Download Buku Eulogi Achmad Fedyani Saifuddin-2...
eulogi
Achmad Fedyani Saifuddin Lokomotif Antropologi untuk Semua Orang
eulogi
Achmad Fedyani Lokomotif Antropologi untukSaifuddin Semua Orang
Editor: Yanuardi Syukur & M. Arief W Wicaksono icaksono
Departemen Antropologi FISIP UI Depok, 2020
Achmad Fedyani Saifuddin: Lokomotif Antropologi untuk Semua Orang Editor Ilustrasi pada sampul Tata Letak ISBN
: : : :
Yanuardi Syukur, M. Arief Wicaksono Fitri Ayunnisa M. Arief Wicaksono 978-602-52482-7-6
Diterbitkan oleh Departemen Antropologi Antropologi FISIP UI Cetakan pertama: Juni 2020 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang mengutip , memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit
Dipersembahkan untuk m Dipersembahkan mengenang engenang dan meneladani kakek, bapak, guru, dan sahabat kita semua, Prof. Achmad Fedyani Saifuddin, Ph.D (1952-2018)
Daftar Isi
Pengantar Ketua Departemen Antropologi FISIP UI Tony Rudyansjah Pengantar Keluarga Kartina Widyani Saifuddin Catatan Editor Yanuardi Syukur dan M. Arief Wicaksono
iii vii xiii
Bagian 1. Kesan dan Inspirasi: Perjalanan Intelektu Intelektual al Organik Sanad Keilmuan Profesor Afid (Yanuardi Syukur) Intelektual Tradisional dan Intelektual Organik: In Memoriam Prof. Prof.
1 2
Achmad Fedyani Saifuddin (Al Chaidar) Mengenang Prof. Achmad Fedyani Saifuddin (Herdi Sahrasad) Prof Achmad Fedyani Saifuddin: Inspirasi dalam berkarya dan terus berkembang demi mencapai kesuksesan (Daniel Kurniawan) Profesor Achmad Fedyani Saifuddin Sahabat Kita Semua (Sri Winarny)
10 14
(Windi S. Ningrum) Kenangan Prof. Afid: Prof. Pace dan Afid dan Guru Sejati Kami (Mahasiswa) dari Timur (Tasrifin Tahara) Impresi seorang mahasiswa terhadap Guru, Guru Besar Antropologi Indonesia, Achmad Fedyani Saifuddin (Adri Febrianto) Achmad Fedyani Saifuddin, S Sang ang Mentor (Siti Khoirnafiya) Berteriak Dalam (Berupaya) Memahami Kemanusiaan Melalui Logika
20
17 18
24 28 32
Dan Nurani Yang Sehat: Itulah Antropolog (M Ardi Pritadi) In Memoriam Achmad Achmad Fedyani Saifuddin (Nurfitri) Samudera itu Ada dalam Diri Profesor Afid ( Tantry Widiyanarti) Frasa yang Tak Lekang Ditelan Zaman (Nita Trismaya) Prof.Dr. A. Fedyani Saifuddin : “Saya tidak tahu” (Sri Murni) Memoar Prof. Achmad Fedyani Saifuddin (Mulyadin Permana) “Aku Mambaca ai ai Tulisan Ikam di Facebook Facebook”: ”: Kesan Mend Mendalam alam Terhadap Profesor Achmad Fedyani Saifuddin (Nasrullah)
35 42 44 55 58 60 69
Berbagi Informasi Hasil Pengalaman Belajar dengan Bapak Afid (Ike Iswary Lawanda ) Pak Afid, Islam Banjar, dan Muhammadiyah di Kalimantan Selatan (Ahmad Rizky M. Umar) Cara Profesor Afid Mengkritik Mengkritik Orang (Mahbib Khoiron) Antropologi Klasik dan Dunia M Mutakhir utakhir (Arief Wicaksono) Penyesalan Seorang Sarjana Antropologi (Andi Rahmana Saputra)
i
73 77 80 83 86
Bagian 2. Kontribusi untuk Antropologi (Indonesia)
Afid dan Antropologi Antropologi dalam Tugas Saya Memberdayak Memberdayakan an Perempuan Indonesia (Meutia Farida Hatta Swasono) Perjalanan sang musafir akademik (Semiarto Aji Purwanto) Persistensi dalam Keilmuan, Jati Diri seorang Antropo Antropolog log (Yunita T. Winarto ) Semangat yang Belum Terselesaikan ( Yasmine Zaki Shahab ) Lokomotif Antropologi Antropologi ke Semua Orang (M Rawa El Amady) Achmad Fedyani Saifuddin: Pem Pemandu andu dalam Penjelajahan Penjelajahan Belantara Teori (Mohammad Fathi Royyani) Pak Afid: Dari Guru Menjadi Kolega (Herry Yogaswara) Analisis Jaringan Sosial: Sosial: Amanah sseorang eorang Guru dan Sahabat (Ruddy Agusyanto) Mengkomunikasikan Mengkomunika sikan Antropologi: Dari Pamer sampai Lumer (Widhyanto Muttaqien) Dari Analisis Jaringan Sosial Hingga Studi Perbatasan: Rambu-Rambu Prof. Afid Bagi Interface Disiplin Ilmu (Endang Rudiatin) Bagian 3. Senarai Pemikiran dan Legasi Keilmuan
Dua Pertanyaan di Awal Masuk Kelas (Rudolf ( Rudolf “Rudy” Rahabeat) Prof. Achmad Fedyani Saifuddin: Sang Guru Multikulturali Multikulturalisme sme
88 89 95 103 109 113 117 121 125 131 133 138 139
143
(Ridwan Al Makassary)
Agama sebagai Sentral atau Perifer? Perifer? (Ade Solihat) Pembangunan, Kebudayaan, dan Demokrasi Multikultural ( Amich Amich Alhumami) Fedyani, Antropologi Kemiskinan (Mulyawan Karim) Petuah Pengetahuan Prof. Afid: Ingatan Pentingnya Konsep Evolusi dan Refleksi (Ayu Nova Lissandhi) Nurani Antropologi Kekuasaan: Inside Out pada pada Sosok Prof. Dr. Achmad Fedyani Saifuddin (Prudensius Maring ) Kemiskinan dan Multikulturalisme: Multikulturalisme: Tradisi, Legasi dan Kontribusi Keilmuan Pak Afid ( Imam Subkhan) Riwayat Publikasi Prof. Achmad Fedyani Saifuddin, Ph.D
Tentang Editor
ii
147 159 173 175 178 185 196 202
Pengantar Ketua Departemen Antropologi FISIP UI
Prof. Afid dan Pandanganny Pandangannya a Tentang Antropologi UI ke Depan Dr. Tony Rudyansjah Membuah sebuah ‘kata pengantar’ untuk mengenang seorang kolega dekat
merupakan satu pekerjaan yang tidak mudah, karena hal itu mengingatkan kita semua akan kenangan manis maupun pahit atas berbagai kelebihan dan kekurangan almarhum sebagai manusia biasa. Hal ini, terlebih-lebih lagi, akan terasa semakin berat, karena kita kemudian seperti melihat cermin diri kita sendiri, dan diingatkan
tidak hanya akan apa-apa yang kita telah lakukan, namun juga apa-apa yang belum berhasil kita laksanakan, dibandingkan dengan capaian-capaian luar biasa yang telah diperoleh almarhum, Prof. Achmad Fedyani Saifuddin, semasa hidupnya. Hanya justru dengan mengingat bahwa almarhum, dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya sebagai sesuatu yang sangat manusiawi sifatnya, adalah seseorang yang pada hakekatnya sangat dicintai tidak hanya begitu banyak orang, terutama keluarga dan murid-muridnya, namun juga oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, membuat kata pengantar ini berubah menjadi juga proses pembelajaran diri bagi kita semua. Dengan semangat agar tulisan ini dapat menjadi keteladanan, proses pembelajaran, dan dorongan demi kebaikan dan kemajuan kita bersama, penulisan ini menjadi terasa lebih ringan dilaksanakan. Berpulangnya Prof. Achmad Fedyani Saifuddin, Ph.D – Prof. Afid – ke haribaan Tuhan Yang Maha Esa adalah kehilangan yang mendalam dan berarti bagi Antropologi Indonesia, khususnya Departemen Antropolog Antropologii FISIP UI, ‘rumah’
tempatnya mengabdi sejak tahun 1984. Sebagai seorang peneliti, pengajar, dan guru besar, kontribusinya pada Antropologi khususnya di Universitas Indonesia tidak diragukan lagi. Sepanjang masa bhaktinya, ada banyak keteladanan yang beliau ajarkan, karya yang dihasilkan, serta prestasi yang ditorehkan. Kesemuanya itu saya yakin telah banyak diutarakan oleh keluarga yang diwakili putrinya tercinta, kolega, serta murid-muridnya pada tulisan-tulisan di buku ini. Sejak menjadi pengajar di Jurusan Antropologi UI, Prof. Afid setidaknya tercatat telah menghasilkan lebih dari 80 karya, baik berupa buku-buku yang strategis, artikel ilmiah dan popuper yang bernas, serta karya terjemahan yang apik
iii
dari buku-buku penting dalam ilmu sosial humaniora, yang saya yakin sangat bermanfaat bagi mahasiswa sosial humaniora di Indonesia. Prof. Afid juga dikenal menekuni kajian-kajian mendasar dalam antropologi, seperti religi, kekerabatan, politik, dan ekonomi, serta tentunya juga kajian-kajian kontemporer lainnya. Misalnya, di tahun-tahun akhir sebelum beliau berpulang, beliau dengan serius mengembangkan suatu pelatihan Analisis Jaringan Sosial untuk publik di pusat kajian. Tidak heran jika ketekunan dan keseriusannya pada persoalan teori dan metodologi antropologi membuat Prof. Afid selama bertahun-tahun selalu dipercaya untuk mengasuh kuliah Paradigma Antropologi di Pascasarjana Antropologi UI, suatu kuliah ‘berat’ yang diolahnya dengan menarik.
Betapapun, ada beberapa hal yang membuat Saya dan Prof. Afid memiliki suatu ikatan. Pertama, kami sama-sama merupakan Putra Banjar, Kalimantan Selatan. Beliau adalah seorang antropolog handal yang sudah semestinya menjadi kebanggaan bagi kami, orang Kalimantan Selatan. Semoga saya juga dapat terus meneladaninya. Kedua, kami memiliki minat ketertarikan pada isu yang sama, yaitu
Antropologi dan Teori-Teori pada10khususnya, Ilmu-Ilmu Sosial, padaAgama umumnya. Setidaknya Antropologi, ada lebih dari karyanya dan secara serius berbicara mengenai isu agama dan kebudayaan (dapat dilihat di daftar riwayat hidup beliau pada lampiran buku ini). Diskusi-diskusi dalam ruang formal dan informal yang penuh akrab selalu merupakan pembicaraan yang bernas. Bagi kita semua, saya yakin beliau adalah seorang guru dan sahabat yang tidak pernah ragu untuk berbagi kepada siapapun. Atas sikapnya yang selalu rendah hati dan cakrawala wawasannya yang luas, tak heran jika banyak mahasiswa, baik di prodi sarjana maupun pascasarjana, mengidolakannya. Hingga tahun 2017, sebanyak 90 orang master dan 37 orang doktor, serta tak terhitung sarjana antropologi, telah berhasil lulus berkat ketekunan beliau dalam membimbing. Itulah mengapa pada tahun 2005/2006 silam, beliau menjadi salah satu pengajar terproduktif di institusi kami, FISIP UI. Pandangannya Pandangann ya Terhadap Antropologi UI ke Depan
Tugas terakhir yang diemban Prof. Afid di departemen kami adalah sebagai Ketua Pusat Kajian Antropologi UI, sebuah wadah yang ingin dikuatkannnya sebagai think thank untuk pengembangan keilmuan di Departemen Antropologi UI. Rapat Kerja Departemen Antropologi UI pada tahun 2018 di Banten menjadi saksi betapa gigih dan seriusnya beliau dalam memikirkan masa depan Antropologi UI. Ada beberapa hal terkait pandangannya tersebut yang perlu dikemukakan di sini, agar kumpulan tulisan dalam buku memoar ini tidak hanya berisi kenangan-kenangan dan ulasan legasi keilmuannya, tetapi juga pikiran-pikiran almarhum yang orientatif, produktif,
dan konstruktif untuk pengembangan keilmuan Antropologi di Indonesia dan Departemen Antropologi UI. Prof. Afid menyadari betul akan gejala perubahan dan iv
kemungkinan kesenjangan antara apa yang dilakukan oleh universitas dengan harapan masyarakat atas lulusan universitas yang cenderung berorientasi praktis. Pertama, adalah soal semangat yang beliau gelorakan kepada semua koleganya di departemen untuk kembali menemukan jati diri atau landasan berpikir Antropologi UI guna melakukan pengembang pengembangan-pengembangan an-pengembangan ke depan. Kedua, adalah inisiasinya bersama para koleganya untuk terus memperkuat kajian-kajian kritis atas isu-isu strategis yang signifikan dan relevan di tanah air, utamanya kajian kritis terhadap keberagaman sosial budaya masyarakat Indonesia serta menyambut perkembangan Antropologi secara publik yang bersifat praktis untuk menangani masalah sosial, baik regional, nasional, maupun global. Ketiga, adalah idenya untuk mengoptimalkan klaster-klaster kajian yang selama ini sudah ditekuni oleh para pengajar dan peneliti di lingkungan Antropologi UI.
Saya membaca optimalisasi klaster kajian yang digagasnya ini adalah untuk menunjang kegiatan penelitian, pengabdian masyarakat, seminar, publikasi, dan pengembangan kurikulum secara berimbang bagi sivitas Antropologi UI. Pusat Kajian Antropologi (kini bernama Unit Kajian Antropolog Antropologii di bawah koordinasi Lembaga Penelitian dan Pengembanagn Sosial dan Politik/LPPSP FISIP UI) dinilainya bukan sekadar tempat untuk melakukan penelitian, namun juga harus memuat pikiranpikiran mendasar dalam penelitian yang akhirnya dapat berkontribusi pada pengembangan kurikulum yang dinamis. Selain itu, tentu isu Sumber Daya Manusia dalam Departemen Antropologi UI yang juga dipikirkannya. Ketiga poin di atas setidaknya perlu kita refleksikan bersama dalam rangka terus mengembangkan keilmuan Antropologi, di departemen khususnya, dan di Indonesia pada umumnya. Buah pemikirannya yang telah menjejak selama ini mesti kita kembangkan secara kritis berdasarkan realitas sosial masyarakat yang mutakhir. Sekalipun isu-isu sosial budaya sangat berkembang sedemikian jauh dan dinamis, tapi Prof. Afid selalu mengingatkan kita untuk selalu berpikir back to basic; tidak menafikan dasar-dasarnya. Pemahaman kita terhadap isu-isu mendasar dalam antropologi dan ilmu sosial humaniora inilah yang menjadi kekuatan kita untuk mengembangkan kajian dan ilmu pengetahuan secara kritis dan tajam: taja m: itulah isyarat yang ingin disampaikannya pada setiap relung nafas kegiatan akademik di lingkungan kita. Sebagai ketua departemen, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada keluarga almarhum yang selama ini berhubungan baik dengan departemen, baik ketika Prof. Afid masih ada bersama-sama kita maupun setelah berpulang. Atas nama departemen kami perlu juga menyampaikan kembali bahwa atas kebaikan hati
keluarga almarhum, sekitar 1000 buah buku koleksi almarhum telah dihibahkan kepada departemen. Saat ini buku-buku tersebut berada di ruang lama perpustakaan Departemen Antropologi UI. Semoga mahasiswa dapat memanfaatkan bibliotika yang sangat berharga tersebut. Saya juga menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada pihak-pihak yang terlibat dalam inisasi dan proses penyusunan buku ini, terutama kepada para penulis. Semoga ide dan ungkapan yang v
disampaikan dalam buku ini dapat menggugah inspirasi dan motivasi kita semua untuk terus meneladani ketekunan Prof. Afid dalam menekuni bidang ilmu apapun. Akhirum kalam, saya juga ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada Yanuardi Syukur dan Arief Wicaksono yang telah bersusah-payah menyunting buku ini dengan baik.
vi
Pengantar Keluarga
Mengenang Papa Tercinta Kartina Widyani Saifuddin Tulisan ini saya buat untuk mengenang sosok Papa Tercinta. Membaca cerita-cerita tentang Papa yang ditulis oleh kolega/mahasiswa/kawan-kawan, sungguh menjadi penghibur untuk saya pribadi. Saya seperti diperkenalkan kembali sosok Papa sebagai seorang sivitas akademika. Sejak kepulangan beliau, secara acak memori-memori tentang Papa merayap di ingatan saya. Ketika itu terjadi, ada narasi yang tertuang di pikiran. Jika Papa ada, pasti Ia akan berkata, “coba dituangkan dalam tulisan, Wina.” Ya, seja uh ingatan saya, Papa selalu antusias kalau mengetahui saya akan menulis. Semoga setelah karangan ini terbentuk, kerinduan hati ini menjadi berkurang. Bagi para pembaca, tulisan ini bisa jadi penghibur karena bisa mengenal beliau dari sisi personal, yaitu perannya sebagai seorang ayah. Papa dan Merantau
Memori yang pertama kali muncul ketika saya diberi kabar bahwa Papa masuk ICU dalam keadaan kritis adalah percakapan saya dengan Papa pada tahun 2016, di ruang keluarga rumah pada siang menjelang sore. Seperti biasa ketika saya pulang ke Indonesia, Papa mengusahakan agar jadwalnya dibuat selonggar mungkin. Sesering mungkin beliau ada di rumah dan berkumpul bersama kami sekeluarga. Di sore itu, hanya ada saya dan Papa, sementara Sofia dan Isal sedang tidur siang karena jet lag . Saya duduk di sebelah Papa yangt sedang membaca koran. Ucap Papa, “gimana “gimana kabarnya, Na?”
Respon pertama saya selalu diawali, dengan, ya.. baik, Pa. Saya kabarkan bahwa saya terpilih untuk program LEAP dari kantor saya bekerja di Amerika Serikat, sebuah program seleksi tentang Leadership and Achievement through Projects . Saya tahu bahwa Papa akan sangat senang mendengar kabar tentang pencapaian atau keberhasilan dari anak-anaknya. Sehingga, itulah hal pertama yang saya kabarkan. Seperti yang saya duga, Papa bangga sekali, dengan antusias beliau bertanya,
seberapa kompetitif program tersebut, ada berapa orang yang terpilih, apa dampak dari keberhasilan ini, dan lain sebagainya. Tentu dengan senang hati pertanyaan-pertanyaan Papa saya jawab. Satu cerita bersambung ke cerita lain. Sampai pada diskusi tentang kekhawatiran terbesar saya (“my greatest fear”) . Papa menyimak dengan baik, ketika saya mengungkapkan hal yang paling membuat saya gelisah dan khawatir selama ini sejak tinggal di Amerika, adalah jika ada kejadian buruk yang menimpa Mama, Papa, Sera, Fikri, dan anggota keluarga lain di vii
Indonesia dan saya tak berdaya membantu atau lebih parah, yaitu tidak berada di sisi keluarga untuk terakhir kali. Papa mengangguk sesekali and menjawab, “Wina ga usah khawatirkan itu. Kita akan
baik baik saja di sini. Fokuslah membangun karier di sana. Mungkin jalan Wina memang di sana. Namanya juga merantau, pasti akan ada pengorbanan.” Saya ingat air mata yang sempat menetes mendengar balasan Papa tersebut. Hati ini antara lega, sedih, dan ragu. Apa betul Papa akan baik-baik saja? Apakah jawaban itu sungguh datang dari hati Papa? Namun demikian, saat itu saya memilih untuk menerima jawaban Papa secara eksak dan kalimat itu yang membuat saya bisa bertahan begitu mendengar Papa pergi selamanya. Ketika kebanyakan orang menginginkan saya kembali ke tanah air, Papa adalah satusatunya orang yang support saya untuk merintis jalan dan membangun kehidupan di negeri orang. Beliau konsisten dengan dukungannya terhadap saya dan keluarga. Kehilangan beliau seperti kehilangan anchor dalam hidup saya. Papa selalu mengingatkan dan mendukung saya untuk maju terus membangun kehidupan meski jauh dari orang tua dan sanak saudara. Tak jarang saya goyah seperti kehilangan arah semenjak kepergian Papa. "What is life if not series of trial and error”, kata error”, kata papa di satu emailnya pada saya tahun 2012. Itu adalah salah satu kalimat yang terus terngiang di benak saya ketika keraguan dalam memilih menghampiri. Beliau bekali saya dengan mengajarkan “thought “thought process ” dalam mengambil keputusan sedari saya SMA. Sejak saya kuliah, Papa tak lagi memberikan jawaban pada saya di kala saya ragu, bingung, cemas, galau, atau tak tahu harus mengambil langkah selanjutnya. Bahkan, sampai momen yang sangat signifikan untuk saya, ketika memilih jurusan SPMB, ketika memilih pasangan hidup, ketika memilih merantau, beliau membiarkan saya melalui thought process tersebut. tersebut. Meski penuh liku liku, air mata, rasa cemas dan takut, Papa hadir sebagai “coach “coach ”, ”, bukan orang tua yang memerintah untuk pilih A, B, atau C. Kini saya mengerti, mengapa Papa membimbing saya pada proses tersebut. Agar saya tetap bisa menjalani kehidupan ini
dengan mantap. Karena life is also a series of choices . Papa dan Pendidikan
Memori selanjutnya yang muncul adalah kenangan Papa sebagai pendidik dan pengajar saya. Papa sangat menjunjung tinggi pendidikan anak-anaknya. Begitu kami sekeluarga pulang dari AS, yaitu setelah Papa menuntaskan Ph.D-nya. Papa dan Mama mendaftarkan kami sekolah. Ketika itu, saya berumur 7 tahun dan sudah menyelesaikan kelas 2 SD di Amerika. Sehingga, Papa dan Mama menginginkan saya melanjutkan ke tingkat SD kelas 3 di Jakarta. Seingat saya, pendaftaran sekolah di Jakarta cukup pelik. Sekolah-sekolah yang Papa dan Mama awalnya pilih, mengharuskan saya turun kelas karena pelajaran di AS dianggap lebih rendah ekspektasinya daripada sekolah di Jakarta. Di samping itu, saya yang tak bisa berbahasa Indonesia menambah faktor untuk turun kelas tersebut. Singkat cerita, Papa dan Mama terus mencari sekolah yang mau mengevaluasi saya terlebih dahulu sebelum memberikan keputusan untuk turun kelas. viii
Alhamdulillah, Mama dan Papa akhirnya menemukan sekolah sesuai tersebut. Saya tetap naik ke kelas 3 SD, namun cukup banyak tantangannya karena perihal bahasa. Sungguh frustasi karena begitu sulit untuk berkomunikasi dengan guru-guru dan utamanya mencoba untuk membentuk hubungan pertemanan. Teringat di awal tahun ajaran, saya selalu menangis di kelas karena saya tak mengerti satu hal apapun yang guru ajarkan pada saya. Papa dan Mama kemudian mencarikan guru les Bahasa Indonesia untuk saya. Sejak itu, hidup rasanya membaik. Suatu hari Papa pulang whiteboard dengan membawa seukuran setengah dinding kamarmenulis kami. Saya bingung untuk apa whiteboard sebesar itu. sebesar Papa ambil spidol dan mulai daftarpun perkalian 1 sampai 10. Rupanya papan tersebut untuk saya dan adik saya. Saya ingat kami bertiga melantai, dengan papa berada di tengah. Papa ajarkan konsep perkalian dan arti perkalian sesungguhnya. Begitu beliau tahu bahwa kami mengerti konsepnya, kami ditugaskan untuk menghafal perkalian tersebut.
Selanjutnya Papa akan uji akurasi dari ingatan perkalian kami. Kadang di waktu yang tidak disangka pun, Papa bisa menguji perkalian kita. Suatu hari, saya sedang asik nonton TV, Papa lewat dan bertanya, “sembilan kali delapan berapa, Wina?” Butuh beberapa saat untuk menjawabnya. Papa akan merespon, “yaaa…” kalau saya berpikir lama. Sejak itu, saya belajar untuk lebih sigap kalau Papa ada disekitar saya. Sebisa mungkin saya ingin hindari, kata “yaaa…” itu. Papa mengajarkan saya cara belajar. Begitu saya beranjak SMP, setiap awal caturwulan, Papa akan memanggil saya dan Sera (adik saya) untuk menetapkan target nilai pada setiap mata pelajaran kami. Menurut Papa, dalam proses belajar, konsep dan pemahaman adalah yang terpenting, namun nilai (skor) juga sama pentingnya karena peringkat dan nilai adalah metode yang dipakai sekolah, pihak luar untuk menentukan yang terbaik.
Saya akan terus mengingat betapa bangganya wajah Papa ketika ia mengambil rapor saya ketika kelas 2 SMP dan mendapati saya peringkat satu di kelas. Demikian juga ketika saya SMA, Papa terus memotivasi saya untuk terus berusaha mempertahankan peringkat 1 tersebut. Karena SPMB sudah dekat dan target untuk masuk Universitas Indonesia (UI) sudah di pelupuk Sekitar dua mata. bulan sebelum SPMB, saya terkena musibah tertabrak motor yang mengharuskan saya berjalan dengan penyangga kaki. Ini menyulitkan mobilitas saya untuk pergi bimbingan belajar guna mempersiapkan ujian masuk SPMB. Saya ingat betul, pengorbanan Papa dan usaha Papa menyesuaikan jadwal mengajar, bimbingan, dan urusan pekerjaan lainnya, demi agar bisa pulang menjemput dan mengantar saya ke tempat bimbel. Ketika hasil try out dari bimbel keluar, Papa adalah salah satu orang yang pertama melihat dan mencatat nilai saya, kemudian mengevaluasi nilai-nilai per bidang SPMB tersebut. Sampai pada akhirnya hari SPMB itu tiba, Papa yang paling bersemangat dan juga gugup karena ujian penentuan itu tiba. Masih segar di ingatan saya, pada hari pengumuman, Papa dan saya menyetir kendaraan ke depan gerbang Kelapa Gading untuk membeli koran beserta daftar nomor yang lulus SPMB. Dengan degup jantung yang kencang, nomor ujian saya temukan. Terlihat wajah Papa yang menanti jawaban. “Lulus Pa!!” ucap saya. Bukan ma in bahagia dan bangganya wajah ix
Papa. Jerih payah kita semua terbayarkan. Semasa kuliah, salah satu cita-cita saya adalah berada di Balairung UI sebagai wisudawati dan Papa duduk di kursi guru besar menyaksikan upacara kelulusan saya. Alhamdulillah, cita-cita itu tercapai dan merupakan salah satu momen penting dalam kehidupan saya. Saya rasa itu juga salah satu momen kebanggaan Papa, menyaksikan anak-anaknya wisuda.
Papa dan Keluarga
Papa kerap menekankan betapa pentingnya saya untuk bisa mandiri, hidup dan berdiri dengan kaki sendiri. Sehingga pada suatu titik, saya mengira Papa menginginkan saya untuk fokus pada karier dahulu baru memikirkan untuk berkeluarga. Tapi itu kontradiktif dengan kebiasaan Papa yang membiarkan saya mengambil keputusan sendiri. Ada suatu masa ketika saya bertanya-tanya mengenai pendapat Papa jika beliau kelak menjadi seorang “kai” (kakek). Papa dengan lelucon khasnya, selalu mengelak berpendapat akan hal ini. Menurut Papa, jika beliau menjadi seorang kai , berarti ia sudah menua. Kami sekeluarga selalu berguyon mengenai usia. Papa selalu ingin merasa muda sehingga kami sekeluarga sudah terbiasa dengan Papa yang bermain dengan angka - playing the numbers game when it comes to his age . Selain itu, Papa belum berpengalaman menjadi seorang kai. Setahun setelah saya lulus kuliah S1, saya memutuskan untuk menikah. Itulah hari di mana saya melihat Papa menangis, meneteskan air mata pertama kali, yaitu beberapa saat sebelum acara ijab kabul di masjid. Banyak orang berkata ada sebuah ikatan spesial antara seorang ayah dan anak perempuannya. Di hari pernikahan itu, saya betul-betul merasakan
jalinan kasih sayang tersebut. Kesedihan dan keharuan bercampur di benak saya, karena mulai hari itu, saya bukan lagi tanggung jawab Papa dan harus siap melepas saya. Setahun kemudian, yaitu tahun 2009, Papa mengantarkan saya dan suami untuk melanjutkan sekolah di Amerika Serikat. Di tahun inilah rasa kekhawatiran yang saya jabarkan di awal narasi ini bermula. Namun, antara tahun 2009 dan sekarang, beberapa episode besar kehidupan terjadi yang membuat saya mengerti pandangan Papa mengenai keluarga. Setelah saya lulus S2 tahun 2010 dan mendapat pekerjaan pertengahan tahun 2011, saya dan suami dianugerahi putri pertama tahun 2012. Inilah pertama kali Papa secara resmi menjadi seorang kai .
x
Bersama Papa di Pittsburgh (Juli 2016)
Di tahun itu, kami belum menggunakan Whatsapp , sehingga metode komunikasi lebih sering menggunakan email. Selang beberapa hari setelah melahirkan, saya memberikan kabar terbaru pada Papa, dengan fokus pada pekerjaan saya. Balasan Papa, di luar dugaan, beliau lebih tertarik dengan keadaan putri saya yang baru lahir. Ia kemudian bercerita betapa ia nostalgia ketika saya lahir, karena situasi Papa saat itu dan saya saat ini, relatif sama. Di email tersebut, kebahagiaan Papa terbaca. Saya sangat bersyukur Papa bahagia dengan status barunya sebagai seorang kai . Papa kembali menunjukkan kegembiraan dan keharuan sebagai seorang kai ketika saya melahirkan anak ke-2. Lima puluh hari setelah menyandang status sebagai kai dari 2terungkap anak perempuan cantik danPapa 1 bayi laki-laki rupawan, Papa pergi selama-lamanya. Namun, jelas pandangan sebagai seorang kai , bahwa cucu-cucu Papa adalah generasi penerus Papa yang harus lebih baik dari generasi sebelumnya. Dalam sebuah diskusi antara saya dan Papa (menjelang hari pernikahan saya), Papa pernah berkata, “Lagu Frank Sinatra, Love and Marriage , itu betul adanya. You cannot have one without the other. Ada satu hal yang Wina harus tahu. Bahwa sejalan dengan usia pernikahan, terkadang rasa tanggung jawab, kebiasaan untuk bersama, dan keinginan untuk menjaga pasangan, kerelaan untuk berkorban, menjadi faktor dominan dalam roda pernikahan. “ Maybe Maybe all this is also love but just in a different form ”. ”. Sekarang, kalimat Papa tersebut kian terasa relevan dan terasa kebenarannya. Satu lagi pembekalan yang Papa berikan untuk saya.
Papa tidak pernah gengsi atau kaku mengungkapkan rasa sayangnya pada kami, anakanaknya. Dalam setiap pesan singkat ataupun email, Papa selalu menyisipkan kalimat betapa Papa bangga dengan anak-anaknya dan betapa beliau amat menyayangi kami. Bahwa kerja keras dan usaha yang ia keluarkan adalah untuk keluarga ini. Sebagai seorang ayah, ia memberikan kami contoh dalam hal kerja keras, konsisten, dan pantang menyerah.
xi
“Mantra” Papa, dari lagu John Lennon, yang terus menerus saya ingat ketika masalah melanda adalah: “ iin n the end, everything is going to be alright, if it is not alright it is not the end” . Penutup
Pada penutup tulisan ini, izinkan saya dan adik-adik saya berterima kasih pada Papa atas pengorbanannya yang telah diberikan untuk kami. Terima kasih atas didikan didi kan dan ajaran Papa hingga kami bisa berdiri dengan kaki sendiri, menjadi manusia yang terus berusaha untuk lebih baik. Terima kasih untuk memori-memori lucu, gembira, sedih, dan susah. Terima kasih sudah mengajarkan kami makna pantang menyerah dan konsistensi pada bidang yang ditekuni. Terima kasih atas memori lelucon sarkastik Papa, yang membuat kami, anak-anak Papa, tertawa geli, hingga kami gunakan sebagai rujukan, sesekali. Terima kasih karena Papa tidak pernah ragu mengutarakan bahwa Papa sayang dan bangga pada kami, anak-anaknya. Terus menerus saya ditunjukkan bahwa ikhtisar kehidupan seseorang dapat d apat dilihat pada
akhir hidupnya. Alhamdulillah, begitu banyak yang memberikan kesaksian bahwa Papa orang yang baik. Hingga akhir kehidupan Papa, Papa masih memberikan contoh pada kami untuk terus berusaha menjadi manusia yang baik. Sungguh sebuah kebanggaan tersendiri bahwa di dalam diri ini, mengalir darah, DNA Papa. Semoga kita bisa berkumpul kembali di surga-Nya setelah tugas saya di dunia selesai, ya Pa. Kartina Widyani (Wina) Saifuddin , lulus S2 dari International Economic Program, State University
at Buffalo, New York, USA tahun 2010. Sebelumnya, Ia lulus S1 dari program matematika, Universitas Indonesia tahun 2007. Saat ini berdomisili di Amherst, New York, USA dan berkarier sebagai Market Risk Manager di sebuah institusi keuangan di USA. Wina adalah anak pertama dari pasangan alm. Prof. Achmad Fedyani Saifuddin dan Agustina Sayuti. Di waktu senggangnya, Wina senang membaca, menulis, dan mencoba resep masakan baru.
xii
Catatan Editor
Mengakrabi Antropologi Bersama Pak Afid Yanuardi Syukur Syukur & M. Ar Arief ief Wicaksono
Ada banyak cara untuk menyapa Prof. Dr. Achmad Fedyani Saifuddin yang dipertahankan dalam kumpulan tulisan ini. Beberapa memanggilnya “Prof. Afid”, ada pula yang memanggilnya “Pak” dan “Bapak Afid”. Beberapa lainnya, khususnya para koleganya di Departemen Antropologi UI, menyapanya dengan “Mas Afid”. Tentu juga sapaan “Papa” dan “kai” atau “kakek” bagi keluarga sedarahnya. Achmad Fedyani Saifuddin adalah kakek, ayah, kolega, guru, dan sahabat bagi banyak orang. Dia juga merupakan teman yang berharga bahkan bagi orang-orang yang pernah berjumpa dengannya walau tidak lebih dari satu kali, karena “satu kali pertemuan” pun dengan beliau, adalah momen yang sangat berharga. Jika biasanya mahasiswa akan “senang” kalau jadwal kuliah kosong, mereka akan sedih, merasa rugi, bahkan kesal jika sang profesor berhalangan hadir untuk mengajar. Ide untuk mengumpulkan tulisan terkait Prof. Afid muncul setelah beliau wafat dengan beberapa pertimbangan, yaitu: (1) untuk mengabadikan apresiasi para dosen, kolega, murid, terhadap almarhum, (2) sebagai upaya untuk mempelajari (kembali) pemikiran dari almarhum, dan (3) sebagai teladan dalam belajar dan mengajar bagi para kolega dan juga
mahasiswa. karenakesan-kesan itu, dari seluruh terkumpul ke dalam tiga bagian, yaituOleh pertama, tentangtulisan beliau yang utamanya dalamdibagi peranannya sebagai seorang guru bagi ratusan sarjana, master, hingga doktor baik dalam bidang antropologi maupun bidang-bidang lainnya. Kedua, adalah catatan-catatan tentang perjalanan intelektual dan kontribusinya dalam bidang antropologi, utamanya pada lingkungan Departemen Antropologi FISIP UI. Ketiga, adalah senarai pemikiran dan legasi keilmuannya yang dengan murah hati disampaikan oleh para “murid-murid”nya. Semoga dapat menjadi inspirasi untuk dapat terus dikembangkan di kemudian hari. Sebagian besar menuliskan kesan, kesaksian baik, dan kekaguman terhadap kemampuan almarhum semasa hidup dalam menngenalkan dan mengakrabkan antropologi pada kita semua. Sebagian lagi menuliskan tentang ungkapan syukur dan terima kasihnya
karena pernah dibimbing oleh beliau dalam menyusun skripsi, tesis, maupun disertasi. Beberapa orang, terutama koleganya, menulis tentang kesaksiannya terhadap jejak kontribusi akademik dan kontribusi organisasi di “rumah” tempatnya mengabdi, Departemen Antropologi UI. Serta, tidak sedikit pula yang mengulas buah-buah pemikiran almarhum, mulai dari perihal paradigma dan metodologi antropologi, isu-isu kemiskinan, multikulturalisme, analisis jaringan sosial, pendidikan dan kebudayaan, serta isu-isu lainnya yang memang menjadi bidang yang diminatinya serta seakan menjadi legasi keilmuannya. xiii
Di antara itu semua, banyak juga penulis yang menyelipkan pengalaman-pengalaman personal yang menunjukkan sosok Pak Afid yang hangat, ramah, dan humoris. Seluruh tulisan ini tentu tidak dapat menggambarkan sosok Achmad Fedyani Saifuddin sepenuhnya. Masing-masing dari kita yang mengenalnya mungkin hanya mengetahui dua hingga tiga “keping” saja tentang beliau. Kepingan -kepingan itu kadang kita dapatkan dari berinteraksi secara langsung hingga candaan-candaan dan obrolan-obrolan ringan yang beliau sampaikan kepada kita secara hangat dan akrab. Ia lebih “luas” dari seluruh kesaksian yang ada di sini. Untuk memenuhi buku ini, kami berinisiatif mengajak berbagai kolega untuk menulis
semacam catatan pendek, testimoni terkait almarhum Prof. Afid. Di tengah berbagai kesibukan, tidak banyak yang dapat mengirimkan tulisannya, akan tetapi secara bertahap kami menerima tulisan-tulisan yang masuk secara konsisten. Satu persatu tulisan masuk sebagai tanda bahwa menulis antologi terkait almarhum termasuk salah satu hal positif sebagai apresiasi terhadap jasa-jasa beliau, inspirasi, dan juga kebaikan yang telah diberikan semasa hidupnya. Editor harus mengucapkan minta maaf sebesar-besarnya karena buku ini tidak dapat terbit dengan cepat begitu tulisan terkumpul. Selain karena kesibukan akademis dan penelitian, kami harus memastikan bahwa tulisan penghargaan ini seminimal mungkin mengalami “kesalahan ketik dan ejaan”. Oleh karena itu, selain merangkai dan menyusun kumpulan tulisan ini, kami juga melakukan penyuntingan teknis terhadap tulisan-tulisan ini. Editor mengucapkan terima kasih banyak kepada segenap pihak yang telah membantu sehingga naskah buku ini terkumpul dengan baik dan dapat diterbitkan. Semoga langkah kecil ini bermanfaat sebagai apresiasi terhadap seorang guru besar, sekaligus memberikan kita teladan dan inspirasi dalam belajar, mengajar, dan hidup produktif dalam karya.
xiv
Bagian 1 Kesan dan Inspirasi: Perjalanan Intelektual Organik
1
Sanad Keilmuan Profesor Afid Yanuardi Syukur Syukur Achmad Fedyani Saifuddin (1952-2018) adalah salah seorang guru besar antropologi FISIP UI yang langka di Indonesia. Jejak-jejak keteladanan akademiknya serta motivasimotivasi personalnya menarik untuk digali lebih dalam. Dia dikenal sebagai profesor yang terbiasa tiba di kampus sekira pukul 06.00 pagi sebelum mahasiswa tiba di kampus. Tulisan-tulisannya banyak beredar, mulai dari bukubuku teks seperti Antropolo Antropologi gi Kontemporer Kontemporer hingga tulisan-tulisan lepas di berbagai media. Bahkan, dia terbiasa membuat hand out untuk untuk memudahkan mahasiswa dalam belajar. Wafatnya Profesor Afid – begitu beliau akrab disapa – adalah bagian dari kesedihan tersendiri bukan hanya bagi keluarga, akan tetapi juga bagi Departemen Antropologi FISIP UI. Betapa tidak, saat ini guru besar yang tersedia hanya beberapa orang, seperti Profesor
Yasmin Z. Shahab (pensiun pada Desember 2018), Profesor Yunita T. Winarto, Profesor Amri Marzali (emeritus), dan Profesor Meutia Hatta (emeritus). Banyak kalangan berharap agar sepeninggal Profesor Afid, lahir para profesor baru di Departemen Antropologi. Keluarga Tokoh Muhammadiyah
Profesor Afid lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 27 Juni 1952. Ayah dari P Profesor rofesor Afid adalah seorang tokoh Muhammadiyah di Alabio, Kalimantan Selatan. Namanya H. Saifuddin Birhasani. Ahmad Rizki Mardhatillah Umar menulis di timeline Facebook-nya Facebook-nya (26/10), bahwa H. Saifuddin Birhasani adalah tokoh Muhammadiyah Alabio, pejuang, dan lama menjadi Imam di Korem Antasari, juga lama menjadi Jamaah Masjid Al-Jihad. Kakek beliau, H. Birhasani, adalah "assabiqunal awwalun" alias pendiri Muhammadiyah di Kalimantan Selatan yang kemudian menjadi Ketua Muhammadiyah Cabang Alabio sepeninggal H. Japeri. Dengan latar belakang keluarga Muhammadiyah tersebut maka wajar jika skripsi Profesor Afid mengangkat soal "konflik dan integrasi" antara Muhammadiyah dan Nahdlatul
2
Ulama di kampungnya. Kendati telah terbit pertama kali pada pada 1986, hingga kini kajian ini masih menarik. Ketertarikannya untuk meneliti soal antropologi agama ini sepertinya tidak terlepas dari pengalaman waktu berusia belasan tahun ketika ibunya menyuruhnya untuk melayat tetangga yang meninggal. Ibunya berpesan agar ia tidak berlama-lama di sana. “Cepatlah pulang jika sendok dan piring sudah gemerincing di dapur,” kata ibunya. Belasan tahun kemudian baru ia menyadari bahwa dalam kalimat "cepatlah pulang" itu terkandung nilai-nilai penghormatan kepada tetangga yang mengalami musibah. Dia menulis, "...Melayat tetangga yang meninggal merupakan kewajiban, tetapi ada unsur-unsur upacara kematian tertentu yang tidak boleh kami ikuti berdasarkan keyakinan kami, misalnya memakan makanan yang disajikan dalam upacara tersebut." Gejala itu kemudian dirumuskannya sebagai suatu masalah akademik dengan mengaitkannya dengan konsep-konsep yang ia pelajari seperti perbedaan dan pertentangan golongan sosial, batas-batas golongan sosial, dan struktur sosial yang bersifat memecahbelah dan yang sekaligus juga mendorong terwujudnya integrasi. Demikian tulis Prof. Afid dalam kata pengantar bukunya, Konflik dan Integrasi (1986: v-vi). Sanad Keilmuan
Profesor Afid menamatkan pendidikan Sarjana Antropologi pada tahun 1982. Semasa mahasiswa, menurut ceritanya di kelas, dia pernah menjadi asisten dosen bagi Dr. Parsudi Suparlan. Bahkan, pernah dia diminta mengajar kelas Pascasarjana di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Padahal, waktu itu dia masih berstatus mahasiswa semester akhir (atau, setidak-setidaknya baru sarjana). Sanad intelektual Profesor Afid tidak terlepas dari dosen-dosennya di UI saat beliau
kuliah dan berkarier, salah satunya adalah Profesor Parsudi Suparlan. Tentu saja tak terkecuali Profesor Koentjaraningrat, seorang antropolog yang telah membuka jalan bagi lahir dan tumbuh-kembangnya antropologi di Indonesia. Terkait Profesor Parsudi Suparlan (lahir di Jakarta, 3 April 1938-meninggal di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, 22 November 2007 pada umur 69 tahun), beliau adalah seorang antropolog masyhur di Indonesia yang memiliki kepakaran dalam bidang antropologi perkotaan, kemiskinan perkotaan, dan multikulturalisme. Profesor Suparlan menamatkan pendidikan sarjananya di Antropologi UI (waktu itu masih berada di bawah Fakultas Sastra) tahun 1964. Pada tahun 1970 ia belajar di Universitas Illinois, Amerika Serikat, dan mendapatkan gelar Master of Arts (MA) pada tahun 1972 dan Ph.D dalam bidang Antropologi pada tahun 1976. Pada tahun 1961, Profesor Suparlan diangkat sebagai asisten dosen dari Profesor Harsya W. Bahtiar di Fakultas Sastra UI dan sebagai dosen tetap sejak tahun 1963. Kegiatan mengajar tetap dilakukan hingga wafatnya pada program S1, S2, dan S3 Antropologi FISIP UI; di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Program S2 dan S3 Ilmu Kepolisian, Universitas Indonesia; Program S2 Kajian Wilayah Amerika UI dan menjabat sebagai Ketua Program Kajian tersebut sejak 1998. Pada tahun 1999, Prof. Suparlan mendirikan Jurnal Polisi Indonesia dan menjadi pimpinan redaksinya sejak saat itu. Sejak tahun 1964, Profesor Suparlan telah menerbitkan lebih dari 200 tulisan. Beberapa di antaranya adalah: The Javanese Suriname: Ethnicity in ethnically plural society (Arizona (Arizona 3
State University, 1995); Orang Sakai di Riau: Masyarakat terasing dalam masyarakat Indonesia (Yayasan Obor 1995), Hubungan Antar Suku Bangsa, Masyarakat dan Kebudayaan Perkotaan (Penerbit YPKIK, 2004); dan Kemiskinan di Perkotaan (Penerbit Sinar Harapan & YOI, 1984). Profesor Afid mendapatkan gelar Sarjana di Universitas Indonesia dalam bidang Antropologi pada tahun 1981, kemudian gelar Master of Arts (MA) pada tahun 1985 dan Doktor of Philosophy (Ph.D) pada tahun 1992 dari Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat. Dalam perjalanan akademiknya, beliau juga pernah mengikuti beberapa pendidikan tambahan di luar negeri, seperti Kursus singkat Intensif Bahasa Inggris di Departemen Bahasa Oregon State University, USA pada bulan Juni-Juli 1984, Kursus Singkat Pengembangan kurikulum Pendidikan Tinggi di University of Manitoba, Canada, pada AprilMei 1993, kemudian mengikuti kursus singkat s ingkat tentang Kajian Pustaka dan Diskusi Konsultatif Antropologi Nutrisi di Departemen Antropologi Antropologi University of Manitoba Manitoba pada Mei-Juni 1993. Profesor Afid juga pernah mendapatkan tugas tambahan di luar UI sebagai Staf Ahli Bidang Sosial Budaya Menteri Pertahanan RI (2009-2012) di masa Menteri Purnomo Yusgiantoro. Di Kemhan, ia juga menjadi mitra bestari Jurnal Pertahanan Indonesia (20122018). Aba banyak bidang khusus yang dia tekuni selama ini. Beberapa di antaranya adalah kemiskinan di perkotaan (khususnya Indonesia dan Asia Tenggara) serta agama dan kebudayaan (khususnya konflik dan integrasi penganut agama). Kedua kajian ini juga digeluti oleh Profesor Suparlan. Sepertinya, Profesor Afid hendak meneruskan legasi dari gurunya tersebut dengan
mengkaji serta mengembangkan kajian tersebut. Selain itu, dia juga menekuni kekerabatan dan organisasi sosial, jaringan sosial (saat ini dikembangkan oleh Ruddy Agusyanto), masyarakat dan kebudayaan Amerika, antropologi kesehatan, paradigma antropologi, serta kajian radikalisme.
Prof. Afid dalam simposium soal terorisme, radikalisme, dan fundamentalisme di PSJ UI, Depok
Jabatan terakhirnya di UI adalah sebagai Ketua Pusat Kajian (PUSKA) Antropologi FISIP UI. Di masa Prof. Afid, PUSKA membuka cluster kajian baru, yaitu cluster Hadhrami Hadhrami yang dan cluster radikalisme radikalisme agama. Menurut pesan singkat dari Prof. Yasmine Z. Shahab (16/11), beliau telah merencanakan untuk mengembangkan cluster Hadhrami tersebut, namun "baru beberapa bulan berjalan, rencana kita terputus dengan kepergian beliau." 4
Sedangkan cluster radikalisme agama, setidak-tidaknya ada Al Chaidar dan saya yang diminta untuk menjadi peneliti di cluster tersebut. tersebut. Salah satu penelitian yang sementara saya ikuti – sebagai peneliti PUSKA Antropologi FISIP UI – adalah penelitian terkait penanganan radikalisme di universitas yang dipimpin oleh Profesor Iwan Gardono Sujatmiko. Sejak tahun 2017, tim peneliti telah turun ke beberapa kampus di Indonesia, memetakan, serta membuat beberapa perspektif terkait radikalisme – yang tidak melulu dilihat dalam konteks kekerasan – serta format penanganan radikalisme secara utuh di perguruan tinggi. Terkait dengan sanad keilmuan beliau, sampai sekarang memang masih belum banyak informasi terkait siapa saja guru beliau di Universitas Pittsburgh, bagaimana pengalaman belajarnya di sana, dan siapa saja yang berpengaruh dalam konstruksi pemikirannya di kemudian hari setelah tamat Ph.D dari Amerika. Dalam hal mengajar, Profesor Afid mempunyai banyak pengalaman dalam bidang pengajaran. Dia pernah menjadi asisten dosen di Antropologi UI sejak tahun 1979 sampai 1983. Dia juga menjadi asisten dosen pada Program Pascasarjana Kajian Wilayah Amerika UI sejak tahun 1982-1984. Setelah 1984, sepulang dari Amerika, ia aktif mengajar sebagai dosen di Antropologi FISIP UI. Selain itu, dia juga banyak mengikuti organisasi akademik seperti menjadi Pembantu Dekan I Bidang Akademik, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat FISIP UI pada tahun 1994-1997.
Dia juga dikenal sebagai dosen berprestasi. Setidaknya pernah mendapatkan penghargaan sebagai Lulusan Terbaik II pada Penataran Prajabatan UI tahun 1986 dan mendapatkan Fulbright-Hays Scholarship Award tahun 1984. Dalam 1st International Conference on Advanced Research (ICAR) 2017 di Manama, Bahrain, tulisannya berjudul "Five Letters that "hurt": The Multicultural Indonesian in current faster change era" mendapatkan penghargaan sebagai the best paper . Di kelas, beliau sempat bercerita soal penghargaan tersebut dan membagikan artikelnya. Awal Perkenalan Perkenalan Antropologii Kontemporer yang saya beli di Saya mengenal Profesor Afid lewat bukunya Antropolog toko buku Amanah yang berlokasi di Pantai Falajawa, Ternate. Waktu membaca bukunya, saya jadi tertarik untuk mempelajari lebih lanjut pemikirannya, walaupun saya merasa bahasanya tidak sederhana. Mungkin, karena itu buku paradigma yang dibuat untuk jenjang pascasarjana. Artinya, semua yang baca buku tersebut diharapakan telah khatam membaca membaca dan memahami buku-buku pengantar antropologi. Suatu ketika, Ditjen Kebudayaan Kemdikbud mengadakan diskusi soal Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Di acara tersebut, saya turut diundang sebagai tim penulis bersama para antropolog di beberapa daerah. Editor buku tersebut dipercayakan kepada Dr. Semiarto Aji Purwanto, atau yang biasa disapa Mas Aji. Aji. Buku revisi tersebut adalah buku bernas karya Profesor Junus Melalatoa yang sampai
sekarang belum ada pakar lain menulis tentang itu. Zulyani Hidayah sempat menulis buku tentang itu dengan judul Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia , terbitan YOI, dengan kata pengantar dari Dr. J. Emmed M. Prioharyono dalam versi ringkas. Berbeda dengan buku Prof. Melalatoa yang berjilid-jilid, walaupun tidak semua penjelasan entri di situ panjang-
5
panjang. Tugas kami sebagai tim revisi diminta untuk melengkapi buku tersebut. Saya kebagian entri suku bangsa di Maluku dan Maluku Utara. Dalam acara itu, saya bertemu Profesor Afid setelah acara tuntas. Ketika saya mendekat, ia menyapa dan menjawab apa yang saya tanyakan. Setelah itu kami berfoto, dan tak lama kemudian ia meminta alamat saya untuk dikirimkan bukunya yang terbaru, Logika Antropologi . Di titik ini, saya merasa beruntung mendapatkan kehormatan seperti itu. Tentu senang rasanya dapat berkenalan sekaligus dikirimkan buku oleh guru besar Antropologi UI tersebut. Waktu itu saya sementara mencari kampus untuk tujuan S3. Setelah berkelana mencari kampus (rencana formal saya di SK LPDP adalah Ph.D di ANU) dan berkorespondensi dengan banyak kampus di Amerika, Eropa, Australia, dan Asia, saya akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan S3 di dalam negeri. Di UI, saya kembali bertemu Profesor Afid dan menjadi mahasiswanya, serta mendapatkan supervisi dalam penulisan disertasi. Saya juga beruntung menjadi salah seorang mahasiswa yang tergabung dalam satu tim penelitian tugas akhir yang mendapat
dana hibah dari universitas (Hibah PITTA UI) bersama Siti Khoirnafiya (S3) dan Arief Wicaksono (S1). Tugas mahasiswa dan dosen dalam skema hibah ini adalah membuat artikel publikasi jurnal terindeks Scopus. Untuk itu, kami memulai dengan mengikuti konferensi internasional dengan harapan tulisan tersebut mendapatkan masukan serta bisa dapat direvisi hingga masuk ke jurnal terindeks Scopus tersebut. Saya juga mendapatkan keberuntungan lainnya, karena diberikan kesempatan oleh Profesor Afid untuk menjadi pembicara pada bedah buku karya Profesor Nils Bubandt di Auditorium Komunikasi FISIP UI bersama Dr. Zulfikar Ghazali. Awalnya, kita telah menentukan jadwal kegiatan, akan tetapi beliau tunda, karena katanya "menunggu Mas Yanuardi pulang dari Perancis."
Menjadi pembedah buku karya Nils Bubandt yang diterjemahkan oleh Prof. Pro f. Afid.
Waktu itu, saya mendapatkan undangan menjadi salah seorang pembicara konferensi di Perancis, akan tetapi karena besarnya biaya perjalanan tersebut – sementara hitungan reimburse dari sponsor tidak mencukupi – akhirnya saya batalkan hadir ke Perancis. Saya merasa bahwa Profesor Afid menghargai pilihan yang hendak kita lakukan, 6
dan bersedia untuk mendengarkan dan berkoordinasi dengan pihak lain, tak terkecuali dengan mahasiswanya. Dalam kesempatan lainnya, ketika menyusun naskah buku Mosaik Kemanusiaan , yaitu sebuah kumpulan review karya karya etnografi yang ditulis oleh mahasiswa Pascasarjana UI (S2 draft buku dan S3), saya Profesorbuku Afid. Bahkan, buku tersebutdalam telah dibedah di banyak FISIP berkonsultasi UI bersamadengan beberapa lainnya, yaitu Tumbuh Kebudayaan (tulisan (tulisan Arief Wicaksono) dan Satu Guru Tiga Ideologi (tulisan (tulisan Al Chaidar dan Herdi Sahrasad). Beberapa bulan setelah bedah buku yang masih sangat sederhana tersebut, Profesor Afid berharap buku tersebut dapat diteruskan sampai terbit dan beliau siap untuk memberikan kata pengantar untuk itu.
Menjelaskan proses kreatif dan konten buku Mosaik Kemanusiaan
Setelah Prof. Afid Pergi
Ketika mendengar berita wafatnya Profesor Achmad Fedyani Saifuddin (25/10, pukul 21.05 WIB) di grup Whatsapp , saya langsung bergegas naik ojek online ke rumah sakit Puri Cinere, Jakarta. Tiba di IGD, saya bertemu dengan Sera Ameria Eviany Saifuddin (anak keduanya) dan istrinya, Ibu Tina. ke jenazahnya, memintau izin untuk membuka wajah beliau sambil berdoaMendekat di dekat kepala almarhum.saya Rabbighfirlahu Rabbighfirlah warhamhu wa “ afihi afihi wa ” ” fu fu “ anhu anhu . Tak lama kemudian kemudian saya mengajak Al Chaidar dan Adri Febrianto – dua kawan saya di S3 Antropologi UI – untuk turut hadir ke rumah sakit dan sama-sama
mengantar jenazah beliau ke rumah beliau di Sawangan. Di mobil jenazah, saya bersama Adri Febrianto dan Fikri Ramdhani Saifuddin (anak ketiga beliau yang sedang kuliah di Universitas Brawijaya) bercerita soal almarhum sekaligus sekaligus menguatkan Fikri untuk bersabar serta menjadi yang terbaik seperti almarhum . Kepergian Prof. Afid pastinya menyisakan banyak kenangan dan juga legasi yang tersebar di antara keluarga, sahabat, kolega, mahasiswa, dan masyarakat terkhusus peminat antropologi yang pernah membaca tulisan-tulisan beliau yang dimuat di berbagai media. 7
Prof. Afid telah pergi dengan meninggalkan berbagai legasinya. Banyak orang masih berharap dapat mendapatkan pengetahuan serta perspektif dari beliau. Akan tetapi, waktu kita memang terbatas. Terbatas oleh ruang dan yang namanya waktu. Ada banyak kesan dalam hati mereka yang yang mengenalnya. Cecep Rukendi menulis, "...Selamat jalan Prof. Afid, pembimbing saya yang baik hati." M. Ardi Pritadi menulis, "...Selamat jalan dear Prof. Afid, terima kasih motivasi beratnya agar saya terus dapat memang virtual gemeinschaft gemeinschaft .."" Pradipa Rasyidi menulis, "...Prof. Afid, pengajar paling baik dan sabar yang pernah saya temui."
chatting via WA dengan Pak Afid senin kemarin, Mahbib menulis, beliau minta Khairan maaf karena tak"...terakhir bisa ke kampus dengan alasan tidak enak badan. Dalam keadaan sakit beliau masih mau membalas email perkembangan penelitian saya, lalu berjanji akan segera mengatur jadwal pertemuan. Tak disangka, itulah obrolah terakhir dengan guruku yang supersabar, rendah hati, dan kaya ilmu." Hal-hal baik perlu diteruskan, khususnya dalam upaya untuk mengembangkan
antropologi di Indonesia. Karya-karya Profesor Afid telah banyak membantu para peminat antropologi untuk mendapatkan perspektif tentang antropologi lebih dekat.
Di rumah duka. Foto bersama Adri Febrianto, Prof Meutia Hatta, Hatt a, Prof Yasmin Z. Shahab, Dr. Ernalem Bangun, dan Mas Mulyawan Karim
Masjid Ar-Rahim, tempat jenazah Prof. Afid disalatkan setelah juma ’ t
8
Tempat peristirahatan terakhir Profesor Achmad Fedyani Saifuddin
Saat menulis bagian ini, saya teringat ketika berada di pemakaman beliau. Tak lama setelah papan nisannya tertancap, hujan pun turun, namun tidak deras. Hanya rintik beberapa waktu, kemudian berhenti. Saya jadi teringat ketika menghadiri pemakaman salah seorang jenderal terbaik di Indonesia, yaitu Jenderal M. Jusuf di Makassar. Tak lama setelah ia dimakamkan, hujan pun turun. Namanya diabadikan dalam sebuah masjid besar di kota Makassar: Masjid Al-Markaz Al-Islami Jenderal M. Jusuf. Kini, setelah Prof. Afid pergi, rasanya nama beliau tidak hanya akan tercatat dalam catatan-catatan mahasiswa, atau buku-buku yang ditulisnya, akan tetapi juga menjadi inspirasi tentang bagaimana semangat seorang ilmuwan Indonesia dalam mengembangkan ilmu, mencetak para peneliti antropologi, serta menjadi teladan di hati banyak orang. Yanuardi Syukur, adalah dosen, peneliti, dan penulis lebih dari 60 buku nonfiksi di Indonesia.
Pendidikan sarjana diselesaikan di Jurusan Antropologi FISIP Unhas dan tamat S2 dengan predikat cumlaude pada Program Pascasarjana Kekhususan Politik dan Hubungan Internasional, Pusat Studi Timur Tengah dan Islam (PSTTI) UI. Sejak 2010, Yanuardi tercatat sebagai PNS dosen di Program Studi Antropologi Sosial Universitas Khairun dan saat ini tengah melanjutkan pendidikan S3 di Departemen Antropologi FISIP UI dan aktif sebagai Ketua Forum Alumni MEP Australia-Indonesia.
9
Intelektual Tradisional dan Intelektual Organik Al Chaidar Bagai halilintar bergemuruh ketika mendengar kabar kepergian Prof. Afid meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya pada 25 Oktober 2018. Sejenak saya merenung tentang masa-masa bersamanya, bertemu dalam kuliah dan berdiskusi serta membuat banyak program bersamanya. Kepergian beliau membuat saya berfikir untuk melanjutkan beberapa teori dan juga konsep yang pernah dirintis oleh beliau. Ada banyak catatan-catatan kuliah yang beliau berikan yang belum sempat saya elaborasi lebih lanjut. Banyak hal dari teori-teori antropologi dan juga konsep dari berbagai latar belakang ilmu dengan mudah bisa saya akses jika bertemu dengan Prof. Afid. Beliau adalah teman diskusi yang paling menyenangkan dengan penguasaan teori, paradigma, dan konsep yang begitu luas. Beliau adalah rujukan utama bagi saya dalam menyusun banyak tulisan termasuk juga tesis Master dan beberapa artikel. Ada beberapa artikel yang belum sempat saya selesaikan yang sudah kami rencanakan untuk tulis dan bahkan ada yang sudah hampir selesai diedit oleh beliau sehingga saya merasa sangat bersalah jika tidak bisa menyelesaikan artikel tersebut.
Beliau adalah intelektual tradisional dalam pengertian Antonio Gramsci (1973: 89). Antonio Gramsci membagi intelektual ke dalam dua kategori yang sangat realistis, yaitu intelektual tradisional dan intelektual organik. banyak tulisan membahas tentang intelektual organik, namun tidak banyak yang membahas tentang intelektual tradisional yang bagi saya atribut tersebut cocok disematkan kepada Profesor Afid. Dalam pemikiran Antonio Gramsci, intelektual tradisional adalah intelektual yang tugasnya hanya belajar, mengajar, dan meneliti. Tiga hal inilah yang menjadi dasar pengabdian seorang intelektual tradisional. Inilah jihad seorang intelektual tradisional di dalam dal am mengembangkan ilmu. Ada banyak antropolog yang telah mendidik saya agar bisa menggunakan metodologi, teori-teori, serta konsep dan mengembangkan teori-teori dan metodologi tersebut dalam penelitian-penelitian saya. Selain Prof. Afid, saya juga sudah akrab dengan Prof. Parsudi Suparlan dan juga Prof. Irwan Tjitradjaja. Banyak juga antropolog lainnya yang telah memberikan banyak amal jariyah- nya nya kepada saya dalam bentuk ilmu yang sangat bermanfaat untuk saya pelajari dan saya pergunakan p ergunakan metodologi dan teori-teorinya. Bagi saya Prof. Afid adalah sosok intelektual yang sangat luar biasa. Secara personal dia adalah orang yang begitu sederhana bahkan terkadang terlihat begitu naif dan dia
10
begitu baik dalam membagi ilmunya kepada siapapun termasuk juga kepada saya. Prof. Afid adalah sosok seorang akademisi atauyang dalam pengertian Gramsci Intelektual tradisional adalahtulen mereka hanya memiliki kampusintelektual tempat iatradisional. mengajar, memiliki subjek penelitian yang tersebar di berbagai daerah dan wilayah, memiliki pemihakan yang sangat besar kepada orang-orang yang sudah menjadi subjek penelitian nya. Berbeda dengan intelektual organik yang biasanya dia hidup di tengah-tengah muridmuridnya dan di tengah masyarakat yang sangat menghormatinya serta melindungi sang intelektual secara spiritual dan membelanya secara s ecara sangat emosional. Seorang intelektual organik memiliki basis massa pendukung yang rela mati jika sang intelektual disakiti atau dihina oleh orang lain. Bahkan jika dikritik pun, para pembela intelektual organik akan langsung memburu pengeritik tersebut hingga ke ujung dunia. Para muridnya akan siap membela dan mengorbankan nyawanya dan mati-matian memperjuangkan intelektual organik. Dalam hidupnya, intelektual organik lebih mapan, lebih enak, dan lebih nyaman karena didukung oleh orang-orang yang sangat fanatik kepada dia. Sedangkan intelektual tradisional hanyalah seorang akademisi biasa yang berteman dengan buku dan mahasiswa yang dibimbingnya untuk menuliskan skripsi, tesis, atau disertasi dan kemudian murid-murid yang pernah dibimbingnya tersebut atau pernah diajar di dalam satu mata kuliah atau kelas itu kemudian tidak memiliki emosi dan spirit untuk membela sang intelektual tradisional yang pernah menjadi guru bagi mereka. Intelektual tradisional sebenarnya sangat menyedihkan karena dia hidup dengan mengandalkan kemampuan kaki, tangan, mata, dan pikirannya untuk mencari nafkah bagi dirinya dan keluarganya dengan bertahan untuk bisa survive . Di dalam persaingan dengan para pekerja-pekerja lainnya yang spesialis dan memiliki keahlian spesifik tertentu yang
memang hadir produk profesi tidak baru pernah di dalamdibela masyarakat yang terus berubah dan berkembang ini,sebagai intelektual tradisional atau diperjuangkan mati-matian oleh para muridnya sehingga kehidupan intelektual tradisional adalah kehidupan minimal dari seorang akademisi atau guru yang memang hanya mengandalkan gaji dari tempat ia bekerja. Setiap orang yang bekerja di segala bidang baik yang berkaitan dengan produksi pengetahuan dan distribusi pengetahuan adalah intelektual. Bagi Gramsci kaum intelektual berkembang di hampir di semua bidang ilmu dan kehidupan. Intelektual ini bukan mewakili satu kelas sosial, namun merupakan kelompok penting tertentu dalam masyarakat demi terselenggaranya sistem masyarakat modern. Intelektual adalah figur representatif dari persoalan-persoalan yang muncul dari dunia publik. Intelektual merupakan orang yang memberi penyampaian artikulatif kepada publik meskipun publik banyak meresponnya secara keras dan terkadang membenci bahkan kadang-kadang sering membunuh para intelektual. Contoh kasus dari intelektual tradisional ini adalah seperti para antropolog yang meskipun bekerja secara minimal kepada lembaga atau kampus tertentu, namun cukup sering diharapkan mampu memberikan solusi dari setiap persoalan yang ada dan mampu menjelaskan semua fenomena dan realitas serta mengapa sesuatu itu terjadi. Saya melihat sosok Prof. Afid sebagai seorang intelektual tradisional yang kemudian banyak disalahpahami atau banyak dicibir dan diulas secara culas. Hal ini memang banyak terjadi terhadap para antropolog, misalnya Christian Snouck Hurgronje. Banyak orang 11
hingga sekarang menganggap bahwa Snouck Hurgronje adalah seorang antropolog yang kemudian telah menyebabkan serangkaian kerugian dan kekalahan bagi umat Islam di Aceh. Ini adalah persepsi yang salah terhadap antropolog. Banyak orang menganggap bahwa antropolog adalah orang yang memberikan pemikiran-pemikirannya kepada penguasa yang "memesan" pemikiran-pemikiran tersebut dan dengan ide formulasi dan teori serta konsep konsepnya maka itu dijadikan postulat bagi pemerintah untukatau membuat yang komunitas kemudian yang bisa menjinakkan atau menghancurkan bahkan program-program mengalahkan sebuah resisten terhadap penguasa. Padahal banyak sekali kontribusi yang diberikan Snouck Hurgronje kepada masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh harusnya berterima kasih kepada Snouck Hurgronje yang telah berbicara di depan volksraad atau parlemen negeri Belanda pada masa itu yang berencana akan mengirimkan misi zending untuk menyebarkan agama Kristen dan Katolik ke Aceh. Snouck Hurgronje segera meresponnya dengan cara kesarjanaan. Snouck Hurgronje berani menentang keras rencana mengirimkan misi dan zending tersebut ke Aceh. Tidak bisa dibayangkan jika Snouck Hurgronje tidak pernah membela rakyat Aceh dalam hal ini. Begitu juga dengan Prof. Afid, saya melihat bahwa dia berusaha untuk memahami state of the art terorisme, terorisme, radikalisme, dan fundamentalisme dan secara khusus membuat kluster penelitian radikalisme di Pusat Kajian Antropologi Universitas Indonesia. Ini adalah upaya dan kontribusi yang sangat luar biasa karena dari beberapa pesan yang beliau sampaikan bahwa ada banyak pemikiran dan ide-ide yang perlu didengarkan dari kalangan radikal dan
teroris tersebut. Bagi dia, terorisme, radikalisme, atau fundamentalisme adalah sebuah gejala biasa yang muncul karena adanya ketidaksamaan ide antara yang berkuasa dan yang dikuasai. Sebagai antropolog kita perlu mendengarkan ide-ide dari kaum radikal dan teroris serta fundamentalis sehingga kita tahu bagaimana sebenarnya konsep mereka tentang negara, hukum, dan masyarakat. Saya sangat berterima kasih dengan Prof. Afid karena bersama beliau saya juga mengembangkan program kontra wacana dan program humanisasi yang sangat fenomenal tersebut. Mungkin setelah kepergian Prof.Uci, Afid, saya bersama Dr. mengembangkan Herdi Sahrasad, Yanuardi Syukur, Burhanuddin Gala, Mbak dan lain-lain akan program humanisasi dan program kontra wacana ini. Saya yakin sekali bahwa pokok-pokok pikiran Prof. Afid tentang program humanisasi dan program kontra wacana ini akan sangat berpengaruh di tingkat dunia. Publik tentu menunggu sebuah hasil formulasi yang sangat matang dari penelitian-penelitian antropologi tentang terorisme, radikalisme, dan fundamentalisme untuk kemudian membuat program-program yang lebih bisa memanusiakan mereka dan tentunya bisa mendengar ide-ide mereka dan bagaimana mewujudkan ide tersebut ke dalam sistem dunia. Dengan kepergian Prof. Afid, kami yang berada di dalam kluster penelitian radikalisme, fundamentalisme, dan terorisme merasa sangat kehilangan arah. Kami tentunya sangat berharap bahwa program kajian ini biasa menjadi referensi penting tidak hanya bagi Indonesia tapi juga bagi semua negara tempat radikalisme, fundamentalisme, dan terorisme bergentayangan dan mengancam peradaban manusia. Saya masih ingat apa yang dikatakan oleh Prof Iwan Tjitradjaja yang sering mengulang-ulang adagium, “ what what does it mean to be human? ””..
12
Antropologi tentunya hadir untuk memberikan pencerahan wawasan dan terobosan ilmu pengetahuan untuk menghindarkan manusia dari pengulangan kesalahan-kesalahan lama yang sudah menyejarah. Bahwa kehidupan pluralisme dan juga toleransi adalah sebuah harapan kemanusiaan yang sangat diidam-idamkan banyak orang, maka antropologi sebagai the most scientific of humanities dan sekaligus sebagai the most humanistic of sciences , harus bisa memberikan kontribusinya yang nyata untuk mengatasi persoalanpersoalan yang sangat mendadak dan sangat mendesak untuk diselesaikan. Kami akan mempelajari teori-teori dan konsep-konsep buah pemikiran Prof. Afid untuk bisa memberikan kontribusi antropologi bagi kehidupan bersama yang beradab. Al Chaidar, mahasiswa Bimbingan (promovendus) Prof. Afid yang juga pengajar di Prodi Antropologi
Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh. Ia menulis banyak buku terkait politik, agama, dan terorisme. Al Chaidar dikenal luas sebagai pakar kajian terorisme di Indonesia.
13
Mengenang Prof Achmad Fedyani Saifuddin Herdi Sahrasad
Berita duka itu tiba-tiba disampaikan mahasiswa doktoral Antropologi UI, Al Chaidar (salah satu murid Prof. Achmad Fedyani Saifuddin ) dengan terbata-bata kepada saya dalam perjalanan dari Zurich ke Geneva. Hari itu Jumat 26 Oktober 2018, dan rupanya beliau (Pak Fedyani) telah berpulang ke rahmatullah pada pada 25 Oktober 2018. Saya sendiri tidak tahu kalau sebelumnya guru besar Antropologi FISIP UI tersebut sakit dan dirawat di RS. Puri P uri Cinere, Jakarta. Sekirangan beliau sehat, sepulang dari Geneva, saya ingin menyampaikan artikel kami (dengan Al Chaidar) di harian The Jakarta Post 26 26 Oktober 2018 kepada beliau sebagai salah satu langkah kecil kami dalam studi dan penelitian mengenai masalah Islamisme, terorisme dan radikalisme. Mengenang beliau adalah mengenang antropolog penuh dedikasi, mahaguru yang santun, bijak, rendah hati dan tidak lelah mendorong kami, murid-murid langsung atau tidak langsung melalui buku-buku dan tulisannya di jurnal maupun media massa (harian Kompas, dll). Saya jarang bertemu beliau, namun saya menjadi semakin dekat ketika terlibat penyelenggaraan seminar bertema “Islamisme, Radikalisme, dan Terorisme di Indonesia” bersama Al Chaidar dan rekan-rekan Antropologi FISIP UI dimana Prof. Achmad Fedyani Saifuddin dan Prof. Azyumardi Azra dari UIN Jakarta berbicara pada forum tersebut beberapa tahun lalu. Kami memang serius mempelajari Islamisme, radikalisme, dan terorisme yang mengatasnamakan agama. Dalam seminar itu, makalah Prof. Fedyani dan Prof. Azra saya simpan di komputer saya sampai hari ini, dan semakin memotivasi saya untuk mendalami Islamisme, radikalisme, dan terorisme yang melanda dunia dari tinjauan akademis yang bersifat interdisipliner (antropologi, sejarah, politik, studi agama). Sejak itu, saya mendorong Al Chaidar untuk banyak bertanya kepada Pak Fedyani mengenai hal-hal yang belum bisa kita pahami sebagai peneliti. Kadang saya berbicara melalui telepon kepada beliau, dan dengan senang hati beliau memberikan pandangannya.
Meski saya bukan mahasiwa FISIP UI, melainkan peneliti dari Universitas Paramadina, namun saya tidak merasa canggung atau sungkan untuk bertanya kepada beliau karena sejak lama saya merasa bagian dari keluarga besar FISIP UI. Saya berasal dari luar UI (saya alumnus Universitas Padjadjaran dan UIN Yoyakarta) dan semenjak saya bekerja sebagai jurnalis, saya telah “ditempa”“ untuk terus belajar politik dan hubungan internasional secara 14
perlahan tapi pasti dari Prof. Juwono Sudarsono, guru besar Hubungan Internasional FISIP UI dan Mantan Menteri Pertahanan dan Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. Saya sangat berminat pada ilmu-ilmu sosial yang sangat mendukung penumbuhan karakter personal dan profesi jurnalisme saya di masa muda sekitar 15 tahun, sehingga lebih mengarahkan saya pada dunia penelitian/jurnalisme, dalam batas-batas kemampuan yang ada. Sebagai jurnalis/peneliti dan pengajar, saya bangga dan bersyukur karena menempa perjalanan hidup saya di dunia dengan penuh kerja keras dan cerdas sampaisampai saya kecapaian dan terkena gangguan sakit liver. Prof. Achmad Fedyani Saifuddin dan Prof. Azyumardi Azra mendorong saya agar mengurus kepangkatan fungsional saya sebagai dosen tetap (“lektor 200”) di sekolah pascasarjana Universitas Paramadina karena bisa mendorong motivasi dan bermanfaat di
masa kini dan mendatang. “Coba terus dan diurus kepangkatan fungsionalnya karena buat Herdi itu penting, apalagi sudah 8 tahun mengajar sebagai dosen tetap,”“ kata Pak Fedyani pada saya. Setelah 8 tahun jadi dosen tetap di Universitas Paramadina, akhirnya urusan “Lektor 200” itu itu berhasil saya peroleh sehingga saya absah sebagai dosen setelah lama terkatungkatung urusan fungsionalnya. Asal tahu saja, atas ajakan simpatik Dr. Yudi Latif, saya bergabung sebagai peneliti senior di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina pada 2005 dan SK-nya saya dapatkan pada tahun 2006 dari rektorat, namun baru pada tahun 2011 saya menjadi dosen tetap di Paramadina. Ketika Pak Fedyani dan Keluarga Besar Antropologi UI mengundang kami untuk Sbersyukur atu Guru Tiga mendiskusikan Chaidar dan Herdi Sahrasad ”“ ”“ pada pada maka keluarga buku besarAlUniversitas Paramadina sangat“ Satu atas Ideologi kehormatan itu. 2017, Pada waktu itu saya didorong agar bisa singgah “nyantri” di Leiden University, Belanda untuk memperkaya pengetahuan, dan berkat bantuan mantan Menko Perekonomian/Menko Kemaritiman, Dr. Rizal Ramli, saya diberangkatkan ke Leiden, Belanda pada Februari 2018. Saya tak lupa bahwa pada perayaan 60 tahun Antropologi FISIP Universitas Indonesia
itu (Kamis 7 Desember 2017), diwarnai dengan upaya membangkitkan apresiasi pada karyakarya para mahasiswa antropologi UI dan peneliti yang mampu menunjukkan bahwa antropologi dan disiplin ilmu sosial/humaniora senantiasa relevan dan mampu menyumbangkan peran, makna dan manfaatnya bagi pendidikan, pembangunan dan demokrasi ke depan, bahkan dalam bidang hubungan internasional, etnografi, dan netnografi dalam antropologi/sosiologi politik, mampu memperkuat perkembangan ilmu hubungan internasional di era globalisasi dewasa ini. i ni. Dalam acara Perayaan 60 tahun Antropologi FISIP Universitas Indonesia di Depok, yang khidmat dan sahaja itu, para pembicara antara lain Prof. Achmad Fedyani, Dr. Toni Rudyansjah, Dr. Dian Sulistyawati, Herdi Sahrasad, Sholehudin Azis, Arief Wicaksono,
Yanuardi Syukur, dan para mahasiswa Antropologi FISIP UI. Forum akademik ini dipandu oleh Rhino Ariesiansyah, dosen Antropologi UI yang “ gagah ”“ . Dalam forum itu gagah dan mboys ”“ dibahas dan dibedah tiga buku, yakni Mosaik Kemanusiaan, Tumbuh dalam Kebudayaan, dan Satu Guru Tiga Ideologi. Jangan lupa bahwa ilmu hubungan internasional diperkuat dengan etnografi dan netnografi dari antropologi, suatu perkembangan baru yang memikat praktisi politik internasional maupun para akademisi. Oleh karena itu, menurut saya belajar antropologi, Islam, dan hubungan internasional memperkaya dimensi interdisipliner interdisipl iner saya. 15
Dalam kaitan dengan peringatan 60 tahun Antropologi UI untuk merefleksikan kiprah disiplin antropologi dalam pembangunan dan transformasi sosial di tanah air, AMINEF bekerja sama dengan Departemen Antropologi FISIP UI menyelenggarakan konferensi bertajuk Refleksi Kontribusi Antropologi untuk Indonesia, pada 14-15 September 2017 lalu bertempat di Auditorium Juwono Sudarsono FISIP UI. Selain Dr. Kartini Sjahrir, alumni Fulbright sekaligus Direktur Eksekutif AMINEF, Mr. Alan Feinstein turut hadir sebagai keynote speaker . Prof. Achmad Fedyani juga memberikan pidato penutupan pada acara tersebut.
Demikianlah, dengan jujur dan rasa hormat saya akui, kepergian Prof. Achmad Fedyani Saifuddin adalah suatu keh kehilangan ilangan besar dan menyisakan banya banyakk kenan kenangan gan serta legasi yang tersebar di antara keluarga, sahabat, kolega, mahasiswa, dan masyarakat terkhusus peminat antropologi yang pernah membaca tulisan-tulisan beliau yang dimuat di berbagai media seperti Jurnal Antropologi Indonesia, Kompas , dan lain sebagainya. Semoga amal ibadah beliau diterima di tempat terbaik di sisi s isi Allah SWT. Dr Herdi Sahrasad, Associate Director The Media Institute and Center for Islam and State Studies Universitas Paramadina. Herdi Sahrasad pernah ““nyanteri”“ sejenak sebagai visiting fellow/jornalist
di Indiana University,AS 1989, lalu University of Phillipines 1991, Monash University Australia 1992, Cornell University 1994, International Academy for Leadership, Gummerbach-Bonn Jerman 1995, Iseas Singapore 2006 dan University of Malaya 2007, University of California Berkeley dan UW Seattle 2012.
16
Prof. Achmad Fedyani Saifuddin: Inspirasi dalam Berkarya dan Terus Berkembang Daniel Kurniawan Dalam kehidupan ini, manusia mengalami proses trial and error . Proses itu membuat kita menjadi seseorang yang mau berubah dari hari ke hari. Saya merasakan sebuah proses trial tersebut di dalam masa perkuliahan dari sejak semester pertama sampai menuju and error tersebut semester ke enam. Proses tersebut dimulai dari inspirasi dan motivasi yang akhirnya mengalami sebuah transformasi dan menjadi sebuah kontinuitas. Seseorang yang dapat membuat saya melakukan sebuah transformasi adalah Prof. Achmad Fedyani Saifuddin. Pak Afid pernah berkata “Daniel, kamu jangan pentingin IP. IP itu hanya angka mati saja toh yang IP 3,4 belum tentu lebih baik dari yang IP 2,9 yang penting itu kamu berkembang dan saya lihat kamu sudah berkembang”. Kata -kata tersebut selalu terngiang setiap hari. beliau juga memotivasi saya dengan mengatakan seperti ini, “Saya memilih kamu menjadi seorang koordinator kelas di dua kelas berturut-turut karena saya percaya sama kamu dan saya melihat sebuah potensi besar namun ada suatu masalah yang membuatmu seperti ini... k amu amu jangan sedih nanti skripsi saya yang bimbing ya” . Kata tersebut membuat saya selalu bersemangat untuk belajar bahkan saya rajin membaca dan suka dengan beberapa teori dalam antropologi serta menyukai beberapa isu konseptual karena arahan beliau yang membantu saya selama ini. Saya cukup sedih
mengingat beliau yang dipanggil secepat itu karena beliau belum melihat saya sukses. Saya cukup senang apabila saya dibimbing beliau. Beliau mau dengan senang hati membantu saya dengan memberikan sebuah tema apa saja bahkan saya mengambil tema yang agak aneh, yaitu mengenai perubahan pada Kramat Tunggak, dari tempat prostitusi menjadi Islamic Centre . Beliau cukup sabar memberikan diskusi dan arahan. Saya senang dengan membaca buku karya beliau. Beliau juga menyarankan saya untuk membaca buku Mary Douglas Purity in Danger. Bahkan, beliau memberikan buku gratis tulisannya pada saya, Catatan Reflektif Antropologi Sosial Budaya. Terima Kasih Prof. Afid atas perjumpaannya, semoga perjumpaan ini tidak sia-sia dan izinkanlah saya melanjutkan tongkat estafet untuk masa yang akan datang dengan sebuah identitas yang berbeda. Sekali lagi terima kasih sampai bertemu di kemudian hari. Daniel Kurniawan adalah mahasiswa sarjana pada Antropologi UI
17
Sahabat Kita Semua Sri Winarny Saya mengenal Prof. Achmad Fedyani Saifuddin sejak tahun 1993, tahun ketika saya mulai bekerja sebagai staf administrasi Program Antropologi Kesehatan pada Program Pascasarjana Antropologi UI, Salemba. Prof. Achmad Fedyani Saifuddin - untuk selanjutnya saya sebut Pak Afid - kala itu baru kembali dari studinya di Amerika serikat. Beliau aktif mengajar di Program Antropologi Kesehatan, tempat saya bekerja. Pak Afid yang saya kenal memang dosen baik, tak pernah terlihat marah. Bahkan banyak mahasiswa yang ingin dibimbing oleh beliau. Seringkali saya mendapati mahasiswa baik program sarjana, magister atau doktoral akan memperlihatkan wajah gembiranya jika ternyata ia diputuskan dibimbing oleh Pak Afid. Kebiasaannya datang di pukul 06.00 pagi membuat Pak Afid akrab dengan para office boy (ob) di FISIP UI. Menurut para teman ob, “wah kita semu a seneng mbak kalo liat Pak Afid datang, malah berlomba-lomba bukain pintu gedung”, karena selain perhatian, suka
bercanda dan selalu mengajak ngopi dan beli gorengan pagi-pagi. Datangnya Pak Afid di pagi hari ini juga membuat banyak mahasiswa yang sudah antri menunggu Pak Afid. Tahun 2012, Kantor Program Pascasarjana Antropologi pindah lokasi ke gedung B. Di sini dosenpagi mendapat ruangan. Pak Afid menempati ruang pojok sebelahsaya kiri, sejaksemua itu setiap Pak Afidsatu banyak menghabiskan pagi di ruang itu.diJika kebetulan datang kepagian saya masih bisa bertemu Pak Afid untuk sekadar bertegur sapa. Seringnya sih saya hanya liat secangkir kopi kosong di meja Pak Afid yang ditinggalkan pemiliknya yang sudah berangkat mengajar kurang dari pukul p ukul 08.00. Hubungan kami para staf dengan dosen-dosen di Departemen Antropologi sangat baik, hangat dan penuh rasa kekeluargaan. Terlebih dengan wafatnya Dr. Iwan Tjitradjaja dan Dr. J. Emmed M. Prioharyono juga Mas Hilarius Taryanto, kita semua merasa kehilangan. Hubungan kekeluargaan kami pun dikuatkan ketika pada awal tahun 2017 FISIP mulai melakukan rotasi besar-besaran. Mbak Tina dan Mbak Erlita harus dirotasi ke bagian lain. Permasalahannya, Mbak Tina dalam keadaan sakit dan tidak memungkinkan untuk dipindahkan ke tempat yang baru. Saya dan teman-teman akhirnya membicarakan permasalahan ini ke Pak Afid dan dengan cermat beliau mendengarkannya. Alhamdulillah berkat nasihat Pak Afid dan ketiga guru besar di antropologi, yakni Bu Meutia, Bu Yasmine dan Bu Yunita, kami bisa melalui masalah ini dengan baik. 18
Departemen Antropologi adalah keluarga buat para staf, di sini kami semua diajari bagaimana bekerja di bidang administrasi untuk memudahkan mahasiswa dan dosen menjalankan fungsinya masing-masing. Saya masih ingat nasihat alm. Dr. Iwan Tjitradjaja bahwa departemen harus memberikan pelayan terbaik bagi mahasiswa, biarkan mereka nyaman dan menjadikan Departemen Antropologi sebagai “rumah”nya juga. Begitu pula dengan alm. Prof. Afid, “saya ini sudah kaya ustadz win banyak yang minta nasihat, padahal saya ini gak ada apa-apanya, yang saya kasih tau mereka itu ya berdasarkan kemanusiaan aja”. Pernah juga terdengar oleh saya Pak Afid berbincang dengan salah satu pengajar, bahwa di atas semuanya, nilai kemanusiaan lah yang paling utama. Atas dasar kemanusiaan Pak Afid selalu menempatkan diri dan bisa berhubungan dengan semua orang tanpa canggung tak ada jarak. Selalu bisa mendengar dan perhatian. Tak jarang Pak Afid menanyakan pendapat kami para staf, yang mungkin sebetulnya mungkin pendapat kami tidak betul-betul diperlukan. Tapi demi terciptanya hubungan yang baik Pak Afid bisa
melakukan itu. Awal semester ini saya mendengar Pak Afid sakit vertigo. Padahal sebelumnya, sekitar bulan Juni Pak Afid masih dengan antusias dan ceria mengikuti kegiatan rapat kerja Departemen Antropologi di Anyer Banten. Namun setelah bulan Agustus saya sering mendengar Pak Afid tidak hadir karena sakit. Kami semua cemas dengan berita ini. Kami Berharap Pak Afid bisa segera sembuh dari sakit dan bisa mengajar lagi. Namun berita mengagetkan datang di hari Rabu 25 Oktober, 2018 berita bahwa Pak Afid masuk ICU karena tak sadarkan diri di rumahnya. Hari itu kami semua menunduk berdoa bagi kesembuhan Pak Afid. Pada Hari Kamis saya dan teman-teman, juga Mbak Uci, sekretaris departemen, menengok Pak Afid di rumah sakit. Subhanallah, saya merasa sedih sekali melihat kondisi Pak Afid. Saya berdoa agar
Sang Pencipta memberikan apapun yang terbaik baik pada Pak Afid. Sepulang dari dari rumah sakit kami kembali ke Departemen Antropologi. Ternyata datang Prof. Dr. Robert MZ Lawang untuk menanyakan kabar Pak Afid, Pak Robert terlihat amat sedih . Ia berkata lirih “banyak sekali teman-teman saya sakit dan harus pergi, iwan, Emmed lalu Yanto (Hilarius Taryanto). Kali ini semoga Afid bisa sehat lagi”. Doa kita semua agar Pak Afid sehat dan bisa mengajar lagi tidak dipenuhi Allah SWT. Allah SWT punya maksud yang saya percaya pasti lebih baik lagi. Pak Afid pergi pada kamis 26 Oktober 2018 pukul 21.15. Kami semua amat kehilangan, Sapaan tulusnya pada semua orang di pagi hari membuat hari-hari di gedung B kini terasa berbeda. Tapi kami yakin bahwa Pak Afid sudah berada dalam pelukan Sang Maha Rahim. Meskipun Pak Afid tidak pernah menjadi dosen saya, tidak pernah menjadi pimpinan di kantor, tapi Pak Afid akan selalu kami kenang karena kesabaran dan kebaikannya. Ia mampu menjadi pendengar dan sahabat bagi semua orang. Mau mendengar siapapun yang ingin bicara padanya. Dengan doa-doa akan kami kenang Profesor Achmad Fedyani Saifuddin, selamat jalan Pak, Allah bersamamu... Sri Winarny bekerja sejak tahun 1993 di Program Antropologi Kesehatan Program Pascasarjana
Antropologi UI.
19
Kenangan Prof. Afid
Windi S. Ningrum
Secawan Kenangan bersama Prof. Afid
Achmad dosen Fedyaniyang Saifuddin atau yang sering denganmahasiswanya nama Pak Afidyang alias notabene Prof. Afid merupakan luar biasa. Beliau bisa disapa mengayomi memiliki latar belakang berbeda. Saya dan teman-teman angkatan saya, tidak semuanya
berasal dari antropologi. Ketika awal berkecimpung disini, tentunya terasa berat. Semester pertama, terasa seperti ingin angkat tangan. Ibarat lelucon yang sering dilontarkan oleh anak-anak mahasiswa akhir, “tahapan ini, akan menjadikan perempuan menyerah dan memilih untuk menikah, sementara untuk lelaki memilh menjadi berondong tante-tante”. Namun syukurnya, kelelahan dan keputusasaan tersebut perlahan dihapus oleh beliau. Ya, Pak Afid. Oleh seorang bapak, kakek, guru, dosen, dan orang tua kami. Orang tua mahasiswa yang sedang belajar sepeda antropologi. Beliau mengajarkan dengan penuh ketenangan dan kesabaran. Membimbing, memberi pencerahan, dan memberikan informasi yang baru bagi kami. Meskipun, ketika sedang acara tanya jawab, pertanyaan yang kami lontarkan menyimpang dari rel yang seharusnya. Indahnya, beliau tidak menyalahkan kami karena pertanyaan ngawur tersebut. Justru yang diucapkan adalah “Menarik ya”. Ungkapan Ungkapan yang sering dilontarkan beliau, baik ketika berdiskusi atau sedang sesi tanya jawab. Agar kami dapat menikmati antropologi dengan menarik agar kami dapat menemukan hal-hal menarik pula. Agar kami dapat menemukan sesuatu yang begitu menarik dan menjadi lebih menarik dari saat ini. Ya, menjadi “seseorang”. Tak hanya kalimat itu saja, beliau pun memberikan “lilin”, mengarahkan dan memberikan apa yang sebenarnya kita inginkan. Secara perlahan, kami pun mengetahui apa yang sebenarnya ingin ditanyakan, paham akan apa yang akan menjdi fokus kita kedepan, paham apa yang membuat kami lebih m emahami kata “menarik”. Terutama untuk saya, teruntuk diri ini yang sedikit lambat menimang-nimang dan memilih bidang fokus ke depan. Hingga akhirnya, beliau mengarahkan apa yang Perlahan sebenarnya sayapasti, suka, minati, dan buku yang akan menjadi ketertarikan dalam fokus kedepan. namun dari pemilihan sampai pada kemenarikannya. Ya, buku yang sering diceritakan oleh beliau. Buku yang sering didongengkan oleh beliau. Buku-buku yang tidak hanya judulnya saja yang ia hafal, namun juga penulis dan tahun terbitnya.
20
Buku yang sudah habis dibaca dan dikupasnya, didongengkan kepada kami. Beliau membiarkan kami untuk memilih buku yang kami suka. Bukunya begitu banyak, sehingga kami tidak bisa berebut. Buku itu bukan sebagai pengantar tidur, melainkan sebagai pengantar mimpi. Mimpi yang memang dipupuk, dicitakan, dan diasakan akan (harus) terwujud tersebut. Mimpi dan asa tesebut, sudah banyak yang membuktikannya. Kakak-kakakku, seniorku, dan semua yang sudah meraih mimpinya tersebut. Tidak hanya itu, dosenku yang dahulu juga merupakan mahasiswa dari Prof. Afid, mereka sudah bersinar. Ketika kubuka lembaran buku, tidak sedikit yang memberikan ucapan terima kasih, atas arahan dan didikan beliau dalam kata pengantar dalam bukunya itu. Ketika berdiskusi dengan beliau. Kami tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Tidak hanya pada jam mata kuliah yang sedang kita ikuti saja. Di jam lain, sesuai dengan janji dan kesepakatan, beliau mau berdiskusi dengan kita. Hanya dengan cara mengirim pesan via sms, sekejap kemudian, beliau membalas dan memberitahukan kapan dan dimana pertemuan tersebut. Beliau menjawab dengan cepat, di sela-sela sibuknya dan di sela-sela waktu istirahatnya. Bukan dengan jawaban yang singkat seperti orang yang tidak ingin diganggu. Tidak. Beliau
menjawab dengan santun, sesuai pertanyan, dan ramah. Sungguh luar biasa. Ruang kelas, tepatnya pada saat mata kuliah beliau, selalu di lantai tiga Gedung N1 FISIP UI (angkatan kami). Pada waktu pagi hari, alias jam pertama/pukul 08.00 WIB. Sebelum kami sampai ruangan, beliau sudah duduk disana. Berserta kertas berisi materi m ateri hari itu juga. Banyak pertanyaan yang mengganggu, sebenarnya sepagi apa beliau berangkat. Perjalananku dari kost menuju ruangan tersebut, paling lama 15 menit dengan berjalan kaki. Namun sepaginya saya sampai sana, andaikata yang pertama masuk kelas pun. Beliau sudah ada disana, di ruangan tersebut. Tidak ada lift atau eskalator, hanya anak tangga biasa yang harus didaki menuju ruangan tersebut. Hal ini mengingatkan saya dengan catatan yang pernah Mas Aji tuliskan dalam facebook --nya, nya, ketika ia berlomba-lomba berangkat pagi sampai di kampus. Berjumpa di parkiran, dan sejenisnya. Pak Afid pun pernah bercerita, mengenai aktivitas pagi harinya, sebelum ia berjumpa dengan kami untuk mengajar. Pagi hari, sudah ada tiga buah koran yang dibacanya. Tiga koran yang berbeda, sudah dibacanya sebagai sarapan pagi hari. Berita, kabar, dan hal-hal baru yang dibacanya dari surat kabar dijadikannya sebagai sarapan ilmu. Tambahan pengetahuan sebagai seorang antropolog. Seorang yang haus ilmu dan kabar mengenai persosialan di luar sana. Surat kabar dijadikannya sebagai media merekatkan diri dengan hal-hal yang tidak dijumpainya secara langsung, oleh mata kepalanya sendiri. Surat kabar yang dijadikannya perekat ilmu dan peristiwa itu pun, akan didongengkan pada kami. Bukan tentang gosip artis, bukan tentang kabar burung yang laris di kalangan anak muda. Bukan juga perihal peristiwa sembarangan atau peristiwa asal pilih yang diceritakan pada kami. Namun, peristiwa yang dipaskan, dicocokkan untuk pembahasan materi hari itu. Kami pun diajari, dilatih, secara perlahan namun pasti. Bagaimana cara menanggapi peristiwa, bagaimana meyimpulkan suatu kabar, dan bagaimana menyelesaikan suatu permasalahan.
Salah satu cerita beliau yang saya ingat, ketika dia menjadi ketua RW di tempat tinggalnya. Ketika ada masalah, konflik, atau hal apapun yang saat itu menimpa warganya. 21
Pak Afid sering dimintai tolong oleh warganya untuk menyelesaikan dan menanggapi masalah tersebut. Ketika menyelesakan hal itu, beliau tidak hanya melihat posisinya sebagai ketua RW saja, namun dengan ilmunya, antropologi. Sebagai seorang antropolog, beliau menyelesaikan permasalahan itu. Hal ini membuat kami, mahasiswanya, terutama saya, untuk lebih berpikir lebih dalam dan kritis jika menghadapi masalah dalam hidup. Berpikir jernih dengan tenang dan melihat tidak hanya pada satu sisi saja. Tentunya cara berpikir yang diajarkan oleh beliau, perlahan pula mengubah cara berpikir dan sikap saya dalam bertindak ketika menghadapi problematika hidup. Banyaknya kenangan dan hal-hal yang diperbincangkan dalam ruangan itu, menjadikan nuansa tersendiri pada benak kami. Ruangan itu menjadi terasa khas, seolah menjadi identik dan secara tidak langsung mengingatkan tentang beliau. Ruangan di Gedung N1, lantai 3 FISIP UI. Ruang belajar tersebut, tidak hanya untuk memperkenalkan kami pada pelajaran, namun juga dengan teman-teman kami, satu angkatan lebih tepatnya. Di angkatan saya
sendiri, hanya ada lima orang. Sering dikenal dengan angkatan samawa karena terdiri dari satu lelaki dan empat perempuan. Tidak hanya saling mengenal nama saja, namun juga pengalaman sebelum berada di UI dan juga hal-hal di luar sana. Pelajaran dari pengalaman kami yang diceritakan, sebagai contoh dalam materi, di suatu hari itu. Dalam hal berbagi pengalaman dan cerita mengenai kehidupan, di sini beliau juga mengajarkan kami dalam hidup berumah tangga, tepatnya ketika sedang menerangkan household . Pak Afid sedikit mendongengkan pada kami, seperti ketika istrinya melahirkan, tips memilih pasangan hidup, tips melamar, dan juga tips dalam menghadapi lika-liku rumah tangga. Masih banyak lagi cerita kenangan tenang Pak Afid dan ruangan itu. Beberapa kenangan dan hal unik yang kami alami bersama (khususnya di angkatan saya). Ada satu hal yang mengenang dan paling mengenang di angkatan Samawa ini. ini. Ketika melihat beliau berbeda dari sebelumnya. Tepat pada hari sebelum kisah ini hadir, saya dan lelaki satu-satunya di angkatanku sedang membahas mengenai sastra, puisi lebih tepatnya. Singkat cerita, Pak Afid penasaran dan ingin membaca puisi itu. Keesokan harinya, Faiz Mao alias Faiz yang menjadi lelaki satu-satunya ini, membawakan sebuah buku puisi. Pagi hari, usai perkuliahan di jam pertama selesai, tepat sebelum kami pergi ke kantin untuk beristirahat, ia menyerahkan buku kecil berwana merah. Buku berjudul Belajar Sepeda , diberikannya pada Pak Afid. Ia berkata, “Pak, ini puisi yang kemarin saya dan windi perbincangkan”. Usai beristirahat untuk mengikuti kuliah selanjutnya, kami sudah duduk di bangku dan Pak Afid sedang memegang buku kecil tersebut. Beliau sedang membaca dan nampak sedang membaca kembali salah satu puisi yang dibacanya tadi, puisi yang menurutnya paling mengesankan dan paling disukainya dari empat puluh puisi yang ada di buku itu. Ia memilih puisi dengan judul Belajar Sepeda, judul puisi yang sama, dengan judul antalogi puisi tersebut. Beliau bercerita sedikit, ketika membaca bait puisi tersebut, spontan
beliau teringat dengan salah satu cucunya. Tidak lama kemudian, sebelum pelajaran dimulai, beliau membacakan puisi itu untuk kami. Begini isi puisinya, puisi berjudul Belajar Sepeda yang ada di halaman 63, karya Faiz Mao.
22
Belajar Sepeda lelaki itu menggoyangkan menggoyangkan bahuku. ke kanan dan ke kiri. di belakang stang. aku hanya wayang. hari ini aku belajar mengendarai sepeda. bersama ayah dan segala rasa khawatirnya. di dadanya ia menghitung cemas. kelak ia akan sendiri ditinggal anak perempuannya pergi.
keringat membahasi ubun ubun kita. langit menjatuhkan banyak sekali cahaya. kukayuh sepeda dengan sekuat gelisah. deraknya memejamkan mata ayah. lelaki itu dibelakangku. menghitung, satu dua tiga empat lambat. membiarkanku melaju sendiri. menemukan jarak dan tempat berhenti. berhenti. kutahu, di suatu tempat ia cemas menungguku kembali. 2015
Puisi yang dibacakan tersebut, rupanya menjadi puisi pertama dan terakhir yang dibacakan untuk kami. Begitu juga dengan buku antalogi itu, buku pertama sekaligus terakhir yang Faiz berikan secara langsung. Pak Afid sering sakit, entah apa. Beliau tidak pernah mengeluhkesahkan pada kami. Karena yang kami tahu, hanyalah surat singkat dari ponselnya, mengenai keadaannyaa dan membiarkan kami untuk berdiskusi mandiri. Ketika mengingat puisi yang dibaca oleh beliau. Ada beberapa bait yang mengenang dan nampaknya beberapa bait itu, bak tertulis untuknya. Nampak pada beberapa bait terakhir. Saat ini, Achmad Fedyani Saifuddin alias Pak Afid alias Prof. Afid, sudah menemukan jarak dan tempat berhenti . Entah, siapa yang cemas menunggunya kembali . Selamat beristirahat di alam sana. Terima kasih, atas ilmu dan pengalaman hidup yang sudah engkau ajarkan pada kami. Pak, selamat jalan, jasamu abadi. Windi Susetyo Ningrum (ws.ningrum), perempuan kelahiran Sleman 30 Juli 1992 yang mulai
menggeluti antropologi di tahun 2015. Sebelumnya, gadis penghobi renang ini berkelana di bidang sastra, filologi tepatnya, ilmu yang mengkaji naskah kuno. Beberapa kenangan dan tulisan kecil lainnya, ia muat dalam blog pribadinya. Siapapun yang penasaran, bisa mampir dan membacanyanya di windisustyothamrin.blogspot.go.id ☺ ia memiliki nama pena Anjani Nurul Laili, masih menjadi penulis di Omah Aksroro. Ketika tulisan ini dibuat, perempuan bershio monyet tersebut sedang menjelajah, mencari sesuap nasi dan meneruskan hobi menulisnya. Tidak hanya tulisan fiksi atau kisah perjalan hidupnya, namun beberapa tulisan ilmiah pun sedang digarapnya. Tulisan tersebut ada beberapa hanya sebagai catatan pribadi ada pula yang sedang digarap menjadi tulisan yang renyah.
23
Prof. Afid: Pace dan dan Guru Sejati Kami (Mahasiswa) dari Timur Tasrifin Tahara Hari itu menjadi hari pertama saya menginjakkan kaki pertama di Kampus UI Depok dengan atribut Mahasiswa program Doktor Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Oleh karena ini “hari pertama” maka sejak pukul 06.00 pagi saya sudah meninggalkan tempat kost di wilayah Kukusan Depok menunju kampus dengan harapan tepat waktu dalam menerima materi perkuliahan yang di jadwalkan 08.00 untuk mata kuliah Antropologi Sosial Budaya dengan dosen pengasuh yang tertera di jadwal, Prof. Dr. Achmad Fedyani Saifuddin, MA. Tepat pukul 06.30 saya pun tiba di kampus FISIP UI. Berjalan dari tempat kost menuju kampus terasa seperti “jogging” pagi sambil menghirup udara pagi yang segar di areal kampus dengan bentangan pohon karet yang rimbun. Pikirku, “saya adalah orang pertama yang masuk kampus”, ternyata di sudut taman pelataran FISIP UI, sudah ada sosok yang dalam amatan saya seorang guru besar yang akan mengajar kami pagi ini. Saya pun menyapa beliau, meskipun ini merupakan perjumpaan saya pertama secara fisik karena sebelumnya saya hanya mengenal dan berjumpa dengan membaca karya-karya beliau dalam bentuk buku (diantaranya Antropolog Antropologii Kontemporer ), ), dan tulisannya yang lain pada jurnal ilmiah dan artikel-artikel di Harian Kompas . Saya pun memberanikan diri menyapa seraya memperkenalkan diri sebagai calon murid beliau yang berasal dari Universitas Hasanuddin Makassar. Beliau hanya manggut-manggut dan menanyakan beberapa kerabat antropolog di Makassar se-angkatan dan pernah “menjadi” murid beliau seperti Prof. Mahmud Tang dan Dr. Munsi Lampe. Kedua senior ini,
sering menjadi rujukan rekomendasi hubungan kedekatan secara emosional secara akademik antara antropolog Universitas Indonesia dan Universitas Hasanuddin setelah meninggalnya antropolog senior Prof. Mattulada dan Prof. Abu Hamid. Perbicangan pun semakin cair dan lancar tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 08.00 WIB dan kami harus masuk ruangan untuk kuliah pada pertemuan awal untuk mata kuliah Antropologi Sosial Budaya. Bikin PeDe , Meski Belum Belum Kuasai Materi Materi
Selama berinteraksi secara akademik, Pak Afid (panggilan akrab Prof Achmad Fedyani Saifuddin) selalu khas dalam membawakan materi. Awalnya ketika kuliah teori, saya sendiri merasa bosan dan terkadang tidak tahu berada dalam posisi mana, serta untuk apa materi 24
ini? apalagi selalu ada istilah atau stereotip dari ilmu-ilmu lain, … ah teori ji itu! tapi dengan gaya ulasan Pak Afid teori itu serasa cair dan ada dalam diri kita yang belajar dan mampu menempatkannya dalam realitas. Sehingga bagi saya, istilah “teori itu sebagai pisau analisis realita” itu benar adanya. Melalui virus pengetahuan Pak afid -lah, saya men jadi “suka”
dengan yang namanya teori.
Kenangan Pak Afid Saat Ujian Promosi Doktor Penulis
Penguasaan teori Pak Afid tidak hanya sebatas paham dan mengajarkan, bahkan semasa saya kuliah pada program Doktor (S3) antropologi tahun 2006 – 2010 hingga saya tularkan kepada mahasiswa saya di antropologi UNHAS, keinginan kuat menjadi “kekuasaan sebagai sebuah paradigma kebudayaan” menjadi virus bagi saya untuk memperkenalkan pemikiran yang terkadang dianggap “aneh” orang-orang di sekitar kita. Saya masih mengingat istilah atau paradigma kekuasaan itu muncul menurut Pak Afid dan perubahan “peta” karena saat ini definisi sudah berada pada faseparadigma. “Blurring the Genres” definisi ilmu. Sehingga mencerminkan Perubahan kebudayaan daridisiplin masa ke masa, misalnya sebagai materi, sebagai ide, sebagai simbol, dan sebagai sites of representation and resistance. Poin-poin inilah yang menjadi pemicu sehingga konsep “kekuasaan” itu menjadi menjadi penting sebagai sebuah sebuah paradigma dalam dalam antropologi. antropologi.
Bahkan pernah dalam satu sesi perkuliahan saya bertanya, “mengapa harus kekuasaan? bukankah ini sebuah istilah yang menjadi “gorengan” bagi tetangga kita ilmu Politik?. Dengan gaya yang khas Pak Afid menjawab, “ini bukan kekuasaan dalam arti politik” ini hanya perjumpaan keseharian dalam konteks-konteks yang dipahami sebagai kebudayaan. Sehinggga “kekuasaan bisa sebagai kata awal atau kata akhir, sebagai sebagai entry point atau lapangan kajian, di sana juga ada isu teori dan metodologi. Belum lagi ada istilah otoritas dan kekuasaan, dominasi dan resistensi, habitus dan kekuasaan, dan kekuasaan sebagai
institusi dan strategi. Konsep-konsep yang sering terlontar dari percikan pemikiran Pak Afid ini selalu menjadi inspirasi bagi saya untuk selalu membaca dan selalu berupaya membumikan teori-teori antropologi. Hal inilah yang menjadikan saya disemati istilah oleh mahasiswa pascasarjana antropologi UNHAS dengan “Kanda Kekuasaan”. Alhasil ada beberapa disertasi dan tesis yang dihasilkan oleh mahasiswa saya berbau-bau “kekuasaan”.
25
Nasihat dalam Berkarya
Setelah menyelesaikan studi doktor pada Antropologi UI tanggal 13 Oktober 2010, hubungan saya dengan Pak Afid tidak pernah putus. Bahkan ide untuk mengedit ulang disertasi menjadi buku adalah atas usul beliau. Saat itu ketika pengurusan ijazah dan lainlain, saya harus pamit untuk kembali mengabdi di UNHAS. Saya pun menemui beliau sekalian minta wejangan kiat-kiat menularkan virus teori-teori antropologi di UNHAS nanti. Pak Afid memotivasi untuk rajin-rajin berkarya dan jangan ragu meskipun banyak mendapat kritikan dari orang lain atas karya yang kita hasilkan. Dalam perbincangan kami, Pak Afid mencontohkan Profesor Clifford Geertz, seorang tokoh antropologi dunia asal Amerika Serikat, telah wafat dalam usia 80 tahun. Barangkali sebagian besar pemikiran Geertz berdasarkan hasil penelitiannya di Indonesia. Geertz patut dijuluki tokoh antropologi segala musim karena dinamika pemikirannya yang selalu mengikuti zaman. Ketika awal kariernya pada akhir 1950-an, Geertz dapat dipandang sebagai seorang fungsionalis. Pemikirannya tertuang melalui karya pertamanya, The Religion of Java, suatu karya yang berciri kuat struktural-fungsionalisme klasik. Namun, kalau kita cermati karyakaryanya yang kemudian, terjadi perubahan yang sesuai dengan subjek yang dihadapi. Tak mengherankan kalau Geertz juga diakui sebagai salah satu pembuka jalan bagi pemikiran postmodernisme dalam ilmu-ilmu sosial. Hampir dalam setiap karya dan perbincangan teori antropologi di dunia mengutip atau menyitir karyanya, sekalipun perbincangan tersebut mengkritik atau kontra terhadap pemikirannya. Kata Pak Afid di akhir perbincangan kami, sekelas Geertz saja masih ada yang mengkritik dari mereka yang berbeda dengan pemikirannya, apalagi kita, so... “Berkaryalah “Berkaryalah tasrifin, antropologi ada karena karya kita ”” . Kalimat inilah yang menjadi spirit dan menjadi ingatan saya bahkan ketika mendengarkan kabar Pak Afid meninggal dunia, kalimat ini kembali mengiang-ngiang di di telingaku. Selang setahun kemudian buku saya “Melawan Stereotip” reprodu ksi disertasi diterbitkan
oleh Kepustakaan Populer Gramedia. Sebagai penghormatan kepada guru sekaligus pace (istilah bapak yang ditokohkan) bagi orang timur Indonesia, saya mendaulat Pak Afid untuk hadir dalam launching sekaligus membedah buku itu. Kehadiran Pak Afid dalam acara tersebut sangat disambut antusias bagi mahasiswa dan kerabat antropologi di Makassar. Bahkan Muliadi Mau salah seorang mahasiswa pada Program Doktor Antropologi UNHAS sempat berdiskusi dan mewariskan sebuah Judul itu kajian disertasinya y akni “Bias-Bias Konstruksi Identitas Dalam Pemberitaan Media”. Tidak hanya itu, beberapa mahasiswa yang lagi menggandrungi teori-teori kritis merasa puas mendengar penjelasan dan uraian teoriteori antropologi yang disampaikan Pak Afid pada acara bedah buku tersebut. Kata salah seorang mahasiswa saya, “mengtong “mengtong tolo ’’ na mi teori ” dari awal hingga akhir saya menyimak uraian yang beliau sampaikan hingga tuntas.
26
Acara Bedah Buku “Melawan “Melawan Stereotip” di Kampus UNHAS
Secara umum kedatangan Prof. Afid di Kampus UNHAS saat itu memberi warna dan inspirasi bagi mahasiswa untuk berkarya, apalagi setelah mendengar penjelasan dan uraian tentang teori-teori antropologi yang bisa menjelaskan berbagai arena dalam kaitannya dengan ilmu-ilmu lain. Sebagai contoh, saya mendengar uraian tentang gagasan dasar Bourdieu yang kembali dikembangkan menghasilkan banyak karya. Saat itu, Pak Afid mampu memberi pemahaman tentang konsep-konsep utama seperti habitus, capital, arena perjuangan, distinction, kekuasaan simbolik dan kekerasan simbolik. Kemampuan Pak Afid mampu menjembatani gagasan tentang hubungan antara teori dan tindakan. Bahkan bagi kami, memahami pemikiran Bourdieu yang rumit, setelah mendengar uraian Pak Afid menjadikan Pemikiran Bourdieu itu menjadi mudah dicernah. Sebagai akibat atas itu, hampir semua tesis dan disertasi mahasiswa yang saya bimbing menjadikan Bourdiue sebagai alat bedah utama dalam menjelaskan data yang dia peroleh di lapangan dan menjadikan di kampus UNHAS ada istilah “semua serba Bourdiue”.
Penutup
Di akhir tulisan ini saya merasa sangat kehilangan atas seorang pace dan guru sejati. Guru yang membuat kami dari “tidak tahu” hingga “menjadi tahu”. Mungkin saya mewakili suara beberapa mahasiswa dari timur Indonesia berani mengatakan “Pak Afid itu bukan dosen biasa, tapi Pace dan guru sejati yang telah menghamparkan pengetahuan dengan tidak ada kotak-kotak antara barat dan timur. Semua menjadi cair, bahkan mengembalikan citra orang timur seperti mekanisme alam, bahwa matahari itu terbit dari timur dalam arti pengetahuan itu sebenarnya bisa juga dari timur dan tidak ada lagi pembeda barat dan timur. Belajar memahami antropologi itu menjadi milik semua orang. Selamat Jalan Pace, Selamat jalan guru sejati. Tugas kami adalah melanjutkan tugas mulia antropologi di muka bumi ini.* Tasrifin Tahara, lahir di Melai (Buton), 23 Agustus 1975. Staf Pengajar dan Peneliti Departemen
Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar. Belajar antropologi sarjana dan magister Pada Universitas Hasanuddin (1994-1998; 2000-2002) dan tahun 2006 belajar antropologi di Universitas Indonesia dan selesai tahun 2010. Terlibat dalam riset dan konsultan di Maluku, Kepulauan Kei, Kupang, Buton dan Papua serta narasumber berbagai seminar nasional dan internasional Japan, Prague Republik Ceko,beberapa dan Harvard University Menulis beberapa buku dan (Nagoya Jurnal serta menyumbang tulisan pada media, termasukUSA). aktif dalam dunia Cyber.
27
Impresi Seorang Mahasiswa terhadap Guru
Adri Febrianto
Kenal dengan Prof. Afid
Almarhum Achmad Fedyani Saifuddin, Guru Besar Antropologi FISIP Univesitas Indonesia, adalah salah seorang guru yang mengajarkan dan mendidik mahasiswanya untuk mengenal dan menjadi sarjana antropologi dan bahkan menjadi antropolog. Di dalam tulisan
ringan ini saya menyampaikan beberapa impresi yang terbentuk terhadap beliau dari beberapa kali mengikuti kuliah di Program S2 dan S3, Pasca Sarjana Antropologi Universitas Indonesia serta pertemuan di beberapa ruang seminar yang saya ikuti dan pertemuan informal lainnya. Saya dan istri Erda Fitriani, mengikuti kuliah pertama dengan beliau tahun 2001 sebagai mahasiswa S2 Antropologi Universitas Indonesia. Beliau juga menjadi penguji ujian tesis saya dengan koreksi dan masukan yang sangat berarti untuk etnografi yang saya tulis. Beliau pernah mengundang saya untuk datang ke rumahnya di Perumahan Sawangan Permai untuk berdiskusi mengenai penelitian yang saya lakukan di bulan Pebruari 2005. Selanjutnya saya terkesan saat bertemu beliau di ruang labor antropologi lantai 3 Gedung B FISIP UI pada tahun 2008 dan bertanya. “Eh Adri...masih di sini?” Lalu meminta saya menunggu sebentar dan setelah beliau kembali ternyata saya diberi satu buku karya tulisnya, Antropolog (2005). Pada saat itu saya datang ke UI sebagai peserta Antropologii Kontemporer (2005). pertemuan Asosiasi Jurusan Antropologi Se-Indonesia (AJASI) yang diselenggarakan oleh Departemen Antropologi FISIP Universitas Indonesia. Kesan saya bertambah mendalam terhadap beliau sejak saya menjadi peserta beberapa mata kuliah seperti Antropologi Sosial Budaya, Organisasi Sosial Struktur dan Proses, Antropologi Kekuasaan dan mata kuliah Paradigma dan Teori Antropologi yang beliau ampu di program doktoral antropologi Universitas Indonesia yang saya ikuti tahun 2016 sampai 2017. Begitu juga di sesi pertemuan dengan Pak Afid atau Prof. Afid – begitu beliau sering disapa dan disebut – di kelas Semiloka Teori dan Metode di semester Juli-Desember 2017. Pertemuan saya di ruang formal terakhir ketika Prof. Afid bertindak sebagai penguji proposal penelitian disertasi saya dengan kritikan dan masukan yang sangat berarti. Pertemuan di luar kelas terakhir ketika saya masuk ke ruang Pusat Kajian (Puska) Antropologi UI untuk membeli beberapa seri Jurnal Antropologi Indonesia edisi cetak untuk laboratorium Prodi
28
Pendidikan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Padang, tempat saya mengabdi. Kesan yang saya sajikan berikut ini lebih banyak di dalam konteks perkuliahan paradigma dan teori. Beberapa Kesan
Kesan pertama belajar dari antropolog Achmad F. Saifuddin di kelas Teori Antropologi 1 selama semester pertama tahun ajaran 2001-2002 adalah sangat mencerahkan dan membantu saya untuk memahami peta perkembangan paradigma ilmu dan teori antropologi. Kuliah dimulai dengan selembar kertas (handout) yang yang beliau bagikan kepada setiap mahasiswa magister Antropologi UI yang berisi tabulasi Orientasi Teori Antropologi dengan sepuluh baris dan kolom yang sebagiannya sudah berisi titik-titik hitam yang menunjukkan posisi dan kontradiksi teori-teori. Secara sederhana selembar kertas itu menunjukkan bahwa paradigma atau perspektif atau teori tertentu yang berada di baris pertama, yang diwakili angka 1 sampai 10 dari kiri ke kanan berada di tataran orientasi teoritis dinamik atau statik. Angka 1 menggantikan Evolusionisme Awal, angka 2 menunjukkan Konflik Marxian, 3 adalah Fakta Sosial
Dhurkheim, 4 Struktural Fungsionalisme, 5 Materialisme Kebudayaan, 6 Konflik NonMarxian, 7 Strukturalismr, 8 adalah Simbolisme, 9 adalah Analisis Formal, dan 10 adalah Tindakan Sosial Bailey. Pada baris kedua nampak bahwa empat dari sepuluh paradigma tersebut berada pada tataran penjelasan dinamik dan enam lainnya adalah statik . Baris ketiga menunjukkan pembahagian dari sepuluh paradigma yang termasuk ke dalam penjelasan konflik atau harmoni. Baris keempat penekanan penjelasan teoritisnya pada tingkat individual atau kelompok. Begitu seterusnya di baris kelima bicara norma atau tindakan, baris keenam orientasi teoritis tersebut termasuk kualitatif atau kuantitatif, baris ketujuh orientasinya relativisme atau perbandingan, dan penekanan emik atau etik dapat dilihat pada baris kedelapan. Penjelasan nilai atau fakta di baris ke sembilan dan ditutup dengan orientasi reduksionis atau antireduksi dari di sepuluh paradigma teoriteori d i dalam di antropologi. Sayakerangka sebut sepuluh teori sebagai paradigma sini, karena suatu jika dipakai sebagai di dalam penelitian maka teori tersebut menjadi “paradigma kecil” di dalam memahami suatu realitas atau permasalahan penelitian, sebagaimana Prof. Afid juga mengklasifikasikan teori-teori ke dalam paradigma di dalam buku Antropolog Antropologii Kontemporer Kontemporer . Penggambaran yang saya tulis pada alinea di atas belum sampai kepada penjelasan orientasi teorititis tertentu seperti apa, tetapi yang disampaikan di sini adalah penjelasan paradigma atau teori yang jika dibaca melalui buku-buku teori yang umumnya “berat” akan memerlukan waktu yang panjang dengan argumentasi dan ilustrasi yang rumit. Akan tetapi hanya dengan melihat selembar kertas yang diberikan “guru” antropologi Indonesia ini mahasiswa mendapatkan pencerahan terhadap skema orientasi teori antropologi, dan tentu saja pemahaman orientasi teoritik ini tidak dapat dipahami sepenuhnya hanya dari selembar kertas yang diberikan ini. Artinya pemahaman orientasi teoritik antropologi antropologi yang rumit dapat dengan mudah beliau sampaikan dan dimengerti. Penyederhanaan inilah yang sesungguhnya menempatkan
seseorang pantas menjadi guru di depan mahasiswanya. Cara mengajar yang dapat menyederhanakan penjelasan teoritis di dalam antropologi dan bagaimana teori itu aplikatif 29
ke dalam realitas sosial budaya yang terdapat di sekitar kita, secara sederhana dapat beliau sampaikan. Kesan kedua, ketika belajar teori, tokoh-tokoh antropologi di dunia dengan karyakaryanya hafal di kepala beliau, bahkan pada beberapa kali pertemuan kuliah beliau benarbenar ingat sampai ke detail judul buku, penerbit, dan tahun terbit serta di halaman berapa dari pernyataan yang dikutip dari para ahli tersebut disampaikan. Penguasaan konsep, teori atau paradigma yang diajarkan inilah yang membuat kuliah menjadi lancar mengalir dan apabila mahasiswa lengah atau pikiran ngelantur dari dari materi kuliah maka penjelasan yang disampaikan berikutnya tidak akan mendapatkan titik temunya dengan penjelasan sebelumnya. Kesan dan ketiga, di dalam belajar antropologi untuk lebih ran banyak sendiri, membaca “mendiskusikan” konsep dan teorimendorong antropologi,mahasiswa baik dengan pemiki sebagaimana beliau mendialogkan paradigma dan teori di buku Logika Antropologi : Suatu
Percakapan (Imajiner ) Mengenai Dasar Paradigma (2015), juga karya tulis beliau, atau mendorong mahasiswa untuk lebih banyak bertanya di dalam kelas dan beliau memberikan ruang untuk itu. Di sinilah kuliah dengan guru ini menjadi menarik dengan pikiran-pikiran
teoritisnya dan sering disertai dengan bumbu lelucon yang mengena. Kesan keempat, peserta kuliah tidak terbebani dengan tuntutan, walaupun sebenarnya beban itu tentu saja ada, tugas mingguan dan akhir semester. Suasana cair di dalam kelas menjadi daya tarik untuk lebih banyak mengetahui materi dan isi dari kuliah-kuliah yang beliau berikan, seperti konsep, teori dan paradigma p aradigma yang diajarkan. Termasuk mendialogkan femomena sosial budaya dan politik yang aktual. Untuk memahami materi lebih lanjut, poinpoin penting dari tema perkuliahan telah disarikan di dalam dua, tiga atau empat lembar hand out yang dapat dipelajari mahasiswa, tentu saja dengan mendalaminya melalui lebih banyak membaca. Hand out ini ini selalu diberikan di setiap awal perkuliahan Kesan kelima, mengikuti kuliah Prof. Afid dengan suara yang tenang namun tegas, dan beliau lebih suka memakai pengeras suara di dalam setiap perkuliahan. Beliau seorang dosen yang tenang dan menyenangkan dan rugi rasanya jika tidak mengikuti perkuliahannya. Kehilangan Guru Besar yang baik
Kelima impresi di atas membentuk profil Profesor Achmad Fedyani Saifuddin disukai, disenangi Tidak adaProf. kesan atau buruk yang Afid sayasakit dengar dari mahasiswaoleh yangmahasiswa. pernah kuliah dengan Afid.jelek Mendapat kabar Prof. dan tidak sadarkan diri, saya sedih dan kemudian kabar meninggalnya beliau dari Mbak Wati (Laraswati) di grup WA, ya Allah, innalillahi wa inna ilaihi rojiun . Hari itu, Kamis malam 25 Oktober 2018, telah pergi satu guru besar antropologi. Mendapat kabar, saya langsung menghubungi saudara Yanuardi Syukur, teman se-angkatan kuliah S3 di Antropologi UI
yang saya ketahui sudah berada di rumah sakit Puri Cinere malam itu. Saya langsung mendatangi ke rumah sakit malam itu, sempat berdoa di depan jenazah di ruang ICU dan kemudian saya satu ambulan dengan saudara Fikri anak almarhum dan Yanuardi Syukur mengantarkan ke rumah duka. duka. Sampai di rumah duka malam itu sudah ada bang Al Al Chaidar dan Raimon Michael telah menunggu. Malam itu juga sampai kira-kira pukul 02.00 pagi, kembali sampai ke rumah duka setelah kami (saya, Yanuardi Syukur, Al Chaidar 30
dan Mbak Mira (Mira Oktaviana Whisnu Wardani, alumnus S2 Sosilogi UI yang aktif di Puska Antropologi UI) bersama dengan Pak Tanjung yang mengendalikan stir mobil mengantarkan kami ke Pasar Induk Kramat Jati membeli kembang, beberapa botol air wangi, kain panjang dan beberapa barang keperluan lainnya untuk pemakaman jenazah. Sekitar pukul 02.30 WIB, Saya, Yanuardi Syukur, Al Chaidar dan Raimon minta izin kembali ke rumah masing-masing. Pukul delapan pagi saya kembali sampai di rumah duka dan bersama-sama dengan pelayat yang ramai dari berbagai kalangan bersama-sama ikuti sholat jenazah dan mengantarkan ke makam perkuburan. Saya dan beberapa teman dari S2 Antropologi UI dari masjid nebeng mobil Prof. Amri Marzali mengikuti mobil jenazah dan ikuti proses pemakaman sampai selesai.
Akhirnya, peristiwa duka ini mengingatkan saya bahwa kematian akan memutus segalanya. Sebagai civitas akademis dan ilmuan, tinggallah kenangan dan buah karya buku dan artikel yang telah dihasilkan yang bisa dibaca, dinikmati atau menjadi penambah pengetahuan bagi siapa saja yang bisa membacanya. Tinggallah kita yang masih hidup untuk dapat meneruskan, insyaAllah . Melalui buku-buku hasil karya tulis dan menjadi terjemahan Prof. Afid yangdan dibaca dan menjadi rujukan, menambah pengetahuan, ilmudari yang bermanfaat, semoga tetap melimpahkan pahala yang besar kepada almarhum, aamiin ya Rabbal alamiin. Adri Febrianto adalah mahasiswa pascasarjana Departemen Antropologi FISIP UI
31
Sang Mentor Mentor Siti Khoirnafiya Beberapa hari lalu, shock rasanya saya mendengar kebenaran kembalinya Profesor Achmad Fedyani Saufuddin ke hadapan Allah, Hyang Maha Pencipta. Rasa duka mendalam atas kehilangan sosok beliau seakan sulit digambarkan. Batin saya dipenuhi dengan ingatan ketika saya mengenalnya. Bagi saya, ia bukan sekadar pembimbing dalam pembelajaran saya tentang antropologi, tetapi seperti bapak yang mempunyai tempat di hati saya. Masih dalam ingatan ketika saya ke kampus Universitas Indonesia (UI) pertama kali. Sebagai anak kampung, saya bahkan tidak mengenal UI, tidak ada bayangan saya akan kuliah di UI. Namun, saya diajak oleh kakak perempuan saya ke UI Depok. Saat itu saya hanya berucap, enak kali ya kuliah di tempat sejuk di sini. Tentu saja kondisi UI Depok yang adem dan banyak pepohonan menjadi daya tarik sendiri bagi saya, seorang anak pantai yang terbiasa dengan udara panas. Kondisi adem ini juga berkat dari mempelajari antropologi dari Pak Afid. Pelajaran antropologi awalnya membuatku gamang. Sebelumnya, saya tidak mengenal dekat dengan sosok Pak Afid. Namun, kajian saya tentang kelompok keagamaan Hizbut Tahrir Indonesia yang menjadi tema skripsi saya waktu itu dianggap menarik untuk didiskusikan. d idiskusikan. Saat itu asisten pengajar antropologi agama menyarankan saya untuk menjadikan Profesor Parsudi Suparlan untuk menjadi pembimbing saya. Namun, nyali saya tidak sekeras bonek , sebutan arek Jawa Timur seharusnya.
Akhirnya saya dikomunikasikan dikomunikasikan untuk menemui Pak Afid. Pak Afid, oleh oleh teman seangkatanku waktu itu dikenali dengan dosen cerdas dengan bahasa langitnya rupanya sosok yang rendah hati. Ketika berdiskusi, ia selalu s elalu mendengarkan saya dengan cermat, tidak memotongnya, m emotongnya, dan membalasnya dengan bahasa bumi. Tantangan terbesar yang diberikannya saat itu adalah ketika Pak Afid ingin saya lulus cum laude (3,5 tahun sebagai salah satu syarat lulus) dengan menyelesaikan skripsi saya dalam 6 bulan jika ingin lanjut dibimbingingnya. Suatu angan-angan yang tidak mungkin terwujud dalam batin saya waktu itu, mendengar pengalaman –pengalaman yang saya terima. Tantangan terasa berat ketika ia meminta saya membongkar 6 bab dengan argumentasi informasi lapangan yang ada dalam waktu cepat. Dari sini saya belajar tentang betapa pentingnya pendekatan induktif dari dari peneliti, dan menurut saya inilah bekal antropolog untuk membuka pendengaran dan penglihatan lebih lebar dan tidak menghakimi orang lain/kelompok. Seorang antropolog mengapresiasi semua 32
kebudayaan dengan kepekaannya. Dengan sebuah ikhtiar waktu itu, saya berhasil lanjut untuk dibimbingnya, sidang skripsi dengan nilai A, dan saya bersyukur lulus tepat waktu. Setelah kelulusan, saya diterima menjadi editor buku sekolah bidang sosiologi-antropologi dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ketika saya studi S2 di Antropologi UI saya
pun banyak diskusi dengan beliau, hingga akhirnya ia menjadi penguji tesis saya. Terlalu banyak yang bisa diceritakan terbatas pada tulisan ini. Pertemuan dengannya selalu berkesan baik, termasuk kebanggan sebagai orang Indonesia yang dilihat jejaknya, termasuk tentang putrinya dan dosen-dosen yang akrab dengannya. Jejak dirinya pun tidak pernah diceritakannya padaku yang menandakan ia orang yang tidak sombong. Perjumpaan intensif dan mengenal lebih dekat Pak Afid adalah dalam 1,5 tahun terakhir. Hampir setiap hari saya ke kampus dan ia dengan senang hati memberikan waktunya untuk berdiskusi. Sosoknya yang rendah hati makin terlihat di mata saya ketika mahasiswa baru di kelas mengaku baru mengenal antropologi, Pak Afid mengatakan bahwa itu proses pembelajaran. Ia tidak pernah marah di kelas, yang ada ia selalu memotivasi mahasiswamahasiswanya untuk terus belajar. Ia berkata padaku bahwa ini yang diajarkan oleh guru antropologi khususnya ketika ia di luar negeri. Saat yang saya ingat adalah dengan kerendahan hatinya ia mau bertanya kepada saya tentang cara-cara dan bagaimana penyampaiannya di kelas Paradigma dan Antropologi Kekuasaan. Ia tidak mempersoalkan apakah saya hanya sebagai mahasiswa dan ia seorang profesor yang kaya keilmuan antropologi. Ia mendengarkan cerita, kritik, dan masukan saya, tidak ada kemarahan yang terlihat. Dengan inilah, banyak mahasiswa bercerita kepada saya tentang kekaguman mereka terhadap Pak Afid termasuk mahasiswa baru yang mengenal figur Pak Afid. Ini membuat mereka menyampaikan kepada saya, kesedihan mendalam dan patah hati atau ketiadaan beliau di dunia. Saat saya ngelmu padanya, padanya, tentang kerumitan persoalan yang akan dikaji antropolog nantinya danpeka pendekatan yang mungkin hanya berpesan untuk lebih dengan apa berbagai masalah menjadi sehinggasolusinya, mampu iamemilih pendekatan/paradigma yang ada. Soal kepekaan inilah yang tidaklah mudah tapi harus. Menurut saya kepekaan ini bukan persoalan logika, tetapi rasa . Jika kita memiliki rasa, kita
tidak terjebak pada pemikiran kita sendiri dan mengabaikan pemikiran lainnya. Beberapa hari sebelum saya melihatnya di rumah dengan sosoknya yang terbaring, saya telah dipertemukannya dalam beberapa kali mimpi. Mimpi pertama adalah sebelum kejadian Gempa Palu, saya melihat Pak Afid berpamitan untuk pergi sementara, ia berdiri lama di suatu tempat luas. Ia tersenyum dan tetap berdiri. Terkaget bangun tidur karena tidak pernah saya bermimpi dengan seorang dosen sekalipun. Setelah mimpi pertama ini saya memberanikan diri untuk WA menanyakan kabarnya, tetapi saya tidak pernah bercerita apapun tentang mimpi saya tersebut. Saya bahagia ketika ia memberikan kabar bahwa ia tidak jadi berangkat ke Palu meski ia sudah di Bandara, jawaban WA nya. Dua hari berikutnya saya bermimpi kembali ketika itu ia duduk di meja dan terdiam. Saya pun mem-WA nya, ia mengabarkan kondisinya yang kurang sehat. Saya pun tidak memberanikan diri untuk menemuinya untuk bimbingannya, saat itu saya berharap ia sehat selalu. Saya bertemu kembali dengan Pak Afid dalam mimpi, tetapi ia dalam kondisi beranjak dari duduk dan berdiri sambil tersenyum. Saya tidak berani mem-WA Pak Afid setelah mimpi itu.
33
Saya ke kampus untuk memberikan draf penelitian disertasi ke Ibu Suraya Afiff dan bergembira melihat Pak Afid di ruangannya sedang bersama seorang mahasiswa, ia terlihat sangat antusias mendengarkan mahasiswa tersebut presentasi bahkan tidak terlihat sakit. Saya tidak ingin mengganggunya, saya berkesempatan menjabat tangannya, yang ternyata itu merupakan jabat tangan terakhir. Saya berucap semoga senantiasa ia sehat, ia hanya tersenyum, dan mengatakan kamu juga ya. Saya lega melihat kondisinya terlihat membaik. Namun, saya sangat sedih dengan mimpi saya terakhir sebelum ia dinyatakan dibawa ke rumah sakit. Saya bermimpi bertemu dengannya, terlihat ia berdiri, berjalan, dan melambaikan tangannya dengan senyumannya. Saya tidak pernah berbincang dalam mimpi tersebut, tetapi jauh sebelumnya saya berkesempatan berbincang dengannya. Ada beberapa pesan yang memotivasi saya, meski tidak mudah, saya akan berupaya. Duduk berhadapan di meja kerjanya, ia mengatakan “aku saja percaya atas kemampuan kamu, lalu mengapa kamu justru tidak”. Saat ituah saya tidak bisa berkata apapun, hanya terdiam memandangi wajah kebapakannya. Saya yakin, ini pun yang dikatakan kepada mahasiswa-mahassiwa yang lain, selalu memberikan semangat. Meski berat, sosoknya yang nampak sumeleh menjadi pesan tersendiri bagi saya. Semoga saya meneladaninya bahwa ada banyak orang hebat di dunia ini, tetapi tidak ada yang lebih hebat dari Allah, Hyang Maha Kuasa sehingga kita tidak patut untuk sombong. Kini, ia dalam perjalanan menuju sang Penciptanya. Semoga perjalanannya dimudahkan. Semoga ia diberikan tempat terbaik bersama-Nya, di alam ke-langgeng- an. an. Amin. Siti Khoirnafiya adalah mahasiswa pascasarjana Departemen Antropologi FISIP UI
34
Berteriak Dalam (Berupaya) Memahami Kemanusiaan Melalui Logika dan Nurani yang Sehat: Itulah Antropolog M. Ardi Pritadi Dalam tulisan yang sederhana ini, saya sebagai seorang Infant Anthropologist “hanya” memberikan secercah pandangan tentang guru besarku yang luar biasa baik. Saya tidak akan banyak berbincang soal kumpulan opusnya apalagi biografinya, tetapi tentang opini personal tentang beliau. Maka, izinkanlah saya membuka tulisan ini terlebih dahulu tentang itu. Beliau merupakan guru besar yang terbaik di antara yang terbaik. Beliau merupakan
antropolog andal yang selalu bermental kritis; dengan selalu menumpahkan balasan konstruktif alias tidak menghancurkan sama sekali. Beliau merupakan pengajar tersukses dalam memotivasi muridnya untuk terus berkarya; bermental pantang mundur dan tidak pernah menyerah. Beliau juga turut menjadi konsultan sukses di bidang yang galak, namun sukses dilakoni dengan caranya yang elegan. Apapun yang dilakukan beliau, pasti beliau menjalaninya dengan ikhlas, tanpa ragu, tanpa lelah, dan selalu tersenyum seelegan mungkin. Perlu diketahui bahwa ragam gambaran tersebut tidak menjelaskan semua kapabilitasnya: pasti kenyataan tentang beliau lebih baik daripada sekadar tulisan. Inilah yang menyebabkan kita semua bersangka sendiri: pasti beliau memiliki api semangat yang luar biasa untuk melakukan hal tersebut! Ya, siapa yang menyangka bahwa di balik sikapnya yang selalu ramah setiap saat ada semangat tak terbendung yang selalu menyala? Beliau bernama Prof. Achmad Fedyani Saifuddin. Sebagai seorang alumni Antropologi UI untuk strata pertama pada tahun 2010 dan strata kedua pada tahun 2016, Saya menyapa beliau dengan nama “Prof. Afid”. Opini personal tent ang Prof. Afid akan dibagi menjadi empat bagian. Bagian pertama mengenai dorongan rasional beliau tentang menjadi antropolog. Bagian kedua menggagas motivasi nurani beliau tentang hati nurani. Bagian ketiga menjadi bagian yang paling lucu dan pantaslah menjadi kenangan indah bersama beliau. Akhirnya, bagian keempat menyimpulkan tulisan ini.
35
Sisi serius Prof. Afid: Berteriaklah, duhai (calon) antropolog! Jadilah bintang bersinar yang tak pernah redup!
Prof. Afid merupakan figur yang serius di dalam menyampaikan ilmu pengetahuannya. Setiap butir informasi yang beliau keluarkan itu sangat berharga. Intinya, setiap berada di dalam kelasnya, jangan sungkan untuk mencatat sebanyak mungkin! Karena, beliau siap berdiskusi dan memaparkan presentasi perkuliahannya dari informasi yang memang vital hingga yang benar-benar trivial. Uniknya, perihal trivial yang disampaikan juga seringkali memberikan informasi yang sebelumnya belum pernah diketahui sama sekali. Jadi, kuliah bersama beliau bukanlah merupakan aktivitas yang sia-sia sama sekali. Mahasiswa yang sengaja bolos dalam kelasnya beliau memang bisa dilihat menjadi subjek yang tidak serius untuk menjalani perkuliahan. Hanya mahasiswa yang tidak tahu diri yang sengaja bolos kuliahnya, pikir saya . Saya ingat ketika menjalani kelas beliau pada Maret 2012 bernama Organisasi Sosial dan Sistem Kekerabatan . Beliau bertanya, “Spesies proto manusia pertama yang diklaim oleh Darwin bernama?” . Sontak Saya menjawab, “Homo Sapiens, Prof.” . Beliau menjawab, “Homo Habilis. To long long dibaca lebih berhati-hati ya soal karyanya Darwin, ya Ardi.” . Walaupun agak menahan rasa malu, namun saya senang mendapatkan informasi yang berharga itu. Perlu diketahui bahwa yang barusan itu hanya merupakan satu dari sekian juta informasi penting hingga trivial di dalam perkuliahannya
Prof. Afid: semuanya begitu berharga. Jumpa yang kedua kalinya terjadi ketika beliau menjadi penguji skripsi saya. Sesaat setelah selesai presentasi skripsi, beliau langsung melancarkan kritik konstruktif tanpa ada unsur kesombongannya sama sekali. Saya terus mengamini kritik tersebut, namun demikian beliau bertanya dengan wajah yang jenaka: “Kamu kok setuju terus sih sama pendapat Saya? Kamu terlalu baik deh, Di.” . Sontak Saya menjawab beberapa ketidaksetujuan terhadap beliau dengan menahan rasa malu, sekali lagi. Setelah bernegosiasi tentang pembenahan skripsi ini, akhirnya saya ditanya di bagian akhir: simpulannya tidak menjawab permasalahan. Ketika saya menjawab tidak tahu alias menyerah, beliau menjawab dengan wajah yang teduh: “Janganlah menjadi orang yang tidak tahu terhadap hasil kajian sendiri. Jangan jadi bintang yang redup, di tempat yang seharusnya bersinar. Jadilah bintang yang terus bersinar dalam passion-mu. Di situlah hidupmu. Jadilah bintang yang bersinar atas karyamu, dear Ardi” . Setelah itu, Saya berhasil mengerjakan revisi skripsi hanya dalam waktu tiga hari berkat motivasi tersebut. Jumpa selanjutnya lebih sering terjadi ketika diri ini turut serta di dalam perkuliahannya beliau pada program Magister Antropologi tahun 2016. Saat itu, beliau mengampu dua kelas yang bernama Antropolo Antropologi gi Sosial Budaya dan Antropologi Kekuasaan . Pada kedua kelas tersebut, di kala senggang Prof. Afid menyampaikan materi lain untuk motivasi: “Kita -kita -kita nih, antropolog, jarang muncul, jarang dikenal di masyarakat karena satu alasan: jarang berteriak. Teriakan kita harus lebih lantang. Karya kita harus lebih banyak. Kontribusi kita, apapun itu, mau tidak mau harus menyertakan sisi antropologisnya.” . Uniknya, motivasi tersebut membuahkan hasil yang bukan main: dua puluh mahasiswa dari angkatan 2015 hingga 2016 ikut serta di dalam membuat bunga rampai tinjauan etnografi yang berjudul Mosaik Kemanusiaan . Dibekali dengan daya dorong dari Prof. Afid pula, beliau selalu menyemangati saya dalam konteks ini untuk menjadi wakil editor.
36
Katanya dengan wajah yang teduh seperti biasanya, “Kapan lagi lagi buat memulai teriakanmu, Hai Ardi? Mumpung usia kamu juga masih muda; jadi ayolah berteriak. Teriakanmu inilah erah di masa depan.” yang kelak menjadikanmu bintang terc erah Buku tersebut berhasil diseminarkan untuk merayakan milad keenam puluh Antropologi Indonesia, namun demikian hingga detik ini kami masih bekerja keras untuk membenahinya hingga tuntas. Saya menyimpulkan bahwa, dengan rajin berteriak menyuarakan serta menghasilkan opus maka kita dapat menjadi antropolog yang bersinar cerah di manapun kita berada. Hadirkanlah opus yang bermanfaat untuk masyarakat, maka kita tidak akan menjadi bintang yang redup. Vice versa , kita dapat menjadi redup jika kita kehilangan semangat untuk berteriak. Jadi, apapun profesi yang kita miliki di masa depan – walaupun jauh dari “antropologi” – sudah menjadi tugas kita untuk “mendekatkan rasa dan pemikiran Antropologis” itu ke dalam profesi tersebut. Dijamin itu akan terus membuat kita Antropologis” berkembang, karena bukankah emang dari tempat dan kenangan itu bahwa kita terus melatih diri ini untuk siap belajar, membaca, menulis, dan berpikir sekritis mungkin secara antropologis yang notabene kapan saja dapat memberikan faedah untuk masyarakat?
Sisi humanis Prof. Afid: “Berupaya memahami” lebih penting daripada “(sekadar) memahami”
Lantas, bagaimana detail ceritanya agar kita dapat sukses melalui motivasi rasional a la Prof. Afid tersebut? Inilah mengapa bahwa pikiran belaka tidak cukup untuk mengeksekusi sisi serius itu. Inilah mengapa bahwa ada abstraksi lain yang disebut sebagai hati nurani. Hati nurani ini yang sesungguhnya siap mendampingi sisi rasional ke arah yang lebih baik, percaya tidak percaya. Berpikir tentang kompleksitas kemanusiaan dewasa ini – yang sebetulnya seharusnya dari dulu sudah terjadi, diperparah dengan konteks kini yang diintervensi oleh ragam problema dan faktor lainnya – harus dianalisis dengan hati-hati. Analisis yang cerdas lagi cermat itu kemudian harus disimpulkan dengan nurani. Maksudnya, antropolog boleh menjelaskan fenomena yang terjadi di masyarakat secara kritis, namun ia perlu menyimpulkannya dengan nurani yang menghasilkan suatu win-win solution . Jangan mau diri kita saja yang menang, tapi pihak lainnya kalah; vice versa . Diskusi ini pernah terjadi berkali-kali, tetapi yang paling saya camkan adalah dalam tiga kali kejadian sekaligus di konteks studi magister. Kejadian pertama adalah ketika saya bingung total mengenai problema LGBTQ. Kejadian kedua adalah ketika Saya juga kembali kewalahan dalam menyoal kajian tesis. Lalu, kejadian ketiga eksis ketika Prof. Afid berbagi pengalamannya dengan saya ketika menghadapi salah seorang anaknya. Saya sempat mengalami kesulitan berpikir ketika membenturkan diri terhadap nilai yang dipegang oleh kaum LGBTQ. Betul bahwa memang setiap orang pasti memiliki abstraksi yang ia apresiasikan setinggi-tingginya. Akan tetapi, sebagai seorang yang heteronormatif, diri ini selalu menyangsikan hal tersebut: mengapa LGBTQ mengapresiasi anti-lahiriah? Apa enaknya menjadi pribadi yang demikian, pikir Saya ? Prof. Afid lantas menjawab dengan
muka teduh, “Satu pesan saja untuk Ardi: tontonlah film yang berjudul Brokeback Mountain. Simpulkanlah dengan memahami memahami nilai yang dian ut ut oleh pasangan gay tersebut.” .
37
Akhirnya, Saya menonton film tersebut dan memahami nilai yang dipegang oleh LGBTQ. Awalnya, Saya memahaminya dengan toleransi alias sekadar tahu saja. Kemudian, saya kembali merevisi pemahaman tersebut dengan mengulang kembali pemahaman soal konteks yang berlaku di tiap reka adegan film itu. Ada kompleksitas konteks yang membendung mereka, sehingga pada akhirnya dua pria macho itu menjadi pasangan gay. Saya lalu menyampaikan keluh kesah soal Tesis di lain kesempatan. Perlu diketahui bahwa Tesis Saya mengaji soal komunitas virtual, yaitu kumpulan orang-orang yang mengikat kesatuannya di dunia maya. Banyak studi yang memberikan negasi atas masalah itu: bagaimana caranya tahu kalau yang dihadapi di balik layar komputer bertenaga internet itu merupakan manusia ? Ketika Prof. Afid mengetahui tentang bagaimana debat soal “kenyataan” yang ada di dunia maya, beliau membantu mengonstruksikan pemikiran saya dengan memberi argumentasi, “Itu artinya, Ardi harus tahu perkembangan debat teor itis itis itu dari awal hingga ujung. Kamu harus cari tahu sendiri, pasti ada naik turunnya antara yang
tadinya disepakati, kemudian dibantah, lalu diamini kembali. Karena, dari dulu hingga saat ini memang selalu begitu: makanya ada strukturalis yang lalu dilanjutkan menjadi post- strukturalis. Lantas, yang harus pula diperhatikan bahwa: Ardi harus terus berupaya memahami lebih lanjut tentang mengapa lawan bicara kamu dapat disebut sebagai manusia? Sudikah mereka dianggap sebagai non-manusia? Sudikah kamu dianggap mereka sebagai non-manusia? Tugas kamu adalah: jalankan rasionalmu dengan seksama tentang nalar kemanusiaan di dunia maya, serta simpulkanlah dengan nuranimu. Sehingga, kamu mendapatkan pencerahan di ujungnya bahwa manusia-manusia di dunia maya itu eksis karena berbagai alasan yang logis.” . Syukurlah, motivasi yang demikian terus menyebabkan saya pantang menyerah dalam studi tesis. Saya mendapatkan sisi rasional bahwa manusia-manusia di dunia maya tetap merupakan manusia karena memiliki kompleksitasnya tersendiri yang hanya dapat dimiliki oleh manusia itu sendiri. Ragam kompleksitas tersebut dinamakan dengan interaktivitas relatif yang memiliki tiga esensi dasar, yaitu sistem norma (dunia mayapun tetap memiliki tata tertib, sanksi, dan imbalan), sistem intensi (manusia virtual ini memiliki niat jelas di dunia maya), hingga sistem fungsi laten (manusia virtual menggagas manfaat tersembunyi yang ekskusif hanya untuk diri mereka sendiri). Dasar tersebut menghadirkan tiga opus: artikel dan presentasi di konferensi internasional IPCSPI 2017, artikel jurnal di IPTEK-KOM edisi Mei 2018, hingga Tesis itu sendiri yang berjudul Diskusi Pengalaman Berkendara di Gran Turismo Indonesia Discuss Club: Sebuah Interaktivitas Relatif dalam Virtual Gemeinschaft . Uniknya, beliau hadir di IPCSPI 2017 sebagai salah seorang keynote speaker di acara itu! Kami berdua bertemu sebelum acara mulai, lalu saya mengucapkan terima kasih kepadanya. Apa kata beliau? “Sama --sama, sama, Di. Tapi, ini semua dapat terlaksana dengan sukses karena upaya kamu dalam memahami. Saya hanya memberi tahu saja, tapi kamu kok yang usaha. Karena, kamu berhasil dengan tidak sekadar memahami saja. Itulah maksud Saya kenapa kamu
harus bersinar terang benderang melalui upaya untuk terus memahami kemanusiaan dewasa ini. Lanjutkan terus ya, Di. Jangan menyerah.” Akhirnya, kejadian terakhir terakhir di bagian ini menjadi kejadian yang tidak pernah saya sangka sama sekali. Saya kaget karena seorang Profesor pun tetap memiliki pemikiran yang terbuka untuk berbagi pengalamannya secara empat mata! Ini terjadi ketika kelas sedang rehat sejenak sepuluh menit. Semua mahasiswa keluar kelas, maka tinggal kami berdua saja yang
38
ada di kelas. Prof. Afid lalu berguman, “Ardi, kamu gak ikutan (keluar) bareng teman - - teman? Kalau enggak, Saya mau ber bagi bagi cerita nih sama kamu.” . Sontak saya mengamini permintaan beliau tanpa beban. “Mengingat kajian tesismu mempersoalkan komunitas gamer di dunia virtual, kok saya jadi teringat sama anak saya ya, Di. Anak Saya itu mirip kamu lho, Di. Bukan mukanya yang mirip (tertawa), tetapi sama-sama suka main game. Setiap saya mau bercerita dan memeluknya, ia pasti sibuk mainkan laptopnya, pakai headset, dan bermain game. Saya acapkali mengurungkan niat untuk itu, karena takut mengganggu keseruannya. Suatu kali, saya mendapatkan ide untuk ikut bermain bersamanya. Lucunya, dari aktivitas itulah saya dapat bercengkrama dengannya. Memang sih pakai fitur live chat. Tapi kan yang penting
saya bisa ajak ngobrol (tertawa).” . Beliau lalu menutup, “Itulah yang saya maksud , Di. Yang penting, upaya kita untuk memahami, daripada memahami saja. Kalau memahami saja, Saya sudah menyerah dan memberi label bahwa anak itu merupakan orang yang hanya berada di dunia game saja. Dengan saya berupaya memahami, maka saya latih nurani juga empati dengannya, melalui aktivitas yang disukainya. Saya jadi tahu nilainya, saya jadi tahu kesukaannya, saya jadi tahu apa alasannya (mengapa ia berbuat yang demikian), dan lainnya. Ingat ya, Di: mengenai Tesismu itu, jangan memahami sekadarnya saja. Siapkan dirimu untuk memahami hal lainnya yang bahkan lebih berharga, yang suatu saat bisa mengejutkanmu.” . Jujur, Saya tidak habis berpikir soal ini, orang yang sesenior Prof. Afid saja mau belajar seperti itu, mengapa tenaga muda seperti Saya seringkali enggan untuk itu? Itulah inspirasi
kedua dari beliau. Hati memang dapat melihat apa yang tidak dapat dilihat oleh akal. Elaborasi yang romantis antara akal dengan hati nurani membuat Antropolog menjadi bersinar terang benderang di manapun dirinya berada; tidak lupa dengan terus berkarya melalui abstraksi yang demikian. Sisi Humoris Prof. Afid: Kamu kok datang pagi sekali?
Siapa yang tahu bahwa seseorang yang serius nyatanya mampu memperlihatkan sisi jenakanya? Itu juga termasuk pad pada a orang yang bergelar profesor, khususnya Prof. Afid itu sendiri. Sub judul pada bagian ini selalu menjadi pembuka atas “sisi manisnya” Prof . Afid terhadap diri ini. Karena rangkaian kejadian yang unik bersama beliau, maka diri ini selalu yakin bahwa “datang kepagian” di kampus merupakan perihal yang tidak sia-sia sama sekali. Bahkan, “datang kepagian” justru malah mendiktekan kejadian lucu bersama beliau! Suatu hari di April 2012, saya datang kuliah pagi dengan waktu yang lebih awal satu jam
daripada waktu mulainya. Kelas Organisasi Sosial dan Sistem Kekerabatan ini ini dimulai pada pukul 08.00 WIB. Saya yang pertama kali datang di kelas ini tepat di pukul 07.00 WIB. Tidak lama kemudian, beliau datang pada pukul 07.15 WIB. Sontak saya kaget dan menyapa serta menjabat tangan beliau. Beliau bertanya, “Kamu kok datang pagi sekali?” . Padahal, dalam hatipun saya juga berpikir yang demikian mengenai ketepatan waktu beliau. Saat itu juga, setiap minggu ketika memulai kelasnya, kami berdua berkenalan dengan baik dan beliau lama-lama menghapal nama ini. Itulah juga yang menyebabkan kenapa saya seringkali ditanya oleh beliau ketika kelas bisu mendadak atas pertanyaan dan diskusi kritisnya .
39
Pada ujian skripsi yang dimulai pada pukul 10.00 WIB di ruang rapat lantai satu Gedung B FISIP UI, ketika saya mempersiapkan peralatan presentasi skripsi sejam sebelum acara dimulai, Prof. Afid datang pukul 09.15 WIB. Seperti biasa, beliau menggagas, “Kamu kok datang pagi sekali? Biasanya, mahasiswa lainnya telat datang lho buat ujian skripsinya. Ngomong-ngomong, sebagai penyemangat sebelumnya saya mau menyampaikan bahwa skripsi kamu bagus, nih! Ardi presentasinya yang bagus, ya!” .
Penguji sudah memuji duluan, pikir saya? Tentu saja, berkat kejadian sederhana tersebut saya berhasil mempresentasikan skripsi secara total. Ketika Saya menjajaki studi di Magister, untuk kelas paginya Prof. Afid pasti saya selalu hadir kepagian . Seperti biasa, saya
langsung datang di kelas dan menunggu Prof. Afid. Juga, seperti seperti biasa pula ketika hal yang begitu keseharian itu muncul maka Prof. Afid bertanya tanpa bosan kepada Saya, “Kamu kok datang pagi sekali? Kalau datang pagi begini, arti nya nya kita bisa diskusi duluan empat mata ya. Di. Boleh juga, dong (tertawa).” . Ada perbedaan utama ketika dulu saat studi sarjana dengan studi magister. Dulu, beliau tidak meminta saya untuk saling berbagi cerita. Lalu, di studi yang berikutnya ini beliau pasti berdiskusi empat mata dengan saya. Diskusi itu mengarah ke mana-mana: mulai dari diskusi antropologi hingga diskusi keseharian yang begitu trivial. Sekali lagi, saling cerita di “waktu yang kepagian” ini begitu berharga untuk diri ini: diskusi yang sangat menyenangkan, tidak ada ketegangan sama sekali, bahkan sesungguhnya tidak ada perbedaan rasa yang menimpang pula. Berbagi cerita dengan Prof. Afid di waktu lowong, khususnya di “waktu yang kepagian”, sama saja hangatnya dengan berbagi cerita dengan sahabat karib yang sudah lama tidak berjumpa dengan diri ini. Tidak jarang bahwa aktivitas tersebut seringkali digunakan oleh Prof. Afid untuk menggoda Saya dengan bertanya-tanya seperti ini, “Sudah nonton Brokeback Mountain-nya, Di? Suka sama adegan joking-nya, enggak? (tertawa). Enggak apa-apa, kamu jujur aja sama saya, Di (tertawa). Kapan-kapan saya ingin lihat kamu balapan saat main game [red: merujuk kepada unit analisis tesis yang subjeknya giat membahas tentang game kompetisi balap simulator otomotif roda empat], sama seperti saya melihat anak saya ketagihan main game (tertawa). Oh iya, sama satu lagi: presentasi minggu lalu kan kelompok lain pakai laptop kamu, tuh ya. Kamu belum ganti wallpaper-nya, kan? Jangan diganti. Ceweknya cakep kok, Di [red: merujuk kepada wallpaper laptop saya Manga].” . yang bergambar ilustrasi salah seorang gadis Anime- Manga].”
Tentu saja, semua senda gurau itu hanya merupakan sebagian kecil dari keseluruhan cerita diri ini bersama Prof. Afid. Saya yakin bahwa Anda sekalian yang pernah menjadi mahasiswanya pasti pernah merasakan digoda bercanda olehnya. olehnya. Tentu saja, ini merupakan tanda bagi kita semua bahwa beliau juga merupakan manusia: beliau nyatanya butuh bersenda gurau bersama sekitarnya, khususnya kepada para muridnya. Bukankah hal tersebut juga berlaku dengan sebaliknya? Setelah mengetahui kabar duka mengenai wafatnya beliau, diri ini dan pastinya kita semua betul-betul rindu terhadap sisi humorisnya. Kita tidak akan pernah bisa bersenda gurau bersamanya lagi di dunia yang fana ini, namun demikian mudah-mudahan kita semua yang ditinggalnya akan berjumpa bersama beliau di dunia akhirat kelak sambil digoda dan bersenda gurau. Amin.
40
Penutup: Mari kita teladani beliau
Jika ada pertemuan, maka pasti ada perpisahan. Seberat apapun hati ini untuk menolak majas tersebut, namun demikian itulah yang dinamakan dengan Takdir Sang Ilahi. Kita sebagai manusia-Nya tidak dapat melepaskan diri dari belenggu ini. Terlebih perpisahan antara diri ini, diri kita semua, dengan yang terhormat sekaligus yang tercinta Prof. Afid di dunia ini. Kita memang tidak dapat lagi mendengar motivasinya untuk menjadi antropolog yang andal. Sudah berapa banyak anak didiknya yang mendapatkan motivasinya selain diri ini? Tak dapat dihitung . Kita memang tidak dapat lagi melihat semangatnya yang terus berkarya dan mau belajar untuk “berupaya memahami” kemanusiaan. Sudah berapa banyak opusnya yang terbit menjadi aneka ragam tulisan? Ini juga tidak dapat dihitung. Akhirnya, kapan sajakah dan di mana sajakah beliau bercengkrama secara karib dengan sekitarnya, khususnya kita semua sebagai anak didiknya? Segala keseruan, keasyikan, canda dan tawa dari memori itu sungguh tidak dapat dihitung . Simpulannya, cara terbaik untuk melampiaskan rasa duka kita bersama adalah dengan mengindentifikasi aneka ragam kebajikan yang telah beliau lantunkan secara elegan. Kita harus siap menjadi antropolog yang handal dengan giat meneriakkan karya melalui logika dan 41akai secara total. Kita harus siap menjadi antropolog yang siap pula un untuk tuk selalu mau belajar; jangan ada kata “tidak” untuk “berupaya memahami” kemanusiaan melalui persiapan sebelumnya, kita harus selalu menjadi pribadi yang terbuka. Akhirnya, kita harus siap menjadi antropolog yang karib dengan siapapun. Karena, kita tidak dapat melepaskan diri dengan bekerja sama bersama orang lain yang berlatar belakang non-antropolog. Jangan ragu untuk mengeluarkan sisi jenaka kita sepantas mungkin terhadap orang sekitar, untuk membuat kehidupan ini menjadi lebih ceria dan d an berbahagia. Sekali lagi, berbahagia tanpa 41akai a bersama sekitar artinya sama saja bohong. “Memahami sekadarnya” tanpa berupaya memahami memahami juga tidak baik. Juga, jangan lupa untuk selalu menanamkan spirit di dalam diri untuk selalu meneriakkan win-win solution untuk kemanusiaan. Inilah suri tauladan ala Prof. Afid. Saya – dengan berat hati –
berbelasungkawa secara mendalam untuk beliau. Selamat jalan, Duhai Prof. Afid. Semoga kita semua dapat bertemu dengannya suatu saat di 41akai-Nya kelak. Amin. * Muhammad Ardi Pritadi Soemardjo, adalah anak anak bungsu dari kedua pasangan yang
bernama Bambang Priyadi Soemardjo, S.E.Ak., M.B.A. dan dr. Rosita Muthalib. Tidak lupa bahwa dirinya sempat berpengalaman berpartisipasi sebagai penulis sekaligus presenter di International Post Graduate Conference on Social and Political Issues (IPCSPI 2017) pada Kamis, 27 Oktober 2017 di Hotel Margo, Depok dengan judul kajian My Chat about Cars in Gran Turismo Indonesia Discuss Club: a Virtual Gemeinschaft in Netnography untuk menghasilkan pengalaman baru sekaligus meluluskan salah satu syaratnya agar berhasil meraih gelar keduanya itu. Karena konferensi tersebut tidak menghasilkan prosiding, 41akai a meminta bantuan ke tempat lain yang bernama Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dari Kementerian Komunikasi dan Teknologi, yaitu IPTEK-KOM. Tulisannya tersebut berhasil diterbitkan di tempat itu pada Mei 2018 dengan judul Chat about Cars in Gran Turismo Indonesia Discussion Club: a Virtual Gemeinschaft in Netnography.
41
In Memoriam Achmad Achmad Fedyani Saifuddin Nurfitri Pembimbing tesis saya di S2 STIKES Hangtuah Pekan baru (semester 4) adalah Prof. Achmad Fedyani Saifuddin (pembi (pembimbing mbing 1) dan Prof. Buchori Lapau (pembimbing 2). Pada bulan Januari 2014, nama tersebut tertera di d i papan pengumuman. Saat belum mengenalnya, saya memanggil beliau Prof. Fedyani dan saya pernah bertanya kenapa dikasih nama Fedyani? Prof. Afid menjawab dengan humor karena mungkin orang tua saya mengharapkan anak perempuan. Kami berkomunikasi dengan email atau sms hingga tiba saat ujian proposal pada Februari 2014. Oleh karena di Riau ada bencana alam kabut asap sehingga beliau tidak hadir dan tesis saya berubah menjadi kuantitatif. Bulan Maret 2014, Prof. Afid datang mengajar adik tingkat tentang metode penelitian
dan saya ikut pelajaran tersebut. Saat itu saya mau pamit untuk penelitian kuantitatif dan Prof. Afid mengatakan bahwa dalam pelajaran untuk menilai suatu ilmu harus dilihat secara keseluruhan ibarat meraba gajah kalau di pegang kaki teraba panjang keras, kalau raba belalai panjang lembut, dan meraba ekor seperti pecut kuda, tapi lihatlah dari keseluruhan gajah. Di akhir perkuliahan saya menyapa Prof. Afid sambil tersenyum tapi mata kami sama sama-sama merah karna sedih. Bulan April Prof. Afid datang lagi untuk mengajar adik tingkat. Lagi-lagi saya minta izin untuk ikut kelas beliau dan beliau dengan senang hati mengizinkan. Pada jam istirahat, saya meminta izin minta tanda tangan beliau untuk penelitian kuntitatif. Beliau tampak kurang senang, tapi beliau menandatanganinya dan meminta saya untuk datang hari Selasa jam 09.00 WIB. Prof. Afid mengajar sabtu dan minggu di kelas pascasarjana. Suatu hari saya datang terlambat dan menunggu beliau pulang dari lapangan, tapi beliau menyuruh saya untuk konsultasi dengan Prof. Lapau, setelah selesai konsultasi dengan Prof. Lapau, Prof. Afid berangkat ke Jakarta dan di bandara Prof. Afid sms menanyakan bagaimana penelitiannya saya. Saya menjawab harus memilih salah satu dan saya melanjutkan penelitian kuantitatif dengan variabel, tapi dengan terlambat7 akibat kegiatan kantor. bimbingan beliau seraya meminta maaf karena datang Beliau memaafkan walaupun penelitian kuantitatif saya selalu konsultasi dengan Prof. Afid tentang perkembangan tesis dimana variabel ketujuh adalah variabel agama. Prof. Afid 42
mengatakab bahwa variable agama adalah persoalan kualitatif dengan metode membagikan kuasioner dan diperdalam dengan wawancara mendalam. Saya melakukan wawancara mendalam pada informan, mengapa ada informan yang menjawab “ya” dan “tidak”. Berbanding terbalik dengan pendekatan kuantitatif jika agama di tempat penelitian saya 99% adalah Islam maka jawabannya akan sama dan tidak perlu dimasukkan SPSS dengan kata lain variabel agama tidak ti dak perlu dimasukkan. Berhubung dalam penelitian kuantitatif saya tidak memasukkan variabel agama dan mengirim email pada beliau bahwa tesis saya tidak memasukkan variabel agama. Setelah berkali-kali sms tapi belum dibalas hingga saya berinisiatif untuk menelepon dan beliau menjawab telepon saya dan mengatakan alasan tidak dimasukkannya variabel agama. Sambil menangis memohon pada beliau jangan marah dan akhirnya beliau mengalah kepada yang lebih tua (Prof. Lapau). ujian sudah ditentukan pada bulan Juli dagdigduk (mahasiswa Prof.Jadwal Afid dan Prof. Lapau berjumlah 6 orang) kamidengan maju satu-satu dan saya dapatbimbingan undian 5 dan Alhamdulillah semua lulus dengan nilai 80,00 dan pada say a, Prof. Afid bilang, “apakah kamu mau kuliah dengan Saya?” Saya langsung menjawab dengan sigap, “mau Prof.” Setelah tamat saya selalu komunikasi dengan beliau baik mengenai kuliah (belum dapat beasiswa) maupun pekerjaan, beliau mau mengajari saya menulis penelitian, tetapi saya masih belum menulis sampai beliau menawarkan kerjasama, beliau yang menulis dan saya di lapangan dan hasilnya ada nama beliau dan saya. Saat itu kami meneliti dan menulis tentang kematian ibu di Kabupaten Kampar. Sayang, tulisan tersebut masih tersimpan oleh beliau.
Komunikasi terakhir saya dengan beliau adalah pada 26 september 2018, beliau mengatakan bahwa belakangan ini kurang sehat. Pada 26 Oktober 2018 beliau di panggil Illahi, “selamat jalan guruku yang paling baik semoga ditem patkan di sisi Allah di tempat yang paling baik” saya akan slalu rindu akan tujuk ajar profesor. Pada suatu kali beliau mengatakan agar sata mendoakan sehat selalu dan banyak mahasiswanya. Di usia 65 tahun beliau, saya mengucapkan selamat hari lahir semoga sehat dan menjadi lansia tangguh. Profesor Afid sudah saya anggap guru, sahabat, dan orang tua, saya hanya menghadiahkan Al-fatihah dan bacaan Yasin untuk profesor. Nurfitri adalah alumni STIKES Hangtuah Pekanbaru
43
Samudera itu Ada dalam Diri Profesor Afid Tantry Widiyanarti Ketika diminta oleh teman baikku, Yanuardi Syukur untuk menulis tentang almarhum Prof. Achmad Fadeyani Saifuddin Ph.D, (atau biasa dipanggil dengan Pak Afid) saya langsung mengiyakan dan menyetujuinya. Bagaimana mungkin saya s aya dapat menolaknya, Pak
Afid bukan saja guru dan pembimbingku ketika S2 dan S3 (tidak sepenuhnya beliau membimbingku untuk studi S3, dan terpaksa berhenti karena kepergiannya menghadap sang Pencipta), beliau juga adalah salah satu orang yang sangat berjasa dalam hidupku terkait dengan sekolah dan karierku. Jujur saja saya sedikit bingung memulainya dari mana karena ada begitu banyak yang ingin kutulis tentang beliau: tentang ilmunya yang luar biasa, kebaikan-kebaikannya pada kami mahasiswa-mahasiswanya, kerendahhatiannya, sifatnya yang ingin selalu menolong, dan seribu kebaikan beliau lainnya yang melekat pada dirinya. Cukup lama saya tidak mampu menulis sesuatu tentang beliau; bukan karena tidak mau, sama sekali bukan. Tetapi lebih karena bagiku, tulisanku ini begitu kecil dan tidak begitu berarti dibandingkan dengan sosok beliau yang luar biasa dengan segala kelebihannya tersebut. Namun demikian, saya juga ingin menghormati beliau, ingin menyumbang sebuah tulisan untuk mengenangnya. Saya berpikir mungkin sebaiknya saya menulis tentang sesuatu yang ringan saja tentang beliau, seperti pengalamanku bersama guruku ini, daripada saya menulis tentang pemikiran-pemikiran beliau yang agak sedikit berat bagiku untuk mengupasnya. Bagiku pengalaman bersama dengannya sangat sulit untuk dilupakan (karena semua pengalamanku dengan beliau adalah pengalaman yang tidak bisa dilupakan begitu saja), semua pengalaman itu sarat makna dan begitu berpengaruh dalam hidupku, untuk karier dan masa depanku pula. Lama saya tercenung, memikirkan sebaiknya saya menulis tentang tema atau judul apa yang paling pas untuk tulisanku ini. Judul yang harus benar-benar secara pas dapat menggambarkan dan mewakili karakter beliau melalui pengalamanku bersama dengannya. saya tidak mau tulisan sederhanaku ini saya tulis secara asal-asalan, tanpa ada rasa dan makna di dalamnya. Sampai detik-detik terakhir hingga tenggat waktu yang hampir habis dan begitu mepet agar segera mengirim tulisan ini pada sahabatku tersebut, saya belum
44
juga menemukan judul yang pas untuk kupersembahkan pada sang guruku yang begitu kuhormati ini. Tiba-tiba sehari sebelum tenggat waktu habis, sete lah selesai salat Ashar….entah mengapa saya terpikirkan pada sebuah buku yang begitu kusukai dan sering sekali kubaca. Isi dan kandungan dari buku itu membuatku merasa dekat dengan Sang Pencipta Semesta Allah SWT. Buku yang kumaksud kumaksud itu berjudul “SAMUDERA Al- Fatihah” Fatihah” karya karya Bey Arifin. Tanpa bermaksud menyamakan Prof. Afid dengan kalimat suci dari Allah SWT, tetapi -anak-”nya, saya merasa bahwa Prof. Afid seperti sebuah Samudera bagi kami “anak -anakterutama bagi diriku secara pribadi. Sosok yang memiliki keluasan ilmu, kebaikan, kelembutan, perhatian, laksana Samudera yang luas. Hingga saat terakhir bertemu dengan beliau kami merasakan hal itu dengan sangat nyata. Tulisan ini ingin mengungkapkan berdasarkan pengalamanku, perasaan yang kualami bersama beliau hingga saya menemukan keluasan “samudera” dalam dirinya. Tulisan ini saya mulai dengan perkenalanku pertama kali dengan beliau. saya mengenal beliau ketika saya diterima S2 Antropologi di Universitas Indonesia tahun 1998. Sudah cukup lama sekali memang, yaitu 20 tahunan yang lalu. Seperti kebanyakan mahasiswa-
mahasiswa baru, kala itu kami ingin sekali mencari tahu tentang dosen-dosen yang mengajar kami beserta dengan karakter masing-masing dari dosen yang bersangkutan. Berbagai macam cara kami lakukan, termasuk di antaranya bertanya-tanya kepada kakak angkatan dan mencoba windows shopping pada pada beberapa mata kuliah yang diampu oleh dosen-dosen tersebut. Window shopping adalah istilah yang diberikan oleh Prof. Afid terhadap dibolehkannya mahasiswa untuk ikut masuk kelas dan mengikuti perkuliahan selama kali pertemuan di awal akan perkuliahan pada mata kelas-kelas yang diminati sebelum4mahasiswa memutuskan mengambil kuliah tersebut untukmahasiswa, diambilnya kelak, dan dimasukkan dalam KRS-nya. Melalui window shopping , kami mendapat gambaran tentang mata kuliah tersebut dan sedikit banyak dapat mengetahui pula karakter dari para dosen pengampu mata kuliah tersebut. Kala itu ada begitu banyak profesor yang mengajar di Jurusan Antropologi UI. Bukan jaraningrat, sebagai “Bapak Antropologi Antropologi Indonesia” yang mengajar di hanya Prof. Koent jaraningrat, sana, tetapi ada pula Prof. Melalatoa, Prof. James Danandjaya, Prof. Parsudi Suparlan, Prof TO Ihromi juga aktif mengajar (saat sekarang mereka semua sudah dipanggil oleh Allah SWT ke haribaan-Nya). Prof. Amri Marzali dan Prof. Meutia Hatta juga aktif mengajar di Jurusan Antropologi UI kala itu. Doktor-doktor muda lulusan universitas bergengsi di luar negeri juga banyak sekali, seperti Dr. Iwan Tjitradjaya, Dr. Emmed. dan tentu saja Prof. Afid A fid salah satunya (saat ini mereka juga sudah “pulang” dan telah dipanggil oleh Ya ng Maha Kuasa). Kala itu kami begitu senang dan bersemangat mengikuti kuliah di Antropologi UI, apalagi dengan segudang profesor dan doktor yang begitu mumpuni di bidangnya. Karena itu sebelum mengisi KRS kami pun memasuki hampir semua kelas yang ditawarkan. Selain ingin mengetahui tentang gambaran mata kuliah-mata kuliah, kami juga ingin mengetahui karakter dosen-dosen yang mengampu mata kuliah-mata kuliah tersebut. Mulailah
perkenalan kami dengan para pengajar ketika kami memulai memasuki kelas kelas mereka, sebelum menjatuhkan pilihan pada mata kuliah tertentu untuk diisi dalam KRS. Saat itu nama Pak Afid begitu harum dan terkenal di kalangan mahasiwa Antropologi UI, apalagi kala itu beliau juga baru pulang dari studinya di Amerika dan dikenal sebagai doktor 45
lulusan universitas bergengsi di Amerika. Ketika mengikuti kelas Prof. Afid, saya begitu kagum dan takjub kepada beliau. Saya melihatnya sebagai sosok dosen yang pintar, cerdas, menguasai materi, menyiapkan bahan kuliah dengan baik, dan begitu paham dengan berbagai macam teori-teori sosial dan sangat dikuasainya. Ilmunya demikian kaya. Teoriteori yang begitu rumit, di tangannya begitu mudah dipahami. Cara menjelaskannya demikian mengena. Terkadangmenjadi beliau juga memutar film untuk mendukung teori yang ingin didiskusikan di kelas. Yang begitu saya kagumi dari beliau adalah, film-film yang ditayangkan adalah film-film populer buatan Holywood, tetapi beliau mampu melihat sisi lain dari film tersebut untuk menjelaskan secara pragmatis konsep dan teori yang ingin dijelaskannya di kelas yang diampunya itu. Selain itu hal-hal sederhana yang ada di sekeliling kami juga sering dijadikan contoh nyata yang dapat dijadikannya sebagai objek dalam menjelaskan berbagai macam teori.
Bila mengulas tentang teori-teori sosial atau teori-teori antropologi yang disebutnya sebagai High Theory Antropology , ulasan-ulasannya terdengar begitu renyah dan mudah dipahami. Bila beliau menjelaskan tentang berbagai macam teori membuat kami semua terbelalak menahan kagum. Bagi kami ada kalanya teori-teori itu begitu sulitnya dipahami. Teori-teori itu kadangkala berada dalam tataran “langitan” dan sulit menurunkannnya ke bumi. Akan tetapi di tangan Prof. Afid semua itu tidak demikian. Kemahirannya dan kepintarannya terlihat jelas secara nyata di kelas dan juga ketika diskusi berlangsung. Antara teori dengan teori, konsep dengan konsep keterkaitan antara satu dengan yang lain, dapat secara langsung dijelaskan diiringi dengan contoh yang nyata, sehingga membuat kami mudah memahaminya. Walaupun kadangkala teori-teori tersebut sifatnya sangat filosofis, tetapi Prof. Afid mampu untuk membuatnya menjadi praxis sehingga mudah dipahami. Diselingi dengan diskusi dan tanya jawab, kelas kemudian menjadi hidup dan tidak membosankan. Selalu kelas-kelas Prof. Afid merupakan kelas-kelas favorit bagi kami mahasiswa-mahasiswanya yang selalu dikangenin dan ditunggu-tunggu oleh setiap mahasiswanya. Hal ini bisa dicapai karena ilmu yang dimiliki Prof. Afid laksana sebuah samudera yang begitu luas dan dengan mudahnya samudera tersebut diarunginya sehingga mudah pula mencapai pantai. Saat itu ilmu Prof. Afid saya ibaratkan sebagai samudera sedangkan pantai adalah tujuan yang bisa diambil dari ilmu tersebut. Kami seakan-akan dibawanya sedang mengarungi sebuah samudera yang begitu luas dan dengan caranya kami diajarkannya agar berusaha dapat mencapai garis pantai yang begitu jauh dan sangat sulit kami dapatkan. Prof. Afid mengajarkan pada kami bahwa untuk mencapai pantai tidaklah sulit bahkan bisa sangat mudah untuk mencapainya. Hal ini bisa terjadi jika sebelumnya kami menguasai samuderanya. Butuh ketekunan dan kerja keras untuk menggapai hal itu. Prof. Afid sudah mampu melakukannya dan menunjukkannya pada kami semua. Ilmu-ilmu yang terkait
dengan hal itu sudah diberikannya kepada kami mahasiswa-mahasiswanya untuk dimengerti, dipahami, dan dilaksanakan. Tidak berhenti sampai di situ saja, ternyata berada di dekatnya, kami juga merasakan aura positif, sehingga kami nyaman mengikuti kelasnya. Kami menjadi lebih mudah untuk memahami teori-teori yang dijelaskan dan fenomena sosial yang dicontohkannya untuk mendukung teori tersebut sehingga membuat kami betul-betul mengerti tentang teori yang diajarkannya itu.
46
Yang menariknya lagi kami bukan hanya paham dan mengerti tentang teori, konsep dari bidang ilmu yang diajarkan Prof. Afid, tetapi juga menemukan aura positif yang terpancar dari dirinya dan dapat kami rasakan pula. Aura positif itu salah satunya adalah aura kebapakan, aura seorang guru yang ngemong pada pada muridnya yang sangat begitu menonjol dalam pribadi beliau. Beliau berusaha memahami kami anak-anaknya yang selalu saja tidak mengerti tentang teori-teori yang diajarkannya, beliau juga tersenyum jika kami “ngawur” dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan pertanyaan-pertanyaannya. nya. Prof. Afid dengan sabar mendengarkan “kengawuran” dan ketidakbecusan kami dalam memahami teori begitu juga dengan keterbatasan-keterbatasan kami yang lain. Tidak
sekalipun beliau karena memarahi kami karena hal tentang itu, tidakhal-hal sekalipun memandang enteng terhadap kami ketidaksiapan kami yangia ditanyakannya, tidak sedikitpun ia jengkel pada kami karena kadangkala secara jujur kami belum membaca bahan bacaan yang diminta olehnya. Karena itu kami merasa nyaman dan senang berada di kelasnya. Kedamaian dan kenyamanan selalu kami rasakan dalam kelas-kelas beliau. Lagilagi kesabaran, kebaikan, kelembutan dan bahkan keluasan hatinya laksana “samudera” ditunjukkan oleh beliau pada kami mahasiswa-mahasiswanya. Sehingga tidak heran kelaskelasnya merupakan kelas favorit buat kami semua termasuk saya di dalamnya. Seperti bisa ditebak akibatnya begitu banyak mahasiswa yang mengambil mata kuliah yang beliau ampu, mahasiswa menggandrungi cara mengajar beliau, sehingga kelasnya selalu menjadi penuh. Mahasiswa selalu saja antusias terhadap mata kuliah yang diasuh oleh beliau. Entah mengapa selalu dan selalu saja kehadiran dan pertemuan di kelas beliau kami tunggutunggu. Kami kangen dengan ceramahnya, kami kangen dengan dengan kuliah-kuliahnya dan juga kangen untuk dapat berdiskusi dengannya. Di samping memberi ceramah, beliau juga membuka ruang diskusi pada kelas-kelasnya. Biasanya sebelum mengikuti dan memasuki kelasnya, saya sudah lebih dahulu membaca banyak literature. saya tidak mau terlihat “bodoh” saat berdiskusi dengan beliau di kelas. Tetapi selalu dan selalu saja saya “kedodoran “kedodoran ” jika berdiskusi dengan beliau. Teori -teori dan tema yang didiskusikan di kelas, selalu ditarik oleh beliau pada tataran abstrak dan sangat filosofis. Tentu saja kami keteteran karenanya. Bila kami ditanya olehnya dengan persoalan dari tema yang diangkat bukan tidak jarang kami kewalahan dalam menjawab dan memberikan jawaban sekenanya saja. Herannya lagi, beliau dengan sabar mendengarkan jawaban kami para mahasiswanya yang terkadang sembarangan dan tidak paham apa membuat yang kamijawaban ucapkan yang itu. Ketidakpahaman kami, ketidakmengertian kami, dengan terkadang dihasilkan menjadi ngawur , lucu, dan seiisi kelas bisa tertawa karenanya. Beliau dengan
sabar mendengarkan dan tetap tersenyum dengan bijak. Tidak sekalipun beliau menyanggah apalagi menyalahkan kami mahasiswa-mahasiswanya yang sering kali banyak ngaco -nya -nya dalam menelaah dan menganalisis teori. Mengingat hal itu saya menjadi malu sendiri. Bagiku pengalaman ini demikian berkesan, karena tanpa beliau sadari ia telah mengajarkan pada kami bahwa butuh keberanian untuk mengemukakan pendapat dan jangan takut salah, karena kesalahan hanya dapat diperbaiki jika sudah melakukannya. Kami menjadi begitu nyaman karenanya. Lagi-lagi saya menemukan keluasan hati pada diri beliau laksana sebuah Samudera. Hingga, sampailah pada suatu hari, ketika saya dihadapkan pada situasi yang sangat pelik pada detik-detik terakhir kuliahku, yaitu ketika saya sedang menyelesaikan tesisku dan 47
hampir saja mengancam studiku yang tinggal selangkah lagi. Dunia serasa runtuh, saya begitu sedih dan terbayang dibenakku tentang kegagalanku untuk menyelesaikan S2-ku saat itu. Ya Allah…kenapa hal ini bisa terjadi padaku, desahku tanpa sadar. Apa salahku?, bisikku pada Allah. Begitu berat rasanya cobaanku, pikirku saat itu. Entah mengapa tiba-tiba dalam benakku terlintas Prof. Afid, yang dapat menolongku saat itu. saya harus menemui beliau dan berdiskusi dengannya. Mudah-mudahan beliau mempunyai solusi sehingga saya bisa
terlepas dari persoalanku ini, pikirku lagi. Kala itu yang ada dalam pikiranku hanya satu, saya harus bertemu dengan Prof. Afid dan mengutarakan semua tentang permasalahanku. Hanya beliaulah saat itu yang terpikirkan olehku untuk bisa membantu, mengeluarkanku dari persoalanku ini serta mencari solusi yang pas untukku. saya demikian berharap banyak dengan beliau untuk membantu dan mencarikan solusi dari permasalahanku kala itu. Dengan memberanikan diri, sepulang kuliah saya mendatangi rumah beliau di Perumahan Kelapa Gading (saat itu beliau masih bermukim di sana). Dengan ditemani suamiku saya menemui beliau di kediamannya. Bagiku, rumah beliau sangat jauh karena saya saat itu tinggal di Depok. sampai di rumah sudahpermasalahanku malam. Prof. Afid menerima kami dengan begitu Ketika baik dan ramah. Ketikabeliau saya hari utarakan ia dengan tersenyum kecil menertawakan saya, seakan-akan persoalanku bukanlah persoalan yang besar menurutnya. Ia menepuk pundakku dengan hangat sambil mengatakan padaku: “Tantry…jangan menyerah, hayuuuuu …kamu …kamu pasti bisa. Saya akan membimbingmu hingga kamu selesai dan mendapatkan gelar Master. Semangat ya Tantry”, demikian ucap beliau padaku kala itu untuk memberiku suplemen semangat padaku agar saya bisa bangkit menyelesaikan tesisku itu. Ya Allah… mungkin kata-kata Prof. Afid yang demikian itu, dianggap sepele bagi orang lain, tetapi bagiku kala itu yang sudah dalam kondisi down , diperlakukan demikian oleh beliau, diberi kata-kata demikian, membuat semangatku timbul lagi. saya seperti mendapat kucuran air yang sejuk yang menyiramkan hatiku untuk bisa hidup dan bangkit lagi menyelesaikan tesisku yang sudah tinggal selangkah lagi. Lagi-lagi saya menemukan keluasan hati beliau untuk menolong siapapun yang sedang kesulitan yang ditunjukkan Prof. Afid padaku. Beliau tidak menghiraukan bahwa karena permasalahanku maka bisa saja membuat dirinya repot dan dan menambah kesibukannya pula. saya bukan siapa-siapa baginya, saya juga hanya seorang mahasiswa biasa seperti mahasiswa-mahasiswa lain pula. Tetapi
beliau mau membantuku, di tengah jadwalnya yang saya yakin demikian padatnya. Keluasan hatinya yang laksana Samudera lagi-lagi kembali kudapati pada diri beliau. Hingga akhirnya saya selesai S2 dengan dibimbing oleh beliau. Hanya 2 kali bimbingan saya langsung di-acc oleh beliau untuk “sidang meja hijau”. Akhirnya saya mendapatkan gelar Master dari Jurusan Antropologi UI yang begitu saya banggakan. Hal itu semua bisa saya capai berkat jasa dan bimbingan dari beliau. Betapa baiknya Prof. Afid padaku kala itu, ia begituhal. mudahnya menolong diriku lagi kesulitan tanpa perlu memikir tentang banyak saya belajar banyak dariyang beliau, bahwa lakukanlah yang baik, ulang permudahlah urusan orang tanpa harus merasa rugi karenanya. Beliau mengajarkan tentang filosofi hidup yang “tinggi” yang secara langsung dipraktekkannya dalam dunia nyata pada ku saat itu. Filosofi tentang hati seluas Samudera yang beliau berikan b erikan pada diriku. Setelah selesai S2, saya cukup lama sekali tidak muncul lagi dalam kehidupan beliau. Tetapi nama dan jasa-jasanya tetap selalu kuingat dan kusebut dalam setiap kesempatan.
48
saya merasa begitu berhutang budi kepada beliau, karena tanpa pertolongan darinya, mungkin saya tidak bisa seperti sekarang ini.
Lima belas tahun kemudian setelah saya menyelesaikan studi S2-ku, saya kembali memasuki kehidupan beliau. saya diterima di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia untuk mengikuti sekolah pascasarjana program doktoral. Kali ini saya mengambil sekolah doktoralku bukan di UI, dan juga tidak mengambil antropologi. Ada banyak pertimbangan yang membuatku mengambil keputusan ini. Di satu sisi saya ingin belajar tentang ilmu yang lain, yaitu Ilmu Komunikasi, tetapi di sisi yang lain saya juga tidak mau meninggalkan antropologiku dalam kehidupan keilmuanku. Aku ingin mengkombinasikan kedua ilmu tersebut dalam perspektif keilmuanku, yaitu ilmu komunikasi dengan antropologi yang kumiliki. Sepengetahuanku hanya di Institut tempatku bersekolah ini saja yang dapat bersinergi dengan baik untuk kedua disiplin ilmu tersebut, hingga nantinya saya dapat mengkombinasikan kedua ilmu tersebut dalam disertasiku kelak sehingga saya memutuskan untuk mengambil sekolah doktoralku pada institut ini. Seiring dengan perkembangan waktu, tibalah bagiku untuk mencari pembimbing untuk disertasiku kelak. Institut tempatku sekolah, membolehkan kami para mahasiswa untuk memilih sendiri ketua dan anggota komisi (di tempat lain disebut dengan ist ilah “promotor” an pada masalah siapa kira-kira dan “kopromotor”) untuk disertasiku kelak. saya dihadapk an yang tepatini.yang akanyang kujadikan pembimbing atau Prof. anggota untuk paling disertasiku Lagi-lagi terpikirkan olehku adalah Afid.komisi Beliau (kopromotor) adalah orang yang paling tepat dan menjadi prioritasku untuk kuundang menjadi pembimbingku, pikirku dalam hati. Karena posisiku saat itu adalah mahasiswa non-UI, maka Prof. Afid tidak dapat menduduki posisi sebagai promotorku tetapi hanya anggota komisi (kopromotor), sedangkan promotorku sendiri berasal dari tempat institutku berada. Untuk hal ini maka saya mengontak beliau untuk menanyakan kesediaannya dan menyatakan keinginanku untuk dibimbing kembali oleh beliau. Dengan rasa was-was, (aku khawatir beliau sudah tidak mengenalku lagi, karena sudah begitu lama saya tidak berkabar
kepadanya), saya menghubungi beliau via WA. Dugaanku ternyata meleset. Dengan cepat pesan yang kukirim melalui WA direspon beliau dengan segera. Beliau kembali bersedia menjadi pembimbingku untuk penulisan disertasiku ini. Yang membuatku semakin kagum dengan beliau, ternyata beliau masih mengenalku dengan baik pula. Luar biasa pikirku lagi. Jawaban yang saya dapatkan dari beliau sangat menggembirakanku. Bukan hanya sebagai kopromotorku saja beliau bersedia, bahkan beliau juga mengundangku untuk ikut serta masuk dalam kelasnya. Ikut mendengarkan materi yang disampaikannya pada mata kuliah yang beliau ajarkan di kelasnya. Beliau menganggap bahwa beberapa mata kuliah yang beliau ampu masih terkait dengan disertasiku sehingga perlu bagiku untuk masuk di dalam kelasnya dan mendengarkan materi kuliahnya itu. Saat itu saya begitu takjub dengan kebaikan hati beliau. Kesempatan emas ini langsung saya terima dengan senang hati. saya seperti mendapat “durian runtuh”. Bagaimana tidak senang, kali ini say a mendapatkan surprise dari Prof. Afid, selain beliau bersedia menjadi pembimbingku, beliau juga mengundangku untuk mengikuti kelas-kelasnya di Program Studi Antropologi UI. Siapa yang in . bisaJadilah menolak jikamengikuti dibolehkanbeberapa kuliah di S3 Antropologi UI walaupun cuma sit saya mata kuliah yang diampu beliau, seperti Antropologi Kekuasaan, Jaringan Sosial, dan Organisasi Sosial. Wow…luar biasa pikirku. Tidak masalah
49
bagiku walaupun saya cuma mahasiswa sit in , bagiku merasakan kembali kuliah di Antropologi UI (setelah cukup lama kutinggalkan), merupakan hadiah terbesar dari Allah yang diberikan padaku saat itu, melalui Prof. Afid. saya sangat senang dan gembira karenanya. Setiap perkuliahannya selalu saya tunggu-kutunggu. Mendengarkan ceramah dari beliau, diskusi-diskusi kelas yang bermutu dan pemutaran film di kelas adalah sesuatu yang begitu saya kangenin . Kesempatan untuk mendengar kuliahnya, mendengar penjelasannya tentang teori-teori yang rumit, dan tentang berbagai macam fenomena sosial yang berkembang saat ini terulang kembali untukku. saya seperti memasuki lorong waktu, belasan tahun yang lalu, dimana saya juga mendengar kuliahnya pada saat dulu saya kuliah di Antropologi UI (yang ketika itu kuliahnya masih di Salemba, Jakarta). Kini masa-masa itu kembali terulang dalam hidupku. Kembali kuliah pascasarjana di Program Studi Antropologi UI (yang kali ini sudah pindah ke Depok) merupakan anugerah yang diberikan Allah padaku. Aku sangat bersyukur, dengan kebaikan hati Prof. Afid, mengundangku untuk ikut dalam kelasnya sehingga saya dapat mendengar, menyimak, dan berdiskusi di kelasnya yang begitu bermutu ini. saya kembali merasakan nikmatnya bersekolah di almamaterku yang dulu lagi. saya seakan kembali menjadi mahasiswa Antropologi Universitas Indonesia walaupun kali ini hanya menjadi mahasiswa sit in . Alhamdulillah. “Betul-betul luar biasa Prof. Afid ini”, pikirku lagi. Lagi-lagi saya menemukan kebaikan hatinya yang seluas samudera itu untuk ku. Sejak saat itu semangat dan gairahku untuk menulis disertasi kembali muncul, setelah didera kegalauan karena persoalan teori dan konsep yang masih membingungkanku saat itu. Pertemuan-pertemuanku dengan beliau menjadi semakin intensif, diskusi-diskusi pun selalu mewarnai setiap pertemuan kami. Persoalan disertasiku beliau kupas satu per satu
dengan kesabaran maksimal seakan-akan beliau saya menguliti bawang, dan disertasiku itu adalahyang bawangnya. Walaupun lelah, tetapi senangkulit sekali. Ada banyak ilmu dan wawasan baru yang saya peroleh dari beliau, yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan olehku. Rasa tidak mampu, “bodoh” dan merasa kecil sering kali menghinggapi diriku ketika saya berdiskusi dengan beliau yang ilmunya seluas samudera itu. Setiap kali berdiskusi dengannya, ada saja hal-hal yang tidak terpikirkan olehku sebelumnya ternyata merupakan bagian penting untuk disertasiku ini. “Kenapa saya begitu bodoh dan tolol jadinya”, pikirku pada diri sendiri. saya menjadi mal u dan kerdil sekali jika seperti ini, yaitu ketika saya berhadapan dengan beliau untuk berdiskusi. Bahkan suatu ketika kegundahan itu pernah saya sampaikan pada beliau, tentang rasa ketidakberdayaanku, dan kekerdilanku terhadap teori-teori sosial dan ilmu pengetahuan pada umumnya (ketika saya berhadapan dengannya). saya mencoba berkata dan
menanyakan hal itu (sambil bercanda) kepada beliau, bahwa semua itu terlihat begitu mudah bagi beliau karena beliau seorang profesor, ilmunya sudah mumpuni, sementara saya hanyalah seorang mahasiswa yang masih belajar dan terus saja belajar hingga saat ini. Beliau dengan tersenyum penuh kelembutan mengatakan padaku seperti ini, “Bukan demikian Tantry…kamu pintar, kamu pasti bisa. Hanya kamu harus lebih banyak membaca saja”. Begitulah responnya jika saya mentok diskusi diskusi dengannya ketika menganalisis sebuah teori untuk kuterapkan dalam disertasiku. Semakin sering saya berdiskusi dengannya semakin saya percaya diri bahwa saya mampu menyelesaikan studiku dengan tepat waktu. Pemahamanku tentang teori-teori semakin lama semakin terasah. Kegalauanku tentang 50
teori-teori yang kupakai untuk mengupas masalah penelitianku sedikit demi sedikit semakin memudar. Jika saya kesulitan, maka saya mencari sang profesor untuk membantuku dan kami kemudian berdiskusi dengan cukup panjang, bahkan kadangkala kami seperti lupa waktu, dan baru berhenti ketika menyadari bahwa ada mahasiswa yang lain yang sudah menunggu juga untuk bimbingan dengan beliau. Jika sudah demikian maka dengan berat hati, kami menghentikan diskusi dan mengagendakan kembali untuk pertemuan berikutnya. Bimbingan dengan beliau cukup mengasyikkan bagiku. Cakrawala keilmuan beliau begitu luas. Lagi-lagi saya serasa mengarungi luasnya samudera ilmu yang dihadapkannya padaku kala itu. Prof. Afid laksana bibliografi berjalan yang dengan lancar memberikan segala teori dan ilmu-ilmu yang dimilikinya padaku. Apapun itu, ia mengetahuinya dan menjelaskannya satu per satu padaku. Ilmunya betulbetul tak terperi. saya menjulukinya seperti samudera yang luas sekali, yang siap kapan pun untuk dinikmati dan diberikan kenikmatan tersebut kepada mahasiswa-mahasiswanya ataupun kepada siapa pun yang membutuhkannya m embutuhkannya,, termasuk juga pada diriku. Terkadang saya juga mengalami masa-masa sulit dalam penulisan disertasi. Lagi-lagi saya seringkali didera rasa tidak percaya diri dengan kemampuanku untuk menyelesaikan studiku tepat waktu. Saat saya lelah, dan merasa tidak mampu dalam banyak hal, maka saat itu pula saya membutuhkan Prof. Afid, untuk menumpahkan segala uneg-uneg dan kegalauanku padanya. Aku membutuhkan Samudera yang dimilikinya dimana saya sering berlabuh dan menenangkan diriku jika saya kelelahan terkait disertasiku. saya lelah dalam membaca, lelah
dalam memahami teori, lelah dalam mengkaitkan data yang ada dengan teori-teori yang pas, lelah dalam menganalisis dan menginterpretasikannya, lelah dalam mengkonstruksi dan mengkritisi data lapangan dan seterusnya. Lelah yang datang bertubi-tubi dan kelelahan itu semakin lama semakin maksimal dan cukup menggangguku. saya datang padanya dan berdiskusi ngalor ngidul , sekadar menenangkan hatiku yang sedang galau. saya butuh kesejukan dan support dari beliau untuk menyemangatiku kembali agar saya bisa bangkit dari kejenuhan yang maksimal itu. Jika demikian, kata-kata beliau selalu mendengar keluh kesahku tentang hal. didera Beliau mengucapkan yang sama seperti belasan tahun yang berbagai lalu ketikamacam saya juga perasaan yang sama ketika saya menulis tesisku. Masih terngiang-ngiang dalam telingaku saat ini, seperti belasan tahun yang lalu, yang beliau sampaikan padaku dan masih mengatakan hal yang sama padaku pula. Prof. Afid mengatakan seperti ini padaku, “Tantry … kamu pasti bisa, kamu pasti bisa menyelesaikan studimu. Saya akan membantumu, membimbingmu. Hayuuuu semangat, percayalah saya akan terus menjagamu, dan membimbingmu hingga kamu menjadi doktor. Percayalah kamu akan menjadi seorang Doktor”. Kembali beliau memompakan semangat pada saya mahasiswanya yang begitu khawatir akan ketidakmampuanku ini. Lagi-lagi keteduhan dan kelembutan yang diberikannya padaku seluas samudera yang kurasakan saat itu. Beliau betul-betul sosok yang hampir tanpa cela di mataku dan di mata kami anak-anak didiknya. Suatu ketika dalam kelelahanku itu saya lama sekali tidak berkomunikasi dengan beliau, tidak muncul di ruangannya yang bersih dan apik yang selalu dipakainya untuk menerima kami para mahasiswanya untuk bimbingan. Tidak menyentuh buku-buku yang harus saya
51
baca dan seterusnya. saya istirahat sesaat. Betapa terkejutnya saya ketika saya melihat dalam WA-ku, beliau menyapaku dengan menanyakan kabarku dan kondisiku. Rasa-rasanya semangatku bangkit lagi. Serta merta saya sambar tas dan saya dengan sigap berjalan menuju UI menuju ruang kerjanya di Puska Antropologi FISIP UI. Sesampai di sana saya tercenung, dan tidak berani memasuki ruangannya. saya malu bertemu dengan beliau jika saya tidak mempersiapkan diri dengan bahan-bahan bacaan yang harusnya sudah “kukunyah” terlebih dahulu. Langkahku yang ingin memasuki ruangannya k uhentikan. uhentikan. saya tersadar, ini bukan saatnya saya bertemu dengan beliau. Aku bisa mempermalukan diriku sendiri jika saya tidak siap untuk diskusi dengannya. Dengan langkah gontai saya berbalik dan saya keluar dari gedung itu dan duduk diam pada bangku yang disediakan di depan gedung tersebut. saya seperti orang bodoh dan linglung. saya berada di sini, jika saya belum menyiapkan diri dengan maksimal pikirku lagi. Ngapain saya Tetapi tidak sampai 30 menit saya duduk di sana, dan ketika saya hendak meninggalkan gedung tersebut, tiba-tiba Prof. Afid muncul. Aku begitu kaget dan di wajahku tergambar wajah keheranan yang nyata. Waduh … Prof. Afid tahu bahwa saya datang dan ingin menemuinya. saya malu sekali. Beliau an, ayo masuk ke dalam, menyapaku dengan ramah, “Tantry…kamu menunggu saya buk an, kita bisa diskusi di dalam”. Betapa baiknya Prof . Afid, ia yang menghampiri diriku dan
mempersilahkan saya untuk masuk dalam ruangannya (walaupun saya saat itu tidak membuat janji terlebih dahulu untuk bertemu dengan beliau). saya benar-benar respect pada beliau kala saya mengingat kejadian itu. Semakin hari bimbingan dengan beliau, saya menjadi semakin semangat untuk belajar. saya tidak mau terlihat keteteran lagi jika berdiskusi dengannya. saya tidak mau terlihat bodoh dan saya harus terlihat siap ketika berdiskusi. saya tidak mau beliau menemukan celah yang walaupun sepele, bisa memporakporandakan isi disertasiku ini, yang bisa mementahkan tulisan-tulisanku. saya tidak mau mengalaminya. Maka saya pun banyak membaca seperti anjuran beliau. Aku mulai menikmati diskusi- diskusi “berat” dengan beliau yang sangat filosofis sifatnya. Walaupun kadang saya merasa bingung, tetapi secara jujur proses ini mendewasakanku dalam berilmu pengetahuan. saya kembali mengulang bacaan-bacaanku dengan teliti, mencari sumber-sumber referensi dengan lebih banyak yang terkait dengan disertasiku. Semua saya lahap dan berusaha saya cerna dan pahami dengan sebaik mungkin. Selama proses bimbingan dengan beliau, saya mencoba membuka jaringan dengan banyak orang, banyak lembaga dan universitas baik di dalam maupun di luar negri yang terkait dengan disertasiku ini. Usahaku sia-sia, saya diundang untuk simposium international di Malaysia terkaittidak demgan disertasiku yang diikuti olehmengikuti berbagai sarjana dari berbagai universitas di dunia dengan keahlian yang begitu beragam. saya senang sekali dapat mengikutinya. Disertasiku semakin berwarna dan saya mendapat banyak masukan untuk memperkaya disertasiku. Prof. Afid sangat menyukai kemajuanku itu. Tulisan-tulisanku di jurnal international terindeks Scopus terkait dengan disertasiku akhirnya juga diterima dan diterbitkan. saya senang sekali, dengan capaian-capaianku ini begitu juga dengan beliau. Nama beliau saya sertakan juga dalam tulisanku itu karena saya merasa karena beliau lah saya bisa sampai seperti saat ini. Ketekunan dan kerja keras harus saya capai untuk itu.
Melalui beliau saya belajar banyak tentang hal itu. Sampai suatu ketika beliau menawarkan 52
padaku untuk berdua bersamanya menulis sebuah buku, terkait dengan disertasiku dan bahkan menawarkan padaku untuk melanjutkan mencari data penelitianku ke Universitas Leiden di Belanda yang sangat begitu terkenal dan saya kagumi. Serasa tidak percaya saya begitu kaget mendengar tawarannya. Beliau mengatakan padaku akan memberikan rekomendasi padaku agar memudahkanku untuk mencari beasiswa untuk pemberangkatan diriku ke Leiden Belanda nanti. Beliau juga akan memberi rekomendasi padaku yang ditujukan untuk KITLV Jakarta (perpustakaan yang dimiliki pemerintah Belanda, yang ada di Kedutaan Belanda di Jakarta) yang akan memudahkan diriku dalam mencari data nantinya. Aku sangat senang sekali, beliau begitu memperhatikan disertasiku dan menganggap penting untuk melakukan hal itu padaku. Saat itu saya hanya tersenyum dan mengatakan padanya, “Terima kasih Prof. Afid, suatu saat jika saya sudah siap untuk itu, saya akan meminta rekomendasinya pada Prof”. Saat itu saya merasa belum perlu meminta rekomendasi tersebut dengan segera karena saya belum siap untuk itu. Masih banyak yang harus saya siapkan dan saya perbaiki terkait disertasiku hingga jika saya benar-benar
merasa sudah siap, barulah rekomendasi tersebut akan saya minta pada beliau, pikirku lagi. Beliau selalu mendorong dan menginginkan kemajuan anak didiknya dan selalu maksimal membantu kami anak didiknya. Hatinya betul-betul seluas samudera. Sayangnya hingga beliau pergi, saya belum pernah meminta rekomendasi itu pada beliau. Hingga akhirnya saya jatuh sakit dan harus dirawat di salah satu rumah sakit swasta di kotaku. Saat saya di rawat di rumah sakit saya membaca postingan sahabatku di FB bahwa Prof. Afid sakit dan dilarikan ke rumah sakit. saya berdoa dalam ketidakberdayaanku saat itu, untuk kesembuhannya, berdoa pada Allah agar beliau bisa sehat dan beraktivitas kembali. Banyak sekali orang-orang yang masih begitu membutuhkannya dan menyayanginya. Tetapi Allah berkehendak lain. Kabar duka itu pun menghampiriku, saat saya sendiri terbaring di rumah sakit dengan segala kelemahan dan ketidakberdayaanku pula. Kabar yang membuatku begitu sedih dan shock mendengarnya. Prof. Afid telah dipanggil oleh yang Maha Kuasa keharibaan-Nya. saya betul-betul berduka dan d an begitu kehilangannya. Prof. Afid, guruku, bapakku, dosen pembimbingku, dan temanku pula (teman di kala say saya a susah dan senang) adalah orang yang begitu baik, begitu low profile begitu begitu sederhana telah tiada. Prof. Afid dengan sejuta pesona kasihnya, pesona kebapakannya, pesona kedermawanannya di bidang ilmu pengetahuan telah berpulang keharibaan Allah SWT. Prof. Afid yang baik, saya sangat meyakini bahwa Allah meluaskan kuburmu seluas samudera. Allah juga memberikan tempat yang damai, nyaman, dan indah di alam keabadianmu. Karena semasa hidupmu, engkau juga selalu memberi samudera itu bukan saja pada saya, tetapi pada teman-teman saya, pada semua orang yang membutuhkan pertolongan darimu. saya menjadi saksi bahwa engkau orang baik, profesorku. Selamat jalan profesorku, selamat jalan samuderaku, tempat dimana saya selalu berlabuh jika saya mengalami telahpada pergidiri meninggalkanku, meninggalkan kami untuk selamanya. Saat ini kesulitan, saya berjanji sendiri untuk meneruskan dan memasukkan saran dan
konsep-konsep yang engkau titipkan untuk disertasiku. Ini merupakan bagian dari bentuk penghormatanku kepadamu, Prof. Afid. Walaupun engkau telah tiada, jasa, budi baikmu tidak pernah dapat kulupakan dalam hidupku. Konsep dan teori yang Prof. sarankan agar dimasukkan dalam disertasiku akan kuakomodasi dan kulakukan dengan sebaik-baiknya. 53
saya berjanji untuk itu. saya menginginkan bahwa disertasiku kelak juga akan seluas samudera ilmu seperti yang selalu engkau ajarkan pada kami. Bahwa ilmu pengetahuan itu sangat luas, jangan terkooptasi pada satu teori, satu paradigma p aradigma saja yang akan mempersulit gerak ilmuwan, tetapi berilah keleluasaan pada ilmu-ilmu lain untuk bersinergi, untuk berbagai paradigma yang bisa membangun keilmuan itu sendiri dari berbagai macam perspektif sehingga ilmu menjadi luas, seluas samudera yang engkau tawarkan kepada kami. Di dirimu…aku menemukan samudera kedamaian itu, Prof. Afid. Selamat jalan Prof. Afid. Surga seluas Samudera menunggumu di “sana”. Amin YRA. Anak didikanmu didikanmu yang selalu mendoakan mendoakan kebahag kebahagian ian di keabadianm keabadianmu u di sana. A Amin min YRA angkat an 2017. Tantry Widiyanarti, Mahasiswa Doktoral Komunikasi IPB angkatan
54
Frasa yang Tak Lekang Ditelan Zaman Nita Trismaya Minggu pertama: “Antropologi “Antropolo gi itu bicara tentang manusia sebagai isu sentralnya. Semua dikaitkan dengan manusia,” pemaparan dari Prof. Afid menggaung di hari Selasa pagi jam 08.00 WIB di ruang kuliah di gedung Nusantara II, FISIP UI. Hari itu adalah hari pertama saya mengikuti perkuliahan di program Pascasarjana Antropologi Universitas Indonesia. Hari itu pula saya mulai didera beragam perasaan yang setia membayangi saya semenjak saya dinyatakan
diterima di jurusan antropologi 16 Mei keilmuan 2016, sebuah spesial bagi dan saya sudut yang memutuskan melanjutkan studitanggal di cabang yang hari cara berpikir pandangnya berbeda jauh dengan latar belakang keilmuan saya selama ini: visual. Sebagai seseorang yang telah sekian belas tahun berkecimpung dalam dunia seni rupa dan berpikir sebagai seorang ahli visual, bukan hal mudah untuk beradaptasi dengan cara pandang yang berbeda. Catatan kuliah Antropologi Budaya milik saya masih ada hingga saat ini dengan poin-poin yang tertera di atas lembaran-lembaran kertas putih bergaris dengan tulisan tangan, sebagai contoh, “Untuk penelitian antropologi, satu kata saja bisa banyak makna, misalnya “rezeki” sebagai kata kunci yang bisa berarti “korupsi”, “halal”, “jual tanah”, “gaji bulanan”, “warisan” atau “proyek”, ada banyak hal yang kelihatannya sepele tetapi ternyata memiliki arti yang banyak”.
Minggu ketiga:
“Kebaya hanyalah pintu masuk, sebagai “entry point” , tapi nanti sudut pandangnya bisa berbeda dan fokusnya tetap studi manusianya, bukan benda kebayanya,” paparan Prof. Afid melanjutkan jawaban akan pertanyaan saya mengenai kebaya setelah saya mengajukan tema calon disertasi saya. Kalau memakai istilah beliau, yaitu sebagai hasil proyek satu semester dimana tema yang ingin dipelajari akan secara spesifik didetailkan lagi, lalu bagaimana progress minat kami, para mahasiswanya, untuk penelitian disertasi atau tesisnya. “Kebaya itu tentang simbol dengan adanya gejala dan fenomena, kemudian dibalik simbol sebuah kebaya ada narasi mengenai liberalisme, ekonomi, feminis, pemerintahan, globalisasi dan evolusi kebaya.” Catatan kuliah saya selanjutnya menuliskan poin -poin yang dipaparkan Prof. Afid.
55
Minggu dan hari-hari selanjutnya: Prof. Afid sebagai seorang guru, telah banyak membantu saya menjalani dan melewati “gegar budaya” dalam perkuliahan di jurusan antropologi. Beliau telah berjasa dalam meletakkan pondasi pemikiran saya sebagai mahasiswa yang terbiasa dengan cara berpikir
ahli visual agar kemudian menjadi cara berpikir antropolog. Pembentukan pondasi itu melalui tahapan yang berproses sedikit demi sedikit dan perlahan-lahan, untuk selanjutnya berujung pada stabilitas pemikiran selayaknya antropolog. Tanpa menghalau seratus persen cara berpikir saya sebagai seseorang yang berkecimpung dalam dunia seni rupa. Ada satu kata kunci yang tidak bisa saya lupakan, yakni pernyataan beliau yang diutarakan dengan nada serius bercampur canda, “antropologi itu ilmu banci, kenapa? Karena antropologi bisa masuk dan direlasikan ke ilmu manapun. Ke ilmu agama? Bisa. Jadinya antropologi agama. Ke ilmu politik? Bisa. Jadinya antropologi politik. Ke ilmu gender? Bisa banget. Disebutnya antropologi gender. Selama itu masih tentang manusia, semuanya bisa.” Sosok Prof. Afid kerap mengingatkan saya akan seorang mahaguru yang berdedikasi tinggi dan tak pernah irit membagi ilmu, baik di dalam kelas maupun di luar ruang kelas. Beliau tak pernah menampik permintaan mahasiswanya yang ingin sekadar bertemu untuk berkonsultasi tentang studinya meskipun beliau bukanlah dosen pembimbing mereka. Beliau juga seseorang yang berpikiran luas dan terbuka. Semua hal baginya adalah menarik untuk diangkat sebagai sebuah topik diskusi. Kalimat yang kerap diucapkan beliau dalam setiap perkuliahan dan diskusi di luar kelas adalah, “Kira-kira kenapa ya? Itu hal yang menarik kalau ditinjau dari ilmu antropologi”. Kalimat lain seperti, “Ternyata kalau dilihat dari sisi antropologi, semua hal bisa dikaitkan, didiskusikan dan diangkat jadi sebuah tulisan. Nah, menarik , kan?” Frasa “menarik “menarik kalau dilihat dari ilmu antropologi ” ternyata membekas pada diri saya dan belum saya sadari sampai dua tahun kemudian semenjak saya mengikuti perkuliahan beliau, saya dipercaya oleh kampus desain dimana saya mengajar untuk mengampu mata kuliah antropologi budaya. Frasa itulah yang akhirnya kerap saya lontarkan kepada para mahasiswa saya di dalam kelas saat perkuliahan, baik ketika kami berdiskusi maupun saat saya memaparkan beragam studi kasus fenomena yang terjadi dalam masyarakat.
Dengan “daya tarik” Prof. Afid yang berpikiran terbuka dan tak pernah lelah mengulurkan bantuan pada para mahasiswanya yang rajin menemui beliau untuk bertukar pikiran dan konsultasi studi antropologi, tak heran apabila beliau termasuk jajaran dosen favorit yang laris diperebutkan. Rasanya seperti mendapat durian runtuh di kala langit cerah tanpa awan dengan angin bertiup semilir sepoi-sepoi ketika si mahasiswa berhasil menemui beliau untuk “curcol”. Langit cera h itu semakin ceria tatkala ada mahasiswa yang berhasil mendapatkan beliau sebagai dosen pembimbing tugas akhirnya. Saya sendiri pernah rajin menemui beliau di awal semester ganjil saat beliau mengajar mata kuliah Antropologi Budaya. Saya pun “curcol” banyak hal diseputar tema disertasi saya yang saat itu belum tahu mau dibawa kemana dan fokusnya apa. Beliau lah yang dengan sabar meralat cara berpikir saya agar tidak terjebak arus kajian visual. “Mbak Nita, jangan lupa bahas kebaya dari sudut manusianya, bukan desainnya. Kita ini antropolog.”
56
“Oh, iya, Prof, maaf,” saya pun menepuk kening saya untuk kesekian kalinya sambil tertawa malu setiap kali ditegur oleh beliau dengan alasan yang sama.
Dalam diskusi kami yang dilakukan di ruang kerja beliau di Gedung B FISIP UI di pagi hari sekitar pukul 07.00, biasanya ditemani beberapa potong kue dan dua botol aqua. Dasar rezeki anak solehah, saya pun ditawari oleh beliau untuk mencicipi kue-kue nan lezat itu. Kadang saya suka tidak enak sendiri, sudah pagi-pagi merepotkan beliau dengan curhat soal kuliah, eh, malah ditambah dengan berpartisipasi b erpartisipasi dalam menghabiskan kue-kuenya. Berdiskusi dengan Prof. Afid terasa bukan sebagai diskusi layaknya perkuliahan, tetapi seperti berbincang-bincang hal ringan namun berbobot. Ya, segala teori antropologi yang meluncur dari beliau seakan bukan ilmu yang berat dan memaksa pendengarnya mengerutkan kening dalam-dalam, melainkan langsung menyentuh hal-hal yang menyangkut fenomena yang kerap kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Ibarat menikmati makanan lezat yang mau dilahap sebanyak apapun, perut tidak akan pernah terasa kenyang. Diri terasa semakin dahaga, sehingga yang ada hanyalah ingin terus menggali dan menggali lagi lebih dalam tanpa merasa lelah dan bosan. Bahasa yang digunakan oleh beliau memang tidak terasa berat, terkadang mengambil perumpamaan dari kami, para mahasiswanya. Misalnya saat beliau membahas tentang sebuah penelitian mengenai lomba panjat pinang oleh antropolog dari luar Indonesia dimana bagi kita lomba itu bukan hal yang aneh dan tidak ada yang perlu dipertanyakan, d ipertanyakan, namun bagi orang luar (non-Indonesia) justru mengundang keingintahuan. Setelah diteliti, terkuaklah bahwa dari sebuah lomba yang tampaknya sepele dan menjadi sajian rutin tiap perayaan tujuh belas agustus, tergambar bagaimana karakter orang Indonesia, sebagai contoh, merasa senang jika ada orang lain yang susah (diwakili lewat tertawa dan bertepuk tangan gembira setiap melihat peserta lomba bersusah payah lalu terjatuh dan terjerembab alias gagal meraih hadiah yang digantung di puncak tonggak plus sekujur tubuh belepotan oli bekas, alih-alih menunjukkan sikap simpati). Hal lain yang membekas pada ingatan saya adalah Prof. Afid layaknya perpustakaan
berjalan yang hapal diluar kepala buku-buku berikut isinya. Setiap berdiskusi dengan beliau, rasanya seperti berada dalam ruangan luas yang diisi dengan rak-rak tinggi dan kokoh yang memajang koleksi ribuan buku dimana kita tinggal memilih buku mana saja yang kita butuhkan kemudian kita baca dan kupas isinya sembari berbaring santai tanpa merasa kita sebenarnya sedang belajar dengan serius. Peribahasa mengatakan bahwa harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Bagi saya, Prof. Afid telah meninggalkan warisan sebuah frasa yang begitu mendalam sekaligus penuh makna, bukan sekadar nama besar dan ilmu yang tak akan habis-habisnya menjadi perbekalan bagi para mahasiswanya kelak. Ibarat guru membaca buku sambil berdiri maka murid membaca buku sambil berlari. Kami pun terus berlari menangkap ilmu yang terus berkembang tanpa henti sesuai dinamika zaman sembari memeluk ingatan bahagia kami bersama beliau yang akan selalu abadi. Nita Trismaya adalah mahasiswa pascasarjana Departemen Antropologi FISIP UI
57
Prof. Dr. A. Fedyani Saifuddin: “Saya tidak tahu” Sri Murni Kenangan yang tak akan pernah luput dari ingatan saya kepada almarhum adalah ketika suatu siang secara mendadak saya dan sohib Dr. Jajang Gunawijaya diberitahu untuk segera membuat dan memasukan surat lamaran sebagai dosen antropologi. Informasi yang mendadak karena pengumuman Kementerian Ristek (dulu namanya Depdikbud) ke Universitas Indonesia tentang lowongan pegawai negeri sipil (PNS) untuk dosen juga baru saja diterima. Masa itu tahun 90-an, telepon genggam tidak semarak saat ini, sehingga penyampaian
informasi tidak secepat sekarang. Namun, karena terkait banyak berkas yang mesti diserahkan keesokan harinya, maka dengan tergopoh-gopoh Kang jajang Gunawijaya menyambangi rumah saya untuk menyampaikan pesan almarhum. Prof. Dr. A. Fedyani Saifuddin, yang masa itu sebagai Ketua Departemen Antropologi UI. Saya dan Kang Jajang diminta untuk segera membuat surat lamaran dan memasukan berkas kelengkapan sebagai syarat mengikuti seleksi PNS. Jika saja saat itu almarhum tidak cepat bertindak dan menyampaikan informasi dadakan tersebut, mungkin saya dan Kang Jajang tidak pernah terdaftar sebagai dosen PNS di UI seperti saat ini. Terima kasih tak terhingga saya kini terlantun dalam doa d oa untuk kelapangan almarhum di alam yang abadi. abad i. Almarhum adalah sosok seorang kakak sekaligus mentor akademik. Beliau adalah kakak yang dapat mengayomi kami, adik-adik staf pengajar di Departemen Antropologi dengan tutur kata yang halus, santun, dan perlahan ketika berbincang untuk hal keseharian. Dalam pertemuan formal semisal rapat-rapat departemen, almarhum amat santun dalam mengemukakan pendapatnya dan menghargai perbedaan pendapat dalam perdebatan. Almarhum juga adalah seorang mentor akademik, yang nyaman diajak berdiskusi soal keilmuan tanpa berpretensi memaksakan kehendak apalagi merasa paling hebat dan paling pintar. Dua kata yang amat tabu dan selalu dihindari Beliau adalah paling hebat dan paling pintar. Beliau selalu merendah dengan berucap “Saya ini tidak tahu apa-apa Ci”. Ah padahal keluasan pengetahuan dan kedalaman analisis Beliau tidak diragukan. Itulah kerendahan hati almarhum yang selalu membuat kita nyaman membincangkan masalah yang ringan maupun mendiskusikan persoalan berat. 58
Dua hari menjelang kepergian Almarhum, saya masih sempat berbincang tentang “nasib” Departemen Antropologi ke depan. Dengan optimis almarhum berjanji akan sekuat daya dan tenaga untuk selalu berada di garda terdepan mencari solusi terbaik bagi Departemen Antropologi. Tatapan mata yang kosong dan putih pada dua hari menjelang kepergian almarhum, saya hampir melontarkan tanya “Pak Afid kenapa matanya putih dan kosong?”. Tapi kalimat tanya itu luput dari bibir saya ketika almarhum “curhat” tentang ketidaknyamanan yang sedang bergejolak dihatinya. Selepas itu almarhum berucap dan minta izin untuk pulang lebih awal karena kepalanya agak pening dan ingin berisitirahat. Rupanya itu adalah pertemuan terakhir saya dengan almarhum dalam percakapan. Sebab, ketika saya menjenguknya di rumah sakit dan menyentuh tangannya yang dingin, Beliau sudah tidak lagi sadar hinggat maut merenggutnya. Beliau benar-benar “beristirahat panjang” di sisi Ilahi. Selamat jalan Pak Afid, Insya Allah khusnul khotimah. Semoga Almarhum kini bahagia dan tidak lagi merasakan sakit serta rumitnya persoalan dunia. Tidurlah dengan tenang dan damai di sisi Sang Pencipta, Allah SWT. Amin! Izinkan melalui tulisan ini pula saya merangkai kata dalam bait-bait puisi untuk almarhum. Yang Tak dinyana
Ku hitung tahun ke depan Masih lima tahun lagi usiamu mengabdi negeri
Utamanya di Departemen Antropologi A ntropologi Tapi selalu kau bilang “mengabdi “mengabdi tidak harus mengajar” Ya itulah engkau yang selalu merendah merendah Santun dan halus bertutur Enggan bersiteru tapi lebih memendam rasa Mencari solusi tanpa memaksakan kehendak Engkau juga bukan seorang pendendam Tapi tetap waspada membalik peristiwa Engkau mulai mengeluh tanpa meminta iba Bahwa kepala dan tengkukmu terasa sakit Jemari tangan kadang kebas Langkah kaki mulai terseok Badan mulai limbung berjalan Hingga perlahan tubuh sehatmu tercerabut mulai melemah Karena penyakit menahun dan kelelahan psikis Lima tahun ke depan, harusnya Ternyata Tuhan ingin engkau pulang lebih awal Supaya hilang rasa sakit itu Supaya pupus beban psikismu Selamat jalan, kakak, mentor, dan dosen terbaik t erbaik ku Tidur lelaplah di sisi Sang Khalik! Sri Murni adalah pengajar dan sekretaris pada Departemen Antropologi FISIP UI
59
Memoar Prof. Achmad Fedyani Saifuddin Mulyadin Permana Prof. Achmad Fedyani Saifuddin (Prof. Afid) sangat digemari oleh teman-teman di antropologi karena gagasan, ide, dan abstraksi teoritisnya terhadap banyak peristiwa yang
terjadi di sekitar kita. Diskusi di mata kuliah Prof. Afid bisanya diskusi teoritis dengan mengkaji persoalan-persoalan faktual atau empirik yang selalu ditarik dalam perdebatan teori. Hal-hal sepele yang sepertinya abai diperhatikan oleh mahasiswa, tetapi bisa diinterpretasi menjadi sesuatu yang sangat luar biasa oleh beliau. Makanya, gagasan Geertz soal interpretativisme simbolik sangat sering dipakai dan dibahas di kelas. Prof. Afid banyak bercerita tentang hal-hal sepele yang ditemukannya di jalan menuju kampus seperti kemacetan, kesemrawutan jalan, perilaku mengemudi yang serba tergesagesa, bahkan sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Raisa menjadi topik pembahasan teori di kelas. Semua hal remeh-temeh ditarik ke dalam teori-teori sosial sehingga membuat mahasiswa terperangah dan terkagum-kagum. Soal pelanggaran lalu lintas, misalnya, beliau bercerita tentang ketidakkonsistenan ide seperti yang diungkapkan oleh Geertz. Setiap orang di mana pun pasti menginginkan keteraturan dan kelancaran dalam berlalu-lintas, namun karena melihat kemacetan di mana-mana, orang mulai melanggar: menerobos lampu merah, memutar balik di tempat yang tidak seharusnya, memotong jalan, naik ke trotoar, masuk jalur busway, dan sebagainya. Ide tentang keteraturan dan kelancaran lalu lintas diinginkan oleh setiap orang. Semua orang ingin berada dalam lalu lintas yang lancar dan tidak ingin melanggar, tetapi realita tidak mendukung idealisme tersebut. Memahami tentang gagasan tentang ide yang tidak konsisten tersebut, saya bahkan menulis artikel yang dimuat oleh media cetak dan beberapa media elektronik (online). Saya menulis “Urat Nadi Transportasi Jakarta Terputus” ketika melihat kemacetan lal u-lintas di jalan raya di Jakarta diakibatkan oleh ide yang tidak konsiten dan kurangnya infrastruktur jalan seperti halte dan tempat parkir yang meyebabkan angkot, metromini, atau bus kota berhenti di sembarang tempat. Selain itu, orang terbiasa parkir di badan jalan karena warung kuliner atau kios-kios di pinggir jalan tidak memiliki tempat parkir atau tidak disediakan lahan parkir oleh pemerintah. Tulisan tentang kemacetan Jakarta ini mengulas gagasan ketidakkonsistenan ide dan materialisme ( When Material Really Matter ) yang ada di
handout yang dibagikan di kelas Prof. Afid.
60
Sensitivitas interpretasi sosial saya semakin tajam setelah mengikuti mata kuliah Antropologi Sosial Budaya yang diampu oleh Prof. Afid tersebut. Saya memiliki ketertarikan sendiri tentang interpretativisme dan interpretavisme simbolik Geertz yang sering dibahas oleh beliau di kelas. Banyak artikel yang saya tulis terinspirasi dari gagasan ini atau hasil interpretasi dari event-event yang saya amati atau alami sendiri setiap hari. Saya menulis “Ketika Uang Menjadi Pengendali,” “Menandingi “Menandingi Budaya Korupsi,” “Mafia “Mafia dan Subsidi BBM,” dan “Republik Taman Kanak-Kanak” pada tahun 2014, serta banyak artikel lainnya yang mengangkat berbagai persoalan di masyarakat. Ini baru satu topik kajian, topik lainnya seperti strukturalisme, fungsionalisme, dan struktural-fungsionalisme menjadi pembahasan yang disenangi oleh Prof. Afid di kelas, melandasi beberapa tulisan saya di media. Setiap artikel yang saya tulis, saya selalu bawa ke kelas dan saya serahkan kepada Prof. Afid. Beliau sangat menghargai tulisan saya, meskipun mungkin masih banyak kekurangan dalam analisis teoritisnya. Apresisasi dari beliau, membuat saya terpacu untuk belajar dan lebih sering menulis walaupun hanya dimuat oleh media-media online. Beliau sering
mengatakan ke saya, Tulisan kamu bagus Mulyadin, kamu mau tulis apalagi nanti? . Kadang beliau menyarankan, “Kamu bagus kalau tulis soal ini.” Bahkan, ketika bertemu saya
di luar kelas lantaran tidak ada kelas beliau yang saya ambil, almarhum masih sempat bertanya, “Mulyadin, kamu masih sering nulis?” Sebuah kedekatan yang dibangun oleh seorang profesor dengan mahasiswanya dengan mendorong untuk berkreasi. Hal ini membuat saya tidak pernah lupa dengan beliau. Ucapan-ucapannya itu selalu hadir dalam ingatan saya. Sebuah memori abadi atas perlakuan akomodatif seorang tokoh intelektual yang saya kagumi. Saya dan tentu saja teman-teman saya di Pascasarjana Antropologi UI angkatan 2013 sangat senang dengan gaya mengajar Prof. Afid yang mengakomodasi dan menghargai setiap apa yang menjadi keluh kesah mahasiswa di kelas. Menariknya, beliau tidak pernah membatasi pertanyaan atau tanggapan mahasiswa hanya dalam sekup tema sempit tertentu, tidak pernah membantah, memotong, apalagi menyalahkan. Apapun yang disampaikan oleh mahasiswa selalu dijawab dengan pendekatan teori, walapun ungkapan dan pertanyaan itu terdengar sangat tidak penting. Saking senangnya, saya dan teman-teman hampir mengambil semua kelas yang diajar oleh Prof. Afid. Saat semester 1, kami mengikuti kelas Antropologi Sosial Budaya sebagai mata kuliah wajib. Menginjak semester 2, kami bersepakat mengambil mata kuliah Antropologi Kekuasaan yang juga diampu oleh beliau. Ada beberapa hal penting yang menjadi pertimbangan kami menggandrungi mata kuliah Prof. Afid. Pertama, kekayaan ilmu pengetahuan yang diberikan kepada kami dengan berbagai referensi yang dianjurkan. Kedua, kami tidak diberi tanggung jawab untuk membuat paper seperti mata kuliah lainnya. Ketiga, yang paling penting, Prof. Afid sangat baik dalam hal pemberian nilai. Gaya mengajar Prof. Afid, yaitu dengan memberikan ceramah sekitar 30-40 menit, kemudian mahasiswa menanggapi atau bertanya terkait isu yang dibahas atau isu-isu lainnya secara bebas. Setelah itu, kembali ditanggapi oleh beliau dengan abstraksi teoritis.
Pertanyaan atau cerita-cerita mahasiswa selalu ditarik ke dalam teori-teori dan hebatnya pasti diberikan referensi atau buku yang berbicara tentang hal itu. Mahasiswa hanya diminta membaca buku yang dianjurkan sebelum masuk kelas, tanpa terbebani oleh tugas resensi bacaan. Hal ini membuat mahasiswa merasa sangat terbantu untuk bisa mengerjakan setumpuk tugas dari mata kuliah lain. Sementara, perihal nilai, kami selalu mendapatkan 61
nilai yang sangat memuaskan. Ini tentu saja membantu mahasiswa memperbaiki indeks prestasi yang mungkin mendapatkan hasil jelek di d i mata kuliah lainnya. Menyadari hal ini, kami biasanya saling mengajak untuk mengambil mata kuliah Prof. Afid di semester berikutnya. Di semester 2, selain mata kuliah wajib yaitu Pradigma dan Teori Antropologi, kami rata-rata mengambil mata kuliah Antropologi Kekuasaan. Saya hanya mengambil satu kelas tambahan Prof. Afid saja, sementara yang lain ada yang masuk 3 kelas Prof. Afid sekaligus yaitu Pradigma dan Teori, Antropologi Kekuasaan, dan Organisasi Sosial. Ada juga yang mengambil kelas Prof. Afid di semester 3, sementara saya memilih mengambil mata kuliah lain. Tidak mengikuti salah satu mata kuliah Prof. Afid membuat saya sangat menyesal kala itu. Kuliah Organisasi Sosial kemudian saya ambil ketika saya melanjutkan kuliah di Program Doktoral Antropologi tahun 2018.
Memori tentang Prof. Afid kembali melekat kuat waktu saya melanjutkan studi S3 di Antropologi UI. Saya ingat betul ketika teman-teman angkatan 2018 dikumpulkan oleh Ketua dan Sekretaris Program Pascasarjana, Mas Irwan dan Mas Prihandoko untuk penjelasan perihal Departemen Antropologi, termasuk soal memilih mata kuliah yang tepat. Setelah Mas Irwan dan Mas Pri keluar ruangan, saya menyarankan teman-teman untuk mengambil kelas Prof. Afid. Pada saat teman-teman yang seluruhnya S2, kecuali saya sendiri yang S3, mengekspresikan kebingungan soal mata kuliah apa yang tepat untuk diikuti, saya menjelaskan alasan kenapa perlu mengambil kelas Prof. Afid. Alasan yang saya lontarkan adalah 3 poin tadi, kita dapat pengayaan intelektual dan banyak referensi, tidak perlu berjibaku dengan paper mingguan, dan terakhir pasti dikasi nilai bagus asal aktif berinteraksi di kelas dantertinggal mengikuti ujianS2(UTS UAS). kelas Kemudian, sayaSosial. akhirnya bisa melengkapi puzzle yang yang waktu yaitu dan mengikuti Organisasi Di semester awal tahun 2018, saya ternyata mengikuti 2 kelas Prof. Afid sekaligus, yaitu mata kuliah wajib Paradigma dan Teori Antropologi dan mata kuliah tambahan Organisasi Sosial. Walaupun saya telah mengikuti kuliah Paradigma saat S2, saya tetap menikmati gaya mengajar Prof. Afid. Lagipula materi yang diajarkan juga bertambah kaya dari apa yang saya dapat kala S2, khususnya narasi dan wacana yang dipakai. Artinya, realita empirik, kasus, dan problem yang dibedah sama sekali berbeda dengan yang kami diskusikan tahun 2013-2014 lalu dalam pembahasan paradigma atau teori yang sama. Inilah interpretasi sosial yang dilakukan oleh Prof. Afid dalam merespon kondisi di sekeliling kita dan menangkap simbol kekinian yang dipersembahkan untuk mahasiswa di kelas. Di kelas Pradigma dan Teori, Prof. Afid selalu menjelaskan paradigma dan teori berdasarkan interest dan kebutuhan kami. Setiap mahasiswa punya tema dan ketertarikan masing-masing yang akan menjadi tugas akhir. Pardigma dan teori dijelaskan satu per satu berdasarkan rencana penelitian yang akan kami ambil. Ketika saya menyampaikan bahwa ketertarikan saya soal Gerakan Bela Islam 212, Prof. Afid menceritakan bahwa beliau
memiliki ketertarikan yang sama. Bahkan, beliau sudah menulis esai tentang politik identitas (Kasus 212) yang akan disampaikan pada pertemuan para ilmuwan sosial di Maroko tahun 2019. Di sana, menurut beliau, ia akan bertemu para antropolog untuk membahas gagasan Clifford Geertz mengenai “Islam Observed.” Prof. Afid menjelaskan bahwa agama, upacara, ritual, atau Gerakan 212 merupakan entry point untuk melihat kebudayaan masyarakat yang sebenarnya. Orang boleh saja cekikikan, seperti kisah komedian di depan layar bisa tertawa terbahak-bahak, tetapi di belakang penuh dengan stress dan emosi. Kasus sabung ayam di Bali misalnya, seperti 62
etnografi Geertz, orang Bali menonton, bersorak-sorai, melontarkan sumpah serapah, bahasa dan kata-kata kotor. Orang-orang menumpahkan amarah, emosi, semua keluh kesah, dan uneg-uneg mereka, kemudian pulang ke rumah menjadi orang Bali. Mereka theatre ternyataayam. sedang dan memaki yang tidak setara melalui sabung Ini mengkritik yang disebut oleh Geertzstruktur sebagai sosial “negara teater” pada tahun 1980. Negara teater mengindikasikan bahwa apa yang dilakukan oleh masyarakat tidak semata-mata yang ada di depan mata kita yang diinginkan oleh mereka, tetapi bisa hal lain yang disembunyikan. Dari negara teater, kemudian lahir politik teater, agama teater, dan
sebagainya yang ditunjukkan oleh orang yang sebenarnya tidak seperti apa adanya. Maka, sangat perlu menyelam di dalam struktur terdalam yang tersembunyi ( deep structure ) di masyarakat dengan deep interview atau observasi partisipasif seperti yang dilakukan oleh Geertz. Pertemuan di Maroko nantinya, menurut Prof. Afid, dilakukan untuk menyelami kembali pemikiran-pemikiran Geertz dalam melihat kembali Islam ( Islam re-observe ) yang akan mengkaji secara komparatif antara Islam di Indonesia dan di Maroko. Islam di Maroko terlibat dalam konflik yang berlangsung lama, sedangkan di Indonesia konflik cepat terintegrasi. Akan tetapi, hal baru dalam gerakan Islam di Indonesia adalah munculnya Aksi Bela Islam yang memperuncing perseteruan identitas. Seperti kajian yang ingin saya lakukan untuk disertasi saya nantinya. Prof. Afid bahkan berjanji akan menyampaikan hasil pertemuan di Maroko itu kepada kami. Satu janji yang sangat saya harapkan tercapai. Janji kedua yang disampaikan oleh Prof. Afid kepada kami di kelas bahwa beliau sedang menulis buku tentang politik identitas yang akan membantu kuliah organisasi sosial dan tentu saja akan sangat membantu disertasi saya. Hal ini di sampaikan di kelas Organisasi Sosial di mana kami memiliki interest yang hampir sama s ama yaitu tentang identitas, relasi sosial, konflik, dan agama. Di kuliah ini, kami lagi-lagi sangat nyaman dengan penjelasan Prof. Afid yang mengarahkan kuliah untuk membantu rencana penelitian kami. Bukan sebaliknya, bukan kami pada yang kebutuhan harus menyesuaikan dengan keinginan Gaya bahwa mengajar Prof.inilah Afid berorientasi dan interest mahasiswa. mahasiswa. Kamibeliau. menyadari seperti sosok Prof. Afid dalam mengampu mata kuliah, melakukan sesuatu out of the box dan berdasarkan kebutuhan mahasiswa. beyond official outline berdasarkan Selepas kepergian almarhum, Dr. Tony Rudyansjah sebagai pengganti juga secara bagus menjelaskan satu per satu paradigma ilmu pengetahuan sebagai pengetahuan umum bagi kami secara mendalam dan totalitas. Namun, Prof. Afid menjelaskan pradigma berdasarkan kebutuhan kami satu per satu. Begitu juga kuliah Organisasi Sosial yang kemudian diajarkan
oleh Prof. Yasmine Shahab yang mengembalikan pembahasan kuliah sesuai outline yang dibuat oleh Prof. Afid sendiri. Kami baru sadar, ternyata mata kuliah Organisasi Sosial sebenarnya hanya membahas organisasi yang berkaitan dengan kekerabatan, bukan jaringan organisasi modern yang kami pahami, apalagi berhubungan dengan politik identitas, konflik etnis, dan sebagainya sebagaimana interest kami di kelas. Almarhum banyak menginterpretasikan masalah dan menjelaskan teori-teori yang memang berkaitan dengan rencana topik penelitian kami. Hal ini yang membuat kami merasa sangat kehilangan atas meninggalnya Prof. Afid. Belum lagi cerita pengakomodasian dan apresisasinya terhadap gagasan mahasiswa. Bahkan, cerita-cerita ringan dan tidak berbobot tidak pernah diabaikan olehnya, melainkan dinaikkan levelnya menjadi sesuatu yang luar biasa ketika diabstraksikan ke dalam teori. 63
Pernah suatu hari beberapa minggu sebelum kepergian beliau, teman saya bernama T (inisial), di kelas Organisasi Sosial, bercerita panjang lebar soal apa yang ada di kepalanya. Mulai dari pemilihan dekan dan rektor di kampusnya, juga ia sebut di UGM, yang bernuansa politis sampai cerita soal arisan di keluarganya dan pedagang yang jualan panci keliling.
Sebuah cerita yang benar benar tidak bermutu. Saya perhatikan teman yang duduk sebelah saya sampai geleng-geleng kepala dan buang muka tanda heran tidak terima dengan ocehan tersebut. Saya hanya senyum sambil mengambil gambar T secara sembunyi-sembunyi (candid). WhatsApp caption , “Di kelas Fotonya, sayaT kirim ke grup (WA) (WA) 2018 dengan Organisasiiseng Sosial, menjadi pengamat arisan danangkatan kredit. Sangat ekspresif menceritakan pengalaman dan pengamatannya soal arisan dan kredit. Tepuk tangan (emoticon ).” ).” Di grup, teman sebelah saya mengomentari dengan ledekan, “Mas Afid terpukau.” Saya membalas lagi, “T bahagia dan ekspresif banget di kelas ini, kita semua ikut senang di sini. Tertawa dan tepuk tangan (emoticon ).” ).” Teman-teman yang lain juga berkomentar karena melihat
wajah sumringah dan ekspressif T. Saking panjangnya cerita T, kami sampai memiliki waktu membahasnya di grup WA. Di lain pihak, saya memperhatikan Prof. Afid, beliau sangat serius dan fokus mendengarkan cerita T. Saya pikir, cerita ngalor-ngidul itu bakal dipotong oleh beliau, ternyata dibiarkan sampai selesai. Beliau kemudian menanggapi, “Bagus sekali ya ceritanya, s aya jadi ingat konsep Geertz soal sharing poverty dan rotary group yang ternyata kita sebut arisan. Ini bisa jadi judul tesis yang sangat bagus.” Hah, semua terperangah. Prof. Afid mengabstraksi cerita itu menjadi kajian teoritis yang sangat menarik. Beliau bercerita tentang konsep C lifford Geertz “Involusi Pertanian”, shared poverty , dan sebagainya. Juga, tentang orang yang jual panci keliling dengan cara kredit ditarik ke dalam kajian tentang IMF dan World Bank yang meminjamkan uang atau membiayai pembangunan dengan pembayaran cicilan. Luar biasa sekali. Sebuah pemikiran cemerlang yang berangkat dari apresisasi terhadap celotehan orang lain. Juga, ketajamanan analisis teori yang mampu menginterpretasikan segala sesuatu menjadi jejaring makna yang signifikan (web of significance ). ). Inilah sosok Prof. Afid yang kami kagumi. Teman saya yang tadinya tidak acuh dengan T, kemudian terhenyak dengan rasa kagum
terhadap Prof. Afid dan respect terhadap terhadap T yang memang dikenal suka cerita meledak-ledak n menulis di grup WA, “Perlu banyak belajar lucu di kelas. Setelah itu, salah tema nih sama TR. Perspektifnya tajamseorang dan jernih dalam membedah kasus.” Kisah ini menjadi ingatan khusus buat saya dan teman-teman di kelas Organisasi Sosial. Saya menceritakan itu ke teman-teman angkatan. Juga, sepulang dari mengiring jenazah almarhum, saya menceritakan lagi hal ini ke teman-teman dengan merinding. Sambil tersenyum bangga saya bilang, “Sebuah cerita yang kita anggap sampah, malah jadi
sesuatu yang sangat berharga yang mengangkat derajat T.” Maklum, T punya kisah sebelumnya yang bertolak belakang dengan apa yang ia alami saat berhadapan dengan Prof. Afid. Di kelas lain, saat pertemuan kedua di awal semester 1, T melontarkan pertanyaan ke dosen yang memang pertanyaannya kurang penting menurut saya. Mungkin karena pertanyaan itu belum jelas arahnya, atau di luar kajian kita saat itu, sang dosen bertanya kembali – suatu hal yang biasa terjadi Ketika dosen ingin berinteraksi (tanya jawab) dengan mahasiswa – yang dijawab oleh T dengan nada tidak suka.
64
“Kan saya nanya , Bu! Saya nanya ! Karena saya tidak tau, makanya saya nanya . Kok
malah nanya balik,” ketus T.
Mendengar jawaban itu, sang dosen hanya tertawa dan mencoba meraba-raba menjawab pertanyaan itu. Lucunya, T tidak pernah muncul kembali di kelas tersebut. Kabarnya, ia drop off dari dari kelas itu karena memang masih dalam masa Add dan Drop mata mata kuliah. Sebuah kisah yang mengingatkan kami tentang hebat dan baiknya Prof. Afid dengan mahasiswa yang membuat kami merasa sangat kehilangan beliau. Kami tidak hanya kehilangan dosen yang akan memberikan ilmu dan nilai yang bagus buat kami, tetapi juga meninggalkan memori yang tak terlupakan walaupun begitu singkat. Buat saya dan temanteman yang pernah bertemu beliau sebelumnya, masih merasakan singkatnya interaksi dengan almarhum, apalagi teman-teman yang baru bergabung dengan Departemen Antropologi UI. Menurut Prof. ceritaAfid teman-teman yang jika mengambil kelas Antropologi Sosial (kelas matrikulasi), pernah meminta acara perkuliahan dibuatkan videoBudaya dan diupload ke Youtube. Permintaan yang tidak berhasil terpenuhi oleh teman-teman lantaran cepatnya kepergian beliau. Teman-teman menyesal sekali tidak memiliki kenangan yang diabadikan bersama almarhum. Jangankan video, foto pun tidak pernah diambil bersama. Hanya ada rekaman suara dan foto candid Prof. Afid dalam kelas. Penyesalan lainnya, kami belum sempat menjenguk beliau ketika sedang dirawat di rumah sakit. Kami mendengar kabar beliau sakit ketika sudah masuk ICU di Rumah Sakit Puri Cinere dan kami sedang UTS. Kami mengetahui Prof. Afid dirawat di ruangan ICU jam 11 siang dan ternyata pukul 21.00 malam beliau menghembuskan nafas terakhir. Begitu cepat dan singkat sekali beliau pergi. Sebenarnya, saya dan teman-teman sudah berencana menjenguk Prof. Afid hari itu, walau tahu kami tidak bisa menemui beliau di kamar perawatan itensif. Namun, rencana kami hanya menjadi penyesalan tanpa melihat Prof. Afid sebelum meninggalkan kami
selamanya. Beberapa waktu sebelum jatuh sakit dan dirawat itensif, Prof. Afid memang beberapa kali tidak masuk kelas. Informasi di group WA “Antropologi Pasca 2018” yang biasanya disampaikan oleh Mbak Wiwin, seringkali mengumumkan tidak ada kuliah Prof. Afid karena sedang kecapaian, butuh istirahat. Setiap pagi, kami harus menanti informasi dari group WA untuk mengetahui Prof. Afid masuk kelas atau tidak. Saya melihat Prof. Afid cukup banyak mengampu mata kuliah sehingga saya menganggap wajar kalau beliau kelelahan. Hal ini sering saya sampaikan ke teman-teman. Di semester 1 saja, Prof. Afid mengajar 3 kelas, belum lagi semester yang lebih tinggi. Saya dengar kabar, beliau juga menjadi beberapa mahasiswa doktoral dan memberikan pembimbing mahasiswa magister. Mungkin jugapromotor mahasiswa S1. Hebatnya, semangat beliau ilmu dan melayani mahasiswa tidak pernah surut. Prof. Afid sendiri tidak pernah cerita kepada kami tentang kondisi kesehatannya. Beliau tetap kelihatan bugar ketika mengajar kami di kelas. Beliau tidak pernah sekali pun mengeluh. Informasi soal kesehatan beliau diceritakan oleh asistennya yang sering masuk ke kelas menemui beliau. Sang asisten dua kali bercerita bahwa Prof. Afid sedang sakit, tetapi mewanti-wanti kami untuk tidak memberitahu Prof. Afid. Ia mengatakan bahwa Prof. Afid tidak menginginkan mahasiswanya mahasiswanya tahu bahwa dirinya sedang sakit. 65
Dari Prof. Afid, saya melihat ada satu tanda yang membuat saya berpikir bahwa beliau sudah merasa siap dan menyadari bahwa umurnya tidak lagi panjang. Ini menjadi alasan kenapa beliau tetap dan semakin semangat menyebarkan ilmu kepada banyak orang. Beliau pernah menyebut soal usia, saya lupa apa pembahasannya, tetapi beliau berkata begini, “Kita manusia sekarang kan umurnya nggak begitu panjang, ya paling 60 sampai 70 tahun itu sudah paling tinggi.” Saya kaget mendengar ucapan beliau itu, soalnya tiba-tiba menyebut masa hidup kita yang tidak panjang. Padahal, beliau sendiri sudah berusia 60-an tahun. Saya mengartikannya bahwa beliau benar-benar sudah sadar bahwa sisa hidupnya tidak lagi lama. Analisis saya, orang kalau sudah merasa punya penyakit yang diderita, seharusnya bisa mengurangi intensitas kesibukannya. Sebaliknya, Prof. Afid terlihat semakin sibuk. Beliau sibuk mengajar banyak mata kuliah, menjadi promotor atau pembimbing tugas akhir mahasiswa, juga semakin intensif membuat berbagai kegiatan di Pusat Kajian (Puska) Antropologi. Setelah beliau wafat, saya baru dapat kabar bahwa almarhum adalah Direktur Puska Antropologi UI. Kalau saja saya mengetahui sebelumnya bahwa kegiatan di Puska itu adalah inisiasi alamarhum, saya pasti akan mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut. Beberapa kali saya mendapat undangan pelatihan dan kajian oleh Puska, saya selalu konfirmasi jadwal acaranya, ternyata berbenturan dengan jam kuliah. Padahal, memang kegiatannya begitu menarik. Antusias besar Prof. Afid memberikan ilmu terlihat dari apresiasinya terhadap interest kami dalam rencana tugas akhir yang akan kami kaji. Semua mata kuliah diarahkan untuk membantu mahasiswa menyelesaikan tesis atau disertasi, bahkan dengan cara melewati atau SAP mata kuliah tersebut. Beliau juga sering menawarkan buku pada kami di outline atau kelas. Saat membahas sesuatu yang terkait dengan rencana disertasi saya, saya sengaja
menunggu teman-teman keluar kelas semua, kemudian saya menanyakan kembali bukubuku yang tadi disampaikan. Ketika saya kurang paham judul berbahasa Inggris yang disebut, beliau menulis tangan langsung untuk saya. Luar biasa, satu hal yang akan selalu hidup dalam ingatan saya. Seolah-olah, Prof. Afid sudah tahu bahwa beliau mengajar tidak lama lagi dan tidak sampai menjadi promotor atau pembimbing kami yang baru semester 1 saat itu. Beliau mencurahkan pengetahuannya untuk menjawab kebutuhan kami yang sebenarnya akan kami hadapi di semester akhir ketika mulai mengerjakan tesis atau disertasi. Namun, berkali-kali beliau menyampaikan kepada kami di kelas untuk menanyakan segala sesuatu yang berhubungan dengan rencana penelitian kami masing-masing. Saya pribadi sudah memiliki ancang-ancang untuk meminta beliau menjadi promotor disertasi saya. Saya terus mendekati beliau dan banyak sekali bertanya tentang rencana kajian saya yang memang menjadi topik yang beliau senangi yaitu soal agama, Gerakan 212 di Jakarta. Ketika saya sharing dengan beberapa teman yang sedang disertasi, mereka menyebut nama Prof. Afid yang paling cocok sebagai promotor saya kelak. Salah satunya, Mbak Sri Alem yang mengtatakan ke saya untuk mendekati beliau secara pribadi atau minta khusus kepada Ketua Program Pascasarjana, Mas Irwan untuk memberikan tempat bagi saya dipromotori oleh Prof. Ternyata, niatkehilangan itu kandasalmarhum. ketika saya mendengar kabar agar kepergian beliau. Saya sekali Afid. lagi merasa sangat Ada satu lagi memori saya tentang Prof. Afid terkait aktivitasnya menjadi promotor. Ketika beliau wafat, saya tiba-tiba dihubungi oleh orang yang kebetulan dipromotori oleh 66
beliau. Saya sebut saja inisialnya MJA yang menghubungi saya via Facebook . MJA menyebut bahwa Prof. Afid adalah promotornya dan ia mengkaji soal rekonsiliasi konflik di Bima NTB di mana penelitian tesis saya lakukan ketika S2. Menurut MJA, saat terakhir bertemu dengan Prof. Afid untuk mendiskusikan proposal penelitiannya, sebelum beliau meninggal, almarhum menyebut nama saya sebagai referensi kajian konflik di Bima NTB. MJA bertanya kepada saya bahwa apakah beliau adalah pembimbing tesis saya. Saya jawab bukan, Prof. Afid sebagai penguji tesis saya saat itu. Saya bertanya-tanya dalam hati, kok bisa Prof. Afid ingat saya yang meneliti tentang konflik di Bima, padahal beliau hanya menjadi penguji tesis saya 3 tahun yang lalu (tahun 2015). Beliau sampai berjanji akan memberikan nomor handphone saya kepada MJA, tetapi belum sempat diberikan karena memang beliau tidak memiliki nomor HP saya. Di kelas pun, mungkin lupa, beliau tidak pernah cerita hal itu dan tidak meminta nomor HP saya untuk diberikan ke MJA. Akhirnya, MJA menghubungi saya langsung setelah beliau wafat. Satu peristiwa yang membuat saya kembali mengingat almarhum dan menjadi penyesalan bagi saya kenapa saya tidak meminta nomor kontak beliau untuk komunikasi langsung. Penyesalan tanpa memiliki nomor handphone Prof. Afid, saya rasa tidak sebesar rasa sedih ditinggal oleh orang yang memiliki nomor HP beliau dan menjalin komunikasi dengan almarhum. Ketua kelas kami berinisial AH yang sering komunikasi via HP dengan Prof. Afid, misalnya, saya lihat, merasakan kesedihan begitu besar lantaran teks dari Prof. Afid ada di genggamannya. AH yang paling cepat hadir ke rumah duka, paling bersemangat, dan saya
lihat wajahnya tidak seperti biasanya, diselimuti duka. AH juga sering mengekspresikan kesedihannya di group WA kami. Ia memiliki banyak foto Prof. Afid dan rekaman suara saat beliau mengajar di kelas. AH pernah mengatakan bahwa ia tak sanggup menahan kesedihan saatKadang, ia memutar suara Prof.tersinggung Afid. sayarekaman melihat AH seperti kepada kami (saya lupa apa persoalannya) kemudian memisahkan diri dan terdiam di hari pemakaman Prof. Afid. Saya sempat menceritakan hal itu kepada teman-teman yang lain, tapi mereka malah berkata, “Nggak “Nggak AH doang kok yang merasa kehilangan, kita juga sama-sama merasa kehilangan.” cuma AH Kisah ini menunjukkan bahwa kami angkatan 2018 merasakan sebuah kehilangan dalam pertemuan singkat yang begitu intim dengan Prof. Afid. Keintiman interaksi di kelas yang mengakomodir dan menjawab setiap kebutuhan fundamental mahasiswa yaitu bagaimana menyelesaikan tugas akhir. Kehilangan yang menghadirkan beberapa penyesalan yang menjadi pelajaran berharga bagi teman-teman. Misalkan saja, menyesal tanpa foto bersama Prof. Afid, teman-teman kemudian meminta foto bersama dengan para dosen yang mengajar di kelas. Hanya saya yang memiliki kenangan foto bersama Prof. Afid ketika sidang tesis tahun 2015. Di foto tersebut, saya diapit oleh Prof. Afid dan Mas Irwan sebagai penguji dan Mas Dave sebagai dosen pembimbing saya. Foto itu saya bagikan ke group WA dan media sosial pribadi saya dengan ucapan bela sungkawa, doa, dan rasa kehilangan yang begitu besar. Saat membagi foto itu, saya ingat saat ujian tesis, beliau sangat mengapresiasi konsepkonsep dan istilah-istilah yang saya pakai sebagai hal baru yang saya temukan dalam penelitian saya. Lagi-lagi apresiasi besar terhadap apa yang dilakukan oleh mahasiswa dalam upaya mencari ilmu dan memperkaya ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, kita telah kehilangan sosok yang begitu kuat apresiasinya terhadap gagasan dan pikiran orang lain dan besar dedikasinya bagi peningkatan kualitas intelektual
67
mahasiswa yang dididiknya. Maka, saya mengajak kita semua untuk terus mendoakan semoga beliau mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah SWT atas buah dari dedikasinya ded ikasinya dan semoga ilmu yang diajarkan menjadi amal jariah yang tak pernah putus pahalanya untuk almarhum. Alfatihah. Penulis adalah mahasiswa Program Pascasarjana (S2) Antropologi UI 2013-2015 dan Program Doktor 2018 yang telah mengambil semua mata kuliah yang diampu oleh Prof. Afid.
Foto bersama Prof. Afid saat menjadi penguji tesis saya tahun 2015
Foto candid Prof. Afid di kelas (Diambil dari group WA angkatan 2018)
Foto terakhir Prof. Afid di kampus saat pelatihan (Dari group WA angkatan 2018) Puska Antrop Mulyadin adalah lulusan pascasarjana Departemen Antropologi UI
68
“Aku Mambaca ai Tulisan Ikam di Facebook ” ”:
Kesan Mendalam Terhadap Profesor Achmad Fedyani Saifuddin Nasrullah Antropolog (dari) (dari) Kalimantan Kalimantan Selatan Selatan
Saya mengalami kesulitan menulis kenangan pribadi terhadap almarhum Prof. Achmad Fedyani Syaifuddin (Pak Afid), bagaimana tidak, perjumpaan kami hanya sekilas dan beberapa kali bertemu baik ketika beliau ke Banjarmasin atau pertemuan kami di Kampus UI Depok. Saya bukan mahasiswa beliau secara formal, apalagi bergaul selama bertahuntahun, maka jika tulisan ini ikut terbit boleh jadi saya adalah satu-satunya orang yang menulis kenangan dalam rentang waktu singkat terhadap beliau. Namun, tidak bisa dipungkiri, duka mendalam menjalar dalam diri saya, ketika saudara Yanuardi Syukur mengabarkan kepergian beliau. Entah kenapa, saya merasa ada ikatan batin yang tidak bisa dijelaskan. Saya merasa kehilangan sosok yang begitu dekat, familiar. Rupanya perjumpaanperjumpaan sekilas itu mampu mengikat perasaan membawakan kepada kenangan mendalam yang akan saya jelaskan di bagian berikutnya. Melanjutkan tulisan ini, izinkan saya saya memaparkan perkenalan dengan Prof. Afid. Nama Prof. Afid pertama kali saya kenal ketika saya masih kuliah di pascsarjana Antropologi UGM, sekitar tahun 2007. Waktu itu, Mas Heddy (panggilan akrab kami kepada Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra) membedah buku Antropologi Kontemporer karya karya Prof. Afid. Setelah itu, nama Prof. Afid tenggelam dalam kesibukan saya ketika saya diterima sebagai staf pengajar di program studi Pendidikan Sosiologi Antropologi, FKIP Universitas Lambung Mangkurat tahun 2010. Tidak berapa lama kemudian, saya kembali terkenang Prof. Afid, ketika ada
perasaan sepi dalam hati saya saat menghimpun nama-nama antropolog dari Kalimantan Selatan karena masih dalam hitungan jari. Saya mengenang sejumlah antropolog terkemuka dari Kalimantan Selatan berserta karyanya, tapi mereka sudah lama tiada. Saya juga merasa bahagia menemukan dua antropolog dari Kalimantan Selatan yang eksis di UI yakni Pak Afid sendiri dan Pak Tony Rusdiansyah. Alfani Daud dengan disertasinya yang telah dibukukan berjudul Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisis Kebudayaan Banjar , telah menggambarkan sebuah karya 69
antropolog meskipun berasal dari disertasi IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta yang dipromotori oleh Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar dan Ko-Promotor, Prof. Dr. Jan Van Baal. Penelitian disertasi tersebut dilakukan tahun 1985 dan kemudian dibukukan tahun 1997 (Daud, 1997). Tahun 2010 sebagai tahun pertama saya menjalani karier dunia akademis, saya tercengang dengan begitu antusiasnya mahasiswa menggunakan atau merujuk buku tersebut. Di satu sisi, saya memaklumi, buku itu menjadi rujukan utama mahasiswa khususnya mereka yang meneliti kebudayaan Banjar. Di sisi lain, saya merasa sedih karena buku ini populer setelah penulisnya berpulang ke rahmatullah. Sewaktu menjadi mahasiswa IAIN, saya beberapa kali bertemu Alfani Daud penulis buku tersebut dan beliau berkenan berdiskusi tentang beberapa bagian dari disertasi yang menarik minat mahasiswa di usia
remaja seperti tentang jimat untuk kekebalan dan pengasihan. Selain Alfani Daud dari IAIN Antasari, ada dua nama antropolog dari Universitas Lambung Mangkurat. Noerid Haloei Radam mengekalkan dirinya melalui disertasi yang penelitiannya dilakukan sejak April 1979 hingga November 1980 dengan mengambil kawasan di Hulu Amandit kemudian dibukukan dengan Religi Orang Bukit Suatu Lukisan Struktur dan Fungsi dalam Kehidupan Sosial Ekonomi terbitan tahun 2001 (Radam, 2001). Buku ini menjadi acuan bagi mahasiswa dalam menelaah masyarakat Meratus di Kalimantan Selatan. Nama berikutnya adalah Fudiat Suryadikara, antropolog Universitas Lambung Mangkurat. Sepeninggal almarhum, keluarga beliau menghibahkan berbagai buku antropologi untuk digunakan mahasiswa khususnya ada program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi. Nama Fudiyat Suryadikara, kemudian diabadikan menjadi nama taman baca yang dihiasi sejumlah buku-buku antropologi milik almarhum. Sayangnya ketiga antropolog yang mewarnai jagad keilmuan di Kalimantan Selatan ini terpisah oleh bentang waktu sepuluh hingga belasan tahun dengan generasi sekarang. Sepak terjang dan peran mereka dalam menyumbangkan pemikiran untuk Indonesia khususnya Kalimantan Selatan membutuhkan upaya lebih jauh untuk mengenalinya. Adapun karya fenomenal yang telah diwariskan dan menjadi rujukan bagi antropolog berikutnya demi memahami masyarakat Banjar, Dayak, maupun identitas etnis dan segala keragamannya di Kalimantan Selatan berasal dari hasil penelitian lebih dari 30 tahun lalu hingga sekarang. Sampai pada bagian ini, disadari bahwa selain antropolog belum memiliki rumah sendiri di Kalimantan Selatan, ternyata regenerasi antropolog terbentang sepuluh hingga belasan tahun sehingga menciptakan celah kosong yang tidak terisi manakala terjadi persoalan daerah di Kalimantan Selatan. Kenyataan ini menghendaki agar antropologi secara keilmuan dan praktis harus dirawat oleh antropolog sendiri. Ada dua upaya yang terus dilaksanakan saat ini, pertama yang telah berjalan dengan adanya Asosiasi Antropologi Kalimantan
Selatan telah dilantik pada pada hari ahad 17 Maret 2017, sedangkan upaya kedua yang terus diupayakan adalah membuat rumah sendiri bagi antropologi di perguruan tinggi, 1
khususnya Lambung Mangkurat. KalimatUniversitas di atas “Kenyataan ini menghendaki agar antropologi secara keilmuan dan praktis harus dirawat oleh antropolog sendiri” sebenarnya diupayakan Prof. Afid. Kedatangan Prof. Afid 13 Februari 2015 membicarakan kemungkinan berdirinya prodi 1
Bagian ini saya kutip sepenuhnya dari sub bagian makalah berjudul Antropolog Kemana? Yang disampaikan
dalam Konferensi 60 Tahun Antropologi Indonesia, UI Depok Depok, 14-15 September 2017
70
Antropologi di ULM dan pada saat itu pula kami mendaulat beliau bersama Prof. Wahyu, Guru Besar Sosiologi Universitas Lambung Mangkurat, dan Prof. Mujiburrahman Guru Besar UIN Antasari dalam sebuah seminar. Selain itu, teringat akan karya-karya antropolog di Kalimantan Selatan yang karyanya cenderung dibaca setelah orangnya tiada, saya mengusulkan agar karya beliau berjudul Konflik dan Integrasi untuk untuk diterbitkan ulang. Pada waktu itu, beliau tidak berkomentar kecuali merespon dengan tersenyum saja.
Kesan Mendalam
Pertemuan-pertemuan singkat dan pembicaraan pendek dengan Pak Afid, sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, bagi saya meninggalkan kesan yang mendalam. Setidaknya ada dua hal menjadi pengalaman pribadi saya dan tidak pernah terlupakan. Pertama, setelah pertemuan di kampus Universitas Lambung Mangkurat tahun 2015, sebagaimana diceritakan di atas. Saya bertemu kembali dengan Pak Afid di Kampus UI, Depok, tepatnya dalam acara Konferensi 60 tahun Antropologi Indonesia tanggal 14-15 September 2017. Saya menyapa beliau dengan harapan beliau masih mengenal saya. Namun tak disangka jawaban beliau lebih dari sekadar mengenal, kami seolah saling kenal lama dan beliau berkata dalam bahasa Banjar, “Aku mambaca ai tulisan ikam di Facebook.” (Saya membaca tulisan kamu di Facebook). Saya terkejut bukan alang kepalang. Bagaimana mungkin seorang guru besar sekaliber Pak Afid mau meluangkan waktu membaca tulisan saya di media sosial seperti facebook. Bukankah lebih baik beliau membaca tulisan bermutu ilmiah baik terbit di jurnal-jurnal nasional dan internasional, ataupun karya tulis ilmiah dalam bentuk disertasi. Saya tidak menangkap ada keraguan atau main-main dari ucapan beliau. Pada saat itu, saya merasa dipompa rasa percaya diri dan bahagia sekali. Kami terus bercakap-cakap dalam bahasa Banjar, sementara orang yang berlalu lalang di samping kami menyapa dan memberikan isyarat hormat kepada beliau. Waktu itu, kami melangkah masuk ke Auditorium Juwono Sudarsono dan saya tidak membuang kesempatan untuk berfoto dengan beliau. Ternyata para antropolog tidak membiarkan saya berfoto hanya berdua dengan beliau, mereka ikut nimbrung berfoto bersama. Tentang foto ini yang kelihatannya sepele, ternyata memberikan kesan mendalam sebab itulah foto terakhir kami dengan Prof. Afid. Bahkan, Dr Marko Mahin, antropolog dari Palangkaraya yang mendapat bimbingan disertasi Pak Afi d, berkata, “Kamu beruntung bisa
berfoto dengan beliau, Nas. Saya saja bimbingan beliau tidak terfikirkan untuk berfoto. Saya hanya memiliki satu foto ketika saya dipeluk Pak Afid ketika wisuda dulu”. Saya melihat mata Dr. Marko Mahin berkaca-kaca. Kedua , Pak Afid bagi saya adalah benar-benar observer sejati yang merupakan syarat utama sebagai antropolog kawakan. Kesan ini saya temukan pada suasana biasa-biasa saja. Rasa ingin tahu dan mengenal Pak Afid lebih jauh membuat saya memperhatikan beliau. Jika kebanyakan orang melihat kemampuan beliau dalam menyampaikan hal-hal rumit menjadi sederhana dalam perkuliahan, saya malah melihat sikap beliau dalam menyimak pembicaraan orang lain. Kehadiran beliau memberikan ceramah di kampus Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin yang didahului oleh seremonial acara pembukaan dan sambutan-sambutan dari pejabat kampus tak luput dari perhatian beliau. 71
Prof. Afid dengan konsentrasi tinggi memperhatikan kata sambutan pimpinan Fakultas. Beliau tidak sedikitpun berbicara kepada orang di samping, apalagi merogoh saku untuk mengambil Hp dan melihat pesan pendek yang masuk hingga sambutan itu selesai. Hal itu terulang lagi ketika acara Konferensi 60 Tahun Antropologi Indonesia di UI. Lagi-lagi Pak
Afid duduk dengan konsentrasi penuh p enuh memperhatikan ceramah yang disampaikan pemateri, padahal boleh jadi kemampuan beliau jauh lebih leb ih hebat dari penceramah tersebut. Sikap beliau yang penuh perhatian itu terlihat dari sekadar membaca tulisan saya di hingga memperhatian dengan seksama sambutan maupun materi orang lain, bagi facebook hingga saya menunjukkan Pak Afid adalah observer sejati. Beliau menyerap dari sumber manapun dengan seksama, seperti pendulang intan di Martapura yang melihat butir-butir pasir dalam dulang untuk menemukan batu berharga sebagai sebuah pengetahuan. p engetahuan. Penutup
Hari Jumat pada pukul 5 sore, tanggal 26 Oktober 2018, atau empat hari setelah Pak Afid berpulang ke rahmatullah. Di aula Sakadomas kampus FKIP Universitas Lambung Mangkurat, puluhan mahasiswa, alumni dan beberapa orang dosen Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi duduk dalam suasana syahdu. Saat bersamaan hujan turun perlahan-lahan mengiringi bacaan tahlil dan doa yang dibawakan Ir. Achmad Rafiek, M.Si ketua Asosiasi Antropologi Kalimantan Selatan yang mendapatkan bimbingan tesis dari Pak Afid. Dari banua Banjar tanah kelahiran Prof. Afid, kami yang tidak sempat mengantarkan beliau ke peristirahatan terakhir dan hanya mengantarkan dengan doa semoga beliau husnul khatimah. Selamat jalan Pak Afid. Karya dan kebaikanmu adalah amal jariyah yang terus mengalir. Tepian sungai Barito, Januari 2019
Nasrullah dilahirkan di Jambu-Baru, suatu desa yang berada di tepi sungai Barito, pada 26 Meli
1979. Menempuh pendidikan S2 di Antropologi UGM, lulus tahun 2008 dengan tesis berjudul Ngaju,
Ngawa, Ngambu Liwa (Analisis Strukturalisme Levi-Strauss terhadap Konsep Ruang dalam Pemikiran Orang Dayak Bakumpai di Sungai Barito). Kegiatan akademis dilakukan di Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi, FKIP, ULM. Penulis aktif meneliti dan menulis tentang Banjar dan Dayak Bakumpai. Tulisan yang telah terbit antara lain: (1) Menulis bersama dalam buku Menggamit Rumah Adat Banjar, 2018; (2) Merawat Ke-Dayak-an (Sebuah Autoetnografi: Produksi Informasi Dayak Bakumpai di Dunia Maya dalam Prosiding KAIB XI 2018 di IAIN Pontianak. Selain itu, penulis juga aktif menulis artikel di media lokal dan media nasional. Penulis dapat dihubungi via email :
[email protected]
72
Berbagi Informasi Hasil Pengalaman Belajar dengan Bapak Afid Ike Iswary Lawanda Pengalaman membuat disertasi menjadi jalan bagi saya mengubah kehidupan saya selamanya. Semua itu diawali oleh kesediaan almarhum Bapak Achmad Fedyani Saifudin (untuk selanjutnya saya menyebut dengan Bapak Afid). Pada awalnya saya ragu akan kesediaan Bapak menerima permohonan saya untuk menjadi promotor. Ternyata, Bapak memberi tanggapan yang biasa saja sebagaimana respon yang diberikan kepada yang lain saat meminta kesediaan Bapak untuk menjadi promotor – sama sekali tidak ada hal yang mengejutkan. Hal ini menjadi suatu kesan yang ingin saya sampaikan sejak awal untuk menggambarkan sosok Bapak Afid dalam pengalaman saya. Hal ini saya sampaikan mengingat bahwa setiap orang memiliki
pengalaman masing-masing selama berinteraksi dengan Bapak Afid, dan memperoleh pengaruh yang beragam pula setelah berinteraksi melalui masa perkuliahan dan bimbingan tugas akhir dengan Bapak. Apakah anda pernah merasa menulis dengan sangat bersemangat selama proses pembuatan disertasi di bawah bimbingan Bapak Afid? Padahal kemudian tulisan anda ternyata masih perlu dirapihkan lagi setelah berkonsultasi dengan Bapak. Jika kita semua pernah mengalami hal ini berulang kali, saya di sini ingin berbagi rahasia keberhasilan melewati pengalaman seperti itu sebagaimana Bapak Afid membuat saya melakukan pemelajaran tanpa saya sadari. Pada awalnya, saya mengosongkan pikiran saya sebelumnya dengan membuang semua hasil berpikir saya sebelum berada di bawah bimbingan Bapak. Tentunya hal ini i ni berlangsung begitu saja tanpa saya sadari. Sekarang saya menyadari bahwa arahan beliau setelah pengosongan pikiran saya sebelumnya, kemudian diikuti dengan mulainya saya mengorganisasi gagasan tulisan seiring dengan saya mengikuti perkuliahan beliau. Saya mengikuti perkuliahan beliau yang belum saya ikuti guna dapat membuat gagasan, pikiran, dan tulisan disertasi saya menuju hasil yang sesempurna, selengkap mungkin, dan berada terus dalam jalannya. Saya percaya jika saya mengadopsi pendekatan ini, saya tidak akan pernah kembali ke kondisi tulisan saya sebelumnya yang berantakan.
73
Walaupun pendekatan ini bertentangan dengan kearifan yang sudah dianut selama ini, jangan membuang pengetahuan yang sudah diperoleh sebelumnya, namun saya yakin bahwa setiap orang yang sudah melewati proses menulis disertasi pasti melakukan yang serupa tanpa sadar. Upaya menulis disertasi dengan jalan ini, bagi saya khususnya, dapat memberikan hasil yang tidak terduga sebelumnya. Proses menulis disertasi yang dapat diterima oleh semua pihak ternyata memberikan pengaruh terhadap hampir semua aspek kehidupan saya, termasuk pekerjaan dan keluarga. Masa penelitian dan penulisan disertasi membuat seseorang menghabiskan 80% waktu dan kehidupannya untuk disertasi sebagai masalah pokok dalam kehidupan. Pada akhirnya, saya menyadari bahwa proses membuat disertasi benar-benar mengubah kehidupan saya. Apakah sampai saat ini saya masih tetap beranggapan seperti itu? Jika pikiran saya mengenai penulisan disertasi adalah mengenai jalan saya menghapuskan segala sesuatu yang tidak diperlukan atau membersihkan ruang pikiran secara bertahap, sedikit demi sedikit, saya beranggapan itu benar. Penulisan disertasi tidak mungkin tidak memberikan pengaruh banyak bagi kehidupan seseorang. Jika anda mengubah pendekatan anda, penulisan disertasi dapat membuat suatu dampak yang tidak ternilai. Pada kenyataannya, itulah arti membuat suatu tulisan dalam d alam suatu keteraturan. Saya mulai membaca jurnal dan buku antropologi organisasi pada saat berada di bawah bimbingan Bapak Afid, dan titik itu yang menumbuhkan inspirasi saya, dari awal pertemuan dengan beliau di suatu perayaan selamatan. Saya mendatangi beliau dan menyampaikan permohonan serta kesediaan beliau untuk menjadi promotor saya. Saya menyatakan bahwa saya serius belajar dan menyusun disertasi dengan arahan akan mengembangkan hasil penelitian saya dalam antropologi organisasi. Saat itu, Bapak Afid bersikap biasa saja
menghadapi saya, tanpa bertanya alasan saya ataupun menyatakan persetujuan. Akhirnya, saya berhasil mendapatkan Bapak Afid sebagai promotor saya. Saat ini, setelah beberapa waktu sejak waktu pertemuan itu, saya sudah memiliki predikat doktor dan berupaya keras menggunakan dan memanfaatkan predikat yang saya sandang dalam pembelajaran di perkuliahan, penelitian, pengabdian masyarakat. Semua saya lakukan dengan tujuan bagi kemaslahatan orang banyak, dan bagi pengembangan institusi saya bekerja. Sejumlah upaya dalam menghapuskan semua pikiran yang tidak diperlukan selama penelitian dan pembuatan disertasi ternyata sudah melebihi banyak hal yang sebelumnya sudah terjadi dalam kehidupan saya. Semua terjadi begitu saja dengan Bapak Afid yang mengarahkan pemikiran saya dalam menulis disertasi. Satu per satu pikiran yang mengganggu kehidupan saya terlepas tanpa saya sadari. Saya ingin menyampaikan bahwa saya tidak membesar-besarkan pengalaman ini. Kehadiran dan keberadaan Bapak Afid selama proses saya membuang pikiran yang tidak berguna dalam kehidupan saya bersamaan dengan meramu penelitian dan disertasi saya berjalan dalam satu proses yang sama, merupakan suatu pembelajaran dalam kehidupan ini. Pengalaman saya menyusun disertasi menjadi landasan saya saat ini dalam menggali, mengorganisasi, dan mendampingi orang-orang yang sedang menyusun tugas akhir di akhir masa perkuliahan. Hal tersebut merupakan hasil pemaknaan saya dan penanaman nilai-nilai Bapak Afid yang berlangsung secara natural. Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan satu hal dengan keyakinan saya bahwa pengorganisasian disertasi mengandung unsur dramatis. 74
Unsur dramatis yang saya maksud di sini adalah proses bimbingan disertasi membuahkan hasil perubahan dramatis mengikuti atau sejalan dengan pokok masalah disertasi saya, di dalam gaya hidup dan perspektif. Semua ini merupakan transformasi kehidupan. Saya mengatakan hal ini dengan sebenar-benarnya. Pernyataan saya ini merupakan refleksi dari sejumlah pernyataan yang saya terima dari orang orang yang pernah saya dampingi dalam menyusun m enyusun tugas akhir dan juga perkuliahan. Setelah perkuliahan, saya baru mengerti lebih dalam lagi mengenai budaya organisasi. Saya memperoleh pemahaman yang lebih dalam di kelas selama perkuliahan. Jika saya tidak hadir dalam perkuliahan, semua pengetahuan itu tidak saya miliki saat ini. Saya kagum bahwa upaya menghilangkan pikiran yang tidak relevan, dapat mengubah saya. Serius tapi santai, namun saya mendapatkan dan belajar sesuatu. s esuatu. Orang-orang tersebut saat ini sepertinya merasa bahagia, setelah menyelesaikan perkuliahan mereka. Saya ingin mengatakan bahwa hasil dari bimbingan tugas akhir menunjukkan bahwa penyusunan tugas akhir telah mengubah jalan pikir dan pendekatan kebanyakan orang mengenai kehidupan. Proses penyusunan tugas mengubah masa depan seseorang, bukan hanya keberhasilan mendapatkan kelulusan. Mengapa demikian? Pada dasarnya saya ingin menyampaikan bahwa saya menyimpan permasalahan dan masa lalu saya dalam suatu keteraturan, dan pada waktu saya menyusun disertasi itu pun juga menjadi suatu keteraturan. Sebagai hasilnya, saat ini saya dapat melihat dengan jelas segala sesuatu yang memang saya perlukan di dalam kehidupan ini,
dan juga yang tidak saya perlukan, serta segala sesuatu yang sepatutnya dan tidak sepatutnya saya lakukan. Baru-baru ini saya melakukan bimbingan tugas akhir di tingkat sarjana dan pascasarjana. Semua dilakukan baik secara secara privat atau satu per satu meupun berkelompok di suatu ruang terbuka. Proses bimbingan ini dituntut dapat selesai dalam waktu tiga bulan. Sementara itu, saya juga melakukan satu perjalanan ke lapangan penelitian dan menghadiri konferensi sebagai bentuk pemenuhan tugas kewajiban dalam tri darma perguruan tinggi. Namun demikian, bimbingan dapat dilakukan dengan mengirimkan tulisan menggunakan email, kemudian pertemuan bimbingan dilakukan beberapa waktu setelah itu. Cara ini dilakukan agar antrian bimbingan dapat diatasi. Semua orang dapat memperoleh waktu dan masukan yang diperlukan secara bersamaan. Saya berusaha untuk tidak pernah membatalkan janji pertemuan bimbingan. Saya berusaha untuk tidak mengulang suatu hal yang sama dalam perkuliahan saya dengan topik yang sama. Dari perspektif kerja, pemikiran ini merupakan suatu hal yang fatal. Namun, ternyata kekurangan saya dalam mengulang pembicaraan mengenai suatu topik, ternyata menjadi rahasia keberhasilan saya memperoleh popularitas. Sebagaimana sudah saya singgung di awal, Bapak Afid telah menanamkan nilai-nilai beliau tanpa saya sadari selama pertemuan konsultasi dan jawaban atas tugas saya melalui email selama masa pembimbingan. Metode Bapak Afid yang dapat saya tangkap dan baru dapat saya ungkapkan pada saat ini, jangan pernah masuk lagi ke dalam kondisi yang tidak teratur. Hal ini patut dijalankan karena kita semua dapat menjaga ruang kehidupan kita dalam keteraturan. Kita tidak perlu mempelajarinya berulang-ulang. Saya sesekali melihat kehidupan mahasiswa setelah lulusan dengan tugas akhir di bawah bimbingan saya. Semua alumni tampak hidup dalam keteraturan, dan mereka tetap terus berusaha membuat
75
perbaikan terhadap ruang mereka. Saya membuktikan langsung saat berkunjung ke tempat kerja mereka karena urusan kerja sama institusi, juga melihat foto dan pernyataan mereka di media sosial mengenai kehidupan keluarga dan pekerjaan. Kita semua dikelilingi dengan segala sesuatu yang kita kasihi. Mengapa proses pembelajaran selama penyusunan disertasi dapat membuat suatu transformasi? Karena pendekatan Bapak Afid bukan sekadar satu teknik belaka. Tindakan menyusun merupakan suatu kumpulan perangkat aksi yang sederhana, memindahkan objek dari satu tempat ke tempat lain dan menyusunnya. Tindakan yang dilakukan termasuk menjauhkan segala sesuatu dari tempat asal. Namun demikian, saya mengajak pembaca kembali ke metode Pak Afid yang sudah saya uraikan di atas, metode Pak Afid bukan sekadar seperangkat peraturan cara memilah, mengorganisasi, dan membuang-menyusun pemikiran dan semua hasil penelitian lapangan. Metode Pak Afid merupakan pedoman menuju pada pemikiran yang benar untuk menciptakan keteraturan dan menjadi seorang yang teratur. Ike Iswary Lawanda adalah dosen Program Studi Ilmu Perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia, sangat tertarik untuk melakukan riset kolaboratif. Ia menulis sejumlah
buku dan artikel jurnal mengenai ilmu perpustakaan, arsip, rekod, dan informasi.
76
Pak Afid, Islam Banjar, dan Muhammadiyah di Kalimantan Selatan Ahmad Rizky M. M. Umar Profesor Achmad Fedyani Saifuddin (Pak Afid) adalah salah satu Urang Banjar yang madam (merantau) ke Jakarta. Beliau menempuh pendidikan di Jurusan Antropologi, Universitas Indonesia dan lama mengajar di sana hingga akhir hayat beliau. Pertemuan pertama – dan terakhir — saya dengan Pak Afid terjadi setahun sebelum beliau meninggal dunia. Waktu itu, saya sedang mempersiapkan keberangkatan Ph.D dan secara tidak sengaja menghadiri presentasi riset akhir tahun yang dilaksanakan oleh LIPI, yang menghadirkan beberapa penelitinya. Pak Afid waktu itu bertindak sebagai penanggap dari riset-riset yang dipresentasikan tersebut. Di akhir seminar, saya menghampiri Pak Afid dan memperkenalkan diri sebagai Urang Alabio –kebetulan saya dan beliau berasal dari kampung yang sama di Alabio, Kalimantan Alabio – Selatan, walau lama tinggal di Banjarmasin. Ayah beliau adalah Urang Alabio yang pindah ke Banjarmasin, seperti halnya juga ibu saya. Jadi, meskipun baru pertama kali bertemu, kami merasa dekat karena sama-sama “perantauan Alabio” (meski beliau sudah jauh lebih senior). Setelah bertukar kartu nama dan sedikit diskusi, kami berpisah. Saya menyesal tak bisa
bertukar pikiran lama dengan beliau, karena tak sampai setahun sesudahnya, beliau meninggal dunia. Tapi saya sebetulnya sudah banyak mengenal beliau dari tulisan-tulisannya, terutama kajian skripsi beliau yang luar biasa tentang Muhammadiyah di Alabio. Skripsi tersebut kemudian diterbitkan menjadi Konflik dan Integrasi: Perbedaan Faham Agama dalam Islam (Penerbit Rajawali, 1986). Meskipun masih berupa skripsi yang diterbitkan, buku tersebut
merupakan karya klasik dalam kajian Muhammadiyah di Kalimantan Selatan kerena tak banyak yang meneliti Muhammadiyah di daerah ini. Kebetulan pada tahun 2016, saya mendapatkan hibah penulisan tentang Muhammadiyah di Kalimantan Selatan dari LP3M UMY dan Suara Muhammadiyah. Tentu saja, manuskrip yang disarankan pertama kali dari mas Hilman Latief adalah buku Pak Afid tersebut –yang saya temukan di tumpukan buku tua di Perpustakaan Provinsi Kalimantan Selatan. 77
Tentu akan sangat berguna jika Muhammadiyah bisa mendokumentasikan buku klasik tersebut. Tapi Pak Afid bukan hanya seorang antropolog yang meneliti Alabio. Beliau juga orang Alabio dan lahir dari keluarga Muhammadiyah yang kental. Ayah beliau, H. Saifuddin Birhasani, adalah imam di Korem 101 Antasari dan aktif dalam perjuangan melawan Belanda dulu. Kakek beliau, H. Birhasani, adalah Ketua Muhammadiyah Cabang Alabio yang kedua (1932-1934) dan merupakan Assabiquna Assabiqunall Awwalun pendiri Muhammadiyah di Kalimantan Selatan. Jadi, Pak Afid bisa dibilang keluarga Muhammadiyah generasi ketiga, kendati tidak pernah aktif di Muhammadiyah Kalimantan Selatan. Saya mendapatkan konfirmasi tentang zuriyat ini di pertemuan saya dengan beliau akhir tahun 2017 silam.
Buku Konflik dan Integrasi sebetulnya merupakan sebuah catatan tentang konflik antara Kaum Tuha – Tuha –masyarakat yang masih memegang teguh adat dan tradisi keagamaan lama — dengan Kaum Muda –para pembaharu yang ingin memurnikan Islam dari hal-hal yang bersifat syirik, takhayul, bid’ah, dan khurafat. Di awal abad ke -20, konflik tersebut mengemuka di Alabio, kampung kecil yang berjarak 200 km dari Banjarmasin. Konflik bermula ketika H. Japeri –seorang santri yang baru saja pulang menuntut ilmu di Mekkah —menggelar pengajian di Langgar Barangkap beliau di Alabio. Beliau secara kreatif mengapropriasi gerakan pembaharuan keagamaan di Timur Tengah kepada murid-murid beliau, dan segera memancing perdebatan dengan ulama yang lebih tua. Konflik segera meruncing di kampung tersebut, hingga kemudian pertengahan 1920-an administrasi kolonial memediasi konfliknya di Amuntai. Konflik ini menjadi salah satu episode dalam masyarakat kolonial di Kalimantan Selatan kemudian menjadi embrio lahirnya dua organisasi terbesar di tanah Banjar: Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah. Tapi menariknya, yang dicatat oleh Pak Afid, meskipun terjadi konflik yang dalam banyak hal “memanas” di Alabio, mengapa kekerasan komunal tidak terjadi? Kata kuncinya, yang penting dicatat dari sana, adalah integrasi. Meskipun terjadi perbedaan paham agama yang membuat orang di sana bakakancangan (berdebat –bahasa Banjar), struktur masyarakat yang mendorong integrasi membuat perbedaan paham agama tersebut terkelola dengan baik. Artinya, bisa jadi dinamika konflik di masyarakat cukup besar, namun karena secara umum masyarakat di daerah tersebut masih percaya dengan komunitas masyarakat yang lebih besar –dalam hal ini, identitas sebagai Urang Banjar —konflik tersebut tidak membesar dan sampai melahirkan kekerasan komunal. Memang ada perkelahian, yang kemudian sampai dibawa ke pengadilan, tapi bisa diselesaikan di antara masyarakat sendiri. Kendati tidak disebut oleh Pak Afid, saya yakin hal ini juga menjadi karakteristik Urang
Banjar yang –meskipun sering bacakut papadaan (saling berkelahi satu sama lain) — — tapi tidak sampai mendorong kekerasan.
Ketika meneliti Muhammadiyah di Kalimantan Selatan, saya kemudian menemukan bahwa dinamika keislaman di provinsi i ni bukan hanya cerita soal “pertentangan ka um tuha dan kaum muda” sebagaimana dikisahkan oleh Pak Afid di Alabio. Ada juga banyak cerita lain –soal “dakwah” Muhammadiyah yang hidup berdampingan secara damai dengan NU di Karang Intan, Martapura, atau kompetisi ekonomi di Pasar Lama, Banjarmasin yang mendorong solidaritas ekonomi warga Muhammadiyah di Kota Banjarmasin.
78
Dinamika ini penting untuk dilihat karena Muhammadiyah dan NU bukan hanya soal cara beragama yang saling bertentangan, tapi dua masyarakat yang hidup berdampingan dengan pelbagai dinamikanya. Kajian Pak Afid sebenarnya penting untuk memberikan bingkai tersebut. Islam Indonesia, dengan dinamika sejarahnya, terbentuk dari masyarakat yang saling berdampingan secara damai. Walau ada konflik –dan ini wajar terjadi di masyarakat,
sebagaimana ditunjukkan Pak Afid dalam kajiannya di Alabio tapi keberislaman yang mengakar di masyarakat menghindarkan konflik, dan dalam banyak hal mendorong integrasi. Hal ini mestinya kita teladani. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang “Islami”, penting untuk mewajahkan Islam yang bisa mengelola konflik secara dewasa. Jangan sampai, hanya karena perbedaan paham agama apalagi cuma pilihan politik, kita saling menaruh dendam satu sama lain. Semoga ilmu yang ditinggalkan oleh Pak Afid menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kita semua, serta mengalir tak bertepi kepada beliau. Nuun wal qalami wa maa yasthuruun. Penulis adalah Kandidat PhD di University of Queensland, Brisbane, Australia, dan Pengurus Ranting Istimewa Muhammadiyah di Negara Bagian Queensland, Australia. Berasal dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Ahmad Rizky M. Umar Umar adalah mahasiswa S3 di Queensland University, Australia
79
Cara Profesor Afid Mengkritik Orang Mahbib Khoiron Saya memasuki sebuah ruang di Gedung B FISIP UI ketika kompleks Departemen Antropologi UI masih sepi. Pagi itu, Pak Afid menyodorkan spidol dan meminta saya presentasi soal perkembangan hasil penelitian tesis. Agak kaget. Bukan hanya karena tahapan riset saya yang masih amat prematur, tapi juga berkecamuknya perasaan serbacanggung: mualaf antropologi berdiri “menguliahi” maestero antropologi. Saya menerangkan apa yang mengendap dalam pikiran. Mengungkap poin-poin pokok penelitian. Mencoret-coret dan menggambarkannya di papan tulis putih. Subjek penelitian saya adalah Komunitas Ahmadiyah. Saya membeberkan banyak data dan fokus isu konseptual yang bakal diangkat. Pak Afid serius menyimak sambil terus manggut-manggut. Karena saya belum tuntas membaca literatur soal ini, terbesit keraguan di hati: sudah tepatkah saya mengorganisasi data dan mengambil posisi? “Bagus, Mahbib!” Mahbib!” Pak Afid Afid tiba-tiba memecah kecanggungan dan keraguan saya. Secara umum Pak Afid memuji presentasi pagi itu. Menurunya sejumlah data yang saya paparkan adalah modal penting bagi perjalanan riset ke depan. Beliau juga berbicara soal urgensi. Kajian tentang Ahmadiyah relevan diangkat karena politik identitas masih berlangsung dan kerap digunakan orang untuk menindas orang yang berbeda. Pak Afid juga bercerita tentang skripsinya yang mengangkat tema konflik NU dan Muhammadiyah di
kampung halamannya, Alabio, Kalimantan Selatan. Hasil penelitian S1 ini lantas terbit menjadi buku berjudul Konflik dan Integrasi: Perbedaan Paham dalam Agama Islam . Usai menenangkan saya dengan berbagai aparesiasi, Pak Afid A fid tak lupa memberi catatan tentang bangunan teori dan arah peneltian saya. Pak Afid lalu merekomendasikan sejumlah buku yang layak dibaca, menganjurkan pendalaman data pada beberapa kasus, serta memperjelas isu konseptual dan paradigma yang dipilih. Bimbingan tesis berlangsung serius tapi santai, sesekali diselipi cerita pribadi dan d an guyonan. Tak terasa, pagi itu kami berdiskusi lebih dari satu jam. Pertemuan harus berakhir karena Pak Afid harus mengajar di kelas pada pukul 08.00. Saya keluar ruangan dengan penuh gairah. Pembawaan Pak Afid yang hangat dan rendah hati, membuat belantara teori antropologi bukan sesuatu yang rumit dan sumpek. Suasana bimbingan tesis semacam ini berlanjut pada hari-hari berikutnya. Pertemuan demi pertemuan p ertemuan sangat berarti, hingga fokus peneltian bergeser hingga beberapa kali. Pada 11 Agustus 2017 saya memenuhi undangan diskusi dari Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Forum yang diselenggarakan di Hotel Sofyan Betawi Menteng, Jakarta ini 80
membahas soal draf awal Hasil-hasil Penelitian Ensiklopedia Seni Budaya Keagamaan Nusantara Tahun 2017. Lembaga tersebut beriktikad menerbitkan sebuah ensiklopedia tebal yang berisi deskripsi tentang tradisi-tradisi lokal bernuansa keagamaan beberapa daerah di Indonesia. Sampai di lokasi acara, saya terkejut campur bangga saat melihat yang menjadi pembedah utama ternyata adalah Prof. Achmad Fedyani Saifuddin alias Pak Afid. Beliau menyimak dengan baik satu per satu presentasi para peneliti Kemenag tentang temuan mereka lapangan. Pihaktentang Kemenag berharap, ensiklopediadiyang akan referensidilengkap pertama seni budaya keagamaan Tanah Air.terbit nanti menjadi Pak Afid memulai pembicaraan dengan sambutan positif atas jerih payah peneliti, terjun langsung ke lokasi penelitian, mengumpulkan data-data, mengklasifikasi, dan menganalisis sejumlah fakta hingga menjadi sebuah tulisan yang baik. Rencana penerbitan ensiklopedia juga dipandang niat yang bijak untuk memberikan rujukan bagi khalayak soal wawasan kebudayaan keagamaan di tingkat lokal yang belum banyak terpublikasi. Doktor jebolan Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat ini kemudian bercerita tentang pengalamannya bersinggungan dengan ensiklopedia. Sejumlah perpustakaan di Amerika Serikat menempatkan ensiklopedia di deretan rak sains. Hal itu lantaran ensiklopedia selalu merupakan hasil penyelidikan ilmiah, ditulis oleh kontributor ahli, dan umumnya sangat tebal. Pak Afid sendiri mengaku mengoleksi belasan jilid ensiklopedia di rumahnya. Ensiklopedia umumnya disusun berdasarkan abjad, mengenai cabang ilmu tertentu, dan satu artikel dibuat oleh pakar. Di hadapan para peneliti yang mayoritas tak berlatar pendidikan antropologi itu, Pak Afid juga memaparkan tentang kompleksitas budaya di masyarakat, apalagi terkait dengan unsur yang paling mendalam dari manusia, yakni religi. Untuk bisa memasuki ruang pemahaman subjek penelitian, peneliti mesti “membenamkan diri” (immerse ( immerse ) ke dalam komunitas yang diteliti. Tanpa tinggal bersama dalam waktu yang lama, sulit mendapatkan deskripsi yang
mendalam dan akurat. Dengan nada penuh kesopanan, Pak Afid selalu mengatakan “saya tidak tahu, apakah hal itu sudah dilakukan peneliti atau belum”, seolah meminta klarifikasi. Mencermati draf awal “Ensiklopedia Seni Budaya Keagamaan Nusantara”, ia mengusulkan penggantian nama dari “ensiklopedia” menjadi “kaleidoskop” atau
semacamnya. Pak Afid mengungkapkan usulan perubahan nama dengan sangat hati-hati. Ia berkali-kali menyebut “mungkin yang paling tepat”. Dua cerita di atas mengesankan Pak Afid yang dermawan memberikan pujian pada lawan bicaranya. Namun hal itu sama sekali tidak menghilangkan watak ilmuwannya yang kritis dan independen. Beliau seolah punya cara tertentu bagaimana mengoreksi kesalahan orang tanpa harus memojokkan, apalagi menjatuhkan. Pak Afid lebih banyak menekankan apresiasi, sebelum kemudian melontarkan kritik yang membangun. Padahal, selaku guru besar yang menguasai teori-teori besar dalam mazhab antropologi, Pak Afid punya kapasitas penuh untuk menunjukkan kedigdayaannya. Membongkar kelemahan teman diskusi sejak di sesi pembukaan akan kian menguatkan legitimasinya sebagai seorang pakar. Kritik bukan cuma soal berbagi pikiran atau tukar pendapat, tapi juga tentang meneguhkan otoritas dan eksistensi diri. Bukankah yang jamak terjadi di era media sosial kini adalah yang perilaku demikian? Fokus penelitian saya mustahil bergeser berkali-kali seandainya Pak Afid hanya sebagai tukang puji: “Bagus, Mahbib!”. Beliau adalah kritikus ulung dengan cara penyampaian yang 81
khas. Pak Afid adalah bapak yang merangkul anak kala sang anak butuh dinasihati. Di balik apresiasinya kepada saya, terdapat koreksi mendasar soal lemahnya kerangka teori, kurang kayanya bahan bacaan, dan lain sebagainya. Namun, kepada mahasiswa Pak Afid tak selalu memberi jawaban matang atas masalah yang ia soal. Murid-muridnya dibiarkan bereksplorasi, mencari pengalaman, dan menemukan solusinya sendiri. Begitu pula sikap Pak Afid di forum diskusi publik. Ia tak serta merta menyalahkan temuan riset yang cenderung simplistis, terlalu mengeneralisasi fakta, atau tidak mendalam dari perspektif antropologi — —padahal untuk sekelas ensiklopedia. Beliau tetap menghargai keringat para peneliti, serta ongkos yang dikeluarkan, sembari menunjukkan kelemahankelemahan lalu memberikan alternatif solusi. Di luar itu, kritik paling terasa dari Pak Afid sejatinya muncul dari perilaku keseharian beliau di kampus. Ia tiba di kompleks UI sekitar pukul enam pagi, setidaknya dua jam sebelum resmi bimbingannya, dimulai. Di selaatau waktu itu, beliau tesis atau disertasi jam dari kuliah mahasiswa bahkan siapamenerima saja yangkonsultasi mau berkonsultasi. Selayak kiai, yang menampung semua permasalahan orang lain, meski secara formal bukan tanggung jawab beliau. Kearifan semacam ini adalah pelajaran penting bagi saya yang kerap mengeluh dan merasa kerepotan tiap mendapat tugas kampus yang memang menjadi tanggung jawab saya. Lima belas atau tiga puluh menit sebelum jadwal resmi kuliah kami dimulai pada pukul delapan pagi, Pak Afid sudah berjalan kaki ke gedung Nusantara I, naik tangga manual menuju ruang 304 yang terletak di lantai 3. Sambil menunggu mahasiswa datang, beliau lebih sering duduk sendirian sembari membaca buku atau membereskan pekerjaan dosen.
Sebuah kedisiplinan tingkat tinggi, yang cukup menampar para mahasiswa seperti saya yang kerap telat masuk kelas dengan alasan yang dibuat-buat. Kami selalu kagum dengan keluasan ilmu, kesabaran, dan ketawadukan Pak Afid. Sikapsikap itu senantiasa tercermin dalam tiap kali berkomunikasi, baik melalui tatap muka maupun email dan aplikasi Whatsapp. Terakhir berkomunikasi dengan beliau adalah pada tanggal 22 Oktober 2018. Secara tiba-tiba, Pak Afid mengirim pesan via WA: “ Asslm Mahbib, Mahbib, mohon maaf pagi ini saya tidak jadi ke kampus. Saya kurang sehat sejak kemarin. Kita atur lagi jadwal ketemu segera ya. Terima kasih ..” ” Mendapat pesan tersebut, saya merasa ada yang aneh. Di antaranya, saya tidak membuat janji pertemuan sebelumnya. Tanpa menyinggung kejanggalan itu, saya hanya bisa menjawab, “Baik, Pak Afid” . Saya memaknai pesan itu sebagai pemacu untuk lekas menyelesaikan tugas perkembangan penelitian tesis yang tenggat waktunya kian mendekat. Saya mengirimnya ke email beliau siang itu juga. Yang luar biasa, dalam kondisi sakit beliau masih membalas tersebut mengatakan akanbahwa segeraPak membacanya. Taksempat disangka, pagi 25email Oktober 2018dan kabar duka datang Afid dirawat di ICU Rumah Sakit Cinere karena kesadarannya menurun sejak sore di hari sebelumnya. Ungkapan sedih pun mengalir deras dari mahasiswa dan para staf. Hingga rencana membesuk belum terealisasi, informasi wafatnya beliau sudah mendahului malam harinya. Innalillâhi wa innâ ilaihi râji”ûn . Selamat berpulang, guruku. Ilmu, karya, dan teladanmu akan abadi… Mahbib Khoiron adalah mahasiswa pascasarjana Departemen Antropologi FISIP UI
82
Antropologi Klasik dan Dunia M Mutakhir utakhir Arief Wicaksono Wicaksono “Selemah-lemahnya suatu teori, ia dibangun dengan sangat susah p ayah”, itulah baik yang secara tersurat maupun tersirat dipesankan oleh almarhum Profesor Achmad Fedyani Saifuddin di setiap kuliahnya. Secara reflektif, pernyataan itu bisa kita renungkan dengan self-questioned berikut: Bagaimana sebenarnya posisi dan “kekuatan” teori untuk mengkaji suatu masyarakat dan dunia yang dinamik dan bergerak cepat ini? Bisakah teori-teori yang lahir berabad-abad lalu itu tetap dapat digunakan untuk mengkaji masyarakat di masa kini?
Banyak yang meragukan bahwa pendekatan antropologi di masa lalu masih menemui
relevansinya di masa kini. Ini tidak lain karena teori teori ilmu sosial budaya, khususnya antropologi, di masa lalu didasarkan pada kajian-kajian empiris pada masyarakat yang 83mpiri, homogen, dan cenderung memiliki batas-batas kebudayaan serta identitas kultural yang tegas. Pertama kali mengenal Profesor Fedyani adalah saat saya mengikuti kuliah pengantar antropologi di semester pertama. Saat itulah, dan mungkin Tuhan telah mengaturnya demikian, membuat saya semakin jatuh hati terhadap antropologi. Tema-tema sosial budaya yang termaktub dalam buku Cultural Anthropology gubahan C. P. Kottak (2014), mampu diulas dan diajarkan dengan sangat bernas oleh sang profesor. Saat itu, semangat saya untuk terus menggali ilmu kepada guru yang rendah hati tersebut semakin bertambah. Di semester-semester berikutnya, Tuhan kembali mempertemukan saya dalam kuliah dan kelas beliau, yaitu dalam perkuliahan kekerabatan dan analisis jaringan sosial. Yang paling istimewa di antara semua, Profesor Fedyani memperkenankan saya untuk duduk di salah satu kelas pascasarjana yang diasuhnya: Kelas Paradigma Antropologi. Dua hal yang selalu terpatri ketika mengingat kuliah-kuliah yang beliau asuh adalah beliau selalu membawa wacana-wacana mutakhir yang beredar di media, baik konvensional maupun sosial, ke dalam kelas untuk didiskusikan. Salinan kliping dari berbagai media seperti Tempo, Times, atau bahkan koran-koran 83mpir seperti Lampu Merah selalu turut mewarnai diskusi akademik di dalam kelas. Siapa nyana misalkan judul koran pada Lampu Merah yang terkenal 83mpiric dan dramatis itu diolahnya secara antropologis dan akademis di dalam kelas: bahwa itulah realtia empiris dan etnografis yang ada di sekitar s ekitar kita, serta, itu semua mengandung isu teoretik yang penting. Tidak berhenti pada perhatiannya terhadap wacana-wacana mutakhir, pesan penting yang disampaikannya adalah sebagaimana yang saya sampaikan di 83mpiric8383 pertama tulisan ini. Dalam belajar antropologi, beliau berpesan pada kita agar tidak terburu-buru dalam mempelajari antropologi, terutama dalam persoalan teoretik-paradigmatik. Banyak
ahli ahli ilmu sosial saat ini, bukan hanya antropologi, terkesan hanya mengutamakan mengutamakan atau 83
bahkan disebutnya “84mpiric-teoretik” pada suatu pendekatan atau paradigma tertentu, sehingga menafikan paradigma lain yang dianggapnya ketinggalan zaman. Teor-teori klasik antropologi, yang banyak berangkat dari paradigma evolusi sebagai entry point menurutnya menurutnya tidak lagi banyak diminati oleh para antropolog postmodern saat ini. Meskipun, menurut saya pribadi, kata klasik dan modern atau masa lalu dan masa kini itu sendiri perlu diberikan
tanda kutip karena tidak ada satupun yang secara tegas dapat memberikan 84mpiric kapan masa lalu dan kapan masa kini tersebut. Namun demikian pesan berarti yang disampaikannya adalah bahwa sebagai seorang ahli ilmu sosial hendaknya kita tetap mengakui dan menghatrgai buah-buah 84mpir yang telah dicetuskan terlebih dahulu dengan memperkaya referensi di masa kini, bukan malah menafikannya salam sekali. Dalam membimbing saya menulis tugas akhir atau skripsi misalkan, Profesor Fedyani tentang Pasangan konsep Tradisi Besar – Tradisi Kecil yang digagas oleh Robert Redfield pada lebih dari separuh abad yang lalu mampu diolahnya secara kontemporer di masa kini, dan itu tetap menarik. Teori involusi pertanian yang ditulis oleh Geertz bertahun-tahun silam untuk mengonseptualisasi mengenai gejala dunia sosialekologis pertanian di Jawa yang semakin njelimet ternyata pada masa kini masih dapat
direfleksikan, misalkan saja untuk melihat fenomena semakin ruwetnya kehidupan perkotaan di Jawa masa kini: involusi perkotaan! Struktur adalah kunci dalam mempelajari masyarakat beserta tatanan sosial budayanya, baik di masa lalu maupun masa kini. Pendekatan 84mpiric8484l yang dikembangkan dan diajarkannya di setiap kuliahnya tidak memberikan kesan bahwa teori-teori antropologi “masa lalu” itu adalah sesuatu yang sudah 84mpir dan hanya diajarkan oleh karena hal tersebut merupakan suatu babakbukan perjalanan antropologi yang tidak bisa 84mpir dilewatkan, atau tidak, bukan seperti itu. “Klasik” berarti teori merupakan sesuatu yang sudah “dimuseumkan”. “dimuseumk an”. “Klasik” berarti berkelas dan oleh karena itulah buku-buku antropologi klasik selalu dihadirkan di dalam kelas, diolahnya dengan wacana-wacana dunia mutakhir sehingga menjadi kuliah yang benar-benar berkelas. Pendekatan struktural yang dikembangkannya lanta smelahirkan pemikirannya soal “struktur bergerak”: bahwa semua masyarakat dan tatanannya tetap tidak bisa dilepaskan dari struktur. Struktur akan selalu ada meskipun orang-orang yang ada di dalamnya berganti. Struktur itu sendiri akan berdinamika, tetapi tetap berupa struktur. Pengetahuan bacaan Profesor Fedyani yang begitu kaya (sampai-sampai beliau hafal penjelasan apa ada di bab atau bagian mana dalam sebuah buku) berusaha ditularkan pada mahasiswa-mahasiswanya. Sejumlah buku-buku etnografi berkelas dihadirkan di dalam kelas dan dimintanya kami untuk membaca: Death Without Weeping (Hughes, 1998), Balancing on An Alp (Netting, 1981), Street Corner Society (Whyte, 1943), The Broken Fountain (Belmonte, 1979), Religion of Java (Geertz, 1960), The Wheel of Fortune (1991) adalah sebagian dari buku-buku berkelas yang disarankan sang profesor untuk kami baca. Melalui kekayaan pengetahuan dan bacaan etnografis yang memadai, kita dapat belajar segalanya, mulai dari metode penelitian atau pengalaman etnografis hingga mempelajari perdebatan teoretik-paradigmatik. Dan, yang tidak kalah penting adalah refleksinya terhadap dunia sosial kita di saat ini.
Penghargaannya terhadap referensi dan pendekatan antropologi “klasik” lantas tidak membuatnya menafikan pendekatan-pendekatan antropologi yang lebih kontemporer atau kekinian. Belajar secara berimbang adalah kuncinya. Dalam belajar ilmu sosial apapun,
84
bukan hanya antropologi, tidak baik ketika kita mendewakan seorang ahli beserta bangunan teorinya yang dia bangun, kemudian memandang teori-teori lain adalah serba lemah. Kita harus sennatiasa mendialogkan antarteori, antarparadigma, tentunya juga dengan realitas kehidupan masa kini. Dengan cara belajar seperti itu, otak kita akan terlatih untuk berpikir kritis, menyambungkan yang empirik dengan teoretik. Profesor Fedyani berhasil membuktikan bahwa belajar teori sebenarnya bukan perkara yang sulit yang sangat abstrak. Ia (teori), adalah sesuatu yang sangat dekat dengan kita. Secara pribadi saya sangat bersyukur dapat diperkenalkan oleh Tuhan kepada salah seorang guru yang rendah hati, bijaksana, dan cerdas. Profesor Fedyani adalah sosok yang amat berilmu dan dengan segala kebaikan hatinya secara royal mengajarkan ilmu-ilmu yang dimilikinya kepada murid-muridnya. Terima kasih profesor telah menjadi seorang teladan akademik sekaligus menjadi salah satu orang terpenting bagi saya dalam menekuni