January 23, 2017 | Author: Patrick Bayu | Category: N/A
Panduan Tata Laksana Keguguran Berulang
Editor: Prof. Dr. med. Ali Baziad, SpOG(K) dr. Kanadi Sumapraja, SpOG, MSc Dr. dr. Budi Santoso, SpOG(K)
Hasil Lokakarya Himpunan Endokrinologi - Reproduksi dan Fertilitas Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (HIFERI-POGI) Yogyakarta, 19 Juni 2010
Pengurus Pusat Himpunan Endokrinologi - Reproduksi dan Fertilitas Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (HIFERI-POGI)
Panduan Tata Laksana Keguguran Berulang
Editor: Prof. Dr. med. Ali Baziad, SpOG(K) dr. Kanadi Sumapraja, SpOG, MSc Dr. dr. Budi Santoso, SpOG(K)
Hasil Lokakarya Himpunan Endokrinologi - Reproduksi dan Fertilitas Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (HIFERI-POGI) Yogyakarta, 19 Juni 2010
Pengurus Pusat Himpunan Endokrinologi - Reproduksi dan Fertilitas Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (HIFERI-POGI)
Panduan Tata Laksana Keguguran Berulang Hak Cipta © 2011 Pengurus Pusat Himpunan Endokrinolog-Reproduksi dan Fertilitas PerkumpulanObstetri dan Ginekologi Indonesia (HIFERI-POGI) Editor : Desain Sampul dan Tata Letak :
Prof. Dr. med. Ali Baziad, SpOG(K) dr. Kanadi Sumapraja, SpOG, MSc Dr. dr. Budi Santoso, SpOG(K) Bayu Abdinegoro
Diterbitkan pertama kali dalam Bahasa Indonesia oleh: Himpunan Endokrinologi-Reproduksi dan Fertilitas Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (HIFERI-POGI) Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jl. Diponegoro No. 71, Jakarta 10430 Telp: 021 3928720 fax: 021 3928719 E-mail:
[email protected] Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun secara elektronik maupun mekanik, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan teknik perekam lainnya, tanpa seizin tertulis dari penerbit. Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) PP HIFERI-POGI Panduan Tata Laksana Keguguran Berulang; Penyunting, Prof. Dr. med. Ali Baziad, SpOG(K), dr. Kanadi Sumapraja, SpOG, MSc, Dr. dr. Budi Santoso, SpOG(K) –Jakarta– 2011 vi + 24 hlm ; 24 cm ISBN 978-979-16533-1-2
ii
Kata Pengantar Masalah keguguran berulang, baik mengenai penyebab utamanya dan penanganannya hingga kini masih terus menimbulkan silang pendapat, tidak hanya di kalangan dokter di negara-negara maju, tetapi juga di Indonesia. Agar dapat di peroleh kesamaan pendapat dalam penatalaksanaan keguguran berulang, maka Himpunan Fertilitas Endokrinologi Reproduksi Indonesia (HIFERI) mengambil inisiatif mengadakan pertemuan dengan masing-masing wakil HIFERI dari seluruh Indonesia untuk membahas masalah-masalah keguguran berulang, yang pada akhirnya pertemuan tersebut telah dapat menghasilkan sebuah kesepakatan bersama (konsensus). Kesepakatan tersebut dibuat sebagai buku untuk pegangan para dokter. Selain itu dibuat juga sebuah algoritma untuk lebih mempermudah para dokter melihat dengan cepat tahap-tahap penanganan keguguran berulang. Saya yakin, kesepakatan ini amat berguna bagi para dokter untuk digunakan dalam praktek sehari-hari dan saya menyadari pula bahwa meskipun telah bekerja dengan cermat, namun bukan berarti tidak terdapat kekurangan. Untuk itu saya mohon masukan dari para dokter/pembaca sebagai bahan untuk perbaikan di masa yang akan datang, karena biarbagaimanapun ilmu kedokteran berkembang sangat cepat, sehingga konsensus yang telah di hasilkan ini juga suatu ketika ikut mengalami perubahan dan perlu dihasilkan suatu konsensus yang baru lagi. Pada kesempatan ini saya selaku Ketua Pengurus Pusat HIFERI ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua mereka yang telah ikut berperan serta dalam pembuatan konsensus ini.
Jakarta, November 2010
Prof. Dr. Med. Ali Baziad, SpOG(K) Ketua Pengurus Pusat HIFERI
iii
Daftar Isi Kata Pengantar (Ketua PP HIFERI)
iii
Pendahuluan
1
Definisi Keguguran Berulang (HIFERI)
2
Analisis Klasifikasi Jenis Keguguran
4
Keguguran Preembionik dan Embrionik
6
Keguguran Janin
11
Keguguran Trimester 2
15
Penanganan Keguguran Berulang
17
Daftar Pustaka
21
v
Pendahuluan Istilah keguguran umumnya digunakan untuk menggambarkan suatu kejadian kegagalan kelangsungan suatu kehamilan, yang berakibat pada kematian janin serta ekspulsi dari janin atau embrio tersebut. Umumnya definisi yang disepakati saat ini adalah definisi yang berasal dari World Health Organization (WHO) yang menyatakan berat janin atau embrio tersebut paling tidak telah mencapai 500 gram atau kurang, yang sesuai dengan usia kehamilan 20 minggu. Kejadian keguguran spontan berdasarkan data yang dikumpulkan di rumah sakit pada umumnya berkisar antara 15-20%. Namun angka kejadian keguguran sebenarnya diperkirakan dapat lebih tinggi lagi di masyarakat. Hal ini disebabkan karena tidak adanya kewajiban untuk melaporkan setiap kejadian keguguran pada pihak yang berwenang. Kejadian keguguran mayoritas terjadi pada usia kehamilan kurang dari 12 minggu. Apabila angka kejadian keguguran spontan berkisar antara 15-20%, maka berdasarkan perhitungan probabilitas angka kejadian keguguran berulang diperkirakan akan dialami oleh sekitar 0.30.4% pasangan. Namun faktanya angka kejadian keguguran berulang ternyata ditemukan lebih tinggi, yaitu antara 1-2% pasangan. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian keguguran berulang ternyata memiliki kelainan yang spesifik dan bukan disebabkan oleh karena terjadi secara kebetulan. Meski demikian Stirrat dkk. pada tahun 1990 menyatakan bahwa mayoritas penyebab kasus keguguran berulang adalah idiopatik. Hal ini menciptakan suatu pola pemikiran bahwa sebenarnya tidak ada faktor tunggal yang dapat memicu kejadian keguguran berulang. Namun
PANDUAN TATA LAKSANA KEGUGURAN BERULANG
1
fenomena tersebut lebih diakibatkan oleh karena adanya akumulasi dari banyak faktor risiko pada penderita tersebut yang pada akhirnya dapat mengakibatkan kejadian keguguran berulang.
Definisi keguguran berulang (HIFERI) Keguguran berulang (recurrent miscarriage) adalah kejadian keguguran paling tidak sebanyak dua kali atau lebih berturut-turut pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu dan/atau berat janin kurang dari 500 gram.
Klasifikasi jenis keguguran Tersedianya teknologi yang memungkinkan untuk mendeteksi kehamilan seperti pemeriksaan hormon human chorionic gonadotrophin (hCG) dan alat ultrasonografi (USG) menyebabkan penentuan jenis keguguran menjadi lebih akurat lagi berdasarkan usia kehamilannya. Para ahli menyatakan pada masa 8 minggu pertama kehamilan dapat dikategorikan sebagai masa embrionik (embryonic), karena pada saat itu sedang terjadi organogenesis. Sementara lewat dari usia kehamilan 8 minggu disebut sebagai masa janin (fetus) yang ditandai dengan pertumbuhan (growth) janin. Mengelompokkan jenis kegagalan kehamilan berdasarkan usia kehamilan ini dianggap amat penting. Bukan hanya untuk lebih menyeragamkan definisi dari kejadian keguguran saja, namun juga bermanfaat untuk memikirkan kemungkinan faktor-faktor risiko yang berperan pada masing-masing kelompok (tabel 1). Tabel 1. Klasifikasi kejadian keguguran berdasarkan usia kehamilan, hasil temuan ultrasonografi dan evaluasi kadar hCG Jenis Kegagalan
Usia kehamilan (kisaran dalam minggu)
Aktivitas denyut jantung janin
Temuan ultrasonografi
Kadar beta hCG
Kegagalan biokimiawi / preembionik (biochemical loss)
9 mL, > 10 folikel dengan diameter 2-8 mm, dan peningkatan densitas stroma). Angka prevalensi PCO pada kejadian keguguran berulang dilaporkan mencapai 40.7%, meski hasil penelitian lain mendapatkan angka yang lebih rendah (7.8%). Penelitian sebelumnya juga memperlihatkan kondisi hipersekresi LH (> 10 IU/L) atau hiperandrogenemia yang terkait dengan gambaran PCO juga berhubungan dengan kejadian keguguran baik pasca konsepsi alami atau pasca siklus IVF. Berdasarkan kriteria Roterdam apabila seorang wanita menunjukkan gejala 2 dari 3, dari siklus anovulasi, gejala dan tanda hiperandrogen atau gambaran PCO, maka ia dikategorikan memiliki kelainan Sindrom Ovarium Polikistik (SOPK). H. 2.5% pasien keguguran berulang menunjukkan adanya peningkatan kadar hormon prolaktin. Meski demikian tidak ada bukti nyata hubungan antara hiperprolaktinemia dan keguguran berulang. Namun mengingat kejadian keguguran dapat menimbulkan perasaan cemas yang dapat memicu peningkatan kadar hormon prolaktin, maka dapat dipertimbangkan untuk diperiksa.
8
PANDUAN TATA LAKSANA KEGUGURAN BERULANG
I.
Kadar serum progesteron yang rendah pada fase midluteal (< 5 ng/ ml pada hari ke 18-21 ) atau hasil pemeriksaan biopsi endometrium yang menunjukkan ketidaksesuaian (kurang atau lebih dari 2 hari) dengan kriteria Noyes dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis defek fase luteal yang dihubungkan dengan kejadian kegagalan implantasi dan keguguran berulang. Untuk melakukan pemeriksaan dugaan ovulasi dapat pula dilakukan pemeriksaan LH test urine (mulai D12), lendir serviks (spinbarkeit/ Billing method), dan perhitungan lama fase luteal (terhitung sejak perkiraan hari ovulasi hingga tejadi haid siklus berikutnya).
J.
Salah satu faktor yang dapat mengakibatkan kejadian keguguran berulang adalah reaksi sistem imun maternal terhadap janin. Reaksi sistem imun maternal terhadap janin yang dapat mengakibatkan terjadinya keguguran berulang dapat diklasifikasikan sebagai : 1). Reaksi otoimun, apabila sistem imun maternal menyerang jaringan dan organnya sendiri, atau 2) Reaksi aloimun, apabila sistem imun maternal yang seharusnya melindungi janin (yang merupakan benda asing di dalam tubuh ibu) selama kehamilan justru bertindak sebaliknya.
K. Sindrom antibodi antifosfolipid adalah suatu kumpulan gejala berupa thrombosis atau komplikasi dalam kehamilan yang ditandai dengan hadirnya sekelompok antibodi yang bereaksi dengan fosfolipid bermuatan negatif. Komplikasi obstetrik yang termasuk dalam kriteria ini adalah : Satu kali atau lebih kejadian kematian janin yang tidak terjelaskan dengan morfologi yang normal pada usia kehamilan lebih dari 10 minggu. Satu kali atau lebih kejadian persalinan preterm dengan morfologi yang normal pada usia kehamilan kurang dari 34 minggu akibat : (i). Preeklamsia berat / eklamsia; (ii). Adanya tanda-tanda insufusiensi plasenta, seperti : a). Gambaran kardiotokogram yang abnormal/non-reassuring; b). Adanya gelombang abnormal pada pemeriksaan aliran darah ke janin dengan menggunakan doppler; c). Oligohidramnion; d). Berat badan lahir rendah (< persentil 10). Tiga kali atau lebih kejadian keguguran secara berturut-turut pada usia kehamilan kurang dari 10 minggu. Pemeriksaan laboratorium pada sindrom antibodi antifosfolipid meliputi pemeriksaan sebagai berikut : Antibodi antikardiolipin (IgG/IgM) yang berasal dari serum. Dianggap positif apabila, titernya mencapai lebih dari kadar titer medium (> 40 MPL/GPL), atau > 3 kali nilai kontrol, dan persisten selama 12 minggu. Anti beta 2 glikoprotein I (IgG/IgM) yang berasal dari serum. Dianggap positif apabila, titernya mencapai lebih dari 3 kali nilai kontrol, dan persisten selama 12 minggu. AntikoagulanLupus (LA) yang berasal dari serum. L. Idiopatik (tidak diketahui penyebabnya), berarti tidak didapatkan suatu faktor risiko tunggal pada kedua belah pihak (suami-isteri) yang bermakna dapat menimbulkan suatu kejadian keguguran berulang setelah dilakukan
PANDUAN TATA LAKSANA KEGUGURAN BERULANG
9
suatu evaluasi yang menyeluruh. Mayoritas pasien keguguran berulang (60%) umumnya masuk dalam kategori ini. Fenomena ini bukan berarti menyatakan bahwa penderita ini sama sekali tidak memiliki suatu kelainan. Kejadian keguguran berulang saat ini dianggap suatu fenomena yang memiliki dasar patologi yang lebih bersifat heterogen, dan bukan disebabkan oleh karena faktor patologi tunggal. Salah satu teori menyatakan munculnya suatu penyakit pada seseorang dapat disebabkan oleh karena faktor-faktor risiko yang dimiliki oleh penderita tersebut telah melampaui batas toleransi. Faktor-faktor risiko tersebut secara individual tidak akan cukup untuk menimbulkan suatu gejala.
10
PANDUAN TATA LAKSANA KEGUGURAN BERULANG
Keguguran Janin
A. Keguguran janin berulang
B. Pemeriksaan imunologi
Normal
C. Sindrom antifosfolipid
D. Pemeriksaan trombofilia
Normal
E. Kondisi hiperkoagulabel
F. Pemeriksaan hormon G. Hiper/hipotiroid Normal
Hormon metabolik
H. TGT/Diabetes
F. Pemeriksaan anatomi J. Kelainan resorbsi dan fusi Normal
I. Kelainan uterus
K. Kelainan ukuran dan sirkulasi
L. Idiopatik
Keterangan : A. Keguguran janin berulang adalah kejadian keguguran pada usia kehamilan pada usia kehamilan antara 8-20 minggu yang ditandai dengan teridentifikasinya gambaran janin (fetal echo) dan aktivitas denyut jantung sebelum terjadi kematian janin, sebanyak 2 kali atau lebih secara berturut-turut.
PANDUAN TATA LAKSANA KEGUGURAN BERULANG
11
B. Salah satu faktor yang dapat mengakibatkan kejadian keguguran berulang adalah reaksi dari sistem imun maternal pada janin. Reaksi sistem imun maternal terhadap janin yang dapat mengakibatkan terjadinya keguguran berulang dapat diklasifikasikan sebagai : 1). Reaksi otoimun, apabila sistem imun maternal menyerang jaringan dan organnya sendiri, atau 2) Reaksi aloimun, apabila sistem imun maternal yang seharusnya melindungi janin (yang merupakan benda asing di dalam tubuh ibu) selama kehamilan justru bertindak sebaliknya. C. Sindrom antibodi antifosfolipid adalah suatu kumpulan gejala berupa thrombosis atau komplikasi dalam kehamilan yang ditandai dengan hadirnya sekelompok antibodi yang bereaksi dengan fosfolipid bermuatan negatif. Komplikasi obstetrik yang termasuk dalam kriteria ini adalah : Satu kali atau lebih kejadian kematian janin yang tidak terjelaskan dengan morfologi yang normal pada usia kehamilan lebih dari 10 minggu. Satu kali atau lebih kejadian persalinan preterm dengan morfologi yang normal pada usia kehamilan kurang dari 34 minggu akibat : (i). Preeklamsia berat / eklamsia; (ii). Adanya tanda-tanda insufusiensi plasenta, seperti : a). Gambaran kardiotokogram yang abnormal/non-reassuring; b). Adanya gelombang abnormal pada pemeriksaan aliran darah ke janin dengan menggunakan doppler; c). Oligohidramnion; d). Berat badan lahir rendah (< persentil 10). Tiga kali atau lebih kejadian keguguran secara berturut-turut pada usia kehamilan kurang dari 10 minggu. Pemeriksaan laboratorium pada sindrom antibodi antifosfolipid meliputi pemeriksaan sebagai berikut : Antibodi antikardiolipin (IgG/IgM) yang berasal dari serum. Dianggap positif apabila, titernya mencapai lebih dari kadar titer medium (> 40 MPL/GPL), atau > 3 kali nilai kontrol, dan persisten selama 12 minggu. Anti beta 2 glikoprotein I (IgG/IgM) yang berasal dari serum. Dianggap positif apabila, titernya mencapai lebih dari 3 kali nilai kontrol, dan persisten selama 12 minggu. AntikoagulanLupus (LA) yang berasal dari serum. D. Trombofilia adalah suatu kondisi di mana terdapat suatu kecenderungan aliran darah penderita untuk mengalami trombosis yang diakibatkan oleh karena adanya kondisi prokoagulasi. Terdapat beberapa kelainan pembekuan darah yang dapat diklasifikasikan dalam trombofilia, di antaranya adalah : activated protein C resistance (APCR), protein S deficiency, protein C deficiency, prothrombin mutation, antithrombin III (AT III) deficiency, dan hyperhomocysteinemia. Mekanisme patofisiologinya adalah melalui mekanisme kondisi hiperkoagulasi yang dapat mengakibatkan terjadinya insufisiensi aliran darah menuju plasenta yang berakhir dengan kematian janin. Evaluasi fungsi hemostasis dapat dilakukan dengan memeriksa indikator aktivitas koagulasi seperti; prothrombin time (PT), activated partial thrombin time (aPTT), fibrinogen, D-dimer, dan agregasi trombosit.
12
PANDUAN TATA LAKSANA KEGUGURAN BERULANG
E. Kondisi hiperkoagulasi didefinisikan apabila terdapat aktivitas yang meningkat dari faktor-faktor pembekuan yang ditandai dengan pemendekan nilai PT dan aPTT, serta peningkatan kadar fibrinogen dan D-dimer, serta terdapat peningkatan aktivitas agregasi trombosit (hiperagregasi). F. Pemeriksaan hormon yang dilakukan meliputi pemeriksaan fungsi kelenjar tiroid maupun pankreas dalam hal melakukan pengaturan kadar gula darah. Rekomendasi dari RCOG menyatakan bahwa pemeriksaan rutin terhadap kelenjar tiroid (TSH dan FT4) dan toleransi glukosa (kadar gula darah dan insulin puasa dan 2 jam post-prandial) pada pasien keguguran berulang yang tidak memiliki gejala sebenarnya bersifat tidak infomatif [GOOD PRACTICE POINT]. G. Kejadian hiper atau hipotiroid banyak dikaitkan dengan kejadian keguguran berulang. Bukti yang ada saat ini menunjukkan bahwa kelainan tiroid yang diobati tidak berhubungan dengan kejadian keguguran berulang. Penelitian baru-baru ini juga menunjukkan bahwa 2% dari pasien keguguran pada masa trimester tengah didapatkan kelainan hipotiroid. Indikator yang digunakan untuk menilai fungsi kelenjar tiroid adalah kadar Thyroid Stimulating Hormone (TSH), dan Free thyroxine (FT4). Pemeriksaan fungsi kelenjar tiroid terutama dapat dipertimbangkan apabila pasien memiliki keluhan atau tinggal di lokasi yang dikenal memiliki kejadian yang cukup tinggi untuk kelainan tiroid (endemik). Kondisi hipertiroid didefinisikan apabila terdapat peningkatan kadar FT4 dan penurunan TSH. Sebaliknya kondisi hipotiroid ditandai dengan penurunan kadar FT4 dan peningkatan kadar TSH. H. Bukti saat ini menunjukkan bahwa kondisi diabetes yang terkendali tidak berhubungan dengan kejadian keguguran berulang. Namun studi terbaru menunjukkan bahwa kejadian resistensi insulin lebih banyak ditemukan pada kasus keguguran berulang. Kondisi diabetes ditentukan berdasarkan pemeriksaan kadar gula darah puasa dan 2 jam post-prandial. Sementara untuk melakukan penilaian resistensi insulin dapat digunakan pemeriksaan rasio kadar gula darah puasa dan insulin puasa. Penelitian sebelumnya menunjukkan rasio kadar gula darah puasa dan insulin puasa < 10.1 dianggap sebagai resistensi insulin. I. Pemeriksaan anatomi dilakukan untuk menyingkirkan adanya peran dari kelainan uterus yang dapat memicu gangguan ruang dan sirkulasi yang dibutuhkan pada uterus untuk menerima embrio. Instrumen yang dapat digunakan untuk melakukan penilaian adalah USG trans-vaginal (USGTV), USG trans-vaginal dikombinasi dengan infus cairan saline (USG-SIS), histerosalfingografi dan histeroskopi. USG-TV adalah merupakan instrumen diagnostik yang cukup baik, namun kadangkala sulit untuk membedakan
PANDUAN TATA LAKSANA KEGUGURAN BERULANG
13
massa yang terletak di dalam cavum uteri. Untuk melihat massa yang berada di dalam cavum uteri kadang dibutuhkan suatu medium distensi yang akan membuka cavum uteri. Tindakan tersebut akan mempermudah untuk mendeteksi adanya suatu massa atau kelainan yang berlokasi di cavum uteri. Cairan yang dapat digunakan untuk medium distensi adalah cairan saline (NaCl 0.9%) steril. HSG juga dapat memberikan gambaran yang mirip dengan gambaran USG-SIS, karena pemeriksaanya juga menggunakan prinsip yang sama. Namun ada pula nilai tambah dari HSG yaitu dapat memberikan informasi mengenai kondisi tuba falopii. Observasi langsung ke dalam cavum uteri saat ini dapat dilakukan dengan menggunakan histeroskopi. Metode ini menggunakan suatu teropong dengan diameter kurang lebih 4 mm (office hysteroscopy) atau 6mm dan dapat menggunakan medium distensi berupa cairan maupun gas (CO2). Namun sayangnya metode diagnostik ini masih cukup mahal. Tindakan office hysteroscopy saat ini amat populer dilakukan, karena tidak membutuhkan hari perawatan dan tindakan pembiusan. Keuntungan lain dari tindakan histeroskopi adalah dapat langsung melakukan tindakan koreksi apabila ditemukan suatu kelainan. J.
Kelainan fusi dan resorbsi uterus yang bersifat kongenital. Kejadian kelainan ini diperkirakan berkisar antara 1:200 hingga 1:600. Paling tidak diperkirakan 1 dari 4 wanita yang memiliki kelainan kongenita uterus dapat mengalami masalah reproduksi termasuk kejadian keguguran berulang. Bentuk kelainannya dapat berupa uterus septus, uterus bikornus, atau uterus didelfis.
K. Kelainan ukuran dan sirkulasi pada uterus akibat adanya suatu massa dapat memicu terjadinya keguguran. Ukuran dan sirkulasi uterus dapat berubah dengan kehadiran myoma uteri, polip endometrium atau sindrom Asherman. L. Idiopatik (tidak diketahui penyebabnya), berarti tidak didapatkan suatu faktor risiko tunggal pada kedua belah pihak (suami-isteri) yang bermakna dapat menimbulkan suatu kejadian keguguran berulang setelah dilakukan suatu evaluasi yang menyeluruh. Mayoritas pasien keguguran berulang (60%) umumnya masuk dalam kategori ini. Fenomena ini bukan berarti menyatakan bahwa penderita ini sama sekali tidak memiliki suatu kelainan. Kejadian keguguran berulang saat ini dianggap suatu fenomena yang memiliki dasar patologi yang lebih bersifat heterogen, dan bukan disebabkan oleh karena faktor patologi tunggal. Salah satu teori menyatakan munculnya suatu penyakit pada seseorang dapat disebabkan oleh karena faktor-faktor risiko yang dimiliki oleh penderita tersebut telah melampaui batas toleransi. Faktor-faktor risiko tersebut secara individual tidak akan cukup untuk menimbulkan suatu gejala.
14
PANDUAN TATA LAKSANA KEGUGURAN BERULANG
Keguguran Trimester 2
A. Keguguran trimester 2 berulang
B. Pemeriksaan uterus
C. Kelainan fusi dan resorbsi
Normal
D. Gangguan ukuran dan sirkulasi
E. Pemeriksaan serviks
G. Pemeriksaan infeksi
F. Inkompetensi serviks
H. Bakteriosis vaginalis
Keterangan : A. Keguguran trimester 2 berulang adalah kejadian keguguran pada usia kehamilan 24 minggu ke atas sebanyak 2 kali atau lebih secara berturut-turut B. Pemeriksaan uterus ditujukan untuk melihat adanya kelainan morfologi pada uterus. Dapat dilakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG), histerosalfingografi (HSG) dan histeroskopi. (Untuk penjelasan lebih lengkap dapat melihat point I pada pemeriksaan kasus keguguran janin). C. Kelainan fusi dan resorbsi uterus bersifat kongenital. Kejadian kelainan ini diperkirakan berkisar antara 1:200 hingga 1:600. Paling tidak diperkirakan 1 dari 4 wanita yang memiliki kelainan kongenita uterus dapat mengalami masalah reproduksi termasuk kejadian keguguran berulang. Bentuk kelainannya dapat berupa uterus septus, uterus bikornus, atau uterus didelfis. D. Kelainan pada ukuran dan sirkulasi dari uterus akibat adanya suatu
PANDUAN TATA LAKSANA KEGUGURAN BERULANG
15
massa abnormal dapat memicu terjadinya keguguran. Ukuran dan sirkulasi uterus dapat mengalami perubahan dengan terdapatnya myoma uteri, polip endometrium atau sindrom Asherman. E. Pemeriksaan serviks ditujukan untuk melihat kekuatan dari serviks. Umumnya dapat dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan busi Hegar no. 8, HSG dan USG F.
Inkompetensi servikalis adalah suatu keadaan di mana serviks tidak mampu menahan kehamilan, yang ditandai dengan dilatasi dari ostium uteri internum. Diagnosis inkompetensi servikalis dapat ditegakkan apabila sebuah busi no. 8 dapat dimasukkan melalui ostium uteri internum uterus non-gravidus, atau terdapatnya gambaran cerobong pada pemeriksaan HSG atau adanya pemendekan kanalis servikalis pada pemeriksaan USG-TV.
G. Pemeriksaan infeksi ditujukan untuk mendeteksi adanya infeksi pada traktus genitalis. H. Bakteriosis vaginalis (BV) adalah kejadian infeksi vagina yang disebabkan oleh karena adanya ketidakseimbangan pada polimikroba vagina. Pemeriksaan BV umumnya dilakukan menggunakan metode preparat basah dengan menggunakan kriteria Nugent.
16
PANDUAN TATA LAKSANA KEGUGURAN BERULANG
Kelainan Endokrin
Penanganan Keguguran Berulang
Kelainan Kromosom
A. Konseling B. Skrining pranatal
Kelainan Imunologi
Sindrom antifosfolipid
Keguguran Berulang
Trombofilia
Hiperkoagulasi
F. Agonis dopamin
Idiopatik
H. Pembedahan
Kelainan Anatomik
Infeksi BV
J. Antibiotika
K. Tender, Love and Care
Kelainan uterus
I. Sirklase
L. Pengobatan empirik kombinasi
Kelainan serviks
E. Stimulasi ovarium dan luteal support
G. Antikoagulan dan anti-agregasi
Hormon reproduksi
PCOS
Defek fase luteal
Hormon metabolik
Kelainan tiroid
Metformin
Hiperprolaktinemia
Kelainan gula darah
C. Konsul ke TS PID D. Resistensi insulin
17
PANDUAN TATA LAKSANA KEGUGURAN BERULANG
Keterangan : A. Konseling mengenai masalah kelainan kromosom dan genetika perlu diberikan, apabila dari hasil analisa kariotipe didapatkan suatu kelainan. Hal ini penting untuk informasi orang tua yang bersangkutan terkait dengan pola penurunan kelainan kromosom tersebut. Perlu diberikan informasi terkait kemungkinan berulang dan ketidaktersediaan terapi. Diharapkan dokter yang menangani dapat berkoordinasi dengan ahli genetika. B. Skrining pranatal perlu dianjurkan apabila pasien tersebut hamil untuk memastikan tidak ditemukannya kelainan kromosom. Pemeriksaan pranatal bisa dilakukan dengan menggunakan metode chorionic villi sampling (CVS) atau amniosentesis. C. Pasien dengan gangguan tiroid atau gangguan sensitivitas hormon insulin hingga diabetes penanganannya dapat berkolaborasi dengan teman sejawat dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam. D. Untuk kasus resistensi insulin dapat diberikan metformin. Metformin tergolong dalam obat biguanid oral yang terbukti dapat digunakan untuk pengobatan kasus Diabetes Melitus (DM) tipe 2. Metformin dapat memperbaiki resistensi insulin melalui mekanisme peningkatan ambilan glukosa oleh otot dan lemak, serta meningkatan ikatan dengan reseptor insulin. Pemberian metformin dapat memicu efek samping pada saluran cerna berupa timbulnya rasa mual. Oleh karena itu amat penting untuk memulai pengobatan metformin dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan hingga mencapai dosis pengobatan, yaitu 3 x 500 mg per hari atau 2 x 850 mg per hari. E. Untuk masalah kelainan hormon reproduksi yang diakibatkan oleh karena defek fase luteal atau siklus anovulasi dalam hal ini PCOS dapat menggunakan stimulasi ovarium dan luteal support. Stimulasi ovarium dapat menggunakan preparat anti-estrogen (clomiphene citrate), rekombinan FSH atau aromatase inhibitor. Sementara untuk luteal support dapat menggunakan preparat progestogen atau progesteron. Luteal support dapat dilakukan dengan pemberian didrogesteron (Duphaston®) 2x10 mg per hari, atau diberikan preparat progesteron supositoria dengan dosis 1x400 mg per hari selama masa luteal (14 hari). Sebaiknya tidak menggunakan MPA, 17 hidroksi progesteron kaproat karena dapat memicu kelainan janin dan virilisasi janin, dan tidak menyarankan untuk menggunakan preparat alilestrenol. F.
18
Untuk masalah hiperprolaktinemia perlu dilakukan investigasi lebih lanjut untuk mengetahui penyebab kondisi tersebut. Awalnya perlu disingkirkan kemungkinan kelainan hormon tiroid (hipotiroid), penggunaan obat-obatan yang dapat memicu peningkatan kadar hormon prolaktin, atau
PANDUAN TATA LAKSANA KEGUGURAN BERULANG
adanya massa di hipofisis (mikroadenoma, makroadenoma atau tumor stalk). Pemberian dopamin agonis (bromokriptin) dapat diberikan mulai dengan dosis yang rendah hingga tercapai dosis terendah yang dapat ditoleransi oleh pasien dan mampu menurunkan kadar hormon prolaktin. Dosis maksimum bromokriptin adalah 7.5 mg per hari. Apabila pasien tidak dapat mentoleransi penggunaan bromokriptin, maka dapat menggunakan preparat kabergolin dengan dosis mulai dari 0.25 mg per minggu. G
Pemberian obat-obatan antikoagulan dan antiagregasi dianjurkan untuk dilakukan sendiri oleh dokter SpOG berdasarkan panduan yang ada. Pemberian obat-obatan tersebut harus didasarkan atas temuan klinis dan laboratoris yang mendukung adanya suatu kondisi hiperkoagulasi. Apakah pemberian obat antikoagulan dimulai pada masa pra-konsepsi atau pasca-konsepsi harus didasari temuan apakah penderita tersebut memang memiliki kondisi hiperkoagulasi pada masa pra-konsepsi. Pemberian aspirin dosis rendah (81 mg per hari) dapat diberikan segera setelah pasien positif hamil. Selanjutnya pemberian heparin dapat diberikan setelah dikonfirmasi adanya detak jantung janin. Heparin dapat diberikan dengan dosis sebagai berikut : Unfractionated heparin (UFH) dapat diberikan 2x5000 iu per hari sub kutan. Sementara Low Molecular Weight Heparin (LMWH) seperti enoxoparin dapat diberikan 40 mg per hari sub kutan. Pemeriksaan kadar trombosit dapat dilakukan tiap minggu dalam 2 minggu pertama pemberian, namun selanjutnya dapat dipantau tiap 4 minggu sekali untuk memantau terjadinya Heparin Induced Thrombocytopenia (HIT). Pemberian heparin memiliki target untuk mempertahankan aPTT paling tidak 1.5 x kontrol. Untuk mencegah terjadinya osteopenia, maka dapat diberikan suplemen kalsium dengan dosis 2x600 mg per hari. Penggunaan aspirin harus dihentikan paling tidak 3 minggu sebelum persalinan. LMWH harus dihentikan paling tidak 5 hari sebelum persalinan, dan diganti dengan UFH hingga 1 hari sebelum persalinan. Sementara UFH dihentikan paling tidak 1 hari sebelum persalinan.
H. Kelainan uterus berupa gangguan fusi dan resorbsi dari duktus muller serta adanya massa abnormal mengganggu kontur dari kavum uteri serta memicu terjadinya gangguan sirkulasi (myoma uteri, polip endometrium) dapat diatasi dengan melakukan tindakan pembedahan untuk melakukan koreksi serta pengangkatan massa tersebut. I.
Kelainan kelemahan (inkompetensi) serviks dapat diatasi dengan melakukan tindakan sirklase menggunakan teknik Shirodkar atau McDonald.
J.
Infeksi BV dapat diatasi dengan menggunakan antibiotika seperti klindamisin atau metronidazol (tidak dianjurkan jika sudah hamil).
K. Dukungan yang bersifat suportif baik dari pasangan, serta lingkungan
PANDUAN TATA LAKSANA KEGUGURAN BERULANG
19
sekitarnya amat bermanfaat untuk memberikan ketenangan bagi pasien yang kadang merasa amat sedih dan kecewa dengan terjadinya keguguran secara berturut-turut. Tidak jarang dibutuhkan pula kerjasama dengan seorang ahli yang dapat membangkitkan semangat pasien untuk bangkit dari rasa bersalah. L.
20
Pada kasus keguguran berulang idiopatik (penyebab tidak diketahui) dapat dicoba untuk melakukan pemberian obat kombinasi secara empirik. Dari suatu penelitian didapatkan pemberian obat kombinasi ini dapat meningkatkan angka kelahiran hidup dibandingkan dengan pasien keguguran berulang yang tidak diterapi. Kombinasi obat tersebut adalah sebagai berikut : Prednison 20 mg per hari dan Progestogen (didrogesteron (Duphaston®)), 20 mg per hari hingga usia kehamilan 12 minggu, Aspirin 80 mg per hari hingga usia kehamilan 28 minggu, dan asam folat 5 mg tiap 2 hari sekali selama masa kehamilan.
PANDUAN TATA LAKSANA KEGUGURAN BERULANG
Daftar Pustaka Ben-Haroush A. Yogev Y., Fisch B. Insulin resistance and metformin in polycystic ovary syndrome. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol. 2004;115:125-33 Christiansen OB., Andersen A-MN., Bosch E., et al. Evidence based investigations and treatments of recurrent pregnancy loss. Fertil Steril. 2005;83:821-39 Craig LB., Ke RW., Kutteh WH. Increased prevalence of insulin resistance in women with history of recurrent pregnancy loss. Fertil Steril. 2002;78:487-90 Daya S. Evidence based management of recurrent miscarriage: optima diagnostic protocol. Int Cong Ser. 2004;1266:318-27 Dawood F., Farquharson R., Quenby S. Recurrent miscarriage. Curr Obstet Gynecol. 2004;14:247-53 Dawood F., Quenby S., Farquharson R. Recurrent miscarriage: an overview. Rev Gynecol Pract. 2003;3:46-50 Farquharson RG., Jauniaux E., Exalto N., on behalf of ESHRE special interest group for early pregnancy (SIGEP). Updated and revised nomenclature for description of early pregnancy events. Hum Reprod. Advance accesspublished July 8 2005. Galli M., Barbui T. Antiphospholipid antibodies and pregnancy. Best Pract Res Clin Haematol. 2003;16:211-25 Hay PE. Bacterial vaginosis and miscarriage. Curr Opin Infect Dis. 2004;17:41-4 Hirahara F., Andoh N., Sawai K., et al. Hyperprolactinemic recurrent miscarriage and results of randomized bromocriptine treatment trials. Fertil Steril. 1998;70:246-52 Jauniaux E., Farquharson RG., Christiansen OB., Exalto N., on behalf of ESHRE special interest group for early pregnancy (SIGEP). Evidence based guidelines for the investigation and medical treatment of recurrent miscarriage. Krassas GE. Thyroid disease and female reproduction. Fertil Steril. 2000;74:106370 Noble LS., Kutteh WH., Lashey N., Franklin RD., Herrada J. Antiphospholipid antibodies associated with recurrent pregnancy loss: prospective, multicentre, controlled pilot study comparing treatment with low molecular weight heparin versus unfractionated heparin. Fertil Steril. 2005;83:684-90 Paidas MJ., Ku D-HW., Langhoff-Roos J., Arkel YS. Inherited thrombophilias and adverse pregnancy outcome: screening and management. Semin Perinatol. 2005;29:150-63 Porter TF., Scott JR. Evidence based care of recurrent miscarriage. Best Pract Res Clin Obstet Gynecol. 2005;19:85-101 Rai R. Obstetric management of antiphospholipid syndrome. J Autoimmun. 2000;15:203-7 Rai R., Backos M., Rushworth F., Regan L. Polycystic ovaries and recurrent
PANDUAN TATA LAKSANA KEGUGURAN BERULANG
21
miscarriage- a reappraisal. Hum Reprod. 2000;15:612-5 RCOG Guideline No. 17. The investigation and treatment of couples with recurrent miscarriage. May 2003 Vinatier D., Dufour P., Cosson M., Houpeau JL. Antiphospholipid syndrome and recurrent miscarriage. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol. 2001;96:37-50 Walker J. The medical and surgical management of recurrent miscarriage. Curr Obstet Gynecol. 1999;9:13-8
22
PANDUAN TATA LAKSANA KEGUGURAN BERULANG
Daftar Peserta Rapat: Lokakarya Himpunan Endokrinologi - Reprouksi dan Fertilitas Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (HIFERI-POGI) Yogyakarta, 19 Juni 2010 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Prof. Dr. med. Ali Baziad, SpOG(K) Prof. Dr. dr. Tedjo Danudjo O, SpOG(K) Prof. dr. Eddy Suparman, SpOG(K) Prof. dr. Djaswadi Dasuki, SpOG(K), MPH, PhD dr. Andon Hestiantoro, SpOG(K) Dr. dr. Budi Santoso, SpOG(K) dr. A. Abadi, SpOG(K) dr. Fadjar Siswanto, SpOG(K) dr. Widjajanto Ngartjono, SpOG(K) dr. Rajuddin, SpOG(K) dr. Eddy R. Moeljono, SpOG(K) dr. Made Suyasa Jaya, SpOG(K) dr. Ichwanul Adenin, SpOG(K) dr. Kanadi Sumapraja, SpOG, MSc dr. Hasto Wardoyo, SpOG(K) dr. Anita Rachmawati, SpOG(K) dr. Eddy Gunawan Achmad, SpOG(K) dr. Abdulrahman Laqif, SpOG(K) dr. Haryadi SpOG
PANDUAN TATA LAKSANA KEGUGURAN BERULANG
23