Buku Fismat II Bab 1 -3

March 20, 2017 | Author: Arief Djaelani | Category: N/A
Share Embed Donate


Short Description

Download Buku Fismat II Bab 1 -3...

Description

i

DAFTAR ISI

Sambutan Dekan FMIPA Untad ................................ Error! Bookmark not defined. HALAMAN PENGESAHAN BUKU AJAR ...................... Error! Bookmark not defined. DAFTAR ISI ....................................................................................................... 1 BAB I TURUNAN PARSIAL................................................................................. 3

1.1 UMUM .............................................................................................................3 1.2 PENGERTIAN TURUNAN PARSIAL .....................................................................3 1.3 DIFERENSIAL TOTAL .......................................................................................7 1.4 FUNGSI IMPLISIT ......................................................................................... 12 1.5 PERSOALAN EKSTREM TAKTERKENDALA ......................................................... 15 1.6 PERSOALAN EKSTREM TERKENDALA............................................................... 17 BAB II INTEGRAL LIPAT DAN TRANSFORMASI KOORDINAT ........................ 27

2.1

UMUM ........................................................................................................ 27

2.2

DEFINISI INTEGRAL LIPAT DUA................................................................... 27

2.3

INTEGRAL BERUANG DUA ........................................................................... 29

2.4

TRANSFORMASI VARIABEL INTEGRAL .......................................................... 38

2.5

INTEGRAL LIPAT TIGA ................................................................................ 49

2.6

BESARAN FISIKA SEBAGAI INREGRAL LIPAT ................................................ 55

2.7

INTEGRASI DALAM KOORDINAT SILINDER DAN BOLA .................................. 57

BAB 3 ANALISIS VEKTOR DAN PENGERTIAN MEDAN .................................... 67

3.1 UMUM ........................................................................................................... 67 3.2 FUNGSI VEKTOR SATU VARIABEL ................................................................... 67

1

3.3 DIFERENSIASI FUNGSI VEKTOR SATU VARIABEL ............................................ 68 3.4. MEDAN SKALAR DAN VEKTOR ....................................................................... 72 3.5. GRADIEN DAN TURUNAN ARAH ..................................................................... 73 3.6. DIVERGENSI DAN CURL ............................................................................... 77 3.7. INTEGRAL DAN VEKTOR BIASA ..................................................................... 82 3.8. INTEGRAL LINTASAN .................................................................................... 84 3.9. INTEGRAL PERMUKAAN................................................................................. 88 3.10. TEOREMA GREEN DALAM BIDANG ............................................................... 97 3.11. TEOREMA STOKES .................................................................................... 100 3.12 TEOREMA DIVERGENSI ............................................................................. 103 BAB 4 PERSAMAN DIFERENSIAL BIASA ....................................................... 108

4.1

UMUM ...................................................................................................... 108

4.2

PERSAMAAN DIFERENSIAL DAN PEMECAHANNYA ....................................... 109

4.3

ORDE SATU : VARIABEL TERPISAHKAN ...................................................... 111

4.4

ORDE SATU : HOMOGEN ........................................................................... 113

4.5

ORDE SATU : LINIER................................................................................. 115

4.6

LINIER KOEFISIEN TETAP ......................................................................... 120

4.7

ORDE DUA LINIER HOMOGEN DENGAN KOEFISIEN TETAP.......................... 122

4.8

ORDE DUA LINEAR TAKHOMOGEN DENGAN KOEFISIEN TETAP ................... 126

4.9

PENERAPAN PADA PERSOALAN FISIKA....................................................... 135

2

BAB I TURUNAN PARSIAL 1.1 UMUM Bahasan kita mengenai fungsi di depan hanyalah terbatas pada fungsi

dari satu

fariabel . suatu besaran fisika, yang secara kuantitatif kita kaitkan dengan suatu fungsi, suhu ruang misalnya, berbeda dari satu tempat ketempat lainnya, yang berarti fungsi dari tiga variabel

dan

suatu

yang berkaitan dengan ketiga koordinat sebuah titik dalam

ruang. Dalam bab ini kita akan membahas tentang defenisi fungsi lebih dari satu variable, deferensiasinya, dan persoalan ekstrem fungsi variable banyak, takterkendala dan yang terkendala.

1.2 PENGERTIAN TURUNAN PARSIAL Untuk memperoleh pengertian awal mengenai turunan parsial, marilah kita tinjau selembar pelat logam datar panas D yang dalam keadaan mantap tersebar suhu tak seragam T. Andaikanlah bidang koordinat xy dipilih pada bidang pelat loga. Maka sebaran suhunya dinyatakan oleh fungsi dua variable :

Untuk mengetahui rata-rata perubahan suhu pelat sejauh

, untuk ordinat

,

yang tetap, kita hitung nisbah:

Begitupula, rata – rata perubahan suhu untuk absis

per satuan panjang dalam arah sumbu

per satuan panjangdalam arah sumbu

sejauh

,

yang tetap, diberikan oleh nisbah:

3

Lazimnya kita cenderung menghitung perubahan suhu per satuan panjang di setiap titik Dalam hal ini,kita mengambil

0, dan

.

0, pada masing-masing nilai nisbah di

atas,kemudian menghitung limitnya.Jika limitnya ada, kita tulis:

Berturut–turut,

, dan

menyatakan perubahan suhu per satuan panjang di setiap panjang

setiap titik dalam arah , dan (a)

adalah turunan fungsi

terhadap

dengan memperlakukan

tetapan, yang disebut turunan parsial fungsi (b)

adalah turunan fungsi

terhadap ; sedangkan

terhadap

dengan memperlakukan

tetapan, yang disebut turunan parsial fungsi Lambang lain yang digunakan bagi Secara geometris,jika

dan

melalui persamaan

menyatakan suatu permukaan 1.1. Persamaan permukaan berubah,

sebagai suatu

terhadap .

adalah

,begitupula bagi

adalah

adalah koordinat – koordinat Kartesis, maka

menyatakan himpunan titik dalam ruang berdimensi tiga. Dalam hal dan

sebagai suatu

bergantung pada koordinat

, maka himpunan titik dalam ruang berdimensi tiga, seperti diperlihatkan pada Gambar

.Himpunan titik pada permukaan S yang koordinat

tetap,jadi memenuhi persamaan

-nya tak

,terletak pada sebuah kurva

dengan koordinat y berperan sebagai parameter kurva.Ini adalah kurva irisan bidang dengan permukaan

, yakni kurva

pada Gambar 1.1. Begitupula, persamaan

4

,menyatakan sebuah kurva hasil irisan bidang

dengan permukaan

yakni garis CD pada gambaar 7.1. Jika

tetap, maka persamaan

disebut kontur atau tingkat kurva dari persamaan

.

S z

C B

A

D

0 y x

Gambar 1.1 Dengan tafsiran geometris ini turunan parsial permukaan

sepanjang kurva

, dan

berturut–turut menyatakan kemiringan

dan

).

Karena turunan Parsial (1.4) pada umumnya jugamerupakan fungsi dari

dan

, maka jika

diturunkan lebih lanjut, kita menuliskannya sebagai berikut:

(

)

(

)

(

)

Yang disebut turunan parsial kedua. (Perhatikan baik–baik urutan variable pada kedua penulisan di ruas kanan). Begitu seterusnya untuk semua turunan yang lebih tinggi. Contoh Soal 7.1: Misalkan

. Maka ,

5

(

)

(

)

(

)

(

)

dan seterusnya. Tampak bahwa : (

)

(

)

Perlu dicatat bahwa kesamaan turunan campuran ini dijamin berlaku jika

dan

kontinu

pada titik yang ditinjau. Contoh 1.2 : Tinjau persamaan gas ideal

, dengan

dan

volume dan suhu gas ideal ; sedangkan

adalah jumlah mol gas dan

tetapan gas semesta (Universal).Berikut kita akan menganggap

berturut-turut adalah tekanan, suatu tetapan fisika, yakni

tetap.

Jika persamaannya kita pecahkan bagi , kita peroleh:

Sebagai fungsi dari

dan , sehingga:

Sebaliknya, pemecahan persamaan keadaan gas ideal bagi

di mana

memberikan:

dan T sekarang adalah variable bebas. Dengan demikian, kita peroleh:

6

Jika kita nyatakan sebagai fungsi dari

dan , yakni:

maka,

Dari Pers. (1.7) dan (1.8) kita peroleh: (

)(

)(

)

Perhatian, jika ruas kiri kita perlakukan sebagai perkalian tiga buah pecahan, kita seharusnya memperoleh nilai 1 ; suatu perbedaan penting yang perlu dicatat! Jika

adalah fungsi dari tiga variable

pula turunan parsial

,

, dan

dan , atau lebih, kita definisikan

seperti di atas.

1.3 DIFERENSIAL TOTAL Pada bahasan turunan parsial di atas, kita hanyalah meninjau perubahan fungsi dan

keduanya bertambah secara bebas?

Misalkan fungsi jika

bila

bertambah menjadi

mempunyai turunan parsial di dan

menjadi

. Pertambahan fungsi

adalah : (1.10)

Jika kita tambahkan dan kurangkan [

di ruas kanan, kita peroleh : ]

[

]

7

Suku pertama dalam kurung siku pada ruas kanan Pers. (1.11) adalah pertambahan fungsi

dengan mempertahankan

dalam

tetap. Karena itu, kita sebenarnya

berurusan dengan fungsi satu variable , untuk mana berlaku teorema nilai rata-rata kalkulus. Teorema ini menyatakan : Jika

pada setiap titik dalam selang : [

memiliki turunan [

], maka:

]

(1.12)

sebuah titik dalam selang : [

dengan ξ =

].

Dengan demikian, kita dapat menulis : [

]

dengan

. Dengan cara yang sama, penerapan teorema nilai rata-rata pada suku

kedua Pers. (1.11), dengan S dipertahankan tetap, menghasilkan : [ dengan

] .

Jika turunan parsial

dan

kontinu di

, maka : ξ ξ

dengan

= 0, dan

= 0, bila

dan

(1.15a) (1.15b)

menuju nol.

Dengan demikian, Pers. (1.11) menjadi :

Dengan mengambil lim

, dan

, kita peroleh diferensial total fungsi

:

8

Definisi di atas berlaku pula untuk fungsi dari tiga atau lebih variable,

Setiap fungsi

yang deferinsialnya

, yakni :

memenuhi hubungan diferensial total (1.18)

disebut deferensial eksak. Contoh 1.3 : Hitunglah diferensial total fungsi

pada contoh 6.1.

Pemecahan: Karena

dan

kontinu, maka Pers (1.17)

menghasilkan : [

]

[

]

CONTOH 1.4 : KESALAHAN RELATIF PENGUKURAN Percepatan gravitasi g dapat ditentukan dari panjang l dan periode rumusnya adalah :

bandul matematis;

. Tentukanlah kesalahan relative terbesar dalam perhitungan g

jika kesalahan relative dalam pengukuran l adalah 5%, dan T, 2%. PEMECAHAN Kesalahan relatifdalam pengukuran l adalah kesalahan sebenarnya dalam pengukuran l dibagi dengan panjang terukur l. karena kita dapat mengukur l lebih besar atau lebih kecil daripada sesungguhnya, maka kesalahan relative terbesar |

⁄ mungkin - 0,05 atau 0,05. Begitupun

⁄ | terbesar adalah 0,02. Karena kita menginginkan |

hubungan :

⁄ |, kita hitung turunan dari

, kita peroleh :

Dengan demikian,

9

Karena menurut ketaksamaan segitiga : |

⁄ | = 0,05 + 2 (0,02) = 0,09

ATURAN RANTAI Tinjaulah kembali fungsi

yang secara geometris menyatakan persamaan

permukaan S dalam ruang. Jika variable

dan

berubah kurva C sebarang, yang persamaan

parameternya adalah : (1.19) dengan s sebagai parameter, maka sepanjang kurva tersebut, z adalah fungsi dari s, atu variabel : (

)

Sehingga sepanjang kurva C:

Dengan demikian, menurut Pers. (1.17):

Untuk kasus khusus :

Perluasannya untuk fungsi dari variabelnya

fungsi dari

variabel, variabel

, dengan masing-masing : …………..

adalah langsung. Menurut Pers. (1.18):

10

Karena masing-masing variabel

adalah juga fungsi dari

maka menurut

(1.18):

. . . . . Sisipkan (1.23b) ke dalam (1.23a) memberikan: (

(

)

)

Contoh 1.5 : Jika

, dengan

,

, dan

, tentukan

PEMECAHAN : Menurut Pers. (1.23c):



11



1.4 FUNGSI IMPLISIT Pada bahasan diatas, ketergantungan salah satu variabel pada lainnya diberikan dalam bentuk eksplisit, seperti

. Berikut kita akan meninjau ketergantungan variabel diberikan dalam

bentuk implicit seperti

. Untuk menghitung

memecahkan persamaan

bagi



, kita dapat terlebih dahulu

yang kemudian menurunkannya terhadap .Tetapi,

cara ini yang sering kali cukup rumit, dapat diatasi, karena menurut Pers. (1.17):

Yang darinya kita peroleh: ⁄ ⁄ asalkan



pada bidang xy, dan

. Secara geometris, fungsi implisit ⁄

menyatakan sebuah kurva

menyatakan kemiringan gars singgungnya di titik

di mana

⁄ Contoh 1.6 : Tentukanlah kemeringan garis singgung pada kurva

di titik (1, -1).

PEMECAHAN : Tuliskan persamaan kurva di atas kembali dengan ruas kanan nol :

12

Turunan parsialnya

terhadap

dan : ,

,

di titik (1, -1) : di titik (1, -1) :

Jadi, kemiringan kurva di titik (1, -1) adalah : ⁄ ⁄



]

Untuk fungsi implisit dalam tiga atau lebih variabel

yakni :

, menurut

Pers. (1.18) :

Jika



persamaan ini kita dapat pecahkan bagi dz: (

)⁄



Dari persamaan ini terbaca: ⁄ ⁄

⁄ ⁄

Contoh 1.7: Tentukan





. dari persamaan

PEMECAHAN : Dari fungsi implisit :

,

Maka dari Pers. (1.24):

13

Jelas, jika z = 0, yang adalah sepanjang lingkaran

kedua turunan parsial ini tak

terdefinisikan. PENERAPAN DALAM TERMODINAMIKA Penerapan turunan parsial untuk mendapatkan hubungan antara berbagai besaran fisika, lebih sering digunakan dalam cabang Termodinamika, yang mengkaji kaitan antara energy dan kalor. Hokum pertama Termodinamika menyatakan bahwa jika pada sebuah system yang berinteraksi secara termal dengan lingkungan melakukan usaha terhadap lingkungan sebesar

, maka

system tersebut akan mengalami pertambahan energy dalam dU, dan menerima atau melepas kalor sebanyak

, menurut hubungan: (1.25)

Notasi

, dan

untuk membedakan bahwa pertambahan kalor, dan usaha bergantung pada

jenis proses, sedangkan dU menyatakan diferensial total energi fungsi dalam sistem. Untuk system gas, keadaan sistem ditentukan oleh suhu ,tekanan , volume , yang berkaitan melalui suatu persamaan keadaan : F (P, V, T) = 0 Sebagai contoh, untuk gas ideal berlaku umumnya merupakan fungsi dari suhu

. Bagi system gas, energy dalam U pada dan volume

sedangkan

,

dengan P tekanan gas. Hukum Termodinamika kedua mengatakan bahwa bagi proses irreversible (terbalikkan), kalor , dengan

adalah entropi. Dengan demikian, hukum pertama Termodinamikadapat

dinyatakan dalam diferensial total sebagai berikut :

Pers. (1.26) memperlihatkan bahwa energy dalam U juga merupakanfungsi dari entorpi S, dan volume

V,

U

=

U

(S,

V).

Jadi,

menurut

rumusan

diferensial

total

(1.27):

14

(

)

(

)

Perbandingan antar Pers. (1.26) dan (1.27) memperlihatkan bahwa berlaku hubungan :

Turunan parsial dari (1.28) adalah: (

)

(

)

Karena (

)

(

)

persamaan kedua (1.29) adalah salah satu dari sehimpunan relasi Maxwell antara besaranbesaran termodinamika. Dengan cara yang sama, diturunkan pula relasi-relasi Maxwell berikut :

1.5 PERSOALAN EKSTREM TAKTERKENDALA Pada kuliah kalkulus satu variabel, kita pelajari bahwa fungsi (maksimum atau minimum) pada sebuah titik tersebut adalah nol :

bernilai ekstrem

jika turunan pertamanya di titik .

15

Pada fungsi dua variabel

atau lebih, berlaku pula persyaratan ekstrem yang sama, (

yang dapat dinalar sebagai berikut. Misalkan

) adalah titik ekstrem fungsi

. Dengan memilih variabel

menjadi fungsi dari satu

sedangkan jika dipilih

menjadi fungsi dari

satu variabel . dengan demikian, berlaku syarat ekstrem seperti pada fungsi satu variabel, tetapi dalam hal ini ada dua persamaan yaitu : (

)

(

(1.30)

)

Jika variabel x dan y adalah bebas, maka persoalan ekstrem ini disebut ekstrem takterkendala (unconstraint). Untuk mencirikan jenis ekstremnya, kita perlu menghitung turunan parsial keduanya, dan besaran : [

]

(1.31)

Penentuan jenis ekstremnya sebagai berikut : Titik (

adalah titik ekstrem fungsi

) jenis :

(a) maksimum, jika : (b) maksimum, jika : (c) titik pelana (saddle), jika : Jika

tak ada yang dapat kita simpulkan mengenai jenis ekstrem fungsi

Contoh 1.8 : Carila titik ekstrem dari fungsi

, dan tentukan jenis

ekstremnya. PEMECAHAN : Dari syarat ekstrem (1.30), kita peroleh :

16

atau jadi titik

adalah satu-satunya titik ekstrem fungsi .

Jenis ekstremnya, kita tentukan dari turunan kedua fungsi f :

Dan nilai diskriminannya di titik (-2, -2) adalah :

Karena

adalah

titik

ekstrem

maksimum fungsi . nilai ekstremnya adalah : .

1.6 PERSOALAN EKSTREM TERKENDALA Pada persoalan ekstrem fungsi

yang ditinjau di atas,variabel x dan y berubah secara

bebas. Tetapi dalam berbagai persoalan fisika dan gometri, variabel x dan yseringkali disyaratkan memenuhi suatu hubungan tertentu,

. di dalam bab ini kita akan

membahas dua cara pemecahannya, yaitu cara eliminasi dan pengali Lagrange. CARA ELIMINASI : Pada cara eliminasi, kita pecahkan dahulu persamaan kendala,

untuk salah satu

variabel bersangkutan dari fungsi f, dan selanjutnya mencari nilai ekstrem fungsi f, dalam variabel yang sisa. Sebagai contoh, tinjaulah contoh soal berikut. Contoh 1.9 : Tentukanlah letak titik

pada sebuah permukaan bidang

, yang

jaraknya terdekat ke titik asal 0. PEMECAHAN :

17

ke titik asal 0 adalah : |⃗⃗⃗⃗⃗ |

Pada Bab 4 kita pelajari bawa jarak sebuah titik √

. Karena |⃗⃗⃗⃗⃗ | minimum jika fungsi :

maka kita dapat mengambil f sebagai fungsi yang hendak dicari nilai ekstremnya. Karena titik haruslah terletak pada bidang

, maka persamaan bidang ini

adalah persamaan kendala :

Cara jelas untuk memecahkan persoalan ekstrem terkendala ini adalah cara eliminasi. Yaitu, memecahkan dahulu persamaan kendala bagi salah satu variabel kemudian disisipkan ke dalam fungsi . Dari persamaan kendala kita peroleh :

Sisipkan dalam fungsi kuadrat jarak , memberikan :

Penerapan syarat ekstrem, memberikan :

Pemecahannya memberikan : bersangkutan, dalam variabel

Karena

⁄ Untuk menyelidiki jenis ekstrem

yang

, kita hitung lagi turunan parsial keduanya :

maka

titik ekstrem minimum fungsi adalah







adalah

. Koordinat x dari titik pada bidang :

⁄ .

18

Jadi, titik terdekat yang kita cari adalah : p (1/3, -1/3, 2/3). METODE PENGALI LAGRANGE : Persamaan kendala ф (x, y, z0 = 0 seringkali sangatlah rumit untuk dipecahkan, begitupula halnya dengan pemecahan syarat ekstrem : fx = 0, fz = 0, atau dalam dua variable lainnya. Untuk mengatasinya, matematikawan perancis Louis Lagrange mengembangkan metode pengali lagrange, yang menghasilkan suatu system persamaan setara yang relative mudah mencari pemecahanya. Gagasan darsarnya bertolak dari hasil penalaran berikut. Telah kita lihat bahwa syarat perlu bagi fungsi f(x, y, z) memiliki suatu nilai ekstrim adalah : f x = 0, fy = 0, fz = 0. Karena df = fxdx + fy dy + fzdz, maka di titik ekstrem berlaku :

df = fx dx + fy dy + fz dz = 0

(1.32)

Sebaliknya, jika df = 0, maka fx = 0, fy =0, fz = 0, karena dx, dy, dan dz bebas linear. Jika : Ф(x, y,z) = 0

(1.33)

Adalah persamaan kendala, maka juga berlaku :

dф = фxdx + фy dy + фz dz = 0

(1.34)

kalikan pers. (1.34) dengan sebuah parameter λ kemudian jumlahkan dengan (1.32) memberikan :

(fx + λ x) dx + (fy + λ фy)dy + (fz + λ фz)dz = 0

(1.35)

Dengan memandang x, y, dan z bebas, maka dx, dy, dan dz juga bebas sehingga kita peroleh :

fx + λ x = 0

fy + λ фy= 0

fz + λ фz = 0

(1.36)

ketiga persamaan (1.36) bersama dengan persamaan kendala (1.33) memberikan empat sistem persamaan yang dapat dipecahkan bagi ke empat variable x, y, z dan λ. Sistem persamaan (1.33) dan (1.36) dapat dipandang sebagai persamaan syarat ekstrem dari fungsi :

19

F (x, y, z, λ) = f + λф Contoh 1.10 : Tentukanlah ukuran ketiga sisi sebuah kotak tanpa penutup atas, dengan volume maksimum, jika luas permukaannya 108 cm3. PEMECAHAN : Tinjau kotaknya berada dalam oktan pertama dan ketiga sisinya berimpit dengan sumbu –x, y, dan z. maka volume kotak ini adalah xyz, jadi fungsi yang hendak diselidiki ekstremnya adalah :

f( x, y, z) = xyz jumlah luas kotak tanpa penutup atas adalah : L = xy + 2xz + 2yz. Karena luas permukaan kotak dikendalakan bernilai 108 cm2, maka persamaan kendalanya adalah : ф(x, y, z) = xy + +2xz + 2yz = 108

(1.37)

persamaan (1.36) menghasilkan :

yz + λ (y + 2z) = 0, xz + λ (x + 2y) = 0,

(1.38)

xy + λ (2x + 2y) = 0 untuk memecahkannya, kalikan persamaan pertama dengan

x, kedua dengan y, dan

ketiga dengan z, kemudian jumlahkan, kita peroleh :

Gunakan persamaan kendala (1.37), memberikan :

Sisipkan kembali nilai λ ini ke dalam (1.38) kemudian sederhanakan kita peroleh:

20

Dari kedua persamaan pertama kita perole

x

=

y.

sisipkan

x = y ke dalam

persamaan ketiga, memberikan z = 18/y. sisipkan y dan z ke dalam

persamaan

pertama, menghasilkan x =6. Jadi, x = 6, y = 6, dan z = 3 memberikan ukuran isi kotak yang dikehendaki . DUA ATAU LEBIH KENDALA Perluasan metode pengali lagrange untuk persoalan mencari nilai ekstrem fungsi f dengan n variable dan m kendala (m < n) ditempuh dengan cara yang sama. Yinjau fungsi :

W = f (x, y, z)

(1.39)

Dengan m buah kendala : (1.40) Dalam hal ini, kita bentuk fungsi baru : ∑

(1.41)

Dengan menganggap x, y, z, λ1, λ2 , …., λm bebas, kita peroleh system persamaan berikut bagi persyaratan ekstrem fungsi F :





21



(1.42d)

Pemecahannya memberikan nilai ekstrem terkendala yang dicari. Contoh 1.11: Carilah titik-titik pada kurva perpotongan kerucut K : z2 = x2 + y2 dengan bidang v = x + y - z = 1, yang jaraknya ke titik asal 0 adalah terdekat dan terjauh. PEMECAHAN : Di sini fungsi yang hendak dicari nilai ekstremnya adalah kuadrat jarak titik (x, y, z) ke titik asal 0 (0, 0, 0) :

f(x, y, z) = x2 + y2 + z2

dengan kendala : (a) (x, y, z) pada kerucut k : g (x, y, z) = x2 + y2 + z2 = 0 (b) (x, y, z) pada bidang v : h (x, y, z) = 1 + x + y - z = 0 untuk menerapkan metode pengali Lagrange, kita bentuk fungsi : F(x, y, z) = f + λg + µh

(1.430)

Persyaratan ekstrem (1.42) memberikan : 2x + 2λx + µ = 0, 2y + 2λy + µ = 0,

(1.44a) (1.44b)

22

2z - 2λy - µ = 0,

(1.44c)

x2

(1.44d)

- y2 - z2 = 0,

1 + x + y - z =0

(1.44.e)

Dari (1.44a) dan (1.44b) kita peroleh : (x - y) = -λ (x - y)

(1.45)

Sedangkan dari (1.44b) dan (1.44c) : (y + z) = -λ (y - z)

(1.46)

Pers. (1.45) dipenuhi jika x = y, atau jika x ≠ y, λ = -1. Marilah kita selidiki apakah λ = -1, memberikan titik pada kurva perpotongan c. Dari (1.46) kita peroleh : y + z = y - z,

atau

z = 0

dan pers. (1.44d) memberikan : x2 + y2 = 0, atau x = 0, y = 0. Karena titik (0, 0, 0) tak memenuhi persamaan bidang (1.44e), maka pemecahan λ = -1 diabaikan ! Karena itu, kita peroleh pemecahan : λ ≠ -1, dan x = y

(1.47)

sisipkan (1.47) ke dalam (1.44e), kita peroleh : z = 1 + 2x

(1.48)

sisipkan (1.47) dan (1.48) ke dalam (1.44d) : x2

+ x 2 - (1 + 2x ) 2 + 0 2x2 + 4x + 1 = 0

23

Yang memiliki akar-akar :

x = -1 ±



Jadi, titik-titik yang ditanyakan adalah :

dan

(





(





√ ) √ )

Sisipkan koordinat titik P ke dalam fungsi jarak :

= (

Untuk titik P :

)

√ (

Untuk titik Q :



√ )



Jika kurva perpotongan C antara kerucut K dan bidang V adalah elips, maka P adalah titik terdekat, sedangkan Q titik terjauh ke titik asal 0(0, 0, 0). Sedangkan, jika C adalah hiperbola, maka P dan Q adalah titik terdekat, dari masing-masing cabang, ke titik asal 0. ( selidikilah jenis kurva C). SOAL-SOAL : TURUNAN PARSIAL : 1. Hitunglah

, dan

untuk setiap fungsi berikut : (b). z = sin xy + x2y,

(a). z = y/x, (c). z = ey ln z 2. Hitunglah

, dan

(a). u = xy2 + yz2 - xz,

untuk setiap fungsi berikut : (b). u = xyz + ln xy,

(c). u = x sin-1 (y/z)

24

3. Perlihatkan bahwa jika :

( )



ATURAN RANTAI : 4. Hitunglah du/dt dengan cara : (a). nyatakan dulu u sebagai fungsi eksplisit dari

t, (b). gunakan aturan rantai ; jika : (a). u = xey + y sin x ,

x = t2, y = t

(b). u = x2 + y2 + z2,

x = et cos t,

5. Jika f(x, y) = exy, dengan x = ln √

z = et sin t dan



y = tan-1 (u/v), hitunglah



FUNGSI IMPLISIT

(a). xy2 - sin z + z3 =0 (b). 3xy - xz + yz2

= 0

25

NILAI EKSTREM 8. Selidiki titik ekstrem maksimum, minimum, dan pelana, serta nilai ekstrem yang bersangkutan dari fungsi-fungsi berikut : (a). z = x2 + xy + y2 - 3x + 3y + 4 (b). z = x3 - y3 - 2xy + 6 (c). z = x sin y 9. Sebuah pelat lingkaran x2 + y2 ≤ 1, dipanasi hingga suhunya di setiap titik (x, y) adalah : T(x, y) Suhu T pada setiap titik dalam ruang adalah T = 400xyz2. Carilah suhu tertinggi pada permukaan bola x2 + y2 + z2 = 1. 11. Carilah nilai maksimum fungsi w = xyz pada garis potong bidang x + y + z = 40, dan z = x + y.

26

BAB II INTEGRAL LIPAT DAN TRANSFORMASI KOORDINAT 2.1

UMUM

Dalam fisika, kita seringkali perlu menghitung berbagai besaran fisika total suatu benda, sebagai contoh, massa total benda bila rapat massanya diketahui, pusat massa, momen lembam (Inersia), medan listrik yang ditimbulkan suatu distribusi muatan, dan lain sebagainya. Dalam hal bendanya berdimensi dua atau tiga, perhitungan kita umumnya melibatkan integral lipat. Pada bab ini akan disajikan definisi integral lipat serta beberapa teorema, contoh perhitungan, dan penerapannya dalam fisika. Perhitungan integrali suatu integral lipat dilakukan dengan merumuskannya ulang sebagai suatu integral berulang, atau bertahap. Sebagai contoh, untuk menghitung massa pelat datar (berdimensi dua), integral lipatnya yang disebut integral lipat dua, dirumuskan sebagai integral dua-tahap dalam mana kita melakukan dua kali integrasi. Dalam bab ini kita hanya membahas integral lipat dua dan tiga. Disamping itu, dibahas pula transformasi koordinat pada variable integrasi, guna memudahkan perhitungan suatu integral lipat, yang memperkenalkan factor determinan Jacobi.

Khususnya, akan akan dibahas

trasformasi koordinat Kartesis ke polar, untuk persoalan dua dimensi. Ketiga system koordinat ini tidaklah hanya penting bagi perhitungan integral lipat, tetapi juga bagi persoalan analisis kalkulus lainnya. Bahasan bab ini akan diawali dengan pedefenisian integral lipat-2.

2.2

DEFINISI INTEGRAL LIPAT DUA

Marilah kita tinjau persoalan fisika menghitung massa total M suatu pelat datar berhingga (jadi berdimensi dua), dengan distribusi massa takseragam (nonuniform) ρ. Misalkan geometrinya berupa suatu daerah terbatas D dalam bidang kartesis xy, dengan rapat massa atau massa persatuan luas pada setiap titik (x, y) adalah ρ = f(x, y) seperti diperlihatkan pada Gambar 2.1. y

Yi-∆yi

ϭi

Yi

27 x

I

xi-∆xi

x

GAMBAR 2.1 Daerah D pada bidang xy dengan elemen daerah kecil ϭ1 Kita akan menghitung dahulu nilai hampiran bagi massa totalnya. Untuk itu, daerah pelat D kita bagi atas n-buah elemen daerah kecil {

}. Dan memilih sebuah titik wakil

(x1, y1) di dalam elemen daerah σ1 ( I = 1, 2, 3, . . ., n). maka massa setiap elemen daerah σ1 dihampiri oleh : m1 = f(x1, y1) │σ1│

(2.1)

Dengan │σ1│adalah luas elemen daerah σ1 massa total pelat D, dengan demikan secara hampiran diberikan oleh. ∑

Hampiran diruas kanan mendekati nilai pasti M, jika pembagian elemen daerah σ1 dibuat sekecil mungkin sehingga │σ1│

0,1, yang demikian meningkatkan jumlah nilai elemen n

memilih σ1 berbentuk petak dengan sisi

x1 dan

y1 maka │ σ1│= │ x1

0,∞. Jika

y1│, dan dalam

keadaan limit diatas : |



|

Limit pada ruas kanan, jika ada diimbang oleh : ∬ Yang di sebut integral lipat dua (double integral) dari fungsi f (x,

y) terdapat daerah D.

pembuktian keberadaan (eksistence) integral ini dapat dilihat pada buku-buku matematika lanjut.

28

Juga bahwa limit M pada pers. (2.3) tidak bergantung pada cara pembagian D kedalam elemen σ1, dan pemilihan titik wakil (x1, y1) dalam σ1. Ketiga sifat integral lipat dua berikut dapat dibuktikan melalui definisi limit (2.3) : (1). Jika f = f(x, y) dan g = g (x, y) dua fungsi terdefinisikan melalui definisi limit (2.3) : ∬ [

]





(2). Jika c sebuah tetapan, maka : ∬ [

]



(3). Jika D merupakan gabungan daerah D1 dan D2, atau D = D1 , D2, dengan D1

D2 = c,

sebuah kurva batas, maka : ∬

2.3





INTEGRAL BERUANG DUA

Untuk dapat menghitung sebuah integral lipat, yang dalam pasal ini akan dikhususkan pada integral lipat dua, kita akan menggunakan sesuatu proseduar yang mengalihkan perhitungan integral lipat ke integral berulang. Pertama, kita akan batasi bahasanya pada daerah normal yang didefinisikan sebagai berikut: DEFINISI 2.2: Suatu daerah D disebut normal terhadap: a. sumbu-x, jika setiap garsi tegak lurus sumbu-x hanya memotong dua kurva batas D yang fungsi koordinatnya y = y1 (x), dan y = y2 (x) takberubah bentuk. b. sumbu-x, jika setiap garis tegak lurus sumbu-y hanya memotong dua kurva batas D yang fungsi koordinatnya x = x1 (y), dan x = x2 (y) takberubah bentuk.

29

Untuk memperoleh kesan gambarnya, perhatikan daerah D1 dan D2 pada Gambar 2.2. Daerah D1 normal terhadap sumbu-x, seadangkan D2 normal terhadap sumbu-y.

x=x1(x

y

y

)

a Y=y2(x

)

yi

)

D1

x=x1(x

D2

c Y=y1(x 0

0

) a

xi

b

x

x

(a)

GAMBAR 2.2

(b)

(a). Daerah D1 normal terhadap sumbu-x, sedangkan D2 normal terhadap sumbu-y.

Sauatu daerah D dapat terjadi tidak normal terhadap sumbu-x maupun y. Dalam hal seperti itu, daerah D dibagi ke dalam beberapa subdaerah normal. Sebagai contoh, pada Gambar 2.3, daerah D taknormal terhadap sumbu-x maupun sumbu y, tetapi setiap subdaerah D1, D2, D3, normal terhadap sumbu-x.(Bagilah pula daerah D ke dalam sub-subdaerah yang normal terhadap sumbuy). y y=y1(x D1 0

X=x1(y )

GAMBAR 2.3.

D2

D3

y=y ) 1(x )

X=x1(y )

x

Daerah D taknormal terhadap sumbu-x dan y subdaerah D1, D2, dan D3 normal terhadap sumbu-x.

30

Sekarang, tinjaulah pelat D yang normal terdahap sumbu-x, seperti pada Gambar 2.2a, dengan tepi bawah dibatasi oleh kurva y = y1 (x), dan tepi atas oleh y = y2 (x) ; sedangkan tepi kiri dan kan annya masing-masing oleh garis tegak x = a, dan x = b, (b > a, bilangan tetap). Jadi, secara ringkas: D= { Jadi

rapat

massa

}

│ pelat

D

adalah

f

(x,

y

),

maka

integral

lipat

dua:

∬ Yang menyatakan massa totalnya, dihitung secara terhadap, melalui definisi limit, sebagai berikut: (a) Ambil sebarang titik (x1, 0) pada sumbu-x, dengan a ≤ x1 ≤ b. (b) Tarik garis x = y, kemudian tinjau sebuah lempeng tegak dengan sumbu x = x1, dan tebal 1, dalam Daerah D, yang di sebut lempeng ke-i. (c) Hitung hampiran massa tiap petak ( i, j), pada koordinat (x1 , yj) dalam lempeng ke-I, yakni : 1J=

f ( xI , yI ) │

1



(d) Hitung massa total lempeng ke-I, sebagai limit jumlah seluruh petak di dalamnya: ∑

*



+

(e) Massa total pelat adalah limit jumlah massa seluruh lempeng dalam D, yakni:



∑*



+

(f) Limit jumlah berulang di ruas kanan mendefinisikan integral berulang :

31



*∫

+

Jika kita memilih D normal terhadap sumbu-y, integral lipat duanya dihitung sebagai limit jumlah semua lempeng datar penyusun daearh D. Jika daerah D = { } , maka integral lipat dua yang bersangkutan dalam bentuk

integral ∫

berulang

*∫

dua

adalah

+

Bagaimana cara menghitung integaral berulang (2.9), dan (2.10) ? Tinjau kembali berulang (2.9). Berdasarkan urutan pengambilan limit jumlah (2.8) , Lngkah perhitungannya adalah sebagai berikut: (1). Hitung integaral taktentu dalam tanda kurung terhadap y dengan memperlakukan x sebagai suatu etapan. Hasilnya, adalah suatu fungsi primitif dalam y: Ф ( x, y ) = ∫ (2). Sisipkan batas atas dan bawahnya, maka diperoleh hasil integral tentu: ∫

[ (

)

]

(3). Integarasiakn fungsi g(x) pada langkah (2), dari xi = a s/d b, memberikan hasil akhir: ∫ Langkah perhitungan yang sama, dengan menggantikan x dan y, juga berlaku bagi integral berulang (2.10). (Uraikanlah rincian langkahnya!). Contoh 2.1 : Hitunglah integral lipat-2 berikut: ∫

*∫

+

32

PEMECAH: Pertama, kita integrasikan dari dalam terhadap y dengan mempertahankan x tetap: ]



[

]

Kemudian, integrasikan hasil ini terhadap integaral luar, yakni terhadap variabel x, kita peroleh: ∫ [

]

Contoh 2.2 : Hitunglah integral lipat-2 pada Contoh 2.1, dengan mengintegrasikan dahulu terhadap variable x, kemudian terhadap y. PEMECAHAN: Pertama, gambarlah dahulu daerah integrasi Dxy integral lipat-2 pada Contoh 2.1. dari batas integrasinya, terbaca bahwa Dxy adalah daerah antara sumbu-x dan parabola y = y2 yang terletak antara garis x = 0, dan x = 1, separti dilukisan pada gambar. 8.4. Y Y=x 2

Dx 0

1

x

GAMBAR 2.4 Daerah integrasi D . Untuk menentukan batas-batas integarsinya, kita tempuh langkah berikut: Langkah 1. Selidiki apakah Dxy normal terhadap sumbu-y. Karena garis normal terhadap sumbuy hanyalah memotong kurva batas x = √ di kiri, dan x = 1 di kanan untuk seluruh daerah Dxy1 maka ia normal terhadap sumbu-y.

33

Langkah 2. Jika ya, lanjutkan ke langkah 3. Jika tidak, bagi Dxy atas sejumlah minimal daearh terhadap sumbu-y, dan langkah 3 bagi setiap subdaerah. Langkah 3.

Tarik sebuah garis sejajar sumbu-x. kurva potong terkiri adalah batas bawah,

sedangkan yang terkanan batas atas integral terdalam (terhadap x). Karena garis normal sumbu-y memotong batas terkiri pada parabola y = x2, maka x1 = √

dan

batas kanan pada garis x = 1, maka x2 = 1. Langkah 4.

Tentukan batas terbawah dan teratas, koordinat y, dari daerah Dxy. Dari bagan

daerah Dxy terbaca bahwa batas terbawahnya adalah sumbu-x, untuk mana y = 0, jadi y1 =0. Batas teratasnya adalah koordinat y titik potong parabola y = x2 dengan garis x = 1, yakni y = 1, jadi y2 = 1. Langkah 5.

Tuliskan integral berulangnya, dan hitunglah hasilnya.

Dari hasil penjajagan pada keempat langkah di atas, kita dapati bahwa pernyataan integral berturutan soal ini, adalah: Integral terdalam, terhadap x adalah: ∫

*∫

+ √

Sisipakan kembali pada integral I di atas, kemudian integrasikan y, kita peroleh: ]

∫ √



Sesuai dengan hasil yang kita peroleh di atas. INTEGRAL LIPAT-2 SEBAGAI VOLUME Jika z = f(x, y) adalah sebuah persaman permukaan, maka integral lipat-2:





34

Adalah volume bagian ruang tegak antara D pada bidang xy dengan permukaan z = f (x, y), seperti pada Gambar.5. S z

F(x,y

0

y Dx

x

Gambar 2.5

Volume ruang V antara permukaan z=f(x,y) dan bidang Dxy

Tafsiran geometris yang sama diberikan pula bagi integral serupa dengan variable x, y, dan z bertukaran. Sebagai contoh, integral lipat-2:





Menyatakan volume bagian ruang tegak antara daearh D pada bidang xz, dengan permukaan y = f (x, z). Perhatian : karena volume geometris bernilai positif , maka jika suatu bagian ruang memiliki nilai-nilai integral volume negatif ia perlu diubah terlebih dahulu menjadi positif, yaitu dengan mengambil nilai mutlaknya. Jadi, jika D = D1 U D2, dengan D1 dan D2 dua subdaerah normal D, dan dalam D1 : z > 0, sedangkan dalam D1 : z > 0, maka: ∬



dan volume geometris adalah :

35





│∬



Berikut adalah dua contoh perhitungan volume dengan menggunakan integral lipat dua. Contoh 2.3 Hitunglah volume bagian silinder parabolic y =

dalam kuadran pertama, yang alasnya

dibattasi bidang xy dan penutup atasnya dibatasi bidang 2x + 4y + z = 4. PEMECAHAN : Berikut diuraikan beberapa tahapan langkah pemecahan sebagai pedoman memecahkan persoalan sejenis ini. Langkah 1. Sketsakan bagian ruang yang ditanyakan. Pertama, kita gambarkan silinder parabolic y=

, dan bidang datar 2x + 4y + z = 4. kurva

pepotongan masing-masing permukaandengan bidang xy adalah : parabola

y=

(dengan

silinder), dan garis lurus 2x + 4y + = 4 (dengan bidang datar). Sketsa bagian ruang yng ditanyakan adalah yang diperlihatkan pada Gambar 2.6a. Langkah 2. Cirikan permukaan s, dan rumuskan persamaan eksplisitnya : z = f (x,y). Permukaan s adalah permukaan batas atas bagian ruang yang ditanyakan. Dalam hal ini, s adalah bidang datar 2x + 4y + = 4 persamaan eksplisitnya, terhadap (x,y) adalah: z=4 – 2x – 4y y

z

y = x2 2x + 4y +

DX 0 x

Y=

Y

=4

0 𝜋𝑟 1

x

𝑥

36

Gambar 2.6 (a). volume bagian ruang Contoh 2.3 . (b). daerah integral Dxy. LANGKAH 3. Tentukan daerah integral Dxy pada bidang xy. Berdasarkan sketsa bagian ruang pada gamb. 8.6a, daerah Dxympada bidang xy (z = 0), sebagai alas, dibatasi oleh sumbu –y positif, parabola C : y = x2 dan garis lurus L : 2x + 4y + z = 4. sketsa dimensi duanya diperlihatkan pada Gambar 2.6b. Garis lurus L memotong parabola C di titik P (1, ), dan sumbu-y di Q (0,1). LANGKAH 4 : Rumuskan integral berulangnya, dan hitung hasilnya! Karena Dxy normal terhadap sumbu-x, kita integrasikan terlebih dahulu terhadap variable y. Tarikkan sebarang garis tegak tegaklurus sumbu-x. Dari perpotongan kedua kurva batas, terbaca bahwa batas bawah integrasi =

terhadap y adalah parabola : y =

dan batas atasnya garis: y

Karena seluruh daerah terletak antara garis x = 0 dan 1, maka kedua nilai ini

berturut-turut adalah batas bawah dan atas integrasi terhadap variabel x. Jadi, integral berulang volume yang dihitung adalah:



∫ [∫

]

∫ Contoh 2.4 Hitunglah volume bagian silinder x2 + y2 - 2ay = 0 yang diiris oleh permukaan silinder parabolik z2 = 2ay. PEMECAHAN: Karena sketsa gambar ruangnya, v, bertumpang-tindih, maka untuk kejelasan, kita gambarkan saja proyeksinya pada bidang yz, seperti tampak pada Gambar 2.7a. Cirinya: permukaan atas dibatasi oleh helai z = √

(positif), alas oleh helai z = √

dan sisi tegaknya oleh silinder

x2 + y2 – 2ay = 0, atau x2 + (y-a)2 = a2, yang sumbunya melewati titik (0,a,0) dan berjari-jari a.

37

y

z

a

0 2

2a

Dxy

y

x

(b)

(

GAMBAR 2.7 (a) Proyeksi volume bagian ruang Contoh 2.4 pada bidang yz. (b).ruang Daerah . Karena relative terhadap sumbu xy (z = 0), bagian atas integrasi dan bawahDxy simetris, maka volume V yang dinyatakan adalah dua kali volume ruang bagian atas. Di sini, S adalah permukaan batas abagian ruang V, yaitu permukaan silinder:



. Sedangkan alas Dxy adalah irisan silinder

dengan bidang z = 0, yaitu bidang lingkaran:

, yang diperlihatkan pada

gambar (2.7b), volume bagian ruang yang dihitung adalah : ∬

∬ √

Daerah integrasi Dxy normal terhadap –x maupun y. karena integrasi terhadap variabel y dahulu memberikan fungsi g(x) tang rumit, kita integrasikan terlebih dahulu terhadap variabel x. Batas bawahnya separuh lingkaran : x1 = √

. Sedangkan terhadap variabel y kemudian, batas

bawah dan atasnya berturut-turut adalah 0 dan 2a. √

∫ √ (∫

)



∫ √ (∫

)



∫ √ (√

)

hasil akhirnya dihitung dengan menggunakan integrasi parsial.

2.4

TRANSFORMASI VARIABEL INTEGRAL

Perhitungan integral lipat dua :

38

∬ Seringkali dipermudah dengan melakukan pengubahan variabel integral x dan y. Marilah kita meninjau ulang perhitungan integral tunggal dengan metode subtitusi ini. Perhatikan integral tunggal: ∫ Penggunaan variabel baru u melalui subtitusi :

mengalihkan integral tunggal (2.14) dalam tiga hal : (a) Pengalihan selang (daerah) integrasi : Selang integrasi baru dalam x: Dx = a ≤ x ≤ b, terpetakan ke selang integrasi baru dalam u : Du = u (a) ≤ u ≤ u (b). (b) Pengalihan elemen diferensial dx, menjadi : (

)

(c) Pengalihan fungsi integran f(x,y) menjadi :

Jadi, perubahan variabel integral (2.15a), mengalihkan integral (2.14) terhadap variabel baru:



(

)

39

Tentu saja, diinginkan agar perhitungan integral baru ini menjadi lebih mudah daripada yang lama. Hal ini bergantung pada pemilihan transformasi koordinat (2.15a) yang memadai. Hal yang sama juga dapat diterapkan pada integral lipat dua, yang tentu saja dengan kerumitan yang semakin meningkat. Pertama yang kita catat adalah bahwa elemen diferensial dxdy = dσ adalah elemen luas daerah Dxy dalam bidang xy. Sehubungan dengan itu, kita perlu mengingat kembali dari bahasan aljabar vector pada bab 4, bahwa luas dσ adalah vector luas dσ, yakni: dσ = (dx x dy) dengan dx = ̂

̂

(2.17)

dan operator hasil kali silang. Karena itu, dalam pernyataan vector,

integral lipat (2.13) berbentuk :

|



|

Dengan demikian, jika kita melakukan variabel atau transformasi koordinat dari sistem (x,y) ke sistem (u,v)menurut persamaan transformasi:

maka setiap elemen diferensial vector bertransformasi menjadi :

(

( dengan du = ̂

̂

)

)

(

)

dan ̂ serta ̂ masing-masing adalah vector satuan dalam arah

pertambahan positif u dan v pada sistem koordinat (u,v). Elemen luas dA dalam koordinat (u,v) menjadi :

40

|

|

|

|

)|

(

|

atau )|

(

|

Dengan

(

)

(

)

[

]

adalah factor jakobi yang bersangkutan. Di sini kita akan khusus memilih transformasi koordinat yang memiliki invers. Jadi, terhadap transformasi koordinat (2.19) terdapat pula transformasi invers,

dengan factor jakobian bersangkutan adalah

(

) [

]

karena elemen luas adalah takberubah, maka : (

)|

|

(

) (

)

yang adalah taat-asas jika :

41

(

) (

)

(

)

(

)

Seringkali dalam perhitungan, transformasi koordinat invers (2.23) yang diberikan, bentuknya rumit untuk diubah ke bentuk transformasi langsung (2.19). Dalam hal ini, factor Jacobi

(

) diperoleh dengan menghitung terlebih dahulu factor Jacobian invers

(

),

kemudian menggunakan hubungan (2.25), seperti pada Contoh 2.5 dan 8.6 seperti berikut. Catatan : Dalam bahasan berikut, bila factor Jacobi dituliskan tanpa argument, J saja, maka yang dimaksudkan adalah

(

), dan J-1 untuk inversinya!

Hubungan (2.25) memperlihatkan bahwa kedua factor Jacobi ini tak boleh nol untuk semua nilai (x,y) atau (u,v). Titik (x,y) atauu (u,v) pada mana J=0, disebut titik singuler. Artinya, hubungan transformasi koordinatnya takterdefinisikan (karena tidak memiliki invers). Perubahan variabel integrasi yang lazim digunakan adalah transformasi koordinat kartesis (x,y) ke polar (r, ) melalui persamaan transformasi :

dengan transformasi invers : √ Faktor Jacobi yang bersangkutan adalah: (

)

*

(

)

[

+

dan ]

sesuai dengan hubungan (2.25). Tampak pada nilai r = 0, atau (x = 0, y=0), factor Jacobi J=0, atau

. Titik r=0

ini disebut titik singular koordinat polar (r, ).

42

Masalah berikut adalah pencirian peta daerah integrasi Dxy sistem x,y pada daerah integrasi Duv dalam sistem (u,v). Di sini ditinjau peta kurva batas Dxy ke dalam bidang (u,v). Penjelasan terincinya

diberikan

pada

ketiga

soal

berikut,

yang

menguraikan

langkah-langkah

pemecahannya. Contoh 2.5 Gunakan koordinat polar (r, ) untuk menghitung integral lipat-2 berikut : ∬

dengan

adalah daerah pada kuadran I dalam bidang xy yang dibatasi oleh sumbu x, sumbu y,

dan lingkaran x2 + y2 = 4. PEMECAHAN : Langkah 1. Tentukan peralihan integran f (x,y) ke g (r, ). Karena f (x,y) = xy, maka terhadap transformasi koordinat polar (r,

), ia beralih ke pernyataan :

Langkah 2. Gambarkan daerah integrasi Dxy . y

𝜃

C4’

C2 ’

2

C3’

𝜋

E

Dr

Dxy E

2

2

E

C1





r 2

GAMBAR 2.8 (a). Daerah integrasi Dxy soal 8.4, dan (b) . petanya, Drθ. Secara sepintas, Dxy tampak dibatasi oleh tiga kurva, yakni : C1 :

y = 0,

0 ≤ x ≤ 2,

43

C2 : x2 + y2 = 4, C3 : x = 0,

0 ≤ y ≤ 2,

yang diperlihatkan pada Gambar 2.8a. Karena factor Jacobi, J = r, bernilai nol di titik 0, r = 0, maka untuk menghindari kesinguleran ini, kita bentuk kurva batas ke-4, C4 , berupa lingkaran : x2 + y2 =

C4 : dan pada akhirnya mengambil limit

2

,

0<

< 2,

.

Langkah 3. Gambarkan peta daerah integrasi Dr : Untuk menggambarkan peta daerah Dxy pada bidang Dr , kita petakan masing-masing kurva batas lalu mencirikan daerah batas yang diperoleh. C1 :

y = 0,

0 ≤ x < 2, dipetakan ke kurva :

r=√

C’1 :

( )

,

Pada bidang (r, ), x adalah parameter kurva C’ ; jadi, C’ adalah selang terbuka

r < 2 pada

sumbu r. x2 + y2 = 4, dipetakan ke kurva :

C2 : C’2 :

r=√



( )

,

Di sini, y adalah parameter kurva C’2 pada bidang (r,



). Karena, sejajar sumbu

, yang

memotong sumbu r di r = 2. Dengan cara yang sama, C3 dipetakan ke pengaal garis C’3 sejajar sumbu r, yang memotong sumbu sumbu r di r =

di

, dan terletak antara

≤ y ≤ 2, maka 0 ≤

≤ , yang memotong

< 2. C4 dipetakan ke penggal garis C’4 sejajar sumbu , antara 0 ≤

≤ , yang

memotong sumbu r di r = < 2. Ke empat kurva dalam bidang (r, ) ini, membatasi daerah Dr berbentuk empat persegi panjang, seperti pada gamb. 8.8b.

44

Jadi, terhadap koordinat polar, integral lipat-2 pada contoh ini teralihkan menjadi:





[

]

[

]

CATATAN : Khusus untuk koordinat polar (r, ) untuk menenetukan batas integral koordinat r dan , tidaklah terlalu perlu. Karena, kaitan geometris koordinat polar ( r, pada bidang xy sudahlah jelas, sehingga Batas integral variabel r dan

dengan ( x , y )

yang meliputi daerah Dxy

jelas terbaca. Dengan demikian, selanjutnya perhitungan integral lipat -2 dengan koordinat polar (r,

, dapat mengabaikan langkah pemetaan daerah integrasi yang diuraikan pada Contoh 2.5

diatas. Contoh 2.6



∫ (

)

Lakukanlah perubahan variabel :

Kemudian hitunglah integralnya dalam variabel u dan v. PEMECAHAN: Mengikuti langkah pemecahan pada Contoh 2.5, kita hitung dahulu faktor Jacobinya: (

)

[

]

45

Jadi, integralnya beralih menjadi: ( )(

)

Daerah integrasinya dalam bidang xy adalah yang dilukiskan pada Gamb. 8.9a. Kurva batasnya ada tiga buah, yaitu: c1, c2, dan c3; ketiga titik potongnya adalah 0(0,0), P( Persamaan masing-masing kurva adalah: C1: sumbu y positif:

x = 0, 0 < y < 1,

C2: garis y = x

0 < x < 1/2,

C3: garis y = 1 – x

0 < x < 1/2.

Pemetaannya pada bidang (u, v), kita tentukan dengan menggunakan transformasi invers: u = (x + y), dan v = (-x + y) Peta kurva yang berkaitan adalah:

Ketiga kurva ini dalam bidang (u, v) diperlihatkan pada Gamb. 8.9b, yang berpotongan di titik: 0’ (0,0), P’ (1,0), dan Q’ (1,1). Daerah Duv adalah yang diarsir.

Y

Y Y= Dxy

Y=1-

0

(a

u=

0

Duy

(b

1

u

46

GAMBAR 2.9 (a). Daerah integrasi Dxy soal 8.6, dan (b) petanya Duv. Karena daerah integrasi Duv normal terhadap sumbu u maupun v, maka dengan memilih kenormalan terhadap sumbu u misalnya, kita peroleh rumusan integral berulang: ∫





]



Contoh 2.7 Diketahui daerah Dxy pada kuadran I bidang xy dibatasi oleh kurva-kurva xy = 2, xy = 16, y2 = ½ x, dan y2 = 4x. Hitunglah : ∬ Dengan melakukan pengubahan variabel yang memudahkan. PEMECAHAN: Pertama, kita gambarkan dahulu daerah integrasi Dxy:

y

C

v C

C1 Dxy

4 Duv

C3 1/2 0

0 x

2

16

u

47

GAMBAR 2.10 (a). Daerah integrasi DxyContoh 2.7, dan (b) petanya Duv . Kurva-kurva batasnya adalah : C1 :

xy = 2

C2 :

xy = 16

C3 :

y2 = ½x, atau (y2/x) = ½

C4 :

y2 = 4x, atau (y2/x) = 4

dengan x, y > 0. Keempat titik potongnya adalah: P(2,1), Q(8,2), R(4,4), dan S(1,2) (lihat Gambar 2.10a). Ada banyak transformasi variabel untuk menghitung integral diatas, dan kita memilih yang mempermudah perhitungan. Karena C1 dan C2 adalah sepasang hiperbola, C3 dan C4 sepasang parabola, masing-masing pasang bentuk fungsinya sama hanyalah berbeda koefisien, maka kita dapat memilih variabel integral baru sebagai berikut: u = xy,

dan v = (y2/x)

Dalam hal ini, peta daerah Dxy pada bidang uv dapat dicirikan melalui peta masingmasing kurva batas seperti yang kita lakukan pada Contoh 2.5 dan 8.6 diatas. Kita peroleh:

48

dengan (

keempat )

(

titik

potong

)

yang

bersangkutan

adalah:

(lihat Gambar 2.10b).

Tampak, Duv adalah sebuah daerah empat persegi panjang. Faktor Jacobi

bagi

transformasi diatas akan kita cari dari inversnya. Kita peroleh: (

)

[

]

(

)

Jadi, faktor Jacobi transformasinya adalah: (

)

Integran (x2/y), dibawah transformasi diatas, beralih menjadi: (

)

Dengan demikian, integral contoh soal ini teralihkan menjadi: ∫

2.5



( )(

)





(

)

INTEGRAL LIPAT TIGA

Perluasan integral lipat dua ke dimensi tiga memperkenalkan integral lipat tiga yang akan kita bahas dalam pasal ini dan yang berikutnya. Sebagian besar gagasan dasarnya tidaklah berbeda dari integral lipat dua,kecuali analisisnya sedikit lebih rumit. Karena itu, berikut kita hanya memusatkan perhatian pada uraian ringkas hal-hal pentingnya serta beberapa contoh perhitungannya. Pada pasal berikut dibahas pengalihan variabel interasi, terutama transformasi kesistem koordinat bola dan silinder. DEFINISI INTEGRAL LIPAT TIGA

49

Tinjaulah persoalan menentukan massa sebuah benda tiga dimensi terbatas V (bola, kerucut, atau benda tak beraturan lainnya),yang memiliki rapat massa tak seragam

Untuk

menghitung massa totalnya, pertama volume benda kita bagi atas sejumlah elemen volume kecil =(

(lihat Gambar 2.11). z

∆z 0

∆x

∆y

y x

GAMBAR 2.11 volume ruang integrasi V, dengan elemen volume kecil 𝑉 Kemudian,pilih sebuah titik wakil (xi, yi, zi) dalam setiap elemen volume

Maka massa

elemen volume ke-i dapat dihampiri oleh:

(

)

Dengan menjumlahkan terhadap seluruh elemen volume, dan mengambil limit untuk n

kita

peroleh massa total benda: ∑



(

)

Jika limit diruas kanan ada, kita menuliskannya sebagai integral lipat tiga terhadap volume V benda:

50

∭ Perhatian, daerah integrasinya disini adalah suatu volume ruang terbatas V. Setiap integral lipat tiga memenuhi sifat-sifat berikut: (1). Kelinearan: ∭



(2). Jika V= V1 U V2, dan V1 ∭





V2 = S (suatu permukaan), maka: ∭

INTEGRAL BERULANG: Sama halnya dengan integral lipat dua, perhitungan integral lipat tiga juga dapat dirumuskan ulang menjadi integral berulang (tiga kali) terhadap masing-masing variabel x, y, dan z. Urutan integrasinya dilakukan dengan memperhatikan kenormalan daerah volume integrasi V, yan kita definisikan sebagai berikut. Suatu volume integrasi V adalah normal terhadap bidang koordinat xy, jika sebuah garis yang ditarik tegak lurus terhadap bidang xy memotong dua permukaan S1 dan S2 yang masing-masing persamaan permukaannya z = z1(x, y),dan z = z2(x, y) tetap bentuknya. Jadi,

dengan Dxy, adalah proyeksi gabungan permukaan S1 : z = z1 (x,y), dan S2 : z = z2 (x, y), pada bidang xy, dan z selanjutnya disebut variabel takbebas permukaan. Dalam hal V normal terhadap bidang yz, persamaan kedua permukaan yang dipotong garis normal bidang yz berbentuk x = x(y, z); sedangkan terhadap bidang xz, persamaan permukaannya berbentuk y = y (x,z).

51

Misalkan integral lipat tiga (2.30) normal terhadap bidang xy. Maka, kita peroleh rumus perhitungan sederhana: ∭





Dengan kedua batas integral sebagai fungsi x dan y berkaitan dengan persamaan permukaan batas atas z = z2 (x, y), dan batas bawah z = z1 (x, y).

Jadi,

integral

lipat

tiga

dapatb

dihitung sebagai berikut. Pertama, perlakukan x dan y tetap, kita hitung integral biasa: ∫

Kedua, kita hitung integral lipat dua: ∬

Disini, sekali lagi diingatkan bahwa Dxy adalah proyeksi gabungan permukaan atas z = z2 (x, y), dan bawah z = z1(x, y). Perhitungan selanjutnya mengikuti langkah perhitungan integral lipat dua yang telah dijelaskan didepan. Berikut adalah beberapa contoh perhitungan integral lipat tiga. CONTOH 2.8 Hitunglah integral lipat tiga ∭

dengan f (x,y,z) = (xyz) dan v adalah bagian

ruang dalam oktan pertama, yang bagian atasnya dibatasi oleh bidang 2x + 3y + z – 2 = 0. PEMECAHAN: Pertama, kita sketsakan dahulu daerah volume v. Permukaan batas bawahnya adalah bidang xy, atau permukaan z = 0, sedangkan permukaan batas atasnya adalah bidang: z = -2x – 3y + 2. z

y 2x+3y+zY=(-

0

0

52

GAMBAR 2.12 (a). Volume integrasi V, (b). Daerah integrasi Dxy. Jadi: ∭



[



]





Daerah Dxy terdapat pada kuadran I bidang xy, antara x = 0, y = 0, dan garis perpotongan bidang z = -2x – 3y + 2 dengan bidang z = 0, yakni garis: -2x – 3y + 2 = 0. Dari denahnya pada Gamb. 8.12b, tampak bahwa Dxy normal terhadap sumbu –x maupun sumbu –y. Dengan memilih integrasi terhadap variabel y dahulu, kita peroleh: ∫ ∫ Gunakan integrasi parsial, u = xy, dan dv = (-2x-3y+2)2dy, kita Peroleh :



[

]

)

∫ Dalam hal permukaan s1 dan s2 berpotongan di luar bidang koordinat, persamaan batas D integral lipat duanya dicari dengan mengeliminasi variable khas tak bebas kedua permukaannya. Sebagai misal, jika permukaan s1 dan s2 normal terhadapa bidang xy, yang masing-masing persamaan

53

permukaannya adalah z = z1 (x,y), dan z = z2 (x,y),maka persamaan batas daerah D

xy

adalah :

z1 (x,y) = z2 (x,y). Contoh 2.9 Hitunglah integral lipat tiga ∭

dxdydz, jika v adalah volume ruang antara permukaan

kerucut parabolic z = x2 + y2 , dan bidang 2x +2y + z = -1. PEMECAHAN : Seperti biasanya, pertama kita sketsakan dahulu volume V yang dibatasi oleh permukaan S1 : z = x2 + y2 dan S2 : 2x + 2y + z = -1.

z

Y Z=x2

X Y

1,1

X

Gambar 2.13 (a).Volume integrasi V, (b). Daerah integrasi Dxy Keduanya berpotongan pada sebuah kurva yang koordinat x dan y nya terletak pada lingkaran : x2 + y2 = - 2x - 2y -1, atau (x + 1 )2 + ( y + 1)2 = 1 proyeksi volume V pada bidang xy dibatasi oleh lingkaran dengan persamaan diatas. Karena volume V, yang dibatasi oleh permukaan S1 dan S2 normal terhadap bidang xy, maka integral berulang lipat tiganya adalah :

54

∬ ((∫

)

[ ]

∬ ∬

Daerah integral lipat dua D

xy

adalah piringan yang dibatasi oleh lingkaran ( x + 1) 2 + (y + 1)2

=1 , yang diperlihatkan pada gambit 8.13 b. untuk mengintegrasikannya, kita gunakan koordinat polar, yang berpusat di (-1, -1) : ( x + 1) = r

( y - 1) = r

Dalam koordinat polar (r , ), integral lipat dua di atas teralihkan menjadi :









2.6

BESARAN FISIKA SEBAGAI INREGRAL LIPAT

Pada pasal 8.1 disinggung bahwa integral lipat penting untuk merumuskan besaran total fisika sebuah system. Sebagai contoh perhitungan massa total benda yang kita tinjau sebagai pengantar ke rumusan integral lipat dua maupun tiga. Pada pasal ini akan disajikan beberapa rumusan integral lipat besaran fisika lainnya. Jika f(x, y, z) = ρ ( x, y, z) adalah rapat massa benda yang menempati volume ruang V, maka seperti kita rumuskan di atas :

55





Memberikan massa total benda. Selanjutnya, jika r (x,y,z) adalah jarak elemen massa ∆

, dalam elemen volume ∆

ke garis

L, seperti diperlihatkan pada Gambar 2.14 momen lembam (inersia) nya ke sumbu L adalah: ∆

= r2( xk, yk, zk) ∆

r2 ( xk, yk, zk)

( xk, yk, zk) dV k

Z ∆

L R(xk,

yk, Y

X

Gambar 2.14 Momen lembam benda V terhadap sumbu L Dengan demikian, momen lembam benda secara keseluruhan ke sumbu L adalah : ∑



Jika L adalah sumbu z, maka r2 = x2 + y2 , dan lembam yang bersangkutan ditulis sebagai berikut :

56



Yang menyatakan momen lembam benda terhadap sumbu z. dengan cara yang sama, diperoleh: ∬



dan

(2.39b,c)

Momen massa benda ini terhadap masing-masing koordinat didefinisikan sebagai berikut L ∬

;



;



( 8.40)

Dan koordinat pusat massanya ( x, y, z) oleh rumus : X=

; Y=

; Z=

(2.41)

Dengan M adalah massa total benda pada pers. (2.37)

2.7

INTEGRASI DALAM KOORDINAT SILINDER DAN BOLA

Perhitungan integral lipat tiga, seperti halnya dengan integral lipat dua, untuk persoalan tertentu menjadi mudah ditangani dengan melakukan pengalihan variable integrasi. Tinjaulah kembali integral lipat tiga : ∬ Untuk memperoleh bentuk teralihkannya di bawah transformasi koordinat :

,

Kita carikan dahulu hubungan transformasi elemen volume dV =

dalam system

koordinat ( x, y, z) dengan dV = dudvdw dalam system koordinat (u, v, w). mengacu ke pasal 4.9, elemen volume dV = dxdydz, dapat dipandang sebagai hasil kali triple saklar : dV = (dx x dy) dz

(2.44)

57

dengan dx = |dx|, dan seterusnya Terhadap informasi koordinat (2.43), masing-masing vektor dideferensialkan koordinat dx, dy, dan dz bertransformasi menjadi :

Sisipkan pernyataan vector (2.45) ke dalam hasil kali triple skalar ( 8.44 ), maka melalui utakatik al jabar vector hasil kali silang dan titik sederahan, kita peroleh hasil : dxdydz = J(

dudvdw

(2.46)

Adalah determinan matriks Jacobi, atau factor Jacobi transformasi koordinat (2.43). jika factor Jacobi J tak nol, maka transformasi koordinat (2.43) memiliki invers, dan berlaku:

Jadi, jika fungsi integran f ( x, y) beralih menjadi : f ( x ( u, v, w) , y ( u, v, w) ) = g ( u, v, w) Maka integral lipat tiga (2.42) bertransformasi menjadi : ∭



dengan V merupakan peta volume subruang V dalam system koordinat (u, v, w).

58

Berikut kita akan meninjau dua transformasi koordinat yang sering digunakan dalam menghitung integral lipat tiga, yaitu : dari sistem koordinat kartesis ke sistem koordinat silinder dan bola. SISTEM KOORDINAT SILINDER Integral lipat tiga dengan bentuk permukaan batas yang simetris terhadap senuah sumbu tertentu, menjadi lebih mudah ditangani bila digunakan system koordinat silinder. Dengan memilih sumbu-z sebagai sumbu simetri, system koordinat silinder merupakan perluasan system koordinat polar (r, ) dalam bidang xy, ke dalam ruang tiga dimensi. Jika ( x, y, z ) adalah koordinat sebuah titik P dalam system koordinat kartesis, maka dalam system koordinat silinder ini, koordinat P dicirikan oleh (r, , z), seperti diperlihatkan pada Gambar 2.15. disini (r, ) adalah kordinat polar proyeksi tegak titik P pada bidang xy yakni P’, sedangkan z adalah koordinat z titik P dalam system koordinat kartesis. Dari Gambar 2.15 kita peroleh hubungan berikut antara koordinat kartesis (x, y, z) dan silinder (r, , z) : Z

P (X, Y, Z)≡ (r, 𝜃 𝑦

𝜃

Z r

Y

X

Dalam system koordinat silinder ini, ketiga permukaan berikut memiliki pernyataan yang sederhana, yaitu : (a) Silinder berjari-jari R dengan sumbu simetri z ; r =R (b) Bidang yang memuat sumbu-z;

o

(c) Bidang yang memotong tegak lurus sumbu-z; z = zo Dengan R,

o

dan zo adalah tetapan.

59

Factor Jacobi bagi transformasi koordinat (2.49) di atas, dapat dihitung langsung, dengan hasil:

[

]

Jadi, elemen volume dV dalam system koordinat kartesis dan silinder berkaitan melalui hubungan : dV = (dxdydz) = r (drd dz)

(2.51)

Contoh 2.10 Hitunglah massa total dan koordinat z pusat massa benda yang menempati volume di dalam kerucut eliptik :

Jika rapat massanya ρ =c, sebuah tetapan. Gunakanlah koordinat silinder. PEMECAHAN : Menurut rumusan (2.37), massa total benda adalah: ∭



Untuk menggunakan koordinat silinder, pertama kita lakukan transformasi koordinat : x = ax’;

y = dy’; z’ = z

yang memiliki factor Jacobi J =ab. Persamaan permukaan kerucut eliptik dalam koordinat (x’, y’, z’) adalah : z2 = h2 (x’2 + y’2), yang memperlihatkan simetri silinder terhadap sumbu-z. selanjutnya, terhadap koordinat (x’, y’, z) ini, kita lakukan transformasi ke koordinat silinder (r, , z) : x’ = r cos ; y’ = r sin ; z =z

60

dalam massa persamaan kerucut tersederhanakan menjadi: z2 = h2 r2 pada Gambar 2.16, tampak volume V normal terhadap bidang x’y’, dengan permukaan batas bawah adalah kerucut eliptik z1 = hr dan bidang z2 = h sebagai batas atasnya. Z h

0 Y X

Gambar 2.16 benda dalam volume bagian ruang V

Jadi, integral berulang massa benda adalah : M = abc∭







=

Proyeksi gabungan permukaan batas volume ruang ini pada bidang x’y’ adalah piringan lingkaran dengan batas lingkaran berjari-jari : r = 1. Jadi,





Untuk mengitung koordinat z pusat massa benda ini menurut pers. (2.41), kita hitung dahulu momen massanya terhadap bidang xy, Mxy. Dengan cara yang sama, kita dapati:







θ

61

∬ ∫



Jadi, koordinat Z pusat massa benda, menurut Pers. (2.41) adalah : Z = Mxy/M = (

)/ (

)=

SISTEM KOORDINAT BOLA Bagi bentuk volume ruang yang memiliki simetri bola terhadap sebuah titik, perhitungan integral lipat tiganya menjadi lebih sederhana bila digunakan system koordinat bola. Dengan mengambil titik asal O sebagai pusat simetri, maka sebuah titik P dengan koordinat kartesis (x, y, z) dalam system koordinat bola dicirikan oleh tiga koordinat (r, , sedangkan

dan

), dengan r berdimensi jarak,

adalah besaran sudut. Arti geometris masing-masing koordinat r adalah

panjang vector kedudukan r titik P ke titik asal O, r = |r|, terhadap sumbu z positif, dan

sudut yang dibentuk oleh vector r

sudut yang dibentuk proyeksi vector r pada bidang xy terhadap

sumbu x positif. Dari Gambar 2.17, kita peroleh hubungan berikut antara kooordinat kartesis (x, y, z) dan bola (r, ,

):

Z Q

Z r

Z X

Y Y

X

62

Dalam system koordinat bola ini, ketiga permukaan berikut memiliki pernyataan yang sederhana, yaitu : (a) Bola berjari-jari R dengan pusat di O: r =R (b) Bidang yang memuat sumbu-z:

o

(c) Kerucut dengan puncak di O den bersumbu-z: Dengan R,

o, o

=

o

adalah tetapan.

Factor Jacobi bagi transformasi koordinat (2.52) di atas, dapat dihitung langsung. Hasilnya: [

]

(2.53) Jadi, elemen volume dV dalam system koordinat kartesis dan bola berkaitan melalui hubungan : dv = (dxdydz) =

(drd d

(2.54)

CONTOH 2.11 : Sebuah volume benda dibatasi oleh permukaan kerucut x2 + y2 = p2z2 dan permukaan bola x2 + y2 + z2 = a2. Dengan menggunakan system koordinatt bola, hitunglah : (a) Volumenya, (b) Koordinat Z pusat massanya, jika massa jenisnya

=c, sebuah tetapan.

PEMECAHAN : Pertama, kita tuliskan ulang persamaan permukaan bola dan kerucut dengan menggunakan koordinat bola (r,

,

). Penyisipan transformasi koordinat (2.52) ke dalam persamaan

permukaan bola bola x2 + y2 + z2 = a2, memberikan r =a; sedangkan untuk permukaan kerucut = α ( lihat Gambar 2.18) Z

63 α

Gambar 2.18 Benda dalam Volume bagian V a).

volumenya diberika oleh: ∭







Untuk memeriksa kebenarannya, perhatikan bahwa bila = , maka bendanya berbentuk separuh volume bola. Volume geometris b).

,sesuai dengan hasil perhitungan diatas.

koordinat Z pusat massa benda yang diberikan oleh: Z = Mxy / M. Mxy adalah momen massa terhadap bidang xy. ∭







Sedangkan M massa total benda: ∭







Jadi , Z = Mxy / M = 3a ( 1 + cos α)/ β SOAL – SOAL : 1. Hitunglah integral lipat dua berikut terhadap y dahulu :

64

∫ ∫ √

∫ ∫ 2. Integrasikan integral lipat dua pada soal 1 terhadap variable x dahulu, dengan menggambarkan dahulu daerah integrasinya. 3. Hitunglah integral berikut :

∫ ∫

∫ ∫

∫ ∫ dengan memilih terhadap variable, mana diintegrasikan dahulu. 4. integrasikan masing-masing fungsi f (x,y) berikut terhadap daerah yang diberikan : a). f (x,y) =

terhadap daerah segitiga yang dibatasi oleh garis x = x/y

terhadap daerah yang dibatasi oleh garis x = 0, y = 0, dan zx + 3y =1 b). f (x,y) = x/y terhadap daerah yang dibatasi oleh garis-garis y = x, y = 2x, x =1 , dan x =2. 5. Hitunglah integral lipat dua fungsi f (x,y) terhadap daerah yang diberikan dengan menggunakan transformasi koordinat yang diusulkan a). (x, y) = 1/ (1 + x2 + y2) terhadap daerah yang dibatasi lemniskat ( x2 + y2)2 – ( x2 – y2) = 0. ( Gunakan koordinat polar).

65

b). f (x, y) = x2y2 (y2 –x2) terhadap daerah dalam kuadran pertama yang dibatasi hiperbola xy = 1, xy = 4, dan garis y = x + 1, y = x + 3. (Gunakan transformasi koordinat : u = xy, v =( y – x). INTEGRAL LIPAT TIGA : 6. Hitunglah volume ruang dalam oktan pertama yang dibatasi oleh ketiga bidang koordinat dan permukaan 2x + 3y + 6z =12. 7. Hitunglah volume ruang di dalam kerucut : a ( b – z ) =



dan silinder x2

+ y2 = ax, yang dibatasi bidang z = 0. 8. Hitunglah :∭

dengan V adalah bagian kerucut

, yang

terletak antara bidang z = 0 dan z = 4. 9. Sebuah benda padat dalam oktan pertama dibatasi oleh ketiga bidang koordinat dan bidang x + y + z = 2. Jika rapat massanya

, hitunglah massa total,

dan koordinat pusat massanya. 10. Hitunglah momen lembam Ix dari benda yang dipotong dari bola x2 + y2 + z2 = a2 oleh silinder x2 + y2 = a2. 11. Hitunglah momen lembam terhadap sumbu-z, dari benda yang dibatasi oleh bola r = a, dan dibawahnya olehh kerucut

.

66

BAB 3 ANALISIS VEKTOR DAN PENGERTIAN MEDAN 3.1 UMUM Pada Fisika Matematika I kita membahas mengenai pengertian dasar besaran vector serta aljabarnya, yang dibatasi hanya pada vector-vektor bernilai tetap, baik besar maupun arahnya. Dalam bab ini, bahasannya akan kita tingkatkan pada fungsi bernilai vector atau medan vector, dan kalkulus vector, yakni diferensiasi serta integrasi fungsi-fungsi bernilai vector. Isi bahasan ini tergolong bidang kalkulus atau analisi vector yang memainkan peranan penting dalam kajian mekanika, hidrodinamika, dan teori electromagnet. Manfaatnya terutama memberikan rumusan ringkas berbagai besaran fisika, yang selain bergantung pada kedudukan juga pada arah, serta hukum-hukum fisika yang mengatur keterkaitan mereka. Uraian ini menggunakan pendekatan fisika untuk mengenalka pengertian dasar seperti medan vector, divergensi, integral lintasan, permukaan, serta teorema integral divergensi dan Stokes. Sebagai contoh, integral lintasan yang dikaitkan dengan pengertian usaha dalam mekanika, integral permukaan dengan fluks atau jumlah garis gaya yang menembus suatu permukaan. Bahasan kita akan diaali dengan pengertian fungsi bernilai vector.

3.2 FUNGSI VEKTOR SATU VARIABEL Tinjau sebuah partikel yang bergerak dalam ruang berdimensi i-3, R3 karena bergerak, koordinat kedudukannya ( x, y, z ) selalu berubah, atau bergantung pada waktu t : x = x (t), y = y (t) dan z = z (t). ini berarti, vector kedudukan r nya juga bergantung pada waktu t : R = x (t) ̂ + y (t) ̂ = r (t)

̂ (3.1)

Titik terminal vector r, dengan demikian, selalu berubah mengikuti kedudukan sesaat benda. Jadi, jejak titik terminal vector r (t) adalah kurva lintasan benda C : x = x (t), Y = y (t), z = z (t), dengan t sebagai parameter kurva, seperti diperlihatkan pada Gambar 3.1a. sebagi contoh, vector

67

kedudukan sesaat benda yang bergerak sepanjang heliks C : x = cos t; y = sin t; z = t pada gamabr 9.1b dalah :

Z

C r(t

r r(t)

O

Y

Y

(b)

(a)

Gambar 3.1

(a) Vektor kedudukan r(t) dan kurva linta; vector r(t)

(b)

Heliks C dan

Vector kedudukan r (t) pada pers. (3.1) adalah contoh fungsi vector satu variable, yang secara geometris menyatakan sebuah kurva C dalam ruang dengan parameter t. Secara umum, vector A = Ax ̂ + Ay ̂ + Az ̂ dengan ketiga komponennya = Ax ,Ay dan Az merupakan fungsi dari sebuah variable u, yakni : A = Ax(u) ̂ + Ay

̂ + Az

̂

= A (u)

(3.2)

Adalah sebuah fungsi vector satu variabel.

3.3 DIFERENSIASI FUNGSI VEKTOR SATU VARIABEL Tinjau Gambar 3.2a dengan C adalah kurva lintasan benda. Misalkan pada saat t = t1 benda berada dititik P dengan vector kedudukan r (t1), dan pada saat t = t2 ia berada dititik Q dengan vector kedudukan r (t2). Selisih kedua vektor kedudukan ini, yakni :

68

= [x

] ̂ + [y

-x ̂

=

] ̂ + [z

-y

̂ ̂

(3.3)

Disebut vektor perpindahan benda.Pada Gambar 3.2a. waktu

={



-z

adalah vektor ⃗⃗⃗⃗⃗ Maka, dalam selang

}, kecepatan rata-rata benda didefinisikan sebagai berikut:

(

Z

) ̂

(

C

) ̂

(



z ∆r d

Yr(t2 O

Yr(t1

0

Y

Y x

X

(b)

(a)

Gambar 3.2 (a) vector perpindahan ∆r =PQ, (b) Vektor Limit ∆r kurva C. Jika

sekecil mungkin, maka vektor perpindahan

0

menyinggung

yang bersangkutan semakin

menghampiri busur kurva lintasan C, seperti diperlihatkan pada Gambar 3.2b bils vektor

maka

, yang kini beimpit dengan busur kurva dan arahnya sejajar garis singgung kurva

lintasan di r (t). pada keadaan limit ini, kecepatan benda pada saat ketika kedudukanya di r (t), yang di sebut kecepatan sesaat atau kecepatan benda, yakni :

(

) ̂

(

) ̂

(



69

Setiap komponen di ruas kanan pers. (3.5), menurut kalkulus, berturut-turut adalah diferensiasi dx/dt, dy/dt dan dz/dt. Secara matematika, pers (3.5) adalah definisi diferensiasi atau turunan fungsi vektor aatau variable r (t) terhadap t, yang dinotasikan sebagai :

(

) ̂

(

) ̂



(

karena diferensial

̂

̂ ̂

̂

̂

̂

menyinggung kurva C : r (t), maka kecepatan v pada pers (3.6) arahnya menyinggung pula kurva lintasan C. selanjutnya, didefinisikan pula turuna kedua vektor r (t) :

̂

̂ ̂

yang adalah vektor percepatan benda. Secara umum, jika ketiga fungsi komponen Ax (u), Ay ( u) dan Az (u) dari fungsi vektor satu variable A (u) pada pers. (3.2) adalah diferensiabel, maka diferensiasi fungsi vektor A (u) didefinisikan sebagai : ̂

̂

Jadi, trunan sebuah fungsi vektor A adalah sebuah vektor dA/dt yang komponen-komponennya adalah turunan dari masing-masing komponen A. begitupula didefinisikan orde tinggi

,

, dan seterusnya.

70

CONTOH 3.1 : Hitunglah vektor kecepatan dan percepatan dari sebuah partikel yang bergerak sepanjang heliks C dengan persamaan vektor kedudukan r (t) = ( cost) ̂

̂

̂.

PEMECAHAN : Menurut pers. (3.5), vektor kecepatan benda adalah : ̂ = - (sin t) ̂

̂ ̂

̂ ̂

Sedangkan vektor percepatannya adalah : ̂ = - (cos t) ̂

̂

̂

̂

RUMUS DIFERENSIASI Berikut adalah rumusan diferensiasi vektor yang pembuktiannya dapat diperlihatkan dengan menerapkan definisi (3.9). Jika A (u), B (u) dan C (U) adalah fungsi-fungsi vektor diferensiabel dari scalar u, maka:

(2). Jika

(u) adalah sebuah fungsi diferensiabel dari u,

71

(

)

(

)

(

)

3.4. MEDAN SKALAR DAN VEKTOR Pada umumnya, nilai berbagai besaran fisika tidaklah sama pada titik yang berbeda dalam ruang. Sebagai contoh, suhu di dekat tempat perapian adalah lebih tinggi daripada di tempat yang jauh. Begitupula, besar dan arah kecepatan aliran fluida dalam sebuah pipa tak lurus yang luas penampangnya berubah – ubah, tidaklah sama dalam berbagai titik sepanjang pipa. Kedua jenis besaran ini, secara umum, didefinisikan sebagai berikut: Definisi 3.1: Jika pada setiap titik P(x, y, z) dari suatu daerah D dalam ruang dikaitakan: (a).

sebuah scalar ᵠ, maka fungsi scalar ᵠ( x, y, z) mendefinisikan sebuah medan skalardalam daerah D.

(b). sebuah vektor F, maka fungsi vektor F (x, y, z) mendefinisikan sebuah medan vector dalam daerah D. dalam komponen: F(x, y, z) = Fx (x, y, z)I + Fy (x, y, z)j + Fz (x, y, z)k

(3.10)

Medan scalar ᵠ( x, y, z), dan medan vektor F(x, y, z) seringkali disingkat dengan notasi ᵠ (r) dan dan F(r). Contoh 3.2: Medan Saklar (a). Distribusi suhu T pada selembar logam D, mengidentifikasikan sebuah medan saklar T(x, y, z). (b). Fungsi ᵠ (x, y, z) = z3 – xy2 mengidentifikasi sebuah medan Saklar dalam ruang.

72

Contoh 3.3 : Medan Vektor (a).

Kecepatan aliran fluida v pada setiap titik (x, y, z) dalam fluida, mengindetifikasikan sebuah medan saklar v(x, y, z).

(b). Medan elektrostatik E(x, y, z) = xz ̂ – xy2 ̂ + y3z ̂ mengidentifikasikan sebuah medan vektor dalam ruang. Di sini, ketiga komponennya adalah: Ey (x, y, z) = - xy2,

Ex (x, y, z) = xz,

Ez (x, y, z) = y3z

3.5. GRADIEN DAN TURUNAN ARAH Tinjuahlah sebuah medan skalar

yang terdefinisika dalam daerah D, misalkan suhu

dalam ruang. Pada pasal 7.2, telah kita perlihatkan bahwa diferensial totalnya,

diberikan

oleh:

Ruas kanan dapat dituliskan dalam pernyataan hasil kali titik: (

̂

̂) ( ̂

̂

Ini adalah hasil kali titik antara vektor dr dengan medan vektor ̂ Medan vektor ini disebut gradien

̂) ̂ ⁄

yang dilambangkan dengan grad

̂ atau



̂



.

(baca “del

.

Secara definisi: ≡

⁄ ̂



̂



Dengan demikian, pers. (3.11) teringkaskan menjadi:

Jika dr adalah deferensial vektor kedudukan sepanjang kurva C:

73

( | |

⁄ )



Adalah diferensial panjang atau metrik dari kurva C. Jika s diambil sebagai parameter kurva C, maka: ̂

| | adalah vektor singgung satuan dari kurva C.

Kita selanjutnya mendefinisikan turunan medan skalar

dalam arah v sebagai:

̂ Dengan ̂ vektor satuan dalam arah v yang lazim disebut turunan arah medan skalar fisika, |



maksimum yakni ( | yaitu arah

|

| untuk

atau dalam arah ̂

Secara ̂

.

CONTOH 3.4: Jika

carilah:

(a). medan vektor gradien (b). turunan arah medan saklar

dalam arah vektor

̂

̂ di titik P(1, -2, 1). ̂

PEMECAHAN: (a).

Dari definisi (3.12) mengenai medan vektor gradien, kita peroleh: ̂ = (2

̂

̂

̂

̂

̂

74

(b). Untuk menghitung turunan arah medan skalar ⁄

̂

dalam arah vektor

̂

̂ yakni

, kita hitung dahulu vektor satuan ̂ Karena panjang vektor v adalah:

| |



Maka: ̂

| |

̂ ̂

Dengan demikian, ̂

̂

̂

̂ ̂

̂ ̂

=

Di titik P(1, -2, 1), nilainya adalah: [ {

]

}

VEKTOR NORMAL PERMUKAAN: Tinjau sebuah permukaan S dalam ruang implisit:

yang persamaannya diberikan dalam bentuk

dengan c sebuah tetapan. Maka, pada permukaan S ini berlaku: atau

Karena koordinat (x, y, z)

maka dr menyinggung setiap kurva pada permukaan S. dengan

demikian, kita peroleh kesimpulan berikut: Vektor

tegak

lurus

permukaan

(3.17).

75

Karena (



|

| adalah nilai turunan arah dalam arah

sering disebut turunan normal, dan dilambangkan dengan

atau normal permukaan S, ia



Fungsi

selanjutnya

disebut fungsi permukaan. Contoh 3.5 : Permukaan S dalam R3 diberikan oleh persamaan:

Hitunglah :

(a). Normal satuan permukaan S, (b). Persamaan bidang singgung yang menyinggung permukaan S di titik (1, 0, 2). PEMECAHAN: (a). Fungsi permukaan S adalah :

, sehingga ̂

Di titik (1, 0, -2), nilai (̂

̂

̂ ̂

adalah : ̂ ) dan |

|



Jadi, menurut persamaan (3.17), normal satuan permukaan S adalah: ̂

|

|



̂

̂) √

(b). secara geometris, bidang yang menyinggung permukaan S di titik

tegak lurus

permukaan S di titik tersebut. Jadi menurut pasal 4.11, persamaan bidanf singgung ini adalah: ̂

̂

̂

̂

Atau

76

3.6. DIVERGENSI DAN CURL Tinjau aliran air pada suatu daerah D dengan kecepatan aliran d setiap titik diberikan oleh medan kurva – kurva dengan vector singgung

vektor kecepatan (streamlines). Jika

ini disebut garis aru

adalah rapat massa fluida, maka jumlah massa fluida yang menembus

tegaklurus elemen vektor luas dA permukaan dalam selang waktu dt, adalah jumlah massa yang | |

terdapat dalam volume

|

|

| |

atau

|

| (lihat gamb.

9.3). jika kecepatan aliran v tidaklah tegak lurus terhadap elemen vektor luas dA, maka menurut Bab. 4, volume

sehingga jumlah massa fluida yang menembus permukaan S

dengan luas dA tiap satuan waktu atau debit fluida adalah: ̂ ̂adalah normal satuan permukaan dA.

Dengan U = z

(1)

O

dy

2

dz

𝑣

dx

z

y x y

x

Gambar 3.3 Elemen volume dV dalam aliran fluida Sekarang, tinjaulah suatu elemen volume empat persegi panjang

dalam daerah

aliran fluida (lihat gtamb. 9.3), dengan titik pusat P(x, y, z). aliran fluida menembus (masuk maupun keluar) keenam sisi elemen volume dV ini, dan kita hendak menghitung jumlah fluida yang keluar darinya per satuan waktu.

77

Merujuk ke Gamb. 9.3, debit fluida yang menembusi permukaan (1) adalah: (

)

=(

̂

)

(

(

)

)

(3.19a)

Sedangkan yang menembusi permukaan (2) adalah: (

)

(

̂

(

)

)

Jadi, neto laju massa fluida yang keluar dari elemen volume dV dalam arah aliran ̂ adalah: (

)

[

(

)

]

Dengan cara yang sama, neto laju massa fluida yang keluar dari elemen volume dV dalam arah aliran ̂

̂ berturut – turut adalah: (

)

(

)

[

]

[

]

Jadi, total neto laju massa fluida yang keluar dari elemen volume V adalah: (

(

)

)

Besaran di dalam tanda kurung, secara matematis, dapat dirumuskan sebagai hasil kali titik: (̂

̂

̂

) (

̂

̂

̂)

Secara umum jika F = F (x, y, z) adalah sebuah medan vektor diferensiabel, maka divergensi medan vektor F, yang disingkat div F, didefinisikan sebagai berikut:

78

≡ Secara fisika, bila pers. (3.21) dengan (dx dy dz), kita proleh tafsiran bahwa

menyatakan

neto laju massa fluida yang keluar dari suatu volume satuan di titik (x, y , z). medan vektor diferensiabel F(r) yang memenuhi sifat:

disebut solenoidal .

Contoh 3.6: Tentukan tetapan a agar medan vektor F

̂

̂

̂ bersifat

solenoidal. PEMECAHAN: Medan vektor F(r) bersifat solenoidal, jika

Maka,

bila

. Menurut definisi (3.22):

a =1

Rumusan medan saklar divergensi pada pers. (3.22) memberi kesan bahwa operator diferensiasi: ̂( ⁄

)

̂( ⁄

)

̂ ( ⁄ ) berperilaku sebagai besaran vektor yang memenuhi

operasi hasil kali titik vektor. Tetapi, perlu dicatat bahwa berbeda dari vektor biasa, operator hanyalah bekerja dari sebelah kiri, sehingga hubungan komutatif

tidaklah berlaku.

Ruas kiri adalah suatu medan saklar, sedangkan ruas kanan adalah suatu operator diferensiasi baru. Berikut, terhadap operasi hasil kali silang (x), kita definisikan curl dari medan vektor V sebagai berikut: Curl (

)

̂(

)

̂(

)

79

̂

̂ ̂

||

||

Tampak bahwa curl V adalah sebuah medan vektor. Tafsiran fisikanya dapat kita lihat sebagai berikut. Tinjau kembali rotasi benda tegar yang dibahas pada Bab. 4. Telah diperlihatkan bahwa kecepatan linear v dari setiap titiknya pada kedudukan r dari tiap titik asal O di poros benda tegar yang berotasi dengan kecepatan sudut tetap ⃗





Curl



)

|

|

̂ ̂

̂

̂ ̂ ̂

̂ ̂

||

||



̂

̂

)



Jadi, ⃗ Yang menunjukkan bahwa curl sebuah medan vektor berhubungan dengan sifat rotasi medan vektor yang bersangkutan. Dalam hal v adalah medan vektor kecepatan aliran fluida, maka sebuah pedal yang ditempatkan pada daerah di mana

akan berputar pada sumbunya.

Medan vektor diferensiabel F(r) yang memenuhi sifat:

disebut irotasional.

CONTOH 3.7: Jika F =

̂

̂

̂ hitunglah

di titik (1, 1, 1).

80

PEMECAHAN: Menurut definisi (3.23): ̂ ̂

̂

|

Atau

|

̂(

)

̂(

)

̂

̂(

)

̂

Di titik (1, 1, 1), kita peroleh: | ̂

̂

RUMUS – RUMUS YANG MENGANDUNG Berikut adalah beberapa rumus yang mengandung operator del . Jika A(r), B(r) adalah medan vektor diverensiabel, dan maka dengan menggunakan definisi operator

(r),

pada pers. (3.12),

medan skalar diferensiabel, pada pers. (3.22), dan

pada pers. (3.23), maka: (1). (2). (3). (4). (5).

81

(6). (7). (8). Jika A, dan

memiliki turunan kedua yang kontinu, maka ≡

disebut operator laplace. (10). (11). (12).

Dalam ketiga pasal berikut kita akan membahas integrasi vektor yang muncul dalam berbagai persoalan fisika.

3.7. INTEGRAL DAN VEKTOR BIASA Misalkan A(t) = Ax (t) ̂ + Ay(t) ̂+ Az (t) ̂ adalah satuan vector yang bergantung pada satu variable atau parameter t. maka integral tak tertentu dari A(t) didefinisikan sebagai: ∫

̂∫

̂∫

̂∫

Bila terdapat sebuah vektor B(t), sehingga A(t) = dB/dt, maka: ∫

∫(

)



Dengan c sebuah vector tetap.

82

Integral tertentu antara limit t = a dan b, untuk kasus (3.25), seperti halnya pada integral scalar biasa, adalah: ∫

∫ (

)

]

Contoh 3.8: Jika percepatan sebuah partikel pada sebarang saat t = 0 adalah: ̂

̂ , tentukanlah kecepatan v(t) dan kedudukan benda r(t) ̂

tersebut untuk sebarang saat t jika diketahui bahwa pada saat t = 0, v(0) = 0, dan r(0) = 0. PEMECAHAN: Dari hubiungan diferensiasi antara percepatan a(t) dan kecepatan v(t) yang diberikan oleh persamaan (3.8)-

, kita peroleh: ∫



Dengan menyisipkan pernyataan a(t) di ruas kiri, kita akhirnya peroleh: V(t) = (∫

) ̂

(∫

) ̂

̂

=



(∫ ̂

̂

Selanjutnya, dari hubungan diferensiasi anatara kecepatan v(t) dan kedudukan r(t), menurut pers. (3.6), dengan cara yang sama kita peroleh: ∫

̂∫

̂∫

̂

̂∫ ̂

̂

83

3.8. INTEGRAL LINTASAN Tinjau sebuah benda yang bergerak sepanjang kurva C : r = r (t), dari titik P ke Q, dan padanya kerja medan gaya F (r) = F (x, y, z) seperti pada Gambar 3.4. berikut kita akan menghitung usaha yang dilakukan medan gaya F pada benda tersebut. Untuk itu, kurva C antara P dan Q kita bagi , dengan

vektor kedudukan ke – I pada busur kurva C yang

, sebanyak N-bagian;

berturut – turut adalah vector kedudukan titik

atas sejumlah perpindahan diapit talibusur

awal P, dan akhir Q.

z

Δ𝑟𝑖

𝐹 𝑟𝑖 𝑟𝑖

y

x

Gambar 3.4 Usaha gaya F( ) pada elemen

sepanjang kurva C

Maka, secara hampiran, usaha oleh medan gaya F sepanjang setiap busur yang diapit

adalah: (3.27)

Jadi, secara hampiran, usaha total yang dilakukan medan gaya F(r) terhadap benda sepanjang kurva C dari P hingga Q, adalah:



84

Dengan melakukan pembagian kurva Cantara titik P dan Q semakin halus, yakni dengan mengambil N

elemen diferensial kurva C, maka usaha total medan

gaya F(r) sepanjang kurva C adalah:







Integral pada pers. (3.28) mendefinisikan integral lintasan medan vektor F(r) sepanjang kurva C dari titik P hingga Q. Berbeda dari integral biasa, integral lintasan pada umumnya bergantungpada bentuk lintasan. Artinya, nilai integral lintasan (atau usaha) sepanjang lintasan yang berbeda antara dua titik tetap P dan Q, pada umumnya, tak sama besar. Perhitungan analitis integral lintasan (3.28) dilakukan dengan mengalihkannya ke dalam integral biasa terhadap parameter kurva C. Misalkan persamaan parameter kurva C diberikan oleh persamaan (3.1), elemen diferensial dr diberikan oleh pers. (3.7). karena medan vektor F(r) yang ditinjau adalah yang terdefinisikan pada kurva C, maka ia juga bergantung pada parameter t, yakni: (

)

Sisipkan pers. (3.7) dan pers. (3.29) ke dalam integral pers. (3.28) diperoleh: (

)

Jika titik P dan Q berturut – turut berkaitan dengan parameter

, maka dengan

menyisipkan pernyataan integran (3.30) ke dalam integral lintasan (3.28), kita peroleh ntegral satu variable biasa:





Berikut adalah beberapa sifat integral lintasan: (a). Jika F(r) = F1 (r) + F2 (r), maka

85





(b). Jika C =

dan



(sebuah titik potong), maka:







CONTOH 3.9: ̂

Jika

̂ hitunglah ∫ ̂

dari titik O(0, 0, 0) ke P(2, 1, 1)

sepanjang kedua lintasan berikut: (a). C1: garis lurus PQ (b). PEMECAHAN: (a). persamaan garis yang melewati titik O(0, 0, 0) dan P(2, 1, 1) memiliki vektor arah: ̂

̂ ̂

̂

̂

̂ maka persamaan garis PQ dalam parameter

t adalah: x = 2t, y = t, z = t; sehingga: (

̂

̂) ̂

( ̂

̂

̂)

Pada garis PQ, medan vektor A adalah: ̂ ={ =

̂



̂ ̂

{ ̂





{ ̂

86

[

Jadi,

̂

̂ ] [( ̂ ̂

=[

̂

̂)

]

]

Batas integral terhadap parameter t dicari dengan menghitung nilai t yang bersangkutan bagi titik awal O(0, 0, 0) dan P(2, 1, 1) dari persamaan parameter garis OP diatas. Kita peroleh: titik awal O, dan terakhir P, masing – masing berkaitan dengan to = 0, dan tp = 1. Dengan demikian, integral lintasaan yang dihitung teralihkan ke integral biasa:





CONTOH 3.10: Jika F =

̂

̂ hitunglah ∫ ̂

sepanjang lingkaran

dalam arah positif dari (0, 1, 1) hingga (1, 0, 1). PEMECAHAN: Dengan memilih sudut

sebagai parameter lingkaran, maka persamaan parameternya adalah:

Dengan titik awal (0, 1, 1) berkaitan dengan atau

. Untuk putaran positif, parameter

dan titik akhir (1, 0, 1) dengan jadi kita memilih

.

Jadi, medan vektor F pada lingkaran C adalah: ̂

F=

̂ ̂

̂

= (sin

̂ ̂

Sedangkan, (

̂

̂

̂)

[

̂

̂

sehingga,

87

F . dr Dengan demikian, integral lintasan yang ditanyakan adalah:





MEDAN VEKTOR KONSERVATIF Integral lintasan suatu medan vektor F, pada umumnya bergantung pada lintasan C, seperti diperlihatkan pada Contoh 3.9. Khusus untuk medan vektor gradien:

dengan

adalah

suatu medan scalar, jika P dan Q adalah titik awal dan titik akhir, maka:







( )

( )

Jadi, integral lintasan suatu medan vektor gradien hanyalah bergantung pada kedudukan awal dan akhir lintasan, tak bergantung pada lintasan C. Secara fisika, usaha oleh medan vektor (gaya) gradien F =

tak bergantung pada lintasan, hanyalah pada kedudukan awal dan akhir benda.

Jadi, untuk setiap lintasan tertutup C berlaku: ∫



Medan vektor gaya gradien ini disebut sebagai medan vektor konservatif. Secara fisika, medan skalar V(r) = -

adalah energi potensial medan gaya F.

Karena menurut rumus (10) pada pasal 9.6, memenuhi sifat

maka medan vektor gradient F =

yang berarti F adalah solenoidal.

3.9. INTEGRAL PERMUKAAN Tinjaulah kembali contoh permasalahan aliran fluida pada pasal 9.6. Menurut pers. (3.18), jumlah massa fluida yang menembus permukaan S seluas dA tiap satuan waktu adalah:

88

̂ dan ̂ normal satuan elemen dan luas permukaan dA.

Dengan U = (

Dengan demikian, untuk permukaan berhingga S, yang umumnya lengkung, laju jumlah massa fluida yang menembusinya diberikan oleh integral: ∬

̂

Yang disebut integral medan vektor U. pada teori electromagnet, jika E = E(r) adalah medan ̂

elektrostatik, maka integral permukaan: ∬

menyatakan jumlah garis gaya atau fluks

medan elektrik yang menembus permukaan S. Perhitungan integral permukaan ini dilakukan secara bertahap dengan mengalihkannya dahulu kedalam pernyataan integral lipat dua biasa terhadap kedua parameter permukaan. Dalam kegiatan ini, marilah kita tinjau ulang sekilas beberapa definisi dan rumusan dasar persamaan parameter permukaan dalam ruang tiga dimensi. Sebuah permukaan S, pada dasarnya, adalah himpunan titik (x, y, z) dalam ruang tiga dimensi yang koordinatnya diberikan oleh persamaan parameter: x = x(u, v),

y = y(u, v),

z = z(u, v)

(3.35)

dengan U dan V kedua parameter permukaan yang didefinisikan dalam suatu daerah D uv pada bidang datar uv. Dengan demkian, secara vektor, permukaan S adalah tempat kedudukan semua titik dengan vektor kedudukan: ̂

̂

̂

Pernyataan parameter (3.36) menunjukkan bahwa u = cdenga c tetap, maka ̂

̂

̂

menyatakan

sebuah

kurva

pada

permukaan

S,

namakanlah Cv. begitupula halnya, jika v = d adalah tetap, maka r = r(u) menyatakan kurva Cu pada permukaan S. dengan demikian menurut uraian pasal 9.2 di atas: dru =

89

berturut – turut menyinggung kurva r(u), dan r(v) pada permukaan S. keduanya membentuk sisi dasar petak jajaran – genjang singgung infinitesimal pada permukaan S, seperti diperlihatkan pada Gambar 3.5. Menurut aljabar vektor pada pasal 4.8, yakni pers. (4,34), luas petak jajaran genjang ini adalah elemen vektor permukaan S, yakni: ̂

(

𝑛̂ z 𝐶𝑣

)

𝑑𝑟𝑢

𝑑𝑟𝑣

d 𝐶𝑢

O y x

Gambar 3.5 Elemen luas permukaan S, ̂ Dengan menggunkan persamaan parameter permukaan (3.35) dan elemen vektor luas (3.37) pada integral permukaan (3.34), kita peroleh integral lipat dua dalam parameter u dan v yang selanjutnya dihitung menurut bahasan Bab. 8. Dalam pasal ini, kita hanya akan membahas tiga macam parameterisasi permukaan yang sederhana, yakni dalam dua dari koordinat kartesis (x, y, z), silinder (r,

, z), dan bola (r,

). Berikut kita akan membahas terlebih dahulu

parameterisasi dalam koordinat kartesis. (A). PARAMETERISASI DALAM KOORDINAT KARTESIS Misalkan permukaan S diberikan oleh persamaan permukaan dalam koordinat kartesis :

yang adalah “normal” terhadapa bidang

xy(lihat definisi “kenormalan”

permukaan pada bab 6), seperti diperlihatkan pada Gambar 3.6. Dalam hal ini, koordinat x dan y dapat diambil sebagai kedua parameter permukaan S. Karena kedua parameter ini mempunyai

90

tafsiran geometris yang jelas dalam system koordinat kartesis, maka pernyataan elemen vector ̂

luasnya

akan kita hitung secara geometris.

z

η dA

s

k

dxdy

x

Gambar 3.6 (a) Permukaan S yang normal terhadap bidang xy; (b) Elemen luas ̂ dan ̂ Tahap pehitungannya adalah sebagai berikut : (a) Hitung fektor normal satuan ̂ permukaan S : Menurut pers. (3.17), normal permukaan sehingga ̂

adalah :

̂

(b) Pecahkan persamaan permukaan

(3.38) bagi variabel

Dari pemecahan ini diperoleh persamaan :

z:

z = z (x, y).

(c) Nyatakan medan vector U dan ̂ dalam x dan y : Karena U = U (x, y, z), dan

̂ = ̂ ( x, y, z), maka dari persamaan

z yang

diperoleh : U (x, y, z) = U (x, y, z (x, y) ) = V (x, y)

(3.39)

̂ (x, y, z) = ̂ (x, y, z (x, y) ) = ̂ (x, y)

(3.40)

(d) Elemen luas dA dinyatakan dalam dxdy : Untuk mentatakan elemen luas permukaan dA dalam dxdy, perhatikan kembali Gambar 3.6b. secara geometris, dxdy adalah proyeksi dA pada bidang xy yang memiliki normal permukaan

91

̂ .Jika

adalah sudut antara bidang yang memua dA dan (dxdy), maka hubungan antara

kedua elemen luas ini adalah :

adalah juga sudut antara ̂, normal bidang dA, dan ̂ ,

Dari gambar 9.6b, tampak bahwa

̂ adalah vektor satuan, maka:

normal bidang dxdy. Karena ̂

̂ ̂

| ̂|| ̂ |

Sehingga diperoleh :

̂ ̂

̂

̂

(a) Tentukan Dxy, proyeksi S pada bidang xy : Daerah integrasi

Dxy yang bersangkutan diperoleh dengan mencari proyeksi batas

permukaan S pada bidang xy. Untuk itu perlu disketsakan permukaan S dan proyeksinya. (b) Hitung integral lipat duanya : Dengan menyisipkan pers. (3.37), (3.38), dan (3.39) ke dalam integral permukaan (3.34) kita akhirnya peroleh integral lipat dua :



(

̂ ̂

̂

)

Uraian langkah pemecahan yang serupa juga berlaku bagi permukaan yang normal terhadap bidang yz,dan zx . Contoh 9.11 :

92

̂

Jika

̂ ̂

dan S adalah bidang

dalam oktan

pertama, hitungglah ∬ PEMECAHAN : Karena bidang S normal terhadap bidang xy, kita dapat memili x dan y sebagai parameter bidang S. Dengan memecahkan persamaan bidang (

bagi z, kita peroleh :

).

Dengan demikian , nilai medan vector F pada bidang S adalah : ̂ Selanjutnya,

̂

normal satuan

̂



(

dari permukaan S ̂

Kita peroleh :

̂

dihitung dari ̂ dan |

|

fungsi permukaan √

karena itu, normal satuan bidang S adalah : ̂

|

|

( ̂

̂

̂)

dan ̂ ̂

Dari sketsa permukaan S pada gambar 9.7a, kita dapati proyeksi bidang S dalam oktan pertama dpada bidang

,

, adalah daerah dalam kuadran pertama yang dibatasi oleh sumbu

x positif, y positif, dan garis potongan bidang ( Sketsa daerah

)

S dengan bidang xy, atau z = 0 yakni :

. Pada gambar 9.7b diperlihatkan yang bersangkutan.

Z 2x+y+2z=

y 2x+y=6

0

0 Dxy

93

GAMBAR 9.7

(a). Permukaan bidang S. (b). Daerah integrasi

Dengan demikian, integrasi permukaan ∬ ∬

̂

̂

teralihkan menjadi integral lipat dua: )̂

( ∬ (∫



̂

(

̂ ̂

)

)



(B). PARAMETERISASI DALAM KOORDINAT SILINDER Misalkan, S adalah permukaan silinder : maka koordinat sudut

dengan z sebagai sumbu simetrinya,

dan z dapat kita pilih sebagai kedua parameternya. Persamaan

parameter permukaan S, dengan demikian, menurut pers. (2.47) dengan r = a, adalah : (3.43) Vektor kedudukannya, dengan demikian, adalah : ̂

̂

̂

Sehingga ̂

̂ ̂

Karena itu, vector elemen luas permukaan silinder S ini, menurut pers. (3.37) adalah:

̂

(

)

|

̂

̂

̂ |

94

̂ ̂ Medan vector

̂

̂

)

pada permukaan S, adalah :

Untuk

menyederhanakan perhitungan, hitung dahulu ̂ ̂ dalam sistem koordinat kartesis, yang menghasilkan medan scalar :

kemudian sisipkan persamaan parameter

(3.43). CONTOH 9.12 : ̂

Jika

̂ , dan S adalah permukaan silinder ̂

oktan pertama antara z = 0 dan z = 5, hitunglah ∬

yang terdapat pada

̂

PEMECAHAN : Karena permukan silinder

memiliki jari-jari



maka persamaan

parameternya adalah :

Dengan menggunakan elemen vektor luas ̂ ̂

( ̂

̂

̂) [

̂ ̂

̂

maka ]

̂

Permukaan silinder yang ditinjau adalah yang terletak dalam kuadran pertama, jadi dari hingga

dan antara z = 0 hingga z = 5. Jadi : ∬

̂

∫ *∫

+



(C). PARAMETERISASI DALAM KOORDINAT BOLA

95

Misalkan, S adalah permukaan bola : (0, 0, 0), maka koordinat sudut

dengan pusat simetri di titik asal O

, dan

dapat kita pilih sebagai kedua parameternya.

Persamaan parameter permukaan S, dengan demikian, menurut pers. (2.50) dengan r = a, adalah : 5) vektor kedudukannya, dengan demikian adalah : [

̂

̂] ̂

Sehingga ̂

̂ ̂

̂

̂

Karena itu, vector elemen luas permukaan bola S ini, menurut pers. (3.37) adalah : ̂ ̂

[

]

̂ ̂

|

|

[̂ ( ̂

̂ ̂

̂

]

̂)

Medan vector F ( x, y, z) pada permukaan bola S, adalah : (

)

Seperti

pada

koordinat

silinder,

untuk

menyederhanakan perhitungan, hitung dahulu ̂ ̂ dalam koordinat kartesis, yang menghasilkan medan scalar :

kemudian sisipkan persamaan parameter (3.45)

CONTOH 3.13: Hitunglah ∬

̂

, F = (x2 + y2 + z2) (x ̂ + y ̂ + z ̂ ), dan S adalah seluruh permukaan bola x2

+ y2 + z2 = 25.

96

PEMECAHAN: Karena permukaan bola S : x2 + y2 + z2 = 25 memiliki jari-jari a = √

= 5, maka persamaan

parameternya adalah :

Karena elemen factor luas permukaan bola S, menurut Pers. (3.46), adalah ̂ ̂)

( ̂

̂

karena (x2 + y2 + z2) = 52.

Jadi, integral permukaan medan vektor F terhadap seluru permukaan bola adalah : ∬

̂

∫ (∫

)

3.10. TEOREMA GREEN DALAM BIDANG Pada kuliah kalkulus suatu variable, teorema utama integral mengatakan bahwa : ∫

Tentunya kita bertanya-tanya, apakah terdapat pula rumus analog dua dimensinya. Dengan kata lain, apakah kita juga memperoleh hasil sederhana jika melakukan integral lipat dua terdapat suatu turunan parsial



misalnya, dengan M = M (x, y ) ? pertanyaan ini dijawab oleh

teorema penting berikut yang mengaitkan integral lipat dua dari turunan parsial fungsi dua variable dengan integral lintasan fungsi yang bersangkutan. Ini adalah Teorema Green dalam bidang yang berbunyi sebagai berikut : TEOREMA 9.10 : TEOREMA GREEN DALAM BIDANG Misalkan C sebuah kurva diferensibel tertutp dalam bidang xy normal terhadap sumbuh-x maupun sumbu-y. Jika M (x, y) dan N (x, y) adalah dua fungsi diferensiabel, maka : ∫

∬(

)

97

denganD adalah daerah yang dibatasi kurva tertutup C . Perhatian : Ruas kiri adalah integral lintasan panjang lintasan tertutup C dalam arah positif. Berikut adalah pembuktiannya. BUKTI : ⁄

Pertama, kita meninjau integral lipat dua dari

terhadap daerah D pada Gambar 3.8.ntuk

maksud ini, kitu tinjau kurva tertutup C normal terhadap sumbu-x. Artinya, untuk a ≤ x ≤ b, kurva C dapat dibagi atas dua bagian : C1 :

a ≤ x ≤ b,

y = f1 (x)

C2 :

b ≥ x ≥ a,

y = f2 (x)

y

C2

C

0

b x

a

Gambar 3.8 Teorema Green dalam bidang Dengan memilih x sebagai parameter kurva C, maka ∬

∫ (∫



( ∫

)

) (

∫ )

| )

∫ (|



(

) (

)

98





∫ Kedua,an meninjau C sebagai kurva normal terhadap sumbu-y, dan mangambil y sebagai parameter, dapatlah diperlihatkan bahwa : ∬



(3.49)

Terakhir, jumlahkan Pers. (3.48) dan (3.49), kita peroleh hubungan yang diberikan oleh Pers. (3.47) di atas. CONTOH 3.14 : Periksalah kebenaran teorema Green dua dimensi bagi integral lintasan



dengan C sebuah kurva tertutup yang disusun oleh kurva C1 : y = x2 , dan

C2 :

y2 = x . PEMECAHAN 9.14: Pertama, kita hitung dahulu integral lintasannya, Pada Gambar 3.9 disamping, diperlihatkan kurva C. kurva penyusunya C1dan C2 berpotongan pada dua titik yang diperoleh dari pemecehan persamaan aljabar : x2 = x, yaitu (0, 0) dan (1, 1) .

y C2 C

0

GAMBAR

9.9

Kita peroleh :

99

∫ ∫ [

]

∫ [

∫ [

]



]

∫ [

]



(

)

(

)

Kedua, kita menghitung integral lipat dua : ∬(

)

∫ (√



)

(

∫ (∫



)

)

Kesamaan hasil perhitungan kedua jenis integral ini memperlihatkan secara kebenaran teorema Green dalam bidang.

3.11. TEOREMA STOKES Tinjaulaha kembali teorema Green dua dimensi di atas. Dengan memendang fungsi M (x, y) dan N (x, y) sebagai komponen x dan y dari medan vektor F (x, y ) = M (x, y) ̂ + N (x, y) ̂, maka integral lintasan di ruas kiri Pers, (3. 47), dalam pernyataan vektor adalah : ∫



Selanjutnya, karena ̂ |



̂ ⁄

̂ ⁄ |

̂(

)

10 0

̂

dan elemen vektor luas bidang xy adalah ̂ ∬(

)

, maka ∬

̂

Jadi, dalam notasi vektor, teorema Green dua dimensi adalah : ∫



̂

Perluasannya ke dalam ruang tiga dimensi dikenal sebagai Teorema Stokes yang berbunyi sebagai berikut : TEOREMA 9.2: TEOREMA STOKES Misalnya C sebuah kurva diferensiabel tertutup dalam ruang dimensi-3 yang normal terhadap ̂

ketiga sumbuh koordinat x, y, dan z . Jika

̂

̂ suatu medan

vektor diferensiabel, maka : ∬



̂

dengan S adalah permukaan yang dibatasi kurva tertutup C. Pembuktiannya tidak diberikan di sini, dan itu pembaca di ajak melihat pada bahasan analisis vektor pada buku rujukan di akhir buku ini . Berikut hanyalah diberikan contoh soal yang memperlihatkan secara kebenaran teorema ini . CONTOH 9. 15 : Jika diketahui F = 2 y ̂ – x ̂ + z ̂ , dan C adalah lingkaran x2 + y2 = a2 pada bidang xy, periksalah kebenaran hukum Stokes untuk kedua permukaan tertutup yang dibatasi lingkaran C berikut : (a) Bidang lingkaran S : x2 + y2 = r2 , z = 0 ; 0 ≤ r ≤ a , (b) Permukaan setengah bola S : x + y + z = a , z ≥ 0 , di atas bidang xy. PEMECAHAN :

10 1

Pertama, kita hitungdahulu integral lintasannya . Gunakan persamaan parameter lingkaran C : x = a cos

, y = a sin

, z = 0 , dengan (

sudut sebagai parameter , maka : positif

̂

̂)

. Jadi, untuk satu putaran dalam arah

:



∫(

)



Berikut , kita menghitung integral permukaan bersangkutan. Untuk itu kita hitung dahuli medan curl F. Kita peroleh :

|

̂

̂ ̂

̂

|

(a). Untuk bidang lingkaran S : x2 + y2 = r2 , z = 0 , elemen vektor luasnya adalah : ̂

̂

,

dengan dA adalah elemen luas lingkaranberjari-jari a, sehingga : ∬

̂

̂) ̂

∬(



sesuai dengan hasil integeal lintasan di atas, sebagaimana disyaratkan oleh teorema Stokes (3.50) (b). Untuk permukaan setengah bola S : x2 + y2 + z2 = a2 , z ≥ 0 , elemen vektor luasnya adalah : [ ( x ̂ + y ̂ + z ̂ ) / a ] dA , dengan dA elamen luas permukaan bola berjari-jari a,

̂

sehingga : ∬

̂

∬(

̂ ) [( ̂

̂ )⁄ ] ̂

∬ ⁄

Gunakan parameter sudut koordinat bola ( ≤ Ø ) , maka : z=a

, dan dA = a2

sehingga untuk separuh permukaan bola atas

/ 2,

:



∬ ⁄



(∫

)

10 2

Sesuai pula dengan hasil integral di atas,sebagaimana disyaratkan oleh teorema Stokes (3. 50 ).

3.12 TEOREMA DIVERGENSI Pada pasal 9.6 kita perlihatkan bahwa neto massa fluida yang menembusi suatu elemen vektor luas ̂

adalah

. Dengan demikian, neto laju massa fluida yang menembusi

sebuah permukaan tertutup S adalah :



Di samping itu, dalam pasal yang sama kita dapati bahwa besaran

menyatakan neto laju

massa fluida yang keluar dari satuan volume. Dengan demikian jika V adalah volume ruang yang bdibatasi permukaan S, haruslah berlaku : ∭

Samakan pers. ( 9. 51 ) dengan ( 9. 52 ) kita peroleh teorema berikut : TEOREMA 9. 3 : TEOREMA DIVERGENSI Misalnya S adalah sebuah permukaan tertutup yang normal terhadap ketiga bidang koordinat xy, yz, dan zy, dan F sebuah bedan vektor diferensiabel. Jika V adalah volume ruang yang dibatasi S, maka berlaku : ∬



Sama halnya dengan torema Stokes, pembuktirnnya sacara metematika tidak diberikan di sini, dan diharapkan pembeca dapat melihat pada bahan analisis vektor pada buku rujukan di akhir buku ini.Contoh soal berikut ini memperlihatkan teorema divergensi ini. CONTOH 3.16 :

10 3

Periksalah kebenaran teorema divergensi, secara eksplisit, jika F = (x2 + y2 + z2) (x ̂ + y ̂ + z ̂ ), dan V adalah sebuah volume bola pejal yang dibatasi oleh permukaan bola x2 + y2 + z2 = 25. PEMECAHAN: Pada Contoh 3. 13, kita telah menghitung bahwa integral permukaan medan vektor F dari soal ini tarhadap seluruh permukaan bola S : x2 + y2 + z2 =25, adalah : ∬

̂

untuk memeriksa kebeneran teorema divergensi ( 9. 53 ),kita hitung dahulu medan divergensi . Kita peroleh : ( ̂

̂

̂)

Jadi, integral volume yang harus kita hitung adalah : ∭ Gunakan koordinat bola

∭ , maka menurut Pers. ( 8. 52 ), dan ( 8. 54 ) :

kita peroleh : ∭ (∫

∭ ) (∫

) (∫

)

Jadi,

10 4

∭ sesuai dengan hasil integral permukaannya, sebagaimana disyaratkan oleh teorema divergensi (3. 53). SOAL-SOAL : FUNGSI VEKTOR SATU VARIABEL : 1. Vektor kedudukan sebuah benda adalah : ̂

̂

̂

Hitunglah keempat besaran berikut, pada saat t = 0 dan t = 1: | 2. Jika ̂

|

|

|

̂ , dan ̂

̂ , hitunglah : ̂

secara langsung, dan menggunakan rumus diferensiasi pada Pasal 9.3, kemudian bandingkan hasilnya . 3. Buktikan dengan rumus diferensiasi fungsi vektor satu variable pada Pasl 9.3 4. Jika percepatan sebuah benda pada setiap t adalah : ̂

̂

̂

carilah kedudukannya, r(t), pada setiap saat t, jika diketahui bahwa kecepatan awalnya ̂

̂ , dan kedudukan awalnya ̂

̂.

GARDIEN, DIVERFENSI, DAN CURL : 5. ( a ).Carilah turunan arah medan skalar :

di titik (1, -1, -2) pada

arah u = −2 ̂ ─ ̂ + 2 ̂ . ( b ).Dlam arah manakah, di titik ( 1 , -1 , -2 ) , turunan arah bernilai Ø maksimum ?

10 5

6. Diketahui permukaan bola S : ( x + 2 )2 + ( y ─1 )2 + z2 = 9 . Tentukanlah : (a) . normal satuan ̂ permukaan bola S di titik P (-1, 3, 2) , (b). bidang singgung V permukaan bola S di titik P(-1, 3, 3) . 7. Hitunglah : (a) .

dan ̂

̂, ̂

(b) .

, jika : ̂

̂

8. Jika ̂

̂ , dan

(a).

̂ ,

̂

̂

̂ , hitunglah :

(b).

secara langsung, dan gunakan rumus diferensiasi pada Pasal 9.6, kemudian bandingkan hasilnya. 9. Buktikan rumus diferensiasi medan skalar dan vektor satu variable npada Pasal 9.6 . 10. Carilah medan skalar Ø ( x, y, z ) sehingga (a) . ̂

(b) .

, jika :

̂ , dan ̂

̂

̂ , dan ̂

11. Buktikan rumus diferensiasi medan skalar dan vektor, yang mengandung operator , pada Pasal 9.6 . INTEGRAL LINTASAB DAN PERMUKAAN : 12. Hitunglah integral lintasan ∫

dari medan vektor F sepanjang lintasan C

berikut : (a) . ̂

̂

̂,

C : r ( t ) = t ̂ + t2 ̂+ t ̂ ,

0 ≤ t ≤ 1

(b) . F = 6z ̂ + y2 ̂ + 12x ̂ , C : r ( t ) = ( sin t ) ̂ + ( cos t ) ̂ + ( t / 6 ) ̂ ,

10 6

13. Hitunglah integral permukaan ∬

̂

, jika :

(a) . F = 2x ̂ + xz ̂ + z ̂ , dan S adalah permukaan bola : x2 + y2 + z2 = 4 . (b) . F = xy ̂ + 2x2 ̂ - z2 ̂ , dan S adalah permukaan silinder : x2 + y2 = 9 , antara bidang z = 0 dan z = 3 . 14. (a). Hitunglah integral permukaan ∬

̂

, jika :

F = 2xy ̂ + ( x2 – 2x ) ̂ – x2z2 ̂ , dan S adalah permukaan : z = 9 – x2 – 9y2 . (b). Gunakan teorema Stokes untuk menghitung kembali nilai integral permukaan pada (a) . 15. Hitunglah integral permukaan tertutup : ∬

̂

, jika :

F = ( y2 + x2 ) ̂ + ( 2xy + y ) ̂ + 3z ̂ , dan S adala seluruh permukaan kaleng yang dibatasi oleh silinder : x2 + y2 = 16 , bidang z = 3 , dan z = -3 . (b). Gunakan teorema difergensi untuk menghitung kembali nilai integral permukaan

tertutup

pada

(a).

10 7

BAB 4 PERSAMAN DIFERENSIAL BIASA 4.1

UMUM

Pada Bab 4 dikemukakan bahwa pemahaman terhadap suatu prilaku suatu system fisika tertentu, pada dasarnya, dicapai dengan mempelajari hubungan antara besaran-basaran fisika yang terlibat dalam proses yang dialami system. Disini proses fisika dipahami sebagai interaksi antara system dan lingkungan. Hubungan antara besaran system dan interaksinya dengan lingkungan terumuskan dalam hukum-hukum fisika yang, pada umumnya, mengaitkan besaran interaksi lingkungan-sistem dengan laju perubahan besaran system terhadap perubahan parameter atau variable bebas ukur.Yang terakhir ini dirumuskan sebagai turunan atau derivative besaran system terhadap variable bebas yang bersangkutan. Sebagai contoh, gerak sebuah benda yang terkait pada sebuah ujung sebuah pegas dapat dipandang sebagai suatu proses fisika dengan banda sebagai system dan pegas sebagai lingkungannya. Besaran banda, dalam hal ini massanya m, dan kedudukannya x sepanjang sumbu x ; sedangkan besaran interaksi adalah gaya pegas F = - kx, dengan k tetapan pegas. Hubungan antara besaran system dan interaksi ini patuh pada hukum kedua Newton, yang terumus dalam persamaan gerak:

Persamaan yang mengandung turunan sebuah fungsi, seperti Pers. (4.1), yang mengandung turunan (kedua) variable kedudukan x terhadap t, sebagai veriabel bebas ukur, disebut persamaan diferensia. Jika suatu persamaan hanya mengandung turunan biasa maka disebut persamaan diferensial biasa; sedangkan jika mengandung turunan parsial, disebut persamaan diferensial parsial. Sebagai suatu persamaan, pemecahannya dlam hal ini adalah pernyataan eksplisit x = x(t), atau implisit f(x, t) = 0, yang memenuhi persamaan diferensial (4.1). Persamaan diferensial muncul sebagai model matematika bagi berbagai gejala fisika, kimia, biologi bahkan pula ekonomi. Sebagian besarr dari persoalan ini sangat rumit untuk di pecahkan, yang mana mememrelukan pula pengetahuan mendalam mengenai bidang yang telah ditelaah

10 8

dan matematika yang lanjut mengenai persmaan diferensial. Disini kita hanya akan meninjau persoalan sederhana yang dapat dipecahkan dengan metode yang sederhana pula. Pada bab ini, kita hanya akan meninjau persmaan diferensial biasa, disingkat PDB, sedangkan persamaan diferensial parsial akan ditinjau kelak pada bab 13. Selanjutnya, penyebutan persamaan ddiferensial dalam bab ini di masudkan bagi persamaan diferensial biasa bila tidak ada tambahan keterangan lain.

4.2

PERSAMAAN DIFERENSIAL DAN PEMECAHANNYA

Suatu persmaan diferensial (biasa) secara umum dapat dituliskan sebagai berikut : F(x, y,

(4.2)

Dengan F adalah sebarang fungsi dari argumennya, dan

=

d

, adalah turunan ke-n

dari y terhadap x. Variabel x di sebut variabel bebas, sedangkan variabel y adalah variabel tak bebas karena bergantung pada x, y = y(x). Orde suatu persmaan diferensial adalah orde turunan tertinggi yang muncul di dalamnya. Sebagai contoh,

Adalah suatu persamaan diferensial berorde tiga. Derajat dari suatu persamaan diferensial adalah: pangkat tertinggi dari turunan tertinggi variabel takbebasnya, setelah pangkat pecahan semua turunannya di bulatkan. Sebagai contoh :



Adalah persamaan diferensial berorde dua dan berderajat 2. Ini dilihat sebagai berikut. Pisahkan suku bertanda akar ke ruas kanan, kemudian dikuadratkan!

10 9

Bila variabel tak bebas, misalnya y dalam (4.2), dan semua turunannya berderajat satu, dan pula tak salingmengalikan, maka persamaan diferensial yang bersangkutan disebut linier. aBentuk umum persamaan diferensial linier orde-n adalah: +

+

Dengan semua koefisien Koefisien

+

(4.5)

, dan b adalah tetapan atau fungsi dari variabel bebas x.

≠ 0.

DEFINISI 4.1 Pemecahan atau solusi dari suatu persamaan diferensial (dengan variabel x dan variabel takbebas y) adalah suatu hubungan antara y dan x, secara eksplisit: y = f(x), atau implisit F(y, x) = 0, yang bila di sisipkan kembali kedalam persamaan diferensial menghasilkan suatu identitas. Contoh 4.1 Hubungan +

(4.6)

Adalah pemecahan dari persamaan diferensial

Karena jika fungsi y pada pers. (4.6) disisipkan kedalam (4.7), kita peroleh :

yang adalah suatu identitas. Persamaan diferensial sederhana berikut : ∫

dapat diperoleh dengan integrasi langsung, (4.8)

Yang mengandung suatu tetapan (integrasi) sebarang c. Pemecahan persamaan diferensial orde dua:

, dapat diperoleh dengan mengintegrasikan terhadap x dua kali untuk

11 0

memperoleh y, yang mengandung dua tetapan sebarang. Secara umum, pemecahan suatu persamaan diferensial berorde-n, melibatkan n-kali integrasi. Karena tiap integrasi memunculkan satu tetapan integrasi, maka peryataan akhir bagi hubungan antara variabel takbebas y dan variaabel bebas x akan mengandung n buah tetapan sebarang. Selain itu, pemecahan dengan satu atau beberapa tetapan integrasinya diberi nilai tertentu, nol misalnya, memenuhi pula persamaan diferensial yang bersangkutan. Berdasarkan kenyataan ini, kita bedakan dua jenis pemecahan suatu persamaan diferensial beorde n : (a).

Pecahan umum, yang mengandung semua tetapan bebas sebarang.

(b). Pemecahan Khusus, yang diperoleh dari pemecahan umum dengan beberapa atau semua tetapan bebasnya di beri nilai tertentu.

4.3

ORDE SATU : VARIABEL TERPISAHKAN

Jika persamaan diferensial orde satu :

Dapat disederhanakan ke dalam bentuk diferensial :

Maka pemecahan adalah : ∫



(4.11)

Dengan C adalah tetapan bebas sembarang.Pernyataan tersederhanakan (4.10) di sebut berada dalam bentuk variabel terpisahkan., dengan faktor pengali dy adalah semata-mata fungsi dari y, dan faktor dx hanyalah fungsi dari x. Contoh 4.2 Pecahkan persamaan berikut :

11 1

Pemecahan: Tuliskan kembali ke dalam bentuk diferensial :

Persamaan ini dapat di ubah ke dalam bentuk variabel terpisahkan dengan mengalihkannya dengan

[

]

Integrasikan, kita akhirnya peroleh pemecahan : [

]

{

[

]

}

Contoh 4.3. Laju peluruhan suatu bahan radioaktif bergantung pada jumlah atom N, yang terpisah pada saat t. Jika semulanya, pada t = 0, terdapat

buah atom yang berada pada saat t.

Pemecahan : Persamaan diferensial bagi persoalan ini adalah :

Tetapan

mengukur laju peluruhan per atom, yang di kenal sebagai tetapan peluruhan;

sedangkan tanda (-), menunjukkan bahwa jumlah bahannya berkurang. Ubalah ke dalam bentuk variabel terpisahkan :

Kemudian integrasikan, memberikan:

11 2

(4.13) dengan

suatu tetapan. Karena pada saat awal t = 0. Kita di beri tahu dengan memacahkan bagi N, kita peroleh pecahan (4.14)

Pecahan (4.13) adalah pemecahan umum persamaan diferensial (4.12), sedangkan (4.14) adalah pemecahan khususnya.

4.4

ORDE SATU : HOMOGEN

Suatu persamaan diferensial yang variabelnya tak terpisahkan, kadan-kadang dapat ditransformasikan ke suatu variabel baru dalam mana persamaannya terpisahkan. Ini berlaku bila persamaanya dapat dituliskan ke dalam bentuk :

Dengan F(x,y) adalah suatu funsi homogen (berderajat nol), artinya bila

adalah sebarang

parameter, maka (4.16) Persamaan (4.15) dengan demikian di sebut persamaan diferensial homogen. Bila kita memilih per. (4.15) teralihkan menjadi : (

)

Untuk mengalihkan persamaan (4.17) selanjutnya kedalam persamaan yang variabelnya terpisahkan, kita perkenalkan variabel baru :

Maka, , sehingga persamaan (4.17) menjadi

11 3

Dengan G(v) = F(1, v), yang dapat disususn kembali ke dalam bentuk variabel terpisahkan:

Setelah pers. (4.20) dipecahkan bagi v, pemecahan pers. (4.17) bagi y kita peroleh kembali dari pers. (4.18), yakni y = vx. Contoh 4.4 : pecahkan

PEMECAHAN: Di sini,

karena

homogen. Dengan memilih

Sisipkan . Sisipkan

, atau

maka persamaa diferensial ini adalah kita peroleh

, persamaan ini beralih ke bentuk (10,17) dengan

ke dalam persamaan (10 20) memberikan persamaan diferensial :

| | Sisipkan kembali

, kita peroleh pemecahan akhir y dalam bentuk implisit | |

11 4

4.5

ORDE SATU : LINIER

Sebuah poersamaan diferensial linier orde pertama selalu dapat dialihkan ke bentuk baku :

Tetapi, pada umumnya, bentuk ini tak dapat dipecahkan dengan menggunakan metode pemisahan variabel yang dibahas di depan. Metode yang ditempuh untuk memecahkan pers. (4.21) adalah mencari suatu fungsi sedemikian hingga jika pers.(4.21) dikalihkan dengan , ruas kiri menjadi turunan dari hasil kali Jadi, setelah (4.21) Diperkalikan dengan

Kita paksakan

Sehingga dalam

memenuhi persamaan

pers. (4.21) tersederhakan menjadi :

Pemecahannya adalah ∫

(4.24)

Dengan c sebuah tetapan integrasi. Funsi

pada pers. (4.24) di tentukan dari pers. (4.23). Bila ruas kanannya kita uraikan kemudian

hapuskan suku yang sama pada kedua belah ruas, syarat yang harus dipenuhi

tersederhankan

menjadi

11 5

Karena P = P(x) diketahui, mak dengan menerapkan metode pemisahan variabel, kita peroleh pemecahan: =



)

(4.26)

Perhatikan tetapan integrasi telah di pilih sama dengan 1, karena selalu dapat di serap dalam tetapan c pada pemecahan (4.24). Fungsi ini di sebut faktor in tegrasi pers. (4.21). karena pungsi P dan Q keduanya di ketahui, maka pemecahan (4.24) dari pers. (4.21), dengan di berikan oleh (4.26), dapat di hitung. Contoh 4.5 Pecahkan persamaan diferensial PEMECAHAN : Di sini P(x) = x, dan Q(x) = x. Kita hitung dahulu, ∫



(perhatikan bahwa tetapan integrasinya tidak di sertakan). Maka faktor integrasinya adalah:

Dengan menghitung, ∫



( )

( )

Maka pemecahan persamaan diferensial ini adalah : ( )

PERSAMAAN BERNOULLI

11 6

Salah satu persamaan tak linier yang dapat di sederhanakan melalui transformasi variabel ke bentuk linier orde satu (4.21) adalah persamaan diferensial Bernoulli:

Dengan n sebarang bilangan real tetap. Persamaan Bernoulli (4.27) dapat dialihkan ke bentuk linier (4.21) dengan melakukan transformasi pada variabel tak bebas y : (4.28a) Dengan u = u(x) suatu variabel takbebas baru, dan

sebuah tetapan yang akan di tentukan

berdasarkan syarat agar persamaan diferensial yang di penuhi variabel takbebas u berbentuk linier (4.21). dari (4.28a) diperoleh :

Sisipkan (4.28a) dan (4.28b) kedalam persamaan (4.27) memberikan :

Bentuk baku (4.27) terpenuhi jika ruas kanan tak bergantung pada u, yaitu dengan memilih pangkat : (4.30) Sisipkan (4.30) kedalam pers. (4.29) di peroleh pers. Linier orde satu dalam variabel u:

Ini adalah bentuk baku (4.21) dengan Jika u = u(x) adalah pemecahan pers. (4.31), maka pemecahan persamaan diferensial semula (4.27) diperoleh dari transformasi pers. (4.28), dengan

11 7

Contoh 4.6 Pecahkan persamaan diferensial :

PEMECAHAN Persamaan diferensial ini adalah persamaan Bernoulli dengan n = 2/3, F(x) = 1, dan G(x) = x. Dengan Transformasi :

Persamaan diferensial soal teralihkan menjadi : (

)

(

)

Untuk memecahkan kita hitung dahulunfaktor integrasinya yang menurut (4.26) adalah: (∫

(

)

)

Jadi, pemecahan PDB u di atas, menurut (4.24), adalah : ∫

(

)

Atau,

Dengan demikian, pemecahan persamaan diferensial soal ini, dalam y, adalah :

11 8

ORDE DUA KE BERNOULLI Persamaan diferensial tak linier orde dua berikut :

Dapat dialihkan ke bentuk persamaan Bernoulli (4.27), melalui transformasi variabel:

Di bawah transformasi (4.34), pers.(4.33) teralihkan ke bentuk :

Atau,

Yang adalah persamaan Bernoulli untuk variabel takbebas u terhadap variabel bebas y, dengan

Jika

adalah pemecahan pers. (4.35), maka pemecahan semula y diperoleh dengan

mengintegrasikan pers. (4.34a), yakni : ∫

Contoh 4.7 Contoh persoalan fisika menarik yang menyangkut pers. (4.33) adalah yang berhubungan dengan gerak sebuah benda bermassa m di bawah pengaruh gaya pegas

dengan

dan

11 9

tanda ± menyatakan arah gaya gesek yang melawan arah gerak atau kecepatan v (+ bila v ke kiri, - bila v ke kanan). Persamaan geraknya adalah :

Dengan

(

) percepatan benda. Sisipkan pernyataan masing-masing Gaya kita peroleh

persamaan :

Perhatikan, di sini t adalah variabel bebas, sedangkan x variabel takbebas. Lakukan transformasi variabel:

Kemudian sisipkan (3.38) ke dalam persamaan diferensial (4.37), kita dapat u memenuhi persamaan Bernoulli: ( )

( )

Dengan n = - l, pemecahan selanjutnya dapat dicari, mengikuti Contoh 4.6 di atas, dan pemecahan persamaan semulah di peroleh melalui integrasi pers.(4.38), yakni : ∫

4.6

LINIER KOEFISIEN TETAP

Bentuk umum persamaan diferensial linier orde n koefisien tetap adalah :

12 0

Dengan semua koefisien

adalah tetapan, dan

Bila

persamaannya dikatakan takhomogen, sedangkan bila F(x) = 0, dikatakan homogen. OPERATOR LINIEAR D Untuk mempermudah pembahasan pemecahannya, diperkenalkan lambang D yang menyatakan operator turunan terhadap x. Sedangkan

diartikan sebagai operator identitas I, yakni :

Begitupula untuk pangkat tertinggi D lainnya. Untuk pangkat nol,

di tafsirkan sebagai

operator identitas I, yakni :

Suatu polinom dalam D ditafsirkan sebagai suatu operator yang apabila dikenakan pada f(x), menghasilkan suatu kombinasi linier dari f dan semua turunannya yang bersangkutan. Sebagai contoh, (

Polinom dalam D seperti ini disebut suatu operator linier dan dapat dilambangkan dengan L. Ini berarti, jika

dan

adalah dua operator linier tersebut, maka berlaku sifat :

(a). Linier : (b). Asosiatif : (c). Komulatif :

(4.43a) [

]

(4.43b) (4.43c)

12 1

Operator diferensial linier L yang polinomial dalam D dengan koefisien tetap, memenuhi pula aturan aljabara polinom bilangan biasa. Dengan demikian, untuk suatu operator linier L seperti :

Kita kaitkan suatu persamaan aljabar biasa :

Yang juga di sebut persamaan karakteristik operator linier L. Jika

dan

adalah akar-akarnya,

maka

4.7

ORDE DUA LINIER HOMOGEN DENGAN KOEFISIEN TETAP

Bentuk umum suatu persamaan diferensial linier homogen orde dua koefisien tetap adalah:

Untuk menyederhanakan bahasanya, kita tinjau persamaan setara

(dengan

yang dalam bentuk operatornya adalah : (4.44b)

Jika

dan

adalah akar-akar persamaan karakteristik yang bersangkutan :

maka persamaan (4.44b) setara dengan (4.45) Jika kita ambil (4.46a)

12 2

Sehingga (4.46b) Maka persamaan (4.44b) dapat kita pecahkan dalam dua tahap. Dari pers. (4.46b), yang adalah terpisahkan variabelnya, kita dapai :

Ini tergolong jenis persamaan yang kita bahas pada pasal 10.5. Faktor integrasinya adalah:

Dengan demikian, pemecahan umum pers.(4.47) adalah : ∫

(4.48)

Pemecahannya akhirnya bergantung pada apakah Kasus A. Jika

, maka

sama dengan

.

dan pers. (4.48) tersederhanakan menjadi : (4.49)

Kasus B, Jika

Karena



, maka setelah menghitung integral pada (4.48), kita peroleh:

adalah tetapan sebarang, maka

adalah juga tetapan sebarang, sehingga

untukj menyederhanakan kita tuliskan saja kembali tetapan ini sama dengan

. Dengan

demikian, bentuk akhir pemecahannya adalah : (4.50) AKAR KOMPLEKS Jika

adalah akar-akar kompleks, maka pemecahan (4.50) dapat kita sederhanakan lebih

lanjut sebagai berikut. Misalkan : (4.51)

12 3

Jika

, pemecahan (4.50) dapat diganti menjadi : [

Gunakan rumus Euler,

]

(4.52a)

, pers. (3.36) ditulis ulang dalam fungsi cos

dan sin sebagai berikut : [ Dengan

]

(4.53b)

, adalah dua tetapan real.

Contoh 4.7

PEMECAHAN : Persamaan karakteristiknya,

, memiliki akar,

. Jadi,

pemecahan umumnya adalah :

PEMECAHAN : Persamaan karakteristiknya, .

Jadi,

pemecahannya

, memiliki akar rangkap, umumnya

adalah:

PEMECAHAN : Persamaan karakteristiknya,

, memiliki akar-akar kompleks,

. Jadi, pemecahan umumnya aadalah: (d). Tentukan pemecahan khusus Contoh 4.7c, jika diketahui bahwa untuk

12 4

PEMECAHAN : Dengan menyisipkan

, kedalam pemecahan umum Contoh 4.7c, kita peroleh

persamaan :

Karena

maka : (4.54a)

Selanjutnya, turunkan pemecahan umum Contoh 4.7c terhadap x:

Sisipkan x = 0, dan dy/dx = - 1, memberikan (4.54b) Dari (4.54a) dan (4.54b) kita peroleh : A=1

dan

B = -1

Jadi, pemecahan khusus persamaan diferensial pada Contoh 4.7c, yang memenuhi syarat batas yang diberikan adalah: Y = e2x (cos 3x – sin 3x ) PERSAMAAN CAUCHY-EULER: Salah satu persamaan diferensial linear koefisien tak tetap yang dapat dialihkan ke bentuk koefisien tetap adalah persamaan Cauchy-Euler yang bentuk umumnya adalah:

Transformasi variable yang mengalihkannya ke bentuk koefisien tetap adalah transformasi variable bebas:

12 5

X = ez,

atau

z = ln x

(4.56)

Untuk sederhananya, tinjaulah persamaan orde dua:

Karena,

(

)

Maka (

(

)

)

(

)

Dengan demikian, persamaan diferensial (4.57) teralihkan menjadi:

Suatu persamaan diferensial linier homogen orde – 2 koefisien tetap.

4.8

ORDE DUA LINEAR TAKHOMOGEN DENGAN KOEFISIEN TETAP

Dalam pasal ini kita akan membahas metode pemecahan PDB takhomogen orde dua linier koefisien tetap, yakni persamaan “

12 6

Dengan F(x) adalah suatu fungsi taknol yang diketahui. Untuk memecahkannya, ada beberapa metode khusus yang dapat diterapkan, namun sifatnya menebak dan menghafal. Metode khusus ini akan kita singgung secara tabel setelah membicarakan metode umum berikut. METODE INTEGRASI BERTURUTAN Ini adalah metode langsung untuk memecahkan Pers. (4.58). Langkah-langkah yang kita tempuh aalah sebagai berikut: (a) Cari dahulu akar karakteristik dari operator linearnya, (D2 + pD + qI). Misalkan hasilnya adalah r1 dan r2. Jadi, Pers. (3.37) terfaktorkan menjadi, (D – r1 ) (D – r2 )y = F(x)

(4.59)

(b) Misalkan,

(c) Maka, Pers. (4.59) menjadi

(d) Pecahkan Pers. (4.61) bagi u (x), dengan menerapkan metode pemecahan persamaan linier orde pertama dalam pasal 10.5 (e) Sisipkan pemecahan u = u(x) dari langkah (4) ke dalam Pers. (4.60), kemudian terapkan kembali metode pemecahan persamaan linier orde pertama dari Pasal 10.5 untuk memperoleh pemecahan bagi y. (f) Pemecahan y – y (x) pada langkah 5 adalah pemecahan Pers. (4.58) yang kita cari. CONTOH 4.9 :

12 7

Pecahkan:

PEMECAHAN: Akar karakteristik yang bersangkutan telah kita hitung dalam Contoh 4.7a, yaitu r1 = -4, dan r2 = 1, jadi bentuk terfaktorkannya adalah: (D + 4) (D – 1) y = 2x

(4.62a)

Misalkan,

Maka Pers. (4.62a) menjadi

Ini adalah persamaan linier orde satu dengan faktor integrasi: ∫ Jadi, pemecahannya adalah: ∫ Atau

Sisipkan (4.62d) ke dalam (4.62b), kita peroleh:

12 8

Ini adalah persamaan linear orde satu dengan factor integrasi : ∫ Jadi, pemecahannya adalah ∫

(

)

Atau karena C1 adalah sebarang, maka kita dapat menulis kembali

untuk sederhananya,

sehingga pemecahan akhir yang kita peroleh adalah: (

)

KESIMPULAN: Dari pemecahan Contoh 4.9, yakni Pers. (4.62f), kita lihat bahwa suku kedua dan ketiga, yakni

Adalah pemecahan persamaan homogeny yang bersangkutan (lihat Contoh 4.7a), sedangkan suku pertama, yakni (

)

Adalah pemecahan istimewa bagi persamaan homogennya. Jadi, pemecahan umum persamaan diferensial takhomogen linear orde dua koefisien tetap, selalu berbentuk: Y = pemecahan istimewa (yp) + pemecahan homogeny (yn)

(4.63)

A. METODE TEBAKAN (KOEFISIEN TERTENTU Metoda integral berurutan diatas memang wajar, tetapi lumayan panjang. Untuk mengatasinya, kita kembangkan metode pintas yang dapat membantu kita mendapatkan pemecahan suatu

12 9

persamaan diferensial linier takhomogen orde dua dengan koefisien tetap secara langsung. Metode pintas yang akan diperkenalkan disini semata-mata terdiri atas sejumlah resep untuk menebak pemecahan istimewanya, tentu saja yang dapat dibuktikan kebenarannya dengan menggunakan metode integral berturutan di atas. Metode tebakan ini lazim disebut metode koefisien taktentu, dan bergantung pada bentuk fungsi takhomogen

F(x) di ruas kanan Pers. (4.58). berikut adalah tabel fungsi tebakan yang dapat

anda pergunakan untuk mencari persamaan istimewa, yp, Pers. (4.58). TABEL 4.1 METODE KOEFISIEN TENTU BAGI PILIHAN F (X) TERTENTU. Jika F(x) memiliki Suatu

suku

yang

Maka sertakan pernyataan adalah

ini dalam fungsi tebak

kelipatan konstan dari …

Dan jika

erx

r

bukanlah

bagi yp. sebuah

akar Aerx

karakteristik r adalah salah satu akar x. (pernyataan atas) karakteristik r adalah akar karateristik x2 . (pernyataan atas) rangkap sin kx, cos kx

ki bukanlah salah satu akar A cos kx + B sin kx karakteristik ki adalah salah satu akar x. (pernyataan atas) karakteristik

ax2 + bx + c ;

0 bukanlah akar karakteristik

Ax2 + Bx + C Bx + C; C

0 adalah salah satu akar x. (yang di atas) karakteristik 0

adalah

akar

rangkap x2 . (yang diatas)

karakteristik CATATAN:

13 0

(a) Koefisien tetap A, B, dan C ditentukan dengan menyisipkan pemecahan tebakan yp ke dalam persamaan semula, dan menyamakan koefisien ruas kiri dan kanan dari identitas yang diperoleh. (b) Bila F(x), adalah gabungan dari bentuk fungsi di kolom pertama, maka pemecahan istimewanya merupakan superposisi, atau jumlah linear fungsi yang bersangkutan di kolom ketiga. (c) Bila F(x) merupakan perkalian fungsi-fungsi dikolom pertama, maka pemecahan istimewanya juga merupakan perkalian fungsi yang bersangkutan di kolom ketiga. CONTOH 4.10 (a) Pecahkan persamaan pada Contoh 4.9 dengan metode koefisien taktentu. PEMECAHAN: Karena akar karakteristik dari persamaan :

telah kita perlihatkan tak ada yang sama dengan nol, maka pemecahan istimewanya, menurut Tabel 4.1, berbentuk: yp = Ax + B sisipkan ke dalam persamaan diferensial di atas kita peroleh identitas: 0 + 3 (A) – 4 (Ax + B) = 2x ; atau -4 x +(3A – 4B) = 2x + 0 Samakan koefisien, memberikan -4 A = 2, Pemecahan bagi A dan B adalah : A =

(3A – 4B) = 0 sehingga pemecahan istimewanya adalah:

13 1

Sesuai dengan hasil metode integral berurutan pada Contoh 4.9.

PEMECAHAN: Persamaan karakteristiknya adalah: r2 – 6r + 9 = (r - 3)2 = 0 akar karakteristiknya r = 3 adalah akar rangkap, karena itu pemecahan istimewanya berbentuk :

Sisipkan kembali ke dalam persamaan diferensial di atas, kita peroleh identitas:

atau

2A

=5

samakan koefisien, memberikan A = . jadi, pemecahan istimewanya adalah:

Pemecahan homogennya menurut Pers. (4.49) adalah:

Jadi, pemecahan umum persamaan diatas adalah:

PEMECAHAN: Akar karakteristiknya adalag r1 = -1, dan r2 = -4, jadi pemecahan homogennya adalah:

13 2

Merujuk ke Tabel 4.1, sebagai pemecahan istimewanya kita pilih : yp = A cos 2x + B sin 2x sisipkan ke dalam persamaan diferensial di atas memberikan persamaan trigonometri : -10A sin 2x – 10B cos 2x = cos 2x Samakan koefisien sin 2x dan cos 2x di ruas kiri dan kanan, kita peroleh: A = 0, dan B = 1/10. Jadi pemecahan istimewanya adalah:

Dengan demikian, pemecahan umumnya adalah:

B. METODA VARIASI PARAMETER Salah satu metode umum, yang tidak hanya terbatas kegunaannya pada persamaan diferensial biasa koefisien tetap, adalah metode variasi parameter. Metode ini hanya dapat diterapkan bila paling kurang salah satu pemecahan persamaannya diketahui. Untuk Pers. (4.58), kita misalkan kedua pemecahan homogennya telah diketahui, yakni:

Penerapan metode variasi parameter adalah menggantikan tetapan C1 dan C2 berturut-turut dengan dua buah fungsi tak diketahui v1 (x) dan v2 (x), dengan dua persyaratan berikut: (I)

(4.64a)

Memenuhi persamaan diferensial (4.58), dan (II)

(4.64b)

13 3

Dengan menyisipkan Pers. (4.64a) ke dalam Pers. (4.58), dan memanfaatkan persyaratan (4.64b), kita peroleh: v1’y1’ + v2’y2’ = F (x)

(4.65)

persamaan (4.64b) dan (4.65) kemudian dapat dipecahkan sebagai pasangan persamaan linear serempak:

(4.66) Untuk memperoleh v1’ dan v2’ , misalnya dengan menerapkan aturan Cramer, kita dapati:

dengan *

+

(4.67b)

Besaran W dikenal sebagai determinan Wronski, dalam hal ini untuk persamaan diferensial linear orde dua. PEMECAHAN: Pemecahan homogennya dapat dicari dengan mudah, yaitu:

Dengan mengambil C1 = v1 (x), C2 = v2(x) ; jadi

kemudian

menerapkan metode variasi parameter , kita peroleh, dari pers. (4.67) yang bersangkutan: *

( )

+

( )

13 4

Integrasikan v1’ dan v2’ , kita peroleh : (

)

(

)

Jadi pemecahan umumnya adalah:

Sesuai dengan hasil yang kita peroleh lewt metode integral berturutan pada Contoh 4.9.

4.9

PENERAPAN PADA PERSOALAN FISIKA

Pada pasal ini kita akan meninjau secara khusus persoalan fisika yang terumuskan dalam persamaan diferensial orde dua linear koefisien tetap, homogeny dan takhomogen. Pertama, tinjau rangkaian elektrik RCL seri pada gambar . 3.3, bab 3. Menurut hukum kekekalan energy (potensial), yakni Pers. (3.38b), kita peroleh persamaan diferensial-diferensial untuk arus I: ∫

(4.68)

Turunkan sekali lagi terhadap waktu t, kita peroleh:

Persamaan diferensial linear orde dua koefisien tetap, takhomogen, untuk arus I, yang pemecahannya dibahas atas. Persamaan yang sama juga muncul bagi persoalan ferak benda bermassa m yang digantungkan pada ujung sebuah pegas dengan tetapan pegas k, yang mengalami gaya gesek Fq sebanding kecepatannya, dan gaya luar periodic F(t) dengan frekuensi

. Ambilkan titik setimbang pegas

dengan beban sebagai titik asal O. Maka, bila y adalah kedudukan benda setiap saat t, percepatannya adalah:

13 5

Dengan pilihan titik asal O ini, gaya berat benda tereliminasi secara matematis, dan hanyalah tinggal gaya-gaya berikut yang bekerja pada benda: Gaya pegas :

Fp = -ky

(4.71a)

Gaya gesek:

Fq = -cvy =

(4.71b)

Gaya luar periodic

F1 = F0 sin

(4.71c)

Dengan c . 0, sebuah tetapan. Maka, menurut hukum kedua Newton : ( 10.72) Sisipkan

dari (4.70) dan gaya-gaya (4.71) ke dalam hukum kedua Newton (4.72) memberikan

persamaan diferensial bagi y:

Dengan b = c/2m,



, dan

, adalah tetapan. Persamaan (4.69) disebut

persamaan getaran teredam terpaksa. Kita akan meninjau secara terpisah kasus homogeny dan takhomogen. (A). HOMOGEN Untuk kasus ini F1 = 0, dan A0 = 0. Persamaan karakteristik yang bersangkutan adalah: dengan diskriminan : (4.70) Ada tiga subkasus yang berkaitan dengan perbandingan besar b2 dan

, untuk mana ada nama

khusus bagi masing-masingnya. Geraknya kita disebut: teredam tinggi, jika teredam kritis, jika

b2 > b2 =

13 6

teredam rendah atau terosilasi, jika

b2 <

,

Marilah kita membahas pemecahan umum persamaan diferensial (4.69) untuk s- p subkasus. TEREDAM TINGGI Untuk subkasus ini, diskriminannya D memenuhi 0 < D < b, sehingga kedua akar karakteristiknya negative. Pemecahan umumnya :

Dengan



TEREDAM KRITIS Untuk subkasus ini,diskriminan D = 0, jadi kedua akar karakteristiknya sama. Pemecahan umumnya: (4.71b) Dengan A dan B dua tetapan. Pada kedua subkasus diatas, terdam tinggi dan kritis, bedanya mengalami peredaman yang cukup tinggi sehingga geraknya dari suatu kedudukan awal tertentu semakin lambat hingga akhirnya (t → ∞) ia berhenti pada kedudukan setimbang y = 0. TEREDAM RENDAH Untuk subkasus ini b2 < maka √

, sehingga diskriminannya D imajiner. Misalkan

, dan kedua akar karakteristiknya adalah :



,

pemecahan umumnya

adalah: (4.71c) Dengan C dan

dua tetapan.

Jika b = 0, pemecahan (4.71c) menunjukan bahwa benda bergetar harmonis sederhana di sekitar titik setimbang y – 0, tanpa redaman, dengan frekuensi

yang disebut frekuensi alam pegas.

13 7

Jika b

, benda tetap bergetar atau osilasi, tetapi karena adanya factor

, amplitudonya

makin lama mengecil dan akhirnya benda diam di titik setimbang y = 0. Perhatikan bahwa √

frekuensi getar benda ini,

lebih kecil daripada frekuensi tanpa redaman,

.

Gataran teredam ini disebut transien (fana). (a). TAKHOMOGEN Misalkan kita terapkan metode pemecahan tebakan pada pasal 10.8. mengacu ke Tabel 4.1, kita pilih bentuk pemecahan istimewa: (4.72a) Tetapan A dan B ditentukan dengan cara menyisipkan pemecahan tebakan (4.72a) ke dalam persamaan diferensial (4.69), dan lewat utak-atik matematik sederhana seperti pada Contoh 4.11, akhirnya diperoleh:

[

]

Pemecahan (4.72) dapat diringkas dalam bentuk sinus dengan menggunakan rumus jumlah sinus :

yakni :



Pemecahan umumnya adalah gabungan pemecahan (4.71) dan (4.73). pemecahan (4.73) adalah pemecahan tunak (atau abadi, steady) karena bila t→∞, pemecahan homogeny, yh, (4.73), tetap berlaku. Perhatikan bahwa jika frekuensi gaya luar

sama dengan frekuensi alam pegas

(4.73) tampak bahwa amplitudo getaran benda mencapai nilai maksimum :

, maka dari ini disebut

keadaan resonansi.

13 8

SOAL-SOAL: PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA TAKLINIER: 1. Pisahkan variable persamaan diferensial berikut kemudian carilah pemecahannya: (a).

(d). √



2. Perlihatkan bahwa persamaan berikut adalah homogeny, kemudian carilah pemecahannya:



PERSAMAAN LINEAR ORDE SATU: 3. Pecahkan persamaan diferensial linear orde satu berikut:

13 9

4. Hukum Newton mengenai pendinginan mengatakan bahwa laju penurunan suhu (per satuan waktu t) suatu benda bersuhu T dalam ruangan bersuhu tetap Tr adalah sebanding dengan selisih suhu benda dan ruangan tadi. (a) Secangkir the yang suhu awalnya 960C ketika ditempatkan dalam ruangan bersuhu 420C, ternyata mendingin menjadi 720C setelah 6 menit. Berapakah suhunya setelah 4 menit diletakkan dalam ruangan tersebut? (b) Air bersuhu 500C di dalam Kalorimeter dicampur dengan sejumlah air bersuhu 1000C di dalam ruangan seperti (a). setelah 2 menit kemudian, suhu air dalam kalorimeter tersebut 600C. berapakah suhu kesetimbangan campuran air tersebut? 5. Persamaan berikut termasuk jenis persamaan Bernoulli:

Carilah pemecahannya. 6. Pecahkan

persamaan

diferensial

dengan

sisipan

kemudian pecahkan persamaan diferensial yang diperoleh bagi u(x). 7. Carilah bentuk cermin cekung yang memiliki sifat bahwa cahaya dari sebuah titik O pada sebuah sumbu simetrinya selalu dipantulkan sejajar sumbu simetrinya selalu dipantulkan sejajar sumbu simetrinya. Petunjuk: lihat gambar dibawah ini. Ambilkan titik O sebagai titik asal sistem (x,y). perlihatkan dari gambar bahwa

. Gunakan rumus

menyatakan hubungan ini dalam

untuk

dan pecahkan persamaaan

diferensial yang diperoleh dengan menggunakan metode sisipan Soal 6. y

P(x,y )

0 Q

x

14 0

PDB LINIER HOMOGEN KOEFISIEN TETAP 8. Carilah pemecahan umum dan khusus persamaan diferensial linear homogeny koefisien berikut dengan menggunakan syarat awal yang diberikan: (a) (b) (c) (d)

PDB LINEAR TAKHOMOGEN KOEFISIEN TETAP 9. Carilah pemecahan homogeny dan istimewa umum persamaan diferensial linear takhomogen koefisien tetap berikut: (a) (b) (c) (d) (e) (f) 10. Carilah pemecahan khusus soal 9d, dan e jika untuk keduanya diketahui bahwa :

.

14 1

14 2

View more...

Comments

Copyright ©2017 KUPDF Inc.
SUPPORT KUPDF