BUKU KONSTITUSI.pdf

August 16, 2017 | Author: Dita Chan | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download BUKU KONSTITUSI.pdf...

Description

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

_HANDBOOK_

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I A.H. As’ari Taufiqurrohman, S.H., M.H. Hak Cipta Dilindungi Oleh Undang-Undang

Penerbit Pustaka Renaissance Editor : Tri Susilowati, S.Pd. Desain Sampul: 57 comp. Pekalongan & Acadia 2 Yogyakarta Dicetak oleh Percetakan Acadia 2 Jl. Kaliurang, km 4.5, Yogyakarta Cetakan Kedua: Mei 2012 Dilarang memperbanyak, mengcopy baik sebagian atau seluruh isi buku ini TANPA IZIN TERTULIS dari penerbit.

Pengantar Penulis

Handbook yang telah tersusun ini, merupakan upaya pelengkap dari buku-buku konstitusi yang ada. Sebagai pengantar studi, tentu saja isi buku ini memuat hal-hal yang bersifat mendasar dan prinsipil mengenai Konstitusi. Ada beberapa hal yang secara sengaja penulis masukkan sebagai bahan kajian buku ini, misalnya pembahasan mengenai negara dan Hak Asasi Manusia. Hal ini penting mengingat sebelum memahami sebuah Konstitusi sebagai dokumen dasar yang memiliki kedudukan tertinggi sebuah negara, akan lebih baik jika memahami terlebih dahulu apa itu negara, kaitan antara Konstitusi dan Negara, serta bagaimana pula selayaknya Konstitusi tersebut mengatur Hak Asasi Manusia. Meskipun buku Jilid Pertama ini hanya sebagai pengantar, akan tetapi secara substansial telah diusahakan sedapat mungkin memenuhi pemahaman awal para para pembaca untuk memulai memperluas khasanah pemikiran cakrawala Konstitusi Sebagai bagian dari kajian ketatanegaraan. Handbook ini sangat bermanfaat untuk membantu para pembelajar hukum yang memiliki minat untuk mendalami Konstitusi, terutama

dalam rangka menyusun konsep dan kerangka berpikir secara sistematis. Mudah-mudahan buku yang masih sangat sederhana ini dapat memberikan manfaat sebagai wahana transfer pengetahuan bagi mahasiswa maupun masyarakat umum. Akhirnya, penulis amat menyadari adanya kekurangan dalam penyusunan buku ini, baik itu dari sisi kompleksitas materi maupun pada redaksional penyusunannya. Oleh sebab itu, saran dan masukan sangatlah penulis harapkan demi pembaharuan, perubahan dan perbaikan di masa yang akan datang.

Semarang, 26 Maret, 2012

A.H. As’ari Taufiqurrohman, S.H., M.H.

DAFTAR ISI Pengantar Penulis ................................................................... iv BAB I Negara dan Konstitusi ............................................................ Manusia, Negara dan Bangsa ................................................. Teoretisasi Negara dan Bangsa .............................................. Definisi Negara ....................................................................... Konsep Negara Hukum ...........................................................

1 1 2 4 5

BAB II Konstitusi dan Konstitusionalisme .......................................... 9 Teori dan pengertian Konstitusi .............................................. 13 a. Definisi Konstitusi .......................................................... 11 b. Konstitusi Tertulis dan Tidak Tertulis ............................ 16 c. Isi Konstitusi .................................................................. 18 d. Konstitusionalisme ........................................................ 19 BAB III Konstitusi dan HAM ……………………………………………………….….. 21 Pelembagaan HAM dalam Sejarah dan Konstitusi ………………..21 Konstitusionalisme dan HAM dalam Islam …………………….…… 26 Konstitusi Madinah ……………………………………………………….…… 31 a. Unsur HAM dalam Piagam Madinah ............................. 36 b. HAM Pada Masa Peradaban Islam Pasca Rasulullah .... 45 c. HAM Pada Masa Peradaban Islam Modern .................. 46

d. Islam dan HAM Dalam Perkembangan Kebangsaan Indonesia .............. 49 Islam dan HAM dalam Konstitusi Indonesia .......................... 51 a. Pembahasan Ide Islam Dalam UUD 1945 ................................................................. 51 b. Unsur HAM dalam Konstitusi Indonesia …………………………. 56 1. HAM dalam UUD 1945 ............................................... 56 2. HAM dalam Konstitusi RIS 1949 ................................. 60 3. HAM dalam UUDS 1950 ............................................. 72 4. HAM dalam Amandemen I ......................................... 86 5. HAM dalam Amandemen II ........................................ 87 6. HAM dalam AMandemen III ....................................... 97 7. HAM dalam Amandemen IV. ....................................... 98 Daftar Pustaka .................................................................104

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

BAB I Negara dan Konstitusi Manusia, Negara dan Bangsa Manusia adalah makhluk sosial (homo homini lopus), manusia itu sendiri berada dalam roda kehidupan yang kompleks dan multidimensional secara sosial, politik, ekonomi, budaya (culture) dan hukum yang turut serta menyelimuti peradaban dan eksistensi manusia. Dalam dimensi inilah seringkali manusia bersentuhan dengan nilai – nilai asasinya baik secara individu maupun kolektif. Nilai asasi yang kemudian disebut Hak Asasi Manusia (HAM) pada dasarnya merupakan hak utama (primary rights), hak dasar (fundamental rights) yang tidak dapat dihapuskan serta tidak bisa dibantah keberadaannya seiring dengan eksistensi manusia. Nilai substansi seperti inilah yang lantas menempatkan hak asasi sebagai salah satu instrumen penting dalam menggambarkan “ciri khas” setiap manusia. Dengan demikian maka HAM itu sendiri pada hakekatnya merupakan refleksi dari eksistensi manusia sebagai pencipta maupun sebagai pelaku peradaban. HAM adalah formasi keutuhan manusia menuju kehidupan yang beradab.1 Hak Asasi Manusia yang satu dan lainnya akan saling berbenturan manakala bersentuhan dengan kepentingan social. Disamping itu, adalah naluri alamiah manusia sebagai makhuk social yang tidak pernah terlepas dari keinginan untuk membentuk 1

. Hafid Abbas. Pengantar dalam Majda El-Muhtaj, 2005, Hak-Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Kencana, Jakarta.

1

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

suatu komunitas__yang kemudian dikenal dalam bentuk bangsa__yang selanjutnya meleburkan diri ke dalam sebuah wadah politis dan territorial yang bernama Negara. Dengan demikian, terdapat sebuah garis historis antara manusia, Negara dan bangsa. Tentu saja hal ini tidak hanya terjadi pada konstelasi masyarakat modern, tetapi jauh sebelum itu, dalam kurun waktu yang sangat lama, manusia telah mulai mengembangkan cikal bakal pola pemerintahan dalam suatu komunitas kebangsaan melalui bentuknya yang amat sederhana, kala itu. Teoretisasi Negara dan Bangsa Membicarakan tentang Negara tak lepas dari memperbincangkan manusia, masyarakat atau bangsa. Negara bangsa dibangun melalui sekumpulan manusia-manusia yang sepakat menyatukan visi dan keinginan untuk hidup dalam sebuah sistem bersama secara politik. Sedangkan di sisi lain, mereka pun bersepakat untuk mengikis hak-hak individual mereka agar tidak berbenturan dengan hak-hak individu lainnya. Oleh sebab itulah manusia sebagai individu selalu dapat secara luwes menempatkan dirinya dalam kelompok. Manusia sendiri disebut sebagai makhluk social (homo homini lupus) atau bahkan sebagai insan politik (zoon politicon). Akan tetapi, problematika kemudian muncul manakala kelompok masyarakat tersebut berjalan mewujudkan visi dan tujuannya. Dalam proses perjalanannya secara organisasional maupun politik, seringkali terjadi perbedaan, baik itu dikarenakan perbedaan pandangan maupun ketidaksetujuan dikarenakan adanya pengikisan hak-hak individual yang terjadi secara tidak adil. Hal yang wajar memang, karena bukankah komunitas masyarakat berisi banyak individu? Bukan satu atau dua orang saja. Komunitas bangsa juga demikian, terdiri dari beberapa kelompok dan elemen 2

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

yang saling menunjang dan melebur ke dalam satu panutan system yang secara politik akan dijalankan bersama-sama, disepakati bersama dalam rangka mencapai tujuan baik itu kesejahteraan, ekonomi maupun budaya. Oleh sebab itu, menuangkan satu kesepakatan bersama ke dalam suatu ikatan perjanjian__baik itu tertulis maupun tidak tertulis (yang diakui telah menjadi satu kebiasaan atau konvensi)__merupakan hal yang niscaya untuk dilakukan. Kesepakatan inilah yang kemudian dinamakan “Konstitusi”. Konstitusi dan Negara memiliki hubungan yang sangat erat, Konstitusi adalah penunjang berdirinya sebuah Negara, bahkan identitas sebuah Negara. Dengan demikian, pastilah Konstitusi akan memiliki corak warna yang khas sesuai dengan nilai luhur bangsa yang dianut. Negara telah berkembang demikian pesat seiring dengan dinamisasi kebutuhan manusia. Negara yang pada awal kemunculannya hanya berupa Negara kota (polis) telah berkembang dari masa-ke masa hingga sampai pada konsep Negara kesejahteraan (welfare state) saat ini. Pengembanan konsep Negara telah dimulai bahkan sejak masa kerajaan kuno babylonia, sampai pada masa Yunani, Romawi yang kemudian meluas ke daratan eropa hingga saat ini. Hanya saja, konsep Negara pada masa lampau, yang lebih dikenal dalam konsep kerajaan, kekaisaran (dinasti) meletakkan garis kekuasaan pada absolutisme raja. Hal ini pernah juga berlaku di beberapa wilayah eropa continental semisal Perancis. Meskipun pada perjalanan kenegaraan selanjutnya, absolutisme raja secara perlahan-lahan mulai terkikis melalui pembatasan-pembatasan kekuasaan dalam Negara, hal ini tidak secara langsung menghilangkan figur seorang “raja” (personifikasi 3

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

individu absolut) dalam sebuah Negara. Pada kenyataannya, masih ada Negara di dunia yang menggunakan figur seorang pemimpin selayaknya “raja” dalam negaranya__semisal Thailand, Inggris, Jerman__meskipun konsep maupun penamaannya telah dimodifikasi sedemikian rupa agar sesuai dengan perkembangan kebutuhan Negara modern dewasa ini. Demikian halnya dengan Konstitusi yang juga mengalami perkembangan pesat dari masa ke masa. Konsep hukum kuno yang diawali dari kebiasaan masyarakat, pada tahap selanjutnya menuntut adanya kewajiban_(kepastian atas penegakan)_ menciptakan ketaatan atas kebiasaan-kebiasaan tersebut. Untuk itu diperlukan figur pemimpin yang memiliki kekuasaan menjalankan hukum. Konstitusi menjadi suatu dokumen yang amat penting dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut, karena disamping emengatur aturan dasar, di dalamnya juga diatur bagaimana cara menjalankannya. Pada dasarnya, menurut pemikiran penulis, cikal bakal sebuah konstitusi telah ada sejak masyarakat memiliki keinginan untuk membentuk satu komunitas dalam lingkup satu wilayah politis yang memiliki aturan hukum mengikat (dalam bentuk negara, kerajaan, atau komunitas bangsa lainnya yang belum menamakan dirinya negara, tetapi memiliki seorang pemimpin atau figur yang dianggap sebagai penguasa). Hanya saja, kondisi pada masa itu masih menggunakan konsep konstitusi secara sederhana dan yang terpenting mengatur bagaimana kekuasaan akan dijalankan. Definisi Negara Menurut istilah asing, Negara dikenal dengan beberapa penyebutan: “state” (bahasa inggris), “staat” (bahasa belanda), “d’etat” (bahasa Perancis), “estado” (bahasa Spanyol) yang berasal dari induk kata bahasa latin “status” atau “statum” yang berarti 4

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

menaruh dalam keadaan berdiri ,membuat berdiri, menempatkan berdiri2. Sedangkan menurut istilah Indonesia, Negara berasal dari bahasa sanskerta, yakni “nagari” atau “nagara” yang berarti kota. Apapun penyebutannya, negara memiliki pengertian sebagai organisasi kekuasaan yang bersifat mengatur masyarakat melalui sebuah aturan-aturan tertentu untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang telah disepakati bersama dalam rangka menciptakan kemandirian, kemakmuran dan kesejahteraan. Oleh sebab itu, unsur utama yang harus dimiliki oleh negara adalah: Rakyat, wilayah, pemerintahan yang berdaulat, serta adanya pengakuan dari bangsa lain (bilamana diperlukan). Konsep Negara Hukum • Konsep Negara Hukum Rechtsstaat: berkembang di wilayah Eropa Kontinental yang dipelopori diantaranya oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl. Ciri khas konsep Negara Hukum Rechtsstaat adalah;3 1. Pengakuan hak-hak asasi manusia (grondrechten); 2. Adanya pemisahan kekuasaan (Scheiding van machten); 3. Pemerintahan yang berdasarkan atas undang-undang (wetmatigheid van bestuur); dan 4. Peradilan administrasi (administratieve rechtspraak).

2

. Disadur dari Soetomo, Ilmu Negara, Surabaya, usaha nasional, 1993, hlm. 20. 3 . Padmo Wahyono, 1989, “Pembangunan Hukum di Indonesia”, Ind-Hill Co, Jakarta, hal.30.

5

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

• Konsep Negara Hukum The Rule of law: berkembang diwilayah anglo saxon maupun anglo-amerika dan dipelopori oleh A.V. Dicey. Konsep The Rule of Law memiliki ciri sebagai berikut4: 1). Supremasi Hukum (Supremacy of Law); 2). Persamaan di hadapan hukum (Equality before the Law) 3). Asas Legalitas (Due Proses Law) • Menurut Sri Soemantri,5 Ada empat unsur yang harus dipenuhi dalam konsep Negara Hukum yaitu: 1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan; 2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara); 3. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara; 4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan. • Menurut Jimly Asshiddiqie, ada dua belas prinsip Negara Hukum:6 1. Supermasi hukum (supermacy of law), 2. Persamaan dalam hukum (equality before the law), 3. Asas legalitas (due process of law), 4. Pembatasan kekuasaan, 5. Organ-organ eksekutif independen, 4

. Jimly Asshiddiqie, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme. op.cit, hal.152. 5 . Sri Soemantri, 1992, “Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia”, Alumni, Bandung, hal. 29-30. 6

. Jimly Asshiddiqie, 2006, “Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia”, op.cit. hal. 154 -162.

6

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

6. 7. 8. 9. 10. 11.

Peradilan bebas dan tidak memihak, Peradilan tata usaha negara, Peradilan tata negara (constitusional court), Peradilan hak asasi manusia, Bersifat demokratis (democratische rechtsstaat), Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan negara (welfarestaat), dan 12. Transparansi dan kontrol sosial. • Menurut Bagir Manan:7 1. Pengakuan, penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia yang berakar dalam penghormatan atas martabat manusia (Human Dignify). 2. Asas kepastian hukum. Negara hukum bertujuan untuk menjamin bahwa kepastian hukum terwujud dalam masyarakat. 3. Asas Similia Similibus (asas persamaan). Dalam negara hukum, pemerintah tidak boleh mengistimewakan orang tertentu (harus non-diskriminatif). 4. Asas demokrasi. Asas demokrasi memberikan suatu cara atau metode pengambilan keputusan. Asas ini menuntut bahwa setiap orang harus mempunyai kesempatan yang sama untuk mempengaruhi tindakan pemerintahan.

7

. Disadur dari tulisan B Arief Sidharta, “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, lentera, Edisi 3 Tahun II, November 2004, hal.124125.

7

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

5. Pemerintah dan pejabat pemerintah mengemban fungsi pelayanan masyarakat. Landasan konsep Negara Hukum Indonesia Pasal 1 ayat (3) Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Konstitusi Indonesia): “ Negara Indonesia adalah negara hukum” Pasal 28 I ayat (5) Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ( menjelaskan tentang perwujudan Konsep Negara Hukum Demokratis Indonesia): “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundangundangan”. Konsep Negara Hukum Indonesia ini merupakan perpaduan kedua konsep antara rechtstaat dan the rule of law. Sebelumnya, konsep negara Hukum di Indonesia lebih mengarah kepada Rechtstaat, selanjutnya dengan pemberian nama Negara Hukum Pancasila, yaitu tepatnya pada masa orde baru dan sebelum amandemen UUD NRI Tahun 1945, dan menjadi Negara hukum demokratis pada masa reformasi hingga saat ini. Dengan demikian, maka jelaslah sudah bahwa Konstitusi memiliki kedudukan yang amat penting bagi sebuah negara. Konstitusi pula yang akan menjadi dasar aturan bagaimana negara akan dijalankan. Melalui Konstitusi, dapat dilihat gambaran mengenai sistem hukum apa yang dianut, perkembangan demokrasi, sampai kpada konsep penyelenggaraan pemerintahan maupun pembagian kekuasaan dalam negara. 8

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

BAB II Konstitusi dan Konstitusionalisme Sejarah dan pemikiran awal tentang Konstitusi Pemikiran dan ide awal tentang Konstitusi pada dasarnya telah muncul sejak masa lampau, yaitu masa dimana mulai berkembangnya poses unifikasi masyarakat menjadi sebuah komunitas rakyat dalam satu bentuk pengakuan kedaulatan di bawah satu system pemerintahan. Pada masa ini, secara sederhana konsitusi melalui pengertian maknanya muncul dalam satu lingkup sistem pemerintahan yang sangat sederhana pula. Adalah Yunani kuno, sebuah wilayah yang melahirkan ide gagasan tentang konstitusi yang didahului dengan munculnya bentuk Negara kota (polis) yang kemudian memunculkan pula ide-ide tentang konsep dan sistematika pemerintahan kala itu. Ide-ide yang berkaitan dengan politik, pemerintahan, negara dan sosial. Gagasan mengenai konstitusi secara maknawi diperkenalkan oleh Plato melalui tulisan-tulisan dalam “Nomoi”, demikian halnya dengan Socrates yang menelurkan konsep kekuasaan (power), rakyat dan pemerintahan melalui karyanya “Panatheenaicus” maupun “aeropagiticus”. Pada masa klasik ini, perkembangan konstitusionalisme masih pada taraf yang amat primitif dan diberlakukan pada negara kota (polis) yunani kuno. Selaras dengan itu, Aristoteles yang mewarisi pemikiran Plato dan hidup dalam rentang waktu selanjutnya, melalui “Politics” membahas lebih lengkap mengenai Konstitusi termasuk di dalamnya konsep kedaulatan (sovereignity), kekuasaan Negara 9

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

(power), dan pemerintahan. Meskipun kondisi Negara pada waktu itu masih berbentuk polis (Negara kota) kecil, akan tetapi pemikiran filsuf yunani saat itu telah sampai pada cita Negara dan pemerintahan yang diidealkan. Secara tidak langsung, makna tentang Konstitusi secara sedikit demi sedikit telah muncul dan berkembang dalam rangkaian pemikiran yunani kuno. Selanjutnya, gagasan tentang Konstitusi mulai berkembang pesat pada masa Romawi dimana gagasan tersebut telah sampai pada tahap pengertiannya sebagai “superiority law” atau hukum tertinggi. Pada tahapan masa ini, Konstitusi dimaknai sebagai suatu aturan hukum yang terpisah dari Negara dan kedudukannya pun jauh lebih tinggi. Senada dengan itu, Cicero mengartikan suatu Negara sebagai a bond of law (vinculum yuris)8. Dengan demikian, maka Konstitusi pun mulai dipahami sebagai aturan tertinggi yang menentukan bagaimana bangunan kenegaraan harus dikembangkan sesuai dengan prinsip the higher law9. Hal ini lantas berimplikasi pada diperkenalkannya hierarki peraturan (hukum) di bawah konstitusi dan penyelenggaraan pemerintahan dengan berpegang pada konstitusionalisme. Baik itu pemikiran konstitusi pada masa Yunani maupun Romawi, keduanya sama-sama membuktikan keniscayaan akan dibutuhkannya Konstitusi dalam lingkup kehidupan dan susunan sebuah Negara. Sejalan dengan itu, Konstitusi pada masa modern mengalami perkembangan yang luar biasa signifikan seiring dengan peradaban bernegara. Konstitusi yang pada awal kemunculannya masih berupa gagasan ide, secara pasti mulai menemukan bentuk tubuhnya. Bisa dikatakan, berkembangnya sebuah Kostitusi dibangun dari dalam ide Konstitusi itu sendiri, atau dengan kata lain, Konstitusi itu sendirilah yang menjamin

8

. Jimly Asshiddiqie, op.cit, hal.13 . Ibid, hal. 14

9

10

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

bagaimana dirinya akan dijalankan dalam kehidupan bernegara (Konstitusionalisme). Negara dalam berbagai cara kelahirannya membutuhkan sebuah Konstitusi untuk menjamin keberadaan dan eksistensi dirinya. Dengan demikian maka Konstitusi antara satu Negara dengan Negara lain tentu saja berbeda dalam hal spirit of nationnya. Hal demikian terjadi karena perbedaan sosio-kultural, pergerakan politik, maupun perbedaan dalam hal latar belakang proses kelahiran dan terbentuknya sebuah Negara. Kondisi sosio kultural yang ada pada abad pertengahan di Eropa kontinental menjadikan konstitusi sebagai sebuah legalitas formal atas absolutisme raja dimana ia sendiri menjadikan Konstitusi sebagai alat kekuasaan dan hukum. Pada masa ini pula Negara dan konstitusi berada pada satu garis lurus kekuasaan absolutisme raja. Konstitusi berfungsi sebagai sarana kekuasaan dan kedaulatan Raja, sedangkan kekuasaan dan wewenang Negara (kerajaan) terwakilkan melalui ucapan maupun titah Raja;“L’etat ces moi”. Runtuhnya romantisme dan absolutisme raja yang terjadi sedemikian rupa diiringi dengan munculnya Revolusi dan industrialisasi di segala bidang, pada tahap selanjutnya telah melahirkan gagasan pembentukan sekaligus lahirnya Konstitusi yang di dalamnya memperhatikan hak-hak individu melalui proses suksesi kala itu. Konstitusi dan konstitusionalisme pada masa ini sangat kental dengan konsep individualisme dan liberalisme sebagai efek dari berakhinya periodisasi absolutisme raja. Konstitusionalisme pada masa ini lebih mengarah pada perwujudan konsep Laizes Faire, sedangkan posisi Negara hanya sebagai penjamin atau “penjaga malam” saja. Dikatakan demikian karena Negara bersifat pasif terhadap kesejahteeraan rakyat dan menyerahkan urusan perekonomian sesuai kehendak para pemilik modal maupun mekanisme pasar. Dalam sejarah 11

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

perkembangannya kemudian, teknologi dan industri yang demikian pesat serta individualisme yang dominan menyebabkan tidak meratanya strata sosial dan kesejahteraan masyarakat. Dalam kondisi seperti itulah Negara dirasa perlu untuk mengambil langkah guna mewujudkan Negara yang dapat mewujudkan pemerataan kesejahteraan rakyatnya. Peranan Negara secara perlahan tidak lagi berada pada posisi naachtwactherstaat, melainkan menuju pada konsep welfaarstaat Konstitusi mengalami perluasan substansi justru pada masa era Negara hukum modern. Konsep Negara hukum yang muncul dalam dua konsep rechtsstaat dan rule of law merupakan era dimana konstitusionalisme benar-benar terimplementasikan secara proposional dalam penyelenggaraan Negara. Baik antara rechhtstaat yang muncul di eropa kontinental maupun rule of law yang berkembang di wilayah anglo saxon dan anglo-amerika, keduanya senada menempatkan Konstitusi sebagai tolak utama penyelenggaraan Negara dan pemerintahan. Keduanya bahkan menempatkan HAM didalamnya. Rechtstaat dan rule of law merupakan metamorfosa dari konsep Negara hukum liberalisindividualis yang tidak lagi mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini pula lah yang kemudian secara filosofis memunculkan ide akan Negara kesejahteraan (welfare state) yang sampai saat ini menjadi amat mutakhir dalam proses pengembanan pemerintahan Negara. Konsep ini mendasari pembentukan Konstitusi-Konstitusi Negara yang muncul dikemudian hari.

12

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Teori dan Pengertian Konstitusi a) Definisi Konstitusi - Konstitusi berasal dari bahasa Perancis (constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi ialah pembentukan suatu Negara atau menyusun dan menyatakan suatu Negara.10 - Konstitusi dalam bahasa latin terdiri dari dua kata : 1. Cume : (sebuah makna preposisi) yang berarti bersama dengan 2. Stature : berasal dari kata “sta” yang berarti berdiri, berarti pula “membuat sesuatu berdiri / mendirikan dan menetapkan”. Secara keseluruhan berarti menetapkan sesuatu secara bersama-sama (constituo).11 - Menurut Jimliy Asshiddiqie : Konstitusi adalah hukum dasar yang dapat berupa tertulis (berupa UUD) dan tidak tertulis.12 - Menurut Brian Thompson : “a constitution is a document which containts the rules for the aperation of an organization”13, artinya : konstitusi adalah sekumpulan dokumen yang berisi aturan, tata cara dijalankannya sebuah organisasi. - Menurut C. F. Strong : “A collection of principles according to which the powers of government, the rights of government, and the relations 10

. Wirjono Projodikoro, 1989, “Asas-Asas Hukum Tata Negara di Indonesia”, Dian Rakyat, Jakarta, hal. 10 11 .Koerniatmanto Soetoprawiro, “Konstitusi: pengertian dan Perkembangannya”,pro justicia, no. 2 tahun V Mei 1987, hl. 3, dalam Dahlan Thaib, Ni’matul Huda dan Jazim Hamidi, op cit, hal.3 12 . Jimly Asshiddiqie, op.cit, Hal.35 13 . Brian Thompson, “Textbook sirconstitusional and administrative law”, dalam Jimliy Asshiddiqie, Ibid, hal.10

13

handbook

-

-

-

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

between the two are adjusted14, artinya : “Sekumpulan aturan yang berkaitan dengan kekuasaan pemerintah, hakhak yang diperintah, dan hubungan yang mengatur diantara keduanya.” Menurut Lord Bryce : “A Frame of political society, organized through and by law, that is to say, on in which law has established permanent institutions with recognized functions and definite rights.15 Artinya : Sebuah bingkai kehidupan politik, yang terorganisir oleh aturan hukum, yang dalam hal ini berisikan pula ketentuan lembaga-lembaga negara yang didalamnya diatur pula ketentuan-ketentuan tentang HAM. Menurut John Alder: Constitutions means a foundations or basisi, and the constitutions of a country embodies the basic framework of rules about the government of that country and about its fundamental values.16 Menurut Henc van Masrseveen: menyatakan bahwa konstitusi adalah: (1) a national document, di mana konstitusi ini berfungsi untuk menunjukkan kepada dunia (having constitution to show to the outside world) dan menegaskan identitas negara (to emphasize the state’s own identity); (2) a politic-legal document, di mana konstitusi berfungsi sebagai dokumen

14

. C.F. Strong, 1960, “Modern Politicl Constitution, An Introduction To The Comparative Study of their History and Existing Form”, Sidgwick & Jackson Limited, London, hal 9, Dalam Budiman Sinaga, 2005, “Hukum Konstitus”, Kusuma Kalam Semesta, Yogyakarta, hal 15 – 16. 15 . Ibid, hal. 16 16 . John Adler, 1989, “Constitutional and administrative Law”, MacMillan education ltd, London, hal.43.

14

handbook

-

-

-

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

politik dan hukum suatu negara (as a means of forming the state’s own political and legal system; dan (3) a bitrh of certificate, di mana konstitusi berfungsi sebagai piagam kelahiran suatu bangsa (as a sign of adulthood and independence).17 Menurut Ferejohn; konstitusionalisme adalah suatu proses interpretasi yang dalam satu masyarakat yang para anggotanya berpartisipasi dalam kekuasaan politik dan secara bersama berusaha untuk menetapkan apa yang konstitusi diijinkan atau dipersyaratkan dalam kaitannya dengan persoalanpersolan spesifik.18 Menurut A. Mukthie Fadjar : “Pengertian konstitusi yang ada di Indonesia lazim disebut Undang-Undang dasar adalah sekumpulan kaidah yang mengatur organisasi negara, yang merupakan pedoman pokok berfungsinya suatu negara.”19 Menurut Usep Ranawijaya20 Ciri Umum UUD sebagai Konstitusi adalah : 1. Konstitusi sebagai kumpulan kaidah hukum diberi kedudukan yang lebih tinggi daripada kaidah hukum lainnya, karena dimaksudkan sebagai alat untuk membatasi wewenang penguasaan sehingga tidak

17

. Dikutip dalam Sri Soemantri, 2002, Undang Undang Dasar 1945, Kedudukan dan Aspek Perubahannya”, Unpad Press, Bandung, hal.17. 18 . John ferejohn, Jack N Rakove and Jonathan Rhile, 2001, “Constitutional Culture and Democration Rule”, Cambridge University Press, United Kingdom, hal. 8-9. 19 . A. Mukthie Fadjar, 2004, “Tipe Negara Hukum”, Banyumedia Publishing, Malang, hal. 80 20 . Usep Ranawijaya, 1983, “Hukum Tata Negara Indonesia, Dasardasarnya”, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 184.

15

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

boleh dengan mudah diubah oleh golongan yang kebetulan berkuasa. 2. Konstitusi memuat prinsip-prinsip dan ketentuanketentuan yang dianggap paling pokok mengenai kehidupan bersama. 3. Konstitusi lahir dari moment sejarah terpenting bagi masyarakat yang bersangkutan. b). Konstitusi Tertulis dan Tidak Tertulis Konstitusi memuat suatu aturan pokok (fundamental) mengenai sendi-sendi pertama untuk menegakkan suatu bangunan besar yang disebut negara. Sendi-sendi itu tentunya harus kokoh, kuat dan tidak mudah runtuh agar bangunan negara tetap tegak berdiri. Ada dua macam konstitusi di dunia, yaitu “Konstitusi Tertulis” (Written Constitution) dan “Konstitusi Tidak Tertulis” (Unwritten Constitution), ini diartikan seperti halnya “Hukum Tertulis” (geschreven Recht) yang trmuat dalam undang-undang dan “Hukum Tidak Tertulis” (ongeschreven recht) yang berdasar adat kebiasaan. Dalam karangan “Constitution of Nations”, Amos J. Peaslee menyatakan hampir semua negara di dunia mempunyai konstitusi tertulis, kecuali Inggris dan Kanada. 21 Di beberapa negara ada dokumen tetapi tidak disebut konstitusi walaupun sebenarnya materi muatannya tidak berbeda dengan apa yang di negara lain disebut konstitusi. Ivor Jenning dalam buku (The Law and The Constitution) menyatakan di negara-negara dengan konstitusi tertulis ada dokumen tertentu yang menentukan:

21

. Disadur dari mirza nasution, FH. UNSU, 2004

16

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

a. Adanya wewenang dan tata cara bekerja lembaga kenegaraan b. Aadanya ketentuan berbagai hak asasi dari warga negara yang diakui dan dilindungi Di inggris baik lembaga-lembaga negara termaksud dalam huruf a maupun pada huruf b yang dilindungi, tetapi tidak termuat dalam suatu dokumen tertentu. Dokumendokumen tertulis hanya memuat beberapa lembaga-lembaga negara dan beberapa hak asasi yang dilindungi, satu dokumen dengan yang lain tidak sama. Karenanya dilakukan pilihanpilihan di antara dokumen itu untuk dimuat dalam konstitusi. Pilihan di Inggris tidak ada. Penulis Inggris yang akhirnya memilih lembaga-lembaga mana dan hak asasi mana oleh mereka yang dianggap “constitutional.” 22 Ada konstitusi yang materi muatannya sangat panjang dan sangat pendek. Konstitusi yang terpanjang adalah India dengan 394 pasal. Kemudian Amerika Latin seperti uruguay 332 pasal, Nicaragua 328 pasal, Cuba 286 pasal, Panama 271 pasal, Peru 236 pasal, Brazil dan Columbia 218 pasal, selanjutnya di Asia, Burma 234 pasal, di Eropa, belanda 210 pasal.23 Konstitusi terpendek adalah Spanyol dengan 36 pasal, Laos 44 pasal, Guatemala 45 pasal, Nepal 46 pasal, Ethiopia 55 pasal, Ceylon 91 pasal dan Finlandia 95 pasal. Di indonesia sendiri, lebih menganut Konstitusi tertulis yang terwujud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Disamping itu ada juga Konstitusi tidak tertulis dalam bentuk Konvensi yang diakui keberadaannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

22 23

. ibid . ibid.

17

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

c). Isi Konstitusi - Menurut Steenbeek Secara umum, UUD sebagai Konstitusi tertulis berisi tiga hal pokok : Pertama, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negara ; Kedua, ditetapkannya susunan ketatanegaraan yang bersifat fundamental ; Ketiga, adanya pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.24 - Menurut Bagir Manan dan Kuntana Magnar, UUD berisikan : a. Dasar-dasar mengenai jaminan terhadap hak-hak dan kewajiban penduduk atau warga negara b. Dasar-dasar susunan atau organisasi negara. c. Dasar-dasar pembagian dan pembatasan kekuasaan lembaga-lembaga negara ; dan d. Hal-hal yang menyangkut identitas negara, seperti bendera dan bahasa nasional.25 - Menurut I Gede Pantja Astawa Konstitusi juga dapat berisi pengaturan tentang sistem ketatanegaraan. Sistem ketatanegaraan dapat diartikan sebagai susunan ketatanegaraan, yaitu segala sesuatu yang berkenaan dengan organisasi negara, baik yang menyangkut tentang susunan dan kedudukan lembaga

24

. Dikutip dari Sri Soemantri, dalam Budiman Sinaga, “Hukum Konstitusi”, op.cit, hal. 20 25 . Dikutip dari Pendapat Bagir Manan & Kuntana Magnar, dalam Budiman Sinaga, Ibid, hal. 21

18

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

lembaga negara, tugas dan wewenangnya maupun mengenai hubungannya satu sama lain.26. d). Konstitusionalisme Menurut C.J Friedrich: “an institusionalised system of effective, regularized restraints upon governmental action”: suatu sistem yang terlembagakan, menyangkut pembatasan yang efektif dan teratur terhadap tindakan-tindakan pemerintahan.27 Menurut Ferejohn; konstitusionalisme adalah suatu proses interpretasi yang dalam satu masyarakat yang para anggotanya berpartisipasi dalam kekuasaan politik dan secara bersama berusaha untuk menetapkan apa yang konstitusi diijinkan atau dipersyaratkan dalam kaitannya dengan persoalanpersolan spesifik.28 Menurut Walton H. Hamilton: “Constitusionalism is the name given to the trust which men repose in the power of word engrossed on parchment to keep a government in order”29: Menurut Robert N. Wilkin: “Konstitusionalisme merupakan teori atau prinsip pemerintahan konstitusional, atau menganut teori tersebut (konstitusi)”30

26

. I Gede Pantja Astawa, 2000, “Hak Angket Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut UUD 1945”, Disertasi, Pasca Sarjana UNPAD, Bandung , hal. 3, dalam Budiman Sinaga, Ibid 27 . Friedrich, C.J, 1963, “Man and his government”, McGraw-Hill, New York, hlm.217, dalam Jimliy Asshiddiqie, opcit, hal. 21. 28 . John Ferejohn, Jack N Rakove and Jonathan Rile, op.cit, hal. 8-9. 29 . Jimly Assiddiqie, op.cit, hal. 23

19

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

“ Konstitusionalisme adalah suatu pemerintahan oleh hukum (government by law), bukan pemerintahan oleh orang-orang (government by men).31

30

. G.A. Forrest, 1967, “Constitution and Constitutional law”, dalam Encyclopedia Britanica, Vol VI, hal. 398, dalam Irfan Idris, 2009, “Islam dan Konstitusionalisme”,antonylib, Jogjakarta, hal.5. 31 . ibid

20

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

BAB III KONSTITUSI dan HAM Pelembagaan HAM dalam Sejarah dan Konstitusi Pada prinsipnya, pengembanan HAM sebagai unsur intrinsik yang ada pada diri manusia telah ada sejak lama. Kesadaran akan adanya hak asasi manusia, harga diri, harkat dan martabat kemanusiaan sesungguhnya telah diawali sejak manusia ada di muka bumi. Hal itu disebabkan oleh hak – hak kemanusiaan secara kodrati sudah ada sejak manusia itu dilahirkan dan merupakan hak yang melekat dan tidak terpisahkan pada diri manusia.Hak Asasi sendiri dalam perwujudannya yang paling sederhana muncul dengan sendirinya bersamaan dengan kelahiran umat manusia. Ia muncul hampir bersamaan dengan “kewajiban” yang membebani manusia sebagai individu maupun kelompok. Manakala manusia mulai berinteraksi dengan manusia lainnya, maka hak asasi akan berbenturan satu sama lain, dengan demikian muncullah kesepakatan awal untuk saling tidak menghilangkan hak asasi diantara mereka. Kesepakatan ini kemudian menjadi hukum yang mengatur kehidupan antar umat manusia, termasuk itu di dalamnya berisi kewajiban untuk saling menjaga hak, kepentingan dan kebutuhan manusia. Dengan demikian, Kemunculan Hak Asasi ini sama lampaunya dengan konsepsi kemunculan hukum dalam sejarah umat manusia. Dalam pada itu, Pengakuan atas Hak asasi manusia pada masa lampau masih bersandar pada bingkai sosio-kultural yng saat itu berlaku sebagai kebiasaan 21

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

(costumary law). Sedangkan pengakuan Hak Asasi dalam bentuk dokumen tertulis baru muncul pada waktu yang lama sesudahnya saat manusia mulai mengenal aksara. Upaya yang dilakukan dalam rangka pengakuan dan penegakan HAM telah ada sejak dahulu kala. Pada masa kenabian, Hak Asasi Manusia tergambar melalui pelawanan Musa terhadap Fir’aun yang memerintahkan pembantaian terhadap bayi perempuan. Musa juga menyelamatkan kaum yahudi dari kekejaman Fir’aun serta menyatukan ajaran dan komunitas umat yahudi dalam satu ajaran Taurat, Ibrahim yang mencoba meninggikan harkat kemanusiaan hingga akhirnya selamat meskipun dibakar, serta Muhammad yang melalui ajaran Islamnya menyerukan persatuan, peninggian derajat umat manusia serta beberapa langkah penghapusan perbudakan yang menjadi kebudayaan arab. Ide dan upaya penegakan Hak Asasi Manusia juga terjadi pada masa kekaisaran Hammurabi (babylonia) salah satunya dengan membuat kodifikasi Hammurabi dalam sebuah prasasti yang didalamya menyatakan kewajiban dan hak rakyat dalam hal kepatuhan dan penyembahan terhadap dewa matahari. Di Yunani, Socrates yang terkenal dalam pemikirannya juga termasuk ke dalam individu pelaku sejarah yang telah meletakkan dasar perlindungan dan jaminan diakuinya HAM dengan konsepsinya yang menganjurkan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan pemerintah, yang kemudian diteruskan oleh ahli filsafat kenegaraan Aristoteles dengan ajaran demokrasinya.32 Selain itu, di Athena, Solon sudah mencanangkan perlindungan atas HAM sebagai ekspresi penegakan keadilan dengan 32

. Bambang Soegiono, 2010, artikel- diunduh pada 24 september 2010 melalui www.google.com, hal.1

22

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

pembentukan lembaga peradilan (heliaea) dan majelis rakyat (eccelesia). Dilanjutkan oleh Pericles yang menghimbau rakyat untuk menggunakan hak-haknya sebagai warga Negara untuk berperan serta dalam majelis rakyat tersebut.33 Pergolakan mengenai perkembangan HAM dan pelembagaannya telah ada dan berkembang dalam beberapa periode sejarah yang diakui keabsahannya secara modern, diantaranya : - “Perjanjian Agung” Magna Charta di Inggris pada 15 Juni 121534, yang kemudian diakui sebagai konstitusi pemberontakan baron terhadap raja John yang berisi : hendaknya raja tak melakukan pelanggaran terhadap hak milik dan kebebasan pribadi seorang pun dari rakyat. Magna Charta sendiri merupakan sebuah dokumen pembatasan kekuasaan Raja. Secara explisit, Magna Charta memberikan kebebasan kepada rakyat, para Baron dan pihak Gereja termasuk didalamnya memberikan jaminan hukum. Perjanjian ini menandakan bahwa Raja harus tunduk pada Hukum/Undang-Undang. Magna Charta memuat 2 (dua) prinsip utama berkaitan dengan pengakuan dan penegakan HAM, yaitu: (i) pembatasan terhadap kekuasaan raja, dan (ii) pengakuan bahwa HAM lebih penting daripada kedaulatan raja, sehingga pertimbangan untuk mengurangi HAM haruslah melalui prosedur hukum yang ada lebih dahulu, prinsip tersebut dalam perjalanan sejarah hukum modern dikenal dengan prinsip legalitas.35 33

. Ibid, . Majda el Muhtaj, 2005, “Hak – Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia”, Kencana, Jakarta, hal. 52. 35 . Bambang Soegiono, 2010,op.cit.

34

23

handbook

-

-

-

-

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Petition of Rights, muncul selanjutnya di Inggris pada Tahun 1628 dan secara garis besar berisi penegasan jaminan Hak Asasi dalam hal persetujuan pungutan pajak dan Hak warga Negara untuk medapatkan jaminan persetujuan dari intervensi militer. Hobeas Corpus Act, dibuat pada tahun 1628, merupakan pakta yang dibuat guna melindungi Hak Asasi Manusia dalam kaitannya dengan penangkapan dan penahanan. Bill of Right pada 1689, muncul setelah adanya revolusi tak berdarah (Glorious Revolution) sebagai perlawanan terhadap Raja James pada tahun 1668. Bill of Rights berisi pembatasan kekuasaan raja dan dihilangkannya hak raja untuk melaksanakan kekuasaan terhadap siapapun atau untuk memenjarakan, menyiksa dan mengirimkan tentara kepada siapapun tanpa dasar hukum.36 Disamping itu merupakan sebuah dokumen yang di dalamnya menegaskan HAM secara spesifik seperti kebebasan memilih parlemen, kebebasan beragama dan kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat. Deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat yang sekaligus memunculkan Declaration of Independence, pada 6 Juli 177637 memuat penegasan bahwa setiap orang dilahirkan dalam persamaan dan kebebasan dengan hak untuk hidup dan mengejar kebahagiaan serta mengganti pemerintah yang tidak mengindahkan ketentuan - ketentuan dasar tersebut. Selanjutnya;

36

. Ibid, hal. 52 . Marsiyem, “Sari Kuliah Hukum dan HAM”, disampaikan pada saat mata kuliah hukum dan HAM fakultas Hukum Unissula, Selasa, 12 September 2006.

37

24

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

The Four Freedom, dicetuskan oleh Franklin D. roosevelt pada Kongres Amerika Serikat tanggal 6 Januari 1941 dan berisi tentang Kebebasan untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat (freedom of speech), Kebebasan untuk memeluk agama (freedom of religion), Kebebasan dari ketakutan, (freedom from fear) dan Kebebasan dari kemelaratan (freedom from want). - Declaration de Droits de’I home et du citoyen Prancis pada 14Agustus 1789, diantaranya berisi Hak asasi pemilikan harta, kekerasan, persamaan, keamanan, perlawanan terhadap penindasan.38 - Declaration of Human Rights 1948.39 Sebelum munculnya Declaration of Human Rights, terlebih dahulu PBB membentuk dan mengesahkan Piagam dan Statuta Mahkamah Internasional menyangkut perlindungan HAM pada tanggal 26 Juni 1945 di San Fransisco. Selanjutnya, setelah Perang Dunia II tahun 1946 Badan PBB (UN) yang disebut ECOSOC merancang piagam HAM yang hasilnya disahkan dalam Sidang Umum PBB (General Assembly United Nations) pada tanggal 10 Desember 1948 di Paris, dikenal dengan sebutan Piagam Sedunia tentang Hak-hak Manusia (Universal Declaration of Human Rights). Sebagai sebuah "pernyataan" atas piagam tersebut baru mengikat secara moral dan bukan yuridis, sebab mengikat secara yuridis harus dituangkan dalam bentuk Perjanjian Universal. Pada tanggal 16 Desember 1966 lahir Covenant dari Sidang Umum PBB yang mengikat secara yuridis bagi semua negara yang -

38 39

. Http://www.wikisource.org . Http:www.Google.com – Declaration of Human Rights.doc

25

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

meratifikasi perjanjian (covenant) tersebut. Covenant tersebut memuat: (i) perjanjian tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (covenant on economic, social dan cultural rights), dan (ii) perjanjian tentang Hak-hak Sipil dan Politik (covenant on civil and political rights).40

Konstitusionalisme dan HAM dalam Islam Hak Asasi Manusia secara lebih awal telah diakui kedudukannya dalam Islam melalui Al-Quran, sebuah Kitab suci keempat yang diturunkan dalam sejarah peradaban manusia setelah Taurat, Zabur dan Injil. Kitab yang diturunkan melalui kerasulan Muhammad ini tidak hanya membahas tentang ibadah, tetapi juga manusia dan kemanusiaan. Perintah wahyu pertama di gua hira yang diturunkan melalui Jibril kepada Muhammad berupa iqra'_sebuah surat yang didalamnya berisikan perintah untuk membaca_ pada dasarnya menggambarkan kewajiban dan pengakuan untuk mempertinggi harkat, derajat dan martabat manusia sebagai khalifah dalam memahami alam semesta melalui ilmu pengetahuan. Secara maknawi, perintah mempertinggi derajat kemanusiaan ini pada dasarnya merupakan pengakuan atas hak asasi manusia sebagai makhluk yang paling sempurna. Al Quran tidak pernah menyebutkan secara eksplisit baik itu definisi mengenai HAM ataupun mengenai Konstitusi. Tidak adanya definisi khusus mengenai bentuk sebuah Konstitusi menyebabkan polarisasi dan fleksibilitas dalam penafsiran melalui Al-Quran. Akan tetapi disebutkannya perintah untuk berlaku adil bagi pemimipin serta dianjurkannya penghormatan terhadap Hak-Hak kemanusiaan 40

. Disadur dari Bambang Sugiono, op.cit, hal. 2-3.

26

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

dalam sebuah kepemimpinan justru memberikan nilai lebih dan batasan positif dalam penafsirannya. Hal ini kemudian menjadi dasar pemikiran pembentukan berbagai bentuk negara dan pemerintahan oleh masyarakat Islam. Lebih lanjut disebutkan: “Bahwasanya Allah menyuruh bersifat adil dan berbuat baik” (Q.S, 16: 90)..41 “Apabila kamu ingin hendak memberi hukum diantara manusia maka haruslah kamu memberi hukum dengan adil” (Q.S, 4: 5).42 “Dan ajaklah mereka itu bermusyawarah tentang perkara mereka” (Q.S, 3: 159).43 “dan adapun urusan mereka rakyat hendaklah dimusyawaratkan antara mereka sendiri” (Q.S, 26: 38).44 Selanjutnya Al-Quran dalam beberapa ayatnya memerintahkan untuk menegakkan HAM sekaligus mengecam keras berbagai upaya kedzaliman. Secara lebih tegas kewajiban dan pengakuan atas HAM disebutkan diantaranya sebagai beriut; “Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh” (Q.S, 81; 8– 9)45 “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama / itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin” (Q.S, 107: 1 – 3)46 “Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu ?

41

. Al-Quran, surat An-Nahl, ayat 90. . ibid, An-Nisaa, ayat 5. 43 . ibid, Ali Imron, ayat 159. 44 . ibid, As Syura, ayat 38. 45 . ibid, surah At-Takwir, ayat 8-9. 46 . ibid, Al-Maun, ayat 1-3. 42

27

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

(Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan” (Q.S, 90: 12 13)47 “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” “Tidak boleh ada paksaan tentang agama;karena sudahlah jelas perbedaan antara benar dan sesat” (Q.S, 2: 256).48 “dan sungguh telah kami muliakan keturunan adam dan kami angkut mereka di daratan dan lautan dan Kami beri, mereka dari rezeki yang baik-baik, dan kami lebihkan mereka dari kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna”. (Q.S, 17: 70).49 Redaksional ayat yang terakhir ini merupakan salah satu dasar menyangkut pandangan Islam tentang Hak-Hak Asasi Manusia. Manusia siapa pun harus dihormati hak-haknya tanpa perbedaan. Semua memiliki hak hidup, hak berbicara, dan mengeluarkan pendapat, hak beragama, hak memperoleh pekerjaan dan berserikat, dan lain-lain yang dicakup oleh Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia. Akan tetapi, hak-hak tersebut tidak boleh bertentangan dengan hak-hak Allah dan harus selalu berada dalam koridor tuntutan agama-Nya. Dalam konteks ayat ini manusia dianugerahi Allah keistimewaan yang tidak dianugerahkan-Nya kepada yang lain dan itu pulalah yang menjadikan manusia mulia serta harus dihormati dalam kedudukannya sebagai manusia. Anugerah tersebut berlaku untuk semua manusia dan lahir bersama kelahirannya sebagai manusia, tanpa membedakan seseorang dengan yang lain. Prinsip inilah yang menjadikan Nabi Muhammad saw.berdiri menghormati jenazah seorang Yahudi, yang ketika itu sahabatsahabat Rasul saw. menanyakan sikap beliau itu, Nabi saw. menjawab: “Bukankah yang mati itu juga manusia?” Begitu tinggi dan mulia kedudukan manusia maka Allah 47

. ibid, Al-Balad, ayat 12-13 . ibid, Al Baqarah, ayat 256. 49 . ibid, Al-Israa, ayat 70. 48

28

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

mendeklarasikan ketundukan alam semesta terhadap manusia.50 Dalam pada itu, Qur'an yang bersifat universal memiliki ciri yang berbeda mengenai HAM, yaitu lebih bersifat teokratis tetapi memiliki sisi humanistis. Hal ini tentu amat berbeda dengan HAM versi pemikiran barat yang cenderung berawal dari konsepsi pemikiran rasional. Meskipun begitu, konsep HAM dalam Quran memiliki banyak ruang untuk dirasionalkan dan dimanifestasikan. Penegakan HAM pada awal mula keislaman ini bertumpu pada entitas kewahyuan dan spiritual dengan pemberian sanksi moral spiritual oleh Muhammad sebagai Rasul pada saat itu. Islam melalui Al-Quran mengajarkan keseimbangan antara hak dan kewajiban asasi manusia. Lebih dari itu, Islam memasukkan unsur pengakuan HAM, harkat dan martabat kemanusiaan sebagai bagian dari aspek “muamalah” yang kesemuanya itu bisa dimasukkan dalam kategori ibadah. Melalui Muhammad, pola penegakan dan pengakuan mengenai Hak Asasi Manusia sedikit demi sedikit mampu terwujud dalam konstelasi masyarakat Makkah yang masih jahiliyyah. Dalam beberapa periode sejarah kejahiliyyahan masyarakat Makkah, Islam muncul sebagai agama yang universal dan toleran. Perbudakan yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat tidak secara langsung dihapuskan, tetapi perlahan-lahan melalui pendekatan yang dilakukan oleh Muhammad. Islam sangat memahami betapa perbudakan merupakan salah satu perlakuan yang memasung kebebasan HAM. Oleh karena itu, perbudakan dihapus melalui pemasukan ajaran Islam kedalam masyarakat itu sendiri. Hal ini dilakukan 50

. Quraish Shihab, dalam Shaharudin daming, Eskafasi mutiara HAM dalam Islam dibalik hegemoni barat, makalah. Hal. 4-5.

29

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

melalui perintah untuk memerdekakakan budak sebagai pengganti atas dilanggarnya aspek ibadah maupun diabaikannya ketentuan syariat.51 Dengan demikian, diakuinya perbudakan dalam Islam bukan serta merta untuk dilestarikan melainkan dihapuskan. Adapun dalam rangkaian pemikiran rasionalis barat yang beranggapan Islam bukanlah agama yang mengakui HAM dikarenakan adanya pencantuman penulisan dan pengakuan “budak” di dalam Al-Quran, nyatanya adalah sebuah hal yang keliru. Perbudakan yang tersirat dalam ayat Al-Quran bukanlah sebagai unsur pengabadian (underogable) atas perbudakan itu sendiri, melainkan sebuah petunjuk awal untuk upaya mewujudkan kesetaraan umat manusia termasuk diantaranya menghilangkan perbudakan. Nilai universalisme Islam yang mengakui kesetaraan manusia telah menjadi acuan bagi upaya penghapusan perbudakan masyarakat kuno melalui aspek keta'atan kepada Tuhan (ketakwaan), spiritualitas dan aspek ibadah muamalah. Sejarah pengakuan Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh Muhammad mengalami masa keemasan pada saat dilakukannya hijrah dari Makkah menuju Madinah. Pada saat itulah dimulai penggabungan masyarakat dan kemajuan heterogenitas masyarakat. Islam terwujud sebagai agama yang mampu mempersatukan perbedaan kepentingan dan kesukuan masyarakat madinah. Diangkatnya nabi sebagai kepala negara 51

. Penghapusan budak dilakukan melalui aspek ibadah dan penghukuman atas dilanggarnya sebuah ketentuan agama. Pada saat itu, hal terberat yang dilakukan masyarakat adalah memerdekakan budak. Tidak hanya itu, kemerdekaan secara langsung diberikan oleh Muhammad kepada budak kaum kafir yang secara terang-terangan menyatakan diri memeluk Islam. Hal ini pun menjadi tradisi pada masanya,, sehingga memerdekakan budak turut pula dilakukan oleh para sahabat nabi.dan para penerus ajaran beliau.

30

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

dan pemerintahan menyebakan pemahaman akan Islam menjadi demikian kompleks dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Peran Muhammad dengan misi Islamnya mengalami lompatan besar dalam hal pengakuan HAM dan kehidupan bernegara pada saat disetujuinya Piagam Madinah sebagai sebuah aturan konstitutif atas kehidupan politik masyarakat Madinah.

Konstitusi Madinah Terbentuknya Piagam Madinah sebagai dasar penyelenggaraan kehidupan dan pemerintahan di Madinah semakin membuktikan bahwa Sejarah Konstitusionalisme dan HAM dalam Islam pada dasarnya telah dimulai sejak masa kerasulan Muhammad SAW sebagai kepala Negara saat itu (622 M). Dalam posisinya sebagai pemimpin spiritual maupun pemerintahan di Madinah, beliau telah menerapkan konsep persamaan hak dan kebebasan beragama serta prinsip-prinsip pemerintahan yang demokratis meskipun konsep pemerintahan yang ia pimpin secara mayoritas bersifat teokratis. Piagam kesepakatan yang kemudian juga dikenal dengan sebutan shahifah52 tersebut menjadi dasar kehidupan politis dan sosial kemasyarakatan dalam sebuah Negara Madinah yang Majemuk. Hal ini menjadi demikian fenomenal dalam catatan sejarah mengingat kota Madinah adalah satu wilayah yang menjadi tempat hijrah Rasul yang bersamaan 52

. Shahifah adalah nama yang disebut dalam naskah asli Piagam Madinah. Menurut Ahmad Sukardja, kata shahifat lebih tepat dikarenakan menunjuk pada makna piagam atau charter, karena lebih menunjuk kepada surat resmi yang bersifat pernyataan tentang suatu hal, dalam Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945, hal.2.

31

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

dengan itu pula menerima kehadirannya sebagai pemimpin umat sekaligus pembawa agama baru (islam). Sebagai kepala Negara, Rasul memandang perlunya unsur persatuan, kesatuan dan musyawarah dalam konsep bernegara. Konsep Rahmatan lil’alamin, Ukhuwwah ummah dan Mashlahah ‘aammah (kepentingan dan kesejahteraan umum) benar-benar termanifestasikan dalam pola kepemimpinannya. Konstitusi Madinah yang kemudian diakui keberadaannya sebagai sebuah Konstitusi pertama dan otentik pada dasarnya memiliki beberapa kharakteristik Konstitusi Modern. Berdasarkan masa sejarah pada saat Konstitusi tersebut dibentuk, secara jelas terlihat pengaruh yang amat besar yang diberikan oleh Islam melalui Al-Quran dan As-sunnah yang dideskripsikan melalui perilaku dan seni kepemipinan Muhammad. Keberhasilan pembentukan dan penerapan Piagam Madinah tidak lepas dari pola keteladanan Muhammad (uswah) dalam mendeskripsikan Islam sebagai rahmat bagi semesta (rahmatan lil ‘alamiin) termasuk di dalamnya toleransi bagi umat beragama lain. Disamping itu, adanya citacita besar pembentukan Negara yang damai, sejahtera dan madani menjadi salah satu latar belakang disusunnya Piagam ini. Integralisasi aturan kehidupan yang dilakukan oleh Muhammad bukan hanya ditujukan bagi masyarakat Muslim, tetapi lebih dari itu Ia menjamin kebutuhan dan Hak-hak warga Negara yang dipimpinnya dalam kemajemukan budaya dan agama. Secara tekstual, Piagam Madinah ini secara lengkap diriwayatkan oleh Ibn Ishaq (w. 151 H) dan Ibn Hisyam (w. 213

32

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

H),53 Meskipun kharakteristik yang terkandung didalamnya masih kuno, tetapi kebenaran dan keotentikan piagam tersebut dapat dipertanggungjawabkan mengingat gaya bahasa dan penyusunan redaksi yang digunakan dalam Piagam Madinah ini setaraf dan sejajar dengan gaya bahasa yang dipergunakan pada masanya. Demikian pula kandungan dan semangat piagam tersebut sesuai dengan kondisi sosiologis dan historis zaman itu54. Keotentikan Piagam Madinah ini diakui pula oleh William Montgomery Watt, yang menyatakan bahwa dokumen piagam tersebut, yang secara umum diakui keotentikannya, tidak mungkin dipalsukan dan ditulis pada masa Umayyah dan Abbassiyah yang dalam kandungannya memasukkan orang non muslim ke dalam kesatuan ummah.55 Sebagai sebuah Konstitusi, Piagam Madinah memuat secara explisit megenai persatuan ummat dan dasar penerapan pembentukan kenegaraan. Kharakteristik tersebut diantaranya;56 1. Masyarakat pendukung Piagam Madinah merupakan masyarakat yang majemuk terdiri dari beberapa ikatan kesukuan dan agama. Unsur kesukuan memegang peranan penting bagi pembentukan awal sebuah kelompok dalam komunitas, dengan demikian maka menjadi awal cikal bakal pembentukan negara. Pada saat itu, Muhammad menghilangkan primordialisme kesukuan dan menggantinya dengan nasionalisme (dilihat dari unsur kegotongroyongan serta musyawarah 53

. Disadur dari artikel dalam www.google.com//sejarah Hak Asasi Manusia/Piagam Madinah, diunduh pada 24 September 2010, hal.2-3 54 . ibid,. 55 . ibid,. 56 . Sebagaimana diantaranya dirangkum dan disadur dari Irfan Idris, op.cit, hal 33-35.

33

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

dalam kabilah yang dimaksudkan untuk membangun satu persatuan Negara Madinah dengan tanpa menghilangkan ciri-khas masing-masing kabilah, tetapi menggabungkannya dalam sebuah aturan Piagam yang kemudian disepakati bersama menjadi sebuah dokumen pengikat kehidupan majemuk secara politik). 2. Persamaan kedudukan dalam masyarakat yang ditandai dengan kewajiban untuk saling menghormati, bekerjasama serta memberikan perlakuan yang adil dan wajar sesuai dengan kemanusiaan. Termasuk pula di dalamnya perlindungan politik dan hukum terhadap kaum minoritas. 3. Pengakuan terhadap agama dan kebebasan menjalankan ibadah bagi Muslim dan Yahudi serta bagi umat lainnya, persamaan kedudukan di hadapan hukum bagi seluruh warga negara, pengakuan atas perjanjian perdata warga negara, Hak dan kewajiban pembelaan negara terkait penyerangan dan pertahanan, serta pengakuan atas perdamaian. 4. Adanya sentralisasi dan desentralisasi pemerintahan yang ditandai dengan Yatsrib sebagai pusat pemerintahan serta pembagian wewenang terhadap penyelesaian permasalahan dalam suku/kabilah yang diserahkan urusannya kepada masing-masing suku tersebut, dan menyerahkan urusan kepada Muhammad (pemimpin pusat) apabila menyangkut permasalahan antar suku di Madinah. Pada masa ini telah diperkenalkan asas pembagian kekuasaan (distribution of power) secara dini dan jauh lebih awal sebelum para pemikir dan negarawan barat mengkonsepsikannya ke dalam negara modern.

34

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Konstitusionalisme yang dianut oleh Negara Madinah, telah merangkum semua sifat yang dibutuhkan oleh organisasi kenegaraan, baik sifat proklamasi (proclamation of independence), deklarasi (declaration of birth of state), perjanjian atau pernyataan-pernyataan yang lain (seperti halnya konsep declaration of Human Rights maupun le droit de l'home et du citoyen) termuat pula konsepnya dalam Piagam ini. Oleh karena kualitasnya yang serba mencakup ini, maka Piagam Madinah diakui sebagai “Konstitusi tertulis yang pertama di dunia”.57 Bahkan, Konstitusi Madinah diakui pula sebagai Konstitusi termodern pada zamannya.58 Modernitas ini dapat dilihat melalui adanya komitmen yang tinggi, partisipasi masyarakat dalam pembuatan piagam dan dalam pemerintahan, serta keterbukaan posisi kepemimpinan berdasarkan tingkat kecakapan.59 Sayangnya, Demokratisasi dan egalitarianisme dalam bernegara seringkali tidak menjadikan contoh bagi para penguasa Islam selanjutnya. Pada masa sesudah Muhammad wafat, politik pemerintahan dan kenegaraan yang ada semakin mengarah kepada monarkhi absolut bahkan cenderung ekstrimisme golongan. Hal ini terbukti melalui beberapa gejolak politik pada masa pemerintahan Khulafa'urrasyidin, Dinasti Ummayah hingga masa keemasan dinasti Abbasiyyah. Pada rentetan masa tersebut, ada garis absolutisme dalam sistem pemerintahan. Khalifah dalam sebuah khilafah seringkali bertindak absolut layaknya seorang raja. Disamping itu, perpecahan ummat dan golongan serta 57

. Djazim Hamidi, Malik, 2009, “Hukum Perbandingan Konstitusi”, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, hal.45. 58 . Robert N. Bellah, 1976, Beyond Belief, Harper & Row, New York, hal. 150-151. 59 . ibid,.

35

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

banyaknya pemberontakan politik dalam pemerintahan seolah menciderai tinta emas penorehan kejayaan peradaban Islam. Meskipun demikian, harus diakui pula pada masa inilah peradaban, ijtihad di bidang agama dan ilmu pengetahuan serta penegakan kesetaraan HAM bagi warga negara mengalami kemajuan pesat. a). Unsur HAM dalam Piagam Madinah 1. Hak atas persamaan kedudukan warga negara, terdapat dalam Preambule: Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ini adalah piagam dari Muhammad, Rasulullah SAW, di kalangan mukminin dan muslimin (yang berasal) dari Quraisy dan Yatsrib (Madinah), dan yang mengikuti mereka, menggabungkan diri dan berjuang bersama mereka. 2. Hak atas pengakuan sebagai komunitas kabilah (warga negara) termaktub dalam: Pasal 1: Sesungguhnya mereka satu umat, lain dari (komunitas) manusia lain; Pasal 12: Seorang mukmin tidak dibolehkan membuat persekutuan dengan sekutu mukmin lainnya, tanpa persetujuan dari padanya. 3. Pengakuan atas hak untuk hidup, melangsungkan kehidupan,dan hak atas jaminan kehidupan; Pasal 14: Seorang mukmin tidak boleh membunuh orang beriman lainnya lantaran (membunuh) orang kafir. Tidak boleh pula orang mukmin membantu orang kafir untuk (membunuh) orang beriman;

36

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Pasal 15: Jaminan Allah satu. Jaminan (perlindungan) diberikan oleh mereka yang dekat. Sesungguhnya mukminin itu saling membantu, tidak tergantung pada golongan lain. 4. Hak mendapatkan kedudukan yang sama dan perlakuan yang adil di depan hukum. Pasal 16: Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang (mukminin) tidak terzalimi dan ditentang (olehnya); Pasal 21: Barang siapa yang membunuh orang beriman dan cukup bukti atas perbuatannya, harus dihukum bunuh, kecuali wali si terbunuh rela (menerima diat). Segenap orang beriman harus bersatu dalam menghukumnya; Pasal 23: Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah ‘azza wa jalla dan (keputusan) Muhammad SAW; Pasal 26: Kaum Yahudi Banu Najjar diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf. ; Pasal 27: Kaum Yahudi Banu Hars diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf, ; Pasal 28: Kaum Yahudi Banu Sa’idah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf ; Pasal 29: Kaum Yahudi Banu Jusyam diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf ; Pasal 30: Kaum Yahudi Banu al-’Aws diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf ; Pasal 31: Kaum Yahudi Banu Sa’labah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf, kecuali orang zalim atau khianat. Hukumannya hanya menimpa diri dan keluarganya;

37

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Pasal 32: Suku Jafnah dari Sa’labah (diperlakukan) sama seperti mereka (Banu Sa’labah) ; Pasal 33: Banu Syutaybah (diperlakukan) sama seperti Yahudi Banu ‘Awf. Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu lain dari kejahatan (khianat) ; Pasal 34: Sekutu-sekutu Sa’labah (diperlakukan) sama seperti mereka (Banu Sa’labah) ; Pasal 35: Kerabat Yahudi (di luar kota Madinah) sama seperti mereka (Yahudi); Pasal 40: Orang yang mendapat jaminan (diperlakukan) seperti diri penjamin, sepanjang tidak bertindak merugikan dan tidak khianat; Pasal 46: Kaum yahudi al-’Aws, sekutu dan diri mereka memiliki hak dan kewajiban seperti kelompok lain pendukung Piagam ini, dengan perlakuan yang baik dan penuh dari semua pendukung Piagam ini. Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu berbeda dari kejahatan (pengkhianatan). Setiap orang bertanggungjawab atas perbuatannya. Sesungguhnya Allah paling membenarkan dan memandang baik isi Piagam ini; Pasal 47: Sesungguhnya Piagam ini tidak membela orang zalim dan khianat. Orang yang keluar (bepergian) aman, dan orang berada di Madinah aman, kecuali orang yang zalim dan khianat. Allah adalah penjamin orang yang berbuat baik dan takwa. Dan Muhammad Rasulullah SAW. 5. Hak atas kebebasan beragama dan mendapatkan perlakuan yang sama dalam masing-masing agama, tersirat dalam; Pasal 25: Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan 38

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

bagi kaum muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarganya ; 6. Pengakuan atas hak dan kewajiban bela negara; Pasal 18: Setiap pasukan yang berperang bersama kita harus bahu-membahu satu sama lain; Pasal 19: Orang-orang mukmin itu membalas pembunuh mukmin lainnya dalam peperangan di jalan Allah. Orangorang beriman dan bertakwa berada pada petunjuk yang terbaik dan lurus.; Pasal 24: Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan ; Pasal 36: Tidak seorang pun dibenarkan (untuk perang), kecuali seizin Muhammad SAW. Ia tidak boleh dihalangi (menuntut pembalasan) luka (yang dibuat orang lain). Siapa berbuat jahat (membunuh), maka balasan kejahatan itu akan menimpa diri dan keluarganya, kecuali ia teraniaya. Sesungguhnya Allah sangat membenarkan (ketentuan) ini; Pasal 37: Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya, dan bagi kaum muslimin ada kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan muslimin) bantu-membantu dalam menghadapi musuh Piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasihat. Memenuhi janji lawan dari khianat. Seseorang tidak menanggung hukuman akibat (kesalahan) sekutunya. Pembelaan diberikan kepada pihak yang teraniaya; Pasal 38: Kamu Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan; Pasal 44: Mereka (pendukung Piagam) bahu-membahu dalam menghadapi penyerang kota Yatsrib; 39

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Pasal 45: Apabila mereka (pendukung piagam) diajak berdamai dan mereka (pihak lawan) memenuhi perdamaian serta melaksanakan perdamaian itu, maka perdamaian itu harus dipatuhi. Jika mereka diajak berdamai seperti itu, kaum mukminin wajib memenuhi ajakan dan melaksanakan perdamaian itu, kecuali terhadap orang yang menyerang agama. Setiap orang wajib melaksanakan (kewajiban) masing-masing sesuai tugasnya. 7. Hak atas kemanusiaan dan jaminan perlakuan yang adil dan wajar bagi masyarakat dan tawanan perang; Pasal 2: Kaum Muhajirin (pendatang) dari Quraisy sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka dan mereka membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin; Pasal 3: Banu ‘Awf, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin; Pasal 4: Banu Sa’idah, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin, Pasal 5: Banu al-Hars, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin;

40

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Pasal 6: Banu Jusyam, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin; Pasal 7: Banu al-Najjar, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin; Pasal 8: Banu ‘Amr Ibn ‘Awf, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin; Pasal 9: Banu al-Nabit, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin; Pasal 10: Banu al-’Aws, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin; Pasal 11: Sesungguhnya mukminin tidak boleh membiarkan orang yang berat menanggung utang di antara mereka, tetapi membantunya dengan baik dalam pembayaran tebusan atau diat. 8. Hak atas perdamaian dan kewajiban penegakan perdamaian termaktub dalam beberapa makna Pasal;

41

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Pasal 13: Orang-orang mukmin yang takwa harus menentang orang yang di antara mereka mencari atau menuntut sesuatu secara zalim, jahat, melakukan permusuhan atau kerusakan di kalangan mukminin. Kekuatan mereka bersatu dalam menentangnya, sekalipun ia anak dari salah seorang di antara mereka; Pasal 17: Perdamaian mukminin adalah satu. Seorang mukmin tidak boleh membuat perdamaian tanpa ikut serta mukmin lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Allah Allah, kecuali atas dasar kesamaan dan keadilan di antara mereka; Pasal 20: Orang musyrik (Yatsrib) dilarang melindungi harta dan jiwa orang (musyrik) Quraisy, dan tidak boleh bercampur tangan melawan orang beriman; Pasal 22: Tidak dibenarkan bagi orang mukmin yang mengakui piagam ini, percaya pada Allah dan Hari Akhir, untuk membantu pembunuh dan memberi tempat kediaman kepadanya. Siapa yang memberi bantuan atau menyediakan tempat tinggal bagi pelanggar itu, akan mendapat kutukan dan kemurkaan Allah di hari kiamat, dan tidak diterima daripadanya penyesalan dan tebusan. Pada masa selanjutnya, setelah terjadi penghianatan yahudi dan terjadinya perang khandaq, maka dibuatlah pembedaan dalam hal hak dan kewajiban warga negara. Pembedaan yang dimaksud adalah mengenai pemisahan antara kaum muslim dan dzimmi (orang non muslim yang terbagi menjadi kafir dzimmi dan musta’min). Kafir Dzimmi adalah warga nonmuslim yang menetap selamanya, serta dihormati tidak boleh diganggu jiwanya, kehormatannya, dan hartanya, sedang musta’min adalah orang asing yang menetap untuk sementara, dan juga harus dihormati

42

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

jiwanya, kehormatannya dan hartanya.60 Kafir dzimmi memiliki hak-hak kemanusiaan, hak-hak sipil, dan hak-hak politik. Sedangkan musta’min tidak memiliki hak-hak politik, karena mereka adalah orang asing.61 Adapun pembedaan kewajibannya berupa pembayaran zakat atas pertanian, peternakan dan harta bagi umat muslim, serta kewajiban pembayaran pajak yang diberlakukan kepada para kaum dzimmi. Elaborasi HAM dalam masa kepemimpinan Rasul tidak hanya pada aspek konstitutif Piagam Madinah saja, melainkan pada seluruh aspek kehidupan sosiologis yang akan dibangun saat itu. Penegasan atas kesetaraan dan kemanusiaan sebagai wujud utama pengakuan HAM dalam Islam menjadi paripurna pada saat dibacakannya Khutbah Wada' atau “Khutbah perpisahan” yang disampaikan oleh nabi pada saat ibadah hajinya yang terakhir: “Jiwamu, harta bendamu, dan kehormatanmu adalah sesuci hari ini. Bertakwalah kepada Alloh dalam hal istriistrimu dan perlakuan yang baik kepada mereka, karena mereka adalah pasangan-pasanganmu dan penolongpenolongmu yang setia. Tak ada seorang pun yang lebih tinggi derajatnya kecuali berdasarkan atas ketakwaan dan kesalehannya. Semua manusia adalah anak keturunan Adam itu diciptakan dari tanah liat. Keunggulan itu tidak berarti orang Arab berada di atas orang non Arab dan begitu juga bukan non Arab di atas orang Arab. Keunggulan juga tidak dipunyai oleh orang kulit putih lebih dari orang kulit hitam dan begitu juga bukan orang kulit hitam di atas orang kulit putih. Keunggulan ini berdasarkan atas ketakwaannya.” 60 61

. A. Djazuli, 2007, Fiqh Siyasah, Kencana, Jakarta, hal. 63 . Ibid,. hal.64.

43

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Melalui khutbah ini dapat ditafsirkan lebih lanjut akan kajian HAM di dalamnya berupa: 1. Penolakan diskriminasi ras dan warna kulit dalam masyarakat Islam dan pola kenegaraan Islam. Penolakan ini dilakukan dalam rangka menghapus politik perbedaan ras dalam komunitas sosial yang menjadi kebiasaan kuno masyarakat sebagai bawaan dari budaya jahiliyyah saat itu. 2. Pengakuan Hak asasi dan perlindungan terhadap kaum perempuan baik dalam konteks sosial masyarakat maupun dalam lingkup keluarga. 3. Penolakan atas eksklusivisme dan primordialisme golongan. 4. Pengakuan atas kesetaraan bangsa antara bangsa arab maupun diluar bangsa arab. 5. Dasar kesetaraan HAM melalui konsep tauhidi, ketakwaan (teokratis). Sebagai penjelasan, penegakan HAM dan konsep pemerintahan dalam negara Madinah merupakan sebuah fase perbaikan, perintisan atau pembangunan kembali bangunan kemasyarakatan, sosial dan kepemimpinan yang telah rusak diakibatkan oleh kemerosotan moral budaya jahiliyyah. Dengan demikian maka tidak mungkin sebuah bangunan masyarakat madani akan muncul dalam kondisi sosial budaya yang rusak, dan oleh sebab itu, satu-satunya sistem yang menjadi pilihan guna merubah tatanan tersebut adalah dengan 44

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

perbaikan moral dan akhlak ummat melalui ajaran Islam (teokratis) pada saat itu. 6. Diakuinya hak-hak asasi pribadi dan hak asasi di bidang ekonomi. Pengakuan atas hak ini jauh mendahului pengakuan yang dilakukan dalam masa peradaban barat (hak asasi generasi pertama diakui melalui pasal 2-21 Universal Declaration of Human Rights, dan hak asasi generasi kedua yaitu hak atas ekonomi, jaminan sosial dan budaya melalui pengesahan dua kovenan Internasional yaitu : International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) / Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan International Covenant on Economic, Social, and Culture Rights (ICESCR)/ Konvonen Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya pada tahun 1966). b). HAM pada masa peradaban Islam pasca Rasulullah Pasca meninggalnya Rasulullah, maka kepemimpinan kenegaraan dan pemerintahan diserahkan kepada para sahabat (khulafaurrasyidin). Pada masa ini pula umat Islam mencapai kestabilan politik, ekonomi dan efektifitas dalam hal penegakan dan pengakuan HAM terutama bagi rakyat. Hal ini terbukti dengan beberapa kebijakan pemerintahan dari para sahabat yang memberikan kesetaraan dalam penegakan hukum syariah yang merata dan tidak pandang bulu baik itu bagi warga negara maupun pejabat pemerintah. Di samping itu, pola kepemimpinan ini melihat substansi HAM sebagai suatu isu sentral dalam kaitannya dengan pendirian Negara serta aspek-aspek kesejahteraan rakyat. 45

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Lebih dari itu, Abu Bakar sebagai pemimpin pertama setelah wafatnya Rasul kemudian memperkuat dasar-dasar kenegaraan umat Islam serta penegasan hak dan kewajiban warga negara baik itu dalam konteks politik, dakwah dan penegakan ajaran Islam. Hal ini kemudian dilanjutkan oleh Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah selanjutnya. Adapun penggantian kebijakan pemerintahan pada masing-masing kekhalifahan ini bertujuan untuk mereformasi kembali kebijakan-kebijakan terdahulu yang tidak sesuai dengan ide Islam meskipun itu mengalami dialektika maupun pro dan kontra yang terjadi di bidang politik saat itu. Setelah periode Khulafaurrasyidin, kepemimpinan umat Islam terwujud dalam beberapa dinasti. Pada masa inilah pola kepemimpinan yang tadinya mengarah pada konsep demokratis berubah ke arah absolutisme. Pada masa ini pula perkembangan akan HAM, agama dan negara mulai dipisahkan secara jelas. Penegakan HAM tidak semuanya diimbangi dengan kebijakan politik yang strategis. Ini dibuktikan dengan terjadinya konflik dan pemberontakan baik itu dalam masa Dinasti umayyah, Abbasiyyah maupun pada Dinasti Utsmaniyyah. Dalam pada itu, hak dan kewajiban di bidang politik dan pemerintahan mulai tersentralisasi kepada golongan tertentu. c). HAM pada masa peradaban Islam modern Penegakan HAM melalui konsepsi Islam pada masa modern telah mengalami beberapa perkembangan dalam pelembagaannya. Dalam rangka menandai permulaan abad ke-15 Era Islam, maka pada bulan September 1981 di Paris (Perancis) diproklamasikan Deklarasi HAM Islam Sedunia. 46

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Deklarasi ini berdasarkan KItab Suci Al-Qur’an dan AS-Sunnah yang dirancang oleh para sarjana muslim, ahli hukum dan para perwakilan pergerakan Islam di seluruh dunia. Deklarasi HAM Islam Sedunia itu terdiri dari Pembukaan dan 22 macam hak-hak manusia yang harus ditegakkan, yakni mencakup : (1) Hak hidup (2) Hak kemerdekaan (3) Hak persamaan dan larangan terhadap adanya diskriminasi yang tidak terizinkan. (4) Hak mendapat keadilan. (5) Hak mendapatkan proses hukum yang adil. (6) Hak mendapatkan perlindungan dari penyalahgunaan kekuasaan. (7) Hak mendapatkanperlindungan dari penyiksaan. (8) Hak mendapatkan perlindungan atau kehormatan dan nama baik. (9) Hak memperoleh suaka (Asylum) (10) Hak-hak minoritas. (11) Hak dan kewajiban untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan dan manajemen urusan-urusan publik. (12) Hak kebebasan percaya, berpikir dan berbicara. (13) Hak kebebasan beragama. (14) Hak berserikat bebas. (15) Hak ekonomi dan hak berkembang dirinya. (16) Hak mendapatkan perlindungan atas harta benda. (17) Hak status dan martabat pekerja dan buruh. (18) Hak membentuk sebuah keluarga dan masalahmasalahnya. (19) Hak-hak wanita yang sudah menikah. (20) Hak mendapatkan pendidikan. (21) Hak menikmati keleluasaan pribadi (privacy). 47

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

(22) Hak mendapatkan kebebasan berpindah dan bertempat tinggal. Menurut Syekh Syaukat Hussain, Hak Asasi Manusia (HAM) yang dijamin oleh agama Islam dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yaitu :62 (1) HAM dasar yang telah diletakkan oleh Islam bagi seseorang sebagai manusia, dan (2) HAM yang dianugerahkan oleh Islam bagi kelompok rakyat yang berbeda dalam situasi tertentu, status, posisi dan lain-lainnya yang mereka miliki. Hak-hak asasi manusia khusus bagi nonmuslim, kaum wanita, buruh/pekerja, anak-anak dan lainnya merupakan beberapa contoh dari kategori hak asasi manusia-hak asasi manusia ini.63 Sedangkan hak-hak dasar yang terdapat dalam HAM menurut Islam ialah : (1) Hak Hidup ; (2) Hak-hak Milik ; (3) Hak Perlindungan Kehormatan ; (4) Hak Keamanan dan Kesucian Kehidupan Pribadi ; (5) Hak Keamanan dan Kemerdekaan Pribadi ; (6) Hak Perlindungan dari Hukuman Penjara yang Sewenang-wenang ; (7) Hak untuk Meprotes Kelaliman (Tirani) ; (8) Hak Kebebasan Ekspresi ; (9) Hak Kebebasan Hati Nurani dan Keyakinan ; (10) Hak Kebebasan Berserikat ; (11) Hak Kebebasan Berpindah ; (12) Hak Persamaan Hak dalam Hukum ; (13) Hak Mendapatkan Keadilan ; (14) Hak Mendapatkan Kebutuhan Dasar Hidup Manusia ; dan (15) Hak Mendapatkan Pendidikan. Dalam perkembangan yang signifikan berhasil dirumuskan piagam Deklarasi Universal HAM dalam 62

. Syekh Syaukat Hussain, 1784, “Human Right in Islam”, Nursrat Ali Nasri for KItab Bavan New Delhi, dalam Arief Mangkoesapoetra, Artikel “HAM dalam perspektif Islam “www.humanrights.com, hal.3. 63 . Ibid, hal. 4.

48

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

perspektif Islam. Pertemuan The Organization of Islamic Conference (OIC) atau Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada bulan Agustus 1990 di Kairo telah berhasil melahirkan “The Cairo Declaration of Human Rights in Islam” yang banyak berbeda dengan standar HAM Internasional versi Barat. Sebelumnya, pada pertemuan UNESCO tanggal 19 September 1981. Pada momentum itu, the Islamic Council yang bermukim di London berhasil menyiapkan draf deklarasi, yakni Universal Islamic Declaration of Human Rights.64

d). Islam dan HAM dalam perkembangan kebangsaan Indonesia Masuknya Islam di bumi Nusantara telah mempengaruhi kondisi sosio kultural masyarakat. Pada saat itu, konstelasi masyarakat yang masih memegang teguh kebudayaan dan agama Hindu-Budha_sebagian masih animisme dan dinamisme_ secara sedikit demi sedikit berbaur dan berubah dengan masuknya ajaran Islam. Perubahan ini dapat dilihat melalui adanya asimilasi kultural antara kebudayaan Islam dan budaya masyarakat Nusantara, termasuk di dalamnya peninggalan Hindu-Budha yang masih lestari. Munculnya kerajaan-kerajaan Islam menandai awal mula kemajuan peradaban dan pemerintahan Islam di wilayah Nusantara. Islam masuk secara damai salah satunya melalui jalur perdagangan dan berkembang pengajarannya melalui jalan dakwah. Islam saat itu datang sebagai agama Tauhid yang 64

. Shaharudin daming, Eskafasi mutiara HAM dalam Islam dibalik hegemoni barat, makalah. op.cit, Hal. 7-8.

49

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

kemudian melakukan pembaharuan di bidang keyakinan masyarakat terkait persamaan kedudukan manusia serta dihapusnya pola feodalisme yang memisahkan derajat antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Islam bahkan menghapuskan kasta yang pada saat itu masih menjadi rujukan dalam konteks pergaulan sosial masyarakat. Melalui kekuatan sosiologis dan budaya yang telah menyatu, Islam kemudian tampil sebagai salah satu agama yang cukup dominan di wilayah Nusantara terutama dalam konsep Kemanusiaan (HAM), pendidikan, pemerintahan, keagamaan serta konsep perekonomiam perdagangan. Sebagai agama yang hidup berdampingan dengan heterogenitas keyakinan masyarakat, Islam tampil dengan sangat toleran. Budaya sebagai hasil pemikiran manusia tidak serta merta dihapuskan, tetapi secara perlahan dimasukkan nilai tauhid ke dalamnya sehingga sesuai dengan nilai dasar Islam. Lebih lanjut dapat disimpulkan bahwa Islam pada saat itu melakukan kompromi budaya dalam hal pemasukan dan penerapan ajaran-ajarannya. Konteks persatuan masyarakat yang terwujud melalui konsep Jama'ah menjadi dasar dalam kekuatan perjuangan Islam baik itu dalam rangka penegakan syari'ah maupun dalam pergerakan dan perlawanan terhadap penjajahan. Agama ini memberikan andil besar dalam memberikan kekuatan dan semangat tersendiri dalam upaya perjuangan kemerdekaan Indonesia. Islam hadir sebagai sebuah agama yang menjadi pelengkap (komplementer) dalam kehidupan sosio kultural dan politik di Indonesia. Meskipun demikian, dalam rangkaian sejarah perumusan hukum pasca diperolehnya 50

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

kemerdekaan bangsa Indonesia tidaklah serta merta menjadikan Islam sebagai acuan dan dasar dalam pembentukan negara indonesia saat itu. Sebagai salah satu komponen penting dalam struktur sosial Indonesia, ide pemikiran Islam ternyata tidak mendominasi pembentukan kenegaraan Indonesia sebagaimana terjadi dalam perdebatan penyusunan rancangan Undang-Undang Dasar yang diselenggarakan BPUPKI pada awal masa kemerdekaan Indonesia. Tidak berhasilnya ide akan negara Islam pada saat itu telah memberikan pelajaran besar bagi masyarakat Islam akan pentingnya pengakuan atas persamaan heterogenitas sosial, masyarakat dan agama dalam sebuah negara. Tidak masuknya ide Islam ini bukan pula merupakan sebuah pengingkaran atau penafian terhadap peran Islam itu sendiri. Islam dan HAM dalam Konstitusi Indonesia a. Pembahasan ide Islam dalam UUD 1945 UUD 1945 disahkan dan mulai berlaku sebagai konstitusi Indonesia melalui sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945. Sebelumnya, naskah UUD 1945 ini telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh “Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai” atau “Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia” (BPUPKI).65 Badan ini dibentuk dan dilantik oleh Pemerintah Bala Tentara Jepang pada tanggal 28 Mei 1945 dalam rangka memenuhi janji pemerintah Jepang untuk memberi kemerdekaan kepada bangsa Indonesia.66

65

. Jimliy Asshiddiqie, 2006, “Konstitusi dan Konstitusionalisme”. Op.cit, hlm 38 66 . Ibid, hlm 39

51

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Pada awal pembahasan Undang-Undang Dasar dalam rapat BPUPKI, para penyusun telah memperdebatkan bentuk negara termasuk di dalamnya perdebatan atas pemasukan unsur Islam. Dalam kesempatan itu, isu tentang Pembentukan Negara Islam menncuat melalui pandangan yang dilontarkan oleh KI Bagoes Hadikoesoemo. Dalam uraiannya, beliau menawarkan ide akan keistimewaan dan relevansi asas Islam dalam pembentukan Negara Indonesia. Ki Bagoes mengatakan relevansi empat ajaran pokok dalam Islam berupa; Ajaran iman atau kepercayaan kepada Allah SWT; Ajaran beribadah, berhikmat dan berbakti kepada Allah; Ajaran beramal salih; Ajaran berjihad di jalan Allah.67 Ia kemudian mengaitkan empat ajaran filosofis Islam tersebut ke dalam ide dasar pembentukan negara Indonesia. Selanjutnya ia mengatakan: “ Tuan -tuan dalam sidang yang terhormat! Dalam Negara kita, niscaya tuan-tuan menginginkan berdirinya suatu pemerintahan yang adil dan bijaksana, berdasasrkan budipekerti yang luhur bersendi permusyawaratan dan putusan rapat, serta luas berlebar dada tidak memaksa tentang agama. Kalau benar demikian, maka dirikanlah pemerintahan itu atas agama Islam karena ajaran Islam mengandung kesampaiannya sifat-sifat itu.”68

67

. Pandangan Ki Bagoes Hadikoesoemo, dalam sidang pertama BPUPKI tanggal 31 Mei 1945, dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik UsahaUsaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 1998, Jakarta, Sekretariat Negara Republik Indinesia, hal. 36-37. 68 . Ibid, hal. 41.

52

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Berseberangan dengan itu, Soepomo dan Hatta menolak ide pembentukan Negara berdasarkan asas Islam. Keduanya menghawatirkan adanya isu kecemburuan minoritas serta dalam kemajemukan budaya. Selain itu, adanya Fakta bahwa negara-negara penganut Islam mengalami kesulitan dalam perkembangan dan pencarian jati diri hukum serta ambiguitas pemisahan negara dan agama membuat kedua tokoh ini sepakat untuk menolak ide tersebut. Mengenai hal ini Soepomo mengatakan: “Dengan pendek kata, dalam negara-negara Islam masih ada pertentangan pendirian tentang bagaimana seharusnya bentuk hukum negara, supaya sesuai dengan aliran zaman modern, yang meminta perhatian dari negara-negara yang turut berhubungan dengan dunia internasional itu. Jadi, seandainya kita disini mendirikan negara Islam, pertentangan pendirian itu akan akan timbul juga di masyarakat kita dan barangkali Badan Penyelidik ini pun akan susah memperbincangkan soal itu. Akan tetapi, tuan-tuan yang terhormat, akan mendirikan negara Islam di Indonesia berarti, tidak akan mendirikan negara negara persatuan. Mendirikan negara Islam di Indonesia berarti mendirikan negara yang yang akan mempersatukan diri dengan gologan yang terbesar, yaitu golongan Islam. Jikalau di Indonesia didirikan negara Islam, maka tentu akan timbul soal-soal “minderheden”, soal agama yang kecilkecil, golongan agama kristen dan lain-lain. Meskipun negara Islam akan menjamin dengan sebaik-baiknya kepentingan golongan-golongan lain itu, akan tetapi golongan agama kecil itu tidak 53

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

bisa mempersatukan dirinya dengan negara. Oleh karena itu, cita-cita negara Islam itu tidak sesuai dengan cita-cita negara persatuan yang telah diidam-idamkan oleh kita semuanya dan juga yang telah dianjurkan oleh Pemerintah Balatentara. Oleh karena itu, saya menganjurkan dan saya mufakat dengan pendirian yang hendak mendirikan negara nasional yang bersatu dalam arti totaliter seperti yang saya uraikan tadi...”69 Penolakan terhadap isu negara Islam juga turut dikemukakan oleh Soekarno pada rapat lanjutan 1 Juni 1945. dalam kesempatan itu ia mengatakan: “...Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya: apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? Mendirikan Negara Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan? Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di 69

. Soepomo, dalam Risalah Sidang BPUPKI, ibid, hal. 59-60.

54

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

dalam sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat Negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan.” Lebih dari itu, Soekarno melalui pidatonya memberikan ide kebebasan terhadap penerapan pola agama tetapi di bawah satu kesatuan kebangsaan. Soekarno tidak sekalipun menolak Islam sebagai agama dalam sebuah negara, melainkan menolak ide pemasukan tunggal agama ke dalam sebuah bentuk formal negara. Meskipun demikian bukan berarti Soekarno menafikan peran Islam dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Melalui pemikirannya, ia menganjurkan untuk memperhatikan kesetaraan dalam kemajemukan dan diakuinya hak-hak agama bagi masingmasing pemeluk agama di bawah satu ide negara kebangsaan. Penolakan terhadap dimasukkannya ide-ide negara Islam ke dalam sebuah Konstitusi pada dasarnya membuktikan bahwa Islam tidak selayaknya menempatkan diri dalam posisi yang bersaing vis-a-vis dengan komponen lainnya dalam hal penerapan konsep Negara berdasarkan ideologi Islam dalam Konstitusi negara-bangsa Indonesia. Akan tetapi, Islam harus ditampilkan sebagai unsur komplementer dalam fondasi tatanan sosial, kultural, dan politik negeri ini. Upaya menjadikan Islam sebagai suatu ideologi alternatif atau pemberi warna tunggal hanya akan membawa perpecahan dalam masyarakat secara secara keseluruhan mengingat corak sosial masyarakat Indonesia yang beragam.70 70

. Disarikan dari pemikiran Abdurrahman Wahid, dalam Zubaidi, 2007, Islam dan Benturan Peradaban (Dialog Filsafat Barat dengan Islam, Dialog Peradaban,dan Dialog Agama), Ar-Ruz Media, Yogyakarta, hal.181.

55

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Unsur HAM dalam Konstitusi Indonesia 1. HAM dalam UUD 1945 Isu tentang HAM telah mengemuka sejak dalam Rapat Panitia Hukum Dasar BPUPKI pada tanggal 11 Juli 1945 di gedung Tyuuoo Sangi-in dalam rangka membahas Rancangan Undang-Undang Dasar. Pada saat itu, Soekarno selaku Ketua panitia Hukum dasar mempertanyakan keabsahan ide declaration of rights.71 Akan tetapi ide pemasukan HAM menggunakan istilah ini kurang begitu disepakati oleh Soepomo dan Soekiman, menurut pandangan mereka, declaration of rights lebih disebabkan nilai individualisme yang amat kental pada saat kemunculannya di amerika. Hal ini mengemuka mengingat individualisme tidaklah tepat apabila diterapkan pada Negara kebangsaan Indonesia. Sedangkan menurut Agus Salim, mengenai penamaan terhadap dokumen HAM nantinya tidaklah menjadi masalah, yang terpenting adalah bagaimana hak-hak perlindungan hukum dan perlindungan dalam hal untuk tidak dilakukan penghukuman sebelum adanya keputusan pengadilan yang sah. Selain itu Salim berpendapat bahwa perlunya pengakuan kebebasan dan kemerdekaan setiap orang melalui satu aturan hukum (Undang-Undang).72 Setelah disahkan serta berlakunya Undang Undang Dasar tersebut sebagai Konstitusi Indonesia, maka terdapat beberapa cakupan rumusan Hak Asasi Manusia secara lengkap yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan hasil pengamatan penulis, tidak kurang terdapat dua belas (12) prinsip Hak Asasi Manusia, yaitu : 71

. Soekarno, ibid, hal. 236. . Agus Salim, ibid, hal.237.

72

56

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

(1) Hak atas kemerdekaan dari penjajahan

(2)

(3)

(4)

(5) (6)

Hak ini termaktub dalam alinea I Pembukaan UUD 1945 ; “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”. Hak akan warga negara, yang terdapat dalam ketentuan pasal 26 UUD 1945 ayat (1) dan (2) ; “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang lain yang disahkan dengan Undang-undang sebagai warga negara” (ayat 1) dan “Syarat-syarat yang mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan Undang-undang” (ayat 2) Hak persamaan di hadapan Hukum, yang tercermin dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 ; “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Hak mendapatkan pekerjaan, sebagaimana tersirat dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 ; “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Hak mendapatkan kehidupan yang layak (Pasal 27 ayat (2) UUD 1945) Hak berserikat Hak ini termaktub dalam ketentuan Pasal 28 UUD 1945 ; “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang. 57

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

(7) Hak untuk menyatakan pendapat (Pasal 28 UUD 1945) (8) Hak beragama Hak ini tercermin dalam Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945 ; “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” (ayat 1) dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu “ (ayat 2) (9) Hak bela negara : Pasal 30 ayat (1) dan (2) UUD 1945 ; “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara” (ayat 1), dan “Syaratsyarat tentang pembelaan negara diatur dengan Undang-undang (ayat 2) (10) Hak mendapatkan pengajaran Hak ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 31 ayat (1) dan (2) UUD 1945 ; “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran” (ayat 1), dan “Pemerintah mengusahakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan Undangundang” (ayat 2)

(11) Hak akan kesejahteraan sosial.73 Tercantum dalam Pasal 33 ayat (1), (2) dan (3) UUD 1945 ; “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan” (ayat 1), “Cabangcabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” (ayat 2) dan “Bumi dan air dan kekayaan alam 73

. Dikutip dari salah satu pendapat Dahlan Thaib, sebagaimana disadur oleh Majda el-Muhtaj, dalam Majda El Muhtaj. Op cit, hal. 97.

58

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” (ayat 3). (12) Hak mendapatkan jaminan atas kehidupan dan sosial Pasal 34 UUD 1945 ; “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipeliharan oleh negara.” Secara kuantitatif, pasal-pasal yang menerangkan HAM dalam UUD 1945 berjumlah delapan buah dan satu pembahasan lagi pada alinea I Pembukaan UUD 1945. Akan tetapi, menurut pandangan Dahlan Thaib, terdapat 15 prinsip Hak Asasi Manusia,74 diantaranya adalah : 5. Hak untuk menentukan nasib sendiri (Pembukaan UUD 1945 alinea I) 6. Hak akan warga negara (Pasal 26 ayat (1) dan (2) UUD 1945) 7. Hak akan kesamaan dan persamaan di hadapan hukum (Pasal 27 ayat (1) UUD 1945) 8. Hak untuk bekerja (Pasal 27 ayat (2) UUD 1945) 9. Hak akan hidup layak (Pasal 27 ayat (2) UUD 1945) 10. Hak untuk berserikat (Pasal 28 UUD 1945) 11. Hak untuk menyatakan pendapat (Pasal 28 UUD 1945) 12. Hak untuk beragama (Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945) 74

. Dahlan Thaib, “Reformasi Hukum Tata Negara”, Mencari Model Alternatif Perubahan Konstitusi”, dalam Jurnal Hukum Ius Quia Lustum, 1998, UII Press , No. 10, Vol. 5, Yogyakarta, hal.. 12

59

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

13. Hak untuk membela negara (Pasal 30 UUD 1945) 14. Hak untuk mendapatkan pengajaran (Pasal 31 UUD 1945) 15. Hak akan kesejahteraan sosial (Pasal 33 UUD 1945) 16. Hak akan jaminan sosial (Pasal 34 UUD 1945) 17. Hak akan kebebasan dan kemandirian peradilan (Penjelasan Pasal 24 dan 25a UUD 1945) 18. Hak mempertahankan tradisi budaya (Penjelasan Pasal 32 UUD 1945) 19. Hak mempertahankan bahasa daerah (Penjelasan Pasal 36 UUD 1945) Menurut pandangannya, kajian tentang HAM tidak terbatas pada lingkup pasal maupun alinea pembukaan UUD 1945 saja, tetapi juga meluas pada penjelasan pasalpasalnya (Point 13, 14 dan 15). 2. HAM dalam UUD RIS 1949 (Konstitusi RIS 1949) Konstitusi RIS mulai berlaku sejak 14 Desember 1949. Sebelumnya, ide pembentukan Republik Indonesia Serikat bermula dari diadakannya Konferensi Meja Bundar (KMB / Round Table Conference) pada 23 Agustus – 2 Desember 1949 di Den Haag. Konferensi ini dihadiri oleh wakil-wakil dari republic Indonesia dan B. F. O (Bijeenkoomst Voor Federal Overleg) serta wakil Nederland dan Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia. Dibentuknya Konstitusi RIS ini pada dasarnya dipengaruhi politik pecah belah belanda melalui agresinya yang kedua. Dalam pada itu, secara politik pihak Belanda

60

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

melakukan penekanan guna memperkecil wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Sebagai dasar berdirinya Republik Indonesia Serikat, kemudian dirancang sebuah Undang-undang Dasar oleh Delegasi RI dengan BFO75 yang kemudian dikenal dengan nama Konstitusi Republik Indonesia Serikat.76 Dalam pada itu, konstitusi RIS memiliki Rumusan HAM yang cukup kompleks. Hal ini dibuktikan dengan pengaturan bab tersendiri dari HAM tersebut (BAB I bagian 5 Hak-hak dan kebebasan dasar manusia – didalamnya terdapat 27 Pasal). Selain itu, konstitusi RIS juga mengatur kewajiban pemerintah yang berkaitan erat dengan jaminan pengakuan atas HAM – (diatur dalam BAB I, bagian 6 Asasasas Dasar, berisikan 8 Pasal). Dengan demikian konstitusi RIS memiliki 2 sub bab yang mengatur HAM. Yang pertama mengatur HAM secara mendasar, dan yang kedua mengatur kewajiban asasi dalam rangka penegakan HAM. Bila dilihat dan dijumlahkan secara keseluruhan, maka jumlah pasal konstitusi RIS yang mengatur HAM adalah 35 pasal. Adapun prinsip-prinsip HAM dalam konstitusi RIS 1949 (UUD RIS 1949) adalah sebagai berikut : (1) Hak atas kemerdekaan dari penjajahan Termaktub dalam Mukadimah alinea I : “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.” (2) Hak warga negara Pasal 5 ayat (1) dan (2) UUD RIS 1949 75 76

. Majda el Muhtaj, op.cit. hal. 74 . Mohammad Mahfud MD, 1998, Politik Hukum Indonesia, LP3ES, Jakarta, hal.. 39

61

handbook

(3)

(4)

(5)

(6)

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

“Kewarganegaraan Republik Indonesia Serikat diatur oleh Undang-Undang Federal” (ayat 1), dan “Pewarganegaraan (naturalisasi) dilakukan oleh atau dengan kuasa Undang-Undang Federal mengatur akibat-akibat pewarganegaraan terhadap istri orang yang telah diwarganegarakan dan anak-anaknya yang belum dewasa. Hak atas pengakuan personal Termaktub dalam Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 UUD RIS 1949 “Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi terhadap Undang-Undang.” (Pasal 7 ayat 1), dan “Sekalian orang yang ada didaerah negara sama berhak menuntut perlindungan untuk diri dan harta bendanya. Hak atas kebebasan untuk bergerak Pasal 9 ayat (1), (2) UUD RIS 1949 “Setiap orang berhak dengan bebas bergerak dan tinggal dalam perbatasan negara” (ayat 1), dan “Setiap orang berhak meninggalkan negeri dan – jika ia warga negara atau penduduk – kembali kesitu” (ayat 2). Hak atas kebebasan untuk tidak diperbudak Pasal 10 UUD RIS 1949 : “Tiada seorangpun boleh diperbudak, diperhulur atau diperhamba. Perbudakan, perdagangan budak dan penghambaan dan segala perbuatan berupa apapun yang umumnya kepada itu, dilarang. Hak atas kebebasan berpikir dan beragama Pasal 18 UUD RIS 1949 : “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran dan keinsyafan batin dan agama ; hak ini meliputi pula 62

handbook

(7)

(8)

(9)

(10)

(11)

(12)

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

kebebasan bertukar agama atau keyakinan, begitu pula kebebasan menganut agamanya atau keyakinannya, baik sendiri maupun dalam lingkungannya sendiri dengan jalan mengajarkan, mengamalkan, beribadat, mentaati perintah dan aturan-aturan agama serta dengan jalan mendidik anak-anak dalam iman dan keyakinan orang tua mereka.” Hak atas kebebasan berpendapat Pasal 19 UUD RIS 1949 : “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat.” Hak atas kebebasan berkumpul Pasal 20 UUD RIS 1949 : “Hak penduduk atas kebebasan berkumpul dan berapat secara damai diakui dan sekadar perlu dijamin dalam peraturan-peraturan Undang-undang.” Hak berserikat Pasal 28 UUD RIS 1949 : “Setiap orang berhak mendirikan serikat pekerja dan masuk ke dalamnya untuk melindungi kepentingannya. Hak kebebasan dari perampasan Pasal 25 ayat (2) UUD RIS 1949 : “Seorangpun tidak boleh dirampas miliknya dengan semena-mena.” Hak persamaan dihadapan hukum Pasal 7 ayat (2) UUD RIS 1949 ; “Setiap orang berhak menuntut perlakuan dan perlindungan yang sama oleh Undang-undang.” Hak perlindungan atas penentangan dan subversife Pasal 7 ayat (3) UUD RIS 1949 ; 63

handbook

(13)

(14)

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

“Setiap orang berhak menuntut perlindungan yang sama terhadap tiap-tiap pembangkangan dan terhadap tiap-tiap penghasutan untuk melakukan pembangkangan demikian.” Hak mendapatkan bantuan hukum Pasal 7 ayat (4) UUD RIS 1949 : “Setiap orang berhak mendapatkan bantuan hukum yang sungguh dari hakim-hakim yang ditentukan untuk itu, melawan perbuatan-perbuatan yang berlawanan dengan hak-hak dasar yang diperkenankan kepadanya menurut hukum.” Hak atas pelayanan dan proses hukum yang baik Pasal 11, 12, 13 ayat (1) dan (2) UUD RIS 1949 Pasal 11 UUD RIS 1949 : “Tiada seorang pun jua akan disiksa ataupun diperlakukan atau dihukum secara ganas, tidak mengenal peri kemanusiaan atau menghina.” Pasal 12 UUD RIS 1949 “Tiada seorang jua pun boleh ditangkap atau ditahan, selainnya atas perintah untuk itu oleh kekuasaan yang sah menurut aturan-aturan Undang-Undang dalam hal-hal dan menurut cara-cara yang diterangkan dalamnya.” Pasal 13 ayat (1) UUD RIS 1949 : “Setiap orang berhak, dalam persamaan yang sepenuhnya, mendapat perlakuan jujur dalam perkaranya. Oleh hakim yang tak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dan dalam hal menetapkan apakah suatu tuntutan hukuman yang dimajukan terhadapnya beralasan atau tidak.” 64

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Pasal 13 ayat (2) UUD RIS 1949 : “Bertentangan dengan kemauannya, tiada seorang jua pun dapat dipisahkan dari pada hakim, yang diberikan kepadanya oleh aturanaturan hukum yang berlaku.” (15) Hak asas praduga tak bersalah Pasal 14 ayat (1), (2) dan (3) UUD RIS 1949 : “Setiap orang yang dituntut dan disangka melakukan suatu peristiwa pidana berhak dianggap tak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya dalam suatu sidang pengadilan, menurut aturan-aturan hukum yang berlaku, dan ia dalam sidang itu diberikan jaminan yang telah ditentukan dan yang perlu untuk pembelaan” (ayat 1), “Tiada seorang jua pun boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhkan hukuman, kecuali karena suatu aturan hukum yang sudah ada dan berlaku terhadapnya” (ayat 2), dan “Apabila ada perubahan dalam aturan hukum seperti tersebut diatas dalam ayat diatas, maka dipakailah ketentuan yang lebih baik bagi tersangka” (ayat 3). (16) Hak untuk menggugat (melakukan gugatan) Pasal 21 ayat (1) UUD RIS 1949 : “Setiap orang berhak dengan bebas memajukan pengaduan kepada penguasa, baik dengan lisan atau pun dengan tertulis.” (17) Hak untuk mendapatkan pekerjaan Pasal 27 ayat (1) dan (2) UUD RIS 1949 ; “Setiap warga negara dengan menurut syarat-syarat kesanggupan, berhak atas pekerjaan yang ada” (ayat 1), dan “Setiap orang yang melakukan pekerjaan dalam hal-hal yang sama berhak atas pengupahan 65

handbook

(18)

(19)

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

yang adil yang menjamin kehidupannya bersama dengan keluarganya, sepadan dengan martabat manusia” (ayat 2) Hak ikut serta dalam pemerintahan Pasal 22 ayat (1) dan (2) UUD RIS 1949 : “Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan peraturan wakil-wakil yang dipilih dengan bebas menurut cara yang ditentukan oleh UndangUndang” (ayat 1), dan “Setiap warga negara dapat diangkat dalam tiap-tiap jabatan pemerintahan.” (ayat 2) Hak bela negara Pasal 23 UUD RIS 1949 : “Setiap warga negara berhak dan berkewajiban turut serta dengan sungguh-sungguh dalam pertahanan kebangsaan.”

Mengenai kewajiban asasi negara, Konstitusi RIS tidak menggunakan kata negara, melainkan penguasa.77 Dan menurut penulis, ada beberapa prinsip-prinsip kewajiban asasi yang terangkum dalam beberapa pasal konstitusi RIS yaitu : (1) Kewajiban asasi atas kesejahteraan, dari jaminan sosial rakyat. Pasal 24 ayat (1), Pasal 35, Pasal 36 ayat (1) UUD RIS 1949 Pasal 24 ayat (1) UUD RIS 1949 :

77

. Pendapat ini dinukil dari pandangan Majda El-Muhtaj mengenai Rumusan kewajiban asasi negara dalam UUD RIS 1949. Secara lebih lanut, pendapat ini dapat dilihat dalam : Majda El Muhtaj, 2005, “Hak Asasi Manusia dalam konstitusi Indonesia”, Kencana, Jakarta, hal. 105.

66

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

“Penguasa tidak akan meningkatkan keuntungan atau kerugian kepada termasuknya warga negara dalam sesuatu golongan rakyat.” Pasal 35 UUD RIS 1949 : “Penguasa sesungguhnya memajukan kepastian dan jaminan sosial, teristimewa pemastian dan penjaminan syarat-syarat perbuatan dan keadaan perburukan yang baik, pencegahan dan pemberantasan pengangguran serta penyelenggaraan persediaan untuk hari tua dan pemeliharaan janda-janda dan anak-anak yatim piatu.” Pasal 36 ayat (1) UUD RIS 1949 : “Meninggikan kemakmuran rakyat adalah suatu hal yang terus menerus diselelenggarakan oleh penguasa, dengan kewajibannya senantiasa menjamin bagi setiap orang derajat hidup orang yang sesuai dengan maratabat manusia untuk dirinya serta keluarganya.” (2) Kewajiban asasi dalam hal pendidikan, pengajaran ilmu pengetahuan dan kebudayaan Pasal 38, 39 ayat (1), (2) dan (4) UUD RIS 1949 Pasal 38 UUD RIS 1949 : “Penguasa melindungi kebebasan mengusahakan kebudayaan serta kesenian dan ilmu pengetahuan. Dengan menjunjung asas ini maka penguasa memajukan sekuat tenaganya perkembangan kebangsaan dalam kebudayan serta kesenian dan ilmu pengetahuan.” 67

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Pasal 39 ayat (1) UUD RIS 1949 : “Penguasa wajib memajukan sedapatdapatnya perkembangan rakyat baik ruhani maupun jasmani, dan dalam hal ini teristimewa berusaha selekas-lekasnya menghapuskan buta huruf.” Pasal 39 ayat (2) UUD RIS 1949 : “Di mana perlu, penguasa memenuhi kebutuhan akan pengajaran umum yang diberikan atas dasar memperdalam keinsyafan kebangsaan, mempererat persatuan Indonesia, membangun dan memperdalam perikemanusiaan, kesabaran dan penghormatan yang sama terhadap keyakinan agama setiap orang dengan memberikan kesempatan dalam jam pelajaran agama sesuai dengan keinginan orang tua muridmurid.” Pasal 39 ayat (4) UUD RIS 1949 : “Terhadap pengajaran rendah, maka penguasa berusaha melaksanakan dengan lekas kewajiban belajar yang umum.” (3) Kewajiban asasi atas jaminan hak untuk hidup sehat Pasal 40 UUD RIS 1949 : “Penguasa senantiasa berusaha dengan sungguh memajukan kebersihan umum dan kesehatan rakyat.” (4) Kewajiban asasi dalam hal kebebasan beragama Pasal 41 ayat (1) UUD RIS 1949 : “Penguasa memberi perlindungan yang sama kepada segala perkumpulan dan persekutuan agama yang diakui.”

68

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

(5) Kewajiban asasi dalam hal penguasaan kebebasan beragama Pasal 41 ayat (2) UUD RIS 1949 : “Penugasan mengawasi supaya segala persekutuan dan perkumpulan agama patuh taat kepada Undangundang, termasuk aturan-aturan hukum yang tak tertulis.” Berdasarkan pada deskripsi diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya terdapat pengakuan sekaligus jaminan atas HAM yang seimbang dalam Konstitusi RIS ini. Menurut analisis Yamin, Konstitusi RIS dan Konstitusi Sementara RI 1950 adalah satu-satunya konstitusi di dunia yang berhasil mengadopsi muatan UDHR / DUHAM kedalam sebuah konstitusi,78 demikian pula pendapat yang dikemukakan oleh Todung Mulya Lubis.79 Dalam hal ini ia sejalan dengan pendapat Yamin. Senada dengan itu, Majda El-Muhtaj juga memperkuat argumen bahwa pada dasarnya ada keterkaitan yang erat 78

. Pendapat ini dikemukanan Yamin dalam bukunya : “Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia”, 1982, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 86 79 .- Todung Mulya Lubis. “In Search of Human Rights : Legal Political Dilemmas of Indonesia’s New Order. 1966-1990.” (Jakarta : GramediaPustaka Utama. 1993) hlm 64. Lihat juga Majda El-Muhtaj. Op.cit. hal.. 106. -Secara lebih lengkap. Todung Mulya Lubis berpendapat :“almost of Human Rights Provisions of UDHR were adopted, making the 1949 constitution eligible to be Regarded as part of the Human Rights success represented by the UDHR. Despite the setback to the idea of the unitary state as envisioned by the founding father in 1945, the 1949 constitutions constitutes historical evidence of a commitment to human Rights, and follows thr revival of interest in human rights concern in the west.

69

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

antara pasal-pasal HAM dalam Konstitusi RIS dengan UDHR / DUHAM PBB tahun 1948.80 Selanjutnya Majda kemudian membandingkan substansi pasal HAM dalam konstitusi RIS dengan UDHR / DUHAM seperti dikutip di bawah ini : Perbandingan pasal-pasal HAM dalam UDHR dan Konstitusi RIS 194981

80

81

No

Pasal HAM dalam UDHR/DUHAM PBB 1948

Pasal HAM dalam Konstitusi RIS 1949

1

6

7 Ayat (1)

2

7

7 Ayat (2)

3

7

7 Ayat (3)

4

8

7 Ayat (4)

5

8

8

6

13 Ayat (1)

9 Ayat (1)

7

13 Ayat (2)

9 Ayat (2)

8

4

10

9

5

11

10

9

12

.Disarikan dari pendapat Majda El-Muhtaj mengenai ketentuan HAM dalam konstitusi RIS yang sebagian besar mengadopsi dari UDHR / DUHAM, Majda El-Muhtaj. Op.cit. hal. 107 .Tabel ini diambil dari hasil perbandingan HAM dalam UDHR & Konstitusi RIS 1949 yang dilakukan oleh Majda EL-Muhtaj, Ibid, hal.. 107, table 5.4

70

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

11

10

13 Ayat (1)

12

-

13 Ayat (2)

13

11 Ayat (1)

14 Ayat (1)

14

11 Ayat (1)

14 Ayat (2)

15

11 Ayat (2)

14 Ayat (3)

16

18

18

17

19

19

18

20 Ayat (1)

20

19

-

21 Ayat (1)

20

21 Ayat (1)

22 Ayat (1)

21

21 Ayat (2)

22 Ayat (2)

22

-

23

23

17 Ayat (1)

25 Ayat (1)

24

17 Ayat (2)

25 Ayat (2)

25

23 Ayat (1)

27 Ayat (1)

26

23 Ayat (2)

27 Ayat (2)

27

23 Ayat (4)

28

71

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

3. HAM dalam UUDS 1950 UUDS 1950 secara resmi mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950 melalui ditetapkannya UU No. 7 Tahun 1950. Menurut Jimly, naskah UUDS ini merupakan naskah yang baru dalam rangka mengganti UUD RIS 1949.82 Selengkapnya ia mengatakan : “UUDS 1950 ini bersifat mengganti sehingga isinya tidak hanya mencerminkan perubahan terhadap Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949, tetapi juga menggantikan naskah Konstitusi RIS itu dengan naskah yang baru sama sekali dengan nama Undang-undang Dasar Sementara Tahun 1950.” Dan konsekuensi atas hal tersebut adalah kembalinya bentuk negara Indonesia yang semula berbentuk federal menjadi negara kesatuan Republik Indonesia. Pada mulanya, awal perubahan dari RIS menajdi NKRI ini berdasar kesepakatan berupa naskah persetujuan bersama pada tanggal 19 Mei 1950. Dan untuk mempersiapkan naskah Undang-undang Dasar yang nanti akan berlaku sebagai UUDS, maka dibentuklah satu panitia bersama. Pada tanggal 12 Agutus 1950, naskah tersebut disahkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat dan baru pada tanggal 14 Agustus 1950 naskah tersebut disahkan oleh Dewan Rakyat dan Senat Republik Indonesia Serikat.83 Dan selanjutnya, pada tanggal 17 Agustus 1945 naskah UUD ini resmi berlaku menjadi UUDS 1950. Meskipun naskah UUDS ini merupakan naskah yang sama sekali baru akan tetapi kajian HAM dalam setiap pasalnya

82

. Jimly Asshiddiqie. Op.cit. hlm. 47. . Ibid

83

72

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

sangat urgen untuk dikaji. Berikut adalah beberapa kajian atas Rumusan HAM dalam UUDS 1950 : Hak atas kemerdekaan dari penjajahan Mukadimah alinea I UUDS 1950 “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.” Hak atas personalitas Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 17 UUDS 1950 Pasal 7 ayat (1) “Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi terhadap Undang-undang.” Pasal 8 UUDS 1950 “Sekalian orang yang ada didaerah negara sama berhak menuntut perlindungan untuk diri dan harta bendanya.” Pasal 17 UUDS 1950 Kemerdekaan dan rahasia dalam perhubungan surat menyurat tidak boleh diganggu gugat, selainnya dari atas perintah hakim atau kekuasaan lain yang telah disahkan untuk itu menurut Peraturan-peraturan Undang-undang dalam hal-hal yang diterangkan dalam peraturan itu.” Hak atas warga negara Pasal 5 ayat (1) dan (2) UUDS 1950 : “Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur oleh Undang-undang” (ayat 1), dan “Pewarganegaraan (naturalisasi) dilakukan oleh atau dengan kuasa Undang-undang” (ayat 2). Hak atas kebebasan untuk bergerak Pasal 9 ayat (1) dan (2) UUDS 1950 : 73

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

“Setiap orang berhak dengan bebas bergerak dan tinggal dalam perbatasan negara” (ayat 1), dan “Setiap orang berhak meninggalkan negeri dan jika ia warga negara atau penduduk – kembali kesitu.” (ayat 2) Hak atas kebebasan dari perbudakan Pasal 10 UUDS 1950 : “Tiada seorang pun boleh diperbudak, diperulur atau diperhamba perbudakan, perdagangan budak dan perhambatan dan segala perbuatan berupa apapun yang tujuannya untuk itu.” Hak kebebasan beragama Pasal 18 dan Pasal 43 ayat (1), (2), (3), (4) UUDS 1950 Pasal 18 UUDS 1950 “Setiap orang berhak atas kebebasan agama, keinsyafan batin dan pikiran.” Pasal 43 ayat (1) UUDS 1950 : “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pasal 43 ayat (2) UUDS 1950 : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Pasal 43 ayat (3) UUDS 1950 : “Penguasa memberi perlindungan yang sama kepada segala perkumpulan dan persekutuan agama yang diakui. Pemberian sokongan berupa apapun oleh penguasa kepada penjabat-penjabat agama dan persekutuan-persekutuan atau perkumpulanperkumpulan agama dilakukan atas dasar sama hak.” Pasal 43 ayat (4) UUDS 1950 :

74

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

“Penguasa mengawasi supaya segala persekutuan dan perkumpulan agama patuh-taat kepada Undangundang termasuk aturan-aturan hukum yang tak tertulis.” Hak atas kebebasan berpendapat Pasal 19 UUDS 1950 : “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat.” Hak atas kebebasan berkumpul Pasal 20 UUDS 1950 : “Hak penduduk atas kebebasan berkumpul dan berapat diakui dan diatur dengan Undang-undang.” Hak berserikat Pasal 20 UUDS 1950 (idem), dan Pasal 29 UUDS 1950 : “Setiap orang berhak mendirikan serikat, sekerja dan masuk kedalamnya untuk memperlindungi dan memperjuangkan kepentingannya.” Hak atas kepemilikan “Pasal 8, Pasal 26 ayat (1), (2) dan (3) UUDS 1950 : Pasal 8 UUDS 1950 : “Sekalian orang yang ada didaerah negara sama berhak menuntut perlindungan untuk diri dan harta bendanya.” Pasal 26 ayat (1), (2) dan (3) UUDS 1950 : “Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama dengan orang lain” (ayat 1), “Seorang pun tidak boleh dirampas miliknya dengan semena-mena’ (ayat 2), dan “Hak milik itu adalah suatu fungsi sosial” (ayat 3) Hak untuk tidak dirampas Pasal 26 ayat (2) UUDS 1950 : 75

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

“Seorang pun tidak boleh dirampas miliknya dengan semena-mena.” Hak persamaan dihadapan hukum Pasal 7 ayat (2) UUDS 1950 : “Sekalian orang berhak menuntut perlakuan dan perlindungan yang sama oleh Undang-undang.” Hak perlindungan atas penentangan dan subversif Pasal 7 ayat (3) UUDS 1950 : “Sekalian orang berhak menuntut perlindungan yang sama terhadap tiap-tiap pembelakangan dan terhadap tiap-tiap penghasutan untuk melakukan pembelakangan demikian.” Hak mendapatkan bantuan hukum Pasal 7 ayat (4) UUDS 1950 : “Setiap orang berhak mendapat bantuan hukum yang sungguh dari hakim yang ditentukan untuk itu, melawan perbuatan-perbuatan yang berlawanan dengan hak-hak dasar yang diperkenankan kepadanya menurut hukum.” Hak atas pelayanan dan proses hukum yang baik Pasal 11 – 16 UUDS1950 Pasal 11 UUDS 1950 : “Tidak seorang juapun akan disiksa ataupun diperlakukan atau dihukum secara ganas, tidak mengenal peri kemanusiaan yang menghina.” Pasal 12 UUDS 1950 : “Tiada seorang juapun boleh ditangkap atau ditahan selain itu atas perintah untuk itu oleh kekuasaan yang sah menurut aturan-aturan Undang-undang dalam halhal dan menurut cara yang diterangkan di dalamnya.” Pasal 13 UUDS 1950 :

76

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

“Setiap orang berhak, dalam persamaan yang sepenuhnya mendapat perlakuan jujur dalam perkaranya oleh hakim yang tak memihak dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dan dalam hal menetapkan apakah suatu tuntutan hukum yang dimajukan terhadapnya beralasan atau tidak” (ayat 1), dan ”Bertentangan dengan kemauannya tiada seorang jua pun dapat dipisahkan daripada hak ini, yang diberikan kepadanya oleh aturan-aturan hukum yang berlaku”(ayat 2) Pasal 14 UUDS 1950 : “Setiap sesuatu peristiwa pidana berhak dianggap tak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya dalam suatu sidang pengadilan menurut aturan-aturan hukum yang berlaku, dan ia dalam sidang itu diberikan segala jaminan yang telah ditentukan dan yang perlu untuk pembelaan” (ayat 1), “Tiada seorang jua pun boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi hukuman, kecuali karena suatu aturan hukum yang sudah ada dan berlaku terhadapnya.” (ayat 2), dan “Apabila ada perubahan dalam aturan hukum seperti tersebut dalam ayat diatas, maka dipakailah ketentuan yang lebih baik bagi si tersangka” (ayat 3). Pasal 15 UUDS 1950 : “Tiada suatu pelanggaran atau kejahatan pun boleh diancamkan hukuman berupa rampasan semua barang kepunyaaan yang bersalah” (ayat 1), dan “Tidak suatu hukuman pun mengakibatkan kematian perdata atau kehilangan segala hak-hak kewargaan.” (ayat 2) Pasal 16 UUDS 1950 : “Tempat kediaman siapapun tidak boleh diganggugugat” (ayat 1), dan “menginjak suatu pekarangan 77

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

tempat kediaman atau memasuki suatu rumah bertentangan dengan kehendak orang yang mendiaminya, hanya dibolehkan dengan hal-hal yang ditetapkan dalam suatu aturan hukum yang berlaku baginya.” (ayat 2) Hak praduga tak bersalah Pasal 12 UUDS 1950 : “Tiada seorang jua pun boleh ditangkap atau ditahan selain atas perintah untuk itu oleh kekuasaan yang sah menurut aturan-aturan Undang-undang dalam hal-hal dan menurut cara yang diterangkan di dalamnya.” Hak untuk menggugat Pasal 22 ayat (1) dan (2) UUDS 1950 : “Sekalian orang baik sendiri-sendiri maupun bersamasama berhak dengan bebas memajukan pengadilan ke penguasa, baik dengan lisan ataupun dengan tulisan.” (ayat 1), dan “sekalian orang baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama berhak memajukan permohonan kepada penguasa.” (ayat 2) Hak untuk mendapatkan pekerjaan dan upah Pasal 28 ayat (1), (2), (3) dan (4) UUDS 1950 : “Setiap warga negara, sesuai dengan kecakapannya, berhak atas pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan.” (ayat 1), “Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan dan berhak pada atas syarat-syarat perburuhan yang adil.” (ayat 2), “Setiap orang yang melakukan pekerjaan yang sama dalam hal-hal yang sama, berhak atas pengupahan yang sama dan atas perjanjian-perjanjian yang sama baiknya.” (ayat 3), dan “Setiap orang yang melakukan pekerjaan, berhak atas pengupahan adil yang menjamin kehidupannya

78

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

bersama dengan keluarganya, sepadan dengan martabat manusia.” (ayat 4). Hak ikut serta dalam pemerintahan Pasal 23 ayat (1), (2) UUDS 1950 : “Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil-wakil yang dipilih dengan bebas menurut cara yang ditentukan oleh Undang-undang” (ayat 1), dan “Setiap warga negara dapat diangkat dalam tiap-tiap jabatan pemerintahan. Orang asing boleh diangkat dalam jabaan-jabatan pemerintah menurut aturan-aturan yang ditetapkan oleh Undangundang” (ayat 2) Hak bela negara Pasal 24 UUDS 1950 : “Setiap warga negara berhak dan berkewajiban turutserta dengan sungguh dalam pertahanan negara.” Hak atas pendidikan Pasal 30 ayat (1), (2), (3) dan Pasal 31 UUDS 1950 : Pasal 30 ayat (1), (2), dan (3) UUDS 1950 : “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran” (ayat 1), “Memilih pengajaran yang akan diikuti, adalah bebas.” (ayat 2), dan “Mengajar adalah bebas, dengan tidak mengurangi pengawasan penguasa yang dilakukan terhadap itu menurut peraturan Undangundang.” (ayat 3). Pasal 31 UUDS 1950 : “Kebebasan melakukan pekerjaan sosial dan amal, mendirikan organisasi-organisasi untuk itu dan juga untuk pengajaran partikelir dan mencari dan mempunyai harta untuk maksud-maksud itu, diakui, dengan tidak mengurangi pengawasan penguasa yang 79

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

dilakukan terhadap itu menurut peraturan Undangundang.” Hak atas kesejahteraan sosial Pasal 36, Pasal 37 ayat (1), (2) dan (3) UUDS 1950 Pasal 36 UUDS 1950 : “Penguasa menjamin kepastian dan jaminan sosial, teristimewa pemastian dan penjaminan syarat-syarat perburuhan dan keadaan-keadaan perbuatan yang baik, pencegahan dan pemberantasan pengangguran serta penyelenggaraan persediaan untuk hari tua dan pemeliharaan janda-janda dan anak-anak yatim piatu.” Pasal 37 ayat (1), (2) dan (3) UUDS 1950 : “ Penguasa terus-menerus menyelenggarakan usaha untuk meninggikan kemakmuran rakyat dan berkewajiban senatiasa menjamin bagi setiap orang derajad hidup yang sesuai dengan martabat manusia untuk dirinya serta keluarganya.” (ayat 1), “Dengan tidak mengurangi pembatasan yang ditentukan untuk kepentingan umum dengan peraturan-peraturan undang-undang, maka kepada sekalian orang diberikan kesempatan menurut sifat, bakat dan kecakapan masing-masing untuk turut serta dalam perkembangan sumber-sumber kemakmuran negeri.” (ayat 2), dan “Penguasa mencegah adanya organisasi-organisasi yang bersifat monopoli partikulir yang merugikan ekonomi nasional menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dengan undang-undang.” (ayat 3). Hak atas jaminan sosial Pasal 38 ayat (1), (2) dan (3) UUDS 1950 : “Perkembangan disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan” (ayat 1), “Cabang-cabang produksi yang penting bagi 80

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” (ayat 3). Hak berdemonstrasi dan mogok Pasal 21 UUDS 1950 : “Hak berdemontrasi dan mogok diakui dan diatur dengan undang-undang.” Hak atas jaminan sosial Pasal 39 (1) dan (2) UUDS 1950 : “Keluarga berhak atas perlindungan oleh masyarakat dan negara” (ayat 1), dan “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara” (ayat2). Disamping adanya pengakuan HAM seperti terurai pada pasal-pasal UUDS 1950, ada juga pasal yang bermakna ganda (disamping memuat Rumusan HAM, berisikan pula kewajiban asasi pemerintah sebagai wujud jaminan atas penegakan HAM itu sendiri). Kewajiban dan Hak asasi yang dimaksud adalah : a. Kewajiban asasi atas kesejahteraan dan jaminan sosial Pasal 36, 37 ayat (1), (2), (3) dan pasal 38 ayat (1), (2) dan (3) UUDS 1950. Pasal 36 UUDS 1950 : “Penguasa memajukan kepastian dan jaminan sosial, teristimewa pemastian dan penjaminan syarat-syarat perbuatan dan keadaan-keadaan perburukan yang baik, pencegahan dan pemberantasan pengangguran serta penyelenggaraan persediaan untuk hari tua

81

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

dan pemeliharaan janda-janda dan anak yatim piatu.” Pasal 37 ayat (1), (2) dan (3) UUDS 1950 : “Penguasa terus-menerus menyelenggarakan usaha untuk meninggikan kemakmuran rakyat dan berkewajiban senantiasa menjamin bagi setiap orang derajad hidup yang sesuai dengan martabat manusia untuk dirinya serta keluarganya.” (ayat 1), “Dengan tidak mengurangi pembatasan yang ditentukan untuk kepentingan umum dengan peraturanperaturan undang-undang, maka kepada sekalian orang diberikan kesempatan menurut sifat, bakat dan kecakapan masing-masing untuk turut serta dalam perkembangan sumber-sumber kemakmuran negeri.” (ayat 2), dan “Penguasa mencegah adanya organisasiorganisasi yang bersifat monopoli partikulir yang merugikan ekonomi nasional menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dengan Undang-undang.” (ayat 3). Pasal 38 “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” (ayat 1), “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” (ayat 2), dan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. 82

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

b) Kewajiban asasi dalam hal pendidikan, pengajaran ilmu pengetahuan dan kebudayaan Pasal 40, 41 ayat (1) – (5) pasal 43 yat (3) dan (4) UUDS 1950 Pasal 40 UUDS 1950 : “Penguasa melindungi kebebasan mengusahakan kebudayaan serta kesenian dan ilmu pengetahuan. Dengan menjunjung asas ini maka penguasa memajukan sekuat tenaganya perkembangan kebangsaan dalam kebudayaan serta kesenian dan ilmu pengetahun.” Pasal 41 ayat (1) – (5) UUDS 1950 : “Penguasa wajib memajukan perkembangan rakyat baik rohani maupun jasmani” (ayat 1), “Penguasa teristimewa berusaha selekaslekasnya menghapuskan buta huruf.” (ayat2), “Penguasa memenuhi kebutuhan akan pengajaran umum yang diberikan atas dasar memperdalam keinsyafan kebangsaan, mempererat persatuan Indonesia, membangun dan memperdalam perasaan peri kemanusaan, kesabaran dan penghormatan yang sama terhadap keyakinan agama setiap orang dengan memberikan kesempatan dalam jam pelajaran untuk mengajarkan pelajaran agama sesuai dengan keinginan orang tua murid-murid” (ayat 3), “Terhadap pengajaran rendah, maka penguasa berusaha melaksanakan dengan lekas kewajiban belajar yang umum.” (ayat 4), dan “Murid-murid sekolah partikulir yang memenuhi syarat83

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

syarat kebaikan-kebaikan menurut Undangundang bagi pengajaran umum, sama haknya dengan murid-murid sekolah umum” (ayat 5) Pasal 43 ayat (3) dan (4) UUDS 1950 : “Penguasa memberi perlindungan yang sama kepada segala perkumpulan dan persekutuan agama yang diakui. Pemberian sokongan berupa apa pun oleh penguasa kepada pejabat-pejabat agama dan persekutuanpersekutuan atau perkumpulan-perkumpulan agama dilakukan atas dasar sama hak” (ayat 3), dan “Penguasa mengawasi supaya segala persekutuan dan perkumpulan agama patuhtaat kepada Undang-undang, termasuk aturanaturan hukum yang tak tertulis” (ayat 4). c) Kewajiban asasi atas pengusahaan kebersihan umum dan kesehatan “Penguasa senantiasa berusaha dengan sungguhsungguh memajukan kebersihan umum dan kesehatan rakyat.” Secara kuantitatif, HAM dalam UUDS 1950 berjumlah 34 pasal, dan secara anatomik Rumusan HAM dalam UUDS 1950 tidak berbeda jauh dengan Rumusan HAM dalam UUD RIS 1949. Hanya saja, HAM dalam UUDS ini telah mengalami sedikit banyak perubahan atau modifikasi. Paling tidak, dalam UUDS ini mulai dicantumkan dua hak baru, yakni “Hak mogok”84 dan “Hak milik yang memiliki fungsi sosial.”85 Selain itu, ada juga pembahasan mengenai kebebasan beragama 84

. Lihat Pasal 21 UUDS 1950 . Dikutip dari penjelasan Majda El Muhtaj, dalam : Majda El-Muhtaj, op.cit. hlm. 109 (lihat juga Pasal 26 ayat (3) UUDS 1950)

85

84

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

secara lebih spesifik. Hal ini dibuktikan dengan dihilangkannya kalimat “meliputi kebebasan bertukar agama atau keyakinan” dari redaksi pasal 18 UUDS 1950. Sebelumnya, kalimat ini berada dalam redaksi pasal 18 UUD RIS 1949.86 Oleh sebab itu, tidak salah apabila kemudian Soepomo beranggapan bahwa HAM dalam UUDS 1950 memiliki kesamaan secara umum, tetapi juga terdapat perbedaan-perbedaan yang prinsipiil.87 Dalam pada itu, alasan filosofi yang mendasar mengenai kesamaan antara kedua UUD tersebut adalah adanya kondisi mendesak yang dibutuhkan untuk segera menyusun naskah Undang-undang Dasar Sementara setelah diperoleh kesepakatan untuk mengembalikan bentuk negara Indonesia dari RIS menjadi NKRI. Hal ini tercantum dalam “Piagam Persetujuan Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan pemerintah Republik Indonesia” bagian II huruf A angka I yang dinyatakan : “Undang-undang Dasar negara kesatuan diperdapat dengan mengubah Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat sedemikian rupa, sehingga essentialia Undang-undang Dasar Republik Indonesia antara lain : - Pasal 27 - Pasal 29 - Pasal 33

86

. Disarikan dari pendapat Soepomo mengenai “Tiga perbedaan mendasar konstitusi RIS 1949 dengan UUDS 1950 dalam hal penegasan tentang HAM”, dalam Soepomo, “Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia”, 1950, Djakarta, Nordhoff-Kolff N. V, hal. 9-14 87 . Ibid,.

85

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

ditambah dengan bagian-bagian yang baik dari Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat termasuk didalamnya. 88 Dalam pada itu, dibentuklah Badan Konstituante untuk merumuskan Undang-Undang Dasar baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Akan tetapi, Majelis Konstituante kemudian dibubarkan kembali oleh Presiden Soekarno dengan alasan kegagalan Badan Konstituante dan bertepatan pula terjadi reses. Kala itu. Akan tetapi pada kenyataannya, Badan Konstituante sendiri mengalami ksulitan untuk mencapai mufakat disebabkan meruncungnya perdebatan yang tak kunjung usai antara kaum nasionalis dan kaum Islam berkaitan dengan bentuk Negara dan ide dasar filosofi Negara. Hal ini kurang lebih sama dengan perdebatan yang terjadi pada masa perancangan naskah Undang-Undang Dasar dalam BPUPKI. 4. HAM dalam amandemen I UUD NRI tahun 1945 Perubahan pertama (amandemen I) disahkan pada tanggal 19 Oktober 1949 disahkan dalam sidang umum MPR RI antara tanggal 12-19 Oktober 1999,89 dan boleh dikatakan bahwa amandemen pertama ini merupakan tanggal sejarah yang telah berhasil mematahkan semangat konservatisme dan romantisme di sebagian kalangan masyarakat yang cenderung mensakralkan atau menjadikan UUD 1945 bagaikan sesuatu yang suci dan tidak boleh disentuh oleh ide perubahan sama sekali.90 Secara umum inti perubahan I UUD 1945 menyoroti 88

. Lihat Piagam Persetujuan Pemeintah Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah Republik Indonesia. Dikutip dari catatan lampiran III dalambuku Joeniarto, op.cit. hal. 160 89 . Jimly Asshiddiqie. Op.cit. hal. 88 90 . Ibid, hal. 59

86

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

perihal kekuasaan Presiden (eksekutif).91 Dan dalam amandemen I tidak dilakukan perubahan pengurangan atau penambahan materi-materi tentang HAM. Jumlah materi HAM yang ada masih cenderung sama dengan sebelum diadakannya amandemen. Adapun amandemen I UUD NRI tahun 1945 ini mencakup 9 pasal yaitu pasal 5 ayat (1), pasal 7, pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), pasal 13 ayat (2), dan ayat (3), pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), pasal 15, pasal 17 ayat (2) dan ayat (3), pasal 20 ayat (1) sampai ayat (4), dan pasal 21. 5. HAM dalam amandemen II UUD NRI Tahun 1945 Perubahan kedua (amandemen II) UUD NRI Tahun 1945 ditetapkan dalam sidang Tahunan MPR pada tanggal 7 sampai 18 Agustus 2002. Cakupan materi yang diubah pada naskah perubahan kedua ini lebih luas dan lebih banyak lagi, yaitu mencakup 27 pasal yang tersebar dalam 7 bab, yaitu Bab VI tentang “Pemerintah Daerah”, Bab VII tentang “Dewan Perwakilan Rakyat”, Bab IXA tentang “Wilayah Negara”, Bab X tentang “Hak Asasi Manusi”, Bab XII tentang “Pertahanan dan Keamanan Negara”, dan Bab XV tentang “Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.”92 Jika ke-27 pasal tersebut dirinci jumlah ayat atau butir ketentuan yang diaturnya, maka isinya mencakup 59 butir ketentuan yang mengalami perubahan atau bertambah dengan rumusan ketentuan baru sama sekali.93 Salah satu poin terpenting dari amandemen kedua UUD NRI Tahun 1945 adalah adanya penambahan materi tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Pada amandemen kedua kali ini, HAM

91

. Majda El-Muhtaj. Op.cit. hal. 88 . Jimly Asshiddiqie. Op. cit. hal. 59. 93 . Ibid,. 92

87

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

dimasukkan dalam satu Bab tersendiri, yaknbi BAB XA mengenai “Hak Asasi Manusia” yang berisikan 10 pasal.94 Adapun mengenai Rumusan HAM yang terkandung dalam perubahan (amandemen) II UUD NRI Tahun 1945 adalah : No

BAB / PASAL

ISI

1

BAB X/27 Ayat (3)

Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara

2

BAB XA/28A

Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

BAB XA/28B

(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. (2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

BAB XA/28C

(1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu

3

4

94

. Lihat : Perincian pasal HAM dalam : “Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-undang Republik Indonesia nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi”, (Jakarta : Sekjend dan Kapaniteraan MKRI, 2006) hal. 33-39.

88

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya (2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.

5

BAB XA/28D

(23)Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. (24)Setiap orang berhak bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. (25)Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. (26)Setiap oang berhak atas status kewarganegaraan.

1) Setiap orang bebas memeluk

6

BAB XA/28E

agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta 89

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

berhak kembali.

2) Setiap

orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

3) Setiap

orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

7

BAB XA/28F

Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki segala jenis saluran yang tersedia. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

(13)

8

BAB ZA/28G

Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik

(14)

90

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

dari negara lain. -

-

9

BAB XA/28H -

-

10

BAB XA/28I

Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.

(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum 91

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

(2)

(3)

(4)

(5)

11

BAB XA/28J

yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangundangan.

(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan 92

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. 12

BAB XII/30 Ayat (1)

Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.

Berdasarkan materi muatan HAM yang ada dalam amandemen ke II tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat (penambahan) prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, diantaranya : 1) Hak bela negara BAB X Pasal 27 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. 2) Hak untuk hidup BAB XA Pasal 28A UUD NRI Tahun 1945. 3) Hak untuk berkeluarga BAB XA Pasal 28B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. 4) Hak anak 93

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

BAB XA Pasal 28B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. 5) Hak atas pendidikan dan pengembangan diri. BAB XA Pasal 28C ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945. 6) Hak atas jaminan dan proses hukum yang adil. BAB XA Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. 7) Hak atas upah kerja BAB XA Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. 8) Hak kesempatan dalam pemerintahan BAB XA Pasal 28D ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. 9) Hak atas status kewarganegaraan BAB XA Pasal 28D ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 28E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. 10) Hak atas kebebasan beragama BAB XA Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945. 11) HAK Komunikasi dan Informasi BAB XA Pasal 28 E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. 12) Hak komunikasi dan informasi BAB XA Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945. 13) Hak perlindungan diri dan kekebasan asasi BAB XA Pasal 28G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. 14) Hak untuk bebas dari penyiksaan BAB XA Pasal 28G ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. 15) Hak atas kehidupan yang layak BAB XA Pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. 16) Hak mendapatkan keadilan BAB XA Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. 17) Bab atas jaminan sosial BAB XA Pasal 28H ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. 18) Hak hidup dan universalitas hak asasi 94

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

BAB XA Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. 19) Hak untuk bebas dari diskriminasi BAB XA Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. 20) Hak atas identitas budaya adat BAB XA Pasal 28I ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Sedangkan mengenai kewajiban asasi sebagai wujud pengakuan sekaligus penegakan atas HAM itu sendiri adalah : 1. Kewajiban asasi negara/pemerintah dalam perlindungan, pemajuan dan penegakan HAM. BAB XA Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. 2. Kewajiban asasi atas penegakan HAM melalui legalitas peraturan perundang-undangan. BAB XA Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. 3. Kewajiban asasi berupa penghormatan dan pengakuan HAM oleh setiap orang BAB XA Pasal 28J ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. 4. Kewajiban asasi setiap orang untuk tunduk kepada Undang-Undang. BAB XA Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Pemberian bab tersendiri terhadap Rumusan HAM dalam amandemen II ini harus diakui sebagai sebuah keberhasilan dalam proses pengakuan, pemenuhan, dan penegakan HAM. Akan tetapi, menurut Saldi Isra, materi muatan HAM dalam Perubahan Kedua UUD 1945 tidak konsisten dalam merumuskan kategori hak-hak asasi, apakah pembagiannya menuut kategori Hak sipil dan hak ekonomi, sosial dan budaya, ataukah mendefinisikannya dengan menggunakan pembagian atas derogable rights dan

95

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

nonderogable rights, ataukah merumuskannya dengan cara memuat hak-hak individual, komunal, dan vulnerable rights.95 Sedangkan menurut Majda, ketidakjelasan makna penegakan HAM terlihat dari Bab Pasal 27 ayat (3) dengan Bab XII Pasal 30 ayat (1) tentang Hak atas pembelaan negara. Hal yang sama juga terjadi pada Bab XA Pasal 28D dengan Bab X Pasal 27 ayat (1) tentang Hak atas persamaan di hadapan hukum (equality before the law). Begitu juga pada Bab XA Pasal 28F dengan Pasal 28 tentang Hak berserikat dan berkumpul.96 Ketidakjelasan lainnya juga terlihat dari penekanan muatan HAM yang tidak jelas sebagai akibat dari penggabungan muatan HAM dengan muatan HAM lainnya yang sebenarnya tidak sejalan atau tidak sinkron, seperti pada BAB XA Pasla 28E yang menggabungkan hak beragama dengan hak mendapatkan pekerjaan dan hak atas kewarganegaraan.97 Menurut pandangan Satya Arinanto, secara redaksional materi muatan HAM dalam perubahan kedua UUD 1945 sebagian besar merupakan pasal-pasal yang berasal atau setidak-tidaknya memiliki kesamaan dengan pasal-pasal HAM sebagaimana diatur dalam Tap MPR No. XVII / MPR / 1998 tentang Hak Asasi Manusia.98 Melalui analisis para sarjana hukum tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa Rumusan HAM dalam amandemen (perubahan) ke II UUD NRI Tahun 1945 bisa dikatakan belumlah sempurna. Ketidaksempurnaan pada amandemen II ini semakin terlihat bila diperbandingkan dengan naskah HAM pada konstitusi RIS 1949 yang dapat dikatakan sangat 95

. Saldi Isra. Quo Vadis Reformasi Konstitusi ? dalam Media Indonesia. 1 Agustus 2006. Diunduh dari : www.mediaindonesia.com. 96 . Majda El Muhtaj. op.cit. hal. 115. 97 . Ibid,. 98 . Satya Arinanto. op.cit.

96

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

signifikan (Pada konstitusi RIS 1949, rincian Rumusan tentang HAM diatur dan dirinci secara lengkap dan terpisah pada tiap pasalnya, tidak secara tumpang tindih seperti dalam amandemen II UUD NRI Tahun 1945). Namun demikian, harus diakui bahwa pengaturan materi muatan HAM yang dilakukan melalui amandemen II merupakan sebuah starting point dalam upaya penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Sedangkan, kekurangan yang ada tersebut dapat diminimalisir dengan cara memaksimalkan implementasi penegakan HAM, serta memperjelasnya dengan peraturan perundang-undangan yang ada dibawahnya secara lebih lanjut.

6. HAM dalam Amandemen (Perubahan) ke III UUD NRI Tahun 1945 Amandemen II UUD NRI Tahun 1945 ditetapkan pada tanggal 9 November 2001 melalaui sidang Tahunan MPR-RI tanggal 7 sampai 9 November 2001. Bab-bab di dalam UUD 1945 yang mengalami perubahan adalah Bab I tentang “Bentuk dan Kedaulatan”, Bab II Tentang “Mejelis Permusyawaratan Rakyat”, Bab III tentang “Kekuasaan Pemerintah Negara”, Bab V tentang “Kementerian Negara”, BAb VIIA tentang “Dewan Perwakilan Daerah”, Bab VIIB tentang “Pemilihan Umum”, dan Bab VIIIA tentang “Badan Pemeriksa Keuangan”. Menurut Jimliy Asshiddiqie99, Dari segi jumlahnya dapat dikatakan perubahan ketiga ini paling luas cakupan materinya (7 BAB, 23 Pasal, dan 68 butir ketentuan atau ayat). Dan disamping itu substansi yang diaturnya sebagian besar sangat mendasar. Materi yang tergolong sukar mendapatkan kesempatan cenderung ditunda pembahasannya dalam sidang-sidang terdahulu. Karena itu, selain secara kuantitatif materi 99

. Jimliy Asshiddiqie, “Konstitusi dan Konstitusionalisme”, op.cit. hal. 60

97

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

perubahan ketiga ini lebih banyak muatannya, juga dari segi isinya, secara kualitatif materi perubahan ketiga ini dapat dikatakan sangat mendasar pula. Dalam amandemen III ini tidak terdapat perubahan (pengurangan atau penambahan) Rumusan HAM dalam tiap pasalnya, dan dalam hal ini Rumusan HAM masih sama persis seperti halnya yang terangkum dalam amandemenke II UUD NRI Tahun 1945.

7. HAM dalamAmandemen (perubahan) IV UUD NRI Tahun 1945 Amanademen (Perubahan) IV UUD 1945 disahkan dan ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002 melalui sidang Tahunan MPR-RI tanggal 1 sampai 10 Agustus 2002. Dalam naskah Perubahan Keempat ini, ditetapkan bahwa (a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan pertama, kedua, ketiga dan perubahan keempat ini adalah UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh Dewan Perwakilan Rakyat; (b) Penambahan bagian akhir pada Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dengan kalimat “Perubahan tersebut diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-9 tanggal 18 Agustus 2000 Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan”; (c) Pengubahan penomoran Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 3 ayat (2) dan (3); Pasal 98

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

25E Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 25A; (d) Penghapusan judul Bab IV tentang “Dewan Pertimbangan Agung” dan pengubahan substansi Pasal 16 serta penempatannya ke dalam Bab III tentang “Kekuasaan Pemerintah Negara”; (e) Pengubahan dan/atau penambahan Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3), Pasal 11 ayat (1); Pasal 16; Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3), Bab XIII, Pasal 31 ayat (1), ayat (2); Bab XIV, Pasal 33 ayat (4) dan ayat (5); Pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4); Pasal 37 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian secara keseluruhan naskah Perubahan Keempat UUD 1945 mencakup 19 pasal, termasuk satu pasal yang dihapus dari naskah UUD. Ke-19 pasal tersebut terdiri atas 31 butir ketentuan yang mengalami perubahan, ditambah 1 butir yang dihapuskan dari naskah UUD.100 Sedangkan apabila berbicara mengenai Rumusan HAM yang ada dalam Amandemen IV (penambahan maupun pengurangan Rumusan HAM dari sebelumnya) terdapat dalam 4 pasal yaitu Pasal 31 sampai Pasal 34 UUD NRI Tahun 1945. Adapun prinsip HAM yang terkandung dalam empat (4) pasal perubahan tersebut adalah : 1) Hak atas pendidikan Pasal 31 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.” 2) Kewajiban asasi negara atas pendidikan

100

. Disadur dari Jimliy Asshiddiqie. Op.cit. hal. 60-61

99

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Pasal 31 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya,” (ayat 2), “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan seta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang” (ayat 3), “negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurangkurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional” (ayat 4), “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.” (ayat 5) 3) Kewajiban asasi negara dalam menjamin kemajuan budaya (Hak atas budaya) Pasal 32 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di Tengah Peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masayrakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.” 4) Kewajiban asasi negara Pasal 32 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.” 5) Hak asasi atas kesejahteraan dan memelihara sosial dan ekonomi 100

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 (Dilakukan penambahan ayat pada pasal ini. Sebelumnya, Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 hanya terdiri dari tiga (3) ayat) “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” 6) Kewajiban asasi negara atas jaminan sosial Pasal 34 ayat (1), (2), dan (3) UUD NRI Tahun 1945 “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara’ (ayat 1), “ Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai martabat kemanusiaan’ (ayat 2), dan “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak” (ayat 3). 7) Kewajiban asasi negara atas jaminan kesehatan dan pelayanan umum Pasal 34 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.” Secara kualitas maupun kuantitas, materi muatan HAM yang dirubah dalam amandemen IV cenderung lebih sedikit bila dibandingkan dengan materi (rumusan) HAM yang ada dalam amandemen II. Disamping itu, amandemen IV lebih menyoroti perspektif HAM dari sudut kewajiban asasi negara / 101

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

pemerintah dalam rangka pengakuan dan penegakan atas HAM, atau dengan kata lain amandemen IV ini merupakan bahan pelengkap (complementary) atas muatan HAM yang telah ada dalam amandemen II UUD NRI Tahun 1945. Akan tetapi, yang perlu menjadi catatan penting dalam hal pergeseran makna HAM baik itu dalam UUD 1945, UUD RIS 1949, UUDS 1950, maupun dalam amandemen UUD NRI Tahun 1945 adalah adanya korelasi dan ketergantungan yang kuat terhadap konfigurasi politik tertentu. Meminjam pendapat Mahfud MD : “Jika konfigurasi politik demokratis, maka HAM memperoleh tempat dan implementasi yang relatif proporsional, tetapi jika konfigurasi politik sedang bekerja di bawah payung otoritarian maka HAM pun akan mendapat perlakuan yang buruk.101 Sedangkan dalam hal memperbandingkan kompleksitas Rumusan HAM dalam masing-masing konstitusi tersebut tentunya tidak terlepas dari instrumen-instrumen HAM Internasional yang kemudian penulis jadikan tolak ukur kelengkapan perbandingan HAM yang dalam konstitusionalisme Indonesia. Melalui tolak ukur tersebut, dapat disimpulkan bahwa UUD RIS 1949 dan UUDS 1950 merupakan konstitusi yang secara lengkap mengadopsi muatan UDHR / DUHAM PBB 1948. sedangkan bila dilihat pada UUD NRI Tahun 1945 sesudah amandemen, meski masih terdapat banyak kekurangan tetapi konstitusi itu memiliki implementasi (Konstitusionalisme) yang lebih banyak dibandingkan dengan UUD RIS maupun UUDS 1950 Adopsi atas instrumen-instrumen 101

. Diambil dari pendapat Mahfud MD “Perlindungan Hukum atas Hak Asasi Manusia” makalah diskusi ilmiah tentang Perlindungan HAM dalam sistem Hukum Indonesia Antara Universitas-Pusat Studi Sosial Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 18 Oktober 1994. Hal. 6

102

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

HAM Internasional justru terlihat pada elaborasi peraturan perundang-undangan yang ada dibawahnya.

103

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

DAFTAR PUSTAKA A. Daftar Buku Ade Maman Suherman, 2004,Pengantar Perbandingan Sistem Hukum. Jakarta : Grafindo. Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia : Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-unsurnya. Jakarta : UI. Press. Ahmad

Syafi'i Ma'rif, 1996, Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante; Islam dan masalah Kenegaraan, Jakarta; LP3ES.

______________________ 1998, Islam dan Politik di Indonesia Pada Masa Demokrasi Terpimpin di Indonesia 1959-1965. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. A.Mukhtie Fajar, 2004, Tipe Negara Hukum. Malang : Banyumedia Publishing. A. Mahsyur Effendi, 1980, Tempat Hak-Hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional/Nasional. Bandung: Alumni. Abul A'la Al Maududi,1982, Human Rights in Islam, Delhi: Markai Maktaba Islami. Ann Elisabeth Mayer, 1999, Islam and Human Rights: Tradition and Politics, Oxford: westview Press. B.J. Boland, 1985, Pergumulan Islam di Indonesia,Jakarta: Grafiti Press. Bagir Manan, 2004, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta: FH. UII Press. Bahtiar Effendy, 2001, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan, Yogyakarta: Galang Press.

104

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Budiman Sinaga, 2005, Hukum Konstitusi. Yogyakarta ; Kusuma Alam Semesta. Juni. Burn, H. Weston, Hak Asasi Manusia dalam T. Mulyana Lubis, Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Dunia (Isu dan Tindakan), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, dikutip oleh Deny Iskandar P, 2006, Ide Normatif Mahkamah Konstitusi dalam Konteks Cita Hukum dan Negara Hukum, Malang: Disertasi Pasca Sarjana Unibraw. C.F. Strong, 2004, Konstitusi – Konstitusi Politik Modern, Bandung : Nuansa dan Nusamedia. C.S.T. Kansil, et all, 2001, Konstitusi Konstitusi Indonesia Tahun 19452000, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Dahlan Thaib, dkk. 2005, Teori dan Hukum Konsitusi. Jakarta : Grafindo Persada. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Departemen Agama RI, 2007, Al-Hikmah, Qur'an & Terjemahannya, Bandung: Diponegoro. Djazuli, 2007, Fiqh Siyasah,Implementasi Kemashlahatan Ummat dengan Rambu-rambu Syariah, Jakarta, Kencana. E.C.S. Wade, 1986, Constitusional Law. New York: Longman, Green and co. Eric Barendt, 1998, An Introduction to Constitutional Law, London: Oxford University Press. Endang Syaifuddin Anshari, 1981, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah konsensus Nasional antara Nasionalis Islami dan

105

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Nasionalis Sekuler tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959. Bandung: Perpustakaan Salman ITB. H.A.K Pringgodigdo, 1981, Tiga Undang-Undang Dasar. Jakarta : PT. Pembangunan. Harun Nasution dan Bahtiar Effendy, 1987, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus. ______________________.2001, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam. Jakarta: Media Dakwah. I Gede Pantja Astawa, 2000, Hak Angket Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut UUD 1945. Bandung : UNPAD. Jazim Hamidi, Malik, 2008, Hukum Perbandingan Konstitusi, Jakarta: Prestasi Pustaka Publiser.

Jimly Asshiddiqie, 2005, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi (Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan Ham), Konstitusi Press. _______________ 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme. Konstitusi Press.

Jakarta :

John Adler, 2002, General Principles of Constitusional and Administrative Law. New York: Palgrave Macmillan. Joeniarto, 2001, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara. K.C. Wheare, 2003, Konstitusi – Konstitusi Modern. Surabaya : Pustaka Eureka. Koentjaraningrat, 1993, Metode – Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia.

106

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Krisna Harahap, 2003, HAM dan Upaya Penegakannya di Indonesia. Bandung: Grafiti Budi Utami. Laica Marzuki, 2006, Berjalan – Jalan di Ranah Hukum. Jakarta : Sekjend dan Kepaniteraan NKRI. M.A. Anshari, Endang Syaifuddin, 1986, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekuler tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959. Jakarta: Rajawali Press. M. Lukman Hakim, 1996, Deklarasi Islam tentang HAM, Surabaya: Risalah Gusti. Majda El Muhtaj, 2005, Hak Asasi Manusi dalam Konstitusi Indonesia. Jakarta : Kencana. Maria Soemardjono, 1989, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada Press. Miriam Budiarjo, 2001, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Muhammad Alim, 2001, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Madinah dan UUD 1945. Yogyakarta : UII Press. Muhammad Alim, 2004, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Madinah dan UUD 1945. Yogyakarta : UII Press. Mohammad Tholchah Mansoer, 1979, Hukum, Negara, Masyarakat, Hak-hak Asasi Manusia dan Islam. Bandung : Alumni. Moh Mahfud MD, 2000, Demokrasi dan KOnstitusi di Indonesia : Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan. Jakarta : Rineka Cipta.

107

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Muhammad Taher Azhary, 2003, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Jakarta: Prenada Media. Muh. Yamin, 1960, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I, II, dan III. Jakarta : Yayasan Prapanca. ______________________.1982, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia.

______________________. 1998, Politik Hukum di Indonesia. Jakarta : LP3ES. Ni’matul Huda, 2003, Politik Ketatanegaraan Indonesia : Kajian Terhadap Dinamika Perubahan UUD 1945. Yogyakarta : FH UII Press. Phillipus M Hadjon, 1957, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Surabaya ; PT. Bina Ilmu. Paul S. Baut, Benny Herman. K, 1988, Kompilasi Deklarasi Hak Asasi Manusia,. Jakrta: YLBHI. Ruhollah Khomeini, 1981, Islam & Revolution, diterjemahkan oleh Hamid Algar, Berkeley Calif: Mizan Press. Robert N. Bellah, 1976, Beyond Belief. New York: Harper & Row. Satjipto Rahardjo, 2008, Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, Jogjakarta: Genta Press. Satya Arinanto, 2003, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara FH. UI.

108

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Sjahran Basah, 1992, Ilmu Negara : Pengantar, Metode, dan Sejarah Perkembangan. Bandung : Citra Aditya. Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998, Risalah Sidang BadanPenyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Jakarta. Subandi Al Marsudi, 2001, Pancasila dan UUD ’45 dalam Paradigma Reformasi. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Sudikno Mertokusumo, 1990, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar. Yogyakarta : Liberty. Sukron Kamil, 2002, Islam & Demokrasi: Telaah Konseptual & Historis. Jakarta: Gaya Media Pratama. Soepomo, 1950, Undang-Undang Dasar Sementara Indonesia.Djakarta : Noordhoof-Kolff. N.V.

Republik

Sudargo Gautama, 1973, Pengertian tentang Negara Hukum. Bandung: Alumni. Sri Soemantri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Alumni. Syaukat Hussein, 1978, Human Rights in Islam. India: Nusrat Ali Nasri for Kitab Bhavan. Tahir Mahmood, 1993, Human Rights in Islamic Law, New Delhi: Institute of Objective Studies. Todung Mulya Lubis, 1993, In Search of Human Rights ; Leged Political Dilemmas of Indonesia’s New Order, 1966-1990. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

109

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Todung Mulya Lubis, November 1983, Perkembangan Hukum dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Makalah untuk Raker Peradilan. ICCE UIN Jakarta, 2003, Demokrasi, Hak Asasi Manusia & Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada Media. Umar Basalim, 2002, Pro dan Kontra Piagam Jakarta di Era Reformasi. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu. Usep Ranawijaya, 1983, Hukum Tata Negara Indonesia, Dasar-dasarnya. Jakarta : Ghalia Indonesia. Wirjono Projodikoro, 1989, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia. Jakarta : Dian Rakyat. Zubaedi, 2007, Islam dan Benturan Antarperadaban (Dialog Filsafat Bara tdengan Islam, Dialog Peradaban, dan Dialog Agama, Yogyakarta, Ar-Ruz Media. B.

Peraturan Perundangan – Undangan UUD Tahun 1945 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 UUD Republik Indonesia Serikat tahun 1949 UUD Sementara tahun 1950. Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia Ketetapan MPR No. XI/MPR/2000 tentang Penugasan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia untuk Melanjutkan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Againts Torture and Other Cruel, Inhumanor Degrading

110

handbook

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Treratment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Kemanusiaan. Undang_Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Kemerdekaan

Undang-Undang No. 9 Tahun 1999 Tentang Pengesahan International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999. Jakarta : Bumi Aksara, 2003. Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Keputusan Presiden RI No. 50 tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi manusia. Keputusan Presiden RI No. 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 181 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Keputusan Presiden RI No. 61 Tahun 2003 tentang Perubahan Keputusan Presiden Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia.Keputusan Presiden RI No. 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi ManusiaIndonesia Tahun 2004-2009. Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan Undang – Undang Republik Indonesia nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Jakarta : Sekjend Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

111

handbook C.

Pengantar Studi Konstitusi Jilid I

Daftar Bacaan Arief Mangkoesapoetra. HAM dalam Perspektif Islam.blog. Departemen Hukum dan HAM. Sejarah HAM, Sejarah Internasional HAM dan Sejarah Nasional HAM. Jakarta : 2007. Departemen Hukum dan HAM. Inventarisasi Peraturan Perundangundangan tentang HAM, 2010. Saharuddin Daming, Eskafasi Mutiara HAM dalam Islam di balik Hegemoni Barat, makalah, diunduh melalui www.google.com, Oktober 2010. Human Rights in Islam, India: Nusrat Ali Nasri for Kitab Bhavan, 1978, dalam www.google//artikel//document of human rights. Marsiyem, Sari Kuliah Hukum dan HAM (Disampaikan pada saat menyampaikan mata kuliah hukum dan HAM). Semarang, FH Unnisula, 12 September 2006. Marwan

Ja'far, Meneguhkan Politik Aswaja, dalam Suara Merdeka_wacana, Semarang: harian Suara Merdeka, Jumat, 23 Juli 2010, hal.6.

Rahmat Bowo Suharto,. Sebuah Catatan tentang Hak Asasi Manusia, Makalah Raker dan Diseminasi Ranham, 6 – 7 November 2007. www.wikisource.com//human rights in islam//file. www.google.com//HYPERLINK "http://www.google.com-declaration/" human rights.doc www.google.com//magna Charta/humanrights/doc. www.google.com//petitionofrights//humanrights//doc. www.google.com//declarationofindependence/humanrights/doc.

112

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF