Buku Minyak Bumi Dan Produk Migas

January 6, 2018 | Author: Ebenezerskl | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Minyak bumi atau Crude oil adalah suatu persenyawaan hidrokarbon dan turunannya yang dapat berupa fase gas, cair atau pa...

Description

I. PENDAHULUAN Dalam kehidupan kita sehari-hari, peranan minyak adalah penting sekali. Yang mana semua kegiatan, baik itu yang dipakai langsung seperti bahan bakar kendaraan dan kebutuhan rumah tangga, maupun yang dipakai tidak langsung seperti untuk bahan bakar industri. Indonesia sebagai negara berkembang mempunyai beberapa sumber minyak bumi yang cukup memadai, disamping untuk kebutuhan dalam negeri, ada juga yang diekspor dan menghasilkan devisa yang cukup besar bagi negara, walaupun untuk jenis-jenis minyak tertentu masih harus diimpor. Minyak bumi atau Crude oil adalah suatu persenyawaan hidrokarbon dan turunannya yang dapat berupa fase gas, cair atau padatan. Bagaimana sebenarnya minyak bumi itu tercipta, dan di mana pasti sumbernya. Kedua hal tersebut hingga kini masih merupakan rahasia bagi manusia. Berbagai usaha dan penelitian terus dilakukan oleh para ahli untuk menyingkapkan tabir rahasia tersebut. Kegiatan dalam rangkaian pencarian minyak adalah membuat peta topografi, penyelidikan geologi permukaan bumi dan geofisika, pengambilan sampel batu-batuan, penetapan lokasi pemboran, pemboran dan produksi. Kegiatan pemboran memerlukan biaya yang sangat tinggi / mahal untuk biaya peralatan dan pembangunan prasarana lainnya. Minyak bumi atau minyak mentah (Crude Oil) yang diperoleh dari sumur eksplorasi tidak bisa langsung dipakai sebagai bahan bakar atau sumber energi lainnya sebelum diolah terlebih dahulu. Pertama-tama minyak bumi dikumpulkan dalam tangki penyimpanan sambil memisahkan gas dan air yang terbawa dari sumur. Kemudian minyak tersebut dipindahkan dengan melalui jaringan pipa atau dengan kapal tanker ke unit pengolahan. Kita sering mendengar nama-nama produk seperti minyak tanah, bensin, solar, LPG, oli atau pelumas dan lain-lainnya yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Minyak bumi diproses di unit pengolahan untuk mendapat bermacam-macam produk yang sesuai dengan syarat-syarat penggunaannya. Pada tahap pengolahan pertama, minyak mentah tersebut dipisahkan sesuai dengan titik didih dalam pabrik penyulingan (Distilation Unit). Fraksi yang paling ringan adalah gas,

1

yang dapat dipakai sebagai bahan bakar, atau untuk diolah lebih lanjut. Fraksi kedua adalah nafta yang dapat dijadikan bahan dasar untuk bensin atau premium, atau bisa dipakai untuk bahan dasar industri petrokimia. Fraksi ketiga, yang termasuk fraksi tengah (middle distilate), dapat dipakai sebagai bahan dasar untuk kerosine, bahan bakar pesawat jet, dan solar. Fraksi berikutnya adalah fraksi yang terberat, yang dinamakan residu, dapat dijadikan bahan dasar bahan bakar ketel uap atau untuk diolah lebih lanjut. Pada umumnya pengolahan tahap pertama dianggap belum mencukupi syarat-syarat pemakaian, oleh karena itu perlu diolah lebih lanjut. Proses selanjutnya adalah distilasi hampa untuk residu, proses konversi (perengkahan, reformasi, alkilasi, polimerisasi), treating dan pencampuran (blending). Proses pengolahan minyak bumi terdapat diberbagai negara maju atau negara berkembang. Di Indonesia, unit pengolahan minyak bumi yang dikelola oleh PT Pertamina adalah di Pangkalan Brandan, Dumai, Plaju/Sungai Gerong, Balongan, Cilacap, Balikpapan dan Sorong.

2

BAB II : MINYAK BUMI 2.1 Sejarah dan Terdapatnya Minyak Minyak bumi atau minyak mentah, untuk selanjutnya disebut “crude oil” adalah suatu cairan emas hitam yang terdapat dalam perut bumi pada lapisan-lapisan tanah dari beberapa meter sampai ribuan meter. Crude oil adalah suatu persenyawaan hidrokarbon yang dapat berupa fase gas, cair atau padatan. Bagaimana sebenarnya minyak bumi itu tercipta, dan di mana pasti sumbernya. Kedua hal tersebut hingga kini masih merupakan rahasia bagi manusia. Berbagai usaha dan penelitian terus dilakukan oleh para ahli untuk menyingkapkan tabir rahasia tersebut, baik berdasarkan ilmu kimia, aktivitas radio maupun ilmu bakteri. Menurut salah satu teori dari ahli geologi, terbentuknya crude oil adalah karena adanya plankton-plankton atau organisme kecil yang hidup di laut. Fosil-fosil yang mengendap di dasar laut dan tertimbun lapisan tanah secara terus-menerus. Karena proses alami dalam waktu ribuan tahun, plankton-plankton tersebut membentuk senyawa hidrokarbon. Adanya perobahan geologi atau lapisan tanah mengakibatkan persenyawaan hidrokarbon tersebut sering berpindah atau bergeser, bahkan terjadi perembesan ke permukaan bumi. Kegiatan dalam rangkaian pencarian minyak, pertama-tama didahului dengan membuat peta topografi dari wilayah yang akan diselidiki. Kemudian penyelidikan geologi permukaan bumi dan geofisika terhadap keadaan bumi di bawah tanah (penyelidikan seismik). Selanjutnya pengambilan sampel batu-batuan, dan penetapan lokasi pemboran. Kegiatan pemboran memerlukan biaya yang sangat tinggi / mahal untuk biaya peralatan dan pembangunan prasarana lainnya. Suatu usaha pemboran dikatakan berhasil bila terdapat indikasi –indikasi minyak berupa kepingan-kepingan batu atau tanah yang terbawa oleh lumpur dari dalam sumur ke atas permukaan. Tahap pekerjaan selanjutnya adalah produksi. Minyak dan gas dialirkan atau dipompakan ke atas disalurkan ke pipa untuk ditampung di tempat yang sudah disediakan.

3

Di Sumatera Selatan, perembesan minyak pertama kali diketemukan di suatu tempat kira-kira 75 km dari Prabumulih pada tahun 1893. Dan baru pada tahun 1905 dilakukan eksploitasi oleh BPM. Selanjutnya diketemukan sumur minyak lainnya di daerah Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Timur dan lain-lainnya. Dengan adanya perkembangan teknologi, bukan saja di daratan, tetapi di lautanpun crude oil bisa diproduksi, seperti di lepas pantai Laut Jawa, Kalimantan Timur dan lainlainnya. Crude oil didapatkan dari perut bumi dengan jalan dipompakan atau keluar sendiri karena adanya tekanan gas yang besar di dalamnya. Crude oil yang didapat dari sumur-sumur masih bercampur dengan air, garam-garaman, dan lumpur-sedimen. Banyaknya air dan zat lain tersebut biasanya tergantung dari sumur mana minyak tersebut diproduksi. 2.2 Pengertian dasar a. Definisi, menurut ASTM D 4175 : Crude Oil atau Crude Petroleum atau Minyak Bumi adalah suatu campuran hidrokarbon yang terbentuk secara alamiah, pada umumnya dalam fasa cair, termasuk di dalamnya ada kandungan senyawa sulfur, nitrogen, oksigen, logam dan elemen lainnya. b. Sifat visual : -

Crude Oil yang keluar dari berbagai sumur biasanya mempunyai sifat yang berbeda. Pada umumnya crude berwarna mulai dari kehijauan, hijau-coklat, coklat tua, sampai hitam gelap.

-

Konsistensi crude pada suhu kamar adalah mulai dari cairan yang mudah mengalir sampai yang sangat kental, dan sampai berbentuk semi solid atau solid (padatan).

-

Crude mempunyai bau yang kharakteristik, ada yang aromatis dan ada yang berbau tidak enak (merangsang).

2.3 Komposisi Crude Oil Perbedaan appearance dan sifat-sifat crude karena adanya perbedaan komponen atau struktur molekul dan senyawa kimia yang terkandung di dalamnya.

4

Persenyawaan kimia dalam Minyak Bumi : • Senyawa yang dikehendaki adalah senyawa hidrokarbon ( HC, C1 - C60) : Parafin, Naften dan Aromat. • Senyawa yang tidak dikehendaki adalah senyawa non hidrokarbon, seperti senyawa sulfur, nitrogen, oksigen, logam dan garam-garaman. Senyawa non hidrokarbon dikatakan sebagai senyawa pengganggu (impurities), oleh sebab itu harus dihilangkan atau diturunkan kadarnya. Proses untuk menghilangkan impurities disebut proses treating. Susunan kimia dari crude terdiri dari unsur-unsur : - Karbon (C)

: 83 – 87 %

- Hidrogen (H)

: 10 – 14 %

- Sulfur (S)

: 0.05 – 6.0 %

- Oksigen (O)

: 0.05 – 1.5 %

- Nitrogen (N)

: 0.01 – 1.0 %

Sedangkan logam-logam yaitu Vanadium (V), Nikel (Ni), Besi, (Fe), Chrom (Cr), dan lain-lainnya, yang jumlahnya < 0.02 %. Di dalam crude terdapat juga garam-garaman, pada umumnya bisa larut dalam air seperti NaCl, MgCl2, CaCl2 dan lain-lainnya yang disebut Salt Water. Untuk mengetahui unsur-unsur tersebut di atas, crude harus dianalisa dan dievaluasi di laboratorium perminyakan. Perbedaan struktur molekul dari senyawa hidrokarbon antara lain disebabkan oleh : a. ukuran molekul

: perbandingan banyaknya karbon dan hydrogen

b. tipe molekulnya

: susunan unsur karbon dan hydrogen

Menurut susunan molekulnya, golongan senyawa hidrokarbon dikelompokkan sbb : a. Parafinik (Alkana) : CnH2n+2 Adalah persenyawaan hidrokarbon jenuh dengan rantai atom C terbuka, contohnya : CH4

= metana

C9H20

= nonana

C2H6

= etana

C10H22

= dekana

C3H8

= propana

C11 H24

= undekana

C4H10

= butana

C16 H34

= heksadekana (setana)

C5H12

= pentana

C20 H42

= eikosana

C6H14

= heksana

C31 H64

= hentriakontana

5

C7H16

= heptana

C60 H122

= heksakontana

C8H18

= oktana

C61 H124

= doheksakontana

Terdiri dari normal parafin dan parafin cabang (isomer) b. Naftenik (Sikloparafin) : CnH2n Adalah persenyawaan hidrokarbon jenuh dengan rantai atom C tertutup, contohnya : C3H6

= siklo propana

C5H10

= siklo pentana

C4H8

= siklo butana

C6H12

= siklo heksana

Terdiri dari normal naften (mononaften dan polinaften) dan naften cabang c. Aromatik : CnH2n-6 Adalah persenyawaan hidrokarbon jenuh dengan satu inti benzena atau lebih, contohnya : C6H6

= benzena

C8H10

= naftalena

C6H5CH3

= metil benzena

C6H5CH2CH3

= etil benzena

Terdiri dari normal benzena (monobenzena, monoaromat dan polibenzena, poliaromat) dan benzena cabang. d. Olefin : CnH2n Adalah persenyawaan hidrokarbon tidak jenuh dengan rantai atom C terbuka yang dalam struktur molekulnya terdapat ikatan rangkap dua diantara dua atom C yang berdekatan. Contohnya : C2H4 = etilena C3H6 = propilena C4H8 = butilena Hidrokarbon tidak jenuh terdiri dari normal olefin dan olefin cabang alkil. Senyawa olefin biasanya tidak ada dalam minyak bumi, karena susunan komponen tersebut tidak stabil. Sifat, susunan atau komposisi kimia dalam crude memegang peranan untuk merencanakan tipe unit pengolahan yang dipersiapkan serta produk apa saja yang dapat dihasilkan. a. Paraffinic Crude : -

Mempunyai berat jenis yang rendah

6

-

Susunan hidrokarbonnya bersifat parafinik, mengandung kadar parafin wax yang tinggi dan sedikit mengandung komponen asphaltic.

-

Menghasilkan bensin dengan kualitas kurang baik karena mempunyai angka oktan yang rendah

-

Menghasilkan kerosine, solar dan wax yang bermutu baik.

b. Naphthenic Crude : -

Mempunyai berat jenis yang tinggi

-

Susunan hidrokarbonnya bersifat naftenik, sedikit sekali mengandung kadar parafin dan mengandung komponen asphaltic.

-

Menghasilkan bensin dengan kualitas baik karena mempunyai angka oktan yang tinggi

-

Menghasilkan kerosine yang kurang baik, solar bersifat medium sampai kurang baik.

-

Dapat diproses untuk pembuatan asphalt dan fuel oil

c. Mixed base : -

Mempunyai berat jenis diantara kedua jenis tersebut diatas

-

Susunan hidrokarbonnya mengandung parafinik, naftenik dan aromatik.

-

Tipe minyak ini dapat diproses menjadi berbagai jenis produk minyak, tergantung dari tipe unit pengolahannya.

Fraksi-fraksi dalam crude sering mengandung komponen-komponen dari tipe campuran, antara lain sebagai naften atau aromatik dengan rantai samping parafin yang panjang. Beberapa crude mengandung aromatik dalam fraksi ringannya, tetapi banyak mengandung parafin dalam fraksi beratnya. Selain mengandung fraksi-fraksi yang bisa didistilasi untuk mendapatkan bahan bakar, di dalam crude terdapat fraksi yang tidak bisa didistilasi walaupun dengan proses pada tekanan rendah. Fraksi yang tidak bisa didistilasi ini memiliki berat molekul > 2000, dan dibedakan berdasarkan kelarutan terhadap pelarut tertentu, yaitu : 



Maltenes : -

senyawa ini larut dalam normal Heptane

-

memiliki struktur parafinik.

Asphaltenes :

7

-

Senyawa ini tidak larut dalam n-Heptane, tetapi larut dalam Benzene

-

memiliki struktur aromatik dengan kadar carbon tinggi dan hidrogen rendah

-

menyebabkan crude dan produk residu berwarna gelap

2.4 Impurities Impurities adalah merupakan kandungan yang tidak diinginkan, yang dapat merusak atau meracuni unit proses pengolahan maupun dalam penggunaan BBM. Impurities dalam crude seperti S, N, O, logam dan garam-garaman terdapat dalam seluruh fraksi minyak, tetapi konsentrasinya meningkat ke arah fraksi berat. Walaupun kandungan impurities dalam minyak relatif kecil, tetapi pengaruhnya cukup berarti. Kandungan asam dan merkaptan bersifat korosif. Adanya sodium, vanadium dan nickel dapat merusak katalis dalam proses pengolahan. Dan pada finish products adanya impurities dapat menyebabkan off spec produk tersebut. 

Senyawa Sulfur (Sulphur, belerang) : Senyawa sulfur terdapat dalam semua fraksi minyak, meskipun konsentrasinya berbeda. Umumnya minyak dengan berat jenis lebih besar mengandung senyawa sulfur yang lebuh besar pula. Senyawa sulfur bersifat korosif dan baunya tidak sedap. Contohnya : -

H2S (Hydrogen Sulphide) berbentuk gas

-

CH3SH (Methantiol) berbentuk gas

-

Mercaptane Sulphur : R-SH, dari C 2 sampai C5 terdapat dalam fraksi gasoline sampai solar.



-

Thiofan dan Thiofen : sulfur yang terikat senyawa siklo dengan C5

-

Disulfide RSR, Disulphide RSSR, dan lain-lainnya.

Senyawa Nitrogen, N : Senyawa Nitrogen biasanya terdapat dalam struktur aromatik, yang makin besar konsentrasinya dengan semakin beratnya fraksi dalam crude. Senyawa nitrogen menyebabkan warna gelap kehijauan pada crude, merupakan racun terhadap katalis, dan mengakibatkan warna yang tidak stabil pada produk kerosine atau avtur, walaupun dapat menaikkan angka oktan pada produk gasoline. Contoh : senyawa pyridine dan Quinoline 8



Senyawa Oksigen, O : Di dalam minyak senyawa oksigen biasa berbentuk resin, phenol dan asam organik. Resin menyebabkan ductility asphalt yang baik, tetapi tidak diinginkan dalam produk medium distilat. Sedangkan asam organik / phenol mempunyai sifat korosif dan bau yang tidak sedap. Asam organik biasanya dalam bentuk senyawa asam naftenik. Phenol dapat juga sebagai anti oksidan.

Salah satu contoh hasil analisa minyak mentah dari suatu lapangan di daerah Sumatra Selatan.

9

10

2.5 Klasifikasi Minyak Bumi Sifat atau kharakteristik minyak bumi yang didapat dari berbagai sumur produksi di setiap daerah atau negara tidak sama. Hal ini tergantung dari berat jenis, komposisi dan kandungan yang tidak diinginkan. Tujuan klasifikasi minyak bumi : 

untuk mengetahui komponen hidrokarbon dalam minyak bumi



untuk menentukan nilai transaksi



untuk perencanaan dalam proses pengolahan minyak.

Jenis klasifikasi minyak bumi dikelompokkan berdasarkan : 1.

Specific Gravity

2.

Sifat penguapan

3.

Kadar belerang

4.

Faktor KUOP

5.

Bureau of Mines

6.

Indeks Korelasi

7.

Viscosity Gravity Constant

2.5.1 Klasifikasi minyak bumi menurut berat jenis (Specific Gravity) Specific Gravity 60/60 °F atau Density (berat jenis) dari crude adalah salah satu sifat yang penting. Specific gravity dipakai untuk konversi berat – volume yang dipakai untuk menentukan nilai transaksi. Umumnya semakin ringan suatu crude, atau specific gravity kecil, semakin banyak mengandung fraksi ringannya, dan harganya semakin mahal. Klasifikasi crude berdasarkan specific gravity adalah sebagai berikut : a. Light Crude oil (m. bumi ringan)

SG < 0.830

b. Light Medium Crude oil (m. bumi medium ringan)

SG 0.830 – 0.850

c. Heavy Medium Crude oil (m. bumi medium berat)

SG 0.850 – 0.865

d. Heavy Crude oil (minyak bumi berat)

SG 0.865 – 0.905

e. Very Heavy Crude oil (m. bumi sangat berat)

SG > 0.905

2.5.2 Klasifikasi minyak bumi menurut sifat penguapan

11

Sebagai ukuran klasifikasi ini adalah jumlah komponen fraksi ringan dalam crude, yaitu volume fraksi minyak yang dihasilkan dari distilasi sampai suhu uap 300 °C. Dari ketentuan ini crude digolongkan sebagai berikut : a. Light Oil (Crude ringan)

: komponen ringan > 50 % volume

b. Medium Oil (Crude sedang)

: komponen ringan 20 - 50 % volume

c. Heavy Oil (Crude berat)

: komponen ringan < 20 % volume

2.5.3 Klasifikasi minyak bumi menurut kandungan Belerang Kadar belerang (Sulphur, sulfur) dalam crude adalah suatu sifat yang penting, karena belerang dan persenyawaanya bersifat korosif. Keberadaannya sulfur dalam minyak tidak dikehendaki, maka harus dibebaskan dalam proses pengolahannya, seperti proses treating untuk mendapatkan produk BBM yang low sulfur . Klasifikasi crude berdasarkan kadar sulfur (ASTM D 1552) sebagai berikut : a. Low Sulphur Oil (Sweet Crude) : kadar belerang < 0.1 % berat b. Medium Sulphur Oil

: kadar belerang 0.1 – 2 % berat

c. High Sulphur Oil (Sour Crude)

: kadar belerang > 2 % berat

2.5.4 Klasifikasi minyak bumi berdasarkan faktor kharakteristik KUOP Pada tahun 1935 Watson, Nelson dan Murphy dari Lembaga Penelitian Universal Oil Products Co (UOP) telah menganalisa bermacam-macam crude dari lapangan di Amerika. Dari hasil penelitian : -

Melakukan pengujian distilasi ASTM D 86

-

Melakukan pengujian SG 60/60 °F

-

Menghitung KUOP (Characterization Factor KUOP) dengan rumus : KUOP = 3√Tb / ρ

atau

K 

3

T SG 60/60 o F

Di mana : KUOP

= Characteristic function

Tb

= Titik didih rata-rata dari ASTM Distilasi pada 10., 30, 50, 70 dan 90 % volume distilat dalam derajat Rankine (°R = °C + 460)

ρ

= Specific Gravity @ 60/60 °F 12

Klasifikasi crude berdasarkan KUOP adalah sebagai berikut : a. Paraffinic

: KUOP = 12.1 – 13.0

b. Intermediate

: KUOP = 11.5 – 12.1

c. Naphtenic

: KUOP = 10.5 – 11.5

d. Aromatic

: KUOP = 10.0 – 10.5

2.5.5 Klasifikasi minyak bumi menurut US Bureau of Mines Pada tahun 1937 Lane dan Garton dari Departemen Pertambangan Amerika (US Bureau of Mines) menyatakan bahwa kurang tepat jika menetapkan klasifikasi minyak bumi dengan satu macam chemical group, seperti paraffinic atau naphthenic saja. Karena pada hakekatnya dalam crude terdapat beberapa persenyawaan kimia dari hidrokarbon. US Bureau of Mines menggolongkan crude menurut perbandingan kadar komponen paraffin, naphthen atau aromat pada fraksi-fraksi destilat. Penetapannya sebagai berikut : crude didistilasi (Hempel Distillation) pada tekanan atmosfer sampai suhu 275 °C, kemudian diteruskan dengan distilasi vakum pada tekanan 40 mm Hg hingga mencapai suhu 300 °C. Klasifikasi berdasarkan berat jenis °API Gravity @ 60 °F dari dua fraksi kunci, yaitu : -

Key Fraction I adalah fraksi destilat 250 – 275 °C pada distilasi tekanan atmosfer

-

Key Fraction II adalah fraksi destilat 275 – 300 °C pada dist. tek vakum 40 mm Hg.

Berat jenis dari Key fraction I mengindikasikan kharakteristik dari fraksi ringan, dan berat jenis dari Key fraction II mengindikasikan kharakteristik dari fraksi beratnya. Tipe Hidrokarbon

KF-I, °API Gravity 60°F

KF-II, °API Gravity 60°F

Paraffinic – Paraffinic

≥ 40

≥ 30

Paraffinic – Intermediate

≥ 40

20 - 30

Paraffinic – Naphthenic

≥ 40

≤ 20

Intermediate – Paraffinic

33 - 40

≥ 30

Intermediate – Intermediate

33 - 40

20 - 30

Intermediate – Naphthenic

33 - 40

≤ 20

Naphthenic – Paraffinic

≤ 33

≥ 30

Naphthenic – Intermediate

≤ 33

20 - 30

Naphthenic – Naphthenic

≤ 33

≤ 20

13

2.5.6

Klasifikasi minyak bumi berdasarkan Indeks Korelasi Cara penetapan : -

Melakukan pengujian SG 60/60 °F minyak bumi

-

Melakukan distilasi ASTM D 86, kemudian hitung rata-rata titik didihnya

-

Menghitung Indeks Korelasi dengan rumusan : CI = (473,7 G – 456,8) + (48.640 / T) dimana G = SG 60/60 °F T = rata-rata titik didih, °Kelvin

Hasil pengujian diklasifikasikan atas : Correlation Index

Klasifikasi

CI = 0

HC seri normal parafin

CI = 100

HC benzena

CI = 0 – 15

HC dominan dalam fraksi : parafinik

CI = 15 – 50

HC dominan dalam fraksi : naftenik atau campuran parafinik, naftenik dan aromatik

CI  50

HC dominan dalam fraksi : aromatik

2.5.7 Klasifikasi minyak bumi berdasarkan Viscosity Gravity Constant (VGC) Cara penetapan : - Melakukan pengujian SG 60/60 °F minyak bumi - Melakukan pengujian viscosity Saybolt - Menghitung VGC dengan rumusan : VGC =

10 G  1,0752 log (V  38) 10  log (V  38)

dimana : G = SG 60/60 °F V = viscosity pada 200 °F (99 °C), SSU Hasil pengujian diklasifikasikan atas : VGC

Klasifikasi

0,800 – 0,840

Hidrokarbon Parafinik

0,840 – 0,876

Hidrokarbon Naftenik

0,876 – 1,000

Hidrokarbon Aromatik

14

2.6 Evaluasi Minyak Bumi Tujuan : Menentukan potensi minyak bumi sebagai bahan baku kilang minyak untuk menghasilkan fraksi yang dikehendaki. Potensi ditunjukkan oleh jumlah fraksi terbanyak yang dinyatakan sebagai % volume perolehan (% vol. recovery) yang dihasilkan dari suatu distilasi Hempel atau distilasi TBP (True Boilling point). Cakupan evaluasi meliputi : 1. Pengujian/analisis sifat umum minyak bumi, yaitu sesuai dengan tipe analisis (A, B, C, D) 2. Distilasi TBP (True Boiling Point), yaitu pemotongan suhu untuk memperoleh fraksi 3. Kurva distilasi, yaitu kurva yang digunakan untuk mengetahui potensi minyak bumi dalam menghasilkan fraksi yang dikehendaki 4. Prediksi sifat fraksi (SG, flash point, viskositas, pour point, kadar sulfur, dll) 2.6.1

Distilasi TBP (True Boiling Point)

Umum : 1. Biasa disebut peralatan distilasi TBP ( 4 m) , jumlah sampel : 4 – 30 liter. 2. Alat ini bekerja pada 2 (dua) tekanan, yaitu : 

tekanan atmosfir, sampai suhu 300 °C, untuk fraksi ringan yaitu gas sampai fraksi kerosene



tekanan vakum (10 atau 40 mm Hg), suhu di atas 300 °C, untuk fraksi berat yaitu fraksi minyak solar

Prinsip kerja : 

Memisahkan komponen – komponen hidrokarbon dalam minyak bumi berdasarkan atas perbedaan titik didih



Komponen yang tergabung dalam suatu trayek titik didih (range boiling point) disebut fraksi minyak bumi

Kegunaan : 

Untuk menentukan kondisi operasi kilang (variabel proses, yaitu kecepatan alir, suhu, tekanan, karakteristik umpan)



Jumlah yield (% volume) fraksi

15



Mutu produk yang dihasilkan

2.6.2 Tipe analisis evaluasi minyak bumi Terdapat 4 (empat) jenis tipe analisis evaluasi minyak bumi : 1. Tipe A (tipe analisis cepat) 2. Tipe B (tipe analisis sederhana) 3. Tipe C (tipe analisis sedang) 4. Tipe D (tipe analisis lengkap) Tipe A (tipe analisis cepat) Tujuan : Memberikan informasi sehubungan dengan minyak bumi yang baru diketemukan. Pengujian meliputi : 1.

Pengujian sifat umum minyak bumi

2.

Klasifikasi minyak bumi

Tipe B (tipe analisis sederhana) Tujuan : Memberikan informasi tentang potensi minyak bumi sehubungan dengan minyak bumi yang baru diketemukan. Pengujian meliputi : 1.

Pengujian sifat umum minyak bumi

2.

Klasifikasi minyak bumi

3.

Distilasi TBP narrow cut (hanya sampai fraksi kerosene)

Tipe C (tipe analisis sedang) Tujuan : Memberikan informasi tentang potensi minyak bumi sehubungan dengan minyak bumi yang sedang diproduksi maupun yang dipasarkan. Pengujian meliputi : 1. Pengujian sifat umum minyak bumi 2. Klasifikasi minyak bumi Distilasi TBP narrow cut (hanya sampai fraksi kerosene) dan wide cut (sampai fraksi minyak solar) 3. Analisis fraksi – fraksi dari TBP

16

Tipe D (tipe analisis lengkap) Tujuan : Memberikan informasi tentang potensi minyak bumi sehubungan dengan minyak bumi akan diolah. Pengujian meliputi : 1. Pengujian sifat umum minyak bumi 2. Klasifikasi minyak bumi 3. Distilasi TBP narrow cut (hanya sampai fraksi Kerosene) dan wide cut (sampai fraksi minyak solar) 4. Analisis fraksi – fraksi dari TBP 5. Analisis logam (V, Pb, Ni, Cu, Na, dan lain – lain)

17

Persenyawaan Sulfur dalam minyak

18

Persenyawaan Oksigen dalam minyak :

19

Persenyawaan Nitrogen dalam minyak :

20

Logam dalam minyak :

21

BAB III : PRODUK HASIL MINYAK 3.1 Produk Hasil Minyak Bumi Minyak bumi atau minyak mentah (Crude Oil) yang diperoleh dari sumur eksplorasi tidak bisa langsung dipakai sebagai bahan bakar atau sumber energi lainnya, tetapi harus diproses dahulu melalui suatu unit pengolahan untuk mendapat bermacam-macam produk yang sesuai dengan syarat-syarat penggunaannya. Di Indonesia, unit pengolahan minyak yang dikelola oleh PT Pertamina (Persero) ada di Pangkalan Brandan, Dumai, Plaju/Sungai Gerong, Balongan, Cilacap, Balikpapan dan Sorong. Produk minyak bumi selain untuk bahan bakar, ada juga untuk keperluan lainnya, seperti minyak pelumas, asphalt, refrigeran, dan solvent. Secara umum produk minyak yang dihasilkan oleh PT Pertamina (Persero) digolongkan sebagai berikut : -

Bahan Bakar Minyak

-

Bahan Bakar Khusus

-

Non BBM dan Petrokimia

-

Gas dan Produk lain

I.

Bahan Bakar Minyak : 1. Premium / Bensin 2. Kerosine / M. Tanah 3. Solar / HSD dan Pertamina Bio Solar 4. Minyak Diesel / IDF 5. M. Bakar / Fuel Oil

II.

Bahan Bakar Khusus : 1. Aviation Gasoline (Avgas) 2. Aviation Turbin Fuel (Avtur) 3. Pertamax RON 92 4. Pertamax Plus RON 95 5. Pertamina Dex

22

III.

Non BBM : 1. Green Cokes 2. Solvent : SBP, LAWS, Minarex 3. Minyak Pelumas : Mesran, Prima XP, Fastron, Enduro, dll. 4. Wax

IV.

Petrokimia 1. Polytam 2. PTA 3. Paraxylene 4. Benzene

V.

Produk Gas 1. LPG 2. LNG 3. Musicool

VI. Lain-lain : 1. Medium Naphtha, LOMC 2. LSWR, Residue, Decant Oil, HVGO 3. Sulphur. 3.2 Spesifikasi Produk Bahan Bakar Spesifikasi adalah seperangkat ketentuan persyaratan, batasan mengenai sifat-sifat fisika dan kimia suatu bahan, yang diukur dari parameter tertentu dengan metoda uji dan peralatan baku (standar), dengan memuat batasan minimum dan maksimumnya. Spesifikasi biasanya dituangkan dalam SK atau issue yang dibuat oleh Pemerintah atau badan – badan seprofesi, atau kesepakatan antara produsen dan konsumen. Di Indonesia yang berwenang mengeluarkan spesifikasi untuk produk yang berkaitan dengan migas adalah Pemerintah melalui Dirjen Migas. Tujuan utama adanya spesifikasi ini adalah untuk melindungi keselamatan konsumen baik terhadap orang, pengguna maupun peralatan yang digunakan.

23

Contoh Diagram Sederhana Kilang Unit Pengolahan III :

24

3.3 KEROSINE Salah satu bahan bakar yang dipakai oleh sebagian masyarakat adalah minyak tanah atau kerosine. Produk ini banyak dipakai sebagai bahan bakar rumah tangga dan juga sebagai lampu penerangan di daerah tertentu. Dalam penggunaannya kerosine harus aman dan tidak menimbulkan bahaya keracunan akibat hasil pembakarannya. Untuk melindungi konsumen agar kerosine yang dipakai sesuai dengan kebutuhan, maka pemerintah melalui Dirjen Migas mengeluarkan Surat Keputusan No. 17.K/72/DJM/1999 tanggal 16 April 1999 tentang spesifikasi dari bahan bakar jenis Minyak Tanah. 3.3.1 Proses pembuatan Kerosine Kerosine terutama dihasilkan melalui proses pemisahan fisik (primary process) yaitu fraksinasi minyak bumi di unit. Di unit crude distiller fraksi kerosine dihasilkan berupa produk LKD (Light Kerosine Distillate) dan HKD (Heavy Kerosine Distillate), yang kemudian crude distiller diblending untuk mendapatkan produk jadi berupa kerosine. Melalui proses konversi kimia (secondary process), kerosine dihasikan dari unit hydrocracker. 3.3.2 Proses Treating pada Produk Kerosine Di dalam minyak bumi terdapat persenyawaan kimia lain yang sangat berpengaruh terhadap mutu dari hasil-hasil minyak bumi itu, sehingga merugikan dalam proses pemasaran maupun pemakaiannya. Senyawa-senyawa yang merugikan properti tersebut yang disebut dengan impurities, harus diminimalisir atau mungkin dihilangkan dari produk olahan minyak bumi. Impuritis yang terdapat pada produk kerosine biasanya dalam bentuk persenyawaan sulfur yang dapat dihilangkan dengan cara pencucian dengan soda kaustik, selain itu kandungan senyawa hidrokarbon aromatik juga harus dibatasi. Senyawa sulfur dalam produk kerosine dapat menyebabkan kandungan jelaga yang berlebihan yang dihasilkan dari proses pembakaran, sedangkan persenyawaan aromatik menyebabkan turunnya nilai smoke point dan hasil pembakaran sebagai bahan bakar

25

rumah tangga ataupun bahan bakar lampu penerangan menjadi jelek (menimbulkan asap). 3.3.3 Sifat Kritikal pada Produk Kerosine Kerosine adalah fraksi minyak yang lebih berat dari motor gasoline dan lebih ringan dari fraksi solar, mempunyai trayek didih antara 150 – 300 ºC. Dalam pemakaiannya sebagai bahan bakar rumah tangga atau minyak lampu, sifat-sifat yang harus dipenuhi antara lain : a. Sifat Umum : Sifat umum bahan bakar kerosine sangat erat hubungannya dengan pemuatan, kontaminasi, material balance, dan transaksi jual beli. Sifat umum kerosine sesuai spesifikasi, ditunjukkan dalam pengujian : -

Specific Gravity 60/60 ºC, ASTM D 1298

-

Density at 15 ºC, ASTM D 1298

b. Sifat Pembakaran : Pada pembakaran dengan sumbu, kerosine harus memberi api yang baik dan tidak memberi asap, yang sebetulnya hasil pembakaran yang tidak sempurna dan terdiri dari butir-butir arang yang halus. Jadi kerosine tidak boleh mengandung bahan yang sulit terbakar sempurna. Sifat mutu pembakaran Kerosine sesuai spesifikasi, ditunjukkan pada pengujian : -

Smoke Point, ASTM D 1322

-

Char Value, IP-10

c. Sifat Penguapan : Daya menguap termasuk sifat penting dalam penggunaan kerosine, kerosine harus cukup mudah menguap sehingga mudah dinyalakan di waktu dingin. Kerosine harus stabil dan tidak mudah rengkah dalam penguapan sehingga tidak menimbulkan endapan yang menyebabkan kebuntuan. Sifat penguapan dari kerosine sesuai spesifikasi, ditunjukkan pada pengujian : -

Distilasi, ASTM D 86

-

Flash Point, IP-170

d. Sifat Pengkaratan : Kerosine sebagai bahan bakar tidak boleh bersifat korosif. Unsur-unsur dalam kerosine sebagai penyebab terjadinya karat antara lain senyawa sulfur, dapat berupa hirogen sulfida, merkaptan, dan tiofena. Terdapatnya persenyawaan sulfur dalam 26

kerosine, disamping bersifat korosif juga menyebabkan menurunnya nilai panas pembakaran (nilai kalori). Sifat pengkaratan kerosine sesuai spesifikasi, ditunjukkan pada pengujian: -

Sulfur Content, ASTM D 1266

-

Copper Strip Corrosion, ASTM D 130

e. Sifat Kebersihan Sifat kebersihan kerosine berhubungan dengan ada atau tidaknya kotoran dalam kerosine, sebab kotoran ini akan berpengaruh terhadap pembakaran.

Kerosine

sebagai bahan bakar diharapkan tidak mengeluarkan banyak asap, tidak membahayakan atau mengakibatkan pencemaran. Sifat kebersihan kerosine sesuai spesifikasi, ditunjukkan pada pengujian : -

Sulfur Content, ASTM D 1266

f. Sifat Keselamatan : Sifat keselamatan kerosine meliputi keselamatan di dalam pengangkutan, penyimpanan, dan penggunaan.

Kerosine harus memiliki salah satu sifat

keselamatan, yaitu bahwa kerosine tidak terbakar akibat terjadi loncatan api. Bila kerosine terlalu mudah menguap, akan menaikkan tekanan sehingga menyebabkan terjadinya ledakan. Di samping itu, kemudahan menguap akan menurunkan titik nyala. Sifat keselamatan kerosine sesuai spesifikasi, ditunjukkan pada pengujian: -

Flash Point Abel, IP-170

3.3.4 Parameter dan interpretasi analisis Kerosine 1. Density, ASTM D 1298/ IP-160 a. Pengertian : -

Density adalah perbandingan dari berat persatuan volume suatu bahan pada suhu tertentu, contohnya kg/m3 pada suhu 15/4 C.

-

Specific Gravity adalah perbandingan berat contoh minyak dengan berat air pada volume yang sama dan pada kondisi suhu tertentu, misalnya pada 60 F. Specific gravity tidak mempunyai satuan.

b. Garis besar metode : -

Sebuah hidrometer yang sesuai dicelupkan kedalam sampel minyak dalam silinder.

27

-

Kemudian baca skala pada hidrometer dan ukur suhu minyak dengan termometer. Catat sebagai observed.

-

Selanjutnya density/specific gravity dapat dikoreksi pada suhu standar dengan tabel (ASTM D1250)

c. Tujuan pemeriksaan Density : Untuk mencari hubungan berat-volume, yang berguna untuk penentuan nilai transaksi/harga. d. Interpretasi hasil pengujian : 

Bila diperoleh hasil uji lebih besar dari spesifikasinya, kerosine tersebut : - Terkontaminasi oleh fraksi yang lebih berat, misalnya solar. -

Mengandung senyawa naften dan aromat tinggi, sehingga pada pembakaran menyebabkan timbulnya asap yang berlebih.

2. Bila hasil pengujian lebih rendah dari spesifikasinya, kerosine tersebut : -

Terkontaminasi oleh produk yang lebih ringan, misalnya bensin.

-

Mengandung senyawa parafin dan iso parafin tinggi, berarti kerosine tersebut mudah menguap sehingga dapat mengakibatkan terjadinya ledakan.

2. Flash Point, IP-170 / ASTM D 56, D 3828 a. Pengertian : Titik nyala adalah suhu terendah dimana bahan bakar apabila dipanaskan telah memberikan campuran uapnya yang cukup perbandingan dengan udara, sehingga akan menyala sekejap bila diberi api kecil. b. Garis besar metode : -

Sample dalam jumlah tertentu dipanaskan perlahan-lahan dalam mangkok tertutup pada alat.

-

Secara periodik buka jendela mangkok dan diberi api kecil

-

Catat suhu dimana terjadi nyala sekejap pada uap minyak.

c. Kegunaan : -

Untuk mengetahui kecenderungan bahan bakar mudah menguap dan kemudahan terbakar

-

merupakan indikasi adanya kontaminasi

-

merupakan sifat penting untuk keselamatan pada saat penyimpanan dan penanganan bahan bakar (storage & handling). 28

d. Interpretasi hasil pengujian : Pada spesifikasi kerosine, titik nyala Abel minimum 38 °C. Bila pada hasil pengujian

diperoleh

nilai

lebih

kecil,

menunjukkan

bahwa

kerosine

terkontaminasi oleh fraksi yang lebih ringan sehingga mempunyai nilai flash point yang rendah. 3. Smoke Point, ASTM D 1322 / IP-57 a. Pengertian : Smoke point adalah tinggi nyala api maksimum dari bahan bakar tanpa menimbulkan asap pada kondisi tertentu. b. Garis besar metode : -

Sejumlah sample dinyalakan dalam sistem lampu khusus (smoke point).

-

Kemudian tinggi nyala api maksimum dapat diukur pada skala (mm).

c. Kegunaan : -

Sebagai gambaran banyaknya aromat yang terkandung dalam minyak

-

Memberikan indikasi kecenderungan membentuk asap sewaktu dibakar.

d. Interpretasi hasil pengujian : Pada spesifikasi Kerosine, nilai titik asap adalah minimum 15 mm. Bila titik asap di bawah nilai minimum, ini berarti bahan bakar kerosine tersebut mengeluarkan banyak asap akibat hasil pembakarannya, yang menunjukkan bahwa nilai kalori bahan bakar ini rendah, dan juga cenderung mengakibatkan terjadinya pencemaran. 4. Distilasi, ASTM D 86 / IP-12 a. Pengertian : -

Titik didih awal (Initial Boiling Point, IBP), adalah suhu uap minyak dimana terjadinya tetesan pertama hasil penyulingan

-

Titik di dih akhir (End Point, Final Boiling Point, FBP) adalah suhu tertinggi uap minyak pada proses penyulingan.

b. Garis besar metode : -

Sejumlah contoh dididihkan dalam labu dan disuling pada kondisi operasional tertentu

29

-

Pengamatan yang sistematis dilakukan terhadap pembacaan suhu dan volume kondensat hasil penyulingan, mulai dari

IBP, 5 %, 10 % dan

seterusnya volume kondensat tertampung sampai End point. c. Kegunaan : -

Sifat distilasi menunjukkan sifat penguapan secara keseluruhan

-

Sifat distilasi dapat menunjukkan bagaimana kira-kira komposisi bahan bakar

d. Interpretasi hasil pengujian : Pada spesifikasi kerosine, distilasi recovered pada 200 °C minimum 18 % vol. Bila hasil pengujian di bawah nilai minimum, ini berarti kerosine mengandung fraksi yang lebih berat. Sedangkan spesifikasi End point adalah maksimum 310 °C. Bila hasil pengujian di atas nilai maksimumnya, ini berarti banyak mengandung fraksi yang lebih berat, akibatnya dalam pembakaran timbul asap yang lebih tebal. 5. Copper Strip Corrosion, ASTM D 130 a. Tujuan Analisis : Untuk menentukan tingkat korosivitas mogas pada lempeng bilah tembaga yang dibandingkan dengan warna standar. b. Ringkasan Metode : Bilah tembaga yang telah digosok dimasukkan dalam tabung test yang berisi contoh, kemudian dipanaskan pada suhu 50 °C selama 3 jam. Setelah pemanasan selesai, lempeng tembaga tersebut dicuci dengan iso oktan dan di bandingkan dengan Copper strip corrosion standard. Pada spesifikasi, uji korosi bilah tembaga 3 jam pada 50 0C adalah maksimum ASTM No.1, bila lebih tinggi, maka kemungkinan kerosine bersifat korosif. 6. Kandungan Sulfur, ASTM D 1266 a. Tujuan Analisis : Untuk menetapkan jumlah kandungan sulfur dalam minyak dengan metode nyala lampu dan ditetapkan secara volumetri. b. Ringkasan Metode :

30

Contoh dibakar dalam suatu sistem tertutup dengan menggunakan lampu yang sesuai dan didorong dengan udara. Oksida sulfur yang terbentuk diserap oleh H2O2 membentuk H2SO4, kemudian asam sulfat yang terbentuk dititrasi dengan larutan standard NaOH dengan indicator methyl purple. Pada spesifikasi kerosine, nilai kandungan sulfur maksimum 0.20 % wt. Bila dari hasil pengujian diperoleh kandungan sulfur lebih besar dari spesifikasi, akan menyebabkan pencemaran udara, menaikkan sifat korosifitas pada gas hasil pembakaran dan penurunan nilai kalor bahan bakar. 7. Char Value, IP-10 a. Tujuan Analisis : Untuk menetapkan jumlah carbon sisa pembakaran yang terjadi dalam kerosine dengan menggunakan lampu khusus dan ditetapkan secara gravimetri. b. Ringkasan Metode : Sejumlah contoh didalam lampu khusus. Lampu dihidupkan selama 24 jam. Carbon sisa pembakaran pada sumbu diambil dan ditimbang. Pada spesifikasi kerosine nilai jelaga (Char value) maksimum adalah 40 mg/Kg. Bila hasil dari pengujian diperoleh lebih besar dari spec, menunjukkan bahwa bahan bakar kerosine terkontaminasi oleh fraksi yang lebih berat, dan mungkin juga disebabkan oleh lamanya penyimpanan. Untuk pengujian mutu lainnya seperti warna dan bau yang tercakup dalam parameter analisis, memberikan gambaran identitas pada suatu produk.

31

32

3.4 PREMIUM Salah satu bahan bakar yang dipakai oleh seluruh lapisan masyarakat adalah bensin Premium dengan angka Oktan 88. Untuk melindungi konsumen agar bensin yang dipakai sesuai dengan kebutuhan mesin, maka pemerintah melalui Dirjen Migas mengeluarkan Surat Keputusan No.74 K/72/DDJM/2001 tanggal 21 Juni 2001 tentang spesifikasi dari bahan bakar jenis Bensin Premium Tanpa Timbal yang biasa disebut bensin Premium saja. 3.4.1 Proses pembuatan Premium Komponen nafta (naphtha) merupakan komponen utama dari bensin-Premium atau Motor Gasoline (Mogas) merupakan produk olahan minyak bumi dengan trayek didih antara 30 – 200 ºC. Dalam prosesnya didapat melalui dua tahapan proses yaitu Proses utama (primary process ) dan Proses Lanjutan (secondary process). Komponen tersebut di atas mempunyai mutu pembakaran yang berbeda-beda. Tabel berikut menunjukkan secara umum gambaran mutu pembakaran suatu produk komponen mogas yang dihasilkan oleh proses pengolahan yang ditunjukkan dari hasil analisis angka oktan (RON) masing-masing produk. Table Kualitas Mutu Pembakaran Komponen Mogas Nama

Asal Proses

Angka Oktan

Komponen Mogas

Produk

(RON)

Straight Run Gasoline

Crude Oil Distillation

65 – 80

Catalytic Naphtha

Catalytic Cracked

92 – 98

Isomer

Isomerization

90 – 95

Polymer

Polymerization

97 - 100

Alkylate

Alkylation

95 - 105

1. Proses Utama (Primary Process) Dalam proses pengolahan minyak bumi untuk menghasilkan suatu produk, pada umumnya selalu didahului dengan proses utama yaitu mengolah bahan baku utamanya berupa minyak mentah dijadikan produk setengah jadi atau produk jadi. 33

Yang termasuk primary process dalam proses pengolahan minyak adalah unit Distilasi Minyak Mentah (Crude distillation Unit, CDU). Proses distilasi ini merupakan proses pemisahan secara fisika, yang bertujuan memisahkan minyak bumi menjadi fraksi-fraksinya berdasarkan perbedaan titik didih masing-masing komponen penyusunnya pada kondisi tekanan atmosferik. Bahan baku dari proses ini adalah minyak mentah, yang dialirkan dengan pompa melalui alat pertukaran panas dan menguapkan komponen-komponen ringannya. Dalam kolom fraksinasi uap akan naik ke atas dan cairan turun ke bawah, kemudian uap minyak yang terbentuk dipisahkan berdasarkan trayek didih dari komponenkomponen minyak tersebut. Komponen mogas yang dihasilkan dari proses ini dapat langsung dijadikan komponen Premium, tetapi mutu pembakaran berupa nilai angka oktan masih relative rendah. Komponen mogas dari proses ini dapat juga dijadikan umpan / bahan baku proses selanjutnya (secondary process). 2. Proses Lanjutan (Secondary Process) Secondary Process adalah suatu proses lanjutan bertujuan untuk mendapatkan produk komponen mogas yang mempunyai nilai oktan lebih tinggi dibandingkan dengan oktan dari mogas hasil CDU. Selain itu juga untuk mengefisiensikan produk hasil CDU menjadi produk yang mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi. Yang termasuk proses-poses lanjutan untuk mendapatkan suatu produk komponen mogas adalah : Perengkahan dengan bantuan panas atau dengan bantuan katalis, Isomerisasi, Alkilasi, dan Polimerisasi. Disamping unit-unit proses tersebut di atas untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu dari suatu produk dilakukan suatu proses : Pemurnian (Treating) dan Pencampuran (Blending). a. Perengkahan dengan bantuan panas (Thermal Cracking) : Proses ini dilakukan dengan pemanasan yang tinggi untuk merengkah hidrokarbon rantai panjang yang mempunyai titik didih tinggi sehingga di peroleh fraksi hidrokarbon yang mempunyai titik didih lebih rendah. b. Perengkahan dengan bantuan katalis (Catalytic cracking) :

34

Proses ini dilakukan dengan menggunakan bantuan katalis sehingga reaksi yang ditimbulkan akan lebih baik dari pada proses perengkahan dengan bantuan panas. c. Isomerisasi (Isomerization) : Proses isomerisasi adalah proses mengubah hidrokarbon rantai lurus menjadi hidrokarbon rantai cabang dengan berat molekul yang sama. Pada proses ini terjadi perubahan normal parafin menjadi iso parafin untuk meningkatkan mutu mogas karena memiliki angka oktan yang lebih tinggi. d. Alkilasi ( Alkylation ) Proses alkilasi ini bertujuan untuk menghasilkan mogas berangka oktan tinggi dengan cara menggabungkan hidrokarbon parafinik dengan olefinik yang berbentuk gas menjadi cairan komponen mogas. Sebagai bahan baku parafinik dipakai iso butana dan bahan baku olefin dipakai iso butilena , yang menghasilkan komponen mogas rantai cabang iso oktan (2,2,4 Trimethyl Pentane) Reaksi

: iC4 + iC4=

→ iC8

e. Polimerisasi ( Polymerization ) Proses Polimerisasi adalah proses penggabungan antara dua molekul yang sama menjadi molekul-molekul hidrokarbon yang lebih besar. Pada proses ini sebagai bahan baku yang digunakan gas-gas olefin, karena olefin merupakan hidrokarbon tidak jenuh yang mempunyai sifat mudah bergabung satu dengan lainnya. Proses polimerisasi ini dapat dilakukan menggunakan katalisator menghasilkan polymer gasoline oktan tinggi. Reaksi

: C4=

+ C4= → C8=

f. Pemurnian ( Treating ) Produk-produk yang diperoleh biasanya masih mengandung senyawa-senyawa tertentu yang merugikan dan tidak dapat dihilangkan sama sekali. Tetapi dapat diperkecil kandunganya dengan cara pemurnian dengan Caustic Treating atau Hydrotreating sehingga produk tersebut dapat digunakan secara aman. Tujuan dari proses pemurnian adalah perbaikan mutu produk meliputi menghilangkan bau, menghilangkan impurities dan zat-zat yang bersifat korosif. g. Pencampuran ( Blending )

35

Yang dimaksud dengan blending adalah mencampur dua komponen produk atau lebih kedalam suatu sistem sehingga menghasilkan suatu produk yang memenuhi spesifikasi. Tujuan dari blending adalah :  Memperbaiki mutu produk yang rusak, yaitu produk-produk yang menyimpang dari spesifikasinya.  Mengubah produk yang mempunyai mutu rendah menjadikan produk yang bermutu tinggi.  Mendapatkan produk baru dari produk-produk yang ada. 3.4.2 Spesifikasi Bahan Bakar Jenis Bensin Premium Pemerintah melalui Dirjen Migas telah mengeluarkan Surat Keputusan nomor 74 K / 72 / DDJM / 2001 tanggal 21 Juni 2001 tentang spesifikasi bahan bakar Premium Tanpa Timbal, seperti tabel berikut.

36

37

3.4.3 Sifat - sifat Khusus Premium Premium bila digunakan harus aman, tidak membahayakan manusia dan lingkungan, tidak merusak mesin, dan efisien didalam penggunaanya. Agar tujuan tersebut tercapai, premium yang akan digunakan harus memenuhi spesifikasi yang telah ditetapkan dengan batasan-batasan tertentu dan diperiksa sesuai dengan standar yang ada. Adapun sifat-sifat penting dari premium sebagai bahan bakar adalah :  Sifat Pembakaran  Sifat Penguapan  Sifat Pengkaratan  Sifat Stabilitas 1. Sifat Pembakaran Sifat penting produk bahan bakar premium adalah pembakaran, yaitu dalam proses pembakaran di ruang bakar, diharapkan campuran uap bensin dan udara harus dapat menyala dan terbakar seluruhnya secara teratur. Dalam operasinya campuran tersebut ditekan dalam silinder lalu dibakar dengan bunga api dari busi. Pembakaran yang baik berlangsung merata dan lancar, namun pada kondisi tertentu temperatur dalam silinder mungkin terlalu tinggi, sehingga menyebabkan terjadi pembakaran sendiri (self ignition) dari campuran selain dari pembakaran yang diatur busi. Keadaan ini sering dialami waktu kendaraan dipakai dan dapat diketahui dari bunyi ketukan (knocking) yang di keluarkan mesin. Sifat pembakaran bensin biasanya diukur dengan angka oktan. Angka oktan ini menunjukkan

ukuran

kecenderungan

bensin

untuk

mengalami

knocking.

Kecenderungan knocking ini berhubungan dengan perbandingan kompresi mesin. Makin tinggi angka oktan suatu bahan bakar makin kurang kecenderungannya mengalami ketukan. Angka Oktan premium diukur dengan mesin uji standar yaitu CFR (Cooperative Fuel Research) F 1 sesuai dengan standar ASTM D 2699. 2. Sifat Penguapan Sifat penting produk premium adalah sifat penguapan, yaitu ukuran kemampuan suatu bahan bakar untuk mengubah fasa cair ke fasa gas di bawah kondisi temperatur dan tekanan tertentu.

38

Suatu bahan bakar bensin dapat terbakar sempurna dalam ruang bakar, harus dapat menguap dengan teratur sesuai dengan laju yang dikehendaki dan dapat terdistribusi merata dalam ruang bakar. Sehingga memudahkan starting pada mesin, waktu pemanasan mesin, akselerasi. Juga sebaliknya tidak terlalu mudah menguap sehingga dapat menyebabkan vapour lock pada saluran dari tanki ke karburator dan pembentukan butir-butir es dalam karburator. Sedangkan bensin yang sukar menguap akan menyebabkan penyebarannya tidak seimbang dan pembakaran tidak sempurna, juga dapat mengakibatkan terjadi crancase dilution, serta menimbulkan karbon deposit. Sifat penguapan produk premium dapat diketahui dari dua macam parameter yaitu :  Distilasi, ASTM D 86  Reid Vapour Pressure, ASTM D 323 3

Sifat Pengkaratan Premium mengandung senyawa sulfur (belerang). Senyawa sulfur tersebut berasal dari minyak bumi yang telah terakumulasi dalam jebakan di bawah tanah bercampur dengan lumpur dan air. Senyawa sulfur ini ikut terbakar dalam mesin dan menghasilkan senyawa oksida asam yang bersifat korosif, reaksinya adalah : S

+

O2

SO2

SO2

+

½ O2

SO3

SO3

+

H2O

H2SO4

Selain itu senyawa sulfur yang terkandung dalam produk juga berpengaruh terhadap pengkaratan pada elemen mesin, oleh karena itu kandungan sulfur dalam premium dibatasi oleh spesifikasi yang telah ditentukan. Untuk mengetahui sifat pengkaratan premium, dapat dianalisis dengan :  Sulfur Content, ASTM D 1266  Doctor Test, IP 30  Copper Strip Corrosion, ASTM D 130 4. Sifat Stabilitas Premium harus bersih dan stabil selama pemakaian dan penyimpanannya. Karena selama pemakaian bensin yang diuapkan biasanya meninggalkan sisa yang

39

berbentuk getah padat (gum) yang melekat pada permukaan saluran bahan bakar. Apabila pegendapan getah ini terlalu banyak, kemulusan operasi mesin dapat terganggu. Karena itu kandungan gum dalam bensin dibatasi oleh spesifikasinya. Analisis yang bertujuan untuk mengukur kandungan gum dalam bensin adalah metode ASTM D 381. Selain dari gum yang keberadaanya sudah terdapat sejak dari proses pembuatan, gum juga dapat terbentuk karena komponen-komponen bensin bereaksi dengan udara selama penyimpanan. Hidrokarbon tidak jenuh berupa olefin mempunyai kecenderungan untuk mengalami pembetukan gum akibat oksidasi. Ketahanan bensin dalam penyimpanan, diukur dengan analisis Induction Period ASTM D 525. 3.4.4 Parameter analisis Bahan Bakar jenis Premium 1. Analisis Research Octane Number ASTM D 2699 a. Tujuan Analisis : Untuk menentukan ukuran dari ketahanan suatu bahan bakar yang menggunakan busi sebagai sumber pengapiannya terhadap ketukan (knocking) yang diberikan kepadanya. Hal ini didasarkan atas operasi dalam suatu knock testing unit pada knock intensity yang sama dengan primary reference fuels blend

yang

merupakan campuran dalam volume tertentu antara iso oktan dengan normal heptan. b. Ringkasan Metode : Ada dua metode analisis untuk Research Octane Number ASTM D 2699 dua metode tersebut adalah : 1. Prosedur Bracketing : Prosedur ini adalah membandingkan tendensi ketukan dengan suatu bahan bakar pembanding. Pembacaan Knock Meter dari contoh diapit pada pembanding kompresi yang konstan diantara dua pembacaan Knock Meter dari dua campuran bahan bakar pembanding. Hasil dari pembacaan Knock Meter ini kemudian dihitung secara interpolasi. 2. Prosedur Compression Ratio : Penentuan angka oktan melalui prosedur ini adalah dengan menentukan Cylinder Height ( Compression Ratio ) dari contoh, sehingga menunjukkan angka pada detonation meter dalam kondisi yang berdasarkan primary

40

reference fuel blend dengan Octane Number tertentu dan Cylinder Height sesuai dengan nilai pada guide table yang ditentukan. Pembacaan Cylinder Height

melalui Micrometer Reading dari contoh

tersebut dikonversikan ke tabel ASTM D 2699 sehingga didapatkan angka oktan RON dari contoh yang dianalisis. 2. Analisis Density ASTM D 1298 a. Tujuan Analisis : Untuk mencari hubungan berat ke volume pada suhu standar 15 °C . b. Ringkasan Metode : Sejumlah contoh ditempatkan dalam gelas cylinder yang transparan. Sebuah hydrometer yang sesuai dicelupkan kedalam contoh, setelah suhu contoh konstan, skala hydrometer dan suhu contoh di catat. Selanjutnya density dapat dikonversi ke suhu standar dengan tabel (ASTM D 1250). 3. Analisis Distillation ASTM D 86 a. Tujuan Analisis : Untuk mengetahui karakteristik kemudahan menguap dari produk minyak bumi yang erat berhubungan dengan unjuk kerja dalam pemakaian. b. Ringkasan metode : 100 ml contoh yang telah didinginkan, diuapkan dalam labu distilasi dengan pemanasan di bawah kondisi yang telah ditentukan sesuai dengan jenis produk yang akan dianalisis. Uap minyak yang terbentuk akibat pemanasan, didinginkan dengan media pendingin berupa kondensor yang berfungsi mengubah dari fasa gas menjadi fasa cair. Hasil dari perubahan fasa tersebut, ditampung dengan gelas penampung yang berskala, dan di baca temperatur uapnya terhadap IBP dan kenaikan % volume kondensat ( 10 %, 20 % sampai 90 % ) dan End Point . 4. Analisis Reid Vapour Pressure ASTM D 323 a. Tujuan Analisis : Untuk menentukan tekanan uap absolute dari suatu mogas. b. Ringkasan Metode :

41

Contoh mogas yang telah didinginkan, dimasukan dalam tabung contoh (Gasoline Chamber). Kemudian dihubungkan dengan tabung udara (Air Chamber). Lalu dimasukan dalam bak air yang mempunyai suhu 37.8°C dan dikocok pada periode waktu tertentu sampai didapat penunjukan tekanan yang tetap. 5. Analisis Existent Gum ASTM D 381 a. Tujuan Analisis : Untuk menentukan getah (gum) yang terbentuk dari sisa penguapan yang tidak larut dalam normal heptan. b. Ringkasan Metode : 50 ml contoh dimasukkan dalam gelas beaker. Kemudian dioksidasi dengan udara panas dengan kecepatan alir 1000 ml/detik dan suhu 160 -165 °C selama 30 menit. Gum yang terbentuk dicuci dengan normal heptane, lalu gum tersebut ditimbang, dihitung dan dilaporkan dalam mg/100 ml. 6. Analisis Induction Period ASTM D 525 a. Tujuan Analsis Untuk menentukan kestabilan suatu produk mogas terhadap kondisi tekanan dan suhu yang dipercepat. b. Ringkasan Metode 50 ml contoh mogas dalam sistem yang tertutup diisi oksigen sampai tekanan 100 psi, lalu dipanaskan pada suhu 98 - 102 °C, dan diamati lamanya waktu stabil dari mogas tersebut terhadap pengaruh tekanan oksigen dan terhadap suhu tertentu dalam satuan menit. 7. Analisis Lead Content ASTM D 3237 a. Tujuan Analisis : Untuk penetapan kandungan Total Lead dalam gasoline dengan rentang konsentrasi 2.5 – 25 mg/L. b. Ringkasan Metode : Sejumlah tertentu contoh gasoline diencerkan dengan Methyl Isobuthyl Keton (MIBK), dan senyawa-senyawa Pb-alkil bereaksi dengan iodine dan garam amonium kuartener. 42

Kandungan Pb ditetapkan menggunakan peralatan Atomic Absorption Spectrofotometry (AAS) pada panjang gelombang 283.3 nm, dengan standar PbCl2. 8. Analisis Sulfur Content ASTM D 1266 a. Tujuan Analisis : Untuk menetapkan jumlah kandungan sulfur dalam mogas dengan metode nyala lampu dan ditetapkan secara volumetri. b. Ringkasan Metode : Contoh mogas dibakar dalam suatu sistem tertutup dengan menggunakan lampu yang sesuai dan didorong dengan udara. Oksida sulfur yang terbentuk diserap oleh H2O2 membentuk H2SO4, kemudian asam sulfat yang terbentuk dititrasi dengan larutan standard NaOH dengan indicator methyl purple. 9. Analisis Copper Strip Corrosion ASTM D 130 a. Tujuan Analisis : Untuk menentukan tingkat korosivitas mogas pada lempeng bilah tembaga yang dibandingkan dengan warna standar. b. Ringkasan Metode : Bilah tembaga yang telah digosok dimasukkan dalam tabung test yang berisi contoh mogas, kemudian dipanaskan pada suhu 50 °C selama 3 jam. Setelah pemanasan selesai, lempeng tembaga tersebut dicuci dengan iso oktan dan di bandingkan dengan Copper strip corrosion standard. 10. Analisis Doctor Test IP 30 a. Tujuan Analisis : Untuk menentukan adanya kandungan senyawa sulfur-mercaptan dalam mogas secara kualitatif. b. Ringkasan Metode : 10 ml contoh dicampur dengan 5 ml larutan doctor, dikocok dan ditambah sulfur bebas lalu dikocok lagi, kemudian diamati perubahan yang terjadi pada sulfur bebas. Jika terjadi perubahan warna pada sulfur yang ditambah, dilaporkan positif, dan jika tidak terjadi perubahan warna dilaporkan negative.

43

11. Analisis Mercaptan Sulfur ASTM D 3227 a. Tujuan Analisis : Untuk menentukan Mercaptan Sulfur pada rentang 0.0003 – 0.01 % wt dengan cara titrasi potensiometri. b. Ringkasan Metode : Sejumlah sample yang telah bebas dari H2S dilarutkan dalam pelarut titrasi dari Natrium asetat alkoholat, kemudian dititrasi secara potensiometri dengan larutan standar perak nitrat memakai electrode acuan gelas. Pada kondisi pengujian ini, Mercaptane Sulfur diendapkan sebagai perak mercaptida, dan titik akhir titrasi ditunjukan oleh terjadinya penyimpangan potensial yang besar yang terjadi dalam sel potensial.

44

3.5 MINYAK SOLAR Salah satu bahan bakar yang dipakai oleh masyarakat dan industri adalah minyak Solar. Untuk melindungi konsumen agar minyak yang dipakai sesuai dengan kebutuhan mesin, maka pemerintah melalui Dirjen Migas mengeluarkan Surat Keputusan No.3675 K/24/DDJM/2006 tanggal 17 Maret 2006 tentang Spesifikasi dari bahan bakar jenis Solar 48 yang biasa disebut Minyak Solar saja. 3.5.1. Proses pembuatan Minyak Solar Minyak Solar atau High Speed Diesel (HSD) adalah jenis distilat yang dihasilkan dari proses pengolahan minyak bumi berwarna coklat jernih dan mempunyai trayek titik didih antara 160 – 370 OC serta mempunyai kandungan senyawa hidrokarbon antara C 12 sampai dengan C18. Minyak Solar diperoleh melalui proses pengolahan minyak bumi, proses tersebut antara lain: -

Proses Distilasi Atmosferik

-

Proses Distilasi Hampa

-

Proses Perengkahan (Cracking)

-

Proses Pencampuran (Blending)

1. Proses Distilasi Atmosferik Distilasi Atmosferik adalah proses pemisahan fraksi-fraksi minyak bumi berdasarkan perbedaan titik didihnya, pada tekanan  1 Atmosfir dan temperature maksimum 370 O

C. Proses distilasi mencakup dua kegiatan yaitu penguapan dan pengembunan. Pada

penguapan memerlukan panas untuk menaikkan suhu, sebaliknya pengembunan dapat dilakukan dengan mengambil panas dari penguapan distilasi atmosferik adalah : a. Gas b. Naphta c. Kerosine d. Gas Oil (Minyak Solar) e. Long residue 2. Proses Distilasi Hampa

45

Produk yang dihasilkan dari

Pada dasarnya distilasi hampa hampir sama dengan distilasi atmosferik, yang membedakannya yaitu pada distilasi hampa tekanan didalam kolom fraksinasi diturunkan sampai dibawah satu atmosfir (10 s.d. 40 mmHg) Proses distilasi hampa dilakukan untuk memproses lebih lanjut long residue yang merupakan sisa dari proses distilasi atmosfir. Hal ini disebabkan jika suhu pada distilasi atmosfir dinaikkan lebih dari suhu maksimumnya maka akan terjadi perengkahan (Cracking) dan akan merusak mutu produk. Hasil dari proses distilasi Hampa antara lain: a. Vacuum Gas Oil (Komponen Minyak Solar) b. Parafinic Oil Distilate (POD) c. Short Residue 3. Proses Perengkahan (Cracking) Secara sederhana dapatlah dikatakan bahwa proses perengkahan adalah suatu proses pemisahan hidrokarbon dengan berat molekul yang berat menjadi komponen dengan berat molekul yang berat menjadi komponen dengan berat molekul yang lebih ringan. Proses perengkahan dibedakan menjadi tiga, yaitu : -

Thermal Cracking

-

Catalytic Cracking

-

Hydro Cracking

4. Proses Pencampuran (Blending) Proses Blending ini dilakukan dengan cara mencampurkan komponen-komponen komponen minyak Solar lainnya yang lebih baik dengan komponen minyak Solar lainnya, sehingga diharapkan mendapatkan produk solar yang memenuhi Spesifikasi. Proses pencampuran dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu: a. Metode Batch Blending b. Metode Partial In Line Blending c. Metode Continuous In Line Blending 3.5.2. Proses produksi minyak solar di kilang UP III Minyak solar yang dihasilkan oleh UP III Plaju diolah dari beberapa unit yaitu: a. Crude Distillation II, III, IV, V Plaju

46

Pada Unit produksi ini, dilakukan distilasi atmosferik terhadap crude oil, sehingga pada trayek titik didih 200 – 350 OC, didapatkan komponen Solar, yaitu: -

CD II : LCT

-

CD III : HKD, LCT, HCT

-

CD IV : HKD, LCT, HCT

-

CD V : LCT, HCT

b. Crude Distillation VI Sungai Gerong Pada Unit produksi ini, sama dengan unit produksi di Crude Distillation Sungai Gerong, produk yang dihasilkan sebagai komponen Solar, terkadang langsung produk jadi tanpa melalui proses blending lagi. c. High Vacuum Unit (HVU) Sungai Gerong Pada unit Produksi ini, dilakukan distilasi hampa terhadap long residue, sehingga didapatkan komponen Solar, yaitu : Light Vacum Gas Oil (LVGO). Komponen minyak Solar yang dihasilkan dari unit-unit ini kemudian dicampur menjadi satu di tangki-tangki penampungan yang merupakan produk akhir minyak solar dan jika memenuhi persyaratan, maka minyak Solar ini siap untuk dipasarkan.

47

Gambar 3.1 Diagram Proses Blending Pembuatan Minyak Solar di UP III 3.5.3. Sifat-sifat minyak Solar. Minyak solar dikenal juga dengan sebutan High Speed Diesel (HSD) atau Automotive Diesel Oil (ADO) atau Gas Oil diperuntukkan untuk mesin diesel dengan : Klasifikasi

: putaran tinggi diatas 1000 rpm

Kondisi

: kecepatan putaran mesin bervariasi

Aplikasi

: kendaraan angkut mesin diesel seperti kendaraan bermotor.

Sesuai dengan aplikasinya maka diperlukan suatu mutu bahan bakar minyak solar yang memenuhi Spesifikasi sesuai peruntukannya. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi minyak solar agar mendapatkan daya guna yang optimal sebagai bahan bakar mesin diesel antara lain : -

Memiliki kemampuan start up mesin dalam keadaan dingin

-

Terhindar dari “ignition delay” yang dapat menimbulkan ketukan dan menghambat tenaga yang optimal. 48

-

Mampu memberikan daya pengkabutan yang sempurna sesuai viskositasnya

-

Sedikit mengandung unsur karbon dan logam yang dapat menyebabkan pembentukan deposit.

-

Tidak mengandung komponen-komponen yang dapat merusak mesin dan mencemari lingkungan, seperti misalnya CO, SO2, dsb.

Agar produk minyak Solar dapat dipergunakan sesuai dengan fungsinya secara baik dan tanpa menimbulkan kerugian pada mesin, maka dipandang perlu untuk memperhatikan sifat-sifat utama dari minyak minyak solar tersebut, yang meliputi 1. sifat umum 2. sifat pembakaran 3. sifat penguapan 4. sifat kemudahan mengalir 5. sifat pengkaratan 6. sifat keselamatan 7. sifat kebersihan. 1. Sifat Umum : Yang dimaksud sifat umum adalah sifat yang menunjukkan klasifikasi (jenis) minyak tersebut. Sifat umum minyak solar sangat erat hubungannya dengan pemuatan, kontaminasi, material balance, dan transaksi jual beli. Sifat umum ditunjukkan dengan pengujian : Density at 15 OC, Specific Gravity 60/60 OF atau API Gravity ASTM D 1298 / D 4052 2. Sifat Pembakaran : Sifat pembakaran adalah salah satu ukuran dari mutu pembakaran dari minyak Solar. Minyak Solar dapat memberikan kerja mesin yang memuaskan apabila dapat menghasilkan pembakaran yang sempurna dalam ruang bakar. Minyak Solar bermutu rendah mempunyai waktu tunda (ignition delay) lebih lama. Sifat ini ditunjukkan oleh besar kecilnya angka setana (cetane number). Pemeriksaan Angka Setana dimaksudkan untuk memberikan gambaran : a. Mudah tidaknya mesin dihidupkan b. Kemungkinan timbulnya diesel knock akibat dari ignition delay yang panjang. c. Tebalnya tipisnya gas buang (asap)

49

Ketiga hal tersebut akan menyebabkan berkurangnya tenaga yang ditimbulkan dan kerusakan pada bagian-bagian mesin. Sifat Pembakaran ini ditunjukkan dengan pengujian : a. Cetane Number ASTM D 613 b. Calculated Cetane Index by Four Variable Equation ASTM D 4737 3. Sifat Penguapan Sifat penguapan merupakan sifat yang banyak mempengaruhi daya kerja bahan bakar mengingat pada saat pembakaran terjadi fase uap, sehingga perlu diketahui sifat penguapannya. Berdasarkan sifat penguapan ini dapat diketahui jumlah fraksi ringan yang ada dan mudah untuk dikabutkan. Apabila terlalu rendah penguapan dapat mengakibatkan timbulnya deposit sehingga pembakaran tidak sempurna dan akan mempengaruhi kemudahan start mesin serta akselerasi mesin. Sifat penguapan ini ditunjukkan dengan pengujian Distillation ASTM D 86. 4. Sifat kemudahan mengalir Sifat kemudahan mengalir minyak solar adalah merupakan ukuran mudah atau tidaknya bahan bakar mengalir dan dipompakan. Sifat alir atau kekentalan penting diketahui karena mempengaruhi terhadap pemompaan dan dalam mekanisme pengabutan atau atomisasi bahan bakar sesaat setelah keluar dari nozzle menuju ruang bakar. Selain itu bahan bakar juga harus mampu melumasi fuel pump plungers, maka penggunaan bahan bakar yang terlalu rendah viskositasnya dan kurangnya sifat-sifat pelumasan dapat menyebabkan keausan pada bagian-bagian pompa bahan bakarnya. Apabila bahan bakar terlalu kental, maka dapat mengganggu fungsi pompa dan injector, di sisi lain apabila viskositas terlalu tinggi, selain susah dipompakan juga mempengaruhi atomisasi dan penetrasi oleh injector. Sifat kemudahan mengalir ditunjukkan oleh dua pengujian yaitu : a. Viscosity Kinematic ASTM D 445 b. Pour Point ASTM D 97 5. Sifat Pengkaratan Unsur-unsur dalam minyak Solar disamping hidrokarbon, terdapat pula unsur-unsur sulfur, oksigen, halogen dan logam. Diantara senyawa-senyawa tersebut ada yang

50

bersifat korosif, yaitu senyawa sulfur (belerang). Senyawa-senyawa Sulfur dalam minyak Solar yang korosif dapat berupa hydrogen sulfide, merkaptan, dan tiofena. Untuk mengetahui sifat pengkaratan dalam minyak solar ada beberapa metode pengujian yang digunakan yaitu : a. Copper Strips Corrosion ASTM D 130 b. Sulphur Content ASTM D 1552/ ASTM D 2622 c.

Strong Acid Number ASTM D 974 / D 664

d. Total Acid Number ASTM D 974 / D 664 6. Sifat Keselamatan Sifat keselamatan minyak Solar meliputi keselamatan didalam pengangkutan, penyimpanan dan penggunaan. Minyak Solar harus memiliki salah satu sifat keselamatan yaitu bahwa minyak Solar tidak terbakar akibat terjadi loncatan api. Untuk mengetahui sifat keselamatan Minyak Solar dapat dilakukan pengujian Flash Point Pensky Martens ASTM D 93. 7. Sifat Kebersihan Sifat kebersihan ini ditentukan dengan ada atau tidak adanya kotoran yang terdapat didalam minyak solar, sebab kotoran ini akan berpengaruh terhadap mutu karena dapat mengakibatkan kegagalan dalam suatu operasi mesin. Kotoran itu biasanya berupa air, lumpur atau endapan atau sisa hasil pembakaran yang berupa abu dan carbon. Untuk itu makin kecil adanya kotoran didalam suatu bahan bakar maka makin baik mutu bahan bakar tersebut. Sifat kebersihan pada minyak minyak Solar dibatasi keberadaannya dengan beberapa pengujian, yaitu: a. Color ASTM D 1500 b. Water Content ASTM D 95 / ASTM D 1744 c. Conradson Carbon Residue (CCR) ASTM D 189 / ASTM D 4530 d. Sediment by Extraction ASTM D 473 e. Ash Content ASTM D 482 f. Particulate Contaminant ASTM D 2276 8. Sifat-sifat lainnya

51

Ada beberapa sifat-sifat lain dari minyak Solar-48 bila minyak Solar tersebut mengandung biodiesel, sesuai dengan Spesifikasi SK Dirjen Migas No. 3675 K/24/DJM/2006, tanggal 17 Maret 2006 maka sifat-sifat tersebut antara lain: 1. Biological Growth 2. Kandungan FAME 3. Kandungan Metanol & Etanol ASTM D 4815 3.5.4

Penanganan Solar

Untuk menjamin mutu Solar agar tetap memenuhi Spesifikasi yang telah ditentukan sampai saat digunakan, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu : a. Pada saat penimbunan b. Pada saat penyaluran c. Pada saat pengangkutan Dengan melakukan pengawasan mutu yang ketat terhadap Solar mulai saat pembuatannya sampai ketangan konsumen maka mutu Solar akan terjaga dengan baik sesuai Spesifikasi. 3.5.5. Spesifikasi Minyak Solar Spesifikasi adalah suatu batasan minimum dan maksimum dari suatu produk yang dibuat berdasarkan undang-undang dengan mempertimbangkan kepentingan konsumen pemakai BBM atau tipe-tipe mesin yang akan menggunakan serta kepentingan / kemampuan industri pengolah minyak yang membuatnya. Spesifikasi juga bertujuan untuk melindungi keselamatan konsumen baik orangnya maupun alatnya, efisien dalam pemakaian dan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan. Karena Solar digunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermesin diesel maka Spesifikasinya dibuat sesuai dengan kondisi yang cocok untuk mesin diesel dan tetap ramah lingkungan. Pada awalnya Spesifikasi minyak Solar di Indonesia mengacu pada surat keputusan DIRJEN MIGAS No. 113.K/72/DJM/1999 tanggal 27 Oktober 1999. Lalu setelah munculnya isu biodiesel dan perkembangan teknologi mesin diesel Spesifikasi tersebut berubah melalui Surat Keputusan DIRJEN MIGAS No. 3675 K/24/DJM/2006 tanggal 17 Maret 2006.

52

Spesifikasi melalui surat keputusan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Minyak dan Gas tersebut biasanya mengikuti Spesifikasi Ineternasional, seperti dari ASTM (Diesel Fuel Oils ASTM D 975 grade 2D) atau WWFC grade.

Spesifikasi BBM Jenis Solar 48 No. 1

Karakteristik

Satuan

Bilangan Cetana - Angka Cetana, atau - Indek Cetana

Batasan Min Max 48 45

2

Berat jenis@ 15 °C

kg/m3

815

870

3

mm2/Sec

2.0 -

5.0 0.35

11

Viskositas @ 40 °C Kandungan Sulfur Distilasi : T 95 Titik Nyala Titik Tuang Residu Karbon Kandungan Air Biological Growth *) Kandungan FAME *)

12

Kandungan Metanol & Etanol *)

13

18

Korosi bilah tembaga Kandungan Abu Kandungan Sedimen Bilangan Asam Kuat Bilangan Asam Total Partikulat

19

Penampilan visual

20

Warna

4 5 6 7 8 9 10

14 15 16 17

% m/m

Metoda Uji ASTM Others D 613 D 4737 D 4052/1298 D 445 D 2622 D 86

°C °C °C % m/m mg/kg % v/v % v/v

% m/m % m/m mg KOH/L mg KOH/L

No ASTM

60

370

18 0.1 500 Nihil *) 10 Tidak terdeteksi Kelas 1 0.01 0.01 0.0 0.6 Jernih & terang 3.0

D 93 D 97 D 4530 D 1744

D 4815 D 130 D 482 D 473 D 664 D 664 D 2276

D 1500

Note : Dasar SK Dirjen Migas No. 3675 K/24/DJM/2006, tanggal 17 Maret 2006 Catatan *) : Khusus untuk minyak solar yang mengandung Bio Diesel, jenis dan spec. Bio Dieselnya mengacu ketetapan Pemerintah

3.5.6. Pengujian Solar

53

1. Density at 15 OC ASTM D 1298 a. Tujuan Pengujian Metode uji ini digunakan untuk menentukan Density, Specific Gravity dan API Gravity dari Solar dengan menggunakan hydrometer gelas, nilai yang terbaca pada hydrometer pada temperatur tertentu diubah ke temperatur standar digunakan tabel konversi. b. Garis Besar Pengujian Sejumlah contoh dituangkan ke dalam gelas silinder 1000 mL, kemudian hidrometer yang sesuai dimasukkan dan dibiarkan mengapung dengan bebas, Setelah temperatur setimbang, skala hydrometer dibaca dan temperatur contoh dicatat, sebaiknya gelas dan silinder contoh ditempatkan pada temperatur yang konstan untuk menghindari terjadinya variasi temperatur selama pengujian. 2. Cetane Number ASTM D 613 a. Tujuan Pengujian Metode uji ini digunakan untuk menentukan sebuah ukuran unjuk kerja penyalaan (waktu kelambatan penyalaan) dari bahan bakar minyak Solar yang diperoleh dengan membandingkannya terhadap bahan bakar acuan (reference fuels) didalam mesin uji yang telah distandarisasi. b. Garis Besar Pengujian Metode uji ini dilakukan dengan menggunakan mesin CFR F-5, prinsipnya dengan membandingkan karakteristik pembakaran didalam mesin uji dengan menggunakan bahan bakar standar (campuran n-Cetane dan Heptametil Nonana) dengan contoh minyak Solar. Dalam Spesifikasi ditetapkan Cetane Number minimum 48.

3. Calculated Cetane Index by Four Variable Equation ASTM D 4737 a. Tujuan Pengujian Calculated Cetane Index adalah merupakan suatu cara untuk memperkirakan nilai cetane number dari minyak Solar. Hal ini dilakukan jika jumlah contoh yang tersedia relative sedikit atau tidak menggunakan (memiliki) fasilitas mesin penguji angka setana CFR F-5. b. Garis Besar Pengujian 54

Untuk menghitung besarnya nilai CCI dapat dilakukan dengan perhitungan matematis berdasarkan data Density at 15 °C ASTM D 1298 dan 10%, 50% ,90% boiling point distilasi ASTM D-86 dari contoh tersebut dengan menggunakan rumus berikut : CCI = 45.2 + (0.0892)(T10N) + [0.131 + (0.901)(B)][ T50N ] + [0.0523 - (0.420)(B)][ T90N ] + [0.00049] [ (T10N)2 - (T90N)2] + (107)(B) + (60)(B)2 Keterangan : CCI

= Perhitungan Cetane Index dengan 4 variabel

D

= Density at 15 °C, dengan metode ASTM D 1298

DN

= D – 0.85

B

= [e (-3.5)(DN) ] – 1

T10

= Temperatur Distilasi ASTM D 86 pada 10% Recovery

T10N

= T10 - 215

T50

= Temperatur Distilasi ASTM D 86 pada 50% Recovery

T50N

= T50 - 260

T90

= Temperatur Distilasi ASTM D 86 pada 90% Recovery

T90N

= T90 - 310

Batasan CCI untuk minyak Solar adalah minimum 45.

4. Distillation ASTM D 86 a. Tujuan Pengujian Maksud pengujian distilasi adalah untuk mengetahui sifat penguapan atau rentang didih dari minyak Solar dengan menggunakan peralatan distilasi dan metode uji ASTM D 86. b. Garis Besar Pengujian Contoh minyak Solar sebanyak 100 cc didistilasi pada kondisi standar pengujian. Pembacaan temperatur dilakukan pada saat initial boiling point dan setiap penambahan 10 % volume kondesat. Data temperatur 95 % Vol juga dibaca. Berdasarkan Spesifikasi SK Dirjen Migas No. 3675 K/24/DJM/2006, tanggal 17 Maret 2006 maka batasan 95 % Volume Recovery maksimal 370 OC. 5. Viscosity Kinematic ASTM D 445 55

a. Tujuan Pengujian Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk menentukan kinematic viscosity dari bahan bakar minyak Solar. Kinematik viscosity sendiri merupakan kemampuan sejumlah cairan untuk mengalir dengan gaya berat melalui suatu viscometer kapiler gelas yang telah dikalibrasi. b. Garis Besar Pengujian Sejumlah volume contoh yang terukur dalam kapiler gelas Viscometer yang sesuai kemudian direndam dalam bath viscosity dengan suhu konstan 40 °C selama 30 menit, kemudian diukur waktu alirnya. Perhitungan Viskositas : VK = t x C Keterangan : VK

= Viskositas Kinematik (cSt)

t

= Waktu alir (detik)

C = Faktor kalibrasi kapiler. Batasan Spesifikasi Viscosity Kinematik untuk minyak Solar yaitu minimal 2,0 dan maksimum 5,0 cSt. 6. Pour Point ASTM D 97 a. Tujuan Pengujian Pour point adalah temperatur yang terendah dimana suatu fluida minyak masih dapat mengalir dengan sendirinya pada kondisi pengujian. b. Garis Besar Pengujian Sejumlah volume contoh dalam jartest dipanaskan dalam pemanas sampai 115 °F, kemudian dibiarkan diudara terbuka sampai suhunya 90 °F. Selanjutnya didinginkan dalam alat pendingin dan setiap penurunan suhu 5 °F (3 °C) diangkat dan dilihat sifat pengalirannya. Jika sudah tidak mengalir lagi maka suhunya dicatat dan ditambahkan 5 °F (3 °C) dan dilaporkan sebagai pour point. Batasan maksimal Pour Point minyak Solar adalah 65 °F (18 °C). 7. Copper Strips Corrosion ASTM D 130 a. Tujuan Pengujian Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk pengenalan pengkaratan pada tembaga (Cu), yang disebabkan oleh petroleum products termasuk minyak Solar.

56

b. Garis Besar Pengujian Kepingan tembaga yang telah digosok dicelupkan dalam sejumlah contoh dan dipanaskan dalam suatu suhu tertentu serta pada waktu tertentu sesuai dengan sifat dari minyak yang diperiksa. Pada akhir pemeriksaan kepingan tembaga diambil, dicuci lalu dibandingkan dengan standar corrosion ASTM D 130. Batasan maksimal dari korosi bilah tembaga untuk minyak solar adalah ASTM No.1. 8. Sulfur Content ASTM D 1552 a. Tujuan Pengujian Maksud pengujian sulfur content untuk menentukan kandungan total sulfur (S) dengan sistem deteksi iodat dalam produk minyak bumi termasuk minyak Solar. b. Garis Besar Pengujian Sejumlah contoh dibakar dan dialirkan oksigen pada temperature tinggi untuk mengubah sekitar 97 % sulfur menjadi sulfur dioksida (SO 2). Yang selanjutnya akan dilewatkan dalam absorber yang berisi larutan asam potassium iodide (KI) dan indicator Amylum (tepung kanji). Dengan ditambahkan larutan potassium iodate (KIO3), larutan akan menjadi berwarna biru tambahkan lagi larutan KIO 3 warna biru menjadi pucat, dan jumlah larutan yang dibutuhkan selama pembakaran adalah sebanding dengan kandungan sulfur dalam contoh. Perhitungan kandungan sulphur adalah sebagai berikut :

Keterangan : V

= Larutan Standar KIO3 yang digunakan pada titrasi sample

VB

= Larutan Standar KIO3 yang digunakan pada titrasi blangko

F

= Faktor standarisasi

C

= Kesetaraan Sulphur dari larutan standar KIO3

W

= Berat sample yang dianalisis, (mg)

Batasan Maksimal Kandungan Sulphur untuk Minyak Solar adalah 0,35 % berat.

9. Strong Acid Number, Total Acid Number ASTM D 974 a. Tujuan Pengujian 57

Analisis angka netralisasi TAN (Total Acid Number) dan SAN (Strong Acid Number) dimaksudkan untuk menetapkan jumlah konstituen keasaman didalam suatu produk minyak bumi termasuk minyak solar. Angka netralisasi ini dapat juga digunakan untuk menunjukkan perubahan terjadi akibat oksidasi minyak solar selama pemakaian. b. Garis Besar Pengujian Strong Acid Number ASTM D 974 Sejumlah berat contoh dimasukkan ke dalam separating fuel (corong pemisah) dan tambahkan akuades mendidih, kemudian kocok dengan kuat. Setelah itu keluarkan lapisan airnya yang sudah terpisah dengan minyak dan tampung ke dalam Erlenmeyer. Tambahkan beberapa tetes indicator Methyl Orange ke dalam ekstrak. Bila setelah ditambahkan Methyl Orange warna larutan berwarna pink atau merah, titrasi dengan larutan Kalium Hidroksida (KOH) sampai terbentuk warna kuning emas. Bila setelah ditambah Methyl Orange. warna larutan tidak berubah pink atau merah maka laporkan SAN sebagai NIL. Batasan maksimal dari Strong Acid Number ASTM D 974 adalah nol. c. Garis Besar Pengujian Total Acid Number ASTM D 974 sejumlah berat sample dilarutkan dalam solvent titrasi (campuran Toluene + IPA + air), dan indicator Phenol Napthal-benzen. Selanjutnya campuran tersebut dikocok sampai contoh melarut. Selanjutnya campuran tersebut dikocok sampai contoh melarut. Setelah itu titrasi segera pada temperature kamar dengan menggunakan larutan Kalium Hidroksida (KOH). Titik ekivalen ditunjukkan oleh tepat terjadinya perubahan warna menjadi hijau kecoklatan yang tetap selama 15 detik. Batasan TAN untuk minyak Solar, diperoleh maksimum 0.6 mg KOH/gr. 10. Flash Point Pensky Martens ASTM D 93. a. Tujuan Pengujian Flash point adalah suhu terendah dimana sejumlah uap minyak bercampur dengan udara, dan akan tersambar api pencoba dalam sekejap pada kondisi pengujian. b. Garis Besar Pengujian Contoh dimasukkan dalam mangkok dari alat standar flash point, kemudian dipanaskan dengan kenaikan suhu tertentu sambil diaduk-aduk dengan kecepatan tertentu selanjutnya api kecil pencoba dicobakan secara periodic. Pengetesan dilakukan pada tiap kenaikan temperatur 2 °F (1 °C), temperature tepat pada saat

58

terjadinya sambaran api dicatat sebagai flash point. Batasan flash point untuk minyak solar adalah minimal 60 °C. 11. Color ASTM D 1500 a. Tujuan Pengujian Metode analisis ini dimaksudkan untuk pengujian warna secara visual dari hasil minyak seperti lube oil, heating oil, petroleum oil, petroleum wax dan termasuk juga minyak solar. Hasil pengujian dapat memberikan adanya kontaminasi. b. Garis Besar Pengujian Sejumlah contoh dimasukkan ke dalam jar test, kemudian tempatkan pada alat colorimeter yang referensi warna telah terpasang. Selanjutnya warna contoh dibandingkan dengan standar warna pada alat. Apabila diperoleh warna yang sesuai dengan contoh maka baca angka penunjukkan pada skala dan laporkan sebagai warna dari contoh. Batasan warna dari minyak solar No ASTM adalah maksimal 3.0. 12. Water Content ASTM D 95 a. Tujuan Pengujian Water content adalah kandungan air dalam % vol yang terdapat didalam contoh yang diperoleh pada kondisi pengujian. b. Garis Besar Pengujian Sejumlah contoh dengan pelarutnya dipanaskan pada unit peralatannya. Air yang terkandung didalam contoh akan teruapkan dibawa oleh pelarut dan dilewatkan melalui kondensor. Setelah terjadi pengembunan, air akan masuk kedalam penampung berskala (trap), sedang pelarutnya akan disirkulasikan kembali masuk kedalam labu distilasi. Proses distilasi dilakukan secara kontinu hingga semua air yang terkandung didalam contoh habis teruapkan dan tertampung di dalam trap. Batasan kandungan air yang diperbolehkan didalam minyak Solar maksimum 0,05 % volume. Perhitungan :

59

13. Conradson Carbon Residue (CCR) ASTM D 189 a. Tujuan Pengujian pemeriksaan

CCR

pada

minyak

solar

diperlukan

untuk

memperkirakan

kemungkinan adanya arang yang berasal dari minyak solar tersebut. Deposit karbon yang terbentuk harus dihindari sekecil mungkin karena arang atau karbon tersebut akan tetap membara meskipun mesin sudah dimatikan dan akan membentuk deposit. Deposit akan menjadi keras dan akan mempercepat proses pengausan. Deposit karbon juga dapat menyumbat lubang penyemprotan atau injector pada mesin diesel. b. Garis Besar Pengujian Contoh minyak-minyak solar diperiksa CCR-nya, maka harus didistilasi terlebih dahulu untuk diambil 10 % residue atau sisa penguapan distilasi. Kemudian ditimbang sejumlah contoh (sisa penguapan) dan ditempatkan pada crucible dan dibakar pada alat CCR dengan dibatasi jumlah oksigen untuk pembakaran. Selanjutnya contoh akan mengalami perengkahan dan pembentukan karbon. Pada akhir pembakaran, crucible yang berisi carbon residue tersebut didinginkan didalam desikator kemudian ditimbang beratnya. Dan residue yang tertinggal dihitung dalam prosen berat, dilaporkan sebagai CCR % berat. Batasan CCR minyak solar adalah 0,1 % berat. Perhitungan :

14. Sediment by Extraction ASTM D 473 a. Tujuan Pengujian Pengujian ini dimaksudkan untuk menentukan kandungan sediment yang terdapat dalam minyak solar dan produk minyak bumi yang lainnya. Sedimen merupakan zat yang tidak larut dan dianggap sebagai kontaminan. Apabila suatu produk minyak Solar diprediksi memiliki kandungan sediment yang tinggi maka hal ini akan dapat mempengaruhi kelancaran distribusi bahan baker pada saluran diluar ruang bakar. b. Garis Besar Pengujian

60

Sejumlah berat contoh ditimbang dimasukkan kedalam thimble yang telah diketahui beratnya, kemudian dipanaskan pada alat ekstraksi dan diekstaksi dengan pelarut toluene panas sampai tetesan toluene yang masuk kedalam thimble, sama jernihnya dengan toluene yang menetes keluar dari thimble. Kemudian thimble dikeringkan didalam oven dengan temperature 112 °C s.d. 120 °C selama 1 jam, lalu didinginkan didalam desikator dan timbang beratnya hingga konstan. Berat sediment adalah selisih berat akhir thimble dikurangi dengan berat awal thimble, dan dihitung dalam persen berat, laporkan sebagai sediment by Extraction dengan batasan maksimalnya 0,01 % Berat. Perhitungan :

15. Ash Content ASTM D 482 a. Tujuan Pengujian Ash content atau kadar abu yaitu berupa residue yang masih tertinggal setelah semua zat-zat yang dapat terbakar dari minyak minyak Solar, dapat terbakar sempurna, atau disebut juga sebagai persentase dari mineral. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui kandungan abu (adrasive sand dan logam-logam berat), yang dapat menyebabkan keausan pada peralatan mesin. b. Garis Besar Pengujian Sejumlah berat contoh ditimbang dan dimasukkan dalam crucible (mangkok), kemudian dibakar hingga yang tersisa hanya karbonnya saja. Kemudian dipanaskan dalam muffle furnace pada temperature 775 °C  25 °C hingga tinggal ashnya saja. Setelah itu dinginkan dalam desikator dan setelah beratnya konstan dilakukan penimbangan. Ash yang tinggal dihitung dalam persen berat dan dilaporkan sebagai Ash content. Batasan untuk minyak Solar, maksimal 0,01 %Berat. Perhitungan :

61

16. Particulate Contaminant ASTM D 2276 a. Tujuan Pengujian Pengujian ini dimaksudkan untuk menentukan banyaknya partikel-partikel atau kotoran (particulate content) yang terkandung dalam bahan bakar minyak Solar. b. Garis Besar Pengujian Dua lembar membran filter 0.8 m ditempatkan dalam Petri dish dipanaskan dalam oven temperatur 90 ± 5 °C selama 30 menit, dinginkan lalu timbang. Letakkan membran filter 1 (control membran filter) setelah itu diatasnya letakkan membrane filter 2 (test membran filter), pasangkan corong penyaring beserta jepitannya (clamp), bilasi dengan IPA lalu saring contoh sebanyak 500 mL tuangkan kedalam corong, jalankan vacuum. Setelah contoh habis, bilasi lagi dengan IPA lalu ambil kedua membran filter tadi masukkan kedalam Petri dish lalu oven, timbang dan lakukan perhitungan. Perhitungan :

Keterangan : P = Particulate Content W1 = Berat test membran filter sebelum penyaringan (dalam mg) W2 = Berat test membran filter sesudah penyaringan (dalam mg) W3 = Berat control membran filter sebelum penyaringan (dalam mg) W4 = Berat control membran filter sesudah penyaringan (dalam mg) V = Volume contoh (dalam L)

62

3.6 MINYAK DIESEL Salah satu BBM yang dipakai oleh industri dan transportasi adalah minyak diesel. Motor Diesel menurut kecepatan putarannya, dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu : •

Motor diesel putaran tinggi ( > 1000 rpm ) dengan BBM Solar



Motor diesel putaran sedang ( 300 – 1000 rpm ), dan



Motor diesel putaran rendah ( < 300 rpm ) menggunakan BBM minyak diesel.

Untuk melindungi konsumen agar minyak yang dipakai sesuai dengan kebutuhan mesin, maka

pemerintah

melalui

Dirjen

Migas

mengeluarkan

Surat

Keputusan

No.002/P/DM/1979 tanggal 25 Mei 1979 tentang Spesifikasi dari bahan bakar jenis Minyak Diesel Industri. 3.6.1. Proses pembuatan Minyak Diesel Nama lain minyak Diesel adalah Industrial Diesel Fuel (IDF) atau Industrial Diesel Oil (IDO) adalah jenis distilat yang dihasilkan dari proses pengolahan yang berwarna coklat tua sampai hitam, yang merupakan fraksi lebih berat dari minyak solar. Proses pembuatan minyak diesel yang sering dilakukan komponen solar (berat) yang off spec (color) atau solar ditambah residue. Disebut juga solar hitam yang proses pembakarannya menggunakan burner, dan dipergunakan pada pembakaran pada dapur-dapur industri, pembangkit tenaga listrik, ketel uap dan untuk bunker kapal laut. 3.6.2 Karakteristik Industrial Diesel Oil •

Sifat Umum



Sifat Pembakaran



Sifat Pengaliran



Sifat Korosivitas



Sifat Kebersihan



Sifat Keamanan

63

Spesifikasi BBM jenis I.D.F No.

Properties

Min

Max

ASTM

0.840

0.920

D1298

35

45

D 445

65

D 97

1

Specific Gravity at 60/60 °F

2

Viscosity Redwood I at 100°F

3

Pour Point

°F

4

Flash Point P.M. CC

°F

5

Sulphur Content

% wt

1.5

D 1552

6

Conradson Carbon Residue

% wt

1.0

D 189

7

Ash Content

% wt

0.02

D 482

8

Water Content

% vol

0.25

D 95

9

Sediment by Extraction

0.02

D 473

10

Strong acid Number

% wt mg KOH/g

Nil

D 974

11

Color ASTM

Ref :

sec

150

Others

D 93

6

D 1500

SK. Peraturan Dirjen MIGAS No. 002/P/DM/1979 tanggal 25 Mei 1979.

1. Sifat umum : Sifat umum ditunjukkan oleh pemeriksaan Specific Gravity, ASTM D 1298 Tujuan pemeriksaan Specific Gravity / Density : •

Untuk perhitungan penjualan



Mengetahui secara cepat terjadinya kontaminasi



Perhitungan material balance dalam pengolahan



Menghitung nilai kalori secara kasar

Semakin berat Specific Gravity, biasanya kekentalannya semakin tinggi, dan Specific Gravity dibatasi min. 0,84 dan max. 0,92 2. Sifat Pembakaran : •

Untuk mengetahui jumlah panas yang dihasilkan sejumlah bahan bakar. Dari nilai kalorinya dapat diperkirakan jumlah bahan bakar yang diperlukan.



Nilai kalori dipengaruhi oleh jenis senyawa hidrokarbon.

Pengujian sifat pembakaran dilakukan melalui :

64



Heat of Combustion ASTM D 240 yaitu menggunakan Bomb Calorimeter, atau



Calculation Heating Value ASTM D 4868, merupakan perhitungan dengan basis density, kadar air, sulfur dan ash content.

Ada 2 macam panas pembakaran, yaitu : ▪

Gross Heating Value : Gross panas pembakaran adalah panas yang dihasilkan pada pembakaan sejumlah tertentu bahan bakar dalam volume tetap dimana semua air dikondensasikan dalam bentuk cair



Net Heating Value : Net panas pembakaran adalah panas yang dihasilkan pada pembakaran sejumlah berat tertentu bahan bakar pada tekanan 1 atm semua air dalam bentuk uap.

3. Sifat Pengaliran Untuk mengetahui sifat mengalirnya dilakukan melalui pemeriksaan : •

Viskositas



Pour point

Viskositas, ASTM D 445 / Redwood I: -

Viskositas sangat menentukan dalam pengkabutan.

-

Apabila viskositas terlalu encer maka pengkabutan akan sukar terjadi

-

Viskositas dibatasi min 35 dan max 45

Pour Point, ASTM D 97 : -

Pemeriksaan pour point, untuk menentukan temperatur terendah IDO dapat disimpan dan dipompa tanpa terjadi pembekuan pada tanki atau pipa

-

Pour point dibatasi max. 65 °F

4. Sifat Korosivitas Sifat korosivitas untuk mengetahui kemungkinan dapat menimbulkan kerusakan pada alat, karena proses pengkaratan dalam penyimpanan dan transportasi. Pemeriksaan korosivitas dilakukan melalui : •

Sulfur Content



Strong Acid Number

Sulfur Content, ASTM D 1552 : -

Sulfur content, untuk mengetahui kandungan sulfur.

65

-

Semakin tinggi kandungan sulfur, maka semakin besar pula kecenderungan terbentuknya SO2 dan SO3

-

Kandungan sulfur dibatasi max. 1,5 % wt.

Strong Acid Number, ASTM D 974 : -

Pemeriksaan Strong Acid Number untuk menentukan asam kuat

-

Strong Acid Number dibatasi max. nil, karena adanya asam kuat sangat berperan dalam aktivitas korosi

5. Sifat Kebersihan Kandungan kotoran selain dapat menimbulkan kerusakan pada peralatan juga dapat menimbulkan

kebuntuan

pada

burner

sehingga

akan

menganggu

proses

pembakaran. Sifat kebersihan dilakukan dengan pengujian : •

Kadar air



Residue Carbon Conradson



Kadar endapan

Kadar air, ASTM D 95 : -

Dapat menyebabkan menurunnya kualitas pembakaran, dan

-

mempercepat proses pengkaratan, karena selalu diikuti garam-garam yang dengan proses hidrolisa menyebabkan pengkaratan

-

Kandungan air dibatasi max. 0,25 % vol.

Residue Carbon Conradson, ASTM D 189 : -

Uji CCR dilakukan untuk memperkirakan kecenderungan terbentuknya deposit selama proses pembakaran, yang jika berlebihan akan menyebabkan kebuntuan pada burner.

-

Kandungan CCR dibatasi max. 1 % wt.

Kadar endapan / sediment, ASTM D 473 : -

Endapan yang terjadi berupa sejumlah garam yang terlarut dan lumpur asphaltik.

-

Endapan ini mengakibatkan korosi dan kebuntuan pada burner

-

Kadar endapan dibatasi max. 0,02 % wt. 66

6. Sifat Keamanan -

Pengujian sifat keamanan dilakukan untuk mengetahui kecenderungan timbulnya kebakaran, sehingga dalam penanganannya tidak akan terjadi kebakaran pada keadaan dan kondisi tertentu.

-

Sifat keamanan dilakukan dengan pengujian : Flash point, ASTM D 93.

-

Titik nyala ( Flash point ) dibatasi minimum 150 °F.

67

3.7 MINYAK BAKAR Salah satu bahan bakar yang dipakai oleh industri dan transportasi adalah minyak bakar atau Fuel Oil. Minyak bakar merupakan produk terakhir suatu operasi kilang, yang untuk : •

Industri : sebagai bahan bakar pada dapur-dapur, ketel uap dan pembangkit listrik tenaga uap



Transportasi : sebagai Marine Fuel Oil (MFO) yaitu bahan bakar kapal laut atau motor diesel putaran rendah 20 %, hasil pengujian Sytabilitas oksidasi ≥ 1000 menit. **) Penambahan Ethanol ≤ 10 %, Alkohol (C>2)≤ o.1 %, Methanol tidak diperbolehkan. ***) Merujuk pada metode inhouse dengan batasan deteksi 1 mg/kg.

Spesifikasi BBM Jenis Bensin 95

79

Others

No.

Karakteristik

Satuan

1

Bilangan Oktana Riset Stabilitas Oksidasi (Perioda Induksi) Kandungan Sulfur Kandungan Timbal (Pb) Kandungan Phosphor Kandungan Logam (Mn, Fe)

2 3 4 5 6

Batasan

Metoda Uji

Max -

ASTM

RON

Min 95.0

menit

480

-

D 525

mg/L

D 2622 D 3237 D 3231

mg/L

Tidak terdeteksi

D 3831

g/L

7

Kandungan Silikon

mg/kg

Tidak terdeteksi

8 9 10 11 12

Kandungan Oksigen Kandungan Olefin Kandungan Aromatik Kandungan Benzena Distilasi : 10 % Vol. Penguapan 50 % Vol. Penguapan 90 % Vol. Penguapan Titik Didih Akhir Residu Sedimen Unwashed Gum Washed Gum Tekanan Uap Berat jenis@ 15 °C Korosi Bilah Tembaga Uji Doctor Sulfur Mercaptan Penampilan visual

% v/v

2.7 *) **) 40.0 5.0

13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

% v/v % v/v % v/v °C °C °C °C % vol mg/L mg/100 ml mg/100 ml kPa kg/m3

% m/m

Warna

Kandungan Pewarna Bau

D 2699

0.05 0.013 Tidak terdeteksi

% m/m

gr/100 ltr

70 77 110 130 180 205 2.0 1.0 70 5 45 60 715 770 Kelas 1 Negative 0.002 Jernih & terang Kuning 0.13 Dapat dipasarkan

ICP-AES ***) D 4815 D 1319 D 1319 D 4420 D 86

D 5452 D 381 D 381 D 5191/323 D 4052/1298 D 130 IP-30 D 3227

Note : Dasar SK Dirjen Migas No. 3674 K/24/DJM/2006, tanggal 17 Maret 2006 *) Apabila kandungan Olefin > 20 %, hasil pengujian Sytabilitas oksidasi ≥ 1000 menit. **) Penambahan Ethanol ≤ 10 %, Alkohol (C>2)≤ o.1 %, Methanol tidak diperbolehkan. ***) Merujuk pada metode inhouse dengan batasan deteksi 1 mg/kg. 3.9 PERTAMINA DEX

80

Others

Pertamina Dex (Diesel Environment Extra) merupakan inovasi produk bahan bakar Pertamina terbaru untuk mesin diesel yang ramah lingkungan, mempunyai angka setana (Cetane Number) yang tinggi yaitu minimal 53 CN dan kandungan belerang (Sulfur) yang sangat rendah yakni 300 ppm, maka bahan bakar ini cocok untuk teknologi mesin common rail dan high compression. Pada awalnya Pertamina Dex dinamakan Solar Plus, mempunyai persyaratan yang mengarah ke spesifikasi WWFC dengan katagori di antara 2 dan 3, yang merupakan standar BBM di beberapa negara di benua Eropa. 3.8.1 Proses pembuatan Pertamina Dex Karena kebutuhan Pertamina Dex masih terbatas, yang mana saat ini hanya dipasarkan di wilayah Jabodetabek, Pertamina Dex hanya diproduksi dari Unit Pengolahan VI Balongan, walaupun bisa dibuat di Unit lainnya. Komponen Pertamina Dex merupakan produk stream dari Unit 14 GO-HTU. 3.8.2 Spesifikasi Pertamina Dex Spesifikasi Pertamina Dex mengacu pada spesifikasi Solar 51 yang diterbitkan oleh Dirjen Migas mengeluarkan Surat Keputusan No. 3675 K/24/DJM/2006 tanggal 17 Maret 2006, yang kemudian implentasikan oleh Pertamina dan memberikan nilai lebih pada Cetane Numbernya.

Spesifikasi BBM Jenis Solar PERTAMINA DEX

81

No.

Properties

Min

Max

ASTM

1

Cetane Number, or

53

-

D 613

2

Calculated Cetane Index

50

-

D 976

3

Density at 15°C

820.0

850.0

D 1298

4

Viscosity Kinematic at 40°C

cSt

2.0

4.0

D 445

5

Sulphur Content

ppm wt

-

300

D 2622

6

Distillation :

kg/m3

Others -

D 86

90 % Rec. or

°C

340

95 % Rec.

°C

355

End point

°C

365

7

Flash Point P.M. CC

8

Pour Point

9

Conradson Carbon Residue 10 %

10

Water Content

11

Total Acid Number

12

Copper Corrosion

13

Ash Content

14

Sediment Content

15

Appearance

16

Lubricity (HFRR scar dia @ 60°C)

55

-

D 93

% wt

-

18

D 97

% wt

-

0.30

D 4530

200

E 203

0.08

D 974

Class 1

D 130

% wt

0.01

D 482

% wt

0.01

D 473

°C

ppm wt mg KOH/g

C&B micron

400

Visual D 6079

Note : Spesifikasi Pertamina Dex mengikuti spesifikasi Solar 51 sesuai S.K Dirjen Migas No. 3675 K/24/DJM/2006 tanggal 17 Maret 2006

Spesifikasi BBM Jenis Solar 51

82

No. 1

Karakteristik Bilangan Cetana - Angka Cetana, atau - Indek Cetana

2

Berat jenis@ 15 °C

3 4 5

6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Viskositas @ 40 °C Kandungan Sulfur Distilasi : T 90, atau T 95 Titik didih akhir Titik Nyala Titik Tuang Residu Karbon Kandungan Air Stabilitas Oksidasi Biological Growth *) Kandungan FAME *) Kand Metanol & Etanol *) Korosi bilah tembaga Kandungan Abu Kandungan Sedimen

17

Bilangan Asam Kuat

18

Bilangan Asam Total

19

Partikulat Lubrisitas (HFRRwea4scar @ 60°C Penampilan visual

20 21 22

Satuan

Warna

Batasan Min Max 51 48

kg/m3

820 **)

860

mm2/Sec % m/m

2.0 -

4.5 0.05

°C °C °C °C °C % m/m mg/kg g/m3

55

340 360 370

Metoda Uji ASTM Others D 613 D 4737 D 4052/1298 D 445 D 2622 D 86

18 0.30 500 25

D 93 D 97 D 4530 D 1744 D 2274

10.0 Tidak terdeteksi Kelas 1 0.01 0.01

D 4815 D 130 D 482 D 473

nihil % v/v % v/v % m/m % m/m mg KOH/L mg KOH/L mikron No ASTM

-

0.0

D 664

-

0.3

D 664

-

10

D 2276

460

D 6079

Jernih & terang 1.0

D 1500

CEC F08-A-96

Dasar : spesifikasi Dirjen Migas No. 3675 K/24/DJM/2006 tanggal 17 Maret 2006. Catatan : *) Khusus untuk minyak solar yang mengandung Biodiesel, jenis dan spec.Bio Dieselnya mengacu ketatan Pemerintah **) Untuk kepentingan lindungan lingkungan, berta jenis 815 kg/m3 dapat digunakan.

3.10

AVTUR

3.10.1 Pengertian

83

Avtur (Aviation Turbin Fuel) adalah bahan bakar minyak pesawat terbang jenis kerosene untuk pesawat terbang bermesin turbin. Jenis avtur yang diproduksi PT. Pertamina (persero) adalah tipe Jet A-1 yang umumnya digunakan untuk pesawat udara komersial. Avtur adalah bahan bakar yang diperoleh dari hasil pengolahan minyak bumi yang memiliki trayek didih 150 s.d. 300°C yang terdiri dari molekul hidrokarbon C10-C14. Hidrokarbon berupa senyawa parafin (terbanyak), naften, dan sedikit aromat. Di dalam avtur juga terdapat senyawa-senyawa impurities dalam jumlah kecil serta additive. 3.10.2 Proses Pembuatan Avtur Avtur dibuat melalui beberapa proses pengolahan minyak bumi. Pengolahan ini sangat bergantung pada persyaratan avtur yang dikehendaki dan jenis minyak bumi yang diolah. Proses pengolahan ini dapat dibagi atas tiga kategori dasar yaitu proses pemisahan, proses konversi, dan proses peningkatan kualitas. Kemudian ke dalam avtur sebelum digunakan perlu ditambah beberapa aditif antara lain anti oksidan, metal deactivator, icing inhibitor, static dissipator additives, dan lubricity improver. a. Proses Pemisahan : Proses pengolahan ini disebut distilasi atmosferik, yaitu proses pemisahan secara fisika dari crude oil menjadi kelompok-kelompok fraksi cairan minyak tertentu, yang masing-masing terdiri dari bermacam-macam ikatan senyawa hidrokarbon yang memenuhi persyaratan, dan yang memiliki daerah titik didih tertentu. b. Proses Konversi Proses konversi yaitu pengubahan secara mendasar struktur molekul dari feedstock. Proses ini umumnya dengan pemecahan molekul besar menjadi lebih kecil, contohnya thermal cracking, catalytic cracking dan hydrocracking. c. Proses Peningkatan Kualitas: Proses ini memperbaiki kualitas suatu material menggunakan reaksi kimia untuk menghilangkan adanya sejumlah kecil senyawa yang tidak dikehendaki (misal senyawa belerang) tanpa adanya perubahan dari bulk properties. Proses perbaikan untuk avtur misalnya dengan sweetening, hydrotreating, dan clay treatment. 3.10.3 Aplikasi Avtur

84

Dalam aplikasinya avtur digunakan sebagai bahan bakar minyak pesawat terbang bermesin turbin. Pembakaran pada mesin turbin yaitu sebuah rangkaian reaksi oksidasi cepat yang melepaskan panas. Udara dari air compressor dan avtur yang telah diatomisasi oleh nozzle dibakar di ruang pembakaran. Sumber energi dibutuhkankan untuk memulai pembakaran pada saat start up. Setelah itu, pembakaran ditopang oleh injeksi bahan bakar yang berlanjut ke dalam nyala api. Gas panas hasil pembakaran digunakan untuk menggerakkan turbine.

Gambar : Skema Mesin Turbin 3.10.4 Spesifikasi Avtur Spesifikasi yaitu batasan-batasan yang harus dipenuhi oleh bahan bakar minyak, dengan tujuan untuk melindungi peralatan dan mesin, keselamatan pemakai, dan akrab dengan lingkungan dalam pemakaiannya. Spesifikasi merupakan batasan maksimum atau minimum sifat-sifat fisika atau kimia yang diukur dengan menggunakan metode dan peralatan standar. Avtur digunakan oleh pesawat terbang bermesin turbin yang memiliki resiko bahaya tinggi, karena itu spesifikasi yang digunakan sangat ketat sesuai dengan standar internasional. Avtur di Indonesia digunakan juga oleh airliner luar negeri yang menginginkan spesifikasi yang digunakan memenuhi standar internasional. Spesifikasi Avtur mengikuti SK. Dirjen Migas No.10668K/72/DJM/2005 tanggal 7 September 2005 sesuai dengan DEF. STAN 91-91 issue 5 (DERD 2494) tanggal 8 Pebruari 2005 tentang Turbin Fuel, Aviation Kerosine Type, Jet A-1.

85

Spesifikasi BBM Jenis AVTUR No.

Properties

1

Appearance

2

Color

3 4 5 6

Total Acidity Aromatic Sulphur Total Sulphur Mercaptane, or Doctor Test Distillation : IBP 10% Recovery 50% Recovery 90% Recovery End Point Residue Loss Flash Point Density at 15 °C

7

8 9 10 11 12

13 14 15 16 17 18 19

Min

Max

ASTM Others

Visually clear, bright and free from solid matter and undissolved matter at normal ambient temperatur. D 156 Report mg KOH/g % vol % mass % mass

-

°C

Negative Report

°C

-

°C

Report

°C

Report

°C % vol % vol °C kg/m3

38.0 775.0

Freezing Point °C Viscosity at minus 20 °C mm2/s Smoke Point, or mm Smoke Point , and mm Napthalene % vol Specific Energy MJ/kg Copper Strip Corr. at 100 °C / 2 hrs Class Thermal Stability, JFTOT at 260 °C : - Tube Rating Visual - Pressure differential mmHg Existent Gum mg/100ml Particulate Contaminant mg/l without Microseparometer : SDA with SDA Electrical Conductivity pS/m

25.0 19.0 42.80 ASTM No.1

0.015 25.0 0.30 0.0030

D 3242 D 1319 D 1266 D 3227 D 86

IP-354 IP-156 IP-107 IP-342 IP-30 IP-123

300.0 1.5 1.5 840.0 Minus 47.0 8.000 -

D 1298

IP-170 IP-160

D 2386 D 445 D 1322

IP-16 IP-71 IP-57

3.00 -

D 1322 D 1840 D 4529

IP-57

D 130 D 3241

IP-154 IP-323

D 381

IP-131

205.0

85



Medium Viscosity Index ( MVI ) , nilai VI 70 - 85



Low Viscosity Index ( LVI ), nilai VI < 70

Pelumas mesin bermutu baik dibuat dari base oil + aditif dalam jumlah yang optimal sesuai dengan formula yang telah teruji pada mesin-2 penguji kinerja pelumas, sehingga dalam penggunaannya tidak perlu ditambah aditif lagi. 3.14.11 Aditif minyak pelumas Aditif yang digunakan pelumas mesin a. Anti Oxidant

: Memperlambat terjadinya oksidasi pada molekul pelumas.

b. Detergent

: Menjaga permukaan metal bebas dari kotoran.

c. Dispersant

: Mengendalikan kotoran/kontaminan agar terdispersi secara

merata dalam pelumas. d. Anti Corrosion

: Mencegah terjadinya korosi pada bagian metal yang

berhubungan dengan pelumas. e. Anti Wear

: Mencegah gesekan & keausan bagian mesin yang dalam kondisi

“ boundary lubrication “ ( lap. minyak tipis ). f. Pour Point depressant : Menekan titik beku pelumas agar mudah mengalir pada suhu rendah. g. Friction Modifier : Meningkatkan tingkat kelicinan dari film pelumas. h. Anti Foam

: Mencegah pembentukan busa yang stabil.

i. Metal Deactivator : Mengurangi efek “ katalis “ dan partikel keausan mesin dalam mencegah akselerasi proses oksidasi pelumas.

3.14.12

Sifat minyak pelumas

Beberapa sifat minyak pelumas adalah : -

Viskositas

- Viskosity Index

-

Pour point

- Oxidation Stability 113

-

Total Base Number

- Warna

-

Flash point dan Volatility

- Anti karat

-

Demulsibility

- Copper Strip Corrosion

Viskositas, ASTM D 445 Merupakan ukuran besarnya tahanan yang diberikan minyak pelumas saat mengalir. Makin besar kekentalan maka makin besar pula tahanan untuk mengalir. Viskositas mempengaruhi fluid film diantara permukaan bearing, bearing friction dan heat generation. Viskosity Index, ASTM D 2270 Merupakan ukuran kestabilan viskositas karena perubahan temperatur. Minyak pelumas dengan Viskositas Index tinggi, berarti sedikit mengalami perubahan viskositas dengan adanya perubahan temperatur. Pour point, ASTM D 97 Merupakan sifat kritis, sebab minyak pelumas harus tetap encer dan dapat memenuhi fungsinya pada suhu rendah selama suhu operasi maupun suhu lingkungan. Sehingga pour point pelumas harus lebih rendah dari suhu tersebut agar tetap dapat mengalir. Oxidation Stability, ASTM D 315 -

Kemampuan minyak pelumas menghadapi oksidasi pada waktu pemakaian.

-

Oksidasi akan menyebabkan minyak pelumas semakin kental, terbentuk emulsi, sludge maupun endapan lainnya.

-

Untuk mengetahui daya tahan minyak pelumas terhadap oksidasi, yaitu : pada suhu ± 200 – 400 °F selama waktu tertentu minyak pelumas berhubungan dengan udara atau oksigen, kemudian diukur jumlah sludge, emulsi yang terbentuk dan kenaikan viskositasnya.

Total Base Number, ASTM D 2896 Menyatakan kemampuan pelumas menetralkan asam hasil oksidasi, kemampuan detergency dan dispersancy guna membersihkan mesin dari deposit yang terbentuk dari hasil pembakaran bahan bakar maupun oksidasi pelumas.

114

Warna, ASTM D 1500 -

Untuk mengetahui secara kasar tingkat kemurnian dalam memproses minyak pelumas tersebut.

-

Untuk memperbaiki warna pelumas, dapat dilakukan dengan proses acid treating, clay treating maupun solvent extraction.

-

Perubahan warna minyak pelumas selama pemakaian biasanya disebabkan proses oksidasi atau proses lain akibat suhu tinggi, menyebabkan warna gelap dan hitam.

Flash point dan Volatility, ASTM D 92 Pelumas yang banyak mengandung komponen yang volatil, maka flash pointnya rendah sehingga banyak terjadi penguapan minyak pelumas selama pemakaian. Minyak pelumas dengan flash point diatas 410 °F dianggap cukup baik ditinjau dari konsumsi pelumas dan volatility selama pemakaian. Anti karat, ASTM D 665 Sifat ini penting jika pelumas terkontaminasi air dalam sistem peralatan. Partikel karat dalam pelumas berfungsi sebagai katalis untuk mempercepat oksidasi pelumas, bersama kontaminan lain karat dapat menyumbat filter. Demulsibility, ASTM D 1401 Sifat kemudahan untuk terpisah dari air Copper Strip Corrosion, ASTM D 130 Untuk mengevaluasi pengaruh korosi pelumas terhadap tembaga karena umumnya mesin atau peralatan mengandung bagian metal tembaga. 3.14.13

Oksidasi dan penggantian Pelumas

a. Oksidasi Oksidasi merupakan faktor utama yang membatasi umur pemakaian pelumas Faktor yang mempengaruhi Oksidasi : -

Temperatur

-

Masa pemakaian

-

Adanya katalis

-

Komposisi pelumas

-

Kontaminasi

115

Oksidasi menghasilkan : •

Asam → korosi, bila ketahanan aditif sudah habis



Lumpur Oksidasi → naiknya viscositas turunnya V.I.



Laquer → menghalangi pendinginan mesin

b. Kapan Pelumas mesin harus diganti : -

Bila mengandung emulsi air lebih besar 0,2 % volume, akan merusak lapisan pelumas dan mengakibatkan keausan mesin.

-

Bila telah teroksidasi lebih besar 0,5 % Wt, hasil oksidasi berupa jelaga dan lumpur akan menyumbat saluran pelumas.

-

Bila viskositas telah meningkat atau menurun  25 %

-

Bila total base number telah menurun ( min. 0,5 mg KOH/gr )

-

Bila debu, partikel keausan mesin & produk oksidasi (pentane insolubles max. 3 % Wt )

-

Fuel dilution 5 – 10 % volume

3.14.14

Spesifikasi Minyak Pelumas

Dalam rangka memenuhi tuntutan dan perkembangan teknologi permesinan dan peralatan, serta memberikan perlindungan konsumen terhadap pemakaian pelumas, perlu adanya penyesuaian dan penyempurnaan mutu pelumas yang beredar di dalam negeri. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, untuk pengaturanmutu pelumas diatur dengan suatu Keputusan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi No. 85 K/34/DDJM/1998 tanggal 24 Agustus 1998 : Tentang Mutu dan Pengujian Minyak Pelumas yang beredar di Dalam Negeri. Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan : a. Mutu Pelumas, adalah kualitas pelumas yang dinyatakan dalam Spesifikasi Unjuk Kerja dan Spesifikasi Fisika Kimia; b. Spesifikasi Unjuk Kerja Pelumas, adalah batasan tingkat Mutu Pelumas yang ditetapkan oleh lembaga berwenang, seperti American Petroleum Institute (API) atau lembaga lain yang diakui secara internasional; c. Spesifikasi Fisika-Kimia Pelumas, adalah batasan nilai kharakteristik fisika-kimia termasuk kekentalan (viskositas) pelumas;

116

d. Klasifikasi kekentalan (viskositas) Pelumas, adalah penggolongan tingkat kekentalan yang ditetapkan oleh lembaga berwenang, seperti Society of Automotive Engineer (SAE) atau International Organization for Standardization (ISO); e. Klasifikasi Penetrasi Gemuk Lumas, adalah penggolongan tingkat kekerasan gemuk lumas yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang, seperti National Lubricating Grease Institute (NLGI); f. Klasifikasi Unjuk Kerja Pelumas, adalah penggolongan tingkat mutu pelumas yang diklasifikasikan oleh lembaga yang berwenang, seperti American Petroleum Institute atau lembaga lain yang diakui secara internasional. Pengaturan produk pelumas dalam SK Dirjen Migas tersebut diatas adalah : I. Persyaratan Mutu Pelumas yang boleh beredar di dalam negeri A. Minyak lumas Motor Bensin : 1. Minyak lumas motor bensin empat langkah. 2. Minyak lumas motor bensin dua langkah : a. Minyak lumas motor bensin dua langkah berpendingan udara b. Minyak lumas motor bensin dua langkah berpendingin air B. Minyak lumas Motor Diesel : 1. Minyak lumas motor diesel putaran tinggi untuk kendaraan dan industri 2. Minyak lumas motor diesel putaran menengah untuk industri dan kapal 3. Minyak lumas motor diesel putaran rendah untuk industri dan kapal C. Minyak lumas Roda Gigi Kendaraan : 1. Minyak lumas Roda gigi kendaraan Transmisi Manual dan Gardan 2. Minyak lumas Roda gigi kendaraan Transmisi Otomatis (ATF) D. Minyak lumas Roda Gigi Industri : 1. Minyak lumas Roda Gigi Tertutup 2. Minyak lumas Roda Gigi Terbuka E. Minyak lumas Hidrolik F. Minyak lumas Transformator II.

Klasifikasi Viskositas Minyak Lumas Mesin menurut SAE

III.

Klasifikasi Viskositas Minyak Lumas Roda Gigi / Transmisi Manual

IV.

Klasifikasi Viskositas Minyak Lumas Industri

V.

Klasifikasi Penetrasi Gemuk Lumas

VI. Klasifikasi Unjuk Kerja menurut API untuk Minyak Lumas Motor Bensin

117

VII. Klasifikasi Unjuk Kerja menurut API untuk Minyak Lumas Motor Diesel Klasifikasi Penetrasi Gemuk Lumas : Kelas NLGI

Penetrasi ASTM @ 25 °C; 0,1 mm

000

445 - 475

00

400 - 430

0

355 - 385

1

310 - 340

2

265 - 295

3

220 - 250

4

175 - 205

5

130 - 160

6

85 - 115

Beberapa contoh spesifikasi minyak pelumas terlampir.

Spesifikasi M.Lumas Motor Bensin 4 langkah No.

Karakteristik

1

Viskositas Kin.@ 100 °C

2

Index Viskositas

Satuan cSt

Batasan Min

Sesuai SAE 90

118

Max

Metoda Uji ASTM D 445 D 2270

3

Viskositas pada suhu rendah

cP

Sesuai SAE

D 5293

4

Viskositas pada suhu tinggi

cSt

Sesuai SAE

D 4683

5

Titik Nyala COC

°C

200,0

D 92

6

Angka Basa Total

mgKOH/g

5,0

D 2896

7

Kandungan Abu Sulfat

% wt

0,6

D 874

8

Kandungan metal

9

-

Ca, Mg

% wt

*)

AAS/D811

Zn

% wt

0,080

-"-

Tendensi/stabilitas pembusaan

D 892

Seq.I

ml

10/0

Seq.II

ml

50/0

Seq.III

ml

10/0

Dasar : SK Dirjen Migas No. 85 K/34/DDJM/1998 tanggal 24 Agustus 1998, Perihal persyaratan mutu Pelumas yang boleh beredar di dalam negeri. Catatan : *) Sesuai dengan spesifikasi produsen.

Spesifikasi M.Lumas Motor Diesel Putaran Tinggi Untuk Kendaraan dan Industri No. 1

Karakteristik

Satuan

Viskositas Kin.@ 100 °C

cSt

119

Batasan Min

Max

Sesuai SAE

Metoda Uji ASTM D 445

2

Index Viskositas

3

Viskositas pada suhu rendah

cP

Sesuai SAE

D 5293

4

Viskositas pada suhu tinggi

cSt

Sesuai SAE

D 4683

5

Titik Nyala COC

°C

200,0

D 92

6

Angka Basa Total

mgKOH/g

4,0

D 2896

7

Kandungan Abu Sulfat

% wt

0,5

D 874

8

Kandungan metal

90

-

Ca, Mg, Zn 9

D 2270

*)

% wt

Tendensi/stabilitas pembusaan

AAS/D811 D 892

Seq.I

ml

50/0

Seq.II

ml

100/0

Seq.III

ml

50/0

Spesifikasi M.Lumas Roda Gigi Kendaraan Transmisi Manual dan Gardan No. 1

Karakteristik

Satuan

Viskositas Kin.@ 100 °C

cSt

120

Batasan Min

Max

Sesuai SAE

Metoda Uji ASTM D 445

2

Index Viskositas

3

Titik Nyala COC

4

Kandungan metal

5

°C

90

D 2270

200,0

D 92

-

S

% wt

*)

IP 242

P

% wt

*)

D 4047

Tendensi/stabilitas pembusaan

D 892

Seq.I

ml

20/0

Seq.II

ml

50/0

Seq.III

ml

20/0

Spesifikasi M.Lumas Roda Gigi Kendaraan Transmisi Otomatis No.

Karakteristik

1

Viskositas Kin.@ 100 °C

2

Index Viskositas

3

Titik Nyala COC

4

Tendensi/stabilitas pembusaan

Satuan

Batasan Min

cSt °C

Max *)

Metoda Uji ASTM D 445

130

D 2270

160

D 92 D 892

Seq.I

ml

20/0

Seq.II

ml

50/0

Seq.III

ml

20/0

3.15 LPG 3.15.1 Pendahuluan LPG adalah singkatan dari Liquified Petroleum Gas : -

merupakan bahan bakar gas yang dicairkan, mempunyai berat jenis lebih besar daripada udara

121

-

LPG dipasarkan dengan merek dagang Elpiji, dikemas dalam tabung besi baja yang dilengkapi suatu pengatur tekanan.

-

Sebagai alasan keamanan dalam pemakaiannya, diberi bau, yaitu : butyl atau etil mercaptan.

3.15.2 Penggunaan LPG digunakan untuk : a. Bahan bakar : –

Sektor rumah tangga



Sektor industri

b. Bukan sebagai bahan bakar : Karena LPG bertekanan tinggi (LPG propana 210 psig, LPG butana 70 psig dan LPG campuran 120 psig ), maka LPG digunakan sebagai bahan pada produk aerosol seperti : Aerosol obat nyamuk, kosmetik dll. 3.15.3 Macam / jenis LPG Ada 3 macam LPG : -

LPG Propana (min 95 % vol terdiri dari C3H8 )

-

LPG Butana (min 97,5 % vol terdiri dari C4H10 )

-

LPG Campuran ( min 97,5 % vol C3H8+C4H10)

Komposisi hidrokarbon LPG : -

N-parafin : C2, C3, n-C4 dan n-C5

-

Iso parafin

-

Olefin : C3 = (propilena), C4 = (butilena 1, butilena 2, butadiena 1,3, cis-butilena dan trans- butilena). Berada dalam keadaan cair pada suhu kamar dan dibawah tekanan tinggi.

3.15.4 Proses pembuatan LPG Bahan dasar ( feed ) LPG -

Gas alam

-

Gas hasil kilang minyak

Bila berasal dari gas alam umumnya terdiri dari : ikatan tunggal sedang bila berasal dari gas refineri selain ikatan tunggal akan mengandung olefin. 122

Proses pembuatan LPG : Distilasi bertekanan, dimana fraksi gas yang berasal dari gas alam atau kilang minyak bumi yang mengandung fraksi LPG diembunkan dan dicairkan pada kondisi tertentu. Keuntungan LPG sebagai bahan bakar : -

LPG merupakan energi yang bersih, tidak berbau dan tidak berasap

-

Mengurangi pencemaran udara

-

Mempunyai tekanan uap yang tinggi sehingga tidak perlu pompa dalam mengalirkannya

-

Lebih hemat dalam penggunaannya karena mudah diatur

3.15.5 Spesifikasi LPG

Spesifikasi ELPIJI CAMPURAN No.

Properties

Min

1

Specific Gravity at 60/60 °F

2

Vapour Pressure at 100 °F

3

Total Sulphur

4

Copper Strip Corrosion, 1 hr/100 °F

5

Weathering test at 36 °F

6

Hydrocarbon Analysis (GC) :

7 7

Max

to be report

Method D-1657

psig

-

120

D-1267

grains/100 Cuft

-

15

D-1266

ASTM No.1 95

% vol

D-1838

-

D-1837 D-2163

C2

% vol

C3 + C4

% vol

97.5

C5 and Heavier Ethyl or Buthyl Mercaptan added Free Water Content

% vol

-

2.0

ml/1000 AG

-

50

0.2

No free water

visual

Dasar : SK. Dirjen Migas No. 25K/36/DDJM/1990, tanggal 14 Mei 1990, lampiran-1.

Spesifikasi LPG Propane

No.

Properties

1

Specific Gravity at 60/60 °F

2

Vapour Pressure at 100 °F

Min

Max

to be report psig

123

-

210

Method D-1657 D-1267

3

Weathering test at 36 °F

4

Copper Strip Corrosion, 1 hr/100 °F

5

Total Sulphur

6

Hydrocarbon Analysis (GC) :

7

% vol

95

-

ASTM No.1 grains/100 Cuft

-

D-1837 D-1838

15

D-1266 D-2163

C3 total

% vol

95,0

C4 and Heavier

% vol

-

Ethyl or Buthyl Mercaptan added

2,5

ml/1000 AG

50

Dasar : SK. Dirjen Migas No. 25K/36/DDJM/1990, tanggal 14 Mei 1990, lampiran-2.

Spesifikasi LPG Butane

No.

Properties

Min

1

Specific Gravity at 60/60 °F

2

Vapour Pressure at 100 °F

3

Weathering test at 36 °F

4

Copper Strip Corrosion, 1 hr/100 °F

5

Total Sulphur

6

Hydrocarbon Analysis (GC) :

8

Max

to be report

Method D-1657

psig

-

70

D-1267

% vol

95

-

D-1837

ASTM No.1 grains/100 Cuft

-

15

D-1838 D-1266 D-2163

C4

% vol

97,5

C5

% vol

-

2,5

C6 and Heavier

% vol

-

Nil

Ethyl or Buthyl Mercaptan added

ml/1000 AG

50

Dasar : SK. Dirjen Migas No. 25K/36/DDJM/1990, tanggal 14 Mei 1990, lampiran-3.

3.15.6 Kharakteristik LPG Karakteristik Khusus LPG -

Sifat penguapan

- Sifat pengkaratan

-

Sifat kebersihan

- Sifat pembakaran dan komposisi

-

Spesific gravity

a. Sifat penguapan 124

Dinyatakan dengan : Tekanan uap & Volatility. Tekanan uap → besarnya tek. uap ( psig ) pada 100 °F dgn metode ASTM D 1267 Volatility

→ besarnya % komponen hidrokarbon dalam elpiji yang menguap

pada 36 °F dengan metode ASTM D 1837 Elpiji memiliki batasan : -

Tekanan uap max. 120 psig

-

Min 95 % volume teruapkan pada 36 °F

Tujuan pemeriksaan tekanan uap : -

Menjamin keselamatan dalam penyimpaman, penyaluran dan pengangkutan terutama untuk daerah yang mempunyai iklim berubah-ubah.

-

Untuk menentukan kondisi & design tempat penyimpanan, container pengapalan.

Tujuan pemeriksaan volatility : -

Untuk mengetahui tingkat efisiensi pembakaran dari elpiji.

b. Sifat pengkaratan -

Kemampuan elpiji untuk menimbulkan pengkaratan pada alat yang digunakan disebabkan sulfur.

-

Sifat pengkaratan



Membandingkan warna standar ASTM dengan

metode ASTM D 1838 -

Elpiji memiliki batasan : Max. No. 1 pada warna standar

c. Sifat kebersihan Ada tidaknya senyawa impurities yang merugikan dalam penggunaan elpiji. Sifat kebersihan : -

Kandungan sulfur dalam elpiji dengan metode ASTM D 2784

-

Kadar air dalam elpiji ditetapkan secara visual (berbentuk hidrat atau uap air dalam fasa gas)

-

Senyawa sulfur yang merupakan penyebab utama korosi adalah hydrogen sulfida, karbonil sulfida dan kadang-kadang elemen sulfur.

-

Kadar sulfur LPG selalu lebih rendah dari kadar sulfur produk minyak bumi yang lain.

-

Maksimum kadar sulfur memberikan gambaran mutu LPG yang lebih lengkap.

Kandungan sulfur yang besar dapat menimbulkan : 125

-

Korosi pada metal

-

Pencemaran udara

-

Turunnya nilai kalori

Elpiji memiliki batasan : Kandungan sulfur max. 15 grains /100 cuft Adanya kaandungan air yang besar dapat menimbulkan : -

Turunnya nilai kalori

-

Kebuntuan pada sistem penyaluran elpiji

d. Sifat pembakaran dan komposisi -

Sifat pembakaran →

Nilai kalori

-

Komposisi

% komp. hidrokarbon, ASTM D 2163

-

Nilai kalori tergantung pada komposisi hidrokarbon.

-

Dengan membatasi jumlah hidro karbon yang lebih ringa dari komponen utama



maka pengendalian tekanan uap diperbaiki, sedang pembatasan jumlah komponen yang lebih berat memperbaiki sifat penguapan. -

Jumlah etilena dibatasi karena, untuk mencegah deposit yang terbentuk karena polimerasi dan ketentuan yang membatasi penambahan volatitlitas. Etilena lebih mudah menguap dibandinng dengan etana, jadi produk C2 yang semuanya terdiri dari etilena akan mempunyai tekanan uap yang lebih tinggi dari produk C2 yang hanya terdiri dari etana.

e. Spesific gravity Perbandingan berat dan volume elpiji dengan perbandingan berat dan volume yang sama dari air pada temperatur 60 °F, ditetapkan dengan metode ASTM D 1657. Spesifik gravity tergantung pada % komponen hidrokarbon dalam elpiji % komponen penthana yang besar → Spec. Gravity besar Karena komposisi elpiji juga berhubungan dengan tekanan uap & volatility, maka batasan dari sifat-sifat tersebut merupakan batasan bagi spesifik gravity. Tujuan pemeriksaan spec.gravity : -

Perhitungan berat elpiji yang ditampung dalam tempat penimbunan, berdasarkan volume yang telah diketahui.

-

Perhitungan material balance.

126

f. Perbandingan daya pemanasan bahan bakar Jenis bahan bakar

Daya pemanasan

Listrik

860 kcal/kWh

Kayu bakar

4000 kcal/kg

Gas kota

4500 kcal/kg

Kerosine

11000 kcal/kg

LPG

11900 kcal/kg

3.16 ASPHALT Aspal (asphalt) adalah suatu material cementious berwarna coklat gelap hingga hitam berbentuk padat atau setengah padat dengan komponen utama bitumen, mempunyai berat molekul tinggi dan merupakan senyawa hidrokarbon aromatic dan naftenik.

3.16.1. Jenis Asphalt 127

Berdasarkan cara terjadinya, asphalt dibedakan : a. Asphalt alam : Semacam bitumen yang mengandung butir-butir mineral kecil. Untuk menurunkan viskositasnya dilakukan proses pencairan dan hasilnya dinamakan buthas-flux. Contoh : asphlat yang terdapat di P. Buton b. Petroleum asphalt : Diperoleh dari proses pengolahan crude oil jenis naphtenik atau asphaltik (aromatik). Aspal produk kilang minyak : aspal keras dan aspal cair. 1. Aspal keras (aspal semen) : Aspal keras adalah aspal yang dibuat di unit pengolahan minyak bumi, mempunyai bentuk fisik sangat kental dan mendekati keras. Ada beberapa jenis aspal keras, yang dibedakan berdasarkan nilai penetrasinya, yaitu : -

aspal 40 Pen

-

aspal 60 Pen

-

aspal 80 Pen

2. Aspal cair (cutback asphalt) : Aspal cair adalah aspal yang dibuat di unit pengolahan minyak bumi, mempunyai bentuk fisik encer sampai sangat kental. Ada beberapa jenis aspal cair, yang dibedakan berdasarkan nilai viskositasnya, yaitu : -

Rapid Curing

: RC-70, RC-250, RC-800

-

Medium Curing

: MC-70, MC-250, MC-800

-

Slow Curing

: SC-70, SC-250, SC-800

3. Aspal emulsi : Terdiri dari sedikit asphalt yang tersuspensi dalam air, asphalt berada dalam ukuran koloid. Asphalt emulsi terdiri dari : •

45-75 % asphalt



25-55 % air



1-10 % emulsigator ( Soap atau Clay )

Berdasarkan cepat lambatnya emulsi tersebut pecah, maka asphalt ini dibagi menjadi : 128

-

Rapid setting

-

Medium setting

-

Slow setting

3.16.2. Spesifikasi Spesifikasi adalah batasan maksimum atau minimum sifat-sifat fisika dan kimia yang disyaratkan, yang diukur dengan menggunakan metode dan peralatan baku. Spesifikasi aspal dituangkan dalam Keputusan dari Direktorat Jendral Bina Marga Direktur Lembaga Masalah Jalan No. KPTS/II/3/1973 tanggal 10 April 1973, sesuai dengan ASTM D946 Specification for Penetration Grade Asphalt Cement for Use in Pavement Construction dan ASTM D2026, D2027, D2028 Specification for Cutback Asphalt (Slow, Medium, Rapid-Curing Type). Aspal yang diproduksi Unit Kilang harus memenuhi spesifikasi yang berlaku. 3.16.3. Sifat Aspal Sifat atau kharakteristik aspal dianalisa di laboratorium, apakah memenuhi syarat sesuai dengan spesifikasi yang berlaku. Sifat-sifat tersebut antara lain : -

Berat jenis (Specific Gravity)

-

Penetrasi (Penetration)

-

Kelembekan (Softening Point Ring & Ball)

-

Titik nyala (Flash Point)

-

Kehilangan berat (Loss on Heating)

-

Kelarutan (Solubility)

-

Daktilitas (Ductility)

3.16.4. Proses pembuatan asphalt Proses pembuatan asphalt : •

Distilasi atmosfir



Distilasi hampa



Deasphalting



Pencampuran

Deasphalting 129

Bertujuan memisahkan komponen pelumas dan asphalt yang terkandung dalam short residu, proses dilakukan di unit Propane Deasphalting Unit, yang prinsipnya adalah proses ekstraksi dan pengambilan pelarut. Short residu pada suhu ektraksi dimasukkan ke Rotating Disc Contactor (RDC) berlawanan arah dengan propana cair, propana cair lewat dasar kolom dan short residu lewat bagian atas kolom, fraksi ringan terbawa propana sebagai Deasphalting Oil Mix keluar melalui bagian atas RDC, fraksi berat akan keluar melalui bottom RDC sebagai asphalt mix. Asphalt mix yang keluar dari bagian bottom RDC dipanaskan melalui asphalt heater, kemudian masuk ke asphalt flash tower. Untuk membersihkan sisa propana maka dialirkan ke asphalt stripper, sehingga setelah keluar dari asphalt stripper, asphalt sudah bebas dari propana yg memiliki penetrasi 9 - 10 Proses Pencampuran Untuk membuat asphalt sesuai kualitas pemasaran (penetrasi 60/70), dilakukan dengan cara mencampur asphalt dari PDU dengan short residu dari HVU, dengan perbandingan 65 % asphalt dan 35 % short residu. Bila asphalt dari PDU mempunyai penetrasi < 9, maka akan membutuhkan short residu yg lebih banyak. 3.16.5. Unsur Pokok Asphalt Unsur Pokok Asphalt : a. Mineral Oil : komponen asphalt yang larut dalam standar naphtha b. Resins : komponen asphalt yang larut dalam normal pentane dan tidak larut dalam propane cair c. Asphaltenes : komponen asphalt yang larut dalam benzene, carbon disulfide dan chloroform, tidak larut dalam alkohol, parafin dengan berat molekul rendah d. Carbenes dan Carboids : komponen asphalt yang larut dalam carbon disulfide dan chloroform, tidak larut dalam n-pentane. 3.16.5. Penggunaan Asphalt Penggunaan Asphalt : •

Pembangunan jalan raya



Runway (landasan lapangan udara)



Pencegah erosi (pengairan) 130



Cat tahan karat pada kapal atau perahu

3.16.5. Beberapa Metode Pengujian Asphalt 1. Penetration, ASTM D 5 -

Kegunaan : menentukan ukuran kekerasan asphalt.

-

Prinsipnya adalah : Berapa dalamnya jarum dengan pemberat 100 gram, dapat masuk dalam asphalt pada 25 °C selama 5 detik diukur dalam 10 -1 mm.

2. Softening point ( kelembekan ), ASTM D 36 -

Kegunaan : sebagai petunjuk tentang kemudahan sifat alir Bitumen sehubungan dengan temperatur.

-

Prinsipnya adalah : Brass ring diisi dengan asphalt cair dan didinginkan pada temperatur kamar. Steel ball berat 55 gram diletakkan diatas asphalt, kemudian dipanaskan dalam water bath dengan kecepatan 5 °C/min. Temperatur dimana steel ball jatuh dan menyinggung water bath dinamakan softening point.

3. Ductility, ASTM D 113 -

Kegunaan : menunjukkan sifat elastisitas asphalt.

-

Prinsipnya adalah : Asphalt briklet dengan cross section area 1 cm 2, ditarik dalam suatu alat sampai briklet putus. Jarak dalam cm dimana briklet mulai putus dinamakan ductility.

4. Flash Point , ASTM D 92 -

Kegunaan : untuk mendeteksi adanya material yang mudah menguap dan mudah terbakar

-

Prinsipnya adalah : Asphalt diisikan dalam mangkok contoh sampai tanda batas, kemudian dipanaskan dengan kecepatan tertentu. Api pencoba dilewatkan di atas permukaan mangkok dalam waktu satu detik pada setiap kenaikan 2 °C, temperatur terendah dimana api pencoba menyambar uap di permukaan dicatat sebagai titik nyala.

131

5. Loss on Heating, ASTM D 6 -

Kegunaan : menentukan karakter jenis produk dengan cara menentukan kehilangan zat saat pemanasan pada kondisi standar.

-

Prinsipnya adalah : Asphalt ditempatkan dalam suatu wadah, dipanaskan dalam suatu udara bergerak dengan temperatur 163 °C selama 5 jam. Prosen massa yang hilang ditentukan dengan cara membandingkan massa sebelum dan sesudah pengujian. Metode ini menyatakan pengukuran relatif terhadap volatilitas material di bawah kondisi standard

6. Solubility, ASTM D 2042 -

Kegunaan : menentukan kemurnian asphalt, asphalt murni akan larut dalam Trichloroethylene atau Carbon Tetra Chlorida.

-

Prinsipnya adalah : Asphalt dilarutkn dlm 100 ml larutan Trichloroethylene atau Carbon Tetra Chlorida kmd disaring, zat yang tdk terlarut dicuci, dikeringkan dan ditimbang. Bagian yg larut mrpkn active cementing constituent.

-

Perhitungan : % zat yang tak terlarut

=

CA  100 B

% zat yang tak larut

=

B   C  A  100 B

A = berat crucible & filter B = berat contoh C = berat crucible, filter dan zat tak larut 7. Berat Jenis, ASTM D 70 -

Kegunaan : untuk mengkonversi satuan volume kesatuan massa seperti yang dikehendaki dalam transaksi penjualan

-

Prinsipnya adalah : Asphalt dimasukkan dalam picnometer yang terkalibrasi kemudian ditimbang, isikan air pada volume yang tersisa dari picnometer, dan setelah mencapai temperatur yang dikehendaki timbang kembali. Densitas dihitung dari massa asphalt dibandingkan massa air pada volume sama pada picnometer tersebut.

132

-

Perhitungan : hitung specific gravity dengan ketelitian 0,001. SG 25/25 °C =

 c  a  b  a   d  c

a

= timbangan picnometer kosong

b

= timbangan picnometer + air

c

= timbangan picnometer + asphalt

d

= timbangan picnometer + air + asphalt

3.17 MUSICOOL Musicool adalah suatu produk Refrigerant Non CFC yang ramah lingkungan dengan bahan pendingin jenis Hidrokarbon. Komponen utama dari Musicool adalah Propana, Iso dan normal-Butana, merupakan senyawa hidrokarbon Parafinik dengan komposisi yang berbeda dalam setiap produk Musicool, tergantung dari peruntukannya. Beberapa jenis dari Musicool adalah : 1. MC 12 133

2. MC 22 3. MC 134 4. MC 600 5. MC 600A Keuntungan dari penggunaan Musicool : a. Menghemat pemakaian energi listrik hingga 20 % b. Meringankan kerja kompresor dan memperpanjang umur AC mobil, AC Split, AC Sentral, dan kulkas. c. Tidak perlu mengubah komponen AC lama (pakai CFC) d. Lebih irit,hanya membutuhkan sekitar 30 % dari penggunaan refrigerant fluorocarbon pada kapasitas mesin pendingin e. Ramah lingkungan dan nyaman f. Tidak beracun dan bukan perusak ozon g. Standar mutu Internasional produk Pertamina.

Spesifikasi Musicool

No. 1 2 3

Properties Specific Gravity at 60/60 °F Vapour Pressure at 100 °F Hydrocarbon Analysis Ethane Propane Isobutane n-Butane Olefin

Method D 1657 D 1267 D 2163

psig % wt % wt % wt % wt % wt

134

MC 22

MC 12

MC 134

0.508 *) 174 *)

0.527 *) 123 *)

0.526 *) 124 - 130

max 0.5 min 99.5 max 0.3 max 0.3 max 0.03

Traces min 99.5 max 0.3 max 0.3 max 0.03

min 99.5 max 0.03

Pentane n-Hexane Water Content Sulphur content Aromatics Copper Corrosion, 1 hr/100 °F Hydrogen Sulphide Free Water Residual Matter : Residue on evaporation 100 ml Oil stain observation Particulated / solid

4 5 6 7 8 9 10

11

ppm ppm ppm ppm ppm

Karl Fischer D 6667 D-1838 Drager Visual D 2158

ppm

ml Visual

max 100 max 50 max 10 max 1 max 10 ASTM No.1 max 0.2 None

max 100 max 50 max 10 max 1 max 10 ASTM No.1 max 0.2 None

max 100 max 50 max 10 max 2 max 10 ASTM No.1 max 0.2 None

max 0.05 pass pass

max 0.05 pass pass

max 0.05 pass pass

Dasar : 1. Memo Man Operasi Gas Pengolahan No. 034/E10210/2004-S2 tanggal 10 Mei 2004 2. Memo Man P & L Dit P No. 054/E00240/S-2 tanggal 18 Januari 2006

Spesifikasi Musicool, lanjutan No. 1 2 3

Properties Specific Gravity at 60/60 °F Vapour Pressure at 100 °F Hydrocarbon Analysis Ethane Propane Isobutane n-Butane Olefin Pentane

Method psig % wt % wt % wt % wt % wt ppm

135

D 1657 D 1267 D 2163

MC 600A

MC 600

0.564 *) report

0.583 *) max 70

min 95

max 0.5 balance min 95

max 0.3 %

max 0.3 %

4 5 6 7 8 9 10

11

n-Hexane Water Content Sulphur content Aromatics Copper Corrosion, 1 hr/100 °F Hydrogen Sulphide Free Water Residual Matter : Residue on evaporation 100 ml Oil stain observation Particulated / solid

ppm ppm ppm ppm ppm

Karl Fischer D 6667 D-1838 Drager Visual D 2158

ml Visual

max 50 max 10 max 1 max 10 ASTM No.1 max 0.2 None

max 50 max 10 max 1 max 10 ASTM No.1 max 0.2 None

max 0.05 pass pass

max 0.05 pass pass

3.18 B B G a. Pengertian : Bahan bakar gas (BBG) atau Compressed Natural Gas (CNG) adalah gas alam yang dimampatkan tekanan 125 kg/cm2 digunakan untuk keperluan transportasi. b. Proses Pembuatan BBG : Gas alam yang melewati beberapa proses purifikasi untuk mengurangi/menurunkan komponen yang tidak dikehendaki sehingga memenuhi spesifikasi c. Komposisi BBG terdiri atas : 136



Senyawa hidrokarbon Methane, ethana, propana, butana, isobutana, pentana, isopentana dan heksana (C6H14 +)



Senyawa non hidrokarbon Sebagai impuritis seperti: carbon dioxide, Nitrogen, hidrogen sulfida, uap air dan logam-logam (Helium dan Mercuri).

Komposisi ini bervariasi dari satu sumur ke sumur yang lain. d. Spesifikasi BBG Spesifikasi BBG ditetapkan berdasarkan SK Dirjen Migas No. 10K/34/DDJM/1993 tanggal 01 Pebruari 1993. Batasan dalam spesifikasi BBG antara lain : –

Kandungan hidrokarbon



Kandungan nitrogen



Kandungan karbondioksida



Kandungan uap air



Kandungan asam sulfide



Kandungan energi



Spesifik gravity

1. Kandungan hidrokarbon, ASTM D 1945 Metana dan etana merupakan komponen utama BBG, dalam ruang bakar akan terjadi pembakaran, yaitu reaksi antara hidrokarbon dengan oksigen yang disertai pembebasan kalor. CH4 + 2 O2 → CO2 + 2 H2O Hidrokarbon rantai panjang serta oksigen yang tidak cukup akan menjadikan pembakaran tidak sempurna. 2 CH3CH2CH3 + 7 O2 → 6 CO + 8 H20 CH3CH2CH3 + 2 O2 → 3 C

+ 4 H20

Pembakaran tidak sempurna → suara ketukan pada mesin kendaraan. BBG memiliki batasan : C1 + C2 min 62 % vol. 2. Kandungan Nitrogen, ASTM D 1945

137

Kandungan nitrogen akan mempengaruhi kandungan energi dalam gas, range flamabilitas gas dan kompresibilitas gas. Semakin tinggi kandungan Nitrogen → mengurangi kecepatan pembakaran BBG memiliki batasan : max. 2 % vol. 3. Kandungan karbondioksida, ASTM D 1945 Karbondioksida

bila

bereaksi

dengan

air

akan

menimbulkan

korosi,

memperlambat laju pembakaran, meningkatkan laju konsumsi bahan bakar atau menurunkan kandungan energi bahan bakar gas → kendaraan menjadi boros / tidak efisien. CO2 + H2O → H2CO3 Fe + H2CO3 → Fe2+ + 2 HCO3 + H2 BBG memiliki batasan : max. 5 % vol. 4. Kandungan uap air Uap air dalam gas akan terkondensasi, hal ini mengakibatkan : Kondensasi uap air + CO2 → korosi Kondensasi uap air + CH4 → sumbatan pada system bahan bakar. Uap air juga mempengaruhi nilai panas (kandungan energi) BBG. Untuk mengantisipasi terbentuknya kondensasi uap air → Tanki penyimpanan BBG bertekanan < 248 atm. BBG memiliki batasan : max. 0,035 % vol 4. Kandungan asam sulfide, ASTM D 2385 Kandungan asam sulfide dalam gas mengakibatkan : Produk hasil pembakaran dari asam sulfide → SO2 dan SO3 Asam sulfide + air → korosi pada peralatan BBG memiliki batasan : max. 14 ppm vol 5. Kandungan energi, ASTM D 3588 Kandungan energi atau nilai kalor, merupakan jumlah energi yang masuk mesin kendaraan. Makin tinggi kandungan energi dalam bahan bakar gas → baik unjuk kerja mesin. 138

Rumus perhitungan Nilai Kalor : H = x1.H1 + x2.H2 + x3.H3 +

..................... + xn.Hn

Dimana : x1 , ............ xn = mol fraksi komponen H1 , ........... Hn = Nilai kalor masing-masing komponen pada 60 °F , 14,7 psia tabel “ Physical Constant “ BBG memiliki batasan : min. 44000 kJ/kg 6. Spesifik gravity, ASTM D 3588 Perbandingan densitas gas dengan densitas udara pada temperatur dan tekanan tertentu. Spesifik gravity ditentukan karena berhubungan dengan kemudahan gas menguap. Rumus perhitungan Spesific gravity : G = x1G1 + x2G2 + x 3 G 3 + ..................+ x n G n Dimana : x 1 ,.................x n = mol fraksi komponen G 1 ,...............G n = Spesific gravity 60/60 °F masing-masing komponen dari tabel “Physical Constant “

Spesifikasi BBG untuk Kendaraan Bermotor

No.

Properties

Min

Max

1

Relative Density at 28 °C

0,56

0,89

2

Calorific Value at 15 °C/1 Atm

3

Hydrocarbon Analysis (GC) :

kJ/kg

44.000

C1 + C2

% vol

62,0

C3

% vol

139

Method

-

D 1945

8,0

-"-

C4

% vol

4,0

-"-

C5

% vol

1,0

-"-

N2

% vol

2,0

-"-

O2

% vol

0,2

-"-

CO2

% vol

5,0

-"-

H2S

ppm vol

14,0

D 2385

Hg

ppb vol

-

9,0

AAS

% vol

-

0,035

Gravimetri

H2O

Dasar : SK. Dirjen Migas No. 10K/34/DDJM/1993 tanggal 01 Pebruari 1993.

3.19 L N G a. Pendahuluan : -

LNG (Liquified Natural Gas) adalah merupakan gas alam yang dicairkan dengan cara pendinginan sampai minus -160 °C dan tekanan 1,25 kg/cm2 absolut

-

Kegunaannya : sebagai bahan bakar industri.

b. Gas alam :

140



Assosiated Gas Gas yang diperoleh dari sumur gas bersama-sama dengan minyak mentah



Non Assosiated Gas Gas yang diperoleh dari sumur gas bersama-sama dengan kondensat, yaitu fraksi berat ( C5 + ) yang berbentuk cairan.

c. Komposisi LNG : •

Senyawa hidrokarbon : Methana ( CH4 ), ethana ( C2H6 ), propana ( C3H8 ), butana ( C4H10 ) dan Iso butana, pentana ( C5H12 ) dan iso pentana, C6H14+



Senyawa non hidrokarbon : sebagai impuritis seperti : carbon dioxide ( CO2 ), Nitrogen ( N2 ), hidrogen sulfida ( H2S ), Merkaptan ( RSH ) dan logam-logam ( Helium dan Mercuri ).

Pembatasan komposisi LNG adalah Persetujuan antara konsumen dan produsen. LNG sebagai produk pencairan gas alam harus dilakukan pengujian di laboratorium untuk menentukan mutu produk LNG. d. Sifat-sifat produk LNG : Sesuai kegunaannya antara lain : •

Kemurnian hidrokarbon tinggi, untuk menjamin kualitas maupun kuantitas LNG



Kandungan CH4 tinggi untuk menjamin nilai kalor LNG



Tidak korosi pada peralatan penyimpanan, pengangkutan maupun distribusi/ penyaluran



Mempunyai kalor tinggi, tidak mencemari udara



Tidak membentuk hidrat pada suhu rendah, baik pada saat penyimpanan, pengangkutan dan distribusi.

e. Analisis Laboratorium produk LNG 1. Komposisi Hidrokarbon, ASTM D 1945, GPA 2261 Dengan peralatan kromatografi gas, komponen-komponen LNG dapat dipisahkan berdasarkan titik didihnya, dengan urutan sebagai berikut : CH4, C2H6, C3H8, i-C4H10, n-C4H10, i-C5H12, n-C5H12 dan C6H14+ *

Komponen CH4 : 141

Kandungan CH4 dalam LNG merupakan komponen hidrokarbon dengan konsentrasi tertinggi. Bila konsentrasinya kurang dari batasan minimum dalam spesifikasi → LNG mempunyai nilai kalor rendah. *

Komponen C2H6, C3H8, C4H10 dan C5H12 : Kandungan komponen C2H6, C3H8, C4H10 dan C5H12 dalam LNG merupakan komponen hidrokarbon yang harus dibatasi keberadaannya. Bila konsentrasinya melebihi batas nilai maksimum dalam spesifikasi → LNG mempunyai nilai kalor rendah.

*

Komponen C6H14+ ( hexane and heavier ) : Bila konsentrasi C6H14+ melebihi nilai batas maksimum dalam spesifikasi → LNG mempunyai nilai kalor rendah atau mutu LNG rendah dan akan menyebabkan

kemudahan

menguapnya

rendah



penyimpanan,

pengangkutan dan distribusi akan menyebabkan terjadinya endapan. Besarnya kandungan komponen hidrokarbon dalam LNG menentukan mutu LNG baik kualitas maupun kuantitasnya karena dengan diketahui komposisinya dapat dihitung sifat-sifat seperti : nilai kalori, tekanan uap dan spesifik gravity. 2. Nitrogen, ASTM D 1945 • Nitrogen dalam LNG berbentuk gas yang melarut, meskipun nitrogen bersifat inert tetapi akan menurunkan mutu LNG baik kualitas maupun kuantitas (nilai kalori rendah). • Pengujian untuk menentukan kandungan Nitrogen dilakukan bersama-sama dengan pengujian komponen hidrokarbon.

3. Carbon dioksida, ASTM D 1945 •

Kandungan CO2 akan berpengaruh terhadap besarnya nilai kalori LNG. Bila kandungan gas CO2 tinggi → nilai kalori LNG rendah.



Kandungan CO2 untuk mengetahui kecenderungan sifat korosifitas produk LNG.

142



Pengujiannya dapat dilakukan bersama-sama dengan pengujian komponen hidrokarbon.

4. Hidrogen Sulfida, ASTM D-2385 •

Kandungan H2S akan berpengaruh terhadap besarnya nilai kalori LNG. Bila kandungan gas H2S tinggi → nilai kalori LNG rendah



Kandungan H2S untuk mengetahui kecenderungan sifat korosifitas produk LNG.

5. Merkaptan, ASTM D 2385 •

Kandungan gas merkaptan akan berpengaruh terhadap besarnya nilai kalori LNG. Bila kandungan gas merkaptan tinggi → nilai kalori LNG rendah. Umumnya konsentrasi merkaptan di Indonesia rendah.



Jumlah konsentrasi merkaptan akan menentukan jenis dan dosis bahan kimia yang digunakan pada Purifikasi.

6. Total Sulfur, ASTM D 2784 •

Merupakan pengujian sifat kebersihan LNG.



Merupakan penjumlahan sulfur dari : merkaptan, hidrogen sulfida, karbonilsulfida dan carbon disulfide.



Untuk identifikasi kecenderungan terjadinya : penurunan nilai kalori, terjadinya korosi dan pencemaran lingkungan.

7. Kandungan Air Bebas, Gravimetri •

Air yang tak terlarut dalam LNG, dinyatakan dalam % wt, ppm atau mg/L.



Besarnya kandungan air berpengaruh terhadap nilai kalor LNG dan merupakan katalisator proses pengkaratan logam.

8. Mercuri, AAS •

Mercuri terdapat sebagai gas yang terlarut dalam LNG dan berasosiasi dengan kondensat, dinyatakan dalam ppb atau μg/100 cuft atau μg/100 Nm3.



Kandungan Mercuri dalam LNG menyebabkan sifat korosif terhadap peralatan, khususnya aluminium, bersifat racun terhadap kesehatan manusia.

143

9. Density, ASTM D 1945 •

Pengujian density digunakan untuk perhitungan berat LNG → perhitungan dalam pemasaran.



Bila dalam pengujian density lebih rendah dari spesifikasi → mengandung komponen ringan → nilai kalor persatuan berat tinggi.



Bila dalam pengujian density lebih tinggi dari spesifikasi → mengandung komponen berat → nilai kalor persatuan berat rendah.

10. Nilai Kalori, GPA 2261 •

Nilai kalori ditentukan oleh besarnya % molekul komponen hidrokarbon.



Dalam transaksi jual beli gas nilai kalori sebagai Gross Heating Value dalam BTU/SCF.



Gross Heating Value adalah panas yang dihasilkan dalam pembakaran sempurna pada tekanan tetap dari satu standar cuft gas dan semua air yang terbentuk sebagai hasil pembakaran terkondensasi menghasilkan liquid.



Dari Nilai kalori LNG → mutu dari LNG dapat diketahui.



Nilai kalori LNG sangat erat hubungannya dalam transaksi penjualan gas.

f. Proses pencairan LNG Proses pencairan gas alam menjadi LNG meliputi proses : -

Treating / pemurnian gas dari impurities

-

Dehidrasi atau penghilangan air dan penghilangan metal

-

Proses precooling atau pendinginan pendahuluan

-

Proses pencairan dan fraksinasi

1. Treating / pemurnian gas dari impurities Bertujuan untuk memisahkan impurities, yang nantinya akan mengganggu pada proses pencairan gas. Impurities tersebut adalah CO2 dan gas-gas asam seperti : H2S, COS. •

CO2 akan menyebabkan buntunya tube pada main exchanger, karena CO 2 membeku pada suhu pencairan - 82,45 °C.



H2S dan COS akan menyebabkan korosi pada peralatan. 144



CO2, H2S dan COS dipisahkan dengan menggunakan MDEA (Methyl Diethanol Amine) sebagai solvent penyerap dalam suatu kolom absorber.

2. Dehidrasi / penghilangan air dan penghilangan metal •

Proses penghilangan uap air dengan menggunakan molecular sieve adsorbsion, uap air

akan membuntukan exchanger tube pada proses

pencairan gas alam. •

Penghilangan metal menggunakan mercury removal bed yang berisi sulfur impregnated carbon, mercury merusak exchanger tube dengan membentuk amalgam.

3. Proses precooling Proses pendinginan pendahuluan menggunakan Propana sampai suhu – 29 °C atau - 30 °C. Pada suhu ini komponen berat akan dicairkan dan dipisahkan dari komponen ringannya ( CH4 ). 4. Proses pencairan •

Pencairan

gas

yang

komponen

utamanya

metana

menjadi

LNG

menggunakan Mixed Component Refrigerant (MCR) dalam Main Heat Exchanger

dilakukan

dengan

cara

mendinginkan

sampai

suhu

pengembunannya dan atau dikombinasikan dengan menaikkan tekanan gas untuk mempermudah pengembunan / pencairannya. •

LNG kemudian ke flash drum untuk memisahkan N 2 nya, selanjutnya masuh ke storage tank.



Karena suhunya sangat rendah, tanki tersebut diisolasi berlapis-lapis untuk menghindari kebocoran panas yang bisa menaikkan suhu dan mengubah cairan LNG menjadi uap / gas.

Spesifikasi LNG Komponen Komposisi : C1 C2 C3 i-C4

Satuan

Spesifikasi

Metode ASTM D 1945

% mol % mol % mol % mol

≥ 85 ≤ 12

145

Others GPA 2261

n-C4 i-C5 n-C5 C6 + N2 CO2 H2S RSH S total Hg H2O Density *) GHV *)

% mol % mol % mol % mol % mol ppm ppm grains/100 cuft grains/100 cuft μg / Nm 3 ppm kg / m 3 BTU/SCF

≤ 2,0

≤ 1,0 ≤ 1,0 ≤ 50 ≤ 1,0 ≤ 0,25 ≤ 1,3

D 2385

D 2784 AAS Gravimetri

1070 – 1165

D 1945 D 1945

Note : *) Dihitung dari komposisi hidrokarbon

3.20 PETROLEUM WAX 3.2.1 Umum Petroleum wax atau biasa disebut wax adalah suatu senyawa hidrokarbon parafin, rantai lurus atau cabang dgn berat molekul cukup tinggi, berbentuk padat pada temperatur kamar yang merupakan produk olahan dari minyak bumi. Digunakan wax adalah untuk :

146



Lilin



Pelapis kertas/karton



Batik

3.2.2 Klasifikasi Petroleum Wax 1. Paraffin wax : -

produk macrocrystallin, pada suhu kamar berbentuk padat. Diperoleh dari petroleum distillates

-

Berwarna putih, transparan, tidak berbau, tidak berasa, berbentuk padat, meleleh pada suhu 47 – 65 °C

-

Tidak larut dalam air tetapi larut dalam ether, benzene dan esther

-

Parafin dengan berat molekul tinggi dengan C22 – C27

Karakter utama dari macrocrystallin : -

Bersifat kristalinitas

-

Bersifat isolasi, tahan terhadap air, lemak dan gas

-

Range temperatur peleburannya sangat lebar

2. Microcrystallin wax : -

produk microcrystallin, pada suhu kamar berbentuk padat. Diperoleh dari petroleum distillates

-

Struktur molekul utamanya adalah iso dan siklo parafin, yang berbentuk kecil dan kristalnya tidak beraturan, mempunyai titik lebur lebih tinggi dari pada paraffin wax

Karakter dari microcrystallin wax : -

mengandung resin, bersifat fleksibel dan daya rekat tetap dan permukaan area lebih porous.

-

Berwarna antara putih dan yellow. Titik lebur > 65 °C

3. Petrolatum : -

Berbentuk semi padat seperti jelly, yang terdiri dari microcrystallin wax dan minyak. Diperoleh dari petroleum distillates berat atau residu.

Karakter dari microcrystallin wax : -

Petrolatum disebut juga plastic wax atau soft wax banyak mengandung iso dan cyclo parafin, 147

-

pada suhu kamar bersifat sangat lembek, mempunyai melting point 71 – 88 °C

-

Digunakan sebagai bahan dasar pembuatan vaseline.

3.2.3 Jenis-jenis Paraffine Wax Berdasarkan oil content dan melting pointnya : Melting point,

Max. Oil content,

°F

%wt

Match wax,

110 – 115

3,0

Scale wax

122 – 125

2,0

Scale wax

133 – 134

2,0

Semi refined Wax

125 – 130

1,4

Semi refined Wax

135 – 140

1,1

Fully refined Wax

125 – 130

0,5

Fully refined Wax

135 – 140

0,4

Fully refined Wax

140 – 145

0,4

3.2.4 Tahapan proses pembuatan Wax 1. Proses Dewaxing Proses pemisahan wax dari minyak dengan cara mengkristalkan Paraffine Oil Distillate melalui pendinginan. Wax yang terkandung dalam POD akan mengkristal lebih dahulu dibanding minyak. Kristal wax dipisahkan dari cairan menggunakan Filter Press. Kristal wax dari proses dewaxing disebut Slack wax 2. Proses Sweating Proses pemisahan minyak dan wax berdasarkan titik lebur (melting point) dengan pendinginan sampai mencapai titik beku kemudian dipanaskan secara perlahan dlm Vertical Tubes Stove. Fraksi minyak yang mempunyai titik lebur lebih rendah akan mencair lebih dahulu. Pada proses sweating kandungan minyak dapat diturunkan hingga 1 – 2 % wt, dan disebut Sweat wax. 3. Proses Treating

148

Proses memperbaiki warna dan menghilangkan bau dari produk sweat wax dengan menghilangkan senyawa hidrokarbon yang tidak diinginkan (cyclo, aromat dan olefin) dgn menggunakan bhn kimia sbb : •

H2SO4 dgn konsentrasi 98 %, berfungsi melarutkan seny. cyclo, aromat dan olefin membentuk sulphonate ( - SO2OH ) yg akan mengendap.



Kapur (CaO), untuk mengikat H2SO4 yg tdk bereaksi/berlebih.



Clay, sbg adsorbent dan mengikat kelebihan H2SO4.

Selain bhn kimia tersebut diatas, juga menggunakan Polyethylene untuk memperbaiki elastisitas ready wax dan NaOH untuk menetralkan sludge asam sebelum dibuang ke sewer. 4. Proses moulding Proses pencetakan lilin cair menjadi slab, selanjutnya bisa dimasukkan kedalam plastik dan karung. 3.2.5 Beberapa parameter yang diuji dalam memenuhi syarat spesifikasi wax : •

Appearance Test, JIS K8004



Color Saybolt, ASTM D 159



Melting point, ASTM D 87



Oil Content of Waxes, ASTM D 721



Needle Penetrasi of Petroleum Wax, ASTM D 1321



Reaction of Petroleum Wax, ASTM D 1093



Thermal Stability, Metode Modified

1. Appearance Test, JIS K8004 Tujuan pengujian : Untuk mengetahui klasifikasi warna lilin. Garis besar pengujian : Timbang wax sebanyak 5 gram , iris-iris hingga kecil dan tempelkan dalam gelas arloji, dibawahnya diberi kertas putih. Bandingkan wax yang sudah diiris dengan standar warna. Standar Warna: No. 1

White

No. 2

Almost white 149

No. 3

Very faint yellow

No. 4

Faint yellow

No. 5

Thinb yellow

2. Color Saybolt, ASTM D 159 Tujuan pengujian : Menentukan warna dari petroleum product yang belum diberi warna. Garis besar pengujian : Tuangkan contoh yang sudah disaring dalam tabung tempat contoh. Cocokan dengan warna standar yang ada pada tabung yang lain dengan jalan mengubah ketinggian contoh yang diperiksa. Baca angka yang ditunjukkan oleh skala yang ada pada tabung contoh 3. Melting point, ASTM D 87 Tujuan pengujian : Untuk menentukan titik leleh dari petroleum wax Garis besar pengujian : Tuang contoh yang sudah dicairkan kedalam tabung percobaan, pasang termometer ditengah-tengah batas pencelupan 3 ⅛ inch dibawah gabus. Letakkan tabung percobaan pada penangas udara yang temperaturnya dipertahankan 60 – 80 ° C. Baca termometer contoh setiap 15 detik dan catat setiap pembacaan sampai 0,1 °F. 4. Oil Content of Waxes, ASTM D 721 Tujuan pengujian : Untuk menentukan kadar minyak dalam petroleum wax Garis besar pengujian : Timbang contoh yang sudah dicairkan  1 gram dalam tabung ( B ). Tambah 15 ml MEK panaskan dan aduk agar homogen, kemudian dinginkan dalam water bath. Dan saring larutan contoh dan tampung larutan contoh dan timbang ( D ). Uapkan dalam oven, setelah pelarut menguap dinginkan dalam desikator selama 10 menit dan timbang sebagai ( A ). Oil content ( % mass ) =

 100 AC     0,15 BD  

Keterangan : 150

A

= Berat residu, mgr

B

= Berat contoh, mgr

C

= Berat MEK, mgr

D

= Berat filtrat, mgr

0,15

= faktor koreksi

5. Needle Penetrasi of Petroleum Wax, ASTM D 1321 Tujuan pengujian : Untuk perkiraan empiris derivat wax dari petroleum dengan mengukur dalamnya penetrasi dari jarum standar 6. Reaction of Petroleum Wax, ASTM D 1093 Tujuan pengujian Untuk mengetahui derajat keasaman pada produk wax dan mencegah korosif pada peralatan Garis besar pengujian : Contoh wax cair 100 ml ditambah aquadest 30 ml kocok sambil dipanaskan pelanpelan. Saring dan filtratnya dibagi dua, Satu diberi Phenol phthaline indikator dan satunya diberi larutan Methil orange. •

Untuk larutan Phenol phthaline indikator : Bila warna tidak berubah laporkan sebagai neutral. Bila warna berubah laporkan Base (Non Neutral ).



Untuk larutan larutan Methil orange : Bila warna tidak berubah laporkan sebagai neutral. Bila warna berubah laporkan ACID (Non Neutral ) .

7. Thermal Stability, Metode - Modified Tujuan pengujian Untuk mengetahui perubahan warna pada produk Wax terhadap pengaruh temperatur Garis besar pengujian : Timbang contoh sebanyak 150 gram dan periksa colour sayboltnya. Panaskan dari 80 °C sampai 100 °C pada bath pemanas 100 °C. Kemudian lanjutkan pemanasan dari 100 °C sampai 170 °C. Ditahan pada suhu 170 °C pada bath 170 °C dengan 151

diaduk pada 100 rpm selama 30 menit. Dinginkan pada bath 100 °C selama 30 menit tanpa diaduk. Masukkan ke lemari pemanas pada suhu 80 °C. Periksa colour sayboltnya, dan bandingkan dengan se belum dipanaskan.

DAFTAR PUSTAKA 1.

Annual Book of ASTM Standard, Volume 05, 2006.

2.

Standard Methods for Analisys and Testing of Petroleum and Related Products 1988, THE INSTITUTE OF PETROLEUM, LONDON

152

3.

Pangarso, Subardjo, Ir., Penentuan Sifat-sifat Minyak Bumi, PPPTMGB “LEMIGAS”, Jakarta, 1980.

4.

Akamigas, Bahan Pengajaran Minyak Bumi dan Produk Minyak, Cepu, 1990.

5.

Dirjen Migas, Spesifikasi Produk Minyak dan Gas Bumi, Jakarta.

6.

Aviation Fuels : Specification and Test Methods, ASTM Technical & Profesional Training, 1997.

153

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF