Buku Pedoman Pelatihan Deteksi Dini & Penatalaksanaan Korban Child Abuse and Neglect

August 11, 2018 | Author: rhlmfs | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Buku Pedoman Pelatihan Deteksi Dini & Penatalaksanaan Korban Child Abuse and Neglect...

Description

Ikatan Dokter Indonesia – Indonesia – Departemen Kesehatan - UNICEF 2003

Buku Pedoman Pelatihan

DETEKSI DINI & PENATALAKSANAAN KORBAN CHILD ABUSE and  NEGLECT  Bagi TENAGA PROFESIONAL KESEHATAN Buku II: Bahan Bacaan

Kata Pengantar  Pertama-tama puji syukur kami persembahkan kepada Allah yang maha besar dan maha kuasa sehingga atas ijinNya maka buku “Panduan Pelatihan tentang Deteksi Dini dan Penatalaksanaan Child Abuse and Neglect  untuk para Profesional Kesehatan” dapat diterbitkan setelah melalui masa pembuatan yang hampir satu tahun lamanya. Istilah Child Abuse and Neglect  telah dicari padanannya dalam bahasa Indonesia, seperti kekerasan dan penelantaran terhadap anak, penderaan dan penelantaran terhadap anak, atau penganiayaan dan penelantaran terhadap anak, namun masingmasing istilah tersebut memiliki kelemahan pengertian, sehingga diputuskan oleh kelompok kerja untuk tetap menggunakan istilah aslinya dan disingkat menjadi CAN. Kelompok kerja penyusun buku ini terdiri dari para dokter dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), ahli hukum, perwakilan dari Departemen Kesehatan dan dari PPNI, serta didukung oleh pakar pelatihan / aktivis hak anak dan pakar perlindungan anak dari UNICEF. Kelompok kerja tersebut mengembangkan buku panduan pelatihan melalui studi literatur, diskusi kelompok, Workshop Nasional dengan menghadirkan berbagai pakar 

1

Ikatan Dokter Indonesia – Indonesia – Departemen Kesehatan - UNICEF 2003

Buku Pedoman Pelatihan

DETEKSI DINI & PENATALAKSANAAN KORBAN CHILD ABUSE and  NEGLECT  Bagi TENAGA PROFESIONAL KESEHATAN Buku II: Bahan Bacaan

Kata Pengantar  Pertama-tama puji syukur kami persembahkan kepada Allah yang maha besar dan maha kuasa sehingga atas ijinNya maka buku “Panduan Pelatihan tentang Deteksi Dini dan Penatalaksanaan Child Abuse and Neglect  untuk para Profesional Kesehatan” dapat diterbitkan setelah melalui masa pembuatan yang hampir satu tahun lamanya. Istilah Child Abuse and Neglect  telah dicari padanannya dalam bahasa Indonesia, seperti kekerasan dan penelantaran terhadap anak, penderaan dan penelantaran terhadap anak, atau penganiayaan dan penelantaran terhadap anak, namun masingmasing istilah tersebut memiliki kelemahan pengertian, sehingga diputuskan oleh kelompok kerja untuk tetap menggunakan istilah aslinya dan disingkat menjadi CAN. Kelompok kerja penyusun buku ini terdiri dari para dokter dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), ahli hukum, perwakilan dari Departemen Kesehatan dan dari PPNI, serta didukung oleh pakar pelatihan / aktivis hak anak dan pakar perlindungan anak dari UNICEF. Kelompok kerja tersebut mengembangkan buku panduan pelatihan melalui studi literatur, diskusi kelompok, Workshop Nasional dengan menghadirkan berbagai pakar 

1

dan pemerhati masalah CAN, uji coba pelatihan di Surabaya dan di Jakarta, serta uji training of trainers  (TOT) di Karawaci. Masukan yang sangat berharga diperoleh dari para pakar dan pemerhati tersebut di atas dan juga dari pakar psikologi pelatihan Unicef   Amanda M. dan Bernadette J Madrid, MD direktur eksekutif Child Protection Unit Public General Hospital di Manila. Oleh karena itu dalam kesempatan ini kami sebagai kelompok kerja penyusun buku menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada banyak pihak, yang pada dasarnya adalah para pembela Hak Anak dan aktivis Perlindungan Anak, yang telah menyumbangkan pikiran, keahlian dan pengalamannya dari berbagai sudut sehingga kami berhasil menyelesaikan tugas ini. Perhargaan dan terima kasih juga kami sampaikan kepada rekan-rekan rekan-rek an dari Unicef Jakarta oleh karena buku ini tidak mungkin terbit tanpa dukungan dan komitmen dari mereka. Buku Panduan Pelatihan ini diharapkan menjadi awal dari suatu langkah besar yang harus kita laksanakan, yaitu terbentuknya suatu Sistem Perlindungan Anak di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Kami mengharapkan agar buku Pedoman Pelatihan ini benar-benar dapat diterapkan dalam pelatihan-pelatihan bagi para profesional di bidang kesehatan, sehingga akan terbentuk armada tenaga kesehatan yang memahami hak anak dan CAN, sebagai bagian dari profesional multidisiplin pelindung anak Indonesia, yang bertekad untuk mempromosikan hak dan perlindungan anak serta mencegah dan menatalaksana korban CAN secara tepat. Melindungi Anak Indonesia adalah menciptakan Masa Depan Indonesia Jakarta, Januari 2004.

Kelompok Kerja Penyusun.

2

Kelompok Kerja Penyusun : Kelompok Inti : Budi Sampurna Suryo Dharmono Rita Serena Kalibonso Tjhin Wiguna Rini Sekartini  Ahmad Suryawan Yupi Supartini

Penasehat Teknis : Yan Prasetio Bambang Permono

Penasehat Pelatihan : Mansour Fakih

Departemen Kesehatan : Regina Penina

 Asisten: Oktavinda Safitry

3

Daftar Isi Halaman

Kata Pengantar

2

Daftar isi

3

Pendahuluan

4

Bab I.

CAN dan Aspek Hukum 5 Pengertian 5  Aspek Etik dan Hukum 11 Sistem Perlindungan Anak 14 Peran Tenaga Profesional Kesehatan Dalam Kerjasama Multidisiplin Penanganan CAN 19

BAB II.

Tumbuh Kembang dan Siklus Kehidupan Anak Tahap – Tahap Tumbuh Kembang Anak

23 25

BAB III. Faktor Risiko Terjadinya CAN Dampak CAN Pada Tumbuh Kembang Anak

36 39

BAB IV. Pemeriksaan Pemeriksaan Kasus Kekerasan Fisik Pemeriksaan Kasus Kekerasan Seksual Teknik Wawancara dan Evaluasi Mental Emosional Pemeriksaan Penunjang Interpretasi Hasil Pemeriksaan Medikolegal Sistem Klasifikasi ADAMS Rekam Medis

44 44 47 49 55 55 59 64

BAB V. Penatalaksanaan Penatalaksanaan Medis Penatalaksanaan Psikososial  Asuhan Keperawatan Sistim Rujukan Pendekatan Multidisiplin

66 66 66 68 73 75

Kepustakaan

79

4

Pendahuluan Buku II dari “Panduan Pelatihan tentang Deteksi Dini dan Penatalaksanaan Child Abuse  and Neglect  untuk para Profesional Keseha tan” adalah buku bahan bacaan yang berisikan tentang materi Child Abuse and Neglect  (CAN) sebagai kelengkapan dari Panduan pelatihan itu sendiri. Buku bahan bacaan ini tidak dimaksudkan sebagai suatu buku teks, melainkan hanya memberikan bahan bacaan yang esensial saja mengenai CAN yang harus diketahui secara ringkas guna dapat mengikuti Pelatihan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa buku bahan bacaan ini merupakan komplemen dari Buku Panduan Pelatihan yang wajib dibaca sebelum mengikuti pelatihan. Tanpa membaca buku bahan bacaan ini maka pelatihan menjadi tidak berisi. Buku bahan bacaan ini secara sistematis menguraikan CAN mulai dari pemahaman awalnya, seperti pengertian anak, hak anak, perlindungan anak, dan CAN, kemudian tentang aspek etik dan hukum yang terkait, serta sistem perlindungan anak, baik yang berlaku di Indonesia sekarang dan masa yang akan datang berdasarkan UU Perlindungan Anak, maupun sistem tersebut di negara tetangga. Selanjutnya sebelum mempelajari secara rinci CAN, buku ini mengupas tentang tumbuh kembang anak dan kaitannya dengan CAN, faktor risiko atau indikator risiko, serta dampak CAN terhadap tumbuh kembang anak. CAN sendiri dibahas ciri-cirinya untuk dapat dideteksi secara dini, apa pemeriksaan yang diperlukan dan bagaimana pelaksanaannya, mulai dari teknik wawancara, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan ginekologis bila diperlukan, pemeriksaan penunjang yang diperlukan, hingga ke pemeriksaan status mental pasien. Guna memperjelas gambaran besar pemeriksaan, buku ini juga memaparkan foto-foto contoh kasus yang diambil dari pengalaman penyusun dan dari berbagai kepustakaan. Interpretasi hasil pemeriksaan medikolegal untuk kepentingan pembuktian di sistem peradilan Indonesia  juga dibahas. Buku ini juga menawarkan suatu bentuk rekam medis yang khusus, yang di dalam praktek akan dapat memberikan arahan tentang informasi apa saja yang sebaiknya diperoleh dan didokumentasikan. Rekam medis khusus tersebut merupakan tambahan dari rekam medis umum yang biasa digunakan di dalam sarana kesehatan tempat pemeriksaan dilakukan.  Akhirnya dalam bahan bacaan ini juga dikupas penatalaksanaan korban CAN yang di dalamnya termasuk sistem rujukan dan pelaporannya. Penatalaksanaan korban dilakukan secara multidisipliner, melibatkan berbagai disiplin ilmu dan profesi  – yang pada garis besarnya diuraikan dalam penatalaksanaan medis, psikososial dan asuhan keperawatannya.

5

BAB I CHILD ABUSE AND NEGLECT (CAN) DAN ASPEK HUKUMNYA

PENGERTIAN Anak, Hak Anak dan Perlindungan Anak  Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan, demikian disebutkan di dalam Pasal 1 UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sayangnya dalam UU tersebut belum dijelaskan apakah status seorang anak yang belum berusia 18 tahun tetapi telah menikah, dan bagaimana pula bila ia kemudian telah bercerai. Lebih lanjut dijelaskan bahwa anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam UUD 45, Konvensi Hak Anak dan UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung-jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan perlindungan anak, negara dan pemerintah bertanggung-jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 1 UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh, dan komprehensif, kewajiban memberikan perlindungan anak didasarkan atas asas-asas : non diskriminatif, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup  – kelangsungan hidup dan perkembangan, dan penghargaan terhadap pendapat anak.

Undang-Undang Dasar 1945 , sebagaimana telah diamandemen hingga tahun 2002, telah memberikan perlindungan kepada setiap orang, termasuk anak-anak, atas hakhaknya yang asasi, yang diantaranya adalah sebagai berikut: Pasal 28B ayat (2) : Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi Pasal 28D ayat (1) : Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum

6

Pasal 28G ayat (1): Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuatt atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi; ayat (2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain. Pasal 28H ayat (1): Setiap orang behak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan Pasal 28I ayat (1): Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun; ayat (2) Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar  apapun dan berhak mendapatkan perlindunagn terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Pasal 34: Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara

Konvensi Hak Anak disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November 1989 dan telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No 36 tahun 1990. Dalam Konvensi Hak Anak, anak didefinisikan sebagai setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. Sementara itu, KUH Perdata menyatakan bahwa seseorang menjadi dewasa apabila telah pernah menikah meskipun usianya belum cukup 18 tahun. Konvensi menghormati hak-hak anak dan perlindungan terhadap anak, pentingnya peran keluarga, serta pengembangan sumber daya untuk kepentingan anak. Pasal 18 mengharuskan negara-negara peserta untuk melakukan upaya-upaya yang menjamin agar kedua orang tua bertanggungjawab bersama untuk membesarkan dan mengembangkan anak dan kepentingan terbaik anak akan dijadikan perhatian utamanya. Sementara itu pasal 19 secara khusus menyebutkan perlunya upaya untuk melindungi anak dari kekerasan, penyalahgunaan, penelantaran dan eksploitasi, serta menguraikan langkah-langkah dalam mencapai perlindungan tersebut. Pasal-pasal lainnya menekankan pentingnya peran komunitas pelayanan kesehatan di dalam pemantauan dan pelaporan kekerasan terhadap anak. Untuk itu WHO telah merekomendasikan intervensi praktisnya. Bidang lain yang berkaitan dengan anak dengan kecacatan, tanggungjawab orangtua, eksploitasi anak, anak-anak dalam daerah konflik bersenjata, rehabilitasi anak dan lainlain diuraikan dalam pasal yang berkaitan dengan keberlangsungan hidup, tumbuhkembang dan hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Dalam membahas berbagai hak dan tanggungjawab, Konvensi menegaskan bahwa “hak-hak” tersebut merujuk kepada “ child’s … social, spiritual and moral well b eing and  physical and mental health and to achievement of fullest possible individual development  in all areas”  (kondisi sosial,spiritual dan moral anak serta kondisi fisik dan mental yang baik yang memungkingkan anak mampu mengembangkan diri sesuai kemampuan dengan sebaik-baiknya di segala bidang).

7

Kesadaran akan faktor budaya harus tetap tinggi karena budaya mempengaruhi semua segi dari suatu masalah, mulai dari kejadian dan pengertian kekerasan terhadap anak, hingga penatalaksanaan dan perlindungannya. Semua tindakan dalam bentuk pengumpulan data, perlindungan dan peningkatan kesadaran masyarakat harus memperhatikan lingkungan budaya. Latar belakang keadaan yang diluar kendali keluarga seperti kemiskinan, keterjangkauan layanan kesehatan, nutrisi yang tak adekuat, ketidaktersediaan sarana pendidikan dapat menjadi faktor kontribusi terjadinya kekerasan dan penelantaran terhadap anak. Demikian pula ketidakstabilan politik, konflik bersenjata, dan perang.

Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah banyak menyerap ketentuan di dalam UUD 45 dan Konvensi Hak Anak. Undang-Undang ini memiliki asas-asas : non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup-kelangsungan hidup dan perkembangan, serta penghargaan terhadap pendapat anak. Dalam Undang-undang ini tidak hanya hak anak yang diatur, melainkan juga kewajiban anak, kewajiban dan tanggung-jawab negara, kewajiban dan tanggungjawab masyarakat, serta kewajiban dan tanggung jawab orangtua. UU juga mengatur tentang pengasuhan, perwalian dan pengangkatan anak. Anak dilindungi di bidang agama, kesehatan, pendidikan, sosial dan perlindungan khusus pada keadaan-keadaan tertentu. Perlindungan khusus dimaksudkan untuk melindungi anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya, anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan fisik dan/atau mental, anak penyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan yang menjadi korban tindak pidana diatur dalam pasal 64 ayat (3) melalui upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga, upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi, pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental maupun sosial, dan pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara. Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan anak, anak korban kekerasan, anak korban perlakuan salah dan penelantaran, dilakukan melalui berbagai upaya seperti sosialisasi peraturan perundang-undangan, pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi, baik dilakukan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat.

Pengertian Child Abuse and Neglect  Peraturan perundang-undangan di Indonesia belum memberikan definisi ataupun pengertian atas istilah child abuse and neglect  dalam bahasa Indonesia. Beberapa istilah sempat diajukan namun belum pernah disepakati secara nasional istilah mana yang disepakati sebagai istilah pengganti child abuse and neglect . Beberapa istilah tersebut adalah “penganiayaan dan penelantaran anak”, kekerasan terhadap anak, perlakuan salah terhadap anak atau penyalahgunaan anak.

8

Dalam Pedoman Pelatihan ini tetap digunakan istilah “ child abuse and neglect ” yang bila diindonesiakan menjadi “kekerasan terhadap anak”. Istilah kekerasan terhadap anak memang dianggap telah mewakili segala kekerasan, baik fisik, seksual, emosional, ataupun penelantaran, namun kurang mencerminkan sifat “perlakuan salah” atau “penyalahgunaan” anak, dimana terdapat hubungan khas antara pelaku dengan korbannya. Meskipun harus diakui pula bahwa kekerasan terhadap anak dengan sifat khusus tersebut sudah termasuk ke dalam pengertian kekerasan terhadap anak yang lebih umum sifatnya. Di dalam Pedoman Pelatihan ini pengertian CAN adalah mengacu definisi WHO:

Child abuse and neglect  adalah semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik ataupun emosional, penyalahgunaan seksual, penelantaran, eksploitasi komersial atau eksploitasi lain, yang mengakibatkan cedera/ kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuhkembang anak, atau martabat anak, yang dilakukan dalam konteks hubungan tanggung-jawab, kepercayaan atau kekuasaan. Physical abuse  terhadap anak adalah kekerasan yang mengakibatkan cedera fisik nyata ataupun potensial terhadap anak, sebagai akibat dari interaksi atau tidak adanya interaksi, yang layaknya berada dalam kendali orang tua atau orang dalam posisi hubungan tanggung-jawab, kepercayaan atau kekuasaan. Orang tua ataupun pengasuh dapat memiliki atau tidak memiliki niat untuk menyakiti anaknya, atau cedera dapat pula merupakan hasil dari hukuman disiplin yang berlebihan.

Sexual abuse  terhadap anak adalah pelibatan anak dalam kegiatan seksual, dimana ia sendiri tidak sepenuhnya memahami, atau tidak mampu memberi persetujuan, atau oleh karena perkembangannya belum siap atau tidak dapat memberi persetujuan, atau yang melanggar hukum atau pantangan masyarakat. Kekerasan seksual ditandai dengan adanya aktivitas seksual antara anak dengan orang dewasa atau anak lain yang baik dari usia ataupun perkembangannya memiliki hubungan tanggungjawab, kepercayaan atau kekuasaan; aktivitas tersebut ditujukan untuk memberikan kepuasan bagi orang tersebut. Kekerasan seksual meliputi eksploitasi seksual dalam prostitusi atau pornografi, pemaksaan anak untuk melihat kegiatan seksual, memperlihatkan kemaluan kepada anak untuk tujuan kepuasan seksual, stimulasi seksual, perabaan (molestation, fondling ), memaksa anak untuk memegang kemaluan orang lain, hubungan seksual, incest, perkosaan, dan sodomi.

Emotional abuse  terhadap anak adalah meliputi kegagalan penyediaan lingkungan yang mendukung dan memadai bagi perkembangannya, termasuk ketersediaan seorang yang dapat dijadikan figure primer, sehingga anak dapat berkembang secara stabil dan dengan pencapaian kemampuan sosial dan emosional yang diharapkan sesuai dengan potensi pribadinya dan dalam konteks lingkungannya. Kekerasan emosional dapat juga merupakan suatu perbuatan terhadap anak yang mengakibatkan atau sangat mungkin akan mengakibatkan gangguan kesehatan atau perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial. Perbuatan-perbuatan tersebut harus dilakukan dalam kendali orang tua atau orang lain dalam posisi hubungan tanggung-jawab, kepercayaan atau kekuasaan terhadap si anak.

9

Beberapa contoh kekerasan emosional adalah pembatasan gerak, sikap tindak yang meremehkan anak, memburukkan atau mencemarkan, mengkambinghitamkan, mengancam, menakut-nakuti, mendiskriminasi, mengejek atau mentertawakan, atau perlakuan lain yang kasar atau penolakan. Penelantaran anak ( child neglect ) adalah kegagalan dalam menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk tumbuh kembangnya, seperti : kesehatan, pendidikan, perkembangan emosional, nutrisi, rumah atau tempat bernanung, dan keadaan hidup yang aman, di dalam konteks sumber daya yang layaknya dimiliki oleh keluarga atau pengasuh, yang mengakibatkan atau sangat mungkin mengakibatkan gangguan kesehatan atau gangguan perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial. Termasuk didalamnya adalah kegagalan dalam mengawasi dan melindungi secara layak dari bahaya atau gangguan. Kelalaian di bidang kesehatan terjadi apabila terjadi kegagalan untuk memperoleh perawatan medis, mental dan gigi pada keadaan-keadaan, yang bila tidak dilakukan akan dapat mengakibatkan penyakit atau gangguan tumbuhkembang. Kelalaian di bidang pendidikan meliputi pembolehan mangkir sekolah yang kronis, tidak menyekolahkan pada pendidikan yang wajib diikuti setiap anak, atau kegagalan memenuhi kebutuhan pendidikan yang khusus. Kelalaian di bidang fisik meliputi penolakan atau penundaan memperoleh layanan kesehatan, penelantaran/pembiaran, pengusiran dari rumah atau penolakan kembalinya anak sepulang dari kabur, dan pengawasan yang tak memadai. Kelalaian di bidang emosional meliputi kurangnya perhatian atas kebutuhan anak akan kasih sayang, penolakan atau kegagalan memberikan perawatan psikologis, kekerasan terhadap pasangan di hadapan anak, dan pembolehan penggunaan alkohol dan narkoba oleh si anak. Eksploitasi anak ( child exploitation ) adalah penggunaan anak dalam pekerjaan atau aktivitas lain untuk keuntungan orang lain. Hal ini termasuk, tetapi tidak terbatas pada, pekerja anak dan prostitusi. Kegiatan ini merusak atau merugikan kesehatan fisik dan kesehatan mental anak, merugikan perkembangan pendidikan, spiritual, moral dan sosial-emosional anak. Eksploitasi anak biasanya tidak termasuk ke dalam CAN yang dipahami oleh tenaga profesional kesehatan, sehingga selanjutnya eksploitasi anak tidak akan dibahas lagi.

Pengertian lain dalam UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-isteri, atau suami-isteri dengan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga Orangtua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat. Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak;

10

 Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial;  Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggungjawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan;  Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar; Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara; Pendamping adalah pekerja sosial yang mempunyai kompetensi profesional dalam bidangnya;

11

ASPEK ETIK DAN HUKUM Tenaga profesional kesehatan seringkali menjadi pihak pertama yang menemukan kasus CAN, baik pada saat ia melakukan prakteknya di institusi kesehatan atau di tempat praktek pribadi, atau juga pada saat ia melakukan kunjungan ke lapangan. Demikian pula tenaga profesional pendidikan, pengasuh anak, konselor, dan agamawan. Merekalah yang seharusnya dapat mendeteksi dini dan menangani atau merujuk kasus CAN sesuai dengan prosedur dalam sistem perlindungan anak yang berlaku. Namun demikian fakta menunjukkan bahwa angka kejadian CAN yang dilaporkan dan tercatat di Indonesia sangatlah rendah dibandingkan dengan di negaranegara lain. Hal ini membawa asumsi bahwa kasus CAN yang tercatat adalah hanya merupakan ujung atas/ kecil dari gunung es kasus yang sebenarnya ada di dalam masyarakat (iceberg phenomenon ). Para ahli pendidikan kedokteran melihat sistem pendidikan kedokteran dan kesehatan yang diberlakukan saat ini cenderung untuk menghasilkan tenaga kesehatan yang bersikap hanya melihat sisi medis pasien saja ( medicalization ). Padahal pada banyak kasus, termasuk kasus CAN, masalah utamanya bukanlah masalah medis, melainkan masalah hukum dan psiko-sosial. Oleh karena itu pendekatan multidisipliner harus diterapkan untuk dapat menangani kasus CAN secara komprehensif. Tenaga kesehatan dituntut untuk memahami juga bidang kerja disiplin lain yang terkait dengan masalah CAN, seperti aspek kesehatan masyarakat dan keluarga, aspek etik dan hukum, aspek psikososial, ataupun aspek budaya. Pemahaman tentang aspekaspek lain di luar kesehatan dan kedokteran diharapkan akan mempererat dan mengefektifkan kerjasama tim yang multidisipliner tersebut. Di bawah ini akan diulas berbagai bahasan hukum dan etik profesi yang berkaitan dengan CAN secara singkat, sedangkan bunyi pasal-pasal tersebut diuraikan pada lampiran buku bahan bacaan ini.

Ketentuan Pidana Kekerasan Terhadap Anak a) Kekerasan seksual Hukum Pidana mengancam siapa saja (laki-laki) yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang anak (perempuan) berhubungan seksual dengannya (pasal 285 KUHP) atau berbuat cabul dengannya (pasal 289 KUHP). Pasal 81 dan 82 UU 23 / 2002 tentang Perlindungan Anak bahkan mengancam pelakunya dengan hukuman yang lebih berat. Seseorang juga diancam pidana apabila melakukan hubungan seksual tanpa paksaan dengan seorang anak perempuan yang usianya belum cukup 12 tahun, dan mengancam sebagai delik aduan bila usianya antara 12  – 15 tahun (pasal 287 KUHP). Delik biasa juga diberlakukan apabila si anak perempuan yang berusia 12-15 tahun tersebut menderita luka berat atau mati sebagai akibatnya, atau ternyata anak tersebut adalah anak, anak tiri, anak angkat atau anak yang berada di bawah pengawasan si pelaku (pasal 287 jo pasal 291 dan 294 KUHP). Pasal lain dalam KUHP juga mengancam pidana bagi orang yang melakukan perbuatan cabul dengan anak yang belum berusia 15 tahun, atau membujuknya untuk melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul dengan orang lain (pasal 290 KUHP), atau dengan penyesatan atau menyalahgunakan

12

perbawanya (pasal 293 KUHP), atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul (pasal 295 KUHP). Pidana juga diberikan kepada orang yang melakukan perbuatan cabul dengan sesama jenis kelamin yang usianya belum dewasa (pasal 292 KUHP).

b) Kekerasan fisik Seluruh pasal-pasal dalam KUHP yang berkaitan dengan penganiayaan (pasal 351, 352, 353, 354, 355 KUHP) juga berlaku bagi penganiayaan terhadap anak, bahkan memberinya pemberatan pidana (pasal 356 KUHP) bagi pelaku tindak pidana pasal 351, 353, 354, dan 355 yang merupakan orangtua korban. Pasal 80 UU 23 / 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan ancaman pidana yang lebih berat untuk itu. Pidana juga diberikan kepada mereka yang karena kelalaiannya telah mengakibatkan seseorang (anak) luka, luka berat atau mati (pasal 359, 360 KUHP), bahkan memberikan pemberatan bila dilakukan oleh orang yang sedang melakukan jabatan / pekerjaannya (termasuk pekerjaan di bidang kesehatan) (pasal 361 KUHP).

c) Penculikan dan Perdagangan Anak KUHP mengancam orang yang melakukan perdagangan anak perempuan ataupun laki-laki (pasal 297 KUHP), sementara itu Pasal 83 UU 23 / 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan ancaman pidana yang lebih berat untuk itu. Penculikan anak diancam dengan pidana (pasal 328 KUHP), demikian pula bagi orang yang membawa seorang anak keluar dari kekuasaan orangtua atau walinya (pasal 330 KUHP), atau membawa lari seorang anak perempuan (pasal 332 KUHP), atau melakukan ancaman melakukan perbuatan kejahatan susila (pasal 336 KUHP). d) Penelantaran, diskriminasi dan pidana lain UU 23 / 2002 tentang Perlindungan Anak mengancam pidana bagi pelaku tindakan diskriminasi, penelantaran, pembiaran anak yang dalam keadaan darurat, tindakan kekerasan, jual-beli organ anak, eksploitasi ekonomi dan/atau seksual, pemanfaatan anak dalam kegiatan napza, dll. (pasal 77, 78, 80, 85, 88, dan 89). Sementara itu pasal 304-308 KUHP juga mengancam pelepasan dari tanggung-jawab perawatan anak yang belum cukup usia 7 tahun.

Kewajiban moral dan kewajiban hukum tenaga kesehatan The World Medical Association  (WMA) telah mengeluarkan pernyataan (Statement on Child Abuse and neglect) , terakhir dalam sidang ke 44 nya di Marbella, Spanyol, September 1992. Dalam pernyataan tersebut disebutkan bahwa peran para dokter adalah menemukan kasus kekerasan terhadap anak dan menolong anak tersebut beserta keluarganya dalam menempuh proses pemulihan. Untuk mencapai peran tersebut para dokter  dan tenaga kesehatan harus memperoleh pelatihan khusus agar dapat memiliki kemampuan yang dibutuhkan, serta membentuk tim yang multidisiplin guna

13

menangani CAN. Dalam hal ini anak adalah pasiennya, sehingga segala yang terbaik buat si anak adalah perhatian utama dokter. Dalam menemukan kasus CAN, tindakan dini yang dilakukan dapat meliputi: (a) melaporkan kasus tersebut ke Komisi Perlindungan Anak, (b) merawat inap korban CAN yang membutuhkan perlindungan pada tahap evaluasi awal, dan (c) memberitahukan diagnosis dan diferensial diagnosis anak kepada orang tua anak secara obyektif tanpa bersifat menuduh. Evaluasi medis pada kasus dugaan kekerasan fisik terhadap anak sebaiknya meliputi: (a) riwayat cedera, (b) pemeriksaan fisik, (c) survei radiologis terhadap trauma, (d) pemeriksaan kelainan perdarahan, (e) pemotretan berwarna, (f) pemeriksaan pemeriksaan fisik saudara kandungnya, kandungnya, (g) laporan medis tertulis resmi, (h) skrining perilaku, (i) skrining tumbuh kembang pada bayi dan anak pra-sekolah. Disebutkan pula bahwa penanganan medis kasus kekerasan seksual terhadap anak meliputi 3 hal: (a) pengobatan trauma fisik dan psikologis, (b) pengumpulan dan pemrosesan bukti ( evidence ), ), dan (c) penanganan dan/atau pencegahan kehamilan dan penyakit hubungan seksual.

Pasal 108 KUHAP memberikan hak kepada setiap orang untuk melaporkan adanya tindak pidana (termasuk kekerasan terhadap anak) apabila ia mengetahuinya sebagai saksi, dan memberikan kewajiban bagi pegawai negeri yang mengetahui adanya tindak pidana (termasuk kekerasan terhadap anak) pada waktu ia menjalankan tugasnya. Pasal 78 UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan ancaman pidana bagi setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat (termasuk anak korban kekerasan) padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu. Baik pasal dalam KUHAP maupun pasal dalam UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak di atas memang belum secara tegas mewajibkan kepada setiap orang untuk melaporkan kasus kekerasan terhadap anak, namun secara implisit telah menyatakannya demikian. UU No 23 tahun 2002 misalnya, kata-kata “membiarkan anak dalam situasi darurat” dapat dianggap telah menc akup “membiarkan dengan tidak melaporkannya kepada pihak yang seharusnya atau seyogyanya dilapori”.  Akhirnya, dengan dengan merangkainy merangkainya a dengan isi pernyataan pernyataan WMA di atas, maka dapatlah dapatlah dikatakan bahwa adalah kewajiban moral dan hukum bagi para profesional kesehatan yang mengetahui adanya korban kekerasan terhadap anak, untuk menindaklanjutinya sesuai prosedur   – termasuk melaporkannya ke Komisi Perlindungan Anak setempat.

Prinsip-prinsip penatalaksanaan kasus Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak secara tegas mengutamakan prinsip-prinsip prinsip- prinsip “kepentingan yang terbaik bagi anak” dan “penghargaan terhadap pendapat anak” di dalam menatalaksana perlindungan anak. Prinsip lain yang harus diperhatikan adalah penatalaksanaan kasus yang “segera, komprehensif komprehen sif dan holistik”.

14

Salah satu ketentuan yang perlu diperhatikan dalam menatalaksana kasus kekerasan terhadap anak adalah bahwa setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir (pasal 14 UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Dalam hal anak adalah korban tindak pidana, maka tatalaksananya meliputi: (a) upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga, (b) upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi, (c) pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental maupun sosial, dan (d) pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara (Pasal 64 ayat (3) UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Dalam hal anak adalah korban kekerasan dan/atau korban perlakuan salah atau penelantaran, maka tatalaksananya meliputi : (a) penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi anak, (b) pemantauan, pelaporan dan pemberian sanksi, dan (c) pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi – rehabilitasi  – baik oleh pemerintah ataupun masyarakat (Pasal 69 dan 71 UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).

Bukti, Penelitian dan Visum et Repertum Profesional kesehatan dalam menangani anak dugaan korban kekerasan terhadap anak sedapat mungkin mencari bukti fisik ( physical evidence ) yang nantinya dapat digunakan dalam upaya pembuktian di pengadilan. Penelitian dapat dilakukan dengan melakukan anamnesis yang mendalam, pemeriksaan fisik yang teliti, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya, serta uji psikologis dan psikiatris yang diperlukan. Lebih lanjut akan dibahas di bab yang terkait.

SISTEM PERLINDUNGAN ANAK Sebagaimana diuraikan sebelumnya, perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak beserta hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dengan demikian sistem perlindungan anak adalah suatu sistem yang kompleks, dimulai dari adanya kemauan politik yang kuat, dijabarkan di dalam peraturan perundang-undangan, diimplementasikan dalam bentuk program-program yang mendukung perlindungan anak dan program yang mencegah atau menghindari kekerasan, diskriminasi dan penelantaran anak. UUD 45, Konvensi Hak Anak dan UU no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak sudah menunjukkan kemauan politik bangsa Indonesia dalam menuju ke suatu sistem perlindungan anak. Doktrin parens patriae  mewajibkan negara untuk membela dan memperhatikan penduduknya yang paling rentan, yaitu anak-anak. Untuk itu kerjasama diantara aparat penegak hukum, pekerja sosial, profesional kesehatan dan anggota masyarakat lain diperlukan guna mencegah CAN dan eksploitasi terhadap anak.

15

Kemudian Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang pembentukannya dimandatkan oleh UU Perlindungan Anak, beserta institusi yang terkait, baik pemerintah maupun non pemerintah, harus mengembangkan dan menerapkan program-program yang memastikan kesehatan dan tumbuh kembang anak berjalan dengan baik di Indonesia, serta melindungi anak dari segala bentuk diskriminasi, abuse dan eksploitasi. Institusi pemerintah yang terkait dalam sistem perlindungan anak antara lain Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Departemen Kesehatan, Departemen Sosial, Departemen Kehakiman, Departemen Tenaga Kerja, Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, dan mungkin juga Dewan Perwakilan Rakyat. Sementara itu institusi non pemerintah dapat merupakan institusi pendidikan, organisasi profesi, dunia usaha, institusi keagamaan, organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang terkait, rumah sakit dan institusi layanan lainnya. Dalam kaitannya dengan child abuse and neglect (CAN), KPAI harus mampu membuat  jaringan kerja yang mapan mapan dan tajam agar mampu menemukan menemukan kasus CAN yang terjadi di dalam masyarakat, baik melalui pemberdayaan dan peningkatan kemampuan deteksi dini maupun melalui sistem pelaporan kasus yang teratur dan baku. KPAI juga harus membangun sistem penanganan kasus CAN yang cepat dan akurat, yang dilakukan dengan pendekatan yang multi-disiplin dan multi-instansi. Penatalaksanaan medis, meskipun penting dan kadang harus dilakukan pada langkah pertama, hanyalah merupakan salah satu bidang dari suatu rangkaian penyelesaian kasus yang kompleks.

Penanganan kasus CAN Secara umum, penanganan kasus CAN akan melibatkan serangkaian proses yang berawal dari suatu tindakan identifikasi kasus yang dicurigai sebagai kasus CAN dan diakhiri dengan penutupan kasus. Secara skematik, kegiatan penanganan kasus CAN dapat digambarkan seperti pada gambar di bawah ini : Proses penangan kasus dalam Sistem perlindungan anak La oran Masukan Rujukan

Initial Assesment 

Famil Famil asse assess ssme ment  nt 

Perencanaan kasus

Penan anan dan Penatala Penatalaksana ksanaan an kasus kasus

Eval Evalua uasi si kema kema uan uan kelu keluar ar a

Kasus ditutup

16

Identifikasi Langkah awal sistem respons perlindungan anak adalah adanya proses identifikasi adanya kemungkinan terjadinya kasus CAN. Proses ini dapat dilakukan oleh kalangan profesional medis, pengajar dan pendidik, pengasuh anak, profesional di bidang kesehatan mental, profesional penegak hukum, agamawan, dan profesional lainnya yang dalam posisi dapat melakukan pengamatan terhadap anak atau keluarga tertentu. Bahkan orang awampun, seperti anggota keluarga yang lain, teman atau tetangga, dapat melakukan tindakan identikasi ini. Luasnya spektrum proses identifikasi ini mengharuskan para profesional kesehatan untuk dapat mengenali indikator-indikator CAN, faktor-faktor risiko terjadinya CAN serta dampak CAN bagi anak, keluarga dan bagi masyarakat. Adanya kampanye yang meningkatkan kesadaran masyarakat akan CAN beserta aspek terkait akan menajamkan proses identifikasi kasus CAN. Pelaporan Tahap berikutnya adalah pelaporan ( reporting ). Pada tahap ini, unsur hukum dalam arti keberadaan peraturan perundang-undangan beserta petunjuk pelaksanaannya, sangat bermakna peranannya. Kajian hukum di bidang CAN, baik skala lokal, regional, nasional maupun internasional mutlak dikuasai dan dikaji lebih dalam. Di negara maju, tindakan pelaporan yang berdasarkan hukum sudah begitu memasyarakat, baik dalam hal prosedur pelaporan, substansi pelaporan, kepada siapa melaporkan, perlindungan hukum bagi orang yang melaporkan atas itikad baik, maupun adanya sanksi hukum bagi orang yang tidak melaporkannya. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, UU No 23 tahun 2002 telah mengancam dengan hukuman bagi mereka yang “membiarkan anak dalam situasi darurat” dapat dianggap juga mengancam mereka yang “membiarkan dengan tidak melaporkannya kepada pihak yang seharusnya atau seyogyanya dilapori”. Sayangnya memang petunjuk pelaksanaan “wajib lapor” ini masih belum diuraikan secara panjang lebar, seperti pada kasus apa seseorang harus melapor, kapan harus melapor, kepada siapa melapornya, apa yang harus dilaporkannya, bagaimana bila profesinya mempunyai wajib simpan rahasia, bagaimana perlindungan hukumnya dan bagaimana respons institusi yang dilaporinya. Setelah melalui tahap pelaporan, idealnya kasus CAN akan berlanjut ke arah tahapan yang relatif sama. Masukan / Intake Masukan / Intake  merupakan tahapan dimana sebuah laporan kecurigaan kasus CAN diterima oleh suatu lembaga penyedia CPS ( Child Protection Service ) yang telah ditunjuk resmi oleh pemerintah setempat berdasarkan undang-undang. Di Indonesia, lembaga tersebut mungkin adalah KPAI atau LPA, baik di tingkat pusat ataupun di daerah. Pada tahap masukan ini harus dibuat dua keputusan primer, yaitu: 1. Apakah laporan atau informasi tersebut memenuhi kriteria sebagaimana dalam pedoman? Keputuan ini harus diambil setelah melalui 3 langkah penting, yaitu pengumpulan informasi dari pelapor, evaluasi informasi untuk menentukan apakah memenuhi peraturan perundang-undangan dan pedoman lembaga penyedia CPS, dan penilaian atas kredibilitas pelapor; 2. Seberapa darurat ( urgent ) untuk memperoleh rujukan? Hal ini ditentukan oleh keparahan cedera dan / atau tingkat risiko mengakibatkan cedera bagi anak. Apabila kasus dinyatakan berrisiko tinggi maka lembaga CPS harus melaksanakan respons segera.

17

Di beberapa negara maju, time respons  tindakan intake  ini untuk kasus yang tergolong risiko tinggi umumnya tidak lebih dari 24 jam setelah adanya pelaporan.

Penilaian awal dan Penyelidikan (Initial Assessment / Investigation)  Initial assessment  dari sebuah kasus CAN juga secara umum dapat dikatakan sebagai proses investigasi. Profesional penegak hukum dan petugas lembaga CPS akan mengawali tindakan ini, yang secara simultan akan didukung oleh profesional lain yang bekerja sesuai disiplin bidangnya masing-masing. Setiap kasus akan bersifat sangat individual meskipun berasal dari suatu komunitas yang sama dengan kasus lainnya.  Apabila semua profesioanal dari segala disiplin bekerja dibawah satu atap, maka tahapan ini akan berlangsung cepat, efektif dan lebih terfokus. Isu penting yang harus dinilai pada tahap ini adalah antara lain: e) Apakah anak mengalami CAN yang memenuhi UU 23 tahun 2002? f) Apakah telah terjadi tindak pidana? g) Apakah orang tua atau wali bertanggungjawab? h) Siapakah tersangka pelakunya? i) Apakah saksi-saksi yang mendukung ditemukan?  j) Apakah barang bukti yang mendukung diperoleh dan disimpan? k) Apakah terdapat korban lain? l) Apakah abuse atau penelantaran masih akan terjadi di kemudian hari? m) Apakah terdapat bukti yang cukup untuk menahan tersangka? n) Apakah anak dalam keadaan aman sekarang? Bila tidak, perlukah dilakukan tindakan perlindungan ( protective custody )? o) Adakah kebutuhan darurat keluarga? p) Apakah diperlukan layanan khusus terhadap anak dan keluarga untuk memastikan tidak terjadinya kejadian serupa atau lanjutan? Penilaian keluarga (Family Assessment)   Apabila adanya unsur CAN sudah dapat dipastikan, maka proses selanjutnya adalah memasuki tahapan tindakan pengamanan korban dan tindakan suportif untuk keluarga maupun komunitas disekelilingnya. Tujuan dari tahapan ini adalah mengetahui sebisa mungkin secara lengkap dan jelas proses kejadian CAN, dampak dan faktor-faktor yang memberikan kontribusi terhadap terjadinya CAN. Dengan demikian tindakan treatment  atau intervensi nantinya menjadi lebih tepat. Keputusan dan pertimbangan yang diharapkan pada tahap ini adalah: a) Apakah sifat, besaran dan penyebab faktor kontribusi dari risiko terjadinya CAN? b) Apakah dampak CAN dan apakah penanganan diperlukan bagi semua anggota keluarga? c) Apakah kekuatan individu dan keluarga yang dapat dimanfaatkan dalam proses intervensi keluarga? d) Kondisi atau perilaku apakah yang harus diubah untuk menurunkan risiko CAN? e) Bagaimanakah prognosis bagi perubahan tersebut? Informasi diperoleh melalui wawancara dan pengamatan atas seluruh anggota keluarga, menggunakan alat evaluasi lain, dan melihat catatan lembaga lain (CPS atau sekolah). Hasil akhir yang diharapkan dalam tahap ini adalah kesepahaman yang menguntungkan antara petugas lembaga CPS, penyelenggara pelayanan masyarakat dan keluarga, berkaitan dengan kebutuhan utama yang harus diperhatikan dan kekuatan keluarga yang harus dibangun.

18

Case Planning (Perencanaan kasus)  Ini adalah tahapan perencanaan tindakan apa yang harus dilakukan secara bersama dan simultan setelah mengetahui faktor-faktor yang meringankan dan memperberat terhadap intervensi atau treatment yang akan dilakukan. Profesional dibidang kesehatan mental dan atau hukum seringkali menjadi ujung tombak tahapan ini. Isu yang harus dipertimbangkan adalah : a) Apakah tujuan yang harus dicapai untuk mengurangi risiko CAN dan yang sesuai dengan kebutuhan penanganan?; b) Apakah prioritas diantara sekian tujuan yang ingin dicapai? c) Intervensi atau pelayanan apa yang akan digunakan untuk mencapai tujuan? d) Langkah-langkah apa yang harus dilalui? Apa tanggungjawab lembaga CPS?  Apa tanggungjawab anggota keluarga? Apa tanggungjawab pemberi layanan lainnya? e) Bagaimana penjadwalannya? f) Bagaimana dan kapan kasus ini dievaluasi? Hal yang patut dicatat adalah profesional dari semua disiplin harus mempunyai tujuan akhir yang sama dalam merencanakan tindakan intervensinya, yakni mengembalikan korban dalam lingkungan keluarga dan komunitasnya sendiri secara aman, setelah memberikan tindakan intervensi suportif kepada keluarga atau komunitas tersebut. Penanganan (Treatment)  Tahapan ini merupakan tahapan yang paling kompleks dimana semua disiplin dapat mengambil peran. Sejak dahulu penanganan medis terhadap para korban kekerasan fisik dan atau seksual telah dilakukan oleh para profesional kesehatan, namun jarang dilakukan penanganan terhadap dampak psikologisnya. Korban CAN umumnya merasa marah, bercuriga, terisolasi, dan ketakutan. Campuran emosi tersebut akan mengubah perilaku korban. Kekuatan kerja multidisiplin sangat tergantung adanya komunikasi terbuka antara korban, keluarga, komunitas dan CPS itu sendiri yang terdiri dari berbagai profesional disiplin ilmu. Komunikasi harus berkembang secara terus menerus, berkesinambungan melalui serangkaian proses evaluasi dan monitoring bersama. Tindakan bekerja dibawah satu atap secara multidisiplin akan menyebabkan tahapan ini dapat berjalan dengan lebih efektif. Evaluasi kemajuan keluarga (Evaluation of Family Progress)  Tahapan ini berlangsung kontinyu selama tahapan treatment berlangsung. Tindakan evaluasi ini bertujuan untuk melakukan pengukuran parameter mengenai keamanan dan keselamatan anak, pencapaian tujuan dan tugas, penurunan risiko pengulangan kasus dalam keluarga atau komunitas disekelilingnya, dan mengembalikan korban dalam kehidupan yang wajar/normal dalam lingkungannya sendiri. Penutupan kasus (Case Closure)  Suatu kasus CAN dianggap dapat ditutup apabila dapat dipastikan bahwa risiko CAN telah menurun secara bermakna atau dapat dihilangkan, sehingga keluarga dapat memenuhi kebutuhan anak dalam proses TUMBUH KEMBANG dan melindungi anak dari CAN tanpa intervensi masyarakat. Seringkali penutupan kasus CAN bersifat parsial apabila keluarga asal tidak lagi dipandang bisa melindungi dan memenuhi kebutuhan dasar tumbuh kembang anak. Dengan demikian, proses hukum untuk perwalian menjadi pertimbangan team CAN demi terjaminnya tumbuh kembang korban.

19

PERAN TENAGA PROFESIONAL KESEHATAN DALAM KERJASAMA MULTIDISIPLIN PENANGANAN CAN Hal-hal Esensial Penanganan CAN Multidisiplin CAN merupakan permasalahan komunitas yang sangat kompleks. Setiap profesional hendaknya mencoba membangun koordinasi multidisiplin mulai pada level lokal terlebih dahulu. Untuk dapat bekerja lintas disiplin secara efektif, maka beberapa hal esensial harus dimiliki oleh setiap profesional yang terlibat didalam jaringan koordinasi tersebut, antara lain : 1. Kesepakatan akan kesamaan tujuan 2. Pemahaman tanggung jawab masing-masing disiplin 3. Komunikasi terbuka 4. Adanya formalitas kebijakan, protokol dan prosedur  Bekerja secara bersama akan mengeliminasi adanya perbedaan persepsi antar individu dalam disiplin tertentu maupun antar disiplin satu dengan lainnya. Sistem intervensi secara multidisplin menghindarkan diri dari unsur-unsur kompetisi dan pembagian wilayah, dan akan saling menutup kekurangan satu sama lain.

Fungsi dan Tanggung Jawab Profesional Multidisipliner dalam Penanganan CAN  Adanya sebuah organisasi layanan perlindungan anak (CPS) merupakan salah satu titik penentu untuk dapat menjalankan sistem yang responsif terhadap adanya kasus CAN. Organisasi CPS ini hendaknya diberikan mandat berdasarkan hukum oleh pemerintah setempat yang didukung oleh kalangan swasta atau organisasi non pemerintah untuk melakukan tindakan awal (initial asessment) pada kasus kasus kecurigaan CAN. Namun, organisasi CPS bukanlah satu-satunya pihak yang mempunyai fungsi dan tanggung jawab untuk tindakan perlindungan anak. Semua profesional dibidang disiplin yang relevan dengan CAN harus berperan didalamnya. Setiap disiplin tertentu akan memainkan peran secara spesifik sesuai ilmu dan ketrampilannya. Masing-masing disiplin juga harus mengetahui satu sama lain fungsi dan tanggung jawab dari displin lainnya, sehingga dapat bekerja secara terkoordinir dalam arah tujuan yang sama. Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah memandatkan dibentuknya Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang di tingkat pusat diharapkan dapat menjadi organisasi pembuat kebijakan, perencana dan koordinator pelaksana program-program perlindungan anak, pemantau dan pengawas pelaksanaan perlindungan anak, sekaligus pemberi layanan perlindungan anak  – terutama di tingkat daerah. KPAI harus mampu mendirikan sebuah sistem perlindungan anak yang kokoh dan mampu-laksana, serta harus mampu menjadi koordinator bagi terselenggaranya layanan perlindungan anak yang multidisipliner. Di negara yang telah mapan sistem CPSnya, kita bisa mengambil contoh secara garis besar fungsi dan tanggung jawab setiap disiplin ini sebagai berikut :

20

PERAN DAN TANGGUNGJAWAB BERBAGAI KELOMPOK PROFESI DALAM MENANGGAPI CHILD ABUSE AND NEGLECT  Identifika-si Masukan, ManajeTatalaksa Persidang- PencegahPencegahFamily  dan na dan an an an primer  initial  assesment  men kasus pelaporan evaluasi sekunder  assesmen  dan perencanaan kasus dan pert , investigasi kasus tolongan sendiri  Agensi CPS lokal

Pemimpin

Peningkat an sumber  daya, evaluasi dan pelatihan

Pemimpin

Pemimpin

Pemimpin

Penyedia

Penyedia

Penyedia

Pemimpin

Sistem penatalaksa naan kesehatan Sistem kesehatan mental

Pemimpin

Penyedia

Penganjur

Pemimpin

Penganjur

Pemimpin

Pemimpin

Pemimpin

Pemimpin

Penyedia

Penganjur

Pemimpin

Penganjur

Pemimpin

Pemimpin

Pemimpin

Sistem pendidikan

Pemimpin

Penyedia

Penganjur

Pemimpin

Penganjur

Pemimpin

Pemimpin

Pemimpin

Sistem hukum

Pemimpin

Penyedia

Penganjur

Penganjur

Pemimpin

Penganjur

Penyedia

Pemimpin

Sistem aparat penegak hukum Pelayanan pendukung

Pemimpin

Penyedia

Penganjur

Penganjur

Penyedia

Penyedia

Penyedia

Pemimpin

Pemimpin

Penyedia

Penyedia

pemimpin

Penyedia*

Penganjur

Pemimpin

Definisi Pemimpin: bertanggungjawab untuk memulai aksi dan/atau mengkoordinasikan kegiatan, termasuk fungsi penyediaan dan penganjuran Penyedia: bertanggungjawab untuk partisipasi dalam aksi yang berhubungan dengan fungsi ini termasuk fungsi pengankur  Penganjur: bertanggungjawab untuk memberikan masukan sehubungan dengan aksi kegiatan dalam fungsi ini * pada yurisdiksi tertentu, aparat penegak hukum memiliki peran sebagai pemimpin besama-sama dengan agensi CPS sebagai asisten dalam proses investiasi terutama dalam kasus abuse fisik dan seksual.

Layanan Perlindungan Anak  Layanan perlindungan anak secara umum dapat dikatakan sebagai tujuan utama dalam lingkup Sistem perlindungan anak. Sistem perlindungan anak bertanggungjawab menerima laporan kasus CAN, menyelenggaralan assessment  awal, melakukan family  assessment , membuat rencana kasus individual; memberikan layanan langsung dan mengkoordinasikan layanan yang diselenggarakan oleh tenaga profesional lainnya; melengkapi fungsi manajemen kasus seperti penyimpanan catatan status kasus, meninjau ulang rencana kasus individual secara sistematis; dan membuat laporan pengadilan; mendidik masyarakat mengenai CAN; dan membangun serta meningkatkan sumber daya pencegahan dan penatalaksanaan CAN dalam masyarakat. Aparat Penegak Hukum  Pada tahap awal pengembangan sistem perlindungan anak, aparat penegak hukum dan sistem perlindungan anak seringkali memiliki tanggungjawab yang sama. Keterlibatan aparat penegak hukum pada assessment  awal/ investigasi CAN bervariasi pada masyarakat yang berbeda. Apakah masyarakat memiliki protokol assessment  awal/ investigasi yang terpisah atau tergabung, koordinasi yang baik antara sistem perlindungan anak dan aparat penegak hukum sangat diperlukan untuk mengurangi kebingungan dan trauma pada anak sebagai akibat intervensi sistem. Tanggung jawab utama aparat penegak hukum termasuk mengidentifikasi dan melaporkan adanya kecurigaan kasus CAN; menerima laporan kasus CAN,

21

menyelenggarakan investigasi terhadap laporan adanya CAN. Jika ada kecurigaan telah terjadi tindak pidana; mengumpulkan barang bukti fisik; menentukan apakah bukti-bukti telah cukup untuk mengajukan tersangka ke pengadilan; meng-asistensi adanya kebutuhan untuk melindungi dan memberikan keamanan pada anak; memberikan perlindungan pada staf sistem perlindungan anak apabila keamanan pekerja kasus terancam jika terjadi konfrontasi dengan pelaku kekerasan; mendukung korban dalam melalui proses pengadilan; dan berpartisipasi dalam kegiatan tim multidisiplin.

Pendidik  Kepala sekolah, guru, konselor/guru BP, dan staf sekolah lainnya serta pendidik di tingkat pra-sekolah berperan penting dalam lingkup sistem perlindungan anak. Mereka bertanggung jawab dalam mengidentifikasi dan melaporkan kecurigaan CAN dalam keluarga; mengenali dan melaporkan CAN yang terjadi di sekolah; membangun peraturan sekolah /program sekolah untuk pelaporan segera CAN dan kekerjasama dalam investigasi dalam Sistem Perlindungan Anak. Setelah melaporkan, mereka tetap memberikan informasi pada CPS terhadap perubahan atau perkembangan perilaku dan kondisi anak; memberikan input layanan diagnosis dan tatalaksana; mendukung anak dalam melewati peristiwa-peristiwa yang potensial membawa trauma pada anak, seperti pemberian kesaksian di pengadilan dan pada saat penempatan di rumah penampungan sementara; memberikan tatalaksana pada orangtua dalam bentuk program sekolah atau self-help groups ; membangun dan melaksanakan program pencegahan bagi anak dan orangtua; dan bergabung dalam tim multidisiplin penanganan CAN. Pemberi Layanan Kesehatan  Dokter, perawat, dan staf kesehatan lainnya memainkan peran penting dalam sistem perlindungan anak di setiap komunitas. Peran kunci pemberi layanan kesehatan termasuk mengidentifikasi dan melaporkan kecurigaan kasus CAN; mendiagnosis dan melakukan tatalaksana (medis dan psikiatris) bagi anak korban CAN dan keluarganya; memberikan konsultasi pada CPS menyangkut aspek medis CAN; berpartisipasi dalam tim konsultan kasus multidisiplin dalam masyarakat; memberikan kesaksian ahli pada proses pengadilan perlindungan anak; memberikan pendidikan bagi orangtua mengenai kebutuhan, cara menjaga, dan tatalaksana anak; mengenali dan memberikan dukungan bagi keluarga yang memiliki faktor risiko CAN; membangun dan melaksanakan program pencegahan primer; dan memberikan pelatihan bagi tenaga profesional medis dan nonmedis menyangkut aspek medis CAN. Tenaga Profesional Kesehatan Mental  Layanan kesehatan mental adalah PREREQUISITE untuk semua sistem komunitas yang dibuat untuk mencegah dan menatalaksana CAN. Psikiater, psikolog, pekerja sosial, dan tenaga profesional kesehatan mental lainnya harus mampu mengenali dan melaporkan kasus yang dicurigai CAN; melakukan evaluasi yang diperlukan bagi anak korban CAN dan keluarganya; memberikan terapi pada anak koban CAN dan keluarganya; memberikan konsultasi klinis pada CPS; memberikan kesaksian ahli pada proses pengadilan perlindungan anak; menyelenggarakan self-help groups  untuk orangtua yang menjadi pelaku atau memiliki risiko melakukan CAN pada anaknya; membentuk dan melaksanakan program pencegahan; dan berpartisipasi dalam tim multidisiplin.

22

Tenaga profesional Hukum  Tanggungjawab pejabat hukum bervariasi tergantung siapa klien jaksa dan tingkat proses peradilannya. Jaksa yang mewakili CPS mengajukan kasus CAN di pengadilan harus yakin bahwa staf CPS telah mendapatkan nasihat dan konsultasi hukum, contohnya dalam memutuskan pengambilan darurat anak dari keluarganya; berpartisipasi dalam pertemuan-pertemuan tim multidisiplin ketika tindakan hukum yang menyangkut si anak dibutuhkan; mempersiapkan tenaga CPS, saksi ahli, dan saksisaksi alinnya, terutama anak-anak, untuk bersaksi di pengadilan. Penuntut umum harus selalu berkoordinasi dengan Perlindungan Anak Sipil (KPAI) mengenai tindakan kriminal apapun yang dilakukan yang menyangkut anak yang sama; mempersiapkan anak untuk bersaksi; menjamin bahwa anak telah mendapat layanan advokasi korban jika dibutuhkan; jika terdapat tuduhan, menjamin pengadilan akan menjatuhkan hukuman yang adil dan menjamin tatalaksana yang benar telah tersedia; dan berpartisipasi dalam pertemuan tim multidisiplin apabila kemungkinan tindakan hukum mewakili si anak diperlukan.

23

BAB II TUMBUH KEMBANG DAN SIKLUS KEHIDUPAN ANAK TUMBUH KEMBANG Istilah tumbuh kembang sebenarnya mencakup 2 peristiwa yang sifatnya berbeda, tetapi saling berkaitan. Pertumbuhan berkaitan dengan perubahan dalam besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu. Dapat diukur dengan ukuran berat (gram, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang, dan lain-lain. Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur, termasuk aspek sosial atau emosional akibat pengaruh lingkungan. Pertumbuhan mempunyai dampak terhadap aspek fisik, sedangkan perkembangan berkaitan dengan fungsi pematangan intelektual dan emosional individu. Proses ini terjadi atau berlangsung sejak saat konsepsi (pembuahan) sampai akhir masa adolesen. Proses ini memerlukan waktu 18 tahun 40 minggu.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Tumbuh Kembang Kualitas tumbuh kembang anak tergantung interaksi antara faktor genetik (heredokonstitusional) dan faktor lingkungan (ekosistem). Faktor genetik merupakan faktor bawaan anak, yaitu potensi anak yang akan menjadi ciri khasnya. Faktor  lingkungan yang sering disebut milieu  merupakan tempat anak tersebut hidup, dan berfungsi sebagai penyedia kebutuhan dasar anak. Fungsi lingkungan sebagai penyedia ( provider ) kebutuhan dasar anak. Lingkungan dapat dikelompokkan ke dalam 4 macam lingkungan, yaitu : lingkungan keluarga, lingkungan perlindungan kesehatan anak, lingkungan masyarakat, dan lingkungan stimulasi atau pendidikan. Lingkungan diharapkan mampu menyediakan ketiga kebutuhan dasar anak. Kobayashi membagi lingkungan dalam 4 ekosistem, yaitu seperti gambar diagram di bawah ini. 1. Ekosistem mikro. Ekosistem ini merupakan ekosistem terkecil, tetapi berhubungan sangat erat dengan anak. Interaksi ekologinya berjalan terutama melalui kontak kulit dan fungsi sensoris lain. 2. Ekosistem mini. Ekosistem ini dicerminkan oleh keluarga dan tempat tinggal yang merupakan suatu unit dalam masyarakat. 3. Ekosistem meso. Ekosistem ini meliputi kelompok bermain, sekolah dan sarana lainnya. Faktor sosial budaya terutama di bidang pendidikan memegang peran penting. 4. Ekosistem makro. Ekosistem ini dicerminkan oleh keadaan masyarakat dan lembaga-lembaga yang ada di dalamnya.

Kebutuhan Dasar Anak Kebutuhan dasar anak secara garis besar adalah kebutuhan fisis biomedis (asuh), emosi/kasih sayang (asih), dan kebutuhan akan stimulasi mental (asah). Ketiga kebutuhan dasar tersebut saling berkaitan.

24

Ibu, Pengganti Ibu

Ayah, adik, kakak, pengasuh, Mainan, norma, aturan stimulasi, Tetangga, teman

Kebijakan pemerintah, profesi, WH0, ekonomi, politik, sosbud

Kebutuhan fisis biomedis (Asuh) meliputi pangan, yaitu kebutuhan gizi, perawatan kesehatan dasar seperti pemberian ASI, imunisasi, penimbangan teratur dan periodik, sandang, papan, higiene dan sanitasi, kesegaran jasmani serta rekreasi. Emosi atau kasih sayang (Asih) merupakan ikatan yang erat, serasi dan selaras antara ibu dan anaknya. Hal ini mutlak diperlukan pada tahun-tahun pertama kehidupan anak untuk menjamin mantapnya tumbuh kembang fisis, mental dan psikososial anak. Pemberian stimulasi (Asah) kepada anak merupakan proses pembelajaran, pendidikan, dan pelatihan kepada anak. Hal ini harus dilakukan sedini mungkin, dan sangat penting pada 4 tahun pertama kehidupan. Stimulasi mental dini mengembangkan perkembangan mental psikososial yaitu kecerdasan, budi luhur, moral dan etika, kepribadian, ketrampilan berbahasa, kemandirian, kreativitas, produktivitas, dan lainlain. Kebutuhan akan stimulasi mental dapat diberikan baik secara formal, informal maupun non formal.

Prinsip-prinsip Tumbuh Kembang Anak Para ahli menyebutkan pada proses tumbuh kembang anak terdapat beberapa prinsip. Prinsip-prinsip tersebut saling berkaitan dan merupakan prinsip dasar tumbuh kembang anak secara umum.  Adapun prinsip-prinsip tersebut adalah : 1. Perkembangan melibatkan perubahan. Pertumbuhan berkaitan dengan perubahan kuantitatif, peningkatan struktur dan ukuran. Perkembangan berkaitan dengan perubahan kualitatif dan kuantitatif.

25

2. Perkembangan tahap awal lebih kritis dibandingkan perkembangan selanjutnya. Tahun-tahun pertama merupakan saat kritis bagi perkembangan anakl. Erikson mengatakan bahwa masa kanak-kanak merupakan gambaran awal manusia sebagai seorang manusia. 3. Perkembangan merupakan hasil proses kematangan dan belajar. Kematangan merupakan proses intrinsik yang terjadi dengan sendirinya, sesuai dengan potensi yang ada pada individu. Belajar merupakan perkembangan yang berasal dari latihan dan usaha. Melalui belajar anak memperoleh kemampuan menggunakan sumber yang diwariskan. 4. Pola perkembangan dapat diramalkan. Penting diketahui bahwa terdapat persamaan pola perkembangan bagi semua anak. Perkembangan berlangsung dari tahapan umum ke tahapan spesifik, dan terjadi berkesinambungan. 5. Terdapat periode pola perkembangan. Perkembangan terbagi dalam beberapa periode, yaitu mulai pranatal, masa neonatus, masa bayi, masa kanak-kanak, dan masa remaja. Pada setiap tahapan perkembangan terdapat ciri-ciri yang membedakan tahapan perkembangan satu dengan lainnya. 6. Pada setiap periode perkembangan terdapat harapan sosial. Harapan sosial ini berbentuk tugas perkembangan yang memungkinkan orang tua dan guru mengetahui pada usia berapa anak mampu menguasai berbagai pola perilaku.

TAHAP-TAHAP TUMBUH KEMBANG ANAK Kurun waktu pertumbuhan dan perkembangan anak adalah 18 tahun 40 minggu, yaitu kurun waktu dari saat konsepsi sampai akhir masa remaja atau adolesen. Secara garis besar dibedakan 3 aspek tumbuh kembang anak yaitu tumbuh kembang fisis, intelektual, dan psikososial.

Pertumbuhan fisis Pertumbuhan fisis dapat dinilai melalui ukuran berat badan, panjang atau tinggi badan, lingkar kepala, dan lingkar lengan atas. Berat badan merupakan tanda pertumbuhan yang paling sering digunakan, karena mudah berubah dan mudah diukur. Berat badan mencerminkan kesehatan dan keadaan gizi anak saat itu. Berat badan sangat terpengaruh oleh keadaan sehat tidaknya seorang anak. Pertumbuhan fisis dapat dinilai baik dengan pemeriksaan klinis maupun dengan metode antropometri yang disebut status gizi. Pada masa pranatal pertumbuhan janin sangat dipengaruhi oleh asupan makanan ibu. Pertumbuhan cepat terjadi terutama pada trimester terakhir kehamilan ibu. Berat lahir sangat penting diketahui karena penggambaran secara sederhana pertumbuhan intra uterin. Berat lahir bayi cukup bulan berkisar antara 3000-3500 gram. Selanjutnya pada triwulan pertama penambahan berat badan berkisar antara 10001250 gram/bulan, triwulan kedua 500-600 gram/bulan, triwulan ketiga 350-450 gram/bulan, dan triwulan akhir 250-350 gam/bulan. Perlu dilakukan pengamatan secara berkala dan teratur sehingga diperoleh kurva berat badan yang mengikuti pertumbuhan normal sesuai usia dan jenis kelamin. Pada masa pra sekolah kenaikan berat badan rata-rata 2 kg/tahun. Pertumbuhan konstan mulai berakhir dan dimulai pacu tumbuh pra remaja dengan kenaikan berat badan 3-3,5 kg/tahun. Selanjutnya diikuti dengan pacu tumbuh adolesen. Pada anak perempuan mulai usia 8-10 ½ tahun sedangkan anak laki-laki usia 10-12 ½ tahun.

26

Panjang badan merupakan ukuran yang sangat terpercaya sebagai indikator  pertumbuhan. Pada pengukuran panjang badan sangat dipengaruhi oleh jenis kelamin, suku bangsa, dan sosial ekonomi. Tinggi badan merupakan indikator yang baik untuk gangguan pertumbuhan fisis yang sudah lewat (stunting). Tinggi badan pengukurannya lebih sukar dilakukan, dan pertambahannya relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan pertambahan berat badan . Panjang badan saat lahir berkisar antara 45 cm  – 55 cm, rata-rata 50 cm. Pada usia 1 tahun panjang badan sekitar 2 kali panjang lahir. Untuk usia di atas 1 tahun dapat dipergunakan rumus sebagai berikut : usia (tahun) x 6 + 77 cm. Lingkar kepala mencerminkan volume intrakranial, dan dapat dipakai untuk penilaian pertumbuhan otak. Pertumbuhan lingkar kepala yang paling pesat adalah pada 6 bulan pertama kehidupan. Oleh karena itu manfaat pengukuran terbatas pada 6 bulan pertama sampai usia 3 tahun. Kurva L.K. Nellhaus dapat dipergunakan sebagai acuan pengukuran lingkar kepala. Dari penelitian-penelitian neurofisiologi penglihatan diketahui bahwa perkembangan penglihatan sangat pesat terjadi dalam 6 bulan pertama sesudah bayi lahir, dan masih terus berkembang sampai sempurna pada usia 8-10 tahun. Fiksasi monokular sudah ada sejak bayi lahir dan berkembang sempurna usia 6  – 9 minggu. Pada usia 2-3 bulan bayi sudah dapat mengikuti dengan baik benda-benda yang digerakkan di depannya. Pendengaran merupakan salah satu panca indera manusia. Segera setelah lahir  memperlihatkan refleks moro atau refleks kejut bila mendengar bunyi dengan intensitas tinggi. Usia 4 bulan bayi bereaksi dengan senyuman. Pada usia 4-6 bulan bayi mulai memutar kepala ke arah sumber bunyi. Usia 10-12 bulan bayi sudah dapat melokalisir  bunyi dari segala arah, verbalisasi mulai berkembang untuk satu kata seperti ma-ma, pa-pa.

Perkembangan Motorik Kasar dan Motorik Halus  Ketrampilan motorik atau gerak pada anak dibagi dalam 2 katagori, yaitu ketrampilan tangan dan ketrampilan kaki. Perkembangan motorik kasar adalah ketrampilan anak untuk menggunakan otot-otot besar dari anak tersebut. Secara garis besar rata-rata usia pencapaian kemampuan motorik kasar pada bayi dan anak adalah sebagai dalam tabel dibawah ini. Pencapaian kemampuan tersebut mempunyai variasi luas, setiap anak berbeda dalam pencapaian kemampuan tersebut. Masing-masing perkembangan mempunyai kurun waktu pencapaian atau milestones  perkembangan. (lihat Tabel 1) Perkembangan motorik halus mencakup kemampuan gerak tangan dan jari serta koordinasi antara penglihatan dan kemampuan gerakan tangan dan jari. Contohnya seperti menjimpit, menggenggam atau menggambar. Kemampuan pemecahan masalah visual-motorik halus merupakan indikator yang baru dari intelegensi di kemudian hari. Kemampuan ini dipengaruhi oleh matangnya fungsi motorik berupa postur dan koordinasi saraf otot yang baik, fungsi penglihatan yang akurat, dan kecerdasan. (lihat Tabel 2)

27

Tabel 1. Tahapan perkembangan motorik kasar Jenis perkembangan Tengkurap Terlentang dari tengkurap Duduk ditopang Duduk tanpa ditopang Merayap Duduk sendiri Merangkak Rambatan Berjalan Berjalan mundur  Berlari Berjalan naik tangga Melompat

Umur  4 bulan 5 bulan 5 bulan 6 bulan 7 bulan 8 bulan 8 bulan 9 bulan 12 bulan 14 bulan 16 bulan 20 bulan 27 bulan

Tabel 2. Tahapan perkembangan motorik halus Umur  VISUAL - fiksasi pandangan - mengikuti benda melalui garis tengah - mengetahui adanya benda kecil

lahir  2 bulan 5 bulan

MOTORIK HALUS - telapak tangan terbuka - menyatukan kedua tangan - memindahkan benda antara ke dua tangan - meraih unilateral - pincer grasp imatur - pincer grasp matur dengan jari - melepaskan kubus di bawah gelas

3 bulan 4 bulan 5 bulan 6 bulan 9 bulan 11 bulan 12 bulan

MENGGAMBAR - mencoret - meniru membuat garis - membuat garis spontan - membuat garis horizontal & vertikal - meniru membuat lingkaran - membuat lingkaran spontan tanpa melihat contoh

12 bulan 15 bulan 18 bulan 25-27 bulan 30 bulan 3 tahun

PEMECAHAN MASALAH - memeriksa benda - melemparkan benda - membuka penutup mainan - meletakkan kubus di bawah gelas

7-8 bulan 9 bulan 10 bulan 11 bulan

MELAKSANAKAN TUGAS - memasukkan biji ke dalam botol - melepaskan biji dengan meniru - melepaskan biji spontan

12 bulan 14 bulan 16 bulan

28

MENYUSUN KUBUS (SISI KUBUS 2,5 cm) - menyusun 2 kubus - menyusun 3 kubus - kereta api dengan 4 kubus - kereta api dengan cerobong asap - jembatan dari 3 kubus - pintu gerbang dari 5 kubus - tangga dan dinding dari beberapa kubus tanpa melihat contoh

15 bulan 16 bulan 2 tahun 2 ½ tahun 3 tahun 4 tahun 6 tahun

MAKAN - makan biskuit yang dipegang - minum dari gelas sendiri/menggunakan sendok

9 bulan 12 bulan

BERPAKAIAN - membuka baju sendiri - memakai baju - membuka kancing - memasang kancing - mengikat tali sepatu

24 bulan 36 bulan 36 bulan 48 bulan 60 bulan

Perkembangan Bahasa  Fungsi berbahasa merupakan proses paling kompleks di antara fase perkembangan. Perkembangan kemampuan berbahasa memerlukan fungsi reseptif (pengertian) dan ekspresif (reaksi). Bahasa reseptif adalah kemampuan anak untuk mengenal dan bereaksi terhadap seseorang atau kejadian lingkungan. Bahasa ekspresif adalah kemampuan anak mengutarakan pikirannya. Tabel 3. Perkembangan fungsi berbahasa Kemampuan berbahasa Reaksi terhadap suara Senyum sosial Mengeluarkan suara agguu-aguu Menggumam Mengucapkan dadada, dada Kata pertama yang benar  Kata kedua yang benar  Kata baru 4-6 kata Menguasai 7 – 20 kata Menguasai 50 kata, kalimat pertama (2 kata) Kalimat terdiri dari 3 kata Perbendaharaan sampai 14.000 kata, menyebut 3 kata sifat, kegunaan benda, bicara sebagian / seluruhnya dimengerti, menyebut 4 warna, menyebut jenis kegiatan Pengertian akan bahasa lebih kompleks, ucapan dan nada sudah lebih jelas dan bulat

Usia 0,5 bulan 5 minggu 2 bulan 6 bulan 8 bulan 11 bulan 12 bulan 12-15 vulan 16-17 bulan 18 –30 bulan 2 – 3 tahun 3 – 5 tahun

6 tahun

29

Perkembangan Psikososial, kognitif dan moral  Perkambangan psikososial adalah proses perkembangan mental emosional seseorang dalam usahanya menyesuaikan diri dengan lingkungan dan pengalamanpengalamannya. Sedangkan perkembangan kognitif meliputi pengembangan proses pikir dan kemampuan intelektual / inteligentif lainnya. Perkembangan moral meliputi proses belajar menyesuaikan dengan norma perilaku yang diterima lingkungan masyarakat / budaya di mana seseorang itu hidup. Tabel 4. Tahap perkembangan emosi anak Usia 0  – 2 tahun 0 – > 2 bulan

Kemampuan emosional

Perilaku emosional

Cinta kasih di timbulkan oleh sentuhan Rasa takut ditimbulkan oleh suara keras Kemarahan ditimbulkan oleh retriksi tubuh

Senyum sosial & dapat me-nunjukkan reaksi gembira Berespons terhadap emosi orang lain Semua warna emosi sudah ada

3 - > 4 bulan

Jaras-jaras otak untuk emosi mulai terbentuk Regulasi diri untuk emosi mulai muncul

Dapat tertawa dan senyum yang lebih terkontrol, dapat menunjukkan reaksi marah

7 – 12 bulan

Regulasi diri untuk emosi mulai tumbuh Peningkatan intensitas dari 3 jenis emosi; rasa malu, bangga, dan iri hati Dapat menggantikan posisi anak lain

Dapat meningkatkan respon yang lebih baik Menolak untuk beradaptasi dengan stress Mulai menunjukkan empati, mengekspresikan perasaannya Suka mencari perhatian dan minta persetujuan, senang main sendiri atau dengan sedikit teman

1 – 2 tahun

Masa kanak awal 2  – 5 tahun

3  – 6 tahun

7-11 tahun

Dapat mengerti penyebab dari berbagai Empati meningkat sejalan dengan respon emosi pengertiannya dengan sekeliling Mulai dapat mencari cara untuk mengatur  Lebih banyak berespon dan sedikit emosinya & mengekspresi-kannya reaksi; pengaturan diri lebih baik Beridentifikasi dengan orang dewasa  Agresifitas mulai berkurang dan untuk dapat beradaptasi digantikan oleh sikap kompetisi Setelah mencapai usia 5 tahun, anak mampu menunjukkan sensitifitas terhadap kritik dan lebih memperdulikan perasaan terhadap orang lain.  Anak mampu bereaksi terhadap Empai berkembang menjadi lebih perasaan orang lain, anak lebih „aware‟ altruism terhadap perasaan orang lain Dominasi superego lebih terarah

30

Tabel 5. Tahap perkembangan sosial anak Usia Masa 0-2 thn  0 – 6 minggu 6 mgg – 8 bln

Perilaku sosial Bayi mengenali pengasuhnya melalui organ penciuman dan pendengarannya Bayi dapat membedakan pengasuhnya atau bukan

5 bln – 1 thn

Bayi dapat membedakan anatara dirinya dan pengasuhnya/di luar dirinya

8 bln – 2 thn

Bayi mulai menunjukkan cemas perpisahan

18 bln - 2 thn

 Anak kembali lengket dengan orang tuanya, sudah terbentuk kelekatan yang mantap dengan objek tertentu

0 – 1 tahun

Bayi mampu mengembangkan rasa percaya terhadap sekelilingnya berdasarkan sikap dan perilaku pengasuhnya

Masa 2-5 thn > 2 tahun

 Anak mampu berpisah dengan pengasuhnya jika diberikan alasan yang jelas

1 – 3 thn

 Anak mulai mengembangkan rasa otonominya jika ia dibiarkan melakukan sesuatu tanpa paksaan dan bantuan dari pengasuhnya

3- 6 thn

 Anak mulai dapat berasumsi bahwa teman-temannya dapat merasakan apa yang ia rasakan Perasaan anak tentang perlunya sesuatu mulai berkembang  Anak mulai membanding-bandingkan antara dirinya dengan teman-temannya

4 – 9 thn

 Anak mulai dapat mengerti tentang berbagai sudut pandang dari satu hal yang sama  Anak mampu mengerti bahwa setiap orang mempunyai kebiasaan dan kesukaan yang berbeda-beda

6-11 thn

Konpetensi anak telah berkembang dengan baik Dapat terjadi penurunan harga diri oleh karena pengaruh lingkungan sosial

7-12 thn

Mampu mengerti titik pandang orang lain Mampu menggunakan orang lain di luar orang tua sebagai model kehidupan

Remaja 11-19 thn

Mampu mengerti sudut pandang orang ke tiga Mampu mengerti keinginan peer grup Mempunyai identitas diri yang lebih konsisten Mengerti nilai-nilai dan cita-cita Mampu mengerti berbagai sistim nilai yang mempengaruhi masyarakat

31

Tabel 6. Tahap perkembangan kognitif anak Usia Masa dalam kandungan Masa bayi – 2 tahun Lahir  – 1 bulan

Kemampuan kognitif Janin mampu „belajar‟ mengenali suara dan memberikan respons yang berbeda setelah ia lahir  Bayi „berpikir‟ melalui mata, telinga dan perasaanya Bayi baru lahir mampu belajar membedakan antara belaian dengan isapan

1 – 4 bulan

Bayi mampu belajar menghisap untuk menghasilkan suara-suara tertentu

4 – 8 bulan

Dapat mengingat hal-hal yang terjadi dalam kurun 1 bulan yang lalu Dapat bermain dengan orang tuanya dalam mencari objek yang disembunyikan

8 – 12 bulan

Daya ingat bertambah kuat

12 – 18 bulan

Bagian tubuhnya dapat digunakan sebagai mainannya Dapat menumpuk satu benda di atas benda lainnya Dapat mengingat objek yang disembunyikan Membuang/melempar objek dengan tangannya

18 bulan – 2 tahun

Mengenali berbagai jenis suara binatang, nama-nama objek Mengetahui nama-nama bagian tubuhnya dan gambar-ganbar yang sudah dikenalinya Dapat mengenali beberapa penyebab yang tidak tampak

Masa kanak awal 2 – 5 tahun

Mulai mampu mempelajari dan mengerti akan berbagai simbul dalam kehidupan sehari-hari

2 – 7 tahun

Mulai terjadi perkembangan berbahasa dan permaian „ make believe‟ Logika belum berjalan ;  Anak berusia 3 tahun mampu menghitung 2-3 objek, dapat mengenali warna dan usia  Anak berusia 4 tahun dapat berfantasi dengan tanpa adanya benda atau alat bantu lain yang nyata  Anak berusia 5 – 6 tahun mampu membuat humor, mengerti akan konsep baik dan buruk, dapat mengerjakan beberapa tugas tertentu

6-11 tahun

Mempunyai daya ingat yang cukup baik  Anak mulai berpikir secara logika  Anak mulai mengerti komunikasi interaktif   Anak mampu mengelompok berbagai jenis barang sesuai dengan kelompoknya masing-masing  Anak tampak mulai terprganisasi dan berpikir rational

>11 tahun

Pola pikir abstrak sudah mulai berkembang  Anak mulai mengerti konsep sebab akibat  Anak mampu berpikir akan berbagai kemungkinan akan satu hal tertentu

32

Tabel 7. Tahap perkembangan moral pada anak

-

Usia 4 tahun

Kemampuan moral yang dikuasai  Anak pertama kali mampu membuat observasi dari perilaku orang dan lingkungan di sekitarnya  Anak mampu menunda pemuasan dari keinginan dalam dirinya

4 – 7 tahun

Terdapat perkembangan kontrol diri  Anak mampu menghubungkan antara perilaku dengan moral yang berlaku, ideide dalam dirinya bertambah tajam dan mulai berbentuk Sudah ada perkembangan perasaan rasa bersalah dalam diri anak

7-11 tahun

 Anak mempunyai kontrol diri yang lebih baik  Anak mengerti akan berbagai motif   Anak mampu bermpati

Usia remaja

Prinsip-prinsip moral lebih berkembang Konsep abstrak moral telah berkembang  Altruism Mampu mengerti hak-hak individu lainnya Mengerti konsep-konsep hukum

Tumbuh Kembang usia sekolah  Pada awal masa sekolah merupakan masa pertumbuhan fisis yang relatif mantap, yang berakhir dengan suatu percepatan tumbuh sekitar usia 10 tahun untuk anak perempuan dan 12 tahun untuk anak laki-laki. Penambahan berat badan sekitar 2,5 kg pertahun dan untuk tinggi badan sekitar 5 cm pertahun. Pada usia ini gigi tetap pertama yaitu geraham pertama tumbuh pada usia sekitar 7 tahun. Pergantian gigi susu ke gigi tetap berlangsung dengan kecepatan kira-kira 4 gigi / tahun selama 5 tahun berikutnya. Perkembangan motorik kasar seperti berlari, dan naik tangga akan lebih ditujukan ke arah suatu kegiatan dan permainan yang memerlukan gerakan otot secara khusus. Pada masa sekolah terjadi pergeseran peri kehidupan anak dari lingkungan rumah ke lingkungan sekolah. Anak mulai merasakan kehidupan mandiri dan akan terbentuk watak anak karena pengaruh lingkungannya. Anak diharapkan mulai timbul rasa percaya diri dan tanggung jawab terhadap tugas yang akan dilaksanakan secara tuntas.

Tumbuh kembang masa remaja Masa remaja (10  – 18 tahun) Masa remaja ditandai oleh adanya kematangan fungsi seksual dan tercapainya bentuk tubuh dewasa yang terjadi karena pematangan fungsi endokrin. Pada masa ini terjadi pula pacu tumbuh, yaitu pertumbuhan terus berlangsung sampai epifise menutup dan pertumbuhan tinggi berhenti. Pada anak perempuan tanda pubertas petama pada umumnya adalah pertumbuhan payudara stadium 2 atau “breast bud”  yaitu terdiri dari penonjolan puting disertai pembesaran areola mamae pada usia 8-12 tahun. Menstruasi pertama (menarche ) terjadi pada tahap selanjutnya dan sangat bervariasi umur berapa masingmasing individu mengalaminya, rata-rata usia 10,5  – 15,5 tahun. Hubungan antara menarche dengan pacu tumbuh sangat erat, haid pertama ini pada setiap anak perempuan terjadi bila kecepatan pertumbuhan tinggi badan mulai menurun. Pada anak laki-laki pubertas ditandai pula dengan keluarnya air mani pertama. Masa pubertas

33

muncul dan berkembang dalam rentang usia kronologis yang lebar dan berbeda menurut jenis kelaminnya. Gambaran perkembangan remaja memperlihatkan hubungan yang lebih erat dengan tingkat perkembangan pubertas atau tingkat maturitas kelamin (TMK, sex  maturity rating ). Yang paling sering dipergunakan untuk menandai TMK adalah skema Tanner. Tingkat TMK 1 dan 2 merupakan masa remaja awal, TMK 3 dan 4 masa remaja menengah, dan TMK 5 adalah masa remaja lanjut dan maturitas seksual penuh (tabel 8 dan 9) Tabel 8. Klasifikasi tingkat maturitas kelamin anak perempuan TMK 1 2 3. 4. 5.

Rambut pubis

Buah dada

Pra remaja Jarang,berpigmen

Pra remaja sedikit ,lurus, atas Menonjol seperti bukit kecil,areola melebar  Payudara dan areola membesar, tak ada medial labia kontur pemisah Lebih hitam, mulai ikal, jumlah  Areola dan papila membentuk bukit kedua bertambah Matang, papila menonjol, areola sebagai Kasar, keriting, banyak tapi belum bagian dari kontur buah dada sebanyak dewasa Bentuk segitiga seperti pada perempuan dewasa, tersebar sampai pada medial paha

Tabel 9. Klasifikasi tingkat maturitas kelamin anak lelaki TMK 1 2 3 4

Rambut pubis Tidak ada Sedikit, panjang, pigmen sedikit Sedikit, lebih gelap, mulai ikal Seperti tipe dewasa tetapi lebih sedikit, kasar, keriting Seperti dewasa, menyebar  sampai medial paha

Penis Pra remaja Sedikit membesar  Lebih panjang

Testis Pra remaja Skrotum membesar, warna merah muda Lebih besar 

Lebih besar, ukuran glans dan lebar penis bertambah Ukuran dewasa

Lebih besar, skrotum lebih gelap Ukuran dewasa

Masa remaja awal (TMK 2) pada anak perempuan biasanya mempunyai awal tumbuh antara usia 10  – 13 tahun, berlangsung selama 6 bulan sampai 1 tahun. Pada anak lelaki awal tumbuh tersebut terjadi antara usia 10,5  – 15 tahun dan berlangsung selama 6 bulan sampai 2 tahun. Masa remaja menengah anak perempuan timbul pada usia 11 – 14 tahun yang berlangsung rata-rata 2-3 tahun. Pada anak lelaki masa remaja menengah mulai usia 12  – 15,5 tahun dan berlangsung antara 6 bulan sampai 3 tahun. Sedangkan masa remaja akhir atau lanjut anak perempuan rata-rata tercapai pada usia antara 13 – 17 tahun, dan anak lelaki antara usia 14  – 16 tahun. Tahapan tumbuh kembang remaja dibagi menjadi 3 tahapan yaitu remaja awal (usia 10-13 tahun), remaja pertengahan (usia 14-16 tahun) dan remaja lanjut (usia 17-20 tahun). Perbedaan aspek tumbuh kembang masing-masing tahap dapat dilihat pada tabel 10.

34

Tabel 10. Perbedaan tahapan tumbuh-kembang masa remaja Variabel Usia Maturitas seks Somatik

Seksual Kognitif dan moral

Keluarga

Teman sebaya

Remaja awal Remaja menengah 10-13 14-16 1-2 3-5 karakteristik seksual percepatan tinggi sekunder, percepatan badan, bentuk tubuh, tumbuh  jerawat, bau badan, haid pertama, mimpi basah eksperimen tertarik masalah seksual banyak bertanya, operasional konkrit, berpihak pada diri moral konvensional sendiri, berusaha untuk ambivalen mendapat otonomi

teman sesama jenis kelamin

teman sebaya lebih dipentingkan

Remaja lanjut 17-20 5 pertumbuhan melambat

konsolidasi identitas seksual idealisme & absolut

lebih bebas, keluarga memberikan rasa aman lebih intim, lebih komitment

35

36

BAB III FAKTOR RISIKO DAN DAMPAK CHILD ABUSE AND NEGLECT

FAKTOR RISIKO CAN Faktor risiko (ISPCAN akhir-akhir ini menggunakan istilah indikator risiko) adalah faktorfaktor yang dapat berkontribusi untuk terjadinya suatu masalah atau kejadian. Variabel dalam faktor risiko secara signifikan/bermakna mempunyai asosiasi dengan hasil akhir  yang buruk. Sedangkan dampak adalah hasil akhir dari suatu proses atau masalah. Dampak dapat dibagi menjadi dampak langsung atau dampak tidak langsung; dampak saat ini (akut) dan dampak jangka panjang (kronik) Faktor-faktor risiko terhadap kejadian child abuse  dapat ditinjau dari 3 aspek, yaitu faktor  masyarakat atau sosial, faktor orang tua atau situasi keluarga dan faktor anak. Faktorfaktor risiko tersebut adalah:

1. Faktor masyarakat / sosial Tingkat kriminalitas yang tinggi Layanan sosial yang rendah Kemiskinan yang tinggi Tingkat pengangguran yang tinggi  Adat istiadat mengenai pola asuh anak Pengaruh pergeseran budaya Stres para pengasuh anak Budaya memberikan hukuman badan kepada anak Pengaruh media massa 2.

Faktor orangtua atau situasi keluarga Riwayat orang tua dengan kekerasan fisik atau seksual pada masa kecil Orangtua atau orang dewasa yang pernah mengalami penganiayaan di masa kecilnya dapat beranggapan bahwa tindakan tersebut wajar  dilakukan terhadap anak. Orang tua remaja Imaturitas emosi Kurangnya kemampuan merawat anak Kepercayaan diri yang rendah Dukungan sosial rendah Keterasingan dari masyarakat Kemiskinan Kepadatan hunian (rumah tempat tinggal) Masalah interaksi dengan lingkungan Kekerasan dalam rumah tangga

37

Riwayat depresi dan masalah kesehatan mental lainnya (ansietas, skizoprenia, dll) Mempunyai banyak anak balita Kehamilan yang tidak diinginkan Riwayat penggunaan zat atau obat-obatan terlarang (NAPZA) atau alkohol Orangtua yang kecanduan narkotik/zat adiktif lainnya, serta yang menderita gangguan mental seringkali tidak dapat berfikir dan bertindak wajar dalam banyak hal, termasuk masalah mengasuh dan mendidik anak. Mereka cenderung melakukan tindak kekerasan atau menelantarkan anak Kurangnya dukungan sosial bagi keluarga Diketahui adanya riwayat child abuse dalam keluarga Kurangnya persipan menghadapi stress saat kelahiran anak Kehamilannya disangkal Orangtua tunggal Riwayat bunuh diri pada orangtua / keluarga Pola asuh dan mendidik anak Orang tua yang tidak mengetahui cara yang baik dan benar dalam mengasuh dan mendidik anak, akan cenderung memperlakukan anak secara salah Nilai – nilai hidup yang dianut orangtua Harapan orangtua yang terlampau tinggi tanpa mengetahui batas kemampuan anak adalah hak milik, pandangan bahwa anak merupakan aset ekonomi bagi orangtua Kurangnya pengertian mengenai perkembangan anak Kurangnya pengetahuan mengenai perkembangan anak, menyebabkan orangtua tidak mengerti akan kebutuhan dan kemampuan anak sesuai umurnya, sehingga memperlakukan anak secara salah

3.

Faktor anak Prematuritas Berat badan lahir rendah Cacat  Anak dengan masalah perilaku / emosi

38

Faktor-faktor risiko CAN

Faktor Sosiokultural 1. Nilai/ norma yang ada di masyarakat 2. hubungan antar manusia 3. Kemajuan zaman: pendidikan, hiburan, olahraga, kesehatan,

Stress berasal dari anak 1. Fisik berbeda (mis: cacat) 2. Mental berbeda (mis: retardasi) 3. Temperamen berbeda (mis: sukar) 4. Tingkah laku berbeda (mis: rehiperaktif)

Stress keluarga

Stress berasal dari orangtua

1. Kemiskinan, pengangguran, mobilitas isolasi, perumahan tidak memadai 2. Hubungan orangtuaanak, stress perinatal, anak yang tidak diharapkan, prematuritas, dll

1. Rendah diri 2. Waktu kecil mendapat perlakuan salah 3. Depresi 4. Harapan pada anak yang tidak realistis 5. Kelainan karakter/ gangguan jiwa 6. dll

Situasi pencetus -

Disiplin Konflik keluarga/ pertengkaran Masalah lingkungan yang

Sikap/ perbuatan keliru -

penganiayaan ketidakmampuan merawat peracunan

39

DAMPAK CAN PADA TUMBUH KEMBANG ANAK  Anak anak tumbuh dan berkembang dengan baik bila mereka menerima segala kebutuhannya dengan optimal. Jika salah satu kebutuhan baik Asuh, Asih maupun Asah tidak terpenuhi maka akan terjadi kepincangan dalam tumbuh kembang mereka. Dampak yang terjadi dapat secara langsung maupun tidak langsung atau dampak  jangka pendek dan dampak jangka panjang. Pertumbuhan dan perkembangan anak yang mengalami child abuse, pada umumnya lebih lambat dari anak yang normal, yaitu : 1. Dampak langsung terhadap kejadian child abuse 5 % mengalami kematian, 25 % mengalami komplikasi serius seperti patah tulang, luka bakar, cacat menetap dll. 2. Terjadi kerusakan menetap pada susunan saraf yang dapat mengakibatkan retardasi mental, masalah belajar / kesulitan belajar, buta, tuli, masalah dalam perkembangan motor / pergerakan kasar dan halus, kejadian kejang, ataksia, ataupun hidrosefalus 3. Pertumbuhan fisik anak pada umumnya kurang dari anak-anak sebayanya. Penelitan oleh Oates dkk tahun 1984 mengatakan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna dalam tinggi badan dan berat badan dengan anak yang normal 4. Perkembangan kejiwaan juga mengalami gangguan, yaitu : Dampak lain yang dapat ditemui pada kasus child abuse dan neglect : Kecerdasan  Berbagai penelitan melaporkan terdapat keterlambatan dalam perkembangan kognitif, bahasa, membaca dan motor  Retardasi mental dapat diakibatkan trauma langsung pada kepala, juga karena malnutrisi Dari lingkungan anak kurang mendapat stimulasi adekuat karena gangguan emosi Emosi Masalah yang sering dijumpai adalah gangguan emosi, kesulitan belajar / sekolah, kesulitan dalam mengadakan hubungan dengan teman, kehilangan kepercayaan diri, phobia dan cemas Terjadi pseudomaturitas emosi. Beberapa anak menjadi agresif atau bermusuhan dengan orang dewasa, atau menarik diri / menjauhi pergaulan. Anak suka mengompol, hiperaktif, perilaku aneh, kesulitan belajar, gagal sekolah, sulit tidur, temper tantrum. 

Konsep diri  Anak yang mendapat kejadian child abuse merasa dirinya jelek, tidak dicintai, tidak dikehendaki, muram dan tidak bahagia, tidak mampu menyenangi aktifitas dan percobaan bunuh diri 

Agresif    Anak yang mendapat kejadian child abuse lebih agresif terhadap teman sebaya. Sering tindakan agresif tersebut meniru tindakan orangtua mereka atau mengalihkan perasaan agresif kepada teman sebayanya sebagai hasil kurangnya konsep diri Hubungan sosial Pada anak-anak tersebut kurang dapat bergaul dengan teman sebayanya atau dengan orang dewasa, misalnya melempari batu atau perbuatan kriminal lainnya. 

40

3. Akibat dari seksual abuse  Tanda akibat trauma atau infeksi lokal, seperti nyeri perineal, sekret vagina, nyeri dan perdarahan anus  Tanda gangguan emosi, misalnya konsentrasi kurang, enuresis, enkopresis, anoreksia dan perubahan tingkah laku, kurang percaya diri, sering menyakiti diri sendiri dan sering mencoba bunuh diri.  Tingkah laku atau pengetahuan seksual anak yang tidak sesuai dengan umurnya. Dampak tidak langsung masalah child abuse dan neglect dan reaksi yang ditimbulkan berdasarkan pembagian usia adalah sebagai berikut :

Beberapa problem perilaku dan emosi yang mungkin terjadi sebagai dampak kekerasan pada anak 1. Reaksi pada anak yang sangat kecil (2-5 tahun) Setelah mengalami suatu kejadian yang menimbulkan stress, anak-anak balita menjadi sangat takut terhadap hal-hal nyata di lingkungannya dan/atau terhadap halhal yang idbayangkannya. Anak-anak biasanya akan memberikan reaksi yang berlebihan terhadap semua hal yang secara langsung atau tidak langsung mengingatkan mereka pada pengalaman yang menimbulkan stress tersebut. Anakanak yang mengalami kekerasan seksual mungkin menunjukkan ketakutan yang berlebihan terhadap orang yang berjenis kelamin sama dengan orang yang melakukan kegiatan seksual tersebut. Anak-anak balita dapat pula menjadi takut terhaap hal-hal yang tidak nyata, seperti „nenek sihir‟ yang mendatangi mer eka di malam hari atau „orang jahat‟ yang akan mencelakakan mereka. Perilaku dan reaksi emosi yang harus di amati: a. Cemas perpisahan, anak-anak balita bereaksi terhadap stress dengan menempel terus pada orang tuanya karena takut berpisah. Mereka menempel terus pada orang tuanya karena takut, takut tidur sendirian dan „mengamuk‟ bila ditinggalkan b. Perilaku regresif, kembali ke tahap perkembangan yang lebih awal, seperti kembali ke „benda pengganti ibu‟( transactional object ), misalnya mengisap  jempol, bantal kesayangan, dan lain lain. Kadang-kadang perilaku regresif ini  juga dapat terlihat dengan adanya kemunduran dalam kemampuan berbicara, kondisi ini merupakan tanda adanya penderitaan anak-anak seumur ini. c. Kehilangan kemampuan lain yang baru dicapainya, misalnya jadi mengompol lagi atau tak dapat menahan buang air besar. Semua ini merupakan gejala khas kelompok usia ini. d. Mimpi buruk dan mengigau. Kelompok anak balita ini biasanya sering mengalami mimpi buruk dan mengigau karena mereka tidak mampu memahami peristiwa yang sangat menekan 2. Reaksi pada anak usia 6-12 tahun  Anak-anak berusia 6-12 tahun lebih mampu menggunakan kemampuan berpikir, perasaan dan tingkah lakunya ketika bereaksi terhadap kejadian yang menimbulkan stress. Mereka mampu mengingat kejadian dengan benar dan dapat memahami makna peristiwa yang telah menimpa mereka. Sehubungan dengan alam pikir, anak-anak sering berkhayal untuk menghadapi kejadian yang menimbulkan stress. Mereka akan berkhayal bahwa mereka mampu menghadapi kejadian buruk, misalnya mereka mampu menghadapi si pelaku 41

kekerasan dengan kekuatan yang tersembunyi dalam dirinya, mereka merasa mampu menipu si pelaku kekerasan seksual dengan mudah, dan lain-lain. Adanya kemampuan ini membuat anak dapat melawan rasa tidak berdayanya. Namun cara berpikir seperti ini membuat anak-anak lebih mudah timbul perasaan berdosa dan mennyalahkan diri sendiri. Hal ini terjadi karena pada saat anak membayangkan dirinya dapat mencegah terjadinya peristiwa yang mengerikan, mereka juga meyalahkan diri mereka karena tidak melakukan hal tersebut. Setelah melewati pengalaman yang sangat mencekam, anak-anak menjadi ketakutan terhadap lingkungan sekitarnya dan terhadap orang lain. Sebagai contoh, setelah mengalami perkosaan, anak merasa bahwa harga dirinya telah diinjak-injak dan keamanannya terancam, mereka menjadi sangat lemah dan terus menerus berpikir bahwa hal-hal buruk akan terjadi kembali pada mereka. Pemahaman anak akan keadilan, moral dan ketulusan dapat mengalami perubahan oleh karena kenyataan yang ada di sekitarnya yang dipenuhi oleh kekerasan baik di dalam rumah atau di lingkungan sekitarnya.

Perilaku dan reaksi emosi yang harus diamati: a. Kesulitan belajar, sulit konsentrasi dan kegelisahan. Anak-anak seusia ini akan menjadi gelisah, sulit konsentrasi dan akhirnya akan menimbulkan kesulitan belajar yang berakibat penurunan dalam prestasi belajarnya. Turunnya kemampuan konsentrasi ini seringkali disebabkan oleh ingatan akan kejadian yang menyebabkan stress dan kesedihan. Mereka menjadi mudah terpecah perhatiannya, gelisah, tidak mampu memusatkan perhatiannya dan tidak mampu menyelesaikan tugas-tugasnya. b. Cemas pasca trauma. Kecemasan pada kelompok ini dapat dilihat melalui tingkah laku yang gugup, seperti menggoyang-goyangkan badan, gagap, atau menggigit kuku. Sebagai tambahan, pada usia ini anak juga sudah bisa menunjukkan keluhan-keluhan fisik yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, seperti pusing, sakit perut, atau masalah makan. c. Agresif, anak-anak sering menampakkan perubahan tingkah laku yang sangat  jauh berbeda dari tingkah lakunya yang dulu. Mereka bias berubah menjadi agresif dan rewel (banyak maunya), misalnya menjadi sangat kasar dan rebut saat bermain atau bertingkah semaunya sendiri dan nakal, berteriak dan menjerit-jerit. d. Depresi, anak tampak menarik diri, iritabel dan pasif, misalnya mereka menjadi sangat pendiam dan penurut, tidak pernah mengungkapkan perasaan, tidak mau bermain dengan teman-temannya serta mudah menjadi marah. Pergaulan anak dengan teman sebayanya menjadi terganggu dan menyebabkan anak terasing dari lingkungannya. e. Sulit tidur. f. Bertingkah laku seperti anak yang lebih kecil, misalnya sering mengompol di malam hari atau lengket dengan orang tuanya. 3. Reaksi pada anak usia 13-18 tahun Masa remaja adalah masa kehidupan dimana terjadi banyak perubahan dalam hal penampilan dan perasaan. Mereka juga sedang dalam masa memisahkan diri dari keluarga sebagai sumber rasa aman dan mulai membangun hubungan yang mandiri dengan dunia luar. Dibandingkan dengan anak-anak yang lebih muda, remaja sebenarnya lebih mudah terpengaruh oleh kejadian yang penuh stress. Hal ini karena mereka sudah memiliki kemampuan berpikir yang dewasa dan mampu

42

berlogika serta dapat memahami akibat jangka panjang dari konflik dan kekerasan yang dialami. Tidak seperti anak-anak, remaja pada umumnya tidak mengatasi stress dengan cara berimajinasi atau bermain. Mereka sudah lebih mampu menceritakan kejadian yang telah menimpa mereka, tetapi masih memerlukan bimbingan untuk dapat mengeluarkan perasaannya secara terbuka. Mereka sudah mampu memikirkan apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan untuk merubah peristiwa yang sudah terjadi, namun tetap ada rasa bersalah karena tidak berbuat sesuatu untuk mencegah sesuatu yang buruk tidak terjadi.

Perilaku dan reaksi emosi yang harus diamati: a. Merusak diri sendiri, remaja akan melakukan tindakan yang merusak diri sendiri sebagai cara mengatasi rasa marah dan depresi. Setelah kejadian yang menimbulkan stress, banyak remaja melakukan perbuatan yang berisiko tinggi seperti berontak terhadap oarng-orang yang punya wibawa, menyalahgunakan napza, bergabung dengan para pencuri dan menjarah. Remaja bisa memahami sejauh apa akibat kekerasan yang akan mempengaruhi kehidupan mereka. Mereka merasa diri mereka tidak kebal terhadap hal tersebut. Setelah kejadian yang menimbulkan stress, mereka bisa menjadi tertutup, menarik diri, curiga terhadap orang lain dan berpikir bahwa hal buruk akan menimpa mereka lagi. b. Keluhan fisik yang tidak jelas penyebabnya, kecemasan yang terus menerus serta kegugupan dan keluhan fisik yang tidak jelas penyebabnya juga cukup umum terjadi pada kelompok usia ini. Dampak jangka panjang dari kasus Child Abuse Korban atau kasus anak yang mengalami kejadian Child Abuse akan mengalami dampak, baik dampak jangka pendek ataupun dampak jangka panjang. Beberapa penelitian menemukan dampak jangka panjang yang dapat terjadi pada kasus Child  Abuse sebagai berikut : 1. Adanya distorsi kognitif, seperti merasa salah, malu, menyalahkan diri sendiri 2. Gangguan perasaan ( mood disturbance ), seperti ansietas atau depresi 3. kehilangan minat untuk bersekolah seperti sering melamun atau tidak memperhatikan pelajaran, menghindari sekolah atau membolos, tidak perduli terhadap hasil ulangan atau ujian 4. Stres pasca trauma seperti terus menerus memikirkan peristiwa traumatis yang dialaminya, merasa gelisah dan cemas menghadapi lingkungan yang agak berubah. 5. Masalah / problem diri sendiri (interpersonal), seperti melakukan isolasi terhadap diri sendiri, rasa dendam, takut terhadap sikap ramah / kehangatan / kemesraan dari orang lain 6. Perilaku membahayakan atau menyakiti diri sendiri, seperti percobaan bunuh diri, mutilasi / membuat cacat diri sendiri 7. perilaku regresif seperti mengompol, menempel atau melekatkan diri pada orang dewasa, menarik diri dari pergaulan, menjadi hiperaktif dan menunjukkan aktivitas berlebihan, menunjukkan perilaku tantrum contohnya mengamuk, menangis berlebihan atau berguling-guling. 8. Menggunakan narkotik dan zat adiktif lainnya 9. Gangguan personalitas 10. gangguan tidur dan mimpi buruk 11. Masalah psikosomatik seperti nyeri daerah pelvis

43

12. Problem / gangguan makan 13. Lebih lanjut korban dapat menjadi psikosis 14. Adanya gangguan personalitas multipel. 15. Dampak kecacatan pada fisik yang dapat mengganggu fungsi tubuh atau anggota tubuh tersebut 16. Anak yang mengalami abuse dapat menjadi abuser nantinya bila dewasa Dampak jangka panjang yang mungkin timbul pada kasus chil abuse tidak dapat ditentukan kapan waktu terjadinya, oleh sebab itu perlu dilakukan pemantauan jangka panjang terhadap anak yang mengalami child abuse. Hal ini bertujuan untuk deteksi dini terjadinya dampak baik fisik maupun psikososial.

Dampak masalah CAN terhadap keluarga      

Peran dalam keluarga dan tanggung jawab secara dramatis berubah Orangtua yang mengalami trauma seringkali kemampuannya untuk mendukung dan melindungi anak secara emosional berkurang Gangguan yang dialami orangtua (seperti tindak kekerasan) dapat menjadi trauma baru bagi anak Kesulitan keuangan dan konflik antar generasi memberi beban tambahan bagi semua anggota keluarga Anak diajari untuk tidak percaya siapapun Rasa bersalah yang berkaitan dengan tindakan meninggalkan keluarga mengganggu pemulihan emosional untuk semua anggota keluarga

Dampak masalah CAN terhadap masyarakat  

Produktivitas masyarakat menurun sehingga kesejahteraan masyarakat menurun Bertambahnya pengangguran sehingga mempengaruhi berbagai masalah sosial seperti pencurian, perampokan dll

44

BAB IV PEMERIKSAAN PEMERIKSAAN KASUS KEKERASAN FISIK Pendahuluan Perlakuan salah meliputi perbuatan ataupun penelantaran anak yang mengakibatkan morbiditas dan mortalitas. Perlakuan salah dapat bersifat fisik, emosional atau seksual. Definisi perlakuan salah ( child abuse ) bervariasi. Perlakuan salah fisik dapat didefinisikan sebagai trauma yang disengaja pada anak oleh pengasuh yang menimbulkan memar, laserasi, luka tusuk, luka bakar, fraktur dan kerusakan organ. Definisi yang lebih luas meliputi gangguan emosi yang pendek dan jangka panjang, yang dapat lebih berat daripada kelainan fisik. Namun definisi yang lebih sederhana adalah trauma pada anak yang disengaja. Penelantaran anak ( child neglect ) adalah tidak terpenuhinya kebutuhan dasar anak yang mungkin megakibatkan gangguan tumbuh kembang dan gangguan belajar. Kebutuhan dasar anak meliputi asuh, asih dan asah. Anamnesis Bila dijumpai satu atau lebih indikator pada anamnesis, dapat dipikirkan adanya child  abuse  pada anak. 1. Riwayat kecelakaan tidak cocok dengan jenis atau beratnya trauma. Misalnya distribusi atau jenis lesi tidak sesuai dengan riwayat kejadian yang diceritakan atau riwayat kejadian menyatakan trauma ringan tetapi dijumpai trauma yang berat. 2. Riwayat bagaimana kecelakaan terjadi tidak jelas atau pengasuh (orangtua) tidak tahu bagaiama terjadinya kecelakaan. 3. Riwayat kecelakaan berubah-ubah ketika diceritakan kepada petugas kesehatan yang berlainan. 4. Orangtua jika ditanya secara terpisah memberi keterangan yang saling bertentangan. 5. Riwayat yang tidak masuk akal. Anak dikatakan mengerjakan sesuatu yang tidak mugkin untuk tahap perkembangannya. Misalnya, anak dikatakan terjatuh ketika memanjat, padahal duduk pun belum bisa. Observasi 1. Adanya keterlambatan yang bermakna antara saat kecelakaan dan saat mencari pertolongan medis. 2. Orangtua mungkin tidak memperlihatkan kepedulian yang memadai sesuai dengan derajat berat trauma. 3. Interaksi pengasuh(orangtua)-anak yang patologis. Mungkin dijumpai terlihat pengharapan yang tidak realistis, keinginan yang tidak memadai atau perilaku marah yang impulsif yang diperlihatkan oleh pengasuh (orangtua). Pengasuh (orangtua) sering tidak sadar akan kebutuhan anak.

45

Pemeriksaan Fisik 1. Presentasi klinis perlakuan salah pada anak bervariasi dari memar ringan sampai dengan keadaan yang mengancam kehidupan. Perlakuan mungkin juga disertai tanda-tanda penelantaran. Temuan yang umum adalah memar, hematoma, abrasi. Lokasi stadium penyembuhan dan konfigurasi perlukaan ini khas. Perlakuan salah pada anak ditandai oleh adanya memar atau jejas lain di kulit pada daerah yang tidak lazim terkena kecelakaan seperti pipi, lengan atas, paha, pantat, dan genital. Sebaliknya, pada kecelakaan sering terjadi memar pada dahi, tibia anterior ataupun tonjolan tulang lainnya. Perlukaan multipel dengan berbagai tingkat penyembuhan dan tanda dengan konfigurasi sesuai jari tangan, tali atau kabel, kepala, ikat pinggang atau bahkan gigi orang dewasa dapat ditemukan pada kasus perlakuan salah pada anak. Laserasi ataupun abrasi dapat ditemukan pila pada mulut, atau orifisium lainnya. 2. Tamparan meninggalkan memar pada pipi dengan 2 atau 3 garis pararel didalamnya. 3. Usaha paksa mendiamkan anak yang menangis, atau memberi makan secara paksa dapat menimbulkan memar pada bibir atas maupun frenulum. 4. Tanda gigitan manusia berupa memar jelas, berbentuk bulan sabit yang berhadapan. 5. Jika benda tumpul digunakan untuk menghukum, memar sering menyerupai benda tersebut. Tanda loop  akibat kabel atau tali yang dilipat dua. Tanda pukulan ( lash ) terjadi setelah dipukul dengan ikat pinggang, ranting pohon, atau mistar yang keras 6. Tanda cekikan mungkin terlihat di leher atau terlihat tanda lingkaran dari tali yang mengelilingi tumit atau pergelangan kaki. 7. Alopesia traumatis mungkin terjadi ketika rambut putus dengan panjang yang bervariasi. Hematoma subgaleal mungkin terbentuk dibawahnya. 8. Petekie di wajah dan bahu dapat terjadi setelah muntah-muntah atau menangis yang hebat. 9. Sekitar 10% perlakuan salah secara fisik meliputi luka bakar. Luka bakar karena terkena benda padat panas mudah didiagnosis. Kelanan tersebut biasanya berupa luka bakar derajat II tanpa blister dan hanya meliputi satu sisi tubuh. Bentuk luka bakar biasanya khas menyerupai benda panas, seperti bila anak dikenai alat pemanas ataupun alat pemanas elektris. Luka bakar rokok menimbulkan lesi bulat, cekung dan berukuran sama yang dapat ditemukan di tangan dan kaki serta dapat dikacaukan dengan impetigo bulosa. Luka bakar karena air panas paling sering terjadi. Dunking burn  terjadi ketika orangtua menekan paha anak dan menaruh pantat serta perineum dalam air panas sebagai hukuman untuk enuresis. Hal ini menyebabkan luka bakar di seluruh pantat. Bila pencelupan terjadi lebih dalam, luka bakar meluas kearah paha dan pinggang dengan terlihat air yang lebih jelas. Tangan dan kaki tidak terkena. Hal ini tidak cocok dengan jatuh ke dalam bak air panas atau membuka kran air panas saat mandi dalam bak. Pencelupan paksa tangan dan kaki ke air panas dapat dicurigai bila luka bakar tidak terjadi diatas pergelangan tangan maupun kaki. Toksik epidermal nekrolisis dapat dikacaukan dengan luka bakar. 10. Hematoma subdural merupakan jenis perlakuan salah yang paling berbahaya, sering menyebabkan kematian atau gejala sisa serius. Lebih dari 95% trauma intrakranial serius yang terjadi dalam tahun pertama kehidupan adalah akibat perlakuan salah. Bayi sering datang dalam keadaan koma, kejang dan mengalami peningkatan tekanan intrakranial. Hematoma subdural mungkin akibat fraktur tengkorak sekunder  terhadap pukulan kepala yang langsung, tetapi lebih dari setengah kasus ini terjadi akibat trauma kocokan, whiplash  yang keras. Akselerasi dan deselerasi kepala dengan cepat, mengakibatkan robekan bridging cerebral  vein , selanjutnya terjadi

46

perdarahan ke ruang subdural yang biasanya terjadi bilateral. Perdarahan retina hampir selalu terjadi, dan mugkin terdapat tanda cengkeraman pada ekstremitas atas, bahu atau dada. 11. Trauma intraabdominal merupakan penyebab kedua tersering pada anak yang diperlakukan salah. Anak mengalami muntah berulang, distensi perut fleksibel, gaya pukulan atau diserap oleh organ interna dan kulit diatasnya bebas memar. Temuan tersering adalah ruptur hepar atau limpa. Robekan usus kecil yang berhubungan dengan lingkungan seperti duodenum dan jejunum proksimal lebih jarang terjadi.

Indikator Kemungkinan Terjadinya Kekerasan Fisik Pada Anak 1.

2.

3.

4.

5.

6.

Memar dan bilur a. Pada wajah, bibir/mulut, bagian tubuh lainnya seperti di punggung, bokong, paha, betis, dll. b. Terdapat baik memar/bilur yang baru maupun yang sudah mulai menyembuh. c. Corak-corak memar/bilur yang menunjukkan benda tertentu yang dipakai untuk kekerasan. Luka lecet dan luka robek a. Di mulut, bibir, mata, kuping, lengan, tangan, dsb. b. Di genitalia c. Luka akibat gigitan oleh manusia. d. Di bagian tubuh lain, terdapat baik luka yang baru atau yang berulang. Patah tulang a. Setiap patah tulang pada anak di bawah tiga tahun. b. Patah tulang baru dan lama (dalam penyembuhan) yang ditemukan bersamaan. c. Patah tulang ganda d. Patah tulang spiral pada tulang-tulang panjang lengan dan tungkai. e. Patah tulang pada kepala, rahang dan hidung serta patahnya gigi. Luka bakar a. Bekas sundutan rokok b. Luka bakar pada tangan, kaki, atau bokong akibat kontak bagian-bagian tubuh tersebut dengan benda panas. c. Bentuk luka yang khas sesuai dengan bentuk benda panas yang dipakai untuk menimbulkan luka tersebut. Cedera pada kepala a. Perdarahan (hematoma) subkutan dan atau subdural, yang dapat dilihat pada foto rontgen. b. Bercak/area kebotakan akibat tertariknya rambut. c. Terdapat baik yang baru atau berulang. Lain-lain a. Dislokasi/lepas sendi pada sendi bahu atau pinggul (kemungkinan akibat tarikan). b. Tanda-tanda luka yang berulang.

47

PEMERIKSAAN KASUS KEKERASAN SEKSUAL Sikap pemeriksa Dokter harus bersikap membantu korban dalam mengatasi perasaan tidak berdaya sebagai akibat kekerasan seksual yang dialaminya, jangan sampai korban menganggap pemeriksaan fisik yang dilakukan sebagai „lanjutan‟ kekerasan seksual yang dialaminya. Sebaiknya pemeriksaan dilakukan setelah korban tenang, dan disaksikan oleh keluarga, serta dibantu oleh tenaga paramedis yang memberi dukungan mental kepada korban. Informed consent  mengenai maksud, tujuan proses dan lama pemeriksaan perlu diberikan baik kepada anak maupun kepada orang tuanya serta minta korban dan orang tua/wali/keluarganya menandatangani informed consent  tersebut. Anamnesis Untuk kelengkapan rekam medik, tanyakan kembali identitas yang bersangkutan, terutama umur dan perkembangan seks, serta kegiatan seksualnya selama dua minggu terakhir (hubungan seksual terakhir sebelum kejadian, siklus haid, haid terakhir, dan apakah masih haid saat kejadian). Tanyakan pula waktu kejadian, lokasi kejadian, ada tidaknya kekerasan sebelum kejadian, segala bentuk kegiatan seksual yang terjadi, termasuk bagian-bagian tubuh yang terlibat, ada tidaknya penetrasi. Dokter harus menanyakan apa yang dilakukan korban setelah kejadian kekerasan seksual tersebut, apakah korban mengganti pakaian, buang air kecil, membersihkan bagian kelamin/dubur, mandi atau gosok gigi. Pemeriksaan fisik Selain pemeriksaan fisik lazimnya, khusus pada korban kekerasan seksual perlu dilakukan pemeriksaan lainnya seperti: a. Tanda-tanda perlawanan atau kekerasan, seperti; Gigitan, cakaran, ekimosis, hematome dan perhatikan kesesuaian tanda kekerasan dengan jalannya kejadian kekerasan. Kadang-kadang tanda ini tidak muncul dengan segera, tetapi muncul beberapa waktu kemudian. Lukiskan penampilan korban (rambut dan wajah), rapi atau kusut, keadaan emosional, tenang atau sedih/gelisah, dsb.  Adakah tanda-tanda bekas kehilangan kesadaran atau diberikan obat bius/tidur, apakah ada tanda bekas suntikan jarum suntik. Bila ada, ini merupakan indikasi untuk pemeriksaan darah dan urin. Lakukan pemeriksaan pertumbuhan gigi geligi dan seks sekunder untuk konfirmasi usia korban atau kepantasan dinikahkan sebagaimana diminta oleh undang-undang. Kuku jari tangan dipotong dan dimasukkan ke dalam amplop terpisah kana dan kiri, bubuhkan label identitas Dalam hal adanya riwayat persetubuhan dubur, pemeriksaan colok dubur dan proktoskopi perlu dipertimbangkan untuk melihat adanya luka baru dan gambaran rugae. Bila diduga ada persetubuhan oral, periksa adanya lecet, bintik perdarahan atau memar pada palatum, kemudian lakukan swab pada laring dan tonsil. Rambut pubis disisir; rambut lepas yang ditemukan ( mungkin milik tersangka pelaku) dimasukkan ke dalam amplop; cabut 3-5 lembar rambut pubis korban dan masukkan ke dalam amplop lain, bubuhkan label identitas.

48

Bila pada tubuh korban ditemukan adanya kerak (bercak), maka kerak tersebut dikerok dengan skapel dan masukkan ke dalam amplop, bubuhkan label identitas. Jika pada pakaian korban dicurigai adanya bercak air mani berupa bercak kaku, maka bila mungkin pakaian tersebut diminta dan dimasukkan ke dalam kantung. Beri pakaian pengganti. b. Pemeriksaan ginekologik pada korban anak perempuan Periksa adanya luka di daerah sekitar vulva, perineum dan saluran vagina; serta robekan selaput dara. Pada selaput dara, tentukan ada atau tidaknya robekan. Robekan juga ditentukan baru atau lama, lokasinya dan dilihat secara teliti sampai ke dasar atau tidak. Dalam hal tidak terdapat robekan, padahal diperoleh informasi terjadinya peneterasi, maka lakukan pemeriksaan besarnya lingkaran lubang dengan mencoba memasukkan satu jari kelingking. Bila kelingking dapat masuk tanpa hambatan dan nyeri lakukan uji dengan satu jari telunjuk (pada anak, diameter  horizontal hymen sama atau lebih dari 10 mm, menunjukkan telah terjadi peneterasi oleh jari, dan bentuk hymen seperti hymen rudimenter). c. Pemeriksaan dubur pada anak laki-laki Kekerasan seksual pada anak laki-laki seringkali dalam bentuk persetubuhan dubur. Pemeriksaan colok dubur dan proktoskopi perlu dilakukan untuk melihat adanya luka baru dan gambaran rugae. Jangan lupa lakukan pengambilan bahan untuk pemeriksaan laboratorium dengan lidi kapas, menyusuri celah pada rugae tersebut. d. Pengambilan bahan untuk pemeriksaan laboratorium Dilakukan jika waktu kejadian belum lebih dari 7 (tujuh) hari sebelum waktu pemeriksaan, dokter yang menangani korban harus mengambil sample untuk pemeriksaan laboratorium. Semen (air mani) akan berflourosensi dengan penyinaran ultra violet dalam kamar  yang agak gelap. Sifat berflourosensi yang khusus ini digunakan untuk melokalisasi semen yang masih basah atau yang sudah mengering, juga pada tempat di luar tubuh misalnya pakaian. Untuk membuktikan adanya ejakulasi, bahan di ambil dari dalam vagina (forniks posterior, lihat gambar) dengan cara: masukkan lidi k apas bersih ke dalam vagina menelusuri dinding posterior vagina, basahkan kapas dengan cairan vagina dengan cara memutarnya beberapa kali, dan biarkan di forniks posterior selama satu menit. Pada persetubuhan dubur, bahan diambil dari rugae dengan menggunakan kapas lidi menelusuri rugae-rugae Buat 2 (dua) buah sediaan hapus. Keringkan di udara dalam suhu kamar. Setelah sediaan kering, masukkan ke dalam amplop terpisah, satu untuk pemeriksaan mikrobiologi (adanya penyakit menular seksual seperti GO) dan yang lain untuk pemeriksaan forensik klinik (pemeriksaan adanya spermatozoa, fosfatase asam, uji Berberio dan uji Florence, Malacite Green, uji PAN untuk adanya Zn, pemeriksaan antigen ABO serta persiapan pemeriksaan DNA dari cairan mani). Terdapatnya spermatozoa yang bergerak (motil) menunjukkan bahwa terjadinya persetubuhan dalam waktu 24 jam yang lalu. Terdapatnya spermatozoa nonmotil tidak mempunyai arti banyak. Tidak terdapatnya spermatozoa belum berarti tidak

49

terjadi persetubuhan, sebab pemerkosa bisa seorang penderita azoospermia, oligospermia, telah menjalani vasektomi atau memakai kondom. Fosfatase asam terdapat pada cairan tubuh lain seperti urin, cairan vagina dan lain-lain. Namun konsentrasi terbanyak dari fosfatase asam adalah di dalam cairan semen. Pada cairan semen semen yang baru diejakulasi konsentrasi fosfatase asam berkisar antara 4000-8000 King Armstrong Unit/ml, sehingga dapat dibedakan dengan cairan tubuh lain. Sekitar 80% laki-laki mengeluarkan antigen ABO melalui cairan tubuhnya, termasuk cairan semen. e. Tes kehamilan dilakukan bila ada indikasi (terlambat haid)

INDIKATOR KEMUNGKINAN KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK  Adanya penyakit hubungan seksual, paling sering infeksi gonokokus. Infeksi vaginal yang rekuren/berulang pada anak di bawah 12 tahun. Rasa nyeri, perdarahan dan atau keluarnya sekret dari vagina. Gangguan dalam mengendalikan buang air besar dan atau buang air kecil. Kehamilan pada usia remaja. Cedera pada buah dada, bokong, perut bagian bawah, paha, sekitar alat kelamin atau dubur. Pakaian dalam robek dan atau adanya bercak darah pada pakaian dalam. Ditemukannya cairan manin/semen di sekitar mulut, genitali, anus atau pakaian. Rasa nyeri bila buang air besar atau buang air kecil. Promiskuitas yang terlalu dini.

TEKNIK WAWANCARA & EVALUASI MENTAL EMOSIONAL Melakukan pemeriksaan mental emosional pada anak maupun orang dewasa secara umum mempunyai dasar yang hampir sama. Terapis harus menunjukkan keprihatinan, respek, empati dan kompetensi agar terbina rapport  dan kepercayaan, sehingga pasien dapat berbicara jujur dan intim/pribadi. Walaupun demikian, ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada waktu berhadapan dengan seorang anak; 1. Sejak lahir anak sudah mempunyai temperamen dan perasaan yang unik tentang dirinya, sehingga setiap anak akan bereaksi dengan cara yang berbeda terhadap stressor yang sama. Sebagian anak mungkin mampu beradaptasi dengan stressor  ini, sebagian lagi mungkin akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan konflik yang dihadapinya. Dengan demikian anak dengan tingkat perkembangan yang sama belum tentu akan mengekspresikan problem yang dihadapinya dengan cara yang sama pula. Sebagian anak mungkin akan mengekspresikan problem ini melalui kata-kata, sebagian lain mungkin melalui keluhan-keluhan fisik atau tingkah laku yang tidak sesuai dengan usia perkembangannya. 2. Lingkungan dimana anak berada juga dapat mempengaruhi perasaan, temperamen dan reaksi-reaksi anak terhadap suatu stressor. Reaksi timbal balik antara faktor  lingkungan dengan anak sangatlah berpengaruh terhadap kesehatan fisik, mental emosional serta intelektual anak yang masih berkembang. 3. Anak merupakan individu yang masih tumbuh dan berkembang jika dibandingkan dengan orang dewasa yang sudah lebih mantap pola kepribadiannya. Oleh karena 50

itu dengan penanganan sedini dan seoptimal mungkin maka sebagian besar  problem perilaku emosional anak cenderung lebih mudah di atasi. 4. Deteksi dan penanganan problem perilaku dan emosional pada anak lebih kompleks dibandingkan dengan orang dewasa. Hal ini disebabkan oleh: a. Anak belum mempunyai pengertian yang baik bahwa dirinya sakit atau membutuhkan pertolongan b. Fungsi kognitif anak masih dalam perkembangan, sehingga masih sulit untuk menerima berbagai konsep sebab akibat dalam kehidupannya c. Anak masih belum mengantisipasi masa depan

Tujuan dari evaluasi psikiatrik adalah untuk: a. Untuk mengumpulkan data dalam usaha membuat diagnosis problem atau gangguan mental emosional yang dialami oleh anak. b. Untuk menentukan kekuatan dan kelemahan psikologik anak dalam kaitannya dengan perencanaan tatalaksana yang akan dilakukan. c. Sebagai landasan dalam perencanaan psikoterapi yang akan dilakukan. Deteksi problem perilaku dan emosi anak Dalam pengertian yang luas, perilaku seorang anak tidak hanya mencakup fungsi motorik saja, seperti bermain, berlari, berjalan, tidur makan, tetapi juga meliputi kemampuan berbahasa dan interaksi sosial (yang juga dipengaruhi oleh kondisi emosional seseorang). Perilaku dan emosi anak dikatakan abnormal jika perilaku dan reaksi emosi anak tidak lagi sesuai dengan dengan tingkat perkembangan dan lingkungan sosial dimana anak itu berada. Dengan demikian, tidaklah mudah untuk mendefinisikan secara eksplisit problem perilaku dan emosi pada seorang anak. Untuk mempermudah proses ini maka dibutuhkan pengetahuan mengenai teori perkembangan anak baik fisik maupun mental emosional dan keterampilan untuk melakukan wawancara psikiatrik yang cukup baik. Agar deteksi ini dapat dilakukan oleh para tenaga kesehatan yang bekerja di pusat-pusat pelayanan kesehatan primer ataupun oleh tenaga-tenaga pendidik, maka World Health Organization  (WHO) mengeluarkan suatu alat bantu yang disebut Reporting Questionnaire on Children  (RQC). RQC ini terdiri dari 10 buah pertanyaan, jika dalam evaluasi anak ditemukan adanya jawaban positif dari minimal satu buah pertanyaan maka anak tersebut memerlukan evaluasi lanjutan untuk masalah tersebut. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan wawancara psikiatrik pada anak: a. Menjadi pendengar yang aktif dan bersifat fleksibel sewaktu berkomunikasi dengan pasien. b. Mampu berempati. c. Menggunakan cara dan tehnik yang tepat (sesuai dengan tingkat perkembangan anak) dalam berelasi dengan anak sehingga anak merasa nyaman dan dapat mengekspresikan apa yang dirasakan dan pengalaman-pengalamannya dengan pemeriksa. Sebagai contoh, ada anak yang merasa nyaman untuk berkomunikasi dengan pemeriksa jika hanya didampingi oleh boneka/mainan kesayangannya. Anak lain mungkin mungkin perlu didampingi oleh orang tua atau orang terdekatnya untuk mengurangi kecemasan pada waktu berhadapan dengan pemeriksa. Disamping itu perlu diingat bahwa tidak semua anak mampu berkomunikasi verbal dengan lancar  pada waktu pemeriksaan, sebagian anak mungkin membutuhkan media gambar  atau bermain dalam usaha untuk membentuk relasi yang optimal dengan pemeriksa.

51

d. Mampu mendeteksi kata-kata kunci dan tema-tema ypikiran yang tidak disadari anak. e. Jika memungkinkan maka proses wawancara direkan baik secara audio atau video. f. Frekuensi wawancara dilakukan seminimal mungkin (2-3 kali) untuk mencegah timbulnya konfabulasi pada anak. g. Hindari mengulang-ulang pertanyaan yang sama, atau memberi beberapa pertanyaan sekaligus. h. Hindari pertanyaan yang bersifat sugesti atau yang akan mengarahkan pasien pada satu jawaban tertentu. i. Ulangi pertanyaan dengan format pertanyaan yang berbeda untuk menilai konsistensi anak dalam memberi jawaban.  j. Ulangi pernyataan anak dalam usaha untuk meyakinkan anak bahwa pemeriksa mengerti apa yang dikemukakannya. k. Jika memungkinkan lakukan wawancara pada anak tanpa didampingi oleh orang tuanya. Pada anak yang masih kecil dapat dipertimbangkan untuk didampingi oleh anggota keluarga dekat lainnya (bukan orang tua).

Langkah-langkah dalam melakukan pemeriksaan psikiatrik pada anak a. Bina rapport sedini mungkin, disamping itu lakukan juga observasi informal perilaku, keterampilan sosial dan kemampuan kognitif anak. b. Mintalah anak untuk menceritakan dua kejadian spesifik yang pernah dialaminya. Hal ini dilakukan untuk menilai daya ingat anak. Disamping itu juga bertujuan untuk menentukan tehnik dan model wawancara yang akan dilakukan selanjutnya. Tanyakan pertanyaan yang bersifat terbuka dan tidak mensugesti sehingga pola wawancara akan mengalir dengan sendirinya. c. Buat kesepakatan dengan anak bahwa hanya pernyataan yang benar saja yang akan didiskusikan, bukan fantasi atau pernyataan yang bersifat kebohongan. Katakan kepada anak jika ia tidak mengetahui jawaban yang ditanyakan, tidak menjadi masalah kalau ia menjawab tidak tahu. Jika ia lupa dengan suatu kejadian  juga merupakan hal yang lazim, sehingga anak akan memberikan jawaban yang  jujur. d. Mulailah wawancara dengan topik yang umum baru kemudian menjurus ke arah yang lebih spesifik sesuai dengan keperluan. Misalnya; apakah kamu tahu  alasannya kenapa hari ini kamu bertemu dengan saya?  atau yang lebih spesifik; apakah telah terjadi sesuatu dengan kehidupan kamu?  atau apakah ada orang  yang melakukan perbuatan buruk kepadamu?  Mungkin diperlukan bantuan gambar atau bermain dalam usaha untuk membantu anak mengemukakan masalahnya. Misalnya pemeriksa membuat gambar muka orang dan anak akan melengkapinya dengan anggota tubuh orang tersebut. Hal ini sangat membantu dalam wawancara kasus yang dicurigai kasus kekerasan seksual. Melalui kegiatan ini pemeriksa dapat mengajukan pertanyaan; ’apakah anak pernah melihat bagian tubuh orang seperti yang  ada dalam gambar?, ‘bagian tubuh apa yang pernah dilihatnya?’, ‘apakah ada orang yang pernah menyentuh bagian tubuhnya itu  atau apakah ia pernah menyentuh bagian yang ditunjukkan itu?’ . Jika kasus merupakan kasus kekerasan fisik, pemeriksa juga dapat bertanya ’apakah bagian tubuh orang yang ada dalam gambar tersebut pernah disakiti dengan berbagai  cara?’  e. Biarkan anak mulai bercerita. Jika topik spesifik kekerasan sudah dikemukakan, dukung dan bantu anak untuk menceritakan kejadiannya lebih runut tanpa meninggalkan detail. Anak dibiarkan dulu bercerita, jangan diinterupsi atau dikoreksi. Jika peristiwa kekerasan yang dialami anak sudah berlangsung lama, tanyakan juga

52

mengenai pola kekerasan dan jumlah episode yang pernah dialami. Tanyakan juga mengenai perasaan yang dirasakan saat itu dan saat ini. Pada kesempatan ini juga dilakukan observasi status mentalis anak yang meliputi: a. Penampilan dan perilaku anak saat wawancara Penampilan dapat menggambarkan fungsi ego, seperti identifikasi bentuk tubuh anak sehingga mampu memberikan gambaran secara keseluruhan dari sang anak. Kepatuhan dan ketidakpatuhan anak juga digambarkan serta kondisi gizi anak. Keadaan fisik/gizi, jerawat pada wajah, keadaan cacat fisik, kecemasan/murung, dan gangguan perkembangan lain juga sebaiknya digambarkan, seperti keterlambatan bahasa dan tumbuh kembang lainnya. Kerapian dan batas kewajaran berpakaian juga dijelaskan pada kesempatan ini. b. Proses Pikir dan Verbalisasi Pembicaraan spontan dan verbalisasi selama bermain merupakan bagian dari proses berpikir spontan. Tema yang berulang-ulang dalam permainan berkaitan dengan permasalahan uang sedang dihadapinya dan juga merupakan mekanisme penghindaran dari masalah yang dihadapinya. Pemeriksa mengupayakan supaya dapat memasuki kepada topik pembicaraan yang bersifat spontan yang dapat menimbulkan minat pada anak. Pemeriksa membiarkan anak bercerita sesuai dengan kata-katanya, lingkungan sosial budayanya, minat dan segala kemampuan dalam mengorganisir pikirannya. c. Orientasi dan Persepsi Orientasi lebih mencerminkan pemahaman anak terhadap realitas. Pemeriksa dapat membandingkan kemampuan intelektualitas anak dengan anak lain yang mempunyai usia yang sebanding dengan anak yang bersangkutan. Orientasi ini termasuk orientasi waktu, tempat, dan orang. Orientasi dapat diperiksa dengan menanyakan tentang waktu, alamat rumahnya, hari ulang tahun, cuaca, dan lain-lain. Persepsi lebih menunjukkan kesan indera yang ditangkap oleh si anak. Dalam menilai persepsi, pemeriksa perlu mengetahui perbedaan yang jelas mengenai kemampuan anak untuk membedakan antara fantasi dan realitas. Pada anak berusia 3-4 tahun, kemampuan ini masih samar. Kemampuan ini akan bertambah dan anak sudah mampu membedakan kedua hal tersebut pada usia 6-7 tahun. Gangguan persepsi dapat terjadi pada seluruh indera, misalnya pendengaran, penglihatan, pengecapan, dan lain-lain. d. Mood dan afek Mood dan afek menunjukkan perasaan si anak. Hal yang perlu diperhatikan adalah fluktuasi dan perubahan mood dan afek selama wawancara terutama pada perubahan satu topik ke topik lainnya. Afek didefinisikan sebagai kondisi emosi seseorang yang bersifat singkat dan umumnya distimulasi oleh suatu keadaan atau situasi tertentu. Mood digambarkan sebagai suasana perasaan yang menetap dan berkepanjangan yang mewarnai seluruh kehidupan anak. e. Fungsi kognitif dan Integritas Neuromuskuler  Lihat teori tumbuh kembang

53

f.

Fantasi dan persepsi anak tentang diri dan lingkungannya Fantasi adalah bagian dari proses pikir yang merefleksikan fungsi ego. Sering fantasi digunakan sebagai mekanisme coping , menggambarkan kemampuan persepsi dan intelektual. Fantasi dalam bermain atau bercerita biasanya menggambarkan area problematik intrapsikik dan pengalaman interpersonal anak. Kualitas materi fantasi dapat menjadi berkurang oleh kondisi cemas atau kondisi gangguan jiwa berat lainnya. Fantasi dapat diungkapkan melalui permainan bebas, menggambar, mimpi atau bercerita dan juga harapan-harapan anak. Bagi pemeriksa hal yang penting diketahui adalah membedakan antara fantasi dengan realitas atau gangguan proses pikir lainnya seperti waham.

f.

Dalam tahap ini juga dapat digunakan mainan-mainan yang disukai anak untuk membantu proses pemeriksaan. Misalnya pada kasus kekerasan fisik, boneka mungkin berguna dalam usaha mengkonkritkan kejadian yang di alami anak. Mainan ini bukan digunakan sebagai pemeriksaan penunjang diagnostik, melainkan hanya bertujuan untuk mengklarifikasikan apa yang sebenarnya terjadi pada anak. g. Akhiri pemeriksaan ini dengan mengajukan pertanyaan yang bersifat umum kembali, serta beri kesempatan kepada anak untuk mengajukan pertanyaan. Pemeriksa  jangan memberikan janji-janji tertentu kepada anak, dukung kemampuan anak yang masih ada.

Indikator kemungkinan terjadinya emotional abuse pada anak Gejala-gejala fisik dari emotional abuse  seringkali tidak sejelas gejala-gejala kekerasan lainnya. Penampilan anak seringkali tidak memperlihatkan derajat penderitaan yang dialaminya. Cara berpakaian, keadaan gizi dan kondisi fisik pada umumnya cukup memadai, namun ekspresi wajah, gerak gerik bahasa tubuhnya seringkali dapat mengungkapkan adanya kesedihan, keraguan diri, kebingungan, kecemasan, ketakutan atau amarah yang terpendam.

Indikator kemungkinan terjadinya neglect pada anak Gagal tumbuh fisik maupun mental Malnutrisi, tanpa dasar organik yang sesuai Dehidrasi Luka atau penyakit yang dibiarkan tidak diobati Kulit kotor tidak terawat, rambut dengan kutu-kutu Pakaian lusuh dan kotor  Keterlambatan perkembangan Keadaan umum yang lemah, letargik, lelah berkepanjangan (sumber Bays, 1993; Oates 1984; and Wheeler and Hobbs, 1988)

54

Tips wawancara pada anak ; 1.

Tanyakan pertanyaan terbuka dan konkrit yang saling berkaitan, misalnya  Apa yang kamu rasakan?  Apa yang kamu lihat?  Apa yang kamu cium?

2.

Dalam melakukan wawancara usahakan untuk membantu pasien agar ia mampu mengingat suatu kejadian tertentu, misalnya Ketika kamu ada di dalam rumah Bapak A, apa yang pertama kali terjadi? Gunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh anak, jangan gunakan bahasa yang jarang digunakan atau tidak populer  Gunakan nama panggilan dari pada nama resminya Usahakan menggunakan kata-kata konkrit dalam mengajukan pertanyaan, misalnya hari sabtu yang lalu, apa yang terjadi di dalam kamar Andi? Daripada, kemarin apa yang terjadi di dalam kamar kamu? Jika perlu dapat digunakan pertanyaan tertutup, misalnya  Apakah kamu merasa lelah?  Apakah kamu memerlukan istirahat?  Apakah kamu merasa telah dipukul oleh pak A?  Apakah kamu merasa telah di peluk oleh pak A? dll

3. 4. 5.

6.

55

PEMERIKSAAN PENUNJANG Radiologis Gambaran radiologis tertentu dapat merupakan indikator kuat adanya perlakuan yang salah pada anak secara fisik; a.l fraktur metafisis corner atau fraktur  bucklet handle  pada tulang panjang bayi yang belum bisa jalan, fraktur multipel iga atau tulang panjang bayi, fraktur spiral tulang panjang pada bayi yang belum bisa jalan, fraktur multipel iga atau tulang panjang dengan berbagai derajat penyembuhan. Temuan ini mengharuskan dokter untuk mencari penjelasan penyebab trauma tersebut. Survei tulang secara radiologis perlu dilakukan pada anak yang diduga diperlakukan salah tetap belum dapat berbicara. Perdarahan subdural yang didapat melalui CT atau MRI berhubugan erat dengan perlakuan salah pada anak. USG berguna untuk mendiagnosis trauma abdomen pada anak, tetapi tidak berguna untuk mendiagnosis perdarahan subdural.

Laboratoris Pemeriksaan koagulasi berguna untuk anak yang mengalami banyak memar pada berbagai tingkat umur yang berbeda. Berbagai kelainan koagulasi dapat mengacaukan diagnosis, tetapi perlakuan salah pada anak dan koagulopati merupakan satuan klinis yang berlainan.  Anak dengan sepsis polimikroba, apnea rekuren, dehidrasi kronis tanpa penyebab yang diketahui, atau kelainan laboratoris lain yang berat harus dicurigai sebagai sindrom  Munchausen by proxy.

INTERPRETASI HASIL PEMERIKSAAN MEDIKOLEGAL Hasil pemeriksaan medikolegal terhadap korban adalah dokumentasi seluruh hasil temuan pemeriksaan medis pada korban yang kemudian dituangkan di dalam sebuah keterangan yang di Indonesia disebut sebagai visum et repertum. Keterangan tersebut memberikan bukti bahwa benar telah terjadi kekerasan dan seberapa parah akibat kekerasan tersebut, atau pada kasus kekerasan seksual dapat pula menjelaskan apakah telah terjadi persetubuhan ataukah penetrasi. Bahkan dengan menggunakan teknik mutakhir (pemeriksaan DNA), pemeriksaan medikolegal secara praktis dapat menunjuk siapa pelaku kekerasan seksual tersebut. Seberapa jauh visum et repertum membantu proses peradilan sangat bergantung kepada seberapa lengkap dan spesifiknya temuan medikolegalnya sehingga dapat diinterpretasikan sebagai bukti yang determinatif. Bukti medis bukanlah satu-satunya komponen dalam pembuktian adanya CAN dalam perkara pidana. Pemeriksaan Tempat Kejadian Perkara (TKP), kesaksian, dan pemeriksaan barang bukti lain memiliki nilai yang sama sebagai alat bukti yang sah. Selain itu, wawancara forensik, penilaian sikap perilaku korban pasca kekerasan, pemeriksaan laboratorium forensik seringkali sangat mendukung pembuktian.

Pemeriksaan Fisik Perlukaan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik dapat bervariasi, mulai dari memar, lecet, luka bakar, dan luka terbuka, hingga ke cedera yang lebih dalam letaknya seperti patah tulang ataupun cedera alat-alat dalam tubuh.

56

Memar umumnya diakibatkan oleh kekerasan tumpul yang memiliki permukaan yang relatif rata atau lunak, seperti tangan kosong atau tendangan. Memar seringkali dapat menunjukkan bentuk atau pola permukaan kontak benda penyebabnya. Memar yang berbentuk garis sejajar ( tramline atau railway haematome ) menunjukkan cedera yang diakibatkan oleh pukulan tongkat atau benda sejenis. Bila bentuknya dua garis sejajar  melengkung mungkin disebabkan oleh benda berupa tali yang cukup kuat seperti kabel. Memar kadangkala tidak terjadi di lokasi trauma, misalnya apabila terjadi di daerah dahi yang memarnya dapat terlihat di kelopak mata atau di daerah tungkai bawah daerah tulang kering yang memarnya dapat terlihat di pergelangan kaki. Perkiraan kapan terjadinya memar kadang membantu menegakkan kesimpulan ada atau tidaknya kekerasan berulang. Dengan berjalannya waktu, memar akan berubah warna dari merah ungu menjadi kehijauan, coklat kekuningan dan akhirnya hilang. Satuan waktu yang dibutuhkan untuk masing-masing perubahan warna tersebut sangat bergantung kepada intensitas memar itu sendiri. Pada umumnya apabila memar telah dikelilingi warna kuning menunjukkan bahwa memar telah berumur setidaknya 18 jam. Luka lecet tekan hanya terlihat dengan baik pada korban yang telah meninggal oleh karena terjadi pengeringan epidermis, sedangkan pada korban hidup tidak terlihat dengan jelas oleh karena pengeringan dicegah dengan adanya perfusi jaringan. Luka lecet tekan biasanya diakibatkan oleh benda tumpul yang permukaannya relatif rata dan relatif lunak dengan gaya yang relatif ringan. Bentuk luka lecet tekan juga dapat memperlihatkan bentuk permukaan kontak benda penyebabnya. Luka lecet geser  diakibatkan oleh geseran benda tumpul dengan permukaan yang relatif tidak rata. Luka terbuka (vulnus apertura) harus dapat dibedakan antara luka terbuka akibat kekerasan tajam (vulnus scissum) dengan luka terbuka akibat kekerasan tumpul (vulnus laceratum). Vulnus scissum memperlihatkan ciri-ciri luka dengan bentuk seperti garis lurus atau lengkung, tepi luka atau dinding luka yang rata, dan pada sekitar lukanya tidak ditemukan lecet atau memar. Apabila terjadi di daerah berambut maka besar  kemungkinan terlihat adanya folikel rambut yang terpotong rata. Vulnus Laceratum menunjukkan ciri-ciri luka sebaliknya, dan seringkali masih terlihat adanya jembatan  jaringan (ikat) yang menghubungkan kedua tepi / dinding luka. Beberapa luka menunjukkan ciri khas akibat kekerasan yang bukan akibat kecelakaan. Luka-luka seperti tramline hematome  di atas, luka dengan bentuk dan pola tertentu yang khas, luka bakar akibat sundutan rokok, dan memar berbentuk telapak tangan, adalah sebagian contohnya. Luka-luka juga terkadang memperlihatkan luka yang tidak sama usianya, misalnya terdapat memar yang merah ungu dan memar lainnya berwarna hijau kekuningan. Keadaan ini menunjukkan adanya kekerasan yang berulang yang sangat mungkin bukan akibat kecelakaan. Hal sama juga bisa ditemukan dalam bentuk luka lecet, luka terbuka dan bahkan patah tulang, yang terlihat dari perbedaan masa penyembuhannya. Hal penting lainnya adalah bahwa bukti adanya kekerasan tersebut harus relevan dengan keterangan yang diberikan oleh saksi korban. Suatu luka memar atau lecet kecil di daerah pipi, leher, pergelangan tangan atau paha mungkin tidak khas dan tidak bermakna dari segi kedokteran, namun bermakna bagi hukum apabila relevan dengan riwayat terjadinya peristiwa, seperti ditampar, dicekik, dipegangi dengan keras atau dipaksa diregangkan pahanya (pada kasus kejahatan seksual). Adanya sindroma mental tertentu dapat mendukung relevansi temuan bukti fisik tersebut dari sisi psikologis.

57

Pemeriksaan status tumbuh kembang dan status gizi anak sangat relevan dalam upaya menegakkan ada atau tidaknya penelantaran. Beberapa pengukuran dan parameter  dapat digunakan sebagai alat ukurnya.

Pemeriksaan fisik pada korban kekerasan seksual Dalam hal kekerasan seksual yang diduga terjadi, maka pemeriksaan anogenital yang teliti dan pemeriksaan laboratorik harus dilakukan sesuai dengan prosedur baku pemeriksaan. Ditemukannya memar, lecet dan atau laserasi di sekitar kemaluan, seperti di daerah vulva, vagina dan selaput dara, dapat membawa kita kepada kesimpulan bahwa cedera tersebut adalah sebagai tanda kekerasan. Perlu diingat bahwa daerah yang paling sering mengalami cedera adalah daerah posterior fourchette, selaput dara, fosa naviculare dan labium minus. Cedera yang sering terlihat adalah memar, lecet, laserasi dangkal, dan robekan selaput dara. Dalam hal tanda kekerasan tersebut terletak di daerah yang lebih “dalam” seperti di selaput dara atau vagina, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kemungkinan besar  atau hampir pasti telah terjadi penetrasi (dengan pengertian bahwa penetrasi tersebut tidak harus berupa penetrasi lengkap, dan tidak harus oleh penis). Memang harus diakui bahwa masih ada kelemahan dari kesimpulan ini, yaitu kita tidak dapat memastikan kapan terjadinya kekerasan tersebut  – apalagi bila cedera tersebut adalah cedera “lama”. Robekan selaput dara yang telah berusia lebih dari lima hari umumnya memiliki ciri yang sama dengan robekan lama lainnya. Sebaliknya, tidak ditemukannya tanda kekerasan di atas tidak dapat langsung diartikan bahwa tidak pernah ada kekerasan. Hal ini disebabkan oleh sifat dari kekerasan tersebut, jarak waktu antara saat kekerasan dengan saat pemeriksaan, dan tindakan terapi yang pernah diberikan. Demikian pula tidak ditemukannya tanda penetrasi tidak berarti bahwa tidak pernah terjadi penetrasi atau persetubuhan. Hal ini sebagai akibat dari penetrasi yang hanya sebagian, penetrasi oleh benda yang ukurannya “terlalu” kecil, atau selaput dara elastis sehingga tidak robek meskipun telah terjadi penetrasi. Ditemukannya sel sperma di dalam sediaan yang diambil dari vagina membawa kita kepada kesimpulan pasti bahwa korban telah bersetubuh atau disetubuhi. Demikian pula bila ditemukan hasil positip pada uji fosfatase asam (berubah warna dalam waktu kurang dari 30 detik), uji kristal (Berberio dan Florence) dan uji PAN (kadar Zn), menunjukkan adanya cairan mani. Namun demikian identitas si pelaku belum dapat ditentukan sebelum dilakukan pemeriksaan DNA dari sel sperma dan pemeriksaan DNA dari si tersangka pelaku, serta pembandingan keduanya. Sebaliknya, tidak ditemukannya sel sperma atau cairan mani tidak berarti bahwa tidak pernah terjadi persetubuhan. Hal ini sebagai akibat dari jarak waktu antara saat persetubuhan dengan saat pemeriksaan, atau persetubuhan tanpa ejakulasi, persetubuhan dengan kondom, dan pencucian pasca persetubuhan. Bahkan literatur  mengatakan bahwa sel sperma hanya ditemukan pada 50% dari seluruh pemeriksaan medis yang dilakukan segera setelah terjadi perkosaan. Penelitian awal menunjukkan bahwa pemeriksaan adanya DNA laki-laki di dalam vagina ternyata lebih sensitif dan lebih akurat dalam memastikan adanya persetubuhan. Pemeriksaan mikrobiologis terhadap sediaan apus dari vagina ditujukan untuk menemukan ada atau tidaknya salah satu penyakit akibat hubungan seksual, yaitu misalnya Gonorrhoe. Penyakit GO ini adalah penyakit yang paling sering tertularkan dari suatu hubungan seksual (1:30). Apabila ditemukan adanya penyakit ini maka dokter  dapat menyimpulkan bahwa kemungkinan besar memang telah terjadi persetubuhan, dan dokter akan memberikan pengobatan. Adanya kuman GO ekstrasel saja

58

menunjukkan bahwa pasien relatif baru terinfeksi, sedangkan adanya kuman GO intrasel menunjukkan waktu infeksi yang lebih lama. Sebaiknya diagnostik GO ditegakkan melalui pemeriksaan kultur. Penyakit akibat hubungan seksual lainnya tidak rutin diperiksa oleh karena frekuensi terjadinya di dalam masyarakat yang sangat rendah, sehingga hanya akan dilakukan apabila terdapat indikasi ke arah hal tersebut.  Atas permintaan resmi dari penyidik, dokter dapat membuat visum et repertum berdasarkan hasil pemeriksaan medis tersebut di atas. Permintaan penyidik tersebut dapat diajukan sebelum dilakukannya pemeriksaan maupun sesudahnya, asalkan tidak terlalu lama jarak waktunya. Visum et repertum harus dibuat dalam bentuk surat resmi, menggunakan kertas berkepala surat, bernomor dan bertanggal, diakhiri dengan tandatangan, nama jelas dan NIP/NRP pembuatnya, serta stempel dinas. Visum et repertum harus diserahkan hanya kepada institusi penyidik pemintanya. Visum et repertum ditulis dengan format yang baku sebagaimana pada lampiran. Visum et repertum harus dibuat oleh dokter. Undang-undang tidak menunjuk kepada dokter dengan spesialisasi tertentu yang harus membuat visum et repertum tertentu. Setiap dokter berwenang membuat visum et repertum dengan memperhatikan ketentuan bahwa dokter yang akan membuat visum et repertum harus memahami prosedur medikolegal dan terlatih secara teknis melakukan pemeriksaan yang diperlukan serta mampu menginterpretasikannya dengan tepat.  Atas permintaan tertulis dari pasien dan/atau keluarganya dokter dapat menerbitkan Surat Keterangan Medis yang menerangkan tentang ringkasan keadaan pasien saat itu, yang dapat bermanfaat untuk kepentingan perujukan ke dokter lain atau ke seseorang ahli non medis yang diperlukan.

59

SISTEM KLASIFIKASI ADAMS Untuk menilai Informasi anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratoris Pada Dugaan Child Sexual Abuse  (Joyce Adams (2001): Evolution of a classification scale: Medical Evaluation of  Suspected Child Abuse)

Bagian I: Temuan pada pemeriksaan Anogenital Normal

Temuan yang terlihat pada neonatus Garis (bands) peri-uretral atau vestibuler  Tonjolan (ridges atau columns) longitudinal intravagina Jumbai (tags) pada selaput dara Penebalan (bump atau mound) pada selaput dara Linea vestibularis Belahan (cleft atau notch) di anterior setengah dari lebar  selaput dara, pada atau lebih atas dari garis jam 3  – 9, diamati pada pasien telentang Tonjolan (ridges) pada bagian luar selaput dara

Varian Normal

Selaput dara berseptum Kegagalan fusi di garis tengah Lekuk (groove) di fossa pada pubertal Diastasis ani Jumbai kulit (skin tag) perianal Peningkatan pigmentasi kulit perianal

Kondisi lain

Hemangioma labia, selaput dara atau daerah sekitarnya (dapat memberikan gambaran seperti hematom atau perdarahan submukosa) Lichen sclerosus et atrophicus (dapat mudah ruptur dan perdarahan) Bechet‟s disease (mengakibatkan ulkus oral dan genital, dapat disalahartikan sebagai lesi Herpes Simpleks) Cellulitis streptokokus pada jaringan perianal (terlihat kemerahan, jaringan yang meradang) Molluscum contagiosum (lesi kutil) Verruca vulgaris (kutil biasa) Vaginitis akibat streptokokus atau organisme usus Prolaps urethral (mengakibatkan perdarahan, tampak seperti akibat trauma) Benda asing di vagina (dapat akibatkan perdarahan atau duh / discharge)

60

Temuan tidak spesifik

Temuan yang mungkin sebagai akibat dari sexual abuse , tergantung kepada jarak saat pemeriksaan dan saat abuse, tetapi mungkin juga akibat sebab lain atau merupakan varian yang normal Eritema (kemerahan) vestibulum atau jaringan sekitar  anus (dapat akibat zat iritan, infeksi atau trauma) Pelebaran pembuluh darah vestibulum (akibat iritans)  Adesi labia (mungkin akibat iritasi atau rabaan) Friabilitas (retak) daerah posterior fourchette (akibat iritasi, infeksi, atau karena traksi labia mayor pada pemeriksaan) Penebalan selaput dara (mungkin akibat estrogen, terlipatnya tepi selaput, bengkak karena infeksi atau trauma) Kutil genital semu (mungkin jumbai kulit, atau kutil bukan genital, mungkin condyloma acuminata yang didapat bukan dari seksual) Fisura ani (biasanya akibat konstipasi atau iritasi perianal) Pendataran lipatan anus (akibat relaksasi sphincter  eksternal) Pelebaran anus dengan adanya tinja (refleks normal) Kongesti vena atau pooling vena (biasanya akibat posisi anak, juga ditemukan pada konstipasi) Perdarahan per-vaginam (mungkin berasal dari sumber  lain, seperti uretra, atau mungkin akibat infeksi vagina, benda asing atau trauma yang aksidental)

61

Dugaan abuse (Suggestive of abuse)

Temuan pada anak yang telah memiliki riwayat abuse, dan mungkin ada abuse, tetapi tidak cukup data yang menunjukkan bahwa abuse adalah satu-satunya penyebab. Riwayat sangat krusial dalam menentukan makna keseluruhannya Pelebaran anus yang nyata (marked, immediate), tanpa terlihat/teraba adanya tinja di daerah rektum bagian bawah, pada pemeriksaan dengan posisi knee-chest, tanpa riwayat adanya encopresis, konstipasi kronik, gangguan nerologis, atau sedasi) Belahan (notch atau cleft) selaput dara di daerah posterior, mencapai dekat dasar (sering merupakan artefak pada posisi pemeriksaan tertentu, tetapi bila konsisten pada beberapa posisi, maka mungkin akibat kekerasan tumpul atau penetrasi sebelumnya) Lecet akut, laserasi atau memar labia, jaringan sekitar  selaput dara, atau perineum (mungkin akibat trauma aksidental, keadaan dermatologis seperti lichen sclerosus atau hemangioma) Jejak gigitan atau hisapan di genitalia atau paha bagian dalam Jaringan parut atau laserasi baru daerah posterior  fourchette tanpa mengenai selaput dara (dapat akibat trauma aksidental) Jaringan parut perianal (jarang, mungkin akibat keadaan medis lain seperti Crohn‟s disease, atau akibat tindakan medis sebelumnya)

Bukti nyata kekerasan tumpul atau trauma penetrasi

Temuan yang tidak dapat dijelaskan bukan karena trauma yang mengenai selaput dara atau daerah perianal Robekan baru selaput dara Ekimosis (hematom) pada selaput dara Laserasi perianal yang dalam meliputi juga sphincter ani eksternal Robekan lama selaput dara hingga ke dasar (transeksi), sehingga tidak ada lagi jaringan selaput dara antara dinding vagina dengan fossa atau dinding vestibulum Hilangnya jaringan selaput dara yang luas di daerah posterior, hingga ke dasar, yang dikonfirmasi pada posisi knee-chest

62

Bagian II: Penilaian keseluruhan kemungkinan ada tidaknya abuse Tak ada indikasi abuse

Hasil pemeriksaan normal, tidak ada riwayat, tidak ada perubahan perilaku, tidak ada saksi Temuan tidak spesifik dengan penjelasan yang cukup, tanpa ada riwayat abuse atau perubahan perilaku  Anak dipertimbangkan sebagai berrisiko sexual abuse, tetapi tak ada riwayat dan hanya ditemukan perubahan perilaku yang tidak spesifik Temuan cedera fisik yang sesuai dengan riwayat trauma aksidental yang jelas dan dapat dipercaya

Mungkin abuse  Possible abuse 

Temuan normal, varian normal atau tidak spesifik, dikombinasi dengan perubahan perilaku yang bermakna, terutama perilaku yang terseksualisasi, tetapi si anak tak bisa memberi riwayat abuse Lesi anogenital Herpes tipe I, tanpa adanya riwayat abuse dan temuan pemeriksaan lainnya normal Condyloma accuminata, dengan temuan lainnya normal, tak ada penyakit hubungan seksual lain, tak ada riwayat abuse dari anak, (bila ditemukan pada anak berusia 3 tahun atau lebih, cenderung akibat aktivitas seksual, sehingga perlu penelitian lebih lanjut)  Anak memberi informasi, tetapi tidak cukup detil bila dibandingkan dengan usia perkembangan anak, atau tidak konsisten, atau yang diperoleh dengan menggunakan pertanyaan yang mengarah pada temuan fisik tanpa penjelasan adanya abuse

Sangat mungkin abuse  Probable abuse 

 Anak memberikan uraian yang detil, spontan, jelas dan konsisten tentang (molested) abuse, dengan atau tanpa temuan abnormal atau positif  Kultur Chlamydia (bukan rapid antigen test) dari daerah genital pada anak prepuber, atau dari cervix anak perempuan remaja (adolesen) , dengan mengasumsikan bahwa transmisi perinatal telah disingkirkan Kultur Herpes Simpleks tipe II dari lesi genital atau anal positip Infeksi Trichomonas, didiagnosis dengan sediaan basah atau kultur dari swab vagina, apabila transmisi perinatal telah dapat disingkirkan

63

Bukti definitif adanya abuse / kontak seksual

Bukti fisik yang jelas adanya kekerasan tumpul atau trauma penetrasi, tanpa adanya riwayat kecelakaan Ditemukannya sperma atau semen dalam vagina atau pada tubuh anak Kehamilan Positif adanya N.gonorrhea, dikonfirmasi dengan kultur, dari sediaan vagina, urethra, anal atau faring Bukti adanya sifilis yang didapat pasca kelahiran (bukan perinatal) Kasus dengan bukti fotografik atau video sedang di-abuse Infeksi HIV, dengan tidak adanya kemungkinan akibat transmisi perinatal atau transmisi melalui produk darah atau jarum yang terkontaminasi

64

REKAM MEDIS Rekam medis memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis sebagaimana disebut di dalam Permenkes RI No 749a/MENKES/PER/XII/1989, yaitu sebagai dasar  pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien, sebagai bahan pembuktian dalam perkara hukum, sebagai bahan untuk keperluan penelitian dan pendidikan, sebagai dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan, dan sebagai bahan untuk menyiapkan statistik kesehatan. Untuk mencapai peran dan fungsi di atas, rekam medis harus dibuat sedemikian rupa, mengikuti suatu prosedur baku yang telah diakui, serta disimpan dan hanya dipergunakan sesuai dengan prosedur baku tersebut. Permenkes No 749a/MENKES/PER/XII/1989 tentang rekam medis telah menguraikan berbagai ketentuan yang harus dilaksanakan berkaitan dengan pembuatan, penyimpanan dan pemanfaatan rekam medis. Permenkes No. 749x\a/MENKES/PER/XII/1989 dalam ketentuan umum pasal 1 menyebutkan bahwa rekam medis merupakan berkas berisi catatan dan dokumen penting tentang : 1. Identitas pasien 2. Pemeriksaan 3. pengobatan 4. Tindakan lain 5. Pelayanan lain Setiap isian harus jelas, terbaca, dan tidak menimbulkan keragu-raguan, akurat, adekuat dan appropriate.  Akurat berarti berisikan catatan yang memang tepat untuk digunakan sebagai dasar  pengobatan. Pengisian harus ditulis dengan tinta (pena, termasuk ballpoint) atau diketik. Bila terdapat kesalahan penulisan maka cukup dicoret, dikoreksi, diparaf dan diberi tanggal koreksi. Pengisian harus sesegera mungkin dan dibuat berurutan sesuai waktu kejadiannya / kronologis.  Adekuat berarti berisikan seluruh informasi yang diperlukan, baik untuk diagnostik maupun untuk pengobatan / tindakan, dan harus cukup rinci untuk dapat dimengerti.  Appropriate berarti hanya berisikan informasi yang layak dimuat di dalam rekam medis, tidak diisikan dengan “komentar yang non medis”, misalnya “pasien ini cerewet dan resek, hati-hati” . Dalam kaitannya dengan penatalaksanaan kasus CAN, maka perlu diupayakan  jalan keluar agar “kemultidisiplinan” tidak dianggap sebagai pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran. Profesional kesehatan harus memahami bahwa penanganan kasus CAN bukanlah hanya dari aspek medis saja melainkan dari berbagai aspek, dan bahwa aspek-aspek tersebut saling berkaitan, sehingga transfer informasi di antara para profesional dari berbagai disiplin tersebut diperlukan. Rekam medis sama sekali tidak boleh dipalsukan. Rekam medis yang sengaja dipalsukan merupakan perbuatan kriminal dan dapat dihukum pidana.

Kerahasiaan informasi Medis Para profesional yang bekerja di bidang kedokteran umumnya telah memahami benar tentang adanya kewajiban untuk menyimpan sebagai rahasia segala sesuatu yang diketahuinya selama ia bekerja di bidang kedokteran. Pengetahuan ini kita biasa sebut sebagai rahasia kedokteran. Pelanggaran atas kewajiban menyimpan rahasia kedokteran ini akan menghadapi sanksi administratif dan atau sanksi pidana. Selain itu, pihak yang merasa dirugikan oleh pembukaan rahasia ini juga dapat mengajukan gugatan perdata berupa tuntutan ganti rugi. 65

Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1966 yang mengatur tentang wajib simpan rahasia kedokteran ini mewajibkan seluruh tenaga kesehatan untuk menyimpan segala sesuatu yang diketahuinya selama melakukan pekerjaan di bidang kedokteran sebagai rahasia. Namun PP tersebut memberikan pengecualian sebagaimana terdapat dalam pasal 2, yaitu apabila terdapat peraturan perundang-undangan yang sederajat (PP) atau yang lebih tinggi (UU) yang mengaturnya lain. Ketentuan ini juga ditunjang oleh pasal 50 KUHP yang menyatakan bahwa seseorang tidak akan dipidana oleh karena melakukan suatu perbuatan untuk menjalankan undang- undang. Hal ini mengakibatkan “bebasnya” para dokter dan tenaga administrasi kesehatan dalam membuat visum et repertum (kewajiban dalam KUHAP), dan dalam menyampaikan pelaporan tentang statistik kesehatan, penyakit wabah dan karantina, termasuk pelaporan kasus CAN. Permenkes menyebutkan bahwa rekam medis harus disimpan setidaknya hingga 5 tahun sejak kunjungan terakhir pasien. Setelah itu rekam medis dapat dimusnahkan dengan mengikuti suatu ketentuan tertentu, yaitu yang diatur dalam Pedoman yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan. Penyimpanan juga dapat dilakukan dengan mikrofilm atau media penyimpanan lain, yang hingga saat ini belum diuraikan mediamedia apa saja yang diperbolehkan. Pemusnahan harus mengikuti prosedur yang benar, melalui suatu skrining terlebih dahulu, memperoleh persetujuan dari dokter yang merawatnya, tercatat dalam beritaacara pemusnahan, dll. Rekam medis berisikan berbagai informasi milik pasien, baik yang berasal dari pasien maupun hasil analisis para tenaga kesehatan. Informasi tersebut tidak hanya berupa informasi medis, melainkan juga informasi tentang tumbuh-kembang anak, aspek psikososial dan asuhan keperawatan. Pengisian rekam medis harus dilakukan oleh tenaga medis / kesehatan dan dilakukan sesegera mungkin.

66

BAB V PENATALAKSANAAN  Anak korban kekerasan pada umumnya dibawa ke fasilitas pelayanan medis karena cedera fisik akibat berbagai perlakuan kekerasan yang dialaminya. Kebanyakan korban datang diantar oleh orang tuanya (seringkali adalah pelaku kekerasan) dengan riwayat kejadian cedera akibat kecelakaan yang umum terjadi pada anak-anak seperti: jatuh dari tangga, tersiram air panas, tertabrak sepeda, dan sebagainya. Kekurangpahaman dokter dan tenaga kesehatan lainnya terhadap permasalahan Child Abuse  menyebabkan penatalaksanaan kasus Child Abuse  disamakan dengan pertolongan terhadap cedera kecelakaan biasa. Oleh sebab itu keterampilan deteksi dini kasus Child  Abuse  merupakan langkah awal dari penatalaksanaan yang benar. Ruang lingkup penatalaksanaan anak korban kekerasan meliputi banyak aspek, yaitu: aspek medik, aspek psikososial, dan aspek legal. Dengan demikian penatalaksanaan anak korban kekerasan haruslah merupakan kerjasama multidisiplin. Pertolongan medis merupakan salah satu bagian dari alur penatalaksanaan paripurna terhadap anak korban kekerasan. Dokter dan tenaga kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan primer (PHC Worker ) adalah bagian dari jejaring terdepan penangkap kasus, seyogyanya mereka mempunyai pemahaman yang cukup akan alur penatalaksanaan anak korban kekerasan, meliputi: Deteksi dini, pertolongan darurat medik, rujukan medik spesialistik, intervensi keluarga, rujukan psikososial, dan akses terhadap jejaring perlindungan anak.

PENATALAKSANAAN MEDIS Penatalaksanaan medik khususnya pada kasus kekerasan fisik dan kekerasan seksual, merupakan prioritas pertama penyelamatan anak korban kekerasan. Dokter dan tenaga kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan primer selain mampu mendeteksi kasus atau suspek kasus anak korban kekerasan, seyogyanya mampu menetapkan status klinis korban (gawat darurat medik, darurat medik, medik spesialistik), mengambil keputusan kritis, melakukan tindakan medis praktis sesuai fasilitas dan kompetensi medik yang dimilikinya, menyusun rencana tindak lanjut termasuk pemeriksaan penunjang dan rujukan kasus. Kasus gawat darurat medik pada anak korban kekerasan fisik yang perlu diwaspadai antara lain: trauma kepala berat yang dapat menimbulkan perdarahan epidural atau epidural, kontusio serebri, delirium sampai koma dan kematian. Fraktur komplikata pada anggota gerak atau tulang rusuk, luka bakar luas akibat siraman air panas, atau perdarahan masif tersembunyi misalnya perdarahan intra abdominal akibat trauma tumpul di abdomen. Tenaga kesehatan harus segera memberikan pertolongan life  saving  dengan mengacu pada prinsip A-B-C pertolongan gawat darurat medik, melakukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan sesuai fasilitas yang ada (darah lengkap, elektrolit, asam-basa, kimia darah, X Ray, bila mungkin CT Scan). Setelah kondisi gawat darurat teratasi, korban dirujuk sesuai prioritas masalah medis (spesialis anak, ortopedi, bedah saraf). Untuk semua tindakan medis di atas informed consent  dimintakan pada orang tua atau wali korban atau lembaga perwalian yang sah. Proses ini seringkali tidak sederhana khususnya bila pelaku kekerasan adalah orang tua

67

korban, namun tindakan penyelamatan kondisi darurat medik tetap menjadi prioritas utama. Pada kasus anak korban kekerasan seksual, prinsip penatalaksanaan sama dengan kasus korban kekerasan fisik, yakni deteksi kondisi gawat darurat medik, dilanjutkan dengan pertolongan life saving , dan persiapan rujukan spesialistik. Pada korban kekerasan seksual cedera fisik terutama di daerah anogenital. Kasus gawat darurat medik dapat timbul sebagai akibat cedera berat pada organ reproduksi, perdarahan masif, dan emboli. Selain itu perlu diwaspadai kemungkinan infeksi oleh penyakit menular seksual, infeksi oleh benda-benda tertentu yang dimasukkan ke organ genital ataupun anus korban. Perlu juga diwaspadai kemungkinan terjadinya kehamilan akibat perkosaan yang dialaminya. Pemeriksaan penunjang sama dengan pemeriksaan pada kekerasan fisik ditambah test kehamilan, pemeriksaan biakan cairan genital dan urin, HIV dan Hepatitis C (untuk deteksi PMS). Pada kasus anak korban kekerasan fisik dan atau kekerasan seksual, anak tidak hanya menderita cedera fisik tapi juga mengalami perubahan perilaku dan mental emosional. Pada anak korban kekerasan seksual seringkali justru problem mental ini lebih menonjol. Oleh sebab itu penatalaksanaan medik pada anak korban kekerasan harus mencakup evaluasi dan penatalaksanaan problem mental dan perilaku yang menyertainya. Ketakutan, cemas berlebih, gangguan tidur ( nightmare), regresi perilaku, hiperaktif, agresif, menarik diri, depresi (perlu diwaspadai risiko suicide ), gangguan stres pasca trauma (PTSD), adalah problem mental yang biasa dijumpai pada anak korban kekerasan. Pada kasus yang mengalami gangguan psikiatrik berat seperti PTSD, depresi berat, serangan panik, atau histeria akut, atau keadaan darurat psikiatrik lainnya, Tenaga kesehatan dapat melakukan pertolongan darurat psikiatrik dengan memberikan obat-obat psikofarmaka seperti diazepam, haloperidol, klorpromazin. Selanjutnya kasus dapat dirujuk ke Psikiater atau Psikolog.

PENATALAKSANAAN PSIKOSOSIAL Penatalaksanaan psikososial adalah upaya pertolongan terhadap anak korban kekerasan yang ditujukan pada pembenahan aspek psikoedukatif dan sosiokultural yang berperanan terhadap kejadian kekerasan pada korban. Termasuk dalam upaya ini adalah intervensi psikososial terhadap keluarga korban, mengamankan anak dari pelaku kekerasan, membebaskan anak dari siklus kekerasan, pendampingan psikologik dan upaya rehabilitasi psikososial, serta upaya hukum terhadap korban (misalnya pengalihan hak asuh) maupun pelaku (sangsi hukum). Sebagian besar perlakuan kekerasan terhadap anak terjadi dalam keluarga, dan melibatkan salah satu atau kedua orang tua sebagai pelakunya. Anak korban kekerasan seringkali berasal dari keluarga dengan pola relasi yang patologik antara anggota keluarganya khususnya antara kedua orang tuanya. Sering ditemukan salah satu atau kedua orang tuanya mempunyai gangguan kepribadian yang cenderung mudah melakukan kekeraan ( abusive parent ). Intervensi psikososial terhadap keluarga dari anak korban kekerasan mutlak harus dilakukan. Pada kasus kekerasan yang bukan dilakukan dalam keluarga, intervensi keluarga tetap harus dilakukan karena dalam hal ini keluarga menjadi korban tak langsung yang membutuhkan pertolongan. Intervensi awal berupa evaluasi dan tindakan persuasi terhadap orang tua korban dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan. Hal ini penting untuk merencanakan langkah perlindungan anak dari berulangnya perlakuan kekerasan terhadap dirinya. Pada situasi sederhana dimana tindakan kekerasan yang dilakukan orang tua terhadap anak disebabkan pengetahuan

68

yang salah tentang pola asuhan anak, maka tenaga kesehatan dapat melakukan konseling dan psikoedukasi terhadap keluarga. Pada situasi disfungsi keluarga yang kompleks atau abusive parents  perlu rujukan ahli jiwa (psikiater atau psikolog) untuk melakukan terapi keluarga. Pada kasus ini juga diperlukan rujukan aspek hukum untuk proses pengalihan hak asuh (sementara atau tetap), sanksi hukum terhadap pelaku, penetapan keluarga dibawah pengawasan, dan sebagainya. Tenaga kesehatan dalam menyusun rencana penatalaksanaan terhadap anak korban kekerasan, seyogyanya mempunyai pengetahuan dan memiliki akses terhadap lembaga-lembaga perlindungan anak. Hal ini perlu untuk tindak lanjut bagi kasus yang secara medik sudah selesai namun masih membutuhkan bantuan untuk pemulihan aspek psikososial, pengamanan korban dari pelaku, bantuan kesejahteraan sosial (misalnya anak terlantar), dan perlindungan serta pembelaan hukum.

 ASUHAN KEPERAWATAN Prinsip prinsip asuhan keperawatan pada anak Keperawatan anak konsisten dengan prinsip ‘caring’  yaitu memberi penekanan pada perumusan diagnosa keperawatan dan tindakan untuk mengatasi respon klien (anak dan keluarga) terhadap masalah yang aktual maupun potensial. Dalam merawat anak dengan child abuse/neglect, perawat harus memperhatikan prinsip prinsip keperawatan anak sebagai berikut: 1. Menggunakan pendekatan asuhan yang berpusat pada keluarga dimana keluarga dipandang sebagai pusat perhatian dalam melaksanakan asuhan dan keluarga harus diberdayakan dalam perawatan anak. Konsekuansi dari pendekatan ini adalah tidak membatasi orang tua untuk ikut terlibat merawat anak di rumah sakit, dengan pemikiran bahwa orang tua dapat dibelajarkan dalam merawat anak. Perawat harus dapat memberi pendidikan kesehatan pada orang tua terkait dengan perawatan anaknya dengan terlebih dahulu mengkaji kemampuan belajar mereka. 2. Memberikan tindakan terapeutik (pendekatan atraumatic care), dimana segala bentuk tindakan keperawatan yang diberikan harus dapat mengurangi atau menghilangkan distress fisik maupun psikologis yang dialami anak maupun keluarganya. Tindakan dapat mencakup perawatan langsung pada anak terutama pada saat mempersiapkan anak untuk dilakukan prosedur khusus, memfasilitasi orang tua untuk dapat merawat anaknya, memodifikasi lingkungan perawatan yang kondusif bagi perawatan anak termasuk sikap/perilaku petugas kesehatan dalam merawat anak

Peran perawat dalam penatalaksanaan anak dengan CAN. Pada prinsipnya perawat anak mempunyai peran sebagai berikut:: 1. Pembina hubungan yang terapetik dengan anak/keluarganya . Selama perawatan berlangsung, perawat harus menciptakan suasana hubungan antara perawat dan tenaga kesehatan lain terhadap pasien tetap dalam keadaan yang kondusif untuk pencapaian tujuan terapi. 2. Pemberi Advocacy (perlindungan) . Perawat harus mengupayakan adanya pendekatan yang dapat mengakomodasikan adanya kebijakan pelayanan kesehatan yang dapat melindungi hak pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang terbaik.

69

3. Pendidik. Dengan memberikan penyuluhan atau pendidikan kesehatan, perawat dapat mentransfer ilmu pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan pemahaman tentang CAN dan dampaknya pada anak dan keluarga serta aspek perawatan pada umumnya sehingga anak atau keluarga tidak mempunyai persepsi yang salah, dengan bersikap sensitif terhadap budaya yang ada pada keluarga. 4. Konselor . Dengan memberikan konseling perawat dapat membantu anak dan keluarganya untuk dapat mengambil keputusan yang tepat berkaitan dengan pemecahan masalah berkaitan dengan perawatan anaknya baik selama di rumah sakit maupun untuk di rumah atau di masyarakat. 5. Membantu keluarga memelihara kesehatan . Bantuan pemeliharaan kesehatan terutama dilakukan dengan memperhatikan asupan nutrisi yang adekwat, imunisasi dan personal hygiene. Serta pemeliharaan lingkungan yang sehat dan aman bagi anak. Untuk itu perawat dapat menyakinkan bahwa anak mendapatkan kebutuhan-kebutuhan tersebut. 6. Kolaborator dengan disiplin ilmu lain . Sebagai tenaga kesehatan yang 24 jam berada disamping pasien, perawat harus dapat berperan untuk memfasilitasi terjadinya proses kolaborasi yang baik dari semua disiplin ilmu yang diperlukan anak. Terlebih lagi pada kasus anak dengan CAN dimana penanganannya memerlukan pendekatan multidisiplin, termasuk semua dokumen anak sebagai dari hasil upaya kolaborasi tersebut harus dijaga kelengkapan dan keamanannya. 7. Pembuat keputusan etik bagi anak dan keluarganya . Pada dasarnya peran ini berkaitan dengan peran sebagai advocacy tetapi lebih menekankan pada aspek etik, karena pada dasarnya perawat harus menyadari bahwa perawatan anak dengan CAN sangat banyak bersinggungan dengan aspek etik, tentunya dengan cara berkolaborasi dengan tenaga professional kesehatan lain. 8. Penyulit . Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan perawatan, perawat mempunyai peran sebagai peneliti terutama dengan fenomena sentral adalah kebutuhan anak dan keluarga dengan berfokus pada area praktek keperawatan. 9. Perencanaan pelayanan kesehatan . Pada level tertentu seperti kepala ruangan, pengawas atau kepala bidang perawatan, perawat harus berperan dalam merumuskan kebijakan dalam perencanaan pelayanan kesehatan, baik pad aspek sumber daya keperawatan, sarana dan prasarana perawatan dan kebijakan pelayanan perawatan lainnya. Berdasarkan uraian peran tersebut diatas, maka tindakan yang dapat dilakukan perawat dalam merawat anak dengan CAN pada tiga tingkat pencegahan adalah sebagai berikut: 1. Pencegahan tingkat pertama ( prevensi primer ) a. Memberikan pendidikan kesehatan pada kelompok atau komunitas tenatng hal yang berkaitan dengan pemahaman CAN dan dampaknya bagi anak dan keluarga, dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya CAN bagi anak maupun keluarga. b. Memberikan perlindungan pada anak dengan cara membantu keluarga mengantisipasi hal-hal yang dapat menimbulkan CAN (anticipatoru guidance program).

70

2. Pencegahan tingkat kedua ( prevensi sekunder ) a. Melakukan deteksi dini terhadap anak dengan CAN, dengan cara sensitive pada saat melakukan pengkajian ataupun observasi terhadap anak yang datang untuk meminta perawatan di klinik atau ruang perawatan. b. Memberikan konseling pada anak/keluarga. c. Meluangkan waktu bersama keluarga untuk dapat mengidentifikasi kebutuhan kebutuhan perawatan dalam mengatasi masalah anak dengan CAN. d. Melaksanakan perawatan langsung pada anak korban abuse/neglect dengan penekanan pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar anak yang terganggu, yang mencakup kegiatan sebagai berikut: Pemenuhan kebutuhan dasar fisiologis baik dalam keadaan akut maupun perawatan lanjutan mencakup : o Oksigenisasi : bernapas normal o Nutrisi dan cairan o Eliminasi o Istirahat dan tidur  o Mobilitas/gerak o Personal hygiene o Termoregulasi : suhu tubuh yang normal o Perawatan luka Pemenuhan kebutuhan dasar psikososial mencakup : o Rasa aman (terhindar dari rasa takut) dengan memberikan dukungan psikologis pada anak dan memfasilitasi keluarga untuk berada didekat anak, apabila tidak ada indikasi untuk mendapatkan intervensi khusus. o Manajemen nyeri : distraksi/relaksasi dan pemberian obat sesuai dengan program pengobatan. o Meyakinkan anak terhindar dari bahaya lingkungan dan menghindari melukai diri sendiri atau orang lain. o Rujukan pada psikolog/psikiater bila anak memerlukan rujukan pada LPA untuk proses perlindungan hokum yang diperlukan. 3. Pencegahan tingkat kedua (prevensi skunder) a. Membantu anak untuk pemulihan kesehatan dengan memperhatikan konsumsi nutrisi yang adekwat dan pengobatan yang diperlukan. b. Membantu anak untuk dapat kembali ke liingkungan keluarga dan masyarakat dengan percaya diri dan penuh harapan menghadapi masa depannya. Dorong anak untuk mengembangkan sikap positip terhadap dirinya dengan menguatkan segala kelebihan yang dimilikinya.

Proses keperawatan sebagai pendekatan dalam merawat anak dengan CAN Proses keperawatan adalah metoda pemecahan masalah pasen yang menggambarkan rangkaian tindakan keperawatan yang sistimatis dan terarah terdiri dari pengkajian, perumusan diagnosa keperawatan, perencanaan tindakan, implementasi dan evaluasi.

1. Pengkajian Tahap pengkajian menggambarkan proses berkesinambungan pada semua fase pemecahan masalah sebagai dasar dalam mengambil keputusan. Kegiatan ini terdiri dari pengumpulan data, klasifikasi data, dan analisa data dari berbagai sumber data yang dapat digunakan yaituanak, keluarga, tenaga kesehatan lain, hasil hasil pemeriksaan diagnostik dan dokumen medik lainnya yang relevan. Data yang

71

dikumpulkan terdiri dari data dasar pada saat pertama pasen masuk dan data focus yaitu yang mengarah pada perumusan masalah Data focus yang harus dikaji adalah sebagai berikut: a. Riwayat pre natal, yang mencakup Kemampuan ibu menjalankan tugas selama mengalami kehamilan Masalah masalah yang dialami berhubungan dengan peran menjadi orang tua Kemampuan orang tua dalam mengatasi masalah b. Adanya Riwayat abuse/neglect c. Interaksi suami istri dan antar anggota keluarga yang tidak adekwat d. Adanya konflik emosional pada keluarga dan kemampuan koping yang dimiliki e. Adanya krisis situasional (PHK, perceraian, kelahiran yang tidak diinginkan, kelahiran dengan masalah penyakit, salah satu anggota keluarga menderita penyakit serius f. Orang tua tidak memahami arti pertumbuhan dan perkembangan anak g. Orang tua tidak mengetahui cara cara yang dapat dilakukan untuk stimulasi tumbuh kembang anak h. Harapan hidup orang tua yang tidak realistic i. Perilaku yang ditunjukkan anak dan tanda tanda gangguan harga diri rendah  j. Tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak yang tidak sesuai usia k. Kondisi psikososial yang ditunjukan anak dan orang tua seperti marah, sedih, cemas, takut, depresi dan harga diri rendah

2. Diagnosa keperawatan Tahap kedua dari proses keperawatan adalah perumusan diagnosa keperawatan. Diagnosa keperawatan merupakan keputusan klinik perawat tentang respon individu, keluarga atau masyarakat terhadap kondisi masalah yang sedang berlangsung atau yang potensial terjadi. Tahap ini paling kritikal bagi perawat karena menjadi dasar dalam pengambilan keputusan untuk melakukan tindakan pada pasen. Diagnosa keperawatan terdiri dari rumusan masalah (problem=P), penyebab (etiologi=E) dan faktor faktor yang berkontribusi atau data pendukung masalah (symphtom=S). Pernyataan masalah (P) menyatakan respon anak atau keluarga terhadap gangguan dalam proses kehidupannya, pola fungsi atau perkembangan, etiologi (E) menggam,barkan faktor fisik, situasi dan maturasi yang menyebabklan timbulnya masalah dan tanda/gejala (S) berhubungan dengan sekumpulan tanda tanda dan gejalayang ditunjukkan pasen yang menunjukkan adanya masalah kesehatan. Pada kasus anak dengan CAN maka kemungkinan diagnosa keperawatan yang dapat muncul adalah sebagai berikut: 1. Nyeri berhubungan dengan cedera akiba abuse 2. Risiko tinggi injuri berhubungan dengan adanya riwayat abuse, adanya ancaman dari keluarga 3. Perubahan pada pertumbuhan dan perkembangan anak berhubungan dengan tidak adekwatnya pola asuh dan pola didik serta interaksi keluarga yang tidak efektif  4. Gangguan harga diri berhubungan dengan adanya abuse emosional dan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar anak 5. Cemas berhubungan dengan akan terulangnya abuse, 6. Gangguan body image berhubungan dengan cidera akibat abuse

72

7. Tidak efektifnya koping keluarga berhubungan dengan konflik emosional, hubungan yang ambivalen dalam kluarga dan krisis situasional 8. Kurangnya pengetahuan keluarga tentang pertumbuhan dan perkembangan anak dan upaya stimulasitumbuh kembang yang dapat dilakukan

3. Perencanaan tindakan Setelah diagnosa keperawatan dirumuskan, maka disusun rencana tindakan keperawatan yang merupakan petunjuk bagi perawat untuk membantu pasen dalam memecahkan masalahnya. Pada langkah perencanaan keperawatan dilakukan sebagai berikut: Perumusan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat berdasarkan masalah atau diagnosa keperawatan yang telah diprioritaskan berdasar pada tingkatan kebutuhan dasar manusia dan mempertimbangkan tingkat kegawatannya Identifikasi jenis tindakan keperawatan yang dapat dipilih, bisa sebagai tindakan mendiri perawat atau tindakan kolaboratif dengan anggota tim kesehatan lain, misalnya dokter, psikolog, psikiater, praktisi hukum dan profesi lainnya yang terkait dengan penatalaksanaan anak dengan child abuse Berdasarkan contoh diagnosa keperawatan yang dapat dirumuskan pada point 2 diatas maka contoh rencana keperawatan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut: DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Nyeri berhubungan dengan cedera akibat abuse

TUJUAN & KRITERIA HASIL Tujuan: Nyeri berkurang atau hilang setelah dilakukan tindakan keperawatan Kriteria hasil:  Anak tidak mengeluh nyeri Ekspresi wajah tenang Skala nyeri berkurang dari nyeri berat (skala 8-10) ke nyeri sedang (skala 4-7) atau nyeri sedang ke ringan (1-3).

TINDAKAN KEPERAWATAN 1.1. 1.2. 1.3.

1.4.

Berikan analgetik sesuai program pengobatan Lakukan teknik distraksi dengan mengajak anak bermain Pada anak usia sekolah dan remaja ajarkan teknik relaksasi dengan menarik nafas dalam saat terasa nyeri Fasilitasi orang tua untuk selalu berada di dekat anaknya

2. Risiko tinggi terjadi injuri sehubungan dengan adanya riwayat abuse, adanya ancaman dari keluarga

Tujuan: Injuri tidak terjadi setelah tindakan keperawatan dilakukan Kriteria Hasil:  Anak tidak mengalami injuri Orang tua mengekspresikan persepsinya tentang kebutuhan untuk meminta pertolongan pada orang yang tepat

2.1. Catat dan laporkan apabila ada gejala injuri pada anak 2.2. Rujuk keluarga pada agensi yang ada yang memberi layanan perlindungan anak 2.3. Observasi sikap keluarga dalam kaitannya dengan kemungkinan terjadinya injuri pada anak 2.4. Rujuk keluarga pada tenaga ahli lain yang tepat dalam kaitannya dengan persepsinya terhadap kebutuhannya 2.5. Observasi dan catat kondisi interaksi antara anak dan orang tua 2.6. Diskusikan dengan orang tua tentang komitmen untuk belajar dan menjalankan strategi koping yang efektif.

3. Perubahan pada pertumbuhan dan perkembangan anak sehubungan dengan tidak adekuatnya pola asuh dan pola didik serta interaksi keluarga yang tidak efektif 

Tujuan: Anak menunjukkan pola pertumbuhan dan perkembangan yang normal setelah dilakukan tindakan keperawatan Kriteria hasil: Pada hasil penilaian tumbuh kembang anak menunjukkan pola tumbang yang normal sesuai usianya Orang tua dan anak menunjukkan perubahan yang adaptif dalam interaksinya

3.1.Kaji tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak ,baik mencakup komponen fisik (BB dan TB), ketrampilan motorik, kognitif, interaksi sosial dan perilaku/moral 3.2. Yakinkan bahwa anak dapat berada dalam pengawasan perawat 3.3. Tunjukan perilaku bahwa perawat menerima kondisi anak dengan melakukan interaksi yang efektif dan harapan yang konsisten 3.4. Berikan respon yang konsisten pada anak atas kemampuan tumbang yang dicapai dan berikan reinforcement

73

3.5. Rujuk anak pada dokter/psikolog untuk mendapatkan dukungan atas pertumbuhan dan perkembangan yang dicapai dan apabila tingkat tumbang anak tidak sesuai dengan usianya 4.Cemas pada anak berhubungan dengan akan terulangnya abuse

Tujuan: Cemas berkurang atau hilang setelah tindakan keperawatan Kriteria hasil:  Anak menunjukkan ekspresi muka wajar  Tidak gelisah Tidak mengajukan pertanyaan yang mencerminkan rasa takut  Anak mau kembali pada lingkungan keluarganya/masyarakat dimana dia tinggal

4.1.Lakukan deteksi dini terhadap kemungkinan akan berulangnya abuse pada anak dengan cara mengidentifikasi factor penyebab abuse yang baru terjadi dan respon/perilaku keluarga pada anak 4.2. Berikan konseling pada anakdan atau keluarga 4.3.Luangkan waktu bersama anak dan keluarga untuk mengidentifikasi kebutuhan kebutuhan dalam mengatasi masalah anak dengan CAN

4. Implementasi keperawatan Pada tahap ini rencana tindakan yang telah disusun sebelumnya, dilaksanakan dengan mempertimbangkan prinsip efektifitas dan efisiensinya. Setiap melakukan tindakan pada anak.keluarga harus diobservasi bagaimana respon mereka terhadap tindakan yang dilakukan. Tindakan keperawatan ditekankan pada keamanan anak dan rasa tenang serta nyaman berada di lingkungan perawatan. 5. Evaluasi Merupakan langkah terakhir dalam asuhan keperawatan anak dengan CAN. Kemungkinan yang dapat didapat dari hasil evaluasi adalah masalah dapat teratasi, masalah belum dapat teratasi dan muncul masalah baru. Kriteria hasil yang diharapkan secara umum pada perawatan anak dengan CAN adalah sebagai berikut: 1. Rasa nyeri akibat perlukaan hilang 2. Anak menunjukkan rasa percaya diri 3. Tidak ada kecemasan yang ditunjukkan anak maupun keluarganya 4. Anak dapat kembali ke lingkungan keluarga/masyarakat dan berinteraksi seperti sediakala 5. Keluarga dapat meneruskan tugas dalam membantu anak untuk tumbuh dan berkembang sesuai usianya 6. Keluarga menerima anak apa adanya dan meminta pertolongan kepada tenaga professional secara tepat 7. Pertumbuhan dan perkembangan anak berjalan sesuai usianya

SISTEM RUJUKAN Sistem rujukan pada kasus child abuse  adalah, suatu pola kerjasama lintas sektoral dan multidisiplin, yang bertujuan memberikan layanan dan perlindungan secara optimal pada anak korban kekerasan, sesuai dengan kapasitas dan bidang keahlian masing-masing. Sistem rujukan yang baik akan membantu mereka yang membutuhkan pertolongan mendapatkan pelayanan yang benar, efektif dan efisien. Tenaga kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan primer (Puskesmas, Klinik 24 Jam, Balai Pengobatan, Dokter Praktik Swasta) seringkali menjadi pintu masuk atau

74

rujukan awal dari kasus child abuse . Kasus bisa datang langsung dari masyarakat umum yang menemukan korban (misal pada anak korban kekerasan nondomestik) atau dari keluarga korban atau bahkan dari pelaku kekerasan (misalnya pada kasus kekerasan domestik). Kasus juga bisa berasal dari lembaga lembaga perlindungan anak, atau dari aparat kepolisian. Pada kasus yang dibawa oleh masyarakat pada umumnya bertujuan untuk mendapatkan pertolongan medis. Sedang pada kasus yang berasal dari lembaga perlindungan anak, lembaga hukum, dan kepolisian, selain bertujuan untuk mendapatkan pertolongan medis, juga untuk mendapatkan data medis adanya tindak penganiayaan guna pembuktian hukum. Dalam kerangka pertolongan medis alur rujukan kasus mengacu pada pertimbangan rasional antara status medis korban, kapasitas fasilitas pelayanan kesehatan, dan kompetensi tenaga kesehatan yang ada. Pada umumnya jenjang rujukan sesuai dengan peringkat fasilitas pelayanan kesehatan, misalnya ; Puskesmas dan Balai Pengobatan hanya melakukan tindak medis dasar. Rumah Sakit Tipe C memberikan layanan spesialistik dasar, Rumah Sakit Tipe B menyediakan layanan spesialistik lengkap, sedangkan Rumah Sakit tipe A adalah pusat rujukan akhir yang mampu melakukan layanan spesialistik secara paripurna. Meskipun demikian masih sangat sedikit pusat layanan kesehatan yang mempunyai fasilitas layanan terpadu bagi anak korban kekerasan. Selain pertolongan medis, kasus child abuse  membutuhkan intervensi psikososial, perlindungan dan bantuan hukum. Oleh sebab itu proses rujukan tidak cukup sampai pertolongan medis saja. Pada beberapa kasus, misalnya pada anak korban kekerasan domestik, seringkali intervensi psikososial justru merupakan komponen mendasar dari penyelesaian kasus. Pada kasus perdagangan anak aspek hukum menjadi komponen yang dominan dari upaya perlindungan anak. Oleh sebab itu proses rujukan kasus seyogyanya merupakan kajian tim multidisiplin. Kasus child abuse  yang membutuhkan pendampingan psikososial, dapat dirujuk pada lembaga-lembaga pemerhati anak seperti Lembaga Perlindungan Anak, Women Crisis  Center , Yayasan Kesejahteraan Anak dan sebagainya. Seyogyanya pemerintah melalui Komisi Perlindungan Anak Indonesia melakukan identifikasi dan stratifikasi peran dan kapasitas masing-masing lembaga pemerhati anak dan menyusun directory  yang disosialisasikan ke masyarakat. Dengan demikian akan mempermudah proses rujukan kasus (seperti stratifikasi Pusat Layanan Kesehatan). Pendampingan psikososial pada kasus kekerasan domestik seringkali merupakan masalah yang kompleks. Menjauhkan anak dari pelaku kekerasan berarti memisahkan anak dari keluarganya. Atau mengembalikan anak ke keluarganya berarti memulangkan anak pada siklus kekerasan yang terus akan mengancam kehidupannya. Dalam hal ini lembaga perlindungan anak yang menyediakan layanan rujukan psikososial diharapkan mempunyai kapasitas dan legalitas untuk melakukan intervensi keluarga, seperti merekomendasikan keluarga untuk menjalani terapi, menyediakan rumah aman dan orang tua pengganti ( foster parent ) bagi anak yang sementara terpaksa dipisahkan dari keluarganya, dan memberikan layanan rehabilitasi mental untuk memulihkan anak dari dampak perlakuan kekerasan yang dialaminya. Pada kasus yang membutuhkan bantuan/perlindungan hukum, misalnya mengajukan pelaku pemerkosaan ke pengadilan, atau pencabutan hak asuh orang tua terhadap anak, dan keputusan-keputusan hukum lain yang dibutuhkan bagi penyelamatan anak dari tindak kekerasan, diperlukan rujukan ke lembaga bantuan hukum atau badan hukum lainnya (termasuk Kepolisian).

75

Secara ringkas sistem rujukan sebetulnya merupakan implementasi dari child  protection system  dalam penanganan korban child abuse . Alur rujukan dimulai dari laporan kasus oleh masyarakat atau lembaga. Selanjutnya dilakukan penilaian awal terhadap kasus untuk menentukan status prioritas pertolongan. Bila terdapat masalah medis lakukan pertolongan sesuai alur rujukan medis, kemudian lakukan penilaian terhadap keluarga, apabila perlu intervensi keluarga rujuk pada lembaga yang berwenang (atau ahli terapi keluarga). Apabila diperlukan proses hukum, rujuk ke badan hukum yang berwenang (Lembaga Bantun Hukum, Kepolisian, dsb). Perencanaan pertolongan terhadap kasus secara paripurna dilakukan oleh tim multidisiplin dengan mempertimbangkan semua aspek medikopsikososial di atas. Selanjutnya tim melakukan evaluasi dan monitoring terhadap perjalanan penyelesaian kasus sesuai rencana yang disepakati.

PENDEKATAN MULTIDISIPLINER Penatalaksanaan kasus anak korban kekerasan merupakan pengelolaan multidisiplin, melibatkan kerjasama dari lembaga pelayanan kesehatan, lembaga perlindungan anak, lembaga bantuan hukum, aparat penegak hukum, dan lembaga-lembaga sosial masyarakat yang bergerak dalam perlindungan anak. Dokter dan tenaga kesehatan lain yang bekerja pada fasilitas pelayanan kesehatan primer (Primary Health Care Worker /  tenaga kesehatan) sering merupakan tangan terdepan dalam menghadapi kasus anak korban kekerasan. Mereka seyogyanya memiliki keterampilan dalam melakukan deteksi dini kasus anak korban kekerasan, melakukan tindakan pertolongan gawat darurat, intervensi psikososial awal terhadap pasien maupun keluarganya, melakukan rujukan medik spesialistik, serta melakukan rujukan psikososial. Dalam hal ini tenaga kesehatan seyogyanya mempunyai akses dengan lembaga-lembaga multidisiplin yang bergerak dibidang perlindungan anak. Dengan demikian penatalaksanaan paripurna terhadap kasus anak korban kekerasan merupakan alur hubungan timbal balik antara pertolongan medik dasar   rujukan medik spesialistik  rujukan pelayanan psikososial (termasuk intervensi keluargga)  rujukan perlindungan dan bantuan hukum.

76

Pedoman Ringkas Penatalaksanaan Anak Korban Kekerasan Kekerasan Fisik Aspek Klinis  Emergensi medik (syok, perdarahan masif, kejang) 1. Cedera kompleks non emergensi (luka bakar  luas, fraktur multipel) 2. Cedera sederhana (luka bakar ringan, laserasi superfisial) Penatalaksanaan Medik  Life saving (A,B,C), pemeriksaan penunjang, observasi ketat rujuk Pertolongan awal (perawatan luka, fiksasi) pemeriksaan penunjang rujuk sesuai indikasi Perawatan paripurna sesuai fasilitas PHC

Kekerasan Seksual Aspek Klinis  Emergensi medik (perdarahan masif area anogenital, emboli, sepsis) Cedera / infeksi ano-uro-genital kompleks non emergensi (termasuk kehamilan) Cedera / infeksi sederhana (laserasi ringan, simple STD) Penatalaksanaan  Life saving stabilisasi KU  rujukan darurat Pertolongan awal  pemeriksaan penunjang  rujukan elektif  Pengobatan paripurna  pemeriksaan penunjang ( evaluasi kehamilan

Kekerasan Emosional & Penelantaran Aspek Klinis Pada kasus penelantaran sering tampil sebagai malnutrisi, defisiensi gizi, failure to trive. Keluhan keluhan psikosomatis kronis Penatalaksanaan Perawatan kondisi medik umum, perbaiki asupan gizi Pemeriksaan penunjang untuk menyingkirkan penyakit organik ( penelusuras aspek psikososial

Psikososial   Aspek Problem perilaku & emosi pada anak (cemas, ketakutan, depresi, iritabilitas Problem keluarga (family disfunction, abusive parent) Problem sosial (anak jalanan, kriminalitas) Penatalaksanaan  Pendampingan psikologis sesuai usia anak  rujuk psikolog atau psikiater  Intervensi keluarga, anak di amankan, rujuk ke lembaga perlindungan anak  Anak diamankan, rujuk ke LPA  proses perlindungan hukum

Aspek Psikososial Problem perilaku & emosi pd anak (ketakutan, agresif, depresi, PTSD) Problem keluarga (abusive parent, family disfunction) Problem sosial (child trafficing, perkosaan kriminal) Penatalaksanaan Pendampingan psikologis sesuai usia anak( rujukan ke Psikolog /Psikiater  Intervensi keluarga, amankan anak( rujuk ke LPA, proses hukum  Amankan anak ( rujuk LPA, perlindungan hukum

Aspek Psikososial Problem perilaku dan emosi (gangguan belajar, hiperaktif, cemas menghindar, psikosomatis ) Problem keluarga (family disfunction, persepsi pola asuh yg salah ) Problem sosial ( anak jalanan ) Penatalaksanaan Dalam kasus kekerasan emosional seringkali anak belum perlu dipisahkan dari keluarga, umumnya pendampingan psikologis terhadap anak dan keluarga dilakukan simultan. Pada kasus penelantaran anak dan anak terlantar diupayakan orang tua pengganti.

77

ALUR TATALAKSANA CAN DI RUMAH SAKIT

LAPORAN CAN  (datang sendiri, dilaporkan masyarakat, rujukan dokter, puskesmas dan lainlain)

MASUKAN

PENILAIAN

DITERIMA KOMITE / TIM CAN

DIBAHAS & DIPUTUSKAN

TIDAK DILANJUTKAN

DILANJUTKAN

PELAPORAN KASUS CAN

PENANGANAN KASUS DITUTUP

TIDAK ADA PENANGANAN PENILAIAN

DIULAS OLEH KOMITE CAN

KASUS DITUTUP

PENANGANAN LANJUTAN

78

KEPUSTAKAAN 1. American Medical Association : Facts about child abuse and neglect ; available at http://www.ama.assn.org/ama/pub/category/4715.html 2. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson Textbook of pediatrics. Philadelphia: WB Saunders company, 2001. 3. Bernet, W : Child maltreatment, In Kaplan & Sadocks Comprehensive Textbook of Psychiatry, 7 th ed; Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, 2000, chapter  49 :2878 –2889 4. Bethea L. Primary Prevention of Child Abuse. American Family Physician, 1999; 59:1-4. 5. Budhiman M. Tumbuh Kembang. Dalam : Markum AH, Ismael S, Alatas H, dkk, penyunting. Buku ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid I. Jakarta : Fakultas Kedokteran UI, 1991; 9-69. 6. Clunn, P. (1995). Child Psychiatric Nursing. St. Louis: Mosby Co. 7. Dhama A. Perkembangan anak; edisi ke-6. Jakarta : Penerbit Erlangga, 1988; 22-280. 8. Emans S.J, Laufer M.R., Goldstein D.P., Pediatric and Adolescent Gynecology. Fourth edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 1998 9. Hay WW, Hayward AR, Levin MJ, Sondheimer JM. Current pediatric Diagnosis & Treatment. Toronto, Lange Medical Books, edisi ke-15, 2001.h 190-1. 10. Johnson CF. Child maltreatment 2002 : recognition, reporting and risk. Pediatr Int 2002; 44:554-60 11. Kessen W, Scott D. the development of behaviour : problem, theories and findings. Dalam : Levine MD, Carey WB dkk, penyunting. Developmental behavioral pediatrics. Philadelphia : Saunders, 1983; 27-48. 12. Kitab Undang Undang Hukum Pidana 13. Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana 14. Konvensi Hak Anak setelah diratifikasi dengan Keppres No. 19 tahun 1990. 15. Leskauskas D. Relationship between the suicidal attempts of adolescent girls and risk factors in the family. Medicina (Kaunas) 2002; 38:387-92 16. Lewis Melvin, A Comprehensive Text Book of Child and Adolescent Psychiatry, William & Wilkins 17. Litt IF, Vaughan VC. Growth and development. Dalam : Behrman RE. K Iregman RM, Jenson, penyunting. Textbook of pediatrics; edisi ke-4. Philadelphia : Saunders, 1992; 13-32. 18. Mayers, M & Jacobson, A. (1998). Clinical Care Plans Pediatric Nursing. New York: Mc. Graw Hill 19. Meadow Roy, ABC of Child Abuse, 3 rd ed. BMJ Publ.Co, Bristol, 1997 20. Monteleone J.A., Child Maltreatment. St. Louis : G.W. Medical Publishing, Inc, 1994 21. Passat J. Kelainan perkembangan motorik. Dalam : Pusponegoro HD, Passat J, Mangunatmaja I, dkk, penyunting. Neurologi Anak dalam praktek sehari-hari. Naskah lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Anak XXXIV. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1995; 23-43. 22. Pollak M. Textbook of development pediatrics : development and motor  development; edisi pertama. Dinburg : Churchill livingstone, 1993; 19-187. 23. Rawlins, R.P., Wiliams, S.R. and Beck, C.K. (1993). Mental Health Psychiatric Nursing. A Holistic Life cycle Approach. St. Louis: Mosby Company

79

24. Soetjiningsih, Ranuh IG.N G. Tumbuh kembang anak. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC, 1998: 165-75. 25. Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. Dalam : Gde Ranuh IGD, penyunting. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC, 1995; 1-32. 26. Stuart, G.W & Sundeen, S.J. (1995) Principles & Practice of Psychiatric Nursing. St Louis: Mosby 27. Stuart, G.W &Laraia, M.T. (1998). Principles and Practice of psychiatric Nursing, St.Louis: Mosby Co 28. The Future of children : Domestic violence and children ; available at http://www.futureofchildren.org/dvc/exsum_23htm 29. Turner Js, Helms DB. Lifespan development, edisi ke-3. New York : CBS college publishing, 1987; 131-78. 30. Undang Undang Dasar 1945 sesudah diamandemen. 31. Undang Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak 32. United Nation, ESCAP HRD Course on Psychosocial and Medical Services for  Sexually Exploited Children and Youth 33. Vizcarra MB, Cortes J, Bustos L, Alarcon M, Munoz S. Child abuse in the city Temuco. Prevalence study and associated factors. Rev Med Child 2001; 129:1425-32 34. Watson RI, Lindgren HC. Psychology of the child, edisi ke-3. New York : John Wiley & Sons Inc, 1973; 58-186. 35. WHO, The Effect of Trauma & Violence on Children & Adolescents, World Mental Health Day 2002 36. Widiatmaka W, Gunardi H. Buku Panduan Tatalaksana kasus penganiayaan dan penelantaran anak. Jakarta, IDI, 2000. 37. Williams, JJ : The Circle of Abuse, In : A Clinical Guide and Reference , chapter  16: 285 – 299 38. Wilson, H.S & Knelisl, C.R. (1996). Psychiatric Nursing. California: Addison Wesley 39. WMA Statement on Child Abuse and Neglegt 40. Wong, D.L. (2001). Essentials of Pediatric Nursing. St Louis; Mosby

80

LAMPIRAN

SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA Sejarah lahirnya HAM sesungguhnya sudah dimulai tahun 1776 yang dikenal dengan „the rights of man ” Yang dalam perkembangannya bergeser menjadi human rights . Peristiwa penting dalam gerakan memajukan ham adalah disetujuinya oleh Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa Deklarasi Universal HAM (DUHAM) pada tahun 1948. DUHAM sendiri secara legal tidak mengikat 48 negara yang menyetujui dan tidak dirancang sebagai dokumen legal yang mengikat tetapi merupakan sebuah pernyataan bersama untuk mengakhiri segala bentuk penindasan, perbudakan dan tindakan sewenang-wenang yang menyebabkan penderitaan umat manusia terutama pada perang dunia I dan II. DUHAM kemudian diikuti oleh 2 Kovenan Internasional yaitu  Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik  dan Kovenan  Internasional tentang Ekonomi, Sosial dan Budaya . Kedua kovenan tersebut telah disetujui pada tahun 1966 dan mulai berlaku pada tahun 1976. DUHAM dan kedua kovenan disebut sebagai International  Bill of Rights  atau Undang-Undang Tentang Internasional Hak Asasi Manusia. Perkembangan penting lain yang harus dicatat dalam perkembangan HAM adalah bertemuanya 185 negara pada untuk mengikuti konferensi dunia tentang hak asasi manusia di Wina. Konferensi Wina telah melahirkan Deklarasi  Wina dan Program Aksi yang diterima secara aklamasi pada Juni 1993. Indonesia sendiri telah membuat langkah-langkah kongkrit dalam upaya pemajuan dan perlindungan HAM melalui ratifikasi  sejumlah konvensi internasional yaitu: Konvensi Hak Politik Perempuan (1958), Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (1984), Konvensi Hak Anak (1990), Konvensi tentang Anti penyiksaan (1998) dan Konvensi Anti Rasial (1999) dan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 1998-2003. Namun sampai saat ini(2003), Indonesia belum meratifikasi kedua Kovenan Internasional HAM tersebut. Dari sejarah HAM ini dapat dilihat sejauhmana komitmen peserta dalam mengaplikasi setiap permasalah-permasalahan yang terjadi dalam upaya pemajuan hak asasi manusia di Indonesia. TAHUN 1958

PERISTIWA Konvensi Hak-hak Politik Perempuan; UU No. 68 Th. 1958

PASAL 3 Pasal

Konvensi tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita 1984

UU No. 7 Th. 1984

16 Pasal

Konvensi tentang Hak-hak Anak Keppres no. 36 Th. 1990 1990

Konvensi Anti-apartheid dalam Olahraga

1993

Keppres No. 48 Th. 1993

45 Pasal

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang kejam, Tidak Manusiawi dan 1998

Merendahkan Martabat Manusia UU. No. 5 Th. 1998 Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi

33 Pasal

Rasial 1999

UU. 29 Th. 1999

25 pasal

81

LAMPIRAN

Peraturan Perundang-undangan Yang Berhubungan dengan Hak Anak dan Child Abuse  and Neglect 

Pasal 285 KUHP Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pasal 287 KUHP (1) Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata bahwa belum mampu dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. (2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umurnya wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal tersebut pada pasal 291 dan 294.

Pasal 289 KUHP Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 291 KUHP (1) Jika salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 286, 287, 289, 290 mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun. (2) Jika salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 285, 286, 287 dan 290 itu mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 290 KUHP Diancam dengan pidana penjra paling lama tujuh tahun: (1) -(2) barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin. (3) Barangsiapa membujuk seseorang yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.

82

Pasal 292 KUHP Orang yang cukup umur, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun

Pasal 293 KUHP (1) Barangsiapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum cukup umur dan bai tingkahlakunya, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum cukup umurnya itu diketahui atau selayaknya harus diduga, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. (2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu; (3) Tenggang tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini adalah masing-masing sembilan bulan dan dua belas bulan.

Pasal 294 KUHP (1) Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya, yang belum cukup umur, atau dengan orang yang belum cukup umur yang pemeiharaannya, pendidikan dan penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Diancam dengan pidana yang sama: (2) pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya (3) seorang pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pemudikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit  jiwa atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya

Pasal 295 KUHP (1) Diancam: Ke-1: Dengan pidana penjara paling lama lima tahun, barangsiapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang belum cukup umur, atau oleh orang yang belum cukup umur yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya, ataupun oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang lain; Ke-2: Dengan pidana penjara paling lama empat tahun, barangsiapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul kecuali ke-1 di atas yang dilakukan oleh orang yang diketahui belum cukup umurnya atau yang sepatutnya harus diduga demikian, dengan orang lain. (2) Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu sebagai pencarian atau kebiasaan, maka pidana dapat ditambah sepertiga.

83

Pasal 297 KUHP Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum cukup umur diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

Pasal 305 KUHP Barangsiapa menempatkan anak yang umurnya belum tujuh tahun untuk ditemukan atau meninggalkan anak itu dengan maksud untuk melepaskan diri daripadanya diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan Pasal 308 KUHP Jika seorang ibu karena takut akan diketahui orang tentang kelahiran anaknya, tidak lama setelah melahirkan, melahirk an, menempatkan anaknya untuk ditemukan atau meninggalkannya dengan maksud untuk melepaskan diri daripadanya, maka maksimum pidana tersebut pada pasal 305 dan 306 dikurangi separuh

Pasal 328 KUHP Barangsiapa membawa pergi seorang dari tempat kediamannya atau tempat tinggalnya sementara, dengan maksud untuk menempatkan orang itu secara melawan hukum di bawah kekuasaannya atau kekuasaan orang lain, atau untuk menempatkan dia dalam keadaan sengsara, diancam karena penculikan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pasal 330 KUHP (1) Barangsiapa dengan sengaja seng aja menarik seorang s eorang yang belum cukup cuk up umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang wenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun; (2) Bilamana dalam hal ini dilakukan dengan tipu-muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau bilamana anaknya belum cukup umur dua belas tahun, dijatuhkan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Pasal 332 KUHP (1) Diancam dengan pidana penjara: Ke-1: paling lama tujuh tahun, barangsiapa membawa pergi seorang wanita yang belum cukup umur, tanpa dikehendaki orang tuanya atau walinya tetapi dengan persetujuannya (wanita tersebut), dengan maksud untuk memastikan penguasaannya terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar perkawinan. Ke-2: paling lama sembilan tahun barangsiapa membawa pergi seorang

Pasal 338 KUHP Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang pembunuhan dengan penjara paling lama lima belas tahun.

lain,

diancam

karena

84

Pasal 340 KUHP Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

Pasal 351 KUHP (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah; (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun; (3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjarapaling lama tujuh tahun; (4) Dengan penganiayaan disamakan dengan sengaja merusak kesehatan; (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Pasal 352 KUHP (1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya. (2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Pasal 353 KUHP (1) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang ebrslah dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 354 KUHP (1) Barangsiapa sengaja s engaja melukai meluk ai berat orang lain, diancam karena k arena melakukan melak ukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.

Pasal 355 KUHP (1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana renc ana terlebih dahulu, dahulu , diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

85

Pasal 356 KUHP Pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga: (1) Bagi yang melakukan melak ukan kejahatan itu it u terhadap ibunya, bapaknya bapakn ya yang sah, isterinya atau anaknya; (2) Jika kejahatan kejahata n itu dilakukan dilakuka n terhadap seorang pejabat ketika k etika atau karena menjalankan tugasnya yang sah; (3) Jika kejahatan itu dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dilaksanakan atau diminum.

Pasal 359 KUHP Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

Pasal 360 KUHP (1) Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebutkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. (2) Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka-luka luka-l uka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjan  jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 4 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi

Pasal 5 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan

Pasal 6 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua

Pasal 7 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri (2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar, maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat ......

86

Pasal 8 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial

Pasal 9 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya (2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) khusus bagi anak penyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus

Pasal 10 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasannya dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan

Pasal 11 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luangnya, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri

Pasal 12 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial

Pasal 13 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: a. diskriminasi b. eksploitasi, ekonomi atau seksual c. penelantaran d. kekejaman, kekerasan dan penganiayaan e. ketidakadilan f. perlakuan salah lainnya

Pasal 14 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir 

87

Pasal 15 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari; a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik b. pelibatan dalam sengketa bersenjata c. pelibatan dalam kerusuhan sosial d. pelibatan dalam peristiwa kekerasan e. pelibatan dalam peperangan

Pasal 16 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidfak manusiawi (2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum (3) Penangkapan, penahanan dan pidana penjara hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya sebagai upaya terakhir 

Pasal 17 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa b. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya .... c. membela diri dan memperoleh keadilan (2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan

Pasal 18 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan huklum dan bantuan lainnya

Pasal 19 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Setiap anak berkewajiban untuk: a. menghormati orang tua, wali dan guru b. mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman c. mencintai tanah air, bangsa dan negara d. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamnya e. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia Pasal 21 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental. Pasal 22 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

88

Pasal 23 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (1) Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak. (2) Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak.

Pasal 24 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.

Pasal 25 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

Pasal 26 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; b. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. (2)

Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 54 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak  Anak di dalam dan di lingkungan sekolah, wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.

Pasal 77 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan: a. Diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya; atau b. Penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik fisik, mental maupun sosial, Dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak seratus juta rupiah.

89

Pasal 78 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak seratus juta rupiah.

Pasal 80 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekertasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan dan/atau denda paling banyak tujuh puluh dua juta rupiah. (2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak seratus juta rupiah. (3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau denda paling banyak dua ratus juta rupiah. (4) Pidana ditambah dengan sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.

Pasal 81 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun dan paling singkat tiga tahun dan denda paling banyak tuga ratus juta rupiah dan paling sedikit enam puluh  juta rupiah. (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pasal 82 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun dan paling singkat tiga tahun dan denda paling banyak tiga ratus juta rupiah dan paling sedikit enam puluh juta rupiah.

Pasal 83 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara p[aling lama lima belas tahun dan paling singkat tiga tahun dan denda paling banyak tiga ratus juta rupiah dan paling sedikit enam puluh juta rupiah.

90

Pasal 88 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak . Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau denda paling banyak dua ratus juta rupiah.

Pasal 1 Konvensi Hak Anak Yang dimaksud anak dalam Konvensi ini adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.

Pasal 3 Konvensi Hak Anak Dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau swasta, lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif, kepentingan terbaik anak akan merupakan pertimbangan utama.

Pasal 9 Konvensi Hak Anak Negara-negara peserta akan menjamin bahwa seorang anak tidak akan dipisahkan dari orang tuanya bertentangan dengan keinginan anak, kecuali bila penguasa yang berwenang yang tunduk pada peninjauan kembali oleh pengadilan menetapkan, sesuai dengan undang-undang dan prosedur yang berlaku, bahwa pemisahan tersebut diperlukan untuk kepentingan yang terbaik dari anak itu sendiri. Penetapan seperti itu mungkin diperlukan dalam kasus khusus seperti kasus yang melibatkan penyalahgunaan atau penelantaran anak oleh orangtuanya, atau kasus dimana kedua orangtuanya hidup terpisah, dan keputusan harus menetapkan tempat tinggal anak tersebut.

Pasal 19 Konvensi Hak Anak 1. Negara-negara peserta akan mengambil langkah-langkah legistatif, administratif, sosial, dan pendidikan yang layak guna melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik atau mental, atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan lalai, dilukai, atau eksploitasi, termasuk penyalahgunaan seksual, sementara mereka dalam pemeliharaan orang tua, wali yang sah atau setiap orang lain yang memelihara anak. 2. langkah-langkah perlindungan seperti itu hendaknya, jika dianggap layak, mencakup prosedur-prosedur yang efektif dalam menetapkan program-program sosial guna memberi dukungan yang diperlukan bagi anak,dan mereka yang berhak memelihara anak dan juga dalam menetapkan bentuk-bentuk pencegahan dan bagi kepentingan identifikasi, pelaporan, rujukan, pemeriksaan, perlakuan, dan tindak lanjut dari contoh-contoh pemeliharaan yang salah seperti yang telah diuraikan diatas, dan jika perlu bagi kepentingan proses pribadi, untuk keterlibatan peradilan.

Pasal 24 Konvensi Hak Anak Negara-negara peserta mengakui hak anak untuk menikmati norma kesehatan tertinggi yang bisa dicapai dan fasilitas perawatan sakit dan pemulihan kesehatan.

91

Pasal 28 Konvensi Hak Anak 2. Negara-negara Peserta akan mengambil semua langkah yang layak untuk menjamin bahwa disiplin sekolah dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan martabat kemanusiaan anak dan sesuai dengan Konvensi ini.

Pasal 34 Konvensi Hak Anak Negara-negara peserta berusaha untuk melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi anak dari semua bentuk eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual.

Pasal 38 Konvensi Hak Anak 1. Negara-negara peserta berupaya untuk menghormati dan menjamin penghargaan terhadap ketentuan-ketentuan hukum kemanusiaan internasional dan yang berlaku bagi anak-anak dalam masa pertentangan bersenjata. 2. Negara-Negara Peserta akan mengambil semua langkah yang mungkin guna menjamin bahwa mereka yang belum mencapai usia lima belas tahun tidak terlibat secara langsung dalam permusuhan. 3. Negara-Negara Peserta akan menahan diri untuk tidak merekrut orang yang belumn mencapai usia lima belas tahun dalam angkatan bersenjata mereka. Dalam merekrut orang orang yang sudah berusia delapan belas tahun, Para Negara Peserta akan berusia untuk memberi prioritras kepada mereka yang tertua. 4. sesuai dengan kewajiban kewajiban berdasarkan hukum kemanusiaan internasional untuk melindungi penduduk sipil dalam pertentangan bersenjata, Para Negara Peserta akan mengambil semua langkah yang mungkin untuk menjamin perlindungan dan pemeliharaan bagi anak-anak yang terpengaruh oleh suatu pertentangan bersenjata.

Pasal 108 KUHAP (1) Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis (2) Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik.

92

Pasal 52 Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1998 tentang HAM (1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara. (2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya.

Pasal 53 Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1998 tentang HAM (1) Setiap anak sejak dalam kandungan, berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. (2) Setiap anak sejak kelahirannya, berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraannya.

Pasal 54 Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1998 tentang HAM Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan,meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pasal 55 Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1998 tentang HAM Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya di bawah bimbingan orang tua dan atau wali.

Pasal 56 Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1998 tentang HAM (1) Setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. (2) Dalam hal orang tua tidak mampu membesarkan dan memelihara anaknya dengan baik dan sesuai dengan Undang-Undang ini, maka anak tersebut boleh diasuh atau diangkat sebagai anak oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 57 Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1998 tentang HAM (1) Setiap anak berhak dibesarkan, dipelihara, dirawat, didiik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang tua atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua angkat atau wali berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau karena sebab yang sah tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai orang tua. (3) Orang tua angkat atau wali sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (2) harus menjalankan kewajiban sebagai orang tua yang sesungguhnya.

93

Pasal 58 Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1998 tentang HAM (1) Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mintal, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut. (2) Dalam hal orang tua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi, maka harus dikenakan pemberatan hukuman.

Pasal 59 Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1998 tentang HAM (1) setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya, secara bertentangan dengan kehendak anak sendiri, kecuali jika ada alasan dan aturan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak. (2) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan orang tuanya tetap dijamin oleh Undang-Undang.

Pasal 60 Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1998 tentang HAM (1) Setiap anak berhak untuk memperoleh pendiidkan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya. (2) Setiap anak berhak mencari, menerima, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan usianya demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.

Pasal 61 Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1998 tentang HAM Setiap anak berhak untuk beristirahat, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, bereaksi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan dirinya.

Pasal 62 Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1998 tentang HAM Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental spiritualnya.

Pasal 63 Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1998 tentang HAM Setiap anak berhak untuk tidak dilibatkan di dalam peristiwa peperangan, sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, dan peristiwa lain yang mengandung unsur kekerasan.

Pasal 64 Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1998 tentang HAM Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental spiritualnya.

94

Pasal 65 Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1998 tentang HAM Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotik, psikotropika dan zat aditif lainnya.

Pasal 66 Undang-Undang RI No. 9 Tahun 1998 tentang HAM (1) Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. (2) Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak. (3) Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum. (4) Penangkapan penahanan atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya akhir. (5) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya. (6) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan hukum dan bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku. (7) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.

95

Petunjuk Bagi Dokter dalam menangani CAN menurut  Asosiasi Dokter Sedunia (WMA) 1. Dokter memiliki peran unik dan spesial dalam mengidentifikasi dan membantu anak korban abuse dan keluarganya yang bermasalah. 2. Dokter harus mengikuti pelatihan khusus untuk mengidentifikasi child abuse. Pelatihan ini tersedia di berbagai program pendidikan berkelanjutan. 3. Para dokter sangat disarankan untuk selalu berhubungan dengan tim multidisiplin yang berpengalaman di bidang ini. Sebuah tim umumnya terdiri dari kalangan profesional seperti dokter, pekerja sosial, psikiater anak dan dewasa, ahli tumbuh kembang, psikolog, dan pengacara. Jika tim tidak memungkinkan untuk dibentuk atau tidak tersedia, maka dokter harus berkonsultasi dengan tenaga medis lainnya, pekerja sosial, penegak hukum, dan tenaga kesehatan jiwa. 4. Dokter pada tingkat pelayanan primer (dokter keluarga, dokter penyakit dalam, dokter anak), spesialis gawat darurat, ahli bedah, psikiater dan spesialis lainnya yang menangani anak harus memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam assessment fisik CAN; assessment tumbuhkembang anak dan keterampilan sebagai orangtua; penggunaan sumber daya dalam masyarakat; dan tanggungjawab hukum dokter. 5. Evaluasi medis anak yang mengalami abuse fisik harus terdiri dari: (1) anamnesis riwayat perlukaan; (2) pemeriksaan fisik korban; (3) Rontgen survey trauma; (4) skrining kelainan darah; (5) foto berwarna (6) pemeriksaan fisik keluarga korban; (7) laporan medis tertulis resmi (8) skrining perilaku (9) skrining pertumbuhan dan perkembangan bayi dan anak usia prasekolah. 6. Assessment dan manajemen medis anak korban kekerasa seksual terdiri dari: (1) pengobatan trauma fisik dan psikososial; (2) pengumpulan dan pemrosesan barang bukti; (3) pengobatan dan tindak pencegahan kehamilan dan penyakit menular  seksual. 7. Dokter perlu menentukan penyebab dan derajat fungsi-fungsi keluarga karena hal tersebut berhubungan dengan perlindungan anak. Dokter harus mengerti dan sensitif terhadap kualitas hubungan marital, tipe disiplin yang diterapkan, stress ekonomi yang dialami, masalah emosi dan penyalahgunaan alkohol, obat, dan zatzat lainnya, dan bentuk stress lainnya yang berhubungan dengan child abuse. 8. Dokter harus memiliki pengetahuan tentang CAN. Seringkali bukti-bukti fisik tidak  jelas, dan hanya melalui wawancara anak dan orangtua yang menyeluruh dan teliti dapat ditemukan ketidakkonsistenan antara riwayat penyakit dengan data obyektif  yang ditemukan. 9. Dalam mendeteksi anak dengan dugaan abuse tindakan segera yang harus dilakukan oleh dokter meliputi: (1) melaporkan semua kecurigaan kasus pada Layanan Perlindungan Anak; (2) merawat inapkan anak korban abuse yang memerlukan perlindungan pada masa pemeriksaan awal; dan (3) memberitahukan orangtua perihal diagnosis yang dibuat dan melaporkan luka-luka yang terjadi pada Layanan Perlindungan Anak. 10. Anak adalah pasien karena itu juga harus menjadi perhatian dokter. Maka, menjadi tanggungjawab dokter untuk melakukan apapun di dalam batas kesanggupannya untuk melindungi anak dari ancaman/bahaya lebih lanjut. Menghubungi pihak yang menangani perlindungan anak, diwajibkan oleh hukum. Pada beberapa kasus, memasukkan anak dalam perawatan rumah sakit juga diperlukan.

96

11. Jika diperlukan rawat inap, evaluasi terhadap masalah fisik, emosional, dan tumbuhkembang anak perlu segera dilakukan. Jika dokter yang pertama menangani dan memiliki kecurigaan tidak mampu melakukan evaluasi tersebut, maka ia harus berkonsultasi pada tim multidisiplin RS atau dokter lain yang telah menjalani pelatihan khusus di bidang Child Abuse. 12. Jika dicurigai adanya CAN, dokter harus mendiskusikan pada orangtua bahwa CAN menjadi salah satu diagnosis yang ditegakkan pada kasus anaknya. Pada diskusi tersebut, sangat penting bagi dokter untuk tetap obyektif dan menghindari sikap menghujat serta menghindari ucapan-ucapan yang menghakimin saat berbicara dengan orangtua. 13. Dokter harus mencatat proses evaluasi. Rekam medis seringkali memberikan bukti kritis di dalam sidang pengadilan. 14. Dokter harus berpartisipasi dalam tiap tingkatan pencegahan dengan memberikan konseling keluarga prenatal dan postnatal; mengidentifikasi masalah dalam pengasuhan anak, dan memberikan nasihat tentang keluarga berencana. 15. Dokter harus mendukung tindakan-tindakan kesehatan masyarakat seperti kunjungan rumah oleh perawat, memberikan petunjuk penanganan segera pada orangtua, serta pemeriksaan berkala anak dan bayi sehat. 16. Dokter harus mengerti bahwa CAN adalah masalah kompleks dan lebih dari satu macam terapi atau layanan yang dibutuhkan untuk menolong anak korban CAN dan keluarganya. Pembentukan sistem tatalaksana yang tepat membutuhkan kontribusi dari berbagai profesi termasuk kedokteran, hukum, keperawatan, pendidikan, psikologi, dan pekerja sosial. 17. Dokter harus mempromosikan pembuatan program-program inovatif yang dapat meningkatkan pengetahuan dan kompetensi medis di bidang CAN. 18. Kerahasian pasien dapat dibatalkan pada kasus CAN. Tugas utama dokter adalah melindungi pasiennya apabila terdapat dugaan CAN. Apapun tipe kekerasan yang dicurigai (fisik, mental, atau seksual), laporan resmi harus diberikan kepada pihak yang berwenang. 19. Dokter harus mendukung pengesahan peraturan di negara masing-masing, yang efektif dalam mengidentifikasi dan melindungi anak koprban kekerasan. Peraturan tersebut juga harus dapat melindungi dokter dan tenaga kesehatan profesional lainnya dalam melaksanakan tugas identifikasi, merawat, dan menatalaksana anak korban kekerasan. 20. Dokter harus mendukung prosedur hukum yang membantu anak korban kekerasan menjalani proses hukum melawan pelaku selama periode tertentu setelah anak cukup umur. Dokter juga harus mendukung prosedur hukum yang adil dan obyektif  yang mencari pencegahan yang layak terhadap tuduhan CAN yang tidak didukung bukti, dan memerlukan bukti obyektif untuk memulai setiap langkah hukum terhadap tersangka pelaku CAN.

97

Contoh Visum et Re ertum 1 “Nama sarana kesehatan” Nomor : /PKT/06/2003 Lampiran : -.Perihal : Hasil Pemeriksaan atas _____  PRO JUSTITIA

Jakarta, Juni 2003

VISUM ET REPERTUM Saya yang bertanda tangan dibawah ini, ......., dokter pada “nama sarana kesehatan”, atas permintaan tertulis dari Kepolisian Resort Metro Jakarta Timur dengan suratnya tertanggal 11 Juni 2003 nomor :......., maka pada tanggal sebelas Juni tahun dua ribu tiga, pukul sebelas waktu indonesia barat, telah memeriksa seorang korban yang menurut surat tersebut adalah : Nama : xxx Jenis kelamin : Perempuan Tempat/Tgl Lahir  :…  Agama : ... Pekerjaan : Pelajar  Tempat tinggal : ………… Yang tercatat sebagai pasien dengan nomor registrasi ............ Orang tersebut datang diantar oleh petugas kepolisian Resort Metro Jakarta Timur, nama ..... pangkat ...... NRP ...... Dengan hasil pemeriksaan sebagai berikut : 1. Korban datang dalam keadaan sadar, keadaan umum baik , korban mengaku dipukul di pipi kanan delapan jam sebelum masuk ke rumah sakit. Korban juga mengaku bahwa ia sering mengalami kekerasan di keluarganya, .... kali dalam ......, dimulai sejak ......... 2. Pada pemeriksaan fisik ditemukan luka-luka sebagai berikut : a. Pada pipi kanan bawah, tiga sentimeter dibawah telinga kanan, tiga sentimeter dari garis pertengahan depan, terdapat memar warna kemerahan ukuran tiga sentimeter kali tiga sentimeter, dikelilingi bengkak dan nyeri bila ditekan.--------------------------------------------------------------------b. Pada punggung kaki kanan, dua sentimeter dari ujung kelingking kanan, terdapat luka lecet ukuran satu sentimeter kali setengah sentimeter dan dikelilingi memar warna kemerahan, ukuran dua sentimeter kali dua sentimeter dengan bengkak dan nyeri pada penekanan. Kesimpulan : Korban adalah seorang anak perempuan yang menurut surat keterangan penyidik berumur .... tahun. Pada pemeriksaan fisik ditemukan memar, bengkak, serta nyeri tekan di pipi kanan dan punggung kaki kanan akibat kekerasan tumpul yang tidak menyebabkan penyakit/halangan dalam menjalankan pekerjaan / jabatan pencaharian. Demikian visum et repertum ini dibuat dengan sesungguhnya berdasarkan keilmuan kedokteran dan dengan mengingat sumpah sesuai dengan UU no.8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Jakarta, 11 Juni 2003 Dokter Pemeriksa,

98

Contoh Visum et Re ertum 2 “Nma sarana kesehatan” Nomor : /PKT/06/2003 Lampiran : -.Perihal : Hasil Pemeriksaan atas _____  PRO JUSTITIA

Jakarta, Juni 2003

VISUM ET REPERTUM

Saya yang bertanda tangan dibawah ini, ......., dokter pada “nama sarana kesehatan”, atas permintaan tertulis dari Kepolisian Resort Metro Jakarta Timur dengan suratnya tertanggal 11 Juni 2003 nomor :......., maka pada tanggal sebelas Juni tahun dua ribu tiga, pukul sebelas waktu indonesia barat, telah memeriksa seorang korban yang menurut surat tersebut adalah : Nama Umur Jenis kelamin Warganegara Pekerjaan  Agama  Alamat

: mmmm : 7 tahun : Perempuan : Indonesia : Pelajar  : .... : ……………

Tercatat sebagai pasien dengan nomor registrasi 003.980000, orang tersebut datang diantar oleh anggota Kepolisian Resort Jakarta Barat, Sektor Tanjungduren, nama ..... pangkat ...... NRP ...... Saksi selama pemeriksaan adalah ............... Hasil Pemeriksaan 1. Korban datang dalam keadaan sadar, dengan keadaan umum baik, penampilan umum/sikap tenang, pakaian rapi. 2. Korban mengaku disetubuhi pada tanggal ....... kurang lebih pukul 02.00 wib . Sebelumnya ia diancam akan dibunuh apabila tidak mau. Ia tidak mengalami kekerasan fisik ataupun diberi minum/makan sesuatu sebelumnya. 3. Pada tubuh korban tidak ditemukan luka ataupuin cedera (tanda kekerasan). 4. Pada pemeriksaan genitalia Terdapat darah disekitar bibir kemaluan dan mulut vagina, tampak luka lecet di pertemuan bibir kemaluan bagian belakang (posterior fourchette), ukuran satu sentimeter kali setengah sentimeter. Selaput dara berbentuk anuler, terdapat robekan baru pada tempat yang sesuai dengan arah jam tiga dan sembilan, yang mencapai dasar. Bagian dalam kemaluan tidak ada kelainan. Daerah anus dan sekitarnya tidak terdapat kelainan. 5. Pemeriksaan laboratorium terhadap sediaan hapus vagina: Fosfatase asam positip, berberio/Florence positip, sperma positip. Gonorrhoe negatip. KESIMPULAN Korban adalah seorang anak perempuan yang menurut surat keterangan penyidik berumur tujuh tahun. Pada pemeriksaan ditemukan luka lecet di bagian belakang bibir  kemaluan dan robekan baru pada selaput dara akibat kekerasan tumpul yang melalui

99

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF