Buku Diktat DIHT
May 5, 2017 | Author: Yudi Aditya | Category: N/A
Short Description
Buku Diktat DIHT...
Description
221529639.doc
Prof. Dr. Ir. Kasumbogo Untung, M.Sc.
Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta
2010
1
221529639.doc. Prof. Dr. Ir. Kasumbogo Untung, M.Sc.
Deskripsi Mata Kuliah Mata kuliah ini menguraikan Interaksi Tanaman dan Hama; Pendugaan Kehilangan Hasil dan Ambang Pengendalian; Landasan Ekologi Pengelolaan Hama; Pengamatan dan Pengambilan Sampel; Unsur dan Komponen Dasar PHT; Pengendalian dengan Varietas Resisten, Pengembangan Tanaman Transgenik, Karantina Tumbuhan; Pengendalian Hayati; Pengendalian Kimiawi; Pengelolaan Hama Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan dan Pasca Panen; Kebijakan Perlindungan Tanaman. Tujuan Instruksional Khusus: Agar mahasiswa dapat: 1. Memahami dan menjelaskan pengertian + batasan hama tanaman, klasifikasi, identifikasi, taksonomi dan sistematikanya. 2. Memahami dan menjelaskan gejala serangan, mengukur berat serangan dan tingkat kerugian hasil yang diakibatkan oleh hama. 3. Memahami dan menjelaskan jenis-jenis hama dan gejala serangan hama tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan hama pasca panen. 4. Memahami dan menjelaskan sifat dan kemampuan beradaptasi hama pada tingkat individu. 5. Memahami dan menjelaskan faktor-faktor biotik dan abiotik yang mempengaruhi populasi hama dan kerusakan yang diakibatkannya. 6. Memahami dan menjelaskan cara penentuan dan penggunaan Ambang Pengendalian sebagai dasar rekomendasi pengendalian hama. 7. Memahami dan menjelaskan konsep dan prinsip-prinsip PHT dan penerapannya untuk berbagai jenis dan kelompok hama di pertanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan pasca panen. 8. Memahami dan menjelaskan beberapa kasus aktual lapangan yang berkaitan dengan pengendalian hama-hama utama di Indonesia.
2
221529639.doc Materi 1
HAMA TANAMAN Pokok Bahasan: 1. Beberapa batasan dan pengertian. 2. Arti penting hama tanaman untuk program pembangunan pertanian. 3. Data kerusakan dan sebaran beberapa hama utama di Indonesia. 4. Sebab-sebab muncul dan berkembangnya masalah hama tanaman. 5. Tujuan pengendalian hama dan pongelolaan hama. Materi: PERISTILAHAN • Hama Tanaman Merujuk pada binatang yang menjadi HAMA yakni merusak tanaman dan merugikan petani Selama binatang tersebut (serangga, tikus, nematoda, tungau, dll) mendatangkan kerugian disebut HAMA TANAMAN Tetapi keberadaan binatang di tanaman tidak selalu mendatangkan kerugian/kerusakan tanaman Banyak jenis binatang herbivora ada di pertanaman tetapi tidak semuanya menjadi hama Di samping itu di ekosistem banyak sekali jenis binatang yang tidak merugikan malahan menguntungkan seperti MUSUH ALAMI (parasitoid, predator), serangga PENYERBUK TANAMAN (lebah, tawon) serangga-serangga netral seperti SEMUT, dll.
Istilah HAMA merupakan istilah yang ANTROPOSENTRIS artinya lebih berpusat pada kepentingan manusia. Bagaimana dengan istilah HAMA TUMBUHAN? Sebetulnya kurang tepat karena TUMBUHAN adalah semua jenis tetumbuhan yang hidup di biosfir termasuk tumbuhan di ekosistem alami atau tumbuhan yang tidak dibudidayakan manusia. TANAMAN adalah tumbuhan yang diusahakan manusia untuk diambil manfaatnnya bagi kehidupan manusia. Karena istilah HAMA pada dasarnya antropogenik, yang paling tepat kita gabungkan istilahnya adalah HAMA TANAMAN, istilah HAMA TUMBUHAN dapat juga dipakai meskipun kurang pas kombinasinya. Kalau istilah PENYAKIT TUMBUHAN memang lebih tepat, karena PENYAKIT lebih merujuk pada GEJALANYA. Tumbuhan sedang sakit, kondisi yang secara fisiologi tidak normal, tidak sehat. Setiap jenis tumbuhan termasuk TANAMAN dapat sakit. Sakitnya tumbuhan dapat disebabkan oleh karena infeksi jasad renik seperti virus, jamur, bakteri, dll, tetapi sakitnya mungkin juga karena kondisi fisik/abiotik yang tak sesuai seperti suhu, kering, basah, dll. Karena itu di Ilmu Penyakit Tumbuhan kita kenal Organisme Penyebab Penyakit. Kalau hama merujuk pada binatang yang merugikan, penyakit merujuk pada gejala tumbuhan yang SAKIT. OPT (Organisme Pengganggu Tumbuhan) merupakan istilah “formal/hukum nasional” yang digunakan oleh Pemerintah berdasarkan UU No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan PP 6/1995 tentang Perlindungan Tanaman. Menurut UU tersebut: 3
“OPT adalah semua organisme yang dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian tumbuhan”. Digunakannya istilah OPT untuk mencakup semua kelompok pengganggu tumbuhan termasuk HAMA, PENYAKIT dan GULMA. Tiga kelompok pengganggu tumbuhan ini yang pengendalian atau pengelolaannya dicakup dalam bidang PERLINDUNGAN TANAMAN. Namun harap diperhatikan bahwa definisi OPT menurut UU ada perbedaannya dengan pengertian Hama Tanaman dan Penyakit Tumbuhan yang sudah dijelaskan di depan. Teman-teman Fitopatologi banyak yang tidak sependapat dengan istilah OPT. Dilihat dari sisi ilmu-ilmu dasar pendukung Perlindungan Tanaman sbb: HAMA TANAMAN : - Entomologi (ilmu serangga) - Nematologi (ilmu nematoda) - Rodentologi (Ilmu rodent/tikus) - Akarologi (ilmu akarina) - dll Karena sebagian besar hama termasuk kelompok serangga seringkali Ilmu Hama diartikan entomologi. PENYAKIT TUMBUHAN : Fitopatologi Virologi Mikologi dst GULMA : - Ilmu gulma Dalam bahasa inggris Istilah PEST sebenarnya digunakan untuk seluruh kelompok OPT, namun secara khusus sering diartikan untuk pengertian HAMA HAMA TANAMAN SEBAGAI PEMBANGUNAN PERTANIAN
FAKTOR
PENENTU
KEBERHASILAN
PROGRAM
Program Pembangunan Pertanian Nasional apakah dengan pola Pembangunan Pertanian AGRIBISNIS atau program KETAHANAN PANGAN sangat ditentukan oleh keberhasilan kita dalam mengendalikan, mengelola HAMA TANAMAN. Hal ini disebabkan karena berbagai jenis HAMA dan atau OPT lainnya dapat menurunkan KUANTITAS dan KUALITAS hasil-hasil pertanian, dan sangat sering MENGGAGALKAN PANEN, menyebabkan PUSO, artinya 100% GAGAL. Serangan HAMA mengakibatkan: 1. Produksi TURUN (nasional, propinsi, lokal, tingkat petani) 2. Kualitas ANJLOK (mutu rendah-sulit dipasarkan-diekspor) 3. Harga produk MEROSOT 4. Biaya produksi NAIK 5. RUGI secara ekonomik (biaya lebih besar daripada pendapatan) 6. PENGHASILAN NEGARA/DAERAH (PAD) TURUN 7. PENGHASILAN TURUN ---- KESEJAHTERAAN PETANI MENURUN ---- KEMISKINAN MENINGKAT
4
Taksiran KASAR/KONSERVATIF. Rata-rata kehilangan hasil Produksi Pertanian karena serangan OPT ± 30% dari potensi hasil --- kehilangan hasil karena HAMA sekitar 20 – 25%. HITUNG SENDIRI secara finansial berapa kerugian yang kita derita setiap tahun karena hama-hama padi, bila produksi tahun 2003 itu diperkirakan 53 juta ton padi kering panen. Jumlah itu setelah dikurangi 25% kehilangan hasil oleh OPT padi. Menurut catatan DEPTAN 1997-2001, serangan OPT padi, jagung, kedelai sebesar Rp 463 milyar /tahun. Tahun 1999 serangan OPT Perkebunan merugikan sebesar Rp 340 milyar. Serangan OPT Hortikultura (mangga, jeruk, pisang, bawang merah, cabai, kentang, kubis, tomat) diasumsikan rata-rata Rp 1,7 trilyun/tahun. Lihat juga tabel keadaan serangan OPT di Indonesia pada tahun 2001-2002 (jenis dan luas serangan) Mengingat potensi penurunan hasil akibat HAMA yang sangat besar kegiatan Pengelolaan Hama menjadi BAGIAN PENTING - INTEGRAL dari setiap USAHA TANI atau BUDIDAYA TANAMAN agar diperoleh Tingkat PRODUKSI dan KUALITAS produksi yang DIINGINKAN baik oleh PEMERINTAH maupun PETANI – KELOMPOK TANI FAKTOR-FAKTOR PENDORONG PENINGKATAN SERANGAN DAN KERUSAKAN OLEH HAMA Masalah hama di suatu lokasi pada saat/musim tertentu tidak muncul begitu saja tanpa penyebab atau faktor-faktor pendorong. Banyak faktor yang mendorong terus ada dan meningkatnya masalah hama. Hampir seluruh faktor pendorong tersebut adalah karena ulah/perbuatan/tindakan MANUSIA sehingga ekosistem pertanian menjadi sangat sesuai bagi pertumbuhan, pembiakan dan kehidupan hama tanaman. Faktor-faktor tersebut antara lain: 1. Penanaman monokultur (jenis tanaman atau varietas tanaman yang sama) sepanjang waktu dan tempat, contoh padi 2. Penanaman jenis tanaman atau varietas tanaman yang peka hama tetapi unggul produksi 3. Penanaman jenis tanaman baru di suatu daerah sehingga belum ada musuh alami di lokasi baru ---- KARANTINA gagal 4. Penggunaan masukan produksi yang berkelebihan seperti pupuk buatan, pestisida, hormon tumbuh, pengairan dll. 5. Penggunaan pestisida kimia berspektrum lebar yang dilakukan secara tidak bijaksana, terus-menerus dan berlebihan. Pestisida membunuh musuh alami, resistensi dan resurjensi hama. 6. dll, termasuk terjadinya penyimpangan cuaca dan iklim KESIMPULANNYA: Masalah timbul, muncul dan terus ada karena manusia, jadi sering disebutkan bahwa hama saat ini adalah “MAN-MADE PEST” (Hama buatan MANUSIA). Tanpa ada kegiatan manusia tidak ada masalah hama. TUJUAN PENGENDALIAN HAMA DAN PENGELOLAAN HAMA Pada saat ini di kalangan petani, pejabat dan petugas pemerintah akademisi dan masyarakat dikenal 3 istilah pemberantasan hama, pengendalian hama dan pengelolaan hama. Pemberantasan hama: adalah usaha memusnahkan, membunuh hama yang umumnya dilakukan dengan pestisida kimia secara preventif, tidak memperhitungkan keadaan hama di lapangan apakah sedang dalam kondisi populasi rendah atau tinggi, pokoknya disemprot habis-habisan sampai petani merasa puas. Pemberantasan hama yang mengakibatkan munculnya resisitensi hama dan letusan hama yang berkelanjutan Pengendalian hama: lebih hati-hati daripada pemberantasan hama. Penggunaan pestisida hanya dilakukan bila populasi hama telah membahayakan atau melampaui ambang 5
pengendalian atau ambang ekonomi. Bila populasi hama tidak membahayakan tidak perlu dikendalikan dengan pestisida. Pengelolaan hama: Lebih menekankan aspek pengelolaan ekosistem (tanaman, tanah, mikroklimat, budidaya dll) sedemikian rupa sehingga populasi hama tetap berada dalam keseimbangan dengan musuh alaminya sehingga hama tidak membahayakan, tak perlu dilakukan pengendalian dengan pestisida tetapi produksi tanaman tetap tinggi, kualitas produksi baik PHT (Pengendalian Hama Terpadu) merupakan kebijakan Perlintan di Indonesia berdasarkan UU No 12/1992 dan PP 6/1995. PHT adalah usaha pengelolaan agroekosistem dengan memadukan berbagai teknik pengendalian hama (bercocok tanam, fisik, mekanik, varietas resisten, pengendalian hayati, pengendalian kimia, dll) sedemikian rupa sehingga populasi hama tetap berada di bawah Ambang Pengendalian.
6
221529639.doc Materi 2
INTERAKSI TANAMAN DAN HAMA Interaksi antara tanaman dan hama dapat dilihat dari aspek EKOLOGIS dan EKONOMIS. Dari sisi ekologi hubungan antara tanaman dan hama merupakan interaksi yang saling mengendalikan antara tanaman yang autotroph dengan binatang HERBIVORA yang heterotroph dalam suatu sistem trofi yang berjalan secara EFISIEN dan berkesinambungan. Karena kemampuannya mengubah energi surya menjadi energi biokimia melalui proses fotosistesis tanaman menempati aras trofi pertama sebagai PRODUSEN. Energi pada tanaman digunakan oleh binatang yang memakan tanaman (HERBIVORA) yang menempati aras trofi kedua sebagai KONSUMEN PERTAMA. Binatang karnivora memperoleh energinya dengan memangsa herbivora sehingga menempati aras trofi ketiga sebagai KONSUMEN KEDUA, demikian seterusnya. Aliran energi di ekosistem melalui sistem trofi dapat dilihat pada gambar berikut: Energi memasuki ekosistem sebagai radiasi surya
EKOSISTEM Produsen
Konsumen 1
Konsumen 2
Dekomposer
Energi keluar ekosistem sebagai panas
Gambar 1. Aliran Energi dalam Ekosistem melalui Sistem Trofi Aras trofi 1 2 3 4
Istilah Ekosistem Antroposentris Tumbuhan Tanaman Herbivora Hama tanaman Karnivora 1 Predator, parasitoid (musuh alami) Karnivora 2 Predator, hiperparasitoid 7
Perlu diperhatikan bahwa di ekosistem termasuk ekosistem persaingan interaksi antara organisme yang menempati aras trofi yang sama atau antar aras trofi sangat kompleks, dan dinamis melalui proses evolusi dan koevolusi. Tujuan interaksi sebenarnya adalah terjadinya keseimbangan dan kestabilan ekosistem. Masalah ini akan dibahas pada kuliah dua minggu lagi. Aspek EKONOMIS Adanya populasi serangga/hama di suatu tanaman akan menimbulkan LUKA (“injury”) pada tanaman. Luka adalah setiap bentuk penyimpangan fisiologis tanaman sebagai akibat aktivitas serangga hama yang hidup, berada dan makan pada tanaman tersebut. Luka tanaman dapat mengakibatkan terjadinya KERUSAKAN (“damage”). Kerusakan adalah kehilangan hasil yang dirasakan oleh tanaman (petani) akibat adanya populasi hama atau serangan hama antara lain dalam bentuk penurunan kuantitas dan kualitas hasil. Pengertian dan istilah LUKA lebih terpusat pada HAMA dan AKTIVITASNYA, sedangkan KERUSAKAN lebih terpusat pada TANAMAN dan respon tanaman terhadap pelukaan oleh hama. Istilah-istilah lain berkaitan dengan hama dan tanaman yang saat ini digunakan dalam kegiatan pengamatan yang dilakukan oleh para petugas pengamat lapangan (dulu namanya PHP- Pengamat Hama dan Penyakit, sekarang namanya POPT- Pengendali OPT). 1. Tanaman terserang adalah tanaman yang digunakan sebagai tempat hidup dan berkembang biak OPT dan atau mengalami kerusakan karena serangan OPT pada tingkat populasi OPT atau intensitas kerusakan tertentu sesuai dengan jenis OPT nya 2. Luas serangan: adalah luas tanaman terserang yang dinyatakan dalam hektar atau rumpun atau pohon 3. Intensitas serangan: adalah derajat serangan OPT atau derajat kerusakan tanaman yang disebabkan oleh OPT yang dinyatakan secara kuantitatif dan kualitatif. a. Intensitas serangan secara kuantitatif dinyatakan dalam % (persen) bagian tanaman/tanaman atau persen kelompok tanaman terserang. Intensitas serangan dalam % dilaporkan oleh PHP b. Intensitas serangan secara kualitatif dibagi menjadi 4 kategori serangan yaitu: ringan, sedang, berat dan puso. Kategori serangan dilaporkan oleh koordinator PHP, BPTPH. Adapun kategori intensitas serangan serangga hama secara umum dapat digunakan pedoman sbb: a. Serangan ringan bila derajat serangan 90 % CARA PELUKAAN TANAMAN OLEH SERANGGA A. Luka Oleh Serangga Pada Tanaman Yang Sedang Tumbuh 1. Luka oleh serangga penggigit 2. Luka oleh serangga pencucuk pengisap 3. Luka oleh serangga yang makan di dalam jaringan tanaman (internal feeders) termasuk penggerek, pengorok dan pembuat puru 4. Luka oleh serangga-serangga tanah 5. Luka oleh serangga yang sedang meletakkan telur dan membuat sarang 6. Luka oleh serangga-serangga yang “memperhatikan” serangga-serangga lain 7. Luka oleh serangga sebagai vektor/pengantar penyakit tumbuhan 8
Berbagai bentuk luka oleh serangga pada tanaman yang biasa kita catat sebagai GEJALA SERANGAN hama.
9
FAKTOR-FAKTOR BIOTIK DAN ABIOTIK
Populasi Hama
Populasi Tanama n
LUKA
KERUSAKAN
KEHILANGAN HASIL DAN KUALITAS
KERUGIAN EKONOMIK PETANI
TINDAKAN MANUSIA Keterangan : Hasil interaksi antara populasi hama dan tanaman mengakibatkan luka pada tanaman, luka mengakibatkan kerusakan dan kerusakan tanaman karena hama menyebabkan terjadinya kehilangan atau penurunan hasil tanaman dan kualitas produk/hasil. Kehilangan hasil dapat berakibat pada kerugian ekonomi (biaya lebih besar daripada nilai produksi) yang dialami petani atau pengusaha pertanian. Hasil interaksi populasi hama dan populasi tanmaan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor biotik lainnya dan faktor-faktor abiotik dan terutama oleh tindakan manusia terhadap ekosistem
Gambar 2. Interaksi antara Populasi Hama dan Tanaman
10
B. Luka Oleh Serangga Pada Manusia Dan Binatang Lain C. Serangga Sebagai Perusak Produk Di Gudang Dan Bahan-Bahan Lain D. Metode Pendugaan Kerusakan Tanaman Oleh Hama Pendugaan atau penghitungan pengaruh hama terhadap kerusakan tanaman dan kehilangan hasil karena serangan hama dapat dilakukan dengan menghitung atau mengukur luka atau gejala yang ditinggalkan atau diakibatkan oleh hama. Beberapa pengukuran yang sering digunakan adalah terhadap tanaman atau bagian tanaman antara lain seperti: 1. Keseluruhan tanaman Jumlah atau % tanaman mati/busuk atau yang menunjukkan gejala serangan hama tertentu 2. Daun Adanya kerusakan daun, lubang gerekan dan gejala daun lainnya diukur dengan menggunakan luas defoliasi, pengurangan berat kering daun 3. Batang • Jumlah atau % puru, sundep, beluk • Jumlah lubang keluar • Panjang lubang gerekan • Luka potongan batang oleh ulat 4. Buah dan benih • Jumlah lubang atau luka di buah • Jumlah atau % buah rusak seperti terserang PBK (Penggerek Buah Kakao) dan PBKo (Penggerek Buah Kopi) 5. Akar • Panjang, berat kering atau volume perakaran yang terserang hama • Luas kerusakan umbi seperti pada tanaman kentang.
9
221529639.doc Materi 3
PENDUGAAN KEHILANGAN HASIL Pokok Bahasan: A. Pendugaan Kehilangan Hasil Akibat Serangan Hama (Crop Loss Assesment) B. Penggunaan Ambang Pengendalian sebagai tingkat pengambilan keputusan penggunaan PESTISIDA Materi: Pendugaan kehilangan hasil adalah usaha untuk menduga, menaksir bahkan meramal tentang kerugian ekonomi yang mungkin akan dialami oleh petani, perusahaan pertanian, pemerintah atau pengusaha agribisnis karena adanya serangan hama pada pertanaman yang mereka budidayakan. Dengan melakukan pendugaan kehilangan hasil para produsen pertanian dapat menentukan beberapa hal: Apakah keberadaan populasi hama di lahannya akan merugikan atau menurunkan hasil usahanya dalam kisaran toleransi ekonominya. Bila masih berada pada kisaran toleransi petani tidak perlu melakukan tindakan pengendalian atau mengeluarkan biaya untuk pengendalain. Apakah perlu dilakukan tindakan pengendalian atau pencegahan hama. Apabila perlu berapa besar biaya pengendalian yang harus dikeluarkan. Tentunya petani tidak akan mengeluarkan biaya pengendalian sampai melebihi nilai kehilangan hasil Bila petani sudah memutuskan perlu dilakukan tindakan pengendalian, teknik pengendalian mana yang akan digunakan apakah dengan cara kimiawi dengan pestisida kimia atau dengan secara hayati menggunakan musuh alami, atau menggunakaan varietas tanaman tahan hama dan seterusnya. Dalam menetapkan teknik pengendalian hama yang akan dilakukan petani/produsen adalah mempertimbangkan beberapa faktor yaitu a) efektivitas pengendalian, b) biaya pengendalian, dan c) risiko bahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup. Pendugaan kehilangan hasil juga akan digunakan untuk menentukan berapa nilai Ambang Pengendalian atau Ambang Kendali atau Ambang Ekonomi yang akan kita bahas pada akhir kuliah ini. Siapa yang memerlukan Kehilangan Hasil? Banyak pihak yang memerlukan data pendugaan kehilangan hasil, diantaranya: 1. Petani secara perseorangan (untuk petak dan lahan miliknya sendiri) atau secara berkelompok (untuk hamparan sawah/lahan). Satu kelompok hamparan besarnya terdiri dari 20-30 petani. 2. Pemeriantah Daerah dan Pemerintah Pusat, biasaya melalui Dinas Pertanian Kabupaten dan Departemen Pertanian melalui Ditjen Tanaman Pangan, Ditjen Tanaman Hortikultura dan Ditjen Perkebunan. 3. Pengusaha Pertanian misal PT Perkebunan milik Pemerintah, PT Pagilaran milik Fak. Pertanian UGM, dst. CARA PENDUGAAN KEHILANGAN HASIL Untuk menghitung kehilangan hasil dalam bentuk satuan berat (ton/ha) atau satuan rupiah (Rp/ha) secara TEPAT jelas sangat sulit dan tidak mungkin, karena tidak mungkin kita 10
mengukur dan menghitung semua lahan yang ada baik milik petani dan kelompok tani maupun lahan pertanaman tertentu di suatu daerah (desa, kecamatan, kabupaten, propinsi, nasional). Yang dapat kita lakukan adalah melakukan PENDUGAAN, kata-kata lain ESTIMASI, PENAKSIRAN, berdasarkan data hasil pengamatan yang dilakukan pada lahan/petak sawah/tanaman/pohon/rumpun yang digunakan sebagai SAMPEL, CONTOH yang mewakili. Untuk memperoleh taksiran kehilangan hasil untuk suatu petak atau hamparan/sawah atau suatu daerah kita harus mempunyai data seperti: 1. Luas serangan – LSR (dalam ha) 2. Intensitas serangan – ISR (dalam % rumpun/tanaman terserang) a ISR = --------------------- x 100% a + b
Hasil Tanaman (ton/ha)
a: jumlah rumpun/batang terserang b: jumlah rumpun/batang tak terserang 3. Hubungan antara intensitas serangan dengan hasil tanaman yang diperoleh dari pengalaman petani atau dari hasil penelitian. Suatu contoh:
10
6 5
Gambar 3. Hubungan antara Intensitas Serangan Hama dengan Hasil Tanaman 2
Dari fungsi ini kita mengetahui dugaan hasil tanaman atau produksi tanaman dalam kondisi intensitas serangan (%) tertentu, katakan 50% intensitas serangan, produksi atau hasil tanaman adalah 6 ton/ha. Kita sebut Produksi Tanaman Terserang (PTT) 20 50 80 100 4. Dari fungsi ini kita ketahui bahwa hasil tanaman yangserangan tidak terserang hama atau produksi Intensitas (%) tanaman sehat (PTS) adalah 9,5 ton/ha. 5. Harga dari produk/hasil tanaman pada tingkat petani katakan Rp 1000/kg atau Rp 1 juta/ton (HG) 6. Kehilangan hasil (KH) dalam satuan berat (ton) = Luas serangan (LSR) x Produksi Tanaman Sehat (PTS) --- Luas serangan (LSR) x Produksi Tanaman Terserang (PTT) 7. Nilai kehilangan hasil (NKH) dalam rupiah = Harga produk (HG) x KH Suatu contoh: Untuk hama padi di suatu kecamatan ternyata LSR 500 ha. PTT= 6 ton/ha. PTS = 9,5 ton/ha dan harga padi kering panen (HG) Rp 1500/kg. KH
= (LSR x PTS) – (LSR x PTT) = (500 x 9,5) – (500 x 6) = 4750 – 3000 ton = Rp 2.625.000.000 11
= Rp 2,625 milyar Dengan perhitungan tersebut secara kasar kita dapat mengetahui seberapa besar kerugian yang dialami oleh petani, masyarakat dan pemerintah akibat terjadinya serangan hama tertentu. Dari cara penghitungan tersebut di atas dapat dimengerti bahwa untuk menduga kehilangan hasil kita memerlukan hubungan fungsional antara populasi hama atau intensitas serangan (%) dengan hasil. Tanpa informasi tentang hubungan ini kita tidak dapat menduga/menaksir berapa hasil tanaman yang akan diperoleh bila terserang hama pada intensitas serangan atau populasi hama tertentu. Untuk memperoleh fungsi tersebut perlu dilakukan percobaan pengamatan langsung di lapangan. Ada beberapa cara yang dapat kita lakukan antara lain: 1. Cara pertama adalah dengan cara ALAMI yaitu dengan: Mengamati beberapa petak sawah dengan menghitung berapa populasi hama atau intensitas serangan hama tertentu. Misal pada petak pertama intensitas serangan 5%, petak kedua 20%, petak ketiga 40%, petak keempat 60%, petak kelima 80%, dan petak keenam puso atau 95%. Pada waktu panen kita lakukan ubinan hasil pada semua 6 petak tersebut. Dari langkah pertama dan kedua tersebut kita dapat memperoleh fungsi hubungan intensitas serangan dan hasil. 2. Namun seringkali di lapangan kita mengalami kesulitan dalam mendapatkan petak-petak sawah yang memiliki kisaran lebar dalam kepadatan populasi hama atau intensitas serangan seperti contoh di atas. Untuk memperoleh intensitas serangan atau populasi hama yang berbeda seringkali kita lakukan secara BUATAN yaitu dengan menginfestasikan hama dalam pertanaman yang dikurung dalam suatu kasa yang selebar petak sawah. Dengan melakukan infestasi hama kita dapat mengatur berapa kepadatan populasi atau intensitas serangan yang kita inginkan. 3. Cara ketiga merupakan cara yang paling murah tetapi tidak teliti yaitu dari data EMPIRIK atau pengalaman dari petani kita lakukan wawancara pada petani yang sudah lama berpengalaman menghadapi masalah hama tertentu yang menyerang tanaman atau komoditas pertanian yang mereka usahakan. Kita tanyakan pada para petani berapa produksi tanaman yang mereka dapatkan dalam kondisi intensitas serangan hama rendah, sedang, tinggi dan puso, serta berapa produksi tanaman dalam kondisi sehat atau tidak terserang hama. Dari data empirik petani akhirnya kita dapat memperoleh hubungan fungsional antara intensitas serangan dan hasil. Cara ini mudah kita lakukan, tetapi sulitnya tidak semua petani ingat apalagi menyimpan data serangan hama dan kerusakan yang pernah mereka alami. PENETAPAN AMBANG PENGENDALIAN Dalam konsep PHT kita kenal beberapa istilah yang arti dan fungsinya sama yaitu: 1. Ambang Ekonomi (AE) “Economic Threshold” 2. Ambang Kendali (AK) “Economic Threshold” atau Ambang Pengendalian “Control Threshold” 3. Ambang Tindakan (AT) “Action Threshold” Artinya adalah suatu aras (tingkat) kepadatan populasi hama atau intensitas serangan hama yang membenarkan dimulainya penggunaan PESTISIDA untuk pengendalian hama. Tujuan penggunaan pestisida adalah menurunkan populasi hama sampai di bawah AE agar
12
Populasi Hama atau Intensitas Serangan
PESTISIDA
ARAS LUKA EKONOMI
AMBANG EKONOMI
ARAS KESEIMBANGAN UMUM
20
40
60
80
100
WAKTU (hari)
Gambar 4. Populasi Hama dan letak Aras Luka Ekonomi, Ambang Ekonomi dan Aras Keseimbangan Umum pada Keadaan Normal
dapat dikendalikan secara alami oleh kompleks musuh alami sehingga populasi hama tetap berkisar sekitar aras keseimbangan umum (Gambar 4). Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa dalam keadaan gejolak populasi hama sepanjang musim tanam pestisida hanya diaplikasikan satu kali yaitu pada waktu populasi melampaui AE. Dengan demikian penggunaan pestisida dapat dihemat, petani tak perlu menggunakan pestisida secara berjadwal seperti seminggu sekali, atau pada umur 15, 20, 45, 60 HST (hari setelah tanam). Namun untuk melaksanakan prinsip tersebut ada dua syarat penting yaitu: 1. Harus dilakukan pengamatan secara berkala (katakan seminggu sekali) 2. Harus ada ketentuan mengenai berapa besar nilai AE/AK/AT tersebut Dengan demikian untuk setiap jenis hama yang menyerang komoditas tertentu harus mempunyai nilai AEnya masing-masing bahkan pada prinsipnya nilai AE suatu jenis hama tidak tetap, tidak sama dari satu tempat/lokasi ke tempat lain dari waktu ke waktu lain. Artinya nilai AE dinamis, tidak seragam. Yang menetapkan nilai AE yang paling baik adalah petani/kelompok tani sendiri yang berlaku untuk spesifik lahannya masing-masing. Saat ini karena petani banyak yang belum mampu nilai AE lebih sering mengikuti ketetapan atau rekomendasi pemerintah atau rekomendasi peneliti sehingga nilai AE cenderung seragam. Mungkin untuk sementara keadaan tersebut dapat berjalan tetapi harus diikuti dengan melakukan pelatihan pada petani untuk mengembangkan dan menetapkan AE nya sendiri. Biasanya petani menerima rekomendasi AE dari para PPL atau PHP (Pengamat Hama dan Penyakit). Suatu contoh untuk tanaman padi: AE wereng coklat : 5 nimfa + dewasa/rumpun padi pada fase vegetatif 13
10 nimfa + dewasa /rumpun pada fase generatif AE penggerek batang: 30% intensitas serangan pada fase vegetatif 10% intensitas serangan pada fase generatif (lihat lampiran) CARA PENETAPAN/PENGHITUNGAN AE
Hasil (kuintal/ha)
Ada beberapa cara penentuan AE yang dapat kita lakukan: 1. Cara empirik atau berdasar pengalaman dari petani, peneliti atau petugas lapangan yang sudah lama menekuni dan merasakan tentang kerusakan atau kerugian yang diakibatkan oleh serangan hama tertentu pada komoditas yang diusahakan. Berdasarkan data empirik/pengalaman selama bertahun-tahun dapat diperoleh informasi tentang pada aras populasi atau intensitas serangan berapa hama tersebut mulai dirasakan merugikan secara ekonomi. Pada aras populasi mulai merugikan tersebut. AE/AK/AT hama berbeda. Karena itu AE/AK/AT ini dapat kita namakan sebagai AE petani atau Ambang Petani saja. Untuk lebih jelasnya secara grafik data empirik tentang aras populasi/intensitas serangan dan hasil dapat dilihat pada gambar 5. Perhatikan sampai populasi 5 larva belum terjadi penurunan hasil sehingga petani masih bisa mentoleransikan tetapi pada populasi 7 petani sudah mulai merasakan kerugian ekonomi. Pada keadaan kurve pengalaman petani demikian, maka AE/AK/AT petani adalah 7 larva/rumpun. Karena pengalaman dan perasaan petani berbeda-beda kita akan memperoleh AE yang sangat khas/spesifik lokasi, spesifik petani sehingga menjadi variatif dan tidak seragam. Dengan pengalaman yang bertambah dan tingkat toleransi yang semakin baik, petani akan selalu menyesuaikan atau memperbarui nilai AE nya!
Mulai terjadi kerugian ekonomik
AE petani Gambar 5. Populasi Hama
5
7
10
20
30
Populasi hama larva/rumpun
Hubungan dengan Hasil
2. Cara Penelitian Penetapan AE melalui penelitian dilakukan oleh para peneliti yang khusus ingin mengetahui berapa AE pada suatu jenis hama pada komoditas tertentu. Biasanya sasaran kegiatan penelitian adalah memperoleh nilai ALE (Aras Luka Ekonomi) dan dari nilai ALE dihitung AE yang besarnya ¾ atau 2/3 ALE. ALE dihitung dengan menggunakan titik impas/BEP (Break Even Point). ALE adalah suatu populasi atau intensitas serangan dimana nilai kehilangan 14
hasil (dalam Rp) yang dapat diselamatkan oleh tindakan pengendalian hama dengan pestisida sama dengan total baya pengendalian (dalam Rp). BP ALE = -----------------HG x LT x BK dimana BP = Biaya pengendalian (Rp/ha) HG= Harga produk (Rp/kg) LT = Luka tanaman yang diakibatkan oleh satu individu hama BK = Berat kerusakan tanaman per unit luka tanaman Untuk memperoleh LT dan BK perlu dilakukan serangkaian percobaan di lapangan, di rumah kasa atau di laboratorium. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALE DAN AE
ALE/AE
ALE/AE
Banyak faktor yang mempengaruhi nilai ALE dan AE termasuk jenis varietas tanaman, fase tumbuh tanaman, instar hama, lokasi pertanaman, dll. Dari sekian banyak faktor, 4 faktor yang paling penting yaitu: 1. Harga produk 2. Biaya pengendalian 3. Derajat luka yang diakibatkan oleh individu hama 4. Kepekaan tanaman terhadap serangan hama Perhatikan Gambar 6 di bawah. Apa artinya?
Harga Produk
Biaya Pengendalian
Gambar 6. Hubungan antara Harga Produk dan Biaya Pengendalian dengan ALE/AE
15
Kita harus mengetahui bahwa semakin tinggi ALE/AE penggunaan pestisida menjadi semakin jarang atau semakin sedikit, semakin rendah ALE/AE semakin sering/banyak penyemprotan pestisida dilakukan. Bagan alir sistem keputusan pengelolaan hama yang menunjukkan letak pendugaan populasi hama atau infestasi serangan hama dan pendugaan kehilangan hasil serta kegiatankegiatan yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 7. Dari ketetapan-ketetapan pada gambar dapat disimpulkan bahwa untuk melakukan pendugaan kehilangan hasil serta menetapkan dan menerapkan AE/AK/AT diperlukan kerjasama lintas disiplin ilmu (misal ilmu-ilmu perlintan, ekonomi, sosiologi, agronomi, statistis, dll) dan lintas sektor. Tidak dapat dilakukan oleh orang-orang/pakar perlintan.
Pendugaan hama
Pengamatan
Infestasi
Pengaruh (i) pada hasil (y)
Percobaan
Hasil (y)
Pendugaan kehilangan hasil
Pengaruh pengendalian terhadap (i)
AE /AT / AK
tidak
Tak perlu dikendalikan
? Apa lebih besar dari AE?
ya
Kendalikan dengan pestisida
Gambar 7. Bagan Alir Sistem Keputusan Pengelolaan Hama
16
221529639.doc Materi 4
LANDASAN EKOLOGI PENGELOLAAN HAMA Tujuan: 1. Mengetahui dua model pertumbuhan populasi organisme 2. Mengetahui model dinamika populasi hama 3. Mengetahui mekanisme pengendalian alami dan pengaruh faktor abiotik dan biotik 4. Mempelajari pengaruh kegiatan manusia terhadap dinamika populasi hama Materi: Dari kuliah sebelumnya kita mengetahui bahwa keberadaan populasi hama di pertanaman dan di ekosistem menentukan seberapa besar kerusakan tanaman dan kerugian ekonomi yang dialami oleh petani atau pengusaha pertanian lainnya. Juga kita ketahui bahwa populasi hama sepanjang musim tanam dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat tidak tetap tetapi DINAMIS, naik turun, berfluktuasi sekitar suatu garis atau posisi keseimbangan umum (General Equilibrium Position). Banyak faktor abiotik dan biotik yang mempengaruhi dinamika populasi hama. Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut kita dapat melakukan pengelolaan hama yang efektif dan efisien. Perlu ditekankan di sini bahwa tujuan pengelolaan hama bukan untuk membasmi hama, memberantas hama sampai habis tetapi mempertahankan populasi hama di pertanaman tetap berada di bawah AE/AK/AT atau pada aras yang secara ekonomi tidak merugikan. Perhatikan gambar tentang posisi AE, ALE dan Garis keseimbangan pada kuliah minggu yang lalu. Diharapkan para mahasiswa setelah kuliah ini dapat menjawab pertanyaan: Apa sebabnya kita tidak mungkin melakukan pembasmian atau pemusnahan hama seperti banyak orang harapkan? Pada prinsipnya keberadaan dan perkembangan populasi hama dan populasi organisme lainnya ditentukan oleh dua kekuatan yaitu: 1. POTENSI BIOTIK atau "Biotic Potential" dan 2. PERLAWANAN LINGKUNGAN atau "Environmental Resistance" Yang disebut POTENSI BIOTIK adalah kemampuan suatu organisme untuk tetap hidup dan berkembang biak. Kalau kita perhatikan kelompok serangga, organisme ini mempunyai potensi biotik yang sangat besar dan kemampuan berbiak sangat cepat. Dengan siklus hidup pendek, ukuran tubuh kecil dan kemampuan bertahan hidup yang tinggi maka populasi serangga sangat cepat meningkat sehingga dalam waktu sebentar saja dapat memenuhi permukaan bumi ini. Apabila suatu organisme berkembang sepenuhnya sesuai dengan kemampuan hayati (potensi biotik)nya, maka pertumbuhan populasi organisme tersebut akan mengikuti model pertumbuhan ekponensial atau pertumbuhan geometrik seperti Gambar 8. 17
dN --- = r N = ( b – d ) N dt
(N)
= populasi = laju pertumbuhan populasi intrinsik = laju kelahiran = laju kematian = waktu
Populasi
N r b d t
Gambar 8. Pertumbuhan Populasi Organisme Waktu (t) Mengikuti Model Pertumbuhan Ekponensial atau Geometrik
Populasi (N)
Di dunia saat ini satu-satunya organisme yang populasinya tumbuh secara eksponensial adalah MANUSIA. Di alam populasi organisme tidak dapat meningkat secara eksponensial karena adanya kekuatan lain yang me"lawan" atau meng"hambat" yang kita namakan Perlawanan Lingkungan atau Hambatan Lingkungan. Kekuatan ini yang akan menghambat populasi suatu organisme untuk bertambah dan meningkat sesuai dengan kemampuan biotiknya. Karena itu model pertumbuhan populasi yang lebih cocok adalah model pertumbuhan logistik seperti Gambar 9.
K
18
Waktu (t)
Gambar 9. Model Pertumbuhan Populasi Logistik dN K-N --- = r N ( ----- ) dt K N t r K
= populasi = waktu = laju pertumbuhan populasi = asimtot atas atau nilai N maksimum
Populasi (N)
Kurve tersebut menunjukkan model pertumbuhan secara matematik. Kalau kita bandingkan dengan data lapangan populasi suatu organisme, kita memperoleh gambaran dinamika populasi yang mirip dengan pertumbuhan logistik terutama pada daerah I dan II seperti Gambar 10. Menurut gambar tersebut pertumbuhan populasi organisme dapat kita bagi menjadi 5 daerah. Daerah I merupakan periode peningkatan populasi yang tumbuh secara sigmoid. Periode ini terdiri dari tahap pembentukan populasi (A), pertumbuhan cepat secara eksponensial (B) serta tahap menuju keseimbangan (C). Daerah II merupakan pencapaian aras keseimbangan yang merupakan garis asimtot kurve sigmoid. Pada tahap ini populasi telah mencapai stabilitas numerik. Setelah daerah II tercapai kemudian populasi bergejolak sekitar aras keseimbangan yaitu pada daerah III. Daerah III merupakan tahap oskilasi dan fluktuasi populasi. Oskilasi populasi adalah penyimpangan populasi sekitar aras keseimbangan secara simetris, sedangkan fluktuasi populasi merupakan penyimpangan populasi yang tidak simetris. Daerah III berjalan dalam waktu cukup lama tergantung pada berfungsinya mekanisme umpan balik negatif yang bekerja pada populasi organisme tersebut. Apabila mekanisme ini oleh sebab-sebab tertentu menjadi tidak berfungsi lagi, terjadilah daerah IV yang merupakan periode penurunan populasi atau periode pertumbuhan negatif. Kalau periode ini terus berlanjut kemudian akan terjadi tingkat terakhir pertumbuhan populasi yaitu daerah V yang merupakan periode kepunahan populasi.
A
B I
C
Waktu (t) II
III
IV
Organisme yang Terbagi menjadi 5 Tingkat
19
V
Gambar 10. Pertumbuhan Populasi
Adanya kekuatan Hambatan Lingkungan terhadap pertumbuhan populasi organisme dalam kondisi oskilasi dan fluktuasi di sekitar aras keseimbangan umum seperti yang terjadi di daerah III. Di daerah III terjadi mekanisme keseimbangan populasi oleh bekerjanya berbagai faktor abiotik dan biotik yang secara bersama kita sebut sebagai faktor PENGENDALI ALAMI. FAKTOR TERGANTUNG KEPADATAN DAN FAKTOR BEBAS KEPADATAN Dilihat dari proses pengendalian dan pengaturan populasi organisme, maka berbagai faktor hambatan lingkungan dapat dikelompokkan menjadi Faktor Tergantung Kepadatan Populasi (FTK) atau "Density Dependent Factors" dan Faktor Bebas Kepadatan Populasi (FBK) atau "Density Independent Factors". Pengelompokan ini lebih sering digunakan bila dibandingkan dengan cara pengelompokan lainnya. Bagan berikut menunjukkan faktor-faktor yang termasuk dalam FTK dan FBK.
Laju MortalitasMo rtalitas
Faktor Tergantung Kepadatan Faktor tergantung kepadatan adalah faktor pengendali alami yang mempunyai sifat penekanan terhadap populasi organisme yang semakin meningkat pada waktu populasi semakin tinggi, dan sebaliknya penekanan lebih longgar pada waktu populasi semakin rendah. Kalau dihubungkan antara mortalitas yang disebabkan oleh faktor FTK dengan populasi hama misalnya dapat diperoleh garis regresi (Gambar 11).
Populasi
Gambar 11. Hubungan antara populasi dan mortalitas yang disebabkan oleh Faktor Tergantung Kepadatan Faktor tergantung kepadatan terbagi menjadi faktor yang timbal balik dan tidak timbal balik. FTK yang timbal balik terutama adalah musuh alami hama seperti predator, parasitoid, dan patogen. Timbal balik di sini berarti bahwa hubungan antara populasi dan mortalitas oleh FTK dapat berjalan dari kedua arah. Apabila populasi spesies A meningkat, maka mortalitas yang disebabkan oleh predator B akan semakin meningkat, antara lain dengan meningkatnya predasi dan jumlah predator B. Sebaliknya apabila populasi spesies A menurun mortalitas oleh predator dan jumlah predator juga menurun. Dengan demikian perubahan populasi spesies A akan selalu diikuti dengan perubahan kepadatan populasi predator B (Gambar 12). FTK yang tidak timbal balik misalkan makanan dan ruang, jumlahnya terbatas yang ditempati oleh populasi organisme yang saling berkompetisi untuk makanan dan ruang yang 20
sama. Proses FTK di sini dapat dijelaskan sebagai berikut: Bila populasi A semakin tinggi, persaingan antar FTK yang tidak timbal balik misalkan makanan dan ruang, jumlahnya terbatas yang ditempati oleh populasi organisme yang saling berkompetisi untuk makanan dan ruang yang sama. Proses FTK di sini dapat dijelaskan sebagai berikut: Bila populasi A semakin tinggi, persaingan antar individu untuk memperoleh makanan dan ruang semakin kuat sehingga mortalitas A menjadi meningkat, dan demikian juga sebaliknya. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa apabila populasi A meningkat kemudian jumlah makanan menjadi meningkat, atau jumlah pouplasi A menurun dan jumlah makanan menurun. Berbeda dengan kelompok musuh alami, hambatan lingkungan berupa makanan, ruangan, dan teritorialitas termasuk dalam FTK yang tidak timbal balik. PENGENDALIAN ALAMI
FAKTOR BEBAS KEPADATAN
FISIK Tanah Suhu Kebasahan Pergerakan air
FAKTOR TERGANTUNG KEPADATAN
BIOLOGI
TIDAK TIMBAL BALIK
Ketersediaan inang
Makanan Ruang Teritorial
Kualitas makanan
TIMBAL BALIK Musuh alami -Parasitoid
-Predator -Patogen -Herbivora
Gambar 12. Komponen Pengendalian Alami yang Tergantung Kepadatan dan Bebas Kepadatan 21
Populasi
FTK Aras Keseimbangan
FBK
FBK
FTK
Waktu
Gambar 13. Gejolak populasi sekitar aras keseimbangan umum, dan bekerjanya FTK dan FBK. Persediaan Makanan
Jumlah Predator
Predator Meningkat
Meningkat
Jumlah Inang
Jumlah Inang
Meningkat
Meningkat
Jumlah Inang Termakan
Titik Imbang Predator-Inang
Berkurang
Jumlah Inang Termakan
Meningkat
Jumalah Inang
Jumalah Inang
Berkurang
Berkurang
Jumlah Predator
Persediaan Makanan
Berkurang
Predator Berkurang
Gambar 14. Mekanisme Umpan Balik pada Pengaturan Populasi Spesies A oleh Predator
22
Mortalitas
FBK
Gambar 15. Hubungan antara populasi organisme dan mortalitas akibat Faktor Bebas Kepadatan. Faktor Bebas Kepadatan Faktor Bebas dari Kepadatan (FBK) atau "Density Independent Factor" merupakan faktor mortalitas yang daya penekanannya terhadap populasi organisme tidak tergantung pada kepadatan populasi organisme tersebut. Faktor abiotik seperti suhu, kebasahan, angin merupakan FBK yang penting. FBK kadang kala dapat membawa populasi semakin menjauh (lebih atau kurang) dari aras keseimbangan. Misal bila keadaan suhu tidak sesuai bagi kehidupan serangga dapat mengakibatkan populasi serangga menurun menjauhi garis keseimbangannya. Setelah hal itu terjadi faktor FBK akan bekerja mengangkat kembali populasi ke aras keseimbangannya. Bila keadaan cuaca sangat menguntungkan bagi kehidupan dan perkembanganbiakan suatu hama, dapat mendorong populasi hama tersebut meningkat cepat menjauhi aras keseimbangannya. Namun, peningkatan populasi tersebut juga tidak akan berjalan terus, karena FTK seperti musuh alami akan mengencangkan penekanannya sehingga populasi kembali lagi ke aras keseimbangannya. Dr. CLARK mengelompokkan beberapa penyebab mortalitas (kematian) serangga menjadi 7 kelompok yaitu: 1. Umur: menjadi tua atau "aging" 2. Vitalitas rendah: kemampuan serangga dalam menghadapi faktor-faktor lingkungan yang jelek seperti cuaca ekstrim 3. Kecelakaan: adanya peristiwa-peristiwa yang tidak normal (fisiologi dan ekologi) yang dapat mengakibatkan kematian 4. Kondisi fisiko kimia: terkait dengan kondisi fisika dan kimia di tempat serangga hidup termasuk kondisi cuaca, kondisi tanah, kondisi air, udara, dll. 5. Musuh alami: sebagai faktor pengendali alami serangga yang bersifat tergantung kepadatan seperti yang telah dijelaskan 6. Kekurangan pakan: serangga hama sangat ditentukan survival dan perkembangannya oleh ketersediaan pangan yang disediakan manusia. Tetapi untuk serangga musuh alami bila tidak tersedia pakan yang sesuai yang menjadi inang atau mangsa akan sangat mempengaruhi survivalnya. 7. Kekurangan tempat berlindung/bernaung: mempengaruhi mortalitas secara tidak langsung POPULASI
23
Berikut diagram yang menunjukkan pengaruh langsung dan tidak langsung faktor-faktor cuaca. Pengaruh Faktor-faktor Cuaca bagi Kehidupan Serangga
Langsung
Individu
Populasi
Aktivitas Perkembangan Perilaku
Fenologi Mortalitas Natalitas Pergerakan
Tak Langsung
Habitat Parasitoid Predator Patogen Makanan
Natalitas Mortalitas Pergerakan Dengan demikian dalam jangka waktu panjang di dalam setiap ekosistem, selalu terjadi keseimbangan populasi organisme termasuk populasi hama, yang secara dinamik bergejolak di sekitar aras keseimbangan populasinya masing-masing. Setiap organisme dalam kondisi ekosistem tertentu memiliki aras keseimbangannya sendiri-sendiri. Aras populasi tersebut dapat tinggi, tetapi juga dapat rendah seperti yang kita harapkan.
24
Populasi
Mangsa (A)
Predator
Waktu Gambar 16. Hubungan antara kepadatan serangga A dan kepadatan predator B Pengaruh Tindakan Manusia terhadap Populasi Hama Faktor-faktor alami seperti suhu, curah hujan sebagai faktor abiotik serta faktor biotik seperti parasitoid, predator, patogen hama, pesaing, dll bekerja secara interaktif yang membawa populasi hama berada di sekitar aras keseimbangannya. Justru faktor MANUSIA dengan segala tindakannya sangat mempengaruhi dinamika populasi hama sehingga dapat sangat menjauhi aras keseimbangan. Manusia dapat mempengaruhi letak aras keseimbangan melalui mekanisme sbb: Dalam mengelola agroekosistem, manusia dapat mempengaruhi atau mengubah letak aras keseimbangan umum suatu spesies hama melalui kegiatan pengelolaan agroekosistem. Aras keseimbangan populasi hama dapat meningkat antara lain dengan penggunaan pestisida yang berlebihan dan kurang tepat, sehingga dapat membunuh musuh alami. Penggunaan pestisida yang dilakukan terus-menerus dapat mengakibatkan aras keseimbangan hama tersebut akan meningkat melebihi aras keseimbangan sebelumnya (Gambar 17). Peningkatan aras keseimbangan populasi hama dapat juga terjadi sebagai akibat tersedianya makanan hama secara luas dan terus menerus. Demikian juga jika varietas tanaman yang ditanam adalah varietas peka, lambat laun aras keseimbangan populasi hama akan meningkat. Bila aras keseimbangan meningkat maka dapat mengakibatkan populasi hama melebihi AE/AT/AK yang ditetapkan. Dalam keadaan demikian petani terpaksa menggunakan pestisida lebih sering lagi sehingga dapat meningkatkan kerugian, tidak hanya bagi petani tetapi juga bagi konsumen dan kualitas lingkungan hidup. Aras keseimbangan populasi hama dapat juga diturunkan apabila yang terjadi sebaliknya yaitu dengan memasukkan atau melakukan konservasi musuh alami. Tindakan manusia demikian ini akan mendorong bekerjanya pengendali alami di daerah tersebut, yang dalam jangka panjang dapat menurunkan aras keseimbangan populasi hama. Salah satu sasaran PHT adalah menurunkan aras keseimbangan populasi hama sehingga berada di bawah ambang pengendalian.
25
Populasi
Aras Keseimbangan 2
Pestisida
Aras Keseimbangan 1
Waktu Gambar 17. Peningkatan aras keseimbangan akibat perlakuan pestisida secara terus menerus.
221529639.doc Materi 5
FUNGSI PENGAMATAN DALAM SISTEM PHT Tujuan: A. Mempelajari fungsi pengamatan dalam sistem PHT B. Mempelajari prinsip-prinsip pengambilan sampel dan pengamatan C. Mempelajari praktek pengamatan dan pelaporan perlindungan tanaman oleh petugas pengamat hama D. Pengamatan oleh petani Materi: HUBUNGAN PENGAMATAN, PENGAMBILAN SAMPEL DAN PEMANTAUAN Pengamatan adalah kegiatan pengumpulan data dan informasi tentang sesuatu obyek yang diamati/dikaji/diteliti. Pengamatan bisa dilakukan secara berkala maupun insidentil. Ada beberapa maksud atau tujuan pengamatan yaitu pengamatan untuk pengumpulan data penelitian, pengamatan untuk penyusunan lapangan dan pengamatan untuk pengambilan keputusan. Kegiatan pengamatan yang dilakukan secara berkala pada suatu obyek pengamatan tertentu untuk digunakan dalam proses pengambilan keputusan disebut PEMANTAUAN. Kegiatan pemantauan dalam PHT merupakan kegiatan utama yang membedakan sistem PHT dengan sistem pengendalian hama secara konvensional. Peranan pengamatan dan pemantauan hama dan ekosistem dalam penerapan sistem PHT adalah seperti bagan berikut: 26
Analisis Ekosistem
Pengambil Keputusan
Pemantauan
Tindakan Pengelolaan
EKOSISTEM
PERTANIAN
Gambar 18. Hubungan antara pemantauan, pengambilan keputusan dan tindakan pengelolaan dalam sistem pelaksanaan PHT Dari gambar tersebut, kegiatan pertama yang dilakukan adalah pemantauan ekosistem. Kegiatan pemantauan dilakukan untuk mengikuti perkembangan keadaan ekosistem pada suatu saat yang meliputi perkembangan komponen ekosistem, baik komponen biotik seperti keadaan tanaman, tingkat kerusakan tanaman oleh hama, populasi hama dan penyakit, populasi musuh alami dan lain-lain. Juga komponen abiotik seperti suhu, curah hujan, kebasahan, dll. Hasil pemantauan atau data hasil pemantauan dianalisis antara lain dengan membandingkan data ekosistem dengan nilai AE atau Ambang Kendali. Dari hasil analisis ekosistem dapat diambil keputusan mengenai tindakan pengendalian atau pengelolaan yang perlu diterapkan pada ekosistem. Hasil pengambilan keputusan segera diterapkan ke lapangan mengenai tindakan pengelolaan atau pengendalian seperti perbaikan budidaya tanaman, introduksi musuh alami, mengubah habitatnya, pengendalian dengan pestisida, dll. Pengambil keputusan semakin ke bawah yaitu pada pihak pengelola dari ekosistem pertanian, seperti petani atau kelompok tani. MEMPELAJARI PRINSIP-PRINSIP PENGAMBILAN SAMPEL DAN PENGAMATAN Sampel atau contoh merupakan bagian dari suatu populasi yang diamati. Dalam praktek pengamatan tidak mungkin bagi pengamat mengamati seluruh individu dalam populasi tetapi pengamatan dilakukan pada sebagian kecil populasi yang kita sebut sampel. Dari informasi yang diperoleh pada sampel kita ingin menduga sifat populasi yang sebenarnya. Oleh karena itu, sampel yang diambil harus dapat mewakili. Populasi sampel terdiri dari beberapa unit sampel. Jumlah unit sampel sering kita namakan sebagai ukuran sampel. Misalkan kita ingin mengetahui populasi hama atau kerusakan tanaman dalam satu daerah/lahan yang luasnya 1 hektar, sebagai unit sampel ditetapkan rumpun padi. Jumlah rumpun padi yang diamati 30. Hal ini berarti unit sampel adalah rumpun dan ukuran sampel 30. Proses pengambilan sampel dan monitoring memerlukan teknik yang beragam tergantung pada jenis tanaman, jenis hama, atau organisme lain yang diamati. Ada dua syarat yang perlu diperhatikan dalam melakukan teknik pengamatan dan pengambilan sampel yang dilakukan yaitu praktis, dan dapat dipercaya. Praktis berarti metode pengamatan yang dilakukan sederhana, mudah dikerjakan dan tidak memerlukan peralatan dan bahan yang mahal, dan sedapat mungkin tidak mengambil waktu lama. Hasil pengamatan harus dapat dipercaya berarti metode tersebut akan menghasilkan data yang dapat mewakili atau 27
menggambarkan secara benar tentang mempengaruhi pengambilan sampel: 1. Sifat dan ketrampilan petugas pengamat 2. Keadaan lingkungan setempat 3. Sifat sebaran spasial serangga
sifat
populasi
sesungguhnya.
Faktor
yang
PENYUSUNAN PROGRAM PENGAMBILAN SAMPEL DAN PENGAMATAN Dalam menyusun secara lengkap program pengambilan sampel pada suatu wilayah pengamatan perlu dilakukan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menetapkan beberapa kriteria atau ketentuan tentang pengambilan sampel. Ketentuan-ketentuan tersebut meliputi penetapan tentang: 1. Unit Sampel 2. Interval Pengambilan Sampel 3. Banyak atau Ukuran Sampel 4. Desain Pengambilan Sampel 5. Mekanik Pengambilan Sampel 1. Unit sampel Unit sampel merupakan unit pengamatan yang terkecil. Pada unit tersebut diadakan pengukuran dan penghitungan oleh pengamat terhadap individu serangga yang ada, dan apa yang ditinggalkan oleh serangga yang menjadi obyek pengamatan atau variabel pengamatan. Beberapa variabel pengamatan yang dapat diperoleh dari unit sampel dapat berupa kepadatan atau populasi hama, populasi musuh alami, intensitas kerusakan, dll. Ada berbagai jenis unit sampel yang saat ini digunakan dalam praktek pengamatan baik untuk program penelitian atau untuk pengambilan keputusan pengendalian hama. Biasanya unit sampel dikembangkan berdasarkan sifat biologi serangga dan belajar dari pengalaman sebelumnya. Unit sampel dapat berupa: a. Unit luas permukaan tanah 1 x 1 m2 b. Unit volume tanah c. Bagian tanaman seperti rumpun, batang, daun, pelepah daun d. Dalam bentuk stadia hamanya sendiri. Sering digunakan untuk evaluasi dalam musuh alami seperti jumlah larva parasit atau larva inang, dst. 2. Penentuan interval pengambilan sampel Interval pengambilan sampel merupakan jarak waktu pengamatan yang satu dengan waktu pengamatan yang berikutnya pada petak pengamatan yang sama. Banyak faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan interval pengamatan antara lain tingkat tumbuh tanaman, daur hidup serangga yang diamati, tujuan pengambilan sampel, faktor cuaca, dll. Untuk serangga yang mempunyai siklus pendek dan kapasitas reproduksi tinggi, interval pengamatan harus pendek agar tidak kehilangan informasi dari lapangan. Demikian juga keadaan ini berlaku bagi komoditas tanaman yang peka terhadap serangan hama seperti kapas, dan juga untuk jenis hama yang peningkatan kerusakannya berjalan cepat. 3. Penentuan ukuran sampel Dalam program pengambilan sampel dan pengamatan, penentuan ukuran sampel atau jumlah unit sampel yang harus diamati pada setiap waktu pengamatan sangat menentukan kualitas hasil pengamatan. Ukuran sampel dipengaruhi oleh dua komponen utama yaitu varians (s 2) yang menjelaskan distribusi data sampel, dan biaya pengambilan sampel yang terdiri atas ongkos tenaga dan alat-alat pengambilan sampel. Secara umum dapat dikatakan semakin besar ukuran 28
sampel (n) semakin dapat dipercaya harga penduga parameter populasi. Tetapi apabila ukuran sampel besar maka biaya pengambilan sampel juga semakin besar. Sebaliknya bila unit sampel terlalu sedikit, analisa statistik akan menghasilkan keputusan yang memiliki ketepatan dan ketelitian rendah, sehingga kualitas dan kegunaan hasil pengamatan diragukan. 4. Desain atau pola pengambilan sampel Ada beberapa pola yang dapat digunakan untuk menetapkan unit sampel yang mana dari keseluruhan populasi yang harus diamati yang menjadi anggota sampel. Pola yang paling ideal adalah secara acak (random sampling), kemudian dikenal: a. Pola acak berlapis b. Pola pengambilan sampel sistematik c. Pola pengambilan sampel purposive atau yang sudah ditentukan Beberapa pola pengambilan sampel yang sering digunakan adalah bentuk:
A B C Gambar 19. Pola pengambilan sampel A. Pola Diagonal, B. Pola Zigzag, C. Pola Lajur tanaman 5. Mekanik Pengambilan Sampel Mekanik pengambilan sampel serangga adalah segala teknik memperoleh, mengumpulkan serta menghitung individu serangga yang diamati atau bahan yang ditinggalkan oleh serangga pada unit sampel yang telah ditentukan. Mekanik sampel yang sering dilakukan oleh para pengamat kita adalah pengamatan langsung di lapangan. Tidak semua serangga dapat dihitung secara langsung sehingga masih diperlukan peralatan atau alat khusus yang dapat digunakan untuk mengumpulkan individu serangga dan kemudian dihitung jumlahnnya. PRAKTEK PENGAMATAN DAN PELAPORAN PETUGAS PENGAMAT Di organisasi Departemen Pertanian saat ini ada 3 Direktorat Jenderal yang mempunyai tugas untuk mengumpulkan pelaporan data populasi dan kerusakan OPT di seluruh propinsi. Tiga Direktorat Jenderal itu adalah Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Direktorat Jenderal Tanaman Hortikultura, Direktorat Jenderal Tanaman Perkebunan. Pada tiga Direktorat Jenderal tersebut terdapat Direktorat Perlindungan Tanaman seperti Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan. Kebijakan dan rekomendasi pelaksanaan dan pelaporan perlindungan tanaman disusun dan dikeluarkan oleh 3 direktorat tersebut, sedangkan pelaksanaan pengamatan dilakukan oleh para Petugas Pengamat Hama (PHP) dan penyakit yang ada di daerah yang dikoordinasikan oleh BPTPH yang ada di setiap propinsi. Untuk tanaman pangan dan hortikultura, BPTPH secara struktural berada di bawah Pemerintah Daerah Tingkat I/Propinsi. Sedangkan untuk perkebunan, BPTP masih berada di bawah Direktorat Jenderal Perkebunan atau masih di bawah Pemerintah Pusat. Secara fungsional, PHP saat ini termasuk dalam kelompok POPT (Pengendali OPT). 29
1. Pengamatan Pengamatan dilakukan oleh PHP dan petani dengan dua cara yaitu pengamatan tetap dan pengamatan keliling atau patroli. Pengamatan bertujuan untuk mengetahui atau mendeteksi jenis dan kepadatan OPT, intensitas serangan OPT, daerah penyebaran, dan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan OPT serta intensitas kerusakan bencana alam. Dengan informasi tersebut diharapkan petani/kelompok tani bersama petugas dapat mengetahui dan menganalisis secara dini untuk menentukan langkah-langkah penanganan usaha tani, sehingga produksi tanaman yang sudah diusahakan tetap pada taraf tinggi, menguntungkan dan aman bagi lingkungan. Metode Pengamatan Pengamatan OPT pada tanaman pangan dan hortikultura dilakukan dengan dua cara, yaitu pengamatan tetap dan pengamatan keliling atau patroli. Secara rinci pelaksanaan pengamatan tetap dan pengamatan keliling adalah sbb: a. Pengamatan tetap Pengamatan tetap adalah pengamatan yang dilakukan pada petak contoh tetap yang mewakili bagian terbesar dari wilayah pengamatan, perangkap lampu, curah hujan, stasiun meteorologi pertanian khusus. 1). Pengamatan petak tetap Pengamatan pada petak contoh tetap bertujuan untuk mengetahui perubahan kepadatan populasi OPT dan musuh alami serta intensitas serangan. Petak contoh tetap ditempatkan pada lima jenis tanaman dominan. Untuk komoditas terluas diamati empat petak contoh tetap sedangkan empat komoditas lainnya masing-masing diamati satu petak contoh. Dengan demikian pada setiap wilayah pengamatan terdapat delapan petak contoh pengamatan tetap. Petak contoh ditentukan secara purposive, sehingga mewakili bagian terbesar wilayah pengamatan dalam hal waktu tanam, teknik bercocok tanam, dan varietasnya. Pada masa peralihan antara dua musim tanam, pengamatan diteruskan pada petak-petak contoh yang dapat mewakili wilayah pengamatan dalam waktu tersebut. Karena itu petak contoh pada masa antara dua musim tanam dapat berpindah sesuai dengan keadaan tanaman yang dapat mewakili wilayah pengamatan. 2). Pengamatan Perangkap lampu Kepadatan populasi OPT dan musuh alami yang efektif yang tertarik cahaya diamati pada satu atau lebih perangkap lampu yang mewakili wilayah pengamatan. Perangkap lampu ditempatkan jauh dari faktor-faktor yang akan mempengaruhi banyaknya serangga pengganggu tanaman atau musuh alaminya tertarik cahaya. Lampu dinyalakan dari senja sampai fajar. Serangga yang tertangkap diidentifikasi dan dihitung. Pengamatan dilakukan setiap hari serta dilaporkan setiap dua minggu. b. Pengamatan Keliling atau Patroli Pengamatan keliling atau patroli bertujuan untuk mengetahui tanaman terserang dan terancam, luas pengendalian, bencana alam serta mencari informasi tentang penggunaan, peredaran dan penyimpanan pestisida. Pengamatan keliling atau patroli dilaksanakan dengan menjelajahi wilayah pengamatan. Sebelum melaksanakan pengamatan, PHP disarankan menemui petani/kelompok tani pemandu, penyuluh atau sumber lain yang layak dipercaya; untuk memperoleh informasi tentang adanya serangan OPT dan kegiatan pengendalian di wilayah kerjanya. Informasi tersebut digunakan untuk menentukan daerah yang dicurigai dan mengkonsentrasikan pengamatannya. Penentuan daerah yang dicurigai didasarkan pada kerentanan varietas yang 30
ditanam terhadap OPT utama di daerah tersebut, stadia pertumbuhan tanaman dan jaraknya terhadap sumber serangan. Serangan OPT di daerah yang dicurigai, diamati lima petak contoh yang terletak pada perpotongan garis diagonal (A) dan pertengahan potongan-potongan garis diagonal tersebut (B, C, D dan E) seperti terlihat pada Gambar 20. Jumlah rumpun yang diamati tiap unit contoh adalah 10 rumpun/batang. Komponen-komponen yang diamati adalah luas tanaman terserang, intensitas serangan, kepadatan populasi OPT, stadia/umur tanaman, varietas dan tindakan pengendalian yang pernah dilakukan petani.
Gambar 20. penyebaran petak contoh pada daerah yang dicurigai terserang. Dalam tiap petak contoh diamati 5 unit contoh seperti pada gambar 20. Jumlah rumpun contoh yang diamati dalam tiap unit contoh adalah sepuluh rumpun/tanaman. Cara pelaksanaan: Untuk memudahkan pelaksanaan pengamatan keliling dilakukan sesudah pengamatan petak tetap pada subwilayah pengamatan dimana petak tetap itu berada. Apabila ada informasi bahwa di subwilayah lainnya terjadi serangan OPT maka harus dilakukan pengamatan keliling tambahan. Adapun pembagian subwilayah adalah sebagai berikut: 1. Mula-mula bagilah wilayah pengamatan menjadi 4 strata berdasarkan waktu tanamannya (lihat Gambar 21) 2. Bagilah masing-masing strata menjadi 2 subwilayah, sehingga satu wilayah akan terbagi menjadi 8 subwilayah (lihat Gambar 21). Untuk pengamatan tetap, tempatkan satu petak contoh pengamatan pada masingmasing strata di lokasi yang selalu dilewati saat mengadakan pengamatan keliling di strata tersebut, sehingga setiap petak contoh pengamatan tetap dapat diamati dengan interval waktu satu minggu, sedangkan interval pengamatan keliling dua minggu. Waktu pengamatan OPT dilakukan 4 (empat) hari setiap minggu kecuali untuk tangkapan perangkap lampu dan penakar curah hujan dilakukan setiap hari. Pelaksanaan pengamatan OPT dimulai dari hari senin sampai dengan hari kamis. Hasil pengamatan dan kejadian yang ditemukan pada saat pengamatan keliling dan pengamatan tetap dilaporkan secara rutin pada setiap akhir periode pengamatan. Laporan pengamatan tetap pada periode pelaporan tengah bulan pertama berisi hasil pengamatan minggu ke 1 dan ke 2, sedang pada periode pelaporan tengah bulan kedua berisi hasil pengamatan minggu ke 3 dan ke-4. A 1 Senin 1
B 2 Selasa 1
C 3 Rabu 1
D 4 Kamis 1
5 Senin 2
6 Selasa 2
7 Rabu 2
8 Kamis 2
31
Keterangan: A, B, C, D …… pembagian menurut strata 1, 2, 3 … dst … subwilayah Gambar 21. Pembagian subwilayah pengamatan di wilayah kerja PHP Metode Pengambilan Contoh a. Tanaman Pangan Pengambilan contoh pada pengamatan OPT tanaman pangan (padi dan palawija) dilakukan dengan metode diagonal. Pada pengamatan tetap tiap petak contoh ditentukan tiga unit contoh yang terletak di titik perpotongan garis diagonal petak contoh (A) dan di pertengahan potongan-potongan garis diagonal yang terpanjang (B dan C), seperti terlihat pada Gambar 22. Tiap unit contoh diamati 10 rumpun contoh. Dari petak contoh itu diamati intensitas serangan OPT, kepadatan populasi OPT dan kepadatan populasi musuh alami yang efektif.
Gambar 22. Penyebaran Unit Contoh dalam Petak Contoh. Dalam Tiap Unit Contoh Diamati 10 Rumpun Contoh. b. Tanaman Sayuran Pengambilan contoh pada pengamatan OPT tanaman sayur-sayuran dilakukan pada 10 tanaman contoh setiap 0,1 ha atau 50 tanaman contoh per hektar. Pengambilan tanaman contoh ditentukan secara acak (random). c. Tanaman Buah-buahan, hias, Obat-obatan dan Rempah-rempah Pengambilan contoh pada pengamatan OPT tanaman buah-buahan, hias dan obatobatan dan rempah-rempah dilakukan dengan menggunakan petak contoh, yaitu kecamatan. Tanaman yang diamati dibagi 3 kriteria seperti berikut: a. Tanaman dominan (terbanyak) : 15 tanaman/rumpun b. Tanaman dengan jumlah sedang : 10 tanaman/rumpun c. Tanaman dengan jumlah sedikit : 5 tanaman/rumpun Tanaman contoh ditentukan dengan 2 (dua) cara, yaitu random (acak) dan diagonal. Cara random dilakukan pada perkebunan rakyat/pekarangan rumah, sedangkan cara diagonal dilakukan (seperti pengambilan contoh pada tanaman padi) pada perkebunan besar. Penilaian Serangan OPT Penilaian terhadap kerusakan tanaman dilakukan berdasarkan gejala serangan OPT yang sifatnya sangat beragam. Kerusakan tanaman oleh serangan OPT dapat berupa kerusakan mutlak (atau yang dianggap mutlak) dan tidak mutlak. Untuk menilai serangan OPT yang menyebabkan kerusakan mutlak atau dianggap mutlak digunakan rumus sebgai berikut: a I = ----------- X 100% a+b Keterangan: 32
I A B
: Intensitas serangan (%) : Banyaknya contoh (daun, pucuk, bunga, buah, tunas, tanaman, rumpun tanaman) yang rusak mutlak atau dianggap rusak mutlak. : Banyaknya contoh yang tidak terserang (tidak menunjukkkan gejala serangan).
2. Laporan Laporan Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura diperlukan untuk menyusun perlindungan tanaman, memberikan anjuran pengendalian, menyusun rencana perlindungan tanaman, memberikan anjuran pengendalian, menyusun bantuan pengendalian, merencanakan bimbingan pengendalian, melaksanakan pengamatan lebih intensif, dan merencanakan penyediaan sarana pengendalian. Oleh karena itu, Laporan Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura perlu dibuat sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan dan segera dikirim ke instansi yang memerlukannya. Sesuai dengan kebijaksanaan dibidang perlindungan tanaman pangan dan hortikultura dan pembagian wewenang dalam struktur organisasi berlaku, Laporan Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura disampaikan oleh PHP kepada Mantri Tani (Mantan) dan instansi vertikal di atasnya. Mantri Tani dan Penyuluh menyuluhkan dan menyebarluaskan kepada petani sebagai dasar pengambilan keputusan kelompok tani, dan bila perlu bersama-sama dengan PHP membina petani melaksanakan pengendalian. Instansi vertikal di atasnya menggunakan laporan tersebut sebagai bahan mengevaluasi keadaan serangan, kemampuan petugas membimbing petani dalam pengendalian, merencanakan bimbingan dan bantuan, serta menyusun Laporan Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura di wilayah kerjanya. Laporan PHP yang diterima oleh Mantan diteruskan kepada Camat dan Dinas Pertanian (Diperta) Kabupaten/Kotamadya, dan Diperta Kabupaten/Kotamadya meneruskan laporan tersebut ke Diperta Propinsi. Oleh Camat sebagai Ketua Satuan Pelaksana Bimas Kecamatan, laporan tersebut dapat digunakan sebagai dasar untuk menyusun kampanye pengendalian secara massal oleh petani dan bila dibutuhkan/diperlukan bantuan pemerintah berupa pestisida dapat dikeluarkan. Sedangkan oleh Diperta Kabupaten/Kotamadya, digunakan untuk membina pengendalian OPT dan mempertimbangkan bantuan pengendalian kepada petani apabila dinilai sebagai serangan eksplosi. Koordinator PHP mengkoordinasikan laporan PHP, laporan serangan OPT yang dilaporkan PHP dari seluruh wilayah pengamatan kabupaten diteruskan ke Diperta Kabupaten/Kotamadya serta laporan lainnya diteruskan ke Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit (LPHP) dan (Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH)/Loka Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (LPTPH)/Satgas BPTPH/LPTPH. PENGAMATAN OLEH PETANI Karena jumlah PHP dan petugas pengamat atau penyuluh di daerah sangat terbatas maka yang paling baik kegiatan pengamatan dilakukan sendiri oleh petani pemilik/penggarap. Petani sendiri yang melakukan kegiatan pemantauan, pengambilan keputusan dan tindakan pengendalian. Dengan demikian petani tidak lagi tergantung pada petugas, pemerintah. Petani dapat melakukan pengamatan secara perseorangan/individual, namun yang paling baik secara berkelompok atau merupakan kegiatan kelompok tani. Agar petani dapat melakukan kegiatan pemantauan ekosistem, mereka perlu mengikuti pelatihan khusus yang dilaksanakan secara intensif, setiap 1 minggu sekali di dalam kegiatan yang disebut SLPHT. Dengan demikian tujuan pelaksanaan kegiatan pengamatan oleh para petugas PHP hanya terbatas pada penyusunan laporan bagi pemda maupun pemerintah pusat tetapi tidak untuk pengambilan keputusan untuk lahan petani dalam menerapkan PHT. 33
221529639.doc Materi 6
PENGENDALIAN DENGAN TANAMAN/VARIETAS TAHAN HAMA Tujuan: 1. Mengenal dan mempelajari komponen PHT - Pengendalian dengan Tanaman Tahan Hama 2. Mengenal dan mempelajari pengembangan tanaman transgenik tahan hama 3. Mengenal dan mempelajari prinsip-prinsip karantina tumbuhan dan sistem karantina pertanian di Indonesia Materi: Pengendalian hama dengan cara menanam tanaman yang tahan terhadap serangan hama telah lama dilakukan dan merupakan cara pengendalian yang efektif, murah, dan kurang berbahaya bagi lingkungan. Penggunaan berbagai varietas padi tahan hama wereng coklat berhasil mengendalikan hama wereng coklat padi di Indonesia yang sejak tahun 1970 menjadi hama padi yang paling penting. Saat ini petani telah mengenal banyak VUTW (Varietas Unggul Tahan Wereng) yang berhasil dikembangkan oleh para peneliti dari IRRI (Filipina) dan dari Indonesia sendiri. Di luar tanaman padi penggunaan varietas tahan hama masih terbatas karena belum banyak tersedia varietas atau jenis tanaman yang memiliki ketahanan tinggi terhadap hama-hama tertentu. Pada tahun 1984 Indonesia telah berhasil berswasembada beras. Kontribusi varietas unggul tahan hama bagi keberhasilan Indonesia berswasembada beras sangat besar. Hal ini 34
berkat kerja keras para ahli hama, pemulia tanaman, agronomi, dll yang telah berhasil menemukan dan mengembangkan VUTW. Namun sayangnya karena berbagai faktor, sampai saat ini status swasembada beras semakin sulit dipertahankan. 1. Mekanisme Ketahanan Tanaman Ketahanan atau resistensi tanaman merupakan pengertian yang bersifat relatif. Untuk melihat ketahanan suatu jenis tanaman sifat tanaman, yang tahan harus dibandingkan dengan sifat tanaman yang tidak tahan atau yang peka. Tanaman yang tahan adalah tanaman yang menderita kerusakan yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan tanaman lain dalam keadaan tingkat populasi hama yang sama dan keadaan lingkungan yang sama. Pada tanaman yang tahan, kehidupan dan perkembangbiakan serangga hama menjadi lebih terhambat bila dibandingkan dengan perkembangbiakan sejumlah populasi hama tersebut apabila berada pada tanaman yang tidak atau kurang tahan. Sifat ketahanan yang dimiliki oleh tanaman dapat merupakan sifat asli (terbawa keturunan faktor genetik) tetapi dapat juga karena keadaan lingkungan yang mendorong tanaman menjadi relatif tahan terhadap serangan hama. Beberapa ahli membedakan ketahanan tanaman dalam dua kelompok yaitu ketahanan ekologi dan ketahanan genetik (Kogan, 1982). Ahli lain menganggap ketahanan ekologi bukan merupakan ketahanan sebenarnya dan disebut ketahanan palsu atau pseudo resistance sedangkan yang disebut sifat ketahanan tanaman adalah ketahanan genetik. Hal ini disebabkan sifat ketahanan ekologi tidak tetap dan mudah berubah tergantung pada keadaan lingkungannya, sedangkan sifat ketahanan genetik relatif stabil dan sedikit dipengaruhi oleh perubahan lingkungan.
2. Ketahanan Genetik Sampai saat ini klasifikasi resistensi genetik menurut Painter yang banyak diikuti oleh para pakar. Menurut Painter (1951) terdapat 3 mekanisme resistensi tanaman terhadap serangga hama yaitu 1) ketidaksukaan, 2) antibiosis dan 3) toleran. a.
Ketidaksukaan/antixenosis Nonpreference merupakan sifat tanaman yang menyebabkan suatu serangga menjauhi atau tidak menyenangi suatu tanaman baik sebagai pakan atau sebagai tempat peletakan telur. Menurut Kogan (1982) istilah yang lebih tepat digunakan untuk sifat ini adalah antixenosis yang berarti menolak tamu (xenosis = tamu). Antixenosis dapat dikelompokkan menjadi penolakan kimiawi atau antixenosis kimiawi dan penolakan morfologi atau antixenosis morfologik. b. Antibiosis Antibiosis adalah semua pengaruh fisiologi pada serangga yang merugikan, bersifat sementara atau tetap, sebagai akibat kegiatan serangga memakan dan mencerna jaringan atau cairan tanaman tertentu. Gejala penyimpangan fisiologi terlihat apabila suatu serangga dipindahkan dari tanaman tidak memiliki sifat antibiosis ke tanaman yang memiliki sifat tersebut. Penyimpangan fisiologi tersebut berkisar mulai dari penyimpangan yang sedikit sampai penyimpangan terberat yaitu terjadinya kematian serangga. c. Toleran Mekanisme resistensi toleran terjadi karena adanya kemampuan tanaman tertentu untuk sembuh dari luka yang diderita karena serangan hama atau mampu tumbuh lebih cepat sehingga serangan hama kurang mempengaruhi hasil, dibandingkan dengan tanaman lain yang lebih peka. 35
3. Ketahanan Ekologi Ketahanan Ekologi atau dengan istilah lain ketahanan yang kelihatan (apparent resistance) atau ketahanan palsu (pseudo resistance) merupakan sifat ketahanan tanaman yang tidak dikendalikan oleh faktor genetik tetapi sepenuhnya disebabkan oleh faktor lingkungan yang memungkinkan kenampakan sifat ketahanan tanaman terhadap hama tertentu. Oleh karena sifatnya yang tidak tetap, ahli pemulia tanaman tidak mengakui sifat ini sebagai sifat ketahanan tanaman yang sesungguhnya. Sifat ketahanan ini biasanya merupakan sifat sementara dan dapat terjadi pada tanaman yang sebenarnya peka terhadap serangan hama tertentu. Ada 3 bentuk ketahanan ekologi yaitu pengelakan inang (host evasion), ketahanan dorongan (induced resistance) dan inang luput dari serangan (host escape). a. Pengelakan Inang Pengelakan inang terjadi bila waktu pemunculan fase tumbuh tanaman tertentu tidak bersamaan dengan waktu pemunculan stadia hama yang aktif mengkonsumsikan tanaman. b. Ketahanan Dorongan Sifat ketahanan ini timbul dan didorong oleh adanya keadaan lingkungan tertentu sehingga tanaman mampu bertahan terhadap serangan hama. Ketahanan dorongan ini terjadi antara lain akibat adanya pemupukan dan irigasi serta teknik budidaya yang lain. c. Inang Luput dari Serangan Sering dialami pada suatu tempat tertentu ada suatu kelompok tanaman yang sebenarnya memiliki sifat peka terhadap suatu jenis hama, tetapi pada suatu saat tanaman tersebut tidak terserang meskipun populasi hama di sekitarnya pada waktu itu cukup tinggi. Hal tersebut tidak berarti bahwa tanaman tersebut tahan terhadap serangan hama tetapi tanaman tersebut sedang dalam keadaan luput dari serangan hama. 4. Langkah Pengembangan Varietas Tahan Pengembangan varietas tahan hama secara konvensional dilakukan melalui penerapan teknologi pemuliaan tanaman tradisional dengan melakukan persilangan tanaman. Beberapa kegiatan utama dalam melakukan perolehan dan pengembangan guna memperoleh varietas tahan hama yang baru adalah sebagai berikut: a. Identifikasi sumber ketahanan. b. Penetapan mekanisme ketahanan. c. Penyilangan sifat ketahanan dengan sifat agronomi lainnya sehingga dapat diperoleh varietas yang lebih unggul. d. Analisis genetik terhadap sifat ketahanan. e. Identifikasi dasar-dasar kimia dan fisika sifat ketahanan. f. Pengujian lapangan multi lokasi. g. Pelepasan varietas tahan hama yang baru. PENGEMBANGAN VARIETAS TAHAN DENGAN BIOTEKNOLOGI Pengembangan varietas tahan hama secara konvensional banyak dikaji dan telah diperoleh hasil yang menggembirakan. Penggunaan varietas tahan terbukti mampu mengurangi tingkat serangan hama sehingga hasil panen dapat meningkat. Sebagian besar varietas tahan hama yang dilepaskan, diperbanyak dan digunakan di Indonesia saat ini masih merupakan hasil teknologi pemuliaan tanaman secara tradisional yang telah diuraikan sebelumnya. 36
Seiring dengan perkembangan dan kemajuan teknologi akhir-akhir ini tidak menutup kemungkinan penerapan bioteknologi modern dalam bidang pertanian untuk dapat menghasilkan varietas tahan hama. Aplikasi bioteknologi pertanian memberikan peluang yang sangat baik terhadap perkembangan kualitas maupun kuantitas produk-produk pertanian. Beberapa bioteknologi yang telah dikembangkan diantaranya rekayasa genetika yang mencakup rekombinasi DNA, pemindahan gen, manipulasi dan pemindahan embrio, kultur sel dan jaringan, regenerasi tanaman dan antibodi monoklonal. Tanaman hasil rekayasa genetika yang selanjutnya disebut tanaman transgenik dapat direkayasa memiliki sifat ketahanan terhadap jenis hama tertentu. Salah satu sifat unggul tanaman transgenik adalah ketahanan terhadap hama setelah tanaman tersebut disisipi dengan gen toksik yang berasal dari Bacillus thuringiensis (Bt). Sampai akhir tahun 2003 di Indonesia hanya satu varietas kapas Bt yang telah diijinkan dan dilepaskan secara terbatas di Sulawesi Selatan. Di dunia Internasional tanaman transgenik tahan hama yang telah dikembangkan meliputi tanaman kapas, jagung, kentang. Berbagai tanaman tersebut telah disisipi gen yang berasal dari bakteri Bt sehingga tahan terhadap jenis hama tertentu. Aplikasi pemindahan gen dengan teknik biologi molekuler dengan sasaran memperoleh sifat-sifat tertentu dapat dilakukan lebih cepat, dengan ketepatan yang tinggi serta perolehan spektrum sifat yang jauh lebih lebar daripada hasil pemuliaan tanaman konvensional. Perkembangan bioteknologi telah memungkinkan ilmuwan untuk mentransformasikan gen Bt yang dikehendaki ke dalam genom berbagai jenis tanaman pertanian. Gen Bt yang menyandi protein delta-endotoksin telah dapat disisipkan ke dalam tanaman untuk pengendalian hama tertentu. Misal tanaman kapas Bt telah disisipi dengan gen cry1Ac untuk mengendalikan hama penggerek buah kapas Helicoverpa virescens. Tanaman kapas Bt memproduksi toksin secara terus-menerus sehingga serangga peka yang hidup dalam jaringan tanaman akan mati kalau memakan jaringan tersebut. Tanaman transgenik akan terlindung dari serangan hama selama racun protein masih terus diproduksi. Karena racun protein yang dihasilkan hanya aktif bagi beberapa jenis serangga tertentu, suatu jenis tanaman transgenik tahan hama hanya dapat mengendalikan jenis-jenis hama tertentu. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN VARIETAS TAHAN HAMA KONVENSIONAL Kelebihan a. Penggunaannya praktis dan secara ekonomi menguntungkan b. Sasaran pengendalian yang spesifik c. Efektivitas pengendalian bersifat kumulatif dan persisten d. Kompatibilitas dengan komponen PHT lainnya e. Dampak negatif terhadap lingkungan terbatas Kekurangan Beberapa keterbatasan atau permasalahan yang perlu kita ketahui antara lain: a. Waktu dan Biaya Pengembangan b. Keterbatasan Sumber Ketahanan c. Timbulnya Biotipe hama d. Sifat Ketahanan yang Berlawanan KELEBIHAN DAN KEKURANGAN TANAMAN TRANSGENIK TAHAN HAMA Kelebihan 37
1. 2. 3. 4. 5.
Efektif mengendalikan hama sasaran dan pengurangan kehilangan hasil Penurunan penggunaan pestisida kimia Penurunan biaya pengendalian Pengendalian hama secara selektif Penurunan populasi hama dalam areal yang luas
Keterbatasan Tanaman Transgenik 1. Resistensi hama terhadap toksin 2. Pengaruh tanaman transgenik terhadap organisme bukan sasaran 3. Pengurangan keanekaragaman hayati 4. Variasi hasil 5. Kepekaan terhadap jenis hama lain 6. Pengembalian investasi tidak terjamin 7. Risiko bagi kesehatan 8. Ketergantungan pada industri benih transgenik KARANTINA PERTANIAN Tujuan karantina pertanian adalah mencegah masuknya hama dan penyakit hewan, hama dan penyakit ikan, serta organisme pengganggu tumbuhan ke wilayah negara RI, mencegah tersebarnya dari suatu area ke area lain, dan mencegah keluarnya dari wilayah negara RI. Karantina Pertanian terdiri dari: 1. Karantina Hewan 2. Karantina Ikan 3. Karantina Tumbuhan Kita memiliki dasar hukum untuk karantina yaitu: 1. UU RI No 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan 2. PP No 14 Tahun 2002 tentang Karantina Tumbuhan KARANTINA TUMBUHAN Pengertian penting: 1. Organisme Pengganggu Tumbuhan karantina (OPTK) yang terdiri dari OPTK Golongan I, OPTK Golongan II a. OPTK adalah semua organisme pengganggu tumbuhan yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian untuk dicegah masuknya ke dalam dan tersebarnya di dalam wilayah Negara Republik Indonesia. b. OPTK Golongan I yaitu OPTK yang tidak dapat dibebaskan dari media pembawanya dengan cara perlakuan. Tidak dapat dibebaskannya OPT tersebut karena sifatnya memang tidak dapat dibebaskan, atau belum diketahui cara untuk membebaskannya, atau cara untuk membebaskannya belum dapat dilakukan di Indonesia. c. OPTK Golongan II yaitu semua OPTK yang dapat dibebaskan dari media pembawanya dengan cara perlakuan. 2. Kawasan Karantina adalah kawasan yang semula diketahui bebas dari hama dan penyakit tumbuhan karantina, sekarang telah ditemukan adanya organisme tertentu yang dahulunya tidak ada. 3. Sertifikat Kesehatan Karantina (Phytosanitary Certificate) adalah surat keterangan yang dibuat oleh pejabat berwenang di negara atau area asal/pengirim/transit yang menyatakan 38
bahwa tumbuhan atau bagian-bagian tumbuhan yang tercantum di dalamnya bebas dari OPT, OPTK, OPTK golongan I, OPTK golongan II, dan atau OPT Penting. 4. Analisis Risiko Hama dan Penyakit Tumbuhan (Pest Risk Analysis/PRA) adalah suatu proses untuk menetapkan bahwa suatu OPT merupakan OPTK, atau OPT Penting, serta menentukan syarat-syarat dan tindakan karantina tumbuhan yang sesuai guna mencegah masuk dan tersebarnya OPT tersebut. Tindakan Karantina: 1. Pemeriksaan 2. Pengasingan 3. Pengamatan 4. Perlakuan 5. Penahanan 6. Penolakan 7. Pemusnahan 8. Pembebasan Kasus “kebobolan” masuknya hama baru di Indonesia: 1. Keong/siput mas 2. Pengorok daun kentang 3. Nematoda Sista Kuning
221529639.doc Materi 7
PENGENDALIAN HAYATI A. Parasitoid dan Predator Tujuan: 1. Mempelajari prinsip dan teknik pengendalian hayati sebagai salah satu komponen dalam sistem PHT 2. Mempelajari agens pengendalian hayati yang berupa parasitoid dan predator 3. Mempelajari manfaat dan masalah yang dihadapi dalam penerapan pengendalian hayati Materi: LATAR BELAKANG Pengendalian hayati sebagai komponen utama PHT pada dasarnya adalah pemanfaatan dan penggunaan musuh alami untuk mengendalikan populasi hama yang merugikan. Pengendalian hayati sangat dilatarbelakangi oleh berbagai pengetahuan dasar ekologi terutama teori tentang pengaturan populasi oleh pengendali alami dan keseimbangan ekosistem. Musuh 39
alami yang terdiri atas parasitoid, predator dan patogen merupakan pengendali alami utama hama yang bekerja secara "terkait kepadatan populasi" sehingga tidak dapat dilepaskan dari kehidupan dan perkembangbiakan hama. Adanya populasi hama yang meningkat sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi bagi petani disebabkan karena keadaan lingkungan yang kurang memberi kesempatan bagi musuh alami untuk menjalankan fungsi alaminya. Apabila musuh alami kita berikan kesempatan berfungsi antara lain dengan introduksi musuh alami, memperbanyak dan melepaskannya, serta mengurangi berbagai dampak negatif terhadap musuh alami, musuh alami dapat melaksanakan fungsinya dengan baik. Meskipun praktek pengendalian hayati telah dilakukan ratusan tahun yang lalu di daratan Cina, pengendalian hayati yang pertama kali didokumentasikan ialah pada tahun 1762, ketika burung Mynah dibawa dari India ke Mauritius untuk memangsa hama belalang. Secara ilmiah keberhasilan pengendalian hayati pertama yang tercatat adalah pengendalian hama kutu berbantal pada kapas Icerya purchasi di California, Amerika Serikat dengan mengintroduksikan predator dari Australia yaitu kumbang vedalia, Rodolia cardinalis pada tahun 1888. Setelah keberhasilan tersebut kemudian ratusan jenis hama telah berhasil dikendalikan dengan cara hayati. Banyak hama di Indonesia berhasil dikendalikan dengan memasukkan musuh alami terutama sebelum tahun 1950-an sewaktu pestisida belum banyak digunakan oleh petani. Salah satu jenis hama adalah hama belalang pedang Sexava sp yang menyerang kelapa yang dapat berhasil dikendalikan oleh parasitoid telur Leefmansia bicolor di Sulawesi Utara. Juga hama ulat daun kubis (Plutella xylostella) di Jawa Barat berhasil dikendalikan oleh parasitoid Diadegma sp. Introduksi parasitoid telur Chelonus sp dari wilayah Bogor ke Flores untuk mengendalikan ngengat mayang kelapa (Batracedra spp). Pembiakan massal parasitoid telur Trichogramma spp dan lalat Jatiroto (Diatraeophaga striatalis) sangat membantu mengendalikan serangan penggerek batang tebu pada tahun 1972. Selanjutnya pada 1975 telah diintoduksikan kumbang moncong Neochetina eichhorniae dari Flores ke Bogor untuk pengendalian eceng gondok. Introduksi kumbang Curinus coreolius dari Hawai dilakukan untuk mengendalikan hama kutu loncat lamtoro Heteropsylla sp tahun 1986. Dari tahun 1950 sampai 1970an pengendalian hayati pamornya berkurang akibat penggunaan pestisida kimia yang sangat dominan di seluruh dunia. Dengan munculnya konsepsi PHT pengendalian hayati kembali diharapkan menjadi tumpuan teknologi pengendalian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ekologi maupun ekonomi. BEBERAPA PENGERTIAN Agar tidak timbul kerancuan lebih dahulu perlu dibedakan pengertian tentang pengendalian hayati (biological control) dan pengendalian alami (natural control) yang seringkali dibicarakan bersama. Pengendalian Hayati merupakan taktik pengelolaan hama yang dilakukan secara sengaja memanfaatkan atau memanipulasikan musuh alami untuk menurunkan atau mengendalikan populasi hama. De Bach tahun 1979 mendefinisikan Pengendalian Hayati sebagai pengaturan populasi organisme dengan musuh-musuh alami sehingga kepadatan populasi organisme tersebut berada di bawah rata-ratanya dibandingkan bila tanpa pengendalian. Pengendalian Alami merupakan proses pengendalian yang berjalan sendiri tanpa ada kesengajaan yang dilakukan oleh manusia. Pengendalian alami terjadi tidak hanya oleh karena bekerjanya musuh alami, tetapi juga oleh komponen ekosistem lainnya seperti makanan, dan cuaca. Ada beberapa ahli yang meluaskan pengertian pengendalian hayati sebagai usaha pengendalian hama yang mengikutsertakan organisme hidup. Varietas tahan hama, manipulasi genetik, dan penggunaan serangga mandul dimasukkan sebagai bagian teknik pengendalian 40
hayati. Untuk selanjutnya dalam kuliah kita gunakan pengertian pengendalian hayati yang pertama. AGENS PENGENDALIAN HAYATI Sebagai bagian kompleks komunitas dalam ekosistem setiap spesies serangga termasuk serangga hama dapat diserang oleh atau menyerang organisme lain. Bagi serangga yang diserang organisme penyerang disebut "musuh alami". Secara ekologi istilah tersebut kurang tepat karena adanya musuh alami tidak tentu merugikan kehidupan serangga terserang. Hampir semua kelompok organisme dapat berfungsi sebagai musuh alami serangga hama termasuk kelompok vertebrata, nematoda, jasad renik, invertebrata di luar serangga. Kelompok musuh alami yang paling penting adalah dari golongan serangga sendiri. Dilihat dari fungsinya musuh alami atau agens pengendalian hayati dapat kita kelompokkan menjadi parasitoid, predator, dan patogen. 1. Parasitoid Perlu sedikit penjelasan antara istilah parasitoid dan parasit. Parasitisme adalah hubungan antara dua spesies yang satu yaitu parasit, memperoleh keperluan zat-zat makanannya dari fisik tubuh yang lain, yaitu inang. Parasit hidup pada atau di dalam tubuh inang. Inang tidak menerima faedah apapun dari hubungan ini, meskipun biasanya tidak dibinasakan. Misalnya kasus cacing pita pada manusia dan caplak pada binatang. Istilah parasit lebih sering digunakan dalam entomologi kesehatan. Serangga yang bersifat parasit yang pada akhirnya menyebabkan kematian inangnya tidak tepat bila dimasukkan ke dalam definisi parasit. Karena itu kemudian diberikan istilah baru yaitu parasitoid yang lebih banyak digunakan dalam entomologi pertanian. Parasitoid adalah binatang yang hidup di atas atau di dalam tubuh binatang lain yang lebih besar yang merupakan inangnya. Serangan parasit dapat melemahkan inang dan akhirnya dapat membunuh inangnya karena parasitoid makan atau mengisap cairan tubuh inangnya. Untuk dapat mencapai fase dewasa suatu parasitoid hanya memerlukan satu inang. Dengan demikian parasitoid adalah serangga yang hidup dan makan pada atau dalam serangga hidup lainnya sebagai inang. Inang akan mati jika perkembangan hidup parasitoid telah lengkap. Parasitoid merupakan serangga yang memarasit serangga atau binatang artropoda yang lain. Parasitoid bersifat parasitik pada fase pradewasanya sedangkan pada fase dewasa mereka hidup bebas tidak terikat pada inangnya. Umumnya parasitoid akhirnya dapat membunuh inangnya meskipun ada inang yang mampu melengkapi siklus hidupnya sebelum mati. Parasitoid dapat menyerang setiap instar serangga. Instar dewasa merupakan instar serangga yang paling jarang terparasit. Oleh induk parasitoid telur dapat diletakkan pada permukaan kulit inang atau dengan tusukan ovipositornya telur langsung dimasukkan dalam tubuh inang. Larva yang keluar dari telur menghisap cairan inangnya dan menyelesaikan perkembangannya dapat berada di luar tubuh inang (sebagai ektoparasitoid) atau sebagian besar dalam tubuh inang (sebagai endoparasitoid). Contoh ektoparasit adalah Campsomeris sp yang menyerang uret sedangkan Trichogramma sp yang memarasit telur penggerek batang tebu dan padi merupakan jenis endoparasit. Fase inang yang diserang pada umumnya adalah telur dan larva, beberapa parasitoid menyerang pupa dan sangat jarang yang menyerang imago. Larva parasitoid yang sudah siap menjadi pupa keluar dari tubuh larva inang yang sudah mati kemudian memintal kokon untuk memasuki fase pupa parasitoid. Imago parasitoid muncul dari kokon pada waktu yang tepat untuk kemudian meletakkan telur pada tubuh inang bagi perkembangan generasi berikutnya. 41
Ada spesies parasitoid yang dapat melengkapi siklus hidupnya sampai fase dewasa pada satu inang. Parasitoid semacam ini disebut parasitoid soliter merupakan suatu spesies parasitoid yang perkembangan hidupnya terjadi pada satu tubuh inang. Satu inang diparasit oleh satu individu parasitoid. Contoh parasitoid soliter antara lain Charops sp (famili Ichneumonidae). Parasitoid gregarius adalah jenis parasitoid yang beberapa individu dapat hidup bersama-sama dalam tubuh satu inang. Contoh parasitoid gregarious adalah Tetrastichus schoenobii. Jumlah imago yang keluar dari satu tubuh inang dapat banyak sekali. Banyak jenis lebah Ichneumonid merupakan parasitoid soliter, dan banyak lebah Braconid dan Chalcidoid yang merupakan parasitoid gregarius. Enam ordo serangga yang meliputi 86 famili anggota-anggotanya tercatat sebagai parasitoid yaitu Coleoptera, Diptera, Hymenoptera, Lepidoptera, Neuroptera, dan Strepsiptera. Namun dua ordo parasitoid yang terpenting yaitu Hymenoptera dan Diptera. Famili-famili dalam ordo Hymenoptera yang terbanyak mengandung parasitoid adalah Ichneumonidae, Braconidae, dan beberapa famili yang termasuk Chalcidoidea. Sedangkan dalam ordo Diptera famili Tachinidae merupakan famili yang terpenting. Tetrastichus schoenobii memiliki kemampuan memarasit kepompong penggerek batang padi bergaris, penggerek batang padi kuning dan penggerek batang padi putih. Apanteles artonae memarasit larva Chilo sp dan Artona catoxantha. Pertanaman pisang yang terserang Erionata thrax dapat dikendalikan oleh parasitoid Xanthopimpla sp. Parasitoid Trichogrammatoidea batrae-batrae cukup efektif memparasit telur penggerek polong kedelai (Etiella spp). Selama ini dari sekian banyak kelompok agens pengendalian hayati, parasitoid yang paling sering berhasil mengendalikan hama apabila dibandingkan dengan kelompok-kelompok agens pengendalian hayati lainnya. Dari 4769 kasus pelepasan agens pengendalian hayati yang tercatat di dunia, hanya 1023 menggunakan predator, sebagian besar kasus adalah pelepasan serangga parasitoid. Keuntungan atau kekuatan pengendalian hama dengan parasitoid adalah: a. Daya kelangsungan hidup ("survival") parasitoid tinggi. b. Parasitoid hanya memerlukan satu atau sedikit individu inang untuk melengkapi daur hidupnya. c. Populasi parasitoid dapat tetap bertahan meskipun pada aras populasi yang rendah. d. Sebagian besar parasitoid bersifat monofag atau oligofag sehingga memiliki kisaran inang sempit. Sifat ini mengakibatkan populasi parasitoid memiliki respons numerik yang baik terhadap perubahan populasi inangnya. Di samping kekuatan pengendalian dengan parasitoid beberapa kelemahan atau masalah yang biasanya dihadapi di lapangan dalam menggunakan parasitoid sebagai agens pengendalian hayati adalah: a. Daya cari parasitoid terhadap inang seringkali dipengaruhi oleh keadaan cuaca atau faktor lingkungan lainnya yang sering berubah. b. Serangga betina yang berperan utama karena mereka yang melakukan pencarian inang untuk peletakan telur. c. Parasitoid yang memiliki daya cari tinggi biasanya menghasilkan telur sedikit. Namun keberhasilan semua teknik pengendalian hayati dengan parasitoid sangat ditentukan oleh sinkronisasi antara fenologi inang dan fenologi parasitoid di lapangan. Fase larva parasitoid hanya dapat hidup pada fase hidup inang tertentu terutama telur dan larva. Kelanjutan hidup parasitoid sangat ditentukan oleh ketersediaan fase inangnya yang tepat. Bila sewaktu induk parasitoid akan meletakkan telurnya tetapi tidak tersedia fase inang yang tepat, parasitoid tersebut tidak akan dapat melanjutkan fungsinya sebagai pengendali populasi hama. Agar pengendalian hayati dengan parasitoid berhasil siklus hidup dan fenologi hama dan inang perlu dipelajari dan diketahui lebih dahulu. Misalkan untuk introduksi dan pelepasan parasitoid di lapangan perlu diketahui banyak hal kecuali fenologi inang dan parasitoid juga tentang 42
pengaruh berbagai faktor lain seperti cuaca dan tindakan manusia terhadap fenologi dan perkembangan populasi parasitoid dan inangnya. Serangga predator dan serangga parasitoid juga memiliki musuh alami yang berupa parasitoid. Fenomena serangga parasitoid menyerang parasitoid lain sebagai inangnya disebut hiperparasitasi sedangkan parasitoid tersebut disebut hiperparasitoid. Apabila kelompok parasitoid yang memarasit hama disebut parasitoid primer maka kelompok hiperparasitoid disebut parasitoid sekunder. Parasitoid sekunder masih mungkin diserang oleh parasitoid tersier. Brachymeria sp yang menyerang kepompong Charops sp merupakan salah satu contoh hiperparasitasi. Adanya parasitoid sekunder perlu diperhitungkan dalam setiap usaha pengendalian hayati dengan menggunakan predator atau parasitoid. Perlu dicatat di sini bahwa tidak semua parasitoid primer berguna untuk pengendalian hayati antara lain parasitoid primer yang menyerang serangga herbivora digunakan pengendalian hayati gulma. 2. Predator Predator merupakan organisme yang hidup bebas dengan memakan, membunuh atau memangsa binatang lainnya. Apabila parasitoid memarasit inang, predator atau pemangsa memakan mangsa. Predator umumnya dibedakan dari parasitoid dengan ciri-ciri sebagai berikut: a. Parasitoid umumnya monofag atau oligofag, predator pada umumnya mempunyai banyak inang atau bersifat polifag meskipun ada juga jenis predator yang monofag dan oligofag. b. Predator umumnya memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan mangsanya. Namun ada beberapa predator yang memiliki ukuran tubuh yang tidak lebih besar daripada mangsanya, contohnya semut yang mampu membawa mangsa secar berkelompok. c. Predator memangsa dan membunuh mangsa secara langsung sehingga harus memiliki daya cari yang tinggi, memiliki kelebihan sifat fisik yang memungkinkan predator mampu membunuh mangsanya Beberapa predator dilengkapi dengan kemampuan bergerak cepat, taktik penangkapan mangsa yang lebih baik daripada taktik pertahanan mangsa, kekuatan yang lebih besar, memiliki daya jelajah yang jauh serta dilengkapi dengan organ tubuh yang berkembang dengan baik untuk menangkap mangsanya seperti kaki depan belalang sembah (Mantidae), mata besar (capung). d. Untuk memenuhi perkembangannya parasitoid memerlukan hanya satu inang umumnya fase pradewasa, tetapi predator memerlukan banyak mangsa baik fase pradewasa maupun fase dewasa. e. Parasitoid yang mencari inang adalah hanya serangga dewasa betina, tetapi predator betina dan jantan dan juga fase pradewasa semuanya dapat mencari dan memperoleh mangsa. f. Sebagian besar predator mempunyai banyak pilihan inang sedangkan parasitoid mempunyai sifat tergantung kepadatan yang tinggi. Predator memiliki daya tanggap rendah terhadap perubahan populasi mangsa sehingga fungsinya sebagai pengatur populasi hama umumnya kurang terutama untuk predator yang polifag. Sifat polifag memberikan keuntungan bagi predator yaitu bila populasi jenis mangsa utama tertentu rendah, dengan mudah predator tersebut mencari mangsa alternatif untuk tetap mampu mempertahankan hidupnya. Sifat pengaturan populasi mangsa secara tergantung kepadatan lebih nampak pada predator yang bersifat oligofag. Respons numerik predator terhadap perubahan populasi mangsa dinampakkan dalam bentuk perubahan reproduksi, imigrasi, emigrasi, dan proses mortalitas. Respons fungsional predator dalam bentuk perubahan proses fisiologi dan perilaku seperti daya cari, waktu penanganan mangsa, rasa lapar, kecepatan pencernaan, kompetisi antar predator, dll. Sinkronisasi fenologi predator dan mangsa tidak merupakan permasalahan utama bagi keberhasilan pemanfaatan predator sebagai agens pengendali hayati. Hal ini berbeda dengan sinkronisasi parasitoid dan inang. 43
Hampir semua ordo serangga mempunyai spesies yang menjadi predator serangga lain. Selama ini ada beberapa ordo yang anggota-anggotanya banyak merupakan predator yang digunakan dalam pengendalian hayati. Ordo-ordo tersebut adalah Coleoptera, Neuroptera, Hymenoptera, Diptera, dan Hemiptera. Beberapa famili predator yang terkenal adalah kumbang kubah (Coleoptera: Coccinellidae), kumbang tanah (Coleoptera: Carabidae), undurundur (Neuroptera: Chrysopidae), kepik buas (Hemiptera: Reduviidae), belalang tanduk panjang (Orthoptera: Tettigonidae), jangkerik (Orthoptera: Gryllidae), Kepinding air (Hemiptera: Vellidae), Anggang-anggang (Hemiptera: Gerridae), capung jarum (Odonata: Coenagrionidae), semut (Hymenoptera: Formicidae) dan dari golongan laba-laba harimau (Araneae: Lycosidae). Banyak ahli yang mempersoalkan tentang efektivitas predator sebagai agens pengendalian hayati apabila dibandingkan dengan parasitoid. Dari sekian banyak usaha pengendalian hayati yang selama ini berhasil dilakukan di dunia lebih banyak menggunakan parasitoid daripada predator. Namun hal itu tidak berarti bahwa predator kurang dapat difungsikan sebagai agens pengendalian hayati. Keberhasilan pengendalian hayati memang sulit untuk diduga dan dianalisis secara tepat karena kerumitan dan dinamika agroekosistem. Predator dan parasitoid mempunyai banyak kelebihan dan kelemahan. Oleh karena itu untuk meningkatkan keberhasilan pengendalian hayati kedua agens tersebut harus dimanfaatkan secara optimal berdasarkan pada informasi dasar yang mencukupi tentang berbagai aspek biologi dan ekologi kedua kelompok agens pengendalian hayati tersebut. PENGENDALIAN HAYATI DENGAN PARASITOID DAN PREDATOR Praktek pengendalian yang dilakukan sampai saat ini dapat dikelompokkan dalam 3 kategori yaitu introduksi, augmentasi, dan konservasi. Meskipun ketiga teknik pengendalian hayati tersebut berbeda dalam sasaran dan tekniknya tetapi dalam pelaksanaan pengendalian hayati sering digunakan secara bersama. 1. Introduksi Teknik introduksi atau importasi musuh alami seringkali disebut sebagai praktek pengendalian hayati klasik. Hal ini disebabkan karena pada tahap permulaaan sebagian besar usaha pengendalian hayati menggunakan teknik tersebut. Usaha introduksi bertujuan untuk mencari musuh alami hama tersebut di daerah asalnya dan memasukkannya ke daerah baru. Di daerah asal hama tersebut mungkin tidak menjadi masalah bagi petani karena populasinya telah dapat diatur dan dikendalikan oleh agens musuh alami setempat. Keberhasilan penggunaan teknik introduksi dimulai dengan introduksi kumbang vedalia, Rodolia cardinalis dari benua Australia ke California untuk mengendalikan hama kutu perisai Icerya purchasi yang menyerang perkebunan jeruk di California. Pada waktu itu diketahui bahwa hama kutu jeruk tersebut berasal dari benua Australia. Keberhasilan teknik introduksi ini kemudian dicobakan pada hama-hama lain dan banyak juga yang berhasil baik secara lengkap, substansial maupun parsial. Di Indonesia pengendalian dengan introduksi parasitoid yang berhasil antara lain introduksi parasitoid Pediobius parvulus dari Fiji pada sekitar tahun 1920-an ke Indonesia yang ditujukan untuk pengendalian hama kumbang kelapa Promecotheca reichei. Pada beberapa daerah dilaporkan bahwa parasitasi dapat mendekati 100%. Juga pemasukan parasitoid Tetrastichus brontispae dari pulau Jawa ke Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara dapat berhasil menekan populasi hama kelapa Brontispa longissima. Parasitoid telur Leefmansia bicolor pernah dimasukkan dari pulau Ambon ke pulau Talaud, juga parasitoid Chelonus sp dimasukkan dari Bogor ke pulau Flores untuk mengendalikan hama bunga kelapa Batrachedra (Kalshoven, 1981). Di Indonesia kasus yang paling baru terjadi pada tahun 1986-1990 yaitu 44
introduksi predator Curinus coreolius dari Hawaii untuk pengendalian hama kutu loncat lamtoro Heteropsylla sp. Meskipun telah banyak usaha introduksi musuh alami yang berhasil dilakukan tetapi untuk menjelaskan teori dasar teknik introduksi tersebut sangat sulit karena kerumitan mekanisme dan susunan ekosistem pertanian. Mengingat introduksi musuh alami termasuk dalam rekayasa biologi, agar teknik ini berhasil diperlukan banyak usaha persiapan dan studi yang mendalam terutama tentang sifat penyebaran, sifat biologi dan ekologi spesies hama dan musuh alami yang akan diintroduksikan, dan keadaan ekosistem setempat. Sampai saat ini upaya introduksi musuh alami ada juga yang berhasil mengendalikan hama secara berlanjut meskipun hanya dilandasi dengan metode cobacoba atau metode "trial and error". Namun untuk peningkatan efisiensi dan efektivitas pengendalian pendekatan semacam itu tidak dianjurkan. Ada beberapa langkah klasik yang perlu ditempuh apabila untuk melakukan introduksi musuh alami pada suatu tempat. Langkah-langkah tersebut dilakukan dengan urutan sbb: a. Penjelajahan atau eksplorasi di negeri asal terutama mengenai habitat asal spesies eksotik yang akan diimpor b. Pengiriman parasitoid dan predator dari negeri asal mengikuti peraturan-peraturan yang berlaku di negara asal maupun di Indonesia c. Karantina pasca masuk parasitoid dan predator yang diimpor di dalam negeri sesuai peraturan dan prosedur karantina yang berlaku di Indonesia d. Perbanyakan parasitoid dan predator di laboratorium yang memenuhi syarat baik fasilitas maupun SDMnya e. Pelepasan dan pemapanan parasitoid dan predator yang diimpor sesuai dengan kondisi ekologi yang menguntungkan kehidupan dan perkembangan agens pengendalian hayati f. Evaluasi efektivitas pengendali hayati dengan menggunakan metode standar yang dibuat oleh para ahli pengendalian hayati (metode eksklusi dan metode neraca kehidupan) Apabila berhasil nilai manfaat yang diperoleh dari pemasukan musuh alami sangat besar karena hasilnya mantap, mapan dan akan berumur panjang sehingga mendatangkan keuntungan ekonomi dan lingkungan yang maksimal. Keuntungan penggunaan pengendalian hayati klasik dengan intorduksi adalah: a. Agens pengendalian hayati yang dipilih biasanya sudah mengkhususkan diri terhadap hama sasaran dan tidak/sedikit berdampak negatif bagi organisme lain, b. Sekali telah menetap di suatu tempat, agens pengendali tersebut akan berkembang sendiri dan tidak diperlukan pemasukan yang berulang-ulang, c. Tidak perlu lagi tindakan-tindakan pengendalian hama lainnya baik oleh petugas lapangan maupun petani, d. Semua pihak diuntungkan baik petani kaya maupun petani miskin, e. Dari perhitungan manfaat dan biaya (Benefit Cost) sangat menguntungkan dibandingkan penggunaan pestisida 2. Augmentasi Teknik augmentasi atau teknik peningkatan merupakan aktivitas pengendalian hayati yang bertujuan meningkatkan jumlah musuh alami atau pengaruhnya. Sasaran ini dapat dicapai dengan dua cara augmentasi yaitu pertama, dengan melepaskan sejumlah tambahan musuh alami ke ekosistem agar dengan tambahan jumlah tersebut dalam waktu singkat musuh alami mampu menurunkan populasi hama. Cara kedua adalah dengan memodifikasikan ekosistem sedemikian rupa sehingga jumlah dan efektivitas musuh alami dapat ditingkatkan. Pelepasan sejumlah populasi musuh alami di ekosistem secara teknik augmentasi sebetulnya sama juga dengan pelepasan musuh alami dengan teknik introduksi. Dengan teknik augmentasi diharapkan populasi hama sementara waktu (satu musim atau kurang) dengan cepat dapat ditekan sehingga tidak merugikan. Pelepasan musuh alami introduksi bertujuan 45
dalam jangka panjang mampu menurunkan aras keseimbangan populasi hama sehingga tetap berada di bawah aras ekonomi. Karena itu pelepasan musuh alami secara augmentatik harus dilakukan secara periodik. Perbedaan lain pelepasan augmentatik menggunakan musuh alami yang sudah berfungsi di ekosistem, sedangkan pelepasan introduksi menggunakan musuh alami yang dimasukkan dari luar ekosistem. Pelepasan periodik menurut Stehr (1982) dapat dibedakan dalam 3 bentuk tergantung pada maksud dan frekuensi pelepasan serta sumber musuh alami yang dilepaskan. Tiga cara pelepasan periodik adalah: b. Pelepasan Inokulatif Pelepasan musuh alami dilakukan satu kali dalam satu musim atau dalam satu tahun dengan tujuan agar musuh alami tersebut dapat mengadakan kolonisasi dan menyebar luas secara alami dan menjaga populasi hama tetap berada pada aras keseimbangannya. Pelepasan musuh alami di sini dimaksudkan agar secara teratur peranan dan kondisi musuh alami tetap dipertahankan dan ditingkatkan. Secara periodik populasi musuh alami berkurang karena keadaan lingkungan yang tidak sesuai. Pengendalian hama tidak diharapkan dari hasil kerja musuh alami yang dilepas tetapi oleh keturunannya. c. Pelepasan Suplemen Pelepasan musuh alami dapat dilakukan setelah dari kegiatan sampling diketahui populasi hama mulai meninggalkan populasi musuh alaminya. Tujuan pelepasan untuk membantu musuh alami yang sudah ada agar kembali berfungsi dan dapat mengendalikan populasi hama. d. Pelepasan Inundatif atau Pelepasan Massal Apabila pada kedua cara pelepasan sebelumnya diharapkan keturunan dari individu musuh alami yang dilepaskan yang terus berfungsi memperkuat berfungsinya kembali musuh alami sebagai pengendali alami, maka pelepasan inundatif mengharapkan agar individu-individu musuh alami yang dilepas secara sekaligus dapat menurunkan populasi hama secara cepat terutama setelah ratusan ribu atau jutaan individu parasitoid atau predator dilepaskan. Pelepasan inundatif parasitoid sering disebut penggunaan "insektisida biologi" karena dalam hal ini musuh alami seakan-akan diharapkan dapat bekerja secepat insektisida kimiawi dalam penurunan populasi hama. Karena jumlah musuh alami yang dilepaskan sangat banyak diperlukan teknik pembiakan massal musuh alami yang cepat, dan ekonomik. Umumnya inang bagi perbanyakan massal musuh alami bukan serangga inang hama tetapi serangga inang alternatif yang lebih mudah diperbanyak di ruang perbanyakan. Contoh untuk memperbanyak parasitoid telur Trichogramma sp di laboratorium digunakan inang pengganti yaitu Sitotroga cerealia, hama yang menyerang gabah. Sukses yang dicapai oleh teknik inokulatif adalah dilepaskannya secara massal parasitoid telur Trichogramma sp untuk mengendalikan berbagai hama penting seperti penggerek pucuk tebu dan penggerek batang tebu, hama penggerek buah kapas, dll. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelepasan 150.000 telur Trichogramma sp. per hektar dapat menurunkan populasi dan kerusakan penggerek pucuk tebu, sedangkan untuk pengendalian penggerek batang tebu diperlukan 250.000 telur per hektar. Teknik pengendalian hayati lainnya agar teknik augmentasi dengan pelepasan periodik ini berhasil diperlukan informasi yang lengkap tentang biologi dan ekologi hama dan musuh alaminya terutama dalam menentukan tempat, waktu, frekuensi dan cara pelepasan musuh alami. 46
3. Konservasi Musuh Alami Dalam penerapan PHT konservasi musuh alami terutama pemanfaatan predator dan parasitoid merupakan teknik pengendalian hayati yang sering dilakukan dan dianjurkan. Teknik konservasi bertujuan menghindarkan tindakan-tindakan yang dapat menurunkan populasi musuh alami. Banyak tindakan agronomi yang secara langsung dan tidak langsung dapat merugikan populasi musuh alami terutama penggunaan pestisida kimia. Pengendalian hama tanpa menggunakan pestisida atau kalau digunakan secara selektif berarti usaha konservasi musuh alami sudah dilaksanakan. Dari hasil penelitian Settle et al. (1996) dapat diketahui bahwa aplikasi insektisida pada permulaan musim tanam padi tidak hanya membunuh musuh alami hama-hama padi, tetapi dapat membunuh serangga-serangga akuatik detrivora dan pemakan plankton yang hidup di air sawah. Keberadaan serangga-serangga air tersebut sangat bermanfaat karena menjaga populasi wereng coklat padi pada posisi yang tidak merugikan petani. Menghindarkan aplikasi insektisida pada permulaan musim tanam padi merupakan salah satu bentuk konservasi musuh alami yang efektif untuk pengendalian hama-hama padi di Indonesia. Beberapa cara konservasi musuh alami yang dapat dilakukan antara lain berupa: 1. Menekan pemakaian pestisida. Musuh alami memiliki kepekaan terhadap pestisida lebih tinggi daripada hama sehingga pemakaian pestisida secara terus-menerus akan memusnahkan populasi musuh alami. Parasitoid lebih peka terhadap pestisida daripada predator. 2. Memakai sistem tanam yang lebih beraneka ragam. Sistem tanam yang beraneka ragam akan mempengaruhi lingkungan mikro di suatu lahan. Lingkungan akan lebih terlindung dari pengaruh buruk cuaca seperti angin dan hujan, kelembaban lebih tinggi, dan tempat akan menjadi lebih teduh. Dengan demikian jumlah serangga bermanfaat seperti musuh alami akan lebih beraneka ragam dibandingkan pada sistem monokultur. 3. Menanam dan melestarikan tanaman berbunga. Tanaman berbunga yang menghasilkan sari madu dan serbuk sari dapat menaikkan kemampuan musuh alami untuk berkembang biak sehingga lebih disukai oleh parasitoid dan predator. 4. Melestarikan tanaman liar yang mendukung inang alternatif parasitoid atau mangsa alternatif predator. Parasitoid atau predator akan sulit mempertahankan hidup setelah panen karena inang utama tidak dijumpai lagi. Pelestarian tanaman liar dapat mendukung kehidupan musuh alami sebagai inang alternatif sampai inang utama kembali tersedia sehingga musuh alami tetap mampu menurunkan populasi hama. Adanya tanaman liar juga harus diwaspadai apabila berpotensi menjadi tempat hidup hama di luar musim tanaman budidaya. Sebelumnya Stehr (1982) mengemukakan beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memodifikasi ekosistem untuk konservasi musuh alami dengan rincian sebagai berikut: 1. Perlindungan dari penggunaan pestisida kimiawi. 2. Pengembangan musuh alami yang tahan atau toleran terhadap pestisida. 3. Perlindungan atau penjagaan stadia tidak aktif musuh alami (pupa atau fase diapause). 4. Menghindari praktek budidaya tanaman yang merugikan kehidupan musuh alami. 5. Penjagaan keanekaragaman komunitas setempat dan inang yang diperlukan. 6. Penyediaan inang alternatif. 7. Penyediaan makanan alami (nektar, pollen, embun madu) 8. Penyediaan suplemen makanan tambahan. 47
9. Pembuatan tempat berlindung musuh alami 10. Pengurangan populasi predator yang tidak diinginkan. 11. Pengendalian semut pemakan madu. 12. Pengaturan suhu yang mendukung perkembangan musuh alami. 13. Menghindarkan debu-debu yang mengganggu efektivitas musuh alami. PERANAN PENGENDALIAN HAYATI DALAM PHT Sesuai dengan konsepsi dasar PHT pengendalian hayati memegang peranan yang menentukan karena semua usaha teknik pengendalian yang lain secara bersama ditujukan untuk mempertahankan dan memperkuat berfungsinya musuh alami sehingga populasi hama tetap berada di bawah aras ekonomik. Dibandingkan dengan teknik-teknik pengendalian yang lain terutama pestisida kimia, pengendalian hayati memiliki tiga keuntungan utama yaitu
permanen, aman, dan ekonomi. Arti permanen di sini karena apabila pengendalian hayati berhasil, musuh alami telah menjadi lebih mapan di ekosistem dan selanjutnya secara alami musuh alami akan mampu menjaga populasi hama dalam keadaan yang seimbang di bawah aras ekonomi dalam jangka waktu yang panjang. Pengendalian hayati aman bagi lingkungan karena tidak memiliki dampak samping terhadap lingkungan terutama terhadap serangga atau organisme bukan sasaran. Karena musuh alami biasanya adalah khas inang. Meskipun pernah dilaporkan kasus terjadinya ketahanan suatu jenis hama terhadap musuh alami antara lain dengan membentuk kapsul dalam tubuh inang, namun kejadian tersebut sangat langka. Pengendalian hayati juga relatif ekonomis karena begitu usaha tersebut berhasil petani tidak memerlukan lagi tambahan biaya khusus untuk pengendalian hama, petani kemudian hanya mengupayakan agar menghindari tindakan-tindakan yang merugikan perkembangan musuh alami. Kesulitan dan permasalahan utama dalam penerapan dan pengembangan pengendalian hayati adalah modal investasi permulaan yang besar yang harus dikeluarkan untuk kegiatan eksplorasi, penelitian, pengujian dan evaluasi terutama yang menyangkut berbagai aspek dasar baik untuk hama, musuh alami maupun tanaman. Aspek dasar dapat meliputi taksonomi, ekologi, biologi, siklus hidup, dinamika populasi, genetika, fisiologi, dll. Identifikasi yang tepat baik untuk jenis hama maupun musuh alaminya merupakan langkah permulaan yang sangat penting. Apabila identifikasi kurang benar kita akan memperoleh kesulitan dalam mempelajari sifat-sifat kehidupan musuh alami dan langkah-langkah kegiatan selanjutnya. Kecuali diperlukan modal, fasilitas yang lengkap juga diperlukan sumber daya manusia terutama para peneliti yang berkualitas dan berpendidikan khusus dan berdedikasi tinggi sesuai dengan yang diperlukan untuk pengembangan teknologi pengendalian hayati. Sampai saat ini tenaga-tenaga ahli dengan kualifikasi demikian masih sangat jarang tersedia di Indonesia. Meskipun ada beberapa ahli yang berpendapat bahwa untuk pengendalian hayati yang penting adalah adanya tenaga peneliti yang berpengalaman dan berdedikasi tinggi serta cukup memiliki rasa seni dan intuisi, namun bagaimanapun untuk keberhasilan pengendalian hayati dalam kerangka PHT diperlukan juga dasar pengetahuan dan teknologi yang mantap.
48
B. Patogen Serangga Tujuan: 1. Mempelajari dan memahami berbagai kelompok dan jenis patogen serangga sebagai agens pengendalian hayati 2. Mempelajari dan memahami strategi dan cara pemanfaatan patogen serangga untuk pengendalian hama 3. Mempelajari dan memahami kelemahan dan kekuatan patogen serangga sebagai agens pengendalian hayati Materi: JENIS-JENIS JASAD RENIK PATOGENIK Serangga seperti juga binatang lainnya dalam hidupnya diserang oleh banyak patogen atau penyakit yang berupa virus, bakteri, protozoa, jamur, rikettsia dan nematoda. Beberapa penyakit dalam kondisi lingkungan tertentu dapat menjadi faktor mortalitas utama bagi populasi serangga, tetapi ada banyak penyakit yang pengaruhnya kecil terhadap gejolak populasi serangga. Serangga yang terkena penyakit menjadi terhambat pertumbuhan dan pembiakannya. Pada keadaan serangan penyakit yang parah serangga terserang akhirnya mati. Saat ini dikenal lebih dari 2000 jenis patogen yang menginfeksi serangga dan jumlah itu mungkin baru sebagian kecil dari jenis patogen serangga di muka bumi. Oleh karena kemampuannya membunuh serangga hama sejak lama patogen digunakan sebagai agens pengendalian hayati (biological control agents). Penggunaan patogen untuk pengendalian hama tercatat pada abad ke-18 yaitu pengendalian hama kumbang moncong pada bit gula, Cleonus punctiventus dengan menggunakan sejenis jamur. Berikut secara singkat diuraikan beberapa kelompok jasad renik yang saat ini sudah banyak dan sering digunakan sebagai agens pengendalian hayati. 1. Virus Sampai saat ini kurang lebih 1500 virus telah berhasil diisolasi dan diidentifikasikan dari serangga dan binatang artropoda lainnya. Virus-virus artropoda sebagian besar masuk dalam genera Nucleopolyhedrovirus, Granulovirus, Iridovirus, Entomopoxvirus, Cypovirus dan Nodavirus. Dari keenam genera ini genus NPV (Nucleopolyhedro virus) merupakan genus terpenting karena sekitar 40% jenis virus yang dikenal menyerang serangga termasuk dalam genus ini. Selain NPV ada kelompok virus lainnya yaitu GV (Granulovirus), CPV (Cytoplasmic Polyhidrosis Virus) dan kelompok lainnya yang lebih kecil jumlahnya. NPV pada umumnya menyerang paling banyak pada ordo Lepidoptera (86%) dan sedikit pada ordo Hymenoptera (7%) serta ordo Diptera (3%). Selain itu virus juga telah diketahui menyerang ordo Coleoptera, Trichoptera, dan Neuroptera. Berbagai virus NPV mempunyai prospek untuk digunakan dalam pengendalian hayati adalah NPV yang diisolasi dari genusgenus Spodoptera, Helicoverpa, Trichoplusia, Plusia, Pectinophora, Neodiprion, Melacosoma, Agrotis, Chilo, dll. Banyak genus serangga tersebut yang merupakan hama penting di Indonesia. Beberapa keunggulan penggunaan NPV antara lain memiliki inang sangat spesifik, mampu menginfeksi serangga yang telah resisten terhadap insektisida, relatif persisten di pertanaman dan tanah, serta tidak meninggalkan residu beracun di alam. Virus NPV dicirikan dengan adanya inclusion bodies yang disebut polihedra atau PIB (“polihedric inclusion body”). PIB dibentuk oleh protein dan mengandung beberapa nukleokapsid atau partikel-partikel virus 49
atau virion. Virion NPV berbentuk batang yang berukuran panjang antara 200-400 nm dengan diameter 20-50 nm. Di dalam tubuh larva Lepidoptera virus berkembang terutama di nuklei selsel darah, hipodermis, jaringan lemak dan lapisan epithel saluran trachea. Larva serangga yang terinfeksi oleh virus pada umumnya melemah pada saluran pencernaan makanan sewaktu larva makan bagian tanaman yang telah mengandung polihedra. Selain itu virus juga dapat masuk ke tubuh serangga sewaktu meletakkan telur atau melalui bagian tubuh yang terluka mungkin oleh serangan musuh alami. Virus juga dapat ditransmisikan dari induk yang telah terinfeksi pada keturunannya melalui telur. Apabila virus telah masuk ke dalam tubuh serangga, polihedra NPV akan larut dan pecah serta melepaskan partikel-partikel virus yang kemudian memasuki sel-sel bagian perut serangga dan akhirnya memperbanyak diri. Setiap sel yang terinfeksi virus, nukleusnya membengkak dan dipenuhi oleh masa padat yang disebut viroplan. Proses perbanyakan nukleokapsid berjalan dengan cepat sehingga terbentuklah banyak polihedra yang memenuhi seluruh sel tubuh serangga akhirnya mengakibatkan kematian. Proses masuknya virus ke tubuh serangga sampai dipenuhinya sel-sel tubuh serangga oleh virus berjalan antara 4 hari sampai 3 minggu tergantung pada jenis NPV, jenis serangga inang, jumlah polihedra yang masuk, instar larva yang mulai terinfeksi dan keadaan suhu. Larva yang terserang virus NPV dapat dilihat dari gejala serangan yang antara lain berupa larva semakin malas bergerak, pertumbuhannya terhambat, kulit berganti warna menjadi semakin pucat dan memutih seperti susu, dan larva bergerak ke pucuk tanaman. Larva yang mati karena virus posisi tubuhnya seperti patah dan menggantung pada bagian tanaman. Penyebaran virus ini melalui berbagai cara dan dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain cuaca. Virus telah berada di tanaman dan telah dapat disebarkan oleh angin dan hujan. Beberapa jenis predator termasuk burung dan parasitoid dapat juga menjadi agens penyebaran virus. Aplikasi virus untuk pengendalian hama sebagian besar baru dalam tahap pengkajian laboratorium sedangkan di lapangan masih sangat terbatas. Kendala utama dalam perbanyakan virus diantaranya belum berkembangnya teknik perbanyakan dan penggunaan pakan buatan. Teknik rekayasa genetika diharapkan mampu memacu perkembangan dan perluasan aplikasi virus sebagai agens pengendalian hayati. 2. Jamur Entomopatogenik Kelompok jenis jamur yang menginfeksi serangga dinamakan jamur entomopatogenik. Saat ini telah dikenal lebih dari 750 spesies jamur entomopatogenik dari sekitar 100 genera jamur. Tabel 1 menunjukkan berbagai genus jamur penting yang dapat menjadi patogen serangga. Tabel 1. Kelompok Jamur Patogen Serangga yang Umum Menurut Sistematikanya Subdivisi Kelas Ordo Genus Contoh Inang Mastigomycotina Zygomycotina Ascomycotina Deuteromycotina
Chytridiomycetes Zygomycetes Pyrenomycetes Plectomycetes Hypomycetes
Blastocladiales Entomophthorales Spaeriales Ascosphaerales Moniliales
Sumber: Tanada dan Kaya, 1993 50
Coelomomyces Enthomophthora Cordyceps Ascophaera Beauveria Metarhizium Nomuraea Paecilomyces Verticillium Hirsutella Sorosporella Spicaria
Lalat hitam Nilaparvata lugens Setora nitens Aphis sp. Nilaparvata lugens Oryctes rhinoceros Helicoverpa zea, S. litura Diaphorina citri Aleurodicus destructor Plutella xylostela Berbagai ulat grayak Helopeltis antonii
Berbeda dengan virus, jamur patogen masuk ke dalam tubuh serangga tidak melalui saluran makanan tetapi langsung masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau integumen. Setelah konidia jamur masuk ke dalam tubuh serangga, jamur memperbanyak dirinya melalui pembentukan hife dalam jaringan epikutikula, epidermis, hemocoel, serta jaringan-jaringan lainnya. Pada akhirnya semua jaringan dipenuhi oleh miselia jamur. Disamping itu ada beberapa jenis jamur yang mempengaruhi pigmentasi serangga dan menghasilkan toksin yang sangat mempengaruhi fisiologi serangga. Karena pengaruh infeksi jamur terhadap pembentukan pigmen, larva atau instar serangga yang terserang jamur memperlihatkan perubahan warna tertentu seperti warna merah muda dan merah. Proses perkembangan jamur dalam tubuh inang sampai inang mati berjalan sekitar 7 hari. Setelah inang terbunuh, jamur membentuk konidia primer dan sekunder yang dalam kondisi cuaca yang sesuai konidia tersebut muncul keluar dari kutikula serangga. Konidia akan menyebarkan sporanya melalui angin, hujan, air, dll. Penyebaran dan infeksi jamur sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kepadatan inang, kesediaan spora, cuaca terutama angin dan kebasahan. Kebasahan tinggi dan angin kencang sangat membantu penyebaran konidia dan pemerataan infeksi patogen pada seluruh individu pada populasi inang. Saat ini jamur Metarhizium anisopliae telah digunakan secara luas di Indonesia untuk pengendalian hama Oryctes rhinoceros yang menyerang kelapa, wereng coklat, ulat jengkal (Ectropis bhurmitra). Jamur ini juga sudah dikembangkan untuk pengendalian hama wereng daun, penggerek batang padi, hama putih palsu, walang sangit dan kepinding tanah. Jamur Beauveria bassiana telah dicoba untuk pengendalian hama wereng padi coklat dan hama penggerek buah kopi (Hypothenemus hampei). Mortalitas Helopeltis sp dapat mencapai 98% setelah disemprot dengan B. bassiana, bahkan hama penting pada kelapa sawit, Darna catenata mampu dikendalikan oleh jamur ini hingga 100%. Pengendalian dengan menggunakan jamur Hirsutella citriformis dapat menurunkan populasi Diaphorina citri hingga 62%. Penurunan populasi mencapai 82% dengan jamur Paecilomyces fumosoroseus terhadap jenis hama yang sama. Hama wereng coklat dapat dikendalikan dengan menggunakan jamur Enthomopthora sp. Ulat api Setora nitens mampu ditekan perkembangannya dengan Cordyceps purpurea. Helopeltis sp. dapat dikendalikan dengan jamur Spicaria sp. Jamur Verticillium mampu menekan populasi Scotinophora coartata, Aphis, dan kutu putih Aleurodichus destructor. Penggunaan pestisida baik insektisida maupun fungisida untuk mengendalikan hama dan penyakit ternyata sangat mempengaruhi kehidupan dan perkembangan jamur patogenik serangga. Banyak laporan membuktikan pestisida dapat menghambat perkecambahan konidia primer dan pengurangan pelepasan konidia sekunder berikutnya. 3. Bakteri Bakteri yang menyerang serangga dapat dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu bakteri yang tidak membentuk spora dan bakteri pembentuk spora. Kelompok pertama mempunyai peranan sebagai faktor mortalitas alami yang penting, tetapi karena sifatnya yang kosmopolitan sukar digunakan sebagai agens pengendalian hayati. Kelompok bakteri yang lebih penting adalah bakteri pembentuk spora yang pada saat ini telah banyak digunakan sebagai insektisida mikrobia. Dua jenis bakteri patogen yang penting Bacillus popiliae dan Bacillus thuringiensis. Bacillus popiliae menyebabkan gejala seperti penyakit susu yang menyerang kumbang Jepang Popiliae japonica dan kumbang skarabid lainnya. Bacillus thuringiensis sangat efektif digunakan untuk pengendalian larva ordo Lepidoptera, dan larva nyamuk. B. fibourgenesis dapat dipakai pada hama uret Melolontha melolontha. Beberapa famili bakteri yang berpotensi sebagai sumber alternatif baru patogen 51
serangga di masa depan telah banyak ditemukan diantaranya Pseudomonadaceae, Enterobacteriaceae, Lactobacillaceae, Micrococaceae, Bacillaceae (Tabel 2).
No 1 2
3 4 5
Tabel 2. Beberapa genera bakteri patogen serangga Macam bakteri Serangga peka
Pseudomonadaceae P. aeruginosa P. septica Enterobacteriaceae E. aerogenes P. P. vulgaris Q. P. mirabilis Lactobacilliaceae Diplococcus spp. Micrococaceae Micrococcus spp. Bacillaceae Bacillus popilliae B. cereus
Belalang Lepidoptera Belalang Kecoa Lepidoptera Uret Lepidoptera
Studi tentang Bacilus thuringiensis (Bt) saat ini sangat menarik dan berkembang sangat cepat. Telah diketahui bakteri ini terdiri atas banyak strain yang berbeda sifatnya. Dikenal lebih dari 700 varietas atau strain Bt, dan penemuan varietas atau strain Bt baru terus berlanjut. Strain Bt diklasifikasikan menjadi 29 subspesies dan lebih dari 40 inklusi kristalin (δ-endotoksin) gen-gen protein berhasil diisolasi. Bakteri ini bersifat selektif terhadap serangga sasaran dan ramah lingkungan. Karena sifat itulah maka banyak perusahaan pestisida tertarik untuk memformulasikannya. Bt dalam sporulasi di dalam tubuh serangga membentuk kristal yang mengandung protein beracun atau endotoksin. Bila spora dan kristal bakteri dimakan oleh serangga yang peka maka terjadi paralisis yang mengakibatkan kematian inang. Kristal bakteri akan melarut dalam saluran pencernaan, dalam jaringan tersebut bakteri mengeluarkan toksin yang dapat mematikan serangga. Dari kristal Bt paling sedikit telah diketahui adanya 4 jenis racun atau toksin. Bila larva muda atau larva tua terkena Bt dapat kita lihat adanya reaksi pertama yang cepat seperti kesakitan, kemudian dalam beberapa waktu larva tidak mau makan dan tidak aktif. Tubuh kemudian menjadi lemah dan lembek. Kematian larva dapat terjadi dalam kurun waktu dalam beberapa jam sampai 4 5 hari setelah infeksi pertama tergantung pada serotipe atau strain Bt dan kepekaan serangga inang. Meskipun Bt telah banyak dipasarkan dengan berbagai nama dagang tetapi masih memerlukan banyak kegiatan pengembangan berhubung karena banyak strain baru ditemukan dan adanya sifat-sifat serangga yang khas baik ketahanannya terhadap strain tertentu maupun kepekaannya (Tabel 3). Tanaman inang hama juga kelihatannya mempengaruhi keberhasilan Bt dalam menginfeksi serangga inangnya. Salah satu kelemahan dari formulasi pestisida ini adalah keterbatasan dalam mencapai sasaran. Insektisida hanya aktif apabila termakan oleh hama sasaran. Bahan aktifnya tidak mampu menembus kutikula serangga maupun jaringan tanaman. Dengan demikian insektisida ini belum mampu mengendalikan hama yang berada di dalam jaringan tanaman seperti penggerek batang padi, penggerek buah kapas.
No 1
Tabel 3. Beberapa produk Bt yang sudah dipasarkan Strain Merk dagang Serangga sasaran Kurstaki Dipel WP, Thuricide Lepidoptera 52
2
Aizawai
HP, Bactospeine WP, Condor F Bacillin WP, Bite WP, Lepidoptera Turex WP, Florbac FC
Munculnya masalah resistensi hama terhadap penggunaan B. thuringiensis belum banyak dilaporkan. P. xylostella strain Lembang dilaporkan telah resisten terhadap insektisida Dipel WP, Thuricide WP dan Thurex WP, namun P. xylostella strain Garut masih rentan terhadap B. thuringiensis. Seleksi ke arah timbulnya resistensi kemungkinan dapat terjadi apabila pemanfaatan teknologi ini tidak dilakukan secara tepat. 4. Protozoa dan Rikettsia Spesies-spesies protozoa yang patogenik terhadap serangga pada umumnya termasuk dalam sub kelompok mikrosporodia. Telah dapat dikenal lebih dari 250 spesies mikrosporodia yang menyerang serangga. Tiga jenis mikrosporodia antara lain Nosema locustae, N. acridophagus, dan N. cuneatum telah dijadikan sebagai agens hayati untuk mengendalikan hama belalang khususnya di Amerika. Jenis Coccidia mampu menginfeksi hama gudang Tribolium confusum hingga 68%. Kelompok protozoa ini ternyata sangat potensial untuk mengendalikan hama Sexava sp. Leptomonas pyrhocoris dari golongan Mastigophora dapat menurunkan populasi kepinding, Malpighamoeba locusta dari jenis Amoeba berpotensi terhadap belalang sedangkan Nosema bombyces yang pertama kali diisolasi dari ulat sutera (Bombyx mori) berpotensi untuk mengendalikan beberapa hama penting seperti Spodoptera litura. Penyebaran mikrosporodia melalui makanan dan dipindahkan dari induk yang terinfeksi ke keturunannya. Pengaruh mikrosporodia terhadap kehidupan inangnya relatif lambat dan gejala luarnya sangat bervariasi. Mikrosporodia tersebar luas yang secara alami dapat menjadi faktor mortalitas yang penting bagi serangga inangnya. Jenis rikettsia banyak menyerang kumbang. Kematian akibat rikettsia baru terjadi pada 14 bulan setelah aplikasi atau lebih lama dibandingkan kematian akibat agens hayati yang lain seperti jamur, bakteri dan nematoda. Walaupun demikian patogen jenis ini memiliki peluang yang besar untuk dijadikan agens pengendalian hayati khususnya di Indonesia. Rikettsia mampu menyebabkan kematian pada Popillia japonica, Melolontha melolontha dan Oryctes rhinoceros. 5. Nematoda Disamping virus, jamur, bakteri, dan protozoa juga ada banyak spesies nematoda yang bersifat parasitik terhadap serangga baik yang bersifat parasit obligat maupun fakultatif. Dari 19 famili nematoda yang menyerang serangga, Mermithidae merupakan famili yang terpenting dan tersebar (terdiri atas 50 genera dan 200 spesies). Nematoda muda meninggalkan telur dan masuk ke dalam tubuh serangga melalui kutikula dan kemudian masuk ke dalam hemocoel. Setelah berganti kulit beberapa kali di dalam tubuh serangga nematoda dewasa keluar dari tubuh serangga untuk kawin dan menyebar. Serangga inang mati sebelum atau sesudah nematoda meninggalkan tubuh inangnya. Jenis nematoda entomopatogen lainnya adalah Heterorhabditis spp dan Steinernema spp. Kedua nematoda ini bersimbiosis dengan bakteri. Inang yang terserang nematoda akan mengalami septisemia dan akhirnya mati. Nematoda masuk ke dalam tubuh serangga melalui lubang-lubang alami serangga seperti mulut, anus dan spirakel. Untuk selanjutnya nematoda menuju ke saluran pencernaan kemudian melepaskan bakteri simbion yang bersifat racun. Dalam beberapa jam bakteri tersebut melakukan replikasi dan akhirnya menyebar dan meracuni tubuh serangga. 53
Serangga akan mengalami kematian dalam waktu 24-48 jam setelah aplikasi. Tubuh serangga akan lemas, terjadi penurunan aktivitas, dan terjadi perubahan warna tubuh menjadi merah kecoklatan jika terserang Steinernema spp dan hitam jika terserang Heterorhabditis spp. Nematoda akan berkembang biak di dalam tubuh serangga inang sampai menghasilkan keturunan yang sangat banyak. Nematoda akan memasuki fase reproduktif yaitu memperbanyak keturunan apabila populasi nematoda dalam tubuh inang rendah sedangkan apabila populasi tinggi akan memasuki fase infektif. Nematoda stadium ketiga atau sering disebut juvenil infektif akan keluar dari tubuh serangga dan berusaha untuk mencari inang baru. Juvenil infektif mampu bertahan hidup lama sampai memperoleh inang kembali dan fase ini merupakan satu-satunya fase yang bersifat infektif terhadap serangga inang. Beberapa kelebihan dari penggunaan nematoda entomopatogen ini adalah kemampuannya dalam mematikan inang yang relatif cepat, memiliki kisaran inang yang luas diantaranya Lepidoptera, Coleoptera, Hymenoptera dan Diptera, tidak menyebabkan resistensi hama, tidak berbahaya bagi lingkungan, tidak berbahaya bagi mamalia dan vertebrata serta kompatibel dengan pengendalian lain. Jenis Steinernema spp telah terbukti mampu mengendalikan lebih dari 100 spesies serangga hama terutama ordo Lepidoptera dan Coleptera. Steinernema carpocapsae dapat mengendalikan hama penggerek (Schirpophaga sp, Chilo sp), Helicoverpa armigera hingga 65%. Pada pengujian yang lain, Steinernema spp mampu menyebabkan kematian Spodoptera exigua sampai 98%, Spodoptera litura 99% bahkan 100% untuk mengendalikan Crocidolomia binotalis. S. carpocapsae juga telah terbukti memiliki kemampuan mengakibatkan mortalitas pada Cylas formicarius. STRATEGI PENGENDALIAN HAYATI DENGAN PATOGEN HAMA Patogen serangga dapat digunakan dalam PHT dengan beberapa strategi atau cara yaitu: 1. Memanfaatkan Secara Maksimal Proses Pengendalian Alami oleh Patogen Hama Ada banyak jenis patogen seperti virus dan jamur yang mampu menekan populasi hama secara alami sehingga populasi tetap berada di bawah aras ekonomi. Kita harus menjaga ekosistem sedemikian rupa sehingga patogen dapat melaksanakan fungsinya secara "density dependent". Untuk itu keadaan dan perkembangan patogen hama yang penting perlu terus dipantau dan menjaga tindakan-tindakan yang mengurangi berfungsinya patogen hama dapat dibatasi sekecil mungkin. Salah satu tindakan yang merugikan adalah penggunaan pestisida. Oleh karena itu pestisida sebaiknya hanya digunakan apabila berbagai agens pengendalian alami (termasuk patogen hama) tidak mampu menghentikan laju peningkatan populasi hama yang berhasil melampaui Ambang Pengendalian. 2. Introduksi dan Aplikasi Patogen Hama sebagai Faktor Mortalias Tetap Prinsip penggunaan patogen hama di sini sama dengan introduksi serangga parasitoid atau predator untuk menekan populasi hama untuk jangka waktu yang panjang. Caranya adalah dengan memasukkan dan menyebarkan patogen pada suatu ekosistem sedemikian rupa sehingga patogen tersebut mantap di ekosistem yang baru ini sehingga kemudian menjadi faktor mortalitas tetap bagi spesies hama yang dikendalikan. Cara ini yang paling berhasil dilakukan untuk mengendalikan hama yang nilai Ambang Pengendalian atau Ambang Ekonomi cukup tinggi karena untuk pengembangan permulaan bagi patogen diperlukan kepadatan populasi inang yang cukup. 3. Aplikasi Patogen Hama sebagai Insektisida Mikrobia 54
Sasaran aplikasi patogen hama dengan cara ini adalah guna menekan populasi hama untuk sementara waktu. Oleh karena itu aplikasi patogen perlu dilakukan beberapa kali sama prinsipnya dengan penggunaan insektisida sintetik organik. Saat ini beberapa jenis patogen seperti NPV dan Bacillus thuringiensis telah dipasarkan dengan nama dagang tertentu. Berbeda dengan insektisida sintetik organik maka insektisida mikrobia mempunyai beberapa keuntungan yaitu bersepektrum sempit atau khas inang dan aman bagi lingkungan hidup serta tidak membahayakan binatang bukan sasaran. Kecuali itu apabila keadaan lingkungan memungkinkan patogen hama yang diaplikasikan pada ekosistem mungkin dapat menjadi pengendali alami hama yang permanen di ekosistem tersebut. PEMBIAKAN MASSAL AGENS PENGENDALIAN HAYATI Pengendalian dengan agens hayati dalam skala luas memerlukan jumlah agens hayati yang relatif mencukupi sehingga perlu usaha pembiakan massal. Pembiakan massal dilakukan untuk mengembangbiakkan agens hayati dengan menggunakan media alami maupun media buatan dalam habitat atau lingkungan yang dibentuk sesuai lingkungan aslinya sehingga diperoleh sejumlah tertentu sesuai kebutuhan. Pada saat ini usaha pembiakan massal agens hayati telah banyak dilatihkan dan dilakukan di Indonesia baik oleh laboratorium dinas maupun oleh para kelompok petani terutama yang telah mengikuti SLPHT. Namun dalam pembiakan massal perlu adanya tahap-tahap khusus yang harus diperhatikan dan dilakukan sehingga nanti akan diperoleh hasil yang memuaskan. Tahapan atau kaidah-kaidah pembiakkan tersebut berfungsi sebagai pedoman utama dalam melaksanakan usaha pembiakan. Ada 10 tahapan pembiakan massal agens hayati atau kontrol kualitas pengembangbiakkan agens pengendalian hayati yang diterapkan oleh Balai Penelitian Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) di Propinsi DIY sebagai berikut: 1. Eksplorasi dan Koleksi Eksplorasi bertujuan mencari sumber genetik baru yang berpotensi sebagai agens pengendalian hayati. Eksplorasi dilakukan pada wilayah luas yang diperkirakan terdapat sumber genetik baru. Serangga yang ditemukan terserang patogen dikoleksi dan selanjutnya dimanfaatkan untuk tahapan selanjutnya. 2. Pemurnian Pemurnian dilakukan untuk pemilihan media yang cocok dan memperoleh stok spora. Pemurnian merupakan tahapan yang sangat penting untuk memperoleh stok spora sesuai yang diharapkan. Dalam pemurnian ini kontaminasi sering terjadi akibat sterilisasi alat dan ruangan yang kurang sempurna. 3. Postulat Koch Pengujian akan memperkuat dugaan bahwa agens hayati yang ditemukan benarbenar bersifat patogenik terhadap serangga. Pengujian dilakukan pada serangga yang sama dan dilakukan di laboratorium. 4. Perbanyakan Spora Perbanyakan spora merupakan usaha pemilihan substrat pengganti yang cocok untuk pengembangbiakan selanjutnya. Spora B. bassiana yang berasal dari walang sangit (Leptocorisa acuta) mati dicoba diperbanyak pada media nasi, jagung ataupun dedak. Media yang menghasilkan spora paling tinggi dipilih sebagai media. 5. Sporulasi Media yang paling cocok dan menjadi pilihan adalah media yang memberikan efek sporulasi tinggi, murah dan mudah diperoleh. 6. Viabilitas 55
Viabilitas merupakan kemampuan atau daya kecambah spora agens hayati. Agens hayati dinilai baik apabila viabilitasnya 95%. 7. Uji patogenisitas Pengujian patogenisitas yang bertujuan mengetahui konsentrasi yang tepat dan mampu membunuh serangga sasaran biasanya dilakukan di laboratorium ataupun green house. Pengujian tingkat konsentrasi tersebut akan menghasilkan konsentrasi efektif yang nantinya akan menjadi pedoman rekomendasi di lapangan. 8. Uji efektivitas Konsentrasi efektif yang diperoleh dari uji patogenisitas digunakan untuk uji efektifitas. Pengujian ini bertujuan mencari stadia serangga yang rentan terhadap agens hayati pada konsentrasi tertentu. 9. Uji virulensi Agens pengendalian hayati yang sudah mengalami tahap-tahap uji tersebut sudah dipastikan dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan serangga hama. Uji virulensi dilakukan untuk mengetahui agens hayati tersebut virulen atau tidak baik dalam kondisi baru maupun telah disimpan dalam media dan jangka waktu tertentu. 10. Evaluasi Evaluasi merupakan salah satu cara penting untuk menilai keberhasilan pelepasan agens pengendalian hayati. Evaluasi tehadap hasil yang diperoleh dilakukan segera setelah aplikasi. Dalam evaluasi tersebut dilakukan juga peremajaan agens hayati yang sudah lama disimpan. CARA PENGGUNAAN PATOGEN SERANGGA DI LAPANGAN Mengingat kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh patogen serangga maka dalam pemanfaatan patogen sebagai agens pengendalian hayati perlu diperhatikan beberapa faktor penting yang mempengaruhi tingkat keefektifan patogen terhadap serangga sasaran, antara lain: 1. Dosis. Dosis aplikasi minimum akan lebih baik daripada dosis aplikasi tinggi dalam peningkatan keefektifan patogen. Dosis tinggi menyebabkan persaingan pakan dan ruang antar patogen sejenis dan menghambat perkembangbiakan sehingga mampu menurunkan daya bunuh terhadap serangga sasaran. 2. Waktu aplikasi Kemapanan patogen yang merupakan makhluk hidup di lapangan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Dalam aplikasinya diharapkan patogen tidak terkena cahaya matahari secara langsung karena sinar ultraviolet menyebabkan patogen tidak aktif bahkan dapat membunuh patogen dalam waktu yang relatif cepat. Agens hayati sebaiknya diaplikasikan pagi atau sore hari. Kelembaban tinggi lebih meningkatkan keefektifan patogen. 3. Penyelimutan Patogen harus benar-benar melekat atau menempel atau menyelimuti bagian tanaman maupun serangga sasaran. Dengan demikian kontak antara patogen dengan serangga sasaran cepat terjadi. Serangga sasaran yang mengkonsumsi patogen dengan cepat diharapkan mengalami kematian secara cepat juga. 4. Derajat kemasaman, pH Kondisi pH pada bahan pelarut sangat mempengaruhi keefektifan patogen. Pelarut dianjurkan memiliki derajat kemasaman yang normal (pH 7). Kondisi basa menyebabkan delta endotoksin pada Bt akan rusak dan efektifitasnya menurun. 5. Anti mikrobiosis 56
Beberapa tanaman mampu menghasilkan senyawa-senyawa anti mikrobia yang dapat mengurangi keefektifan patogen. Senyawa nikotin yang dihasilkan oleh tanaman tembakau dapat menghambat pertumbuhan B. thuringiensis. Patogen tersebut juga terhambat pertumbuhannya karena adanya senyawa phenol dan terpenoid pada tanaman kapas. Senyawa alkaloid, tomatin dari tanaman tomat menghambat pembentukan koloni dan pertumbuhan jamur patogen B. bassiana. Asam klorogenik pada tanaman tomat dapat mengurangi efektifitas NPV dari Helicoverpa zea. 6. Hama sasaran Semakin muda umur serangga akan semakin rentan terhadap patogen. Hama sasaran dalam keadaan tertekan seperti sakit, kekurangan pakan, ketidakcocokan pakan, kepadatan yang terlalu tinggi menyebabkan tingkat kerentanannya semakin tinggi. Oleh karena itu sebelum aplikasi patogen di lapangan harus diketahui kondisi hama sasaran. 7. Kompatibilitas Patogen sebagai agens pengendalian hayati memiliki kemampuan dapat dipadukan dengan agens pengendalian yang lain sehingga daya bunuhnya lebih efektif dan hasilnya akan lebih memuaskan. 8. Ketahanan inang Spesies serangga tertentu yang rentan terhadap patogen dapat menjadi tahan dengan bertambahnya umur dan dipengaruhi oleh faktor genetik maupun lingkungan.
221529639.doc Materi 8
PENGENDALIAN KIMIAWI Tujuan: 1. Mempelajari dan memahami sifat dan pengelompokan pestisida khususnya insektisida 2. Mempelajari dan memahami dampak negatif penggunaan pestisida kimia 3. Mempelajari dan memahami penggunaan pestisida sebagai salah satu komponen PHT Materi: Pengendalian hama secara kimiawi adalah penggunaan pestisida kimia untuk mengendalikan hama agar hama tidak menimbulkan kerusakan bagi tanaman yang dibudidayakan. Pestisida mungkin merupakan bahan kimiawi yang dalam sejarah umat manusia telah memberikan banyak jasanya bagi keberhasilan dalam banyak bidang pembangunan termasuk 57
pertanian, kesehatan, pemukiman, dan kesejahteraan masyarakat. Berkat pestisida umat manusia telah dapat dibebaskan dari ancaman penyakit manusia yang membahayakan seperti malaria dan demam berdarah yang ditularkan oleh nyamuk. Di bidang pertanian penggunaan pestisida mampu menekan kehilangan hasil tanaman akibat serangan hama dan penyakit yang memungkinkan peningkatan produksi pertanian dapat dicapai. Karena keberhasilan tersebut di dunia pertanian, pestisida seakan-akan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari budidaya segala jenis tanaman baik tanaman hortikultura, pangan maupun perkebunan. Pestisida sedemikian melekatnya pada kegiatan pertanian di Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dari reaksi petani apabila menghadapi terjadinya serangan hama tentu akan menanyakan pestisida apa yang tepat digunakan dan dimana dapat diperolehnya? Kecenderungan peningkatan penggunaan pestisida secara global sejak tahun 1960an juga terjadi di Indonesia. Sejak dicanangkannya program pembangunan nasional di sektor pertanian, penggunaan pestisida meningkat dengan sangat pesat. Sekitar tahun 1970 sampai 1980-an pestisida paling banyak digunakan dalam program intensifikasi pangan terutama dalam program swasembada beras melalui program nasional BIMAS. Bila pada tahun 1970 penggunaan pestisida untuk padi kurang dari 1000 ton pada tahun 1986 pestisida untuk padi sudah mencapai 18.000 ton. Peningkatan penggunaan pestisida ini juga terjadi pada komoditas pertanian lainnya. Namun setelah Pemerintah mencabut subsidi pestisida pada tahun 1989 serta diterapkannya konsep PHT oleh petani padi, penggunaan pestisida khususnya insektisida di tanaman padi cenderung menurun. Tanaman pertanian pangan di Indonesia yang saat ini masih banyak menggunakan insektisida adalah kedelai, sayuran dataran rendah dan sayuran dataran tinggi, sedangkan pada tanaman perkebunan adalah pada tanaman kapas. Seiring dengan perdagangan bebas yang semakin terbuka, saat ini berbagai jenis pestisida generik memasuki Indonesia sehingga pada tahun 2002 jumlah formulasi pestisida yang telah terdaftar di Indonesia sudah melampaui 1000 formulasi. Jumlah pestisida yang diproduksi pada tahun 2000 sekitar 60.000 ton. Meskipun pestisida kimia memiliki banyak keuntungan ekonomi bagi petani dan masyarakat, tetapi risiko yang berupa dampak negatif bagi kesehatan dan lingkungan semakin lama semakin nyata dirasakan oleh masyarakat luas. Salah satu cara agar risiko pestisida dapat ditekan serendah mungkin yakni Pemerintah di semua negara melakukan pengaturan terhadap semua produksi, peredaran, perdagangan, penggunaan, penyimpanan dan pengawasan pestisida. Banyak kesepakatan dan standar pengaturan yang telah ditetapkan secara internasional dan harus diterapkan oleh semua negara. Tujuan pengaturan pestisida oleh pemerintah adalah untuk melindungi kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup terhadap dampak samping penggunaan pestisida, serta untuk menjaga tingkat efektivitas pestisida dalam pengendalian hama sasaran. A. PENGELOMPOKAN PESTISIDA Kata insektisida secara harafiah berarti pembunuh serangga yang berasal dari kata insekta = serangga dan kata Latin cida yang berarti pembunuh. Insektisida merupakan salah satu kelompok pestisida. Pestisida adalah pembunuh hama yang berasal dari kata pest = hama dan cida = pembunuh. Sedangkan kelompok pestisida lainnya antara lain rodentisida (pembunuh rodent tikus), akarisida (pembunuh tungau), nematisida (pembunuh nematoda), fungisida (pembunuh jamur), herbisida (pembunuh gulma). Tabel 4 menjelaskan nama kelompok pestisida berdasar pada kelompok organisme sasaran. Karena jumlah kelompok, jenis dan produksi insektisida saat ini lebih banyak daripada kelompok-kelompok pestisida lain, biasanya yang dmaksud dengan pestisida adalah insektisida. Tabel 4. Pengelompokan Pestisida Berdasar pada Kelompok Hama yang Dikendalikan 58
No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Nama kelompok pestisida Akarisida Adultisida Algisida Arborisida Avisida Bakterisida Fungisida Insektisida Ixosida Larvisida Mitisida Moluskisida Nematisida Ovisida Piscisida Predasida Rodentisida Silvisida Termitisida
Kelompok hama yang dikendalikan Tungau, pinjal dan laba-laba Serangga dewasa Alga Pepohonan, semak-semak Burung Bakteri Jamur Serangga dan juga pinjal dan tungau Pinjal Larva Tungau, pinjal, dan laba-laba Moluska terutama siput dan keong Nematoda Telur Ikan Vertebrata hama Tikus Pepohonan dan semak Rayap, semut
PEMBERIAN NAMA PESTISIDA Nomenklatur atau cara pemberian nama suatu jenis pestisida ada ketentuannya. Suatu jenis pestisida ditandai oleh 3 cara penamaan yaitu nama umum, nama dagang, dan nama kimiawi. Nama dagang ditetapkan oleh produsen atau formulator insektisida yang membuat dan memperdagangkan pestisida tersebut. Karena satu jenis pestisida dapat dibuat oleh beberapa perusahaan sehingga untuk pestisida tersebut mempunyai beberapa nama dagang. Nama kimia merupakan nama yang digunakan oleh ahli kimia dalam menjelaskan suatu senyawa kimia sesuai dengan rumus bangun senyawa insektisida tersebut. Suatu contoh diambil jenis insektisida yang sampai saat ini masih diguanakan untuk pengendalian penggerek batang padi di Indonesia. 1. Nama umum : karbofuran 2. Nama dagang : Furadan®, Currater®, Indofur®, Dharmafur®. 3. Nama kimia : 2,3-dihidro 2,2,-dimeti l-7-benzonil metilkarbamat 4. Rumus bangun senyawa tersebut adalah sbb:
Gambar 23. Rumus bangun Karbofuran Dalam praktek penggunaan sehari-hari terutama oleh petani, biasanya nama dagang lebih populer. Dalam forum ilmiah seperti publikasi seminar atau tesis, dll. digunakan nama 59
umum. Dalam pembicaraan khusus tentang aspek-aspek kimiawi pestisida nama kimia pestisida digunakan. PENGGOLONGAN INSEKTISIDA Insektisida kimia dapat dikelompokan dalam beberapa cara menurut pengaruhnya terhadap serangga sasaran, menurut cara masuknya dalam tubuh serangga, dan menurut sifat kimianya. 1. Pengelompokan Insektisida Berdasarkan Pengaruhnya Terhadap Hama Insektisida dapat dikelompokkan menurut pengaruh yang merugikan bagi hama sasaran yang akhirnya dapat menurunkan populasi hama. Pengelompokan insektisida menurut pengaruh pada serangga sasaran seperti terlihat pada Tabel 5. 2. Pengelompokan Menurut Cara Masuk ke Tubuh Serangga Dilihat dari cara masuknya (mode of entry) ke dalam tubuh serangga insektisida dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu racun perut, racun kontak, dan fumigan. a. Racun Perut (stomach poison) Insektisida memasuki tubuh serangga melalui saluran pecernaaan makanan (perut). Serangga terbunuh bila insektisida tersebut termakan oleh serangga. Jenis-jenis insektisida lama umumnya merupakan racun perut, sedangkan insektisida modern sangat sedikit yang merupakan racun perut. b. Racun Kontak (contact poison) Insektisida memasuki tubuh serangga bila serangga mengadakan kontak dengan insektisida atau serangga berjalan diatas permukaan tanaman yang telah mengandung insektisida. Di sini insektisida masuk ke dalam tubuh serangga melalui dinding tubuh. Insektisida modern pada umumnya merupakan racun kontak. Apabila permukaan tanaman yang mengandung insektisida tersebut dimakan serangga, racun tersebut juga memasuki tubuh serangga melalui saluran pencernaan. Contoh insektisida racun kontak adalah BHC dan DDT. Tabel 5. Pengelompokan Pestisida Berdasarkan Pengaruhnya pada Serangga Kelompok Pestisida Pengaruh pada hama
60
Antifidan Menghambat nafsu makan sehingga serangga kelaparan (anti-feedant) yang akan menyebabkan kematian Antitranspiran Mengurangi sistem transpirasi serangga (Anti-transpirant) Atraktan Penarik hama, seperti atraktan seks (attractant) Khemosterilan Menurunkan kemampuan reproduksi hama (chemosterilant) Defolian Merontokkan bagian tanaman yang tidak diinginkan, (defoliant) tanpa membunuh seluruh bagian tanaman Desikan Mengeringkan bagian tanaman dan serangga (desiccant) Disenfektan Merusak atau mematikan organisme berbahaya (disinfectant) Perangsang makan Menyebabkan serangga lebih giat makan (feeding stimulant) Pengatur Menghentikan, mempercepat, atau memperlambat pertumbuhan proses pertumbuhan tanaman atau serangga (growth regulator) Repelen Mengarahkan serangga agar menjauh dari yang (repellent) diperlakukan Feromon, alomon dan kairomon; zat kimia yang Semiokimia dikeluarkan oleh tanaman atau hewan, yang merangsang atau menghambat perilaku serangga Sinergis Meningkatkan efektivitas bahan aktif (synergist) c. Fumigan Fumigan merupakan insektisida yang mudah menguap menjadi gas dan masuk ke dalam tubuh serangga melalui sistem pernafasan serangga atau sistem trachea yang kemudian diedarkan ke seluruh jaringan tubuh. Karena sifatnya yang mudah menguap fumigan biasanya digunakan untuk mengendalikan hama simpanan yang berada di ruang atau tempat tertutup dan juga untuk mengendalikan hama yang berada di dalam tanah. Contoh fumigan adalah hidrogen sianida (HCN), fosfin dan metil bromida. 3. Pengelompokan Menurut Sifat Kimianya Pengelompokan insektisida yang paling penting adalah menurut sifat kimianya. Insektisida kimia konvensional secara garis besar dapat dibagi menurut sifat dasar senyawa kimianya yaitu dalam insektisida anorganik yaitu insektisida yang tidak mengandung unsur Karbon dan insektisida organik yang mengandung unsur Karbon. Insektisida-insektisida lama yang digunakan sebelum tahun 1945 umumnya merupakan insektisida anorganik. Contoh insektisida anorganik adalah kalsium arsenat, Pb arsenat, sodium fluorid, kriolit, dan belerang. Kelemahan insektisida anorganik adalah toksisitas tinggi untuk mamalia termasuk manusia, residu di lingkungan lama atau persisten, fitotoksisitas tinggi, masalah ketahanan hama terhadap insektisida, dan umumnya memiliki efikasi lebih rendah bila dibandingkan insektisida organik sintetik. Sedangkan insektisida kimia setelah masa Perang Dunia II setelah ditemukannya DDT umumnya merupakan insektisida organik. Insektisida organik masih dapat dibagi menjadi insektisida organik alami dan insektisida organik sintetik. Insektisida organik alami merupakan insektisida yang terbuat dari tanaman (insektisida botani/nabati) dan bahan alami 61
lainnya. Sedangkan insektisida sintetik merupakan hasil buatan pabrik dengan melalui proses sintesis kimiawi. Pembagian insektisida organik sintetik konvensional menurut susunan kimia bahan aktif (senyawa yang memilki sifat racun) terdiri dari 6 kelompok besar yaitu 1) organoklorin (OK), 2) organofosfat (OP), 3) karbamat, 4) piretroid sintetik, 5) kloronikotinil dan 6) IGR (Insect Growth Regulator). Kecuali 6 kelompok besar tersebut masih ada beberapa kelompok insektisida baru yang mulai banyak digunakan dalam praktek pengendalian hama saat ini, seperti heterosiklik, dinitrofenol, tiosianat dan sulfanat. a. Organo Klorin (OK) Insektisida Organo Klorin atau sering disebut Hidrokarbon Klor merupakan kelompok insektisida sintetik yang pertama dan paling tua dan dimulai dengan ditemukannya DDT oleh ahli kimia Swiss Paul Mueller pada tahun 1940-an. Setelah DDT ditemukan kemudian berhasil dikembangkan banyak jenis insektisida baru dengan susunan kimia dasar yang mirip dengan DDT dan kemudian dikelompokkan dalam golongan Hidrokarbon Klor. Insektisida kelompok ini merupakan racun kontak dan racun perut, efektif untuk mengendalikan larva, nimfa, dan imago dan kadang-kadang untuk pupa dan telur. Insektisida yang termasuk OK pada umumnya memiliki toksisitas sedang untuk mamalia. Masalah yang paling merugikan bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat adalah sifat persistensinya yang sangat lama di lingkungan baik di tanah maupun di jaringan tanaman dan dalam tubuh hewan. Misal di daerah sub tropis DDT dalam kurun waktu 17 tahun residunya masih 39 % yang berada di dalam tanah, sedangkan residu endrin pada 14 tahun setelah perlakuan ternyata masih dijumpai sebanyak 40% dari residu semula. Persistensi OK di lingkungan menimbulkan dampak negatif seperti perbesaran hayati dan masalah keracunan khronik yang membahayakan kesehatan masyarakat. Permasalahan lain yang timbul akibat digunakannya DDT secara besarbesaran adalah berkembangnya sifat resistensi serangga sasaran seperti nyamuk dan lalat terhadapp DDT. Oleh karena bahayanya insektisida golongan OK sejak tahun 1973 tidak boleh digunakan untuk pengendalian hama pertanian di Indonesia. Sedangkan di bidang kesehatan DDT tidak lagi digunakan untuk mengendalian vektor penyakit malaria sejak 1993. b. Organofosfat (OP) Insektisida OP dengan unsur P meliputi semua ester asam fosforik (H 3PO4) sebagai inti yang aktif saat ini merupakan kelompok insektisida yang terbesar dan sangat bervariasi jenis dan sifatnya. Saat ini telah tercatat sekitar 200.000 senyawa OP yang pernah dicoba dan diuji untuk mengendalikan serangga. OP merupakan insektisida yang sangat beracun bagi serangga dan bersifat baik sebagai racun kontak, racun perut maupun fumigan. Berbeda dengan OK, OP di lingkungan kurang stabil sehingga lebih cepat terdegradasi dalam senyawa-senyawa yang tidak beracun. Daya racun OP mampu menurunkan populasi serangga dengan cepat, persistensinya di lingkungan sedang sehingga OP secara bertahap dapat menggantikan OK. Sampai saat ini OP masih merupakan kelompok insektsida yang paling banyak digunakan di seluruh dunia. Kebanyakan insektisida OP adalah penghambat bekerjanya enzim asetilkoline sterase. OP memiliki berbagai bentuk alkohol yang melekat pada atom-atom P dan berbagai bentuk ester asam fosforik. Ester-ester ini mempunyai kombinasi Oksigen, Karbon, Sulfur, dan Nitrogen. OP yang dikembangkan dari kombinasi tersebut dapat dibagi menjadi 3 kelompok derivat yaitu alifatik, fenil, dan heterosiklik. Derivat alifatik meliputi insektisida-insektisida yang antara lain TEPP, malation, dimetoat, oksidemetonmetil, dikrotofos, disulfoton, metamidofos, triklorfon, asefat, forat, terbufos, etoprop, dikloruos, mevinfos, naled, monotrotofos, fosfamidin. Insektisida OP yang termasuk dalam derivat fenil adalah paration, 62
metil paration, etil paration, stirofos, fention, fonofos, profenofos, isofenfos, fenitrotion, triazofos, dan fentoat. Insektisida OP derivat heterosiklik banyak jenisnya. Dari kelompok ini insektisida yang terkenal adalah diazinon dan lainnya seperti asinfos, klorpirifos , fention, fosmet, stirofos, temefos, metidation, fosmet, kuinalfos, dll. c. Karbamat Karbamat merupakan insektisida yang berspektrum lebar dan telah banyak digunakan secara luas untuk pengendalian hama tanaman. Insektisida karbamat relatif baru bila dibandingkan dengan 2 kelompok insektisida OK dan OP. Cara karbamat mematikan serangga sama dengan insektisida OP yaitu melalui penghambatan aktivitas enzim kolinesterase pada sistem syaraf. Insektisida tersebut cepat terurai dan hilang daya racunnya dari jaringan binatang, sehingga tidak terakumulasi dalam jaringan lemak dan susu seperti OK. Beberapa karbamat memiliki toksisitas rendah bagi mamalia tetapi ada yang sangat beracun. Pestisida karbamat dapat dikelompokkan dalam 3 kelas yaitu 1) metil karbamat dengan bangunan cincin fenil. Yang termasuk dalam kelas ini adalah BPMC, MICP, Isokarb, dll; 2) metil karbamat dan dimetil karbamat dengan struktur heterosiklik seperti dijumpai pada bendiokarp, karbofuran, dioxakarb, dll; 3) metil karbamat dari oksin yang mempunyai struktur rantai. Termasuk dalam kelas ini adalah aldikarb, metomil, dan yang lain. Aldikarb merupakan insektisida karbamat yang paling beracun juga merupakan insektisida sistemik yang digunakan untuk pengendalian serangga dan nematoda. Karena toksisitas sangat tinggi aldikarb sekarang dilarang di Indonesia. Propoksur merupakan insektisida yang umum digunakan di dalam rumah untuk pengendalian serangga rumah tangga seperti nyamuk, kecoa, lalat, dll. d. Sintetik Piretroid (SP) Piretroid merupakan kelompok insektisida organik sintetik konvensional yang baru digunakan secara luas sejak tahun 1970-an dan saat ini perkembangannya sangat cepat. Keunggulan piretroid sintetik (PS) karena memiliki pengaruh knock down atau kemampuan menjatuhkan serangga dengan cepat dan tingkat toksisitas rendah bagi manusia dan mamalia. Kelompok Piretroid Sintetik merupakan tiruan dari bahan aktif insektisida nabati piretrum yaitu sinerin I yang berasal dari ekstrak bunga Chrysanthemum cinerariaefolium. PS seringkali dikelompokan menurut generasi perkembangannya di laboratorium. Biasanya generasi yang lanjut merupakan perbaikan sifat PS generasi sebelumnya. Sampai saat ini sudah dikenal 4 generasi PS. Salah satu anggota generasi pertama adalah alletrin, generasi kedua adalah resmetrin. Yang paling banyak digunakan sekarang adalah generasi PS yang ketiga dan keempat. Generasi PS ketiga antara lain fenvalerat dan permetrin banyak digunakan untuk pengendalian hama-hama kapas, kedelai dan sayuran. Untuk memperoleh efektivitas yang sama dosis aplikasi inesktisida PS generasi baru lebih kecil bila dibandingkan dengan aplikan OP dan OK. Generasi PS keempat lebih hemat lagi dibandingkan dengan generasi ketiga. Untuk lahan seluas 1 ha hanya diperlukan 10-40 g bahan aktif. Beberapa PS yang termasuk generasi keempat yang saat ini juga sudah diijinkan di Indonesia antara lain sipermetrin, flusitrinat, fenpropatrin, fluvalinat, sihalotrin, deltametrin dan siflutrin. Pada umumnya PS menunjukkan toksisitas rendah bagi mamalia tetapi sangat beracun bagi ikan dan lebah. Residu PS di hasil-hasil pertanian tidak menjadi masalah. Meskipun daya mematikan hama sasaran sangat tinggi dan PS sedikit menghadapi permasalahan lingkungan, namun insektisida PS menghadapi permasalahan utama yaitu percepatan perkembangan strain hama baru yang tahan. e. Kloronikotinil 63
Kloronikotinil merupakan kelas baru insektisida sintetik. Bila piretroid merupakan tiruan produk alami piretrum, kloronikotinil juga merupakan tiruan atau analog produk nikotin. Kelas insektisida ini sampai sekarang baru diwakili oleh satu bahan aktif yaitu imidakloprid yang telah diijinkan di Indonesia. Imidakloprid meruapakan insektisida sistemik dan kontak dengan sasaran hama yang mempunyai tipe mulut pencucuk dan pengisap seperti aphis, wereng, trips dan kutu daun. Juga efektif untuk mengendalikan rayap, serangga tanah dan beberapa jenis kumbang. Karena cara aksi terhadap serangga sasaran berbeda dengan kelompok-kelompok insektisida kimia lain, kloronikotinil dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan jenis hama yang telah resisten terhadap kelompok/jenis insektisida tertentu. f. Pengatur Pertumbuhan Serangga (IGR = Insect Growth Regulator) Kelompok insektisida lain yang memiliki sifat selektivitas fisiologi yang tinggi adalah kelompok insektisida baru yang tidak termasuk dalam kelompok insektisida konvensional. Kelompok insektisida baru adalah yang termasuk dalam golongan IGR (Insect Growth Regulator) atau Zat Pengatur Pertumbuhan Serangga. IGR pada hakekatnya mengganggu aktivitas normal sistem endokrin serangga. Pengaruh IGR tersebut dapat terjadi pada waktu perkembangan embrionik, perkembangan larva atau nimfa, metamorfosis, proses reproduksi, ataupun perilaku diapause. Yang termasuk dalam IGR adalah ekdison (hormon penggantian kulit), hormon juvenil (JH), mimik atau tiruan hormon juvenil, analog hormon juvenil (JHA), antihormon juvenil serta insektisida penghambat khitin. Agonis ekdison merupakan IGR yang paling baru tetapi sudah cukup tersedia di pasar. Contoh IGR ini adalah tebufenozoid, metoxyfenozoid, dan halofenozoid. Hormon juvenil yang sekarang telah dipasarkan dan digunakan untuk pengendalian serangga di Amerika Serikat adalah metoprin, kinoprin, hidroprin, dan venoksikarb, sedangkan insektisida penghambat sintesis khitin adalah diflubenzuron, bensoil finil ureas, teflubenzuran, triflumuron, klorfluazuron. Sejak tahun 1986 untuk pengendalian hama wereng padi terutama wereng coklat kita mulai menggunakan salah satu senyawa penghambat khitin yaitu buprofezin. Sampai tahun 2002 ini sebagian insektisida IGR tersebut telah terdaftar di Indonesia seperti tebufenozide, methoxyfenozide, dan halofenozide. Tebufenozide dan methoxyfenozide untuk mengendalikan Lepidoptera sedangkan halofenozide untuk Coleoptera. Karena cara kerja IGR terhadap serangga sasaran adalah dengan mempengaruhi sistem hormonal serangga yang khas, pada dasarnya IGR memiliki sifat selektivitas fisiologi yang tinggi terhadap serangga sasaran sehingga sangat sesuai dengan prinsip-prinsip PHT. Misalkan diflubenzuron sangat efektif terutama untuk Lepidoptera dan Diptera, sedangkan buprofezin khas untuk wereng daun dan wereng batang serta serangga-serangga Homoptera lainnya. Untuk kelompok serangga lainnya seperti serangga predator dan parasitoid insektisida tersebut kurang berpengaruh. Berbeda dengan insektisida konvensional yang mempengaruhi sistem syaraf sehingga mematikan serangga dalam waktu cepat, IGR bekerjanya lambat dan lembut serangga akan mati beberapa hari setelah diperlakukan dengan IGR. Dengan cara membunuh hama yang demikian, tekanan seleksi terhadap serangga hama juga lemah sehingga timbulnya sifat resistensi dari serangga hama dapat dihambat. g. Insektisida Botanik Bila insektisida sintetik merupakan hasil buatan pabrik dengan melalui proses sintesis kimiawi, maka insektisida botani atau insektisida nabati merupakan insektisida yang terbuat dari tanaman. Insektisida botanik atau insektisida nabati merupakan insektisida alami diambil secara langsung dari tanaman atau dari hasil tanaman. Insektisida jenis ini termasuk insektisida yang paling tua dan banyak digunakan untuk pengendalian hama sebelum insektisida organik sintetik ditemukan. Karena kesulitan dalam melakukan ekstraksi, dan kurang stabil karena mudah 64
terurai, penggunaannya semakin berkurang terutama setelah pestisida kimia sintetik ditemukan dan digunakan. Namun akhir-akhir ini setelah timbul kekhawatiran mengenai dampak samping pestisida kimia, penggunaan pestisida botanik kembali memperoleh perhatian dari pemerintah dan petani sebagai solusi alternatif bagi pestisida kimia. Pestisida botanik telah lama dikenal sebagai pestisida yang risikonya kecil bagi kesehatan dan lingkungan hidup. Direktorat Perlindungan Perkebunan telah melakukan inventarisasi mengenai berbagai jenis tanaman yang ada di sekitar lahan petani untuk dijadikan pestisida nabati. Petunjuk mengenai cara penyiapan, ektraksi dan penggunaan pestisida nabati telah dibuat dan diedarkan kepada para petani pekebun. Dalam kegiatan pelatihan SLPHT-Perkebunan Rakyat juga diberikan pelatihan penggunaan pestisida nabati. Dari inventarisasi yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Bina Perkebunan yang memuat daftar jenis-jenis tanaman di Indonesia yang dapat digunakan sebagai pestisida nabati (Lampiran). Beberapa jenis insektisida botanik yang sudah lama dikenal dan digunakan adalah piretrum yang diambil dari bunga Chrysanthemum. Demikan juga rotenon diambil dari akar tanaman leguminosaea Derris elliptica atau tuba. Rotenon dapat berupa racun kontak dan perut tetapi pengaruhnya tidak pada sistem syaraf. Pestisida nabati yang prospektif dan banyak diteliti oleh para pakar pada dua dekade akhir ini adalah Azadirachtin salah satu bahan aktif yang diambil dari tanaman nimba atau mimba (Azadirachta indica). Tanaman mimba sejak lama telah dikenal dan digunakan sebagai pestisida nabati. Lebih dari 200 spesies serangga hama dapat dikendalikan secara efektif dengan ekstrak tanaman tersebut. Karena tanaman mimba sudah banyak tumbuh di Indonesia dan sangat sesuai dengan kondisi tanah dan cuaca di sini, maka prospek penggunaannya untuk pengendalian hama sangat baik, apalagi bila teknik ekstraksi dan penggunaannya telah dikuasai petani. Dari banyak hasil penelitian telah diketahui beberapa cara kerja insektisida nimba yaitu 1) Mengusir dan menghambat nafsu makan serangga, 2) menghambat metamorfosis, 3) Mengurangi kesehatan dan daya reproduksi 4) Menghambat daya bertelur. Cara kerja ekstrak nimba tersebut di atas hampir sama dengan cara kerja insektisida IGR. Bagian tanaman mimba yang sering digunakan adalah tepung biji, ampas biji dan daun. Penyiapannya dilakukan dengan cara menggerus biji atau daun dan membuat ekstrak sederhana dengan dicampur air dan kemudian disemprotkan dengan menggunakan alat penyemprot biasa. Untuk memperoleh hasil yang baik dapat ditambahkan minyak dan pengemulsi. Teknologi sederhana tersebut sangat mudah dilakukan oleh petani dengan biaya yang sangat murah. Namun untuk keberhasilan pengendalian perlu diperhatikan waktu dan frekuensi penyemprotan yang tepat sesuai dengan sifat ekobiologi hama sasaran. Kerena efektivitas dan cara aksinya berbeda dengan pestisida kimia konvensional, penyemprotan dengan pestisida nabati sebaiknya dilakukan dengan frekuansi yang lebih banyak dan sewaktu populasi hama masih belum jauh melampaui Ambang Pengendaliannya. Beberapa keuntungan penggunaan mimba yaitu efektivitas tinggi, ancaman terhadap timbulnya resistensi hama relatif kecil karena mengandung banyak zat yang semuanya mempunyai cara kerja yang berlainan. Ekstrak mimba mempunyai risiko kecil bagi kesehatan manusia, tidak berbahaya bagi lebah madu, ikan, burung dan binatang bermanfaat lainnya. Persistensi esktrak mimba rendah, sehingga cepat teurai menjadi zat-zat yang tidak berbahaya. Sampai saat ini belum dilaporkan adanya pencemaran tanah dan air akibat dari mimba. FORMULASI PESTISIDA Dalam pabrik pembuat insektisida dihasilkan bahan aktif insektisida dalam bentuk murni. Bahan tersebut belum dapat langsung digunakan untuk kegiatan pengendalian hama. Agar dapat dimanfaatkan di lapangan dan diperdagangkan bahan teknis harus diproses lagi menjadi 65
bahan formulasi insektisida. Proses formulasi insektisida merupakan proses untuk memperbaiki sifat-sifat bahan teknis agar sesuai untuk keperluan penyimpanan, penanganan, aplikasi, peningkatan efektivitas, atau keamanan bagi manusia dan lingkungan. Sebelum dipasarkan bahan teknis perlu dicampurkan dengan bahan-bahan tambahan tertentu. Bahan-bahan tambahan yang tidak bersifat meracuni serangga (insektisidal) secara umum disebut bahan inert atau inert material. Menurut fungsinya bahan inert dapat berupa bahan surfaktan, seperti sabun atau deterjen untuk peningkatan daya sebar, daya emulsi dan pembasahan pada permukaan, pelarut atau solvent, untuk formulasi pestisida cair agar dapat meningkatkan daya larut, pembawa atau carrier digunakan untuk formulasi padat seperti serbuk dan butiran agar dapat mengikat/menyerap serta bahan tambahan khusus seperti a) penstabil (stabilizers), b) sinergis, bahan yang dapat meningkatkan aktifitas, c) pembasah (wetters), untuk mencegah degradasi bahan, d) minyak untuk meningkatkan aktifitas biologi insektisida, e) odorants untuk memberi bau, f) cat dan pigment, g) penebal (thickeners), h) colouring agents (zat pewarna), dan I) zat anti mikroba. Pengetahuan dan teknologi pembuatan bahan aktif dan formulasi pestisida berkembang sangat cepat sehingga ditemukan banyak jenis dan formulasi pestisida. Agar tidak membingungkan pengguna dan konsumen di pandang perlu dilakukan harmonisasi atau pembakuan kode formulasi pestisida yang berlaku di tingkat internasional. Sistem kode formulasi pestisida mulai dibakukan pada tahun 1978 yang kemudian direvisi pada tahun 1989. Inisiatif pembakuan kode formulasi ini dilakukan oleh asosiasi industri pestisida global yaitu Crop Life International (dulu GCPF). Kode formulasi tersebut diusahakan sederhana, sedapat mungkin terdiri dari dua huruf besar yang merupakan singkatan. Sekitar 71 kode formulasi pestisida telah dibakukan. Berikut nama-nama 10 kode formulasi insektisida penting yang sudah digunakan dan dipasarkan di Indonesia.
1. Emulsifiable Concentrates (EC) 2. Wettable Powders (WP) 3. Suspension Concentrate (SC) 4. Water Soluble Powder (SP) 5. Ultra Low Volume Liiquid (ULV) 6. Dustable Powder (DP) 7. Granules (GR) 8. Aerosol Dispenser (AE) 9. Bait (RB) 10. Capsule Suspension (CS) 66
TOKSISITAS PESTISIDA Pestisida tidak hanya beracun (toxic) atau berbahaya bagi serangga hama sasaran juga berbahaya bagi serangga-serangga musuh alami, binatang-binatang lain, manusia dan komponen-komponen lingkungan hidup. Toksisitas pestisida dapat dikelompokkan menjadi toksisitas akut, toksisitas kronik dan toksisitas subkronik. Toksisitas akut adalah pengaruh meracuni atau merugikan yang timbul segera setelah pemaparan dengan dosis tunggal suatu pestisida, atau pemberian dosis ganda dalam waktu kurang lebih 24 jam. Toksisitas kronik adalah pengaruh yang merugikan yang timbul sebagai akibat pemberian takaran harian berulang pestisida dalam jumlah sedikit atau pemaparan oleh pestisida yang berlangsung sebagian besar rentang hidup suatu organisme (misal, mamalia). Keracunan akut merupakan kesakitan atau kematian akibat terkena dosis tunggal insektisida. Keracunan ini biasanya terjadi pada pekerja yang langsung bekerja dengan insektisida baik di pabrik, tempat peyimpanan maupun di lapangan, keracunan terjadi biasanya karena kecerobohan sewaktu penanganan pestisida atau sewaktu penyemprotan atau yang sengaja meminum insektisida untuk bunuh diri. Keracunan khronik merupakan keracunan karena penderita terpapar racun dalam jangka waktu panjang dengan dosis yang sangat rendah. Gejala keracunan ini baru terlihat selang beberapa waktu (bulan atau tahun) setelah penderita terpapar pestisida. Keracunan khronik yang saat ini oleh masyarakat dunia yang paling menjadi keprihatinan masyarakat dunia karena semakin tingginya kesadaran terhadap keperluan adanya lingkungan yang tidak tercemar. Bahaya akibat keracunan kronik karena terpapar insektisida dapat bersifat carsinogenic (pembentukan jaringan kanker), mutagenic (kerusakan genetik untuk generasi yang akan datang), teratogenic (kelahiran anak cacat dari ibu yang keracunan), endocrine destruptor (gangguan hormon endokrin). 1. Pengujian Toksisitas Insektisida Cara masuk insektisida ke dalam tubuh binatang atau manusia dapat melalui mulut (rute oral), melalui kulit (rute dermal), atau melalui saluran pernafasan (rute respiratori, rute inhalasi). Toksisitas akut melalui oral atau dermal merupakan indikasi bahaya insektisida bagi mamalia dan manusia. Unit pengukuran adalah miligram (mg) bahan aktif per kilogram (kg) berat tubuh binatang uji (tikus, tikus putih, kelinci, dan marmut). Binatang uji tersebut dipelihara dalam laboratorium dengan kondisi standar yang ditetapkan. Metode untuk menentukan toksisitas relatif pestisida yang telah disepakati adalah dengan menggunakan dosis median letal (LD 50). Nilai LD50 adalah suatu dosis insektisida yang diperlukan untuk membunuh 50% dari individu-individu spesies binatang uji dalam kondisi percobaan yang telah ditetapkan. Penghitungan mortalitas biasanya dilakukan 24 jam dan 48 jam setelah binatang uji terpapar oleh insektisida. Satuan nilai LD 50 adalah miligram bahan racun per kg berat tubuh binatang uji (mg/kg). Pengujian tingkat toksisitas terhadap binatang uji dilakukan dengan memberikan melalui makanan (oral), aplikasi kulit (dermal) melalui pernafasan (respiratori, inhalasi). Dari uji laboratorium ini diperoleh nilai LD 50 oral dan LD50 dermal dan LD50 inhalasi. Semakin rendah nilai LD50 semakin tinggi toksisitas insektisida tersebut. 2. Tingkat Bahaya Pestisida Meskipun sangat sulit mengekstrapolasi nilai LD 50 binatang mamalia seperti tikus atau kelinci untuk menilai tingkat toksisitas pestisida bagi manusia, namun sudah disepakati secara internaional bahwa nilai dosis letal mamalia tersebut digunakan untuk melihat tingkat bahaya akut suatu jenis pestisida bagi manusia. Menurut Bahan Kesehatan Dunia (WHO - World Health Organization) kategori tingkat bahaya pestisida adalah seperti Tabel 6. 67
Contoh bahan aktif yang termasuk kategori I adalah aldicarb dengan LD 50 oral untuk tikus adalah 0,93 mg/kg dan LD50 dermal untuk kelinci adalah 5 mg/kg. karbofuran LD 50 oral untuk tikus 8-14 mg/kg. Propoksur termasuk kategori II karena LD 50 oral, untuk tikus adalah 100 mg/kg, LD50 diazinon untuk tikus adalah 108 mg/kg, LD 50 DDT untuk tikus adalah 113 mg/kg. Yang termasuk kategori III (sedikit beracun) antara lain sipemetrin (SP) dengan LD 50 tikus antara 303-4123 mg/kg. Sejak tahun 2000 Pestisida yang termasuk dalam kategori Ia dan Ib termasuk pestisida dilarang aau tidak boleh didaftarkan di Indonesia.
Tabel 6. Tingkat bahaya insektisida menurut ketentuan WHO Kategori
Ia Sangat berbahaya sekali
LD50 Oral
LD50 Dermal
Padat
Cair
Padat
Cair
(mg/kg)
(mg/kg)
(mg/kg)
(mg/kg)
3000
Biru muda
Perhatian
Hijau
PENGGUNAAN PESTISIDA SECARA SELEKTIF Dalam kerangka penerapan PHT penggunaan pestisida harus hati-hati seminimal mungkin serta selektif dengan sasaran mengurangi populasi hama sampai pada aras yang tidak merugikan tanpa dengan sesedikit mungkin membahayakan kesehatan pengguna, masyarakat termasuk konsumen serta lingkungan hidup. Karena itu penggunaan pestisida harus dilakukan secara lebih selektif. Selektivitas penggunaan insektisida dapat dibagi menjadi: 68
1. selektivitas fisiologi atau selektivitas intrinsik 2. selektivitas ekologi 3. selektivitas melalui formulasi dan aplikasi 1. Selektivitas Fisiologi Selektivitas fisiologi insektisida di sini adalah penggunaan jenis insektisida yang secara intrinsik hanya mematikan serangga-serangga hama tetapi tidak membahayakan seranggaserangga yang berharga termasuk musuh alami dan serangga penyerbuk bunga. Karena sifatnya, maka insektisida yang memiliki selektivitas fisiologis berspektrum sempit dengan serangga sasaran yang khas. Meskipun banyak insektisida OP, karbamat yang kurang selektif terhadap predator hamahama padi tetapi ada juga insektisida OP seperti piridafention dan tertraklorvinpos yang lebih beracun bagi hama sasaran yaitu wereng hijau padi Nephotettix spp dan kurang berbahaya bagi predator laba-laba serigala Lycosa pseudoannulata. Pengujian tentang selektivitas berbagai jenis insektisida yang saat ini digunakan di Indonesia terhadap hama dan musuh alaminya perlu dilakukan agar kita mengetahui seberapa jauh tingkat bahaya insektisida tersebut bagi serangga bukan sasaran yang bermanfaat seperti musuh alami. Insektisida bakteri seperti Bacillus thuringiensis dan insektisida biologis lainnya termasuk jenis insektisida yang memilki selektivitas tinggi bila dibandingkan dengan insektisida konvensional. Bt umumnya ditujukan untuk mengendalikan hama yang termasuk ordo Lepidoptera. 2. Selektivitas Ekologi Dengan mempelajari sifat biologi dan ekologi hama sasaran dapat diketahui waktu dan cara aplikasi insektisida yang tepat dan efektif. Dengan mempelajari neraca kehidupan hama, perilaku hama, kisaran inang hama kita dapat menentukan bagaimana aplikasi insektisida yang tepat. Aplikasi terutama ditujukan pada bagian yang lemah pada kehidupan hama yaitu sewaktu hama berada pada stadium hama yang peka terhadap insektisida dan dalam keadaan yang "terbuka" terhadap perlakuan insektisida diusahakan sedapat mungkin serangga parasitoid dan predator dapat terhindar dari perlakuan insektisida. Dalam praktek di lapangan selektivitas ekologi perlakuan insektisida dapat dalam beberapa cara yaitu: a. Penetapan waktu aplikasi yang tepat. b. Perlakuan insektisida secara parsial atau spot treatment yang meliputi penyemprotan hanya di pesemaian, pada tanaman batas, atau pernyemprotan hanya pada bagian tanaman atau pertanaman yang terserang. c. Perlakuan insektisida pada tanaman perangkap. d. Perlakuan insektisida pada tanaman inang alternatif harus yang berupa gulma. e. Perlakuan benih dapat mengurangi perlakuan insektisida pada pertanaman. f. Aplikasi insektisida melalui tanah atau air pengairan untuk mengurangi terbunuhnya musuh alami. 3. Selektivitas Melalui Penentuan Formulasi dan Cara Aplikasi Selektivitas insektisida di sini adalah dalam menentukan dan memilih formulasi insektisida dan teknik aplikasi yang tepat, efektif dalam mengendalikan hama sehingga kurang membahayakan eksistensi musuh alami hama. Yang termasuk dalam selektivitas ini adalah: a. Penggunaan formulasi butiran atau Granule dengan insektisida sistemik diharapkan dapat efektif untuk mengendalikan hama penggerek tanaman dan membatasi pengaruh yang merugikan bagi serangga predator dan parasitoid dewasa. 69
b. Penggunaan formulasi ULV (Ultra Low Volume) yang tepat dapat membatasi "drift" insektisida sehingga dapat mengurangi risiko pencemaran dan membatasi terbunuhnya musuh alami. c. Cara aplikasi di lapangan yang kurang tepat dapat mengakibatkan peningkatan kematian organisme bukan sasaran. Oleh karena itu petani perlu dilatih tentang bagaimana cara penyemprotan insektisida yang benar.
Bijaksana: Tepat apa? • Sasaran • Dosis • Cara • Waktu • Konsentrasi • ----221529639.doc 70
Materi 9
PENGELOLAAN HAMA TANAMAN PANGAN Tujuan: 1. Mempelajari dan memahami jenis-jenis hama utama tanaman pangan 2. Mempelajari dan memahami pelaksanaan PHT pada tanaman pangan Materi Kuliah: PERMASALAHAN HAMA TANAMAN PANGAN Yang disebut tanaman pangan adalah jenis tanaman yang menjadi sumber pangan utama sebagian besar penduduk. Di Indonesia tanaman pangan dibagi dalam dua kelompok yaitu padi-padian dan palawija. Kelompok padi-padian diwakili oleh PADI yang menghasilkan BERAS sebagai makanan utama penduduk Indonesia dan JAGUNG, sedangkan palawija terdiri atas KEDELAI dan tanaman kacang-kacangan seperti KACANG TANAH, KACANG PANJANG, dll. Dari sekian banyak jenis tanaman dan komoditas pertanian yang dibudidayakan dan diusahakan, padi merupakan tanaman yang paling memperoleh perhatian utama dari Pemerintah dan masyarakat. Hal ini disebabkan karena padi menyangkut hidup sebagian besar penduduk Indonesia. Karena pentingnya padi seringkali padi disebut sebagai TANAMAN POLITIK. SWASEMBADA BERAS Sejak Pemerintah mencanangkan program peningkatan produksi beras untuk mencapai swasembada beras pada tahun 1970 Pemerintah mengintroduksikan teknologi intensifikasi produksi padi atau yang dikenal dengan teknologi “revolusi hijau“ atau green revolution. Istilah yang terkenal dengan teknologi revolusi hijau adalah Panca Usaha yaitu: 1. Pengolahan Tanah 2. Penanaman Bibit atau Benih Unggul 3. Pemupukan 4. Pengendalian Hama dan Penyakit 5. Perbaikan Pengairan Teknologi revolusi hijau pada tanaman padi sangat tergantung pada bibit unggul, pupuk buatan atau pupuk kimia (Urea, ZA, TSP, KCL) serta pestisida kimia. Tujuan intensifikasi pangan agar dapat meningkatkan produksi pangan khususnya beras dengan tujuan agar Indonesia menjadi swasembada beras atau memenuhi kebutuhan sendiri akan beras sebagai makanan utama penduduk. Program intensifikasi pangan berjalan sampai saat ini. Nama program bermacam-macam tergantung kegiatan dan “selera” Kabinet yang bersangkutan. Sejak tahun 1970an kita kenal banyak nama program intensifikasi yaitu sebagai program BIMAS (Bimbingan Massal), INMAS (Intensifikasi Massal), INSUS (Intensifikasi Khusus), SUPRA INSUS, dan lain-lainnya. Kabinet sekarang mempunyai program yang disebut Program Ketahanan Pangan. Indonesia hanya mencapai Swasembada beras pada tahun 1984, setelah itu kita masih harus mengimpor beras untuk dapat memenuhi kebutuhan beras penduduknya. Pada beberapa tahun terakhir ini Indonesia kembali menjadi negara pengimpor beras terbesar dunia. 71
Dampak penerapan intensifikasi pertanian pada ekosistem persawahan dan sistem sosial masyarakat di Indonesia sangat besar antara lain: 1. Ekosistem persawahan menjadi sangat rawan hama dan penyakit padi. Berbagai hama penyakit “baru” timbul, meluas dan sering meletus setelah program BIMAS dilaksanakan antara lain hama wereng coklat dan wereng-wereng lainnya, penyakit tungro. Puncak letusan hama terjadi pada tahun 1979 hampir satu juta hektar sawah gagal panen atau rusak oleh wereng coklat. 2. Dengan perbaikan sistem pengairan petani dapat menanam padi dua kali sampai 3 kali setahun, seringkali dengan menanam varietas sama dan masa tanam yang tidak serentak. Kondisi lingkungan ini menguntungkan perkembangbiakan hama-hama padi seperti tikus dan wereng coklat. Karena itu sampai saat ini sawah di Indonesia tidak pernah “sepi” akan serangan hama. 3. Karena penggunaan bahan kimia pertanian yang sangat banyak, kesuburan tanah semakin menurun sehingga proses produksi tanaman padi menjadi semakin tidak efisien, sasaran peningkatan produksi tidak tercapai dan lingkungan pertanian semakin tercemar. Penggunaan pestisida yang masih tinggi dapat menimbulkan resistensi dan resurjensi hamahama utama padi seperti wereng coklat. 4. Petani semakin tergantung pada bibit unggul, pupuk kimia dan pestisida yang harganya semakin mahal. Keadaan ini mendorong terjadinya kesenjangan di pedesaan antara petani yang kaya dan petani yang miskin terutama buruh tani. Program PHT pada tanaman padi yang dilaksanakan Pemerintah sejak tahun 1989 yang telah melatih sekitar satu juta petani padi dengan konsep dan teknologi dapat mengurangi penggunaan pestisida kimia di tingkat petani. Ada banyak petani padi saat ini yang tidak lagi menggunakan pestisida karena sudah mengandalkan musuh alami hama-hama padi. Ekosistem persawahan secara ekologi sebenarnya merupakan ekosistem yang memiliki kestabilan tinggi apabila kita dapat menerapkan PHT secara konsisten dan konsekuen. Dalam kondisi stabil letusan hama tidak perlu dikhawatirkan. Penerapan PHT untuk hama-hama padi secara umum adalah sebagai berikut: 1. Pola tanam padi, padi, palawija. 2. Tanam bibit atau varietas unggul tahan hama terutama VUTW (Varietas Unggul Tahan Wereng) sesuai dengan biotipe wereng coklat pada suatu tempat. Seperti kita ketahui saat ini kita mempunyai kelompok Non VUTW, VUTW I, dan VUTW I. Sebaiknya dilakukan pergiliran varietas antar musim tanam. 3. Pada kondisi populasi wereng coklat tinggi hindarkan penanaman varietas padi peka hama terutama varietas-varietas lokal (Rojolele, Mentik, Cianjur, dll). 4. Diusahakan di suatu hamparan sawah dilakukan penanaman secara serentak termasuk di daerah-daerah yang berbukit. Serangan hama tikus berkurang di daerah-daerah yang menanam padi serentak. 5. Pengendalian hayati terutama dengan teknik augmentasi dan konservasi musuh alami merupakan teknik pengendalian hama-hama padi utama. Banyak jenis predator dan parasitoid dijumpai di ekosistem persawahan kita. 6. Bila diperlukan pestisida kimia gunakan secara sangat selektif dengan menggunakan jenisjenis pestisida yang tidak membunuh musuh alami. Penggunaan pestisida diputuskan setelah mempelajari hasil pengamatan ekosistem. 7. Laksanakan kegiatan pengamatan atau pemantauan hama dan musuh alami seminggu sekali. Apabila jumlah musuh alami banyak tidak perlu dilakukan kegiatan pengendalian dengan pestisida.
72
A. HAMA-HAMA PADI Pada ekosistem padi dijumpai banyak jenis hama yang menyerang hampir seluruh stadia tumbuh padi dari persemaian sampai panen dan pasca panen. Yang akan dibahas di sini beberapa hama utama padi saja. Intensitas serangan hama-hama tersebut dari suatu lokasi ke lokasi lain sangat berbeda, dengan demikian hama-hama utama di suatu daerah dapat berbeda dengan hama-hama utama di daerah lain. Namun dari laporan pada 5 tahun terakhir urut-urutan hama padi utama di Indonesia adalah 1) Tikus, 2) Penggerek Batang dan 3) Wereng Coklat. Secara singkat sifat hama dengan cara pengelolaannya adalah sbb: 1. Tikus Sawah (Rattus argentiventer) Tikus sawah aktif pada malam hari. Siang hari mereka selalu berlindung di dalam liang atau di semak belukar. Untuk tempat tinggal atau lubang biasanya tikus berorientasi ke daerah yang cukup memberi perlindungan dan rasa aman dari gangguan predator dan tersedia sumber makanan dan air. Fungsi lubang bagi tikus sawah adalah sebagai tempat bernaung, tempat memelihara anak dan kelompok keturunan, serta menimbun makanan. Kepadatan populasi tikus berkaitan dengan fase pertumbuhan tanaman padi. Serangan tikus dapat terjadi sejak di persemaian sampai pasca panen. Populasi tikus umumnya masih rendah pada persemaian sampai fase vegetatif dan kepadatan populasi meningkat pada fase generatif. Gejala serangan: 1. Adanya sarang dari batang rerumputan dan daun diantara vegetasi tanaman yang tumbuh di lapangan 2. Adanya saluran lubang yang masuk ke dalam tanah yang tidak begitu basah atau tergenang air 3. Adanya lubang yang biasanya dengan diameter yang lebih besar dari tubuh tikus dan berbentuk bulat yang merupakan jalan masuk menuju saluran. 4. Adanya lintasan jalan dimana tikus hilir mudik di antara pertanaman tempat makannya dengan lubang persembunyiannya. 5. Adanya bekas-bekas kotoran tikus sepanjang lintasan 6. Adanya bekas-bekas telapak kaki tikus terutama pada tanah berlumpur 7. Adanya bentuk-bentuk kerusakan tertentu pada tanaman yang diakibatkan oleh tikus seperti rebahnya tanaman karena pangkal batang putus, terutama pada tanaman-tanaman muda. Pada kepadatan populasi rendah, serangan tikus biasanya bersifat acak terutama di bagian tengah petakan, sehingga belum tampak jelas dari pematang. Pada serangan berat, biasanya hanya menyisakan beberapa baris tanaman pinggir. Pengelolaan: 1. Diupayakan agar waktu tanam dengan selang 5%
1 nimfa / tunas 1 nimfa dewasa / tunas a. Ada tungro : 1 nimfa dewasa / tunas b. Tidak ada tungro : 5 nimfa / tunas a. Tanam – malai berisi : 2 kel. telur / 20 rumpun b. Malai berisi – akhir pembungaan : 1 kel. telur / 20 rumpun a. Pesemaian : kerusakan daun sebesar 50 % b. Tanam – pembentukan malai : kerusakan daun sebesar 25 % c. Pembentukan malai – masak : kerusakan daun sebesar 15 % a. Fase vegetatif : kerusakan daun sebesar 20 % b. Sebelum pembentukan malai–pembentukan bunga: kerusakan daun 5 % a. Semai – tanam : kerusakan daun sebesar 50 % b. Tanam – anakan terbentuk : kerusakan daun sebesar 25 % 10 nimfa 2 telur/rumpun
2. Kedelai No. 1.
Jenis hama Spodoptera litura
Sample pengamatan
2.
Chrysodeixis chalcites
10 rumpun/ petak
3.
Phaedonia inclusa
10 rumpun / petak
115
Ambang ekonomi a. Umur tan. (31 – 50 hst) : 3 ekor larva instar 3 / rumpun dan 4 kel. telur / 100 rumpun b. Umur tan. (51 – 70 hst) : 6 ekor larva instar 3 / rumpun dan 7 kel. telur / 100 rumpun c. Kerusakan daun 12,5 % atau populasi ulat 10 larva / 20 rumpun (Balittan Malang) a. Fase vegetatif (11-30 hst): - 200 larva instar 1 - 120 larva instar 2 - 20 larva instar 3 - kerusakan daun sebesar 25 % b. Umur tan. (31-50 hst): - 200 larva instar 1 - 120 larva instar 2 - 30 larva instar 3 - kerusakan daun sebesar 12,5 % c. Umur tan. (51 – 70 hst): - 200 larva instar 1 - 120 larva instar 2 - 50 larva instar 3 - kerusakan daun sebesar 12,5 % d. Populasi ulat 15 larva / 20 rumpun (Balittan Malang) a. Fase tanam- 10 hst : 1 imago b. Fase vegetatif : 1 imago c. Sebelum 45 hst : kerusakan sebesar > 2 % / 20 rumpun acak d. Umur tanaman 45 hst, ditemukan serangan sebesar 2 % (Balittan Malang)
4.
Nezara viridula
10 rumpun
a.
b.
c. d.
5
Piezodorus hybneri
a.
b.
c. d.
6
7.
Riptortus linearis
Etiella zinckenella
Umur tan (31 – 50 hst): - 1 pasang kepik hijau - 1 pasang kepik coklat Umur tan. (51 –70 hst) : - 1 pasang - kerusakan polong > 2,5 % Umur tan 71 hst – panen : 1 pasang Umur 45- 50 hst, bila ditemukan 3 ekor kepik / 5 tanaman atau kerusakan polong 2% (Balittan Malang) Umur tan (31 – 50 hst): - 1 pasang kepik hijau - 1 pasang kepik coklat Umur tan. (51 –70 hst) : - 1 pasang - kerusakan polong > 2,5 % Umur tan 71 hst – panen : 1 pasang Umur 45- 50 hst, bila ditemukan 3 ekor kepik / 5 tanaman atau kerusakan polong 2% (Balittan Malang)
a. Umur tan (31 – 50 hst): - 1 pasang kepik hijau - 1 pasang kepik coklat
10 rumpun / petak
116
b. Umur tan. (51 –70 hst) : - 1 pasang - kerusakan polong > 2,5 % c. Umur tan 71 hst – panen : 1 pasang d. Umur 45- 50 hst, bila ditemukan 1 ekor kepik / 4 tanaman atau kerusakan polong 2% (Balittan Malang) a. Pertumbuhan polong (51 – 70hst) : 1 pasang atau 1 ekor dan polong terserang > 2,5 % b. Umur tanaman 45 hst , bila terdapat serangan ratarata 2 % (Balittan Malang)
8.
Ophiomyia phaseoli
(Agromyza)
9.
- Lamprosema indicata - Plusia chalcites
10 rumpun / petak
10.
Melanogromyza sojae
10 rumpun / petak
11.
Spodoptera litura
12 rumpun / petak
30 rumpun / petak
117
a. Umur tan. (tanam – 10 hst) : 2 ekor atau 2,5 % tanaman terserang b. Umur tan. Sebelum 10 hst : kerusakan > 2 % c. Terdapat serangan 2 % atau adanya 1 ekor lalat / 5m baris tanaman (Balittan Malang, 1991) a. vegetatif (11-30 hst) : kerusakan daun sebesar 25 % atau ditemukan 30 larva b. Umur tan. (31-50 hst) : kerusakan daun sebesar 12,5 % c. Umur tan (51 – 70 hst) : kerusakan daun sebesar 12,5 % d. Terdapat kerusakan daun sebesar 12,5 % atau ditemukan 15 ulat (Balittan malang,1991) a. Umur tanaman kurang dari 10 hari kerusakan sebesar >2% b. Umur tanaman 0-30 hst : terdapat serangan > 2 % a. 58 larva instar 1 b. 32 larva instar 2 c. 17 larva instar 3 (Ditlin) d. 4 larva / 12 rumpun yang berdekatan e. Terdapat kerusakan daun sebesar 12,5 % atau 15 larva / 20 rumpun (Balittan Malang, 1991)
Lampiran 2 Daftar tumbuhan di Indonesia yang dapat digunakan sebagai pestisida nabati No
Nama Spesies
1 Achalypha indica 2 Acarus columus 3 Allium cepa 4 Allium sativum 5 Andropogon nordus 6 Annona muricata 7 Annona reticulata 8 Annona squamosa 9 Azadirachta indica 10 Bischo Bischofia javanica 11 Chrysantemum sp. 12 Cinnamomum burmanii 13 Citrus aurantium 14 Citrus hystrix 15 Cocos nucifera 16 Coleus sp. 17 Coriandum sativum 18 Croton triglium 19 Crynura sp. 20 Cucumis sativus 21 Cucurbita moschata 22 Cymbopogon sp. 23 Dahlia sp. 24 Derris elliptica 25 Derris malaccensis 26 Eclipta alba 27 Eugenia syzigium 28 Eunymus japonicus 29 Eupatorium triplinerpe 30 Ficus carca 31 Geranium sp. 32 Hedera nodosa 33 Impatiens sultani 34 Ipomea batatas 35 Lonchocarpus nicou 36 Lycopercicum sp. 37 Mammea Americana 38 Mundulae suberosa 39 Nerium oleander 40 Nicotiana tabaccum
Nama Umum Indian nettle Red onion Garlic Citronella Custard apple Sugar apple Neem tree Chrysant Cinnamon leaf Sour orange Lemon Coconut
Cucumber Lemon grass Frenchmarigold
Clove Spindle tree Fong tree
Zingiber balsam Batate, patate
Mamey Common oleander Tobacco
Nama Daerah Rumput bolong Delinggo Bawang merah Bawang putih Serai wangi Sirsak Buah nina Srikaya, delima Nimba Glintungan Piretrum Kayu manis Jeruk Jeruk purut Kelapa Daun jinten Ketumbar Kamalakian Beluntas Cina Mentimun Labu besar Serai dapur Dahlia Tuba Tuba laut Urang aring Cengkeh Kumbang Ayapana Daun ambrei Pepaya hutan Pacar air Ubi jalar Timbo, neku Leunca, komir Mundula Oleander, jure Tembakau
118
Bagian yang digunakan Daun, kulit Daun Daun Daun Daun Daun, biji Kulit, buah Akar, buah Seluruh bagian Daun Bunga Daun, kulit, buah Daun Daun, kulit, buah Daging Daun Biji Biji Daun Daun Daun, biji Daun Daun Akar Akar Akar, tangkai Daun, bunga Daun Daun Daun Daun Daun Daun Daun Akar Seluruh bagian Akar, ubi, kulit Kulit, akar, batang Akar, kulit, batang Daun
41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54
Oxalis deppei Pachyrrhyzus erosus Pangium edulo Pelargonium sp. Peperomia sp. Piper nigrum Pogostemon cablin Punica granatum Ricinus communis Rosa sp. Sepindus rarak Solanum tuberosum Tephorisa vogelii Zingiber officinale
Lucky clover Chinesse yan Geranium Black pepper Cublin Ponegranate Costa bean
Iris potato Vogel teprosia Ginger
Celincing Bengkuang Kapayang Keranyam Saladaan Lada Nilam Delima Jarak, kaliki Mawar Rerek, lerek Kentang Jahe
Daun Seluruh bagian Dahan, daun Daun, batang Daun Biji Daun Daun Biji Daun Daun Daun Daun, biji Rimpang
Sumber : DirJen Bina Produksi Perkebunan, Departemen Pertanian
119
View more...
Comments