terkena sinar matahari akan menghasilkan koloni bewarna kuning. Koloni berbentuk bulat, cembung di tengah dan rata pada bagian pinggirnya. Suhu optimum pertumbuhannya adalah sekitar 25 – 35 °C, tetapi masih dapat tumbuh dengan baik pada suhu 18 -20 °C. M. marinum dapat tumbuh baik pada suhu 25 0c, sedangkan M. Fortuitum dapat tumbuh baik pada suhu 250c – 370c. M. marinum dan M. fortuitum dapat tumbuh pada media agar gliserol, media Dorset, media Petroff, media telur yang ditambah gliserol dan media lainnya. Dari berbagai percobaan, kedua bakteri ini dapat tumbuh dengan sangat baik pada media CGY (casitone 0,2 %, glukosa 2 %, esktrak ragi 0,2 %, agar 1,5 %, yang dilarutkan dalam air sehingga diperoleh volume akhir sekitar 100 ml). Bakteri akan mulai tumbuh setelah 5-10 hari pada suhu 22°C. 4.1 Epizootiologi Rute transmisi bakteri Mycobacterium pada umumnya adalah melalui oral, misalnya melalui pemberian pakan yang berasal dari ikan-ikan yang sakit. Rute lain transmisi bakteri ini adalah melalui luka atau abrasi pada kulit dan secara transovarium. Periode inkubasi Mycobacterium adalah sekitar 6 minggu atau lebih. Lamanya inkubasi tergantung pada resistansi ikan terhadap infeksi dan suhu optimum yang diperlukan bakteri untuk tumbuh. Infeksi Mycobacteriosis menyebabkan timbulnya lesi-lesi granuloma, kaseous atau nekrotik di berbagai organ seperti ginjal, limpa dan hati. Lesi infeksius pada saluran cerna, kulit atau insang merupakan sumber utama transmisi agen penyakit ini ke perairan. Transmisi dari organ-organ lain kemungkinan terjadi apabila ikan mati dan membusuk. Penyebaran penyakit Tuberculosis pada ikan dari suatu tempat ke tempat lain pada umumnya melalui kegiatan perdagangan ikan. Sifat penginfeksian yang bersifat kronis menyebabkan banyak jenis ikan, ampibi serta reptil yang mejadi media pembawa tetapi tidak menunjukan gejalagejala klinis tertentu. Oleh karena itu, ikan-ikan ini merupakan bagian epizootiologi definitif infeksi bakteri dan faktor penyebar penyakit hingga ke tempat lain, bahkan dari satu benua ke benua lainnya. Gejala penyakit

40

Infeksi Mycobacterium pada ikan mungkin saja menimbulkan atau tidak menimbulkan adanya gejala klinis eksternal. Pada umumnya ikan yang terinfeksi akan cenderung memisahkan diri dari kelompok besarnya dan berada di sudut-sudut tempat penampungan atau kolam, bersembunyi, dan berada dalam air dengan posisi kepala di bawah. Ikan juga akan kehilangan nafsu makan dan menjadi kurus. Pada beberapa jenis ikan ditemukan ulserulser pada jaringan otot tepat di bawah kulit yang terinfeksi, kelainan pigmen dan tulang belakang, atau terhambat pertumbuhannya. Selain itu, ikan yang terinfeksi mengalami eksopthalmus unilateral atau bilateral. Secara histologi, semua ikan yang terinfeksi menunjukan perubahan patologi yang sama. Lesi-lesi berwarna abu-abu keputihan dengan berbagai ukuran ditemukan pada organ atau jaringan tubuh. Lesi ini paling sering ditemukan pada ginjal, hati, limpa, perut, usus, rongga perut, jantung serta jaringan otot. Pada ginjal dapat ditemukan banyak lesi-lesi sehingga menyebabkan

pembengkakan

terutama

pada

bagian

posterior.

Lesi

Tuberculosis pada ikan bersifat purulen (menghasilkan nanah) atau nekrotik. 4.2 Diagnosis Diagnosis Tuberculosis ikan tergantung pada gejala-gejala penyakit, identifikasi bakteri dan histopatologi. Keberadaan lesi-lesi berwarna abu-abu keputihan di berbagai organ dan jaringan dapat merupakan tanda adanya infeksi Mycobacterium. Preparat sentuh pada lesi ini akan menunjukan adanya bakteri berbentuk batang panjang yang bersifat Gram positif dan acid fast. M. marinum dan M. fortuitum relatif bersifat fastidious dan lambat pertumbuhannya pada media khusus. Bakteri acid fast lainnya yang mungkin ditemukan pada ikan dengan lesi yang serupa adalah Nocardia sp., tetapi bakteri ini tidak bersifat fastidious. Diagnosis Mycobacteriosis sub akut pada ikan relatif sulit. Untuk itu digunakan metode pemekatan bakterial (Bacterial concentration method). Organ ginjal dan hati merupakan organ yang tepat untuk metode ini. Histopatologi lesi Mycobacteriosis hampir serupa dengan yang ditemukan pada ikan yang terserang penyakit kronis dan supuratif lainnya seperti 41

Bacterial Kidney Diseases. Pada lesi mungkin dijumpai fokus-fokus nekrosis pada berbagai tingkatan di bagian terluar nya. Selain itu, terdapat lapisan seperti fibrin yang menyelubingi fokus-fokus lesi tersebut. Pada kondisi infeksi yang parah, fokus-fokus lesi ini dapat menyatu dan membentuk suatu granuloma yang berkuran besar terutama pada ginjal dan hati. 4,3 Terapi dan pengendalian Sanitasi, disinfeksi dan pemusnahan ikan pembawa agen penyakit merupakan cara utama untuk mengendalikan penyebaran dan perkembangan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium ini. Pengawasan dan pelarangan lalulintas ikan yang terinfeksi ke daerah bebas Tuberculosis ikan merupakan cara pengendalian yang efektif. Karena sifat lesinya, penggunaan terapi dengan obat-obatan agak kurang efektif. Cara terbaik untuk pencegahan yang dapat dilakukan oleh pembudidaya ikan terutama ikan hias untuk mengurangi atau menghilangkan kemungkinan serangan Mycobacterium antara lain adalah: 1. Jangan memasukan sembarang ikan ke penampungan yang berisi ikanikan sehat tanpa melakukan tindakan karantina yang memadai; 2. Hindari menempatkan ikan-ikan terlalu padat pada suatu kolam atau bak penampungan; 3. Jangan memberi makan ikan dengan pakan yang mungkin dapat terkontaminasi oleh Mycobacterium. 4. Lakukan pengelolaan kualitas air yang baik. 5. Lakukan sanitasi dan desinfeksi secara rutin terhadap sarana dan prasarana hingga kepada tenaga kerja yang bekerja di lapangan.

5. Bacterial Kidney Disease (BKD)

42

Bacterial kidney disease (BKD) merupakan sebuah penyakit bakterial akut yang pertama kali dilaporkan terjadi pada populasi liar ikan salmon atlantik di sungai Spey dan Dee, Skotlandia tahun 1933. kemudian setelah itu BKD dilaporkan terdapat pada populasi ikan salmon baik liar atau yang dibudidayakan di wilayah Amerika utara dan Amerika selatan, Benua Eropa dan Jepang. Di skotlandia, prevalensi dari penyakit BKD ini pada budidaya ikan salmon dan tuna justru rendah. Wabah BKD dapat terjadi sepanjang tahun, tetapi secara umum disertai dengan peningkatan suhu pada musim semi. Infeksi BKD dapat mengakibatkan kematian baik pada ikan salmon liar ataupun pada ikan yang dibudidayakan. Seluruh tahapan usia ikan rentan terhadap infeksi penyakit ini, meskipun penyakit ini jarang ditemukan pada masa benih. Meskipun BKD banyak menginfeksi ikan air tawar, namun kematian dalam jumlah yang signifikan juga terjadi pada budidaya ikan air laut (Banner et al., 1983), dan Penyakit BKD ini disebabkan oleh bakteri Renibacterium salmoninarum yang memiliki ukuran kecil (0.5x1.0μm), bersifat non-motile, merupakan bakteri Gram positif dengan bentuk batang pendek dengan suhu optimum untuk pertumbuhan pada suhu 15-18°C . Renibacterium salmoninarum dapat diamati setelah masa inkubasi yang cukup lama pada media Kidney Disease Medium 2 (KDM2), Kidney Disease Medium Charcoal (KDMC) atau Selective Kidney Disease Medium (SKDM), R. salmoninarum menghasilkan koloni putih atau krem, berkilau, lembut, berbentuk bulat, dengan ukuran seluruh koloni ± 2 mm. Bakteri Renibacterium salmoninarum yang diisolasi dari ikan yang terinfeksi akan menghasilkan koloni yang dapat dilihat setelah masa inkubasi 2 – 3 minggu. Pertumbuhan awal pada media KDM 2 dilaporkan dapat mencapai 8 minggu, dan 12 minggu pada media SKDM.

Ikan yang terinfeksi dengan Renibacterium salmoninarum mungkin tidak menunjukkan adanya gejala klinis/patologi, atau menunjukkan salah 43

satu gejala atau lebih atas adanya indikasi anaemia, exophthalmia, kulit menjadi gelap

dan perdarahan di pangkal sirip. Insang mungkin tampak

pucat, pembesaran ginjal. Perut kembung (dikarenakan akumulasi cairan ), kulit melepuh dengan disertai cairan kotor didalamnya, luka di permukaan (dampak dari pelepuhan kulit), haemorrhagi ( terutama disekitar lubang anus), dan lubang pada bagian intramuscular. (EU commission) Secara histologi, menunjukkan adanya luka granuloma yang cukup akut, terutama di jaringan haemopoietic, tapi meluas hingga ke hati, Otot jantung dan akhirnya ke setiap organ pada tahap akhir infeksi. granuloma terdiri atas nukleus necrotic yang dikelilingi oleh

sel

epithel dan limfosit. Gambar.. Pengamatan mikroskopis terhadap pewarnaan jaringan dari ikan Rainbow trout menunjukkan keberadaan Renibacterium salmoninarum Penyebaran penyakit BKD dapat terjadi baik secara Vertikal maupun Horizontal. 1. Secara Vertikal, dapat terjadi melalui telur. Khususnya pada telur yang sudah terkontaminasi. Meskipun dilakukan desinfeksi telur menggunakan Iodine 250 ppm selama 15 menit tetap tidak dapat mencegah penularan penyakit ini (Evelyn et al. 1984; Bruno and Munro, 1986). Penularan melalui sperma sangat memainkan peranan penting pada penyebaran secara Vertikal bakteri R. salmoninarum ini (Klontz, 1983; Evelyn et al. 1986b). 2. Secara

Horizontal,

ikan

dapat

terinfeksi

melalui

pakan

yang

terkontaminasi, air atau kontak pada kulit dengan ikan yang bersifat carrier (Balfry et al. 1996)

Pengendalian Penyakit

44

Pengendalian BKD dapat dilakukan secara konvensional, seperti pengobatan secara kimia yang memiliki masalah dikarenakan infeksi alami R. salmoninarum yang membutuhkan waktu cukup lama. Jadi hingga saat ini belum ada pengobatan yang tepat untuk penyakit ini. Namun Austi (1985) telah menguji lebih dari 70 zat antimikrobial baik secara in vivo maupun secara in vitro. namun tidak satupun antibiotika tersebut dapat memenuhi Kadar Residu maksimal (maximum residue limit /MRL) bila diaplikasikan pada ikan, Vaksinasi merupakan jalan keluar yang diharapkan untuk mengatasi penyakit BKD, di masa lalu, vaksinasi untuk BKD telah diupayakan untuk dikembangkan. Namun hasil yang diperoleh belum cukup memuaskan. Paterson et al. (1981b) melaporkan bahwa suspensi inaktif dari R. salmoninarum yang dicampur dengan Freunds Complete Adjuvant (FCA) dengan perbandingan 1 : 1, diaplikasikan melalui suntikan berhasil mengurangi infeksi R. salmoninarum pada ikan salmon, namun tidak seluruhnya dapat dieliminasi. Sebaliknya McCarthy et al. (1984) lebih sukses mengaplikasikan vaksin dengan bakteri yang di-lysiskan, tanpa adjuvant dan diberikan melalui suntikan . diketahui bahwa >80% ikan control tanpa vaksinasi terinfeksi oleh R. salmoninarum, namun kurang dari 10% ikan yang divaksinasi menunjukkan gejala klinis terinfeksi. Sakai et al. (1989, 1993 and 1995) mengemukakan bahwa meskipun antibody spesifik dihasilkan melawan sel mati bakteri R. salmoninarum yang diinjeksikan melalui vaksinasi, tantangan sebenarnya adalah fase setelah vaksinasi yang menunjukkan tidak adanya dampak protektif terhadap ikan. Beberapa pengembangan saat ini terus dilakukan, salah satunya adalah pembuatan Vaksin yang berbasiskan kepada DNA, dimana vaksin ini dilaporkan cukup efektif dan saat ini telah memasuki tahap peninjauan.

6. Columnaris 45

Penyakit Columnaris pada budidaya ikan laut disebabkan oleh bakteri Flexibacter columnaris. Columnaris termasuk infeksi kulit akut hingga kronis yang menyerang ikan, khususnya chanell catfish. Sinonim dari Columnaris termasuk cotton wool dan mouth fungus. Penyakit ini pertama kali didiskripsikan oleh Davis, tahun 1922. Penyakit yang sama dari ikan air laut dan air payau disebabkan oleh Flexibacter maritimus. Penyakit Columnaris ditemukan diseluruh dunia terjadi pada ikan air tawar dan air payau, khususnya di U.S, Eropa, dan Asia. Menurut Meyer (1970), bakteri ini khususnya menyerang ikan chanel catfish dan ictalurids lainnya. Namun demikian, sidat (eel) yang dibudidayakan (air tawar dan payau) juga sangat rentan terinfeksi bakteri F. columnaris (Wakabayashi, et.all, 1970). Selain ikan salmonids, khususnya pada saat di hatchery, ikan mas (Cyprinus carpio) di Eropa, golden shiners (Notemigonus chrysoleucas), fathead minnow (Pimephales promelas), dan ikan koki (Carasius auratus) di Amerika Serikat, sangat rentan terkena infeksi bakteri ini (Bernardet, 1989). Walaupun kelihatannya ada beberapa ikan yang mudah terinfeksi bakteri ini, namun semua ikan air tawar baik liar maupun budidaya, termasuk ikan hias, sangat resisten terhadap infeksi bakteri ini. Gejala klinis yang ditunjukan oleh penyakit Columnaris sangat mudah dikenali dan berbeda antar spesies. Namun, lokasi terjadinya luka sangat bervariasi (Bullock, et.all, 1971). Derajad penyakit, tipe dan lokasi luka, dan virulensi sesuai dengan strain dari bakteri F. columnaris yang termasuk dalam infeksi tersebut (McCarthy, 1975). Perlu diperhatikan bahwa, infeksi bakteri F. columnaris dapat berasosiasi dengan infeksi bakteri lain atau dengan parasit protozoa yang termasuk didalamnya. Pada ikan catfish, infeksi dimulai dari bagian luar, yaitu sirip, permukaan tubuh, atau insang. Sirip mengalami nekrosis dengan pinggiran abu- abu hingga putih. Luka awal pada kulit tampak kecil, terdapat daerah berwarna kebiru biruan yang meluas menjadi luka nekrosis pada ikan yang terinfeksi sehingga pada daerah tersebut kulit kehilangan penampakan mengkilapnya. Luka yang ditimbulkan bakteri ini memiliki pinggiran kekuningan dan putih dengan disertai inflammasi ringan. 46

Mulut ikan yang terinfeksi ditutupi dengan material lendir yang kekuning – kuningan. Tipe luka yang sama terjadi pada eel, trout, cyprinids, dan centrarchids. Luka pada insang berwarna putih hingga coklat (Plumb, 1994). Columnaris umumnya dideteksi dengan mengenali tipe luka pada kulit, sirip dan insang. Columnaris dapat terjadi sebagai infeksi primer tanpa menimbulkan stress signifikan kepada inang atau, lebih umumnya, infeksi terjadi sebagai infeksi sekunder sebagai hasil dari kondisi lingkungan yang menimbulkan stress atau trauma. Pada kasus yang lain, penyakit ini berkembang sebagai infeksi akut seiring dengan semakin cepatnya kematian. Columnaris sering menginfeksi bagian luar namun juga dapat menjadi sistemik. Hawke dan Thune (1992), menemukan pada 53 kasus infeksi oleh bakteri F. columnaris, 11% menginfeksi eksternal, 17% internal, dan total, infeksi eksternal dan sistemik terjadi 86% kasus. Columnaris seringnya ditemukan berasosiasi dengan bakteri lain atau parasit protozoa dalam menginfeksi ikan. Hawke dan Thune (1992) menemukan dari 53 kasus infeksi F. columnaris, 46 kasus merupakan infeksi campuran dengan bakteri lain, khususnya dengan Aeromonas spp dan Edwardsiella ictaluri. Hasil penelitian Marks et.all (1980), menunjukan bahwa F. columnaris tidak mampu bertahan hidup dengan baik secara in vitro saat kepadatan A. hydrophila mencapai 100 kali lebih tinggi dibandingkan F. columnaris. Penyebaran penyakit Columnaris umumnya terjadi dari ikan ke ikan lewat media air. Sebagai infeksi sekunder pada ikan channel catfish, penanganan, pengangkutan, penangkapan, suhu, kualitas air (oksigen rendah), dan penyakit lainnya adalah perintis/pemacu timbulnya Columnaris (Bullock, 1971). Chanel catfish sangat mudah terserang

Flexibacter

columnaris pada suhu 15-300C dan ikan muda lebih mudah terserang daripada ikan dewasa. Infeksi Flexibacter columnaris pada ikan sidat (eel) meningkat karena rendahnya oksigen terlarut dan kandungan amonia yang terlalu tinggi, dan hal ini berlaku sama pada budidaya ikan yang lainnya.

47

Manajemen penanganan Columnaris meliputi pencegahan, perawatan kondisi lingkungan optimum, penanganan ikan yang benar, dan implementasi dari prosedur perawatan kesehatan yang baik. Pengendalian suhu lingkungan merupakan alat manajemen lingkungan yang penting, khususnya pada bak, sistem mengalir dan akuarium. Overstocking, dengan pakan dan bahan organik yang berlebihan didalam air, menyebabkan menurunnya kualitas air. Columnaris umumnya dapat ditanggulangi dengan menggunakan vaksin. Dan vaksinasi ikan untuk melawan F. columnaris telah menunjukan hasil yang menjanjikan pada akhir tahun 1970 an (Moore, et all. 1990). 7. Nocardiosis Ikan yang terkena infeksi penyakit Nocardiosis sering dibarengi dengan infeksi penyakit lain secara bersamaan atau berperan sebagai infeksi sekunder. Nocardiosis dimulai sebagai fase "infeksi diam", dimana penyakit berkembang tapi tidak terdeteksi selama berbulan-bulan baik pada fase larva ataupun benih. Lama waktu infeksi Nocardiosis merupakan sebuah fenomena infeksi jangka panjang (kronis). bakteri Nocardia terus berkembang biak secara perlahan di dalam jaringan ikan sebelum muncul gejala klinis yang dapat terlihat secara visual, dan tentu saja sebelum muncul tanda-tanda ketidakseimbangan pada ikan dan jumlah kematian yang meningkat. Dampak yang khas pada populasi ikan yang terkena dampak Nocardiosis adalah: 1. abnormalitas tubuh ikan 2. Tingkat konversi pakan yang tinggi 3. Ikan Kurus 4. Tingkat mortalitas meningkat menjelang akhir musim panas

Agen penyebab Nocardiosis 48

Banyak spesies Nocardia ditemukan di dalam lingkungan darat maupun laut, tapi Nocardia seriolae (atau yang dulu disebut sebagai, N. kampachi) dianggap sebagai patogen yang muncul pada beberapa ikan budidaya. Bakteri ini tidak merangsang terjadinya reaksi keracunan pada darah atau respon imun akut. Sebaliknya, Nocardia diperkirakan melakukan infeksi dengan tinggal dan berkembang biak di dalam berbagai jenis sel inang ikan, termasuk sel darah putih. Oleh karena itu informasi tentang mikrobiologi, kimia, patofisiologi yang berkaitan dengan Nocardia jarang diterbitkan. Hal ini karena permasalahan yang selalu timbul pada saat meneliti mikroorganisme dengan pertumbuhan lambat.

49

Transmisi dan Epidemiologi Pemaparan awal pada benih yang terinfeksi Nocardia adalah seperti benih yang mengkonsumsi jaringan ikan mentah (hidup, mentah atau beku) atau dengan transmisi horizontal Nocardia dari ikan sakit. Benih Ikan kakap merah Amberjack dan ikan yellow tail yang diberi pakan ikan rucah atau pellet moist adalah kemungkinan pertama yang terinfeksi, sehingga penggunaan bahan mentah, kualitas rendah, atau ikan rucah harus dihindari saat pemeliharaan ikan jenis apa pun. Infeksi berkembang diamdiam sebagaimana bakteri berkembang biak secara perlahan selama berbulan-bulan didalam organ utama, seperti ginjal, limpa dan hati. Mencampur ikan yang terinfeksi atau ikan sakit dengan ikan sehat dalam satu wadah, juga merupakan faktor yang memiliki

kontribusi

atas

perkembangan penyakit ini. Penelitian Limpa dengan ratusan butir kuning-putih berukuran 1-2 mm

menunjukkan bahwa ikan Yellow tail yang dicampur dengan ikan sakit dalam

satu

bak

pemeliharaan

(sebelumnya telah disuntik dengan Nocardia hidup), setelah 3 bulan hidup bersama akhirnya menunjukkan gejala internal (bintik-bintik putih di limpa mereka), padahal belum ada gejala visual eksternal yang jelas terlihat. Di sisi lain, ikan kohort yang disuntik mulai sekarat dalam waktu dua minggu setelah suntikan secara intraperitoneal pada tubuh mereka. Berbagai populasi berbeda pada kerang-kerangan juga telah menunjukkan adanya kandungan

bahan

genetik

yang

mengindikasikan

adanya

Nocardia dan Mycobacterium. Namun, pertanyaan yang sangat mengganggu adalah apakah kerang-kerangan dapat dianggap sebagai inang dan memiliki kontribusi tersendiri terhadap penyebaran pathogen ini, atau hanya merupakan akumulasi dari bakteri yang berasal dari populasi ikan yang terinfeksi. 50

Dalam budaya ikan laut, infeksi Nocardia tampak berkembang lebih cepat selama bulan-bulan musim panas ketika suhu air mencapai 24° C atau lebih, tetapi kematian akibat Nocardia lebih sering dialami pada musim gugur dan awal musim dingin, mungkin setelah ikan kelelahan dan sistem kekebalan tubuh yang dimiliki berkurang. Tanda-tanda klinis dan Gross Patologi Gejala-gejala visual penyakit ini agak berbeda. Gejala eksternal yang khas adalah: ikan kurus, nodul

pada

kulit

penggabungan),

(fokal,

terdapat

multifokal luka

atau

bercampur

nanah pada kulit, kerusakan operculum, dan butiran Sebuah luka nocardial klsik : bercak/nodul berbentuk tidak teratur berwarna kuning keputihan di dasar filamen insang.

tidak

beraturan

berwarna

kuning

keputih-putihan pada bagian dasar insang, erosi keping

penutup

insang

dan

tidak

teratur

berbentuk massa putih berdaging di dasar dari filamen

insang.

gejala

internal

penyakit

Nocardiosis sedikit membingungkan bila dibandingkan dengan penyakit seperti Mycobacteriosis ('TB ikan') dan Photobacteriosis (sebelumnya Pasteurella atau 'pseudo-TB'), terutama jika terdapat adanya infeksi campuran. Granulomata berwarna kuning-keputih-putihan biasanya memiliki ukuran 1-2 mm. Bintik-bintik yang paling jelas terdapat dalam ginjal, limpa dan hati, tapi dapat ditemukan pada jaringan apapun. Ikan yang memiliki reaksi kekebalan terhadap penyakit ini dapat ”menyembuhkan”, namun tidak menyeluruh dan menghasilkan bintik hitam keras (akumulasi melanomakrofag) di tempat bintik-bintik putih di dalam hati dan jaringan adiposa. plak berkerak berwarna coklat hitam sering berkembang pada permukaan dorsal bagian dalam.

51

Morfologi Bakteri ini berbentuk seperti benang, manik-manik dan bercabang. Ini adalah variabel-pewarnaan

ketika

menggunakan

pewarnaan

gram.

Proses

penumbuhan dan isolasi bakteri Nocardia relatif mudah, namun agak membosankan. Beberapa jenis media agar dan kaldu akan mendukung pertumbuhan nocardial, tetapi media ini juga mendukung pertumbuhan spesies bakteri lainnya yang dapat tumbuh lebih cepat. Penggunaan media selektif seperti Lowenstein-Jensen, adalah yang paling efisien untuk mengisolasi Nocardia secara langsung. Waktu inkubasi bisa berkisar dari 410 hari tergantung pada suhu inkubasi 25° C hingga 35° C. Koloni tampak kering dan 'bertumpuk'. Hasil pengujian sensitifitas antibiotik secara in vitro cenderung ambigu dan dapat salah tafsir. Secara umum, Nocardia tampaknya resisten terhadap antibiotika yang tersedia secara komersial ketika ditantang dengan perlakuan in vitro dan in vivo. Penanggulangan Penyakit Pencegahan terbaik dan pengendalian penyakit ini adalah melalui vaksinasi, namun pengembangan vaksin Nocardia masih bersifat eksperimental. Sampai saat ini, belum ditemukan pengembangan vaksin secara komersial yang dapat berkhasiat untuk mencegah infeksi Nocardia pada ikan. Oleh karena itu, deteksi dini dari infeksi penyakit ini adalah tujuan utama. Pencegahan dan pengendalian melalui manajemen pemeliharaan ikan yang baik merupakan pendekatan yang terbaik untuk meminimalisir kemungkinan infeksi Nocardia. Hindari penggunaan pakan ikan mentah (hidup, mentah atau beku) ketika memelihara ikan , sehingga disarankan menggunakan pakan pelet/kering. Kurangi penumpukan fouling pada jaring (seperti:teritip) atau pada pelampung dan tali dekat ikan Anda dibudidayakan. Aplikasikan konsep biosekuriti baik pada peralatan, tempat dan pekerja juga yang paling utama adalah kurangi stres pada ikan semaksimal mungkin

BAB IV PENGENDALIAN PENYAKIT BAKTERI

52

Ungkapan “lebih baik mencegah daripada mengobati” menjadi sebuah pemahaman umum dalam pembahasan pengendalian penyakit ikan ini. Pada sebuah unit produksi budidaya ikan, perlakuan untuk pencegahan atas masuknya atau dimasukkannya penyakit merupakan sebuah hal yang paling efektif, menekan biaya produksi, dan bersifat jangka panjang untuk keberlanjutan optimalisasi produksi budidaya perikanan. Gambar 1. Konsep Pengendalian Penyakit Bakteri INANG PENYAKI T

BAKTERI

PERKUAT DAYA TAHAN TUBUH IKAN

LINGKUNGAN KUALITAS AIR YANG BAIK

Perlakuan pencegahan penyakit, khususnya terhadap bakteri, yang dapat dilakukan pada unit budidaya menurut konsep diatas adalah sebagai berikut : 1. Menggunakan benih ikan yang berstatus SPF (Specific Pathogen Free / Bebas terhadap mikroorganisme pathogen tertentu) dan SPR (Specific Pathogen Resistance / Tahan Terhadap Patogen Tertentu). 2. Menjaga kualitas air selalu baik 3. Menghindari atau mengurangi berbagai penyebab stress pada ikan (Rendahnya oksigen terlarut, pengendalian suhu, pengendalian padat tebar ikan, dan menghilangkan limbah hasil metabolisme 4. Memperbaiki nutrisi pakan 5. Memberikan suplemen yang bertujuan untuk meningkatkan daya tahan tubuh ikan terhadap serangan penyakit, seperti : Vitamin, Multivitamin, Vaksin, Probiotik dan Immunostimulan) 6. Menerapkan Biosekuriti pada sistem produksi 7. Penerapan Manajemen pemeliharaan ikan yang baik. Telah kita ketahui bersama bahwa faktor kualitas air yang buruk, stres lingkungan dan stres pada sistem fisiologi, serta asupan gizi yang buruk merupakan penyebab utama dari timbulnya sebuah wabah penyakit. Namun 53

sayangnya, kesalahan manusia, seperti menjalankan sistem budidaya yang tidak baik dan menggunakan pakan dengan komposisi gizi yang buruk terus berlanjut sehingga sudah menjadi bagian dari sebuah sistem produksi budidaya ikan saat ini. Melihat kondisi ikan yang dibudidayakan, hal seperti ini tidak boleh dibiarkan, karena akan menyebabkan mikroorganisme, khususnya bakteri berkembang dan menjadi sebuah faktor pembatas dari keberlanjutan produksi budidaya. 1. Penggunaan benih yang berstatus SPF dan SPR Specific pathogen free (SPF) adalah benih yang diproduksi dan telalh melalui serangkaian uji dan dibawah penerapan biosekuriti yang teliti yang menyediakan jaminan bahwa benih tersebut bebas dari mikroorganisme spesifik tertentu. Sementara definisi dari Specific pathogen resistant (SPR) adalah benih yang memiliki daya tahan secara genetik atau memiliki peningkatan toleransi terhadap infeksi dari mikroorganisme patogen tertentu. Pembelian benih yang baik selayaknya berasal dari unit perbenihan ikan yang bersertifikat dan dilengkapi dengan surat bebas penyakit dari laboratorium yang telah terakreditasi.

Gambar 2. (1) benih/telur yang didatangkan dari unit produksi yang bersertifikat, (2) penebaran benih dilakukan dengan SOP yang benar, (3) Sertifikat bebas penyakit yang dikeluarkan oleh laboratorium terakreditasi. Dengan

melakukan

penebaran

benih

yang

berstatus

bebas

dari

mikroorganisme patogen diharapkan dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya infeksi penyakit.

54

2. Menjaga Kualitas Air Ikan merupakan makhluk akuatik, mereka hidup di dalam air dan Air menyediakan berbagai kebutuhan untuk ikan. Air menyediakan oksigen untuk ikan bernafas, menyediakan pakan untuk dimakan, dan memiliki kemampuan untuk dapat menguraikan limbah yang dikeluarkan oleh ikan (Sepeti : Karbondioksida, Urine, dan Feces). Kualitas air yang baik dapat menentukan pertumbuhan ikan serta mengurangi kemungkinan terhadap timbulnya serangan penyakit. Adapun parameter kualitas air yang penting untuk diamati antara lain adalah : Suhu (terutama pengamatan pada titik kritis perubahan suhu), Oksigen terlarut, Salinitas, pH (derajat keasaman), Alkalinitas, Kesadahan, Limbah Nitrogen (Ammonia tidak terionisasi, Nitrit dan Nitrat) dan berbagai zat beracun yang terlarut ( Seperti : Logam berat, pestisida dan Karbondioksida ). Kebanyakan dari parameter kualitas air ini memiliki keterkaitan antara satu parameter dengan parameter yang lainnya. Sebagai contoh, peningkatan pH dan suhu akan meningkatkan konsentrasi Total Ammonia Nitrogen (TAN) dalam bentuk yang beracun. Atau adanya hubungan terbalik antara suhu dan konsentrasi oksigen terlarut. Dimana dengan adanya penurunan suhu pada media air pemeliharaan akan meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut pada media air pemeliharaan tersebut. Kualitas air sebaiknya diamati secara periodik dan tindakan perbaikan segera dilakukan ketika kondisi kualitas air dapat menyebabkan stres pada ikan. Sebagai contoh : Ketika kondisi oksigen terlarut berada dibawah 4 mg/l, beberapa tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan tambahan oksigen murni kedalam media air pemeliharaan.

Input O2 murni

55

Gambar 1. Sistem produksi yang dilengkapi dengan Oksigen murni untuk mengantisipasi rendahnya oksigen terlarut dalam media pemeliharaan. Menurut Plumb (1994), lingkungan perairan mengandung banyak sekali spesies bakteri, kebanyakan dari bakteri ini bermanfaat untuk keseimbangan alam dan tidak berakibat buruk bagi ikan. Namun demikian, sekitar 60 hingga 70 spesies bakteri mampu menimbulkan penyakit pada hewan air dan jarang sekali ikan yang terinfeksi bakteri ini juga menyebabkan infeksi pada manusia. Lingkungan perairan, khususnya perairan budidaya yang bersifat eutrophik, menyediakan habitat alami bagi pertumbuhan dan proliferasi bakteri karena tersedianya nutrien untuk memproduksi bahan organik yang dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri. Beberapa bakteri akan tumbuh dan berkembang pesat jika terdapat bahan organik sebagai sumber nutrien, sementara yang lainnya lebih bersifat memilih makanannya dan mampu bertahan hidup dilingkungan dengan cara menempel di inangnya. Selain itu juga, salinitas air, atau media kultur, berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kelulushidupan beberapa bakteri. Umumnya, bakteri hidup dengan baik pada pH 6-8, sementara sebagian terbunuh pada pH diatas 11 atau dibawah 5. Bakteri mampu hidup optimum pada suhu 20-24 0C.

Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan reproduksi bakteri adalah suhu, kelembapan, dan cahaya. 1. Suhu 56

Berdasarkan kisaran suhu aktivitasnya, bakteri dibagi menjadi 3 golongan: •

Bakteri psikrofil, yaitu bakteri yang hidup pada daerah suhu antara 0°– 30 °C, dengan suhu optimum 15 °C.



Bakteri mesofil, yaitu bakteri yang hidup di daerah suhu antara 15° – 55 °C, dengan suhu optimum 25° – 40 °C.



Bakteri termofil, yaitu bakteri yang dapat hidup di daerah suhu tinggi antara 40° – 75 °C, dengan suhu optimum 50 - 65 °C

b. Kelembapan Pada umumnya bakteri memerlukan kelembapan yang cukup tinggi, kirakira 85%. Pengurangan kadar air dari protoplasma menyebabkan kegiatan metabolisme

terhenti,

misalnya

pada

proses

pembekuan

dan

pengeringan. c. Cahaya Cahaya sangat berpengaruh pada proses pertumbuhan bakteri. Umumnya cahaya merusak sel mikroorganisme yang tidak berklorofil. Sinar ultraviolet dapat menyebabkan terjadinya ionisasi komponen sel yang berakibat menghambat pertumbuhan atau menyebabkan kematian. Pengaruh cahaya terhadap bakteri dapat digunakan sebagai dasar sterilisasi atau pengawetan bahan makanan. Jika keadaan lingkungan tidak menguntungkan seperti suhu tinggi, kekeringan atau zat-zat kimia tertentu, beberapa spesies dari Bacillus yang aerob dan beberapa spesies dari Clostridium yang anaerob dapat mempertahankan diri dengan spora. Spora tersebut dibentuk dalam sel yang disebut endospora. Endospora dibentuk oleh penggumpalan protoplasma yang sedikit sekali mengandung air. Oleh karena itu endospora lebih tahan terhadap keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan dibandingkan dengan bakteri aktif. Apabila keadaan lingkungan membaik kembali, endospora dapat tumbuh menjadi satu sel bakteri biasa. Letak endospora di tengah-tengah sel bakteri atau pada salah satu ujungnya. 57

Untuk menghindari keberadaan bakteri akibat faktor lingkungan, beberapa tindakan dapat dilakukan. Salah satunya adalah dengan melakukan sistem filterisasi. Baik filterisasi dengan sistem mekanik, kimiawi, ultraviolet ataupun kombinasi diantara ketiga sistem filter tersebut. 3. Menghindari atau Mengurangi Penyebab Stres Pada Ikan Stres merupakan sebuah keadaan dimana seekor ikan tidak mampu untuk mempertahankan keseimbangan fisiologi akibat beberapa faktor penyebab yang dapat menghambat keberlangsungan hidup ikan. Secara prinsip, pengelolaan stres pada budidaya ikan laut adalah :

Pengelolaan Stress Ikan

Nutrisi yang baik

Kualitas Air yang baik Sistem Intensif

Kepadatan Optimal

Gambar. Prinsip Pengeloaan Stres Pada Ikan Stres disebabkan oleh penempatan ikan pada keadaan yang jauh melebihi batas toleransi normal. Beberapa contoh spesifik faktor penyebab stres antara lain adalah :

A. Stres akibat faktor Kimiawi

58

− Buruknya kualitas air, antara lain karena rendahnya oksigen terlarut, salinitas yang tidak sesuai dan konsentrasi pH yang tidak tepat. − Polusi, baik yang disengaja ataupun tidak. − Komposisi pakan yang buruk − Akumulasi Ammonia dan Nitrit yang berasal dari limbah hasil metabolisme b. Stres akibat faktor Biologi − Padat tebar tinggi − Sistem penebaran ikan multispesies dalam satu tempat, hal ini dapat menyebabkan terjadinya kompetisi pakan dan ruang gerak yang terbatas akibat ketidak seragaman ukuran dan perbedaan sifat fisiologis ikan. − Adanya Mikroorganisme, baik patogen ataupun non-patogen c. Stres akibat faktor Fisika − Suhu : ini merupakan pengaruh yang sangat penting pada sistem immunitas ikan. − Cahaya − Suara − Gas-gas terlarut. d. Stres akibat faktor Prosedur perlakuan − Penanganan ikan yang kasar − Pengangkutan ikan yang tidak baik − Pengobatan penyakit yang tidak tepat Secara umum pertahanan alami pada ikan dapat dibagi menjadi : lendir, sisik / kulit, dan pembentukan antibodi ). Dan akibat stres pada ikan dapat membahayakan pertahanan alami tersebut sehingga ikan tidak lagi efektif untuk melindungi dirinya dari serangan mikroorgnisme patogen, khususnya Bakteri. 59

Beberapa Dampak Stress Terhadap Zat Pelindung a. Lendir a.1 Stres dalam bentuk apapun menyebabkan perubahan kimia pada lendir

yang

pelindung

dapat

kimiawi

menurunkan melawan

efektivitas

organisme

lendir

sebagai

penyerang.

Stres

mengganggu keseimbangan elektrolit (Natrium, Kalium dan Klorida) yang mengakibatkan pengeluaran air secara cepat dan berlebihan pada ikan air tawar dan dehidrasi pada ikan air asin. Kebutuhan terhadap proses pengontrolan keseimbangan air dan ion antara tubuh ikan dan lingkungannya yang didukung oleh keberadaan lendir terus meningkat. a.2

Stress

yang

menghilangkan

berasal

dari

penanganan

ikan

lendir

dari

tubuh

Akibatnya

ikan.

secara

fisik

adalah

penurunan proteksi kimiawi, penurunan proses osmoregulasi (Pada suatu waktu ketika sangat dibutuhkan), penurunan bahan pelumas menyebabkan ikan menggunakan lebih banyak energi untuk berenang (pada suatu waktu ketika energi cadangan telah digunakan untuk proses metabolisme), dan gangguan terhadap pelindung fisika melawan organisme penyerang. a.3 Stress Kimiawi (Contoh : Proses pengobatan penyakit) sering menyebabkan ikan kehilangan lendir sebagai pelindung kimiawi, kehilangan fungsi osmoregulasi, kahilangan bahan pelumas, dan merusak pelindung fisika yang dibentuk oleh lendir. b. Sisik dan Kulit b.1 Sisik dan kulit umumnya rusak akibat stres pada penanganan ikan. Adanya luka pada kulit, lepasnya sisik, menciptakan ruang terbuka untuk serangan berbagai organisme patogen, khususnya bakteri. b.2 Trauma akibat perkelahian (Stres terhadap sistem reproduksi dan sikap) dapat mengakibatkan luka atau kehilangan sisik. b.3

Infestasi parasit dapat menyebabkan kerusakan pada insang,

kulit, sirip, dan kehilangan sisik yang menciptakan luka pada kulit 60

sehingga membuka ruang untuk masuknya bakteri. Seringkali, ikan yang terinfeksi parasit akut sesungguhnya mati dikarenakan oleh infeksi bakteri; Reaksi akibat stres menciptakan keadaan yang membiarkan bakteri didalam air untuk menyerang ikan, menyebabkan sebuah penyakit yang mematikan. c. Produksi Antibodi c.1 Stres karena suhu, khususnya pada penurunan suhu yang sangat tajam, sangat mengganggu kemampuan ikan untuk dengan cepat melepaskan antibodi untuk melawan organisme patogen. Hilangnya waktu yang dibutuhkan untuk membentuk antibodi memberikan kesempatan waktu bagi organisme patogen untuk bereproduksi dan meningkatkan jumlahnya. Dan hal tersebut memberikan sebuah keuntungan dimana organisme patogen dalam jumlah yang benyak akan segera menginfeksi ikan. c.2 Stres yang berkepanjangan membatasi efektivitas sistem kekebalan tubuh, dan meningkatkan kemungkinan bagi organisme penyerang untuk menyebabkan penyakit. Kunci bagi pencegahan stres adalah PENGELOLAAN YANG BAIK. Hal ini berarti mempertahankan kualitas air yang baik, nutrisi yang baik dan kebersihan. Tingkat kebersihan yang baik secara tidak langsung berarti secara rutin membersihkan kotoran dari bak-bak ikan dan melakukan desinfeksi pada peralatan, jaring, dan peralatan lain yang digunakan pada kelompok ikan. Kotoran bahan organik yang terakumulasi di dasar bak atau kolam merupakan media yang sangat baik untuk tumbuh dan berkembangnya jamur, bakteri, dan protozoa lainnya. Penghilangan yang cepat dari bahanbahan

ini

dari

lingkungan

akan

membantu

mengurangi

jumlah

mikroorganisme patogen yang membahayakan ikan. Desinfeksi seluruh bak dan peralatan diantara sekelompok ikan membantu meminimalisir penularan penyakit dari satu kelompok ke kelompok ikan yang lainnya.

61

4. Memperbaiki Nutrisi Pakan Sistem budidaya ikan secara intensif dengan kepadatan yang tinggi dan pemberian pakan secara optimal sangat diperlukan untuk mendapatkan hasil panen yang maksimal. Namun seringkali terjadi sistem ini tidak memberikan hasil yang memuaskan, bahkan berdampak negatif akibat masalah lingkungan dan terjadinya penyebaran penyakit. Dua faktor yang jelas berkaitan satu sama lain yaitu toksiknya dasar kolam dapat disebabkan oleh akumulasi sedimen dari pemberian pakan yang berlebih dan ekskresi ikan, seperti terjadinya pembentukan senyawa amonia dan nitrit. Hal ini juga dapat menjadi penyebab sumber pathogen seperti bakteri dan protozoa. Nutrisi telah sejak lama diketahui sebagai faktor kritis dalam menunjang pertumbuhan yang normal dan kesehatan ikan. Pakan buatan dari berbagai macam bahan baku pakan merupakan sumber nutrisi dalam akuakultur sistem intensif. Penyiapan pakan tidak hanya berdasarkan kepada faktor nutrient essensial yang dibutuhkan sebagai fungsi fisiologis normal pada ikan, tetapi juga media dan komponen lain dapat mempengaruhi kesehatan ikan secara positif dan negatif. Pakan diperlukan ikan untuk memenuhi kebutuhan energinya. Demikian juga dengan pakan yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan gizi ikan. Oleh karena itu kekurangan nutrient tertentu dapat menyebabkan defisiensi dan mempengaruhi kesehatan ikan secara langsung akibat perubahan fungsi metabolik, sedangkan secara tidak langsung menjadikan ikan mudah terserang penyakit (berkembangnya agen penyakit). Sehingga perlu formulasi pakan yang lengkap untuk mencegah terjadinya defisiensi dan meningkatkan daya tahan tubuh ikan terhadap serangan penyakit (Lall dan Oliver, 1993).

62

Kebutuhan ikan akan nutrient harus disesuaikan dengan spesies ikan yang akan dibudidayakan, disamping ukuran dan bobot tubuh ikan. Senyawa utama sebagai sumber energi dalam pakan adalah protein, lemak dan karbohidrat. Ikan mempunyai kemampuan tertentu dalam mencerna dan menafaatkan sumber energi yang berasal dari pakan tersebut (Halver dan Hardy, 2009) Penyakit defisiensi dapat terjadi pada ikan, disebabkan oleh ketidak seimbangan nutrient yang dimakan. Kebutuhan minimum protein atau keseimbangan komponen asam amino dalam pakan merupakan faktor utama dalam mempengaruhi pertumbuhan dan kesehatan ikan. Hasil penelitian Kiron et al. (1995a) dalam Gatlin III (2002) menunjukkan bahwa manipulasi protein dan asam-amino dalam pakan mempengaruhi kesehatan ikan (immunoglobulin dan sistem imun), yaitu ikan yang diberi pakan hanya mengandung kadar protein 10% menunjukkan adanya penurunan aktivitas lysozim dan protein reaktif-C dalam serum dibandingkan pemberian pakan dengan kadar protein 35-50%. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa produksi antibodi tidak dipengaruhi oleh level protein, walaupun adanya kematian sangat berpengaruh terhadap level protein. Selain protein, ikan juga membutuhkan asupan karbohidrat dan lemak, Ikan membutuhkan karbohidrat untuk menunjang pertumbuhannya, walaupun kebutuhan ikan akan karbohidrat sangat kecil (NRC, 1993). Sementara lemak merupakan komponen terpenting dalam pakan ikan (NRC, 1993). HUFA (highly unsaturated fatty acid) didokumentasikan mempunyai pengaruh yang sangat menguntungkan pada berbagai spesies ikan dan udang. Faktor utama asam lemak essensial bagi organisme akuatik yaitu asam lemak Omega-3 yang

antara

lain

terdiri

dari

eicosapentaenoic

acid

(EPA)

dan

docosahexaenoic acid (DHA). Kasus pada udang, yang diberi pakan artemia yang diperkaya dengan HUFA, menunjukkan hasil peningkatan kualitas post larva udang windu dari toleransi terhadap stress dan perubahan tekanan osmotik akibat perubahan 63

salinitas (Tackaert et al., 1989; Rees et al., 1994; Kontara et al., 1995). Sumber lemak dapat mempengaruhi daya tahan tubuh ikan terhadap serangan penyakit, seperti dikemukakan Fracalossi dan Lovell (1994). Kelangsungan hidup Channel catfish (Ictalurus punctatus), yang diberi pakan mengandung 7% menhaden oil atau 7% linseed oil (keduanya mengandung asam lemak Omega-3) menurun terhadap E. ictaluri dibandingkan yang diberi pakan mengandung lemak sebanyak 7% beef tallow, corn oil dan campurannya; bagaimanapun juga dikemukakan bahwa ikan yang diberi pakan 7% menhaden oil mempunyai produksi antibodi lebih tinggi selama 2 minggu setelah di imunisasi. Selanjutnya Li et al. (1994) menyatakan bahwa channel catfish yang diberi pakan hanya dengan kandungan 2% menhaden oil, menunjukkan kematian lebih tinggi 15-21% terhadap infeksi, dibandingkan pemberian 2% catfish offal oil, Komposisi pakan, cara pemberian pakan, waktu pemberian pakan, genetik dan kondisi lingkungan adalah

merupakan

faktor

yang

menentukan

respon ikan terhadap immunomodulator. Semakin baik komposisi pakan yang diberikan, maka pembentukan immunitas / daya tahan tubuh ikan terhadap serangan penyakit bakterial akan lebih optimal. Namun bila komposisi pakan tidak sesuai atau mengalami degradasi kualitas maka akan berpengaruh terhadap kemampuan ikan untuk membentuk sistem immunitas tubuh sehingga berbagai penyakit bakterial akan lebih mudah menginfeksi ikan yang dibudidayakan. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memilih pakan adalah bahan baku yang digunakan sebaiknya tidak menggunakan pestisida, bahan kimia, termasuk kontaminan lain yang dilarang dan membahayakan.

64

5. Pemberian Suplemen untuk Peningkatan Daya Tahan Tubuh (Immunitas) Ikan Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap berbagai pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh berbagai mikroorganisme patogen. Sistem ini mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas, organisme akan melindungi tubuh dari infeksi bakteri, virus sampai cacing parasit, serta menghancurkan zat-zat asing lain dan memusnahkan mereka dari sel organisme yang sehat dan jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti biasa. Deteksi sistem ini sulit karena adaptasi patogen dan memiliki cara baru agar dapat menginfeksi organisme. Sistem kekebalan tubuh melindungi organisme dari infeksi dengan lapisan pelindung kekhususan yang meningkat. Pelindung fisik mencegah mikroorganisme patogen seperti bakteri dan virus memasuki tubuh. Jika patogen melewati pelindung tersebut, sistem imun bawaan menyediakan perlindungan dengan segera, tetapi respon tidak-spesifik. Sistem imun bawaan ditemukan pada semua jenis tumbuhan dan binatang. Namun, jika patogen

berhasil

melewati

respon

bawaan,

vertebrata

memasuki

perlindungan lapisan ketiga, yaitu sistem imun adaptif yang diaktivasi oleh respon bawaan. Disini, sistem imun mengadaptasi respon tersebut selama infeksi untuk menambah penyadaran terhadap kehadiran mikroorgnisme patogen tersebut. Respon ini lalu ditahan setelah patogen dihabiskan pada bentuk memori imunologikal dan menyebabkan sistem imun adaptif untuk memasang lebih cepat dan serangan yang lebih kuat setiap patogen tersebut ditemukan. Sebagaimana hewan Vertebrata lainnya, ikan juga memiliki jaringan sel dan sistem immunitas. Namun organ kekebalan bervariasi menurut jenis ikan. Pada ikan jawless, organ limfoid benar-benar tidak ada. Ikan ini bergantung pada wilayah jaringan limfoid dalam organ-organ lain untuk menghasilkan sel-sel kekebalan. Sebagai contoh, eritrosit, makrofag dan sel plasma yang dihasilkan dalam ginjal anterior (atau pronephros) dan beberapa 65

wilayah di usus. Namun untuk ikan bertulang rawan (hiu dan pari), mereka telah memiliki sistem kekebalan yang lebih maju. Mereka memiliki tiga organ khusus yang unik untuk Chondrichthyes, organ epigonal (jaringan lymfoid mirip dengan tulang mamalia) yang mengelilingi gonad, memiliki organ Leydig di dalam dinding-dinding kerongkongan mereka, dan katup spiral dalam usus mereka. Organ-organ ini secara khusus membentuk sistem kekebalan tubuh (granulosit, limfosit dan sel plasma). Mereka juga memiliki jaringan tymus dan limpa yang berkembang dengan baik (organ immun paling penting) di mana berbagai limfosit, sel plasma dan makrofag berkembang dan disimpan. ikan Chondrostean (Ikan sturgeon, paddlefish dan bichirs) memiliki tempat utama untuk produksi granulosit di dalam tempat yang berkaitan dengan meninges (membran yang mengelilingi sistem saraf pusat). hati mereka dilindungi oleh jaringan yang mengandung limfosit, sel-sel retikuler dan sejumlah kecil makrofag. ginjal pada ikan Chondrostean merupakan organ hemopoietic penting, di mana eritrosit, granulosit, limfosit dan makrofag berkembang. Seperti halnya ikan chondrostean, jaringan kekebalan tubuh utama pada ikan bertulang belakang (teleostei) diantaranya adalah ginjal (terutama ginjal anterior), yang menampung banyak sel kekebalan tubuh yang berbeda. Selain itu, ikan teleostei memiliki tymus, limpa dan daerah kekebalan yang tersebar dalam jaringan mukosa (misalnya di kulit, insang, usus dan gonad). Sama seperti sistem kekebalan tubuh mamalia, sel eritrosit, granulosit dan neutrofil ikan teleostei diyakini berada di dalam limpa sedangkan limfosit merupakan jenis sel utama yang ditemukan di tymus.

Gambar . Sistem Immunitas pada ikan teleostei

66

Saat ini, berbagai Usaha pengendalian penyakit bakterial masih tertumpu pada penggunaan bahan kimia dan obat-obatan seperti antibiotik. Padahal penggunaan antibiotik secara terus menerus akan menimbulkan masalah, yaitu timbulnya resistensi, penimbunan residu obat-obatan di dalam tubuh ikan, maupun pencemaran lingkungan yang akhirnya dapat mempengaruhi organisme perairan lainnya (Wu, et al., 1981). Oleh karena itu sangat diperlukan alternatif pengendalian penyakit bakterial lain yang dapat berfungsi meningkatkan sistem pertahanan tubuh / immunitas ikan terhadap berbagai serangan mikroorganisme patogen, diantaranya melalui pemberian Vitamin, Probiotik, Immunostimulan dan Vaksinasi. a. Vitamin Dari 15 macam senyawa vitamin yang dibutuhkan dan essensial bagi ikan, vitamin C (asam askorbat) adalah merupakan vitamin yang larut dalam air mempunyai kemampuan mempengaruhi imunitas dan resistensi ikan terhadap penyakit jika ditambahkan berlebih dalam pakan (Kurmaly dan Guo, 1996). Vitamin C juga dapat meningkatkan postlarva pada udang, jika dilakukan suplementasi vitamin C pada pakannya (Kontara et al., 1997). Selain itu, vitamin E juga dapat berperan sebagai peningkat daya tahan tubuh ikan, karena mempunyai fungsi sebagai anti-oksidan. Menurut Blazer dan Wolke (1984), Vitamin E mempengaruhi komplement dan produksi antibodi, sama seperti halnya berbagai macam aspek fungsi makrofag termasuk di dalamnya enzim yang terlibat dalam mekanisme protektif dalam mencegah kerusakan jaringan dari radikal bebas. Li dan Lovell (1985) mengemukakan bahwa pada channel catfish, penambahan level vitamin C dalam pakan dapat meningkatkan respon antibodi, aktivitas komplemen dan kelangsungan hidup ikan terhadap infeksi E. Ictaluri dalam wadah budidaya, dan terhadap Edwardsiella tarda (Durve dan Lovell, 1982). Akan tetapi menurut Liu et al. (1989) dalam Gatlin (2002), tidak ada pengaruh pemberian vitamin C dalam pakan terhadap aktivitas 67

komplement hemolitik atau produksi antibodi pada catfish yang dipelihara di kolam, namun demikian 1000 mg vit.C/kg pakan dapat meningkatkan resistensi terhadap E. ictaluri. Hasil penelitian pada rainbow trout, tingginya konsentrasi vit.C dalam pakan dapat memperbaiki luka (Halver, 1972) dan respon imun. Vitamin C 2000 mg/kg pakan dalam bentuk askorbik fosfat juga secara signifikan mengurangi kematian terhadap infeksi Ichtyopthirus multifilis pada ikan rainbow trout (Wahli et al., 1986 dalam Gatlin III, 2002). Sedangkan pemberian 1000-4000 mg vit.C/kg pakan yang dikombinasikan dengan ragi meningkatkan respon chemiluminescence dari makrofag, tetapi lysozim dan tingkat aktivasi komplement tidak berbeda dengan ikan yang diberi pakan mengandung 150 mg vit.C/kg (Verhlac et al., 1998 dalam Gatlin III, 2002). Demikian juga penelitian yang dilakukan pada ikan Atlantic salmon, dikatakan bahwa produksi hydrogen peroksida dari makrofag mengalami peningkatan pada ikan yang diberi 1000 mg vit.C/kg pakan. Penambahan vitamin C juga dapat menekan kondisi stress pada ikan (imunosuppresif). Penelitian pada Atlantik salmon yang diberi pakan mengandung 3170 mg vit.C/kg pakan menunjukkan perbedaan yang jelas terhadap aktivitas migrasi leukosit dan bakterisidal dibandingkan dengan pemberian hanya 82 mg vit.C/kg pakan (Thompson et al., 1993 dalam Gatlin III, 2002). Vitamin lain yang larut dalam air dan dapat meningkatkan fungsi immunitas pada ikan dan resisten terhadap penyakit yaitu asam folat, piridoksin, ribovlavin dan asam panthothenat (Leith dan Kaattari, 1989). Channel catfish yang diberi pakan dengan asam folat 0.4 mg/kg pakan dengan kandungan vit.C 200 mg/kg memberikan kelangsungan hidup maksimal dan produksi antibodi terhadap E. ictaluri , akan tetapi jika pakan hanya mengandung vit. C 20 mg/kg, maka perlu penambahan 4 mg folic acid/kg pakan untuk meningkatkan survival (Duncan dan Lovell, 1994 dalam Gatlin III, 2002). Vitamin yang larut lemak dan berperan sebagai peningkat daya tahan tubuh pada ikan adalah vitamin E, yaitu dapat mengurangi berbagai respon imun spesifik dan non-spesifik pada rainbow trout (Blazer dan Wolke, 1984).

68

Terjadi peningkatan resistensi terhadap penyakit pada ikan trout yang memakan 806 mg Vit.E/kg pakan, tetapi tingkat antibodi serum tidak dipengaruhi oleh tingkat vit.E (Furones et al., 1992 dalam Gatlin III, 2002). Vitamin lain yang larut lemak adalah vitamin A, vitamin ini dapat mempengaruhi imunokompetens pada ikan (Thompson et al., 1995 dalam Gatlin III, 2002). Selanjutnya dikatakan bahwa ikan yang diberi pakan mengandung vitamin A 18 mg/kg atau astaxanthin 100 mg/kg dapat meningkatkan aktivitas antiprotease serum dan aktivitas komplement serum klassikal. Sedangkan ketidakberaadaan vit. A atau astaxanthin dapat menurunkan leukosyst. b. Vaksin Saat ini metode pengendalian penyakit bakterial yang umum dilakukan dan sudah menjadi trend dalam budidaya ikan adalah dengan melakukan vaksinasi. Vaksinasi pada ikan secara umum adalah usaha untuk menginduksi sistem kekebalan ikan dengan menggunakan material asing (antigen), yang dapat terdiri dari protein, polisakarida, polipeptida, asam nukleat (Almendras, 2001). Namun menurut Subowo (1993) antigen yang cukup baik dan efektif adalah berupa protein. Oleh karena itu, dalam pembuatan vaksin umumnya dipilih protein yang mempunyai berat molekul lebih dari 10 kDa. Dengan berat molekul > 10 kDa protein tersebut dapat dikenali oleh limfosit B sehingga limfosit dapat terproliferasi menjadi sel plasma dan selanjutnya menghasilkan antibodi spesifik. Vaksinasi merupakan usaha pencegahan sehingga harus dilakukan terhadap ikan yang sehat dan sebelum terjadi serangan penyakit. Pembentukan antibodi dalam tubuh ikan juga memerlukan waktu sekitar 1-2 minggu yang dipengaruhi oleh status kesehatan ikan yang divaksin dan kualitas lingkungan terutama suhu air (Ellis, 1988). Efektivitas dan efikasi vaksin juga dipengaruhi oleh serotype, jenis vaksin, cara vaksinasi, umur ikan yang divaksin dan kualitas air terutama suhu air (Kamiso, 1985, 1996; Kamiso et al., 1993).

69

Vaksinasi dapat dilakukan pada benih maupun induk (maternal imunity) secara suntikan, rendaman ataupun oral bersama pakan (Kamiso, 1996a dan b). Tingkat perlindungan dapat ditingkatkan dan diperpanjang dengan vaksinasi ulang (booster). Booster dapat mempertinggi respon imun karena ikan mempunyai memori imunitas sehingga mampu mengenal ulang terhadap antigen yang sama. Memori imunitas ini diperantarai oleh sel-sel memori yang terbentuk pada saat vaksinasi pertama (Ellis, 1988). Collado et al. (2000) juga mengemukakan bahwa booster diperlukan untuk mempertinggi tingkat perlindungan pada vaksinasi V. vulnificus pada sidat (Anguilla anguilla).

Gambar 2. Respon kekebalan pada vaksinasi pertama dan booster (Ellis, 1988) Menurut jumlah antigennya, vaksin dapat berupa vaksin monovalen apabila terdiri satu antigen dengan tujuan utama untuk mencegah serangan dari suatu jenis patogen yang tidak mempunyai variasi serotype. Selain itu juga dapat berupa polivalen yaitu vaksin yang mengandung lebih dari satu antigen dengan tujuan untuk menanggulangi beberapa serotype pathogen atau beberapa jenis pathogen. Untuk meningkatkan tanggap kebal, vaksin juga

dapat

dicampur

dengan

adjuvant

dan

immunostimulan

untuk

meningkatkan kekebalan spesifik dan nonspesifik (Ellis, 1988; Kamiso, 1996a).

70

(1)

(2)

(3)

Gambar. Beberapa produk vaksin yang digunakan pada budidaya perikanan, (1) Vaksin untuk Streptococcus (2) Vaksin untuk Vibrio (3) Tekhnik aplikasi vaksi melalui penyuntikan. Faktor yang mempengaruhi vaksinasi pada ikan antara lain temperatur, umur, dan berat ikan. Faktor temperatur yang rendah membuat produksi antibodi lambat. Sedangkan untuk umur dan berat ikan, vaksinasi jangan dilakukan pada ikan yang umurnya kurang dari 2 minggu dan berat badannya kurang dari 1 gram. Hal tersebut dikarenakan pada umur kurang dari 2 minggu sistem kekebalan organ tubuh ikan belum sempurna untuk memproduksi antibodi (Ghufran, 2004). Vaksin tersedia dalam bentuk live vaccine dan killed vaccine. Keduanya memiliki perbedaan dalam hal pembentukan kekebalan tubuh (antibodi), dimana live vaccine cepat merangsang sistem tanggap kebal tetapi titer antibodi yang terbentuk cepat turun, sedangkan killed vaccine membutuhkan waktu lebih lama untuk merangsang kekebalan tubuh (antibodi) tetapi antibodi yang terbentuk cenderung lebih stabil

71

c. Probiotik Probiotik berasal dari kata pro berarti mendukung

dan biotik yang

berarti lingkungan hidup. Jadi, probiotik adalah mikroorganisme hidup yang sengaja diberikan dengan harapan memberikan efek yang menguntungkan bagi kesehatan ikan (FAO/WHO. 2001 dalam ISAPP. 2004). Namun, penggunaan definisi menurut Verschuere et al.(2002) dalam hal aplikasi porobiotik dalam akuakultur pelu diperhatian, definisi tersebut adalah “ penambahan

mikroba

hidup

yang

menguntungkan

inangnya

melalui

modifikasi asosiasi mikroba atau komunitas mikroba yang terkait dengan inang atau lingkungan hidupnya melalui perbaikan pemanfaatan pakan atau nilai pakan, peningkatan respon inang terhadap penyakit atau melalui perbaikan kualitas lingkungan hidupnya. Tujuan pemberian probiotik dalam budidaya ikan adalah untuk memperbaiki dan mempertahankan lingkungan (menguraikan bahan organik, menurunkan / menghilangkan senyawa-senyawa beracun), menekan bakteri merugikan, menghasilkan enzym yang dapat membantu sistem pencernaan, menghasilkan nutrisi yang bermanfaat serta dan meningkatkan kekebalan tubuh ikian sehingga ikan akan dapat tumbuh dengan baik dan tidak mudah stres. Pada budidaya perikanan, probiotik diberikan sebagai campuran makanan dan ada yang ditaburkan pada kolam pemeliharaan. Untuk probiotik yang dicampur pakan, bisa dicampurkan dengan pakan buatan pabrik (pelet) maupun pakan alami seperti daun-daunan. Penebaran probiotik pada

kolam akan

membantu

tumbuhnya

plankton-

plankton dan mikroorganisme lainnya dalam air kolam sebagai makanan alami ikan. Probiotik jenis ini akan menggemburkan dasar kolam sekaligus memelihara kualitas air. Probiotik yang diaplikasikan pada air cukup diguyurkan ke air kolam dengan dosis tepat dan waktu yang tepat pada pagi hari setiap dua minggu sekali supaya air selalu sehat, tidak blooming dan penuh dengan plankton sebagai pakan alami. 72

Di Cina dan beberapa negara lain sudah meneliti secara intensif penggunaan probiotik untuk akuakultur sejak 1992. Baik yang diberikan melalui pakan (oral) maupun yang diberikan melalui media pemeliharaan. Dari berbagai hasil penelitian tersebut dikatakan bahwa probiotik memiliki pengaruh yang cukup baik bagi hewan yang dibudidayakan antara lain bisa mempercepat pertumbuhan dan lebih kebal terhadap penyakit, sehingga angka kehidupannya menjadi lebih tinggi apabila diberikan melalui oral dicampur dengan pakan. Sedangkan bila diberikan ke dalam air media pemeliharaan dapat memperbaiki kualitas air, menurunkan kandungan bahan organik, menurunkan senyawa metabolit toksic (amonia, nitrit, dan H 2S), serta menurunkan kandungan bakteri merugikan (seperti Vibrio) sp. Beragam mikroba telah dikembangkan dan digunakan untuk probiotik akuakultur, meliputi bakteri Gram positip (a.l. Bacillus spp, Lactobacillus spp. dan bakteri asam laktat lainnya, Enterococcus), Gram negatif (a.l. Vibrio alginolyticus, Aeromonas sobria, Pseudomonas, Pseudoalteromonas), algae (a.l

Tetraselmis

spp.)

dan

yeast

(a.l.

Debaryomyces

hansenii,

Saccharomyces cerevisiae, Phaffia sp.). Secara mendasar, model kerja probiotik dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : 1. Menekan populasi mikroba melalui kompetisi dengan memproduksi senyawa-senyawa antimikroba atau melalui kompetisi nutrisi dan tempat pelekatan di dinding intestinum. 2. Merubah metabolisma mikrobial dengan meningkatkan atau menurunkan aktivitas enzim pengurai (selulase, protease,amilase, dll) 3. Menstimulasi imunitas melalui peningkatan kadar organisme akuatik atau aktifitas makrofag (Irianto, 2003) Sementara Thye (2005) menambahkan bahwa selain melalui mekanisme kerja diatas, probiotik dapat bekerja melalui mekanisme penguraian senyawa toksik yang berada di perairan, seperti NH 3, NO3, NO2, mengurai bahan organik, menekan populasi alga biru (blue-green algae), memproduksi vitamin yang bermanfaat bagi inang, menetralisir senyawa toksik yang ada dalam 73

makanan serta perlindungan inang secara fisik dari patogen. Sedangkan Fuller (1997) menyatakan bahwa probiotik dianggap menguntungkan karena menghambat kolonisasi intestinum oleh mikroba yang bersifat merugikan, baik melalui mekanisme kompetisi nutrien maupun kompetisi ruang serta mampu memproduksi senyawa-senyawa yang bersifat antimikrobia. Probiotik bersifat menguntungkan bagi inangnya karenan mampu memperbaiki nutrisi dengan memproduksi vitamin-vitamin, detoksikasi pangan, maupun melalui aktivitas enzimatis. Pada dasarnya kebutuhan probiotik dalam akuakultur diharapkan memenuhi sejumlah kriteria yaitu: 1. Mampu tumbuh pada lapisan mukus tubuh ikan, hal ini perlu dalam rangka kompetisi terhadap patogen 2. Kemampuan menghambat pertumbuhan pathogen 3. Kemampuan menyeimbangkan flora mikroba intestinal dan lingkungan 4. Menguntungkan atau mendukung pertumbuhan inang melalui peran dalam pencernaan (a.l. produksi vitamin, growth factor, nilai gizi, kecernaan) Sejumlah penelitian melaporkan bahwa probiotik dapat diberikan dalam bentuk kultur campuran (Douillet, 2000;

Fooks & Gibson, 2002) maupun

kultur tunggal dengan hasil yang beragam. Tetapi sejumlah penelitian menunjukkan bahwa pemberian kultur campuran tidak selalu memberi manfaat lebih baik dari pada penggunaan kultur tunggal (Irianto, 2002). Pemberian probiotik dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu melalui lingkungan (air media dan dasar tambak) dan melalui oral (dicampur dengan pakan). Masing-masing mempunyai tujuan yang berbeda namun intinya diharapkan memiliki pengaruh yang baik pagi pertumbuhan udang. •

Pemberian probiotik melalui lingkungan (air media dan dasar tambak) bertujuan : 1. Untuk memperbaiki kualitas air dan dasar kolam/tambak, mengoksidasi senyawa organik sisa pemberian pakan berlebih, kotoran ikan, plankton dan organisme yang mati.

74

2. Untuk menurunkan senyawa metabolit toksik seperti amoniak, nitrit dan H2S. 3. Menjaga kestabilan plankton (pada stadium pemeliharaan larva ikan) 4. Menurunkan / menekan bakteri yang merugikan seperti Vibrio sp. 5. Meningkatkan daya tahan udang (kekebalan). •

Pemberian melalui oral ( dicampur dengan pakan) tujuannya : 1. Untuk menyeimbangkan mikroflora dalam usus, yaitu untuk menekan bakteri yang merugikan. 2. Bakteri yang hidup dalam usus akan menghasilkan enzyme sehingga diharapkan dapat membantu sistem pencernaan makanan pada ikan. 3. Bakteri mengandung protein yang cukup tinggi, sehingga dapat dimanfaatkan oleh ikan(sebagai protein sel tunggal). 4. Untuk meningkatkan kekebalan/immunitas pada ikan budidaya

Cara aplikasi probiotik ada 2 macam yaitu : 1. Ditebar langsung sesuai dosis. Cara penebaran secara langsung adalah cara paling efektif walaupun secara ekonomis biaya yang dikeluarkan lebih mahal, namun keuntungannya adalah probiotik yang kita tebarkan bebas dari kontaminasi probiotik

bakteri lain dan Vibrio. Cara aplikasinya biasanya

yang

akan

digunakan

dicampur

dengan

air

media

pemeliharaan ikan terlebih dahulu, lalu diaerasi untuk aktifasi selanjutnya ditebarkan secara merata di petakan. 2.

Dikembangkan (dikultur) dan dosis aplikasi Pengembangan (kultur massal) probiotik bisa dilakukan dengan syarat tempat dan peralatan untuk kultur massal secara sederhana harus tersedia dan memenuhi persyaratan tidak mudah terkontaminasi, tersedia laboratorium yang dapat digunakan untuk menganalisa total bakteri dan tersedia mikroskop untuk melihat bakteri.

75

Telah kita ketahui bersama bahwa intensifikasi budidaya perikanan akan berakibat pada penurunan kualitas lingkungan yang dibarengi dengan munculnya wabah penyakit. Untuk mengatasi tingkat penurunan kualitas lingkungan yang drastis maka sistem budidaya yang ramah lingkungan seperti aplikasi probiotik harus segera diterapkan. Dengan berbagai keuntungan yang ditimbulkan maka probiotik merupakan salah satu jawaban untuk menuju optimalisasi produksi budidaya yang berkelanjutan (Sustainable aquaculture). Metoda Praktis dalam Memilih dan Mengaplikasikan Probiotik Aplikasi probiotik yang tidak tepat jenis dan prosedur penggunaan berdampak pada tidak tercapainya tujuan penggunaan probiotik tersebut. Keluhan pembudidaya yang menyatakan bahwa beberapa produk probiotik komersial tidak efektif sebagaimana klaim yang produsen nyatakan pada kemasan produk sudah bukan hal aneh. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah menurunnya kelangsungan hidup (viability) dan kemampuan mikroorganisme penyusun produk probiotik selama waktu penyimpanan; kurang sesuainya lingkungan fisika-kimia kolam atau tambak bagi mikroorganisme probiotik komersial; dan dosis dan waktu aplikasi yang kurang tepat. Oleh karena itu, beberapa hal mengenai produk probiotik harus diketahui dengan benar sebelum kita memilih produk tersebut. Efektivitas

penggunaan

bakteri

probiotik

untuk

mengendalikan

mikroorganisme patogen sangat dipengaruhi oleh jenis bakteri yang digunakan (Moriarty 1999; Verschuere et al. 2000; Suprapto 2005). Hal tersebut, karena kehidupan bakteri sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Populasi bakteri pada lingkungan dengan kandungan nutrien dan fisika-kimia berbeda, secara umum akan berbeda pula (Madigan et al. 1997; Maier et al. 2000). Kriteria lain yang harus dipenuhi untuk menjadikan mikroorganisme tertentu sebagai probiotik adalah kepastian bahwa mikroorganisme tersebut tidak patogenik dan menghasilkan senyawa yang bersifat toksik bagi hewan yang dipeliharan (Fuller, 1989; Farzanfar, 2006). Oleh karena itu, beberapa bakteri indigenos dari saluran pencernaan ikan peliharaan dan air media 76

pemeliharaan yang sudah melalui serangkaian uji dan skriining lebih berpotensi sebagai biokontrol terhadap populasi bakteri, meningkatkan digesbility terhadap pakan, dan agen bioremediasi dibandingkan strain atau produk probiotik komersial yang diperoleh dari habitat dengan karakteristik fisika-kimia berbeda. Mikroorganisme indigenous tersebut akan lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan budidaya yang relatif sama dengan lingkungan tempat isolat diambil (Isnansetyo 2005). Namun demikian, untuk mendapatkan isolat mikroorganisme yang dapat dijadikan sebagai probiotik, disebut probion, bukanlah pekerjaan yang mudah dan dapat dikerjakan dalam waktu singkat. Dukungan tenaga ahli, khususnya yang memahami bidang mikrobiologi, peralatan laboratorium yang memadai, dan biaya yang cukup besar merupakan faktor yang harus dipenuhi. Upaya isolasi dan seleksi mikroorganisme probiotik untuk peningkatan efisiensi pakan juga telah dilakukan oleh Feliatra et al. (2004), yaitu telah menemukan kandidat probiotik untuk meningkatkan efisiensi pakan pada ikan kerapu

macan,

diantaranya

adalah

Lactococcus

sp.,

Bacillus

sp.

Pseudomonas sp, Lactobacillus sp., Micrococcus sp. Sementara itu, Widiyanto (2006) telah mendapatkan bakteri probiotik agen bioremediasi pada tambak udang windu, yang terdiri dari Pseudomonas stutzeri dan Alcaligenes sp. Sedangkan PPAU Ilmu Hayati ITB Bandung telah meluncurkan produk probiotik komersial dengan merk dagang Aqua-SIMBA yang dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas perairan tambak dengan meningkatkan oksidasi perairan (PPAU Ilmu Hayati ITB, 2003). Probiotik komersial yang beredar di pasaran jumlahnya cukup banyak, lebih dari 20 merek dagang. Kecermatan dalam memilih produk tersebut akan lebih menjamin tercapainya tujuan penggunaan probiotik. Dikarenakan mikroorganisme sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan, dan viabilitas serta kemampuan mikroorganisme mudah menurun selama transportasi dan penyimpanan, maka probiotik produk lokal Indonesia akan lebih sesuai digunakan dibandingkan produk luar, terlebih dari negara dengan iklim yang berbeda, seperti Amerika dan Eropa. Untuk lebih menjamin keberhasilan maka konsultasi kepada laboratorium mikrobiologi di perguruan tinggi atau lembaga riset mengenai komposisi mikroorganisme penyusun produk probiotik perlu dilakukan. Hal tersebut dikarenakan probiotik yang tersusun 77

atas beberapa strain (consortium) mikroorganisme, yang tidak akan efektif bekerja apabila salah satu strain tidak dapat tumbuh dan berkembang dalam lingkungan aplikasi. Aplikasi probiotik Ketepatan dosis dan waktu aplikasi sangat menentukan keberhasilan penggunaan probiotik. Metode aplikasi probiotik dapat

dilakukan

secara

langsung

dengan

menebar

dalam

media

pemeliharaan ikan, perendaman, melalui pakan buatan, dan melalui pakan alami, seperti artemia dan rotifer D. Immunostimulan Imunostimulan adalah zat kimia, obat-obatan, stressor, atau aksi yang meningkatkan respon imun non-spesifik atau bawaan (innate immune respon) yang berinteraksi secara langsung dengan sel dari sistem yang mengaktifkan respon imun bawaan tersebut. Imunostimulan adalah zat-zat yang dapat meningkatkan

daya

tahan

tubuh

terhadap

infeksi

penyakit,

bukan

meningkatkan respon imun spesifik (acquired immune respon), tetapi meningkatkan respon imun non-spesifik baik melalui mekanisme pertahanan humoral maupun pertahanan seluler (Sakai, 1999). Ikan telah diketahui lebih mengandalkan mekanisme sistem kekebalan non-spesifiknya atau bawaan (innate immune sistem) dari pada sistem kekebalan spesifiknya atau adaptif (Anderson, 1992)

Gambar. Contoh Kemasan Immunostimulan pada budidaya ikan Penggunaan immunostimulan pada budidaya ikan merupakan sesuatu yang baru bagi kesehatan ikan dan pencegahan terhadap penyakit (Anderson dalam Saptiani, 1996). Saat ini sudah tersedia berbagai jenis produk 78

immunostimulan yang dapat digunakan, salah satunya adalah Chromium yeast, yang memiliki fungsi untuk mengatasi stres. Bahan ini biasanya digunakan sebagai pencampur pakan pada hewan ternak, yang diharapkan dapat berdampak positif bagi pertahanan tubuh ikan. 6. Penerapan Biosekuriti Biosekuriti adalah sebuah rangkaian perlindungan terhadap makhluk hidup dari berbagai mikroorganisme yang bersifat merugikan. Oleh karena itu, Biosekuriti

dalam

budidaya

perikanan

merupakan

sebuah

sistem

perlindungan terhadap ikan / kerang / udang dari berbagai mikroorganisme patogen (bakteri, parasit, virus dan jamur). Sedangkan menurut (Lightner, 2003), biosekuriti adalah tindakan untuk mengeluarkan pathogen tertentu dari kultivan yang dibudidayakan di kolam induk, pembenihan maupun kolam pembesaran dari suatu wilayah atau negara dengan tujuan untuk pencegahan penyakit. Oleh karena itu di dalam melakukan rancangan sebuah sistem biosekuriti sangat dibutuhkan pemahaman tentang Sistem Operasional Produksi budidaya, prinsip umum penyebaran penyakit, dan pengetahuan terhadap ikan atau kerang yang dipelihara. Manfaat dari penerapan biosekuriti antara lain : − Memperkecil resiko terjadinya sebuah serangan penyakit − Mendeteksi secara dini adanya wabah penyakit − Menekan kerugian yang lebih besar apabila terjadi kasus wabah penyakit − Efisiensi waktu, pakan dan tenaga − Kualitas ikan yang dihasilkan lebih baik

79

Contoh Penerapan Biosekuriti Rancangan penerapan biosekuriti berikut dilakukan oleh Yoshimizu (2003), Kent dan Kieser (2003), dan Breuil et al. (2003). Yoshimizu (2003) memusatkan penerapan biosekuriti dalam mencegah infeksi virus pada ikan salmon (Paralichthys olivaceus, Verasper moseri). Strategi pengendalian dilakukan baik terhadap aspek fisik maupun biologi. Aspek fisik dimulai dengan melakukan pembersihan dan desinfeksi terhadap seluruh fasilitas produksi. Langkah selanjutnya adalah melakukan desinfeksi terhadap air yang akan digunakan dan terhadap air limbah. Virus ikan, yang sensitive terhadap lampu UV atau Zat Pengoksidasi Total Residu (TRO), diaktivasi dengan perlakuan 104 sampai 105 μ sec/cm2 UV atau dengan 0.1 to 0.5 mg/mL TROs selama 1 menit(Yoshimizu 2003). Perlakuan sejumlah besar air limbah dari satu sistem produksi, elektrolisis merupakan metoda yang sangat efektif. (Yoshimizu 2003). Dan mempertahankan suhu air masuk antara 15 °C dan 18°C terbukti efektif dalam mengurangi tingkat infeksi Rhabdovirus (HIRRV) (Yoshimizu, 2003). Untuk peralatan seperti jaring, sikat, ember, dll di desinfeksikan dengan menggunakan ozonisasi atau air laut yang dielektrolisis dimana mengandung 0,5 mg/l Total Residu Oxidant (TRO) atau dengan perlakuan klorinasi selama 30 menit. Dalam hal pengendalian penyakit dari aspek biologi, monitoring benih dan induk perlu dilakukan untuk memastikan bahwa mereka bebas dari mikroorganisme pathogen. Melakukan imunisasi benih, seperti penggunaan vaksin komersial yang telah tersedia, merupakan cara yang efektif untuk mengendalikan penyakit pada ikan salmon yang tidak dapat dihilangkan (Yoshimizu, 2003).

80

Ada lima faktor kunci untuk mikroorganisme patogen masuk ke dalam lingkungan budidaya atau menyebar di sekitar lokasi budidaya, yakni : 1. Melalui pergerakan ikan – faktor ini mewakili kemungkinan terbesar masuk dan menyebarnya mikroorganisme patogen di lokasi budidaya. faktor ini meliputi pergerakan ikan ke dalam, masuk ataupun keluar lokasi budidaya. Hal ini juga berlaku bagi ikan yang kembali ke lokasi budidaya, seperti induk yang dipelihara di laut atau dari lokasi yang berbeda.

Kontak langsung

Gambar. Kontak ikan secara langsung baik melalui pergerakan atau perlakuan sistem produksi seperti : grading dan pengobatan memungkinkan ikan untuk dapat terinfeksi penyakit. 2. Melalui Sumber Air,

kita sangat mendambakan penggunaan air untuk

produksi ikan bebas dari patogen, namun perairan kita terutama air perm ukaan seperti : sungai, danau atau lautan memiliki resiko yang tinggi untuk membawa mikroorganisme patogen. Air yang digunakan untuk produksi budidaya yang berasal dari sumber air permukaan tadi sebaiknya di Desinfeksi atau disterilisasi terlebih dahulu.

Gambar. Sumber air yang dapat menjadi faktor penyebaran penyakit

81

3. Melalui Kesehatan lingkungan yang buruk – kesehatan yang optimal sangatlah penting untuk pencegahan penyakit ikan. Hal yang paling utama untuk dilakukan adalah mengurangi stress dengan menggunakan padat tebar yang sesuai, mempertahankan kualitas air dan pemberian pakan bergizi baik. Ikan yang mati dan sakit harus dipindahkan dari lokasi budidaya (ideal jika dilakukan tiap hari) dikarnakan mereka memiliki kemungkinan yang sangat tinggi mengandung mikroorganisme patogen. 4. Melalui peralatan dan sarana budidaya , Banyak mikroorganisme patogen di laut dapat bertahan hidup di dalam lingkungan untuk periode waktu yang lama. Sangatlah penting untuk membersihkan dan mendesinfeksikan seluruh peralatan dan sarana yang digunakan. Contoh peralatan yang sebaiknya didesinfeksikan secara rutin, diantaranya : Sepatu, jaring, ember, bak pemeliharaan ikan, pipa, pompa dan perlengkapan panen. Sementara

sarana

yang

sebaiknya

didesinfeksikan

adalah

kapal

tongkang, truk pengangkut ikan, dan mobil/ truk yang digunakan untuk membawa para pekerja.

Gambar,

Penggunaan peralatan yang sembarangan menjadi jalan masuknya bakteri

5. Melalui Vektor (Pembawa) – biota akuatik yang lain dapat membawa mikroorganisme patogen yang dapat membahayakan ikan budidaya. Dalam hal ini Vektor termasuk : ikan liar, hewan yang ada di sekitar lokasi budidaya (anjing dan kucing), hewan ternak dan hewan liar lainnya

82

(burung), orang (termasuk pekerja dan tamu) dapat juga bertindak sebagai penyebab masuknya mikroorganisme patogen ke lingkungan budidaya.

Gambar. 2, Burung, hewan liar bahkan tamu yang dapat berperan sebagai vektor. Ketika merancang sebuah program Biosekuriti masing-masing faktor penyebab diatas harus dapat dievaluasi untuk tiap-tiap sarana prasarana budidaya. Hal ini dapat dibantu dengan konsultasi kepada dokter hewan atau pakar kesehatan ikan. Setelah semua faktor penyebab diidentifikasi, Prosedur Biosekuriti dan kebijakan dapat dilakukan dan dikomunikasikan kepada setiap orang yang bekerja di unit produksi tersebut. Sangatlah baik, bila seluruh pekerja di unit produksi budidaya mendapatkan pelatihan tentang prosedur Biosekuriti yang baik. Aspek-aspek program Biosekuriti Sebuah program Biosekuriti yang baik sebaiknya meliputi prosedur dan kebijakan yang berhubungan kepada : 1. Pencegahan

penyakit



Dilakukan

untuk

Mencegah

masuknya

mikroorganisme patogen ke dalam sarana prasarana budidaya. Beberapa kegiatan Biosekuriti yang dapat dilakukan meliputi :  Benih yang dibeli diharapkan memiliki sertifikat bebas patogen (SPF)  Membeli benih dari tempat yang telah dikenal dan dipercaya 83

 Karantina dan isolasi seluruh ikan yang baru masuk sedikitnya selama 4 (empat) minggu dan terus dipantau apakah terdapat gejala-gejala penyakit pada ikan tersebut.  Tempat untuk karantina ikan diharapkan berada pada tempat yang terpisah

dari

unit

produksi

serta

memiliki

sarana

prasarana

pemeliharaan tersendiri.  Vaksinasi seluruh ikan (jika memungkinkan)  Gunakan penyaring secara mekanik untuk mencegah masuknya makhluk akuatik liar.  Untuk perbenihan- desinfeksi air dengan lampu UV dan ozon untuk memastikan air tersebut bebas patogen.  Manajemen pengelolaan ikan yang baik (termasuk kualitas air, padat tebar, nutrtisi, dan mengurangi handling selama masa pemeliharaan). Hal

ini

dilakukan

untuk

mengurangi

stress

dan

memastikan

terbentuknya kekebalan tubuh yang baik pada ikan.  Memagari sekeliling unit produksi budidaya. Hal ini dilakukan agar orang-orang yang tidak berkepentingan tidak masuk sembarangan ke dalam unit produksi.  Gunakan jaring untuk menutupi bak atau jaring pemeliharaan ikan untuk memastikan hewan liar seperti burung atau makhluk predator lainnya tidak masuk ke lingkungan budidaya. 2. Monitoring dan Surveillance penyakit ikan. Monitoring dan surveillance penyakit ikan merupakan salah satu komponen utama dalam manajemen kesehatan ikan. Monitoring penyakit ikan yaitu suatu aktivitas atau serangkaian kegiatan terus menerus yang ditujukan untuk memantau perubahan-perubahan yang terjadi pada prevalensi kejadian penyakit dan perubahan lingkungan. Dalam monitoring, observasi atau pengamatan yang kritis, pencatatan parameter biologis dan non-biologis, pencatatan dan penyimpanan data, analisa data dan komunikasi merupakan komponen aktivitas di dalamnya. Dengan demikian monitoring sebetulnya merupakan suatu 84

rangkaian

aktivitas proaktif pemangku kepentingan

manajemen

kesehatan ikan. Surveillance kesehatan ikan didefinisikan secara bebas sebagai tindakan investigasi pada suatu populasi tertentu atau wilayah tertentu untuk mendeteksi kejadian penyakit. Kegiatan tersebut ditujukan untuk pengendalian

wabah

penyakit.

Dalam

melakukan

surveillance,

pengumpulan, analisa dan diseminasi informasi tentang kesehatan ikan dalam suatu lingkup tertentu dilakukan secara sistimatis, tindakan yang dilakukan memungkinkan dilakukannya test laboratorium. Kegiatan monitoring dan surveillance ini dilakukan untuk Memastikan tidak masuknya mikroorganisme patogen ke dalam sarana prasarana budidaya. Kegiatan ini meliputi :  Jadwal rutin evaluasi kesehatan ikan produksi  Evaluasi kesehatan terhadap ikan baru yang masuk ke dalam unit produksi  Evaluasi kesehatan ikan meliputi : pengambilan sampel insang dan kulit, pengambilan sampel darah untuk uji ketahanan tubuh ikan terhadap penyakit, pemeriksaan bakteri, virus dan histopatologi.  Memindahkan serta memeriksa ikan sakit  Memberikan pemahaman kepada pekerja tentang gejala klinis ikan sakit dan orang yang harus dihubungi ketika terdapat gejala penyakit tersebut.

85

Gambar. Monitoring penyakit ikan dan lingkungan serta melakukan evaluasi rutin dan tindakan karantina.

3. Pengobaatan dan pemberantasan penyakit – beragam jenis bahan kimia telah tersedia untuk pembudidaya ikan ketika dokter hewan telah mendiagnosa sebuah penyakit disebabkan oleh sebuah serangan mikroorganisme patogen. Program biosekuriti ini meliputi :  Disiapkan prosedur tindakan yang sesuai bila terjadi serangan penyakit  Pastikan seluruh pekerja pada unit produksi budidaya sadar terhadap timbulnya serangan penyakit dan tahu apa yang harus dilakukan.  Pastikan hanya menggunakan bahan kimia yang disetujui  Pengobatan dilakukan hingga selesai sesuai dengan saran yang diberikan oleh dokter hewan.  Tergantung kepada jenis patogennya, sistem produksi diharapkan dapat diputus satu siklus untuk dilakukan pembersihan dan desinfeksi total. d. Desinfeksi dan Sanitasi Desinfeksi merupakan bagian dari program biosekuriti yang harus dilaksanakan secara rutin oleh para pembudidaya ikan. Beberapa aspek yang menjadi titik perhatian untuk dilaksanakannya proses desinfeksi dan sanitasi ini antara lain adalah : a. Sumber air masuk Sejak beberapa penyakit ikan diyakini masuk dan berkembang melalui sumber air masuk, beberapa unit produksi budidaya ikan telah mulai mengaplikasikan berbagai proses desinfeksi pada air masuk yang mereka gunakan. proses yang dilakukan diantaranya adalah dengan menggunakan sistem filterisasi bertingkat, klorinasi hingga kepada penerapan sistem resirkulasi untuk mengurangi ketergantungan terhadap sumber air baru.

86

b. .Air hasil produksi Ozonisasi telah sukses digunakan untuk mengendalikan jumlah mikroba yang ada pada air limbah produksi. Konsentrasi 0,08–1,0mg/L diyakini sangat tepat untuk mengurangi berbagai mikroba hidup (khususnya bakteri). Selain ozonisasi, perlakuan klorinasi dengan menggunakan Natrium hipoklorit pada konsentrasi 25 mg klorin/L efektif untuk melawan protozoa tertentu (L. Haliotidis). Walaupun konsentrasi 50 mg klorin/L air sangat direkomendasikan untuk sterilisasi berbagai mikroorganisme. Dan yang perlu menjadi perhatian adalah

penggunaan

klorin

dengan

konsentrasi

tinggi

berarti

membutuhkan bahan netralisasi yang tinggi juga. -

Bangunan Untuk ruang perkantoran, dikarenakan menjadi ruang lalu lalang pekerja dari unit produksi, maka yang menjadi fokus perhatian adalah lantai dan unit penyimpanan di dalam gudang. Lantai harus dibersihkan dengan cairan deterjen standard yang diiukuti dengan pengeringan. Dan untuk bangunan unit produksi, harus disadari bahwa bangunan

tersebut

telah

memiliki

kontak

tersendiri

dengan

mikroorganisme patogen. Langkah sanitasi yang dilakukan adalah pertama, dibersihkan dan di vakuum dari bahan organik berukuran besar dan sisa kotoran anorganik, langkah kedua adalah dicuci dengan cairan deterjen, dan langkah terakhir perlakuan dengan klorin. Cairan klorin (konsentrasi 1600 ppm) sebaiknya di semprot secara merata ke seluruh

permukaan

(yang

tidak

bersifat

korosif

terhadap

klorin).dibiarkan proses ini selama 48 jam, dan jika ada permukaan yang korosif terhadap klorin, permukaan dapat langsung dicuci dengan air tawar setelah perlakuan klorinasi 48 jam tersebut (OIE,2009). Dalam membangun bangunan baik untuk perkantoran ataupun gedung produksi Hindari penggunaan kayu pada berbagai fasilitas karena sangat susah untuk didesinfeksi dan dapat menjadi tempat hidup bagi berbagai mikroorganisme patogen.

87

d. Pakaian dan Peralatan − Cairan Iodophors (seperti : Wescodyne®, Betadine®) dengan konsentrasi Iodine 200-250 mg/liter dapat digunakan sebagai cairan pencuci kaki − Klorin, efektif digunakan untuk mencuci peralatan. − Natrium hidroksida (1% NaOH + 0,1% Teepol atau deterjen lain) dapat digunakan sebagai pencuci kaki untuk sepatu bot karet. JANGAN DIGUNAKAN untuk sepatu selain bot karet. Larutan ini juga dapat digunakan untuk desinfeksi seluruh bagian gedung panti benih, fasilitas resirkulasi, sistem saluran buang, dan bak pemeliharaan permukaan

ikan. di

Untuk

cuci

bak

dengan

pemeliharaan semprotan

ikan,

bertekanan

seluruh untuk

menghilangkan berbagai sisa bahan organik. Permukaan bak selanjutnya disemprot dengan larutan 1% NaOH + 0,1% Teepol, dengan konsentrasi perlakuan 2,5 liter untuk 1 m 3 permukaan bak. Permukaan basah bak yang diberi perlakuan cairan ini umumnya memiliki pH hingga 12, keadaan ini dibiarkan selama 24 jam, dan kemudian permukaan bak dicuci kembali untuk mengembalikan pH sesuai dengan pH air pemeliharaan ikan. Kemudian dikeringkan dan bak siap untuk diisi dengan air pemeliharaan kembali. Perlakuan

desinfeksi

dengan

menggunakan

klorinasi

dan

iodine

merupakan hal yang sangat dianjurkan. Namun cairan ini selain toksik bagi mikroorganisme patogen juga bersifat toksik bagi ikan. Oleh karena itu dianjurkan untuk dilakukan proses netralisasi setelah perlakuan klorinasi dan iodine dilakukan.

88

Untuk membuat klorin bersifat tidak aktif, maka harus dinetralkan dengan Natrium tiosulfat (Na2S2O3). Jumlah Na2S2O3 yang diberikan adalah 2,85 kali jumlah klorin (dalam gram). Sementara untuk netralisasi Iodine, maka jumlah Na 2S2O3 yang diberikan adalah 0,78 x jumlah gr Iodine yang diberikan. 5. Tindakan pencegahan dan keamanan secara umum – diaplikasikan untuk seluruh fasilitas operasional produksi. Biosekuriti ini meliputi :  Panduan standart operasional kerja  Pelatihan di tempat untuk memastikan bahwa semua prang paham terhadap program Biosekuriti.  Prosedur untuk memastikan pencatatan data yang akurat dan terkini.  Pekerja sebaiknya menggunakan pakaian bersih atau setidaknya menutupi seluruh bagian tubuh dan menggunakan sepatu.  Dilaksanakan prosedur Biosekurit dimulai dari daerah beresiko rendah (bak Indoor) dan berlanjut ke daerah beresiko tinggi (bak outdoor)  Dilaksanakan prosedur Biosekuriti dimulai dari tempat pemeliharaan ikan yang lebih peka terhadap patogen (larva atau benih) baru dilanjutkan ke tempat pemeliharaan ikan skala konsumsi.  Jalan masuk ke bak pemeliharaan induk, inkubasi telur dan fasilitas pemeliharaan larva sebaiknya dibatasi hanya untuk orang-orang yang berkepentingan saja.  Disiapkan Buku catatan khusus untuk tiap tamu yang datang ke fasilitas produksi  Tamu yang telah bersentuhan dengan sarana produksi sebaiknya mengganti pakaian yang mereka gunakan dan yang paling utama adalah desinfeksi tangan menggunakan larutan alkohol 70% atau Virkon 1% sebelum masuk ke dalam unit produksi. Hal yang paling baik dan utama adalah Jika para tamu yang datang tidak bersentuhan langsung dengan ikan produksi. Akhirnya, seluruh program biosekuriti ini diharapkan dapat dilaksanakan di tiap-tiap

unit produksi

untuk mendukung

tindakan

pencegahan

dan 89

pengendalian penyakit ikan, khususnya terhadap penyakit bakteri. Sebuah Standar Operasional Prosedur (SOP) sebaiknya disusun untuk menyediakan panduan lengkap bagi kegiatan biosekuriti dan pemantauan penyakit. Panduan ini sebaiknya meliputi : Rancangan fasilitas produksi, alur fasilitas produksi baik untuk pekerja ataupun ikan yang dibudidayakan, peraturan untuk masuk ke dalam fasilitas produksi apakah bersifat terbuka atau hanya boleh dimasuki orang tertentu, penyediaan buku tamu, prosedur desinfeksi baik untuk pekerja maupun peralatan, perencanaan pengelolaan limbah, panduan pengendalian hama, dan prosedur umum pengelolaan produksi. Panduan ini sebaiknya merupakan sebuah aturan baku yang dilaksanakan ketika sebuah penyakit telah terdeteksi atau terjadi wabah penyakit. Pencatatan merupakan sebuah kunci keberhasilan bagi program biosekuriti, karna dari hasil pencatatan tersebut akan tersedia berbagai data informasi yang akurat, baik tentang status kesehatan ikan, pertumbuhan berat, konsumsi pakan, vaksinasi atau pengobatan dan berbagai tindakan lainnya dalam satu kesatuan produksi. Dengan penerapan biosekuriti yang baik dan optimal,

maka

diharapkan

penyakit

bakterial

dapat

diminimalisir

keberadaannya pada unit produksi budidaya ikan. 7. Penerapan manajemen Pemeliharaan Ikan yang baik Salah satu akar permasalahan yang dihadapi dalam usaha budidaya ikan adalah tingginya kematian benih pada tahap pendederan. Penyebab utamanya adalah belum dikuasainya manajemen dan penggunaan teknologi pemeliharaan ikan, artinya secara khusus belum diterapkan standard operation procedure (SOP) dan standard specification mengenai ukuran KJA, ukuran benih saat tebar, padat penebaran dalam pemeliharaan, pola pemberian pakan, dan penanganan penyakit. Menurut Chua dan Tang (1979), bahwa pertumbuhan ikan yang dipelihara dalam keramba jaring apung dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain mutu jenis pakan, frekuensi pemberian pakan dan kepadatan ikan. Kepadatan ikan yang melebihi daya dukung perairan (carrying capacity) akan 90

menimbulkan persaingan antar ikan tinggi, oksigen terlarut menjadi rendah dan sisa metabolisme seperti ammonia akan meningkat sehingga dapat menimbulkan stres dan merupakan penyebab timbulnya serangan penyakit. (Anonim, 2005)

Secara umum, untuk meminimalisir kemungkinan serangan infeksi bakteri, perlu kiranya untuk menerapkan pengelolaan budidaya ikan yang baik. Salah satunya adalah dengan mengikuti konsep CBIB, dimana CBIB (Cara budidaya ikan yang baik) adalah penerapan cara memelihara dan atau membesarkan ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol sehingga memberikan jaminan pangan dari pembudidayaan dengan memperhatikan sanitasi, obat ikan dan bahan kimia serta bahan biologi. Penerapan better management practices mencakup dua hal yaitu: a.

Good

aquaculture

practices, mencakup weaning, padat penebaran, pemberian pakan, grading, sampling, penggantian waring dan panen. b.

Good

feed

management, mencakup kegiatan peberian pakan komersial, pakan alami atau ikan rucah, frekuensi pemberian pakan dan waktu pemberian pakan Dengan disertai dengan pencatatan yang baik dari setiap aplikasi pengelolaan budidaya ikan yang baik, maka infeksi bakteri pada ikan yang dibudidayakan dapat dihindari.

91

DAFTAR PUSTAKA Anonim, http://id.wikipedia.org/wiki/Bakteri, akses tanggal 20 November 2010. Anonim,http://aqua.intervet.com/knowledge/2009-11-02.aspx, diakses tanggal 20 November 2010 Anonim,http://syariffauzi.wordpress.com/tag/faktor-faktor-yangmempengaruhipertumbuhan-bakteri. diakses tanggal 1 Desember 2010. Alcamo IE (2001). Fundamentals of microbiology. Boston: Jones and Bartlett. ISBN 0-7637-1067-9 Almendras, F., Fuentealba, C., 1997. Salmonid rickettsial septicemia caused By Piscirickettsia salmonis: a review. Dis. Aquat. Org. 29, 137– 144. Anderson, 1992. Immunostimulants, Ajduvants and Vaccine Carrier in Fish: Application to Aquaculture. Ann. Rev. Fish Dis 2: 281-307 Austin, B., Austin, D.A., 1999. Bacterial Fish Pathogens. Diseases of Farmed and Wild Fish. Springer-Praxis Publishing, Ltd., United Kingdom. Atlas RM (1995). Principles of microbiology. St. Louis: Mosby. ISBN 0-801677904. Austin, B. dan Austin. D. A. 1989. Methods For The Microbiological Examination Of Fish And Shellfish. Ellis horwood, Chichester. Avendan˜o-Herrera, R., Magarin˜ os, B., Lo´pez-Romalde, S., Romalde, J.L., Toranzo, A.E., 2004a. Phenotypic characterization and description of two major O-serotypes in Tenacibaculum maritimum strains from marine fishes. Dis. Aquat. Org. 58, 1 – 8. Baratawidjaya KG. 1991. Imunologi Dasar. Fakultas Kedoktern Hewan Universitas Indonesia, Jakarta. 217 ha. Bernardet, J. F. 1989. Flexibacter Columnaris: First Description In France Dan Comparison With Bacterial Strain From Other Origins. Dis. Aquat. Org. Bond, 1979. Biology of Fishes. W.R Saunders, Philadelphia, London Toronto Brown KMT .2000. Applied Fish Pharmacology. Kluwer Academic Publisher. Netherland.309 ps Brown, L.L., Evelyn, T.P.T., Iwama, G.K., Nelson, W.S., Levine, R.P., 1994. Use of polymerase chain reaction (PCR) to detect DNA from Renibacterium salmoninarum within individual salmonid eggs. Dis. Aquat. Org. 18, 165–171. Ellis, A.E. 1988. General Principle of Fish Vaccination. Academic Press. London. 92

Ferguson, H.W. 1988. Normal Structure and Functions. Fish Disease Refresher Course for Veterinarians Proc. 106: 35-47 Fijian, N. N dan Voorhees, P. R. 1969. Drug Sensitivity Of Chondroccocus Columnaris. Vet Arh. Fletcher TC, 1982. Non Spesific Defence Mechanism of Fish. Developmental Comparative Immunology 2 : 123-127 Funke BR, Tortora GJ, Case CL, 2004, Microbiology: an introduction (edisi ke-8th ed,). San Francisco: Benjamin Cummings. ISBN 08053-7614-3 Griffin, B. R. 1992. Simple Procedure For Identification Of Cytophaga columnaris. J. Aquat.Anim Health Gudkovs, N. 1988. Fish Immunology. Fish Disease Refresher Course for Veterinarians. Proc. 106: 531- 544 Hawke, J. P dan Thune, R. L. 1992. Systemic Isolation And Antimicrobial Susceptibility Of Cytophaga Columnaris From Commerciallly Reared Channel Catfish. J.Aquat.Anim.Health. Holt JC, Bergey DH, 1994. Bergey's manual of determinative bacteriology (edisi ke-9th ed.). Baltimore: Williams & Wilkins. ISBN 0-68300603-7. Hugenholtz P, Goebel BM, Pace NR, 1998. "Impact of culture-independent studies on the emerging phylogenetic view of bacterial diversity". J Bacteriol 180 (18): 4765–74. PMID 9733676 Johnny, F. dan D. Roza. 2002. Kejadian Penyakit pada Budidaya Ikan Kerapu dan Upaya Pengendaliannya. Laporan Hasil Penelitian Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali. 14 hal. Johnny, F., dan Prisdiminggo. 2002. Studi Kasus Penyakit Fin Rot Pada Ikan Kerapu Macan, Epinephelus Fuscoguttatus Di Karamba Jaring Apung Teluk Ekas, Desa Batunampar, Lombok Timur, NTB. Laporan Hasil Penelitian Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali. 9 hal. Kuo, S.-C., Kou, G.-H., 1978. Pseudomonas anguilliseptica isolated from red spot disease of pond-cultured eel, Anguilla japonica. Rep. Inst. Fish. Biol., Min. Econ. Aff. Nat. Taiwan Univ. 3, 19– 23. Kusriningrum, R. 1989. Dasar Perancangan Percobaan dan Rancangan Acak Lengkap. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya. 53-92. Kusuda, R., Kawai, K., Salati, F., Banner, C.R., Fryer, J.L., 1991. Enterococcus seriolicida sp. nov., a fish pathogen. Int. J. Syst. Bacteriol. 41, 406–409. Kusumawati, D. 1999. Bahan Ajar Manajemen Hewan Coba. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya.3-4, 30, 51. Marks, J. E, et.all. 1980. Mixed Infection Incolumnaris Disease Of Fish. J. Am. Vet. Med Assoc. Martinko JM, Madigan MT, 2005. Brock Biology of Microorganisms (edisi ke11th ed.). Englewood Cliffs, N.J: Prentice Hall. ISBN 0-13144329-1. McCarthy, D.H. 1975. Columnaris Disease. J. Inst. Fish. Manage.

93

Meyer, F.P. 1970. Seasonal Fluctuation In The Incidence Of Desease On Fish Farms. American Fisheries Society, Washington D.C. Moore, A.A. et. all. 1990. Attemps To Control Flexibacter Columnaris Epizootic In Pond- Reared Channel Catfish By Vaccination. J. Aquat. Anim .Health. Nicholson ML, Ferdinand LR, Sampson JS, Benin A, Balter S, Pinto SWL, Dowell SF, Facklam RR, Carlone GM, Beall B. Analysis of immunoreactivity to a Streptococcus equi subsp. zooepidemicus M-like protein to confirm an outbreak of poststreptococcal glomerulonephritis, and sequences of Mlike proteins from isolates obtained from different host species. J Clin Microbiol. 2000;38:4126-4130. Nitimulyo, K.H., I.Y.B. Lelono, dan A. Sarono. 1993. Deskripsi Hama dan Penyakit Ikan Karantina Golongan Bakteri Buku 2. Pusat Karantina Pertanian. Jakarta. Novriadi, Romi, 2010, Pengaruh pemberian Medicated feed Additive terhadap immunitas dan pertumbuhan ikan Bawal bintang (Trachinotus blochii, Lacepede), Balai Budidaya Laut Batam. Novriadi, Romi, 2011, Analisa, Pengawasan dan Penanganan Sumber Daya Air Sebagai Salah Satu Sistem Akuakultur dalam Mendukung Optimalisasi Produksi, Balai Budidaya Laut Batam Nuratmi, B., Adjiri dan D.I. Paramita. 1996. Beberapa penelitian farmakologis sambiloto (Andrographis paniculata Nees) (Kumpulan abstrak). Warna Tumbuhan Obat Indonesia. Vol. 3, No.1. Hal : 1-24; 33-34. Oehadian, H. 1987. Daya hambat rebusan daun sirih (Piper betle L.) terhadap jamur Candida albicans. Laporan penelitian. Fakultas Kedokteran UNPAD. Plumb, John A. 1994. Health Maintenance Of Cultured Fish Principal Microbial Desease. CRC Press Inc, Boca Raton, Florida Purnomo, Panca Dias. Bakteri Flexibacter columnaris. [online] 2007 : [6 halm] Tersedia:.http://www.scribd.com/doc/23177542/BakteriFlexiba cter-columnaris [30 September 2010]. Rukmono, Djumbuh, 2010, Mycobacterium fortuitum pada ikan gurame (Oshphronemus gouramy), Diagnosa patologis dan mikrobiologis, UGM, Yogyakarta Sadeli, R., 1982. Usaha pemeriksaan daya antimikotik dari ekstrak daun sirih (Piper betle L.) terhadap beberapa species Candida. Laporan Penelitian, Fakultas Kedokteran UNPAD. Smith, P.A., Contreras, J.R., Larenas, J.J., Aguillo´n, J.C., Garce´s, L.H., Pe ´rez, B., Fryer, J.L., 1997. Immunization with bacterial antigens: Piscirickettsiosis. In: Gudding, R., Lillehaug, A., Midtlyng, P.J.F., Brown, B. (Eds.), Fish Vaccinology. Karger, Basel, Switzeland, pp. 161–166. Sbrensen, U.B.S., Larsen, J.L., 1986. Serotyping of Vibrio anguillarum. Appl. Environ. Microbiol. 51, 593– 597. Sbrum, H., Hvaal, A.B., Heum, M., Daae, F.L., Wiik, R., 1990. Plasmid profiling of Vibrio salmonicida for epidemiological studies of cold-water vibriosis in Atlantic salmon (Salmo salar) and cod (Gadus morhua). Appl. Environ. Microbiol. 56, 1033–1037. 94

Starliper, C.E., 1996. Genetic diversity of North American isolates of Renibacterium salmoninarum. Dis. Aquat. Org. 27, 207–213. Sastrapradja, S., M. Asyari, E. Djajasukma, E. Kasim, I. Lubis, S. Harti dan A. Lubis.1978. Tanaman obat yang digunakan. Lembaga Biologi Nasional-LIPI, Bogor.p : 90 -92. Stasiun Karantina Ikan Ngurah Rai. 2002. Penggunaan tanaman obat tradisional terhadap pencegahan serangan bakteri Streptomyces sp. Yang menginfeksi ikan koi (Cyprinus carpio), Bali. Sastroamidjojo, S., 1997. Obat asli Indonesia. Dian Rakyat. Jakarta. Sipahutar, H. S., 2000. Potensi antibakteri ekstrak kunyit (Curcuma domestica), daun jambu biji (Psidium guajava L.), sirih (Piper betle L.) dan sambiloto (Andrographis paniculata (Burn.f.)Nees) terhadap bakteri Aeromonas hydrophila. Program Studi Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Bogor. Taukhid, 2010, Dukungan Monitoring dan Pemetaan Sebaran Jasad Patogen Bagi Upaya Pengendalian Penyakit Ikan, Makalah, Disampaikan di Hotel Salak pada pertemuan : Penyusunan Pedoman Umum Monitoring dan Surveillance, Bogor. Toranzo, E,A, Magarin˜os beatriz, Romalde,J 2005, A review of the main bacterial fish diseases in mariculture systems, Elsevier Publications, Wakabayashi, H, et.all. 1970. Studies On Columnaris Ells. Jpn.Soc.Sci.Fish, Japan. Wedemeyer, G. 1970. The role of s-s in the disease resistance of fish. In: S. F. Snieszko (Ed.) A Symposium on Diseases of Fishes and Shellfishes. Pp 30-35. Am. Fish. Soc., Washington, DC., Spec. Publ. No. 5, Bethesda, MD. Wedemeyer, G. A., F. P. Meyer and L. Smith. 1976. Diseases of Fishes: Environmental Stress and Fish Diseases. TFH. Publications, Neptune, NJ. Wolf, K. 1988. Fish Viruses and Fish Viral Diseases. Cornell Univ. Press, Ithaca, NY. Woo PC, Fung AM, Lau SK, Wong SS, Yuen KY. Group G beta-hemolytic streptococcal bacteremia characterized by 16S ribosomal RNA gene sequencing. J Clin Microbiol. 2001;39:3147-55. Zlotkin, A., Hershko, H., Eldar, A., 1998a. Possible transmission of Streptococcus iniae from wild fish to cultured marine fish. Appl. Environ. Microbiol. 64, 4065– 4067. Zlotkin, A., Eldar, A., Ghittino, C., Bercovier, H., 1998b. Identification of Lactococcus garvieae by PCR. J. Clin. Microbiol. 36, 983– 985.

95

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF